SEPUTAR “MUKJIZAT BILANGAN” DALAM ALQUR’AN DAN HUKUM MENGGUNAKAN KALENDER MASEHI Alih Bahasa : Abû Salmâ Muhammad Sumber : IslamQA.com
abusalma.net 2015 0
PERTANYAAN : Saya akhir-akhir ini pernah membaca tentang sejumlah “mukjizat” al-Qur’ân al-Karîm, yang (diklaim) mengandung bilangan-bilangan tertentu dari sesuatu hal, seperti tiga tahapan di dalam janin, peredaran planet-planet, dll. Hanya saja ada salah satu (pendapat) yang berbicara tentang kata “yaum” yang terdapat di dalam al-Qur’ân sebanyak 365 kali, dan kata “qomar” diulang-ulang sebanyak 12 kali, serta pengulangan kata “ayyam” di dalam al-Qur’ân yang saya lupa jumlahnya.
Kemudian pernah ada salah seorang sahabat saya yang suatu ketika mencetak kalender Islami (Hijriah), akan tetapi jumlah harinya bukan 365 hari. Apa maksud hal ini pada kalender Islami? Apakah ini artinya kelender tersebut tidak tepat? Ataukah Allâh telah mengetahui bahwa mayoritas orang
di
dunia
ini
cenderung
menggunakan
kalender Mîlâdî (Masehi) dan menunjukkan bahwa kalender inilah yang benar? 1
JAWABAN : Segala puji hanyalah milik Allâh.
PERTAMA : Kebanyakan orang memang gandrung dengan berbagai bentuk mukjizat di dalam alQur’ân, dan diantara bentuknya adalah yang disebut dengan “mukjizat bilangan”. Lalu mereka publikasikan di koran-koran, majalah-majalah dan situs-situs internet struktur/susunan kata-kata yang diulang
beberapa
kali
yang
selaras
dengan
redaksinya, maupun yang sama dengan bilangannya beserta antonim (lawan kata)-nya. Seperti yang mereka klaim tentang pengulangan kata “yaum” sebanyak 365 kali, atau kata “syahr” sebanyak 12 kali, juga klaim mereka terhadap kata-kata yang lain seperti “malaikat dan syaithan”, “dunia dan akhirat”, dll.
Banyak orang mengira akan benarnya pengulangan kata-kata ini dan menganggapnya sebagai bagian 2
dari
mukjizat
al-Qur’ân.
Mereka
tidak
bisa
membedakan antara “ketelitian al-Qur’ân” dengan “mukjizat”-nya. Menulis buku yang mengandung bilangan-bilangan tertentu dari kata-kata tertentu pula, adalah suatu hal yang bisa dilakukan semua orang. Lalu, dimana letak kemukjizatannya??
Adapun mukjizat pada al-Qur’ân tidaklah seperti hal-hal yang “teliti” seperti ini, namun jauh lebih mendalam dan lebih mulia. Mukjizat al-Qur’ân ini mampu menyebabkan pakar Bahasa Arab yang fasih (fushah) dan sasterawannya tidak berdaya ketika disuruh untuk mendatangkan yang serupa dengan al-Qur’ân, atau 10 surat yang sepadan dengannya, atau bahkan satu surat saja. Tidak seperti ketelitian di atas yang setiap penulis mampu melakukannya, bahkan bisa lebih banyak lagi, terhadap buku yang ditulisnya. Hendaknya Anda berhati-hati tentang hal ini.
3
Perlu diketahui, bahwa aktivitas sebagian orangorang
ini
tidak
hanya
berkaitan
dengan
penghitungan angka-angka saja, namun lebih dari itu.
Ada
diantara
mereka
yang
melakukan
penentuan dengan penomoran tersebut tentang “Kehancuran Negara Israel”, yang lainnya bahkan dengan lancangnya melakukan “pembatasan waktu hari kiamat”. Ada pula yang mengada-ada atas alQur’ân dengan menyebarkan pendapat bahwa di dalam al-Qur’ân terdapat isyarat akan “peledakan gedung
di
New
York”,
dengan
mencomot
penomoran ayat dan surat at-Taubah beserta juznya. Semua ini adalah bentuk olok-olok terhadap Kitâbullâh,
yang
disebabkan
oleh
kebodohan
terhadap hakikat mukjizat al-Qur’ân.
KEDUA : Dengan meneliti lebih dalam metode penghitungan bilangan yang mereka publikasikan, didapati bahwa sejumlah bilangan dari kata-kata tersebut banyak yang tidak benar. Bahkan didapati bahwa sebagian 4
mereka sengaja menyeleksi sejumlah kata dengan metode yang mencocoki kemauan mereka. Dan semua ini mereka lakukan dalam rangka untuk mencapai yang mereka inginkan dan mereka kira ada di dalam al-Qur’ân.
Syaikh DR Khâlid as-Sabt berkata : DR Asyraf ‘Abdur Razzâq Quthnah melakukan studi kritis terhadap “mukjizat bilangan” di dalam alQur’ân al-Karîm, dan beliau himpun di dalam buku yang berjudul : “Rasmul Mushhâf wal I’jâz al‘Adadî : Dirôsatan Naqdiyatan fî Kutubil I’jâzil ‘Adadî fîl Qur’ânil Karîm.” [Pola Mushaf dan Mukjizat BIlangan : Studi Kritis terhadap Buku-Buku Mukjizat Bilangan di dalam al-Qur’ân al-Karîm], dan beliau ringkaskan di dalam penutup buku beliau yang mana beliau paparkan dari 3 buah buku, yaitu :
5
1. I’jâz ar-Raqm 19 [Mukjizat Angka 19] karya Bâsim Jarrâr 2. I’jâzul ‘Adadî fîl Qur’ân [Mukjizat Bilangan di dalam al-Qur’ân] karya ‘Abdur Razzâq Naufal 3. Al-Mu’jizah karya ‘Adnân ar-Rifâ’î.
Penulis meringkaskan kesimpulan bukunya dengan mengatakan :
وصلت بنتيجة دراسيت إىل أن فكرة اإلعجاز العددي " كما عرضتها هذه الكتب " غري صحيحة على اإلطالق ،وأن هذه الكتب تقوم ابعتماد شروط توجيهية حيناً وانتقائية حيناً آخر ،من أجل إثبات صحة وجهة نظر بشكل يسوق القارئ إىل النتائج احملددة سلفاً ،وقد أدت هذه الشروط التوجيهية أحياانً إىل اخلروج على ما هو اثبت إبمجاع األمة ،كمخالفة الرسم العثماين للمصاحف ،وهذا ما ال جيوز أبداً ، وإىل اعتماد رسم بعض الكلمات كما وردت يف أحد املصاحف دون 6
وأدت كذلك إىل، األخذ بعني االعتبار رمسها يف املصاحف األخرى خمالفة مبادئ اللغة العربية من حيث حتديد مرادفات الكلمات وأضدادها “Saya sampai pada sebuah kesimpulan atas studiku ini bahwa pemikiran Mukjizat Bilangan ini – sebagaimana dipaparkan di dalam
buku-buku
tersebut di atas- secara mutlak tidak benar. Dan bahwa buku-buku tersebut, acap kali ditulis bersandarkan
pada
persyaratan
yang
telah
ditentukan dan yang lainnya diseleksi sedemikian rupa, agar seolah-olah menetapkan kebenaran sisi pandang
para
penulis
tersebut
dengan
cara
menggiring para pembacaanya kepada kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya.
Syarat-syarat yang telah ditentukan ini, acapkali dianggap telah keluar dari yang telah ditetapkan oleh konsensus (ijmâ’) ulama, seperti penyelisihan
7
mereka terhadap struktur mushaf ‘Utsmânî, dan hal ini
tidak
Diantaranya
diperbolehkan juga
bersandar
selama-lamanya. dengan
struktur
sejumlah kata yang terdapat di salah satu mushaf tanpa memperhitungkan strukturnya di mushaf yang lainnya, dan hal ini dianggap sebagai penyelisihan terhadap dasar-dasar Bahasa Arab baik dari aspek batasan kosakatanya maupun antonimnya. [Hal 197, Damaskus, Manâr lin Nasyri wat Tauzî’, Cet. I, 1420 H/1999]
DR Fahd ar-Rûmî juga menyampaikan hal yang serupa terhadap DR ‘Abdur Razzâq Naufal yang berupaya menyeleksi kata-kata tertentu agar mencocoki
dengan
pertimbangan
bilangan.
Diantara yang beliau sampaikan adalah :
وقد مجع، ) مرة بعدد أايم السنة365 ( إن لفظ اليوم ورد يف القرآن " " يوماً " وترك " يومكم " و " يومهم، " إلثبات هذا لفظي " اليوم 8
و " يومئذ " ؛ ألنه لو فعل الختلف احلساب عليه ! وكذلك احلال يف يدخلون، ) مرة11 ( لفظ " االستعاذة " من الشيطان ذكر أنه تكرر " يف اإلحصاء كلميت " أعوذ " و " فاستعذ " دون " عذت " و . " يعوذون " و " أعيذها " و " معاذ هللا “Sesungguhnya (klaim DR Naufal yang mengatakan bahwa) kata “al-Yaum” disebutkan di dalam alQur’ân sebanyak 365 kali yang sama dengan jumlah hari dalam setahun. Untuk menetapkan klaimnya ini, dia mengumpulkan 2 kata : “al-Yaum” dan “Yauman”,
namun
mengabaikan
kata
:
“Yaumakum”, “Yaumahum” dan “Yaumaidzin”; karena sekiranya ia tetap menganggapnya maka hasil perhitungannya akan berbeda (dengan yang ia inginkan)! Demikian halnya dengan kata “alIsti’âdzah” (berlindung) dari syaithan yang (ia klaim) diulang sebanyak 11 kali. Ia memasukkan ke dalam perhitungannya 2 kata : “’A’ûdzu” dan “Fasta’idz”, tanpa kata : “Udztu”, “Ya’ûdzûna”, 9
“A’îdzuhâ” dan “Ma’âdzallâh”.” [Lihat : Ittijâhât at-Tafsîr fil Qornir Râbi’ ‘Asyar (Orientasi Tafsir Abad ke-14) Juz II hal. 699-700; Beirut, Mu’assasah ar-Risâlah, Cet. II, 1414 H.]
Dengan pernyataan ilmiah yang mantap ini, maka telah jelaslah jawaban dari pertanyaan tentang kata “Yaum” berikut bilangannya di dalam al-Qurân al-Karîm.
KETIGA : Adapun perhitungan yang Allâh sebutkan di dalam Kitab-Nya yang mulia adalah perhitungan yang tepat yang tidak akan berbeda sepanjang tahun, yaitu perhitungan Qomariyah.
Di dalam firman Allâh Ta’âlâ :
ِ ِ ٍ ِ َ ولَبِثوا ِيف َكه ِف ِهم ثََال ني َو ْازَد ُادوا تِ ْس ًعا ُ َ َ ث مئَة سن ْ ْ 10
“Dan mereka mendiami gua tersebut selama tiga tahun ditambah Sembilan (tahun lagi)” (QS al-Kahfi : 25)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa jumlah 300 tahun itu adalah perhitungan Syamsiyah sedangkan jumlah
309
tahun
itu
adalah
perhitungan
bin
Shâlih
al-‘Utsaimîn
Qomariyah! Syaikh
Muhammad
menyanggah pendapat ini dan menjelaskan di dalam sanggahannya bahwa perhitungan di sisi Allâh Ta’âlâ itu hanyalah perhitungan Qomariyah bukan Syamsiyah.
Syaikh
Muhammad
bin
Shâlih
al-‘Utsaimîn
rahimahullâhu berkata : “Firman Allâh Ta’âla : “Ditambah 9 tahun lagi” maksudnya 300 tahun ditambah dengan 9 tahun. Jadi, mereka tinggal di gua selama 309 tahun lamanya. 11
Mungkin akan ada yang bertanya : “Kenapa tidak langsung saja disebut 309 tahun?” Maka kita jawab : Tidak ada bedanya ucapan ini dan itu, akan tetapi al-Qur’ân yang agung ini adalah kitab yang paling tinggi sastranya. Agar selaras dengan ritme setiap ayat, Allah berfirman “ ِمئَ ٍة
ث َ ثََال
ِِ ني َو ْازَد ُادوا تِ ْس ًعا َ ”سن. Tidak sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa 300 tahun itu adalah berdasarkan kalender
Syamsiyah,
dan
ditambah
9
tahun
berdasarkan Qomariyah. Sesungguhnya tidaklah mungkin bagi kita mempersaksikan bahwa Allâh menghendaki
hal
ini!
Siapa
gerangan
yang
mempersaksikan bahwa Allâh menghendaki makna ini?! Sekalipun apabila 300 tahun Syamsiyah itu mencocoki 309 tahun Qomariyah, tetap tidak mungkin kita mempersaksikan hal ini kepada Allâh, karena perhitungan di sisi Allâh itu hanyalah satu!
12
(Jika ada yang bertanya) : Apa tanda-tanda yang digunakan untuk perhitungan di sisi Allâh? Kita jawab : Tandanya adalah hilâl (bulan sabit). Karena itulah kita katakan bahwa pendapat yang menyatakan 300 tahun itu Syamsiyah dan tambahan 9 tahun itu Qomariyah, adalah pendapat yang lemah. (Dengan alasan), Pertama : Tidak mungkin bagi kita mempersaksikan bahwa Allâh yang menghendaki hal ini. Kedua : bahwa perhitungan bulan dan tahun di sisi Allâh adalah dengan hilâl (bulan sabit). Allâh Ta’âlâ berfirman :
هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نوراً وقدره منازل لتعلموا عدد السنني واحلساب “Dialah Allâh yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta ditetapkan oleh-Nya manzilah-manzilah
(orbit 13
peredaran)
bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS Yûnus: 5)
( يسئلونك عن األهلة قل هي مواقيت للناس واحلج “Mereka bertanya kepadamu tentang Hilâl (bulan sabit). Katakanlah (Wahai Muhammad) "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji” (QS. Al-Baqarah: 189) [Ceramah Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn tentang Tafsîr Surat al-Kahfi]
Perhitungan dengan bulan dan hilâl (bulan sabit) sudah dikenal oleh para Nabi dan kaum mereka, sedangkan
perhitungan
dengan
matahari
(Syamsiyah) tidaklah dikenal kecuali oleh orangorang
pandir
penganut
agama-agama
(kafir).
Namun ironisnya, mayoritas kaum muslimin saat ini banyak yang mencocoki mereka.
14
DR Khâlid as-Sabt menyatakan ulasan bantahan beliau terhadap orang yang berdalil dengan ayat “ ال
.. ”يزال بنياهنم
(Bangunan-bangunan yang mereka
dirikan senantiasa…) di dalam surat at-Taubah (ayat 110) tentang kehancuran Amerika : * [CATATAN PENERJEMAH : Sepertinya situs islamqa.com secara tidak sengaja melewatkan poin paparan DR Khâlid as-Sabt ini]
KELIMA* [CATATAN PENERJEMAH : Ini juga kekeliruan dari islamqa.com yang meletakkan nomor 5 setelah nomor 3. Saya menduga ada paragraf dan poin pembahasan yang terlewatkan saat proses editing]
Bahwa ada keterkaitan perhitungan Syamsiyah ini yang berangkat dari sistem perhitungan yang diwariskan kaum Paganisme (Watsaniyah), yang tidak pernah dianggap oleh para Nabi ‘alaihim ashSholâtu was Salâm. Sesungguhnya perhitungan yang 15
dianggap
oleh
syariat
hanyalah
perhtungan
berdasarkan bulan dan hilâl, dan perhitungan ini adalah yang paling tepat dan cermat.
Diantara
dalil
yang
menunjukkan
bahwa
perhitungan Qomariyah ini yang telah dikenal di dalam syariat para Nabi, adalah hadits Wâtsilah bin al-Asqa’ radhiyallâhu ‘anhu yang mengatakan bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Salam bersabda :
ٍِ ت َّ ف إِبْ َر ِاه َيم َعلَْي ِه ْ َ َوأُنْ ِزل، َا َن ْ َأُنْ ِزل َ الس َالم ِيف أ ََّوِل لَْي لَة م ْن َرَم ُ ص ُح ُ ت ِ اإل ِْْن ِ َت م ٍ ِِ ِ ت ِم ْن َ يل لثََال ْ َث َع ْشَرَة َخل َ ني م ْن َرَم َ ْ َ َ الت َّْوَراةُ لس ُ ْ َو، َا َن ِ َ وأُنْ ِزَل الْ ُفرقَا ُن ِألَرب ٍع و ِع ْش ِرين خل، رمَا َن َا َن ْ َ َ َ َْ َ ت م ْن َرَم ْ َ َ ََ “Suhuf Ibrâhîm ‘alaihis Salâm diturunkan pada permulaan malam Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari ke-13 bulan Ramadhan dan al-Furqân (yaitu al-Qur’ân) diturunkan pada malam ke-24 16
Ramadhan.” [HR Ahmad IV/107 dan al-Baihaqî dalam “as-Sunan” IX/188, dan sanadnya hasan. Syaikh al-Albânî menyebutkannya dalam “ashShahîhah” 1575].
Hal ini (yaitu waktu turunnya kitab suci di hadits tersebut di atas) tidak dapat diketahui kecuali apabila perhitungan menggunakan bulan dan hilâl.
Yang juga menunjukkan akan hal ini adalah hadits yang
dikeluarkan
di
dalam
2
Kitab
Shahîh
(Shahîhain) dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata :
ِ ِ َّ قَ ِدم النَِِّب صلَّى ُ وم يَ ْوَم َع َ اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم الْ َمدينَةَ فَ َرأَى الْيَ ُه ُص ُ َود ت َ ُّ َ َ اش َوراء ِ ِ ِ َّ ه َذا ي وم َْنَّى، ه َذا ي وم صالِح: ما ه َذا ؟ قَالُوا: ال يل ٌ َْ َ ٌ َ ٌ َْ َ َ َ َ فَ َق َ اَّللُ بَِن إ ْسَرائ ِ ِ احلديث... وسى َ َم ْن َع ُد ِوه ْم ف َ ص َامهُ ُم 17
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam tiba di kota Madinah, dan beliau melihat kaum Yahudi sedang berpuasa di hari ‘Asyura, lalu beliau bertanya : “Hari apa ini?”, mereka (kaum Yahudi) menjawab : “ini hari yang baik. Di hari ini Allâh menyelamatkan Bani
Isra’il
dari
musuh
mereka
dan
hari
berpuasanya Musa.”.” [HR Bukhârî : 2004 dan Muslim : 1130]
Al-Hâfizh
(Ibnu
Hajar)
rahimahulâhu
juga
menyatakan secara tegas bahwa mereka (bangsa Yahudi) tidak menganggap perhitungan Syamsiyah. [Lihat “al-Fath” IV/291 dan VII/323].
Ibnul Qoyyim rahimahullâhu berkata mengomentari firman Allâh Ta’âlâ :
ِ هو الَّ ِذي جعل الشَّم َّرهُ َمنَا ِزَل َ ورا َوقَد ً ُس ضيَاءً َوالْ َق َمَر ن َُ َ ْ َ ََ “Dialah Allâh yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta ditetapkan oleh-Nya 18
manzilah-manzilah
(orbit
peredaran)
bagi
perjalanan bulan itu” (QS Yûnus: 5)
Dan juga firman-Nya :
ِ ِ ِ ِ َ س ََْت ِري ل ُم ْستَ َق ٍر ََلَا ذَل ُ َوالْ َق َمَر قَد َّْرَانه. ك تَ ْقد ُير الْ َع ِزي ِز الْ َعلي ِم ْ َوالش ُ َّم ِ منَا ِزَل ح ََّّت عاد َكالْعرج ون الْ َق ِد ِي ُ ُْ َ َ َ َ “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”. (QS. Yâsin: 3839)
Beliau mengatakan :
19
ولذلك كان احلساب القمري أشهر وأعرف عند األمم وأبعد من الغلط ،وأصح للَبط من احلساب الشمسي ،ويشرتك فيه الناس دون ِ ِِ ني َّرهُ َمنَا ِزَل لتَ ْعلَ ُموا َع َد َد السن َ احلساب ،وَلذا قال تعاىل َ ( :وقَد َ و ِْ اب ) يونس 5/ومل يقل ذلك يف الشمس ،وَلذا كانت أشهر احل َس َ َ احلج والصوم واألعياد ومواسم اإلسالم إمنا هي على حساب القمر وسريه حكمة من هللا ورمحة وحفظا لدينه الشرتاك الناس يف هذا احلساب ،وتعذر الغلط واخلطأ فيه ،فال يدخل يف الدين من االختالف والتخليط ما دخل يف دين أهل الكتاب “Karena itulah perhitungan Qomariyah itu lebih populer dan dikenal oleh banyak umat dan lebih jauh dari kesalahan serta lebih benar dalam detailnya daripada perhitungan Syamsiyah dimana perlu
tanpa
menggunakannya
orang-orang
melakukan perhitungan. Lantaran itulah Allâh Ta’âla berfirman : “serta ditetapkan oleh-Nya
20
manzilah-manzilah
(orbit
peredaran)
bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS Yûnus: 5), dan tidak disebutkan hal yang sama pada matahari. Dengan demikian, penentuan bulan-bulan haji, puasa, hari-hari besar (îd) dan perayaan Islam hanyalah berdasarkan pada perhitungan bulan dan peredarannya, sebagai hikmah dari Allâh, rahmat dan
penjagaan
terhadap
agama-Nya,
dimana
banyak manusia yang mengikuti perhitungan ini, yang terbebas dari kesalahan dan kekeliruan di dalamnya. Sehingga tidak masuk ke dalam agama adanya perselisihan dan pertikaian sebagaimana yang masuk ke dalam agama ahli kitab.” [Miftâh Dâr as-Sa’âdah hal. 538-539]
Bisa jadi yang difahami dari ucapan terakhir Ibnul Qoyyim rahimahullâhu di atas, bahwa ahli kitab bersandar pada perhitungan Syamsiyah, dan hal ini telah dinyatakan secara terang oleh al-Hâfizh Ibnu 21
Hajar rahimahullâhu di dalam tanggapan beliau setelah
beliau
menisbatkannya
kepada
Ibnul
Qoyyim. [Lihat al-Fath VII/323]. Sedangkan kenyataannya, syariat mereka awalnya tidak mengakuinya (yaitu mengakui perhitungan Syamsiyah), dan hal ini terjadi kepada mereka lantaran orang-orang bodoh mereka. [selesai]
Diantara faidah firman Allâh Ta’alâ :
يسئلونك عن األهلة “Mereka bertanya tentang bulan sabit…”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullâhu mengatakan :
وهو- أن ميقات األمم كلها امليقات الذي وضعه هللا َلم: ومنها ( مواقيت للناس ) ؛ وأما: فهو امليقات العاملي ؛ لقوله تعاىل- األهلة
22
فال أصل له من: ما حدث أخرياً من التوقيت ابألشهر اإلفرْنية وال مشروع ؛ وَلذا َتد بعض الشهور مثانية، وال معقول، حمسوس ، ً وبعَها واحداً وثالثني يوما، ً وبعَها ثالثني يوما، ًوعشرين يوما من غري أن يكون سبب معلوم أوجب هذا الفرق ؛ مث إنه ليس َلذه خالف، األشهر عالمة حسيَّة يرجع الناس إليها يف حتديد أوقامهم ٍ األشهر اَلالليَّة فإن َلا عالمة حسيَّة يعرفها كل أحد “Diantara faidahnya adalah, bahwa standar waktu seluruh umat adalah standar waktu yang telah Allâh tentukan bagi mereka, yaitu hilâl (bulan sabit) yang merupakan standar universal, berdasarkan firman Allâh Ta’âla : (للناس
)مواقيت
“Sebagai tanda-tanda
waktu bagi manusia”. Adapun fenomena akhir-akhir ini yang menjadikan standar waktu dengan bulan kalender Eropa, maka ini tidak ada asalnya baik secara inderawi, rasio dan syariat. Karena itulah Anda dapati sebagian bulan 23
(Masehi) itu ada yang 28 hari, sebagiannya 30 hari dan sebagiannya lagi 31 hari, tanpa diketahui secara pasti sebab perbedaan ini. Kemudian juga, pada kalender Masehi ini tidak ada tanda-tanda inderawi yang manusia dapat merujuk kepadanya untuk menentukan waktu mereka, berbeda dengan kalender berdasarkan bulan, yang mana ada tanda yang bisa diindera sehingga dapat diketahui setiap orang. (yaitu bisa melihat bentuk-bentuk bulan). [Pengajian Tafsîr al-Baqoroh II/371].
Al-Qurthûbî
rahimahullâhu
berkata
saat
mengomentari firman Allâh Ta’âla :
ِ ِ َاَّللِ اثْنَا َع َشر َش ْهرا ِيف كِت اَّللِ يَ ْوَم َخلَ َق َّ اب َّ ُّهوِر ِعْن َد ُ إِ َّن ع َّدةَ الش ً َ ِ َّ ض َ الس َم َوات َو ْاأل َْر “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi…”. (QS. at Taubah: 36) 24
Beliau berkata :
هذه اآلية تدل على أن الواجب تعليق األحكام يف العبادات وغريها إمنا يكون ابلشهور والسنني اليت تعرفها العرب دون الشهور اليت تعتربها العجم والروم والقبط وإن مل تزد على اثِن عشر شهراً ؛ ألهنا خمتلفة األعداد ،منها ما يزيد على ثالثني ،ومنها ما ينقص ،وشهور العرب ال تزيد على ثالثني وإن كان منها ما ينقص ،والذي ينقص ليس يتعني له شهر وإمنا تفاومها يف النقصان والتمام على حسب اختالف سري القمر يف الربوج “Ayat ini menunjukkan bahwa wajib mengaitkan hukum-hukum ibadah dan selainnya hanya dengan perhitungan bulan dan tahun yang diketahui oleh bangsa Arab, bukan dengan perhitungan bulan yang digunakan oleh bangsa ‘ajam (non Arab), Romawi dan Qibthî, walaupun tidak lebih dari 12 bulan. Karena bilangan harinya berbeda-beda, ada yang 25
lebih dari 30 hari dan ada yang kurang. Sedangkan bulan-bulan bangsa Arab tidak akan lebih dari 30 hari walaupun bisa kurang darinya (yaitu 29 hari). Hari yang kurang (dari 30) tidak dapat ditentukan, karena perubahan kurang dan pas 30 hari itu berdasarkan perbedaan peredaran bulan pada orbitnya.” [Tafsîr ath-Thobarî VIII/133].
Wallâhu a’lam.
*** Dialihbahasakan oleh Abû Salmâ Muhammad Sumber : http://islamqa.info/ar/69741
26