SEMINAR NASIONAL
PEMBINAAN ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAK ANAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
Oleh : Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum.
PUSAT KAJIAN PEREMPUAN DAN ANAK FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER JEMBER, 9 MEI 2012
PEMBINAAN ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAK ANAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
Oleh : Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum.
A. Pendahuluan Anak sebagai generasi muda merupakan salah satu sumber daya manusia yang memiliki peranan strategis bagi pembangunan dan masa depan bangsa. Anak yang usianya masih muda memerlukan bimbingan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental, dan sosial. Untuk memberikan pembinaan anak sangat diperlukan dukungan dari masyarakat khususnya negara. Upaya perlindungan hukum terhadap anak lebih ditekankan pada hak-hak anak. Demikian juga halnya dengan anak pidana, perlindungan hukum terhadap anak pidana lebih ditekankan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak pidana.1 Beberapa peraturan perundang-undangan telah diundangkan dalam rangka mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak khususnya anak yang bermasalah dengan hukum. Di Indonesia perlindungan terhadap anak yang secara khusus diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan beberapa ketentuan lain yang berupa Keputusan Menteri, dan Keputusan
Direktur Jenderal
Pemasyarakatan dan lain-lain. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut diatas, untuk pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum ditempatkan secara khusus, dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Untuk menjalankan proses pembinaan terhadap Anak Didik
Pemasyarakatan, khususnya anak pidana, maka peran pemerintah, aparat penegak hukum,
1
Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hal, 3.
2
dan masyarakat sangat diperlukan. Peran-peran ini ternyata sangat penting dalam rangka untuk menentukan berhasil atau tidaknya pembinaan anak pidana tersebut. Pembinaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah Nomor. 31 Tahun 1999 tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani Anak Didik Pemasyarakatan sehingga Anak Didik tersebut akan menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Hijmans menyebutkan dua alasan pentingnya Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai berikut. a. Pelanggar hukum muda usia paling peka terhadap pengaruh dari luar, baik pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif. b. Menurut statistik residivisme pelanggar hukum muda usia merupakan bibit kriminalitas yang lebih potensial.2 Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak bisa menjadi pengganti rumah bagi anak. Banyak yang merasa bahwa Lembaga Pemasyarakatan Anak menimbulkan banyak kerugian bagi anakanak dan selayaknya ditutup. Muladi menyatakan bahwa pidana penjara termasuk Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat menyebabkan dehumanisasi dan cap jahat atau stigma.3 Sedangkan pihak yang lain menganggapnya sebagai harapan terakhir yang seharusnya digunakan ketika hal yang lainnya tidak berhasil; namun pihak yang lainnya mendukung peningkatan penggunaannya karena pengaruhnya yang bisa membatasi tindak kejahatan anak.4 Namun demikian, kelemahan pidana penjara termasuk Lembaga Pemasyarakatan Anak juga diungkapkan dalam kesimpulan Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa yang menyebutkan bahwa ”In many countries, the role and functions of penal institutions were the subject of vigorous debate, and there was in crisis in public confidence regarding the
2
Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal, 86. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hal, 235. 4 Bagong Suyanto, Pelanggaran Hak Dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Rawan, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal, 64 3
3
effectiveness of improsenment and a tendency to discount the capasity of
correctional
institutions to contribute to control or reduction of crime.5 Sebagaimana dikemukakan oleh Clemen Bartollas bahwa penempatan anak dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak hendaknya dijadikan sebagai pilihan terakhir untuk jangka waktu pendek. Therefore the placement of a juvenile in an institution should always be a disposition of last resort and of the minimum necessary period. This case is considering private freedom usually seized by the judge for the juvenile conducting serious crime. As presented by Clemen Bartollas that the placement of a juvenile in an institution should become the last choice for short period of time.6 Demikian juga pendapat dari Bagong Suyanto yang menyebutkan, bahwa secara normatif bila seorang hakim terpaksa memenjarakan terdakwa anak, maka seyoganya pilihan tersebut merupakan pilihan yang terakhir dan semata-mata demi kepentingan anak, agar anak dapat bertobat memperbaiki dirinya. Putusan pemenjaraan anak harus merupakan pilihan terakhir karena penjara atau lembaga pemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi, dimana anak yang masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak bukan menjalani proses pembinaan tapi justeru menjalani proses pembelajaran untuk lebih berani dan lebih professional dalam melakukan kejahatan.7 Sesuai dengan ketentuan Rule 19.1. The Beijing Rules yang menyebutkan bahwa “The plecement of a juvenile in an institution shall always be a disposition of last resort and of the minimum necessary period”. Ketentuan Pasal 19 The Beijing Rule bertujuan membatasi penempatan anak di lembaga pemasyarakatan dengan memperhatikan dua hal: kuantitas (pilihan terakhir) dan waktu (lama waktu sesingkat mungkin). Pasal 19 The Beijing Rules menggambarkan prinsip arahan mendasar dari resolusi 4 Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa ke-6: seorang anak sebagai pelaku pelanggaran seharusnya tidak dipenjara, kecuali jika tidak ada cara lainnya yang sesuai. Oleh karena itu peraturan tersebut mengajukan banding jika seorang anak harus dipenjara, hilangnya kebebasan seharusnya dibatasi dalam derajat seringan mungkin, dengan penanganan lembaga 5
Fifth United Nation Congress on The Prevention of Crime and Threatment of Offenders, 1975, hal 32.
6
Clemen Bartollas, Juvenile Delinquency, Macmillan Publishing Company, New York, 1990. hal, 454.
7
Bagong Suyanto, 2003, Opcit., hal, 64.
4
pemasyarakatan secara khusus untuk penahanan dengan mengingat perbedaan pelaku, pelanggaran dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, prioritas harus lebih ditekankan pada lembaga pemasyarakatan yang terbuka dibandingkan yang tertutup. Selanjutnya, fasilitas hendaknya lebih bersifat koreksional atau edukasional dari pada sebagai tempat tahanan. Sementara itu penjelasan Rule 17.1.a The Beijing Rules yang menyebutkan “The reaction taken shall always be in proportion not only to the circumstances and the gravity of the offence but also to the circumstances and the needs of the juvenile as well as to the needs of the society” .
Bagi anak-anak nakal yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara atau pidana kurungan), selanjutnya di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, untuk mendapat perawatan, bimbingan, pembinaan serta pendidikan, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Dalam rangka pembinaan, anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan atas dasar: umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Undang U
ndang
Pemasyarakatan. Dalam Pasal 23 Undang Undang Pemasyarakatan, program pembinaan yang ditetapkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak wajib diikuti oleh anak pidana. Selanjutnya dalam Pasal 24 Undang Undang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa untuk kepentingan: pembinaan, keamanan, ketertiban, pendidikan, proses peradilan, dan kepentingan lain yang dianggap perlu, anak pidana dapat dipindahkan dari satu Lembaga Pemasyarakatan Anak ke Lembaga Pemasyarakatan Anak lainnya. Demikian pula dalam Rule 26 The Beijing Rules telah diatur tentang ketentuan mengenai perlakuan terhadap Anak Pidana di dalam lembaga sebagaimana diatur dalam Rule 26, sebagai berikut ”The objective of training and treatment of juveniles places in institutions is to provide care, protection education and vocational skills, with a view to assisting them to assume socially constructive and productive rules in society”
Dalam penjelasan Rule 26 The Beijing Rules menyebutkan: Ternyata tujuan perlakuan lembaga pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam Rule 26.1. dan Rule 26.2. bisa diterima oleh sistem dan kultur mana saja. Namun demikian, belum dapat dilaksanakan ditempat lain, dan masih banyak yang harus dilakukan. Secara khusus bantuan medis dan psikologis sangat penting bagi para pecandu, anak-anak muda yang nakal dan sakit jiwa, yang ditahan di lembaga pemasyarakatan. Mencegah pengaruh negatif dari pelaku 5
pelanggaran dewasa dan perlindungan kesejahteraan anak dalam suatu lembaga pemasyarakatan, sebagaimana disebutkan dalam Rule 26.3. Sejalan dengan salah satu prinsip dasar peraturan tersebut, dirumuskan oleh kongres ke-6 pada resolusi 4. Peraturan tersebut tidak menghalangi negara menggunakan prosedur lain dalam menghindari pengaruh negatif tahanan dewasa, yang setidaknya sama efektifnya dengan prosedur yang disebutkan dalam peraturan tersebut (lihat Rule 13.4). Rule 26.4. menunjukkan fakta bahwa anak perempuan sebagai pelaku pelanggaran pada umumnya kurang menerima perhatian dibandingkan anak laki-laki, sebagaimana disebutkan kongres ke-6. Secara khusus resolusi 9 kongres ke-6 menuntut perlakuan yang adil bagi anak perempuan sebagai pelaku pelanggaran pada setiap tahap proses peradilan pidana dan untuk perhatian khusus bagi kebutuhan pribadi mereka saat ditahan. Lebih lanjut peraturan ini seharusnya mempertimbangkan sorotan deklarasi Caracas dari kongres ke-6 yang menuntut perlakuan yang adil dalam pelaksanaan peradilan pidana dan menuntut dihapuskannya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hak akses (Rule 26.5) mengikuti Rule 7.1; 10.1; 15.2; dan 18.2. Kerjasama kementerian dan antar departemen (Rule 26.6) adalah penting guna meningkatkan kualitas pelatihan di lembaga pemasyarakatan) (Rule 26 The Beijing Rules). Di Indonesia, dalam praktek kondisi perlindungan hak anak pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pemasyarakatan dan The Beijing Rules. Secara psikologis, kondisi Lembaga Pemasyarakatan Anak yang tidak kondusif
menghambat efektivitas proses pembinaan anak pidana. Kondisi yang tidak kondusif tersebut antara lain: iklim (sfeer) Lembaga Pemasyarakatan Anak yang tidak sosiabel (tidak menjamin anak dapat bersosialisasi secara baik); pembina tidak menguasai pengetahuan kesehatan mental atau psikologi anak sehingga tidak mampu mengetahui kondisi psikologis masingmasing anak, akibatnya pembina tidak memahami apa sebenarnya yang dibutuhkan masingmasing anak; kurikulum atau materi pembinaan, serta fasilitas pembinaan tidak membantu bagi perkembangan kepribadian anak . Kondisi demikian sebenarnya tidak hanya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Anak di Indonesia, Hal ini diungkapkan oleh Anthony M. Platt dalam bukunya The Child Savers: The Invention of Delinquency, menulis tentang beberapa kelemahan penjara anak di Amerika Serikat. Menurut Anthony M. Platt, kelemahan penjara anak di Amerika Serikat, sebagai berikut: 1, There are many delinquents is imprisoned temporarily waiting for court hearing; 2, Prison has no sufficient ventilation therefore air circulation is not normal; 3, The 6
number of delinquent in each cell is surpassing cell capacity; 4, There is no sufficient lighting, consequently the prison is dark; 5, The cleanliness and orderliness of the prison is not guaranteed that make the prison dirty and disorder; 6, A juvenile as a witness sometimes is imprisoned temporarily in juvenile penal institution; 7, Juvenile penal institution also contains adult criminals that resulted coercion conducted by adult criminals against the juveniles.8 Diungkapkan oleh Platt, bahwa banyak anak nakal yang dipenjara sebagai titipan karena menunggu pemeriksaan sidang pengadilan; penjara anak tidak memiliki ventilasi yang memadai sehingga sirkulasi udara tidak normal; jumlah anak dalam tiap sel melebihi kapasitas sel; tidak ada penerangan yang cukup sehingga dalam penjara gelap; kebersihan dan kerapian penjara tidak terjamin sehingga penjara kotor dan tidak rapi; anak sebagai saksi ada kalanya juga dititipkan dalam penjara anak; penjara anak juga diisi dengan penjahat dewasa sehingga terjadi pemerasan oleh yang lebih tua terhadap yang lebih muda. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Anak yang demikian menguatkan pernyataan Robert E. Meire bahwa penjara sulit dapat mewujudkan apa yang diharapkan meskipun ada komitmen kuat untuk merehabilitasi, sebelum dihapuskannya kultur pembalasan yang ada di penjara.9
B. Teori Labeling (Teori Stigma) Selama hampir satu abad riset kriminologi di Amerika Serikat, berkembang dua tradisi yang mendominasi untuk mendiagnosa tentang apa yang “menyebabkan” terjadinya kejahatan, yakni tradisi Chicago dan tradisi Anomie. Masing-masing tradisi tidak hanya menyampaikan tentang teori perilaku jahat, namun juga gagasan tentang bagaimana penelitian seharusnya dilakukan, dan bahkan asumsi dasar tentang sifat kejahatan dalam masyarakat. Selama 25 tahun terakhir, muncul dua pendekatan (perspektif labeling dan kriminologi kritis) yang keduanya telah mengguncang kriminologi dan menggesernya dari tradisi yang dominan. Perspektif labeling kurang tertarik pada apa yang menyebabkan orang melakukan tindak kejahatan, perspektif labeling lebih tertarik pada aspek mengapa kita bereaksi pada kejahatan dan penjahat. Kriminologi kritis mengungkapkan struktur sosial 8 9
Anthony M. Platt, The Child Savers: The Invention of Delinquency, Enlarged, The University of Chicago, USA, 1977, hal.,118-120. Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah dan Azas-Azas Penology (Pemasyarakatan), Armico, Bandung, 1984, hal, 219.
7
ekonomi masyarakat dan hubungannya dengan hukum dan kejahatan. Perspektif labeling mencapai puncaknya sejak tahun 1960-an, yang menghasilkan belasan penelitian, essay, dan buku-buku yang menganalisis berbagai masalah kejahatan. Chicago group emerges in the beginning of 19th century. However the origin is positivism, an intellectual paradigm spread in Europe in the last 1800s. The main thought of positivism comprises the following ideas: (1) human behavior is caused by the existing power or factor behind individual’s control; (2) the researchers possessing knowledge with right method or technique can find out the causes; and (3) the researchers may improve evil behavior by treating the causing factors.10 Positivisme meliputi penjelasan perilaku secara biologis, psikologis, dan sosiologis. Bagi ahli positivisme sosiologis, kejahatan merupakan masalah penyakit sosial. Dengan memperhatikan kejahatan, gagasan tentang sebab-akibat, keahlian ilmiah, dan perbaikan menjadi dasar dari apa yang disebut sebagai model medis, yang pada akhirnya memberikan informasi bagi sistem pemasyarakatan kita, termasuk program pembinaan di penjara, pembebasan bersyarat, dan sekolah pelatihan untuk anak.11 Para sosiolog di Universitas Chicago menawarkan analisis utama perilaku pidana di Amerika Serikat, yang dirancang dalam positivisme sosiologis. Di awal abad 19, Chicago mengalami pertumbuhan populasi yang berlebihan, hasil revolusi industri, urbanisasi, dan imigrasi skala besar dari Eropa. Menurut sosiolog Chicago, sarana sosialisasi seperti keluarga terlampaui oleh ukuran dan keanekaragaman aliran populasi, sehingga kontrol sosial menjadi rusak. Yakni, kejahatan bisa disebabkan oleh disorganisasi sosial. Mereka melakukan penelitian ini secara empiris dan menunjukkan bahwa lingkungan transisi yakni yang mengalami pertumbuhan khususnya dari populasi etnis memiliki tingkat kejahatan tertinggi. Kelompok Chicago mendominasi sosiologi dan kriminologi sepanjang tiga dekade pertama abad 19. Namun demikian, dominasinya mulai menurun pada tahun 1930-an antara lain karena kritik teori disorganisasi sosial. Hasilnya adalah kemunculan tradisi teori anomie yang mendominasi pemikiran krominologi. Selama lebih dari setengah abad, para kriminolog di Amerika Serikat mencoba menjelaskan etiologi of crime. Teori labeling (teori stigma) muncul sebagai suatu perspektif 10
Gray Cavender, Alternative Theory: Lebeling And Critical Perspectives, dalam, Joseph F. Sheley, Criminology, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, United States of America, 1991, hal, 316. 11 Philip Bean, Rehabilitation and Deviance, Routledge & Kegan Paul, London, 1976, hal, 135.
8
baru yang menakjubkan dalam kriminologi pada tahun 1960-an. Para kriminolog yang menulis dari perspektif labeling tidak tertarik pada pertanyaan etiologi, mereka lebih tertarik pada pertanyaan mengapa banyak orang dianggap menyimpang, dan apa yang terjadi jika mereka dianggap menyimpang. Para ahli teori labeling (teori stigma) lebih peduli dengan proses definisional dimana suatu tindakan seseorang secara sosial didefinisikan sebagai penjahat atau orang yang melakukan perilaku menyimpang. Label (stigma) menyimpang berasal dari proses definisional dimana sejumlah masyarakat mengkualifikasikan perilaku tertentu sebagai hal yang menyimpang (labelisasi atau stigmatisasi), menganggap orang yang melakukan perilaku tersebut sebagai penjahat, dan memberikan respon atau reaksi kepada mereka yang dikualifikasikan sebagai penjahat. 12 Tidak ada perilaku jahat sebagai bawaan lahir. Perilaku jahat merupakan produk dari interaksi sosial. Oleh karena itu, para ahli teori labeling (teori stigma) lebih tertarik pada analisis historis (historical approach) tentang bagaimana dan mengapa perilaku tertentu dikualifikasikan jahat atau dilabelisasi sebagai jahat (di-cap sebagai jahat). Pada umumnya, analisis teori labeling (analisis teori stigma) menolak pendapat tradisi Chicago dan tradisi anomie yang berpendapat bahwa aturan merupakan suatu produk konsensus sosial. Analisis labeling (analisis stigma) berpendapat bahwa aturan merupakan produk sudut pandang masyarakat dan kekuasaan yang berinisial hukum. Ahli teori labeling (teori stigma) menyebut orang-orang ini sebagai “moral entrepreneurs”, yang posisi moralnya atau pandangan tentang benar dan salah, menjadi aturan definisional.13 Bagi pendukung teori labeling (teori stigma) penegakan hukum merupakan “upacara serimonial penurunan status”, dimana hukum dijadikan standar untuk memvonis, melabelisasi, menstigmatisasi seseorang sebagai jahat atau tidak jahat. Akibat dari penurunan status adalah “hancurnya identitas”. Dengan hancurnya identitas pelaku, maka hampir dapat dipastikan, pelaku akan sulit diterima dan bersosialisasi dengan anggota masyarakat yang lain. Goffman mencatat bagaimana sulitnya menetralisir pengaruh hancurnya identitas karena stigma cenderung menjadi karakteristik dominan penjahat.14 Perspektif teori labeling menolak metode riset kriminologi. Perspektif teori labeling 12
Sue Titus Reid, Crime And Criminology, CBS College Publishing,, New York, 1985, hal, 199 Hugh D. Barlow, Introduction To Criminology, Little Brown and Company, Canada, 1984, hal, 53. 14 Gennaro F. Vito & Ronald M. Holmes, Criminology: Theory, Research, and Policy, Wadsworth Publishing Company, Belmont California, 1993, hal, 192. 13
9
menekankan metode riset lapangan dan observasi partisipan. Tujuan metodologi tersebut adalah menghasilkan “rangsangan observasi” yang berhubungan dengan penyimpangan. Kriminolog positivist mengkritik metode riset teori labeling. Mereka menyatakan bahwa tujuan kriminologi seperti tujuan ilmu pengetahuan pada umumnya, yakni mengembangkan fenomena pendekatan teoritis terhadap kejahatan dan perilaku yang menyimpang, yang bisa diuji dengan data. Hasil tersebut akan digunakan untuk merumuskan teori yang asli. Ini adalah sifat riset teoritis dari metode ilmiah. Beberapa kriminolog menyalahkan perspektif teori labeling karena tidak menawarkan hipotesis yang bisa diuji.15 Perspektif teori labeling menekankan pentingnya kekuasaan dalam hal siapa yang mengenakan label (stigma) dan siapa yang dikenai label (stigma). Namun demikian, para sarjana mengkritik konsepsi kekuasaan dari perspektif teori labeling. Pertama, kritik menyatakan bahwa posisi labeling (birokrasi resmi bereaksi dan memulai proses labeling) bukan saja mengabaikan pentingnya reaksi sosial informal, ia juga menyederhanakan hubungan yang kompleks dan hirarki yang menentukan sebagian besar organisasi pengendalian social. Misalnya, ketika orang berhubungan dengan organisasi seperti polisi, mereka biasanya berinteraksi dengan personel tingkat bawah atau tingkat menengah. para peneliti labeling mengabaikan kepentingan dari puncak organisasi pengendalian sosial. Perspektif labeling diakhiri dengan melakukan apa yang ia kritik pada kriminologi tradisional, Ia meneliti ketidakberdayaan dan mengabaikan hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat.16 Perspektif labeling merumuskan kekuasaan dalam ketentuan pluralistik. Aturan diciptakan sebagai akibat dari persaingan dan kompromi diantara kelompok yang berkepentingan dengan kekuasaan yang relatif sama, tidak ada satu kelompok yang memiliki kekuasaan untuk menentukan penyimpangan dari kelompoknya sendiri. Beberapa kritikus menyatakan bahwa pluralisme perspektif labeling adalah keliru. Kekuasaan tidak dibagi secara sama oleh kelompok yang bersaing kepentingannya, namun bisa dipahami hanya dalam struktur institusional yang lebih besar yang menentukan masyarakat kontemporer.17 Para ahli teori labeling jengkel karena mereka dikritik karena tidak memberikan penjelasan sebab akibat ketika tema sentral perspektif mereka (perspektif teori labeling) 15
Ibid. hal, 321. Joseph F. Sheley, Criminology, Wadsworth, United States of America, 1991, hal, 321. 17 E. Lemert, Issues in the Study of Deviance. The Sociological Quarterly, Mc. Graw Hill, New York, 1981, hal 285. 16
10
adalah meningkatkan ruang lingkup teori penyimpangan diluar masalah etiologi of crime. Para ahli teori labeling juga meyakini bahwa kritik telah keliru menyampaikan posisi mereka menyangkut masalah eksistensi reaksi sosial. Meskipun reaksi sosial sangat penting, para pelaku dan perilaku mereka juga merupakan bagian dari proses penyimpangan. Demikian juga, para ahli teori labeling memberikan respon bahwa pembahasan mereka tentang kejahatan dalam hal ini norma atau aturan sama validnya dengan yang ditawarkan oleh para pengkritik mereka (pengkritik perspektif teori labeling).18 Organisasi pengendalian sosial merupakan topik penelitian yang berharga bagi perspektif teori labeling. Pengambilan keputusan dipahami sebagai proses holistik interpretasi, kategorisasi, dan afirmasi yang dikendalikan oleh norma operasional lembaga tertentu. Peranan media merupakan salah satu fokus perspektif teori labeling, sebab media merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam proses labelisasi atau pemberian cap jahat pada seseorang meskipun orang tersebut sudah selesai menjalani pidana secara adil. Media adalah sumber informasi yang signifikan tentang dunia di sekitar kita, mereka menuntun menentukan pandangan kita, atau setidak-tidaknya ikut mempengaruhi pandangan individu tentang realitas berbagai masalah, termasuk untuk menentukan (mengkualifikasikan) sesuatu perbuatan sebagai perbuatan yang menyimpang atau yang tidak menyimpang.19 Berdasarkan uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa prinsip teori labeling mengingatkan bahwa pidana badan khususnya terhadap anak dapat berdampak negatif bagi anak yakni terjadinya stigma atau stempel pada anak sebagai penjahat. Kondisi demikian justeru akan mempersulit anak untuk bersosialisasi apalagi bertobat. Dalam kasus yang lebih ekstrim kegagalan pembinaan anak pidana dapat merubah anak pidana menjadi lebih jahat. Sebagaimana sudah dibahas bahwa menurut teori labeling, sistem sosial, termasuk sistem peradilan pidana terpadu tidak selalu efektif membuat para narapidana bertobat. Dalam konteks tertentu adakalanya sistem peradilan pidana terpadu termasuk proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan justeru merupakan proses pemberian label atau cap pada seseorang sebagai orang jahat. Cap, stempel, atau label jahat pada seseorang anak pidana ini pada gilirannya justeru dapat menjadi faktor pemicu sehingga seorang anak menjadi jahat, dengan pertimbangan, karena memang sudah di cap, di stempel, atau diberi 18 19
Joseph F. Sheley, 1991, Opcit., hal, 322. Joseph F. Sheley, 1991, Opcit., hal, 324.
11
label jahat, maka anak tersebut mengaktualisasikan kejahatannya meskipun sebenarnya dia memiliki bakat untuk menjadi orang baik. Dengan kata lain, perlu diteliti apakah proses pembinaan anak pidana efektif mentobatkan anak pidana, atau justeru membuat anak pidana lebih jahat karena gagalnya proses pembinaan. C. Hak dan Kewajiban Anak Pidana Hak-hak Anak Pidana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, sebagai berikut. a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. b. mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani. c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran. d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. e. menyampaikan keluhan. f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainnya yang tidak dilarang. g. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang-orang tertentu lainnya. h. mendapat pengurangan masa tahanan (remisi). i. mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga j. mendapat pembebasan bersyarat. k. mendapatkan cuti menjelang bebas, dan l. mendapatkan hak-hak yang sesuai peraturan perundang. Anak Didik Pemasyarakatan tidak memiliki hak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan seperti halnya narapidana dewasa. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tidak memberikan hak tersebut, sebab Anak Didik Pemasyarakatan tidak dipekerjakan baik di didalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini sejalan
12
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan yang melarang anakanak dibawah umur melakukan pekerjaan. Adapun kewajiban Anak Didik Pemasyarakatan yang harus dilaksanakan selama berada di Lapas Anak adalah sebagai berikut. a. Wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu (Pasal 23 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995). b. Wajib mentaati peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan Lapas Anak (Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995).
Pasal 47 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur 2 (dua) jenis hukuman disiplin sebagai berikut. a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi narapidana atai Anak Pidana. b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Hukuman disiplin sebagaimana tersebut diatas dapat dijatuhkan oleh Kepala Lapas Anak secara kumulatif. Selanjutnya didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 pada Pasal 47 ayat (4) mengatur bahwa bagi Anak Pidana yang mengulangi lagi perbuatannya dalam hal melanggar tata tertib lembaga atau mereka yang melakukan pelanggaran berat, dapat djatuhi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 x 6 hari = 12 (duabelas) hari. D. Landasan Pembinaan Anak Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan ke-IX di Kairo Mesir menghasilkan instrumen internasional yang mengatur perlindungan hak-hak anak yang bermasalah dalam bidang hukum (Children in Conflict with the Law), sebagai berikut:
13
a. Resolusi PBB 1386 (XIV) pada tanggal 20 November 1959 yang dikenal dengan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak 1959). b. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Adopted by the Firs United Nations Congres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Geneva in 1955, and approved by the Economic and Social Council by its Resolutions 663C (XXIV) of 31 July 1957 and 2076 (LXII) of 13 May 1977. c. Part I, Prinsip ke 8 (d) menyebutkan bahwa young prisoners shall be kept separate from adults. d. Prinsip ini menegaskan bahwa para narapidana yang belum cukup umur harus ditempatkan terpisah dari narapidana dewasa. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi dampak negatif dari komunikasi antara narapidana dewasa dengan narapidana anak-anak. Lebih lanjut ditegaskan Part II ke 70, bahwa narapidana hendaknya diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria kesamaan jenis kelamin, usia, jenis kejahatan, karakter masing-masing narapidana, untuk selanjutnya disiapkan, dan diterapkan metode pembinaan yang berbeda pula yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing narapidana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Part II, ke 70, yang
menyebutkan
bahwa system of privileges appropriate for the different classes of prisoners and the different methods of treatment shall be established at every institution, in
14
order to encourage good conduct, develop a sense of responsibility and secure the interest and co-operation of prisoners in their treatment.20 e. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 tentang Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Remaja (The Beijing Rules). f. Resolusi Majelis Umum PBB 43/173, tanggal 9 Desember 1988, tentang Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada Dalam Tahanan atau Pemenjaraan. Prinsip 5 ke-2 menyebutkan bahwa Measures applied under the law and designed solely to protect the rights and special status of women, especially pregnant women and nursing mothers, children and juveniles, aged, sick or handicapped persons shall not be deemed to be discriminatory. The need for, and the application of, such measures shall always be subject to review by a judicial or other authority.
Prinsip 5 ke-2 menegaskan bahwa langkah-langkah yang diberlakukan menurut undang-undang dan dirancang semata-mata untuk melindungi hak-hak dan status khusus wanita, terutama wanita hamil, ibu yang menyusui dan anak-anak, dan remaja, orang yang berusia lanjut, orang-orang yang sakit atau cacat tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi. Kebutuhan dan penerapan langkah-langkah tersebut harus selalu tunduk pada peninjauan kembali oleh pengadilan atau penguasa yang berwenang untuk itu. g. Konvensi Hak Anak (United Nation Convention on the Right of the Child), disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989.
20
Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan Beserta Peraturan Pelaksanaannya Dilengkapi Dengan Peraturan dan Prinsip Penahanan dan Pemenjaraan PBB, Harvarindo, Jakarta, 2000, hal, 193.
15
h. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 45/112 tanggal 14 Desember 1990 tentang Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja (The Riyadh Guidelines). i. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 45/113 tanggal 14 Desember 1990 tentang Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bagi Perlindungan Remaja yang Kehilangan Kebebasannya. j.
Protokol Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, Resolusi Dewan Umum PBB A/Res/54/263, tanggal 25 Mei 2000.21
Pada tahun 1990 Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peratifikasian ini tentunya mengakibatkan Indonesia terikat secara hukum untuk mengimplementasikan isi konvensi tersebut.22 Ada 10 (sepuluh) asas perlindungan anak yang diatur dalam Declaration of the Rights of the Child tersebut, sebagai berikut. 1. Anak berhak menikmati semua hak-haknya tanpa pengecualian. Dengan kata lain, anak berhak menikmati haknya tanpa memandang perbedaan yang ada. 2. Anak berhak mendapatkan perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lainnya. 3. Anak sejak dilahirkan berhak atas nama dan kebangsaan. 4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat. 5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus. 6. Agar supaya kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian. 7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurangkurangnya ditingkat Sekolah Dasar. 8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan. 9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, penghisapan. 21
Ibid. Eugenia Liliawati Muljono, Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Anak, Harvarindo, Jakarta, 1998, hal, 31. 22
16
10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah kebentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
Perlindungan anak didasarkan pada prinsip sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang perlindungan anak yaitu: (a) non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; (d) penghargaan terhadap anak. Hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak anak, sebagai berikut. a.
Hak terhadap kelangsungan hidup (Survival Rights).
b.
Hak terhadap perlindungan (Protection Rights).
c.
Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights), dan
d.
Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights).
Hak terhadap Kelangsungan Hidup (Survival Rights), yaitu meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (The Rights of Life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (The Rights to the Higest Standard of Health and Medical Care Attainable). Konvensi ini juga mewajibkan adanya perhatian khusus bagi anak-anak yang berada dalam situasi tertentu, misalnya terhadap anak yang terlibat kejahatan atau dikenal dengan istilah ”children in conflict with the law”. Dalam kaitannya dengan anak yang diketahui melakukan tindakan pidana, penanganannya lebih ditekankan agar mengutamakan asas-asas sebagai berikut. a. Asas Kesejahteraan Anak, dimana kesejahteraan anak sebagai hak asasi manusia harus tetap diutamakan meskipun dalam kondisi dimana anak sedang berkonflik dengan hukum. b.
Asas Proporsionalitas, dimana penanganan terhadap anak harus seimbang dengan tingkat kesalahan, penanganan harus sesuai dengan kebutuhan.23
Dalam Pasal 26 The Beijing Rules menunjukkan bahwa: a. Tujuan pelatihan dan pelaku anak-anak ditempatkan pada lembaga adalah untuk memberi perawatan, perlindungan, pendidikan dan keterampilan kejuruan,
23
Dwidja Priyatno, 2006, Opcit., hal, 85.
17
b.
c.
d.
e.
f.
dengan tujuan untuk membantu mereka dalam mengambil peranan yang konstruksif dan produktif dalam masyarakat. Anak-anak didalam lembaga akan menerima perawatan, perlindungan, dan semua bantuan, sosial, pendidikan, kejuruan, psikologi, pengobatan dan pemeriksaan kesehatan yang mereka butuhkan sesuai usia, jenis kelamin dan keperibadian serta kepentingan. Anak-anak di dalam lembaga akan dipisah dengan yang dewasa, dan akan ditahan di dalam suatu lembaga yang terpisah, atau didalam suatu bagian lembaga yang terpisah, dimana lembaga tersebut juga menampung orang dewasa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pelanggar perempuan yang masih muda ditempatkan didalam lembaga patut menerima perhatain khusus tentang kebutuhan dan problem pribadi mereka. Tetapi mereka ini sama sekali tidak akan menerima lebih akan perawatan, perlindungan, bantuan, perlakuan dan pelatihan dibandingkan dengan pelanggar laki-laki yang masih muda. Perlakuan terhadap mereka akan dilakukan secara adil. Sebagaimana juga diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk kepentingan dan kesejahteraan anak dilembaga, orang tuanya atau walinya akan memiliki hak untuk berkunjung. Sebagaimana juga diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kerjasama antar-menteri dan antar-departemen akan diperbantukan untuk tujuan pemberian pendidikan akademis yang memadai, atau pelatihan kejuruan bagi anak-anak yang dilembagakan, dengan tujuan agar mereka pada saat meninggalkan lembaga mempunyai bekal yang cukup dalam hal pendidikan.
Tujuan perlakuan di lembaga sebagaimana ditetapkan dalam Rule 26.2
sesuai
dengan kultur dan sistem manapun. Meskipun demikian, tujuan tersebut belum dapat dicapai oleh setiap negara, dan masih banyak yang harus diupayakan. Khususnya bantuan medis dan psikologis, adalah sangat penting bagi orang-orang muda yang dilembagakan yang kecanduan obat-obatan, yang sakit keras, yang sakit mental. Ini menunjukkan betapa pentingnya peranan psikolog sebagai ahli yang diharapkan tidak hanya mampu mendiagnosa kondisi kejiwaan Anak Pidana tapi juga mampu menentukan metode pembinaan yang sesuai dengan masing-masing kebutuhan Anak Pidana. Hal ini juga yang sangat disayangkan karena dalam faktanya ahli psikologi tidak banyak dilibatkan dalam proses pembinaan Anak Pidana di Lapas Anak yang ada di Indonesia. Secara yuridis konstitusional sistem pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan salah satu perwujudan tugas negara sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia keempat yang menyebutkan bahwa ”... membentuk susunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...”. 18
Pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu. Perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian dari sistem pembinaan. Sistem pembinaan merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.24 E. SISTEM PEMBINAAN ANAK Pada awalnya sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak didasarkan pada Reglement Gevangenis Reklasering yang diubah dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor KP. 10. 13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai suatu Proses, serta Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 02/PA. 10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana diadakan pembaharuan konsepsi pembinaan dengan konsep pengayoman yang dikenal dengan treatment system, dimana pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dikelompokkan menjadi empat tahap pembinaan yaitu: admisi, orientasi, asimilasi, dan integrasi. Tahun 1995 diundangkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, kemudian tahun 1999 diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dirubah menjadi tiga tahap yaitu: awal, lanjutan, dan tahap akhir. Secara formal pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak lebih cenderung Risk Management dari pada Risk Need Model (Model Penyembuhan Perilaku). Karena keterbatasan sarana dan prasarana pola pembinaan anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak metodenya belum bersifat Inovatif, Social Rehabilitation, Educational Rehabilitation, dan Medical Rehabilitation.25
24 25
Sari Mandiana, dkk, 2005, Opcit., hal, 2-5. Ibid., hal, 7.
19
Pembinaan model Risk Managament (Manajemen Resiko) tidak hanya gagal mencegah individu tidak mengulangi kejahatan tetapi justeru meningkatkan tendensi individu untuk menjadi residivis, memberi peluang terjadinya revictimization bagi masyarakat.26 Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas-asas, sebagai berikut. a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderiataan; dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1995, dinyatakan bahwa: Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan. Sedangkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilaksanakan: a. secara intramural (di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak); dan b. secara ekstramural (di luar Lembaga Pemasyarakatan Anak). Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, mengatur bahwa, pembinaan secara ekstramural juga dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan. 26
Reza Indragiri Amriel, Menggugat Remisi, Psikologi Forensik, Jurnal Keadilan Volume 2 No. 3, 2002., hal, 15.
20
Menurut Dwidja Priyatno, beberapa hal yang perlu ditekankan dalam pembinaan terhadap narapidana adalah, sebagai berikut. a. Social rehabilitation. Dilakukan bimbingan sosial berupa penyuluhan, pengarahan dan pembinaan kepribadian, agar mereka kelak hidup sebagai manusia yang punya kepribadian dan iman. b. Vocation rehabilitation, berupa bimbingan sosial dan penekanan pada ketrampilan yang tepat guna dan berhasil guna. Mengingat para narapidana setelah selesai menjalani masa hukuman, bisa kembali berkaryadi tengah masyarakat. Karena, tanpa persiapan, mereka bisa frustasi menghadapi tantangan lingkungan sosial baru. Tidak tertutup kemungkinan kambuh lagi. c. Education rehabilitation, berupa pendidikan prakstis. Karena tidak tidak tetutup kemungkinan ada narapidana yang butu huruf dan putus sekolah. d. Medical rehabilitation, perlunya pengobatan kesehatan/mental. Karena ada juga narapidana dari berbagai latar belakang permasalahan, misalnya karena stress, frustasi, dan lain-lain.27 Petugas Lembaga Pemasyarakatan, dalam melakukan tugas pembinaan, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. a. Harus mengutamakan disiplin dan luwes dalam bertindak. Tidak memperbolehkan narapidana keluar masuk Lembaga Pemasyarakatan tanpa alasan dan pengawasan ketat. Sehingga, tidak mudah lagi diperdaya dengan ”uang pelicin”. b. Dalam memperlakukan narapidana harus manusiawi. Mereka juga sama dengan kita, yang punya harkat dan martabat.28 Program rehabilitasi sosial meliputi lima program pembinaan yang diberikan selama narapidana anak menjalani masa hukumannya, sebagai berikut. a.
Pembinaan kesadaran agama;
b.
Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara;
c.
Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan);
d.
Pembinaan Kesadaran hukum;
e.
Pembinaan menginteraksi diri dengan masyarakat.
Sedangkan sistem pembinaan dan sasaran pembinaan dari program rehabilitasi sosial tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa sistem pembinaan rehabilitasi sosial itu mencakup: a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan ; c. Pendidikan ; 27 28
Dwidja Priyatno, , 2006, Opcit., hal, 97. Ibid., hal, 99.
21
d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Tujuan pembinaan rehabilitasi sosial mencakup, sebagai berikut. a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya; b. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional; c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin dalam sikap dan perilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang asas kesetiakawanan sosial; d. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara. Pembina anak harus menyediakan banyak alternatif metode pembinaan yang dapat dijadikan pilihan untuk masing-masing latar belakang, dan karakter anak pidana yang berbeda-beda. Pembina tidak dapat menyamaratakan metode pembinaan karena anak pidana pada umumnya memiliki latar belakang dan karakter yang heterogen. Demikian juga dengan situasi dan kondisi lingkungan lembaga pemasyarakatan. Situasi dan kondisi lingkungan lembaga pemasyarakatan. Pembinaan yang efektif disamping harus memperhatikan latar belakang dan karakter anak pidana juga harus memperhatikan situasi dan kondisi tempat pembinaan dilaksanakan. Situasi dan kondisi yang kondusif akan menunjang efektifitas pembinaan, sebaliknya situasi dan kondisi yang tidak kondusif akan menghambat efektifitas pembinaan. Pembina yang baik, tidak saja dituntut untuk menguasai materi dan metode yang dipakai tetapi juga harus mampu menciptakan situasi dan kondisi yang sesuai sehingga peserta didik konsentrasi menyimak materi yang disampaikan. M.W. Lipsey dan J.J.M. van Dijk menyatakan bahwa praktek pembinaan anak pidana hendaknya menggunakan psikologi pendidikan, dan perlu dicari cara-cara baru yang lebih baik.29
29
J.J.M. van Dijk & H.I. Sagel-Grande & L.G. Toornvliet, 1999, Opcit.,hal, 241.
22
Pembinaan anak merupakan usaha yang dengan sengaja dan terarah agar anak yang lahir dapat berkembang menjadi dewasa yang mau dan berdaya, berkarya untuk pembangunan nasional, sebagai berikut. a. Tujuan bangsa Indonesia tersirat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai atau memelihara kehidupan masyarakat beserta anggotanya yang aman, adil dan makmur baik spiritual dan materiil dengan wadah Negara berdasarkan kemerdekaan, persahabatan dan berperikemanusiaan. b. Sasaran bangsa Indonesia tersebut masih jauh letaknya. Dalam kenyataan sejarah masyarakat Indonesia masih dalam keadaan memprihatinkan, terutama disebabkan oeh penjajahan Belanda dan bangsa asing lain (Inggris dan Jepang). Kebodohan, pemerasan, kurangnya persatuan merupakan ciri umum.30
Pembinaan anak merupakan usaha yang disengaja dan terarah bagi anak Indonesia sejak lahir dapat berkembang menjadi orang dewasa yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai dan memelihara tujuan pembangunan nasional, sebagai berikut. a. Masyarakat makmur berarti tiap anggota tercukupi kebutuhan benda dan jasa yang dipelukan untuk hidup layak, sehat serta sejahtera. Kebutuhan benda berupa : makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan peralatannya, alat komunikasi, alat rekreasi, obat dan sebagainya; b. Masyarakat adil berarti setiap anggota masyarakat mengembangkan sesuai kebutuhan dengan kemampuan dan mendapat imbalan sesuai kebutuhan dengan kemampuan dan mendapat imbalan sesuai kebutuhan. Tidaka ada perbedaan imbalan sesuai jasa yang diberikan. c. Masyarakat aman berarti tiap anggota tidak mengganggu dan tidak terganggu dalam keselamatan hidup dan kepentingannya. Sedangkan metode pembinaan yang ditetapkan oleh Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut. 1. Pembinaan berupa interaksi langsung yang sifatnya kekeluargaan antara pembina dengan yang dibina. 2. Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil di antara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk melakukan hal-hal yang terpuji, menempatkan warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan memiliki 30
Emeliana Krisnawati, 2005, Opcit., hal,10.
23
harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya yang sama dengan manusia lainnya. 3. Pembinaan berencana terus menerus dan sistematis. 4. Pemeliharaan dan peningkatan langkah-langkah keamanan yang disesuaikan dengan tingkat keadaan yang dihadapi. 5. Pendekatan individual dan kelompok. 6. Etos kerja petugas.31 Kesimpulannya ialah bahwa pembinaan anak dalam arti luas meliputi pemberian perlindungan, kesempatan, bimbingan, bantuan agar janin Indonesia berkembang menjadi orang dewasa Indonesia yang mau dan mampu berkarya demi tercapainya tujuan bangsa Indonesia.
31
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan Bagian 6 Bidang Pembinaan, Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana / Tahanan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, 2000, hal, 65.
24
DAFTAR PUSTAKA Buku: Amriel, Reza Indragiri. (2002). Menggugat Remisi, Psikologi Forensik, Jurnal Keadilan Volume 2 No. 3. Barlow, Hugh D. (1984). Introduction To Criminology, Little Brown and Company, Canada Bartollas, Cleman. (1990). Juvenile Delinquency, MacMilla Publishing Campany, New York. Bean, Philip. (1981). Punishment: A Philosophical and Criminological Inquiry, Oxford: Martin Robertson. Cavender, Gray. (1979). Special Detterence: An Operant Learning Evaluation, Law and Human Behavior, No. 3, pp. 203-215. Dirdjosisworo, Soedjono. (1984). Sejarah Dan Asas-Asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico, Bandung. Krisnawati, Emeliana. (2005). Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV Utomo, Bandung. Kusumah, Mulyana W. (1986). Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta. Lemert, E. (1981). Issues in the Study of Deviance. The Sociological Quarterly, Mc. Graw Hill, New York. Mandiana, Sari. dkk, (2005). Pola Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang Menuju Pada Innovation Treatment System Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Ubaya, Surabaya. Muljono, Eugenia Liliawati. (1998). Perlindungan Anak, Harvarindo.
Peraturan
Perundang-undangan
Tentang
Muladi dan Barda Nawawi Arief. (1998). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Platt, Anthony M. (1977). The Child Savers: The Invention Of Delinquency. Enlarged, The University of Chicago press, Chicago USA. Priyatno, Dwidja. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Reid, Sue Titus. (1985). Crime And Criminology, CBS College Publishing,, New York. Sheley, Joseph F. (1991). Criminology, Wadsworth, United States of America.
25