SIKAP MASYARAKAT PADA KEMITRAAN PIR DAN POTENSI KONFLIK PERKEBUNAN
FARHATUL HANIFAH AMALIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Farhatul Hanifah Amalia NIM I34100062
ABSTRAK FARHATUL HANIFAH AMALIA. Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN. Sektor perkebunan di Indonesia menyumbang devisa negara yang cukup besar dari komoditas kelapa sawit. Namun, sektor perkebunan ini rawan dengan potensi konflik. Selain konflik perebutan lahan juga terdapat potensi konflik pada program kemitraan. Salah satu potensi konflik perkebunan terjadi dalam pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat, yang melibatkan tiga stakeholder yaitu masyarakat (petani), swasta (perusahaan perkebunan sawit) dan pemerintah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sikap masyarakat pada kemitraan Perkebunan Inti Rakyat, mengetahui potensi konflik petani plasma dalam kemitraan Perkebunan Inti Rakyat dan mengetahui hubungan antara sikap dan potensi konflik pada kemitraan Perkebunan Inti Rakyat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sukadamai memiliki pengetahuan yang kurang tepat, merasakan kemitraan kurang sinergis tetapi masih memiliki keinginan bekerjasama yang tinggi. Selain itu, masyarakat pernah melakukan aksi protes, demonstrasi hingga penyegelan yang mungkin dapat meningkatkan potensi konflik. Kata kunci: Kemitraan, konflik, perkebunan, petani plasma ABSTRACT FARHATUL HANIFAH AMALIA. Community Attitude in PIR Partnership and Plantation Potential Conflict. Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN. The plantation sector in Indonesia, provides substantial foreign exchange from palm oil commodities. However, the plantation sector is prone of potential conflicts. In addition of land struggle there is also potential conflicts in the partnership program. One of plantations potential conflict occurred in Perkebunan Inti Rakyat partnership, which involves three stakeholders: people (farmers), private (palm oil companies) and the government. This study aimed 1) to find out the public attitude to the Perkebunan Inti Rakyat partnership, 2) to find out the potential conflict in the Perkebunan Inti Rakyat partnership and 3) to determine relationship between the attitude and the potential conflict in Perkebunan Inti Rakyat partnership. This study uses quantitative method which is supported with qualitative datas. The results showed that farmers have less knowledge about the partnership and feel that the partnership lack of synergy, but still want to cooperate in it. Besides that, people took action like protests, demonstrations until sealing that can increase the potential conflict. Keywords: Partnership, conflict, plantation, plasma farmer
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KEMITRAAN PIR DAN POTENSI KONFLIK PERKEBUNAN
FARHATUL HANIFAH AMALIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan Nama : Farhatul Hanifah Amalia NIM : I34100062
Disetujui oleh
Dr Nurmala K Pandjaitan,MS,DEA Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah persepsi, dengan judul Sikap Masyarakat pada Kemitraan PIR dan Potensi Konflik Perkebunan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Nurmala K. Pandjaitan selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran selama proses penulisan hingga penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga penulis yang telah mendukung, menyemangati, berdoa, dan senantiasa memberikan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman SKPM angkatan 47, teman-teman TPB kelas B-14, serta teman-teman asrama dan kostan yang telah memberikan semangat serta masukan kepada penulis dalam proses penulisan karya tulis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2014 Farhatul Hanifah Amalia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Sikap Perkebunan dan Kemitraan PIR Konsep Konflik Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Sampling Teknik Pengumpulan Data Teknik Penolahan dan Analisis Data PROFIL DESA SUKADAMAI, KECAMATAN TANJUNG LAGO, KABAUPATEN BANYUASIN Gambaran Umum Desa Sejarah Kemitraan PIR dan Koperasi Mitra di Desa Sukadamai KARAKTERISTIK RESPONDEN Karakteristik Individu Karakteristik Usaha Petani Plasma Sawit SIKAP MASYARAKAT PADA KEMITRAAN PIR Komponen Kognitif Komponen Afektif Komponen Konatif HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN SIKAP PETANI PADA KEMITRAAN PIR Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Hubungan Status Kepemilikan dengan Sikap
vi vii vii 1 1 2 3 3 5 5 5 6 9 12 14 14 19 19 19 19 20 20 21 21 24 29 29 31 43 43 46 51 55 55 57
Hubungan Status Pengelolaan dengan Sikap Hubungan Keterlibatan Dalam Kelompok dengan Sikap Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Sikap POTENSI KONFLIK Permasalahan dan Ketidakpuasan pada Kemitraan PIR Perilaku Konflik HUBUNGAN SIKAP DENGAN POTENSI KONFLIK KEMITRAAN PIR Hubungan Komponen Kognitif dan Potensi Konflik Hubungan Komponen Afektif dan Potensi Konflik Hubungan Komponen Konatif dan Potensi Konflik Hubungan Sikap dan Potensi Konflik SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
DALAM
61 63 65 69 69 69 73 73 74 75 76 79 79 79 81 85
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23 24
Batas wilayah Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin tahun 2013 Luas dan persentase jenis penggunaan lahan di Desa Sukadamai secara umum Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Sukadamai berdasarkan jenis penggunaan lahan pertanian Jumlah fasilitas yang dimiliki Desa Sukadamai Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan jenis kelamin Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan mata pencaharian Jumlah dan presentase responden berdasarkan umur Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan utama Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas dan jenis kepemilikan lahan Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan kebun kelapa sawit plasma Jumlah dan persentase responden berdasarkan status kepemilikan lahan kebun kelapa sawit Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pengelolaan lahan kebun plasma Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam koperasi mitra Jumlah dan persentase responden berdasarkan keaktifan responden dan manfaat yang responden rasakan dalam kelompok atau organisasi Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan petani dalam kelompok Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pertemuan petani dengan perusahaan dan pemerintah desa Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat komunikasi petani dengan perusahaan Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat komunikasi petani dengan petani lain Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat komunikasi petani dengan pemerintah desa Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas komunikasi Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang pengertian kemitraan PIR Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang tujuan kemitraan PIR
21 22 22 23 23 24 29 30 30 31 31 32 32 33 34 35
36 37 38 39 39 40 43 44
25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang siapa penerima manfaat kemitraan PIR 26 Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan pengetahuan tentang siapa peserta penerima kemitraan PIR 27 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang kemitraan PIR 28 Jumlah persentase responden berdasarkan kesesuaian kemitraan PIR 29 Jumlah persentase responden berdasarkan manfaat sosial ekonomi dari kemitraan PIR 30 Jumlah persentase responden berdasarkan keterbukaan kemitraan PIR 31 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR 32 Jumlah persentase responden berdasarkan keinginan bekerjasama dalam kemitraan PIR 33 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keinginan responden dalam menjalankan kemitraan PIR 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sikap responden 35 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR 36 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR 37 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR 38 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan sikap 39 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR 40 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR 41 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR 42 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR
45
43 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR 44 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan keinginan responden dalam Kemitraan PIR 45 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan sikap
59
45 46 47 49 50 51 52 53 54 55 56 56 57 57
58
58
59
60
60
46 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan sikap 47 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan pengetahuan tentang kemitraan PIR 48 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR 49 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR 50 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan sikap 51 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam kelompok berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR 52 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam kelompok berdasarkan perasaan respoden tentang kemitraan PIR 53 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam kelompok berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR 54 Jumlah dan persentase responden pada kategori keterlibatan dalam kelompok berdasarkan sikap 55 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR 56 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR 57 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR 58 Jumlah dan persentase responden pada kategori interaksi komunikasi berdasarkan sikap 59 Jumlah dan persentese responden berdasarkan perilaku konflik 60 Jumlah dan persentase responden berdasarkan potensi konflik 61 Nilai uji Chi-Square dan signifikansi hubungan antara variabel sikap dan potensi konflik 62 Jumlah dan persentase responden pada pengetahuan tentang kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik 63 Jumlah dan persentase responden pada perasaan responden tentang kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik 64 Jumlah dan persentase responden pada keinginan responden dalam kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik 65 Jumlah dan persentase responden pada sikap responden pada kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik
61 61
62
62
63 63 64 64
65 65 66 66 67 70 71 73 73 74 75 76
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Tiga ruang di mana konflik sosial dapat berlangsung Kerangka pemikiran Gambar KUD Mekartani Jaya (kiri) dan KSU Al- Barokah (kanan)
10 13 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta Desa Sukadamai Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan Dokumentasi Penelitian Kerangka sampling Hasil olah data SPSS Data kualitatif
85 86 87 92 94
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sedang mengembangkan sektor perkebunan, karena sektor ini menyumbang devisa negara terbesar. Tahun 2013 perolehan ekspor perkebunan mencapai 21.4 miliar dolar Amerika. Perolehan ekspor subsektor perkebunan paling besar didapat dari komoditas kelapa sawit (11.5 miliar dolar AS), diikuti karet, kakao, dan kopi sebagaimana pernyataan Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian kepada Antaranews (Subagyo 2014). Hal ini menjadikan komoditas kelapa sawit dinilai dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Berkembangnya sektor perkebunan juga dapat ditandai dengan laju pertambahan luas lahan perkebunan yang kembali meningkat, setelah sempat mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2012), laju pertambahan luas lahan perkebunan antara tahun 2011 dan 2012 untuk perkebunan teh sebesar 0.29%, kopi 0.02%, tebu 2.06%, kelapa sawit 0.91% dan tembakau 9.18%. Perkembangan yang terjadi di sektor perkebunan tidak hanya memberi dampak positif. Pertambahan luas lahan perkebunan yang terjadi juga memberikan dampak negatif. Seperti ungkapan Eric Wolf yang dikutip oleh Afandi (2013). “...di manapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang-kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan-ketentuan budaya yang dilanda olehnya...” (Eric Wolf dalam Afandi 2013:63).
Sektor perkebunan di Indonesia sering mengalami konflik-konflik yang melibatkan paksaan dalam pengambilan lahan dari masyarakat lokal. Lahan-lahan yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat kemudian berpindah hak ke pihak perkebunan tanpa prosedur yang jelas. Selain permasalahan lahan, perkebunan di Indonesia juga memiliki masalah kemitraan. Salah satunya dalam kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) yang bermula pada sekitar tahun 1977. Kemitraan PIR yang awalnya dicanangkan sebagai pengentas kemiskinan dan peningkat pendapatan negara masih memiliki ketimpangan. Khususnya ketimpangan antara perkebunan inti (perusahaan) dengan kebun plasma (masyarakat) (Fadjar 2006). Pola PIR yang saat ini banyak terdapat di perkebunan kelapa sawit adalah Pola PIR- KKPA. Pola PIR ini merupakan pola PIR-BUN yang sumber pendanaannya berlabel Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Selain ketimpangan pada pola PIR, terjadi pula pelanggaran perjanjian baik yang dilakukan perusahaan atau yang dilakukan oleh petani mitra. Adanya ketimpangan dan permasalahan yang terjadi di pola kemitraan ini dapat menimbulkan potensi konflik. Catatan konflik sosial di Indonesia meningkat 23.7% di tahun 2013 dengan 153 kasus, sebagaimana ditulis dalam harian Tribunnews (Widianto 2014). Beberapa konflik juga berhubungan dengan masalah agraria atau sumberdaya alam. Hal ini berkaitan dengan Indonesia sebagai negara agraris yang juga memiliki 39 959 073 penduduk yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan,
2
perhutanan, perburuan dan perikanan (BPS 2013). Jumlah konflik pada sektor ini paling tinggi dibandingkan dengan jenis lapangan pekerjaan lainnya. Menurut data Direktorat Jendral Perkebunan (2013) terdapat sekitar 21 juta tenaga kerja di sektor perkebunan, sehingga tidak dapat dipungkiri sektor ini memiliki potensi konflik yang cukup tinggi. KPA (2012) mencatat terjadinya 198 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luas areal konflik mencapai lebih dari 963 411.2 ha. Sektor perkebunan memiliki catatan konflik terbanyak dengan 90 kasus atau 45% (KPA 2012). Salah satu wilayah yang beberapa tahun belakangan mengalami konflik sosial di sektor perkebunan adalah Sumatera Selatan. Wilayah ini memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Beberapa kawasan perkebunan Sumetera Selatan juga menjadi kawasan program transmigrasi, sehingga keberagaman penduduk yang ada, dapat menambah peluang terjadinya konflik sosial. Hal ini didukung oleh data kepolisian setempat yang menyebutkan bahwa terdapat 43 potensi pemicu konflik di daerah tersebut (Idrus 2012). Potensi konflik yang ada di sektor perkebunan dapat diidentifikasi dengan mengetahui kepercayaan, persepsi dan keinginan masyarakat. Ketiga hal tersebut menentukan sikap masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit, khususnya dalam kemitraan PIR. Sikap tersebut dapat berupa sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap negatif yang mungkin timbul dapat mempengaruhi terjadinya potensi konflik. Potensi-potensi konflik yang ada di sektor perkebunan harus dapat diketahui, sehingga dapat dimungkinkan adanya perbaikan dari pihak perkebunan dan dimungkinkan adanya pengelolaan konflik. Setelah potensi konflik yang ada diketahui, maka eskalasi konflik dapat dicegah dan perluasan permasalahan dapat dihindari.
Rumusan Masalah Pendapat, kepercayaan, serta perasaan seseorang terhadap suatu objek dapat berbeda-beda. Hal ini tergantung bagaimana masyarakat tersebut membentuk kesan dan kesimpulan terhadap objek tersebut. Seperti ungkapan Aronson et al (2005) bahwa persepsi sosial adalah bagaimana cara kita membentuk kesan mengenai orang lain dan bagaimana kita membuat kesimpulan tentang mereka. Pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang kemitraan PIR akan membentuk kesan masyarakat terhadap kemitraan tersebut. Berdasarkan pendapat, persepsi serta kepercayaan tersebut seseorang dapat memberikan evaluasi agar dapat menentukan sikap terhadap suatu objek. Begitu pula masyarakat dalam hal ini petani plasma memberikan evaluasi terhadap kemitraan PIR. Sikap petani dapat berupa sikap positif atau pun negatif terhadap kemitraan PIR. Apabila hasil evaluasi petani terhadap kemitraan negatif maka dimungkinkan petani akan memberikan sikap negatif pula dan membentuk perilaku yang berpotensi konflik pada kemitraan PIR. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat pada kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Menurut hasil penelitian Herman dan Fadjar (2000) dalam Fadjar (2006) secara umum respon para pelaku usaha perkebunan terhadap pola PIR tersebut belum baik. Kritikan terhadap pola perkebunan besar seperti ini juga diberikan dari masyarakat lokal maupun global karena memandang perkebunan besar
3
cenderung eksploitatif terhadap buruh dan mengakumulasi modal di satu tangan secara mencolok (Fadjar 2006). Menurut Herman dan Fadjar (2000) dalam Fadjar (2006), sengketa lahan juga terjadi karena kehadiran perusahaan perkebunan tidak memberikan manfaat kepada masyarakat. Potensi konflik cukup terlihat jelas dari hasil penelitian dan fakta yang telah dipapakarkan di atas. Kecendrungan reaksi atau tindakan masyarakat terhadap kemitraan PIR ini tidak dapat dikatakan cukup baik. Oleh karena itu, penting bagi peneliti untuk mengetahui lebih dalam bagaimana perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR. Seringkali sikap direfleksikan dalam tingkah laku kita walaupun terkadang tidak selalu demikian (Baron dan Bryne 2004). Kemudian, menurut Petkova et al (1995) dalam Baron dan Bryne (2004) semakin kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku. Berdasarkan kedua teori tersebut, maka bisa saja terdapat hubungan antara sikap dan perilaku. Sikap masyarakat pada kemitraan PIR dapat pula merefleksikan perilaku apa yang akan dilakukan oleh masyarakat dalam menjalani kemitraan PIR. Apabila mereka memiliki sikap positif maka kemungkinan besar perilaku mereka dalam kemitraan juga positif, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana hubungan antara sikap pada kemitraan PIR dan perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Sikap masyarakat dan potensi konflik yang ada di perkebunan kelapa sawit karena adanya kemitraan PIR”. Kemudian tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui sikap masyarakat pada kemitraan PIR 2. Mengetahui perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR 3. Mengetahui hubungan antara sikap pada kemitraan PIR dan perilaku potensi konflik pada kemitraan PIR
Kegunaan Penelitian Diharapkan dengan adanya penelitian ini terdapat banyak manfaat bagi berbagai pihak seperti akademisi, pemerintah, dan masyarakat yang berkaitan dengan konflik sosial dan kemitraan perkebunan. Secara rinci kegunaan tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian serta dapat dijadikan referensi atau literatur mengenai konflik sosial khususnya di kawasan perkebunan. Serta dapat membuka pengetahuan mengenai kemitraan dalam perkebunan. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan kebijakan yang baik untuk berbagai pihak dan membantu dalam mengantisipasi terjadinya konflik sosial di kawasan perkebunan. 3. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapakan dapat membuka wawasan perusahaan dalam melakukan kemitraan dengan masyarakat sehingga
4
mengurangi timbulkan konflik sosial di kawasan perkebunan. Serta menjadikannya referensi untuk membuat kemitraan yang lebih baik dengan masyarakat. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai konflik sosial di kawasan perkebunan serta wawasan mengenai kemitraan usaha perkebunan.
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Sikap Menurut Faizo et al (1994) serta Tesser dan Martin (1996) dalam Baron dan Bryne (2004) sikap adalah evaluasi kita terhadap berbagai aspek di dunia sosial, serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap suatu isu, ide orang, kelompok sosial dan objek. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanan motif tertentu. Sikap belum menjadi suatu tindakan tetapi baru sebatas kecendrungan tindakan atau perilaku. Newcomb et al (1978) mengungkapkan bahwa sikap dilihat sebagai penentu dalam keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekuensi sikap terhadap tingkah laku adalah tidak langsung karena diperantarai oleh proses-proses psikologis lainnya. Kemudian juga, Newcomb et al (1978) mengatakan bahwa efek terhadap suatu objek dapat digolongkan sebagai positif atau negatif. Sikap positif menimbulkan seseorang memiliki kecendrungan untuk mendekati objek, sedangkan sikap negatif akan membuat orang memiliki kecendrungan menjauhi objek. Sikap tidak terbentuk secara langsung atau tiba-tiba. Terdapat beberapa sumber pembentuk sikap, salah satunya adalah dari mengadopsi sikap orang lain melalui proses pembelajaran sosial. Kita dapat terpengaruh sikap orang lain karena pandangan yang kita ungkapakan dibentuk saat kita berinteraksi dengan orang lain atau hanya dengan mengobservasi tingkah mereka (Baron dan Bryne 2004). Berdasarkan beberapa penelitian juga disebutkan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor genetis. Untuk dapat memprediksi tingkah laku seseorang maka terlebih dahulu kita harus memahami sikap seseorang karena seringkali sikap direfleksikan dalam tingkah laku kita. Walaupun demikian, tidak selamanya sikap akan menentukan tingkah laku seseorang (Baron dan Bryne 2004). Baron dan Bryne menyatakan bahwa beberapa hasil penelitian pada tahun 1960 menunjukkan kesimpulan bahwa hubungan antara sikap dan tingkah laku sebenarnya cukup lemah. Hal ini dimungkinkan karena adanya ambivalensi sikap (attitude ambivalence) sebagaimana yang dikutip Baron dan Bryne (2004) dari Priester dan Petty (2001). Ambivalensi sikap merupakan tercampurnya evaluasi kita terhadap suatu objek menjadi dua reaksi positif dan negatif. Evaluasi tersebut tidak selamanya hanya positif atau hanya negatif tetapi dapat pula keduanya sekaligus. Baron dan Bryne (2004) juga menegaskan bahwa sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial kita meskipun sikap tersebut tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak (overt). Selain ambevalensi sikap, adapula situational constrait (hubungan situasi) yang menengahi hubungan antara sikap dan tingkah laku. Menurut Ajzen dan Fishbein (1980) dalam Baron dan Bryne (2004), situasi ini mencegah sikap diekspresikan dalam tingkah laku yang tampak. Sikap akan direfleksikan menjadi tingkah laku jika terdapat komponen penguat, seperti ungkapan Petkova, Ajzen dan Driver (1995) dalam Baron dan Bryne (2004) yaitu, semakin kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku. Komponen penguat
6
tersebut dapat berupa kekuatan reaksi emosional, kepentingan pribadi (vested interest), pengetahuan dan kemudahan diakses. Berdasarkan hasil penelitian Crano (1995), Baron dan Bryne (2004) menuliskan bahwa semakin besar vested interest, maka semakin kuat dampak sikap tersebut pada tingkah laku. Sikap memiliki tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan atau konatif (Krech dalam Hariharto 2001). Komponen kognitif adalah aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap suatu objek ataupun subjek. Komponen ini juga berisi persepsi, kepercayaan dan stereotip individu tentang sesuatu. Persepsi secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Sikap sendiri dapat mempengaruhi persepsi dan pemikiran kita terhadap isu, orang, objek atau kelompok dengan cukup kuat. Hasil pemikiran ini yang nantinya dipercayai dan diyakini oleh kita sebagai dasar pembentukan sikap kembali. Nilainilai baru yang diyakini benar akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Komponen afektif, merupakan aspek yang berkenaan dengan emosional dan sosio psikologis. Komponen ini dapat disamakan dengan perasaan yang dimiliki objek tertentu. Semakin kuat reaksi emosional yang berhasil dibangkitkan oleh objek sikap, maka semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku (Baron dan Bryne 2004). Kemudian, komponen kecendrungan bertindak atau konatif, aspek ini merupakan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya.
Perkebunan dan Kemitraan PIR Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 tahun 2013, perkebunan diartikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Kemudian dalam permentan ini juga disebutkan usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan. Pelaku usaha perkebunan dapat dibagi menjadi pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Pengertian pekebun dalam Permentan (2013) adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. Kemudian perusahaan perkebunan dalam pengertian Badan Pusat Statistik (2012) adalah suatu perusahaan berbentuk badan usaha/badan hukum yang bergerak dalam kegiatan budidaya tanaman perkebunan di atas lahan yang dikuasai, dengan tujuan ekonomi/komersial dan mendapat izin usaha dari instansi yang berwenang dalam pemberian izin usaha perkebunan. Selanjutnya menurut Permentan (2013) perusahan perkebunan adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Usaha budidaya tanaman perkebunan diluar bentuk badan usaha, seperti yang diusahakan perorangan tanpa izin usaha atau diusahakan oleh
7
rumah tangga petani tidak termasuk konsep ini dan biasanya disebut usaha perkebunan rakyat. Setiap perusahaan perkebunan memiliki beberapa kewajiban di antaranya untuk melakukan kemitraan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar wilayah perkebunan. Disebutkan dalam Perda Prov. Bengkulu tahun 2013 bahwa perusahaan juga diwajibkan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan. Kewajiban ini harus dipenuhi perusahaan jika lahan IUP (Izin Usaha Perkebunan) yang diajukan memiliki luas 250 hektar atau lebih. Luasan perkebunan masyarakat yang perlu difasilitasi adalah 20% luasan IUP yang diajukan dan pembangunan kebun masyarakat diselesaikan paling lama dalam waktu tiga tahun. Kebun yang dibangun oleh perusahaan untuk rakyat ini kemudian dapat pula disebut sebagai kebun plasma, sedangkan kebun milik perusahaan merupakan kebun inti. Kebun plasma dalam pengertian BPS (2012) adalah kebun yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan serta ditanami dengan tanaman perkebunan. Kebun ini ditanami dan dikelola oleh perusahaan, kemudian setelah mulai berproduksi dikonversi kepada petani rakyat. Konversi yang dimaksud adalah pengalihan kredit biaya pembangunan plasma dari atas nama pemerintah menjadi beban petani peserta. Kebun inti dibangun oleh perusahaan dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan dan merupakan hak milik perusahaan perkebunan tersebut, perkebunan ini kemudian dipersiapkan menjadi pelaksana Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Perkebunan Inti Rakyat atau atau juga Perusahaan Inti Rakyat yang disingkat PIR sebelumnya disebut Nucleus Estate Smallholder (NES). Konsep PIR seperti ini sebenarnya bukan asli Indonesia, tetapi merupakan pola agribisnis modern yang dikembangkan di Amerika pada akhir abad ke-19 (Gunawan et al. 1995 dalam Fadjar 2006). PIR dan NES memiliki makna yang sama, yaitu untuk mengintegrasikan secara formal struktur usaha perkebunan besar dengan perkebunan rakyat. Model PIR ini, mencoba menggabungkan kepentingan pekebun dengan perusahaan perkebunan. Dinyatakan pula bahwa kebun milik petani/pekebun dibangun oleh perusahaan inti dengan dana kredit perbankan yang menjadi hutang petani. Tujuan diadakannnya kemitraan PIR ini adalah untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara meningkatkan produksi dan mendapatkan usaha inti. Setelah NES menjadi PIR, terdapat pembagian-pembagian sesuai dengan konteksnya. Menurut Perda Prov. Bengkulu No. 2 tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan pembagian-pembagian tersebut adalah PIR-Perkebunan, PIRTransmigrasi dan PIR-Kredit Koperasi Primer. PIR-Perkebunan (PIR-BUN) adalah pola pelaksanaan pembangunan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya berupa plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. PIR-Transmigrasi (PIR-Trans) adalah pola pelaksanaan pembangunan perkebunan yang sama seperti PIR-BUN hanya saja dikaitkan dengan program transmigrasi, sedangkan PIR-Kredit Kopersi Primer (PIR-KKPA) adalah pola PIR yang difasilitasi kredit kepada koperasi primer untuk anggota. Pola PIR-Trans dilaksanakan untuk menunjang keberhasilan program transmigrasi yang dilakasanakan pemerintah. Pemerintah (dalam hal ini menteri transmigrasi) menyiapkan lahan pangan, pembangunan pemukiman dan pembinaan transmigrasi.
8
Kemitraan sendiri dapat diartikan sebagai kerjasama atau usaha, dalam hal ini kerjasama tersebut dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan dengan pekebun (petani). Berdasarkan keputusan Direktur Jendral Perkebunan No. 141 tahun 2010 tentang Sistem Penilaian Fisik kebun Kelapa Sawit Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Revitalisasi Perkebunan kemitraan diartikan sebagai berikut: “...kerjasama usaha antara usaha kecil/pekebun dengan usaha menengah dan/atau usaha besar sebagai mitra usaha disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan.”
Pola kemitraan PIR juga dijelaskan dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil pada pasal 27. Berdasarkan UU tersebut pola inti plasma disebutkan sebagai hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti yang membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya melalui penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Berdasarkan uraian tersebut, seharusnya pola kemitraan ini bersifat profit sharing (bagi hasil). Sistem bagi hasil ini ditandai dengan adanya pembagian hasil antara masyarakat (petani atau pekebun) dengan perusahaan perkebunan sebagai inti. Seiring berjalannya kemitraan ini, masih ditemukan pula beberapa ketimpangan. Salah satunya adalah timpangnya sharing system yang terjadi karena penerima kemitraan bukanlah petani miskin. Peserta penerima kemitraan PIR merupakan petani atau penduduk setempat yang sudah menikah dan terdaftar dalam daftar nomintif yang ditetapkan oleh SK Bupati, berdasarkan usulan dari desa dan kecamatan. Sebelum membuka kebun plasma persusahaan inti bersama dengan Dinas Perkebunan melakukan pendataan dan sosialisasi kebun plasma, serta melakukan pendaftaran calon petani peserta kebun plasma. Berdasarkan Perda Tingkat I Prov. Jawa Barat Nomor 6 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan petani peserta memiliki hak-hak dalam kemitraan, yaitu: 1. Memperoleh kebun plasma seluas 1,5 Ha/KK Tani; 2. Memperoleh lahan tanaman pangan seluar 0,3 Ha/KK Tani; 3. Memperoleh lahan pekarangan seluas 0,2 Ha/KK Tani; 4. Memperoleh 1 unit rumah; 5. Memperoleh bimbingan teknis budidaya kebun dari perusahaan inti dan Instansi terkait secara berkesinambungan. 6. Memperoleh kebun plasma yang telah dibangun oleh perusahaan inti yang luasnya didasarkan kepada pemilikan/garapan lahan masing-masing petani yang bersangkutan yaitu maksimal 2 Ha/KK Tani Perda tersebut juga menuliskan beberapa kewajiban berkaitan dengan kemitraan PIR. Kewajiban petani peserta yang telah menerima konversi ataupun yang masih dalam pola akuan (sebelum menerima konversi secara resmi) adalah sebagai berikut : 1. Memelihara dan mengembangkan perkebunan plasma yang dianjurkan oleh perusahaan inti dan Instansi terkait; 2. Menjual seluruh hasil produksi perkebunan plasma yang dimilikinya kepada perusahaan inti yang bersangkutan;
9
3. Mengembalikan beban kredit kepada Bank Pelaksana sampai lunas, dengan dicicil pada setiap penjualan hasil produksi kepada perusahaan inti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Konsep Konflik Mengacu dari pengertian konflik yang dikutip dari Webster, Pruitt dan Rubin (2011) menuliskan kembali bahwa konflik diartikan sebagai perkelahian, peperangan, atau perjuangan. Selain itu, pendapat Pruitt dan Rubin (2011) menyatakan secara singkat bahwa konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). Dilihat dari wujud konflik yang terjadi, konflik dapat dibagi menjadi konflik laten, konflik mencuat dan konflik manifest (Musdalifah 2007). Konflik laten berarti konflik masih dapat diredam atau dikendalikan sehingga tidak terjadi bentrokan di dalamnya, sehingga potensipotensi konflik tidak mencuat. Kemudian konflik mencuat biasanya terjadi setelah adanya penyadaran dari pihak-pihak ketiga seperti LSM. Setelah adanya penyadaran tersebut masyarakat berani bertindak dan menyatukan kelompoknya melawan perusahaan. Kemudian dengan adanya perlawan dan klaim atas lahan dari masyarakat, perusahaan akan melakukan perlawan yang bersifat agresif dan menciptakan konflik manifest. Konflik yang terjadi di perkebunan di Indonesia umumnya merupakan konflik sosial perebutan sumberdaya alam berupa lahan. Konflik perebutan lahan seperti ini disebabkan adanya perbedaan persepsi mengenai status lahan yang menjadi sengketa, baik menurut masyarakat sendiri atau pemerintah. Pada dasarnya konflik sumberdaya alam diartikan sebagai konflik sosial yang berpusat pada isu “claim” dan “reclaiming” pengusaan sumberdaya alam seperti tanah atau air sebagai pokok sengketa (Dharmawan 2006). Menurut Michael C. Hudson (1972) yang dikutip oleh Nasikun (2000), konflik sosial dapat ditandai dengan terjadinya demonstrasi, kerusuhan, gencatan senjata dan korban jiwa akibat kekerasan politik. Demonstrasi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang untuk protes kepada pemerintah atau pengusaha tanpa melakukan kekerasan. Kerusuhan hampir sama seperti demonstrasi hanya saja telah disertai dengan kekerasan fisik dan pengrusakan barang-barang. Serangan bersenjata, dapat dilakukan oleh kelompok sosial manapun, baik oleh pihak pemerintah ataupun aparat keamanan maupun oleh pihak nonpemerintah, dengan tujuan untuk melemahkan atau menghancurkan kelompok lain dan biasanya untuk kepentingan politik. Korban jiwa akibat kekerasan politik, korban dan kerugian tidak hanya diderita oleh pihak yang berkonflik, tetapi juga masyarakat sekitarnya. Semakin banyak korban jiwa baik akibat demostrasi, kerusuhan, maupun serangan senjata, berarti semakin besar konflik yang terjadi. Konflik di sektor perkebunan melibatkan beberapa pihak dan berlangsung antar kelompok. Seperti konflik antara organisasi formal yaitu perusahaan perkebunan dengan organisasi petani (masyarakat), sehingga konflik dikatakan sebagai konflik sosial. Hal tersebut karena konflik terjadi dalam lingkup ruang kekuasaan yang disebutkan oleh Bebbington 1997 dalam Dharmawan 2006. Secara umum dapat disebutkan bahwa konflik di sektor perkebunan berkaitan dengan sumberdaya alam, kepentingan pihak-pihak tertentu, dan asimetri peluang ekonomi yang dialami buruh perkebunan. Konflik-konflik ini bergantung kepada
10
objek yang diperebutkan atau disengketakan. Menurut Fuad dan Maskahan (2000) serta Hae et al. (2001) dalam Musdalifah (2007) terdapat pula konflik yang bersifat horizontal dan yang bersifat vertikal tergantung kepada level permasalahan dalam konflik perkebunan tersebut. Berdasarkan subjek yang menjadi lawan, maka konflik dapat dikategorikan sebagai konflik vertikal, bila subjek yang dilawan oleh masyarakat merupakan pihak yang memiliki kelas yang lebih tinggi yaitu pemerintah atau perusahaan perkebunan sebagai pemilik modal. Perbedaan kepentingan antar pihak yang terlibat konflik juga menjadikan konflik sosial semakin rumit dalam kenyataannya. Kembali pada pengertian konflik menurut Puitt dan Rubin (2011) yaitu konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan. Kepentingan berupa perasaan yang mendasar dan sentral dalam pikiran seseorang. Beberapa kepentingan juga mendasari kepentingan lainnya sehingga akan membentuk sikap, tujuan dan niat (Pruitt dan Rubin 2011). Selain konflik vertikal, terjadi pula konflik yang berupa asimetri peluang ekonomi. Terdapat ketimpangan yang dirasakan oleh buruh perkebunan atas hasil atau fasilitas yang didapatkan. Seperti yang terjadi dalam kawasan perkebunan PIR-BUN dalam tulisan Fadjar (2006). Sumber konflik berupa ketimpangan karena peserta PIR-BUN yang berasal dari masyarakat lokal harus menyerahkan lahan mereka untuk dipakai sebagai areal perkebunan, sedangkan masyarakat pendatang tidak perlu menyerahkan lahan. Kemudian adanya konflik internal dalam organisasi petani mungkin saja terjadi. Konflik ini merupakan konflik horizontal karena lawan konflik mereka adalah kaum dari kelas yang sama. Mengutip hasil modifikasi Dharmawan (2006) dari Bebbington (1997) terdapat tiga ruang di mana konflik sosial dapat terjadi yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta” (lihat gambar 1). Ketiga ruang kekuasaan inilah yang menjadi aktor dalam setiap konflik yang ada di sektor perkebunan tersebut. Ketiga stakeholder ini saling terlibat, baik untuk saling mendukung atau saling saling melawan. Konflik dapat terjadi dalam setiap ruang kekuasaan atau bahkan melibatkan struktur antar ruangan. Masyarakat Sipil atau Kolektivitas Sosial
Negara / Pemerintah
“Ruang Kekuasan” di mana konflik sosial mungkin berlangsung
Swasta/Badan Ekonomi berorientasi Profit
Gambar 1 Tiga ruang di mana konflik sosial dapat berlangsung
11
Selain permasalahan lahan, konflik perkebunan juga terjadi karena hak-hak buruh yang dipekerjakan belum terpenuhi. Konflik disebabkan masyarakat yang menjadi buruh belum menerima hasil kerja mereka, kemudian pemilik kebun malah mendatangkan buruh dari luar daerah (Aprianto 2009). Adapula konflik yang disebabkan pihak perkebunan yang kurang tepat waktu dalam membayar buruh dan tidak transparannya perkebunan dalam pembayaran. Hal seperti ini terjadi dalam kasus perkebunan yang memakai sistem inti plasma (PIR-BUN) yang umumnya perkebunan kelapa sawit. Ketimpangan demi ketimpangan terjadi dalam metode kemitraan perkebunan PIR-BUN. Dalam kerjasama yang dijalin, masyarakat atau petani yang menjadi buruh kurang diperhatikan kesejahteraannya. Terdapat tiga ketimpangan dalam kemitraan perkebunan metode PIR-BUN yang dikutip Fadjar (2006) yaitu; ketimpangan dalam struktur pemilikan asset, ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi dan ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Ketimpangan tersebutlah yang menjadi sumber konflik yang muncul pada pola kemitraan usaha perkebunan. Terbentuknya kelompok pejuang atau strunggle group, terkadang malah semakin membuat konflik yang ada mengalami eskalasi. Sebagaimana mengutip penjelasan Pruitt dan Rubin (2011:34) sebagai berikut: “...Ketika beberapa orang dengan kepentingan laten (tidak disadari) yang sama saling bercakap-cakap, maka kepentingan laten mereka sering kali muncul ke kesadaran. Setelah merasa yakin dengan pendirian masingmasing, mereka mungkin akan mulai mengembangkan aspirasi baru, yang dapat mengarah ke konflik dengan orang lain yang kepentingannya bertentangan dengan aspirasi tersebut...”
Hal ini disebabkan adanya kesamaan tujuan yang terjalin dalam kelompokkelompok tersebut mengenai musuh yang sama. Konflik menjadi manifest setelah salah satu pihak melakukan tindakan agresif serta melakukan tindakan anarkis hingga bentrok fisik terjadi di antara kedua belah pihak (Musdalifah 2007). Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya persepsi mengenai kekuasaan. Apabila seseorang berhadapan dengan orang lain atau sekelompok orang yang memiliki sumberdaya yang dianggap langka atau berharga namun terlihat lebih lemah dari dirinya. Aspirasi orang tersebut akan meningkat dan konflik yang bersifat eksploitatif akan sangat mungkin terjadi (Pruitt dan Rubin 2011). Konflik-konflik yang terjadi di perkebunan di Indonesia banyak pula yang merupakan hasil dari perbedaan kepentingan antar pihak yang berkonflik. Seperti yang dituliskan oleh Widiyanto (2013), terdapat beberapa penyebab konflik perkebunan terkait kepentingan para pihak yaitu: a. Pemerintah dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar; b. Keinginan untuk mengembangkan komoditi tertentu seperti sawit, kapas transgenik, ekaliptus, dll; c. Konflik ruang yang tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemilik modal, tapi juga antara pemilik modal dengan pemilik modal lainnya; d. Pola kerjasama yang tidak seimbang antara perusahaan dengan petani; e. Penentuan pola ruang yang tidak partisipatif; Selaras dengan pernyataan Suparlan (1999) yang dikutip oleh Fadjar (2006) bahwa konflik terjadi karena adanya upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Pemerintah dan perusahaan dinilai telah mengabaikan kepentingan masyarakat terhadap lahan hidupnya. Pemerintah
12
lebih memilih melindungi pemilik modal untuk meningkatkan pendapatan daerah atau devisa negara. Kemitraan yang dijalin dengan perusahaan perkebunan oleh masyarakat hanya menguntungkan pihak-pihak pada lapisan atas saja. Terdapat beberapa teori utama mengenai sebab konflik menurut Fisher et al. (2000). Salah satunya adalah teori transformasi konflik yang mengangkat masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Ketika masyarakat tergusur dari lahannya, sebagian dari mereka ada yang dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan. Masyarakat menjadi buruh di lahannya sendiri sementara pihak perkebunan mengambil keuntungan dari hasil kerja mereka. Hal tersebut menjadi kesenjangan tersendiri dalam masyarakat. Rasa ketidakadilan juga bertambah ketika adanya buruh perkebunan dari luar daerah yang pada dasarnya tidak mengorbankan lahan mereka untuk mendapat pekerjaan. Konflik di perkebunan dapat berkembang ke konflik antar komunitas buruh. Seperti salah satu sumber konflik di banyak kawasan PIR-BUN di Indonesia.
Kerangka Pemikiran Konflik pada sektor perkebunan di Indonesia semakin marak terjadi. Selain masalah sengketa lahan, terdapat pula permasalahn yang menyangkut ketimpangan pada salah satu pola kemitraan di sektor perkebunan. Seperti hasil penelitian Fadjar (2006) yang menyebutkan bahwa terdapat ketimpangan pada pola kemitraan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Kemitraan tersebut berupa pola kerjasama yang melibatkan perusahaan besar sebagai perkebunan inti dan masyarakat sebagai petani plasma. Kemitraan PIR telah dimulai pada tahun 1977 dengan nama Nucleus Estate Smallholder (NES), sampai akhirnya berkembang dengan nama PIR-TRANS dan PIR KKPA tahun 1999 (Fadjar 2006). Seperti yang dituliskan pada UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil pada pasal 27, perusahaan sebagai mitra petani pada pola PIR akan memberikan lahan dan membantu petani membuat sertifikat untuk lahan PIR tersebut. Kemudian pada Perda Tingkat I Prov. Jawa Barat Nomor 6 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan petani memiliki hak untuk menerima beberapa jenis lahan untuk menunjang kemitraan PIR. Lahan tersebut berupa lahan perkebunan dengan luas berkisar antara 1.5 ha – 2 ha. Berdasarkan hal itu maka luas lahan dan status kepemilikannya dapat membentuk sebuah karakter tersendiri pada petani plasma. Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Pekebunan terdapat beberapa pola kemitraan PIR yang dikembangkan. Terdapat 3 jenis pola kemitraan perkebunan yang memiliki status pengelolaan yang berbeda-beda sesuai perjanjian yang disepakati pihak-pihak yang bermitra. Oleh karena itu, status pengelolan lahan pada pola kemitraan perkebunan ini digolongkan ke dalam karakteristik petani. Untuk dapat mengikuti kemitraan PIR umumnya petani akan diwakili pada suatu lembaga baik berupa koperasi ataupun kelompok tani, maka keterlibatan petani serta intensitas komunikasi di dalamnya dapat kembali digolongkan ke dalam karakteritik petani. Karakteritik petani ini kemudian akan menjelaskan petani yang seperti apa yang memiliki sikap positif (mendukung kemitraan PIR) dan sikap negatif (tidak
13
mendukung kemitraan PIR). Sikap memiliki 3 komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif akan dinilai berdasarkan pengetahuan petani tentang kemitraan PIR. Komponen afektif akan dinilai berdasarkan apa yang petani rasakan selama menjalani kemitraan PIR. Kemudian, komponen konatif dinilai berdasarkan kesediaan dan keinginan petani dalam menjalani kemitraan PIR. Ketiga komponen tersebut yang dibutuhkan untuk mengevaluasi kemitraan PIR dan menentukan sikap seperti apa yang dimiliki petani pada kemitraan PIR. Apabila petani memiliki sikap positif maka dimungkinkan petani akan memiliki potensi konflik yang rendah. Tetapi jika sebaliknya, petani memiliki sikap negatif pada kemitraan PIR maka potensi konflik akan meningkat. Menurut Petkova et al (1995) dalam Baron dan Bryne (2004) semakin kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada tingkah laku. Apabila memang demikian, maka sikap petani pada kemitraan PIR memiliki hubungan dengan pembentukan tingkah laku petani. Tingkah laku tersebut dapat pula dilihat dari perilaku konflik yang pernah dilakukan petani dalam kemitraan. Perilaku konflik tersebut kemudian akan menunjukkan tingkat potensi konflik yang ada pada kemitraan PIR. Dengan demikian akan diketahui apa saja potensi konflik yang terdapat pada sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan PIR.
Karakteristik petani - Luas lahan - Status kepemilikan lahan - Status pengelolaan lahan - Keterlibatan dalam kelompok - Intensitas Komunikasi
Sikap pada Kemitraan PIR - Komponen kognitif - Komponen afektif - Komponen konatif
Keterangan: : Berkaitan : Berhubungan : Diuraikan secara deskriptif
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Potensi konflik pada Kemitraan PIR
14
Hipotesis Penelitian 1. 2.
Diduga masyarakat memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR. Diduga terdapat hubungan antara sikap masyarakat pada kemitraan PIR dengan potensi konflik dalam kemitraan PIR
Definisi Operasional Untuk menghindari adanya kesalah pahaman terhadap variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini, masing-masing variabel diberi batasan terlebih dahulu agar dapat ditentukan indikator pengukurannya. Variabel-variabel penelitian didefinisikan sebagai berikut: 1. Karakteristik petani: a. Luas Lahan yaitu luas lahan yang dikuasai oleh responden dan telah dijadikan kebun plasma sawit, luas lahan dikelompokkan menjadi 3 kelompok terdiri dari:
b.
c.
d.
e.
a. 1 Ha : kode 1 b. 2 Ha : kode 2 c. >2 Ha : kode 3 Status kepemilikan lahan adalah cara petani mendapatkan lahan yang dijadikan perkebunan plasma sawit. Terdapat 4 cara yang yang dikodekan sebagai berikut: a. Turun temurun : kode 1 b. Membeli : kode 2 c. Lahan transmigran : kode 3 d. Membeli dan lahan transmigran : kode 4 Status pengelolaan lahan adalah perlakuan petani plasma dalam merawat kebun plasma kelapa sawit mereka. Perlakuan tersebut mereka lakukan sendiri atau melalui perusahaan. Perlakuan tersebut bisa berupa pemupukan, penyemprotan hama dan pembersihan gulma. Status pengelolaan lahan dibagi menjadi 2 kategori sebagai berikut: a. Dikelola sendiri : kode 1 b. Dikelola perusahaan : kode 2 Keterlibatan dalam Kelompok yaitu keterlibatan responden dalam suatu kelompok atau organisasi tertentu sebagai pengurus atau anggota, baik yang bersifat formal atau informal. Karakteristik ini dibagi menjadi 7 pertanyaan yang masing-masing jawabannya terdiri dari: a. Ya : skor 2 b. Tidak : skor 1 Jawaban-jawaban tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi kedalam kategori berikut: 1. Tidak terlibat aktif (jumlah skor 7-10) 2. Terlibat aktif (jumlah skor 11-14) Intensitas Komunikasi a. Tingkat pertemuan adalah jumlah pertemuan tatap muka yang dilakukan oleh responden dengan pihak perusahaan dalam rentang
15
waktu satu bulan terakhir. Pertemuan ini dapat terjadi di dalam atau di luar forum organisasi yang mengikat keduanya. Tingkat pertemuan dibagi menjadi: a. Tidak pernah ( 0 pertemuan) : skor 0 b. Jarang (< 4 kali pertemuan) : skor 1 c. Sering (> 4 kali pertemuan) : skor 2 Skor dari 4 pertanyaan kemudian dijumlah dan dibagi menjadi: 1. Tingkat pertemuan rendah (jumlah skor 0-2.66) : skor 1 2. Tingkat pertemuan sedang (jumlah skor 2.67–5.33) : skor 2 3. Tingkat pertemuan tinggi (jumlah skor 4.34–8) : skor 3 b. Tingkat interasksi yaitu frekuensi dan substansi yang dibicarakan dalam percakapan antara individu dengan pihak perusahaan perkebunan dalam kegiatan individu dan kelompok. Intensitas kemudian dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Tidak pernah ( 0 pertemuan) : skor 0 b. Jarang (< 4 kali pertemuan) : skor 1 c. Sering (> 4 kali pertemuan) : skor 2 Skor dari 5 pertanyaan kemudian akan dijumlah dan dibagi menjadi: 1. Tingkat interaksi rendah (jumlah skor 0-3.33) : skor 1 2. Tingkat interaksi sedang (jumlah skor 3.34–6.67) : skor 2 3. Tingkat interasi tinggi (jumlah skor 6.68-10) : skor 3 Kemudian keseluruhan skor dari tingkat pertemuan dan tingkat interaksi akan dijumlah dan dibagi menjadi: 1. Intensitas komunikasi rendah (jumlah skor 2-3.33) 2. Intensitas komunikasi sedang (jumlah skor 3.34-4.67) 3. Intensitas komunikasi tinggi (jumlah skor 4.68-6) 2. Sikap adalah sebuah evaluasi responden tentang kemitraan PIR yang dilihat dari kesiapan, keinginan atau kecenderungan untuk bertindak. Indikator yang diukur adalah: a. Komponen kognitif berupa pengetahuan masyarakat tentang kemitraan PIR. Pengetahuan ini adalah apa yang masyarakat percayai tentang pengertian, tujuan dan siapa saja penerima manfaat kemitraan PIR. Jawaban setiap pertanyaan dijumlah dan dibagi ke dalam 2 kategori yaitu: 1. Pengetahuan kurang tepat (jumlah skor 4-14) : kode 1 2. Pengetahuan tepat (jumlah skor 15-24) : kode 2 b. Komponen afektif berupa perasaan responden pada kemitraan PIR. Perasaan responden tentang kemitraan PIR ini dinilai dari kesesuaian, manfaat dan keterbukaan pada kemitraan PIR. 1. Tingkat kesesuaian kemitraan PIR. Kesesuaian yang dimaksud adalah kesesuaian kemitraan PIR dengan keinginan, harapan dan kebutuhan masyarakat dan juga kesesuaian isi perjanjian dan ketentuan bagi hasil dengan yang pendapat masyarakat. Kesesuaian terdiri dari 5 pertanyaan yang masing-masing jawaban pertanyaan tersebut terbagi menjadi: a. STS (sangat tidak sesuai) : skor 1 b. TS (tidak sesuai) : skor 2 c. N (netral) : skor 3 d. S (sesuai) : skor 4
16
2.
c.
e. SS(sangat sesuai) : skor 5 Jawaban setiap pertanyaan dijumlah dan dibagi lagi kedalam 3 kategori yaitu: a. Tidak sesuai (jumlah skor 5-11.6) : skor 1 b. Cukup sesuai (jumlah skor 11.7-18.3) : skor 2 c. Sangat sesuai (jumlah skor 18.4-25) : skor 3 Manfaat sosial ekonomi kemitraan PIR. Manfaat berupa peningkatan pendapatan dan peningkatan fasilitas umum yang terdiri dari 3 pertanyaan dan masing-masing jawaban pertanyaan tersebut terbagi menjadi: a. STS (sangat tidak setuju) : skor 1 b. TS (tidak setuju) : skor 2 c. N (netral) : skor 3 d. S (setuju) : skor 4 e. SS(sangat setuju) : skor 5 Jawaban setiap pertanyaan dijumlah dan dibagi lagi ke dalam 3 kategori yaitu:
a. Tidak bermanfaat (jumlah skor 3-7) : skor 1 b. Cukup bermanfaat (jumlah skor 8-11) : skor 2 c. Sangat bermanfaat (jumlah skor 12-15) : skor 3 3. Tingkat keterbukaan dalam kemitraan PIR. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam alokasi dana dan pembagian hasil serta kebijakan dalam penjualan hasil kebun. Keterbukaan ini terdiri dari 4 pertanyaan yang masing-masing jawaban pertanyaan tersebut terbagi menjadi: a. STS (sangat tidak terbuka) : skor 1 b. TS (tidak terbuka) : skor 2 c. N (netral) : skor 3 d. S (terbuka) : skor 4 e. SS(sangat terbuka) : skor 5 Jawaban setiap pertanyaan dijumlah dan dibagi lagi kedalam 3 kategori yaitu: a. Tidak terbuka (jumlah skor 5-10) : skor 1 b. Kurang terbuka (jumlah skor 11-15) : skor 2 c. Sangat terbuka (jumlah skor 16-20) : skor 3 Untuk mendapatkan penggolongan komponen afektif (perasaan responden tentang kemitraan PIR), jumlah skor kesesuaian, manfaat dan keterbukaan tersebut dijumlahkan kembali dan dibagi menjadi 2 kategori perasaan yaitu: a. Kemitraan kurang sinergis (total skor 12-36) : kode 1 b. Kemitraan sinergis (total skor 37-48) : kode 2 Komponen konatif berupa keinginan petani dalam menjalani kemitraan PIR. Keinginan ini merupakan keinginan dari petani untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Keinginan bekerjasama terdiri dari 6 pertanyaan dengan 2 jenis jawaban: a. Ya : skor 2 b. Tidak : skor 1
17
Keinginan tidak bekerjasama terdiri dari 1 pertanyaan dengan 2 jenis jawaban: a. Ya : skor 1 b. Tidak : skor 2 Untuk mendapatkan penggolongan komponen konatif (keinginan), pertanyaan dijumlahkan dan digolongkan menjadi dua jenis keinginan: 1. Ketidak iniginan bekerjasama (total skor 7-10.5) : kode 1 2. Keinginan bekerjasma (totak skor 10.6-14) : kode 2 Kemudian untuk dapat menentukan penggolongan sikap maka keseluruhan komponen kognitif, afektif dan konatif dijumlahkan. Total skor yang dihasilkan akan menggolongkan sikap responden pada kemitraan PIR menjadi 2 jenis sikap sebagai berikut: 1. Sikap kurang mendukung kemitraan (total skor 3-4.5) 2. Sikap mendukung kemitraan (total skor 4.6-6) 3. Perilaku konflik adalah perilaku atau tanggapan negatif yang diberikan masyarakat atas adanya kemitraan PIR a. Potensi Konflik adalah respon negatif atas adanya perbedaan kepentingan, atau ketidaksesuaian dalam kemitraan yang dapat menimbulkan perselisihan, perkelahian dan perjuangan. Potensi konflik terdiri dari 2 pertanyaan yang masing-masing jawabannya terbagi menjadi: a. Ya : skor 2 b. Tidak : skor 1 Untuk menentukan perilaku konflik petani plasma terhadap kemitraan PIR, maka dibagi menjadi 2 kategori: 1. Potensi konflik rendah (total skor 2) 2. Potensi konflik tinggi (total skor 3-4)
METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei. Menurut Singarimbun et al. (1989), penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang didukung dengan metode kualitatif. Data untuk metode kuantitatif didapat melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden (Lampiran 1). Kemudian, data pendukung metode kualitatitf didapat melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih serta observasi lapang. Kedua jenis metode ini digunakan untuk memperkaya data dan memungkinkan adanya informasi tak terduga dari responden atau informan. Selain itu, dengan didukung metode kualitatif diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci dalam menganalisis data kuantitatif.
Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Sukadamai, Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan (Lampiran 2). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan lokasi tersebut memenuhi ciri-ciri tempat yang sesuai dengan topik penelitian. Desa ini memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit swasta yang telah melaksanakan program kemitraan PIR. Pada lokasi ini juga terdapat masyarakat yang telah bekerja sebagai buruh perkebunan dan mengolah lahan kebun plasma. Proses penulisan skripsi berlangsung dari bulan Februari-Juli 2014, dengan pengambilan data selama 3 minggu pada bulan April.
Teknik Sampling Unit analisis penelitian adalah individu petani atau pekebun. Populasi sampel dalam penelitian ini adalah petani yang telah terdaftar sebagai petani plasma pada kemitraan PIR sejumlah 442 orang (lampiran 4). Responden merupakan kepala keluarga yang bekerja sebagai petani atau pekebun di sektor perkebunan kelapa sawit. Teknik sampling adalah suatu teknik atau cara dalam mengambil sampel yang representatif dari populasi (Rianse et al. 2009). Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random sampling). Sampel diambil secara acak dari daftar penerima kemitraan PIR Desa Sukadamai. Jumlah responden yang diambil sebanyak 60 orang yang merupakan penerima kemitraan PIR (lampiran 4). Penelitian ini juga mengambil beberapa informan untuk diwawancarai. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aparat desa, pengurus koperasi dan ketua kelompok plasma.
20
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder didapatkan dari studi literatur terkait dan pihak-pihak yang berkaitan dengan lokasi penelitian, yaitu profil Desa Sukadamai, data demografi desa, dan data dari Badan Pusat Statistika. Data primer diperoleh dari hasil pengambilan data langsung di lapangan melalui kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan. Wawancara mendalam diberikan kepada responden dan informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan dan diikuti dengan pemikiran responden yang berhubungan dengan pertanyaan. Wawancara tersebut digunakan untuk mendalami lebih lanjut mengenai pengetahuan petani dan informan tentang kemitraan PIR.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang telah diperoleh melalui kuesioner, selanjutnya diproses menggunakan uji statistik. Tipe data yang digunakan yaitu data nominal dan ordinal. Untuk uji statistik dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square. Analisis data ini selanjutnya memberikan gambaran umum mengenai hubungan antar variabel. Data kuantitatif yang sudah diperoleh, juga ditabulasi silang menggunakan Microsoft Excel 2010 dan diolah dengan software SPSS for Windows 16.0. Selain analisis data kuantitatif, data kualitatif yang telah dikumpulkan dituliskan untuk melengkapi dan menjelaskan data kuantitaif yang didapat.
PROFIL DESA SUKADAMAI, KECAMATAN TANJUNG LAGO, KABAUPATEN BANYUASIN Gambaran Umum Desa Secara astronomis Desa Sukadamai terletak pada 104o 43’ 52.7’’ BT dan 02 43’ 16.1” LS dengan luas total 1600 ha. Secara administratif, Desa Sukadamai merupakan salah satu desa yang berada pada Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan. Desa ini memiliki batas wilayah sebagai berikut: o
Tabel 1 Batas wilayah Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin tahun 2013 Batas wilayah desa Desa Sebelah utara Desa Banyu Urip Sebelah selatan Desa Sukatani Sebelah barat Desa Tanjung Lago Sebelah timur Desa Sukatani Sumber: Data Monografi Banyuasin, 2013.
Kantor Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten
Desa Sukadamai berjarak sekitar 35 km dari pusat Kota Palembang dan dapat ditempuh dalam waktu 2 jam dengan menggunakan kendaran bermotor. Jarak tempuh dari desa ke ibu kota provinsi dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan non-bermotor sekitar 12 jam. Jarak desa ini ke ibu kota kecamatan sekitar 3 km dan dapat ditempuh dengan waktu 15 menit dengan sepeda motor. Lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan berjalan kaki atau kendaraan non-bermotor sekitar 1 jam. Jarak desa ke ibu kota kabupaten lebih jauh daripada jarak ke ibu kota provinsi yaitu, sekitar 97 km dan dapat ditempuh dalam waktu 3 jam dengan kendaraan bermotor. Apabila dengan berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu 24 jam. Kualitas jalan menuju Desa Sukadamai dapat dikatakan kurang baik, karena terdapat banyak lubang yang cukup besar. Lubang-lubang yang berada hampir di sepanjang jalan Kecamatan Tanjung Lago ini cukup mengganggu dan menghambat pengguna jalan. Hal ini juga mengakibatkan waktu tempuh menuju desa semakin lama. Desa Sukadamai berbentuk persegi dengan luasan 4 km x 4 km atau setara dengan 1600 ha. Lokasi pemukiman penduduk menyebar teratur dan berselangseling dengan perkebunan kelapa sawit. Jarak antara setiap rumah cukup berjauhan dan diselingi dengan pekarangan yang berupa kebun-kebun kecil milik warga. Walaupun terdapat rumah yang berdampingan, atau berada dalam satu lokal hal ini karena pemilik rumah tersebut masih dalam satu keluarga. Satu lokal perumahan biasanya dapat terdiri dari satu sampai empat kepala keluarga. Satu lokal lokasi perumahan memiliki luas 0.25 ha yang terdiri dari rumah dan pekarangan. Penggunaan lahan yang terdapat di Desa Sukadamai cukup beragam, di antaranya pemukiman, pasar, sawah padi dan palawija, kebun sayur, kebun buah, kebun karet dan kebun kelapa sawit. Rincian penggunaan lahan di Desa Sukadamai dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
22
Tabel 2 Luas dan persentase jenis penggunaan lahan di Desa Sukadamai secara umum Jenis penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase (%) Pemukiman 266.00 16.63 Pertanian 1105.50 69.09 Perkantoran pemerintah 1.25 0.08 Sekolah 6.00 0.38 Pasar 0.25 0.02 Pertokoan 2.00 0.13 Pemakaman umum 4.00 0.25 Kebun karet. jalan dll 215.00 13.44 Total 1600.00 100.00 Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013 dan buku profil desa tahun 2007
Mata pencaharian yang dominan di desa adalah pada bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari luas penggunaan lahan di sektor pertanian yang mencapai hampir 70%. Sektor pertanian di desa ini cukup beragam. seperti padi. sayur dan palawija. Berikut rincian penggunaan lahan berdasarkan komoditas pertanian di Desa Sukadamai. Tabel 3 Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Sukadamai berdasarkan jenis penggunaan lahan pertanian Jenis penggunaan lahan pertanian Luas (Ha) Persentase (%) Sawah padi 232.0 20.99 Kelapa sawit 812.0 73.45 Jagung 25.0 2.26 Kacang panjang 2.0 0.18 Padi ladang 25.0 2.26 Ubi kayu 2.0 0.18 Cabai 0.5 0.05 Tanaman tumpang sari 2.5 0.23 Sayuran 2.0 0.18 Semangka 2.5 0.23 Total 1105.5 100.00 Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013 dan buku profil desa tahun 2007
Data pada Tabel 3 di atas menunjukkan dengan jelas bahwa dominan lahan pertanian adalah kebun kelapa sawit. Kebun kelapa sawit tersebutlah yang diolah dalam kemitraan PIR. Selain itu desa ini juga masih memiliki sawah padi seluas 232 ha. Desa Sukadamai. Kecamatan Tanjung Lago. Kabupaten Banyuasin memiliki bentukan lahan yang hampir sama. Kemiringan lahan di desa ini hampir seluruhnya datar. hanya beberapa saja yang memiliki bagian dengan kemiringan lereng yang landai. Hampir sebagian besar jalan di desa ini masih berupa jalan tanah merah sehingga akan sedikit mengalami kesulitan untuk dilalui ketika
23
hujan. Hanya sekitar 2 km jalan yang telah diaspal dan 4 km yang diberi pengerasan berupa koral. Desa ini dilewati oleh beberapa aliran sungai kecil dan parit-parit sehingga terdapat 22 jembatan yang difungsikan sebagai penghubung parit-parit di desa ini. Jalan poros desa ini terletak di sebelah selatan desa dan merupakan jalan yang telah diberi aspal dan pengerasan sepanjang 4 km. Selain jalan poros. terdapat dua jalur jalan yang dapat dikatakan sebagai jalan utama desa. Jalan ini menghubungkan jalan poros ke setiap dusun. namun jalan ini tidak sebagus jalan poros karena hanya sebagian saja yang diberi pengerasan. Desa ini juga memiliki banyak fasilitas umum yang cukup baik. seperti fasilitas keagamaan. pendidikan dan kesehatan. Tabel 4 Jumlah fasilitas yang dimiliki Desa Sukadamai Fasilitas Keagamaan Pendidikan Kesehatan Olahraga dan Seni
Jumlah (unit) 15 6 3 12
Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013
Desa Sukadamai memiliki cukup banyak fasilitas keagamaan seperti masjid. mushola dan gereja. Fasilitas kesehatan yang dimiliki desa ini berupa 1 unit puskesmas dan 2 bangunan klinik bersalin. Sekarang desa ini juga telah memiliki bangunan sekolah dari PAUD hingga SMA. Desa Sukadamai memiliki sarana olah raga berupa lapangan voli atau tenis dan lapangan sepak bola sejumlah 10 buah. Selain itu terdapat pula sarana kesenian dan budaya 2 buah. Desa ini juga memiliki dua buah bangunan koperasi yang keduanya digunakan sebagai mitra perkebunan kelapa sawit dan sebuah bangunan kantor desa yang sederhana.
Demografi dan Kependudukan Menurut data monografi Desa Sukadamai tahun 2013. Desa Sukadamai terdiri dari 4 Dusun dan 19 RT. Desa ini memiliki 846 KK yang hampir keseluruhannya merupakan transmigran dari pulau jawa sehingga bahasa yang umum digunakan di desa ini adalah Bahasa Jawa. Menurut data kependudukan yang dijabarkan di Tabel 5 dapat dilihat bahwa penduduk perempuan di desa ini lebih banyak dibanding dengan penduduk laki-lakinya. Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%) Laki-laki Perempuan Total
1987 2026 4013
Sumber: Data diolah dari monografi Desa Sukadamai tahun 2013
49.51 50.49 100.00
24
Sebagian besar wilayah Desa Sukadamai digunakan sebagai daerah pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Berikut rincian mata pencaharian penduduk di Desa Sukadamai. Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sukadamai berdasarkan mata pencaharian Mata pencaharian PNS Pengrajin industri Pedagang Bidan dan perawat Pembantu rumah tangga Tni/polri Karyawan Tani dan buruh tani Bidang jasa Ibu rumah tangga, pekerja serabutan dan pengangguran Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
38 10 140 3 32 2 114 361 21
0.95 0.25 3.49 0.07 0.80 0.05 2.84 9.00 0.52
3292
82.03
4013
100.00
Sumber: Diolah dari data monografi Desa Sukadamai tahun 2013 dan buku profil desa tahun 2007
Sejarah Kemitraan PIR dan Koperasi Mitra di Desa Sukadamai Sejarah Kemitraan PIR Kemitraan PIR lebih dikenal sebagai kemitraan plasma sawit oleh masyarakat setempat. Kemitraan PIR di desa ini dapat digolongkan menjadi kemitraan PIR-KKPA yaitu pola PIR yang mendapat fasilitas kredit kepada koperasi primer untuk anggota. Kemitraan PIR di desa ini adalah sebuah program “ayah angkat” yang ditujukan untuk mengelola lahan tidur yang dulu banyak di desa ini. Dikatakan sebagai program “ayah angkat”, karena pemerintah desa mencari perusahaan perkebunan yang mau untuk memberi bantuan dalam pengelolaan atau perawatan lahan tidur. Pemerintah desa telah beberapa kali mencari perusahaan untuk dijadikan ayah angkat. Hal ini karena, mulanya beberapa perangkat desa memiliki keinginan untuk kembali memanfaatkan lahan tidur yang dulu digunakan sebagai sawah pada awal transmigrasi. Lahan tidur tersebut tidak lagi dapat ditanami padi setelah terjadi kebakaran besar pada tahun 1992 dan saat ini cocok untuk kelapa sawit. Kemudian, terjadilah kerjasama dengan salah satu perusahaan perkebunan sawit pada tahun 2004. Kebanyakan warga di Desa Sukadamai adalah petani plasma. Hanya sekitar 47% kepala keluarga yang tidak mengikuti kemitraan. Rata-rata petani plasma sawit di Desa Sukadamai adalah peserta transmigrasi yang didatangkan dari pulau Jawa, baik itu dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa dari Jawa Barat. Mereka dipindahkan ke Desa Sukadamai pada tahun 1980, sehingga mereka
25
sudah 35 tahun berada di lokasi tersebut. Ketika dipindahkan, masyarakat telah diberikan lahan seluas 2 ha untuk lahan pertanian dan 0.25 ha untuk perumahan dan pekarangan, sehingga masing-masing KK (kepala keluraga) memiliki lahan seluas 2.25 ha. Program transmigrasi yang ada di desa ini secara tidak langsung membuat kemitraan PIR di sini sedikit berbeda dengan kemitraan PIR di lokasi lain. Kemitraan PIR di lokasi lain biasanya memberikan, membukakan lahan serta membantu dalam pembuatan sertifikat tanah untuk petani plasmanya. Akan tetapi, Kemitraan PIR di desa ini mengharuskan setiap anggotanya sudah memiliki sertifikat tanah untuk dapat diagunkan ke bank. Umumnya perusahaan perkebunan di lokasi lain memberikan lahan mulai dari 0.5 ha hingga 2 ha untuk diolah, sedangkan di desa ini petani diharuskan memiliki lahan sebesar minimal 1 ha untuk dijadikan kebun plasma. Kemitraan PIR di Desa Sukadamai telah berlangsung hampir 10 tahun dan seharusnya kontrak kemitraan ini akan segera berakhir. Akan tetapi, karena perusahaan perkebunan yang menjadi “ayah angkat” telah berganti kepemilikan sebanyak 3 kali, kontrak perjanjian kerjasama kemitraan PIR diperbaharui dan ditambah jangka waktunya. Pergantian kepemilikan ini terjadi tanpa diketahui oleh pihak koperasi ataupun pemerintah desa. Perjanjian ulang dengan perusahaan dilakukan pada tahun 2008 dan akan berakhir dalam jangka waktu 10 tahun yang artinya kemitraan akan berakhir tahun 2018 mendatang.
Koperasi Unit Desa Mekar Tani Jaya (KUD MTJ) Koperasi Unit Desa Mekar Tani Jaya (KUD MTJ) merupakan salah satu koperasi yang ada di Desa Sukadamai. Koperasi ini merupakan sebuah badan hukum yang bernomor 002821a/BH/VI/Tgl.25 Agustus 1997. Awalnya koperasi ini dioperasikan sebagai koperasi induk untuk Kecamatan Tanjung Lago. Setelah adanya kerjasama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004, koperasi ini kemudian dijadikan sebagai koperasi mitra. Keputusan digantinya fungsi utama koperasi ini terjadi atas keinginan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat. KUD MTJ pada awal kerjasama mewakili semua petani plasma dari tiga desa yang ada di Kecamatan Tanjung Lago. Ketiga desa ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan ciri-ciri kependudukan yang hampir sama, desa tersebut adalah desa Sukadamai, Sukatani dan Kota Terpadu Mandiri. Setelah berlangsungnya kerjasama, tiap-tiap desa di Kecamatan Tanjung Lago mulai memisahkan diri dan membuat koperasi sendiri. Setelah berpisah dengan desa-desa lainnya, koperasi ini dikhususkan membawahi petani plasma sawit yang berada di Desa Sukadamai. Luas kebun kelapa sawit yang ditangani oleh koperasi ini awalnya adalah 812 ha. Luas ini berkurang, karena pada tahun 2012 terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat antara pengurus koperasi dengan beberapa anggota. Perselisiah tersebut membuat anggota yang berselisih memisahkan diri dari KUD MTJ dan membuat koperasi sendiri bernama Koperasi Serba Usaha Al-Barokah (akan dibahas di sub bab selanjutnya). Hal tersebut menjadikan luasan kebun kelapa sawit yang dikelola oleh KUD MTJ berkurang menjadi 522 ha dengan 297 anggota.
26
KUD Mekar Tani Jaya melakukan perjanjian dengan PT. X pada September 2004. Setiap anggota KUD yang terdaftar sebagai petani plasma diwajibkan melakukan pinjaman dana ke pihak bank. Pinjaman tersebut berupa kredit sejumlah Rp29 048 177 untuk pembangunan kebun sawit. Jangka waktu peminjaman ini adalah selama 10 tahun dengan menjaminkan Sertifikat Hak Milik atas lahan. Kemudian karena terjadi pergantian pemilik perusahaan perkebunan pada tahun 2008, maka perjanjian dengan koperasi diperbaharui. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 4 Februari 2009 oleh direktur perusahaan, ketua KUD MTJ dan sekertaris KUD MTJ. Perjanjian ini juga disaksikan oleh Kepala Dinas Koperasi Perindag UKM dan PM Kabupaten Banyuasin, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuasin dan diketahui oleh Bupati Banyuasin. Oleh karena pembaharuan perjanjian ini pula petani plasma diharuskan untuk kembali meminta kredit kepada bank sejumlah kurang lebih 17 juta rupiah. Selain itu jangka waktu perjanjian juga ikut diperbaharui menjadi 10 tahun setelah perjanjian kedua, yang membuat kemitraan ini berakhir pada tahun 2019. Kemitraan PIR yang dikelola oleh KUD MTJ memiliki sistem bagi hasil “tanggung renteng”. Sisa hasil usaha yang diterima oleh KUD dibagi dengan luas hektar yang dikelola KUD MTJ. Sistem ini menjadikan setiap petani plasma anggotanya mendapatkan hasil yang sama setiap hektar per bulannya. Sistem ini juga memungkinkan petani yang lahan sawitnya tidak menghasilkan buah, tetap mendapatkan hasil setiap bulannya. Perawatan pada lahan plasma sawit yang dikelola oleh KUD MTJ sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Petani plasma murni hanya menerima hasil setiap bulannya, sedangkan pengawasan perawatan kebun dilakukan oleh koperasi.
Koperasi Serba Usaha Al-Barokah (KSU Al-Barokah) Koperasi ini awalnya merupakan koperasi khusus yang anggotanya memiliki keterikatan hubungan darah (keluarga besar). KSU Al-Barokah didirikan atas keinginan pribadi pemilik, bukan atas pertimbangan dari pihak perusahaan perkebunan. Setelah terjadinya perselisihan dengan koperasi lama, akhirnya pada bulan Agustus 2012 koperasi ini dibuka untuk umum. Kemudian, mulai banyak tetangga yang bergabung dalam koperasi ini karena berbagai pertimbangan. Koperasi ini akhirnya menangani 252 ha lahan kebun kelapa sawit dan beranggotakan 145 orang. Terdapat 4 blok hamparan kelapa sawit di Desa Sukadamai, Blok A, Blok B, Blok C dan Blok D. KSU Al-Barokah menangani 76 ha lahan sawit di Blok A, 147 ha di Blok B, 16 ha di Blok C, dan 13 ha di Blok D. Pada awal pembukaannya koperasi memiliki 150 anggota. Tetapi, 5 orang anggota keluar dari koperasi dan kembali bergabung ke KUD MTJ. Secara umum sistem kerja dan pembagian hasil atas lahan perkebunan kelapa sawit KSU Al-Barokah berbeda dengan KUD MTJ. KSU Al-Barokah memiliki pembagian hasil yang disesuaikan dengan produksi masing-masing lahan kebun kelapa sawit pemiliknya. Sehinga apabila produktifitas kelapa sawit sebuah lahan tinggi maka hasil yang diperoleh petani pemilik lahan juga tinggi. Sebaliknya jika produktifitas sebuah lahan rendah maka hasil yang akan diperoleh petani pemilik lahan juga rendah. Perawatan pada lahan plasma sawit yang dikelola oleh KSU AL-Barokah dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan petani
27
plasma pemilik lahan. Petani plasma merawat, menyemprot pestisida, memupuk, dan membersihkan kebun dari gulma. Untuk mendapatkan pupuk biasanya pihak KSU akan meminta langsung kepada pihak perusahaan ketika sudah waktunya pemupukan. Kemudian untuk pemanenan barulah karyawan dari perusahaan perkebunan yang melakukan. Salah satu pengurus KSU Al-Barokah menyatakan bahwa koperasi ini sedang memproses pelepasan 252 ha lahan plasma untuk dikelola sendiri. KSU Al-Barokah akan berhenti dari kemitraan dengan perusahaan perkebunan. Oleh karena itu, anggota KSU Al-Barokah diminta untuk meminjam dana lagi ke bank lain untuk menebus sertifikat tanah yang sebelumnya diagunkan ke bank X. Pemisahan ini dilakukan karena petani plasma yang tergabung dalam koperasi ini merasa tidak puas dengan perilaku pihak perusahaan perkebunan. Sistem bagi hasil “tanggung renteng” dianggap merugikan petani yang memiliki produktifitas sawit yang tinggi. Pengurus koperasi juga mengaku kurang puas dengan pembagian hasil yang kurang transparan dari perusahaan. Menurut pengurus koperasi petani merasa di dzolimi karena sulit untuk mendapatkan haknya. Saat ini KSU Al-Barokah sedang mengurus surat pengantar TBS agar koperasi lebih mudah untuk menjual TBS sendiri. Selain itu, koperasi menuntut transparansi dari pihak perusahaan perkebunan karena sistem sortasi TBS yang kurang memuaskan. Koperasi Al-Barokah juga merasa dianak tirikan oleh perusahaan setelah memisahkan diri dari KUD MTJ.
Gambar 3 Gambar KUD Mekar Tani Jaya (kiri) dan KSU Al-Barokah (kanan)
KARAKTERISTIK RESPONDEN Karakteristik Individu Responden dalam penelitian ini adalah warga Desa Sukadamai yang telah terdaftar sebagai petani plasma dalam SK Bupati setempat. Secara umum hampir semua petani plasma di Desa Sukadamai adalah peserta transmigrasi pada tahun 1980. Karakteristik individu pada penelitian ini digolongkan dalam beberapa karakteristik yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
Karakteristik Individu Menurut Umur Umur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia yang diukur dengan menghitung selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilakukan penelitian. Umur responden juga digolongkan menjadi 5 kategori berdasarkan usia produktif. Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur Umur (tahun) 15-22 25-34 35-44 45-54 ≥ 55 Total
Jumlah (orang) 0 11 11 18 20 60
Persentase (%) 0 18.3 18.3 30.0 33.4 100.0
Tabel 7 menyatakan bahwa cukup banyak responden yang berumur antara 45-54 tahun dan juga responden di atas 55 tahun. Banyaknya responden yang berumur di atas 45 tahun ini karena mereka merupakan penerima asli dari program transmigrasi. Kemudian, responden yang umurnya di bawah 35 tahun biasanya adalah pecahan KK (kepala keluarga). Pecahan KK dalam hal ini berarti anak dari penerima asli atau dengan kata lain mereka menerima lahan kebun kelapa sawit dari orang tua mereka.
Karakteristik Individu Menurut Jenis Kelamin Responden pada penelitian ini didominasi oleh laki-laki. Seperti pada Tabel 8 yang dengan jelas menyatakan bahwa 80% dari total responden berjenis kelamin laki-laki. Hal ini karena, penerima plasma di atas namakan oleh kepala keluarga sehingga secara otomatis responden kebanyakan adalah laki-laki. Adapun calon responden perempuan umumnya menolak untuk diwawancarai karena merasa tidak mengerti dengan kemitraan PIR. Responden perempuan yang telah diwawancarai umumnya adalah seorang kepala keluarga (janda) dan ibu rumah tangga yang merasa cukup mengetahui kemitraan PIR. Berikut dapat dilihat tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase responden.
30
Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (orang) 48 12 60
Persentase (%) 80 20 100
Karakteristik Individu Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh responden. Jika dilihat dalam tabel, lebih dari separuh responden memiliki pendidikan terakhir di sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak 68.33%. Hal ini karena dulu di Desa Sukadamai hanya terdapat 1 sekolah dasar, sehingga masyarakat sulit untuk bersekolah. Selain itu keadaan ekonomi memakasa mereka untuk tidak melanjutkan sekolah. Walaupun demikian telah terdapat beberapa responden yang bersekolah di jenjang yang lebih tinggi. Berikut dapat dilihat rincian jumlah dan persentase karakteristik individu menurut tingkat pendidikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi Total
Jumlah (orang) 2 41 6 8 3 60
Persentase (%) 3.3 68.4 10.0 13.3 5.0 100.0
Karakteristik Individu Menurut Jenis Pekerjaan Utama Jenis pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan responden sebagai sumber mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian besar warga Desa Sukadamai masih bekerja di sektor pertanian. Hal itulah yang menyebabkan sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai petani atau buruh tani. Responden yang tidak memiliki sawah padi akan bekerja sebagi buruh tani di sawah tetangga mereka, atau sawah milik warga desa yang berada di luar desa Sukadamai. Selain sawah padi, dan perkebunan sawit di Desa Sukadamai juga terdapat perkebunan karet. Responden memiliki kebun karet pribadi yang menunjang kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Walaupun perawatan kabun karet lebih intensif karena harus disadap setiap pagi. Masyarakat berpendapat bahwa kebun karet lebih menguntungkan bagi mereka dibandingkan dengan kebun kelapa sawit plasma. Selain berbentuk kebun karet, beberapa responden juga memiliki pembibitan karet di halaman rumah mereka.
31
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan utama Jenis pekerjaan utama Tani Wiraswasta Pedagang Guru IRT Pengangguran Total
Jumlah (orang) 49 6 1 2 1 1 60
Persentase (%) 81.66 10.00 1.67 3.33 1.67 1.67 100.00
Karakteritik Individu Menurut Kepemilikan Luas Lahan Sebagian dari total responden memiliki lahan pangan atau kebun di luar lahan plasma sawit. Sebagiannya lagi hanya memiliki lahan perumahan seluas 0.25 ha dan kebun plasma sawit saja. Lahan pangan dan kebun tersebut dikategorikan menjadi kebun karet, sawah padi dan kebun sawit non-plasma. Terdapat juga responden yang memiliki dua jenis lahan sekaligus. Terdapat masing-masing 1 responden yang memiliki lahan sawah seluas 3 ha dan 4 ha. Selain itu, untuk lahan sawit terdapat 3 responden yang memiliki lahan seluas 2 ha. Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas dan jenis kepemilikan lahan Jenis kepemilikan lahan Luas lahan Karet Sawah Sawit (non-plasma) (ha) n (%) n % n % 0.25 3 20.00 3 16.66 0 0.00 0.5 4 26.66 4 22.22 2 33.33 1 3 20.00 4 22.22 4 66.67 1.25 1 6.67 2 11.11 0 0.00 1.5 1 6.67 1 5.56 0 0.00 2 3 20.00 2 11.11 0 0.00 3 0 0.00 1 5.56 0 0.00 4 0 0.00 1 5.56 0 0.00 Total 15 100.00 18 100.00 6 100.00
Karakteristik Petani Plasma Sawit Luas Kebun Plasma Kelapa Sawit Petani plasma yang berada di Desa Sukadamai umumnya memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 12, lebih dari separuh responden memiliki lahan seluas 2 Ha. Lahan seluas 2 ha ini adalah lahan yang memang diperuntukkan untuk pertanian dari program transmigrasi.
32
Mulanya, lahan tersebut digunakan sebagai sawah dan merupakan lahan bersertifikat. Tetapi kemudian lahan tersebut tidak dapat digunakan sebagai sawah dan menjadi lahan tidur. Setelah itu lahan tersebut diagunkan ke bank oleh pemilik untuk dijadikan kebun plasma sawit. Terdapat beberapa responden yang memiliki lahan seluas 1 ha, hal ini karena sisa 1 ha lahan mereka telah dijual atau diwariskan kepada anaknya. Kemudian, untuk responden yang memiliki lahan lebih dari 2 ha adalah responden yang telah membeli lahan milik warga transmigran lainnya. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan kebun kelapa sawit plasma Luas kebun sawit plasma 1 ha 2 ha >2 ha Total
Jumlah (orang)
Persentase (%) 25.0 58.3 16.7 100
15 35 10 60
Status Kepemilikan Kebun Plasma Kelapa Sawit Status kepemilikan lahan kebun kelapa sawit berkaitan dengan luas lahan kebun kelapa sawit. Seperti yang sudah disebutkan pada subbab di atas, status kepemilikan lahan kebun kelapa sawit digolongkan menjadi 4 kategori. Berikut Tabel 13 yang menjabarkan status kepemilikan lahan kelapa sawit di Desa Sukadamai. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status kepemilikan lahan kebun kelapa sawit Status kepemilikan Turun temurun Membeli Lahan transmigrasi Membeli dan lahan transmigrasi Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
11 5 39 5 60
18.34 8.33 65.00 8.33 100.00
Kategori status kepemilikan lahan tersebut adalah turun temurun (warisan), membeli, lahan transmigrasi, dan membeli sekaligus dari lahan transmigrasi. Status kepemilikan lahan kebun sawit terbesar adalah dari program transmigrasi. Status kepemilikan lahan dari program transmigrasi ini sangat dominan karena memang hampir seluruh kepala keluarga diberikan lahan oleh pemerintah saat program berlangsung. Status kepemilikan lahan dari transmigrasi sebanyak 65% tersebut belum ditambah dengan status kepemilikan dari kategori membeli dan transmigrasi. Kemudian, lahan yang bersumber dari warisan atau turun temurun menjadi status kepemilikan terbanyak setelah kategori transmigran. Lahan turun
33
temurun ini juga awalnya adalah dari program transmigrasi yang diberikan kepada orang tua mereka.
Status Pengelolaan Lahan Kebun Plasma Kelapa Sawit Kemitraan PIR di desa ini dimulai pada tahun 2004, sehingga seluruh responden menjawab bahwa mereka telah bermitra selama 10 tahun. Adapun untuk status pengelolaan lahan plasma, kebanyakan responden menjawab bahwa mereka tidak mengolah lahan plasmanya sendiri. Hal ini jelas dapat dilihat dalam Tabel 14 bahwa sebagian besar responden lahannya dikelola langsung oleh perusahaan, seperti ungkap salah seorang responden: “...di sini mba, tidak ada warga yang kerja di kebun plasmanya, karena yang mengelola kebun plasmanya ya cuma perusahaan. Kita tinggal tunggu hasil bulanan itu aja. Itu pun perbulannya sedikit, tidak cukup buat makan....” (Shy, 31thn) Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pengelolaan lahan kebun plasma Status pengelolaan Dikelola sendiri Dikelola perusahaan Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
11 49 60
18.33 81.67 100.00
Sedikit berbeda dengan pernyataan Shy, terdapat 18.33% responden yang menyatakan bahwa mereka telah dua tahun mengelola lahannya sendiri. Hal ini karena mereka telah berpindah dari KUD MTJ ke KSU Al-Barokah. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan, yaitu sebagai berikut: “ ...ya anggota koperasi kami (KSU Al-Barokah) sedikit beda mba dengan yang ikut perusahaan, kalo di sini kita maunya kebun plasma, kita yang rawat sendiri, supaya kita tau gimana keadaannya. Kalo di perusahaankan (KUD MTJ) kita gak tau apa-apa, liat aja kebun yang disana ndak terawat...” (Tmj, 64 tahun, Pengurus KSU Al-Barokah) Responden yang menjadi anggota KSU Al-Barokah memang telah 2 tahun mengelola lahan kebun sawit plasma mereka sendiri. Pengelolaan ini dilakukan karena mereka sedang dalam upaya untuk lepas dari kemitraan dengan perusahaan. Selain mengelola kebun secara pribadi, pengangkutan kelapa sawit juga telah diusahakan menggunakan truk yang mereka beli dari uang koperasi. Berbeda dengan KUD MTJ yang pengangkutannya masih menggunakan truk milik perusahaan. Pengangkutan menggunakan truk sendiri ini dilakukan oleh KSU Al-Barokah untuk mengurangi biaya pengangkutan dari perusahaan.
34
Keterlibatan Petani dalam Kelompok atau Organisasi Karakteristik petani lainnya adalah keterlibatan mereka dalam organisasi. Organisasi yang difokuskan di sini adalah organisasi yang berkaitan dengan kemitraan PIR. Terdapat satu jenis organisasi yang berkaitan dengan PIR yaitu koperasi mitra. Keikutsertaan dalam Koperasi Desa Sukadamai memiliki dua koperasi yang berbeda pengelolaan yaitu, Koperasi Unit Desa Mekar Tani Jaya (KUD MTJ) dan Koperasi Serba Usaha AlBarokah (KSU Al-Barokah). Kedua koperasi ini bermula dari satu koperasi yang sama dengan satu kepengurusan. Kemudian koperasi ini akhirnya terbagi menjadi dua, baik kepengurusan dan juga anggotanya. Berikut rincian pembagian anggota berdasarkan responden. Tabel 15
Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam koperasi mitra
Nama koperasi mitra KSU Al-Barokah KUD Mekar Tani Jaya Tidak ikut koperasi Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
11 47 2 60
18.33 78.34 3.33 100.00
Jika dilihat dari banyaknya, anggota KUD MTJ lah yang lebih banyak menjadi responden. Responden pada penelitian ini didominasi oleh anggota dari koperasi ini. Hal ini karena, lebih dari setengah petani plasma tergabung dalam KUD MTJ. Selain itu, awalnya semua petani plasma dari KSU Al-Barokah juga merupakan anggota KUD MTJ. Tetapi, terdapat pula beberapa responden yang tidak ikut dalam koperasi. Responden mengaku kalau mereka menolak untuk menjadi anggota koperasi, berikut pernyataan salah satu responden. “ ... saya memang dari awal tidak berminat mau ikut plasma sawit mba, saya juga dibujuk-bujuk supaya ikut, tapi saya tetep ndak mau. Eh, lahan saya malah ikut dibuka dan digarap sama PT. Jadinya, saya jadi petani plasma juga, tapi saya ndak mau ikut kumpulankumpulan koperasi, saya netral aja.” (Syk, 72 tahun).
Keaktifan dan Manfaat yang dirasakan dari Koperasi Keaktifan responden dalam koperasi yang dimaksud adalah kehadiran responden, kemampuan responden untuk bertanya, memberikan ide serta gagasan ketika diadakan kumpul koperasi. Ketika ditanyakan mengenai keaktifan, cukup banyak responden menjawab ya. Artinya responden yang menjawab ya menganggap dirinya aktif hadir, bertanya dan memberikan ide ketika kumpul koperasi. Lebih dari setengah jumlah responden lainnya hanya aktif hadir ketika diundang dan tidak dapat secara langsung memberikan ide atau juga pertanyaan. Umumnya responden mengaku sering datang ketika ada perkumpulan koperasi.
35
Selain itu, cukup banyak pula responden yang sering memberikan usul dan pertanyaan. Tetapi, masih ada pula responden yang hanya hadir seperti pernyataan salah satu responden sebagai berikut. “... kalau saya sih hanya ikut datang kalau diundang, tapi jarang bertanya. Maklum orang bodoh ya, saya juga males nanya-nanya biar orang-orang yang pengurus saja yang ngomong dengan orang PT.”(Srj, 75 tahun). Adapula pernyataan lain dari salah satu responden yang menyatakan kalau dirinya tidak pernah sama sekali ikut kumpul koperasi. “...kalau kumpulan bapak tidak pernah ikut lagi neng. Sekarang bapak sudah ndak pernah diundang lagi, kalau dulu pas bapak masih lebih muda sih sering dapet undangan.” (Mhm, 86 tahun) Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keaktifan responden dan manfaat yang responden rasakan dalam kelompok atau organisasi No. Keaktifan responden dan manfaat yang Jumlah Total Jawaban dirasakan n % % 1. Ya 26 43.3 Responden hadir, memberikan ide atau 100 pertanyaan dalam organisasi Tidak 34 56.7 2. Ya 26 43.3 Responden dapat berdialog dengan pihak 100 perusahaan perkebunan Tidak 34 56.7 3. Setelah mengikuti organisasi tersebut Ya 29 48.3 responden mendapat pengetahuan tentang 100 Tidak 31 51.7 kemitraan PIR 4. Setelah mengikuti organisasi tersebut Ya 21 35.0 responden mendapat manfaat dalam 100 Tidak 39 65.0 peningkatan usaha perkebunan Selain keaktifan, responden juga ditanyakan mengenai kemungkinan mereka dapat berdialog atau berbincang langsung dengan pihak perusahaan ketika sedang mengadakan kumpul koperasi. Lebih dari setengah responden mengatakan bahwa mereka tidak dapat berdiskusi langsung dengan pihak perusahaan perkebunan. Mereka mengaku segan dan menyatakan bahwa pihak koperasi yang biasanya dapat lebih leluasa dalam berdiskusi. Rasa segan yang dimiliki oleh responden dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka yang rendah. Selain itu juga karena status sosial mereka yang lebih rendah dari pengurus koperasi, pemerintah desa dan pihak perusahaan sendiri. Responden juga kurang merasakan adanya pertambahan pengetahuan tentang kemitraan PIR setelah mengikuti koperasi. Mereka berpendapat bahwa ketika kumpul anggota koperasi, biasanya pembicaraan hanya seputar pembagian hasil bulanan dan perdebatan masalah dan tuntutan mereka dengan perusahaan. Perusahaan atau koperasi tidak pernah memberikan penjelasan tentang pengertian PIR sebenarnya, tujuan umum diadakannya kemitraan, manfaat dan keuntungan apa yang mereka bisa dapatkan dari kemitraan. Peraturan dan isi perjanjian
36
kerjasama dengan perusahaan juga tidak pernah dijelaskan mendetail kepada petani plasma. Hal ini yang meyebabkan lebih dari setengah responden menjawab tidak mendapat pengetahuan tentang kemitraan PIR. Selain cukup banyak responden yang merasa kurang mendapat pengetahuan tentang kemitraan PIR. Lebih dari setengah jumlah responden juga menyatakan bahwa kurang mendapatkan manfaat untuk peningkatan usaha perkebunan kelapa sawit mereka. Responden bahkan menjawab dengan sinis ketika ditanyai hal ini. Hal ini karena, dari awal kemitraan PIR berlangsung tidak terdapat hasil yang benar-benar menguntungkan petani plasma. Bahkan beberapa kebun plasma warga hingga saat pengambilan data ada yang belum disulam (tanam ulang karena diserang hama saat pembibitan). Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan petani dalam kelompok Keterlibatan petani dalam kelompok Kurang terlibat Terlibat Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
19 41 60
31.7 68.3 100.00
Setelah dilakukan penjumlahan dari setiap pertanyaan pada variabel keterlibatan petani dalam kelompok, didapatlah hasil sebagaimana Tabel 17. Berdasarkan tabel, terdapat beberapa petani yang kurang terlibat aktif dalam kelompok. Hal ini karena petani tidak punya peranan dan hanya datang tanpa mengerti apa topik pembicaraan. Seperti salah satu responden yang pernah menyatakan bahwa mereka pernah diberi selembaran yang berisi laporan keuangan koperasi. Tetapi responden mengaku tidak mengerti isi dari selembaran tersebut. Walaupun demikian cukup banyak responden yang dapat dikatakan terlibat aktif dalam koperasi.
Intensitas Komunikasi Intensitas komunikasi merupakan hasil dari tingkat pertemuan dan tingkat interaksi antara responden dengan pihak perusahaan. Tingkat pertemuan dapat diketahui dari seberapa sering responden bertemu dengan pihak perusahaan. Pertemuan yang dimaksud adalah pada kumpul koperasi ataupun aktifitas seharihari, begitu pula dengan tingkat interaksi. Tingkat interaksi dimaksudkan untuk mengetahui seberapa sering petani plasma dapat berdiskusi atau berbincang dengan pihak perusahaan. Kemudian seperti apa tanggapan yang diberikan pihak perusahaan kepada petani. Selain dengan pihak perusahaan, interaksi antar petani plasma dan juga pemerintah dapat diketahui.
Tingkat Pertemuan Tingkat pertemuan yang dimaksud adalah jumlah pertemuan tatap muka yang dilakukan oleh responden dengan pihak perusahaan dalam rentang waktu 1 bulan terakhir. Tingkat pertemuan dapat diketahui dari 4 pertanyaan yang diajukan. Responden memiliki 3 variasi jawaban yaitu tidak pernah, jarang dan
37
sering. Pertanyaan-pertanyaan beserta jumlah dan persentasenya, dirangkum ke dalam tabel berikut. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pertemuan dengan perusahaan dan pemerintah desa Jumlah No. Tingkat pertemuan Jawaban n % 1. Pihak perusahaan melakukan sosialisasi Tidak pernah 40 66.7 tentang Kemitraan PIR Jarang 18 30.0 Sering 2 3.3 2. Pemerintah desa melakukan sosialisasi Tidak pernah 50 83.3 tentang Kemitraan PIR Jarang 9 15.0 Sering 1 1.7 3. 1 bulan belakangan pernah bertemu Tidak pernah 40 66.7 dengan pihak perusahaan perkebunan Jarang 13 21.6 Sering 7 11.7 4. 1 bulan belakangan pernah berbincang Tidak pernah 45 75.0 dengan pihak perkebunan mengenai Jarang 10 16.7 kemitraan PIR Sering 5 8.3
petani Total (%) 100
100
100
100
Berdasarkan Tabel 18, sebagian besar responden menyatakan bahwa selama 1 bulan terakhir pihak perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi. Beberapa responden juga menyatakan bahwa sosialisasi hanya sering dilakukan pada sebelum kemitraan berlangsung. Sosialisasi yang dilakukan perusahaan umumnya berupa perjanjian kerjasama yang nantinya akan dilakukan. Seperti pernyataan salah satu responden berikut. “...sosialisasi sih pernah neng dulu-dulu, malah sering kalau awalawal adalah 5 kali mungkin. Ngejelasin kalau nanti bagi hasilnya gini-gini... bagi tiga, petani, perusahaan sama bank.” (Smh, 62 tahun) Berdasarakan tabel tersebut hampir seluruh responden menyatakan bahwa pemerintah desa juga tidak pernah melakukan sosialisasi tentang kemitraan PIR lagi. Sosialisasi tentang kemitraan PIR memang pernah dilakukan bersamaan dengan pihak perusahaan pada saat sebelum kemitraan berlangsung. Tetapi, sosialisasi tidak pernah dilakukan lagi. Hal ini karena sekarang pemerintah mulai memberikan kepercayaan penuh pada koperasi untuk menangani segala hal tentang kemitraan PIR. Saat ini pemerintah hanya sekedar mengawasi dan membiarkan koperasi sebagai wadah kemitraan PIR untuk menjalankan kemitraan mewakili petani. Intensitas pertemuan petani dengan pihak perusahaan juga dikatakan lemah karena pertemuan dengan pihak perusahaan perkebunan hanya dilakukan 1 tahun sekali pada saat RAT. Hal ini yang menjadi alasan lebih dari setengah responden mengatakan tidak pernah bertemu dengan pihak perusahaan. Kemudian, bagi responden yang menjawab jarang dan sering bertemu biasanya adalah, responden yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan dan pengurus koperasi saja atau ketua kelompok. Beberapa responden yang menjawab pernah bertemu dengan
38
pihak perusahaan juga menjelaskan bahwa pihak perusahaan yang sering mereka temui adalah mandor dan karyawan yang tinggal di Desa. Banyaknya responden yang tidak pernah bertemu dengan pihak perusahaan, juga menjadi penyebab sebagian besar responden tidak pernah berbincang langsung dengan pihak perusahaan. Hal ini lah yang membuat tingkat pertemuan antara petani dan perusahaan rendah.
Tingkat Interaksi Tingkat interasksi yang dimaksud adalah frekuensi dan substansi yang dibicarakan dalam percakapan antara individu dengan pihak perusahaan perkebunan. Interaksi ini dapat terjadi dalam kegiatan individu dan kelompok. Tingkat interaksi dapat diketahui dari 5 pertanyaan yang diajukan. Responden memiliki 3 variasi jawaban yaitu tidak pernah, jarang dan sering. Pertanyaanpertanyaan beserta jumlah dan persentasenya, dapat dilihat pada Tabel 19, 20 dan 21. Tabel 19
Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat komunikasi petani dengan perusahaan Jumlah Total No. Tingkat komunikasi Jawaban (%) n % 1. Pihak perkebunan membantu Anda Tidak pernah 45 75.0 dalam memecahkan permasalahan Jarang 100 14 23.3 mengenai perkebunan Sering 1 1.7 2. Selain mengenai kemitraan PIR, Anda Tidak pernah 53 88.4 pernah berbincang dengan pihak Jarang 100 5 8.3 perusahaan Sering 2 3.3 3. Pihak perkebunan menanggapi dengan Tidak pernah 36 60.0 baik jika sedang berdiskusi Jarang 100 14 23.3 Sering 10 16.7 Cukup banyak responden menyatakan bahwa pihak perusahaan tidak pernah memecahkan permasalahan mengenai perkebunan. Salah satu informan bahkan menyebutkan bahwa terdapat 11 tuntutan petani kepada perusahaan. Tuntutan tersebut dibagi ke dalam 4 masalah umum yaitu, masalah pembagian hasil, pembangunan jalan dan jembatan, pemberian pupuk dan pembayaran cicilan ke bank. Konflik yang pernah pecah antara ketiga stakeholder sampai saat ini belum diselesaikan secara baik oleh perusahaan perkebunan. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah berbincang mengenai hal lain dengan pihak perusahaan. Diskusi yang terjadi di antara petani dan pihak perusahaan memang hanya seputar kemitraan PIR saja. Hal ini diduga karena peruhaan tidak terlalu memperhatikan kepentingan-kepentingan petani mitranya. Selain itu, sepertinya perusahaan perkebunan tersebut tidak memiliki program pengembangan masyarakat yang biasa dijalankan oleh bagian CSR atau Community Development.
39
Kebanyakan responden tidak pernah berdiskusi secara langsung dengan pihak perusahaan, karena itu mereka tidak mempunyai pengalaman langsung dalam diskusi. Hal ini mengakibatkan beberapa responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah ditanggapi dengan baik saat berdiskusi dengan perusahaan. Salah satu alasan seorang responden menyatakan hal tersebut adalah, karena banyaknya tuntutan dari petani yang tidak ditanggapi untuk diselesaikan oleh perusahaan. Tabel 20
Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat komunikasi petani dengan petani lain Jumlah Total Tingkat komunikasi Jawaban (%) % n Anda pernah berdiskusi dengan petani lain Tidak pernah 33 55.0 membahas Kemitraan PIR Jarang 100 15 25.0 Sering 12 20.0 Selain tingkat interaksi petani dengan perusahaan yang rendah, ternyata tingkat interaksi sesama petani juga dapat dikatakan rendah. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari setengah responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah berdiskusi dengan petani plasma lain mengenai kemitraan PIR. Hal ini terjadi baik di dalam forum formal seperti koperasi atau dalam aktifitas mereka sehari-hari. Petani sudah enggan mendiskusikan kemitraan PIR karena merasa kemitraan tidak akan membaik. Tabel 21
Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan tingkat komunikasi petani dengan pemerintah desa Jumlah Total Tingkat komunikasi Jawaban (%) % n Anda pernah berdiskusi dengan pemerintah Tidak pernah 37 61.7 desa membahas Kemitraan PIR Jarang 100 15 25.0 Sering 8 13.3 Sama halnya dengan interaksi petani dengan perusahaan dan petani plasma lainnya, persentase petani yang tidak pernah berinteraksi dengan pemerintah juga cukup tinggi. Berdasarkan pada tabel, lebih dari setengah responden tidak pernah berdiskusi dengan pemerintah membahas tentang kemitraan PIR. Walupun demikian, masih terdapat responden yang mengaku pernah berdiskusi dengan pemerintah mengenai kemitraan PIR walaupun jarang. Hal ini lebih disebabkan oleh pemerintah desa yang tidak lagi memfokuskan diri pada permasalahan kemitraan PIR. Pemerintah desa tidak lagi mau menerima keluhan-keluhan dari petani karena sudah ada wadah yang lebih dapat mewakili aspirasi petani yaitu koperasi. Tabel 22 adalah jumlah keseluruhan hasil pernyataan intensitas komunikasi responden. Tabel tersebut disusun dari total jumlah jawaban pertanyaanpertanyaan dari subvariabel intensitas komunikasi. Dapat dilihat bahwa sebagian responden memiliki intensitas komunikasi yang rendah dengan perusahaan. Berbeda dengan keterlibatan pada bab sebelumnya yang hampir setengah dari
40
total responden aktif dalam kelompok. Hal ini karena pada kumpul kelompok mereka jarang sekali dapat bertemu langsung dengan pihak perusahaan. Apabila mereka bertemu secara langsung, hanya pihak koperasi yang lebih sering untuk berbicara langsung. Petani hanya dapat menyampaikan pendapat mereka kepada pengurus koperasi untuk disampaikan pada pihak perusahaan. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas komunikasi Intensitas komunikasi Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 48 8 4 60
Persentase (%) 80.00 13.33 6.67 100.00
Ikhtisar Cukup banyak responden yang berumur antara 45-54 tahun dan juga responden di atas 55 tahun. Banyaknya responden yang berumur di atas 45 tahun ini karena mereka merupakan penerima asli dari program transmigrasi. Responden pada penelitian ini didominasi oleh laki-laki, hal ini karena penerima plasma di atas namakan oleh kepala keluarga sehingga secara otomatis responden kebanyakan adalah laki-laki. Lebih dari separuh responden memiliki pendidikan terakhir di sekolah dasar (SD), karena dulu di Desa Sukadamai hanya terdapat 1 sekolah dasar. Sebagian besar responden bekerja sebagai petani atau buruh tani. Hal ini berkaitan dengan banyaknya responden yang memiliki lahan pangan (sawah padi) atau kebun (sawit dan karet) di luar lahan plasma sawit. Lebih dari separuh responden memiliki lahan kebun kelapa sawit plasma seluas 2 Ha. Lahan seluas 2 ha ini adalah lahan yang diperuntukkan untuk pertanian dari program transmigrasi. Status kepemilikan lahan kebun sawit terbesar adalah dari program transmigrasi. Status kepemilikan lahan dari program transmigrasi ini sangat dominan karena memang hampir seluruh kepala keluarga diberikan lahan oleh pemerintah saat program berlangsung. Sebagian besar responden lahannya dikelola langsung oleh perusahaan. Responden yang lahannya dikelola perusahaan adalah responden yang menjadi anggota KUD MTJ. Responden yang menjadi anggota KSU Al-Barokah telah mengelola lahan kebun sawit plasma mereka sendiri. Upaya pengelolaan ini dilakukan karena mereka sedang dalam upaya untuk lepas dari kemitraan dengan perusahaan. Cukup banyak responden yang dapat dikatakan terlibat aktif dalam koperasi. Responden mengaku sering datang ketika ada perkumpulan koperasi. Selain itu, cukup banyak pula responden yang sering memberikan usul dan pertanyaan. Sebagian besar responden menyatakan bahwa selama 1 bulan terakhir pihak perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi. Selain itu, pemerintah desa juga tidak pernah melakukan sosialisasi tentang kemitraan PIR lagi. Sosialisasi dari pemerintah hanya sering dilakukan sebelum kemitraan berlangsung bersamaan dengan pihak perusahaan. Intensitas pertemuan petani dengan pihak perusahaan dikatakan lemah, karena pertemuan dengan pihak perusahaan perkebunan hanya
41
dilakukan 1 tahun sekali saat RAT. Hal ini yang menjadi alasan lebih dari setengah responden mengatakan tidak pernah bertemu dengan pihak perusahaan. Banyaknya responden yang tidak pernah bertemu dengan pihak perusahaan, juga menjadi penyebab sebagian besar responden tidak pernah berbincang langsung dengan pihak perusahaan. Cukup banyak responden menyatakan bahwa pihak perusahaan tidak pernah memecahkan permasalahan mengenai perkebunan. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah berbincang mengenai hal lain dengan pihak perusahaan. Diskusi yang terjadi di antara petani dan pihak perusahaan memang hanya seputar kemitraan PIR saja. Selain tingkat interaksi petani dengan perusahaan yang rendah, ternyata tingkat interaksi sesama petani dan pemerintah desa juga dapat dikatakan rendah. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari setengah responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah berdiskusi dengan petani plasma lain dan pemerintah tentang kemitraan PIR.
SIKAP MASYARAKAT PADA KEMITRAAN PIR Komponen Kognitif Komponen ini berisi kepercayaan dan persepsi masyarakat tentang kemitraan PIR. Kepercayaan dan persepsi tersebut dapat bersumber dari pengalaman dan apa yang mereka ketahui dari orang lain atau sumber lainnya. Kepercayaan masyarakat tentang kemitraan PIR dapat berupa keyakinan masyarakat tentang apa dan bagaimana kemitraan PIR seharusnya dilaksanakan. Persepsi masyarakat tentang kemitraan PIR yang dimaksud dapat berupa suatu pandangan responden terhadap kemitraan PIR. Suatu proses yang melibatkan pengetahuan responden terhadap kemitraan sehingga menghasilkan suatu pendapat dan kepercayaan terhadap kemitraan PIR. Komponen kognitif ini akan dillihat dengan mengetahui apa saja yang masyarakat ketahui tentang kemitraan PIR. Pengetahuan responden terhadap kemitraan PIR dibagi ke dalam beberapa pertanyaan yaitu, pengertian, tujuan, dan penerima manfaat. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat dilihat bagaimana kepercayaan dan persepsi petani plasma terhadap kemitraan PIR.
Pengetahuan Petani Plasma Sawit tentang Kemitraan PIR Berdasarkan hasil wawancara, hampir seluruh responden tidak mengetahui istilah PIR. Responden umunya menyebut kemitraan tersebut sebagai kemitraan plasma sawit, walaupun dengan jelas dituliskan kemitraan PIR pada surat perjanjian. Oleh karena itu, selama proses wawancara dan penyebaran kuesioner, penulis mengganti istilah PIR dengan istilah plasma sawit. Responden juga tidak mengetahui jenis-jenis kemitraan PIR seperti PIR-BUN, PIR-TRANS dan PIRKKPA. Kemitraan PIR diketahui pertama kali oleh masyarakat langsung dari pemerintah desa dan pihak perusahaan. Akan tetapi penjelasan tentang kemitraan PIR ke masyarakat masih kurang, sehingga menyebabkan hal-hal tersebut. Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang pengertian kemitraan PIR No. Pengertian Kemitraan PIR 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Program pemerintah untuk mendukung program transmigrasi Kewajiban perusahaan perkebunan untuk menyediakan kebun plasma bagi masyarakat Pola kemitraan yang menjadikan perusahaan perkebunan sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma Pola kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma Perkebunan yang dikelola perusahaan dari awal sampai lunas selama 10 tahun Tidak tahu Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
0
0
1
1.67
12
20.00
22
36.67
1
1.67
24
40.00
60
100.00
44
Berdasarkan data pada Tabel 23 dapat dilihat pengertian kemitraan PIR yang paling banyak diketahui oleh responden adalah kemitraan PIR pada nomor 4 (36.67%). Masyarakat menyakini seharusnya kemitraan tersebut bersifat saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan dan petani plasma. Tetapi, secara langsung beberapa responden menyatakan kembali bahwa mereka sama sekali merasa tidak diuntungkan dalam menjalankan kemitraan PIR. Selain itu, cukup banyak juga responden yang menyatakan mereka sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya kemitraan tersebut dan menolak untuk menjawab lebih lanjut. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang tujuan kemitraan PIR No. Tujuan Kemitraan PIR 1. Membantu meningkatkan pendapatan perusahaan 2. Membantu meningkatkan pendapatan masyarakat (petani kecil) 3. Membantu meningkatkan pengembangan wilayah desa 4. Membantu menunjang keberhasilan program transmigrasi 5. Memanfaatkan lahan tidur yang banyak terdapat di desa 6. Tidak tahu Total
Jumlah (orang) Persentase (%) 0
0.0
42
70.0
2
3.3
0
0.0
8
13.3
8 60
13.3 100.00
Cukup banyak responden yang telah mengetahui tujuan diadakannya kemitraan PIR seperti yang terdapat pada Tabel 24. Tetapi mereka secara terbuka juga mengatakan bahwa tujuan tersebut tidak berjalan. Hal ini karena responden merasa penghasilan mereka tidak bertambah dari adanya kemitraan. Seperti yang diungkapkan salah satu responden berikut. “ ... ya saya tidak tahu kalau yang lain gimana pendapatnya, tapi kalo saya sih ngerasa gak ada untungnya, malah rugi. Sebulan cuma dapet seratus sampe dua ratus ribu aja. Kalau dibandingkan dengan yang punya sendiri (kebun sawit non-plasma) sebulan bisa dapat lebih dari dua juta perhektar.” (Ddh, 35 tahun) Kebanyakan responden menyatakan hal yang sama dengan pernyataan di atas. Masyarakat kurang puas dengan penghasilan perbulan dari kemitraan PIR. Menurut mereka kemitraan kurang meningkatakan pendapatan masyarakat. Hal ini karena berdasarkan pengalaman masyarakat, hasil kebun kelapa sawit dalam 1 ha setiap tahunnya bisa mencapai 2 juta rupiah. Tetapi, pada kemitraan PIR responden hanya mendapat penghasilan sebesar maksimal Rp300 000 setiap bulannya. Masyarakat yang sebelumnya memiliki harapan besar dengan adanya kemitraan PIR ini menjadi cukup kecewa dengan keadaan saat ini. Berikut tabel mengenai persepsi terhadap tujuan kemitraan.
45
Beberapa responden juga menyatakan salah satu tujuan kemitraan PIR adalah untuk memanfaatkan lahan tidur yang banyak terdapat di desa. Awalnya sebagian besar responden menjawab memanfaatkan lahan tidur adalah tujuan dari kemitraan PIR. Kemudian ketika disebutkan tujuan lainnya, hampir semua responden juga beralih menjawab “Membantu meningkatkan pendapatan masyarakat (petani kecil)”. Responden juga mengetahui bahwa penerima manfaat utama dari adanya kemitraan PIR adalah masyarakat desa. Jawaban tersebut juga menjadi jawaban yang dominan dari responden. Selain masyarakat sebagai penerima manfaat, sebagian responden juga menjawab perusahaan sebagai penerima manfaat dari adanya kemitraan PIR. Sebagian besar responden hanya menjawab 1 pilihan jawaban. Hanya terdapat 4 responden yang menjawab 2 pilihan jawaban, 1 responden yang menjawab 3 pilihan jawaban, 1 responden menjawab 4 pilihan jawaban dan 2 responden yang menjawab tidak tahu. Hal ini sekaligus dapat menunjukkan bahwa responden sebenarnya tidak cukup mengetahui mengenai siapa saja yang dapat menerima manfaat dari adanya kemitraan PIR. Data lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 25 di bawah ini. Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang siapa penerima manfaat kemitraan PIR No. 1. 2. 3. 4. 5.
Penerima manfaat Kemitraan PIR Masyarakat desa Petani penggarap/ petani mitra Pekerja kebun Pemerintah desa Perusahaan
Jumlah (orang) 38 8 4 3 30
Persentase (%) 63.3 13.3 6.7 5.0 50.0
Walaupun responden menyadari terdapat manfaat yang dirasakan dengan adanya kemitraan PIR. Tetapi, manfaat tersebut tidak dirasakan secara langsung oleh responden. Beberapa manfaat yang dapat dirasakan adalah, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit, akses jalan di Desa Sukadamai menjadi lebih baik dan sekarang desa mengalami kemajuan dalam hal perdanganan. Tabel 26 Jumlah dan persentase jawaban responden berdasarkan pengetahuan tentang siapa peserta penerima kemitraan PIR No Jumlah Persentase Peserta penerima Kemitraan PIR . (orang) ( %) 1. Transmigran 33 55.0 2. Petani miskin 2 3.3 Penduduk setempat (petani) yang tanahnya 3. 22 36.7 terkena proyek Petani (peladang) berpindah yang ditetapkan 4. 1 1.7 pemerintah 5. Masyarakat yang memiliki lahan tidur 9 15.0 6. Tidak tahu 2 3.3
46
Berdasarkan Tabel 26, lebih dari setengah jumlah responden memilih jawaban peserta penerima kemitraan PIR adalah transmigran. Kemudian responden juga menjawab bahwa perserta kemitraan PIR adalah penduduk setempat. Selain itu, responden juga menyebutkan bahwa yang bisa ikut dalam kemitraan PIR adalah warga yang memiliki lahan saja. Sebagian besar responden hanya menjawab 1 pilihan jawaban. Terdapat 6 responden yang menjawab 2 pilihan jawaban, 4 responden yang menjawab 3 pilihan jawaban, dan masingmasing 1 responden yang menjawab 4 dan 5 pilihan jawaban. Berdasarkan hasil jawaban responden, peserta kemitraan PIR di desa ini memang diprioritaskan untuk penduduk setempat yang memiliki lahan yang bersertifikat hak milik. Umumnya warga transmigran telah memiliki sertifikat lahan ketika transmigrasi dilaksanakan. Tetapi, selain warga desa setempat, terdapat juga petani plasma yang bukan berasal dari desa dan pekerjaan utamanya bukanlah petani. Kasus seperti itu, biasanya terjadi apabila salah satu petani plasma menjual lahan plasmanya ke pihak lain. Menurut beberapa responden, terdapat pula lahan yang tidak lagi dimiliki oleh warga setempat dan dimiliki oleh salah satu dosen pertanian. Hal ini adalah fenomena yang sering terjadi di berbagai daerah. Seperti di Desa Budi Asih, Kecamatan Pulau Rimau, Sumatera Selatan yang 85% petani plasmanya adalah warga luar desa dan tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Tabel 27 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengetahuan tentang kemitraan PIR No.
Pengetahuan tentang Kemitraan PIR
1. 2.
Kurang tepat Tepat Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
31 29 60
51.7 48.3 100
Berdasarkan hasil penjumlahan dari jawaban-jawaban responden pada 4 pertanyaan di atas dapat dijabarkan hasil seperti pada Tabel 27. Terdapat cukup banyak responden yang belum tepat dalam memberikan jawaban tentang kemitraan PIR. Hal ini yang menyebabkan pengetahuan responden tentang kemitraan PIR kurang tepat. Walaupun demikian masih terdapat cukup banyak responden yang dapat dengan tepat memberikan jawaban mengenai kemitraan PIR.
Komponen Afektif Komponen afektif ini terdiri dari perasaan individu terhadap sesuatu, dalam hal ini perasaan petani plasma terhadap kemitraan PIR. Perasaan tersebut didapat dari kepercayaan atau keyakinan masyarakat tentang kemitraan PIR. Komponen afektif ini dinilai sebagai akar dari pembentukan sikap petani plasma. Komponen ini dinilai dari 3 hal yaitu apa yang petani rasakan dari, kesesuaian, manfaat dan keterbukaan kemitraan PIR.
47
Kesesuaian Kemitraan PIR Kesesuaian dalam Kemitraan PIR adalah pendapat dan perasaan petani plasma mengenai kemitraan PIR yang mereka jalani saat ini. Untuk menilai kesesuaian ini terdapat 5 pernyataan yang telah diajukan kepada responden. Selain itu terdapat 5 jenis jawaban yaitu STS (sangat tidak sesuai), TS (tidak sesuai), N (netral), S (sesuai) dan SS (sangat sesuai). Tabel 28 Jumlah persentase responden berdasarkan kesesuaian kemitraan PIR No
Jumlah Kesesuaian Kemitraan PIR
STS
TS
N
S
Skor rata-rata
SS
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
1. Kemitraan PIR sesuai dengan harapan Anda
19
31.7
35
58.3
4
6.7
2
3.3
0
0
1.82
2. Kemitraan PIR sesuai dengan kebutuhan Anda
17
28.3
38
63.3
2
3.3
3
5.0
0
0
1.85
3. Kemitraan PIR sesuai dengan keinginan Anda
17
28.3
39
65.0
2
3.3
2
3.3
0
0
1.82
4. Bagi hasil dalam kemitraan sesuai dengan keinginan Anda 5. Perjanjian kemitraan PIR sesuai dengan keinginan Anda Total skor rata-rata
21
35.0
35
58.3
1
1.7
2
3.3
1
1.7
1.78
12
20.0
33
55.0
5
8.3
9
15.0
1
1.7
2.23
1.9
Tabel 28 menunjukkan, persentase jawaban dan skor rata-rata jawaban yang diberikan responden. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa responden merasa bahwa kemitraan PIR tidak sesuai. Hal ini dapat dilihat dari total skor rata-rata yang tidak melebihi 2.34 (1.9). Kemudian, berdasarkan data pada Tabel 28, sangat jelas bahwa responden merasakan adanya ketidaksesuaian dalam kemitraan PIR. Hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya persentase jawaban TS (tidak sesuai) hampir di setiap pernyataan. Hanya terdapat 2 pernyataan yang memiliki jawaban SS (sangat sesuai). Walaupun demikian, persentase jawaban (SS) di kedua pernyataan tersebut juga sangat rendah. Skor rata-rata responden pada pernyataan nomor 1, 2 dan 3, masing-masing adalah 1.82, 1.85, dan 1.82 yang menyatakan bahwa kemitraan PIR tidak sesuai dengan harapan, kebutuhan, dan keinginan responden. Masyarakat sebelumnya telah memiliki harapan yang besar dengan masuknya kemitraan PIR di Desa Sukadamai. Salah satu responden menyatakan harapannya sebagai berikut: “kita sih ya, dulu mikirnya nanti uang dari kelapa sawit bisa buat nyekolahin anak tinggi-tinggi ya... malah boro-boro buat biaya sekolah. Buat makan hari-hari aja gak cukup neng...”(Nsy, 50 tahun) Begitu pula dengan pernyataan nomor 4 dan 5. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa bagi hasil dan perjanjian dalam kemitraan PIR tidak sesuai dengan keinginan responden. Masyarakat hanya mengetahui pembagian hasil dari kemitraan PIR dibagi 3 antara perusahaan, petani dan cicilan
48
kepada bank. Tapi, ternyata pembagian itu tidak seperti yang dipikirkan oleh petani. Banyak potongan-potongan yang diberikan perusahaan kepada petani. Selain itu juga didengar kabar bahwa cicilan hutang petani ke bank tidak dibayarkan oleh pihak perusahaan. Bagi hasil dalam kemitraan PIR dirasakan masih sangat tidak sesuai dengan keinginan petani plasma. Terlihat pada pernyataan ini persentase jawaban STS cukup tinggi, paling tinggi dibandingkan dengan 4 pernyataan lainnya. Beberapa responden menyatakan bahwa potongan yang diberikan oleh perusahaan terlalu besar, sehingga petani hanya bisa mendapatkan Rp70 000–Rp200 000 tiap bulannya. Hal ini didukung oleh keterangan salah satu informan sebagai berikut. “...potongan hasil TBS awalnya tidak boleh lebih dari 5%, tapi nyatanya pernah dipotong sampai 29%” (Tmj, 64 tahun, Pengurus KSU Al-Barokah). Potongan TBS ini dilakukan karena terdapat sawit dengan kualitas durah sebanyak 20% dari total TBS yang dijual ke perusahaan. Hal ini sangat tidak adil bagi petani, karena perusahaanlah yang menanam bibit sawit dengan kualitas durah. Oleh karena itu, tidak sesuai jika potongan diberikan kepada petani. Sistem bagi hasil yang dijanjikan di awal perjanjian adalah 1/3 bagian untuk setiap stakeholder. Perusahaan 1/3 bagian, bank selaku pemberi pinjaman modal 1/3 bagian dan petani 1/3 bagian. Tetapi, menurut salah satu informan, 1/3 bagian yang seharusnya dibayarkan ke bank untuk mencicil pinjaman modal mereka tidak pernah dibayarkan oleh pihak perusahaan.
Manfaat Kemitraan PIR Manfaat kemitraan PIR yang dimaksud adalah sesuatu manfaat yang dirasakan oleh petani. Manfaat tersebut berupa fasilitas sosial dan finansial yang diperoleh setelah mengikuti kemitraan PIR. Terdapat 3 pernyataan mengenai manfaat sosial ekonomi dari kemiitraan PIR. Untuk menanggapi pernyataanpernyataan tersebut terdapat 5 jenis jawaban yaitu, STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N (netral), S (setuju), dan SS (sangat setuju). Berikut adalah pernyataan mengenai manfaat sosial dan ekonomi beserta persentase jawaban responden. Berdasarkan skor rata-rata responden yang terdapat pada Tabel 29, responden merasakan bahwa kemitraan PIR cukup bermanfaat. Hal tersebut dapat dilihat dari total skor rata-rata responden sebesar 2.79 atau berada di rentang 2.343.67. Selain itu, pada setiap pernyataan skor rata-rata jawaban responden juga berada pada rentang yang sama. Pada pernyataan nomor 1, dapat dinyatakan bahwa kemitraan PIR cukup memberikan peningkatan pendapatan pada responden, walaupun hal ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan cukup. Hal ini karena skor rata-rata pada pernyataan ini hanya berada sedikit di atas rentang yaitu 2.37. Kemudian dapat dilihat juga dari tingginya persentase (41.67%) responden yang menjawab TS (tidak setuju). Pendapat mengenai manfaat meningkatkan pendapatan ini masih berkaitan dengan subvariabel kesesuaian bagi hasil pada sub bab sebelumnya.
49
Tabel 29 Jumlah persentase responden berdasarkan manfaat sosial ekonomi dari kemitraan PIR No
Manfaat sosial ekonomi Kemitraan PIR
1. Kemitraan PIR meningkatkan pendapatan/ penghasilan Anda 2. Kemitraan PIR memberikan lapangan pekerjaan baru 3. Kemitraan PIR membantu meningkatkan fasilitas sosial (listrik, jalan, sekolah, rumah ibadah, dll) Total skor rata-rata
STS
TS
Jumlah N n %
n
%
n
%
Skor ratarata
S
SS
n
%
N
%
11
18.3
25
41.7
15
25.0
9
15.0
0
0
2.37
3
5.0
9
15.0
32
53.3
15
25.0
1
1.7
3.03
1
1.7
8
13.3
42
70.0
9
15.0
0
0
2.98
2.79
Hasil perhitungan jawaban responden menunjukkan bahwa kemitraan PIR dirasa cukup bermanfaat karena responden cukup merasakan adanya kemajuan dalam akses masuk desa setelah adanya kemitraan PIR. Setelah dibukanya lahan perkebunan sawit jalur masuk ke desa menjadi lebih mudah, desa menjadi lebih ramai, masyarakat yang tidak mengikuti kemitraan juga dapat membuka sawah dan perkebunan lagi. Walaupun demikian masyarakat masih belum benar-benar merasakan secara langsung manfaat tersebut, seperti pernyataan salah satu responden berikut. “ Ya, gimana yah... emang jalan desa jadi lebih bagus setelah dibuka kebun sawit. Tapi itulah, hanya jalan utama saja yang dikasih aspal sama perkerasan, jalan kampungnya sih masih becek. Jadi, kalau hujan juga sama saja kadang kelapa sawit yang sudah dipanen busuk gara-gara ndak bisa keluar.” (Jjr, 38 tahun). Persentase jawaban pada penyataan ketiga cukup mendukung pernyataan tersebut. Sebanyak 70% dari responden menjawab N (netral) dan 15% menjawab S (setuju). Hal ini berarti masyarakat cukup merasakan manfaat fasilitas sosial. Sebaliknya, pada pernyataan manfaat dalam meningkatkan pendapatan persentase responden yang setuju dengan pernyataan tersebut masih rendah.
Keterbukaan Kemitraan PIR Keterbukaan yang dimaksud dalam kemitraan PIR adalah penilaian petani tentang kecendrungan perusahaan perkebunan dalam memberikan informasi mengenai perkembangan kemitraan. Keterbukaan ini dinyatakan ke dalam 4 pernyataan yang harus jawab oleh responden. Jawaban dari pernyataan-pernyataan tersebut adalah STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N (netral), S (setuju), dan SS (sangat setuju). Cukup terbukanya pembiayaan dan alokasi dana kemitraan PIR yang dirasakan responden disebabkan cukup seimbangnya persentase jawaban yang
50
diberikan. Persentase jawaban TS (tidak setuju) dan S (setuju) masing-masing sebesar 35% dan 31.67%. Tetapi, masih terdapat 16.67% responden yang menyatakan STS (sangat tidak setuju) sehingga, menunjukkan bahwa tidak semua responden diberitahu secara terbuka tentang pembiayaan dan alokasi dana kemitraan PIR. Fakta tersebut berdasarkan kutipan yang berbeda dari 2 responden berikut. “Kalau setiap kumpulan sih kita dikasih tau dapetnya berapa per hektarnya, kita juga sering dikasih selembaran. Tapi ya kitanya gak ngerti bacanya. Kalau mau tau hutang kita tinggal berapa di bank ya, harus nanya langsung, kalau gak nanya ya kita ndak tau.” (Syk, 72 tahun, ketua kelompok plasma) Tabel 30 Jumlah persentase responden berdasarkan keterbukaan kemitraan PIR No Keterbukaan Kemitraan PIR 1.
2. 3.
4.
Pembiayaan dan alokasi dana untuk kemitraan PIR diberitahukan secara terbuka Prosedur pengajuan kemitraan PIR mudah Penjualan hasil kebun ke perusahaan perkebunan mudah Harga jual sawit disepakati bersama
STS
Jumlah N
TS
S
SS
Skor ratarata
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
10
16.7
21
35.0
9
15.0
19
31.7
1
1.7
2.67
0
0
1
1.7
3
5.0
42
70.0
14
23.3
4.15
0
0
0
0
0
0
52
86.7
8
13.3
4.13
1
1.7
0
0
2
3.3
56
93.3
1
1.7
3.93
Total skor rata-rata
3.72
Kutipan sebelumnya adalah pernyataan dari responden yang merasa setuju dengan pernyataan keterbukaan pembiayaan dan alokasi dana. Berikut pernyataan responden yang tidak setuju. “Gak pernah ada itu perusahaan ngasih-ngasih tau uang kita kemana aja dipakenya, paling ya yang tau orang-orang koperasi aja. Kalau ke petani sih jarang dikasih tau.”(Skn, 45 tahun) Pernyataan di atas sekaligus menjelaskan bahwa keterbukaan perusahaan dalam pembiayaan dan alokasi dana hanya terbatas pada pihak koperasi. Selanjutnya hal ini tergantung pada bagaimana ketua kelompok yang berhubungan langsung dengan koperasi menjelaskan mengenai alokasi dana kepada setiap petani plasma anggotanya. Prosedur pengajuan kemitraan PIR pada awalnya sangat mudah. Saat itu pihak desa sedang mencari bapak angkat untuk mengolah lahan tidur di Desa Sukadamai. Kemudian salah satu warga di Desa Sukadamai adalah petinggi yang bekerja di perusahaan perkebunan tersebut, sehingga kerjasama antara kedua belah pihak menjadi cukup mudah.
51
Penjualan hasil kebun ke perusahaan juga sangat mudah, karena hal tersebut terdapat dalam perjanjian antara kedua belah pihak. Harga sawit memang telah jadi kesepakan bersama, khusunya antara perusahaan dan koperasi yang mewakili petani. Umumnya petani tidak secara langsung mengetahui harga TBS, karena harga ditentukan oleh pasar. Adanya harga pasar yang ditentukan secara nasional ini menjadikan petani tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan harga. Petani atau koperasi hanya bisa mengikuti harga yang telah ditentukan. Biasanya juga petani mengetahui harga jual CPO ketika dibagikannya hasil bulanan. Tabel 31 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR Perasaan responden tentang kemitraan Jumlah (orang) Persentase (%) PIR Kemitraan kurang sinergis 48 80 Kemitraan sinergis 12 20 Total 60 100 Apabila dilihat secara keseluruhan dari semua total pernyataan untuk variabel komponen afektif, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar responden merasakan kemitraan PIR kurang sinergis. Hal ini karena masyarakat masih merasa bahwa kemitraan PIR ini tidak sesuai dengan keinginian mereka. Hasil yang dibayangkan oleh masyarakat berbeda jauh dengan yang mereka dapatkan. Walaupun secara umum masyarakat menyadari adanya manfaat yang secara tidak langsung mereka dapat dari kemitraan, hal itu masih belum dapat mengubah pendapat mereka tentang kemitraan PIR. Hanya terdapat beberapa orang responden yang merasakan bahwa kemitraan PIR ini sinergis.
Komponen Konatif Komponen konatif yang dimaksud adalah kecendrungan atau keinginan petani plasma untuk bertindak dalam kemitraan PIR. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan dan perkataan petani ketika diwawancarai. Komponen konatif ini terdiri dari keinginan petani untuk bekerjasama dalam menjalankan kemitraan PIR.
Keinginan Bekerjasama Keinginan bekerjasama yang dimaksud adalah suatu keinginan untuk bertindak positif dan mendukung kemitraan sebagaimana isi perjanjian yang telah disetujui oleh peserta plasma Desa Sukadamai dalam kemitraan PIR. Keinginan bekerjasama ini dapat dinilai dari bagaimana masyarakat menjalani kemitraan PIR selama ini. Hal ini diwakili oleh jawaban-jawaban dan pernyataan responden dari beberapa pertanyaan yang diberikan ketika wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara sebagian merupakan hak dan kewajiban perusahaan dan petani plasma yang harus dijalankan. Terdapat 7 buah pernyataan dan 2 pilihan jawaban, ya dan tidak untuk mengetahui keinginan petani untuk bekerjasama.
52
Data pada Tabel 32 di bawah menunjukkan bahwa dalam menjalankan kemitraan masyarakat masih memiliki keinginan perilaku yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata jawaban yang diberikan adalah ya. Skor rata-rat responden dalam setiap jawaban juga dominan lebih dari 1.5 dan hanya terdapat 1 nomor yang memiliki nilai rata-rata jawaban 1.3. Hal tersebut cukup menjelaskan bahwa masyarakat masih bersedia melakukan kemitraan dengan perusahaan. Pada pernyataan ke-6 juga dapat dengan jelas dilihat bahwa cukup banyak responden yang masih bersedia melanjutkan kemitraan PIR. “ya gimana yah... lanjutin ajalah neng tanggung, kalau bisa berenti sih dari dulu bapak udah berenti neng.” (Sdn, 50 tahun). “ya, mau gimana lagi neng, mau gak mau ya kita harus lanjut. Kalau kita gak mau lanjut surat tanah kita harus kita tebus sendiri dong neng. Bayar 52 juta ke bank”(Rpn, 50 tahun) Tabel 32 Jumlah persentase responden berdasarkan keinginan bekerjasama dalam kemitraan PIR Skor Jumlah rata-rata No. Keinginan bekerjasama Ya Tidak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bersedia mengagunkan lahan Anda untuk dijadikan kebun plasma Bersedia mengikuti pelatihan kerja jika ada Bersedia menjual seluruh hasil kebun ke perusahaan perkebunan Bersedia menjadi anggota koperasi Bersedia menandatangani perjanjian kerja dengan perkebunan Bersedia melanjutkan Kemitraan PIR Memiliki keinginan berhenti dari Kemitraan PIR
n % 60 100.0 36
n 0
% 0
2.0
60.0 24 40.0
1.6
60 100.0
0
0
2.0
58 58
96.7 96.7
2 2
3.3 3.3
1.9 1.9
46 40
76.7 14 23.3 66.7 20 33.3
1.7 1.3
Walaupun cukup banyak responden yang masih bersedia melanjutkan, berdasarkan pernyataan di atas terkesan bahwa responden terpaksa dalam melanjutkan kemitraan PIR. Kemudian masih terdapat 23.33% responden yang tidak bersedia untuk melanjutkan kemitraan. Salah satu dari mereka adalah seorang ibu yang tidak mau menyebutkan namanya. “saya sih sudah gak mau lanjut mba, ini juga saya lagi proses untuk jual kebun plasmanya, sudah ada yang mau beli. Jadi nanti yang jadi petani plasma bukan saya lagi.” ( Ibu X, 40 tahun) Tabel 32 juga memperlihatkan bahwa lebih dari setengah jumlah responden (66.67%) mengaku memiliki keinginan untuk berhenti dari kemitraan PIR. Responden sudah tidak ingin melanjutkan kemitraan dengan perusahaan lagi jika
53
tenggat waktu kemitraan sudah habis. Beberapa responden juga menyatakan untuk menjual atau mengganti tanaman sawit menjadi tanaman karet. Sisanya tidak ingin berhenti karena ketergantungan dengan hasil bulanan dari kemitraan sawit. Salah satu responden mengaku bahwa dirinya tidak sanggup untuk bekerja merawat kelapa sawit jika tidak bermitra lagi dengan perusahaan. Salah satu kewajiban perusahaan adalah memberikan penyuluhan dan pelatihan kerja jika diperlukan. Perusahaan perkebunan di Desa Sukadamai memang belum pernah memberikan penyuluhan. Ketika responden ditanyakan mengenai kebersediaan mereka mengikuti penyuluhan jika diadakan, cukup banyak responden yang menjawab ya. Beberapa sisanya tidak ingin mengikuti karena alasan usia dan beberapa menganggap hal tersebut hanya menghabiskan waktu saja. “ Kalau saya yah... pikir-pikir dulu deh, saya gak bisa jawab mau ikut apa tidak. Tergantung nanti saja. Kalau memang bener pelatihannya ya mungkin ikut, kalau cuma kayak kumpul-kumpul biasa saya males, buang-buang waktu.”(Slm, 33 tahun). Masyarakat yang telah menjadi petani plasma wajib menjadi anggota koperasi dan menandatangani perjanjian kemitraan. Tetapi, beberapa responden mengaku tidak mau menjadi anggota koperasi, padahal mereka tercatat sebegai petani plasma. Responden yang lain bahkan ada yang tidak mau menandatangani perjanjian baru (MoU) pada tahun 2009. “Sampai sekarang saya belum tandatangan MoU yang baru tuh, saya gak mau. Saya maunya tahun ini surat tanah saya dikembalikan, tidak mau lanjut plasma lagi.” (Sbn, 52 tahun). Berdasarkan pernyataan yang dikutip, dapat dilihat beberapa responden telah melakukan pelanggaran perjanjian. Beberapa yang dilanggar adalah responden tidak mau menjadi anggota koperasi dan menjual kebun plasma tanpa sepengetahuan pihak perusahaan. Kemitraan yang dilakukan pun seolah-olah menjadi suatu hal yang dipaksakan karena telah terlanjur bermitra dan tidak ada pilihan lain selain terus melanjutkan kemitraan. Tabel 33 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keinginan responden dalam menjalankan kemitraan PIR Keinginan responden Jumlah (orang) Persentase (%) Keinginan bekerjasama Ketidak inginan bekerjasama Total
58 2 60
96.7 3.3 100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa responden masih memiliki keinginan untuk tetap bermitra dan bekerjasama dengan pihak perusahaan perkebunan. Keinginan ini jelas terlihat karena dalam menjalankan kemitraan responden masih bersedia menjalankan perjanjian mereka dengan pihak
54
perushaan. Hanya terdapat sedikit responden yang tidak ingin bekerjasama lagi dengan perusahaan. Ikhtisar Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa lebih dari setengah jumlah responden masih memiliki pengetahuan yang kurang tepat tentang kemitraan PIR. Hampir seluruh responden tidak mengetahui istilah PIR dan jawaban mereka tentang pengertian, tujuan dan siapa saja penerima manfaat masih kurang tepat walaupun cukup banyak yang sudah benar. Selain itu, dominan responden merasakan bahwa kemitraan PIR masih kurang sinergis. Hal tersebut disebabkanpembagian hasil dalam kemitraan belum sesuai dengan keinginan masyarakat dan belum ada keterbukaan dalam pemberitahuan tentang alokasi dana dan pembagian hasil. Walaupun demikian sebagian besar responden masih memiliki keinginan untuk bekerjasama. Keinginan ini jelas terlihat karena dalam menjalankan kemitraan hampir semua responden masih bersedia menjalankan perjanjian mereka dengan pihak perushaan. Hasil perhitungan dari ketiga komponen sikap tersebut memeberikan kesimpulan bahwa lebih dari setengah jumlah responden masih memiliki sikap untuk mendukung kemitraan PIR seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sikap responden Sikap responden Kurang mendukung kemitraan PIR Mendukung kemitraan PIR Total
Jumlah (orang) 29 31 60
Persentase (%) 48.3 51.7 100.0
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN SIKAP PETANI PADA KEMITRAAN PIR Terdapat 5 variabel karakteristik petani plasma sawit dan 3 komponen sikap yang dianalisis menggunakan tabulasi silang. Variabel karakteristik petani plasma terdiri dari luas lahan kelapa sawit, status kepemilikan lahan kelapa sawit, status pengelolaan lahan kelapa sawit, keterlibatan petani dalam kelompok dan intensitas komunikasi. Subvariabel tersebut masing-masing dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi silang terhadap 3 komponen sikap yaitu, komponen kognitif (pengetahuan tentang kemitraan PIR), komponen afektif (perasaan responden pada kemitraan PIR) dan komponen konatif (keinginan responden pada kemitraan PIR).
Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Berdasarkan komponen kognitif berupa pengetahuan responden, didapat hasil bahwa persentase responden paling tinggi untuk pengetahuan tepat, berasal dari responden yang memiliki lahan lebih dari 2 ha. Sedangkan untuk responden dengan kategori lahan 1 dan 2 ha memiliki persentase yang hampir sama untuk pengetahuan kurang tepat dan pengetahuan tepat. Dapat dilihat pada Tabel 35, bahwa antara pengetahuan yang tepat dan kurang tepat terbagi dua hampir sama banyak pada ketiga kategori luas lahan. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa luas lahan tidak terlalu mempengaruhi pengetahuan responden tentang kemitraan PIR. Tabel 35 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR Luas lahan Pengetahuan tentang Kemitraan PIR
1 ha n
%
2 ha n
%
> 2 ha N
%
Total N
%
Pengetahuan kurang tepat
08 053.3 19
054.3 04
040
31 051.7
Pengetahuan tepat
07 047.7 16
046.7 06
060
29 048.3
Total
15 100.0 35
100.0 10
100
60 100.0
Berdasarkan komponen afektif pada Tabel 36 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang memiliki lahan 1 ha merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis. Kemudian responden yang memiliki lahan 2 ha juga banyak yang merasakan hal yang sama pada sinergitas kemitraan. Begitu juga dengan hampir seluruh responden yang lahannya lebih dari 2 ha. Pada setiap kategori luas lahan terdapat tidak lebih dari 23% responden yang merasakan bahwa kemitraan PIR sinergis. Berarti kebanyakan dari responden memiliki perasaan yang sama yaitu kemitraan PIR kurang sinergis. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan kelapa sawit tidak terlalu memberikan perbedaan dalam membentuk perasaan responden pada kemitraan PIR.
56
Tabel 36 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR Perasaan responden tentang kemitraan PIR
1 ha n
%
Luas lahan 2 ha n %
Total
> 2 ha n %
n
%
Kemitraan kurang sinergis
12
080 27 077.1
09
090
48
080
Kemitraan sinergis
03
020 08 022.9
01
010
12
020
Total
15
100 35 100.0
10
100
60
100
Berdasarkan komponen konatif, dapat dilihat bahwa seluruh responden pada kategori luas lahan 1 ha memiliki keinginan bekerjasama. Keinginan ini juga merupakan keinginan hampir seluruh responden pada dua kategori lainnya. Hal ini dapat disebabkan adanya ketergantungan dari responden pada lahan yang mereka miliki. Responden khawatir apabila mereka tidak melanjutkan kemitraan atau kerjasamanya dengan pihak perusahaan, lahan mereka tidak akan dikembalikan oleh pihak perusahaan. Hal tersebut pernah terjadi pada salah satu responden yang memiliki lahan lebih dari 2 ha. ”...ya gimana yah nak, Ibu juga pernah ikut kemitraan seperti ini dengan perusahaan waktu Ibu masih tinggal di Bangka. Ibu juga punya lahan kelapa sawit di sana. Tapi, sampai sekarang lahan Ibu sertifikatnya belum dikembalikan sama perusahaannya, padahal kerjasamanya sudah selesai, sudah dari lama. Yah, alhamdulillahnya sih kelapa sawitnya sudah dijual sendiri, tidak dari perusahaan lagi. Jadinya, hasilnya juga lumayan. Nah, ibu takutnya kemitraan yang disini gitu juga...”(Hot, 50 tahun) Tabel 37 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR Luas lahan Keinginan responden dalam kemitraan PIR
1 ha
2 ha n
Total
> 2 ha
n
%
%
n
%
n
%
Ketidak inginan bekerjasama
00
000
01 002.9 01
010
02 003.3
Keinginan bekerjasama
15
100
34 087.1 09
090
58 096.7
Total
15
100
35 100.0 10
100
60 100.0
Berdasarkan Tabel 38 dapat dilihat bahwa terdapat persentase yang hampir sama dalam setiap kategori baik itu luas lahan 1 ha, 2 ha ataupun yang lebih dari 2 ha. Hampir setengah total responden yang memiliki luas lahan 1 ha memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR, begitu pula dengan responden yang memiliki lahan 2 ha. Kemudian setengah responden lainnya memiliki sikap mendukung kemitraan PIR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari setiap kategori luas lahan terdapat kurang lebih 50% responden yang mendukung
57
kemitraan PIR dan sisanya kurang mendukung kemitraan PIR. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan kelapa sawit tidak memberikan perbedaan dalam membentuk sikap petani, sehingga tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Tabel 38 Jumlah dan persentase responden pada kategori luas lahan berdasarkan sikap Luas lahan Total Sikap
1 ha n
%
2 ha N
> 2 ha
%
n
%
n
%
Kurang mendukung kemitraan 07
046.7
17 048.6 05
050.0
29
048.3
Mendukung kemitraan
08
053.3
18 051.4 05
050.0
31
051.7
Total
15
100.0
35 100.0 10
100.0
60
100.0
Hubungan Status Kepemilikan dengan Sikap Berdasarkan status kepemilikan lahan non-transmigrasi, dapat dilihat bahwa responden dengan kategori lahan turun-temurun lebih banyak yang memiliki pengetahuan tepat tentang kemitraan PIR (80%). Sedangkan, pada kategori membeli, persentase antara responden yang memiliki pengetahuan tepat dan kurang tepat hampir sama banyak. Berdasarkan komponen kognitif pengetahuan, persentase responden dari kategori status kepemilikan transmigrasi yang memiliki pengetahuan tepat tentang kemitraan PIR lebih sedikit dibanding dengan responden yang status kepemilikannya non-transmigrasi (Tabel). Tabel 39 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR Pengetahuan tentang Kemitraan PIR
Status kepemilikan nontransmigrasi Turun temurun
Total
Membeli
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan kurang tepat
1
020
05
045.5
06
037.5
Pengetahuan tepat
4
080
06
054.5
10
062.5
Total
5
100
11
100.0
16
100.0
Dominan responden dari kategori membeli dan transmigrasi memiliki pengetahuan yang kurang tepat tentang kemitraan PIR. Sedangkan responden dari kategori transmigrasi hampir memiliki persentasi yang sama antara pengetahuan tepat dan kurang tepat. Apabila kedua tabel tersebut dibandingkan dapat dilihat bahwa status kepemilikan cukup memberikan perbedaan pada pengetahuan responden. Faktor lahan transmigrasi yang umumnya dimiliki oleh petani di Desa
58
Sukadamai cukup memberikan pengetahuan tambahan pada responden. Dapat dilihat kembali pada Tabel 38 bahwa respoden yang kategori status kepemilikan lahan turun temurun memiliki persentase tertinggi. Hal ini mungkin disebabkan adanya pengetahuan tentang lahan transmigrasi dari orang tua mereka yang awalnya merupakan pemiliki lahan. Hal ini yang tidak didapatkan langsung oleh responden yang membeli, sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan mereka. Tabel 40 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR Status kepemilikan transmigrasi Pengetahuan tentang Kemitraan Transmigrasi PIR
Total
Membeli dan transmigrasi
n
%
N
%
n
%
Pengetahuan kurang tepat
22
056.4
3
060
25
056.8
Pengetahuan tepat
17
043.6
2
040
19
043.2
Total
39
100.0
5
100
44
100.0
Berdasarkan komponen afektif sikap yang berupa perasaan responden tentang kemitraan PIR, diketahui bahwa responden dengan kategori status kepemilikan turun temurun cukup banyak yang menilai kemitraan PIR sinergis. Sedangkan responden dengan status kepemilikan lahan membeli, lebih cenderung menilai kemitraan PIR kurang sinergis. Hal tersebut cukup memberikan perbedaan dari sisi status kepemilikan lahan non-transmigrasi. Tabel 41 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR Perasaan responden tentang kemitraan PIR
Status kepemilikan nontransmigrasi Turun temurun
Total
Membeli
n
%
n
%
n
%
Kemitraan kurang sinergis
2
040
07
063.6
09
056.2
Kemitraan sinergis
3
060
04
036.4
07
043.8
Total
5
100
11
100.0
16
100.0
Berdasarkan kategori status kepemilikan lahan dari transmigrasi, terlihat bahwa dari kedua kategori tersebut, dominan responden menilai bahwa kemitraan PIR kurang sinergis. Seluruh responden yang membeli dan mendapatkan lahannya dari transmigrasi merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis. Hal ini hampir sama dengan responden yang status kepemilikan lahan non-transmigrasi yang lebih banyak merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis. Kurang sinergisnya kemitraan PIR dapat disebabkan karena responden merasakan bahwa
59
kemitraan ini belum sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, responden kurang merasakan adanya kesesuaian pada sistem bagi hasil kemitraan ini. Tabel 42 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR Status kepemilikan transmigrasi Perasaan responden tentang kemitraan PIR
Transmigrasi
Total
Membeli dan transmigrasi
n
%
N
%
n
%
Kemitraan kurang sinergis
34
087.2
5
100
39
088.6
Kemitraan sinergis
05
012.8
0
000
05
011.4
Total
39
100.0
5
100
44
100.0
Kemudian dari segi komponen konatif, dominan responden yang status kepemilikan lahannya non-transmigrasi berkeinginan untuk tetap bekerjasama. Seluruh responden yang kepemilikan lahannya secara turun temurun berkeinginan untuk melanjutkan kemitraan, begitu pula dengan responden yang kepemilikan lahannya membeli. Sama sekali tidak ada perbedaan antara kedua kategori responden tersebut. Hal ini berarti status kepemilikan lahan non-transmigrasi tidak mempengaruhi keinginan responden dalam kemitraan PIR. Tabel 43 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR Keinginan responden dalam kemitraan PIR
Status kepemilikan nontransmigrasi Turun temurun
Total
Membeli
n
%
N
%
n
%
Ketidak inginan bekerjasama
0
00
00
000
00
000
Keinginan bekerjasama
5
100
11
100
16
100
Total
5
100
11
100
16
100
Hampir seluruh responden kategori transmigrasi memilih untuk tetap bekerjasama. Hanya terdapat dua responden yang tidak ingin bekerjasama, responden tersebut merupakan petani yang memiliki lahan dari program transmigrasi. Apabila dibandingkan antara status kepemilikan lahan transmigrasi dan non-transmigrasi dapat dikatakan bahwa status kepemilikan lahan tidak memiliki hubungan dan pengaruh dalam membentuk keinginan dari responden. Banyaknya responden yang masih memiliki keinginan untuk bekerjasama ini dapat disebabkan oleh masih adanya perjanjian (MoU) kemitraan yang diperpanjang hingga tahun 2018. Dominan responden juga telah menandatangani MoU tersebut, sehingga petani tidak dapat melanggar perjanjian dengan pihak perusahaan.
60
Tabel 44 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan transmigrasi berdasarkan keinginan responden dalam Kemitraan PIR Status kepemilikan transmigrasi Keinginan responden dalam kemitraan PIR
Transmigrasi
Total
Membeli dan transmigrasi
n
%
n
%
n
%
Ketidak inginan bekerjasama
02
005.1
0
000
02
003.3
Keinginan bekerjasama
37
094.9
5
100
58
096.7
Total
39
100.0
5
100
60
100.0
Berdasarkan status kepemilikan lahan non-transmigrasi, dapat dilihat bahwa dominan responden yang lahannya berasal dari turun temurun dan membeli memiliki sikap yang sama. Responden dominan mendukung kemitraan PIR. Bahkan responden yang lahannya diberikan turun-temurun seluruhnya mendukung kemitraan PIR. Terdapat kurang dari 40% responden yang tidak mendukung kemitraan. Responden tersebut adalah petani yang status kepemilikan lahannya dengan cara membeli lahan sawit dari petani lain. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa status lahan, baik turun temurun atau membeli tidak terlalu memiliki perbedaan sikap yang signifikan. Tabel 45 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan non-transmigrasi berdasarkan sikap
Sikap
Kurang mendukung kemitraan Mendukung kemitraan Total
Status kepemilikan lahan non-transmigrasi Turun temurun Membeli n % n % 0 0000 4 036.4 5 100.0 7 063.6 5 100.0 11 100.0
Total n 4 12 16
% 025 075 100
Berbeda dengan responden yang status kepemilikan lahannya dari nontransmigrasi, dominan responden dengan status kepemilikan lahan transmigrasi bersikap kurang mendukung kemitraan PIR. Kategori responden yang persentasenya paling tinggi dalam memiliki sikap kurang mendukung adalah responden yang status kepemilikan lahannya dengan membeli dan trasmigrasi sekaligus. Jika ditelisik lebih lanjut, pengaruh lahan transmigrasi cukup terlihat. Responden yang memiliki lahan transmigrasi cenderung memiliki sikap yang kurang mendukung kemitraan PIR. Sedangkan responden yang tidak memiliki lahan transmigrasi cenderung bersikap untuk mendukung kemitraan PIR. Hal ini menunjukkan bahwa status lahan transmigrasi memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam membentuk sikap responden. Tabel 46 Jumlah dan persentase responden pada kategori status kepemilikan lahan
61
transmigrasi berdasarkan sikap
Sikap
Kurang mendukung kemitraan Mendukung kemitraan Total
Status kepemilikan lahan transmigrasi Membeli dan Transmigrasi transmigrasi n % n % 22 056.4 3 060.0 17 043.6 2 040.0 39 100.0 5 100.0
Total n 25 19 44
% 056.8 043.2 100.0
Hubungan Status Pengelolaan dengan Sikap Kategori status pengelolaan lahan terbagi menjadi lahan yang telah dikelola (dirawat) sendiri oleh petani plasma, dan lahan yang masih dikelola langsung oleh perusahaan. Berdasarkan komponen kognitif sikap yaitu pengetahuan petani tentang kemitraan PIR, didapat hasil bahwa responden yang mengelola lahannya sendiri cukup banyak yang memiliki pengetahuan yang tepat tentang kemitraan PIR. Sedangkan pada responden yang lahannya masih dikelola perusahaan lebih banyak yang memiliki pengetahuan kurang tepat. Hal ini menunjukkan bahwa status kepemilikan lahan cukup memberikan perbedaan pada pengetahuan tentang kemitraan PIR. Tabel 47 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan pengetahuan tentang kemitraan PIR Status pengelolaan Pengetahuan tentang Kemitraan PIR
Dikelola sendiri
Total
Dikelola perusahaan
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan kurang tepat
04
036.4
27
055.1
31
051.7
Pengetahuan tepat
07
063.6
22
044.9
29
048.3
Total
11
100.0
49
100.0
60
100.0
Berdasarkan komponen afektif sikap yaitu perasaan responden tentang kemitraan PIR, didapatkan hasil bahwa pada kedua kategori status pengelolaan lahan dominan responden merasakan bahwa kemitraan kurang sinergis. Berdasarkan persentase nilai, responden dengan kategori lahan dikelola perusahaan memiliki persentase yang lebih tinggi dibanding dengan yang dikelola sendiri. Hal ini mendukung pernyataan salah satu responden yang menyatakan bahwa kebun yang dikelola perusahaan tidak terawat seperti dan hampir tidak pernah diberi pupuk. “Kalo di perusahaankan (KUD MTJ) kita gak tau apa-apa, liat aja kebun yang disana ndak terawat...” (Tmj, 64 tahun, Pengurus KSU Al-Barokah)
62
Tabel 48 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR Perasaan responden tentang kemitraan PIR Kemitraan kurang sinergis Kemitraan sinergis Total
Status pengelolaan Dikelola Dikelola sendiri perusahaan n % n % 08 072.7 40 081.6 03 027.3 09 018.4 11 100.0 49 100.0
Total n 48 12 60
% 080 020 100
Walaupun responden cenderung lebih merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis, hampir seluruh responden masih ingin bekerjasama dengan pihak perusahaan. Tingkat keinginan kerjasama yang tinggi ini terdapat pada kedua kategori status pengelolaan, yang dikelola sendiri dan yang dikelola perusahaan. Masing- masing kategori tersebut hanya memiliki 1 responden yang tidak ingin bekerjasama. Hal ini jelas menunjukkan bahwa status pengelolaan tidak mempengaruhi keinginan responden. Tabel 49 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR Status pengelolaan Keinginan responden dalam kemitraan PIR
Dikelola sendiri
Total
Dikelola perusahaan
n
%
n
%
n
%
Ketidak inginan bekerjasama
1
009
01
002
02
003.3
Keinginan berkejasama
10
091
48
098
58
096.7
Total
11
100
49
100
60
100.0
Dilihat dari variabel sikap, terdapat sedikit perbedaan sikap antara kedua kategori status pengelolaan lahan dari responden. Responden yang mengelola lahannya sendiri cenderung lebih mendukung kemitraan PIR. Tetapi, responden yang lahannya masih dikelola perusahaan cenderung kurang mendukung kemitraan PIR. Namun pada kenyataan di lapangan justru terjadi sebaliknya. Responden yang mengelola lahannya sendiri merupakan anggota dari koperasi AlBarokah yang saat ini sedang proses untuk mengakhiri kerjasama dengan perusahaan. “...iya, itu kan yang dikoperasi (Al-Barokah) semua keluarga ibu, katanya lagi diurusin supaya bisa berenti dari perusahaan. Mau mandiri aja, supaya nanti kopersinya jadi, itu koperasi yang paling besar juga disini...” (Sar, 50 tahun)
63
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara kecendrungan sikap dan perilaku dari responden. saat ini responden memang masih bersikap seperti mendukung kemitraan PIR, tetapi sikap ini belum tentu tetap dipertahankan nantinya. Tabel 50 Jumlah dan persentase responden pada kategori status pengelolaan lahan berdasarkan sikap Status pengelolaan lahan Sikap
Total
Dikelola sendiri Dikelola perusahaan n
%
n
%
n
%
Kurang mendukung kemitraan 04
036.4
25
051.0
29 048.3
Mendukung kemitraan
07
063.6
24
049.0
31 051.7
Total
11
100.0
49
100.0
60 100.0
Hubungan Keterlibatan Dalam Kelompok dengan Sikap Pengetahuan responden tentang kemitraan PIR terlihat cukup berbeda pada kedua kategori keterlibatan petani dalam kelompok. Responden yang terlibat aktif dalam kelompok (koperasi) cenderung memiliki pengetahuan yang tepat tentang kemitraan PIR. Sedangkan responden yang tidak terlibat aktif lebih banyak yang memiliki pengetahuan yang kurang tepat tentang kemitraan PIR. Keterlibatan petani dalam kelompok cukup memberikan pengaruh pada pengetahuan yang didapatkan petani. Semakin petani aktif dalam kelompok, maka akan semakin tepat pengetahuan yang petani miliki tentang kemitraan PIR. Tabel 51 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam kelompok berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR Keterlibatan dalam kelompok Pengetahuan tentang Kemitraan PIR
Tidak terlibat aktif
Total
Terlibat aktif
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan kurang tepat
14
073.7
17
041.5
31
051.7
Pengetahuan tepat
05
026.3
24
058.5
29
048.3
Total
19
100.0
41
100.0
60
100.0
Berbeda dengan komponen kognitif sikap di atas, pada komponen afektif tidak ditemukan perbedaan yang cukup jauh antara kedua kategori keterlibatan petani dalam kelompok. Responden yang terlibat aktif maupun tidak terlibat aktif memiliki perasaan yang sama tentang kemitraan PIR. Kebanyakan responden merasakan bahwa kemitran PIR masih belum sinergis. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan keterlibatan dalam kelompok, hal ini tidak memberikan pengaruh dalam pembentukan perasaan responden. hampir semua responden merasakan bahwa kemitraan tidak cukup memberikan penghasilan tambahan yang cukup bagi petani. Selain itu, keterbukaan yang ada pada
64
kemitraan hanya sebatas pada orang-orang tertentu, seperti pengurus koperasi dan ketua kelompok petani. Tabel 52 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam kelompok berdasarkan perasaan respoden tentang kemitraan PIR Keterlibatan dalam kelompok Perasaan responden tentang kemitraan PIR
Tidak terlibat aktif
Total
Terlibat aktif
n
%
n
%
n
%
Kemitraan kurang sinergis
15
078.9
33
080.5
48
080.0
Kemitraan sinergis
04
021.1
08
019.5
12
020.0
Total
19
100.0
41
100.0
60
100.0
Berdasarkan kedua kategori keterlibatan dalam kelompok dapat dilihat bahwa responden memiliki keinginan untuk bekerjasama. Baik responden yang aktif ataupun yang tidak terlibat aktif dalam koperasi memiliki persentase responden dengan jumlah yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan petani dalam kelompok (koperasi) tidak memberikan pengaruh dalam pembentukan keinginan responden. Tabel 53 Jumlah dan persentase responden pada keterlibatan dalam kelompok berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR Keterlibatan dalam kelompok Keinginan responden dalam kemitraan PIR
Tidak terlibat aktif
Total
Terlibat aktif
n
%
n
%
n
%
Ketidak inginan bekerjasama
1
5.3
1
2.4
2
3.3
Keinginan berkejasama
18
94.7
40
97.6
58
96.7
Total
19
100.0
41
100.0
60
100.0
Berdasarkan Tabel 54 di bawah dapat dilihat bahwa responden yang tidak terlibat aktif dalam kelompok cenderung memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR. Sedangkan responden yang terlibat aktif dalam kelompok cenderung memiliki sikap untuk mendukung kemitraan PIR. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa semakin aktif responden dalam kelompok, maka sikap responden akan semakin cenderung untuk mendukung kemitraan PIR. hal ini karena keterlibatan responden dalam kelompok merupakan sebuah perwujudan untuk mendukung kemitraan. karena responden memang diwajibkan untuk menjadi anggota koperasi seperti yang tertera dalam perjanjian yang telah mereka tandatangani. Tabel 54 Jumlah dan persentase responden pada kategori keterlibatan dalam kelompok berdasarkan sikap
65
Keterlibatan dalam kelompok Sikap Tidak terlibat aktif Terlibat aktif n % n % Kurang mendukung kemitraan 13 068.4 16 039.0 Mendukung kemitraan 06 031.6 25 061.0 Total 19 100.0 41 100.0
Total n 29 31 60
% 048.3 051.7 100.0
Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Sikap Berdasarkan penggolangan responden berdasarkan interaksi komunikasi, didapat hasil bahwa responden yang memiliki interaksi komunikasi yang sedang dan tinggi memiliki pengetahuan tepat tentang kemitraan PIR. Responden yang interaksi komunikasinya rendah cenderung lebih banyak memiliki pengetahuan yang kurang tepat tentang kemitraan PIR. Walaupun terdapat kesamaan persentase antra kategori interaksi sedang dan tinggi, hal ini cukup menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat interaksi komunikasi maka akan menjadi semakin tepat pula pengetahuan tentang kemitraan PIR. Hal ini dapat dikaitkan dengan seberapa seringnya responden berkumpul dengan anggota koperasi dan membicarakan tentang kemitraan PIR. Semakin tinggi sering mereka membicarakan kemitraan PIR maka pengetahuan dan kepercayaan mereka tentang kemitraan juga dimungkinkan bertambah. Tabel 55 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi berdasarkan pengetahuan tentang Kemitraan PIR Interaksi komunikasi Pengetahuan tentang Kemitraan PIR
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan kurang tepat Pengetahuan tepat
28
058.3
2
025.0
1
025.0
31
051.7
20
041.7
6
075.0
3
075.0
29
048.3
Total
48
100.0
8
100.0
4
100.0
60
100.0
Hampir sama dengan komponen afektif pada kategori-kategori sebelumnya, pada kategori intreaksi komunikasi juga dominan responden pada ketiga tingkatan interaksi komunikasi memiliki pendapat yang sama tentang kemitraan PIR. responden merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis. Persentase tertinggi untuk kemitraan kurang sinergis berasal dari responden dengan tingkat interaksi komunikasi yang rendah. Pada tingkat interaksi sedang dan tinggi, persentase kemitraan kurang sinergis lebih rendah dari pada interaksi komunikasi yang rendah. Walaupun memiliki persentase yang sama pada kemitraan kurang sinergis, hal ini cukup menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat interaksi komunikasi semakin kurang sinergis kemitraan PIR yang dirasakan responden. Tabel 56 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi berdasarkan perasaan responden tentang kemitraan PIR
66
Interaksi komunikasi Perasaan responden tentang kemitraan PIR
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
n
%
n
%
n
%
N
%
Kemitraan kurang sinergis
39
081.2
6
075.0
3
075.0
48
080.0
Kemitraan sinergis
09
018.8
2
025.0
1
025.0
12
020.0
Total
48
100.0
8
100.0
4
100.0
60
100.0
Berdasarkan keinginan responden untuk bekerjasama yang digolongkan dengan tingkat interaksi di dapat hasil seperti pada Tabel 57 dominan responden dari semua kategori interaksi komunikasi memiliki keinginan untuk bekerjasama. Dalam hal ini tingkat interaksi komunikasi tidak memiliki hubungan untuk menentukan keinginan responden dalam bekerjasama. Tabel 57 Jumlah dan persentase responden pada interaksi komunikasi berdasarkan keinginan responden dalam kemitraan PIR Interaksi komunikasi Keinginan responden dalam kemitraan PIR
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
n
%
n
%
n
Ketidak inginan bekerjasama
02
004.2
0
0000
0
00000 02 003.3
Keinginan berkejasama
46
095.8
8
100.0
4
100.0 58 096.7
Total
48
100.0
8
100.0
4
100.0 60 100.0
%
n
%
Responden yang memiliki sikap mendukung kemitraan PIR merupakan responden yang memiliki interaksi komunikasi sedang dan tinggi. Sedangkan responden yang memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR adalah responden yang interaksi komunikasinya rendah. Walaupun terdapat persamaan persentase pada interaski sedang dan tinggi, hal ini tetap menunjukkan bahwa semakin tinggi interaksi komunikasi maka responden memiliki sikap untuk lebih mendukung kemitraan PIR. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh pembelajaran sosial selama proses interaksi tersebut. Responden yang memiliki interaksi yang tinggi bisa saja merupakan responden terpengaruh dengan sikap orang lain yang memiliki keinginan bekerjasama. Sehingga terjadi kesamaan keinginan dalam menjalankan kemitraan PIR. Hal ini juga tertuang dari pernyataan salah satu responden ketika ditanyakan keinginannya untuk mengikuti pelatihan kerja jika ada seperti di bawah ini: “...kalau yang lain gimana? Saya sih ikutan aja gimana yang lain. Kalau yang lain ikutan pelatihan ya saya ikutan juga.” (Jdn, 32 tahun) Tabel 58 Jumlah dan persentase responden pada kategori interaksi komunikasi berdasarkan sikap
67
Interaksi komunikasi Sikap
Rendah n
Sedang
Total
Tinggi
%
n
%
n
%
n
%
Kurang mendukung kemitraan 26
054.2
2
025
1
025
29
048.3
Mendukung kemitraan
22
045.8
6
075
3
075
31
051.7
Total
48
100.0
8
100
4
100
60
100.0
Ikhtisar
Terdapat persentase yang hampir sama dalam setiap kategori luas lahan, baik luas lahan 1 ha, 2 ha ataupun yang lebih dari 2 ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan kelapa sawit tidak memberikan perbedaan dalam membentuk sikap petani, sehingga tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan status kepemilikan lahan non-transmigrasi, dapat dilihat bahwa dominan responden yang lahannya berasal dari turun temurun dan membeli memiliki sikap yang sama. Responden dominan mendukung kemitraan PIR. Berbeda dengan responden yang status kepemilikan lahannya dari nontransmigrasi, dominan responden dengan status kepemilikan lahan transmigrasi bersikap kurang mendukung kemitraan PIR. Terdapat sedikit perbedaan sikap antara kedua kategori status pengelolaan lahan dari responden. Responden yang mengelola lahannya sendiri cenderung lebih mendukung kemitraan PIR. Tetapi, responden yang lahannya masih dikelola perusahaan cenderung kurang mendukung kemitraan PIR. Responden yang tidak terlibat aktif dalam kelompok cenderung memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR. Sedangkan responden yang terlibat aktif dalam kelompok cenderung memiliki sikap untuk mendukung kemitraan PIR. berdasarkan tingkat interaksi, responden yang memiliki sikap mendukung kemitraan PIR merupakan responden yang memiliki interaksi komunikasi sedang dan tinggi. Sedangkan responden yang memiliki sikap kurang mendukung kemitraan PIR adalah responden yang interaksi komunikasinya rendah.
POTENSI KONFLIK Permasalahan dan Ketidakpuasan pada Kemitraan PIR Telah terjadi beberapa kali perselisihan antara petani plasma dengan pihak perusahaan perkebunan. Perselisihan itu berkaitan dengan ketidak puasan petani dalam pembagian hasil dan kurangnya fasilitas yang diterima petani. Masyarakat mengaku hasil bulanan yang diterima dari kemitraan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain bagi hasil yang dirasa kurang menguntungkan petani, hasil bulanan pun tidak rutin diberikan setiap bulannya. Selain itu, tuntutan masyarakat untuk memperbaiki akses jalan keluar masuknya truk angkutan kelapa sawit sampai sekarang tidak dilaksanakan. Fasilitas pemupukan bagi kelapa sawit juga sampai saat ini masih kurang diperhatikan. Konflik di Desa Sukadamai ini mulai mencuat pada tahun 2010. Menurut salah satu informan, telah terjadi sekitar 4 kali protes dan 1 kali demonstrasi yang melibatkan masa yang cukup banyak. Demonstrasi dilakukan di depan kantor perusahaan perkebunan dan sempat terjadi penyegelan kantor perusahaan pada tahun 2011. Konflik di desa ini melibatkan 3 stakeholder yaitu pihak perusahaan perkebunan di sektor swasta, pemerintah (desa dan kabupaten) dan petani plasma. Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pihak pemerintah desa beserta koperasi dan petani juga telah mengadukan hal ini ke bupati dan gubernur, tetapi hingga saat ini belum ada penyelesaian dan tindak lanjut dari perusahaan. Jika dikaitkan dengan penyebab konflik yang diutarakan Widianto (2013), konflik di desa ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemerintah (bupati dan gubernur) dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar. Pemerintah dan perusahaan dinilai telah mengabaikan kepentingan masyarakat terhadap lahan hidupnya. Pemerintah lebih memilih melindungi pemilik modal untuk meningkatkan pendapatan daerah atau devisa negara. Kedua, adanya pola kerjasama yang tidak seimbang antara perusahaan dengan petani. Kemitraan yang dijalin dengan perusahaan perkebunan oleh masyarakat hanya menguntungkan pihak-pihak pada lapisan atas saja. Terdapat tiga ketimpangan dalam kemitraan perkebunan metode PIR yang sesuai dengan pendapat Fadjar (2006) yaitu adanya ketimpangan dalam struktur pemilikan asset, ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi dan ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Ketimpangan tersebutlah yang menjadi sumber konflik yang muncul pada pola kemitraan PIR. Selain konflik vertikal, ada pula perselisihan internal antar anggota koperasi. Perselisihan ini terjadi karena masalah sistem bagi hasil yang mengakibatkan pecahnya koperasi.
Perilaku Konflik Perilaku konflik yang dimaksud adalah suatu tindakan negatif masyarakat atau petani plasma sebagai respon adanya kemitraan PIR yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian. Tindakan ini dapat secara langsung dikaitkan dengan pengertian konflik yang berarti perkelahian atau peperangan (Pruitt dan Rubin 2011). Beberapa bentuk konflik yang sering terjadi untuk menyuarakan aspirasi biasanya dilakukan dengan demo atau protes. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa responden dan petani plasma sawit lain di desa ini merasakan adanya ketidak puasan selama menjalani kemitraan PIR. Oleh karena ketidak
70
puasan yang dirasakan tersebut sempat terjadi beberapa kali protes yang dilakukan oleh petani bersama dengan pemerintah desa. Perilaku konflik tersebut dapat lebih rinci dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 59 Jumlah dan persentese responden berdasarkan perilaku konflik Skor rataJumlah rata No. Perilaku konflik Ya Tidak n % n % 1. Pernah ikut dalam protes atau demo 28 46.7 32 53.3 1.47 karena ketidak puasan terhadap kemitraan 2. Pernah mengusulkan untuk 15 25.0 45 75.0 1.25 melakukan aksi penolakan atau demo Terdapat ketidakpuasan dari seluruh responden pada kemitraan PIR. Jika dikaitkan pada bab sebelumnya, ketidakpuasan responden disebabakan oleh hasil bulanan yang kecil, sistem bagi hasil yang kurang transparan dan fasilitas yang sangat sedikit dapat dirasakan oleh responden. Salah satu informan juga menyatakan bahwa pernah kelapa sawit yang baru dipanen tidak dapat diangkut keluar dan akhirnya membusuk karena sarana infrastruktur tidak diperhatikan oleh perusahaan. Jalan keluar masuknya truk pengangkut sawit tidak diberi pengerasan, sehingga ketika hujan truk pengangkut sawit terjebak. Ketidakpuasan ini juga yang menyebabkan petani pernah melakukan protes pada perusahaan perkebunan. Penyegelan kantor perkebunan bahkan pernah dilakukan oleh petani pada tahun 2011. Jawaban responden tersebut juga didukung oleh pernyataan sekertaris Desa Seukadamai sebagai berikut. “...disini seringkali unjuk rasa, tapi masih gebrakan santun, demo damailah kito sebutnyo. Pernah ada tigo kali demo disini. Nah, pas demo ini juga kami ikut untuk mengantisipasi agar tidak memanas, jadi penengahlah. Sempet ado rapat akbar disini yang dihadiri oleh kepolisian, perkebunan, keperindag, disbun, petani, KUD, perbankan sebagai penyandang dana, perusahaan. Oh... penuh disini, gempuran demi gempuranpun dan tuntut-tutan itu. Ya saat itu, jawaban mereka iyo akan kami laksanakan, tapi yo setelah kito itu yo mereka diem lagi. Jadi dio bergerak kalau ada dorongan. Itu yang bikin kito kesel.”(Prb, 50 tahun) Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pihak desa juga telah mengadukan ini ke bupati dan gubernur, tetapi hingga saat ini belum ada penyelesaian dan tindak lanjut dari perusahaan. Ketika terjadinya protes dan unjuk rasa, hampir setengah jumlah responden menyatakan pernah mengikuti unjuk rasa tersebut. Kemudian beberapa responden juga pernah secara langsung mengusulkan untuk mengadakan unjuk rasa atau demo. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat kalau sebenarnya potensi konflik di desa ini masih cukup tinggi. Keikutsertaan dan pemberian
71
usulan untuk unjuk rasa dan demo ini memang tidak terlalu banyak, tetapi cukup berpotensi untuk dapat kembali pecah. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan belum benar-benar memiliki etika yang baik dalam bermitra. Tabel 60 Jumlah dan persentase responden berdasarkan potensi konflik Potensi konflik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
30 30 60
050 050 100
Potensi konflik tinggi Potensi konflik rendah Total
Tabel di atas memperlihatkan bahwa terdapat kesamaan jumlah responden pada kedua kategori potensi konflik. Setengah jumlah responden memiliki potensi konflik yang tinggi dan setengah lainnya memiliki potensi konflik yang rendah. Dikhawatirkan jika permasalahan dan ketidak puasan masyarakat terus berlanjut responden yang memiliki potensi konflik tinggi tersebut dapat meningkatkan potensi konflik dari responden lainnya. Hal ini seperti yang diutarakan Pruitt dan Rubin (2011) bahwa terbentuknya strungle group (kelompok pejuang) dapat membuat konflik mengalami eskalasi.
Ikhtisar Terdapat ketidakpuasan dari seluruh responden pada kemitraan PIR, ketidakpuasan ini juga yang menyebabkan petani pernah melakukan protes pada perusahaan perkebunan. Konflik di Desa Sukadamai ini mulai mencuat pada tahun 2010. Menurut salah satu informan, telah terjadi sekitar 4 kali protes dan 1 kali demonstrasi yang melibatkan masa yang cukup banyak. Ketika terjadinya protes dan unjuk rasa, hampir setengah jumlah responden menyatakan pernah mengikuti unjuk rasa tersebut. Kemudian beberapa responden juga pernah secara langsung mengusulkan untuk mengadakan unjuk rasa atau demo. Terdapat kesamaan jumlah antara responden yang memiliki tingkat konflik tinggi dan tingkat konflik yang rendah.
HUBUNGAN SIKAP DENGAN POTENSI KONFLIK DALAM KEMITRAAN PIR Bab ini menjelaskan hubungan antara variabel sikap petani dengan variabel potensi konflik dalam kemitraan PIR. Terdapat 3 komponen yang juga dilihat hubungannya yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Kemudian sikap secara umum juga dihubungkan langsung dengan perilaku berpotensi konflik di Desa Sukadamai. Hubungan kedua variabel ini dianalisis menggunakan tabulasi silang dan uji Chi-Square. Berikut hasil uji statistik hubungan kedua variabel menggunakan SPSS. Tabel 61 Nilai uji Chi-Square dan signifikansi hubungan antara variabel sikap dan potensi konflik Hubungan sikap dengan potensi Nilai ChiAsymp. Sig. (2konflik Square sided) a Komponen kognitif 5.406 0.020 a Komponen afektif 0.000 1.000 a Komponen konatif 2.069 0.150 a Sikap 3.270 0.071
Hubungan Komponen Kognitif dan Potensi Konflik Berdasarkan komponen kognitif dapat dilihat bahwa dominan responden yang memiliki pengetahuan tepat dan kurang tepat memiliki potensi konflik yang cukup berbeda. Terdapat lebih banyak responden yang memiliki potensi konflik rendah pada kategori pengetahuan kurang tepat dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya tepat tentang kemitran PIR. Kemudian, dominan responden yang potensi konfliknya tinggi adalah responden yang memiliki pengetahuan tepat tentang kemitraan PIR. Hal ini menunjukkan semakin tepat pengetahuan responden tentang kemitraan PIR maka semakin tinggi potensi konflik. Sedangkan semakin kurang tepat pengetahuan responden tentang kemitraan PIR maka semakin rendah potensi konflik pada responden. Tabel 62 Jumlah dan persentase responden pada pengetahuan tentang kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik Pengetahuan Potensi konflik
Pengetahuan kurang tepat
Total Pengetahuan tepat
n
%
n
%
n
%
Potensi konflik rendah
20
64.5
10
34.5
30
50
Potensi konflik tinggi
11
35.5
19
65.5
30
50
Total
31
100.0
29
100.0
60
100
74
Berdasarakan hasil uji statistik menggunakan Chi-Square didapat hasil ρ sebesar 0.020. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa nilai ρ < 0.05, sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan responden tentang kemitraan PIR dengan perilaku potensi konflik yang dilakukan petani. Hubungan yang terdapat pada kedua variabel tersebut, dimungkinkan karena responden yang memiliki pengetahuan tepat lebih paham apa saja hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan sebagai penyelenggara kemitraan. Sedangkan hal-hal tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh perusahaan. Seperti pengertian kemitraan yang seharusnya menguntungkan kedua belah pihak. Serta tujuan kemitraan yang seharusnya dapat meningkatkan pendapatan petani. Kedua hal tersebut adalah hal-hal yang dipercayai oleh responden, tetapi tidak terlaksana. Berdasarkan hal tersebut, didapat kesimpulan bahwa pengetahuan responden tentang kemitraan PIR cukup memberikan perbedaan pada potensi konflik pada responden.
Hubungan Komponen Afektif dan Potensi Konflik Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat kesamaan jumlah persentase antara kedua kategori perasaan responden tentang kemitraan PIR. Responden yang memiliki potensi konflik rendah terbagi dua sempurna, 50% merasakan kemitraan PIR kurang sinergis dan 50% merasakan kemitraan sinergis. Begitu pula dengan responden yang memiliki potensi konflik memiliki jumlah dan persentase yang sama persis dengan responden yang memiliki potensi konflik rendah. Tidak terdapatnya perbedaan antara kedua kategori penggolongan ini jelas menunjukkan bahwa perasaan responden tentang kemitraan PIR tidak mempengaruhi potensi konflik yang timbul pada diri responden terhadap kemitraan PIR. Hasil uji statistik menggunakan Chi-Square juga menunjukkan hal yang sama yaitu, tidak terdapatnya hubungan antara perasaan responden tentang kemitraan PIR dengan potensi konflik. Hasil uji Chi-Square menghasilkan nilai ρ yang jauh lebih besar dari 0.05 (ρ = 1.000). Tabel 63 Jumlah dan persentase responden pada perasaan responden tentang kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik
Potensi konflik
Potensi konflik rendah Potensi konflik tinggi Total
Perasaan Kemitraan kurang Kemitraan sinergis sinergis
Total
n
%
n
%
n
%
24 24 48
050 050 100
06 06 12
050 050 100
30 30 60
050 050 100
Persamaan jumlah dan persentase ini mungkin disebabkan karena selain responden merasakan kemitraan PIR kurang sesuai, tetapi mereka masih merasakan adanya manfaat pada kemitraan PIR. Sehingga sebagian besar responden masih merasakan sedikit keuntungan dalam mengikuti kemitraan PIR.
75
Responden yang masih merasakan adanya keuntungan tersebut melakukan timbal balik, seperti yang dikutip dari Kerr dan Kaufman-Gilliand, 1994 oleh Baron dan Bryne (2004). Ketika orang lain bekerjasama dengan kita dan mengesampingkan kepentingan pribadinya, biasanya kita akan melakukan hal yang sama sebagai balasannya. Perusahaan dinilai telah memberikan sedikit manfaat pada masyarakat dengan masuknya kemitraan PIR, sehingga responden membalasnya dengan tidak mengusulkan untuk melakukan protes.
Hubungan Komponen Konatif dan Potensi Konflik Berdasarkan tabel di bawah, semua responden yang dikategorikan tidak ingin bekerjasama adalah responden yang memiliki potensi konflik rendah. Sedangkan responden yang memiliki keinginan bekerjasama, lebih banyak yang memiliki potensi konflik tinggi dibanding yang memiliki potensi konflik rendah. Hal ini tidak mencerminkan adanya persamaan sikap dan perilaku pada responden. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan metode Chi-Square didapatkan nilai ρ sebesar 0.150. Nilai ρ yang lebih besar dari 0.05 mencerminkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Tabel 64 Jumlah dan persentase responden pada keinginan responden dalam kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik Keinginan Potensi konflik
Ketidak inginan bekerjasama n %
Total
Keinginan berkejasama n %
n
%
Potensi konflik rendah
2
100
28
048.3
30
050
Potensi konflik tinggi
0
000
30
051.7
30
050
Total
2
100
58
100.0
60
100
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, responden yang memiliki ketidak inginan bekerjasama tidak menunjukkan adanya potensi konflik yang tinggi, seperti mengusulkan untuk demo atau mengikuti demo. Kedua responden yang tidak ingin bekerjasama tersebut, lebih menunjukkan ketidak inginannya dengan cara langsung tidak melanjutkan kemitraan PIR. Tindakan atau perilaku yang mereka lakukan adalah menjual lahan kelapa sawit dan tidak ingin menandatangai perjanjian lanjutan yang diusulkan perusahaan pada tahun 2008 lalu. Pada tahap ini kedua responden tersebut berada pada reaksi exit, seperti yang dijelaskan Carl Rusbult dalam Taylor et al. (2009). Rusbult menyebutkan bahwa terdapat empat reaksi utama terhadap ketidakpuasan yang disebutnya suara, loyalitas, pengabaian, dan keluar. Jika responden lainnya memiliki reaksi berupa suara atau usulan untuk protes dan sebagian responden lainnya melakukan pengabaian, kedua responden yang tidak ingin bekerjasama tersebut berada pada reaksi exit yaitu langsung keluar dari kemitraan.
76
Hubungan Sikap dan Potensi Konflik Analisis deskriptif dengan tabulasi silang yang dilakukan pada kedua variabel menghasilkan tabel di bawah ini. Terlihat adanya perbedaan antara sikap dan perilaku responden di Desa Sukadamai. Responden yang kurang mendukung kemitraan PIR cenderung memiliki potensi konflik yang rendah. Sedangkan responden yang mendukung kemitraan PIR malah memiliki potensi konflik yang tinggi. Berdasarkan uji statistik menggunakan metode Chi-Square, didapat nilai ρ sebesar 0.071. Nilai tersebut masih lebih besar dari 0.05, sehingga didapat kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap dan potensi konflik pada responden. Tabel 65 Jumlah dan persentase responden pada sikap responden pada kemitraan PIR berdasarkan potensi konflik
Potensi konflik
Potensi konflik rendah Potensi konflik tinggi Total
Sikap Kurang mendukung Mendukung kemitraan kemitraan
Total
n
%
n
%
n
%
18 11 29
62.1 37.9 100.0
12 19 31
38.7 61.3 100.0
30 30 60
50 50 100
Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku adalah pemikiran dan perasaan dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilian terhadap objek. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian, tidak selamanya sikap akan menentukan tingkah laku kita (Baron dan Bryne 2004). Hal ini karena adanya ambivalensi sikap sebagaimana yang dikutip Baron dan Bryne (2004) dari Priester dan Petty (2001). Ambivalensi sikap merupakan tercampurnya evaluasi kita terhadap suatu objek menjadi dua reaksi positif dan negatif. Evaluasi tersebut tidak selamanya hanya positif atau hanya negatif tetapi dapat pula keduanya sekaligus. Masyarakat merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis, tetapi mereka tetap memiliki keinginan untuk bekerjasama yang cukup tinggi. Kemudian, petani dinilai cukup mendukung kemitraan PIR, dalam artian masih terus menjalankan perjanjian kemitraan. Responden yang mendukung kemitraan PIR tidak berarti hanya diam dan menerima adanya ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Tetapi, responden juga pernah mengusulkan untuk melakukan protes agar kemitraan yang dilaksanakan tetap berjalan lancar dan memberikan keuntungan yang cukup untuk petani. Artinya tindakan-tindakan berupa potensi konflik yang terjadi dapat pula dinilai sebagai tindakan agar kemitraan antara kedua belah pihak semakin baik.
Iktisar Berdasarkan penjabaran di atas disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap dan perilaku potensi konflik pada responden. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat Ambivalensi sikap yang membuat sikap responden tidak menentukan perilaku responden pada kemitraan PIR. Selain itu berdasarkan hasil
77
tabulasi silang dan uji Chi-Square hanya komponen kognitif berupa pengetahuan yang menunjukkan adanya hubungan dengan potensi konflik. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan semakin tepat pengetahuan responden tentang kemitraan PIR maka semakin tinggi potensi konflik. Sedangkan semakin kurang tepat pengetahuan responden tentang kemitraan PIR maka semakin rendah potensi konflik pada responden. Sedangkan komponen sikap lainnya tidak menunjukkan adanya keterkaitan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Sebagian responden memiliki sikap untuk mendukung kemitraan PIR, sedangkan sebagian lainnya kurang mendukung kemitraan ini. Sebagian responden masih memiliki pengetahuan yang kurang tepat tentang kemitraan PIR, responden telah cukup mengetahui tujuan kemitraan PIR, tetapi masih sedikit yang mengetahui pengertian kemitraan PIR yang benar. Sebagian besar responden merasakan bahwa kemitraan PIR kurang sinergis. Karena kemitraan dan bagi hasilnya masih belum sesuai dengan keinginan petani. Kemitraan PIR dikatakan terbuka, tetapi keterbukaan tersebut tidak seperti yang dibayangkan. Walaupun demikian kemitraan PIR cukup memberikan manfaat, yaitu memberikan fasilitas sosial berupa pengaspalan sebagian jalan desa. Oleh karena itu, hampir semua responden masih memiliki keinginan untuk bekerjasama dalam kemitraan PIR. Perilaku konflik di Desa Sukadamai berupa demonstrasi dan protes serta penyegelan kantor perusahaan perkebunan. Demonstrasi tersebut disebabkan berbagai ketidakpuasan yang telah dirasakan petani plasma. Sebagian responden dinyatakan memiliki potensi konflik yang tinggi karena pernah mengusulkan dan atau melakukan demonstrasi. Tidak terdapat hubungan antara sikap dan perilaku potensi konflik pada responden. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ambivalensi sikap yang membuat sikap responden tidak menentukan perilaku responden pada kemitraan PIR. Selain itu berdasarkan hasil tabulasi silang dan uji ChiSquare hanya komponen kognitif berupa pengetahuan yang menunjukkan adanya hubungan dengan potensi konflik. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan semakin tepat pengetahuan responden tentang kemitraan PIR maka semakin tinggi potensi konflik.
Saran 1.
2.
3.
Untuk membuat responden dapat lebih mendukung kemitraan PIR, sebaiknya perusahaan melalui koperasi membuat pertemuan bulanan dengan petani. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sinergitas dan keterbukaan kemitraan PIR. agenda pertemuan bulanan antara koperasi dan petani dapat berupa pelaporan hasil kebun, bagi hasil, pengeluaran yang dilakukan untuk kebun plasma dan kondisi kebun plasma masing-masing petani. Perusahaan sebaiknya segera melaksanakan janji yang telah dikatakan pada petani plasma saat pertemuan tahunan yang telah dilaksanakan. Hal ini disarankan karena masih adanya kecendrungan potensi konflik di Desa Sukadamai. Sebisa mungkin perusahaan melakukan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) seperti memberi bantuan dalam pembangunan sekolah dan perbaikan jalan desa. Hal ini dilakukan agar petani sekaligus masyarakat desa dapat lebih merasakan manfaat dari adanya kemitraan PIR.
DAFTAR PUSTAKA Afandi M. 2013. Perlawanan Ekstra Legal: “Transformasi Perlwanan Petani Menghadapi Korporasi Perkebunan”. Jurnal Bhumi [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 6]. 37 (12): 63. Tersedia pada: http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal%20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012-203.pdf Aprianto TC. 2009. Manakala Konflik Berkepanjangan Harus Diselesaikan: Kasus Konflik Perkebunan Ketajek, Jember. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 6]. 13 (1): 71-90. Tersedia pada: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/67/58 Aronson E, Wilson DT, Akert RM. 2005. Social Psycology. America (US): Pearson Education Inc Baron RA, Byrne D. 2004. Psikologi Sosial. Djuwita R, Parman MM, Yasmina D, Lunanta LP, penerjemah; Kristiaji WC, Medya R, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Sosial Psikologi. Ed ke-10 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Konsep Perkebunan. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=06%20¬ab=2 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia Tenaga Kerja. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=06%20¬ab=2 [Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Keputusan Direktur Jendral Perkebunan No. 141 tahun 2010 tentang Sistem Penilaian Fisik kebun Kelapa Sawit Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Revitalisasi Perkebunan. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian [Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan di Indonesia. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 21]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsarealprodvitas-bun.pdf [Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Perkebembangan Jumlah Petani dan Tenaga Kerja (KK+TK) Sub Sektor Perkebunan Komoditas Unggulan Nasional. [Internet]. [diunduh 2013 Desember 7]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Tenaga_Kerja_Estimasi 2013.pdf Dharmawan AH. 2006. Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisi SosioBudaya (Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat). Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Perkebunan Wilayah Perbatasan
82
Kalimantan [Internet]. 2006 Januari 10-11; Pontianak, Indonesia. [diunduh pada 2013 Desember 17]. Tersedia pada: http://dosen.narotama.ac.id/wpcontent/uploads/2012/03/Konflik-Sosial-dan-Resolusi-Konflik-AnalisisSosio-Budaya-Dengan-Fokus-Perhatian-Kalimantan-Barat.pdf Fadjar U. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi [Internet]. [diunduh 2013 Desember 18]. 24(1): 46-60. Tersedia pada: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE24-1d Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi DI, Smith R, Williams S. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Karikasari SN, Tapilatu MD, Maharani R, Rini DN, penerjemah; Kartikasari SN, editor. Jakarta (ID): The British Council. Terjemahan dari: Working with Conflict: Skills and Strategies for Action Hariharto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai (Kasus di DAS Kaligarang, Jawa Tengah). [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 264 hlm Idrus U. 2012 Juli 1. Upaya Pemerintah Sumsel Antisipasi Konflik Sosial. Antarannews Sumsel. Edisi Khusus [Internet]. [diunduh 2014 Februari 11]. Tersedia pada: http://www.antarasumsel.com/berita/264161/upayapemerintah-sumsel-antisipasi-konflik-sosial [KPA]. Konsorsium Pembaruan Agraria. 2012. Laporan Akhir Tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 25]. Tersedia pada: http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2011/11/LaporanAkhir-Tahun-KPA-2012.pdf [Mendagri RI] Menteri dalam Negeri Republik Indonesia. 2012. Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan. Banyuasin (ID): BPMPD Kab. Banyuasin Musdalifah. 2007. Konflik Agraria dalam Relasi antara Perusahaan Perkebunan dengan Masyarakat (Kasus Konflik antara Petani dengan PT. PP Lonsum di Kabupaten Bulukumba). Jurnal UNHAS [Internet]. [diunduh 2013 Desember 25]. Hlm 1-11. Tersedia pada: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/f37a36b6ee43f77056c67e2905ac9798.p df Newcomb et al. 1978. Psikologi sosial. Penerjemah; Ny. Yoesoef Noesjirwan. Bandung [ID] : CV. Diponegoro Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta [Perda] Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat Nomor 6 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan
83
[Perda] Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Pekebunan [Permen] Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Pruitt DG, Rubin JZ. 2011. Teori Konflik Sosial. Soetjipto HP, Soetjipto SM, penerjemah; Khatamie M, editor. Jakarta (ID): Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement Rianse U, Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta (ID): Alfabeta Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3S Subagyo. 2014 Januari 3. Sektor Perkebuunan Sumbang Devisa 21,4 Miliar Dolar AS. Antaranews. Ekonomi [Internet]. [diunduh 2014 Februari 11]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/412361/sektor-perkebunansumbang-devisa-214-miliar-dolar-as Taylor SE, Peplau LA, Sears DO. 2009. Psikologi Sosial. Wibowo T, penerjemah. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Grup. Terjemah dari: Social Psychology. Ed ke-12 [UU] Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Widianto W. 2014 Januari 2. IPW: Waspadai Konflik Sosial Tahun 2014. Tribunnews. Politik [Internet]. [diunduh 2014 Februari 10]. Tersedia pada: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/02/ipw-waspadai-konfliksosial-tahun-2014 Widiyanto. 2013. Potret Konflik Agraria di Indonesia. Jurnal Bhumi [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 6]. 37 (12): 15-27. Tersedia pada: http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal%20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012-203.pdf
85
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Desa Sukadamai, Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan
Keterangan: : Desa Sukadamai
86
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
Jalan masuk desa dan lingkungan kantor desa
Kondisi Kebun Plasma Sawit Desa Sukadamai
Wawancara dengan petani plasma sawit
87
Lampiran 3 Kerangka sampling No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Nama Yln Arb Ryd Mry Mht Dso Usm Aba Abr Wyt Dmy Abs Sae Bur Arf Nar Adi Str Adm Jab Sal Ahm Jum Saw Sak Ams And Anw Ari May End Sub Ase Ash Atm Bad Bai Nry Sun Alp Bar Usm Suw Brd
No. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231. 232. 233. 234. 235. 236. 237. 238. 239. 240. 241. 242. 243. 244. 245. 246. 247. 248. 249. 250. 251. 252. 253. 254. 255. 256. 257. 258. 259. 260. 261. 262. 263. 264. 265.
Nama Sri Rin Mmd Mul Mhm Mks Mgw Slmo Smh Drn Smn Ssw Mrn Mtj Nnk Mrt Nyd Ned Tts Srj Lla Isl Tgs Plg Mty Myn Jmi Htl Mun Plb Mmr Eni Skn Nhd Gud Msm Mdh Mua Mdu Kom Sut Suo Mdr Hmd
88
45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.
Bry Was Rio Lwt Ags Bas Syt Bkr Bej Bud Dar Bon Fat Bdm Car Tts Spg Jjr Ttg Zul Kad Mry Puj Tar Day Roh Ddr Maj Sam Sdk Tgm Dlm Kan Dry Mrk Drj Drw Tgs Sut Dwy Ddh Ags Gun Ddi Pal Efn
266. 267. 268. 269. 270. 271. 272. 273. 274. 275. 276. 277. 278. 279. 280. 281. 282. 283. 284. 285. 286. 287. 288. 289. 290. 291. 292. 293. 294. 295. 296. 297. 298. 299. 300. 301. 302. 303. 304. 305. 306. 307. 308. 309. 310. 311.
Mhb Mtr Ujh Sta Was Sai Usd Sfl Mln Sun Sjn Mrw Mjy Mfg Umi Hot Ysn Sta Tfr Syq Jum Nrl Clm Toh Mah Spn Srm Iml Agt Nhd Bae Snr Sdo Jko Srji Rob Adn Ttr Krm Ded Kom Msm Kwn Jje Brw Nym
89
91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136.
Imr Eng Dmr Prd Gdw Had Hbs Bat Hrn Uji Mar Wgt Hds Hdk Jks Har Hyn Hsn Toh Usm Syt Sun Ida Idg Tts Fat Dan Idw Ben Ikd Lasmini Arf Ism Isn Inn Pts Sri Irn Jks Suk Jje Jmr Khs Twn Jor Jdn
312. 313. 314. 315. 316. 317. 318. 319. 320. 321. 322. 323. 324. 325. 326. 327. 328. 329. 330. 331. 332. 333. 334. 335. 336. 337. 338. 339. 340. 341. 342. 343. 344. 345. 346. 347. 348. 349. 350. 351. 352. 353. 354. 355. 356. 357.
Hzr Khr Pon Sya Drj Nay Prn Est Why Srt Tls Agr Zai Mad Umn Tri Amn Sup Mdw Sal San Mgd Mtf Ykn Knd Kmn Syt Rjn Yut Sar Kms Sob Nar Wrn Nur Ims Thr Kem Ram Dar Sum Uju Rud Bar Slr Rom
90
137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182.
Rod Jmd Jur Jsm Kbl Bdm Nrj Bdr Mmt Ysm Ira Sbg Krj Roj Khb Sat Skn Ban Imz Hdr Ksn Ksd Sod Kas Kso Ksw Imr Mus Khn Khd Khm Kra Klt Kmr Kmd Mut Kmi Kts Tti Kus Myn Kun Rsd Man Mbs Wgt
358. 359. 360. 361. 362. 363. 364. 365. 366. 367. 368. 369. 370. 371. 372. 373. 374. 375. 376. 377. 378. 379. 380. 381. 382. 383. 384. 385. 386. 387. 388. 389. 390. 391. 392. 393. 394. 395. 396. 397. 398. 399. 400. 401. 402. 403.
Syf Ags Sti Smrj Skm Mib Mde Sgn Sfr Mta Umr Ccp Prw Pjo Isk Amz Tot Srn Mjb Khs Asp Wat Tur Mja Snh Mdr Ily Drj Mhr Gdl Snu Arf Bhd Snt Zan Omo Sbn Msp Usd Her Mas Mty Sbd Rsm Smg Skj
91
183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219. 220. 221.
Drj Mmf Mhd Sry Mrr Mds Wsm Mdk Mng Swr Nno Mdk Prd Abn Mad Msd Msk Ytm Pmn Snh Rbn Drw Nsy Mhtr Nkd Sdr Mswt Mhd Hds Deh Shy Min Mtj Mdj Mks Reb Sdn Eng Mks
Keterangan: : Responden
404. 405. 406. 407. 408. 409. 410. 411. 412. 413. 414. 415. 416. 417. 418. 419. 420. 421. 422. 423. 424. 425. 426. 427. 428. 429. 430. 431. 432. 433. 434. 435. 436. 437. 438. 439. 440. 441. 442.
Ibu X Akh Slh Yas Ryd Msm Mst Yat Hry Ini Spr Syn Mzk Mtf Sti Kmi Wry Spm Rdn Efd Khe Srt Mgn Slm Jji Nir Wsr Jbr Smgn Prb Hsb Nyd Msn Drm Kntr Syk Srjo Rpn Ghb
92
Lampiran 5 Hasil olah data SPSS 1. Hubungan pengetahuan kemitraan PIR (komponen kognitif) dengan perilaku konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.020
4.271
1
.039
5.491
1
.019
5.406 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
.038
Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases
5.316
1
.019
.021
60
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,50. b. Computed only for a 2x2 table
2. Hubungan perasaan terhadap kemitraan PIR (komponen afektif) dengan perilaku konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
1.000
.000
1
1.000
.000
1
1.000
.000 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
1.000
Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases
.000
1
.626
1.000
60
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,00. b. Computed only for a 2x2 table
3. Hubungan keinginan bekerjasama dalam kemitraan PIR (komponen konatif) dengan perilaku konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
a
1
.150
.517
1
.472
2.842
1
.092
2.069 b
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases
Exact Sig. (1sided)
.492 2.034
1
.154
60
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,00. b. Computed only for a 2x2 table
.246
93
4. Hubungan sikap pada kemitraan PIR dengan perilaku konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
a
1
.071
2.403
1
.121
3.301
1
.069
3.270 b
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases
Exact Sig. (1sided)
.120 3.216
1
.073
60
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,50. b. Computed only for a 2x2 table
.060
94
Lampiran 6 Data kualitatif Status Pengelolaan “...di sini mba, tidak ada warga yang kerja di kebun plasmanya, karena yang mengelola kebun plasmanya ya cuma perusahaan. Kita tinggal tunggu hasil bulanan itu aja. Itu pun perbulannya sedikit, tidak cukup buat makan....” (Shy, 31thn) “ ...ya anggota koperasi kami (KSU Al-Barokah) sedikit beda mba dengan yang ikut perusahaan, kalo di sini kita maunya kebun plasma, kita yang rawat sendiri, supaya kita tau gimana keadaannya. Kalo di perusahaankan (KUD MTJ) kita gak tau apa-apa, liat aja kebun yang disana ndak terawat...” (Tmj, 64 tahun, Pengurus KSU Al-Barokah) Keterlibatan dalam Kelompok Koperasi “ ... saya memang dari awal tidak berminat mau ikut plasma sawit mba, saya juga dibujuk-bujuk supaya ikut, tapi saya tetep ndak mau. Eh, lahan saya malah ikut dibuka dan digarap sama PT. Jadinya, saya jadi petani plasma juga, tapi saya ndak mau ikut kumpulankumpulan koperasi, saya netral aja.” (Syk, 72 tahun). “... kalau saya sih hanya ikut datang kalau diundang, tapi jarang bertanya. Maklum orang bodoh ya, saya juga males nanya-nanya biar orang-orang yang pengurus saja yang ngomong dengan orang PT.”(Srj, 75 tahun). “...kalau kumpulan bapak tidak pernah ikut lagi neng. Sekarang bapak sudah ndak pernah diundang lagi, kalau dulu pas bapak masih lebih muda sih sering dapet undangan.” (Mhm, 86 tahun) Intensitas Komunikasi “...sosialisasi sih pernah neng dulu-dulu, malah sering kalau awalawal adalah 5 kali mungkin. Ngejelasin kalau nanti bagi hasilnya gini-gini... bagi tiga, petani, perusahaan sama bank.” (Smh, 62 tahun) “...gak pernah neng, kalo kumpulan koperasi ya ngomonginnya tentang plasma sawit, hasilnya gimana, dipupuk gak, sama itu tuh jalan rusak yang bikin trek sawit dak bisa keluar. Gak pernah ngomongin yang lain.” (Sdr, 50 tahun) “...jarang sih neng ngobrolin plasma sama petani lain, ya paling sama ketua kelompok aja kalo lagi bagi hasil bulanan. Kalo sengaja nanya-nanya ya gak pernah. Ya sama sesama petani aja ya jarang ya, apalagi ke pemerintah. Gak pernah saya.” (dr, 50 tahun)
95
“Kalau sekarang kami sudah ndak begitu memantau terlalu ini banget kalau tadinya masih ini yo kami agak sedikit ini, sekarang sudah artinya lepas biarkan yang lebih terbaik tentang isi apa yang terlibat.” (Prb, 50 tahun) Sikap “ ... ya saya tidak tahu kalau yang lain gimana pendapatnya, tapi kalo saya sih ngerasa gak ada untungnya, malah rugi. Sebulan cuma dapet seratus sampe dua ratus ribu aja. Kalau dibandingkan dengan yang punya sendiri (kebun sawit non-plasma) sebulan bisa dapat lebih dari dua juta perhektar.” (Ddh, 35 tahun) “kita sih ya, dulu mikirnya nanti uang dari kelapa sawit bisa buat nyekolahin anak tinggi-tinggi ya... malah boro-boro buat biaya sekolah. Buat makan hari-hari aja gak cukup neng...”(Nsy, 50 tahun) “...potongan hasil TBS awalnya tidak boleh lebih dari 5%, tapi nyatanya pernah dipotong sampai 29%” (Tmj, 64 tahun, Pengurus KSU Al-Barokah). “ Ya, gimana yah... emang jalan desa jadi lebih bagus setelah dibuka kebun sawit. Tapi itulah, hanya jalan utama saja yang dikasih aspal sama perkerasan, jalan kampungnya sih masih becek. Jadi, kalau hujan juga sama saja kadang kelapa sawit yang sudah dipanen busuk gara-gara ndak bisa keluar.” (Jjr, 38 tahun). “Kalau setiap kumpulan sih kita dikasih tau dapetnya berapa per hektarnya, kita juga sering dikasih selembaran. Tapi ya kitanya gak ngerti bacanya. Kalau mau tau hutang kita tinggal berapa di bank ya, harus nanya langsung, kalau gak nanya ya kita ndak tau.” (Syk, 72 tahun, ketua kelompok plasma) “Gak pernah ada itu perusahaan ngasih-ngasih tau uang kita kemana aja dipakenya, paling ya yang tau orang-orang koperasi aja. Kalau ke petani sih jarang dikasih tau.”(Skn, 45 tahun) ”...ya gimana yah nak, Ibu juga pernah ikut kemitraan seperti ini dengan perusahaan waktu Ibu masih tinggal di Bangka. Ibu juga punya lahan kelapa sawit di sana. Tapi, sampai sekarang lahan Ibu sertifikatnya belum dikembalikan sama perusahaannya, padahal kerjasamanya sudah selesai, sudah dari lama. Yah, alhamdulillahnya sih kelapa sawitnya sudah dijual sendiri, tidak dari perusahaan lagi. Jadinya, hasilnya juga lumayan. Nah, ibu takutnya kemitraan yang disini gitu juga...”(Hot, 50 tahun) “...iya, itu kan yang dikoperasi (Al-Barokah) semua keluarga ibu, katanya lagi diurusin supaya bisa berenti dari perusahaan. Mau
96
mandiri aja, supaya nanti kopersinya jadi, itu koperasi yang paling besar juga disini...” (Sar, 50 tahun) Bentuk Interaksi “...iya saya ikut Al-Barokah, soalnya itu keluarga semua. Itu koperasinya beda sama yang dulu. Kalau dulu masih sama perusahaan dapetnya sedikit... seratus dua ratus. Untuk satu bulan ya ndak cukup nduk. Sekaranga aja ibu sebulan baru bisa dapet satu juta pas pindah koperasi, itu juga buat satu petak, kalau kata yang punya kebun sendiri sih satu hektar bisa dapet lima juta kalau buahnya buah bagus.Teruskan kemaren jadinya kita bikin koperasi sendiri. Al – Barokah itu dulunya cuma koperasi untuk keluarga. Tapinya ya karena ada ini yah jadinya tetangga ikut semua. Iya, itu kan yang dikoperasi (Al-Barokah) semua keluarga ibu, katanya lagi diurusin supaya bisa berenti dari perusahaan. Mau mandiri aja, supaya nanti kopersinya jadi, itu koperasi yang paling besar juga disini.” (Sar, 50 tahun) “ya gimana yah... lanjutin ajalah neng tanggung, kalau bisa berenti sih dari dulu bapak udah berenti neng.” (Sdn, 50 tahun). “ya, mau gimana lagi neng, mau gak mau ya kita harus lanjut. Kalau kita gak mau lanjut surat tanah kita harus kita tebus sendiri dong neng. Bayar 52 juta ke bank”(Rpn, 50 tahun) “saya sih sudah gak mau lanjut mba, ini juga saya lagi proses untuk jual kebun plasmanya, sudah ada yang mau beli. Jadi nanti yang jadi petani plasma bukan saya lagi.” ( Ibu X, 40 tahun) “...kalau yang lain gimana? Saya sih ikutan aja gimana yang lain. Kalau yang lain ikutan pelatihan ya saya ikutan juga.” (Jdn, 32 tahun) “ Kalau saya yah... pikir-pikir dulu deh, saya gak bisa jawab mau ikut apa tidak. Tergantung nanti saja. Kalau memang bener pelatihannya ya mungkin ikut, kalau cuma kayak kumpul-kumpul biasa saya males, buang-buang waktu.”(Slm, 33 tahun). “Sampai sekarang saya belum tandatangan MoU yang baru tuh, saya gak mau. Saya maunya tahun ini surat tanah saya dikembalikan, tidak mau lanjut plasma lagi.” (Sbn, 52 tahun). “...disini seringkali unjuk rasa, tapi masih gebrakan santun, demo damailah kito sebutnyo. Pernah ada tigo kali demo disini. Nah, pas demo ini juga kami ikut untuk mengantisipasi agar tidak memanas, jadi penengahlah. Sempet ado rapat akbar disini yang dihadiri oleh kepolisian, perkebunan, keperindag, disbun, petani, KUD, perbankan
97
sebagai penyandang dana, perusahaan. Oh... penuh disini, gempuran demi gempuranpun dan tuntut-tutan itu. Ya saat itu, jawaban mereka iyo akan kami laksanakan, tapi yo setelah kito itu yo mereka diem lagi. Jadi dio bergerak kalau ada dorongan. Itu yang bikin kito kesel.”(Prb, 50 tahun) Potensi Konflik “Pertama kali perusahaan itu sebagai ayah angakat, awalnya CV terus setelah berjalan tiga tahun jadi PT. Nah tinggal sampe take over, sudah sampe 3 kali take over. Sempat bahkan waktu kapan presdirnya turun dikirim oleh petani disuruh melihat kondisi kebun sampe yang bersangkutan angkat tangan menyerahkan diri, mundur dari ini. Take over lagi karena tak sanggup lagi melihat kondisi kebun. Dak layak. Karena kecurangan daripada oknum di lapangan dan oknum menejemen mereka di lapangan. Petanikan hanya dalam kapasistasnya di situ kan hanya sebagai pemilik lahan, memberikan kuasa kepada perusahaan dengan mebolehkan sertifikat diagunkan ke bank. Dana turun dari bank yang mengelola perusahaan. Mereka modal teken bae, dak tau menau...sehingga take overlah dua kali... dan akhirnya entah bagaimana ada istilah perusahaan yang baru ini untuk birokaris dan administrasi masih menggunakan nama perushaan awal padahal sudah tangan yang ketiga.” (Prb, 50 tahun. Informan) “Tadinya memang satu koperasi tapi sehubungan dan lain sebagainya sehingga ada iya dibagi dua, belum lama KSU Al-barokah sekitar tahun 2012 kalau gak salah atau 2013. Masih di bawah PT, jadi sistemnya bagi hasil perusahaan.”(Prb, 50 tahun.Informan) “Kalau sejauh ini petani dengan perusahaan ada perjanjian, ada MOU nyo. Hanya memang cukup unik disisni sehingga plasma ini agak sedikit kurang sesuai apa yang jadi harapan petani. Karena di Mou pun posisinya petani dalam keadaan lemah. Sehingga dalam perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh petani dan lain sebagainya ini kan kurang kuat karena tadi posisinya. Sehingga bahkan sudah berulang kali melakukan unjuk rasa bahwa petani menuntut hak petani, perusahan dituntut kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap kebun, namun ya... bahakan kita sampe ke tingkat gubernur bupati, bahkan sempat waktu kapan itu bupati langsung yang memipin dari pada rapat antara petani koperasi, moderator beliau langsung yang memimpin, biasanyakan hanya melalui kepala dinasnya ini bupatinya langsung karena tadi daruranya keadaan. Itu kurang lebih tahun 2009 2010 diantara tahun itu yang cukup besar. Unjung rasa dulu nemen, bahkan sempet disegel kantor, orang perusahaan sempat ketakuatan. Bahkan hampir satu bulan.” (Prb, 50 tahun. Informan)
98
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Farhatul Hanifah Amalia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 November 1992 dari pasangan Nanang Rohadi dan Ika Nuryani. Penulis telah menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 243 Palembang pada tahun 1998-2004, pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 04 Palembang pada tahun 2004-2007, dan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 18 Palembang pada tahun 2007-2010. Penulis kemudian diterima menjadi mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan formal di IPB, penulis aktif mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi dan kepanitiaan. Pada periode tahun 20102011 penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia (IMPEMA). Selain itu penulis juga dipercaya sebagai sekertaris divisi PAUD di Desa Mitra Mahasiswa Ekologi Manusia (SAMISAENA) yang merupakan salah satu kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) pada tahun 2010-2011. Setelah resmi menjadi mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, penulis menjadi sekertaris divisi Broadcasting di Himpunan Mahasiswa peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) tahun kepengurusan 2011-2012 dan menjadi anggota aktif pada periode 2012-2013. Penulis juga pernah menjabat sebagai sekertaris umum kepanitiaan Himasiera Olah Talenta (HOT) pada tahun 2013. Selain itu penulis aktif dalam kegiatan organisasi daerah Mahasiswa Sumatera Selatan (IKAMUSI). Penulis juga memiliki pengalaman kerja sebagai staff pengajar bimbel KARISMA PRESTASI pada tahun 2011-sekarang.