Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004
HUBUNGAN TRANSPORTASI DAN HARGA LAHAN UNTUK LOKASI PERUMAHAN DAN BISNIS DI KOTA BANDUNG Oleh : Najid Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Teknik Sipil ITB Gd.Lab.Tek.I Lantai 2 Jl.Ganesha 10 Bandung –40132 Telp./Fax : (022) 2502350 e-mail :
[email protected]
Prof.Ir.Ofyar Z.Tamin,MSc.PhD. Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil ITB Gd.Lab.Tek.I Lantai 2 Jl.Ganesha 10 Bandung –40132 Telp./Fax : (022) 2502350 e-mail :
[email protected]
Ir.Ade Sjafruddin,MSc.PhD. Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil ITB Gd.Lab.Tek.I Lantai 2 Jl.Ganesha 10 Bandung –40132 Telp./Fax : (022) 2502350 e-mail :
[email protected]
Ir.Idwan Santoso,MSc.,PhD. Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil ITB Gd.Lab.Tek.I Lantai 2 Jl.Ganesha 10 Bandung –40132 Telp./Fax : (022) 2502350 e-mail :
[email protected]
Abstrak Sebagaimana diketahui bahwa peningkatan pembangunan prasarana menyebakan peningkatan harga lahan, peningkatan harga lahan akan mempengaruhi perubahan guna lahan, perubahan guna lahan akan meningkatkan bangkitan pergerakan yang akhirnya dapat menurunkan aksesibilitas ke lahan tersebut sehingga diperlukan pembangunan prasarana kembali, siklus ini seperti tidak terputus untuk jangka waktu tertentu yang dipengaruhi kondisi dari masing-masing kota. Pada makalah ini dibuat model untuk menggambarkan hubungan antara transportasi yang dalam hal ini digambarkan oleh aksesibilitas, dalam mempengaruhi harga lahan. Dalam penelitian ini juga dilihat atribut lahan lainnya yang terpilih dan pengaruh atribut tersebut pada harga lahan. Model didasarkan pada cross sectional data yang didasarkan data hasil survei dan data dari kantor pajak PBB, yaitu dengan mengoreksi harga lahan dari NJOP PBB dengan harga lahan yang didapatkan dari hasil survei di lapangan. Pendekatan analisis data yang digunakan adalah metode analisis Regresi Linier. Penelitian ini didasarkan pada pendekatan data sekunder dan data survei serta hanya dilakukan untuk guna lahan pemukiman dan lahan bisnis yang terdiri dari guna lahan perkantoran dan pertokoan. Lahan yang banyak digunakan untuk perdagangan (pertokoan) biasanya digunakan juga untuk perkantoran, sehingga model harga lahan untuk perkantoran dan pertokoan disatukan dalam satu model dan disebut model harga lahan lokasi bisnis. Dari hasil analisis data dengan metode regeresi linier didapatkan model penentuan harga lahan untuk lokasi pemukiman dan bisnis. Dari perbandingan harga lahan hasil model dengan harga lahan hasil survei untuk lokasi pemukiman dan bisnis didapatkan perbedaan atau deviasi rata-ratanya di bawah 10% untuk masing-masing hasil model terhadap hasil surveinya. Kata kunci : Guna Lahan, aksesibilitas dan harga lahan.
1.
Latar Belakang
Guna lahan merupakan pusat aktifitas atau tempat terjadinya sekumpulan suatu aktifitas tertentu. Kebutuhan beraktifitas menuntut efisiensi sehingga menyebabkan terjadinya kebutuhan transportasi, oleh karena itu kebutuhan transportasi disebut derived demand atau kebutuhan turunan yaitu kebutuhan yang timbul karena adanya kebutuhan lain atau kebutuhan beraktifitas. Kebutuhan beraktifitas dilayani oleh sistem kegiatan sedangkan kebutuhan transportasi dilayani 1
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004 oleh sistem jaringan. Interaksi antara sistem guna lahan dengan sistem jaringan disebut dengan sistem pergerakan. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kebutuhan transportasi akan mempengaruhi kebutuhan beraktifitas, maka dengan semakin tingginya kebutuhan beraktifitas maka kebutuhan akan transportasi juga semakin tinggi sehingga sistem pergerakan juga semakin tinggi. Meningkatnya sistem kegiatan jika tidak diimbangi dengan peningkatan sistem jaringan maka dapat menyebabkan meningkatnya konflik atau kemacetan lalu lintas sehingga fungsi pelayanan jalan menjadi menurun. Untuk menjaga sistem pelayanan jalan agar tetap baik perlu dilakukan peningkatan prasarana jalan baik kearah melebar maupun kearah memanjang maka biaya atau waktu tempuh antara pusat aktifitas yang terkait semakin murah atau semakin kecil yang berarti daya hubung antara dua lokasi sebagai pusat aktifitas tersebut semakin baik. Daya hubung biasanya dinyatakan dengan dengan istilah aksesibilitas. Peningkatan aksesibilitas ke suatu lokasi sebagai pusat aktifitas akan meningkatkan nilai atau harga lahan pada lokasi aktifitas tersebut. Peningkatan harga lahan akan mempengaruhi demand pada lahan tersebut yang memungkinkan terjadinya perubahan guna lahan pada lokasi tersebut, sehingga kemudian timbul permasalahan ketersediaan lahan karena lahan-lahan yang diperuntukan dibangun tetapi karena aksesibilitasnya kurang baik maka tidak pernah terbangun sementara lahan yang sudah padat karena aksesibilitasnya cukup baik akan menjadi semakin padat bahkan dapat beralih fungsi menjadi guna lahan yang bersifat lebih komersial. Masalah ketersediaan lahan semakin parah dengan adanya kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu dalam rencana kota, pada saat akan diimplementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya. Demikian pula pembangunan-pembangunan yang dilakukan masyarakat kota sering tidak sesuai dan/atau searah dengan apa yang telah direncanakan dalam rencana kota oleh karena masalah ketersediaan lahan. (Parengkuan,1991) Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang kemudian disahkan pada evaluasi rencana berikutnya (Winarso, 1995). Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering pula menyulut ketidak puasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan rencana yang telah diketahui masyarakat. Perubahan juga mempunyai dampak yang besar terhadap pengeluaran publik, terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih komersial seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran dan lain sebagainya. Seperti telah diuraikan di atas kondisi aksesibilitas suatu lokasi akan mempengaruhi nilai atau harga lahan pada lokasi tersebut, nilai atau harga lahan juga dipengaruhi oleh guna lahan pada lokasi tersebut sehingga guna lahan dan harga lahan menjadi dua hal yang saling terkait atau saling berhubungan secara langsung. Sementara kondisi nilai atau harga lahan berdasarkan harga pasar yang umumnya terjadi pada kota-kota di Indonesia dipengaruhi juga oleh harga yang ditentukan oleh nilai jual obyek pajak lahan yang tertera pada pajak bumi dan bangunan (PBB). Harga lahan yang tertera pada pajak bumi dan bangunan sering tidak konsisten, kadangkali harga lahan pada PBB mendekati harga pasar tapi sering harga lahan pada PBB jauh berbeda dari harga pasarnya. Sedangkan harga pasar biasanya mengikuti guna lahannya atau sesuai dengan pembentukan lahannya. Bahkan menurut Parengkuan (1991), hasil analisis menunjukkan bahwa pajak bangunan lebih mempunyai
2
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004 hubungan dengan pembentukan lahan kota dibandingkan dengan pajak bumi untuk kasus kotamadya Bandung. Dengan melihat adanya hubungan antara harga lahan dengan guna lahan dan adanya hibungan antara guna lahan dengan kebutuhan transportasi, sedangkan harga lahan menurut pasar dapat dipengaruhi oleh harga lahan yang tertera pada pajak bumi dan bangunan maka seharusnya untuk mengendalikan permasalahan pengendalian lahan kota dapat digunakan pajak lahan kota atau Pajak Bumi dan Bangunan disingkat PBB sebagai salah satu instrumen perangkat kebijaksanaan lahan kota. Jika PBB akan digunakan sebagai perangkat kebijakan lahan kota yang akan mempengaruhi demand dan suplai transportasi maka perlu dibuat model untuk menentukan harga lahan yang sesuai dengan demand suplai dan menggambarkan kondisi perkembangan guna lahan dan aksesibilitas pada lahan di lokasi yang bersangkutan. Untuk itu pada penelitian ini dicari faktorfaktor atau atribut-atribut yang mempegaruhi harga lahan dan bagaimana atribut-atribut tersebut mempengaruhi harga lahan dalam suatu bentuk pemodelan. Penelitian harga lahan ini dibatasi pada harga lahan untuk guna lahan pemukiman dan lahan bisnis yang terdiri dari pertokoan dan perkantoran.
2.
Tujuan Penelitian -
3.
Menjangkau secara lebih luas atribut-atribut yang mempengaruhi harga lahan. Membuat model harga lahan untuk lokasi pemukiman dan bisnis. Membandingkan model harga lahan yang dibuat dengan model harga lahan yang ada.
Tinjauan Pustaka
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan menghasilkan sistem pergerakan yang merupakan umpan balik bagi sistem kegiatan dan sistem jaringan. Interaksi tersebut dikontrol oleh sistem kelembagaan, interaksi atau hubungan antara masing-masing sistem tersebut membentuk sistem yang lebih besar lagi yang dikenal dengan sistem transportasi makro. Untuk lebih jelasnya sistem transportasi makro tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini :
Sistem Kegiatan
Sistem Jaringan
Sistem Pergerakan Sistem Kelembagaan
Gambar 1. Sistem Transportasi Makro (Tamin ,2000) Sistem kegiatan pada sistem makro tersebut di atas dipengaruhi oleh guna lahan, dimana guna lahan ditentukan oleh alokasi penduduk dan alokasi aktifitas seperti bisnis/komersial, industri, sekolah dan lain-lain. Sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pergerakan akan saling 3
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004 mempengaruhi, perubahan pada sistem kegiatan akan mempengaruhi sisten jaringan melalui perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan akan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu sistem pergerakan memegang peranan penting dalam menampung pergerakan agar tercipta pergerakan yang lancar yang akhirnya juga pasti mempengaruhi kembali sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada dalam bentuk aksesibilitas dan mobilitas. Ketiga sistem ini akan berinteraksi dalam sistem transportasi makro (Tamin,O.Z.,2000). Interaksi antara guna lahan dan transportasi membentuk suatu siklus yang tidak terputus sebagaimana digambarkan pada gambar 2 di bawah ini. Peningkatan Jalan Penurunan LOS
Peningkatan Aksesibilitas
Peningkatan Konflik lalu lintas
Peningkatan Nilai Lahan
Peningkatan Bangkitan Perjalanan
Perubahan Guna Lahan
Gambar 2. Siklus Interaksi Guna Lahan dan Transportasi (Stover, 1988) Dari gambar 2 di atas dapat dilihat alur siklus dari peningkatan bangkitan perjalanan sampai kepada peningkatan jalan telah banyak dieksplorasi atau diteliti sedangkan alur siklus dari peningkatan jalan sampai kepada perubahan guna lahan masih kurang penelitiannya terutama penelitian dan aplikasinya pada kota studi atau kota Bandung. Perkembangan kota Bandung sebagai kota besar di Indonesia telah mengarah pada tumbuhnya pusat-pusat kegiatan atau aktifitas baru, hal ini dibuktikan dengan perkembangan kota yang mengarah pada kondisi polisentrisitas (Kombaitan,1999). Perkembangan kota yang mengarah pada kondisi polisentrisitas tersebut tentu dipengaruhi oleh demand dan suplai, namun belum ada model yang menjelaskan bagaimana interaksi antara demand dan suplai sehingga menghasilkan kondisi polisentrisitas pada kota Bandung tersebut. Perkembangan suatu lokasi sangat dipengaruhi oleh daya hubung (aksesibilitas) dari dan ke lokasi lain disekitarnya, sedangkan aksesibilitas sangat dipengaruhi oleh jarak dan kondisi prasarana (Black, 1981). Menurut Tamin (2000) biaya perjalanan merupakan ukuran yang paling baik dibandingkan jarak dan waktu tempuh dalam menggambarkan aksesibilitas suatu lokasi. Biaya perjalanan sangat dipengaruhi oleh tingkat pelayanan transportasi, dengan demikian analisis perkembangan guna lahan tidak dapat dilepaskan dari analisis transportasi sebagai faktor suplai. Biaya perjalanan menggambarkan juga ukuran aksesibilitas antara wilayah (zona). Ukuran aksesibilitas dapat dinyatakan dalam bentuk grafis dan fisik. Ukuran aksesibilitas yang paling terkenal adalah ukuran dari Hansen yaitu (Hansen,1959, sebagaimana dikutip oleh Tamin, 2000) :
4
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004
n
K i = ∑ ( Ad / Tid )
(1)
d =1
dimana : Ki = aksesibilitas zona i ke zona lainnya (d) Ad = ukuran aktivitas pada setiap zona j (misalnya jumlah lapangan kerja) Tid = ukuran waktu atau biaya dari zona asal i ke zona tujuan d Peningkatan jalan akan meningkatkan aksesibilitas lahan, peningkatan aksesibilitas lahan akan meningkatkan nilai atau harga lahan dan peningkatan harga lahan berpotensi merubah guna lahan. Peningkatan jalan kepada peningkatan aksesibilitas sudah dapat dimengerti, tetapi bagaimana hubungan peningkatan aksesibilitas kepada perubahan nilai ekonomi lahan atau harga lahan belum banyak diteliti. Menurut Marsani (2001) nilai ekonomis atau utilitas lahan untuk lahan perumahan dan bisnis ditentukan oleh variabel lokasi (bobot 35%), lebar jalan (bobot 15%), transportasi (bobot 15%), keramaian (bobot 15%) dan aksesibilitas ke CBD (bobot 20%). Penilaian unjuk kerja dari utilitas suatu lokasi didasarkan pada total hasil perkalian nilai skor kualitas masing-masing atribut dengan nilai bobotnya. Skala skor yang diberikan adalah dari skor sepuluh untuk istimewa, sembilan (baik sekali), delapan (baik), tujuh (cukup), enam (sedang), lima (hampir sedang), empat (kurang), tiga (kurang sekali), dua (buruk) dan satu (buruk sekali). Penelitian Marsani didasarkan pada metode Multikriteria yang didasarkan data yang telah terjadi. Hubungan antara kebutuhan akan rumah / tempat tinggal atau tempat usaha dengan pembangunan transportasi telah banyak dimodelkan dan dikenal dengan istilah model interaksi tata guna lahan dan transportasi. Sebagian besar model-model tersebut dibuat berdasarkan kebutuhan aplikasinya pada kota-kota tertentu dengan pendekatan teori tertentu serta teknik modelling tertentu juga.
4.
Pendekatan Model
Untuk membuat model harga lahan dengan atribut-atribut yang mempengaruhinya digunakan data survei lapangan dan data pada kantor pajak bumi dan bangunan (PBB) dengan metode regresi linier. Data dari kantor pajak PBB hanya merupakan data awal (data kontrol) terhadap data survei lapangan. Secara umum fungsi utilitas berbentuk linier seperti di bawah ini :
Y = a0 + a1.X1 + … + an.Xn + e dimana : Y a0 ..an X1 ..Xn E
= = = =
(2)
harga lahan untuk masing-masing guna lahan koefisien model nilai atribut faktor kesalahan
Tujuan analisis adalah untuk menentukan nilai koefiein model yang dikenal sebagai bobot yang menggambarkan efek relatif dari masing-masing atribut terhadap keseluruhan utilitas. Faktor kesalahan menggambarkan faktor-faktor yang tidak terukur pada survei. 5
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui atribut (variabel) apa saja dan seberapa besar pengaruhnya dalam menentukan harga lahan pada lokasi pemukiman dan lokasi bisnis (pertokoan dan perkantoran). Untuk itu diperlukan pemilihan model didasarkan analisis korelasi dengan metode step wise dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Tamin,2000) : - Makin tinggi nilai koefisien determinasi maka model semakin baik. - Makin banyak atribut yang diikutsertakan dalam model maka model semakin baik. - Makin kecil konstanta model maka model semakin baik. - Nilai (+ atau -) koefiesien atribut sesuai dengan sifat atribut terhadap harga lahan.
5.
Desain Survei
Pada survei ini pilihan lokasi survei untuk pemukiman didasarkan pada lokasi perumahan yaitu pada lokasi perumahan Kayu Agung untuk lokasi perumahan menengah ke atas, perumahan Permata Kopo untuk lokasi perumahan menengah dan perumahan Vijaya Kusuma serta Gading Junti untuk perumahan tingkat menegah ke bawah, sedangkan untuk lokasi bisnis diambil lokasi pada jalan Cicadas (kelurahan Cicadas), jalan Dewi Sartika (kelurahan Pungkur), jalan Soekarno Hatta (kelurahan Babakan) dan jalan Asia Afrika (kelurahan Braga). Dua kondisi level pertokoan atau perkantoran yaitu di jalan Cicadas dan jalan Soekarno Hatta yang mewakili kondisi bisnis dengan kondisi aksesibilitas yang kurang baik tetapi dengan harga yang lebih murah dan lokasi bisnis di jalan Dewi Sartika dan jalan Asia Afrika yang mewakili kondisi lokasi bisnis dengan kondisi aksesibilitas yang lebih baik tetapi dengan harga lahan yang lebih mahal. Untuk memodelkan harga lahan pada lokasi perumahan dan lokasi bisnis tersebut maka atribut yang mempengaruhinya dibedakan atas atribut lahan (lokasi) dan atribut aksesibilitas. Atribut lahan (lokasi) terdiri dari kondisi banjir dan lebar jalan sedangkan atribut aksesibilitas terdiri dari aksesibilitas (waktu tempuh) ke pusat kerja (pusat kota/ CBD), aksesibilitas ke sekolah, aksesibilitas ke tempat belanja (pasar) dan aksesibilitas ke angkutan umum (jalan utama) dan lain-lain. Atribut yang mempengaruhi harga lahan berdasarkan pilihan dari responden untuk lokasi perumahan (pemukiman) dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini : Tabel 1. Distribusi Bobot Ranking Atribut Pilihan Lokasi Perumahan Distribusi Jumlah Responden Alasan
Jumlah
%
Aksesibilitas ke CBD
10
16,67
Aksesibilitas ke tempat belanja
10
16,67
Aksesibilitas ke angkutan umum
7
11,67
Aksesibilitas ke sekolah
4
6,67
Lebar jalan
16
26,67
Udara segar
3
5
Air bersih
3
5
Tidak banjir
7
11,67
60
100
Total
6
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004 Presentasi numerik dari masing-masing atribut pada lokasi perumahan yang disurvei dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini :
Tabel 2 : Presentasi Numerik dari Level Atribut Lokasi Perumahan Atribut
Kopo Permata
Gading Junti
Vijaya Kusuma
Kayu Agung
Ke Pusat Kota (menit)
50
60
60
30
Ke tempat belanja (menit)
10
30
30
10
Ke angkutan umum (menit)
10
20
10
10
Lebar jalan (meter)
8
8
8
10
Tidak banjir
Banjir
Tidak banjir
Tidak banjir
500
225
250
800
Kondisi Banjir Harga lahan (‘000)
Sedangkan atribut yang mempengaruhi harga lahan untuk lokasi bisnis berdasarkan pilihan responden dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Distribusi Bobot Ranking Atribut Pilihan Lokasi Bisnis Distribusi Bobot Ranking Alasan
Jumlah
%
Aksesibilitas ke CBD
4
8,33
Aksesibilitas ke pemukiman
10
20,83
Aksesibilitas ke terminal
9
18,75
Lebar jalan
11
22,92
Kondisi banjir
3
6,25
Fasilitas parkir
1
2,00
38
100
Total
Untuk memberi gambaran kondisi ekstrim yang aktual dari masing-masing level atribut maka untuk segmen demand perkantoran dilakukan survei terhadap pertokoan di jalan Cicadas dan di jalan Dewi Sartika. Gambaran kondisi level atribut dari masing-masing pertokoan tersebut dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini : Tabel 4 : Presentasi Numerik dari Level Atribut Lokasi Bisnis Atribut
Jalan Dewi Sartika
Jalan Cicadas
Jalan Soekarno
Jalan Asia Afrika
Hatta Ke Pusat Kota (menit)
15
30
50
15
Ke Pemukiman (menit)
30
45
30
30
Ke Terminal (menit)
30
15
30
15
Lebar jalan (meter)
16
20
22
16
Tidak banjir
Banjir
Tidak banjir
Tidak banjir
4000
3000
2500
5000
Kondisi banjir Harga lahan (‘000)
7
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004
6.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan survei di lapangan, survei pada perumahan dan tempat kerja serta pengumpulan data sekunder di kantor pajak bumi dan bangunan (kantor PBB) wilayah Bandung 01 (kotamadya Bandung). Perincian survei yang dilakukan terdiri dari : - Survei wawancara di rumah dengan alat survei kuesioner untuk lokasi perumahan - Survei di tempat kerja dengan alat survei kuesioner untuk lokasi bisnis - Survei lapangan - Data sekunder dari kantor pajak PBB Beberapa survei pendahuluan dilakukan sebelum survei utama untuk menguji efisiensi dari rancangan kuesioner dan juga penyajiannya. Jumlah sampel untuk survei berdasarkan pendekatan a rule of thumb sekitar 10-20 responden untuk setiap perumahan dan 10-15 responden untuk segmen demand bisnis.
7.
Analisis Data
Dengan analisis Regresi Linier diperoleh persamaan harga lahan untuk lokasi perumahan yang dapat dilihat pada persamaan 3 di bawah ini : Yp = 673,936 – 10,887.Cbd – 1,849.Ts + 50,798.Wr – 5,532.Tr – 36,702.Bk
(3)
R2 = 0,974 dimana : Yp = Harga lahan pada lokasi perumahan (ribuan rupiah) Cbd = Aksesibilitas ke pusat kota (menit) Ts = Aksesibilitas ke tempat belanja (menit) Wr = Lebar jalan (meter) Tr = Aksesibilitas ke transportasi (menit) Bk = Kondisi banjir
Sedangkan analisis Regresi Linier untuk lokasi bisnis diperoleh persamaan harga lahan dapat dilihat pada persamaan 4 di bawah ini : Yb= 5018,75 – 70,833.Cbd – 21,875.Tp + 93,75.Wr – 12,50.Tr – 843,75.Bk
(4)
R2 = 0,948 dimana : Yb = Harga lahan pada lokasi perumahan (ribuan rupiah) Cbd = Aksesibilitas ke pusat kota (menit) Tp = Aksesibilitas ke pemukiman (menit) Wr = Lebar jalan (meter) Tr = Aksesibilitas ke transportasi (menit) Bk = Kondisi banjir
8
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004 Berdasarkan model harga lahan diatas maka perlu dilihat perbandingan model penelitian dengan yang telah ada sebelumnya yaitu model Marsani, perbandingan model tersebut dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini : Tabel 5 : Perbandingan Model Penelitian dengan Model Marsani Atribut Model Marsani Konstanta Faktor lokasi Lebar jalan Kondisi banjir Aksesibilitas ke keramaian Aksesibilitas ke pusat kota Aksesibilitas ke pemukiman Aksesibilitas ke tempat belanja Aksesibilitas ke terminal/angk.umum
0,35 0,15 0,15 0,15 0,20 -
Koefisien Model Model Penelitian Lokasi Perumahan Lokasi Bisnis 673,936 5018,75 50,798 93,75 -36,702 -843,75 -10,887 -70,833 -21,875 -1,489 -5,532 -12,5
Untuk validasi model maka dihitung harga lahan pada lokasi survei yaitu masing-masing pada lokasi perumahan dan lokasi bisnis. Pada lokasi perumahan diambil lokasi Kayu Agung dan lokasi Kopo Permata yang mewakili lokasi perumahan menengah ke atas dan lokasi perumahan Gading Junti dan Vijaya Kusuma yang mewakili lokasi perumahan menengah ke bawah.. Perbandingan harga lahan hasil model dan harga lahan hasil survei (nilai jual obyek pajak pada pajak bumi dan bangunan dan hasil survei rumah tangga) pada masing-masing perumahan tersebut dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini : Tabel 6 : Perbandingan Harga Lahan Hasil Model dan Hasil Survei Lokasi Perumahan Lokasi Kopo Permata Gading Junti Vijaya Kusuma Kayu Agung
Harga Lahan hasil Survei (‘000) 500 225 250 800 Rata –rata
Harga Lahan hasil Model (‘000) 462 224 206 781
Prosentase Selisih -7.57 -0.32 -17.73 -2.31 6.98
Untuk lokasi bisnis diambil lokasi Dewi Sartika dan Asia Afrika yang mewakili lokasi bisnis menengah ke atas dan lokasi Cicadas dan Soekarno Hatta yang mewakili lokasi bisnis menengah kebawah. Perbandingan harga lahan hasil model dan harga lahan hasil survei (nilai jual obyek pajak pada pajak bumi dan bangunan (PBB) dan hasil survei tempat kerja) pada masing-masing lokasi bisnis tersebut dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini : Tabel 7 : Perbandingan Harga Lahan Hasil Model dan Hasil Survei Lokasi Bisnis Lokasi Dewi Sartika Cicadas Soekarno – Hatta Asia Afrika
Harga Lahan hasil Survei (‘000) 4000 3000 2500 5000 Rata-rata
Harga Lahan hasil Model (‘000) 4425 2753 2508 4988
Prosentase Selisih 10,63 -8,23 0,33 -7,75 6,74
9
Simposium FSTPT VII, Universitas Katholik Parahyangan, 11 September 2004 8.
Kesimpulan dan Saran
8.1. Kesimpulan Harga lahan NJOP PBB umumnya lebih kecil dari harga lahan hasil survei lapangan. Pada model harga lahan baik untuk lokasi perumahan maupun untuk lokasi bisnis didapatkan nilai R2 yang cukup baik, hal ini menunjukkan model ini sudah cukup baik dengan mengikutsertakan semua atribut yang terpilih. Model penelitian lebih praktis dalam menentukan harga lahan dibandingkan model Marsani, karena tidak perlu harga lahan dasar sebagai pembanding.. Dari hasil perbandingan model pada tabel 6 dan tabel 7 dapat dilihat perbandingan harga lahan hasil model dengan data yang mewakili empat lokasi perumahan dan empat lokasi bisnis menunjukkan perbedaan (deviasi) rata-rata sekitar 7%. Dengan adanya model harga lahan diharapkan model tersebut dapat menghitung harga lahan dengan lebih akurat sehingga dapat membantu menghitung harga lahan pada pajak bumi dan bangunan (PBB).
8.2. Saran Perlu dilakukan pada area studi yang lebih luas atau jumlah lokasi perumahan dan lokasi bisnis yang lebih banyak. Perlu dibuat model untuk guna lahan lainnya atau guna lahan perumahan atau bisnis yang lebih spesifik.
9.
-
-
Daftar Pustaka
Hadi,G.K, 1995, Dampak Perubahan Guna Lahan Terhadap Kinerja Jaringan Jalan, Lalu Lintas dan Biaya Perjalanan, Tesis, ITB. Kombaitan,B., 1999, Perubahan Struktur Ruang Perkotaan dan Perkembangan Pola Ruang Pergerakan Bekerja, Disertasi, ITB. Kombaitan,B., 1995, Perijinan Pembangunan Kawasan dalam Penataan Ruang, Aspek Hukum dalam Penataan Ruang, Jurnal PWK no. 17. Musa,I.,2000, Peranan Faktor Lokasi dalam Pemilihan Lokasi Industri Para pemanfaat Kawasan Industri di Indonesia, Disertasi, ITB. Marsani,H.,(2001), Menentukan NJOP Bumi dengan Teknik Quality Rating, Jurnal Survei dan Penilaian Properti no.020 Januari. Mochtaram,K.(1997), Peramalan dan Pembuatan Model, Perencanaan Fisik, Lembaga Penelitian Planologi Departemen Planologi, ITB. Parengkuan,E.P,1991, Studi Permasalahan Pajak Lahan Kota dalam Kaitannya dengan Penggunaan Lahan dan aspek Pengendalian Guna Lahan di Kotamadya Bandung, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, no.2 Triwulan 1. Rejeki,T.R., Pedoman Penentuan Indeks Perubahan Pemanfaatan Lahan Sebagai Penerapan Permendagri No.4 Tahun 1996, Tesis, ITB. Santoso,I., 1986, The Developmentof Microcomputer version Of Leeds Integrated Land Use – Transport (LILT) Model, Thesis, University of London. Sujarto,D., 1992, Wawasan Tata Ruang, Wawasan mengenai Tata Ruang dan Pembangunan, Jurnal PWK Juli, Edisi Khusus. Tamin,O.Z., 1997, Perencanaan & Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB. Winarso,H.,1995, Tarif Ijin Perubahan Guna Lahan Perkotaan Sebagai Bentuk Kontrol Pelaksanaan Penataan Ruang Kota, Aspek Hukum dalam Penataan Ruang, Jurnal PWK no.17. 10