SIKAP MASYARAKAT GARUT TERHADAP KEBERADAAN PERDA NO.2 TAHUN 2008 TENTANG PERBUATAN ANTI MAKSIAT DI KAB. GARUT I. PENDAHULUAN a. Gambaran Umum Wilayah Monitoring Secara geografis Kabupaten Garut yang memiliki luas wilayah sekitar 3.066,88 Km² secara geografis terletak diantara 60 57’34” – 70 44’57” Lintang Selatan dan 1070 24’3” – 1080 24’34” Bujur Timur dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Kab. Sumedang dan Kab. Bandung, sebelah timur berbatasan dengan Kab. Tasikmalaya, sebelah selatan berbatasan dengan samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kab. Cianjur dan Kab. Bandung. Rata rata penghuni setiap km2 dihuni oleh 742 jiwa dengan sebaran yang tidak merata. terakumulisasi di daerah perkotaan, khususnya di kecamatan Garut Kota dengan tingkat kepadatan penduduk setiap Km² nya mencapai 5.431 jiwa sedangkan tingkat kepadatan terendah terdapat di kecamatan Pamulihan yang hanya didiami oleh sekitar 130 jiwa setiap Km². Adapun pemerintah kabupaten Garut telah memiliki 42 kecamatan dan 403 desa dan 21 Kelurahan. Berdasarkan Garut dalam angka tahun 2007, jumlah pemeluk agama Islam di Kaupaten Garut sebesar 2.225.241 jiwa dari jumlah penduduk Garut 2.274.973 jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang, mubaligh 3.618 orang dan khotib 5.917 orang. Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kab. Garut sebanyak 988 buah dengan jumlah santri mukim 64.586 orang dengan pengasuh 6244 orang. Adapun jumlah mesjid 4297 buah, langgar 6.677 buah dan mushola 3.571 buah. Kabupaten Garut dikenal sebagai salah satu kota santri di wilayah Priangan Timur Jawa Barat. Hal ini mungkin karena masyarakat Garut yang mayoritas Muslim dan terdapat banyak pesantren dan aktivitas keagamaan. Nuansa agamis Garut ini memang terasa kental. Hampir di setiap wilayah Kabupaten Garut akan dengan mudah ditemui lembaga pendidikan Islam dengan beragam kegiatan. Sehingga menjadikan Garut sebagai daerah yang disebut gudangya santri sekaligus gudangnya kyai. Keadaan masyarakat seperti itu menjadi hal yang cukup signifikan dalam mempengaruhi setiap gerakan dalam memunculkannya kebijakan kebijakan pemerintahan ataupun kebutuhan maupun tuntutan publik secara langsung sesuai dengan kondisi dan potensi kedaerahan. 1
Seperti halnya desakan untuk segera dibuatkannya Perda Anti Maksiat, Perda Wajib Belajar di Madrasah Diniyah, Perda Zakat, dll. Pada saat ini Peraturan Daerah yang berupaya mengimplementasikan formalisasi syari’at Islam dengan menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat yang merupakan penajaman dari Perda No.6 tahun 2000. Sebagaimana permasalahan kesusilaan terdapat 210 kasus, sementara miras dan perjudian tidak ada, kecuali dalam item lain lain sebanyak 276 kasus. Adapun kasus lainnya yang ditangani oleh kepolisian sesuai supremasi hukum dalam UU Pidana baik khusus seperti pencurian, penipuan, norkatika dan tindakan kriminal lainnya sebanyak 2319 kasus. Keadaan tersebut tidak lepas dari upaya pemberlakuan syari'at Islam di Garut diawali dengan adanya aspirasi sekelompok masyarakat yang menuntut penegakan dan penerapan syari'at Islam. Mereka menyampaikan aspirasinya di hadapan Lembaga Kehormatan DPRD kabupaten Garut pada hari Senin tgl. 7 Januai 2002. Atas dasar aspirasi sekelompok masyarakat tersebut, lahirlah "Lembar Pengesahan dan Kesepakatan Penegakan dan Penerapan Syari'at Islam". Kemudian klimaks arus gerakan terjadi pada tangal 1 Muharram 1423 H (15 Maret 2002) yaitu dideklarasikannya Syari’at Islam melalui
Lembaga Pengkajian, Penerapan dan Penegakkan Syari’at Islam (LP3SyI) di Kabupaten Garut. Sayangnya, kesan dan nuansa
politis dari deklarasi ini lebih kental dibandingkan dengan semangat menjadikan agama sebagai rahmatan lil ‘alamin. Menjadi harapan bersama, dimana kehidupan beragama khususnya di Kabupaten Garut senantiasa harus dikembangkan dan diarahkan melalui peningkatan akhlaqul karimah sebagai strategi keteladanan umat, peningkatan keistiqomahan, i'tiqad Islamiyah serta nilai nilai peribadahan demi kepentingan bersama guna membangun masyarakat yang adil dan makmur, tata tengtrem kerta raharja menuju ridlo Allah. Hal ini mencerminkan bahwa potensi umat Islam di Kabupaten sangat luar biasa, akan tetapi apakah potensi ini akan menjadi beban umat Islam sendiri atau menjadi modal sebagai warga masyarakat dalam menuju khoiru ummah sebai k baiknya umat. Nampaknya, kesadaran masyarakat untuk menumbuh - kembangkan atau meningkatkan kualitas kehidupan beragama terlihat dari maraknya berbagai kegiatan keagamaan mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten meskipun tidak ditunjang dengan ketersedian fasilitas yang memadai. Namun, kondisi tersebut berbanding dengan tantangan era informasi dan globalisasi, disamping pragmatisme hedonistis dan permisif yang jauh dari nilai dan norma agama serta adat ketimuran.
2
b. Gambaran Umum PERDA PEKAT Kab. Garut Sebelum ditetapkan keputusan Perda No 2 Tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat, telah ada Perda no. 6 tahun 2000 tentang Kebersihan, Ketertiban dan Keamanan. Namun Perda ini sering kali diprotes oleh masyarakat yang merasa dirugikan, terutama para pedagang kaki lima, bahkan sering kali terjadi sweeping terhadap kupukupu malam dan juga pembakaran terhadap warung-warung yang diindikasikan melayani hidung belang. Karena Perda No. 6 tahun 2000 dianggap masih terdapat kelemahan, maka sebagai penyempurnaan dari perda tersebut dibuatlah Peraturan Daerah (Perda) No 2 tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat. Perda Anti Maksiat tersebut dimaksudkan sebagai payung hukum bagi pemerintah daerah dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang terbebas dari segala bentuk kemaksiatan. Tujuan dibuatnya perda tersebut, untuk meningkatkan ketertiban, keamanan, serta menciptakan kehidupan masyarakat yang selaras, serasi, seimbang sesuai dengan nilai-nilai etika, moral dan agama yang diyakini oleh masyarakat di daerah, sehingga terwujud kesalehan sosial guna mencapai visi dan misi Kab. Garut yaitu, Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Raharja menuju ridlo Allah SWT. Sementara ruang lingkup Perda Anti Perbuatan Maksiat ini meliputi perbuatan kemaksiatan yang terdiri atas larangan pelacuran, larangan pelanggaran kesusilaan, dan larangan minuman beralkohol. Perda tersebut lahir atas dasar hak inisiatif DPRD Kabupaten Garut, setelah mendapat tekanan dari sebagian elemen masyarakat Garut yang menghendaki adanya Perda tersebut. Perda tersebut, dibuat ketika kondisi Pemerintahan Kabupaten Garut berada dalam tekanan berbagai pihak. Dimana stabilitas lembaga Pemerintah Garut, baik Pemkab maupun DPRD sedang diguncang dengan berbagai persoalan baik dalam skala nasional dengan tema reformasi maupun beragam persoalan daerah baik ekonomi, pendidikan, sosial budaya maupun politik, namun yang paling aktual adalah kasus korupsi di kedua lembaga tersebut baik eksekutif maupun legislatif. Tekanan (Presure) yang dilakukan terhadap lembaga pemerintah tersebut semakin deras dan terasa ketika gelombang unjuk rasa dari hari ke hari dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa yang menginginkan terciptanya pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi. Kondisi tersebut membuat masyarakat hilang kepercayaan (Mosi Tidak Percaya) kepada lembaga pemerintahan kabupaten Garut. Disamping desakan dalam upaya mengantisipasi tindakan kesusilaan yang terkait para pekerja seks komersial, perjudian dan peredaran miras yang dapat meresahkan ketertiban dan keamanan masyarakat.
3
c. Metode
1. Alasan Pemilihan Tempat •
• • •
Kabupaten Garut menjadi salah satu kabupaten yang memiliki nilai spirit ideologis politis secara historis kedaerahan dengan adanya gerakan dan upaya penegakkan syariat Islam Kabupaten Garut telah mendeklarasikan syariat Islam melalui LP3Syi Kabupaten Garut menjadi salah satu kabupaten generasi pertama yang mampu menetapkan PERDA Zakat sebagai salah satu upaya implementasi syariat Islam Kabupaten Garut menjadi daerah yang memiliki basis kegiatan agama dan pendidikan agama yang cukup kuat, sehingga diharapkan mampu teraktualisasikan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
2. Pendekatan Monitoring yang digunakan ;. • •
•
Wawancara dengan stakeholder terdiri dari elemen DPRD, Instansi Pemerintah, DEPAG, MUI, ORMAS dan warga masyarakat sekitar Observasi lapangan dan peristiwa ; Lokasi dan peristiwa yang pernah terjadi di sekitar lokasi Kec. Garut Kota (Jl. Pramuka, Jl. A.Yani), Kec. Tarogong Kidul / Kaler (Terminal Guntur, Jl. Merdeka ; Losmen Kota Baru, Sekitar Lapang Kerhkof, Simpang Lima dan Komplek Pemandian Cipanas), Kec. Cilawu (Tempat Rekreasi Ngamplang) dan Kec. Pameungpeuk ( Lokasi Pantai Santolo dan sayangheulang). Adabeberapa lokasi yang tidak sempat diobservasi antara lain Kec. Kersamanah dan Kec. Malangbong (Jl. Garut – Tasikmalaya) serta Kec. Kadungora ( daerah Jl Cijapati menuju Kab. Bandung). Observasi media massa ; Adapun observasi media dilakukan dengan kunjungan langsung ke Redaksi Garut Pos, Radar Garut dan Priangan serta media elektronik Radio Intan. Adapun informasi kliping media terkait peristiwa dan perda pekat diperoleh dari pihak Humas Pemkab Garut.
d. Tujuan 1. Untuk memahami proses dan alur penetapan keputusan Perda Pekat Kab. Garut 2. Untuk mengetahui materi Perda Pekat di Kab. Garut 3. Untuk Mengetahui implementasi perda pekat di Kab. Garut
4
II. ELEMEN PELAKSANAAN MONITORING 1. Wawancara Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa nara sumber yang terkait dengan PERDA PEKAT di Kabupaten Garut dari mulai ide maupun gagasan perda, proses penyusunan dan penetapan keputusan yang berlangsung ; Pertama, bahwa PERDA ini sebagai penajaman dan penyempurnaan dari perda no. 6 tahun 2000 tentang kesusilaan. Kedua, sebagai bentuk akomodir DPRD terhadap keinginan masyarakat yang menghendaki adanya satu peraturan yang dapat dijadikan payung hukum dalam upaya memberantas segala bentuk kemaksiatan. Ketiga, karena semakin maraknya bentuk-bentuk kemaksiatan yang terjadi di masyarakat Kabupaten Garut. Sekalipun pada dataran proses penyusunan, masih terdapat persoalan bagaimana gagasan tersebut disosialisasikan terlebih dahulu sebagai bahan masukan untuk penetapan PERDA, katakanlah melalui RAPERDA. Ada beberapa nara sumber yang sama sekali tidak tahu menahu tentang PERDA tersebut. Bahkan ada beberapa nara sumber yang pernah dilibatkan dalam proses penyusunan awal RAPERDA, yang kemudian tidak dilibatkan lebih lanjut. Pembentukan perda ini tidak melibatkan yang lain atau adanya partisipasi elemen warga masyarakat yang konsen dalam hal moralitas, bahkan NU sebagai ormas Islam tidak dilibatkan, sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Ketua PD Muhammadiyah Garut. Jadi bagaimana kita dapat menginformasikan kepada masyarakat. Seharusnya semua stakeholders itu diundang. Bisa jadi perda tersebut menjadi alat puku bagi kepolisian untuk bekerjasama dengan para pelanggar hukum. Signifikansi dukungan serta beberapa bentuk dukungan secara moril tentu setelah PERDA ditetapkan. Namun, dukungan tersebut pada dasarnya hanya bersifat subtantif bahwa karena PERDA tersebut bagaimana mencegah tindakan maksiat seperti prostitusi (pelacuran), perjudian dan minuman keras. Padahal bagaimana isi materi dan mekanisme penanganan implementasi PERDA masih menyisakan beragam persoalan belum dapat disikapi. Implementasi Perda tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara optimal, mengingat berbagai hal yang berkaitan dengan tujuan peratuaran tersebut. Seperti anggaran yang minim, tempat pembinaan (rehabiliatasi) secara khusus tidak ada, pelatihan-pelatihan jarang dilakukan, dll. Akhirnya yang terjadi adalah “pembinaan” yang bersifat informatif dan sesaat, tidak substansif, hanya diberitahukan bahwa pelaku melanggar peraturan tersebut. Kurangnya profesionalisme aparat pun menjadi bagian ketidaksempurnaan dari kebijakan tersebut.
5
Barangkali diawal ini pun sudah menjadi permasalahan baik secara prinsip maupun teknis sebuah kebijakan publik tidak disiapkan bahkan direncanakan sebagaimana mestinya sebagai payung hukum untuk dapat mencegah seseorang berbuat maksiat. Namun ada beberapa hal yang memang perlu untuk dikritisi berkaitan dengan materi / isi dari perda tersebut dan juga langkah selanjutnya setelah perda itu dibuat. Bagaimana dalam proses pembinaan terhadap para pelaku pelanggar perda tersebut baik PSK maupun Waria dan hidung belangnya, selain dengan proses pembinaan yang ada di lingkungan pemerintah (Panti sosial/Rehabilitasi), seyogianya perlu dilakukan proses pembinaan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan alternatif seperti Pendidikan Islam yaitu Pondok Pesantren baik yang tradisional maupun modern yang ada di Kabupaten Garut. Sementara ruang lingkup maupun parameter pelaksanaan PERDA PEKAt serta intervensi program dari Implementasi kebijakan tersebut baik DPRD hanya sebatas lembaga yang berfungsi sebagai pembuat dan pengawas dalam penerapan perda tersebut. Sementara, yang melaksanakan di lapangan, baik berupa sosialisasi maupun penerapan secara tekhnis dilaksanakan oleh pihak eksekutif antara lain Bagian Hukum, Satpol PP, Dinas Sosial dan instansi-instansi terkait lainnya. Masih belum terasa adanya perubahan yang signifikan terhadap prilaku maksiat di masyarakat, ada dan tidak adanya peraturan kondisi masyarakat tetap sama. Sehingga mereka menilai bukan lagi pada aspek peraturan secara tekstual, tetapi pada tatanan implementasi. Pemerintah Kab. Garut dengan segala perangkat daerahnya memiliki keseriusan atau tidak untuk merealisasikan peraturan tersebut. Artinya mereka mendukung sekali terhadap peraturan ini, walaupun secara tekstual belum begitu mengetahui tentang peraturan tersebut. Dalam konteks korban baik dilihat dari latarbelakang, bentuk hukuman, waktu dan tempat, pihak-pihak yang terlibat dalam menertibkan pelakupelaku yang berada di jalanan, secara status sosial termasuk kelas masyarakat menengah ke bawah sedangkan komunitas pelaku yang berada di hotel-hotel tidak terjamah oleh peraturan tersebut. Implementasi perda tersebut menjadi kewenangan satpol PP. Polisi hanya berada di wilayah sisi tindak pidananya. Meskipun demikian dalam aksi di lapangan, pihak kepolisian memiliki program untuk melakukan operasi atau razia. Hal itu dilakukan dengan cara baik bersama dengan satpol PP ataupun secara terpisah. Pendampingan ketika dilaksanakan dan pembinaan pasca razia mereka yang terjaring operasi dididentifikasi dan selanjutnya diberikan pembinaan.
6
Untuk pembinaannya ada yang dilakukan di kabupaten Garut melalui BLK (Balai Latihan Kerja) dengan jangka waktu yang tidak terlalu lama. Mereka dibina dan diberikan modal. Ada juga yang dikirim ke Balai Sosial di Palimanan Cirebon dengan jangka waktu 6 - 8 bulan. Itupun bergantung pada anggaran yang tersedia atau MoU yang dilakukan antara pihak pihak instatnsi terkait baik lintas antardaerah dan provinsi. Untuk efektifitas pembinaan tersebut, memang persentase keberhasilan masih sangat minim terlebih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, karena hampir semua yang terjaring operasi memiliki latar belakang ekonomi yang kurang. Jumlah WTS yang terjaring dan dibina oleh Dinas Sosial itu lebih dari 90 orang, rata-rata mereka semua wajah-wajah lama. Sangat jarang terjadi salah tangkap terhadap pelaku yang diduga melanggar terhadap peraturan tersebut. Posisi korban dalam hal ini adalah orang yang melanggar terhadap Perda No. 2 Tahun 2008. korban bermunculan dari latar belakang yang berbeda dan memiliki motivasi yang berbeda. Untuk keperluan hal itu, tim investigasi berhasil menemui pelaku asusila (waria) di sekitar lapangan kerkhof. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang dinilai melakukan pelanggaran asusila. Kebiasaan mereka adalah menyukai sesama jenis. Dalam kehidupan masyarakat umum, mereka cenderung terasingkan dan memiliki komunitas tertentu yang sama dengan mereka. Umumnya meraka memiliki profesi ganda siang hari meraka bekerja ada yang sebagai pemilik salon ada juga yang profesi sebagai karyawan di salon tersebut. Dan malam harinya mereka biasanya berkumpul dan nongkrong di pinggir jalan sambil mencari lelaki yang dapat dijadikan teman kencannya. Biasanya yang menjadi teman kencannya yaitu sopir angkot, tukan ojeg, atau yang lagi mabuk. Perilaku malam hari inilah yang dijadikan sasaran oleh aparat untuk melakukan razia. Dalam kasus ini terdapat beberapa pihak yang dijadikan bahan analisis berkaiatan dengan implementasi Perda Anti Maksiat, antara lain pihakpihak yang melakukan bentuk asusila. Motivasi meraka melakukan hal itu adalah dua hal pertama kebutuhan ekonomi, kedua kebutuhan biologis. Berdasarkan pengakuan mereka, mereka tidak mengetahui adanya Perda No. 2 tahun 2008 tentang Anti Maksiat. Dalam kesempatan tertentu meraka pernah ditangkap kemudian diberi peringatan, setelah itu dilepas dan mereka berkeliaran kembali. Korban lain yang pernah terjaring operasi adalah Wanita Tuna Susila yang sering mangkal di Blok I pasar Guntur dan penjual miras di terminal Guntur. Adapun transkrip wawancara dengan beberapa nara sumber terlampir.
7
2. Pengamatan Lapangan dan Peristiwa Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten yang memiliki masyarakat mayoritas beragama muslim dan memiliki historis gerakan ideologi yang berbeda dengan daerah lain. Sisi lain dari gambaran masyarakat Garut adalah banyaknya jumlah pesantren baik modern maupun tradisional, banyak santri dan kiyai, banyak Ormas-ormas keagamaan, dll. Kondisi seperti itu secara tidak langsung memberikan semangat kepada generasi selanjutnya (baca: sekarang) untuk senantiasa menciptakan tatanan kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran-ajaran agama Islam, sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. Tatanan kehidupan yang dimaksud yaitu keadaan masyarakat yang terbebas dari prilaku yang bertentangan dengan norma-norma agama secara ataupun norma soial dan adat istiadat. Salah satu upaya untuk melakukan semua itu yaitu melalui jalur formal kepemerintahan, mereka menuntut kepada DPRD Kab. Garut untuk segara dibuat aturan yang berkaitan dengan penyakit masyarakat, yang kemudian lahir Perda No.2 tahun 2008 tentang Perbuatan Anti Maksiat. Perda tersebut merupakan Penajaman dari Perda sebelumnya yaitu Perda No.6 tahun 2000. Yang menjadi pertimbangan Perda tersebut harus dibuat yaitu, semakin maraknya bentuk-bentuk kemaksiatan yang terjadi di masyarakat seperti, pelacuran, perjudian, kekerasan yang diakibatkan oleh minuman keras, semakin maraknya penjualan minuman keras, perbuatan asusila, dll. Dan tentunya harapan masyarakat setelah muncul Perda tersebut yaitu prilaku-prilaku maksiat yang terjadi di masyarakat dapat di hilangkan. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, berkaitan dengan implementasinya, ternyata Perda tersebut sejak disahkan pada bulan Januari 2008 sampai sekarang belum berjalan dengan efektif dan belum ada perubahan yang signifikan. Banyak elemen masyarakat yang tidak tahu keberadaan Perda tersebut termasuk Ormas-Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan PUI Kab. Garut termasuk media lokal. Setelah dianalisis permasalahan yang muncul adalah kurangnnya sosialisasi kepada masyarakat berkaiatan dengan Perda tersebut. Selain masalah tersebut, yaitu pemerintah kurang serius menegakkan Perda tentang Anti Perbuatan Maksiat. Hal itu tercermin dari kurangnya sarana dan prasarana pembinaan terhadap pelaku pelanggaran Perda tersebut. Pola pembinaan yang cenderung formalitas tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi para pelaku pelanggaran. Bahkan ada
8
temuan yang cukup menarik yaitu jumlah WTS meningkat, Padahal Perda tentang Anti perbuatan Maksiat sudah ada. Beberapa tempat yang menjadi titik pemantauan yaitu, Lapangan Golf Ngamplang, kerkhof, Kota Baru, Blok I, Terminal Guntur, dll. Dari tempat-tempat tersebut perspektif pelaku ataupun korban berkaitan dengan implementasi Perda No. 2 tahun 2008 umumnya mereka tidak tahu tentang Perda terebut. Tetapi merekapun mengakui kalau di tempat-tempat itu sering dilakukan razia atau operasi. Sehingga diantara mereka ada yang pernah tertangkap, setelah ditangkap mereka dibina 1-2 hari kemudian di lepas atau diambil oleh germonya tetapi ada juga yang dibawa ke Balai Sosial di Palimanan Cirebon. Sedangkan untuk kasus minuman keras, pelaku hanya di BAP di tempat, diperingati, barang buktinya dibawa ke kantor, setelah itu dalam waktu yang tidak lama pelaku berjualan kembali. Faktor ekonomi yang kuat ditambah pemerintah tidak bisa memberikan solusi yang tepat, maka prilaku-prilaku yang melanggar perda tersebut akan terus berlangsung. Kemudian kalau dilihat dari tujuan semula dibuatnya Perda No.2 tahun 2008 seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 yaitu untuk meningkatkan ketertiban, keamanan, serta menciptakan kehidupan masyarakat yang selaras, serasi, seimbang sesuai dengan nilai-nilai etika, moral dan agama yang diyakini oleh masyarakat di daerah, sehingga terwujud kasalehan sosial guna mencapai visi dan misi Daerah (Garut pangirutan tata tengtrem kerta raharja menuju rido Allah SWT). Dan kalau tujuan itu dijadikan tolok ukur keberhasilan dari implementasi Perda tersebut ternyata masih jauh dari harapan masyarakat umum Garut. Observasi Media Massa. Pimpinan Redaksi Priangan, Bapak Edi, berkomentar, belum mengetahui perihal telah disahkannya Perda Perbuatan Anti Maksiat. Menurut Beliau, untuk mengesahkan suatu Raperda diperlukan anggaran yang tidak sedikit. Dan sampai saat inipun masyarakat mungkin banyak yang tidak mengetahui peraturan tersebut. Hal itu dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pihak Pemda kepada masyarakat. Dan pemda belum mampu memberikan solusi bagi para pelanggar perda ini. Selain itu kondisi sosial ekonomi masyarakat Garut juga merupakan salah satu faktor yang memicu maraknya pekat ini. Adapun ketika mengunjungi Pimpinan Redaksi Garut Pos, Bapak Mustafa Fatah, senada dengan yang lain kurangnya sosialisasi dari pemerintah dirasa kurang. Sehinnga banyak masyarakat yang tidak tahu tentang Perda No.2 tahun 2008 tentang Perbuatan Anti Maksiat. Untuk hal itu beliau menawarkan alternatif solusi dalam menyosialisasikan Perda tersebut yaitu dengan cara memasang Perda 9
tersebut di tempat-tempat umum sehingga semua orang mengetahui Perda itu. atau berkoordinasi langsung dengan pihak media untuk menyosialisakannnya. Namun sampai saat ini pihak Pemda belum melakukan hal tersebut.
10
III. KAJIAN KASUS Meningkatkan penghayatan peran kebergamaan sebagai wujud kualitas kehidupan beragama. Mengoptimalkan peran sarana dan prasarana peribadatan dan pendidikan keagamaan. Memelihara serta menumbuhkembangkan seni budaya dan tradisi sebagai identitas lokal daerah Sebelum adanya Perda No 2 Tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat, di Garut telah diterbitkan Perda no. 6 tahun 2000 tentang kesusilaan. Perda ini sering kali diprotes oleh masyarakat yang merasa dirugikan. Karena dengan Perda tersebut sering kali terjadi sweeping terhadap kupu-kupu malam dan juga pembakaran terhap warung-warung yang diindikasikan melayani hidung belang. Namun, pihak DPRD menganggap bahwa perda No. 6 tahun 2000 tersebut belum sempurna sehingga harus mendapatkan penajaman, dan sebagai realisasi dari penajaman tersebut lahirlah perda no 2 tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat. Akan tetapi kita melihat dalam konteks sosio-politik saat perda tersebut disahkan, konstalasi politik yang berkembang saat itu sesungguhnya sedang mengalami instabilitas. Karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPRD Kabupaten Garut sudah sangat melemah, disebabkan oleh terkuaknya kasus-kasus korupsi yang melanda hampir seluruh anggota Legislatif. Sehingga memunculkan mosi tidak percaya masyarakat terhadap anggota DPRD Kabupaten Garut. Melihat realitas sosial-politik yang terjadi saat itu, para anggota dewan melihat peluang untuk mengembalikan citra kepercayaan terhadap lembaga legislatif dengan mengesahkan Raperda tentang Perbuatan Anti Maksiat tersebut. Pengesahan Raperda tersebut, karena melihat realitas masyarakat Garut yang mayoritas beragama muslim, sehingga akan muncul kembali citra positif terhadap DPRD Kabupaten Garut. Jadi berdasarkan kondisi tersebut, kita memandang bahwa dibuatnya perda tersebut sangat kental nuansa politisnya dibanding dengan substansi masalah yang termaktub dalam perda tersebut. Hal itu diperkuat oleh pernyataan juru bicara PD Persis Garut yang mengatakan bahwa dibuatnya perda tersebut hanya “proyek” semata, bukan atas dasar kebutuhan masyarakat secara nyata. Dari sisi materi (Content) Perda, ada beberapa hala yang perlu untuk dikaji ulang. Hal tersebut antara lain, pengistilahan “Maksiat” yang masih debatable karena diterjemahkan secara sempit hanya berkaitan dengan Pelacuran, Minuman Keras dan Perbuatan asusila saja. Objek dari perda tersebut dinilai diskriminatif. Perda tersebut, hanya mencakup bentuk-bentuk “maksiat” yang dilakukan umumnya oleh masyarakat bawah. Hal ini dapat dilihat dari ruang lingkup implementasi perda tersebut. Sebagai contoh, yang sering menjadi sasaran dalam 11
operasi Miras hanya pedagang minuman keras yang berada di kios-kios saja. Sedangkan pedagang besar nya baik itu grosir maupun yang memperjualbelikan miras di hotel-hotel luput dari operasi. Yang jadi pertanyaan, apakah yang dilarang itu keberadaan mirasnya atau dari sisi tempat penjualannya? Kemudian, dari segi pembinaan dirasa sangat tidak efektif. Karena tidak adanya sarana rehabilitasi yang mendukung dalam proses pembinaan. Selama ini pembinaan yang dilakukan hanya sebatas informatif (peringatan), tidak menyentuh substantif permasalahan. Hal lain yang mengakibatkan perda ini tidak efektif yaitu tingkat sosialisasi yang sangat minim. Hal itu terbukti dari observasi yang dilakukan terhadap beberapa elemen masyarakat (Ormas-ormas), mereka sebagian besar tidak mengetahui dan tidak pernah diundang oleh pihak terkait untuk membahas berkaitan dengan perda tersebut. Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat efektifitas perda sangat kurang dan tidak memberikan pengaruh dan perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. belum berjalan secara efektif bahkan jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat.
12
