SIKLUS HIDUP XYLEUTES CERAMICUS WALKER Life Cycle of Xyleutes ceramicus Walker
Sus Trimurti1) dan Djumali Mardji2)
Abstract. This research aimed at determining life cycle of Xyleutes ceramicus Walker, the stem borrer insect of Gmelina arborea. This research was conducted at plantatation forest of PT Surya Hutani Jaya site Sebulu and laboratory of Basic Sciences of Mulawarman University, Samarinda. The research resulted that the moths of the insect were active in the night from 7:00 to 10:00 pm. During their lives, adult moth copulates once, lays eggs twice to four times in totally of 4,000 to 12,300 eggs from each individual female. The age of egg stage was 12 days with the rate of hatching was 75 to 90 %. The age of larva in the field was expected between 7.9 to 10.9 months. The age of prepupa was 2 to 3 days and pupa 22 to 30 days with an average of 26.7 days, while the ages of moth stage was 4 to 9 days with an average of 6 days. Kata kunci: perilaku, aktivitas, ngengat, telur, larva, prapupa, pupa.
Gmelina arborea merupakan salah satu alternatif jenis pohon yang banyak dikembangkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan salah satu jenis kayu daun lebar dari famili Verbenaceae yang tergolong cepat tumbuh dan ditanam dengan skala luas. Menurut Kasmudjo (1990), G. arborea merupakan jenis pohon yang mudah ditanam, cepat tumbuh dan dapat ditanam di berbagai tempat. Kayu G. arborea memenuhi syarat untuk kayu pertukangan, konstruksi ringan, bahan baku plywood dan untuk pulp. Suhaendi dan Djapilus (1979) menyatakan, bahwa G. arborea merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki keunggulan, antara lain merupakan jenis yang cepat tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi, mudah dikembangkan, kayunya bagus untuk bahan konstruksi serta mempunyai arti penting untuk penghutanan kembali dan pembangunan HTI, yang menghasilkan kayu pertukangan dan bahan baku industri pulp dan kertas. Seperti halnya lokasi perkebunan lainnya, HTI yang monokultur, seumur dan pada areal yang luas cenderung memacu perkembangan dan penyebaran hama, salah satu hama yang menyerang tanaman G. arborea adalah Xyleutes ceramicus (Cossidae, Lepidoptera) (Ngatiman dkk., 1996; Anonim, 2000). Larva serangga ini merupakan hama penggerek batang yang sangat merusak. Bentuk kerusakan dicirikan adanya lubang gerek yang ditutupi oleh kotoran hasil gerekan serta terdapatnya cairan warna hitam kotor.
______________________________________________________________ 1) Fakultas MIPA Unmul, Samarinda 2) Laboratorium Perlindungan Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
86
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
87
Lubang gerek berbentuk bulat panjang dengan diameter 1,5 cm dan kedalamannya bisa mencapai 35 cm. Arah lubang mula-mula tegak lurus sumbu batang, kemudian miring ke atas dengan sudut kurang lebih 45o. Bagian yang diserang hanya sebatas ketinggian 2 m dari permukaan tanah (Soeyamto dan Mardji, 1986). Dari penelitian Anonim (2000), didapatkan setiap pohon terdapat 1 atau 2 larva X. ceramicus. Pada tanaman G. arborea yang berasal dari benih, hama mulai menyerang setelah tanaman tersebut berumur 6 bulan, sedang tanaman yang berasal dari stek dapat terserang sejak di persemaian. Intensitas serangan hama ini berkisar antara 941 %. Serangan hama ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor klon maupun keturunan. Mengingat semakin meluasnya penanaman G. arborea di Indonesia pada umumnya dan di PT Surya Hutani Jaya khususnya, maka perlu diimbangi dengan penelitian-penelitian yang mengarah kepada sifat biologi hama, sehingga memudahkan dalam penentuan waktu pengendaliannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siklus hidup dari X. ceramicus dan dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh PT Surya Hutani Jaya khususnya dan perusahaan lain pada umumnya dalam mengantisipasi ledakan (epidemi) X. ceramicus pada G. arborea bila kondisi memungkinkan. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama 3 bulan (Agustus sampai Oktober 2000). Lokasi penelitian adalah di Hutan Tanaman Industri PT Surya Hutani Jaya Sebulu dan Laboratorium Fakultas MIPA Universitas Mulawarman, Samarinda. Sebelum melakukan penelitian dilakukan orientasi lapangan untuk menentukan adanya serangan penggerek batang X. ceramicus pada hutan tanaman G. arborea. Larva X. ceramicus dipilih yang sudah besar yang diambil dari pohon yang terserang dengan ciri-ciri batang membengkak atau banyak terdapat kotoran hasil gerekan di bawah lubang gerek, kemudian pohon dipotong dan dibelah menggunakan parang. Sebanyak 30 larva diambil untuk pengamatan biologinya. Sebanyak 3 batang G. arborea berdiameter 4–5 cm dengan panjang 25 cm diikat menjadi satu. Larva-larva yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam celahcelah 3 batang tersebut untuk dipelihara dan diamati biologinya di laboratorium. Parameter yang diamati pada pengamatan di laboratorium ialah: ciri-ciri morfologi larva, perkiraan umur larva di dalam batang, lama stadium larva tidak aktif sebelum menjadi pupa, umur stadium pupa dan umur stadium dewasa. Pengamatan dilakukan dengan membuka ikatan potongan batang G. arborea. Setelah larva berubah menjadi pupa dipindah ke dalam kurungan berupa kelambu dan diamati setiap hari untuk melihat keluarnya ngengat dari kepompong. Untuk mengetahui kemampuan bertelur (keperidian) ngengat X. ceramicus, maka dipilih pohon yang berumur 6 bulan sebanyak 3 pohon untuk 3 kali ulangan. Kemudian masing-masing pohon dikurung dengan kain kasa 1,5 x 1,5 m. Pada masing-masing plot pengamatan dilepaskan sepasang ngengat X. ceramicus. Ngengat tersebut sebelumnya ditangkap dengan menggunakan perangkap yang terbuat dari kain putih selebar 2 m dan tinggi 1,2 m yang dibentangkan di antara
88
Trimurti dkk. (2006). Biologi Xyleutes ceramicus Walker
pohon satu dengan lainnya dan diterangi dengan cahaya dari lampu neon 10 watt yang diletakkan di bagian atas kain tersebut. Setelah ngengat datang kemudian ditangkap dengan jaring serangga. Parameter yang diamati pada pengamatan keperidian ialah: i) saat dan perilaku kawin: diamati mengenai saat terjadinya perkawinan, perilaku kawin dan jumlah perkawinan yang terjadi selama satu generasi, ii) peletakkan dan jumlah telur: diamati saat mulainya bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan, iii) umur ngengat dewasa: dicatat umur ngengat jantan dan betina, iv) jumlah telur yang menetas untuk kemudian dihitung persentasenya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gejala Serangan dan Perilaku Larva Pohon yang terserang oleh larva X. ceramicus selalu ditandai adanya lubang gerek. Pada satu pohon biasanya terdapat hanya satu lubang gerek dengan satu larva di dalamnya, kadang dijumpai satu pohon dengan lebih dari satu lubang tetapi dengan umur stadium larva yang tidak sama, terlihat dengan perbedaan ukuran butiran kotoran hasil gerekan. Permukaan lubang gerek ditandai dengan adanya kotoran hasil gerekan dan adanya cairan berwarna hitam. Lubang gerek berbentuk bulat dengan diameter ±1,5 cm. Arah lubang gerek pertama-tama tegak lurus sumbu pohon, kemudian lubang gerekan menuju ke atas dengan sudut ±45, selanjutnya menuju ke arah sumbu pohon setelah sampai di empulur. Hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh Ngatiman dan Tangketasik (1987). Cara membuat lubang gerek yang selalu mengarah ke atas ini mungkin dengan maksud supaya larva dan pupa yang ada di dalamnya tidak terendam air, sehingga larva tidak mati. Lubang gerek pada awalnya sangat kecil, semakin lama semakin besar sesuai dengan hasil gerekan yang dikeluarkan, karena lubang gerek selain digunakan untuk masuk, juga untuk mengeluarkan kotoran hasil gerekan. Hasil gerekan selalu dikeluarkan melalui lubang gerek, sehingga lubang gerek selalu bersih seperti terowongan. Pada beberapa kasus, kotoran hasil gerekan tidak dikeluarkan, sehingga pada lubang gerek tumbuh kalus yang menyebabkan lubang gerek tertutup. Pada keadaan seperti ini akan menyebabkan lubang gerek berkelok-kelok dan pada tanaman yang masih kecil menyebabkan pembengkakan yang lebih besar. Lubang gerek terbentuk mulai 0 sampai 200 cm dan tidak pernah dijumpai serangan di atas 200 cm dari permukaan tanah. Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan yang dilaporkan oleh Komariah (1985), Soeyamto dan Mardji (1986). Hal ini mungkin dikarenakan kebiasaan X. ceramicus dewasa meletakkan telur di pangkal batang, sehingga setelah menetas larva mendapatkan tempat yang cocok tidak jauh dari tempatnya. Selain adanya kotoran hasil gerekan dan cairan yang dikeluarkan, akibat serangan larva ini pada tanaman G. arborea yang masih kecil dengan diameter kurang dari 7 cm dapat dilihat adanya pembengkakan batang pada daerah yang terserang. Dengan adanya serangan tersebut, maka pertumbuhan batangnya tidak bagus dan mudah patah karena adanya lubang di bagian tengahnya. Pada pohon yang sudah dewasa berdiameter lebih dari 10 cm, serangan larva ini tidak begitu
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
89
berpengaruh terhadap pertumbuhannya, hanya saja kualitas batangnya turun karena adanya lubang. Dengan demikian pencegahan yang lebih efektif adalah menjaga tanaman muda umur kurang dari 2 tahun agar tidak terserang hama X. ceramicus, sehingga produksi tanaman akan tetap tinggi. Bentuk serangan X. ceramicus yang masih baru ditandai luka yang mengeluarkan cairan warna bening keruh dan adanya kotoran hasil gerekan yang masih basah. Butiran hasil gerekan yang dikeluarkan masih sangat halus. Pada serangan awal ini belum terlihat adanya pembengkakan batang walaupun batang yang terserang masih kecil. Bentuk serangan yang sudah lama ditandai dengan kotoran hasil gerekan yang dikeluarkan melalui lubang gerek dan adanya cairan warna hitam pada lubang gerek. Besar kecilnya larva yang ada di dalam lubang bisa diperkirakan dengan melihat banyak sedikitnya kotoran hasil gerekan yang dikeluarkan dan juga besar kecilnya tekstur kotoran hasil gerekan. Semakin banyak hasil gerekan dan semakin besar tekstur hasil gerekan, maka semakin besar larva yang ada di dalamnya. Selain melihat hasil gerekan, pada tanaman dengan diameter yang masih kecil, besar kecilnya larva dapat diperkirakan dari besar kecilnya bengkak batang yang ditimbulkan. Semakin besar bengkak yang ditimbulkan semakin besar larva yang ada di dalamnya. Sebelum larva berubah menjadi pupa pada stadium akhir dari larva, terlebih dahulu larva menyiapkan lubang untuk keluar dari lubang gerek menjadi ngengat. Lubang ini disiapkan dengan cara memakan seluruh kayu pada tempat tertentu sehingga tinggal kulit kayunya. Lubang keluar yang disiapkan ini biasanya lebih rendah dari lubang gerek. Pada tahap akhir metamorfose, yaitu peralihan dari pupa menjadi dewasa (imago) pupa menembus lubang gerek yang telah disiapkan. Kemudian imago akan meninggalkan kerangka pupanya di dalam lubang gerek. Kerangka pupa yang ditinggalkan terbelah di bagian kepala menjadi 2 bagian. Setengah bagian panjang pupa yang ditinggalkan berada di dalam lubang gerek dan bagian yang lain ada di luar lubang gerek. Stadium Dewasa (Imago) Dari pengamatan di laboratorium diketahui, bahwa iImago (ngengat) X. ceramicus aktif pada malam hari antara pukul 19.00 sampai 21.30. Hal ini sama dengan yang dilaporkan Hirowatiri (1998) yang mengadakan observasi tentang X. ceramicus dan melakukan penangkapan pada malam hari. Selain jam-jam tersebut ngengat ini diam pada suatu tempat dan tidak terpengaruh adanya gerakan. Ngengat X. ceramicus mempunyai kepakan sayap yang cukup kuat ditandai dengan suara kepakan sayap yang cukup nyaring saat dipelihara di dalam kurungan kain kasa. Pada jam-jam aktif, serangga ini aktif terbang di dalam kurungan atau sayapnya selalu digerakkan walaupun dengan kaki yang tetap menempel pada kain kasa. Pada saat jam-jam tidak aktif, X. ceramicus selalu merapatkan sayapnya, hal ini berbeda dengan kebiasaan ngengat yang terbang malam, yaitu selalu membentangkan sayapnya pada saat hinggap pada suatu tempat.
90
Trimurti dkk. (2006). Biologi Xyleutes ceramicus Walker
Ciri morfologi dari imago X. ceramicus ialah mempunyai panjang dari kepala (caput) sampai perut (abdomen) ±6 cm. Tubuh berbentuk silindris dengan diameter tubuh ±1 cm. Panjang bentangan sayap ±10 cm. Sayap berwarna kecoklatan dengan bercak warna hitam dan putih yang mencolok. Tubuhnya bersisik dan berwarna abu-abu keputihan. Kepala mempunyai mulut yang terletak di bagian bawah kepala (hypognathous), kepala relatif kecil bila dibandingkan dengan besar tubuhnya. Mempunyai mata majemuk yang terlihat jelas. Mempunyai sepasang antenna yang panjang dan langsing. Menurut Besson (1940) dalam Karyono (2000), X. ceramicus mempunyai panjang tubuh 4–8 cm. Panjang bentangan sayap antara 8–16 cm dengan rata-rata 10 cm.
Perbedaan tubuh imago betina dan yang jantan jelas dapat dilihat dari ukuran tubuhnya. Imago betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar daripada yang jantan. Selain itu juga dapat dibedakan adanya ovipositor yang berfungsi untuk meletakkan telur di bagian belakang perut (posterior abdomen) imago betina yang tidak ditemukan pada yang jantan. Antenna bertipe bipectinate dengan panjang rata-rata 0,8 cm, hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh Komariah (1985). Bentuk antenna dapat dibedakan dengan jelas antara jantan dan betina, yaitu pada betina berbentuk lurus panjang, sedangkan yang jantan pada bagian pangkal antenna terdapat garis-garis yang berbentuk seperti sisir. Ovipositor yang digunakan untuk meletakkan telur pada yang betina tampak jelas di bagian bawah posterior abdomen. Ovipositor ini akan dijulurkan keluar pada saat digunakan mencari tempat untuk bertelur. Pada saat imago tidak aktif di siang hari, ovipositor dimasukkan ke dalam abdomen, sehingga sangat sedikit bagian yang terlihat. Pada saat bertelur tersebut bentuk ovipositor sangat jelas terlihat dengan panjang antara 3–4 cm hampir setengah panjang tubuhnya dan lebarnya antara 0,4–0,5 cm. Stadium Telur Pengamatan terhadap telur dilakukan dengan menangkap serangga dewasa betina kemudian dipelihara di dalam kurungan kain kasa. Dari lapangan didapatkan 2 ekor X. ceramicus dewasa betina yang masing-masing berumur 3 dan 7 hari setelah ditangkap. Serangga yang pertama ditangkap dengan jaring pada malam hari saat terbang mendatangi lampu, sedang serangga kedua ditangkap menggunakan tangan pada siang hari di lapangan saat hinggap pada pohon. Selama dipelihara di dalam kurungan kain kasa, imago betina pertama menghasikan telur ±3500 butir sebanyak 2 kali bertelur, sedangkan induk betina kedua menghasilkan telur sebanyak ±8000 butir dari 3 kali bertelur yaitu pada hari ke 2, 4 dan 6 setelah penangkapan. Sedikitnya jumlah telur dari ngengat pertama dimungkinkan sebelum tertangkap induk betina ini sempat bertelur di lapangan, sehingga jumlah telur yang dihasilkan jauh lebih sedikit daripada induk betina kedua, begitu pula umurnya juga lebih pendek. Dari telur yang dihasilkan kemudian dipindahkan ke dalam cawan Petri dengan diameter 10 cm. Dari induk pertama, telur menetas setelah 12 hari dengan
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
91
persentase penetasan telur sekitar 90 %, tetapi dari induk kedua tidak ada sama sekali telur yang menetas. Hal ini dimungkinkan pada induk pertama telah lama hidup di hutan sebelum tertangkap dan sempat mengadakan perkawinan dengan induk jantan di lapangan, ini terbukti dari telur yang dihasilkan hampir semuanya menetas dan induk ini hanya mampu bertahan 3 hari di dalam kurungan. Sementara induk kedua tertangkap setelah belum lama keluar dari kepompong, sehingga belum sempat mengadakan perkawinan dengan induk jantan, terbukti dari semua telur yang dihasilkan tidak ada yang menetas dan mampu hidup selama 7 hari di dalam kurungan. Telur yang menetas hanya berasal dari induk yang mengalami kawin, hal ini terlihat dari hasil pemeliharaan di laboratorium, semua telur dari induk yang tidak kawin tidak ada yang menetas. Peletakkan telur dilakukan pada malam hari didahului dengan pencarian tempat bertelur menggunakan ovipositornya. Telur diletakkan secara berkelompok dan lebih dari satu tempat untuk setiap kali bertelurnya. Telur keluar dari ovipositor secara berurutan dan saling menempel satu dengan yang lain. Telur yang baru keluar ini berwarna kuning muda dan berubah menjadi kuning tua sejalan dengan umur telur. Setiap kali bertelur bisa menghasilkan 4.000 telur dan selama hidupnya satu induk bisa menghasikan lebih dari 12.000 telur. Telur berbentuk lonjong dengan diameter ±0,4 mm dan tinggi ±0,7 mm. Karena sangat kecilnya ukuran telur yang dihasilkan, maka sangat sulit menemukan telur di lapangan. Menurut informasi secara langsung dari Makihara (2001), serangga ini meletakkan telurnya di pangkal batang tanaman G. arborea dan telur menetas setelah 10 hari. Stadium Larva Stadium larva merupakan satu-satunya stadium yang merusak dari stadium yang ada. Setelah telur menetas, larva mencari tempat yang cocok untuk mendapatkan makanan dengan berjalan meninggalkan kelompoknya. Hal demikian juga dikemukakan oleh Natawiria (1996) yang menyatakan setelah telur menetas, larva mula-mula menggerek jaringan yang lemah kemudian menggerek kayu hingga mencapai kayu teras. Ciri morfologi dari larva ini seperti yang dikemukakan oleh Komariah (1985) dan Karyono (2000), bahwa X. ceramicus mempunyai panjang tubuh 5–7 cm dengan diameter ±1 cm, mempunyai 5 pasang kaki abdominal (prolegs) dengan 4 pasang kaki pertama mempunyai kait kecil (crochet). Pada kiri kanan bagian tubuh terdapat 9 pasang lubang pernapasan (spirakulum) yang berfungsi sebagai alat pernapasan. Tubuh larva berwarna putih kotor, kepala berwarna coklat tua, prothorax berwarna putih terang, bagian segmen abdomen terlihat pita transversal berwarna merah keunguan. Larva dari X. ceramicus termasuk type polyphoda, yaitu larva yang mempunyai banyak kaki. Larva yang baru menetas mempunyai ukuran yang sangat kecil dengan panjang ±0,2 cm dan diameter ±0,05 cm. Saat baru menetas, kepala (caput) berwana hitam dan abdomen berwarna kuning pucat. Pada larva ini belum terlihat dengan jelas adanya pita transversal berwarna merah keunguan.
92
Trimurti dkk. (2006). Biologi Xyleutes ceramicus Walker
Pada saat telur menetas, terlihat kumpulan benang yang berwarna putih seperti buih. Benang-benang ini digunakan untuk pegangan larva dari goncangan sehingga tidak jatuh. Masing-masing larva tersebut kemudian melepaskan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang cocok. Untuk mengetahui kemampuan larva menggerek batang, diambil larva yang baru menetas, kemudian diletakkan ke dalam 5 potong kayu G. arborea yang masing-masing ditempatkan 5 ekor larva. Setelah 20 hari dilihat kemampuan hidup larva dengan cara membelah batang untuk melihat jumlah larva yang mampu menggerek batang dan yang mampu bertahan hidup. Hasil selengkapnya terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase Kemampuan Larva Menggerek Batang G. arborea pada 20 Hari setelah Menetas, Masing-masing 5 Larva pada setiap Batang Nomor batang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rataan Standar dev.
Jumlah tak mampu menggerek (ekor) 3 2 2 4 4 4 3 4 2 2
Jumlah lubang gerek 2 3 3 1 1 1 2 1 3 3
Hidup (ekor) 0 2 1 0 1 0 0 0 0 1
Mati (ekor) 2 1 2 1 0 1 2 3 3 2
30 3 0,9
20 2 0,9
5 0,5 0,7
17 1,7 0,9
Panjang tubuh larva (cm) 0,6; 0,7 1,1 0,5
0,5
Pada Tabel 1 terlihat, bahwa kemampuan gerek larva yang baru menetas sangat rendah yaitu dari 50 ekor, yang mampu menggerek hanya 20 ekor (40 %), sedangkan 30 ekor (60 %) lainnya tak mampu menggerek batang. Pada tabel tersebut juga dapat dilihat, bahwa dari 20 ekor larva, yang mampu hidup hanya 5 ekor (25 %), sedangkan 15 ekor (75 %) lainnya mati. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan kondisi batang yang dipotong dengan yang masih hidup di hutan. Pada batang yang sudah dipotong, kandungan cairannya sangat kurang, sehingga menyebabkan larva kekurangan makanan. Keadaan larva kurus kering, selama 20 hari hanya mengalami pertambahan panjang 0,3–0,9 cm. Hal ini sangat berbeda dengan larva yang berumur kurang lebih sama (dilihat pada gerekan baru) yang ditemukan di lapangan, yaitu mempunyai diameter lebih besar dan lebih segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Anomin (2000) yang menyatakan, bahwa larva memakan cairan dari kayu yang digereknya dan sebagian dari kalus inangnya. Untuk memenuhi kebutuhan makanan tersebut, maka larva yang ada tidak langsung menggerek batang seperti yang ada di lapangan tetapi larva menggerek dengan pola menggelang batang.
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
93
Untuk memperkirakan umur larva di hutan dilakukan pengukuran pertama terhadap 12 larva dan diukur lagi setelah 35 hari. Dari pengukuran didapatkan hasil seperti tampak pada Tabel 2. Pada tabel tersebut dapat dilihat, bahwa larva yang mengalami pertambahan panjang paling sedikit adalah larva yang mempunyai panjang awal 5,2 cm yaitu bertambah 0,1 cm, sedangkan yang mempunyai pertambahan paling panjang adalah larva dengan ukuran awal 1,1 dan 1,6 cm yang bertambah 1,9 cm. Tabel 2. Pertambahan Panjang Larva setelah Berumur 35 Hari Nomor larva 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah Rataan Standar dev.
Panjang awal (cm) 4,8 1,1 2,2 5,2 4,3 3,4 4,8 4,0 1,6 2,4 5,2 5,0 44,9 3,7 1,5
Panjang akhir (cm) 5,2 3,0 3,7 5,4 4,5 4,3 5,1 4,4 3,5 3,8 5,5 5,3 53,7 4,5 0,8
Pertambahan panjang (cm) 0,4 1,9 1,5 0,2 0,2 0,9 0,3 0,4 1,9 1,4 0,1 0,3 9,5 0,8 0,7
Rata-rata pertambahan panjang dari ke 12 larva adalah 0,8 cm selama 35 hari. Dari hasil ini dapat diperkirakan umur larva di habitatnya, yaitu antara 236 hari (7,9 bulan) sampai dengan 324 hari (10,8 bulan), perkiran ini juga berdasarkan panjang kerangka pupa yang ditemukan di lapangan rata-rata antara 5,4 sampai 7,4 cm. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan yang dikemukakan oleh Komariah (1985) yang menyatakan lama stadium larva lebih dari 8 bulan. Prapupa dan Pupa Prapupa merupakan stadium antara dari larva ke pupa. Pada stadium ini larva tidak aktif, baik menggerek maupun makan. Prapupa terletak di ujung ruang gerek dan mengeluarkan benang-benang untuk membungkus pupa. Pada stadium ini pita transversal yang berwarna ungu memudar warnanya, sehingga keseluruhan larva berwarna putih. Tipe pupa dari X. ceramicus merupakan tipe obtecta yaitu mempunyai mandibula yang menempel pada kepala dan tak dapat digerakkan. Panjang pupa rata-rata 6 cm dengan diameter 1 cm. Pupa berwarna coklat, semakin lama semakin gelap sesuai dengan umur pupa. Di bawah ini ditampilkan ukuran pupa yang telah ditinggalkan imagonya yang dari pemeliharaan di laboratorium dan yang ditemukan di lapangan.
94
Trimurti dkk. (2006). Biologi Xyleutes ceramicus Walker
Pada Tabel 3 dapat dilihat adanya perbedaan panjang pupa. Pupa yang ditemukan di lapangan mempunyai ukuran yang lebih panjang yaitu antara 7,0 sampai 7,9 cm dengan rata-rata 7,4 cm untuk pupa betina dan 5,2 sampai 5,5 cm dengan rata-rata 5,4 cm untuk pupa jantan, sedangkan pupa yang dipelihara di laboratorium mempunyai panjang antara 5,0 sampai 6,2 cm dengan rata-rata 5,8 cm untuk betina dan 4,5 sampai 4,9 cm dengan rata-rata 4,7 cm untuk yang jantan. Perbedaan panjang pupa ini disebabkan larva yang dipelihara di laboratorium kekurangan makanan, sehingga berusaha untuk mempercepat masa stadium larvanya dan berubah menjadi pupa. Keadaan demikian sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Sulthoni (1990) yang menyatakan, bahwa jumlah serangga serta panjang periode perkembangan hidupnya juga dipengaruhi oleh macam dan kualitas dari makanan yang dibutuhkan. Perbedaan pupa jantan dan betina dapat dilihat dari ukuran tubuh dan dari bentuk pupanya. Pupa betina lebih besar daripada yang jantan, pada pupa betina bagian abdomennya menggembung, sedang yang jantan tidak. Tabel 3. Panjang Kerangka Pupa yang Ditinggalkan Imago (dalam cm) di Laboratorium dan di Hutan (Lokasi Penelitian) Nomor pupa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rataan Standar dev.
Laboratorium Betina 5,0 6,2 5,2 6,1 6,2 5,8 6,2 5,4 6,0 6,1 58,1 5,8 0,5
Hutan Jantan 4,8 4,5 4,8 4,9 4,7
Betina 7,9 7,6 7,3 7,0 7,4
Jantan 5,2 5,5
23,7 4,7 0,2
37,2 7,4 0,3
10,7 5,4 0,2
Stadium Dewasa (Imago) Pada saat imago akan keluar, pupa bergerak mendekati lubang yang telah disiapkan. Kemudian bagian caput pupa membelah secara vertikal untuk keluarnya imago yang keluar pada siang hari antara pukul 10.00 sampai 15.00. Pada saat keluar, perkembangan sayap belum sempurna dan bentuknya berlipat-lipat. Hal demikian juga dikemukakan oleh Borror dkk. (1992) yang menyatakan, bahwa imago muda biasanya pucat warnanya bila pertama kali keluar dari pupa dan sayapnya pendek lunak dan berkerut. Pada saat yang singkat dari beberapa menit atau jam sayap-sayap berkembang dan mengeras serta terbentuk pigmentasi. Dari imago yang dipelihara di laboratorium, yaitu dengan dipelihara di dalam kurungan, diamati mengenai: saat dan perilaku kawin, peletakkan dan jumlah
telur serta umur imago.
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
95
1. Saat dan perilaku kawin Serangga betina mengadakan perkawinan pada hari ke 2, sedangkan yang jantan kawin pada hari pertama setelah keluar dari pupa. Perkawinan dimulai pada malam hari pukul 20.00 dan berlangsung sangat lama antara 2,5 sampai 8 jam dan hanya sekali mengadakan perkawinan selama hidupnya. Saat kawin, jantan dan betina hinggap pada suatu tempat dan dilakukan tidak sambil jalan-jalan. Posisi jantan dan betina bisa berdampingan, kemudian bagian posterior abdomen saling bertemu, bisa juga betinanya menempel pada suatu tempat dan abdomen jantan menempel pada abdomen betina, sehingga posisi jantan menggantung. 2. Peletakan dan jumlah telur Telur yang dikeluarkan dari ngengat betina ditimbang sebagian dan dihitung jumlahnya, kemudian telur yang telah dihitung ini digunakan sebagai pembanding jumlah telur lainnya. Penghitungan jumlah telur dilakukan satu kali dari satu induk betina yang dipelihara di dalam gelas Beaker berdiameter 15 cm dan tinggi 20 cm, kemudian untuk menentukan jumlah telur yang lain dilakukan dengan membandingkan besar kecilnya kelompok telur dengan telur yang sudah dihitung. Hal ini dilakukan karena sebagian besar telur diletakkan di kelambu oleh imago betina, sehingga tak dapat dihitung. Di bawah ini disajikan tabel saat peletakkan dan jumlah telur yang dihasilkan. Tabel 4. Saat Peletakkan Telur dan Jumlah Telur yang Dihasilkan dari Masing-masing Imago Nomor imago 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 -
2 + + + + + + + + + -
3 + + + + + + + + + +
Hari setelah keluar dari pupa 4 5 6 7 + + + + mati + mati + + + mati + + + + + mati + mati + + + mati + mati + + + + + +
Rataan Keterangan: + = bertelur. - = tidak bertelur
-
-
8 mati mati + mati mati mati + mati
9 mati mati -
10 -
-
-
-
Jumlah telur (butir) 7.000 6.000 8.000 10.500 7.000 12.000 10.000 4.000 8.000 12.300 6.000 7.000 9.000 11.000 11.000 8.120
Pada Tabel 4 dapat dilihat, bahwa serangga betina mulai bertelur pada hari kedua atau ketiga baik induk tersebut mengalami perkawinan atau tidak. Selama hidupnya serangga betina bertelur 2 sampai 4 kali yang diletakkan secara bergerombol di berbagai tempat untuk satu kali bertelur. Serangga ini bertelur pada malam hari yaitu pada jam-jam aktif dari pukul 20.00 sampai 22.00 yang
96
Trimurti dkk. (2006). Biologi Xyleutes ceramicus Walker
didahului dengan pencarian tempat untuk meletakkan telur menggunakan ovipositornya. Jumlah telur yang dihasilkan antara 4.000 sampai 12.300 butir dengan rata-rata 8.120 butir. Hal ini tidak jauh berbeda dengan informasi secara langsung dari Makihara (2001) yang menyatakan jumlah telur bervariasi antara 5.000 sampai 17.000 butir per individu. Telur yang dihasilkan dari induk yang tidak mengalami perkawinan tidak ada yang menetas. Hal ini dimungkinkan karena telur tersebut tidak mengalami pembuahan oleh sel kelamin jantan, sehingga tidak menetas. Telur yang didahului dengan perkawinan tidak semuanya menetas, melainkan hanya sekitar 75 %, jumlah ini lebih sedikit daripada telur yang dihasilkan oleh imago yang ditangkap di lapangan dengan persentase penetasan telurnya mencapai 90 %. Hal ini dimungkinkan karena kualitas makanannya berbeda pada saat stadium larva. Selama dipelihara di laboratorium, larva hidup dengan memakan batang yang mati, sedangkan di lapangan mendapat makanan dari pohon hidup, sehingga berpengaruh terhadap kondisi pada stadium imago, yang dapat terlihat dengan aktivitas yang lebih lambat dari imago yang didapat dari lapangan. 3. Umur imago Dari hasil pengamatan di laboratorium diketahui, bahwa ngengat dewasa yang berasal dari larva yang dipelihara di laboratorium berumur antara 5 sampai 9 hari atau rata-rata 7 hari, sedangkan yang jantan berkisar antara 4 sampai 6 hari atau rata-rata 5 hari seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Umur Ngengat Betina dan Jantan di Laboratorium Nomor ngengat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah Rataan Standar dev.
Betina (hari) 8 7 6 8 7 9 8 5 7 8 6 6 8 9 8 110 7,2 1,175139
Jantan (hari) 6 4 5 4 5
24 5,0 0,83666
Siklus Hidup X. ceramicus Untuk mengetahui umur dari masing-masing stadium X. ceramicus, maka dilakukan pengamatan dengan cara memelihara larva di dalam 3 batang G. arborea yang diikat menjadi satu dan pangkalnya direndam di dalam air. Dari pengamatan
97
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
yang dilakukan selama hampir 3 bulan diketahui umur dari masing-masing stadium seperti ditampilkan pada Tabel 6. Umur stadium larva yang dipelihara sampai berubah menjadi pupa di laboratorium adalah antara 24 sampai 52 hari dengan ratarata 39,6 hari. Stadium prapupa antara 2 sampai 3 hari dengan rata-rata 2,3 hari. Stadium pupa antara 22 sampai 30 hari dengan rata-rata 26,7 hari, umur ini lebih lama dari yang dilaporkan oleh Komariah (1985) yang menyatakan umur pupa rata-rata 21 hari, stadium imagonya antara 4 sampai 6 hari untuk jantan dan 6 sampai 9 hari untuk betina dengan rata-rata 6,8 hari. Larva yang diambil dari lapangan dengan panjang antara 5,0–7,5 cm, kemudian dipelihara sampai mati di laboratorium memerlukan waktu antara 63 sampai 90 hari dengan rata-rata 75 hari. Dari hasil pemeliharaan di laboratorium diketahui bahwa tidak ada pengaruhnya antara panjang larva dari lapangan dengan lamanya pemeliharaan. Hal ini dimungkinkan karena selama pemeliharaan larva mendapat makanan yang sama, yaitu batang G. arborea yang sudah mati. Dengan demikian larva sama-sama dalam kondisi yang tidak sesuai dan mempercepat proses metamorfosenya. Tabel 6. Umur dari Masing-masing Stadium Xyleutes ceramicus Nomor larva
Panjang Umur larva larva (cm) (hari) 1 7,1 29 2 5,5 46 3 5,0 48 4 6,6 44 5 5,6 48 6 5,9 50 7 6,6 52 8 6,2 24 9 5,9 40 10 6,4 40 11 5,6 36 12 5,0 42 13 5,3 27 14 6,0 42 15 5,8 42 16 7,5 42 17 7,2 32 18 6,8 32 19 6,3 36 Jumlah 118,3 752 Rataan 6,2 39,6 Standar dev. 0,8 7,9 Keterangan: x = imago yang kawin
Umur prapupa (hari) 3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 2 2 44 2,3 0,5
Umur pupa (hari) 28 30 24 29 25 27 27 24 26 23 27 28 29 22 23 29 29 29 28 507 26,7 2,5
Umur imago (hari) 8 7 6 8 6 7 9 8 5 7 4 5 4 8 6 6 8 9 8 129 6,8 1,6
Jumlah (hari) 68 85 80 83 82 86 90 58 73 72 70 77 63 75 78 79 71 72 74 1511 75,6 8,0
Kelamin ♀=betina ♂=jantan ♀ ♀ ♀ ♀ ♂ ♀ ♀ ♀ ♀ ♂ ♂ ♂ ♀ ♀ ♀ ♀ ♀ ♀
Ket.
x x x x -
Dari Tabel 6 diketahui perbandingan betina dan jantan (sex-ratio) adalah 71,2 %. Menurut Sulthoni (1990), angka sex-ratio ini di dalam kondisi yang ideal tetap untuk setiap jenis serangga, sehingga merupakan suatu konstanta. Fungsi sex-ratio adalah untuk memperkirakan perkembangan populasi serangga di lapangan,
98
Trimurti dkk. (2006). Biologi Xyleutes ceramicus Walker
sehingga memungkinkan untuk usaha pengendaliannya. Dengan mengetahui imago jantan lebih sedikit di lapangan memungkinkan untuk pengendalian hama ini dengan menangkap imago jantannya menggunakan zat pemikat (pheromone). KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Gejala serangan X. ceramicus pada tanaman G. arborea ditunjukkan dengan adanya lubang disertai dengan kotoran hasil gerekan dan cairan yang berwarna hitam pada pohon, serta terjadinya pembengkakkan pada batang berdiameter kurang dari 10 cm. Jumlah telur yang dihasilkan antara 4.000 sampai dengan 12.300 butir per induk betina dan lamanya hidup larva di dalam pohon antara 7,9 sampai 10,8 bulan, dengan demikian serangga ini berpotensi merusak tanaman G. arborea dengan kerugian yang besar, sehingga diperlukan pemantauan dan pengendaliannya. X. ceramicus dewasa (imago) aktif pada malam hari pukul 19.00 sampai 21.30. Umur serangga dewasa rata-rata 6,8 hari, stadium telur 12 hari, stadium larva antara 7,9 sampai 10,8 bulan, stadium prapupa 2,3 hari dan umur stadium pupa rata-rata 26,7 hari. Saran Mengingat besarnya jumlah telur yang diproduksi oleh ngengat X. ceramicus dan singkatnya stadium telur, maka perlu pemantauan secara rutin terhadap tanaman G. arborea terutama yang masih muda untuk mengantisipasi terjadinya epidemi X. ceramicus. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Laporan Akhir Riset Unggulan Kemitraan (RUK) IV tahun 1999/2000. Kerja sama Fahutan UGM dengan PT Surya Hutani Jaya. Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Riset dan Teknologi Badan Pengkajian dan Pembangunan Teknologi (BPPT), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta. 77 h. Borror, D.J.; D.M. Delong dan C.A. Triplehorn. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6 (Terjemahan oleh Partosujono S). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1083 h. Hirowatiri, T. 1998. Studies on the Lepidopterous Fauna in East Kalimantan. Observation on the Occurrence of Teak Beehole Borer (Xyleutes ceramicus) at Sebulu. JICA Expert Report 5: 25–33. Karyono. 2000. Kehadiran Hama Penggerek Batang pada Gmelina arborea Roxb. di PT Surya Hutani Jaya Sebulu, Kalimantan Timur. 69 h. Kasmudjo. 1990. Beberapa Sifat Kayu Gmelina dan Kemungkinan Penggunaannya. Duta Rimba 119–120/XVI: 3–9. Komariah, E. 1985. Serangan Serangga pada Batang Tegakan Gmelina arborea di PT ITCI Balikpapan. Skripsi Sarjana Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda. 95 h.
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
99
Makihara, H. 2001. Konsultasi Pribadi. Staff Peneliti Japan International Cooperation Agency (JICA), Samarinda. Natawiria, D. 1996. Teknik Pengenalan Hama Hutan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. 39 h. Ngatiman dan J. Tangketasik. 1987. Beberapa Hama Serangga pada Tanaman Percobaan PT ITCI Kenangan Balikpapan, Kaltim. Wana Tropika 2(1): 41–53. Ngatiman; Ch. Soeyamto; D. Mardji dan Armansyah. 1996. Penelitian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman Industri di Kalimantan. Balai Penelitian Kehutanan, Samarinda. 36 h. Soeyamto, Ch. dan D. Mardji. 1986. Hama dan Penyakit pada Persemaian dan Tegakan Hutan Tanaman Industri. Prosiding Seminar Nasional Ancaman dan Gangguan terhadap Hutan Tanaman Industri. Kerja sama Dephut dan Fakultas MIPA UI PT Inhutani I, Jakarta. h 100–107. Suhaendi, A. dan A. Djapilus. 1979. Hasil Pendahuluan Mengenai Perkecambahan dan Pertumbuhan Gmelina arborea di Persemaian. Lembaga Penelitian, Bogor, 18 h. Sulthoni, A. 1990. Hama Tanaman. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 64 h.