Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KEPULAUAN DI JAWA TIMUR Septi Ariadi Dosen FISIP Universitas Airlangga lulusan Unair (S1) dan Mahidol University Thailand (S2) Abstract This paper describes problematic condition and priority issue faced by island people in East Java province in relation to the development of people welfare. This paper also proposes an intervention program design to enhance the development of people welfare, especially those in Kangean and Mandangin Islands. This paper suggests that the physica l development should be accompanied with the developmental programs which are people centered, participatory, empowering, and sustainable. Keywords: Island, otonomy, welfare, Kangean, Mandangin, East Java.
Sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan 1 Januari 2001, salah satu isu prioritas pembangunan yang mendesak untuk ditangani Propinsi Jawa Timur adalah persoalan pengembangan dan pemberda yaan masyarakat kepulauan. Paling tidak ada tiga alasan kenapa masyarakat kepulauan perlu memperoleh perhatian khusus. Pertama, karena di Propinsi Jawa Timur wilayah kepulauan ditengarai meru pakan salah satu kantong kemis kinan yang paling menderita akibat tekanan situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kendati mungkin masyarakat di sana telah terbiasa hidup secara subsisten dan telah terlatih menghadapi situasi yang serba terbatas, tetapi tekanan kemiskinan yang bertubi-tubi tentu menyebabkan peluang mereka un tuk bertahan hidup —apalagi meningkatkan kesejahteraan— menja-
di makin tipis, bahkan nyaris tidak ada. Kedua, karena kepulauan merupakan wilayah yang mengalami polarisasi paling menyolok, baik secara fisik maupun sosial. Dengan posisi geografis yang relatif terisolir, wilayah kepulauan bukan saja jauh dari kepentingan dan sumber -sumber produktif di pusat-pusat kekuasaan, tetapi juga acapkali terlantar kan akibat adanya “prasangka keruangan” yang keliru (Chambers, 1987). Ketiga, karena kualitas SDM masyarakat kepulauan umumnya masih jauh tertinggal, dan tidak mustahil mengalami degradasi kua litas kehidupan jika tidak segera dilakukan langkah-langkah intervensi. Sebagian besar masyarakat kepulauan umumnya hanya ber pendidikan setara SD atau SLTP, dan bahkan cukup banyak yang tidak sekolah, sehingga peluang http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/
13
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan d an Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
mereka untuk melakukan diversifikasi usaha atau mencoba memperbaiki kualitas hidup acapkali ter hambat. Sebagai sebuah komunitas, kehidupan masyarakat kepulauan bukan saja relatif terisolasi, tetapi secara sosial juga tertinggal dibandingkan daerah di sekitarnya: mobilitas vertikal masyarakat berjalan lambat, bersifat tradisional, dan pilihan hidup yang tersedia umumnya sangat terbatas. Berbeda dengan masyarakat yang hidup di wilayah daratan Pulau Jawa atau terlebih di kota-kota besar yang telah memiliki prasarana publik yang lengkap dan memiliki akses yang sangat tinggi terhadap informasi dan pasar, masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan biasanya hidup dengan fasilitas dan prasarana publik seadanya, dan bahkan untuk memenuhi kebutuh an hidup sehari-hari serta kebutuhan prasarana produks i, mereka sangat tergantung kepada kiriman barang dari luar yang tidak selalu datang setiap waktu. Kebutuhan air bersih, misalnya, yang sesungguh nya sangat vital bagi masyarakat mana pun, tidak jarang merupakan barang mewah bagi masyarakat kepulauan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang pelayanan kesehatan atau prasarana pendu kung kegiatan produktif masyara kat. Potensi Kalau berbicara masalah potensi alam yang ada, sesungguhnya tidak sedikit wilayah kepulauan yang 14
memiliki sumber daya alam cukup menjanjikan, termasuk kondisi tanah yang subur atau sumber sumber daya alam yang terpendam, seperti gas dan minyak bumi. Namun, sayang semua potensi yang dimiliki wilayah kepulauan itu belum sepenuhnya tergali. Studi yang dilakukan Lembaga Penelitian ITS (2000) di beberapa wilayah kepulauan di Jawa Timur menemu kan bahwa untuk eksplorasi sektor perikanan diperkirakan tidak lebih 30% dari potensi lestari. Di Sumenep, misalnya potensi perikan an diperkirakan 4,58 ton ikan per kilometer persegi atau sekitar 229.000 ton per tahun. Ironisnya, sepanjang tahun 1999 produksi perikanan di Kabupaten Sumenep baru tergali 36.942,7 ton atau sekitar 26,89% dari potensi lestari. Hal yang sama juga terjadi untuk potensi sektor pertanian dan perkebunan. Di sektor pertanian, studi yang dilakukan Lemlit ITS menemukan bahwa produktivitas atau tingkat hasil untuk beberapa tanaman yang banyak diusahakan petani di wilayah kepulauan, khususnya tanaman pangan, ter nyata masih sangat rendah. Bahkan dapat dikatakan masih jauh dari potensi hasil yang dapat dicapai oleh beberapa varietas unggul. Sebagai contoh: untuk produktivitas tanaman padi, hasil yang didapat di wilayah kepulauan berada pada kisaran 0,5 s.d. 3,1 ton per hektar. Hanya pada varietas unggulan saja hasilnya dapat mencapai 5 ton per hektar. Untuk jagung, hasil yang dicapai petani berkisar antara 0,4 s.d. 3,2 ton per hektar, ubi jalar
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
1,28 ton per hektar. Pendek kata dibandingkan dengan potensi yang dapat diraih, sebetulnya hasil-hasil yang dicapai selama ini masih jauh dari memadai. Sebagian besar masyarakat kepulauan yang betul-betul terisolasi, rata-rata mereka menempuh pola hidup yang subsisten. Artinya, kegiatan bercocok-tanam yang dilakukan masih didominasi oleh pertimbangan untuk memenuhi kebutuh an hidup sehari-hari. Beberapa faktor yang menyebabkan sektor pertanian di wilayah kepulauan belum dapat berkembang dengan maksimal, selain sarana produksi tidak tersedia di pasar lokal, juga karena masyarakat petani setempat umumnya belum memahami benar cara budidaya yang baik dan varietas unggul yang ditawarkan tidak sesuai dengan preferensi keluarga petani. Di samping itu, faktor yang tak kalah penting adalah karena sebagian besar petani umumnya menghadapi per soalan keterbatasan modal yang dimiliki (Lemlit ITS, 2000). Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan masyarakat kepulauan jika mereka tidak memiliki aset produksi, dan selama generasi ke generasi telah terbiasa hidup seadanya? Sudah tentu tidak semua masyarakat petani di wilayah kepulauan hidup secara subsisten dan melulu bersikap apatis. Di sejumlah wilayah kepulauan yang mulai membuka diri dengan hubungan luar, pelan-pelan tampak bahwa pola bercocok-tanam yang dikembangkan petani cenderung
makin komersial. Kegiatan di sektor pertanian, perkebunan, dan per ikanan, tidak lagi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sanak-keluarga sehari-hari, tetapi hasil budi daya mereka telah diperjualbelikan secara komersial. Dalam batas-batas tertentu, penetrasi teknologi dan inovasi manajerial juga telah mulai dikenal dan dipraktekkan. Apakah perubahan pola ber cocok-tanam dari sifatnya yang subsisten ke komersial mengun tungkan masyarakat kepulauan secara keseluruhan? Bersamaan dengan merebaknya proses komersialisasi dan modernisasi yang merambah masyarakat wilayah kepulauan, tuntutan agar mekanis me produksi dan kegiatan usaha dilakukan secara profesional makin tak terelakkan. Untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyara kat, tentu sulit diharapkan dapat terealisasi jika pangsa pasar komoditi hasil produksi hanya diperjualbelikan di pasar-pasar lokal. Mau tidak mau, masyarakat kepulauan harus memperluas pangsa pasar mereka, dan ini tentunya harus didukung oleh sistem manajemen dan pengelolaan potensi lokal yang benar -benar profesional —di samping kualitas SDM yang makin mumpuni. Masalahnya sekarang, berapa banyak dari warga masyarakat kepulauan yang secara sosial, ekonomi dan pendidikan siap untuk merespon situasi pasar yang makin kompetitif?
15
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan d an Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
Tabel Wilayah Kepulauan di Propinsi Jawa Timur Kabupaten Kecamatan Jumlah Berpenghuni Pulau Ya Tidak Gresik Sangkapura 1 Bawean Tambak 1 Bawean Probolinggo Sumber 1 Giliketapang Asih Sampang Kota 1 Mandangin/Kambing Sampang Sumenep Arjasa 20 Kangean, Mamburit, Saparean, Saketek, Saobi, Sapapan, Bindana, Malang, Binginyarat, Sagubin Kunyit, Pangapos, Talaga, Karanjangan, Sabiteng, Sako, Gili-Gili, Karanjang, karanteng, Tajjan Giligenting 4 Giligenting, Giliraja, Gilidua Gilingan Gayam 1 Sapudi Nonggunon 3 Sapudi, Panjangan, g Manok Dungkek 1 Giliyang Talango 3 Poteran, Gililawak Tanpa nama Masalembu 4 Masalembu, Tanpa nama Karamaian, Masakambing Ra’as 11 Ra’as, Tonduk, Sarok, Tanpa nama Kalasoi, Talango Aeng, Talango Tengah, Talango Timur, GuaGuwa, Kamudi, Komorean Supeken 30 Sapeken, Saebus, Sapingan, Piropok, Saduleng, Besar, Kamarong, Saduleng Kecil, Pindana, Talengkis Satabbok, Saolar, Besar, Talengkis Saor, Bangkao, Kecil, Tabok Raba, Sabunten, Sapengkor Salubar, Tabok Besar, Sapengkor Unto, Tanpa nama kecil, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Sakkala, Sase’el, Saredang Besar, Saredang Kecil, Paliat, Salawang, Sepanjang Sumber: Buku Rencana Pengembangan Wilayah Kepulauan 1998, Kabupaten Gresik, Probolinggo, Sampang, dan Sumenep
Bagi keluarga-keluarga tertentu, migrasi ke luar pulau, atau bahkan mengadu nasib ke luar negeri menjadi TKI/W (Tenaga Kerja Indonesia/Wanita) biasanya menja di salah satu cara bagi masyarakat kepulauan untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi mereka. Tetapi, bagi kepentingan wilayah, 16
apa pun bentuk migrasi yang dipilih masyarakat hal itu sebenarnya menyebabkan timbulnya masalah baru yang tak kalah mencemaskan. Ketika tenaga kerja lokal mulai memilih bekerja di luar pulau dan menjadi migran, maka wilayah kepulauan itu tentu akan menderita kekurangan tenaga kerja dan tidak
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
mustahil menyebabkan kegiatan produksi lokal menjadi tersendat, dan potensi-potensi lokal sendiri seolah tak tersentuh. Alih -alih dikembangkan, di beberapa wilayah kepulauan potensi Sumber Daya Alam (SDA) lokal terkadang diterlantarkan begitu saja, sehingga secara ekonomi sama sekali tidak produktif. Upaya untuk memberdayakan dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat di wilayah kepulauan harus diakui bukanlah hal yang mudah. Persoalannya di sini bukan sekadar faktor geografis yang membatasi ruang gerak dan dinamika masyarakatnya. Tetapi, juga persoalan bagaimana membangun dan mempersiapkan basis masyara kat yang tanggap dalam mengha dapi perubahan-perubahan baru. Studi sebagaimana dilaporkan bertujuan untuk memetakan situasi problematik dan isu prioritas yang dihadapi masyarakat kepulauan, khususnya dalam rangka pengembangan tingkat kesejahteraan kehidupan mereka. Studi ini mendesak untuk dilakukan, karena jika tidak dilakukan intervensi program yang segera dan sesuai dengan kebutuh an, dikhawatirkan cepat atau lambat wilayah kepulauan akan makin tertinggal dan tetap dikung kung persoalan kemiskinan dan keterisolasian yang tak pernah selesai. Secara purposive, studi ini dilaksanakan di 2 kabupaten terpilih, yakni Kabupaten Sampang dan Sumenep. Di Sampang, wilayah kepulauan yang dijadikan lokasi studi adalah Pulau Mandangin,
Kecamatan Sampang Kota dengan pertimbangan mewakili wilayah kepulauan yang memiliki potensi sektor perikanan yang cukup prospektif. Sedangkan di Sumenep yang terpilih adalah Pulau Kangean, Kecamatan Arjasa dengan pertimbangan di sana memiliki potensi sektor pertanian dan perkebunan yang dari pengawatan sebelumnya dinilai layak untuk dikembangkan. Membangun Masyarakat Kepulauan Upaya untuk membangun masyara kat dan wilayah kepula uan harus diakui bukanlah hal yang mudah. Wilayah kepulauan, bukan saja memiliki spesifikasi secara geografis, tetapi juga secara sosial masyarakatnya rata-rata masih jauh tertinggal, kualitas SDM masih tergolong sangat rendah, dan dari segi akses masyarakat terhadap informasi dan pasar umumnya relatif terisolasi. Meminjam istilah Soedjatmoko (1982), masyarakat kepulauan sesungguhnya memiliki derajad sentralitas yang rendah, dan mobilitas sosial yang lamban karena keterbatasannya sendiri. Dalam pengembangan wilayah kepulauan, selain membutuh kan perencanaan program yang jelas dan berkelanjutan, yang tak kalah penting juga perlu memper timbangkannya sebagai suatu ka sus khusus —mengingat pulau kecil merupakan suatu unit ekosistem yang sangat khas dengan kea nekaragaman hayati yang sangat tinggi. Penelitian yang dilakukan Salam (2000), misalnya pada beberapa 17
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan d an Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
pulau kecil di kawasan Timur Indonesia, menemukan ada beberapa permasalahan yang mendesak un tuk ditangani, baik yang bersifat sosial maupun ekonomi. Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi masyarakat dan wilayah kepulauan adalah: (1) sebagian besar pendu duk sangat bergantung pada sektor pertanian dengan akses modal dan teknologi yang rendah sehingga produktivitasnya pun ikut rendah, (2) layanan perbankan yang tidak menjangkau secara merata, (3) pasokan listrik yang kurang, (4) kesadaran lingkungan yang masih rendah oleh para pedagang ikan sehingga mendorong kerusakan lingkungan, (5) kesehatan lingkung an yang masih terabaikan, (6) sistem pendidikan tidak relevan dengan lingkungan sosial-ekonomi setempat, (7) kebergantungan kebu tuhan pokok manufaktur dari luar pulau kecil, (8) partisipasi masyara kat untuk membangun yang cukup rendah, dan (9) lembaga perencana an di tingkat pemerintah daerah yang kurang memiliki kemampuan dalam pengembangan wilayah kepu lauan. Pendek kata, permasalahan yang dihadapi masyarakat kepulau an benar-benar kompleks, dan sulit dapat diatasi hanya lewat pendekatan pembangunan yang sifatnya par sial. Berbeda dengan wilayah pedesaan di Pulau Jawa yang lebih banyak direcoki persoalan yang bersifat struktural —seperti struktur pemilikan tanah yang sangat timpang dan akses terhadap pasar yang tidak seimbang—, persoalan yang dihadapi masyarakat kepulau 18
an umumnya lebih bersumber pada posisi geografis mereka yang terisolasi dan kurangnya dukungan prasarana yang memadai untuk pengembangan kegiatan usaha. Studi yang dilakukan Lemlit ITS (2000), misalnya menemukan bah wa persoalan ketersediaan air bersih adalah salah satu tantangan tersendiri yang mendesak untuk dipecahkan. Di samping itu, kesulitan masyarakat untuk memperoleh sarana produksi di pasar adalah kendala lain yang tak kalah mengganggu kelancaran usaha petani. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan masyarakat kepul auan untuk megembangkan sektor pertanian secara maksimal, jika hampir semua sarana produksi yang dibutuhkan masih harus “diimport” dari luar wilayah. Berharap masyarakat kepu lauan semata hanya menggantung kan diri pada SDA setempat sesungguhnya agak riskan. Kend ati sebagian wilayah kepulauan diketa hui memiliki SDA yang sangat menguntungkan, seperti sumber minyak atau gas bumi yang memiliki nilai jual sangat tinggi. Tetapi, dalam jangka panjang, tentu SDA itu akan cepat habis jika terus menerus dieksploitasi seca ra berlebihan. Untuk lebih menjamin kelangsungan kehidupan masyara kat kepulauan, oleh sebab itu perlu dilakukan langkah-langkah khusus yang benar-benar sesuai dengan kondisi alam setempat, sembari mencoba mencari peluang-peluang baru yang prospektif. Stu di yang dilakukan Mustain dan Karnaji (2000) di Pagerungan menemukan
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
bahwa eksplorasi yang terus menerus terhadap SDA lokal bagaimana pun tetap ada batasnya, dan penetrasi modal yang bersifat kapitalistik ke sebuah wilayah yang terpencil ternyata hanya melahirkan berbagai masalah: potensi konflik relatif tinggi akibat polarisasi anta ra penduduk asli dan pendatang yang terlalu menyolok mata. Penelitian yang dilakukan oleh Engkus Ruswana (2000) di wilayah Timur Indonesia, misalnya memberikan rekomendasi, b ahwa pengembangan daerah kepulauan seyogianya memperhatikan kendala dan potensi yang dimiliki kawasan kepulauan yang didasarkan atas aspek kelestarian lingkungan dalam penggunaan lahan. Dengan pelbagai tantangan geografis, topografis, dan sosial-ekonomi yang ada, Ruswana menawarkan konsep perencanaan penggunaan lahan di daerah kepulauan yang didasarkan pada kapasitas dan daya dukung lahan serta, kelestarian sumber daya air, pengurangan ketergantungan pen duduk atas pertanian, kegiatan ekonomi yang diarahkan pada pemanfaatan sumber daya laut. Selain itu, Ruswana juga mengung kapkan tentang perlu adanya studi khusus tentang pemanfaatan lahan yang ada di kepulauan yang dilakukan bersama masyarakat setempat. Di mata Ruswana, pengembangan masyarakat yang semata hanya menempuh jalur tunggal dan menekankan logika produksi, ternyata rawan terkena imbas pasang-surut situasi pasar. Bagi masyarakat kepulauan, bagaimana pun yang namanya diversifikasi
usaha penting dilakukan agar sumber-sumber produktif yang dimiliki keluarga per keluarga dapat lebih bervariasi. Pentingnya pendekatan ekonomis dan ekologis dalam pengembangan kawasan kepulauan di Indonesia juga mendapat perhatian secara khusus Rokhmin Dahuri (1998). Dalam suatu studi kasusnya di Pulau Siberut, Dahuri mencoba menawarkan pendekatan agromarine sebagai model pengembangan yang kontekstual untuk memba ngun masyarakat kepulauan. Pen dekatan ini mensyaratkan pemba ngunan yang memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lingkung an, pengembangan perikanan, dan pendekatan agrobisnis perikanan serta pengembangan pola kemitra an. Artinya, meskipun mungkin secara ekonomi pengembangan sektor perikanan di wilayah kepu lauan sangat prospektif, tetapi jika tidak didukung dan memperhatikan daya dukung SDA dan lingkungan, maka bukan tidak mungkin hasil yang diperoleh hanyalah bersifat sesaat. Salah satu kendala yang semestinya diperhatikan dalam upaya pengembangan kegiatan produktif masyarakat kepulauan, terutama sektor pertanian dan perkebunan adalah daya dukung atau ketesediaan fasilitas air bersih. Penelitian yang dilakukan oleh Hidir Tresnadi (1998) tentang pengelolaan sumber daya air di pulau -pulau kecil, menyarankan adanya suatu manajemen air tanah untuk menja ga ketersediaan dan kualitas air tanah di pulau-pulau kecil. Selan19
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan d an Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
jutnya Tresnadi juga menyarankan perlunya suatu kebijakan lingkung an untuk mengurangi dampak buruk akibat aktivitas manusia dalam suatu lingkungan. Studi yang dilakukan Lemlit ITS (2000) menyatakan bahwa untuk wilayah kepulauan di Propinsi Jawa Timur, memang persoalan pengadaan air bersih benar benar sangat mendesak. Fungsi air bersih bagi masyarakat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, tetapi juga penting untuk mendukung upaya pengembangan sektor pertanian dan perkebunan. Di sejumlah wilayah kepulauan, selain sulit ditemu kan air tawar, dan penduduk terpaksa harus bekerja ekstra keras untuk memperoleh air bersih, tak jarang mereka juga harus mengeluarkan dana tersendiri yang tidak sedikit jumlahnya. Sebagian masya rakat memang telah dilayani dan memperoleh pasokan air bersih dari PDAM, tetapi sebagian besar yang lain masih tergantung pada air hujan dan terpaksa menggunakan air yang payau dan bahkan asin. Sejumlah Temuan Studi Pembangunan pada dasarnya ada lah upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan sekaligus mengeliminasi kemungkinan terjadinya polarisasi sosial yang makin parah. Upaya untuk membangun dan mengembangkan masyarakat kepulauan —termasuk Pulau Kangean dan Mandangin —, oleh karena itu bukan semata -mata sebagai proses mentransplantasikan 20
modernisasi dan memacu pening katan angka-angka produksi. Tetapi, yang terpenting hasil-hasil pembangunan itu harus dilakukan dan bertujuan untuk memberdaya kan masyarakat sebagai subyek pembangunan, melakukan keber pihakan kepada masyarakat yang terkategori miskin, dan mencip takan iklim yang kondusif bagi proses pengembangan kegiatan produktif masyarakat. Selama ini, memang kegiatan pembangunan dan gelombang modernisasi telah berhasil mendorong terjadinya peningkatan produk masyarakat di wilayah pedesaan. Tetapi, proses pembangunan yang mengalienasikan masyarakat dan sekadar mengejar peningkatan ang ka pertumbuhan ekonomi sesung guhnya juga telah menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial secara dramatis dan massif di berbagai komunitas. Akibat berba gai proses modernisasi —seperti komersialisasi, rasionalisasi, tekan an penduduk dan introduksi teknologi baru— dalam banyak hal telah menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan penting pada masyarakat pedesaan. Isolasi geografis, ekonomi, politik, sosial, budaya dan psikologis secara pasti mulai tercabik, dan di ujungnya komunitas desa yang semula lembut, personal, harmonis, kolektif dan humanistik pelan -pelan berubah menjadi komunitas yang individualistik, kontra ktual, dan terpolarisasi. Apakah kita menginginkan perubahan semacam ini yang bakal terjadi di wilayah kepulauan Propinsi Jawa Timur?
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
Secara teoritis, proses industrialisasi dan kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara, selain seringkali menelikung pranata pranata komunitas desa yang tradisional, dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan golongan miskin desa dan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan masyarakat desa. Kita telah menyaksikan berbagai bukti bahwa bersamaan dengan mulai merebak nya proses modernisasi dan pembangunan nasional, ternyata di Indonesia justru muncul berbagai kontradiksi. Pengangguran, setengah pengangguran, dan kemiskin an di wilayah pedesaan melonjak pesat pasca situasi krisis —sekali pun telah tercapai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Ada kesan kuat bahwa hasil-hasil pembangunan selama ini lebih banyak dinikmati oleh lapisan tertentu saja, sehingga menimbulkan kesenjang an. Bahkan, kesenjangan yang terjadi bukan hanya antara kaya dan miskin dalam masyarakat, namun juga antar wilayah: biasanya wilayah kepulauan yang secara geografis jauh dari pusat-pusat kekuasaan cenderung makin tidak diabaikan. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kekeliruan yang sama, upaya untuk mengembangkan masyarakat kepulauan, oleh sebab itu harus dirancang dengan benar benar matang, kontekstual —dalam arti sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat— dan memberi ruang bagi tumbuhnya
potensi-potensi swakarsa lokal. Studi ini sendiri, pada batas-batas tertentu telah berhasil memetakan situasi problematik dan isu prioritas yang dihadapi masyarakat kepulau an, khususnya dalam rangka pengembangan tingkat kesejahtera an kehidupan mereka. Dengan cara bertanya, berdiskusi dan memaha mi akar masalah yang sebenarnya, maka bukan saja telah berhasil diidentifikasi berbagai isu prioritas yang dihadapi masyarakat kepulau an, tetapi juga telah berhasil disusun rancangan program intervensi yang dibutuhkan untuk mendorong pengembangan kesejah teraan masyarakat kepulauan, khususnya masyarakat Pulau Kangean dan Pulau Mandangin. Berdasarkan hasil kajian dan observasi di lapangan, secara rinci beberapa temuan pokok yang berhasil diperoleh dalam studi ini adalah: Pertama, secara umum taraf kehidupan masyarakat kepulauan relatif memprihatinkan. Kendati sebagian masyarakat kepulauan berhasil mengembangkan kegiatan produktif yang menguntungkan — seperti usaha budidaya perkebun an, pertanian, atau di sektor perikanan—, tetapi mayoritas penduduk miskin hidup serba pas pasan, dengan dukungan fasilitas publik yang memprihatinkan. Bagi masyarakat kepulauan, situasi krisis yang berkepanjangan ibaratnya adalah tambahan beban baru yang makin menjejas dan menyebabkan mereka makin termarginalisasi. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang melambung, membuat 21
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan d an Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
penghasilan masyarakat menjadi makin tertinggal. Sebagian besar masyarakat kepulauan yang cenderung hanya mengandalkan kepada satu sumber mata pencaharian, sering terjadi mereka menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi pasar. Kedua, mekanisme yang dicoba dikembangkan masyarakat kepulauan untuk bertahan hidup, sebagian besar cenderung berupa usaha untuk memperbesar usaha lama atau dengan cara meningkatkan intensitas pola hidup subsisten dengan harapan situasi krisis ekonomi yang berlangsung dapat segera berakhir. Tetapi, ketika pola hidup subsisten dan usaha di tempat tinggal tidak lagi dapat diandalkan, maka cara yang populer dilakukan penduduk kepulauan adalah mencoba menga du nasib menjadi migran: pergi ke luar pulau, mencoba beker ja di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, dan bahkan tidak jarang yang memilih menjadi TKI atau TKW —kendati dengan cara yang termasuk ilegal. Ketiga, kendati potensi sumber daya alam di sektor pertanian dan perkebunan yang ada di Pulau Kangean karena tidak didukung dengan pengetahuan tentang pola bercocok tanam yang memadai, bibit yang unggul, dan ditambah lagi dengan faktor kelangkaan dan mahalnya berbagai komponen untuk produksi, maka yang terjadi kemudian kedua sektor ini cenderung hanya berkembang secara pas-pasan: sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau 22
dipasarkan di skala lokal saja. Akibat tingginya biaya produksi, maka imbas yang terjadi kemudian adalah nilai tukar pada sektor pertanian dan perkebunan menjadi rendah, terutama bila dibandingkan dengan perkembangan harga kebutuhan pokok masyarakat yang lain. Berbagai barang kebutuhan pokok yang rata-rata harus didatangkan dari luar pulau, menyebabkan harga jual di pasaran menjadi tinggi dan tak sebanding dengan harga komoditi hasil penduduk kepulauan itu sendiri. Keempat, di sektor perikanan —baik itu di Pulau Kangean maupun Mandangin— sebetulnya potensi kekayaan ikan di sekitar wilayah kepulauan masih sangat besar. Tetapi, akibat kesenjangan pemilikan alat tangkap yang dimiliki penduduk satu dengan yang lain, maka yang terjadi kemudian hanya penduduk yang telah memiliki kapal besar dan peralatan yang modern saja yang dapat memetik keuntungan besar dari sektor ini. Sementara itu, untuk penduduk yang tergolong nelayan tradisional atau pandega, mereka cenderung tertinggal dan hidup pas -pasan, karena tidak didukung pemilikan teknologi yang lebih maju. Kelima, secara umum posisi tawar-menawar (bargaining positions) penduduk kepulauan dengan tengkulak atau ijon relatif rendah, sehingga meski posisi mereka sebagian besar adalah produsen, tetapi dalam struktur mata rantai perdagangan komoditi pertanian, perkebunan maupun perikanan posisi mereka umumnya lemah.
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
Akibat kurangnya akses mereka terhadap pasar dan kendala prasarana transportasi yang a da, menyebabkan para petani dan nelayan lokal seringkali tidak berdaya ketika harus tawar menawar mengenai harga jual komoditi hasil produksi mereka. Keenam, di wilayah kepulau an, kondisi fasilitas publik yang ada —baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun sosial— relatif masih sangat kurang. Fasilitas air bersih, sekolah dan pelayanan kesehatan yang ada, termasuk pula SDM yang mengelolanya— umumnya masih jauh untuk dapat dikategorikan layak. Musim kemarau, bagi penduduk kepulauan adalah masa yang mencemaskan, sebab selain langka air bersih, juga mereka dituntut untuk mengeluarkan uang dan tenaga ekstra untuk memenuhi kebutuhan fasilitas air bersih. Ketujuh, untuk mendukung upaya pengembangan kegiatan produktif masyarakat kepulauan, yang dibutuhkan adala h hadirnya sebuah lembaga yang dapat membantu mengeliminasi ruang gerak tengkulak atau pengijon, dan sekaligus dapat menjamin kesepa katan harga yang sama -sama menguntungkan kedua-belah pihak yang tengah bertransaksi. Lembaga TPI bagi nelayan atau KUD bagi petani, sebetulnya masih relevan untuk dikembangkan, sepanjang ada jaminan bahwa lembaga tersebut benar-benar merupakan perpanjangan kepentingan dan suara masyarakat lokal —bukan justru menjadi alat atau media bagi
kekuatan komersial untuk menghegemoni penduduk lokal. Catatan Penutup Upaya untuk membangun wilayah kepulauan dan memberdayakan masyarakat yang tinggal di sana sesungguhnya adalah bentuk representasi dari pertanggungja waban pemerintah daerah terhadap peningkatan kesejahteraan masya rakat. Di era desentralisasi dan otonomi seperti sekarang ini —di mana daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri—, tentu yang diharapkan adalah tumbuhnya kepekaan yang lebih baik terhadap problema di wilayah sekitarnya, dan kemampuan daerah untuk merancang program pemba ngunan yang lebih kontekstual. Untuk mengembangkan wila yah dan masyarakat kepulauan secara efektif, karena yang penting bukan hanya bagaimana memba ngun berbagai fasilitas layanan dasar bagi masyarakat, tetapi juga bagaimana mengembangkan program-program pembangunan yang lebih berorientasi pada proses pemberdayaan, yang intinya bersifat people centered, participatory, empo wering, dan sustainable. Pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai subyek, selain memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama, yang tak kalah penting di tingkat pelaksanaan, harus memenuhi tiga prasyarat sebagai berikut: pertama, harus ada jaminan bahwa proses pelaksanaan program pembangun 23
Septi Ariadi, “Pemberdayaan Masyarakat Kepulauan di Jawa Timur,” Masyarakat, Kebudayaan d an Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 13-24
an yang dirancang benar -benar berjalan secara terpadu dan berpangkal-tolak pada potensi swakarsa masyarakat setempat. Kedua, harus didukung oleh meka nisme dan sistem kontrol yang kuat, khususnya pelibatan dan kontrol dari masyarakat miskin itu sendiri sebagai kelompok sasaran. Ketig a, kelompok sasaran program pemba ngunan benar-benar harus terfokus kepada lapisan masyarakat yang paling miskin dan yang paling membutuhkan bantuan, seperti buruh tani, pandega dan keluarga keluarga di bawah garis kemiskinan atau keluarga pra-sejahtera. Apa pun program yang dirumuskan dan berapa pun dan yang bakal disalurkan bagi upaya pengembangan masyarakat kepu lauan, semua seyogianya bertumpu pada pertanyaan: siapa sebenarnya yang akan paling diuntungkan dari pelaksanaan program itu? Sejauh mana pelaksanaan program telah menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan yang dapat ikut berperan melaku -kan kontrol sosial dan sekaligus kelompok sasaran yang diutamakan? Daftar Pustaka Collier, William L dkk., Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996). Chambers, Robert, Pembangunan Desa, Mulai Dari Belakang . (Jakarta: LP3ES, 1987). Chambers, Robert, PRA (Participatory Rural Appraisal): 24
Memahami Desa Secara Par tisipatif (Yogyakarta: Kanisius bekerjasama dengan OXFAM, 1996). Husken, Frans, Mario Putten, Jan Paul Dirkse (eds.), Pembangunan dan Kesejahte -raan Sosial: Indonesia di Bawah Orde Baru. (Jakarta: Kerjasama Perwakilan KITLV dan Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997). Lemlit ITS, Identifikasi Kawasan dan Potensi Daerah Tertinggal di Wilayah Kepulauan di Jawa Timur. Kerjasama ITS dan Bappeda Jatim, 2000. Mubyarto dkk., Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. (Yogyakarta: Aditya Media, 1993). Ruswana, Engkus, “Aspek Perenca naan Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Daerah Kepulauan”. Focus Group Discussion: Strategi Pengem bangan Kawasan Tertinggal Berbasis Daerah Kepulauan . Bangda-Depdagri dan Bappenas. Jakarta, 7-8 Nopember 2000. Soegijoko, Budhy Tjahjati S dan BS Kusbiantoro, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 1997). Sumodiningrat, Gunawan, Pembangunan Daerah dan Pember dayaan Masyarakat. (Yogya: Bina Rena Pariwara, 1987).