SINTESIS BaTiO3 DARI CAMPURAN Ba(OH)2 DAN TiO2 DENGAN TAMBAHAN PbO
HERMAN HADIWIJAYA
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ABSTRAK HERMAN HADIWIJAYA. Sintesis BaTiO3 dari Campuran Ba(OH)2 dan TiO2 dengan Tambahan PbO. Dibimbing oleh IRMA HERAWATI SUPARTO dan SYAHFANDI AHDA. Bahan piezoelektrik merupakan bahan yang dapat menghasilkan medan listrik ketika diberi tekanan. Demikian sebaliknya, bahan tersebut akan meregang dan mengempis jika diberi medan listrik. Bahan ini dapat dimanfaatkan dalam berbagai kegunaan, seperti sensor, mikrofon, ultrabunyi, dan pengukur tekanan. Barium titanat merupakan salah satu bahan feroelektrik yang memiliki sifat piezoelektrik yang dapat disintesis dengan mudah. Penelitian ini bertujuan mensintesis barium titanat dari campuran Ba(OH)2 dan TiO2 dengan mengamati suhu pemanasan optimum dan pengaruh penambahan PbO. Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu sintesis barium titanat dengan metode kering, metode sol-gel, tambahan PbO pada sintesis barium titanat, dan pencirian bahan dengan difraksi sinar X (XRD). Berdasarkan hasil XRD, diperoleh suhu pemanasan optimal untuk sintesis barium titanat dari campuran Ba(OH)2 dan TiO2, baik dengan metode sol-gel maupun metode kering adalah 800 °C. Tambahan PbO pada pembentukan reaksi barium titanat diduga menghasilkan Ba1-xPbxTiO3 yang dapat menggeser posisi puncak pada sudut 2θ. Reaksi ini memperkuat terbentuknya struktur tetragonal dari BaTiO3 sehingga diperoleh hasil terbaik pada nilai x sebesar 0.5 dari pencampuran langsung antara BaTiO3, TiO2, dan PbO yang diduga menghasilkan Ba0.5Pb0.5TiO3.
ABSTRACT HERMAN HADIWIJAYA. Synthesis of BaTiO3 from Ba(OH)2 and TiO2 with Addition of PbO. Supervised by IRMA HERAWATI SUPARTO and SYAHFANDI AHDA. Piezoelectric material can generate electric field in response to applied mechanical stress. Conversely, they can stretch and contract in response to an electric field. This material can be used for many applications such as transducer, microphone, ultrasound, and pressure gauge. Barium titanate is a ferroelectric material with piezoelectric properties that can be synthesized easily. The aim of this study is to synthesis barium titanate from mixture of Ba(OH)2 and TiO2, also observe its optimum temperature and the effect of PbO addition. The method of synthesis was solid-state reaction and sol-gel method, then the products were characterized with x-ray diffraction (XRD). Based on XRD analysis, the optimum temperature for both methods was 800°C. Addition of PbO to BaTiO3 in the solid-state reaction formed a compound with formula of Ba1-xPbxTiO3. The addition has changed diffraction pattern peak at 2θ and strengthened its tetragonal structure. The best result was obtained at x of 0.5 which will form a compound of Ba0.5Pb0.5TiO3.
SINTESIS BaTiO3 DARI CAMPURAN Ba(OH)2 DAN TiO2 DENGAN TAMBAHAN PbO
HERMAN HADIWIJAYA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul
:
Nama NIM
: :
Sintesis BaTiO3 dari Campuran Ba(OH)2 dan TiO2 dengan Tambahan PbO Herman Hadiwijaya G44053093
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS NIP 19581123 198603 2 002
Drs. Syahfandi Ahda, MT NIP 19600202 198703 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS NIP 19501227 197603 2 002
Tanggal Lulus:
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim… Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Sintesis BaTiO3 dari Campuran Ba(OH)2 dan TiO2 dengan Tambahan PbO” dapat diselesaikan. Penulis menghaturkan terima kasih kepada Ibu Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS dan Bapak Drs. Syahfandi Ahda, MT selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan, masukan, serta semangat dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Iman Kuntoro selaku Kepala Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN)-Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di (PTBIN)-BATAN beserta seluruh staf terutama Bapak Mardiyanto, Bapak Sulistioso, Bapak Rahmat, dan Bapak Wisnu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih yang mendalam kepada Ibu dan Ayah tercinta (Ibu Uun dan Bapak H. Dulhasim), kakak-kakak tersayang, teman-teman Kimia 42, teman seperjuangan di Wisma Aria, Bapak Agus Saputra, serta semua sahabat atas doa, saran, motivasi, masukan, serta dukungannya kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2010
Herman Hadiwijaya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 7 Oktober 1987 dari Bapak H. Dulhasim dan Ibu Uun. Penulis merupakan anak kesebelas dari sebelas bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kuningan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis melanjutkan studi di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus, seperti Keluarga Mushola As-Shaf Asrama Putra C2 Tingkat Persiapan Bersama (TPB) periode 2005/2006, Staf Divisi Syiar dan Sains Serambi Ruhiyah Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (SERUM-G) IPB periode 2006/2007, Staf Departemen PSDM LDK DKM Al-Hurriyyah IPB periode 2006/2007, Wakil Ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning Kuningan (HIMARIKA) periode 2006/2007, Ketua OMDA HIMARIKA periode 2007/2008, Koordinator Divisi PSDM Lembaga Pengajaran Al-Quran (LPQ) AlHurriyyah IPB periode 2007/2008, dan Koordinator Divisi Eksternal Pengurus Pendidikan Agama Islam (PAI) IPB periode 2008/2009. Praktek lapangan dilaksanakan pada tahun 2008 di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor dengan judul makalah ”Verifikasi Metode Pengujian Kadar Timbal (Pb) dalam Contoh Air Sumur Secara Inductifely Coupled Plasma (ICP)”. Kegiatan di luar kampus, penulis pernah menjadi asisten PAI pada tahun ajaran 2008/2009. Sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang, menjadi staf pengajar mata pelajaran Kimia SMK, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) SMP, dan Fisika SMA di SMP-SMA/SMK Yayasan Pandu Madania Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ viii PENDAHULUAN ..............................................................................................................1 TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................1 Barium Titanat (BaTiO3) .......................................................................................1 Piezoelektrik ..........................................................................................................2 Sol-gel ...................................................................................................................3 Kalsinasi dan Sintering ..........................................................................................3 Difraksi Sinar-X (XRD) ........................................................................................3 BAHAN DAN METODE ..................................................................................................5 Bahan dan Alat ......................................................................................................5 Lingkup Penelitian ................................................................................................5 HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................................6 Metode Sol-gel ......................................................................................................6 Metode Kering .......................................................................................................7 Tambahan PbO ......................................................................................................8 SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................................9 Simpulan ................................................................................................................9 Saran ......................................................................................................................9 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................9 LAMPIRAN ..................................................................................................................... 11
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbandingan suhu curie material feroelektrik ...............................................................2 2 Tiga puncak barium titanat dari data Hannawalt ...........................................................7
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur perovskit BaTiO3..............................................................................................1 2 Polarisasi pada barium titanat ........................................................................................2 3 Efek piezoelektrik pada suatu bahan .............................................................................2 4 Beberapa arah kristal pada sistem kubik .......................................................................4 5 Beberapa indeks Miller dari sistem kristal kubik ...........................................................4 6 Pantulan sinar-X oleh bidang atom yang terpisah pada jarak d .....................................4 7 Perubahan pola difraksi struktur kristal barium titanat pada berbagai suhu dengan metode sol-gel ................................................................................................................6 8 Perubahan pola difraksi struktur kristal barium titanat pada berbagai suhu dengan metode kering .................................................................................................................7 9 Pola difraksi Ba0.5Pb0.5TiO3 dari campuran BaTiO3, TiO2, dan PbO ......................................9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram alir sintesis BaTiO3 ......................................................................................... 12 2 Diagram alir tambahan PbO pada BaTiO3 yang diduga menghasilkan Ba1-xPbxTiO3 ..... 13 3 Hasil analisis XRD untuk BaTiO3 melalui metode sol-gel ........................................... 14 4 Hasil analisis XRD untuk BaTiO3 melalui metode kering ............................................ 15 5 Hasil analisis XRD untuk BaTiO3 dengan tambahan PbO melalui metode kering ....... 16 6 Tabel JCPDS Hannawalt .............................................................................................. 17 7 Data puncak dan intensitas bahan hasil XRD dengan metode sol-gel .......................... 18 8 Data puncak dan intensitas bahan hasil XRD dengan metode kering ........................... 19
1
PENDAHULUAN Bahan piezoelektrik merupakan bahan yang dapat menghasilkan medan listrik ketika adanya perlakuan tekanan pada bahan tersebut, demikian sebaliknya. Bahan ini dapat digunakan dalam berbagai kegunaan, khususnya sebagai transduser. Selain itu, dapat pula digunakan dalam peranti seperti mikrofon, ultrasound, dan pengukur tekanan (strain gauges). Barium titanat (BaTiO3) merupakan material feroelektrik yang memiliki sifat piezoelektrik. BaTiO3 memiliki struktur kristal yang sederhana dan ditinjau dari segi penggunaannya, bahan ini sangat praktis karena sifat kimia dan mekaniknya sangat stabil serta mempunyai suhu Curie (Tc) pada 120 ºC (Yunasfi 2001). Sifat kristal BaTiO3 dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya kemurnian, sistem kristal, homogenitas, dan sebaran ukuran serbuk kristal. Faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam sintesis BaTiO3. Sintesis BaTiO3 dapat dilakukan dengan beberapa teknik, di antaranya hidrotermal, sol-gel, dan teknik kering. Teknik sol-gel merupakan metode yang sering dipakai untuk menjerap pereaksi ke dalam pori-pori material anorganik, sehingga memungkinkan terjadinya difusi analit ke dalam suatu matriks (Costa-Fernandez et al. 1998). Metode ini merupakan salah satu metode yang dapat menghasilkan elektrolit padat dengan homogenitas dan nilai konduktivitas yang baik. Adapun teknik kering (solid state reaction) merupakan teknik yang sangat sederhana karena pengerjaannya yang mudah. Teknik kering ini hanya memerlukan penggerusan sebagai langkah awal mensintesis suatu bahan (Sung-Soo & DangHyok 2007). Teknik sintesis yang dilakukan dalan penelitian ini adalah teknik sol-gel dan teknik kering. Kualitas BaTiO3 sebagai suatu bahan piezoelektrik dapat ditingkatkan dengan penambahan logam, seperti Mn, Si, La, maupun Pb. Penambahan logam tersebut pada BaTiO3 diharapkan dapat meningkatkan konstanta dielektriknya, sehingga mutu bahan yang dihasilkan akan menjadi lebih baik, seperti meningkatnya sifat piezoelektrik. Penelitian ini bertujuan mensintesis barium titanat (BaTiO3) dari bahan Ba(OH)2 dan TiO2 dengan menggunakan metode solgel dan metode kering serta mendapatkan suhu pemanasan optimal, dan mempelajari
pengaruh penambahan PbO pada hasil sintesis untuk memperoleh struktur kristal yang tetragonal.
TINJAUAN PUSTAKA Barium Titanat (BaTiO3) Barium titanat merupakan material feroelektrik yang mempunyai struktur kristal perovskit yang sederhana (Gambar 1). Barium titanat memiliki massa molar 233.26 g/mol, densitas sebesar 6.02 g/cm3 pada fase padat, titik leleh 1625 ºC, dan tidak larut dalam air. Penyiapan kristal barium titanat dapat diperoleh dari berbagai macam senyawa barium dan titanium, seperti BaCl2 dan TiCl4 (Jian-Feng et al. 2005) atau barium karbonat dan titanium oksiklorida dengan matriks asam oksalat (Baeten et al. 2005). Selain asam oksalat, matriks yang bisa digunakan dalam penyiapan kristal barium titanat adalah asam stearat. Asam stearat atau asam oktadekanoat adalah asam lemak jenuh yang mudah diperoleh dari lemak hewani serta minyak masak. Wujud asam stearat padat pada suhu ruang dengan rumus kimia CH3(CH2)16COOH. Asam stearat diproses dengan memperlakukan lemak hewan dengan air pada suhu dan tekanan tinggi. Asam ini dapat pula diperoleh dari hidrogenasi minyak nabati. Dalam bidang industri, asam stearat dipakai sebagai bahan pembuatan lilin, sabun, plastik, kosmetika, dan untuk melunakkan karet. Titik lebur asam stearat 69-70 °C dan titik didihnya 383 °C. Reduksi asam stearat menghasilkan stearil alkohol (MSDS 2007).
= Oksigen = Titanium = Barium Gambar 1 Struktur perovskit BaTiO3 (Nyutu & Edward 2008).
2
Barium titanat mempunyai lima struktur kristal yang berbeda, yaitu heksagonal, kubik, tetragonal, ortorombik, dan rombohedral. Struktur kristal heksagonal dan kubik dari barium titanat mempunyai sifat paraelektrik, sedangkan pada struktur kristal tetragonal, ortorombik, dan rombohedral dari barium titanat mempunyai sifat sebagai material feroelektrik (Wahyudi 2007). Pada suhu di atas 1460 oC, barium titanat mempunyai struktur kristal heksagonal. Pada saat terjadi pendinginan pada suhu di bawah 1460 oC, terjadi perubahan struktur kristal dari heksagonal menjadi kubik. Keadaan yang sangat penting terjadi pada suhu 120 oC, karena barium titanat bertransformasi secara spontan dari paraelektrik menjadi feroelektrik. Struktur kubik akan terpolarisasi sehingga kisi kristal akan berubah sekitar 1% dan akibatnya struktur kristal berubah menjadi tetragonal. Pada keadaan ini, atom titanium akan bergeser ke atas sebesar 0.006 nm, sehingga bagian atas akan bermuatan positif dan bagian bawah akan bermuatan negatif. Akibatnya, struktur kristal barium titanat akan berubah dari kubik menjadi tetragonal (Gambar 2a dan 2b). Hal ini sangat penting untuk dapat menjelaskan proses dielektrik material (Wahyudi 2007).
tetragonal. Akibatnya nilai dari konstanta dielektrik dari barium titanat mempunyai nilai yang tinggi (Wahyudi 2007). Suhu Curie (Tc) merupakan suhu kritis pada masa peralihan material dari paraelektrik menjadi feroelektrik. Table 1 menunjukkan Tc barium titanat (BaTiO3) dan beberapa material feroelektrik lainnya. Tabel 1
Perbandingan suhu Curie material feroelektrik Tc Material Feroelektrik (0C) Barium Titanat (BaTiO3) 120 Kalium Niobat (KNbO3) 434 Kalium Dihidrogen Fosfat (KH2PO4) -150 490 Timbal Titanat (PbTiO3) Litium Niobat (LiNbO3) 1210 Bismut Titanat (Bi4Ti3O12) 675 Sumber: Wahyudi (2007)
Piezoelektrik Efek piezoelektrik ditemukan oleh dua orang bersaudara Pieze Curie dan Jacques Curie pada tahun 1880. Baru direkomendasikan pada tahun 1950 setelah ditemukan tabung elektrometer untuk memperkuat sinyal pizoelektrik tersebut.
(a) Gambar 3
(b) = Barium = Oksigen = Titanium Gambar 2 Polarisasi barium titanat. (a) Struktur kubik di atas Tc, (b) Struktur tetragonal di bawah Tc. Struktur kristal barium titanat memiliki harga konstanta dielektrik terbesar ketika suhu barium titanat terletak pada titik suhu Curie (Tc). Kristal barium titanat pada suhu ini menjadi metastabil, sehingga terjadi perubahan fase antara kubik menjadi
Efek piezoelektrik pada suatu bahan.
Efek piezoelektrik merupakan sebuah fenomena unik bilamana gaya yang diterapkan pada suatu segmen bahan menimbulkan muatan listrik pada permukaan segmen tersebut (Gambar 3). Begitupun sebaliknya, bila pada bahan tersebut dialirkan arus listrik maka akan menimbulkan regangan. Sumber fenomena ini adalah adanya distribusi muatan listrik pada sel-sel kristal. Pada kristal kuarsa, bila ada gaya yang diterapkan pada sepanjang sumbu X, pada kristal akan menimbulkan muatan positif dan negatif pada sisi-sisi yang berlawanan dari kristal sepanjang sumbu Z. Regangan (strain) yang disebabkan oleh gaya tersebut cenderung menimbulkan perpindahan fisis muatan dalam satuan (Callister & William 2003).
3
Sol-Gel Proses sol-gel merupakan proses yang banyak digunakan untuk membuat keramik dan material gelas. Pada umumnya, proses sol-gel melibatkan transisi sistem dari sebuah liquid (sol) menjadi solid (gel). Melalui proses sol-gel, maka produksi keramik atau material gelas dalam berbagai jenis dan bentuk dapat dilakukan. Ultra-fine atau spherical shaped powder, thin film coating, ceramic fibers, microporous inorganic membranes, monolithic ceramics dan glasses, extremely porous aerogel materials merupakan contoh variasi dari proses sol-gel. Material yang digunakan dalam proses solgel biasanya adalah garam logam anorganik (inorganic metal salt) atau campuran logam organik (metal organic compound). Pada proses sol-gel, prekursor menjadi subjek pada reaksi hidrolisis dan polimerisasi untuk membentuk suspensi koloid (sol). Proses lebih lanjut dari sol ini dapat dibuat material keramik dalam bentuk yang berbeda. Film tipis dapat diproduksi dari selembar substrat dengan spin-coating atau dip-coating. Ketika sol dicetak ke dalam cetakan, sebuah gel basah akan terbentuk. Dengan pengeringan dan perlakuan panas, gel akan menjadi keramik yang padat. Jika cairan dalam gel yang basah hilang dalam kondisi superkritis, porositas yang tinggi dan material dengan densitas rendah akan didapatkan. Jika viskositas sol diatur menjadi sesuai dengan yang diinginkan, serat keramik bisa didapatkan dari sol tersebut. Ultra-fine dan uniform ceramic powder dibentuk melalui presipitasi, spray pirolisis, atau teknik emulsi (Yusriati 2008). Teknik sol-gel relatif lebih mudah untuk mengimobilisasi pereaksi secara enkapsulasi dalam matrik yang stabil dan merupakan material yang transparan secara optik, stabil, bersifat permeabel dibandingkan polimer organik (Collinson et al. 2000). Kalsinasi dan Sintering Kalsinasi merupakan proses pemanasan suatu objek dengan tujuan membersihkan objek tersebut dari pengotor-pengotor organik. Selain itu, proses kalsinasi dapat juga dilakukan untuk menentukan fase transisi dari suatu bahan. Sintering merupakan suatu metode untuk membuat suatu objek dari serbuk dengan pemanasan material pada suatu tanur sinter di bawah titik leburnya sampai partikel-partikelnya menjadi homogen.
Keduanya merupakan proses pemanasan, namun memiliki fungsi yang berlainan. Kalsinasi perlu dilakukan karena dalam pembuatan kristal sering kali terdapat pengotor-pengotor, terutama pengotor organik. Adapun sintering dilakukan sebagai proses awal reaksi bahan menjadi kristal. Proses sintering tersebut diintensifkan di dalam tanur sinter dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar. Pada tahap sintering terjadi dekomposisi endotermis, akibatnya senyawasenyawa dasar seperti karbonat atau hidroksida terdekomposisi meninggalkan oksida menjadi produk padat dan melepaskan gas sehingga terbentuk serbuk keramik (Sumari et al. 2008). Susiantini (2007) menyatakan bahwa keretakan butiran gel akibat penguapan zat-zat volatil dalam butiran gel yang terlalu cepat, dapat dihindari dengan melakukan proses sintering pada pemanasan yang bertahap. Butiran-butiran gel diletakkan dalam cawan porselin kemudian dimasukkan ke dalam muffle furnace. Kristalisasi barium titanat sangat dipengaruhi oleh suhu sintering. Semakin tinggi waktu sintering pada suhu pemanasan optimal, maka reaksi pembentukan kristal barium titanat akan semakin sempurna. Semakin sempurnanya reaksi pembentukan kristal tersebut akan mengakibatkan konstanta dielektrik dari barium titanat menjadi semakin besar sehingga akan sangat baik jika diaplikasikan ke dalam pembuatan bahan kapasitor maupun sensor (Yunasfi 2001). Selain itu, kristalisasi juga sangat dipengaruhi oleh tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, maka pengkristalan barium titanat akan semakin baik. Difraksi Sinar-X (XRD) X-ray diffraction (XRD) merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui struktur kristal, perubahan fase, dan derajat kristalinitas. Difraksi sinar-X oleh atom-atom yang tersusun di dalam kristal akan menghasilkan pola yang berbeda tergantung pada konfigurasi yang dibentuk oleh atomatom dalam kristal. Pada penentuan struktur kristal, perubahan fase, dan derajat kristalinitas, perlu diketahui arah di dalam kristal dan bidang atau irisan kristal itu sendiri. Arah di dalam bidang merupakan unit vektor dari unit sel. Secara umum, indeks dari arah diberikan dalam bentuk u, v, dan w yang merupakan bilangan
4
bulat terkecil dan dituliskan dalam tanda [u v w] (Gambar 4).
Sinar-X akan dipantulkan, dibiaskan, dan diteruskan apabila melalui suatu bahan. Garisgaris S1S1, S2S2 dan S3S3 seperti pada Gambar 6, mewakili bidang-bidang atom yang sejajar dengan permukaan hablur dan dipisah satu sama lain pada jarak d.
Gambar 6 Pantulan sinar-X oleh bidang atom yang terpisah pada jarak d. Gambar 4
Beberapa arah kristal pada sistem kubik (Schmieg 2009).
Karena irisan dari sebuah kristal merupakan objek dua dimensi, maka garis normal dari bidang irisan tersebut digunakan untuk mendiskripsikan bidang tadi. Indeks Miller biasa digunakan untuk menentukan bidang irisan di dalam kristal. Satu set bidang yang paralel dengan jarak yang seragam memiliki indeks yang sama. Indeks untuk bidang irisan dituliskan dalam tanda kurung (). Biasa dipakai tiga bilangan bulat, yaitu h, k dan l sehingga dituliskan (hkl). Jika sebuah bidang sejajar dengan suatu aksis maka indeks untuk aksis ini nilainya 0 (Gambar 5).
(0 1 0)
(0 2 0)
(1 1 1)
(-1 0 0)
Gambar 5 Beberapa indeks Miller dari system kristal kubik (Schmieg 2009). Jarak dari satu set bidang (hkl)) adalah jarak terpendek dari dua bidang yang berdekatan. Jarak merupakan fungsi dari (hkl), yang secara umum semakin besar harga indeks maka semakin kecil jarak antarbidang tersebut (Gambar 6).
Garis-garis AB dan A’B’ mewakili lintasan alur sinar-X pada panjang gelombang yang menuju ke bidang-bidang hablur pada sudut θ terhadap bidang dan masing-masing dipantulkan dalam arah BC dan B’C’. Supaya gelombang dari B’ dapat menguatkan gelombang yang dipantulkan dari B di CC’, kedua gelombang harus sefase. Dengan kata lain, beda lintasan antara gelombang A’B’C’ terhadap gelombang ABC harus merupakan kelipatan bulat panjang gelombang sinar-X itu, yaitu: (A’B’ + B’C’) – (AB + BC) = nλ Oleh sebab DB’ = B’E = d sin θ, maka syarat di atas dipenuhi apabila: 2d sin θ = nλ Persamaan di atas dinamakan Hukum Bragg dan sudut θ dikenal sebagai sudut Bragg untuk penyinaran sinar-X oleh bidang-bidang atom hablur yang dipisahkan pada jarak d dan n = 1,2,3, dan seterusnya (Reed-Hill 1973). Metode XRD berdasarkan sifat difraksi sinar-X memiliki panjang gelombang λ saat melewati kisi kristal dengan sudut pandang θ melewati kisi kristal dengan jarak antarbidang kristal sebesar d. Data yang diperoleh dari metode pencirian XRD adalah sudut hamburan (sudut Bragg) dan intensitas. Berdasarkan teori difraksi, sudut difraksi tergantung pada jarak antarbidang sehingga mempengaruhi pola difraksi, sedangkan intensitas cahaya difraksi bergantung pada berapa banyak kisi kristal yang memiliki orientasi yang sama. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan sistem kristal, parameter kisi, derajat kristalinitas, dan fase
5
yang terdapat dalam suatu sampel (Cullity & Stock 2001). XRD dapat memberikan informasi secara umum baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang komposisi fase-fase. Ada tiga informasi yang perlu diperhatikan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi fasefase dalam suatu bahan, yakni posisi difraksi maksimum, intensitas puncak, dan distribusi intensitas sebagai fungsi dari sudut difraksi. Setiap bahan memiliki pola difraksi yang khas seperti sidik jari manusia.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat yang digunakan ialah alat penekan untuk pellet, tungku (furnace) untuk kalsinasi dan sintering, pengaduk magnet, dan alat XRD dengan merek Shimidzu XRD 7000. Bahan yang dipakai ialah Ba(OH)2, TiO2, asam stearat, aseton, PbO, dan standar BaTiO3. Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu preparasi sampel dengan metode sol-gel, metode kering, preparasi sampel dengan penambahan PbO melalui metode kering, pencirian hasil menggunakan XRD, serta analisis hasil dengan JCPDS Hanawalt. Diag alir penelitian pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Preparasi Sol-gel Asam stearat sebagai matriks dihaluskan menggunakan mortar kemudian ditimbang sebanyak 0.2130 g dan dilarutkan dengan aseton 30 mL (konsentrasi larutan asam stearat 0.83 M). Bahan Ba(OH)2 ditimbang 4.2836 g dan TiO2 sebanyak 1.9975 g dengan perbandingan mol antara Ba dan Ti adalah 1:1 (Kavian & Saidi 2008). Kedua bahan dicampur dengan larutan asam stearat kemudian diaduk menggunakan pengaduk magnet dengan kecepatan 600 putaran per menit (ppm) pada suhu 65 °C selama 12 jam hingga diperoleh larutan yang kental (Kareiva et al. 1999). Setelah menjadi gel, bahan dipanaskan pada suhu 120 °C agar menjadi serbuk dan kering selama 1 jam, kemudian dibagi menjadi empat bagian yang sama (A, B, C, dan X) lalu ditekan sehingga menjadi pelet pada tekanan 2000 psi. Sampel A, B, dan C
dikalsinasi pada suhu 300 °C, kemudian suhu dinaikkan menjadi 625 °C masing-masing selama 1 jam. Perlakuan selanjutnya disintering dengan dibakar kembali pada suhu yang lebih tinggi, yaitu 800 °C (A), 900 °C (B), dan 1000 °C (C) selama 4 jam. Adapun sampel X tidak dikalsinasi maupun sintering karena digunakan sebagai pembanding adanya transformasi fase dari bahan dasar. Preparasi kering Ba(OH)2 sebanyak 4.2836 g (0.025 mol) dan TiO2 sebanyak 1.9975 g (0.025 mol) digerus dengan mortar selama kurang-lebih 4 jam. Bahan kemudian dibagi empat (D, E, F, dan Y) dengan perbandingan sama rata lalu ditekan sehingga menjadi pelet pada tekanan 2000 psi (Sung-Soo & Dang-Hyok 2007). Setelah itu, dikalsinasi lalu disintering pada 700 °C (D), 800 °C (E), dan 900 °C (F) selama 4 jam, sedangkan sampel Y sebagai pembanding tidak diberi perlakuan kalsinasi dan sintering. Pencirian Semua sampel yang telah disiapkan, baik hasil preparasi sol-gel maupun preparasi dengan cara kering kemudian dianalisis menggunakan XRD pada panjang gelombang 1.5404 Å untuk mengetahui pola kristal yang terbentuk dan suhu optimal. Tambahan PbO Setelah diperoleh suhu pemanasan optimal (pada tahap sintering) untuk sintesis barium titanat, proses berikutnya dilakukan penambahan barium titanat dengan PbO menggunakan metode kering. Dilakukan tiga variasi sampel, yaitu 1) bahan dasar Ba(OH)2 sebanyak 0.3710 g dan TiO2 sebanyak 0.3461 g dicampur dengan 0.4829 g PbO agar diperoleh persentase Pb sebesar 50%, 2) bahan dasar Ba(OH)2 sebanyak 0.5396 g dan TiO2 sebanyak 0.3594 g dicampur dengan 0.3010 g PbO agar diperoleh persentase Pb sebesar 30%, dan 3) kristal BaTiO3 yang sudah diperoleh ditimbang sebanyak 0.6242 g dicampur dengan 0.2145 g TiO2 dan 0.6083 g PbO. Ketiga jenis sampel di atas, masingmasing digerus dengan mortar selama kurang lebih 4 jam, kemudian ditekan sehingga menjadi pelet pada tekanan 2000 psi. Semua bahan dikalsinasi dan dibakar pada suhu optimum 800 °C selama 4 jam dan kemudian dianalisis dengan XRD. Berikut adalah persamaan reaksi dari proses penambahan barium titanat dengan PbO:
6
5 Ba (OH ) 2 + 5 PbO + 10TiO 2 → 10 Ba 0 , 5 Pb 0 , 5 TiO 3 + 5 H 2 O ......(1) 7 Ba ( OH ) 2 + 3 PbO + 10TiO 2 → 10 Ba 0 , 7 Pb 0 , 3TiO 3 + 7 H 2 O ......( 2 ) BaTiO 3 + PbO + TiO 2 → 2 Ba 0 , 5 Pb 0 , 5TiO 3 .......... .......... .......... .( 3)
HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Sol-gel Pembuatan bahan barium titanat dengan menggunakan metode sol-gel dimulai dengan menggerus bahan-bahan yang akan digunakan, yaitu asam stearat, Ba(OH)2, dan TiO2. Penggerusan bahan bertujuan memperbesar luas permukaan bahan sehingga dapat bereaksi lebih baik dan bercampur lebih homogen. Selain itu, agar diperoleh campuran yang homogen, maka pencampuran dilalukan pada kondisi yang konstan. Menurut Kareiva et al. (1999), untuk membentuk bahan menjadi sol-gel, campuran bahan perlu diaduk selama 1 sampai 24 jam pada suhu 60-90 °C. Suhu yang digunakan pada saat pengadukan adalah 65 °C. Hal ini dilakukan karena pelarut yang dipilih adalah aseton yang bersifat mudah menguap sehingga suhu pada saat pencampuran tidak terlalu tinggi. Campuran yang terjadi bereaksi sesuai persamaan: Ba(OH ) 2 + TiO2 → BaTiO3 + H 2 O....(4) Setelah dicampur selama kurang lebih 12 jam, campuran ini menghasilkan larutan kental berwarna putih yang kemudian dikeringkan dalam tanur pada suhu 120 °C selama 1 jam. Pemanasan ini dilakukan hanya untuk menguapkan cairan yang ada pada solgel yang telah terbentuk. Menurut Harjadi (1986), air yang terikat secara fisik untuk menguapkannya diperlukan panas, umumnya pada suhu 100-105 ºC. Hasil yang diperoleh
merupakan serbuk putih yang kemudian ditekan pada tekanan 2000 psi selama 5 menit untuk pembuatan pelet. Penekanan bahan pada proses pelet dapat membantu jalannya reaksi menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tekanan maka jarak antar partikel akan semakin kecil sehingga partikelpartikel akan semakin rapat satu sama lain. Semakin rapatnya jarak antar partikel, maka reaksi antarpartikel akan semakin mudah. Pelet kemudian dibakar pada suhu 300 °C selama 1 jam lalu dinaikkan menjadi 625 °C selama 1 jam. Proses ini merupakan proses kalsinasi yang dilakukan untuk menguapkan atau menghilangkan pengotor-pengotor, terutama pengotor organik. Asam stearat yang merupakan bahan organik dengan titik didih sekitar 383 °C terbakar dan menguap. Setelah mengalami tahap kalsinasi, suhu tungku kemudian dinaikkan lagi menjadi 800 °C, 900 °C, dan 1000 °C untuk sampel A, B, dan C secara berurutan untuk proses sintering selama 4 jam. Proses ini merupakan tahapan terjadinya reaksi atau terbentuknya barium titanat. Suhu pemanasan dinaikkan secara bertahap untuk menghindari keretakan pada keramik yang dihasilkan. Hasil yang diperoleh merupakan keramik berwarna putih. Keramik hasil ke-3 perlakuan (A, B, C), bahan tanpa pemanasan (X), dan standar barium titanat kemudian dianalisis dengan XRD menghasilkan pola difraksi seperti pada Gambar 7.
Gambar 7 Perubahan pola difraksi struktur kristal barium titanat pada berbagai suhu dengan metode sol-gel.
7
Gambar 7 menunjukkan perubahan struktur bahan yang dipengaruhi oleh suhu pada metode sol-gel. Sumbu X pada gambar menginformasikan posisi ketika puncakpuncak bahan didifraksikan oleh sinar-X, sedangkan sumbu Y menunjukkan intensitas puncak-puncak yang didifraksikan. Pada suhu 30 °C yang tidak diberi perlakuan kalsinasi dan sintering (warna merah) tampak belum terdapat puncak-puncak pola difraksi dari barium titanat. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi sampai tahap ini belum menumbuhkan kristal barium titanat namun hanya terjadi proses homogenisasi bahan dasar yang dicampur. Pada suhu 800 °C, pola puncak barium titanat sudah terbentuk, walaupun masih ada puncak dari bahan dasar titanium dioksida yang muncul, yaitu pada sudut 2θ di sekitar 24°, 25°, dan 33° (Lampiran 3). Pada pemanasan 900 °C, puncak titanium dioksida pada sudut 2θ di sekitar 24° dan 25° mulai menurun, tapi muncul puncak baru pada sudut di sekitar 28° dan 30° (Lampiran 3). Puncakpuncak baru yang muncul tersebut merupakan puncak yang dimiliki oleh bahan dasar titanium dioksida. Selain itu, ditemukan puncak baru pada sudut di sekitar 26° yang diduga dari Ba(OH)2. Begitupun dengan pola yang terbentuk pada pemanasan 1000 °C, terlihat adanya beberapa puncak titanium dioksida pada sudut 2θ di sekitar 25°, 28° dan 33° walaupun intensitasnya cukup rendah bila dibandingkan dengan puncak yang muncul pada pola pemanasan 900 °C (Lampiran 3). Pola difraksi setiap perlakuan kemudian dibandingkan dengan data-data yang mengacu pada data Hanawalt untuk standar barium titanat (Swanson dan Fuyat 1954). Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel yang memberi informasi posisi munculnya puncak (2θ) dan intensitas munculnya puncak-puncak tersebut (I), dan jarak bidang (d) (Lampiran 6). Adapun data posisi puncak-puncak
tertinggi dari bahan BaTiO3 yang dipanaskan pada suhu sintering 800, 900, dan 1000 °C disajikan pada (Lampiran 7). Tripathy et al. (2005) menyatakan bahwa struktur tetragonal barium titanat diperoleh ketika puncak-puncak dari pola difraksi sampel yang dianalisis dengan XRD muncul pada posisi 2θ di sekitar 22°, 31°, dan 45° dengan intensitas (I) seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Tiga puncak barium titanat dari data Hannawalt I (%) 2θ (°) 100
31.64
37
45.37
25
22.26
Sumber: Swanson dan Fuyat (1954)
Semua sampel yang dipanaskan memperlihatkan munculnya puncak pola difraksi pada ketiga sudut tersebut, namun dilihat dari ketinggian puncak yang paling baik intensitasnya adalah pola difraksi yang dimiliki oleh sampel dengan suhu pemanasan 800 °C. Selain itu, pengotor yang timbul (bahan dasar) pada suhu pemanasan 800 °C lebih sedikit dibandingkan pada hasil yang lain. Berdasarkan data tersebut, maka suhu optimal untuk sintesis barium titanat menggunakan metode sol-gel dengan besarnya tekanan 2000 psi dan lamanya waktu sintering 4 jam diperoleh pada suhu 800 °C. Metode Kering Sedikit berbeda dengan metode sol-gel, pada sintesis barium titanat dengan metode kering atau solid state reaction dilakukan pencampuran serbuk Ba(OH)2 dan TiO2 secara langsung dengan perbandingan mol antar Ba dan Ti adalah 1:1. Namun demikian,
Gambar 8 Perubahan pola difraksi struktur kristal barium titanat pada berbagai suhu dengan metode kering.
8
persamaan reaksi yang terjadi sama halnya dengan metode sol-gel, yaitu:
Ba(OH ) 2 + TiO2 → BaTiO3 + H 2 O Bahan kemudian dicampur dengan proses penggerusan. Pada metode kering ini, proses penggerusan bahan sangat menentukan baik atau tidaknya hasil yang akan diperoleh. Hal ini dikarenakan penggerusan akan membuat bahan menjadi halus, memperkecil ukuran partikel, dan memperbesar luas permukaan partikel sehingga reaksi kimia bisa terjadi dengan lebih mudah. Lalu campuran ditekan sehingga menjadi pelet pada tekanan 2000 psi kemudian dikalsinasi dan disintering. Proses kalsinasi dan sintering dilakukan dengan suhu yang lebih rendah dari metode sol-gel. Hal ini dilakukan karena pada metode kering ini tidak ada pereaksi tambahan selain bahan dasar, yaitu hanya Ba(OH)2 dan TiO2. Hasil XRD dari sintesis dengan metode kering menunjukkan adanya tranformasi fase dari bahan dasar (Gambar 8, garis merah) yang dibandingkan dengan pola difraksi standar barium titanat (Gambar 8, garis hitam). Pada pemanasan 700 °C (Gambar 8, garis hijau) mulai terbentuk pola-pola difraksi dari barium titanat, namun pola difraksi bahan dasar masih muncul dengan intensitas cukup tinggi, seperti pada posisi 2θ di sekitar 23°, 25°, 33°, dan 52°. Puncak pola pada sudut 25°, 33°, dan 52° merupakan puncak dari bahan dasar titanium dioksida, sedangkan puncak pola pada sudut 23° merupakan puncak asing yang belum diketahui. Munculnya puncak asing ini terjadi karena kemungkinan adanya pengotor yang tercampur pada saat preparasi sampel. Pada suhu pemanasan ini, ketiga puncak yang ideal dengan pola difraksi barium titanat berbentuk tetragonal masih kurang baik. Hal ini bisa dilihat pada data puncak dan intensitas di Lampiran 9. Pada pemanasan 800 °C (Gambar 8, garis biru), puncak-puncak bahan dasar yang muncul mulai menurun intensitasnya. Menurunnya intensitas dari puncak-puncak TiO2 (tanda x) menunjukkan bahwa adanya reaksi yang diakibatkan oleh suhu yang semakin tinggi (Lampiran 4). Pada suhu 800 °C ini pola difraksi yang muncul semakin mendekati pola difraksi pola difraksi standar barium titanat. Selain itu, puncak-puncak pada sudut 2θ di sekitar 22°, 31°, dan 45° sudah terbentuk dengan intensitas yang cukup tinggi (Lampiran 8). Adapun pada pemanasan 900 °C (Gambar 8, garis merah muda) puncak-puncak bahan dasar pada 23° dan 25° mulai menghilang
namun justru muncul puncak baru pada sudut di sekitar 28° dan 30°. Puncak-puncak tersebut merupakan puncak dari titanium dioksida. Selain itu, puncak-puncak yang ideal dengan pola barium titanat yang berbentuk tetragonal hanya muncul pada sudut 2θ di sekitar 31°dan 45° (Lampiran 8). Dari data yang diperoleh (Lampiran 4 dan 8), baik perbandingan pola difraksi maupun data puncak dan intensitas, dapat dilihat bahwa suhu optimum untuk sintesis barium titanat dengan metode kering terjadi pada pemanasan dengan suhu 800 °C. Tambahan PbO Pemberian bahan kimia tertentu pada suatu material diharapkan dapat meningkatkan sifat-sifat piezoelektrik pada material tersebut. Hal ini dapat meningkatkan pula konstanta dielektriknya. Pemberian bahan ini tidak mengubah struktur barium titanat menjadi struktur baru, namun hanya menggantikan posisi beberapa atom Ba dari struktur sehingga adanya sedikit pergeseran posisi Ba yang pada akhirnya mempengaruhi pula posisi dari atom Ti. Adanya pergeseran tersebut membuat sifat dari barium titanat menjadi semakin feroelektrik karena terjadi polarisasi pada struktur bahan tersebut. Hikam et al (2004) menyatakan bahwa penambahan bahan kimia pada suatu material dapat mengubah secara drastis karakteristik spesifik dari bahan keramik feroelektrik, seperti polarisasi spontan, sifat dielektrik, sifat elektromekanik, elektrooptik, dan sifat lainnya. Maka dilakukan penambahan PbO pada barium titanat melalui metode kering. Sebagian atom Ba akan tergantikan posisinya oleh atom Pb sesuai dengan persentase yang digunakan. Penggunaan Pb sebagai pengganti Ba, karena Pb sering digunakan dalam alat-alat elektronik sebagai suatu isolator, juga Pb dan Ba berada pada periode yang sama pada tabel periodik unsur sehingga memiliki ukuran orbital yang sama. Keadaan ini mengakibatkan jari-jari yang dimiliki oleh keduanya hampir sama. Hasil tambahan PbO akan diperoleh suatu komposisi senyawa stoikhiometri dengan rumus struktur Ba1-xPbxTiO3. Pada proses penambahan ini dilakukan 3 variasi, yaitu pencampuran PbO pada bahan dasar Ba(OH)2 dan TiO2 sehingga diperoleh nilai x sama dengan 0.5 dan 0.3 serta penambahan PbO pada BaTiO3 yang diperoleh pada pemanasan 800 °C sehingga diperoleh nilai x sebesar 0.5. Semua bahan pada masing-masing variasi digerus dengan metode kering,
9
Gambar 9 Pola difraksi Ba0.5Pb0.5TiO3 dari campuran BaTiO3, TiO2, dan PbO. ditekan sehingga menjadi pelet pada tekanan 2000 psi, dikalsinasi dan disintering pada suhu 800 °C selama 4 jam. Hasil yang diperoleh setelah dianalisis dengan XRD dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada gambar pola difraksi (Lampiran 5) tampak ada sedikit pergeseran posisi puncak pada sudut 2θ, seperti pada puncak tertinggi yang diikuti pula pada puncakpuncak lainnya. Pada barium titanat yang belum ditambah dengan PbO, puncak dengan intensitas tertinggi muncul pada sudut 2θ di sekitar 31°, sedangkan pada barium titanat yang sudah ditambah dengan PbO, puncak tersebut rata-rata muncul pada posisi sudut 2θ di sekitar 32°. Ketiga pola hasil penambahan dengan PbO menunjukkan pola barium titanat, namun yang paling baik dan sesuai dengan pola standar barium titanat adalah pola yang dimiliki oleh hasil penambahan PbO dengan nilai x = 0.5 dari campuran langsung antara BaTiO3, TiO2, dan PbO (persamaan 3). Hal ini dikarenakan pada pola difraksi tersebut, muncul dua puncak yang saling berdekatan yang menandakan terbentuknya struktur perovskit dengan bentuk struktur yang dimiliki adalah tetragonal (Gambar 9). Hasil ini didasarkan pada Beaten et al. (2005) yang menyatakan bahwa sifat tetragonal dari struktur barium titanat pada posisi 2θ tertentu ditunjukkan dengan adanya dua puncak yang saling berdekatan dengan bidang yang berbeda, sedangkan kubik hanya memiliki satu puncak. Pada kondisi tetragonal, barium titanat akan memiliki sifat meterial feroelektrik. Sedangkan pada hasil penambahan PbO pada bahan yang lainnya (Persamaan reaksi 1 dan 2), puncak yang muncul rata-rata hanya satu puncak pada posisi 2θ tertentu. Kondisi ini mencirikan bahwa terdapat dua kemungkinan, yaitu adanya tumpang-tindih pada bahan atau struktur yang terbentuk adalah kubik atau dengan kata lain sifat yang dimilikinya adalah
paraelektrik. Perbandingan pola difraksi sistem kristal pada pemanasan 800 °C dari barium titanat yang ditambah dengan PbO tampak pada Lampiran 5.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Suhu pemanasan optimal untuk sintesis barium titanat dari campuran Ba(OH)2 dan TiO2, baik dengan metode sol-gel maupun metode kering, adalah 800 °C. Tambahan PbO pada pembentukan reaksi barium titanat dapat menggeser posisi puncak pada sudut 2θ dan memperkuat bentuk tetragonal dari BaTiO3 sehingga diperoleh hasil terbaik pada nilai x = 0.5 dari pencampuran langsung antara BaTiO3, TiO2, dan PbO yang diduga menghasilkan Ba0.5Pb0.5TiO3. Saran Sintesis barium titanat dengan metode sol-gel, perlu dilakukan pengadukan bahan lebih lama agar bahan menjadi lebih homogen. Selain itu, penggunaan matriks sebagai media penjerap bahan harus disesuaikan dengan bahan utama dalam sintesis barium titanat, karena hal itu akan mempengaruhi tingkat kelarutan bahan dan reaksi yang terjadi. Tingkat keasaman (pH) dari matriks juga perlu diperhatikan dalam sintesis barium titanat.
DAFTAR PUSTAKA Baeten F, Derks B, Coppens W, Kleef EV. 2005. Barium titanate characterization by differential scanning calorimetry. Journal of the European Ceramic Society 26:589– 592.
10
Callister Jr, William D. 2003. Materials Science and Engineering. New York: J Wiley. Collinson M, Maryanne AR, Howells. 2000. Sol-gel and electrochemistry. Dalam Analytic Chemical. No. 1:703-709A.
Sahoo T, Tripathy SK, Mohapatra M, Anand S, Das RP. 2006. X-ray diffraction and microstructural studies on hydrothermally synthesized cubic barium titanate from TiO2–Ba(OH)2–H2O system. Materials Letters 6:1323–1327.
Cullity BD, Stock SR. 2001. Element of XRay Diffraction. Prentice Hall: New Jersey.
Schmieg S. 2009. Struktur Kristal 2. [terhubung berkala]. http://www.wordpress.com. [6 Sep 2009].
Costa-Fernandez JM, Diaz-Garcia ME, SanzMedel A. 1998. Sol-gel immobilized room temperature phosphorescent metal-chelate as luminescent oxygen sensing material. Analytica Chimica Acta 360: 17-26.
Sumari, Wayan DI, Zeni C. 2008. Sintesis pewarna keramik dari campuran oksida logam MgO-Fe2O3 dan aplikasinya pada keramik melalui metode spinel dan nonspinel. BSS-324-1-1-6.
Harjadi W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gedia
Sung-Soo R, Dang-Hyok Y. 2007. Solid-state synthesis of nano-sized BaTiO3 powder with high tetragonality. Journal of Material Science 42:7093–7099.
Hikam M, Sarwono E, Irzaman. 2004. Perhitungan polarisasi spontan dan momen quadrupol potensial listrik bahan PIZT (PbInxZryTi1-x-yO3-x/2). Makara Sains 8:108-115. Jian-Feng C, Tao Y, Xiao-Lin L, Nian-Rong W. 2005. Synthesis of monodispersed barium titanate nanocrystal hydrothermal recrystallization of BaTiO3 nanospheres. Journal of Crystal Growth 281:669–677. Kareiva A, Tautkus S, Rapalaviciute R. 1999. Sol-gel synthesis and characterization of barium titanate powders. Journal of Materials Science 34:4853 – 4857. Kavian R, Saidi A. 2008. Sol-gel derived BaTiO3 nanopowders. Jalcom-17430:5. [MSDS] Material Safety Data Sheet. 2007. Stearic Acid. MSDS No: S6578 Nyutu, Edward K. 2008. Effect of Microwave Frequency on Hydrothermal Synthesis of Nanocrystalline Tetragonal Barium Titanate. The Journal of Physical Chemistry C 112: 9659. Reed-Hill RE. 1973. Physical Metallurgy Principles 2nd. New Delhi: Affiliated EastWest Press PVT. LTD.
Susiantini E. 2007. Minyak jarak kepyar sebagai alternatif medium gelasi dalam pembuatan kernel UO2 dengan metode gelasi internal. Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, BATAN Yogyakarta. Swanson, Fuyat. 1954. Barium Titanium Oxide. NBS Circular 45: 539. Tripathy SK, Sahoo T, Mohapatra M, Anand S, Das RP. 2005. XRD studies on hydrothermally synthesised BaTiO3 from TiO2–Ba(OH)2–NH3 system. Materials Letters 59:3543 – 3549. Wahyudi AFN. 2007. Barium Titanat. [terhubung berkala]. http://www. wordpress.com. [10 Feb2009]. Yunasfi. 2001. Pembuatan keramik barium titanat untuk peralatan elektronik. Jakarta: Pusat Pendayagunaan Iptek Nuklir (PPdIN), Badan Tenaga Nuklir (BATAN). Yusriati S. 2008. Sol-gel Technology. [terhubung berkala]. http://www. wordpress.com. [6 Sep 2009].
11
LAMPIRAN
12
Lampiran 1 Diagram alir sintesis BaTiO3
Ba(OH)2 + TiO2
Asam Stearat (Sol-gel)
Tanpa Asam Stearat (Kering)
Pengadukan (600 rpm, 65°C, 12 jam)
Penggerusan (Mortar, 4 jam)
Pelet (P = 2000 psi)
Kalsinasi 1 jam (300°C 625°C)
Sintering (4 jam) (Kering)
Sintering (4 jam) (Sol-gel)
A (800°C)
B (900°C)
C (1000°C)
D (700°C)
XRD
Suhu Pemanasan Optimum
Penambahan PbO
E (800°C)
F (900°C)
13
Lampiran 2 Diagram alir tambahan PbO pada BaTiO3 yang diduga menghasilkan Ba1-xPbxTiO3
PbO
Ba(OH)2 + TiO2
Ba0.5Pb0.5TiO3 (x = 0.5)
Ba(OH)2 + TiO2
Ba0.7Pb0.3TiO3 (x = 0.3)
Penggerusan (Mortar, 4 jam)
Pelet (P = 2000 psi)
Kalsinasi, 1 jam (300°C 625°C)
Sintering (800°C, 4 jam)
XRD
Struktrur terbaik (tetragonal)
BaTiO3 + TiO2
Ba0.5Pb0.5TiO3 (x = 0.5)
14
Lampiran 3 Hasil analisis XRD untuk BaTiO3 melalui metode sol-gel
a.
Pola difraksi bahan dasar yang dicampur dengan metode sol-gel.
b.
Pola difraksi barium titanat pada pemanasan 800 °C.
c.
Pola difraksi barium titanat pada pemanasan 900 °C.
d.
Pola difraksi barium titanat pada pemanasan 1000 °C.
15
Lampiran 4 Hasil analisis XRD untuk BaTiO3 melalui metode kering
a.
Pola difraksi bahan dasar yang dicampur dengan metode kering.
b.
Pola difraksi barium titanat pada pemanasan 700 °C.
c.
Pola difraksi barium titanat pada pemanasan 800 °C.
d.
Pola difraksi barium titanat pada pemanasan 900 °C.
16
Lampiran 5 Hasil analisis XRD untuk BaTiO3 dengan tambahan PbO melalui metode kering
a.
Pola difraksi Ba0.5Pb0.5TiO3 pada pemanasan 800°C (dari bahan dasar).
b.
Pola difraksi Ba0.7Pb0.3TiO3 pada pemanasan 800°C (dari bahan dasar).
c.
Pola difraksi Ba0.5Pb0.5TiO3 pada pemanasan 800°C (dari BaTiO3 hasil penelitian).
d.
Pola difraksi hasil tambahan PbO dan contoh barium titanat fabrikasi.
17
Lampiran 6 Tabel JCPDS Hannawalt a) JCPDS Hannawalt barium titanat standar (5-626) λ I d 2d Sin θ
θ
2θ
1.5404
100
2.83
5.66
0.27
15.82
31.64
1.5404
37
2.00
4.00
0.38
22.68
45.37
1.5404
25
4.00
8.00
0.19
11.13
22.26
θ
2θ
b) JCPDS Hannawalt titanium oksida standar (10-63) λ I d 2d Sin θ 1.5404
100
1.70
3.41
0.45
26.87
53.74
1.5404
60
2.57
5.14
0.30
17.42
34.85
1.5404
50
2.71
5.42
0.28
16.50
33.00
c) JCPDS Hannawalt titanium oksida standar (16-617) λ I d 2d Sin θ
θ
2θ
0.22 0.26 0.22
12.67 15.40 12.84
25.34 30.80 25.68
d) JCPDS Hannawalt titanium oksida standar (21-1272) λ I d 2d Sin θ 1.5404 100 3.52 7.04 0.22 1.5404 35 1.89 3.78 0.41 1.5404 20 2.38 4.76 0.32
θ 12.64 24.02 18.90
2θ 25.28 48.04 37.80
θ
2θ
13.72 27.16 18.04
27.44 54.32 36.08
1.5404 1.5404 1.5404
100 90 80
3.51 2.90 3.47
7.02 5.80 6.94
e) JCPDS Hannawalt titanium oksida standar (21-1726) λ I d 2d Sin θ 1.5404 1.5404 1.5404 f) λ
100 60 50
3.25 1.69 2.49
6.50 3.38 4.98
0.24 0.46 0.31
JCPDS Hannawalt barium hidroksida standar (α) d 2d Sin θ
θ
2θ
1.5404
3.40
6.80
0.23
13.10
26.19
1.5404
3.25
6.50
0.24
13.71
27.42
1.5404
3.31
6.62
0.23
13.46
26.91
g) JCPDS Hannawalt barium hidroksida standar (β) λ d 2d Sin θ 1.5404 3.42 6.84 0.22 1.5404 3.38 6.76 0.23 1.5404 3.30 6.60 0.23
θ 13.0149 13.1717 13.4970
2θ 26.03 26.34 26.99
h) JCPDS Hannawalt PZT standar (PbZr0.52Ti0.48O3) λ d 2d Sin θ 1.5404 2.87 5.74 0.27 1.5404 1.66 3.32 0.46 1.5404 2.02 4.04 0.38
θ 15.57 27.64 22.41
2θ 31.13 55.29 44.83
18
Lampiran 7 Data puncak dan intensitas bahan hasil analisis XRD dengan metode sol-gel a. Data tanpa pemanasan Sudut 2θ Intensitas (%) 25.39 100.00 34.24 26.27 37.84 51.97 42.19 23.39 48.08 85.47 50.62 66.39 51.33 35.91 53.98 34.73 55.22 40.28 62.81 30.97 68.55 23.43 75.11 34.30
b.
Data pada pemanasan 800°C Sudut 2θ Intensitas (%) 21.46 23.08 22.20 24.18 24.02 26.37 25.40 48.35 31.58 100.00 38.86 30.77 45.16 36.26 56.14 29.12 65.98 18.68 70.32 11.54 74.74 11.54 78.90 7.14
c. Data pada pemanasan 900°C Sudut 2θ Intensitas (%) 22.22 14.44 28.39 42.25 29.91 24.55 30.16 34.80 31.63 100.00 33.99 15.93 38.96 34.30 44.98 23.62 45.30 31.66 56.25 37.79 65.75 16.99 74.92 15.82
d.
Data pada pemanasan 1000°C
Sudut 2θ
Intensitas (%)
22.30 25.80 28.48 31.71 33.83 39.06 41.47 45.46 56.43 66.02 75.15
12.08 9.29 34.10 100.00 10.72 33.84 11.49 29.42 29.66 19.87 10.47
19
Lampiran 8 Data puncak dan intensitas bahan hasil analisis XRD dengan metode kering a.
b.
Data tanpa pemanasan Intensitas (%) Sudut 2θ 23.92 84.34 25.28 100.00 34.08 28.86 37.76 12.55 42.02 21.24 44.72 19.65 46.83 19.56 47.95 18.34 54.99 19.92 62.66 14.89 68.71 10.35 70.27 10.75
c.
Data pada pemanasan 700°C Sudut 2θ Intensitas (%) 23.95 76.80 24.32 52.11 25.35 100.00 28.39 51.89 29.91 30.16 30.16 42.75 31.21 32.81 33.89 27.82 34.36 21.93 37.59 21.19 41.77 33.66 44.70 25.91 47.84 30.74
d.
Data pada pemanasan 800°C Sudut 2θ
Intensitas (%)
22.21
13.24
23.95
26.45
25.39
48.53
31.55
100.00
38.84
27.61
42.11
17.76
45.04
33.15
48.16
11.41
56.24
37.47
65.72
17.20
Data pada pemanasan 900°C Sudut 2θ
Intensitas (%)
21.65
24.48
28.53
60.80
30.22
35.66
31.75
100.00
32.39
16.14
34.16
32.66
39.12
25.76
44.10
14.82
45.09
32.81
56.46
25.78