SIMBOL KERIS SEBAGAI REPRESENTASI KESADARAN MANUSIA JAWA, SEBUAH ANALISA FILOSOFIS Oleh : Doni Arinova Abstrak : Keris merupakan simbol yang merepresentasikan konsep kesadaran yang dibangun bedasarkan pemahaman manusia Jawa. Dalam hal ini gerak dinamika perubahan zaman maka pemahaman juga akan mempengaruhi kesadaran dalam pemahaman mengenai interpretasi simbol. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keris merupakan simbol yang berdasarkan reperesentasi kesadaran manusia Jawa. Kata kunci : dinamika perubahan zaman, interpretasi, kesadaran, manusia jawa, simbol, Abstract : Keris was build from concept of javanesse people to representation of their mind. In this research a dynamic movement has influence for interpretation meaning of the symbol . The results of this research is keris have symbol based on representation of Javanesse human. keyword : Symbol, Javanese people, interpretation, mind, time dinamics movement
Latar belakang Keris adalah sebuah bentuk manifestasi budaya peninggalan leluhur dalam hal komunikasi dan pengetahuan yang tiada terputus dari generasi ke generasi. Dari zaman kuno, keilmuan dalam filsafat Jawa tak pernah lepas dari tujuan menuju kesempurnaan hidup. Muatan filosofis dalam benda budaya tersebut menjadikan keris sebagai pusaka (warisan bernilai tinggi). Perkembangan fungsi keris dari senjata menjadi ‟pusaka‟, merupakan mata rantai upaya melestarikan ajaran atau filsafat hidup, sehingga telah menjadi bagian dari budaya Nusantara. Nilai ide dari setiap zaman itu sangat berharga bagi generasi berikutnya Dalam filsafat Jawa atau ajaran budaya Jawa mengenai cara menuju kesempurnaan hidup, merupakan ilmu pethingan (ilmu dimuliakan) sangat berharga bagi mereka yang memahaminya. Demikian pula ilmu keris dianggap sebagai ilmu yang perlu dijaga, karena merupakan ilmu pethingan. Meski tanpa ditulis dengan huruf-huruf, akan tetapi ilmu keris memiliki pemaknaan yang jelas, sehingga dapat dipakai sebagai acuan cara mencapai kesempurnaan hidup. (Ki Darmosoegito,1992, 4). Dalam hal ini adanya proses pemakanaan pada keris merupakan sebuah proses kebudayaan. Dalam perjalanan sejarahnya, keris telah dimaknai dari sebuah benda profan yaitu sebagai senjata tikam
menjadi sebuah benda yang sakral. Fenomena perkembangan fungsi
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
makna keris merupakan sebuah fenomena menarik untuk diinterpretasi dan dikritisi. Sepanjang perjalanan sejarah dan perkembangan budaya fungsi keris telah dipahami oleh masayarakat sebagai berikut, yaitu: sebagai senjata tikam, alat hukuman mati, senjata pamer, atribut keprajuritan, tanda kerajaan, manifestasi falsafah, identitas diri keluarga, tanda pangkat, tanda jasa, lambang persaudaraan, wakil pribadi, tanda penghormatan, kelengkapan busana resmi, lambang peringatan, warisan, atribut upacara/sesaji, barang pusaka/wasiat, azimat, tempat hunian roh, benda sejarah, sebagai benda seni, benda ekonomi, benda antropologi/etnografi, benda koleksi, benda investasi, benda cenderamata (souvenir), saksi sejarah, sebagai lambang kesatuan daerah, dan merek dagang. (Haryoguritno,Haryono,2006,37-50). Dari berbagai macam fungsi keris tersebut kegunaan keris sebagai senjata memang merupakan fungsi dasar, namun fungsi sebagai atribut keprajuritan, tanda kerajaan, manifestasi falsafah, identitas diri keluarga, tanda pangkat, tanda jasa, lambang persaudaraan, wakil pribadi, tanda penghormatan, barang pusaka/wasiat, azimat, tempat hunian roh, benda sejarah, itu ada konsep yang lebih kompleks dari sekedar kegunaan dasar sebagai senjata. Keris telah mengalami perkembangan menjadi sebuah simbol yang membuat keris menjadi benda yang sakral. Kesakralan ini dipengaruhi oleh pemaknaan yang diberikan manusia yang menjadikan keris sebagai simbol. Dalam pemahaman manusia Jawa keris dimaknai sebagai pusaka, oleh karena itu keris merupakan benda yang sangat dihargai kalangan masyarakat Jawa. Keris dianggap sebagai sesuatu yang seakan-akan „hidup‟ tidak hanya karena kekuatan magisnya saja, tetapi dikarenakan pula oleh adanya nilai-nilai atau wasiat nenek moyang yang dikandungnya. Nilai-nilai yang dapat memberikan inspirasi bagi pemiliknya. Bagi orang Jawa keris dapat digunakan sebagai sarana untuk bercermin pada sejarah. Keris mempunyai makna historis dalam arti dapat memberikan inspirasi kesejarahan yang diperlukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam mengarungi kehidupan. Dalam bahasa tradisional dinyatakan bahwa manusia Jawa sebagai pemilik keris akan selalu kasinungan atau dilindungi oleh roh nenek moyang mereka dalam menghadapi segala persoalan zamannya Dalam masyarakat Jawa keris juga memiliki fungsi sosial sebagai penanda golongan, atau sekurang-kurangnya sebagai wakil dari pemiliknya. Begitu pentingnya keris sebagai representasi jati diri, sehingga keris dapat dihadirkan untuk mewakili sosok manusia yang tidak dapat hadir
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
untuk berperan dalam peristiwa penting tertentu. Hal yang sering dipraktekkan adalah menghadirkan keris sebagai wakil pemiliknya dalam pernikahannya. Kepentingan penelitian keris ini sebagai pembaharuan dan pecerahan kembali pengetahuan yang mulai dilupakan karena kurangnya pengetahuan dalam masyarakat itu sendiri menjadi sangat penting. Penelitian ini juga mencoba mendekatkan kembali pengetahuan mengenai bagian dari kebudayaan bangsa yang selama ini dipenuhi dengan stigma negatif mengenai keris. Keris dianggap benda mitis yang berkonotasi negatif . Ketakutan masyarakat akibat stigma negatif pada sebuah keris menjadi sebuah masalah dalam masyarakat. Masyarakat umum menganggap masalah pada keris berkaitan erat dalam urusan magis atau gaib dalam keris. Dalam pemakanaan mitis sendiri sesungguhnya menunjukkan adanya sebuah mitos yang telah dibentuk oleh masyarakat Jawa pada masa lampau Oleh karena itu dalam penulisan ini penulis mencoba melakukan pendekatan filosofis untuk mencoba menggali pemahaman fundamental mengenai makna keris untuk menganalisa pergeseran bangunan mitos yang terjadi dalam kebudayaan. Dalam penjabaran filosofis keris dapat dijabarkan sebagai berikut : Secara ontologis Keris sebagai senjata tikam. Disamping fungsi keris sebagai senjata tikam keris dapat berfungsi sebagai penanda dan menjadi keunikan dari penelitian ini. Keris diteliti bedasarkan material adalah terdiri dari baja yang dilipat dengan besi yang telah dicampur bahan pamor yang biasanya menggunakan batu meteor atau nikel. Material yang unik dari keris menjadi keistimewaan keris, yaitu keris merupakan senjata pamungkas yang menjadi senjata pertahanan terakhir. Perlakuan keris sebagai senjata pamungkas menunjukkan kekuatan keris memiliki kesakralan. Jika dibahas secara epistemologi, keris dapat menunjukkan pengetahuan yang termuat di dalamnya yang selama ini menjadi kearifan lokal. Padahal jika dikritisi pengetahuan yang berhubungan dengan keris yang paling dekat adalah mengenai pengetahuan teknik metalurgi merupakan sebuah proses yang rumit untuk membuat senjata yang kuat dan efektif untuk menusuk. Namun yang lebih menarik lagi adalah pengetahuan mengenai fungsi keris sebagai simbol yang diafirmasi oleh masyarakat Jawa seperti alat pertahanan diri dan senjata pamungkas, simbol representasi diri seseorang pemilik keris, konsep pandangan Jawa yang dimaknai dari keris, juga simbol politik dan alat diplomasi. Dari konsep pengetahuan seperti ini terlihat jelas bagaimana pemahaman dan pembentukan pemikiran masyarakat Jawa dalam hasil cipta
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
kebudayaannya yang disiratkan dalam sebuah benda yaitu keris. Konsep pengetahuan mengenai keris sebagai simbol merupakan sebuah sistem yang dibentuk oleh masyarakat. Dalam bangunan pemahaman mengenai simbol disitulah mitos mengenai keris itu dibentuk. Kaitan dari pengetahuan mengenai keris sebagai konsep simbol berdasarkan bentuk keris tertentu dan gambar pamor yang terdapat dalam sebilah keris didasarkan pengalaman "Rasa" sehingga memiliki makna lebih dari sekedar senjata. Hal ini menunjukkan sebuah konsep pemikiran yang mendalam dari sebuah sebilah keris, yaitu dimana konsep aksiologi erat kaitannya dengan permasalahan ini. Dalam menilai nilai estetika keris bukan sekadar keindahan yang didasari pengalaman "Rasa" pribadi seseorang. Dalam hal ini merupakan pemahaman “Rasa” Jawa berbeda dengan konsep “Rasa” di India. Perbedaan paling konsep estetika dari kebudayaan Jawa yaitu “Rasa” juga dipengaruhi nilai politis sentralistik keraton. Karena dalam masyarakat Jawa keindahan sebuah keris didasarkan kepada pakem yang ditentukan oleh keraton. Pemahaman mengenai keindahan dalam menginterpretasi secara general mengikuti pemaknaan keraton. Oleh karena itu keris tidak dapat dimiliki secara sembarangan pada masa kekuasaan keraton. Pengaruh keraton sebagai pusat menetapkan atuuran tertentu terhadap keris seperti bagaimana memperlakukan keris, tata cara dalam memiliki keris masyarakat Jawa juga terikat dalam etika dan tata krama yang menjadi pedoman moralitas manusia Jawa khususnya. Keraton menciptakan aturan mengenai moral yang berlaku kepada masyarakat menjadi sebuah kewajiban seseorang yang memiliki keris, karena dalam keris juga ada bagian-bagian yang menyimbolkan nilai etis universal yang seharusnya sesuai dengan kepribadian pemiliknya. Kewajiban akan moralitas dalam memiliki keris sejalan dengan sugesti telah di ciptakan oleh sang empu sebagai maestro pembuat keris berdasarkan referensi kebudayaan terutama nilai-nilai etis. Oleh karena alasan itu sebilah keris tidak dapat dimiliki oleh sembarangan orang dan kedudukan keris sebagai simbol dari masyarakat Jawa menjadi mitos yang kuat. Hal ini berkaitan dengan keris merepresentasikan pemiliknya. Dari penjabaran dari permasalahan ontologis, epistemologis, dan aksiologis dapat dilihat bahwa permasalahan simbol menjadi benang merah pembahasan terhadap keris. Penulis melihat bahwa pemaknaan simbol dalam keris merupakan sebuah sistem yang membentuk sebuah mitos dalam alam pikiran Jawa. Mitos adalah sebuah pengetahuan yang penting untuk memahami
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
sebuah kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa. Dalam hal ini penulis ingin mencoba memahami bagaimana mitos itu bekerja menjadi representasi kesadaran manusia Jawa. Keputusan UNESCO pada tahun 2005 menjadikan keris sebuah warisan kekayaan budaya tak benda, menjadi motivasi tersendiri untuk bertanggung Jawab membuat penelitian mengenai keris. Sebagai warisan budaya tak benda menjadi sebuah tanggung Jawab moral bagi penulis sebagai putra bangsa Indonesia untuk melakukan pelestarian dan pengembangan keris, apalagi bentuk pengetahuan mengenai keris yang selama ini hanya tersebar dalam komunitaskomunitas kecil dan penelitian. Hal ini menjadi sebuah pemicu yang kuat untuk mengadakan sebuah penelitian yang komprehensif. Dalam rangka menyusun tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai simbo keris yang merupakan sebuah proses yang menjabarkan bagaimana sebuah strategi kebudayaan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Yang menjadi salah satu rujukan bagi penelitian ini adalah keris Jawa. Mengapa keris Jawa menarik untuk diteliti? penulis menganggap keris Jawa menjadi pusat asal keris berada dan berkembang menjadi bagian kebudayaan. Dinamika kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat Jawa dalam perjalanan sejarah menjadi menarik untuk di teliti bagaimana makna keris bagi masyarakat Jawa. Keistimewaan keris sebagai pusaka, menunjukkan seberapa bermaknanya keris dalam masyarakat yang justru menunjukkan kedudukan lebih dalam masyarakat Jawa. Sebuah benda tidak akan memiliki kedudukan penting begitu saja, proses terbentuknya makna berkaitan erat dengan kedalaman pemikiran. Penelitian bagaimana proses terjadinya keris menjadi benda yang sakral, mitos mengenai Keris merupakan sebuah pengetahuan menarik untuk diungkap. Lalu melihat makna keris dan fase perubahannya dari masa ke masa menjadi kunci penting dalam penelitian ini. Penulis mencoba menganalisa dinamika perkembangan sejarah yang mempengaruhi kedudukan keris dalam masyarakat. Dari perjalanan sebuah kesejarahan tidak selamanya sebuah ide dapat stagnan. Pengaruh dari kondisi masyarakat dapat mengubah sebuah pemikiran sebuah benda. Dalam bab ini penulis ingin mengetahui bagaimana makna keris dalam setiap jaman, yaitu jaman masyarat Jawa pra-Indonesia (periode kerajaan), dan masyarakat Jawa masa kini (nasionalisme) Simbolisme Keris Sebagai Mitos
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Keris diberikan makna tidak dapat dipisahkan dari relasi kuasa, manusia menciptakan berbagai simbol yang merupakan bentuk mitos untuk menjadi penanda sebuah hegemoni dalam kehidupannya. Hal ini pula juga termaktub dalam sebuah kebudayaan dari manusia. Pada tulisan ini keris menjadi salah satu bagian dari mitos yang dibuat oleh manusia masyarakat Jawa untuk mengukuhkan kedudukannya dalam
kehidupan. Keris diposisikan sebagai sebuah simbol
penting dari sebuah senjata yang juga menunjukkan posisi tingginya dalam masyarakat, seperti pepatah tak berkeris maka tak berbangsa. Leluhur masyarakat Jawa telah membangun sebuah mitos mengenai keris demi menjadi sebuah pondasi dari kebudayaan Jawa. Mitos yang dibangun oleh para leluhur masyarakat Jawa tidak berdiri begitu saja, banyak pengalaman historiositas yang telah melalui proses panjang. Keris digunakan sebagai simbol yang membahasakan sebuah konsep yang berdasarkan konteks. Konsep pembangunan mitos dalam kebudayaan adalah sebuah dilalektika konsep sebuah keris sebagai benda Adhiluhung. Fenomena keris sebuah konsep dialektika yang tidak dapat dipersalahkan karena hal ini adalah seperti yang disampaikan Cassirer dalam pemahamannya terhadap pemikiran mitos. Oleh karena itu mitos yang dibangun dalam kebudayaan adalah menjadi konsep pakem yaitu panduan dan batasan yang digunakan dalam semua karya termasuk keris. Dalam pendekatan mengenai sebuah nilai estetika pada masyarakat Jawa memiliki pakem yang menjadi acuan penilaian terhadap sebuah karya seni yang diakui masyarakat Jawa tradisional. Pakem menjadi sebuah prinsip dasar dalam membuat kesenian. Dalam pakem yang telah dibuat oleh masyarakat Jawa telah ditentukan garis besar haluan bagaimana sebuah kesenian atau benda budaya itu dibuat sehingga dapat ditentukan indikator penilaiannya. Pakem sendiri telah dibuat berdasarkan akar kebudayaan yang telah dibangun dari pendekatan nilai konvensi yang telah dibuat oleh leluhur masyarakat Jawa. Dalam Pakem sendiri telah temuat dasar nilai estetis yaitu “Rasa” yang ingin disampaikan kepada masyarakat yang akan terus diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Pemahaman mengenai “Rasa” sendiri adalah sense personal yang dipanggil lagi berdasarkan ingatan memori kolektif dalam individu. Konsep “Rasa” memiliki banyak tingkatan yang ada di dalam diri manusia.Secara sederhana “Rasa” dapat diartikan sebagai perasaan
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
“feeling”. Hal ini sesuai dengan pemahaman Locke Essay Concerning Human Understanding yang terdapat dalam buku Bottici. Incontrast,colours,smells,tastes,sounds,andtheother qualities perceived through the senses, “whatever reality by mistake we attribute to them, are in truth nothing in the object themselves”: they derive from“a power of the subject to produce various sensationsinus (Bottici, 2007,66) Manusia mempunyai selera tersendiri dalam menentukan keindahan suatu benda. Sensasi memberikan prespektif dalam Rasa. Hal ini sejalan dengan konsep estetis yang dianut mengenai “Rasa”. Dalam pemahaman mengenai “Rasa” juga memiliki sebuah paradoks. Adanya keraton sebagai sebuah institusi dalam masyarakat memiliki intervensi dan tendensi mengenai konsep “Rasa”. “Rasa” menjadi sebuah bangunan ide yang dikonstitusikan sesuai dengan kepentingan kekuasan, dalam hal ini nilai estetis yang tidak sejalan dalam kekuasaan dapat di sensor agar tetap mempertahankan ketentraman dalam masyarakat. Keraton sebagai pusat masyarakat mencoba mendikte bagaimana acuan dari konsep “Rasa”. Masyarakat sendiri berkiblat pada keraton bagaimana konsep dari sebuah hasil kebudayaan itu dibuat untuk menentukan nilai estetis dari sebuah hasil karya cipta manusia itu sendiri. Oleh karena itu juga terdapat perbedaan keris yang beredar di masyarakat umum dan lingkungan keraton, yang menunjukkan adanya kekuatan otoritas yang lebih tinggi yang menentukan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai “Rasa” yang dimiliki oleh masingmasing individu telah dibentuk dan dimitoskan yang berlaku di dalam lingkungan keraton yang bermakna ”lebih”. Adanya andil politis yang telah dilakukan oleh keraton sebagai pusat (sentral) masyarakat untuk menunjukkan keunggulannya. Implikasi dari keunggulan keraton sebagai sentral dari masyarakat Jawa ini diciptakan untuk mengatur masyarakat agar tetap patuh dan tunduk terhadap keraton sebagai pusat masyarakat. Cara agar hal ini dapat sejalan adalah keraton menetapkan gagasan agar dapat merepresentasikan kesadaran tersebut dan cara yang digunakan adalah membuat mitos ini yang harus diterima oleh masyarakat. Mengapa hal ini dapat terjadi karena setiap kehidupan sosial masyarakat mengharapkan kehidupan yang damai dan harmonis, oleh karena itu mereka bersedia membangun sebuah bangunan idea yang sama agar dapat terwujudnya sebuah tujuan bersama.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Dalam catatan historis budaya keris di Jawa pada masa lalu, keris merupakan budaya keraton. Kajian mengenai segala hal tentang keris di daerah bekas vorstenlanden mau tidak mau harus mengetahui segala sesuatu tentang keris yang ada di keraton-keraton di daerah tersebut. Keris di keraton-keraton itu merupakan benda pusaka kerajaan. Dari pembahasan ini ada dua hal yang menarik untuk dibahas, yaitu keris sebagai sense of belief dari keris
bagaimana keraton menentukan Pakem menjadi ide yang menjadi
kepercayaan dari masyarakat agar sejalan dengan kepentingan politik keraton sendiri yaitu membentuk keris sebagai mitos. Dan bahasan berikutnya sense of aesthetics, dimana keris dapat dinilai melalui variabel-variabel nilai estetis dari keris itu sendiri. Sense of belief dari keris Dinamika kesejarahan masyarakat Jawa terhadap penjajahan pada waktu itu, nampaknya mendasarkan diri pada kultus pusaka atau keris. Namun demikian, untuk melacak kembali kultus pusaka dalam budaya Jawa, terutama lewat karya-karya sastra yang telah diterbitkan pada zaman penjajahan Belanda nampaknya akan menemui banyak kesulitan. Kultus pusaka (keris) dan nenek moyang dapat dikatakan sama sekali tidak disinggung dalam karya-karya sastra yang diterbitkan kala itu. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh politik pendidikan Belanda yang bertujuan mengorientasikan ethos budaya orang Jawa kepada ethos kerja dalam rangka menunjang politik kekuasaannya secara keseluruhan. Pusaka dan nenek moyang merupakan kultus sentral dalam pandangan masyarakat Jawa, hal ini terlihat dari pandangan para penulis babad yang selalu me-mythos-kan tokoh-tokoh sejarah sebagai pemilik pusaka atau keris. Walaupun demikian tampak bahwa dalam karya-karya sastra zaman penjajahan telah mengalami semacam tindakan pembredelan karena dikhawatirkan dapat menyulut pemberontakan. (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo,1993,149) Sebagai akibatnya, untuk mendapatkan informasi tentang kultus pusaka atau keris dan nenek moyang berdasarkan penulisan zaman penjajahan sangat kecil kemungkinannya. Namun demikian hal tersebut justru mengindikasikan bahwa keris sebagai pusaka mempunyai muatan nilai-nilai atau semangat kepahlawanan untuk melawan penjajah dan ketidakadilan. Keris seakan-akan telah menjadi wadah atau sarana bagi pewarisan nilai-nilai semacam itu dari nenek moyang kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini penciptaan dan pemilikan keris dapat diberi arti sebagai suatu sosialisasi nilai-nilai historis dalam memperjuangkan.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Sebagai pusaka, keris merupakan benda yang sangat dihormati kalangan masyarakat Jawa. Keris dianggap sebagai sesuatu yang seakan-akan „hidup‟ tidak hanya karena kekuatan magisnya saja, tetapi dikarenakan pula oleh adanya nilai-nilai atau wasiat nenek moyang yang dikandungnya. Nilai-nilai yang dapat memberikan inspirasi bagi pemiliknya. Bagi orang Jawa keris dapat digunakan sebagai sarana untuk bercermin pada sejarah. Keris mempunyai makna historis dalam arti dapat memberikan inspirasi kesejarahan yang diperlukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam mengarungi kehidupan. Dalam bahasa tradisional dinyatakan bahwa manusia Jawa sebagai pemilik keris akan selalu kasinungan atau dilindungi oleh roh nenek moyang mereka dalam menghadapi segala persoalan zamannya. Keris adalah salah satu benda budaya. Sebagai karya seni keris memenuhi unsur kebudayaan karena benda itu lahir dari akal budi dan pikiran manusia, sementara itu budaya keris sendiri sangat akrab hubungannya dengan unsur budaya yang lainnya, seperti tata busana adat, upacara, dan berbagai kebiasaan serta tradisi dalam masyarakat. Dalam masyarakat Jawa yang dikenal sekarang, keris kurang lebih mempunyai fungsi sosial sebagai penanda golongan, atau sekurang-kurangnya sebagai wakil dari pemiliknya. Begitu pentingnya keris sebagai representasi jati diri, sehingga keris dapat dihadirkan untuk mewakili sosok manusia yang tidak dapat hadir untuk berperan dalam peristiwa penting tertentu. Hal yang sering dipraktikkan adalah menghadirkan keris sebagai wakil pemiliknya dalam acara pernikahan. Sir Thomas Stamford Raffles (1817), mengatakan senjata keris mendapat kedudukan istimewa pada prajurit Jawa. Mereka umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus, yaitu keris yang di sebelah kiri berasal dari mertua, keris di sebelah kanan dari orang tua, keris di belakang adalah keris miliknya sendiri (Raffles, 294) Dari penjabaran diatas menunjukkan bagaimana peran politik merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat. Dalam masyarakat selalu menjalani kehidupan dalam politik. Sebuah kebudayaan selalu dipengaruhi oleh politik, hal ini serupa terjadi dalam keris. Keris dijadikan sebuah manifestasi dari sebuah upaya strategi kebudayaan dari berjalannya sebuah politik.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Nevertheless, the heading of “politics”, one is confronted with quite a different picture. People involved in this activity are not so easily persuaded to adopt rational procedures of communication and decision. Therefore, a purely rational model of society risks being a model for a world that does not exist.(Bottici,2007,1) Dalam politik yang mnampilkan banyak citra menjadikan manusia terlibat di dalamnya dengan berbagai macam gambaran yang merupakan resiko dari dunia yang tidak benar-benar nyata. Dunia ideologis yang terdapat dalam masyarakat menjadi sebuah kesempatan yang bagaimana politik itu berjalan. Simbol menjadi Jawaban yang dianalisis secara semiotik yang dimana Jawaban dari semiotika itu adalah hanya sebuah pertanyaan yang Jawabannya tidak terbahasakan. Keris adalah sebuah contoh nyata dari sebuah simbol yang digunakan secara politis. Dalam hal ini penulis menemukan bagaimana cara bekerja sebua keris dalam politik. Sebuah proses sakralisasi dengan berbagai campuran cerita mitos yang telah mapan sebagai bagian dari simbol yang telah dipercaya oleh masyarakat. Dalam keris terjadi sebuah proses fusi simbol dan cerita mitos yang memberikan makna baru yang menghasilkan simbol lebih kompleks yang dapat dipercaya. Hal ini terjadi karena adanya logika kebudayaan yang telah diterapkan sebagai strategi kebudayaan yang dibangun demi sebuah hegemoni. We have seen that sacred logos condemned ancient myths because of their plurality. Here, the condemnation is on a new ground: they are judged to be deceptive because they are “vain” and “imaginary”, and thus “unreal”, or, in other words, because they are mere myths (Bayle 2000: 18ff.) Keris sebagai sebuah proses mitos yang tejadi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bayle mengenai hakikat dari mitos yang bersifat plural karena tidah jelas bentuknya, imaginatif dan juga tidak nyata, oleh karena itu tidak memberikan batasan jela yang mengenai apa yang ingin dikatakan. Mitos dibangun dengan bahasa yang meyakinkan dan persuasif agar dapat dipercaya sehingga dapat masuk dalam ranah kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu Keris yang benda nyata dimitoskan agar dapat digunakan urntuk tujuan mengenai sebuah kekuasaan. Menurut Geertz dalam kebudayaan modern hal yang mitis tidak dapat dilepaskan politik, meskipun dalam kondisi modernitas. However, this does not seem to be the case. Even under conditions of modernity, it seems as if – to paraphrase Geertz – the mythical has not gone out of politics, however much the banal may have entered it (Geertz 1983: 143)
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Keterikatan mitos dan politik dapat dibaca dalam menginterpretasi dalam analisis keris masuk dalam sebuah mitos dalam kebudayaan masayarakat Jawa. Keris dibentuk, di interpretasi dan disosialisaikan dalam segala bentuk sakralisasi yang menjadi benda biasa menjadi lebih dari benda biasa. Keris menjadi sebuah icon yang dibentuk untuk di affirmasi oleh kebudayaan Jawa. Pada dasarnya semua rangkaian makna yang selalu didialogkan dan diturunkan secara turuntemurun adalah sebuah ilusi, tetapi menyimpan sebuah harapan. Dalam harapan masyarakat selalu tersimpan multiprespeketif yang memberikanbanyak makna yang pada penulisan ini terjadi dalam keris However,it is precisely this plurality that characterises myth, in contrast to the point of view of a sacred logos.This does not simply mean that myths are the objects of different interpretations, but also that, phenomenologically speaking, myths present themselves as a plurality both of variants and of mythologems. (bottici,2007,99) Dalam keris dibangun sebagai sebuah bangunan mitos yang dapat di interpretasi berdasarkan bagian mitos yang di affirmasi oleh masyarakat demi menuju sebuah konsensus. Harapan adalah sebuah modal dari fungsi dialog yang dilakukan oleh manusia sebagai alasan untuk mempersatukan manusia dan menguasai arah tujuan dari masyaraka. Sosialisasi mengenai harapan yang sama sangat mempengaruhi bagaimana sebuah ide politik dapat diterima. Keris dan politik adalah sebuah faktor utama dari bagaimana keris berubah menjadi mitos yang dapat diterima sebagai bagian kebuadayaan Jawa. Stratifikasi sosial di masyarakat sangat berpengaruh dalam pembentukan mitos keris. Bangunan mitos dibangun sebagai bentuk dari hasil pemikiran dari pertanyaan yang tidak dapat menJawab sebuah entitas dalam dirinya. Keris diperalat sebagai penegas kedudukan dalam masyarakat. Dalam keris termaktub adanya simbol kepercayaan (belief). Dan seperti itulah bagaimana kekuasaan berjalan sebagaimana dikehendaki oleh para pemimpin, dengan balasan adanya keentraman. Simbol selalu menjadi jalan terakhir menJawab pertanyaan yang tidak bisa dibahasakan, namun dapat dipergunakan penegasan komunikasi dengan kehendak. Dalam pembentuk kepercayaan mengenai keris sebagai mitos tidak dapat dilepaskan dari Teks "Sejarah Empu" menceritakan, bahwa empu keris yang ada pertama kali di tanah Jawa adalah Empu Ramadi dari kerajaan Medang Kamulan. Kesaktiannya dikisahkan saat dia
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
membuat keris, ia menggunakan hidungnya untuk menghembuskan angin demi menjaga panas nyala api, kemudian tangannya sendiri ia pakai sebagai supit, dari mulutnya ia keluarkan api untuk memijar besi, ia gunakan jarinya sebagai kikir, lalu ibu jarinya sebagai gerinda, dan kukunya sebagai pahat. Dikisahkan dalam teks itu, bahwa Empu Ramadi hanya membuat senjata pusaka bagi para dewa. Senjata-senjata tersebut adalah cakra, limpung, gada, bramasta, sarutama dan senjata pusaka dewa lainnya. Kemudian ia menurunkan seorang anak yang bernama Empu Sekadi. Penerusnya ini lalu membuat senjata-senjata berupa pedang, gada, dan towok. Empu Sekadi lalu berputra Empu Bramakendali, yang membuat persenjataan berupa panah, gada, keris dengan dhapur tilam upih, dan tombak dengan dhapur biring. Garis keturunan selanjutnya kemudian mengembangkan keris dan pusaka lainnya dengan berbagai dhapur yang jenisnya sangat bervariasi. Cerita di atas memberikan gambaran tentang pemahaman orang Jawa dalam memandang pusakanya. Pusaka dianggap sebagai kelanjutan dari senjata-senjata para dewa yang sangat sakti, dan salah satu darinya adalah keris sebagai pusaka yang kemudian menjadi andalan utama bagi orang Jawa. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, keris menjadi lebih berkembang daripada pusaka lainnya, hingga bermunculan lah bermacam-macam jenis dhapur keris sampai sekarang. Proses pembentukan keris sebagai mitos tidak dapat dipisahkan penciptanya, dalam hal ini pengaruh empu dalam pembentukan mitos keris. Makna dalam sebuah benda tidak akan dilepaskan dari alam ide yang tercipta berdasarkan pemikiran penciptanya. Makna yang terberikan dalam sebuah keris juga dipengaruhi oleh alam ide yang dapat dimengerti oleh masyarakat. Dari penjabaran cerita di atas juga menunjukkan bagaimana peranan empu dalam kepercayaan masyarakat Jawa mengenai empu itu sediri. Konsep yang tercipta dalam sebuah keris disampaikan dan terus direpetisi sebagai sebuah kegiatan politis yang terus berlangsung. Empu dalam masyarakat Jawa dalam hal ini berlaku sebagai seorang politisi yang mengungkapakan gagasan ide yang menggunakan keris sebagai sarana komunikasinya.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Bayle observed that in all times politicians have had a major interest in fomenting the beliefs surrounding comets, because there is no more powerful way of keeping populaces in check. As Bayle explicitly says, “however unruly and inconstant [populaces] may be, if their minds are once struck by a vain image of religion, they will obey the diviners better than their chiefs” (Bayle 2000: 9) Mengapa empu dapat diinterpretasikan sebagai seorang politisi, Karena ide yang diusung dan diungkapkan adalah sebuah gagasan abstrak yang dapat menjadi sebuah harapan yang melampaui pemimpinnya. Dan pemimpin masyarakat atau raja pada masa lampau mengakui itu. Gagasan yang abstrak sangat berfungsi dalam menjaga stabilitas politik dan keluarga dalam konsep feodalisme. Bangunan tehadap pendasaran kepentingan politis menyebakan pembentukan bangunan ideologi yang dibentuk sesuai dengan referensi yang berlaku dalam masyarakat yang ditujukan agar masyarakat dapat lebih mudah mengamini gagasan ide yang diberikan. Sebuah pemahaman behavioristik terhadap tradisi yang dibentuk menjadi sebuah poin penting bagaimana sebuah simbol dapat dianggap sebagai bagian dari belief sebuah masyarakat. Pada poin ini menjadi sebuah Jawaban penjelasan bagaimana sense of belief yang menjadi bagian dari representasi kesadaran Manusia Jawa. Sense of Aesthetics dari keris Keris memiliki nilai estetis yang dapat dirasakan melalui Indera. Melalui Indera dapat dirasakan bagaimana nilai keindahan keris. Dalam keris dikenal “tangguh” yang menunjukkan bagaimana sebuah keris dapat diberi penilaian berdasarkan variabel-variabel tertentu yang menjadi ciri yang dapat dinilai. Pemahaman terhadap persoalan estetis dalam konsep yang dipahami manusia Jawa adalah berdasarkan konsep “Rasa”. Konsep “Rasa” di sini adalah sebuah sensasi yang dapat dirasakan oleh indera, bagaimana indera memberikan data yang menjadi bahan pemahaman untuk membantu rasio menginterpretasi sebuah makna. Namun dalam konsep “Rasa” dalam pemahaman Jawa Juga ada faktor eksternal yang juga mempengaruhi “Rasa” dalam manusia Jawa yaitu keraton. Keraton juga mempengaruhi makna yang harus dipahami oleh manusia Jawa sebagai penyelarasan pemahaman makna. Oleh karena itu pemahaman mengenai “Rasa” sejalan dengan sense of belief dari masyarakat Jawa. Oleh karena itu pemahaman konsep “Rasa” Jawa berbeda dengan konsep di India
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Pemahaman dalam menginterpretasi nilai estetis keris dikenal dengan istilah ”tangguh”. Dengan melihat nama-nama tangguh keris yang disebut dengan nama wilayah dan zaman, maka dapat dikatakan bahwa inisiatif penciptaan tidak sepenuhnya terpusat di puncak kerajaan, namun terdistribusi ke berbagai kawasan „bawahan‟. Kajian mengenai wayang, keris, dan sastra secara lintas-daerah dan lintas-zaman kiranya akan dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai pengembangan seni dalam konteks masyarakat Jawa. Perubahan-perubahan dapat terjadi pada titik-titik waktu tertentu dan penyebabnya mungkin dapat dicari pada perkembangan situasi sosial politik tertentu (Edi Sedyawati,2007,17). Dalam menginterpretasi nilai estetika keris warna besi dan wujud keris biasanya dikaitkan dengan keampuhan, tuah, zaman pembuatan, serta pembawaan empu yang menciptakannya dari pada dikaitkan dengan keindahan keris. Namun tidak berarti bahwa keris sama sekali tidak mengandung persoalan estetik (Darmosoegito, 54). dalam pemahaman tertentu apa yang dibangun dari repersentasi yang dihadirkan oleh keris menjadi kekuatan dari pemasalahan estetika dari keris ini. Dalam hal ini cara pandang masyarakat tertentu juga mempengaruhi bagaimana keindahan keris itu dipandang. Permasalahan mengenai tangguh keris merupakan sebuah indikator bagaimana penilaian seseorang akan sensasi sesorang terhadap keris. Sensasi yanng dirasakan dapat mebentuk presepsi tertentu oleh karena itu hal ini menjadi problem. Bagaimana sakralisasi dapat terjadi ini adalah masalah presepsi dan juga sebaliknya desakralisasi juga terjadi dikarenakan presepsi. Dalam kaitannya dengan pembacaan mengenai semiotik guna mendapatkan kedekatan estetis yaitu mengenai putusan atas sebuah sensasi yang dirasakan oleh indera. Kedekatan manusia Jawa sebagai interpretant yang memanda keris representamen dari objek yang mengacu kepada kesadaran mengenai manusia Jawa yang menjadi referensi. manusia Jawa menjadi sebuah konssep yang mencerminkan nilai-nila yang menjadi acuan dari kebudayaan Jawa. Gagasan manusia Jawa yang menjadi inti konsep “Rasa”. Keris sebagai sarana dari kehadiran konsep manusia Jawa yang terikat oleh nilai, adat, budaya memiliki kedekatan oleh para penikmatnya dalam ini masyarakat Jawa. Kedekatan antara benda, historiositas nilai ini yang memberikan nilai estetik pada keris yang menjadi simbol.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Dinamika Proses Mitos Dalam Masyarakat Jawa Sejarah budaya Jawa, dikenal adanya budaya desa dan budaya keraton. Umumnya, konsepsi tentang budaya keraton berpusat dan bersumber kegiatan di ibukota kerajaan yang disebut negara atau negari. Hal ini sebagai sebuah penegasan bagaimana stratifikasi sosial berjalan sebagaimana mestinya. Ciri-ciri kebudayaan keraton (budaya ageng) ialah bersifat halus dan sophisticated dengan selera dan gaya yang rumit, ngremit, ngrawit, kaya keindahan (SP. Gustami, 2000, 191). Hal itu berlainan dengan desa (budaya alit) yang dipandang kasar dan sederhana. Dikotomi kebudayaan seperti itu belum dapat dijelaskan secara tepat karena dalam sejarah Jawa selalu terjadi hubungan timbal balik dalam perkembangan yang tumpang tindih (Claire Holt,1967,54). Hal itu demikian, karena desa sering menjadi sumber utama yang dapat memberikan kontribusi positif kepada raja atau penguasa keraton dalam pengembangan seni budaya, sebaliknya keraton memberikan contoh dan teladan tentang hal-hal yang berkualitas tinggi untuk ditiru dan dihormati masyarakat desa. Di samping itu, desa juga merupakan sumber potensi yang berakar di berbagai bidang seni budaya. Proses mitos dan politik yang saling berkaitan yaitu mitos yang diperalat untuk menjadi sebuah bangunan kekuasaan, membutuhkan adanya proses dialogis yang membutuhkan partisipasi seluruh bagian dari masyarakat.karena dalam sebuah proses halini adalah hal yang wajib ada. Sejalan dengan pemikiran Bottici yang mengutip Sorel. As Sorel argues, when it comes to explaining typically modern phenomena such as major social movements, the fact that the people participating in them represent their action in the form of grand narratives that depict their success, becomes so evident that there seems to be little need to insist on the role of political myth (Sorel 1975: 22) Pergerakan sosial menjadi bukti dari bagaimana sebuah narasi besar dibangun. Nilai dalam keris tidak mungkin ada tanpa narasi yang digerakan seluruh aspek sosial. Sakralisasi keris Berdasarkan fakta historis, proses pembentukan discovery and invention pada kebudayaan Jawa berlangsung hampir tanpa konflik. Hal ini dikarenakan pada masyarakat Jawa terdapat dua kaidah dalam pola interaksi masyarakat Jawa. Kaidah pertama, bahwa pada setiap situasi, hendaknya manusia Jawa bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik, yang disebut sebagai prinsip kerukunan. Kaidah kedua, menuntut agar cara berbicara dan
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain yang disebut sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut menentukan bentuk konkret semua interaksi sosial pada masyarakat Jawa (H. Geertz,1961,146). Sejarah pemahaman sakaralisasi keris diadasarkan ketika pusat kerajaan bergeser ke Mataram, penyelenggaraan kekuasaan dilaksanakan berdasarkan konsep mandala yang berorientasi pada spirit, ruh, dan jiwa Islam-Jawa, yang menerapkan kembali konsep raja-dewa dalam kemasan Islam-kejawèn bernuansa mistis, magis, dan karismatik. Konsep ini makin diperkaya sesudah Mataram terbelah menjadi dua, yakni kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta, yang menerapkan kembali konsep raja-dewa berorientasi pada spirit, ruh, dan jiwa Islam-Kejawèn, di atas figur penerima ndaru, pulung, cahya nurbuat, yaitu wahyuning ratu untuk menyampaikan kebajikan Allah kepada umat manusia di muka bumi. Kuntowijoyo menjelaskan, budaya keraton berpusat pada kegiatan di negara atau negari. Negari, yang lazim disebut kota raja, tempat penghasil budaya yang bersifat lebih halus, yang mempresentasikan sofitikasi selera tinggi dan gaya hidup rumit. Budaya seperti ini disebut budaya agung. Hal ini diperhadapkan dengan budaya alit yang dipandang sederhana, kasar, dan tidak selesai (Kuntowijoyo,1987,36). Menurut Kuntowijoyo, dalam realitas sosial, dikotomi budaya agung dan budaya alit itu bukan merupakan suatu pertentangan tetapi saling bergayut, dan saling isi mengisi Jejak pergerakan keris yang tercatat dalam sejarah manusia adalah. Pada abad ke-16, keraton Mataram mempunyai ibu kota kerajaan yang semata-mata merupakan pusat konsumsi karena terletak jauh di pedalaman, jauh dari kota-kota dagang di pesisir, dan jauh dari bekas kota-kota besar di Jawa Timur. Keterisolasi dari pusat pertemuan dengan kehidupan pesisir ini merangsanga pergerakan kebudayaan yang mengakar, karena persinggungan dengan bangsa lain sangat sediki. Sejak abad ke-17, kehidupan dan peradaban semakin mantap sehingga kebudayaan Jawa berpaling dari dunia luar dan berbalik semata-mata ke dalam untuk mempertinggi, memperluas, dan memperkuat kehidupan keraton. Sifat keningratan budaya akhirnya mencapai tingkat tinggi dengan sofistikasi yang mendalam. Seni batik adalah satu bentuk seni kerajinan tangan halus yang umumnya dikerjakan oleh para wanita kalangan bangsawan dengan aneka warna dan coraknya.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Kebudayaan Hindu yang semula hanya diketahui oleh orang-orang yang mengenal bahasa Sanskerta itu pengaruhnya telah meresap ke dalam kehidupan budaya desa dan keraton. Dibandingkan dengan bangsa Eropa pada abad pertengahan, bentuk kehidupan bangsawan di Jawa tampak lebih mengakar, lebih sesuai, serta lebih erat dengan pandangan hidup orang Jawa. Oleh karena itu, bentuk kehidupan kaum bangsawan di Jawa juga tampak lebih maju, halus, dan indah dibanding bangsawan Eropa. Hal itu diakui dan diterima oleh rakyat secara bulat. Seni yang hidup dan berkembang di keraton Jawa, merupakan perwujudan dari cita-cita yang sepenuhnya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat sehingga meresap di hati masyarakat (Gustami, 2000, 196) Struktur ekonomi sosial, ketahanan kebudayaan, dan perkembangan kebangsawanan yang tidak seimbang pada kurun waktu tahun 1650-1850, saling berkait satu dengan lainnya. Peredaran uang menjadi sangat terbatas, masyarakat lebih terkonsentrasi pada kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kondisi-kondisi yang mengitari di antaranya pengaruh kekuasaan Barat (Belanda) yang semakin kokoh dengan sistem monopoli di bidang ekonomi dan politik yang kurang bersahabat, hal itu berakibat penguasa pribumi semakin terpecah-pecah, sedangkan kekuasaan pemerintahan kolonial semakin kuat. Sesungguhnya, periodisasi seni budaya tidak dapat dipisahkan secara tegas karena proses pembentukannya berlangsung secara berkesinambungan sehingga terdapat kaitan yang erat antara unsur-unsur budaya sebelum dengan seni budaya sesudahnya. Hal itu dipahami karena suatu bentuk seni budaya diciptakan melalui proses yang panjang sehingga tidak mungkin terhindarkan, terjadinya asimilasi dan akulturasi dari seni budaya yang saling bertemu. Seperti produk seni budaya pedalaman tidak mungkin dilepaskan dari seni budaya pesisir pantai utara, meskipun dalam hal-hal tertentu tampaknya terdapat perbedaan yang mencolok sebagai akibat terjadinya pergeseran peradaban yang mendorong terjadinya perubahan pola hidup dan perilaku sosial. Adanya komunitas atau kelompok masyarakat yang memberi ruang, waktu, dan kesempatan bagi tumbuh dan berkembangnya suatu bentuk kesenian memungkinkan adanya dinamika kehidupan berkesenian yang mendorong terciptanya buah-buah karya seni dalam berbagai bentuk, variasi, corak, dan gaya. Keraton sebagai pusat bermukimnya komunitas seni dan budaya selalu dekat dengan usaha-usaha pelestarian, aktivitas penciptaan, dan pencarian
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
bentuk seni yang kreatif dan inovatif serta usaha-usaha lain dalam upaya menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan kondisi zaman yang selalu berubah. According to his famous thesis,this separation at the level of mental forms between “thinking”, on the one hand, and “physical reality”, on the other, corresponds to the separation between society and nature realised by the city at the level of the social forms (Vernant 2006:386ff.) Peranan dan keterlibatan kalangan elite keraton, bangsawan, dan penguasa pemerintahan tidak dapat diabaikan. Mereka adalah para sponsor, atau pelindung seni, bahkan sering pula menjadi pelopor pembaruan dan penciptaan karya seni (Gustami, 2000, 150). Nilai-nilai tercipta semakin kaya dengan adanya kontemplasi dengan keterisolasian sehingga menciptakan sebuah akar budaya, antara lain berupa pesan berbentuk simbol yang dapat ditemukan dalam perwujudan seni rupa, seni pertunjukan, lirik-lirik sastra sebuah tembang, aneka pusaka, dan produk budaya lain yang karakteristik. Seperti adanya mitos Nyai Roro Kidul disimbolkan menjadi isteri raja yang sering mengilhami penciptaan karya seni. Kepercayaan ini berlangsung pula pada abad ke-17 hingga sekarang dan kehadirannya selalu dihubungkan dengan munculnya dinasti Mataram. Desakralisasi keris Perubahan zaman tidak dapat dielakan. Era kerajaan sudah berubah dalam wilayah Nusantara, kerajaan-kerajaan yang dulu berdiri dan memiliki kebudayaan masing-masing telah melebur menjadi Indonesia. Dalam kasus perubahan pola kebudayaan Jawa ditandai dengan terbelahnya Mataram menjadi dua pusat kekuasaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, berakibat merebaknya fanatisme daerah dan sentimen budaya yang masih satu suku ini, sehingga di antara pendukungnya timbul keinginan selalu tampil beda demi mempertahankan eksistensi dan karakteristik daerah masing-masing. Fanatisme daerah dan sentimen budaya itu justru merupakan faktor penting bagi lahirnya gaya seni Surakarta, yang berbeda dengan gaya seni Yogyakarta. Fenomena ini juga menjadi bentuk adanya sebuah gerakan budaya baru, apalagi kebudayaan Jawa juga terpengaruh dengan adanya pembentukan yang disebut kebudayaan Indonesia, karena Jawa menjadi bagian budaya Indonesia.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Namun di sini yang menjadi titik masalah terbesar dalam runtuhnya kekuatan keris sebagai sebuah simbol kebudayaan manusia Jawa. Pergerakan zaman yang tejadi dan terjadinya perang dunia dan Jawa merupakan bagian dari Indonesia. Konsep simbol yang telah terbangun demi kekuasaan politik mulai berubah. Keriss yang dulu sangat disakralkan mulai memudar kesakralannya. Keistimewaan keris sebagai simbol menjadi sebuah artefak yang tersisa dalam sebuah komunitas kecil. Keris dipandang sebagai keindahan seni rupa yang layak diperjual belikan bukan sebgai pusaka yang sakral yang hanya bisa diturunkan menjadi tanda bahwa sebuah benda mengalami degradasi kekuatan sebagai simbol yang menjadi mitos. Representasi kesadaran manusia Jawa mulai memudar dan timbul gagasan baru sesuai zaman. Hal ini sejalan dalam pernyataan Bottici yang menekankan tentang dikontinuitas dari sebuah mitos. A genealogy does not aim at any kind of exhaustiveness – in either space or time – or at setting up a comparison between the ways in which different cultures across the globe have conceived of myth. It merely seeks to question a certain view of myth, namely a view that identifies it with “unreality and untruth”, and then, by looking for its discontinuities, tries to put forward a critique of itspresuppositions. (Bottici, 2007,18) Dalam hal ini diskontinuitas adalah sesuatu yang memungkinkan menjadi sebuah kritik dari keadaan karena merasa sesuatu tidak nyata dan bukan kebenaran. Kritik ini menjadi penting ketika sebuah zaman membutuhkan cara pandang maru mengenai pemahaman lama. Mungkin tingkat kesakralan dalam hal ini keris bukanlah sebagai pusaka yang harus diturunkan, namun mitos yang telah terbentuk menjadi nilai tambah bagi nilai ekonomis suatu benda. Dengan adanya konsep ini maka kesaktian keris bukanlah suatu yang sakral, tetapi adalah sebuah komoditas. Dari seluruh pemaparan diatas penulis melihat konteks representasi kesadaran dalam keris merupakan sebuah konstruksi kebudayaan yang dibangun oleh manusia untuk menentukan arah peradabannya. Segala nilai dan simbol yang dikandung oleh keris sehingga kerispun menjadi sebuah mitos terhadap benda yang menjadi makna tertentu dalam konteks kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari konteks zaman dia berada. Diskontunitas makna merupakan pemaknaan semu hanya menggeser pemaknaan sesuai jiwa zaman dan dapat berulang sesuai dengan kondisi zaman dan pemahaman manusia terhadap kondisi dirinya.
Daftar pustaka
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Bottici, Chiara. A Philosophy of Political Myth. Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Cassirer, Ernst. Language and Myth. Trans. Susanne K. Langer. New York: Dover Publications Inc, 1953. Trans. Sprache und Mythos, 1945. Franz Magnis Suseno. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Garrett and Bronwen Solyom. The World of The Javanese Keris. Honolulu, Hawai: Published by Asian Arts Press, 1988. Haryono H. Guritno. “Sekelumit Tentang Keris, Pusaka Nusantara”. Jakarta: Rangkuman makalah yang telah diseminarkan, 1989. Harsrinuksmo, Bambang. Ensiklopedia Budaya Nasional, Keris dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya. Jakarta: Cipto Adi Pustaka, 1988. __________. Keris, Hubungan antara Esoteri dan Eksoteri. Jakarta: Museum Pusaka Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah, 1993. __________. Mengungkap Rahasia Isi Keris. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1993. __________. Pamor Keris. Jakarta: Penerbit C.V. Agung Lestari, 1995. __________. Tanya Jawab Soal Keris. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1993. Harsrinuksmo, Bambang dan Lumintu. Pengetahuan Elementer Tentang Dapur Keris dan Tombak. Jakarta: Yayasan Budhi Mandiri, 1983. Koentjaraningrat. Antropologi Sosial. Jakarta: Fa. Aksara Baru,1985 __________. Kebudayaan Mentalitas Sosial. Jakarta: P.T. gramedia, 1985. __________. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1984. Kurniasih, Puri. Skripsi Logos = Mitos Pemikiran Tentang Filsafat Menurut Chiara Bottici ,Depok, 2011 Krisna, Hutama, tesis Perkembangan Keris Jawa Tengah Dari Yang Bermakna Sakral, Simbolis Sampai Ke Cenderamata, Yogyakarta 2003 _________. Disertasi Keris Jawa Tradisional Di Daerah Yogyakarta Dan Surakarta Kontinuitas dan Perubahannya, Yogyakarta 2010 Meliono, V. Irmayanti, Disertasi Simbolisme Dalam Wiwahan, Sebuah Telaah
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014
Filosofis Dalam Tradisi Jawa, Depok 1998 Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Oxford University Press, Oxford, 1988 Van Peursen, C.A. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.
Simbol keris sebagai..., Doni Arinova, FIB, 2014