BAB II TINJAUAN TEORI 1.1 Pengertian Rheumatoid arthritis Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot, rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan strukturstruktur ini (Price & Wilson, 2005). Tulang-tulang dihubungkan satu
dengan
lainnya
melalui
persendian.
Pada
daerah
persendian dapat terjadi kerusakan atau peradangan yang menimbulkan rasa nyeri. Penyakit yang menyerang persendian ini
dikenal
dengan
(rheumatismos-bahasa
nama Yunani).
rheumatoid
atau
Peradangan
rematik
persendian
adalah suatu reaksi tubuh terhadap proses berbagai penyakit termasuk trauma pada sendi (fraktur), infeksi virus dan bakteri, gangguan bendungan dan gesekan pada sendi. Seringnya peradangan menghilang, setelah penyakit sembuh karena obatobatan antibiotik, atau sembuh karena sistem kekebalan (imunologi). Bila penyakit atau trauma tidak hilang dalam waktu lama, terjadi perubahan bentuk sendi (deformitas). Keadaan seperti ini terjadi pada arthritis (Yatim, 2006). Rheumatoid atau rematik adalah salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat (Setiawan,
2008). Penyakit rematik dapat menyerang semua lapisan masyarakat
dengan
berbagai
tingkat
sosio-ekonomi,
pendidikan, ras, gender, dan usia. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari infeksi, trauma pada sendi, autoimun, gangguan metabolik, dan keganasan. Bahkan dari data di Negara Latvia, sekitar 38% penderita rematik akut tidak diketahui penyebabnya. Gejala dari penyakit ini diantaranya rasa sakit yang kronis, kelemahan, pembengkakan sendi, dan kelelahan. Nyeri sendi dan kekakuan sendi paling banyak dikeluhkan oleh penderitanya. Sering kali disertai keluhan lain, seperti demam, rasa lelah, penurunan berat badan, sulit tidur dan sebagainya. Keadaan ini yang menyebabkan turunnya produktivitas penderita bahkan sampai tidak dapat melakukan aktivitas apapun (disabilitas)(Setiawan. 2008). Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit reumatik autoimun dengan proses peradangan menahun yang tersebar diseluruh tubuh, mencakup keterlibatan sendi dan berbagai organ di luar persendian. Peradangan kronis di persendian menyebabkan
kerusakan
struktur
sendi
yang
terkena.
Peradangan sendi biasanya mengenai beberapa persendian (poliartritis)
sekaligus.
Peradangan
terjadi
akibat
proses
sinovitis (radang selaput sendi) serta pembentukan pannus (jaringan granulasi yang juga ikut merusak sendi) yang
mengakibatkan kerusakan pada rawan sendi dan tulang di sekitarnya, terutama di persendian tangan dan kaki yang sifatnya simetris (terjadi pada dua sisi).
Gambar 2.1 Rheumatoid arthritis pada tangan Sumber: www.majalahkesehatan.com
Gambar 2.2 Penampang sendi Rheumatoid arthritis Sumber: www.medicastore.com 1.2 Penyebab Rheumatoid arthritis
yang
terkena
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008). Faktor
hormon
juga
memainkan
peranan
besar
seseorang mendapatkan rheumatoid arthritis. Perempuan lebih rentan
terhadap
penyakit
dibandingkan
laki-laki
dan
penyakitnya mungkin akan diperparah ketika sang wanita sedang hamil atau menyusui. Selain itu, telah terlihat bahwa ketika seorang wanita mengambil kontrasepsi, itu akan mengubah kemungkinan sedang berkembang penyakit. Pada saat ini RA diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen
tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita (Mansjour, 2001). Hasil
penelitian
mutakhir
telah
diketahui
bahwa
timbulnya penyakit ini akibat proses imunologis di persendian. Kejadian ini diawali dari antigen penyebab RA yang ada pada membran sinovial yang diproses oleh antigen presenting cells (APC). Setelah mengalami berbagai proses imunologis, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun dan masuk ke dalam ruang sendi sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular,
masuknya
sel
radang
dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial. Proses fagositosis oleh
sel
radang
terhadap
menghasilkan
radikal
prostaglandin,
dan
bebas
protease
kompleks
imun
oksigen
(RBO),
neutral
yang
tadi
akan
leukotrien,
menyebabkan
kerusakan rawan sendi dan tulang. RBO juga menyebabkan penurunan viskositas cairan sendi, merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Proses kerusakan sendi akan berlangsung terus selama antigen penyebabnya tetap ada. Rheumatoid faktor yang positif juga menyebabkan proses peradangan berlanjut terus. Rheumatoid faktor adalah salah satu antibodi yang terkait dengan progresivitas penyakit RA.
Masuknya
sel
radang
pada
membran
sinovial
juga
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang juga ikut merusak sendi (Setiawan, 2008). 1.3 Kriteria Diagnostik Diagnostik RA dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif; perubahanperubahan pada sendi minor; dan gejala-gejalanya dapat hanya bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnostik adalah sebagai berikut: a)
Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak 1 jam)
b)
Artritis pada tiga sendi atau lebih
c)
Artritis sendi-sendi jari tangan
d)
Artritis yang simetris
e)
Nodul rematoid
f)
Faktor rematoid dalam serum
g)
Perubahan-perubahan radiologik Diagnosis RA dikatakan positif apabila sekurang-
kurangnya empat dari tujuh kriteria ini dipenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung sekurangkurangnya enam minggu (Price & Wilson, 2005).
Pada sendi cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning muda dan hitungan sel darah putih kurang dari
200/mm3.
viskositasnya
Pada
dan
RA
hitungan
cairan sel
sinovial
darah
putih
kehilangan meningkat
mencapai 15.000-20.000 mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah. Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu menegakkan diagnosis lainnya,
misalnya
gambaran immunoelectrophoresis
HLA
(Human Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler Test. 1.4 Patofisiologi Reaksi
autoimun
dalam
jaringan
sinovial
yang
melakukan proses fagositosis yang menghasilkan enzim-enzim dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi edema proliferasi membran sinovial dan akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan meghancurkan tulang rawan dan menimbukan
erosi
tulang
sehingga
akan
berakibat
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi.
Skema 2.1 Pathway RA Reaksi faktor Rheumatoid dengan antibodi, faktor metabolik, infeksi dengan kecenderungan virus
. Nyeri
Reaksi Peradangan
Kurang informasi tentang proses penyakit
Sinovial menebal
Pannus Kurang pengetahuan
Kerusakan kartilago tulang
Nodul
Deformitas Sendi
Infiltrasi ke dalam os Subcondria
Hambatan nutrisi pada kartilago artikularis
Kartilago nekrosis Tendon dan ligamen melemah
Gangguan Body Image
Erosi kartilago Hilangnya kekuatan otot
Adhesi pada permukaan sendi
Ankilosis fibrosa
Ankilosis tulang
Mudah luksasi dan subluksasi Kekakuan sendi Resiko Cedera
Gangguan Mobilitas Fisik
Sumber: Sylvia and Lorraine, 2005
Terbatasnya gerakan sendi Defisit Perawatan Diri
1.5 Gejala Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada seseorang dengan RA. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memilki gambaran klinis sangat bervariasi. a)
Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
b)
Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer Termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c)
Sendi tidak dapat digerakkan Bila kerusakan rawan sendi meluas, tulang-tulang yang
membentuk
persendian
akan
menyatu
(fusi).
Akibatnya persendian tidak dapat digerakkan lagi dan struktur persendian hancur. Keadaan ini disebut ankilosis. Proses ini bisa terjadi di semua persendian. Misalnya di ruas tulang leher (vertebra servikalis), pergelangan bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, pangkal jari tangan dan kaki, ruas pertama jari tangan dan kaki, panggul, lutut, dan tumit.
d)
Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam Dapat
bersifat
generalisata
tetapi
terutama
menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan
sendi
pada
osteoartritis,
yang
biasanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam. e)
Artritis erosif Merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang.
f)
Deformitas Kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonnierre dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang
dan
mengalami
pengurangan
kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
g)
Nodul-nodul reumatoid Adalah massa subkutan yang ditenukan pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien RA. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini
dapat juga timbul
pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. h)
Manifestasi ekstra-artikular RA juga dapat menerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
i)
Bercak merah dikulit Pembuluh
darah
kulit
meradang
(vaskulitis)
sehingga tampak berupa bercak-bercak kemerahan akibat perdarahan dikulit (Setiawan, 2008). 1.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan
RA
didasarkan
pada
pengertian
patofisiologis penyakit ini. Selain itu, perhatian juga ditujukan terhadap manifestasi psikofisiologis dan kekacauan-kekacauan psikososial
yang
menyertainya
yang
disebabkan
oleh
perjalanan penyakit yang fluktuatif dan kronik (Price and Wilson, 2005). Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut: a)
Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
b)
Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien.
c)
Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi. Ada sejumlah penatalaksanaan yang sengaja dirancang
untuk mencapai tujuan-tujuan ini, yaitu: a)
Pendidikan Diberikan kepada pasien, keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang diberikan
meliputi
pengertian
tentang
patofisiologi,
penyebab dan prognosis penyakit ini, semua komponen dalam program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit
ini,
dan
metode-metode
efektif
tentang
penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.
b)
Rehabilitasi Merupakan
tindakan
untuk
mengembalikan
kemampuan penderita RA dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Cara-cara
mengistirahatkan
sendi
rehabilitasi yang
sakit,
antara
lain
pemanasan,
pendinginan, meningkatkan ambang rasa sakit dengan arus listrik, dan sebagainya. Kegemukan (obesitas) yang merupakan beban bagi persendian yang menopang berat badan,
harus
dihindari
dan
penderita
harus
mempertahankan berat badan ideal. c)
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) OAINS diberikan sejak awal sakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan. Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat-obat ini menghambat sintesa prostaglandin atau siklo-oksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam lemak sistemik endogen, yaitu asam arakhidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. OAINS juga memiliki efek analgesik yang baik. Contoh obat golongan ini antara lain Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diklofenak, Indometasin,
Ketoprofen,
Asam
Flufenamat,
dan
Piroksikam. Obat golongan ini juga bisa dikombinasikan
dengan vitamin neurotropik seperti tablet Dolofenac yang terdiri dari Natrium Diklofenak, vitamin B1-B6 dan B12. d)
Latihan-latihan spesifik Latihan
ini
dapat
bermanfaat
dalam
mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya
dua
kali
sehari.
Obat-obatan
untuk
menghilangkan nyeri mungkin perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu panas dan dingin dapat dilakukan dirumah. Latihan dan terapi panas ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti fisioterapis atau terapis kerja. Latihan berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit. 1.7 Persepsi 2.7.1. Pengertian Persepsi Persepsi
adalah
pengalaman
tentang
objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan peran (Rakhmat, 2005).
Persepsi atau pandangan adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Bagaimanapun, apa yang telah dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Tidak harus
demikian,
tetapi
sering
ada
ketidaksepakatan.
Persepsi menjadi penting dikarenakan perilaku orang-orang di dalam organisasi didasarkan kepada persepsi mereka mengenai apa yang realitas itu, bukan mengenai realitas itu sendiri (Robbins, 2001). Persepsi
disebut
inti
komunikasi,
karena
jika
persepsi kita tidak akurat kita tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas (Mulyana, 2000 dalam Sobur 2010). Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri. Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut
aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama. Maka dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff, 1981; Rogers, 1965 dalam Walgito, 2010). 2.7.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Persepsi berawal dari stimulus yang didapat oleh individu
sehingga
dalam
mempersepsikan
sesuatu
tergantung dari factor-faktor yang menstimulus individu (Walgito, 2010). a. Obyek yang dipersepsi Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf
penerima yang
bekerja sebagai
reseptor. b. Alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang
diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran, dan syaraf motorik untuk mengadakan respon. c. Perhatian Perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan obyek. 1.8 Konsep Lanjut Usia (Lansia) 2.8.1. Pengertian Lansia Menurut UU Nomor 4 tahun 1945 Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000). Di Indonesia, Pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola lansia, memberi patokan bahwa mereka yang disebut lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Zainuddin, 2002). Sedangkan pengertian lain menyebutkan bahwa lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang
telah menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat. 2.8.2. Batasan lansia Menurut WHO, batasan lansia meliputi: a.
Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 4559 tahun
b.
Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
c.
Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
d.
Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas Menurut Depkes RI tahun 1999, umur lansia dibagi
menjadi 3 yaitu: a. Usia pra senelis atau virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49 tahun, b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau dengan masalah kesehatan. Negara-negara
maju
di
Eropa
dan
Amerika
menganggap batasan umur lansia adalah 65 tahun dengan pertimbangan bahwa pada usia tersebut orang akan pensiun.Tetapi akhir-akhir ini telah dicapai konsensus yang di tetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia, World Health
Organization (WHO) bahwa sebagai batasan umur lansia adalah 60 tahun. 2.8.3. Teori Penuaan a. Teori Biologis 1) Teori Radikal Bebas Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti:
asap kendaraan
pengawet
makanan,
bermotor,
radiasi
rokok,
sinar
zat
ultraviolet
mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan (Soetjiningsih, 2005). Radikal metabolisme
seluler
bebas yang
adalah merupakan
produk bagian
molekul yang sangat aktif. Molekul ini mempunyai muatan ekstraseluler kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membrane sel. Proses
metabolisme
oksigen
diperkirakan menjadi sumber radikal bebas terbesar. Secara
spesifik
oksidasi
lemak,
protein
dan
karbohidrat dalam tubuh menyebabkan formasi radikal
bebas.
Polutan
lingkungan
merupakan
sumber eksternal radikal bebas (Potter and Perry, 2005). 2) Teori Cross Link Teori ini menjelaskan bahwa molekul kolagen dan
zat
kimia
mengubah
fungsi
jaringan,
mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku pada proses penuaan (Soetjiningsih, 2005). 3) Teori Imunologis Teori ini menjelaskan bahwa perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan dalam sel T sehingga produksi antibody dan kekebalan menurun (Potter and Perry, 2005). Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan pada jaringan tubuh melalui
autoagresi
(penurunan kemampuan
atau
imun). untuk
imunodefisiensi
Tubuh membedakan
kehilangan proteinnya
sendiri dengan protein asing, sistem imun menyerang dan menghancurkan jaringan sendiri pada
kecepatan
bertahap.
yang
meningkat
secara
Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem imun untuk bakteri, virus, dan jamur melemah. Bahkan sistem ini mungkin tidak akan tahan terhadap serangannya sehingga sel mutasi terbentuk beberapa kali. Disfungsi sistem imun ini
diperkirakan
menjadi
faktor
dalam
perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes
dan
penyakit
kardiovaskuler
serta
infeksi (Potter and Perry, 2005). b. Teori Psikologis 1) Teori Pembebasan (disengagement) Teori ini menyatakan bahwa orang yang menua menarik diri dari peran yang biasanya dan terikat pada aktivitas yang lebih introspeksi dan berfokus diri sendiri, meliputi empat konsep dasar yaitu: i.
Individu yang menua dan masyarakat secara bersama saling menarik diri,
ii.
Disengagement adalah intrinsik dan tidak dapat
diletakkan
secara
biologis
dan
psikologis, iii.
Disengagement dianggap perlu untuk proses penuaan,
iv.
Disengagement bermanfaat baik bagi lanjut usia dan masnyarakat. (Potter and Perry, 2005)
2) Teori Aktivitas Lanjut usia dengan keterlibatan sosial yang lebih besar memiliki semangat dan kepuasan hidup yang tinggi, penyesuaian serta kesehatan mental yang lebih positif daripada lanjut usia yang kurang terlibat secara sosial (Potter and Perry, 2005). 3) Teori Kontinuitas Teori kontinuitas atau teori perkembangan menyatakan bahwa kepribadian tetap sama dan perilaku menjadi lebih
mudah diprediksi seiring
penuaan. Kepribadian dan pola perilaku yang berkembang
sepanjang
kehidupan
menentuka
derajat keterikatan dan aktivitas pada masa lanjut usia (Potter and Perry, 2005).