SIKAP KRITIS DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PEREMPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONSTRUKTIVISME
Cholis Sa’dijah Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Surabaya 6 Malang 65145
Abstract. The purpose of this study is to describe critical thinking and problem solving achievement of female students using constructivism mathematics instructions. The subjects of this study are 81 students of seventh grade at one of private junior high school in Malang. The instruction model is based on the constructivism. This model consists of a book, lesson plan, mathematics worksheets, tests for critical thinking and problem solving achievement. The instruments are scoring rubrics and an observation guide for the instruction. This study concludes that both of the critical thinking and problem solving achievement of the girls are fair. Keywords: critical thinking, problem solving achievement, constructivism mathematics instructions, female students.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran perempuan dalam kiprah pembangunan di negara kita semakin besar. Perempuan dituntut untuk bersikap kritis dan mampu menyelesaikan masalah. Sebelum melaksanakan penelitian ini, telah dilakukan diskusi dengan guru matematika SMP melalui forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Matematika. Menurut para guru, siswa perempuan mempunyai sikap kritis dan kemampuan
133
134 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146
pemecahan masalah yang kurang dibandingkan siswa laki-laki. Apakah memang benar demikian? Sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah sangat diperlukan dalam mempersiapkan anak didik memecahkan masalah kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Sikap kritis sinonim dengan domain evaluasi yang merupakan domain tertinggi dari 6 domain kognitif dalam pendidikan (Fisher, 1993). Ada 12 aspek sikap kritis yang dapat membantu siswa menganalisis kritis suatu ide, yaitu apakah bermakna, jelas, konsisten, logis, teliti, mengikuti aturan, cermat, bijaksana, relevan, menghasilkan, didefinisikan dengan baik dan benar. Sikap kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terampil mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis (menggeneralisasi dan mengintegrasi), dan mengevaluasi. Sedangkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan untuk menyelesaikan soal atau pertanyaan matematika yang tidak bersifat rutin. Artinya, soal atau pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin. Dengan kata lain, siswa tidak mempunyai strategi tertentu yang segera dapat digunakan untuk menjawab perta-nyaan tersebut. Padahal salah satu tujuan pengajaran matematika di sekolah adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Menurut Novak dan Gowin (1985), salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang diketahuinya. Guru hendaknya berusaha untuk mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah ada dalam pikiran siswa sebelum mereka mempelajari suatu konsep atau pengalaman baru. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme bahwa guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya secara aktif dengan memperhatikan pengetahuan awal siswa. Pengetahuan awal didefinisikan sebagai fakta, ide-ide/konsep-konsep, prinsip yang telah dimiliki siswa sebelum secara formal mempelajari konsepkonsep baru. Ide/ konsep, atau prinsip tersebut merupakan
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 135
pengetahuan pribadi mereka yang terbentuk melalui belajar informal dan pengalaman sehari-hari maupun dari belajar formal sebelum mempelajari konsep-konsep baru. Menurut pandangan konstruktivisme, prinsip utama tradisi konstruktivisme adalah pengetahuan dibangun secara aktif oleh individu. Gagasan tidak dapat dikomunikasikan maknanya jika diberikan langsung kepada siswa, melainkan siswa sendiri membentuk makna tersebut (Wheatley, 1991). Dengan kata lain, pengetahuan dapat dibentuk oleh siswa dalam pikirannya sendiri setelah adanya interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itu guru seharusnya menyadari pengetahuan awal yang ada dalam pikiran siswa dan harus menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya dengan pengetahuan awal tersebut. Dalam penelitian ini, pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme adalah pembelajaran matematika berdasarkan pandangan bahwa pengetahuan dibangun aktif oleh individu. Menurut beberapa ahli dan beberapa penelitian, pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah (antara lain NCTM, 1990, 1995; Slavin, 1997; Woolfolk, 1998). Penelitian tentang pembelajaran matematika yang beracuan konstruktivisme (Sa’dijah; 1999, 2001) menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika yang beracuan konstruktivisme dapat meningkatkan pemahaman matematika siswa. Penelitian tersebut belum mencermati perbedaan jender dan belum mencermati pengaruhnya pada sikap kritis siswa. Telah dilakukan penelitian yang mencermati perbedaan jender (Sa’dijah, 2006b). Penelitian tersebut hanya mencermati tentang pengaruh jender pada kemampuan pemecahan masalah dan hanya pada siswa di salah satu SMP negeri di Malang. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa kemampuan pemecahan masalah masing-masing siswa perempuan dan siswa laki-laki yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme secara kualitatif sama, yaitu termasuk kriteria cukup memuaskan. Dari hasil tersebut timbul pertanyaan apakah hasil tersebut juga sama jika dikaji pada siswa SMP swasta?
136 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146
Apakah perbedaan jender juga berpengaruh pada sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah? Dari latar belakang masalah tersebut, dalam penelitian ini dikaji sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa laki-laki yang menggunakan pembelajaran yang sama. Karakteristik dan indikator pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang diterapkan dalam penelitian ini mengacu pada Sa’dijah (2006a). Karakteristik tersebut ada enam sebagai berikut. (1) Mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sehingga pengetahuan akan dikonstruksi siswa secara bermakna. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan pengalaman belajar yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. (2) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan, sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial. Dengan demikian diharapkan matematika menjadi menarik baginya dan mereka termotivasi untuk belajar. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara menyediakan tugas-tugas matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. (3) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka, menyediakan masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara atau yang tidak hanya mempunyai satu jawaban benar. (4) Mendorong terjadinya interaksi dan kerjasama dengan orang lain atau lingkungannya, mendorong terjadinya diskusi terhadap pengetahuan baru yang dipelajari. (5) Mendorong penggunaan berbagai representasi/media. (6) Mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan melalui refleksi diri. Dalam hal ini penting bahwa siswa perlu didorong kemampuannya untuk menjelaskan meng-apa atau bagaimana memecahkan suatu masalah atau menganalisis bagaimana proses mereka mengkonstruksi pengetahuan, demikian juga
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 137
mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan tentang apa yang sudah dan yang belum diketahuinya (Novak & Gowin, 1985; Kamii, 1990; Tobin, 1993; Yager, 1995; Wilson, 1996; Degeng, 1998; Hudojo, 1998; 2001, Brooks & Brooks, 1999; Tadao, 2000). Dari enam karakteristik pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme tersebut dikembangkan indikator-indikator yang sesuai dengan masing-masing karakteristik tersebut. Menurut Ernest (1991) selama berpuluh tahun ada bukti bahwa wanita tidak diuntungkan dalam pendidikan matematika dibanding pria. Dua komponen yang berkaitan dengan perbedaan partisipasi pria dan wanita adalah a) kurang berhasilnya anak putri dalam ujian; dan b) kurangnya partisipasi anak putri yang berumur 16 tahun ke atas dalam matematika. Ernest (1991) menggambarkan bagaimana anak putri kurang memiliki kesempatan sama dalam belajar matematika dari berbagai penyebab. Hal ini menimbulkan pandangan negatif anak putri tentang kemampuan matematika mereka sendiri, dan memperkuat persepsi mereka bahwa matematika adalah bidang studi anak laki-laki. Akibatnya, partisipasi dan prestasi ujian lebih rendah bagi anak putri dalam matematika. Karena peran matematika sebagai penyaring kekritisan dalam mengatur akses ke kedudukan yang lebih tinggi, akibatnya para wanita memperoleh pekerjaan dengan gaji lebih rendah. Penempatan wanita secara tidak seimbang pada pekerjaan dengan status lebih rendah dan gaji lebih rendah menghasilkan ketidaksamaan jender dalam masyarakat. Keadaan ini memperkuat pengklisean jender di antara pria dan wanita. Hal ini berkontribusi pada komponen ideologis ke dalam seksisme institusional dalam pendidikan, yang menghasilkan kurangnya kesempatan sama bagi para anak putri dalam matematika. METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII salah satu SMP swasta di kota Malang. Penelitian ini menggunakan model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah,
138 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146
2005). Model ini terdiri dari buku model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kegiatan matematika untuk siswa (LKMS), serta tes sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah. Instrumen penelitian ini berwujud rubrik skoring penilaian sikap kritis, rubrik skoring penilaian kemampuan pemecahan masalah, dan pedoman pengamatan keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah, 2005). Instrumen ini dikembangkan berdasarkan karakteristik dan indikator-indikator pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Berikut ini dikemukakan analisis tes sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah serta analisis keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme. Analisis Tes Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Untuk menilai sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, digunakan rubrik skoring. Pada keterang-an rubrik skoring tersebut tercantum arti skala penilaian yaitu 0 berarti tidak memuaskan, 1 berarti kurang memuaskan, 2 berarti cukup memuaskan, 3 berarti memuaskan, dan 4 berarti sangat memuaskan. Selanjutnya skor rata-rata masing-masing sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah dikonversikan dengan kriteria sebagai berikut. tidak baik 1,49 1,50 – 2,49 kurang baik 2,50 – 3,49 cukup baik 3,50 – 4,00 baik Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran
Pada Pedoman Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme, pemberian skor didasarkan pada acuan seperti pada Tabel 1. Selanjutnya skor rata-rata dikonversikan dengan kriteria sebagai berikut 1,49 tidak terlaksana
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 139
1,50 – 2,49 2,50 – 3,49 3,50 – 4,00
kurang terlaksana cukup terlaksana terlaksana
Tabel 1 Skor Keterlaksanaan Pembelajaran
Tidak 0
Ya, sangat kurang 1
Ya, kurang 2
Ya, cukup 3
Ya, sering 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut dikemukakan hasil analisis sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa, serta pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme. Hasil Analisis Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Data hasil analisis sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki
No Jenis Kelamin
Sikap Kritis
1
Perempuan
2
Laki-laki
Rata-rata 2,97 dari skor maksimum 4 Kategori: cukup baik Rata-rata 2,75 dari skor maksimum 4 Kategori: cukup baik
Kemampuan Pemecahan Masalah Rata-rata 3,02 dari skor maksimum 4 Kategori: cukup baik Rata-rata 2,86 dari skor maksimum 4 Kategori: cukup baik
Dari data Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata masing-masing sikap kritis siswa perempuan dan laki-laki termasuk kategori cukup baik walaupun secara kuantitatif rata-rata skor sikap kritis siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-laki. Rata-rata
140 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146
kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan dan laki-laki juga termasuk kategori cukup baik walaupun secara kuantitatif rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-laki. Selanjutnya dikemukakan rincian persentase sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan dan siswa laki-laki. Tabel 3 Rincian Persentase Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Laki-laki
No 1
2
Kategori Sikap Kritis Baik Cukup baik Kurang baik Kemampuan pemecahan masalah Baik Cukup baik Kurang baik
Persentase Siswa Perempuan
Persentase Siswa Laki-laki
34,2 58,5 7,3
22,5 67,5 10,0
31,7 63,4 4,9
20,0 72,5 7,5
Dari data Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa persentase siswa perempuan yang mempunyai sikap kritis yang termasuk kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki. Demikian juga persentase siswa perempuan yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah dalam kriteria baik juga lebih banyak daripada siswa laki-laki. Hasil penelitian ini, khususnya yang berkenaan dengan kemampuan pemecahan masalah, mendukung penelitian Sa’dijah (2006b). Hasil penelitian ini menggugurkan pernyataan bahwa siswa perempuan mempunyai sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah yang kurang dibandingkan siswa laki-laki. Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Berikut ini dikemukakan aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah, 2005).
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 141 Tabel 4 Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Aktivitas Guru
Aktivitas Belajar Siswa Kegiatan Pendahuluan Guru membuka pembelajaran deSiswa menjawab salam. ngan mengucap salam. Guru menyediakan LKMS dan Wakil siswa mengambil dan sarana pendukung yang diperlukan membagi LKMS pada kelas. Siswa (garis bilangan). Guru memperhatikan penjelasan/ menjelaskan/menginformasikan informasi guru tentang indikator tentang indikator pembelajaran dan pembelajaran dan tentang apa tentang apa yang akan dipelajari yang akan dipelajari melalui LKMS siswa melalui Lembar Kegiatan Matematika untuk Siswa (LKMS) Guru memberi kesempatan Siswa menanyakan hal yang bertanya kepada siswa kurang jelas kepada guru, jika perlu Kegiatan Inti, Fase: Kesadaran dan Operasional Siswa Belajar Matematika Secara Individu Fase: Kesadaran Guru mengajak siswa mengaitkan Siswa mengemukakan tentang apa materi yang akan dipelajari siswa yang telah diketahui yang dengan pengetahuan awal siswa, berhubungan topik matematika bisa dengan lisan, Kegiatan ini juga yang akan dipelajari. Bisa melalui dapat langsung melalui LKMS. lisan kalau kegiatan ini dengan tanya jawab atau tulisan kalau kegiatan ini melalui LKMS. Guru mengorientasikan siswa Siswa siap dan memulai belajar untuk belajar matematika melalui matematika melalui LKMS secara lembar kegiatan matematika untuk mandiri (individu). siswa (LKMS) yang tersedia.
Fase: Operasional Guru memberi kesempatan siswa Siswa belajar matematika melalui untuk berpikir secara individual, LKMS. Siswa menulis respon dalam hal ini siswa menuliskan secara individu pada LKMS. pekerjaannya pada LKMS masingmasing sesuai dengan apa yang
142 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146 diketahuinya. Guru mengelilingi kelas, melayani Siswa menanyakan hal yang siswa jika ada pertanyaan. Dalam kurang jelas kepada guru, jika hal ini guru hanya memberi perlu bantuan minimal. Jika ada pertanyaan, guru tidak segera menjawabnya, tetapi mengembalikan kepada siswa misalnya dengan meminta siswa tersebut untuk mengemukakan kembali pertanyaan dan mengarahkan siswa agar memahami sendiri lebih dulu tentang apa yang ditanyakan. Kegiatan Inti, Fase: Reflektif dan Penyusunan Persetujuan Siswa Belajar Matematika Secara Kelompok Kooperatif Fase: Reflektif Guru mempersilakan siswa untuk Siswa bekerja secara kooperatif. bekerja secara kooperatif. Siswa berdiskusi dalam kelompokPembagian kelompok sesuai kelompok kecil. Mereka saling dengan kesepakatan sebelumnya. berdiskusi, saling menjelaskan pada temannya tentang apa yang telah atau yang belum diketahuinya. Di sini peran guru sebagai Siswa menulis dengan tinta fasilitator sama seperti sewaktu berbeda (dengan warna tinta yang anak bekerja secara individu. Guru digunakan untuk menuliskan mengelilingi kelas, melayani siswa respon pada LKMS sewaktu kerja jika ada pertanyaan. Dalam hal ini individu) tentang apa yang baru guru hanya memberi bantuan min- ditemukan dalam diskusi tersebut imal. Jika ada pertanyaan, guru tidak segera menjawabnya, tetapi mengembalikan kepada siswa misalnya dengan meminta siswa untuk mengemukakan kembali pertanyaan dan mengarahkan siswa agar memahami sendiri lebih dulu tentang apa yang ditanyakan. Fase: Penyusunan Persetujuan
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 143 Guru mempersilakan salah satu atau lebih dari 1 kelompok, jika perlu, untuk maju ke depan menjelaskan kepada kelas. Kelas menanggapi. Di sini dapat terjadi adu argumentasi. Siswa yang berbeda pendapat dengan siswa yang menjelaskan di depan, dapat maju untuk menjelaskan kepada kelas. Jika tidak ada pertanyaan, atau siswa tidak merasa mengalami kesulitan, guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggali data apakah para siswanya sudah memahami. Dalam setiap mengajukan pertanyaan, guru selalu memberi waktu kepada siswa untuk berpikir. Sifat pertanyaan tidak hanya meminta jawaban ya atau tidak. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dan mengklarifikasi. Guru juga menanyakan kepada siswa apa yang sudah dan yang belum dikuasainya. Guru mempersilakan siswa menyimpulkan tentang apa yang telah dipelajari. Guru menerima LKMS yang telah dikerjakan siswa.
Kelompok mempresentasikan hasil diskusiny a. Kelas menanggapi. Siswa mengajukan pertanyaan, meminta klarifikasi, menjawab pertanyaan atau menjelaskan.
Siswa menyimpulkan tentang apa yang telah dipelajari. Siswa mengumpulkan LKMS yang telah dikerjakan dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
144 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146
Kegiatan Penutup Guru menyediakan lembar tes dan Wakil siswa mengambil lembar tes lembar penilaian diri sendiri. Guru dan lembar penilaian diri sendiri mempersilakan siswa mengerjakan serta membagikan kepada tes dan menuliskan penilaian diri temannya. Siswa mengerjakan sendiri secara mandiri (individual). tes.dan menuliskan penilaian diri sendiri secara mandiri (individual). Guru menerima lembar tes.dan Siswa mengumpulkan lembar tes lembar penilaian diri sendiri. dan lembar penilaian diri sendiri. Guru menutup pembelajaran Siswa menjawab salam dengan mengucap salam.
Dari hasil pengamatan pada setiap pertemuan diperoleh data bahwa rata-rata keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme pada pertemuan 1 sampai 3 cukup terlaksana, dan mulai pertemuan ke 4 terlaksana dengan baik. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Sikap kritis dan kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme masing-masing termasuk kriteria cukup baik. (2) Jika dibandingkan dengan siswa laki-laki, (a) sikap kritis siswa perempuan secara kualitatif sama dengan siswa laki-laki yaitu termasuk kriteria cukup baik, tetapi secara kuantitatif rata-rata skor sikap kritis siswa perempuan (2,97 dari skor maksimum 4) lebih tinggi dari siswa laki-laki (2,75 dari skor maksimum 4); (b) kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan secara kualitatif juga sama dengan siswa laki-laki yaitu termasuk kriteria cukup baik, tetapi secara kuantitatif ratarata skor kemampuan pemecahan masalah siswa perempuan (3,02 dari skor maksimum 4) juga lebih tinggi dari siswa laki-laki (2,86 dari skor maksimum 4); dan (c) persentase siswa perempuan yang mempunyai sikap kritis yang termasuk kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki. Demikian juga persentase siswa
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 145
perempuan yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang termasuk kriteria baik lebih banyak daripada siswa laki-laki. DAFTAR RUJUKAN Brooks, G.J. & Brooks, M. 1999. The Case For Constructivist Classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development Alexandria. Degeng, I. N. S. 1998. Pembelajaran Berdasarkan Pendekatan Kesemrawutan. Jurnal Teknologi Pembelajaran, 6: 127-140. Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. Bristol, PA: The Falmer Press, Taylor & Francis Inc. Fisher, R. 1993. Teaching Children to Think. Hemel Hempstead, Herts: Simon and Schuster Education. Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Jurnal Teknologi Pembelajaran, 6: 59-66. Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah disajikan pada Seminar Lokakarya Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting FMIPA UM, Malang, 9 Juli. Kamii, C. 1990. Constructivism and Beginning Arithmetics (K-2). Dalam T.J. Cooney & C.R. Hirsch (Eds.) Teaching and Learning Mathematics in the 1990s. Reston: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1990. Constructivist Views on The Teaching and Learning of Mathematics. Reston, Virginia: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1995. Assessment Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM Novak, J.D. & Gowin, D.B. 1985. Learning How to Learn. New York: Cambridge University Press. Sa’dijah, C. 1999. Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Sikap Kritis Siswa Kelas I SLTP. Malang: DP3M dan Lemlit IKIP MALANG. Sa’dijah, C. 2001. Pengembangan Pembelajaran Matematika secara Konstruktivis sebagai Upaya Meningkatkan Kebermaknaan Pemahaman Aljabar Siswa Kelas I SLTP. Laporan Penelitian tidak ditebitkan. Malang: Ditbinlitabmas Ditjen Dikti Diknas dan Lemlit UM. Sa’dijah, C. 2005. Pengembangan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Draft disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
146 MIPA, TAHUN 36 , NOMOR 2, Juli 2007, hlm. 133-146 Sa’dijah, C. 2006a. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika,. 1: 111-122. Sa’dijah, C. 2006b. Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan dan Siswa Laki-laki yang Pembelajaran Matematikanya Menggunakan Model Pembelajaran matematika Beracuan Konstruktivisme. Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Matematika 2006 di Universitas Negeri Semarang, Semarang, 24-27 Juli. Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Tadao, N. 2000. The Constructive Approach in Mathematics Education. Dalam Japan Society of Mathematical Education (JSME). Mathematics Education in Japan (hlm. 88 – 90). Tokyo: JSME. Tobin, K. 1993. The Practice of Constructivism in Science Education. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Associates. Wheatley, G. 1991. Constructivist Perspective On Science And Mathematics Learning. Journal of Research in Science Teaching, 1: 197-223. Wilson, B.G. 1996. Constructivistist Learning Environment. New Jersey: Education Technology Publiscation Englewood Cliffs. Woolfolk, A.E. 1998. Educational Psychology. Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon. Yager, R.E. 1995. Constructivist and the learning of science. Dalam S.M. Glynn & R. Duit (Eds.). Learning Science in the School: Research Reforming Practice (hlm. 35-38). Mahwah, N.J.: Lawrence Erlbaum.
Sa’dijah, Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah 147
Indeks Sikap kritis Kemampuan pemecahan masalah Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme Siswa Perempuan Fase kesadaran Fase operasional Fase reflektif Fase penyusunan persetujuan