PENGARUH ORIENTASI ETIS TERHADAP PERTIMBANGAN ETIS AUDITOR DENGAN BUDAYA ETIS ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Semarang)
SEVRIDA VERAWATY LAMTIURMA PURBA Dra. Hj. ZULAIKHA, SE., Msi., Akt.
ABSTRACT The problem of job culture is uncared ethics values, so necessary to auditor to be sensitive on ethics problem. This research replicated from research paper that have been done by Douglas et al. (2001). This research had purposed to know the effect organizational ethical culture and ethical orientation (idealism-relativism)on auditors ethical judgment. This research used Purposive Sampling to choosed the sample. Sample of this research were 73 auditors from audit firms in Semarang). The instrument of this study is questionnaire which distributed directly to auditors. This research was using multiple linear regression by SPSS (Statistical Product and Service Solutions) 16 program as the analytical method. The result of research showed idealism has significantly positive affect on auditors ethical judgment. However relativism have negative affect on auditors ethical judgment but did’t significantly. At this reasearch organization ethical culture showed moderating effect to relation between orientation (relativism) and auditor’s ethical judgment. But not that way on relation between orientation (idealism) and auditor’s ethical judgment.
Keywords: auditor, ethics, ethical judgment, ethical orientation (idealism-relativism), organizational culture
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Auditor merupakan profesi yang hidup di lingkungan bisnis, yang eksistensinya dari waktu ke waktu semakin diakui. Profesi ini mendapat kepercayaan dari publik untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Auditor memiliki hubungan yang unik dengan pengguna jasanya jika dibandingkan dengan profesi lainnya. Profesi lain mendapatkan penugasan dari pengguna jasa dan bertanggung jawab juga kepadanya, sementara auditor mendapat penugasan dan memperoleh fee dari perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan, namun bertanggung jawab kepada pengguna laporan keuangan tersebut. Hubungan yang unik ini sering kali menempatkan auditor pada situasi-situasi dilematis, oleh sebab itu sangat penting bagi auditor untuk melaksanakan audit dengan kompeten dan tidak bias (Arens dan Loebbecke, 2000). Dilema etis dalam setting auditing dapat terjadi ketika auditor dan auditee tidak sepakat terhadap beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam keadaan ini, auditee dapat mempengaruhi proses audit yang dilakukan oleh auditor. Auditee dapat menekan auditor untuk melakukan tindakan yang melanggar standar pemeriksaan. Dalam situasi seperti ini auditor dihadapkan pada pilihan-pilihan keputusan yang saling bertentangan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Dalam situasi seperti ini auditor diharapkan mampu membuat pertimbangan-pertimbangan etis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keputusan yang akan diambilnya (Leiwakabessy, 2009). Banyak riset dilakukan untuk mempelajari hubungan antara auditor dengan konflik peran yang muncul dari situasi dan faktor lingkungan, tapi masih jarang yang mengidentifikasi proses dan mekanisme yang mendasari pernyataan pemikiran auditor, ketika merumuskan sebuah pertimbangan etis (ethical judgment). Pertimbangan etis auditor dapat dipengaruhi oleh orientasi etisnya. Orientasi etis menurut Forsyth (dalam Barnett, dan Brown, 1994) dioperasionalisasikan sebagai
kemampuan individu untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi etis menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masingmasing individu ketika menghadapi masalah yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika. Selain itu Khomsiyah dan Indriantoro (1998) menyatakan bahwa tiap-tiap pribadi memiliki orientasi etis atau konsep diri sendiri tentang pertimbangan etisnya, sesuai dengan peran yang disandangnya. Judgment (pertimbangan) yang berhubungan dengan etika dan berperilaku etis mengharuskan auditor untuk memiliki kemampuan dalam memahami pokok-pokok persoalan yang muncul yang berkaitan dengan etika. Kepedulian dan kepekaan terhadap etika merupakan tanggung jawab profesi dan hal tersebut memerlukan latihan atau kebiasaan untuk sensitif terhadap pertimbangan etis dalam seluruh aktifitasnya. Penelitian tentang pengaruh orientasi etis (ethical orientation) terhadap pertimbangan etis ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan pertimbangan etis seseorang akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi dilema etis. Penelitian-penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa orientasi etis berpengaruh pada perilaku etis auditor dan pada akhirnya akan mempengaruhi ethical judgment auditor (Shaub et al., 1993; Douglas et al., 2001). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh orientasi etis (ethical orientation) terhadap pertimbangan etis (ethical judgment). Pertimbangan etis auditor juga dapat ditentukan oleh budaya etis organisasi. Hunt dan Vitell (1986) menyatakan bahwa budaya etis organisasi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan etis. Budaya etis organisasi merupakan suatu gabungan dari nilai-nilai etis individu para manajer dengan kebijakan informal dan formal atas etika organisasi (Hunt et al., 1989, dalam Wibowo, 2007). Sedangkan Schein (1985) mendefinisikan budaya etis organisasi
(coorporate ethical value) sebagai standar yang memandu adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi (Leiwakabessy, 2009). Penelitian
ini
menguji
faktor-faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi
pertimbangan etis para auditor ketika menjalankan tugasnya. Auditor menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian, karena auditor sebagai salah satu profesi di bidang akuntansi yang paling sering menghadapi dilema etika ketika melaksanakan pekerjaannya.
Untuk
memperoleh
pemahaman
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pertimbangan etis auditor maka penelitian ini akan mengacu pada penelitian Douglas et al., (2001) agar diperoleh hasil yang dapat diperbandingkan dengan memperhatikan beberapa aspek yang sesuai dengan kondisi-kondisi lokal di Indonesia.
TELAAH PUSTAKA Etika Prinsip-prinsip etika tidak berdiri sendiri, tetapi tercantum dalam suatu kerangka pemikiran sistematis yang disebut ”teori”. Teori etika menyediakan kerangka yang memastikan benar tidaknya keputusan moral. Berdasarkan suatu teori etika, keputusan moral yang diambil seseorang dapat menjadi beralasan dan secara logis dapat diterima keberadaannya. Dalam bahasa latin etika berasal dari kata ”ethica” berarti falsafah moral yang merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila serta agama. Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat aturan/norma/pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok manusia/masyarakat/profesi. Dengan demikian etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup dengan baik sebagai manusia; dan
mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. Secara umum ada beberapa teori yang penting dalam pemikiran moral, khususnya dalam etika bisnis yaitu teleologis/utilitarianisme, egoisme, deontologi, teori hak dan teori keutamaan (Keraf, 1998). Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontological dan pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha dengan sebaik-baiknya dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau salah (Syafruddin, 2005, dalam Falah, 2007).
Teori Perkembangan Moral Kognitif Pendekatan perkembangan moral kognitif
pertama kali ditemukan oleh
Dewey (Kohlberg 1971). Selanjutnya dikembangkan oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et.al 1980). Dewey membagi perkembangan moral menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap ”premoral” atau ”preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap ”conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap ”autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangannya sendiri dan tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya. Ada enam tingkatan dalam Teori Kohlberg (Ponemon, 1992). Dalam dua tahap pertama dari perkembangan moral, disebut dengan Pre-conventional, orang-
orang (biasanya anak-anak) membuat keputusan-keputusan moral berdasarkan pada imbalan dan hukuman. Tahap tiga dan empat disebut Conventional, dalam tahap ini seseorang sudah memperhatikan aturan-aturan sosial dan kebutuhan-kebutuhan sesama. Tahap kelima dan keenam disebut Post-conventional, dimana kebaikan bagi masyarakat telah dimasukkan dalam pemikiran moral.
Pertimbangan Etis Pertimbangan
etis
(ethical
judgment)
mengarah
pada
pembuatan
sebuah
pertimbangan mengenai apakah kebenaran pasti dari tindakan secara etis seperti apa yang seharusnya dilakukan. Rest (1986) menyatakan bahwa untuk bertingkah laku secara moral atau etis seorang individu sebelumnya harus, paling tidak, melakukan empat proses psikologi dasar (Chan, 2006 dalam Agung, 2007). Empat komponen proses psikologi dasar dalam model pengambilan keputusan etis yang diusulkan oleh Rest tersebut, yaitu : 1. Pengenalan individu akan keberadaan masalah etis dan pengevaluasian pengaruh pilihan perilaku potensial pada kesejahteraan pihak yang terimbas. 2. Penentuan moral secara ideal yang sesuai dengan sebuah situasi atau kondisi yang terjadi disekitarnya. 3. Keputusan pada tindakan yang dimaksud berkaitan dengan berbagai hasil yang dinilai dan implikasi moralnya. 4. Pelaksanaan perilaku yang dimaksud tersebut, yaitu bertindak sesuai dengan tujuan moral (karakter moral).
Orientasi Etis Orientasi etis (ethical orientation) didefinisikan oleh Salim (1991) sebagai dasar pemikiran untuk menentukan sikap, arah dan sebagainya secara tepat dan benar (Mutmainah, 2006). Dalam penelitian ini orientasi etis berarti dasar pemikiran responden untuk menentukan sikap sehubungan dengan kasus yang bermuatan dilema
etis yang akan diajukan dalam kuesioner. Tiap-tiap pribadi memiliki konsep diri sendiri yang turut menentukan perilaku etisnya, sesuai dengan peran yang disandangnya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998).. Menurut Forsyth (1980) yang juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang psikologi (Hogan, 1970; Kelman & Lawrence, 1972; Kohlberg, 1976) membuktikan bahwa orientasi etis dikendalikan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme. ldealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai moral. Dengan kata lain idealisme merupakan karakteristik orientasi etis yang mengacu pada kepedulian seseorang terhadap kesejahteraan orang lain dan berusaha untuk tidak merugikan orang lain. Sedangkan relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku etis. Relativisme menolak prinsip dan aturan moral secara universal dan merasakan bahwa tindakan moral tersebut tergantung pada individu dan situasi yang dilibatkan (Forsyth, 2001). Kedua konsep tersebut bukan merupakan dua hal yang berlawanan tetapi lebih merupakan skala yang terpisah, yang dapat dikategorikan menjadi empat klasifikasi sikap orientasi etis: (1) situasionisme, (2) absolutisme, (3) subyektif dan (4) eksepsionis.
Budaya Etis Organisasi Nilai-nilai dan keyakinan yang berkembang dalam organisasi merupakan dasar
adanya
budaya
organisasi.
Nilai-nilai
ini
berperan
penting
dalam
mempengaruhi perilaku etis individu dalam organisasi (Kinicki dan Kreitner, 2001 dalam Fakhri, 2003). Nilai-nilai tersebut memiliki lima komponen yakni (1) nilai adalah konsep atau keyakinan, (2) nilai untuk mencapai perilaku yang diinginkan, (3) nilai melebihi situasi/objek, (4) nilai memandu pemilihan atau evaluasi perilaku dan peristiwa, dan (5) nilai diperoleh melalui tingkat kepentingannya.
Budaya etis organisasi adalah standar yang memandu adaptasi eksternal dan internal organisasi (Schein 1985, dalam Wibowo, 2007). Budaya etis organisasi dibentuk salah satunya dari nilai-nilai yang berkembang dalam organisasi dan pada akhirnya akan memberi identitas yang jelas pada organisasi tersebut, memudahkan berkembangnya komitmen bersama, mendorong stabilitas sistem sosial, dan membentuk perilaku dengan membantu anggota organisasi menyadari keadaan sekelilingnya.
Hipotesis penelitian ini adalah untuk menemukan bukti empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan etis auditor ketika menghadapi dilema etis dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan tujuan tersebut, maka hipotesis penelitian ini ialah: i.
H1 : Orientasi etis idealisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan etis auditor.
ii.
H2 : Orientasi etis relativisme berpengaruh negatif terhadap pertimbangan etis auditor.
iii.
H3 : Budaya etis organisasi tempat auditor bekerja mempengaruhi hubungan antara orientasi etis (idealisme) dan pertimbangan etis auditor.
iv.
H4 : Budaya etis organisasi tempat auditor bekerja mempengaruhi hubungan antara orientasi etis (relativisme) dan pertimbangan etis auditor.
METODE PENELITIAN Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel adalah apapun yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai (Sekaran, 2006). Dalam penelitian ini terdapat satu variabel terikat (dependent) dan dua variabel bebas (independent) dan satu variabel moderating. Penelitian ini menggunakan pertimbangan etis (ethical judgment) sebagai variabel dependen.
Sedangkan variabel independennya adalah orientasi etis (ethical orientation) yaitu idealisme dan relativisme. Dalam penelitian ini digunakan budaya etis organisasi (corporate ethical value) sebagai variabel moderating.
Pertimbangan Etis (Ethical Judgment) Pertimbangan etis adalah pertimbangan-pertimbangan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dilema etis (Rest, 1979 dalam Falah, 2006). Rest (1979)
yang menggunakan empat komponen proses psikologi dasar dalam
pengambilan keputusan etis, yaitu: 1. Mengakui bahwa permasalahan moral memang terjadi; 2. Membuat pertimbangan tentang moral; 3. Membentuk tujuan moral; dan 4. Bertindak sesuai tujuan moral
Orientasi Etis Orientasi etis didefinisikan oleh Salim (1991) sebagai dasar pemikiran untuk menentukan sikap, arah dan sebagainya secara tepat dan benar (Mutmainah, 2006). Variabel orientasi etis yang dimaksud dalam penelitian ini seperti yang dikemukakan oleh Forsyth (1980). Menurut Forsyth, orientasi etis terdiri dari dua karakteristik, yaitu idealisme dan relativisme. Setiap karakteristik orientasi etis tersebut akan diuji secara individu apakah mempengaruhi pertimbangan etis auditor.
Budaya Etis Organisasi. Budaya etis organisasi adalah pandangan luas tentang persepsi karyawan pada tindakan etis pimpinan yang menaruh perhatian pada pentingnya etika di perusahaan dan akan memberikan penghargaan ataupun sangsi atas tindakan yang tidak bermoral. Budaya etis organisasi diukur dengan menggunakan 5 item yang dikembangkan oleh
Hunt et al. (1989). Setiap item pertanyaan berisi tentang tindakan-tindakan yang dilakukan pimpinan terhadap bawahannya pada tindakan yang etis maupun tidak etis.
Populasi dan Sampel Populasi (population) mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian, atau hal minat yang ingin diinvestigasi oleh peneliti. Kelompok populasi (population frame) merupakan semua elemen dalam populasi dimana sampel diambil. Sampel (sample) adalah sebagian dari populasi. Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi (Sekaran, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja pada berbagai Kantor Akutan Publik (KAP) di Semarang. Prosedur penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling berupa convenience sampling. Convenience sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara yang mudah, yaitu dengan cara memilih KAP yang bersedia untuk mengisi kuesioner.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian survei. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan variabel-variabel yang diteliti (budaya etis organisasi, orientasi etis, dan pertimbangan etis). Data primer dalam penelitian ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh auditor. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dimiliki oleh pihak lain, peneliti hanya bersifat sebagai pengguna data. Data sekunder dalam penelitian ini berupa informasi mengenai profil KAP, dan jumlah auditor yang ada di KAP.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan adalah data primer berupa kuesioner. Kuesioner adalah satu set pertanyaan yang telah
dirumuskan untuk mencatat jawaban dari para responden (Sekaran, 2003). Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara mengantar langsung kuesioner ke alamat kantor tempat bekerja para auditor. Pengembaliannya juga diambil langsung sesuai dengan janji yang disepakati dengan responden. Metode ini dilakukan dilakukan karena wilayah penelitian masih dalam jarak yang masih dapat dijangkau sesuai dengan kemampuan penelitian dan di samping itu cara ini dapat meningkatkan respon rate.
Metode Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel dalam penelitian ini. Alat analisis yang digunakan adalah rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum dan minimum. (Ghozali, 2006). Statistik deskriptif menyajikan ukuranukuran numerik yang sangat penting bagi data sampel. Uji statistik deskriptif tersebut dilakukan dengan program SPSS 17.
Uji Kualitas Data Uji kualitas data yang dihasilkan dari penggunaan instrumen penelitian dapat dievaluasi melalui uji validitas dan uji reliabilitas Oleh karena itu, kesimpulan tergantung pada kualitas data yang dianalisis dan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Ada dua konsep untuk mengukur kualitas data, yaitu: uji reabilitas dan uji validitas. Uji kualitas data tersebut dilakukan dengan program SPSS 17.
Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu regresi yang digunakan sebagai alat analisis, diuji dengan uji asumsi klasik. Pengujian asumsi
klasik yang digunakan adalah uji normalitas, uji multikolonearitas, dan uji heteroskedastisitas dengan menggunakan program SPSS 17.
Uji Regresi Linear Berganda Metode statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi berganda (multiple regression) dengan alasan bahwa alat ini dapat digunakan sebagai model prediksi terhadap variabel dependen dengan beberapa variabel independen.. Uji hipotesis ini tersebut dilakukan dengan program SPSS 17. Model regresi yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah sebagai berikut: Y = α + b1X1 + b2X2 + e
(3.1)
Uji Interaksi (Moderated Regression Analysis) Untuk menguji hipotesis kedua dan keempat dalam penelitian ini, peneulis akan menggunakan uji interaksi (moderated regression analysis) yang disarankan oleh Pedhazur (1982) dalam Murphy, et al. (2006). Ghozali (2006) menyatakan bahwa uji interaksi merupakan aplikasi khusus regresi linear berganda dimana dalam persamaan regresinya mengandung unsur interakasi (perkalian dua atau lebih variabel independen) dan digunakan untuk menguji regresi dengan variabel moderating. Untuk mengetahui apakah budaya etis organisasi merupakan variabel moderating pada hubungan orientasi etis (idealisme dan relativisme) dengan pertimbangan etis auditor, maka ditulis persamaan regresi sebagai berikut: Y = α + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X1X3 + b5X2X3 + e Keterangan: Y
: Pertimbangan Etis (dependent variable)
α
: Konstanta
bx
: koefisien regresi
X1
: Orientasi Etika Idealisme (independent variable)
X2
: Orientasi Etika Relativisme (independent variable)
(3.2)
X3 e
: Budaya Etis Organisasi (moderating variable) : Variabel lain yang tidak terdapat dalam penelitian
Goodness of Fit Model Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit. Secara statistik, setidaknya hal ini dapat mengukur nilai dari koefisien determinasi, nilai statistik F, dan nilai statistik t.
HASIL DAN ANALISIS Deskripsi Objek Penelitian Populasi yang digunakan dalam objek penelitian ini adalah KAP-KAP yang berlokasi di Kota Semarang. Berdasarkan data dari website IAPI (2010-2011) KAP yang terdapat di Kota Semarang berjumlah 18 KAP. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah auditor (akuntan terdaftar dan lulusan jurusan akuntansi yang belum mendapat gelar akuntan) yang melaksanakan beberapa aspek audit di KAP. Dari delapan belas kantor akuntan publik (KAP) yang terdaftar pada directory IAPI, hanya sebelas KAP yang bersedia untuk mengisi kuesioner. Tujuh KAP lainnya tidak bersedia atau menolak mengisi kuesioner dengan berbagai alasan.
Analisis Data 1. Statistik Deskriptif Data yang ditabulasi adalah semua jawaban responden atas pertanyaan yang ada dalam kesioner. Data yang telah ditabulasi diolah dengan menggunakan program SPSS versi 17. Variabel pertimbangan etis diukur dengan menggunakan 6 pertanyaan. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa dari 73 auditor yang menjadi responden dihasilkan rentang aktual 16-30 artinya tingkat pertimbangan auditor yang kurang etis berada pada kisaran 16 dan tingkat pertimbangan auditor yang lebih etis berada
pada kisaran 30. Sedangkan rentang yang mungkin terjadi adalah antara 6 (menunjukkan pertimbangan auditor yang paling tidak etis) sampai 30 (menunjukkan pertimbangan auditor yang paling etis). Rata-rata aktual (mean) tingkat pertimbangan etis auditor adalah 24,77 sedangkan rata-rata teoritisnya adalah 18. Hasil penelitian menunjukan rata-rata aktual lebih tinggi daripada rata-rata teoritisnya, maka dapat disimpulkan bahwa auditor lebih cenderung membuat pertimbangan etis dalam praktek auditnya. Variabel orientasi etis (idealisme) diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa dari 73 auditor yang menjadi responden dihasilkan rentang aktual 26-43 artinya tingkat idealisme auditor yang kurang idealistik berada pada kisaran 26 dan tingkat idealisme auditor yang lebih idealistik berada pada kisaran 43. Sedangkan rentang yang mungkin terjadi adalah antara 10 (menunjukkan perilaku auditor yang paling tidak idealistik) sampai 50 (menunjukkan perilaku auditor yang paling idealistik). Rata-rata aktual (mean) orientasi etis (idealisme) adalah 36,64 sedangkan rata-rata teoritisnya adalah 31. Hasil penelitian menunjukan rata-rata aktual lebih tinggi daripada rata-rata teoritisnya, maka dapat disimpulkan auditor memiliki kecenderungan yang lebih idealis. Variabel orientasi etis (relativisme) diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa dari 73 auditor yang menjadi responden dihasilkan rentang aktual 13-45 artinya tingkat tingkat relativisme auditor yang kurang relativis berada pada kisaran 13 dan tingkat relativisme auditor yang lebih relativis berada pada kisaran 45. Sedangkan rentang yang mungkin terjadi adalah antara 10 (menunjukkan perilaku auditor yang paling tidak relativis) sampai 50 (menunjukkan perilaku auditor yang paling relativis). Rata-rata aktual (mean) tingkat orientasi etis (relativisme) adalah 19,03 sedangkan rata-rata teoritisnya adalah 31. Hasil penelitian menunjukan rata-rata aktual lebih rendah daripada rata-rata teoritisnya, maka dapat disimpulkan auditor tidak relativis atau cenderung lebih idealis.
Variabel budaya etis organisasi diukur dengan menggunakan 5 pertanyaan. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa dari 73 auditor yang menjadi responden dihasilkan rentang aktual 11-25 artinya tingkat tingkat budaya organisasi yang kurang etis berada pada kisaran 11 dan tingkat budaya organisasi yang lebih etis berada pada kisaran 25. Sedangkan rentang yang mungkin terjadi adalah antara 5 (menunjukkan budaya organisasi yang paling tidak etis) sampai 25 (menunjukkan budaya organisasi yang paling etis). Rata-rata aktual (mean) tingkat budaya etis organisasi adalah 19,90 sedangkan rata-rata teoritisnya adalah 15. Hasil penelitian menunjukan rata-rata aktual lebih tinggi daripada rata-rata teoritisnya, maka dapat disimpulkan bahwa organisasi tempat auditor bekerja cenderung memegang teguh prinsip etika profesionalnya.
2. Uji Kualitas Data I.
Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan (reliable) dalam mengukur gejala yang sama. Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan tersebut konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Pada umumnya suatu konstruk atau variabel dikatakan reliable jika memberikan nilai cronbach alpa lebih besar dari 0.60 (Nunnally, 1967 dalam Ghozali, 2006). Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa seluruh variabel memiliki nilai conbrach alpha lebih besar dari standarisasi 0,6. Oleh karena itu variabel relativisme, idealisme, budaya etis organisasi, dan pertimbangan etis dikatakan reliable karena mempunyai nilai conbrach alpha lebih besar dari nilai standarisasi sebesar 0,6.
II.
Uji Validitas Uji validitas dimaksudkan untuk mengukur valid tidaknya suatu kuesioner.
Dalam penelitian ini uji validitas dilakukan dengan melihat nilai Correlated Item-
Total Correlation dengan kriteria sebagai berikut: jika nilai r hitung lebih besar dari r tabel dan nilainya positif (pada taraf signifikan 5 persen atau 0,05), maka butir atau pertanyaan atau indikator tersebut dikatakan “valid” (Ghozali, 2006). Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini dinyatakan sebagai item yang valid. Kevalidan ini ditunjukkan dengan nilai Nilai Correlation Pearson yang lebih besar dari 0,05
3. Uji Asumsi Klasik I. Uji Multikolonieritas Multikolonieritas berarti adanya hubungan linear yang “sempurna” atau pasti, diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi. Istilah multikolonieritas berkenaan dengan terdapatnya lebih dari satu hubungan linear yang pasti (Gujarati, 1999;157). Pengolahan data uji multikolonieritas ini juga dapat dilakukan dengan menganalisis matriks korelasi variabel-variabel independen, nilai Tolerance, dan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cut off yang umumnya digunakan untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai Tolerance < 0,1 atau Variance Inflation Factor (VIF) > 10 (Imam Ghozali, 2006). Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa semua variabel bebas mempunyai nilai VIF yang berada jauh di bawah angka 10. Dan nilai tolerance di ats 0,1 sehingga dapat dikatakan semua konsep pengukur variabel-variabel yang digunakan tidak mengandung masalah multikolonieritas. Hal ini menunjukkan tidak adanya masalah multikolonieritas dalam model regresi. Maka model regresi yang ada layak untuk dipakai dalam memprediksi pertimbangan etis.
II. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regesi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang
baik
adalah
yang
berjenis
homoskedastisitas
atau
tidak
terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2006). Dari hasil pengujian Grafik Scatterplot menunjukkan bahwa titik-titik yang terbentuk menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak dipakai untuk memprediksi pertimbangan etis berdasarkan variabel independen budaya etis organisasi, orientasi etis (idealisme), dan orientasi etis (relativisme).
III. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel-variabel memiliki distribusi normal. Dengan melihat tampilan grafik histogram maupun grafik normal probability plot pada gambar di atas maka dapat disimpulkan bahwa grafik histogram memberikan pola distribusi yang normal dan grafik normal plot terlihat titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Kedua grafik ini menunjukkan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas. Untuk mendukung dan menyakinkan hasil uji normalitas grafik, maka dilengkapi dengan uji statistik. Uji statistik yang dilakukan yaitu uji statistik nonparametrik One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Nilai signifikansi dari residual yang terdistribusi secara normal adalah jika nilai Asymp Sig (2-tailed) dalam uji OneSample Kolmogorov-Smirnov Test lebih besar dari α = 0,05. Jika dilihat dari perhitungan dengan uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh hasil bahwa signifikansinya adalah sebesar 0,684 yang berarti signifikansinya di atas 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model regresi layak digunakan karena memenuhi asumsi normalitas.
Hasil Uji Analisis Regresi Linear Berganda I. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) Uji signifikansi simultan atau uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen dapat menjadi prediktor bagi variabel dependen atau dengan kata lain untuk mengetahui apakah model regresi dapat memprediksi variabel dependen (Ghozali, 2006). Berdasarkan hasil uji ANOVA atau uji F terlihat bahwa nilai F hitung sebesar 21,825 dan nilai signifikansi sebesar 0,000, dengan menggunakan tingkat alfa 0,05 atau 5% maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan variabel-variabel independen meliputi orientasi etis (idealisme) dan orientasi (relativisme) mempengaruhi pertimbangan etis auditor secara bersamasama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model regresi yang terbentuk signifikan untuk digunakan dalam analisis. II. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel-variabel dependen. Hasil pengujian menunjukkan besar nilai R2 sebesar 0,465 yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 46,5 %. Hal ini berarti variabel – variabel independen meliputi orientasi etis yaitu relativisme dan idealisme, mempengaruhi pertimbangan etis auditor sebesar 46,5%, sedangkan sisanya sebesar 53,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Nilai ini membuat persamaan garis regresi yang terbentuk cukup signifikan untuk menggambarkan populasi secara keseluruhan.
III. Uji Regresi Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui hubungan signifikansi dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut manakah di antara variabel independen yang berpengaruh signifikan
terhadap pertimbangan etis auditor. Besarnya pengaruh variabel independen yaitu orientasi etis (idealisme) dan orientasi etis (relativisme) dengan variabel dependen yaitu pertimbangan etis auditor secara bersama-sama dapat dihitung melalui suatu persamaan regresi berganda. Berdasarkan tabel 4.12, maka persamaan regresi yang terbentuk adalah sebagai berikut: Y = 5,174 + 0,229X1 – 0,065 + e Hasil uji statistik t menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh pada pertimbangan etis auditor adalah idealisme dengan nilai signifikansi sebesar 0,006. Sedangkan variabel relativisme tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan etis auditor karena memiliki nilai signifikansi di atas 0,05 yaitu, 0,148. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 yang menyatakan bahwa idealisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan etis auditor diterima atau tidak dapat ditolak. Sedangkan H3 yang menyatakan bahwa orientasi etis (relativisme) berpengaruh negatif terhadap pertimbangan etis auditor ditolak.
Hasil Uji Interaksi I. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) Uji signifikansi simultan atau uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah model regresi dapat memprediksi variabel dependen (Ghozali, 2006). Berdasarkan hasil uji
ANOVA atau uji F pada tabel terlihat bahwa nilai F hitung sebesar 15.036 dan nilai signifikansi sebesar 0,000. Dengan menggunakan tingkat α (alfa) 0,05 atau 5% maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan variabel–variabel independen meliputi orientasi etis (idealisme dan relativisme), dan variabel moderat budaya etis organisasi mempengaruhi pertimbangan etis auditor secara bersama-sama atau model regresi yang terbentuk signifikan untuk digunakan dalam analisis. II. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel-variabel dependen. Hasil pengujian
menunjukkan besar nilai R2 sebesar 0,494 yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen dan variabel moderat sebesar 49,4 %. Hal ini berarti variabel – variabel independen meliputi orientasi etis yaitu relativisme dan idealisme serta variabel moderat budaya etis organisasi, mempengaruhi pertimbangan etis auditor sebesar 49,4% . Sedangkan sisanya sebesar 50,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Nilai ini membuat persamaan garis regresi yang terbentuk cukup signifikan untuk menggambarkan populasi secara keseluruhan.
III. Uji Regresi Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui hubungan signifikansi dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut manakah di antara variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap pertimbangan etis auditor. Besarnya pengaruh variabel independen yaitu orientasi etis (idealisme) dan orientasi etis (relativisme) dan variabel moderat yaitu budaya etis organisasi dengan variabel dependen yaitu pertimbangan etis auditor secara bersama-sama dapat dihitung melalui suatu persamaan regresi berganda. Berdasarkan tabel 4.15, maka persamaan regresi yang terbentuk adalah sebagai berikut: Y = -3,482 + 0,789X1 – 0,576X2 + 1,093X3 -0,029X1X3 + 0,027X2X3 + e Hasil uji statistik t menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh pada pertimbangan etis auditor adalah relativisme dengan nilai signifikansi sebesar 0,014 dan variabel moderasi antara budaya etis organisasi dan relativisme dengan nilai signifikansi 0,026. Sedangkan variabel independen idealisme dan variabel moderasi antara budaya etis organisasi dan relativisme tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan etis auditor karena memiliki nilai signifikansi di atas 0,05 yaitu, 0,125 dan 0,266.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H3 yang menyatakan bahwa budaya etis organisasi mempengaruhi hubungan antara orientasi etis (idealisme) terhadap pertimbangan etis auditor ditolak atau tidak dapat diterima. Sedangkan H4 yang menyatakan bahwa budaya etis organisasi mempengaruhi hubungan antara orientasi etis (relativisme) terhadap pertimbangan etis auditor diterima atau tidak dapat ditolak.
Hasil Pengujian Hipotesis Pengaruh Orientasi Etis (Idealisme) terhadap Pertimbangan Etis Auditor Hipotesis pertama (H1) menyatakan bahwa orientasi etis (idealisme) berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan etis auditor. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel idealisme memiliki nilai t-hitung 2,862 dengan signifikansi 0,006 (lihat tabel 4.11). Oleh karena nilai signifikansi lebih kecil daripada derajat kepercayaan (α) 0,05 maka dapat dikatakan bahwa orientasi etis (idealisme) berpengaruh positif terhadap pertimbangan etis auditor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 diterima. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi idealisme seorang auditor, maka ia akan cenderung membuat pertimbangan yang etis. Temuan penelitian ini mendukung teori yang ada. Teori menyatakan bahwa seseorang dengan tingkat idealisme yang tinggi, akan menemukan adanya masalah etika dan dalam memutuskan suatu tindakan lebih mengarah pada pedoman atau aturan yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga lebih berperilaku etis dan cenderung membuat pertimbangan yang etis pula.
Pengaruh Orientasi Etis (Relativisme) terhadap Pertimbangan Etis Auditor Hipotesis ketiga (H3) menyatakan bahwa orientasi etis (relativisme) berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap pertimbangan etis auditor. Dari hasil perhitungan didapat nilai t sebesar -1,436 dengan tingkat signifikansi lebih besar daripada derajat kepercayaan (α) 0,05 yaitu sebesar 0,148 dan koefisien regresi -0,65.
Hal ini berarti variabel orientasi etis (relativisme) berpengaruh negatif terhadap pertimbangan etis auditor namun tidak signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H3 ditolak. Temuan ini tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa relativisme menolak prinsip dan aturan moral secara universal dan merasakan bahwa tindakan moral tersebut tergantung pada individu dan situasi yang dilibatkan (Forsyth, 1992). Auditor dengan tingkat relativisme yang tinggi cenderung menolak aturan moral dan merasa tindakan moral tergantung pada individu dan situasi sehingga berperilaku tidak etis dan cenderung membuat pertimbangan yang tidak etis pula. Sedangkan auditor dengan tingkat relativisme yang rendah cenderung mengikuti aturan moral secara universal untuk mencapai hasil yang terbaik. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Douglas (2001) yang menyatakan bahwa relativisme berpengaruh negatif terhadap pertimbangan etis.
Pengaruh Moderat Budaya Etis Organisasi dalam Hubungan antara Orientasi Etis (Idealisme) terhadap Pertimbangan Etis Auditor Budaya etis pada penelitian kali ini tidak menunjukkan efek moderat pada hubungan orientasi etis (idealisme) terhadap pertimbangan etis auditor. Tidak adanya pengaruh moderat budaya etis organisasi terhadap hubungan antara orientasi etis (idealisme) dan pertimbangan etis auditor diduga disebabkan oleh karena secara umum auditor cenderung idealis hal terlihat dari nilai mean yang tinggi sebesar 36,64 dan standar deviasi yang rendah 4,293, dimana bahwa seseorang dengan tingkat idealisme yang tinggi, akan menemukan adanya masalah etika dan dalam memutuskan suatu tindakan lebih mengarah pada pedoman atau aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga pengaruh moderat budaya etis organisasi terkesampingkan.
Hasil analisis dengan SPSS diatas menunjukkan H2 yang menyatakan bahwa budaya etis organisasi mempengaruhi hubungan orientasi etis (idealisme) terhadap pertimbangan etis auditor ditolak atau tidak dapat diterima. Dengan kata lain budaya etis organisasi tidak dapat menjadi variabel moderat dalam hubungan antara orientasi etis (idealisme) terhadap pertimbangan etis auditor.
Pengaruh Moderat Budaya Etis Organisasi dalam Hubungan antara Orientasi Etis (Relativisme) terhadap Pertimbangan Etis Auditor Budaya etis organisasi pada penelitian kali ini menunjukkan pengaruh moderat terhadap hubungan antara orientasi etis (relativisme) terhadap pertimbangan etis auditor. Adanya pengaruh moderat budaya etis organisasi terhadap hubungan antara orientasi etis (relativisme) dan pertimbangan etis dimungkinkan karena auditor yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki tingkat relativisme yang tidak terlalu tinggi atau cenderung idealis. Selain itu kantor akuntan publik tempat auditor bekerja sudah cukup menjunjung budaya etis organisasi hal ini terlihat dari nilai mean yang cukup tinggi sebesar 19,03 dan standar deviasi yang rendah, sehingga dapat mempengaruhi auditor dalam membuat pertimbangan etis. Hasil analisis dengan SPSS diatas menunjukkan H4 yang menyatakan bahwa budaya etis organisasi mempengaruhi hubungan orientasi etis (relativisme) terhadap pertimbangan etis auditor diterima atau tidak dapat ditolak. Dengan kata lain budaya etis organisasi merupakan variabel moderat dalam hubungan antara orientasi etis (relativisme) terhadap pertimbangan etis auditor.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dikumpulkan dan diolah serta pengujian hipotesis berikut :
dari penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai
1. Orientasi etis (idealisme) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertimbangan etis auditor. Auditor dengan tingkat idealisme yang tinggi, akan menemukan adanya masalah etika dan dalam memutuskan suatu tindakan lebih mengarah pada pedoman atau aturan yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga lebih berperilaku etis dan cenderung membuat pertimbangan yang etis pula. 2. Orientasi etis (relativisme) berpengaruh secara negatif namun tidak signifikan terhadap pertimbangan etis auditor. Auditor dengan relativisme yang tinggi belum tentu lebih cenderung membuat pertimbangan yang tidak etis. 3. Budaya etis organisasi bukan merupakan variabel moderating terhadap hubungan antara orientasi etis (idealisme) dan pertimbangan etis auditor. Hal ini dimungkinkan karena auditor cenderung bersifat idealis sehingga pengaruh budaya etis organisasi terkesampingkan. 4. Budaya etis organisasi merupakan variabel moderating terhadap hubungan antara orientasi etis (relativisme) dan pertimbangan etis auditor. Hal ini dimungkinkan karena kantor akuntan publik tempat auditor bekerja sudah cukup menjunjung budaya etis organisasi.
Keterbatasan Penelitian ini, seperti banyak terjadi dengan penelitian lainnya, memiliki keterbatasan sebagai berikut: 1. Sampel penelitian ini terbatas pada auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik di wilayah Semarang, sehingga hasil penelitian tidak dapat digeneralisir untuk mewakili seluruh auditor di Indonesia. 2. Kesulitan untuk mencari responden yang bersedia untuk mengisi kuesioner, yang merupakan masalah klasik dalam penelitian dengan metode survei atau kuesioner. 3. Waktu penyebaran kuesioner yang kurang tepat karena antara bulan Januari hingga Februari merupakan waktu busy session bagi KAP sehingga jumlah kuesioner yang kembali tidak sesuai dengan target yang diharapkan.
4. Instrumen pengukuran variabel penelitian ini semuanya menggunakan instrumen dari peneliti sebelumnya yang dikembangkan dalam bahasa yang berbeda dengan aslinya, sehingga kemungkinan adanya kelemahan dalam penerjemahan instrumen yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam arti yang sebenarnya yang ingin dicapai. Kemungkinan juga responden salah dalam mempersepsikan maksud yang sebenarnya sehingga penelitian yang akan datang perlu kajian yang lebih mendalam. 5. Data penelitian ini dihasilkan dari instrumen berdasarkan persepsi jawaban responden. Hal ini akan menimbulkan masalah jika persepsi responden berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya. Penelitian ini hanya menerapkan metode survei melalui kuesioner, peneliti tidak melakukan wawancara karena keterbatasan waktu responden sehingga kesimpulan yang dikemukakan hanya berdasarkan data yang terkumpul melalui penggunaan instrumen secara tertulis yang umumnya mengandung kelemahan mengenai internal validity. Saran Saran-saran yang dapat diberikan berkaitan dengan hasil penelitian sertaketerbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Agar hasil penelitian dapat digunakan secara umum, maka cakupan auditor yang digunakan sebagai responden sebaiknya diperluas sebagai contoh se-Indonesia. 2. Penelitian berikutnya sebaiknya tidak hanya menggunakan kuesioner saja, ada baiknya juga melakukan wawancara secara langsung kepada responden untuk meminimalisasi kelemahan internal validity. 3. Penyebaran kuesioner sebaiknya tidak dilakukan antara bulan Desember hingga April agar dapat meningkatkan tingkat respon yang baik, karena dalam waktu tersebut merupakan waktu busy session bagi KAP. 4. Pengembangan kuesioner sebaiknya disesuaikan dengan kondisi dan penulisan kata-kata yang mudah dipahami oleh responden untuk dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya.
5. Penelitian ini tidak mempertimbangkan variabel lain yang mungkin dapat mempengaruhi pertimbangan etis, hanya mengasumsikan variabel budaya etis organisasi, dan orientasi etis (idealisme dan relativisme). Model penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan diteliti kembali apakah dengan penambahan variabel lain (komitmen profesi dan kode etik) sehingga dapat digeneralisasi. 6. Penelitian ini hanya meneliti sampai pada pertimbangan etis saja, sehingga penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti hingga pada perilaku etis dan proses pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA Aras, G., Muslumov, A. 2001. ”The Analysis of Factor Affecting Ethical Judgment: The Turkish Evidence”. Department of Business Administration, Yildiz Tehnical University, Yildiz 34349, Istanbul. Arens dan Loebbecke, 2000. Auditing. Diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf. Jakarta: Salemba Empat. Barnett, T., K. Bass, dan G. Brown. 1994. ”Ethical Ideology and Ethical Judgment Regarding Ethical Issues in Bussiness”. Journal of Business Ethics 13 (6): 469-480. Bartens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kaninisius. Yogyakarta Boynton, W.C., Johnson, R.N., Kell, W.G.2003. Modern Auditing, 7th. Penerbit Erlangga. Jakarta. Cavanagh, G. F., D. J. Moberg, M. Velazquez. 1981. ”The Ethics of Organizational Politics”. The Academy of Management Review (pre-1986). July. Pp.363.
Chan, S. Y. S., Leung, P. 2006. ”The Effect of Accounting Students’ Ethical Reasoning and Personal Factor on Their Ethical Sensitivity”. Managerial Auditing Journal, Vol. 21 No. 4, pp. 436-457. Cohen, J.R., L.w. Part and D.J. Sharp. 1996. ”Measuring The Ethical Awareness and Ethical Orientation of Canadian Auditor”. Reasearch in Accounting Vol. 7, pp.37-34. Douglas P. C, Ronald A. Davidson dan B. N Shwartz. 2001. “The Effect of Organizational Cultuter and Ethical Orientation on Accountants Ethical Judgements”, Journal of Business Ethics 34, pp. 101 – 121. Falah, Syaikhul. 2006. Pengaruh Budaya Etis Organisasi dan Orientasi Etika Terhadap Sensitivitas Etika. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Akuntansi Universitas Diponegoro. Fakhri, M. Husein. 2003. “Pengaruh Pemahaman Kode Etik, Nilai Etis Organisasi, dan Prinsip Moral Terhadap Perilaku Etis Akuntan”. Ventura ,Vol.6 No.2, pp.201-216. Fogarty, T. .J. 1992. “Organizational Socialization in Accounting Firm: A Theoretical Framework and Agenda for Future Research”. Accounting, Organizations and Society 17 (February) pp. 129 -149. Forsyth, Donelson. R. 1980. “A Taxonomi of Ethical Idealogis, Journal of Personality and Social Psychology”. January. Pp. 175 – 184. Forsyth.D.R. 2001. “Idealism, Relativism and The Ethics Caring”. The Journal of Phsycology, 122 (3), pp. 243-248. Hendarto, Bambang Rudy.n.d. “Pelanggaran Etika Bisnis pada Kasus Enron”, http://www.scribd.com/doc/40228705/KASUS-ENRON. www.scribd.com. Diakses 15 desember 2010. Hunt, S. D., V. R. Wood dan L. B. Chonko. 1993. “Corporate Ethical Value and Organizational Commitmen in Marketing”. Journal of Marketing 53 (July), pp. 79 – 90. Hunt, S.D.,and Vitell, S. 1986. “A General Theory of Marketing Ethics”, Journal of Macromarketting, August, pp.5-16.
Husein, Muhammad F. 2004. “Keterkaitan Faktor-Faktor Organisasional, Individual, Konflik Peran, Perilaku Etis dan Kepuasan Kerja Akuntan Manajemen”. Makalah Simposium Dwi Tahunan J-AME-R. Yogyakarta. Imam Ghozali. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. 4th. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Keraf, Sonny.1998. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Kanisius. Yogyakarta. Khomsiyah dan Nur Indriantoro. 1998. “Pengaruh Orientasi Etika terhadap Komitmen dan Sensitivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. vol.1 Januari hal. 13 – 28. Kohlberg, L. 1971. “Stage and Sequence:The Cognitive Developmental Approach to Socialization”. In D. A. Goslin (Ed), Handbook of Socialization Theory and Research. Pp.347-380. Chicago: Rand McNally. Leiwakabessy, Audry. 2009. “Pengaruh Orientasi Etis Budaya Jawa Terhadap Perilaku Etis Auditor (Studi Empiris pada Auditor di Semarang)”. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Akuntansi Universitas Diponegoro (tidak dipublikasikan). Ludigdo, Unti. 2006. “Strukturisasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif”. SNA IX Padang, 23-28. Agustus. Ludigdo, Unti dan Mas’ud Machfoedz. 1999. “Persepsi Akuntan dan Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika Bisnis”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia IAI. Vol.2 No.1 Januari hal 1-19. Martinov, Nonna dan Bennie. 2008. “The Strength of an Accounting Firm’s Ethical Environment and the Quality of Auditor’s Judgments”. Journal of Business Ethics pp. 238 − 253. Media Akuntansi. 2003. DPN IAI Panggil Auditor PT Telkom. Penerbit PT. Intama Artha Indonusa, Jakarta. Edisi 34/Juni-Juli; hal 6. Mutmainah, Siti. 2006. “Studi Tentang Perbedaan Evaluasi Etis, Intensi Etis (Ethical Intention) dan Orientasi Etis Dilihat dari Gender dan Disiplin Ilmu: Potensi Rekruitmen Staf Profesional Pada Kantor Akuntan Publik”. Jurnal Seminar Nasional Akuntansi 9. Padang.
Ponemon, L. A.1992. “Ethical Judgements in Accounting: A Cognitive developmental Perspective”. Critical Perspectives on Accounting 1 pp. 191 – 215. Purnamasari, Vena.2006. “Sifat Machiavellian dan Pertimbangan Etis: Anteseden Independensi dan Perilaku Etis Auditor”. Jurnal Seminar Nasional Akuntansi 9. Padang. Robbins, Stephen. 2006. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Edisi Bahasa Indonesia. PT. Prenhallindo. Jakarta. Sekaran, Uma. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. 4 th. Salemba Empat. Jakarta. Shaub, Michael K., dan Don W.Finn. 1993. “The Effect of Auditor’s Ethical Orientation on Commitment and Ethical Sensitivity”. Behavioral Research in Accounting. Vol.5 pp 146 – 166. Stead, W.E., Worell, D.L., and Stead, J.G. 1990. ”An Integrative Model for Understanding and Managing Ethical Behavior in Business Organization”. Journal of Business. 9. 233. Vitell, S.J and E.R. Hidalgo. 2006. “The Impact of Corporate Ethical Values and Enforcement Ethical Codes on The Perceived Importance of Ethics in Business: A Comparison of U.S and Spanish Managers”. Journal of Business Ethics, 64:31-43. Wibowo, Agung. 2007. Pengaruh Kode Etik Akuntan, Personal Ethical Philosophy, dan Nilai Etis Perusahaan Terhadap Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Akuntansi Universitas Diponegoro (tidak dipublikasikan). Ziegenfuss, D.E. and Martinson, O.B.2000. “Looking at What Influences Ethical Perception and Judgment”, Management Accounting Quarterly, Fall, pp.4147.