Boks 1
SUPLEMEN I
SENSITIVITAS PERTUMBUHAN EKONOMI SUMSEL TERHADAP HARGA KOMODITAS PRIMER; PENDEKATAN PANEL DATA Perekonomian Sumatera Selatan (Sumsel) berbasis pada sektor-sektor primer. Sektor primer inilah yang merupakan andalan perekonomian Sumsel dan merupakan sektor di mana jutaan penduduk menggantungkan hidup mereka, baik sebagai petani atau pekebun, dan pengusaha. Sektor primer Sumsel mempunyai sub sektor andalan yakni sektor tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit. Dua Karet dan kelapa sawit merupakan komoditas andalan Sumsel. Tingginya permintaan karet alam dan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di pasar dunia telah membuat harga kedua komoditas tersebut terus meningkat (lihat grafik B.1) dan tentunya mempengaruhi dinamika perekonomian Sumsel.
300.00
700.00
250.00
600.00 500.00
200.00
400.00 150.00 300.00 100.00
200.00
50.00
US$/metrik ton
Sen US$/Kg
Grafik B.1.1 Harga Rata-Rata Bulanan Karet dan Kelapa Sawit di Pasaran Internasional
100.00 0.00 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
0.00
2000
2001
2002
2003
Harga Karet
2004
2005
2006
Harga Sawit
Sumber : Bloomberg Di Sumsel, terdapat beberapa kabupaten yang mempunyai keunggulan di sektor perkebunan. Keunggulan masing-masing kabupaten di Sumsel dicerminkan dari angka 1 Location Quotient (LQ) sub sektor perkebunan yang masing-masing diatas 1. Masingmasing kabupaten/kota yang mempunyai angka LQ di atas 1 adalah: Ogan Komering Ilir (OKI), Lahat, Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Banyuasin, 1
LQ adalah sebuah indeks untuk membandingkan share sektor ekonomi dari suatu daerah dengan sektor ekonomi yang sama secara agregat. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Triwulan III 2007
Boks 1
Musi Rawas (MURA), Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Ogan Ilir (OI), dan kota Pagaralam. Seiring dengan naiknya harga karet dan komoditas primer lainnya, PDRB sub sektor perkebunan masing-masing kabupaten dimaksud terus menunjukkan peningkatan. Grafik B.1.2 PDRB sub Sektor Perkebunan per Kabupaten 700,000
Dalam Juta Rupiah
600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Muraenim
OKI
OKU
Lahat
Mura
Banyuasin
OKUS
OKUT
OI
Pagaralam
Provinsi Sumsel selama ini memberikan sumbangan yang besar dalam produksi karet dan sawit nasional. Sebagian karet dari Sumsel merupakan bahan baku bagi industri crum rubber dan CPO dengan tujuan pasar internasional. Dengan demikian, industri pengolahan yang berbasis karet maupun sawit di Sumsel sangat dipengaruhi oleh dinamika pasar internasional. Dalam kurun waktu 2005-2006 telah terjadi kenaikan harga karet sebesar 175,7 persen, sedang rata-rata kenaikan harga mencapai 21,47 persen per tahun. Dalam periode yang sama, kenaikan harga kelapa sawit mencapai 170 persen, serta ratarata kenaikan per tahun sebesar 21,49. Begitu bergairahnya perdagangan karet dan sawit di pasar internasional, perlu untuk diketahui bagaimana sensitivitas pertumbuhan ekonomi Sumsel terhadap perkembangan harga karet dan sawit di pasaran internasional. Seperti fakta-fakta yang sebelumnya telah dijelaskan, maju-mundurnya perekonomian Sumsel sangat tergantung pada dinamika. Dalam rangka untuk mengetahui sensitivitas dimaksud secara lebih spesifik maka dikembangkan beberapa model ekonometrik. Dalam model ekonometrik yang dikembangkan, pertumbuhan ekonomi Sumsel dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga karet dan sawit di pasar internasional. Dalam memodelkan hubungan kedua variabel tersebut, digunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing 14 kabupaten/kota di Sumsel dan harga rata-rata bulanan komoditas karet dan sawit. Selain itu, untuk menangkap situasi perekonomian domestik digunakan variabel tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka waktu 1 bulan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat suku bunga SBI dihipotesiskan negatif. Estimasi atau perhitungan model tersebut menggunakan teknis analisis ekonometrik dengan regresi panel data (panel data regression). Dengan
Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Triwulan III 2007
Boks 1
menggunakan regresi panel data, maka dapat diketahui sensitivitas pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya dalam estimasi model juga menggunakan pendekatan fixed effect model (FEM). Estimasi model yang digunakan: Log PDRBit = ß1 - ß2 SBI(-t)t + ß3 log(karet(-3))t + ß4 log(sawit(-3)) t + µit i = kabupaten-kabupaten/kota (yang berjumlah 14) t = periode waktu bulanan (2000-2005) Data PDRB yang digunakan adalah data PDRB non-migas (PDRBNM) dan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), sementara untuk data harga karet dan sawit di pasaran dunia bersumber dari Bloomberg. Periode penelitian meliputi tahun 2000 sd. 2005, mengingat data PDRB per kabupaten yang sudah dipublikasikan BPS saat ini hanya sampai dengan tahun 2005. Periode data PDRB bersifat tahunan dan diubah melalui metode intrapolasi untuk mendapatkan data PDRB bulanan dengan bantuan aplikasi Eviews 4.1. Untuk mendapatkan informasi sensitivitas atau elastisitas antara PDRB dan harga karet dan sawit, maka fungsi menggunakan bentuk logaritma (log). Sementara itu, lag waktu (-t) pada masing-masing variabel digunakan untuk melihat jeda waktu (time lag) pengaruh dari variabel-variabel independen terhadap dependen. Dengan menggunakan model maka diperoleh hasil sebagai berikut: PDRBit = ß1 - 0.001886 SBI(-10) + 0.190181 karet(-3) + 0.025097 sawit(-3) (persamaan B.1) se = (0.000626 ) (0.010611) (0.008174) t = (-3.010612) (17.92230) (3.070516) Hasil estimasi model menunjukkan bahwa hubungan antar variabel-variabel sesuai dengan hipotesis yang telah dibangun dan memenuhi uji statistik. Hal tersebut terlihat dari tanda koefisien masing-masing variabel. Intepretasi dari estimasi model adalah setiap kenaikan 1 persen rata-rata harga karet di pasaran dunia akan menciptakan pertumbuhan ekonomi di Sumsel sebesar 0.19 persen, sedangkan untuk sawit adalah setiap kenaikan 1 persen ratarata harga sawit akan menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.025 persen. Sementara pengaruh SBI jauh lebih rendah yakni sebesar -0.001828 atau dapat diintepretasikan bahwa setiap kenaikan 1 persen SBI akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Sumsel sebesar 0.0018 persen. Dengan membandingkan besarnya masing-masing koefisien maka diketahui bahwa harga karet dan sawit mempunyai pengaruh yang lebih besar ketimbang SBI terhadap pertumbuhan ekonomi Sumsel. Selain itu, pengaruh SBI terhadap pertumbuhan ekonomi Sumsel mempunyai time lag yang cukup panjang yakni 10 bulan. Persamaan B.1 merupakan estimasi model yang melibatkan seluruh 14 kabupaten/kota. Dengan regresi panel data, dimungkinkan kita untuk mengetahui pengaruh kenaikan harga karet dan sawit terhadap pertumbuhan ekonomi kabupatenkabupaten yang mempunyai LQ sub sektor perkebunan di atas 1. Melalui metode yang sama diperoleh persamaan B.2 sebagai berikut:
Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Triwulan III 2007
Boks 1
PDRBit = ß1 - 0.003221 SBI(-11) + 0.148599 karet(-3) + 0.040657 sawit(-3) (persamaan B.2) se = (0.000643 ) (0.010927) (0.008872) t = (-5.005742) (12.59959) (4.582593) Intepretasi persamaan B.2 tidak berbeda dengan intepretasi pada persamaan B.1. Pada B.2, berdasarkan magnitude masing-masing koefiesien pengaruh atau sensitivitas harga karet jauh terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada pengaruh harga sawit. Selanjutnya, dampak negatif SBI sedikit lebih tinggi ketimbang efeknya pada estimasi modal secara total yang melibatkan seluruh kabupaten. Sementara itu, untuk kabupaten yang mempunyai angka LQ sektor perkebunan kurang dari 1, dijelaskan oleh persamaan B.3. PDRBit = ß1 - 0.004832 SBI(-11) + 0.184814 karet(-3) + 0.046753 sawit(-3) (persamaan B.3) se = (0.001099 ) (0.018661) (0.015152) t = (-4.396573) (9.903737) (3.085597) Berdasarkan persamaan B.3, sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap harga dua komoditas primer tersebut lebih besar pada kabupaten yang mempunyai angka LQ perkebunan di bawah nol. Kita tentu bertanya kenapa kabupaten/kota yang LQ perkebunannya rendah (Palembang, Prabumulih, Muaraenim, Lubuklinggau, MUBA) mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibanding kabupaten yang mempunyai angka LQ perkebunan di atas 2? Ini merupakan satu pertanyaan yang cukup menggelitik kita untuk mendalami lebih jauh. Namun demikian, kondisi tersebut dapat saja terjadi dikarenakan beberapa hal sebagai berikut: (i) Pendekatan kepemilikan faktor produksi. Jika pemilik faktor-faktor produksi di sektor perkebunan, khususnya pemodal, sebagian besar berada di kota-kota atau kabupaten yang relatif lebih maju. Hal ini memungkinkan terjadi transfer hasil-hasil usaha perkebunan dari kabupaten-kabupaten penghasil karet atau sawit ke pemilik faktor-faktor produksi kota-kota besar di Sumsel berupa pengeluaran-pengeluaran konsumsi dan memberikan spillover effect terhadap sektor-sektor lainnya. (ii) Pendekatan agglomerasi industri. Hasil-hasil perkebunan, misalnya karet, biasanya dikirim ke kota-kota, misalnya Palembang untuk diolah menjadi crumrubber. Industri crum rubber biasanya banyak berkumpul di kota. Nilai tambah di industri pengolahan bisanya lebih tinggi daripada di sektor perkebunan itu sendiri. (iii) Pendekatan konsumsi. Kenaikan produksi atau usaha sektor perkebunan meningkatkan pendapatan kalangan petani atau pekebun. Kenaikan pendapatan biasanya diiringi oleh kenaikan konsumsi barang-barang. Kenaikan konsumsi barang-barang sudah tentu meningkatkan permintaan barang-barang dari luar kabupaten. Pasokan barang-barang kepada kabupaten-kabupaten biasanya dipenuhi dari kota-kota di Sumsel. Pada akhirnya kenaikan permintaan barangbarang dan jasa memberikan spillover effect terhadap sektor-sektor lainnya. Implikasi Kebijakan Beberapa implikasi sehubungan dengan keterkaitan antara perkembangan harga karet dan sawit dengan pertumbuhan ekonomi Sumsel, terdapat beberapa implikasi sebagai berikut: Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Triwulan III 2007
Boks 1
(i)
Melihat cukup sensitifnya pertumbuhan ekonomi Sumsel terhadap pergerakan harga karet dan sawit di pasar internasional, maka dengan demikian sektor perkebunan sangat terkait erat dengan situasi perekonomian dunia, khususnya permintaan karet dan sawit. Keterkaitan tersebut juga memberikan resiko rentannya perekonomian Sumsel terhadap gejolak perekonomian internasional. Kenaikan ekspor Sumsel pada kedua komoditas tersebut belakangan ini dikarenakan situasi harga di pasaran internasional sedang baik, namun bukan disebabkan naik produktivitas produksi komoditas dimaksud. Kelemahan yang biasa terjadi di negara-negara berkembang yang perekonomian berbasis pada komoditas primer, biasanya mereka selalu menganggap bahwa kenaikan atau bagusnya harga-harga komoditas primer mereka merupakan fenomena yang akan berlangsung seterusnya. Sebaliknya jika terdapat external shock berupa goncangan pada harga komoditas primer, mereka selalui berfikir bahwa hal tersebut hanya terjadi untuk sementara.
(ii)
Untuk memaksimalkan benefit dari kenaikan harga karet dan sawit maka harus sub sektor perkebunan Sumsel agar selalu dapat merespon permintaan dunia, baik dari sisi kuantitas dan kualitas karet alam. Dengan demikian, strategi pengembangan perkebunan karet dan sawit harus dilakukan dengan menitikberatkan upaya peningkatan produktivitas hasil perkebunan dan peningkatan mutu karet maupun sawit yang memenuhi standar kualitas internasional.
(iii)
Untuk mendukung pengembangan karet dan sawit selain diperlukan sumber pembiayaan yang terjangkau juga harus diiringi dengan penciptaan iklim usaha melalui sinkronisasi ketentuan.Berdasarkan survei-survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia Palembang, peningkatan produksi di sektor perkebunan masih terhambatnya perluasan lahan akibat tingkat produktivitas kebun yang rendah, kekurangtersediaan sumber pembiayaan untuk ekspansi lahan maupun penanaman kembali (replanting), regulasi investasi yang dirasakan tidak kondusif, dan rendahnya law enforcement terhadap pelanggaranpelanggaran regulasi di sektor perkebunan, dan pengenaan pajak serta pungutan daerah yang dinilai kontraproduktif.
Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Triwulan III 2007