SIFAT BUSA DAN EMULSI ISOLAT PROTEIN ISOELEKTRIK (IPI) BIJI KORO (Dolichos lablab) HASIL ALKALISASI FOAM PROPERTIES AND EMULSION OF LABLAB BEAN (Dolichos lablab) PROTEIN ISOELECTRIC ISOLATE Sukamto Fakultas Pertanian Univ. Widyagama Malang Simon Bambang W, Hari Purnomo , Yunianta Fakultas Teknologi Pertanian Univ. Brawijaya Malang ABSTRAK Biji koro ( Dolichos lablab ) mengandung protein yang bervariasi antara 21 sampai 29 persen. Berdasarkan hasil fraksionasi, protein koro dapat dibedakan menjadi fraksi protein globulin, albumin, prolamin dan glutelin. Jumlah terbesar dari protein biji koro adalah globulin yaitu sekitar 60 % dari total protein dan sekitar 20 % adalah albumin. Alkalisasi dengan NaOH untuk membentuk PNaI yang dapat berperan dalam meningkatkan sifat fungsional busa dan emulsi. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh alkalisasi pada isolat protein isoelektrik terhadap perubahan sifat fungsionalnya, kususnya pada sifat busa dan emulsi. Pelaksanaan penelitian meliputi penepungan dan pembebasan lemak. Pemisahan isolat protein dilakukan dengan pengendapan pada titik isolektriknya. Isolat selanjunya dialkalisasi menggunakan NaOH 1 M; 0,8 M; 0,6 M; 0,4M, 0,2 M dan tanpa dialkalisasi. Hasil alkalisasi dievaluasi tentang kelarutan dan sifat fungsional yang terdiri dari stabilitas emulsi, stabilitas foam, kapasitas foam. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa isolat protein isoelektrik solubility dari biji koro memiliki kadar air 76,6 % sebelum dikeringkan dan kadar protein = 20,2 %. Secara umum sifat fungsional hasil alkalisasi isolat protein isoelektrik lebih baik dibandingkan dengan protein isoelektrik. Penggunaan NaOH 0,2 M memberikan hasil yang lebih baik yang ditunjukkan rata-rata penurunan kestabilan emulsi = 13,25 %/jam, rata-rata kapasitas foam = 27,69 %, penurunan stabilitas foam = 2,49 %/jam. Keywords : Biji koro; Isolat protein, Alkalisasi, Sifat fungsional. ABSTRACT Lablab bean ( Dolichos lablab) seeds have potential source of protein, with protein content 21 to 29 percent. Their fractions of protein are globulin, albumin, prolamin and glutelin. The objectives of this research to observe effect addional amaunt of NaOH on isoelectric protein isolates to improve its functional properties expecially foam capacity and emulsion activities. The research was conducted on 2 steps, The first step was to move fat from seeds flour and to extract the isoelectric protein from deffated flour. The second step to react the isoelectric protein isolat 2g with NaOH 1M; 0,8M;0,6M; 0,2M until pH 7.0 and without NaOH as controll. The reaction product was evaluated solubility, emulsion dan foam properties. The result showed that added NaOH 0,2M to protein isolate of lablab bean until pH 7.0 could improve functional properties expecially on foam and emulsion activity. Keywords : Lablab bean seed, protein isolate, alkali, functional properties
PENDAHULUAN Tanaman kacang-kacangan relatif mudah dikembangkan di Indonesia sehingga 63 persen dari protein pangan bersumber dari tanaman kacang-kacangan. Salah satu sumber protein kacangkacangan yang cukup potensial adalah kacang koro ( Dolichos lablab ). Sebagai sumber protein, kacang koro ( Lablab bean ) mengandung protein yang bervariasi antara 21 sampai 29 persen, dimana granula-granula protein terdapat dalam kotiledon dan embrionic axis, dan hanya sedikit yang terdapat dalam kulit (Susanto, 1990). Berdasarkan hasil fraksionasi, protein koro dapat dibedakan menjadi fraksi protein globulin, albumin, prolamin dan glutelin. Jumlah terbesar dari protein kacang koro adalah globulin yaitu sekitar 60 % dari total protein dan sekitar 20 % adalah albumin. Macam-macam asam amino yang terdapat dalam dalam fraksi protein albumin ternyata terdapat asam amino yang mengandung sulfur ( metionin dan sistin ) yang jumlahnya cukup besar. Sedangkan Venkatachalam et al. ( 2002 ) melaporkan bahwa albumin, globulin, prolamin dan glutelin dari biji koro masing-masing adalah 20, 48, 1 dan 31% dari total protein biji. Glubolin berupa sebuah glikoprotein yang berisi paling rendah 3 polipeptida dalam berat molekul 51- 64 kDa. Asam amino bersulfur adalah faktor pembatas utama dari total protein biji Faktor penting yang perlu mandapat perhatian dalam pemanfaatan protein kacang koro dalam produk pangan adalah sifat-sifat fungsionalnya. Hal ini didasari pada berbagai fakta bahwa produk pangan diproduksi tidak hanya untuk meningkatkan nilai gizinya saja, akan tetapi justru sifat-sifat fungsional sangat menentukan penerimaannya oleh konsumen. Kelarutan protein (protein
solubility ) kacang koro sangat dipengaruhi oleh pH, dimana kelarutan protein minimal terjadi pada pH 4,3. Nilai pH tersebut merupakan titik isoelektrik pada protein kacang koro, sedang kelarutan maksimum terjadi pada pH 9. Kemampuan menyerap air dan minyak , isolat protein koro lebih rendah dari pada bentuk konsentratnya dan lebih rendah dari pada SPI. Kapasitas emulsi (emulsion capacity) lebih rendah dibandingkan dengan SPI yaitu 60,5 g/g sedang pada SPI adalah 69,3 g/g. Stabilitas yang ditunjukkan oleh volume air yang terpisah masih lebih rendah dari pada yang dimiliki oleh SPI demikian juga kemampuan dalam membentuk buih yang stabil ( stable foams). Kelarutan protein terendah terjadi pada pH sekitar 4,3 yang juga merupakan titik isoelektrik dari protein kacang koro. Secara umum kelarutan dari protein kacang koro mengalami perubahan yang cepat pada pH diatas 4,8 dan menurun pada pH 12,0. Kira-kira 80 % protein dari kultivar rongai lebih tinggi dari pada kultivar highworth yang hanya 75 % terlarut pada pH 9. (Susanto, 1990) Sifat-sifat fungsional dari proteinat dapat digunakan untuk memprediksikan penerapan penggunaan protein dalam sistem pangan. Hasil ekstraksi skala laboratorium dari tepung kacang polong dapat menghasilkan 62 persen dari proteinnya, walaupun koagulasi dengan asam atau garam menunjukkan kandungan nitrogen yang sama, namun kelarutan, sifat gelasi dan stabilitas emulsi menunjukkan perbedaan. Proteinat asam mudah terdispersi dan mempunyai kelarutan yang tinggi pada pH rendah. Hal ini membuatnya dapat difungsikan untuk minuman atau soups (Sutrisno, 2004). FaiChau, Cheung dan ShingWong (1997) menyatakan bahwa sifat fungsional kelarutan Nitrogen terendah didapatkan
pada konsentrat protein P. angularis dan P. calcaratus pada pH 5, sementara pada D. lablab pada pH 4. Ketiga jenis protein konsentrat tersebut mempunyai viskositas yang lebih rendah daripada protein konsentrat protein kedelai, aktifitas dan stabilitas emulsi mirip, sedang water dan oilholding capacities serta foam capacities lebih tinggi dari pada kedelai. Aktifitas emulsi, kapasitas dan stabilitas buih maksimum terjadi pada pH 4. Kelarutan Nitrogen ( Nitrogen Solubility ) dari konsentrat protein kacang koro dan kedelai pada pH 4 masing-masing 5,08 % dan 5,26 %. Sodium proteinat dan isolat protein isoelektrik dari biji pea yang diekstrak menggunakan alkali, diendapkan pada titik isoelektrik dan dikeringkan dengan freeze drying, drum drying dan spray drying secara umum menunjukkan bahwa sodium proteinat mempunyai sifat fungsional yang lebih baik dibandingkan isolat protein isoelektrik. Sedangkan metode pengeringan freeze drying dan spray drying menghasilkan isolat protein yang mempunyai tingkat emulsifikasi tinggi dan pembuihan (foaming) yang baik ( Sumner, Nielson dan Young, 1980). Ekstraksi isolat protein dari defatted mocademia nut kernel yang diekstrak pada kondisi asam (pH 2,0), netral (pH 7,2) dengan 0,2 M buffer fosfat mengandung 0,5 M NaCL dan alkali (pH 12). Ekstraksi pada pH 12 kelarutan protein dari defatted mocademia nut kernel mendekati 52 %, sementara ekstrak dengan buffer (pH 7,2)
dan Alkali (pH 12) kelarutan sekitar 83 % protein. Hasil pengendapan isoelektrik dari ekstrak asam (isolat A) adalah 65,2 %, sedangkan netral (isolat B) dan alkali (isolat C) lebih dari 83 %. Kandungan protein dari isolat A, B dan C masing-masing 80,1, 92,1 dan 92 persen. Sifat fungsional dari ketiga isolat protein ini menunjukkan perbedaan, isolat A kelarutannya lebih baik pada pH dibawah isoelektrik, isolat C pada pH diatas isoelektrik sedang isolat B pada kisaran pH 7,2. Isolat B menunjukkan kapasitas absorbsi air dan minyak yang terbaik disusul isolat C dan terakhir adalah isolat A. Sifat emulsi pada masing-masing isolat dipengaruhi oleh nilai pH ( Bora, 2004 ) METODE Bahan Dasar Penelitian Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian berupa biji kacang koro varietas rongai diambil dari hasil penanaman di desa Sukoiber Gudo Jombang dan dipilih biji yang sudah masak optimal dari jenis dan umur panen yang ditandai dengan kulit luar berwarna coklat muda dan biji berwarna coklat tua. Dipilih biji yang seragam serta bebas hama dan penyakit Cara Kerja Penelitian Kerangka operasional penelitian dibuat seperti pada diagram Gambar 1 sebagai berikut :
Biji koro
Penghancuran I 65 mesh
Penghancuran II 100 mesh
Tepung biji koro Pembebasan lemak ( Defatted) Dengan petroleum benzena perbandingan dengan tepung ( 10 : 1 )
Tepung biji koro bebas lemak (defatted whole valbean flour) Pemisahan isolat protein dari tepung
ISOLAT PROTEIN ISOELEKTRIK (IPI) Liquifikasi isolat protein + NaOH 1M; 0,8M; 0,6 M, 0,4M, 0,2M, 0,1M dan kontrol
Evaluasi sifat emulsi
Gambar 1. Kerangka Operasional Penelitian Ekstraksi protein biji koro Ektraksi protein biji koro dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pembebasan sisa lemak . Biji koro dikeringkan pada temperatur 60oC hingga mencapai kadar air 10 persen. Selanjutnya dihancurkan hingga menjadi tepung dengan ukuran butiran 65 mesh. Butiran ayakan selanjutnya dihancurkan lagi dengan plate mill dan diayak dengan ukuran 100 mesh ( Sumner, Nielson dan Young, 1980 dimodifikasi). Ekstraksi lemak tepung kacang biji koro dilakukan dengan petroleum benzena dengan modifikasi metode Sathe et al. 1982 dalam Herastuti (1990). Tepung kacang biji koro direndam dalam larutan
petroleum benzena dengan perbandingan 1 : 5 b/v selama 1,5 jam diaduk dengan mixer kecepatan rendah (no1), dengan penggantian petroleum benzena setiap 30 menit dan pengocokan setiap 1o menit. Pekerjaan ini dilakukan pada suhu ruang. Tepung biji koro selanjutnya dipisahkan dari petroleum benzena dengan menggunakan kertas saring kasar, dan pengeringan dilakukan pada suhu ruang udara terbuka selama 17 –24 jam. Dihasilkan tepung biji koro bebas lemak ( defatted fine whole valbean fluor ) dan diamati penampilan tepung yang dihasilkan dan kadar lemak yang terekstrak.
2. Pemisahan Isolat Protein Untuk memisahkan isolat protein dari tepung biji koro yang telah bebas lemak dilakukan dengan cara seperti yang dilakukan oleh Puppo dan Anon (1998) yang dimodifikasi sebagai berikut : Tepung biji koro dilarutkan pada perlakuan larutan alkali pH 8,0 dengan perbandingan 1 : 5 b/v pada suhu ruang selama 1 jam. Selanjutnya fraksi protein biji koro dipisahkan dengan menggunakan kertas saring whatman no 4. Filtrat yang didapatkan dilakukan pengendapan pada pH 4,0 dengan cara menambahkan HCL 0,1 M, Hasil endapan dipisahkan dari supernatan dengan menggunakan kertas saring whatman nomer 4, pencucian dilakukan dengan air destilat sebanyak 3 kali. Hasil IPI sebagian dievaluasi tentang penampilan, kadar air, dan kadar protein. Sebagian yang lain dialkalisasi dengan menggunakan NaOH 0,1 M, 0,2 M, 0,4 M, 0,6 M, 0,8 M dan 1 M dengan perbandingan 2 gram IPI dengan 0,2 ml NaOH. Hasil alkalisasi diamati tentang : stabilitas emulsi, kapasitas busa, stabilitas busa. 1. Penampilan biji koro, tepung biji koro, defatted tepung biji koro dan isolat protein isoelektrik difoto menggunakan digital camera. 2. Emulsion stability (ES) Menggunakan metode Okezie dan Bellow (1988) yang dikutip Sutrisno (2004) yang dimodifikasi sebagai berikut : 0,5 g sampel dan dihomogenasi dengan 12,5 ml dengan destilat air dalam Vir Tis dengan penambahan minyak 25 ml ( kecepatan 10 ml/menit). Emulsi selanjutnya dipindahkan dalam tabung sentrifugasi 50 ml, dan total volume, total minyak dan dan ciran yang memisah selama dibiarkan ( 25 C + atau – 2 C) dicatat pada kurun waktu 0, 0,5, 2 dan 6 jam.
3. Kapasitas busa ( foam capacity ) dan stabilitas busa ( foam stability ) diamati dengan metode Gruener dan Ismond (1997) yang dimodifikasi sebagai berikut 2 ml IPI hasil alkalisasi ditambah air destilat dan dihomogenasi dengan menggunakan super mixer selama 5 menit dan diukur kapasitas busa yang dihasilkan. Stabilitas busa diukur berdasarkan perubahan volume busa setelah dibiarkan beberapa jam dan diukur perubahannya setiap 30 menit. 4. Kadar protein dengan metode biuret ( Weaver, 1996) HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Perubahan tepung hasil defatted Perubahan tepung setelah penghancuran dan pemisahan lemak (defatted ) dengan menggunakan petroleum benzena dari tepung berturutturut eperti disajikan pada Gambar 2. Dengan menggunakan petroleum benzena jumlah lemak yang dapat terekstraksi rata-rata 1,5 sampai 2,0 persen dari tepung biji koro, perubahan warna tepung seperti gambar nomor (3). 2. Isolat Protein Isoelektrik (IPI) Hasil penelitian (IPI) biji koro dan bentuk foam terlihat seperti pada Gambar 3. Isolat protein isoelektrik hasil pemisahan dari bji koro memberikan warna putih tulang (gambar 1) dan busa yang dihasilkan berwarna putih (gambar 2). Rata-rata kadar protein dari IPI sebelum dikeringkan adalah 20,2 % kadar air 76,6 %. 3. Kelarutan Isolat Protein pada Berbagai pH Protein isoelektrik biji komak hitam mempunyai sifat kelarutan yang berhubungan dengan nilai pH. Hubungan antara nilai pH dengan tingkat kelarutan isolat protein isoelektrik ditunjukkan pada
Gambar 4. Pada pH lebih besar dari 8 kelarutan isolat lebih dari 85 %, sementara pH diatas 9 kelarutan meningkat hingga mencapai 90 %. Pada kondisi pH asam ( kurang dari 3 ) kelarutan meningkat sampai 20 % (Gambar 4). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa titik isoelektrik protein komak hitam terjadi
(1). Biji Koro
pada pH 4,0. Titik isoelektrik tersebut lebih rendah dari titik isoelektrik dari isolat protein beach pea adalah 4,5 seperti yang dilaporkan Chavan, et al., (2001) selanjutnya dikatakan bahwa pada pH yang lebih rendah dan lebih tinggi dari pH isoelektriknya akan berakibat terjadi peningkatan kelarutan.
(2). Tepung sebelum defated (3). Tepung setelah ekstraksi lemak (defatted)
Gambar 2. Hasil defatted dari tepun biji koro menggunakan petrol
Gambar 3. Isolat protein isoelektrik hasil pengendapan pada titik isoelektrik (pH 4)
Susanto (1990) melaporkan bahwa kelarutan isolat protein komak mengalami peningkatan yang cepat jika pH dinaikkan pada kisaran 4,8 – 12. Pola hubungan pH dengan kelarutan protein komak hitam
yang mirip, juga dijumpai pada isolat protein kedelai ( Smith dan Circle, 1972 dalam Soy Protein Council, 1987) dan juga pada isolat protein komak putih ( Subagiyo, 2006).
Kelarutan (%)
120 100 80 60 40 20 0 2
3
4
5
7
-20
9
10
11 pH
Gambar 4. Hasil penelitian hubungan nilai pH dengan kelarutan isolat protein isoelektrik (IPI) Kelarutan isolat protein erat hubungannya dengan interaksi inter molekul protein dan interaksi antara molekul protein dengan solvent (pelarut). Pada kondisi pH dibawah pH isoelektrik gugus karboksilat dari molekul protein terprotonasi, sehingga protein memiliki muatan positif. Hal tersebut dapat berakibat pada peningkatan gaya tolak menolak antar molekul protein, sehingga antar molekul protein saling terpisah. Kondisi ini menyebabkan interaksi antara molekul protein dengan pelarut terjadi peningkatan, sehingga kelarutan semakin meningkat.
Sebaliknya pada pH tinggi ( diatas Sebaliknya pada pH tinggi ( diatas pH titik isoelektrik ) terjadi peningkatan muatan negatif pada molekul protein. Hal ini berakibat pada peningkatan interaksi antara molekul protein dengan pelarut ( Kinsella, et al., 1985 dalam Aluko dan Yada, 1994). Stabilitas Emulsi (Emulsion stability) Stabilitas emulsi hasil alkalisasi IPI menunjukkan bahwa sampai 120 menitmasih cukup stabil. Data selengkapnya seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
100 90
ES (% v/v)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 aw al
30'
60'
90'
120'
waktu IPI
0.1M
0.2M
0.4M
0.6M
0.8M
1M
Gambar 5. Emulsion stability (stabilitas emulsi) hasil alkali IPI biji koro Hasil penelitian pada Gambar 5 menunjukkan bahwa hasil alkalisasi isolat protein isoelektrik hasil alkalisasi penurunan kapasitas stabilitas emulsi (EMC ) terbesar terjadi pada waktu 30 sampai 60 menit. Dari keseluruhan hasil alkalisasi menunjukkan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat protein isoelektriknya (IPI). Konsentrasi NaOH 0,2 M memberikan stabilitas emulsi yang paling optimal. Terjadinya peningkatan stabilitas emulsi hasil alkalisasi dengan NaOH pada isolat protein isoelektrik menyebabkan melarutnya kembali dari protein sehingga kemampuan untuk mengikat air pada gugus hidrofil dan kemampuan mengikat minyak pada gugus hidrofob menjadi lebih optimal dibandingkan dengan isolat protein isoelektriknya. Stabilitas emulsi diketahui dari jumlah minyak yang terlepas setelah
dibiarkan beberapa waktu. Stabilitas emulsi dari isolat protein isoelektrik komak hitam rata-rata 1,33 jam. Khalid, et al., (2003) melaporkan bahwa stabilitas emulsi pada isolat protein sesame dipengaruhi oleh pH, pada pH netral stabilitas emulsi adalah tinggi. Elizade, et al., (1991) telah melaporkan bahwa stabilitas emulsi tergantung dari tingginya kapasitas absorbsi terhadap air dan minyak. Kestabilan emulsi tergantung dari kekuatan interparsial bahan dalam mempertahankan interaksi hidrofobik antara minyak dengan protein. Kapasitas dan Stabilitas busa (Capacity
dan stability Foam) Foam capacity untuk semua perlakuan berkisar 20 – 30 %, selengkapnya ditampilkan sperti pada Gambar 6 dan Gambar 7
FC (%V/V) 35 30 25 20 15 10 5 0 IPI
0.1
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Konsentrasi NaOH (M)
Gambar 6. Foam capacity hasil alkalisasi IPI dari biji koro
foam stability (%V/V)
35 30 25 20 15 10 5 0 aw al
30'
60'
90'
120'
150'
waktu IPI
0.1
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Gambar 7. Foam Stability hasil alkalisasi IPI dari biji koro
Kapasitas busa ( foam capacity) menunjukkan angka yang bervariasi antara 20 % sampai 31 %, sementara stabilitas foamnya menunjukkan bahwa alkalisasi dengan NaOH lebih dari 0,4 M memiliki stabilitas foam yang rendah setelah 60 menit dibiarkan, sementara stabilitas foam pada IPI, dan alkalisasi dengan NaOH 0,1M dan 0,2 M memiliki kestabilan yang
relatif lebih tinggi. Hal ini terjadi karena bubble collaps dari foam lebih cepat akibat alkalisasi yang berlebihan. Foam capacity (FC) yang dibentuk oleh beberapa isolat protein isoelektrik pada beberapa jenis isolat protein kacang-kacangan yang dilaporkan Chavan, et al., (2001) seperti beach pea 128-143 %, green pea 170-185%, grass pea 151-175 %. Selanjutnya Chavan, et
al., (2001) menyatakan bahwa besarnya kapasitas busa dari isolat protein sangat dipengaruhi oleh kohesifitas intramolekul dan flesibilitas dari molekul protein. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Isolat protein isoelektrik solubility dari biji koro memiliki kadar air 76,6 % sebelum dikeringkan dan kadar protein = 20,2 %. Secara umum sifat emulsi hasil alkalisasi isolat protein isoelektrik lebih
baik dibandingkan dengan protein isoelektrik. Penggunaan NaOH 0,2 M memberikan hasil yang lebih baik yang ditunjukkan rata-rata penurunan kestabilan emulsi = 13,25 %/jam, rata-rata kapasitas foam = 27,69 %, penurunan stabilitas foam = 2,49 %/jam. Untuk meningkatkan sifat emulsi disarankan sebelum pengeringan sebaiknya IPI dialkalisasi dengan NaOH 0,2 N dengan perbandingan 2 g IPI ditambah 0,2 ml NaOH.
DAFTAR RUJUKAN Aluko, R.E., and Yada, R.Y., 1995. Structure-function relationships of cowpea (Vigna unguiculata) globulin isolate : influence of pH and NaCl on physicochemical and functional properties. Food Chem., 53 : 259-265 Bora, P.S., 2004. Influence of pH on the extraction yield and functional properties of macadamia ( Macadamia integrofolia) protein isolates. J. Food Tech. Int. 10 ( 4) : 263-267 Chavan, U.D., McKenzie, D.B., and Shahidi, F.,2001. Functional properties of protein isolates from beach pea ( Lathyrus maritimus L.). Food Chem, (74) : 177-187 Elizalde, B.E., Pilosof, A.M.R., and Bartholomi, G.B., 1991. Prediction of emulsion instability from emulsion composition and phycochemical properties of proteins. J. Food Sci., (56) : 116-119. FaiChan-Chi., Cheung, P.C.K., and ShingWong, Y., 1997. Functional Properties of Protein Concentration from Three Chinese Indigenous Legume Seeds. J.Agric. Food. Chem. (45)7:2500-2503. Gruener, L. and Ismond, M.A.H., 1996. Effects of acetylation and succinylation on the functional properties of the canola 12s globulin. Food chem 60 (4): 513-520 Herastuti. 1990.Modifikasi Kimia dalam Peningkatan Sifat Fungsional Protein Dedak Padi.Dalam Kajian Kimiawi Pangan II ( Setiaji, et.al. edt.). PAU Pangan-Gizi. Univ. Gajah Mada. Jojakarta. 293 h. Khalid, E.K., Babiker and ElTinay, A.H. 2003. Solubility and functional properties of sesame seed protein as influenced by ph and salt consentration. Food chem., (82): 361-366. Puppo, M.C., and Anon, M.C., 1998. Effect of pH and Protein Concentration on Rheological Behavior of Acidic Soybean Protein Gels. J. Agric. Food.Chem.(46).8: 3039-3046
Soetrisno, Uken S. S. 2004. Characterization of yellow pea (Pisum sativum L. Miranda) Proteins and the Proteinate Functional Properties. Doctor of Philosopy Thesis. Department of Nutrition and Food Management. Oregon State University, Corvallis, OR 97331-5103. Home: http://food.oregonstate.edu/ Soy Protein Council, 1987. Soy protein product : characteristics, nutritional aspects and utilization. Soy Protein Council. Washington Subagio, A., 2006. Characterization of hyacinth bean (Lablab purpureus (L.) sweet) seeds from Indonesia and their protein isolate. Food Chem., 95 : 65–70 Sumner, A.K., Niesen, M.A. and Young, C.G., 1980. Production and evaluation of Pea Protein Isolate. Institute of Food Tecnologist. New Orlean. Susanto. T. 1990. The Utilisation of Lablab beans for Human Foods. Brawijaya University. Malang. Venkatachalam, M., Kshirsagar,H.H, Tiwari,R. and Sathe. S.K., 2002. Biochemical characterization of Valbean ( Dolichos lablab L. ) protein. Depertement of Nutrition, Food and Exercise, Florida State University. Weaver, C., 1996. Food Chemistry Laboratory. CRC Press. Boca Raton, New York, London. Tokyo.