Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
SIMBOL DALAM PEMAKNAAN RUMAH TRADISIONAL BUTON THE SYMBOLS OF THE MEANING IN BUTONESE TRADITIONAL HOUSE Oleh : Ishak Kadir Staf Pengajar pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unhalu Universitas Haluoleo
ABSTRACT This research is aimed to identify and to know the symbols at Kaomu and Walaka houses like the one of Butonese traditional house concept to knowledge based Butonese social community aspect, so to identify of meaning architecture elements at kaomu house and walaka house like nobility of symbols them. This research used qualitative method to describe the meaning space in Butonese traditional house.The data was collected by deep intervie to describe about community social and culture life, So carried out the observation to describe community activities with used space. The result of this research were indication that visual sign, there is similarity between kaomu house and walaka house and different about house orientation and roof structure. The other symbols of kaomu and walaka house similarity relatives. Key word : The Symbols, Butonese Traditional House
PENDAHULUAN Bentuk arsitektur rumah tinggal di lingkungan benteng kraton Buton merupakan bentuk arsitektur rumah panggung. Pembangunan rumah tinggal tradisonal Buton dengan segala bentuk dan ornamennya diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang, serta masih tetap bertahan sebagai bangunan fungsional masa kini. Komunitas suku Buton mengenal tingkatan sosial dalam masyarakat yaitu golongan Kaomu (bangsawan) dan golongan Walaka (masyarakat biasa) berada di dalam kawasan benteng kraton dan golongan papara berada di luar benteng kraton (Kadir, 2000). Masyarakat Buton memberikan sebutan rumah Kaomu adalah Kamali atau banua tada kambero sedang rumah aparat kesultanan hanya disebut banua tada kambero bukan kamali. Ada tiga macam bentuk bangunan rumah tradisional Buton berdasarkan tingkatan social dalam masyarakat yaitu : (1) Banua tada dengan bentuk kambero, rumah untuk para pejabat kesultanan, (2) Banua tada, rumah untuk golongan walaka (masyarakat biasa) dan (3) Kamali atau Malige, rumah untuk golongan Kaomu (Bangsawan). Kamali merupakan tempat tinggal sultan, sedangkan Malige merupakan rumah yang memiliki atap bersusun dan merupakan rumah tempat tinggal kaum bangsawan (kaomu) (Andjo, 1993:43). Penelitian ini bertujuan untuk mengenal simbol dari rumah Kaomu dan Walaka sebagai salah satu konsepsi rumah tradisional Buton yang dikaji 300
Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
berdasarkan aspek-aspek sosial masyarakat Buton, serta mengidentifikasikan arti dan makna pada unsur-unsur arsitektur yang terdapat di rumah-rumah Kaomu dan Walaka sebagai simbol status mereka. Penelitian ini berlokasi di Kawasan Benteng Keraton di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Masingmasing wujud budaya saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Secara sederhana unsur-unsur wujud kebudayaan jika diurutkan maka kebudayaan itu bersumber dari ide, aktivitas dan artefak. Lebih lanjut dijelaskan Ronald (1993) dalam Ramadan (2003) bahwa ide biasanya akan sangat tampak jelas melalui suatu alat komunikasi, yang antara lain nantinya akan dapat menjawab pertanyaan tentang: apa yang dirasakan, apa yang diinginkan, apa yang akan diciptakan (rasa, karsa dan karya). Sedangkan perbuatan berkaitan dengan tutur kata, tingkah laku, tindak tanduk, sopan santun dan tindakan yang tenggang rasa. Tutur kata adalah perbuatan yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat dan bahasa tidak hanya terbatas dalam kesusastraan namun juga ada dalam dunia arsitektur. Tingkah laku merupakan keterampilan yang berkaitan dengan gerak sebagai alat. Sopan santun menggambarkan citra yang dapat memancarkan keindahan, kewajaran, kejujuran, keluwesan dan budi bahasa, yang terdapat dalam diri seseorang yang dimiliki oleh individu dan masyarakat. Tenggang rasa adalah perbuatan yang dalam pelaksanaannya dikendalikan oleh pergolakan nafsu. Tindak tanduk adalah perbuatan yang menggunakan gerakan tubuh manusia sebagai sarana untuk menempatkan dirinya dalam lingkungan masyarakat dan meyesuaikan diri dengan bentuk lingkungan masyarakatnya. Berdasarkan uraian ini kembali di jelaskan oleh Ronald (1993) dalam Ramadan (2003) bahwa berdasarkan sifat-sifat itu maka manusia dikatakan sebagai cermin Budaya dan cermin dari artefaknya. Dijelaskan oleh Jong, S.D, (1973) dalam Ramadan (2003) bahwa kualitas sifat manusia yang mempunyai status tertinggi dalam masyarakat atau pimpinan (leader) tesingkap tiga dimensi kekuatan yang biasanya terpancar dalam artefaknya. Ketiga dimensi itu adalah (1) Kharisma (charisma), Yaitu sifat yang muncul karena pembawaan dasar; (2) Kekuasaan (Authirity), Yaitu karakter yang terkait dengan norma-norma yang menjadi teladan masyarakatnya; (3) Kekuatan (power in the restricted sense), yaitu sifat yang berkenaan dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya atau sesama masyarakatnya. Jadi dalam hal ini Aktivitas arsitektur (hasil karya) berkait dengan sifat manusia dan manusia merupakan cermin kebudayaan dalam arti bahwa untuk mengetahui karya budaya maka terlebih dahulu harus melihat pemilik dari karya budaya tersebut. Tanda-tanda visual adalah ciri utama secara fisik yang dapat dilihat serta mempunyai makna dan atribut tertentu pada obyek visual tersebut (Smardon, 1986, Sumardjito, 1995) dalam Ramadan (2003). Bentley (1985) dalam Sumardjito (1995) menyatakan juga bahwa tanda-tanda visual merupakan ciri-ciri atau tanda dari obyek/sumber visual yang memberikan makna tertentu. Tanda-tanda visual tersebut dapat dicari dari elemen-elemen visual atau kaitan struktur dari elemenelemen tersebut. Senada di ungkapkan oleh Roland Bardes dalam Oliver.P (1975) tanda (sign) adalah segala hal yang memliki Arti. Untuk mengamati tanda-tanda visual yang dijelaskan diatas secara global dijelaskan oleh Habraken (1978) bahwa bentuk tatanan fisik hunian (permukiman dan bangunan) yang dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem dapat dirincikan terdiri dari (1) Spatial system,
301
Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
berkaitan dengan organisasi ruang; (2) Physical system, meliputi penggunaan sistem konstruksi dan bahan pembentuk bangunan secara keseluruhan; (3) Stylistic system, merupakan kesatuan komponen yang mewujudkan bentuk. Dijelaskan dalam White (1986), System adalah seperangkat unsur-unsur tertentu yang saling berinteraksi, atau berhubungan, atau membentuk satu kesatuan bersama. Kata simbol berasal dari kata yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto.B, 1985) dalam Ramadan (2003). Manusia adalah mahluk simbolik (animal symbolism) Artinya manusia adalah mahluk yang dapat membuat, menggunakan, dan memahami atau menangkap simbol dalam rangka adaptasinya terhadap lingkungan yang dihadapi (Greetz, 1973 : 140 dan Cassier, 1987 :36-40 ). Hidup manusia penuh dengan simbol dalam berbagai bentuk dan pernyataannya. Dalam konteks kebudayaan tertentu Simbol-simbol yang ada itu cendrung untuk dibuat atau dimengerti oleh para warga pemiliknya berdasarkan konsep-konsep yang mempunyai arti tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dijelaskan juga oleh White, (1966 : 32 – 40); Leach, (1976 : 14- 15); Suparlan , (1983) dan Rohidi (1983) dalam hubungannya dengan kebudayaan menyatakan bahwa simbol adalah segala sesuatu (artefak, peristiwa, tindakan, ucapan gerakan manusia) yang menandai atau mewakili sesuatu yang lain atau segala sesuatu yang telah di beri arti dan makna tertentu ia adalah tanda khusus yang bisa dimengerti dalam konteks yang ditafsirkan oleh kebudayaan itu sendiri. Oliver, P (1975), menyatakan bahwa simbol adalah tanda konvensional yang bersumber dari suatu kebiasaan. Rumah merupakan hasil kebudayaan; tegasnya ia adalah hasil ulah tangan dan akal atau pikiran manusia yang dipedomani oleh kebudayaannya yang terwujud dalam bentuk bangunan fisik dan yang memiliki fungsi serta nilai-nilai tertentu (Triyanto, 2001). Cohen A.P (1985), dalam Triyanto (2001) menyatakan bahwa faktor yang sangat berperan dalam bentuk dan pola rumah adalah faktor religi atau kepercayaan, bahkan dalam mesyarakat tradisional cendrung merupakan faktor yang dominan dibanding faktorfaktor lain. Disisi lain dinyatakan bahwa dalam masyarakat tradisional, seringkali dipandang bahwa rumah merupakan wujud microcosmos dari keseluruhan alam semesta. Setiap unsur yang membentuk rumah, melambangkan unsur-unsur tertentu dari alam semesta. Rumah tradisional Buton sudah ada sejak masa raja-raja sebelum Islam masuk di Buton Ketika masa Sultan Buton yang ke-4 Laelangi rumah tradisional Buton disesuaikan dengan pandangan-pandangan dalam syariat Islam dan hingga saat ini Konsep dasar rumah tradisionil suku Buton yang digunakan merupakan warisan dari masa Sultan Laelangi. Konsep rumah merupakan pencerminan dari kosmos atau bagian dari mikrokosmos yang diungkapkan pada bentuk bangunan dengan adanya kepala, badan dan kaki atau dengan kata lain rumah tradisional Buton mencerminkan manusia. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk dapat menggambarkan secara lengkap pemaknaan ruang-ruang dalam rumah tradisional Buton. Oleh karena itu wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat Buton di lokasi Penelitian,
302
Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
kemudian dilakukan pengamatan untuk dapat menggambarkan aktivitas masyarakat terkait dengan penggunaan ruang. Instrument penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrument utama. Informasi data non fisik dikompilasi dengan cara wawancara dan studi literatur. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Simbol status Kaomu dan Walaka Konfigurasi bentuk yaitu ruang bamba, tanga dan suo di lantai satu dan selalu terdapat ruang pabate dan ruang pa di lantai dua. Ketiga ruang tersebut merupakan simbol yang memvisualisasikan bentuk tubuh manusia, bamba diibaratkan sebagai kaki, tanga di ungkapkan sebagai badan dan suo diungkapkan sebagai kepala. Secara vertikal rumah terdiri atas kapeo (kolong) diungkap sebagai kaki, bamba, tanga dan Suo diungkap sebagai badan dan Pa (pabate, pamalaga dan tangkebala) merupakan bagian bahu dan tangan, kemudian pada (atap) adalah ungkapan dari kepala manusia. Secara horizontal menjelaskan bahwa ruang bamba adalah simbol dari laki-laki dan ruang tanga adalah simbol dari wanita. Ruang suo merupakan ungkapan dari simbol suami istri. Ungkapan lain yang berkaitan dengan ungkapan manusia adalah Bentuk lantai rumah di lantai satu dengan perbedaan ketinggian lantai yang rata-rata terdiri atas tiga tingkatan lantai. Simbol ini selain pembeda batas ruang secara fisik juga merupakan simbol dari nafas manusia ”naikturun” yang mempunyai makna bahwa di dalam rumah buton ada dinamika kehidupan sebagaimana kehidupan penghuninya. Adanya batasan yang jelas antara pria dan wanita selalu ditemukan dalam konfigurasi ruang di rumah kaomu dan Walaka dan pemisahan ini merupakan simbolisasi dari nilai-nilai ajaran Islam. Rumah Kaomu dan Walaka merupakan simbol dari mikrokosmos. simbol ini didasarkan pada pola susunan ruang yang ditemukan terdiri atas tiga bagian ruang yaitu ; bamba, tanga kemudian rapu, sasambiri dan juga secara vertikal kapeo, karona banua dan pa merupakan penanda yang menjadi simbol dari hakekat manusia yang sama-sama maknanya dengan makro kosmis yaitu “simbol” dari keagungan dan kebesaran Tuhan”. Pola ruang dengan susunan ruang terdapat dua bagian yaitu bagian kanan dan bagian kiri. Bagian kanan diisi dengan ruang bamba, tanga dan Suo jika di klasifikasikan memiliki nilai hirarki ruang yang tinggi, maka bagian kanan merupakan ruang yang suci sedang sisi kiri berisi ruang sasambiri rapu dan km/wc. Dari sisi kosmologis kedua rumah ini menghindari kerendahan atau lembah dengan kata lain rumah tidak menghadap kearah kemiringan tanah atau kearah lembah. Karena menurut tradisi Buton lembah, kerendahan, sungai merupakan tempat yang dianggap kotor, tidak suci dan nista. Sedangkan ketinggian dan bukit merupakan tempat yang dianggap bersih dan suci. Orientasi menurut tradisi Buton ini merupakan warisan dari nilai-nilai lama yang hingga kini masih dipertahankan oleh sebagain besar masyarakat Buton. Tiang kabelai, merupakan tanda dengan konotasi pusat namun makna simbolik berada pada posisi perletakan kabelai di bagian tanga. Posisi kabelai dibagian tanga mengindikasikan karakter penghuni rumah yaitu penghuni rumah sangat menyukai sosialisasi sesama warga yang menjadi jembatan rezeki seseorang. Jendela wanita pada sampel-sampel rumah kaomu dan walaka menggunakan teralis, sedang
303
Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
jendela pria hampir seluruhnya tidak menggunakan teralis. Penggunaan teralis juga merupakan wujud dari pengamalan nilai-nilai Islam. Perwujudan ini disimbolkan dengan pemberian teralis yang rapat pada jendela wanita agar pandangan tidak tembus kedalam sedang dari dalam keluar dapat melihat dengan jelas. Bosu-bosu terletak di pabate dan tangkebala. Simbol ini jika di artikan secara harafiah mempunyai arti tempat air yang terbuat dari tanah liat yang berbentuk seperti mangkok. Makna dari mangkok ialah wadah yang menampung rejeki. Ditempatkan di bawah pabate dan tangkebala mempunyai makna bahwa kedua ruang tersebut merupakan ruang aktivitas menenun wanita, harapannya agar segala jerih payah yang dilakukan hasilnya bisa mendatangkan rezki. Lantai yang berundak dengan balok Bulusi yang terputus pada masing-masing fungsi ruang merupakan perwujudan dari pengetahuan struktur yang dikaitkan dengan kegiatan sehingga kegiatan masing-masing ruang tidak menimbulkan efek bagi ruang-ruang lain. Tora dan totora merupakan ornamentasi dinding disamping berfungsi estetis yaitu menghasilkan irama juga memberikan kesan vertikalitas yang memberi nuansa kewibawaan bagi penghuninya karena rumah akan nampak semakin tinggi. Disamping itu tora dan totora ini juga berfungsi menutup celah pada pertemuan dinding sehingga privasi ruang didalamnya dapat terjaga. Dengan penggunaan tora sebagai estetika dan penutup celah menandakan bahwa pengetahuan akan estetika dan privasi telah menjadi bagian dari kehidupan para bangsawan sejak dahulu. Hirarki ruang ditunjukkan dengan adanya ketinggian ruang dari rendah ke tinggi. Untuk lantai satu pada karona banua lantai yang tertinggi adalah ruang suo, mempunyai letak yang tertinggi karena ruang suo diperuntukan bagi ruang kepala keluarga olehnya itu tingkat tertinggi merupakan nilai penghormatan dan nilai penghormatan senantiasa dijunjung tinggi oleh masyarakat Buton antara lain penghormatan terhadap yang lebih tua dan penghormatan terhadap kaum wanita. Lantai dua diperuntukan bagi wanita yang menjalani posuo. Oleh karena itu lantai dua mempunyai nilai yang paling tinggi dan nilai ini merupakan perwujudan dari simbol sakral. Tada Kambero merupakan simbol kekuatan, hal ini di wujudkan pada sistem struktur balok bulusi yang menghubungkan antara tiang-tiang utama di topang oleh konsol yang berbentuk kipas (tada kambero) pada sisi lebar rumah sehingga sistem struktur terkesan kokoh. Simbol ketegasan diwujudkan oleh letak tada kambero pada tiang-tiang dengan fungsi-fungsi yang berbeda pada arah panjang rumah sehingga memperkuat citra dari bagian-bagian ruang yang mempunyai ketinggian lantai yang sama namun peruntukannya berbeda. Pintu semua rumah Kaomu dan Walaka terdapat tatengkala yaitu papan setingggi 10-30 Cm. Tatengkala merupakan privasi penghuni dalam arti sebagai tanda untuk memperingatkan kepada tamu untuk mengucapkan salam sebelum mendapat izin masuk. Ragam Hias Ari-ari, merupakan simbol dari nenas hal ini terlihat bagian ari-ari terbagi atas tiga bagian menyerupai nenas yaitu tangkai, buah dan mahkota. Penggunaan simbol nenas sebagai ragam hias karena merujuk dari karakter nenas yaitu vegetasi yang mampu hidup pada semua jenis iklim, mempunyai mata yang banyak, mempunyai duri buahnya manis dan berbuah hanya satu kali dimaksudkan bahwa golongan bangsawan diharapkan mempunyai karakter serupa nenas yaitu mampu menghadapi segala permasalahan.
304
Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
Rumah Kaomu Wujud orientasi Timur Barat diperlihatkan pada perletakan tangga Utama pada sisi Timur dan ruang shalat pada sisi Barat. Orientasi ini terlihat pada semua sampel rumah kaomu dan tidak dijumpai pada sampel rumah walaka. Simbol yang lain adalah simbol naga dipuncak atap rumah. Naga dalam hal ini adalah hewan kuat namun dengan kekuatan akal maka naga dapat ditaklukkan dan di kembalikan ke asalnya. Naga terletak di belakang nenas yang memiliki makna bahwa dibalik sifat dan karakter bijak dan lembut juga terdapat sifat dan karakter yang keras. Selain itu struktur atap yang bersusun juga memberikan simbol kekuasaan serta pabate yang lebar memberikan simbol bahwa golongan kaomu (khususnya sultan) dapat menaungi dan melindungi masyarakatnya. Tiang segiempat memberikan simbol kekuasaan yang harus memikirkan kepentingan masyarakatnya dari banyak segi Rumah Walaka Rumah Walaka ditunjukan dengan orientasi menghindari lembah dan menghadap keketinggian serta penggunaan ornamentasi ary-ary. Hal lain yang berkaitan dengan simbol seperti yang dimiliki di rumah kaomu tidak ditemui pada sampel rumah Walaka. Sebagai contoh hiasan naga dan orientasi Timur tidak dijumpai di rumah walaka. Pada rumah Walaka hanya ditemukan susunan konfigurasi yang berkaitan dengan pola ruang dan hirarki ruang saja. Struktur atap tidak bersusun dengan bentuk pabate yang relatif kecil dibandingkan pabate yang ditemukan di rumah kaomu. KESIMPULAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa simbol-simbol yang diperlihatkan pada rumah Kaomu dan Walaka memiliki kesamaan dan perbedaannya hanya pada orientasi rumahnya saja yaitu rumah Kaomu menghadap ke Timur serta pada bentuk struktur atap yang bersusun. Sedangkan simbol-simbol lain yang ditunjukkan pada rumah Kaomu dan Walaka relatif sama.
DAFTAR PUSTAKA Andjo, I, N. 1999. “Rumah Adat Buton. Majalah Woloi Walalangi”, edisi II, Buton. Sulawesi Tenggara. Habraken, N.J. 1978. “General Principles of About The Way Environment of Architecture”, MIT, Massachussets. Herusatoto, B. 1985. “ Simbolisme Dalam Budaya Jawa”, Hanindita., Yogyakarta Jong, S.D. 1973. “Een Javaansche Levenskouding”. H. Veenman & Zonen B.V, Wageningen.
305
Buletin Penelitian Universitas Hasanuddin Agustus 2008, Vol 7 No.2 Edisi Khusus hal 300308
ISSN 0215‐174X
Kadir, I. 2001. “Kesinambungan dan Perubahan Pada Perkembangan Rumah Tradisional Buton di Kawasan Benteng Kraton Buton”. Sulawesi Tenggara, Tesis, UGM. Lakebo. 1986. “Arsitertur Tradisional Sulawesi Tenggara”. Proyek Inventarisasi Kebudayaan Daerah. Depdikbud. Jakarta. Oliver, Paul, 1975, “Shelter, Sign & Symbol”. Barrie & Jenkins. London Ramadan, Sachrul, 2003. Simbol Status Sultan dan Aparat Kesultanan Dalam Rumah Bangsawan di Buton Sulawesi Tenggara. Tesis UGM. Yogyakarta. Saidi, E.M., Koedoes, H., dan Awi, M. 2002. “Ikhtiar Adat Istiadat dan Budaya Masyarakat Buton”. Yayasan Keraton Wolio Buton. Sumardjito, 1995. “ Rumah Juragan di Kota Gede, Suatu Kajian Terhadap TandaTanda Visual Untuk Melihat Keragaman”. Tesis S2. UGM. Triyanto, 2001., Makna ruang dan Penataannya Dalam Arsitektur Rumah Kudus, Studi Mekar. Semarang.
306