DESI HARNETI PUTRI HUSPA
SENYAWA ANTIKANKER DAN INSEKTISIDA DARI GENUS AGLAIA
UNPAD PRESS
SENYAWA ANTIKANKER DAN INSEKTISIDA DARI GENUS AGLAIA
-i-
-ii-
DESI HARNETI PUTRI HUSPA
SENYAWA ANTIKANKER DAN INSEKTISIDA DARI GENUS AGLAIA
UNPAD PRESS
-iii-
TIM PENGARAH
Ganjar Kurnia Mahfud Arifin, Engkus Kuswarno Memed Sueb
TIM EDITOR Wilson Nadeak (Koordinator), Tuhpawana P. Sendjaja Fatimah Djajasudarma, Benito A. Kurnani Denie Heriyadi, Wahya, Cece Sobarna Dian Indira
Judul Penulis
: Senyawa Antikanker dan Insektisida dari Genus Aglaia : Desi Harneti Putri Huspa
UNPAD PRESS Copyright © 2009 ISBN 978-979-3985-55-8 -iv-
PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur selalu terpanjatkan hanya untuk Allah SWT sehingga penyusun dapat menyelesaikan draft buku ini. Buku ini berjudul “Senyawa Antikanker dan Insektisida dari Genus Aglaia” yang diajukan sebagai salah satu pertanggungjawaban penerima Hibah Penelitian Mahasiswa Doktor Tahun 2009 (SK Rektor Nomor 1607/H6.1/KEP/HK/2009) di Program Doktor Pascasarjana FMIPA Universitas Padjadjaran. Pada kesempatan kali ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada: Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, Ir., Prof. Dr. Anas Subarnas, M.Sc. dan Dr. Unang Suptaman selaku Tim Promotor, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing penyusun dalam penyusunan buku ini. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan buku ini jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki. Masukan dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan demi kemajuan penyusun khususnya dan kita semua pada umumnya. Akhir kata, semoga penyusunan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Bandung, Desember 2009 Penyusun -v-
-vi-
DAFTAR ISI Halaman
BAB I
SEL KANKER MERUSAK ALAT TUBUH
1
BAB II
TINJAUAN UMUM Kanker dan Sel Tumor Tinjauan Tumbuhan Meliaceae dan Aglaia Kandungan Kimia pada Tumbuhan Aglaia Senyawa Aktif Sitotoksik dari Tumbuhan Aglaia
5 5
BAB III
32 40
SENYAWA ANTIKANKER TURUNAN 1H-SIKLOPENTA[b]BENZOFURAN DARI TANAMAN Aglaia elliptica Aglaia elliptica Mekanisme sitotoksik pada tanaman Aglaia elliptica
BAB IV
24
AKTIVITAS ANTIKANKER SENYAWA ODORIN DAN ODORINOL DARI TUMBUHAN AGLAIA ODORATA Aglaia odorata Taksonomi Aglaia odorata -vii-
47 47 50
59 59 60
Halaman Kandungan kimia tumbuhan Aglaia odorata Bahan-bahan dan metode penelitian BAB V
BAB VI
SENYAWA SITOTOKSIK DARI KULIT BATANG Aglaia crassinervia Aglaia crassinervia Taksonomi Aglaia crassinervia Eksperimen Kandungan kimia tumbuhan Aglaia crassinervia Evaluasi Aktivitas Biologis AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA FLAVAGLIN DARI KULIT BATANG AGLAIA EDULIS TERHADAP LARVA SPODOPTERA LITTORALIS Aglaia edulis Spodoptera littoralis
Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan
61 64 77 77 78 79 81 97
103 103 107 112 114
DAFTAR PUSTAKA
131
INDEKS
141
-viii-
GLOSARI Alkaloid
: Senyawa dalam arti luas bersifat basa, mengandung unsur nitrogen heterosiklik, berstruktur molekul komplek, mempunyai aktifitas farmakologi.
Antikanker : Zat yang dapat menghambat atau membunuh sel kanker DNA
: Deoxyribonucleic acid. Asam nukleat yang terdapat dalam inti sel, yaitu di dalam kromosom.
Glukosa
: Suatu jenis monosakarida golongan heksosa dengan satu gugus aldehid. Perbedaan galaktosa dengan glukosa ada pada letak gugus –OH di atom C no. 4.
IC50
: Inhibition Consentration 50%. Konsentrasi yang dapat menghambat pertumbuhan sel sebanyak 50%.
Kanker
:
Lemak
: Ester dari gliserol dan asam-asam lemak
Leukemia
: Kanker darah
Mutasi
: Kesalahan dalam replikasi, sehingga mengakibatkan kerusakan DNA secara permanen. : Part per million, bagian per juta
ppm
atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne).
-ix-
Proliferasi
Suatu kelompok sel yang tiba – tiba menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus menerus.
RNA
: Ribonucleic acid. Asam nukleat yang terdapat di luar inti sel, yaitu di dalam sitoplasma.
Sel kanker
: adalah kumpulan sel yang secara genetik menghancurkan sel inang dan berkembang menjadi sel yang tidak normal.
Sitotoksik
: Racun sel
Steroid
: Senyawa lipid yang bukan golongan ester dengan struktur dasar yang terdiri dari 17 atom karbon yang berbentuk 4 cincin.
Triterpen
: Terpena dengan jumlah atom kurang lebih 30. Terdiri dari gabungan ekor-kepala unit isoprena. Secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 alisiklik, yaitu skualena.
Toksisitas
: Daya racun
-x-
-xi-
BAB I
SEL KANKER MERUSAK ALAT TUBUH
MENURUT Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan 9 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia akan berada di negara-negara yang sedang berkembang. Sel kanker adalah kumpulan sel yang secara genetik menghancurkan sel inang dan berkembang menjadi sel yang tidak normal. Penyebab terjadinya sel kanker karena beberapa sel tidak dapat merespons mekanisme regulasi kerja sel. Konsekuensinya sel tersebut akan terus berkembang karena akan mengambil nutrien dari sel normal (McKee and McKee, 1999). Sel kanker dapat membuat anak sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan tumbuh kanker baru di tempat lain. Penyusupan sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu. Kanker dapat menimpa semua orang pada semua bagian tubuh dan pada semua golongan (1)
2 Desi Harneti P.H. umur. Kanker dapat timbul pada pria, wanita maupun anak-anak. Walaupun kanker dapat timbul pada anakanak, tetapi lebih sering timbul pada orang dewasa, terutama pada orang yang berusia 40 tahun ke atas. Ini disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon dan proses menua atau kemunduran pertumbuhan sel. Akhir-akhir ini kemoterapi menjadi salah satu terobosan dalam pengendalian kanker. Meskipun penemuan dan pemakaian kemoterapi menunjang hasil yang bagus, tetapi toksisitas dan efek sampingnya sangat besar (Siswandono, 1993). Bahan-bahan alam mempunyai prospek sebagai penghambat pertumbuhan sel kanker. Distribusi aktivitas antikanker sangat luas dalam tumbuh-tumbuhan. Pendekatan yang sering dilakukan dalam mencari zat kandungan yang berkhasiat sebagai antikanker dari tanaman ialah dengan kemotaksonomi tanaman, yakni tanaman yang termasuk dalam takson tertentu dan mempunyai kemiripan tandatanda anatomi, histologi, morfologi dan kemiripan dalam zat kandungannya. Farnsworth melaporkan bahwa 400 spesies tanaman dalam genus 97 famili mempunyai aktivitas sebagai penghambat tumor (Farnsworth, 196). Berbagai zat kandungan yang berkhasiat sebagai antikanker dan beberapa tanaman telah berhasil diisolasi oleh Mc Laughlin et al, di mana pencarian senyawa bioaktif tersebut dilakukan setelah dalam praskrining aktivitas terhadap ekstrak tanaman menunjukkan hasil positif atau aktif. Indonesia adalah negara kedua di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati terbanyak termasuk tumbuhan Meliaceae yang hanya tumbuh di daerah
Sel Kanker Merusak Alat Tubuh
3
tropis. Aglaia adalah genus terbesar dari keluarga Meliaceae, yang terdiri dari kurang lebih 130 spesies yang tersebar terutama di daerah Indo-Malaysian, Cina Selatan dan Kepulauan Pasifik. Aglaia adalah salah satu genus dari keluarga Meliaceae yang sangat potensil sebagai sumber senyawa antikanker turunan rokaglat, bisamida dan triterpenoid. Senyawa rokaglaol dan aglaiaglabretol B yang diisolasi dari Aglaia crassinervia teruji bersifat antikanker (Su, 2006). Lima senyawa turunan lignan benzofuran yang berhasil diisolasi dari A. elliptica terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker manusia (Lee, 1998). Janprasert et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat antikanker dari ranting A. odorata sebagai rokaglamida. Sampai tahun 2001, para ilmuwan telah berhasil mengisolasi sebanyak 52 senyawa turunan rokaglamida. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat bersifat sebagai insektisidal dapat juga bersifat sebagai antimakan dan antikanker (Proksch et al.,2001). Aglafolin (metil rokaglat) yang diisolasi dari A. elliptifolia Merr. dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (Ko et al.,1992). Aglaiastatin dan rokaglaol, menunjukkan dapat mengurangi jumlah sel kanker dengan cara menghambat sintesis proteinnya. Perusahaan obat Australia Cerylid Biosciences menyatakan bahwa senyawa yang terdapat pada tanaman A.lepthantha dapat membunuh 20 jenis sel kanker termasuk sel kanker yang menyebabkan kanker otak, payudara dan melanoma . Kandungan senyawa yang sama juga terdapat pada A. silvestris (Ohse et al.,1996). Sampai akhir tahun 2006, lebih 30 spesies Aglaia telah dilaporkan kandungan kimianya. Kandungan utama
4 Desi Harneti P.H. metabolit sekunder dari genus ini adalah benzo[b]oxepines, bisamid, siklopenta[b]benzofuran, siklopenta[b]benzopiran, lignan, steroid pregnan. Senyawa-senyawa turunan siklopenta[b]benzofuran (turunan rokaglat) telah dilaporkan secara signifikan dapat menghambat sel kanker manusia (Su, 2006; Le e , 1 9 9 8 ).
BAB II TINJAUAN UMUM
Kanker dan Sel Tumor KANKER atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne). Suatu kelompok sel yang tiba – tiba menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus menerus (proliferasi). Kanker terbentuk karena adanya mutasi pada biosintesis sel, yaitu kekeliruan urutan DNA karena terpotong, tersubstitusi atau ada pengaturan kembali, adanya adisi dan integrasi bahan genetik virus ke dalam gen serta adanya perubahan ekspresi genetik. Sel–sel kanker ini dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya. Kanker primer sering kali menyebarkan sel–selnya melalui saluran darah dan limfe ke tempat lain di tubuh (metastase), untuk selanjutnya berkembang menjadi kanker sekunder. Gejala – gejala umum utama adalah nyeri yang sangat hebat, penurunan berat badan secara tiba- tiba, kepenatan total (cachexia), dan berkeringat di malam hari (Tjay & Rahardja, 2002). Tumor (bahasa Latin; pembengkakan) menunjuk (5)
6 Desi Harneti P.H. massa jaringan yang tidak normal, tetapi dapat berupa "ganas" (bersifat kanker) atau "jinak" (tidak bersifat kanker). Hanya tumor ganas yang mampu menyerang jaringan lainnya ataupun bermetastasis (Anonim, 2007). Tumor dibagi dalam dua golongan, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Kanker adalah istilah umum untuk semua jenis tumor ganas. Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel kanker mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat). Oleh karena bersimpai, maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan dengan cara operasi. Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh cepat, sehingga tumor ganas pada umumnya cepat menjadi besar. Sel tumor ganas tumbuh menyusup ke jaringan sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting dengan kaki-kakinya mencengkeram alat tubuh yang terkena. Di samping itu sel kanker dapat membuat anak sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan kanker baru tumbuh di tempat lain. Penyusupan sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu. Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya,baik dengan tempat yang jauh (meta -
Tinjauan Umum
7
tesis). Pertumbuhan tempat yang jauh (metatesis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, adanya kerusakan DNA akan menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel.
Gambar 2.1 Perkembangan sel tumor menjadi sel kanker (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut dapat diakibatkan oleh zat kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan apakah ada metatesis. Sebuah diagnosis yang menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi. Setelah didiagnosis, kanker biasanya dirawat dengan operasi,kemoterapi dan radiasi. Bila tak terawat, kebanyakan kanker menyebabkan kematian. Kanker adalah salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang. Kebanyakan kanker dapat dirawat dan
8 Desi Harneti P.H. disembuhkan. Kanker dikenali karena tanda atau gejala tampak melalui “screening”. Kanker secara genetik menghancurkan pertumbuhan sel otonom. Beberapa sel tidak mampu merespons terhadap regulasi normal yang menjaga koordinasi antarsel dalam organisme multiselular.
Gambar 2.2 Proses terjadinya kanker (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Tinjauan Umum
9
Konsekuensinya, sel abnormal tersebut akan mengambil nutrien dari sel tetangga dan akhirnya berkumpul di sekitar jaringan yang sehat. Karena sel tersebut sudah rusak maka sel yang abnormal akan membentuk benign atau malignant (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Kanker benign tumbuh secara pelahan dan terbatas hanya di lokasi tertentu, tidak diikuti pertumbuhan kanker dan jarang sekali menyebabkan kematian. Sedangkan kanker malignant biasanya fatal karena akan mengalami metastasis (sel kanker bermigrasi melalui aliran darah atau jaringan limfa menuju lokasi yang jauh dalam tubuh). Ketika tumor malignant muncul, mereka mengganggu sel normal dan dapat menyebabkan penderita meninggal (McKee and McKee, 1999). Dalam darah dapat dibedakan antara orang yang terkena kanker dan yang normal. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Sel darah orang terkena kanker
Sel darah orang normal
Gambar 2.3 Perbedaan sel darah terkena kanker dan normal (Anonim, 2007).
10 Desi Harneti P.H. Klasifikasi dari Kanker Kanker diklasifikasikan berdasarkan pengaruh jaringan. Jenis tumor kanker yang paling banyak adalah karsinoma (tumor yang berasal dari sel jaringan epitel seperti kulit, berbagai kelenjar, dan organ-organ lainnya). Pada leukemia, leukosit pada sumsum tulang belakang diproduksi secara berlebihan. Sama halnya dengan produksi limfosit berlebih pada limfa dan pertumbuhan tidak terkontrol pada limfoma. Tumor yang muncul pada jaringan konektif disebut sarkoma. Meskipun memiliki perbedaan jaringan yang diinfeksi, mereka memiliki karakteristik umum yang sama sebagai berikut: 1. Sifat jaringan sel Ketika tumbuh dalam jaringan, banyak sel kekurangan kontak inhibisi sehingga sel tersebut tumbuh dalam densitas tinggi dalam massa yang tidak teratur (sel normal hanya tumbuh satu lapis dalam sel). Berbeda dengan sel normal, sel kanker tumbuh dan berkumpul serta cenderung tidak bergantung pada faktor tumbuh dan sel tidak membutuhkan pengikatan pada permukaan padat. Sel normal hanya mengalami penggabungan sel dalam jumlah terbatas sedangkan sel kanker tumbuh tidak terbatas. 2. Asal Beberapa tumor berasal dari satu sel yang rusak. Sel dapat dikatakan sebagai klon yang diturunkan dari sel yang telah mengalami perubahan secara turun temurun. Perusakan genetik meliputi mutasi delesi, insersi dan penataan ulang kromosom. Beberapa perubahan dalam
Tinjauan Umum
11
kehilangan atau perubahan fungsi molekul terlibat dalam pertumbuhan atau perkembangan sel. Tumor tumbuh dalam waktu yang lama dan melibatkan berbagai tipe kerusakan genetik (McKee and McKee, 1999). Proses transformasi sel normal menjadi sel malignant melalui tiga tahap, yaitu inisiasi, promosi dan progresi. Selama proses inisiasi pada karsinogenesis, perubahan permanen dalam genom sel menghasilkan pertumbuhan yang melewati tetangganya. Banyak proses inisiasi suatu mutasi memengaruhi protooncogenes atau gen pencegah tumor. Kode protooncogenes untuk berbagai faktor pertumbuhan, reseptor faktor pertumbuhan, enzim atau faktor transkripsi yang mempromosikan pertumbuhan sel dan penggabungan sel. Versi termutasi dari protooncogenes yang mempromosikan pertumbuhan sel abnormal disebut oncogenes. Karena gen penyupresi tumor mencegah karsinogenesis, maka apabila gen tersebut hilang akan memfasilitasi pertumbuhan sel tumor. Contoh gen penyupresi tumor adalah Rb dan p53. fungsi gen penyupresi tumor tidak diketahui secara pasti tetapi dapat dilihat bahwa p53 mengkode protein 21 kD yang menghambat enzim Cdk pada mekanisme perbaikan DNA. Kerusakan protooncogenes dan gen penyupresi tumor disebabkan oleh: 1. Zat Kimia Kanker yang disebabkan oleh bahan kimia disebut mutagenik, yang mengubah struktur DNA. Beberapa karsinogen yang mengandung nitrogen adalah elektrofil yang berkeaktifan tinggi dan menyerang gugus kaya elektron di DNA. Karsinogen
12 Desi Harneti P.H. yang lain seperti benzo[a]pirena adalah prokarsinogen yang diubah menjadi karsinogen aktif dengan lebih dari satu reaksi yang dikatalisis enzim. 2. Radiasi Beberapa radiasi bersifat karsinogen yang menyebabkan pemutusan rantai DNA, pembentukan dimer pirimidin dan penghilangan basa purin dan pirimidin. 3. Virus Virus berperan dalam proses transformasi melalui beberapa cara. Beberapa membawa oncogenes ke sel inang. Virus dapat memengaruhi ekspresi protooncogenes selular melalui insersi mutagenesis, proses acak dimana genom insersi virus menginaktivasi sisi regulator atau mengubah deret pengkode protooncogenes (McKee and McKee, 1999). 4. Penyinaran yang berlebihan Sinar ultra violet yang berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar radioaktif dan sinar X yang berlebihan dapat menimbulkan kanker kulit dan leukimia. 5. Hormon Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh yang fungsinya adalah mengatur kegiatan alatalat tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu
Tinjauan Umum
13
secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan terjadinya beberapa jenis kanker seperti payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin pria). 6. Rangsangan fisik berulang Gesekan atau benturan pada salah satu bagian tubuh yang berulang dalam waktu yang lama merupakan rangsangan yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker pada bagian tubuh tersebut, karena luka atau cedera pada tempat tersebut tidak sempat sembuh dengan sempurna. Obat antikanker Obat antikanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan untuk pengobatan tumor yang membahayakan kehidupan (kanker). Obat antikanker disebut juga obat sitotoksik, sitostatik atau senyawa antineoplasma. Tujuan utama kemoterapi ini adalah merusak secara selektif sel tumor yang berbahaya tanpa mengganggu sel normal (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara: 1. Pembedahan, terutama untuk tumor padat terlokali sasi seperti karsinoma pada payudara dan kolorektal. 2. Radiasi digunakan untuk pengobatan tambahan sesudah pembedahan dan untuk pengobatan tumor seperti seminoma testikular dan karsinoma nasofaring. 3. Pemberian kemoterapi untuk pengobatan tumor yang tidak terlokalisasi seperti leukemia, koriokarsinoma, multiple mieloma, penyakit Hodgkin, limfoma
14 Desi Harneti P.H. Burkitt dan digunakan untuk pengobatan tambahan seusai pembedahan. 4. Endokrinoterapi merupakan bagian dari kemoterapi yaitu penggunaan hormon untuk pengobatan tumor pada organ yang proliferasinya tergantung pada hormon seperti karsinoma payudara dan prostate. 5. Imunoterapi, masih dalam penelitian dan berperan penting pada pencegahan mikrometastatis (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Obat antikanker dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: 1. Senyawa Pengalkilasi Senyawa pengalkilasi adalah DNA, RNA dan enzim-enzim tertentu. Senyawa ini digunakan pada pengobatan kanker pada jaringan limfoid dan sistem retikuloendotel seperti limfosarkoma dan penyakit Hodgkin, leukemia limfositik dan mieloma. Efek sampingnya adalah dapat merusak sumsum tulang, menyebabkan leukosprenia dan trombositopenia serta menekan kekebalan. Cara kerja senyawa ini adalah dengan membentuk senyawa kationik antara yang tidak stabil yang diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion tersebut bereaksi, melalui reaksi alkilasi membentuk ikatan kovalen dengan gugus-gugus elektron donor seperti karboksilat, amin, fosfat dan tiol pada asam amino, asam nukleat dan protein yang dibutuhkan pada biosintesis sel. Reaksi ini membentuk cross-linking yang memisahkan rangkaian DNA dan mencegah mitosis. Akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi
Tinjauan Umum
15
hambatan pertumbuhan sel kanker. 2. Antimetabolit Senyawa antimetabolit adalah senyawa yang menghambat jalur metabolik yang penting untuk kehidupan dan reproduksi sel kanker, melalui penghambatan folat, purin, pirimidin dan asam amino serta jalur nukleosida, yang diperlukan untuk sintesis DNA. Struktur antimetabolit berhubungan erat dengan struktur metabolit normal dan bersifat antagonis. Antimetabolit berdasarkan sifat antagonisnya dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: a. Antagonis pirimidin Antagonis pirimidin, biasanya berupa praobat, pada in vivo mengalami anabolisme menjadi senyawa aktif yang dapat memengaruhi sintesis DNA pada fasa awal dan menyebabkan kekosongan asam timidilat sehingga sel mati. b. Antagonis purin Pada umumnya antagonis purin merupakan pra-obat dan aktif setelah mengalami anabolisme menjadi nukleotida atau turunan difosfat atau trifosfat. c. Antagonis folat Antagonis folat bekerja dengan menghambat secara kompetitif enzim dihidrofolat reduktase, yang mengatalisis reduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat. Antagonis folat mengikat enzim tersebut secara kuat dan menyebabkan hambatan tak terpulihkan semu, yang didasarkan pada protonasi cincin diamino pirimidin pada pH fisiologis.
16 Desi Harneti P.H. d. Antagonis asam amino Sel tumor membutuhkan asam amino glutamin dan asam glutamat untuk proses kehidupannya. Sehingga untuk menghambat pertumbuhannya, antagonis asam amino glutamin bekerja dengan menghambat proses metabolik yang membutuhkan glutamin sebagai kofaktor. Aktivitas antikanker disebabkan oleh kemampuan menghambat fosforibosil formilglisinamidin sintetase, yang mengatalisis formilglisinamida ribonukleotida menjadi formilglisinamidin ribonukleotida. 3. Antikanker produk alam Antikanker produk alam adalah senyawa yang dihasilkan dari produk alam dan berkhasiat sebagai antikanker. Antikanker produk alam dibagi menjadi 3 kelompok yaitu antibiotika antikanker, antikanker produk tanaman, dan antikanker produk hewan. a. Antibiotika antikanker Pada umumnya antibiotika antikanker sukar diabsorpsi pada saluran pencernaan sehingga diberikan melalui parenteral. Contoh antibiotika antikanker adalah sebagai berikut: - Daktinomisin, daktinomisin mempunyai gugus kromofor aktinosin (3-fenoksazon-1,9-dikarbok silat) yang dapat menginterkalasi, melalui interaksi alih muatan, gugus guanin dari pasangan guanin-sitosin dobel heliks DNA. Dua cincin lakton peptida daktinomisin dapat menduduki celah kecil pada dobel heliks DNA dan berinteraksi dengan dua gugus amino dari guanin melalui ikatan hidrogen khas. Kompleks antibio-
Tinjauan Umum
17
tika DNA cukup stabil dan menghambat secara selektif sintesis DNA- dependent RNA. Pada kadar tinggi daktinomisin dapat menghambat sintesis ADN.
O
L-Me-Val
L-Me-Val
Sar
Sar
L-Pro
L-Pro
D-Val
D-Val
L-Thr C
L-Thr O
C N
O NH2
O CH3
O
O CH3
Gambar 2.4 Struktur daktiomisin (Siswandono dan Soekardjo, 1995). -
Turunan antrasiklin, seperti doksorubisin, epirubisin, idarubisin dan daunorubisin. Bekerja sebagai antikanker dengan menghambat proses replikasi dan transkripsi DNA. Bagian struktur yang terlibat pada mekanisme kerja tingkat molekul adalah cincin B dan C, sebagai interkalator, cincin A dan gugus gula amino. Antibiotika tersebut mengikat dobel heliks DNA secara kuat dengan menginterkalasi gugus kromofor planar (pada cincin B dan C) pada dua pasang basa. Turunan antrasiklin bekerja secara tidak khas pada siklus kehidupan sel.
-
Pilkamisin, mekanisme kerjanya dengan meng hambat DNA-dependent RNA nukleotidiltrans-
18 Desi Harneti P.H. ferase sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA. Pilkamisin mengikat secara khas gugus guanin pada dobel heliks DNA, dan tidak menginterkalasi pasangan basa DNA. Untuk mengikat DNA, gugus kromofor antibiotika ini harus dalam bentuk kompleks dengan logam divalen (Mg dan Ca). O
OH COCH2-R OH
OCH3
O
OH
CH3
O
OH
R:H R : OH
O
NH2
daunorubisin doksorubisin
Gambar 2.5 Struktur turunan antrasiklin (daunorubisin dan doksorubisin) (Siswandono dan Soekardjo, 1995). -
Bleomisin (Bleocin), Bleomisin bekerja sebagai antikanker setelah mengalami aktivasi in vivo, yaitu untuk membentuk kompleks ion fero, kemudian melepaskan radikal hidroksil dan superoksida yang sangat reaktif. Gugus bitiazol
19
Tinjauan Umum
dan bleomisin menginterkalasi sebagian DNA dan radikal berinteraksi dengan dobel heliks DNA, memecah ikatan fosfodiester sehingga sel kanker mengalami kematian. H3C O HO HO
O H3C
O OCH3
OH OH
O HO
CH3 O H3C
CH3
O OH
OH
O
OH
O
CH3
O
OH
O O O H3C OH OH
CH3
Gambar 2.6 Struktur pilkamisin (Siswandono dan Soekardjo, 1995). b. Antikanker produk tanaman Alkaloid vinca seperti vinblastin dan vinkristin, diisolasi dari tanaman Vinca rosea Linn. Mekanisme kerjanya sebagai antikanker adalah dengan mengikat tubuli dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada kumparan mitosis sehingga metafase berhenti. Alkalod vinca bekerja secara khas pada fase M. Vinkristin mempunyai aktivitas lebih besar dibanding vinblastin karena mempunyai
20 Desi Harneti P.H. kemampuan penetrasi ke dalam sel kanker yang lebih baik. CONH2
NH2 H N
NH2
O C
O N
N
CH3 O
H2N
H N
HO O
CH3
N
HN
S
N
O N H
O CH2OH
N
O
CH3
HO
CH3
S
N
OH N H
O
R
O
CH2OH O
OH
OH
OH
O CONH2
OH
: Asam Bleomisina
NH(CH2)3-S+(CH3)2 NH(CH2)4NH
: Bleomisin A2 C
NH : Bleomisin B2
NH2
Gambar 2.7 Struktur bleomisin (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Gambar 2.8 Struktur vinblastin dan vinkristin (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
R
Tinjauan Umum
-
21
Podophyllotoksin, seperti etopoksida berasal dari tanaman Phodophyllum peltatum, dapat menghentikan pertumbuhan sel kanker pada fase S dan G2. H H3C
O
O
O
O HO
OH
O O O O
H3CO
OCH3 OH
Gambar 2.9 Struktur etopoksida (Siswandono dan Soekardjo, 1995). -
Paklitaksel (Taxol), digunakan untuk pengobatan karsinoma ovarium yang telah metastasis dan kanker payudara. Hubungan struktur-aktivitas paklitaksel dijelaskan sebagai berikut : 1) Posisi 3 dan 10 dalam bentuk teresterifikasi. Hidrolisis ester pada C-3 menyebabkan senyawa kehilangan aktivitas. 2) Modifikasi struktur dapat dilakukan pada gugus OH pada C-2’ dan C-7, pada umumnya dilakukan dengan menambahkan gugus yang mudah larut dalam air (hidrofil), untuk meningkatkan kelarutan
22 Desi Harneti P.H. senyawa dalam air, karena paklitaksel mempunyai kelarutan yang sangat rendah. O H3C
OH CONH
H 3' C
C H
2'
O C
C
OH
O
O
CH3 10
CH3
7
CH3 O
13
3
O
CH3 O
C
CH3
HO O
O C
O
Gambar 2.10 Struktur paklitaksel (Siswandono dan Soekardjo, 1995). c. Antikanker produk hewan Contoh senyawa ini antara lain antineoplaston, interferon α-2a (Roferon-A), interferon α-2b (IntronA) dan avaron. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi dari hasil percobaan in vitro Roferon-A menunjukkan aktivitas proliferasi pada bermacam sel tumor manusia dan digunakan pada pengobatan hairly cells leukemia. 4. Imunomodulator Zat – zat ini juga dinamakan Biological Response Modifiers (BRM) yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi secara positif reaksi biologis dari
Tinjauan Umum
23
tubuh terhadap sel tumor. Fungsi sistem imun dapat distimulasi dengan baik (imunostimulator) maupun disupresi olehnya (imunosupresor). Sebagai contoh, seperti interferon α-2a, interferon α-2b, antineolplaston, dan avaron.
Gambar 2.11 Tempat Kerja beberapa Obat Antikanker (Siswandono dan Soekardjo, 1995). 5. Hormon Beberapa neoplasma dapat dikontrol dengan baik oleh hormon seks seperti androgen, progestin dan estrogen serta hormon adrenokortikoid. Dalam proses penghambatan penyebarannya, androgen digunakan untuk karsinoma payudara, estrogen untuk karsinoma payudara dan prostat serta progestin untuk karsinoma uterus adrenokortikoid untuk leukemia akut, leukemia limfositik dan limfoma, sedangkan antisetrogen untuk pengobatan kanker payudara. Mekanisme kerja hormon terhadap sel kanker adalah dengan mengikat secara khas reseptor-reseptor pada sitoplasma dan mengubah struktur
24 Desi Harneti P.H. suatu reseptor. Bentuk kompleks hormon-reseptor ini kemudian menuju inti, berinteraksi dengan sisi akseptor dan memengaruhi proses transkripsi. Mekanisme yang lain, seperti yang terjadi pada glukokortikoid adalah dengan memengaruhi jaringan limfatik sehingga mencegah pengambilalihan glukosa pada sintesis protein. Antiandrogen seperti tamoksifen dapat memblok pengambilalihan estradiol dengan cara berkompetisi dengan estradiol pada reseptor estrogen dari sel kanker payudara. 6. Golongan Lain Contoh senyawa ini antara lain mitotan, 1-asparagin, sisplatinum, hidroksiurea, mitoksantron dan asam klodronat (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Tinjauan Tumbuhan Meliaceae dan Aglaia Tumbuhan keluarga Meliaceae adalah tumbuhan kayu yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis, terdiri dari 51 genus, kurang dari 550 spesies. Tumbuhan ini hidup di hutan beriklim tropis dan subtropis di wilayah Asia Tenggara, Australia Utara dan Kepulauan Pasifik. Beberapa genus yang tumbuh di Indonesia di antaranya adalah: Cedrela, Toona, Xylocarpus, Melia, Sandoricum, Dysoxylum, Lansium, Amoora dan Aglaia. Taksonomi tumbuhan ini adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Orde : Sapindales Keluarga : Meliaceae
Tinjauan Umum
25
Tumbuhan keluarga Meliaceae ini telah dilaporkan mengandung banyak senyawa aktif baik yang berkaitan dalam bidang pertanian maupun kesehatan, seperti: - Insektisidal, antifeedant, pengatur tumbuh, repellent, larvasida, antelmintik. - Antimalaria, antiviral, antioksidan, antikanker, antibakteri, antijamur, dan antiinflamasi (Nugroho et al., 1999; Omar et al., 2003; Nakatani et al., 2004). Beberapa contoh senyawa aktif yang telah diisolasi dari tumbuhan yang termasuk keluarga Meliaceae adalah azadirachtin yang diperoleh dari Azadirachta indica adalah insektisida alami yang terkenal dan sudah dipasarkan sebagai insektisida botani di Amerika Serikat dan India. Akar Lansium domesticum var duku mengandung triterpenoid lansiolida yang memiliki aktivitas antimalaria baik secara in vitro maupun secara in vivo (Omar et al., 2003 dan Bray et al., 1990). Aglaia adalah genus terbesar pada keluarga Meliaceae yang terdiri dari 130 spesies. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudera Pasifik. Di Indonesia tumbuhan ini dapat ditemui di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Flores. Sebagian tumbuhan genus ini merupakan semak-semak, perdu, dan tumbuhan berkayu. Tanaman dari genus Aglaia telah banyak digunakan oleh masyarakat sejak dulu sebagai bahan bangunan dan sumber obat tradisional (Heyne,1987). Genus ini merupakan genus terbesar dalam famili Meliaceae, yang terdiri dari 130 jenis tumbuhan (Inada et al., 2001).
26 Desi Harneti P.H. Beberapa spesies dari Aglaia yang berasal dari Indonesia tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Nama tumbuhan Aglaia Indonesia beserta daerah asalnya (Pannell, C.M.,1992).
NO. NAMA SPESIES 1. Aglaia acida
DAERAH ASAL Jawa
2.
Aglaia andamanica
Kepulauan Andaman
3.
Aglaia angustifolia
Sumatera
4.
Aglaia argentea
Jawa
5.
Aglaia aspera
Jawa
6.
Aglaia baramensis
Kalimantan
7.
Aglaia barbatula
Jawa
8.
Aglaia beccarii
Kalimantan
9.
Aglaia borneensis
Kalimantan
10.
Aglaia canariifolia
Sulawesi
11.
Aglaia celebica
Sulawesi
12.
Aglaia chartacea
Sumatera
13.
Aglaia clementis
Kalimantan
14.
Aglaia confertiflora
Kalimantan
15.
Aglaia coriacea
Kalimantan
Tinjauan Umum
NO. NAMA SPESIES 16. Aglaia cuspidella
DAERAH ASAL Kalimantan
17.
Aglaia densisquama
Kalimantan
18.
Aglaia dipenhorstii
Sumatera
19.
Aglaia discolor
Kalimantan
20.
Aglaia dyeri
Sulawesi
21
Aglaia dysoxylifolia
Sulawesi
22
Aglaia elmeri
Kalimantan
23
Aglaia euryphylla
Jawa
24
Aglaia eusiderexylon
Jawa
25
Aglaia forstenii
Ambon
26
Aglaia foveolata
Malaysia, Kalimantan, Sumatera
27
Aglaia fraseri
Kalimantan
28
Aglaia fusca
Kep. Andaman
29
Aglaia grandis
Kalimantan
30
Aglaia havilandii
Kalimantan
31
Aglaia hemslevi
Sulawesi
32
Aglaia heptandra
Jawa
33
Aglaia heterobotrys
Sumatera
34
Aglaia heterophylla
Kalimantan
35
Aglaia hubertii
Kalimantan
36
Aglaia hypoleuca
Sumatera
27
28 Desi Harneti P.H. NO.
NAMA SPESIES
DAERAH ASAL
37
Aglaia ignea
Sumatera
38
Aglaia insignis
Kalimantan
39
Aglaia javanica
Sulawesi
40
Aglaia kabaensis
Sumatera
41
Aglaia khasiana
Indonesia
42
Aglaia latifolia
Jawa
43
Aglaia laxiflora
Kalimantan
44
Aglaia leptantha
Sumatera
45
Aglaia littoralis
Indonesia
46
Aglaia longepetiolulata
Sumatera
47
Aglaia longivolia
Jawa
48
Aglaia magnifoliola
Sunda
49
Aglaia maiae
Indonesia
50
Aglaia matthewsii
Kalimantan
51
Aglaia megistocarpa
Kalimnatan
52
Aglaia menadonensis
Sulawesi
53
Aglaia minahassae
Sulawesi
54
Aglaia minutiflora
Indonesia
55
Aglaia monozyga
Kalimantan
Tinjauan Umum
NO.
NAMA SPESIES
DAERAH ASAL
56
Aglaia Montana
Jawa
57
Aglaia motleyana
Kalimanatan
58
Aglaia moultonii
Kalimantan
59
Aglaia mucronulata
Jawa
60
Aglaia neotenica
Kalimantan
61
Aglaia ochneocarpa
Sumatera
62
Aglaia odoardoi
Kalimantan
63
Aglaia oligocarpa
Sumatera
64
Aglaia oligophylla
Sumatera
65
Aglaia palembanica
Kalimantan
66
Aglaia pamattonis
Kalimantan
67
Aglaia paniculata
Indonesia
68
Aglaia pedicellaris
Indonesia
69
Aglaia perviridis
Indonesia
70
Aglaia poliphylla
Jawa
71
Aglaia pycnocarpa
Sumatera
72
Aglaia pyricarpa
Sumatera
73
Aglaia pyrrholepsis
Jawa
74
Aglaia racemosa
Kalimantan
75
Aglaia ramotricha
Kalimantan
76
Aglaia reinwardtii
Sulawesi
29
30 Desi Harneti P.H. NO.
NAMA SPESIES
DAERAH ASAL
77
Aglaia rivularis
Kalimantan
78
Aglaia rufa
Sumatera
79
Aglaia sclerocarpa
Sulawesi
80
Aglaia shawiana
Kalimantan
81
Aglaia simplex
Kalimnatan
82
Aglaia smithii
Sulawesi
83
Aglaia splendens
Jawa
84
Aglaia stapfii
Sulawesi
85
Aglaia sterculiodes
Kalimantan
86
Aglaia submonophylla
Kalimantan
87
Aglaia subsessillis
Kalimantan
88
Aglaia sulingi
Jawa
89
Aglaia teysmanniana
Sumatera
90
Aglaia tomentosa
Indonesia
91
Aglaia trichostemon
Kalimantan
92
Aglaia trimera
Kalimantan
93
Aglaia tripelata
Kalimantan
94
Aglaia undulate
Indonesia
95
Aglaia unifoliata
Kalimnatan
Tinjauan Umum
NO.
NAMA SPESIES
31
DAERAH ASAL
96
Aglaia waliishii
Indonesia
97
Aglaia winckelii
Jawa
98
Aglaia zollingeri
Jawa
Beberapa spesies dari genus ini seperti A. odorata, oleh masyarakat digunakan sebagai obat tradisional, diantaranya penguat hati, demam, obat batuk, inflamasi dan infeksi. Di Vietnam, bunga dari tanaman Aglaia yang harum, digunakan untuk membuat teh wangi atau disimpan di lemari untuk mengusir ngengat. Di Indonesia bunga A. odorata digunakan sebagai repelen serangga (Proksch, 2001). Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting Aglaia odorata (Meliaceae) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat, dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Kelompok senyawa triterpenoid dan steroid juga ditemukan pada tumbuhan A. grandis. Aktivitas ekstrak bagian tumbuhan Aglaia selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antimakan dan antikanker (Inada et al., 2000).
32 Desi Harneti P.H. Kandungan Kimia Pada Tumbuhan Aglaia Kandungan senyawa kimia yang ada dalam tumbuhan Aglaia telah banyak diteliti, namun masih banyak pula spesies Aglaia yang belum diketahui kandungan senyawanya termasuk A.smithii. Tumbuhan Aglaia mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin (Mabberley et al., 1995), lignan (Wu, et al., 1997), aminopirolidin, odorin, dan 5’-epiodorin dan odorinol (Nugroho et al., 1999). Serta senyawa-senyawa turunan siklopenta[bc]benzopiran (thapsakin, aglain, dan aglaforbesin) dan turunan benzo[b]oksepin (forbaglin dan thapoksepin) (Bacher et al.,1999). Selain senyawasenyawa tersebut di atas, tanaman Aglaia mengandung sejumlah senyawa aktif insektisidal turunan dari benzofuran yang termasuk ke dalam rokaglamida. Kelompok senyawa triterpenoid dan steroid juga ditemukan pada beberapa spesies Aglaia, seperti sikloartan dan sterol (Mabberley et al., 1995). Secara fitokimia, tumbuhan Aglaia merupakan penghasil senyawa dengan kerangka yang unik yaitu kerangka siklopenta[b]benzofuran salah satunya kelompok senyawa rokaglamida. Rokaglamida termasuk ke dalam kelompok senyawa turunan benzofuran. Rangka dari rokaglamida tersusun dari prekursor awal berupa flavonoid dan amida asam sinamat. Rokaglamida dan turunannya memiliki sifat insektisidal alami yang sangat kuat (Nugroho et al., 1999). Rangka benzofuran yang terdapat didalam struktur rokaglamida merupakan penyebab utama kuatnya aktivitas sifat insektisidal tersebut (Cui et al.,1997). Beberapa diantara senyawa rokaglamida yang di-
Tinjauan Umum
33
O
Gambar 2.12. Kerangka benzofuran isolasi dan dikarakterisasi diantaranya adalah C-3’hidroksirokaglamida (1), C-1-O-asetil3’ hidroksirokaglamida (2), C-3’-metoksirokaglamida (3), C-3’-metoksirokaglaol (4), turunan C-3’-hidroksi dari demetilrokaglamida (5), turunan C-3’-hidroksi dari metil rokaglat (6), C-3’-hidroksidimetilrokaglamida (7), C-1oksim (8) (Nugroho et al., 1999), rokaglaol (9), metil rokaglat (10), demetilrokaglamida (Ishibashi et al.,1993) (11), C-1-O-asetil-3' hidroksidemetil rokaglamida (12), dan C-1-O-asetil-3'-hidroksimetilrokaglat (13) (Janpraset et al.,1993). Senyawa kelompok bisamida adalah salah satu kelompok senyawa yang menjadi ciri khas tumbuhan Aglaia, dan membantu dalam menentukan kemotaksonomi tumbuhan tersebut. Senyawa bisamida yang diisolasi dari A. edulis, A. grandis, dan A. testicularis adalah aglaiadulin (14), aglaiathiodulin (15) dan aglaiadthiodulin (16) (Brader, 1988). Senyawa golongan damaran dan limonoid yang berhasil diisolasi dari A. elaeodeae adalah 20S,24Sepoksi-25-hidroksidamaran-3-on (17), 20S,24S-epoksi25-hidroksimetildamaran-3-on (18) dan 6a,11bdiasetoksigedunin (19) (Fuzzati, 1996).
34 Desi Harneti P.H. OCH3 7
8 R1
OH H3CO
6
1 8a 8b 4a 2 4 3a 3 O 1" 1' 6' 2'
5
R2 2" 3"
6" 3' R3
5'
4" 5"
4' OCH3
R1
R2
R3
(1) (2) (3)
-OH -OCOCH3 -OH
-CON(CH3)2 -CON(CH3)2 -CON(CH3)2
-OH -OH -OCH3
(4) (5)
-OH -OH
-H -CONHCH3
-OCH3 -OH
(6) (7)
-OH -OH
-COOCH3 -CONH3
-OH -OH
(8) (9) (10)
=NOH -OH -OH
-COOCH3 -COOCH3
-OCH3 -
(11)
-OH
-CONHCH3
-H
(12) (13)
-OCOCH3 -OCOOCH3
-CONHCH3 -COOCH3
-OH -OH
Gambar 2.13 Struktur senyawa aktif turunan rokaglamida yang terkandung dalam tanaman Aglaia odorata (Janpraset et al.,1993).
Tinjauan Umum
35
7 8
6
O
3
5
1 4
2
1' N H
2'
H N 6'
4' 3'
5'
4
2 1
5
3 O
8
6 7
(14) 7 8
6
O
3
5
1 4
2
1' N H
2'
4' 3'
5'
H N 6'
2''
SCH3
1'' O
(15) O 3'' H3CS
1'' 2''
1' N H
2'
4' 3'
5'
H N 6'
2''
SCH3
1'' 3'' O
(16)
Gambar 2.14 Senyawa bisamida yang diisolasi dari Aglaia edulis, A. grandis, dan A. testicularis (Brader, 1988).
Tirucallane (20) adalah suatu senyawa triterpenoid yang berasal dari Aglaia leucophylla (Benosman, 1994). Senyawa golongan triterpenoid yang berhasil diisolasi dari A. foveolata adalah 3epiokotillol (21), asam soreat (22), foveolin A (R = H) (23) , dimalol (R = CH3) (24) (Roux, 1998).
36 Desi Harneti P.H. HO
OH
O
H
H O
H
H
H
H
O
O
(17)
(18)
O
H3COOC O
O O COOCH3
O COOCH3
(19) Gambar 2.15 Senyawa golongan damaran dan limonoid yang berhasil diisolasidari A. elaeodeae (Fuzzati, 1996). Senyawa kelompok pregnan dan triterpenoid hidroperoksida telah berhasil diisolasi dari daun Aglaia grandis adalah 2β,3β-dihidroksi-5α-pregnan-16-on (25) dan dua senyawa triterpenoid hidroperoksida sikloartan
37
Tinjauan Umum
(26) dan (27) (Inada, 1997).
OCH3
O
(20) OH
OH
O
H
H
(21)
H
H
H
O
O
H
HOOC
(22)
Senyawa kelompok sterol yang terdapat pada spesies A. rubiginosa (22R,25)-epoksi-kolest-7-ene3β,4β-diol (28) dan kolest-5-ene-3β,4β,22(R)-triol (29), stigmast-5-ene-3β,7α-diol (30), dan stigmasterol (31). (Weber et al., 1999).
38 Desi Harneti P.H. OH
O
H
H
H
ROOC OH
(23-24)
H
O
HO
HO H
(25)
OOH
H
HO
(26)
Tinjauan Umum OOH
H
HO
(27)
OH O
HO
HO OH
OH
(28)
HO
OH
(30)
(29)
HO
(31)
39
40 Desi Harneti P.H. Senyawa Aktif Sitotoksik dari Tumbuhan Aglaia Saat ini, senyawa bahan alam telah memegang peranan penting dalam kemoterapi kanker. Lebih dari 60 % obat-obatan kanker diperoleh dari bahan alam. Taxol, kamptotecin, podofilotoksin, vinblastin, dan vinkristin adalah senyawa bahan alam yang telah digunakan sebagai obat yang teruji dapat menghambat mekanisme pertumbuhan sel tumor. Pencarian senyawa bahan alam yang dapat digunakan sebagai obat antikanker harus terus dilakukan untuk mendapatkan obat dengan hasil klinis yang lebih baik (Lee, 1998). Beberapa senyawa turunan rokaglat telah berhasil diisolasi dari tumbuhan Aglaia yang memiliki potensi antikanker karena bersifat sitotoksik. Rokaglaol (32) yang berhasil diisolasi dari akar A. crassinervia memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih besar daripada paclitaxel dan kamptothecin (Su, 2006). MeO
OMe OH OH O
MeO
(32)
Tinjauan Umum
41
Aglafolin (metil rokaglat) (33) diisolasi dari A. elliptifolia dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (Ko et al.,1992). Selain itu lima senyawa turunan rokaglat lainnya (34-38) telah berhasil pula diisolasi dari A. elliptica dan menunjukkan aktivitas dapat menghambat pertumbuhan sel kanker manusia (Lee, 1998). Asam rokaglat (39), elliptifolin (40), dan elliptiol (41), yang diisolasi dari daun A. elliptifolia bersifat sitotoksik terhadap sel tumor P-388, masing-masing dengan harga ED50 = 0,0012; 3,41 dan 3,62 µg/mL (Wang, 2000). Elliptifolin dan elliptiol adalah dua senyawa yang termasuk kelompok diamida.
OCH3
HO
O OCH3
HO
O H3CO OCH3
(33) Senyawa pada tanaman A. lepthantha dapat membunuh 20 jenis sel kanker. Kandungan senyawa yang sama juga terdapat pada A. silvestris. Beberapa bagian tumbuhan A. elaeagnoidea var. Beddomei, akar
42 Desi Harneti P.H. dan kulit batang tumbuhan A. elliptifolia, daun dan ranting A. odorata, dan A. odoratissima telah dilaporkan memiliki aktivitas in vivo terhadap sel tumor P-388 leukemia. OCH3
R1 R 2
HO
R3
O H3CO
O
O
(34-38) R1 R2 OH - OH H - =O OCOHO - COOCH3
OCH3
HO
R3 H COOCH3 H H H
O OH
HO
O H3CO OCH3
(39)
Tinjauan Umum
43
O N
OMe OH N MeO
O
OH O
OMe
(40) O H N
NH OH
O
(41) Senyawa turunan diamida yaitu odorinol (42) yang bersifat antileukemia yang diujikan secara in vivo terhadap mencit, berhasil diisolasi dari daun A.odorata (Hayashi, 1981). Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada ekstrak daun A. formosana terhadap sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia P-388 (King et al,1982). Pada
44 Desi Harneti P.H. O H
N
HN
OH
O
(42) tahun 1993 berhasil diisolasi dari ekstrak kloroform daun A. formosana senyawa dehidroodorin (43 ) yang aktif terhadap sel leukemia P-388 dengan nilai ED50= 3,86 µg/mL (Duh, 1993). Senyawa-senyawa dari kelompok triterpen yang bersifat sitotoksik pun telah berhasil diisolasi dari A. argantea yaitu argenteanon A (44), B (45), dan argenteanol (46) ketiganya bersifat sitotoksik terhadap sel KB (sel kanker nasofaring) (Omobuwajo, 1995). O H HN
O
(43)
N
Tinjauan Umum HO
45
OH
H H H
OH
H
R H
(44)
HO O H
H
O
H H OH
H
(45) R = O (46) R = H dan -OH Masih dari spesies yang sama, sembilan senyawa triterpenoid dengan kerangka 3,4-sekoapotirukalan (47) – (54) yang bersifat sitotoksik terhadap sel KB telah berhasil diisolasi (Mohammad, 1999).
46 Desi Harneti P.H.
O H
O H
H
H
H COOCH3
H
R2O
H
H COOCH3
OR1
OH
OR1
OH
(47) R1 = a (48) R1 = b (49) R1 = c
(50) R1 = c, R2 = a (51) R1 = c, R2 = b (52) R1 = b, R2 = a (53) R1 = R2 = a (54) R1 = R2 = c
OH
OH
H3C
CH3
HO O
O
O
(a)
H
(b)
(c)
BAB III
SENYAWA ANTIKANKER TURUNAN 1H-SIKLOPENTA[b]BENZOFURAN DARI TANAMAN Aglaia elliptica
Aglaia elliptica LEE dan kawan-kawan (1998), meneliti kandungan senyawa antikanker dari Aglaia eliptica. Latar belakang, metode dan hasil penelitian Lee, dilaporkan pada bagian ini. Beberapa bagian tanaman Aglaia dapat digunakan seperti kayu, buah, dan bunga sebagai kebutuhan di bidang medis maupun pertanian. Kandungan senyawa yang terdapat dalam tanaman ini juga memiliki berbagai aktivitas biologis, yaitu sebagai insektisidal dan antikanker. Beberapa bagian tanaman A. elaeagnoidea var. Beddomei, akar dan kulit batang tanaman A. elliptifolia, daun dan ranting A. odorata, dan A. odoratissima telah dilaporkan memiliki aktivitas in vivo pada sel tumor P-388 leukemia. Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada ekstrak daun A. formosana dalam sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia (King et al,1982). Aglaia elliptica merupakan salah satu spesies (47)
48 Desi Harneti P.H. yang sangat berpotensi untuk mendapatkan senyawa antikanker. Dalam penelitian Cui et al pada tahun 1997, Aglaia elliptica yang berasal dari Thailand, telah ditemukan lima senyawa baru yang sangat berpotensi terhadap sel tumor. Lima senyawa baru tersebut memiliki kerangka induk yang sama yaitu siklopenta[b]benzofuran. Kerangka induk ini juga terdapat pada spesies Aglaia yang lainnya. Lima senyawa turunan siklopenta[b]benzofuran (1-5) tersebut adalah senyawa 1 (metil rokaglat), 2 (4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil rokaglat) dan 5 (1-O-formil-4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil rokaglat).
1 (metil rokaglate)
Gambar 3.1 Struktur senyawa turunansiklopenta[b]ben zofuran yang didapat dari Aglaia elliptica (Lee et al, 1998).
Senyawa Antikanker Turunan …
49
Senyawa 1 – 2 dan 4 – 5 diperoleh dari batang Aglaia elliptica, sedangkan senyawa 1 – 3 diperoleh dari buahnya.
Gambar 3.2 Tanaman Aglaia elliptica. Taksonomi dari Aglaia elliptica adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae
50 Desi Harneti P.H. Ordo Keluarga Marga Jenis
: : : :
Sapindales Meliaceae Aglaia Aglaia elliptica
Mekanisme sitotoksik pada tanaman Aglaia elliptica Daya hambat senyawa 1-5 pada kultur sel kanker manusia Daya hambat lima senyawa turunan siklopenta[b]benzofuran yang ditemukan pada batang dan daun Aglaia elliptica dapat diketahui dengan cara menghitung nilai IC50 kelima senyawa tersebut dengan menggunakan sel kanker manusia, di antaranya Sel HT1080 (human fibrosarcoma), KB (human nasopharyngeal carcinoma), A431 (human epidermoid carcinoma), LNCaP (hormone-dependent prostate cancer), ZR-75-1 (hormone-dependent breast cancer), U373 (human glioblastoma), BC1 (human breast cancer), Lu1 (human lung cancer), Mel2 (human melanoma), dan Col2 (human colon cancer). Semua sel di kultur pada suhu 37oC dalam 100% kelembaban dengan 5% CO2 atmosfer di udara, kecuali sel melanoma yang tetap pada 37 oC dalam wadah kultur jaringan tertutup. Dari hasil penelitian didapat nilai IC50 senyawa 1, 2 – 5 memiliki rentang antara 1 – 30 ng/mL. Sedangkan senyawa 3 dan 4 memiliki nilai IC50 di atas 60 ng/mL (Lee et al.,1998). Berdasarkan data dalam Tabel 3.1, kelima senyawa tersebut memberikan aktivitas yang cukup baik, namun yang paling berpotensi sebagai antikanker adalah senyawa 1, 2, dan 5. Senyawa 1, 2, dan 5 memiliki nilai IC50 di bawah 30 ng/mL. Kelima senyawa tersebut memiliki struktur kerangka induk yang sama, yaitu
Senyawa Antikanker Turunan …
51
siklopenta[b]benzofuran, namun rantai sampingnya saja yang berbeda. Hal ini menyebabkan aktivitas. Tabel 3.1 Daya hambat (nilai IC50) senyawa 1 – 5 dari tanaman Aglaia elliptica dalam kultur sel kanker manusia (Lee et al, 1998). Senya wa
BC1
HT108 0
Lu1
Mel2
Col2
KB
KB-IV
A43 1
LNCa p
ZR-75
U3 73
1
10.0
9.0
6.0
30.0
9.0
9.0
30.0
20.0
20.0
3.0
3.0
2
0.9
10. 0
5.0
60.0
10.0
6.0
20.0
10.0
2.0
2.0
0.8
3
200.0
-
70. 0
-
70.0
90.0
100.0
-
-
86.0
-
4
1400. 0
-
100 .0
-
200. 0
200.0
300.0
-
70.0
-
-
5
3.0
3.0
1.0
1.0
2.0
30.0
10.0
3.0
30.0
120.0
3.0
tingkat toksisitas yang cukup rendah (IC 50 > 60 ng/mL), karena adanya pengaruh gugus fungsi yang terletak pada posisi C-1 dan C-2. Pada senyawa 4 , pergantian gugus hidroksil (-OH) atau gugus formal (-OCHO) dengan gugus keton ( C=O ) akan menyebabkan potensial daya hambat pertumbuhan sel kanker akan berkurang. Pengaruh penambahan senyawa 2 pada pembelahan sel kanker Lu1 Sel Lu1 dilapiskan dengan densitas 5 x 105 sel per 25 cm2 pada labu kultur, lalu diinkubasi selama 24 jam. Kemudian ditambahkan 25 dan 50 ng/mL senyawa 2 selama interval waktu (8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam), jumlah sel dihitung. Viabilitas sel dapat diketahui oleh
52 Desi Harneti P.H.
Gambar 3.3 Hubungan struktur dan aktivitas antikanker senyawa 3-4 yang diisolasi dari tanaman Aglaia elliptica (Lee et al, 1998). adanya pewarna tripan biru. Pembelahan sel yang terjadi dibandingkan dengan kontrol. Semua perlakuan dilakukan secara triplo. Dalam Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa dengan adanya penambahan senyawa 2 pada kultur sel Lu1, jumlah sel yang membelah akan berkurang. Sedangkan pengaruh adanya senyawa 2 dalam proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1 dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Senyawa Antikanker Turunan …
53
Gambar 3.4 Fotomikrograf sel yang diperlakukan dengan senyawa 2. (A) tanpa adanya penambahan senyawa 2, (B) dengan adanya penambahan senyawa 2 (25 ng/mL) selama 32 jam (pembesaran 100x) (Lee et al, 1998). Pengaruh penambahan senyawa 2 pada siklus sel kanker Lu1 Senyawa 2 yang dihasilkan dari tanaman Aglaia elliptica diperlakukan terhadap sel Lu1 selama periode
Jumlah sel (x 10-6)
Viabilitas sel (%)
54 Desi Harneti P.H.
Waktu (jam)
Gambar 3.5 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1. (●) hanya pelarut DMSO, (▲) 25 ng/mL senyawa 2, (◊) 50 ng/mL senyawa 2 (Lee et al, 1998). waktu (8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam). Untuk mengetahui jumlah sel yang terdistribusi dalam proses siklus selnya, digunakan metode aliran sitometri (flow cytometry). Sebanyak 50 ng/mL senyawa 2 yang
Senyawa Antikanker Turunan …
55
ditambahkan, terjadi akumulasi sel pada fase G1/G0 dalam siklus sel. Setelah 24 jam = Kontrol : 41 G1/G0, 37 S, 22% G2/M Hasil : 74 G1/G0, 11 S, 15% G2/M Setelah 32 jam = Kontrol : 52 G1/G0, 33 S, 15% G2/M Hasil : 75 G1/G0, 9 S, 16% G2/M Setelah 48 jam = Kontrol : 61 G1/G0, 25 S, 142% G2/M Hasil : 65 G1/G0, 16 S, 19% G2/M Periode waktu yang selanjutnya menghasilkan data yang tidak jauh berbeda dengan pada jam ke-48, pada periode ini tidak terjadi perubahan yang signifikan. Pada interval waktu 24 dan 32 jam terjadi suatu akumulasi jumlah sel kanker pada fase G1. G1 adalah fase dimana terjadi sintesis RNA pada sel kanker. Namun karena keberadaan senyawa 2, RNA yang telah terbentuk tidak dapat membentuk DNA-nya, sehingga sel tidak akan menuju ke fase S (replikasi DNA). Hal ini menyebabkan sel hanya akan terakumulasi pada fase G1 dan G0 (fase istirahat). Senyawa 2 dapat menghambat terjadinya proses replikasi DNA (S) dan mengganggu terjadinya siklus pembelahan sel kanker. Dari data penelitian, sel akan terakumulasi pada fase G1/G0, sedangkan jumlah sel pada fase S dan G2/M lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas antikanker menggunakan bioindikator tikus putih Untuk mengetahui aktivitas antitumor pada senyawa 2, dilakukan penelitian dengan menggunakan
56 Desi Harneti P.H.
Volume tumor (cm3)
bioindikator tikus putih betina. Kultur sel BC1 (1 x 10 6 sel) disuntikkan ke dalam bagian kanan dorsal pada tikus putih betina yang berusia 4 – 6 minggu. Pada hari ke-3 senyawa 2 (10 mg/kg berat badan, yang dilarutkan dalam 40% DMSO) disuntikkan pada tikus putih tersebut. Pemberian senyawa 2 dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 7 minggu. Untuk analisis, berat badan tikus putih dan volume tumor ditimbang setiap harinya. Ternyata semua tikus mati pada hari ke-33, ketika volume tumor pada tikus kontrol mencapai 1,3 cm3.
Hari setelah penyuntikan sel BC1
Gambar 3.6 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada pertumbuhan tumor tikus putih betina yang telah diberikan sel tumor BC1. (●) kontrol dan (□) penambahan senyawa 2 (Lee et al, 1998). Seperti yang terlihat pada Gambar 3.6, dengan adanya penambahan senyawa 2 pada sel tumor BC1 dalam tikus putih akan mengakibatkan volume tumor berkurang sejalan dengan periode waktu. Hal ini disebabkan
Senyawa Antikanker Turunan …
57
pertumbuhan sel BC1 terhambat sehingga proses pembelahannya pun akan berlangsung lama. Pembelahan sel tumor dapat terjadi karena adanya replikasi DNA dan sintesis RNA secara cepat. Oleh karena itu, untuk menghambat atau menghentikan proses penggandaan DNA, harus menggunakan suatu senyawa atau agen yang dapat menghambat proses biosintesis DNA, RNA, atau proteinnya. Pada umumnya mekanisme kerja senyawa antikanker secara demikian, yaitu dengan menghambat proses biosintesis proteinnya. Seperti halnya senyawa pengalkilasi yang bersifat antikanker. Senyawa ini memiliki ion karbonium yang reaktif, sehingga dapat membentuk ikatan melintang dengan DNA dan dapat menghambat terjadinya pembelahan sel (Tjay & Rahardja,2002). Untuk senyawa antikanker bahan alam, biasanya mekanisme kerja antikanker adalah dengan menghambat sintesis protein dalam mikrotubuli. Pada senyawa 2 yang diperoleh dari tanaman Aglaia elliptica, aktivitas antikanker disebabkan oleh adanya pengaruh gugus fungsi yang ada pada kerangka senyawa tersebut.
58 Desi Harneti P.H.
BAB IV
AKTIVITAS ANTIKANKER SENYAWA ODORIN DAN ODORINOL DARI TUMBUHAN AGLAIA ODORATA
Aglaia odorata AGLAIA odorata berasal dari marga Aglaia. Suatu marga tumbuhan dengan anggota lebih dari 100 jenis tumbuhan. Tanaman ini dibiakkan dengan cara pencangkokan. Tanaman ini banyak digunakan sebagai pagar hidup, karena bentuknya yang indah dan kecepatan tumbuhnya yang lambat (Heyne,1987). Inada dan kawan-kawan (2001), meneliti kandungan senyawa antikanker dari Aglaia odorata. Latar belakang, metode dan hasil penelitian Inada dan kawan-kawan, dilaporkan pada bagian ini. Tumbuhan perdu ini dapat tumbuh dengan tinggi 2-5 m. Memiliki batang berkayu, bercabang banyak, dan tangkai berbintik-bintik kelenjar berwarna hitam. Memiliki daun majemuk, menyirip dan ganjil yang tumbuh berseling. Dengan anak daun berjumlah 3-5 cm. Anak daunnya bertangkai pendek, berbentuk bundar seperti telur sungsang. memiliki panjang 3-6 cm dan lebar 1-3,5 cm. Berujung runcing, berpangkal meruncing, (59)
60 Desi Harneti P.H. bertepi rata dan permukaannya licin mengilap, terutama daun muda (Anonymous, 2005). Rebusan daunnya terasa pahit tanpa pedas, jika diminum berkhasiat untuk menstruasi yang terlalu keras dan penyakit kelamin. Bunganya kecil, dalam helaian rapat, panjangnya 5-16 cm, warna kuning, dan harum. Bunga ini sering dicampurkan kedalam daun the untuk mengharumkannya. Seringkali pula digunakan untuk mengharumkan pakaian. Selain itu, dicampurkan dalam ramuan parem dan dijual kering. Bila air rebusan bunga ini diminum akan menghasilkan daya menyejukkan (Heyne,1987). Buah dari tanaman ini berbentuk kecil-kecil seperti buah buni. Berbentuk bulat lonjong dengan warna merah dan panjang 6-7 mm. Memiliki 1-3 ruang di dalam buah dan jumlah biji 1 sampai dengan 3 (Anonymous, 2005). Daun dan bunga Aglaia odorata L (Meliaceae) di Cina digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi memar, sakit kepala, batuk, dll. Bunganya biasa digunakan untuk memberi wewangian pada teh dengan catatan tergantung pada wangi teh itu sendiri. Dari tanaman ini aminopirolidin-diamida, odorin dan odorinol (= 2-hydroxyodorine), dan kandungan lainnya telah diisolasi. Sebagai tambahan, aktivitas antileukimia dari odorinol terhadap sel leukemia limfosit P-388 dari tikus telah dilaporkan (Inada et.al., 2001). Taksonomi Aglaia odorata Menurut Tjitrosoepomo (2002) taksonomi tumbuhan Aglaia odorata adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae
Aktivitas Antikanker Senyawa …
Kelas Subkelas Ordo Keluarga Genus Jenis
: : : : : :
61
Dycotiledoneae Dyalipetalae Rutales Meliaceae Aglaia Aglaia odorata
Gambar 4.1 Aglaia odorata. Kandungan kimia tumbuhan Aglaia odorata Tumbuhan Aglaia odorata memiliki berbagai macam kandungan diantaranya minyak asiri, alkaloid, saponin, flavonoid, terpenoid, triterpenoid, alkaloid, tanin (Mabberley et al., 1995), arilpropanoid, dimer arilpropanoid (lignan) (Wu, et al., 1997), asam sinamat, dan odorin (Nugroho et al., 1999). Tapsakin-A (turunan forbaglin) (Proksch et al., 2001) kelompok senyawa dengan kerangka siklopenta [bc]benzopiran (aglain, dan aglaforbesin serta turunannya), dan kelompok senyawa dengan kerangka
62 Desi Harneti P.H. benzo[b]oksepin (forbaglin serta turunannya). Selain senyawa-senyawa tersebut di atas, tanaman ini mengandung sejumlah senyawa aktif antikanker berkerangka siklopentatetra[b]hidrobenzofuran yaitu rokaglamida (1) (Mabberley et al., 1995). O OH
OH
H N
OCH3 N H
H3CO
O OH O
H3CO
Turunan f lavonoid
Odorinol (turunan odorin)
Gambar 4.2
Struktur turunan odorinol (turunan odorin) dan turunan flavonoid (Nugroho et al., 1999). OCH3 OH
OH
O
H3CO
N(CH3)2 O
OCH3
Gambar 4.3 Rokaglamida Beberapa turunan rokaglamida yang telah berhasil diisolasi dan dikaraktersasi yang berasal dari tumbuhan Aglaia odorata di antaranya adalah didesmetilrokaglami-
Aktivitas Antikanker Senyawa …
O OH OH
H3CO
O
N H
N
H3CO
O OCH3 H
O O
63
OH
O H
O
O
O
N H
N
CH3 CH3
O H3 C
O OCH3
OCH3 Tapsakin-A-10-O-asetat (turunan aglain)
Tapoksepin-A (turunan forbaglin)
Gambar 4.4 Struktur Tapsakin-A-10-O-asetat (turunan aglain) dan Tapoksepin) (Inada et.al., 2001). da (2), C-3’-hidroksirokaglamida (3), dan C-1-O-asetil3’-hidroksirokaglamida (4) (Proksch et al., 2001). Struktur dari ketiga senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.5. OCH3 7
H3CO
8
6 5
R1
OH 8a
8b 1
4
3a
3"
6' 4"
3'
R3
2" 1"
2'
4'
R2
OH
CONH2
3
OH
CON(CH3) 2
4
OCOCH3 CON(CH3)
R3
2 3
O
R1
R2
5'
6"
2
5"
H OCH3 OH
OCH3
Struktur turunan rokaglamida (1-4)
Gambar 4.5
Struktur beberapa turunan rokaglamida yang terkandung dalam tumbuhan Aglaia odorata (Cui et al., 1997; Proksch et al., 2001).
64 Desi Harneti P.H. Bahan-bahan dan metode penelitian Bahan kimia Bahan kimia DMBA dan TPA dari nacalitesque (Kyoto,jepang), NOR-1 dan peroksi nitrit didapat dari dojindo laboratories (Kumamoto, Jepang). Hewan Hewan specific pathogen-free female ICR-(6week-Old) /ICR-fatogen spesifik (usia 6 minggu) dan SENCAR-mice (usia 6 minggu) didapat dari Japan SLC ink Shizouka, Jepang. Hewan ini ditempatkan 5 ekor dalam satu kandang polikarbonat pada suhu antara 24 ± 2oC dan diberikan makan, dan air adlibitum. Isolasi Odorin dan Odorinol dari Aglaia odorata. Daun Aglaia odorata (700 gram) diambil pada bulan Januari 1993 di Kebun Raya Bogor (Bogor, Indonesia). Fraksi etil asetat sebanyak 47,6 gram yang berasal dari 78,0 gram ekstrak MeOH diisolasi sehingga dihasilkan senyawa aminopirolidin-diamida, odorin (160 mg) dan odorinol (230mg) dengan kemurnian 99,9%. Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh DMBA/TPA Hewan (female ICR-mice berumur 6 minggu) dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pada ekornya ditambahkan DMBA (100µg, 390nmol) dalam aseton (0,1 mL) Untuk kelompok yang pertama (kelompok kontrol positif) satu minggu setelah diaktifkan dengan DMBA, tikus-tikus kemudian diberi TPA (1µg, 1,7nmol) pada aseton (1mL) dua kali dalam seminggu.
Aktivitas Antikanker Senyawa …
65
Kelompok kedua dan ketiga mendapat penambahan dari odorin (85nmol) pada aseton (0,1mL) dan odorinol (85nmol) pada aseton 1 jam sebelum perlakuan pokok masing-masing, secara berurutan. Pengaruh dari pertumbuhan papiloma dilihat setiap minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus mengalami penghambatan papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan eksperimen dianalisis dengan cara student’s t-test pada 20 minggu setelah promosi (Inada et.al., 2001) Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh NOR-1/TPA Hewan (female SENCAR-mice berumur 6 minggu) dipisahkan kedalam 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik diaktifkan dengan NOR-1 (90µg, 390 nmol) dalam aseton (0,1 mL). Untuk kelompok yang pertama (kelompok kontrol +) satu minggu setelah diaktifkan dengan NOR-1, tikus-tikus kemudian diberi TPA (1µg, 1,7nmol) pada aseton (1mL) dua kali dalam seminggu. Untuk kelompok kedua, TPA ditabahkan dengan odorin (0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum) dan kelompok ketiga, TPA ditambahkan odorinol (0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum) diberikan melalui mulut satu minggu sebelum dan sesudah tahap inisiasi dengan NOR-1. Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan; persentase tikus-tikus yang mengalami penghambatan papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan
66 Desi Harneti P.H. eksperimen dianalisis dengan cara student’s t-test pada 20 minggu setelah promosi (Inada et.al., 2001) Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh Peroksinitrit/TPA Hewan (female SENCAR-mice berumur 6 minggu) dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik diaktifkan dengan peroksinitrit (33,1µg, 390 nmol dalam 1mM NaOH) dalam aseton (0,1 mL). Untuk kelompok yang pertama (kelompok kontrol positif), satu minggu setelah diaktifkan dengan peroksinitrit, tikus-tikus kemudian diberi TPA (1µg, 1,7nmol) pada aseton (1mL) dua kali dalam seminggu. Untuk kelompok kedua, odorin (0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum) dan kelompok ketiga, odorinol (0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum) diberikan melalui mulut dari satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah tahap inisiasi dengan peroksinitrit. Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan. Pengaruh dari pertumbuhan papiloma dilihat setiap minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus yang menghambat papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan eksperimen dianalisis dengan cara student’s t-test pada 20 minggu setelah promosi (Inada et al., 2001). Aktivitas odorin dan odorinol sebagai antikanker Pada percobaan yang dilakukan oleh Inada et.al untuk pengujian senyawa yang menghambat pertumbu-
Aktivitas Antikanker Senyawa …
67
han papiloma pada tikus digunakan tiga perbandingan perlakuan pada tikus. Papiloma sendiri merupakan salah satu jenis kanker kulit di mana tempat terjadinya yaitu pada permukaan kulit. Pada percobaan tersebut digunakan SENCAR-mice sebagai objek penelitian. SENCAR-mice atau dengan kata lain Sensitive Carsinogenesis-mice merupakan tikus yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap zat-zat karsinogen. Tikus tersebut sangat rentan terkena kanker jika ada pengaruh dari zat-zat karsinogen. Tikus yang digunakan dalam percobaan dibagi ke dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 15 ekor tikus.Untuk perlakuan pertama, digunakan DMBA atau 7,12-dimethyl benz[a]anthracene sebagai zat karsinogen untuk mengaktifkan sifat karsinogenik tikus. Seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk memasukan DMBA ini ekor tikus sebelumnya dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pencukuran ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengaktifan sel kanker oleh DMBA karena apabila masih terdapat bulu dikhawatirkan DMBA ini tidak langsung masuk ke dalam kulit tikus. Untuk kelompok pertama, setelah sel karsinogenik tikus diaktifkan dengan DMBA dan mengalami tahap inisiasi yaitu selama 1 minggu, kemudian ditambahkan dengan TPA (12-Otetradecanoylphorbol-13-acetate) pada aseton dua kali dalam seminggu. Kelompok pertama ini dikenal sebagai kontrol positif. Sedangkan untuk kelompok kedua dan ketiga ditambahkan odorin dan odorinol pada TPA satu jam sebelum perlakuan pokok masing-masing. Persen penghambatan papiloma dan jumlah rata-rata papiloma yang terbentuk dicatat selama 20 minggu dan perbedaan
68 Desi Harneti P.H. antara kontrol positif, kelompok kedua dan kelompok ketiga dianalisis dengan menggunakan student’s t-test pada 20 minggu setelah promosi. Dari hasil analisis tersebut diperoleh grafik sebagai berikut :
( grup 1), DMBA (390 nmol)+TPA (1,7 nmol); (grup 2), DMBA (390 nmol)+Odorin (85 nmol)+TPA(1,7 nmol); (grup 3), DMBA (390 nmol)+odorinol (85 nmol)+TPA (1,7 nmol). Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol (p<0,01) dalam hubungannya dengan papilomas per tikus (n=15).
Gambar. 4.6 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan menggunakan DMBA dan TPA (Inada, et al, 2001)
Aktivitas Antikanker Senyawa …
69
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.6, odorin dan odorinol menghambat dengan baik pembentukan papiloma pada kulit tikus dan menunjukkan efek penghambatan yang signifikan terhadap pertumbuhan sel kanker yang dihasilkan oleh DMBA dan TPA. Gambar 4.6 A menunjukkan persen papiloma pada 20 minggu masa promosi. Pada Gambar 4.6 A ini dapat dilihat perbedaan yang sangat signifikan antara kontrol positif dengan perlakuan tambahan menggunakan odorin dan odorinol. Sampai dengan minggu ke-5 ketiganya masih belum menunjukkan pembentukan papiloma dan pada minggu ke-6 perbedaan terlihat lebih jelas dimana kontrol positif menunjukkan pembentukan papiloma sebanyak 30% sedangkan penambahan odorin dan odorinol masih belum menunjukkan pembentukan papiloma. Untuk penambahan odorin papiloma terbentuk sebanyak 10% pada minggu ke-8, sedangkan kontrol positif pada minggu ke-7 menunjukkan pembentukan papiloma sebanyak 80%. Untuk penambahan odorinol hasilnya lebih baik dibandingkan penambahan odorin karena pada penambahan odorinol papiloma terbentuk sebanyak 5% pada minggu ke-9 dan pada minggu ke-7 masih belum menunjukkan pembentukan papiloma. Kontrol positif menunjukkan hasil 100% untuk pembentukan papiloma pada minggu ke-9 sedangkan untuk penambahan odorin sampai pada minggu kelima belas pun jumlah papiloma yang terbentuk kurang dari 70% dan pada minggu ke 20, 93,3% papiloma terbentuk. Sama halnya seperti odorin, odorinol dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Hal ini dapat dilihat pada minggu keenam belas dengan jumlah papiloma yang terbentuk dibawah 70% sedangkan pada kontrol positif jumlah papilomanya sudah 100%.
70 Desi Harneti P.H. Sama halnya seperti pada grafik 4.6 A pada grafik 4.6 B menunjukkan adanya penghambatan dengan penambahan odorin dan odorinol. Pada grafik 4.6 B dapat dilihat banyaknya papiloma yang terbentuk (jumlah papiloma) pada sel karsinogenik tikus selama 20 minggu masa promosi. Untuk kontrol positif setelah 10, 15 dan 20 minggu promosi terbentuk 3,9 ; 8,1 dan 8,8 papiloma. Jumlah papiloma tersebut dapat dilihat pada masingmasing kulit tikus yang kemudian dibagi dengan jumlah tikus tiap kelompok. Dengan waktu yang sama untuk penambahan odorin pada DMBA dan TPA papiloma yang terbentuk adalah 0,5 ; 2,8 dan 4,3 papiloma. Sedangkan untuk penambahan odorinol hasilnya lebih baik dibandingkan penambahan odorin yaitu menghasilkan papiloma 0,3 ; 2,6 dan 3,6 disetiap tikus dengan waktu yang sama secara berurutan. Penambahan odorin dan odorinol ini tidak mengurangi laju dari pembentukan papiloma tikus melainkan hanya mengurangi jumlah rata-rata papiloma papiloma setiap tikus. Selanjutnya yaitu dengan menggunakan donor NO seperti NOR-1 ((±)-(E)-Methyl-2-[(E)-Hidroxy Amino]-5-nitro-6-methoxy-3-hexenamide) dan peroksinitrit sebagai tahap awal untuk mengaktifkan sifat karsinogenik tikus. Sama halnya seperti percobaan di atas, digunakan juga TPA sebagai promotor untuk pengaktifan sel karsinogenik. Seperti telah diketahui bersama bahwa kelebihan produksi dari NO mengakibatkan terjadinya kerusakan gen, sel dan jaringan sehingga akibatnya NO menjadi penyebab kuat terjadinya mutagen dan karsinogenesis. Efek penghambatan odorin dan odorinol dengan menggunakan NOR-1 dan peroksinitrit diperiksa dengan
Aktivitas Antikanker Senyawa …
71
menggunakan metode oral administration. Hasilnya kedua senyawa tersebut menghambat pembentukan papiloma dan menunjukkan efek penghambatan. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik 4.7A dan B. Pada grafik 4.7 A kelompok kontrol positif, yang mendapat perlakuan dengan NOR-1 dan TPA menunjukkan pembentukan papiloma sebanyak 100% pada minggu ke 11. yang diperlakukan dengan NOR-1, TPA dan odorin menunjukkan efek penghambatan karena pada minggu ke-10 papiloma yang terbentuk kurang lebih sebanyak 30% , pada minggu ke-11 papiloma yang terbentuk kurang dari 40%, pada minggu ke-15 kurang dari 70% dan pada minggu ke-20 papiloma yang terbentuk 85%. Sedangkan untuk penambahan odorinol pada NOR1 dan TPA efek penghambatan jumlah papiloma yang terbentuk lebih baik lagi karena dalam minggu ke-10 hanya membentuk papiloma kurang dari 30%, pada minggu ke 15 menunjukkan 60% dan pada minggu ke-20 menunjukkan 80% pembentukan papiloma. Untuk grafik 4.7 B tidak jauh berbeda dari grafik 4.7 A, di sini dapat dilihat untuk kontrol positif, terbentuk papiloma rata-rata sebanyak 6,1 dan 8,1 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Senyawa odorin menunjukkan aktivitas penghambatan dengan terbentuknya papiloma yang lebih sedikit yaitu sebanyak 2,9 dan 3,9 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Dalam kelompok yang diperlakukan dengan odorinol, terbentuk kurang dari 2,6 dan 3,3 (60% pengurangan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol) di setiap tikus setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Pada percobaan ini, secara statistik tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara masingmasing kelompok dan peningkatan berat badan dari
72 Desi Harneti P.H.
( grup 1), NOR-1 (390 nmol)+TPA (1,7 nmol); (grup 2), NOR-1 (390 nmol)+0,0025% Odorin (2 minggu)+TPA(1,7 nmol); (grup 3), NOR-1 (390 nmol)+0,0025% Odorinol (2 minggu)+TPA (1,7 nmol). Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol (p<0,01) dalam hubungannya dengan papiloma per tikus (n=15)
Gambar 4.7 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan menggunakan NOR-1 dan TPA (Inada et al, 2001).
Aktivitas Antikanker Senyawa …
73
tikus-tikus tidak berpengaruh dengan perlakuan kedua senyawa. Gambar 4.8 A dan B menunjukkan efek pengham batan dari odorin dan odoridol dalam tahap dua karsinogenesis kulit menggunakan peroksinitrit sebagai tahap awal dengan cara pemberian makan lewat mulut. Kedua senyawa tersebut memperlambat pembentukan papiloma dan menunjukkan efek penghambatan (Inada et al, 2001). Pada kelompok kontrol positif yaitu yang mendapat perlakuan dengan peroksinitrit dan TPA, 100% pembentukan papiloma terjadi pada minggu ke-10. Tikus yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorin menunjukkan persen pembentukan papiloma lebih sdikit dibandingkan dengan kontrol positif. Pada minggu ke-10, 15 dan 20 papiloma yang terbentuk sebesar 32%, 55% dan 93,3%. Sedangkan untuk tikus yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorinol memerlukan waktu 10 minggu untuk menunjukkan kurang dari 30% pembentukan, 15 minggu untuk menunjukkan 60% dan 20 minggu untuk menunjukkan 86,7% pembentukan papiloma dan odorinol mengurangi jumlah rata-rata papiloma per tikus (pengurangan sekitar 46% pada 20 minggu dibandingkan dengan kelompok kontrol positif). Sedangkan untuk grafik 4.8 B kontrol positif menunjukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus sebanyak 3,2 dan 7,5 papiloma setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Untuk tikus dengan penambahan odorin pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus untuk waktu promosi 15 dan 20 minggu adalah sebanyak 1,9 dan 3,5 papiloma. Untuk penambahan odorinol menunjukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus adalah 0,8 dan 2,5 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Dengan ini dapat diketahui bahwa odorin me-
74 Desi Harneti P.H.
( grup 1), Peroksinitrit (390 nmol)+TPA (1,7 nmol); (grup 2), Peroksinitrit (390 nmol)+0,0025% Odorin (2 minggu)+TPA(1,7 nmol); (grup 3), Peroksinitrit (390 nmol)+0,0025% Odorinol (2 minggu)+TPA (1,7 nmol). Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol (p<0,01) dalam hubungannya dengan papiloma per tikus (n=15).
Gambar 4.8 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan menggunakan Peroksinitrit dan TPA (Inada et al, 2001).
Aktivitas Antikanker Senyawa …
75
ngurangi pembentukan papiloma sebanyak 3,5 papiloma dan odorinol sebanyak 4,5 papiloma untuk setiap tikus. Dari hasil tes tahap dua karsinogenesis ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa odorin dan odoridol bersama dengan aktivitas antileukimia langsung dari odorinol menunjukkan bahwa senyawa ini mungkin akan menjadi senyawa antikarsinogen berharga dalam karsinogen kimiawi. Penyelidikan secara mendalam tentang mekanisme penghambatan senyawa ini dalam senyawa karsinogen sedang diteliti.
76 Desi Harneti P.H.
BAB V
SENYAWA SITOTOKSIK DARI KULIT BATANG Aglaia crassinervia
Aglaia crassinervia AGLAIA crassinervia adalah salah satu spesies tumbuhan dalam keluarga Meliaceae. Tumbuhan ini ditemukan di Brunei Darussalam, India (Kepulauan Nikobar), Indonesia (Kalimantan, Sumatera), Malaysia (Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak), Myanmar, Filipina dan Thailand. Nama lain tumbuhan ini adalah Aglaia cinerea King, Aglaia pyricarpa Baker.f., Chisocheton sumatranus Baker.f. Nama lokal tumbuhan ini di Kalimantan yaitu Lansat-lansat, Lantupak, Segara, Sigirah. Su, dan kawan-kawan (2006), meneliti kandungan senyawa racun sel (sitotoksik) dari Aglaia odorata. Latar belakang, metode dan hasil penelitian Su dan kawan-kawan, dilaporkan pada bagian ini. Tumbuhan ini berupa pohon kanopi pertengahan tingginya 31 m dan diameternya 49 cm. Stipules absen. Daun-daun beragam, campuran, lapisan lebar, berbulu di bawah. Bunga-bunganya kira-kira berdiameter 1 mm, berwarna kuning, terletak di dalam panikel besar. Buah(77)
78 Desi Harneti P.H. buahnya berdiameter kira-kira 24 mm, berwarna krem kecokelatan, kapsul gemuk. Benihnya berwarna transparan merah kecokelatan. Ekologi tumbuhan ini terletak di dalam hutan campuran dipterocarp tak terganggu pada ketinggian 800 m. Di atas lereng bukit dan punggung bukit, tetapi juga umumnya sepanjang sungai dan alirannya. Di atas tanah liat sampai lahan berpasir. Di dalam hutan sekunder yang pada umumnya menyajikan sisa pra-disturbansi. Pengrusakan habitat adalah suatu ancaman bagi spesies ini. Taksonomi Aglaia crassinervia Kerajaan : Plantae Divisi : Tracheophyta Sub Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Sapindales Keluarga : Meliaceae Genus : Aglaia Spesies : Aglaia crassinervia
Gambar 5.1 Aglaia crassinervia (Panell, 1992)
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
79
Eksperimen Bahan Tumbuhan Kulit batang (850 g) Aglaia crassinervia dikumpulkan di Pulau Lombok, Indonesia, pada Oktober 2001, dan diidentifikasi oleh Soedarsono Riswan. Suatu spesimen voucher (nomor koleksi SR-040) telah disimpan di Herbarium Bogoriense, Indonesia Institute of Science, Bogor, Indonesia. Ekstraksi dan isolasi Kulit batang yang telah dikeringkan dan digiling (850 g) diekstraksi menggunakan MeOH (3x3 L) pada suhu kamar, masing-masing 2 hari. Setelah penyaringan dan penguapan pelarut di bawah tekanan yang dikurangi, gabungan ekstak metanol kasar disuspensikan dalam H20 (700 mL), kemudian dipartisi, secara bergiliran, dengan petroleum eter (3x500 mL), CHCl3 (3x500 mL), dan EtOAc (3x500 mL), untuk menghasilkan ekstrak kering petroleum eter (5,2 g), CHCl3 (20,0 g), EtOAc (1,5 g), dan larut-H20 (kira-kira 14,6 g). Ekstrak larut-CHCl3 ditemukan aktif dalam sel Lu1 dengan nilai ED 50 0,29 µg/mL. Ekstrak ini kemudian dikromatografi kolom dengan Si gel (7x40 cm, 460 g 230-400 mesh), dan di elusi dengan CHCl3-MeOH bergradien (50:1 sampai 2:1), menghasilkan tujuh fraksi (F01-F07). Fraksi-fraksi ini di evaluasi kembali dalam sel Lu1 dan nilai ED 50 (µg/mL) berturut-turut 1,6, 0,19, 1,4, 1,7, 16,4, >20 dan >20. Fraksi F01 dan F02 digabungkan dan dikromatografi pada kolom Si gel (5,5x40 cm) dan dielusi dengan petroleum eter-aseton (12:1 sampai 1:1), untuk menghasilkan 7 subfraksi (F0101-F0107). Fraksi F0102 dimurnikan dengan kolom kromatografi Si gel (4,0x40 cm) menggunakan CHCl3-aseton (60:1 sampai 10:1)
80 Desi Harneti P.H. sebagai pelarut, untuk menghasilkan campuran βsitosterol dan stigmasterol (250 mg), dan campuran cabraleadiol dan epiokotillol (125 mg), berdasarkan kepolarannya. Integrasi 1H NMR menduga bahwa rasio β-sitosterol dan stigmasterol sekitar 3:2, sedangkan rasio cabraleadiol dan epiokotillol sekitar 1:1. Dua campuran bahan alam ini tidak dapat dipisahkan oleh HPLC dan tidak diteliti lebih lanjut. Senyawa 5 (520 mg) didapatkan sebagai bubuk amorf putih dari larutan CHCl3-aseton (kira-kira 12:1) dari F0103. Subfraksi F0104 di kromatografi pada kolom Si gel (3,8x45 cm) dan dielusi dengan CHCl3-aseton (30:1 sampai 10:1), menghasilkan tambahan jumlah senyawa 5 (6 mg) dan campuran senyawa 4 & 5 (58 mg). Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLT preparatif (Si gel Merck 60Å, 20x20 cm, 500 µm), dikembangkan dengan CHCl3MeOH (40:1), untuk menghasilkan senyawa 5 (Rf = 0,62 ; 9,0 mg) dan epi-isomernya, senyawa 4 (Rf = 0,60 ; 15,2 mg). Subfraksi F0105 dimurnikan pada kolom Sephadex LH-20 (3,5x45 cm) dan di elusi dengan MeOH untuk memberikan 4 subfraksi selanjutnya (F010501-F010504). Aglaiaglabretol B (2) 85 mg, didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc (kirakira 1:1) dari F010502. Fraksi F010503 dimurnikan pada suatu kolom Si gel (4,0x30 cm) dan dielusi dengan CHCl3-MeOH (100:1), untuk menghasilkan aglaiaglabretol A (1), 78 mg. Fraksi F010504 di kromatografi pada kolom Si Gel (4,0x30 cm) dan di elusi dengan CHCl3MeOH (80:1 sampai 60:1), menghasilkan suatu campuran (18 mg) dan 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn17(20)-(E)-en-16-on (20 mg), berdasarkan kepolarannya. Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLTP (Si gel Merck 60Å, 20x20 cm, 1000 µm), dikembangkan
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
81
dengan CHCl3-aseton (5:2), untuk menghasilkan senyawa 6 (Rf = 0,56 ; 10,0 mg). Dua fraksi aktif lainnya dari kromatografi kolom awal, F03 dan F04, digabungkan dan di fraksionasi pada suatu kolom Si gel (4,0x40 cm) menggunakan petroleum eter-aseton (8:1 sampai 1:1) sebagai eluat, dan menghasilkan 6 subfraksi (F0301-F0306). Fraksi F0302 dimurnikan pada suatu kolom Si gel (4,0x30 cm) dan di elusi dengan CHCl3-MeOH (100:1), untuk memberikan jumlah tambahan Aglaiaglabretol A (1) 13,5 mg dan skopoletin (15 mg). Fraksi F0304 dimurnikan pada kolom Sephadex LH-20 (3,5x45 cm) dan di elusi dengan CHCl3-MeOH (1:1), untuk memberikan 5 subfraksi selanjutnya (F030401-F030405). Aglaiaglabretol C (3) 38 mg didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc (kira-kira 1:2) dari F030402. Kandungan kimia tumbuhan Aglaia crassinervia Bagian larut-kloroform dari ekstrak metanol kulit batang Aglaia crassinervia Kurz. ex Hiern ditemukan menunjukkan aktivitas sitotoksik melawan beberapa sel kanker manusia. Belum ada studi fitokimia atau biologis yang telah dilaporkan dari tumbuhan ini sebelumnya. Fraksionasi yang dipandu bioassay dari ekstrak ini menggunakan sel Lu1 (kanker paru manusia) untuk memantau hasil fraksionasi dalam isolasi tiga glabretal baru tipe triterpenoid, aglaiaglabretol A–C (1–3), seperti halnya sembilan senyawa yang telah diketahui. Di antara isolat-isolat ini, siklopenta[b]benzofuran yang telah diketahui, rokaglaol (6), ditemukan sangat tinggi sitotoksiknya dan dapat dibandingkan dalam potensinya pada kontrol positif, paklitaksel dan kampotekin.
82 Desi Harneti P.H. Aglaiaglabretol A (1) Aglaiaglabretol A (1) diperoleh sebagai kristal jarum yang tidak berwarna, titik lelehnya 185-187 0C. Rumus molekul C30H48O5 diberikan pada Aglaiaglabretol A (1) berdasarkan pada HRESIMS (m/z nya 511,3383).
Gambar 5.2.
Struktur Aglaiaglabretol A (1) (Su et al, 2006).
Spektrum 1H NMR dari senyawa 1 (dalam CDCl3, Tabel 1) menunjukkkan karakteristik sinyal untuk enam singlet dari gugus metil tersier (CH3-19, 26, 27, 28, 29, dan 30), lima metin teroksigenasi dan proton metilen (H7, H2-21, H-23, dan H-24), dan sejumlah proton overlap untuk alifatik metin dan metilen. Dan lagi, dua proton dari suatu metilen alifatik (ditetapkan dengan korelasi 1 H-1H COSY dan HMQC) diamati dalam suatu daerah relatif high-field pada δH 0,69 (1H, br d, J = 4,3 Hz, H=18a) dan 0,48 (1H, d, J = 4,6 Hz, H=18b). Konsisten dengan penentuan rumus molekul, 30 sinyal karbon
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
83
dimunculkan dalam spektrum 13C NMR (dalam CDCl3, Tabel 1) dari senyawa 1. Data spektroskopik NMR DEPT135 menunjukkan bahwa 30 karbon dalam molekul senyawa 1 terdiri dari 6 gugus metil, 10 metilen, 7 metin, dan 7 karbon kuarterner, yang konsisten dengan analisis data spektroskopik 1H NMR. Semua keterangan yang dijelaskan di atas, digabung dengan pertimbangan kemotaksonomi genus Aglaia, di duga bahwa senyawa 1 adalah suatu triterpen. Berdasarkan pada pengamatan pergeseran kimia 13C NMR, jelas terlihat satu keton jenuh (δC 218,1, C-3), satu karbon metilen teroksigenasi (δC 70,7, C-21), tiga karbon metin teroksigenasi (δC 64,8, C-23; 74,0, C-7; 86,6, C24), dan satu karbon kuarterner teroksigenasi (δC 74,1, C25) terdapat dalam molekul senyawa 1. Dalam spektrum HMBC senyawa ini, korelasi di amati dari kedua sinyal proton CH3-28 dan CH3-29 ke C-3, C4, dan C-5, dari CH3-19 ke C-1, C-5, C-9, dan C-10, dari CH3-30 ke C-7, C-8, C-9, dan C-14, dan dari H-7 ke C-5, C-9, dan CH330. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa 4 dari 6 gugus metil berada dalam cincin A dan B dari molekul senyawa 1. Sebagian struktur ini mirip dengan kebanyakan triterpenoid pada umumnya (Connolly & Hill, 2005). Pada interpretasi selanjutnya dari spektrum HMBC senyawa 1, korelasi dari khususnya proton metilen high-field pada δH 0,69 (H-18a) dan 0,48 (H-18b) ke C-8, C-12, C-13, C-14, C-15, dan C-17 di amati. Korelasi ini, dalam gabungannya dengan pergeseran kimia H-18a, H-18b, dan C-18, dan konstanta kopling antara H-18a dan H-18b (Ferguson et al., 1973; Kashiwada et al., 1992), menduga keberadaan suatu gugus metilen siklopropil dalam molekul senyawa 1 yang
84 Desi Harneti P.H. Tabel 5.1. Data Spektroskopik NMR dari Senyawa 1a (Su et al, 2006). Position
13 14 15
Dalam CDCl3 (300/75 MHz) δH δC 1,80-1,92,m; 1,48, m 39,4 t 2,47, m 33,9 t 218,1 s 46,7 s 2,11, m 45,3 d 1,67, br dd (7,0, 2,1) 25,4 t 3,83, br s 74,0 d 37,3 sb 1,26-1,35, m 43,0 d 36,6 s 1,26-1,35, m 17,2 t 1,80-1,92, m 28,14 tc 28,5 s 38,5 sb 1,80-1,92, m; 1,53, m 26,1 t
16
2,05, m; 0,90, m
17 18
2,22, br q (7,8) 0,69, br d (4,3); 0,48, d (4,6) 0,95, s 1,55, m 4,09, br d (10,6) 3,42, br d (10,6) 2,00, m; 1,52, m 3,83, m 2,90, d (9,1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 OH-7 OH-23 OH-25 a
1,31, s 1,29, s 1,03, s 1,09, s 1,09, s 2,57, br s 3,66, br s 3,05, br s
28,08 tc 45,8 d 14,3 t 16,0 q 40,4 d 70,7 t 36,4 t 64,8 d 86,6 d 74,1 s 28,5 q 24,0 q 20,9 q 26,7 q 19,9 q
Dalam piridin-d5 (360/90 MHz) δH δC 1,69-1,73, m; 1,37, m 39,8 t 2,50, m 34,2 t 216,7 s 47,0 s 2,40-2,46, m 45,7 d 1,69-1,73, m 27,0 t 3,96, br s 73,6 d 37,8 sb 1,50-1,55, m 43,4 d 36,9 s 1,30, m; 1,14, m 17,7 t 2,17, m; 1,69-1,73, m 28,8 tc
1,80-1,91, m; 1,691,73, m 1,80-1,91, m; 0,86, m 2,40-2,46, m 0,98, d (5,2); 0,59, d (5,3) 0,90, s 1,50-1,55, m 4,29, br d (11,6) 3,56, dd (11,5, 2,4) 2,26, m;1,80-1,91, m 4,34, m 3,37, d (9,2) 1,66, s 1,65, s 1,08, s 1,18, s 1,02, s 4,67, br s 6,34, br s 6,53, br s
28,4 s 39,0 sb 26,4 t 28,7 tc 46,5 d 15,4 t 16,0 q 41,1 d 71,2 t 37,5 t 65,2 d 87,8 s 73,5, s 24,9 q 29,2 q 21,2 q 26,8 q 20,3 q
TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
85
kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1H-1H COSY, HMQC, dan HMBC. b,c Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
berlokasi antara C-13 dan C-14. Oleh karena itu, senyawa 1 ditetapkan sebagai suatu triterpen tipe glabretal (Ferguson et al., 1973). Pada umumnya, triterpenoid yang memiliki suatu gugus metilen siklopropil yang di isolasi dari spesies Aglaia adalah tipe sikloartan (Inada et al., 1997; Weber et al., 2000), di mana gugus metilen siklopropilnya antara C-9 dan C-10. Keberadaan suatu cincin tetrahidropiran pada rantai samping ditentukan berdasarkan interpretasi yang di amati dari korelasi spektra 1H-1H COSY, HMQC, dan HMBC senyawa 1. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, beberapa sinyal tumpang tindih di senyawa 1 dalam CDCl3 dipisahkan menggunakan piridin-d5. Contohnya, sinyal CH3-29 dan CH3-30 senyawa 1 tumpang tindih pada δH 1,09 dalam spektrum 1H NMR yang dicatat di CDCl3 saat dua resonansi ini jelas dipisahkan pada δH 1,18 dan 1,02 dalam piridin-d5. Pada interpretasi spektra NOESY senyawa 1 yang diperoleh baik dalam CDCl 3 dan piridind5, korelasi diamati dari H-5 ke H-9 dan CH3-29, dari H7 ke CH3-30, dan dari H-9 ke H-18a. Hal ini diduga bahwa H-5, H-9, dan gugus metilen siklopropil berada di sisi yang sama dari molekul senyawa 1. Konfigurasi relatif H-20, H-23, dan H-24 dari cincin tetrahidropiran dalam rantai samping ditentukan sebagai α, β, dan α, berturut-turut, berdasarkan pengamatan korelasi NOESY baik dari H-20 dan H-24 ke H-21α, dan dari H-23 ke CH3-26 dan CH3-27. Bagaimanapun, stereokimia relatif cincin tetra hidropiran dari rantai samping dan kerangka cincin senya -
86 Desi Harneti P.H.
Gambar 5.3. Penggambaran ORTEP dari Aglaiaglabretol A (1) (Su et al, 2006).
wa 1 sulit untuk dilihat, sejak ikatan C-17/C-20 memiliki rotasi bebas. Maka, analisis difraksi sinar-X kristal tunggal (Gambar 5.3) dilakukan untuk menegaskan struktur dan untuk menetapkan stereokimia relatif keseluruhan molekul senyawa 1. Parameter Flack dari 0,03 (19) ditentukan untuk struktur sinar-X ini dan membolehkan penetapan stereokimia absolut dari Aglaiaglabretol A (1) (Gambar 5.3). Penetapan ini konsisten dengan penentuan 23R dengan analisis data spektoskopik 1H NMR dari 1R dan 1S (Tabel 2) yang didapatkan menggunakan metode ester Mosher yang sesuai (Su et al., 2002).
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
Tabel 5.2.
Posisi 7 18 20 21 22 23 24 a
b
87
Data spektoskopik 1H NMR pilihan dari turunan ester (R)- dan (S)- MTPA (1r dan 1s) dari senyawa 1a (Su et al, 2006).
δR 3,945, br s 0,932b 0,539, d (5,3) 1,836, m 4,112, dd (11,0, 6,2) 3,788, dd (11,1, 5,0) 2,213, m 1,844, m 5,965, m 3,628, d (5,4)
δS 3,946, br s 0,975, d (5,4) 0,602, d (5,4) 1,875, m 4,155, dd (11,1, 5,3) 3,786, dd (11,0, 4,3) 2,292, m 1,880, m 5,906, m 3,537, d (6,2)
δS- δR +0,001 +0,043 +0,063 +0,036 +0,033 -0,002 +0,079 +0,036 -0,059 -0,091
Spektra diperoleh dalam piridin-d5 pada 360 MHz dari reaksi tabung NMR secara langsung; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada pengamatan korelasi 1H-1H COSY. Tumpang tindih dengan sinyal CH3-30.
Aglaiaglabretol B (2) Aglaiaglabretol B (2) didapatkan sebagai bubuk amorf putih, titik leleh 132-135 0C, menunjukkan puncak ion molekul tersodiasi pada m/z 593,3802 dalam HRESIMS, menunjukkan rumus molekul C35H54O6.
Gambar 5.4 Struktur Aglaiaglabretol B (2) (Su et al, 2006).
88 Desi Harneti P.H. Kedua data 1H dan 13C NMR (Tabel 5.3) senyawa 2 sangat mirip dengan senyawa 1, dan diduga bahwa senyawa 2 adalah triterpen glabretal juga (Ferguson et al., 1973). Ketika dibandingkan dengan senyawa 1, spektra 1H dan 13C NMR senyawa 2 menunjukkan tipikal sinyal untuk suatu substituen tigloiloksi pada δH 6,83 (1H, dq, J=7,1, 1,3 Hz, H-3’), 1,83 (3H, br s, H-5’), dan 1,78 (3H, d, J=7,1 Hz, H-4’), dan δC 167,79 (s, C-1’), 136,48 (d, C-3’), 129,27 (s, C-2’), 14,31 (q, C-4’), dan 12,09 (q, C-5’) (Ferguson et al., 1973; El Sayed et al., 1995). Dalam spektrum HMBC senyawa 2, kedua sinyal proton CH3-28 dan CH3-29 dikorelasikan dengan sinyal karbon pada δC 80,71 (d, C-3), menunjukkan keberadaan suatu metin teroksigenasi pada C-3 dalam molekul senyawa 2 sebagai pengganti gugus keton pada posisi yang sama di senyawa 1. Pada interpretasi selanjutnya dari spektrum HMBC senyawa 2, suatu korelasi dari H-3 ke karbon karbonil dari gugus tigloiloksi pada δC 167,79 (s, C-1’) di amati. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa gugus tigloiloksi berada pada C-3 dalam senyawa 2. Spektrum 13C NMR senyawa ini menunjukkan karakteristik sinyal untuk suatu gugus hemiasetal pada δC 98,25 (d, C-21) dan suatu gugus epoksi trisubstitusi pada δC 67,66 (d, C-24) dan 58,05 (s, C-25). Berdasarkan pada interpretasi dari korelasi yang diamati dalam spektra 1H-1H COSY, HMQC, dan HMBC, rantai samping senyawa 2 ditetapkan memiliki cincin tetrahidrofuran yang mengandung suatu gugus hemiasetal pada C-21. Dengan cara yang sama seperti untuk analog yang dilaporkan sebelumnya (Ferguson et al., 1973; Arruda et al., 1994; Mulholland et al., 1996), aglaiaglabretol B (2) diisolasi sebagai suatu campuran
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
89
epimer. Rasio epimer mayor dan minor sekitar 5:2. Data NMR untuk kedua epimer ditunjukkan dalam Tabel 3. Tabel 5.3. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 2 a (Su et al, 2006). Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 OH-7
Isomer mayor δH δC 1,53-1,75, m; 1,0338,27 t 1,09, m 1,69-1,75, m; 1,5323,51 t 1,67, m 4,56, dd (11,4, 4,5) 80,71 d 37,58 sb 1,53-1,67, m 46,09 d 1,69-1,75, m; 1,5324,20 t 1,67, m 3,76, br s 74,39 d 38,86 s 1,21-1,36, m 44,17 d 37,18 sb 1,21-1,36, m 16,37 t 1,53-2,15, m 27,51 tc 28,99 s 36,88 s 1,53-2,15, m 25,29 tc 1,53-1,75, m; 0,8426,34 tc 0,91, m 2,21, br q (7,6) 44,83 d 0,67, br d (4,0); 0,48, 13,77 t d (4,2) 0,91, s 15,97 q 1,85-1,91, m 49,35 d 5,43, m 98,25 d
Isomer minor δH 1,53-1,75, m; 1,03-1,09, m 1,69-1,75, m; 1,53-1,67, m 4,56, dd (11,4, 4,5)
1,90-2,01, m; 1,661,74, m 3,88, ddd (7,4, 7,4, 7,2) 2,84, d (7,5)
2,03-2,11, m;1,38-1,42, m 3,95, m
1,30, s 1,31, s 0,90, s 0,88, s 1,04, s 2,52, br s
30,83 t 78,43 d 67,66 d 58,05 s 25,03 q 19,21 q 16,88 q 27,82 q 19,53 q
1,53-1,67, m 1,69-1,75, m; 1,53-1,67, m 3,76, br s 1,21-1,36, m 1,21-1,36, m 1,53-2,15, m
1,53-2,15, m 1,41, m; 0,94, m 2,05, m 0,75, br d (4,2); 0,50, d (4,4) 0,90, s 2,08-2,18, m 5,43, m
2,70, d (7,6) 1,35, s 1,31, s 0,90, s 0,88, s 1,03, s 2,46, br s
δC 38,17 t 23,51 t 80,66 d 37,58 sb 46,16 d 24,20 t 74,25 d 38,91 s 43,99 d 37,25 sb 16,22 t 25,94 tc 28,58 s 36,01 s 25,29 tc 25,98 tc 48,22 d 13,59 t 15,85 q 50,66 d 102,16 d 32,82 t 77,34 d 65,35 d 57,25, s 24,94 q 19,42 q 16,88 q 27,82 q 19,47 q
90 Desi Harneti P.H. OH21 1’
3,06, br s
3,02, br s 167,79 s
2’
129,27 s
3’
6,83, dq (7,1, 1,3)
4’ 5’
1,78, d (7,1) 1,83, br s
136,48 d 14,31 q 12,09 q
6,83, dq (7,1, 1,7) 1,78, d (7,1) 1,83, s
a
Spektra 1H dan 13C diperoleh dalam CDCl3 pada 500 dan 125 MHz, berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1H-1H COSY, HMQC, dan HMBC. b,c Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
Jika perbedaan antara epimer mayor dan minor yang dihasilkan dari konfigurasi gugus hidroksil hemiasetal, konstanta kopling dari H-20α/H-21α dan H20α/H-21β harus secara umum berubah, saat pola pemisahan H-23 dari dua epimer mirip. Bagaimanapun, sinyal H-21 dari dua epimer tumpang tindih pada δH 5,43 dalam spektrum 1H NMR senyawa 2, sejak dua proton hemiasetal ini hampir seluruh pergeseran kimianya sama dalam CDCl3. Oleh karena itu, beberapa perbedaan dalam konstanta kopling H-20α/H-21α dan H-20α/H-21β dari dua epimer ini tidak jelas. Dengan kata lain, baik pergeseran kimia dan pola pemisahan dari H-23 dalam epimer ini secara jelas berbeda (Tabel 5.3). Berdasarkan pengamatan spektroskopik ini, ada juga kemungkinan gagasan bahwa konfigurasi relatif dari C-23 dapat dibedakan dalam epimer ini, walaupun kemungkinan besar pada karbon hemiasetal dari titik kestabilan kimia. Oleh karena itu, aglaiaglabretol B (2) di asetilasi menggunakan asetat anhidrid dan piridin.
167,79 s 129,27 s 136,48 d 14,31 q 12,09 q
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
91
Gambar 5.5. 7,21-diasetat (2b dan 2d), 21-monoasetat (2a dan 2c), dan 7,21-dehidroaglaiagla-bretol B (2e) (Su et al, 2006). Empat produk asetilasi, dua 7,21-diasetat (2b dan 2d) dan dua 21-monoasetat (2a dan 2c), dihasilkan. Konstanta kopling antara H-20 dan H-21 dalam semua produk asetilasi (2a-2d) sangat dekat, antara 2,7-3,2 Hz. Hasil ini masih belum menunjukkan apakah bagian epimerik dalam Aglaiaglabretol B (2) pada C-21 atau C-
92 Desi Harneti P.H. 23. Sebab itu, Aglaiaglabretol B (2) di oksidasi menggunakan CrO3, membawa hanya pada satu produk oksidasi, 7,21-dehidroaglaiaglabretol B (2e), yang menetapkan bahwa epimer dalam Aglaiaglabretol B (2) ada pada C-21. Berdasarkan hasil transformasi kimia yang dijelaskan di atas, seperti halnya pola pemisahan dan konstanta kopling H-21 dan H-23 dari senyawa 2 (Tabel 3) dan 2a-2d, dapat disimpulkan bahwa cincin tetrahidrofuran memiliki perbedaan konformasi ketika OH-21 atau AcO-21 adalah orientaasi α- atau β- (Gambar 3.6)
Gambar 5.6. Kemungkinan konformasi dari cincin tetrahidrofuran dalam aglaiaglabretol B (2) ketika H-20 dan H-21 adalah trans (A) dan cis (B), berturut-turut (Su et al, 2006). Dengan cara yang sama seperti untuk aglaiaglabretol A (1), H-17 dan H-20 dari semua triterpen glabretal yang dilaporkan sebelumnya (Ferguson et al., 1973; Kashiwada et al., 1992; Miller et al., 1995; Harding et al., 2001) telah ditetapkan sebagai β dan α, berturut-turut. Informasi ini, digabung dengan pengamatan korelasi NOESY dari H-20 ke H-23, ditentukan bahwa baik H-20 dan H-23 dari senyawa 2 adalah orientasi α. Atas dasar biogenesis, stereokimia relatif dari C-24 senyawa 2 ditetapkan sebagai R, yang
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
93
sama seperti pada senyawa 1. Pergeseran kimia karbon hemiasetal (C-21) dari triterpen glabretal ada dalam daerah lebih up-field ketika gugus OH-21 atau AcO-21 memiliki orientasi β (Harding et al., 2001). Proton H-21 dari 2a dan 2b, dan dari 2c dan 2d, ditentukan sebagai α dan β, berturut-turut, berdasarkan perbandingan pergeseran kimia C-21 dari produk asetilasi ini. (Harding et al., 2001). Aglaiaglabretol C (3)
Gambar 5.7. Struktur Aglaiaglabretol C (3) (Su et al, 2006). Kedua data 1H dan 13C NMR dari aglaiaglabretol C (3) (tabel 4) sangat mirip dengan senyawa 2. Korelasi yang diamati dalam spektra 2D NMR 1H-1H COSY, HMQC, HMBC, dan NOESY juga menduga keberadaan suatu gugus β-tigloiloksi pada C-3 dan suatu gugus αhidroksi pada C-7 dalam molekul senyawa 3, sama seperti pada senyawa 2. Pergeseran kimia dari C-24 (δC 67,66) dan C-25 (δC 58,05) dari senyawa 2 diamati dalam daerah downfield (δC 74,80 dan 73,74) dalam spektrum 13 C NMR senyawa 3. Hal ini menunjukkan bahwa suatu gugus fungsional 24,25-dihidroksi dalam 3 telah menggantikan gugus 24,25-epoksi dalam senyawa 2. HRESIMS (m/z 611,3903) digunakan untuk menunjukkan rumus molekul senyawa 3 sebagai
94 Desi Harneti P.H. C35H56O7, satu unit H2O lebih banyak daripada senyawa 2. Aglaiaglabretol C (3) juga diisolasi sebagai suatu campuran epimer, dan rasio isomer mayor dan minor sekitar 5:1. Hanya data 1H dan 13C NMR dari epimer mayor yang ditunjukkan dalam Tabel 5.4. karena korelasi 2D NMR yang diamati untuk isomer tidak cukup jelas untuk melengkapi penentuan yang akan di buat. Dalam cara yang sama seperti penentuan senyawa 2 yang dijelaskan di atas, stereokimia relatif dari C-20, C-23, sdan C-24 dari senyawa 3 ditetapkan sebagai S, R, dan S, berturut-turut. Tabel 5.4. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 3a (Su et al, 2006). Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Senyawa 3 (360/90 MHz) δH δC 1,51-1,74, m; 1,02-1,06, m 38,25 t 1,51-1,74, m 23,45 t 4,49-4,58, m 80,72 d 37,53 sb 1,51-1,74, m 46,03 d 1,51-1,74, m 24,12 t 3,77, br s 74,35 d 38,84 sb 1,21-1,32, m 44,07 d 36,92 sb 1,21-1,32, m 16,30 t 1,86-2,00, m; 1,51-1,74, m 26,25 tb 28,84 s 37,11 sb 1,51-1,74, m; 1,21-1,32, m 25,67 tb 1,21-1,32, m; 0,84-0,91, m 27,46 t 2,19, m 44,91 d 0,67, br d (3,9); 0,47, d (4,5) 13,73 t 0,90, s 15,97 q 1,86-2,00, m 48,61 d
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 OH-7 OH-21 1’ 2’ 3’ 4’ 5’
5,36, br s 1,86-2,00, m; 1,81, m 4,49-4,58, m 3,14, d (7,6) 1,26, s 1,30, s 0,90, s 0,88, s 1,03, s 2,55, br sb 5,08, br sb
6,83, dq (7,1, 1,2) 1,79, d (7,1) 1,83, s
95
97,29 d 29,44 t 78,75 d 74,80 d 73,74 s 26,72 q 26,78 q 16,86 q 27,80 q 19,51 q
167,88 s 129,16 s 136,66 d 14,36 q 12,09 q
a
Spektra 1H dan 13C diperoleh dalam CDCl3 pada 360 dan 90 MHz, berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1H-1H COSY, HMQC, dan HMBC. b Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
Senyawa yang telah di ketahui yang di isolasi dari kulit batang Aglaia crassinervia
Gambar 5.8.
Struktur 3-epicabraleahidroksilakton (4) dan cabraleahidroksilakton (5) (Su et al, 2006).
96 Desi Harneti P.H. Senyawa 4 dan 5 menunjukkan spektra 1H dan 13 C NMR yang mirip, dan memiliki rumus molekul yang sama, C27H44O3, yang dibentuk untuk kedua senyawa tersebut berdasarkan data HREIMS-nya. Perbedaan pergeseran kimia NMR di antara dua senyawa ini jelas terlihat pada proton dan karbon dari cincin A, terutama pola pemisahan pada H-3. Interpretasi pengamatan korelasi NMR 2D menunjukkan bahwa senyawa 4 dan 5 mempunyai struktur kasar yang sama sebagai tipe dammaran nortriterpenoid tertentu. Sinyal H-3 diamati sebagai dobel doblet pada δH 3,20 (J=10,9, 5,2 Hz) dan suatu singlet lebar pada δH 3,39 dalam spektra 1H NMR dari senyawa 4 dan 5, berturut-turut. Hal ini diduga bahwa senyawa 4 dan 5 adalah epimer pada C-3, yang telah ditegaskan oleh korelasi spektroskopik NOESYnya. Senyawa 4, 3-epi-cabraleahidroksilakton, dilaporkan baru-baru ini sebagai suatu bahan alam baru dari minyak benih Camellia japonica, rupanya setelah hidrolisis dari asetatnya yang dimurnikan dari fraksi terasetilasi (Akihisa et al., 2004). Senyawa 5, cabraleahidroksilak ton, di isolasi sebagai satu dari komponen utama dalam penelitian ini. Senyawa ini telah dilaporkan sebelumnya dari Cabralea polytricha (Cascon & Brown, 1972).
Gambar 5.9. Rokaglaol (6) (Su et al, 2006).
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
97
Senyawa lain yang telah diketahui yang didapatkan dalam penelitian ini adalah rokaglaol (6) (Ishibashi et al., 1993), cabraleadiol (Hisham et al., 1996), 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn-17(20)-(E)-en-16-on (Inada et al., 1997), epiokotillol (Mohamad et al., 1999), skopoletin (Lee et al., 2001), dan campuran β-sitosterol (Kojima et al., 1990) dan stigmasterol (Kojima et al., 1990), diidentifikasi dengan membandingkan data fisik dan spektroskopik ([α]D, 1H NMR, 13C NMR, DEPT, NMR 2D, dan MS) dengan harga yang telah dipublikasikan. Evaluasi Aktivitas Biologis Semua isolat dan hasil transformasi kimia yang didapatkan dalam penelitian ini dievaluasi aktivitas sitotoksiknya terhadap beberapa sel kanker manusia.
Tabel 5.5. Aktivitas sitotoksik dari senyawa 2, 2c, 2d, 3 dan 6a (Su et al, 2006). Sel kankerb Senyawa 2 2c
a
Lu1 2,6 6,2
LNCaP 0,5 3,8
MCF-7 1,7 2,5
HUVEC 3,4 8,7
2d
13,9
9,0
12,1
16,3
3
3,6
4,7
3,1
6,8
6 Paklitakselc
0,006 0,002
0,01 0,004
0,004 0,0006
3,3 0,09
Kampotekinc
0,01
0,01
0,01
0,09
Semua isolat lain dan produk transformasi kimia yang didapatkan dalam penelitian ini tidak aktif (ED50 > 5 µg/mL).
98 Desi Harneti P.H. b
c
Hasil ditunjukkan sebagai harga ED50 (µg/mL). Kunci untuk sel kanker yang digunakan : Lu1, kanker paru-paru manusia; LNCaP, kanker prostat manusia bergantung hormon; MCF-7, kanker payudara manusia; HUVEC, sel endothelial pembuluh darah pusat manusia. Digunakan sebagai kontrol positif.
Di antara 12 isolat ini, dua triterpen glabretal baru, aglaiaglabretol B (2) dan C (3), dan turunan rokaglate yang telah diketahui, rokaglaol (6), ditemukan aktif, sedangkan semua senyawa lainnya tidak aktif (ED50 > 5µg/mL). Seperti ditunjukkan dalam Tabel 5, rokaglaol (6) menunjukkan potensi sitotoksik. Harga ED50 dari rokaglaol (6), melawan sel kanker manusia yang digunakan (Lu1, LNCaP, dan MCF-7) dibandingkan terhadap kontrol positif, paklitaksel (Taxol®) dan kampotekin. Lebih lanjut, rokaglaol (6) ditemukan secara selektif (>330) aktif melawan ketiga sel kanker, saat dibandingkan dengan sel HUVEC non-tumor (tabel 5). Kuantitas terbatas dari senyawa 6 yang di isolasi tidak memungkinkan uji biologis tambahan untuk dilakukan sebagai bagian dari penelitian ini. Seperti dijelaskan di atas dalam penggambaran elusidasi struktur dan analisis konfirmasi dari aglaiaglabretol B (2), dengan maksud untuk menegaskan struktur dan menganalisis konfirmasi dari cincin tetrahidrofuran, senyawa ini diasetilasi dan dioksidasi. Menariknya, dua dari empat produk asetilasi yang didapatkan, 2c dan 2d, di mana OAc-nya orientasi α, ditemukan aktif atau secara garis besar aktif. Secara berlawanan, dua epimer lainnya, 2a dan 2b, tidak aktif. Produk oksidasi 2e juga tidak aktif melawan sel kanker yang digunakan. Aglaiaglabretol B (2) menunjukkan aktivitas penghambatan yang dapat dilihat hanya untuk sel kanker
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
99
payudara manusia (MCF-7) di antara tiga tipe sel yang digunakan (kanker paru-paru manusia Lu1; kanker prostat manusia bergantung hormon, LNCaP; dan MCF7) (gambar 3.10). Pada dosis 6,25, 12,5, dan 25 mg/kg berat badan, aglaiaglabretol B (2) menunjukkan penghambatan 37,4%, 41,2%, dan 66,2 %, berturut-turut, dalam pertumbuhan sel MCF-7 yang diimplantasikan dalam kompartemen intraperitoneal (ip). Bagaimanapun, pada dosis 50 mg/kg berat badan, dua tikus mati dalam kaitannya dengan toksisitas senyawa ini. Berlawanan dengan itu, tidak ada efek penghambatan signifikan yang diamati dalam kompartemen subcutaneous (sc) dari tikus menggunakan sel MCF-7 dengan senyawa 2. Juga pada dosis ini (6,25, 12,5, 25, dan 50 mg/kg berat badan), tidak ada efek penghambatan signifikan yang diamati baik pada kompartemen ip atau sc dari tikus untuk dua tipe sel lain yang digunakan, Lu1 dan LNCaP.
100 Desi Harneti P.H.
Gambar 5.10. Efek dari aglaiaglabretol B (2) pada pertumbuhan sel LNCaP, Lu1, dan MCF-7 yang diimplantasikan pada kompartemen i.p (kolom padat) dan s.c (kolom terbuka) dari NCr nu/nu tikus. Hewan ini mendapat perlakukan dengan PBS (kontrol) atau dosis yang diindikasikan dari aglaiaglabre tol B (2) sehari sekali dengan suntikan intraperitoneal dari hari ke-3 sampai 6
Senyawa Sitotoksik dari Kulit …
101
setelah implantasi. Pada hari ke-7, tikus dikorbankan, dan seratnya diambil kembali dan dianalisis. Hasil ditunjukkan sebagai persentasi rata-rata dari pertumbuhan sel relatif pada kontrol. Perubahan dalam berat badan tikus pada akhir eksperimen di catat pada bagian bawah gambar. *Bagian yang mendapat perlakuan secara signifikan berbeda dari bagian kontrol (p < 0,01); ***Bagian yang mendapat perlakuan secara signifikan berbeda dari bagian kontrol (p < 0,0001) menggunakan tes t Student’s , dengan n = 6 untuk bagian kontrol dan n = 3 untuk bagian yang mendapat perlakuan.
102 Desi Harneti P.H.
BAB VI AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA FLAVAGLIN DARI KULIT BATANG
AGLAIA EDULIS TERHADAP LARVA SPODOPTERA LITTORALIS
Aglaia edulis BACHER dan kawan-kawan (1999) , meneliti kandungan senyawa insektisal dari spesies Aglaia edulis. Pada bagian ini akan dilaporkan latar belakang, metode hasil penelitian dari Bacher dan kawan-kawan. A. edulis adalah salah satu spesies dari keluarga Meliaceae. Habitat alami dari Aglaia edulis tersebar dan jumlahnya hanya sedikit. Ditemukan di hutan hijau primer sepanjang pesisir pantai pada batu pasir atau tanah liat berpasir, tanaman ini juga dapat ditemukan di hutan sekunder India bagian barat, Bhutan, Cina bagian selatan, Hainan, Vietnam, Kamboja, jazirah Burma (Myanmar), jazirah Thailand, Pulau Nikobar, jazirah Malaysia, Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Halmahera dan Filipina. Aglaia edulis memiliki nama umum sebagai berikut : - Filipina : curran kaniue (Tagalog) - Indonesia : langsatan (Jawa) - Thailand : kholaen (prachuap khiri khan) (103)
104 Desi Harneti P.H. Pada umumnya pohon ini berukuran kecil hingga sedang, dengan tinggi mencapai 20 m, tinggi penopang sampai 1.5 m, permukaan batang berwarna cokelat kemerahan, cokelat kekuningan atau hijau keabuan, jika mengelupas akan terlihat warna cokelat jingga di dalam batangnya, batang bagian dalam berwarna merah muda atau cokelat. Lembaran daun berjumlah 5-9(-11), tumbuh berseling, dengan tulang daun sekunder berjumlah 5-16 pasang, pada umumnya memiliki banyak lubang pada kedua bagian permukaannya. Jumlah mahkota bunga 5, daun bunga 5-7, dan kepala putik 5. Biji dari Aglaia edulis aman untuk dimakan. Lapisan tertentu dari kayu dapat dijadikan obat untuk diare. Kayu dari tanaman ini biasa dimanfaatkan untuk pembuatan perahu, pembangunan jembatan dan rumah, tetapi jumlahnya terbatas. Taksonomi Aglaia edulis Menurut Pannel (1992) taksonomi dari tanaman Aglaia edulis adalah sebagai berikut : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Orde : Sapindales Keluarga : Meliaceae Genus : Aglaia Spesies : Aglaia edulis Kandungan Kimia dari Aglaia edulis Genus Aglaia secara fitokimia merupakan penghasil senyawa dengan kerangka yang unik yaitu kerangka siklopentatetrahidrobenzofuran. Salah satunya kelompok senyawa rokaglamida. Rokaglamida dan
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
105
turunannya memiliki sifat insektisidal alami yang sangat kuat (Nugroho et al., 1998). Kandungan utama metabolit sekunder dari Aglaia edulis adalah kelompok senyawa benzo[b]oxepines, siklopenta[b]benzofuran, siklopenta[bc]benzopiran, dan golongan bisamida (Kim et al., 2005 ; Bacher et al., 1999; Saifah et al., 1999). Dari bagian daun A. edulis telah diisolasi tiga senyawa kelompok bisamida, yaitu aglaiduline, aglaithioduline dan aglaidithioduline. Struktur dari ketiga senyawa-senyawa tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 6.1 Aglaiduline
Gambar 6.2 Aglaithioduline
Gambar 6.3 Aglaidithioduline
106 Desi Harneti P.H. Ketiga senyawa di atas menunjukkan hasil negatif untuk aktivitas antiviral terhadap virus herpes simpleks (Saifah et al., 1999). Dari batang Aglaia edulis Kim et al (2005) berhasil mengisolasi dua senyawa turunan benzo[b] oxepines, Edulisone A dan B.
Gambar 6.4 Edulisone A (1) Edulisone B (2) Aktivitas sitotoksik dari kedua senyawa di atas diujikan terhadap sel kanker manusia, tetapi keduanya tidak menunjukkan aktivitas yang berarti. Selain senyawa di atas, ada beberapa senyawa golongan alkaloid yang berhasil diisolasi dari tanaman Aglaia edulis :
Gambar 6.5 Edulimida
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
107
Gambar 6.6 1,4-Butanediamine, 9CI;N,N'Bis(phenylacetyl)
Spodoptera littoralis Spodoptera littoralis adalah suatu hama yang tersebar secara luas di Asia dan Pasifik. Penyebaran hama ini dikendalikan dengan baik secara biologis, tetapi kadang penyebaran terjadi akibat adanya angin puyuh atau tersebar dari dalam area terisolasi yang baru saja dibersihkan. Akibatnya Spodoptera littoralis mempunyai suatu cakupan tuan rumah yang luas. Ngengat atau ulat daun oriental Spodoptera littoralis adalah salah satu spesies dari keluarga Noctuidae yang merupakan hama bagi tanaman pertanian. Spodoptera littoralis ini juga dikenal sebagai klaster ulat bulu, ulat daun kapas, ulat pemotong tembakau, dan ulat tentara tropis. Di Indonesia Spodoptera litura dikenal dengan sebutan Ulat Grayak. Morfologi /Bioekologi Spodoptera littoralis Telur Spodoptera littoralis berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang
108 Desi Harneti P.H. tersusun 2 lapis), warna cokelat kekuning-kuningan, berkelompok (masing-masing berisi 25 – 500 butir) yang bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman lainnya, tertutup bulu seperti beludru.
Gambar 6.7 Telur Spodoptera littoralis Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung / bulan sabit warna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi cokelat tua atau hitam kecokelatan dan hidup berkelompok. Larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Ulat menyerang tanaman pada malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang lembab). Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah, perbedaannya hanya pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap memanjang. Umur 2 minggu panjang ulat sekitar 5 cm. Pupa, ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwana cokelat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm.
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
(a)
(b)
109
(c)
Gambar 6.8 (a) larva instar 1&2, (b) larva instar 3, (c) larva instar terakhir
Gambar 6.9 Pupa Spodoptera littoralis Ngengat dengan sayap bagian depan berwarna cokelat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh 5 kilometer. Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari). Seekor ngengat betina dapat meletakkan telur 2.000 – 3.000 telur.
110 Desi Harneti P.H.
Gambar 6.10 Ngengat Spodoptera littoralis
Taksonomi Spodoptera littoralis Taksonomi Spodoptera litura adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthtropoda Kelas : Insekta Orde : Lepidoptera Famili : Noctuidae Genus : Spodoptera Spesies : Spodoptera littoralis Tanaman Inang Hama ini bersifat polifag, selain tomat hama ini juga menyerang kubis, cabai, buncis, bawang merah, terung, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu, jeruk, pisang, tembakau, kacang-kacangan, tanaman hias, gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., dan Trema sp. Gejala Serangan Larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Larva instar lanjut merusak tulang daun. Gejala
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
111
serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beraturan pada buah tomat. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun, menyerang secara serentak berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat, umumnya terjadi pada musim kemarau. Pengendalian a). Kultur teknis - Sanitasi lahan dari gulma, - Pengolahan tanah yang intensif. b). Pengendalian fisik / mekanis - Pembutitan, mengumpulkan larva atau pupa dan bagian tanaman yang terserang kemudian memusnahkannya, Penggunaan perangkap feromonoid seks untuk ngengat sebanyak 40 buah per hektare atau 2 buah per 500 m2 dipasang di tengah pertanaman sejak tanaman berumur 2 minggu. c). Pengendalian hayati Pemanfaatan musuh alami seperti : patogen Sl-NPV (Spodoptera litura – Nuclear Polyhedrosis Virus), cendawan Cordisep, nematoda Steinernema sp., predator Sycanus sp., Andrallus spinideus, Selonepnis geminada, parasitoid Apanteles sp., Telenomus spodopterae, Microplistis similis, dan Peribeae sp. d). Pengendalian kimiawi Dalam hal cara lain tidak dapat menekan populasi hama, digunakan insektisida yang efektif, terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian.
112 Desi Harneti P.H. apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman contoh, intensitas serangan mencapai lebih atau sama dengan 12,5 % per tanaman contoh. Bahan dan Metode Bahan Tumbuhan Kulit Batang Aglaia edulis diperoleh dari Thailand barat daya, dekat air terjun Khao Lan, Thap Sakae, Prachuap Khiri Khan. Kode spesimen (HG 515), disimpan di herbarium Institut Pertanian Universitas Vienna (WU). Alat Peralatan yang digunakan antara lain: Spektrometer resonansi magnet inti Bruker, AM 400 WB dan DPX 250. Spektrometer massa Finnigan MAT 900 S. Spektrofotometer Inframerah Perkin-Elmer 16 PC FT-IR. Spektrofotometer UV Hewlett-Packard, 8452 Diode Array. Rotasi optik Perkin Elmer Polarimeter 241. HPLC Hewlett-Packard 1090 II, UV dengan detektor diode array dideteksi pada panjang gelombang 230 nm, Kolom berukuran 250 x 4mm, Hipersil BDS C-18.5 mm, menggunakan pelarut metanol (bergradien 60±100%) dalam larutan buffer (0.0015 M o-asam fosphorat, 0.0015 M tetrabutilammonium hidroksida pH 3), dengan laju alir 1ml/menit. Ekstraksi dan Isolasi Sebanyak 263 gram kulit batang Aglaia edulis yang sudah kering digiling dan diekstraksi dengan pelarut metanol pada suhu ruangan selama 3 hari, kemudian disaring dan diuapkan. Fraksi kloroform dari larutan diuapkan hingga kering di bawah tekanan (berat fraksi
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
113
sebesar 2400mg) dan dilanjutkan ke tahap pemisahan kromatografi kolom (Merck silica gel 60,35-70 mesh) dengan pelarut heksan, etil asetat dan metanol. Fraksi tersebut dielusi dengan etil asetat p.a dan kemudian dipisahkan dengan MPLC 30% (v/v) etil asetat dalam heksan (kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck LiChroprep silica 60, 225-40 mm, detector UV, 254 nm) dilanjutkan dengan KLT preparatif (Merck silica gel 60, F254) dengan metanol 4% dalam kloroform, dihasilkan 24 mg aglaroksin- A(1), 3 mg Pannelin(2), 2 mg isothapsakin-B (4), 5 mg homothapsakin-A (5), 22 mg thapsakin-A 10-O-asetat (6), 4 mg thapsakon-A (7) dan 9 mg thapsakon-B (8). Pemurnian dilakukan berulang dengan MPLC dengan 50% (v/v) etil asetat dalam heksan( kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck LiChropep silika gel 60, 25-40mm, detektor UV 254 nm) dihasilkan 41 mg thapoksepin-A (9), 7 mg homothapoksepin-A (10), 5 mg thapoksepin-B (11) sama seperti thapsakin-B yang murni (3), yang akhirnya dimurnikan dengan metode KLT preparatif (dengan fase gerak CH2CL2-Et2O-MeOH, 70:27:3) hingga menghasilkan 6 mg senyawa murni. Uji Hayati Serangga Larva S. littoralis diperoleh dari suatu koloni laboratorium, dan dibesarkan pada suatu medium kacang berdasarkan diet (asupan) yang disesuaikan (Srivastava & Proksch, 1991). Uji hayati dengan pemberian makanan kepada larva segar (n = 20) dimana sampel tersebut dicampurkan ke dalam diet (asupan) yang disesuaikan dengan beberapa variasi konsentrasi (0.05 sampai 50 g/g fr. wt) yang dilarutkan ke dalam pelarut Me 2CO. Setelah 5 hari (cawan lembab, 29oC) tingkat ketahanan
114 Desi Harneti P.H. larva dan tingkat pertumbuhan larva diamati dan dibandingkan dengan suatu kontrol yang hanya berupa pelarut. Rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol (yang diisolasi dari akar A.odorata Lour yang diperoleh dari Ko Samet, Thailand bagian tenggara, HG 501), dan azadirachtin (>96%) dari Roth (Karlsruhe, Jerman) digunakan sebagai pembanding. Kemudian dari kurva respons serangga terhadap dosis tiap percobaan (dilaku kan 3x) kita mendapat harga LC50 dan EC50 dengan menghitung analisis probit-log. Hasil dan Pembahasan Dengan menggunakan metode analisis HPLC UV dengan diode array, dari ekstrak kasar akar A. Edulis ditemukan 3 senyawa dalam jumlah besar, dan 8 senyawa minor lainnya, yang diisolasi dengan MPLC preparatif. Berdasarkan karakterisitik spektrum UV, senyawa-senyawa tersebut memiliki 3 tipe yang berbeda, yaitu : 1. Senyawa yang telah diketahui sebelumnya yang memiliki λmax 298 nm (Brader et al., 1998) untuk senyawa 2-6. 2. Spektrum yang hampir serupa, dengan sedikit pergeseran ke arah λmax 304 nm untuk senyawa 7 dan 8. 3. Spektrum yang berbeda, dengan λmax 280 nm dan 2 karakteristik bahu pada 335 dan 297 nm untuk senyawa 9-11.
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
115
Gambar 6.11 Struktur senyawa 1-8 (Bacher et al, 1999)
116 Desi Harneti P.H. Tabel 6.1 Data 1H NMR untuk senyawa 3-11 (Bacher et al, 1999)
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
Tabel 6.2 Data 13C NMR untuk senyawa 3-11 (Bacher et al, 1999)
117
118 Desi Harneti P.H. Spektrum inframerah untuk senyawa 3-11 ditunjukkan oleh pita tajam pada 3430 hingga 3436 cm -1 (CHCl3 atau CCl4) yang mengindikasikan adanya fibrasi N-H pada amida sekunder. Pita yang khas pada 1754 hingga 1760 cm-1 (CHCl3 atau CCl4) dan 1216 hingga 1223 cm-1 (CCl4) pada senyawa mayor 6 dan 9 mengindikasikan adanya gugus ester pada posisi C-10, sedangkan gugus okso yang berada pada posisi yang sama pada senyawa 7 dan 8, menghasilkan sinyal yang lemah pada 1746 cm-1. Dalam persetujuan dengan hak paten terbaru (Ciba-Geigy, 1996), dari data 1H dan 13C NMR diketahui bahwa senyawa 1 adalah aglaroksin A yang merupakan turunan dari siklopenta[b]benzofuran, pada cincin A terdapat gugus metoksi dan metilendioksi, dan dimetil amida sederhana pada posisi 2. Dan dari data 1 H dan 13C NMR, berdasarkan C,H-COSY, diketahui bahwa senyawa 2 adalah pannelin (Brader et al., 1998). Senyawa 3-6 menunjukkan adanya hubungan dekat antara karakteristik 1H dan 13C NMR: resonansi khas untuk 6-metoksi-7,8-metilendioksi yang tersubtitusi pada cincin A, subtitusi para- pada cincin B (Ar’) dan fenil pada cincin C (Ar”), telah digambarkan pada senyawa pannelin (2), mereka memiliki amida yang terhubung dari gugus karboksilat dari rangka flavaglin ke turunan putresin 2-aminopirolidin yang terhubung kembali dengan asam 2-metilpropanoat (senyawa 3,4 dan 6) atau dengan asam 2-metilbutanoat (senyawa 5). Hubungan selanjutnya adalah dengan bisamida odorin, pembentuk piriferin, keduanya mengandung asam sinamat sebagai pengganti asam jenis flavaglin yang telah beberapa kali ditemukan pada tanaman spesies Aglaia. Senyawa 3-6 memiliki rangka siklopenta[bc]benzopiran (2,5-metano-1-benzooksepin), hal ini diketahui dari data
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 1
119
H dan 13C NMR dan juga menggunakan teknik 2 dimensi, terutama NOESY dan HMBC. Flavaglin tipe ini telah digambarkan untuk senyawa aglain A, B dan C dari A. Argentea Blume (Dumontet et al., 1996). Bagaimanapun, turunannya memperlihatkan bahwa tidak ada gugus metilendioksi pada cincin A, dan mereka terhubung dengan odorine-like bisamida. Dalam kasus ini struktur bisamida piriferine-like jauh lebih besar. Siklopenta[bc]benzopiran dan siklopenta[b]benzofuran memiliki struktur yang berhubungan dekat: pembentuknya mungkin dikonversi menjadi bentuk selanjutnya dengan pembukaan ikatan 5-5a dan penutupan 5a-10. Hal tersebut kemungkinan terjadi melalui penataulangan ion karbenium setelah kehilangan gugus OH pada posisi 10. Model dreiding menunjukkan, bahwa saat penataulangan terjadi, konfigurasi pada C-2 kuartener (posisi 4 dalam penomoran siklopenta[b]benzofuran) mengalami perubahan dalam kedua struktur. Hal ini penting, karena konfigurasi absolut dari siklopenta[b] benzofuran flavaglin telah diketahui dari sintesis enansioselektif rokaglamida. Jika sistem siklopenta[bc]benzopiran terhubung dengan topologi dari sistem siklopenta[b]benzofuran, jembatan C-10 antara C-2 dan C-5 dari cincin oksa-siklohepten mengarah ke atas. Sebagai konsekuensi, subtituen 2-(p-metoksifenil) dan 5 gugus OH- harus menghadap ke bawah (posisi α). Subtituen pada C-3 dan C-4 dengan berbagai macam posisi α atau β sekarang bisa berkorelasi dengan konfigurasi absolut dari subtituen ujung depan jembatan. Dalam kata lain, dari data NMR, konfigurasi relatif dapat diperoleh, konfigurasi absolut (yang terlihat dalam formula struktural) diperoleh dari konfigurasi absolut siklopenta[b]benzofuran flavaglin yang telah diketahui.
120 Desi Harneti P.H. Resonansi 1H dan 13C NMR ditentukan dengan korelasi 2 dimensi(C,H-COSY, H,H-COSY HMBC, dan NOESY) dan terdata dalam Tabel 3.1 dan 3.2. Konfigurasi relatif dari variasi posisi C-3 (cincin fenil), C-4 (amida), C-10 (OH atau OAc), dan diastereomer labil C13 (antara 2 atom N) ditentukan dengan NOESY. Dalam kasus senyawa nomor 3 (campuran A:B = 5:3), signal NOESY 3-H/2’6’-H, 2”6”-H, dan 10-OH mengindikasikan posisi 3β untuk proton pada C-3 dan penataulangan endo dari 10-OH relatif menjadi 3β-H. Signal 4-H/2”6”H, 13-H, 5-OH, NH untuk senyawa 3A dapat ditukar dengan 4α-H dan konfigurasi 13 S pada C-13. Orientasi spesial dari rantai samping bisamida dapat digunakan untuk membedakan konfigurasi 13 S dan 13 R dengan signal NOESY: hanya konfigurasi 13 S yang menggambarkan signal 13-H/4-H dan 20,21-H3/2”6”-H. Komponen inti 3A menunjukkan signal 13-H/4-H, 14-H, 15-H, NH dan 20,21-H3/19-H, NH, 2”6”-H. Untuk komponen minor 3B tidak ada signal 13-H/4-H dan 20,21-H3/2”6”-H yang teramati. Senyawa 3A dan 3B menjadi campuran epimerik dengan konfigurasi 13 S (3A) dan 13 R (3B). Senyawa 4 berbeda dengan senyawa 3 dengan perubahan konfigurasi dari gugus OH pada jembatan C10. Hal ini dapat disimpulkan dari signal 3-H/10-H dapat membuktikan 3β-H dengan hubungan endo untuk 10-H (atau ekso- untuk 10-OH). Signal yang kuat dari 4H/2”6”-H mengindikasikan konfigurasi 13 S (semua puncak silang NOESY senyawa 3 dan 4 secara virtual adalah sama). Tidak berbeda dengan senyawa 3,4 dan 6, senyawa 5 memiliki tipe rantai samping odorin dan berbeda dari aglain C, hanya dengan adanya kehadiran gugus metilendioksi pada cincin A. Semua data 1H dan
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 13
121
C NMR dari senyawa 5 serupa dengan aglain C. Signal H-3/2’6’-H, 2”6”-H dan H-4/13-H, 2”6”-H, 10-OH membuktikan bahwa struktur digambarkan dalam dugaan formula dengan pola substitusi 3α-H dan 4β-H. Konfigurasi 13 S mengikuti hubungan NOESY 4-H/13-H dan ini mengindikasikan signal NOESY 21-H3 / 2”6”-H (dibandingkan dengan Dumontet et al., 1996). Perubahan dari konfigurasi relatif C-3 dan C-4 tercerminkan pada nilai konstan kopling J(3,4) sebesar 6.0 Hz pada senyawa 3 dan 5.1 Hz pada senyawa 4 (kedua 3β, 4α), tetapi bernilai 10.0 Hz pada senyawa 5 (3α, 4β).Harga konstan kopling J(3,4) = 9.6 Hz untuk asetat pada senyawa 6 menyiratkan konfigurasi 3α-H dan 4β-H yang mengikuti signal NOESY yang diharapkan. Ketertarikan khusus ada untuk hubungan NOESY antara gugus 10asetat dan C-3 pada cincin fenil tidak tersubstitusi. Signal 10-asetil/2”6”-H dan 2”6”-H/3-H, 4-H, 10-asetil, 20-H3, 21-H3 membuktikan adanya posisi endo dari 10OCOCH3 dan konfigurasi 13 S yang memungkinkan pendekatan gugus 20,21-dimetil pada cincin fenil tidak tersubstitusi (proton 4-H dan13-H yang berdekatan menunjukkan hubungan yang diharapkan dari signal 4H/13-H). Untuk senyawa 7 dan 8, spektrum 1H NMR jembatan metin proton C-10 (H, OH) hilang. Sejak munculnya resonansi keto pada spektrum 13C NMR, 10-OH telah dioksidasi menjadi karbonil keto. Data HMBC dan NOESY menunjukkan adanya resonansi dan penentuan konfigurasi rantai samping 13 S. Bagaimanapun, konfigurasi relatif dari C-3 dan C-4 tidak dapat diperoleh dari data ini, karena ketiadaan proton pada jembatan C-10 tidak dapat memperlihatkan korelasi NOESY dengan orientasi proton β pada C-3 dan C-4.
122 Desi Harneti P.H. Masalah ini dapat diselesaikan dengan baik dengan menggunakan Eu(fod)3 sebagai reagen penggeser. Meskipun senyawa 7 dan 8 polifungsional, hampir semua koordinasi terjadi pada gugus fungsi 10-keto. Eter menunjukkan kordinasi konstan yang sangat kecil, begitu juga dengan amida, dan alkohol tersier yang biasanya menunjukkan sedikit koordinasi untuk reagen penggeser lantanida dibandingkan dengan keton. Jika diasumsikan bahwa lanthanida induced shifts (LIS) untuk 3-H dan 4H disebabkan karena koordinasi pada C-10 keto karbonil, hasil LIS memungkinkan interpretasi secara langsung. Proton 4-H pada senyawa 7 menunjukkan harga LIS yang lebih besar daripada 3-H (4-H 0.43 ppm, 3-H 0.27 ppm), untuk senyawa 8 didapat hasil yang bertolakbelakang (4-H 0.34 ppm, 3-H 0.67 ppm), ini hanya dapat dipertukarkan dengan konfigurasi 3α-H, 4β-H pada senyawa 7 dan konfigurasi 3β-H, 4α-H pada senyawa 8 karena harga LIS yang lebih besar adalah salah satu kemungkinan untuk posisi β menghadap ke arah keto karbonil yang juga dalam posisi β. Dalam konteks ini, proton 3-H dan 4-H adalah yang paling penting. Melihat nilai LIS untuk senyawa 8, didapat fakta yang lebih lanjut, untuk beberapa alasan sterik, koordinasi yang pantas dipertimbangkan mengambil tempat di posisi 15 karbonil amida. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya nilai LIS untuk 13-H, 19-H, dan untuk kedua gugus metil (20- dan 21-CH3) dari senyawa 8. Bagaimanapun, ukuran koordinasi independen kedua sangat jauh dari proton 3-H dan 4-H dan harus mempunyai pengaruh kecil pada harga LIS proton terhadap kompleksasi utama pada karbonil keto 10. Data 1H dan 13C NMR dari senyawa 9-11 menunjukkan banyak karakteristik senyawa kelompok
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
123
flavaglin 1-8, contohnya: substitusi metilendioksimetoksi pada cincin aromatik A, substitusi para-metoksi pada cincin B (Ar’), cincin fenil sederhana cincin C (Ar”), dan pasangan metin (3-H, 4-H), berkopling dengan sesamanya.
Gambar 6.12 Struktur senyawa 9-11 (Bacher et al, 1999) Senyawa 9-11 menunjukkan karakteristik sinyal tipe piriferin, di mana senyawa 10 terkarakterisasi adanya rantai samping analog odorin turunan bisamida. Dibandingkan dengan keton pada senyawa 7 dan 8, pada senyawa ini karbonil dari keto hilang, bagaimanapun, tipe resonansi baru untuk gugus –COOCH3 muncul pada spektrum 1H dan 13C NMR (karbonil ester dan gugus ester OCH3; bandingkan dengan tabel 3.1, 3.2 dan data IR). Hal ini merekomendasikan sebuah struktur yang mungkin turunan dari siklopenta[bc]benzopiran tipe flavaglin dengan pembukaan oksidatif pada jembatan 2,5-metano. Dua turunan yang serupa, yaitu forbaglin A dan B, yang
124 Desi Harneti P.H. telah dilaporkan sebelumnya oleh Dumontet et al (1996), berbeda hanya pada konfigurasi C-13 (berturut-turut epimer 13 R dan 13 S). Dalam kasus ini, senyawa 9 dan 11 diperoleh sebagai campuran epimer, dan epimer 13 S memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan berdasarkan konfigurasi absolut siklopenta[b]benzofuran flavaglin yang telah diketahui, dan konfigurasi relatif yang diperoleh dari kristalografi sinar-X, konfigurasi absolut pada C-13 ditentukan sebagai 13 R untuk forbaglin A (Dumontet et al., 1996). Satu karakteristik dari epimer 13 R yaitu 19-H3 dari odorin untuk cincin fenil (Ar”) tidak tersubstitusi, adalah pendekatan paling baik yang ditunjukkan pada spektrum NOESY sebagai forbaglin A. Dari kasus komponen minor piriferin diperoleh senyawa 9B dan 11B, efek yang serupa dipelajari untuk 19-H/20H3 dari rantai samping dan cincin Ar”. Kedudukan 13 S untuk epimer A dan 13 R untuk epimer B didukung oleh adanya perbedaan karakteristik 13C NMR untuk kedua bentuk. Terutama pergeseran C-14 dan C-15 untuk semua flavaglin oksepin, cocok untuk membedakan konfigurasi 13 S dan 13 R; C-14: 33.6-34.4 (13 S), 30.831.7 (13 R); C-15: 21.2-21.8 (13 S), 0, 23.0-23.7 (13 R),semua data dibandingkan dengan tabel 3.2 senyawa 311. Dengan pengecualian dari cincin A (dan piriferin yang didapat dari rantai samping senyawa 9), resonansi 13 C NMR untuk konfigurasi 13 S senyawa 9A, 10 dan forbaglin B secara virtual adalah sama (hal ini juga benar untuk senyawa 9B dan forbaglin A). Konfigurasi relatif pada posisi 3 dan 4 adalah identik untuk senyawa 9, 10, dan untuk semua forbaglin (3α-H dan 4β-H). Senyawa 11 (13 S/13 R A/B) terbukti berisomer dengan senyawa 9 (A/B). Hal ini diindikasikan dari berat molekul yang identik dan spektroskopi massa tanpa ada
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
125
perbedaan yang besar antara senyawa 9 dan 11. Data 13C NMR senyawa 11 A/B dan 9 A/B berbeda sedikit tetapi cukup signifikan. Pada spektrum 1H NMR terutama pada pergeseran kimia proton 3-H dan 4-H ditunjukkan adanya perbedaan nilai pergeseran kimia yang menghasilkan kesimpulan bahwa substitusi rantai samping dari gugus fenil Ar” dan bisamida mungkin berbeda pada senyawa 9 dan 11. Dengan prinsip, bahwa beberapa hubungan isomerik adalah mungkin pada posisi C-3 dan C-4, epimer dengan mengubah konfigurasi dari substituen, diastereomer dengan mengubah kedua konfigurasi (3β-H dan 4α-H seperti pada senyawa 3,4 dan 8), atau isomer konstitusional dengan menukar substituen 3-bisamida, 4fenil, seperti yang tekah dijelaskan untuk aglaforbesin A dan B (Dumontet et al., 1996). Buruknya, tidak ada bukti dari NOESY atau HMBC yang mungkin untuk membuktikan struktur isomerik secara langsung dan dengan cara yang berdiri sendiri. Bagaimanapun dari semua data NMR senyawa flavaglin, hanya perubahan konfigurasi dari C-3 dan C-4 yang menghasilkan diastereomer 3β-H dan 4α-H yang dapat dipertukarkan dengan data dari senyawa 11. Dari semua senyawa flavaglin yang telah diketahui saat ini (termasuk siklopenta[b]benzofuran), proton benzilik ditemukan pada pergeseran kimia yang lebih besar daripada proton metin pada atom karbon yang mengandung rantai samping amida. Dalam kasus senyawa 11 A/B proton berada pada δ 5.30/5.28. Dalam semua kasus diukur untuk flavaglin tipe benzoksepin dengan cincin fenil pada posisi 3, proton metin benzilik menunjukkan hubungan NOESY dengan kedua cincin aromatik B dan C (Ar’ dan Ar”). Puncak silang dari NOESY ini tidak mungkin untuk cincin fenil tidak tersubstitusi pada posisi C-4 (bandingkan dengan 4-fenil-
126 Desi Harneti P.H. 3-bisamida yang mensubstitusi aglaforbesin). Untuk kasus senyawa 11 A/B puncak NOESY dari 3-H benzilik dengan 2’6’ dan 2”6” membuktikan posisi 3 untuk substituen fenil dan posisi 4 untuk substituen bisamida. Nilai konstan kopling J(3,4) yang hanya berbeda sedikit dalam senyawa 9 dan 11 adalah karakteristik untuk penataan transoid proton 3-H dan 4-H. Kemungkinan isomerik yang tertinggal adalah struktur diastereomer dengan konfigurasi 3β-H dan 4α-H untuk senyawa 11 dibandingkan dengan 3α-H dan 4β-H pada senyawa 9. Dukungan lebih lanjut bahwa 11 adalah bukan isomer konstitusional dari senyawa 9 adalah puncak silang 10OCH3/2”6” untuk senyawa 9 dan 11, yang mengindikasikan adanya hubungan antara – COOCH3 dan gugus fenil pada C-3. Pada intinya, hal yang harus digaris bawahi dari semua ini adalah bahwa semua flavaglin benzoksepin dalam penelitian ini mengisolasi turunan 3α-H, 4β-H dalam jumlah lebih banyak daripada diastereomer 3β-H, 4α-H (senyawa 5 dan 6 bertentangan dengan senyawa 3 dan 4, dan pasangan diastereomer 7/8 dan 9/11). Terbentuknya flavaglin siklopenta[b]benzofuran (senyawa 1,2) dengan benzo[bc]piran tersubstitusi (senyawa 3-8), dan turunan benzoksepin (9-11) dari A. edulis menghasilkan suatu pola biogenetik umum. Biogenetik ini didukung oleh laporan sebelumnya dari A. argentea dan A. Forbesii, di mana flavaglin dari ketiga tipe struktur menunjukkan pola substitusi umum dari cincin aromatik yang diperoleh dari A.edulis mengalami dimetoksilasi cincin. Dalam jalur biosintetik inti flavonoid akan bergabung dengan asam sinamat untuk membentuk rangka siklopentabenzo[bc]piran. Transformasi dari rangka siklopentabenzo[bc]piran menjadi siklo-
Aktivitas Insektisida Flavaglin …
127
penta[b]benzofuran dapat dijelaskan dengan pembukaan ikatan 5a dan penutupan 10-5a, di mana benzo[b]oksepin dapat diperoleh dari oksidasi pemaksapisahan dari jembatan 2,5-metanol dengan 5-10 (Gambar 6.13).
Gambar 6.13 Hubungan biosintetik antara rangka Flavaglin (Bacher et al, 1999)
Seperti dari laporan sebelumnya, 2 flavaglin dengan rangka benzofuran yaitu aglaroksin A (senyawa 1) dan pannelin (senyawa 2) (Brader et al., 1998), diketahui memiliki sifat racun serangga yang sangat signifikan terhadap larva S. littoralis. Sebaliknya turunan benzopiran (senyawa 6) dan turunan benzoksepin (senyawa 9) tidak menunjukkan efek yang signifikan (tabel 3.3). Turunan benzofuran yang sudah tidak asing
128 Desi Harneti P.H. lagi yaitu rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol yang diisolasi dari akar tanaman A.odorata Lour dijadikan perbandingan untuk nilai LC50 dan EC50. Dan senyawa limonoid azadirachtin dijadikan sebagai kontrol positif. Seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 3.3, tingkat ketahanan dan perhambatan pertumbuhan dari senyawa turunan benzofuran serupa dengan rokaglamida sebagai Tabel 6.3 Nilai LC50 dan EC50 dari flavaglin dan azadirachtin terhadap larva neonatus Spodoptera littoralis (Bacher et al, 1999).
Senyawa
Aglaroksin A (1) Pannelin (2) Thapsakin-A 10-Oasetat (6) Thapoksepin-A (9) Rokaglamida Aglafolin Rolaglaol Azadirachtin
Tingkat ketahanan LC50 (95% FLa) g/g fr.wt (2.2-5.2) 2.1 (1.24.3) >50 >50 1.1 (0.82.6) 2.9 (2.63.1) >20 6.1 (4.111.0)
Perhambatan pertumbuhan EC50 (95% FLb) g/g fr.wt
0.21 (0.19-0.22) 0.24 (0.20-0.29) >50 >50 0.14 (0.12-0.17) 0.25 (0.19-0.31) 3.40 (2.08-5.95) 0.11 (0.05-0.17)
Aktivitas Insektisida Flavaglin … a
129
larva neonatus S.littoralis dalam medium kacang (n=20) diberikan artificial diet (3.8 g) yang dicampurkan dengan beberapa konsentrasi sampel, setelah 5 hari tingkat ketahanan dan pertumbuhannya ditentukan secara triplo dan dibandingkan dengan kontrol. LC 50 dan EC50 ditentukan dengan analisis probit-log b batas fidusial senyawa yang paling aktif, dan rokaglaol sebagai senyawa turunan yang paling tidak aktif. Dengan rocaglaol sebagai pengecualian, dapat kita simpulkan bahwa semua turunan benzofuran memiliki tingkat toksisitas terhadap serangga yang lebih tinggi daripada azadirachtin.
130 Desi Harneti P.H.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.A. 2002. Peranan Kimia Bahan Alam dalam Tanaman Berkhasiat Obat. Makalah Pembicara Tamu Universitas Katholik Widya Mandala. Anonim, 2006, Heart of Borneo: Sumber kekayaan medis yang belum terungkap, diakses melalui : http://www.wwf.or.id. [23-6-2006] Anonim. 2003. Apa yang Harus Anda Ketahui Tentang Kanker. http:// www. Indosiar. com/ Anonim. 2007.Kanker.http://www.wikipedia.com/kanker Anonymous. 2005. Tanaman Obat Indonesia. Dalam http://www.ppipteknet.co.id Anonymous. 2006. Artemia salina-Sea monkeyAnatomy-Taxonomy. Dalam http://www.captain.at/artemiasalina-anatomy.htm Bacher, M., O. Hofer., G. Brader., S. Vajrodaya., and H. Greger. 1999. Thapsakins: possible biogenetic intermediates towards insecticidal cyclopenta [b] benzofurans from Aglaia edulis. Phytochemistry. 52, 253-263. Benosman, A., Richomme, P., Sevenet, T., Perromat, G., Hadi, A.H.A., Bruneton, J., 1995. Tirucallane triterpenes from the stem bark of Aglaia leucophylla, Phytochemistry, 40(5), 1485-1487. Brader, G., S. Vajrodaya., H. Greger., M. Bacher., H. Kalchhauser., and O. Hofer. 1998. Bisamides, lignans, triterpenes, and insecticidal cyclopenta [b] benzofurans from Aglaia species. Journal Natural Product. 61, 1482-1490. (131)
132
Desi Harneti P.H.
Bray, D.H., D.C. Warhurst., J.D. Conolly., M.J. O’Neil., and J.D. Philipson. 1990. Plants as Source of Antimalarial Drug. Pt. 7 activity of some species Meliaceae plants and their constituent limoids. Phytother. Res. 4, 29-35. Chaidir., J. Hiort., B.W. Nugroho., F.I. Bohnenstengel., V. Wray., L. Witte., P.D. Hung., L.C. Kiet., W. Sumaryono., and P. Proksch. 1999. New insecticidal rocaglamide derivatives from flowers of Aglaia duperreana. Phytochemistry 52, 837-842. Christy, W. W. 2007. Plant Sterols and Related Lipids: Structure, Occurrence, Biochemistry and Analysis. Scottish Crop Research Institute. Scotland. Cui, B., H. Chai., T. Santisuk., V. Reutrakul., N. Farnsworth., G.A. Cordell., J.M. Pezzuto., and A.D. Kinghorn. 1997. Novel cytotoxic 1Hcyclopenta[b] benzofuran lignans from Aglaia elliptica. Tetrahedron. 53, 17625-17632. Djisbar, A., WAhyuni, S., dan Martono, B. 1999. Koleksi Beberapa tanaman insektisida nabati di BALITTRO. Pemanfaatan Insektisida Nabati. Vol VI, 2, 10-15. Dumontet, V., Thoison, O., Omobuwajo, O.R., Martin, M. T., Perromat, G., Chiaroni, A., Riche, C., Pais, M., & Sévenet, T. 1996. New Nitrogenous ang aromatic derivates from A. Argentea and A. forbesii.Tetrahedron, 52,6931-6942. Fuzzati, N., W. Dyatmiko., A. Rahman., F. Achmad., and K. Hostettmann. 1996. Triterpenoid, lignans, and a benzofuran derivative from te bark of Aglaia elaeagnoidea. Phytochemitry. 42(5), 13951398.
Daftar Pustaka
133
Guerrero, R.O. 2004. Bioactivities of latexes from selected tropical plants. Plant Med. 9, 1-5. Güssregen, B., M. Fuhr, B.W. Nugroho.,V. Wray, L. Witte., and Proksch, P. (1997). J. of Bioscience (Zeitschrift fur Naturforschung). 52C, 339-344. Hakim, E.H. , 2002, Bioassay Sebagai Salah Satu Tekhnik yang Dikembangkan dalam Kimia Bahan Alam, Makalah Pembicara Tamu Universitas Katholik Widya Mandala. Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, Terbitan Kedua, Bandung, ITB Hayes, W.S. 1982. Pesticides Studied in Man. Baltimore. William & Wilkiens. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Koprasi Karyawan Departemen Kehutanan. Jakarta. Inada, A., H. Murata., Y. Inatomi., D. Darnaedi., and T. Nakanishi. 1997. Pregnanes and triterpenoid hydroperoxides from the leaves of Aglaia grandis. Phytochemistry. 45(6), 1225-1228. Inada, A., H. Nishino., M. Kuchide., J. Takayashu., T. Mukainaka., Y. Nobukuni., M. Okuda., H. Tokuda. 2001. Cancer Chemopreventive Activity of Odorine and Odorinol from Aglaia odorata. Biol. Pharm. Bull.24(11). 1282-1285. Inada, A., K. Shono., H. Murata., Y. Inatomi., D. Darnaedi., and T. Nakanishi. 2000. Three putrescine bisamides from the leaves of Aglaia grandis Phytochemistry. 53, 1091-1095.
134
Desi Harneti P.H.
Ishibashi, F., C. Satasook., M.B. Isman., and G.H.N Towers. 1993. Insecticidal 1Hcyclopentatetrahydro[b]benzofurans from Aglaia odorata. Phytochemistry. 32, 307-310. Janpraset, J., C. Satasook, P. Sukumalanad, D.E. Champagne, M.B. Isman, P. Wiriachitra, and G.H. Neiltowers.1992. Rocaglamide, A Natur Benzofuran Insectiside from Aglaia odorata. Phytochem. 32, 67-69. Katrin, E. 1997. Uji Bioaktifitas Sari Etanol beberapa Tanaman Terhadap Sel Leukimia L 1210, Cermin Dunia Kedokteran, 120. 1997. 40-44. Khaomek, M., P. 2003. Chemical constituens of Erythrina fusca and Erythrina suberosa stem bark and their biological activities. Pharmaceutical and natural products. ISBN : 974-17-51095. Kim, S., B, Su., S, Riswan., L.B.S, Kardono., O.J, Afriastini.,J.C Gallucci., H, Chai., N.R Farnsworth., G.A Codell., S.M Swanson.,& D, Kinghorn. 2005. Edulisones A and B, two epimeric benzo[b]oxepine derivates from the bark of Aglaia edulis. Tetrahedron, 46, 90219024. King, M.L., C.C. Chiang., H.C. Ling., E. Fujita., M. Ochiai., and A.T. McPhail .1982. X-Ray crystal structure of rocaglamide, a novel antileukemic 1H-cyclopenta[b]benzofuran from Aglaia elliptifolia. Journal of the Chemical Society. 1150-1151. Ko, F.N., T.S. Wu., M.J. Liou., T.F. Huang., and C.M. Teng. 1992. PAF antagonism in vitro and in vivo
Daftar Pustaka
135
by aglafoline from Aglaia elliptifolia .European Journal of Pharmacology. 218, 129-135. Kraus, W., Kypeke, K., Bokel, M., Griminger, W., Shawitsky, G., 1982, Surenolactone, a noveltetranortriterpenoid A/B-dilactone from Toona sureni (Meliaceae). Liebigs Ann. Chem. 1. 87-98. Krishnaraju, A.V., T.V.N. Rao., D. Sundararaju., M. Vanisree., H.S. Tsay., and G.V. Subbaraju. 2005. Assessment of Bioactivity of Indian Medicinal Plants Using Brine Shrimp (Artemia salina) Lethality Assay. International Journal of Applied Science and Engineering. 32.125-134 Lee, K. L., Cui, B., Mehta., R.R., Kinghorn, D., Pezzuto, J.M. 1998. Cytostatic mechanism and antitumor potential of novel 1H-cyclopenta[b]benzofuran lignans isolated from Aglaia elliptica, ChemicoBiological Interaction.115. 1998. 215-228. Lenny, S. 2006. Senyawa Steroida dan Terpenoida. Karya Ilmiah Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan. Mabberly, D.J., C.M. Pannel, and A.M. sing.1995. Meliceae. Flora Malesiana. 12, 1-407. McKee, T., McKee, R.J. 1999. Biochemistry: An Introduction. Second Edition. McGraw-Hill Companies. Boston Meyer, B. N., N.R. Ferrigni., J.E. Putnam., L.B. Jacobson., D.E. Nichols., and J.L. McLaughlin. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Medica. 45, 31-34.
136
Desi Harneti P.H.
Nakatani, M., Abdelgalell, S.A.M., Saad. M.M.G., Huang, R.C., Doe, N., Iwagawa, T., 2004. Phragmalin limonoids from Chukrasia tabularis. Phytochemistry. 65. 2833-2841. Nihal, A., and Mukhtar, H., 1999, “Green tea Polyphenols and Cancer: Biologic Mechanisms and Practical Implications”’ Nutrition Review, 1999 , 57 (3) : 67-78 Nugroho, B.W., B. Gussregen, V. Wray, G. Bringmann, and P. Proksch. 1997. Insectisidal Rocacgalamide Derivatives from Aglaia eliptica and A. harmsiana. Phytochem. 45, 15791585 Nugroho, B.W., R.A. Edrada, V. Wray, G. Bringmann, M. Gehling and P. Proksch. 1999. An Insectisidal Rocaglamide Derivative and Related Compounds from Aglaia odorata. Phytochem. 51, 367-376. Nugroho, B.W., R.A. Edrada., B. Gussregen., V. Wray., L. Witte., and P. Proksch .1997. Insecticidal rocaglamide derivatives from Aglaia duppereana. Phytochemisty. 44,1455-1461. Ohse, T., S. Ohba., T. Yamamoto., T. Koyano., K. Umezawa. 1996. Cylopentabenzofuran lignan protein synthesis inhibitors from Aglaia odorata. Journal of Natural Products. 59, 650652. Oka, I.N. 1994. Penggunaan Permasalahan serta Prospek Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Terpadu. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Pannell, C.M. 1992. A Taxonomic Monograph of the genus Aglaia Lour. (Meliaceae). Kew Bulletin
Daftar Pustaka
137
Additional Series XVI. Royal Botanic Gardens. London. Pinder, A. R. 1960. The Chemistry Of The Terpenes. Chapman and Hall Ltd. London. pp. 326-365. Proksch, P., R. Edrada., R. Ebel., F.I Bohnenstengel., and B.W. Nugroho. 2001. Chemistry and biological activity of rocaglamide derivates and related compounds in Aglaia species (Meliaceae). Current Organic Chemistry. 5, 923-938. Roux, D., T. Martin., T. Adeline., T. Sevenet., H. Hadi., and M. Pais. 1998. Foveolins A dan B, dammarane triterpenes from Aglaia foveolata. Phytochemistry. 49(6), 1745-1748. Ruslan, K., S. Soetarno, dan S. Sastrodihardjo. 1989. Fitokimia : Insektisida dari produk alami. Pusat antar Universitas Bidang Ilmu Hayati, ITB Bandung. S. Omar, J. Zhang, et al. 2003. Traditionally-used antimalarials from Meliaceae. Curr Top Med Chem., 2003, 3(2), 133-139. Saifah, E., R. Suttisri., S. Shamsub., T. Pengsuparp., and V. Lipipun. 1999. Bisamides from Aglaia edulis. Phytochemistry. 52, 1085-1088. Sastrodihardjo, S dan S. Sastrowiyono. 1983. Kembali Mencari Bahan Aktif Pestisida dari Bahan Alam Tumbuhan. Media Pestisida. B. 25-26. Sastrohamidjojo, H. 1995. Sintesis Bahan Alam. Edisi pertama. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Schmutterer, H. 1990. Properties and potential of natural pesticides from the neem tree
138
Desi Harneti P.H.
Azadirachta indica. Ann. Rev. Entomol.35 : 1271-1297. Schmutterer, H. & R. P. Singh. 1995. List of insect pest susceptible to neem products. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree- Source of Unique Natural products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge, Tokyo. Schoonhoven, L.M. 1982. Biological aspects of antifeedants. Ent.Exp & Appl. 31 : 57-69. Siswandono, dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. University Airlangga Press. Surabaya. Steven, M.C., 1993, Bioactive Natural Product : Detection, Isolation, and Structural Determination, CRC Press. Su, B.N., Chai, H., Mi, Q., Riswan,S., Kardono, L.B.S.,Afriastini, J.J., Santarsiero,B.D., Mesecar, A.D., Farnsworth, N.R., Cordell, G.A., Swanson, S.M., Kinghorn, A.D. 2006. Activity-guided isolation of cytotoxic constituents from the bark of Aglaia crassinervia collected in Indonesia. Bioorganic and Medicinal Chemistry. 14, 2006, 960-972. Syarif, A., dkk. 2004. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta. Tsao, R., Coats J.R. 1995. Starting From Nature to Make better Insecticides. American Chemical Society. Chemtech. hal 23-28. Weber, S., J. Puripattanavong., V. Brecht., and A.W. Frahm. 1999. Phytochemical Investigation of
Daftar Pustaka
139
Aglaia rubiginosa. Journal Natural Product. 63, 636-642. Wood, D.L., R.M. Silverstain., and M. Nakajima. 1970. Control of Insects Behaviour by Natural Product. Academic Press. New York. Wu, T.S., M.J. Liou., C.S. Kuoh., C.M. Teng., T. Nagao., and K.H. Lee. 1997. Cytotoxic and antiplatelet aggregation principles from Aglaia elliptifolia. Journal Natural Product. 60, 606–608.
140
Desi Harneti P.H.
Daftar Pustaka
141
142
Desi Harneti P.H.
INDEKS
A A.lepthantha, 3 Aglaia, 2, 3 aglaiaglabretol B, 3 Aglaiastatin, 3 antikanker, 2, 3 Aglaia elliptica, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 58, 61 antikanker, 49, 50, 54, 55, 59, 61 Aglaia odorata, 61, 62, 63, 65, 66, 67 antileukimia, 62 Aglaia cinerea, 81 Aglaia crassinervia, 81, 82, 83, 85, 101 Aglaia pyricarpa, 81 Aglaiaglabretol A, 85, 86, 87, 91 Aglaiaglabretol C, 85, 98, 99 Aglaia edulis, 107, 108, 109, 110, 111, 116, 117 Aglaidithioduline, 109, 110 Aglaiduline,, 109 Aglaithioduline, 109, 110 B bisamida, 3 benzo[b]oksepin, 64 biosintesis, 61 benzo[b]oxepines, 109, 110 bisamida, 109, 123, 125, 128, 130 (141)
144 Desi Harneti P.H. D dammaran, 101 DNA, 5, 7, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20.58, 61 DMBA, 66, 67, 70, 72, 73, 74 E epimer, 94, 95, 97, 99, 101, 104 epiokotillol, 84, 102 Edulisone A dan B, 110 F flavaglin, 123, 124, 128, 129, 130, 132, 133 H hormone-dependent breast cancer, 53 hormone-dependent prostate cancer, 53 human epidermoid carcinoma), 53 human fibrosarcoma, 53 human melanoma, 53 human nasopharyngeal, 53 I insektisidal, 49 K kanker, 1, 2, 3, 4,5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 22, 23, 25, 41, 42, 44, 45 karsinogen, 7, 12, 13,68, 69, 70, 74, 75 kemoterapi, 9, 14, 15, 41
Indeks
143
L Lansat-lansat, 81 Lantupak,, 81 M Meliaceae, 2 metastasis, 6, 9, 22 metil rokaglat, 50 O odorin, 62, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 80, 81 odorinol, 62, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 80, 81, 82 P paklitaksel, 86, 104 P-388, 62 papiloma, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81 peroksinitrit, 69, 74, 79, 80 piriferin, 123, 128 R rokaglaol, 3, 86, 102, 103 rokaglat, 3, 4 rokaglamida, 64, 65, 66 RNA,, 61 rokaglamida., 109, 124
144 Desi Harneti P.H. S sel Lu1, 83, 86 siklopenta[b]benzofuran, 3 siklopenta[bc]benzopiran, 64 siklopentatetra[b]hidrobenzofuran, 64 skopoletin, 85, 102 siklopenta[b]benzofuran, 50, 51, 53, 54 siklopenta[bc]benzopiran, 109, 124, 129 Siklopenta[bc]benzopiran, 124 siklopentatetrahidrobenzofuran, 109 Spodoptera littoralis, 107, 111, 112, 114, 115 T tetrahidrofuran, 93, 97, 104 triterpenoid, 3 tumor, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 17, 24, 41, 43, 45 Tapsakin-A, 64, 65 tikus putih betina, 59, 60 tumor, 49, 50, 59, 60, 61 TPA, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 77, 80
Sekilas Tentang Penulis Desi Harneti Putri Huspa, MSi. Pendidikan : 1985 : SD ST. Agustinus Bandung 1988 : SMPN 2 Bandung 1991 : SMAN 2 Bandung 1996 : Sarjana Kimia Unpad (Cumlaude) 2001-2003 : Magister Kimia Organik ITB (Cum Laude)
Pengajaran : Pernah mengajar di Bimbingan Belajar Sony Sugema College (1996-1998). Sejak tahun 1998 sampai sekarang, mengajar di UNPAD dalam matakuliah : Kimia Dasar, Kimia Organik, Kimia Bahan Alam dan Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Membimbing skripsi S-1. Penelitian : Pada tahun 1996, meneliti sintesis senyawa organik bahan alam. Sejak tahun 2003 sampai sekarang meneliti kandungan senyawa aktif dari tumbuhan Indonesia genus Aglaia dan Toona. Publikasi : Seminar Nasional dan Internasional dan Laporan Riset. Penulis adalah anak ke-9 dari pasangan Hoesbir Hoesein dan Alinah Nurdin. Pada tahun 1999, menikah dengan Urip Muryanto, S.Si., dan sekarang telah dikarunia satu orang putri dan dua orang putra. UNPAD PRESS
ISBN 978-979-3985-55-8