SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS MENGGUNAKAN MODEL SWAT
DEDE SULAEMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Dede Sulaeman NIM A151120051
ii
RINGKASAN DEDE SULAEMAN. Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT. Dibimbing oleh YAYAT HIDAYAT, LATIEF MAHIR RACHMAN, dan SURIA DARMA TARIGAN. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terintegrasi dari hulu ke hilir sangat penting dilakukan dalam menjaga kondisi DAS. Kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS dapat menimbulkan efek negatif terhadap kondisi hidrologis DAS. Diantara kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS adalah perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Efek yang ditimbulkan diantaranya meningkatnya debit aliran serta hasil sedimen yang dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir yang terjadi hampir setiap tahun di DAS Ciujung membuat DAS ini menjadi sorotan berbagai pihak dan telah ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung. Model merupakan alat yang dapat membantu memahami kejadian hidrologis yang terjadi sebagai dampak pengelolaan lahan yang dilakukan. Salah satu model yang dapat digunakan dan telah banyak digunakan di Indonesia adalah Soil and Water Assessment Tool (SWAT). SWAT merupakan sebuah model untuk skala DAS atau Sub DAS yang dibuat oleh Dr. Jeff Arnold dari Departemen Pertanian Amerika Serikat atau United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service (USDAARS). Model SWAT dapat digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta terjadinya perubahan iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan DAS Ciujung dan pengaruhnya terhadap debit aliran, (2) mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung, dan (3) menentukan pengelolaan lahan optimum untuk menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung mengguakan model SWAT. Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, analisis perubahan penggunaan lahan, analisis kondisi hidrologis DAS, dan menjalankan model SWAT. Analisis perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap debit aliran dilakukan dalam periode waktu 5 tahun (2006-2011). Analisis curah hujan wilayah, debit aliran, debit puncak aliran, volume aliran, aliran permukaan, dan analisis kondisi DAS dilakukan pada dua periode yaitu 2001-2006 dan 20062011. Terdapat beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan model SWAT, diantaranya adalah: (1) mendeliniasi batas DAS, (2) pembentukan Hidrology Respon Unit (HRU) dengan cara menumpang susunkan (overlay) peta tanah, peta penggunaan lahan serta peta kelas kemiringan lereng, (3) pendefinisian HRU, (4) Input data iklim, (5) membangun input data, (6) menjalankan model SWAT, (7) kalibrasi dan validasi model, dan (8) menganalisis respon hidrologi terhadap skenario yang diterapkan untuk menentukan pengelolaan lahan optimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan wilayah rata-rata tahunan pada periode 2001-2006 sebesar 2,366 mm dan pada periode 2006-
2011 sebesar 2,159 mm. Berdasarkan klasifikasi Oldemen curah hujan wilayah DAS Ciujung termasuk tipe C1 dengan bulan basah 5-6 bulan berturut-turut dan bulan kering hanya 1 bulan. Hasil analisis kondisi DAS menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas DAS dengan meningkatnya koefisien aliran permukaan dengan nilai 0.47 (periode 2001-2006) dan 0.55 (periode 20062011). Berkurangnya lahan hutan di DAS Ciujung selama periode 2006-2011, baik hutan tanaman, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder serta meningkatnya luasan lahan semak, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan, dan sawah turut berpengaruh terhadap meningkatnya debit aliran sungai. Penggunaan lahan hutan tanaman keras, hutan lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer berkurang selama periode tersebut masing-masing sebesar 2,948.3; 202.9; dan 13.4 hektar atau 13.9; 2.3; dan 0.7 %. Penggunaan lahan pertanian lahan kering campur semak, sawah, semak belukar, pertanian lahan kering, perkebunan, dan tanah terbuka masingmasing bertambah sebesar 1,970.4; 697.5; 225.3; 163.5; 99.2 dan 8.7 hektar atau 3.2; 1.5; 2.6; 0.7; 0.8; dan 1.3 %. Penggunaan lahan pemukiman dan tubuh air tidak terlihat adanya perubahan. Model SWAT dapat digunakan untuk mensimulasikan debit aliran DAS Ciujung. Hasil kalibrasi model SWAT yang menunjukkan nilai R2 dan NSE masing-masing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik) serta hasil validasi model masingmasing 0.75 dan 0.67 (baik). Hal sebaliknya dihasilkan dalam memprediksi hasil sedimen DAS Ciujung dengan nilai R2 dan NSE yang dihasilkan sebesar 0.76 dan -193.62 (tidak memuaskan). Penerapan seluruh teknik KTA berupa reboisasi, agroforestri, strip cropping, contouring, bendungan, dan lubang resapan biopori merupakan pengelolaan lahan yang harus dilakukan untuk mempertahankan kondisi DAS Ciujung. Hal ini berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan nisbah debit maksimum dan minimum terkecil (65) dengan kriteria sedang, menurunkan aliran permukaan dan hasil sedimen terbaik (46 dan 95 %) serta meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar terbaik (32 dan 80 %). Kata kunci: debit aliran, hasil sedimen, model swat, penggunaan lahan
iv
SUMMARY DEDE SULAEMAN. Simulation of Soil and Water Conservation Technique with Vegetative and Civil Engineering Method Using SWAT Model. Supervised by YAYAT HIDAYAT, LATIEF MAHIR RAHMAN, and SURIA DARMA TARIGAN Integrated watershed management that involves stakeholders from upstream to downstream area is very important regarding to the maintenance of watershed condition. Inappropriate land use management including land use change without soil and water conservation approach affected watershed hydrological condition. Increasing flow discharge and sediment yield are some effects that caused by this kind of land use management and these are the most common causes of flooding. Ciujung Watershed is the biggest and considered as one of major watershed in Banten Province due to the floods that take place almost every year in the area. Hydrological modelling has become an integral part of the decision making process for watershed management. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) is one of hydrological model that commonly used and it has proven to be an effective tool for assessing water resource problems for a wide range of scales and environmental conditions across the globe. SWAT model was developed by Dr. Jeff Arnold from the Agricultural Research Service of United States Department of Agriculture (USDA-ARS) to simulate water quantity and quality of surface water and groundwater. SWAT is a river basin scale model developed to quantify the impact of land management practices on water, sediment and agricultural chemical yields in large complex watersheds with varying soils, land use and management conditions over long periods of time. The study aims to: (1) assess landuse change and its influence on flow discharge; (2) review the SWAT Model performance on predicting flow discharge and sediment yield; and (3) determine the best management practice to reduce flow discharge and sediment yield in Ciujung Watershed. Landuse changes were analyzed in 5 years period (2001-2011). Watershed conditions such as rainfall, flow discharge, peak discharge, volume rate of flow discharge, and runoff were analyzed in two periods: 2001-2006 and 2006-2011. There are some steps in running SWAT model, including: (1) delineate watershed; (2) create HRU’s; (3) HRU definition; (4) climate data input; (5) write SWAT input files; (6) run SWAT model; (7) calibration and validation; and (8) hydrological parameters simulation to determine the best management practice. The study showed that average annual precipitation in the period of 20012006 and 2006-2011 were 2,366 and 2,142 mm respectively. Watershed conditions analysis indicates that Ciujung watershed quality decreased with increasing in surface runoff coefficient with values of 0.47 (2001-2006) and 0.55 (2006-2011). The study showed that there are several decreasing landuses during
period 2006-2011 such as natural forest, secondary dry forest, and primary dry forest by 13.9; 2.9; and 0.7% respectively. Several increasing land uses during the period including mixed dry land farming, dry land farming, bush, plantations, and paddy field by 3.2; 0.7; 2.6; 0.8 and 1.5 % respectively. The deforested land (including natural forest, secondary dry forest, and primary dry forest) and increasing bush, dry land farming, plantations, and paddy field are the factors that cause increasing in flow discharge in Ciujung Watershed. SWAT model can be implemented to simulate flow discharge in Ciujung watershed. The study showed that the model has a good performance in predicting flow discharge with R2 and NSE values in calibration process by 0.78 and 0.67 respectively. Validation process produced R2 and NSE values by 0.75 and 0.67 respectively (good). However, the model is not good enough in predicting sediment yield with R2 by 0.76 and NSE by -193.62 (not satisfied). Combination between all scenarios is the best management practice that can be implemented in Ciujung watershed regarding to maintain watershed condition. The scenario produced the best river regime coefficient by 65 (moderate), reduce surface runoff and sediment yield by 46 and 95% respectively, and increase lateral and return flow by 32 and 80% respectively. Keywords: flow discharge, land use, sediment yield, swat model
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS MENGGUNAKAN MODEL SWAT
DEDE SULAEMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Thesis: Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Judul Tesis : Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT Nama : Dede Sulaeman NIM : A151120051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Yayat Hidayat, MSi Ketua
Dr Ir Latief Mahir Rachman, MSc Anggota
Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Atang Sutandi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah respon hidrologi, dengan judul Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan SIpil Teknis Menggunakan Model SWAT. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yayat Hidayat MSi, Bapak Dr Ir Latief Mahir Rahman MSc MBA, dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro MSc selaku penguji luar komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Edi dari Balai Besar Wilayah Sungai C3 (CidanauCiujung-Cidurian), Ibu Dian beserta staf Stasiun Klimatologi Klas I Serang, Ibu Desy dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Cidanau-CiujungCidurian, dan Ibu Neng Waty dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung-Cisadane yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU) selama menempuh pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2016 Dede Sulaeman
ii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
DAFTAR ISTILAH
vi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Metode Rancangan Skenario Pengelolaan Lahan 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Parameterisasi Model SWAT Output Model SWAT Respon Hidrologi terhadap Skenario yang Diterapkan Rekomendasi Pengelolaan Lahan 4 SIMPULAN DAN SARAN
1 2 2 3 3 4 4 4 5 5 5 9 14 14 20 23 40 44 47
Simpulan Saran
47 47
DAFTAR PUSTAKA
48
LAMPIRAN
53
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum Tingkat performa model NSE Skenario pengelolaan lahan dan teknik KTA yang diterapkan Curah hujan wilayah, debit aliran sungai dan volume aliran pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 Persamaan regresi linier debit dan debit puncak Koefisien aliran permukaan periode 2001-2006 dan 2006-2011 Nisbah debit maksimum dan minimum periode 2001-2011 Perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 Klasifikasi jenis tanah DAS Ciujung Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011 Kemiringan lereng DAS Ciujung Pengaruh treshold yang digunakan terhadap output model sebelum proses kalibrasi Pembagian sub DAS hasil deliniasi secara otomatis oleh model SWAT Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan SWAT CUP Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi debit aliran Data observasi debit aliran dan sedimen Karakteristik Hidrologi DAS Ciujung Tahun 2011 Aliran permukaan (surface runoff) setiap penggunaan lahan Hasil analisis uji F Hasil analisis uji-t Fluktuasi debit aliran Sungai Ciujung pada berbagai skenario penerapan teknik KTA Karakteristik hidrologi DAS Ciujung pada berbagai skenario yang diterapkan pada tahun 2011 Penurunan hasil sedimen setelah diterapkan skenario pengelolaan lahan
7 9 12 14 15 16 16 17 20 21 22 24 26 28 28 36 38 39 39 40 41 42 44
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kerangka pemikiran Peta lokasi penelitian Diagram alir kegiatan penelitian Curah hujan, debit aliran dan debit puncak Sungai Ciujung Debit aliran sungai bulanan periode 2001-2006 dan 2006-2011 Peta satuan tanah DAS Ciujung Peta penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011 Peta kemiringan lereng DAS Ciujung Hasil deliniasi DAS berdasarkan treshold yang digunakan Sebaran stasiun hujan yang terbaca dengan treshold 2000 ha (a) dan 7000 ha (b) 11. Debit aliran pada berbagai treshold 12. Peta Sub DAS hasil deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha
3 4 13 15 19 20 21 22 23 24 25 27
iv
13. Hidrograf aliran hasil simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf aliran observasi (Januari-Desember 2011) 14. Scatter plot debit aliran simulasi model sebelum proses kalibrasi 15. Hidrograf aliran hasil kalibrasi model (Januari-Desember 2011) 16. Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses kalibrasi 17. Hidrograf aliran hasil validasi model (Januari-Desember 2012) 18. Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses validasi 19. Neraca air DAS Ciujung tahun 2010-2011 hasil simulasi model SWAT 20. Persamaan rating curve sedimen 21. Scatter plot debit sedimen simulasi model dan observasi 22. Hidrograf debit sedimen observasi dan simulasi Januari-Desember 2011 23. Aliran Permukaan Tahun 2011 24. Fluktuasi debit aliran maksimum DAS Ciujung tahun 2011 25. Fluktuasi debit aliran minimum DAS Ciujung tahun 2011 26. Aliran permukaan pada skenario 1 27. Aliran permukaan pada skenario 2 28. Aliran permukaan pada skenario 3 29. Aliran permukaan pada skenario 4 30. Aliran permukaan pada skenario 5 31. Penurunan hasil sedimen (%) setelah dilakukan skenario pengelolaan lahan
29 30 32 33 33 34 35 36 37 37 38 40 41 45 44 44 45 45 45 46
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2003-2011 Sub DAS Hasil Deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha Nilai CN2 pada slope 5% Nilai CN3 pada slope 5% (sebagai input untuk menghitung CN2 berdasarkan slope) Nilai CN2 pada slope 0-8% Nilai CN2 pada slope 8-15% Nilai CN2 pada slope 15-25% Nilai CN2 pada slope 25-40% Nilai CN2 pada slope >40% Nilai GW_REVAP Nilai OV_N Nilai CH_N(2) Nilai CH_K(2) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 1) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 2) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 3) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 4) Data observasi dan data simulasi model tahun 2011
54 55 56 56 56 56 57 57 57 57 58 58 58 59 60 61 62 63
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Karakterisik hidrologi hasil output model tahun 2011 Hasil sedimen hasil output model pada tahun 2011 Luas penggunaan lahan pada setiap sub DAS Luas jenis tanah pada setiap sub DAS Luas jenis tanah pada setiap sub DAS berdasarkan kelas hidrologi tanah Luas kemiringan lereng pada setiap sub DAS Nilai CN untuk contouring dan strip cropping Nilai P untuk cntouring dan strip cropping
64 65 65 66 67 68 69 70 71 71
vi
DAFTAR ISTILAH ALPHA_BF ALPHA_BNK AWLR BAPLAN BBWS BPDAS BPSDA BMKG CH_K(2)
CH_N(2) CN2
CONT_P CONT_CN DAS
DEM
EPCO
ESCO
ETA
Faktor alpha baseflow. Indeks yang menggambarkan respon air bawah tanah terhadap perubahan dalam aliran. Faktor alpha baseflow untuk "bank storage". Indeks yang mengkarakterisasikan kurva resesi bank storage Automatic Water Level Recorder. Alat pencatat tinggi muka air otomatis Badan Planologi Kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balai Besar Wilayah Sungai. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Parameter konduktifitas hidrolik efektif pada saluran utama, terkait aliran sungai yang dikategorikan berdasarkan hubungannya dengan sistem air bawah tanah Koefisien kekasaran Manning untuk saluran utama Curve Number. Parameter yang digunakan untuk memprediksi aliran permukaan (direct runoff) yang dihasilkan dari hujan lebih Nilai faktor pengelolaan lahan (P USLE) untuk contouring Nilai faktor bilangan kurva (curve number) untuk contouring Daerah Aliran Sungai. Suatu wilayah yang dibatasi oleh punggung- punggung bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui saluran air, dan kemudian berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau waduk. Digital Elevation Model. Data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat Faktor kompensasi uptake tanaman, menggambarkan jumlah penggunaan air oleh tanaman yang merupakan fungsi dari jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk transpirasi dan air yang tersedia di dalam tanah Faktor kompensasi evaporasi tanah. Menggambarkan kebutuhan air dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah akibat efek kapilaritas, pengkerakan, dan peretakan tanah Eavpotranspirasi Aktual. Evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi ketersediaan air yang terbatas dan lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah
ETP EVAP FLOW_IN FLOW_OUT GW_Q GWQMN GW_DELAY
GW_REVAP
HRU
LATQ LRB
MUSLE
NSE
OV_N PERC
PRECIP
RCHRG_DP RES_VOL RES_EVOL
Evapotranspirasi Potensial. Evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi ketersediaan air yang berlebihan Jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi Jumlah aliran yang masuk ke sungai Jumlah aliran yang keluar ke sungai Aliran bawah tanah Batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran menuju sungai Waktu delay air bawah tanah. Waktu yang dibutuhkan air dari bagian bawah zona perakaran untuk mencapai akuifer dangkal Koefisien "revap" air bawah tanah terkait pergerakan air dari akuifer dangkal menuju zona tidak jenuh di atasnya sebagai hasil dari penurunan kadar air tanah dan diambil oleh tanaman yang memiliki zona perakaran dalam yang mampu mengambil air secara langsung dari zona tersebut Hydrology Respond Unit. Kelompok lahan di dalam sub basin yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah, dan pengelolaan yang unik Kontribusi aliran lateral untuk aliran sungai Lubang Resapan Biopori. Lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman sekitar 100 cm atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah Modified Universal Soil Loss Equatio. Versi modifikasi dari USLE (Universal Soil Loss Equation ) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965, 1978). USLE memprediksi erosi sebagai sebuah fungsi dari energi kinetik hujan, sedangkan pada MUSLE energi kinetik hujan ini digantikan oleh faktor aliran permukaan Nash Sutcliffe Efficiency. Sebaran normal yang menentukan jarak perbedaan antara pengukuran dan simulasi (noise) yang dibandingkan dengan perbedaan data pengukuran Nilai koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan Perkolasi. Proses mengalirnya air ke bawah secara gravitasi dari suatu lapisan tanah ke lapisan di bawahnya, sehingga mencapai permukaan air tanah pada lapisan jenuh air Precipitation (Curah hujan). Jumlah air yang jatuh di permukaan selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) Fraksi perkolasi akuifer dalam, mencerminkan fraksi perkolasi dari zona perakaran yang mengisi akuifer dalam Volume bendungan Emergency spillway. Struktur yang digunakan untuk mengatur air yang mengalir dari bendungan atau tanggul ke daerah hilir dan digunakan keadaan darurat
viii
RES_PVOL
REVAPMN RLPS RTk-RHL RTRW SHALLST SOL_AWC
SOL_BD SOL_C
SOL_K STRIP_C STRIP_CN STRIP_P STRIP_N SURLAG
SURQ SWAT SYLD
TLOSS
USDA-ARS WYLD
Principal spillway. Struktur yang digunakan untuk mengatur air yang mengalir dari bendungan atau tanggul ke daerah hilir dan digunakan saat aliran normal Batas kedalaman air pada aquifer dangkal untuk "revap" atau perkolasi ke aquifer dalam Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Shallow Aquifer. Parameter yang terkait dengan kedalaman permukaan air pada akuifer dangkal Kadar air tersedia. Banyaknya air yang tersedia bagi tanaman, yaitu selisih antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi dengan kadar air pada titik layu permanen Bulk Density (Bobot isi tanah). Kerapatan tanah per satuan volume yang menggambarkan kepadatan tanah Bahan organik tanah. Kumpulan beragam senyawasenyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi Soil permeability (permeabilitas tanah). Kemampuan tanah dalam meloloskan air Nilai faktor tanaman (C USLE) untuk strip cropping Bilangan kurva aliran permukaan untuk strip cropping Nilai faktor pengelolaan lahan (P USLE) untuk strip cropping Nilai koefisien kekasaran Manning untuk strip cropping Koefisien lag aliran permukaan. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak aliran permukaan setelah terjadinya hujan lebih Surface runoff (Aliran permukaan). Air yang mengalir di atas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah Soil Water Assessment Tools Sediment yield (hasil sedimen). Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai dan masuk ke dalam suatu badan air Transmission Loss (Kehilangan transmisi). Air yang hilang dari sungai utama atau anak sungai melalui kehilangan transmisi United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service Water Yield (Hasil Air). Total aliran suatu daerah aliran sungai yang bersumber dari aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah tanah.
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terintegrasi dari hulu ke hilir sangat penting dilakukan dalam menjaga kondisi DAS. Konsekuensi dan gejala yang diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS bukan hanya terjadi di hulu, tapi juga berkontribusi terhadap efek negatif yang terjadi di hilir. Diantara kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS adalah perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan sehingga dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Efek yang ditimbulkan diantaranya adalah meningkatnya debit aliran serta jumlah sedimen yang terangkut. Efek negatif tersebut dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir yang terjadi hampir setiap tahun di DAS Ciujung menyebabkan DAS ini menjadi sorotan berbagai pihak dan telah ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas di Wilayah Kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung. Menurut Sukardi et al. (2013) dalam kajiannya yang berjudul The Study on Ciujung-Cidurian Integrated Water Resources, DAS Ciujung hanya memiliki tutupan lahan hutan sebesar 11%. Deforestasi yang terjadi di bagian hulu dan sepanjang aliran sungai, erosi hebat yang terjadi selama musim penghujan, pendangkalan sungai terkait dengan sedimentasi, serta daerah pemukiman yang padat di bantaran sungai merupakan penyebab terjadinya banjir di DAS Ciujung. Koefisien regim sungai Ciujung (nisbah debit maksimum dan minimum) sebesar 189 (sangat tinggi). Hal ini menunjukkan debit aliran sungai pada musim penghujan sangat tinggi yang dapat memicu terjadinya banjir dan debit aliran sungai pada musim kemarau rendah yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3) yang melakukan pemeriksaan pada awal tahun 2013 terungkap bahwa sendimentasi di Bendung Pamarayan sebesar 10 persen dari kapasitas bendung. Indikator-indikator tersebut mengindikasikan bahwa DAS Ciujung berada pada kondisi kritis sehingga tidak heran jika banjir semakin sering terjadi (Sukardi et al. 2013). Fenomena perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap hidrologi DAS Ciujung perlu dipahami guna menentukan tindakan yang perlu dilakukan di masa yang akan datang. Model merupakan alat yang dapat membantu memahami fenomena tersebut. Melalui model hidrologi dapat dipelajari kejadian hidrologi yang akan terjadi. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Soil and Water Assessment Tool (SWAT). SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan sebuah model untuk skala DAS atau Sub DAS yang dibuat oleh Dr. Jeff Arnold dari Departemen Pertanian Amerika Serikat atau United States Department of AgricultureAgricultural Research Service (USDA-ARS). Model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh dari manajemen lahan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia hasil pertanian yang terkandung dalam aliran sungai. Menurut Neitsch et al. (2005) model ini dapat digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta terjadinya perubahan iklim global.
2 Perumusan Masalah DAS Ciujung merupakan DAS terbesar yang terdapat di Provinsi Banten yang melewati lima Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan sebagian kecil Kabupaten Bogor. Banjir di DAS Ciujung, khususnya Sub DAS Ciujung hilir kerap kali terjadi, bahkan sudah mulai menjadi fenomena yang rutin terjadi setiap tahunnya. Banjir yang terjadi di bagian tengah dan hilir serta erosi yang terjadi di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), merupakan salah satu indikasi bahwa fungsi hidrologis DAS dalam keadaan terganggu sehingga DAS tersebut tidak dapat mendukung sistem tata air yang optimal (Asdak 2010). Banjir di Sub DAS Ciujung hilir selain merendam pemukiman warga juga merendam jalan tol Jakarta-Merak di sekitar KM 57 dan 58. Permasalahan banjir di DAS Ciujung telah tercatat sejak tahun 1977. Menurut Sukardi et al. (2013) banjir di daerah ini telah terjadi sebanyak tujuh kali sejak tahun 1996. Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menanggulangi bencana banjir di DAS Ciujung. Bendung Pamarayan yang berada di sekitar batas administrasi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang tepatnya di Kecamatan Kragilan dibangun untuk difungsikan sebagai peringatan dini terhadap banjir dan mengatur tata air di DAS Ciujung. Pendangkalan bendung tersebut akibat sedimentasi telah menjadi masalah tersendiri. Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3) akan membangun bendungan di DAS Ciujung yaitu Bendungan Karian, namun sampai saat ini belum terealisasi. Perlu adanya berbagai upaya nyata untuk mengembalikan fungsi DAS Ciujung sebagaimana mestinya. Keutuhan dan kemantapan fungsi DAS Ciujung sangat berpengaruh terhadap beberapa Kabupaten/Kota yang dilewati khususnya berkaitan dengan sering terjadinya banjir di wilayah ini. DAS Ciujung juga berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang akan diarahkan untuk mensuplai air bagi Bendungan Karian. Tidak mengherankan jika BBWS C3 dan BPDAS Citarum-Ciliwung menjadikan DAS Ciujung sebagai prioritas utama dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Kerangka Pemikiran Perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dapat menimbulkan peningkatan debit aliran dan hasil sedimen (Dunjo et al. 2004; Maalim et al. 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan penanggulangannya. Sejalan dengan perkembangan teknologi, saat ini telah banyak alat (tools) yang dapat digunakan dalam memecahkan permasalahan ini. Model SWAT merupakan salah satu model yang telah banyak digunakan dalam kajian pengelolaan DAS di seluruh dunia. Model SWAT merupakan salah satu model hidrologi yang telah diakui efektif dalam simulasi hidrologi dan pengelolaan DAS serta telah banyak digunakan saat ini. Model ini dapat melakukan proses secara cepat dalam mengkaji hubungan input, proses dan output dari suatu sistem hidrologi, sehingga dapat mengetahui karakteristik dan respon hidrologi suatu DAS yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Untuk memenuhi tujuan ini, model ini berbasis pada
3 fisik. Model SWAT membutuhkan informasi spesifik mengenai iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek manajemen lahan yang terjadi di daerah aliran sungai untuk menggabungkan persamaan regresi dalam rangka menggambarkan hubungan antara variabel input dan output yang terjadi. Dengan menggunakan model ini, diharapkan dapat diketahui konservasi tanah dan air yang dapat menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung secara efektif. Perubahan penggunaan lahan
Debit aliran dan sedimen meningkat
Penanggulangan berbasis spasial
Pengelolaan Lahan Efektif
DATA INPUT
Iklim Tanah Tutupan lahan Topografi
Model SWAT
- Kalibrasi - Validasi
Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Gambar 1 Kerangka pemikiran Tujuan Penelitian 1. Mengkaji perubahan penggunaan lahan DAS Ciujung serta pengaruhnya terhadap debit aliran. 2. Mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung 3. Menentukan pengelolaan lahan optimum untuk menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung menggunakan model SWAT Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemangku kepentingan, khususnya pengambil keputusan dalam merencanakan pengelolaan DAS Ciujung. 2. Memberikan masukan dalam menentukan Pengelolaaan Lahan Terbaik (best management practices) sehingga dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan kondisi DAS Ciujung. 3. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terkait dengan penelitian ini.
4 Ruang Lingkup Penelitian Secara kewilayahan, penelitian ini dibatasi di DAS Ciujung. Secara teknis, permasalahan yang diangkat dalam lingkup penelitian ini melingkupi aspek biofisik (penggunaan lahan, kelerengan dan tanah) dari DAS Ciujung dan tidak dilakukan kajian pada aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan. Respon hidrologi yang diteliti dibatasi pada debit aliran sungai dan hasil sedimen.
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Desember 2014 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang terletak di 5o57’14”LS – 6o4’20” LS dan 106o01’00”BT – 106o29’03” BT dengan luas ± 190.635,6 hektar. Wilayah DAS Ciujung dibatasi oleh laut Jawa di bagian utara; DAS Rawa, Cidano dan Teluk Lada di bagian barat; DAS Cidurian di bagian timur; serta DAS CibaliungCibareno di bagian selatan (Gambar 2).
Gambar 2 Peta lokasi penelitian DAS Ciujung mengalir dari sumber mata air yang berada di Gunung Endut dan Gunung Karang ke laut Jawa dengan melewati lima Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kota Serang. Terdapat empat Sub DAS utama yaitu Sub DAS Ciujung hulu, Sub DAS Ciberang, Sub DAS Ciujung Tengah, dan Sub DAS Ciujung Hilir.
5 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) Data curah hujan dan debit aliran sungai harian dari tahun 2001 sampai 2012 yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3), BMKG Kelas I Serang, dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Ciujung-Cidanau. Kegunaan data-data ini adalah untuk analisis kondisi DAS dan sebagai data observasi yang diperlukan untuk dibandingkan dengan data hasil simulasi model SWAT. 2) Data debit sedimen harian pada bulan Februari-Desember 2013 diperoleh dari BBWS C3. Kegunaan data ini adalah untuk membuat rating curve debit sedimen harian observasi yang akan dibandingkan dengan debit sedimen hasil simulasi model SWAT. 3) Data iklim harian berupa suhu udara maksimum dan minimum, kecepatan angin, kelembaban udara dan radiasi matahari. Data ini diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Serang dan BPSDA Ciujung-Cidanau. Data-data ini digunakan untuk input data iklim pada model SWAT. 4) Peta penggunaan lahan skala 1:250,000 yang diperoleh dari Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kegunaan peta ini adalah untuk análisis perubahan penggunaan lahan dan input peta landuse pada model SWAT. 5) Peta satuan tanah skala 1:250,000 diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Peta ini digunakan untuk input peta tanah pada model SWAT. 6) Peta Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi 30 meter yang didapatkan dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Kegunaan peta ini adalah untuk input peta DEM pada proses deliniasi DAS. Alat Peralatan yang digunakan adalah: (1) seperangkat komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1 dan ArcSWAT 2012 sebagai interface, pcpSTAT, SWAT Plot, SWAT BFlow, serta SWAT CUP; (2) global Positioning System (GPS); (3) ring sampler ; (4) double ring infiltrometer dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk pengambilan sample fisik tanah dan analisis di laboratorium. Metode Pengumpulan Data Sekunder Penelusuran studi pustaka dilakukan untuk mencari referensi dan literatur yang berhubungan dengan tema penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan di beberapa tempat, diantaranya adalah BPSDA Ciujung-Cidanau, BBWS C3, BMKG Kelas I Serang, BPDAS Citarum-Ciliwung, dan Puslitanak.
6 Pengambilan dan Analisis Contoh Tanah Pengambilan contoh dan analisis tanah dilakukan untuk input data tanah pada model SWAT. Parameter yang diamati diantaranya adalah laju infiltrasi tanah (cm/jam), kedalaman solum (mm), kedalaman efektif tanah (mm), bobot isi (g/cm3), kadar air tersedia (mm H2O/mm tanah), C-organik (%), permeabilitas tanah (mm/jam), albedo tanah, tekstur tanah berupa kandungan pasir, debu, dan klei (%), serta kandungan batuan (%) pada layer pertama. Analisis Curah Hujan Wilayah Curah hujan rata-rata wilayah ditentukan dengan menggunakan metode poligon Thiessen. Data yang digunakan berasal dari 20 stasiun hujan yang tersebar di DAS Ciujung pada periode tahun 2001-2006 dan 2006-2011. P= dengan: P = curah hujan rata-rata wilayah An = luas masing-masing poligon Pn = curah hujan masing-masing stasiun Analisis Debit Aliran Sungai Debit rata-rata bulanan ditentukan pada periode tahun 2001-2006 dan 20062011 pada outlet pamarayan. Selain itu ditentukan debit maksimum dan debit minimum bulanan, debit puncak, volume aliran, dan aliran permukaan yang berasal dari outlet pamarayan. Aliran permukaan (runoff) rata-rata bulanan ditentukan dengan cara: RO
=
x 1000
Analisis Kondisi DAS Koefisien aliran permukaan (C) dan nisbah debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) digunakan untuk melihat kondisi hidrologis DAS pada periode tahun 2001-2006 dan 2006-2011. Koefisien aliran permukaan (C) menggunakan rumus: C= Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum ditentukan berdasarkan klasifikasi Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kehitanan Republik Indonesia No : P. 61 /Menhut-II/2014 (Tabel 1).
7 Tabel 1 Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum Nilai Qid ≤ 20
Katagori Sagat Rendah (SR)
20 < Qid ≤ 50
Rendah (R)
50 < Qid ≤ 80
Sedang (S)
80 < Qid ≤ 110
Tinggi (T)
> 110
Sangat Tinggi (ST)
Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Sungai dan Hutan Lindung (2014)
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan peta penggunaan lahan dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2006 dan 2011 dengan skala 1:250,000. Pengolahan dilakukan dengan melakukan insert pivot table pada microsoft excel untuk mengolah data atribut peta yang sebelumnya telah dilakukan export data atribut ke dalam bentuk .dbf. Trend perubahan penggunaan lahan didapatkan dengan cara membandingkan luas masing-masing penggunaan lahan. Menjalankan Model SWAT Persiapan Data. SWAT merupakan model yang komprehensif sehingga membutuhkan banyak ragam data untuk menjalankannya. Data masukan yang perlu disiapkan diantaranya adalah peta DEM, peta penggunaan lahan, peta dan data tanah, peta kontur, curah hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Selain itu, dilakukan pembuatan basis data iklim untuk membuat data generator iklim (weather generator data) yang membutuhkan 14 parameter input yang harus dihitung terlebih dahulu berdasarkan data iklim. Deliniasi DAS. Peta DEM digunakan sebagai input untuk deliniasi DAS. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan diantaranya adalah pemasukan data DEM grid (add DEM grid), penentuan jaringan sungai (stream definition), penentuan outlet (outlet definition), seleksi dan penentuan outlet DAS (watershed outlet selection and definition) dan penghitungan parameter Sub DAS (calculate sub DAS parameter). Analisis HRU. Pada tahap pembentukan HRU dilakukan input data penggunaan lahan, tanah, dan kemiringan lereng untuk dilakukan overlay. HRU digunakan dalam kebanyakan run SWAT karena adanya penyederhanaan dalam run model dengan menggabungkan semua area yang memiliki jenis tanah dan penggunaan lahan yang sama ke dalam unit respon tunggal (single response unit). Selanjutnya dilakukan pendefinisian HRU (HRU definition) untuk menentukan kriteria spesifik yang akan diaplikasikan dalam HRU. Dalam pendefinisian HRU digunakan metode threshold by percentage. Metode ini digunakan untuk menetukan seberapa besar batas (threshold) untuk jenis tanah, tutupan lahan dan lereng di dalam Sub DAS yang diabaikan oleh model dalam pembentukan HRU.
8 Input Data Iklim. Data generator iklim yang sudah dibuat digunakan untuk input data dalam weather data definition. Setelah itu dilakukan pemasukan input data curah hujan, temperatur, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin. Membangun Input Data. Setelah data iklim selesai dimasukkan maka dilanjutkan dengan memasukkan informasi data input ke dalam basis data. Data input tersebut secara otomatis terbentuk berdasarkan deliniasi DAS dan karakterisasi dari penggunaan lahan, tanah, dan lereng. Pembuatan input data dilakukan dengan memilih opsi Write All. Default input ini dapat diedit dengan menggunakan menu Edit SWAT Input. Run SWAT. Run model dapat dilakukan setelah mengisi tanggal mulai dan tanggal akhir simulasi tertentu serta memilih distribusi curah hujan yang digunakan. Model SWAT menghasilkan output file yang terpisah untuk Sub DAS, HRU dan sungai utama. Informasi dalam file Sub DAS (output.sub) dan HRU (output.hru) terdiri dari jumlah curah hujan (PRECIP), evapotranspirasi potensial (ETP), evapotranspirasi aktual (ETA), kandungan air tanah (SW), perkolasi (PERC), aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), aliran bawah tanah (GW_Q) dan hasil air (WYLD). Informasi pada masing-masing sungai atau saluran utama (output.rch) dalam Sub DAS adalah jumlah aliran yang masuk ke sungai (FLOW_IN) dan keluar (FLOW_OUT), jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi (EVAP) dan transmisi (TLOSS), serta hasil sedimen (SYLD). Kalibrasi. Kalibrasi bertujuan untuk menyesuaikan parameter model agar sesuai dengan kondisi eksisting, sehingga mengurangi ketidakpastian prediksi. Kalibrasi model dilakukan dengan cara memilih nilai-nilai untuk input parameter model secara hati-hati (dalam masing-masing rentang ketidakpastian) dengan membandingkan data prediksi model (output) untuk satu set kondisi yang diasumsikan dengan data observsi untuk kondisi yang sama (Arnold et al. 2012). Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi adalah koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE). Koefisien determinasi didefinisikan sebagai nilai kuadrat dari koefisien korelasi berdasarkan Bravais-Pearson. Nilai R2 dapat dikalkulasikan menggunakan rumus:
dimana O adalah data observasi, adalah data observasi rata-rata, dan P adalah data simulasi. Kisaran nilai R2 diantara 0 dan 1 yang menggambarkan seberapa banyak sebaran data observasi yang dapat dijelaskan oleh data simulasi. Pada dasarnya nilai R2 ≥ 0.5 dianggap dapat diterima (Moriasi et al. 2007), sehingga model yang dibuat dapat dipergunakan untuk mensimulasikan skenario yang diinginkan. Adapun persamaan dari model efisiensi Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) adalah sebagai berikut: NSE = 1dimana merupakan data observasi ke-i, merupakan data simulasi ke-i, merupakan data observasi rata-rata, dan n merupakan jumlah observasi.
9 Rentang nilai NSE terletak antara −∞ sampai 1, dengan NSE = 1 merupakan nilai optimal. Nilai antara 0.0 sampai 1.0 secara umum dilihat sebagai level performa model yang dapat diterima, sedangkan NSE ≤ 0.0 mengindikasikan bahwa rata-rata nilai data observasi merupakan alat prediksi yang lebih baik daripada nilai data simulasi. (Moriasi et al. 2007). Tabel 2 Tingkat performa model NSE Tingkat Performa Sangat baik Baik Memuaskan Tidak memuaskan Sumber: (Moriasi et al. 2007 dalam Chaube et al. 2011)
NSE 0.75 ≤ NSE ≤ 1.00 0.65 ≤ NSE ≤ 0.75 0.50 ≤ NSE ≤ 0.65 NSE ≤ 0.50
Validasi. Validasi model adalah proses untuk menguji konsistensi model. Validasi dilakukan dengan menjalankan model menggunakan parameter yang telah ditentukan selama proses kalibrasi serta membandingkan data prediksi dan data observasi yang tidak digunakan dalam proses kalibrasi. Metode statistik yang digunakan dalam melakukan validasi adalah model koefisien determinasi (R2) dan model efisiensi Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) dengan kriteria yang sama seperti yang digunakan dalam proses kalibrasi. Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah debit aliran (FLOW_OUT) dan hasil sedimen (SYLD). Kalibrasi dan validasi dilakukan pada Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang terdapat di outlet Jembatan II Rangkas. Rancangan Skenario Pengelolaan Lahan Skenario 1: Penerapan Fungsi Kawasan Hutan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan. Peraturan yang menyangkut hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan dalam skenario ini adalah reboisasi atau menghutankan kawasan yang ditetapkan sebagai fungsi kawasan hutan. Penerapan fungsi kawasan hutan tersebut menyebabkan perubahan beberapa parameter model diantaranya adalah CN2 (curve number), SOL_K (permeabilitas tanah), SOL_C (bahan organik tanah), dan SOL_BD (bobot isi tanah). Nilai-nilai parameter yang diterapkan tersebut mengacu pada hasil penelitian Prasetya et al. (2012). Skenario 2: Rehabilitasi Lahan Kritis Pengelolaan lahan yang diterapkan pada skenario 2 diantaranya melakukan reboisasi pada lahan kritis di seluruh penggunaan lahan kecuali pemukiman. Agroforestry diterapkan pada lahan agak kritis dengan penggunaan lahan eksisting berupa pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan, dan semak belukar. Agroforestry (Wanatani) merupakan sistem usaha tani yang mengintegrasikan secara spasial dan/atau temporal tanaman pohon-pohonan di dalam sistem produksi tanaman rendah pada sebidang tanah yang sama (Arsyad
10 2010). Parameter model yang berubah seiring diterapkannya skenario rehabilitasi lahan kritis diantaranya adalah CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC (kadar air tersedia). Nilai parameter yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Prasetya et al. (2012) dan Silva et al. (2011). Skenario 3: Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif Konservasi tanah dan air (KTA) secara vegetatif merupakan suatu upaya mengendalikan aliran melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang menjadi aliran permukaan akan berkurang. Penerapan teknik KTA metode vegetatif yang diterapkan diantaranya strip cropping pada areal pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak dengan kemiringan 0-25%, sedangkan pada kemiringan 25-40% diterapkan agroforestry. Penanaman strip (strip cropping) adalah sistem konservasi tanah dan air secara vegetatif dengan menanam beberapa jenis tanaman dalam strip yang berselang-seling pada sebidang tanah dan kurun waktu yang sama. Seluruh penggunaan lahan dengan kemiringan >40% dilakukan reboisasi. Parameter model yang berubah dengan diterapkannya strip cropping diantaranya STRIP_CN (bilangan kurva aliran permukaan untuk strip cropping) berdasarkan USDA‐NRCS (2004) dan Williams et al. (1990) dalam Wang et al. (2011), STRIP_P (faktor P USLE untuk strip cropping) berdasarkan Wischmeier and Smith (1978) dalam Arabi (2007), STRIP_C (faktor C USLE) berdasarkan Kuok et al. (2013), dan STRIP_N (nilai koefisien kekasaran Manning) berdasarkan Engman (1983) dalam Arnold et al. (2012). Seluruh penggunaan lahan dengan kemiringan >40% dilakukan reboisasi. Nilai-nilai parameter tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 27 dan 28. Skenario 4: Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Sipil Teknis Kegiatan konservasi tanah dan air metode sipil teknis jika dilihat dari aspek jenis dan tujuannya dikelompokkan menjadi 2 yaitu konservasi tanah dan air berbasis alur dan konservasi tanah dan air berbasis lahan. Konservasi tanah dan air metode sipil teknis berbasis alur merupakan kegiatan untuk menahan atau menampung air di badan air atau dengan membentuk badan air baru di alur atau aliran sungai. Selain menahan atau menampung air, kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan debit puncak dari suatu aliran. Teknologi KTA sipil teknis berbasis alur yang diterapkan adalah Bendungan Karian yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten dan terletak di sub DAS 15. Parameter bendungan yang perlu dilengkapi diantaranya adalah RES_VOL (volume bendungan), dimana bendungan karian memiliki kemampuan menampung sebesar 207.48 juta m3 air. Parameter model yang berubah karena diterapkannya simulasi Bendungan Karian diantaranya adalah RES_VOL (volume bendungan), RES_EVOL (emergency spillway) dan RES_PVOL (principal spillway). Nilai tersebut ditetapkan berdasarkan data sekuder yang didapatkan dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) Ciujung-Cidanau. Kegiatan sipil teknis berbasis lahan yang digunakan diantaranya penanaman sesuai kontur (contouring) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering,
11 pertanian lahan kering campur semak `dan perkebunan pada kemiringan lereng 08 dan 8-15%, serta penerapan Lubang Resapan Biopori (LRB) pada lahan pemukiman. Penerapan skenario pengelolaan lahan berupa contouring tersebut menyebabkan perubahan beberapa parameter model diantaranya adalah CONT_P dan CONT_CN (nilai P USLE dan bilangan kurva untuk contouring) masingmasing berdasarkan Wischmeier and Smith (1978) dalam Arabi et al. (2007) dan USDA‐NRCS (2004) dan Williams et al. (1990) dalam Wang et al. (2011). Parameter terkait LRB yang disimulasikan diantaranya SOL_BD dan SOL_K berdasarkan hasil penelitian Maharany et al. (2011) yang menghasilkan nilai 11 % lebih rendah dan 29% lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diterapkan LRB. Skenario pengelolaan lahan hanya diterapkan pada sub DAS-sub DAS yang memiliki aliran permukaan sebesar 500-1000 dan >1000 mm. Beberapa parameter yang diperhitungkan dalam menentukan pengelolaan lahan yang harus dilakukan untuk mempertahankan kondisi DAS Ciujung diantaranya adalah debit aliran sungai, aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar, hasil air, dan hasil sedimen.
12 Tabel 3 Skenario pengelolaan lahan dan teknik KTA yang diterapkan Skenario
Pengelolaan Lahan
1
Penerapan Fungsi Kawasan Hutan
2
Rehabilitasi Lahan Kritis
Penerapan Teknik KTA Reboisasi
CN2, SOL_K, SOL_C , dan SOL_BD
4, 7, 9, 10, 11, 20
Reboisasi
CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC
4, 5, 7, 10, 11, 12, 15, 17, 18, 20, 21
Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif
Reboisasi
Stripcropping
CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC STRIP_CN, STRIP_P, STRIP_C, dan STRIP_N
Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Sipil Teknis
Bendungan Karian
RES_VOL, RES_EVOL, dan RES_PVOL
15
Contouring
CONT_P dan CONT_CN
1, 2, 4-7, 9-21
Lubang resapan biopori
SOL_BD dan SOL_K
1, 2, 4-7, 9-15, 17-21 4, 5, 7, 10, 11, 12, 15, 17, 18, 20, 21
Stripcropping
CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC STRIP_CN, STRIP_P, STRIP_C, dan STRIP_N
Bendungan Karian
RES_VOL, RES_EVOL, dan RES_PVOL
15
Contouring
CONT_P dan CONT_CN
1, 2, 4-7, 9-21
Lubang resapan biopori
SOL_BD dan SOL_K
1, 2, 4-7, 9-15, 17-21
Agroforestri
3
4
Agroforestri
Reboisasi Agroforestri 5
Lokasi Simulasi (Sub DAS)
Simulasi Parameter Hidrologi
Skenario 1,2,3,4
Luas ha
%
17,333
12
42,946
30
40,202
28
47,954
34
66,390
47
1, 2, 4-7, 9-21 1, 2, 4-7, 9-21 1, 2, 4-7, 9-21 1, 2, 4-7, 9-21
1, 2, 4-7, 9-21 1,2,4-7,9-21
13 Pengumpulan Data
Peta DEM
Peta dan Data Tanah
Peta Land Use
Survey Lapangan
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Membentuk: Jaringan Sungai, Outlet, dan Sub DAS
Analisis Tanah di Laboratorium
Data Iklim
Data CH, Sedimen dan Debit Observasi
Analisis Curah Hujan dan Debit Aliran
Mendefinisikan: Tanah, Lereng, dan Penggunaan Lahan
Analisis HRU
Mengisi Input Tabel
Run SWAT
Kalibrasi Tidak Validasi ? Ya Simulasi teknik KTA
Pengelolaan lahan optimum
Gambar 3 Diagram alir kegiatan penelitian
14
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Curah Hujan Curah hujan rata-rata tahunan pada periode 2001-2006 lebih tinggi daripada periode 2006-2011, masing-masing sebesar 2,366 dan 2,159 mm (Tabel 4). Ratarata curah hujan bulanan periode tahun 2001-2006 yang paling tinggi berada pada bulan Februari (340 mm), sedangkan periode 2006-2011 pada bulan Januari (297 mm). Rata-rata curah hujan bulanan yang paling rendah pada kedua periode tersebut berada pada bulan Agustus yaitu sebesar 56 mm untuk periode 20012006 dan 87 mm untuk periode 2006-2011. Berdasarkan klasifikasi Oldemen curah hujan wilayah DAS Ciujung termasuk tipe C1 dengan bulan basah 5-6 bulan berturut-turut dan bulan kering hanya 1 bulan. Tabel 4 Curah hujan wilayah, debit aliran sungai dan volume aliran pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 Bulan
Debit (m3/s)
Curah Hujan (mm)
Volume Aliran (juta m3)
2001-2006
2006-2011
2001-2006
2006-2011
2001-2006
2006-2011
Januari
323
297
68.8
109.2
184
293
Februari
340
283
107.3
144.4
261
352
Maret
239
264
86.0
112.6
230
302
April
232
151
72.3
81.9
187
212
Mei
178
177
77.7
82.1
208
220
Juni
132
114
42.7
52.0
111
135
Juli
131
100
53.5
42.4
143
114
Agustus
56
87
39.4
40.3
102
105
September
129
105
44.6
46.4
116
120
Oktober
158
189
48.2
60.2
129
161
November
204
193
105.7
89.6
274
232
Desember
244
199
73.2
91.4
196
245
Total
2,366
2,159
-
-
2,142
2,490
Debit Aliran Sungai Debit rata-rata bulanan tertinggi pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 terjadi pada bulan Februari masing-masing sebesar 107.3 dan 144.4 m3/s. Debit rata-rata bulanan terendah pada kedua periode tersebut terdapat pada bulan Agustus masing-masing sebesar 39.4 m3/s (2001-2006) dan 40 m3/s (2006-2011). Volume aliran sungai rata-rata bulanan tertinggi pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 terjadi pada bulan Februari (261 dan 352 juta m3). Volume aliran sungai rata-rata bulanan terendah pada kedua periode yang diamati terjadi pada bulan Agustus masing-masing sebesar 102 juta m3 (2001-2006) dan 105 juta m3 (2006-2011). Terjadi peningkatan volume aliran rata-rata tahunan, dimana pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 masing-masing sebesar 2,142 dan 2,490 juta m3 .
15 Debit puncak tertinggi pada periode 2001-2006 terjadi pada tanggal 4 Januari 2003 yaitu sebesar 615 m3/s. Debit puncak aliran sungai tertinggi pada periode 2006-2011 terjadi pada tanggal 25 Februari 2008 sebesar dan 1110 m3/s (Gambar 4).
Gambar 4 Curah hujan, debit aliran dan debit puncak Sungai Ciujung Berdasarkan hasil analisis regresi linier (Tabel 5) curah hujan wilayah berpengaruh sangat nyata terhadap debit aliran maupun debit puncak aliran Sungai Ciujung. Nilai koefisien determinasi (R2) antara curah hujan dan debit aliran sungai pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 masing-masing sebesar 0.72 dan 0.64. Hubungan curah hujan dan debit puncak aliran pada periode 2001-2006 dan 2006-2011 memiliki nilai R2 masing-masing sebesar 0.55 dan 0.44. Peluang terjadinya kesalahan pada kedua korelasi tersebut sebesar <0.01. Hasil analisis regresi linier tersebut menunjukkan curah hujan memiliki korelasi positif dengan debit aliran maupun debit puncak aliran sungai, dimana semakin tinggi curah hujan wilayah maka debit aliran dan debit puncak aliran sungai akan semakin meningkat. Tabel 5 Persamaan regresi linier debit dan debit puncak Periode
Peubah Tetap
Peubah Bebas
R2
Persamaan Regresi Linier
Debit (m3/s)
CH Wilayah (mm)
0.72
y = 2.642 + 0.3681x
Debit Puncak (m3/s)
CH Wilayah (mm)
0.55
y = 59.7977+1.4111x
Debit (m3/s)
CH Wilayah (mm)
0.64
y = -6.06882 + 0.4075 x
Debit Puncak (m3/s)
CH Wilayah (mm)
0.44
y = 41.6921 + 1.46 x
2001-2006
2006-2011
16 Kondisi DAS Koefisien aliran permukaan (C) merupakan sebuah konsep kunci dalam bidang hidrologi dan sebuah variabel diagnostik yang penting dalam respon hidrologi suatu DAS terhadap suatu kejadian hujan tertentu (Norbiato et al. 2009). Koefisien aliran permukaan bulanan tertinggi pada periode 2001-2006 dan 20062011 terjadi pada bulan Novemer dan April masing-masing sebesar 0.72 dan 0.75. Koefisien aliran permukaan bulanan terendah pada periode 2001-2006 dan 20062011 terjadi pada bulan September dan Oktober masing-masing sebesar 0.35 dan 0.46 (Tabel 6). Tabel 6 Koefisien aliran permukaan periode 2001-2006 dan 2006-2011 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
CH (mm) 323 340 239 232 178 132 131 56 129 158 204 244 197
Periode 2001-2006 RO (mm) C 98 0.30 138 0.41 123 0.51 100 0.43 111 0.62 59 0.45 76 0.58 39 0.70 45 0.35 69 0.44 146 0.72 105 0.43 94 0.47
CH (mm) 297 283 264 151 177 114 100 87 105 189 193 199 180
Periode 2006-2011 RO (mm) C 156 0.52 186 0.66 161 0.61 113 0.75 117 0.66 72 0.63 61 0.61 58 0.66 53 0.50 86 0.46 124 0.64 131 0.66 110 0.55
Secara umum terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan tahunan dari 0.47 pada periode 2001-2006 menjadi 0.55 pada periode 2006-2011. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan kualitas DAS Ciujung. Selain nilai koefisien aliran permukaan, nisbah debit maksimum dan minimum atau koefisien regim sungai (KRS) juga dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan suatu DAS (Pantow et al. 2013). Nilai KRS pada periode tahun 2001-2006 secara umum berada pada kondisi tinggi dan memiliki kisaran nilai 60-194. Sementara itu nilai KRS pada periode 2006-2011 secara umum berada pada kondisi sangat tinggi dengan kisaran nilai 159-424. Menurut Sukardi et al. (2013) koefisien regim sungai DAS Ciujung sebesar 189. Tabel 7 Nisbah debit maksimum dan minimum periode 2001-2011 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Qmax 582 470 586 361 583 849 Qmin 7 5 6 6 3 2 KRS 83 94 98 60 194 424 Kelas T T T S ST ST Keterangan : S: Sedang; T: Tinggi; ST: Sangat Tinggi Debit (m3/s)
2007 804 3 268 ST
2008 1110 7 159 ST
2009 679 3 226 ST
2010 660 4 165 ST
2011 660 2 330 ST
Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan adalah bentuk perwujudan usaha manusia dalam menggunakan sumberdaya alam atau lahan, yang di dalamnya terdapat komponen usaha, sedangkan tutupan lahan adalah bentuk perwujudan fisik dari penggunaan
17 yang direncanakan ataupun tidak. Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Menurut Arsyad (2010) penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Dikenal berbagai macam penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, tempat rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Selama periode lima tahun (2006-2011) terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Ciujung. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan yaitu pertanian lahan kering campur semak, sawah, semak belukar, pertanian lahan kering, perkebunan, dan tanah terbuka masing-masing sebesar 1,970.4, 697.5, 225.3; 163.5, 99.2 dan 8.7 hektar atau 3.2, 1.5, 2.6, 0.7, 0.8, dan 1.3 %. Penggunaan lahan pemukiman dan tubuh air tidak terlihat adanya perubahan. Tabel 8 Perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman Keras Pemukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Semak Sawah Semak Belukar Tanah Terbuka Tubuh Air Total
2006 (ha) 1,937.4 8,845.6 21,217.2 5,615.9 13,023.9 23,934.4 60,702.9 45,546.7 8,633.1 675.5 503.0 190,635.60
2011 (ha) 1,924.0 8,642.7 18,268.9 5,615.9 13,123.1 24,097.9 62,673.3 46,244.3 8,858.4 684.2 503.0 190,635.60
Perubahan (ha) (%) -13.4 0.7 -202.9 2.3 -2,948.3 13.9 0.0 0.0 99.2 0.8 163.5 0.7 1,970.4 3.2 697.5 1.5 225.3 2.6 8.7 1.3 0.0 0.0
Penggunaan lahan yang mengalami pengurangan diantaranya adalah hutan tanaman keras, hutan lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer masing-masing sebesar 2,948.3, 202.9, dan 13.4 hektar atau 13.9, 2.3, dan 0.7 %. Sebagian besar hutan tanaman keras berubah menjadi pertanian lahan kering campur (1960.41 hektar) dan selebihnya menjadi sawah, semak belukar, serta tanah terbuka masing masing sebesar 746.4; 234.6; dan 8.7 hektar. Hutan lahan kering sekunder berubah menjadi area pertanian lahan kering campur semak (186.1 hektar) dan pertanian lahan kering (16.79 hektar). Hutan lahan kering primer berubah menjadi pertanian lahan kering campur semak sebesar 11.64 hektar (Tabel Lampiran 1). Penggunaan lahan dan tutupan lahan dianggap sebagai faktor yang paling penting yang mempengaruhi intensitas dan frekuensi dari aliran permukaan (Ruiz 2010, Kosmas et al. 1997 dan Mitchell 1990 dalam Nunes 2011). Perubahan penggunaan lahan memiliki beberapa dampak, seperti hilangnya vegetasi alami,
18 menurunnya biodiversitas, berkurangnya ketersediaan air, dan degradasi tanah. Seringkali konsekuensi dan gejala yang diakibatkan oleh kesalahan dalam mengelola lahan bukan hanya aliran permukaan dan erosi tanah di hulu, tapi juga berkontribusi terhadap efek negatif yang terjadi di hilir seperti banjir, polusi, dan pengendapan badan air dan reservoir. Jadi, degradasi lahan yang dihasilkan dari perubahan-perubahan dalam penggunaan lahan dan atau kondisi klimatik itu tidak hanya melibatkan petani di hulu, tapi juga pengguna sumberdaya air di hilir (Pender et al. 2001 dan Vries et al. 2002 dalam Valentin et al. 2008). Konversi lahan hutan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan debit aliran sungai. Lahan hutan di DAS Ciujung mengalami pengurangan selama periode 2006-2011, baik itu hutan tanaman keras, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder (Tabel 8). Sebagian besar lahan hutan tersebut dialih gunakan menjadi lahan pertanian. Bruijnzeel (2004) dalam Ayanu (2009) menyatakan bahwa penggundulan lahan hutan di bagian hulu suatu DAS meningkatkan aliran permukaan dan mencapai maksimum ketika hutan telah gundul secara keseluruhan. Aliran permukaan akan menurun di bawah tutupan tanaman hutan yang terjaga dengan baik dan sebaliknya akan meningkat seiring dengan konversi lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Couto dan Vega (2007). Hasil penelitian Phan et al. (2010) dalam Khoi dan Suetsugi (2014) yang melakukan penelitian di daerah tangkapan air Cau (the Cau River Catchment) di utara Vietnam menunjukkan bahwa konversi lahan hutan sebesar 11.07% menjadi lahan pertanian menyebabkan peningkatan streamflow sebesar 3.9% dan hasil sedimen sebesar 8.94%. Ranzi et al. (2012) dalam Khoi dan Suetsugi (2014) yang melakukan penelitian di DAS Lo (Vietnam) menunjukkan bahwa konversi lahan hutan sebesar 35% menyebabkan peningkatan erosi tanah sebesar 28%. Wang et al. (2014) yang melakukan penelitian di DAS Dong dan Puli (Tiongkok) menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan terutama di DAS Dong sebesar 544.90 km2 (0.84%), sedangkan lahan terbangun meningkat terutama di DAS Puli sebesar 4.74 km2 (164.66%) selama sepuluh tahun (2000-2010). Perubahan penggunaan lahan tersebut secara dramatis mempengaruhi proses hidrologi. Quickflow (aliran permukaan ditambah aliran di bawah permukaan) meningkat, baik di DAS Puli maupun di DAS Dong. Peningkatan tersebut masing-masing sebesar 18.25 dan 15.1 % di DAS Puli serta 7.86 dan 5.37% di DAS Dong pada tahun 2005 dan 2010. Meningkatnya luas lahan semak, perkebunan, dan sawah turut berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah debit aliran sungai. Aliran permukaan pada lahan semak dan perkebunan kakao yang sudah tua lebih besar 2.3 dan 2.2 kali lipat jika dibandingkan dengan aliran permukaan pada lahan hutan (Hidayat et al. 2012). Hasil penelitian Miller et al. (2014) menunjukkan bahwa peningkatan luas area pemukiman dari 11% menjadi 44% menyebabkan peningkatan debit puncak lebih dari 400%. Semakin meningkatnya debit puncak ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya aliran permukaan seiring dengan semakin meningkatnya areal pemukiman. Hal senada diungkapkan oleh Burns et al. (2005). Pada penggunaan lahan padi terbentuk tapak bajak pada kedalaman yang cukup dangkal dari permukaan. Tapak bajak mencegah masuknya air ke dalam tanah yang lebih dalam sehingga air tertahan pada lapisan tanah bagian atas saja. Lapisan tapak bajak memiliki konduktivitas hidraulik yang rendah dan aktivitas
19 pelumpuran juga merusak makropori tanah. Konsekuensinya laju infiltrasi menjadi rendah dan meningkatkan aliran permukaan (Sharma et al. 2013). 160 140
Debit (m3/s)
120 100 80 60 40 20 0 Jan
Feb Mar Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt Nop Des
Bulan 2001-2006
2006-2011
Gambar 5 Debit aliran sungai bulanan periode 2001-2006 dan 2006-2011 Meningkatnya debit aliran sungai tak terlepas dari terjadinya degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya. Gol (2009) menyatakan bahwa konversi hutan alam menjadi lahan pertanian intensif berpengaruh terhadap sifat fisik tanah. Hal ini terkait erat dengan menurunnya kadar karbon organik tanah. Hasil penelitian Bahrami et al. (2010) menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian berpengaruh nyata terhadap bobot isi dan porositas tanah. Bobot isi meningkat pada kisaran 0.25-0.44 g/cm3. Meningkatnya bobot isi tanah ini diakibatkan oleh pemadatan tanah oleh mesin pertanian dan aktivitas manusia terkait pembersihan lahan (land clearing) serta aktivitas pertanian lainnya yang dapat menurunkan kadar karbon organik tanah. Porositas tanah pada perkebunan teh dengan kedalaman 0-20 cm lebih rendah 9.5-16.7% jika dibandingkan dengan hutan alami. Penurunan yang sangat signifikan terjadi pada makropori tanah. Penurunan volume makropori tanah memiliki efek negatif langsung terhadap kapasitas infiltrasi dan kemampuan memegang air tanah. Hasil penelitian Monde (2008) menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata meningkatkan bobot isi dan menurunkan porositas, permeabilitas, indeks stabilitas agregat, dan C-organik tanah. Degradasi sifat-sifat fisik tanah tersebut dapat menghambat pergerakan air ke dalam tanah yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan.
20 Parameterisasi Model SWAT Tanah Satuan tanah di DAS Ciujung diklasifikasikan berdasarkan peta 1:250,000 yang dikeluarkan oleh Puslitanak. Terdapat 13 satuan tanah yang terdistribusi di DAS Ciujung (treshold sebesar 5%). Setiap satuan tanah tersebut terdiri dari dua sampai tiga macam tanah (Gambar 6).
Gambar 6 Peta satuan tanah DAS Ciujung Satuan tanah Tropudults dan Tropudalfs mendominasi dengan luas 30,711.14 hektar (21.62%). Satuan tanah Troporthents, Tropudults, dan Dystropepts memiliki luasan terkecil dengan 454.48 hektar (0.32%). Pengambilan contoh tanah dilakukan pada jenis tanah dominan pada setiap satuan tanah. Masing-masing satuan tanah tersebut dilengkapi dengan data atribut hasil survei lapang dan analisis laboratorium (Tabel Lampiran 14-17). Tabel 9 Klasifikasi jenis tanah DAS Ciujung Satuan Tanah Asosiasi Troporthents; Tropudults; Dystropepts Asosiasi Dystrandepts; Humitropepts; Hydrandepts Asosiasi Dystrandepts; Tropudults; Eutropepts Asosiasi Dystropepts; Dystrandepts; Tropudults Asosiasi Dystropepts; Eutropepts; Tropudalfs; Asosiasi Dystropepts; Humitropepts; Tropohumults Asosiasi Dystropepts; Tropudults; Troporthents Asosiasi Eutropepts; Tropudults; Tropudalfs Asosiasi Tropaquepts; Tropofluvents; Eutropepts Asosiasi Tropudalfs; Eutropepts; Tropaquepts Asosiasi Tropudalfs; Tropudults Asosiasi Tropudults; Tropudalfs Asosiasi Tropodults, Dystropepts, Troporthents Total
Kode SWAT TTTD TDHH TDTE TDDT TDET TDHT TDTT TETT TTTE TTET TTAT TTUT TTDT
Luas Hektar 454.48 11,804.95 3,273.23 25,480.33 4,230.03 9,335.69 22,513.40 1,337.16 6,287.11 20,230.12 5,843.41 30,711.14 554.93 142,055.96
% 0.32 8.31 2.30 17.94 2.98 6.57 15.85 0.94 4.43 14.24 4.11 21.62 0.39 100
21 Penggunaan Lahan Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2011 (skala 1:250,000) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementrian Kehutanan, terdapat 11 jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciujung yang digunakan sebagai input saat analisis HRU (Gambar 7).
Gambar 7 Peta penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011 Batas treshold yang digunakan untuk penggunaan lahan adalah 5%. Setelah proses pendefinisian HRU didapatkan sembilan jenis penggunaan lahan yang digunakan untuk proses selanjutnya. Penggunan lahan tersebut diantaranya adalah pertanian lahan kering campur semak, pemukiman, hutan tanaman keras, semak belukar, sawah, pertanian lahan kering, hutan lahan kering sekunder, perkebunan, dan hutan lahan kering primer. Pertanian lahan kering campur semak memiliki luasan terbesar dengan 42.55% dari total luas DAS atau 60,440.36 hektar. Pemukiman memiliki luasan terkecil sebesar 0.90% (1,282.44 hektar). Penggunaan lahan dan luasannya secara lengkap tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011 Penggunaan Lahan
Kode SWAT
Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman Keras Pemukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Semak Sawah Semak Belukar Total
HLKP HLKS HTTN PMKN PKBN PTLK PLKC PADI SMBK
Luas Hektar 1,544.46 8,235.93 18,302.02 1,238.10 8,925.43 8,347.54 60,168.80 27,993.10 7,299.67 142,055.96
% 1.09 5.80 12.88 0.87 6.28 5.88 42.36 19.71 5.14 100
22 Kemiringan Lereng Kelas kemiringan lereng DAS Ciujung dibagi ke dalam 5 kategori, yaitu: 08, 8-15, 15-25, 25-40, dan >40 %. Klasifikasi tersebut dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.4/V-Set/2013 tentang petunjuk teknis penyusunan data spasial lahan kritis. Tabel 11 Kemiringan lereng DAS Ciujung Kemiringan Lereng (%)
Kelas
0-8 8-15 15-25 25-40 > 40 Total
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Luas Hektar 34,719.13 40,826.65 34,610.46 20,609.62 11,290.11 142,055.96
% 24.44 28.74 24.36 14.51 7.95 100
Kelas kemiringan lereng yang mendominasi di DAS Ciujung adalah kelas landai (8-15 %) dengan luas 40,826.65 hektar atau 28.74 % dari total luas DAS. Kelas sangat curam (>40 %) memiliki sebaran yang paling sedikit, yaitu 11,290.11 hektar (7.95 %). Kelas datar, agak curam, dan curam masing-masing sebesar 34,719.13, 34,610.46, dan 20,609.62 hektar atau 24.44, 24.36, dan 14.51 %.
Gambar 8 Peta kemiringan lereng DAS Ciujung
23 Output Model SWAT Deliniasi DAS Keakuratan suatu model tergantung pada sejauh mana parameter input model dapat menggambarkan karakteristik yang relevan terhadap suatu DAS. SWAT merupakan model semi-distributed yang membagi DAS menjadi sub-unit yang lebih kecil menggunakan Digital Elevation Model (DEM). Level pertama dari sub-unit tersebut adalah sub DAS. Untuk pembentukan sub DAS, SWAT memberikan pilihan ambang batas (threshold limit of flow accumulation). Besar kecilnya threshold yang digunakan akan menentukan pembentukan jaringan sungai utama dan anak sungai. Kemudian jaringan sungai yang terbentuk tersebut akan menentukan jumlah Sub DAS yang terbentuk dalam DAS. Jumlah sub DAS yang terbentuk dapat berpengaruh terhadap hasil output model SWAT (Fitzhugh dan Mackay 2000).
Gambar 9 Hasil deliniasi DAS berdasarkan treshold yang digunakan Ambang batas awal yang diberikan model pada proses stream definition adalah sebesar 4122.33 ha. Terdapat delapan treshold yang digunakan yaitu 500, 1000, 2000, 3000, 4000, 5000, 6000, dan 7000 ha. Hasil penelitian menunjukkan treshold yang digunakan berpengaruh terhadap hasil output model. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 dan NSE yang dihasilkan sebelum proses kalibrasi. Aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), dan aliran dasar (GWQ) rata-rata tahun 2011 yang dihasilkan dengan jumlah sub DAS 155 (treshold 500 ha) lebih tinggi sebesar 9, 6, dan 23% daripada yang dihasilkan dengan jumlah sub DAS 11 (treshold 7000 ha). Hal ini menyebabkan debit aliran rata-rata pada
24 threshold 500 ha lebih tinggi 11% jika dibandingkan dengan threshold 7000 ha (Tabel 12). Hasil penelitian ini sejalan dengan Fitzhugh dan Mackay (2000) yang melakukan penelitian di DAS Pheasant Branch (Wisconsin) yang menggunakan 8 jumlah sub DAS berbeda (3, 5, 11, 23, 47, 73, 97, dan 181 sub DAS). Hasilnya menunjukkan bahwa debit aliran yang dihasilkan dengan 181 sub DAS 12% lebih tinggi jika dibandingkan dengan 3 sub DAS. Walaupun demikian, debit aliran yang dihasilkan tidak menunjukkan pola yang tetap ketika jumlah sub DAS ditambah ataupun dikurangi. Hal yang sama dihasilkan oleh Rouhani et al. (2006) yang melakukan penelitian di daerah tangkapan air Grote Nete, Belgia. Jumlah sub DAS yang digunakan yaitu 1, 4, 8, 20, dan 40 sub DAS. Hasilnya menunjukkan bahwa debit aliran rata-rata tahunan menurun seiring dengan diturunkannya jumlah sub DAS dari 40 sampai 4, namun kembali meningkat ketika jumlah sub DAS kembali diturunkan menjadi 1. Tabel 12 Pengaruh treshold yang digunakan terhadap output model sebelum proses kalibrasi Treshold (ha) 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 500
Jumlah Sub DAS 11 11 15 17 23 35 71 155
Stasiun Hujan 5 5 6 6 8 11 12 12
CH (mm) 1724.43 1724.42 1804.35 1792.61 1860.02 1945.71 1899.66 1882.64
SURQ (mm) 496.77 496.77 519.07 516.31 548.47 579.27 548.31 542.13
LATQ (mm) 233.99 234..00 238.04 236.96 242.76 259.01 255.04 247.38
GWQ (mm) 158.24 158.25 197.47 190.26 202.81 210.54 198.94 195.32
Q (m3/s) 40.22 40.21 43.26 42.71 45.02 47.49 45.37 44.56
R2
NSE
0.395 0.403 0.449 0.442 0.526 0.547 0.553 0.558
-0.208 -0.120 0.054 0.029 0.144 0.177 0.234 0.233
Pola debit aliran yang tidak tetap tersebut dikarenakan selain berpengaruh terhadap jumlah sub DAS dan jaringan sungai yang terbentuk, treshold yang digunakan juga berpengaruh terhadap jumlah stasiun hujan yang terbaca oleh model. Semakin kecil treshold yang digunakan (semakin banyak jumlah sub DAS yang terbentuk) menyebabkan jumlah stasiun hujan yang terbaca semakin banyak.
(a)
(b)
Gambar 10 Sebaran stasiun hujan yang terbaca dengan treshold 2000 ha (a) dan 7000 ha (b)
25 Menurut Galván et al. (2014) dalam menentukan curah hujan setiap sub DAS, model SWAT menggunakan hanya 1 stasiun hujan yang paling dekat dengan centroid untuk setiap sub DAS. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan ketika jumlah sub DAS dikurangi akan menyebabkan berkurangnya jumlah stasiun hujan yang terbaca, begitu juga sebaliknya. Hasil peneltian ini tidak sejalan dengan pernyataan tersebut. Stasiun yang terbaca tidak hanya satu dalam satu sub DAS (Gambar 7a) dan terdapat stasiun hujan terbaca yang jaraknya jauh dari centroid (Gambar 7b). Hal ini menunjukkan model SWAT (ArcSWAT 10.1.14) belum stabil dalam membaca stasiun hujan. Jumlah stasiun hujan yang terbaca oleh model dengan treshold 7000, 6000, 5000, 4000, 3000, 2000, 1000, dan 500 ha masing-masing sebanyak 5, 5, 6, 6, 8, 11, 12 dan 12 stasiun. Curah hujan wilayah tertinggi dihasilkan treshold 2000 ha dengan 1945.71 mm dan terendah dihasilkan treshold 6000 dan 7000 ha yaitu sebesar 1724.43 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa debit aliran yang dihasilkan dengan treshold sebesar 4000 ha memiliki nilai R2 dan NSE masing-masing sebesar 0.442 dan 0.029. Nilai R2 dan NSE yang dihasilkan dengan treshold lebih besar dari 4000 ha cenderung semakin kecil. Ambang batas 5000 dan 6000 ha menghasilkan nilai R2 masing-masing sebesar 0.449 dan 0.403, serta nilai NSE masing-masing sebesar 0.054 dan -0.120. Ambang batas 7000 ha menghasilkan nilai R2 dan NSE masing-masing sebesar 0.339 dan -0.208. Pada treshold lebih kecil dari 4000 ha, semakin kecil treshold yang digunakan mengasilkan nilai R2 dan NSE yang semakin besar, kecuali pada treshold 500 ha dimana NSE menurun jika dibandingkan dengan treshold 1000 ha. Nilai R2 untuk treshold 3000, 2000, 1000, dan 500 ha masing-masing sebesar 0.526, 0.547, 0.553 dan 0.558, serta nilai NSE masing-masing sebesar 0.144, 0.177, 0.234, dan 0.233. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin kecil threshold yang digunakan maka kinerja model akan lebih baik selama masih dalam rentang threshold yang diberikan oleh model. Rentang threshold yang diberikan model adalah 1,031-206,116 ha. Sehingga dapat diketahui bahwa batas terkecil dari rentang tersebut merupakan batas optimum threshold pada proses deliniasi DAS. 500
Debit (m3/s)
400 300 200 100 0 1
32
63
Debit Observasi 2000 ha 5000 ha
94
125 500 ha 3000 ha 6000 ha
156
187
218 1000 ha 4000 ha 7000 ha
Gambar 11 Debit aliran pada berbagai treshold
249
26 Besaran treshold yang digunakan untuk proses selanjutnya adalah 2000 ha. Selain karena memiliki nilai R2 dan NSE yang tidak berbeda secara signifikan dengan treshold 1000 dan 500 ha, treshold tersebut juga menghasilkan jumlah sub DAS yang lebih kecil. Hal ini akan memudahkan dalam proses kalibrasi model. Deliniasi DAS dengan menggunakan treshold 2000 ha menghasilkan 35 sub DAS dan 896 HRU. Luas masing-masing sub DAS hasil deliniasi DAS dengan treshold 2000 ha selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2. Luas sub DAS terkecil terdapat pada sub DAS 1 yaitu 30.1 ha (0.02% dari total DAS). Luas sub DAS terbesar terdapat pada sub DAS 33 dengan 13,495.8 ha atau 9.5% dari total DAS. Luasan terkecil dan terbesar tersebut menggambarkan bahwa terdapat ketimpangan dalam hal luas masing-masing sub DAS, sehingga perlu dilakukan pengurangan sub DAS. Setelah dilakukan pengurangan sub DAS dengan cara menghapus beberapa outlet, dihasilkan 26 sub DAS dengan luas antara 1,764.55 sampai dengan 14,479.40 hektar (Tabel 13). Hal ini dapat meningkatkan nilai R2 dan NSE masing-masing menjadi 0.558 dan 0.178. Sebanyak 781 HRU terbentuk sebagai hasil overlay peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta kemiringan lereng dengan treshold masing-masing sebesar 5%. Tabel 13 Pembagian sub DAS hasil deliniasi secara otomatis oleh model SWAT Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Total
Luas Hektar 3,256.49 5,540.90 9,595.00 2,353.97 1,963.24 2,369.27 4,481.32 14,479.40 4,152.16 2,853.31 3,651.49 5,018.47 2,264.08 3,318.63 10,286.57 1,764.55 8,210.54 2,702.99 2,390.56 8,201.70 9,452.18 2,716.67 2,208.68 13,495.83 7,071.42 8,256.53 142,055.96
% 2.29 3.90 6.75 1.66 1.38 1.67 3.15 10.19 2.92 2.01 2.57 3.53 1.59 2.34 7.24 1.24 5.78 1.90 1.68 5.77 6.65 1.91 1.55 9.50 4.98 5.81 100
27
Gambar 12 Peta Sub DAS hasil deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha Analisis Sensitivitas Telah banyak studi yang menjelaskan mengenai parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi pada model SWAT. Walaupun demikian, parameter yang digunakan sangat bervariasi tergantung dari pendekatan yang digunakan dan lokasi penelitian (Feyereisen et al. 2007). Douglas-Mankin et al. (2010) dan Tuppad et al. (2011) dalam Arnold et al. (2012) menjelaskan bahwa parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi terkait dengan aliran permukaan diantaranya adalah CN2, SOL_AWC, ESCO, EPCO, SURLAG, dan OV_N. Parameter yang berhubungan dengan baseflow juga digunakan, diantaranya ALPHA_BF, GW_REVAP, GW_DELAY, GW_QMN, REVAPMN, dan RCHARG_DP. Parameter serupa digunakan oleh Feyereisen et al. (2007) dengan tambahan SOL_BD, SOL_K, SHALLST, dan CH_K(2). Rahmah (2012) menggunakan CH_N2 dan ALPHA_BNK selain menggunakan parameterparameter tersebut. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap output model SWAT. Parameter statistik yang digunakan dalam analisis sensitivitas adalah t-stat dan p-value. Nilai t-stat menunjukkan tingkat sensitivitas. Semakin besar nilai absolutnya maka semakin sensitif. Parameter p-value dapat mengukur signifikansi dari sensitivitas. Semakin mendekati nol nilainya, maka semakin signifikan tingkat sensitivitasnya (Abbaspour 2011). Terdapat 18 parameter terkait aliran permukaan yang digunakan dalam analisis sensitivitas menggunakan SWAT CUP berdasarkan Van Liew dan Veith (2009). Hasil analisis sensitivitas (Tabel 14) menunjukkan parameter CN2 merupakan parameter yang paling sensitif dan REVAPMN paling tidak sensitif jika dibandingkan dengan parameter lainnya.
28 Tabel 14 Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan SWAT CUP Parameter r_CN2,mgt v_SHALLST,gw v_SURLAG,bsn r_SOL_BD,sol v_GWQMN,gw v_ESCO,bsn r_SOL_K,sol v_RCHRG_DP,gw v_ALPHA_BNK,rte v_GW_REVAP,gw v_EPCO,bsn r_CH_N2,rte r_CH_K2,rte v_ALPHA_BF,gw r_OV_N,hru r_SOL_AWC,sol v_GW_DELAY,gw v_REVAPMN,gw
t-Stat -55.145 6.4028 -6.0224 3.9222 -3.4268 -2.5448 -1.6157 1.5256 1.4028 -1.4003 1.3830 -0.9405 0.9061 0.8654 0.8201 0.7987 0.5736 0.0879
P-Value 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0007 0.0128 0.1073 0.1282 0.1618 0.1625 0.1678 0.3478 0.3676 0.3875 0.4146 0.4252 0.5667 0.9300
Sensitivity Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Tidak semua parameter tersebut digunakan dalam proses kalibrasi. Parameter-parameter tersebut diantaranya SOL_AWC (kadar air tanah tersedia), SOL_BD (bobot isi tanah), dan SOL_K (permeabilitas tanah). Parameterparameter yang digunakan dalam proses kalibrasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi debit aliran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Parameter
Keterangan
Bilangan kurva aliran permukaan pada kondisi kelembaban tanah 2 Kedalaman permukaan air pada SHALLST aquifer dangkal SURLAG Koefisien lag aliran permukaan Batas kedalaman air pada aquifer GWQMN dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran ESCO Faktor kompensasi evaporasi tanah RCHRG_DP Fraksi perkolasi akuifer dalam Faktor alpha baseflow untuk "bank ALPHA_BNK storage" GW_REVAP Koefisien "revap" air bawah tanah EPCO Faktor kompensasi uptake tanaman Koefisien kekasaran Manning untuk CH_N(2) saluran utama Konduktifitas hidrolik efektif pada CH_K(2) saluran utama ALPHA_BF Faktor alpha baseflow OV_N Nilai koefisien Manning GW_DELAY Waktu delay air bawah tanah Batas kedalaman air pada aquifer REVAPMN dangkal untuk "revap" atau perkolasi ke aquifer dalam Ket: * nilai berbeda berdasarkan sub DAS ** nilai berbeda berdasarkan penggunaan lahan CN2
Nilai Min
Nilai Max
Nilai yang digunakan
35
92
35-94**
1000
5000
4000
0
4
0.5
1000
4000
3500
0.6 0.05
0.98 0.25
0.88 0.1
0.2
0.9
0.55
0.02 0.5
0.2 0.8
0.02-0.1** 0.68
0.02
0.1
0.04-0.1*
0.001
0.025
0.004-0.025*
0.1 0.01 15
1 0.48 150
0.52 0.011-0.41** 120
350
1000
500
29 Kalibrasi Debit Aliran Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan Standar Internasional (SI) besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/detik) dan ditunjukkan dalam bentuk hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan/atau adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim global. Menurut Arsyad (2010) aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran air bawah permukaan, air bawah tanah, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai. Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan turun kembali setelah hujan selesai. Model SWAT merupakan model komprehensif yang mensimulasikan interaksi antar parameter. Sebagai contoh, nilai CN secara langsung mempengaruhi aliran permukaan. Ketika aliran permukaan berubah, maka komponen hidrologi lainnya juga akan berubah. Erosi dan transport unsur hara juga secara langsung dipengaruhi oleh aliran permukaan. Hal ini merupakan alasan utama mengapa kalibrasi dilakukan dengan menyeimbangkan parameter yang berhubungan dengan aliran permukaan terlebih dahulu, setelah itu bergerak ke sedimen dan terakhir adalah kalibrasi unsur hara dan pestisida (Santhi et al. 2001). Kalibrasi dapat dilakukan secara manual, otomatis maupun gabungan keduanya. Kalibrasi secara manual akan membuat pengguna lebih mengerti mengenai model, proses-proses penting yang terjadi pada suatu DAS, dan parameter-parameter sensitif. Pada proses kalibrasi gabungan, Van Liew et al. (2005) menganjurkan autokalibrasi dilakukan terlebih dahulu sebelum kalibrasi manual. Jeong et al. (2010) melakukan kalibrasi manual terlebih dahulu, setelah itu dilakukan autokalibrasi menggunakan SWAT-CUP. Kalibrasi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang pertama. Debit Observasi (m3/s)
Debit Simulasi (m3/s)
700
0
600
30
500
60
400
90
300
120
200
150
100
180
0
210
Curah Hujan (mm)
Debit (m3/s)
Curah Hujan (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Tahun 2011
Gambar 13 Hidrograf aliran hasil simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf aliran observasi (Januari-Desember 2011)
30
Debit Observasi (m3/s)
Data observasi yang digunakan untuk kalibrasi adalah data pada bulan Januari-Desember 2011 dari outlet Jembatan II Rangkas. Gan et al. (1997) dalam Arnold et al. (2012) menyarankan untuk melibatkan data dari periode basah dan periode kering pada proses kalibrasi maupun validasi. 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
y = 0.4682x + 40.145 R² = 0.36
0
50
100 150 200 250 300 350 400 450 Debit Simulasi (m3/s)
Gambar 14 Scatter plot debit aliran simulasi model sebelum proses kalibrasi Kalibrasi pada penelitian ini dilakukan menurut urutan sensitivitas yang paling rendah (REVAPMN) menuju urutan paling tinggi (CN2). Nilai bilangan kurva (CN2) menggambarkan besarnya aliran permukaan yang dihasilkan dari total curah hujan. Nilai ini merupakan fungsi dari sifat-sifat daerah aliran sungai, seperti jenis tanah, penggunaan dan teknologi pengelolaan lahan, kondisi permukaan lahan, dan kelembaban tanah. Nilai CN2 untuk masing-masing penggunaan lahan mengacu kepada Arnold et al. (2012). Nilai-nilai tersebut sesuai untuk lahan dengan kemiringan 0-5%. Kemiringan lereng merupakan faktor penting dalam menentukan pergerakan air pada lahan. Proses kalibrasi dilakukan dengan merubah nilai CN2 berdasarkan kemiringan lereng. Studi mengenai pengaruh kemiringan lereng terhadap aliran permukaan, diantaranya Chaudhary et al. (2013), Huang et al. (2006), dan Patil et al. (2012). Nilai CN2 yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3-9. SHALLST merupakan parameter yang terkait dengan kedalaman permukaan air pada akuifer dangkal. Parameter ini penting dan berhubungan dengan parameter GWQMN. Aliran bawah tanah dapat terjadi jika nilai GWQMN lebih kecil atau sama dengan SHALLST. Nilai SHALLST yang digunakan adalah 4000 mm. Parameter GWQMN merupakan batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran menuju sungai. Aliran air bawah tanah dapat terjadi hanya jika kedalaman air pada aquifer dangkal sama dengan atau lebih besar daripada GWQMN. Nilai GWQMN yang digunakan adalah 3500 mm. Koefisien lag aliran permukaan (SURLAG) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak aliran permukaan setelah terjadinya hujan lebih. Nilai SURLAG pada sub DAS yang luas dengan waktu konsentrasi lebih dari 1 hari artinya hanya sebagian dari aliran permukaan akan mencapai saluran
31 utama pada hari dihasilkannya aliran permukaan tersebut. Nilai yang digunakan adalah 0.5 hari. Air dapat bergerak dari akuifer dangkal menuju zona tidak jenuh di atasnya sebagai hasil dari penurunan kadar air tanah. Air juga dapat dikurangi dari zona akuifer oleh tanaman yang memiliki zona perakaran dalam yang mampu mengambil air secara langsung dari zona tersebut. Proses ini signifikan pada DAS yang memiliki zona jenuh yang tidak terlalu jauh dari permukaan dimana tumbuhan berperakaran dalam tumbuh. Nilai GW_REVAP mendekati 0 artinya pergerakan air dari akuifer dangkal ke zona perakaran akan terbatas. Sebaliknya, jika nilainya mendekati 1 maka banyaknya air yang bergerak dari akuifer dangkal ke zona perakaran akan mendekati nilai evapotranspirasi potensial. Nilai GW_REVAP bervariasi tergantung dari penggunaan lahan dengan rentang nilai 0.02-0.1 (Tabel Lampiran 10). Parameter REVAPMN yaitu batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran. Pergerakan air dari akuifer dangkal menuju zona perakaran dapat terjadi jika volume air pada akuifer dangkal sama atau lebih besar dari REVAPMN. Nilai REVAPMN yang digunakan adalah 500 mm. Parameter lainnya adalah RCHRG_DP atau fraksi perkolasi aquifer dalam. Parameter ini mencerminkan fraksi perkolasi dari zona perakaran yang mengisi akuifer dalam. Nilainya berkisar antara 0.0 – 1.0 dan nilai yang digunakan adalah 0.15. Faktor alpha baseflow (ALPHA_BF) merupakan indeks yang menggambarkan respon air bawah tanah terhadap perubahan dalam aliran. Nilainya bervariasi antara 0.1-0.3 untuk lahan yang memiliki respon rendah terhadap aliran dan 0.9-1.0 untuk lahan yang memilki respon tinggi. Nilai yang digunakan adalah 0.52 yang menunjukkan DAS Ciujung memiliki respon sedang. Waktu delay air bawah tanah atau GW_DELAY merupakan waktu yang dibutuhkan air dari bagian bawah zona perakaran untuk mencapai akuifer dangkal. Jeda waktu ketika air berada pada profil tanah dan masuk ke akuifer dangkal tergantung pada kedalaman muka air tanah dan sifat-sifat hidraulik dari formasi geologi zona vadose dan zona air bawah tanah. Nilai ini tidak dapat diukur secara langsung. Menurut Sengrey et al. (1984) dalam Arnold et al. (2012) nilai GW_DELAY yang sama dapat digunakan pada DAS yang berdampingan dan memiliki kondisi geomorfik yang sama. Nilai GW_DELAY yang digunakan adalah 120 hari. Parameter ALPHA_BNK merupakan faktor alpha baseflow untuk bank storage. Bank storage berkontribusi terhadap aliran pada saluran utama atau saluran pada sub DAS. Nilai ALPHA_BNK disimulasikan dengan kurva resesi yang sama seperti yang digunakan untuk aliran bawah tanah. Faktor alpha baseflow, atau konstanta resesi, mengkarakterisasikan kurva resesi bank storage. Nilai konstanta ini lebih kecil dari 1. Nilainya akan besar (mendekati satu) untuk resesi yang datar dan nilainya akan kecil (mendekati nol) untuk resesi yang curam. Nilai ALPHA_BNK yag digunakan adalah 0.55. EPCO merupakan faktor kompensasi uptake tanaman. Jumlah penggunaan air oleh tanaman merupakan fungsi dari jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk transpirasi dan air yang tersedia di dalam tanah. Faktor kompensasi uptake tanaman berkisar antara 0.01 – 1.00. Jika nilai EPCO mendekati 1.0, lebih banyak kebutuhan uptake tanaman untuk dipenuhi oleh lapisan tanah yang lebih bawah.
32 Jika EPCO mendekati 0.0, maka berlaku sebaliknya. Nilai EPCO yang digunakan adalah 0.68. Faktor kompensasi evaporasi (ESCO) menggambarkan kebutuhan air dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah akibat efek kapilaritas, pengkerakan, dan peretakan tanah. Nilai ESCO berkisar antara 0.01 – 1.0. Semakin kecil nilainya maka model ini mampu mengekstrak lebih banyak permintaan menguapkan dari lapisan yang lebih dalam. Nilai ESCO yang digunakan adalah 0.88. Koefisien kekasaran Manning (OV_N) mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Arnold et al. (2012). Nilai OV_N bervariasi menurut penggunaan lahannya. Kisaran nilai yang digunakan untuk masing-masing penggunaan lahan adalah 0.011-0.41 (Tabel Lampiran 11). Nilai CH_N(2) atau koefisien kekasaran Manning untuk saluran utama tergantung pada karakteristik saluran. Nilai CH_N(2) yang digunakan ditentukan berdasarkan sub DAS (Tabel Lampiran 12). CH_K(2) merupakan parameter konduktifitas hidraulik efektif pada saluran utama. Aliran sungai dapat dikategorikan berdasarkan hubungannya dengan sistem air bawah tanah. Kategori pertama, aliran sungai yang terletak pada suatu area yang mendapatkan aliran air bawah tanah sehingga terjadi peningkatan debit aliran sungai pada bagian hilir. Kategori kedua, aliran sungai terdapat pada area yang memungkinkan berkurangnya aliran terkait sistem air bawah tanah sehingga dapat menurunkan debit aliran pada bagian hilir. Tipe ketiga, terjadi kehilangan aliran akibat saluran tersebut berada di atas area aliran bawah tanah. Kategori terakhir adalah saluran yang secara simultan menerima dan kehilangan air bawah tanah. Nilai CH_K(2) yang digunakan berbeda berdasarkan sub DAS dengan rentang nilai 0.0025-0.04 mm/jam (Tabel Lampiran 13).
Gambar 15 Hidrograf aliran hasil kalibrasi model (Januari-Desember 2011) Hasil kalibrasi model SWAT menunjukkan nilai R2 dan NSE masingmasing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik). Nilai R2≥0.6 dan NSE≥0.5 merupakan nilai yang dapat diterima (Santhi et al. 2001). Hasil ini menunjukkan bahwa model SWAT cukup baik untuk mensimulasikan debit aliran DAS Ciujung. Walaupun demikian, secara umum model masih menunjukkan hasil yang lebih kecil jika dibandingkan dengan data observasi, terutama saat memasuki musim kemarau
33
Debit Observasi (m3/s)
(Juni-September). Hal ini dimungkinkan karena stasiun hujan yang tersedia tidak tersebar secara merata sehingga pola hujan yang dihasilkan pada musim kemarau berbeda. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Rahayuningtyas et al. (2014) yang melakukan penelitian di DAS Lesti, Jawa Timur. Hasil penelitian Zhang et al. (2015) menunjukkan nilai R2 dan NSE untuk musim basah keduanya sebesar 0.85, sedangkan untuk musim kering masing-masing sebesar 0.63 dan -0.26. 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
y = 0.8331x + 19.479 R² = 0.78
0
50 100 150 200 250 300 350 400 450 Debit Simulasi (m3/s)
Gambar 16 Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses kalibrasi Validasi Debit Aliran Validasi model merupakan proses yang dilakukan untuk menilai keakuratan model dalam melakukan simulasi. Validasi dilakukan dengan menjalankan model menggunakan parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi dan membandingkannya dengan data observasi. Data observasi yang digunakan untuk validasi adalah data pada bulan Januari-Desember 2012 dari outlet Jembatan II Rangkas. Debit Observasi (m3/s)
Curah Hujan (mm)
1000
0
800
60
600
120
400
180
200
240
0
Curah Hujan (mm)
Debit (m3/s)
Debit Simulasi (m3/s)
300 Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul Ags Sep
Tahu 2012
Gambar 17 Hidrograf aliran hasil validasi model (Januari-Desember 2012)
34 Nilai R2 dan NSE yang dihasilkan pada proses validasi masing-masing sebesar 0.75 dan 0.67 (baik). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa model SWAT cukup baik untuk mensimulasikan debit aliran sungai pada skala DAS di Indonesia.
Debit Observasi (m3/s)
800 700 y = 0.8046x + 19.854 R² = 0.75
600 500 400 300 200 100 0 0
100 200 300 400 500 600 700 800 Debit Simulasi (m3/s)
Gambar 18 Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses validasi Model SWAT pertama kali dibangun pada awal 1990-an dan saat ini sudah cukup banyak digunakan di Indonesia. Ridwansyah et al. (2014) menguji penerapan model SWAT untuk memodelkan daerah tangkapan air yang kondisi topografinya bergunung dengan fokus daerah tangkapan air Cisadane yang merupakan satu dari 108 DAS prioritas di Indonesia berdasarkan SK.328/MenhutII/2009. Hasilnya menunjukkan bahwa model SWAT dapat menjadi alat monitoring potensial khususnya untuk DAS-DAS di daerah tangkapan air Cisadane atau daerah beriklim tropis. Irsyad (2011) menyatakan bahwa model SWAT cukup memuaskan untuk analisis debit aliran DAS Cidanau, Banten. Penilitian lain yang menerapkan model SWAT di Indonesia diantaranya adalah Rahmah et al. (2012), Junaidi dan Tarigan (2011), Ridwansyah et al. (2011), Mulyana (2012), serta Junaidi dan Tarigan (2012). Neraca Air Air yang jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk hujan, salju, dan embun akan mengalami berbagai peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan akan jatuh kembali ke permukaan bumi. Peristiwa yang terus berulang dan merupakan siklus tertutup ini dinamakan siklus hidrologi (Arsyad 2010). Siklus hidrologi bergantung pada iklim, seperti curah hujan harian, temperatur maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara yang mengontrol neraca air. Proses hidrologi disimulasikan berdasarkan persamaan neraca air, dimana curah hujan yang jatuh dipetakan menjadi beberapa bagian, diantaranya: debit aliran, evapotranspirasi, dan simpanan tanah. Debit aliran termasuk di dalamnya aliran permukaan, aliran lateral, dan aliran dasar. Neraca air DAS Ciujung hasil simulasi model tahun 2010-2011 dapat dilihat pada Gambar 19.
35
Gambar 19 Neraca air DAS Ciujung tahun 2010-2011 hasil simulasi model SWAT Hasil simulasi model menunjukkan bahwa 53% dari total curah hujan (2,150.9 mm) menjadi aliran sungai (streamflow) yaitu sebesar 1,144.38 mm. Aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran lateral, air dasar, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai (Arsyad 2010). Sebanyak 59% aliran sungai berasal dari aliran permukaan (675.95 mm). Selebihnya (41%) berasal dari baseflow yang terdiri dari 274.87 mm aliran lateral (lateral flow) dan 193.56 mm aliran dasar (return flow). Evapotranspirasi (ET) merupakan salah satu komponen yang penting untuk diketahui dalam siklus hidrologi karena seringkali merepresentasikan kehilangan terbesar dari curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi (Sanford dan Selnick 2013). Hasil analisis model menunjukkan bahwa 44% dari total curah hujan teruapkan kembali melalui proses ini, yaitu sebesar 945.2 mm dengan ET potensial sebesar 1,701.8 mm. Selain teruapkan kembali ke atmosfer, curah hujan yang jatuh juga akan menyerap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Air yang masuk ke dalam tanah akan mengisi aquifer dangkal melalui proses perkolasi. Perkolasi yang terjadi sebesar 228.12 mm atau 11% dari total curah hujan. Air yang mengisi aquifer dalam sebesar 34.22 mm (1.5 % dari total curah hujan).
36 Debit Sedimen Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu DAS dan masuk ke dalam suatu badan air secara umum disebut sedimen. Sedimen yang terbawa masuk ke dalam sungai hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya. Sebagian lagi dari tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat di lahan di bagian bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Debit sedimen observasi didapatkan dengan cara membuat rating curve sedimen menggunakan data bulan Februari-Desember 2013. Terdapat 3 sample pada setiap kali pengukuran yang dilakukan oleh BBWS C3. Tabel 16 Data observasi debit aliran dan sedimen Debit aliran rata-rata (m3/s) 137.07 11.94 31.86 36.30 44.46 45.41 12.66 24.03 27.20 154.14 160.15
Tanggal 2/21/2013 3/25/2013 4/30/2013 5/27/2013 6/24/2013 7/23/2013 9/2/2013 9/23/2013 10/29/2013 11/29/2013 12/29/2013
Debit sedmen rata-rata (ton/hari) 4436.13 113.91 297.52 1708.64 930.18 1062.59 169.12 226.61 218.76 3609.01 9821.61
Data debit sedimen tersebut dibandingkan dengan data debit aliran sungai untuk mendapatkan persamaan yang digunakan untuk membuat rating curve debit sedimen observasi.
Hasil sedimen (ton/hari)
12000 10000 8000 y = 1.5702x1.768 R² = 0.85
6000 4000 2000 0 0
50
100 Debit aliran sungai
150
200
(m3/s)
Gambar 20 Persamaan rating curve sedimen Persamaan yang didapat adalah y = 1.5702x1.768 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0.85 (Gambar 20). Nilai tersebut menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara debit sedimen (y) dan debit aliran sungai (x).
37 Debit sedimen harian didapatkan dengan cara mengganti nilai x dengan nilai debit aliran sungai harian. 120
Hasil Sedimen Simulasi (ton/hari) x 1000
100
y = 1.3421x - 0.6942 R² = 0.76
80
60
40
20
0 0
20
40
60
80
Hasil Sedimen Observasi (ton/hari) x 1000
Gambar 21 Scatter plot debit sedimen simulasi model dan observasi Hubungan antara debit sedimen observasi dan simulasi menunjukkan nilai R dan NSE masing-masing sebesar 0.76 (Gambar 21) dan -193.62. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hasil sedimen simulasi memiliki nilai yang cukup jauh dengan hasil sedimen observasi DAS Ciujung. Hasil penelitian ini sejalan dengan Yustika et al. (2012) yang melakukan penelitian di sub DAS Ciliwung Hulu. Belum optimalnya model SWAT dalam memprediksi hasil sedimen di DAS Ciujung dikarenakan kurangnya data debit sedimen observasi. Data debit sedimen observasi yang digunakan untuk membuat rating curve masih kurang representatif, sehingga persamaan yang dihasilkan untuk memprediksi debit sedimen rata-rata harian belum dapat menggambarkan debit sedimen observasi yang sesungguhnya. Model SWAT tidak dapat menggambarkan proses secara akurat karena kurangnya data pemantauan yang diperlukan untuk mengkarakterisasi parameter input (Gassman et al. 2007). 2
Debit Sedimen (ton/hari)
Debit Sedimen Observasi (x1000)
Debit Sedimen Simulasi (x10000) 0
125
25
100
50
75
75
50
100
25
125
0
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan 150
150
1 17 33 49 65 81 97113129145161177193209225241257273
Gambar 22 Hidrograf debit sedimen observasi dan simulasi Januari-Desember 2011
38 Karakteristik Hidrologi Hasil Simulasi Model Aliran permukaan (surface runoff) yang dihasilkan berdasarkan reach pada tahun 2011 yaitu 574.69 mm (31 % dari curah hujan). Aliran lateral, aliran dasar dan water yield yang dihasilkan masing-masing sebesar 236.31, 211.21, dan 1048.8 mm. Tabel 17 Karakteristik Hidrologi DAS Ciujung Tahun 2011 Karakteristik Hidrologi Curah hujan (mm) Aliran permukaan (mm) Aliran lateral (mm) Aliran bawah tanah (mm) Water Yield (mm)
Nilai 1872.96 574.69 236.31 211.21 1048.8
Hasil output model berdasarkan sub DAS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 sub DAS 14, 19, 20, dan 21 memiliki aliran permukaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sub DAS yang lainnya. Tebal aliran yang dihasilkan lebih besar dari 1000 mm.
Gambar 23 Aliran Permukaan Tahun 2011 Penggunaan lahan dominan pada sub DAS 14, 19, dan 21 adalah pertanian lahan kering campur semak masing-masing sebesar 78, 57, dan 44 % dari total luas sub DAS (Tabel Lampiran 23). Berbeda halnya dengan sub DAS 20 yang didominasi oleh penggunaan lahan hutan tanaman keras (43%), namun memiliki
39 luasan pertanian lahan kering campur semak dan sawah yang cukup besar (22 dan 26%). Jenis tanah yang mendominasi pada keempat sub DAS tersebut memiliki kelas hidrologi tanah C dengan persentase 100, 100, 75, dan 75 % (Tabel Lampiran 25). Kemiringan lereng yang mendominasi keempat sub DAS tersebut adalah 8-15 dan 15-25 % (Tabel Lampiran 26). Sub DAS 3, 8, 22, 23, 24, 25, dan 26 menghasilkan tebal aliran permukaan yang paling kecil dengan tebal aliran lebih kecil dari 500 mm. Sub DAS lainnya menghasilkan tebal aliran permukaan antara 500-1000 mm. Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Aliran Permukaan Aliran permukaan (surface runoff) yang dihasilkan oleh setiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil output model berdasarkan HRU menunjukkan bahwa pemukiman memiliki aliran permukaan tertinggi dengan koefisien aliran permukaan sebesar 0.45. Hal ini berarti 45 % dari total curah hujan akan menjadi aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan tertinggi diikuti oleh sawah, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, dan perkebunan masing-masing sebesar 0.41, 0.39, 0.38, dan 0.31. Penggunaan lahan hutan lahan kering primer memiliki koefisien aliran terkecil yaitu 0.06. Koefisien aliran permukaan terendah selanjutnya dihasilkan hutan tanaman keras (0.07), hutan lahan kering sekunder (0.17), dan semak belukar (0.22). Tabel 18 Aliran permukaan (surface runoff) setiap penggunaan lahan Penggunaan Lahan
Curah Hujan (mm)
Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman Keras Pemukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Semak Sawah Semak Belukar
1600.22 1945.22 2144.33 1916.50 235799 1872.05 1956.13 1943.15 1856.69
Aliran Permukaan (mm) 105.14 327.87 127.12 867.34 742.91 721.35 748.07 789.47 414.08
Aliran Permukaan (% CH) 7 17 6 45 31 39 38 41 22
Koefisien Aliran 0.06 0.17 0.07 0.45 0.31 0.39 0.38 0.41 0.22
Hasil penelitian ini sejalan dengan Firdaus (2014) yang melakukan penelitian di bagian hulu DAS Cisadane. Penggunaan lahan hutan, padang rumput dan semak belukar memiliki koefisien aliran yang paling kecil dengan nilai masing-masing sebesar 0.05, 0.1, dan 0.17. Koefisien aliran untuk pertanian campuran, ladang dan sawah masing-masing sebesar 0.2, 0.3, dan 0.44. Koefisien aliran pemukiman yang dihasilkan merupakan nilai paling tinggi sebesar 0.67. Hasil analisis uji F manunjukkan bahwa seluruh penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciujung secara bersama-sama berpengaruh terhadap aliran permukaan dengan nilai signifikansi <0.05 (Tabel 19). Tabel 19. Hasil analisis uji F Model Regression Residual Total
Jumlah Kuadrat 2313400 694408.4 3007809
Derajat Bebas 9 17 26
Mean Square
F
Sig.
257044.5 40847.56
6.293
.001
40 Pengaruh masing-masing penggunaan lahan terhadap aliran permukaan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa pertanian lahan kering campur semak, hutan tanaman keras, semak belukar, pertanian lahan kering, dan perkebunan berpengaruh nyata terhadap aliran permukaan pada taraf kepercayaan 5% (sig.<0.05). Pertanian lahan kering campur semak, pertanian lahan kering, dan perkebunan berpengaruh positif terhadap aliran permukaan. Hal ini mengandung arti jika persentase penggunaan lahan tersebut meningkat maka akan meningkatkan aliran permukaan. Hutan tanaman keras dan semak belukar berpengaruh negatif terhadap aliran permukaan. Jika persentase penggunaan lahan tersebut meningkat maka aliran permukaan akan menurun. Penggunaan lahan pemukiman, sawah, hutan lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap aliran permukaan pada taraf kepercayaan 5%. Tabel 20. Hasil analisis uji-t Penggunaan Lahan
Koefisien Regresi
Standar Eror
t
Sig.
Hutan Tanaman Keras
-23.303
6.234
-3.738
0.002
Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar Perkebunan Pertanian Lahan Kering Campur Semak Pertanian Lahan Kering Sawah Pemukiman
-22.547 -7.612 -13.844 32.318 18.253 20.943 3.942 28.893
17.385 6.449 5.98 7.091 5.555 6.863 5.046 21.992
-1.297 -1.18 -2.315 4.557 3.286 3.052 0.781 1.314
0.212 0.254 0.033 0.000 0.004 0.007 0.445 0.206
Respon Hidrologi terhadap Skenario yang Diterapkan Fluktuasi Debit Aliran Membaiknya fungsi hidrologi tanah setelah dilakukan tindakan penanggulangan diperlihatkan dengan menurunnya debit maksimum dan meningkatnya debit minimum (Arsyad 2010). Fluktuasi debit aliran maksimum bulanan dapat dilihat pada Gambar 24. Tanpa Skenario Skenario 3
Skenario 1 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 5
Debit aliran (m3/s)
500 400 300 200 100 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun Jul Bulan
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Gambar 24 Fluktuasi debit aliran maksimum DAS Ciujung tahun 2011
41 Debit maksimum bulanan tertinggi terjadi pada bulan April. Sebelum diterapkan teknologi konservasi tanah dan air debit maksimum bulanan pada bulan tersebut adalah sebesar 511.9 m3/s. Setelah diterapkan skenario, debit maksimum menurun pada semua skenario yang diterapkan. Debit maksimum bulan April pada skenario 1 dan 2 sebesar 493.1 dan 480 3 m /s, sedangkan pada skenario 3, 4, dan 5 masing-masing sebesar 510.3, 457 dan 431.3 m3/s. Menurunnya debit maksimum setelah dilakukan tindakan penanggulangan dapat mengindikasikan kondisi DAS tersebut membaik dan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya banjir. Tanpa Skenario Skenario 3
Skenario 1 Skenario 4
Skenario 2 Skenario 5
40
Debit (m3/s)
30
20
10
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Bulan
Gambar 25 Fluktuasi debit aliran minimum DAS Ciujung tahun 2011 Semua skenario yang diterapkan dapat meningkatkan debit minimum bulanan terutama saat memasuki musim kemarau. Debit minimum bulanan terkecil terjadi pada bulan Oktober sebesar 2.6 m3/s sebelum diterapkan teknologi konservasi tanah dan air. Debit minimum bulan Oktober pada skenario 4 dan 5 yaitu sebesar 5 dan 6.7 m3/s. Debit minimum bulan Oktober pada skenario 1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 3.3, 4.4, dan 3.3 m3/s. Salah satu indikator kondisi suatu DAS adalah nisbah debit maksimum dan debit minimum. Semakin besar nilainya menandakan kondisi DAS semakin buruk, sebaliknya semakin kecil nilainya maka kondisi DAS semakin baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua skenario yang diterapkan memiliki nilai nisbah debit maksimum dan debit minimum lebih kecil dibandingkan dengan sebelum dilakukan skenario. Kondisi paling baik dihasilkan skenario 5 dengan nilai Qmax/Qmin sebesar 65 dengan kategori sedang berdasarkan kriteria yang diterapkan oleh Dirjen RLPS. Skenario 1, 2, dan 3, masing-masing menghasilkna nisbah sebesar 148 (ST), 109 (T), dan 155 (ST), serta skenario 4 sebesar 91 dengan kategori tinggi. Tabel 21 Fluktuasi debit aliran Sungai Ciujung pada berbagai skenario penerapan teknik KTA Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Qmax 511.8 493.1 480.0 Qmin 2.6 3.3 4.4 Qmax/Qmin 198 148 109 Kategori ST ST T Keterangan : ST: sangat tinggi; T: tinggi; S: sedang
Skenario 3 510.3 3.3 155 ST
Skenario 4 457.0 5.0 91 T
Skenario 5 431.3 6.7 65 S
42 Aliran Permukaan, Aliran Lateral, Aliran Dasar, dan Hasil Air Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario-skenario yang diterapkan secara umum dapat menurunkan aliran permukaan (surface runoff) dan hasil air (water yield), serta meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar (Tabel 22). Tabel 22
Skenario Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Karakteristik hidrologi DAS Ciujung pada berbagai skenario yang diterapkan pada tahun 2011 ∆ SURQ mm %
LATQ mm
∆ LATQ mm %
GWQ mm
∆ GWQ mm %
WYLD mm
∆ WYLD mm %
CH mm
SURQ mm
1873
575
-
-
236
-
-
211
-
-
1049
-
-
1873 1873 1873 1873 1873
487 400 515 393 308
-87 -175 -60 -182 -267
-15 -30 -10 -32 -46
276 286 262 288 304
39 50 26 52 68
19 23 12 22 32
218 279 204 240 379
7 68 7 29 168
3 32 3 1 80
997 984 996 925 886
-52 -65 -53 -124 -163
-5 -6 -5 -12 -16
Keterangan: ∆: perbandingan nilai hasil skenario yang diterapkan dengan tanpa skenario
Penerapan skenario fungsi kawasan hutan (skenario 1) dengan teknik KTA berupa reboisasi mampu menurunkan aliran permukaan (surface runoff) sebesar 15%. Mubarok (2014) menerapkan simulasi fungsi kawasan hutan di DAS Way Betung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi penurunan aliran permukaan sebesar 64%. Hal ini dikarenakan fungsi kawasan hutan di DAS tersebut mencapai 63% dari total DAS. Penanaman tanaman hutan secara luas dapat mengurangi dan mengendalikan surface runoff yang akan terjadi dan dapat memperkecil kemungkinan banjir (Pudjiharta 2008). Menurunnya aliran permukaan tidak terlepas dari meningkatnya kapasitas dan laju infiltrasi tanah pada kawasan hutan, Hasil penelitian Taylor et al. (2009) menunjukkan bahwa laju infiltrasi kawasan hutan 12-40 kali lebih besar jika dibandingkan dengan lahan pertanian. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya jumlah air yang meresap ke dalam tanah sehingga dapat meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar. Peningkatan aliran lateral dan aliran dasar pada penelitian ini masing-masing sebesar 19 dan 3%. Terjadi penurunan hasil air sebesar 5% dengan diterapkannya skenario fungsi kawasan hutan. Kejadian ini merupakan konsekuensi sederhana dari keseimbangan air. Dengan bertambah banyaknya kawasan hutan, maka air yang diserap tanaman akan semakin banyak. Evaporasi dari air yang diintersepsi dan transpirasi oleh tanaman juga bertambah, sehingga air yang mengalir sebagai aliran sungai menjadi lebih sedikit. Hasil air (water yield) dari lahan hutan yang telah dialihgunakan menjadi lahan perkebunan karet dan kakao lebih tinggi sekitar 300-400 mm per tahun dibandingkan ketika lahan ini ditutupi oleh hutan alam (Purwanto dan Ruitjer 2004). Khoi dan Suetsugi (2014) melakukan penelitian dengan menggunakan model SWAT di daerah tangkapan air Be (the Be River Catchment) Vietnam. Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan lahan hutan sebesar 16.3% meningkatkan streamflow (0.2-0.4%), sediment load (1.8-3.0%), dan aliran permukaan (4.8-10.7%), serta menurunkan cadangan air bawah tanah (3.5-7.9%). Penerapan skenario rehabilitasi lahan kritis dengan teknik KTA berupa reboisasi dan agroforestry (skenario 2) dapat menurunkan aliran permukaan dan hasil air masing-masing sebesar 30 dan 6 %. Vegetasi dan lapisan serasah dapat
43 menghambat aliran permukaan dengan melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butiran air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah dapat menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi tanah (Noordwijk et al. 2004). Pengolahan lahan semak belukar menjadi agoforestry dapat mempertahankan bahkan memperbaiki fungsi hidrologi dari DAS yang ditunjukan dengan berkurangnya aliran permukaan sampai 50% (Tanika et al. 2013). Aliran lateral dan aliran dasar mengalami peningkatan yang cukup besar jika dibandingkan dengan tanpa skenario yaitu sebesar 23 dan 32 % (Tabel 22). Reboisasi dan penghijauan yang berhasil bukan hanya menurunkan aliran permukaan tetapi sekaligus meningkatkan air simpanan dalam tanah (Kusmana et al. 2004). Diterapkannya skenario 3 (teknik konservasi tanah dan air metode vegetatif berupa reboisasi, agroforestry, dan strip cropping) dapat menurunkan aliran permukaan dan hasil air masing-masing sebesar 10 dan 5 %. Penerapan skenario ini juga dapat meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar masing-masing sebesar 12 dan 3 %. Penerapan strip cropping dapat menurunkan aliran permukaan sampai 13 % (Flanangan et al. 2010). Hasil penelitian Yustika et al. (2012) menunjukkan bahwa kombinasi penerapan teknologi konservasi tanah penanaman strip di lahan kebun campuran dan agroforestry di lahan perkebunan teh dapat menghambat aliran permukaan sebesar 51- 57 %. Penerapan skenario teknik konservasi tanah dan air metode sipil teknis berupa bendungan, contouring, dan lubang resapan biopori mampu menurunkan aliran permukaan hingga 32 %. Peningkatan aliran lateral cukup besar jika dibandingkan dengan tanpa skenario yaitu sebesar 32 %. Aliran dasar juga meningkat sebesar 1.3% jika dibandingkan dengan tanpa skenario. Penerapan teknik KTA sipil teknis berbasis alur dan lahan tersebut mampu menampung dan menahan aliran permukaan yang terjadi. Aliran permukaan yang dihasilkan sub DAS 15 dimana Bendungan Karian berada menurun sebesar 44 % setelah diterapkan skenario 4 (Tabel Lampiran 21). Penerapan skenario 5 yang menggabungkan skenario 1, 2, 3, dan 4 dengan menerapkan seluruh teknik KTA merupakan skenario yang paling baik. Penerapan skenario 5 dapat menurunkan aliran permukaan sebesar % serta meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar (masing-masing sebesar 32 dan 80 %). Hasil Sedimen Kunci keberhasilan dalam menurunkan hasil sedimen suatu DAS adalah dengan menurunkan aliran permukaan. Hal ini dikarenakan untuk daerah tropis seperti di Indonesia, air merupakan media alami utama pembawa partikel-partikel tanah dan memindahkannya dari suatu tempat ke tempat lain. Semakin besar aliran permukaan yang dapat dikurangi maka semakin besar pula hasil sedimen yang dapat diturunkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario 5 merupakan skenario yang paling baik dalam menurunkan aliran permukaan yaitu sebesar 46 % jika dibandingkan dengan tanpa skenario. Hal ini diikuti dengan menurunnya hasil sedimen sebesar 95 %. Penerapan skenario 4 menghasilkan penurunan hasil sedimen terbesar kedua dengan 83 %. Penurunan hasil sedimen sebesar 76, 32 dan
44 29 % dihasilkan dengan penerapan skenario 2, 1, dan 3. Hasil penelitian Firdaus (2014) menunjukkan bahwa penerapan skenario gabungan antara contouring, teras, dan strip cropping dapat menurunkan hasil sedimen sebesar 88.93%. Tabel 23 Penurunan hasil sedimen setelah diterapkan skenario pengelolaan lahan Skenario
Hasil sedimen (ton/hari)
Tanpa skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
47,966 32,686 11,422 33,915 8,154 2,510
Penurunan hasil sedimen ton/hari % 15,280 32 36,544 76 14,051 29 39,812 83 45,456 95
Rekomendasi Pengelolaan Lahan Berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan debit maksimum dan meningkatkan debit minimum, skenario 5 merupakan pengelolaan lahan terbaik yang dapat diterapkan di DAS Ciujung. Hal ini dapat digambarkan dengan nisbah debit maksimum dan debit minimum yang dihasilkan merupakan nisbah paling kecil jika dibandingkan dengan skenario lainnya (Tabel 21). Kecilnya nisbah debit maksimum dan debit minimum menggambarkan keberlangsungan aliran sungai dapat dijaga sepanjang tahun. Artinya tidak terjadi kekeringan pada musim kemarau dan debit maksimum yang dihasilkan dapat dikendalikan sehingga kemungkinan terjadinya banjir dapat dikurangi. Skenario 5 juga memiliki kemampuan yang paling baik dalam menurunkan aliran permukaan (46 % dari aliran permukaan tanpa skenario). Hasil ini lebih baik dari skenario 4 (32 %), skenario 2 (30 %) serta skenario 1 dan 3 yang hanya dapat menurunkan aliran permukaan sebesar 15 dan 10 %. Penurunan aliran permukaan pada setiap sub DAS juga dapat menggambarkan pengelolaan lahan optimum yang dapat diterapkan di DAS Ciujung (Gambar 26-30).
Gambar 26. Aliran permukaan pada skenario 1
Gambar 27. Aliran permukaan pada skenario 2
45
Gambar 28. Aliran permukaan pada skenario 3
Gambar 29. Aliran permukaan pada skenario 4
Gambar 30. Aliran permukaan pada skenario 5
Pada skenario 1 dan 3 masih terdapat dua sub DAS yang mengasilkan aliran permukaan > 1000 mm. Sub DAS yang mengasilkan aliran permukaan antara 500-1000 mm juga masih banyak dihasilkan pada skenario 1 dan 3, masingmasing sebanyak 12 sub DAS. Pada skenario 2, 4, dan 5 tidak dihasilkan aliran permukaan > 1000 mm dan memiliki sub DAS dengan aliran permukaan < 500 mm lebih banyak daripada skenario 1 dan 3. Bahkan pada skenario 5 hanya terdapat 3 sub DAS yang menghasilkan aliran permukaan antara 500-1000 mm, sedangkan pada skenario 2 dan 4 masih terdapat 7 dan 9 sub DAS dari total 26 sub DAS. Aliran permukaan yang dihasilkan pada setiap sub DAS dapat dilihat pada Tabel Lampiran 21. Meningkatnya aliran lateral dan aliran dasar merupakan kriteria penting yang dapat diperhitungkan dalam menentukan pengelolaan lahan terbaik yang akan diterapkan. Hal ini dikarenakan aliran inilah yang akan menyuplai aliran sungai pada saat musim kemarau tiba. Jika aliran lateral dan aliran dasar dapat ditingkatkan, maka aliran sungai pada musim kemarau dapat terjamin keberlangsungannya. Dalam hal ini skenario 5 memiliki kemampuan yang lebih
46 baik daripada skenario lainnya. Aliran lateral dan aliran dasar meningkat sebesar 32 dan 80 % setelah diterapkan skenario 5 (Tabel 22). Kemampuan menurunkan aliran permukaan (surface runoff) sangat penting kaitannya dengan menurunnya debit puncak dari segi waktu tempuh dan kuantitasnya sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya banjir. Kemampuan skenario 5 dalam menurunkan aliran permukaan paling baik diikuti dengan kemampuannya dalam menurunkan hasil sedimen. Skenario 5 merupakan skenario terbaik dengan penurunan hasil sedimen mencapai 95% (Tabel 23 dan Gambar 31). Sedimentasi pada badan air merupakan masalah serius yang dimiliki DAS Ciujung. Semakin banyak sedimen yang memenuhi badan air maka kapasitas menampung air dapat berkurang karena terjadi pendangkalan. Hal ini merupakan salah satu pemicu terjadinya banjir.
Penurunan Hasil Sedimen (%)
100 80 60 40 20 0 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Gambar 31 Penurunan hasil sedimen (%) setelah dilakukan skenario pengelolaan lahan Yustika et al. (2012) melakukan penelitian menggunakan model SWAT untuk simulasi manajemen lahan di sub DAS Ciliwung Hulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi teras bangku pada penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan dapat menghambat aliran permukaan hingga 79.21%. Penerapan teknik konservasi penanaman menurut kontur terbukti efektif dalam menghambat aliran permukaan hingga 70.36%. Penerapan teknik konservasi teras bangku dan agroforestri (perkebunan teh) dapat menghambat aliran permukaan hingga 59.55%. Berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan aliran permukaan, hasil sedimen, dan hasil air (water yield) serta meningkatkan aliran dasar dan aliran lateral, skenario 5 dengan menerapkan seluruh teknik konservasi tanah dan air merupakan pengelolaan lahan optimum yang dapat diterapkan di DAS Ciujung. Walaupun demikian, pengelolaan lahan optimum tersebut hanya dapat memperbaiki kondisi DAS Ciujung sampai pada kondisi sedang, sehingga diperlukan penerapan teknik KTA lainnya untuk memperbaiki kondisi DAS Ciujung sampai kondisi baik.
47
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berkurangnya lahan hutan di DAS Ciujung selama periode 2001-2011, baik hutan tanaman, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder serta meningkatnya luasan lahan semak, perkebunan, dan sawah berpengaruh terhadap meningkatnya debit aliran sungai dan penurunan kualitas DAS Ciujung. Model SWAT dapat digunakan untuk mensimulasikan debit aliran DAS Ciujung. Hasil kalibrasi model SWAT menunjukkan nilai R2 dan NSE masingmasing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik) serta hasil validasi model masing-masing 0.75 dan 0.67 (baik). Penerapan teknik konservasi tanah dan air berupa reboisasi, agroforestri, strip cropping, contouring, bendungan karian, dan lubang resapan biopori merupakan pengelolaan lahan optimum yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi DAS Ciujung.
Saran Perlu digunakan peta input yang lebih detail sebagai upaya untuk mendapatkan hasil output model yang lebih baik. Pengambilan sample tanah sebagai input parameter tanah pada model SWAT juga perlu diperbanyak lagi mengingat luasnya DAS Ciujung. Sebagai upaya untuk mendapatkan simulasi model yang lebih baik dalam memprediksi hasil sedimen sebaiknya digunakan data hasil sedimen observasi yang lebih banyak. Dalam menjalankan model SWAT perlu memperhatikan ambang batas atau treshold yang digunakan saat proses deliniasi DAS karena dapat berpengaruh terhadap hasil output model. Sebaiknya digunakan treshold yang paling kecil dari selang yang diberikan oleh model.
48
DAFTAR PUSTAKA [Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2014. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 61 /Menhut-II/2014 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta. Abbaspour, KC, Abbaspour KC. 2011. SWAT-CUP4: SWAT calibration and uncertainty programs – user manual. Eawag: Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology. Arabi M, Frankenberger JR, Engel BA, Arnold JG. 2007. Representation of agricultural conservation practices with SWAT. J Hydrol. Process. (2007) Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR, Haney EB, Neitsch SL. 2011. Soil and Water Assessment Tool: Input/Output File Documentation Version 2009. College of Agricultire and Life Science Texas A&M University. Texas. Arnold JG, Moriasi DN, Gassman PW, Abbaspour KC, White MJ, Srinivasan R, Santhi C, Harmel RD, van Griensven A, Liew MWV, Kannan N, Jha MK. 2012. SWAT: model use, calibration, and validation. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 55(4): 1491-1508. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah & Air. IPB Press. Bogor. Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bahrami A, Emadodin I, Atashi MR, Bork HR. 2010. Land-use change and soil degradation: A case study, North of Iran. Agriculture and Biology Journal of North America. 1(4): 600-605. Chaube UC, Suryavanshi S, Nurzaman L, Pandey A. 2011. Synthesis of flow series of tributaries in upper Betwa basin. Intl J Environ sci. 1(7). Chaudhary A, Mishra SK, Pandey A. 2013. Experimental verification of the effect of slope of runoff and curve numbers. Journal of Indian Water Resources Society. 33(1). Dunjo G, Pardini G, Gispert M. 2004. The role of land use–land cover on runoff generation and sediment yield at a microplot scale in a small Mediterranean catchment. J of Arid Environ. 57: 99–116. Emilda A. 2010. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Respon Hidrologi DAS Cisadane Hulu [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
49
Feyereisen GW, Strickland TC, Bosch DD, Sullivan DG. 2007. Evaluation of SWAT manual calibration and input parameter sensitivity in the little river watershed. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(3): 843−855. Firdaus G. 2012. Analisis Respon Hidrologi terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Sub DAS Lengkong menggunakan Model SWAT [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fitzhugh TW, Mackay DS. 2000. Impacts of input parameter spatial aggregation on an agricultural nonpoint source pollution model. Journal of Hydrology. 236 (2000): 35–53. Galván L, Olías M, Izquierdo T, Cerón JC, de Villarán RF. 2013. Rainfall estimation in SWAT: An alternative method to simulate orographic precipitation. Journal of Hydrology. 509 (2014): 257–265. Gassman PW, Reyes MR, Green CH, Arnold JG. 2007. The soil and water assessment tool: historical development, applications, and future research directions. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(4): 1211-1250. Huang M, Gallichand J, Wang Z, Goulet M. 2006. A modification to the Soil Conservation Service curve number method for steep slopes in the Loess Plateau of China. Hydrol Process. 20: 579– 589. Irsyad F. 2011. Analisis Debit Sugai Cidanau Dengan Aplikasi SWAT [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Junaidi E, Tarigan SD. 2011. Pengaruh Hutan Dalam Pengaturan Tata Air dan Proses Sedimentasi Daerah Aliran Sungai (DAS) : Studi Kasus di DAS Cisadane. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 8(2): 155-176. . 2012. Penggunaan model hidrologi SWAT (soil and water assessment tool) dalam pengelolan DAS Cisadane. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(3): 221-237. Jeong J, Kannan N, Arnold JG, Glick R, Gosselink L, Srininvasan R. 2010. Development and integration of subhourly rainfall-runoff modeling capability within a watershed model. Water Resour Mgmt. 24(15): 45054527. Khoi DN, Suetsugi T. 2014. The responses of hydrological processes and sediment yield to land use and climate change in the be river catchment vietnam. J Hydrol Process. 28: 640-652
50
Kusmana C, Istomo, Wilarso S, Dahlan EN, Onrizal. 2004. Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Pemulihan Kualitas Lingkungan. Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan. 2004 Jun 4; Jakarta, Indonesia. Maalim FK, Melesse AM, Belmont P, Gran KB. 2013. Modeling the impact of land use changes on runoff and sediment yield in the Le Sueur watershed, Minnesota using GeoWEPP. Catena. 107: 35-45. Maharany R, Rauf A, Sabrina T. 2011. Perbaikan sifat tanah kebun kakao pada berbagai kemiringan lahan dengan menggunakan teknik biopori dan mulsa vertikal. J Ilmu Pertanian KULTIVAR. 5 (2) Moriasi DN, Arnold JG, Liew MWV, Bingner RL, Harmel RD, dan Veith TL. 2007. Model evaluation guidelines for systematic quantification of accuracy in watershed simulations. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(3): 885−900. Mubarok Z. 2014. Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulyana N. 2012. Analisis Luas Tutupan Hutan Terhadap Ketersediaan Green Water dan Blue Water di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu dengan Aplikasi Model SWAT [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2011. Soil and Water Assessment Tool: Theoritical Documentation Version 2009. College of Agricultire and Life Science Texas A&M University. Texas. Nunes AN, de Almeida AC, Coelho COA. 2011. Impacts of land use and cover type on runoff and soil erosion in a marginal area of Portugal. J Applied Geography. 31: 687-699. Patil JP, Sarangi A, Singh AK, Ahmad T. 2008. Evaluation of modified CN methods for watershed runoff estimation using a GIS-based interface. Biosystems Engineering. 100 (2008) : 137– 146. Prasetya B, Prijono S, Widjiawati Y. 2012. Vegetasi pohon hutan memperbaiki kualitas tanah andisol-Ngabab. Indonesian Green Technology Journal.1 (1) Pudjiharta A. 2008. Pengaruh pengelolaan hutan pada hidrologi. Info Hutan. 5 (2) : 141-150.
51 Purwanto E, Ruitjer J. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai, Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Di dalam : Agus F, Van Noordwijk M dan Rahayu S, editor. Prosiding Lokakarya; 2004 Peb 25-28; Padang, Indonesia. Rahayuningtyas C, Wu RS, Anwar R, Chiang LC. 2014. Improving AVSWAT Stream Flow Simulation by Incorporating Groundwater Recharge Prediction in the Upstream Lesti Watershed, East Java, Indonesia. Terr Atmos Ocean. 25 (6): 881-892. Ridwansyah I, Pawitan H, Sinukaban N, Hidayat Y. 2014. Watershed modeling with ArcSWAT and SUFI2 In Cisadane catchment area: calibration and validation to prediction of river flow. International Journal of Science and Engineering. 6(2). Rouhani H, Feyen J, Willems P. 2006. Impact of watershed delineations on the SWAT runoff prediction: a case study in the Grote Nete catchment, Flanders, Belgium. Proceedings of the 2006 IASME/WSEAS Int, Conf, on Water Resources, Hydraulics & Hydrology; 2006 May 11-13; Chalkida, Greece. pp36-41 Sanford WE, Selnick DL. 2013. Estimation of evapotranspiration across the conterminous United States using a regression with climate and landcover data. Journal of the American Water Resources Association. 9 (1): 217-230. Santhi C, Arnorld JG, Williams JR, Dugas WA, Srinivasan R, and Hauck LM. 2001. Validation of the SWAT model on a large river basin with point and non-point sources. J American Water Resour Assoc. 37(5): 11691188. Silva GL, Lima HV, Campanha MM, Gilkes RJ, Oliveira TS. 2011. Soil physical quality of Luvisols under agroforestry, natural vegetation and conventional crop management systems in the Brazilian semi-arid region. Geoderma 167-168 (2011) : 61–70. Sukardi S, Warsito B, Kisworo H, Sukiyoto. 2013. River Management in Indonesia. Directorate General of Water Resources, yayasan Air Adhi Eka, and Japan International Cooperation Agency. Jakarta. Tanika L, Wijaya CI, Dwiyanti E, Khasanah N. 2013. Peranan lahan berbasis agroforestri terhadap neraca air di DAS BailoSulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013 “Agroforestri untuk Pangan dan Lingkungan yang Lebih Baik”; 2013 Mei 21; Malang, Indonesia.
52 Taylor M, Mulholland M, Thornburrow D. 2009. Infiltration Characteristics of Soils Under Forestry and Agriculture in the Upper Waikato Catchmen, Environment Waikato Technical Report. Waikato Regional Council New Zealand. Valentin C, Agus F, Alamban F, Boosaner A, Bricquet JP, Chaplot V, de Guzman T, de Rouw A, Janeau JL, Orange D, Phachomphonh K, Phai DD, Podwojewski P, Ribolz O, Silvera N, Subagyono K, ´Baux JPT, Tran DT, Vadari T. 2008. Runoff and sediment losses from 27 upland catchments in Southeast Asia: impact of rapid land use changes and conservation practices. J Agriculture, Ecosystems and Environment. 128: 225–238. Wang G, Yang H, Wang L, Xu Z, Xue B. 2014. Using the SWAT model to assess impact of land use changes on runoff generation in headwaters. J. Hydrol Process. 28: 1032-1042. Wang X, Kannan N, Santhi C, Potter SR, Williams JR, Arnold JG. 2011. Integrating APEX output for cultivated cropland with SWAT simulation for regional modeling. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 54(4): 1281-1298 Yustika RD, Tarigan SD, Hidayat Y, dan Sudadi U. 2012. Simulasi manajemen lahan di das Ciliwung Hulu menggunakan model SWAT. J Informatika Pertanian. 21(2) : 71-79. Van Liew MW, Arnold JG, and Bosch DD. 2005. Problems and potential of autocalibrating a hydrologic model. ASAE. 48 (3) : 1025-1040. Van Liew MW, Veith TL. 2009. Guidelines for Using the Sensitivity Analysis and Auto-calibration Tools for Multi-gage or Multi-step Calibration in SWAT. University of Nebraska. Lincoln Zhang D, Chen X, Yao H, Lin B. 2015. Improved calibration scheme of SWAT by separating wet and dryseasons. J. Ecological Modelling. 301 (2015): 54–61.
53
LAMPIRAN
54 Lampiran 1. Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2003-2011 Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Tanaman
Pemukiman
Tahun 2003 (ha) Pertanian Perkebunan Lahan Kering
1,924.00 8,642.71 18,267.18
Pemukiman
Pertanian Lahan Kering Campur
Sawah
Semak Belukar
Tanah Terbuka
18.66
1,954.30
16.79
186.10
56.91
8,902.51
30.25
1,960.41
746.35
298.98
8.69
21,311.86 5,407.75
12,440.11 6.95 106.26
12,440.11 23,904.18
89.85
63.46
97.88
60,297.46
48.81
217.70
206.70
24,117.84
7,850.10
68,441.54
45,497.91
Semak Belukar
45,827.88 427.00
Tanah Terbuka
31.46
593.10
427.00 675.49
Tubuh Air 1,924.00
8,642.71
18,268.94
5,615.88
Tahun 2011 (ha)
11.64
5,407.75
Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Sawah
Total
Tubuh Air
13,123.06
24,097.91
62,673.31
46,244.25
8,858.35
684.18
1,300.05 503,03
503.03
503,03
190,635.63
55 Lampiran 2. Sub DAS Hasil Deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha Sub DAS
Luas Ha
%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
30.1 32.0 3,194.3 5,540.9 9,595.0 2,354.0 1,963.2 2,383.1 283.0 4,152.2 622.4 2,853.3 1,707.0 326.7 1,273.6 670.9 5,018.5 3,845.1 2,264.1 3,318.6 10,286.6 1,764.6 377.8 2,703.0 3,429.7 2,390.6 8,201.7 9,452.2 4,403.0 2,716.7 13,869.7 2,208.7 13,495.8 7,071.4 8,256.5
0.02 0.02 2.3 3.9 6.8 1.7 1.4 1.7 0.2 2.9 0.4 2.0 1.2 0.2 0.9 0.5 3.5 2.7 1.6 2.3 7.2 1.2 0.3 1.9 2.4 1.7 5.8 6.7 3.1 1.9 9.8 1.6 9.5 5.0 5.8
Total
142,055.96
100
56 Lampiran 3. Nilai CN2 pada slope 5% ID
SWAT_ID
Land Use
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Woods-grass combination fair Row crops - straight row – good Woods-good residential-65% brush-poor Rice Woods-grass combination poor Row crops - straight row - poor Woods-grass combination good
Nilai CN B C 65 76 78 85 55 70 85 90 67 77 79 84 73 82 81 88 58 72
A 43 67 35 77 48 70 57 72 40
D 82 89 77 92 83 88 86 91 79
Lampiran 4. Nilai CN3 pada slope 5% (sebagai input untuk menghitung CN2 berdasarkan slope) ID
SWAT_ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Woods-grass combination fair Row crops - straight row - good Woods-good residential-65% brush-poor Rice Woods-grass combination poor Row crops - straight row - poor Woods-grass combination good
A 63 84 54 90 68 90 76 87 60
Nilai CN B C 82 89 90 94 74 86 94 96 84 90 94 96 88 93 92 95 77 87
D 93 96 90 97 93 97 94 97 91
Nilai CN B C 65 76 78 85 55 70 85 90 67 77 79 84 73 82 81 88 58 72
D 82 89 77 92 83 88 86 91 79
Nilai CN B C 68 79 80 87 59 73 87 91 70 80 79 84 76 84 83 89 62 75
D 84 90 80 93 85 88 88 92 81
Lampiran 5. Nilai CN2 pada slope 0-8% ID
SWAT_ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Woods-grass combination fair Row crops - straight row - good Woods-good residential-65% brush-poor Rice Woods-grass combination poor Row crops - straight row - poor Woods-grass combination good
A 43 67 35 77 48 70 57 72 40
Lampiran 6. Nilai CN2 pada slope 8-15% ID
SWAT_ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Woods-grass combination fair Row crops - straight row – good Woods-good residential-65% brush-poor Rice Woods-grass combination poor Row crops - straight row – poor Woods-grass combination good
A 47 70 39 80 52 70 61 75 44
57 Lampiran 7. Nilai CN2 pada slope 15-25% ID
SWAT_ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Woods-grass combination fair Row crops - straight row – good Woods-good residential-65% brush-poor Rice Woods-grass combination poor Row crops - straight row – poor Woods-grass combination good
A 49 72 41 81 54 70 63 76 46
Nilai CN B C 70 80 82 88 61 75 88 92 72 81 79 84 77 85 84 90 64 76
D 85 91 81 93 86 88 88 93 82
Lampiran 8. Nilai CN2 pada slope 25-40% ID
SWAT_ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Woods-grass combination fair Row crops - straight row - good Woods-good residential-65% brush-poor Rice Woods-grass combination poor Row crops - straight row - poor Woods-grass combination good
A 50 72 41 81 55 70 63 77 46
Nilai CN B C 71 80 82 88 61 75 88 92 72 81 79 84 78 85 85 90 64 77
D 85 91 81 94 86 88 89 93 83
Lampiran 9. Nilai CN2 pada slope >40% ID
SWAT_ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9
HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Woods-grass combination fair Row crops - straight row - good Woods-good residential-65% brush-poor Sawah Woods-grass combination poor Row crops - straight row - poor Woods-grass combination good
A 50 73 41 81 55 70 63 77 47
Nilai CN B C 71 80 82 88 61 75 88 92 73 81 79 84 78 86 85 90 64 77
Lampiran 10. Nilai GW_REVAP ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SWAT_ID HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
GW_REVAP 0.07 0.03 0.1 0.02 0.03 0.02 0.05 0.03 0.07
D 86 91 81 94 86 88 89 93 83
58 Lampiran 11. Nilai OV_N ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SWAT_ID HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP
Land Use Bermudagrass Conventional tillage, no residue Bermudagrass no till, no residue dense grass fallow, no residue No till, 2,9 t/ha residue Conventional tillage, no residue Bermudagrass
Nilai OV_N 0.35 0.08 0.41 0.05 0.2 0.011 0.3 0.09 0.35
Lampiran 12. Nilai CH_N(2) Nilai CH_N(2) 0.1 0.04
Sub DAS 3, 22, 23, 24, 25, 26 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21
Lampiran 13. Nilai CH_K(2) Nilai CH_K(1) 0.04 0.025
Sub DAS 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 3, 22, 23, 24, 25, 26
59 Lampiran 14. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 1) Lapisan 1
Jenis Tanah
Jumlah Lapisan
Kelas Hidrologi Tanah
Kedalaman Tanah (mm)
TTTD
3
A
1500
Kedalaman Lapisan (mm) 200
TTDT TDHH
4 4
D B
1500 1500
TDTE TDDT
2 3
C C
Bobot Isi (g/cm3)
Kadar Air Tersedia
Permeabilitas (mm/jam)
C-org (%)
Klei (%)
Debu (%)
Pasir (%)
Batuan (%)
Albedo
Erodibilitas
0.9
0.21
29.7
4.7
23
51
26
0
0.13
0.21
400 300
1.19 1
0.28 0.27
79.4 69.7
3.7 4.1
84 66
12 20
4 14
0 0
0.13 0.13
0.07 0.09
600 1150
300 400
1.1 1.22
0.17 0.13
21 34.3
2.3 1.3
47 60
43 16
10 24
0 0
0.13 0.13
0.43 0.18
TDET
3
A
1200
250
0.91
0.51
76.8
4.8
42
38
20
0
0.13
0.21
TDHT TDTT
2 3
A C
600 1000
200 230
1.17 1.05
0.22 0.16
16.4 34.3
2.2 1.7
54 60
41 15
6 25
0 0
0.13 0.13
0.36 0.11
TETT TTTE
2 3
C B
600 1200
200 200
1.11 1.13
0.15 0.17
14.9 18.35
1.8 1.4
36 39
20 6
44 56
0 0
0.13 0.13
0.23 0.12
TTET TTAT
2 3
C B
500 1000
200 200
1.07 1.19
0.14 0.1
28.8 23.87
3.1 1.2
42 56
20 31
38 14
0 0
0.13 0.13
0.21 0.28
TTUT
4
C
1200
200
1.04
0.37
44.4
3.1
52
27
21
0
0.13
0.15
60 Lampiran 15. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 2) Jenis Tanah TTTD
Kedalaman Lapisan (mm) 600
Bobot Isi (g/cm3) 0.9
Kadar Air Tersedia 0.21
Permeabilitas (mm/jam) 29.7
TTDT
700
1.12
0.13
24.8
TDHH
700
1
0.33
TDTE
600
1.3
TDDT
800
TDET
Lapisan 2 C-org (%) 2.9
Klei (%) 56
Debu (%) 24
Pasir (%) 20
Batuan (%) -
1.6
88
10
2
-
34.2
2.8
70
16
14
0.21
10
0.2
24
43
1.14
0.13
34.3
1.2
48
550
0.93
0.4
76.8
5.0
TDHT
600
1.07
0.11
40.1
TDTT
470
1.09
0.13
TETT
600
1.22
TTTE
430
TTET
Albedo
Erodibilitas
0.13
0.12
0.13
0.08
-
0.13
0.09
33
-
0.13
0.53
17
35
-
0.13
0.25
38
47
15
-
0.13
0.16
1.2
55
41
4
-
0.13
0.29
30.3
1.3
48
18
35
-
0.13
0.15
0.13
14.9
0.4
40
20
40
-
0.13
0.25
1.13
0.24
15.26
0.6
47
8
45
-
0.13
0.14
500
1.11
0.09
21.3
2.1
49
20
31
-
0.13
0.26
TTAT
420
1.09
0.09
23.87
0.9
55
35
11
-
0.13
0.38
TTUT
500
1.15
0.22
21.51
1.4
53
36
12
-
0.13
0.29
61 Lampiran 16. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 3) Lapisan 3 Jenis Tanah TTTD
Kedalaman Lapisan (mm) 1500
Bobot Isi (g/cm3) 0.9
Kadar Air Tersedia 0.21
Permeabilitas (mm/jam) 29.7
TTDT
1100
1.14
0.18
TDHH
1050
1.06
0.36
C-org (%)
Klei (%)
Debu (%)
Pasir (%)
Batuan (%)
Albedo
Erodibilitas
1.2
41
32
27
-
0.13
0.25
46.1
1.5
92
7
2
-
0.13
0.06
19.4
1.6
69
18
14
-
0.13
0.16
TDTE
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.13
-
TDDT
1150
1.15
0.13
34.3
1.5
55
16
29
-
0.13
0.2
TDET
1200
0.93
0.33
30.8
2.6
19
59
21
-
0.13
0.41
TDHT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.13
-
TDTT
1000
1.1
0.12
30.3
1.1
59
18
23
-
0.13
0.23
TETT
-
-
-
-
-
0
0
0
-
0.13
-
TTTE
1200
1.13
0.18
14.71
0.4
40
5
55
-
0.13
0.14
TTET
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.13
-
TTAT
1000
1.17
0.09
23.87
0.6
64
29
7
-
0.13
0.36
TTUT
750
1.23
0.19
87.8
1.2
57
33
9
-
0.13
0.28
62 Lampiran 17. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 4) Jenis Tanah
Lapisan 4 Permeabilitas C-org (mm/jam) (%) -
TTTD
Kedalaman Lapisan (mm) -
Bobot Isi (g/cm3) -
TTDT
1500
0.8
0.19
28.3
TDHH
1500
1.04
0.31
Kadar Air Tersedia -
Klei (%) -
Debu (%) -
Pasir (%) -
Batuan (%) -
1.12
85.4
12.7
1.9
10.3
1.27
65.76
17.88
Albedo
Erodibilitas
-
-
0
0.13
0.09
16.36
0
0.13
0.18
TDTE
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TDDT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TDET
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TDHT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TDTT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TETT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TTTE
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TTET
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TTAT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TTUT
1200
1.27
0.22
14.5
0.53
65.76
17.88
16.36
0
0.13
0.18
63 Lampiran 18. Data observasi dan data simulasi model tahun 2011 Tanggal 1/1/2011 1/2/2011 1/3/2011 1/4/2011 1/5/2011 1/6/2011 1/7/2011 1/8/2011 1/9/2011 1/10/2011 1/11/2011 1/12/2011 1/13/2011 1/14/2011 1/15/2011 1/16/2011 1/17/2011 1/18/2011 1/19/2011 1/20/2011 1/21/2011 1/22/2011 1/23/2011 1/24/2011 1/25/2011 1/26/2011 1/27/2011 1/28/2011 1/29/2011 1/30/2011 1/31/2011 2/1/2011 2/2/2011 2/3/2011 2/4/2011 2/5/2011 2/6/2011 2/7/2011 2/8/2011 2/9/2011 2/10/2011 2/11/2011 2/12/2011 2/13/2011 2/14/2011 2/15/2011 2/16/2011 2/17/2011 2/18/2011 2/19/2011 2/20/2011 2/21/2011 2/22/2011 2/23/2011 2/24/2011 2/25/2011 2/26/2011 2/27/2011 2/28/2011 3/1/2011
Data Observasi 57.6 55.3 61.5 82.8 57.6 118.1 98.7 66.8 113.8 347.6 148.7 99.6 102.9 56.1 78.9 135.1 92.2 73.3 83.6 76.1 57.6 58.7 61.5 63.9 54.3 49.8 47.8 49.8 81.4 49.1 61.3 57.4 52.8 65.5 58.9 66.8 106.8 89.9 126.5 59.2 49.8 53.3 50 42.3 47.6 76.1 57.9 58.7 45.6 44.4 43.7 39.2 37.1 46.8 50.5 49.3 58.2 54.3 226.6 255.6
Dara Simulasi 25.28 50.05 69.82 91.55 69.74 87.32 93.31 39.43 146.3 338.9 89.93 59.43 148.4 48.62 89.29 122.1 66.74 71.76 130.5 61.89 53.84 42.23 71.37 35.66 29.44 31.3 30.35 124.8 90.26 52.43 37.09 27.35 37.03 51.24 46.96 95.82 140.8 113.7 81.51 35.61 29.58 26.75 24.98 22.79 75.68 98.88 31.34 36.13 24.24 28.71 22.74 20.18 32.12 81.02 24.52 23.94 87.84 152.7 208.1 250
Tanggal 3/2/2011 3/3/2011 3/4/2011 3/5/2011 3/6/2011 3/7/2011 3/8/2011 3/9/2011 3/10/2011 3/11/2011 3/12/2011 3/13/2011 3/14/2011 3/15/2011 3/16/2011 3/17/2011 3/18/2011 3/19/2011 3/20/2011 3/21/2011 3/22/2011 3/23/2011 3/24/2011 3/25/2011 3/26/2011 3/27/2011 3/28/2011 3/29/2011 3/30/2011 3/31/2011 4/1/2011 4/2/2011 4/3/2011 4/4/2011 4/5/2011 4/6/2011 4/7/2011 4/8/2011 4/9/2011 4/10/2011 4/11/2011 4/12/2011 4/13/2011 4/14/2011 4/15/2011 4/16/2011 4/17/2011 4/18/2011 4/19/2011 4/20/2011 4/21/2011 4/22/2011 4/23/2011 4/24/2011 4/25/2011 4/26/2011 4/27/2011 4/28/2011 4/29/2011 4/30/2011
Data Observasi 95.2 75 96.9 117.1 100.2 76.9 79.7 80.8 81.7 65 53 44.2 46.6 48.8 46.4 48.1 49.1 61.3 51.5 45.4 50.3 91.7 59.7 165 276.9 145.8 146.7 99.3 203.5 184.5 414.1 182.8 103.8 85.1 110.4 66.3 54.6 60.2 54.6 45.4 53 58.9 56.4 53.8 56.4 46.1 46.6 45.4 57.4 57.4 55.3 65 70.1 49.8 53 67.4 74.7 73.3 141.5 93.1
Dara Simulasi 69.8 87.25 60.14 125.8 51.48 51.86 50.38 55.11 47.92 56.62 37.98 29.73 37.55 23.25 29.03 20.58 80.74 26.85 23.74 22.7 34.1 83.99 44.44 150.4 232.4 160.9 113.3 127.6 200 144.7 511.9 205.3 113.4 116.8 149 42.96 39.45 29.96 31.78 44.33 29.89 54.74 52.96 76.82 39.32 30.78 36.26 47.34 27.63 25.27 30.48 49.18 38.57 24.14 23.99 53.71 130.2 39.93 82.72 93.77
64 Lampiran 19. Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Tanggal 5/1/2011 5/2/2011 5/3/2011 5/4/2011 5/5/2011 5/6/2011 5/7/2011 5/8/2011 5/9/2011 5/10/2011 5/11/2011 5/12/2011 5/13/2011 5/14/2011 5/15/2011 5/16/2011 5/17/2011 5/18/2011 5/19/2011 5/20/2011 5/21/2011 5/22/2011 5/23/2011 5/24/2011 5/25/2011 5/26/2011 5/27/2011 5/28/2011 5/29/2011 5/30/2011 5/31/2011 6/1/2011 6/2/2011 6/3/2011 6/4/2011 6/5/2011 6/6/2011 6/7/2011 6/8/2011 6/9/2011 6/10/2011 6/11/2011 6/12/2011 6/13/2011 6/14/2011 6/15/2011 6/16/2011 6/17/2011 6/18/2011 6/19/2011 6/20/2011 6/21/2011 6/22/2011 6/23/2011 6/24/2011 6/25/2011 6/26/2011 6/27/2011 6/28/2011 6/29/2011
Data Observasi 246.4 70.3 58.4 56.1 74.4 106.2 116.2 127.1 78.6 57.6 51.8 52.3 69.8 57.6 60.5 45.6 45.9 55.6 46.8 48.6 58.2 53 80 74.4 60.2 62.6 76.1 87.6 57.1 100.5 58.9 72.5 102.3 57.4 52.3 55.3 52.3 49.5 61 51.5 53.3 48.1 63.4 58.9 49.3 52 50 44.7 51.5 40.6 52 47.1 48.8 46.8 50 50.3 43.7 41.3 48.1 63.4
Dara Simulasi 253.2 40.36 32.19 46.21 36.63 101.8 81.79 110.6 146.8 33.91 25.37 28.67 49.95 31.52 32.14 24 26.58 35.82 25.76 20.55 24.65 54.8 89.8 93.75 48.19 44.4 118 31.2 38.51 29.08 22.09 115.5 111.6 27.62 21.87 18.65 18.85 17.49 16.11 14.76 15.82 19.98 62.96 19.59 17.54 38.14 17.22 14.33 13.28 12.48 12.15 11.47 12.24 11.24 13.28 11.18 10.78 42.32 29.46 44.54
Tanggal 6/30/2011 7/1/2011 7/2/2011 7/3/2011 7/4/2011 7/5/2011 7/6/2011 7/7/2011 7/8/2011 7/9/2011 7/10/2011 7/11/2011 7/12/2011 7/13/2011 7/14/2011 7/15/2011 7/16/2011 7/17/2011 7/18/2011 7/19/2011 7/20/2011 7/21/2011 7/22/2011 7/23/2011 7/24/2011 7/25/2011 7/26/2011 7/27/2011 7/28/2011 7/29/2011 7/30/2011 7/31/2011 8/1/2011 8/2/2011 8/3/2011 8/4/2011 8/5/2011 8/6/2011 8/7/2011 8/8/2011 8/9/2011 8/10/2011 8/11/2011 8/12/2011 8/13/2011 8/14/2011 8/15/2011 8/16/2011 8/17/2011 8/18/2011 8/19/2011 8/20/2011 8/21/2011 8/22/2011 8/23/2011 8/24/2011 8/25/2011 8/26/2011 8/27/2011 8/28/2011
Data Observasi 43.9 65.8 52.5 59.7 46.8 51.5 52.5 44.9 52 46.1 45.4 43.5 39.4 37.8 63.1 53 40.1 49.3 45.1 39 149.4 94.9 51.8 48.1 51 47.3 47.1 41.8 51.8 46.8 48.8 45.1 43 40.8 41.1 37.8 33 31.5 32.4 31.3 28.9 26.7 23.8 21.2 20.8 22 35.3 40.8 42.3 30.2 22.4 42.5 45.9 44.7 32.4 25.5 16.4 13.1 10.5 9.9
Dara Simulasi 21.12 33.71 38.39 26.14 14.72 13.65 44.98 48.2 20.79 14.89 12.39 11.17 23.55 18.19 12.83 10.81 12.58 10.39 9.402 44.68 170.8 42.69 17.35 14.92 11.79 10.39 15.26 10.1 12.88 12.84 9.502 12.48 9.61 8.388 8.002 7.345 7.066 6.823 7.849 6.949 6.509 6.161 6.017 6.678 6.121 6.375 5.924 5.627 5.471 5.256 15.3 36.32 8.975 6.71 5.853 5.313 5.028 6.702 5.261 4.901
65 Lampiran 20. Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Tanggal 8/29/2011 8/30/2011 8/31/2011 9/1/2011 9/2/2011 9/3/2011 9/4/2011 9/5/2011 9/6/2011 9/7/2011 9/8/2011 9/9/2011 9/10/2011 9/11/2011 9/12/2011 9/13/2011 9/14/2011
Data Observasi 9.1 8.4 11.2 14.7 21.8 25 32.8 31 32.1 19.2 11.2 9.2 7.3 6.6 5.9 5.3 7.8
Dara Simulasi 5.433 5.212 4.888 10.1 5.017 8.317 6.285 7.962 5.236 5.205 4.596 4.218 6.143 3.82 3.712 3.65 3.728
Tanggal 9/15/2011 9/16/2011 9/17/2011 9/18/2011 9/19/2011 9/20/2011 9/21/2011 9/22/2011 9/23/2011 9/24/2011 9/25/2011 9/26/2011 9/27/2011 9/28/2011 9/29/2011 9/30/2011
Data Observasi 13.8 43.7 39.9 24.4 17.3 25.7 43.9 30.6 27.6 24.2 24.2 18.1 18.2 17.7 19 18.8
Dara Simulasi 31.02 59.7 16.43 9.367 8.864 6.927 10.1 5.312 4.512 3.988 3.588 4.826 3.757 3.502 11.55 4.824
Lampiran 21. Karakterisik hidrologi hasil output model tahun 2011 Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Tanpa Skenario 498 466 330 440 574 592 750 414 440 780 613 647 770 1147 624 851 550 945 1075 1117 1315 176 128 234 90 293
Skenario 1 495 456 328 418 553 553 615 354 450 614 509 595 667 863 620 721 401 747 1013 943 1031 80 113 208 66 150
Aliran Permukaan (mm) Skenario 2 Skenario 3 410 494 414 452 312 324 444 431 376 553 340 554 479 652 195 334 400 443 367 702 443 560 434 595 502 697 738 1044 454 633 557 766 421 495 819 848 754 976 924 972 808 1161 144 133 106 100 156 194 87 79 104 194
Skenario 4 310 282 233 274 384 398 496 227 326 503 501 549 520 715 454 478 359 757 667 911 944 53 104 127 53 140
Skenario 5 232 293 278 224 159 181 211 103 226 214 361 406 206 253 352 143 380 948 342 881 835 69 102 76 89 134
66 Lampiran 22. Hasil sedimen hasil output model pada tahun 2011 Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Tanpa Skenario 84.8 91.4 52.8 118.5 167.6 238.9 256.4 138.3 124.2 181.8 171.2 207.9 254.9 504.0 160.0 397.7 227.5 180.5 394.8 202.3 429.1 44.4 27.7 65.2 6.5 163.1
Sediment Yield (t/ha) Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 94.6 48.4 94.7 92.3 69.2 90.7 54.2 49.7 53.7 115.4 118.5 119.2 184.1 29.1 184.1 259.0 35.1 258.7 206.8 82.4 222.8 121.6 21.8 86.0 133.8 88.7 130.9 151.8 7.2 210.5 137.3 48.8 174.8 213.1 57.9 213.5 246.1 92.5 267.2 360.5 150.2 441.6 259.9 85.4 275.1 342.1 130.0 335.8 104.7 74.8 138.7 100.8 106.2 128.7 405.7 127.3 305.6 146.4 105.8 115.8 306.7 22.2 337.3 9.9 30.4 13.8 21.1 14.9 8.8 76.1 39.3 55.0 4.5 6.5 4.3 65.9 6.1 70.2
Skenario 4 11.4 19.6 18.6 25.3 18.3 38.4 37.8 11.7 35.3 22.9 82.6 118.3 54.8 77.6 59.1 45.0 102.5 180.8 67.3 103.8 221.8 5.6 16.4 8.9 6.5 42.0
Skenario 5 6.2 9.8 15.8 14.0 4.1 5.6 17.3 6.9 13.6 13.2 6.0 39.5 9.6 39.5 19.0 14.5 31.9 51.4 14.2 46.6 38.1 2.3 14.7 6.1 3.4 17.9
67 Lampiran 23. Luas penggunaan lahan pada setiap sub DAS Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
PLKC % Sub Ha DAS 2,006 62 1,589 29 888 9 551 23 1,665 85 1,783 75 2,616 58 9,343 65 1,321 32 1,791 63 1,433 39 1,765 35 1,857 82 2,576 78 5,239 51 1,165 66 2,873 35 1,370 57 1,801 22 4,125 44 795 29 210 10 8,844 66 2,563 31
PMKN % Sub Ha DAS 442 8 649 7 147 6 -
HTTN % Sub Ha DAS 375 7 2,691 28 435 18 1,009 23 1,758 12 497 12 798 28 1,927 19 502 6 282 10 3,517 43 2,112 22 385 17 1,558 22 456 6
SMBK % Sub Ha DAS 772 14 163 7 343 14 246 5 631 15 2,218 61 2,520 50 407 18 -
PADI % Sub Ha DAS 1,251 38 1,521 27 3,710 39 850 36 298 15 244 10 2,230 15 1,121 27 1,240 12 2,776 34 1,067 39 2,128 26 945 10 616 23 1,438 65 3,459 26 3,101 44 -
PTLK % Sub Ha DAS 841 15 967 10 355 15 610 14 1,148 8 583 14 265 9 743 22 599 34 873 37 868 32 494 6
HLKS % Sub Ha DAS 690 7 279 10 1,193 9 1,331 19 4,743 57
PKBN % Sub Ha DAS 734 15 1,881 18 2,060 25 1,050 39 756 9 2,270 24 175 8 -
HLKP % Sub Ha DAS 304 11 159 6 1,081 15 -
68 Lampiran 24. Luas jenis tanah pada setiap sub DAS Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
TTTD Ha % 306 14 149 2 -
TDHH Ha % 360 7 3,991 42 403 17 399 10 1,619 20 1,189 44 922 11 426 5 936 34 1,560 22 -
TDTE Ha % 702 13 1643 17 434 18 494 12 -
TDDT Ha % 103 5 109 5 508 11 4,408 30 2,615 92 8,484 82 2,003 24 729 27 2,850 35 3,670 39 -
TDET Ha % 1,968 24 2,262 27
TDHT Ha % 572 21 748 34 647 5 3,300 47 4,070 49
TDTT Ha % 3,580 25 105 1 1,044 13 89 3 2,581 31 2,971 31 1,208 44 548 25 7,264 54 1,198 17 1,925 23
TETT Ha % 236 3 607 27 494 7 -
TTTE Ha % 1,125 35 399 7 711 36 222 9 419 9 416 11 384 17 1,026 10 785 10 428 16 372 5 -
TTET Ha % 253 8 1,149 59 1,714 72 3,555 79 1,229 8 573 14 239 8 2,289 63 3,581 71 1,881 83 1,562 47 671 7 1,535 87 -
TTAT Ha % 267 5 3,545 37 779 33 1,142 28 111 2 -
TTUT Ha % 1,878 58 3,812 69 416 4 738 31 324 14 5,262 36 1,543 37 946 26 1,327 26 1,757 53 230 13 267 10 2,391 100 1,848 23 2,385 25 5,585 41 -
TTDT Ha % 555 7 -
69 Lampiran 25. Luas jenis tanah pada setiap sub DAS berdasarkan kelas hidrologi tanah Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
A Ha 1,968 572 1,054 647 3,448 6,331
% 24 21 48 5 49 77
B Ha 1,125 1,026 7,536 1,182 711 222 419 1,542 416 111 384 1,026 2,404 1,617 922 426 936 1,932 1,925
C % 35 19 79 50 36 9 9 37 11 3 17 10 29 60 11 5 34 27 23
Ha 2,131 4,514 2,059 1,172 1,252 2,148 4,063 14,479 2,611 2,853 3,236 4,908 1,881 3,319 9,260 1,765 3,283 1,086 2,391 7,280 9,026 1,208 1,155 12,849 1,691 -
D % 65 81 21 50 64 91 91 100 63 100 89 97 83 100 90 100 40 40 100 89 95 44 52 95 24 -
Ha 555 -
% 7 -
70 Lampiran 26. Luas kemiringan lereng pada setiap sub DAS Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
0-8 % Ha 2,141 2,639 3,236 1,169 1,140 941 1,042 2,761 1,982 796 1,450 1,902 724 610 4,551 378 1,458 609 292 1,596 1,181 44 1,513 188 376
% 66 48 34 50 58 40 23 19 48 28 40 38 32 18 44 21 18 23 12 19 12 2 11 3 5
8-15 % Ha 909 1,956 2,539 725 661 971 1,618 4,378 1,393 1,205 1,488 2,104 1,014 1,184 4,205 743 1,943 658 702 2,521 2,301 283 291 3,178 551 1,305
% 28 35 26 31 34 41 36 30 34 42 41 42 45 36 41 42 24 24 29 31 24 10 13 24 8 16
15-25 % Ha % 206 6 828 15 1,665 17 224 10 162 8 449 19 1,410 31 4,113 28 518 12 784 27 713 20 1,013 20 526 23 1,209 36 1516 15 542 31 2,242 27 495 18 956 40 2,308 28 3,103 33 678 25 629 28 4,589 34 1,437 20 2,296 28
25-40 % Ha % 118 2 1,209 13 139 6 9 0 412 9 2,143 15 112 3 69 2 316 10 14 0 102 6 1,892 23 576 21 440 18 1,318 16 2,083 22 1,000 37 713 32 3,280 24 2,169 31 2,496 30
> 40 % Ha 946 97 1,085 148 676 365 458 755 531 935 2,726 1,783
% 10 4 7 4 8 13 6 28 24 7 39 22
71 Lampiran 27 Nilai CN untuk contouring dan strip cropping
Lampiran 28. Nilai P untuk cntouring dan strip cropping
72
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 21 April 1990 dari pasangan Bapak H, Daim dan Ibu Hj, Sadiyah, Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara, Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Kedung Krisik Kota Cirebon pada tahun 2001, Kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di SMPN 9 Kota Cirebon dan lulus pada tahun 2004, Penulis melanjutkan sekolah ke SMAN 9 Kota Cirebon dan lulus pada tahun 2007, Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Pada tahun 2012 penulis berhasil menyelesaikan studi program sarjana dan melanjutkan studi magister di IPB pada program studi Ilmu Tanah dengan biaya dari Beasiswa Unggulan DIKTI.