SIFAT-SIFAT COMPOSITE EDIBLE FILM DARI P E K T I N A L B E D O S E M A N G K A (Citrullus vulgaris Schard.) D A N T A P I O K A Nuri Arum Anugrahati *)
ABSTRACT Plastic has become one of the most concerning environmental problems because it could not be degraded in short period. Thus, it is important to investigate new materials that could be developed as biodegradable or edible packaging. The objective of this research is to isolate pectin from non-edible part of watermelon (Citrullus vulgaris Schard.) as biopolymer that can be developed as edible films. This research was divided into three steps. The first step is isolation followed by defining the characters of pectin from albedo of watermelon using three types of extractor (HCI, EDTA, and ammonium oxalate). The second step is preparation accompanied by defining the characters of edible films. The first group of edible film was prepared using 1 % (w/w of tapioca) of pectin, tapioca (0 - 2%, w/v), 1.6% (w/w of pectin) of CaCl2, and 1 % (w/v) of glycerol. The second group of edible film was prepared using 1% (w/w of tapioca) of pectin, 2% of tapioca, 1.6 % (w/w of pectin) of CaCI2, and 1 % (w/v) of glycerol and various concentration of palmitic acid (0 - 0,08 w/v). The third step is utilization of pectin-tapioca film which has the highest tensile strength and the lowest water vapour transmission rate. This type of film was used to reduce weight loss and inhibit browning reaction in apple during storage. The result showed that quality isolated pectin yield was 0.2 - 0.85 % (wb) or 8.55 - 17.68 % (db). Pectin quality based on polygalacturonic acid (32.21 - 40.91%) and methoxyl content (5.67 - 6.53%) is lower than that of commercial pectin from citrus. Proximate analysis showed that water, ash, and protein content in isolated pectin were 12.20 - 12.98, 3.68 - 6.07, and 3.95 - 5.90 %, respectively. Characteristics of first group of film showed that the addition of tapioca concentration produces thicker films with higher elongation and tensile strength. Higher tapioca concentration produces film with even more thickness, higher elongation and higher tensile strength. Observations conducted in the second group of films showed that the addition of palmitic acid up to 0.08 % has no effects on film thickness and water vapour transmission rate. Utilization of 1% (w/w of tapioca) pectin - 2 % (w/v) tapioca - 1 % glycerol and 0.02% palmitic acid to wrap and coat fresh apples has significant effect on reducing weight loss and browning during storage.
Karawaci, Oktober 2003 Redaksi
Key words : watermelon albedo, pectin, edible film composites *) Dosen Tetap Jurusan Teknologi Pangan UPH
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober 2003
I
PENDAHULUAN Edible film akhir-akhir ini menjadi perhatian di bidang industri dan penelitian sebagai salah satu altematif pengemas makanan dengan beberapa kelebihan. Kelebihan utama edible film terletak pada sifat biodegradable bahan tersebut, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dibandingkan pengemas sintetis seperti plastik. Edible film mempunyai fungsi utama sebagai barrier yang efektif terhadap uap air dan gas antara makanan yang dikemas dengan lingkungan sekitarnya (Krochta dan Mulder-Johnston, 1997). Edible film dapat dibuat dari beberapa polimer, seperti pati, selulosa, pektin, dan whey protein isolate (WPI). Pembuatan edible film membutuhkan dua komponen utama, yaitu pembentukan matriks film oleh polimer tertentu dan plastisizer yang berfungsi untuk meningkatkan kelenturan film. Edible film dari pektin belum banyak dikembangkan, karena keterbatasan biaya produksi dan kekurangan sifat fisiknya. Oleh karena itu perlu dicari sumber-sumber pektin yang dapat digunakan sebagai bahan edible film. Albedo semangka (Citrullus vulgaris Schard.) merupakan salah satu sumber alternatif pektin yang berasal dari limbah buah-buahan. Pemanfaatan albedo semangka belum dikenal luas oleh masyarakat, sehingga penggunaan albedo sebagai bahan edible film dapat dikembangkan di Indonesia. Penambahan polimer lain, seperti tapioka ke dalam edible film dari pektin diharapkan dapat meningkatkan sifat-sifat fisiknya. Edible film dari tapioka telah dilaporkan mempunyai kelebihan, yaitu kenampakannya yang kuat (Krochta dan Mulder-Johnston, 1997). Edible film tersebut mempunyai laju transmisi uap air yang tinggi. Penambahan asam lemak diharapkan dapat meningkatkan sifat hidrofobik film yang dihasilkan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi pektin dari albedo semangka yang kemudian digunakan sebagai bahan untuk membuat edible film.
METODOLOGI Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah semangka (Citrullus vulgaris Schard.) varietas new dragon yang diperoleh dari
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
2
desa Brosot Kabupaten Kulon Progo Propinsi DIY. Pelarut yang digunakan untuk mengekstrak pektin adalah HCI 0,005 M dan 0,01 M; EDTA 0,5%; amonium oksalat 0,25%, sedangkan untuk mengendapkan pektin digunakan aseton 96%.
Ekstraksi Pektin 1. Tahap Penyiapan Bahan Tahap penyiapan bahan merupakan tahap pembuatan tepung albedo semangka. Proses pembuatan tepung albedo semangka mengacu pada Mohamed dan Hasan (1995) yang telah dimodifikasi. Proses ini dimulai dengan pemisahan albedo dari daging buah semangka. Kemudian albedo dipotong dengan ukuran 2'2 cm, lalu dicuci bersih. Selanjutnya albedo d\-blanching dalam metanol 95% pada suhu 90°C selama 10 menit. Kemudian albedo dikeringkan dalam cabinet dryer pada suhu 45°C selama 24 jam. Albedo yang diperoleh selanjutnya diperkecil ukurannya sampai lolos ayakan 100 mesh. 2. Ekstraksi Pektin Albedo Semangka Proses ekstraksi pektin albedo semangka mengacu pada Mohamed dan Hasan (1995) yang telah dimodifikasi. Tepung albedo sebanyak 20 gram yang diperoleh pada tahap sebelumnya diekstrak masing-masing dengan 3 macam pelarut, yaitu HCI, EDTA, dan amonium oksalat. Ekstraksi dilakukan di dalam water bath pada suhu 80°C selama 1 jam. Setelah ekstraksi selesai larutan disaring dalam keadaan panas sampai diperoleh filtrat sebanyak mungkin. Kemudian ditambahkan larutan aseton 96% ke dalam filtrat dengan perbandingan asetomfiltrat = 1 : 1 . Jendalan yang terbentuk disaring dan dicuci kembali dengan aseton 50%. Selanjutnya jendalan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C selama 24 jam. Penepungan pektin dilakukan sampai lolos ayakan 100 mesh. Analisis Pektin Albedo Semangka Analisis pektin meliputi penentuan kadar metoksil, kadar poligalakturonat, dan warna, disamping analisis proksimat (AOAC, 1990).
3
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
Preparasi Composite Edible Film Composite edible film dibuat dengan mengacu pada metode Pavlath et al., (1999) yang terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan edible film dengan pektin 1% (b/b tapioka), tapioka 0-2% (b/v), CaCl2 1,6% (b/b pektin), dan gliserol 1% (b/v). Tahap kedua adalah pembuatan edible film dengan pektin 1 % (b/b tapioka), tapioka 2% (b/v), CaCI2 1,6% (b/b pektin), gliserol 1 % (b/v), dan variasi asam palmitat 0-0,08% (b/v). Pembuatan edible film tahap pertama dilakukan dengan cara melarutkan tapioka ke dalam 80 ml akuades yang kemudian dipanaskan pada suhu 70°C selama 5 menit. Selama pemanasan tersebut dilakukan pula pengadukan dengan magnetic stirrersupaya larutan menjadi homogen. Selanjutnya CaCI2 ditambahkan ke dalam larutan tersebut sambil tetap memanaskan pada suhu 70°C selama 5 menit. Terakhir kali gliserol ditambahkan ke dalam larutan sambil tetap diaduk. Pada tahap terakhir tersebut juga ditambahkan akuades sampai larutan menjadi 100 ml dan dipanaskan pada suhu 70°C. Kemudian larutan dituang ke dalam plat plastik dan dikeringkan pada suhu 50°C selama 90 menit. Film yang telah kering selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak plastik yang telah diisi dengan silika gel untuk memberikan kondisi kelembaban rendah sampai film akan diuji sifat fisiknya. Pembuatan edible film tahap kedua hampir sama dengan tahap pertama, kecuali adanya penambahan asam palmitat 0-0,08% (b/v). Asam palmitat ditambahkan pada saat yang bersamaan dengan penambahan gliserol. Ketebalan Edible Film Ketebalan edible film diuji dengan metode Gnanasambadam et al., (1997) dengan menggunakan mikrometer (model Mitotuya). Pengukuran dilakukan pada 5 tempat yang berbeda untuk masing-masing edible film Laju Transmisi Uap Air Edible Film Laju transmisi uap air edible film (WVTR) ditentukan dengan metode cawan berdasarkan cara ASTM 1995. Pada penelitian ini menggunakan cawan akrilik berukuran tebal 2 cm dan diameter luar 8 cm. Cawan tersebut diisi dengan
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
4
akuades dan pada bagian luar cawan diletakkan silika gel. Edible film yang diuji harus dilekatkan pada bagian atas cawan. Kemudian cawan dikondisikan pada RH tertentu di dalam stoples plastik dan ditempatkan di dalam ruang dengan suhu 30 ± 0,5°C. Sampel film ditimbang pada selang waktu tertentu untuk menentukan WVTR. Apabila kondisi steady state telah tercapai (8 jam), maka pengukuran dilakukan setiap 24 jam selama 3 hah berturut-turut. Regresi linear steady state akan menghasilkan nilai R2. Nilai WVTR (g.mm./ m2.jam) dihitung dengan membagi slope pertambahan berat cawan dan ketebalan film dengan luas area film. Pengujian Mekanik Edible Film Edible film dipotong dengan ukuran panjang 7 cm dan lebar 3 cm dengan bentuk menyerupai huruf I. Kemudian sebelum pengujian harus dikondisikan dahulu pada RH 53% selama 48 jam. Tensile strength (TS) dan elongasi (E) film diukur dengan menggunakan Instron Universal Testing Machine {Llyod Instrument) pada suhu kamar (22°C) berdasarkan ASTM 1995. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi pektin albedo semangka dilakukan dengan tiga cara ekstraksi, yaitu dengan pelarut HCI, EDTA, dan ammonium oksalat. Pengendapan isolat pektin dilakukan dengan penambahan aseton. Ekstraksi dengan pelarut HCI menghasilkan rendemen pektin paling rendah dibandingkan kedua cara ekstraksi yang lain (Tabel 1). Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi pelarut yang asam, yaitu pada pH 1,5. Kondisi asam cenderung menyebabkan degradasi pektin hasil ekstraksi, sehingga rendemen pektin menjadi berkurang. Hasil ini sesuai dengan penelitian Laga (2000), yaitu bahwa rendemen pektin kulit buah markisa paling rendah diperoleh pada kondisi pH 1,5. Rendemen pektin albedo semangka cukup tinggi dibandingkan pektin dari sumber botani yang lain, seperti albedo durian (18,91%), kulit buah markisa (14,06%), jambu biji (13,49%), albedo jeruk (7,46%), dan waluh (4,46%) (Hastuti, 1984; Suhardi, 1990; Tresnawati, 1981; Utami, 1989). 5
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Semua isolat pektin dari ketiga jenis pelarut ternyata mempunyai kadar air yang berkisar antara 12,20%-12,98% (Tabel 1). Secara umum hasil ini tidak berbeda dengan kadar air pektin komersial, yaitu 11,05% dan dapat dinyatakan bahwa kadar air isolat pektin berada dalam kisaran normal. Tabel 1. Komposisi Kimia Isolat Pektin dengan Ketiga Cara Ekstrasi KOMPONEN (%)
PER LAKUAN EKSTRAKSI Ammonium EDTA HCI oksaiat
Rendeman basah
0,20b
0,37b
0,85a
Rendeman kering
8,55a
12,57b
17,68°
a
12,20b
Kadar air
12,98a
12,91
Kadar abu
3,68b
542ab
6,07a
b
b
3,95
5,90a
Kadar Protein
4,27
Kadar Poligalakturonat
32,21 b
40,91 b
34,20b
Kadar Metoksil
5,67b
6,53b
6,03b
Huruf abc yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Adanya residu anorganik (impurities) dapat ditunjukkan dengan kadar abu dalam pektin. Kadar abu paling tinggi terdapat pada pektin hasil ekstraksi dengan pelarut ammonium oksaiat (Tabel 1). Kadar protein isolat pektin lebih tinggi dibandingkan pektin komersial (3,42%). Hal ini diduga bahwa aseton selain mengendapkan pektin masih dapat mengendapkan protein, sehingga kandungan protein hasil ekstraksi akan meningkat. Dua faktor penentu kualitas pektin adalah kadar poligalakturonat dan kadar metoksil (Walter, 1991). Kadar poligalakturonat dan metoksil sangat berperan dalam pembentukan gel pektin. Gel pektin dapat terbentuk baik apabila berat molekul, kadar poligalakturonat, dan kadar metoksilnya relatif tinggi. Kadar poligalakturonat isolat pektin dengan ketiga macam pelarut tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan pektin komersial (Tabel 1). Hal ini menandakan bahwa isolat pektin kemungkinan mempunyai berat molekul yang relatif rendah. Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
6
Isolat pektin mempunyai kadar metoksil berkisar antara 5,67 - 6,53% (Tabel 1), sehingga dapat dinyatakan bahwa isolat pektin tergolong dalam pektin metoksil rendah (low methoxyl pectin), sedangkan pektin komersial (11,23%) tergolong dalam pektin metoksil tinggi (high methoxyl pectin). Kertesz (1951) menyatakan bahwa pektin dapat digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan metoksilnya. Pektin metoksil rendah mempunyai gugus metoksil kurang dari 7%. Kadar metoksil pektin yang rendah menyebabkan pektin sukar larut dalam air dan memerlukan ion-ion polivalen untuk membentuk gel, seperti ion kalsium. Pektin metoksil tinggi mempunyai gugus metoksil lebih dari 7% dan akan membentuk gel dengan penambahan gula atau asam. Edible film yang dibuat pada tahap kedua merupakan edible film komposit dari pektin albedo semangka dan tapioka. Hal ini dilakukan mengingat kelebihan sifat fisik masing-masing edible film tersebut. Edible film dari pektin mempunyai permukaan yang halus dan tidak lengket, sedangkan film dari tapioka mempunyai kenampakan transparan dan kuat. Disamping itu alasan lainnya adalah mengingat biaya produksi pektin yang tinggi, sehingga perlu dikembangkan film yang bernilai ekonomis dengan sifat fisik dan mekanik lebih baik. Peningkatan konsentrasi tapioka sampai 2% ternyata menurunkan elongasi film (Gambar 1). Elongasi merupakan persentase perubahan panjang film pada saat film ditarik. Perubahan panjang tersebut dapat dilihat pada saat film sobek. Film yang dibentuk dari pektin menghasilkan matriks yang lebih elastis dibandingkan film yang dibentuk dari pektin dan tapioka. Semakin tinggi konsentrasi tapioka yang ditambahkan, maka semakin banyak matriks film yang terbentuk, tetapi film semakin tidak elastis.
7
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Konsentrasi Tapioka (%) Huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Ps 0,05 Gambar 1. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap elongasi edible film
Peningkatan konsentrasi tapioka sampai 2% ternyata meningkatkan tensile strength (Gambar 2) dan ketebalan film (Gambar 3). Tensile strength film merupakan tarikan maksimal yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum film sobek. Peningkatan konsentrasi tapioka akan meningkatkan network yang terbentuk antara pektin dengan tapioka, sehingga dibutuhkan gaya yang lebih besar untuk menarik film. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Warastuti (2000) bahwa peningkatan konsentrasi tapioka akan meningkatkan tensile strength dan ketebalan film.
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap tensile strength edible film
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
8
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap ketebalan edible film
Sifat tensile strength merupakan sifat fisik yang berhubungan dengan kekuatan film untuk menahan kerusakan fisik pada saat pengemasan buah. Film dengan nilai tensile strength paling tinggi diharapkan dapat menahan kerusakan fisik maksimal, sehingga kerusakan yang akan diterima produk menjadi minimal. Oleh karena itu pada tahap kedua pembuatan edible film digunakan komposisi film yang mempunyai nilai tensile strength tertinggi, yaitu pada konsentrasi tapioka 2% (b/v). Sifat-sifat barrier edible film umumnya ditingkatkan dengan penambahan senyawa hidrofobik, seperti asam lemak. Penambahan asam lemak diperlukan untuk mengurangi hilangnya air yang terkandung dalam produk terkemas. Edible film yang baik adalah film yang mempunyai laju transmisi uap air minimal. Peningkatan konsentrasi asam palmitat sampai 0,08% ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap
ketebalan
edible film (Gambar 5) dari pektin dan
(Gambar 4) dan WVTR
tapioka. Hal ini kemungkinan
disebabkan tidak adanya emulsifier yang berperan dalam pembentukan matriks film. Keberadaan
emulsifier diperlukan supaya distribusi asam
palmitat merata di dalam sistem, sehingga matriks film terbentuk lebih rapat dan kuat. Kisaran asam palmitat yang relatif sempit juga diduga tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata terhadap WVTR film.
')
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
0.125 .-. 0.120 .§.0.115 |
0.110
& 0.105
I 0.100 0.095
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
Konsentrasi asam palmitat (%) Huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Gambar 3. Pengamh konsentrasi asam palmitat terhadap ketebalan edible film
E CM
E
1
E 3 cc
2 1 0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
Konsentrasi asam palmitat (%) Huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Gambar 5. Pengamh konsentrasi asam palmitat terhadap WVTR edible film
Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober 2003
10
Peningkatan konsentrasi asam palmitat juga tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap elongasi (Gambar 6) dan tensile strength film (Gambar 7). Hal ini juga dilaporkan oleh Lai (1997) dan Warastuti (2000) bahwa penambahan asam palmitat tidak menambah kepaduan polimer penyusun film yang terbuat dari tapioka.
60 50 40 M
30 -
ID CD
C O LU
20 10 MIUfll\
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
Konsentrasi asam palmitat (%) Huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Gambar 6. Pengaruh konsentrasi asam palmitat terhadap elongasi edible film
10 9 8
,*ss
7 6
c/>
ft
on
D)
LU
h 4
ab
3 2 1 0
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
Konsentrasi asam palmitat (%) Huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Gambar 7. Pengaruh konsentrasi asam palmitat terhadap tensile strength edible film
II
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
Tahap aplikasi edible film dilakukan dengan dua cara, yaitu coating dan wrapping. Coating dan wrapping temyata berpengaruh signifikan terhadap kehilangan berat (Gambar 8 dan 10) dan browning enzimatis (Gambar 9 dan 11) pada buah apel yang disimpan selama tiga hari. Pencegahan reaksi browning dilakukan pula dengan pencelupan buah dalam larutan asam askorbat dan asam sitrat.
19 .
-,10 • E 2 8 •
S
"m
6 •
-o
4
.
•
3 C3O
Kontrol
—•— Isolat pektin A Pektin komersial
20 1
)
1
2 Penyimpanan (hari)
3
Gambar 8. Susut berat apel yang di- coating selama 3 hari penyimpanan
Kontrol • Isolat pektin Pektin komersial
Penyimpanan (hari) Gambar 9. Perubahan warna apel yang di-coating selama 3 hari penyimpanan
Jurnal llrnu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
12
12-f 10 01
8 -
Kontrol Isolat pektin Pektin komersial
64 2 -\ 0
Penyimpanan (hari) Gambar 10. Susut berat apel yang di- wrapping selama 3 hari penyimpanan
• •" Kontrol - H i — Isolat pektin *-
Pektin komersial
Penyimpanan (hari)
Gambar 11. Perubahan warna apel yang 6\-warpping selama penyimpanan
KESIMPULAN Isolat pektin yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuat edible film. Peningkatan konsentrasi tapioka menurunkan elongasi, tetapi meningkatkan tensile strength dan ketebalan film. Peningkatan asam palmitat sampai 0,08% (b/v) tidak berpengaruh terhadap ketebalan dan WVTR film. Penggunaan film dengan komposisi pektin 1% (b/b tapioka), tapioka 2% (b/v), gliserol 1% (b/v), dan asam palmitat 0,02% (b/v) berpengaruh signifikan terhadap susut berat dan penurunan browning apel selama penyimpanan.
13
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No. 1, Oktober 2003
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists. Washington DC. ASTM. 1995. Standard Test Methods for Water Vapor Transmission of Materials. Annual Book of ASTM Standards. Vol 04.06. American Society for Testing and Materials. West Conshohoken. Gnanasambadam, R., N. S. Hettiarachchy, and M. Coleman. 1997. Mechanical and Properties of Rice Bran Film. J. Food Sci. 62 (2): 395-398. Hastuti, P. 1984. Kajian Ekstraksi Pektin Jambu Biji Psidium Guajava. Program Studi llmu dan Teknologi Pangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kertesz, Z.I. 1951. The Pectic Substances. Interscience Publisher Inc. New York. Krochta, J. M. and CD. Mulder-Johnston. 1997. Edible and Biodegradable Polymer Films:Challenges and Opportunities. Food Tech. 51 (2): 62-74. Laga, S. 2000. Ekstraksi dan Isolasi Pektin dari Kulit Buah Markisa Passiflora edulis. Program llmu dan Teknologi Pangan. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Lai.M. and Huey. 1997. Properties of Microstructure of Sheets Plasticized with Palmitic Acid. J. Cereal Chem. 42 (4): 83-90. Mohamed, S. and Z. Hasan. 1995. Extraction and Characterization of Pectin from Various Tropical Agrowastes. ASEAN Food Journal. 10 (2): 43-50. Pavlath, A.E., C Gosset, W. Camirand, and G.H. Robertson. 1999. lonomeric Films of Alginic Acid. J. Food Sci. 64 (1): 61-63. Suhardi. 1990. Pektin Kulit Buah Durian. Laporan Penelitian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tresnawati, P. 1981. Pemanfaatan Kulit Jeruk sebagai Bahan Dasar Pembuatan Pektin. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Jumal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003
14
Utami, P. 1989. Studi Ekstraksi
Pektin Daging Buah Waluh Cucurbita
moschata. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Walter, R.H. 1991. The Chemistry and Technology of Pectin. Academic Press Inc. New York. Warastuti, M. 2000. Pengaruh Penambahan Sorbitol and Asam Palmitat terhadap Sifat Mekanik dan Ketebalan Edible Film dari Pati Ubi Kayu. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
IS
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan Vol1, No.1, Oktober2003