Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PENGARUH PENGHAMBATAN AKTINOMISETES TERHADAP PERTUMBUHAN FUNGI Colletotrichum acutatum PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI SECARA IN VITRO The inhibitory effect of actinomycetes on the growth of fungi Colletotrichum. acutatum causes anthracnose on chili in vitro Shinta Hartanto dan Eti Heni Krestini Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl Raya Tangkuban Perahu No 517 Lembang Bandung
[email protected] Abstrak Cabai merupakan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Menurut data BPS 2015 Produksi cabai besar segar dengan tangkai pada tahun 2014 yaitu sebesar 1,075 juta ton. Salah satu penyakit yang masih sering menyerang cabai adalah antraknosa (patek). Serangan penyakit yang disebabkan oleh Colletotrichum sp ini dapat menurunkan produksi cabai, baik dari segi kuantitas dan kualitasnya, hingga menyebabkan kegagalan panen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penghambatan 16 isolat aktinomisetes asal rizosfer tanah lahan pertanian organik di Lembang- Bandung terhadap pertumbuhan dan perkembangan penyakit C. acutatum secara in vitro. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode dual culture antara actinomycetes dan C. acutatum dengan 16 isolat actinomycetes sebagai perlakuan dan diulang sebanyak dua kali. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung persentase penghambatan masing-masing isolat actinomycetes terhadap C. acutatum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat aktinomisetes yang diuji antagonis terhadap Colletotrichum acutatum menunjukkan persentase penghambatan yang bervariasi berkisar antara 15 hingga 88 %. Persentase penghambatan terbesar terdapat pada isolat dengan kode Sio 5 sebesar 88 % dan Bym 4 sebesar 87 %. Kata Kunci: aktinomisetes, uji antagonis, C. acutatum Abstract Chili is one commodity that is widely cultivated by the Indonesian farmer . According to BPS data in 2015 Production of fresh chili with stalk in 2014 in the amount of 1.075 million tons. One of the diseases is often attacked chilli is anthracnose caused by Colletotrichum sp, this disease can reduce the production of chili, both in terms of quantity and quality, even causing crop failures. This study aimed to determine the inhibitory effect of 16 isolates of actinomycetes (originated from rhizosphere soil organic farms in Bandung - Lembang ) to the growth and development of C. acutatum in vitro. The method used in this study was a dual culture assay between actinomycetes isolates and C. acutatum , with 16 isolates of actinomycetes as a treatment and repeated twice. The observation was done by calculating the percentage inhibition of each isolate actinomycetes against C. acutatum. The results showed that the 16 isolates tested actinomycetes were antagonistic to C. acutatum showed inhibition percentage that varies between 15 to 88%. The highest inhibition percentage of isolates with the code Sio 5 BYM 88% and 4 by 87% Key words: Actinomycetes, Antagonist test, C. acutatum
1160
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PENDAHULUAN Cabai merupakan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia baik di dataran rendah, medium dan tinggi. Menurut data BPS 2015, produksi cabai besar segar dengan tangkai pada tahun 2014 yaitu sebesar 1,075 juta ton. Dibandingkan tahun 2013, terjadi kenaikan produksi sebesar 61,73 ribu ton (6,09 persen). Hingga saat ini, salah satu penyakit yang masih sering menyerang cabai adalah antraknos. Serangan penyakit yang disebabkan oleh fungi pathogen Colletotrichum sp. ini dapat menurunkan cabai, baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Menurut Hasyim et al. (2014) kehilangan hasil panen cabai di Indonesia yang disebabkan oleh serangan antraknosa diperkirakan sebesar 10-80%. Colletotrichum sp dapat menyerang buah cabai sebelum dan setelah panen, mulai dari buah cabai yang masih muda (hijau) hingga matang (merah), namun serangan terparah terjadi pada buah cabai yang telah berwarna merah, serangan ini tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Krestini & Kushandriyani, 2012). Usaha pengendalian antraknosa yang menyerang cabai hingga saat ini masih mengandalkan fungisida kimia. Penggunaan fungisida kimia secara berlebihan dan terusmenerus tidak hanya dapat merusak lingkungan namun juga bahaya residu bahan kimia yang tertinggal pada produk pertanian tersebut dapat masuk tubuh manusia melalui konsumsi. Pengurangan dampak negatif dari pemakaian fungisida kimia dapat dilakukan salah satunya dengan pemanfaatan mikroorganisme antagonis yang memiliki kemampuan dalam menghambat dan menekan perkembangan fungi pathogen penyebab penyakit. Muthahanas (2008) Aktinomycetes merupakan salah satu kelompok bakteri yang paling berpotensi sebagai mikroorganisme antagonis dikarenakan kemampuannya menghasilkan senyawa bioaktif (Hartanto, 2012). Kelompok bakteri ini dikenal sebagai bakteri penghuni tanah karena jumlahnya yang mendominasi di lingkungan ini. diperkirakan sekitar 80 genus yang menyusun ordo Actinomycetales dapat ditemukan dan diisolasi dari tanah (Shekar et al, 2006). Kemampuan aktinomisetes dalam menghambat perkembangan fungi pathogen telah dilaporkan di berbagai penelitian. Irwan (2008) melaporkan bahwa sebanyak 20 isolat aktinomisetes dari genus Streptomyces sp. yang berhasil diisolasi mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman pada uji antagonis secara berpasangan. Satu isolat mampu menghambat tiga jamur patogen tanaman (Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii). Dua isolat mampu menghambat pertumbuhan dua jamur patogen tanaman (Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Raharini (2012) menunjukkan bahwa isolat aktinomisetes dari genus Streptomyces sp dapat menghambat perkembangan fungi pathogen F. oxisporum yang menyerang cabai merah dengan persentase penghambatan 32 hingga 84 persen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antagonis isolat aktinomisetes asal rizosfer dari lahan pertanian organik Lembang- Bandung terhadap pertumbuhan fungi Colletotrichum acutatum penyebab penyakit antraknosa pada cabai. Dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan isolat aktinomisetes yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen biokontrol dalam mengendalikan penyakit antraknosa. 1161
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
BAHAN DAN METODE PENELITIAN a. Isolasi dan pemurnian Aktinomisetes Penelitian dilaksanakan pada Bulan September – Januari 2016, pengambilan sampel tanah dilakukan di salah satu kebun sayur organik Lembang, sedangkan uji antagonis dilaksanakan di laboratorium bakteriologi Balitsa. Sampel tanah dikumpulkan dari daerah rizosfer tanaman sayuran sawi, bayam, siomak dan selada. Penanaman sampel dilakukan dengan menggunakan metode spread plate dengan pengenceran 10-1 hingga 10-5. Sampel tanah yang diperoleh dikeringanginkan selama 5 hari pada suhu ruang, kemudian sebanyak 10 gram sampel tanah ditimbang dan dimasukkan ke dalam 90 ml akuades steril, dishaker selama kurang lebih 1 jam. Untuk pengenceran 10-1 sebanyak 1 ml larutan diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml akuades steril dan divortex, selanjutnya dilakukan hal yang sama hingga pengenceran 10-5. Media yang digunakan untuk menumbuhkan aktinomisetes yaitu starch nitrat agar (SNA), dengan komposisi (gram/liter akuades): MgSO4.7H2O (0,5), FeSO4.7H2O (0,01), NaCl (0,5), KNO3 (1), K2HPO4, (0,5) amilum (tepung kanji) (20), agar teknis (20). Inkubasi dilakukan selama 2 minggu. Setelah 2 minggu isolat yang diduga aktinomisetes pada media SNA kemudian dimurnikan dan ditumbuhkan pada cawan yang baru. b. Uji Antagonis Sumber isolat C. acutatum merupakan koleksi dari laboratorium bakteri-mikologi Balitsa, uji antagonis dilakukan dengan metode dual culture antara aktinomycetes dan C. acutatum diambil dengan metode cork borer dan diletakkan di tengah cawan petri sedangkan isolat aktinomisetes di tanam pada 4 titik dengan jarak 2 cm dari tengah cawan petri, selanjutnya diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Setelah 7 hari, persentase penghambatan aktinomisetes terhadap C. acutatum dihitung dengan menggunakan rumus Persentase hambatan = (R1 – R2) x (R1) -1x 100% Keterangan : R1 =Jari-jari koloni jamur yang berlawanan dengan pusat antagonis R2 =Jari-jari koloni jamur yang menuju pusat antagonis c. Analisis Data Analisis dan Presentasi Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ooooo ragam pada taraf nyata 5%. Presentasi data ditampilkan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh 16 isolat aktinomisetes yang telah berhasil dimurnikan pada media starch nitrate agar (SNA). SNA merupakan media selektif yang digunakan untuk Isolasi actinomisetes, penggunaan media ini menurut Riyanti (2012) dapat meminimalisir kontaminasi bakteri lain. Koloni aktinomisetes yang tumbuh pada media SNA memiliki berbagai macam penampakan warna, seluruh isolat memiliki permukaan yang tidak mengkilap, dengan diameter kecil (3–10 mm), koloninya tumbuh sangat lambat ( 14 hari) dan menempel erat pada permukaan agar setelah 1162
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
diinkubasikan, permukaan koloninya menghasilkan spora yang berbentuk seperti serbuk / tepung. Karakteristik tersebut mirip dengan yang diamati oleh Agrios (2005), bahwa koloni Actinomycetes, khususnya dari genus Streptomyces pada memiliki ukuran dengan diameter 1-10 mm, pada awalnya permukaan koloni agak licin dan lama kelamaan terdapat jaringan miselium yang menyebabkan permukaan koloni bertepung. Menurut (Hamidah, 2013) aktiomisetes memiliki salah satu karakteristik koloni dengan selubung yang tersusun oleh miselium udara, serta hifa dengan selubung hidrofobik yang tumbuh dari koloni ke udara bebas. meski pertumbuhan lambat, actinomycetes mampu membentuk spora tahan didalam tanah dan juga memiliki kemampuan menghasilkan antibiotik.
Gambar 1. Penampakan koloni aktinomisetes yang telah dimurnikan Actinomycetes memiliki warna koloni yang berbeda-beda karena kandungan pigmen dari tiap sel penyusun yang berbeda (Hamidah, 2013). warna untuk miselium vegetatif yang teramati adalah coklat, kuning dan putih. Miselium vegetatif berperan dalam penyerapan nutrisi dari media tumbuh, jika nutrisi terbatas, miselium vegetatif akan berkembang menjadi miselium udara yang mengandung spora Pengamatan warna untuk miselium udara masing- masing koloni meliputi : putih, abu-abu, merah muda dan coklat. Menurut Irwan (2008) setiap koloni aktinomisetes memiliki karakteristik warna miselium udara yang beragam dikarenakan kemampuan bagian ini untuk memproduksi pigmen tertentu. Sedangkan warna pigmen terdifusi yang teramati adalah kuning, coklat, biru gelap dan merah muda.
1163
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 1. Hasil Pengamatan Makrmorfologi Isolat aktinomisetes
kode isolat
Warna miselium udara
Sw 1
abu-abu
Sw 2
hitam keabuan
Sw 4
Abu-abu putih kecokelatan putih kecokelatan Abu abu Abu kehijauan putih
Sw 5 Sw13 Sw 11 Bym 1 Bym 2 Bym 3 Bym 4
Warna miselium vegetatif
tepi koloni
elevasi
bentuk
abu-abu hitam keabuan abu kemerahan putih kecokelatan
rata
raised
undulate
Raised
bulat bulat tepi berlekuk
rata
raised
bulat
undulate
umbonate
bulat
coklat Abu abu abu kuning Abu kebiruan Merah
undulate rata rata rata
Flat Flat Flat Flat
bulat bulat bulat bulat
rata
Flat
bulat
Abu-abu
rata
Raised
bulat bulat dengan tepi timbul bulat dengan tepi berlekuk bulat bulat bulat
Bym 5
Abu kebiruan Merah muda Abu kecoklatan
Sio 1
abu-abu
abu-abu
rata
crateriform
Sio 2 Sio 3 Sio 5 Sio 8
abu-abu abu-abu abu-abu abu-abu
abu-abu abu-abu abu-abu abu-abu
undulate undulate rata irregular
convex Raised Raised Raised
Sebanyak 16 isolat Actinomycetes yang berhasil diisolasi selanjutnya diuji kemampuan antagonisnya terhadap fungi pathogen Colletotricum acutatum. Berdasarkan hasil pengujian, semua isolat Actinomycetes memiliki sifat antagonis terhadap patogen tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya zona penghambatan, meskipun terdapat variasi diameter penghambatan pada masing-masing isolat. Diduga variasi persentase zona hambatan yang terbentuk dikarenakan adanya perbedaan daya antagonisme dari masingmasing isolat Actinomycetes dalam menghambat pertumbuhan fungi patogen. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh jenis, kualitas dan kuantitas metabolit sekunder yang dihasilkan. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa Persentase penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh isolat kode sio 5 sebesar 88oo% dan bym 4 sebesar 87%.
1164
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 2. Persentase penghambatan bakteri Actinomycetes terhadap C. acutatum No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
kode isolat Sw 1 Sw 2 Sw 4 Sw 5 Sw13 Sw 11 Bym 1 Bym 2 Bym 3 Bym 4 Bym 5 Sio 1 Sio 2 Sio 3 Sio 5 Sio 8
persentase 16.07g 25.00fg 42.86cde 51.79c 39.29de 45.85cd 33.93ef 72.86b 28.57f 87.14a 32.86ef 15.00g 33.50f 46.95cd 88.93a 32.86ef
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut tukey pada taraf 5%.
A
B
Gambar 3. A Penghambatan Actinomycetes isolat sio 5 terhadap C. acutatum dibandingkan dengan kontrol, B. Penghambatan Actinomycetes isolat bym 4 terhadap C. acutatum dibandingkan dengan kontrol. Hifa C. acutatum selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x untuk melihat pengaruh metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinomisetes terhadap pertumbuhannya. Di bawah mikroskop hifa C. acutatum tumbuh abnormal, hifa tampak terpotong – potong menjadi beberapa bagian, penyebabnya diduga karena pengaruh senyawa yang dihasilkan oleh aktinomisetes, senyawa tersebut selanjutnya berdifusi ke media SNA, sehingga menyebabkan hifa tumbuh tidak normal
1165
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Gambar 2. Penampakan morfologi hifa C. acutatum (tanda panah menunjukkan hifa yang terpotong-potong) Menurut Soures et al (2006), mekanisme antagonis yang dimiliki oleh aktinomisetes ini diduga disebabkan oleh keberadaan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan, baik berupa enzim hidrolitik (kitinase, selulase, pektinase dll) dan komponen metaboit sekunder lainnya. Dalam penelitiannya, dari beberapa isolat yang diuji antagonis melawan C. gloeosporioides, 5 diantaranya memiliki aktifits kitinase. Aktivitas ini menunjukkan fungsi yang lebih efisien dalam menghambat pertumbuhan miselium dan germinasi spora. Actinomycetes memiliki kemampuan kitinolitik yaitu aktivitas yang dapat mendegredasi kitin, sehingga pertumbuhan fungi patogen menjadi terhambat. Sedangkan Suwan et al (2012) melaporkan dalam penelitiannya bahwa 6 isolat aktinomisetes yang diisolasi dari tanah menunjukkan aktifitas penghambatan yang efektif terhadap C. gloeosporioides. Aplikasi aktinomisetes kode NF dan NSP 1 sebelum diinokulasi C. gloeosporioides pada tanaman cabai, secara signifikan menurunkan terjadinya lesi pada cabai sebesar 67 % dan menurunkan insidensi penyakit sebesar 80%. Prapagdee et al ( 2008) menambahkan bahwa Colletotrichum gloeosporioides yang menyebabkan penyakit blight leaf dan stem-rot diseases, perkembangannya mampu dihambat oleh enzim kitinase yang dihasilkan oleh Streptomyces strain SRA14 melalui pengujian secara in vitro, enzim kitinase yang dihasilkan oleh isolat tersebut melakukan penghambatan melalui perubahan seluler morfologi hifa meliputi terbentuknya struktur hifa yang swelling (berombak) struktur ini merupakan struktur hifa yang abnormal, selain itu juga terjadi agregasi sitoplasma serta pelisisan dinding sel fungi (Soures et al, 2006). A B PENUTUP Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari 16 isolat aktinomisetes yang telah diisolasi terdapat 2 isolat yang memiliki persentase penghambatan terbesar terhadap C. acutatum, isolat dengan kode sio 5 (88%) dan bym 4 (87%), kedua isolat ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen hayati untuk biokontrol penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Saran Saran untuk penelitian lanjutan yaitu perlu dilakukan pengujian secara langsung di lapangan untuk melihat daya antagonis aktinomisetes terpilih terhadap fungi pathogen C. acutatum yang menyerang tanaman cabai. 1166
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA Agrios, N. G. 2005. Plant Pathology.5th ed. Academic Press. Departemen of Plant Pathology University of Florida. 922p Hamidah, Ambarwati dan Indrayudha P. 2013. Isolasi Dan Identifikasi Isolat Actimocetes Dari Rizosfer Padi (Oryza sativaL.) Sebagai Penghasil Antifungi. Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta. Surakarta 2013 Hartanto, Shinta. 2012. Keragaman Sekuen Gen Nrps 14 Isolat actinomycetes Laut Yang Berpotensi Menghasilkan Senyawa Antikanker. Thesis Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjahmada Hasyim, A., W. Setiawati, and R. Sutarya. 2014. Screening for resistance to anthracnose caused by Colletotrichum acutatum in chili pepper. Advances in Agriculture & Botanics International Journal of the Bioflux Society, 6(2): 104–118. Krestini, E.H, dan Y. Kusandriani. 2012. Pemanenan buah cabai hijau sebagai alternatif meminimalkan kerusakan akibat serangan antraknosa. Proseding Seminar Nasionanl Pekan Inovasi Teknologi Hortikultura Nasional. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Irwan M dan Erna L. 2008. Skrining Streptomyces sp. Isolat Lombok Sebagai Pengenadali Hayati Beberapa Jamur Patogen Tanaman. CropAgro, Vol 1 No 2 – Juli 2008 Prapagdee B., Kuekulvong C., and Mongkolsuk S. Antifungal Potential of Extracellular Metabolites Produced by Streptomyces hygroscopicus against Phytopathogenic Fungi (2008). International Journal of Biological Sciences ISSN © Ivyspring International Publisher 4(5):330-337 Raharini A O, Kawui R dan Khalimi K. (2012). Penggunaan Streptomyces sp. Sebagai Biokontrol Penyakit Layu Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) yang Disebabkan Oleh Fusarium oxysporum f.sp. capsici. AGROTROP , 2(2): 151-159 Riyanti, Aziz S, Sabdono A dan Radjasa K. ( 2012). Deteksi Gen NRPS Aktinomisetes Simbion Rumput Laut dan Karang Lunak. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan II Purwokerto, 27-28 Nopember 2012 Shekar N., Bhattacharya D., Kumar D. (2006). Biocontrol of wood rooting fungi Streptomyces violaceusniger XL-2. Prorequest Biology Journal Sep 2006. 52.9 Soares A C F. Sousa C S. . Garrido M S; Perez J O; Almeida N S. (2006). Soil streptomycetes with in vitro activity against the yam pathogens Curvularia eragrostides and Colletotrichum gloeosporioides. Brazilian Journal of Microbiology 37:456-461 Suwan N, Boonying W and Nalumpang S. (2012) Antifungal activity of soil actinomycetes to control chilli anthracnose caused by Colletotrichum gloeosporioides. Journal of Agricultural Technology 2012 Vol. 8(2): 725-737
1167