SERI PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SERI 3 OUTSOURCING Bahasa Indonesia
Muzni Tambusai
DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 2005
Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2005 Pertama terbit tahun 2005 Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, atau melalui Kantor ILO di Jakarta. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. __________________________________________________________________________________________________________________________ ILO Seri Pembinaan Hubungan Industrial; Seri 3: Outsourcing Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2005 ISBN 92-2-016976-2 __________________________________________________________________________________________________________________________ Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-bangsa, pencantuman informasi dalam publikasipublikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batasbatas negara tersebut. Dalam publikasi-publikasi ILO tersebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak kemudian dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi-punlikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantorkantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Menara Thamrin, Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut, atau melalui e-mail:
[email protected] ;
[email protected] Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id/ilo _________________________________________________________________________________________________________________________ Dicetak di Jakarta, Indonesia
KATA PENGANTAR
Dalam proses produksi barang maupun jasa di dalam suatu perusahaan minimal ada 2 (dua) pihak yang terkait, yaitu pengusaha dan pekerja. Keterkaitan antara pengusaha dengan pekerja dalam peraturan perundangundangan ketenagakerjaan dikenal dengan istilah hubungan kerja. Seiring dengan kemajuan teknologi dan era globalisasi, membawa dampak terhadap dunia usaha. Agar dapat memenuhi tuntutan pasar, ada kecenderungan pengusaha melakukan perubahan struktur dalam pengelolaan usaha melalui outsourcing, dengan maksud untuk memperkecil rentang kendali manajemen sehingga dapat lebih efektif, efisien dan produktif. Praktek sehari-hari pelaksanaan outsourcing tersebut diakui lebih banyak merugikan pekerja, oleh karena hubungan kerja selalu dibuat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kontrak Kerja), sehingga untuk memberikan kepastian pelaksanaan hubungan kerja dan perlindungan bagi pekerja, maka perlu diatur pelaksanaan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh. Untuk menghindari timbulnya perbedaan persepsi dikalangan masyarakat industri, maka timbul pemikiran untuk memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan hubungan kerja dalam rangka pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh. Akhirnya kami mengucapakan penghargaan dan terima kasih kepada ILO/USA Declaration Project yang telah memungkinkan terbitnya buku ini. Semoga kerja sama antara ILO (khususnya ILO Jakarta) dengan Pemerintah Republik Indonesia (khususnya Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
iii
untuk memajukan hubungan industrial di Indonesia dapat terus dibina dan ditingkatkan. Semaga bermafaat dan terima kasih.
Jakarta, Januari 2005
Muzni Tambusai
iv
DAFTAR ISI
halaman Kata Pengantar .................................................................................. iii Pengantar ..........................................................................................
1
Pelaksanaan Outsourcing ..................................................................
2
Perlindungan Hukum........................................................................
4
Penutup ............................................................................................
5
Daftar Riwayat Hidup .......................................................................
6
Daftar Pustaka ..................................................................................
8
v
OUTSOURCING
PENGANTAR Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadinya di semua lini. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan outsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan. Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja. Oleh karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir, dll sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya Hubungan Industrial. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam pelaksanaan outsourcing. Kalaupun ada, barangkali Permen Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT), yang hanya
1
merupakan salah satu aspek dari outsourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.
PELAKSANAAN OUTSOURCING Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa. Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang kesatu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing, tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam Undang-undang ini dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/ buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66. Praktek outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut : 1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;
2
2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat : a. apabila bagian pekerjaan yang tersebut terpisah dari kegiatan utama; b. bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung; dan c. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Semua persyaratan di atas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan. 3) Perusahaan penerima pekerjaan harus ber-“badan hukum”. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hakhak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu ber-“badan hukum” menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan tidak berbadan hukum dan bagian pekerjaan yang dioutsourcingkan tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, maka status hubungan kerja yang semula dengan perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan; 4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja dimaksudkan agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun di perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat-syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah; 5) Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/ buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam Perjanjian Kerja tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu)/tetap dan bukan kontrak akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja 3
Waktu Tertentu)/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undangundang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk PKWT/ Kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan sama dengan PKWT. “Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh” yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan “Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta” (Labour Supplier) sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37 dan 38 Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dimana apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta tersebut. Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan dimaksud antara lain : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengamanan/satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh. Disamping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggungjawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.
PERLINDUNGAN HUKUM Pengaturan pelaksanaan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan seperti apa yang disebutkan di atas adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan Perjanjian Kerja
4
Waktu Tertentu/Kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam Pasal 65 ayat (6) dan (7) dan Pasal 66 ayat (2) dan (4) Undangundang Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefinisikan/menentukan jenis pekerjaan yang dikategorikan penunjang. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi oleh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Disamping itu bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru kemitraan usahanya, menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut. Oleh karena itu melalui Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (5) Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diharapkan mampu mengakomodir/ memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa. Selain dari upaya tersebut, untuk mengurangi timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan pokok/utama (core business); di luar itu berarti pekerjaan penunjang. Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja/ buruh dan SP/SB serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama.
PENUTUP Pengaturan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri. Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja/buruh, diperlukan pengawasan yang intensif baik oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat disamping perlunya kesadaran dan itikad baik semua pihak.
5
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Dr. Muzni Tambusai, MSc
NIP
: 140058574
Pangkat
: Pembina Utama (IV/e)
Tempat/Tgl Lahir : Sedinginan (Prop Riau), 18 Desember 1946 Jabatan
: Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
I. RIWAYAT HIDUP 1. Tahun 1967 s/d 1973 : Fakultas Kedokteran UGM di Yogyakarta 2. Tahun 1974
: Fakultas kesehatan Masyarakat UI Jurusan Hygiene
3. Tahun 1998
: Master of Science on Management Curtin University
II. RIWAYAT JABATAN 1. Tahun 1973
: Pengawasan Kesehatan Kerja/Hiperkes pada Kantor Daerah Tenaga Kerja Prop. Riau
2. Tahun 1982-1987
: Anggota DPR RI di Jakarta
3. Tahun 1994-1997
: Kepala Kantor Wilayah Depnaker Propinsi Riau
4. Tahun 1997-2001
: Kepala Kantor Wilayah Depnaker Propinsi Riau
5. Tahun 2001-2003
: Direktur Jenderal Binawas, Depnakertrans RI.
6. Tahun 2003-sekarang : Direktur jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Depnakertrans RI.
6
II. LATIHAN JABATAN/KURSUS 1. Tahun 1986
: Kursus Perencanaan Tingkat Nasional
2. Tahun 1989
: 1) Course on Chemical Safety and Major Hazard Inspection in School of Community Health, Curtin University of Technology, Perth, Australia 2) Symposium on Goverment Controls in Occupational Health and Safety and Welfare of Western Australia in Perth
3. Tahun 1995
: 1) Symposium on Tripartism by ILO di Penang, Malaysia 2) Studi banding tentang Dual System on Vocational Training di Austria dan Jerman
4. Tahun 2001
: 1) Studi Banding Pelaksanaan Hubungan Industrial di Jepang 2) Beberap Seminar Internasional di berbagai negara
III. PENGALAMAN ORGANISASI Pernah menjadi : 1. Ketua IPR Yogyakarta 2. Ketua KODEMA Fakultas kedokteran UGM 3. Ketua KNPI Propinsi Riau 4. Wakil Ketua IDI Cabang Riau 5. Anggota Dewan Pertimbangan Golkar Dati I Riau
7
DAFTAR PUSTAKA 1. Abdul Kadir Muhamamd, 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. 2. Batubara Cosmos, 2000. “Hubungan Industrial di Indonesia Aspek Politik dari Perubahan di Tempat Kerja Dekade Sembilan Puluhan dan Awal Dua Ribu,” Dis Depok, niversitas Indonesia. 3. Djunaedi, 1992. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta, Rajawali Pers. 4. F.J.H.M. Vannden Van 1969. Persyaratan Hukum kerja. Terjemahan Sridadi, Yogyakarta. Penerbit Yayasan Kanisius. 5. Rajagukguk Erman, 1997. “Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi Implikasinya Bagi Pendidikan ukum di Indonesia.” Pidato pengukuhan diucapkan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Juni 1947. 6. Rajagukguk Humal Pandamean, 1993. “Perlindungan Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja ditinjau dari sudut Sejarah Hukum.” Dis Jakarta Universitas Indonesia. 7. Soepomo Imam, 1985. Pengaturan Hukum Perburuhan. jakarta. Penerbit Jakarta. 8. ____1982. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta. Penerbit Jakarta. 9. ____1978. Hukum Perburuhan Bidang Aneka utusan (P4), Jakarta Pradya Paramita. 10. Suwarto, 2003. Hubungan Industrial dalam Praktek, Jakarta. penerbit Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia. 11. Tambusai Muzni, 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia, Jakarta. DPP IPHII kerjasama dengan Karya Unggul Persada. 12. Uwiyono Aloysius, 2001. Hak Mogok di Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana. 13. ____2003. “Peranan Hukum Perburuhan Dalam pemulihan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Buruh.” Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu ukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang UI Depok 11 Juni 2003. 14. Warr Peter, 1984. Psikologi Perburuhan dan Perundingan Kolektif, Jakarta. PT. Pustaka Binaman Pressindo.
8