Seminar Nasional& International Conference
Kompleks Percandian Dataran Tinggi Dieng, foto: Irsam Soetarto
Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon vol. 1 | no. 7 | pp. 1543-1746| Oktober 2015 ISSN: 2407-8050
Penyelenggara & Pendukung
| vol. 1 | no. 7 | pp. 1543-1746| Oktober 2015 | ISSN: 2407-8050 |
DEWAN PENYUNTING: Ketua, Ahmad Dwi Setyawan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Anggota, Sugiyarto, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Anggota, Ari Pitoyo, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Anggota, Udhi Eko Hernawan, UPT Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Tual, Maluku Anggota, Sutomo, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya”, LIPI, Tabanan, Bali Anggota, A. Widiastuti,Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Depok Anggota, Saleh Muhammed Raqib, Bangladesh Agricultural University, Mymensingh, Bangladesh Anggota, Ichsan Suwandhi, Institut Teknologi Bandung Anggota, Dian Rosleine, Institut Teknologi Bandung
PENYUNTING TAMU (PENASEHAT): Tati Syamsudin, Institut Teknologi Bandung Johan Iskandar, Universitas Padjadjaran Jatinangor Herny Emma Inonta Simbala, Universitas Sam Ratulangi, Manado Laode M. Harjoni Kilowasid, Universitas Haluoleo, Kendari
PENERBIT: Masyarakat Biodiversitas Indonesia
PENERBIT PENDAMPING: Program Biosains, Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta
PUBLIKASI PERDANA: 2015 ALAMAT: Kantor Jurnal Biodiversitas, Jurusan Biologi, Gd. A, Lt. 1, FMIPA, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375, Email:
[email protected] ONLINE: biodiversitas.mipa.uns.ac.id/psnmbi.htm
PENYELENGGARA & PENDUKUNG: MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA
JUR. BIOLOGI FMIPA & PS. BIOSAINS PPS UNS SURAKARTA
SITH ITB BANDUNG
DEP. BIOLOGI & PS. MAGISTER BIOLOGI FMIPA UNPAD JATINANGOR
JUR. AGROTEKNOLOGI FAK. PERTANIAN UNHALU KENDARI
JUR. BIOLOGI FMIPA UNSRAT MANADO
Pedoman untuk Penulis Ruang Lingkup Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia (Pros Sem NasMasy Biodiv Indon) menerbitkan naskah bertemakan keanekaragaman hayati pada tumbuhan, hewan dan mikroba, pada tingkat gen, spesies dan ekosistem serta etnobiologi (pemanfaatan). Di samping itu juga menerbitkan naskah dalam ruang lingkup ilmu dan teknologi hayati lainnya, seperti: pertanian dan kehutanan, peternakan, perikanan, biokimia dan farmakologi, biomedis, ekologi dan ilmu lingkungan, genetika dan biologi evolusi, biologi kelautan dan perairan tawar, mikrobiologi, biologi molekuler, fisiologi dan botani. Tipe naskah yang diterbitkan adalah hasil penelitian (research papers) dan ulasan (review). PENULISAN MANUSKRIP
Bahan dan Metode harus menekankan pada prosedur/cara kerja dan analisis data. Untuk studi lapangan, lebih baik jika lokasi penelitian disertakan. Keberadaan peralatan tertentu yang penting cukup disebutkan dalam cara kerja. Hasil dan Pembahasan ditulis sebagai suatu rangkaian, namun, untuk naskah dengan pembahasan yang panjang dapat dibagi ke dalam beberapa sub judul. Hasil harus jelas dan ringkas menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil terjadi, tidak sekedar mengungkapkan hasil dengan kata-kata. Pembahasan harus merujuk pada pustaka-pustaka yang penelitian terdahulu, tidak hanya opini penulis. Kesimpulan Pada bagian akhir pembahasan perlu ada kalimat penutup.
Seminar Nasional merupakan tahapan menuju publikasi akhir suatu naskah pada jurnal ilmiah, oleh karena itu naskah yang dipresentasikan harus seringkas mungkin, namun jelas dan informatif (semacam komunikasi pendek pada jurnal ilmiah). Naskah harus berisi hasil penelitian baru atau ide-ide baru lainnya. Dalam Pros Sem NasMasy Biodiv Indon ini panjang naskah dibatasi hanya 2000-2500 kata dari abstrak hingga kesimpulan. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau Bahasa Lokal Nusantara. Materi dalam Bahasa Inggris atau bahasa lokal telah dikoreksi oleh ahli bahasa atau penutur asli. Naskah ditulis pada template yang biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/template.doc.
al. 2008). Kutipan bertingkat seperti yang ditunjukkan dengan kata cit. atau dalam harus dihindari.
telah
disediakan
di
Sebelum dikirimkan, mohon dipastikan bahwa naskah telah diperiksa ulang ejaan dan tata bahasanya oleh (para) penulis dan dimintakan pendapat dari para kolega. Struktur naskah telah mengikuti format Pedoman Penulisan, termasuk pembagian sub-judul. Format daftar pustaka telah sesuai dengan Pedoman Penulisan. Semua pustaka yang dikutip dalam teks telah disebutkan dalam daftar pustaka, dan sebaliknya. Gambar berwarna hanya digunakan jika informasi dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Grafik dan diagram digambar dengan warna hitam dan putih; digunakan arsiran (shading) sebagai pembeda. Judul ditulis padat, jelas, informatif, dan tidak lebih dari 20 kata. Authors pada nama ilmiah tidak perlu disebutkan pada judul kecuali dapat membingungkan.Judu ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris (dan bahasa lokal, khusus untuk naskah berbahasa lokal). Nama penulis bagian depan dan belakang tidak disingkat. Nama dan alamat institusiharus ditulis lengkap dengan nama jalan dan nomor (atau yang setingkat), nama kota/kabupaten, kode pos, provinsi, nomor telepon dan faksimili (bila ada), dan alamat email penulis untuk korespondensi. Abstrak harus singkat (200-300 kata). Abstrak harus informatif dan dijelaskan secara singkat tujuan penelitian, metode khusus (bila ada), hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak sering disajikan terpisah dari artikel, sehingga harus dapat berdiri sendiri (dicetak terpisah dari naskah lengkap). Pustaka tidak boleh dikutip dalam abstrak, tetapi jika penting, maka pengutipan merujuk pada nama dan tahun. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Kata kunci maksimum lima kata, meliputi nama ilmiah dan lokal (jika ada), topik penelitian dan metode khusus; diurutkan dari A sampai Z; ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Singkatan (jika ada): Semua singkatan penting harus disebutkan kepanjangannya pada penyebutan pertama dan harus konsistensi.
Ucapan Terima Kasih disajikan secara singkat; semua sumber dana penelitian perlu disebutkan, dan setiap potensi konflik kepentingan disebutkan. Penyebutan nama orang perlu nama lengkap. Lampiran (jika ada) harus dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA Sebanyak 80% dari daftar pustaka harus berasal dari jurnal ilmiah yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, kecuali untuk studi taksonomi. Pustaka dari blog, laman yang terus bertumbuh (e.g. Wikipedia), koran dan majalah populer, penerbit yang bertujuan sebagai petunjuk teknis harus dihindari. Gunakan pustaka dari lembaga penelitian atau universitas, serta laman yang kredibel (e.g. IUCN, FAO dan lain-lain). Nama jurnal disingkat merujuk pada ISSN List of Title Word Abbreviations (www.issn.org/2-22661-LTWA-online.php). Berikut adalah contoh penulisannya: Jurnal: Saharjo BH, Nurhayati AD. 2006. Domination and composition structure change at hemic peat natural regeneration following burning; a case study in Pelalawan, Riau Province. Biodiversitas 7: 154-158. Penggunaa "et al." pada daftar penulis yang panjang juga dapat dilakukan, setelah nama penulis ketiga, e.g.: Smith J, Jones M Jr, Houghton L, et al. 1999. Future of health insurance. N Engl J Med 965: 325-329 Article DOI: Slifka MK, Whitton JL. 2000. Clinical implications of dysregulated cytokine production. J Mol Med. DOI:10.1007/s001090000086 Buku: Rai MK, Carpinella C. 2006. Naturally Occurring Bioactive Compounds. Elsevier, Amsterdam. Bab dalam buku: Webb CO, Cannon CH, Davies SJ. 2008. Ecological organization, biogeography, and the phylogenetic structure of rainforest tree communities. In: Carson W, Schnitzer S (eds). Tropical Forest Community Ecology. Wiley-Blackwell, New York. Abstrak:
Judul sirahan: Sekitar lima kata. Pendahuluan adalah sekitar 400-600 kata, meliputi tujuan penelitian dan memberikan latar belakang yang memadai, menghindari survei literatur terperinci atau ringkasan hasil. Tunjukkan tujuan penelitian di paragraf terakhir. Pustaka dalam naskah ditulis dalam sistem "nama dan tahun"; dan diatur dari yang terlama ke terbaru, lalu dari A ke Z. Dalam mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh dua penulis, keduanya harus disebutkan, namun, untuk tiga dan lebih penulis, hanya nama akhir (keluarga) penulis pertama yang disebutkan, diikuti dengan et al. (tidak miring), misalnya: Saharjo dan Nurhayati (2006) atau (Boonkerd 2003a, b, c; Sugiyarto 2004; El-Bana dan Nijs 2005; Balagadde et al 2008; Webb et
Assaeed AM. 2007. Seed production and dispersal of Rhazya stricta. The 50th Annual Symposium of the International Association for Vegetation Science, Swansea, UK, 23-27 July 2007. Prosiding: Alikodra HS. 2000. Biodiversity for development of local autonomous government. In: Setyawan AD, Sutarno (eds). Toward Mount Lawu National Park; Proceeding of National Seminary and Workshop on Biodiversity Conservation to Protect and Save Germplasm in Java Island. Sebelas Maret University, Surakarta, 17-20 July 2000.
Tesis, Disertasi:
meningkatkan jumlah referensi tidak diperbolehkan.
Sugiyarto. 2004. Soil Macro-invertebrates Diversity and Inter-cropping Plants Productivity in Agroforestry System based on Sengon. [Dissertation]. Brawijaya University, Malang.
Persetujuan etika Percobaan yang dilaksanakan pada manusia dan hewan harus mendapat izin dari instansi resmi dan tidak melanggar hukum. Percobaan pada manusia atau hewan harus ditunjukkan dengan jelas pada "Bahan dan Metode", serta diperiksa dan disetujui oleh para profesional dari sisi aspek moral. Penelitian pada manusia harus sesuai dengan prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki dan perlu mendapatkan pendampingan dari dokter dalam penelitian biomedis yang melibatkan subyek manusia. Rincian data dari subyek manusia hanya dapat dimasukkan jika sangat penting untuk tujuan ilmiah dan penulis (atau para penulis) mendapatkan izin tertulis dari yang bersangkutan, orang tua atau wali.
Dokumen Online: Balagadde FK, Song H, Ozaki J, Collins CH, Barnet M, Arnold FH, Quake SR, You L. 2008. A synthetic Escherichia coli predator-prey ecosystem. Mol Syst Biol 4: 187. www.molecularsystemsbiology.com [21 April 2015]
UNCORRECTED PROOFS Proof reading akan dikirimkan kepada penulis untuk korespondensi (corresponding author) dalam file berformat .doc atau .docx untuk pemeriksaan dan pembetulan kesalahan penulisan (typographical). Untuk mencegah terhambatnya publikasi, proofs harus dikembalikan dalam 7 hari.
PEMBERITAHUAN Semua komunikasi mengenai
[email protected].
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Penulis (atau para penulis) harus taat kepada hukum dan/atau etika dalam memperlakukan objek penelitian, memperhatikan legalitas sumber material dan hak atas kekayaan intelektual. Konflik kepentingan dan sumber pendanaan Penulis (atau para penulis) perlu menyebutkan semua sumber dukungan keuangan untuk penelitian dari institusi, swasta dan korporasi, dan mencatat setiap potensi konflik kepentingan.
PERSETUJUAN naskah
dilakukan
melalui
email:
PEDOMAN ETIKA Pros Sem NasMasy Biodiv Indon setuju untuk mengikuti standar etika yang ditetapkan oleh Komite Etika Publikasi (Committee on Publication Ethics, COPE) serta Komite Internasional para Penyunting Jurnal Medis (International Committee of Medical Journal Editors, ICMJE). Penulis (atau para penulis) harus taat dan memperhatikan hak penulisan, plagiarisme, duplikasi publikasi (pengulangan), manipulasi data, manipulasi kutipan, serta persetujuan etika dan Hak atas Kekayaan Intelektual. Kepenulisan Penulis adalah orang yang berpartisipasi dalam penelitian dan cukup untuk mengambil tanggung jawab publik pada semua bagian dari konten publikasi. Ketika kepenulisan dikaitkan dengan suatu kelompok, maka semua penulis harus memberikan kontribusi yang memadahi untuk hal-hal berikut: (i) konsepsi dan desain penelitian, akuisisi data, analisis dan interpretasi data; (ii) penyusunan naskah dan revisi; dan (iii) persetujuan akhir dari versi yang akan diterbitkan. Pengajuan suatu naskah berarti bahwa semua penulis telah membaca dan menyetujui versi final dari naskah yang diajukan, dan setuju dengan pengajuan naskah untuk publikasi ini. Semua penulis harus bertanggung jawab atas kualitas, akurasi, dan etika penelitian. Plagiarisme Plagiarisme (penjiplakan) adalah praktek mengambil karya atau ide-ide orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri tanpa mengikutsertakan orang-orang tersebut. Naskah yang diajukan harus merupakan karya asli penulis (atau para penulis). Duplikasi publikasi Duplikasi publikasi adalah publikasi naskah yang tumpang tindih secara substansial dengan salah satu publikasi yang sudah diterbitkan, tanpa referensi yang dengan nyata-nyata merujuk pada publikasi sebelumnya. Kiriman naskah akan dipertimbangkan untuk publikasi hanya jika mereka diserahkan semata-mata untuk publikasi ini dan tidak tumpang tindih secara substansial dengan artikel yang telah diterbitkan. Setiap naskah yang memiliki hipotesis, karakteristik sampel, metodologi, hasil, dan kesimpulan yang sama (atau berdekatan) dengan naskah yang diterbitkan adalah artikel duplikat dan dilarang untuk dikirimkan, bahkantermasuk, jikanaskah itutelah diterbitkandalambahasa yang berbeda. Mengiris data darisuatu "penelitian tunggal" untuk membuat beberapa naskah terpisah tanpa perbedaan substansial harusdi hindari. Manipulasi data Fabrikasi, manipulasi atau pemalsuan data merupakan pelanggaran etika dan dilarang. Manipulasi pengacuan Hanya kutipan relevan yang dapat digunakan dalam naskah. Kutipan (pribadi) yang tidak relevan untuk meningkatkan kutipan penulis (h-index) atau kutipan yang tidak perlu untuk
Persetujuan penerbitan suatu naskah menyiratkan bahwa naskah tersebut telah diseminarkan (baik oral atau poster) dan direview oleh Dewan Redaksi atau pihak lain yang ditunjuk. Penulis umumnya akan diberitahu penerimaan, penolakan, atau kebutuhan untuk revisi dalam waktu 1-2 bulan setelah presentasi. Naskah ditolak, jika konten tidak sesuai dengan ruang lingkup publikasi, tidak memenuhi standar etika (yaitu: kepenulisan palsu, plagiarisme, duplikasi publikasi, manipulasi data dan manipulasi kutipan), tidak memenuhi kualitas yang diperlukan, ditulis tidak sesuai dengan Format, memiliki tata bahasa yang rumit, atau mengabaikan korespondensi dalam waktu tiga bulan. Kriteria utama untuk publikasi adalah kualitas ilmiah dan telah dipresentasikan. Makalah yang disetujui akan dipublikasikan dalam urutan kronologis. Publikasi ini diterbitkan beberapa kali dalam setahun mengikuti jumlah kegiatan seminar. Namun, publikasi online dilakukan segera setelah "proof reading" dikoreksi penulis.
HAK CIPTA Pengiriman naskah menyiratkan bahwa karya yang dikirimkan belum pernah dipublikasikan sebelumnya (kecuali sebagai bagian dari tesis atau laporan, atau abstrak); bahwa tidak sedang dipertimbangkan untuk diterbitkan di tempat lain; bahwa publikasi telah disetujui oleh semua penulis pendamping (co-authors). Jika dan ketika naskah diterima untuk publikasi, penulis masih memegang hak cipta dan mempertahankan hak penerbitan tanpa pembatasan. Penulis atau orang lain diizinkan untuk memperbanyak artikel sepanjang tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan untuk mengurus paten sebelum diterbitkan.
OPEN ACCESS Publikasi ini berkomitmen untuk membebaskan terbuka akses (free-open access) yakni tidak mengenakan biaya kepada pembaca atau lembaganya untuk akses. Pengguna berhak untuk membaca, mengunduh, menyalin, mendistribusikan, menyetak, mencari, atau membuat tautan ke naskah penuh, sepanjang tidak untuk tujuan komersial.Jenis lisensi adalah CCBY-NC-SA.
PENOLAKAN Tidak ada tanggung jawab yang dapat ditujukan kepada penerbit dan penerbit pendamping, atau editor untuk cedera dan/atau kerusakan pada orang atau properti sebagai akibat dari pernyataan yang secara aktual atau dugaan memfitnah, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual dan hak pribadi, atau liabilitas produk, baik yang dihasilkan dari kelalaian atau sebaliknya, atau dari penggunaan atau pengoperasian setiap ide, instruksi, prosedur, produk atau metode yang terkandung dalam suatu naskah.
NOTIFICATION: All communications are strongly recommended to be undertaken through email.
Kata Pengantar
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia (Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon) Volume 1, Nomor 6, September 2015 dan Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 berisikan naskah-naskah dari kegiatan Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Bandung (Jatinangor), 13 Juni 2015 yang bertemakan Keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem dari kawasan pegunungan. Prosiding ini juga menerbitkan beberapa naskah yang telah dipresentasikan pada beberapa seminar nasional sebelumnya, yaitu: Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Semarang, 9 Mei 2015; Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015; dan Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Jakarta, 20 Desember 2015, yang naskah revisinya baru disetujui Dewan Penyunting akhirakhir ini. Naskah-naskah yang diterbitkan dalam prosiding ini telah melalui beberapa tahapan proses seleksi, dimulai dari seleksi awal terhadap abstrak-abstrak yang dikirimkan untuk dipresentasikan pada seminar nasional; dilanjutkan dengan proses presentasi oral atau poster, sekaligus review melalui tanya jawab oleh sesama peserta seminar. Selanjutnya, naskah-naskah tersebut dinilai dan dikoreksi oleh penyunting, penyunting tamu, serta penyunting khusus untuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Setiap proses koreksi berimplikasi pada kewajiban revisi, sehingga naskah-naskah yang diterbitkan dalam prosiding ini telah melalui beberapa kali proses revisi oleh penulis atau para penulis. Sebelum dicetak naskah-naskah pra-cetak (uncorrected proof) juga telah dikirimkan kepada para penulis untuk mendapatkan koreksi akhir dan dibaca oleh korektor (proofreader) untuk pembetulan kesalahan cetak dan penyesuaian dengan gaya selingkung prosiding ini. Naskah yang secara kualitas berpotensi untuk diterbitkan namun karena alasan tertentu penulis belum dapat
memenuhi saran revisi dari para penyunting, maka akan diterbitkan pada prosiding nomor berikutnya. Sedangkan, naskah yang tidak lolos dari proses tersebut, tidak dapat diterbitkan. Atas terlaksananya kegiatan seminar nasional dan terbitnya prosiding ini, diucapkan terima kasih kepada para pemakalah utama, pemakalah, peserta, panitia dan para pihak lainnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai instansi yang telah mendukung kegiatan ini dengan hadirnya para pemakalah utama dari lingkungannya, yaitu: Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran Jatinangor, Universitas Haluoleo, Kendari dan Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sebagaimana seminar nasional sebelumnya, sebagian pendanaan kegiatan ini diperoleh dari Hibah Program Insentif Jurnal Terindeks Internasional Tahun 2014, untuk jurnal Biodiversitas, Journal of Biological Diversity dari Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, RI, dalam rangka penjaringan naskah untuk jurnal tersebut. Untuk itu diucapkan terima kasih. Akhir kata, permohonan maaf disampaikan kepada para penulis bahwasanya masih ada naskah yang belum dapat diakomodasi dalam terbitan ini mengingat proses revisi belum selesai, sementara waktu tenggat penerbitan sudah terlampaui. Naskah-naskah tersebut diharapkan dapat diterbitkan pada prosiding edisi berikutnya bersama dengan hasil seminar nasional berikutnya.
Bandung, 31 Oktober 2015 Ketua Dewan Penyunting
Rumusan
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Bandung (Jatinangor), 13 Juni 2015, bertemakan Keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem dari kawasan pegunungan. Dataran tinggi merupakan bagian kecil dari kontur bumi, namun memegang peranan penting dalam iklim dan geomorfologi. Daur hidrologi sangat tergantung pada kawasan pegunungan. Kurang dari 20% permukaan bumi di Indonesia terletak di dataran tinggi (> 1000 m dpl.). Hanya di Papua, dataran tinggi mencakup kawasan yang cukup luas. Sementara di Jawa, luasnya kurang dari 7%, di mana sebagian besar terletak di bagian barat pulau Jawa. Dataran tinggi merupakan hotspot berbagai hidupan liar yang khas dan endemik, serta menjadi salah satu tempat perlindungan terakhir bagi hidupan liar. Keunikan ekosistem dataran tinggi menyebabkan munculnya keunikan keanekaragaman hayati dan budaya masyarakat. Namun pertambahan penduduk dan kemakmuran, menjadi ancaman bagi dataran tinggi dengan semakin banyaknya kawasan terbangun. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman hayati sangat tinggi, pada saat ini harus berjuang untuk mengungkapkan peran dan makna keragaman hayati bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem, berpacu dengan cepatnya laju kepunahan hayati akibat perubahan habitat, pemanenan berlebih dan perubahan iklim global. Gangguan terhadap ekosistem alami harus dihitung kembali, karena jasa yang dihasilkan ekosistem alami nilainya cukup tinggi. Berbagai metode untuk menghitung keragaman hayati telah dikembangkan, namun kebanyakan didasarkan pada kondisi kawasan sub-tropis, sehingga teori dan metode yang dikembangkan menuntut validasi ketika diterapkan di kawasan tropis. Kawasan dataran tinggi di Jawa, telah dihuni sejak jaman dahulu. Berbeda dengan Orang Jawa yang sejak dahulu kala mengandalkan pengadaan pangan dengan membangun sawah basah di dataran rendah, maka pada masa lalu Orang Sunda di Jawa Barat dan Banten lebih dominan mengandalkan berladang karena kontur lingkungannya yang berbukit-bukit, namun aktivitas ini kini tinggal tersisa pada Masyarakat Baduy dan Masyarakat Kasepuhan di Banten Selatan. Berdasarkan kepercayaannya, hingga kini Orang Baduy pantang bertani sawah, tetapi wajib berladang (sistem huma, ngahuma), dimana dilakukan aktivitas tebang dan bakar (slash and burn), sehingga mereka dianggap terbelakang, merusak hutan dan miskin. Namun, pada kenyataannya ngahuma merupakan sistem yang
cerdas untuk menjaga kelestarian lingkungan, dimana hutan di daerah ulayat Baduy merupakan salah satu yang paling lestari di Pulau Jawa; dan Orang Baduy cukup terjamin kebutuhan pangannya terbukti dari rendahnya angka balita kekurangan gizi. Bahkan Orang Baduy cukup sejahtera hidupnya karena adanya pendapatan dari memperdagangkan hasil kebun non-padi dan menyewa atau membeli lahan-lahan Orang Sunda di sekitar wilayah ulayatnya untuk bertani. Sistem ngahuma merupakan sistem agroforestri yang dipraktikkan Orang Baduy, dimana telah terbukti mampu menjaga keberlangsungan hidup mereka dan menjaga kelestarian ekosistem di sekitarnya. Dalam sistem ini cukup banyak tanaman pangan dan tanaman bernilai lainnya yang dapat dibudidayakan, sehingga mampu menjaga keamanan pangan dan kesejahteraan Masyarakat Baduy. Sistem agroforestri dapat menjaga diversitas makhluk hidup dalam suatu ekosistem, termasuk makrofauna tanah yang berperan penting dalam memberikan layanan jasa ekosistem terutama menjaga kesuburan tanah, serta diversitas fauna lainnya dalam menjaga keseimbangan hama dan penyakit sejalan dengan pengendalian hama terpadu. Pendekatan ekologi dapat digunakan untuk memahami peran fauna tanah dalam keberlanjutan fungsi ekosistem. Ketahanan diversitas fauna tanah berperan penting dalam menjaga ketahanan layanan jasa ekosistem pertanian. Di samping bahan pangan, dataran tinggi juga memberikan jasa ekosistem berupa bahan obat. Salah satu penyakit modern yang cukup mematikan adalah kanker yang merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular. Kemoterapi antikanker menyebabkan efek samping karena membunuh baik sel kanker maupun sel normal, sehingga diperlukan alternatif untuk pengobatan, misalnya pencarian dan penelitian bahan bioaktif dari tumbuhan yang mempunyai khasiat antikanker. Pinang yaki (Areca vestiaria) merupakan salah satu tumbuhan dataran tinggi yang terbukti sangat berpotensi sebagai antikanker. Dalam seminar nasional ini diungkapkan pula ide-ide baru dan hasil-hasil penelitian baru dalam kajian keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem, serta pemanfaatan, perlindungan dan pengembangannya baik dari kawasan dataran tinggi, maupun ekosistem lainnya.
Daftar Partisipan No.
Nama
Institusi
1.
Abdi Negara
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Jl. Lasoso 62 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tel. +62-451-482546.
2.
Ahmad Dwi Setyawan
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
3.
Aisyah Handayani
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PO Box 19, Sindanglaya, Cianjur 43253, Jawa Barat. Tel.: +62-263512233, 520448; Fax.: +62-263-512233
4.
Alfi Rumidatul
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
5.
Alfin Widiastuti
Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBPPMBTPH). Jl. Raya Tapos Kotak Pos 20, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Tel. +62-21-8755 046
6.
Andi Budiansyah
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Bogor KM 47, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-21-87917221
7.
Andi Gita Maulidyah Indraswari Suhri
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Jalan Agatis, Gedung Fapet Wing 2 Lt. 4. Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Jawa Barat. Tel./Fax.: +62-251-8622833
8.
Anggiani Nasution
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256, Jawa Barat. Tel.: +62-260-520157. Fax.: +62-260-520158
9.
Anne Hadiane, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
10.
Any Anggraeny
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Gedung Fakultas Peternakan IPB, Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat 16680. Tel. +62-251-8622841
11.
Aos
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
12.
Asep Zainal Mutaqin
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
13.
Asmanah Widarti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234; 7520067. Fax. +62-251 8638111
14.
Azhari Rangkuti
Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Jakarta Km 04, Pakupatan, Serang, Banten. Tel. +62254-395502
15.
Budiawati S. Iskandar, Dr.
Departemen Antropologi Fisip, Unpad. Kampus Jatinangor, Jl. Raya BandungSumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat
16.
Dadang Sumardi
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
17.
Deby Fajar Lestari
Kelompok Studi Biodiversitas, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
18.
Devi Nandita Choesin
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
19.
Dewi Nur Pratiwi
Menara Bank Danamon, Mega Kuningan, Jakarta Selatan 12950, Jakarta
vii
20.
Dharmawaty M. Taher
Fakultas Pertanian, Universitas Khairun. Jl. Bandara Babullah, PO BOX 53 Kelurahan Akehuda, Ternate 97728, Maluku Utara. Tel. +62 921 3110903, 21550, Fax. +62-92123364
21.
Diagal Wisnu Pamungkas
Kelompok Studi Biodiversitas, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
22.
Dian Rosleine, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
23.
Dingse Pandiangan, Prof. Dr.
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62811-431 4386, 86 4386, Fax. +62-431-853715
24.
Dody Priadi
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong-Bogor 16911, Jawa Barat, Tel. +6221-8754587, Fax. +62-21-8754588
25.
Donowati Tjokrokusumo
Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Gedung 2, BPP Teknologi , Lt. 15. Jl. M.H. Thamrin no. 8 Jakarta 10340. Tel. +62-21316 9513, Fax : +62-21-316 9510
26.
Endah Sulistyawati
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
27.
Endang Hernawan, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
28.
Endjang Sujitno
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Jl. Kayuambon 80, PO Box 8495, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2786238, 2789846, Fax.: +62-22-2786238
29.
Eri Mustari
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
30.
Ervina
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
31.
Eva Yusvita Rustam
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Jl. Pakuan, Ciheuleut PO Box 105, Bogor 16100, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8327768
32.
Evanti Arosyani
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
33.
Farha Dapas
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
34.
Farhani
Program Studi Biologi (Bioteknologi), Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Tel. +62-21-72792753. Fax. +62-21-7244767
35.
Fredy J. Nangoy, Dr.
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-863886,863786, Fax. +62-431-822568
36.
Gammi Puspita Endah
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
37.
Gema Ikrar Muhammad
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Jalan Agatis, Gedung Fapet Wing 2 Lt. 4. Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Jawa Barat. Tel./Fax.: +62-251-8622833
38.
Gerson Ndawa Njurumana, Dr.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7 Airnona 85115 Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tel. +62-380-823357, Fax. +62-380831068
viii
39.
Gusmailina
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234; 7520067. Fax. +62-251 8638111
40.
Hasbullah
Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Jakarta Km 04, Pakupatan, Serang, Banten. Tel. +62254-395502
41.
Hendra Gunawan, Dr.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234; 7520067. Fax. +62-251 8638111
42.
Herny Emma Inonta Simbala, Prof. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62Dr. 811-431 4386, 86 4386, Fax. +62-431-853715
43.
Hikmat Ramdan, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
44.
Ichsan Suwandhi, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
45.
Ikhsan Noviady
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PO Box 19, Sindanglaya, Cianjur 43253, Jawa Barat. Tel.: +62-263512233, 520448; Fax.: +62-263-512233
46.
Ilyas Nursamsi
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
47.
Indah Kurniawati
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Lt.3, Gedung Sapta Pesona, Jl. Medan Merdeka Barat. No.17, Gambir, Jakarta Pusat 10110, Jakarta. Tel. +62-21-3838200
48.
Inge Larashati
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-21-87907612
49.
Izzat Nafisha Mirza
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
50.
Johan Iskandar, Prof. Ph.D.
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
51.
Krisanty Kharismamurti
Kelompok Studi Biodiversitas, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
52.
Kurniawati Purwaka Putri
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Jl. Pakuan, Ciheuleut PO Box 105, Bogor 16100, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8327768
53.
Kusdianti
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
54.
Laode M. Harjoni Kilowasid, Dr.
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo. Jl. HEA Mokodompit, Kampus Hijau Bumi Thidarma Anduonohu, Kendari 93231, Sulawesi Tenggara. Tel./Fax.+62-401-391692
55.
Lia Yulistia
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih KM 32 Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan. Tel. +62- 711-580056, Fax. +62-711-580268
56.
Lida Amalia
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
57.
Lily Ismaini
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PO Box 19, Sindanglaya, Cianjur 43253, Jawa Barat. Tel.: +62-263512233, 520448; Fax.: +62-263-512233
ix
58.
Liris Lis Komara
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
59.
M. Ali Ramadhan
Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Jakarta Km 04, Pakupatan, Serang, Banten. Tel. +62254-395502
60.
Maharani Herawan Ossa Putri
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
61.
Maretik
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
62.
Masfiro Lailati
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PO Box 19, Sindanglaya, Cianjur 43253, Jawa Barat. Tel.: +62-263512233, 520448; Fax.: +62-263-512233
63.
Meidha Audina
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
64.
Mia Rosmiati, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
65.
Muhamad Rizal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857
66.
Muhammad Ridwan
Kelompok Studi Biodiversitas, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
67.
Munawar, Dr.
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih KM 32 Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan. Tel. +62- 711-580056, Fax. +62-711-580268
68.
Mustika Dewi
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
69.
Nadya Karina
Program Studi Biologi (Bioteknologi), Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Tel. +62-21-72792753. Fax. +62-21-7244767
70.
Naning Yuniarti
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Jl. Pakuan, Ciheuleut PO Box 105, Bogor 16100, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8327768
71.
Netty Widyastuti
Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Gedung 2, BPP Teknologi , Lt. 15. Jl. M.H. Thamrin no. 8 Jakarta 10340. Tel. +62-21316 9513, Fax : +62-21-316 9510
72.
Nida Rosyidah
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
73.
Noor Rahmawati
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
74.
Nuerpuas Wulan Suciyani
Program Studi Biologi (Bioteknologi), Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Tel. +62-21-72792753. Fax. +62-21-7244767
75.
Nurhidayat
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jl. Perikanan No 13, Pancoran Mas, Depok 16436, Jawa Barat. Tel. +62-217765838, 7520482, Fax. +62-21-7520482
76.
Nurpana Sulaksono
Balai Taman Nasional Gunung Merapi Kantor Balai Taman Nasional Gunung Merapi Jl. Kaliurang Km. 22.6, Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
x
77.
Nurvita Cundaningsih
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
78.
Popi Rejekiningrum, Dr.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jl. Tentara Pelajar No.1A, Cimanggu, Bogor, Jawa Barat. Tel. +62-251-312760, email:
[email protected]
79.
Popy Febrianti Purwoko
Program Studi Biologi (Bioteknologi), Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Tel. +62-21-72792753. Fax. +62-21-7244767
80.
Randy Eka Aprilya
Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Jakarta Km 04, Pakupatan, Serang, Banten. Tel. +62254-395502
81.
Reginawanti Hindersah
Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-227796316, Fax. +62-22-7796316
82.
Rekyan Galuh Witantri
Kelompok Studi Biodiversitas, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jl. Ir. Sutami36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
83.
Resmayeti Purba
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 CiruasSerang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507
84.
Restu Ajeng Saputri
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
85.
Reza Ramdan Rivai
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187
86.
Rijanti Rahayu, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
87.
Rina Kurniaty
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Jl. Pakuan, Ciheuleut PO Box 105, Bogor 16100, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8327768
88.
Rina Ratnasih Irwanto, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
89.
Rizma Dera Anggraini Putri
Kelompok Studi Biodiversitas, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jl. Ir. Sutami36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62-271-663375
90.
Ruhyat Partasasmita, Dr.
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
91.
Salamiah
Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Jl A. Yani PO Box 1028 Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Tel/Fax: +62-511-4777392
92.
Samharinto, Dr.
Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Jl A. Yani PO Box 1028 Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Tel/Fax: +62-511-4777392
93.
Sangga Buana Komara
Program Studi Biologi (Bioteknologi), Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Tel. +62-21-72792753. Fax. +62-21-7244767
94.
Silvia Yunarti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 CiruasSerang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507
95.
Sofiatin
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
96.
Sri Lestari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 CiruasSerang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507
xi
97.
Sri Suharti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234; 7520067. Fax. +62-251 8638111
98.
Stanly Lombogia
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
99.
Suciantini, Dr.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Jl. Tentara Pelajar No. 1A Cimanggu, Kota Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia. Tel. +62-251-8312760, Fax. +62-251-8323909
100.
Sugiarti
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187
101.
Sumarhani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234; 7520067. Fax. +62-251 8638111
102.
Susana P. Dewi
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
103.
Syahrizal Muttakin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 CiruasSerang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507
104.
Syaima Rima Saputri
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
105.
SylvanitaFitriana
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
106.
Tatang S. Erawan
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
107.
Tati Karliati, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
108.
Tati Suryati, Prof. Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
109.
Taufikurahman, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
110.
Taufikurrahman Nasution
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PO Box 19, Sindanglaya, Cianjur 43253, Jawa Barat. Tel.: +62-263512233, 520448; Fax.: +62-263-512233
111.
Tien Lastini, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
112.
Toufan Gifari
Program Studi Biologi (Bioteknologi), Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Tel. +62-21-72792753. Fax. +62-21-7244767
113.
Trisnaningsih
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Kebun Percobaan Muara-Bogor. Jl. Raya Ciapus No 25 A Bogor, Jawa Barat
114.
Widi Sunaryo, Ph.D.
Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. Kampus Gunung Kelua, Jl. Pasir Balengkong, No. 1, Samarinda 75123, Kalimantan Timur. Tel.: +62-541-749343
115.
Yayan Apriyana, Dr.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Jl. Tentara Pelajar No. 1A Cimanggu, Kota Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia. Tel. +62-251-8312760, Fax. +62-251-8323909
xii
116.
Yooce Yustiana, Dr.
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107
117.
Zamzam I'lanul Anwar Atsaury
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
| vol. 1 | no. 6 | pp. 1543-1746 | September 2015 | ISSN: 2407-8050 |
Makalah Utama: Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh sebagai laboratorium alam yang menyimpan kekayaan biodiversitas untuk diteliti dalam rangka pencarian bahan baku obat-obatan DJUFRI
1543-1552
BIODIVERSITAS GENETIK Keragaman genetik padi lokal Kalimantan Timur NURHASANAH, WIDI SUNARYO
1553-1558
BIODIVERSITAS SPESIES Status keberadaan plasma nutfah markisa ungu (Passiflora edulis) di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat HAMDA FAUZA, SUTOYO, NURWANITA EKASARI PUTRI
1559-1564
Keragaman jenis pakan ternak dan ketersediaannya di wilayah sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak ASMANAH WIDARTI, SUKAESIH
1565-1569
BIODIVERSITAS EKOSISTEM Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa (Tyto alba javanica J.F. Gmelin 1788) di Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Kabupaten Sumedang RUHYAT PARTASASMITA, GEMA IKRAR MUHAMMAD, JOHAN ISKANDAR
1570-1576
Keragaman arthropoda tanah pada ekosistem sawah organik dan sawah anorganik MOCHAMAD HADI, RC HIDAYAT SOESILOHADI, FX WAGIMAN, YAYUK RAHAYUNINGSIH SUHARDJONO
1577-1581
Keanekaragaman semut (Hymenoptera: Formicidae) pada empat tipe ekosistem yang berbeda di Jambi NISFI YUNIAR, NOOR FARIKHAH HANEDA
1582-1585
Peran tumbuhan liar dalam konservasi keragaman serangga penyerbuk Ordo Hymenoptera IMAM WIDHIONO, EMING SUDIANA
1586-1590
Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat HENDRA GUNAWAN
1591-1599
Kajian ekologi bambu hitam bahan baku angklung di Jawa Barat NURVITA CUNDANINGSIH, SYAIMA RIMA SAPUTRI, EVANTI AROSYANI, ANNISA AMALIA, BUDI IRAWAN
1600-1604
xiv
Pelestarian cendana (Santalum album) berbasis masyarakat di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur GERSON N. NJURUMANA
1605-1609
Evaluasi nilai APTI dan API pada Swietenia macrophylla dan Agathis dammara yang terdapat di Kampus ITB Ganesha, Bandung CUCUN KURNIATI, RINA RATNASIH IRWANTO
1610-1614
Evaluasi reforestasi di kawasan konservasi Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Sumedang IZZAT NAFISHA MIRZA, RINA RATNASIH IRWANTO
1615-1621
Kontribusi hutan rakyat untuk kelestarian lingkungan dan pendapatan ASMANAH WIDARTI
1622-1626
Aplikasi agroforestri sebagai upaya rehabilitasi Taman Wisata Alam Gunung Selok Cilacap yang terdegradasi SUMARHANI
1627-1632
ETNOBIOLOGI Manajemen kepemimpinan dalam pengelolaan budaya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bonebolango, Gorontalo NOVIANTY DJAFRI
1633-1638
Ekologi sosial pilang (Acacia leucophloea) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur GERSON N. NJURUMANA
1639-1643
BIOSAINS Pertumbuhan dan komposisi eksopolisakarida bakteri pemfiksasi nitrogen Azotobacter spp. pada media yang mengandung kadmium REGINAWANTI HINDERSAH
1644-1648
Kultur spora in vitro tiga varian pakis simpei Cibotium barometz YUPI ISNAINI, TITIEN NGATINEM PRAPTOSUWIRYO
1649-1653
Tanggapan hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella terhadap feromon seks dan intensitas serangannya di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah ABDI NEGARA
1654-1657
Pertumbuhan bibit Alpinia malaccensis pada variasi kerapatan tanam di pembibitan REZA RAMDAN RIVAI, FITRI FATMA WARDANI
1658-1660
Kajian adaptasi beberapa klon sebagai bahan sambung samping kakao di Sulawesi Tengah SAIDAH, ABDI NEGARA, SAHARDI
1661-1665
Keragaan pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) padi pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Pandeglang, Banten SILVIA YUNIARTI, SRI KURNIAWATI
1666-1669
Adaptasi beberapa varietas unggul padi di dataran tinggi Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah SAIDAH, IRWAN SULUK PADANG, ABDI NEGARA
1670-1673
xv
Keragaan produktivitas varietas jagung pada musim hujan di lahan kering dataran tinggi Kabupaten Bandung, Jawa Barat TAEMI FAHMI, ENDJANG SUJITNO
1674-1677
Perbaikan teknologi budidaya pisang kepok dan analisis usahataninya di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur MUHAMAD RIZAL, RETNO WIDOWATI, SRIWULAN PAMUJI RAHAYU
1678-1682
Pertumbuhan fineroot kakao (Theobroma cacao) pada cekaman kekeringan selama 13 bulan di kawasan agroforestri dengan pohon pelindung utama gamal (Gliricidia sepium) ERMA PRIHASTANTI, SOEKISMAN TJITROSEMITO, DIDY SOPANDIE, IBNUL QOYIM
1683-1688
Persentase kavitasi, rasio struktur pembuluh akar kakao dan kandungan air tanah pada kedalaman tanah yang berbeda ERMA PRIHASTANTI, SOEKISMAN TJITROSEMITO, DIDY SOPANDIE, IBNUL QOYIM
1689-1692
Pasca panen jamur tiram putih (Pleurotus sp.) dengan teknik pengeringan oven NETTY WIDYASTUTI, DONOWATI TJOKROKUSUMO, RENI GIARNI
1693-1697
Potensi nilai gizi tumbuhan pangan lokal pulau Lombok sebagai basis penguatan ketahanan pangan nasional IMMY SUCI ROHYANI, EVY ARYANTI, SURIPTO
1698-1701
Keripik kangkung rasa paru sebagai produk olahan guna meningkatkan nilai tambah SRI LESTARI , YATI ASTUTI, SYAHRIZAL MUTTAKIN
1702-1706
Reduksi kadar oksalat pada talas lokal Banten melalui perendaman dalam air garam SYAHRIZAL MUTTAKIN, MUHARFIZA, SRI LESTARI
1707-1710
Efektivitas komunikasi dalam penerimaan informasi pada kelompok peternak sapi potong di Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ANNEKE KATRIN RINTJAP
1711-1714
Pemetaan paten terdaftar berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ANDI BUDIANSYAH, PRADHINI DIGDOYO, REZA RAMDAN RIVAI
1715-1718
Aplikasi HESSA (Hydro Ecosystem Services Spatial Assessment) untuk pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air di kawasan hutan pegunungan HIKMAT RAMDAN
1719-1724
Strategi adaptasi kalender tanam terhadap variabilitas iklim pada sentra produksi padi di wilayah monsunal dan equatorial Y. APRIYANA
1725-1734
Penentuan model tarif sumber daya air sebagai kompensasi jasa ekosistem kawasan hutan YOOCE YUSTIANA, ENDANG HERNAWAN, HIKMAT RAMDAN
1735-1740
Review: Eksplorasi potensi senyawa organik kayu ular (Strychnos lucida) sebagai sumber biofarmaka GUSMAILINA, SRI KOMARAYATI
1741-1746
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1543-1552
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010701
Makalah Utama: Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh sebagai laboratorium alam yang menyimpan kekayaan biodiversitas untuk diteliti dalam rangka pencarian bahan baku obat-obatan Leuser Ecosystem of Aceh Province as a natural laboratory for the study of biodiversity to find the raw materials of drugs DJUFRI Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Aceh. email:
[email protected] Manuskrip diterima: 12 Desember 2014. Revisi disetujui: 12 Agustus 2015.
Djufri. 2015. Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh sebagai laboratorium alam yang menyimpan kekayaan biodiversitas untuk diteliti dalam rangka pencarian bahan baku obat-obatan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1543-1552. Ekosistem Leuser merupakan bentangan alam yang terletak antara Danau Laut Tawar di Provinsi di Aceh dan Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara yang mencakup 11 Kabupaten yaitu Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Dairi. Terletak pada posisi geografis 2,250-4,950 LU dan 96,350-98,550 BT , kawasan ini memiliki luas yang berkisar 2,5 juta Ha. Taman Nasional Gunung Leuser, taman terbesar di Indonesia, merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang sangat eksotis dengan keberagaman makhluk hidup di dalamnya. Taman nasional yang merupakan salah satu paru-paru dunia, juga berperan penting dalam menjaga kestabilan sistem penyangga kehidupan (Life Support System). Taman ini juga berperan sebagai pensuplai suplai air bagi lima juta lebih masyarakat yang tinggal di Provinsi Aceh dan puluhan juta lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Hampir sembilan Kabupaten bergantung pada manfaat TNGL, antara lain; berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, sistem penjaga kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya. Taman ini menawarkan berbagai obyek wisata, misalnya Arum Jeram di Sungai Alas, trekking ke Gunung Leuser dan Gunung Kemiri. Beberapa kawasan taman ini seperti Bahorok dan Ketambe adalah rumah bagi orang utan, hewan yang hampir punah. Selain itu, taman ini merupakan habitat asli satwa Sumatera seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), Owa (Hylobathes lar), dan Kedih (Presbytis thomasii). Tidak hanya itu, kawasan ini merupakan rumah bagi 380 spesies burung dan 36 dari 50 spesies burung Sundaland. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada di tempat ini. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, invertebrata, dan ribuan flora sebagai bahan baku oabat-obatan. TNGL memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya yang perlu digali untuk menemukan bahan baku obat-obatan. Kata kunci: Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), keanekaragaman hayati Djufri. 2015. Leuser Ecosystem of Aceh Province as a natural laboratory for the study of biodiversity to find the raw materials of drugs. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1543-1552. The Leuser Ecosystem is a natural landscape located between Lake Laut Tawar in Aceh Province and Lake Toba in North Sumatera including 11 districts namely Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo, dan Dairi. Positioned geograficaly at 2,25 0-4,950 North Latitude and 96,350-98,550 BT, the scope of the area is about 2,5 million Ha. Gunung Leuser National Park , the largest park in Indonesia, is one of exotic natural conservation with its biodiversity. The park which is one of the lungs of the world, also plays important role in balancing life support system. It Is also as water supply for five millions people belong to Aceh Province and other tens millions of North Sumatera. Almost nine districts depend on the roles of the park such as use water supply, water for irrigation, soil fertility support system, flood prevention, and others. It also offers tour destination such as river rafting in River Alas, tracking through Mt.Leuser and Kemiri. Parts of the park namely Bahorok and Ketambe are homes to Orangutan, an endangered animal. It is also native habitat of sumatran wild animals such as Sumatran Tiger (Panthera tigris), Sumatran Orangutan (Pongo abelii), Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis), Sumatran Elephant (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), Owa (Hylobathes lar), and Kedih (Presbytis thomasii). Moreover, the park is the home to 380 spesies of birds and 36 of 50 spesies of sundaland birds. Almost 65 % or 129 spesies of mammals of 205 of big and small mammals noted in the area. The park is also the habitat to most fauna, from mammals, reptile,amphibians, fishes, invertebrates, and thousands flora as the sources of medicines. Mount Leuser National Park has very rich of biodiversity to be explored to find the sources of medicine. Keywords: Mount Leuser National Park, biodiversity
1544
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1543-1552, Oktober 2015
SEJARAH PELESTARIAN Sejarah pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dimulai pada tahun 1920 sebelum Indonesia merdeka ketika Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di Indonesia (terutama di Pulau Sumatera bagian utara) memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk mencoba mengekplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Provinsi Aceh tetapi wilayah yang dijejakinya tidak menemukan sumber-sumber tersebut. Menurut Van Heurn, para pemuka adat setempat pada saat itu menginginkan agar dia mendiskusikan hasil penemuannya karena para pemuka adat tersebut merasa takut apabila Pemerintah Kolonial Belanda akan menduduki secara permanen daerah tersebut untuk mengeksploitasi sumber mineral yang ada. Mereka terutama peduli tentang barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di puncak Gunung Leuser (Gambar 1)(Griffiths 1992; UML 1998; Dasrul et al. 2006). Van Heurn juga melaporkan bahwa sebenarnya pada saat itu dia tidak menemukan kandungan mineral yang besar. Sebagai ganti mendiskusikan hasil penemuannya, dia menawarkan bantuan kepada para wakil pemuka adat tersebut (yaitu para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (wildlife sanctury). Bagi masyarakat adat, wilayah Gunung Leuser sendiri adalah kawasan yang dianggap sakral dan suci. Akhirnya setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928, sebuah proposal diberikan kepada Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia untuk memberikan status perlindungan terhadap sebuah kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara (Griffiths 1992; UML 1998; Dasrul et al. 2006). Sebagai seorang naturalis, Van Heurn terpanggil untuk terus mengusahakan perlindungan formal untuk daerah tersebut karena disadarinya bahwa daerah ini begitu unik dan kaya akan keanekaragaman hayatinya dan di dalamnya
terdapat berbagai jenis habitat penting. Atas pendekatannya dengan Pemerintah Belanda dan para pemuka adat setempat, akhirnya pada tanggal 6 Pebruari 1934, semua perwakilan masyarakat lokal menandatangani sebuah deklarasi yaitu “Deklarasi Tapaktuan” dalam sebuah upacara adat di daerah Tapaktuan dan deklarasi tersebut ditandatangani oleh Gubernur Hindia Belanda pada saat itu (Griffiths 1992; UML 1998; Dasrul et al. 2006). Pada tahun 1970-an, kawasan pelestarian hidupan liar Leuser kembali menjadi agenda perhatian nasional dan internasional. Atas anjuran/masukan dari ahli kehutanan Indonesia pada saat itu, K.S. Depari dan Walter Sinaga. Dinas PPA dari Departemen Pertanian Indonesia mengundang tenaga ahli dari World Wildlife Fund (WWF) untuk membantu usaha penyelamatan orangutan dan badak di kawasan pelestarian tersebut. Kampanye pengumpulan dana untuk proyek tersebut segera dilakukan di Belanda dan sebuah panitia perlindungan Gunung Leuser segera dibentuk dan kedua ahli kehutanan Indonesia tersebut juga masuk sebagai anggota (Griffiths 1992; UML 1998; Dasrul et al. 2006). Pada tahun 1989, sebuah tim survei ekologi yang terdiri dari H.D. Rijksen, J. Wind, M. Griffith, C. Van Schaik dan H.T. Prints mengunjungi daerah Bengkung/Kaparsesak di barat laut dari Taman Nasional Gunung Leuser dalam rangka Proyek Asistensi Teknis I Kehutanan dari Bank Dunia. Untuk melindungi Leuser, kemudian sebuah draft proposal untuk membantu teknis Pemerintah Indonesia dipersiapkan, yang diberi nama Integrated Conservation and Development Programme (ICDP). Proposal ini lalu diteruskan oleh Kementerian Kehutanan dan dipresentasikan untuk bantuan teknis berdasarkan peraturan dari Bappenas. Secara bertahap proposal yang diajukan tersebut disesuaikan dengan permintaan Pemerintah Indonesia kepada Uni Eropa dan akhirnya pada tahun 1991, Uni Eropa memberikan dukungan bagi proyek ICDP yang telah menghasilkan sebuah Masterplan untuk kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) (Griffiths 1992; UML 1998; Dasrul et al. 2006).
Gambar 1. A. Para Tetua Gayo berkumpul dalam sebuah musyawarah pada tahun 1920-an, B. F.C. Van Heurn, C. K.S. Depari, dan D. W. Sinaga (UML 1998).
DJUFRI – Ekosistem Leuser sebagai sumber bahan obat
KAWASAN EKOSISTEM LEUSER YANG SEKARANG Nama Leuser diambil dari nama gunung kedua tertinggi di Pulau Sumatra yaitu Gunung Leuser yang tingginya mencapai 3404 m dpl. Kata Leuser sendiri berasal dari kata Leusoh yang dalam bahasa Gayo berarti “diselubungi awan”. Tetapi menurut seorang informan Gayo, Leuser berarti “surga terakhir bagi satwa” (UML 1998). Kawasan Ekosistem Leuser pertama kali diperkenalkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995 tahun 1995 yang kemudian dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.33 tahun 1998. Kawasan sangat penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya dan sebagai kawasan hutan alami di Pulau Sumatera bagian utara. Kawasan Ekosistem Leuser merupakan bentang alam yang terletak antara Danau Laut Tawar di Provinsi di Aceh dan Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Ada 11 Kabupaten yang tercakup di dalamnya yaitu Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Dairi. Luas keseluruhannya lebih kurang 2,5 juta Ha. Kawasan ini terletak pada posisi geografis 2,250-4,950 LU dan 96,350-98,550 BT dengan curah hujan rata-rata 2544 mm per tahun dan suhu harian rata-rata 260C pada siang hari dan 210C pada malam hari. Kawasan Ekosistem Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Cagar Alam, Hutan Lindung, dan lain-lain (UML 1998; Consortium SAFEGE 2014).
MENGAPA KAWASAN EKOSISTEM LEUSER (KEL) PERLU DILESTARIKAN? Berdasarkan peta tentang keadaan hutan di Sumatera dalam 6 dekade terakhir ini menunjukkan bahwa hutanhutan asli di Pulau Sumatera mulai mengalami perusakan yang parah mulai era tahun 1980-an. Kerusakan semakin parah ketika Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan memberikan hak tersebut kepada beberapa perusahaan besar yang kemudian memegang monopoli pengusahaan hutan. Dalam prakteknya ternyata sistem ini tidak banyak memberi manfaat kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tetapi malah lebih banyak merugikan. Kerusakan hutan yang parah telah menyebabkan rusaknya keseimbangan lingkungan yang ditandai dengan hampir punahnya spesies hayati penting, bencana alam dan konflik antara manusia dengan satwa. Hutan-hutan asli di Pulau Sumatera bagian utara adalah salah satu yang arealnya paling luas dibandingkan dengan hutan-hutan di belahan Pulau Sumatera yang lain. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah bagian terbesar dari hutanhutan asli terakhir yang masih tersisa di Pulau Sumatera bagian utara. Pelestarian Kawasan ini diharapkan dapat menyelamatkan keanekaragaman hayati di dalamnya dan utuhnya penyangga kehidupan manusia dalam bentuk udara
1545
dan air bersih. Oleh sebab itu, penyelamatan KEL adalah pertempuran terakhir untuk menyelamatkan hutan asli Sumatera. Indonesia adalah negeri yang memiliki banyak keindahan, dari Sabang sampai Merauke, di setiap sudut negeri ini memiliki keindahan yang tak ternilai. Salah satu keindahan yang dimiliki negeri ini adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Taman nasional terbesar di Indonesia ini adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang sangat eksotis dengan keberagaman makhluk hidup di dalamnya. Taman yang mengambil nama dari Gunung Leuser ini menyandang dua status berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai Warisan Dunia pada tahun 2004 yang disahkan oleh UNESCO, keindahannya tidak diragukan lagi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di desa Ketambe, merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia dengan luas sekitar 1.094.692 ha. Di Pulau Sumatera, Gunung Leuser adalah satu-satunya kawasan yang masih dihuni oleh orangutan. Orangutan yang sudah hampir punah ini tidak ditemukan di Pulau Sumatera kecuali di Gunung Leuser. Namun selain orangutan, kita bisa menemukan spesies lainnya seperti Rangkong, Rusa Sambar, Kucing Hutan, Harimau Sumatera, dan lain-lain, Fisiognomi TNGL disajikan pada Gambar 2. Taman Nasional Gunung Leuser telah dinobatkan sebagai Cagar Biosfir oleh UNESCO ini menawarkan berbagai obyek wisata, misalnya Arum Jeram di Sungai Alas, trekking ke Gunung Leuser dan Gunung Kemiri. Selanjutnya Bahorok merupakan tempat kegiatan rehabilitasi orangutan. Jika ingin melihat penelitian primata yang ada di TNGL dan perpustakaan, bisa mengunjungi Ketambe. Kluet merupakan obyek wisata untuk menikmati liburan dengan mengarungi sungai dan danau sambil bersampan tentu menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Sebaiknya jika melakukan wisata ke daerah ini menggunakan jasa pemandu wisata agar tidak tersesat saat menyusuri kawasan, keindahan sungai di TNGL disajikan pada Gambar 3. TNGL merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati sekaligus juga merupakan ekosistem yang rentan. Leuser memperoleh skor tertinggi untuk kontribusi konservasi terhadap kawasan konservasi di seluruh kawasan Indo-Malaya. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada di tempat ini (UML 1998; Dasrul et al. 2006). Berbagai jenis ekosistem, flora, fauna, maupun mikrobiologi mewarnai keindahan TNGL, mempunyai ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi, meliputi hutan hujan tropis dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi. TNGL juga memiliki beberapa Pusat Rehabilitasi Satwa, seperti Pusat Rehabilitasi Orangutan di Bahorok, Pusat Rehabilitasi Satwa Langka di Sikundur, dan Pusat Penelitian Alam di Katambe, Aceh Tenggara (UML 1998; Dasrul et al. 2006).
1546
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1543-1552, Oktober 2015
Gambar 2. Fisiognomi Taman Nasional Gunung Leuser
Gambar 3. Keindahan sungai di Taman Nasional Gunung Leuser
TNGL terletak di dua Provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Secara yuridis formal, keberadaan TNGL pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo. Berdasarkan pengumuman itu, maka ditetapkanlah luas Taman Nasional Gunung Leuser sementara adalah 792.675 Ha. Pengumuman tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat itu disebutkan bahwa
status kewenangan pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser diberikan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007, Saat ini pengelola TNGL adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang dipimpin oleh Kepala Balai Besar (setingkat eselon II). Usaha untuk melegalitaskan rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang penunjukan hutan seluas 1.094.692 Ha yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara sebagai TNGL. Dalam keputusan tersebut, disebutkan bahwa TNGL terdiri dari gabungan: Suaka Margasatwa Gunung Leuser (416.500 ha), Suaka
DJUFRI – Ekosistem Leuser sebagai sumber bahan obat
Margasatwa Kluet (20.000 ha), Suaka Margasatwa Langkat Barat (51.000 ha), Suaka Margasatwa Langkat Selatan (82.985 ha), Suaka Margasatwa Sekundur (60.600 ha), Suaka Margasatwa Kappi (142.800 ha), Taman Wisata Gurah (9.200 ha), dan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas ( 292.707 ha) (Tabel 1). Dengan kawasan hijau yang sangat luas, TNGL merupakan salah satu paru-paru dunia yang memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan Sistem Penyangga Kehidupan (Life Support System). TNGL menjaga suplai air bagi lima juta lebih masyarakat yang tinggal di Provinsi Aceh dan puluhan juta lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Hampir sembilan Kabupaten bergantung pada manfaat TNGL, antara lain; berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, sistem penjaga kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya. Selain itu, ada lima Daerah Aliran Sungai di Aceh dan tiga Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara yang dilindungi oleh TNGL. Lima Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Provinsi Aceh, yaitu DAS Jambo Aye, DAS Tamiang-Langsa, DAS Singkil, DAS Sikulat-
1547
Tripa, dan DAS Baru-Kluet. Sedangkan yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara adalah DAS Besitang, DAS Lepan, dan DAS Wampu Sei Ular (Dasrul et al. 2006). Taman Nasional Gunung Leuser juga memiliki fungsi sebagai habitat asli satwa Sumatera seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), Owa (Hylobathes lar), dan Kedih (Presbytis thomasii). Tidak hanya itu, TNGL merupakan kawasan dengan daftar spesies burung terbanyak di dunia dengan 380 spesies dan rumah bagi 36 dari 50 spesies burung Sundaland. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada di tempat ini. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Maka dari itu, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut TNGL sebagai laboratorium alam yang menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya (Dasrul et al. 2006).
Tabel 1. Informasi singkat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL 2013) Luas
2.600.000 ha, meliputi: Provinsi Aceh (Keputusan Menteri Kehutanan No.190/Kpts-II/2001). Luas kawasan hutan dan areal penggunaan lain ± 2.255.577 Ha Provinsi Sumatera Utara (Keputusan Menteri Kehutanan No.10193/Kpts-II/2002). Luas kawasan hutan dan areal penggunaan lain ± 384.294 Ha
Sejarah
Peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) mulai dari keputusan menteri dalam hal ini Menteri Kehutanan, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang secara berurutan menurut tahun penerbitannya adalah sebagai berikut: (1) Surat keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No. 227/Kpts-II/1995 Tentang Specific Contract No. 2014/349451 15 Pemberian Izin (Izin Kegiatan) Pengelolaan kepada Yayasan Leuser Internasional untuk Mengkonservasikan dan Mengembangkan Kawasan Ekosistem Leuser yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara; (2) Kepres No.33/1998 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser; (3) SK Menhut No. 198/Kpts –II/ 2001 Tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh; (4) UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh; dan (5) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional.
Letak geografis
Provinsi Aceh, meliputi empat kabupaten – Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Luwes dan Aceh Barat Provinsi Sumatra Utara, meliputi dua kabupaten–Langkat dan Karo
1548
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1543-1552, Oktober 2015
KAWASAN EKOSISTEM LEUSER SEBAGAI DAERAH TANGKAPAN AIR Sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutanhutan KEL berfungsi sebagai penahan air hujan yang jatuh agar sempat diserap oleh tanah dan tidak hanya menjadi aliran air permukaan yang dapat mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas. Air yang diserap oleh tanah sebagian akan menjadi air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan di atasnya dan juga sebagai sumber air yang mengalir di dalam tanah dan sebagai aliran sungai (Gambar 4).
KAWASAN EKOSISTEM LEUSER SEBAGAI HABITAT BERBAGAI SPESIES Keanekaragaman spesies fauna di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) cukup lengkap meliputi Mamalia, Aves, Reptilia, Amphibia, Ikan dan spesies Invertebrata lainnya. Tercatat 739 jenis fauna. Mamalia (termasuk Primata), tercatat sekitar 176 spesies, dimana 32 spesies
diantaranya merupakan spesies mamalia yang ada di dunia atau mewakili 25% spesies mamalia yang ada di Indonesia. Beberapa mamalia penting (key species) yang terdapat di TNGL antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), siamang (Hylobates syndactylus), kera (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestriana), kedih (Presbytis thomasi), macan dahan (Neofalis nebulosa), beruang (Helarctos melayanus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), buaya gajah (Elephas maximus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), buaya muara (Crocodylus porosus), dan kambing hutan (Capricornis sumatrensis) (Gambar 5). Untuk spesies burung (Aves) di TNGL terdapat paling sedikit 350 spesies yang sudah diidentifikasi. Jumlah ini mewakili 80% spesies burung yang ada di Pulau Sumatera. Sedangkan untuk spesies Reptilia dan Amphibia didominasi oleh spesies-spesies ular (Phyton) dan Buaya, sementara spesies ikan yang khas terdapat di TNGL adalah ikan jurung yang hidup dibeberapa sungai yang mengalir di KEL.
Gambar 4. Kawasan Ekosistem Leuser sebagai Daerah Tangkapan Air
DJUFRI – Ekosistem Leuser sebagai sumber bahan obat
1549
A
B
C
D
Gambar 5. Beberapa spesies KEL. A. Harimau Sumatera, B. Orangutan, C. Kedih, dan D. Rangkong
KAWASAN EKOSISTEM LEUSER SEBAGAI OBYEK PENELITIAN Bentuk pemanfaatan hutan yang lain adalah dengan meneliti dan menikmati keindahannya. Obyek penelitian tersedia begitu melimpah di dalam hutan dan penelitian yang seksama akan terus menghasilkan penemuan baru bagi ilmu pengetahuan. Menikmati keindahan alam akan menumbuhkan rasa cinta terhadap alam, menumbuhkan
keinginan untuk menjaganya dan menghilangkan keinginan untuk merusaknya. Di dalam KEL terdapat berbagai macam tanaman obat yang merupakan misteri alam yang perlu dikaji dan diteliti sebelum ditemukan manfaatnya. Namun bila hutan-hutan di kawasan ini rusak dan musnah, misteri ini akan tinggal sebagai rahasia alam yang tidak akan pernah lagi ditemukan apalagi dimanfaatkan.
1550
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1543-1552, Oktober 2015
STASIUN PENELITIAN KETAMBE Pusat penelitian Ketambe didirikan pada tahun 1971 oleh Herman D. Rijksen. Pada awalnya tempat ini difungsikan untuk merehabilitasi orangutan sitaan dari penduduk dalam rangka penegakan hukum dan konservasi alam. Tempat ini dipilih karena kaya dengan tumbuhan pakan orangutan; misalnya spesies-spesies beringin (Ficus spp), durian (Durio zebethinus), dan beberapa spesies lainnya. Tempat ini merupakan semenanjung yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ketambe dan Sungai Alas, terletak di dalam TNGL. Pertimbangan lainnya adalah tempat ini jauh dari perkampungan penduduk dan dapat dijangkau dengan kenderaan roda empat pada lintasan jalan Kutacane-Blangkejeren. Pada awalnya pusat penelitian Ketambe seluas 1,5 km2 (Rijksen 1978). Pada tahun 1979, Schurman memperluas, mengukur, dan memetakan dengan sangat akurat Pusat Penelitian Ketembe sehingga luasnya menjadi 4,5 km2. Pebruari 1979 seluruh orangutan rehabilitan di Ketambe dipindahkan ke stasiun rehabilitas orangutan Bahorok, sejak itu Ketambe difungsikan sebagai pusat penelitian (UML 1998). Ketambe terletak pada 3040’ LU dan 97040’ BT, ketinggian 350-1500 m dpl. Tempat ini terletak di lembah Alas, diapit oleh Gng. Mamas di sebelah Barat Gng. Kemiri di sebelah utara dan Gng. Bendahara di sebelah timur. Ketambe terletak di lembah Alas nan subur. Lembah Alas dengan panjang ± 100 km, lebar ± 15 km di Lau Pakam di sebelah selatan lembah ini, makin ke utara semakin menyempit, membelah Pegunungan Bukit Barisan dari utara ke selatan. Tempat ini dibatasi oleh Sungai Alas di timur-laut dan Sungai Ketambe di barat-laut. Beberapa anak sungai dan alur terdapat di tempat ini, yang ketika musim kemarau menjadi kering, sementara ketika musim hujan menciptakan beberapa rawa kecil. Lokasi Stasiun Penelitian Ketambe berjarak kurang lebih 32 km dari Ibu Kota Kabupaten Aceh Tenggara Kutacane dan dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit dengan kenderaan roda empat. Stasiun Penelitian Ketambe merupakan stasiun penelitian yang mempunyai fasilitas yang terlengkap diantara stasiun penelitian yang ada di TNGL, yang terdiri dari; (i). Areal penelitian dengan luas ± 450 ha dan sudah dilengkapi dengan sistem trail, (ii). 1 (satu) bangunan kayu untuk kantor manager stasiun, (iii). 1 (satu) bangunan kayu untuk kantor asisten lapangan, (iv). 4 (empat) bangunan kayu dengan 13 kamar tidur untuk akomodasi peneliti, (v). 1 (satu) bangunan permanen untuk dapur dan ruang pustaka, (vi). 1 (satu) pos penyeberangan merangkap pos jaga, (vii). 1 (satu) unit stasiun pencatatan curah hujan dan suhu udara, (viii). 1 (satu) unit generator untuk penerangan pada malam hari, dan (ix). 1 (satu) perahu untuk penyeberangan Sungai Alas (UML 1998). Stasiun Penelitian Ketambe menempati urutan pertama dalam hal jumlah peneliti/mahasiswa yang melakukan penelitian di sana. Jumlah dan asal mereka sejak tahun 1996 s.d 2010 mencapai ratusan peneliti. Sebagian besar
peneliti mengadakan penelitian dengan dana sendiri ataupun disponsori oleh lembaga lain. Dalam hal ini pihak TNGL hanya memberikan fasilitas tempat penelitian dan membantu mereka terkait dengan administrasi penelitian. TNGL juga memiliki program Skripsi Support yang diperuntukkan bagi mahasiswa S1 dan S2, dengan syarat judul penelitiannya terkait langsung dengan KEL. Selain untuk penelitian, sebagian peneliti dan mahasiswa datang ke Stasiun Penelitian Ketambe untuk orientasi lapangan sebelum mereka melakukan penelitian yang sesungguhnya. Selain itu, Stasiun Penelitian Ketambe juga sering dikunjungi murid SLTA yang biasanya didampingi gurunya dan NGO untuk kegiatan pengamatan lapangan, misalnya kegiatan pengenalan tumbuhan, hewan, dan para tamu lainnya yang ingin melihat keluarganya yang sedang melakukan penelitian.
MERENCANAKAN PROGRAM PENELITIAN UNTUK KAWASAN YANG DILINDUNGI Pengaruh manusia terhadap planet bumi sudah demikian besar sehingga sulit untuk membayangkan adanya kawasan alam yang benar-benar alami atau stabil. Perlindungan terhadap alam, baik berupa satu spesies yang penting ataupun suatu ekosistem keseluruhan yang mewakili, memerlukan campur tangan pengelola untuk menjamin agar lingkungan yang cocok terpelihara. Mengelola alam pada tingkat efisiensi dan keselamatan manapun, pengelola harus mengetahui dan memahami banyak hal mengenai cara bekerjanya berbagai ekosistem. Ada enam bidang pokok di mana informasi hayati ilmiah diperlukan pengelola, sebelum ia membuat rencana menyeluruh mengenai pengelolaan jangka panjang kawasan yang dilindungi, yaitu: (i) Inventarisasi, flora, fauna, dan sumberdaya apa yang ada?. (ii) Kunatifikasi, berapa jumlah dari setiap spesies yang ada, bagaimana penyebarannya dalam ruang dan waktu?. (iii) Hubungan ekologi, siapa yang makan apa?, bersaing dengan siapa?, apa yang bergantung pada apa?. (iv) Dinamika perubahan, diperlukan studi mengenai kolonisasi kawasan yang terganggu, suksesi seral komunitas tumbuhan, perubahan aliran sungai, evolusi rawa, invasi spesies baru, dan kecenderungan populasi di dalam spesies. (v) Kebutuhan spesies, sebanyak mungkin informasi mengenai spesies yang memerlukan pengelolaan khusus perlu dikumpulkan, misalnya persyaratan habitat, kebutuhan tempat berlindung, makanan, mineral, dan air. (vi) Prakiraan manipulasi terhadap ekosistem, bila proses perubahan alami berlawanan dengan tujuan pengelolaan, pengelola tentu ingin mencegah terjadinya perubahan atau mempengaruhi arah perubahan. Untuk itu, ia memerlukan pengetahuan khusus mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung, jangka pendek dan jangka panjang berbagai pengelolaan yang dipilih (Tabel 2 dan 3).
DJUFRI – Ekosistem Leuser sebagai sumber bahan obat
1551
Tabel 2. Ringkasan keperluan penelitian yang relevan untuk pengelolaan kawasan konservasi Aspek
Relevansi dengan pengelolaan
Pelaksana (Orang luar)
Inventarisasi kualitatif Inventarisasi kuantitatif
Seleksi cagar identifikasi tujuan pengelolaan Informasi perencanaan, pengelolaan, dan pemantauan
Pemetaan vegetasi Studi suksesi seral
Pemantauan pengelolaan habitat, penentuan prioritas pengelolaan Penentuan kebutuhan untuk pengelolaan habitat
Studi sinekologi
Perencanaan pengelolaan margasatwa dan habitat
Studi autekologi
Perbaikan pengelolaan atau perlindungan spesies khusus, dan kebutuhan habitat Mengatasi keadaan darurat atau masalah pengelolaan khusus Pengkajian keefektipan pengelolalan, dan perencanaan tindakan pengelolaan Kaitan dengan lahan sekitarnya, dasar kebenaran ekonomi, dan pemantauan oleh pengunjung
Diperlukan pakar taksonomi yang potensial Kelompok profesional, pelajar, mahasiswa, sukarelawan, semuanya bermanfaat Spesialis botani, dapat juga mahasiswa yang sedang meneliti Spesialis botani, dapat juga mahasiswa yang sedang menliti Ekolog profesional atau mahasiswa yang sedang meneliti Ekolog profesional atau mahasiswa yang sedang meneliti Spesialis atau konsultan
Studi masalah khusus Konsekuensi pengelolalan Studi sosial-ekonomi
Ekolog atau pengelola taman yang berpengalaman Agronom, ekonom, sosiolog, dana antropologi
Tabel 3. Topik utama penelitian flora di TNGL (Dasrul et al.2006) 1. Autentisitas (Refleksi yang diperlihatkan KEL) A. Komposisi spesies flora asli (native) Proporsi flora asli (native) Proporsi flora dari luar (exotic) Proporsi antara spesies yang berbeda Tidak mungkin munculnya suatu spesies di suatu tempat, jika secara teori harusnya tidak muncul B. Pola variasi intraspesies Struktur morfologi (herba, perdu, pohon, epifit, liana, dan,lain sebagainya) Siklus nutrien Asosiasi (simbiosis, komensalisme, parasitisme, dan lain-lain) C. Keleluasan berperannya fauna dan flora dalam hutan dan keberfungsian ekosistem Siklus hara Rantai makanan Asosiasi (simbiosis, komensalisme, parasitisme, dan lain-lain) D. Proses perubahan (dinamika) dan regenerasi hutan berjalan secara alami dalam waktu yang panjang (suksesi) 2. Kesehatan Hutan Demografi flora Pola sejarah hidup Komposisi spesies penyusun dan nilai kuantitatif spesies (Nilai Penting, Indeks Keanekaragaman, Pola Distribusi, Formasi, Asosiasi, Indeks Kesamaan, Cluster Analysis, dan lain-lain). Struktur vegetasi (bentuk pertumbuhan (growth form), satratifikasi dan penutupan, fisiognomi vegetasi (vegetation physiognomi), struktur biomasa (biomass structure), struktur bentuk hidup (lifeform), struktur komposisi spesies (floristic), struktur tegakan (stand structure). 3. Manfaat bagi Lingkungan Konservasi kawasan (pengawetan, pemeliharaan, perlindungan, pelestarian, perbaikan, pencadangan (penyisihan lahan), dan penghijauan (reboisasi). Habitat fauna yang hidup di dalamnya (tempat hidup, sumber pakan, pertumbuhan dan reproduksi). Kehidupan masyarakat sekitar (sumber pencaharian, sumber obat-obatan, bahan pangan, dan bahan baku industri). Manfaat kawasan konservasi alam (menstabilkan fungsi hidrologi, melindungi tanah, keseimbangan alam dan lingkungan, menyediakan fasilitas pendidikan, pelestarian nilai budaya dan tradisi, melestarikan keunikan dan keindahan alam. Keuntungan sosial dan ekonomi (Sumber kehidupan masyarakat sekitar, sumber bahan baku obat-obatan, etnobotani, bahan baku sandang dan pangan).
1552
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1543-1552, Oktober 2015
DAFTAR PUSTAKA Consortium SAFEGE. 2014. An Appraisal of the Aceh Provincial Spatial Plan and Options for Review Specific Contract No: 2014/349451. Consortium SAFEGE, Brussels, Belgium Dasrul, Rahmi E, Samadi, Firdaus, Djufri, Suryawan F. 2006. Study Preliminary Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Griffiths M. 1992. Leuser. Published as a co-operative venture between The Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation & The World Wide Fund for Nature Indonesia Pragramme. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No. 227/Kpts-II/1995 Tentang Specific Contract No. 2014/349451 15 Pemberian Izin (Izin Kegiatan) Pengelolaan kepada Yayasan Leuser Internasional untuk Mengkonservasikan dan Mengembangkan Kawasan Ekosistem Leuser yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara;
Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-VI/1997 Tentang Penunjukan Taman Nasional Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar, yang terletak di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara. Keputusan Menteri Kehutanan No.10193/Kpts-II/2002 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser Keputusan Menteri Kehutanan No.190/Kpts-II/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Menhut No. 198/Kpts –II/ 2001 Tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh; Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Unit Manajemen Leuser (UML). 1998. Sekilas tentang Kawasan Ekosistem Leuser. Program Pengembangan Leuser. Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa, Unit Manajemen Leuser, Medan.. UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1553-1558
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010702
Keragaman genetik padi lokal Kalimantan Timur Genetic Diversity of East Kalimantan Local Rice NURHASANAH1,♥, WIDI SUNARYO1 Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. Kampus Gn. Kelua, Jl. Pasir Balengkong No.1, Samarinda 75123, Kalimantan Timur. ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Mei 2015. Revisi disetujui: 15 Juli 2015.
Nurhasanah, Sunaryo W. 2015. Keragaman genetik padi lokal Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1553-1558. Keaneka ragaman plasma nuftah merupakan bahan dasar genetik yang sangat penting untuk merakit varietas-varietas unggul baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat potensi daerah Kalimantan Timur berupa kekayaan sumber daya genetik padi lokal yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal dalam program pemuliaan tanaman padi. Hasil eksplorasi yang dilakukan di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan tingginya keragaman genetik padi lokal di Kabupaten ini. Sebanyak 44 kultivar padi lokal berhasil dikumpulkan, yang terdiri dari 39 kultivar padi beras dan 5 kultivar merupakan padi ketan. Sekitar 80% dari kultivarkultivar tersebut merupakan padi ladang. Terdapat 2 kultivar beras merah, yang potensial untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional yang mempunyai substansi aktif yang bermanfaat untuk kesehatan. Melalui tindakan eksplorasi dan konservasi, serta identifikasi potensi genetik, pemanfaatannya dalam program pemuliaan tanaman melalui proses seleksi dan evaluasi, diharapkan kekayaan genetik padi lokal ini dapat dimanfaatkan secara optimal dalam program pemuliaan tanaman padi, untuk merakit kultivarkultivar unggul baru dengan produktivitas dan kualitas hasil yang tinggi, dan memiliki ketahanan terhadap cekaman faktor lingkungan yang merupakan tujuan utama dari program pemuliaan tanaman saat ini. Kata kunci: Keragaman genetik, Kalimantan Timur, padi lokal, potensi genetik
Nurhasanah, Sunaryo W. 2015. Genetic Diversity of East Kalimantan Local Rice. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1553-1558. Genetic diversity is a base genetic material which is very important in assembling new superior varieties. This Study aimed to elevate local potency of East Kalimantan, local rice genetic diversity, which have not been optimally used in rice breeding program. The exploration results conducted in West Kutai District, East Kalimantan Province, showed a high local rice genetic diversity. As many as 44 cultivars were collected, consisted of 39 rice and 5 glutinous rice cultivars. About 80% of them were upland rice cultivars. There were 2 brown grain rice cultivars, which are potentially developed as functional food having useful active substance for human health. Through exploration and conservation, as well as identification of their genetic potency, the local rice genetic diversity can be optimally exploited in rice breeding program to assemble new superior rice varieties with high productivity and good quality as well as tolerance to biotic and abiotic stresses. Keywords: Genetic diversity, East Kalimantan, local rice, genetic potency
PENDAHULUAN Kalimantan Timur yang merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia dengan kekayaan alam hayati yang melimpah, memiliki berbagai spesies tanaman lokal/khas yang hanya terdapat di provinsi ini. Diantara spesies tanaman tersebut adalah terdapatnya beberapa varietas tanaman padi lokal dengan sifat-sifat unggulan yang tidak terdapat pada varietas-varietas lain. Keragaman padi lokal Kalimantan Timur ini merupakan modal dasar yang sangat berharga untuk pengembangan pertanian sektor tanaman pangan dalam mendukung program swasembada pangan nasional. Keberadaan padi lokal ini hanya bergantung kepada budidaya yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan sampai saat ini belum dilakukan konservasi sumber daya genetik yang memadai untuk melindungi varietas-varietas tersebut dari kepunahan dan erosi genetic (Hendra et al.
2002). Selain itu, pemanfaatan varietas-varietas padi lokal tersebut di dalam program pemuliaan tanaman padi dalam rangka perakitan varietas unggul belum dioptimalkan. Kultivar padi lokal asal Kalimantan Timur ini memiliki sifat unggulan, yang diantaranya adalah kualitas rasa yang tinggi dan tahan terhadap cekaman lingkungan abiotik seperti kekeringan dan salinitas (Subroto 2002; Rusdiansyah 2006). Selain itu, kemungkinan padi lokal ini membawa alel-alel yang menyandikan sifat-sifat unggul lainnya atau variabilitas genetik yang belum terdeteksi yang dapat dikarakterisasi nantinya melalui seleksi dan evaluasi tanaman hasil pemuliaan dengan memanfaatkan potensi varietas lokal tersebut. Dalam tulisan ini kami menyajikan hasil penelitian eksplorasi kultivar-kultivar padi lokal di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, serta pra-identifikasi potensi genetik yang dimilikinya.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1553-1558, Oktober 2015
1554
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Eksplorasi dilaksanakan dalam dua periode, yaitu pada bulan Juni dan Oktober 2014. Penelitian eksplorasi ini dilakukan untuk mengumpulkan plasma nuftah-plasma nuftah padi lokal di wilayah Kabupaten Kutai Barat yang diketahui merupakan daerah sentra penanaman padi, yaitu desa Bukit Harapan, Gleo Baru, Ungang Amer, Balok Asa, Tutung, Intu Ungau, Muara Mujan, Resak, dan Muara Gusik. Metode Eksplorasi dilakukan Koleksi plasma nuftah dilakukan dengan mengumpulkan setiap kultivar padi yang ditanam oleh penduduk setempat. Informasi mengenai nama-nama lokal kultivar, asal atau sumber benih, keunggulan dan kelemahan dari karakter agronomi yang dimiliki, alasan memilih menanam varietas tersebut, metoda penanaman serta informasi lainnya yang dapat digali dari petani dikumpulkan melalui interview secara langsung kepada petani atau orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, seperti kepala desa atau suku setempat atau penyuluh pertanian serta instansi terkait. Metode interview dilakukan secara tidak terstruktur melalui diskusi atau perbincangan sederhana dan kekeluargaan. Identifikasi keragaman genetik dilakukan melalui pengamatan dari bentuk gabah dan warna beras.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil eksplorasi yang dilakukan di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur menunjukkan tingginya keragaman genetik padi lokal yang terdapat di kabupaten ini. Sebanyak 44 kultivar padi lokal berhasil dikumpulkan, yang terdiri dari 39 kultivar padi beras dan 5 kultivar merupakan padi ketan (Tabel 1). Keragaman genetik padi-padi lokal terlihat dari perbedaan bentuk gabah dari 44 kultivar tersebut (Gambar 1). Beberapa gabah berbentuk bulat, seperti pada kultivar Baqu‘ dan popot putih (Gambar 1-1, 1-2 dan 1-11). Beberapa kultivar memiliki bentuk gabah yang ramping dan berukuran panjang ± 1 cm atau lebih (Gambar 1-4, 1-6, dan 1-32). Perbedaan bentuk-bentuk gabah yang diamati, megindikasikan keragaman genetik dari kultivar-kultivar tersebut. Kultivar padi lokal yang memiliki gabah yang berbentuk bulat seperti Baqu’ diduga tergolong kedalam subspesies Japonica atau Javanica, sedangkan kultivar yang memiliki gabah yang berukuran panjang dan
berbentuk langsing, seperti Mayas Merah, Mayas Pudak, Bogor, Mayas Kuning dll, tergolong kedalan subspesies Indica (Gruben dan Partoharjo, 1996). Beberapa kultivar seperti Serkap, Pudak dan Bungkong diduga merupakan hasil persilangan alami dari subspesies Japonica atau Javanica dengan Indica berdasarkan bentuk gabah yang diamati. Hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui analisis DNA, untuk memvalidasi kebenaran dugaan tersebut. Menggunakan 30 penanda mikrosatelit, Thomson et al. (2009) mendeteksi perbedaan yang sangat jelas antara varietas-varietas yang tergolong kedalam kelompok subspesies Japonica dan Indica dari kultivar padi lokal yang dikumpulkan dari 18 desa di sepanjang sungai Bahau dan Kayan Provinsi Kalimantan Timur. Dari 183 kultivar padi ladang yang dianalisis kekerabatannya melalui penanda DNA tersebut, 80% diidentifikasi dan dikelompokkan kedalam tropikal Japonica dan 20% Indica. Keragaman juga terlihat dari warna beras yang tidak hanya berwarna putih, tetapi juga kekuningan, merah dan hitam (Gambar 2). Beras yang berwarna merah dan hitam seperti pada kultivar Padi Merah dan Pulut Saruq (Gambar 2B dan 2D) dapat berperan sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional adalah bahan makanan alami yang mengandung satu atau lebih komponen dengan fungsi fungsi fisiologis tertentu dan bermanfaat bagi kesehatan (Niva 2007; Siró et al. 2008). Sehubungan dengan hal tersebut, beras merah dan beras hitam dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional, yaitu selain sebagai sumber karbohidrat utama juga memiliki kandungan senyawa atau substansi aktif, yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan diet-diet khusus. Selain sebagai pangan pokok, beras merah sudah lama diketahui bermanfaat bagi kesehatan, dan menjadi sumber karbohidrat pilihan utama bagi penderita diabetes dan sebagai makanan bayi. Beras merah mengandung vitamim B kompleks yang cukup tinggi, asam lemak esensial, serat maupun zat warna antosianin serta indeks glikemik yang rendah yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Suardi 2005). Menurut Smith and Charter (2010), beras merah juga merupakan salah satu sumber selenium, yaitu mineral yang dapat meningkatkan sel-sel pembunuh sel kanker secara alami, memobilisasi sel-sel untuk memerangi sel-sel kanker dan dapat berperan sebagai antioksidan. Seperti beras merah, beras hitam juga mengandung antosianin dan antioksidan yang tinggi (Sutharut dan Sudarat 2012), selain itu beras ini juga mengandung bioaktif phytokimia seperti tocopherols, tocotrienols, oryzanols dan vitamin B kompleks Zhang et
Tabel 1. Hasil eksplorasi padi lokal asal Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur Jenis Padi ketan Padi beras
Tipe penanaman Ladang Ladang
Kultivar
Jarum, Jomit, Mayang, Piange, Pulut Saruq Abang Kawit, Arum, Baqu'1*,Baqu' 2*, Basong, Beribit, Bieye, Bungkong, Kukut Nakit, Mayas Harum, Mayas Kuning 1*, Mayas Kuning 2*, Mayas Kuning 3*, Mayas Kuning 4*, Mayas merah, Mayas Mun, Mayas Putih, Mayas Sereh, Melak, Padi Harum, Padi Hitam, Padi Kesumba, Padi Kuning, Padi Lani, Padi Merah, Pudak 1*, Pudak 2*, Pudak 3*, Sereh/Padi melak, Tokong, Wai/padi rotan Padi beras Sawah Lameding, Mayas Bogor, Popot Putih, Rapak Pelita, Serai Kuning, Serkap/Srakap, Takbantu Catatan: *Kultivar yang memiliki nama yang sama tetapi memiliki bentuk gabah yang berbeda
NURHASANAH & SUNARYO – Keragaman genetik padi lokal Kalimantan Timur
1. Baqu’ 1
2. Baqu’ 2
3. Ketan Mayang
4. Mayas Merah
5. Melak
6. Pudak 1
7. Mayas bogor
8. Pulut saruq
9. Lameding
10. Serkap/Srakap
11. Popot Putih
12. Serai Kuning
13. Rapak pelita
14. Beribit
15. Pudak 2
16. Mayas Kuning 1
17. Takbantu
18. Mayas harum
19. Arum
20. Basong
1555
1556
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1553-1558, Oktober 2015
21. Padi Hitam
22. Mayas Kuning 2
23. Padi Kuning
24. Ketan Jomit
25. Mayas Sereh
26. Bieye
27. Kukut Nakit
28. Ketan Jarum
29. Bungkong
30. Ketan Piange
31. Padi Harum
32. Mayas Kuning 3
33. Pudak 2
34. Mayas Mun
35. Wai/padi rotan
36. Mayas Kuning 4
37. Padi Merah
38. Padi Kesumba
39. Padi Lani
40. Tokong
NURHASANAH & SUNARYO – Keragaman genetik padi lokal Kalimantan Timur
41. Abang Kawit
42. Mayas Kuning 4
43. Mayas Putih
1557
44. Sereh/Padi melak
Gambar 1. Keragaman genetik kultivar padi lokal yang ditemukan di Kabupaten Kutai Barat yang diamati dari bentuk fisik dan ukuran gabah (1-44).
A. Baqu’ 1
B. Pulut Seruq
C. Mayas Kuning 3
D. Padi Merah
Gambar 2. Keragaman warna bulir beberapa kultivar padi beras dan ketan di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, A. Bulir yang berwarna putih, B. Bulir yang berwarna hitam, C. Bulir yang berwarna kekuningan, D. Bulir yang berwarna merah.
al. (2010). Diet makanan yang terbuat dari beras ini, diduga dapat menurunkan resiko kegemukan, steatosis hepatik, hiper glikemi, untuk penderita diabetes (Jang et al. 2012), selain itu dapat mencegah sakit kepala, kanker usus besar, sakit jantung, alzheimer dan menurunkan hipertensi (Sutharut dan Sudarat 2012). Belakangan ini, kebutuhan masyarakat akan makanan tidak hanya ditujukan untuk menghilangkan rasa lapar saja, tetapi juga adanya kepercayaan bahwa makanan akan berkontribusi secara langsung terhadap kesehatan manusia, terutama untuk masyarakat yang berpendidikan atau masyarakat ekonomi menengah keatas. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya nilai jual dan permintaan bahan makanan atau produk-produk yang berlabel pangan fungsional, seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kesehatan, yang diiringi dengan keinginan untuk menerapkan pola hidup sehat dengan memperbaiki pola diet atau asupan makanan yang lebih baik (Bech-Larsen and Scholderer 2007). Sehingga pengembangan lebih lanjut budidaya dan produksi beras merah dan beras hitam akan memiliki prospek ekonomi yang cukup signifikan. Terdapat kultivar yang memiliki nama lokal yang sama tetapi memiliki bentuk gabah yang berbeda seperti kultivar Baqu‘ (Gambar 1-1 dan 1-2), Pudak (Gambar 1-6, 1-15, 133), dan Mayas Kuning (Gambar 1-16, 1-22, 1-32, 1-36). Kerancuan penamaan ini mungkin terjadi dikarenakan kemurnian benih yang tidak terjaga. Umumnya para petani
menanam lebih dari satu kultivar, sehingga sangat memungkinkan tercampurnya benih. Kemungkinan lain adalah terjadinya outcrossing atau penyerbukan silang. Verifikasi terhadap hal ini dapat dilakukan melalui pengamatan karakter-karakter agronomi secara komprehensif dan analisa DNA untuk membuktikan apakah mereka kultivar yang sama atau berbeda. Potensi genetik yang dimiliki oleh padi lokal ini didominasi oleh kualitas rasa yang tinggi. Sehingga selalu habis atau sulit didapatkan walaupun harga beras lokal tersebut dipasaran jauh lebih mahal dibandingkan beras nasional yang beredar. Selain kualitas rasa, padi-padi lokal ini lebih toleran terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. Hal ini diduga dari ketahanan tanaman yang lebih baik dibandingkan beberapa varietas unggul nasional yang ditanam pada saat bersamaan, pada waktu terjadi serangan hama dan penyakit di lokasi setempat. Sebagian besar dari padi-padi lokal yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur merupakan padi ladang/gogo (±80%). Tingginya keragaman genetik padi ladang ini dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman untuk perbaikan varietas padi ladang yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal dalam mendukung ketersediaan beras nasional sehingga dapat meningkatkan kontribusi padi ladang terhadap produksi padi nasional yang selama ini masih sangat rendah, karena produktifitasnya yang relatif jauh lebih rendah. Melalui pemanfaatan potensi keragaman genetik yang berlimpah
1558
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1553-1558, Oktober 2015
dan teknologi pemuliaan yang tepat, permasalahan utama rendahnya produktifitas padi gogo ini dapat diatasi melalui program pemuliaan tanaman dengan perakitan varietas unggul. Pemanfaatan padi ladang ini dapat lebih optimal dilakukan menigingat lahan kering yang terdapat di Indonesia melebihi 70 % (144 juta ha) dari luas daratan yang ada (Hidayat dan Mulyani 2002). Diduga telah terjadi erosi genetik yang mengakibatkan berkurangnya keragaman genetik padi lokal di Kabupaten Kutai Barat. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Hendra et al. (2009), terdapat 103 kultivar padi lokal di Kabupaten Kutai Barat yang terdiri dari 67 kultivar padi beras dan 36 kultivar padi ketan. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, hasil eksplorasi yang dilakukan dalam penelitian ini hanya berhasil mengumpulkan sekitar 38% dari kultivar padi lokal yang pernah diidentifikasi sebelumnya. Erosi genetik ini terjadi diduga karena adanya alih fungsi lahan pertanaman padi menjadi areal perkebunan kelapa sawit atau pertambangan yang luasnya meningkat pesat di kabupaten Kutai Barat. Peralihan pilihan petani dari menanam varietas lokal dan menggunakan varietas unggul nasional yang cenderung memiliki umur tanam yang relatif cepat dan tahan hama setelah munculnya revolusi hijau, atau karena program dari dinas dan instansi terkait juga merupakan penyebab berkurangnya keragaman genetik padi lokal saat ini. Selain itu, berkurangnya biodiversitas padi lokal secara tidak langsung juga dikarenakan adanya alih profesi dari petani padi menjadi karyawan di perkebunan, perusahaan tambang atau profesi lain. Hal ini terjadi baik dikarenakan kebutuhan ekonomi maupun berkurangnya ketertarikan untuk menjadi petani padi. Kurangnya pengetahuan masyarakat setempat terhadap keragaman genetik padi lokal terutama kaum muda yang berusia 40 tahun kebawah, diamati dalam penelitian Hendra et al. (2009). Secara umum, saat ini hanya sekitar 40% dari kultivar padi lokal yang ada dapat mereka dikenali. Selain dikarenakan erosi genetik, tidak optimalnya proses eksplorasi diduga juga merupakan kendala yang mengakibatkan pengumpulan plasma nuftah tidak maksimal. Beberapa kendala yang membuat sulitnya eksplorasi secara menyeluruh di wilayah Kabupaten Kutai Barat tersebut adalah banyaknya daerah-daerah yang sulit ditempuh dengan menggunakan jalur darat, atau tidak adanya akses yang memadai untuk mencapai lokasi tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Hibah Insentif Riset Strategis Nasional (INSINAS) dari Kementerian Riset dan Teknologi, tahun 2014 atas nama Dr.sc.agr. Nurhasanah, S.P., M.Si.
DAFTAR PUSTAKA Bech-Larsen T, Scholderer J. 2007. Functional foods in Europe: Consumer research, market experiences and regulatory aspects. Trends in Food Science & Technology 18: 231-234. Grubben GJH, Partohardjono S. 1996. Plant Resources of South-East Asia No. 10 :Cereals. Prosea, Bogor. Hendra M, Guhardja E, Setiadi D, Walujo EB, Purwanto Y. 2009. Cultivation Practices and Knowledge of Local Rice Varieties among Benuaq Farmers in Muara Lawa District West Kutai, East Kalimantan-Indonesia. Biodiversitas 10: 98-103. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Jang HJ, Park M-Y, Kim H-W, LeeY-M, Hwang K-A, Park J-H, Park DS, Kwon O. 2012. Black rice (Oryza sativa L.) extract attenuates hepatic steatosis in C57BL/6 J mice fed a high-fat diet via fatty acid oxidation. Nutrition & Metabolism 9 (27): 1-11. Niva M. 2007. ‘All foods affect health’: Understandings of functional foods and healthy eating among health-oriented Finns. Appetite 48: 384-393. Rusdiansyah. 2005. Identifikasi Padi Gogo dan Padi Sawah Lokal Asal Kecamatan Sembakung dan Sebuku Kabupaten Nunukan. Proyek FORMACS-CARE International Indonesia. Indonesia. Siro´ I, Ka´polna E, Ka´polna Bt, Lugasi A. 2008. Functional food. Product development, marketing and consumer acceptance. Appetite 51: 456-467 Smith J, Charter E. 2010. Functional Food Product Development. Blackwell Publishing Ltd., United Kingdom. Suardi KD. 2005. Potensi Beras Merah Untuk Peningkatan Mutu Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Subroto HG. 2002. Evaluasi Lanjutan Enam Genotipe Padi Gogo Asal Kalimantan Timur terhadap Cekaman Aluminium. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutharut J, Sudarat J. 2012. Total anthocyanin content and antioxidant activity of germinated colored rice. Intl Food Res J 19 (1): 215-221. Thomson MJ, Polato NR, Prasetiyono J, Trijatmiko KR, Silitonga TS, McCouch SR. 2009. Genetic Diversity of Isolated Populations of Indonesian Landraces of Rice (Oryza sativa L.) Collected in East Kalimantan on the Island of Borneo. Rice 2: 80-92. Zhang M, Zhang R, Zhang F, Liu R. 2010. Phenolic profiles and antioxidant activity of black rice bran of different commercially available varieties. J Agric Food Chem 58:7580-7587.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1559-1564
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010703
Status keberadaan plasma nutfah markisa ungu (Passiflora edulis) di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat The status of the existence of the purple markisa germ plasm in Alahan Panjang, Solok District, West Sumatera HAMDA FAUZA, SUTOYO, NURWANITA EKASARI PUTRI♥ Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manih-Padang 24063, Sumatera Barat. Tel. +62-751-72701, Fax. +62-751-72702,email:
[email protected] Manuskrip diterima: 13 Maret 2015. Revisi disetujui: 26 Agustus 2015.
Fauza H, Sutoyo, Putri NE. 2015. Status keberadaan plasma nutfah markisa ungu (Passiflora edulis) di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1559-1564. Selain terkenal dengan markisa manis (Passiflora ligularis), Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat juga terdapat markisa ungu (Passiflora edulis) yang dikenal di daerah ini dengan nama ‘lingkisek’, yang dulu banyak tumbuh liar di hutan-hutan. Pada saat ini, markisa ungu sudah jarang sekali ditemukan, sehingga memunculkan pertanyaan, “apakah jenis ini sudah punah di Alahan Panjang akibat erosi genetik”?. Sementara jenis ini mempunyai potensi yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan, sehingga perlu upaya untuk melestarikannya. Penelitian bertujuan untuk memastikan keberadaan markisah ungu serta informasi lain tentang penampilan fenotipik dan variabilitas fenotipiknya. Penelitian dilakukan di wilayah Alahan Panjang dan sekitarnya pada Juni s.d. September 2014. Penelitian menggunakan metode survei dengan pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling) dengan jumlah sampel tidak terbatas sampai tidak didapatkan lagi variasi pada sampel terpilih. Pada sampel terpilih dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dengan pemilik, mengamati dan mengukur secara langsung dari beberapa karakter fenotipik. Data hasil pengamatan dianalisis dengan beberapa metode, yaitu: analisis deskriptif terhadap penampilan fenotipik, variabilitas fenotipik berdasarkan standar deviasi, dan analisis klaster data fenotipik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan markisa ungu di Alahan Panjang sudah hampir punah. Tanaman ini lebih banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai sayuran yang diperoleh dari pucuknya, sedangkan buahnya justru tidak dimanfaatkan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 30 aksesi plasma nutfah markisa ungu dengan berbagai analisis data memperlihatkan bahwa terdapat keragaman fenotipik yang luas pada beberapa karakter yang diamati. Kata kunci: Markisa ungu, Passiflora edulis, plasma nutfah
Fauza H, Sutoyo, Putri NE. 2015. The status of existence of purple markisa (Passiflora edulis) germplasm in Alahan Panjang, Solok District, West Sumatera. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1559-1564. Besides famous with its sweet markisa (Passiflora ligularis), Alahan Panjang, Solok District, West Sumatera Barat also has the purple markisa (Passiflora edulis) which is known as ‘lingkisek’ in local language, in the past it found much wild growing on the forests. At this time, purple markisa is rarely found, so that raises questions, “Whether this species are extinct in di Alahan Panjang caused genetic erosion?”. This species has a potential value for its development so it is necessary in order to preserve it. This research aimed to ensure the existence of purple markisa and other information about its variability and appearance. It was conducted on June to September 2014 in Alahan Panjang. The research used survey method with purposive sampling, the total sample is not limited to no more variation in the elected sample. The data can be collected by interview with the owner, observed and measured on several fenotipic characters. The data is analyzed with some method: descriptive analysis to fenotipic appearance, variability analysis based on standard deviations, dan cluster analysis to fenotipic characters. The result showed that the presence of purple markisa has been already nearly extinct. The young leaves of this plant are more used by people as a vegetable but its fruit precisely not utilized. According to some analysis of 30 germplasm accessions, there are a wide fenotipic variability to some characters observed. Kata kunci: purple markisa, Passiflora edulis, germplasm
PENDAHULUAN Markisah merupakan salah satu komoditas hortikultura buah-buahan yang dipasarkan dan dikonsumsi dalam bentuk segar dan olahan yang prospektif untuk dikembangkan. Markisah manis (Passiflora ligularis) adalah jenis markisahyang dikonsumsi dalam bentuk segar
yang dihasilkan daerah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, sehingga juga dikenal dengan MarkisahAlahan Panjang. Markisah Alahan Panjang dipasarkan tidak hanya di daerah Sumatera Barat dan sekitarnya, tetapi juga sampai ke Jakarta dan Jawa Barat. Alahan Panjang merupakan salah satu dari empat nagari yang berada dalam wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok dengan luas 88,76 km², terletak pada
1560
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1559-1564, Oktober 2015
ketinggian 1.450 m, dengan curah hujan rata-rata 212 hari per tahun. Jumlah penduduk pada 2008 adalah sebanyak 14.100 jiwa, dengan kepadatan 150 per km². Sebahagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian terutama dalam budidaya tanaman sayuran dan buah-buahan. Alahan Panjang terkenal sebagai darah penghasil sayuran dan buah-buahan, khususnya yang beradaptasi di dataran tinggi, seperti kentang, kol, kubis, tomat, cabai, markisah, terong pirus, dan lain-lain (BPS, 2013) Selain markisah manis, dari Alahan Panjang juga terdapat markisah ungu(Passiflora edulis) yang dikenal di daerah ini dengan ‘lingkisek’. Berbeda dengan markisah manis yang dikonsumsi dalam bentuk segar, markisah ungu merupakan bahan utama pembuatan sirup markisah, walaupun juga dapat dikonsumsi segar. Markisah ungu mempunyai keunggulan lain, disamping rasanya yang manis keasaman, juga mempunyai aroma yang khas dan eksotik. Pada saat ini, lingkisek tidak lagi ditemukan di Alahan Panjang. Pertanyaannya adalah “apakah jenis ini sudah punah di Alahan Panjang akibat erosi genetik”. Karsinah et al. (2007) menyatakan bahwa jenis ini mempunyai potensi yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan. Beberapa waktu terakhir ada kecenderungan terjadi penurunan produksi Markisah Alahan Panjang. Beberapa permasalahan yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi adalah penurunan luas penanaman dan penurunan produktivitas. Akar dari kedua permasalahan tersebut adalah penurunan kualitas dan kuantitas buah buah yang dihasilkan. Bila pada 20 tahun yang lalu, masih didapatkan buah markisah dengan ukuran yang cukup besar (garis tengah bidang terpanjang sekitar 10 cm), pada saat ini sulit untuk menemukannya. Buah markisah yang sekarang ditemukan di pasaran, ukurannya kecil-kecil. Selain itu buah markisah yang ada sekarang kulitnya tidak mulus, sehingga penampilannya kurang bagus. Produktivitas dan
kualitas buah yang menurun menyebabkan minat petani menjadi kurang untuk mengusahakan markisah, sehingga luas penanaman dan produksi menjadi turun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa markisah tersebut telah mengalami penurunan potensi genetik (Fauza et al., 2014). Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penyelamatan (konservasi) terhadap sumberdaya genetik Markisa ungu. Dalam mengatasi permasalahan tersebut diperlukan peran serta pihak terkait (stakeholder), terutama masyarakat petani yang berkegiatan langsung di lapangan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk melakukan eksplorasi, karakterisasi, dan koleksi terhadap markisah ungu yang mengalami erosi genetik dan cenderung menuju kepunahan. Selanjutnya diharapkan materi genetic dan informasi yang diperoleh dapat berguna sebagai bahan perbanyakan dan atau sebagai tetua persilangan dalam perakitan kultivar unggul markisah, serta pelestarian plasma nutfah markisah.
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada bulan September s.d. Oktober 2014. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Bahan dan alat Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian lapang (eksplorasi) meliputi bagian dari tanaman markisa mulai dari cabang, daun, bunga, dan buah. Meskipun tidak semua bagian ditemukan dilapangan maka sampel tetap diamati.
Gambar 1. Lokasi penelitian markisa ungu di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
FAUZA et al. – Passiflora edulis di Alahan Panjang, Solok
Bahan kimia yang digunakan adalah Asam Askorbat 0.05% atau Vit C. Peralatan yang digunakan antara lain: mistar, busur, timbangan, kantong plastik, GPS, kompas, kamera digital, gunting setek, gunting tarik, amplop, balpoint, pensil, kertas label, penggaris, dan jangka sorong. Metode penelitian Penelitian ini merupakan percobaan observatif deskriptif non eksperimen melalui pengamatan karakter fenotipik yang dilakukan dengan menggunakan metode survei. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Pengumpulan data lokasi yang dijadikan tempat untuk pengambilan sampel dilakukan melalui survei pendahuluan. Pengambilan sampel pada daerah terpilih dilakukan dengan wawancara, mengamati maupun mengukur secara langsung dari beberapa komponen yang menjadi parameter dalam mengkarakterisasi morfologi tanaman markisa. Pengamatan Pengamatan dalam karakterisasi karakter fenotipik dilakukan terhadap 44 karakter pada cabang, daun, bunga, buah, hasil, dan komponen hasil. Pengamatan terhadap karakter morfologi mengacu kepada Tjitrosoepomo (1986). Penentuan cabang dan daun yang diamati dilakukan mengacu kepada penelitian Fauza (2009). Tiap sampel yang diamati dibagi atas empat sektor, yaitu Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Tiap sektor diamati empat cabang secara acak. Pada masing-masing cabang diamati satu sampel daun, yaitu daun ke-6 dari pucuk, sehingga tiap sektor diamati empat lembar daun. Nilai suatu karakter ditentukan dengan menghitung rata-rata dari semua sampel dalam satu aksesi. Analisis data Variabilitas fenitipik berdasarkan perbandingan standar deviasi dan varians Data hasil identifikasi terhadap karakter-karakter fenotipik ditampilkan dalam bentuk Tabel. Selanjutnya data hasil pengamatan dianalisis deskriptif. Variabilitas fenotipik dianalisis berdasarkan pengukuran masing-masing karakter pengamatan, ditentukan nilai rata-rata, varians, dan standar deviasinya. Nilai varians fenotipik ditentukan menurut Steel dan Torrie (1995), sebagai berikut : X i2 1 / n X i
2
2f
n 1
Sd 2 2f f
Keterangan: 2f = varians fenotipik X I = nilai rata-rata entri ke i n = jumlah nomor yang diuji Sd 2 = standar deviasi varians fenotipik f
Kriteria penilaian terhadap luas atau sempitnya variabilitas fenotipik mengacu pada Pinaria (1995), yaitu :
1561
- Bila 2f 2 Sd 2 berarti varians fenotipiknya luas f
- Bila 2f < 2 Sd 2 berarti varians fenotipiknya sempit f
Analisis kemiripan Data yang diperoleh dari hasil pengamatan fenotipik tersebut juga digunakan untuk menghitung kesesuaian matriks jarak dari dua aksesi yang akan dibandingkan. Untuk mengurangi skala pengukuran dan kategori yang berbeda dari karakter-karakter yang berbeda digunakan prosedur standardisasi, dengan mentransformasi data melalui prosedur STAND pada program NTSYS, yang pada prinsipnya adalah nilai observasi setiap karakter dikurangi rata-rata karakter tersebut dikurangi dengan standar deviasi (Rohfl, 1993). Analisis data yang sudah ditransformasi, menggunakan fungsi similarity interval (SIMINT) berdasarkan koefisien DIST ( rata-rata jarak taksonomi) :
Eij = (kn-1(Xki – Xkj)2)1/2 keterangan : Eij = rata-rata jarak taksonomi i dan j = dua perlakuan yang dibandingkan k = fenotipe X = nilai pengamatan n = jumlah aksesi Pengelompokan (dendogram) yang dihasilkan selanjutnya diamati dan diintepretasi untuk melihat tingkat diversitas dan tingkat kemiripan antara aksesi dengan mengamati posisi masing-masing aksesi pada dahan/ranting dendogram pada jarak genetik (genetic distance) tertentu melalui koofisien rata-rata jarak taksonomi (average of taxonomy distance).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penampilan fenotipik Kegiatan penelitian diawali dengan eksplorasi, yaitu suatu kegiatan mencari, mengumpulkan, mengoleksi, dan mengidentifikasi semua plasma nutfah baik dari spesies liar maupun lokal. Bersamaan dengan kegiatan eksplorasi markisa juga dilakukan karakterisasi guna mengidentifikasi karakter-karakter yang dimiliki oleh suatu aksesi. Konservasi plasma nutfah dilakukan dengan cara mengumpulkan buah-buah yang sudah tua untuk disemai dan dibibitkan sebagai bentuk konservasi ex situ. Berdasarkan hasil eksplorasi di Alahan Panjang, Kab. Solok, maka diperoleh 30 aksesi tanaman markisa ungu yang disajikan pada Tabel 1. Contoh pengamatan karekter fenotipik beberapa organ tanaman jengkol dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari semua karakter yang diamati tidak banyak terdapat variasi pada sifat kualitatif. Ukuran panjang dan lebar daun dengan perbandingan 1:1 menunjukkan bahwa bentuk daun cenderung bulat namun karena memiliki sisi yang mencangap maka daun markisa tidak bulat penuh. Tjitrosoepomo (1993) menyatakan bahwa perbandingan panjang dan lebar daunnya adalah 1:1
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1559-1564, Oktober 2015
1562
maka bentuk daunnya dikategorikan sebagai bulat. Tulang daun memiliki pola menjari. Warna bunga juga memiliki corak yang seragam, yaitu pangkal ungu, ujung putih. Penampilan organ tanaman yang diamati disajikan pada Gambar 1. Variabilitas fenotipik Variabilitas fenotipik 30 aksesi tanaman markisa ungu berdasarkan pengukuran masing-masing karakter pengamatan, dengan penghitungan nilai rata-rata, varians, dan standar deviasi ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari semua karakter yang diamati terdapat beberapa karakter yang memiliki variabilitas yang
luas, diantaranya adalah luas daun, panjang sulur di daun ke tujuh, bobot buah, bobot kulit buah dan jumlah biji per buah. Hal ini bisa memberi peluang bagi pemulia untuk memperbaiki karakkter-karakter tersebut untuk merakit markisa ungu dengan keunggulan tertentu dikarena masih memungkin seleksi dilakukan pada karakter dengan variabilitas yang luas . Sementara itu karakter lainnya menunjukkan variabilitas fenotipik yang sempit. Bila dibandingkan dengan nilai kisaran pada karakter yang sama seperti pada Tabel 1, maka variabilitas fenotipik yang luas terjadi pada karakter yang mempunyai nilai kisaran yang ekstrim.
Tabel 1. Nilai kisaran dan nilai rata-rata serta variabilitas fenotipik hasil pengamatan 44 karakter fenotipik 30 aksesi tanaman markisa ungu di Alahan Panjang, Kabupaten Solok No
Karakter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Diameter cabang (mm) Warna batang Permukaan cabang Warna cabang Panjang ruas (cm) Bentuk cabang Bentuk daun Panjang tangkai daun (cm) Diameter tangkai daun (mm) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Luas daun (cm²) Warna pemukaan atas daun Warna permukaan bawah daun Warna daun muda Warna tangkai daun muda Warna sulur muda Tepi helaian daun Tebal daun (mm) Bentuk ujung daun Bentuk pangkal daun Bobot satu helaian daun (g) Cuping daun Permukaan daun panjang sulur di daun ke tujuh (cm) Warna mahkota bunga Warna mahkota tambahan
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Panjang tangkai bunga (cm) Diameter tangkai bunga (cm) Diameter bunga (cm) Panjang tangkai buah (cm) bobot buah (g) diameter buah (cm) Bentuk buah Panjang buah (cm) bobot kulit buah (g) tebal kulit buah (mm) Warna buah muda Warna buah tua panjang satu biji (mm) lebar satu biji (mm) jumlah biji per buah (buah) bobot 100 biji (g) warna biji
Kisaran
Rata-rata
Ϭ2f
SdϬ2f
Kriteria
3,13 Hijau tua Licin Hijau 6,23 Bulat berongga Menjari 1,68 2,19 8,78 9,73 62 Hijau tua Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Bergerigi 0,11 Meruncing Meruncing 0,91 cuping 3 Licin 11,2
-
4,81 Hijau tua Licin Hijau 10,25 Bulat berongga Menjari 3,2 3,38 13,8 13,8 97,8 Hijau tua Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Bergerigi 0,44 Meruncing Meruncing 1,83 cuping 3 Licin 25,8
3,96 Hijau tua Licin Hijau 8,08 Bulat berongga Menjari 2,43 2,59 11,80 11,82 77,67 Hijau tua Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Bergerigi 0,19 Meruncing Meruncing 1,55 cuping 3 Licin 16,07
0,24 0,00 0,00 0,00 1,51 0,00 0,00 0,15 0,09 1,35 1,22 148,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,13 0,00 0,00 10,89
0,49 0,00 0,00 0,00 1,23 0,00 0,00 0,39 0,29 1,16 1,11 12,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,07 0,00 0,00 0,36 0,00 0,00 3,30
Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Luas Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Luas
Putih Pangkal ungu, ujung putih 3,98 0,2 5,68 2,6 42,72 4,17 Bulat 4,94 24,79 4,7 Hijau muda Merah keunguan 5,58 3,73 176 2,12 Hitam
-
Putih Pangkal ungu, ujung putih 4,74 0,26 6,25 2,65 58 5,03 Bulat 5,65 29,24 6,07 Hijau muda Merah keunguan 5,93 3,81 161 4,11 Hitam
Putih Pangkal ungu, ujung putih 4,42 0,23 5,99 2,63 50,37 4,60 Bulat 5,30 27,02 5,39 Hijau muda Merah keunguan 5,76 3,77 168,50 3,12 Hitam
0,00 0,00
0,00 0,00
Sempit Sempit
0,04 0,00 0,02 0,00 58,14 0,18 0,00 0,13 4,95 0,47 0,00 0,00 0,03 0,00 56,25 0,99 0,00
0,19 0,02 0,14 0,02 7,63 0,43 0,00 0,36 2,22 0,69 0,00 0,00 0,18 0,04 7,50 1,00 0,00
Sempit Sempit Sempit Sempit Luas Sempit Sempit Sempit Luas Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Luas Sempit Sempit
-
FAUZA et al. – Passiflora edulis di Alahan Panjang, Solok
Gambar 1. Contoh pengamatan karekter fenotipik beberapa organ tanaman markisa di Alahan Panjang, Kabupaten Solok
Gambar 2. Dendogram 30 aksesi tanaman markisa ungu di Alahan Panjang, Kabupaten Solok
1563
1564
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1559-1564, Oktober 2015
Singh and Chaudary (1977) menyatakan bahwa nilai varians dapat dipengaruhi oleh lebarnya kisaran data dari suatu pengamatan. Syukur et al (2012) meyatakan bahwa seleksi akan efektif pada karakter-karakter yang memiliki variabilitas yang luas. Karakter-karakter yang kualitatif umunya tidak bervariasi. Crowder (1993) menyatakan bahwa karakter kualitatif sangat kecil dipengaruhi oleh lingkungan dan bersifat diskrit (mudah dibedakan pengelompokkannya). Warna permukaan cabang bervariasi mulai tidak berwarna (putih) sampai coklat tua, namun umumnya berwarna hijau muda. Makmur (1992) menyatakan bahwa karakter kuantitatif sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan dikendalikan oleh banyak gen. Analisis gerombol Untuk melihat tingkat kemiripan 30 aksesi tanaman markisa ungu dilakukan melalui analisis gerombol berdasarkan 44 karakter fenotipik. Hasil analisis gerombol kemiripan antar 30 aksesi disajikan dalam bentuk dendogram pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa aksesi-aksesi pada populasi yang diamati menyebar pada jarak taksonomi (tingkat kemiripan) antara 0,35-0,78 dengan jarak yang bervariasi dan tidak ditentukan lokasi tempat tumbuhnya. Jarak taksonomi merupakan angkaangka koefisien yang secara kuantitatif menggambarkan tingkat ketidakmiripan di antara sampel yang dibandingkan. Semakin besar nilai angka ketidakmiripan, maka semakin kecil tingkat kemiripan antara individu (bervariasi). Sebaliknya semakin kecil nilai ketidakmiripan, maka semakin besar tingkat kemiripan di antara dua individu (variabilitas lebih sempit). Nilai koefisien ketidakmiripan di antara dua individu yang sama adalah nol. Dendogram menunjukkan bahwa pada tingkat kemiripan 0,35, semua aksesi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu aksesi AP4 pada satu kelompok dan sisanya dalam kelompok yang lain (29 aksesi). Pengamatan karakter fenotipik pada populasi markisa ungu menunjukkan variabilitas fenotipik yang luas pada beberapa karakter, yaitu luas daun, bobot buah, panjang sulur ke tujuh dan bobot biji per buah. Berdasarkan tingkat kemiripan maka aksesi markisa ungu dari Alahan Panjang, Kabupaten Solok mengelompok menjadi dua, yaitu aksesi
AP4 dalam satu kelompok dan aksesi lainnya dalam kelompok kedua. Disarankan untuk melanjutkan penelitian ini pada lokasi yang lebih luas serta kajian berbagai aspek seperti aspek biologi dan aspek molekuler terutama untuk mendukung kegiatan pemuliaan tanaman konservasi plasma nutfah markisa ungu kedepan.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Andalas yang telah membiayai penelitian ini dalam skema penelitian KATUA 2014. Terima kasih juga disampaikan kepada Amelia dan Elisa membantu pengumpulan data di lapang.
DAFTAR PUSTAKA Crowder LV. 1990. Genetika Tumbuhan. Penerjemah: Kusdiarti L. Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta. Fauza H. 2009. Identifikasi Karakteristik Gambir (Uncaria spp.) di Sumatera Barat dan Analisis RAPD. [Disertasi]. Universitas Padjadjaran, Bandung. Fauza, H., Sutoyo, dan N. E. Putri. 2014. Eksplorasi tanaman markisa di Alahan Panjang. Laporan Penelitian dan Pembibitan Tanaman Hortikultura. LPPM Unand. Padang. Karsinah, F.A Silalahi, dan A. Manshur. 2007. Eksplorasi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Tanaman Markisa. J. Hort.Vol. 17 N0. 4. 2007. Hal 297-304 Makmur A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Pinaria A, Baihaki A, Setiamihardja R, Darajat AA. 1995. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 6 (2): 80-87. Singh RK, Chaudhary BD. 1977. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publishers, New Delhi. BPS. 2013. Produksi tanaman hortikultura. Sumatera Barat dalam Angka. Padang Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Tjitrosoepomo G. 1986. Morfologi Tumbuhan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1565-1569
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010704
Keragaman jenis pakan ternak dan ketersediaannya di wilayah sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak Species diversity of livestock feed and their avaibility in the area surounding of Mount Halimun Salak National Park ASMANAH WIDARTI♥, SUKAESIH Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165 Bogor 16001, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8633234, 7520067. Fax. +62-251-8638111, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 16 Mei 2015. Revisi disetujui: 15 Juli 2015.
Widarti A, Sukaesih. 2015. Keragaman jenis pakan ternak dan ketersediaannya di wilayah sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1565-1569. Tekanan terhadap kelestarian taman nasional terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, sehingga diperlukan berbagai upaya peningkatan peran ekonomi taman nasional bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan. Beternak kambing merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat sekitar TNGHS yang sangat potensial dikembangkan. Namun saat ini sudah dirasakan semakin kurangnya ketesediaan pakan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi mata pencaharian masyarakat sekitar TNGHS dan mengetahui ketersediaan pakan ternak di sekitar TNGHS dan kontribusi Taman Nasional dalam penyediaan pakan ternak masyarakat; Penelitian dilakukan dengan metoda survey, dan dilaksanakan di desa sekitar kawasan yaitu Desa Cipeuteuy dan Desa Cihamerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki ternak kambing berkisar antara 7-9.ekor dengan kebutuhan pakan ternak sebanyak 6-7 pikul atau 180-210 kg rumput Sebagian besar masyarkat mendapatkan pakan dari tegalan, lading/pinggir sawah, pinggir sungai/jalan dan dari zona pemanfaatan TNGHS. Dari hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah diketahui hanya 76 % aja yang merupakan jenis tanaman pakan ternak, selebihnya merupakan gulma. Namun meskipun termasuk jenis gulma tanaman tersebut masih bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti misalnya untuk kompos, penutup tanah sehingga bisa mengurangi banjir dll. Kata kunci: kesejahteraan, masyarakat, tumbuhan bawah, pakan ternak
Widarti A, Sukaesih. 2015. Species diversity of livestock feed and their avaibility in the area surounding of Mount Halimun Salak National Park. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1565-1569. Pressure on the sustainability of national parks continues to increase in line with the population growth, therefore various efforts to improve the economic role of national parks are required for the welfare of communities living around the area. Goats rising are one of very potential livelihood sources for local communities around Mount Halimun Salak National Park (MHSNP) to be developed. But at present the availability of livestock feed is decreasing. This research aimed to know the description of community livelihood and also to know the livestock feed availability around MHSNP and contribution of National Park in the provision of livestock feed for the community. This research using survey method. The Research was conducted in the villages around the area namely Cihamerang and Cipeuteuy villages. Research results showed that the communities owned goats livestock varies between 7-9 goats, with livestock feed need as much as 6-7 sacks or 180-210 kg of grass. Most of the community get the livestock feed from dry land, wet land, riverbanks, road edges and from utilization zone of MHSNP. Based on undergrowth vegetation analysis it was known that only 76 % were livestock feed and the rest was weeds. How ever they belong to weed species they can still be used for other purposes such as for compost and soil cover that can reduce flooding etc. Keywords: welfare, community, undergrowth, livestock feed
PENDAHULUAN Taman nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan konservasi, terdiri dari kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Semula memiliki luas kurang lebih 40.000 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 diperluas menjadi menjadi 113.357 hektar. Perluasan kawasan konservasi ini membuat TNGHS menjadi taman
nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa (JICA 2007). Peluasan kawasan konservasi tersebut telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang masih memanfaatkan hutan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Banyaknya larangan seperti memasuki kawasan, mengambil kayu, menguasai lahan, dan berbagai peraturan yang sering disosialisasikan kepada masyarakat memberi kesan pemerintah lebih mementingkan penyelamatan hewan dan tumbuhan dari pada peningkatan kesejahteraan
1566
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1565-1569, Oktober 2015
masyarakat. Sehingga sering timbul konflik terkait keberadaan kawasan konservasi yang berada di dekat pemukiman mereka, karena dianggap tidak memberi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar hutan. Sementara di sisi lain, taman nasional selain untuk pelestarian, juga berfungsi sebagai tempat perlindungan terhadap ekosistem sebagai penyangga kehidupan sehingga mampu memberi manfaat secara tidak langsung seperti menjadi sumber air bersih, mencegah longsor dan banjir serta fungsi pemanfaatan lain secara terbatas. Desa Cipeuteuy dan Cihamerang berada di pinggir kawasan hutan TNGHS. Desa tersebut termasuk sebagai kawasan penyangga Koridor Halimun Salak, suatu kawasan hutan yang menghubungkan antara Hutan di Gunung Halimun dan hutan di Gunung Salak. sehingga dapat dikelola dalam satu unit sistem pengelolaan, disaat yang sama juga menjadi target patroli dan operasi pengamanan hutan. Dalam penelitian ini dikaji mata pencaharian masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan TNGHS dan melihat bagaimana interaksi masyarakat terhadap hutan yang sejak lama sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di dua desa yang ada di sekitar TNGHS yaitu di Desa Cipeuteuy dan Desa Cihamerang termasuk wilayah Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Secara umum keadaan biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di kedua lokasi penelitian seperti tertera pada Tabel 1.
Teknik pengumpulan data Jenis data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder, baik yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif.Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, diskusi dan pengamatan lapangan. (Singarimbun dan Sofian, 1982). Responden di desa contoh dipilih secara purposive sehingga diperoleh keragaman rumah tangga contoh. Jumlah sampel responden yang diambil sebanyak 30 orang. Responden terdiri dari laki-laki dan perempuan. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Untuk menganalisis komposisi dan dominansi jenis vegetasi gulma ditentukan dengan cara menghitung Indeks Nilai Penting, Indeks Dominansi dan Indeks Keanekaragaman. Tabel 1. Keadaan umum lokasi penelitian Uraian Ketinggian tempat Rata-rata curah hujan Type iklim Suhu Luas wilayh desa Penggunaan lahan -TNGHS -Sawah -Kebun/ Tegal -Perkebunan negara -Tanah Desa -Pemukiman -Penggunaan lain-lain Sumber mata pencaharian Jumlah penduduk
Lokasi penelitian Cipeuteuy Cihamerang 650-750 m dpl 700-850 m dpl 2600 mm/tahun 3000 mm/tahun B B 24-32ºC 22-25ºC 3747 ha 3712.4 ha 2115 ha 545 ha 1077 ha
687.5 ha 1941 ha 1043,4 ha 2 ha 2 ha 5 ha 12 ha 3.5 ha 3.5 ha Pertanian Pertanian 6892orang 6989 orang (1812 kk) (1834) Keterangan: Data Monografi Desa Cipeuteuy dan Desa Cihamerang tahun 2014
B
A
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di A. Desa Cihamerang dan B. Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi
WIDARTI – Kontribusi hutan rakyat di sekitar TN Gunung Halimun-Salak
1567
HASIL DAN PEMBAHASAN Identitas keluarga responden Karakteristik responden petani yang menjadi obyek penelitian mempunyai ciri-ciri yang dikelompokkan seperti tertera pada Table 2. Jenis pekerjaan utama responden umumnya sebagai petani padi sawah dan sayuran karena didukung oleh keadaan wilayahnya cukup pengairan dan berudara sejuk. Beberapa petani yang memiliki lahan cukup luas memiliki kebun yang ditanami secara campuran pisang dan buah-buhan lain dengan kayu-kayuan. Sumber mata pencaharian lain menonjol adalah beternak kambing, karena hampir sebagian besar petani memiliki ternak kambing. Secara rinci distribusi kepemilikan lahan dapat dilihat dalam Gambar 2. Tingkat pendidikan responden secara umum berpendidikan sekolah dasar, sedangkan usahatani yang dijalankan responden umumnya diperoleh dari pengalaman yang diwariskan orang tua secara turun temurun. Budidaya ternak masyarakat Bagi masyarakat Desa Cipeuteuy dan Desa Cihamerang memiliki ternak merupakan hal yang utama meskipun dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Bagi mereka bila seseorang tidak memiliki ternak dikatakan sebagai orang malas. Memiliki ternak bagi mereka seakan memiliki tabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual saat ada keperluan mendesak seperti kebutuhan sekolah, hajatan dan lain-lain keperluan. Adapun jenis ternak yang umumnya dipelihara adalah kambing. Rata-rata kepemilikan ternak kambing responden 7 ekor di Desa Cipeuteuy dan 9 ekor di Desa Cihamerang. Kepemilikan ternak di Desa Cihamerang yang lebih banyak ditunjang oleh ketersediaan pakan yang juga lebih banyak. Secara rinci distribusi kepemilikan ternak dapat dilihat dalam Gambar 3. Budidaya ternak kambing dilakukan secara dikandangkan karena lahan/tempat penggembalaan sudah tidak ditemui di kedua desa. Lahan bengkok yang merupakan milik desa sudah sulit ditemukan yang berumput karena digarap/disewakan untuk lahan pertanian akibat kekurangan lahan pertanian. Untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak, peternak biasa memperoleh dari berbagai sumber seperti dari kebun sendiri, tegalan yang tidak digarap pemiliknya, pinggir-pingir jalan atau tepi-tepi sungai, pematang sawah, lahan kuburan, tepi kawasan hutan dan lain sebagainya. Kondisi ini menyebabkan kontinuitas produksi, kuantitas dan kualitasnya ternak tidak terjamin sebagai pakan ternak Permasalahan yang dihadapi peternak seperti yang disampaikan responden, diurutkan dari yang paling serius adalah (i). Tidak cukup lahan/tempat untuk pengambilan rumput, (ii). Penyakit ternak dan (iii). Pencurian ternak. Tidak mencukupinya tempat - tempat pengambilan rumput atau penggembalaan karena semakin sempitnya lahan pertanian yang ada terutama di musim kemarau akibatnya berat badan ternak mengalami penurunan karena beberapa peternak mengurangi pakan rumput. Akhirnya muncul masalah penyakit ternak yang umumnya sering menyerang ternak seperti mencret, kematian muda anak kambing dan korengan. Selanjutnya masalah pencurian ternak, terutama. marak terjadi di saat memdekati hari raya idul kurban.
Gambar 2. Distribusi kepemilikan lahan di Desa Cihamerang dan Desa Cipeuteuy, Sukabumi
Tabel 2. Karakteristik responden di lokasi penelitian Karakteristik Umur rata-rata (tahun) Pendidikan: -SD -SMP -SMA Pekerjaan: -Utama -Sampingan Rata-rata anggota keluarga: Jumlah responden Rata-rata kepemilikan ternak
Lokasi penelitian Cipeuteuy Cihamerang 44 46 14 1 -
12 2 1
Petani Peternak 3.1 15 7.6
Petani Peternak 3.4 15 9.6
Tabel 3. Distribusi kepemilikan ternak kambing Jumlah kambing < 5 ekor 6-10 ekor >10 ekor
Lokasi penelitian (%) Cipeuteuy Cihamerang 46,67 33,33 26,66 26,67 26,67 40,00
Budidaya ternak merupakan usaha keluarga karena untuk kegiatan mencari pakan umumnya dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga baik bapak, ibu dan anak. Rata rata kebutuhan rumput untuk pakan ternak masing masing responden 6 pikul/hari di Desa Cipeuteuy, sedangkan di Desa Cihamerang 7 pikul/hari atau 1 pikul rumput untuk 23 ekor kambing (1 pikul = ±30 kg). Kambing akan mengkonsumsi hijauan sebesar 10 % dari berat badannya atau antara 5-7 kg/ekor/hari (Santoso 1989). Dengan kebutuhan tersebut tentunya sangat diperlukan penyediaan pakan yang cukup dan berkesinambungan. Jarak pengambilan pakan dari rumah mereka berkisar 1-2 km saat musim hujan, namun di saat musim kemarau bisa mencapai jarak 5-10 km. Keragaman jenis pakan ternak dan ketersediaannya Ketersediaan pakan ternak sebagai pakan ternak merupakan salah satu faktor yang menentukan baik buruknya perkembangan ternak mereka karena pakan
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1565-1569, Oktober 2015
1568
merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi usaha peternakan dan berpengaruh langsung terhadap produksi, produktivitas dan kesehatan ternak itu sendiri. Pada umumnya peternak di pedesaan masih bertumpu pada caracara tradisional dengan mengandalkan rumput lapang sebagai sumber utama pakan ternak dengan jumlah sangat terbatas. Jenis rumput lapang yang sering di jumpai dan disukai tenak antara lain: rumput pahitan (Paspalum conjugatun), rumput kawatan (Cynodon dactylon), rumput lamuran (Polytrias amuara), babadotan (Agratum conyzoides) dan jajahean (Panicum repens). Kandungan protein jenis rumput lapangan kecil berkisar 6-8% (Siregar, 1988) Jenis-jenis rumput ini cukup banyak ditemui ketersediaanya di tempat-tempat mereka biasa mengambil rumput. Berkaitan dengan sumber pakan ternak diperoleh informasi sebanyak 86,67% peternak hanya mengandalkan dari rerumputan liar yang diperoleh dari berbagai tempat sebagai sumber pakan, 6,67 % sengaja menanam rumput untuk pakan pada pematang sawah dan.6,67.% sumber pakan diperoleh selain dari rerumputan liar juga dikebunnya menanam pepohonan yang daunnya disukai ternak. Menurut Devendra dan Marca (1994), kambing menyukai pakan beragam, dan mereka dikatakan tidak bisa tumbuh dengan baik bila terus menerus diberi pakan yang sama dalam jangka waktu lama; mereka lebih suka memilih hijauan pakan dari berbagai jenis, seperti campuran rerumputan dengan legum yang biasanya berupa tanaman semak belukar atau daun-daun pohon (Kartadisastra, 1997). Hasil pengamatan vegetasi tumbuhan bawah yang dilakukan di tempat-tempat biasa peternak mengambil rumput untuk pakan ternak yaitu antara lain di sawah bera, lahan tegalan atau kebun dan di lahan zona pemfaatan TNGHS, diketahui bahwa lahan tegalan/kebun mempunyai keanekaragaman jenis yang paling tinggi yaitu ditemukan 31 jenis tumbuhan bawah, di tepi kawasan ditemukan 28 jenis dan di pematang sawah ditemukan 26 jenis. Tabel 4. Kondisi vegetasi di areal pengamatan di Desa Cihamerang dan Desa Cipeuteuy, Sukabumi Lokasi Sawah
Jumlah Kerapat jenis an 26
Tegalan/ 31 kebun Tepi 28 kawasan
Jenis dominan
KR
DR
INP
2
715/3 m Babadotan 0,3021 0,0545 0,5818 (Ageratum conyzoides) 1271/3 Bayonah 0,3344 0,0588 0,5323 m2 (Microstegium ciliatum) 1523/5 Bayonah 0,2574 0,1268 0,4457 m2 (Microstegium ciliatum)
Berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), babadotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan jenis yang dominan di lahan sawah sedangkan di tegalan dan di zona banyak dijumpai rumput bayonah (Microstegium ciliatum. Selain dua jenis yang dominan terdapat empat lainnya yaitu pahitan, kawatan ,kacangan dan jahean yang merupakan pakan ternak.
Untuk meningkatkan usaha peternakan tidak bisa terlepas dari ketersediaan pakan ternak yang berkelanjutan, terutama disaat musim kemarau tiba karena hal ini merupakan salah satu permasalah utama yang dihadapi peternak Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan kambing kurang bagus dan bahkan kematian pada anak-anak kambing sehingga penghasilan dari budidaya ternak menurun atau kecil. Sementara penyediaan hijauan pakan ternak erat kaitanya dengan lahan sebagai sumber daya alam yang terbatas karena mempunyai fungsi beragam, antara lain untuk penyediaan bahan pangan, cadangan air, rekreasi/pelestarian, permukiman/ bangunan dan lain-lain. . Mengamankan hutan sekaligus berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat Tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi pengamanan hutan TNGHS saat ini sedang berada dalam suatu kondisi sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin maraknya perambahan kawasan dan penebangan liar. Pengamanan hutan dengan pendekatan represif/penegakan hukum saja dalam pengamanan hutan masih tidak cukup. Yang perlu perlu disiapkan sebuah sistem pengamanan terpadu yang mengkombinasikan antara pendekatan penegakan hukum, penyadaran konservasi, dan pemberian/penyediaan alternatif kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Berkaitan dengan penyediaan/pemberian alternatif kegiatan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan, tidak bisa lepas dari hak masyarakat itu sendiri terhadap sumberdaya yang ada di lingkungan terdekat mereka untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Masyarakat sekitar hutan Desa Cipeuteuy dan Desa Cihamerang sangat membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk budidaya ternak mereka. Pemerintah dalam hal ni pengelola TNGHS bila membantu dalam hal menyediakan pakan akan menjadi solusi bagi permasalahan utama masyarakat sekitar Diharapkan bila masyarakatnya sejahtera keamanan hutan dapat dipertahankan. Kawasan berhutan sebagai bagian bentang alam sebaiknya memiliki multifungsi yang mengkombinasikan produksi pangan, konservasi keragaman hayati, menjaga jasa lingkungan dan membantu keluarga mencapai ketahanan pangan dan nutrisi (Hewson 2015) Keberadaan lahan untuk penyediaan pakan sebagai sekat bakar, disamping untuk pengamanan kawasan hutan dari bahaya kebakaran akan menjadi aset produksi bagi peternak . Dengan tidak mengesampingkan bahwa hijauan juga berperan sebagai sekat bakar dalam pengamanan hutan dari ancaman kebakaran sekaligus pemeliharaan lingkungan hidup yang menjamin stabilitas kesejahteraan manusia. Dengan pembuatan sekat bakar sangat membantu bagi pencegahan kebakaran (Saharjo 2003). Sekat bakar mengelilingi areal yang perlu dilindungi yaitu zona yang sangat penting dipertahankan. Sekat bahan bakar sebaiknya ditanam dengan lebar 50 - 100 meter sepanjang pinggir jalan, agar hal ini memudahkan patroli kebakaran masuk, dan kedua sisi jalan terlindung dari arus kebakaran. Di pinggir jalan bagian dalam dan luar harus ditanam agar areal bisa terlindung. Jika terjadi kebakaran bagian dalam
WIDARTI – Kontribusi hutan rakyat di sekitar TN Gunung Halimun-Salak
yang berasal dari areal terlindung akan lebih mudah untuk diatasi. Sekat bahan bakar juga perlu dibuat supaya kawasan hutan di TNGHS seluruhnya dapat dilindungi dari daerah yang resiko kebakarannya tinggi seperti halnya di perbatasan dengan desa desa sekitar TNGHS. Lebar sekat bakar tergantung pada besarnya risiko kebakaran, tingkat bahaya kebakaran dan dan nilai area yang harus dilindungi. Penggunaan vegetasi alami untuk sekat bakar ini sangat penting, dan bila memungkinkan dibuat jalur hijau yang serbaguna dan produktif. (Suhardiman et al. 2002). Sekat bakar hijau berupa vegetasi hidup berfungsi lebih efektif yaitu sekat bakar penggembalaan. Penggembalaan ternak pada padang rumput dan vegetasi pohon-pohonan dapat membantu memelihara sekat bakar karena ternak akan memakan rumput sehingga menekan populasi rumput. Dengan demikian jalur atau celah akan tetap bebas alang-alang. Sekat Bakar 'hidup' atau 'hijau'Jalur vegetasi dibuat cukup lebar agar tidak mudah terbakar dan sengaja ditanam jenisjenis yang cocok untuk sekat bakar hijau: diantaranya adalah Mudah tumbuh, pertumbuhannya cepat, Tahan terhadap kebakaran dan mudah tumbuh kembali setelah terbakar Pohon ditanam dengan jarak tanam agak rapat (misalnya 1 x 1 m2) agar cepat diperoleh kanopi yang rapat sehingga segera menekan pertumbuhan alang-alang. Jenisjenis pohon yang umum dipakai sebagai sekat bakar hijau multiguna yaitu: Akasia (Acacia auriculiformis) , A. mangium, kaliandra (Calliandra calothyrsus), bulangan atau wareng (Gmelina arborea), lamtorogung (Leucaena leucocephala), Macadamia hildebrandii, puspa atau kembang cangkak (Schima wallichii), jambu air (Syzygium cumini), Lamtoro (Leucaena leucocephala). gamal (Gliricidia maculate) turi (Sesbania grandiflora) dan pohon penghasil kayu dapat disisipkan dalam barisan tanaman sekat bakar bila kondisinya memungkinkan seperti sengon dan manee kedua jenis ini disukai ternak daunnya (Kushartono 2002). Jeinis pohon tersebut merupakan bahan baku pakan ternak yang bermutu tinggi dengan kandungan nutrisi dan protein yang sangat tinggi (Wina 1992). Sisa area yang tidak ditanami pohon dapat ditanami pisang, ubi jalar atau tanaman legume penutup tanah (LCC = Legume cover crops), dan rumput lainnya yang berfungsi sebagai pakan.
1569
Permasalah utama yang dihadapi peternak yang utama adalah tempat pengambilan rumput sudah semakin berkurang, kedua penyakit ternak dan ketiga pencurian ternak. Keragaman jenis pakan ternak cukup banyak pada tempat pengambilan pakann namun ketersediannya dalam jumlah terbatas apalagi di musim kemarau. Perlu upaya penyediaan lahan sebagai sekat bakar oleh pihak pengelola TNGHS disamping untuk pengamanan hutan juga untuk meningkatkan ketersediaan pakan ternak melalui pembuatan sabuk bakar hijau dengan vegetasi hidup dari pohon-pohon yang merupakan sumber pakan ternak. Dengan meningkatnya daya dukung penyediaan pakan ternak pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan peternak dan keamana kawasan hutan TNGHS.
DAFTAR PUSTAKA Desa Cihamerang. 2014. Data Monografi Desa Cihamerang tahun 2014. Pemerintah Desa Cihamerang, Sukabumi. Desa Cipeuteuy. 2014. Data Monografi Desa Cipeuteuy tahun 2014. Pemerintah Desa Cipeuteuy, Sukabumi. Hewson J. 2015. Bagi hutan, pangan dan masa depan, semuanya tentang keanekaragaman hayati. Kabar Hutan. Center International Forestry Research, Bogor. JICA [Japan International Cooperation Agency]. 2007. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak peri-ode 20072026. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bogor. Kartadisastra HR. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia (Sapi, Kerbau, Domba, Kambing). Kanisius, Yogyakarta. Kushartono B.2002. Potensi leguminosa pohon sebagai sumber pakan hijauan. Proseding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Puslitbang Peternakan Bogor. Menteri Kehutanan. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun – Salak. Jakarta. Saharjo BH. 2003. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang lestari perlukah dilakukan. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Santoso BT. 1989. Farm forestri penyediaan hijauan makanan ternak. Poultry Indonesia 10: 47-50. Siregar ME. 1988. King grass sebagai hijauan ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 10 (4): 1-5. Suhardiman A, Hidayat A, Applegate GB, Colfer CJP. 2002. Manual: praktek mengelola hutan dan lahan, Suatu kombinasi pengetahuan tradisional masyarakat dayak kenyah dengan ilmu-ilmu kehutanan dan pertanian. Cifor, Bogor. Wina E 1992. Nilai gizi kaliandra dan lamtoro sebagai suplemen untuk domba yang diberi rumput gajah. Proseding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Pusat Litbang Peternakan, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1570-1576
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010705
Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa (Tyto alba javanica J.F. Gmelin 1788) di Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Kabupaten Sumedang Population, occupational and public knowledge about barn owl birds (Tyto alba javanica JF Gmelin 1788) at Padjadjaran University Campus of Jatinangor, Sumedang District RUHYAT PARTASASMITA1,♥, GEMA IKRAR MUHAMMAD2, JOHAN ISKANDAR1 1
Program Studi Magister Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Kampus Jatinangor, Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545, ♥email:
[email protected] 2 Program Studi Sarjana Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Kampus Jatinangor, Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Manuskrip diterima: 27 Mei 2015. Revisi disetujui: 7 Agustus 2015.
Partasasmita R, Muhammad GI, Iskandar J. 2015. Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa (Tyto alba javanica J.F. Gmelin 1788) di Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1570-1576. Burung Serak Jawa merupakan karnivora noktunal yang akrab dengan kehidupan masyarakat, sering mendiami kawasan hutan yang berbatasan dengan daerah pertanian bahkan daerah pemukiman. Pada kawasan pemukiman, burung Serak Jawa sering menggunakan bangunan perumahan, perkantoran termasuk bangunan kampus seperti di kawasan kampus Unpad Jatinangor sebagai tempat sarang atau berlindung. Pertambahan jumlah bangunan kampus Unpad kemungkinan menyediakan tempat potensial untuk digunakan sebagai tempat sarang, sejalan dengan itu terjadi penambahan populasi. Akan tetapi, di lain pihak keberadaan burung Tyto alba sering dikaitkan dengan mitos atau pengendalian hama. Oleh karena itu, penelitian yang berkaitan dengan populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang Tyto alba dilakukan di kawasan kampus Unpad Jatinangor. Teknik pencuplikan data menggunakan metode look-see untuk mengetahui populasi dan okupasi, serta metode wawancara semi struktur untuk menggali pengetahuan lokal mengenai jenis, habitat, kebiasaan hidup serta pengaruh aktivitas dan sikap penduduk terhadap keberadaan Tyto alba di kawasan kampus Unpad Jatinangor. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan populasi dari ± 5 individu pada awal tahun 2012 karena pengaruh pembangunan kampus. Rata-rata okupasi gedung sebesar 0,24 dan rata-rata jumlah sarang di setiap gedung yang diokupasi adalah ± 1,16 sarang/gedung. Penamaan burung Serak Jawa oleh masyarakat sekitar kampus Unpad disebut Koreak. Pengetahuan dan kepercayaan penduduk terhadap keberadaan Tyto alba dikaitkan dengan hal gaib, sehingga menghasilkan kelestarian burung tersebut. Kata kunci: Okupasi, pengetahuan lokal, populasi, Serak Jawa
Partasasmita R, Muhammad GI, Iskandar J. 2015. Population, occupational and public knowledge about barn owl birds (Tyto alba javanica JF Gmelin 1788) at Padjadjaran University Campus of Jatinangor, Sumedang District. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1570-1576. Barn owl is nocturnal carnivorous birds that are familiar with the life of the community, often inhabit forest areas bordering the agricultural areas and even residential areas. In the residential areas, Barn owl birds often use residential buildings, includings office buildings on the campus as in the campus area Jatinangor as a nest or shelter. Increase the number of campus buildings UNPAD possibility of providing a potential to be used as a nesting place, in line with the population growth occurred. However, on the other hand the existence of Tyto alba bird often associated with the myth or pest control. Therefore, research related to population, occupational and public knowledge about Tyto alba carried out in the campus area Jatinangor. Data sampling technique using look-see to determine the population and occupation, as well as semi-structured interview method to explore the local knowledge about the species, habitats, habits and the influence of the activities and attitudes of the population in the area where Tyto alba Jatinangor campus. The results showed a decline in the population of ± 5 individuals at the beginning of 2012 due to the influence of campus construction. The average occupation of the building by 0.24 of a building that is available, and the average number of occupied nests each building as a nesting place ± 1.16 nest / building. Hoarse Java Naming birds by people around campus Unpad called Koreak. The knowledge and belief of the existence of Tyto alba population associated with the occult, resulting in the bird conservation. Key word: population, occupation, Barn owl, local knowledge
PENDAHULUAN Serak Jawa (Tyto alba javanica J.F. Gmelin 1788) merupakan predator yang aktif pada malam hari, pemangsa
vertebrata kecil dari kelas reptil, aves, amphibi, mamalia, dan invertebrata seperti serangga. Serak Jawa menggunakan pekarangan termasuk pemukiman, tegal, kebun, dan sawah sebagai habitat mencari mangsa (Retna
PARTASASMITA et al. – Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa
2006). Jenis mangsa yang sering diburu Serak Jawa, dan menjadi mangsa utama adalah mamalia kecil yaitu tikus (Sommer et al. 2005). Serak Jawa mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat dan bertahan hidup selama 4,5 tahun serta memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi untuk hidup dan dapat berkohabitasi dengan manusia (Suryati, 1994). Serak Jawa memiliki satu pasangan (monogamous) dan umumnya merupakan burung penetap. Perkembangbiakan yang cepat belum tentu mempengaruhi bertambahnya populasi Serak Jawa, karena bergantung terhadap keadaan lingkungan dan ketersediaan mangsa utamanya yaitu tikus (Colvin 2010). Serak jawa menduduki tropik puncak pada beberapa tipe ekosistem diantaranya di kawasan pertanian, pemukiman termasuk kawasan Kampus seperti di Universitas Padjadjaran Jatinangor. Kondisi geografis Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang yang berada di daerah perbukitan dengan kondisi biologi dan fisik yang di dalam, dan sekitarnya terdapat berbagai macam tipe tata guna lahan, menjadikan kawasan ini sebagai habitat Serak Jawa. Serak Jawa memiliki tipe habitat yang berbeda, diantaranya adalah habitat mencari makan, habitat untuk beristirahat dan perlindungan diri, serta habitat bersarang (Iskandar 2009). Lahan terbuka seperti sawah, padang rumput, kebun, pinggiran hutan, daerah dekat aliran air atau rawa (lahan basah), dan daerah-daerah yang memungkinkan adanya tikus sebagai mangsa utamanya menjadi habitat mencari makan bagi Serak Jawa. Atap gedung, dan rumah kerap diakuisisi sebagai habitat beristirahat dan perlindungan diri dengan melakukan komunikasi antar burung dan tak jarang mengeluarkan pekikan sebagai tanda teritorinya. Habitat bersarang bagi Serak Jawa adalah tempat-tempat yang teduh, pada celah-celah yang terdapat pada gedung, bahkan di dalam atap gedung. Atap gedung sering diokupasi sebagai tempat bersarang, serta banyaknya sarang yang tersedia akan dipengaruh jumlah gedung. Pola persebaran Serak Jawa cenderung mengelompok, karena habitat bersarang berdekatan dengan habitat ia mencari makan. Selain itu persebaran hewan pada umumnya tidak tersebar secara acak maupun seragam, karena hewan akan menempati lokasi yang strategis dan menguntungkan bagi hewan itu. Pola berkelompok menunjukkan lingkungan yang heterogen serta dapat berpengaruh terhadap populasi Serak Jawa, karena pola mengelompok memiliki kecenderungan untuk meningkat namun kembali pada jumlah populasi dan faktor lainnya (Rani 2012). Serak Jawa adalah jenis yang unik di antara burung hantu lainnya, karena sering ditemukan di area yang biasa dihuni oleh manusia, padahal kebanyakan burung hantu jenis lainnya hidup dalam hutan yang terpencil atau jauh dari kehidupan manusia (Epple, 1992). Bila dilihat dari sifat persebaran dan kemampuan adaptasi burung Serak Jawa yang cukup tinggi karena mampu beradaptasi dan berkohabitasi dengan manusia, diperkirakan jumlah Serak Jawa akan semakin meningkat. Namun tidak menutup kemungkinan populasinya menjadi turun akibat populasi dan aktivitas manusia yang juga meningkat. Hal ini dimungkinkan menjadi salah satu faktor penyebab gangguan terhadap Serak Jawa. Selain karena adanya
1571
gangguan, berkurangnya populasi Serak Jawa dapat disebabkan oleh kanibalisme induk terhadap anak, atau anak tertua terhadap anak yang paling muda akibat ketersediaan mangsa yang sedikit, suhu, kelembaban, penyakit, dan udara yang ekstrem (Widodo 2000). Pengetahuan dan pandangan manusia terhadap keberadaan burung berbeda satu sama lain, namun secara umum Serak Jawa dianggap sebagai salah satu burung yang dipercaya membawa sial atau membawa penyakit. Penduduk umumnya berinteraksi terhadap lingkungannya sesuai dengan kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan kebudayaannya itu penduduk lokal cenderung memahami keadaan alam disekitarnya dengan baik, serta memiliki pengetahuan yang mungkin berbeda dengan pengetahuan yang berkembang pada umumnya (Iskandar 2009). Peran Serak Jawa di alam belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat, terutama oleh penduduk lokal suatu masyarakat adat. Serak Jawa yang aktif pada malam hari dengan perawakan, kebiasaan dan suaranya yang dianggap menyeramkan, menimbulkan beberapa anggapan dari masyarakat adat yang melihatnya. Begitu pula penduduk lokal masyarakat Jatinangor yang mayoritas adalah suku sunda, menganggap keberadaan Serak Jawa sebagai burung pembawa sial, penyakit, kabar buruk, dan kerap dihubungkan dengan makhluk gaib. Penduduk lokal Jatinangor telah mengetahui keberadaan Serak Jawa, jauh sebelum dibangunnya Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor. Pengetahuan yang dimiliki oleh penduduk lokal umumnya diturunkan dari generasi ke generasi melalui cerita yang diwariskan oleh orang tua kepada anaknya. Berbagai informasi yang ada dalam masyarakat biasanya dijadikan sebuah pengetahuan dan menjadi suatu pedoman untuk mengelola lingkungannya. Masyarakat adat suku sunda masih percaya bahwa benda-benda di alam memiliki keterkaitan, dan dengan adatnya yang kuat mereka senantiasa memperhatikan keseimbangan lingkungannya (Iskandar 2009). Berdasarkan hal tadi sangat diperlukan penelitian sebagai usaha untuk mempertahankan kelestarian jenis, habitat sarang, serta menggali pengetahuan lokal tentang burung Serak Jawa di tengah isu pembangunan di wilayah Jatinangor dengan pola aktivitas manusia yang kian meningkat, serta pergeseran kebudayaan masyarakat lokal (emik) yang terintroduksi kebiasaan serta nilai-nilai dari luar (etik) sehingga bergeser pula pola aktivitas serta pola pikir penduduk lokal.
BAHAN DAN METODE Area kajian Jatinangor merupakan kawasan yang berada di sebelah timur kota Bandung. Secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Sumedang. Jatinangor berada pada ketinggian 725-800 m dpl, dan menjadi kawasan kampus sejumlah perguruan tinggi, termasuk Universitas Padjadjaran. Kawasan. Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) Jatinangor berada pada koordinat 6055’-6056 Lintang Selatan, dan 107045’-107046’ Bujur Timur
1572
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1570-1576, Oktober 2015
(Husodo 1994). Unpad memiliki luasan lahan kurang lebih 178 ha, dahulu merupakan sebuah lahan perkebunan karet yang kemudian melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 593/3590/1987 diubah menjadi sebuah kompleks kampus pendidikan tinggi (Faisal 2005). Hingga kini di Unpad Jatinangor telah mengalami banyak perubahan secara biologi maupun fisik oleh karena pembangunan kawasan kampus, dan tidak sedikit kondisi habitat yang berubah. Kampus Unpad awal tahun 2012 terdapat 106 bangunan diantaranya 9 sarana ibadah, 13 bangunan asrama, 3 bangunan student center, 1 bangunan rektorat, 68 bangunan kuliah dan dekanat, 8 bangunan UKM, 3 gedung olahraga, dan 1 aula. Seluruh gedung yang ada memiliki potensi sebagai habitat bersarang burung Serak Jawa. Pembangunan yang dilakukan di Kawasan Kampus Unpad Jatinangor masih terus dilakukan, karena rencana pemindahan seluruh fakultas yang akan dipusatkan di wilayah Jatinangor. Pada 3 tahun ke depan (2015) diperkirakan akan dilakukan penambah jumlah gedung untuk fasilitas perkuliahan maupun fasilitas lainnya. Penambahan jumlah gedung diperkirakan memiliki dua dampak yang dimungkinkan bagi Serak Jawa. Pertama, bertambah jumlah gedung dapat berpotensi sebagai tempat sarang yang baru dan mampu meningkatkan populasi Serak Jawa, dengan asumsi keadaan habitat mencari makan masih mendukung. Kedua, berkurang habitat mencari makan dengan penambahan jumlah gedung atau fasilitas berbanding lurus dengan penambahan jumlah populasi manusia yang menempati wilayah Jatinangor. Artinya potensi pembangunan lainnya (rumah atau kamar sewa, tempat hiburan, dan sebagainya) di sekitar wilayah Kampus Unpad Jatinangor ikut meningkat sehingga kembali terjadi pengalih-fungsi lahan yang mampu mengurangi lahan Serak Jawa mencari mangsa. Cara kerja Pencuplikan data lokasi sarang Serak Jawa dilakukan dengan menggunakan metode look-see dengan mengunjungi gedung-gedung yang berpotensi digunakan sebagai tempat bersarang. Penentuan lokasi sarang juga dapat diketahui dengan memperhatikan suara burung Serak Jawa yang dijadikan sebagai alat bantu untuk menemukan posisi burung serak (Bibby 2000). Lokasi perjumpaan dengan Serak Jawa ditandai pada peta lokasi penelitian dengan bantuan GPS (Global Positioning System). Pengamatan dimulai dari pukul 18.00 wib hingga pukul 06.00 wib, saat Serak jawa mulai keluar dari sarang untuk beraktivitas hingga kembali ke sarang tempat Serak Jawa beristirahat, dilakukan pencatatan terhadap perilaku burung tentang arah terbang, tempat yang dijadikan habitat beristirahat atau lokasi perjumpaan, deskripsi tempat perjumpaan burung, jenis kelamin burung yang dijumpai, dan struktur umur. Pengumpulan data dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Pencuplikan jumlah kelompok dan jumlah individu diambil dengan mencatat langsung jumlah burung yang dijumpai atau disensus, selama pengamatan dengan teknik pengumpulan data: metode look-see (Bibby 2000), yaitu menghitung burung yang berada di teritori (sarang) burung
tersebut, pengamatan populasi secara intensif dengan dilakukan pencarian dan penghitungan sarang. Prosedurnya adalah dengan dilakukan penandaan peta lokasi penelitian secara terperinci terhadap semua bangunan berpotensi sebagai sarang. Keberadaan Serak Jawa diketahui dari bekas kotoran yang terdapat di atap gedung atau sekitar gedung, penemuan muntahan makanan yang tidak dicerna berupa tulang-tulang dan rambut mamalia kecil dalam bentuk pelet, serta pertemuan langsung terhadap individu burung pada gedung, Pengumpulan data etno-ornitologi Serak jawa mengenai pengetahuan penduduk lokalmengenaijenis, habitat, kebiasaan hidup serta pengaruh aktivitas manusia terhadap keberadaan Serak Jawa dilakukan dengan metode wawancara berfokus semi-struktur, yaitu wawancara yang tak memiliki struktur tertentu, tetapi selalu berpusat pada pokok permasalahan (Koentjaraningrat 1997). Informan yang dicatat atau yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah informan kunci, yang mengetahui informasi pokok tentang Serak Jawa. Wawancara dihentikan ketika telah mendapatkan hasil yang relatif sama atau tidak ada penambahan informasi dari informan yang dimintai keterangan. Analisis data Analisis data dilakukan untuk mengetahui pola persebaran, tipe habitat, dan lokasi persebaran Serak Jawa di lokasi penelitian dengan menggunakan teknik deskriptif analisis terhadap data yang telahdidapatkan. Kemudian pola distribusi diuji dengan menggunakan Indeks Morishita (Endri et al. 2010). Penghitungan jumlah kelompok dilakukan berdasarkan sifat Serak Jawa yang monogamous (1 jantan berpasangan dengan 1 betina), setiap pasangan dihitung sebagai satu kelompok dan penghitungan jumlah individu dilakukan pada saat pengamatan. Kemudian hasil penghitungan jumlah kelompok dan jumlah individu di akumulasi masing-masing jumlah keseluruhannya, nilai ini merupakan taksiran minimum dari jumlah individu burung Serak Jawa yang menggunakan kawasan Kampus Universitas Padjadjaran. Analisis data dilakukan dengan analisa kualitatif, dilakukan pengecekan langsung melalui informan untuk dipastikan kembali pendapat atau jawaban dari informan, dan melakukan verifikasi data. Data wawancara yang disajikan kemudian dibangun pola-pola umum, atau dari pola khusus ke umum melalui narasi deskriptif hasil dari pencatatan data lapangan sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang Serak Jawa (Raco 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Serak Jawa Terdapat 13 kelompok burung Serak Jawa pada bulan Nov-Des 2011, dan 12 kelompok pada bulan Jan-Feb 2012. Komposisi kelompok Serak Jawa (Gambar 1), proporsi rasio umur dan seks tersaji pada Gambar 2. Serak Jawa menempati ruang atau celah pada gedung dan menggunakan 25 gedung dari 106 gedung yang ada di
PARTASASMITA et al. – Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa
Gambar 1. Komposisi dan struktur usia Serak Jawa
1573
Gambar 2. Piramida struktur usia Serak Jawa
Tabel 1. Sebaran okupasi gedung sebagai tempat sarang Serak Jawa
Lokasi
Nama bangunan
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Asrama Poma Ilmu Budaya
Gedung B Gedung C
Ilmu Komunikasi Ilmu Keperawatan Peternakan
Pertanian
Farmasi
MIPA
Psikologi Kedokteran Umum Kedokteran Gigi
Jumlah gedung 2 1 2
Gedung Dekanat Gedung C Gedung 2 Gedung 2 Gedung 2 Gedung 3 Gedung 4 Gedung 5 Gedung D3 Agribisnis Gedung Jurusan Ilmu Tanah
1 1 4
6
Gedung Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Gedung Dekanat Gedung Lab. Perikanan dan Teknologi Pertanian Gedung Sosek Pertanian Gedung Utama
Gedung Statistik Gedung Kimia Gedung Fisika Gedung R.M Soemarto Gedung A2 Gedung A3 Gedung 2
1
3
1 2 1 25
Jumlah sarang 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 3
1 2 1 1 1 1 1 29
Koordinat 6°55'44.52"S 107°46'34.26"T 6°55'42.52" LS 107°46'37.08" BT 6°55'49.38" LS 107°46'42.03" BT 6°55'41.75" LS 107°46'34.28" BT 6°55'38.20" LS 107°46'37.82" BT 6°55'34.20" LS 107°46'32.93" BT 6°55'36.06" LS 107°46'34.43" BT 6°55'30.98" LS 107°46'19.45" BT 6°55'27.95" LS 107°46'20.99" BT 6°55'27.06" LS 107°46'20.94" BT 6°55'26.93" LS 107°46'19.19" BT 6°55'16.29" LS 107°46'23.37" BT 6°55'35.39" LS 107°46'20.55" BT 6°55'34.91" LS 107°46'21.76" BT 6°55'33.11" LS 107°46'24.91" BT 6°55'35.24" LS 107°46'19.23" BT 6°55'30.56" LS 107°46'20.84" BT 6°55'32.53" LS 107°46'22.93" BT 6°55'31.46" LS 107°46'24.58" BT 6°55'31.84" LS 107°46'23.69" BT 6°55'32.19" LS 107°46'24.56" BT 6°55'29.60" LS 107°46'22.30" BT 6°55'34.44" LS 107°46'24.59" BT 6°55'34.19" LS 107°46'26.14" BT 6°55'39.33" LS 107°46'24.43" BT 6°55'39.69" LS 107°46'27.29" BT 6°55'46.29" LS 107°46'30.50" BT 6°55'45.23" LS 107°46'28.81" BT 6°55'44.60" LS 107°46'31.79" BT
Tabel 2. Karakter morfologi Serak Jawa dan Celepuk menurut pandangan emik dan etik Emik Bagian tubuh Koreak Bueuk Kepala “Buled, rada ageung” artinya bulat dan “Buled, leutik” lebar (agak besar) artinya bulat dan kecil Mata “Panonna hideung” artinya matanya “Panonna koneng” hitam artinya matanya kuning Tubuh “Awakna bodas” artinya tubuhnya “awakna alit, berwarna putih dan “punggungna coklat” coklat” artinya punggungnya coklat Sayap Coklat Coklat
Etik Koreak Bueuk Piringan muka lebar dan berbentuk hati Berkas telinga mencolok, alis putih Iris coklat gelap
Iris kuning emas
Tubuh bagian atas berwarna cokelat bertanda merata, tubuh bagian bawah putih dengan bintik hitam keseluruhan Coklat
Tubuh bagian atas coklat keabuan, bercoret hitam pada dada Coklat keabuan
1574
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1570-1576, Oktober 2015
Gambar 3. Peta persebaran Serak Jawa di Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor
PARTASASMITA et al. – Populasi, okupasi dan pengetahuan masyarakat tentang burung Serak Jawa
Kampus Universitas Padjajaran (Unpad) Jatinangor sebagai habitat bersarang. Hal ini dapat diketahui berdasarkan bekas kotoran yang terdapat di atap gedung atau sekitar gedung, pertemuan langsung terhadap individu burung pada gedung, serta penemuan muntahan makanan yang tidak dicerna berupa tulang-tulang dan rambut mamalia kecil dalam bentuk pelet. Dari ke-25 gedung tersebut didapati sejumlah 29 sarang burung Serak Jawa, yang diketahui dan dipastikan dengan mengamati keluarmasuknya Serak Jawa dari dan ke dalam sarang (Table 1, Gambar 3). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan terhadap beberapa informan dari ke-4 desa di sekitar Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran, didapatkan beberapa hal mengenai pengenalan jenis Serak Jawa oleh penduduk lokal (Tabel 2). Pembahasan Jumlah total individu burung Serak Jawa di Kawasan Kampus Universitas Padjadjaran pada bulan Nopember hingga Desember 2011 terdapat ±76 individu, kemudian pada Januari hingga Februari 2012 Jumlahnya berkurang menjadi ±71 Individu Serak Jawa yang ditemukan langsung di sarang masing-masing burung Serak Jawa, dalam rentang waktu pengamatan selama empat bulan (Nov-Feb).Terdapat ±16 individu anakan (juvenile), jantan remaja (immature male), 4 betina remaja (immature female), 26 jantan dewasa (adult male), dan 25 betina dewasa (adult female) pada bulan Nopember hingga Desember 2011. Awal tahun 2012 Terjadi pengurangan 5 individu pada sarang yang terdapat di gedung D3 Agribisnis, karena adanya renovasi bangunan dan menutup sarang yang ada di gedung tersebut dan tidak diketahui keberadaannya. Lima individu tersebut terdiri atas 2 anakan, 1 betina remaja, 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa. Pada pengamatan Januari 2012 teramati individu anakan telah mencapai usia remaja dan burung remaja telah mencapai usia dewasa, secara rinci jumlahnya menjadi, 9 jantan remaja, 5 betina remaja, 30 jantan dewasa, dan 27 betina dewasa. Pertumbuhan anakan Serak Jawa mencapai 1,5 bulan hingga dua bulan untuk mencapai usia remaja (tergantung ketersediaan makanan), sehingga diperkirakan pada bulan Nopember 2011, 16 individu anakan merupakan individu yang baru menetas, karena teramati telah mencapai usia remaja pada Januari 2012. Jumlah ini terbilang sedikit jika di bandingkan dengan kemampuan Serak Jawa yang mampu bertelur 3-8 telur/induk, hal ini diperkirakan karena cuaca yang cukup ekstrim, karena pada rentang September hingga Desember 2011, cuaca lebih banyak hujan dan kurang begitu menentu. Hujan menjadi salah satu faktor penghambat pergerakan burung dalam mencari mangsa, dan hal ini dapat berakibat terhadap pertumbuhan Serak Jawa, karena terdapat kemungkinan anakan termuda menjadi korban kanibalisme induk atau anakan burung yang lebih dewasa. Berdasarkan jumlah akhir individu Serak Jawa pada Februari 2012, persentase umur Serak Jawa jantan remaja 12,6% (9 individu), Serak Jawa betina remaja 7,04% (5
1575
individu), Serak Jawa jantan dewasa 42.25% (30 individu), dan Serak Jawa betina dewasa 38.03% (27 individu). Hasil ini menunjukkan populasi Serak Jawa membentuk piramida terbalik. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan populasi Serak Jawa pada masa mendatang (Hernowo 2011). Berdasarkan demografi yang ada dapat diprediksi akan terjadi penurunan populasi yang cukup drastis karena komposisi burung kategori dewasa lebih banyak dibandingkan dengan remaja dan anakan yang diperkirakan akan mempengaruhi laju kematian Serak Jawa, dengan asumsi habitatnya masih terjaga dengan baik. Apabila habitatnya terganggu akibat pengalih-fungsi lahan, maka diperkirakan akan semakin mempercepat penurunan populasi Serak Jawa di Kawasan Kampus Unpad Jatinangor sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah di desa Hegarmanah dan Sayang telah dilakukan pengalihfungsi lahan habitat Serak Jawa mencari mangsa yang dikonversi menjadi pemukiman serta bangunan komersial seperti wisma dan rumah atau kamar sewa. Alih fungsi lahan dimungkinkan akan terus terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah pendatang ke daerah Jatinangor dan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan Meffe et al. (2002), yang menyatakan resiko berkurangnya bahkan punahnya suatu populasi disebabkan oleh dua faktor yaitu (i) laju deforestasi dan konversi lahan menjadi pemukiman dan bangunan komersil (deterministic forces); (ii) pengaruh perubahan demografi, hilangnya keragaman genetik, atau faktor lingkungan yang tidak biasa seperti musim dingin yang ekstrim, musim hujan, musim kemarau, bencana alam baik yang disebabkan oleh manusia maupun yang secara alami (Stochastic forces). Keberadaan Serak Jawa cukup banyak ditemukan di lokasi gedung-gedung pada Fakultas Peternakan (6 gedung) dan Fakultas Pertanian (4 gedung), karena kedua fakultas tersebut memiliki banyak gedung jurusan dan letak gedung yang berdekatan baik antara jurusan, serta antar Fakultas Peternakan dan Pertanian yang. Selain itu lokasi gedunggedung kedua fakultas tersebut tidak jauh dengan lokasi yang menjadi habitat mencari mangsa bagi Serak Jawa karena terletak pada area yang sama. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi Serak Jawa untuk digunakan sebagai habitat bersarang, berisitirahat, dan mencari mangsa. Penggunaan gedung oleh burung Serak Jawa sebagai habitat bersarang tidak memperhatikan keadaan dan letak bangunan, karena burung Serak Jawa tidak membuat sarangnya melainkan menempati tempat-tempat yang tersedia baginya, seperti menempati sarang burung di lubang pohon yang sudah tidak ditempati, pada lubang atau celah yang terdapat pada gedung. Rata-rata gedung yang di tempati sebagai habitat bersarang adalah gedung berlantai 2 dengan ketinggian ≥ 15meter. Hal ini menunjukkan ketinggian tempat terhadap tanah berpengaruh terhadap pemilihan habitat bersarang. Pemilihan tempat yang tinggi adalah salah satu bukti bahwa Serak Jawa menghindari gangguan manusia maupun gangguan lainnya. Pengetahuan lokal muncul berdasarkan pemahaman dari sebuah eksistensi yang terjalin dengan spiritualitas,
1576
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1570-1576, Oktober 2015
bahasa dan lingkungan. Nama “Koreak” dan “Bueuk” yang didapatkan berdasarkan suara masing-masing burung adalah salah satu bentuk penuangan hal yang mereka tahu ke dalam bahasa lokal penduduk. Anggapan penduduk terhadap kedua jenis burung sebagai pembawa berita, dan berhubungan dengan hal gaib menjadi sebuah nilai spiritual tersendiri yang berkembang di lingkungan masyarakat sunda (Tidemann et al. 2010). Anggapan atau nilai spiritual tersebut menjadi efektif untuk melindungi keberadaan burung Serak Jawa atau Koreak (Soemarwoto 2004). Menurut Penduduk burung Koreak dapat ditemukan saat senja tiba mulai pukul 17.00 Wib, hingga tengah malam, bertengger di atas “tatangkalan” atau pohon-pohon yang agak besar seperti pohon beringin (Ficus benjamina), pohon karet (Ficus elastica), di “tangkal awi” atau rumpun bambu (Bambusa sp) dekat dengan pemukiman warga. Burung koreak menurut penduduk setempat senang menempati atau bersarang di tempat-tempat yang gelap seperti pada pohon-pohon besar dan “para” atau atap bangunan-bangunan tua, dan bangunan lain yang cukup tinggi, karena mereka seringkali menemukan secara langsung burung Koreak keluar dari tempat-tempat tersebut. Di Kawasan Kampus Unpad Jatinangor, penduduk lokal kerap menemukan burung koreak pada gedung Fakultas Peternakan, Fakultas Pertanian, gor pakuan, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, bertengger di atap gedung, atau ramai terdengar dari suara burung tersebut. Pemahaman penduduk yang masih mengaitkan keberadaan burung Koreak sebagai sosok yang mistis dan menyeramkan memang tidak bisa dipisahkan. Cerita yang sering muncul ketika berbicara tentang koreak diantaranya; burung Koreak yang sedang berbunyi menandakan burung tersebut sedang ditunggangi setan; apabila ada suara burung tersebut, yang mendengar sedang berbaring maka ia harus telungkup, jika tidak maka ia akan sakit perut; Burung Koreak sering keluar pada malam Jumat karena setan sering keluar pada malam tersebut; Jika burung Koreak terus bersuara untuk beberapa hari di sebuah rumah penduduk, maka salah satu anggota keluarga di rumah tersebut akan meninggal atau sakit. Berbeda dengan persepsi penduduk, salah satu bukti ilmiah yang berkaitan dengan cerita Koreak sebagai pembawa penyakit atau kabar kematian pada penduduk, disebabkan oleh adanya bakteri Salmonella sp., bukan semata karena kehadiran burung. Pellet atau kotoran burung Koreak yang mengandung bakteri Salmonella sp, dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan salmonellosis yang gejalanya adalah gastroenteritis (Masniari 2005).
UCAPAN TERIMA KASIH Kami berterimakasih kepada pihak pengelola gedung masing-masing fakultas se-Universitas Padjadjaran yang telah memberi ijin atap gedungnya diperiksa. Terima kasih juga kami sampaikan pada pimpinan FMIPA Universitas Padjadjaran yang telah membantu memperlancar penelitian, demikian juga Divisi Ornitologi Himbio Universitas Padjadjaran yang telah membantu penelitian mendanai sebagian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Colin JB, Martin J, Stuart M. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor. Colin JB, Neil DB, David AH. 1992. Bird Census Techniques. Academic Press, London. Colvin AB. 2010. Life History Notes: Barn Owl. http: //www.dnr.state.oh.us/Portals/9/pdf/pub184.pdf. [21 Desember 2010]. Endri J, Effendi PS, Joko. 2010. Kelimpahan populasi dan distribusi remis (Corbicula sp.) di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin. Jurnal Penelitian Sains 13: 50-54 Epple W. 1992. Barn Owls. Carolrhoda Books Inc, USA. Faisal F. 2005. Dampak Perubahan Habitat dan Perburuan Terhadap Keanekaragaman dan Penyebaran Avifauna di Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Jawa Barat. [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Sumedang. Iskandar J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran, Bandung. Iskandar J. 2012. Etnobiologi dan Pembangunan Berkelanjutan. AIPI, LPPM KPK Universitas Padjadjaran, Bandung. Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat; Edisi ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Masniari P, Iyep K, Susan MN. 2005. Bahaya Salmonella Terhadap Kesehatan. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor. 15 September 2005 Meffe GK, Nielsen L, Knight R, Schenborn D. 2002. Ecosystem Management. Island Press, Washington, D.C.. Raco RJ. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Grasindo, Jakarta. Rani C. 2012. Metode Pengukuran Dan Analisis Pola Spasial (Dispersi) Organisme Bentik. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanudin, Makassar. Retna AK. 2006. Karakteristik Habitat Burung Serak Tyto alba javanica (Gmel.) Pemangsa Tikus pada Ekosistem Persawahan di Kabupaten Kendal. [Disertasi]. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Jakarta. Sommer R, Zoller H, Kock D et al. 2005. Feeding of the barn owl, Tyto alba with first record of the European free-tailed bat, Tadarida teniotis on the island of Ibiza (Spain, Balearics). Folia Zool 54: 364370. Suryati AD. 1994. Pola Aktivitas Induk dan Perilaku Anak Burung Hantu (Tyto alba) pada Masa Pemeliharaan Anak. [Tesis] Institut Teknologi Bandung, Bandung. Tidemann S, Gosler A. 2010. Ethno-ornithology. Earthscan, London. Widodo BS. 2000. Burung Hantu; Pengendali Tikus Alami. Kanisius, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1577-1581
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010706
Keragaman arthropoda tanah pada ekosistem sawah organik dan sawah anorganik Diversity of soil arthropods in organic and inorganic paddy rice field ecosystem MOCHAMAD HADI1,♥, RC HIDAYAT SOESILOHADI2, FX WAGIMAN3, YAYUK RAHAYUNINGSIH SUHARDJONO4 1
Laboratorium Ekologi dan Biosistematika, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275, Jawa Tengah. Tel./Fax. +62 24 70799494, ♥Email:
[email protected] 2 Laboratorium Entomologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman 55281, Yogyakarta. 3 Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jl. Flora, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta. 4 Laboratorium Entomologi, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Manuskrip diterima: 11 Februari 2014. Revisi disetujui: 23 Agustus 2015.
Hadi M, Soesilohadi RCH, Wagiman FX, Suhardjono YT. 2015. Keragaman arthropoda tanah pada ekosistem sawah organik dan sawah anorganik. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1577-1581. Penggunaan pestisida kimia di sawah telah menyebabkan kerusakan sawah. Residu pestisida kimia dapat membunuh hama, juga organisme lain bukan sasaran. Persawahan anorganik yang terus menggunakan bahan kimia, memberi dampak negatif seperti hama menjadi kebal, polusi dan bahaya residu. Masyarakat yang sadar akan dampak negatif penggunaan bahan kimia sintetik kemudian beralih menerapkan pertanian organik dengan meminimalkan penggunaan bahan kimia. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan kesehatan tumbuh semakin baik, karena itu muncul suatu gagasan teknologi alternatif lain yang dikenal dengan pertanian organik, yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekologi hayati. Penelitian bertujuan untuk membandingkan keragaman arthropoda tanah di sawah organik dan anorganik. Penelitian dilakukan Desa Bakalrejo, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pengambilan data menggunakan metode perangkap sumuran. Di masingmasing Sawah dipasang 15 perangkap dalam 3 jalur pematang sawah. Perangkap dipasang sepanjang malam mulai jam 17.30 sore hingga jam 06.00 pagi. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Biosistematik, Biologi, Universitas Diponegoro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Arthropoda tanah yang tertangkap di sawah organik berjumlah 8-14 famili, sedangkan di sawah anorganik 5-11 famili. Kelimpahan Arthropoda tanah di sawah organik berjumlah 297 individu sedangkan di sawah anorganik 236 individu. Indeks keragaman Arthropoda di sawah organik berkisar 1.02-1.64, sedangkan di sawah anorganik berkisar 0.95-1.39. Terdapat kecenderungan bahwa Arthropoda tanah pada sawah organik lebih beragam dibanding sawah anorganik, tetapi sesungguhnya antara keduanya relatif tidak berbeda, ditunjukkan dengan tingkat persamaan keduanya yang lebih dari 50% ,yaitu berkisar 56-78%. Famili-famili yang ditemukan mempunyai peran sebagai predator (10 famili), herbivor (8 famili) dan polinator (1 famili). Kata kunci: Arthropoda tanah, keragaman, sawah organik, sawah anorganik
Hadi M, Soesilohadi RCH, Wagiman FX, Suhardjono YT. 2015. Diversity of soil arthropods in organic and inorganic paddy rice field ecosystem. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1577-1581. The use of chemical pesticides in paddy ecosystems have caused damage to paddy ecosystem and making it unstable. Risks posed by chemical pesticide residues not only can kill pests, but also can kill other nontarget organisms including natural enemy groups. Inorganic paddy systems continue to use chemicals as a means of production, the negative impact such as pests become resistant, pollution and danger residue. People who are aware of the negative impact of the use of synthetic chemicals and then switch to apply the organic farming system by minimizing the use of chemicals as a means of production. Public awareness of the environment and health grows, the better, because it appears the idea of another alternative technology known as organic farming, which is based on the principles of biological ecology. The study aims to compare the diversity of soil arthropods in paddy ecosystem organic and inorganic paddy. Research conducted Bakalrejo Village, District Susukan, Semarang regency, Central Java. Retrieving data using methods trap pitting (pit fall traps). In each ecosystem installed 15 traps in 3 lines rice field. Traps placed throughout the evening began at 17:30 pm until 06:00 am. Identification carried out in the Laboratory of Ecology and Biosystematics, Department of Biology, FSM, Diponegoro University, Semarang. The results showed that soil arthropods members caught in organic rice field ecosystem numbered 8-14 families, whereas in the rice field ecosystem inorganic family numbered 5-11. Arthropod abundance members in organic farm land totaling 297 individuals while in the field of inorganic totaling 236 individuals. Diversity index (Shannon-Wiener) Arthropods in organic rice field ecosystem ranged between 1.02-1.64, whereas in the rice field ecosystem inorganic ranged between 0.95-1.39. There is a tendency for soil arthropods in organic rice field ecosystem more diverse than inorganic rice fields, however, actually not much different between the two, as indicated by the level of equality both more than 50%, ranging from 56-78%. Arthropods members of the families were found to have a role as a predator (10 families), herbivores (8 families) and pollinators (1 family). Keywords: Soil arthropods, diversity, organic paddy, paddy inorganic
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1577-1581, Oktober 2015
1578
PENDAHULUAN Penggunaan pestisida maupun pupuk anorganik (kimia) dalam upaya pemenuhan kebutuhan beras masih saja diaplikasikan secara berlebihan dan terus menerus. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia ini tentu akan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan ekosistem, termasuk ekosistem sawah. Terganggunya ekosistem sawah akibat penggunaan bahan-bahan kimia tersebut mengakibatkan terbunuhnya organisme yang ada di ekosistem sawah baik yang merugikan maupun yang menguntungkan, termasuk arthropoda tanah yang umumnya berperan sebagai predator (Untung 2006). Tanah yang terus menerus terpapar pestisida kimia akan mengakibatkan tanah menjadi tercemar residu yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan dan membahayakan kesehatan lingkungan (Sofia 2001). Menurut Purwanta, el al. (1997) pada lahan pertanian yang diaplikasi pestisida deltametrin dan profenofos terbukti terjadi penurunan populasi arthropoda herbivor (fitofagus) dan arthropoda predator. Arthropoda tanah di ekosistem sawah merupakan arthropoda yang hidup dan aktif di permukaan tanah, mempunyai peranan penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Arthropoda akan memakan material hayati baik sebagai herbivor maupun sebagai predator yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran (Arief 2001). Ekosistem sawah meliputi berbagai kelompok komunitas yang saling berinteraksi. Komunitas arthropoda tanah mempunyai peranan penting dalam ekosistem
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
tersebut. Collembola dan arthropoda lain termasuk labalaba merupakan kelompok yang paling banyak dijumpai di tanah persawahan (Settle et al. 1996). Laba-laba merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menakan populasi wereng coklat dan penggerek batang padi di ekosistem persawahan. Arthropoda predator yang telah terbukti efektif mengendalikan hama padi adala labalaba pemburu Pardosa pseudoannulata dan kumbang Carabidae (Herlinda, el al 2008) Pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian berbasis pemanfaatan bahan-bahan alami tanpa penggunaan bahan-bahan kimia sintetik. Pupuk dan pestisida yang digunakan pada ekosistem sawah organik adalah berasal dari bahan-bahan alami, pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan dengan memanfaatkan agen-agen hayati yang tidak mencemari lingkungan (Prabayanti 2010; Sembel 2010). Pertanian organik diharapkan mampu menyediakan ketersediaan pangan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pupuk dan pestisida yang digunakan tidak mengandung senyawa kimia, melainkan menggunakan bahan-bahan hasil dekomposisi mikroorganisme (Suwantoro 2008). Permasalahannya adalah apakah ada perbedaan keragaman arthropoda tanah pada ekosistem sawah organik dan sawah anorganik dengan diminimalkannya penggunaan bahan kimia sintetik pada pertanian organik. Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana keragaman arthropoda tanah di ekosistem sawah organik dan sawah anorganik.
Kecamatan Susukan, Semarang
Gambar 1. Lokasi penelitian, Desa Bakalrejo (kotak), Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. (PT. Karya Pembina Swajaya 2010).
HADI et al. – Arthropoda tanah pada ekosistem sawah
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu Oktober 2012 hingga Januari 2013 selama satu musim tanam padi. Pengambilan sampel serangga dilakukan di lahan sawah organik dan anorganik di Dusun Dolok, Desa Bakalrejo, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Gambar 1). Pengambilan sampel dilakukan pada sawah dengan tanaman padi yang ditanam adalah varietas IR 64 dengan pola tanam tahunan padi-padi-padi, saat fase vegetatif (40 hari setelah tanam), fase reproduktif (80 hari setelah tanam), fase pematangan (120 hari setelah tanam) dan satu minggu setelah masa panen (130 hari setelah tanam). Alat yang digunakan meliputi perangkap sumuran (botol plastik ukuran diameter 10 cm x tinggi 10 cm), pinset, lup, cawan petri, botol sampel, mikroskop binokuler, kamera dan alat tulis. Bahan yang dipakai meliputi air, alkohol 70% dan deterjen. Identifikasi arthropoda tanah dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Biosistematik, Jurusan Biologi, FSM Universitas Diponegoro, Semarang. Cara kerja Pengambilan sampel arthropoda tanah dengan menggunakan perangkap sumuran (pit fall trap) yang dipasang di pematang sawah organik maupun sawah anorganik. Sebanyak 15 buah perangkap (gelas plastik berukuran diameter 10 cm dan tinggi 10 cm) dipasang di 3 pematang sawah organik dan 15 buah perangkap dipasang di 3 pematang sawah anorganik, masing-masing perangkap dipasang selama 24 jam. Pengambilan sampel arthropoda tanah dilakukan pada waktu tanaman padi fase vegetatif, reproduktif, pematangan dan pasca panen. Sampel arthropoda tanah yang diperoleh kemudian dikoleksi dalam botol koleksi berisi larutan fiksatif alkohol 70%. Identifikasi arthropoda tanah dilakukan di laboratorium, hingga tingkat famili. Analisis data Analisis data dilakukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon Weiner, indeks pemerataan dan indeks kesamaan Sorenson (Odum 1993). Indeks keanekaragaman Shannon Weiner adalah H’ =-∑ Pi ln Pi, sedangkan indeks pemerataan adalah e = H’/ln S dan indeks kesamaan Sorenson adalah IS = 2C / (A+B) x 100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa arthropoda tanah yang ditemukan di ekosistem sawah organik secara umum lebih banyak dibandingkan dengan sawah anorganik (Tabel 1). Di ekosistem sawah organik, jumlah individu arthropoda yang ditemukan selama satu musim tanam padi berkisar antara 30-165 individu sedangkan di ekosistem sawah anorganik jumlah arthropoda tanah yang ditemukan berkisar antara 48-76 individu selama satu musim tanam
1579
padi. Jumlah famili arthropoda tanah yang ditemukan di sawah organik berkisar antara 8-14 famili, sedangkan di sawah anorganik ditemukan 5-11 famili selama satu musim tanam padi. Suheriyanto (2000) melaporkan bahwa pada lahan pertanian yang diaplikasikan pestisida sintetik didapatkan 40 jenis dengan kelimpahan 1081 ekor fauna tanah. Sementara pada lahan pertanian yang tidak diaplikasikan pestisida sintetik, didapatkan jumlah fauna tanah yang cenderung lebih banyak yaitu didapatkan 43 jenis dengan kelimpahan 1531 ekor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari 19 famili arthropoda tanah yang ditemukan baik di sawah organik maupun sawah anorganik, 9 famili memiliki peran sebagai predator, 9 famili sebagai herbivor dan 1 famili sebagai polinator. Kelompok arthropoda tanah predator terutama adalah famili Formicidan dan Carabidae, sedangkan kelompok herbivor utama adalah famili Grylidae. Pada ekosistem sawah organik, keanekaragaman arthropoda tanah juga cenderung lebih tinggi dibandingan pada sawah anorganik. Indeks keanekaragaman arthropoda tanah di sawah organik berkisar antara 1.02-1.75, yang secara umum lebih tinggi dibandingkan indeks keanekaragaman di sawah anorganik yang berkisar antara 0.96-1.39. Kecenderungan lebih rendahnya keanekaragaman arthropoda tanah di sawah anorganik dibandingkan sawah organik, disebabkan karena masih adanya penggunaan pestisida dan pupuk kimia sintetik pada sawah anorganik, yang mengakibatkan kematian dan atau perpindahan arthropoda pada sawah anorganik tersebut. Kondisi ini tentunya akan menurunkan tingkat keanekaragaman organisme penghuninya. Odum (1993) menyatakan bahwa keanekaragaman organisme akan cenderung lebih rendah pada ekosistem yang terpapar penggunaan pestisida sintetik, sebaliknya keanekaragaman akan cenderung lebih tinggi pada ekosistem yang diatur oleh mekanisme biologi. Tidak adanya aplikasi pestisida kimia sintetik pada sawah organik menyebabkan tercapainya keseimbangan ekosistem tersebut, sehingga keanekaragaman organisme juga akan cenderung tinggi. Keanekaragaman organisme yang tinggi di suatu ekosistem, menurut Odum (1993) berarti rantai makanan terbentuk lebih panjang dan juga lebih banyak simbiosissimbiosis yang menghasilkan umpan balik positif yang dapat mengurangi gangguan-gangguan dalam ekosistem sehingga terwujud ekosistem yang seimbang. Dari hasil analisis uji Hutcheson (uji t), nampaknya bahwa keanekaragaman arthropoda tanah antara sawah organik dan sawah anorganik pada awal fase tanam padi yaitu fase vegetatif dan reproduktif menunjukan beda nyata, yang berarti ada perbedaan nyata terhadap keanekaragaman arthropoda tanah akibat sistem pengolahan sawah organik dibanding sawah anorganik. Namun demikian pada fase pematangan dan pasca panen tanaman padi, keanekaragaman arthropoda tanah tidak menunjukkan perbedaan nyata antara sawah organik dan anorganik. Hal ini diduga karena pada fase pematangan tanaman padi kondisi tanah relatif lebih kering dibanding pada fase sebelumnya, sehingga akan mengakibatkan keanekaragaman arthropoda tanah berkurang. Demikian
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1577-1581, Oktober 2015
1580
juga pada fase pasca panen kondisi sawah masih relatif kering dan belum dibajak, sehingga keanekaragaman arthropoda tanah juga berkurang. Indeks pemerataan persebaran arthropoda tanah nampak pada Tabel 1 berkisar antara 0.49-0.69 (pada sawah organik) dan 0.44-0.66 (pada sawah anorganik). Nampak bahwa indeks pemeretaan persebaran arthropoda tanah ada kecenderungan sedikit lebih tinggi di sawah organik daripada sawah anorganik. Namun demikian nilai indeks pemerataan di sawah organik maupu anorganik termasuk dalam tingkatan menengah, menurut Odum (1993) indeks pemerataan termasuk dalam kategori tinggi apabila lebih dari 0.6. Krebs (1985) menyatakan bahwa semakin tingg nilai pemerataan maka populasi-populasi akan menunjukkan keseragaman yang artinya bahwa pada komunitas tersebut tidak dijumpai kelompok organisme yang dominan terhadap lainnya. Berdasarkan indeks kesamaan (Tabel 2), arthropoda tanah yang dijumpai pada sawah organik dan sawah anorganik memiliki tingkat kesamaan lebih dari 50% dalam
kisaran 56-78%. Menurut Suin (1991) bahwa dua ekosistem dikatakan memiliki kesamaan komunitas apabila indeks kesamaannya lebih dari 50%. Kesamaan komunitas arthropoda tanah di kedua lokasi penelitian mungkin disebabkan oleh letak kedua sawah yang diteliti yang saling bersebelahan sehingga memungkinkan arthropoda tanah untuk saling berpindah dari sawah organik ke sawah anorganik dan sebaliknya. Kandungan bahan organik tanah di lokasi penelitian menunjukkan bahwa secara umum tanah di ekosistem sawah organik lebih tinggi dibandingkan dengan sawah anorganik, demikian pula kandungan nitrogen total maupun C/N rasio (Tabel 3). Kecenderungan lebih tingginya bahan organik di sawah organik dapat dipahami karena memang pada sawah organik, pupuk dan pestisida yang digunakan berasal dari bahan organik seperti pupuk kompos dan pestisida nabati. Hal ini tentu akan mengakibatkan keanekaragaman arthropoda tanah di sawah organik akan lebih tinggi dibandingkan sawah anorganik.
Tabel 1. Keragaman famili Arthropoda tanah di ekosistem sawah organik dan sawah anorganik Vegetatif Reproduktif O AO O AO Aranae Licosidae P 2 1 3 1 Oxyopidae P 2 0 0 0 Tetragnacidae P 2 1 1 1 Coleoptera Carabidae P 43 27 14 31 Coccinelidae P 0 1 1 2 Crysomelidae H 0 0 0 0 Lampyridae P 1 1 1 0 Staphylinidae P 4 0 0 0 Dermaptera Forficulidae P 16 1 2 0 Diptera Agromyzidae H 2 0 1 0 Hemyptera Pentatomidae H 0 1 1 0 Pyrrocoridae H 0 0 1 0 Hymenoptera Colletidae Pl 0 0 0 0 Formicidae P 17 13 4 19 Lepidoptera Noctuidae H 1 0 1 0 Orthoptera Acrididae H 1 2 0 0 Gryllidae H 65 22 0 0 Gryllotalpidae H 1 6 0 0 Tetrigidae H 8 0 0 0 Jumlah Individu 165 76 30 54 Jumlah Famili 14 11 11 5 Indeks keanekaragaman H’ 1.75 1.39 1.64 0.96 Indeks pemerataan e 0.66 0.58 0.69 0.60 Keterangan: O: Organik. AO: Anorganik. P: Predator. H: Herbivor. Pl: Polinator Ordo
Famili
Peran
Tabel 2. Indeks kesamaan Sorenson arthropoda tanah di sawah organik dan sawah anorganik Anorganik Organik Vegetatif Reproduktif Pematangan Pasca Panen
Vegetatif Reproduktif 0.72 -
0.63 -
Pematangan 0.78 -
Pematangan O AO 1 2 2 0 1 0 5 10 2 1 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 3 1 0 0 1 0 26 27 2 1 0 0 5 6 0 0 0 0 59 48 11 7 1.56 1.29 0.65 0.66
Tabel 3. Kandungan bahan organik, nitrogen total dan C//N ratio tanah sawah organik dan sawah anorganik
Pasca panen 0.56
Pasca Panen O AO 0 1 6 0 3 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 7 0 0 0 2 1 0 1 0 0 21 45 1 2 0 0 2 0 1 2 0 2 43 58 8 10 1.02 1.00 0.49 0.44
Rata-rata bahan organik (%) Rata-rata Nitrogen total (%) Rata-rata C/N rasio
Tanah sawah organik
Tanah sawah anorganik
4.30 0.29 9.84
1.14 0.10 2.66
HADI et al. – Arthropoda tanah pada ekosistem sawah
Secara umum dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman famili arthropoda tanah yang terdapat di ekosistem sawah organik cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan sawah anorganik walaupun tidak menunjukkan beda nyata. Keanekaragaman famili arthropoda tanah di sawah organik berbeda nyata dengan sawah anorganik hanya pada fase tanam vegetatif dan reproduktif, sedangkan pada fase pematangan padi dan pasca panen tidak menunjukkan beda nyata. Kelimpaham populasi arthropoda tanah di sawah organik cenderung lebih tinggi dibandingan di sawah anorganik. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa walaupun antara ekosistem sawah organik dan sawah anorganik memiliki tingkat kesamaan lebih dari 50% karena keduanya letaknya bersebelahan, namun kelimpahan, keanekaragaman dan pemerataan arthropoda tanah yang terdapat pada sawah organik menunjukan cenderung lebih tinggi dibanding sawah anorganik.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Surya Imdad Nurcahyo, Rizqi Hadi Pratama, Aminah, Shinta Ariani, Roma Witriyanto dan Widodo (Jurusan Biologi FSM Universitas Diponegoro Semarang) yang telah membantu pengambilan data selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga Sunarti Suwardjo (mantan Kepala Desa Bakalrejo, Susukan, Semarang), pemilik sawah organik, dan keluarga Fathurohman (Kepala Desa Bakalrejo, Susukan, Semarang), pemilik sawah anorganik, atas ijin menggunakan sawahnya untuk penelitian.
1581
DAFTAR PUSTAKA Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius Jakarta. Herlinda S, Waluyo, Estuningsih SP, Irsan C. 2008. Perbandingan keanekaragaman spesies dan kemelimpahan Arthropoda predator penghuni tanah di sawah lebak yang diaplikasikan Insektisida dan tanpa aplikasi insektisida. J Entomol Ind 5 (2): 96-107. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Samingan Tj. (penerj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prabayanti H. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Biopestisida oleh Petani di Kecamatan Mojogedang Kabupaten Karanganyar. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Purwanta FX, Rouf A, Kartosuwondo U, Sastrosiswoyo W. 1997. Pengaruh Aplikasi Insektisida Terhadap Komunitas Arthropoda pada Agroekosistem Kedelai. Seminar Nasional PHT. Subang. Sembel DT. 2010. Pengendalian Hayati-Hama-hama Serangga Tropis dan Gulma. Andi Offset. Yogyakarta. Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Lestari AS, Sartanto, Pajarningsih. 1996. Manging tropical rice pest through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. J Ecol 77 (7): 1975-1988. Sofia D. 2001. Pengaruh Pestisida Dalam Lingkungan Pertanian. Digital Library. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara, Medan. Suheriyanto. 2000. Kajian Komunitas Fauna Tanah pada Pertanaman Bawang Merah Dengan dan Tanpa Aplikasi Pestisida. Universitas Brawijaya. Malang. Suin NM. 1991. Perbandingan Komunitas Hewan Permukaan Tanah antara Ladang dan Hutan di Bukit Pinang, Pinang, Padang. Universitas Andalas, Padang. Suwantoro AA. 2008, Analisis Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Magelang (Studi Kasus di Kecamatan Sawangan). [Tesis]. PPS Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1582-1585
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m0107
Keanekaragaman semut (Hymenoptera: Formicidae) pada empat tipe ekosistem yang berbeda di Jambi Ants diversity in four different ecosystem type in Jambi NISFI YUNIAR♥, NOOR FARIKHAH HANEDA♥♥ Laboratorium Entomologi, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jl. Ulin, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +6285-776-873228, email:
[email protected];
[email protected]. Manuskrip diterima: 17 Februari 2014. Revisi disetujui: 19 Agustus 2015.
Yuniar N, Haneda NF. 2015. Keanekaragaman semut (Hymenoptera: Formicidae) pada empat tipe ekosistem yang berbeda. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1582-1585. Deforestasi atau perubahan fungsi dari hutan menjadi non-hutan berperan dalam perubahan ekosistem dan spesies di dalamnya. Serangga sebagai salah satu fauna di dalamnya merupakan aspek yang menarik untuk dikaji khususnya semut. Penelitian dilaksanakan di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Teknik pengambilan sampel semut menggunakan pitfall trap di empat ekosistem, yaitu hutan sekunder, perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan hutan karet. Hasil penelitian secara keseluruhan ditemukan sebanyak 5484 individu semut yang termasuk dalam 50 morfospesies, 33 genus dari 6 subfamili yaitu Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, dan Dolichorinae. Ekosistem hutan sekunder merupakan ekosistem yang relatif stabil dengan nilai indeks keragaman H’ = 2.76, indeks kekayaan DMg = 4.96, dan indeks kemerataan E = 0.70. Komunitas semut tergantung pada faktor lingkungan dari masing-masing ekosistem. Kata kunci: Hutan karet, hutan sekunder, kebun karet, komunitas semut, perkebunan kelapa sawit
Yuniar N, Haneda NF. 2015. Ants diversity in four different ecosystem type in Jambi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1582-1585. Deforestation or transformation of forest function to non-forest has been playing a role in the changes of ecosystem and species in it. Insect as one of the living fauna that live in the forest is an interesting aspect to be studied, especially ants. This experiment was conducted in Bungku, Bajubang District, Batanghari Regency, Jambi. Sampling technique using pitfall traps in four ecosystems. The four ecosystems are namely, secondary forest, oil palm plantations, rubber plantations, and jungle rubber. The results found there were 5484 individuals of 50 ant morphospecies, 33 genera of 6 subfamily i.e. Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, and Dolichorinae. Secondary forest is an ecosystem that relatively stable with the value of diversity index H '= 2.76, index of richness DMg = 4.96, and index of evenness E = 0.70. The ant communities depend on environment factor of each ecosystem. Kata kunci: Ant diversity, jungle rubber, oil palm plantation, rubber plantation, secondary forest
PENDAHULUAN Hutan sebagai salah bentuk ekosistem memiliki karakteristik habitat yang berbeda untuk spesies tertentu. Deforestasi atau perubahan fungsi dari hutan menjadi nonhutan juga berperan dalam perubahan ekosistem dan spesies di dalamnya. Serangga sebagai salah satu fauna yang ada, merupakan aspek yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Semut merupakan jenis serangga yang memiliki populasi cukup stabil sepanjang musim dan tahun. Jumlahnya yang banyak dan stabil membuat semut menjadi salah satu koloni serangga yang penting di ekosistem. Oleh karena jumlahnya yang berlimpah, fungsinya yang penting, dan interaksi yang komplek dengan ekosistem yang ditempatinya, semut seringkali digunakan sebagai bio-indikator dalam program penilaian lingkungan, seperti kebakaran hutan, gangguan terhadap vegetasi, penebangan hutan, pertambangan, pembuangan limbah, dan faktor penggunaan lahan (Wang et al. 2000).
Desa Bungku termasuk wilayah Provinsi Jambi terdapat empat ekosistem yang menunjukkan penggunaan lahan yang berbeda. Keempat ekosistem tersebut yaitu hutan karet (Jungle rubber), kebun karet (Rubber plantation), hutan sekunder (Secondary forest), dan perkebunan kelapa sawit (Oil palm plantation). Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang jenis-jenis semut di berbagai tipe penggunaan lahan, menghitung keanekaragaman, kekayaan, kemerataan, dan pola penyebaran jenis semut di berbagai tipe penggunaan lahan, mengetahui pengaruh perbedaan karakteristik lahan terhadap keanekaragaman semut yang ada, dan mengetahui jenis semut yang berpotensi sebagai predator serangga hama. BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilaksanakan di empat tipe ekosistem yaitu hutan karet (Jungle rubber), kebun karet (Rubber
YUNIAR et al. – Keanekaragaman semut pada ekosistem yang berbeda
plantation), hutan sekunder (Secondary forest), dan perkebunan kelapa sawit (Oil palm plantation) yang terletak di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa koleksi semut dari empat ekosistem yang berbeda berasal dari Desa Bungku, Provinsi Jambi yang dikoleksi di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB dan alkohol 70% yang digunakan untuk mengawetkan spesimen selama identifikasi. Cara kerja Penentuan plot pengamatan Setiap ekosistem dibuat sejumlah empat plot yang ditentukan secara purposive sampling. Masing-masing plot dibuat 5 sub plot untuk pemasangan pitfall trap. Pengambilan sampel semut Metode pitfall trap menggunakan gelas plastik berdiameter ± 7 cm dan tinggi ± 10 cm yang ¼ bagiannya diisi dengan alkohol 70% dan cuka makan 1 tetes, sehingga semut yang terperangkap tenggelam dan mati. Satu sub plot dipasang sebanyak 5 trap sehingga diperoleh 100 botol koleksi semut setiap ekosistemnya. Pengambilan sampel semut dilakukan setiap tiga hari sekali selama tiga minggu. Hasil koleksi kemudian diidentifikasi sampai tingkatan genus. Pengukuran faktor lingkungan Pengukuran faktor lingkungan dilakukan dengan mengambil data suhu tanah, pH tanah, suhu udara, kelembaban udara, pengukuran tebal serasah, dan pengukuran kerapatan tajuk di setiap plot. Analisis data Indeks Keanekaragaman Spesies (H’)
Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus: Keterangan: H’= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu setiap spesies N = Jumlah individu seluruh spesies Indeks Kekayaan Jenis (DMg) DMg = Keterangan: DMg= Indeks Kekayaan Jenis Margalef S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah individu seluruh jenis
1583
Indeks Kemerataan Spesies (E)
Keterangan: E = Indeks kemerataan H’= Indeks keanekaragaman spesies S = jumlah spesies Indeks Morisita Id = n Keterangan: Id = Indeks Morisita n = jumlah plot ∑x2 = jumlah kuadrat seluruh spesies untuk setiap plot N = jumlah individu keseluruhan Apabila Id = 1 maka penyebarannya acak, Id > 1 maka penyebarannya mengelompok, dan jika Id < 1 maka penyebarannya teratur atau seragam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan jumlah individu semut di setiap ekosistem Setiap ekosistem yang diamati diperoleh jumlah total individu yang tidak sama. Berdasarkan jumlah individu, kelimpahan semut terbanyak di ekosistem jungle rubber, diikuti secondary forest, oil palm plantation, dan rubber plantation. Jumlah total individu di ekosistem jungle rubber menempati posisi pertama sebanyak 2451 individu (44,70%), sedangkan untuk jumlah morfospesies antara secondary forest dan jungle rubber forest sama yaitu 36 morfospesies (Tabel 1). Ada perbedaan jumlah individu, spesies, dan genus semut dari pengambilan sampel semut pada empat ekosistem yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi keberadaan semut. Faktor tersebut yaitu adanya gangguan. Gangguan yang dimaksud adalah gangguan dari aktifitas manusia. Pernyataan ini sesuai dengan Chung dan Maryati (1996) yang menyatakan bahwa habitat yang terganggu karena kehadiran manusia akan memiliki diversitas semut yang lebih rendah jika dibandingkan dengan habitat yang tidak mengalami gangguan. Kelimpahan semut di ekosistem plantation rubber paling rendah, karena frekuensi pengambilan getah karet oleh pemilik kebun lebih sering dilakukan sehingga aktifitas manusia yang dapat menggangu keberadaan semut menjadi lebih tinggi. Ekosistem oil palm plantation memiliki kelimpahan semut lebih tinggi dibandingkan rubber plantation. Aktifitas manusia di ekosistem oil palm plantation lebih sedikit karena kegiatan perawatan tanaman hanya dilakukan setiap 4-6 bulan sekali, pemangkasan dan pemanenan buah setiap 2 minggu sekali. Selang waktu yang relatif panjang dapat memberi kesempatan kepada komunitas semut yang terganggu untuk memulihkan diri. Aktifitas manusia di ekosistem jungle rubber dan secondary forest tidak terlalu sering sehingga kelimpahan semut masih relatif tinggi.
1584
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1582-1585, Oktober 2015
Tabel 1. Jumlah total individu, morfospesies, dan genus semut yang ditemukan di empat ekosistem yang berbeda di Desa Bungku, Provinsi Jambi Kategori BF BO BR BJ Total Jumlah total 1162 1007 864 2451 5484 individu (21.20%) (18.36%) (15.74%) (44.70%) (100%) Jumlah 36 31 29 36 50 morfospesies Genus 28 24 17 24 33 Sub famili 5 6 6 6 6 Keterangan: BF = secondary forest, BO = oil palm plantation, BR = rubber plantatiot, BJ = jungle rubber.
Tabel 2. Biodiversitas semut pada empat ekosistem yang berbeda di Desa Bungku, Provinsi Jambi Jumlah Indeks Indeks Indeks Ekosistem morfospesies keragaman Kekayaan Kemerataan (S) (H’) (DMg) (E) BF 36 2.76 4.96 0.70 BO 31 2.04 4.34 0.52 BR 29 2.66 4.14 0.68 BJ 36 2.13 4.48 0.54 Keterangan: BF = secondary forest, BO = oil palm plantation, BR = plantation rubber, BJ = jungle rubber.
Tabel 3. Perbandingan faktor lingkungan yang mempengaruhi diversitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda Faktor BF BR BO BJ Strata vegetasi III II I III Spesies II I I I Ketebalan serasah (cm) 5.20 4.15 0.31 5.85 Suhu tanah (°C) 26.8 27.6 27.8 26.1 Suhu udara (°C) 29.0 29.1 30.0 28.0 Kerapatan tajuk (%) 84 78 64 85 ph tanah 4 4 4 5 Kelembaban udara 86.20 85.4 75.00 91.00 Keterangan: BF = secondary forest, BR = plantation rubber, BO = oil palm plantation, BJ = jungle rubber, I = sangat rendah, muda, sangat kecil; II = rendah; III = sedang; IV = tinggi,tua atau luas; V = sangat tinggi (Room 1975)
Keragaman, kekayaan, dan kemerataan semut Keanekaragaman yang diamati dalam penelitian ini adalah indeks keragaman atau index of diversity (H’), indeks kekayaan atau richness (DMg), dan indeks kemerataan atau evenness (E). Nilai indeks keanekaragaman untuk setiap ekosistem disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan data pengamatan terlihat bahwa jumlah morfospesies (S) di ekosistem secondary forest dan jungle rubber forest paling banyak (36 morfospesies) dibandingkan dengan kedua ekosistem lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah morfospesies ada kemungkinan semakin baik pula keanekaragamannya. Parameter jumlah morfospesies saja tidak menjamin kemungkinan tersebut, tetapi apabila dilihat dari indeks keanekaragamannya menunjukkan bahwa di ekosistem secondary forest relatif lebih stabil dibandingkan ketiga
ekosistem lainnya (H’ = 2.76, DMg = 4.96, E = 0.70). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Odum (1998) yang menyatakan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Hasil analisis data untuk indeks kemerataan menunjukkan bahwa ketiga ekosistem tersebut memiliki nilai E berkisar antara 0.52-0.68. Artinya setiap jenis pada ekosistem tersebut memiliki tingkat penyebaran jenis yang hampir merata. Pengaruh karakteristik ekosistem terhadap keberadaan semut Spesies semut memiliki tingkat toleransi yang sempit dan respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Ukuran semut yang kecil dan relatif bergantung pada kondisi temperatur, membuat mereka sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan iklim mikro dalam suatu habitat (Kaspari dan Mejer 2000). Oleh karena itu, dilakukan pengamatan terhadap beberapa faktor fisik atau lingkungan yang kemungkinan berpengaruh terhadap keberadaan semut di setiap ekosistem (Tabel 3). Menurut Andersen (2000) keberadaan semut sangat terkait dengan kondisi habitat dan beberapa faktor pembatas utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu suhu rendah, habitat yang tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber makanan yang terbatas serta daerah jelajah yang kurang mendukung. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diambil pengamatan terhadap strata vegetasi, spesies pohon, ketebalan serasah, suhu tanah, kerapatan tajuk, pH tanah, kelembaban udara. Strata vegatasi meliputi komposisi penyusun suatu ekosistem misalnya pohon, perdu dan semak, serta tumbuhan bawah. Spesies pohon yaitu jenis pohon yang terdapat di setiap ekosistem, apakah hanya tersusun dari satu jenis pohon atau lebih. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap ketersediaan makanan bagi semut. Ekosistem jungle rubber (BJ) memiliki jumlah total individu semut paling banyak yaitu 2451 individu, tetapi untuk keanekaragamannya masih lebih stabil ekosistem secondary forest (BF). Kondisi strata vegatasi antara BJ dan BF sama-sama berada dalam tingkat sedang (III) dominasi pohon karet, perdu dan semak, serta tumbuhan bawah yang cukup padat. Perbedaan yang menyebabkan kondisi tersebut adalah faktor spesies pohon penyusun ekosistem. Pada ekosistem secondary forest, spesies pohon penyusun ekosistem tidak hanya pohon karet (Hevea brasiliensis) tetapi terdapat juga jenis bambu, bulian dan rambutan hutan (Nephelium mutabile). Faktor suhu dan kelembaban udara mikro dalam ekosistem turut mempengaruhi variasi kehidupan semut, karena titik optimum suhu dan kelembaban untuk masingmasing semut pasti berbeda. Data menunjukkan bahwa suhu tanah pada empat ekosistem berkisar antara 26.127.8°C sehingga semut masih banyak dijumpai, sedangkan suhu udara berkisar antara 28.0-30.0°C. Menurut (Riyanto 2007) kisaran suhu 25-32°C merupakan suhu optimal dan toleran bagi aktifitas semut di daerah tropis. Suhu tanah merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah. Suhu tanah akan
YUNIAR et al. – Keanekaragaman semut pada ekosistem yang berbeda
menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Secara tidak langsung terdapat hubungan kepadatan organisme tanah dan suhu, bila dekomposisi material tanah lebih cepat maka vegetasi lebih subur dan mengundang serangga untuk datang. Suhu tanah yang tidak terlalu dingin disukai oleh arthropoda terutama fauna di permukaan tanah (epifauna), sehingga individu semut masih banyak dijumpai pada masing-masing ekosistem. Perbedaan suhu dan kelembaban udara dari masingmasing ekosistem dapat terjadi karena penyinaran matahari yang berbeda. Penyinaran matahari dipengaruhi oleh kerapatan tajuk, berdasarkan data pengamatan semakin tinggi kerapatan tajuk maka kelembaban udara semakin tinggi pula. Kerapatan tajuk di jungle rubber dan secondary forest hampir sama yaitu 85% dan 84%. Selanjutnya diikuti oleh plantation rubber dan oil palm plantation masing-masing 78% dan 64%. Faktor berikutnya yaitu pH tanah, ketiga ekosistem sama-sama memiliki pH sedikit asam yaitu 4 untuk secondary forest, plantation rubber, oil palm plantation dan 5 (netral) untuk jungle rubber. Kondisi pH tanah ini masih toleran untuk semut, artinya semut masih dapat hidup dengan baik pada pH netral dan sedikit asam. Fauna tanah ada yang senang hidup pada pH asam dan ada pula yang senang pada pH basa tergantung pada jenisnya (Rahmawati 2004). Selanjutnya diukur juga ketebalan serasah di setiap ekosistem. Ketebalan serasah berpengaruh terhadap jumlah serasah yang dapat terdekomposisi, semakin tebal serasah maka akan semakin banyak bahan organik yang dihasilkan (Syaufina et al. 2007). Mengingat semut sebagai salah satu jenis arthropoda yang keberadaannya sebagai pendekomposisi bahan organik maka adanya serasah dapat dijadikan sebagai sumber makanan dan mengundang kedatangan semut. Selain itu, serasah yang lebih tebal dapat menciptakan iklim mikro yang sesuai dengan keberadaan semut. Potensi semut sebagai predator serangga hama Hasil identifikasi semut yang dilakukan, telah ditemukan 33 genus semut. Berdasarkan peranannya, akan dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu pencari makan (foragers), predator, dan peran lainnya. Peran lainnya yang dimaksudkan di sini seperti pengumpul jamur, penjaga pintu, harvester, dan scavengers. Berdasarkan temuan genus pada empat ekosistem pengamatan, terdapat 15 genus yang berpotensi sebagai predator. Beberapa diantaranya yaitu dari genus Amblyopone, Centromyrmex, Calomyrmex, Solenopsis, Dolichoderus, Pheidole dan lainlain. Penggunaan semut sebagai predator telah dilakukan penelitian sebelumnya. Penggunaan semut dari jenis Solenopsis sp. sebagai agen pengontrol kepadatan larva Diatraea saccharalis yang merupakan larva pengebor tanaman tebu (Rossi dan Flower
1585
2002). Hal ini didukung pula oleh Depparaba dan Memesah (2005) yang menyatakan bahwa populasi dan serangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat dikurangi dengan musuh alami semut hitam (Dolichoderus sp.). Genus Camponotus sebagai genus dominan dalam penelitian ini, menurut Agosti et al. (2000) mempunyai peran fungsional sebagai general foragers, dan genus Pheidole mempunyai peran sebagai penghancur biji-bijian dan beberapa jenis sebagai omnivora.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Collaborative Research Center yang telah membiayai penelitian ini, dan seluruh pihak yang telah membantu hingga selesainya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR. 2000. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Inst, Amerika Serikat. Andersen AN. 2000. Global ecology of rainforest ants: functional groups in relation to environmental stress and disturbance. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 3. Smithsonian Inst, Amerika Serikat. Chung AY, Maryati M. 1996. A comparative study of the ant fauna in primary and secondary forest in Sabah, Malaysia. In: Edward DS, Booth WE, Choy SC (eds). Tropical Rainforest Research-Current Issues. Kluwer Academic, Dodrecht. Depparaba F, Memesah D. 2005. Populasi dan serangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dan alternatif pengendaliannya. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (1): 88-93. Kaspari M, Majer JD. 2000. Using ants to monitor environmental change. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 7. Smithsonian Inst, Washington DC. Odum EP. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Samingan T (penerj.). Gajahmada Univ Press, Yogyakarta. Rahmawati. 2004. Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit. Universitas Sumatera Utara, Medan. Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10 (2): 241-253. Rossi MN, Fowler HG. 2002. Manifulation of fire ant density, Solenopsis spp, for short-term reduction of Diatraea saccharalis larva densities in Brazil. Scientia Agricola 59 (2): 389-392. Syaufina L, Haneda NF, Buliyansih A. 2007. Keanekaragaman arthropoda tanah di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Media Konservasi 7 (2): 57-66. Wang C, Strazanac J, Butler L. 2000. Abundance, diversity, and activity of ants (Hymenoptera: Formicidae) in oak─dominated mixed appalachian forest treated with microbial pesticides. Environ Ecol 29 (3):579-586.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1586-1590
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010708
Peran tumbuhan liar dalam konservasi keragaman serangga penyerbuk Ordo Hymenoptera The role of wild plants in the conservation of pollinating insects of the Order Hymenoptera IMAM WIDHIONO, EMING SUDIANA Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno no. 68, Purwokerto, Banyumas 53122, Jawa Tengah, Indonesia. Tel. +62-281638794, Fax: +62-281-631700, email:
[email protected],
[email protected] Manuskrip diterima: 19Februari 2015 Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Widhiono I, Sudiana E. 2015. Peran tumbuhan liar dalam konservasi keragaman serangga penyerbuk Ordo Hymenoptera. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1586-1590. Keragaman serangga penyerbuk sangat berhubungan dengan keragaman tumbuhan di alam sebagai sumber pakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran tumbuhan liar sebagai sumber pakan lebah penyerbuk. Penelitian ini dilakukan di lahan bawah tegakan hutan Pinus di lereng utara Gunung Slamet dengan metode survei dengan teknik purposive sampling. Parameter yang diamati adalah jumlah dan jenis lebah yang mengunjungi tumbuhan liar serta jumlah dan jenis tumbuhan liar yang dikunjungi serangga penyerbuk. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada lokasi penelitian ditemukan 42 spesies tumbuhan liar dan 24 diantaranya dikunjungi oleh serangga penyerbuk yang terdiri atas 10 spesies lebah liar yaitu: Ceratina sp, Nomia melanderi, Hyaleus modestus, Megachile realtiva, Xylocopa latipes, Amegilla cingulata, A. romandi, Rhopalidia cingulata, R. Zonata, dan Lasioglosum leucozonium. Delapan spesies tumbuhan liar yang dikunjungi oleh lebih dari satu spesies lebah adalah: Cleome rutidosperma,Borreria laevicaulis, B. elegans, Euphorbia heterophyla, Rubus parviflorus, Salmo cantoniensis, Tridax procumbers, dan Vero cinerea. Tumbuhan liar dengan keragaman (Shannon Index) serangga penyerbuk tertinggi adalah Cleome rutidosperma dengan indek keragaman (H’ = 2.097, E = 0.9047),dan keragaman terendah pada Rubus parviflorus ( H’ = 0.5623, E = 0.8774). Serangga penyerbuk yang paling banyak mengunjungi tumbuhan liar adalah Lasioglossum leucozonium yang mengunjungi 13 spesies tumbuhan liar. Berdasar hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa delapan tumbuhan liar tersebut dapat berperan untuk konservasi keragaman lebah liar. Kata kunci: Konservasi, serangga penyerbuk, tumbuhan liar
Widhiono I, Sudiana E. 2015. The role of wild plants in the conservation of pollinating insects of the Order Hymenoptera. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1586-1590. The diversity of pollinating insects is closely connected with the diversity of wild plants in nature as bee forage. The purpose of this study was to determine the role of wild plants as wild bee forage. This study was conducted in an area under the pine forest stands in northern slopes of Mount Slamet, survey method was done with purposive sampling technique. Parameters measured were the abundance and the species richness of bees visited wild plants as well as the number and species of wild plants visited by insects pollinators. The results showed that at study sites found 42 species of wild plants and 24 are visited by pollinating insects that consists of 10 species of wild bees, namely: Ceratina sp, Nomia melanderi, Hyaleus modestus, Megachile realtiva, Xylocopa latipes, Amegilla cingulata, A. romandi, Rhopalidia cingulata, R. zonata, and Lasioglosum leucozonium. Eight species of wild plant visited by more than one species of bee are: Cleome rutidosperma, Borreria laevicaulis, B. elegans, Euphorbia heterophyla, Rubus parviflorus, Salmo cantoniensis, Tridax procumbers, and Vero cinerea. Wild plants with the highest diversity (Shannon Index) of pollinating insects shows that Cleome rutidosperma has diversity index (H '= 2097, E = 0.9047), and the lowest in the Rubus parviflorus (H' = 0.5623, E = 0.8774). Insect pollinators most visited wild plants is Lasioglossum leucozonium visiting 13 species of wild plants. Based on the results of this study concluded that the eight wild plants that can contribute to the conservation of the diversity of wild bees. Keywords: Conservation, insect pollinators, wild plants
PENDAHULUAN Serangga penyerbuk dikenal karena peranya dalam penyerbukan tumbuhan berbunga, baik tumbuhan liar maupun tanaman pertanian. Peran serangga penyerbuk bagi manusia meliputi peningkatan produksi pertanian dan pelestraian tumbuhan di alam. Beberapa ordo serangga dikenal sebagai serangga penyerbuk yang penting, namun demikian yang paling penting adalah dari kelompok lebah,
baik lebah sosial maupun lebah solitair dari ordo Hymenoptera. Di berbagai negara telah banyak dilaporkan penurunan keragaman dan populasi lebah liar sebagai serangga penyerbuk yang antara lain disebabkan oleh perkembangan system pertanian modern yang mengakibatkan menurunnya keragaman tumbuhan liar sebagai penyedia pakan bagi serangga penyerbuk (Garibaldi et al. 2011). Dampak dari berkurangnya habitat alami atau semi alami yang disebabkan oleh perkembangan
WIDHIONO & SUDIANA – Konservasi serangga penyerbuk
pertanian dalam bentang alam akan menyebabkan penurunan keragaman dan populasi lebah liar penyerbuk (Winfree et al. 2009; Williams et al. 2010). Keragaman dan populasi lebah liar sebagai serangga penyerbuk di alam erat berkaitan dengan keragaman dan populasi tumbuhan penghasil bunga sebagai sumber pakan berupa tepungsari dan nektar. Tumbuhan berbunga yang beragam akan mampu menyediakan sumber pakan pada suatu waktu dan sepanjang tahun karena adanya fenologi pembungaan yang berbeda antar tumbuhan (Blüthgen dan Klein 2011; Kremen dan Miles 2012; Shackelford et al. 2013). Serangga penyerbuk membutuhkan sumber energy untuk jangka waktu yang cukup lama dibanding musim berbunga suatu tumbuhan (Mandelik et al. 2012). Kebutuhan ini dapat dicukupi dialam oleh adanya tumbuhan liar berbunga yang tersedia dihabitat alami atau semi alami (Nicholls dan Altieri 2013).Tumbuhan liar berbunga atau tumbuhan bawah adalah komunitas tumbuhan yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu rendah. Jenis-jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, biannual atau perennial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak, menjalar atau memanjat. Gulma merupakan istilah lain dan termasuk dalam golongan tumbuhan bawah. Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya anggota dari suku-suku Poaceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, paku-pakuan dan lainlain. Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Aththorick 2005). Nilai penting tumbuhan liar atau biasa disebut sebagai gulma pertanian sebagai sumber pakan serangga penyerbuk antara lain karena mempunyai bentuk bunga, jumlah bunga dan waktu pembungaan yang beragam.(Kearns dan Inouye 1997). Keragaman tumbuhan berbunga dengan fenologi pembungaan yang berbeda-beda, merupakan penyedia sumber pakan alternative bagi serangga yang akan meningkatkan stabilitas dan populasi yang sehat untuk serangga penyerbuk (Blüthgen dan Klein 2011; Mandelik et al. 2012). Sehingga keragaman tumbuhan liar di lahan alami atau semi alami di sekitar lahan pertanian akan
1587
meningkatkan keragaman dan populasi serangga penyerbuk yang dibutuhkan pada lahan pertanian (Carvell et al. 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis tumbuhan liar yang dikunjungi lebah liar dan kemungkinannya untuk digunakan sebagai pengkaya lahan pertanian untuk konservasi serangga penyerbuk terutama dari ordo Hymenoptera.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilakukan di desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, atau pada kawasan hutan Pinus dan Damar di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Slamet Timur, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur, pada ketinggian 1000 m dpl -1140 m dpl, pada posisi 70 14´ 21´´,42 LS 1090 17´ 37´´,42 BT.
BAHAN DAN METODE Pengamatan tumbuhan liar berbunga Pengamatan tumbuhan liar berbunga dilakukan pada 7 lokasi sampling yang berbeda. Pada setiap lokasi dibuat 10 petak sample dengan ukuran 5mx5m, letak petak sample ditentukan secara acak, dengan cara pengamatan langsung jenis tumbuhan liar yang ditemukan pada petak sample. Jumlah dan jenis tumbuhan liar dihitung pada setiap petak sample, tumbuhan liar dibatasi hanya pada tumbuhan liar yang berbunga. Pengamatan serangga penyerbuk Pengamatan serangga penyerbuk dibatasi hanya pada serangga dari ordo Hymneoptera, yang melakukan penyerbukan atau mengunjungi bunga tumbuhan liar pada petak sampel. Pengamatan dilakukan mulai jam 6 sampai jam 10 wib. Jumlah spesies dan jumlah individu serangga yang ditemukan dihitung.
Gambar 1. Lokasi penelitian di desa Serang, kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Kotak hijau muda lokasi pengambilan sampel tumbuhan liar dan lebah liar.
1588
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1586-1590, Oktober 2015
Analisis data Analisis kergaman serangga penyerbuk pada setiap tumbuhan liar dihitung dengan menggunakan indeks diversitas Shannon-Wiener, indeks dominansi menggunakan Indeks Simpson, serta menggunakan indeks Fishers (alpha), Kemeratan antar tumbuhan liar dihitung menggunakan indeks Evennes. penghitungan semua indkes menggunakan bantuan program PAST 6. Analisis statistik menggunakan Uji F dengan bantuan program SPSS 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman tumbuhan liar dan serangga penyerbuk Hasil penelitian menunjukan bahwa pada ke 7 lokasi pengambilan sampel ditemukan 42 spesies tumbuhan lair dan 24 spesies diantaranya dikunjungi oleh sekurangkurangnya satu spesies serangga penyerbuk. Sebagian besar tumbuhan tersebut berasala dari familia Asteraceae. Diantara 24 spesies tumuhan liar hanya 8 spesies tumbuhan liar yang dikunjungi lebih dari satu spesies serangga penyerbuk. Pada 24 spesies tumbuhan liar ditemukan 258 individu serangga penyerbuk yang berasal dari 10 spesies dengan populasi serangga penyerbuk yang berbeda (Tabel 1). Berdasarkan jumlah spesies serangga yang berkunjung, didapatkan hasil bahwa tumbuhan C. rutidospermae paling banyak dikunjungi oleh serangga penyerbuk (9 spesies), diikuti berturut-turut oleh B. laevicaulis (8 spesies), T. procumbers (4 spesies), E. heterophyla (3spesies), B. elegans, R. praviflorus, S. cantoniensis dan V. cinera masing-masing dikunjungi oleh 2 spesies serangga penyerbuk (Gambar 1A). Berdasarkan jumlah individu serangga penyerbuk yang berkunjung tumbuhan pada 8 spersies tumbuhan menunjukan bahwa C. rutidospermae paling banyak dikunjungi oleh serangga yaitu sebanyak 39 ekor dan diiukti oleh B. laevicaulis (38 ekor), E. heterophyla (20 ekor), T. procumbers (16 ekor), R paviflorus (12 ekor), B elegans (9 ekor), S. cantoniensis (9 ekor), dan V. cinera (5 ekor) Gambar 1 B. Hasil uji F jumlah serangga penyerbuk pada setiap tumbuhan menunjukan berbeda nyata ( F 13,764> Ft 0,05). Keragaman serangga penyerbuk pada 8 spesies tumbuhan liar menunjukan bahwa indeks keragaman ShannonWienner (H) tertinggi berturut-turut pada tanaman Cleome rutidosperma (H’ = 2.097, E = 0.9047), Borreria laevicaulis (H’ = 1.994, E = 0.9186), Tridax procumbers (H’ = 1.303, E = 0.9203), dan Euphorbia heterophylla (H’ = 1.067, E = 0.969), dan keragaman terendah pada spesies, Rubus parviflorus ( H’ = 0.5623, E = 0.8774) (Tabel 2.). Preferensi serangga penyerbuk pada tumbuhan liar Berdasarkan jumlah tumbuhan liar yang dikunjungi oleh suatu spesies serangga penyerbuk, menunjukan bahwa spesies Lassioglosum malachurum mengunjungi tumbuhan paling banyak yaitu 13 tumbuhan berbunga, diikuti oleh Rophalidia romandi, (8 spesies), R. fasciata (5 sp), Amegilla cingulata (5 spesies), Xylocopa laticeps, (4 spesies) dan spesies serangga dengan jumlah tumbuhan yang dikunjungi paling sedikit adalah Ceratina sp.
(Gambar 3). Pembahasan Penemuan 42 jenis tumbuhan liar pada lokasi sampling merupakan hal yang umum di lahan hutan di Jawa, demikian juga dominasi familia Asteracea yang merupakan gulma darat yang umum pada lahan pertanian dari 42 spesises tumbuhan liar hanya 22 spesies yang dikunjungi serangga penyerbuk serta hanya 8 spesies tumbuhan yang dikunjungi lebih dari satu spesies serangga penyerbuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan peneumuan Erminawati dan Kahono (2009) dalam penenelitiannya di daerah Malang dan Pasuruan menemukan 43 jenis tumbuhan liar dari 22 famili yang dikunjungi oleh serangga penyerbuk, yang terdiri 9 jenis dari famili Asteraceae dan 7 jenis tumbuhan liar famili Fabaceae. Menurut Robson (2014) kebanyakan serangga penyerbuk mengunjungi bunga dari familia Asteraceae, diikuti oleh familia Fabaceae, bunga tumbuhan familia Asteracea, biasanya mempunyai ukuran kecil dan warna kurang atraktif sebagian besar lainnya berwarna kuning, ungu, dan putih yang sangat menarik perhatian banyak jenis-jenis lebah penyerbuk potensial. Serangga penyerbuk tertarik kepada tumbuhan liar yang berbeda bergantung kepada sumber daya yang dibutuhkan oleh serangga, apakah nektar atau serbuk sari (Elle et al. 2012). Menz et al. (2011) menyatakan bawa untuk menyusun habitat bagi serangga penyerbuk maka perlu Tabel 1. Spesies tumbuhan liar dan serangga penyerbuk Juml ah A B C D E F G H I J K Ind. A. conyzoides 7 7 A. houstonianum 13 13 A. spinosus 4 4 A. pintoi 6 6 B. elegans 5 4 9 B. lacera 2 2 B. laevicaulis 6 3 4 2 6 3 4 8 36 C. hirta 4 4 C. rutidosperma 4 3 8 6 2 5 2 3 6 39 C. hirta 3 3 C. crepidioides 2 2 C. difformis 3 3 E. ruderalis 7 7 14 E. heterophylla 9 6 5 20 G. parviflora 8 8 H. auricularia 3 7 10 H. capitata 3 5 8 K. nemoralis 5 5 L. camara 9 9 P. angulata 7 7 14 R. parviflorus 9 3 12 S.cantoniensis 5 4 9 T. procumbens 3 7 3 3 16 V. cinerea 3 2 5 10 22 24 16 23 19 7 14 8 26 89 258 Keterangan: A. Nomia sp., B. Ropalidia fasciata, C. R. romandi, D. Hylaeus modestus, E. H. modestus, F. Amegilla cingulata, G. A. zonata, H. Ceratina sp., I. Philanthus politus, J. Xylocopa laticeps, K. Lasioglossum malachurum Jenis tumbuhan
Spesies serangga polinator
WIDHIONO & SUDIANA – Konservasi serangga penyerbuk
1589
Tabel 2. Parameter keragaman serangga penyerbuk pada delapan spesies tumbuhan liar Parameter diversitas
A
B
C
D
E
F
G
H
Taxa_S 9 8 6 3 2 2 4 2 Individuals 39 36 25 20 12 9 16 5 Dominance_D 0.1335 0.1466 0.184 0.355 0.625 0.5062 0.2969 0.52 Shannon_H 2.097 1.994 1.736 1.067 0.5623 0.687 1.303 0.673 Simpson_1-D 0.8665 0.8534 0.816 0.645 0.375 0.4938 0.7031 0.48 Evenness_e^H/S 0.9047 0.9186 0.9458 0.969 0.8774 0.9938 0.9203 0.9801 Fisher_alpha 3.668 3.189 2.504 0.9788 0.6853 0.7972 1.712 1.235 Keterangan: A. Cleome rutidosperma, B. Borreria laevicaulis, C. B.elegans, D. Euphorbia heterophyla, E. Rubus parviflorus, F. Salmo cantoniensis, G. Tridax procumbers, H. Vero cinerea
Gambar 1. A. Histogram jumlah spesies lebah liar pada tumbuhan liar. B. Histogram jumlah individu lebah liar pada tumbuhan liar.
Gambar 3. Preferensi serangga penyerbuk pada sepuluh tumbuhan liar
ditanam jenis tumbuhan liar yang paling banyak dikunjungi serangga. Pada penelitian ini, terdapat 4 spesies tumbuhan liar yang banyak dikunjungi serangga yaitu: Borreria laevicaulis, Cleome rutidosperma, Euphorbia heterophyla, dan Tridax procumbers,dan yang paling banyak dikunjungi adalah Cleome rutidospermae yang dikunjungi oleh 13 spesies serangga. Banyaknya kunjungan serangga penyerbuk pada tumbuhan ini kemungkinan karena tumbuhan ini mempunyai bunga yang “ actinomorphic” yaitu jenis bunga yang tidak menghalangi serangga untuk mendapatkan nektar (Elle et al. 2012). Tipe bunga tersebut lebih menarik serangga untuk berkunjung dibanding spesies tumbuhan yang mempunyai tabung nektar yang
dalam dan pipih, hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kebanyakan serangga penyerbuk dari ordo Hymenoptera mempunyai alat mulut (probocis) yang pendek (Stang et al. 2006). Penemuan 22 jenis tumbuhan liar yang dikunjungi serangga penyerbuk pada lokasi penelitian di Gunung Slamet sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Korpela et al. (2013) dan Morandin dan Kremen (2013) pada lahan non pertanian. Pada lahan-lahan non pertanian biasanya ditemukan berbagai spesies tumbuhan liar yang memberikan bunga yang dibutuhkan oleh serangga penyerbuk (Kells et al. 2001; Morandin et al. 2007). Diantara tumbuhan liar seringkali terdapat gulma darat bukan asli (Carvalheiro et al. 2011, 2012). Lahan dengan kondisi demikian mampu menyediakan habitat untuk serangga penyerbuk untuk meningkatkan dan menjaga keberlanjutan pupolasinya, terutama pada saat lahan pertanian tidak tersedia bunga. Semakin banyak dan beragamnya tumbuhan liar berbunga pada suatu habitat semi alami disekitar lahan pertanian akan membuat ekosistem yang lebih stabil (Pywell et al. 2005; Winfree dan Kremen 2009). Kondisi demikian akan menghasilkan peningkatan kelimpahan dan keragaman serangga penyerbuk yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian. (Morandin dan Winston 2006; Carvalheiro et al. 2011, 2012; Blaauw dan Isaacs 2014). Pada penelitian ini ditemukan 10 spesies serangga penyerbuk dari ordo Hymenoptera, dengan kelimpahan terbanyak pada Lasioglossum malachurum (Halictidae),
1590
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1586-1590, Oktober 2015
sebanyak 89 indvidu. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Erminawati dan Kahono (2009) yang menemukan 32 jenis serangga dari super familia Apoidea yang berperan sevagai serangga penyerbuk. Spesies serangga penyerbuk Lasioglosum malachurum dengan kelimpahan tertinggi juga banyak ditemukan pada berbagai habitat dan tempat yang berbeda yang banyak terdapat tumbuhan liar berbunga (Morandin et al. 2007; Zink 2013). Terdapat 5 sepesies serangga penyerbuk yang mengunjungi lebih dari satu spesies tumbuhan liar yaitu Lassioglosum malachurum mengunjungi tumbuhan paling banyak yaitu 13 tumbuhan berbunga, diikuti oleh Ropalidia romandi, (8 spesies), R. fasciata (5 sp), Amegilla cingulata (5 spesies), Xylocopa laticeps, (4 spesies). Lasioglossum malachurum mengunjungi 13 tumbuhan liar yang ditemukan. Robson (2014) menemukan Lasioglosum mengunjungi 20 spesies tumbuhan liar di Amerika, sedangkan Polidori et al. (2010) menemukan L. malachurum mengunjungi 27 spesies tumbuhan liar di Mediterania. Pada umumnya jenis-jenis dari ordo Hymenoptera bersifat penyerbuk generalis, menyerbuki lebih dari satu jenis bunga. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tumbuhan liar dapat berperan dalam konservasi 10 spesies serangga penyerbuk dari ordo Hymenoptera di kawasan lereng Gunung Slamet.
DAFTAR PUSTAKA Aththorick T.A. 2005. Kemiripan Komunitas Tumbuhan Bawah pada Beberapa Ekosistem Perkebunan di Kabupaten Labuhan Batu. Komunikasi Penelitian 17:42-48. Blaauw BR, Isaacs R. 2014. Flower plantings increase wild bee abundance and the pollination services provided to a pollination dependent crop. J Appl Ecol 51: 890-898. Blüthgen N, Klein AM. 2011. Functional complementarity and specialisation: the role of biodiversity in plant-pollinator interactions. Basic Appl Ecol 12: 282-91. Carvalheiro LG, Seymour CL, Nicolson SW, Veldtman R.2012. Creating patches of native flowers facilitates crop pollination in large agricultural fields: mango as a case study. J Appl Ecol 49: 1373-1383. Carvalheiro LG, Veldtman R, Shenkute AG, et al. 2011. Natural and within-farmland biodiversity enhances crop productivity. Ecol Lett 14: 251-259 Carvell C, Meek WR, Pywell RF, Goulson D, Nowakowski M. 2007. Comparing the efficacy of agri-environment schemes to enhance bumble bee abundance and diversity on arable field margins. J App Ecol 44: 29-40 Elle E, Elwell SL, Gielens GA. 2012. The use of pollination networks in conservation 11. This article is part of a Special Issue entitled
“Pollination biology research in Canada: Perspectives on a mutualism at different scales”. Botany 90: 525-534 Erminawati, Kahono,S.2009. Pernanan tumbuhan liar dalam konservasi serangga penyerbuk ordo hymneoptera. J Tek Ling 10 (2): 195-203. Garibaldi LA, Steffan-Dewenter I, Kremen C. 2011. Stability of pollination services decreases with isolation from natural areas despite honey bee visits. Ecol Lett 14: 1062-1072 Korpela EL, Hyvönen T, Lindgren S, Kuussaari M. 2013. Can pollination services, species diversity and conservation be simultaneously promoted by sown wildflower strips on farmland? Agric Ecos Environ 179:18-24. Kearns CA, Inouye DW. 1997. Pollinators, flowering plants and conservation biology: Much remains to learned about pollinators and plant. BioScience 97 (5): 297-305 Kremen C, Miles A. 2012. Ecosystem services in biologically diversified versus conventional farming systems: benefits, externalities, and trade-offs. Ecol Soc 17: 40. Mandelik Y, Winfree R, Neeson T, Kremen C. 2012. Complementary habitat use by wild bees in agro-natural landscapes. Ecol Appl 22: 1535-1546. Menz MHM, Phillips RD, Winfree R. 2011. Reconnecting plants and pollinators: challenges in the restoration of pollination mutualisms. Trends Plant Sci 16: 4-12. Morandin LA, Kremen C. 2013. Hedgerow restoration promotes pollinator populations and exports native bees to adjacent fields. Ecol Appl 23: 829-839. Morandin LA and Winston ML. 2005. Wild bee abundance and seed production in conventional, organic, and genetically modified canola. Ecol Appl 15: 871-881 Nicholls CI, Altieri MA. 2013. Plant biodiversity enhances bees and other insect pollinators in agroecosystems. A review. Agron Sustain Dev 33: 257-274 Polidori C, Rubichi A, Valeria Barbieri V, Trombino L,Donegana M. 2010. Floral Resources and Nesting Requirements of the GroundNesting Social Bee, Lasioglossummalachurum(Hymenoptera: Halictidae), in a Mediterranean Semiagricultural Landscape Psyche Volume 2010, Article ID 851947, 11 pages. Pywell RF, Warman EA, Carvell C, Sparks TH, Dicks LV, Bennett D, Wright A, Critchley CNR, Sherwood A. 2005. Providing foraging resources for bumblebees in intensively farmed landscapes. Biol Conserv 121: 479-494. Robson DB. 2014. Identification of plant species for crop pollinator habitat enhancement in the northern prairies. J Pollin Ecol 14 (21): 218-234. Shackelford G, Steward PR, Benton TG. 2013. Comparison of pollinators and natural enemies: a meta-analysis of landscape. Camb Philos 88: 1002-1021 Stang M, Klinkhamer PG, Van Der Meijden E. 2006. Size constraints and flower abundance determine the number of interactions in a plantflower visitor web. Oikos 112: 111-121. Williams NM, Crone EE, Roulston TH. 2010. Ecological and life-history traits predict bee species responses to environmental disturbances. Biol Conserv 143: 2280-2291. Winfree R, Aguilar R, Vázquez DP. 2009. A meta-analysis of bees’responses to anthropogenic disturbance. Ecology 90: 2068-2076. Zink L. 2013. Concurrent effects of landscape context and managed pollinators on wild bee communities and canola (Brassica napus L.) pollen deposition. [Dissertation]. University of Calgary, Calgary, Alberta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1591-1599
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010709
Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat Secondary succession on disturbed forest area ex illegal cultivation in Mount Ciremai National Park, West Java HENDRA GUNAWAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234; 7520067. Fax. +62-251 8638111. email:
[email protected] Manuskrip diterima: 14 Mei 2015. Revisi disetujui: 13 Juli 2015.
Gunawan H. 2015. Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1591-1599. Taman Nasional Gunung Ciremai ditetapkan pada tahun 2004 dengan luas ±14,390 Ha. Kawasan konservasi ini merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah (200-1000 m dpl), hutan hujan pegunungan (1000-2400 mdpl) dan hutan sub alpin (>2400 m dpl). Sebelum ditetapkan sebagai, taman nasional, kawasan Gunung Ciremai merupakan hutan lindung dan hutan produksi yang sudah mengalami perambahan yang masif oleh masyarakat di sekitarnya. Sekitar 7,222 Ha (50,19%) kawasan hutan TNGC telah digarap oleh masyarakat untuk budidaya tanaman pangan, khususnya sayur mayur. Perambahan ini menyebabkan degradasi keanekaragaman hayati flora dan fauna. Perambahan juga mengancam fungsi hidrologi karena sekitar 4206.57 Ha atau 58,25% dari luas perambahan berada pada lereng-lereng curam dan sangat curam dengan kemiringan lebih dari 25%. Oleh karena itu pada Tahun 2010/2011 pengelola TNGC bekerjasama dengan pemerintah daerah melakukan evakuasi perambah keluar dari kawasan TNGC. Sekitar satu tahun setelah ditinggalkan oleh perambah, terjadi suksesi sekunder melalui rekolonisasi oleh hutan-hutan utuh di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui hasil suksesi sekunder pada areal terdegradasi pasca ditinggalkan perambah. Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi jalur berpetak pada empat lokasi contoh (Cigugur, Batu Kancah, Cipari dan Seda). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di areal bekas perambahan telah terjadi suksesi sekunder melalui rekoloniasai oleh hutan-hutan utuh di dekatnya. Hal ini diindikasikan oleh hadirnya berbagai jenis anakan pohon asli seperti Quercus sundaica., Castanopsis argentea, Trema orientale, Mallotus ricinoides, Villebrunea rubescens, Melochia umbellata, Dillenia obovata, Ficus spp., Schefflera aromatica, Arthocarpus elasticus, Macaranga gigantea, Antidesma bunius, Cryptocarya densiflora, Sterculia campanulata, Crypteronia paniculata, Alstonia scholaris, Phyllanthus emblica dan Dracontomelon mangiferum. Dari empat plot pengamatan suksesi alam menunjukkan indeks keanekaragaman jenis anakan yang bervariasi yaitu di Cigugur 2,45, Batu Kancah 1,92, Cipari 2,78 dan Seda 0,69. Indeks kemerataan jenis (evenness) anakan pohon di Cigugur 0,63, Batu Kancah 0,54, Cipari 0,89 dan Seda 0,31. Kata kunci: suksesi, kolonisasi, perambahan, hutan pegunungan.
Gunawan H. 2015. Secondary succession on disturbed forest area ex illegal cultivation in Mount Ciremai National Park, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1591-1599. Mount Ciremai National Park (TNGC) was established in 2004 on an area of ±14,390 hectares forest area. This conservation forest represents three types of ecosystems namely lowland rain forest (200-1000 m asl), mountane rain forest (1000-2400 m asl) and sub alpine forest (>2.400 m asl). Before being declared a national park, the area of Mount Ciremai consisted of protectedn forest and productive forest which had experienced massive encroachment by surrounding communities. Around 7,222 hectares (50,19%) of TNGC forest area had been cultivated for food crops, particularly vegetables. This encroachment and had degraded the biological diversity of the flora and fauna. The hydrology had also been degraded, because approximately 4206.57 hectares or 58,25% of the area of encroahment were on steep slope to very steep inclines with slope of more than 25%. Therefore, in the 2010/2011 TNGC with the cooperation with local government terminated all cultivation activities inside the national park. About one year after abandonmentleft of the cultivation activity, secondary succession began on the land via colonization from intact forest in the vicinity. Our research in the park had the objective of studying the succession process on four types of the degraded area. The method employed a vegetation analysis of transect taken from four sampling locations (Cigugur, Batu Kancah, Cipari and Seda). The results showed that in the area of former encroachment secondary succession had occurred by recolonization from nearby forest stands as indicated by the presence of tree seedlings of such speciers as Quercus sundaica., Castanopsis argentea, Trema orientale, Mallotus ricinoides, Villebrunea rubescens, Melochia umbellata, Dillenia obovata, Ficus spp., Schefflera aromatica, Arthocarpus elasticus, Macaranga gigantea, Antidesma bunius, Cryptocarya densiflora, Sterculia campanulata, Crypteronia paniculata, Alstonia scholaris, Phyllanthus emblica dan Dracontomelon mangiferum. The species diversity index from four sampled locations varied; 2.45 at Cigugur, 1.92 at Batu Kancah, 2.78 at Cipari and 0.69 at Seda. The evenness index was 0.63 at at Cigugur, 0.54 at Batu Kancah, 0.89 at Cipari and 0.31 at Seda. Keywords: succession, colonization, encroachment, mountane forest.
1592
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1591-1599, Oktober 2015
PENDAHULUAN Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004, tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas 15.500 ha. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, Gunung Ciremai merupakan kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola dengan pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) (Gunawan dan Subiandono 2014). Pasca gerakan reformasi tahun 1999, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) mengalami perambahan hebat hingga mencapai 7,222.05 Ha atau separuh 50.19% (Gunawan dan Subiandono 2014). Sebelumnya sudah ada penggarapan kawasan hutan dengan Pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) tetapi sudah tidak lagi mengikuti aturan proporsi tanaman, yaitu 60% pohon hutan dan 40% tanaman budidaya (Gunawan dan Mukhtar 2012). Meskipun sejak ditetapkan sebagai taman nasional tahun 2004, seharusnya tidak ada lagi penggarapan lahan, namun kenyataannya justru perambahan semakin meningkat dan mengabaikan aturan yang telah disepakati. Akibatnya, sebagian ekosistem hutan TNGC mengalami degradasi yang mengakibatkan menurunnya fungsi-fungsi ekosistem seperti fungsi ekologi, hidrologi dan sosial ekonomi (Gunawan dan Subiandono 2014). Bahkan di beberapa lokasi areal yang digarap tidak menyisakan pohon-pohon hutan karena dianggap menghalangi cahaya matahari atau mengurangi ruang tanam (Gunawan et al. 2006). Penggarapan kawasan hutan untuk budidaya pertanian intensif seperti sayur-mayur dengan menghilangkan vegetasi hutan telah menyebabkan degradasi ekosistem hutan yang berdampak pada menurunnya fungsi-fungsi ekologis dan hidrologis dan konservasi tanah (Gunawan et al. 2011). Hal demikian bila dibiarkan akan menimbulkan kerugian, mengingat Gunung Ciremai merupakan sumber air bagi wilayah Kuningan, Cirebon dan Majalengkan (Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan. 2004). Oleh karena itu, perlu diambil langkah evakuasi penggarap dan pemulihan ekosistem melalui program restorasi. Sejak tahun 2010/2011 pengelola TNGC bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan mengevakuasi para penggarap keluar dari kawasan hutan Gunung Ciremai dan melaksanakan program restorasi ekosistem kawasankawasan yang telah terdegradasi akibat penggarapan tersebut. Pasca turunnya para penggarap, lahan-lahan terdegradasi diberi tiga macam perlakuan yaitu pertama dibiarkan pulih melalui suksesi alam tanpa campur tangan manusia, kedua suksesi alam yang dibantu dengan pengkayaan dan pemeliharaan tanaman dan ketiga penanaman secara total (100%) lahan yang terdegradasi (Gunawan et al. 2011; Gunawan 2014). Ekosistem alami memiliki daya lenting atau resilience, yaitu kemampuan untuk bertahan dan memulihkan diri ketika mengalami gangguan hingga kembali ke dalam kondisi keseimbangan (Gunderson 2000). Karena kawasan Gunung Ciremai yang terdegradasi hanya sebagian dan masih memiliki hutan utuh sebagai sumber kolonisasi maka suksesi yang terjadi adalah suksesi sekunder. Suksesi
sekunder adalah serangkain perubahan komunitas yang terjadi pada areal yang sebelumnya bervegetasi tetapi mengalami gangguan atau kerusakan, misalnya setelah penebangan, land clearing, atau kebakaran (Offwell Woodland and Wildlife Trust 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemulihan lahan-lahan terdegradasi di Gunung Ciremai melalui suksesi alam sekunder. Informasi ini diharapkan bermanfaat bagi pengelola TNGC dalam rangka pemulihan ekosistem terdegradasi melalui program restorasi.
BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2011 di Taman Nasional Gunung Ciremai yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Plot-plot penelitian dibuat di empat lokasi sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Alat dan bahan Alat yang digunakan antara lain GPS, kamera foto, meteran, tali plastik, gunting stek dan alat tulis. Bahan yang diteliti adalah vegetasi di dalam plot-plot pengamatan. Bahan yang digunakan antara lain tallysheet dan bahan pembuatan herbarium (alkohol 70%, koran bekas dan plastik) serta peta kerja. Metode Analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak dilakukan pada empat lokasi pengamatan. Petak-petak pengamatan berbentuk bujur sangkar diletakkan di sepanjang jalur pengamatan dengan arah memotong lereng (Soerianegara dan Indrawan 1980; Kusmana 1997). Parameter yang diamati adalah jumlah spesies, kerapatan relatif, frekuensi relatif, indeks keanekaragaman jenis (diversity index) dan indeks kemerataan jenis (evenness index). Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan rumus dari Shannon (H’) yaitu (Magurran 1988). H ' pi log pi dimana pi ni N
pi adalah perbandingan antara jumlah individu spesies ke i dengan jumlah total individu. Logaritma yang digunakan adalah logaritma dasar 10 atau e. Rumus ini dapat diubah menjadi (Soegianto 1994): H '
N log N ni log ni N
Untuk mengetahui struktur komunitas satwa mangsa dalam setiap tipe habitat maka dihitung nilai keseragaman antar jenis atau indeks evenness (E) Shannon dengan rumus sebagai berikut (Odum 1994): e
H' ln S
Dimana, S adalah banyaknya jenis pada suatu tipe habitat.
GUNAWAN – Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan
1593
Tabel 1. Lokasi pengamatan suksesi alam di Taman Nasional Gunung Ciremai Lokasi pengamatan Blok Cigugur Blok Seda Blok Cipari Blok Batu Kancah
Seksi Wilayah TNGC Kuningan Kuningan Kuningan Majalengka
Ketinggian (m dpl.) 1.200 600 900 1.100
Kondisi sebelumnya Tanaman sayur pada lahan berlereng Tanaman keras dan palawija Tanaman keras, dan palawija Bekas kebakaran
Luas plot pengamatan (ha) 1.6 1.6 1.6 1.6
Tabel 2. Potensi pohon induk sumber kolonisasi di hutan yang berbatasan dengan bekas lahan yang digarap masarakat Lokasi pengamatan Blok Cigugur Blok Seda Blok Cipari Blok Batu Kancah
Elevasi (m dpl.)
Jumlah spesies pohon induk potensial sumber kolonisasi
Kerapatan pohon per hektar
22 19 53 19
74 192 128 213
1.200 600 900 1.100
Indeks keanekaragaman jenis (H) 1,46 1,11 2,95 0,22
Indeks kemerataan jenis (E) 0,53 0,46 0,89 0,20
Tabel 3. Spesies pohon yang anakannya ditemukan di areal terdegradasi bekas penggarapan Famili Anacardiaceae
Nama latin
Dracontomelon mangiferum Bl. Mangifera foetida Lour. Apocynaceae Alstonia scholaris R.Br. Araliaceae Schefflera aromatica (Blume) Harms. Cannabaceae Trema orientalis (L.) Blume Crypteroniaceae Crypteronia paniculata Blume. Dilleniaceae Dillenia obovata Hoggl. Euphorbiaceae Bridelia glauca BL. Homalanthus populneus O.K. Macaranga gigantea (Reichb.f & Zoll) Muell.Arg. Mallotus ricinoides Muell.Arg. Fabaceae Acacia decurrens Wild. Archidendron pauciflorum (Benth) I.C.Nielsen Calliandra calothyrsus Meissn. Fagaceae Castanopsis argentea (Bl.) DC. Quercus sundaica Bl. Gnetaceae Gnetum gnemon L., Var Lauraceae Actinodaphn procera Ness. Cryptocarya densiflora Bl. Persea americana Mill. Magnoliaceae Magnolia blumei Prantl. Malvaceae Hibiscus macropyllus Roxb Melochia umbellata (Houtt.) Stapf. Meliaceae Dysoxylum amooroides Miq. Swietenia mahagoni Jacq. Toona sureni (Blume) Merr. Moraceeae Arthocarpus elasticus Reinw. Ficus fistulosa Reinw. Ficus toxicaria Linn. Ficus variegata Blume Myrtaceae Acmena acuminatissima (Blume) Merr. & L.M. Perry Eugenia cuprea K.et.V Phyllanrhaceae Antidesma bunius (L.) Spreng Antidesma montanum Bl. Antidesma tetrandrum Bl. Phyllanthus emblica L. Rubiaceae Coffea robusta L. Linden Sterculiaceae Sterculia campanulata Wall. Ex Mast. Urticaceae Laportea ardens (Blume) J.J.Sm. Villebrunea rubescens Bl. Keterangan: * Jenis yang diintroduksi ke Gunung Ciremai.
Nama lokal Dahu Limus Pulai Mareme Kurai Ki Banen Sempur Ki Hoe Karembi Parengpeng Mara Akasia* Jengkol Kaliandra* Berangan Pasang Melinjo* Huru Ki Teja Alpukat* Manglid Tisuk Bintinu Kadoya Mahoni* Suren* Benda Benying Hamerang Gondang Petag Salam Huni Ki Hu'ut Ki Seur Malaka Kopi* Hantap Pulus Nangsi
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1591-1599, Oktober 2015
1594
Tabel 4. Jumlah jenis pohon potensial pengkoloni dan jumah aktual anakan pohon yang telah mengkoloni areal terdegradasi bekas penggarapan di empat lokasi pengamatan Lokasi Cigugur Seda Cipari Batu Kancah
Elevasi (m dpl) 1.200 600 900 1.100
Jumlah spesies pohon induk potensial sumber kolonisasi 22 19 53 19
HASIL DAN PEMBAHASAN Hutan sumber kolonisasi Kawasan hutan terdegradasi bekas penggarapan umumnya berada di pinggir-pinggir kawasan taman nasional dan masih dalam satu hamparan dengan hutanhutan yang masih utuh di atasnya. Kawasan hutan yang digarap berada pada kisaran elevasi 600 m dpl sampai dengan 1.200 m dpl. Hal ini menurut Gunawan (2007) disebabkan pada kisaran ketinggian tersebut areanya relatif mudah diakses karena topografinya ringan dan lokasinya dekat dengan pemukiman. Di atas elevasi tersebut umumnya masih ada hutan yang tidak digarap yang bisa menjadi sumber kolonisasi. Di sisi lain, kawasan hutan TNGC yang digarap juga berbatasan dengan lahan-lahan milik penduduk yang juga bisa menjadi sumber kolonisasi bagi kawasan yang terdegradasi di dekatnya. Di sekitar kawasan yang terdegradasi dilakukan inventarisasi terhadap hutan-hutan yang berbatasan langsung dengan lahan yang digarap untuk mengetahui jenis-jenis pohon yang potensial menjadi sumber kolonisasi atau pohon induk bagi pengkoloni kawasan yang terdegradasi. Hutan-hutan ini umumnya juga sudah mengalami kerusakan atau sudah menjadi hutan sekunder sehingga kekayaan dan keanekaragaman jenisnya relatif rendah. Pada Tabel 2 disajikan jenis-jenis pohon hutan yang potensial menjadi pengkoloni lahan bekas penggarapan. Dari Tabel 2 tampak bahwa umumnya hutan sumber kolonisasi terdekat ini memiliki kekayaan jenis yang relatif rendah dan indeks keanekaragaman jenisnya juga rendah. Hal ini disebabkan hutan ini pernah terganggu, baik oleh penebangan maupun oleh kebakaran. Meskipun demikian, hutan-hutan tersebut masih potensial menjadi sumber kolonisasi pada suksesi sekunder lahan-lahan bekas penggarapan masyarakat yang ditinggalkan. Hal demikian juga dibenarkan oleh hasil penelitian Gunawan (2007) yang menyatakan bahwa vegetaasi hutan pinggiran umumnya masih baik dan terdiri atas hutan alam dan hutan tanaman. Jenis-jenis pionir pengkoloni lahan bekas penggarapan Dari empat lokasi pengamatan ditemukan 40 spesies anakan pohon dari 20 famili yang mengkoloni areal bekas penggarapan yang telah satu tahun ditinggalkan penggarapnya (Tabel 3). Dari 40 spesies anakan pohon tersebut, tujuh spesies diantaranya merupakan spesies yang diintroduksi ke kawasan Gunung Ciremai yaitu akasia (Acacia decurrens Wild.), kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn.), kopi (Coffea robusta L. Linden), melinjo (Gnetum gnemon L. Var.), alpukat (Persea
Jumlah spesies pengkoloni 8 7 21 7
Persentase (%) 36.4 36.8 39.6 36.8
Keterangan 2 spesies diintroduksi 4 spesies diintroduksi 3 spesies diintroduksi Tidak ada spesies introduksi
americana Mill.), mahoni (Swietenia mahogani Jacq.) dan suren (Toona sureni (Bl.) Merr.). Keempat puluh jenis anakan pohon pengkoloni tersebar di empat lokasi pengamatan sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4 disajikan potensi jenis pohon pengkoloni dan jumlah aktual pengkoloni yang ditemukan di areal terdegradasi bekas garapan yang telah setahun ditinggalkan penggarapnya. Rata-rata di empat lokasi pengamatan ditemukan spesies pengkoloni sekitar 36-40% dari jumlah spesies pohon induk di dekatnya. Fawnia et al (2004) menemukan 29-28 jenis di lahan bekas perladangan berpindah di kawasan Baduy. Jumlah ini adalah 27-53% dari 109 jenis pohon di hutan Leuweung Kolot yang dapat dianggap sebagai sumber kolonisasinya. Sementara Saharjo dan Gago (2011) yang meneliti suksesi pada lahan pasca kebakaran hanya menemukan 25% jenis anakan pohon yang sama dengan hutan alami yang tidak terbakar Blok Cigugur, Kuningan Blok Cigugur terletak di ketinggian 1.200 m dpl dan jauh dari pemukiman dan kebun masyarakat. Di plot pengamatan Blok Cigugur (Kuningan) ditemukan delapan spesies anakan yang tumbuh di antara semak belukar yang mulai mengkoloni areal bekas penggarapan yang ditinggalkan. Dari delapan spesies tersebut dua diantaranya merupakan spesies eksotis yang diintroduksi ke kawasan Ciremai yaitu akasia (Acacia decurrens Wild.) dan kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn.). Kedua jenis tersebut merupakan jenis yang bersifat invasive dan dengan mudah menyebar ke segala penjuru karena bijinya yang kecil dan ringan sehingga mudah diterbangkan angin. Meskipun demikian, kedua jenis tersebut tidak termasuk yang dominan dan tidak (belum) menginvasi. Hal ini diduga karena biji-biji kedua jenis tersebut tidak dapat berkecambah dan berkembang pada habitat yang telah rapat ditumbuhi semak belukar, tetapi hanya dapat berkembang pesat pada areal yang terbuka. Sebaliknya, lebatnya semak belukar yang tumbuh di areal bekas penggarapan memungkinkan tumbuhnya spesies-spesies asli yang membutuhkan naungan seperti berangan (Castanopsis argentea (Bl.) DC.) dan pasang (Quercus sundaica Bl.). Jenis-jenis asli lainnya yang tumbuh di areal terbuka adalah hamerang (Ficus toxicaria Linn.), benying (Ficus fistulosa Reinw.), bintinu (Melochia umbellata (Houtt.) Stapf.) dan pulus (Laportea ardens Bl.) Blok Seda, Kuningan Blok Seda terletak pada ketinggian 600 m dpl dan berada di dekat pemukiman masyarakat. Kawasan hutan
GUNAWAN – Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan
yang digarap masyarakat di Blok Seda berbatasan langsung dengan kebun masyarakat yang antara lain ditanami kopi (Coffea robusta L. Linden), melinjo (Gnetum gnemon L., Var ) dan alpukat (Persea americana Mill.). Akibatnya, di lahan bekas garapan ditemukan anakan ketiga jenis pohon tersebut. Biji-biji kopi diduga disebarkan oleh musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), karena ditemukan banyak feces satwa tersebut di daerah ini. Demikian juga mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) yang diintroduksi sebagai tanaman hutan produksi, anakannya ditemukan di daerah ini dan diduga bijinya yang bersayap diterbangkan angin setelah terlempar dari buahnya yang pecah ketika sudah masak. Anakan pohon asli yang ditemukan hanya tiga spesies yaitu mara (Mallotus ricinoides Muell.Arg.), huru (Actinodaphn procera Ness.) dan hantap (Sterculia campanulata Wall. Ex Mast.). Blok Cipari, Kuningan Blok Cipari terletak pada ketinggian 900 m dpl dan berada dekat dengan hutan sumber kolonisasi. Pada plot pengamatan di Blok Cipari ditemukan 21 jenis anakan pohon yang telah mengkolonisasi areal bekas penggarapan. Tiga spesies eksotis introduksi juga ditemukan yaitu kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn.), kopi (Coffea robusta L. Linden) dan suren (Toona sureni (Bl.) Merr.). Kaliandra termasuk jenis yang bersifat invasive dan telah banyak menginvasi areal terdegradasi di tepi-tepi hutan. Sementara suren merupakan tanaman Perum Perhutani untuk program rehabilitasi dan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Jenis-jenis pohon pionir yang telah menguasai areal terdegradasi di daerah ini antara lain ki hoe (Bridelia glauca BL.), parengpeng (Macaranga gigantea (Reichb.f & Zoll) Mull.Arg.), benda (Arthocarpus elasticus Reinw.), malaka (Phyllanthus emblica L.) dan mareme (Schefflera aromatica (Blume) Harms.). Jenis-jenis pohon yang biasa ditemukan di hutan klimaks juga ditemukan anakannya di antara semak belukar yang menutupi areal terdegradasi. Jenis-jenis anakan pohon yang tumbuh di areal bekas penggarapan di Blok Cipari disajikan pada Tabel 7. Blok Batu Kancah, Majalengka Blok Batu Kancah berada pada ketinggian 1.100 m dpl dan jauh dari pemukiman masyarakat. Lahan-lahan bekas garapan yang ditinggalkan juga jauh dari kebun masyarakat, sehingga di areal ini tidak ditemukan pengkoloni dari lahan budidaya. Jenis-jenis anakan pohon yang ditemukan di plot pengamatan di Batu Kancah merupakan jenis-jenis pionir yang umunya banyak mengkolonisasi lahan-lahan terbuka seperti tisuk (Hibiscus macropyllus Roxb.), karembi (Homalanthus populneus O.K.), mara (Mallotus ricinoides Muell.Arg.), nangsi (Villebrunea rubescens Bl.) dan kurai (Trema orientalis (L.) Blume). Saharjo dan Gago (2011) juga mendapatkan banyak jenis pionir pada suksesi lahan terdegradasai pasca kebakaran. Mukhtar dan Heriyanto (2012) juga menemukan jenis-jenis pionir pada suksesi sekunder pasca penambangan batubara, antara lain Macaranga triloba, Mallotus paniculatus dan kaliandra Caliandra sp.
1595
Struktur, komposisi dan keanekaragaman pada suksesi sekunder Secara umum dari empat lokasi pengamatan, struktur horisonal jenis-jenis anakan pengkoloni areal terdegradasi bekas penggarapan digambarkan oleh kerapatan relatifnya yang ditunjukkan secara grafis pada Gambar 1. Kerapatan menunjukkan kesesuaian tempat bagi jenis yang memiliki nilai kerapatan tinggi. Dalam Gambar 1 tampak bahwa tiga jenis anakan pohon yang memiliki kerapatan relatif tertinggi merupakan jenis introduksi yaitu Kopi dan Kaliandra yang memiliki kerapatan tertinggi. Sedangkan jenis asli yang memiliki kerapatan relatif tertinggi kedua adalah Salam. Dari 10 jenis anakan dengan kerapatan relatif tertinggi, empat diantaranya merupakan jenis asing yang diintroduksi yaitu alpukat, melinjo, kaliandra dan kopi. Nilai frekuensi relatif menunjukan sifat kesesuaian jenis terhadap tempat tumbuh, artinya jenis-jenis dengan nilai frekuensi relatif tinggi memiliki kesesuaian yang relatif lebih tinggi dibanding jenis dengan nilai frekuensi yang lebih rendah. Hal ini juga bisa dibaca sebagai kemampuan beradaptasi suatu jenis terhadap berbagai jenis tempat tumbuh. Pada Gambar 2 tampak bahwa jenis introduksi masih mendominasi lahan terdegradasi bekas penggarapan, yaitu kopi dan kaliandra dengan nilai frekuensi relatif tertinggi pertama dan kedua. Dari 10 jenis dengan nilai frekuensi tertinggi, hanya tiga jenis yang merupakan introduksi yaitu kopi, kaliandra dan melinjo. Secara umum nilai penting jenis-jenis pengkoloni dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan kepentingan setiap jenis di lokasi tersebut. Jenis dengan nilai penting tinggi menandakan bahwa areal dimana jenis itu ditemukan penting bagi jenis tersebut. Nilai ini juga dapat menggambarkan penguasaan lahan oleh suatu jenis. Tiga jenis paling menguasaai areal bekas penggarapan adalah kopi, salam dan kaliandra. Dari 40 jenis pohon yang ditemukan pada suksesi sekunder ekosistem terganggu oleh penggarapan, sebagian besar (68%) merupakan jenis pohon memiliki sifat intoleran terhadap naungan atau menyukai lahan terbuka sehingga menjadi pionir atau pendahulu dalam proses suksesi ekosistem yang terganggu (Gambar 4). Pada awal sukses memang umumnya lahan-lahan terganggu dikuasai oleh jenis-jenis pionir. Kehadiran jenis-jenis pionir ini diduga bermanfaat menciptakan iklim mikro yang memungkinkan jenis-jenis toleran (jenis klimaks) untuk tumbuh pada tahap berikutnya. Berdasarkan asal distribusi alaminya, sebagian besar (82%) dari 40 jenis anakan alam yang ditemukan pada suksesi sekunder merupakan jenis asli atau jenis lokal Gunung Ciremai (Gambar 5). Saharjo dan Gago (2011) juga menemukan jenis-jenis pionir di lahan pasca kebakaran yang berbeda dari hutan alaminya yang tidak terbakar. Dari delapan jenis anakan pohon yang ditemukan, tiga jenis (25%) diantaranya berasal dari hutan alami yang tidak terbakar dan lima jenis bukan berasal dari hutan alaminya. Sekitar 18% anakan pada suksesi sekunder merupakan jenis yang diintroduksi ke Gunung Ciremai sejak puluhan tahun yang lalu. Bahkan melinjo sudah dibudidayakan masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai sejak
1596
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1591-1599, Oktober 2015
puluhan tahun yang lalu dan menjadi salah satu komoditas ekonomi yang diusahakan oleh masyarakat setempat untuk pembuatan emping. Demikian juga kopi, sudah puluhan tahun diusahakan oleh masyarkat setempat. Sementara pohon-pohon kayu yang diintroduksi antara lain adalah mahoni dan suren yang diusahakan oleh Perum Perhutani. Sementara kaliandra merupakan tanaman penyangga di tepi-tepi kawasan hutan untuk menyediakan kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat sekitar. Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kemerataan jenis tumbuhan bawah dan anakan dari areal suksesi sekunder di empat lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 9. Indeks keanekaragaman jenis vegetasi, umumnya masih
rendah sampai sedang. Hal demikian juga ditemukan oleh Fawnia et al. (2004) di areal bekas perladangan suku Baduy, yaitu berkisar antara 0.95 sampai 1.3. Indeks keragaman jenis tumbuhan bawah dan anakan tertinggi terdapat pada blok Cipari. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah terendah terdapat di Seda. Hal ini dikarenakan blok Seda merupakan bekas lokasi PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang intensif. Dalam hal ini tumbuhan bawah selalu dibersihkan secara berkala untuk memberikan ruang tumbuh kepada tanaman budidaya dan mengurangi persaingan unsur hara. Akibatnya tumbuhan bawah di areal ini sangat sedikit.
Tabel 5. Jenis-jenis anakan pohon yang ditemukan pada plot pengamatan di TNGC Nama lokal Nama latin Blok Cigugur, Kuningan Pulus Laportea ardens Bl. Akasia* Acacia decurrens Wild. Hamerang Ficus toxicaria Linn. Benying Ficus fistulosa Reinw. Kaliandra* Calliandra calothyrsus Meissn. Berangan Castanopsis argentea (Bl.) DC. Pasang Quercus sundaica Bl. Bintinu Melochia umbellata (Houtt.) Stapf. Blok Seda, Kuningan Kopi* Coffea robusta L. Linden Melinjo* Gnetum gnemon L., Var Alpukat* Persea americana Mill. Mara Mallotus ricinoides Muell.Arg. Mahoni * Swietenia mahagoni Jacq. Huru Actinodaphn procera Ness. Hantap Sterculia campanulata Wall. Ex Mast. Blok Cipari, Kuningan Salam Eugenia cuprea K.et.V Kaliandra* Calliandra calothyrsus Meissn. Ki Teja Cryptocarya densiflora Bl. Kopi* Coffea robusta L. Linden Ki Hoe Bridelia glauca BL. Ki Hu'ut Antidesma montanum Bl. Ki Banen Crypteronia paniculata Blume. Dahu Dracontomelon mangiferum Bl. Pulai Alstonia scholaris R.Br. Huni Antidesma bunius Spreng Jengkol Archidendron pauciflorum (Benth) I.C.Nielsen Manglid Magnolia blumei Prantl. Parengpeng Macaranga gigantea (Reichb.f & Zoll) Muell.Arg. Benda Arthocarpus elasticus Reinw. Kadoya Dysoxylum amooroides Miq. Ki Seur Antidesma tetrandrum Bl. Limus Mangifera foetida Lour. Malaka Phyllanthus emblica L. Petag Acmena acuminatissima M.et.P Mareme Schefflera aromatica (Blume) Harms. Suren* Toona sureni (Bl.) Merr. Batu Kancah, Majalengka Nangsi Villebrunea rubescens Bl. Tisuk Hibiscus macropyllus Roxb. Karembi Homalanthus populneus O.K. Mara Mallotus ricinoides Muell.Arg. Sempur Dillenia obovata Hoggl. Kurai Trema orientalis (L.) Blume Gondang Ficus variegata Blume
Keterangan Jenis klimaks Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis klimaks Jenis klimaks Jenis Pionir Jenis pionir, tanaman budidaya di kebun Jenis klimaks, tanaman budidaya di kebun Jenis klimaks, tanaman budidaya di kebun Jenis pionir Jenis pionir, introduksi merupakan tanaman hutan produksi Jenis klimaks Jenis klimaks Jenis pionir Jenis pionir, introduksi Jenis pionir Jenis pionir, dibudidayakan masyarakat di sekitar hutan Jenis pionir Jenis pionir Jenis klimaks Jenis klimaks Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis klimaks Jenis pionir Jenis klimaks Jenis pionir Jenis klimaks Jenis pionir Jenis pionir, introduksi Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis pionir Jenis klomaks Jenis pionir Jenis pionir
GUNAWAN – Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan
Gambar 1. Kerapatan relatif jenis-jenis anakan pohon yang mengkolonisasi areal terdegradasi bekas penggarapan.
1597
Gambar 3. Nilai penting jenis-jenis pengkoloni areal terdegradasi bekas penggarapan.
Gambar 4. Komposisi jenis menurut sifat toleransi terhadap naungan.
Gambar 2. Frekuensi relatif jenis-jenis anakan pohon yang mengkolonisasi areal terdegradasi bekas penggarapan.
Gambar 5. Komposisi jenis anakan pohon menurut asalnya.
1598
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1591-1599, Oktober 2015
Tabel 9. Indeks keragaman jenis dan keseragaman jenis tumbuhan bawah dan anakan pohon di empat lokasi sukses sekunder Lokasi bekas lahan garapan Blok Cigugur Blok Seda Blok Cipari Blok Batu Kancah
Indeks Keanekaragaman Kemerataan (E) (H’) 2.45 0.63 0.69 0.31 2.78 0.89 1.92 0.54
Secara umum, suksesi sekunder di empat lokasi bekas penggarapan relatif cepat. Suksesi sekunder memang prosesnya relaatif lebih cepat daripada suksesi primer, karena masih memiliki sumber reintroduksi dan komunitas satwa yang dapat membantu proses penyebaran biji (Discovery Education Science 2010). Soerianegara dan Indrawan (1976) menyatakan hutan hujan yang mengalami kerusakan oleh alam atau manusia, jika tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka 15 sampai 20 tahun akan terbentuk hutan sekunder muda dan sesudah 50 tahun akan membentuk hutan sekunder tua yang berangsurangsur akan mencapai klimaks. Implikasi manajemen Lebih separuh (50.19% ) atau sekitar 7,222.05 Ha kawasan TNGC mengalami degradasi berat akibat penggarapan dan perambahan. Untuk memulihkan ekosistem hutan yang telah terdegradasi tersebut maka pengelola TNGC akan melaksanakan program restorasi ekosistem. Ada tiga rekomendasi cara pemulihan ekosistem menurut intensitas campur tangan manusia yaitu penanaman total terhadap lahan-lahan terbuka, suksesi alam yang dibantu dengan pemeliharaan dan penanaman pengkayaan serta suksesi alam penuh yaitu dengan membiarkan alam memulihkan sendiri melalui suksesi sekunder. Pada areal terdegradasi yang dibiarkan memulihkan diri sendiri melalui suksesi sekunder ternyata menunjukkan perkembangan yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh hadirnya 40 spesies anakan pohon di areal areal yang terdegradasi yang telah ditinggalkan oleh penggarap. Dengan demikian, jika areal yang terdegradasi berdekatan atau berbatasan dengan hutan yang masih memiliki pohonpohon induk, maka restorasi dengan cara suksesi alam dapat menjadi pilihan yang tepat. Campur tangan manusia hanya sebatas mengamankan kawasan agar tidak terbakar dan tidak digarap kembali oleh masyarakat, karena jika terbakar atau digarap kembali maka proses pemulihan ekosistem menjadi terhambat. Kawasan hutan yang digarap oleh masyarakat untuk budidaya tanaman pangan, terutama sayuran, dikelola dengan cara yang intensif, meliputi pemberian pupuk, pestisida, herbisida dan penyiangan gulma. Sisa sisa pupuk yang tertinggal di lahan garapan yang telah ditinggalkan menjadi stimulan pertumbuhan rumput, semak belukar dan anakan pohon. Oleh karena itu, lahan terdegrasi bekas garapan yang ditinggalkan cepat sekali tertutup oleh vegetasi. Tanah yang masih mengandung pupuk juga
memungkinkan bibit-bibit pohon tumbuh dengan cepat dan memiliki daya hidup yang tinggi. Permasalahan utama dalam restorasi ekosistem terdegradasi di TNGC adalah pengamanan, agar masyarakat tidak menggarap kembali lahan di dalam kawasan. Untuk kawasan konservasi memang tidak ada mekanisme penggarapan di dalam kawasan hutan seperti di kawasan hutan produksi. Kawasan konservasi harus bebas dari gangguan penggarapan lahan apalagi perambahan, karena tujuan utamanya untuk konservasi keanekaragaman hayati flora dan fauna asli, dilindungi dan terancam. Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah kebakaran atau pembakaran yang hampir selalu terjadi berulang. Areal-areal rawan kebakaran perlu mendapat perlakuan khusus agar proses suksesi alam dapat berjalan dengan baik dan tidak selalu terinterupsi oleh kebakaran. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lahanlahan bekas garapan masyarakat yang telah ditinggalkan dan dibiarkan memulihkan diri sendiri melalui suksesi alam, satu tahun kemudian sudah dikolonisasi oleh 40 spesies anakan pohon dari hutan di dekatnya. Sebagian besar (82%) spesies pengkoloni adalah jenis asli, sedangkan sisanya tujuh spesies (18%) adalah introduksi. Jenis introduksi diduga berasal dari kebun masyarakat yang berbatasan dengan lahan terdegradasi. Sebanyak 68% spesies pengkoloni merupakan jenis pionir yang memiliki sifat intoleran terhadap naungan. Pemulihan ekosistem terdegradasi di areal yang berbatasan dengan hutan cukup efektif menggunakan metode suksesi alam. Meskipun demikian perlu adanya pengamanan, agar areal yang sedang suksesi tersebut tidak digarap kembali oleh masyarakat dan tidak terbakar. Proses suksesi alam di lahan bekas garapan tampaknya cepat terjadi diduga karena tanahnya masih mengandung sisa-sisa pupuk sehingga subur.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Kurung (Kepala Taman Nasional Gunung Ciremai), Widodo, Ridwan, Maman, Suhi, Dasji, Agus Setya dan Mufti atas bantuan tenaga, pemikiran dan fasilitas yang disediakan selama kegiatan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Graham Eagleton (English editor).
DAFTAR PUSTAKA Discovery Education Science. 2010. Primary and Secondary Succession. Discovery Communications, LLC. https://powersource.pearsonschoolsystems.com [5 Juni 2015] Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan. 2004. Pengelolaan Hutan Gunung Ciremai. Fakultas Kehutanan, Universitas Kuningan. Kuningan. Fawnia S, Sulistyawati E, Adianto. 2004. Keadaan ekologis hutan dan lahan bekas ladang (reuma) di Kawasan Adat Baduy. Seminar MIPA IV, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 6-7 Oktobr 2004. Gunawan H, Bismark M. 2007. Status populasi dan konservasi satwaliar mamalia di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 4 (2): 117-128. Gunawan H, Garsetiasih R, Sawitri R, Heryanto NM, Syamsoedin I. 2006. Identifikasi potensi sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan
GUNAWAN – Suksesi sekunder hutan terganggu bekas perambahan masyarakat sebagai dasar pengelolaan berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai. [Laporan Penelitian]. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Gunawan H, Mukhtar AS, Subiandono E. 2011. Penataan ruang dan pemilihan jenis pohon dalam restorasi ekosistem kawasan konservasi (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Ciremai). Dalam: Gunawan H (ed). Prosiding Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi. Kuningan, 25 Oktober 2011. Gunawan H, Mukhtar AS. 2012. Kajian model restorasi ekosistem kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai. [Laporan Penelitian]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Gunawan H, Subiandono E. 2013. Evaluasi kondisi biofisik dan sosial ekonomi sebagai dasar restorasi ekosistem terdegradasi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 10 (1): 17-37. Gunawan H, Subiandono E. 2014. Desain ruang restorasi ekosistem terdegradasi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Indonesian Forest Rehabilitation Journal 2 (1): 67-78. Gunawan H. 2007. Kondisi vegetasi pinggiran dan implikasi pengelolaannya di Taman Nasional Gunung Ciremai. Info Hutan 4 (5): 451-462. Gunawan H. 2012. Berbagi informasi hasil penelitian restorasi ekosistem di kawasan konservasi. Studi kasus: TN. Gunung Ciremai. The Jakarta Seminar on Restoration of Ecosystem in Conservation Areas. Menara Peninsula Hotel, Jakarta. JICA-PHKA January 17th 2012. Gunawan H. 2014. Lesson learnt penelitian restorasi ekosistem TN Gunung Ciremai dan TN Gunung Merapi. Inception Workshop on
1599
Project of the Forest Preservation Program. Menara Peninsula Jakarta, 23 Oktober 2014. Gundarson LH. 2000. Ecological resilience-in theory and application. Ann Rev Ecol Syst 31 (1): 425-439. Keputusan Menteri kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004, Tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 Ha Terletak Di Kabupaten Kuningan Dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Kusmana C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press, Bogor. Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement. Croom Helm, London. Mukhtar AS, Heriyanto NM. 2012. Keadaan suksesi tumbuhan pada kawasan bekas tambang batubara di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (4): 341-350. Odum EP. 1994. Fundamentals of Ecology, 3rd ed. Samingan T (penerj.). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Offwell Woodland and Wildlife Trust. 1998. Ecological Succession. www.countrysideinfo.co.uksuccessn/summary.htm. [30 Mei 2015]. Saharjo BH, Gago C. 2011. Suksesi alami paska kebakaran pada hutan sekunder di Desa Fatuquero, Kecamatan Railaco, Kabupaten ErmeraTimor Leste. Jurnal Silvikultur Tropika 2 (1): 40-45. Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya. Soerianegara I, Indrawan A. 1976. Ekologi Hutan Indonesia. Lembaga Kerja Sama Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Soerianegara I, Indrawan A. 1980. Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1600-1604
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010710
Kajian ekologi bambu hitam bahan baku angklung di Jawa Barat Ecological study of black bamboo as angklung raw materials in West Java NURVITA CUNDANINGSIH1,♥, SYAIMA RIMA SAPUTRI1,♥, EVANTI AROSYANI1, ANNISA AMALIA1, BUDI IRAWAN2,♥♥ 1,2
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Jatinangor KM 21, Sumedang 45363, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-856-59250741, email:
[email protected], email:
[email protected] Manuskrip diterima: 10 Juni 2015. Revisi disetujui: 6 Agustus 2015.
Cundaningsih N, Saputri SR, Arosyani E, Amalia A, Irawan B. 2015. Kajian ekologi bambu hitam bahan baku angklung di Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1600-1604. Angklung merupakan alat musik tradisional suku Sunda Jawa Barat yang populer baik di negara sendiri maupun di mancanegara. Bahkan alat musik ini telah terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan serta Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO. Keunikan angklung selain dari cara memainkannya, jenis bahan baku (bambu) yang digunakan pun memiliki karakteristik khusus. Bahan baku utama tersebut diantaranya adalah bambu hitam (Gigantochloa sp). Bambu hitam sebagai tumbuhan multifungsi, keberadaannya di alam mulai terancam karena budi daya di masyarakat belum bisa memenuhi permintaan pasar. Selain itu cara budi daya yang dilestarikan secara turun-menurun termasuk aspek ekologi bambu hitam belum terdokumentasikan secara lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur vegetasi dan kelimpahan bambu hitam (Gigantochloa sp) sekaligus faktor lingkungan yang paling berpengaruh pada kehadiran bambu hitam di beberapa talun Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan) sebagai suatu referensi kajian pemilihan tempat budi daya bambu hitam masa depan yang sesuai ekologi bambu hitam. Metode yang digunakan deskriptif-kuantitatif dengan melakukan pengukuran faktor lingkungan; iklim mikro diantaranya intensitas cahaya (1662,38 lux), kelembaban udara (74,01 %), suhu udara (29,87 oC), ketinggian tempat (362,73 mdpl), pH tanah (5,62), tekstur tanah, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa; sekitar tanaman bambu hitam dan eksploratif yang dilakukan dengan mengambil data kehadiran bambu di daerah penghasil bambu hitam. Struktur vegetasi dan kelimpahan bambu di alam dianalisis berdasarkan faktor lingkungan hasil olah data menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA). Pengaruh suhu udara (PC1 0,647), kelembaban udara (PC1 -0,596), dan elevasi (PC2 0,692) merupakan faktor lingkungan paling besar yang mempengaruhi kehadiran bambu hitam. Berdasarkan hasil penelitian, lokasi paling sesuai untuk budi daya bambu hitam adalah Sukabumi. Kata kunci: Angklung, Bambu hitam, Ekologi, PCA Singkatan: PCA: Principal Component Analysis (Analisis Komponen Utama)
Cundaningsih N, Saputri SR, Arosyani E, Amalia A, Irawan B. 2015. Ecological study of black bamboo as angklung raw materials in West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1600-1604. Angklung is a popular Sundanese traditional music instrument in its country of origin even in foreign countries. This instrument has been registered as Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity by UNESCO. It’s uniqueness at how to play the instrument, beside the materials (bamboo) which used has specific characteristics. The main materials are black bamboos (Gigantochloa sp). The existence of black bamboo in nature is starting to be threatened because its cultivation hasn’t fulfill the market demand yet. Moreover cultivation method include ecology aspect of black bamboo hasn’t been documented and the method is inherited hereditary. This study aims to know about vegetation structure and black bamboo abundance all at once environment factors that the most influential to black bamboo presence at agroforestries in West Java (Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan). The study will be a reference to choose places which suitable for black bamboo ecology. The method used is descriptivequantitative approaches with measuring environment factors; micro clilmate such light intensity (1662,38 lux), air humidity (74,01%), air temperature (29,87 oC), elevation (362,73 mdpl), soil pH (5,62), soil texture, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa; around the black bamboo and explorative that conducted by take the presence data in location. The vegetation structure and black bamboo abundance integrated with environmental factors which was analyzed by PCA. Air temperature impacted (PC1 0,647), air humidity (PC1 -0,596), and elevation (PC2 0,692) are the most influenced factors to black bamboo presence. Grounded on the study, the most suitable place to cultivate the black bamboo is Sukabumi. Keywords: Angklung, Black Bamboo, Ecology, PCA
PENDAHULUAN Angklung merupakan alat musik tradisional yang populer dari Jawa Barat. Alat musik Angklung telah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak zaman kerajaan, dan
semakin populer sejak November 2010, ketika Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan serta Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO. Sehingga tidak heran bila kini angklung dijadikan sebagai alat
CUNDANINGSIH et al. –Ekologi bambu hitam bahan angklung
pembelajaran musik dasar di berbagai negara di dunia (Oktawirani 2013). Bahan utama pembuatan angklung adalah bambu. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz), dan Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) tercatat memiliki karakteristik yang khusus sehingga dijadikan sebagai bahan baku angklung. Jenis Bambu Hitam merupakan komponen utama angklung yang digunakan untuk tabung nada karena menghasilkan suara yang paling sesuai (Nuriyatin 2000). Namun hingga kini bambu hitam sebagai komponen utama angklung masih diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan secara besar-besaran. Bambu tersebut didapat dari Jampang Kulon (Sukabumi), Cianjur hingga Kuningan. Selain itu menurut Widjaja (2001), bambu hitam digunakan juga untuk industri mebel bilik dan kerajinan tangan. Dengan sifat multifungsi bambu hitam tersebut, para produsen angklung (Saung Angklung Udjo) terancam akan kepunahan angklung jika bambu hitam mengalami kelangkaan di alam. Oktawirani (2013) mengatakan permintaan akan bambu hitam bahan baku angklung hanya dapat dipenuhi hingga 10 tahun mendatang mengingat persediaan bambu hitam yang terbatas di alam. Bambu hitam yang ideal digunakan sebagai bahan baku angklung memiliki karakteristik khusus yang buluh bambu hanya dapat dipenuhi dari daerah kering di Jawa Barat. Buluh bambu hitam yang berasal dari daerah lain memiliki karakteristik yang kurang cocok digunakan sebagai bahan baku angklung. Perbedaan sifat bambu hitam tersebut tidak terlepas dari faktor tumbuh bambu itu sendiri. Salah satu faktor tumbuh adalah faktor eksternal yaitu faktor lingkungan. Dibutuhkan suatu langkah kongkrit dalam upaya pelestarian bambu hitam. Salah satu cara dalam pelestarian
1601
bambu hitam adalah mengkaji pengaruh faktor lingkungan pertumbuhan bambu hitam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan angklung. Penelitian ini penting dilakukan mengingat sampai saat ini belum terdapat pustaka yang memadai mengenai populasi bambu hitam di alam (hutan rakyat) Jawa Barat dan faktor lingkungan apa yang paling berpengaruh pada kehadiran bambu hitam di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur vegetasi dan kelimpahan bambu hitam sekaligus faktor lingkungan yang paling berpengaruh pada bambu hitam di beberapa talun Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan) sebagai suatu referensi kajian pemilihan tempat budi daya bambu hitam masa depan yang sesuai ekologi bambu hitam. Keberhasilan kajian faktor lingkungan untuk bambu hitam yang lestari ini diharapkan menjadi referensi bagi masyarakat khususnya pemerintah. Referensi dalam pemilihan lokasi penanaman bambu hitam yang cocok sesuai faktor lingkungan pendukung sehingga bambu hitam bahan baku angklung dapat dijamin keberlangsungannya di alam di masa mendatang.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilakukan dengan metode deskriptifkuantitatif dengan melakukan pengukuran faktor lingkungan (iklim mikro) sekitar tanaman bambu hitam dan eksploratif yang dilakukan dengan mengambil data kehadiran bambu di daerah penghasil bambu hitam. Terdapat empat tahap pengerjaan dalam metode ini, yaitu i) Pengumpulan Data Lapangan ii) Analisis Sampel di Laboratorium iii) Analisis Regresi menggunakan software minitab v.16 PCA (Principal Component Analysis) iv) Analisis data dan hasil.
Gambar 1. Lokasi penelitian di empat lokasi rekomendasi Bale Angklung Bandung, 1. Desa Cibacang, Sukasari, Sumedang; 2. Desa Koreak, Cilimus, Kuningan; 3. Desa Karangwangi, Cidaun, Cianjur; 4. Desa Cibitung, Cibitung, Sukabumi
1602
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1600-1604, Oktober 2015
Cara kerja Pengumpulan Data Lapangan Dilakukan observasi dan wawancara tidak terstruktur kepada narasumber kunci di Bale Angklung Bandung (Bapak Handiman). Selanjutnya dilakukan pengumpulan data vegetasi sekaligus data fisik lingkungan. Wilayah sampel ditetapkan menggunakan metode purposive random sampling. Pengamatan vegetasi pohon dan rumpun bambu dengan petak 10m x 10m. Jumlah petak pengamatan sebanyak 5 petak per lokasi. Pada setiap plot dibuat petak sesuai ukuran masing-masing. Petak pengamatan ditetapkan menggunakan metode garis berpetak (Kusmana 1997). Data vegetasi yang diambil diantaranya data jenis, DBH (Diameter Breast High) untuk pohon, dan penutupan jenis untuk bambu. Sedangkan menurut Kurniawan dan Parikesit (2008), data fisik lingkungan yang berpengaruh pada tumbuhan diantaranya intensitas cahaya, kelembaban dan suhu udara, fisiografi (ketinggian), serta edafik tanah (derajat keasaman tanah, tekstur tanah, Koefisien Tukar Kation, dan Kejenuhan Basa). Titik pengambilan sampel total di lokasi adalah sebanyak 73 titik.
analisis komponen utama (Principal Component Analysis) (Supranto 2004). Analisis Komponen Utama merupakan metoda statistik deskriptif yang dapat digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (fisikkimia) yang berbentuk kuantitatif (kolom) (Ulqodry 2010).
Analisis sampel di laboratorium Sampel tanah diambil pada setiap lokasi dengan kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm untuk dianalisis tekstur tanah, KTK dan KB di laboratorium analisis kimia tanah (Botanri 2011). Penetapan tekstur tiga fraksi cara Pipet ditambah dengan cara hidrometer sebagai alternatif (Supriyadi 2007). Kation-kation dapat ditukar (Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+) ditetapkan dengan AAS. NH4+ (KTK) ditetapkan secara kolorimetri dengan metode Biru Indofenol (Balai Penelitian Tanah 2005).
Hasil analisis regresi Di bawah ini rata-rata pengukuran fsktor lingkungan di masing-masing lokasi pengamatan (Tabel 1) dan hasil analisis regresi PCA (Tabel 2 dan Gambar 3).
Analisis data Analisis regresi menggunakan software minitab v.16 PCA (Principal Component Analysis) Interaksi tumbuhan bambu hitam dengan komponen abiotis, dilakukan dengan pendekatan menggunakan
Analisis vegetasi Analisis Vegetasi dilakukan dengan menggunakan formula Cox (2002) : INP = KR + FR + DR. Kemudian ditetapkan Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau SDR summed dominanced ratio) = INP/3 (%).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis vegetasi Berikut merupakan hasil analisis vegetasi dalam bentuk SDR Kategori Bambu di Setiap Wilayah Pengamatan (Gambar 2).
Tabel 1. Rata-rata Faktor Lingkungan di Lokasi Pengamatan
Kuningan Cianjur Sukabumi Sumedang
Suhu udara 29,93 30,22 28,44 28,61
Gambar 2. Hasil Analisis Vegetasi SDR (Summed Dominant Ratio) Kategori Bambu
Kelembaban udara 79,67 75,38 80,92 60,9
Intensitas cahaya 1776,67 1384,76 457,50 2434,9
pH tanah 5,79 5,53 6,31 5,65
Elevasi 285,27 168,56 143,58 1139,1
CUNDANINGSIH et al. –Ekologi bambu hitam bahan angklung
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi
Gambar 3. Diagram Biplot Kehadiran Jenis Bambu terhadap Faktor Lingkungan
Pembahasan Berdasarkan wawancara tidak terstruktur dengan narasumber di lapangan, didapat informasi bahwa kebun bambu hitam pemasok kebutuhan bahan baku angklung diantaranya adalah Desa Cibitung (Sukabumi, SDR 42%) dan Desa Karangwangi (Cianjur, SDR 34,30%). Kebun bambu hitam yang berada di Desa Koreak (Kuningan, SDR 23,06%) memiliki potensi bambu hitam yang cukup banyak namun belum banyak permintaan bahan baku bambu hitam khususnya untuk angklung, semua bambu yang terdapat di desa tersebut digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga. Sedangkan bambu hitam dari daerah Sumedang tidak digunakan sebagai bahan baku angklung karena karakteristik bambu yang berdiameter besar dan memiliki kadar air yang tinggi tidak cocok digunakan sebagai bahan baku angklung. Eigenanalysis tertinggi menunjukkan varian tertinggi yang digunakan sebagai patokan untuk melihat daftar koefisien (PC1, PC2, dst). Melalui eigenvalue tertinggi 2,0629 didapat 41,3% proporsi untuk variannya. Sehingga untuk menentukan model Principal Component yang digunakan adalah variabel PC1 dengan: PC1 = 0,647 Suhu Udara - 0,596 Kelembaban Udara + 0,360 Intensitas Cahaya - 0,130 ph Tanah + 0,284 Elevasi Dari analisis tersebut didapatkan bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh pada kehadiran jenis Bambu Hitam di kebun milik petani adalah faktor suhu (0,647), kelembaban udara (-0,596), dan elevasi (0,692). Suhu udara berbanding terbalik dengan kelembaban udara
1603
di sekitar lokasi pengamatan. Hubungan tersebut menunjukkan jika suhu mengalami kenaikan di lokasi pengamatan, kelembaban udara menjadi turun. Kelembaban udara tersebut mempengaruhi fotosintesis tumbuhan berupa penurunan laju fotosintesis sehingga pembentukan amilum berkurang, penurunan laju fotosintesis tersebut akan menurunkan kadar air dalam jaringan bambu. Elevasi merupakan faktor lingkungan independen, elevasi yang cenderung rendah ditumbuhi bambu hitam kualitas angklung. Hal tersebut didukung oleh SDR Bambu Hitam tertinggi berada di daerah Sukabumi dan Cianjur dimana kedua daerah tersebut memiliki elevasi rendah berkisar 143,58 – 168,56 mdpl. Elevasi rendah bisa berpengaruh pada kadar air dalam tanah. Kadar air yang rendah dalam tanah mempengaruhi kesuburan tanah dan vegetasi di atasnya. Menurut narasumber kunci, bambu yang ditanam di dataran rendah dengan kadar air yang rendah memiliki diameter buluh relatif kecil dan kadar air yang sedikit sehingga bambu hitam tersebut dinilai berkualitas dijadikan sebagai bahan baku angklung. Berdasarkan hasil penelitian, daerah yang paling cocok digunakan sebagai lokasi bambu hitam bahan baku angklung adalah Sukabumi. Hal tersebut didukung dengan nilai SDR Bambu Hitam yang paling tinggi yaitu 42,99 % dengan suhu dan kelembaban udara rata-rata sebesar 28,44oC dan 80,92% serta elevasi sebesar 143,58 mdpl. Selain itu lokasi tersebut juga direkomendasikan oleh Bale Angklung Bandung karena memiliki bambu hitam yang berkualitas sebagai bahan baku angklung. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan adanya lokasi lain yang dapat direkomendasikan sebagai tempat budi daya bambu hitam bahan baku angklung dengan karakteristik lingkungan yang mirip dengan Sukabumi (Suhu 28o-33o C; Kelembaban udara 57%-89%; Intensitas cahaya 30-2460 lux; Derajat keasaman tanah 5,6-7; dan Elevasi 138-170 mdpl).
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah SWT atas segala berkah dan pertolongan-Nya. Tim PKM-PE Buhili, Barkah, Zamzam, dan Sukma yang telah banyak membantu di lapangan. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui Program Kreatifitas Mahasiswa sebagai pemberi dana utama penelitian. Bale Angklung Bandung beserta masyarakat daerah penelitian yang telah mendukung berjalannya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, Dan Pupuk; Petunjuk Teknis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Botanri S, Setiadi D, Guhardja E, Qayim I, dan Prasetyo LB. 2011. Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam Komunitas Alami di Pulau Seram, Maluku. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8 (3): 135145. Cox GW. 2002. General Ecology, Laboratory Manual. Eigth edition. McGraw Hill, NewYork.
1604
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1600-1604, Oktober 2015
Kurniawan A, Parikesit. 2008. Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat. Biodiversitas 4 (9): 275-279. Kusmana, C. 1997. Manajemen hutan mangrove Indonesia. Lab Ekologi Hutan. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. Nuriyatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-Sifat Dasar Bambu pada Beberapa Tujuan. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oktawirani P. 2013. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu Sebagai Bahan Baku Angklung Di Saung Angklung Udjo. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Supriyadi S. 2007. Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura. Embryo 4 (2): 124-131. Supranto J. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Ulqodry TZ, Bengen DG, Kaswadji RF. 2010. Karakteristik perairan mangrove Tanjung Api-api Sumatera Selatan berdasarkan sebaran parameter lingkungan perairan dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA). Maspari Journal (01): 16-21. Widjaja EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1605-1609
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010711
Pelestarian cendana (Santalum album) berbasis masyarakat di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur Community based conservation of sandalwood (Santalum album) in Central Sumba District, East Nusatenggara GERSON N. NJURUMANA Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7 Airnona, Kupang 85115, Nusa Tenggara Timur. Tel. +62-380823357, Fax. +62-380-831068,♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 9 Juni 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Njurumana GN. 2015. Pelestarian cendana (Santalum album Linn) berbasis masyarakat di kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1605-1609. Cendana (Santalum album Linn) merupakan salah satu spesies unggulan karena kandungan santalol berupa bahan aromatik bernilai prestisius tinggi untuk berbagai penggunaanya. Kebutuhan minyak cendana di dunia masih mengalami defisit 80 ton/tahun dari total kebutuhan 200 ton/tahun, sehingga membuka peluang masyarakat dalam pengembangannya. Penelitian bertujuan mengetahui partisipasi masyarakat mengembangkan cendana pada lahan milik. Penelitian dilaksanakan di Sumba Tengah. Metode observasi dan wawancara digunakan terhadap 21 unit rumah tangga, analisis data secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukan partisipasi masyarakat dalam pengembangan cendana pada lahan milik berupa pekarangan, kebun dan agroforest cukup bervariasi. Intervensi pemerintah daerah diperlukan untuk memperkuat pengembangan cendana dalam skala luas. Disimpulkan peran serta masyarakat merupakan salah satu pilar penting untuk pelestarian dan pengembangan cendana di masa depan. Kata kunci: Pelestarian cendana, masyarakat
Njurumana GN. 2015. Community based conservation of sandalwood (Santalum album) in Central Sumba District, East Nusatenggara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1605-1609. Sandalwood (Santalum album Linn) is one of flagship species because the content of santalolas a prestigious high-value aromatic materials for different use. Sandalwood oil demand in the world had a deficit of 80 tons /year of total requirement of 200 tonnes /year, thus opening opportunities for communities in its development. The research aims to determine the community participation to develop sandalwood on private land. Research conducted at the Central Sumba. Observation and interview methods used to 21 household units, descriptive analysis of qualitative data. The results showed the public participation in sandalwood development on private land such as yard, garden and agroforest is varied. Local government intervention is needed to strengthen the sandalwood development on a wide scale. It is concludedthat community participation is the important pillars for the preservation and development of sandalwood in the future. Keywords: Sandalwood preservation, community
PENDAHULUAN Pelestarian cendana (Santalum album Linn) masih merupakan sebuah tantangan besar akibat kecenderungan penurunan populasinya dari tahun ke tahun. Hal ini bermplikasi terhadap terjadinya defisit minyak cendana di pasar internasional mencapai 80 ton/tahun. Tekanan terhadap cendana disebabkan oleh aneka potensi penggunaan yang cukup bervariasi meningkatkan permintaan pasar internasional sejak tahun 1800 di USA (Burdock dan Carabin 2008). Penggunaannya antara lain sebagai kompositor penyedap makanan, sebagai senyawa anti karsiogenik dan antiviral (Burdock dan Carabin, 2008), aromatheraphy (Kim et al. 2005; George dan Ioana 2008; Matsuo dan Mimaki 2010) dan anti kanker (Bommareddy et al. 2012). Kandungan α-santalol yang berkisar 8,7%-25,2% dan β-santalol berkisar 7,1%-48,6%
(Lawrence 1991) menjadikannya sebagai barang mewah. Pemanfaatannya yang berkaitan dengan nilai-nilai sosialbudaya masyarakat menempatkannya sebagai salah satu spesies bernilai prestisius tinggi (Fox 2000), dibuktikan antara lain oleh transaksi ekonominya dalam satuan kilogram (kg). Geliat perekonomian berbasis cendana di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah dimulai sejak tahun 1436, dengan produksi pada tahun 1910-1916 mencapai 14.674 pikul, setara 917.125 Kg (Ardhana 2005). Produksi tertinggi sebesar 2.458.594 Kg (BanoEt 2001), rata-rata kontribusinya terhadap PAD NTT mencapai 38,26% tahun 1989/1990-1993/1994, dan mengalami penurunan menjadi 12,17% pada tahun 1995/1996-1999/2000 (Darmokusumo et al. 2001). Penurunan produksi dan ekspor serta kontribusi diakibatkan oleh eksploitasi secara massive, menyebabkan cendana dalam kategori hampir punah, dan
1606
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1605-1609, Oktober 2015
kebijakan yang mengabaikan kepentingan, eksistensi masyarakat dan kepemilikan serta digunakan sebagai alat kontrol negara(McWilliam 2005; Njurumana et al. 2013). Akumulasi persoalan sosial-budaya dan ekonomi menimbulkan kekecewaan masyarakat yang bermuara pada trio-stigma yang menempatkan cendana sebagai hau plenat atau kayu pembawa perkara, hau nituatau kayu setan dan hau lassi atau kayu yang dikuasai pemerintah (Njurumana et al. 2013). Pemerintah daerah telah menyadari kekeliruan dan ketidakmampuannya dalam mengelola sumberdaya cendana, sehingga merubah konsep pengelolaan dari state based management ke community based management dengan mencabut peraturan daerah No. 16 Tahun 1986 sebagai sumber konflik, dan mengembalikan pengelolaan cendana kepada masyarakat melalui peraturan daerah di setiap kabupaten. Oleh karena itu, untuk mengetahui peran serta masyarakat dalam pengembangan cendana dilakukan penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam pelestarian cendana di Pulau Sumba.
Barat, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur pada bulanApril 2013. Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah unit-unit komunitas SAK yang dikembangkan masyarakat. Peralatan yang digunakan adalah GPS, kamera, buku lapangan, kuisioner, alat perekam dan alat tulis menulis. Metode yang digunakan adalah menggabungkan pendekatan deskriptif-kualitatif dan deskriptif-kuantitatif. Cara kerja Metode dasar penelitian ini adalah observasional deskriptif dan studi pustaka. Tata kerja yang dilakukan dalam kajian ini meliputi beberapa tahap yaitu : (1) penentuan sampel wilayah secara acak sebanyak 10% dari 65 desa di Sumba Tengah, diperoleh 7 unit desa sampel, (2) penentuan unit-unit kepala keluarga (KK)dengan cara : (a) proporsional random sampling pada setiap desa, (b) inventarisasi responden potensial, (c) penentuan secara acak 3 unit KK/desa sebagai sampel untuk dilakukan pengumpulan data, wawancara terstruktur dan semi terstrukturmengenai pengembangan cendana.
BAHAN DAN METODE Area kajian Kajian dilaksanakan pada 7 desa yang tersebar di Kecamatan Katikutana dan Kecamatan Umbu Ratunggay
Analisis data Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif untuk menggambarkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan cendana.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
NJURUMANA – Ekologi sosial Acacia leucophloea
HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi masyarakat dalam pengembangan cendana Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh tingkat partisipasi masyarakat sebagaimana pada Tabel 1. Pembahasan Pengetahuan mengenai cendana (Santalum album Linn) Pengetahuan masyarakat Sumba mengenai cendana sudah berlangsung lama, bahkan wilayah pulau Sumba dikenal sebagai Sandalwood island oleh negara-negara luar sejak zaman perdagangan cendana hingga VOC. Pengetahuan terhadap cendana selain karena nilai ekonominya, juga didorong oleh nilai sosial-budaya dan spiritual yang melekat kuat dalam tradisi adat-istiadat masyarakat. Hal ini berkaitan dengan penggunaannya sebagai spesies kunci budaya, terutama dalam ritual-ritual adat dan sesembahan kepada sang khalik (marapu) sebagai salah satu bentuk aliran kepercayaan masyarakat Sumba di masa lalu. Pemeliharaan cendana di lahan milik Cendana merupakan salah satu spesies yang telah terdomestikasi pada masyarakat lokal, sehingga memungkinkan pemeliharaan dan pengembangannya pada lahan-lahan masyarakat. Berdasarkan klasifikasi pohon cendana berdiameter diatas 10 cm, terdapat 4 kelompok responden yaitu kelompok pertama dengan kisaran 5-50 pohon, kelompok kedua dengan kisaran 51-100 pohon, kelompok ketiga dengan kisaran 101-150 dan kelompok ke-empat dengan jumlah >150 pohon. Kelompok pertama dijumpai merata di semua unit desa sampel, dan merupakan kelompok dominan, sehingga dapat digunakan sebagai indikator umum kisaran kemampuan masyarakat dalam mengembangkan cendana di lahan milik. Kelompok kedua dan kelompok ketiga memiliki proporsi sebanding, ratarata kedua kelompok ini memiliki potensi yang sama dalam memelihara dan mengembangkan spesies cendana dalam kisaran jumlah 51-150 pohon pada unit-unit lahan milik. Kelompok ke-empat merupakan kelompok yang persentasenya sangat kecil, tetapi potensi cendana dilahan milik melampaui rata-rata kepemilikan dari ketiga kelompok lainnya. Responden pada kelompok ini memiliki potensi cendana yang cukup besar, masing-masing dengan jumlah 154 pohon, 200 pohon, 315 pohon dan 500 pohon. Responden dengan kepemilikan cendana pada kategori kelompok ke-empat umumnya terkonsentrasi pada desadesa sampel di bagian utara wilayah Sumba Tengah. Sumber bibit cendana Sumber utama bibit cendana yang dikembangkan masyarakat pada lahan milik berupa pekarangan, kebun dan kebun campur (agroforestri) berasal dari pohon induk milik masyarakat. Sebanyak 30% responden memiliki pohon induk cendana dengan potensi permudaan alam bervariasi berkisar antara 15-30 anakan pada luasan 25 m2. Sebagaimana dijelaskan oleh pemilik pohon induk, dalam beberapa tahun terakhir permudaan alam sedikit berkurang, disebabkan permintaan benih cendana yang tinggi dengan
1607
Tabel 1. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian Cendana (Santalum album Linn) di Sumba Tengah. (n = 21) Kriteriadan indicator pengukur Pengetahuan mengenai cendana Pemeliharaan cendana di lahan milik Range 5-50 pohon Range 51-100 pohon Range 101-150 pohon Range > 150 pohon Sumber bibit cendana a. Swadaya/Tetangga/Kerabat b. Dinas Kehutanan Motivasi menanam dan memelihara cendana a. Konservasi (pelestarian) b. Ekonomi (pendapatan) dan konservasi (pelestarian) c. Ekonomi (pendapatan)
Jumlah responden 21 21 7 5 5 4
Persentase (%) 100 100 33 24 24 19
17 4
81 19
9 7
43 33
5
24
harga/kgRp.150.000 – Rp.200.000. Kondisi tersebut mendorong masyarakat mengunduh benih untuk dijual kepada pembeli. Selain itu, adanya hama tikus pemakan buah cendana merupakan salah satu sumber masalah terhadap cendana yang dipelihara pada lahan milik ataupun milik kerabat dan tetangga. Berdasarkan pengalaman responden, penanaman benih cendana secara langsung memiliki persentase hidup lebih tinggi dibandingkan dengan cabutanalam dan kebun benih. Hal ini diduga oleh kemantapan adaptasi dari benih terhadap lingkungan sekitarnya lebih berproses secara kontinu, sehingga menghasilkan performance pertumbuhan yang lebih baik. Kelemahan dari cabutan alam dan kebun benih adalah proses perpindahan bibit menyebabkan terjadinya stress, sehingga mempengaruhi kadar air dan suplai keharaan. Adaptasi pada lingkungan yang sedikit berbeda akan berimplikasi terhadap gangguan pertumbuhan, serta adanya kerusakan fisik selama proses distribusinya. Proporsi responden yang mendapatkan bantuan bibit cendana dari Dinas Kehutanan sebanyak 19%. Rata-rata responden memiliki akses dengan instansi kehutanan, termasuk sumberdaya yang memungkinkan untuk mengakses bibit pada unit-unit kebun bibit rakyat. Potensi bibit yang disediakan oleh Dinas Kehutanan sebenarnya cukup banyak, namun keterbatasan masyarakat membiayai transportasi dari lokasi kebun benih ke lokasi pemukiman yang jaraknya sangat jauh dengan biaya sewa kendaraan cukup mahal. Hal ini mempengaruhi motivasi mereka untuk memanfaatkan sumber bibit di kebun benih. Menghadapi realita tersebut, perlu terobosan dari Dinas Kehutanan untuk memfasilitasi distribusi bibit dari kebun benih sampai ke desa-desa yang memerlukannya, sehingga membantu masyarakat untuk memperoleh, menanam, memelihara dan mengembangkannya.
1608
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1605-1609, Oktober 2015
Motivasi menanam dan memelihara cendana Berdasarkan hasil wawancara dan FGD, diketahui terdapat 3 (tiga) kelompok motivasi masyarakat melakukan penanaman dan pemeliharaan cendana yaitu konservasi (pelestarian), ekonomi (pendapatan)konservasi (pelestarian) dan ekonomi (pendapatan). Kelompok pertama umumnya diwakili oleh rata-rata usia responden antara 50-55 tahun. Pertimbangan dari motif konservasi oleh responden pada kelompok ini adalah untuk mempertahankan atau mengembalikan potensi cendana di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan penuturan responden, sejarah kehidupan mereka yang sangat akrab dengan cendana di masa kecil hingga remaja sangat mudah menemukan pohon cendana disekitar pekarangan, kebun, tanah ladang dan kawasan hutan sekitarnya. Mereka berharap agar kelestarian pohon cendana dapat terjaga, sehingga cendana tidak kehilangan momentum dan sejarahnya untuk generasi selanjutnya. Hal ini memberikan alasan tersendiri untuk memfokuskan kegiatan penanaman pada aspek konservasinya. Selain itu, sebanyak 33% responden menempatkan pemeliharaan dan pengembangan cendana secara seimbang untuk kepentingan ekonomi (pendapatan) dan kepentingan konservasi (pelestarian). Kelompok ini diwakili oleh responden dengan rata-rata usia berkisar antara 35-50 tahun. Kelompok ini menyadari bahwa aspek ekonomi dari cendana adalah sesuatu yang mutlak diperlukan, tetapi keberlanjutannya sangat bergantung pada kelestarian produksinya. Mengingat cendana membutuhkan waktu pemeliharaan yang lama, kelompok responden ini lebih mengutamakan pemanfaatan benih cendana sebagai sumber penghasilan secara berkala. Pada saat cendana sudah mulai mengalami pembuahan, pohon-pohon yang berbuah diperhatikan secara khusus dari serangan hama berupa hama tikus (Rattus sp.) yang seringkali memakan biji cendana yang masih sangat muda di pohon maupun yang sudah ditanam secara langsung, termasuk kutu daun (Chionopsis), ulat daun (Thyca belisame), belalang (Valanga sp.), bekicot (Achatina sp.), dan rayap jenis Nesulitermes sp. dan Macrotermes sp. Serta jenis-jenis burung pemakan biji cendana, diantaranya Phillemon buceroides dan Phillemon inornatus. Terdapat beberapa hal yang berpotensi kurang menguntungkan dari pemikiran kelompok kedua yaitu : (i) makin meningkatnya harga benih cendana akan meningkatkan eksploitasinya, dikuatirkan menurunkan kemampuan potensinya alam. Hal ini akan berimplikasi makin terbatasnya pertumbuhan cendana secara alamiah, padahal menurut pengalaman regenerasi alam memiliki potensi pertumbuhan terbaik jika dibandingkan dengan cabutan alam dan pembibitan; (ii) konservasi cendana terkesan hanya memprioritaskan pada memelihara pohonpohon induk yang sudah menghasilkan buah untuk dieksploitasi, sehingga berpotensi mengurangi stok benih untuk regenerasinya secara alami; (iii) ketika populasi cendana makin berkembang, dan sumber benih makin kompetitif akan menimbulkan kompetisi di pasar, sehingga untuk menanggulangi menurunnya pendapatan akan berimplikasi pada terancamnya pohon induk untuk ditebang dan dijual.
Sebanyak 24% responden lebih berorientasi pada pengembangan cendana untuk kepentingan ekonomi (pendapatan). Kelompok ini adalah responden berusia 2540 tahun, bekerja sebagai petani, guru dan usaha sampingan lainnya. Orientasi ekonomi menjadi faktor pendorong dilakukan penanaman cendana dengan permudaan alam, cabutan alam dan bibit dari kebun benih. Usaha pengembangan budidaya cendana dilakukan dalam bentuk agroforestri, sehingga keberadaan tanaman cendana menjadi target ekonomi jangka panjang. Untuk mensiasati kebutuhan jangka pendek, masyarakat mengintegrasikan pengembangan cendana dengan tanaman ubi-ubian, jagung, kacang-kacangan dan sayuran. Model seperti ini sebenarnya juga bermuatan konservasi, karena dalam prosesnya beberapa pohon cendana yang sudah berbuah sebagian benihnya dipasarkan kepada pengguna. Target ekonomi lebih pada hasil akhirnya, sedangkan upaya penjagaan khusus seperti pada skenario kedua tidak begitu ketat. Hal ini membuka peluang untuk jenis-jenis burung pemakan biji cendana dapat mengakses, sehingga membantu penyebaran dan regenerasi cendana secara alam. Strategi pengembangan cendana dalam skala luas di masyarakat memerlukan intervensi dan dukungan pemerintah daerah. Njurumana et al (2013) menyatakan bahwa berdasarkan analisis strategi pengembangan, maka untuk saat ini strategi agresif dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di masyarakat untuk disinergikan dengan kebijakan pemerintah agar pengembangannya dapat dilakukan secara baik, terukur dan sinergis.Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa masyarakat merupakan salah satu pilar strategis yang mendukung pelestarian cendana di masa depan, sehingga pengembangan cendana berbasis masyarakat perlu digalakkan secara serius sebagai salah satu alternatif melestarikan cendana di Pulau Sumba.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada masyarakat dan semua pihak di Kabupaten Sumba Tengah yang membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengumpulan data lapangan, serta kepada anonim reviewer yang menyunting naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Ardhana IK. 2005. Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 19151950. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. BanoEt H. 2001. Peranan cendana dalam perekonomian NTT: dulu dan kini. Berita Biologi 5 (5): 469-474 Bommareddy AB. Rule AL. VanWert SS. Dwivedi C. 2012. α–Santalol, a derivative of sandalwood oil, induces apoptosis in human prostate cancer cells by causing caspase-3 activation. Phytomedicine 19: 804811. Burdock GA. Carabin IG. 2008. Safety assessment of sandalwood oil (Santalum album L.). Food Chem Toxicol. 46 (2) : 421-32. Darmokusumo S. Nugroho AA. Botu EU. Jehamat A. Benggu M. 2001. Upaya memperluas kawasan ekonomi cendana di NTT. Berita Biologi 5 (5): 509-514. Fox JE. 2000. Sandalwood : the royal tree. Biologist (London) 47: 31-34. George AB, Iona GC. 2008. Safety assesment of sandalwood oil (Santalum album Linn). Food and Chemical Toxicology. 46: 421-432.
NJURUMANA – Ekologi sosial Acacia leucophloea Kim TH. Ito H. Hayashi K. Hasegawa T. Machiguchi T. Yoshida T. 2005. Aromatic constituents from the hearthwood of Santalum album Linn. Chem Pharm Bull 53: 641-644. Lawrence BM. 1991. Recent progress in essential oils. Perfumer and Flavorist 16: 49-58. Matsuo Y. Mimaki Y. 2010. Lignans from Santalum album and their cytotoxic activities. Chem Pharm Bull 58: 587-590.
1609
McWilliam A. 2005. Haumeni, not many: renewed plunder and mismanagement in the Timorese sandalwood industry. Modern Asian Stud 39 (2): 285-320. Njurumana GN, Marsono D, Irham, Sadono R. 2013. Konservasi cendana (Santalum album Linn) berbasis masyarakat pada sistem Kaliwu di Pulau Sumba. Ilmu Lingkungan 11 (2): 51-61.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1610-1614
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010712
Evaluasi nilai APTI dan API pada Swietenia macrophylla dan Agathis dammara yang terdapat di Kampus ITB Ganesha, Bandung Evaluation on APTI and API values of Swietenia macrophylla and Agathis dammara in ITB Ganesha Campus, Bandung CUCUN KURNIATI♥, RINA RATNASIH IRWANTO♥♥ Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung. Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-22-2511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107, ♥email:
[email protected], ♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 15 Mei 2015. Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Kurniati C, Irwanto RR. 2015. Evaluasi nilai APTI dan API pada Swietenia macrophylla dan Agathis dammara yang terdapat di Kampus ITB Ganesha, Bandung. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1610-1614. Vegetasi dari berbagai bentuk hidup, baik pohon, perdu maupun herba dapat menjadi salah satu komponen yang berperan secara ekologis dalam memperbaiki lingkungan di suatu kawasan perkotaan. Setiap jenis tumbuhan memiliki kerentanan yang berbeda terhadap polusi udara. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi nilai APTI (Air Pollution Tolerance Index) dan API (Anticipated Performance Index) yang dikembangkan oleh Singh and Rao (1983). Tumbuhan yang digunakan adalah Swietenia macrophylla dan Agathis dammara yang merupakan pohon pelindung di Kampus ITB Ganesha. Metode yang digunakan adalah menghitung nilai APTI yang terdiri dari berbagai parameter fisiologi pada daun, diantaranya total klorofil, kandungan asam askorbat, kandungan air relatif, serta pH. Berdasarkan nilai APTI, tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu toleran (nilai APTI 30-100), intermediet toleran (nilai APTI 29-17), sensitif (nilai APTI 16-1), dan sangat sensitif (nilai APTI <1). Nilai APTI kemudian digunakan untuk menghitung Nilai API (Anticipated Performance Index) yang dianalisis berdasarkan nilai APTI, karakter biologi dan nilai sosio-ekonomi. Nilai API dapat digunakan untuk merekomendasikan tumbuhan yang akan dipilih sebagai tumbuhan yang berfungsi ekologis, diantaranya sebagai penyerap polusi. Hasil penelitian menunjukan nilai APTI pada S. macrophylla adalah 7.02 sedangkan nilai APTI A. dammara adalah 8.54, sehingga kedua tanaman tersebut dikelompokkan ke dalam tumbuhan sensitif terhadap terhadap polusi udara. Nilai API pada S. macrophylla adalah 41,18% sehingga termasuk kategori spesies poor, sedangkan nilai API pada A. dammara adalah 54,94% sehingga termasuk kategori spesies moderate. Kata kunci: Agathis dammara, APTI, API, Kampus ITB Ganesha, Swietenia macrophylla Singkatan: APTI = Air pollution tolerance index, API = Anticipated Performance Index
Kurniati C, Irwanto RR. 2015. Evaluation on APTI and API values of Swietenia macrophylla and Agathis dammara in ITB Ganesha Campus, Bandung. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1610-1614. The vegetations of various forms of life, such as trees, shrubs and herbs contributes to create the function and ecological benefits and improve the environment. Each species of plant have different susceptibility to air pollution. This study was conducted to evaluate APTI (Air Pollution Tolerance Index) and API (Anticipated Performance Index) of Swietenia macrophylla and Agathis dammara growth in Campus ITB, Ganesha. Singh and Rao (1983) have developed the Air Pollution Tolerance Index (APTI), which is based on four biochemical properties of leaves i.e ascorbic acid, total chlorophyll, relative water content and pH leaf extract. Based on APTI index, the various plant species can be grouped as tolerant plants (APTI grades 30-100), intermediate tolerant plants (APTI grades 17-29), and highly sensitive plants (APTI grades < 1). API (Anticipated Performance Index) measured based on APTI index add by biological and socio-economic characters. The results showed that APTI value of S. macrophylla was 7,02, while APTI value of A. dammara was 8,54. Therefore, those plants can be grouped as sensitive plant species. API value of S. macrophylla was 41,18% so can be categorized as poor performers. API value of A. dammara was 54,94% so can be categorized as moderate performers. Keywords: Agathis dammara, APTI, API, Swietenia macrophylla, ITB Ganesha Campus
PENDAHULUAN Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan salah satu kampus yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat. Semakin meningkatnya pengguna kendaraan bermotor oleh civitas akademika ITB menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan kampus. Salah satu dampak negatif
yang ditimbulkan adalah bertambahnya tingkat polusi udara. Pengurangan polusi merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan oleh ITB sebagai upaya memperbaiki kondisi lingkungan kampus. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan pemilihan jenis tumbuhan yang tepat untuk ditanam di Kampus ITB. Kehadiran pohon di lingkungan kampus dapat meningkatkan kualitas
KURNIATI & IRWANTO – Analisis APTI dan API di Kampus ITB Bandung
udara, karena tumbuhan dapat mengurangi polutan melalui penyerapan gas dan partikel polutan. Oleh karena itu, pemilihan pohon yang ditanam di kampus tidak saja harus memiliki nilai estetika tetapi juga harus memiliki fungsi secara ekologis. Setiap spesies memiliki respon yang berbeda terhadap polusi udara. Beberapa spesies ada yang sensitif ataupun yang toleran. Kategori tanaman sensitif atau toleran ditentukan oleh beberapa parameter yaitu kandungan asam askorbat, kadar air relatif, kandungan klorofil, pH ekstrak daun, dan aktivitas peroksida asam askorbat. Selain itu, kerentanan jenis tanaman tergantung kepada karakteristik partikulat. Pengelompokkan tanaman ke dalam kelompok sensitif dan toleran sangat penting karena dapat menjadi indikator polusi udara dan sebagai sink pengurangan polusi udara (Tripathi et al. 2007). Spesies sensitif dapat digunakan sebagai indikator awal adanya polusi, sedangkan spesies yang toleran dapat membantu mengurangi beban pencemaran (Sing dan Rao 1983). Penyeleksian spesies yang sensitif dan toleran terhadap polusi udara sangatlah penting untuk dilakukan. Secara alami faktor yang dapat mengurangi tingkat polusi udara meliputi curah hujan, reaksi kimia yang terjadi antar senyawa polutan, sedimentasi, dan penyerapan partikulat polutan (Chamberlian 1967; Tripathi et al. 2007). Tanaman dapat menyerap dan memfiltrasi polutan dengan proses penyerapan, adsorpsi, detoksifikasi, akumulasi, dan metabolisme (Beckett et al. 1998). Beberapa komponen pada tanaman seperti asam askorbat, klorofil, kadar air relatif, dan pH ekstrak daun
Gambar 1. Lokasi Kampus ITB Ganesha.
1611
terhadap toleransi polusi pada tanaman, parameter tersebut dihitung bersama dalam suatu formulasi untuk mendapatkan nilai empiris untuk menandakan nilai APTI (Air Pollution Tolerance Index) (Sing dan Rao 1983). Evaluasi nilai APTI pada beberapa spesies tanaman bertujuan untuk menetapkan kepekaan spesies tanaman yang kemudian dapat digunakan untuk memilih tanaman yang memiliki toleransi terhadap polusi udara. Berdasarkan nilai APTI yang diperoleh serta karakter biologis dan sosioekonomi maka nilai API dari spesies tanaman dapat ditentukan nilainya (Tripathi et al. 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai APTI (Air Pollution Tolerance Index) dan API (Anticipated Performance Index) pada Swietenia macrophylla dan Agathis dammara yang terdapat di Kampus ITB Ganesha.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilakukan di wilayah Kampus ITB Ganesha (Gambar 1). Kampus ITB Ganesha secara admisnistratif terletak di Kelurahan Lebak Siliwangi, RW 3/RT 4, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan data dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat temperatur rata-rata kawasan Kota Bandung sekitar 23,5 oC dengan curah hujan per tahun pada tahun 2009-2010 berada pada rentang 2.011,26-2.097,6 mm (Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2010).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1610-1614, Oktober 2015
1612 Keterangan: Zona A Zona B Zona C Zona D Zona E Zona F Zona G Zona H Zona I
Bagian utara: Sasana Budaya Gansha Bagian barat: Labtek II & III, Gedung SBM, Botanical Garden Bagian utara: GSG, Perpustakaan, Area parkir motor Bagian tengah: Gedung, Labtek X & XI, Oktagon, TVST, PLN, TPB Bagian tengah: Labtek V, VI, VII, VIII, Plaza Widya Nusantara Bagian timur: Pool kendaraan, FTTM, FITB, Kimia, GKU Timur Bagian tenggara: Gedung FSRD, SAPPK, Geodesi, LFM, Aula Timur Bagian barat laut: Gedung Dept. Teknik Sipil & Fisika, Aula Barat, lahan Parkir Bagian selatan: Taman Ganesha, Kompleks Masjid Salman
Tabel 1. Spesies di Kampus ITB Ganesha dengan jumlah individu terbanyak Zona
Spesies dominan
B B B C C C D D D E E E F F F G G G H H H Total Total Total
Agathis damara Syzygium polyanthum Bauhinia purpurea Szyzygium polyanthum Langerstroemia flos-reginae Tabebuia argentea Tabebuia argentea Langerstroemia flos-reginae Mimusops elengi Agathis damara Erythrina crista-galli Langerstroemia flos-reginae Ficus lyrata Syzygium polyanthum Pinus merkusii Swiatenia macrophylla Casuarina equisetifolia Elaeocarpus grandiflorus Swietenia macrophylla Mimusops elengi
Syzygium polyanthum Syzygium polyanthum Swietenia macrophylla Agathis damara
Jumlah individu 39 32 16 31 29 15 25 17 10 25 18 13 34 20 19 26 25 23 48 47 24 124 104 102
Tabel 2. Kelompok tanaman berdasarkan nilai toleransinya Nilai APTI
Respon
30 - 100 17-29 1 -16 <1
Toleran Intermediet toleran Sensitif Sangat sensitif
Cara kerja Dalam penelitian ini objek yang diukur adalah pohon Swietenia macrophylla dan Agathis dammara di Kampus ITB Ganesha pada zona B, E, G, dan H. Dimana pada zona B terdapat pohon A. dammara sebanyak 39 pohon dan pada zona E sebanyak 25 pohon. Pada zona G terdapat pohon Swietania macrophylla sebanyak 26 pohon dan pada zona H sebanyak 48 pohon (Pambudi 2012, komunikasi pribadi). Data jumlah spesies dominan di Kampus ITB Ganesha dapat dilihat pada Tabel 1 Dalam penelitian ini, APTI pada spesies tanaman yang berbeda dihitung dengan menggabungkan nilai kandungan asam askorbat, pH daun, kandungan total klorofil dan kandungan air relatif menjadi suatu persamaan matematika sebagai berikut : APTI = [A (T+P)+R]/10. Dimana, A adalah kandungan asam absorbat, T adalah kandungan total klorofil, P adalah nilai pH ekstrak daun, dan R adalah kandungan air relatif daun. Berdasarkan nilai APTI pada tanaman makan tanaman dapat dikelompokkan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 (Lakshmi et al. 2009). Kandungan asam askorbat sampel daun dianalis dengan menggunakan metode Keller dan Schwager (1977). Kandungan klorofil a dan b dihitung dengan metode yang digunakan oleh Maclachlan dan Zalic (1963). Untuk menghitung nilai pH ekstrak daun dilakukan prosedur sebagai berikut : Sebanyak 5 g sampel dihancurkan kemudian dihomogenisasi dalam 50 ml akuades. Setelah itu sampel disentrifugasi dan supernatan digunakan untuk mendeteksi pH dengan menggunakan pH meter digital yang telah dikalibrasi terlebih dahulu pada pH 4 dan pH 10. Kandungan air relatif dihitung dengan menggunakan metode Sen dan Bhandari (1978).
Tabel 3. Nilai APTI pada Swietenia macrophylla dan Agathis dammara Sampel 1 2 3 4 5 6 Rata-rata
A 0.018 0.017 0.008 0.009 0.012 0.008 0.0120
Swietenia macrophylla p T R 5.74 0.243 76.50 5.51 0.205 66.05 6.27 0.337 43.65 6.10 0.343 75.08 5.49 0.324 76.53 5.63 0.324 87.58 5.790 0.296 70.89
APTI 7.61 6.62 4.37 7.51 7.66 8.76 7.088
A 0.019 0.019 0.008 0.009 0.008 0.010 0.0122
P 4.71 4.82 4.50 4.91 3.72 3.89 4.425
Agathis dammara T R 0.195 80.18 0.188 81.79 0.309 86.51 0.334 88.11 0.347 88.01 0.347 87.60 0.287 85.37
APTI 8.03 8.19 8.66 8.82 8.80 8.76 8.54
KURNIATI & IRWANTO – Analisis APTI dan API di Kampus ITB Bandung
A
B
1613
C
Gambar 2. Mikroklimat area penelitian. A. Suhu, B. Kelembaban udara, C. Intensitas cahaya
Tabel 3. Parameter evaluasi nilai API (Anticipated Performance Index)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Karakter Toleransi
Biologi dan sosioekonomi
APTI
Habitus
Struktur kanopi Tipe tanaman Struktur daun Size
Pola penilaian
Nilai
9.0-12.0 12.1-15.1 15.1-18.0 18.1-21.0 21.1-24.0 Kecil Sedang Besar
+ ++ +++ ++++ +++++ + ++
Sparse/irregular globular Spreading crown/open/semi-dense Spreading dense Desidua Evergreen
+ ++ +
Kecil Sedang Besar Texture Halus Koriaseus Hardiness Delineate Hardy Economic Kegunaan < 3 value Kegunaan = 3 Kegunaan 3
+ ++ + + + ++
API dapat dihitung dengan menggabungkan nilai-nilai APTI ditambah dengan penghitungan karakter biologi serta sosio-ekonomi, yaitu habitus tanaman, struktur kanopi, jenis tanaman, karakteristik daun, dan nilai ekonomi. API dapat dihitung untuk spesies yang berbeda. Berdasarkan karakter tersebut, nilai yang berbeda (+ atau -) ditentukan untuk setiap spesies tanaman. Kriteria yang digunakan untuk menghitung nilai API untuk setiap spesies tanaman yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Selain itu dilakukan pengukuran parameter mikroklimat yaitu suhu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara menggunakan alat Sling Psychrometer, sedangkan intensitas cahaya diukur dengan menggunakan Lux Meter.
Nilai APTI dari S. macrophylla dan A. dammara ditunjukkan pada Table 3. Sementara itu, Gambar 2 menunjukkan kondisi mikroklimat lokasi penelitian. Pembahasan Berdasarkan Tabel 3, kandungan asam askorbat pada S. macrophylla adalah 0.0120 mg/g, sedangkan pada A. dammara adalah 0.0122 mg/g. Berdasarkan hasil yang diperoleh, S. macrophylla dan A. dammara memiliki kandungan asam askorbat yang rendah dibandingkan dengan Azadirachta indica yang memiliki nilai kandungan asam askorbat 8.78. Asam askorbat merupakan antioksidan yang ditemukan pada daun tumbuhan dan mempengaruhi resistensi tumbuhan terhadap kondisi lingkungan yang merugikan, termasuk polusi udara. Kontaminasi tanah dan polusi udara telah diketahui dapat menyebabkan penurunan kandungan asam askorbat pada tanaman Tibouchina pulchra (Klumpp et al. 2000). Berkurangnya mineral merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab dalam pembentukan ROS (Reactive Oxygen Species). ROS merupakan molekul reaktif yang sangat kecil yang dapat memnyebabkan kerusakan struktur sel tumbuhan. Oleh karena asam askorbat menurunkan konsentrasi ROS pada daun maka peningkatan kandungan asam askorbat pada daun akan meningkatkan pula toleransi tanaman terhadap polusi udara (Tripathi et al. 2007). Nilai pH ekstrak daun pada S. macrophylla adalah 5.790, sedangkan pada A. dammara adalah 4.425. Kandungan nilai pH yang ditinggi diketahui dapat meningkatkan toleransi terhadap polusi. Berdasarkan hasil tersebut dapat diindikasikan bahwa nilai pH pada S. macrophylla dan A. dammara bersifat asam, artinya efisiensi dalam konversi heksosa menjadi asam askorbat kurang maksimal berbeda dengan Azadirachta indica yang memiliki nilai pH 6,9. Nilai kandungan total klorofil pada S. macrophylla adalah 0.296 mg/g, sedangkan pada A. dammara adalah 0,287 mg/g. Kandungan klorofil akan menurun selama produksi ROS pada kloroplas di bawah kondisi yang tidak mendukung. Kandungan klorofil yang lebih tinggi diduga
1614
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1610-1614, Oktober 2015
mendukung toleransi tumbuhan terhadap polutan. Kandungan air relatif menguntungkan tanaman pada saat mengalami kekeringan (Tripathi et al. 2007). Kandungan air relatif pada S. macrophylla lebih rendah (70.89%) dari pada, A. dammara (85.37%). Nilai APTI pada S. macrophylla adalah 7.088 sedangkan nilai APTI A. dammara adalah 8.54. Sehingga kedua tanaman tersebut dikelompokkan sebagai tanaman sensitif. Oleh karena itu, kedua tanaman tersebut dapat dijadikan sebagai bioindikator lingkungan. API dapat dihitung dengan menggabungkan nilai-nilai APTI ditambah dengan penghitungan karakter biologi serta sosio-ekonomi, yaitu habitus tumbuhan, struktur kanopi, jenis tanaman, karakteristik daun, dan nilai ekonomi. API dapat dihitung untuk spesies yang berbeda. Berdasarkan karakter tersebut, nilai yang berbeda (+ atau -) ditentukan untuk setiap spesies tanaman.. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 5), Nilai API S. macrophylla adalah 41,18% sehingga termasuk ke dalam kategori spesies poor. Nilai API A. dammara adalah 54,94% sehingga termasuk ke dalam kategori spesies moderate. Poor species artinya tumbuhan tersebut kurang dapat menyerap polusi udara lebih banyak, sedangkan spesies moderate mampu menyerap polusi udara (Tripathi et al. 2007). Kehadiran pohon di lingkungan perkotaan dapat meningkatkan kualitas perkotaan dengan meningkatkan kualitas udara melalui kemampuan tumbuhan dalam penyerapan gas dan partikel polutan. Kategori tanaman sensitif atau toleran ditentukan oleh nilai parameter yang diukur, sehingga tanaman menunjukkan kerentanan yang berbeda untuk setiap polutan yang berbeda tergantung kepada karakteristik fisik partikulat, seperti bentuk, ukuran tingkat kelembaban, tekstur permukaan dari vagiab tanaman tidak perlu dibold. Spesies sensitif dapat digunakan untuk mellihat indikasi adanya polusi pada suatu lokasi, sedangkan spesies yang toleran, dengan kemampuannya menyerap polutan dapat membantu dalam
mengurangi beban pencemaran keseluruhan kemampuan tumbuhan menyerap partikulat.
dengan
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Laboratorium Preparasi, Ekologi dan Laboratorium Biosistematika ITB Bandung; serta Djuandi, Teh Mira, Agus Mawardi, Rahmat, dan lain-lain yang telah memberikan fasilitas.
DAFTAR PUSTAKA Beckett KP, Freer-Smith PH, Taylor G. 1998. Urban woodlands: their role in reducing the effects of particulate pollution. Environ Poll 99: 347360. Chamberlian AC. 1967. Deposition of particles to natural surface. In: Gregory PH, Monteith JL (eds), Airborne Microbes, 17th Symposium SOC General Microbiology. Cambridge University Press, London. Keller T, Schwager H. 1977. Air pollution and ascorbic acid. Eur J For Pathol 7: 338-350. Klumpp G, Furlan CM, Domingos M, Klumppa A. 2000. Response of stress indicators and growth parameters of Tibouchina pulchra Cogn. exposed to air and soil pollution near the industrial complex of Cubata˜ o, Brazil. Sci Total Environ 246: 79-91. Lakshmi PS, Sarvanti KL, Srinivas N. 2009. Air pollution tolerance index of various plants species growing in industrial areas. J Environ Sci 2: 203-206. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. [17 Februari 2014], http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/841. Sen DN, Bhandari MC. 1978. Ecological and water relation to two Citrullus spp. In: Althawadi AM (ed), Indian Arid Zone. Environmental Physiology and Ecology of Plants. Bishen Singh Mahendra Pal Singh, Dehra Dun, India. Singh SK, Rao DN. 1983. Evaluation of the plants for their tolerance to air pollution. Proc. Symp on Air Pollution control heal. IIT, Delhi. Tripathi AK, Gautam M. 2007, Biochemical parameters of plants as indicators of air pollution. J Environ Biol 28 (1): 127-132.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1615-1621
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010713
Evaluasi reforestasi di kawasan konservasi Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Sumedang Reforestation evaluation of the Gunung Masigit Kareumbi Game Reserve, Sumedang IZZAT NAFISHA MIRZA, RINA RATNASIH IRWANTO♥ Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl. Ganesa 10 Bandung40191,Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-250258,email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 15 Mei 2015. Revisi disetujui: 28 Agustus2015.
Mirza IN, Irwanto RR. 2015. Evaluasi reforestasi di kawasan konservasi Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Sumedang. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1615-1621.Reforestasi merupakan salah satu metode pemulihan lingkungan pasca kerusakan pada lahan ex area hutan.Reforestasi telah dilakukan di kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK), Sumedang, Jawa Barat yang dikenal dengan Program Adopsi Pohon (Wali Pohon) TBMK.Program ini selama enam tahun telah berhasil menanam sekitar 150 ribuan pohon,tetapi di lain fihak kegagalan penanaman bibit di kawasan reforestrasi mencapai 29%.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor penyebab kegagalan penanaman bibit dengan menganalisis pertumbuhan pohon yang diadopsi berdasarkan tahap hidup (semai,pancang, tiang dan pohon) ; menentukan jenis pohon yang paling banyak diadopsi serta menentukan faktor abiotik yang paling berpengaruh tehadap pertumbuhan pohon yang diadopsi.Penelitian dilakukan pada pohon yang berusia satu sampai lima tahun setelah tanam.Sampling dilakukan pada kuadrat berukuran 10 X 10 m2 dengan petak ganda yang diletakkan secara acak.Pada setiap plot usia tanam, dilakukan perhitungan jumlah individu per petak dengan mengelompokan sebagaisemai, pancang, tiang dan pohon, pengukuran DBH (diameteratbreastheight) pada ketinggian sekitar 1,3-1,5 m dari permukaan tanah.Selain itu juga diukur faktor abiotik, yaitu kelembapan udara, suhu udara, intensitas cahaya, pH tanah, suhu tanah, dan kelembapan tanah sedangkan analisis tanah dilakukan untuk menentukan antara lain kadar C, N, Rasio C/N, proporsi partikel tanah serta kadar air.Faktor abiotik dianalisis menggunakan Principal Component Analysis dan Stepwise Linear Regression.Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan jumlah individu seiring bertambahnya usia tanam, dengan tahap tumbuh pohon adopsi terbanyak baru mencapai tahap pancang.Jenis pohon yang paling banyak diadopsi adalah Puspa (Schima walichii) dan Suren (Toona sureni).Diduga faktor penyebab kekurang berhasilan penanaman adalah adaptasi pohon pada awal usia tanam, sedangkan faktor yang paling berpengaruh pada pertumbuhan pohon adalah kadar karbon dalam tanah. Kata kunci: Pohon adopsi, Principal Component Analysis, reforestasi, Stepwise Linear Regression Singkatan:Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK), diameter at breast height (DBH),Principal Component Analysis (PCA) Mirza IN, Irwanto RR. 2015. Reforestation evaluation of the Gunung Masigit Kareumbi Game Reserve, Sumedang. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1615-1621.Reforestation is one of method to restorethe vegetation damage in the exland forest area.Reforestation has been carried out in the Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK), Sumedang, West Java,well known as the Tree Adoption Program TBMK.The development of this program for six years showed the success of planting approximately 150 thousand trees, but on the other hand the failure of reforestation planting in the region reached 29%.The purpose of this study was to analyze the factors causing the failure of the planting of seedlings by analyzing tree growth adopted by life stage (seedlings, saplings, poles and trees) ; determine the tree species most widely adopted and to determine the most influential abiotic factors that affect tree growth.The research was carried out on trees aged one to five years after planting.Plant sampling was done in a square of 10 x 10 meters with a series of plot placed randomly.At each age of plot, the number of individuals were calculated and grouped as seedlings, saplings, poles and trees based on DBH (diameter at breast height) at 1.3-1.5 m from ground level.The abiotic factors measured are humidity, temperature, light intensity, soil pH, soil temperature and soil moisture while soil analysis was done to determine the concentration of C, N, C/N ratio, the proportion of soil particles and water content.The abiotic factors were analyzed using Principal Component Analysis and Stepwise Regression. The results showed a decrease in the number of individuals with age of planting, with trees growing stage reached the stage of adoption of the new majority stake. Tree species most widely adopted is puspa (Schima walichii) and suren (Toona sureni). The factor suspected cause of the lack of success factors was is adapted tree planting at the early age of planting, while the most influential factor in the growth of trees is carbon levels in the soil Keywords: tree adoption, Principal Component Analysis, reforestation, Stepwise Linear Regression
PENDAHULUAN Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya hayati, termasuk hutan yang merupakan gudang bagi
keanekaragaman hayati. Fungsi hutan sebagai penyangga daerah aliran sungai, habitat dan ekosistem bagi makhluk hidup tak dapat disangkal, juga manfaat ekonomi sertasebagai pengontrol iklim. Sayangnya, maraknya
1616
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7) : 1615-1621, Oktober 2015
deforestasi yang sebagian besar karena penebangan dan konversi lahan menyebabkan area hutan semakin berkurang, sehingga terjadi penurunan berbagai fungsi hutan. Diperkirakan pada tahun 2000-2012, Indonesia telah kehilangan sekitar 15,8 juta hektarhutan yang banyak terjadi di Sumatra dan Kalimantan.Berbagai upaya penanaman kembali telah dilakukan untuk menanggulangi dampak akibat kerusakan hutan, diantaranya dengan program reforestasi untuk mempercepat proses suksesi untuk mempercepat pemulihan hutan. Di Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK) yang saat ini dikelola oleh BKSDA bekerja sama dengan Kelompok Pecinta Alam, Wanadri, dilakukanprogram reforestasi dengan nama Program Adopsi Pohon, sering juga disebut Program Wali Pohon. Program ini membuka peluang bagi masyarakat untuk berperan aktif sebagai orang tua asuh bagi pohon yang ditanamnya dikawasan konservasi. Kewajiban utama para orang tua asuh adalah memberikan bekal kepada pohon asuhnya senilai Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap batang pohon yang di adopsi. Pengelola akan memelihara pohon tersebut selama tiga tahun dan apabila ada pohon yang mati dalam masa pemeliharaan itu, maka pengelola wajib menggantinya dengan tanaman lain, yang disebut dengan istilah penyulaman. Program Adopsi Pohon di TBMK mencakup persemaian, penanaman, dan pemeliharaan. Pada tahap penanaman, standar bibit yang digunakan adalah bibit dengan umur 6-12 bulan dengan tinggi 25-70 cm dan diameter pada leher akar berukuran lebih dari 3 mm. Sumber bibit berasal dari persemaian sendiri, mitra sekitar, bibit siap tanam supplier. Jarak tanam pada satu area tanam adalah sekitar 2-3 m per-pohon. Sebelum dilakukan penanaman, area dibersihkan dulu dari perdu dan herba, tetapi pohon yang terdapat pada hutan sebelumnya
Gambar 1. Letak Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK)
dibiarkan tumbuh, yang pada penelitian ini disebut pohoneks hutan. Sensus 2011 Program Adopsi Pohon di kawasan TBMK menunjukkan keberhasilan penaman sebanyak 150 ribuan pohon, tetapi kegagalan penanaman bibit mencapai 29%, sehingga data mengenai pertumbuhan pohon yang diadopsi menjadi penting untuk perencanaan dan evaluasi program ini. Penelitian ini dilakukan untuk menganalis pertumbuhan pohon yang diadopsi pada lima usia 1,2,3,4 dan 5 tahun tanam yang berbeda, menentukan jenis pohon adopsiyang terbanyak pada setiap tahun tanam, serta menentukan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon yang diadopis di kawasan TBMK.
BAHAN DAN METODE Areakajian Penelitian dilakukan di area konservasi wali pohon yang terdapat pada kawasan TBMK yang terletak di antara Kabupaten Garut, Sumedang dan Bandung. Secara geografis, TBMK terletak antara 6°51′31” sampai 7°00′12” LS dan 107°50′30” sampai 108°1′ 30”BT (Deni 2010). Luas kawasan Kareumbi berkisar 12.420,70 ha (Manajemen TBMK 2009). Cara kerja Pengumpulan data Pengambilan data mikroklimat, pencuplikan, serta pengukuran data vegetasi dilakukan pada bulan Agustus November 2014. Pengukuran data mikroklimat dilakukan pada pukul 08.00-13.00. Sampel tanah diambil pada plot 15 tahun usia tanam dan dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran (Balitsa), Lembang,
MIRZA & IRWANTO – Evaluasi reforestasi di Taman Buru Masigit Kareumbi
Bandung Barat. Data mikroklimat yang diukur adalah suhu dan kelembapan udara, serta intensitas cahaya. Data tanah yang dikumpulkan berupa suhu, pH dan kelembapan tanah. Sampel tanah dicuplik sebanyak kurang lebih 500 gram untuk kemudian dilakukan uji laboratorium. Uji tanah dilakukan untuk mengukur kadar C, N, Rasio C/N, P2O5, K, kandungan pasir, debu, liat, kadar air, dan KCl dalam tanah. Pencuplikan vegetasi dilakukan pada 15 plot kuadrat menggunakan petak ganda ukuran 10x10m yang diletakkan secara acak, dengantiga ulangan pada masing-masing usia tanam. Data yang dikumpulkan adalah DBHdan tinggi pohon. Pohon dikelompokkan berdasarkan tahap hidup berdasarkan DBH dan/atau tinggi, yaitu semai (tinggi pohon<1,5 m), pancang (tinggi pohon ≥1,5 m DBH <10 cm), tiang (DBH10-20 cm), dan pohon DBH≥ 20 cm (Hann dan David 1991; Latifah 2005). Pengukuran tinggi pohon dilakukan menggunakan Haga hypsometer, sedangkan DBH pohon diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran pertumbuhan dilakukan secara tidak langsung dengan menghitung jumlah individu pada plot pengamatan yang telah mencapai tahap hidup pancang, tiang dan pohon, tanpa melihat jenis pohon. Pengolahan dan Analisis Data Data vegetasi diolah dengan menggunakan Software MS. Excel, sedangkandata tanah dan mikroklimat dianalisis denganprogram SPSS. Analisis komponen utama (PCA) digunakan untuk mereduksi variable, sedangkan Stepwise Linear Regression untuk penentuan faktor abiotik yang paling berpengaruh untuk pertumbuhan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan pohon yang diadopsi Program Adopsi Pohon terdiri atas tahappembibitan, persemaian dan pemeliharaan. Sebelum dilakukan penanaman, area dibersihkan dulu dari perdu dan herba, tetapi pohon yang terdapat pada hutan sebelumnya, yang disebut pohoneks hutan (Tabel 1) dibiarkan tumbuh. Adanya pohon-pohon tersebut menyebabkan jarak tanam menjadi lebih rapat. Pada penelitian ini, analisis pertumbuhan dilakukan berdasarkan tahap hidup pohon yang diadopsi yang dikelompokan sebagai semai, pancang, tiang dan pohon tanpa mempertimbangkan jenis dan kecepatan
1617
pertumbuhan setiap jenis pohon. Diasumsikan pada setiap individu melalui prose tumbuh semai, pancang, tiang dan pohon. Ketika bibit pohon di pindahkan ke lokasi penanaman, tahap hidupnya adalah semai, sehingga pada plot pengamatan tahun 1, didominasi oleh semai.Dengan bertambahnya waktu, maka semai akan tumbuh menjadi pancang, kemudian tiang dan terakhir pohon. Idealnya, jika pertumbuhan bibit normal, seharusnya dengan peningkatan usia tanam, jumlah semai semakin berkurang, tetapi hasil di lapangan menunjukkan fenomena unik (Gambar 2). Hasil pengamatan pada tahun ke 2 tanam pada beberapa plot pengamatan, masih banyak ditemukan tahap hidup semai dan jumlahnya meningkat pada plot usia empat tahun. Pengamatan di lapangan menunjukkan, ternyata bibit pohon yang baru mencapai tahap semai tersebut sebagian besar merupakan hasil “sulam” yaitu proses penggantian bibit pohon untuk menggantikan bibit yang mati yang terdapat pada semua plot pengamatan.Sampai masa tanam lima tahun, tahap hidup yang mendominasi adalah pancang. Hal yang sama terlihat pada pohon eks hutanyang didominasi oleh pancang pula. Jenis pohon yang diadopsi Data mengenai komposisi jenis pohon yang diadopsi dirangkum dalam Tabel 2. Perbedaan komposisi jenis pada setiap area tahun tanam disebabkan pemilihan jenis pohon yang diadopsi pada setiap masa tanamberbeda.Jumlah pasokan bibit yang tidak menentu, menyebabkan ketidakpastian bibit yang akan ditanam setiap tahunnya. Tabel 1. Tanaman eks hutan di kawasanTaman Gunung MasigitKareumbi, Sumedang No.
Nama jenis
Nama lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Schima waliichi Altingia excelsa Syzigium polyanthum Persea americana Trema orientalis Artocarpus heterophyllus Melochia umbellata Khaya anthotheca Spondias pinnata Laura diversifolia Gmelina arborea Manglietia glauca Homalanthus populneus Coffea arabica Psidium guajava
Puspa Rasamala Salam Alpukat Kurai Nangka Bintinu Mahoni Uganda Kedondong Hutan Huru Sereh Gamelina Manglid Kareumbi Kopi Jambu Batu
Tabel 4. Selang hasil pengukuran mikroklimat dan edafik di Kawasan Reforestasi TBMK Umur plot 1 2 3 4 5
Suhu (oC) 23.33-25 22.78-27.22 23.89-28.89 22.22-24.44 25-27.78
Mikroklimat Kelembaban (%) 89-91 90 87-90 81-90 76-92
Cahaya (lux) 15700-71100 8840-76800 33700-104200 19400-104200 42400-44900
Suhu (oC) 19.8-21 21-22.5 21-24.5 20-23.5 21.5-25
Edafik Kelembaban (%) 25-30 30-50 30-45 50-52 35-65
pH 6.8-6.9 6.7-6.8 6.7-6.9 6.4-6.9 6.75-6.8
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7) : 1615-1621, Oktober 2015
1618
Tabel 2. Data komposisi pohon yang diadopsi per tahun tanam di kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi, Sumedang Tahuntanam 1 Tahun
Plot Pertamina 5
Sekar Telkom
Indonesia Mengajar
2 Tahun
Goes Go Green 2012 Pikiran Rakyat Pertamina 1
3 Tahun
Eiger 2
Merpati Putih
Nasdem
4 Tahun
IATMI
Dompet Dhuafa
Saratoga
5 Tahun
Anestesi
Damar Wanadri
Pohon yang diadopsi Ki Cangkudu (3) Ki Sireum Ki Tedja (2) Manglid (3) Manglid Pingku KiCangkudu (3) Ki Sireum (2) Salam (2) Keluwih Puspa (2) Raksamala (16)
Ki Cangkudu (3) Ki Cangkudu (2) Ki Hujan Gadog Puspa (5) Ki Honje Ki Amis Manglid Jambu Puspa Suren (2) Huru Batu Puspa Huru Minyak Manglid Manglid Raksamala Manglid (3) Huru Minyak Kayu Afrika Ki Sireum Suren (2) Huru Minyak Ki Sireum (3) Salam Ki Cangkudu Ki Jaranak Ki Honje Suren Ki Sireum Manglid Puspa (2) Ki Cangkudu (2) Salam (2) Mahoni Uganda Huru Batu (3) Ki Sireum (3) Ki Jaranak (2) Mahoni Uganda (3) Trembesi Manglid (2) Ki Tedja Mahoni Uganda Suren (2) Salam (2) Pasang Puspa Damar (4)
Tahap hidup Se Se Se Se Pa Se Se Se Se Se Se Se
Se Pa Pa Se Pa Pa Se Pa Se Se Pa Pa Pa Pa Pa Se Se Se Se Pa Pa Pa Se Se Se Pa Pa Pa Pa Se Se Se Se Se Se Se Se Se Se Se Se Se Pa Pa Pa Pa Pa Pa
Tumbuhan eks hutan Puspa Raksamala Salam Puspa
Tahap hidup Pa Pa Pa Ti
Puspa Alpukat Alpukat Salam Ki Harendong Raksamala Salam (2) Kurai (2) Alpukat Alpukat Kurai
Ti Ti Pa Pa Pa Pa Pa Po Po Pa Ti
Alpukat Nangka Puspa Alpukat Bintinu (2)
Pa Pa Ti Ti Pa
Alpukat (2) Mahoni Uganda Alpukat Mahoni Uganda Puspa
Po Po Pa Pa Pa
Kedondong Hutan Mahoni Uganda (3) Puspa
Po Ti Pa
Nangka Huru Sereh Nangka Salam
Ti Pa Pa Pa
Mahoni Uganda Mahoni Uganda (3) Alpukat
Ti Pa Pa
-
-
-
-
Gamelina Gamelina Manglid Kareumbi Salam Kopi (4) Mahoni Uganda Mahoni Uganda Mahoni Nangka Jambu Batu (2)
Ki Cangkudu Se Salam (2) Se Ki Honje Se Huru Batu Pa Salam, Rasamala Pa Puspa Pa Keterangan: angka di belakang menunjukkan jumlah pohon; Pa, pancang; Se, semai; Ti, tiang; Po, pohon
Po Ti Ti Ti Ti Pa Ti Pa Pa Pa Pa
MIRZA & IRWANTO – Evaluasi reforestasi di Taman Buru Masigit Kareumbi
Tabel 3. Daftar spesies pohon yang diadopsi Nama jenis
Nama lokal
Agathis damara Altingia excelsa Artocarpus camansi Bischofia javanica Castanopsis acuminatissus Cinnamomum iners Cinnamomum sp. Dysoxylum sp. Engelhardia spicata Engelhardia spicata Khaya anthotheca Lithocarpus spp. Litsea sp. Maesopsis eminii Manglietia glauca Neolitsea sp. Pittosporum ferrugineum Polyosma ilicifolia Schima waliichi Syzigium lineatum Syzigium polyanthum Tarroneidea triveng Toona sureni
Damar Rasamala Keluwih Gadog Ki Jaranak Ki Tedja Ki amis Pingku Ki Hujan Trembesi Mahoni Uganda Pasang Huru Batu Kayu Afrika Manglid Huru Minyak Ki Honje Puspa Ki Sireum Salam Ki Cangkudu Suren
Perbandingan tumbuhan eks hutan dengan pohon yang ditanam dapat diamati pula pada Tabel 2. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat variasi jenis tanaman pada area reforestasi per tahun. Pada awal program, jenis yang dipilih antara lain puspa, rasamala, salam, manglid, ki cangkudu, gadog, jamuju, pasang, suren, ki honje, ki jaranak, pingku, trembesi, tetapi karena berbagai kendala, bibit yang ditanam berbeda per tahun tanam dan sangat tergantung ketersediaan bibit, sehingga jenis pohon yang terbanyak ditemukan adalah puspa (Schima walichii) dan suren (Toona sureni). Jenis tumbuhan eks hutan terbanyak yang ditemukan adalah alpukat (Persea americana) dan mahoni Uganda (Khaya anthotheca). Jenis tumbuhan yang di adopsi terdiri dari minimal 23 jenis yang didominasi oleh pohon penghasil kayu.
Tabel 5. Uji Principal Component Analysis mikroklimat dan edafik Komponen matrix (a) Suhu udara Kelembaban udara Intensitas cahaya Suhu tanah Kelembaban tanah pH tanah C N C/N P2O5 K Pasir Debu Liat H2O KCl
1 -0.616 0.859 0.180 -0.490 -0.932 0.939 0.712 0.990 -0.110 -0.011 -0.015 0.910 0.990 -0.989 -0.878 -0.988
Komponen 2 3 0.781 0.087 0.372 0.256 0.531 0.038 0.376 0.777 -0.357 -0.038 -0.150 -0.218 -0.487 0.461 -0.014 0.116 -0.767 0.603 0.045 0.911 0.958 0.265 0.365 -0.083 0.016 -0.057 -0.127 0.066 0.203 -0.399 -0.054 0.141
Gambar 4. Perbandingan Komposisi Semai dan Pancang
1619
4 0.052 -0.240 0.827 0.119 0.039 -0.222 0.208 0.081 0.189 -0.409 -0.103 -0.178 0.128 -0.035 -0.167 -0.033
Pengaruh faktor abiotik terhadap pertumbuhan pohon yang diadopsi Faktor abiotik merupakan faktor penting yang memengaruhi pertumbuhan tanaman. Suhu dan kelembaban berpengaruh penting dalam produktivitas primer dan kandungan organik yang tersedia (Boundless 2014). Selang hasil pengukuran mikroklimat dan edafik di lapangan dapat diamati pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 faktor mikroklimat pada lima plot pengamatan menunjukkan range (selang) sebagai berikut. Suhu berada dalam selang 22 - 280 C, kelembaban 76-92% serta intensitas cahaya 8840-104200 lux. Intensitas cahaya tertinggi terjadi pada area penanaman berusia tiga dan empat tahun. Pada area tersebut ditemukan banyak perdu, herba, dan tanaman hasil penyulaman tahap hidup semai. Herba dan rumput akan mendominasi pada masa awal penanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian (Coomes 2000) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan, herba atau semak dan perdu sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya yang cukup. Dengan banyaknya herba dan perdu yang tumbuh pada area tahun ke 4 penanaman, terjadi kompetisi yang lebih kuat untuk mendapatkan ketersediaan nutrisi dan air dari tanah. Hasil pengukuran kadar karbon organik, nitogen, rasio C:N, kadar P2O5, K, Pasir, Debu, Liat, H2O, dan KCl diuji dengan Principal Component Analysis (PCA) untuk mereduksi variabel uji hingga tersisa variabel yang dianggap memengaruhi. Hasil analisis data dengan Principal Component Analysis dapat diamati pada Tabel 5. PCA dilakukan untuk mereduksi dimensi variabel data input menjadi komponen utama yang berdimensi lebih kecil tanpa kehilangan informasi minimum (Shlens 2005). Nilai Eigen yang diterima haruslah lebih besar dari 70%. Berdasarkan hasil tersebut, dilakukan penandaan Nilai Eigen yang dapat diterima pada setiap variabel uji dengan peringkat tertinggi yang terdapat pada komponen pertama. Oleh karena itu, data komponen 1 digunakan dalam analisis lanjutan menggunakan Stepwise linear regression. Uji dengan Stepwise linear regression dilakukan dengan memasukkan variabel yang berpengaruh dari komponen 1 sebagai variabel independen dan jumlah pancang sebagai variabel dependennya. Uji ini dilakukan
1620
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7) : 1615-1621, Oktober 2015
untuk menentukan faktor abiotik yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan yang diukur dari jumlah pancang yang teramati. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor abiotik yang paling berpengaruh adalah kadar karbon dalam tanah (sig: 0.004 < α0.05; R square= 0.956 ~ 1). Dari uji korelasi Pearson, kadar karbon dalam tanah berinteraksi kuat dengan kandungan pH (sig = -0.943 < α0.05). Pembahasan Kematian bibit pohon dapat disebabkan banyak faktor, diantaranya daya tahan bibit dan kesesuaian bibit dengan lahan. Pohon yang baru ditanam umumnya mengalami stres akibat kehilangan banyak serabut akar pada saat dipindahkan dari persemaian, sehingga massa akar berkurang.Hal tersebut menyebabkan tanaman mengalami transplant shocked, yaitu penurunan daya tahan bibit yang akan meningkatkan kerentanan tanaman terhadap kekeringan, dan penyakit. Selain itu, jika bibit ditanam pada lahan kritis dan miskin nutrisi, maka tidak banyak pohon yang dapat tumbuh, seperti terjadipada area tahun tahun tanam ke 4 (Tabel 4). Di lokasi ini terjadi banyak kematian bibit pohon, sehingga paling banyak dilakukan penyulaman. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya tahap hidup semai pada lokasi ini. Pemilihan bibit yang akan ditanam di kawasan reforestasi sangat penting bagi keberhasilan program ini.Bibit dipilih berdasarkan jumlah stok bibit yang tersedia, dan belum mempertimbangkan komposisi jenis untuk setiap blok serta belum mempertimbangkan kesesuaian antara jenis bibit dan lahan. Sebagian bibit di persemaian diperoleh langsung dari hutan, tetapi perolehan bibit sulit diprediksi karena tidak diketahui kapan indukan menghasilkan biji. Bibit lainnya berasal dari sumber yang beragam, yaitu mitra sekitar, maupun dari beberapa pemasok yang menyediakan bibit siap tanam. Waktu penanaman dan pemeliharaan bibit yang tepat memengaruhi persentase bibit yang tetap hidup (Nawir 2008). Waktu penanaman yang optimal adalah pada awal atau pertengahan musim hujan. Di kawasan TBMK, kadang-kadang penanaman tidak dilakukan pada waktu tersebut (Agiariza 2014), karena berbagai faktor, diantaranya kesiapan bibit, sehingga kematian bibit banyak terjadi.Pemeliharaan pohon di kawasan penanaman yang luas menjadi kendala pada program ini. Salah satu faktor utama adalah banyaknya gulma yang tumbuh, seperti saliara (Lantana camara) dan berbagai jenis rumputrumputan, misalnya gelagah (Imperata cylindrica). Pada awal program adopsi pohon ini dilakukan, jenis yang ditetapkan untuk ditanam, antara lain puspa, rasamala, salam, manglid, ki cangkudu, gadog, jamuju, pasang, suren, ki honje, ki jaranak, pingku, trembesi. Pada kenyataan di lapangan terdapat berbagai kendala terutama keterbatasan bibit pohon, sehingga program ini lebih difokuskan pada program penanamannya dulu, tanpa melihat jenis pohonyang ditanam. Hal tersebut menyebabkan keragaman spesies pada setiap plot usia tanam. Adanya tumbuhan eks hutan dalam plot penanaman wali pohon menyebabkan terjadi kompetisi dalam mendapatkan nutrisi dan cahaya yang menghambat
pertumbuhan pohon yang ditanam. Pada persaingan seperti ini,dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pohon yang belum dewasa (Hairiah 2009), misalnya bibit dalam tahap hidup semai atau pancang. Kadar karbon dalam tanah seringkali diabaikan, walaupun sebenarnya merupakan faktor penting dan berpengaruh untuk kesuburan tanah.Kandungan karbon berperan dalam pelepasan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman, pembentukan struktur tanaman, memertahankan kelembapan, meningkatkan aerasi, fiksasi nitrogen, serta berpengaruh pada kesehatan tanah dan sebagai penyangga unsur-unsur yang berbahaya (Baldock 2008). Disebutkan pula oleh peneliti tersebut bahwa kadar karbon dalam tanah juga berperan untuk menjaga pH tanah agar tetap stabil. Eschen (2006) menemukan bahwa penambahan kadar karbon pada tanah bermanfaat pada proses restorasi.Dalam Hairiah (2009) disebutkan bahwa ketersediaaan air, hara dan cahaya yang merupakan faktor abiotik dalam jumlah terbatas dapat menyebabkan terjadinya kompetisi antar tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman dapat menurun. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan jumlah rata-rata wali pohon dari usia tanam satu hingga lima tahun, dengan tahapan tumbuh tertinggi mencapai pancang. Jenis wali pohon yang terbanyak ditemukan adalah puspa (Schima walichii) dan suren (Toona sureni). Jenis tumbuhan hutan terbanyak yang ditemukan adalah alpukat (Persea americana) dan mahoni uganda (Khaya anthotheca). Faktor abiotik yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan wali pohon di kawasan TBMK adalah kadar karbon dalam tanah.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Manajemen Taman Buru Masigit Kareumbi yang telah memberikan data dan memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Agiariza R. 2014. Evaluasi dan Strategi Pengelolaan Program Wali Pohon di Kawasan Taman Buru Masigit Jawa Barat. [Tesis]. Program Biomanajemen ITB. Bandung Baldock J. 2008. Soil Carbon: the basics. www.csiro.au Boundless. 2014. Boundless Biology: Abiotic Factors Influencing Plant Growth. www.boundless.com. Coomes DA, Grubb PJ. 2000. Impacts of root competitionin forests and woodlands: a theoretical framework and review ofexperiments. Ecol Monogr 70: 171-207. Deni 2010. Kajian awal terhadap potensi Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Jawa Barat untuk Pengembangan Ekowisata. Jurnal Ilmu Kehutanan4: 1-11. Eschen R., Muller H, Schaffner H. 2006. Soil carbon addition affects plant growth in a spesific way. J Appl Ecol 43: 35-42 Hairiah K.Suprayogo DNM 2009. Interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim: Kunci keberhasilan atau kegagalan dalam sistem agroforestri. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hann DWL, David R. 1991. Diameter growth equations for fourteen tree species in Southwest Oregon. Forestry Publications Office, Oregon State University, OR. Latifah S. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. Sumatera Utara: Kehutanan Pertanian Universitas Sumatera.
MIRZA & IRWANTO – Evaluasi reforestasi di Taman Buru Masigit Kareumbi Manajemen TNBK. 2009. Leaflet Wali Pohon Masigit Kareumbi. Program Konservasi Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit, BKSDA Jawa Barat, Bandung. Nawir AA 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa? Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.
1621
Shlens J. 2005. A Tutorial on Principal Component Analysis Systems Neurobiology Laboratory, Salk Insitute for Biological Studies and Institute for Nonlinear Science, University of California, San Diego La Jolla, CA
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1622-1626
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010714
Kontribusi hutan rakyat untuk kelestarian lingkungan dan pendapatan Contribution of small scale private forest for environmental and income sustainability ASMANAH WIDARTI Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165 Bogor 16001, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8633234, 7520067. Fax. +62-251-8638111, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 16 Mei 2015. Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Widarti A. 2015. Kontribusi hutan rakyat untuk kelestarian lingkungan dan pendapatan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 16221626. Hutan rakyat memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, maupun di bidang ekologi khususnya dalam perbaikan tata air dan perlindungan/pelestarian lingkungan, walaupun saat ini pengelolaan hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional. Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi di Jawa Barat dengan metode survai dan observasi lapangan untuk analisis vegetasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur vegetasi hutan rakyat (kebun campuran) lebih sederhana dibandingkan hutan alam, tetapi kerapatan pohon dan penutupan tajuknya hampir mendekati ekosistem hutan alam. Keanekaragaman hayati dan penutupan tajuk hutan rakyat lebih baik dari segi manfaat ekologis, yakni berkisar antara 96,4-246,3%. Dari segi sosial ekonomi hutan rakyat memberikan pendapatan kepada petani secara berkelanjutan, antara lain: kayu dan buah-buahan. Kata kunci: Ekologis, kebun campuran, komposisi, struktur vegetasi, pendapatan
Widarti A. 2015. Contribution of small scale private forest for environmental and income sustainability. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1622-1626. Small scale private forest has important role in social-economics life of community and in ecological condition especially in improvement of water system and environmental conservation, nowadays the small scale private forest is mostly managed as traditional methods. The research was carried out in west java using survey methods and field observation to conduct vegetation analysis. The result indicated that vegetation of small scale private forest structure (mixed farming) was more simple compare with those in natural forest, however its tree density and canopy cover was almost similar with those of natural forest. Its biodiversity and crown cover is better in its ecological benefit ie about 96.4% to 246.3%. From social economic small scale private forest support the supply of wood and provides income to the farmers continously Key words: Ecology, mix farming, vegetation structure, income
PENDAHULUAN Sejarah panjang telah dilalui dalam pengembangan hutan rakyat, di awali dari kegiatan penghijauan sekitar tahun 1951, sebagai upaya untuk merehabilitasi lahan krtis milik masyarakat, berlanjut dengan berbagai program seperti bantuan inpres, kemitraan dan kredit usaha hutan rakyat (KUHR) dan ada juga yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat. Hutan rakyat yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat merupakan salah satu model pemanfaatan sumberdaya lahan atas inisiatif masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari adanya hutan rakyat tradisional berbentuk ‘talun’ di Jawa barat yaitu pola kebun campuranyang di usahakan masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya murni), dengan tujuan menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya untuk meningkatkan pendapatan dan kelestarian lingkungan. (Widarti 2000). Hutan Rakyat sudah sejak lama memberikan sumbangan ekonomi maupun ekologis kepada pemiliknya maupun kepada lingkungan sekitarnya. Namun demikian pada awalnya hutan rakyat kurang mendapat perhatian
pemerintah, seiring dengan semakin berkurangnya peran hutan alam/produksi sedikit demi sedikit pemerintah mulai memperhatikan keberadaan hutan rakyat. Bahkan, akhirakhir ini Hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat telah diakui sebagai salah satu solusi permasalahan kehutanan di Indonesia. Luas hutan rakyat di ProvinsiJawa Barat pada tahun 2012 sebesar 973.860 Ha atausetara dengan 26,27% dari luas Provinsi Jawa Barat atau sebesar 28,23% dari luas hutan di Pulau Jawa, angka ini lebih rendah dari target 30%. Luasan hutan rakyat tersebut merupakan potensi yang sangat besar dalam mendukung penyediaan bahan baku kayu bagi industri kehutanan di Provinsi Jawa Baratdan berfungsi juga sebagai pendukung fungsi ekologi Daerah Aliran Sungai di Provinsi Jawa Barat (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2014). Perkembangan hutan rakyat walaupun dengan dukungan program dan pendanaan yang relative terbatas menunjukkan hasil yang luar biasa. Pada tahun 2004 produksi kayu rakyat di Propinsi Jawa barat mencapai 3.889.297,8 m3 dan di Banten mencapai kurang lebih 1 juta m3. Sementara di Propinsi Jawa tengah hutan rakyat telah
WIDARTI – Kontribusi hutan rakyat
mampu memasok bahan baku kayu sebesar 1,7 juta m3. Beberapa studi yang dilakukan melaporkan bahwa pemenuhan kebutuhan kayu pertukangan dan kayu bakar rakyat ternyata sebagian besar bersumber dari hutan rakyat pola kebun campuran hasil swadaya masyarakat (Djajapertjunda 2003). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keunggulan pola kebun campuran mendukung pelestarian lingkungan berkaitan dengan keragaman tumbuhan yang ada pada hutan rakyat dan perannya dalam perannya dalam produksi kayu dan pendapatan masyarakat.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di dua kabupaten tepat di Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan di Desa Ciburial, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten (Gambar 1). Mengingat kedua lokasi tersebut memiliki potensi hutan rakyat yang cukup luas. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode survai dan observasi langsung ke lapangan.
1623
Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis kebun campuran dilakukan analisis vegetasi. Data yang dikumpulkan meliputi; vegetasi tingkat pohon berdiameter > 10 cm, vegetasi tingkat pancang, pohon dengan tinggi > 1,5 m sampai pohon muda berdiameter < 10 cm dan vegetasi tingkat semai sampai pohon setinggi < 1,5 m. Untuk analisis struktur dan komposisi vegetasi tingkat tiang dan pohon (diameter ≥ 10 cm), dibuat petak contoh berukuran 50 m x 50 m sebanyak 14 petak di lokasi Pandeglang dan 7 petak di Sukabumi. Pada masing-masing petak dibuat 5 sub petak ukuran 5m x 5m untuk tingkat pengamatan pancang dan 5 subpetak ukuran 2m x 2m untuk pengamatan semai.Untuk menganalisis struktur vegetasi dihitung kerapatan, luas bidang dasar dan luas penutupan tajuk dari masing masing tingkat vegetasi pada kebun campuran. Komposisi dan dominansi jenis vegetasi di kebun campuran ditentukan dengan cara menghitung Indeks Nilai Penting, Indeks Dominansi dan Indeks Keanekaragaman. Data hasil survai diolah dengan menggunakan metode tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif
Gambar 1. Lokasi penelitian: A. Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, B. Desa Ciburial, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1622-1626, Oktober 2015
1624
HASIL DAN PEMBAHASAN Peran hutan rakyat terhadap lingkungan Kontribusi hutan rakyat dalam menopang lingkungan local dimana hutan rakyat itu berada tidak diragukan lagi. Beberapa studi, survey menunjukkan bagaimana hutan rakyat berkontribusi dalam memperbaiki lingkungan yang semula kritis dan tandus kini menjadi kawasan yang hijau dan subur. Pada beberapa tempat di Kabupaten Pandeglang, hutan rakyat bukan hanya melestarikan mata air tetapi telah menjadikan bermunculannya beberapa mata air baru. Hal serupa juga terjadi di daerah Sukabumi dimana keberadaan hutan rakyat berhasil menjaga debit sumber mata air yang ada di sekitarnya. Jenis pohon yang dikembangkan pada hutan rakyat kebun campuran terdiri dari jenis kayu-kayuan, buahbuahan dan tumbuhan tahan naungan. Jenis kayu yang umumnya dijumpai adalah albizia, mahoni, jati, acacia mangium, lame, rasamala dan untuk jenis buah-buahan adalah kelapa, aren, melinjo, durian, petai, nangka, kecapi, kemiri, jengkol, rambutan, mangga dan lain-lain. Sedangkan untuk jenis tanaman tahan naungan yang umum dikembangkan adalah kopi, pisang dan tanaman rempah/obat.Komposisi antara tanaman kayu, tanaman buah-buahan dan tanaman tahan naungan dapat kita lihat padaTabel 1. Dari jenis-jenis kayu yang ada pada kebun campuran, pohon albizia paling banyak dipilih, kemudian mahoni dan maesopsis berikutnya jati dan tisuk. Berdasarkan kegunaan maka jenis-jenis tersebut terdiri dari kelompok jenis kayu yang memenuhi berbagai kebutuhan seperti untuk kayu pertukangan, bahan baku industri, kayu bakar, untuk tujuan perbaikan hidroorology dan menyerap karbondioksida, sedangkan jenis-buah-buahan selain diperoleh hasil buah, kayunya juga mempunyai nilai jual yang tinggi seperti nangka, durian, kecapi, melinjo dan lain-lain.. sehingga memenuhi untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, peralatan rumah tangga, bahan baku industri, kayu energi dan lain-lain.. Tabel 1. Komposisi pohon pada hutan rakyat pola kebun campuran (ha) Komposisi tanaman (%) Kayu-kayuan Buah-buahan Tanaman bawah Jumlah pohon /Ha
Lokasi Pandeglang 49,95 55,75 3,30 613
Sukabumi 53,89 30,08 16,03 567
Tabel 2. Struktur dan komposisi vegetasi hutan rakyat pola kebun campuran di Pandeglang dan Sukabumi Jumlah jenis -Pohon dan tiang -Pancang -Semai Jumlah pohon Diameter rata-rata LBD rata-rata (m2/ha)
Lokasi Pandeglang 39 28 21 613 18,0 17,94
Sukabumi 28 39 16 567 18,3 10,62
Pada lahan kering dimana umumnya hutan rakyat diusahakan tingkat kehilangan unsur hara lebih intensif, terlebih jika kondisinya curam, sebagai akibat dari pelindian (leaching) yang terjadi bersamaan dengan proses perkolasi (percolation) dan limpasan air bawah permukaan (seepage) serta aliran permukaan (run off) (Sintanala 1989). Proses-proses tersebut menyebabkan menurunnya kesuburan lahan, Namun dengan pengembangan tanaman kayu-kayuan karena pohon umumnya berakar dalam dan berdaun lebat telah meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan daya pegang air tanah. Sehingga saat tidak turun hujan yang agak lama ketersedian air bagi tanaman menjadi lebih panjang (Imtias dan Syarifudin 1991). Pohon dapat mengurangi intensitas hujan yang jatuh langsung kepermukaan tanah, mencegah kerusakan agregat tanah dan mengurangi aliran permukaan. Bahan organik yang dihasilkan pohon akan memperbaiki dan memantapkan agregat tanah, yang selanjutnya akan memperbaiki aerasi dan infiltrasi serta mengurangi aliran permukaan. Tersedianya bahan organik dan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah akan meningkatkan aktivitas mikroba tanah, sehingga bisa meningkatkan kesuburan lahan. Sengon memenuhi jenis pohon serbaguna yang sangat diperlukan untuk merehabilitasi lahan kering yang kondisinya kritis. Hasil analisa vegetasi kebun campuran di Kabupaten Pandeglang dan Sukabumi menunjukkan bahwa struktur vegetasi kebun campuran meskipun lebih sederhana jika dibandingkan dengan struktur vegetasi di hutan alam, tetapi dari segi kerapatan pohon dan penutupan tajuk mendekati ekosistem hutan alam. Hasil inventarisasi vegetasi pada masing-masing kabupaten berturut turut di Pandeglang sedangkan di Sukabumi untuk tingkat tiang dan pohon ditemukan sebanyak 39 jenis dan 28 jenis. Untuk tingkat pancang, jumlah jenis yang ditemukan ada 28 jenis dan 20 jenis. Sedangkan untuk tingkat semai sebanyak 21 jenis dan sebanyak 16 jenis (Tabel 2.). Kerapatan pohon yang berdiameter > 10 cm, di kebun campuran umumnya hampir sama dengan kerapatan pohon di beberapa tempat di hutan alam antara lain seperti di Kalimantan Tengah 621 pohon/ha (Prajadinata 1996), di Wanariset 541 pohon/ha (Kartawinata et al. 1981) dan di Bukit Belalong-Brunei 663 pohon/ha (Pendry 1994). Meskipun kebun campuran merupakan bentuk budidaya tradisional ternyata masih bertahan sampai dengan sekarang. Kebun campuran tidak menggunakan budidaya intensif, sehingga lebih ramah lingkungan (environmental friendly). Pola tanam kebun campuran dipandang mempunyai kemampuan dalam memenuhi fungsi ekologi, ekonomi dan sosio cultural masyarakat (Nair 1993). Sama halnya dengan kerapatan pohon, penutupan lahan oleh bidang dasar pada kebun campuran di Pandeglang mencapai 17,94 m2/ha dan di Sukabumi 10,62 m2/ha. Hasil ini lebih rendah disebabkan pada lokasi kebun campuran jarang dijumpai tanaman yang berdiameter besar (>30 cm). Dari segi penutupan lahan oleh tajuk, di kebun campuran antara 96,4-246,3%, sementara di hutan alam tutupan tajuknya 170% (Murniati 1995). Secara keseluruhan dilihat
WIDARTI – Kontribusi hutan rakyat
dari potensi dan keanekaragama jenisnya, hutan campuran lebih baik. Berdasarkan indeks nilai penting (INP) masing-masing jenis di kebun campuran Pandeglang jenis yang mendominasi adalah jenis-jenis pohon hutan seperti mahoni (Swietenia macrophyla), kecapi (Sandoricum koetjape), maesopsis (Maesopsis eminii) dan albizia (Paraserianthes falcataria), sedang di Sukabumi jenis-jenis paling dominan adalah jenis buah-buahan yaitu duren (Durio zibethinus ) dan kelapa (Cocos nucifera), mahoni (Swietenia macrophyla dan jati (Tectona grandis) merupakan jenis dominan berikutnya. Dari analisis di atas, kebun campuran memiliki keunggulan dari segi ekologis. Kebun campuran memiliki sratifikasi tajuk yang berlapis-lapis karena masing-masing jenis pohon memiliki ketinggian yang berbeda dan terdapat variasi umur serta perbedaan lebar tajuk pohon, makanya mempunyai ketahanan yang kokoh terhadap serangan angin. Keaneka ragaman dari jenis pohon akan menghasilkan aneka biomas sehingga tingkat pengembalian kesuburan lahan lebih baik dibandingkan dari biomas monokultur. Prinsip kelestarian lain yang terlihat adalah adanya mekanisme permudaan, dalam melakukan penebangan petani lebih memilih tebang pilih sehingga tanah tidak terbuka penuh dan setelah penebangan selalu diikuti dengan penanaman dengan tanaman baru. Dalam praktek seperti ini di lapangan kelestarian hutan (Sustainable Forest Management)dapat terwujud, dimana dalam kebun campuran terbentuk struktur hutan normal ditinjau dari distribusi kelas diameter. Beberapa penelitian yang melaporkan tentang kelestarian ini adalah Haeruman et.al (1990).Dengan kelestarian sumberdaya diharapkan juga terjadi kelestarian usahanya. Peran terhadap produksi kayu dan pendapatan Keberadaan hutan rakyat telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi penyediaan kayu, produksi kayu rakyat. Hutan rakyat memiliki potensi yang besar, baik dari sisi potensi kayu yang dihasilkan maupun besarnya rumah tangga atau tenaga kerja khususnya di pedesaan yang bisa dilibatkan. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2014) melaporkan untuk tahun 2008 dari hutan rakyat dihasilkan kayu sebesar 2.900.628,95 m3, tahun 2009 2.579.679,54 m3, tahun 2010 menurun menjadi 1.756.483,71 m3. tahun 2011 meningkat mencapai 2.210.601,28 m3, sedangkan pada tahun 2012 produksinya sebesar 2.642.497,70 m3. Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa produksi hutan rakyat bersifat fluktuatif, hal ini berkaitan dengan luas hutan rakyat juga mengalami fluktuatif. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2014) menunjukan bahwa kebutuhan industri kayu di ProvinsiJawa Barat mencapai angka 5,3 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan Perum Perhutani baru memenuhi angka 250.000 m3/tahun (4,72%). Untuk emenuhi kekurangan tersebut maka dipasok kayu yang berasal dari hutan rakyat sebanyak 3 juta m3/tahun (56,6%) sedangkan sisanya dipenuhi dari kayu yang berasal dari luar Pulau Jawa Perkembangan hutan rakyat yang ada di Jawa Barat menunjukan trend yang terus meningkat dari tahun ke
1625
tahun. Perkembangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya dengan semakin membaiknya harga kayu rakyat serta banyaknya industri yang siap menerima kayu yang berasal dari hutan rakyat. Faktor ini yang cukup berpengaruh dalam memotivasi petani untuk serius menggarap hutan rakyat. Hutan rakyat pola kebun campuran memungkinkan pemanfaatan sepenuhnya tapak lahan, terutama pencampuran jenis toleran dan intoleran, daur pendek dan panjang, jenis kayu dan non kayu sehingga memberikan penghasilan yang berkelanjutan kepada petani. Pola tanam wanatani menjadi pilihan masyarakat karena memberikan penghasilan bersifat rutin, harian, mingguan, bulanan, musiman dan tahunan (Suharjito 2000), sehingga kebun campuran memberikan hasil secara berkelangsungan kepada petani. Penghasilan dari kebun campuran untuk berbagai lokasi berbeda disamping karena jumlah tanaman kayunya per satuan luas berbeda juga karena terdapat perbedaan dalam sistim penjualan kayu, di Pandeglang misalnya biasa dijual dalam bentuk pohon berdiri (Stumpage value) kepada tengkulak yang datang, sedangkan di Sukabumi beberapa petani mengolah dulu menjadi papan atau balok sehingga hasil yang diterima lebih besar. Dalam hal pemasaran hasil kebun, umumnya petani tidak mengalami kesulitan, tengkulak banyak yang datang ke desa dan harga umumnya ditentukan melalui kesepakatan kedua belah pihak. Kontribusi hasil dari kebun campuran pada total pendapatan petani cukup besar, di Kabupaten Pandeglang memberikan kontribusi sebesar 47,05% sedangkan di Kabupaten Sukabumi sebesar 58,33%. Hal ini menunjukkan peran yang cukup penting pada mata pencaharian petani, akan tetapi komoditi kayu dalam sistim budidaya kebun campuran diposisikan sebagai tabungan (Widarti 2000). Besarnya kontribusi hasil dari kebun seharusnya diikuti dengan memberikan perhatian yang serius dalam hal pengelolaannya. Keunggulan pola kebun campuran dari segi sosialekonomi petani yaitu: (i) meminimumkan resiko, (ii) frekwensi panen lebih sering, (iii) mengurangi pengangguran musiman, (iv) menjamin stabilitas biologis dan memperbaiki kesuburan tanah, (v) minimum tillage/ pengolahan dan efisiensi penggunaan air. Dengan demikian, pola wanatani tidak hanya memberikan manfaat ekonomis saja tetapi memiliki manfaat sosial dan lingkungan. Hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat merupakan pemanfaatan sumber daya lahan yang lebih efisien dengan hasil yang lebih bervariasi dan sekaligus mampu meningkatkan kualitas lingkungan. Hutan rakyat mendukung penyediaan kayu dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat. Pengembangan hutan rakyat dipengaruhi oleh kesungguhan masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya sekaligus melestarikan lingkungan DAFTAR PUSTAKA Sintanala A. 1989. Konservasi tanah dan air. Institut Pertanian Bogor. Bogor, Bogor.
1626
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1622-1626, Oktober 2015
Imtias A, Syarifudin K. 1991. Peranan pohon serbaguna dalam penelitian dan pengembangan polau usahatani. Prosiding Lokakarya Nasional Penelitian dan Pengembangan Pohon Serba Guna. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dengan F/FRED Project Winrock International. Cisarua – Bogor. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2014. Profil kehutanan Provinsi Jawa Barat. www.dishut.jabarprov.go.id (2Juni 2015). Djajapertjunda. 2003. Pengembangan hutan milik di Jawa. Alqaprint Jatinangor, Bandung. Kartawinata K, Abdulhadi R, Partomihardjo T. 1981. Composition and structure of lowland dipterocarp forest at Wanariset, East Kalimantan. Malayan Forester 44: 307-406. Murniati. 1995. Karakteristik vegetasi kebun campuran dan hutan nagari di Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Buletin Penelitian Hutan No 598. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Nair PKR. 1993. An introduction to agroforestri. Kluwer academica Publishers and ICRAF. Dordrecht, Netherlands. Pendry CA. 1994. Ecologycal studies on rain forest at three altitudes on Bukit Belalong, Brunei. [Dissertation]. University of Stirling. England. Prajadinata S. 1996. Studies on tree regrowth on shifting cultivation sites near Muara Joloi Central Kalimantan. (Thesis ), University of Stirling.England.. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat : Kreasi budaya bangsa. hutan rakyat di Jawa. Perannya dalam Perekonomian Desa. P3KM. Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widarti A. 2000, Kajian teknik silvikultur hutan rakyat. Seminar Peran Penelitian dan Pengembangan dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Hutan Menunjang Otonomi Daerah. Pusat Litbang Hutan dan Konsevasi Alam. Bogor 15 November 2000.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1627-1632
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010715
Aplikasi agroforestri sebagai upaya rehabilitasi Taman Wisata Alam Gunung Selok, Cilacap yang terdegradasi Application of agroforestry for rehabilitation degradated Gunung Selok Nature Tourism Park, Cilacap SUMARHANI Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jl. Gunung Batu No. 5. PO Box 165, Bogor 16610, Jawa Barat. Tel. +62-251-8633234, Fax. +62-251 8638111. email:
[email protected] Manuskrip diterima: 17 Mei 2015. Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Sumarhani. 2015. Aplikasi agroforestri sebagai upaya rehabilitasi Taman Wisata Alam Gunung Selok, Cilacap yang terdegradasi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1627-1632. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok merupakan kawasan hutan konservasi yang berada dalam pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. Secara administrasi pemerintahan kawasan ini masuk wilayah Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. TWA Gunung Selok yang kaya akan keaneka ragaman flora dan fauna saat ini telah rusak akibat alih fungsi kawasan menjadi lahan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Upaya restorasi TWA Gunung Selok pada blok pemanfaatan telah dilakukan rehabilitasi melalui pola tanam sistem agroforestri. Tujuan penelitian memperoleh informasi dan teknik restorasi TWA Gunung Selok secara partisipatif. Luas plot uji coba ± 3 ha yang terbagi dalam 18 petak dan dikelola oleh 18 petani penggarap. Jenis tanaman yang dicoba adalah tanaman hutan: ketapang (Terminalia catappa), salam (Syzygium polianthum), kedawung (Parkia roxburghii) dan kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum) dan tanaman serbaguna: kemiri (Aleurites moluccana), petai (Parkia speciosa), sukun (Artocarpus communis) dan mangga (Mangifera indica), dengan jarak tanam 5mx5m. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pertumbuhan awal tanaman umur 14 bulan yang meliputi persen hidup, pertumbuhan (riap) tinggi dan diameter tanaman adalah: a) tanaman serbaguna: kemiri (81,88%, 79,7 cm dan 1,1 cm), petai (80,62%, 16,49 cm dan 0,6 cm), sukun (81,59%, 18,29 cm dan 0,5 cm) dan mangga (84,15%, 20,93% dan 0,85; b), tanaman hutan : kedawung (76,43%, 44, cm dan 1,1 cm), salam (82,35%, 29,6 cm, dan 0,7 cm), kedoya (83,12%, 10,02 cm dan 0,6 cm) dan ketapang (83,67%, 41,94 cm dan 0,9 cm). Upaya rehabilitasi TWA Gunung Selok dengan agroforestri campuran pohon hutan dengan pohon serbaguna selain dapat mengembalikan fungsi ekosistem kawasan juga dapat menambah pendapatan masyarakat dari hasil tanaman serbaguna. Kata kunci: rehabilitasi lahan, kawasan konservasi, agroforestri, tanaman hutan dan tanaman serbaguna
Sumarhani. 2015. Application of agroforestry for rehabilitation degradated Gunung Selok Nature Tourism Park, Cilacap. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1627-1632. Gunung Selok Natural Tourism Park is conservation area managed by Division of Natural Resouces Conservation, Central Java. Administratively this area belongs to Karangbenda Village, Adipala Subdistrict and Cilacap District or about 37 km Easthtern of Cilacap city. Beside of its high biodiversity both flora fauna,this area also known as traditional religion activities with a good scenery. However this conservation area has been disturbed by enchroachment during reformation (1997/1998). The aim of the research is to obtain technique and information of rehabilitation in the area and increasing the farmer income continuesly by non forest timber product. The total area of this study is about 3 ha, consist of 18 block and managed by 18 farmer. The studies was started by environment basic survey, socialization, and arranged participatory technical design. The planted species consists of forest tree species: ketapang (Terminalia catappa), laurel leaf (Syzygium polianthum), kedawung (Parkia roxburghii) and kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum) and multi purpose trees: candle nut (Aleurites moluccana), petai (Parkia speciosa), bread fruit (Artocarpus communis) and mango (Mangifera indica), spacing 5x5 meter. The average initial growth at four teen month after planting i.e growth percentage, height growth and diameter growth are a) forest trees: P. roxburghii (76,43%, 44,9 cm and 1,1 cm), S. polianthum (82,35%, 29,06 cm, and 0,7 cm), D. gaudichaudianum (83,12% , 10,02 cm and 0,6 cm) and T. catappa (83,67%, 41,94 cm and 0,9 cm) and multi purpose trees : A. moluccana ( 81,88%, 79,7 cm and 1,1 cm), P. speciosa (80,62%, 16,46 cm and 0,6 cm), A. communis (81,59%, 18,29 cm and 0,5 cm) and M. indica (84,15%, 20,93 cm and 0,85). From the study, it can be concluded that model of forest and multi purpose trees combination is suitable to develop in the area in order to rehabilitate disturbed conservation area Keywords : land rehabilitation, conservation area, agroforestry, forest trees and multi purpose trees
PENDAHULUAN Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang terletak di
Cilacap, dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Tengah. Kawasan TWA Gunung Selok ini mempunyai posisi yang strategis karena berada di ruas jalur jalan lintas Selatan Jateng atau sekitar 37 km
1628
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1627-1632, Oktober 2015
sebelah Timur Kota Cilacap. Taman Wisata ini ini memiliki pemandangan yang indah, dapat melihat luasnya Samudra Hindia dari atas punggung bukit. Bahkan disekitar Gunung Selok terdapat beberapa padepokan tempat berziarah bagi orang-orang yang percaya. Karena itu, selain sebagai wisata alam kawasan TWA Gunung Selok juga sebagai wisata religius. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan pelestarian alam adalah kawasan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosisitemnya. Disisi lain, Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai manfaat sebagai tempat wisata dan rekreasi alam. Namun, kawasan TWA Gunung selok yang mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang perlu dilindungi kini telah rusak akibat penjarahan, penebangan liar dan perambahan untuk lahan pertanian. Pemanfaatan lahan untuk tanaman pertanian (padi gogo, palawija dan sayuran) dilakukan hingga pada lahan-lahan miring tanpa disertai tindakan konservasi, sehingga rawan erosi, longsor dan banjir di musim hujan dan kekeringan dimusim kemarau karena daya serap air oleh vegetasi berkurang. Masyarakat Desa Karang Benda, Cilacap yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Gunung Selok dalam memenuhi hidupnya mempunyai kebiasaan memanfaatkan TWA untuk mencari kayu bakar, mengambil nira dari pohon aren, jengkol, mencari burung, mencari lebah madu dan menggarap lahan untuk pertanian. Bismark dan Sawitri (2006), mengatakan salah satu bentuk tindakan yang dapat diterapkan di kawasan konservasi yang telah terokupasi adalah dengan kegiatan restorasi. Yakni suatu kegiatan yang lebih menekankan pada upaya pemulihan ekosistem melalui revegetasi secara aktif dengan jenis yang ada sebelumnya, sehingga mencapai struktur dan komposisi jenis seperti semula. Restorasi di kawasan konservasi perlu mempertimbangkan aspek ekologi dan pengaturan akses kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu sebuah model restorasi yang memungkinkan aksesnya diterima oleh masyarakat melalui penanaman jenis asli setempat dari berbagai jenis pohon dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat melalui tanaman semusim/ palawija sebagai tanaman selanya. Pemberian peluang kepada masyarakat dalam kegiatan restorasi diharapkan dapat memberikan pendapatan masyarakat jangka pendek dari hasil tumpangsari dan jangka panjang dari hasil hutan bukan kayu serta hasil jenis pohon serbaguna. Akhirnya kegiatan restorasi dapat memberikan manfaat ganda, yaitu pemulihan ekosistem kawasan dan peningkatka n kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan (Ditjen PHKA 2007). Sejalan dengan paradigma baru pembangunan kehutanan dari timber based forest management ke community based forest management (CBFM), maka sudah saatnya memberdayakan dan keberpihakan pada masyarakat sebagai pemeran utama pengelola sumberdaya hutan. Pada tahun 2002 Menteri Kehutanan menetapkan Social Forestry (SF) sebagai program dan kegiatan strategis yang memayungi pengelolaan hutan berbasis
masyarakat/Community Based Forest Management (Rusli 2003; Murniati dan Sumarhani 2010 ). Suatu hal perlu digarisbawahi dalam mengelolaan hutan dengan program SF yang meliputi kegiatan pengelolaan mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, evaluasi sampai dengan pembagian keuntungan dan resiko adalah tidak merubah status dan fungsi hutan serta tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan, namun memberikan hak dan tanggung jawab mengelola hutan secara menyeluruh pada areal yang telah ditetapkan dalam suatu kelembagaan SF. Peran serta masyarakat dan proses pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990. Kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Salah satu alternatif pemecahan masalah mengembalikan fungsi kawasan TWA Gunung Selok yang telah diokupasi masyarakat adalah melalui pengembangan agroforestri dengan jenis tanaman asli setempat. Menurut Nair (1993), penggunaan lahan dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan pertanian secara bersamaan atau bergilir disebut sistem Agroforestri. Praktek agroforestri yang dikembangkan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat di dalam maupun di luar kawasan sebenarnya telah berkembang lama di masyarakat. Sistem tersebut merupakan pengetahuan empirik yang dihimpun dalam kurun waktu yang panjang akibat dari ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Agroforestri yang dikembangkan masyarakat di dalam kawasan konservasi seperti Taman Wisata Alam, petani menghasilkan hasil hutan non kayu sebagai hasil utama dan tanaman semusim yang tahan naungan. Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan carbon (C) dari atmosfer. Karbon yang berasal dari CO2 tersebut diserap tumbuhan dimanfaatkan untuk fotosintesa dengan energi matahari menghasilkan karbohidrat dan disimpan dalam bentuk biomassa. Upaya mengembalikan fungsi kawasan konservasi Taman Wisata Gunung Selok yang terdegradasi telah dilakukan pengembangan agroforestri melalui kombinasi jenis pohon hutan dan pohon serbaguna. Tujuan penelitian ini yaitu untuk memperoleh informasi dan teknologi pemulihan kawasan konservasi TWA Gunung Selok secara partisipatif dan sekitar kawasan secara berkesinambungan melalui pengelolaan jenis pohon serbaguna. Selanjutnya dapat dipakai sebagai strategi dalam menghadapi perubahan iklim global sehingga harus tetap selalu dijaga fungsinya sesuai dengan keperuntukannya. serta meningkatkan pendapatan masyarakat.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok, Seksi Konservasi Wilayah III, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. Secara administrasi pemerintahan, lokasi penelitian ini masuk
SUMARHANI – Aplikasi agroforestri untuk rehabititasi TWA Gunung Selok
Desa Karang Benda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Letak kawasan TWA yang berada di pesisir pantai selatan Pulau Jawa, berbatasan langsung dengan hutan produksi Perum Perhutani dan areal persawahan penduduk. Lokasi penelitian dengan desa-desa yang mengelilingi kawasan konservasi TWAGS dapat di lihat pada Gambar 1. Bahan dan alat Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : (i) Bibit tanaman jenis pohon serbaguna/ penghasil buah, yaitu: kemiri (Aleurites moluccana), mangga (Mangifera indica), petai (Parkia speciosa) dan sukun (Artocarphus altilis), (ii) Bibit tanaman hutan, yaitu: ketapang (Terminalia catappa), kedawung (Parkia roxburghii), kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum) dan salam (Syzygium polianthum), (iii) Pupuk organik (kandang) dan an organik (Urea, TSP dan KCl), (iv) Insektisida diazinon, dan (v) Alat pengukur pertumbuhan tanaman seperti meteran, kaliper dan alat tulis. Pendekatan yang dilakukan Penelitian bersifat uji coba dengan menerapkan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM) dan dilakukan secara partisipatif (perencanaan, implementasi dan evaluasi). Sebelum plot uji coba dibangun, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi, survey biofisik lingkungan dan wawancara dengan petani. Dari hasil wawancara di
Gambar 1. Lokasi penelitian Taman Wisata Alam Gunung Selok
1629
dapat 18 orang petani sebagai penggarap plot uji coba, dengan luas plot masing-masing petani 1.200 m – 1.500 m². Selanjutnya dibuat rancangan teknis uji coba meliputi jenis tanaman, pola tanam dan proporsi kombinasi tanaman hutan dengan tanaman serbaguna secara partisipatif dengan petani, Perhutani, BKSDA dan peneliti sebagai vasilitator. Mengingat kawasan tersebut telah digarap oleh masyarakat, maka kegiatan yang diuji cobakan perlu dicari pendekatan yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi setempat. Pendekatan yang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam mengelola kawasan dilakukan sedini mungkin mulai dari sehingga masyarakat termotivasi untuk senantiasa melakukan tindakan rehabilitasi. Metode pelaksanaan Rancangan teknis dilakukan secara partisipatif oleh petani, Perhutani, BKSDA dan Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA). Rancangan teknis meliputi penentuan jenis tanaman, jarak tanam, pola tanam dan kebutuhan bibit yang diperlukan. Penentuan jenis tanaman didasarkan atas manfaat dan fungsinya ekologi maupun ekonomi. Seperti pohon serbaguna, dari hasil non kayu diharapkan dapat memberikan nilai ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Sedangkan pohon hutan berfungsi untuk memperbaiki sistem tata air, melindungi kerusakan tanah dan memperbaiki ekosistem hutan.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1627-1632, Oktober 2015
1630
Pola tanam yang dilakukan adalah larikan dengan proporsi 50% tanaman hutan dan 50% tanaman serbaguna dengan jarak tanam 5mx5m atau populasi tanaman 400 pohon/ha. Diantara larikan tanaman pokok hutan dan serbaguna dimanfaatkan petani untuk kegiatan tumpangsari dengan tanaman semusim (padi, jagung, cabe, kacang tanah, dan lain-lain). Jika tajuk tanaman pokok hutan dan serbaguna sudah saling menaungi lahan di bawahnya, maka kegiatan tumpangsari tidak lagi dapat dilakukan alternatif jenis tanaman lain yang dapat dikembangkan di bawah tegakan. Plot uji coba terdiri dari 18 petak yang terbagi dalam tiga blok (atas, tengah dan bawah). Masingmasing petak coba dikelola oleh seorang petani, sehingga keseluruhan yang terlibat dalam plot uji coba sebanyak 18 orang petani. Luas masing-masing petak lsekitar 1.2001.500 m². Luas keseluruhan plot uji coba ± 3 ha.
Gambar 2. Persen hidup (%) tanaman hutan serbaguna umur 14 bulan
dan tanaman
Pengumpulan dan analisis data Dua macam data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer yaitu data vegetasi yang meliputi persen tumbuh, pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Data sekunder yaitu hasil wawancara dengan responden petani penggarap di lokasi penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman hutan dan tanaman serbaguna Rata-rata persen hidup (%), pertumbuhan tinggi dan diameter dari delapan jenis tanaman umur 14 bulan setelah tanam di sajikan pada Tabel 1. Secara keseluruhan pertumbuhan tanaman hutan dan tanaman serbaguna mempunyai persen hidup yang cukup baik sekitar 76,43% sampai 84,15%, atau rata-rata persen hidup 81,73% (Tabel 1). Persen hidup yang cukup baik ini memperlihatkan bahwa delapan jenis tanaman hasil restorasi nampaknya mampu beradaptasi dengan kondisi kawasan yang terbuka akibat degradasi (Gambar 1). Mac Kinon et al. (1993), menyebutkan bahwa restorasi kawasan konservasi diantaranya dapat dilakukan melalui pengayaan spesies dari dalam maupun dari hasil pengembang biakan eksitu. Hasil restorasi melalui persen tumbuh yang cukup baik tersebut merupakan suatu indikator bahwa kawasan TWA Gunung Selok kedepan dapat menjamin keberlangsungan ekosistem secara optimal.
Gambar 3. Pertumbuhan tinggi tanaman hutan dan serbaguna umur 14 bulan
Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan delapan jenis tanaman di TWA Gunung Selok
Gambar 4. Riap diameter tanaman hutan dan tanaman serbaguna umur 14 bulan
Jenis pohon Kedawung Kedoya Kemiri Ketapang Mangga Petai Salam Sukun Jumlah Rata-rata
Persen hidup (%) 76.43 83.12 81.88 83.67 84.15 80.62 82.35 81.59 653.81 81.73
Riap tinggi (cm) 44.9 10.02 79.7 41.94 20.93 16.49 29.06 18.29 261.33 32.67
Riap diameter (cm) 1.1 0.6 1.1 0.9 0.85 0.6 0.7 0.5 6.35 0.79
Riap diameter (cm) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Riap diameter (cm) Pengamatan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman dalam sistem wnatani pada blok pemanfaatan TWA Gunung Selok disajikan dalam Gambar 2 dan Gambar 3. Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman hasil restorasi sebesar 10,02 cm - 79,7 cm dan riap diameter 0,5 cm sampai 1,1 cm. Untuk lebih jelasnya pertumbuhan tinggi dan diameter dari delapan jenis tanaman hasil restorasi dapat di lihat dalam Gambar 3 dan 4. Dari Gambar 3 dan 4 memperlihatkan bahwa tanaman kemiri mempunyai
SUMARHANI – Aplikasi agroforestri untuk rehabititasi TWA Gunung Selok
pertumbuhan tinggi dan diameter yang cukup tinggi dibanding dengan ke tujuh jenis tanaman lainnya. Tanaman kemiri selain dapat memperbaiki ekosistem kawasan yang terdegradasi, juga dapat menambah pendapatan petani melalui produksi buah kemiri. Manfaat tanaman secara ekonomi bagi kehidupan manusia adalah sangat besar. Peran tanaman dalam kehidupan Dalam sistem agroforestri terdapat berbagai jenis tanaman dengan kelas umur yang berbeda, hal ini menggambarkan suatu tatanan kehidupan yang sangat teratur dan harmonis diantara berbagai jenis phon dari berbagai umur dan ukuran yang membentuk suau komunitas hutan. Berbagai macam dari sistem agroforestri yang dapat dihasilkan oleh suatu jenis tanaman. Namun nilai hasil tersebut belum seberapa bila dibandingkan dengan peranan tanaman dalam mempengaruhi perubahan iklim baik mikro maupun makro. Suatu peran yang sangat penting dan tak dapat digantikan oleh organisme lain, sehingga bila hutan terdegradasi dapat mengancam kelestarian lingkungan. Tanaman menyerap air dan garam mineral dari dalam tanah, kemudian dengan bantuan sinar matahari dan gas CO2 diubah menjadi karbohidrat sebagai sumber energi dengan melepaskan O2 yang sangat diutuhkan oleh setiap mahluk hidup untuk pernafasan. Selanjutnya proses ini disebut fotosintesa .Betapa pentingnya peran tanaman bagi semua kehidupan yang ada di bumi. Peran tanaman sebagai pengatur iklim Selain mempengaruhi kondisi lingkungan, penggundulan hutan dalam skala luas akan mengakibatkan perubahan iklim global. Dengan rusaknya tanaman dan banyaknya kebakaran akan banyak gas CO2 terlepas ke atmosfer . Suatu gas yang pada tingkat konsentrasi tertentu dapat menyebabkan efek rumah kaca serta penipisan lapisan ozon atmosfir bumi. Pada akhirnya kondisi demikian akan mempengaruhi perubahan iklim dan pemanasan global. Oleh karena itu mempertahankan dan melindungi populasi tanaman yang berupa sisa-sisa hutan menjadi sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan secara umum. Peran pembinaan petani dalam menjaga kelestarian kawasan Bentuk komunikasi dan proses penyebaran informasi umumnya memperlihatkan pola komunikasi paternalistik yaitu kedudukan pemberi informasi lebih tinggi dibanding dengan penerima informasi. Sehingga petani yang memiliki informasi lebih banyak dijadikan konsultan bagi mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Kondisi demikian dapat dijadikan sebagai dasar oleh pembina untuk memecahkan masalah atau kesulitan yang muncul. Sedangkan pihak pembina sendiri dalam melakukan pembinaan tidak setiap hari berada di antara petani maka pembina memanfaatkan satu atau lebih di antara mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih tinggi untuk dapat dijadikan penyuluh antar petani seperti ketua kelompok.
1631
KETUA BENDAHARA
ANGGOTA
ANGGOTA
SEKRETARIS
ANGGOTA
ANGGOTA
Gambar 5. Diagram struktur organisasi Kelompok Tani Hutan TWA Gunung Selok, Cilacap
Pembinaan petani di lapangan dilakukan oleh staf dari BKSDA seksi konservasi Wilayah III Kabupaten Cilacap dan mandor dari Perhutani setempat. Kegiatan yang dilakuan adalah meningkatkan partisipasi aktif petani dalam mengelola kawasan. Tingkat partisipasi petani penggarap plot uji coba cukup baik, terlihat dari keberhasilan persen tumbuh delapan jenis tanaman hutan dan serbaguna cukup tinggi (> 80%). Syahyuti (2006), mengatakan bahwa petani yang miskin sekalipun masih terbuka jalan menuju perbaikan tingkat hidup asalkan dengan kekuatan kelompok atau berorganisasi. Selanjutnya kekuatan kelompok melalui kelembagaan yang kuat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pengelolaan hutan karena kelembagaan dibangun untuk tujuan tertentu dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan normanorma yang telah disepakati. Beberapa kegiatan partisipasi yang telah dilakukan oleh petani yaitu: pemeliharaan tanaman, merawat dan menjaga plot uji coba. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan program, salah satu langkah yang perlu ditempuh adalah penguatan kelembagaan. Namun demikian kelembagaan yang ada pada kelompok tani belum berjalan secara optimal, hal ini dikarenakan petani baru tahap awal pembelajaran dalam berorganisasi. Karena itu bimbingan dan bantuan tenaga penyuluh dari instanti terait seperti dari Badan Pelaksana Penyuluh/ BAPELLUH TK II Kabupaten Banyumas sangat diharapkan. Struktur organisasi yang ada pada kelopok tani hutan di TWA Gunung Selok masih sangat sederhana (Gambar 5). Rehabilitasi kawasan TWA Gunung Selok secara partisipatif memberikan hasil yang cukup baik, hal ini terlihat dari persen hidup tanaman yang cukup tinggi, peranserta petani penggarap cukup aktif, keterlibatan instansi terkait (BKSDA, Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap) juga menunjang keberhasilan rehabilitasi. Rehabilitasi TWA Gunung Selok yang cukup berhasil dapat direplikasi pada areal yang lebih luas sehingga kawasan yang terdegradasi dapat mengembalikan fungsinya sebagai perlindungan ekosistem dan tata air bagi daerah sekitarnya serta dapat juga memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Dari hasil diskusi multipihak, hasil uji coba
1632
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1627-1632, Oktober 2015
penelitian hendaknya dikembangkan dalam skala yang lebih luas sehingga nantinya dapat dipakai sebagai percontohan/pelatihan bagi masyarakat yang akan mengelola kawasan secara partisipatif.
DAFTAR PUSTAKA Bismark M, Sawitri R. 2006. Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Ditjen PHKA [Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan]. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.86/IVSet/H0/2007 tentang Petunjuk Teknis Rehabilitasi Habitat di Kawasan Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Mac Kinnon J, Mac Kinon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Penerjemah: Amir HH.. Gadjah Mada University, Yogyakarta. Murniati, Sumarhani. 2010. Model-model “Social Forestry”. Social Forestry Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan, Jakarta. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers, London. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan pelestarian Alam. Rusli Y. 2003. The Policy of The Ministry of Forestry on Social Forestr. International Conference on Rural Livelihoods, Forestry and Biodiversity, Bonn, Germany. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan Pertanian. P.T. Bina Rena Pariwana. Jakarta. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1633-1638
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010716
Manajemen kepemimpinan dalam pengelolaan budaya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bonebolango, Gorontalo Management of leadership in managing of biodiversity conservation culture in the Bogani Nani Wartabone National Park area, Bonebolango District, Gorontalo NOVIANTY DJAFRI Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo, Jl. Jendral Sudirman No. 6 Kota Gorontalo 96128, Provinsi Gorontalo, Indonesia. Tel. +62-435-821125 Fax. +62-435-821752, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 19 Agustus 2015.
Djafri N. 2015. Manajemen kepemimpinan dalam mengelola budaya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bonebolango, Gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1633-1638. Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) memiliki keanekaragaman ekosistem yang menarik dan mempunyai tingkat keendemikan flora dan fauna yang tinggi. Berbagai flora endemik ataupun langka terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), antara lain pisek (Aglaia minahassae), pinangyaki (Areca vestiaria), aren (Arenga pinnata), rotan umbul (Calamus symhicuplus), palahutan (Knema celebica), woka (Livistonya rotundifolia), palem landak (Oncosperma harrindum), pondang (Pandanus sp), linggua (Pterocymbium sp), meranti (Shorea sp). Pengelolaan budaya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan ini membutuhkan peran penting dari seorang pemimpin. Peran kepemimpinan menjadi sangat strategis dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan berwawasan lingkungan dengan pendekatan budaya (kearifan lokal). Sumberdaya alam yang melimpah akan menjadi kurang berarti apabila tidak ada peran kepemimpinan yang mampu menggerakan segenap potensi yang ada dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang digunakan berupa data sekunder dan primer yang diperoleh di lapangan dan studi literatur hasil penelitian sebelumnnya. Hasil penelitian ini menemukan Efektivitas pola kepempinan yang dapat dijadikan pijakan dasar guna mengelola berbagai keanekaragaman hayati di TNBNW dengan berpijak pada budaya (kearifan lokal) masyarakat setempat. Kata kunci: Manajemen, kepemimpinan, budaya, keanekaragaman hayati
Djafri N. 2015. Management of leadership in managing of biodiversity conservation culture in the Bogani Nani Wartabone National Park area, Bonebolango District, Gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1633-1638. The Bogani Nani Wartabone National Park (TNBNW) has a diversity of ecosystems that are interesting and have a level of keendemikan flora and fauna is high. Various flora endemic or rare, among others, pisek (Aglaea minahassae), pinangyaki (Areca vestiaria), palm (Arenga pinnata), rotanumbul (Calamus symhicuplus), palahutan (Knema celebica), woka (Livistonya rotundifolia), porcupine palm (Oncosperma harrindum), along (Pandanus sp), linggua (Pterocymbium sp), meranti (Shorea sp). Management of cultural preservation of biodiversity in the region require an important role of a leader. Leadership role to be very strategic in realizing the success of the development of insightful environment with a cultural approach (local wisdom). The abundant natural resources will become less meaningful when there is no leadership roles who are capable of moving all the existing potential in managing natural resources and utilize them. The method used is descriptive qualitative. Data to be used in the form of primary and secondary data which can be retrieved in field studies and literature research results was. The results of this research found a wide pattern of leadership that can be used to manage different basic foothold of biodiversity in TNBNW with rests on culture (local wisdom) of local people. Keywords: Management, leadership, culture, biodiversity
PENDAHULUAN Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) sebelumnya bernama TN Dumoga Bone memiliki luas 287.115 ha diusulkan menjadi tanaman nasional pada saat Kongres Taman Nasional Sedunia Ketiga di Bali pada 1982. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa Bone (110.000 ha), Suaka Margasatwa Dumoga (93.500 ha), dan
Cagar Alam Bulawan (75.200 ha). Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone mencakup dua kabupaten di dua provinsi, yaitu: Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara seluas 177.155 ha dan Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo seluas 110.000 ha. Penetapan taman nasional ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 1127/Kpts-II/1992, tanggal 19 Desember 1992. Tujuan utama perlindungan kawasan ini adalah sebagai daerah
1634
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1633-1638, Oktober 2015
tangkapan air dari dua DAS besar, yakni DAS Dumoga dan Bone. Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki berbagai flora endemik ataupun langka. Sune (2012) menemukan beberapa jenis tumbuhan di taman nasional ini, antara lain: pisek (Aglaia minahassae), pinang yaki (Areca vestiaria), aren (Arenga pinnata), rotan umbul (Calamus symhicuplus), palahutan (Knema celebica), woka (Livistonya rotundifolia), palem landak (Oncosperma harrindum), pondang (Pandanus sp.), linggua (Pterocymbium sp.), meranti (Shorea sp.). Selanjutnya Masionu 2014, menemukan beberapa spesies tumbuhan di Sub Kawasan Lombongo, yaitu pohon rao (Dracontomelon dao), merbau (Intsia bijuga), kayu hitam/ eboni (Diospiros celebica), rotan (Calamus ornatus), aren (Arenga pinnatta), palem duri (Aiphanes caryotafolia), beringin (Ficus benjamina), bayur (Pterospermum javanicum), pulai (Alstonia scholaris) dan nantu (Palaquium obtusifolium). Hal ini disebabkan oleh kisaran ketinggian tempat yang beragam mulai dari 50-1970 m dpl. Hampir seluruh kawasan TNBNW ditutupi oleh hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah, namun dengan tingkat kelerengan yang tinggi ditunjang dengan kondisi tanah subur yang tipis, membuat kanopi atau tegakan tampak rendah dan sedikit terbuka. Untuk mengelola sumberdaya hayati di TNBNW, maka diperlukan pola kepemimpinan yang maksimal dalam mengaturnya. Pelaksanaan otonomi didaerah-daerah, diharapkan mampu membawa perubahan paradigma pengelolaan khususnya untuk TNBNW yang berfokus pada pelestarian Sumber Daya Alam, sehingga menjadikan peran seorang pemimpin tidak hanya menjadi seorang kepala daerah yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administrasi lainnya, namun juga menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan visi dan misi untuk dapat menjadi manajer yang sekaligus menjadi pembaharu untuk semua komponen individu yang terkait dengan kondisi lingkungan sekitar kita. Pemimpin pembaharu menurut Covey (1997) adalah pemimpin yang mampu melakukan perubahan yang radikal tidak sekedar incremental. Sehingga, peran kepala daerah selain menjadi seorang pemimpin, manajer juga sekaligus sebagai pembaharu yang memiliki inovasi. Konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut, seorang pemimpin disyaratkan memiliki karakteristik dan kompetensi yang berwawasan lingkungan untuk mendukung tugas dan fungsinya dalam mengelola sekitar lingkungannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Enger dan Smith (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang saling harmonis antara lingkungan dengan manusia terutama perilaku manusia pada lingkungan. Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan dapat dilihat dalam aktivitas masyarakat dalam mengelola lingkungan sekitarnya seperti mengelola sumberdaya alam, dalam penelitian ini TNBNW. Sehingga penelitian ini diarahkan pada bentuk atau pola pemimpin dalam mengelola TNBNW di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan pola kepemimpinan dalam mengelola pemanfaatan
keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, pulau Sulawesi bagian utara.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilaksanakan di Sub Lombongo, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kecamatan Suwawa Tengah Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo (Gambar 1). Cara kerja Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survey, yaitu meninjau dengan mensinkronkan kepemimpinan kepala daerah dalam mengatur TNBNW, dengan mendeskripsikan pola manajemen kepemimpinan yang berwawasan lingkungan dalam mengelola pemanfaatan keanekaragaman hayati di TNBNW Kabupaten Bone Bolango. Prosedur Kerja: Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengambilan data pada penelitian adalah sebagai berikut : a. Menentukan lokasi survey untuk pengambilan sampel. b. Menelusuri data primer dan data sekunder. Data Primer Dilapangan bagaimana pemimpin dalam melaksanakan tugas terhadap manajemen lingkungan kerja (Alam dan Masyarakatnya). Data sekunder berupa kajian literature perspektif pola kepemimpinan. c. Merumuskan Pola yang tepat untuk kepemimpinan Data didapat dari uji coba dan sebaran instrumen kepada masyarakat di sekitar TNBNW. Data yang didapat dari hasil pengujian variabel yang tidak valid dibuang, pernyataan valid digunakan untuk penelitian. Berdasarkan hasil olah data dari penelitian tersebut akan diketahui berapa persen (%). Analisis data Data dianalisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman jenis pohon di Kawasan TNBW Spesies tumbuhan pohon yang umum ditemukan di kawasan TNBNW Sub Lumbongo sebanyak enam spesies, yakni Dracontomelon dao, Intsia bijuga, Diospiros celebica, Ficus benjamina, Canarium asperum, Pterospermum javanicum. Jenis-jenis tumbuhan pohon yang terdapat di lokasi penelitian tersebut disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2. Keaneka ragaman jenis tanaman ini menjadi bagian dari asset yang harus di menej oleh kepala daerah sebagai pemimpin dalam mengelola komponen inovasi kepemimpinananya untuk kawasan peletarian keanekaragaman hayati di kawasan TNBNW Kabupaten BoneBolango. Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan berhabitus pohon yang umum ditemukan di Kawasan TNBW cukup banyak, namun yang masih tercatat dan langka hanya yang ada pada table tersebut, yakni pada jenis
DJAFRI – Kepemimpinan dalam mengelola TN Bogani Nani Wartabone
Sub Lumbongo, Gorontalo. Jenis tumbuhan ini juga yang menjadi informasi bagian fokus dari pelaksanaan tugas kepala daerah sebagai pemimpin dalam pengelolaan Sumber Daya Alam yang bersinergi dengan sumber data administrasi disamping konsentrasi data anggaran dan sumberdaya manusia yang harus mengelola kawasan TNBNW ini.
segera ditingkatkan dan ditindaklanjuti di lapangan bagi terciptanya pengelolaan taman nasional secara efektif dan optimal. Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan berhabitus pohon yang umum ditemukan di Kawasan TNBW Nama spesies
Aturan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di TNBNW Perhatian pemerintah dalam mengelola TNBNW didasarkan oleh perhatian pemerintah Pusat dalam pertemuan regional pengelolaan taman nasional dengan konsep tujuan yang urgen dan strategis, yang didasarkan oleh hasil survei Kepala Taman Nasional tahun 1998 yang menyatakan bahwa dukungan dan koordinasi Pemerintah Daerah merupakan komponen terpenting yang perlu untuk
1635
Dracontomelon dao Intsia bijuga Diospiros celebica Ficus benjamina Canarium asperum Pterospermum javanicum
Nama lokal Rau Pilobintalahe Pongapuhu Beringin Tohetutu Boyuhu
Nama perdagangan Rau Merbau Eboni/kayu hitam Beringin Kenari Bayur
Gambar 1. Lokasi peneltian Sub Lombongo, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
1636
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1633-1638, Oktober 2015
Disamping pertemuan regional pengelolaan taman nasional itu, juga menjadi penting dengan telah diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU tersebut memberikan otonomi kepada Pemerintah Daerah untuk menangani bidang-bidang pekerjaan tertentu di Daerah. Natural Resourch Management Program (NRM Program) merupakan kerjasama tahap kedua antara pemerintah Amerika Serikat melalui USAID dan Pemerintah Indonesia, untuk mendukung pengelolaan sumberdaya Alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia. Salah satu komponen dalam bantuan tersebut adalah komponen Pengelolaan Kawasan Konservasi yang bertujuan untuk mendukung Departemen Kehutanan, dalam hal ini Direktorat jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA) dalam memperkuat kelembagaan serta meningkatkan kemampuan personelnya dalam mengelola kawasan pelestarian alam (Data Kehutanan 2013). Berdasarkan hal tersebut diatas tidak terkecuali pemerintah Gorontalo yang memiliki kawasan Taman Nasional juga mendapatkan perhatian dari Direktorat Jenderal PKA bekerjasama dengan Program NRM dalam
A
mewadahi untuk berkomunikasi di antara para pengelola Taman Nasional dengan instansi terkait lainnya. Pembahasan Manajemen dapat diimplementasikan dan diapliksikan melalui optimalisasi fungsi manajemen system pengendalian intern yang secara umum dapat membantu suatu organisasi mencapai tujuan operasional yaitu efektivitas dan efisiensi kegiatan, keterandalan laporan keuangan, dan kepatuhan pada peraturan yang berlaku. Sistem pengendalian intern pemerintah: memiliki tujuan untuk mencapai kegiatan pemerintahan yang efektif dan efisien, perlindungan asset negara, keterandalan laporan keuangan, dan kepatuhan pada perunda-undangan dan peraturan serta kebijakan. Berkaitan dengan pengelolaan lahan di TNBNW, hal ini membutuhkan keseriusan dari pemerintah Provinsi Gorontalo lebih khusus lagi oleh pemerintah Kabupaten Bone Bolango, yakni pada fungsi manajemen POAC (Planning, Organizing, Actuating, and Controlling) haruslah berbasis penyangga sistem kehidupan ekosistem lingkungan disekitarnya. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya persamaan persepsi dan kerjasama institusi yang bersifat manajemen controlling yang dapat mengkoordinir secara terpadu dalam mewujudkan kelestarian ekosistem di TNBNW tersebut.
B
D
E
C
F
Gambar 2. Jenis-jenis pohon yang umum ditemukan di Kawasan TNBW Sub Lumbongo, Gorontalo: A. Draconto melondao, B. Intsia bijuga, C. Diospiros celebica, D. Ficus benjamina, E. Canarium asperum, F. Pterospermum javanicum (Masionu F 2014)
DJAFRI – Kepemimpinan dalam mengelola TN Bogani Nani Wartabone
Adapun kasus masyarakat yang menjadi kelemahan controlling pemerintah sebelumnya, untuk Jenis tumbuhan yang telah disebutkan pada hasil table 1 dan Gambar 1; ini oleh sebagian pohonnya yang sudah tua umurnya oleh sebagian masyarakat sudah ditebang untuk dimanfaatkan sebagai: kayu bakar, dijual untuk menambah kebutuhan ekonomi dan juga disekitar pohon itu sudah digali untuk dijadikan pertambangan emas. Peringatan keras yang dilakukan oleh pihak pemerintah kepada masyarakat adalah diminta kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif khususnya kepada masyarakat yang dituakan dilingkungan sekitar TNBNW dalam pelestarian dan pengelolaan secara bersama dengan pemerintah terhadap sumberdaya alamnya khususnya di TNBNW. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Kepemimpinan TNBNW mengalami konflik kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga banyak penambang liar merusak ekosistemnya. Pelaku yang terlibat langsung dalam eksploitasi emas di TNBNW adalah kelompok kongsi, yang bekerja untuk para pemodal. Pemodal adalah ketua geng yang memiliki tromol penggiling batu dan tong sianida, serta oknum-oknum yang memiliki kekuasan di Dumoga yaitu: oknum Sangadi, oknum anggota DPRD dan oknum TNI/Polri. Oknum tersebut merupakan pemodal tidak langsung, yang bekerja lewat pemilik-pemilik tromol dan tong sianida. Kesemuanya ini membentuk kelembagaan illegal (Kartodiharjo 2006). Pendekatan antropologi dalam pembuatan kebijakan difokuskan pada narasi kebijakan (policy narrative) dan diskursus (discource) mengenai fenomena yang sedang dibicarakan (Sutton 1999), yang seringkali menjadi hambatan melakukan pembaruan kebijakan. Sedangkan pendekatan manajemen lebih diarahkan untuk mengetahui hambatan pembaruan kebijakan akibat kondisi birokrasi, kepemimpinan maupun kekuasaan dari luar birokrasi yang turut serta mempengaruhi pembuatan kebijakan. Kondisi kerusakan alam di TNBNW demikian menghawatirkan, sehingga perlu dilakukan upaya aksi dari berbagai pihak (masyarakat dan khususnya pemerintah) secara serius dalam mengatasi permasalahan yang ada. Permasalahan hutan yang gundul dengan lahan kritis, erosi, banjir, pada daerah TNBNW banyak menyebabkan ekosistem flora dan fauna mengalami kepunahan. Pendekatan kepada lembaga masyarakat melalui penyuluhan yang intensif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga mereka dapat dilibatkan dalam menyusun rencana, melaksanakan, dan mengevaluasi seluruh upaya rehabilitasi lahan dan. Dalam menentukan arah pengelolaan pemanfaatan yang berwawasan manajemen lingkungan di sekitar lokasi TNBNW ataupun oleh seluruh masyarakat di Provinsi Gorontalo. Manajemen kepemimpinan dalam mengelola budaya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan TNBNW, Kabupaten Bonebolango, Gorontalo dapat mengembangkan model kepemimpinan dengan pola manajemen kepemimpinan yang berwawasan lingkungan yang beretika budaya (kearifan lokal), yang ditunjukkan
1637
pada kriteria tinggi (amat baik) dengan frekuensi relatif 23,64% sebab, tingginya sistem etika kerja yang efektif dengan menegakkan aturan dan kebijakan pengelolaannya. Pola kepemimpinan berwawasan lingkungan dapat didefinisikan sebagai proses dimana orang atau anggota dari sebuah organisasi mempengaruhi interpretasi pilihan tujuan (manajemen/pengelolaan), peristiwa, keadaan sekitar, strategi, serta dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain dalam mencapai tujuan untuk kesejahteraan disekitar lingkungannya. Penelitian ini mengacu pada Dechant dan Alman (1994) mendefinisikan kepemimpinan lingkungan sebagai suatu proses dimana satu orang mempengaruhi orang atau sekitar lainnya Kepemimpinan yang beretika lingkungan, dalam artian Kepemimpinan yang dapat menciptakan Manajemen Kepemimpinan yang beretika, artinya pola kepemimpinan hendaknya berdasarkan pada prioritas aspek kemanfaatan lingkungan dan proses penyusunan kebijakan (regulasi) serta aturan (policy) dapat diatur dan diberlakukan berdasarkan penegakkan dari pemerintah. Adapun dokuman AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan) harus dijalankan bukan hanya dianggap sebagai portofolio. Seharusnya memperhatikan tindak lanjut dari pemerintah pusat dan daerah. Untuk hal ini Dalam penelitian di TNBNW aspek legalitas etika hukum Kepemimpinan dalam perlindungan lingkungan maupun sumberdaya alam di TNBNW dalam bentuk etika manajemen kepemimpinan dikatakan amatlah minim. Pola kepemimpinan masyarakat di TNBNW dapat dilihat melalui budaya komunitas yang kuat didasarkan pada pembentukan sejarah dengan kearifan lokal yang bersifat alami dan universal, komunal yang mengelola sendiri harta kekayaan atau asset yang dimiliki, tentunya saja dalam batas geografis tertentu sebagai teritorinya. Mengambangkan konsep Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yakni melalui penguatan masyarakat yang lemah dan pengembangan aspek pengetahuan, sikap mental dan ketrampilan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat secara bertahap yang awalnya dari pengalolaan hutan dari yang tidak tahu oleh masyarakatnya menjadi mau dan mampu mengelola TNBNW. Kepemimpinan yang efektif yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam mengelola TNBNW sangat baik dan tinggi terlihat dalam kemandirian dalam mengelola sumberdaya alamnya hal ini dapat dilihat pada Gambar 2, frekuensi skor efektivitas kepemimpinan berada pada kelas interval 124-130. Harsey et al. (2012) membuat model efektivitas pemimpin yang didasarkan pada empat perilaku dasar pemimpin, yaitu; (i) tugas fungsi dan hubungan rendah; (ii) tugas fungsi dan hubungan tinggi; (iii) hubungan tinggi dan tugas rendah; (iv) hubungan rendah dan tugas rendah. Model kepemimpinan ini dapat dijelaskanseperti Tabel 1. Sementara itu distribusi frekuensi skor efektivitas kepemimpinan di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 2, dan divisualisasikan dalam Gambar 3, dengan jumlah responden 55 orang.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1633-1638, Oktober 2015
1638
Tabel 1. Pokok Perilaku Pemimpin (Harsey et al. 2012). Rendah Perilaku Hubungan tinggi
Tinggi Hubungan dan Rendah Tugas Rendah Tugas dan Rendah Hubungan
Tinggi Hubungan dan Tinggi Tugas Tinggi Tugas dan Rendah Hubungan
Rendah Perilaku Tugas Tinggi
Tabel 2. Distribusi frekuensi skor efektivitas kepemimpinan No
Kelas interval
1 103-109 2 110-116 3 117-123 4 124-130 5 131-137 6 138-147 7 148-160 Jumlah
Frekuensi absolut 4 7 11 13 9 9 2 55
Frekuensi relatif (%) 7,27 12,73 20,00 23,64 16,36 10,91 9,09 100
Kehutanan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam oleh seorang pemimpin dalam meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan TNBNW, yaitu: (i) Luasan kawasan TNBNW pada setiap resort pengelolaan harus sesuai dengan peta kerja yang telah ditetapkan, (ii). Zonasi kawasan TNBNW harus jelas, mengingat setiap resort memiliki beberapa zonasi yang berbeda baik status maupun luasannya, sehingga berpengaruh dalam menentukan prioritas pengelolaan perlindungan, pengamanan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya hutan dan ekosistemnya, (iii). Memperhatikan aksesibilitas, mengingat dalam melaksanakan inspeksi terhadap kawasan TNBNW, aksesibilitas pada setiap Resort berbeda-beda, (iv). Memperhatikan perbedaan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pada tingkat resort pengelolaan, (v). Sarana dan prasarana.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada pengelola Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3. Frekuensi skor efektivitas kepemimpinan
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal utama dalam menjalankan berbagai kegiatan di unit pengelolaan Taman Nasional, terutama dalam kegiatan Assesment biodiversity and ecosystem serta penentuan Key Features Biodiversity sebagai pedoman awal bagi keberlanjutan pengelolaan, disamping upaya Perlindungan dan Pengamanan Hutan. Penataan sumberdaya manusia pada tingkat resort dapat ditempuh dengan meningkatkan kualitas pengetahuan, pemahaman, serta keahlian para petugas resort dalam berbagai aspek pengelolaan kawasan melalui berbagai pendidikan dan latihan teknis bidang
Covey SR. 1997. The 7 Habits of Higly Effective People. Penerjemah: Budijanto. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Dechant. K dan Altman. B. 1994. The Environmental And Social Behavior. California: Brooks/Cole Publishing Company. Enger ED, Smith BF. 2010. Environmental Science: A study of interrelationships. 12th ed. McGraw-Hill, New York Hersey P, Blanchard KH, Johnson DE. 2012. Management of Organizational Behavior. 10th ed. Prentice Hall, New York. Kartodiharjo H. 2006. Masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakan kehutanan: Studi tiga kasus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 12 (3): 14-25. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 1127/Kpts-II/1992, tanggal 19 Desember 1992, tentang Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Mahfudz, Hamdan AA, Pudjiono S. 2011. Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat (Pembibitan Untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat). Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian “Hutan LestariUntuk Kesejahteraan Masyarakat” Tahun 2011. Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado. Masionu F. 2014. Hubungan Struktur Vegetasi Tegakan Pohon terhadap Nilai Konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sub Kawasan Lombongo. [Jurnal] Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo. Sune N. 2012. Pemodelan Spasial Ekologis Zona Inti Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Provinsi Gorontalo-Sulawesi Utara). [Disertasi]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sutton R. 1999. The Policy Process: An Overview. Working Paper 18. Agustus 1999. Overseas Development Institute. Porland House Stag Place, London.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1639-1643
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010717
Ekologi sosial pilang (Acacia leucophloea) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur Social ecology of pilang (Acacia leucophloea) on Timor Tengah Selatan District, East Nusa Tenggara GERSON N. NJURUMANA Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7 Airnona, Kupang 85115, Nusa Tenggara Timur. Tel. +62-380823357, Fax. +62-380-831068,♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 9 Juni2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Njurumana GN. 2015. Ekologi sosial pilang (Acacia leucophloea) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1639-1643. Penelitian terhadap ekologi-sosial pilang (Acacia leucophloea) (Roxb.) Willd. bertujuan untuk memahami sebaran ekologi pilang dan pemanfaatannya oleh masyarakat di Pulau Timor. Penelitian dilakukan pada 16 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Metode survei, observasi dan wawancara digunakan, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif-kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran ekologi pilang dominan pada mintakat 250-750 m dpl, terutama pada tanah-tanah kambisol. Pemanfaatan pilang terutama sebagai atribut sosial-budaya untuk pengobatan tradisional, kayu bangunan, pakan ternak, kayu bakar dan kayu pagar. Disimpulkan bahwa pilang memiliki kelayakan secara ekologi dan sosial-budaya untuk dikembangkan dalam skala luas. Kata kunci: Pilang, sebaran ekologi, pemanfaatan.
Njurumana GN. 2015. Social ecology of pilang (Acacia leucophloea) on Timor Tengah Selatan District, East Nusa Tenggara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1639-1643. Research on social-ecology of Pilang (Acacia leucophloea) (Roxb.) Willd. aimed to understand the ecology distribution and its utilization by community in Timor island. Research conducted on 16 villages on Timor Tengah Selatan district, East Nusa Tenggara. Survey, interview and field observation is used, and qualitatif and descriptive for data analysis. Result of research show the ecology distribution of Pilang is dominant at elevation 250-750 asl, especially on kambisol soil. The utilization of Pilang as social-culture atribute for traditional medicine, timberwood, fuel wood and fence material. Its is concluded that the feasibility of Pilang to develop in wider scale based on ecology and social aspect. Keywords: Pilang, ecological distribution, utilization
PENDAHULUAN Kondisi iklim di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kabupaten TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur dicirikan oleh terbatasnya cutah hujan yang menyebabkan tidak banyak potensi sumberdaya hutan, terutama jenis kayu berkualitas tinggi untuk berbagai penggunaannya, sedangkan permintaan masyarakat cenderung meningkat. Beberapa sumber kayu lokal di daerah ini adalah kayu rimba campuran olahan, jati olahan (Tectona grandis), kayu merah (Pterocarpus indicus) dan mahoni (Swietenia machrophylla). Produksi kayu lokal yang rendah menyebabkan kebutuhan kayu dipenuhi dari luar daerah dengan harga relatif mahal, sehingga akses sebagian besar masyarakat terhadap kayu rendah. Kondisi tersebut mendorong masyarakat memanfaatkan bahan baku dari jenis-jenis kayu setempat, salah satunya adalah pilang (Acacia leucophloea)(Roxb.) Willd. (Fabaceae). Pilang atau dalam istilah lokal kabesa merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh menyebar luas pada daerah
beriklim kering, bahkan telah terdomestikasi karena dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan konstruksi bangunan dan kayu bakar. Potensi penggunaan lainnya untuk kesehatan kulit, termogenik, mengatasi pendarahan, mencegah infeksi, anthelmintik, mengobati luka, penawar sakit, mengobati batuk, antipiretik, penangkal bisa ular, karies gigi dan stomatitis (Saxena dan Srivastava 1986; Devra et al. 2005; Khare 2007; Rang et al. 2007; Anjaneyulu et al. 2010; Patil dan Aher 2010), membantu sistem pencernaan (Imran et al. 2011; Jhade et al. 2012), memiliki kandungan nutrisi yang baik (Vijayakumari et al. 1994; Devra et al. 2005), daunnya digunakan sebagai pakan ternak (Mapiye et al. 2011a; Mapiye et al. 2011b) serta jasa ekologis untuk perbaikan kesuburan lahan (Chidumayo 2008). Keanekaragaman manfaat pilang tersebut mendorong masyarakat melakukan eksploitasi. Eksploitasi yang melebihi regenerasi alam, dan terbatasnya aktivitas budidaya menyebabkan penurunan populasinya di alam. Perhatian pemerintah daerah terhadap budidaya pilang
1640
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1639-1643, Oktober 2015
masih rendah, salah satunya karena dukungan data dan informasi aspek ekologi, sosial, ekonomi dan silvikulturnya terbatas. Oleh karena pilang sangat bermanfaat, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan melalui Dinas Kehutanan merencanakan pengembangannya. Agar pengembangannya berjalan dengan baik, diperlukan: (i) pemahaman terhadap karakteristik biofisik dan sosial ekonomi masyarakat, dan (ii) pemahaman sebaran ekologi dan lingkungan pertumbuhan pilang sebagai salah satu sumberdaya alam lokal.
BAHAN DAN METODE Area kajian Kajian dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada 7 wilayah Kecamatan yang meliputi 16 desa, yaitu: Kecamatan Molo Selatan (Desa Biloto), Kecamatan Molo Utara (Desa Noinbila), Kecamatan Molo Barat (Desa Fatukoko dan Desa Koa), Kecamatan Batu Putih (Desa Benlutu, Desa Hane dan Desa Boentuka), Kecamatan Amanuban Timur (Desa Oelet I, Desa Oelet II, Desa Pisan dan Desa Oe Ekam), Kecamatan Amanuban Selatan (Desa Mio dan Desa Kiubaat) dan Kecamatan Kuanfatu (Desa Oebaki, Desa Basmuti dan Desa Kuanfatu) (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2008. Bahan dan peralatan penelitian yaitu pohon pilang, GPS, kamera, soil tester, haga meter, phiband, meteran roll, buku lapangan, alat tulis, peta administrasi, peta jenis tanah dan peta kelas lereng. Metode yang digunakan adalah menggabungkan pendekatan deskriptif-kualitatif dan deskriptif-kuantitatif. Cara kerja Metode dasar penelitian ini adalah observasional deskriptif dan studi pustaka. Pengambilan data tujuan pertama dengan studi pustaka dan pengumpulan data sekunder. Untuk tujuan kedua dilakukan observasi lapangan, pengambilan titik koordinat, analisis komunitas pilang dan wawancara dengan masyarakat. Penentuan sebaran pilang dilakukan berdasarkanempat klasifikasi mintakat, yaitu I (< 250) m dpl, II yaitu (250-500) m dpl, III yaitu (500-750) m dpl dan IV yaitu (> 750) m dpl. Pertimbangan mintakat berkaitan dengan pengaruh pada suhu, kelengasan tanah, komposisi jenis, agihan dan populasi vegetasi. Berdasarkan kelas mintakat dilakukan penentuan desa sampel, termasuk random untuk menentukan sampel plot pengamatan komunitas pilang sebanyak 10 unit. Observasi lapangan pada gatra fisik antara lain pertumbuhan pilang, lokasi tempat tumbuh, jenis tanah, dan kelerengan. Keanekaragaman hayati yang diamati adalah populasi pilang dan kerapatan vegetasi sekitarnya pada setiap sampel ukuran 400 m2, sedangkan informasi pemanfaatannya diperoleh melalui wawancara terhadap masyarakat pengguna. Analisis data Analisis data untuk tujuan pertama dilakukan secara deskriptif-kualitatif, sedangkan untuk tujuan kedua dilakukan dengan pendekatan spasial berbasis SIG,
archview 3.3, analisis citra Landsat ETM +7, analisis data kuantitatif (tabulasi silang) dan analisis data kualitatif (analisis deskriptif). Pemetaan wilayah berdasarkan jenis tanah, kelerengan dan tutupan lahan dimaksudkan untuk mengetahui posisi distribusi ekologi pilang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi biofisik TTS Berdasarkan klasifikasi tanah, jenis kambisol memiliki sebaran dominan seluas 302.409 ha (76,62%), renzina seluas 52.294 ha (13,25%), alluvial seluas 29.410 ha (7,45%) dan jenis tanah lainnya dalam lebih kecil (Anonim 2005). Kondisi topografi lahan didominasi kelerengan curam (26-40%) mencapai 240.826 ha atau 61,01%, kelerengan agak curam (16-25%) mencapai 57.575 ha atau 14,59%, kelerengan sangat curam (>40%) mencapai 44.416 ha atau 11,26%, kelerengan agak landai (9-15%) mencapai 15.265 ha atau 3,87% dan kelerengan landai/datar mencapai 36.618 ha atau 9,26% (Anonim 2006). Keadaan sosial-ekonomi masyarakat Jumlah penduduk di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 416.876 jiwa, terdistribusi dalam 106.595 unit rumah tangga, rerata kepadatan 4 jiwa/RT, dan kepadatan penduduk 106 jiwa/km2 (BPS 2008). Sebanyak 84,95% penduduk adalah petani yang hidup dari sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan, sehingga ketergantungan terhadap lahan usahatani masih tinggi. Produksi dan produktivitas lahan kering yang tergolong rendah mengkondisikan 90,39% masyarakat hidup dengan pendapatan perkapita lebih kecil dari Rp. 200.000/bulan. Peningkatan akses dan kemerataan pendidikan untukperbaikan sumberdaya manusia memerlukan perhatian khususkarena keterdidikan setingkat SLTA hanya 2,94%, dan setingkat diploma/universitas hanya 0,55% dari jumlah penduduknya (BPS 2008). Ekologi pertumbuhan pilang Sebaran pilang di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada ketinggian 80-940 m dpl. Berdasarkan klasifikasi mintakat diperoleh persentase sebaran pertumbuhan pilang pada mintakat I (< 250 m dpl) mencapai 18%, mintakat II (250-500 m dpl) mencapai 33%, mintakat III (500-750 m dpl) mencapai 28% dan mintakat IV (>750 m dpl) mencapai 21%. Jenis tumbuhan yang berkomunitas dengan pilang diantaranya: nitas (Sterculia foetida), waru (Hibiscus tiliacus), pulai (Alstonia scholaris), johar (Cassia siamea), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona grandis), kesambi (Scheilera oleosa), dadap (Erythrina sp.), jambu air (Eugenia clavimyrtus), albisia (Albizia lebekioides), kedondong hutan (Lannea koromandalica), bambu (Bamboosa sp.), kelapa (Cocos nucifera), ara (Ficus carica), jambu air (Eugenia clavimyrtus), randu (Ceiba petandra), dadap (Erithryna variegata), albisia (Albizia lebekioides), termasuk anekaragam tumbuhan bawah diantaranya Chromolaena odorata,Aphanamixis polysticia
NJURUMANA – Ekologi sosial Acacia leucophloea
dan Salanua verox. Pohon pilang yang dijumpai berdiameter 18-102 cm, tinggi pohon 4-32 m, kondisi pH tanah 5,8-7. Keanekaragaman jenis tumbuhan disekitar pilang mengindikasikan kemampuannya berkomunitas dengan jenis lain. Sebaran ekologi pilang pada beberapa tapak sampel, diantaranya desa Benlutu pada koordinat S.9 57’547” E.124 08’825”, S.9 53’755” E124.12’765”, S.9.54’007” E.124 13’434”, S.9 53’ 934” E.124 13’429”, desa Biloto pada koordinat S.9 51’044” E.124 14’104”, S.9 51’,845” E.124 12’254”, S9 51’113” E.124 14’049”, S9 51’151” E124 14’040”, S9 51’177” E.124 14’035”, S9 51’051” E124 14’061”, S9 51’046” E.124 14’103”, S9 51’452” E.124 13’325”, S9 51’591” E.124 13’075”, desa Noinbila S9 57’460” E.124 08’461”, desa Koa S9 56’004” E.124 06’951”, desa Boentuka S9 54’487” E.124 11’282”, S9 57’868” E124 07’960”, S9 53’627” E.124 12’057”, S9 53’750” E.124 12’019”, desa Fatukoko S.9 52’202’ E.124 10’977” dan S.9 52’228” E.124 11’943”. Pemanfaatan pilang Pilang merupakan salah satu bahan bangunan yang dimanfaatkan masyarakat. Hasil pengamatan beberapa bahan bangunan yang sudah terolah (balok dan papan) diperoleh gambaran mengenai adanya usaha penebangan pilang. Pilang dicirikan oleh teras berwarna kuning, coklat kemerah-merahan, berat, keras, kuat dan cukup awet dengan berat jenis kayu 0,71. Hal ini mengindikasikan nilai kekuatan dan keawetan pilang cukup baik, mendukung penggunaannya sebagai bahan konstruksi bangunan rumah dan jembatan. Selain itu, menurut Heyne (1987) kulit pilang mengandung senyawa sebesar 15%, dapat dimanfaatkan untuk menyamak kulit sapi, kerbau dan sol sepatu, termasuk sebagai pernjernih penyulingan di India (Heyne 1987). Sekalipun potensi penggunaan pilang cukup banyak, namun oleh karena berbagai keterbatasan menyebabkan penggunaannya terbatas untuk konstruksi bangunan seperti balok, usuk dan papan. Kayu pilang termasuk kelas awet III (tingkat kekuatan alami suatu jenis kayu terhadap serangan hama) dan kelas kuat II (daya tahan kayu terhadap kekuatan mekanis dari luar antara lain daya dukung, daya tarik, dan daya tahan). Penggunaan lain oleh masyarakat adalah memanfaatkan bagian daun untuk pakan ternakpada musim kering, memanfaatkan kulit pilang sebagai obat tradisional untuk ternak ayam, kulit direndam hingga air berwarna coklat dan dicampurkan dengan makanan untuk ayam yang mengalami penyakit. Selain untuk ternak, penggunaan untuk pengobatan pada manusia adalah mengobati batuk, keluhan pria dan rabies, termasuk untuk kayu bakar. Pembahasan Kondisi biofisik TTS Sumberdaya lahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 394.700 ha, merupakan salah satu faktor penting untuk kehidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kepentingan terhadap sumberdaya lahan memerlukan pemahaman mendalam terhadap ciri dan karakteristiknya, terutama jenis tanah, kelerengan dan
1641
tutupan lahannya untuk menentukan prioritas pengelolaan dan pemanfaatannya. Berdasarkan kondisi biofisiknya sebanyak 72,27% wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan berada pada kondisi topografi yang rawan terhadap kerusakan, sehingga memerlukan perhatian khusus dalam pemanfaatannya, antara lain melalui penerapan prinsip konservasi tanah dan air. Perhatian diperlukan karena potensi erosi permukaan dan longsor cukup tinggi akibat pembukaan lahan pertanian kering atau kebun, penggunaan api dalam tradisi bertani, budidaya ternak serta penerapan prinsip konservasi tanah dan air masih sangat terbatas. Selain itu faktor tutupan lahan didominasi semak-belukar seluas 135.749 ha atau 34,39%, pertanian lahan kering campur seluas 29.271 ha atau 7,42%, savana seluas 15.246 ha atau 3,86% dan pertanian lahan kering seluas 3.745 ha atau 0,95% (Anonim 2006) cukup rentan terhadap kerusakan. Kerentanan tersebut diakibatkan antara lain pembakaran lahan untuk pertumbuhan rumput muda. Masih menguatnya tradisi pembukaan lahan dengan api, disertai kondisi iklim panas dan tersedianya potensi bahan bakar berupa semak-belukarsavana sangat rentan terhadap kebakaran. Bilamana hal tersebut kurang terkendali akan mengakibatkan kerusakan ekosistem dan kerusakan fisik, serta terhambatnya regenerasi pilang secara alami. Keadaan sosial-ekonomi masyarakat Jumlah penduduk di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan yang terpadat kedua setelah Kota Kupang untuk semua Kabupaten di NTT. Mayoritas penduduk yng bergerak di sektor usaha pertanian, kehutanan, perkebunan dan peternakan mengindikasikan besarnya peluang untuk budidaya dan pengembangan pilang. Hal ini karena sektorsektor tersebut berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan, dan masyarakat terbiasa dengan kegiatan tanammenanam sehingga merupakan peluang untuk melakukan budidaya tanaman pilang. Namun demikian, sekalipun potensi cukup besar, pola pemanfaatan lahan perlu dilakukan dalam bentuk diversifikasi komoditi dan produk, agar berimplikasi terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat. Hal ini diperlukan karena sebagian besar masyarakat memiliki pendapatan perkapita yang jauh dibawah rata-rata propinsi dan nasional. Selain itu, rekayasa sosial melalui peningkatan pendidikan dan keahlian diperlukan, agar pengelolaan sumberdaya lahan dan komoditi yang dihasilkan dapat memberikan dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pendidikan. Ekologi pertumbuhan pilang Pohon pilang merupakan salah satu jenis asli Asia Selatan dan Asia Utara yang memiliki penyebarannya cukup luas. Jenis ini dapat tumbuh baik pada tanah alluvial, kambisol dan renzina. Luasnya sebaran pilang memungkinkan dikembangkan untuk rehabilitasi lahan, reboisasi dan penghijauan, serta merupakan salah satu komponen dari ekosistem savana, semak belukar, pekarangan dan pertanian lahan kering. Pertumbuhan pilang umumnya pada tanah berpasir, berbatu dengan tingkat kesuburan rendah, termasuk pada daerah sempadan sungai. Pertumbuhannya dipengaruhi kondisi tanah, karena
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1639-1643, Oktober 2015
1642
124°1 5'30"
124°31 '00"
124°4 6'30"
PETA PENYEBARAN JENIS TANAM AN UNG G ULAN LO KAL KABUPATEN TIM O R TENG AH SELATAN
Kab. Timor Tengah Utara
NUAPIN
Jenis : Kabesak (Acacia leuc ophloea)
N
NEN AS
BONLEU
4
BONMUTI
FATUMNASI
0
Kab. Belu
TAFULI NIFUKIU
FATUMNUTU NOEBESI
TUNE
4
8 Km
Skala 1 : 200.000
LOTAS LOLI
NUNBENA BIJELI
TUTEM
TUMU BILA
FATUONI
TOBU
SONO SEB OT
KO NBAKI
MN ELAAN EN
OELET NEKE
PISA N
MA ULEUM
EON BESI
LILO
NASI
O'BESI NETPALA
LELOB ATA N
Ý
Jenis Tanah : SKINU
PEN E UTA RA NIKIN IKIU N BINA US BES ANA
SOPO NAUKAE
OELBUB UK
HOI OOF
BONE
FILLI
KA ENENO
SILU
MA NUFUI
OELEON NONOTES
NIFULEO
NIKIN IKI
SANTIAN
Ý
ÝÝÝ
ENO NEONTES
NUSA
So'e U %
OEKEFA N KA MP UNGB ARU NUNUMEU OEB ES A
MN ELALETE
TUBU HUE
PEN UN
NULLE
Ý
Sum ber : - Peta R upa Bum i Indonesia (R BI) Tahun 2006, Sk ala 1 : 25.000; - Peta R ePPPoT T ahun 1989, Skala 1 : 250.000; - Peta Adm inis tras i Kabupaten T im or Tengah Selatan; - H asil Surv ey Tahun 2008.
HOIN EN O
KO KO I
PUTU N NUNKOLO
SUPUL
TESIAYOFANU
NUNLEU
HAUMENI NEN DAT
BELLE
123
BOTI FATUULAN
NAKFU NU
SAHAN
BAKI
HAUMEMBAKI
124
125
Peta Situasi Pulau Tim or Sk ala 1 : 3.500.000
OP TAEBESA
HANE
OEH ELA
BOKING
KU ALEU OEN AI
Ý
PUSU
Ý
NANO
NOEBESA LAKAT
SOE
OLA IS
TEAS
FATUAT
HAUNO BENAK
BABUIN
TUPA N
OEB AKI
MIO
OEB OBO
Ý
OEP ELIKI
Ý
Ý
ÝÝ
BATN UN
PANA
OETUKE
KA KA N
Ý
NAIP
30
Da erah Yan g Dip eta kan
Km
124
125
PEN E SELA TAN
KO LBA NO
PEM ERIN TAH KA BUPA TEN TIMOR TENGAH SEL ATAN
NOESIU NOEMUKE OEKIU
0
123
KU SI
KELLE
Ý
NUNUN AMAT
SEI
BASMUTI
KU ANFATU
KIUBAA T
POLO
KO TOLIN 30
Ý
PATU TNAN A
LIN AMNUTU
OELEU
-10
-10
OEEKAM
OFU
LAS I
-10
Ý
9°58'00"
9° 58'00"
Ý
TAUB NENO
BEN LUTU
Ý Ý Ý
LAN U
-10
Ý
Ý ÝÝ Ý ÝÝ
BOENTU KA
SABUN
NAPI AININ
NONOH ONIS
KA RANGS IRI
-9
Ý
TUAS EN E KO A
MEUS IN SUNU
TETAF
BILOTO
BAUS
FALAS TOI
Ý
Allu vial Kamb is ol Lato so l Med ite ran Ox is ol Re gos ol Re nzina
POLI
NOEBANA
Ý Ý
NOBINOBI
OINLASI
FATUKOKO
Ý
TOIANAS
FOTILO
NEO NONI
KU ALE'U
Kota Kabu pat en Batas D e sa /Kelurah an Jalan Sung ai Kabe sa k ( Aca cia leuc op hlo ea)
-9
NEFOKOKO
SNOK
TELUK
Ý
LAO B BOSEN
SAMBET
9°42'30"
9° 42'30"
U %
BIJAEPU NU
AJAOBA KI
LILANA
Legend a :
BOKONG
FATUKOPA
TUNU A LELOB OKO
BAD AN PEN ELITIAN D AN PEN GEM BAN G AN ONI
NUNUS UNU
TUAP AKAS
Kab. Kupang KU ALIN KIUFA TU
BEN A OEB ELO
TOINEKE
T
TUAFANU
L 124°1 5'30"
a
u
i
m
o
r
t
124°31 '00"
124°4 6'30"
Gambar 1. Penyebaran pilang berdasarkan jenis tanah di Kabupaten Timor Tengah Selatan
pada tanah agak subur pertumbuhannya relatif lebih cepat dan mendominasi sekitarnya. Kisaran curah hujan normal untuk pohon pilang berkisar 300-1500 mm/tahun, dengan musim kering antara 8-10 bulan. Penyebaran pilang pada setiap mintakat relatif merata, namun terdapat perbedaan pada asosiasi atau komunitas vegetasi disekitarnya. Pada mintakat IV, pertumbuhan pilang memiliki kecenderungan yang soliter, populasinya lebih terbatas dan komunitas vegetasi sekitarnya didominasi semak-belukar. Pada pihak lain, kecenderungan sebaran pilang pada mintakat II dan III diduga oleh daya dukung lingkungan pertumbuhan yang lebih sesuai, baik dari faktor sinar matahari, curah hujan, kelerengan, suhu dan ketinggian tempat. Kondisi ini memungkinkan pilang dapat berkomunitas dengan anekaragam jenis tumbuhan lain di sekitarnya dalam bentuk asosiasi yang saling menguntungkan maupun berkompetisi terhadap kebutuhan hara mineral, tanah, air, cahaya dan ruang tumbuh. Kondisi tersebut diindikasikan oleh variasi rata-rata kerapatan pohon berdiameter ≥10 cm dan jumlah jenisnya pada petak ukur 400 m2 sebagai berikut: pada mintakat I rata-rata terdapat 5 pohon pilang dengan jumlah asosiasi sebanyak 3 jenis, pada mintakat II terdapat 8 pohon pilang dengan jumlah asosiasi sebanyak 5 jenis, pada mintakat III terdapat 7 pohon pilang dan jumlah asosiasi sebanyak 5 jenis, sedangkan pada mintakat IV terdapat 4 pohon pilang dengan jumlah asosiasi sebanyak 3 jenis. Sebaran pilang dominan pada tanah kambisol, yaitu tanah yang masih mengalami tahap perkembangan secara
fisik dan kimia. Tanah kambisol berlempung liat dan liat berpasir, solum dangkal, karakteristik masam-agak masam, kandungan bahan organik umumnya tinggi pada lapisan permukaan, dan erodibilitasnya tinggi (Hardjowigeno 2010; Rachim dan Arifin 2011). Namun demikian pilang dapat berkembang dengan baik pada tanah alluvial dan renzina dengan kondisi tekstur tanah yang sedang sampai kasar pada daerah agak basah maupun kering (Gambar 1). Secara kuantitas, akumulasi luas lahan berdasarkan jenis tanah yang sesuai untuk sebaran pilang mencapai 384.113 ha atau 97,32% dari luas wilayah, tetapi faktor kelerengan menjadi pembatas sehingga hanya berpotensi berpotensi dikembangkan pada lahan seluas 350.284 ha atau 88,74% dari wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kesesuaian lingkungan pertumbuhan tersebut mengindikasikan potensi pengembangannyayang luas, dapat dimulai dari perlindungan dan pengelolaan unit-unit komunitas pilang secara alami, budidaya melalui agroforestri, hutan rakyat, hutan tanaman dan hutan adat. Sosial dan pemanfaatan Pohon pilang merupakan salah satu jenis bernilai komersial, selain karena batangnya lurus dan tinggi mencapai 35 m, juga memiliki diameter berkisar antara 60100 cm (Heyne 1987), bahkan berusia mencapai 100 tahun, dengan berbagai potensi penggunaannya untuk manusia. Hasil survei pertumbuhan pilang di lapangan menunjukan kondisi batang lurus, mulai bercabang pada ketinggian 6-8 meter dari atas permukaan tanah. Sejumlah responden
NJURUMANA – Ekologi sosial Acacia leucophloea
menginformasikan penebangan pohon tersebut untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah. Penggunaannya sebagai alterntif kayu pertukangan sangat membantu masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah dengan daya beli yang sangat terbatas. Jenis-jenis kayu komersil seperti rimba campuran, jati olahan, kayu merah, kayu mahoni dan kayu papi umumnya memiliki harga yang kompetitif, terutama untuk mensuplai kebutuhan kayu di Kota Kupang dan sekitarnya. Hal ini menjadi faktor pendorong makin tingginya tingkat eksploitasi dan produksi, terutama kayu rimba campuran di alam. Sekalipun pemanfaatan kulit pilang memiliki banyak bentuk antara lain sebagai bahan penyamak kulit sapi, kerbau dan sol sepatu karena mengandung senyawa penyamak mencapai ±15%, terutama pada kulit batang, termasuk pemanfaatannya sebagai pernjernih penyulingan di India (Heyne 19 87), namun penggunaan di masyarakat sangat terbatas sebagai bahan konstruksi bangunan dalam bentuk balok, usuk, papan kayu bakar dan kayu pagar. Budidaya ternak lepas yang masih dominan berimplikasi terhadap kebutuhan kayu pagar rata-rata berkisar 15002000 batang/ha. Pembukaan lahan usahatani (kebun) seluas 1 ha berimplikasi terhadap kehilangan vegetasi setingkat pohon muda sebanyak 3-4 ha, termasuk aspek pembakaran savana untuk pertumbuhan rumput muda (Njurumana 2008),bahkan penggunaan api dipandang sebagai salah satu input teknologi, energi dan materi dalam ekosistem savana (Riwukaho 2005). Pemanfaatan pilang untuk kayu pertukangan, pengobatan ternak dan pengobatan manusia menempatkannya sebagai atribut sosial-budaya di masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa kesesuaian secara ekologi berimplikasi positif terhadap kesesuaian secara sosial-budaya dan berpotensi ekonomi di masa depan. Pada kondisi ini kelestarian pilang berimplikasi terhadap manfaatnya untuk alam dan manusia, dan memahami saling keterkaitan antara aspek konservasi dan manfaatnya akan membantu para pihak dalam menentukan strategi pengembangannya. Selain itu, sebaran ekologi pilang yang luas dari aspek jenis tanah, kelerengan dan ketinggian tempat, dan nilai manfaatnya untuk masyarakat serta tradisi budaya bertani yang masih kuat memungkinkan pengembangannya dalam jangka pendek menggunakan skema kebun campur (agroforestry). Kebun campur merupakan pilihan paling realistis, mengingat sebagian besar masyarakat menerapkan usaha tani lahan kering campur dalam bentuk kebun, hutan rakyat dan pekarangan yang mencapai 29.271 ha atau7,42% terhadap wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Merujuk pada kesesuaian sebaran ekologi dan aneka bentuk pemanfaatannya oleh masyarakat dapat disimpulkan bahwa spesies pilang memiliki kelayakan secara ekologi dan sosial-budaya untuk dikembangkan dalam skala luas di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1643
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada Kepala Balitbangda Kabupaten Timor Tengah Selatan yang mendukung pendanaan riset, dan kepada Bernadus Taek, Honorius Gale, Kristian L. Koenunu, Muhammad Lewa, Johanis Naklui, Muhammad Basuni Mustafa, dan Meryana M.E. Tse yang membantu administrasi dan proses pengumpulan data lapangan, serta kepada reviewer anonim yang menyunting naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Anjaneyulu E, Ramgopal M, Hemalatha S, Balaji M. 2010. Phytochemical analysis, anti-microbial and antioxidant activity of the bark extract of Acacia leucophloea L. Global J Biotechnol Biochem 5: 231-236. Anonim. 2006. Laporan penyusunan database dan informasi DAS di wilayah BPDAS Benain Noelmina Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005. Kerjasama BPDAS Benain Noelmina dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Nusa Cendana. Kupang. Badan Pusat Statistik. 2008. Timor Tengah Selatan dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan. Chidumayo EN. 2008. Demographic implications of life-history stage characteristics in two African acacias at a Makeni savanna plot in Zambia. Plant Ecol 1 (4): 217-225. Devra A, Mathur A, Sindal RS, Sherwani MRK. 2005. Chemical examination of wild plant seed oils from arid land of Rajasthan. Oriental J Chem 21: 295-298. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia jilid III. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Imran I, Hussain L, Zia-Ul-Hag M, Janbaz KH, Gilani AH. 2011. Gastrointestial and respiratory activities of Acacia leucophloea. J Ethnopharmacol 138: 676-682. Jhade D, Jain S, Jain A, Sharma P. 2012. Pharmacognostic screening, phytochemical evaluation and in-vitro free radical scavenging activity of Acacia leucophloearoot. Asian Pacific J Trop Biomed S501-S505. Khare CP. 2007. Indian medical plants, an ilustrated dictionary. Springer, Berlin. Mapiye C, Chimonyo M, Dzama K, Hugo A, Strydom PE, Muchenje V. 2011b. Fatty acid composition of beef from Nguni steers suplemented with Acacia karroo leaf-meal. Food Composit Anal 24: 523-528. Mapiye C, Chimonyo M, Marufua MC, Dzama K. 2011a. Utility of Acacia karroo for beef production in Southern African smallholder farming systems: a review. Animal Feed Sci Technol 164: 135-146. Njurumana GN. 2008. Rehabilitasi lahan kritis berbasis agrosylvopastur di Timor dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Info Hutan Volume V Nomor 2. Bogor. Patil DA, Aher UP. 2010. Folkloric healthcare in Budhana district of Maharashtra (India). J Phytol 2: 1-8. Rachim DA, Arifin M. 2011. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Pustaka Reka Cipta. Bandung. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Moore PK. 2007. Pharmacology. 6th ed. Churchill Livingstone, Edinburgh. Riwukaho LM. 2005. Api dalam Ekosistem Savana: Kemungkinan Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor Barat). [Disertasi]. PPS UGM, Bidang Ilmu Kehutanan, Yogyakarta. Saxena M, Srivastava SK. 1986. Anthraquinones from the roots of Acacia leucophloea. J Nat Prod 49: 205-209. Vijayakumari K, Siddhuraju P, Janardhanan K. 1994. Nutritional assesment and chemical composition of the lesser known tree legume Acacia leucophloea (Roxb) Willd. Food Chem 50: 285-288.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1644-1648
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010718
Pertumbuhan dan komposisi eksopolisakarida bakteri pemfiksasi nitrogen Azotobacter spp. pada media yang mengandung kadmium Growth and Exopolysachharide composition of nitrogen fixing bacteria Azotobacter spp. in the presence of cadmium REGINAWANTI HINDERSAH Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas, Padjadjaran. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-022-7796316, email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 29 Mei 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Hindersah R. 2015. Pertumbuhan dan komposisi eksopolisakarida bakteri pemfiksasi nitrogen Azotobacter spp. pada media yang mengandung kadmium. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1644-1648. Penggunaan pupuk fosfat yang intensif di lahan pertanian sayuran menyisakan kontaminan kadmium (Cd) karena secara alami batuan fosfat mengandung Cd dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada tanah. Produktivitas sayuran di tanah dengan ketersediaan P rendah mengandalkan pupuk fosfat sebagai sumber nutrisi tanaman sehingga tanah berpotensi terkontaminasi Cd. Saat ini pupuk hayati yang mulai digunakan pada pertanaman sayuran antara lain Azotobacter pemfiksasi dinitrogen (N2). Salah satu mekanisme Azotobacter untuk menghindari keracunan oleh Cd adalah melalui produksi eksopolisakarida (EPS). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi perbedaan pertumbuhan dan komposisi EPS beberapa isolat Azotobacter dengan keberadaan kadmium pada media cair. Tiga isolat Azotobacter penghasil EPS diisolasi dari rizosfer tanaman yang tumbuh di dataran tinggi Lembang dengan menggunakan media Ashby bebas nitrogen. Setiap isolat Azotobacterditumbuhkan di dalam kultur cair dengan dan tanpa Cd pada suhu kamar selama 84 jam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pertumbuhan ketiga isolat Azotobacter dihambat oleh 1 mM dan 10 mM kadmium khloride. Namun pertumbuhanisolat LKM6 pada 0,1 mM kadmium khloridalebih baik dibandingkan kedua isolat lainnya. Pada 0,01 mM kadmium khloride, pertumbuhan ketiga isolat tidak terhambat. Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh ketiga isolat mengandung polisakarida dan asam organik dengan konsentrasi yang berbeda untuk setiap isolat; keberadaan Cd di dalam kultur cair mengubah komposisi EPS. Hasil ini menjelaskan bahwa untuk lahan pertanian terkontaminasi ringan oleh Cd, penggunaan pupuk hayati Azotobacter resisten Cd dapat disarankan. Kata kunci: Azotobacter, eksopolisakarida, kadmium, pupuk hayati Singkatan: Cd: Cadmium; Dinitrogen (N2); EPS: Exopolysachharide Hindersah R. 2015. Growth and Exopolysachharide composition of nitrogen fixing bacteria Azotobacter spp. in the presence of cadmium. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1644-1648. Intensive and long term application of phosphate (P) fertilizer can increase Cd concentration in soil since they contain higher level Cadmium (Cd) as impurity than that present in soil. Vegetable production in soil contain low available P rely on P fertilizer so that Cd accumulate in soil. Nowadays, nitrogen-fixing Azotobacter is already being used in vegetable production. In the presence of Cd, one of resistance mechanism of Azotobacter to avoid Cd toxicity is by exopolisachharides (EPS) syhthesis. The objective of this experiment was to study the difference of growth and EPS compotition of some Azotobacter isolates in the presence of Cd in liquid media. Three EPS-producing Azotobacter has been isolated from rhizosphere of vegetation grown in Lembang Highland by using nitrogen-free media. Each Azotobaterisolate was grown in media containing certain concentration of Cd for 84 hours at room temperature. Results showed that growth of all Azotobacter isolates was inhibited by 1 mM and 10 mM Cadmium chloride. However growth of isolate LKM6 in the presence of 0.1 mM cadmium chloride was better than that of another isolates. In the presence of 0.01 mM cadmium chloride, growth of all isolates was not inhibited. Exopolysaccharides produced by the three isolates contained polysachharide and organic acid but the concentration were differ; the presence of Cd in liqid culture change EPS compotition. This results suggest that for slightly Cd-contaminated soil, using Cd-resistance biofertilizer Azotobacter might be recommended. Keywords: Azotobacter, biofertilizer, cadmium, exopolysaccharides
PENDAHULUAN Secara alami tanah mengandung kadmium (Cd) dengan konsentrasi yang tergantung pada batuan induk, cara terbentuknya tanah, dan translokasi logam berat di tanah (Bradl 2005). Namun kegiatan antropogenik menyebabkan konsentrasi Cd meningkat. Kontaminasi Cd di lahan
pertanian, bersumber antara lain dari pupuk fosfat dan pupuk kandang (Bradl 2005; Grant 2011). Batuan fosfat mengandung Cd0.15 to 507 mg kg-1 (Mar dan Okazaki 2012), lebih besar daripada rata-rata Cd di tanah,dan menjadikannya sebagai sumber kontaminan Cd di tanah. Di tanah Cd adalah logam berat yang paling larut mudah dan dipertukarkan dibandingkan dengan Mo, Zn, Cd, Cu, Pb,
HINDERSAH– Pertumbuhan dan komposisi eksopolisakarida Azotobacter
Ni, and Cr (Bradl 2005) sehingga Cd relatif lebih tersediauntuk tanaman. Kadmium dapat terakumulasi di jaringan tanaman, menghambat pembentukan akar lateral; dan akar utama menjadi coklat, kaku dan terpilin (Yadav 2010). Pada tanaman jagung (Popova et al. 2008) , kacangkacangan (Popova et al. 2008; Wahid et al. 2008) dan gandum (Moussa dan El-Gamal 2010). Paparan Cd dilaporkan pula menurunkan kandungan klorofil-a and klorofil-b, kecepatan fotosintensis (Chen et al. 2011; Xue et al. 2013; ) Kadmium adalah element toksik untuk mikroba tanah pemfiksasi N2simbiotik maupun nonsimbiotik. Paparan Cd dapat mempengaruhi pembentukan sistem symbiosis legum-Bradyrhizobium, nodulasi dan fiksasi nitrogen, dengan derajat hambatan tergantung konsentrasi Cd (Bianucci et al. 2013). Populasi rizobakteri pemfiksasi N2 nonsimbiotik Azotobacter menurun pada tanah terpapar Cd daripada di tanah normal (Rathaur et al. 2012; Prasad et al. 2012). Azotobacter sudah dimanfaatkan sebagai pupuk hayati karena mampu memfiksasi nitrogen (Kizilkaya 2009) dan memproduksi fitohormon (Wani et al. 2013; Vikhe 2014). Bakteri ini mengembangkan mekanisme proteksi terhadap keracunan logam berat melalui biosorpsi oleh eksopolisakarida (Rasulov et al. 2013; Gauri et al. 2011). EPS berperan dalam imobilisasi logam berat karena langsung mengikat logam berat seperti Cd dan Cr di tanah terkontaminasi (Joshi dan Juwarkar 2009). Kapasitas ini membantu menghilangkan logam berat dari lingkungan dan dapat mempercepat pertumbuhan tanaman yang normal. Sejalan dengan pertanian yang memperhatikan keamanan lingkungan dan pangan, antisipasi terhadap kemungkinan peningkatan Cd tanah akibat pemupukan atau kegiatan antropogeni sehingga diperlukan informasi ketahanan pupuk hayati terhadap logam berat Cd. Kajian kontaminasi Cd di lahan pertanian dataran tinggi belum banyak dilakukan. Potensi cemaran Cd terlihat di beberapa lokasi lahan pertanian di Cikole lembang, sudah mencapai 10 kali lipat dari lahan alami di sekitarnya (Sudirja dan Hindersah 2007). Produksi EPS Azotobacter telah banyak diteliti (Emtiazi et al. 2004; Hindersah et al. 2006; Rasulov et al. 2013). Komposisi EPS Azotobacter masih perlu diteliti, lebih dari dua dekade yang lalu, Likhosherstov et al. (1991) memperlihatkan bahwa Azotobacterbeijerinckii B-1615 terutama mengandung D-galaktosa, K-ramnosa dan asam piruvat serta asam mannuronat dan guluronat penyusun alginat. Eksopolisakarida Azotobacter berupa alginat yang terdiri atas asam manuronat dan guluronat dengan komposisi dan viskositas yang berbeda dengan alginat komersial dari ganggang laut (Vargas-Garcia et al. 2003). Namun perubahan komposisi EPS yang disintesis Azotobacter di dalam kultur yang dikontaminasi Cd masih perlu diteliti. Resistensi sel Azotobacter dalam kondisi terpapar Cd akan memberikan informasi kelayakan penggunaan Azotobacter sebagai pupuk hayati pada tanah pertanian dengan kadar Cd meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi perbedaan pertumbuhan dan komposisi EPS tiga isolat Azotobacter yang diisolasi dari tanah terkontaminasi ringan Cd dengan keberadaan kadmium pada media cair.
1645
BAHAN DAN METODE Bahan biologis Tiga isolat Azotobacter, yaitu isolat BS3, LKM6 dan LH15, yang diisolasi dari rizosfer tanaman di Desa Cikole Kecamatan Lembang ,Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Bakteri diisolasi dengan metode pengayaan dan dilanjutkan dengan metode gores pada media Ashby bebas N (10 g manitol; 0,2 g KH2PO4; 0,2 g MgSO4.7H2O; 0,2 g NaCl; 0,1 g CaCO3; 10 mg Na2MoO4). Biakan murni dipelihara pada media Ashby bebas N. Induksi produksi EPS dilakukan pada media Vermani (Hindersah et al. 2006). Azotobacter isolat BS3, LKM6 dan LH15 memfiksasi nitrogen dengan kapasitas reduksi asetilen 0,016, 0,014, dan 0,020 µmol jam-1. Penetapan pertumbuhan Azotobacter pada media cair dengan Cd Ke dalam 10 mL media Vermani (10 g Sukrosa; 1,0 g KH2PO4; 1,0 g MgSO4.7H2O; 0,5 g NaCl; 0,1 g CaCO3; 0,1 g NaNO3; 0,1 g FeSO4; 10 mg Na2MoO4) di dalam tabung erlen meyer 50 mL) tanpa dan dengan 0,01; 0,1; 1 dan 10 mM CdCl2; ditambahkan 10 % biakan murni Azotobacter dengan kepadatan sel 108 cfu mL-1. Kultur diinkubasi pada suhu kamar (25-27oC) dengan pengocokan 115 rpm selama 84 jam. Pertumbuhan ketiga isolat ditentukan dengan mengukur kepadatan sel di dalam kultur cair setiap 12 jam dari setiap tabung berbeda dengan metode pengenceran plat pada media Vermani (Hindersah et al. 2006). PenentuanKomposisi EPS Azotobacter Eksopolisakarida Azotobacter isolat BS3, LKM6 dan LH15 diekstraksi dari kultur cair Vermani umur 60 jam dengan metode ekstraksi menurut Vermani et al., (1997) yang dimodifikasi oleh Hindersah et al. (2006). Ke dalam 10 mL media Vermani (10 g Sukrosa; 1,0 g KH2PO4; 1,0 g MgSO4.7H2O; 0,5 g NaCl; 0,1 g CaCO3; 0,1 g NaNO3; 0,1 g FeSO4; 10 mg Na2MoO4) di dalam tabung erlen meyer 50 mL) tanpa dan dengan 0,1mM CdCl2; ditambahkan 10 % biakan murni Azotobacter dengan kepadatan sel 108 cfu mL-1. Eksopolisakarida diekstraksi menurut metode Vermani et al. (1997) yang dimodifikasi oleh Hindersah et al. (2006). Kultur disentrifugasi 7.000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit, supernatan dikoleksi sedangkan endapan dibuang. Ke dalam 10 mL supernatan ditambahkan 20 mL aseton teknis dingin dan dibiarkan semalam pada suhu 4oC. Eksopolisakarida dikoleksi pada kertas saring Whatman no 1 setelah sentrifugasi 7.000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Bobot EPS ditentukan setelah kertas saring berisi EPS dikeringkan pada suhu 35oC. Untuk menentukan konsentrasi dan jenis polisakarida, ke dalam tabung mikro berisi EPS basah ditambahkan 1 mL campuran etanol dan air (6: 4). Campuran diaduk selama 10 detik menggunakan pengaduk. Jenis dan konsentrasi polisakarida ditentukan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi fasa terbalik menggunakan kolom C8. Penentuan konsentrasi dan jenis asam organik di dalam EPS dilakukan dengan menambahkan 1 mL campuran asetonitril dan air (6: 4) ke dalam tabung mikro berisi EPS.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1644-1648, Oktober 2015
1646
Campuran diaduk selama 10 detik. Jenis dan konsentrasi asam organik ditentukan dengan KCKT fasa terbalik menggunakan kolom C8.
menjelaskan efek ganda Cd terhadap tanah, yaitu dapat membatasi atau menstimulasi aktivitas enzim tanah yaitu dehidrogenase, fosfatase asam dan alkalin, arilsulfatase, urease dan potensi nitrifikasi. Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa Azotobacter sp. isolat BS3, LKM6, dan LH15 relatif resisten terhadap konsentrasi 0,01-0,1 mM mM CdCl2 di dalam kultur cair.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi EPS Azotobacter spp. Eksopolisakarida, secara alami bersifat masam, terutama terdiri atas polisakarida, asam uronat dan protein (Chen et al. 1995). Pada penelitian ini, telah berhasil diidentifikasi keberadaan sejumlah gula sederhana dan asam organik yang menyusun EPS Azotobacter (Tabel 1 dan Tabel 2). Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh ketiga isolat mengandung polisakarida fruktosa, glukosa, manosa, ramnosa, galaktosa dan stakiosa (Tabel 7) dan asam organik berupa asam asetat, laktat,piruvat, manuronat, glukuronat dan galakturonat (Tabel 8) dengan konsentrasi yang berbeda. Komposisi EPS Azotobacter pertama kali dijelaskan oleh Likhosherstov et al. (1991) untuk EPS dari Azotobacter beijerinckii dan memperlihatkan bahwa polisakarida utama terdapat mengandung D-galaktose, Lramnosa, and asam piruvat in the ratios of 2: 1: 1, sedangkan fraksi minornya mengandng asam mannuronat dan asam and guluronat acids in the ratio 2,3: 1. Komponen tersebut terdapat pada EPS Azotobacter ketiga isolat yang diteliti (Tabel 1 dan Tabel. 2). Species Pseudomonas and Azotobacter adalah satu-satunya sumber prokariotik untuk alginat polisakarida ekstrasel (Auhim dan Odaa 2013). Keberadaan asam manuronat dan glukuronat di EPS Azotobacter isolat BS3, LKM6 maupun LH15 menunjukkan bahwa mungkin EPS ini mirip dengan alginat seperti dijelaskan oleh Vargas-Garcia et al (2003). Penelitian ini sesuai dengan penjelasan bahwa EPS yang disintesis oleh Azotobacter sp. adalah keluarga eksopolisakarida tidak bercabang yang terdiri atas are characterized by a sejumlah (1-4)-linked β-D asam manuronat dan and C5-epimer α-L-asam guluronat (Gauri et al. 2012).
9,00
9,00
8,00
8,00
8,00
7,00 6,00
Log jumlah sel
9,00
Log jumlah sel
Log jumlah sel
Kepadatan sel Azotobacter spp. Pertumbuhan ketiga isolat Azotobacter di dalam media cair Vermani dengan berbagai konsentrasi CdCl2 terlihat pada Gambar 1. Secara umum, pertumbuhan sel bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi CdCl2 di dalam media. Peningkatan konsentrasi CdCl2 menurunkan kemampuan sel bakteri untuk memperbanyak diri. Dibandingkan dengan di dalam media tanpa CdCl2 (kontrol), pertumbuhan ketiga isolat pada konsentrasi 1 dan 10 mM CdCl2 tertekan. Bahkan kepadatan sel di dalam media terpapar 10 mM CdCl2 di akhir inkubasi menurun sampai 10-5 cfu mL-1. Pada konsentrasi 0,1 mM CdCl2, kepadatan sel isolat BS3 dan LH15 lebih rendah daripada LKM6. rKetiga isolat memperlihatkan resistensi terhadap 0,01 mM CdCl2 yang diperlihatkan oleh hampir berimpitnya kurva pertumbuhan dengan kontrol. Mikroorganisme sanggup mengembangkan mekanisme toleransi untuk bertahan hidup pada lingkungan yang mengandung logam berat (Martin-Laurent et al. 2004). Azotobacter A5 dan Azotobacter A9 yang diisolasi dari laha terkontaminasi Ni-Cd memperlihatkan toleransi terhadap 25 mg L-1 Cd (Rathaur et al. 2012). Pada percobaanini, isolat BS3 dan LKM6 masing-masing diisolasi dari lahan berkadar Cd 4,73 mg kg-1 dan 0,48 mg kg-1; sedangkan LH15 diisolasi dari lahan alami dengan Cd 0,117 mg kg-1. Dari penelitian ini terlihat bahwa isolat BS3 yang diambil dari lahan terpapar Cd relatif tinggi (4,75 mg kg-1) tidak kehilangan resitensinya terhadap paparan Cd secara in vitro. Di tanah, penurunan diversitas Azotobacter spp. baru terlihat pada konsentrai Cd2+ relatif tinggi yaitu 5 mg kg-1 (Prasad et al. 2012). Setiap mikroba memiliki toleransi terhadap logam berat pada kisaran konsentrasi tertentu. Umumnya penelitian in vitro memperlihatkan efek negatif Cd terhadap pertumbuhan bakteri. Namun Stuczynski et al. (2003)
7,00 6,00
0
12
24
36
48
60
Waktu (jam)
72
84
6,00 5,00
5,00
5,00
7,00
0
12
24
36
48
60
Waktu (jam)
72
84
0
12
24
36
48
60
72
84
Waktu (jam)
Gambar 1. Kurva pertumbuhan Azotobacter isolat BS3 (a), LKM6 (b) dan LH15 (c)pada media Vermani tanpa dan dengan CdCl2. Catatan: Data berasal dari dua ulangan;-○-kontrol (tanpa CdCl2);-◊-0,01 mM CdCl2;-∆-0,1 mM CdCl2;-x-1 mM CdCl2,-■-10 mM CdCl2.
HINDERSAH– Pertumbuhan dan komposisi eksopolisakarida Azotobacter
1647
Tabel 1. Komposisi polisakarida penyusun EPS yang dihasilkan isolat BS3, LKM6, dan LH15 dalam kultur cair tanpa dan dengan 0,1 mM CdCl2 setelah diinkubasi 60 jam Polisakarida (mg L-1) Fruktosa Glukosa Manosa Ramnosa Galaktosa Stakiosa
Isolat BS3 -CdCl2 + CdCl2 21,2 110,1 46,5 75,4 18,4 5,.5 27,7 25,3 11,2 12,3 10,0 12,2
Isolat LKM6 -CdCl2 + CdCl2 36,0 96,3 70,1 47,7 21,8 30,5 29,3 21,8 10,6 10,5 14,3 9,0
Isolat LH15 -CdCl2 + CdCl2 39,2 123,4 81,2 119,4 29,6 56,3 24,7 45,0 2,1 14,6 17,2 12,8
Tabel 2. Komposisi asam organik penyusun EPS yang dihasilkan isolat BS3, LKM6, dan LH15 dalam kultur cair tanpa dan dengan 0,1 mM CdCl2 setelah diinkubasi 60 jam Asam organik (mg L-1)
-CdCl2
Asam asetat 1,0 Asam laktat 26,1 Asam piruvat 39,1 Asam manuronat 40,0 Asam guluronat 15,8 Asam galakturonat 17,3 Keterangan: Data berasal dari dua ulangan
Isolat BS3 + CdCl2 0,0 1,5 10,4 22,5 25,4 12,1
Penelitian ini menjelaskan terdapat perbedaan antara kuantitas polisakarida dan asam organik di dalam EPS Azotobacter sp. isolat BS3, LKM6 dan LH15 yang diproduksi di media tanpa dan dengan CdCl2 (Tabel 1 dan Tabel 2). Konsentrasi masing-masing polisakarida berubah dengan penambahan CdCl2 dengan pola perubahan yang tidak spesifik untuk setiap isolat. Konsentrasi fruktosa dan manosa meningkat setelah penambahan Cd, terutama pada isolat BS3. Pada isolat ini, penambahan 0,1 mM CdCl2 meningkatkan fruktosa dan manosa sampai lima dan 2,4 kali. Dengan penambahan Cd, konsentrasi glukosa pada EPS yang dihasilkan oleh isolat BS3 dan LH15 meningkat, tetapi menurun pada isolat LKM6. Kadmium juga meningkatkan konsentrasi ramnosa dan galaktosa di EPS isolat LH15. Konsentrasi asam asetat relatif kecil dan tidak terdeteksi pada kultur terpapar Cd. Untuk ketiga isolat, konsentrasi asam glukuronat meningkat sedangkan konsentrasi asam organik lannya menurun pada media yang mengandung CdCl2. Secara umum penurunan konsentrasi asam laktat dan piruvat relatif lebih besar dibandingkan dengan penurunan konsentrasi asam manuronat, glukuronat dan galakturonat. Bahkan pada isolat LKM6 dan LH15, tidak terdapat asam piruvat pada EPS yang diproduksi di dalam media terpapar 0,1 mM CdCl2. Pertumbuhan ketiga isolat Azotobacter dihambat oleh 1 dan 10 mM cadmium chloride. Namun populasi isolat LKM6 pada 0,1 dan 0,01 mM CdCl2 lebih baik dibandingkan kedua isolat lainnya. Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh ketiga isolat mengandung polisakarida dan asam organik dengan konsentrasi yang berbeda untuk setiap isolat; keberadaan Cd di dalam kultur cair mengubah komposisi EPS. Hasil ini menjelaskan bahwa untuk lahan pertanian terkontaminasi ringan oleh Cd, penggunaan pupuk hayati Azotobacter resisten Cd dapat disarankan.
Isolat LKM6 -CdCl2 + CdCl2 1,0 0,0 27,2 0,0 40,5 3,5 19,5 16,0 11,4 15,0 18,9 6,5
Isolat LH15 -CdCl2 + CdCl2 1,0 0,0 29,1 0,0 49,4 14,0 39,4 25,5 20,9 31,0 21,7 16,5
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterimakasih kepada Lalu Sukarno untuk bantuannya dalam menganalisis polisakarida dan asam organik dari EPS.
DAFTAR PUSTAKA Auhim HS, Odaa NH. 2013. Optimization of flocculation conditions of exopolysaccharide biofloculant from Azotobacter chrococcum and its potential for river water treatment. J Microbiol Biotech Res 3: 93-99. Bianucci E, Furlan A, Rivadeneira J, Sobrino-Plata J, Carpena-Ruiz RO, Tordable MDC. 2013. Influence of cadmium on the symbiotic interaction established between peanut (Arachis hypogaea L.) and sensitive or tolerant bradyrhizobial strains. J Environ Manag 130: 126-134. Bradl HB. 2005. Heavy Metal in The Environment.Elsevier Academic Press. Oxford. Chen JH, Czajka DR, Lion LW, Shuler ML, Ghiorse WC. 1995. Trace metal mobilization in soil by bacterial polymers. Environ Health Perspect 103: 53-58. Chen X, Wang J, Shi Y, Zhao MQ, Chi GY. 2011. Effects of cadmium on growth and photosynthetic activities in pakchoi and mustard. Bot Stud 52: 41-46. Emtiazi G, Ethemadifar Z, Habibi MH. 2004. Production of extracellular polymer in Azotobacter and biosorption of metal by exopolymer. Afr J Biotech 3: 330-333. Gauri SS, Archanaa S, Mondal KC, Pati BR, Mandal SM, Dey S. 2011. Removal of arsenic from aqueous solution using pottery granules coated with cyst of Azotobacter and portland cement: characterization, kinetics and modeling. Bioresour Technol 102: 6308-6312. Gauri SS, Mandal MS, Pati BR. 2012. Impact of Azotobacter exopolysaccharides on sustainable agriculture. Appl Microbiol Biotechnol. DOI 10.1007/s00253-012-4159-0. Grant CA. 2011. Influence of phosphate fertilizer on cadmium in agricultural soils and crops. Pedologist (2011): 143-155.
1648
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1644-1648, Oktober 2015
Hindersah R, Arief DH, Soemitro S, Gunarto L. 2006. Exopolysaccharide extraction from Rhizobacteria Azotobacter sp. Proc Intl Seminar IMTGT. Medan, Indonesia 22-23 Juni 2006. Joshi P, Juwarkar A. 2009. In vivo studies to elucidate the role of extracellular polymeric substances from Azotobacter in immobilization of heavy metals. Environ Sci Technol 43: 5884-5889. Kizilkaya R. 2009. Nitrogen fixation capacity of Azotobacter spp. strains isolated from soils in different ecosystems and relationship between them and the microbiological properties of soils. J Environ Biol 30: 73-82. Likhosherstov LM, Senchenkov SN, Shashkov AS, Derevitskaya VA, Danilova IV, Botvinko IV. 1991. Structure of the major exopolysaccharide produced by Azotobacter beijerinckii B-1615. Carbohydr Res 222: 233-238. Mar SS, Okazaki M. 2012. Investigation of Cd contents in several phosphate rocks used for the productionof fertilizer. Microchem J 104: 17-21. Martin-Laurent F, Ranjard L, Lopez-Gutierrez J, Philppot L. 2004. Estimation of atrazine degrading genetic potential and activity in three French agricultural soil. FEMS Microbiol Ecol 48: 425-435. Moussa H, El-Gamal S. 2010. Effect of salicylic acid pretreatment on cadmium toxicity in wheat. Biologia Plantarum 54: 315-320. Popova L, Maslenkova L, Yordanova R, Krantev A, Szalai G, Janda T. 2008. Salicylic acid protects photosynthesis against cadmium toxicity in pea plants. Gen Appl Pl Physiol 34: 133-144.
Prasad D, Subrahmanyam G, Bolla K. 2012. Effect of cadmium on abundance and diversity of free living nitrogen fixing Azotobacter spp. J Environ Sci Technol 5: 184-191 Rasulov BA, Yili A, Aisa HA. 2013. Biosorption of metal ions by exopolysaccharide produced by Azotobacter chroococcum XU1. J Environ Protect 4: 989-993. Sudirja R, Hindersah R. 2007. Konsentrasi kadmium di lahan pertanian tanaman sayuran di Lembang, Bandung. J Pengembangan Wilayah 3: 6-10. Vargas-Garcia MC, Lopez MJ, Elorrieta MA, Suarez F, Moreno J. 2003. Properties of polysaccharides produced by Azotobacter vinelandii cultured on 4-hydroxybenzoic acid. J Appl Microbiol 94: 389-395. Vikhe PS. 2014. Azotobacter species as a natural plant hormone synthesizer. Res J Recent Sci 3: 59-63. Wahid A, Ghani A, Javed F. 2008. Effect of cadmium on photosynthesis, nutrition and growth of mungbean. Agron Sustain Dev 28: 273-280. Wani SA, Chand S, Ali T. 2013. Potential use of Azotobacter chroococcum in crop production: An overview. Curr Agric Res 1: 3538. Xue ZC, Gao HY, Zhang LT. 2013. Effects of cadmium on growth, photosynthetic rate and chlorophyll content in leaves of soybean seedlings. 57: 587-590. Yadav SK. 2010. Heavy metals toxicity in plants: An overview on the role of glutathione and phytochelatins in heavy metal stress tolerance of plants. S A J Bot 76: 167-179.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1649-1653
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010719
Kultur spora in vitro tiga varian pakis simpei Cibotium barometz In vitro spore culture of three variants of the golden chicken fern Cibotium barometz YUPI ISNAINI, TITIEN NGATINEM PRAPTOSUWIRYO Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir.H. Juanda 13 P.O.Box 309 Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251 8322187, email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 8 Agustus 2015.
Isnaini Y, Praptosuwiryo TNg. 2015. Kultur spora in vitro tiga varian pakis simpei Cibotium barometz. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1649-1653. The golden chicken fern, Cibotium barometz (L.) J. Sm., is an important Indonesian export commodity for both traditional and modern medicine. This trade commodity still relies on harvest from the wild, therefore this species has been included in Appendix II of the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Morphological and population studies of C. barometz in Sumatra have been conducted in 5 provinces. The results showed that C. barometz of Sumatra consists of three variants which are mainly distinguished by hair colour, namely ‘golden yellow’, ‘golden brown’, and ‘pale or white’. The purpose of this study was to compare the rate of growth and development of the gametophytes of three variants of C. barometz in vitro culture. Six genotypes of the three variants were germinated via in vitro spora culture. Spores were sown on a ½ Murashige & Skoog (1/2MS) media with the addition of BAP (0, 2, 4 dan 6 mg/L) and NAA (0; 0.01; 0.03 dan 0.05 mg/L). A ½ MS without BAB and NAA was used for subculture. Sporophyte induction used MS, ½ MS, and ¼ MS with the additon of NAA (0; 0.5 dan 1 mg/L), in a factorial arrangement. First germination occurred 14 days after sowing. For all variants, the highest numbers of rhizoid and filamentous stages were observed on ½ MS media with the additon of 2 mg/L BAP with or without the addition of 0.01 mg/L NAA. For two variants (golden yellow and golden brown) the highest number of sporophytes occured on ¼ MS without NAA. The highest number of sporophyte formation occured on one genotype of one variant, namely the ‘golden brown’. Keywords: Cibotium barometz, golden chicken fern, medicinal fern, spore culture in vitro
Isnaini Y, Praptosuwiryo TNg. 2015. In vitro spore culture of three variants of the golden chicken fern Cibotium barometz. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1649-1653. Pakis simpei atau pakis emas, Cibotium barometz (L.) J. Sm., merupakan salah satu jenis komoditi ekspor Indonesia yang penting sebagai bahan obat tradisional maupun modern. Perdagangan jenis ini masih mengandalkan hasil dari alam, akibatnya keberadaannya di alam mulai terbatas. Oleh karena itu jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Studi populasi dan morfologi C. barometz telah dilakukan di 5 provensi di Sumatera. Hasil penelitian menemukan bahwa C. barometz terdiri dari 3 varian yang dapat dikenali berdasarkan warna bulunya, yaitu kuning emas, coklat dan bule. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membanding kecepatan pertumbuhan dan perkembangan gametofit tiga varian C. barometz dengan kultur spora in vitro. Spora dari enam genotipe yang tercakup dalam 3 varian C. barometz dikecambahkan melalui kultur spora in vitro secara bertahap. Spora disemai pada media Murashige & Skoog dengan modifikasi setengah konsentrasi (½ MS) dengan penambahan berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP (0, 2, 4 dan 6 mg/L) dan NAA (0; 0,01; 0,03 dan 0,05 mg/L). Subkultur untuk penjarangan spora yang berkecambah dilakukan pada media ½ MS tanpa zat pengatur tumbuh dilanjutkan dengan induksi pembentukan sporofit menggunakan media MS, ½ MS dan ¼ MS dengan penambahan NAA (0; 0,5 dan 1 mg/L), dalam rangcangan faktorial. Hasil pengamatan menunjukkan spora mulai berkecambah paling cepat 14 hari setelah semai. Untuk semua varian, jumlah rhizoid dan fase filamen paling banyak terdapat pada media semai ½ MS dengan penambahan 2 mg/L BAP dengan atau tanpa penambahan 0,01 mg/L NAA. Dari dua varian yang dibandingkan (kuning emas dan coklat emas), sporofit paling banyak terbentuk pada media ¼ MS tanpa penambahan NAA. Jumlah tertinggi sporofit ditemukan pada satu genotipe dari C. barometz, yaitu varian coklat emas. Kata kunci: Cibotium barometz, pakis emas, tumbuhan paku obat, kultur spora in vitro
PENDAHULUAN Cibotium barometz dikenal dengan nama pakis simpei, pakis mas, pakis monyet, gou ji (Cina), dan lain-lain. Jenis ini tersebar di Cina, India, western Malay Peninsula, Indonesia (Jawa dan Sumatra), Myanmar, Thailand, Viet Nam, Jepang (Zhang et al. 2008, Taiwan (van Steenis and Holttum 1982), Laos dan Philippines (Nguyen et al. 2009).
Cibotium barometz dilaporkan tumbuh di tanah yang asam (Zhang et al. 2008; Praptosuwiryo et al. 2011), di hutan primer dan sekunder di lereng-lereng bukit atau gunung pada ketinggian 600-800 m dpl (Holttum 1963; Praptosuwiryo et al. 2011) dan di area hutan terbuka pada ketinggian sampai 1600 m dpl. (Nguyen et al. 2009; Praptosuwiryo et al. 2011). Cibotium barometz telah lama digunakan di Asia untuk bahan obat, makanan dan serat (Lemmens et al. 1989).
1650
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON
Rimpang dan akar tumbuhan ini dipanen untuk bahan obat, untuk mempercepat pembekuan darah, obat rematik, dan typus (Puri 1970; May 1978; Praptosuwiryo 2003; Nguyen et al. 2009). Bulu yang menyelimuti rimpang dan tangkai daun juga dimanfaatkan untuk isi bantal (Chandra 1970; van Steenis and Holttum 1982) atau sebagai bahan pengepakan (May 1978). Di sisi lain, Oldfield (1995) melaporkan pohon paku ini juga digunakan sebagai tanaman hias dalam pot dan untuk pengisi taman serta untuk media tumbuh anggrek. Banyaknya manfaat C. barometz sebagai bahan obat memicu maraknya pencarian bulu atau rimpangnya di hutan untuk diperdagangkan. Pada tahun 2005-2007, tumbuhan ini di Indonesia, juga sempat marak diperdagangkan sebagai tanaman hias dalam pot. Bahkan sampai saat ini, beberapa pedagang tanaman hias masih menjual paku ini di Sumatra Barat.Walau demikian, tumbuhan paku ini masih berstatus sebagai tumbuhan liar, usaha-usaha budidaya belum dilakukan secara intensif. Sementara itu kebutuhan eksport nasional pili cibotii (bulu C. barometz) di Indonesia juga masih mengandalkan hasil eksploitasi dari alam. Oleh karena itu sejak tahun 1976 jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES sehingga pemanfaatannya ditentukan berdasarkan sistem kuota. Saat ini populasi-populasi lokal C. barometz, termasuk di Sumatera, mengalami tekanan keterancaman disebabkan oleh maraknya pengalihan fungsi lahan dan ekploitasi yang berlebihan untuk perdagangan. Untuk mengantisipasi kepunahan jenis ini dan memenuhi keperluan bibit untuk keperluan domestikasi dan reintroduksi, diperlukan kajian budidayanya. Paku ini bisa diperbanyak secara vegetative dari rimpang atau secara generatif dari sporanya. Usaha perbanyakan vegetatif dari rimpang dan perbanyakan konvensional dengan semai spora pada media alami telah dilakukan di Kebun Raya Bogor sejak tahun 2011 (Praptosuwiryo et al., data tidak dipublikasi), tetapi jumlah bibit siap pindah semai (hardening) yang dihasilkan masih jauh dari yang diharapkan dan membutuhkan waktu cukup lama (lebih dari 12 bulan). Perbanyakan C. barometz dengan teknik kultur spora in vitro diharapkan menjadi alternative metode perbanyakan untuk menghasilkan bibit secara massal dalam waktu singkat. Cibotium barometz memperlihatkan variasi morfologi. Studi perbandingan morfologi dari populasi jenis ini dari 91 koleksi yang dikumpulkan dari 16 lokasi di Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, memperlihakan bahwa jenis ini dikenali mempunyai tiga varian, yaitu varian kuning emas, coklat emas dan putih kecoklatan atau bule. Tiga varian tersebut dapat dikenali berdasarkan kombinasi ciri-ciri: warna bulu, keberadaan bulu pada tangkai daun (stipe) dan tulang tengah anak daun (costae), torehan lembaran daun, jarak segmen, percabangan urat-urat daun dan jumlah sori (Rugayah et al. 2009). Terkait dengan seleksi varian untuk budidaya maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah ‘apakah tiga varian tersebut memiliki perbedaan dalam segi pertumbuhan dan perkembangan’. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan dari tiga varian C. barometz (kuning emas, coklat emas dan putih-kecoklatan atau bule). Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberi
1 (7): 1649-1653, Oktober 2015
informasi dan acuan untuk usaha percepatan budidaya, pengelolaan dan penyelamatan C. barometz.
BAHAN DAN METODE Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa spora dari 3 varian C. barometz yang berasal dari berbagai lokasi (Tabel 1). Cara kerja Persiapan media semai Media semai yang digunakan adalah media dasar Murashige dan Scoog (MS) dengan konsentrasi hara makro, mikro dan vitamin masing-masing 50% (½MS), gula 20 g/L dan agar gelrite 2 g/L. Keasaman media diatur pada pH 5.7 ± 0,01. Media semai yang telah disterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C dituangkan ke dalam cawan Petri yang sebelumnya juga telah disterilisasi dengan autoklaf dan dikeringkan dalam oven dengan suhu sekitar 700C sebelum digunakan. Sterilisasi dan penyemaian spora Bahan sterilan yang digunakan adalah klorok komersial dengan berbagai konsentrasi dan tween 80. Metode sterilisasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 metode yang berbeda. Metode pertama (Metode A) untuk spora Cb, Cb1, Cb2 dan Cb3 dilakukan dengan cara sebagai berikut: Spora yang telah dibersihkan selanjutnya disterilisasi menggunakan clorok komersial dengan konsentrasi 20%, 10% dan 5% dengan penambahan tween 80. Sterilisasi dilakukan dengan perendaman ke dalam larutan klorok 20% selama 10 menit lalu spora dibiarkan mengendap dan cairan sterilannya dibuang perlahan dengan bantuan pipet. Selanjutnya perendaman dalam klorok 10% dan 5% masing-masing selama 10 dan 5 menit, lalu spora dibilas mengunakan akuades steril beberapa kali sampai tidak tercium aroma clorok. Akuades dari bilasan terakhir digunakan sebagai perantara spora ke media semai. Tabel 1. Bahan tanam yang digunakan untuk perbanyakan C. barometz secara in vitro Kode Asal spora koleksi
Lokasi tanaman
Cb
Jambi
Cb-1
Sumbar Ecopark, Cibinong Science Center Sumbar KR Cibodas Sumbar KR Ciobdas
Cb-2 Cb-3 Cb-4 Cb-5
KR Bogor
Sumbar KR Cibodas Sumbar Hutan masyarakat, Bukit Sikik
Kode koleksi
Varian
Panen spora
TNgP2509 Kuning emas TNgP 3353 Kuning emas
2012
TNgP 2780 Coklat TNgP 2792 Kuning emas TNgP 2844 Coklat TNgP Bule s.019
2013 2013
2013
2013 2013
ISNAINI & PRAPTOSUWIRYO – Kultur spora Cibotium barometz
Metode sterilisasi kedua (Metode B) untuk spora Cb4 dan Cb5 dilakukan dengan cara yang lebih singkat. Spora dimasukkan ke dalam effendorf 1 mL ditambah klorok komersial konsentrasi 20% dan dibiarkan selama 5 menit, lalu spora diendapkan dengan bantuan alat sentrifus mikro. Selanjutnya cairan strilan dibuang dan diganti dengan klorok dengan konsentrasi 10%, dibiarkan selama 5 menit, lalu diendapkan kembali dengan cara yang sama. Selanjutnya cairan sterilan dibuang dan spora langsung dibilas dengan akuades steril dengan cara menambahkan akuades, mengocok dan mengendapkan spora dengan cara yang sama lalu akuadesnya dibuang. Pembilasan dilakukan setidaknya 3 kali atau sampai tidak tercium bau klorok. Akuades bilasan terakhir digunakan untuk semai spora. Penyemaian spora dilakukan dengan cara mengambil spora beserta akuades yang sengaja ditambahkan setelah pembilasan spora pasca sterilisasi. Pengambilan spora dilakukan dengan bantuan pipet steril, lalu disemprotkan ke media semai di cawan Petri. Spora yang telah disemai bersama akuades steril selanjutnya diratakan dengan cara menggoyang cawan Petri secara perlahan agar spora tersebar dengan baik dan tidak menumpuk. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat ada tidaknya kontaminasi dan mengetahui waktu spora mulai berkecambah. Jumlah spora yang berkecambah dihitung di bawah mikroskop dibandingkan dengan jumlah spora yang berada pada bidang pandang mikroskop untuk mendapatkan persentase spora berkecambah. Spora yang berkecambah selanjutnya disubkultur ke media dasar ½ MS tanpa penambahan hormone di dalam botol kultur untuk pejarangan. Subkultur untuk pembesaran dan pembentukan sporofit Kumpulan tanaman kecil yang masih bergerombol (protalus) hasil penjarangan dari spora yang berkecambah dari Cb1 (mewakili varian kuning emas) dan Cb2 (mewakili varian coklat) selanjutnya disubkultur ke media perlakuan MS, ½ MS dan ¼ MS dengan penambahan gula 30 g/L dan zat pengatur tumbuh NAA dengan konsentrasi 0; 0,5 dan 1 mg/L. Penelitian pembesaran ini dilakukan untuk kultur Cb-1 dan Cb-2. Setiap perlakuan diulang 10 kali (10 botol) dan setiap botol berisi 3 massa protalus. Pengamatan dilakukan untuk melihat berapa banyak sporofit yang terbentuk di setiap media perlakuan.
1651
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil percobaan sterilisasi spora menunjukkan bahwa kedua metode yang dicoba memberikan hasil yang baik, yang ditandai dengan persentase kontaminasi yang relatif rendah, kecuali untuk spora Cb yang mencapai 62,5% (Tabel 2). Metode sterilisasi spora ini mudah dilakukan dan hanya menggunakan satu macam sterilan yang murah dan mudah diperoleh. Hasil pengamatan selanjutnya menunjukkan spora mulai berkecambah paling cepat 14 hari setelah semai untuk C. barometz varian kuning emas dan paling lambat 49 hari setelai semai untuk C. barometz varian bule (Tabel 2). Spora yang berkecambah untuk C. barometz varian kuning emas dan coklat selanjutnya berkembang membentuk spatula, hati dan seterusnya, sedangkan varian bule selanjutnya mati, sehingga tidak dilanjutkan ke tahap subkultur dan seterusnya. Hasil penelitian Khan et al. (2008) pada kultur in vitro spora Asplenium nidus menunjukkan bahwa kloroks komersial 20% dengan penambahan 2 tetes tween, efektif untuk sterilisasi spora. Jika konsentrasinya di bawah 20% spora tidak steril sedangkan di atas 20% tingkat mortalitas tinggi karena adanya peningkatan permeabilitas sodium hipoklorit di dalam sel spora. Sementara itu, penelitian Li et al. (2010) menunjukkan bahwa spora aseptis Cibotium barometz dapat dihasilkan setelah disterilisasi dengan sodium hipoklorit 2% selama 10 sampai 12 menit. Menurut Banks (1999), konsentrasi dan lama paparan zat sterilan sangat bervariasi tergantung pada tipe bahan tanaman. Penambahan tween memastikan kontak antara sterilan dengan eksplan dapat menyeluruh dengan mengurangi tegangan permukaan dan menghilangkan gelembung udara. Pada penelitian ini, metode sterilisasi A menggunakan tambahan tween 80 pada sterilannya, sedangkan pada metode sterilisasi B tidak digunakan. Hasil pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa spora mulai berkecambah membentuk rhizoid, filament atau keduanya paling cepat 14 hari setelah semai (14 HSS). Selanjutnya, spora yang berkecambah mulai membentuk spatula 33 hari setelah semai dan mulai membentuk hati pada 61 hari setelah semai (Gambar 1).
Tabel 2. Jumlah kultur spora yang kontaminasi setelah disterilisasi dengan metode A dan B, waktu spora mulai berkecambah dan persentase kecambah Kode spora
Varian
Cb Cb-1 Cb-2 Cb-3 Cb-4 Cb-5
Kuning emas Kuning emas Coklat Kuning emas Coklat Bule
Metode sterilisasi A A A A B B
Jumlah kultur kontaminasi (%) 62,5 4,2 4,4 26,7 5 0
Waktu spora mulai berkecambah (hss) 14 15 19 19 29 49
Jumlah spora yang mulai berkecambah (%) 7,9 5,1 4,6
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON
1652
1 (7): 1649-1653, Oktober 2015
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Gambar 1. Fase pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro Cibotium barometz pada media ½ MS. HSS = hari setelah semai. A. 9 HSS; B. 14 HSS; C. 25 HSS; 32 HSS; E. 39 HSS; F. 45 HSS; G. 51 HSS; 57 HSS; I . 63 HSS; J. 70 HSS.
Tabel 3. Jumlah sporofit serta bentuk hati dari kultur Cb-1 dan Cb-2 yang terbentuk di media pembesaran 6 bulan setelah subkultur Sporofit Cb-1 Cb-2 MS 0.1 0.1 MS+0,5 mg/L NAA 0 0 MS+1mg/L NAA 0.1 0.1 12MS 2.3 0 1/2MS+0,5 mg/L NAA 0.2 0.4 1/2MS+1mg/L NAA 0.7 0.8 1/4MS 1.9 14.5 1/4MS+0,5 mg/L NAA 1.1 6.8 1/4MS+1mg/L NAA 0.7 3.5 Media
Hati normal Cb-1 Cb-2 0.1 0.4 0.6 0.8 6.7 0.2 2.4 0.2 4.7 0.9 2.4 1 1.7 1.2 1.7 3.5 2.6 2.1
Hati abnormal Cb-1 Cb-2 2.1 34.8 3.1 32.8 15.2 31.9 14.5 37.1 17 31.9 17.3 40 18.2 36.8 17.8 35.5 7.6 27.7
Spora yang telah berkecambah dan membentuk struktur rhizoid (struktur seperti akar), filament (seperti calon daun), spatula dan atau hati selanjutnya disubkultur ke media ½ MS tanpa zat pengatur tumbuh untuk penjarangan dan pembesaran. Tetapi pada pengamatan selanjutnya terlihat kultur mengalami multiplikasi yang sangat banyak dan sulit dikendalikan sehingga tanaman tumbuh berge-
rombol dan sulit untuk mengalami pembesaran sampai membentuk sporofit. Untuk menginduksi pembentukan sporofit, Kultur Cb1 (varian kuning emas) dan Cb2 (varian coklat) yang masih bergerombol disubkultur ke media pembesaran yang terdiri dari media MS, ½ MS dan ¼ MS dengan penambahan 0; 0,5 dan 1 mg/L NAA. Hasil pengamatan 6 bulan setelah subkultur menunjukkan sporofit paling banyak terbentuk di media ¼ MS tanpa penambahan NAA untuk kultur Cb-2 dan di media ½ MS untuk kultur Cb-1. Jumlah sporofit yang terbentuk pada Cb2 (varian coklat) jauh lebih banyak dan berbeda secara signifikan dengan jumlah spora yang terbentuk pada Cb1 (varian kuning emas). Jumlah sporofit yang terbentuk masih sangat terbatas dan struktur lainnya yang dominan adalah bentuk hati abnormal (Tabel 3). Menurut referensi yang ada, media ½ MS banyak digunakan sebagai media penyemaian spora pada berbagai kultur in vitro paku-pakuan, seperti Asplenium nidus (Khan et al. 2008) dan Cibotium barometz (Li et al. 2010). Hasil penelitian Li et al. (2010) menunjukkan bahwa media kultur terbaik untuk induksi pembentukan sporofit adalah media 1/10 MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh, tetapi media terbaik untuk perbanyakan sporofit adalah
ISNAINI & PRAPTOSUWIRYO – Kultur spora Cibotium barometz
media ¼ MS dengan penambahan kinetin 2 mg/L dan NAA 0.1 mg/L. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan sporofit Cb-2 tertinggi terdapat pada media ¼ MS, namun tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Hasil penelitian Khoo dan Thomas (1980) menyebutkan bahwa pembentukan sporofit Adiantum raddianum terhambat pada media dengan konsentrasi mineral yang tinggi Di lain pihak, Cox et al. (2003) menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk spora paku Schizaea dichotoma adalah pada media kultur yang konsentrasi mineralnya minim. Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, pertumbuhan kultur spora C. barometz ini masih relatif lambat untuk membentuk tanaman lengkap (sporofit) di media kultur, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan sporofit yang lebih banyak dalam waktu relative singkat. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa kecepatan tumbuh varian coklat lebih cepat dibandingkan dengan varian kuning emas, sedangkan varian bule mengalami kematian pada tahap awal perkecambahan sehingga belum dapat dibandingkan dengan kedua varian lainnya. Pembentukan sporofit untuk kedua varian paling banyak pada media yang miskin nutrisi tetapi jumlahnya masih belum sesuai harapan untuk menghasilkan bibit yang banyak, sehingga masih diperluakan kajian lebih lanjut.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Kompetitif LIPI 2013-2014 yang berjudul ”Valuasi Varian Pakis Simpei (Cibotium barometz) sebagai Tumbuhan Penghasil Bahan Obat”. Terima kasih disampaikan kepada kepada staf Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Bogor-LIPI dan mahasiswa magang dari Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, Politeknik Negeri Lampung di Lampung, Universityas Negeri Lampung di Lampung dan
1653
Institut Pertanian Bogor di Darmaga, Bogor, yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Banks JA. 1999. Gametophyte development in Ferns. Annual Rev. Plant Physiology 50: 163-86. Chandra S. 1970. Vascular organization of the rhizome of Cibotium barometz. Amer Fern J 60 (2): 68-72. Cox J, Bhatia P, Ashwath N. 2003. In vitro spore germination of the fern Schizaea dichotoma. Scientia Horticulturae 97: 369-378. Holttum RE. 1963. Cyatheaceae. Flora Malesiana Ser. II. Vol. 1 (2): 165. Khan S, Raziq M dan Kayani H.A. 2008. In vitro propagation of bird’s nest fern (Asplenium nidus) from spore. Pak J Bot 40 (1): 91-97. Khoo SI, Thomas MB. 1980. Studies on the germination of fern spores. Plant Propag 26: 11-15. Lemmens RHMJ, Jansen PCM, Siemonsma JS, Stavast FM. 1989. Plant resources of South-East Asia. Basic list of species and commodity grouping. PROSEA Project, Wageningen, the Netherlands. Li X, Ye Q-M, Zhan QC, Kang B-L, Jian L-G, Huang M-L. 2010. In vitro culture and plant regeneration of Cibotium barometz (L.) J. Sm. Northern Horticulture 2010 (6): 152-155. Nguyen T. 2006. The red list of medicinal plants of Viet Nam-2006. J Med Mater 11 (3): 97-105. [Vietnamese] Nguyen T, Le TS, Ngo DP, Nguyen QN, Pham TH, Nguyen TH. 2009. Non-detriment finding for Cibotium barometz in Viet Nam. SC58 Doc. 21.1. Annex 2. May LW. 1978. The economic uses and associated folklore of ferns and fern allies. Bot Rev 44 (4): 491-528. Oldfield S. 1995. Significant trade in CITES Appendix II plants. Tree ferns. Prepared for the CITES Secretariat by the World Conservation Monitoring Centre, Cambridge, UK. Praptosuwiryo TNg, Pribadi DO, Puspitaningtyas DM, Hartini S. 2011. Inventorying of the tree fern genus Cibotium of Sumatra: Ecology, population size and distribution in North Sumatra. Biodiversitas 12 (4): 204-211. Puri HS. 1970. Indian Pteridophytes used in folk remedies. Amer Fern J 60 (4): 137-143. Rugayah, Praptosuwiryo TNg, Puspitaningtyas DM. 2009. Morphological Variation of Cibotium barometz from West Sumatra. Proceedings on The International Conference on Biological Science. Faculty of Biology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. 16-17 October 2009. Zhang X-C, Jia J-S, Zhang G-M. 2008. Non-detriment finding for Cibotium barometz in China. NDF Workshop Case Studies. WG 2perennials.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1654-1657
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010720
Tanggapan hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella terhadap feromon seks dan intensitas serangannya di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah Responses of the cocoa pod borer Conopomorpha cramerella against sex pheromones and the intensity of attack in Parigi Moutong District, Central Sulawesi ABDI NEGARA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Jl. Lasoso 62 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tel. +62-451-482546. ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 2 Juni 2015. Revisi disetujui: 27 Juli 2015.
Negara A. 2015. Tanggapan hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella terhadap feromon seks dan intensitas serangannya di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1654-1657. Hama Penggerek Buah Kakao/PBK (Conopomorpha cramerella, Lepidoptera, Gracilaridae) merupakan hama utama tanaman kakao yang sangat merugikan karena dapat menurunkan produksi 50-90%. Serangan PBK dikategorikan berat apabila menurunkan produksi biji sebesar 82,2%.Salah satu pengendalian hama PBK yang efektif dan ramah lingkungan adalah menggunakan feromon seks. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jumlah tangkapan serangga hama PBK dengan penggunaan feromon seks dan intensitas serangannya. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2013 di Desa Sausu Torono, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah dengan luasan 1,0 ha. Perlakuannya adalah pemasangan satu unit perangkap feromon seks pada setiap pohon perlakuan sebanyak delapan pohon dengan delapan blok ulangan. Pengamatan meliputi menghitung hasil tangkapan serangga jantan yang tertangkap setiap dua minggu hingga panen pertama dan panen 3 bulan akhir; serta tingkat kerusakan buah dengan menyekor gejala kerusakan akibat serangan PBK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah serangga PBK tertangkap pada panen pertama pada masing-masing blok adalah: Blok I 25 ekor, Blok II 31ekor, Blok III 51 ekor, Blok IV 60 ekor, Blok V 31, Blok VI 33, Blok VII 32 dan Blok VIII 19. Total hasil tangkapan serangga pada semua blok 282 ekor, kategori serangan berkisar 4,38-16,398 dengan intensitas serangan 69% sebelum aplikasi dan setelah aplikasi feromon seks rata-rata intensitas serangan turun menjadi 0,08%. Kata kunci: Conopomorpha cramerella, kakao, penggerek buah, feromon seks
Negara A. 2015. Responses of the Cocoa Pod Borer Conopomorpha cramerella against sex pheromones and the intensity of attack in Parigi Moutong District, Central Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1654-1657. Cocoa pod borer pests or CPB Conopomorpha cramerella Snellen, Lepidoptera, Gracilaridae. CPB is a major pest of cocoa plants very harmful because it can decrease the production of 50-90%. In Indonesia, this pest is very worrying. You could say 75% of the cocoa pest attack CPB . Continuity of cocoa production in Indonesia is faced with the problem of pest winches cacao CPB categorized result of the attack weight loss grain production amounted to 82.2%. One of CPB pest control by sex fromon environmentally safe. This research aims to study the insect pest catches CPB with the use of sex pheromones and the intensity of attack. The research was conducted in October 2013 until Februari 2014 Sausu Torono village, Sausu District, Moutong Parigi District , Central Sulawesi, On farmer reseach with an area 1 ha plantation, with the treatment one unit sex pheromone traps in each treatment eight tree replications a tree with eight blocks. Observations included calculating catches male insects are caught every two weeks until the first harvest and harvest three months late. Observations were made level of fruit damage at harvest with scoring symptoms of damage from the CPB. Research shows that the number of insects caught on the first harvest PBK with in each block are: Block I 25 tails, Bloc II 31 tails, Block III 51 tails, Block IV 60 tails, Block. V 31 tails, Block. VI 33 tails, Block. VII 32 tails and Block VIII 19 tails, total all Block 282 tails with category average of 4.38-16.398 attack with attack intensity 69% before application and after application of sex pheromone intensity of attacks dropped an average 0.08%. Keywords: Conopomorpha cramerella, cocoa, sex pheromones
PENDAHULUAN Kakao (Theobroma cacao L) merupakan komoditas unggulan nasional dan daerah yang terdapat hampir disemua provinsi, disamping itu kakao merupakan komoditas ekspor non migas yang mampu meningkatkan
devisa negara dan menunjang pendapatan asli daerah (PAD) karena harga kakao Internasional cukup tinggi dimanfaatkan petani pada saat panen. Luas pertanaman kakao di Sulawesi Tengah pada tahun 2006 mencapai 179.617 ha yang terdiri dari sekitar 400 ha perkebunan besar dan 179.217 ha perkebunan rakyat, kisaran produksi
NEGARA – Tanggapan hama penggerek buah kakao terhadap feromon seks
rata-rata 0,83 ton/ha (BPS Sulteng 2008). Pengembangan tanaman kakao masih dihadapkan pada berbagai masalah. Salah satu kendala yang dapat mempengaruhi produksi dan mutu kakao adalah masalah serangan penggerek buah kakao atau PBK (Conopomorpha cramerella Snellen, Lepidoptera, Gracilaridae). Akibat serangan PBK yang dikategorikan berat kehilangan produksi biji sebesar 82,2% (Wardoyo 1981). PBK ini sangat sulit dikendalikan karena larva masuk kedalam buah kakao buah kakao dan merusak plasenta dalam buah sehingga biji kakao menjadi hampa dan mengeras. Menurut Posada et al (2010) hama PBK C. cramerella Selain menyerang tanaman kakao, juga menyerang tanaman rambutan (Nephelium lappaceum), pulasan (Nephelium mutabile), kasai (Potemia pinnata), cola(Cola nitida, C. acuminate), dan namnam (Cynometra cauliflora). Upaya penanggulangan akibat serangan serangga C. cramerella telah banyak dilakukan, seperti penggunaan pestisida (Saenong 2007). Teknologi ramah lingkungan lainnya yang pernah digunakan adalah penggunaan metode pembungkusan buah dengan istilah sarungisasi (Rosmana et al. 2010) dan penggunaan umpan feromon (Beevor et al. 2010). Pengendalain insektisida kontak kurang mendapatkan hasil yang memuaskan. Insektisida sistemik sangat tidak dianjurkan karena residunya sangat berbahaya pada manusia. Pengendalian dengan sarungnisasi cukup efektif mencegah peletakan telur pada kulit buah, akan tetapi memerlukan tenaga dan biaya yang sangat banyak dan ketepatan waktu penyarungan (Witjaksono 2007). Salah satu pengendalian
1655
hama PBK yaitu pengendalian dengan feromon seks yang aman terhadap lingkungan. Menurut Witjaksono (2007) Feromon seks yang pernah digunakan dan berhasil diidentifikasi sebagai (E.Z.Z)-4,6,10 hexadecatrienyl acetale dan E.Z.Z. isomemya beserta alkohol dan hexadecyl alcohol. Teknologi pengendalian PBK dengan feromon seks merupakan pengendalian dengan pendekatan ramah lingkungan dan mudah dilakukan petani, sehingga penggunaan insektisida yang berlebihan ditingkat petani dapat dihindari. Teknologi ini terdiri dari komponen rumah perangkap, lem perangkap dan feromon seks. Teknologi ini termasuk komponen pengendalian yang sederhana, efektif serta dapat dipadukan dengan komponen pengendalian PBK lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jumlah tangkapan Serangga hama PBK dengan penggunaan feromon seks dan intensitas Serangannya.
BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilakukan pada bulan Oktober Tahun 2013 hingga Februari 2014 di Desa Sausu Torono, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong (Parimou), Sulawesi Tengah (Gambar1) di lahan petani dengan luasan perkebunan 1 ha, dengan perlakuan pemasangan satu unit perangkap feromon seks pada setiap pohon perlakuan sebanyak delapan pohon dengan delapan blok ulangan.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Sausu Torono, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong (Parimou), Sulawesi Tengah
1656
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1654-1657, Oktober 2015
Pengamatan meliputi menghitung hasil tangkapan serangga jantan yang tertangkap setiap dua minggu hingga panen pertama dan panen 3 bulan akhir. Pengamatan dilakukan tingkat kerusakan buah pada saat panen dengan mengskoring gejala kerusakan akibat serangan PBK. Pengamatan dalam penelitian ini yaitu menghitung hasil tangkapan serangga jantan yang tertangkap setiap dua minggu hingga panen pertama dan panen kedua. Pengamatan juga dilakukan tingkat kerusakan buah pada panen pertama dan panen kedua. Kerusakan pada sempel buah diamati pada setiap panen dengan memetik semua buah yang masak dan dibelah dengan mengskoring gejala kerusakan akibat serangan PBK dengan rumus sebagai berikut: Intensitas serangan PBK (%) I =
( Zn x z) X 100% NxZ
dimana: N : Jumlah buah yang diamati Z : Kategori serangan tertinggi z : Kategori serangan pada buah ke-i n : Buah contoh ke-i pada kategori z Skoring kerusakan buah kakao akibat serangan PBK sebagai berikut: 0 : Buah mulus tak ada serangan 1 : Serangan ringan, biji masih bisa lepas dengan kulit 2 : Seragan sedang, biji agak sulit lepas dengan kulit 3 : Serangan berat, biji sulit dilepas dengan kulit
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan meliputi hasil tangkapan serangga PBK pada perangkap feromon seks yaitu jumlah serangga jantan PBK yang tertangkap pada saat pemasangan pertama hingga panen kedua tertera pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah serangga PBK tertangkap dengan pada masing-masing blok yakni: Blok I 20 ekor, Blok II 33 ekor, Blok III 50 ekor, Blok IV 60 ekor, Blok V 31 ekor, Blok VI 33 ekor, Blok VII 22 ekor dan Blok VIII 19 ekor dengan total tangkapan semua Blok 283 ekor. Jumlah ini dikatergorikan banyak dengan harapan dapat mengurangi populasi hama PBK pada perkebunan petani didesa ini. Pemasangan perangakap feromon seks ini dipasang setelah petani panen, dengan perlakuan pemasangan feromon seks dengan harapan buah pucuk yang tertinggal akan dipanen pada panen berikutnya setelah pemasangan perangkap agar dapat diketahui tingkat serangan setelah perlakuan. Tabel 1 menunjukkan pula Blok IV lebih banyak tertangkap 60 ekor serangga jantan tertangkap ekor dibandingkan blok lainnya, hal ini dimungkinkan pada Blok IV lebih banyak buahnya dibanding Blok lainnya. Banyaknya serangga jantan yang tertangkap karena nalurinya mencari serangga betina untuk kawin akhirnya terperangkap karena feromon seks sintetik yang dipasang adalah menguluarkan aroma serangga betina yang sedang birahi. Melihat meningkatnya tangkapan
serangga PBK dapat dikatakan feromon seks yang terpasang sangat efektif digunakan petani untuk mengendalikan hama PBK pada lahannya. Jumlah tangkapan pada setiap blok percobaan bervariasi yang terendah 19 ekor pada Blok VIII dan yang tertinggi 60 ekor pada Blok IV. Perbedaan tangkapan dimungkinkan akibat adanya perbedaan kelebatan buah pada setiap pohon per Blok sehingga pohon yang terbanyak buahnya lebih banyak serangga Hama PBK yang hinggap pada buah tersebut untuk peletakan telur, tentunya dengan harapan dapat mengurangi populasi hama PBK pada perkebunan petani di desa ini. Pemasangan feromon seks ini perbandingan penangkapan pada pengamatan ke-6 dengan jumlah tangkapan 79 ekor dan pengamatan ke-7 jumlah tangkapan 88 ekor cenderung lebih banyak dari segi jumlah tangkapan, tentunya intensitas serangan dapat terkendali dibanding tanpa perlakuan sama sekali oleh petani. Kebiasaan petani setempat untuk menaggulangi serangan PBK dilahannya pada umunya menggunakan insektisida kontak, tanpa mengetahui prilaku hama tersebut. Tabel 2 menunjukkan bahwa kategori serangan pada panen pertama 287 buah yang terpanen bervariasi. Kategori serangan 0 dan 1 lebih sedikit 35 buah dan 77 buah jika dibanding kategori serangan 2 dan 3 yakni 44 buah dan 131 buah yang termasuk dalam kategor ini serangan sedang dan berat dimana biji sulit terlepas dari kulitnya dengan intensitas serangan rerata 69%. Pengujian terhadap penggunaan feromon seks sebagai umpan perangkap serangga telah dilakukan pada beberapa tanaman, seperti feromon seks C. cramerella untuk tanaman kakao (Beevor et al. 1985). Feromon seks Cameraria ohridella untuk perlindungan tanaman chestnut (Svatos et al. 2001). Feromon seks Spodoptera exigua untuk perlindungan tanaman bawang merah (Hartati dan Nurawan 2009.) dan feromon seks Argyrotanenia sphaleropa pada tanaman karet (Legrand et al. 2004). Tabel 3 menunjukkan bahwa kaegori serangan pada panen kedua 265 buah yang terpanen bervariasi. Kategori serangan 0 dan 1 yakni 222 buah dan 32 buah lebih besar jika dibanding kategori serangan 2 dan 3 yakni 8 buah dan 1 buah yang termasuk kategori serangan sedang dan berat dimana biji kakao sulit lepas dari kulitnya sehingga jika dibandingkan dengan panen buah pertama. Pada panen kedua rerata intensitas serangan 0,08% menurun dibandingkan nintensitas serangan panen pertama yaitu rerata 69%. Melihat perbedaan ini dimungkinkan karena serangga hama PBK yang terperangkap mulai pemasangan awal sebelum panen pertama sudah banyak tertangkap, dilanjutkan pada panen kedua sehingga intensitas serangan pada panen kedua menurun. Menurut Zhang et al. (2008) reevaluasi penggunaan feromon seks C. cramerella sebagai perlindungan tanaman kakao telah dilakukan diempat perkebunan kakao di Sulawesi, Indonesia dan di delapan titik lainnya di Malaysia. Sebanyak 2,055 ekor C. cramerella jantan tertangkap selama periode 3-8 bulan pada tahun 2006-2007 dan sangat efektif menangkap serangga jantan. Hal ini sejalan yang disampaikan oleh Firdaus et al. (2013) menyatakan bahwa senyawa sintetik yang efektif yang
NEGARA – Tanggapan hama penggerek buah kakao terhadap feromon seks Tabel 1. Pengamatan tangkapan serangga PBK 2013/2014 di Desa Sausu Torono, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong Perlakuan feromon seks Blok.I Blok. II Blok. III Blok. IV Blok. V Blok. VI Blok. VII Blok. VIII Jumlah
Tahun 2013 / 2014 17 1 15 29 12 26 9 23 Jumlah Nop Des Des Des Jan Jan Peb Peb 0 1 0 5 9 8 1 1 20 1 1 2 3 7 12 3 2 33 1 3 1 16 14 15 0 1 50 1 4 5 12 8 29 1 0 60 3 2 2 5 11 4 2 2 31 1 0 2 10 11 6 2 1 33 1 2 1 0 16 11 0 1 22 1 1 1 8 3 3 1 1 19 9 14 14 59 79 88 10 10 283
Tabel 2. Kategori serangan kerusakan buah panen pertama 2013/2014 di Desa Sausu Torono, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong Pohon sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rerata
Buah panen 19 45 30 7 52 35 24 75 287 35,88
0 5 1 2 0 6 3 3 15 35 4,38
Kategori serangan 1 2 3 0 20 7 8 3 1 0 21 13 3 9 4 1 17 11 77 44 9,623 5,50
3 11 17 17 6 12 20 16 32 131 16,38
% 63 62 72 90 53 77 75 60 552 69
Tabel 3. Kategori serangan kerusakan buah panen kedua 2014 di Desa Sausu Torono, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong Pohon sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rerata
Buah panen 24 47 37 70 8 20 27 32 265 33,11
0 20 35 28 63 8 19 20 29 222 27,75
Kategori serangan 1 2 4 0 6 5 7 2 6 1 0 0 1 0 7 0 1 2 32 8 4,00 1,00
3 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0,11
% 0,06 0,13 0,10 0,04 0,0 0,02 0,09 0,16 0,60 0,08
1657
pernah digunakan untuk menangkap serangga jantan Sintesis senyawa 6-hidroksi-2-heksanon sebagai tahapan awal sintesis molekul feromon seks Conopomorpha cramerella, (4E,6E,10Z)-4,6,10-heksadekatrienil asetat telah dilakukan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (i) jumlah serangga PBK tertangkap pada panen pertama dan panen kedua dengan total penangkapan semua, (ii) blok 283 ekor dengan Intensitas serangan rerata 69%, (iii) intenitas serangga PBK pada panen kedua rerata 0,08%.
DAFTAR PUSTAKA Beevor PS, Cork A, Hall DR, Nesbitt BF, Day RK, Mumford JD. 1985. Components of female sex pheromone of cocoa pod borer mMoth, Conopomorpha cramerella. Chem Ecol 12 (1): 1-23. BPS Sulteng. 2008. Sulawesi Tengah Dalam Angka. Biro Pusat Statistik, Provinsi Sulawesi Tengah Firdaus, Raya I, Karim A, Firdausiah S. 2013. Sintesis 6-hidroksi-2 Heksanon sebagai tahapan awal sintesis feromon seks hama penggerek buah kakao (Conopomorpha Cramerella). Manasir 1 (1): 66-74 Hartati Y, Nurawan A. 2009. Peluang pengembangan feromon seks dalam pengendalian hama ulat bawang (Spodopteraexigua) pada bawang merah. Litbang Pertanian 28 (2): 72-77. Legrand S, Botton M, Coracini M, Witzgall P, Unelius CR. 2004. Synthesis and field test of sex pheromone component of the leaftroller Argytaenia sphleropa. Verlag Der Zeitschriftfü Naturforschung 59c: 708-712. Posada FJ, Virdiana I, Navies M, Pava-Ripoll M, Hebbar P. 2010. Sexual dimorphism of pupae and adults of the cocoa pod borer, Conopomorpha cramerella. Insect Sci 11 (52): 1-8. Rosmana A, Shepard M, Hebbar P, Mustari A. 2010. Control of cocoa pod borer and Phytophthora pod rot using degradable plastic pod sleeves and a nemathode, Steinernema carpocapsae. Indon J Agric Sci 11: 41-47 Saenong MS. 2007. Beberapa senyawa pestisida yang berbahaya. Prosiding. Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII. Komda Sulawesi. Selatan, Makassar Svatos A, Kalinova B, Hoskovec M, Kindi J, Hovorka O, Hardy I. 2001. Identification of Camerariaohridella sex pheromone and its possible use in horse chestnut protection. IOBC WPRS Bull 24 (2): 5-12. Witjaksono. 2007. Feromon seks Penggerek Buah kakao (Conopomorpha cramerella) Sintesis dan Uji Lapang. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Zhang A, Kuang LF, Maisin N, Karumuru B, Hall DR, Virdiana I, Lambert S, Bin Purung H, Wang S, Hebbar P. 2008. Activity evaluation of cocoa pod borer sex pheromone in cacao fields. Environ Entomol 37 (3): 719-724.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1658-1660
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010721
Pertumbuhan bibit Alpinia malaccensis pada variasi kerapatan tanam di pembibitan Alpinia malaccensis seedlings growth at planting space variations in the nursery REZA RAMDAN RIVAI♥, FITRI FATMA WARDANI Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, P.O. Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187, ♥email:
[email protected]. Manuskrip diterima: 30 Mei 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Rivai RR, Wardani FF. 2015. Pertumbuhan bibit Alpinia malaccensis pada variasi kerapatan tanam di pembibitan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1658-1660. Alpinia malaccensis merupakan jenis tanaman dari suku Zingiberaceae yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun tanaman hias. A. malaccensis masih belum banyak dibudidayakan oleh petani secara luas. Fase bibit merupakan salah satu tahap kritis dalam membudidayakan tanaman. Kompetisi antar bibit dalam memperoleh asupan nutrisi, air maupun cahaya diduga menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan A. malaccensis di pembibitan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kerapatan tanam yang tepat dalam menumbuhkan bibit A. malaccensis. Penelitian dilaksanakan di Rumah Paranet, Laboratorium Treub, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga pengulangan. Bibit A. malaccensis ditanam pada bak plastik ukuran (40 x 30 x 15) cm. Faktor yang diujikan adalah kerapatan tanam yang terdiri atas 4, 6 dan 8 bibit per bak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit A. malaccensis yang ditanam pada kerapatan 4 bibit per bak memiliki daun lebih panjang dan lebih lebar dibandingkan perlakuan lainnya. Namun, pertambahan tinggi dan jumlah daun bibit A. malaccensis tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan kerapatan tanam yang diujikan. Kata kunci: Alpinia malaccensis, bibit, kerapatan tanam, pertumbuhan Rivai RR, Wardani FF. 2015. Alpinia malaccensis seedlings growth at plant spacing variations in the nursery. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1658-1660. Alpinia malaccensis is a plant species of Zingiberaceae rate is commonly used as raw material for medicinal and ornamental plants. A. malaccensis is not widely cultivated by the farmers at large. Seed is one of the critical stages in the cultivation of plants. Competition between seeds in obtaining nutrition, water and light is thought to be one of the limiting factor of A. malaccensis growth in the nursery. The purpose of this study was to obtain appropriate plant spacing for growing A. malaccensis seedlings. The experiment was conducted in house paranet, Treub Laboratory, Center for Plant Conservation Botanical Garden, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor. This study used a completely randomized design with three repetitions. A. malaccensis seedlings planted at plastic basin (40 cm x 30 cm x 15 cm). Factors that tested are plant spacing consisting of 4, 6 and 8 seedlings per basin. The results showed that A. malaccensis seedlings were planted at a density 4 seedlings per basin have leaves longer and wider than other treatments. However, the increased height and number of leaves of seedlings of A. malaccensis were not significantly different at each treatment. Keywords: Alpinia malaccensis, seedling, plant spacing, growth
PENDAHULUAN Zingiberaceae atau suku jahe-jahean sering dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Salah satu jenis tanaman dari suku Zingiberaceae adalah Alpinia malaccensis yang memiliki fungsi selain sebagai tanaman obat juga digunakan sebagai tanaman hias (Sunarmani et al. 2011). Bagian dari A. malaccensis yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun dan rhizome. Rhizome dan daun A. malaccensis mengandung minyak esensial yang memiliki banyak manfaat sebagai obat (Sahoo et al. 2012). Selain itu, daun dari A. malacensis juga mengandung zat antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker, diabetes, jantung dan penyakit lainnya (Sahoo et al. 2014). Tanaman dari suku Zingiberaceae lebih sering menggunakan rhizome sebagai bahan perbanyakan. Akan tetapi, untuk mendapatkan jenis atau varietas yang unggul
perlu dilakukan suatu teknik pemuliaan melalui persilangan yang menggunakan biji sebagai bahan perbanyakan. Hal ini perlu dilakukan karena A. malaccensis memiliki potensi yang baik sebagai tanaman obat maupun hias. Kegiatan pemuliaan tanaman A. malaccensis melalui persilangan bunga telah dilaksanakan sebelumnya, namun terdapat kendala dalam mengecambahkan biji dan menumbuhkan bibit hasil persilangan tersebut (Yunira 2009). Oleh karena itu penelitian lanjutan mengenai pertumbuhan bibit A. malaccensis perlu dilakukan. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan adalah umur, keadaan tanaman, faktor heriditas, dan zat pengatur tumbuh. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan adalah cahaya, temperatur, kelembaban, nutrisi dan oksigen (Meyer dan Anderson
RIVAI & WARDANI – Pertumbuhan bibit Alpinia malaccensis
1659
1954). Kerapatan tanam merupakan salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi keadaan faktor eksternal dalam pertumbuhan. Kerapatan tanam akan menyebabkan kompetisi antar individu tanaman untuk mendapatkan asupan air, nutrisi dan cahaya. Studi mengenai kerapatan tanam beberapa komoditas tanaman telah dilakukan sebelumnya. Mayadewi (2007) menyatakan bahwa kerapatan tanam yang tidak terlalu lebar dan sempit baik bagi pertumbuhan. Kerapatan tanam yang terlalu lebar akan membuat gulma mudah tumbuh, sedangkan kerapatan tanam yang terlalu sempit akan mengakibatkan kompetisi antar tanaman semakin besar. Yetti dan Ardian (2010) juga menyatakan bahwa kerapatan tanam yang sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Idwar et al. (2011) dan Abadi et al. (2013). Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kerapatan tanam yang tepat dalam menumbuhkan bibit A. malaccensis di pembibitan.
setiap hari pada pagi hari. Penyiangan terhadap gulma dilakukan hampir setiap minggu.
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Rumah Paranet Laboratorium Treub, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2015.
Bibit A. malaccensis ditanam di bawah naungan paranet 55%. Keadaan iklim mikro tempat pembibitan A. malaccensis adalah sebagai berikut: rata-rata suhu harian 33,8 oC, kelembaban udara 48,9%, intensitas cahaya 11.186,67 lux dan kecepatan angin 0,87 m/detik. Menurut Wahyuni et al. (2013) pemberian naungan memberi pengaruh baik terhadap pertumbuhan bibit tanaman dari suku Zingiberaceae. Namun menurut Sari et al. (2006) suhu dan kelembaban tersebut kurang sesuai untuk pertumbuhan bibit tanaman dari suku Zingiberaceae yang idealnya berada pada kisaran suhu 19-30oC dan kelembaban udara sekitar 60-90%. Keadaan lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah akan meningkatkan laju transpirasi sehingga air yang dibutuhkan tanaman berkurang dan dapat menghambat pertumbuhan. Kerapatan tanam bibit A. malaccensis yang diujikan diilustrasikan pada Gambar 1. Rata-rata pertambahan tinggi dan jumlah daun bibit A. malaccensis pada perlakuan kerapatan tanam tidak berbeda nyata secara statistik (P > 0.05). Bibit A. malaccensis memiliki rata-rata pertambahan tinggi 7.94 cm dan pertambahan jumlah daun 1.45 helai selama 10 minggu setelah tanam pada semua perlakuan kerapatan tanam di pembibitan (Tabel 1).
Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit A. malaccensis berumur tiga bulan setelah penyemaian. Bibit berasal dari biji A. malaccensis koleksi tumbuhan Kebun Raya Bogor yang ditanam di Vak XII.B.III.92. Biji digunakan sebagai materi perbanyakan dengan tujuan untuk studi evaluasi pemuliaan tanaman A. malaccensis secara konvensional (penyilangan bunga). Metode percobaan Penelitian ini difokuskan pada satu faktor percobaan, yakni kerapatan tanam. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Kerapatan tanam yang diujikan adalah 4, 6 dan 8 bibit per bak. Terdapat tiga perlakuan dengan tiga ulangan sehingga terdapat sembilan satuan percobaan (bak). Prosedur kerja Penanaman bibit Bibit A. malaccensis berumur tiga bulan ditanam dalam bak plastik berukuran (40 x 30 x 15) cm3 yang bagian bawahnya sudah dilubangi. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah : arang sekam : kompos (1:1:1) (Rivai et al. 2015). Media disterilisasi dengan cara menyiraminya dengan air panas. Setelah media dingin, masing-masing bak ditanam sejumlah 4, 6 atau 8 bibit per bak sesuai perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Pemeliharaan Pemeliharaan bibit A. malaccensis dilakukan dengan beberapa kegiatan secara rutin. Penyiraman dilakukan
Pengamatan Pengamatan dilaksanakan setiap minggu dengan parameter yang diamati adalah pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun. Panjang dan lebar daun diukur pada akhir pengamatan. Pengamatan terhadap iklim mikro seperti intensitas cahaya, kecepatan angin serta suhu dilakukan pada awal penanaman. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dengan uji F pada taraf nyata 5%. Jika uji F berpengaruh nyata maka nilai tengah diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/ DMRT) pada taraf nyata 5%. Perangkat lunak yang digunakan adalah Microsoft Excel dan Statistical Tool for Agricultural Research (STAR 2.0.1).
Tabel 1. Pertambahan tinggi, jumlah daun serta panjang dan lebar daun bibit A. malaccensis pada kerapatan tanam yang berbeda Kerapatan tanam (bibit/bak) 4
Pertamba han tinggi (cm) 7.85 a
Pertambah an jumlah daun 0.83 a
Panjang daun (cm) 11.58 a
Lebar daun (cm) 4.12 a
6
7.43 a
1.94 a
9.22 b
3.03 b
8 8.55 a 1.58 a 9.29 b 3.25 b Catatan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05).
1660
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1658-1660, Oktober 2015
A
B
C
Gambar 1. Kerapatan tanam bibit A. malaccensis di pembibitan. A. 4 bibit/bak, B. 6 bibit/bak dan C. 8 bibit/bak.
Percepatan pertumbuhan bibit A. malaccensis perlu dilakukan dengan pendekatan pemberian pupuk. Pertumbuhan bibit tanaman dari suku Zingiberaceae salah satunya dipengaruhi oleh pemberian pupuk K (Utami et al. 2006). Selain itu, penanganan hama daun perlu dilakukan karena didapati beberapa kasus daun berkurang yang diakibatkan oleh serangan ulat. Perlakuan kerapatan tanam mempengaruhi panjang dan lebar daun bibit A. malaccensis. Bibit yang ditanam dengan kerapatan 4 bibit per bak memberikan respon terbaik untuk panjang dan lebar daun (Tabel 1). Peluang kompetisi antar bibit lebih kecil pada bibit yang ditanam dengan kerapatan 4 bibit per bak sehingga asupan air, nutrisi, cahaya maupun faktor eksternal lainnya lebih maksimal digunakan. Menurut Dwidjoseputro (1983) tubuh tanaman terdiri atas tiga unsur yaitu C 43.6%, O 44.4% dan H 6.2%. Asupan unsur-unsur tersebut didapatkan dari udara berupa CO2 dan O2, sedangkan dari tanah berupa H2O. Selain ketiga unsur tersebut tanaman membutuhkan unsur hara lainnya untuk pembentukan bermacam-macam protein, zat lemak dan zatzat organik lainnya. Keterbatasan sumber unsur hara di alam mengakibatkan adanya kompetisi antar individu yang berdekatan dalam satu populasi untuk menjangkau dan mendapatkannya. Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kerapatan tanam mempengaruhi panjang dan lebar daun, namun tidak mempengaruhi pertambahan tinggi maupun jumlah daun bibit A. malaccensis. Perlu adanya penelitian lanjutan terkait pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit A. malaccensis.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Muhammad Fahmi (Teknisi Laboratorium Treub
Kebun Raya, LIPI, Bogor) yang telah membantu perawatan tanaman yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA Abadi IJ, Sebayang HT, Widaryanto E. 2013. Pengaruh jarak tanam dan teknik pengendalian gulma pada pertumbuhan dan hasil tanaman Ipomoea batatas L.. J. Prod. Tan. 1(2): 8-16. Dwidjoseputro D. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta. Idwar, Yetti H, Hermawan, Karlita F. 2011. Pemberian pupuk kalium pada sistem tumpang sari tanaman jahe dan jagung dengan jarak tanam berbeda. J.Teknobio. 2(1): 29-35. Mayadewi NNA. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Agritop 26(4): 153-159. Meyer BS, Anderson DB. Plant Physiology. 1954. D Van Nostrand Company, New York. Rivai RR, Wardani FF, Devi MG. 2015. Germination and breaking seed dormancy of Alpinia malaccensis. Nus. Biosci. 7(2): 67-72. Sahoo S, Ghosh G, Nayak S. 2012. Evaluation of in vitro antioxidant activity of leaf extract of Alpinia malaccensis. J. of Med. Plants Res. 6(23): 4032-4038. Sahoo S, Parida R, Singh S, Padhy RN, Nayak S. 2014. Evaluation of yield, quality and antioxidant activity of essential oil of in vitro propagated Kaempferia galangal Linn. J. of Acute Dis. 124-130. Sari HC, Darmanti S, Hastuti ED. 2006. Pertumbuhan tanaman jahe emprit (Zingiber officinale Var. Rubrum) pada media tanam pasir dengan salinitas yang berbeda. Bul. Anatomi dan Fis. 14(2): 19-29. Sunarmani, Nurmalinda, Amiarsi D. 2011. Preferensi konsumen bunga potong segar Alpinia. J. Hort. 21(1): 60-67. Utami PK, Tedjasarwana R, Herlina D. 2006. Peningkatan pertumbuhan dan mutu Alpinia purpurata melalui pupuk P dan K. J. Hort. 16(4): 307-313. Wahyuni L, Barus A, Syukri. 2013. Respon pertumbuhan jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) terhadap pemberian naungan dan beberapa teknik bertanam. J. On. Agroeko. 1(4): 1171-1182. Yetti H, Ardian. 2010. Pengaruh penggunaan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah (Oryza sativa L.) varietas IR 42 dengan metode SRI (system of rice intensification). Sagu 9 (1): 2127. Yunira I. 2009. Keberhasilan Reproduksi Alpinia sp. dan Zingiber sp.: Penyerbukan Alami dan Penyerbukan Buatan. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1661-1665
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010722
Kajian adaptasi beberapa klon sebagai bahan sambung samping kakao di Sulawesi Tengah Study on adaptation of several clones as the side-cleft-grafting material of cocoa in Central Sulawesi SAIDAH1,♥, ABDI NEGARA1, SAHARDI2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Jl. Lasoso 62 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tel. +62-451-482546. ♥ email:
[email protected] 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan. Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar, Sulawesi Selatan Telp. +62-411- 556449 Manuskrip diterima: 2 Juni 2015. Revisi disetujui: 25 Agustus 2015.
Saidah, Negara A, Sahardi. 2015. Kajian adaptasi beberapa klon sebagai bahan sambung samping kakao di Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1661-1665. Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia. Komoditas kakao menjadi komoditas unggulan di daerah Sulawesi Tengah, sehingga dapat memberikan fungsi ganda yakni sebagai sumber devisa negara dan menunjang pendapatan asli daerah (PAD). Di Sulawesi Tengah luas areal pertanaman kakao pada tahun 2009 mencapai 225.926 ha yang terdiri dari 400 ha perkebunan besar dan 225.526 ha perkebunan rakyat. Masalah yang dihadapi oleh petani adalah sebagian besar umur kakao lebih 15 tahun dan tingginya serangan hama/penyakit, utamanya hama penggerek buah kakao (PBK). Sambung samping merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan ditingkat lapangan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tujuan kajian adalah mencari klon yang adaptif untuk dijadikan bahan sambung samping guna perbaikan mutu kakao. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Jumlah ulangan empat unit. Ada 6 (enam) klon yang digunakan, yaitu ICCRI 03, ICS60, TSH858, UIT 1, Sulawesi 1 dan Sulawesi 2. Selain itu juga setiap blok/ulangan dipasang satu unit feromon seks dengan tujuan untuk melihat sejauhmana pengaruhnya terhadap penurunan tingkat serangan. Hasil kajian menunjukkan tingkat keberhasilan sambung samping 94,9%. Klon yang memiliki tingkat keberhasilan sambung samping tinggi adalah Sulawesi 1, Sulawesi 2, UIT 1 dan TSH 858, sedangkan klon ICCRI 03 memiliki tingkat keberhasilan sambung samping yang lebih rendah dari 5 (lima) klon yang lain. Dari 6 (enam) klon yang dikaji, hanya ada dua klon yang memiliki pertumbuhan dan hasil yang baik dan disukai petani, yaitu Sulawesi 1 dan Sulawesi 2. Penggunaan feromon seks sangat berpengaruh terhadap penurunan tingkat serangan hama PBK. Populasi imago PBK berfluktuasi antar waktu pengamatan. Kata kunci: Adaptasi, kakao, klon, sambung samping
Saidah, Negara A, Sahardi. 2015. Study on adaptation of several clones as the side-cleft-grafting material of cocoa in Central Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1661-1665. The largest cocoa exporter in Indonesia is Central Sulawesi Province. Cocoa which is a leading commodity in Central Sulawesi had a double function as country income and local revenue source. The Cocoa area was 225,926 Ha in 2009; 400 ha of industrial plantations and 225,526 ha of smallholdings (farmers). The cocoa of smallholdings aged over 15 years and had low productivity yield (Cocoa pod borer problem). The side grafting is one of technology release by cocoa researcher that can be applied to solve these problems. The objective of the study was determining the adaptive clones to be used as graft for improving the quality of cocoa. The method used was a randomized block design with four replication units. There are six (6) clones were used, namely ICCRI 03, ICS60, TSH858, UIT 1, Sulawesi 1 and Sulawesi 2. In addition, each block/replication installed one sex pheromone unit to reduce diseases/pest attack. The results showed 94.9% graft success rate. The clones that have a high graft success rate were Sulawesi 1, Sulawesi 2, UIT 1 and TSH 858, while clone 03 ICCRI have lowest graft success rate. In farmer’s perspective, the best clones which have good growth and yield are two clones (Sulawesi 1 and Sulawesi 2). The sex pheromone had a good impact to reduce Cocoa pod borer infestation. The Cocoa pod borer imago population was fluctuating between the times of observation. Keywords: Adaptation, cocoa, clone, side-cleft-grafting
PENDAHULUAN Luas areal tanam perkebunan rakyat secara nasional dalam kurun lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat, yaitu 1.491.800 ha tahun 2009 dan meningkat menjadi 1.768.200 ha tahun 2013. Hal ini cukup mendasar karena harga kakao internasional saat ini cukup tinggi dan momentum yang baik untuk
dimanfaatkan petani atau pelaku usaha/masyarakat agribisnis (Suryani dan Zulfebriansyah 2007; BPS 2014). Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia. Komoditas kakao menjadi komoditas unggulan di daerah Sulawesi Tengah, sehingga memberikan fungsi ganda yakni sebagai sumber devisa negara dan menunjang pendapatan asli daerah (PAD). Di Sulawesi Tengah luas areal pertanaman Kakao
1662
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1661-1665, Oktober 2015
pada tahun 2009 mencapai 225.926 ha yang terdiri dari 400 ha perkebunan besar dan 225.526 ha perkebunan rakyat (BPS Sulawesi Tengah 2010). Meskipun komoditas ini sebagai sumber devisa dan menunjang PAD, namun petani menghadapi berbagai kendala teknis dan non teknis yang sangat terkait dengan pengelolaan tanaman, diantaranya sebagian besar umur kakao lebih 15 tahun dan tingginya serangan hama/penyakit, utamanya penggerek buah kakao (PBK). Bila hama PBK tidak dikendalikan, maka akan terjadi penurunan hasil 63,3%. Akibatnya, produksi kakao tidak akan memenuhi harapan petani. Ini dibuktikan rendahnya produksi kakao ditingkat petani yaitu <700 kg/ha, lebih rendah dibandingkan hasil penelitian yang dapat mencapai 2,34 ton/ha/thn (Bakhri et al 2010; Limbongan dan Sarasutha 2002; Limbongan et al 2003; Nonci et al 2009; Sulistyowati 2014). Rendahnya produktivitas dan kualitas kakao yang dihasilkan petani berpengaruh terhadap semakin menurunnya pendapatan dan minat petani untuk berbudidaya kakao. Hal ini akan mengancam kelangsungan produksi kakao Indonesia dan pendapatan petani kakao.
Sambung samping merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan ditingkat lapangan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tingkat keberhasilan sambungan pada tanaman kakao sangat tergantung kepada jenis klon yang digunakan sebagai sumber entres. Oleh karena itu perlu dicari jenis klon yang cocok dijadikan sebagai sumber entres. Selain itu, ditunjang juga dengan tingkat ketrampilan petani. Tujuan kajian adalah mencari klon yang adaptif untuk dijadikan bahan sambung samping guna perbaikan mutu kakao.
BAHAN DAN METODE Kajian dilakukan di Desa Sambo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pelaksanaannya dimulai bulan Januari 2012 hingga April 2012. Lokasi kajian sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi pengkajian adaptasi beberapa klon kakao di Desa Sambo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah
SAIDAH et al. – Adaptasi beberapa klon bahan sambung samping kakao
Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pengkajian adalah on farm research dan petani sebagai kooperator pelaksana. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan empat unit. Ada 6 (enam) klon yang digunakan, yaitu ICCRI 03, ICS 60, TSH 858, UIT 1, Sulawesi 1 dan Sulawesi 2. Setiap klon dalam setiap ulangan terdiri 8 (delapan) pohon, sehingga total masing-masing klon 32 pohon. Parameter pengamatan adalah jumlah sambungan jadi pada umur 2 bulan. Hal ini dilakukan karena diduga pada saat itu sudah terlihat jelas keberhasilan hasil sambungan. Selain itu juga setiap blok/ulangan dipasang feromon seks untuk melihat sejauhmana perlakuan pemasangan satu unit perangkap seks feromon untuk mengcover delapan pohon induk sebagai sampel. Pengamatan meliputi menghitung jumlah hasil tangkapan serangga jantan yang tertangkap setiap dua minggu dari panen pertama dan panen kedua setelah pemasangan feromon seks selama 3 bulan. Pengamatan juga dilakukan terhadap tingkat kerusakan buah pada panen pertama dan panen akhir. Kerusakan pada sampel buah diamati pada setiap panen dengan memetik semua buah yang masak dan dibelah dengan mengskoring gejala kerusakan akibat serangan PBK dengan rumus sebagai berikut: Intensitas serangan PBK dihitung dengan rumus:
Intensitas serangan PBK (%) I =
(Zn x z) X 100% NxZ
Dimana: N: Jumlah buah yang diamati Z: Kategori serangan tertinggi z: Kategori serangan pada buah ke i n: Buah contoh ke i pada kategori z Skoring kerusakan buah kakao akibat serangan PBK sebagai berikut: 0: Buah mulus tak ada serangan 1: Serangan ringan, biji masih bisa lepas dengan kulit 2: Seragan sedang, biji agak sulit lepas dengan kulit 3: Serangan berat, biji sulit dilepas dengan kulit
1663
kelompok ternak. Jumlah penduduk sebanyak 905 orang dengan pekerjaan dominan adalah petani (>70%). Keberhasilan sambung samping pada beberapa klon kakao Data hasil kajian secara rinci disajikan pada Tabel 1. Hasil kajian menunjukkan tingkat keberhasilan sambung samping 94,9%. Klon yang memiliki tingkat keberhasilan sambung samping tinggi adalah Sulawesi 1, Sulawesi 2, UIT 1 dan TSH 858. Sedangkan klon ICCRI 03 memiliki tingkat keberhasilan sambung samping yang lebih rendah dari 5 (lima) klon yang lain. Dari 6 (enam) klon yang dikaji, hanya ada dua klon yang memiliki pertumbuhan dan hasil yang baik serta disukai petani, yaitu Sulawesi 1 dan Sulawesi 2. Selain itu, klon Sulawesi 1 bersifat agak tahan terhadap penyakit VSD sehingga keunggulan sifat-sifat yang dimilikinya relatif ideal sebagai bahan tanam kakao. Sedangkan Sulawesi 2 agak rentan. Namun di lokasi kajian bukan merupakan lokasi endemik penyakit VSD. Dari pengamatan visual, penampilan pertumbuhan tanaman sangat baik (gigas). Sedangkan dari hasil wawancara petani koperator, klon Sulawesi 1 dan Sulawesi 2 lebih cepat berbuah dan memiliki penampilan buah yang sangat baik. Batang bawah merupakan klon lokal dengan umur sekitar 18 tahun. Pang (2004) melaporkan terdapat perbedaan daya dukung antar famili batang bawah kakao terhadap kegigasan pertumbuhan batang atas, sehingga berpengaruh terhadap tingkat produksi klon-klon batang atas, namun tidak berpengaruh terhadap keragaan jumlah biji per buah dan berat biji. Prawoto et al. (1990) juga melaporkan bahwa jenis batang bawah kakao tidak berpengaruh terhadap kualitas hasil klon klon batang atas. Klon kakao Sulawesi 1 dan Sulawesi 2 telah menunjukkan adaptasi yang baik pada kondisi agroklimat Sulawesi, dan saat ini pemanfaatannya telah meluas di daerah-daerah sentra produksi kakao di Sulawesi yang digunakan oleh petani untuk rehabilitasi tanaman dengan teknik sambung samping (Susilo dan Suhendi 2006). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa kedua klon tersebut merupakan klon harapan yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi agroklimat Sulawesi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Sambungan jadi dari 6 (enam) klon kakao yang dikaji di Desa Sambo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi
Karakteristik lokasi pengkajian Desa Sambo merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dan memiliki luas wilayah 425 hektar. Topografi datar hingga bergunung (pegunungan). Jenis tanah aluvial dengan tekstur lempung berpasir. Komoditas dominan adalah padi dengan luasan 75 ha, sedangkan tanaman perkebunan adalah kakao dengan luas 30,5 ha. Jumlah kelompok tani sebanyak tujuh kelompok dengan rincian lima kelompok tani tanaman pangan, satu kelompok tani kakao yaitu Belosinggani dan satu
Jumlah Sambungan pohon yang jadi (pohon) Jumlah Prosentase Klon gagal sambungan sambungan sambungan- 1 sisi 2 sisi jadi jadi (%) nya ICCRI 03 5 9 22 31 86,1 ICS 60 3 12 21 33 91,7 TSH 858 1 12 23 35 97,2 UIT 1 1 11 24 35 97,2 Sulawesi 1 0 3 33 36 100 Sulawesi 2 1 5 30 35 97,2
1664
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1661-1665, Oktober 2015
Gambar 2. Keragaan tanaman kakao hasil sambung samping dan penggunaan feromon seks
Kategori serangan dan hasil tangkapan serangga jantan PBK Hasil pengamatan meliputi jumlah hasil tangkapan serangga jantan PBK pada perangkap feromon seks dan kategori serangan disajikan Tabel 2, 3 dan 4. Pengamatan imago tertangkap bertujuan menduga tingkat populasi PBK di lokasi percobaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi imago PBK berfluktuasi antar waktu pengamatan. Penggunaan feromon seks sangat berpengaruh nyata terhadap penurunan tingkat serangan hama PBK. Hal ini disebabkan karena Fero-PBK mengandung feromon seks yang dapat digunakan untuk menangkap hama PBK jantan secara massal. Akibatnya
banyak serangga jantan yang tertangkap maka perkawinan tidak terjadi sehingga serangan pada buah menurun secara nyata. Selain itu juga, curah hujan di atas normal menyebabkan rendahnya peletakan telur dan serangan larva PBK (Lim dan Phua 1992). Hasill pengkajian Bakri et al. (2010) menunjukkan bahwa penggunaan fero PBK sangat efektif dalam memerangkap serangga jantan PBK dan menurunkan tingkat serangan PBK pada semua lokasi yang di uji. Sejalan dengan Sulistyowati (2014) bahwa penggunaan feromon seks untuk monitoring atau penangkapan massal PBK, sebagai salah satu komponen dalam PHT PBK cukup menjanjikan, karena sifatnya spesifik sasaran, ramah lingkungan, efektif, dan ekonomis.
SAIDAH et al. – Adaptasi beberapa klon bahan sambung samping kakao Tabel 2. Kategori serangan terhadap kerusakan buah panen pertama Desa Sambo, Dolo Selatan, Sigi Tahun 2014 Pohon sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rerata
Buah panen 37 16 29 48 12 26 135 9 305 38,12
Kategori serangan 0 1 2 3 22 10 2 3 5 5 3 3 7 7 3 11 14 11 7 13 4 6 1 1 14 4 2 4 69 47 11 8 2 6 1 0 137 96 30 39 17,12 12,0 3,75 4,86
Tabel 3. Kategori serangan terhadap kerusakan buah panen kedua Desa Sambo, Dolo Selatan, Sigi Tahun 2014 Pohon sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rerata
Jumlah buah sampel 19 7 12 10 7 5 6 9 75 9,36
0 4 2 6 5 4 4 5 6 36 4,50
Kategori serangan 1 2 3 9 3 3 4 1 0 4 0 2 4 1 1 3 0 0 1 0 0 1 0 0 2 1 0 28 6 6 3,50 0,75 0,75
Tabel 4. Pengamatan hasil tangkapan serangga PBK di Desa Sambo, Dolo Selatan, Sigi Tahun 2014 Pohon sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata
Hasil tangkapan serangga PBK (ekor) pada pengamatan ke… 1 2 3 4 5 6 4 9 1 2 3 1 3 9 4 7 14 4 6 7 9 22 15 24 4 13 8 7 8 1 6 11 7 6 10 3 8 12 3 10 9 10 1 12 4 4 3 4 14 9 7 11 16 14 5,22 9,33 5,11 8,11 9,22 7,44
Jumlah Rerata (ekor) (ekor) 20 41 83 41 43 52 28 71 47,38
3,33 6,83 13,83 6,83 7,17 8,67 4,67 11,83 7,90
1665
DAFTAR PUSTAKA Bakhri, Ardjanhar SA, Abid M. 2010. Pendampingan Gernas Kakao melalui media cetak dan demplot di Sulawesi Tengah. Laporan Hasil PengKajian BPTP Sulteng Tahun 2010. Biromaru, Sulawesi Tengah. BPS Sulteng. 2010. Sulawesi Tengah Dalam Angka 2010. BPS Sulawesi Tengah. Palu BPS. 2014. Statistik Indonesia Tahun 2013. BPS Indonesia. Jakarta. Pang JTY. 2004. Rootstock effects on cocoa in Sabah, Malaysia. Expl Agric 40: 445-452. Limbongan J, Sarasutha IGP. 2002. Sambung Samping Kakao Unggul di Sulawesi Tengah. Seminar dan Ekspose Teknologi Spesifik Lokasi. Jakarta, 12-13 Agustus 2002. Limbongan, J., Dirwan M., Langsa Y, Chatidjah. 1999. Kemungkinan penerapan Teknik Sambung Samping (Side-Cleft-Grafting) pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Hasil Pengkajian dan Penelitian Menghadapi Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Lim, G.T, Phua P.K.. 1992. Biology, ecology, and control of cocoa podborer Canopomorpha cramerella (Snellen). In: Keane PJ, Putter CAJ (eds) Cocoa pest and disease management in Southeas Asia and Australia. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Nonci N, Ardjanhar A., Nonci M.., Ruruk B., 2009. Model pengendalian hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) dengan parasitoid dan penyelubungan buah. In: Muis A., Jamal E., Bulo D., Bakhri S., Caya K, Cyio B., Kadekoh I. (eds). Prosiding Semnas dan Workshop Inovasi Teknologi Pertanian yang Berkelanjutan Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Pedesaan. Palu, 10-11 Nopember 2009. Prawoto, Soerodikoesoemo A, Soemartono W, Hartiko H. 1990. Kajian okulasi pada tanaman kakao (Theobroma cacao L,) pengaruh batang bawah terhadap daya hasil batang atas. Pelita Perkebunan 6: 13-20. Sulistyowati E. 2014. Keefektifan feromon sex untuk mengendalikan hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella Snellen. Pelita Perkebunan 30 (2): 115-122. Suryani D, Zulfebriansyah. 2007. Komoditas Kakao, Potret dan Peluang Pembiayaan. Economic Riview No. 210, Desember 2007. Susilo AW, Suhendi D. 2006. Identifikasi penyebaran klon kakao asal Malaysia di wilayah Sulawesi. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 22: 20-27.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1666-1669
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010723
Keragaan pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) padi pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Pandeglang, Banten Performance of growth and yield of new superior rice varieties (VUB) on irrigated land in Pandeglang, Banten SILVIA YUNIARTI♥, SRI KURNIAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas-Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507. ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 13 Maret 2015. Revisi disetujui: 18 Agustus 2015.
Yuniarti S, Kurniawati S. 2015. Keragaan pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Pandeglang, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1666-1669. Varietas unggul baru (VUB) padi merupakan salah satu komponen teknologi yang berperan sangat besar dalam meningkatkan produksi. Upaya memperkenalkan varietas unggul baru perlu dilakukan untuk mendapatkan respon petani terhadap varietas yang diminati untuk dikembangkan sesuai dengan lingkungan tumbuh dan selera pasar. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan hasil 5 VUB padi pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Sukasari Kecamatan Kaduhejo Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten yang berlangsung pada bulan April-Agustus 2012. Varietas unggul baru yang diuji berjumlah 5 varietas yaitu Inpari 3, Inpari 4, Inpari 7, Inpari 10, dan Inpari 13. Dosis pupuk yang diberikan menggunakan rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) yaitu Phonska 125 kg/ha dan Urea 125 kg/ha, ditanam secara jajar legowo 4:1, jumlah tanaman 2 rumpun per lubang, umur bibit 20 hari. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas Inpari 10 memberikan hasil tertinggi yaitu 7,1 ton/ha gabah kering panen (GKP) dan yang terendah adalah varietas Inpari 4 yaitu 5,3 ton/ha GKP, sedangkan varietas Inpari 3, Inpari 7, dan Inpari 13 memberikan hasil yang sama yaitu 6,2 ton/ha GKP. Dari hasil preferensi oleh petani, varietas yang diminati adalah Inpari 10 dan Inpari 4. Kata kunci: hasil, Pandeglang, pertumbuhan, sawah irigasi, VUB Singkatan: Gabah Kering Panen (GKP), Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL), Varietas Unggul Baru (VUB)
Yuniarti S, Kurniawati S. 2015. Performance of growth and yield of new superior rice varieties (VUB) on irrigated land in Pandeglang, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1666-1669. New varieties rice is one of the technology components that play a major role to increase rice production. Efforts to introduce new varieties needs to be done to get the response of farmers to varieties developed refers to the environment and the market. The purpose of this study was to determine the growth and yield performance of 5 new varieties of rice on irrigated lowland in Pandeglang Banten. This research was held from April to August 2011 on Sukasari Village, Kaduhejo Subdistrict, Pandeglang District, Banten Province. There are 5 varieties tested were Inpari 3 , Inpari 4 , Inpari 7 , Inpari 10 , and Inpari 13. Fertilizers is given using fertilization recommendations of site spesific-nutrient management (SSNM) with 125 kg/ha Phonska and 125 kg/ha urea by planting systems legowo 4 : 1 , 2 seedling for a planting hole, seedlings 20 days. The result showed Inpari 10 gives the higest yield is 7,1 tons/ha dry grain yield (DGY) and the lowest was Inpari 4 is 5,3 tones/ha DGY, whereas Inpari 3, Inpari 7 and Inpari 13 give the same yield about 6,2 tones/ha DGY. The preference test showed that Inpari 10 and Inpari 4 are preferred of farmer. Keywords: growth , irrigated lowland, new varieties, Pandeglang, yield
PENDAHULUAN Upaya untuk meningkatkan produksi padi menjadi suatu keharusan mengingat jumlah penduduk dunia terus bertambah dengan laju 1,3% per tahun. Pada tahun 2025 yang akan datang, jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 8,3 milyar (Badan Litbang Pertanian 2011). Di Indonesia, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 237,56 juta jiwa dengan kebutuhan beras 33,06 juta ton untuk konsumsi 139 kg/kapita. Pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi padi, namun masih menghadapi tantangan baik dari aspek teknis maupun non teknis. Salah
satunya adalah melandainya produktivitas padi di beberapa wilayah sentra produksi yang terjadi 10-15 tahun terakhir (Badan Litbang Pertanian 2011). Dalam upaya meningkatkan produksi padi, peranan varietas unggul sangat penting karena dengan menanam varietas unggul secara luas yang sesuai dengan lingkungan tumbuh tampaknya akan lebih berhasil dibandingkan usaha lainnya, karena varietas unggul lebih mudah diadopsi oleh petani. Upaya untuk memperkenalkan varietas unggul baru perlu dilakukan untuk mendapatkan respon petani terhadap varietas-varietas yang diminati untuk dikembangkan sesuai dengan lingkungan tumbuh dan selera pasar.
YUNIARTI&KURNIAWATI –Pertumbuhan dan hasil padi sawah di Pandeglang, Banten
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi yang nyata varietas unggul telah membantu peningkatan produksi padi nasional. Hal ini karena sifat-sifat yang dimiliki oleh varietas unggul padi antara lain berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit utama, umur genjah sehingga sesuai jika dikembangkan dalam pola tanam tertentu, rasa nasi pulen dengan kadar protein relatif tinggi (Suprihatno et al. 2007). Suryana dan Prayogo (1997) juga mengungkapkan bahwa varietas unggul memiliki kelebihan pertumbuhan tanaman lebih seragam sehingga panen serempak, rendemen tinggi, mutu hasil tinggi dan sesuai selera pasar, tanaman lebih tahan ganguan hama penyakit, dan beradaptasi yang tinggi dengan lingkungan. Kementerian pertanian yang dalam hal ini Badan Litbang Pertanian telah melepas lebih dari 100 varietas unggul padi dalam rangka mendukung peningkatan produksi beras (Suprihatno et al. 2011). Diharapkan dengan dilepasnya varietas unggul tersebut dapat diaktualisasikan potensi genetiknya melalui pengembangan teknologi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (Faisal dan Bahtiar 2013). Kontribusi varietas unggul dalam peningkatan produksi padi mencapai 75% jika diintegrasikan dengan teknologi pengairan dan pemupukan (Badan Litbang Pertanian 2007). Pada pengkajian ini menggunakan 5 varietas unggul dengan deskripsi varietas sebagai berikut: Inpari 3 memiliki umur panen 110 dengan potensi hasil 7,52 t/ha, Inpari 4 memiliki umur panen 115 hari dengan potensi hasil 8,80 t/ha, Inpari 7 memiliki umur panen 110-115 hari dengan potensi hasil 8,7 t/ha, Inpari 10 memilki umur panen 112 hari dengan potensi hasil 7,00 t/ha, dan Inpari 13 memiliki umur panen 102 hari dengan potensi hasil 8,00 t/ha (Suprihatno et al. 2011). Hasil penelitian Arafah dan Amin (2013) dengan menggunakan varietas Inpari 7 yang ditanam di lahan sawah irigasi mampu menghasilkan 7,20 t/ha GKP. Hasil penelitian Sutaryo dan Purwaningsih (2014) menunjukkan bahwa varietas Inpari 3, Inpari 4, dan
1667
Inpari 10 mampu menghasilkan masing-masing 9.2 t/ha GKP, 9.4 t/ha GKP, dan 9.5 t/ha GKP. Keragaman lingkungan tumbuh padi yang luas, memerlukan keragaman varietas yang mampu beradaptasi secara optimal pada kondisi yang spesifik lokasi, oleh karena itu melakukan uji adaptasi varietas unggul pada setiap lokasi sangat diperlukan. Tujuan dari pengkajian ini adalah mengetahui keragaan pertumbuhan dan hasil 5 VUB padi pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di lahan sawah irigasi di Desa Sukasari, Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (Gambar 1) pada bulan April-Agustus 2012. Varietas unggul baru yang diuji berjumlah 5 varietas yaitu Inpari 3, Inpari 4, Inpari 7, Inpari 10, dan Inpari 13ditanam pada luasan 8000 m2. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna menggunakan traktor. Bibit yang digunakan adalah persemaian padi yang telah berumur 20 hari dengan 2 bibit per lubang. Penanaman dilakukan dengan jarak 25 x 12,5 x 50 cm dengan menggunakan sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan sisipan. Luas setiap petak percobaan yaitu 500m2. Pemupukan menggunakan rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) dengan dosis pupuk Phonska 125 kg/ha dan Urea 125 kg/ha. Pemupukan diberikan sebanyak 3 kali yaitu pemupukan pertama adalah dengan Phonska pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dengan dosis 125 kg/ha, pemupukan kedua adalah dengan Urea pada saat tanaman berumur 20 hari setelah tanam dengan dosis 50 kg/ha, pemupukan ketiga adalah dengan Urea pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam dengan dosis 75 kg/ha. Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan dengan cara manual dan pengaturan air disesuaikan dengan kondisi lapang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) padi.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
1668
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON1 (7): 1666-1669, Oktober 2015
Pengambilan data dilakukan dengan mengambil sampel 10 rumpun per plot. Parameter yang diamati yaitu umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi per malai dan jumlah gabah hampa per malai yang dilakukan pada saat 1 minggu sebelum panen (umur 105 hari).Produktivitas diukur dengan cara pengubinan pada luasan minimal 10 m2 kemudian dikonversi ke dalam ha. Data hasil diambil pada waktu panen, untuk Inpari 3, Inpari 4, Inpari 7, Inpari 10, dan Inpari 13 berumur 113 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan komponen pertumbuhan tanaman Umur berbunga merupakan salah satu indikator yang menunjukkan umur genjah atau tidaknya suatu varietas. Umur berbunga dihitung setelah tanaman mengeluarkan bunga sebanyak 50% dari total jumlah tanaman dalam satu plot (Bora et al. 2013). Berdasarkan hasil pengkajian menunjukkan bahwa Inpari 10 dan Inpari 13 memiliki umur berbunga yang sama yaitu 56 HST, sedangkan varietas Inpari 3, Inpari 4, dan Inpari 7 memiliki umur berbunga 60 HST (Tabel 1). Umur matang fisiologis diamati setelah tanaman menunjukkan gabah menguning mencapai 80%. Pada Tabel 1 terlihat bahwa semua varietas yang diuji memiliki umur matang fisiologis yang sama yaitu 113 HST. Umur tanaman untuk Inpari 3, Inpari 4, Inpari 7, dan Inpari 10 masih di bawah deskripsi varietas, sedangkan untuk Inpari 13 berdasarkan deskripsi varietas berumur 99 hari namun pada pengkajian ini matang fisiologisnya berumur 113 HST. Selanjutnya, pelaksanaan pengkajian dilakukan pada musim kemarau sehingga mempengaruhi umur matang fisiologis lebih cepat beberapa hari dibandingkan saat musim hujan. Kajian lain yang dilakukan pada musim hujan menunjukkan bahwa umur tanaman inpari 3 dan Inpari 7 adalah 116 hari (Sutaryono 2014). Intensitas dan lama penyinaran matahari lebih tinggi pada saat musim kemarau sehingga mempercepat proses pemasakan. Tinggi tanaman dari setiap varietas bervariasi dari 99 cm untuk Inpari 13 sampai 105 cm untuk Inpari 7. Dengan demikian Inpari 7 merupakan VUB dengan tinggi tanaman yang tertinggi. Dalam deskripsi varietas (Suprihatno et al. 2011) menunjukkan bahwa Inpari 7 memiliki tinggi tanaman 104 cm yang tidak berbeda dengan hasil pengkajian yaitu 105 cm. Tanaman yang memiliki tinggi tanaman yang relatif tidak tinggi akan terhindar dari kerebahan yang disebabkan oleh angin kencang. Tanaman yang rebah dapat menurunkan hasil gabah (Sutaryo dan Sudaryono 2012). Jumlah anakan produktif antar varietas juga beragam. Varietas yang memiliki jumlah anakan produktif yang tertinggi adalah Inpari 7 yang berjumlah 21 batang dan yang terendah Inpari 4 berjumlah 18 batang. Jumlah anakan untuk Inpari 7 termasuk cukup tinggi karena berdasarkan deskripsi varietas jumlah anakan produktif adalah 16 batang. Hal ini disebabkan karena penanaman bibit dengan jumlah 2 batang per lubang tanam, karena
semakin sedikit jumlah bibit yang ditanam maka semakin banyak kesempatan bibit berkembang untuk menghasilkan anakan produktif. Sementara itu pada penelitian yang dilakukan oleh Sutaryo (2014) menunjukkan jumlah anakan produktif Inpari 7 adalah 18 batang pada pengujian dengan sistem tanam dan jarak tanam yang sama. Hal ini diduga bahwa terdapat perbedaan tingkat kesuburan tanah pada lokasi tempat pengujian, dimana lokasi pengujian di Kec. Kaduhejo, Pandeglang memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi. Keragaan komponen hasil dan hasil padi Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa varietas Inpari 4 memiliki panjang malai terpanjang yaitu 26.71 cm dan yang terpendek Inpari 13 yaitu 23.12 cm. Untuk jumlah gabah isi varietas Inpari 4 juga memiliki gabah isi yang terbanyak yaitu 143 butir dan yang terendah adalah Inpari 13 yaitu 123 butir. Pada pengamatan gabah hampa ternyata Inpari 4 juga memiliki jumlah gabah hampa yang terbanyak yaitu 32 butir dan yang terendah adalah Inpari 3 berjumlah 8 butir. Hasil panen dari 5 VUB yang dilaksanakan di Kabupaten Pandeglang ini masing-masing menghasilkan untuk Inpari 3 sebanyak 6.2 t/ha GKP, Inpari 4 sebanyak 5.3 t/ha GKP, Inpari 7 sebanyak 6.2 t/ha GKP, Inpari 10 sebanyak 7.1 t/ha GKP, dan Inpari 13 sebanyak 6.2 t/ha GKP. Pada pengkajian ini varietas Inpari 10 memperoleh hasil yang tertinggi dan yang terendah adalah Inpari 4, sedangkan Inpari 3, Inpari 7, dan Inpari 13 memperoleh hasil yang sama. Panjang malai dan gabah isi merupakan salah satu komponen hasil yang menentukan hasil panen. Pada pengkajian ini Inpari 4 memiliki panjang malai yang terpanjang dan gabah isi yang terbanyak, tetapi gabah hampanya juga tinggi sehingga menyebabkan hasilnya Tabel 1. Rata-rata umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman dan jumlah anakan varietas unggul baru (VUB)
Varietas
Umur berbunga (HST)
Inpari 3 Inpari 4 Inpari 7 Inpari 10 Inpari 13
60 60 60 56 56
Umur matang fisiologis (HST) 113 113 113 113 113
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan produktif
103 104 105 103 99
19 18 21 19 19
Tabel 2. Rata-rata panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan hasil varietas unggul baru (VUB)
Varietas
Panjang malai (cm)
Inpari 3 Inpari 4 Inpari 7 Inpari 10 Inpara 13
24.54 26.71 25.31 24.58 23.12
Jumlah gabah isi/malai (butir) 126 143 127 127 123
Jumlah gabah hampa (butir) 8 32 14 10 9
Hasil GKP (ton/ha) 6.2 5.3 6.2 7.1 6.2
YUNIARTI&KURNIAWATI –Pertumbuhan dan hasil padi sawah di Pandeglang, Banten
paling rendah. Namun demikian, produktivitas tidak hanya ditentukan oleh jumlah persentase gabah hampa/isi dari potensi hasil tiap malai tetapi juga dari bobot gabahnya. Persentase gabah isi Inpari 3 (93,65%) lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 10 (92,13%), namun produktivitas Inpari 7 lebih tinggi karena bobot 1000 butir Inpari 3 lebih rendah (24 g) dibandingkan dengan bobot Inpari 10 (27,7 g) (Suprihatno et al. 2011). Preferensi dilakukan untuk mengetahui respon petani terhadap performa tanaman dan rasa nasi dari VUB yang sedang diuji. Berdasarkan hasil preferensi tersebut, petani lebih menyukai varietas Inpari 4 dan Inpari 10. Demikian juga pada uji organolpetik, petani lebih menyukai rasa untuk varietas Inpari 4 dan Inpari 10 karena tekstur nasi yang lebih pulen. Pada pengkajian organoleptik yang dilakukan oleh Sutaryo dan Purwaningsih (2014) menunjukkan hal yang sama yaitu rasa nasi Inpari 10 lebih disukai oleh petani. Dapat disimpulkan bahwa (i) Varietas yang memiliki umur berbunga paling cepat adalah varietas Inpari 10 dan Inpari 13, sedangkan umur matang fisiologis dari 5 VUB yang diuji memiliki umur yang sama yaitu 113 HST. (ii) Varietas yang memiliki tinggi tanaman yang tertinggi dan jumlah anakan terbanyak adalah Inpari 7. (iii) Varietas yang menghasilkan produktivitas tertinggi adalah Inpari 10 yaitu 7,1 t/ha GKP. (iv) Hasil uji preferensi terhadap performa tanaman dan uji organoleptik, varietas Inpari 4 dan Inpari 10 lebih disukai oleh petani.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian yang telah memberikan dana dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ahyani selaku teknisi dan Adi selaku PPL yang telah membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Arafah, Amin M. 2013. Pengkajian beberapa VUB padi terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah irigasi di Kabupaten Pinrang. In: Hendayana R, Arsyad DM, Arifin M, Ananto E, Bustaman S,
1669
Djauhari A, Mulyandari RSH (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Percepatan Pemanfaatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Sulawesi sebagai Lumbung Pangan Nasional Buku 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Kendari, 21-22 November 2013. Badan Litbang Pertanian [Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian]. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Litbang Pertanian [Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian]. 2011. Varietas Unggul Padi untuk Rakyat Mendukung Swasembada Beras Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Jakarta. Bora, CY, Murdolelono B, Da Silva H. 2013. Uji adaptasi varietas unggul baru (VUB) padi gogo Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. In: Arsyad DM, Arifin M, Las I, Hendayana R, Bustaman S (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Lahan Kering. Percepatan Penciptaan dan Penyebarluasan Inovasi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering dalam Menghadapi Perubahan Iklim Buku 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Kupang, 4-5 September 2012. Faisal, Bahtiar. 2013. Produktivitas varietas unggul baru padi di Sulawesi Utara. In: Hendayana R, Arsyad DM, Arifin M, Ananto E, Bustaman S, Djauhari A, Mulyandari RSH (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Percepatan Pemanfaatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Sulawesi sebagai Lumbung Pangan Nasional Buku 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Kendari, 21-22 November 2013. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Suwarno, Lubis E, Baehaki, Sudir, Indrasari SD, Wardana IP, Mejaya MJ. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi, Subang. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Suwarno, Lubis E, Baehaki, Sudir, Indrasari SD, Wardana IP, Mejaya MJ. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Suryana, Prayogo UH. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya terhadap Peningkatan Produksi Pangan. Kebijakan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Sutaryo B, Purwaningsih H. 2014. Kajian keragaan varietas unggul baru padi sawah dengan pengelolaan tanaman terpadu di Bantul, Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 17 (2): 89-97. Sutaryo B, Sudaryono T. 2012. Tanggap sejumlah genotipe padi terhadap tiga tingkat kepadatan tanaman. Jurnal Ilmiah Pertanian AGROS 14 (1): 45-53. Sutaryono B. 2014. Penampilan agro-morfologi dan parameter genetik 12 genotip padi di sawah berpengairan teknis. Jurnal Ilmu Pertanian 17(1):13-24.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1670-1673
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010724
Adaptasi beberapa varietas unggul padi di dataran tinggi Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Adaptation of superior paddy varieties in North Lore (highlands), District of Poso, Central Sulawesi SAIDAH♥, IRWAN SULUK PADANG, ABDI NEGARA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Jl. Lasoso 62 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tel. +62-451-482546. ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 2 Juni 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Saidah, Padang IS, Negara A. 2015. Adaptasi beberapa varietas unggul padi di dataran tinggi Lore Utara Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1670-1673. Tujuan kajian adalah mengetahui tingkat adaptasi varietas unggul padi di dataran Tinggi Lore Utara Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi kajian di desa Wuasa Kec.Lore Utara Kab.Poso. Ada lima varietas yang diuji, yaitu Inpari 16, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 27, Inpari 28 dan sebagai pembanding adalah varietas lokal (Superwin dan Kamba). Setiap varietas diulang tiga kali, dimana petani sebagai ulangan. Luasan kajian +1,0 hektar. Analisis data menggunakan rata-rata. Hasil pengujian menunjukkan Inpari 16 dan Inpari 24 memberikan hasil yang tertinggi dibandingkan dengan tiga varietas unggul lainnya, yakni masing-masing 7,71 t/ha GKP dan 7,50 t/ha GKP. Bila dibandingkan dengan varietas lokal, produktivitas varietas unggul jauh lebih tinggi yaitu berkisar 2,8 hingga 5,71 t/ha. Kata kunci : Adaptasi, dataran tinggi, padi, varietas
Saidah, Padang IS, Negara A. 2015. Adaptation of superior paddy varieties in North Lore (highlands), District of Poso, Central Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1670-1673. Pros Sem Nas Masy. Biodiv. Indon 1: xxxxx. The objective of study was to determine a adoption level of paddy varieties in North Lore (highlands) Poso district, Central Sulawesi Province. Location studies was North Lore, Poso in Wuasa village. There are five varieties which were tested such as Inpari 16, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 27, Inpari 28 and a local variety (Superwin and Kamba) and each variety was repeated three times (farmers as replications). The study was used +1.0 Hectare and average of paddy yield (data). The yield results of Inpari 16 (7.71 t/ha dry grain harvest) and Inpari 24 (7.50 t/ha dry grain harvest) was given the highest results compared with the other varieties. In general, all improved varieties had higher productivity/high yield than local varieties, that range from 2.8 to 5.71 t/ha. Keywords: Adaptation, highlands, paddy, varieties
PENDAHULUAN Produksi padi Kabupaten Poso pada tahun 2012 turun dari tahun 2011, yakni dari 101.054,9 ton menjadi 97.991,8 ton. Begitupun dengan produktivitas dari 4,24 t/ha GKG tahun 2011 menjadi 3,80 t/ha tahun 2012 (BPS Kabupaten Poso 2012). Banyak hal yang menyebabkan penurunan tersebut, baik aspek teknis maupun non teknis, diantaranya penggunaan varietas yang belum sesuai dengan agroekosistem. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas padi sawah. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Varietas sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56%. Oleh karena itu, salah satu upaya utama peningkatan produksi padi adalah perakitan dan perbaikan varietas unggul baru (BB Padi
2011). Hapsah (2005) menyatakan bahwa peningkatan produktivitas padi dapat diupayakan melalui penggunaan varietas unggul baru. Makarim dan Las (2005) mengemukakan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dari penggunaan varietas baru diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil dan keunggulannya dapat terwujudkan. Potensi hasil padi sawah menurut Badan Litbang Pertanian berdasarkan beberapa hasil penelitian adaptasi varietas unggul mampu mencapai 10 t/ha dengan penerapan teknologi inovatif (Badan Litbang Pertanian 2007; Suryani dan Arman 2009; BB Padi 2011). Namun varietas padi yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukkan keunggulan yang sama di daerah lain, karena di Indonesia sangat beragam agroekologinya, termasuk dataran tinggi. Hal ini disebabkan adanya pengaruh interaksi antara genotype dengan lingkungan tumbuh (Harsanti et al. 2003; Saraswati et al. 2006; Kasno et al. 2007; Satoto et al. 2007). Salah satu indikator bahwa suatu varietas unggul
SAIDAH et al. – Varietas unggul baru padi dataran tinggi
dapat beradaptasi baik dengan lingkungannya adalah produktivitas yang dicapai. Tujuan kajian adalah mengetahui tingkat adaptasi varietas unggul padi di dataran tinggi Lore Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
BAHAN DAN METODE Kajian dilaksanakan di Desa Wuasa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso dan berada pada ketinggian 1.108 m dpl (Gambar 1). Waktu pelaksanaannya September hingga Desember 2013. Ada lima varietas unggul baru yang diuji, yaitu Inpari 16, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 27, Inpari 28 dan sebagai pembanding adalah varietas eksisting (Inpari 13, Superwin dan Kamba). Setiap varietas diulang tiga kali, dimana petani sebagai ulangan. Luasan kajian +1,0 hektar. Budidaya padi menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Komponen teknologi dasar PTT padi sawah yang diterapkan adalah: (i) Varietas Unggul Baru; (ii) Benih bermutu dan bibit sehat (label ungu); (iii) Sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 x 10 x 40cm; (iv) Pemupukan berdasarkan pupuk berdasarkan status hara (N tinggi, P sedang dan K rendah), yaitu 200 kg urea/ha, 75 kg SP36/ha dan 50 kg KCl/ha; (v) Pengendalian Hama Terpadu sesuai kondisi di lapangan. Sedangkan komponen teknologi pilihan PTT padi sawah yang diterapkan adalah: (i) Pengolahan tanah secara sempurna; (ii) Umur bibit 19 hari sesudah semai; (iii) Tanam bibit sebanyak 1-3 batang per rumpun; dan (iv) Penyiangan menggunakan gasrok. Data pengamatan adalah produktivitas berdasarkan hasil ubinan yang dikonversi kedalam hektar. Selain itu juga, dilakukan wawancara sebanyak 20 responden untuk mengetahui preferensi terhadap VUB. Analisis data menggunakan rata-rata.
1671
saja petani menggunakan varietas unggul baru (VUB), seperti Ciherang, Inpari 13 dan Inpari 9. Khusus varietas Kamba, umur panennya relatif lama, yaitu berkisar 5-6 bulan. Dalam hal penggunaan benih, cenderung banyak karena jumlah batang per lubang tanam 7-10 batang. Umur pindahpun cenderung terlambat yaitu berkisar 30-40 hari. Alasan petani adalah keterbatasan alat pengolah tanah (hand tractor). Takaran pupuk yang diberikan juga belum sesuai dengan rekomendasi, yaitu 200 kg urea/ha, 75 kg SP36/ha dan 50 kg KCl/ha. Petani pada umumnya menggunakan phonska 50 kg dan urea 50 kg/ha.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Focus Group Discussion (FGD) Group Discussion (FGD) merupakan salah satu metode untuk penggalian informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Tujuannya untuk mengeksplorasi masalah yang spesifik, yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada lokasi kajian tentang masalah budidaya padi dirumuskan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa produktivitas padi sawah yang diperoleh petani di desa Wuasa masih rendah, yaitu berkisar antara 2-3 t/ha GKP. Hal ini diakibatkan penerapan teknologi budidaya yang masih minim, utamanya penggunaan varietas umumnya lokal dan berumur panjang, benih yang relatif banyak (75-125 kg/ha), umur pindah 30-40 hari sesudah semai, dan penggunaan pupuk belum sesuai status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Varietas yang digunakan petani pada umumnya lokal, yaitu Superwin dan Kamba. Hanya sedikit
Gambar 1. Letak lokasi kajian di Desa Wuasa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso
Tabel 1. Masalah dan saran pemecahan masalah budidaya padi di desa Wuasa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso. Masalah
Saran pemecahan masalah
Produktivitas rendah (23 t/ha GKP)
Peningkatan pengetahuan tentang PTT padi sawah Varietas padi spesifik lokasi Perlu pembinaan bagi tenaga tanam khusus sistem tanam pindah jajar legowo Diperlukan alat bantu yang lebih baik (caplak) Pembuatan juknis, brosur, leaflet, dan media lainnya
Kurangnya tenaga kerja dalam sistem tanam pindah jajar legowo
Kurangnya pengetahuan tentang teknologi baru
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1670-1673, Oktober 2015
Kamba (Var. Lokal)
Superwin
Inpari 13
Inpari 28
Inpari 27
Inpari 24
Keragaan hasil delapan varietas yang dikaji Kemampuan varietas padi untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan tumbuhnya diantaranya diperlihatkan dengan capaian produktivitas. Gambar 2 menunjukkan bahwa produktivitas yang tertinggi dicapai oleh varietas Inpari 16 (7,71 t/ha GKP), disusul Inpari 24 (7,5 t/ha GKP) dan Inpari 23 (5,8 t/ha GKP). Sedangkan yang paling rendah adalah varietas lokal Kamba yang hanya mencapai 2,0 t/ha. Jumberi dan Alihamsyah (2005) mengemukakan bahwa varietas lokal umumnya tanamannya tinggi yang menyebabkan kurang responsif terhadap pemupukan, jumlah anakan sedikit, berumur panjang dan daya hasil rendah. Sedangkan varietas unggul, tinggi tanamannya rendah sehingga respon terhadap pemupukan, jumlah anakan sedang, umur tanaman genjah, toleran terhadap penyakit dan berdaya hasil tinggi. Inpari 16 adalah varietas unggul baru dimana tetuanya adalah Ciherang. Ciherang merupakan salah satu varietas yang memiliki adaptasi luas.
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya produktivitas varietas lokal Kamba, diantaranya tingginya serangan hama dan penyakit yakni sebesar 20% (Tabel 2). Hama yang menyerang adalah hama putih palsu dan penyakit blast leher (neck blast). Hal ini beralasan karena umur panen Kamba lebih lama daripada ketujuh varietas lainnya, sehingga varietas ini menjadi sasaran hama dan penyakit. Terkait dengan produktivitas, Suprihatno dan Darajat (2008) mengemukaan bahwa potensi hasil maksimum dari suatu varietas sering tidak tercapai karena fotosintat yang akan disimpan pada gabah sering dimanfaatkan oleh hama atau penyakit tanaman. Sejalan dengan Makarim et al. (2008), tanaman padi selama proses pertumbuhannya hingga mencapai hasil panen ditentukan oleh iklim, faktor internal tanaman, tanah, air, hama dan penyakit, serta pengelolaan. Menurut Danial dan Nurbani (2015), potensi hasil didefinisikan sebagai hasil tertinggi yang dapat dicapai tanaman untuk varietas dan lingkungan iklim tertentu, serta tidak terkendala oleh faktor biotik (hama, penyakit, gulma) dan abiotik (kahat hara, keracunan unsur kimia, kekeringan, rendaman salinitas, dan lain-lain). Tabel 2 memperlihatkan bahwa umur panen rata-rata lambat dari deskripsi, yaitu 2-11 hari. Hal ini disebabkan oleh faktor ketinggian tempat, dimana tinggi tempat berpengaruh pada radiasi matahari dan berpengaruh pada suhu. Semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah. Suhu mempengaruhi metabolisme yang tercermin dalam berbagai karakter seperti laju pertumbuhan, pembungaan, pembentukan buah, dan pematangan jaringan atau organ tanaman yang pada akhirnya akan mempengaruhi umur panen (Chairuman 2013; Lakitan 2007).
Inpari 23
Penerapan system tanam jajar legowo juga sangat minim. Umumnya pertanaman hanya diberi lorong, sementara jarak tanamnya tetap menggunakan system tegel. Akibatnya jumlah rumpun banyak yang hilang, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas. Alasan petani belum menerapkan jajar legowo 2:1 atau 4:1 adalah repot dan menambah biaya tanam. Petani belum menggunakan caplak sebagai alat bantu membuat garisan untuk titik tanam, sehingga jumlah rumpun untuk luasan tanam tidak optimal. Regu tanam belum terbiasa melakukan penanaman dengan system jajar legowo. Informasi teknologi berupa bahan cetakan (juknis, leaflet, brosur) belum sepenuhnya dapat diakses oleh petani karena ketersediaannya berada di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Namun informasi dari media elektonik (televisi) mudah diakses karena sudah tersedia listrik. Hasil kesepakatan dalam FGD dengan petani setempat adalah pelaksanaan demplot teknologi budidaya padi sawah dengan pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu. Dalam demplot tersebut nantinya akan diperkenalkan beberapa komponen teknologi, seperti VUB untuk dataran tinggi, teknik penyemaian, penanaman dengan system jajar legowo 2:1 menggunakan caplak roda, pemupukan spesifik lokasi, pengendalian gulma dengan alat gasrok dan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Setiap tahapan akan dilakukan sekolah lapangan agar petani paham tentang inovasi teknologi yang diperkenalkan.
Inpari 16
1672
Gambar 2. Produktivitas delapan varietas yang dikaji
Tabel 2. Produktivitas, jenis dan persentase serangan hama dan penyakit serta preferensi petani terhadap VUB di desa Wuasa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso MT II Tahun 2013. Varietas Inpari 16 Inpari 23 Inpari 24 Inpari 27 Inpari 28 Inpari 13 Superwin Kamba (Var. Lokal)
Umur panen (hss) 122 121 120 127 124 111 126 168
Provitas (ton/ha GKP) 7,71 5,80 7,50 4,80 5,80 4,00 3,00 2,00
Jenis hama/ penyakit yang menyerang Hama putih dan blast leher
Persentase serangan
Urutan preferensi
Ringan (10%) Ringan (10%) Ringan (10%) Ringan (10%) Ringan (10%) Ringan (10%) Ringan (10%) Sedang (20%)
1. Inpari 24 2. Inpari 28 3. Inpari 16 4. Inpari 23
SAIDAH et al. – Varietas unggul baru padi dataran tinggi
Preferensi petani terhadap enam VUB yang diperkenalkan, Inpari 24 menduduki urutan pertama. Inpari 24 merupakan VUB beras merah dengan tekstur nasi pulen. Selama ini di wilayah Lore Utara belum pernah menanam padi beras merah. Petani mendapatkan beras merah dari pasar tradisional di Palu dengan tekstur nasi pera. Inpari 24 paling disukai responden karena potensi produksi, tekstur beras/rasa nasi, ketahanan terhadap OPT, tinggi dan umur tanamannya. Yang et al. (2010) menyatakan bahwa masing-masing VUB menghasilkan beras dengan karakteristik yang berbeda dan unik seperti cita rasa, aroma, warna, zat gizi, dan komposisi kimia. Sejalan dengan itu, Larasati (2012) menyampaikan bahwa konsumen di setiap daerah mempunyai preferensi yang berbeda-beda terhadap mutu beras. Selain perbedaan preferensi terhadap mutu beras, preferensi penduduk Indonesia terhadap karakteristik nasi juga beragam. Nasi pulen lebih disukai oleh sebagian besar penduduk di Indonesia, sedangkan di Kalimantan Barat dan beberapa bagian di Pulau Sumatera lebih menyukai nasi yang agak pera (Sembiring 2007; Haryadi 2008).
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman umum produksi benih sumber padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. BB Padi. 2011. Dekripsi varietas padi (edisi revisi). BB Padi Sukamandi, Subang. BPS Kabupaten Poso [Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso]. 2012. Kabupaten Poso dalam angka tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. Poso. Chairuman N, 2013. Kajian adaptasi beberapa varietas unggul baru padi sawah berbasis pendekatan pengelolaan tanaman terpadu di dataran tinggi Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara. Jurnal online Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU 1(1): 47-54. Danial D, Nurbani. 2015. Kajian galur harapan padi gogo di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 1 (4): 910-913.
1673
Hapsah MD. 2005. Potensi, peluang, dan strategi pencapaian swasembada beras dan kemandirian pangan nasional. In: Suprihatno B (ed). Inovasi Teknologi Padi menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Harsanti L, Hambali, Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim. Zuriat 144 (1): 1-7. Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Jumberi A, Alihamsyah T. 2005. Pengembangan lahan rawa berbasis inovasi teknologi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumber Daya L ahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Banjarbaru 5-7 Oktober 2005. Lakitan B. 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Larasati SP. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Nasi dari Beberapa Varietas Beras. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makarim AK, Las I. 2005. Terobosan peningkatan produktivitas padi sawah irigasi melalui pengembangan model pengelolaan tanaman dan dum berdaya terpadu (PTT). Suprihatno B (ed). Inovasi Teknologi Padi menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Makarim AK, Suhartatik E, Fagi AM. 2008. Analisis sistem dan simulasi untuk peningkatan produksi padi melalui penggunaan teknologi spesifik lokasi. Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Saraswati M, Oktafian AN, Kurniawan A, Ruswandi D. 2006. Interaksi genotype x lingkungan, stabilitas, dan adaptasi jagung hibrida harapan Unpad di 10 lokasi di Pulau Jawa. Zuriat 17 (1): 72-85. Satoto, Rumanti IA, Diredja M, Suprihatno B. 2007. Yield stability of ten hybrid rice combinations derived from introduced cms and local restorer lines. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (3): 145-149. Sembiring H. 2007. Kebijakan penelitian dan rangkuman hasil penelitian BB Padi dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi, Subang. Suprihatno B, Darajat AA. 2008. Kemajuan dan ketersediaan varietas unggul padi. Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sukamandi. Suryani, Arman. 2009. Kajian beberapa varietas unggul padi produktivitas di atas 7 ton/hektar dan peningkatan pendapatan petani di Sulawesi Selatan. Jurnal Agrisistem 5(2): 94-110. Yang DS, Lee KS, Kays SJ. 2010. Characterization and discrimination of premium-quality, waxy and black pigmented rise based on odoractive compounds. J Sci Food Agric, DOI: 10.1002/jsfa.4126.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1674-1677
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010725
Keragaan produktivitas varietas jagung pada musim hujan di lahan kering dataran tinggi Kabupaten Bandung, Jawa Barat Productivity performance of maize varieties in the wet season in upland plateau of Bandung District, West Java TAEMI FAHMI, ENDJANG SUJITNO♥ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Jl. Kayuambon 80, PO Box 8495, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat. Tel.: +62-222786238, 2789846, Fax.: +62-22-2786238, ♥email:
[email protected],
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Mei 2015. Revisi disetujui: 6 Agustus 2015.
Fahmi T, Sujitno E. 2015. Keragaan produktivitas varietas jagung pada musim hujan di lahan kering dataran tinggi Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1674-1677. Produktivitas yang dihasilkan oleh suatu tanaman sangat bergantung pada kemampuan adaptasi varietas yang digunakan terhadap kondisi dan karakteristik lingkungan dimana tanaman tersebut diusahakan. Penyebab masih rendahnya tingkat produktivitas tanaman khususnya jagung yang diusahakan di lahan kering dataran tinggi di Kabupaten Bandung adalah akibat dari ketidaksesuaian pemilihan varietas jagung yang digunakan. Untuk mengetahui keragaan produktivitas beberapa varietas jagung yang diusahakan di lahan kering dataran tinggi di Kabupaten Bandung dilaksanakan pengkajian mengenai penggunaan beberapa varietas jagung yang diusahakan di lahan kering dataran tinggi di Kabupaten Bandung. Pengkajian dilaksanakan di Desa Citaman Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung pada bulan November 2013 sampai dengan Februari 2014. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan yang digunakan adalah varietas jagung yang terdiri dari Varietas Bima 2, Bima 5, NK 22, Bisma dan varietas lokal dengan petani sebagai ulangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa produktivitas varietas unggul baru menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kisaran produktivitas antara 6,290-6,632 ton ha-1 dibanding dengan produktivitas varietas lokal dengan produktivitas sebesar 3,716 ton ha-1, sedangkan diantara varietas unggul baru tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kata kunci: Produktivitas, varietas, jagung, lahan kering
Fahmi T, Sujitno E. 2015. Productivity performance of maize varieties in the wet season in upland plateau of Bandung District, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1674-1677. Plant productivity is depend on the adaptable of the varieties to the environment conditions and characteristics which the plants were cultivated. In Bandung Regency plateau, a mistake to selecting a corn varieties caused a low level of corn productivity. Therefore the objective of the assessment was to determine the performance of corn varieties productivity. The assessment was conducted in Citaman Village, Nagreg Sub District Bandung District in November 2013 to February 2014. The assesment used a randomized block design (RBD) with 5 treatment and each repeated 5 times. The treatments used a corn varieties: Bima 2, Bima 5, NK 22, Bisma and local varieties with a farmers as a replications. The results show that no significant differences among new corn varieties productivity (6,290 to 6,632 ton ha-1) but showed a significant differences with a local corn productivity (3,716 ton ha-1). Keywords: Productivity, varieties, corn, upland
PENDAHULUAN Keberhasilan usaha budidaya suatu jenis komoditas tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor tersebut diantaranya adalah pemilihan varietas tanaman yang akan dikembangkan, pemilihan varietas unggul dari suatu tanaman yang dikembangkan akan sangat menentukan keberhasilan suatu usaha budidaya tanaman (Syukur et al. 2010). Penggunaan varietas unggul merupakan suatu usaha untuk meningkatkan produksi tanaman, melalui peningkatan produksi diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan suatu komoditas di pasaran. Namun yang perlu diperhatikan dalam penggunaan suatu jenis varietas adalah
kemampuan daya adaptasi dari setiap varietas yang digunakan terhadap kondisi agroekosistem baik iklim maupun lingkungan dimana varietas tersebut diusahakan. Kemampuan adaptasi dari suatu jenis varietas dengan lingkungan hidup dimana varietas tersebut dikembangkan menjadi penentu apakah varietas tersebut cocok untuk dikembangkan atau tidak. Jagung merupakan salah satu komoditas palawija yang memiliki potensi pasar yang cukup luas, kondisi ini berhubungan dengan potensi pemanfaatan jagung yang cukup beragam mulai sebagai bahan pangan, pakan serta industri (Andriko dan Sirappa 2005). Sebagai bahan pangan, jagung memiliki peranan penting dan strategis dalam mempertahankan ketahanan pangan. Tanaman
FAHMI & SUJITNO – Produktivitas jagung di lahan kering dataran tinggi
jagung memiliki nilai strategis dan ekonomis yang cukup tinggi, karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras (Irawan et al. 2013), Kebutuhan jagung dalam negeri, terutama untuk bahan baku pakan ternak menunjukkan trend yang terus meningkat setiap tahunnya, hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya industri peternakan di Indonesia. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, perlu dilakukan usaha peningkatan produksi jagung dalam negeri, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap jagung impor. Jagung sangat potensial untuk dikembangkan di lahan kering karena jagung mempunyai daya adaptasi yang tinggi, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan ketinggian tempat (Agung 2009). Potensi lahan kering yang cocok untuk pertanian di Jawa Barat sebesar 797.087 ha, yang terdiri dari 563.015 ha tegalan dan 234.072 ha ladang atau huma (BPS Jawa Barat 2013). Berdasarkan potensi tersebut, Jawa Barat memiliki peluang yang cukup besar untuk mengembangkan tanaman jagung terutama di lahan kering yang tersedia cukup luas. Namun untuk mengembangkan tanaman jagung di lahan kering saat ini adalah dihadapkan pada sulitnya untuk mendapatkan benih berkualitas di tingkat petani, petani hanya memiliki sedikit pilihan untuk menentukan varietas jagung yang akan digunakan. Berdasarkan pada kondisi tersebut perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui keragaan serta potensi dari varietas-varietas baru jagung yang sesuai untuk dikembangkan di lahan kering khususnya di Kabupaten Bandung, sehingga diharapkan dapat membantu petani khususnya petani di lahan kering dalam mendapatkan alternatif pilihan varietas jagung yang akan dibudidayakan.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Februari 2014 di Desa Citaman, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung, yang termasuk ke dalam lahan dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 8001.000 mdpl. Iklim di wilayah ini tergolong beriklim basah karena curah hujan rata-rata per tahun lebih dari 2.000 mm, wilayah ini merupakan wilayah pengembangan komoditas tanaman pangan khususnya jagung di Kabupaten Bandung. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan masingmasing diulang sebanyak 5 kali dengan varietas sebagai perlakuan dan petani sebagai ulangan. Varietas yang digunakan terdiri dari varietas Bima 2, Bima 5, NK 22, Bisma dan lokal sebagai pembanding, plot percobaan disesuaikan dengan petak alami petani. Teknis budidaya yang digunakan mengacu pada pelaksanaan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) jagung. Pengolahan lahan dilaksanakan dengan sistem olah tanah sempurna, pupuk dasar berupa pupuk organik diberikan pada saat penggemburan tanah dengan dosis 10 ton/ha. Penanaman dilaksanakan dengan menggunakan tugal, kedalaman tugal antara 5-7 cm, jarak tanam yang digunakan 70 x 25 cm, jumlah benih yang digunakan 1 sampai 2 biji per lubang tanam.
1675
Pupuk anorganik yang digunakan adalah Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing 90 kg/ha N, 40 kg/ha P dan 50 kg/ha K. Pupuk diberikan pada saat umur tanaman antara 7-10 hari setelah tanam. Pemeliharaan meliputi pengairan diberikan sesuai dengan kebutuhan, penyiangan dilaksanakan sesuai dengan kondisi pertumbuhan gulma, pembumbunan dilaksanakan setelah penyiangan pertama, sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman dan persentase tingkat kematian tanaman serta hasil dan komponen hasil yang diperoleh dari masing-masing perlakuan. Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA), yang kemudian dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan rerata antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman Pertumbuhan tanaman merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesesuaian varietas dengan karakteristik spesifik lokasi suatu wilayah, pertumbuhan tanaman yang baik serta sesuai dengan sifat dan karakter dari suatu varietas menunjukkan indikasi bahwa varietas tersebut mampu beradaptasi dengan karkateristik suatu wilayah tertentu, demikian juga sebaliknya jika pertumbuhan tanaman terhambat dan tidak sesuai dengan sifat dan karakter dari varietas tersebut mengindikasikan bahwa varietas tersebut kurang memiliki daya adaptasi yang baik sehingga varietas tersebut kurang sesuai untuk dikembangkan di wilayah tersebut. Pengukuran tinggi tanaman digunakan sebagai indikator tingkat pertumbuhan tanaman dari setiap varietas jagung yang diuji. Pengukuran tinggi tanaman dilaksanakan setiap satu bulan sekali pada umur tanaman 30, 60 dan 90 hari setelah tanam (hst), pengukuran dilaksanakan dari pangkal akar di permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi. Perkembangan pertumbuhan tinggi tanaman pada berbagai umur tanaman dapat terlihat pada Tabel 1. Tinggi tanaman pada umur 30 hst berkisar antara 80,5107,9 cm, berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan, tinggi tanaman antar varietas baru yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun jika dibandingkan antara varietas baru dengan varietas lokal yang biasa budidayakan petani setempat menunjukkan perbedaan yang signifikan. Varietas dengan tinggi tanaman yang paling tinggi adalah varietas Bima 2 dengan tinggi tanaman 107,9 cm sedangkan yang paling pendek adalah varietas lokal dengan tinggi tanaman mencapai 80,5 cm. Demikian pula pada umur 60 hst, antar varietas baru yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana tinggi tanaman berkisar antara 187,5-191,9 cm dengan varietas Bima 5 memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi mencapai 191,9 cm. sedangkan antara varietas baru dengan varietas lokal terdapat perbedaan yang signifikan dimana untuk varietas lokal memiliki tinggi tanaman yang paling rendah dengan tinggi tanaman
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1674-1677, Oktober 2015
1676
mencapai 153,8 cm. Demikian halnya pada umur 90 hst, kondisi tinggi tanaman menunjukkan kasus yang sama dengan kondisi pada umur 30 dan 60 hst, dimana antar varietas baru yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan tetapi menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan varietas lokal. Tinggi tanaman berkisar antara 189,2-237,4 cm. Kondisi lingkungan seperti ketersediaan air, cekaman panas, ketersediaan unsur hara dan tingkat keasaman tanah sangat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan tanaman, namun perlu diperhatikan pula faktor-faktor pembatas pertumbuhan lainnya seperti topografi lahan karena tidak semua tanaman mampu tumbuh pada setiap topografi lahan (Sutapradja 2008). Dari indikator tinggi tanaman yang diamati, menunjukkan bahwa semua varietas baru jagung yang diuji mampu beradaptasi dengan kondisi agroekosistem setempat, hal ini diindikasikan dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang lebih baik jika
dibandingkan dengan varietas lokal dibudidayakan oleh petani setempat.
yang
biasa
Tingkat kematian tanaman Indikator untuk mengetahui daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit pada berbagai varietas jagung yang diuji, dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap tingkat kematian tanaman. Tingkat kematian yang terjadi pada tanaman jagung pada setiap varietas dapat dilihat pada Tabel 2. Dari 5 varietas yang diuji, terlihat bahwa tingkat kematian tanaman berkisar antara 0,98-6,04% dari total populasi tanaman setiap varietas yang diuji. Namun jika dilihat, semua varietas baru jagung yang diuji menunjukkan persentase yang lebih rendah jika dibandingkan dengan varietas lokal dengan tingkat kematian tanaman mencapai 6,04%, sedangkan 4 varietas baru yang diuji menunjukkan tingkat kematian tanaman yang berkisar antara 0,98-1,14%.
Tabel 1. Tinggi tanaman dari beberapa varietas jagung yang diuji Varietas Bima 2 Bima 5 Bisma NK 22 Lokal
Tinggi tanaman (cm) 30 hst 107,9 a 103,5 a 99,9 a 104,2 a 80,5 b
60 hst 187,6 a 191,9 a 187,5 a 190,3 a 153,8 b
90 hst 226,0 a 231,6 a 237,4 a 227,8 a 189,2 b
Tabel 2. Persentase tingkat kematian tanaman pada setiap varietas yang diuji Varietas Bima 2 Bima 5 Bisma NK 22 Lokal
Ulangan 1 0,9 1,1 1,1 0,8 5,2
Ulangan 2 1,2 1,2 1,0 0,8 6,1
Tingkat kematian tanaman (%) Ulangan 3 Ulangan 4 0,9 1,1 0,8 1,1 1,2 0,8 1,3 1,4 5,8 7,8
Ulangan 5 1,1 0,8 0,9 1,4 7,3
Rata-rata 1,04 a 1,00 a 0,98 a 1,14 a 6,04 b
Ulangan 5 5,890 5,800 5,900 5,800 4,110
Rata-rata 6,306 a 6,632 a 6,480 a 6,290 a 3,716 a
Tabel 3. Produktivitas jagung dari berbagai varietas yang diuji Varietas Bima 2 Bima 5 Bisma NK 22 Lokal
Ulangan 1 6,721 6,510 6,400 5,950 3,950
Ulangan 2 5,990 6,600 7,100 5,900 4,120
Hasil pipilan kering (ton/ha) Ulangan 3 Ulangan 4 5,921 7,010 7,200 7,050 6,850 6,150 6,950 6,850 3,150 3,250
Tabel 4. Komponen hasil pada berbagai varietas jagung yang diuji Komponen Hasil
Varietas Bima 2 Bima 5 Bisma NK 22 Lokal
Panjang tongkol (cm) 16,9 a 18,3 a 18,3 a 17,9 a 13,4 b
Bobot 100 butir (g) 29,9 a 30,1 a 28,8 a 27,8 a 27,2 a
FAHMI & SUJITNO – Produktivitas jagung di lahan kering dataran tinggi
1677
Tingginya tingkat kematian tanaman disebabkan oleh serangan penyakit terutama bulai, kondisi ini didukung dengan tingginya tingkat kelembaban udara akibat curah hujan yang cukup tinggi, keadaan iklim yang tidak menentu serta terjadinya kemarau pada saat musim hujan, menyebabkan kelembaban udara serta suhu udara relatif cepat berubah, kondisi ini merupakan lingkungan ideal bagi perkembangan penyakit, keadaan tersebut sangat mendukung bagi perkembangan penyakit yang mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah tanaman yang terserang penyakit (Gunawan 2005). Pemicu serangan penyakit bulai pada jagung disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydis, jika tanaman jagung terserang penyakit bulai menyebabkan tanaman mengalami hambatan dalam berfotosintesis, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen. Pengendalian penyakit ini biasanya dilaksanakan dengan menggunakan fungisida, namun sebenarnya pengendalian penyakit bulai yang paling ideal adalah dengan menggunakan varietas tahan penyakit bulai (Hoerussalam et al. 2013), pengendalian penyakit bulai melalui penggunaan varietas tahan merupakan cara pengendalian yang paling efisien, murah, mudah, serta ramah terhadap lingkungan serta dapat dikombinasikan dengan pengendalian lainnya seperti seed treatment, tetapi yang menjadi kendala adalah ketersediaan varietas jagung tahan penyakit bulai sangat terbatas ketersediaannya (Soenartiningsih dan Talanca 2010).
Jika dilihat dari bobot per 100 butir, dari setiap varietas yang diuji baik varietas baru maupun varietas lokal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kondisi ini dimungkinkan karena karakteristik dari biji jagung yang dihasilkan relatif sama, hal ini menjadi dasar bahwa varietas baru yang diuji cocok untuk dikembangkan di wilayah pengkajian karena karakteristik biji jagung yang dihasilkan relatif sama dengan varietas jagung yang biasa dibudidayakan sehingga biji jagung yang dihasilkan memenuhi kriteria dari permintaan pasar setempat. Namun yang menjadi penyebab dari perbedaan tingkat produksi yang dihasilkan adalah panjang tongkol yang dihasilkan oleh varietas baru yang diuji lebih panjang jika dibandingkan dengan varietas lokal, panjang tongkol dari dari varietas jagung baru yang diuji lebih panjang antara 20,71-36,57% lebih panjang dibanding panjang tongkol varietas lokal, sehingga jumlah biji jagung lebih banyak dibanding varietas lokal. Secara keseluruhan, dari keempat varietas baru yang diuji, keempat varietas tersebut mampu beradaptasi dengan keadaan wilayah setempat, hal ini terlihat dari produksi yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan varietas lokal yang telah biasa ditanam oleh petani setempat, keempat varietas tersebut yaitu Bima 2, Bima 5, Bisma serta NK 22.
Hasil dan komponen hasil Tingkat produktivitas dari masing-masing varietas yang diuji cukup bervariasi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar varietas baru yang diuji, produktivitas berkisar antara 6,290-6,632 ton ha-1, dengan produktivitas tertinggi dicapai oleh varietas Bima 5 dengan tingkat produktivitas sebesar 6,632 ton ha-1, namun jika dibandingkan dengan produktivitas dari varietas lokal terdapat perbedaan yang cukup signifikan, dimana untuk varietas lokal tingkat produktivitas yang dicapai hanya 3,716 ton ha-1. Tingkat produktivitas dari setiap varietas yang diuji belum sesuai dengan potensi produksi dari masing-masing varietas tersebut, hal ini disebabkan masih tingginya tingkat kematian tanaman akibat serangan penyakit. Serangan penyakit baik yang disebabkan virus, bakteri maupun jamur, merupakan faktor penghambat dalam peningkatan produktivitas tanaman, untuk menanggulangi keadaan tersebut, jalan keluar yang paling bijaksana adalah melalui pendekatan ramah lingkungan, salah satunya adalah dengan menggunakan kultivar atau varietas yang mampu bertahan terhadap serangan penyakit (Babu et al. 2011).
Agung IGAMS. 2009. Adaptasi berbagai varietas jagung dengan densitas berbeda pada akhir musim hujan di Jimbaran Kabupaten Badung. Jurnal Bumi Lestari 9 (2): 201-210 Andriko NS, Sirappa MP. 2005. Prospek dan strategi pengembangan jagung untuk mendukung ketahanan pangan di Maluku. Jurnal Litbang Pertanian 24 (2): 70-79. Babu BS, Pandravada SR, Prasada Rao RDVJ, Anitha K, Chakrabarty SK, Varaprasadet KS. 2011. Global sources of pepper genetic resources against antropods, nematods and pathogens. Crop Protect 30 (2011): 389-400. BPS Jawa Barat. 2013. Jawa Barat Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. Gunawan OS. 2005. Uji efektivitas biopestisida sebagai pengendali biologi terhadap penyakit antraknos pada cabai merah. J Hort 15 (4): 297-302. Hoerussalam, Purwantoro A, Khaeruni A. 2013. Induksi ketahanan tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap penyakit bulai melalui seed treatment serta pewarisannya pada generasi S1. Jurnal Ilmu Pertanian 16 (2): 42-59. Irawan D, Hasanuddin, Lubis L. 2013. Uji ketahanan beberapa varietas jagung (Zea mays L.) terhadap penyakit karat daun (Puccinia polysora Underw.) di dataran rendah. Jurnal Online Agroekoteknologi 1 (3): 2337-6597. Soenartiningsih, Talanca A. 2010. Penyebaran penyakit bulai (Peronosclerospora maydis) pada jagung di Kabupaten Kediri; Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Sutapradja H. 2008. Penggunaan pupuk multihara lengkap PML-Agro terhadap pertumbuhan dan hasil cabai merah. J. Hort 18 (2): 141-147. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA. 2010. Evaluasi daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. J Agron. Indonesia 38 (1): 43-51.
DAFTAR PUSTAKA
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1678-1682
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010726
Perbaikan teknologi budidaya pisang kepok dan analisis usahataninya di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Technological improvement of banana kepok cultivation and its analysis in East Kutai District, East Kalimantan MUHAMAD RIZAL♥, RETNO WIDOWATI, SRIWULAN PAMUJI RAHAYU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 17 Mei 2015. Revisi disetujui: 12 Juli 2015.
Rizal M, Rahayu SP. 2015. Perbaikan teknologi budidaya jeruk keprok borneo prima dan analisis usahataninya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1678-1682. Potensi usahatani komoditas hortikultura khususnya pisang di Kalimantan Timur mempunyai prospek yang cerah untuk di kembangkan di bandingkan dengan komoditi buah lainnya, baik dalam bentuk segar maupun olahan karena Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah sentra produksi pisang. Namun fakta di lapangan menunjukkan semakin rendahnya mutu buah pisang yang di hasilkan, karena tidak di ikuti dengan aplikasi teknologi budidaya yang tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai perbaikan teknologi budidaya pisang kepok dan analisa usahataninya. Penelitian di laksanakan di Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2012. Jenis data menggunakan metode literature study dan field study, selanjutnya dideskripsikan dan dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan teknologi budidaya yang tepat terjadi peningkatan kualitas dan produktivitas pisang yang di hasilkan. Sedangkan peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan teknologi memperoleh keuntungan Rp. 6.278.350,-atau nilai R/C ratio sebesar 2,03. Penerapan perbaikan teknologi budidaya pisang di Kabupaten Kutai Timur memberikan nilai tambah dan daya saing komoditas hortikultura pisang di Kalimantan Timur. Kata kunci : Kutai Timur, pisang kepok, teknologi budidaya
Rizal M, Rahayu SP. 2015. Technological improvement of banana kepok cultivation and its analysis in East Kutai District, East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1678-1682. Horticultural potential farming commodities especially banana in East Kalimantan has a bright prospect to be developed in comparison with other fruit commodities, both in fresh and processed form as East Kalimantan is one of the central areas of banana production. But the facts on the ground show increasingly poor quality bananas are produced, because it is not followed by the application of appropriate farming technologies. The purpose of this study is to provide information regarding technology improvement of banana kepok cultivation and its analysis. The research carried out in the Kaliorang village, Kaliorang Sub-District, East Kutai Regency, East Kalimantan Province in 2012. The type of data using literature study and field study, further described and analyzed qualitatively. The results showed that the proper technology improvements cultivation increase the quality and productivity of banana produced. While the increase in farmers' income through improved technology gain Rp. 6.278.350,or the value of R / C ratio of 2.03. Application of technological improvements banana cultivation in East Kutai District provide added value and competitiveness of horticultural commodities banana in East Kalimantan. Keywords: East Kutai, banana kepok, cultivation technology
PENDAHULUAN Pisang adalah komoditi pangan ke empat terpenting di dunia setelah beras, gandum dan susu. Pisang juga merupakan komponen makanan/buah yang aman untuk konsumsi dan secara nasional permintaan akan buah pisang terus meningkat dari tahun ketahun. Indonesia memiliki hampir 20 juta hektar lahan yang sangat cocok untuk ditanami pisang dan pisang juga dapat tumbuh disemua daerah baik tropis maupun sub tropis, sehingga hal ini menunjukkan pisang menduduki tempat pertama diantara jenis buah-buahan lainnya yang ada di Indonesia, baik dari segi sebaran, luas pertanamannya maupun dari segi
produksinya. Total produksi pisang Indonesia tahun 2006 sekitar 5.037.472 ton dan Kalimantan Timur menyumbang 113,113 ton pada tahun 2010 dari produksi pisang nasional (BPS Kalimantan Timur 2012). Pisang merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (2009) melaporkan bahwa komoditas ini menjadi kontributor utama terhadap produksi buah unggulan secara nasional dengan presentase mencapai 31% dibandingkan dengan jeruk (16%), mangga (10%), durian (5%) dan buah-buahan lainnya (38%). Besarnya prospek pengembangan pisang di Indonesia juga di dukung oleh ketersediaan lahan yang sesuai. Sekitar 20 ha lahan potensial untuk pengembangan
RIZAL et al. – Teknologi budidaya pisang kepok
pisang di Indonesia didata oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat yang tersebar di empat pulau yaitu Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Djohar 1999). Peluang pengembangan agribisnis komoditas pisang masih terbuka luas. Untuk keberhasilan usahatani pisang, selain penerapan teknologi, penggunaan varietas unggul dan perbaikan varietas yang toleran atau tahan terhadap hama dan penyakit penting pisang, mampu berproduksi tinggi serta mempunyai kualitas buah yang bagus dan disukai masyarakat luas. Namun demikian secara umum produktivitas pisang yang dikembangkan masyarakat masih sangat rendah, termasuk di Kalimantan Timur hanya di bawah 10 ton/ha, padahal potensi produktivitasnya bisa mencapai 35-40 ton/ha. Kesenjangan produktivitas tersebut disebabkan teknik budidaya tidak tepat dan tingginya gangguan hama dan penyakit terutama oleh serangan dua penyakit paling berbahaya dan mematikan yaitu penyakit layu bakteri atau penyakit darah dan penyakit layu fusarium. Menurut Ploetz (2006) layu fusarium pada tanaman pisang yang disebabkan oleh cendawan tular tanah Fusarium oxysporum Schlect f. sp. cubense (E. F. Smith) Snyder & Hansen (Foc) pertama kali ditemukan di Queensland, Australia oleh Bancroft pada tahun 1876. Di Indonesia, penyakit ini dilaporkan menghancurkan ribuan hektar pertanaman pisang baik perkebunan pisang komersial maupun pertanaman pisang rakyat (Nurhadi et al. 1994; Nasir et al. 2005). Saat ini Kalimantan Timur telah mengembangkan tanaman hortikultura seperti jeruk, pisang dan durian disetiap kabupaten dan kota. Untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pengetahuan masyarakat akan kesehatan, maka pengembangan komoditas hortikultura khususnya buah-buahan dan sayuran terus ditingkatkan. dalam kurun waktu lima tahun terakhir produksi komoditas hortikultura di Kalimantan Timur terus meningkat, dimana pada tahun 2012 mencapai 267,906 ton. Khusunya untuk buah pisang pada tahun 2012 produksinya 124,742 ton (BPS Kalimantan Timur 2012), pada sentra produksi pisang di propinsi kalimantan Timur, yaitu di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Balikpapan. Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu potensi pengembangan pisang kepok di Provinsi Kalimantan Timur, oleh sebab itu produktivitas pisang tersebut masih dapat ditingkatkan, tetapi disisi lain masih terdapat banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman pisang diantaranya mutu bibit dan komponen budidaya tanaman yang mencakup penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pemeliharaan tanaman lainnya. Untuk itu diperlukan paket teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah, daya saing, pendapatan serta kesejahteraan petani jeruk di Kalimantan Timur, Khususnya di Kabupaten Kutai Timur. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai perbaikan teknologi budidaya pisang kepok dan analisis usahataninya.
1679
BAHAN DAN METODE Penelitian ini di laksanakan di Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, pada tahun 2012 (Gambar 1). Penentuan lokasi berdasarkan beberapa kriteria antara lain daerah tersebut wilayah sentra produksi komoditas hortikultura pisang kepok, teknologi diperlukan petani, dan domisili petani di daerah tersebut. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarana produksi untuk penanaman pisang kepok dan pupuk (organik dan an organik). Jenis data terdiri dari data primer yang diperoleh dari petani pisang kepok dan data sekunder yang diperoleh dari Dinas atau instansi terkait serta publikasi karya ilmiah terkait, dengan Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan pencatatan langsung di lapangan. Data dan informasi di sajikan secara deskriptif informatif. Untuk mengetahui tingkat kelayakan usahatani pisang kepok di gunakan pendekatan analisis finansial yang paling sederhana dengan menggunakan R/C, yaitu rasio antara penerimaan dengan biaya. Jika R/C >1 = usaha tersebut layak untuk diteruskan, dan jika R/C < 1 = usaha tersebut tidak layak untuk dilanjutkan (Swastika 2004). R/C dihitung dengan cara : TR TC Keterangan : TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya) Untuk meningkatkan kualitas pengembangan usahatani pisang kepok sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi dengan produktivitas yang optimal dilakukan perbaikan teknologi budidaya melalui introduksi komponen teknologi dengan tahapan sebagai berikut : (i) Waktu tanam /Penanaman; (ii) Pemupukan; (iii) Pemberian agensia hayati; (iv) Pemangkasan; (v) Penyiangan; (vi) Penjarangan anakan; (vii) Perawatan tandan; (viii) Pengendalian OPT; dan (ix) Panen dan pasca panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian Kutai Timur adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, dengan Ibu kota Sangata. Kabupaten ini memiliki luasan wilayah 35.747,50 km² atau 17% dari luas Provinsi Kalimantan timur dan berpenduduk sebanyak 253.847 jiwa (hasil sensus Penduduk Indonesia 2010) dengan kepadatan 4,74 jiwa/ km² dan penduduk selama 4 tahun terakhir rata-rata 4.08% stiap tahun. Geografi Kutai timur terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara 115°56'26"-118°58'19" BT dan 1°17'1" LS-1°52'39" LU, dengan batas wilayah sebelah Utara dengan Kabupaten Berau, sebelah Selatan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Bontang, sebelah Barat dengan Kabupaten Kutai Kartanegara serta sebelah Timur dengan Selat Makssar.Topografi Kutai timur memiliki keadaan yang bervariasi mulai dari daerah dataran seluas 536.200 ha, lereng bergelombang 1,42 juta ha hingga pegunungan 1,6 juta ha (Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Timur 2010).
1680
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1678-1682, Oktober 2015
Gambar 1. Peta wilayah Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur
Kecamatan Kaliorang adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Kutai timur, Provinsi Kalimantan Timur, yang beribukota di bukit Makmur. Dengan luas 699,28 km² yang merupakan 1.96% dari luas wilayah Kabupaten Kutai Timur, memiliki jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 8.014 jiwa (BPS Kabupaten Kutai Timur 2010). Adapaun batas Wilayah Kecamatan Kaliorang adalah sebelah Utara dengan Kecamatan Sangkulirang, sebelah Selatan dengan Kecamatan Sanggata Utara dan selatan Makassar, sebelah Barat dengan Kecamatan Bengalon dan sebelah Timur dengan Kecamatan Sangkulirang. Kondisi Geografis Kecamatan Kaliorang dengan curah hujan : 2500-3000 mm/tahun, klasifikasi Lereng >40%, rata-rata ke dalaman muka air tanah:30 cm dsn ketinggian tanah 500-1000 meter di atas muka air laut. Komoditas hortikultura yang dominan berkembang di Kecamatan Kaliorangadalah pisang, dimana harga harga pisang di tingkat petani sampai dengan ke tingkat pengecer seperti pada Tabel 1. Perbaikan teknologi budidaya pisang kepok Potensi usahatani komoditas pisang di Kalimantan Timur memberikan prospek yang baik untuk di kembangkan karena setiap tahun menunjukkan adanya peningkatan produksi, produktivitas maupun perluasan areal tanam salah satunya adalah Kecamatan Kaliorang yang merupakan sentra produksi pisang di Kutai Timur.
Kemajuan ini juga didukung oleh introduksi komponen teknologi yang spesifik lokasi. Adapun perbaikan teknologi budidaya usahatani pisang kepok yang di kembangkan di Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, diantaranya : Waktu tanam /Penanaman Dilakukan penanaman 2 tahap (setahun 2 kali) dengan selisih penanaman 6 bulan, hal ini agar diperoleh produksi dan kualitas buah yang baik. Sedangkan jarak tanam yang digunakan adalah 3 m x 3 m. Pemupukan Dilakukan pemberian pupuk kandang pada lubang tanam 2 minggu sebelum tanam dengan dosis 10 kg/lubang. Sedangkan pupuk anorganik yang diberikan adalah 350 kg urea + 150 kg SP-36, dan 150 kg KCl per ha/tahun atau 0,233 kg Urea, 0,1 kg SP-36 dan 0,1 kg KCl per tanaman. Untuk tanaman yang baru ditanam diberi 3 kali yaitu ¼ saat tanam dan sisanya dibagi dua umur 3 bulan dan umur 6 bulan. Pemberian agensia hayati Dilakukan pemberian Trichoderma sp dan Gliocladium sp, yaitu 250 g agensia hayati (gliko kompos) dicampur dengan 25 kg pupuk kandang mentah. Menurut Sutedjo (1987), untuk memperbaiki struktur fisik dan kimia tanah
RIZAL et al. – Teknologi budidaya pisang kepok
diberikan pupuk kandang seperti pupuk kandang ayam. Pemangkasan Dilakukan pemangkasan untuk mencegah penularan penyakit dan daun-daun yang tua menutupi anakan dan melindungi buah dari goresan daun, selanjutnya bekas pemangkasan di bakar. Penyiangan Dilakukan pada saat tanaman berumur 1 sampai 5 bulan terutama 3 bulan pertama dilakukan secara intensif. Setelah tanaman berumur 5 bulan pengendalian dapat dikurangi karena kanopi tanaman dapat menekan pertumbuhan gulma.
Tabel 1. Harga pisang di Kecamatan Kaliorang, Berau Jenis pisang Ambon Kepok Susu Mauli
Harga di tingkat petani (Rp) 2.500-3.000 2.500-3.000 2.500-3.000 1.500
Perawatan tandan Dilakukan pembuangan pada pisang yang tidak sempurna yakni pada 1-2 sisir terakhir, pemotongan bunga jantan dan pembrongsongan (Tabel .2) pada tandan buah pisang menggunakan kantong plastik warna biru ukuran 1 m x 45 cm. Menurut Napitupulu dan Sortha Simatupang (2009) terhadap kinerja teknologi pemberongsongan menunjukan bahwa bintik coklat hitam pada permukaan kulit buah pisang barangan diperoleh sebesar 2,20-2,25% atau kemulusan kulit buah mencapai 97,8 %. Pengendalian OPT Dilakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman pisang dengan penggunaan bibit bebas penyakit, pergiliran tanam, sanitasi lahan, pembrongsongan buah serta eradikasi dengan membasmi sumber bibit penyakit. Panen dan pasca panen Dilakukan panen pada buah pisang yang tidak terlalu tua (derajat ketuaan 75-85%), dengan 2 cara yaitu dengan menghitung jumlah hari dari bunga mekar sampai siap dipanen atau dengan melihat bentuk buah. Sedangkan pascapanen dilakukan dengan pemotongan sisir pisang dari tandannya, seleksi buah dan penyemprotan fungisida Al2(SO4)3 (120 ml/15 kg pisang). Analisis usahatani pisang kepok Hasil analisis usaha tani budidaya pisang kepok di Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur menunjukkan nilai R/C ratio 2,03. Benefit cost ratio (B/C R) merupakan suatu analisa pemilihan proyek yang biasa di lakukan karena mudah, yaitu perbandingan antara benefit dengan cost. Apabila nilainya R/C ratio < 1 maka proyek itu tidak ekonomis, kalau > 1 berarti proyek itu feasible, dan kalau = 1 dikatakan proyek itu marginal (tidak rugi dan tidak untung). Adapun analisa usaha tani budidaya pisang kepok untuk luasan penanaman 1 ha di Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada Tabel 3.
Harga di tingkat pengumpul (Rp) 5.000-6.000 5.000-6.000 5.000-6.000 2.000
Harga di tingkat pengecer (Rp) 8.000 -10.000 8.000 -10.000 8.000-10.000 3.000
Tabel 2. Hasil pengamatan pisang kepok pada teknologi pembrongsongan
Uraian
Penjarangan anakan Dilakukan dengan memelihara 1 tanaman induk (umur 9 bulan), 1 anakan (umur 7 bulan) dan 1 anakan muda (umur 3 bulan) dilakukan secara rutin setiap 6-8 minggu.
1681
Buah tanpa dibrongsong Buah dibrongsong
Jumlah sisir per tandan
Jumlah buah per sisir
6,8
14-18
Bintik hitam pada permukaan kulit buah (%) 100
6,8
14-18
2,25
Tabel 3. Analisis usahatani budidaya pisang kepok di Desa Kaliorang, Kec. Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur Uraian Bibit Pupuk : Urea (50 kg) SP-36 (50 kg) KCL (25 kg) Pupuk Kandang (10 kg) Kapur (sak 50 kg) Herbisida (Liter) : Basmilang Round Up Jumlah (1+2+3) Tenaga Kerja (HOK) Pengolahan lahan Tanam (/pohon) Penyiangan Panen dan Pasca Panen Pengangkutan (/sisir) Jumlah (4) Total Biaya (Rp/ha) Penerimaan Pendapatan terhadap biaya total R/C Ratio
800
Harga (Rp) 3.500
Jumlah (Rp) 2.800.000
1 1 1 1 1
70.000 80.000 125.000 40.000 50.000
70.000 80.000 125.000 40.000 50.000
0,89 1
85.000 125.000
75.650 125.000 3.365.650
50.000 50.000 50.000 50.000 150
500.000 1.000.000 100.000 1.500.000 6.000 3.106.000 6.471.650 12.750.000 6.278.350
Satuan
10 20 2 30 40
8.500
1.500
2,03
Tabel 3, menunjukkan bahwa hasil analisa usahatani budidaya pisang kepok di Kecamatan Kaliorang memberikan keuntungan sebesar Rp. 6.278.350,- atau dengan nilai R/C Ratio sebesar 2,03. Kondisi ini menunjukkan bahwa usahatani pisang kepok di lokasi penelitian tersebut layak untuk di kembangkan. Peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi dapat dicapai apabila usahatani pisang kepok yang dibudidayakan oleh petani di lokasi tersebut jika penggunaan sarana
1682
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1678-1682, Oktober 2015
produksi seperti pupuk dan herbisida serta minimalisasi penggunaan tenaga kerja serta dukungan peralatan dan sarana produksi yang memadai. Sementara itu, menurut Yoserizal (2008), usahatani pisang barangan layak diusahakan secara analisis usahatani, dimana nilai rata-rata ROI =1,82,-per petani dan 1,93,-per Ha artinya setiap setiap penanaman modal sebesar Rp.1 akan diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp.1,82-per petani dan 1,93-per Ha sehingga usahatani pisang barangan layak untuk diusahakan (ROI >1). Nilai B/C ratio = 2,82,-per petani dan 1,82,-per Ha artinya dari Rp.1 modal yang dikeluarkan akan mendapat hasil Rp.2,82-per petani dan 1,82-per Ha, hal ini menunjukkan usahatani pisang barangan layak diusahakan (B/C > 1). Melalui perbaikan dan penerapan paket teknologi budidaya usahatani pisang kepok di Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur memiliki peluang yang menguntungkan dan layak untuk di kembangkan karena memberikan keuntungan sebesar Rp. 6.278.350,-atau dengan nilai R/C Ratio sebesar 2,03 dari hasil analisa usahatani.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. 2009. Teknologi pengendalian penyakit layu pisang dan penerapannya dilapangan. Makalah
disampaikan pada pertemuan rehabilitasi kebun pisang dan POKJA penanggulangan penyakit layu pisang Tanjungkarang, 28 Juli 2009. BPS Kabupaten Kutai Timur. 2010. Kutai Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur Tahun 2010, Sangatta. BPS Kalimantan Timur. 2012. Kalimantan Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012, Samarinda. Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Timur. 2010. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Timur Tahun 2010, Sangatta. Djohar HH. 1999. Potential and land suitability for banana estate development. Indonesian Agric Res Dev J 14 (3 & 4): 49-54. Napitupulu S, Simatupang S. 2009. Kajian introduksi teknologi unggulan terhadap capaian adopsi dan kinerja teknologi pisang barangan di Sumatera Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara. Nasir N, Jumjunidang dan Riska. 2005. Deteksi dan pemetaan distribusi Fusarium oxysporum f. sp. cubense pada daerah potensial pengembangan agribisnis pisang di Indonesia. Jurnal Hortikultura. 5 (1): 50-57. Nurhadi, Rais M, dan Harlion. 1994. Serangan bakteri dan cendawan pada tanaman pisang di Provinsi Dati I Lampung. Info Hortikultura 2 (1): 37-40. Ploetz RC. 2006. Fusarium wilt of banana is caused by several pathogens referred to as Fusarium oxysporum Schlect f. sp. cubense Phytopathol 96: 653-656. Sutedjo MM. 1987. Pupuk dan cara pemupukan. Rineke Cipta. Jakarta. Swastika DKS. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7 (1): 90-103. Yoserizal. 2008. Analisis usahatani pisang barangan Studi Kasus: Desa Sumbul Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor7, Oktober 2015 Halaman: 1683-1688
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010727
Pertumbuhan fineroot kakao (Theobroma cacao)pada cekaman kekeringan selama 13 bulan di kawasan agroforestri dengan pohon pelindung utama gamal (Gliricidia sepium) The growth of cocoa (Theobroma cacao) fineroot during 13-month drought stress in agroforestry area shaded by Gliricidia sepium ERMA PRIHASTANTI1,♥, SOEKISMAN TJITROSEMITO2, DIDY SOPANDIE3, IBNUL QOYIM2 1
Jurusan Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro Semarang. Jl. Prof. H. Sudarto, SH Kampus FSM Undip, Tembalang, Semarang50239, Jawa Tengah, Tel/Fax: +62247640923. ♥email:
[email protected] 2 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 19680, Jawa Barat. 3 DepartemenAgronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 19680, Jawa Barat. Manuskrip diterima: 18 Februari 2015. Revisi disetujui: 27 Agustus2015.
Prihastanti E, Tjitrosemito S, Sopandie D, Qoyim I. 2015. Pertumbuhan fineroot kakao (Theobroma cacao)pada cekaman kekeringan selama 13 bulan di kawasan agroforestri dengan pohon pelindung utama gamal (Gliricidia sepium). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1683-1688. Akar merupakan organ pertama yang terpengaruh stres kekurangan air.Akar tanaman harus efisien menyerap dan mentranspor air dari tanah untuk memenuhi kebutuhan transpirasi, tetapi bila kondisi lingkungan air berubah, maka dapat mengganggu keseimbangan air tanaman. Kekurangan air secara tidak langsung berpengaruh pada pertumbuhan fineroot.Pada dasarnya cekaman kekeringan berpengaruhmenurunkan kemampuan fotosintesis tanaman. Hal tersebut berpengaruh juga pada alokasi karbon menjadidi dalam akar yang pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan akar-akar baru. Tujuan penelitian ini mengkaji dampak perubahan kandungan air tanah pada kondisi cekaman dan waktu berbeda terhadap pertumbuhan dan kematianfineroot kakao (Theobroma cacao L). Penelitian ini dilakukan selama 13 bulan pada agroforestri kakao umur 6 tahun dengan pohon pelindung utamanya adalah gamal pada area seluas ± 1 Ha. Cekaman kekeringan dilakukan dengan pembuatan sistem troughfall dessication experiment (TDE). Pengambilan fineroot dengan metode soilcore, Selanjutnya sampel fineroot diamati dan dilakukan pemisahan dibawah mikroskop stereo. Pengamatan dilakukan untuk membedakanantara fineroot mati dan hidup.Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan TDE tidak berpengaruh terhadap fineroot kakao hidup (p=0,3761) dan fineroot mati (p=0,1961). Dinamika fineroot hidup dan mati kakaodipengaruhi oleh waktu (p=0,0001).Fineroot hidup kakaomengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya waktu. Meskipun secara statistik pertumbuhan fineroot hidup di plot cekaman dan kontrol tidak berbeda signifikan, namun bila diamati fineroot hidup kakao di plot cekamanrelatif lebih tinggi, hal itu terjadi pada saat pengamatan bulan ke-7 dan 13. Kata kunci: Cekamankekurangan air, fineroot, Theobroma cacao, troughfall dessicationexperiment
Prihastanti E, Tjitrosemito S, Sopandie D, Qoyim I. 2015. The growth of cocoa (Theobroma cacao) fineroot during 13-month drought stress in agroforestry area shaded by Gliricidia sepium. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1683-1688. Root is the first organ affected by stress caused by lack of water. Plant root must be efficient in absorbing and transporting water from the soil to fulfill the transpiration needs, but the changes of water environment might disturb the water balance of the plants. Lack of water affects the growth of fineroot, indirectly. Basically, the drought effect might the ability of plants to perform photosynthesis and the carbon allocation in the roots that will affect the growth of new roots. The study was aimed to analyze the impact of soil water content changes in various stress condition and time to the growth and death of cocoa (Theobroma cacao L) fineroot. The study was performed for 13 months in 6-year old of cocoa agroforestry using Gliricidia sepium as the main shade in the area of ± 1 ha. The drought stress was performed by building trough fall desiccation experiment (TDE) system. The fineroot was taken using soil core method and then observed and separated under stereo microscope. The observation was performed to differentiate dead and live fineroot. The statistical analysis shows that TDE treatment had no effect on dead fineroot (p=0.3761) and live fineroot (p=0.1961). The dynamics of dead and live fineroot was influenced by time (p=0.0001). The fineroot increases during the time. Although, statistically, the growth of live fineroot under stress plot and control are similar, the live cocoa fineroot under the stress plot was higher as observed in the 7th and 13th month. Keywords: lack ofwater stress, fine root, Theobroma cacao, troughfall desiccation experiment
PENDAHULUAN Ketika air sebagai sumber untuk kegiatan agrikultur menjadi terbatas, pemahaman sifat genetik dan mekanisme
biokomia yang mengkontrol toleransi kekeringan merupakan jawaban utama dalam biologi tanaman (Sharp et al. 2004), karena dapat membantu menghindari kerugian pada skala yang lebih besar (Rao 2005). Akar tanaman
1684
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1683-1688, Oktober 2015
harus efisien menyerap dan mentranspor air dari tanah untuk memenuhi kebutuhan transpirasi, tetapi kondisi lingkungan kekurangan air dapat mengganggu kesetimbangan air tanaman (Grossnickle 2000). Kekurangan air (umumnya dikenal sebagai kekeringan) dapat didefinisikan sebagai tidak adanya kelembaban yang memadai untuk pertumbuhan normal tanaman dan menyelesaikan siklus hidup (Zhu 2002). Peristiwa kekeringan banyak terjadi di daerah tadah hujan, karena jarangnya hujan dan kurangnya irigasi (Wang et al. 2005). Pohon kakao mempunyai lima organ yaitu daun, batang, akar lateral, akar utama dan buah kakao. Akar lateral dibagi lagi menjadi akar lateral halus (fine root) yang mempunyai diameter < 2 mm, akar ini berfungsi menyerap air, dan akar lateral besar (coarse root). Akar fineroot dilihat dengan mengukur biomasanya. Akar ini mempunyai distribusi vertikal di dalam tanah (Zuidema et al. 2005). Pertumbuhan akar dan perluasan sistem perakaran ditujukan untuk memperluas daerah penyerapan air. Menurut Bolte and Villanueva (2006) kapasitas pohon dalam menyerap air dan nutrien tergantung beberapa faktor seperti dinamika fineroot (laju kematian dan pertumbuhan fineroot) yang bervariasi sepanjang waktu. Dinamika fineroot menyumbang proposi yang signifikan pada siklus nutrien dalam sistem agroforestri dimana pada sistem tersebut terjadi kompetisi dalam pemenuhan air dan nutrien. Di Indonesia penelitian pertumbuhan akar masih sangat sedikit dilakukan. Secara umum pengamatan pertumbuhan akar pada pohon dapat dilakukan dengan metode tabung ingrowth dan soil core yang berurutan (Jimenez et al. 2009). Informasi ini menjadi penting terutama sebagai pembanding dalam mengamati ketahanan tanaman kakao pada berbagai kondisi budidaya karena setiap fase pertumbuhan tanaman sangat berbeda dalam merespons cekaman, disamping itu faktor penting lainnya adalah tipe komunitas (tanaman yang dibudidayakan secara tunggal/individu maupun bersama jenis lain) (Sheng-He et al. 2005). Tujuan penelitian ini mengkaji dampak perubahan kandungan air tanah pada kondisi cekaman dan waktu berbeda terhadap pertumbuhan dan kematian fineroot kakao (Theobroma cacao L). Penelitian ini dilakukan selama 13 bulan pada agroforestri kakao umur 6 tahun dengan pohon pelindung utamanya adalah gamal
dimulaibulan Juni 2006 sampai dengan Juni 2008 (Gambar1).
BAHAN DAN METODE
Pengukuranfineroot hidup dan mati akar kakao Untuk menentukan fineroot hidup dan mati digunakan metode soil core. Metode ini digunakan untuk mengamati vitalitas fineroot. Alat yang digunakan berupa tabung silinder baja dengan diameter 3,5 cm dan panjang 40 cm. Dengan bantuan pemukul dari karet tabung silinder dimasukkan sedalam 20 cm, kemudian diangkat. Tanah yang berada dalam tabung dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam kantung plastik dan selanjutnya dibawa ke laboratorium menggunakan cooler box pada suhu -20 oC untuk dilakukan pengamatan.
Area kajian Penelitian dilakukan di perkebunan kakao Marena Desa O’o, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah yang merupakan daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah Tempat ini berada padaketinggian 585 m di atas permukaan laut, dengan koordinat 1.5524o Lintang Utara dan 120.0206o Bujur Timur. Pelaksanaan penelitian
Cara kerja Pembuatan sistem agroforestri kakao Menurut pemilik kebun, pembuatan agroforestri kakao dimulai pada bulan Desember 2000. Sebelumnya area ini digunakan untuk lahan penanaman padi dan jagung. Tanaman kakao yang ditanamberasal dari bibit kakao yang berasal dari Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pohon pelindung yang ditanam adalah G. sepium dan kelapa dimana keduanya ditanam satu tahun lebih dahulu sebelum penanaman kakao. Pada tahun 2006, jumlah pohon kakao dalam plot penelitian adalah 1030 ± 61 pohon/ha, pohon G. sepium 325 ± 59 pohon/ha serta kelapa 23 ± 25 pohon/ha, dengan tinggi pohon kakao 4,5 ±1,1 m, pohon G. sepium 9,5 ± 2,2m dan kelapa 11,2 ± 2,5 m. Penentuan dan pembuatanplot penelitian Kurang lebih satu ha area kebun kakao dengan tanaman pelindung G. sepium pada kemiringan tanah 8-12o, dibagi menjadi enam plot, sehingga masing-masing plot berukuran 35 m x 40 m. Selanjutnya secara acak ditentukan tiga plot sebagai kontrol (plot non roofing), dan tiga plot ditetapkan sebagai plot roofing. Pengamatan selama periode roofing dilakukan setelah 5-7 bulan dan 13 bulan roofing. Periode 5-7 bulan roofing diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan ringan, sedangkan periode setelah 13 bulan diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan yang lebih berat. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan perlakuan cekaman kekeringan (roofing) dan waktu. Pengukuran kandungan air tanah Pengukuran kandungan air tanah di sekitar pohon dilakukan dengan menggunakan tensiometer (Tensio 100 UGT WIKAI). Pengukuran kandungan air tanah dilakukan antara jam 12.00-14.00. Setiap plot dipilih 6 pohon kakao dan 3 pohon G. Sepium, dan masing-masing pohon dilakukan pengukuran sebanyak empat kali yaitu di sebelah utara, selatan, barat dan timur dari pohon tersebut. Pengamatan perubahan kandungan air tanah di sekitar pohon kakao dan G. sepium dilakukan pada bulan ke-5 dan 13 ( selama cekaman kekeringan).
PRIHASTANTIet al. –Kavitasi, struktur pembuluh akar kakao dan kandungan air tanah
1685
Gambar 1.Lokasi penelitian di Dusun Marena, Desa O’o Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala, SulawesiTengah
Di laboratorium dilakukan pencucian sampel tanah pada air mengalir. Akar yang berukuran besar (diameter > 2 mm) dibuang. Untuk menghindari hilangnya akar digunakan ayakan berukuran 0,25 mm X 0,25 mm. Selanjutnya sampel fineroot diamati dan dilakukan pemisahan di bawah mikroskop stereo (Zeiss KL 1500 LCD (W-P1 10XL23). Pengamatan dilakukan untuk membedakan antara fineroot kakao dan G. sepium serta fineroot mati dan hidup (Gambar 21 c-i). Perbedaan antara fineroot kakao dan G. sepium didasarkan pada warna dan tekstur. Fineroot kakao berwarna kecoklatan dengan tekstur agak keras sedangkan fineroot G. sepium berwarna keputihan sampai kekuningan dengan tekstur lembut. Untuk membedakan akar mati dan hidup digunakan mikropinset dimana akar-akar yang sudah mati akan retak atau hancur bila ditekan dengan alat tersebut. Selanjutnya fineroot yang diperoleh dikumpulkan pada cawan petri yang diberi alas kertas filter Whatman. Akar yang terkumpul dikeringkan pada suhu 60oC dengan oven sampai diperoleh bobot yang konstan. Sampel akar yang sudah keringditimbang dengan timbangan analitik (dengan ketepatan 0,0001 g). Pengamatan fineroot kakao dan G.
sepium hidup dan mati dilakukan empat kali yaitu pada waktu sebelum periode roofing (Februari 2007) dan selama periode roofing (Juli 2007, September 2007 dan Maret 2008). Pengukuran cuaca Temperatur dan kelembaban di bawah kanopi pohon kakao diukur dengan menggunakan Hobo yang diletakkan pada tiang kayu pada ketinggian 80 cm dan 200 cm.Untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara serta curah hujan harian di lokasi penelitian dibangun sebuah stasiun cuaca yang terletak 20 m di samping kanan plot penelitian dengan tinggi 5 m. Temperatur dan kelembaban udara relatif diukur menggunakan CS 215, Campbell Scientific Inc., Logan, UT USA, sementara curah hujandiukur dengan menggunakan ARG 100, Campbell. Data terekam pada interval waktu lima detik disimpan dalam data logger CR800 (Campbell) setiap 30 menit sekali. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SAS (Shapiro-Wilk Statistic).
1686
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1683-1688, Oktober 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN 500 450 400 Curah Hujan (mm)
Secara geografis lokasi penelitianberada pada ketinggian 585 m di atas permukaan laut, jumlah curah hujan 2844 mm per tahun, kelembaban udara rata-rata berkisar 79-84%, suhu udara di atas kanopi pohon rata-rata 24,4oC sedangkan di bawah kanopi pohon suhu udara lebih rendah yaitu 23,4oC. Curah hujan yang terjadi dari bulan Februari 2007 sampai Mei 2008 menunjukkan penyebaran curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun. Curah hujan yang paling rendah terjadi pada bulan Januari 2008 yaitu 44,18 mm (Gambar 2).
350 300 250 200 150 100 50 0 F 2007
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J 2008
F
M
A
M
Bulan
Analisis kandungan air tanah Perubahan kandungan air tanah di sekitar pohon kakao dan G. sepium selama cekaman kekeringan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 2.Data curah hujan bulanan mulai Februari 2007 (F 07) sampai dengan Mei 2008 di plot penelitian Marena, Sulawesi Tengah.
Gambar 3.Data curah hujan bulanan mulai Februari 2007 (F 07) sampai dengan Mei 2008 di plot penelitian Marena, Sulawesi Tengah (M.Köhler 2008, data tidak dipublikasikan)
PRIHASTANTIet al. –Kavitasi, struktur pembuluh akar kakao dan kandungan air tanah
1687
Tabel 1.Fineroot hidup dan mati pada akar kakao (g/m3) Periode roofing Juli 2007 (5 bulan) September 2007 (7 bulan) Maret 2008 (13 bulan) Non Non Non Roofing Non roofing Roofing Roofing Roofing roofing roofing roofing Hidup 94,52 138,31 102,46 129,53 161,82 118,72 1089,42 993,11 ±78,95c ±82,60c ±72,25c ±97,59c ±173,96b ±75,86b ±298,04 a ±555,42 a Mati 12,36 10,77 36,54 24,58 9,88 3,18 6,47 6,47 ±4,34b ±7,75b ±15,45a ±20,62a ±14,29bc ±4,96bc ±13,95bc ±13,95bc Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05) Finerootpohon kakao
Sebelum roofing Februari 2007
Pengukuran kandungan air tanah pada soil pit menunjukkan perbedaan kandungan air tanah antara plot roofing dan kontrol baik pada kedalaman tanah 10, 40, 75 dan 150 cm. Dari data terlihat perbedaan kandungan air tanah mulai berbeda nyata mulai bulan Juli 2007 hingga Maret 2008. Satu bulan setelah pembukaan atap terlihat kandungan air tanah tanah pada plot roofing dan kontrol relatif sama (M.Köhler 2008, data tidak dipublikasikan) Vitalitas akar fineroot Fineroot hidup Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan TDE tidak berpengaruh terhadap vitalitas akar fineroot kakao hidup (p=0.3761) namun dipengaruhi oleh bulan pengambilan sampel (pkakao=0.0001) (Tabel 14). Pada akar kakao pertumbuhan akar fineroot hidup paling tinggi setelah penutupan atap selama 13 bulan (Maret 2008). Pertumbuhan biomasa fineroot hidup paling tinggi diperoleh setelah penutupan atap selama 12 bulan (Maret 2008) sedangkan kematian paling tinggi fineroot kakao terjadi pada bulan Juli 2007. Pengamatan biomassa fineroot pada kedalaman tanah 20 cm, menunjukkan bahwa fineroot hidup kakao terjadi peningkatan sejalan dengan semakin lamanya waktu penelitian. Fineroot mati Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan TDE tidak berpengaruhterhadapakar fineroot mati pada akar kakao (p=0.1961) namun dipengaruhi oleh bulan pengambilan sampel (pkakao=0.0001). Kematianakar fineroot paling tinggi terjadi setelah penutupan atap selama 5 bulan (Juli 2007), pada akar fineroot kakao maupun G. sepium (Tabel 2) dan menurun setelah 7 dan 13 bulan.Hasil pengamatan pada fineroot mati kakao menunjukkan pada bulan ke-5 menunjukkan kematian yang tertinggi. Namun pengamatan bulan ke-7 dan 13 menunjukkan penurunan kematian fineroot kakao (Tabel 1). Pembahasan Fineroot yang hidup berperan dalam penyerapan air dan hara dari dalam tanah. Menurut Zuidema et al. (2005) pohon kakao mempunyai akar pokok dan akar lateral, dimana akar lateral paling banyak (lebih dari 80%) terletak dilapisan tanah paling atas (0-20 cm). Pengukuran kandungan air tanah pada lapisan tanah 10 cm menunjukkan nilai terendah dibanding lapisan tanah pada kedalaman 40, 75 dan 150 cm. Kondisi tanah yang
cenderung lebih kering akan memacu pertumbuhan akar fineroot lebih tinggi. Peningkatan ini diperlukan diperlukan pohon kakao untuk perluasan penyerapan air dan nutrien. Cekaman kekeringan selama 13 bulan belum menjadi pemicu kematian fineroot kakao, hal itu terlihat dengan menurunnya kematian fineroot kakao. Pada keadaan cekaman kekeringan berat biasanya terjadi kematian akar yang tinggi. Menurut Guo et al. (2004) energi tersimpan seperti pati tersedia digunakan untuk metabolisme pada akar dan perbaikan pertumbuhan daun dengan cepat. Ditambahkan juga bahwa kematian akar sering terjadi jika energi tersimpan dan kapasitas fotosintesis rendah. Leuschner et al. (2006) menyatakan biomassa fineroot sangat berkorelasi dengan karakteristik tegakan terutama penutupan tajuk, diameter pohon dan luas bidang dasar. Selain faktor tersebut faktor kualitas tanah (seperti bobot isi, kadar air dan kesuburan) dan curah hujan juga berpengaruh terhadap dinamika pertumbuhan akar. Menurunnya kematian fineroot kakao selama periode cekaman kekeringan juga dimungkinkan karena peranan pohon G. sepium. Pada sistem agroforestri kakao, pohon pelindung seperti G. sepium dapat mengurangi sinar matahari yang masuk ke pohon kakao, sehingga kondisi di bawah kanopi pohon kakao menjadi lebih lembab dan temperatur udara juga lebih rendah. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap pertumbuhan fineroot kakao yang sebagian besar terletak di permukaan tanah lapisan atas.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih atas pemberian dana penelitian ini disampaikan kepada Program BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional dan German Research Foundation (DFG-SFB 552) melalui program kerjasama Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako, dan Universitas Gottingen Jerman dalam proyek penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia” (STORMA), serta BMZ scholarship dari pemerintah Jerman.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih atas pemberian dana penelitian ini disampaikan kepada Program BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional dan German Research Foundation (DFG-SFB 552) melalui program kerjasama Institut
1688
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1683-1688, Oktober 2015
Pertanian Bogor, Universitas Tadulako, dan Universitas Gottingen Jerman dalam proyek penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia” (STORMA), serta BMZ scholarship dari pemerintah Jerman.
DAFTAR PUSTAKA Bolte A, Villanueva I. 2006. Interspecific competition impacts on the morphology and distribution of fineroots in European beech (Fagus sylvatica L.) and Norway spruce (Picea abies (L.) KARST.). Eur J For Rest 125: 15-26. Grossnickle SC. 2000. Ecophysiology of northern spruce species: the performance of planted seedlings. NRC Research, Ottawa, Ontario, Canada. Guo DL, Mitchell RJ, Hendricks JJ. 2004. Fine root branch orders respond differentially to carbon source-sink manipulations in a longleaf pine forest. Oecologia 140: 450-457. JimenezEM, Moreno FH, Penuela MC, Pati S and Lloyd J. 2009. Fine root dynamics for forests on contrasting soils in the Colombian Amazon. Biogeosciences 6: 2809-2827.
Leuschner C, Wiens M, Harteveld M, Hertel D, Tjitrosemito S.2006. Patterns of fineroot mass and distribution along a disturbance gradient in tropical montane forest, Central Sulawesi. Pl Soil 283: 163-174. Rao PB. 2005. Effect of shade on seedling growth of five important tree species in Tarai region of Uttaranchal. Bull Nat Inst Ecol 15: 161170. Sharp RE, Poroyko V, Hejlek LG, Spollen WG, Springer GK, Bohnert HJ, Nguyen HT. 2004. Root growth maintenance during water deficits: physiology to functional genomics. J Exp Bot 55 (407): 2343-2351, Sheng-He JS, Zhang QB, Bazzaz FA. 2005.Differential drought responses between saplings and adult trees in four co-occurring species of New England. Trees 19: 442-450. Wang FZ, Wang QB, Kwon SY, Kwak SS, Su WA. 2005. Enhanced drought tolerance of transgenic rice plants expressing a pea manganese superoxide dismutase. J Plant Physiol 162: 465-472. Zhu J.K . 2002. Salt and drought stress signal transduction in plants. Ann Rev Plant Biol 53: 247-273. Zuidema PA, Leffelaar PA, Gerritsma W, Mommer L, Anten NPR. 2005. A physiological production model for cocoa (Theobroma cacao): model presentation, validation and application. Agric Syst 84: 195225.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor7, Oktober 2015 Halaman: 1689-1692
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010728
Persentase kavitasi, rasio struktur pembuluh akar kakao dan kandungan air tanah pada kedalaman tanah yang berbeda Percentages of cavitation, ratio of cocoa roots vessel structures and soil water content at different soil depths ERMA PRIHASTANTI1,♥, SOEKISMAN TJITROSEMITO2, DIDY SOPANDIE3, IBNUL QOYIM2 1
Jurusan Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro Semarang.Jl. Prof. H. Sudarto, SH Kampus FSM Undip, Tembalang, Semarang50239, Jawa Tengah, Tel/Fax: +62247640923. ♥email:
[email protected] 2 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 19680, Jawa Barat. 3 DepartemenAgronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 19680, Jawa Barat. Manuskrip diterima: 18 Februari 2015. Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Prihastanti E, Tjitrosemito S, Sopandie D, Qoyim I. 2015. Perbedaan persentase kavitasi, rasio struktur pembuluh akar kakao dan kandungan air tanah pada kedalaman tanah yang berbeda. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1689-1692. Kavitasi adalah suatu proses dimana fase uap masuk ke dalam kolom air pada xilem yang menyebabkan embolisme. Kapasitas xilem dan gejala embolism diketahui sebagai rintangan utama pada tanaman yang terkena stres air. Perakaran kakao sebagian besar berada di kedalaman tanah kurang dari 40 cm, sehingga mudah sekali terpengaruh hidraulic conductivity (hd) akar saat terjadi perubahan kandungan air tanah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan persentase kavitasi xilem akar kakao, struktur anatomi xilem serta kandungan air tanah pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm pada tanaman kakao umur 6 tahun. Pengukuran hd akar kakao dilakukan dengan metode Sperry tahun 1988 pada akar dengan diameter 3-5 mm. Pengukuran kandungan air tanah dilakukan dengan tensiometer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar kakao pada kedalaman 0-15 cm mempunyai persentase kavitasi lebih tinggi yaitu 35,3% dibanding akar yang berada pada kedalaman 15-30 cm sebesar 10,7%, meskipun struktur jaringan pembuluh menunjukkan rasio dan ukuran yang hampir sama. Dimungkinkan persentase kavitasi akar yang lebih tinggi pada kedalaman 0-15 cm disebabkan kandungan air tanah pada kedalaman tersebut lebih rendah dibanding kedalaman 15-30 cm, oleh karenanya pada sistem budidaya kakao penting dipertimbangkan mengatur kelembaban tanah dan mikroklimat, agar aliran air didalam xilem tetap berlangsung normal. Kata kunci: Hidraulic conductivity, kandungan air tanah, kavitasi, xilem
Prihastanti E, Tjitrosemito S, Sopandie D, Qoyim I. 2015. Percentages of cavitation, ratio of cocoa roots vessel structures and soil water content at different soil depths. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1689-1692. Cavitation is a process when the vapor enters the water column in xylem causing embolism. The xylem capacity and embolism symptoms are known as the main cause of stress in plants caused by water.Cocoa rooting is mostly in the depth less than 40 cm that is easily influenced by root hydraulic conductivity (hd) when the soil water content changes. The aims of the study was to observethe ratio of xylem cavitation percentage of cocoa roots, xylem anatomy structure and the soil water content in the depth of 0-15 cm and 15-30 cm of 6-year old cocoa plants. The measurement of cocoa root hd was done using Sperry method performed in 1988 to the root with diameter 3-5 mm. The soil water content measurement was performed using tensiometer. The result showed that the cocoaroot in the depth of 0-15 cm had higher cavitation percentage, which was 35,3%, compared to that in the depth of 15-30 cm, which was 10,7%. Nevertheless, both of the had similar structure and ratio of vascular tissue. Higher root cavitation percentage in the depth of 0-15 cm is possible due to the lower soil water content compared to that in the depth of 15-30%, hence cocoa cultivation system should consider soil moisture and microclimate, thus the waterin the xylem flow normally. Keywords: Hydraulic conductivity, soil water content, cavitation, xylem
PENDAHULUAN Kavitasi adalah suatu proses dimana fase uap masuk ke dalam kolom air pada xilem dan menyebabkan embolisme. Embolisme adalah gelembung-gelembung gas yang pada mulanya berupa uap air dan kemudian menjadi gelembung udara, kemudianterperangkap dalam seluruh xilem (Oertli 1971; Pickard 1989). Karena tidak punya kemampuan untuk mengirimkan tekanan gas akan membatasi fase uap
aliran volume dari air yang melewati saluran menurunkan kapasitas tanaman untuk mengirimkan air menuju kanopi (Meinzer et al. 2001; Tyree dan Zimmerman 2002). Pembuluh yang mengalami embolisme akan berada pada tekanan uapair 2,3 Kpa (pada tekanan absolut), dimana pembuluh fungsional yang berdekatan mengandung air dibawah tekanan itu. Gelembung gas akan ditangkap pada lubang pit membrane sampai perbedaan tekanan antara pembuluh menjadi cukup besar untuk suatu
1690
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1689-1692, Oktober 2015
gelembung kecil dilepas melalui suatu pori atau lubang menuju pembuluh fungsional dimana memungkin menyebabkan terjadinya kavitasi baru (Choat et al. 2003). Kohesi, yaitu daya tarik menarik antar molekul sejenis. Daya inilah yang ikut berperan dalam pergerakan air dalam lintasan mulai dari tanah, melalui epidermis, korteks, dan endodermis, masuk ke jaringan pembuluh akar, naik melalui unsur xilem, masuk ke daun, dan akhirnya ke stomata untuk kemudian ditranspirasikan ke atmosfer. Struktur khusus lintasan ini (diameter kecil dan dinding tebal yang mencegah rebahnya tabung pembuluh), potensial osmotik yang rendah pada sel batang dan daun, serta kemampuan hidrasi dinding sel terutama di daun membuat sistem ini berfungsi (Cruiziat et al. 2002). Keberadaan embolisme umum terjadi pada kondisi alami, hal ini bisa diketahui dan dihitung dengan berbagai macam, metode eksperiment. Embolisme terjadi saat tekanan air xilem naik melalui kenaikan, transpirasi atau tanah yang kering. Sifat mudah terjadi embolisme dapat sangat berbeda diantara spesies yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa embolisme dapat diperbaiki pada beberapa spesies. Pada proses ini, air ditekan kembali masuk ke dalam saluran yang sudah terisi gas, namun mekanisme dari pengisian saluran yang mengalami embolisme belum banyak diketahui dan masih dalam perdebatan (Holtaa 2005). Struktur dari pembuluh xilem merupakan faktor penting pada penentuan keberadaan terjadinya kavitasi yang diinduksi oleh stres air. Pembuluh xilem dkelilingi oleh membran dengan lubang-lubang kecil (pit membrane) yang menghubungkan daripembuluh satu ke pembuluh lainnya (Dickinson 2000). Pit membrane berfungsi sebagai filter dan sebagai jalan masuknya nutrien, namun ketika pit membrane terisi oleh gelembung udara, maka dapat memungkinkanmasuknya patogen dan partikel yang berasal dari pembuluh xilem yang berdekatan (Crombie et al. 1985). Dalam lingkungan khusus, daya kohesi demikian tinggi, sehingga bila air tertarik oleh osmosis dan terjadi penguapan di titik tertentu di dinding sel pada puncak pohon yang tinggi, maka tarikan tersebut berlanjut di sepanjang jalur ke bawah, melalui batang dan akar sampai ke tanah. Kolom air dalam pipa tegak berukuran besar biasanya mudah merongga. Peronggaan (embolisme) yaitu terputusnya kolom air dan terbentuknya gelembung udara, menghambat aliran air dalam kolom itu, dapat menyebabkan kematian tajuk, cabang bahkan seluruh tanaman (Tyree et al. 1999). Masih sedikitnya informasi mendasar tentang aliran airmendorong peneliti untuk mengkaji peristiwa kavitasi pada tanamankakao dengan melakukan pengukuan hydraulic conductivity. Hydraulic conductivity adalah suatu satuan dari kemampuan medium (dalam fisiologi tanaman dapat berupa membran sel, jaringan, elemen xilem) untuk mengalirkan air. Dapat juga dinyatakan sebagai volume air per unit area medium per unit waktu per unittekanan penuh (kg.m.MPa-1.s-1) (Tyree dan Sperry 1989). Kapasitas xilem dangejala embolism diketahui sebagairintangan utamapada tanaman yang terkena stres air. (Milburn 1993). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan persentase kavitasi xilem akar kakao, struktur anatomi xilem sertakandungan air
tanah pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm pada tanaman kakao umur 6 tahun.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dimulai pada bulan Desember 2006. Tempat penelitian di Desa O’o, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala, yang merupakan daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah, dengan ketinggian 476,149 m diatas permukaan laut, serta koordinat 1,5524oLU dan 120,0206o BT. Bahan penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah tanaman kakaoberumur 6 tahun, merupakan varitas heterogen (persilangan varitas Hybrida dan lokal). Bibit tanaman ini berasal dari Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Sebanyak 36 pohon kakao, dimana setiap pohon diambil 3 buah sistem perakarandengan diameter 3 - 5 mm pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm. Selanjutnya sampel akarkakao dibuat preparat permanen. Pengamatan struktur pembuluh xilem meliputi rasio area, diameter serata diameter lubang pembuluh xilem akar. Pengukuran hydraulic conductivity dan persentase embolisme Pengukuran hydraulic conductivity dan persentase kavitasi akar dilakukan dengan menggunakan metode dan rumus dari Sperry et al. (1988) (Gambar 1).
Gambar 1. Sistem Sperry untuk mengukur hydrulic conductivity akar
PRIHASTANTIet al. –Kavitasi, struktur pembuluh akar kakao dan kandungan air tanah
Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan hydraulic conductivity (HC) adalah:
Tabel 1. Data hasil pengukuran Akar kakao
HC = a kg b m = kg . m . MPa 1 . s 1 c MPa .d s
(Sperry et al. 1988), dimana: a = berat air yang melewati xilem(kg) b = panjang akar (M) c = jarak akar dengan air pada tangki pada tekanan tertentu d = waktu yang diperlukan untuk melewatkan air (detik) Untuk menghitung persentase kavitasi digunakan rumus sebagai berikut:
Persentase kavitasi = 100 (1- Khi/ Khf) dimana, Khi = Hydraulic conductivity awal Khf = Hydraulic conductivity pada flushing maksimum Pengukuran kandungan air tanah di sekitar pohon Pengukuran kandungan air tanah di sekitar pohon dilakukan dengan menggunakan tensiometer (Tensio 100 UGT WIKAI). Pengukuran kandungan air tanah dilakukan antara jam 12.00-14.00. Setiap plot dipilih 6 pohon kakao dan masing-masing pohon dilakukan pengukuran sebanyak empat kali yaitu di sebelah utara, selatan, barat dan timur dari pohon tersebut. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SAS (Shapiro-Wilk Statistic).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa menunjukkan akar kakao pada kedalaman 0-15 cm mempunyai persentase kavitasi lebih tinggi yaitu 35,3% dibanding akar yang berada pada kedalaman 15-30 cm sebesar 10,7%. Akar kakao yang mempunyai lebih 80% perakaran finerootnya terletak di lapisan permukaan tanah (kedalaman < 40 cm). Apabila terjadi stres kekurangan air, sistem perakaran yang pertama kali terkena dampaknya adalah akar dilapisan permukaan atas tanah. Apabila terjadi stres kekurangan air, sistem perakaran yang pertama kali terkena dampaknya adalah akar di lapisan permukaan atas tanah. Kedalaman tanah 0-15 cm mempunyai kandungan air tanah sekitar 19,34 %, lebih rendah dibanding kedalaman 15-30 cm. Kondisi tanah yang lebih kering menyebabkan kenaikan kavitasi yang menyebabkan embolisme juga meningkat. Embolisme terjadi saat tekanan air xilem naik melalui kenaikan transpirasi atau tanah yang kering.
1691
Persentase kavitasi (%) Rasio -rata rasio area xilem dengan keseluruhan area akar (k) Diameter xilem (µ) Panjang pembuluh (µ) Lubang pembuluh (µ) Kandungan air tanah (%)
Kedalaman tanah (cm) 0-15 15-30 35,34 10,76 0,70 0,70 ±1 ± 5-10 ± 0,25 19,34
±1 ± 5-10 ± 0,25 24,89
Cekaman kekeringan dapat meningkatkan embolisme (Sengupta dan Arun 2014), dimana embolisme sendiri merupakan strategi tanaman untuk membatasi penggunaan air selama kekeringan (Sperry dan Ikada 1997). Pada umumnya akar mengalami embolisme karena adanya kekurangan air disekitar perakarannya, dan hal ini dapat berakibat terjadinya gelembung udara pada aliran air didalam xilemnya (Jarbeau et al. 1995). Salah satu sifat komponen kunci resistensi tanaman terhadap kekeringan tanaman adalah tanaman yang xilem akarnya mudah mengalami embolisme (Hacke dan Sperry 2001). Mudah tidaknya terjadi embolisme tergantung pada spesies tanaman, dan sifat ini muncul saat tanaman berada dibawah kondisi stres (Tyree et al. 1999). Hasil pengamatan anatomi akar menunjukkan nilai rasio area xilem dengan keseluruhan area akar (k), diameter, panjang pembuluh, lubang pembuluh xilem hampir sama. Pammenter danvander Willigen (1998) menyatakan bahwa diameter akar tidak selalu menunjukkan diameter xilem. Ukuran xilem lebih ditentukan oleh umur pohon, kemampuan akar dan diameter trakeid. Hal itu menunjukkan bahwa kedalaman tanah sampai 30 cm mempunyai anatomi yang tidak berbeda. Perbedaan nilai kavitasi lebih dipengaruhi kandungan air tanah sesaat. Keberadaan dari munculnya embolisme sebagai akibat tekanan air xilem meningkat karena kenaikan transpirasi atau tanah kering. Prihastanti (2010) menemukan embolisme akar dipengaruhi oleh musim. Musim dengan curah hujan yang lebih rendah menyebabkan penurunannilai hydraulic conductancedan kenaikan persentase embolisme tanaman kakao. Secara umum, tanaman hidup pada kondisi air tanah berkurang menyebabkan perubahan jaingan xilemnya mengalami peningkatan konduktansi hidrolik untuk menyediakan pasokan air yang lebih baik ke daun (Jacobsen et al. 2007; Martínez-Vilalta et al. 2009. Bila embolisme terjadi dalam waktu lama akan terjadi penurunan konduktansi hidrolik, pada gilirannya menyebabkan penutupan stomata, gugurnya daun, akhirnya dapat menyebabkan kematian tanaman (Brodribb 2009; Brodribb dan Cochard 2009).
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih atas pemberian dana penelitian ini disampaikan kepada Program BPPS DIKTI Departemen
1692
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1689-1692, Oktober 2015
Pendidikan Nasional dan German Research Foundation (DFG-SFB 552) melalui program kerjasama Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako, dan Universitas Gottingen Jerman dalam proyek penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia”(STORMA), serta BMZ scholarship dari pemerintah Jerman. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Bernhardt Schulzt, Borris Rewald, dan Gerald Moserdari Universitas Gottingen Jerman yang telah membantu dalam pembuatan metode Sperry, serta Gauk, Suminto dan Zul yang telah membantu dalam pengambilan sampel akar.
DAFTAR PUSTAKA Brodribb TJ, Cochard H.2009. Hydraulic failure defines the recovery and point of death in water-stressed conifers. Plant Physiol 149: 575-584 Brodribb TJ. 2009. Xylem hydraulic physiology: The functional backbone of terrestrial plant productivity. Plant Sci177: 245-251. Choat B, Ball M, Luly J,Holtum J. 2003. Pit membrane porosity and water stress-induced cavitation in four co-existing dry rainforest tree. Species131: 41-48. Crombie DS, Hipkins MF, Milburn JA. 1985. Gas penetration of pit membranes in the xylem of Rhododendron as the cause of acoustically detected sap cavitation. Aust J Plant Physol 12: 445-453 Cruiziat P, Cochard H, Améglio T. 2002. Hydraulic architecture of trees: Main concepts and results. Ann For Sci 59: 723-752 Dickinson WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. Academic Press, San Diego. Hacke UG, Sperry JS. 2001. Functional and ecological xylem anatomy. Presp Pl Ecol Evol Syst 412: 97-115. Holtaa T. 2005. Dynamics of water and solute transport in trees. [Dissertation]. Division at Atmospheric Sciences. Departement of Physical Sciences, Faculty of Sciences, University of Helsinki. Helsinki Finland. Jacobsen AL, Agenbag L, Esler KJ, Pratt RB, Ewers FW, Davis SD. 2007a. Xylem density,biomechanics, and anatomical traits correlate with water stress in seventeen evergreen shrub species of the
Mediterranean-type climate region of South Africa. J Ecol 95: 171183. Jarbeau JA, Ewers FW, Davis SD. 1995. The mechanism of water stress induced xylem dysfunction in two species of chaparral shrubs. Pl Cell Environ 18: 189-196. Meinzer FC, Clearwater MJ, Goldstein G. 2001. Water transport in tree: current perspectives, new insights and some controversies. Environ Exp Bot 45: 239-262. Milburn JA. 1993. Cavitation. A review: past, present and future. In M Borghetti, Grace J, Raschi A (eds). Water Transport in Plants under Climatic Stress. Cambridge University Press, Cambridge. UK. Oertli JJ. 1971. The stability of water under tension in the xylem. Zpflanzenphysiol65: 195-209 Pammenter NW, vander Willigen C. 1998. A mathematical and statistical analysis of the curves illustrating vulnerability of xylem to cavitation. Tree Physiol18: 589. Pickard WF. 1989. How might a tracheary element which is embolized by day be healed by night. J Theor Biol141: 259-280 PrihastantiE. 2010. Embolisme Akar Pohon Kakao (Theobroma cacao L.) Dan Gliricidia sepium Pada Cekaman Kekeringan. Prosiding Seminar Nasional Biologi: Biologi dan Pengembangan Profesi Pendidik Biologi, UNY Yogyakarta, 3 Juli 2010. SenguptaS, ArunLM. 2014. Physiological and genomic basis of mechanical-functional trade-off in plant vasculature. Fron Pl Sci 5: 224: 2 Sengupta S, Majumder AL. 2014. Physiological and genomic basis of mechanical-functional trade-off in plant vasculature. Front Plant Sci 5:224. DOI: 10.3389/fpls.2014.00224 Sperry JS, Ikada T. 1997. Xylem cavitation in roots and stems of Douglass-fir and white fir. Tree Physiol 17: 275-280. Sperry JS, Donnelly JR, Tyree MT. 1988. A Method for measuring hydraulic conductivity and embolism in xylem. J Pl Cell Environ 11: 35-40. Tyree MT, Sperry JS. 1989. Vulnerability of xylem to cavitation and embolism. Ann Rev Plant Physiol Mol Biol 40: 19-36. Tyree MT, Zimmerman MH. 2002. Xylem Structure and the Ascent of Sap. Springer, Berlin. Tyree MT, Salleo S, Nardini A, Lo Gullo MA, Mosca R. 1999. Refilling of embolized vessels in young stems of laurel: Do we need a new paradigm? Plant Physiol 82: 597-599.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1693-1697
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010729
Pasca panen jamur tiram putih (Pleurotus sp.) dengan teknik pengeringan oven Post-harvest of white oyster mushroom (Pleurotus sp.) with oven drying techniques NETTY WIDYASTUTI♥, DONOWATI TJOKROKUSUMO, RENI GIARNI Laboratoia Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (Laptiab), Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Kawasan Puspiptek, Gedung 611, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Tel.: +62-21-7560729 ext 7406 ; Fax.: +62-21-7560694; ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 31 Mei 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Widyastuti N, Tjokrokusumo D, Giarni R. 2015. Pasca panen jamur tiram putih (Pleurotus sp.) dengan teknik pengeringan oven. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1693-1697. Jamur merupakan salah satu jenis sayuran yang memiliki bentuk, warna sangat beragam dan rasa yang lezat jika dimasak. Jamur tiram putih (Pleurotus sp.) merupakan salah satu tumbuhan yang hidupnya sapropit. Jamur tiram ini mudah rusak jika terlalu lama disimpan di udara terbuka, walaupun dalam lemari pendingin. Jamur akan lebih lama jika disimpan dalam keadaan kering. Jamur yang di simpan dalam keadaan kering tahan sampai satu tahun.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik pengeringan jamur tiram putih (Pleurotus sp.) dengan menggunakan oven, meliputi persentase berat kering serta warna jamur setelah pengeringan. Sebelum dikeringkan, telah dilakukan analisa kandungan nutrisi jamur tiram segar meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat. Pengeringan dilakukan dengan suhu 40oC dan 50oC, selama 24 jam ; 48 jam dan 72 jam. Pada suhu 40o C, selama 48 jam menghasilkan jamur kering dengan warna yang paling bagus yakni putih bersih. Teknik pengeringan ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang pengeringan jamur tiram secara sederhana untuk meningkatkan kualitas penyimpanan dan peningkatan nilai ekonomi masyarakat, terutama apabila panen jamur tiram melimpah. Kata kunci: Jamur tiram putih (Pleurotus sp.), oven, penyimpanan, teknik pengeringan
Widyastuti N, Tjokrokusumo D, Giarni R. 2015. Post-harvest of white oyster mushroom (Pleurotus sp.) with oven drying techniques. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1693-1697. Edible mushroom is one type of vegetable that has a shape, color is very diverse and delicious flavor when cooked. White oyster mushroom (Pleurotus sp.) is a plant that lives sapropit. This oyster mushrooms can easily be damaged if too long kept in the open air, even in the refrigerator. Mushroom may take longer if stored in a dry state. The mushrooms were stored in a dry state hold up to one years.Our of this study was to determine the characteristics of drying white oyster mushroom (Pleurotus sp.) Using the oven, cover the dry weight percentage as well as the color of the mushroom after drying. Before being dried, has performed an analysis of fresh oyster mushrooms nutrient content include water content, ash content, protein content, fat and carbohydrates. Drying is done with 40oC and 50oC, for 24 hours; 48 hours and 72 hours. At a temperature of 40 ° C, for 48 hours to produce dried mushrooms with the most flattering color that is white. This drying technique is useful to provide information about the oyster mushrooms in a simple drying to improve storage quality and increase the value of the local economy, especially if the harvest is abundant oyster mushrooms. Keywords: white oyster mushroom (Pleurotus sp.), ovens, storage, drying techniques
PENDAHULUAN Jamur tiram (Pleurotus sp.) merupakan salah satu jenis jamur yang sudah cukup dikenal masyarakat luas. Di masyarakat, jamur merupakan sayuran yang dapat dikonsumsi dan memiliki nilai gizi yang tinggi. Spesies Pleurotus adalah salah satu diantara ribuan jamur yang mempunyai kandungan “mycochemical” yang produktif. Banyak penelitian di berbagai negara di dunia yang menyatakan bahwa jamur tiram mengandung gizi yang bagus, serta mengandung berbagai senyawa bioaktif termasuk terpenoid, steroid, fenol, alkaloid, lektin dan nukleotida, yang telah diisolasi dan diidentifikasi dari tubuh buah, miselium dan hasil ekstraksi jamur, dimana
dapat dibuktikan jamur tiram memiliki efek biologis yang menjanjikan (Lindequist et al. 2005; Krishnamoorthy and Mirunalini 2014). Diperkirakan pada tahun 2015, dengan asumsi kenaikan pasar sekitar 5% per tahun,maka kebutuhan jamur tiram untuk wilayah Indonesia akan naik menjadi 21.900 ton/tahun. Angka permintaan jamur tiram sangat tinggi sehingga peluang untuk membudidayakannya sangat terbuka (Chazali dan Pratiwi 2009). Jamur tiram juga mengandung lovastatin yang berkhasiat menurunkan kolesterol (Piryadi 2013). Konsumsi jamur pangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung selera serta tujuan dari mengkonsumsi jamur tiram yang dimaksud. Ada yang dikonsumsi segar biasanya untuk lauk yang dicampur dengan daging, ikan atau sayuran lain. Ada
1694
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1693-1697, Oktober 2015
yang dikeringkan, biasanya kalau sewaktu-waktu ingin memasak jamur, jamur yang kering disiram air panas ataupun dibuat tepung. Jamur tiram termasuk bahan pangan yang tidak tahan lama disimpan setelah pasca panen, sehingga perlu diantisipasi cara penangannya. Proses pengawetannya dapat dengan berbagai cara yakni dengan cara konvensional sampai cara modern yaitu mulai dari menjemur, sistim oven, sistim pengasapan, sistim vakum, sistem refrigerasi dan dengan zat-zat kimia. Namun dengan cara-cara diatas tentunya memiliki keunggulan dan kerugian masing-masing. Seperti halnya pada pengeringan dengan system penjemuran bermasalah dengan cuaca, dengan system oven harus hati-hati karena apabila jamur tiram segar langsung di oven maka akan cenderung lengket pada loyangnya. Tujuan dari percobaan ini adalah ingin menggabungkan cara konvensional dengan diangin-anginkan digabung dengan cara di oven pada suhu tertentu, supaya menghasilkan jamur kering dengan penampilan yang tetap menarik.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus sp.), berasal dari kebun jamur CV. Asa Agro Corporation, Cianjur, Jawa Barat. Peralatan yang digunakan adalah kain untuk alas nampan, nampan untuk menjemur, dan oven yang dapat diatur suhu untuk pengeringan. Proses pengeringan: pertama dengan cara konvensional, yakni jamur segar diangin-anginkan sampai setengah kering dibawah panas sinar matahari sekitar 3-4 jam. Selanjutnya jamur utuh ataupun disuwir-suwir, diletakkan diatas nampan yang telah dialasi kain. Selanjutnya di oven pada suhu 40oC, dan 50oC, selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan gizi Jamur telah dikonsumsi selama satu abad sebagai makanan atau suplemen makanan karena rasa halus, rasa dan efek terapeutik (Chockchaisawasdee et al. 2010). Secara harfiah, ada kurang dari 25 spesies jamur merang dari lebih dari 2.000 spesies yang ada. Beberapa yang dimakan terutama Agaricus bisporus, Pleurotus spp., Lentinula edodes dibudidayakan untuk tujuan komersial (Barros et al. 2007). Hasil analisis jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dari 100 g jamur segar kadar abu tiram putih (0.82%b/b) relatif tinggi, demikian pula untuk serat kasar tiram putih (3.44% b/b) dan protein (3.15% b/b), sedangkan kadar karbohidrat (0.63% b/b), lemak (0.10% b/b), relatif rendah, kadar asam glutamate yang menyebabkan rasa gurih dan lezat (0,94% b/b). Komposisi dengan kadar seperti tersebut lebih tepat digunakan sebagai nutrisi diet (Widyastuti dan Istini 2004). Hasil analisa jamur tiram oleh Balai Besar Industri Agro/BBIA (2014),
kadar air 91,8%; kadar abu 0,64%; protein 2,32%; lemak 0,34%, karbohidrat 4,90% dan energi 31,90 kal/100 g. Jamur dapat dikonsumsi dalam bentuk segar ataupun dalam bentuk kering, tergantung kebutuhannya dalam mengkonsumsi. Apabila dalam bentuk segar, dapat dimasak secara langsung. Sedangkan apabila penyimpanan dalam bentuk kering, sebelum dimasak disiram dengan air panas, sampai mengembang seperti bentuk aslinya. Penelitian ini, ingin mencoba proses pengeringan jamur tiram dengan kombinasi cara konvensional yakni dianginanginkan dan dijemur dibawah panas matahari selama sekitar 3-4 jam, dilanjutkan dengan dipanaskan dengan oven. Sebelum proses pengeringan jamur tiram, telah dilakukan analisa kandungan proksimat jamur tiram segar, dengan hasil ditunjukkan pada Tabel 1. Dari pengeringan jamur tiram, gabungan teknik konvensional dengan diangin-anginkan dan dijemur, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan oven, hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil pengeringann oven 48 jam x 40oC menunjukkan hasil yang terbaik, dibanding dengan pengeringan yang lain. Pengeringan ini relatif murah dan mudah dikerjakan oleh siapa saja, dan juga dapat dilakukan baik dalam jumlah kecil ataupun besar. Dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, pada pengeringan tepung jamur tiram disebutkan oleh Widyastuti dan Istini (2004) bahwa pada pembuatan tepung dengan cara pertama yakni jamur Tabel 1. Kandungan proksimat g/100 g jamur tiram segar Parameter
Hasil
Metoda Uji/Teknik
Air (%) Abu (%) Protein (Nx6,25) (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Energi (Kal/100 g)
91,8 0,64 2,32 0,34 4,90 31,9
SNI 01-2891-1992, butir 5.1 SNI 01-2891-1992, butir 5.1 SNI 01-2891-1992, butir 5.1 SNI 01-2891-1992, butir 5.1 Pengurangan Perhitungan
Tabel 2. Pengeringan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) Waktu pemanasan
Berat basah (g)
Suwir 48 jam x 40oC 228,00
Berat kering (g)
Persentase (%)
Keterangan
72 jam x 40oC 1950,00 24 jam x 50oC 223,00 24 jam x 50oC 632,00
Coklat keputihan, bersih 39,90 8,3125 Coklat keputihan, bersih 19,00 10,5088 Coklat keputihan, bersih 111,00 5,6923 Coklat 14,00 6,2780 Coklat 18,08 2,9746 (gosong + lengket)
Utuh 48 jam x 40oC 240,00
14,00 5,8833
48 jam x 40oC 501,00
41,60 8,3034
48 jam x 40oC 480,00 48 jam x 40oC 180,80
12,00 5,2630
Coklat keputihan bersih Coklat keputihan bersih
WIDYASTUTI et al. – Pasca panen jamur tiram putih
Gambar 1. Jamur tiram segar, jamur yang selesai dianginkan dengan sinar matahari, dan jamur sebelum dikeringkan dengan oven
Gambar 2. Jamur setengah kering dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 40 oC, dan 50 oC
Gambar 3. Hasil jamur tiram kering utuh dan jamur tiram kering suwir pada pemanasan oven 40 oC, 48 jam.
1695
1696
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1693-1697, Oktober 2015
Gambar 4. Perbandingan hasil pengeringan dengan oven suhu 500C dan 400C, 48 jam
segar diblender dibuat bubur kemudian dioven sela-ma 24, 48 dan 72 jam, pada temperatur 50oC dan 60oC. Hasilnya tidak direkomendasikan karena tepung lengket dan gosong. Sedangkan jamur tiram segar dipotong-potong, dikeringkan dalam oven pada 40oC selama 24 jam dan digiling sampai menjadi tepung memberikan hasil baik, bubuk berwarna putih dan halus. Prakoso et al. (2013), telah merancang alat pengering jamur tiram. Hasil pengeringan dengan alat Load Cell memiliki waktu 7-8 Jam dibandingkan dengan menggunakan sinar matahari langsung dengan waktu 19-20 jam. Sehingga menggunakan alat memakan waktu lebih singkat. Dengan perbedaan hingga 12 jam pada dua metode proses pengeringan, jelas menggunakan alat pengeringan sangat effisien dalam segi waktu. Selain pengeringan jamur tiram, disebutkan pula bahwa pada pengeringan dengan penjemuran dibawah sinar matahari langsung, temperature permukaan jamur tinggi, sehingga lebih mudah air yang terkandung pada produk menguap, disamping itu konsentrasi kandungan uap air di udara rendah. Hal inilah yang menyebabkan perpindahan massa air dari produk ke udara besar. Suarnadwipa dan Hendra (2008) juga telah melakukan percobaan pengeringan jamur merang (Volvariella volvacea), supaya jamur terlihat tetap segar. Alat yang digunakan adalah dehumidifier (alat penurun kelembaban), dimana uap air di udara akan tercerat pada dinding evaporator, kemudian mencair dan ditampung pada talang evaporator dan kemudian disalurkan keluar melalui selang, sehingga kandungan uap air di udara menjadi rendah, dengan kata lain konsentrasi uap air di udara pada ruang container rendah. Pengeringan Masa pakai sebagian besar tubuh buah jamur tiram hanya sekitar 10-14 hari.Dengan demikian, penyimpanan jamur dalam bentuk kering dapat mengurangi kerugian pascapanen dan memperpanjang umur simpan mereka.Untuk memperpanjang umur simpan jamur, suhu pengeringan yang tepat harus diterapkan. Dinyatakan
bahwa suhu terbaik untuk tubuh buah Pleurotus ostreatus pada proses pengeringan adalah sekitar 40ºC. Pada metode dehidrasi lainnya, pengeringan jamur di bawah matahari menghasilkan kualitas produk kurang higienis. Diharapkan metode ilmiah proses pengeringan dan penyimpanan akan membantu dalam memperpanjang umur simpan jamur dalam waktu jangka yang panjang. Selain itu, bahwa dalam rangka untuk mengkomersilkan jamur, penerapan terbaik teknik pasca panen untuk meningkatkan umur simpan dan untuk menjaga kualitas jamur memainkan peran yang penting. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pengeringan jamur tiram dapat memperpanjang umur simpan mereka dan mempertahankan sifat mereka ditambah kualitas mendekati sampel seperti aslinya. Kesimpulannya, metode low heat air blow (LH AB) dianjurkan dalam mengurangi aktivitas air dan meningkatkan kandungan proksimat. Di sisi lain, laboratory oven (LO) baik dalam meningkatkan kandungan serat makanan sementara sun drying (SD) memiliki intensitas warna tertinggi untuk nilai kecerahan dan baik dalam meningkatkan kandungan beta-glukan. (Apati et al. 2010; Kalac 2009; Muyanja et al. 2012). Berbeda dengan hasil penelitian Yuen (2014) menyebutkan bahwa pada pengeringan jamur merang (Volvariella volvacea) dalam proses pengeringan terbaik untuk melestarikan nilai gizi adalah pada suhu 60oC, dimana kandungan protein dan karbohidrat terjaga dengan baik. Kadar air yang berlebihan akan mempengaruhi stabilitas produk makanan karena memicu pertumbuhan mikroba, ketika Volvaceae volvariella disimpan pada suhu 40°C. Disebutkan pula oleh Kamal dan Kumar (2014) bahwa jamur tiram kering dapat disimpan dengan baik selama 12 bulan dengan metode kimia. Setelah panen, 1000 g jamur tiram direndam selama 6-7 jam dalam pengawet (0.6 g kalium meta bisulphide dan asam sitrat 10g/kg jamur segar diencerkan dalam satu liter air normal) dan dijemur dibawah sinar matahari suhu 38-40oC dan kelembaban 7880% selama 3 hari berturut-turut. Warna merupakan parameter kualitas penting jamur kering ditentukan oleh perbandingan dengan warna
WIDYASTUTI et al. – Pasca panen jamur tiram putih
standar. Umumnya produk kering berwarna kecoklatan apabila dikeringkan dengan temperatur tinggi. Warna merupakan parameter kualitas penting jamur kering ditentukan oleh perbandingan dengan warna standar. Umumnya produk kering berwarna kecoklatan apabila dikeringkan dengan temperatur tinggi. Pengeringan jamur dengan laju konstan maksimum (k = 0,064) untuk ukuran batch 0,5 kg pada pengeringan 90oC suhu udara dan kecepatan udara dari 2,13 m / s. Efisiensi yang terbaik untuk ukuran batch 1 kg dengan kecepatan udara 1,7 m / s pada pengeringan suhu udara 50oC. Pengeringan suhu udara 50oC lebih baik karena memberikan produk kering dengan rasio yang lebih tinggi rehidrasi dan fraksi rehidrasi tinggi, penyusutan rendah dan warna yang lebih baik (Kulshreshtha et al. 2009). Budidaya jamur tiram putih (Pleurotus sp.) memiliki prospek ekonomi yang baik hal ini tidak terlepas dari tingginya permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Jamur tiram merupakansalah satu produk komersial dan dapat dikembangkan dengan teknik yang sederhana. Masa pakai sebagian besar tubuh buah jamur tiram hanya sekitar 10-14 hari. Dengan demikian, penyimpanan jamur dalam bentuk kering dapat mengurangi kerugian pascapanen dan memperpanjang umur simpan mereka. Untuk memperpanjang umur simpan jamur, suhu pengeringan yang tepat harus diterapkan. Dinyatakan bahwa suhu terbaik untuk tubuh buah Pleurotus sp. pada proses pengeringan adalah sekitar 40ºC. Hasil pengeringan dengan sinar matahari langsung selama sekitar 3-4 jam, dilanjutkan dengan pemanasan oven 48 jam x 40oC menunjukkan hasil yang terbaik, dibanding dengan pengeringan yang lain. Pengeringan ini relatif murah dan mudah dikerjakan.
1697
DAFTAR PUSTAKA Apati GP, Furlan SA, Laurindo JB. 2010. Drying and rehydration of oyster mushroom. Braz Arch Biol Technol 53: 945-952. Barros, L, Ferreira, M J, Queirós, B, Ferreira, ICFR,, Baptista, P. 2007. Total phenols, ascorbic acid, b-carotene and lycopene in Portuguese wild edible mushrooms and their antioxidant activities. Food Chem 103: 413-419. BBIA. 2014. Hasil Uji Analisa Jamur Tiram Segar. No 3358/ LHU/ Bd/ABICAL.1/IV/2014. 22 April 2014. Chazali S, Pratiwi PS. 2009. Usaha Jamur Tiram Skala Rumah Tangga. Penebar Swadaya, Jakarta. Chockchaisawasdee S, Namjaidee S, Pochana S, Stathopoulos CE. 2010. Development of fermented oyster-mushroom sausage. Asian J Food Agro-Indust 3: 35-43. Kalac P. 2009. Chemical composition and nutritional value of European species of wild growing mushroom. Food Chem 113 (1): 9-16. Kamal SK, Kumar R. 2014. Low cost technology of drying of oyster mushroom(Pleurotus ostreatus). Indian Res J Ext Edu 14 (1): 124126. Krishnamoorthy D, Mirunalini S. 2014. Pleurotus ostreatus: an oyster mushroom with nutritional and medicinal properties J Biochem Tech 5 (2): 718-726. Kulshreshtha M, Singh A, Vipul D. 2009. Effect of drying conditions on mushroom quality. J Eng Sci Technol 4 (1): 90-98. Lindequist U, Niedermeyer THJ, Julich WD. 2005. The pharmacological potentials of mushrooms. Evid Based Compl Alternat Med 2: 285299. Muyanja C, Kyambadde D, Namugumya B. 2012. Effect of pretreatments and drying methods on chemical composition and sensory evaluation of oyster mushroom (Pluerotus oestreatus) powder and soup. J Food Process Preserv. DOI: 1111/j.1745-4549.2102.00794.x Piryadi TU. 2013. Bisnis Jamur Tiram: Investasi Sekali, Untung BerkaliKali. Agromedia Pustaka, Jakarta. Prakoso A, Nurussa’ada, Siwindarto P. 2013. Perancangan Alat Pengering Jamur Tiram Sebagai Alternatif Penjemuran Matahari. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang. Suarnadwipa N, Hendra W. 2008. Pengeringan jamur dengan dehumidifier. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM 2 (1): 30-33. Widyastuti N, Istini S. 2004. Optimasi proses pengeringan tepung jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 2 (1): 1693-1831. Yuen SK, Kalianon K, Atong M. 2014. Effect of different drying temperatures on the nutritional quality of edible wild mushroom, Volvariella volvacea obtained nearby forest areas. Intl J Adv Res 2 (5): 859-864
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1698-1701
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010730
Potensi nilai gizi tumbuhan pangan lokal pulau Lombok sebagai basis penguatan ketahanan pangan nasional Probability of nutritional value of local food as a source for strengthening national food security IMMY SUCI ROHYANI, EVY ARYANTI, SURIPTO Program Studi Biologi, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universiatas Mataram. Jl. Majapahit 62 Mataram 83125, Nusa Tenggara Timur. Tel./Fax. +62-0370- 646506. email :
[email protected] Manuskrip diterima: 12 Desember 2014. Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Rohyani IS, Aryanti E, Suripto. 2015. Potensi nilai gizi tumbuhan pangan lokal pulau Lombok sebagai basis penguatan ketahanan pangan nasional. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1698-1701. Di pulau Lombok terdapat beberapa jenis tumbuhan lokal yang dahulunya sering dimanfaatkan oleh masayarakat sebagai pangan alternatif. Pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan pangan tersebut biasanya berasal dari pengalaman hidup, pengetahuan dari turun temurun dan kearifan lokal masyarakat yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pemanfaatan yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan nilai gizi beberapa jenis tumbuhan pangan lokal yang dikenal dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan alternatif. Penelitian ini merupakan salah satu upaya pelestarian tumbuhan pangan lokal untuk penguatan ketahanan pangan nasional. Penelitian ini menggunakan enam jenis tumbuhan pangan lokal yang dipilih berdasarkan nilai skor dan bobot tertinggi terhadap pengetahuan serta aktifitas pemanfaatan tumbuhan pangan tersebut oleh masyarakat setempat. Metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan gizi pada tumbuhan lokal tersebut diantaranya yaitu pemanasan untuk uji kadar air (AOAC 1970, Renggana 1979), Kjeldhal untuk uji kandungan protein, spectrometri untuk uji karbohidrat, titrasi Yodium (Jacobs) untuk uji vitamin C dan AAS flame untuk uji Ca (kalsium). Hasil yang diproleh bahwa buah juwet/jamblang (Syzygium cumini) memiliki kadar air yang paling tinggi diantara keenam jenis tumbuhan lokal yang diuji, kondisi ini menyebabkan buah juwet/jamblang (S. cumini) memiliki daya simpan yang paling rendah. Kandungan karbohidrat dan vitamin C tertinggi ditemukan pada buah bune/buni (Antidesma burnius), karbohidrat yang tinggi diduga berasal dari kadar glukosa hal ini ditandai dengan rasa yang sangat manis pada buah tersebut. Umbi sabrang (Coleus tuberosa) memiliki kadar protein dan kalsium yang paling tinggi sehingga umbi sabrang (C. tuberosa) sangat baik dikonsumsi sebagai cemilan maupun pengganti nasi. Kata kunci: nilai gizi, pangan lokal, pulau Lombok
Rohyani IS, Aryanti E, Suripto. 2015. Probability of nutritional value of local food as a source for strengthening national food security. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1698-1701. On the island of Lombok, there are several types of local plants that formerly often used by the community as an alternative food. Community awareness of the food usually comes from life experience, knowledge from generation to generation, and local wisdom. These things need attention for the sake of sustainability. The purpose of this study is to determine the content of the nutritional value of some types of local food known and frequently used by the public as an alternative food. This study is one of the local food conservation efforts for strengthening national food security. This study uses six types of local food plants selected based on the score and the highest rate of community knowledge. The level of utilization of local food by the local community is also an object of research. The method used to determine the nutrient content in the local food are heatening proses to test moisture content (AOAC 1970; Renggana 1979). Kjeldhal used to test protein content, spectrometry to test carbohydrates, iodine titration (Jacobs) to test vitamin C and AAS flame to test Ca (calcium). The result is that the fruit of juwet/jamblang (Syzygium cumini) has a highest water content among the six local food species tested. This condition causes the fruit juwet/jamblang (S. cumini) has the lowest water storability. Carbohydrates and vitamin C is of the highest content found in bune/buni fruit (Antidesma burnius). High carbohydrate probably derived from glucose level. It is characterized by a very sweet flavor of the fruit. Sabrang bulbs (Coleus tuberosa) had a higher levels of protein and calcium. It makes sabrang bulbs (C. tuberosa) is best for snack as well as substitute for rice. Keywords: nutritional value, local food, the island of Lombok
PENDAHULUAN Pulau lombok merupakan salah satu wilayah di propinsi NTB. Mayoritas penduduknya dihuni oleh masyarakat suku sasak yang merupakan masyarakat asli daerah ini. Di pulau ini terdapat beberapa jenis tumbuhan lokal yang dahulunya sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan
alternatif. Pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan pangan tersebut biasanya berasal dari pengalaman hidup, pengetahuan dari turun temurun dan kearifan lokal masyarakat yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Hasil inventarisasi terhadap berbagi jenis tumbuhan lokal yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat di pulau
ROHYANI et al. – Pangan lokal di Pulau Lombok
Lombok diperoleh 64 jenis tumbuhan lokal yang biasanya dimanfaatkan sebagai pangan alternatif. Bagian buah merupakan bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai pangan alternatif yaitu sebanyak 27 jenis, biji sebanyak 15 jenis, umbi dan daun sebanyak 10 jenis, sedangkan tumbuhan yang bagian batangnya sering dimanfaatkan sebagai pangan alternatif sebanyak dua jenis (Rohyani et al. 2014). Buah-buhan lokal memiliki bentuk dan cita rasa yang sangat khas sehingga memiliki potensi yang sangat tinggi untuk menggantikan banyaknya buahbuhan impor yang beredar dipasaran saat ini. Bagian biji, daun, umbi dan batang juga memiliki prospek pengembangan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Keberadaan tumbuhan pangan lokal tersebut saat ini sudah mulai jarang ditemukan. Sekitar 60% dari jumlah tersebut sudah tidak dibudidayakan (Rohyani et al. 2014). Kondisi ini disebabkan rendahnya nilai ekonomi tumbuhan tersebut, karena masyarakat sudah jarang mengkonsumsi atau memanfaatkan tumbuhan pangan lokal. Hal ini disebabkan karena rasa yang dianggap sudah asing dan tidak sesuai dengan lidah masyarakat saat ini. Di zaman yang serba instan seperti sekarang tumbuhan lokal dianggap kurang praktis dalam pemanfaatnya. Hal lain yang diduga berpengaruh adalah rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap nilai gizi dari tumbuhan pangan lokal tersebut. Pemanfaatan tumbuhan lokal sebagai pangan alternatif tidak terlepas dari besarnya nilai gizi dari pangan tersebut, sehingga penelitian mengenai kandungan nilai gizi tumbuhan pangan lokal yang paling dikenal dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat pulau Lombok perlu dilakukan. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya meningkatan peran tumbuhan pangan lokal sebagai substitusi bagi pangan utama yang keberadaanya sudah mulai berkurang. Penelitian ini juga diharapkan dapat menguatkan dan membangkitkan khasanan pangan lokal untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium analitik Universitas Mataram. Dipilih enam jenis tumbuhan pangan lokal yang memiliki nilai skor dan bobot tertinggi sebagai perwakilan untuk di uji kandungan nilai gizinya terdiri dari tiga jenis buah-buahan lokal dan tiga jenis umbi-umbian yaitu buah juwet/jamblang (Syzygium cumini), buah kepundung/menteng (Baccaurea racemosa), buah
1699
burne/buni (Antidesma burnius), umbi lomak/kimpul (Xanthosoma sagittifolium), umbi sebek/ganyong (Canna edulis), dan umbi sabrang (Caleus tuberosa). Kandungan gizi tumbuhan lokal dapat disekehui melalui Uji kadar air dengan prosedur pemanasan (AOAC 1970; Renggana 1979), uji protein dengan prosedur Kjeldhal, uji karbohidrat dengan spectrometri, uji vitamin C dengan prosedur titrasi Yodium (Jacobs) dan uji Ca (kalsium) dengan prosedur AAS flame.
HASIL DAN PEMBAHASAN Manusia memerlukan makanan yang bergizi terutama untuk energi, proses pertumbuhan, pergantian sel-sel yang rusak dan untuk menjaga kesehatan agar proses-proses biokimiawi dalam tubuh tetap berjalan sebagaimana mestinya. Makanan yang bergizi merupakan faktor utama penentu kesehatan manusia. Adapun zat gizi yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya supaya dapat tumbuh dengan baik dan sehat, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Berdasarkan kegunaannya zat gizi pada makanan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok zat gizi penghasil energi (karbohidrat dan lemak),kelompok zat gizi pembangun sel (protein) dan kelompok zat gizi pengatur (vitami dan mineral). Pada penelitian tumbuhan pangan lokal ini kandungan zat gizi yang diuji adalah kadar air, protein, karbohidrat, vitamin C dan kandungan mineral seperti kalsium. Hasil analisis kandungan nilai gizi beberapa jenis tumbuhan lokal yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat pulau Lombok sebagai pangan alternatif disajikan pada Tabel 1. Buah Juwet/jamblang (S. cumini) memiliki kadar air yang paling tinggi dari keenam jenis tanaman pangan lokal yang diuji, kemudian diikuti oleh buah kepundung/menteng (Baccaurea racemosa) dan sabrang (C. tuberosa). Umbi sebek/ganyong (C. edulis) memilik kadar air yang paling rendah. Kadar air secara umum diperlukan untuk kelangsungan proses biokimia organisme hidup. Kadar air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dan pereaksi dari beberapa komponen. Bentuk kadar air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi (Purnomo 1995).
Tabel 1. Hasil uji kandungan nilai gizi tumbuhan lokal pangan alternatif pulau Lombok, NTB.
Jenis tanaman pangan lokal Juwet/jamblang (Syzygium cumini) Kepundung/menteng (Baccaurea racemosa) Burne/buni (Antidesma burnius) Lomak/kimpul (Xanthosoma sagittifolium) Sabrang (Caleus tuberosa) Sebek/ganyong (Canna edulis)
Kadar air (g/100 g) 82.52 80.85 62.30 68.12 69.18 65.81
Protein (g/100 g) 0.63 0.97 1.56 1.39 3.60 1.49
Hasil uji parameter Karbohidrat Vitamin C (g/100 g) (mg/100 g) 12.07 6.58 6.49 2.94 34.66 100.6 18.93 2.78 12.68 2.17 5.78 1.38
Ca (kalsium) (mg/100 g) 23.28 53.97 18.19 22.80 63.07 29.65
1700
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON
Menurut Sudarmadji (2003) Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan yang disebabkan oleh proses mikrobilogis, kimiawi, ensimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Pernyataan tersebut diperkuat Suprapti (2008) adanya kandungan air dalam jumlah besar akan memberikan peluang hidup dan berkembang biak segala jenis mikroba, termasuk mikroba penyebab kebusukan. Kadar air dalam bahan makanan berhubungan dengan daya simpan bahan makan. Kadar air yang tinggi pada buah juwet/jamblang (S. cumini) menyebabkan daya simpan buah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan buah kepundung/menteng (Baccaurea racemosa) maupun umbi Sabrang (C. tuberosa). Menurut Suprapti (2008) buah yang memiliki kadar air di atas 80 memiliki daya simpan 7 sampai dengan 15 hari. Hasil uji menunjukan bahwa kandungan protein pada umbi sabrang (C. tuberosa) paling tinggi diikuti oleh buah burne/buni (A. burnius) dan umbi sebek/ganyong (C. edulis). Kandungan protein pada umbi sabrang (C. tuberosa) ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan protein pada umbi-umbi lainnya seperi pada umbi kentang, singkong, gadung, ubi rambat dan uwi yang kandungan proteinnya rata-rata di bawah 2 g/100 g. Namun kandungan nilai gizi protein ini masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan gizi tanaman pangan yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras putih (6,8 g) dan jagung putih (9,2 g) (Poedjiadi 1994). Protein merupakan kelompok makronutrisi berupa senyawa asam amino yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pendorong metabolisme dalam tubuh. Zat ini tidak dapat dihasilkan sendiri oleh manusia kecuali lewat makanan yang mengandung protein. Protein dalam mahluk hidup berperan dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem kendali dalam bentuk hormon, sebagai komponen penyimpanan (dalam biji) dan juga dalam transportasi hara. Protein juga berperan dalam menjaga keseimbangan pH asam dan basa tubuh. Berperan juga sebagai cadangan makanan dan energi dalam tubuh mahluk hidup. Pada tumbuhan terbentuknya protein bermula dari proses anabolisme dan kemudian dirombak pada tumbuhan tersebut melalui proses katabolisme. Adanya protein pada tumbuhan dapat dilihat dari adanya kandungan nitrogen pada tumbuhan. nitrogen merupakan unsur yang dominan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pembentukan protein pada tanaman memerlukan adanya nitrogen dan apabila kekurangan nitrogen dapat diartikan sebagai kekurangan protein. Buah burne/buni (A. burnius) memiliki nilai kandungan karbohidrat yang tinggi, diikuti oleh umbi lomak/kimpul (X. sagittifolium) dan umbi sabrang (C. tuberosa), sedangkan umbi sebek/ganyong (C. edulis),) memiliki kandungan karbohidrat yang paling rendah. Di dalam tumbuhan karbohidrat mempunyai dua fungsi utama, ialah sebagai simpanan energi dan sebagai penguat struktur tumbuhan tersebut. Karbohidrat yang terdapat di dalam makanan pada umumnya hanya tiga jenis, ialah monosakarida, disakarida dan polisakarida. Rasa manis pada buah burne/buni (A. burnius) diduga menyebabkan
1 (7): 1698-1701, Oktober 2015
kandungan karbohidrat pada buah ini sangat tinggi. Karbohidrat pada buah burne/buni (A. burnius) berasal dari karbohidrat jenis Mono dan disakarida terasa manis. Karbohidrat yang terdapat pada umbi lomak/kimpul (X. sagittifolium) dan umbi sabrang (C. tuberosa) diduga berasal dari kelompok karbohidrat polisakarida yang tidak mempunyai rasa (tawar). Di dalam bahan makanan nabati terdapat dua jenis polisakarida yang dapat dicerna yaitu zat tepung (amylum) dan dekstrin. Timbunan zat tepung terdapat dalam biji, akar dan batang. Gula terdapat di dalam daging buah atau di dalam cairan tumbuhan di dalam batang (tebu) (Sediaoetama 2004). Hasil uji nilai kandungan vitamin C pada buah burne/buni (A. burnius) sangat tinggi dibanding dengan lima tanaman pangan yang diuji lainnya, kandungan vitamin C ditemukan tinggi juga pada buah juwet/jamblang (S. cumini) dan buah kepundung/menteng (Baccaurea racemosa). Kandungan vitamin C yang terrendah ada pada umbi sabrang (C. tuberosa). Vitamin C diproduksi oleh tumbuhan dalam jumlah yang besar. Fungsi vitamin C bagi tumbuhan adalah sebagai agen antioksidan yang dapat menetralkan singlet oksigen yang sangat reaktif, berperan dalam pertumbuhan sel, berfungsi seperti hormon, dan ikut berperan dalam proses fotosintesis (Davey 2006). Menurut Smirnoff (1996) vitamin C juga berperan untuk melindungi tumbuhan dari kerusakan oksidatif yang dihasilkan dalam proses metabolisme aerobik, fotosintesis, dan polutan. Vitamin C hanya dapat dibentuk oleh tumbuhan dan terdapat pada sayuran serta buah-buahan dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan karena tumbuhan memiliki enzim mikrosomal L- gulonolakton oksidase, sebagai komponen dalam pembentukan asam askorbat (Padayatty et al. 2003). Tingginya kandungan Vitamin C pada buah burne/buni (A. burnius) diduga terkait dengan tingginya kandungan karbohidrat (glukosa dan galaktosa) yang dapat dimanfaatkan sebagai prekursor untuk pembentukan vitamin C. Hasil uji vitamin C pada buah burne/buni (A. burnius) 100,61 mg/100 g lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan vitamin C yang terdapat pada buah mangga, melon, rasberry, dan limau yaitu ± 20 mg/100 g, lemon ± 40 mg/100 g, sedangkan jeruk dan strawberi, yaitu ± 50 mg/100 g (Combs 2008). Kandungan vitamin C yang tinggi pada buah burne/buni (A. burnius) memiliki potensi sebagai sumber antioksidan dan suplemen kesehatan. Umbi sabrang (C. tuberosa) memiliki kandungan kalsium yang tinggi diikuti oleh buah kepundung/menteng (Baccaurea racemosa) dan umbi sebek/ganyong (C. edulis). Buah burne/buni (A. burnius) memiliki nilai kalsium yang rendah dibanding dengan jenis pangan lokal yang diuji lainnya (Tabel 1). Kandungan kalsium pada umbi sabrang (C. tuberosa) lebih tinggi dibandingkan kandungan kalsium pada lobak (35 g/100 g), Wortel (39 g/100 g), terong (15 g/100 g), tomat (5 g/100 g) dan buah jeruk (33 g/100 g) (Poedjiadi 1994). Kalsium merupakan mineral yang amat penting bagi manusia, terutama untuk meningkatkan metabolisme tubuh, penghubung antar saraf, kerja jantung, dan pergerakan otot. Keberadaan kalsium sangat diperlukan tanaman terutama dalam pembentukan
ROHYANI et al. – Pangan lokal di Pulau Lombok
protein. Tingginya kandungan kalsium pada umbi sabrang (C. tuberosa) diduga turut dipengaruhi oleh tingginya kandungan protein pada umbi sabrang (C. tuberosa). Namun kondisi ini tidak berlaku untuk buah burne/buni (A. burnius) yang juga memiliki kandungan protein yang tinggi namun memiliki kandungan kalsiumn paling rendah diantara lima jenis tanaman lokal lainnya yang diujikan. Kalsium merupakan bagian esensial dari struktur dinding sel tanaman, menyediakan pengangkutan dan retensi unsurunsur lain di dalam tanaman. Kalsium juga diketahui sebagai unsur yang dapat melawan garam alkali dan asam organik pada tanaman.
Kalsium dimanfaaatkan oleh tanaman untuk mengaktifkan pembentukan bulu-bulu akar dan biji serta menguatkan batang. Membantu keberhasilan penyerbukan. Membantu pemecahan sel. Membantu aktivitas beberapa enzim pertumbuhan, serta menetralisir senyawa dan kondisi tanah yang merugikan. Kalsium (ca) merupakan salah satu unsur hara makro sekunder yang memiliki peran cukup penting dalam siklus hidup tanaman. Unsur hara ini menjadi komponen utama penyusun struktur dinding sel dan membran tanaman. Kalsium (ca) dibutuhkan dalam jangka pendek untuk meminimalisir terjadinya infeksi dari organisme penyebab penyakit yang bersinggungan dengan bagian luar tanaman.
1701
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1970. Official Method and Analysis of the Association oh the Official Analytical Chemists. 11th. ed. AOAC, Washington D.C. Combs GF. 2008. The Vitamins, Fundamental Aspects in Nutrition and Health. 2nd ed. Academic Press, San Diego, CA. Davey GCL. 2006. A mood-as-input acccount of perseverative worrying. In: Davey GCL, Wells A (eds). Worry and its Psychological Disorders: Theory Assessment and Treatment. Willey, Chichester England. Padayatty SJ, Katz A, Wang Y, Eck P, Kwon O, Lee JH, Chen S, Corpe C, Dutta A, Dutta SK, Levine M. 2003. Vitamin C as an Antioxidant: Evaluation of its Role in Disease Prevention. Pulmed. Gov. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. UI-Press, Jakarta. Purnomo H. 1995. Aktifitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta. Renggana S. 1979. Manual of Analisis of Fruit and Vegetable Product. Mc Graw Hill, New Delhi. Rohyani IS, Aryanti E, Suripto. 2014. Potensi tumbuhan lokal pulau lombok dalam upaya menunjang ketahanan Pangan. Proceeding Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Sain dan TIK, STKIP Surya, Jakarta. Sediaoetama AD. 2004. Ilmu Gizi. Dian Rakyat, Jakarta. Smirnoff N, Pallanca JE. 1996. The control of ascorbic acid synthesis and turnover in pea seedlings. J Exp Bot 51: 669-674. Sudarmadji S, Harjono B, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Suprapti ML. 2008. Membuat Saos Tomat. Trubus Agrisarana, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1702-1706
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010731
Keripik kangkung rasa paru sebagai produk olahan guna meningkatkan nilai tambah Kale chips with lung flavor as processed products to increase added value SRI LESTARI , YATI ASTUTI, SYAHRIZAL MUTTAKIN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas-Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 29 Mei 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Lestari S, Astuti Y, Muttakin S. 2015. Keripik kangkung rasa paru sebagai produk olahan guna meningkatkan nilai tambah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1702-1706. Salah satu produk hortikultura yang memiliki banyak penggemar adalah kangkung. Dukungan inovasi teknologi pengolahan diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah produk kangkung. Tujuan dari penelitian ini untuk menguji secara organoleptik keripik kangkung rasa paru serta menganalisa kelayakan usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru. Penelitian dilakukan di laboratorium pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten pada bulan Maret-April 2015. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan yaitu komposisi tepung beras 100% (sampel A), komposisi tepung beras 75%:tepung aci singkong 25% (sampel B) dan komposisi tepung beras 50%:tepung aci singkong 50% (sampel C). Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih terhadap sifat organoleptik yang meliputi uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa serta kesimpulan produk yang paling disukai. Analisis data menggunakan metode ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan, untuk parameter warna aroma dan rasa tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Untuk parameter tekstur menunjukkan berbeda nyata antara sampel A dan sampel C yaitu dengan skor kesukaan tertinggi pada sampel A dengan skor 5,1 (agak suka sampai suka). Untuk kesukaan produk secara umum, 53,3% panelis menyukai sampel A; 20% panelis menyukai sampel B serta 26,7% panelis menyukai sampel C. Usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru secara finansial layak untuk dilakukan karena memiliki nilai Gross B/C sebesar 1,77. Kata kunci: Kangkung, keripik, paru
Lestari S, Astuti Y, Muttakin S. 2015. Kale chips with lung flavor as processed products to increase added value. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1702-1706. One of horticultural products has many fans is kale. Support innovative processing technology is required to increase the added value of kale’s products. The purpose of this study was to test the organoleptic of kale chips with lung flavor and analyze the feasibility of processing kale chips with lung flavor. The study was conducted in Postharvest Laboratory Institute for Agricultural Technology (BPTP) Banten in March-April 2015. The research design used was completely randomized design with 3 treatments; 100% rice flour composition (sample A), 75% rice flour composition: cassava flour (tapioca) 25% (sample B) and 50% rice flour composition: cassava flour (tapioca) 50% (sample C). Tests conducted by 30 trained panelists semi against organoleptic properties include hedonic test for color, smell, texture and flavor as well as the conclusion of the most preferred product. Data analysis using ANOVA and if significantly different continued with DMRT. The results showed that in the three treatments, for the smell and taste of color parameters did not show any significant differences. For texture parameters showed significantly different between sample A and sample C with the highest score is sample A with score is 5.1 (kind of like to like). For favorite products in general, 53.3% of panelists liked the sample A; 20% of panelists liked sample B and 26.7% of panelists liked the sample C. Kale chips processing business sense pulmonary financially feasible to do because it has a gross value of B /C is 1.77. Keywords: Kale, chips, lung
PENDAHULUAN Kangkung merupakan jenis sayuran yang memiliki banyak penggemar. Selain memiliki rasa yang enak kangkung juga memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Konsumsi kangkung kemungkinan akan meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap makanan yang bergizi. Kandungan gizi kangkung cukup tinggi, terutama vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, potasium, dan fosfor (Rahman dan Parkplan 2004).
Untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas kangkung, diperlukan adanya teknologi pengolahan dari komoditas ini. Olahan keripik merupakan salah satu produk pangan yang banyak digemari oleh semua kalangan. Keripik adalah makanan ringan (snack food) yang tergolong jenis makanan cracker yaitu makanan yang bersifat kering dan renyah serta kandungan lemaknya tinggi. Renyah adalah keras mudah patah. Sifat renyah pada cracker ini akan hilang jika produk menyerap air. Produk ini banyak disukai karena rasanya enak, renyah dan
LESTARI et al. – Keripik kangkung rasa paru
tahan lama, praktis mudah dibawa dan disimpan (Sulistyowati 2001). Pada tahun 2011 BPTP Banten telah membuat produk keripik kangkung rasa paru dengan bahan campuran tepung beras dan tepung aci singkong. Akan tetapi produk tersebut belum dikaji lebih lanjut. Kandungan gizi dari keripik kangkung yang dihasilkan pada saat itu telah dianalisa di laboratorium. Hasil analisa kandungan gizi keripik kangkung rasa paru dengan bahan dasar kangkung 1 kg, telur ayam 1 kg, tepung beras ¼ kg serta tepung aci singkong ¼ kg dapat dilihat pada Tabel 1. Produk keripik kangkung rasa paru dapat dijadikan alternatif peluang bisnis keluarga. Gambaran analisis usaha dilakukan secara umum menggunakan analisis finansial yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru. Menurut Kasijadi dan Suwono (2001), usaha ini dianggap layak jika nilai Gross B/C lebih dari satu. Tujuan dari penelitian ini untuk menguji secara organoleptik keripik kangkung rasa paru serta menganalisa kelayakan usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Kajian dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten pada bulan Maret s.d. April 2015. Metode Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 1 perlakuan dan 3 taraf yaitu komposisi tepung beras 100% (sampel A), komposisi tepung beras 75%:tepung aci singkong 25% (sampel B) dan komposisi tepung beras 50%:tepung aci singkong 50% (sampel C). Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih terhadap sifat organoleptik yang meliputi uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa serta kesimpulan produk yang paling disukai. Uji hedonik yang dilakukan dengan menggunakan sistem skoring 1-7 (1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=netral/biasa, 5=agak suka, 6=suka, 7=sangat suka)(Soekarto,1986). Untuk analisa kesimpulan produk yang disukai dilakukan dengan menghitung prosentase jumlah panelis yang paling suka terhadap salah satu produk yang diuji. Tabel 1. Kandungan gizi keripik kangkung rasa paru (Astuti 2013) Kandungan gizi
Jumlah
Satuan
Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat Serat kasar Energi Serat pangan
5,97 4,39 21,04 14,57 54,03 2,35 463,76 7,12
% % % % % % Kkal/100 g %
1703
Bahan yang digunakan adalah tepung beras, tepung aci singkong, telur, bawang putih, kemiri sangrai, ketumbar sangrai serta garam. Alat yang digunakan meliputi timbangan digital, pisau, baskom, loyang, serokan, panci kukusan, penggorengan dan kompor. Diagram alir proses pengolahan keripik kangkung rasa paru dijelaskan pada Gambar 1. Analisis data Data yang dikumpulkan dengan menggunakan form uji organoleptik kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik ANOVA (analisys of variance) pada taraf nyata 5%. Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis finansial dilakukan untuk melihat kelayakan usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru. Analisis yang digunakan adalah Gross B/C, dimana usaha dianggap layak jika nilai Gross B/C lebih dari satu. Formulasi dari Gross B/C adalah (Kasijadi dan Suwono 2001): PxQ Gross B/C = ------------Bi dimana: P = harga produksi (Rp/Kg) Q = hasil produksi (kg/ha) Bi = biaya produksi ke i (Rp/ha) Kangkung dicuci kemudian tiriskan
Kangkung dipotong-potong hingga halus
Haluskan bumbu (bawang putih, ketumbar, kemiri, garam)
Kocok telur, masukkan bumbu yang sudah dihaluskan, tambahkan tepung (tepung beras dan tepung aci singkong sesuai perlakuan) serta kangkung yang telah dipotong-potong
Setelah semua bahan tercampur rata masukkan adonan kedalam loyang
Kukus hingga matang
Keluarkan adonan yang sudah matang dari loyang kemudian biarkan hingga dingin
Iris tipis menyerupai bentuk paru (1-1,5 mm)
Goreng hingga berwarna kecoklatan kemudian tiriskan
Kemas dalam plastik kemasan
Gambar 1. Proses pengolahan keripik kangkung rasa paru
1704
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1702-1706, Oktober 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik produk Dari ketiga perlakuan penggunaan jenis tepung, menghasilkan produk keripik kangkung rasa paru yang berbeda pula. Rendemen keripik yang dihasilkan untuk ketiga sampel seperti tertera pada Tabel 2. Kangkung yang digunakan yaitu jenis kangkung darat yang biasa dijual di pasaran dengan cara diikat. Harga kangkung per ikatnya bervariasi yaitu berkisar antara Rp 1000 hingga Rp 2000. Kangkung tersebut selanjutnya dipotong pada bagian akarnya dan disortir. Selain kangkung darat, kangkung air juga dapat digunakan sebagai bahan keripik kangkung. Hanya saja, saat ini kangkung air tidak selalu tersedia di pasaran karena biasanya kangkung air tumbuh liar pada lingkungan rawa. Dari data pada tabel dapat dilihat bahwa rendemen pada masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil uji organoleptik Hasil analisis yang diperoleh dari uji hedonik (kesukaan) terhadap 30 orang panelis meliputi parameter warna, aroma, tekstur, rasa serta kesukaan secara umum seperti tertera pada Tabel 3. Warna Warna merupakan visualisasi suatu produk yang langsung terlihat lebih dahulu dibandingkan dengan variabel lainnya. Warna secara langsung akan mempengaruhi persepsi panelis, menurut Winarno (2002), secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan seringkali menentukan nilai suatu produk. Hasil perhitungan skor uji hedonik warna menunjukkan bahwa, skor tertinggi dari panelis yaitu pada perlakuan 100% tepung beras (A) dengan skor rata-rata sebesar 4,900 (netral/biasa sampai agak suka). Perlakuan ini menunjukkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yaitu perlakuan B dan C dengan skor rata-rata sebesar 4,800 (B) dan 4,267 (C) yang artinya preferensi panelis berkisar antara netral/biasa sampai agak suka untuk parameter warna. Aroma Aroma merupakan salah satu variabel kunci, karena pada umumnya citarasa konsumen terhadap produk makanan sangat ditentukan oleh aroma. Aroma makanan banyak menentukan kelezatan makanan serta citarasa bahan pangan itu sendiri (Wellyalina et al. 2013). Menurut Kartika (1988), dalam industri pangan pengujian terhadap aroma dianggap sangat penting karena dengan cepat dapat menghasilkan penilaian terhadap produk tentang diterima atau ditolaknya produk tersebut. Aroma pada keripik kangkung rasa paru banyak dipengaruhi oleh bumbubumbu yang dipergunakan yaitu bawang putih, ketumbar dan kemiri. Kesukaan panelis terhadap aroma yang dihasilkan pada berbagai macam komposisi tepung menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata karena memang semua perlakuan mempergunakan komposisi bumbu yang sama. Kesukaan panelis tertinggi untuk aroma yaitu pada sampel B (75%
tepung beras: 25% tepung aci singkong) yaitu dengan skor rata-rata sebesar 5,033 (agak suka sampai suka) sedangkan untuk perlakuan A dan C kesukaan panelis berkisar antara netral/biasa sampai agak suka. Tekstur Preferensi panelis terhadap tekstur menghasilkan tanggapan yang berbeda nyata antara perlakuan A dan C sedangkan antara perlakuan A dan B menunjukkan tidak berbeda nyata dan antara perlakuan B dan C juga menunjukkan tidak berbeda nyata. Skor tertinggi untuk parameter tekstur yaitu pada perlakuan A dengan skor ratarata 5,100 (agak suka sampai suka) sedangkan kesukaan panelis terhadap sampel B dan C berkisar antara netral/biasa sampai agak suka dengan skor rata-rata 4,367 (sampel B) dan 4,267 (sampel C). Menurut rata-rata panelis, sampel C yaitu dengan komposisi tepung beras dan tepung aci singkong 50%:50% memiliki tekstur yang agak keras bila dibandingkan dengan sampel A dan B. Ini berarti jumlah pati yang besar menyebabkan tekstur menjadi lebih padat dan cenderung keras (Fitri Electrika Dewi Surawan 2007). Tekstur akan berubah dengan berubahnya kandungan air (Potter 1973). Berbeda halnya dengan proses pengolahan keripik sayur (rempeyek) yang menggunakan bahan pelapis berupa adonan encer. Semakin banyak jumlah tepung beras dan semakin sedikit jumlah tepung aci singkong yang ditambahkan maka nilai organoleptik kerenyahan semakin menurun. Hal ini dikarenakan kandungan amilosa pada tepung beras lebih rendah dibandingkan dengan kandungan amilosa pada tepung aci singkong (Paramida NR et al 2013). Amilosa pada tepung beras sebesar 18,5 % dan tapioka mengandung amilosa 20,395 % (Rahman 2007). Kandungan amilosa yang semakin tinggi menyebabkan kekentalan produk menjadi semakin rendah (Laga 2006). Dengan demikian semakin banyak jumlah tepung aci singkong pada adonan rempeyek maka adonannya menjadi semakin encer, sehingga menghasilkan rempeyek semakin rapuh ataupun renyah (Rahman 2007). Pada pengolahan keripik kangkung rasa paru ini, adonan mengalami proses pengukusan terlebih dahulu sehingga adonan menjadi matang. Adonan yang telah dikukus ini baru kemudian diiris tipis kemudian dilakukan penggorengan. Dari hasil uji organoleptik panelis lebih menyukai kerenyahan sampel A dibandingkan dengan sampel B dan C. Hal ini dikarenakan sampel B dan C menggunakan tepung aci singkong yang telah mengalami proses gelatinisasi akibat dari proses pengukusan. Pati yang telah tergelatinisasi tersebut mengalami proses penggorengan sehingga menyebabkan kadar air yang ada di dalam adonan menguap keluar dan menghasilkan keripik yang bertekstur agak keras. Berbeda halnya dengan sampel A yang tidak mempergunakan tepung aci singkong, Tepung beras memiliki kandungan protein yang tinggi bila dibandingkan dengan tepung aci singkong, apalagi dengan adanya penambahan telur pada adonan menjadikan tekstur pada sampel A lebih renyah bila dibandingkan dengan sampel B dan C.
LESTARI et al. – Keripik kangkung rasa paru
Rasa Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan penerimaan atau penolakan panelis terhadap bahan pangan (Kaswinarni 2015). Preferensi panelis terhadap rasa dari semua sampel menunjukkan tidak berbeda nyata. Skor tertinggi untuk parameter rasa yaitu pada sampel A yaitu dengan skor rata-rata 4,567 (netral/ biasa sampai agak suka). Untuk sampel yang memiliki skor terendah untu parameter rasa yaitu pada sampel C dengan skor rata-rata 4,767(netral/biasa sampai agak suka). Semakin banyak jumlah tepung beras dan semakin sedikit jumlah tepung aci singkong maka semakin tinggi nilai organolpetik rasa, hal ini diduga karena tepung beras memiliki kandungan protein lebih tinggi dibanding tepung aci singkong, sehingga dapat menyebabkan reaksi Maillard. Reaksi Maillard dapat menimbulkan rasa yang enak (Winarno 2004). Kesukaan Pada formulir uji organoleptik juga diminta pendapat panelis mengenai kesimpulan dari produk yang paling mereka sukai. Dari 30 orang jumlah panelis, 53,3% panelis menyukai sampel A; 20% panelis menyukai sampel B serta 26,7% panelis menyukai sampel C. Analisa kelayakan usaha Analisa kelayakan usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru per 1 kg bahan kangkung dengan asumsi penjualan keripik kangkung rasa paru Rp 7000/ons (1 bungkus) seperti tertera pada Tabel 4. Hasil analisa kelayakan usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru dianggap layak untuk dilakukan karena menghasilkan nilai Gross B/C lebih dari satu. Dari analisa tersebut, untuk bahan kangkung 1 kg (disertai dengan penambahan bahan lain) akan menghasilkan keripik kangkung rasa paru sebanyak 17,4 ons. Biasanya, di pasaran produk keripik dikemas dalam kemasan 1 ons. Dari penjualan, akan dihasilkan nilai sebesar Rp 121.800, sehingga pendapatan yang akan diterima sebesar Rp 52.800 (per 17,4 bungkus keripik kangkung rasa paru). Nilai Gross B/C mencapai 1,77, hal ini menunjukkan bahwa setiap Rp 1 nilai yang dikeluarkan akan menghasilkan Rp 1,77 (keuntungan Rp 0,77 per satu rupiah). Dengan demikian usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru layak untuk dilakukan. Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Pada semua perlakuan, untuk parameter warna, aroma dan rasa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk parameter terstur menunjukkan sampel A berbeda nyata dengan sampel C. Perlakuan A (100% tepung beras) merupakan komposisi tepung yang paling disukai oleh panelis yaitu dengan prosentase sebesar 53,3 %. Produk olahan keripik kangkung rasa paru secara umum dapat menjadi pangan alternatif keluarga karena secara preferensi dapat diterima oleh panelis baik dari segi warna, aroma, tekstur dan juga rasa dengan hasil uji kesukaan berkisar antara netral/biasa sampai suka. Analisis usaha pengolahan keripik kangkung rasa paru menghasilkan Gross B/C sebesar 1,77 yang menandakan bahwa usaha ini layak/menguntungkan.
1705
Tabel 2. Rendemen keripik kangkung yang dihasilkan per 1 kg bahan kangkung Perlakuan (tepung beras %: tepung aci singkong %) 100: 0 (A) 75: 25 (B) 50: 50 (C)
Adonan setelah dikukus (gram) 3.080 3.100 3.120
Adonan setelah digoreng (gram) 1.740 1.740 1.720
Tabel 3. Hasil analisis uji hedonik keripik kangkung rasa paru terhadap 30 orang panelis Perlakuan (tepung beras %: Warna Aroma Tekstur Rasa Kesukaan tepung aci singkong %) 100: 0 (A) 4,900tn 4,933tn 5,100a 5,467tn 53,33% 75: 25 (B) 4,800tn 5,033 tn 4,367ab 5,100 tn 20% 50: 50 (C) 4,267tn 4,600 tn 4,267b 4,767 tn 26,67% Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05; tn=tidak nyata
Tabel 4. Analisa usaha pembuatan keripik kangkung rasa paru (per 1 kg bahan kangkung)
No.
Uraian
Volume
Satuan biaya (Rp)
Pengeluaran a. Kangkung 1 kg 7.000 b. Telur 1 kg 20.000 c. Tepung beras 0,5 kg 12.000 d. Ketumbar 0,5 ons 5.000 e. Kemiri 1 ons 4.000 f. Bawang putih 1 ons 2.800 g. Garam h. Minyak goreng 1 liter 13.000 i. Gas j. Plastik kemasan 18 lembar 500 Total biaya 2. Penerimaan 17,4 ons 7.000 Total penerimaan Pendapatan (Total penerimaan-Total biaya) Gross B/C
Jumlah biaya (Rp)
1.
7.000 20.000 6.000 2.500 4.000 2.800 200 13.000 4.500 9.000 69.000 121.800 121.800 52.800 1,77
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada teman-teman BPTP dan Penyelia Mitra Tani (PMT) PUAP yang bersedia menjadi panelis. Sumber dana penelitian berasal dari dana pengelolaan Laboratorium Pascapanen BPTP Banten (APBN Litbang Kementerian Pertanian).
1706
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1702-1706, Oktober 2015
DAFTAR PUSTAKA Astuti Y. 2013. Kripik kangkung rasa paru. www.banten.litbang.pertanian.go.id [7 Mei 2015]. Kartika B, Hastuti P, Supartono W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM, Yogyakarta. Kasijadi F, Suwono. 2001. Penerapan rakitan teknologi dalam peningkatan daya saing usahatani padi di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 4 (1): 1-12. Kaswinarni F. 2015. Aspek gizi, mokrobiologis, dan organoleptik tempura ikan runcah dengan berbagai konsentrasi bawang putih (Allium sativum). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Universitas Indonesia,Jakarta, 20 Desember 2014. Laga A. 2006. Pengembangan pati termodifikasi dari substrat tapioka dengan optimalisasi pemotongan rantai cabang menggunakan enzim pullunase. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia PATPI. 2-3 Agustus 2006. Paramida NR, Karo-Karo T, Yusraini E. 2013. Studi pembuatan rempeyek bercita rasa daun kayu manis. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian 1 (4): 39-46. Potter NN. 1973. Food Science. 2nd ed. The Avi Publishing Company. West Port.
Rahman M, Parkplan P. 2004. Distribution of arsenic in kangkong (Ipomoea reptans). Science Asia 30: 255-259. Rahman, A. M., 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang pada Produk Kacang Salut. [Skripsi]. Intstitut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Soekarto ST. 1986. Penilaian organoleptik. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Sofiari E. 2009. Karakterisasi kangkung (Ipomea reptans) varietas sutera berdasarkan panduan pengujian individual. Buletin Plasma Nutfah 5 (2): 49-53. Sulistyowati A. 2001. Membuat keripik buah dan sayur. Puspaswara, Jakarta. Surawan FED. 2007. Penggunaan tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka dan tepung maizena terhadap tekstur dan sifat sensoris fish nugget ikan tuna. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 2 (2): 78-84. Wellyalina, Azima F, Aisman. 2013. Pengaruh perbandingan tetelan merah tuna dan tepung maizena terhadap mutu nugget. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 2 (1): 9-16. Winarno FG. 2002. Pangan gizi, teknologi, dan konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno FG. 2004. Kimia pangan dan gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor7, Oktober 2015 Halaman: 1707-1710
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010732
Reduksi kadar oksalat pada talas lokal Banten melalui perendaman dalam air garam Reduction of oxalate levels in Banten local’s taro through immersionin salt water SYAHRIZAL MUTTAKIN, MUHARFIZA, SRI LESTARI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas-Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 29 Mei 2015. Revisi disetujui:13 Agustus 2015.
Muttakin S, Muharfiza, Lestari S. 2015. Reduksi kadar oksalat pada talas lokal Banten melalui perendaman dalam air garam. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1707-1710.Talas lokal Banten lebih dikenal dengan nama Talas Beneng (Xanthosoma undipes K. Koch). Tanaman ini memiliki umbi yang dapat mencapai berat 20 kg dalam umur 2 tahun. Bahan pangan dari jenis umbi ini memiliki potensi sebagai bahan pangan lokal substitusi beras dan tepung terigu. Salah satu kekurangan jenis talas ini adalah tingginya kandungan oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal di tenggorokan setelah dikonsumsi serta bersifat antinutrisi bagi tubuh manusia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh jumlah dan lama perendaman larutan air garam untuk mereduksi kandungan oksalat di talas beneng. Penelitian dilakukan di laboratorium pascapanen BPTP Banten dan Balai Besar Litbang Pascapanen, Bogor pada Agustus-Oktober 2012. Sampel perlakuan terdiri dari talas beneng budidaya dan liar di lakukan perendaman dalam larutan garam 10%, 20% dan 30% dengan lama perendaman masing-masing 2 dan 3 jam. Hasil uji kandungan oksalat memperlihatkan bahwa dari 14 sample pengujian reduksi kadar oksalat, perlakuan talas beneng budidaya dengan perendaman selama 120 menit menggunakan air garam 10% menghasilkan kadar oksalat yang terendah yaitu sebesar 1600 ppm (tereduksi 51,5%). Hasil pengkajian ini dapat menjadi panduan bagi petani untuk meningkatkan mutu produk olahan talas beneng yang rendah oksalat. Kata kunci : talas beneng, oksalat, air garam
Muttakin S, Muharfiza, Lestari S. 2015. Reduction of oxalate levels in Bantenlocal’s taro through immersion in salt water. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1707-1710.Banten’s local taro known as beneng taro (Xanthosoma undipes K. Koch). This plant has fruit which can reach weight of 20 kg within 2 years crop. This commodity prospectives become local food sources for substitute rice and wheat flour. On the other hand, this taro has high oxalate content. It cau cause uncomfortable mouthfeel and as anti-nutrition for human. The objectives of this study was to analysis the effect of portion and soaking time in salt suspension to reduce oxalate in beneng taro. Research was conduct in Assessment Institute for Agricultural Technology,Banten and Indonesia Postharvest Recearch and Development Center, Bogor on August-October 2012. The samples which use in this experiment were cultivated plant and wild type plant. Samples were treated by soaking in 10%, 20% 0r 30% salt suspension for 2 or 3 hours. The results show that beneng taro which treated by soaking in 10% salts suspension for 2 hours have the lowest oxalate content, meaning that this treatment was able to reduce oxalate for 51.5%. This results can adopt as guidance for farmer to increase quality of beneng taro product which has minimum oxalate. Key words: beneng taro, oxalate, salt suspension
PENDAHULUAN Ditinjau dari potensi sumberdaya wilayah, sumberdaya alam Provinsi Banten memiliki potensi ketersediaan pangan yang beragam, baik sebagai sumber karbohidrat maupun protein, vitamin dan mineral, yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah dan biji berminyak. Potensi sumberdaya pangan tersebut belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal sehingga pola konsumsi pangan rumah tangga masih didominasi beras dan tepung terigu serta keanekaragaman konsumsi pangan belum terwujud. Di Kelurahan Juhut, Kabupaten Pandeglang tumbuh tanaman sejenis Talas yang masyarakat sekitar
menyebutnya sebagai talas “Beneng” (Besar dan Koneng atau kuning, bahasa daerah Banten). Tanaman ini memiliki umbi yang dapat mencapai berat 20 kg dalam umur 2 tahun. Pengolahan produknyayang hingga saat ini cenderung konvensional seperti dikukus, digoreng dan tidak dikomersialisasikan. Komoditas ini merupakan spesifik lokasi sehingga mempunyai nilai strategis produk pangan lokal untuk ketahanan pangan. Bahan pangan dari umbi-umbian ini memiliki potensi sebagai bahan pangan lokal substitusi beras, tepung terigu dan aneka olahan lainnya. Lestari dan Sulisawati (2015) melaporkan pemanfaatan tepung talas beneng menjadi mie basah. Sedangkan Anggraini (2012) telah membuat produk kripik talas beneng.
1708
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1707-1710, Oktober 2015
Talas Beneng berpotensi untuk dijadikan aneka produk yang berbasis tepung. Hanya saja, saat ini tepung Talas Beneng yang dihasilkan petani masih mempunyai kualitas yang kurang baik. Diantaranya, warna tidak menarik (kecoklatan), aroma dan rasa yang kurang baik serta masih mengandung oksalat yang tinggi.Menurut Kurdi (2002), talas memiliki Oksalat (C2O42-) yang larut dalam air(asam oksalat) dan tidak larut dalam air (kalsium oksalat). Peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan rasa yang tidak menyenangkan.Asam oksalat dapat ditemukan alam bentuk bebas ataupun dalam bentuk garam. Kalsium oksalat (CaOOC-COOCa) merupakan persenyawaan garam antara ion kalsium dengan ion oksalat. Pada seluruh bagian tanaman talas mengandung senyawa kristal kalsium oksalat mulai dari daun, tangkai daun, umbi sampai pada akar. Diduga senyawa ini pula yang menyebabkan iritasi pada mulut dan tenggorokkan serta mengakibatkan rasa gatal ketika dikunyah. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mereduksi oksalat pada talas. Kurdi (2002), telah melakukan percobaan dengan mereduksi oksalat dengan menggunakan asam klorida (HCl) dengan konsentrasi 0.05; 0.15 dan 0.25% selama 2; 4 dan 6 menit, dimana hasil yang paling optimum dari penelitiannyaadalah perendaman selama dengan 4 menit dengan konsentrasi 0.25% dengan besaran reduksi oksalat hanya sebesar 32%, menurut Kurdi asam klorida merupakan senyawa yang dapat melarutkan kalsium oksalat dalam reaksi metatesis dengan hasil reaksi berupa kalsium klorida dan asam oksalat. Hasil penelitian terdahulu dengan uji organoleptik, menunjukkan talas beneng yang telah direndam dalam asam sitrat dengan konsentrasi 0,15% dengan lama perendaman 40 menit memiliki kadar oksalat yang rendah yaitu sebesar 0,43%. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa asam sitrat dapat mereduksi oksalat pada talas beneng.Selanjutnya, Wahyudi (2010) berkesimpulan bahwa perendaman talas dengan suhu 40oC selama 4 jam dapat mereduksi kadar oksalat talas beneng sebesar 81,96%. Agar pemanfaatan talas Beneng semakin meningkat, diperlukan teknologi proses pengolahan yang sederhana dan mudah diadopsi penduduk sekitar namun mampu meningkatkan mutu dan keamanan pangan talas beneng. Untuk itu dilakukan pengkajian reduksi asam oksalat melalui perlakuan sederhana dan menggunakan bahan yang mudah diperoleh masyarakat. Pengkajian ini diharapkan menjadi referensi bagi petani untuk mengolah talas Beneng yang bermutu dan aman dikonsumsi.
bentuk bunga dan bentuk umbi (cormus) serta warna umbi. Pengamatan karakteristik talas beneng dilakukan dengan wawancara kepada petani dan tokoh masyarakat sekitar lokasi tumbuhnya tanaman talas beneng serta dengan melakukan pengukuran fisik sampel tanaman. Reduksi oksalat Bahan baku talas beneng yang diuji dibagi menjadi dua yaitu beneg liar, yang diperoleh dari lahan sekitar gunung Karang, Pandegang dan beneng budidaya, yang diperoleh dari hasil tanam petani beneng di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang. Beneng budidaya dan liar di lakukan pereduksian oksalat dengan menggunakan larutan air garam dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30% dengan lama perendaman masingmasing 2 dan 3 jam kemudian dilakukan uji oksalat di laboratorium Balai Besar Litbang Pascapanen, Bogor dengan menggunakan metode HPLC (Gambar 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristiktanamantalas beneng Penampakan fisik talas beneng berbeda dengan talas yang biasa dikonsumsi lainnya seperti talas bogor atau talas taroyang mempunyai nama latin Colocasia esculenta. Talas beneng lebih mirip dengan talas kimpul atau Xanthosoma spp. Dengan menggunakan buku panduan, dilakukan karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah talas beneng. Karakteristik morfologi talas beneng terlhat pada Tabel 1 danGambar 2. Reduksi kadar oksalat Hasil uji laboratorium kadar oksalat talas beneng budidaya sebesar 3300 ppm sedangkan talas beneng liar sebesar 4400 ppm. Dari 14 sample pengujian reduksi kadar oksalat, perlakuan talas beneng budidaya dengan perendaman selama 120 menit menggunakan NaCl 10% (BK1T1) menghasilkan kadar oksalat yang terendah yaitu sebesar 1600 ppm (tereduksi 51,5%).
Beneng liar
Dikupas, bersihkan (dicuci dengan air mengalir) Slice dengan ketebalan 2mm
30% garam
BAHAN DAN METODE Karakteristiktanamantalas beneng Identifikasi karakteristiktalas beneng dilakukan dengan mengikuti panduan karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah talas yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Plasma Nutfah (2002). Karakterisasi tanaman dapat diketahui dari observasi dan pengukuran deskriptor tanaman, seperti tinggi tanaman, jumlah soton, rentang tanaman, bentuk daun, ukuran daun, posis daun, warna batang dan daun,
Beneng budidaya
Lama perendaman
2 Jam
20% garam
3 Jam
Uji laboratorium untuk kadar oksalat
Gambar 1. Proses reduksi oksalat talas beneng
10% garam
MUTTAKINet al. –Kadar oksalat talas beneng
1709
Gambar 2.Karakteristik morfologi talas beneng
Tabel 1.Karakteristik talas benang Parameter
Keterangan
Nama lokal Asal tanaman
Talas beneng (Besar dan Koneng) Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang ± 24 bulan (berat umbi 15 kg) 6-8 bulan (berat umbi 1-2 kg) Sekulen (Herbaceous) banyak mengandung air Sangat tinggi (100-350 cm) 3-5 lembar Hijau Bagian atas hijau berlilin dan bagian bawah hijau muda bertepung Agak bergelombang Hijau tua Hijau muda Bentuk Y Hooked /sendok
Umur tanaman Umur produktif Sifat tanaman Tinggi tanaman Jumlah pelepah Warna pelepah Warna daun Tepi daun Warna pusat daun Warna tepi daun Pola tulang daun Bentuk seludang bunga jantan Berat umbi Bentuk umbi Panjang umbi Rasa umbi Warna daging umbi Tingkat serabut umbi Ketebalan kulit umbi Warna tunas
15 kg Memanjang 50 cm Tawar Kuning Sedikit berserabut Tebal Kuning-hijau
Tabel 3. Hasil analisis asam oksalat talas beneng segar dengan metoda HPLC (%) Sampel
Kandungan oksalat (%)
B L BK1T1 BK2T1 BK3T1 BK1T2 BK2T2 BK3T2 LK1T1 LK2T1 LK3T1 LK1T2 LK2T2 LK3T2
0,33 0,44 0,16 0,17 0,18 0,18 0,19 0,25 0,29 0,27 0,22 0,31 0,22 0,28
Pembahasan Talas merupakan tanaman yang dapat tumbuh bertahuntahun dan banyak mengandung air. Talas merupakan tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia dari famili Araceae (Prana dan
1710
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1707-1710, Oktober 2015
Kuswara 2002). Talas belitung atau talas kimpul (Xanthosoma) dapat dibedakan dengan talas taro (Colocasia) dari umbi dan bentuk daun serta letak tangkai daunnya. Sebagian batangnya berada di atas tanah, dengan daun berbentuk tumbak. Tumbuhan ini jarang berbunga, bungan berbentuk bulir yang diselubungi seludang bunga, mempunyai bunga jantan, bunga mandul dan bunga betina. Getah berwarna putih agak kental, cormel banyak dan berkumpul (Komisi Nasional Plasma Nutfah 2002). Dilihat dari penampakan fisik, talas beneng tergolong dalam genus Xanthosoma. Umbi talas banten memiliki potensi untuk tumbuh menjadi seberat 15 kg. Umbi atau batang talas beneng ini biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan makanan dengan cara dikukus dan dijadikan kripik. Pengolahan lebih lanjut dan diversivikasi produk dari talas beneng dapat dilakukan mengingat potensinya yang sangat besar. Data dari Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian menunjukkan bahwa talas beneng memiliki kandungan gizi protein 8,77%; kadar pati 6,97%; kadar abu 8,53%; lemak 0,46% dan kadar air 84,65%. Kekurangan dari talas beneng seperti halnya jenis talas yang lain adalah kandungan oksalatnya yang cukup besar. Asam oksalat/oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4 dengan nama sistematis asam etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini biasa digambarkan dengan rumus HOOC-COOH, merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada asam asetat. Di-anionnya, dikenal sebagai oksalat, juga agen pereduktor. Banyak ion logam yang membentuk endapan tak larut dengan asam oksalat, contoh terbaik adalah kalsium oksalat(CaOOC-COOCa), penyusun utama jenis batu ginjal yang sering ditemukan. Menurut Kurdi (2002), kristal kalsium oksalat pada talas terdapat dalam dua bentuk yaitu druse (bentuk bulat) dan raphide (seperti jarum halus), yaitu sekitar 80 sampai dengan 85 persen dari total kandungan kalsium oksalat. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa talas beneng dengan perlakuan perendaman dengan air garam 10% selama 120 menit dapat mengurangi kadar oksalat terbanyak yaitu sebesar 51,5%. Berkurangnya kadar oksalat yang dikandung produk talas ini disebabkan reaksi antara asam oksalat dengan garam sehingga partikel dari asam oksalat terikat dalam rangkaian kimia garam, selain itu proses pencucian serta pengirisan juga dapat melarutkan kadar oksalat. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilaporkan oleh Mayasari (2010), penulis mereduksi oksalat pada talas Bogor dengan menggunakan
larutan asam sitrat, asam klorida dan garam (NaCl). Perlakuan yang optimum dilakukan untuk mereduksi oksalat adalah dengan perlakuan perendaman NaCl 10% selama 60 menit (93,62%). Wahyudi (2010) berkesimpulan bahwa perendaman talas dengan suhu 40ºC selama 4 jam dapat mereduksi kadar oksalat talas beneng sebesar 81,96%.Menurut Syarif et al (2007), menyatakan bahwa oksalat dapat mengendapkan kalsium dan membentuk kalsium oksalat yang tidak dapat diserap oleh tubuh, sehingga terbentuk endapan garam yang yang tidak dapat larut yang menyebabkan munculnya penyakit batu ginjal. Sebelum mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung oksalat sebaiknya sebelum diolah dilakukan perendaman semalaman dengan air. Talas Beneng merupakan salah satu Biodiversitas lokal Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi aneka produk pangan menunjang ketahanan pangan daerah sekitar. Sebelum diolah menjadi produk makanan direkomendasikan melakukan perlakuan perendaman dalam larutan air garam 10% selama 2 jam untuk mengurangi kadar oksalat dalam umbi Talas Beneng.
DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Yulianti. 2012. Konsentrasi Asam Sitrat dan Lama PerendamanTerhadap Karakteristik Sensori Keripik Talas (Xanthosoma Undipes K.Koch) Lokal Banten.[Skripsi]. Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Serang. Komisi Nasional Plasma Nutfah, 2002. Panduan Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Talas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. Kurdi W. 2002. Reduksi Kalsium Oksalat pada Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Keripik Talas. [Skripsi]. IPB, Bogor. Lestari S, Susilawati PN. 2015. Uji organoleptik mie basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 941-946. Mayasari N. 2010. Pengaruh Penambahan Larutan Asam dan Garam Sebagai Upaya Reduksi Oksalat pada Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott).[Skripsi]. IPB, Bogor. Prana MS, Kuswara T. 2002. Budidaya Talas Diversifikasi untuk menunjang Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong-Bogor. Syarif M, Rinai H, Fahmi F. 2007. PemeriksaanKadar Oksalat dalam Daun Singkong (Manihotutilisima Pohl.) dengan Metode Spektrometri kinetik. Universitas Sriwijaya, Ogan Ilir. Wahyudi D. 2010. Pengaruh Suhu Perendaman terhadap Kandungan Oksalat dalam Talas pada Proses Pembuatan Tepung Talas. [Skripsi]. IPB, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1711-1714
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010733
Efektivitas komunikasi dalam penerimaan informasi pada kelompok peternak sapi potong di Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara Effective communication of information recipient in cattle farmer groups in Remboken, Minahasa District, North Sulawesi ANNEKE KATRIN RINTJAP Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62-431863886,863786, Fax. +62-431-822568, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 18 Maret 2015. Revisi disetujui: 12 Agustus 2015.
Rintjap AK. 2015. Efektivitas komunikasi dalam penerimaan informasi pada kelompok peternak sapi potong di Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1711-1714. Salah satu penentu pembangunan di bidang perekonomian adalah sub sektor peternakan, karena mempunyai peran strategis dalam penyediaan sumber pangan. Kelompok peternak di Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara memelihara ternak sapi potong masih secara ekstensif. Proses komunikasi yang efisien dan efektif tentang cara beternak sapi potong yang modern diperlukan oleh para peternak. Proses komunikasi penyuluhan merupakan partisipasi dan tukar menukar pengetahuan dan pengalaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses komunikasi yang efektif dalam menyampaikan informasi tentang cara beternak sapi potong. Hal yang dikaji dalam proses komunikasi yang efisien dan efektif adalah respons peternak sapi potong melalui pendekatan strategi dengan mengukur repons/feedback peternak sebagai penerima.Untuk menggambarkan kondisi usaha ternak sapi potong pada ke tiga kelompok tersebut maka digunakan analisis deskriptif dengan model persentasi dari setiap variable. Variabel yang akan dianalisis meliputi Frekuensi kunjungan penyuluh, lama menjadi penyuluh dan isi pesan. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses komunikasi antara penyuluh dan anggota kelompok adalah proses komunikasi tatap muka. Penyuluh langsung menyampaikan pesan berupa informasi tentang cara beternak sapi yang meliputi feeding, breeding dan managemen. Efektifitas komunikasi dalam penerimaan pesan berakibat pada tingginya pengetahuan peternak tentang cara beternak yang modern. Kata kunci: Efektifitas komunikasi, pesan
Rintjap AK. 2015. Effective communication of information recipient in cattle farmer groups in Remboken, Minahasa District, North Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1711-1714. One determinant of development in the field of economy was livestock subsector, because it has a strategic role in the provision of food sources. Groups of farmers in the district Remboken, Minahasa regency, North Sulawesi still maintain cattle extensively. The process of efficient and effective communication about how beef cattle modern breeding required by farmers. The communication process was the extension of participation and exchange of knowledge and experience. The purpose of this study was to describe the process of effective communication in conveying information about how to raise beef cattle. In that efficient and effective communication process would learned how was the response of cattle farmers through strategic approach to measure the response/feedback of farmers as recipient. To describe the condition of the cattle business in all three groups then used descriptive analysis with a percentage of each variable models. Variables were analyzed include the frequency of visiting instructor, long been the extension and content of the message. The results showed that the process of communication between the instructor and members of the group was the process of face to face communication. Extension directly conveyed the message contains information about how to raise cattle which includes feeding, breeding and management. Effectiveness of communication in message reception affected to the high of farmers knowledge about how modern breeding. Keywords: Effectiveness of communication, message
PENDAHULUAN Salah satu ternak andalan di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara adalah ternak sapi potong. Kabupaten Minahasa merupakan kabupaten yang memiliki populasi ternak sapi potong yang terbanyak dibandingkan dengan kabupaten lain di Sulawesi Utara. Usaha ternak sapi potong di Kabupaten Minahasa umumnya di dominasi
oleh peternakan rakyat yang tergabung dalam kelompok dengan skala kecil dan diusahakan secara sambilan. Populasi ternak sapi di Kabupaten Minahasa hingga tahun 2013 adalah 26.500 ekor (Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan 2013). Pengembangan usaha peternakan sapi potong dikabupaten Minahasa membutuhkan kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan pihak-pihak lain misalnya
1712
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1711-1714, Oktober 2015
swasta dan lembaga keuangan. Pemerintah berperan sebagai steering dari pada rowing dimana pihak swasta yang menjadi motor pengembangan peternakan sapi potong, pemerintah yang menyiapkan modal. Kelompokkelompok peternak yang ada di Kecamatan Remboken mendapat bantuan pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Minahasa dalam bentuk bantuan ternak sapi. Kelompok peternak sapi potong merupakan wadah yang dapat melakukan proses produksi untuk pengembangan usaha ternak sapi potong. Peternak yang tergabung dalam kelompok. usaha ternak sapi potong dikembangkan oleh kelompok. Kelompok peternak sapi potong merupakan suatu wadah yang dapat melakukan proses produksi yang beranggotakan peternak sapi potong. Keikutsertaan petani peternak dalam berbagai kegiatan pengembangan usaha peternakan sapi potong dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah proses komunikasi yang efektif dan efisien dalam menerima informasi (Sucihatiningsih dan Waridin 2010). Proses komunikasi penyuluhan merupakan partisipasi dan tukar menukar pengalaman. Penyuluh merupakan orang yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (Who? Says what? In which channel to whom? With what effect? (Lasswell 1964).Komunikasi yang efektifitas terjadi apabila mempunyai pemahaman informasi yang sama antara setiap anggota kelompok dalam penerimaan informasi. Efektifitas penyuluhan melalui komunikasi dan peningkatan ketrampilan petani peternak melalui kelompok-kelompok akan memberikan hasil yang optimal. Berkaitan dengan ini maka pemerintah telah mencanangkan program pengembangan kelembagaan kelompok peternak yang mendapat pembinaan secara intensif dan kontinu dari pemerintah. Analisis efektifitas komunikasi digunakan untuk mengetahui respons/feedbeck peternak sapi potong melalui suatu kegiatan. Analisis efektifitas komunikasi dari sudut pelaku komunikasi dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: (i) citra positif pelaku komunikasi di mata masyarakat dengan cara memberikan kemudahan pelayanan komunikasi, (ii) penyampaian informasi pembangunan yang lengkap dan benar berkenaan dengan prioritas utama pada kepentingan sasaran, dan (iii) perluasan jangkauan informasi, dan pemantapan kelembagaan masyarakat dengan memperhatikan aspek kebudayaan setempat (Subedi dan Garforth 1996; Sulaiman et al. 2006). Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis secara deskriptif variable-variabel yang berperan dalam efektifitas komunikasi khususnya penerimaan informasi pada peternak sapi potong di Kecamatan Remboken Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan metode survey (Singarimbun dan Effendi 1995). Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang tergabung dalam tiga kelompok afinitas yang merupakan kelompok binaan Badan Ketahanan Pangan
Kabupaten Minahasa dan diiambil secara total sampling dengan jumlah 60 responden, yang tersebar dalam tiga kelompok yaitu Kelompok afinitas Pulutan berjumlah 20 responden, kelompok afinitas Tampusu berjumlah 26 responden dan kelompok afinitas Parepei berjumlah 14 responden. Masing-masing kelompok di damping oelh seorang penyuluh, jadi jumlah responden penyuluh adalah 3 orang. Data dianalisis secara deskriptif dengan persentase dari setiap variable. Variabel-variabel yang dinalisis meliputi Frekuensi kunjungan penyuluh, lama menjadi penyuluh dan isi pesan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi ternak sapi di Kabupaten Minahasa hingga tahun 2013 adalah 26.500 ekor. (Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan 2013) masih diusahakan secara ekstensif. Penyuluh yang profesional baik dari instansi pemerintah atau swasta menerapkan “pendekatan komunikasi yang efektif apabila mampu menghayati secara sungguh-sungguh materi komunikasi, dan mampu dalam menerapkan keanekaragaman metode dan media komunikasi. Rintjap et al. (2013) menyatakan bahwa umpan balik adalah respons terhadap pesan yang disampaikan oleh pemberi pesan.Efektifitas komunikasi dapat dilihat dari keberhasilan menyerap materi dan mampu mengimplementasikan dalam peningkatan usaha. Hasil penelitian Abdullah (2012) tentang peranan penyuluhan dan kelompok tani ternak untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan sapi potong menunjukkan bahwa penyuluhan memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan khususnya dalam penguatan kelompok tani dan peningkatan proses adopsi teknologi dari peternak. Hasil penelitian Shandi (2010), penerimaan informasi sangat dipengaruhi oleh kebutuhan anggota kelompok. Variabel Frekuensi kunjungan penyuluh Frekuensi kunjungan penyuluh dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 40 responden (66,66%) menyatakan bahwa kunjungan penyuluh berada pada kategori 1-2 kali sedangkan 20 responden (33,33%) menyatakan bahwa kunjungan penyuluh pada kategori 2-3 kali. Peternak dalam mengembangkan usahanya membutuhkan seorang penyuluh dalam menyampaikan ilmu dan pengetahuan tentang cara beternak yang modern. Frekuensi penyuluhan pertanian adalah berapa kali penyuluhan pertanian dilaksanakan oleh Petugas Penyuluh Lapang dalam suatu periode waktu tertentu (Sulaiman et al. 2006). Hubungan antara frekuensi penyuluhan dengan efektifitass komunikasi dalam penerimaan informasi pada kelompok peternak sapi potong mempunyai hubungan yang signifikan. Semakin sering seorang penyuluh berkunjung kepada peternak dalam memberikan pengetahuan tentang cara beternak ternak sapi potong yang modern maka pengetahuan peternak semakin baik.
RINTJAP – Efektivitas komunikasi peternak sapi di Remboken, Minahasa
1713
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kecamatan Remboken, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara
Tabel 1. Frekuensi kunjungan penyuluh Kategori 1-2 Kali 2-3 kali Total
Frekuensi 40 20 60
Tabel 4. Variabel isi pesan Persen 66,66 33,33 100
Persentase Jawaban Responden 1 2 3 4 5 F % F % F % F % F % Image 0 0.00 0 0.00 10 16,6 40 66,66 10 16,6 Sound 0 0.00 0 0.00 10 16,6 45 75 5 8,33 Text 0 0.00 2 1.48 2 3,33 50 83,33 8 13,33 Rata-rata Variabel Indikator
Rata-rata 3.75 3.62 3.28 3.55
Tabel 2. Lama menjadi penyuluh Kategori 5-10 tahun 11-20 tahun
Frekuensi 1 2
Persen 33,33 66,66
Tabel 3. Penentuan kategori skor berdasarkan kategori jawaban responden (Sugiyono 2008). No. 1 2 3 4 5
Skala kategori jawaban 1.00 – 1.80 1.81 - 2.60 2.61 - 3.40 3.41 - 4.20 4.21 - 5.00
Kategori skor Sangat Tidak Baik Tidak Baik Cukup Baik Baik Sangat Baik
Variabel lama menjadi penyuluh Lama menjadi penyuluh dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa penyuluh yang bertugas selama 11-20 tahun sebagai penyuluh berjumlah 2 orang sedangkan yang bertugas selama 5-10 tahun sebagai penyuluh berjumlah 1 orang. Semakin lama seorang penyuluh melaksanakan tugasnya semakin berpengalaman. Lama menjadi penyuluh memiliki hubungan dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas pokok penyuluh. Mustamiroh (2001) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh penyuluh merupakan kegiatan yang diharapkan oleh petani. Bello dan Obine (2012) dan Rintjap et al. (2013) menyatakan bahwa kepercayaan petani terhadap komunikator dilihat dari
1714
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1711-1714, Oktober 2015
ketrampilan teknis dan pendidikan komunikator sehingga pesan yang disampaikan, diterima dengan baik oleh komunikan. Variabel isi pesan Materi penyuluhan adalah pesan yang disampaikan oleh seorang penyuluh kepada sasarannya, dalam proses komunikasi penyuluhan. Materi penyuluhan yang disampaikan harus sesuai dengan kebutuhan sasaran. Van den Ban (2003) dan Amrawati dan Nurlaelah (2008) memberikan acuan apa yang akan disampaikan pada setiap kegiatan, yaitu: (i) Materi pokok, yaitu materi yang benarbenar dibutuhkan dan diketahui oleh sasaran, (ii) Materi yang penting, yaitu materi yang berisi dasar pemahaman yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dibutuhkan sasaran. (iii) Materi penunjang yaitu materi yang masih berkaitan dengan kebutuhan, yang sebaiknya diketahui oleh sasaran untuk memperluas cakrawala pemahaman. Isi pesan dianalisis dari indikatornya yang meliputi image, sound dan text .Image adalah adalah bagaimana kejelasan gambar yang ditampilkan pada pesan, sound adalah bagaimana kejelasan suara yang ditampilkan pada pesan, text adalah bagaimana kejelasan isi yang ditampilkan pada pesan.Rata-rata jawaban respoden dikategorikan dengan membuat skala interval yang dihitung dari skor tertinggi yang dikurangi skor terendah dibagi lima, diperoleh interval untuk kategori sebesar 0,80, dengan demikian kategori jawaban respoden ditentukan berdasarkan skala seperti dalam Tabel 3. Isi pesan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa indikator image terlihat sebanyak 40 responden (66,66%) d menjawab materi yang disampaikan dapat memberi keuntungan. Rata-rata skor memperlihatkan bahwa nilai 3.75 terletak pada kriteria baik (berdasarkan kriteria Sugiyono (2008) yang disajikan pada Tabel 3). Artinya pesan yang disampaikan oleh komunikator dalam bentuk image (gambar) memudahkan komunikan menerima pesan. Indikator sound, terlihat bahwa sebanyak 45 responden (75%) menjawab materi yang dibrikan sesuai kebutuhan. Rata-rata skor memperlihatkan bahwa nilai 3.62 terletak pada kriteria baik (berdasarkan atas kriteria Sugiyono (2008) yang disajikan pada Tabel 3). Artinya pesan yang disampaikan oleh komunikator dalam bentuk sound (suara) sebab suara yang jelas memudahkan komunikan menerima pesan. Indikator text terlihat bahwa sebanyak 50 responden (83,33%) dari responden menjawab materi yang diberikan cukup dapat diterapkan. Rata-rata skor memperlihatkan bahwa nilai 3.28 terletak pada kriteria baik (berdasarkan kriteria Sugiyono (2008) yang disajikan pada Tabel 3). Artinya pesan yang disampaikan oleh komunikator dalam bentuk teks (tulisan) sebab catatan yang jelas memudahkan komunikan menerima pesan. Tulisan yang dimaksud adalah dalam bentuk brosur atau leaflet. Kakansing (2009) menyatakan bahwa petani pada dasarnya melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pesan yang dianggap tidak sesuai dengan
kebutuhannya, tidak akan direspons oleh petani. Isi pesan berupa informasi yang disajikan dalam bentuk image, sound dan text sangat mudah dimengerti oleh komunikan sehinggga komunikan menerima (Rintjap 2014). Hasil penelitian menunjukan bahwa proses komunikasi antara penyuluh dan anggota kelompok adalah proses komunikasi tatap muka. Penyuluh langsung menyampaikan pesan berupa informasi tentang cara beternak sapi yang meliputi feeding, breeding dan managemen. Efektifitas komunikasi dalam penerimaan pesan berakibat pada tingginya pengetahuan peternak tentang cara beternak yang modern.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah A. 2012. Stategi peningkatan adopsi teknologi pakan jerami padi di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Media Sains 4: 96-102 Amrawati A, Nurlaelah 2008. Analisis Tingkat Adopsi Inseminasi Buatan Oleh Peternak Sapi Bali di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong. Palu. Bello M, Obinne CPO. 2012. Problems and Prospects of Agricultural Information Sources Utilization b Small Scale Farmers. Journal Communication,3 (2): 91-98 Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan. 2013. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara Kakansing W. 2009. Efek komunikasi iklim dan Intensitas Komunikasi Terhadap Kebutuhan Informasi Para Petani. (Studi Kelompok Tani Palose Di Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara). Agritek 17 (6): 11011108. Lasswell HD. 1964. The structure and function of communiction in society, In: Scrhramn W (ed.) Mass Communication. University of Illinois Press, Urbana, Chicago. Mustamiroh SA. 2001. Evaluasi aspek kelembagaan pengelolaan jaringan irigasi di tingkat petani padi sawah di Kabupaten Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Jurnal Teknologi Pertanian 2 (2): 14-21. Rintjap A. 2014. Analisis Proses Komunikasi Peternak untuk Pengembangan Agribisnis Ternak Sapi Potong di Kabupaten Minahasa. Seminar Nasional Biodiversitas 2014. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Rintjap AK, Hartono B, Wisadirana D, Elly F. 2013. Model Komunikasi Dalam Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Pada Kelompok Peternak Sapi Potong Di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara). [Disertasi]. Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Shandi YA. 2011..Efektifitas Komunikasi Pada Kelompok Binaan LP2M Dalam Menerima Informasi Pertanian di Kelurahan Gunung Sarik III (Studi Kasuss : Kelompok Binaan Gunung Sarik III dan Kelompok Binaan Tanjung Permai). [Tesis]. Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang. Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. PT. Pustaka LP3ES, Jakarta. Subedi A, Garforth C. 1996. Gender, information and communication network: Implication for extension. Eur J Agric Ext 3: 63-74. Sucihatiningsih DWP, Waridin. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyuluh Pertanian Dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Tani melalui Transaction Cost Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan 11: 13-29. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta, Bandung. Sulaiman F, Rusastra IW, Subaidi A. 2006. Keragaan Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian Teknologi Pertanian 8 (3): . Van Den Ban AW. 2003. Funding and delivering. Agric Ext J Intl Agric Ext Educ 10 (1): 21-29.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1715-1718
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010734
Pemetaan paten terdaftar berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Registered patent mapping based on the utilization of biological resources in the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) ANDI BUDIANSYAH1,♥, PRADHINI DIGDOYO1, REZA RAMDAN RIVAI2 1
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Bogor KM 47, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-2187917221 ♥email:
[email protected]. 2 Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, P.O. Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat. Manuskrip diterima: 30 Mei 2015. Revisi disetujui: 12 Agustus 2015.
Budiansyah A, Digdoyo P, Rivai RR. 2015. Pemetaan paten terdaftar berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1715-1718. Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual adalah paten. Paten mempunyai peran untuk melindungi teknologi yang dihasilkan oleh peneliti. Selain itu, paten dapat digunakan sebagai alat diseminasi ilmu pengetahuan. Perlindungan kekayaan sumber daya hayati Indonesia, sebagai negara mega biodiversitas, merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh lembaga penelitian dan pengembangan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai salah satu lembaga penelitian terbesar di Indonesia, telah mengkaji dan mendiseminasikan hasil pemanfaatan sumber daya hayati untuk digunakan oleh pihak terkait, seperti masyarakat, pemerintah, dan industri. Pada akhir tahun 2014, LIPI telah mendaftarkan 368 paten yang terdiri atas 36,7% bidang hayati. Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan jenis paten berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif berdasarkan database paten di Pusat Inovasi LIPI tahun 1991-2014. Hasil penelitian menunjukkan 35,6% dari paten bidang hayati termasuk ke dalam paten yang dimanfaatkan sebagai pangan dan 31,1% dimanfaatkan sebagai obat dan kosmetik. Kata kunci: Diseminasi Pengetahuan, Hak atas Kekayaan Intelektual, hayati, paten terdaftar, Budiansyah A, Digdoyo P, Rivai RR. 2015. Registered patent mapping based on the utilization of biological resources in the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1715-1718. One form of protection of intellectual property is patent. Patent has role to protect the technology generated by researchers. In addition, patent can be used as a mean of dissemination of knowledge. Protection of biological resources of Indonesia, as a mega-biodiversity country, is an important thing to do by the research and development institutions. Indonesian Institute of Sciences (LIPI) as one of the largest research institutions in Indonesia, has reviewed and disseminate the results of the utilization of biological resources to be used by all relevant parties, such as the public, government, and industry. At the end of 2014, LIPI has registered 368 patents comprising 36.7% of biological fields. The purpose of this study was to map the types of patents based on the utilization of biological resources. The method used in this research is descriptive analysis method based on a patent database at the Innovation Center LIPI within 1991-2014. The results showed 35.6% of the patents included in the field of biological patents utilized as food and 31.1% utilized as medicine and cosmetics. Kata kunci: Dissemination of knowledge, Intellectual Property Right, biological, registered patent
PENDAHULUAN Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu perlindungan kekayaan intelektual yang diatur jelas dalam perundangan di Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah paten. Paten mempunyai peran yang kuat untuk melindungi teknologi yang dihasilkan oleh inventor, memberikan hak monopoli kepada pemegang paten untuk menentukan harga disamping hak-hak lain (Adhiyati 2009) namun bagi inventor atau peneliti paten juga merupakan alat diseminasi ilmu pengetahuan yang dapat membuka akses teknologi untuk masyarakat umum dan industri. Indonesia sebagai salah satu negara mega biodiversitas, memiliki banyak keanekaragaman hayati untuk berbagai
pemanfaatan baik dilakukan secara penelitian ataupun dapat dikomersialisasikan oleh industri. Menurut Latimer (2004), Invensi yang berdasarkan pemanfataan sumber daya hayati dapat berupa asam nukleat, protein, alat untuk memanipulasi atau digunakan untuk DNA atau protein di laboratorium atau kesehatan, alat diagnosis, pharnaeuticals, microarrays, bagian dari software untuk analisis bioformatika, atau alat untuk memproses dalam skala industri untuk makanan atau obat. Pemanfaatan sumber daya hayati tersebut tentunya perlu mendapatkan perlindungan. Menurut Wongkar (2004) ada dua sistem kekayaan intelektual yang dapat digunakan untuk melindungi sumber daya hayati: melalui sistem paten yang berdasarkan UU No. 14 tahun 2001 dan
1716
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1715-1718, Oktober 2015
Perlindungan varietas tanaman (PVT) yang berdasarkan pada UU. No. 29 tahun 2000. Paten dapat melindungi teknologi, proses dan formulasi yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya hayati sedangkan PVT dapat melindungi tanaman hasil pemuliaan tanaman baik secara konvensional maupun rekayasa genetika (Wahyuni 2013). Selain itu, paten mempunyai syarat penting yang dapat digunakan oleh para inventor atau peneliti sebagai salah satu perlindungan terhadap kekayaan intelektualnya. Menurut Jatraningrum (2012), paten mempunyai syarat dalam perlindungannya, yaitu baru (novelty), mempunyai langkah inventif dibanding dengan prior art dan juga harus dapat diterapkan pada industri. Ketiga aspek tersebut dapat mengukur teknologi yang dihasilkan inventor apakah cukup mempunyai nilai lebih. Menurut Latimer (2004), paten merupakan sesuatu yang penting dalam perlindungan kekayaan intelektual inventor untuk mendapatkan keuntungan dari penelitian mereka. Proses paten merupakan hal yang kompleks dan banyak sekali tahapannya. Untuk peneliti, namun yang harus diketahui para inventor bahwa proses itu dapat membuat kejelasan pada isu yang penting dari penelitian tersebut. Paten dapat didefinisikan sebagai perlindungan kekayaan intelektual yang diberikan kepada inventor oleh pemerintah secara eklusif untuk menggunakan, membuat industri atau menjual invensi tersebut pada periode waktu tertentu. Selain ketiga syarat tersebut, paten mengharuskan seorang inventor harus membuka teknologinya supaya masyarakat dan industri dapat mengetahuinya. Pemanfaatan ini dapat digunakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai salah satu dokumen legal untuk melindungi teknologi yang dihasilkan dari para inventor atau penelitinya namun juga dapat digunakan sebagai alat untuk mendiseminasikan ilmu pengetahuan ke masyarakat atas teknologi yang dihasilkan. Saat ini LIPI telah mendaftarkan lebih dari 360 paten terdaftar yang terdiri atas 36,7% nya merupakan pemanfaatan berdasarkan sumber daya hayati. Tujuan dari kajian ini adalah memetakan paten terdaftar berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, untuk sebagai rujukan pengembangan potensi paten pada bidang hayati.
BAHAN DAN METODE Data Dalam kajian ini, pemetaan paten terdaftar yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya hayati dilakukan dengan menggunakan data paten dan jurnal ilmiah, baik dalam skala lokal dan global. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data pendaftaran paten LIPI dari tahun 1991-2014 (LIPI 2014), yang terdiri dari 368 paten terdaftar. Pengolahan data selanjutnya adalah mengidentifikasi jenis paten terdaftar berdasarkan sumber daya hayati, dari 368 paten terdaftar LIPI ada 37,2% atau 137 paten terdaftar LIPI yang merupakan paten yang memanfaatkan sumber daya hayati. Ada 7 klasifikasi berdasarkan kegunaan dari paten tersebut, yaitu energi, lingkungan, material, obat dan kosmetik, pakan, pangan
dan sistem propagasi. Metode Data yang telah didapat selanjutnya dianalisis berdasarkan status paten terakhir yang diterima. Nantinya akan terbentuk pola penyebaran dari paten berdasarkan sumber daya hayati dengan menggunakan data paten tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan dari kajian sebelumnya yang dilakukan oleh Maidina dan Budiansyah (2015), kajian paten berbasis kajian gender di LIPI mengungkapkan bahwa mayoritas invensi di dominasi oleh salah satu kedeputian bidang teknik di LIPI, sebanyak 66% yang didominasi oleh pria. Namun jumlah inventor wanita mengalami kenaikan setiap tahunnya, hal ini ditandai dengan data invensi yang dihasilkan secara berkelompok melibatkan wanita di dalamnya yaitu sebesar 56%. Mayoritas invensi yang dihasilkan wanita merupakan invensi yang pemanfaatannya berguna sebagai bahan makanan dan obat-obatan yang bersumber dari hayati. Melihat tren mayoritas dan pertumbuhan tersebut maka kami melakukan pendalaman kajian terhadap pendaftaran paten yang bersumber sumber daya hayati. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa pendaftaran paten masih didominasi kebutuhan dasar manusia, yaitu: pangan pada peringkat pertama serta obat dan kosmetik pada peringkat kedua. Banyaknya paten di bidang pangan menunjukkan besarnya minat penelitian di bidang pangan, Hal ini mungkin terjadi karena adanya dorongan dari pemerintah untuk melakukan program kedaulatan pangan. Sumber-sumber hayati yang dimanfaatkan dalam paten dalam bidang pangan ini bervariasi dari pemanfaatan kacang kedelai untuk dibuat tempe atau pangan olahan dari tempe, seperti tempe kental manis dan es krim tempe, pemanfaatan jagung sebagai minuman fungsional dan bahan pangan olahan seperti mie dan pasta berbahan dasar jagung. Pada penelitian bidang pangan yang dilakukan oleh Jatraningrum (2012), menunjukan bahwa penelitian di LIPI pada bidang pangan kategori bioteknologi cukup berkembang dam memiliki tren meningkat. Hal ini berbeda dengan tren jurnal ilmiah global pada saat itu yang menunjukan bahwa tren yang meningkat adalah pada kategori teknologi formulasi, proses forfikasi dan kategori ekstraksi, isolasi dan purifikasi. Terdapat beberapa kendala dalam pengembangan inovasi pada bidang pangan fungsional (Helmi 2015) yaitu pada aspek pertama adalah ruang lingkup dari pangan tersebut sehingga membatasi opsi dalam perlindungan HaKInya. Pembatasan perlindungan HaKI nya terletak pada keinginan konsumen yang menyukai komponen makanan yang bersifat alami. Namun pada prinsipnya itu tidak membatasi perlindungan paten untuk proses, formula, penggunaan untuk metode yang spesifik. Aspek kedua adalah adalah pengelolaan dan kepemilikan HaKI yang seringkali membatasi komersialisasi penuh dari paten tersebut, ada beberapa kendala seperti regulasi, infrastruktur dan kapasitas.
BUDIANSYAH et al. – Pemetaan paten hayati LIPI
Gambar 1. Klasifikasi paten terdaftar LIPI berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati
Gambar 2. Pertumbuhan paten terdaftar LIPI berdasarkan pemanfaatan sumber daya hayati
Gambar 3. Pertumbuhan paten terdaftar LIPI berdasarkan klasifikasi pemanfaatan sumber daya hayati
1717
1718
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1715-1718, Oktober 2015
Kategori kedua terbanyak dalam paten bidang hayati adalah obat dan kosmetik. Tren penggunaan obat dan kosmetik herbal serta berasal dari sumber daya alam lokal memicu penelitian-penelitian dalam bidang ini. Kekayaan alam Indonesia sebagai negara megabiodiversity mendukung penelitian-penelitian dalam bidang obat dan kosmetik. Berdasarkan database paten, sumber daya hayati yang digunakan dalam paten bidang obat dan kosmetik ini berasal dari berbagai tumbuhan lokal untuk tujuan bahan obat untuk diabetes, anti kanker dan hepatitis. Menurut Utami et al. (2014), perolehan paten khusus untuk obat anti diabetes, anti malaria dan anti turbenkulosis pada periode 1991-2011 masih didominasi oleh pendaftaran paten asing. Pendaftaran paten Indonesia masih berkisar antara 4,144,90%. Kategori yang paling sedikit memanfaatkan sumber daya hayati adalah bidang energi. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi perkembangan bioenergi. Terdapat kemungkinan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan dalam bidang energi ini tidak berujung pada pendaftaran paten. Gambar 2 menunjukan tren yang positif terhadap pemanfaatan sumber daya hayati dalam perlindungan teknologinya. Tren pemanfaatan sumber daya hayati sejalan dengan jumlah paten terdaftar dari tahun 1991 ke 2014 menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhannya 22%. Pada tahun 2007 ke 2012 pertumbuhan paten terdaftar berdasarkan pemanfaatan hayati rata-ratanya naik menjadi 42%. Berdasarkan Gambar 3, paten di bidang pangan serta obat dan kosmetik mendominasi paten pemanfaaatan sumber daya hayati. Jumlah paten di kedua bidang tersebut fluktuatif sejak tahun 1998 hingga 2014, jumlah paten bidang pangan terbanyak pada tahun 2010 dan 2014 sedangkan paten bidang obat dan kosmetik terbanyak pada tahun 2012. Selain itu yang perlu diperhatikan pada 10 tahun belakangan ini terjadi pertumbuhan paten formulasi untuk pakan ternak. Pertumbuhan paten formulasi pakan ternak dari 20062013 dapat dijadikan acuan untuk industri pakan ternak dalam perkembangan peternakan di Indonesia. Menurut Larasati et al (2014), pakan yang baik adalah pakan yang mengandung gizi yang dibutuhkan dan berasal dari campuran bahan pakan yang baik, bersih, tidak berjamur tidak basi, murah dan tentunya hewan ternak senang
memakannya. Dimana tentunya dengan faktor tersebut perusahaan diindustri pakan ternak haruslah melakukan pengembangan nutrisi pada pakan ternak. Pada paten terdaftar LIPI, formulasi pakan ternak merupakan pemanfaatan dari berbagai zat adiktif untuk menghasilkan penambahan nutrisi untuk berbagai jenis hewan ternak seperti untuk unggas dan udang.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bidang Manajemen Kekayaan Intelektual, Pusat Inovasi LIPI atas tersedianya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Adlhiyati Z. 2009. Produk Rekayasa Genetika (GMO/Genetically Modified Organism) Sebagai Subjek Perlindungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang. Helmi RL. 2015. Mengelola inovasi bidang pangan fungsional. Dalam Jatraningrum, D.A. (ed.) Peluang Adopsi Inovasi Berbasis Sumber Data Paten di Bidang Pangan Fungsional. LIPI Press : Jakarta. Jatraningrum DA. 2012. Analisis tren penelitian pangan fungsional: kategori bahan serat pangan. J. Teknol. dan Industri Pangan 23 (1): 64-68. Larasati NW, Mustamu RH. 2014. Analisis strategi bersaing perusahaan pakan ternak. Agora 2 (1): 1-11. Latimer MT. 2004. Patenting inventions arising from biological research. Genome Biol 6 (1): 203-212. LIPI. 2014. Peran LIPI dalam Pembangunan Nasional 2010-2014. LIPI Press. Jakarta. Maidina, Budiansyah A. 2015. Pola Kontribusi Diseminasi Pengetahuan Berbasis Paten: Sebuah Kajian Gender dari Paten Terdaftar LIPI. LIPI, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Utami BS, Tuti S, Anggraini AB, Faatih M, Siswanto S, Trihono T. 2014. Situasi paten obat anti diabetes, anti hipertensi, anti malaria dan anti tuberculosis di Indonesia. Media Litbangkes 24 (2): 103-110. Wahyuni IPS. 2013. Upaya Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Petani Pemulia Tanaman di Indonesia. [Skripsi]. Universitas Brawijaya, Malang. Wongkar MR. 2014. Perliindungan Hak Kekayaan Intelektual bagi Sumber Daya Jayati. [Tesis]. Universitas Indonesia, Depok.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1719-1724
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010735
Aplikasi HESSA (Hydro Ecosystem Services Spatial Assessment) untuk pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air di kawasan hutan pegunungan Aplication of HESSA for mapping water providers and users in mountainous forest area HIKMAT RAMDAN Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung. Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-222511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 16 Mei 2015. Revisi disetujui: 13 Agustus 2015.
Ramdan H. 2015. Aplikasi HESSA (Hydro Ecosystem Services Spatial Assessment) untuk pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air di kawasan hutan pegunungan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1719-1724. Ekosistem hutan pegunungan merupakan wilayah penyedia jasa ekosistem air yang alirannya dimanfaatkan masyarakat di wilayah hilirnya untuk berbagai kegiatan konsumsi dan produksi. Kontinuitas, kuantitas dan kualitas air akan tetap terjaga apabila kondisi ekosistem hutan baik. Tanggung jawab konservasi ekosistem hutan sebagai wilayah penyedia air juga menjadi tanggung jawab pengguna air melalui mekanisme pembayaran jasa ekosistem (PJE). Belum adanya metode pemetaan jasa ekosistem yang praktis untuk menentukan batas wilayah batas wilayah ekosistem penyedia air dan wilayah pengguna air sering menjadi kendala proses PJE. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pendekatan spasial dalam pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air di kawasan hutan pegunungan. Metode analisis spasial dilakukan terhadap koordinat sumber air di lapangan yang diolah dengan data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) menggunakan perangkat lunak Global Mapper menjadi peta PJE Air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan spasial HESSA (Hydro Ecosystem Services Spatial Assessment) efektif dalam memetakan batas daerah tangkapan air sebagai sebagai wilayah penyedia air di bagian hulu dan wilayah pengguna air di bagian hilirnya berupa peta jasa ekosistem air. Model HESSA telah diujikan di beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Provinsi Jawa Barat. Pendekatan spatial HESSA merupakan salahsatu inovasi metode pemetaan yang efektif untuk menentukan batas wilayah penyedia air dan wilayah pengguna air. Peta PJE air sangat membantu proses implementasi PJE antara penyedia air dan kelompok pengguna air. Kata kunci: Air, hutan, peta jasa air
Ramdan H. 2015. Aplication of HESSA for mapping water providers and users in mountainous forest area. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1719-1724. Montane forest ecosystem is water provider area that its water flow utilized by people to meet their comsumption and production activities. Continuity, water quantity and quality will remain intact if the condition of the forest ecosystem good. The responsibility of conservation of the forest ecosystem as area water providers also be the responsibility of water users through the mechanism of payments for ecosystem services (PES). The absence of water ecosystem services mapping method is a problem of PES implementation. This study aims to determine the spatial approach in mapping regions of water providers and users in the mountain forests. Methods of spatial analysis was done to water springs point in the field and be proceed by SRTM data (Shuttle Radar Topography Mission) using Global Mapper to be map of water ecosystem services. The result showed that the HESSA (Hydro Services Spatial Ecosystem Assessment) method is effective to map the boundary between Water Provider Area and Water Users Area. The HESSA has been tested in protection and production forests in West Java Province. The HESSA spatial approach is new inovation in mapping of water ecosystem services. Map of water ecosystem services is very useful in PES implementation among water providers and users. Keywords: Water, forests, water services map
PENDAHULUAN Jasa ekosistem hutan pegunungan yang terpenting adalah air yang dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, dan kegiatan sosial ekonomi lainnya. Kontinuitas, kuantitas, dan kualitas air yang baik dihasilkan dari ekosistem hutan yang ekosistemnya baik, sebaliknya apabila ekosistem hutan terdegradasi maka jasa ekosistem air terganggu pula. Untuk
menjamin keberlanjutan aliran air yang dihasilkan oleh ekosistem hutan, maka pelestarian hutan harus dilakukan. Pelestarian hutan sebagai penyedia air tidak hanya menjadi tanggung-jawab pengelola hutan tetapi juga tanggungjawab pengguna air sebagai penerima manfaatnya (water benefeciaries). Mekanisme imbal balik dari pengguna air untuk pelestarian ekosistem hutan sebagai daerah tangkapan airnya (DTA) dikenal sebagai PES (Payment for Ecosystem
1720
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1719-1724, Oktober 2015
Services) atau pembayaran jasa ekosistem (PJE) yang saat ini mulai banyak dirintis dan diimplementasikan sebagai salahsatu instrumen ekonomi lingkungan. Melalui mekanisme PJE tersebut, maka pemanfaat jasa ekosistem akan berkontribusi terhadap pelestarian ekosistem penyedia jasa ekosistemnya. Hal ini ditegaskan pada Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, yaitu dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Kawasan hutan di Provinsi Jawa Barat yang umumnya berada di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) berperan penting sebagai daerah tangkapan air (water catchment) dan menyediakan jasa ekosistem air. Sumber mata air yang keluar ke bagian hilir dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan air rumah tangga, pertanian, industri, dan kegiatan lainnya. Pelestarian ekosistem hutan sudah seharusnya dilakukan oleh pengguna air di bagian hilirnya. Dari berbagai inisiatif PES yang saat ini sedang dikembangkan ditemukan permasalahan batas wilayah yang tidak jelas antara wilayah penyedia jasa ekosistem air dengan wilayah pengguna airnya. Sejumlah penelitian tentang jasa ekosistem terakhir tidak menunjukkan adanya model penilaian jasa ekosistem yang berbasis parameter spasial, sehingga mekanisme pembayaran jasa lingkungan dari pengguna air kepada pengelola resapan airnya di bagian hulu sering tidak berjalan. Hal ini dikarenakan ketidakyakinan penyedia dan pengguna air terhadap batas wilayah resapan airnya dan wilayah dampaknya (impacted
area) di bagian hilirnya (Jing and Zhiyuan, 2011; OrtegaPacheco, Lupi, and Kaplowitz, 2009; Ramdan, 2010; Veldkamp, Polman, Reinhard, and Slingerland, 2011; Yu, 2011). Belum adanya metode pemetaan jasa ekosistem yang praktis untuk menentukan batas wilayah batas wilayah ekosistem penyedia air dan wilayah pengguna air sering menjadi kendala proses PJE.Oleh karena itu keberadaan peta jasa ekosistem air yang mampu mendelineasi batas antara wilayah penyedia air dan wilayah pengguna air dinilai menjadi penting dalam pengembangan mekanisme PJE tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pendekatan spasial dalam pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air di kawasan hutan pegunungan.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilakukan di kawasan hutan produksi (HP) dan hutan lindung (HL) yang dikelola Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten. Kawasan HP yang diteliti berada di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor yang secara administratif berada di Kabupaten Bogor dan kawasan HL di KPH Bandung Selatan yang secara adminsitratif berada di Kabupaten Bandung (Gambar 1). Waktu penelitian adalah bulan Nopember 2014 sampai dengan Januari 2015.
Gambar 1. Lokasi penelitian di KPH Bogor dan KPH Bandung Selatan, Jawa Barat
RAMDAN – Aplikasi HESSA untuk pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air
1721
Gambar 2. Tahapan kerja penelitian
Bahan dan alat Bahan yang digunakan adalah citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), peta tematik (peta kawasan hutan, penutupan lahan dan peta administraai wilayah). Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) untuk mengukur koordinat titik mata air, Current Meter untuk mengukur kecepatan aliran air, serta perangkat lunak Global Mapper dan Arc GIS 10.1 untuk analisis spasial. Cara kerja Metode pembuatan peta jasa ekosistem air atau HESSA yang dibangun dilakukan melalui tahapan kerja sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa ada 2 kegiatan utama dalam pembuatan peta jasa ekosistem air, yaitu (a) melakukan pengukuran lapangan dan (b) analisis data spasial. Pengukuran lapangan dilakukan untuk mendapatkan data titik koordinat titik mata air dan debit aliran airnya. Adapun analisis data spasial dilakukan untuk memetakan wilayah penyedia air (WPA) dan wilayah pengguna air (WGA) yang ditentukan berdasarkan titik koordinat sumber mata air yang diukur di lapangan. Dalam analisis spasial untuk pemetaan jasa ekosistem air dibutuhkan data DEM (Digital Elevation Model) dari citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Pengolahan citra SRTM dilakukan dengan perangkat lunak Global Mapper melalui feature
Terrain Analysis – Generate Watershed sehingga didapatkan batas WPA dan WGA. Batas WPA merupakan DTA yang dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit yang aliran airnya keluar sebagai titik mata air. Adapun batas WGA merupakan wilayah sepanjang aliran air mulai dari titik mata air sebagai titik awalnya sampai titik akhir aliran airnya. Di dalam delineasi batas WPA dan WGA memperhatikan garis kontur yang dibuat dengan feature Terrain Analysis – Generate Countours. Setelah mendapatkan batas WGA dan WPA, ditumpangsusunkan (overlay) dengan peta-peta tematik lainnya untuk mendapatkan informasi spasial sesuai yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini WPA dan WGA ditumpangsusunkan dengan peta penutupan lahan Provinsi Jawa Barat tahun 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Titik mata air Babakan Madang KPH Bogor berada di 106° 54' 58, 9" Bujur Timur (BT) dan 06° 37' 41,3" Lintang Selatan (LS) berada di DAS Ciliwung. Adapun titik mata air Rancaupas berada107°23'41,3" BT dan 07°08'24,1" LS. Peta jasa ekosistem hutan di kawasan HP Babakan Madang dan HL Rancaupas hasil analisis dengan metode HESSA disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
1722
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1719-1724, Oktober 2015
Gambar 3. Peta jasa ekosistem hutan di kawasan hutan produksi Babakan Madang KPH Bogor
Gambar 4. Peta jasa ekosistem hutan di kawasan hutan lindung Rancaupas KPH Bandung Selatan
RAMDAN – Aplikasi HESSA untuk pemetaan wilayah penyedia dan pengguna air
1723
Gambar 5. Luas penutupan lahan di WPA dan WGA Babakan Madang Tahun 2014
Gambar 6. Luas penutupan lahan di WPA dan WGARancaupas Tahun 2014
Gambar 3 menunjukkan bahwa kawasan HP Babakan Madang merupakan darah tangkapan air yang berfungsi sebagai wilayah penyedia air bagi wilayah hilirnya. Luas WPA Babakan Madang yang mencapai 22,09 ha merupakan sumber bagi WGA seluas 16.829,80 ha dengan debit 0,14 m3/detik atau 457.262 m3/tahun. Gambar 4 menunjukkan bahwa kawasan HL Rancaupas merupakan darah tangkapan air yang berfungsi sebagai wilayah penyedia air bagi wilayah hilirnya. Luas WPA Rancaupas yang mencapai 165,5 ha merupakan sumber air bagi WGA seluas 11.814,69 ha dengan debit mata air primernya mencapai 8.167m3/tahun. Kondisi penutupan lahan di masing-masing lokasi disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Pembahasan Pendekatan HESSA untuk pemetaan jasa ekosistem air cukup efektif dalam memetakan batas daerah tangkapan air
sebagai wilayah penyedia air (WPA) dan wilayah pengguna air (WGA). Peta jasa ekosistem air menjadi bagian penting dalam implementasi mekanisme PES (Payment for Environmental Services) antara pengelola kawasan hutan dengan para pengguna air sebagai penerima manfaat jasa ekosistem air dari hutan. Peta jasa ekosistem air HESSA memiliki dua poligon penting, yaitu poligon wilayah daerah tangkapan air (DTA) yang menunjukkan wilayah penyedia air dimana titik mata air dihasilkan dan poligon wilayah pemanfaat air di bagian hilirnya. Hasil tumpangsusun dengan penutupan lahan dapat menentukan potensi kelompok pengguna air. Hasil analisis penutupan lahan WGA di Babakan Madang (Gambar 5) menunjukkan bahwa pengguna air terbesar adalah perumahan, industri dan kegiatan ekonomi yang teridentifikasi dalam penutupan lahan terbangun seluas 8.098,38 ha. Adapun hasil analisis penutupan lahan WGA di Rancaupas (Gambar 6) menunjukkan bahwa pemanfaat
1724
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1719-1724, Oktober 2015
air terbesar adalah kegiatan sawah seluas 3.787,39 ha. Selain kedua kelompok tersebut, terdapat kelompokkelompok pengguna air lainnya yang berada di kedua lokasi penelitian tersebut. Kejelasan batas wilayah pengguna dan pemanfaat air tentunya akan sangat membantu implementasi PJE, sehingga makin meningkatnya PJE maka upaya pelestarian ekosistem (hutan) sebagai penyedia jasa ekosistem akan lebih baik. Metode spasial HESSA ini merupakan temuan inovasi baru aplikasi teknologi GIS yang efektif untuk membuat peta jasa ekosistem air. Peta jasa ekosistem air model HESSA menjadi dasar penting dalam menentukan luasan wilayah penyedia air dan wilayah kelompok-kelompok pengguna air yang memanfaatkan aliran air yang berasal dari ekosistem (hutan) yang berada di bagian hulunya. Secara teknis, metode pemetaan jasa ekosistem air HESSA ini relatif praktis dan mudah digunakan oleh kelompok pemula di bidang sistem informasi geografis. Peta PJE air dinilai sangat membantu proses implementasi PJE antara penyedia air dan kelompok pengguna air. Makin berkembangnya PJE air dari ekosistem hutan diharpakan akan meningkatkan tanggung-jawab pengguna air untuk berkontribusi terhadap pelestarian ekosistem hutan sebagai wilayah penyedia air (water provider area).
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direksi Perum Perhutani yang telah membantu dan memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Acreman M. 2004. Water and Ecology. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations (UNESCO). Paris Aylward B. 2000. Economic Analysis of Landuse Change in Watershed Context. Paper for UNESCO Symposium/Workshop on ForestWater-People in the Humid Tropics, Kuala Lumpur, Malaysia, July 31-August 4, 2000. Jing L, Zhiyuan R. 2011. Variations in Ecosystem Service Value in Response to Land use Changes in the Loess Plateau in Northern Shaanxi Province, China. Int J Environ Res 5(1):109-118. Ortega-Pacheco DV, FLupi, And MDKaplowitz. 2009. Payment For Environmental Services: Estimating Demand Within A Tropical Watershed. J Nat Resour Pol Re 1 (2) : 189-202. Ortega-Pacheco DV. 2011. Investigating the role and scale of transactions costs of incentive-based programs for provision of environmental services in developing countries. [Dissertation]. The Ohio State University. Ohio. Ramdan H. 2004. Analisis Kebijakan Prospek Alokasi Air Lintas Wilayah dari Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti 2 (2) : 28-35. Ramdan H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Ramdan H. 2010. Nilai Kontribusi Hidrologis Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Tampomas. Jurnal Wana Mukti 10 (2) : 73-80. Torahi AA, SC Rai. 2011. Land Cover Classification and Forest Change Analysis, Using Satellite Imagery-A Case Study in Dehdez Area of Zagros Mountain in Iran. J Geogr Inform Syst 3 : 1-11. Veldkamp T, N Polman, S Reinhard, and M Slingerland. 2011. From Scaling to Governance of the Land System: Bridging Ecological and Economic Perspectives. Ecol Soc 16 (1): 1. Verweij P.2002. Innovative Financing Mechanisms for Conservation and Sustainable Management of Tropical Forest : Issues and Perspective. Paper for International Seminar on Forest Valuation and Innovative Financing Mechanisms for Consevation and Sustainable Management of Tropical Forests. Tropenbos International, The Hague, 20-21 March 2002. Yu X. 2011.Transboundary water pollution management Lessons learned from river basin management in China, Europe and the Netherlands. Utrecht Law Review 7 (1): 188-203.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1725-1734
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010736
Strategi adaptasi kalender tanam terhadap variabilitas iklim pada sentra produksi padi di wilayah monsunal dan equatorial Cropping calendar adaptation strategies to climate variability in rice production centers in the monsoon and equatorial region Y. APRIYANA Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Jl. Tentara Pelajar No. 1A PO. BOX. 830 , Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor 16111, Jawa Barat. Tel.: +62-251-8312760, Fax.: +62-251-8323909, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 29 Mei 2015. Revisi disetujui: 21 Agustus 2015.
Apriyana Y. 2015. Strategi adaptasi kalender tanam terhadap variabilitas iklim pada sentra produksi padi di wilayah monsunal dan equatorial. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1725-1734. Strategi adaptasi terhadap variabilitas iklim akibat kejadian ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) pada setiap periode musim tanam sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai pola curah hujan Monsunal dan Provinsi Sumatera Barat dengan pola curah hujan Equatorial. Tahap penelitian dilakukan melalui tahapan sebagai berikut (i) Analisis Analisis korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan dilakukan untuk menemukan hubungan antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada periode Desember-Februari, Maret-Mei, Juni-Agustus, dan September-November, (ii) Delineasi Wilayah Terkena Dampak ENSO dan IOD, (iii) Analisis Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam serta Delineasi Wilayah Dampak ENSO dan IOD pada Peta Kalender Tanam Eksisting dilanjutkan dengan analisis untuk menetapkan waktu dan pola tanam. Pengaruh ENSO dan IOD lebih kuat di wilayah pola hujan monsun dibandingkan dengan equatorial. Kedua fenomena tersebut berpengaruh kuat pada periode September-November. Di wilayah dengan pola hujan monsunal, ENSO berpengaruh kuat di sebagian besar wilayah Utara Jawa Barat sedangkan IOD berpengaruh kuat pada sebagian besar wilayah Selatan Jawa Barat. Di wilayah dengan pola hujan equatorial ENSO dan IOD berpengaruh di sebagian wilayah Barat dan Selatan Sumatera Barat. Sekitar 84% luas sawah di Jawa Barat terdapat pada wilayah yang dipengaruhi ENSO dan IOD secara bersamaan sedangkan di Sumatera Barat hanya sekitar 20%. Di wilayah monsunal terkena dampak, wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO dan IOD mengakibatkan awal musim tanam mundur 1-3 dasarian dan potensi waktu tanam lebih pendek bila dibandingkan dengan wilayah terkena dampak lainnya, sedangkan di wilayah equatorial pengaruh ENSO dan IOD tidak menunjukkan perbedaan pergeseran waktu tanam. Adaptasi terhadap anomali iklim lebih jelas di daerah pola curah hujan monsunal dengan penyesuaian waktu tanam 2-3 dasarian dan merubah rotasi tanaman dari Padi-Padi-Bera menjadi PadiJagung/Kedelai-Bera dan Padi-Padi-Jagung/Kedelai menjadiPadi-Jagung/Kedelai-Bera. Kata kunci: Variabilitas iklim, adaptasi, kalender tanam, sentra produksi padi
Apriyana Y. 2015. Cropping calendar adaptation strategies to climate variability in rice production centers in the monsoon and equatorial region. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1725-1734. Adaptation strategies to climate variability caused by ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) phenomena at each period of the growing season is needed in efforts to improve sustainable food security. The study was conducted in West Java province which have monsoon rainfall pattern and the province of West Sumatra with Equatorial rainfall pattern. Phase of research conducted through the following steps: (i) analysis of the correlation between ENSO and IOD with rainfall conducted to find the relationship between ENSO and IOD with rainfall in the period from December to February, March to May, June to August, and September-November, (ii) delineation Region Affected by ENSO and IOD, (iii) Sensitivity Analysis and Dynamics cropping calendar and delineation of Regional Impact of ENSO and IOD on the Map of Existing Cropping Calendar followed by an analysis to set the time and cropping patterns. The influence of ENSO and IOD is stronger in monsoon rainfall pattern compared to equatorial. Both phenomena are a strong influence on the period September-November. In areas with monsoon rainfall patterns, ENSO has a strong influence in most of the northern region of West Java while IOD strongly influences the majority of the South region of West Java. In a region with a pattern of ENSO and IOD equatorial rainfall effect in parts of West and South West Sumatra. About 84% of rice area in West Java are in areas affected by ENSO and IOD simultaneously while in West Sumatra is only about 20%. The monsoon regions are affected strongly by ENSO and IOD lead to delayed 1-3 ten days period early in the season and potential planting time is shorter when compared with other affected regions, while in the equatorial region of influence of ENSO and IOD showed no difference in planting time shift. Adaptation to climate anomalies more clearly in the area of monsoon rainfall pattern by adjusting the time of planting 2-3 ten days period and change the crop rotation of rice-rice-bare into ricecorn/soybean-bare and rice-rice-corn/soybean into rice-corn/soybean-bare. Key word: Climate variability, adaptation, cropping calendar, rice production center
1726
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1725-1734, Oktober 2015
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Variabilitas iklim dan perubahan iklim merupakan dua fenomena anomali iklim saat ini menjadi isu utama dan perhatian serius karena diyakini mempunyai dampak besar bagi kehidupan di berbagai sektor (Trenberth et al. 1995). Variabilitas iklim di Indonesia erat kaitannya dengan ENSO (El Niño Southern Oscillation) di Samudera Pasifik dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Samudera Hindia (Saji et al. 1999). Dampak dari dua fenomena ini juga sangat terasa dalam pola tanam, perubahan tidak hanya di tadah hujan tetapi juga di lahan irigasi (Ashok et al. 2001). El Niño dan IOD positif secara bersamaan mempunyai dampak yang sangat besar untuk waktu tanam. Pada 1997/98 dua fenomena ini menggeser waktu tanam pada musim hujan 2-3 bulan yang selanjutnya tertunda waktu tanam di musim depan (Las 2000). Masa tanam juga bergeser 10-20 hari selama beberapa dekade lalu (Linderholm 2006). Dampak kedua fenomena ini juga mempengaruhi perubahan pola tanam baik di dataran rendah irigasi dan tadah hujan. Saat ini, sebagian besar wilayah tanam padi menggunakan pola tanam padi-padi di mana musim tanam kedua tergantung pada ketersediaan air irigasi (Las et al. 2007). Adanya indikator anomali iklim seperti ENSO di Samudera Pasifik dan IOD di Samudera Hindia tersebut, pada kenyataannya mempengaruhi fluktuasi hujan di wilayah tertentu sehingga pada gilirannya mempengaruhi aktifitas budidaya pertanian (Saji and Yamagata 2003; Naylor et al. 2007), termasuk kalender tanam khususnya padi (Koesmaryono et al. 2009). Kalender Tanam Padi Badan Litbang Pertanian disusun berdasarkan pola curah hujan dengan asumsi bahwa fluktuasi curah hujan sepenuhnya mempengaruhi pola dan waktu tanam, dan karakteristik curah hujan itu sendiri mencerminkan karakteristik lokal (Las et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan analisis kalender tanam dan luas tanam pada wilayah yang memiliki korelasi kuat dengan anomali iklim ENSO dan IOD. Anomali tersebut semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang sehingga menimbulkan dampak yang signifikan terhadap strategi budidaya dan produksi pertanian. Mencermati sangat signfikannya dampak variabilitas iklim tersebut terutama akibat dari fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole), maka diperlukan suatu upaya dalam mengantisipasi dampak variabilitas iklim khusunya terhadap kalender tanam. Penelitian ini bertujuan: (i) Mengidentifikasi dinamika kalender tanam pada daerah yang sering dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD; (ii) Menetapkan potensi waktu tanam yang optimal. (iii) Mempelajari adaptasi petani terhadap dampak kedua fenomena tersebut. Penelitian difokuskan pada daerah sentra produksi padi baik di wilayah monsunal maupun equatorial
Penelitian ini dilakukan di dua provinsi sentra produksi padi di Indonesia, di Jawa Barat yang mewakili hujan curah hujan pola wilayah monsunal dan Sumatera Barat mewakili wilayah pola curah hujan equatorial. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data dan peta yang terdiri dari : (i) Data curah hujan bulanan pengamatan yang tersebar di Jawa Barat dan Sumatera Barat diperoleh dari instansi terkait seperti Balitklimat, BMG, PSDA/PU serta Dinas Pertanian untuk mengetahui kondisi curah hujan periode 1990-2007. (ii) Data Nino 3.4 Sea Surface Temperature (SST) periode 1990-2007. (iii) Data Dipole Mode Index (DMI) series periode 1990-2007. (iv) Data series penggunaan lahan selama 17 tahun. (v) Data waktu tanam eksisting diperoleh dari Laporan Kalender Tanam Badan Litbang Pertanian (Las et al. 2007). (vi) Peta-peta pendukung meliputi peta administrasi, peta rupa bumi, peta topografi dan peta luas baku sawah di wilayah penelitian. Pelaksanaan penelitian berupa kegiatan meliputi analisis data curah hujan, data ENSO, DMI, dan waktu tanam, serta analisis sensitivitas dan dinamika pola tanam. Penelusuran informasi melalui internet dilakukan untuk memperoleh informasi tentang ENSO dan IOD dengan menggunakan parameter SST di Nino 3.4 dan DMI. Data sekunder dikumpulkan melalui survei lapang. Tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut: Hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD Stasiun hujan yang dianaliis dalam penelitian ini yang digunakan adalah masing-masing 346 stasiun untuk Jawa Barat dan 113 stasiun untuk Sumatera Barat. Meskipun demikian dari data yang diperoleh masih ditemukan pula data-data yang kosong (missing data). Untuk mengisi kekosongan data tersebut digunakan data curah hujan interpolasi grid. Interpolasi grid merupakan analisis dari ArcView yang digunakan untuk interpolasi data hujan pada masingmasing stasiun untuk memperoleh grid kontinyu data hujan yang selanjutnya dapat dibuat peta isohyet. Dari seluruh jumlah titik stasiun yang memiliki nilai curah hujan tertentu, ArcView akan menghitung jarak dan nilai dari stasiun terdekat atau disekitarnya. Pada dasarnya proses dari metode ini dilakukan dengan menggabungkan database sinoptik dengan database stasiun hujan dan membangkitkan data yang kosong dengan ekstrak data grid dari interpolasinya yang berkesinambungan. Analisis anomali curah hujan bulanan dihitung tiap stasiun kemudian di cari anomalinya terhadap nilai ratarata curah hujan. AnoCH ij CH ij CH ij CH ij
i n CH j n j 1
dimana: AnoCHij = anomali curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j CH ij = curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j CH ij = curah hujan rata-rata di stasiun ke-i bulan ke-j
n
= jumlah data
APRIYANA – Strategi adaptasi kalender tanam
Analisis korelasi dilakukan secara temporal untuk mengetahui hubungan antara anomali curah hujan yang terjadi di setiap stasiun hujan dengan nilai anomali SST sebagai indikator penyimpangan iklim untuk setiap bulannya. Nilai korelasi diamati pada periode DesemberFebruari, Maret-Mei, Juni-Agustus, September-November. Pada analisis ini digunakan program Minitab 14 dengan cara menghitung nilai korelasi (r) yaitu korelasi antara dua variable. Rumus perhitungan nilai korelasi adalah:
r
n n n n xi y i xi y i i 1 i 1 i 1 2 2 n n n 2 n 2 n xi xi n y i y i i 1 i 1
dimana: r = nilai korelasi n = jumlah data x = anomali SST nino 3.4 atau anomali IOD y = anomali curah hujan Nilai korelasi (r) berkisar antara-1 dan 1 atau ditulis-1 ≥ r ≤ 1. Tanda positif atau negatif menunjukkan arah korelasinya. Bila korelasi antara x dan y negatif maka kenaikan variable x akan menyebabkan penurunan y atau sebaliknya. Bila korelasi antara x dan y positif, maka kenaikan variabel x akan diikuti dengan kenaikan variabel y atau sebaliknya. Korelasi ditentukan berdasarkan tingkat kepercayaan kuat (99%), sedang (95%) dan lemah (90%). Karena jumlah pengamatan sebanyak 18 tahun maka berdasarkan analisis ”Significance of a Correlation Coefficient” (http://faculty.vassar.edu/lowry/ch4apx.html) diperoleh: (i) nyata kuat | ± 0.54 | ≤ r < | ± 1.00 |, (ii) nyata sedang | ± 0.39 | ≤ r < | ± 0.54 |, (iii) nyata lemah | ± 0.33 | ≤ r < | ± 0.39 |, dan (iv) tidak nyata r < | ± 0.33 |. Untuk mengetahui besarnya pengaruh ENSO pada kejadian curah hujan adalah dengan menggunakan indeks suhu muka laut di Nino 3.4. (50N-50S, 1200-1700W). Indeks tersebut dihitung dari fluktuasi musiman atau bulanan berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Kaplan et al. (1998). Data suhu muka laut di Nino 3.4 bulanan diperoleh dari NOAA (http://www.cpc.ncep.noaa.gov). Sama halnya dengan ENSO, Dipole Mode (DM) atau Indian Ocean Dipole (IOD) dinyatakan dalam bentuk indeks yaitu Dipole Mode Indeks (DMI). DMI dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera Hindia (50°-70°BT, 10°LU10°LS) dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera Hindia (90°-110°BT, 0°-10°LS). Data DMI diperoleh dari http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod. Untuk melihat maju mundurnya hubungan antara prediktor dan prediktan dilakukan analisis yang mempertimbangkan faktor lag, sehingga diperoleh informasi korelasi anomali iklim pada waktu tertentu. Hubungan curah hujan dan suhu permukaan laut Nino 3.4 dan DMI dinyatakan melalui skenario tenggang waktu (time lag) 0, 1 dan 2 bulan: (i) lag 0 : curah hujan bulan ini
1727
dipengaruhi oleh SST pada bulan yang sama, (ii) lag 1 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST 1 bulan sebelumnya, dan (iii) lag 2 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST 2 bulan sebelumnya. Dari keseluruhan hasil analisis, ditentukan lag yang dominan di setiap stasiun hujan berdasarkan besarnya nilai koefisien korelasi (r) validasi tertinggi pada setiap stasiun tersebut. Delineasi wilayah terkena dampak ENSO dan IOD Untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap anomali iklim hasil analisis disajikan dalam bentuk spasial. Bentuk spasial dari nilai korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan dapat lebih menjelaskan daerah mana saja yang dipengaruhi oleh fenomena anomali iklim tersebut. Metode Interpolasi grid yang dijalankan dengan menggunakan program ArcView Version 3.3. digunakan dalam menampilkan bentuk spasial dari nilai korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan. Analisis sensitivitas dan dinamika kalender tanam serta delineasi wilayah dampak ENSO dan IOD pada peta kalender tanam eksisting Sensitivitas kalender tanam menunjukkan variabilitas respon kalender tanam terhadap kondisi klimatis sedangkan dinamika kalender tanam menunjukkan pergeseran waktu tanam akibat anomali iklim. Untuk mengetahui sensitivitas dan dinamika kalender tanam dilakukan dengan manganalisis hubungan antara ENSO dan IOD dengan waktu tanam pada wilayah waktu tanam dalam kalender tanam eksisting yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian. Analisis sensitivitas pola tanam terhadap anomali iklim menghasilkan delineasi dan peta wilayah dampak anomali iklim yang disusun berdasarkan hasil analisis indikator anomali iklim (ENSO dan IOD) dan potensi awal musim tanam (waktu tanam) dari kalender tanam eksisting yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian (Las et al. 2007). Selanjutnya dengan menggunakan metode Interpolasi grid dari ArcView dilakukan deliniasi stasiun-stasiun hujan yang mempunyai korelasi dengan anomali ENSO dan IOD. Tampilan dalam bentuk spasial dari nilai korelasi antara curah hujan dengan ENSO dan IOD dapat lebih menjelaskan daerah mana saja yang dipengaruhi oleh iklim global tersebut. Dari masing-masing hasil analisis tersebut dibuat delineasi zonasi digital, berupa indikator anomali iklim dan isohyet yang menghasilkan layer zonasi anomali iklim dan layer waktu tanam Kalender Tanam Eksisting. Kedua layer digital selanjutnya ditumpang-tepatkan untuk mendapatkan kombinasi data yang memiliki luas tanam dari waktu tanam yang terkena dampak ENSO dan atau IOD. Selanjutnya pada masing-masing poligon hasil tumpang-tepat dihitung luasannya untuk menentukan prosentase wilayah yang terkena dampak anomali iklim tersebut. Hasil analisis uji sensitivitas disajikan secara spasial dan temporal untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang peka terhadap anomali iklim global pada kondisi musim tertentu.
1728
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1725-1734, Oktober 2015
Strategi adaptasi kalender tanam Strategi adaptasi kalender tanam dibangun berdasarkan hasil karakterisasi dan delineasi wilayah yang terindikasi terkena dampak ENSO dan IOD maupun yang tidak terkena dampak kedua anomali tersebut. Selanjutnya diperkuat dengan hasil analisis neraca air baik pada lahan sawah tadah hujan maupun lahan irigasi ditambah dengan hasil analisis prediksi curah hujan sebagai bahan masukan untuk rencana tanam serta informasi daya dukung sumberdaya air dan kemampuan adaptasi petani dalam menyiasati variabilitas iklim. Adaptasi kalender tanam disusun melalui penentuan awal waktu tanam (waktu tanam), potensi waktu tanam serta pola tanam di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal, kejadian El Niño dan IOD positif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola dan distribusi hujan Wilayah monsunal Pola hujan di wilayah monsunal seperti di Jawa Barat digambarkan dengan perbedaan periode musim hujan dan periode musim kemarau yang tegas bersifat unimodial (satu puncak musim hujan). Puncak musim hujan di wilayah monsunal pada kondisi normal umumnya terjadi pada bulan Desember-Februari. Dan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juni-Agustus. Musim pancaroba/transisi terjadi pada bulan Maret-Mei dan September-November. Hasil analisis dari 346 stasiun di Jawa Barat yang terdisrtibusi di wilayah Utara, Tengah dan Selatan Jawa Barat menunjukkan pola monsun (Gambar 1). Distribusi curah hujan saat memasuki periode Desember-Februari tidak begitu tampak variabilitasnya (Gambar 2a). Namun saat memasuki masa transisi pada periode Maret-Mei sebagian wilayah Utara sudah menunjukkan perbedaan dengan wilayah lainnya yang ditunjukkan dengan curah hujan yang lebih rendah (Gambar 2b). Penurunan curah hujan lebih mendominasi hampir seluruh wilayah Jawa Barat saat memasuki periode Juni-Agustus yang ditandai dengan jumlah curah hujan
Gambar 1. Pola curah hujan di Jawa Barat, tahun 1990-2009
rata-rata antara 100-200 mm/bulan (Gambar 2c). Distribusi curah hujan relatif beragam terutama saat memasuki periode September-November yang ditunjukkan oleh perbedaan curah hujan yang mencolok antara wilayah Utara dengan wilayah lainnya (Gambar 2d). Di wilayah Utara Jawa Barat seperti di Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon curah hujan relatif lebih rendah, hal tersebut terjadi karena (i) penurunan curah hujan lebih tinggi saat memasuki periode Juni-Agustus dan (ii) peningkatan curah hujan lebih lambat pada periode September-November. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Naylor et al. (2007) yang menyatakan bahwa berdasarkan analisis statistik dari catatan pengamatan menunjukkan korelasi antara terjadinya penundaan dan total curah hujan pada bulan September-Desember sebesar-0,94 untuk Jawa Barat/Tengah. Hal tersebut menunjukkan penundaan awal musim hujan yang sangat berhubungan erat dengan penurunan jumlah curah hujan dalam periode tersebut. Wilayah equatorial Seluruh wilayah Sumatera Barat berpola hujan equatorial, baik di bagian Utara, Tengah maupun di Selatan wilayah tersebut (Gambar 3). Pola hujan equatorial dicirikan dengan wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Puncak musim hujan terjadi sekitar bulan April dan November atau pada saat terjadi ekinoks. Berdasarkan hasil analisis, penurunan curah hujan di Sumatera Barat terjadi dari periode Desember-Februari memasuki Maret-Mei dari kisaran 300-400 mm/bulan menjadi 200-300 mm/bulan (Gambar 4a dan 4b). Seperti terlihat pada beberapa wilayah di sebagian Kabupaten Lima Puluh Koto, Padang Pariaman dan Pesisir Selatan. Kemudian periode terkering yaitu Juni-Agustus kisaran menurun menjadi 100-200 mm/bulan terdistribusi luas mendominasi Sumatera Barat bagian Tengah ke arah Barat dari Kota Bukit Tinggi, Padang Pariaman sampai ke Tanah Datar dan Solok hingga ke arah Selatan sampai Kabupaten Pesisir Selatan (Gambar 4c). Setelah memasuki SeptemberNovember curah hujan meningkat kembali sampai berkisar antara 200-500 mm/bulan (Gambar 4d).
Gambar 2. Pola curah hujan di Sumatera Barat, tahun 1990-2009
APRIYANA – Strategi adaptasi kalender tanam
A
1729
B
A B Gambar 3. Distribusi hujan di Jawa Barat periode (A) Desember-Februari, (B) Maret-Mei, (C) Juni-Agustus, (D) September-November
A
B
A B Gambar 4. Distribusi hujan di Sumatera Barat periode (A) Desember-Februari, (B) Maret-Mei, (C) Juni-Agustus, (D) SeptemberNovember
1730
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1725-1734, Oktober 2015
Dampak ENSO dan IOD terhadap dinamika curah hujan Wilayah monsunal Provinsi Jawa Barat cukup rentan dipengaruhi oleh dinamika ENSO dan IOD. Artinya kesiapan sarana dan prasarana bagi penyediaan air irigasi perlu terus disiagakan ketika memasuki periode Juni-November, dan kepada petani tidak dianjurkan untuk menanam pada perioe JuniAgustus, karena IOD semakin kuat pengaruhnya dan luasan yang semakin bertambah secara nyata dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode Juni-Agustus, ENSO berpengaruh sedang terhadap curah hujan di sebagian kecil wilayah Timur Laut meliputi Indramayu dan Cirebon serta di wilayah Selatan Jawa Barat meliputi Garut dan sekitarnya (Gambar 5a). Pengaruh ENSO semakin meluas pada periode SeptemberNovember. Hampir seluruh Jawa Barat dipengaruhi oleh anomali iklim tersebut kecuali wilayah Barat (Gambar 5b). ENSO berpengaruh kuat terhadap curah hujan di sebagian wilayah seperti di Subang, Indramayu, Kuningan, Cirebon, Garut dan Ciamis. Pengaruh ENSO hilang saat memasuki periode banyak hujan yaitu pada periode Desember-Februari, bahkan pada periode transisi Maret-Mei di sebagian wilayah Barat Laut, terjadi pengaruh positif yang menunjukkan peningkatan ENSO diikuti dengan peningkatan curah hujannya. Pengaruh IOD pada periode Juni-Agustus terjadi di sepanjang wilayah Selatan Jawa Barat meliputi Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan sebagian wilayah di Majalengka, Kuningan dan Bandung (Gambar 6a). Pengaruh IOD semakin luas saat memasuki periode September-November kecuali sebagian wilayah Barat (Gambar 6b). IOD berpengaruh kuat terhadap curah hujan di wilayah-wilayah seperti Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Kuningan. Pengaruh IOD terhadap anomali curah hujan menurun drastis saat memasuki Desember-Februari dan hanya sedikit muncul di Selatan Jawa Barat pada periode Maret-Mei. Hanya beberapa wilayah saja seperti sebagian besar Bogor, Cianjur dan Bandung yang tidak terpengaruh oleh keduan fenomena tersebut. Pada wilayah-wilayah tersebut, pengaruh iklim regional seperti monsun AsiaAustralia dan atau lokal lebih dominan dibandingkan dengan iklim globalnya. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa dampak ENSO dan IOD kuat pada daerah-daerah dengan pola curah hujan monsun atau daerah yang memiliki satu puncak hujan. Wilayah equatorial Dampak munculnya ENSO dan IOD di wilayah Equatorial tidak terjadi baik pada periode DesemberFebruari maupun Maret-Mei. Kejadian ENSO berpengaruh nyata di Limapuluh Koto dan Sawahlunto pada periode Juni-Agustus (Gambar 7a). Selanjutnya pada SeptemberNovember, pengaruh ENSO baru terlihat berpengaruh nyata di beberapa wilayah seperti Agam dan Padang (Gambar 7b) dan pengaruh ENSO di Sawahlunto mulai berkurang tetapi meningkat di daerah Pesisir Selatan dan sebagian Padang bersamaan dengan pengaruh IOD (Gambar 8a). Dengan demikian pengaruh dominan baik IOD maupun ENSO bergantian sejak Juni-Agustus dan September-
November serta keduanya mulai berkurang setelah memasuki Desember-Februari. Melemahnya pengaruh dipole mode pada periode tersebut karena kejadian IOD sudah berada dalam kondisi normal selain itu pada periode tersebut merupakan puncak musim hujan di wilayah Indonesia. Secara keseluruhan pada di Sumatera Barat, pengaruh ENSO dominan pada Juni-Agustus sedangkan memasuki September-November pengaruh IOD lebih kuat dibandingkan dengan ENSO (Gambar 8b). Luas sawah terkena dampak ENSO dan IOD Wilayah monsunal Pengaruh ENSO dan IOD di Jawa Barat terhadap luas sawah tidak begitu besar, hanya kurang dari 5% saat memasuki periode Desember-Februari dan Maret-Mei. Luas sawah yang terpengaruh ENSO dan IOD meningkat saat memasuki periode Juni-Agustus, pada periode tersebut pengaruh IOD sekitar 26% lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh ENSO pada sekitar 15% dari seluruh luas sawah di Jawa Barat. Luas sawah yang dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut hanya sekitar 4%, sisanya sekitar 54% tidak terpengaruh. Pada periode September-November sebagian besar luas sawah di Jawa Barat atau sekitar 84% dipengaruhi oleh ENSO dan IOD secara bersamaan sedangkan luas sawah yang tidak terpengaruh turun menjadi sekitar 14% (Tabel 1). Berdasarkan hasil analisis ini semakin terlihat jelas bahwa provinsi Jawa Barat cukup rentan dipengaruhi oleh dinamika ENSO dan IOD. Artinya kesiapan sarana dan prasarana bagi penyediaan air irigasi perlu terus disiagakan ketika memasuki periode Juni-November, dan kepada petani tidak dianjurkan untuk menanam pada perioe JuniAgustus, karena IOD semakin kuat pengaruhnya dan luasan yang semakin bertambah secara nyata dibandingkan dengan periode sebelumnya. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa dampak ENSO dan IOD kuat pada daerah-daerah dengan pola curah hujan monsun atau daerah yang memiliki satu puncak hujan. Wilayah equatorial Hasil analisis dampak ENSO dan IOD terhadap luas sawah di Sumatera Barat dan Jawa Barat menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan. Bahkan perbedaan tersebut menunjukkan sesuatu yang berbeda dari yang selama ini diperkirkan banyak penelitian. Untuk kasus di Sumatera Barat misalnya, banyak penelitian menyakini, karena letak provinsi ini dekat dengan laut Hindia, dimana fenomena IOD timbul dan ditemukan, maka disimpulkan bahwa provinsi ini sebagian besar dipengaruhi oleh IOD. Akan tetapi analisis yang ditunjukkan Tabel 2, menunjukkan bahwa sebagian besar luas sawah berada pada wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh anomali iklim tetapi berada pada wilayah yang dipengaruhi oleh kondisi iklim lokal yang sangat kuat. Bahkan pada periode Desember, Januari dan Februari, tidak ada peristiwa anomali iklim mempengaruhi wilayah luas sawah padi di Sumatera Barat. Pengaruh IOD baru terlihat pada periode Juni-Agustus, dan akan semakin menguat melebihi ENSO pada periode September-November, tetapi tidak lebih dari 20%.
APRIYANA – Strategi adaptasi kalender tanam
A B Gambar 5. Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan di Jawa Barat periode (A) Juni-Agustus. (B) September-November
A B Gambar 6. Tingkat korelasi antara IOD terhadap curah hujan di Jawa Barat periode (A) Juni-Agustus. (B) September-November
A B Gambar 7. Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan di Jawa Barat periode (A) Juni-Agustus. (B) September-November
A B Gambar 8. Tingkat korelasi antara IOD terhadap curah hujan di Jawa Barat periode (A) Juni-Agustus. (B) September-November
1731
1732
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1725-1734, Oktober 2015
Tidak kuatnya pengaruh ENSO dan IOD di Sumatera Barat disebabkan oleh bentuk fisiografis wilayah Sumatera Barat dengan bukit barisannya, dan menjadi lintasan pergerakan sekumpulan awan raksasa (Giant Cloud Cluster) yang membawa uap air yang sangat besar. Pergerakan awan ini selanjutnya terpisah di atas bukit barisan, dengan sebagiannya menuju arah Timur atau provinsi Jambi. Kandungan uap air yang juga berpotensi menimbulkan hujan di sore hari menyebabkan dampak ENSO dan IOD tidak nyata terhadap penurunan curah hujan. Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengaruh ENSO dan IOD lemah pada daerah dengan pola hujan equatorial atau daerah yang memiliki dua puncak curah hujan. Strategi adaptasi kalender tanam terhadap variabilitas iklim Strategi adaptasi kalender tanam (waktu dan pola tanam) dibangun berdasarkan hasil karakterisasi dan delineasi wilayah yang terindikasi terkena dampak ENSO dan IOD maupun yang tidak terkena dampak kedua anomali tersebut. Selanjutnya diperkuat dengan hasil analisis neraca air baik pada lahan sawah tadah hujan maupun lahan irigasi ditambah dengan hasil analisis prediksi curah hujan sebagai bahan masukan untuk rencana tanam serta informasi daya dukung sumberdaya air dan kemampuan adaptasi petani dalam menyiasati variabilitas iklim. Adaptasi kalender tanam disusun melalui penentuan awal waktu tanam (waktu tanam), potensi waktu tanam serta pola tanam di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal, kejadian El Niño dan IOD positif. Strategi adaptasi di sentra produksi padi wilayah dengan pola hujan monsunal diwakili kabupaten Indramayu dan Cianjur sedangkan pada wilayah dengan pola hujan equatorial diwakili kabupaten Solok dan Tanah Datar. Pada tahun normal, waktu tanam di wilayah dengan pola curah hujan monsunal seperti di Indramayu terjadi pada Oktober I/II dengan pola tanam Padi-Padi-Palawija dan di Cianjur lebih awal 1 dasarian yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam yang sama yaitu PadiPadi-Palawija. Di Pesisir Selatan, waktu tanam terdapat pada Agustus III/September I dengan pola tanam PadiPadi-Palawija sedangkan di Solok waktu tanam dimulai pada Mei I/II dengan pola tanam Padi-Padi-Padi (Gambar 9). Pada tahun El Niño, waktu tanam di Indramayu terdapat pada Oktober III-November II mundur 1-3 dasarian dari tahun normal dengan pola tanam Padi-Padi/palawijaPalawija/bera sedangkan di Cianjur tidak berbeda dengan tahun normalnya yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi-Padi-Palawija. Di Pesisir Selatan, waktu tanam mundur 1 dasarian terdapat pada September I/II dengan pola tanam Padi-Padi-Palawija sedangkan di Solok, waktu tanam sama dengan tahun normalnya dimulai pada Mei I/II dengan pola tanam Padi-Padi-Padi (Gambar 10). Pada tahun IOD positif, waktu tanam di Indramayu terdapat pada Oktober III/November I mundur 2 dasarian
dari tahun normal dengan pola tanam Padi-Padi/palawijabera sedangkan di Cianjur tidak berbeda dengan tahun normalnya yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi-Padi-Palawija. Di Pesisir Selatan, waktu tanam mundur 1 dasarian terdapat pada September I/II dengan pola tanam Padi-Padi-Palawija sedangkan di Solok waktu tanam sama dengan tahun normalnya dimulai pada Mei I/II dengan pola tanam Padi-Padi-Padi (Gambar 11). Pengaruh ENSO dan IOD lebih kuat di wilayah pola hujan monsun dibandingkan dengan equatorial. Kedua fenomena tersebut berpengaruh kuat pada periode September-November. Di wilayah dengan pola hujan monsunal, ENSO berpengaruh kuat di sebagian besar wilayah Utara Jawa Barat sedangkan IOD berpengaruh kuat pada sebagian besar wilayah Selatan Jawa Barat. Di wilayah dengan pola hujan equatorial ENSO dan IOD berpengaruh di sebagian wilayah Barat dan Selatan Sumatera Barat. Sekitar 84% luas sawah di Jawa Barat terdapat pada wilayah yang dipengaruhi ENSO dan IOD secara bersamaan sedangkan di Sumatera Barat hanya sekitar 20%. Di wilayah monsunal terkena dampak, wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO dan IOD mengakibatkan awal musim tanam mundur 1-3 dasarian dan potensi waktu tanam lebih pendek bila dibandingkan dengan wilayah terkena dampak lainnya, sedangkan di wilayah equatorial pengaruh ENSO dan IOD tidak menunjukkan perbedaan pergeseran waktu tanam. Adaptasi terhadap anomali iklim lebih jelas di daerah pola curah hujan monsunal dengan penyesuaian waktu tanam 2-3 dasarian dan merubah rotasi tanaman dari Padi-Padi-Bera menjadi Padi-Jagung/Kedelai-Bera dan Padi-PadiJagung/Kedelai menjadiPadi-Jagung/Kedelai-Bera. Tabel 1. Luas sawah di Jawa Barat yang terkena dampak ENSO dan IOD pada berbagai periode.
Pengaruh anomali iklim ENSO dan IOD ENSO IOD Tidak terpengaruh ENSO dan IOD
Periode Desember- Maret- JuniFebruari Mei Agustus Luas (%) 0.0 0.0 4.2 1.6 0.6 15.7 3.4 3.7 26.3 95.0 95.7 53.8
SeptemberNovember 83.6 0.0 2.8 13.6
Tabel 2. Luas sawah di Sumatera Barat yang terkena dampak ENSO dan IOD pada berbagai periode
Pengaruh anomali iklim ENSO dan IOD ENSO IOD Tidak terpengaruh ENSO dan IOD
Periode Desember- Maret- JuniFebruari Mei Agustus Luas (%) 0.0 0.0 0.0 3.6 2.0 17.5 3.4 1.7 0.0 93.0 96.3 82.5
SeptemberNovember 20.1 3.7 3.3 72.9
APRIYANA – Strategi adaptasi kalender tanam
Gambar 9. Waktu dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal
Gambar 10. Waktu dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun El Niño
Gambar 11. Waktu dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun IOD positif
1733
1734
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1725-1734, Oktober 2015
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pengaruh ENSO dan IOD lebih kuat di wilayah pola hujan monsun dibandingkan dengan equatorial. Kedua fenomena tersebut berpengaruh kuat pada periode September-November. Di wilayah dengan pola hujan monsunal, ENSO berpengaruh kuat di sebagian besar wilayah Utara Jawa Barat sedangkan IOD berpengaruh kuat pada sebagian besar wilayah Selatan Jawa Barat. Di wilayah dengan pola hujan equatorial ENSO dan IOD berpengaruh di sebagian wilayah Barat dan Selatan Sumatera Barat. Sekitar 84% luas sawah di Jawa Barat terdapat pada wilayah yang dipengaruhi ENSO dan IOD secara bersamaan sedangkan di Sumatera Barat hanya sekitar 20%. Di wilayah monsunal terkena dampak, wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO dan IOD mengakibatkan awal musim tanam mundur 1-3 dasarian dan potensi waktu tanam lebih pendek bila dibandingkan dengan wilayah terkena dampak lainnya, sedangkan di wilayah equatorial pengaruh ENSO dan IOD tidak menunjukkan perbedaan pergeseran waktu tanam. Adaptasi terhadap anomali iklim lebih jelas di daerah pola curah hujan monsunal dengan penyesuaian waktu tanam 2-3 dasarian dan merubah rotasi tanaman dari PadiPadi-Bera menjadi Padi-Jagung/Kedelai-Bera dan PadiPadi-Jagung/Kedelai menjadiPadi-Jagung/Kedelai-Bera.
Ashok K, Guan Z, Yamagata T. 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett. 28: 4499-4502. Kaplan A, Cane MA, Kushnir Y, Clement AC, Blumenthal MB., Rajagopalan B. 1998: Analyses of global sea surface temperature 1856-1991. J Geophys Res 103 (18): 567-589. Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Pramudia A, Apriyana Y, Trinugroho W. 2009. Pengembangan Stándar Operasional Prosedur Adaptasi Kalender Tanaman Padi terhadap ENSO-IOD Berbasis Sumberdaya Iklim dan Air. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB, Jakarta. Las I, Unadi A, Subagyono K, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2007. Atlas of Java cropping calendar. Scale 1:1.000.000 and 1:250.000. Indonesian Agro-Climate and Hydrology Research Institute, Bogor. Las I. 2000. Chances of El Niño and La Niña event in 1900-2000. Center for Food Crops Research and Development. IAARD. Bogor. Linderholm HW. 2006. Growing season changes in the last century. Agric For Meteor 137 (1-2): 1-14. Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proc Nat Acad Sci USA 104: 7752-7757. Saji NH, Yamagata T. 2003 : Structure of SST and Surface Wind Variability during Indian Ocean Dipole Mode Events : COADS Observations. J Clim 16: 2735-2751. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole in the Tropical Indian Ocean. Nature 401: 360-363. Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bull Amer Meteorol Soc 78 (12): 2771-2777.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1735-1740
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010737
Penentuan model tarif sumber daya air sebagai kompensasi jasa ekosistem kawasan hutan Determination of the tariff model of water resources as a compensation for forest ecosystem services YOOCE YUSTIANA, ENDANG HERNAWAN, HIKMAT RAMDAN Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung. Gedung SITH Labtek XI. Jl.Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat. Tel.: +62-222511575, 2500258, Fax.: +62-22-2534107, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 15 Mei 2015. Revisi disetujui: 28 Agustus 2015.
Yustiana Y, Hernawan E, Ramdan H. 2015. Penentuan model tarif sumber daya air sebagai kompensasi jasa ekosistem kawasan hutan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1735-1740. Sistem alamiah ekosistem hutan dan interaksi komponen fisik dan biologis di dalamnya menjadikan hutan berperan sebagai wilayah tangkapan air terpenting dalam siklus hidrologis. Namun demikian, kontribusi nilai manfaat hutan dalam menyediakan air yang berjalan sepanjang waktu belum mendapatkan apresiasi yang layak dari para pengguna air yang berperan sebagai penerima manfaat (benefeciaries) jasa lingkungan kawasan hutan tersebut. Para pemanfaat air masih banyak yang tidak mempedulikan dan kurang memberikan apresiasi nilai terhadap kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan sebagai wilayah tangkapan airnya. Oleh karena itu untuk menjaga kontinuitas, kuantitas, dan kualitas air yang dimanfaatkan maka ekosistem hutan harus dijaga kelestariannya dengan cara menentukan tarif air sebagai kompensasi jasa lingkungan kawasan hutan. Penelitian ini bertujuan: (i) Merumuskan /membentuk formula/model penentuan tarif sumber daya air sebagai produk jasa ekosistem hutan; dan (ii) Mengaplikasikan formula/model penentuan tarif sumber daya air sebagai produk jasa ekosisitem hutan di kawasan hutan Bandung Utara dan Cianjur. Analisis penentuan formula/model tarif menggunakan mekanisme water pricing yang berdasarkan Step Tarrif atau Increasing Block Rates (IBR), yang mencerminkan biaya yang sebenarnya akan memberikan sinyal kepada pengguna mengenai nilai dari air dan dapat menjadi insentif untuk pemanfaatan air yang lebih bijaksana. Hasil Analisis, struktur penetapan tarif air didasarkan pada pembagian (i) Blok Konsumsi; (ii) Segmentasi Konsumen; dan (iii) Biaya Usaha Dan Biaya Dasar. Konsumen dikelompokkan menjadi: (i) Layak mendapat subsidi, (ii) tidak mendapat subsidi, dan (iii) memberi subsidi dengan tarif yang mengandung tingkat keuntungan. Tarif air dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu: tarif rendah, tarif dasar, tarif penuh, dan tarif yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan (khusus). (Keteranga: TD (Tarif Dasar), TBPAT (Total Biaya Pemanfaatan Air Terproduksi), VHHL (Volume Hasil Hutan Lainnya), VKAS (Volume Kehilangan Air Standar), TR (Tarif Rendah), RSb (Rata² Subsidi), TP (Tarif Penuh), RTK (Rata² Tingkat Keuntungan), RSbS (Rata² Subsidi Silang). Hasil aplikasi formula/model tarif air sebagai kompensasi jasa lingkungan kawasan hutan menunjukkan nilai: untuk kawasan hutan di Bandung Utara, tarif dasar Rp 578,- per m³, tarif rendah Rp 403,- per m³ dan tarif penuh Rp 1.848,- per m³; dan untuk kawasan hutan di Cianjur, tarif dasar Rp 373,5 per m³, tarif rendah Rp 299,- per m³, tarif penuh Rp 1.575,- per m³. Kata kunci: Kompensasi jasa ekosistem, water pricing with step tarrif, tarif dasar, tarif rendah, tarif penuh
Yustiana Y, Hernawan E, Ramdan H. 2015. Determination of the tariff model of water resources as a compensation for forest ecosystem services. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1735-1740. Natural systems of forest ecosystems and the interactions of physical and biological components in it make the forest serve important as water catchment area in the hydrological cycle . However, the contribution of the value benefits forests as provider water that runs all the time yet to get a proper appreciation of the users of the water that acts as beneficiary (benefeciaries) of environmental services from forest area . The water users are still many who do not care about and less appreciation of the value of forest management activities as the catchment area. Therefore, to maintain continuity, quantity, and quality of water are used, the forest ecosystems must be preserved by means of determining water rates as compensation for the environmental services of forests. This study aims to: (i) Formulate / forming formula / model of tariff determination of water resources as a product of forest ecosystem services; and (ii) Apply the formula / model of tariff determination of water resources as a product of forest ecosystem services in the forest area of North Bandung and Cianjur. Analysis of the determination of the formula / model of tariff using water pricing mechanisms based on Step tarrif or Increasing Block Rates (IBR), which reflects the actual cost will give a signal to the user about the value of water and can be an incentive to use water more wisely. Results of the Analysis, setting of the structure water tariff based on the division (i) Block consumption; (ii) Consumer Segmentation; and (iii) Cost Effort And Cost Basis. Consumers are grouped into: (i) Deserves a subsidy, (ii) do not get a subsidy, and (iii) to provide subsidies to tariffs that contain levels of profit. Water tariff is divided into 4 (four), namely: low tariff, base tariff, the full fare, and tariffs set by the agreement (special). [Descriptions: TD (Basic Tariff), TBPAT (Total Cost of produced water utilization), VHHL (Volume Other Forest), VKAS (Volume Loss of Water Standard), TR (Low Tariff), RSB ( Average subsidies), TP (full price), RTK (Average advantage rate), RSbS (Average Cross Subsidy)]. Results applicationof the water
1736
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1735-1740, Oktober2015
tariff formula / model as compensation for the environmental services of forests demonstrate the value: to the forest area in North Bandung, the basic rate of Rp 578,- per m³, low tariff of Rp 403,- per m³ and full fare of Rp 1,848,- per m³; and for a forest area in Cianjur, basic tariff of Rp 373.5 per m³, low tariff Rp 299,- per m³, full fare of Rp 1,575,- per m³ . Keywords: Compensation for ecosystem services, water pricing with step tarrif, the basic tariff, low tariff, full tariff
PENDAHULUAN Ekosistem hutan sebagai salah satu penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan kegiatan lainnya telah lama berjalan. Sistem alamiah ekosistem hutan dan interaksi komponen fisik dan biologis di dalamnya menjadikan hutan berperan sebagai wilayah tangkapan air terpenting dalam siklus hidrologis. Kemampuan hutan tidak hanya sebagai lahan penyimpan air, tetapi tajuk vegetasinya juga mampu menahan air dan mengevaporasikannya kembali ke udara yang menjadi sumber penting terjadinya hujan (presipitasi). Namun demikian, kontribusi nilai manfaat hutan dalam menyediakan air yang berjalan sepanjang waktu belum mendapatkan apresiasi yang layak dari para pengguna air yang berperan sebagai penerima manfaat (benefeciaries) jasa lingkungan air. Para pemanfaat air masih banyak yang tidak mempedulikan dan kurang memberikan apresiasi nilai terhadap kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan sebagai wilayah tangkapan airnya. Oleh karena itu untuk menjaga kontinuitas, kuantitas, dan kualitas air yang dimanfaatkan maka ekosistem hutan harus dijaga kelestariannya. Dalam hal ini tanggung-jawab pengelolaan ekosistem hutan tidak hanya menjadi tanggung-jawab pemangku kawasannya saja, tetapi juga para pihak yang menjadi penerima manfaat dari jasa lingkungan airnya. Pemanfaatan air di kawasan hutan perlu diatur untuk menjamin kontinuitas air secara berkesinambungan, kuantitas air yang cukup, serta kualitas air yang layak dan memenuhi baku mutu yang ditetapkan dengan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem hutannya. Semakin kompleksnya permasalahan alokasi air kepada para pengguna air yang jumlahnya terus tumbuh dengan pesatnya. Sehingga diperlukan pengelolaan/manajemen yang holistik untuk mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air sebagai hasil dari manfaat jasa lingkungan kawasan hutan. Air merupakan barang ultra essensial bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa air, manusia tidak mungkin bisa bertahan hidup. Di sisi lain, kita sering bersikap meneriman air begitu saja sebagai hal yang niscaya ada tanpa mempertanyakannya - take it for granted. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi dan sosial juga sangat vital. Awal peradaban manusia dan lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan sosial juga dimulai dari sumber-sumber air, seperti sungai dan mata air. Seiring bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat. Bahkan dilihat dari sisi geopolitik, para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad-21 ini. Hal ini disebabkan meski sumber daya air secara geofisika dikatakan melimpah, hanya sebagian kecil saja yang bisa
dimanfaatkan secara langsung (Fauzi 2010). Shiklomanov (1993), memperkirakan bahwa secara global, dari potensi air tawar (fresh water) sebesar 35 juta km³/tahun, hanya sekitar 0,26 persennya saja atau sekitar 90.000 km³/tahun saja yang bisa dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan manusia. Melihat kekhawatiran inilah sumber daya air kemudian tidak lagi diperlakukan sebagai barang publik murni (pure public good) yang bisa dimanfaatkan sesuka hati, karena air tidak hanya dibutuhkan untuk kebutuhan hidup manusia, namun juga untuk menjaga ekosistem berbasis air yang membentuk sistem penunjang kehidupan secara global. Sehingga sangat diperlukan penentuan tarif yang bijaksana yang didasarkan kepada keterjangkauan daya beli masyarakat, keadilan, efisiensi pemakaian, pemulihan biaya (cost Recovery), transparansi, akuntabilitas dan perlindungan air baku. Merumuskan/membentuk formula/model penentuan tarif sumber daya air sebagai produk jasa ekosistem hutan, dan mengaplikasikan formula/model penentuan tarif sumber daya air sebagai produk jasa ekosisitem hutan di kawasan hutan Bandung Utara dan Cianjur, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE Bahan Kuisioner, referensi/jurnal/regulasi, data sekunder dari perhutani Metode Mekanisme penentuan tarif air didasarkan pada prinsip ekonomi bahwa alokasi sumber daya air yang optimal secara sosial adalah dimana manfaat sosial marjinal yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marjinal ini dicirikan oleh kurva permintaan terhadap air, sementara biaya sosial marjinal yang menggambarkan kurva supply air menggambarkan biaya yang harus dibayar oleh pengguna untuk memproduksi satu unit tambahan air. Biaya marjinal atas sumber daya air ini termasuk biaya pengguna (user cost) atau biaya korban terjadinya deplesi sumber daya dan biaya eksternal, seperti biaya lingkungan dan biaya pegawai. Usaha untuk memberikan harga kepada sumber daya air melalui mekanisme proses penghutanan kawasan sebagai cathmen area sampai diperolehnya air, baik berupa mata air, sungai atau danau/situ dan water treatment hingga sampai ke tangan konsumen dan aman diminum konsumen. Seluruh biaya yang dikeluarkan baik untuk membangun dan memelihara hutan sebagai cathmen area, biaya water treatment hingga air dapat dikonsumsi konsumen, biaya pengelolaan lingkungan, biaya penelitian-pengembangan dan biaya ongkos pegawai, dijumlahkan sebagai total biaya
YUSTIANA et al. – Model tarif sumber daya air
produksi. Penentuan harga yang tepat melalui water pricing yang mencerminkan biaya yang sebenarnya akan memberikan sinyal kepada pengguna mengenai nilai dari air dan dapat menjadi insentif untuk pemanfaatan air yang lebih bijaksana. Marginal Cost Pricing memiliki beberapa kelebihan, antara lain bahwa mekanisme ini dianggap paling efisien dan dapat menghindari terjadinya underpriced (penilaian di bawah harga), namun satu kelemahannya yaitu menyangkut aspek kesetaraan (Equity). Pada saat terjadinya kekurangan air, kenaikkan harga air pada tingkat yang sangat tinggi akan banyak memberikan dampak yang negatif terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Menyadari kelemahan tersebut, Hartwick dan Olewiler (1998) mengemukakan bahwa mekanisme water pricing berdasarkan Step Tarrif atau Increasing Block Rates (IBR) dapat melengkapi konsep marginal cost pricing dalam mekanisme yang sama yaitu water pricing. Sistem IBR selain memungkinkan penggunaan air yang efisien juga dapat beradaptasi dengan situasi pada saat permintaan air memuncak. Jika terjadi permintaan yang tinggi pada musim kemarau, misalnya, blok tarif yang tinggi dapat digunakan untuk mencegah terjadinya konsumsi air yang berlebihan sehingga membantu konservasi air. Selain itu, sistem ini juga memungkinkan penyediaan air bagi masyarakat ekonomi lemah dengan biaya yang rendah. Berdasarkan keunggulan model Step Tarrif atau Increasing Block Rates (IBR) dan model tersebut telah diadopsi oleh berbagai negara sebagai suatu mekanisme water pricing yang paling banyak digunakan. Juga berdasarkan karakteristik umum masyarakat/perusahaan pemanfaat sumber daya air yang bersumber dari kawasan hutan dan Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara, maka model Step Tarif atau Increasing Block Rates digunakan dalam penentuan tarif/harga air yang bersumber dari kawasan hutan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Merumuskan formula/model penentuan tarif air Sistem perhitungan tarif didasarkan satu konsep biaya yaitu total biaya usaha. Hal ini digunakan untuk memudahkan perhitungan dan menjamln transparansi, sehingga dapat membantu memperlancar komunikasi antar para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses penentuan tarif. Total biaya usaha pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan hutan didapat dangan cara menjumlahkan seluruh komponen biaya usaha pemanfaatan air, yaitu: (i) Biaya membangun dan memelihara cathment area, biaya pemeliharaan sumber air, dan biaya penyusutan sumber air); (ii) Biaya Pengelolaan Lingkungan dan Eksternalitas; (iii) Biaya Distribusi; (iv) Biaya Kemitraan dan Hubungan Pelanggan; (v) Biaya Penelitian dan Pengembangan; (vi) Biaya Pengadaan Alat-Alat Kantor; dan (vii) Biaya Pegawai, yang merupakan seluruh korbanan yang harus dikeluarkan untuk memperoleh manfaat jasa ekosistem dalam bentuk sumber daya air dari kawasan hutan. Nilai Tarif diperoleh dari perbandingan/rasio antara total biaya usaha dengan volume air terproduksi setelah
1737
dikurangi tingkat kehilangan air terstandar. Dan ini merupakan model ekonomi yang sudah umum digunakan dalam menentukan harga dasar suatu produk. Sehingga biaya dasar atau tarif dasar dihitung dengan cara membagi total biaya usaha dengan volume air yang terproduksi setelah dikurangi volume kehilangan air standar. Volume kehilangan air standar dihitung dengan cara mengalikan tingkat kehilangan air standar dangan volume air terproduksi. Tingkat kehilangan air standar adalah prosentase kehilangan air yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan ditetapkan oleh pihak yang berwenang (tingkat provinsi/nasional). Pinsip dasar penetapan tarif Tarif harus terjangkau oleh pemanfaat sumber daya air untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air sehari-hari. Untuk membantu pemanfaat sumber daya air yang tidak mampu membayar tarif air guna memenuhi standar kebutuhan pokok mereka, maka ditetapkan tarif rendah atau tarif bersubsidi. Tarif dikatakan terjangkau apabila pengeluaran rumah tangga per bulan untuk pemenuhan standar kebutuhan pokok akan air minum tidak melebihi 4% dari rata-rata pendapatan rumah tangga untuk kelompok pemanfaat yang bersangkutan, atau 4% dari Upah Minimum Provinsi. Untuk menciptakan keadilan dan menutup beban subsidi kepada pemanfaat sumber daya air yang tidak mampu, maka ditetapkan tarif yang lebih tinggi bagi kelompok pemanfaat sumber daya air yang lebih mampu dan bagi yang menggunakan air di atas standar kebutuhan pokok dengan perhitungan dan penerapan subsidi silang. Diferensiasi tarif untuk produk/barang/jasa yang dihasilkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi suatu kewajiban untuk diterapkan, terkait produk-produk yang dihasilkan BUMN harus bisa terjangkau oleh semua tingkatan pendapatan masyarakat. Namun tarif yang ditetapkan juga harus mempertimbangkan kewajiban pengelola kawasan hutan (cathment area) dalam hal: (i). Menjaga kualitas dan kuantitas air yang diterima oleh para pemanfaat sumber daya air, hal ini berkaitan dangan komponen biaya pemeliharaan sumber air dan pemeliharaan tanaman di kawasan cathment area yang diperhitungkan ke dalam tarif air. (ii). Memelihara kontinuitas pengaliran air yang diterima oleh pemanfaat sumber daya air, hal ini berkaitan dangan besaran komponen biaya kompensasi untuk pohonpohon yang tidak boleh dieksploitasi/ditebang karena fungsi utama menjadi pengatur tata air diperhitungkan ke dalam tarif air. Prinsip pemulihan biaya (cost recovery), mengandung pengertian bahwa pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya air nilainya minimal dapat menutup seluruh biaya usaha. Pengelola hutan diharapkan mampu mempertahankan dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan, sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang memadai untuk pengembangan usahanya. Tarif yang memulihkan biaya secara penuh (Full Cost Recovery Tariff (FCRT)) adalah tarif yang nilainya sama (ekuivalen) dangan biaya dasar, mengingat kebijakan tarif pemanfaatan air menggunakan
1738
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1735-1740, Oktober2015
sistem diferensiasi dan tarif progresif (Step Tarrif), sehingga struktur tarif yang ditetapkan terdiri dari beberapa jenis tarif. Maka FCRT merujuk pada tarif rata-rata. Selain untuk pemulihan biaya, tarif pemanfaatan air juga harus mempertimbangkan adanya tingkat keuntungan yang wajar sebagai suatu hasil dari investasi badan usaha. Tingkat keuntungan ini selanjutnya digunakan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan. Tingkat keuntungan dikatakan wajar jika rasio laba terhadap aktiva produktif mencapal 10%. Aktiva produktif yang dimaksud meliputi aktiva lancar, investasi jangka panjang, dan aktiva tetap (nilai buku). Untuk pemanfaatan air secara bijaksana, maka diberlakukan tarif progresif, yaitu tarif pemanfaatan air per unit (meter kubik/m3 atau satuan volume lainnya) yang dikenakan lebih tinggi ketika penggunaan air oleh para pemanfaat melebihi standar kebutuhan pokok. Sebagai upaya mendorong efisiensi penggunaan air, kepada para pemanfaat air dikenakan tarif progresif untuk tingkat pemakaian air yang melebihi standar-standar kebutuhan pokok. Tujuan pemberlakuan tarif progresif tersebut adalah sebagal pengendalian tingkat konsumsi, konservasi sumber air baku dan sebagai pendapatan untuk pengembangan pelayanan. Blok konsumsi Tujuan penetapan blok konsumsi adalah untuk menciptakan tarif yang adil melalui pola tingkat pemakaian air oleh setiap pemanfaat air. Dengan adanya penetapan blok konsumsi tersebut tingkat pemakaian air di atas standar kebutuhan pokok dapat dikenakan tarif progresif dalam upaya mendukung kebijakan efisiensi penggunaan air, konservasi sumber air dan pelaksanaan subsidi silang. Dengan prinsip keadilan yang harus diemban oleh BUMN maka pembagian blok konsumsi menjadi satu mekanisme untuk terjadinya keadilan. Standar kebutuhan pokok air bagi suatu rumah tangga ditentukan sebesar 10 m3/bulan. Jumlah tersebut dihitung atas dasar kebutuhan seseorang akan air minum sebesar 60 liter/org/hari (berdasarkan standar UNESCO 2002, dalam Permen Dalam Negeri No. 23/2006), dengan asumsl setiap rumah tangga memliki jumlah anggota keluarga rata-rata 6 (enam) orang. Dalam menentukan standar kebutuhan pokok, apabila satu sambungan air digunakan oleh lebih dari satu rumah tangga, seperti misalnya pada rumah susun, atau digunakan oleh banyak orang, sepertl misalnya pada asrama atau panti asuhan; maka jumlah standar kebutuhan pokok bagi sambungan dimaksud dihitung atas dasar jumlah rumah tangga atau jumlah orang yang menggunakan sambungan tersebut. Dalam hal ini, misalnya satu sambungan digunakan oleh 10 rumah tangga, maka standar kebutuhan pokok bagi sambungan tersebut per bulan dihitung sebesar 10 rumah tangga x 10 m3 = 100 m3. Dengan cara yang sama, apabila suatu panti asuhan dihuni oleh 100 orang, maka standar kebutuhan pokok untuk satu sambungan yang melayani panti asuhan dimaksud per bulan dihitung sebesar 100 orang x 30 hari x 60/1000 m3 = 180 m3. Dalam mempermudah pengalokasian jumlah air yang dikonsumsi, maka blok konsumsi hanya dibagi menjadi 2
blok, yaitu blok konsumsi untuk pemakaian air sampai dengan pemenuhan standar kebutuhan pokok (Blok I), dan blok konsumsi untuk pemakaian air di atas pemenuhan standar kebutuhan pokok (Blok II). Segmentasi konsumen Perum Perhutani sebagai salah satu BUMN yang akan mengusahakan air sebagai salah satu produk yang dihasilkannya, maka menjadi kewajiban untuk dapat memenuhi kebutuhan air untuk semua lapisan masyarakat. Dikarenakan besaran tingkat pendapatan masyarakat sangat beragam, maka masyarakat sebagai konsumen dibagi menjadi beberapa segmen, dengan tujuan untuk menciptakan tarif yang adil dan terjangkau sesuai dangan kemampuan konsumen menurut tingkat pemakaiannya, untuk memungkinkan terciptanya subsidi silang, dan untuk kepentingan kesinambungan pelayanan pengelola kawasan hutan. Pemanfaat air atau konsumen air diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu Kelompok I menampung jenisjenis pelanggan yang membayar tarif rendah untuk memenuhl standar kebutuhan pokok air; Kelompok II menampung jenis-jenis pelanggan yang membayar tarif dasar untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air; Kelompok III menampung jenis-jenis pelanggan yang membayar tarif penuh untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air; dan Kelompok Khusus atau kelompok-IV, menampung jenis-jenis pelanggan yang membayar tarif air berdasarkan kesepakatan. Pengklasifikasian tersebut merujuk kepada hasil survey yang telah dilakukan di 6 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga hasil perbandingan dengan beberapa BUMN (PDAM dan JASA TIRTA) dalam pemberlakuan beberapa jenis tarif untuk beberapa klasifikasi konsumen. Konsumen air yang memanfaakan sumber air dari kawasan hutan sangat bervariasi, tidak seluruh jenis pemanfaat air yang bersumber dari kawasan hutan dapat diidentifikasi dan disamakan karakteristiknya. Jenis dan struktur tarif Berdasarkan pembagian segmen konsumen yang telah dilakukan maka tarif air dibedakan menjadi 4, yaitu: tarif rendah, tarif dasar, tarif penuh, dan tarif yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Tarif rendah adalah tarif bersubsidi, yakni tarif lebih rendah dari proyeksi biaya dasar. Kebijakan tarif rendah ini sebagal floor price pollicy. Oleh karena itu penetapan tarif rendah tidak dianjurkan lebih rendah dari biaya produksi air (cost of goods sold) yang terdiri dari komponen biaya pengelolaan dan Tabel 1. Pedoman struktur tarif air
Pelanggan Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok Khusus
Blok konsusmsi Blok I Blok II (sampai dengan 10 m³) (di atas 10 m³) Tarif Rendah Tarif Dasar Tarif Dasar Tarif Penuh Tarif Penuh Tarif Penuh Berdasarkan Kesepakatan
YUSTIANA et al. – Model tarif sumber daya air
1739
Tabel 2. Formula penentuan tarif air yang bersumber dari kawasan hutan Uraian
Satuan
Notasi
Formula
Rp/ha/Th
BPPCA
Rp/Thn Rp/Thn
BD BKHP
Biaya Penelitian & Pengembangan
Rp/Thn
BPP
Biaya Pengelolaan Lingkungan dan Eksternalitas
Rp/Thn
BPLE
Biaya ATK Ongkos Pegawai Total Biaya Pemanfaatan/Usaha Air Dikalikan Dengan Faktor Inflasi Perkiraan TBPA Pada Periode Tarif
Rp/Thn Rp/Thn Rp/Thn %/Thn Rp/Thn
BATK OP TBPA I TTBPA
Jumlah Komponen-Komponen Biaya Pengelolaan & Pemeliharaan Cathment Area Jumlah Komponen-komponen Biaya Distribusi Jumlah Komponen-Komponen Biaya Kemitraan & hubungan Pelanggan Jumlah Komponen-Komponen Biaya Penelitian & Pengembangan Jumlah Biaya Untuk Menanggulangi Kerusakan Lingkungan dan Eksternalitas Jumlah Biaya Untuk Keperluan ATK Jumlah Biaya Untuk Gaji dan Tunjangan Pegawai TBPA=BPPCA+BD+BKHP+BPP+BPLE+BATK+OP (1+ i)
Volume Air Terproduksi Hasil Hutan Lainnya Yang Diperoleh Dari Kawasan Cathcment Area Tingkat Kehilangan Air Standar
mᶟ/Thn Rp/Thn
VAP HHL
Data Historis Data Historis
%/Thn
TKAS
Volume Kehilangan Air Standar Biaya Dasar
mᶟ/Thn Rp/mᶟ
VKAS BD
TKAS:persentase yang ditetapkan oleh ..... yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air VKAS = TKAS x VAP
Rp/mᶟ Rp/mᶟ
BD TD
Data Diambil Dari Hasil Formula No-A.11 TD = BD
Rp/mᶟ mᶟ/Thn
TD VTTR
Data Diambil Dari Hasil Formula No-B.2 Data Historis
Rp/mᶟ Rp/Thn Rp/mᶟ
Sb TSb RSb
Sb = .......% x TD TSb = Sb x VTTR
Rp/mᶟ
TR
TR = TD – RSb
Rp/mᶟ Rp/Thn
TD AP
Tingkat Keuntungan Volume Air Terjual Kepada Kelompok Pelanggan Tarif Penuh & Khusus Rata-Rata Tingkat Keuntungan
Rp/Thn mᶟ/Thn
TK VTTPK
Data Diambil Dari Hasil Formula No-B.2 Jumlah dari Aktiva Lancar + Investasi Jangka Panjang + Aktiva Tetap & Depresiasinya TK = 10% x AP Data Historis
Rp/mᶟ
RTK
Rata-Rata Subsidi Silang
Rp/mᶟ
RSbS
Rp/mᶟ
TP
Rp/mᶟ
TK
BIAYA DASAR Biaya Pengelolaan & Pemeliharaan Cathment Area Biaya Distribusi Biaya Kemitraan & Hubungan Pelanggan
TARIF DASAR Biaya Dasar Tarif Dasar TARIF RENDAH Tarif Dasar Volume Air Terjual Kepada Kelompok Pelanggan Tarif Rendah Subsidi¹ Total Subsidi Rata-Rata Subsidi Tarif Rendah² TARIF PENUH Tarif Dasar Aktiva Produktif
Tarif Penuh TARIF KHUSUS Tarif Khusus ᶟ
TTBPA = TBPA x (1 + i)ᵗ⁻ⁿ
TK: sesuai kesepakatan, minimal sama dengan Tarif Penuh (TP)
1740
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1735-1740, Oktober2015
pemeliharaan hutan kawasan catchment area, biaya kompensasi untuk pohon-pohon yang tidak ditebang karena diutamakan untuk memelihara fungsi hidrologis kawasan hutan dan biaya pengolahan dan distribusi. Jika hal itu terjadi, maka diperlukan adanya subsidi. Besaran subsidi yang akan diberikan untuk tarif rendah ditetapkan oleh masing-masing pengelola kawasan hutan dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Oleh karena itu besar tarif rendah dapat bervariasi antar segmen konsumen. (i) Tarif dasar nilainya sama atau ekuivalen dengan biaya dasar. Bagi konsumen yang dikenakan tarif dasar, berarti tidak memperoleh subsidi dan tidak pula memberikan subsidi kepada konsumen lainnya. (ii) Tarif penuh nilainya lebih besar dibandingkan biaya dasar dan besarnya dapat bervariasi. Di dalam tarif penuh terkandung komponen tingkat keuntungan yang wajar dan kontra subsidi silang. Artinya, pelanggan yang dibebani tarif penuh memberikan subsidi silang kepada pelanggan yang membayar dangan tarif rendah. (iii) Tarif yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan ditentukan oleh pengelola kawasan hutan (mis. tingkat Direksi Perhutani) dengan masing-masing konsumen/pelanggan. Dalam menentukan kesepakatan, diperlukan komunikasi berdasarkan kesukarelaan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Atas dasar pembagian Blok Konsumsi, pembagian Kelompok Pelanggan dan Jenis-Jenis Tarif, maka pedoman Struktur Tarif Air ditetapkan sebagaimana Tabel 1. Dengan memperhatikan pengaturan struktur tarif tersebut, maka tarif rata-rata yang terjadi memiliki 3 kemungkinan yaitu: di bawah tarif dasar, sama dengan tarif dasar, dan di atas tarif dasar. Jika tarif rata-rata yang terjadi nilainya di bawah tarif dasar, hal itu menunjukkan bahwa volume air yang terjual dengan tarif rendah adalah lebih besar dibanding volume air yang terjual pada tarif penuh. Kondisi ini tidak akan mendukung tercapainya kondisi pendapatan operasional yang mampu memulihkan biaya. Dengan demikian, kondisi pemulihan biaya penuh (full cost recovery) hanya mungkin terjadi apabila tarif rata-rata yang terbentuk adalah sama atau lebih besar dibanding tarif dasar. Berdasarkan karakteristik struktur tarif tersebut, maka pendapatan tarif yang mampu memulihkan biaya hanya dapat diwujudkan apabila volume air yang terjual dangan tarif penuh lebih besar dibanding volume air yang terjual pada tarif rendah. Strategi yang tepat untuk mencapai kondisi pengaturan tarif yang memulihkan biaya. Diantara pokok-pokok
strategi tersebut adalah: (i). Menetapkan pelanggan dalam kelompok tarif rendah (ke!ompok yang mendapat subsidi) secara tepat sasaran (ii). Membatasi pemberlakuan tarif bersubsidi (tarif rendah) hanya untuk memenuhi standar kebutuhan pokok. Tarif air ditetapkan melalui suatu mekanisme yang memungkinkan terwujudnya akomodasi kepentingan para pemangku kepentlingan, yaitu masyarakat/badan usaha pemanfaat air, pihak yang berwenang dalam pengelolaan air dan Perhutani. Keterlibatan para pihak tersebut didasarkan pada asas proporsionalitas kepentingan antara pemanfaat/konsumen air dan pemilik/pengelola sumber air. Dalam penetapan tarif air dilakukan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam proses perhitungan dan penetapan tarifnya. Penyesuaian tarif dilakukan secara tahunan. Penyesuaian tarif tahunan dilakukan dengan memperhitungkan nilai indeks inflasi tahunan pada tahun yang bersangkutan yang diterbitkan instansi pemerintah yang berwenang dan/atau parameter lain sesuai kontrak perjanjian kerjasama. Formula penentuan tarif, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Aplikasi model di kawasan hutan KPH Bandung Utara dan KPH Cianjur Hasil aplikasi formula/model tarif air sebagai kompensasi jasa lingkungan kawasan hutan menunjukkan nilai: untuk kawasan hutan di Bandung Utara, tarif dasar Rp 578,- per m³, tarif rendah Rp 403,- per m³ dan tarif penuh Rp 1.848,- per m³; dan untuk kawasan hutan di Cianjur, tarif dasar Rp 373,5 per m³, tarif rendah Rp 299,per m³, tarif penuh Rp 1.575,- per m³.
DAFTAR PUSTAKA Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi, Cetakan ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hartwick JM, Olewiler ND. 1998. The Economics of Natural Resource Use, 2 ed. Addison-Wesley, Reading, Mass. Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2006, tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum. Shiklomanov, Igor.A.1993. ”World Fresh Water Resources,” in Peter H Gleick (ed) Water in Crisis: a Guide to the World’s Fresh Water Resources. Oxford University Press, Oxford, UK.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015 Halaman: 1741-1746
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010738
Review: Eksplorasi potensi senyawa organik kayu ular (Strychnos lucida) sebagai sumber biofarmaka Exploration of organic compounds strychnine bush (Strychnos lucida) as source of medicines GUSMAILINA, SRI KOMARAYATI Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor 16164, Jawa Barat. Tel.: +62-251-8633378; Fax.: +62-2518633413. email:
[email protected] Manuskrip diterima: 28 Mei 2015. Revisi disetujui: 27 Agustus 2015.
Gusmailina, Komarayati S. 2015. Eksplorasi potensi senyawa organik kayu ular (Strychnos lucida) sebagai sumber biofarmaka. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1741-1746. Kayu ular (Strychnos lucida), sinonim Strychnos ligustrina Blume) merupakan jenis tumbuhan yang termasuk familia Loganiaceae. Selain dikenal dengan nama kayu ular, tumbuhan ini dikenal juga dengan bidara laut, bidara pahit, bidara putih, kayu ular (Sumatra); dara laut, dara putih, bidara gunung (Jawa) lapai, dan bidara mapai (Sulawesi). Secara tradisi masyarakat sudah lama memanfaatkan keberadaan kayu ular untuk mengobati beberapa penyakit sebagai warisan dari nenek moyangnya. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat adalah kayunya. Masyarakat meyakini bahwa kayu ular ini dapat mengobati/ menyembuhkan berbagai penyakit seperti obat kencing manis, darah tinggi, malaria, kanker, dan lain-lain. Tulisan ini menyajikan informasi tentang potensi senyawa organik kayu ular (Strychnos lucida), sebagai sumber biofarmaka. Analisis dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor dengan menggunakan Pyrolisis-GCMS. Hasil analisis menunjukkan bahwa kayu ular memiliki 30 komponen senyawa aktif. Diantara 10 senyawa yang dominan antara lain: 2,5-Dimethoxybenzyl alcohol, Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol. 3-Methoxyacetophenone, Phenol, 2,6-dimethyl-4-nitro- (CAS) 2,6-Dimethyl-4-nitrophenol, Pentanal (CAS) nPentanal, 2-Propanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) 1-(4-HYDROXY, Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol, Phenol, 2,6dimethoxy-4-(2-propenyl)- (CAS) 4-Allyl-2,6-dimethoxyphenol, Acetic acid (CAS) Ethylic acid, dan 2-Methoxy-4-methylphenol. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar bagi penelitian pengembangan selanjutnya. Kata kunci: Eksplorasi, kayu ular, potensi, senyawa aktif, Strychnos lucida
Gusmailina, Komarayati S. 2015. Exploration of organic compounds strychnine bush (Strychnos lucida) as source of medicines. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 1741-1746. Strychnos lucida synonym Strychnos ligustrina Blume) including familia Loganiaceae. This plant also known as bidara laut, bidara pahit, bidara putih, kayu ular (Sumatra); dara laut, dara putih, bidara gunung (Jawa) lapai, and bidara mapai (Sulawesi). Traditionally people have been used the wood to treat several diseases as the legacy of his ancestors. Part of the plant is used as a drug timber. Society believes that this wood can treat / cure various diseases such as diabetes drugs, high blood pressure, malaria, cancer, and others. This paper presents the information about potential organic compound of Strychnos lucida. The analysis was performed at the Center for Forest Products Research and Development, Bogor using Pyrolisis-GCMS. The analysis showed that the wood has 30 components of the active compound. Among the 10 compounds were predominant among others: 2,5dimethoxybenzyl alcohol, Phenol, 2,6-dimethoxy (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol. 3-Methoxyacetophenone, Phenol, 2,6-dimethyl-4-nitro(CAS) 2,6-Dimethyl-4-nitrophenol, Pentanal (CAS) n-Pentanal, 2-propanone, 1- (4-hydroxy-3- Methoxyphenyl) - (CAS) 1- (4-hydroxy, Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol, Phenol, 2,6-Dimethoxy-4- (2-propenyl) - (CAS) 4-Allyl-2,6 -dimethoxyphenol, Acetic acid (CAS) Ethylic acid, and 2-Methoxy-4-methylphenol. The results of the analysis are expected to be used as basic information for the further development of research. Keywords: Exploration, wood snake, potential, active compounds, Strychnos lucida
PENDAHULUAN Kayu ular (Strychnos lucida R. Br., sinonim Strychnos ligustrina Blume) merupakan jenis tumbuhan yang termasuk familia Loganiaceae, tumbuhan ini endemik asal Nusa Tenggara Barat (NTB), namun banyak juga dijumpai di beberapa daerah antara lain di Roti, Kalimantan, Timor, Bali, Pasuruan, Banyuwangi dan di Taman Nasional Meru Betiri. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 1-1500
m dpl (Heyne 1987). Selain dikenal dengan nama kayu ular, tumbuhan ini memiliki berbagai nama antara lain bidara laut, bidara pahit, bidara putih, kayu ular (Sumatera); dara laut, dara putih, bidara gunung (Jawa) lapai, dan bidara mapai (Sulawesi). Secara tradisi masyarakat sudah lama memanfaatkan keberadaan kayu ular untuk mengobati beberapa penyakit sebagai warisan dari nenek moyangnya. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat adalah kayunya (Heyne 1987).
1742
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1741-1746, Oktober 2015
Dari testimoni masyarakat akhirnya sejak tahun 2000-an, masyarakat NTB mulai menjual kayu ular ini ke luar NTB sebagai bahan baku obat. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa kayu ular ini dapat mengobati/ menyembuhkan berbagai penyakit seperti obat kencing manis, darah tinggi, malaria, kanker, dan lain-lain. Senyawa kimia yang terkandung dalam kayu ular berupa alkaloid (brusina, striknina), tannin < 1%, steroid/ triterpenoid (saponin). Senyawa kimia ini dapat masuk dan mempengaruhi jantung, hati, paru-paru, usus besar, dan usus kecil, sedangkan efek farmakologisnya yaitu memiliki rasa pahit.
PROFIL Profil tumbuhan kayu ular berukuran kecil seperti tanaman jeruk nipis. Tempat tumbuh terbatas antara lain di Jawa Timur, Pulau Roti, Pulau Timor, Pulau Wetar, Maluku Tenggara dan beberapa ditemukan di Kalimantan. Sering dijumpai tumbuh pada ketinggian 0-500m dpl. Penyebaran tumbuhan ini sering dijumpai tumbuh di tempat berbatu serta beriklim kering. Secara morfologi kayu ular merupakan pohon kecil bercabang tidak teratur, tegak, tinggi mencapai 12 m, tumbuh liar di hutan dekat pantai. Kayunya keras dan kuat. Daun tunggal, bertangkai, letak berseling, bentuk oval, tepi rata, ujung runcing, panjang 6-12 cm, lebar 3,5-8,5 cm. Bunga ke luar dari ujung tangkai, buah bulat, diameter ± 4 cm, warna kuning kemerahan. Batangnya memiliki kayu yang keras dan kuat berwarna kuning pucat dan tidak berbau. Hampir seluruh bagian tumbuhan ini rasanya pahit. Kayu ular termasuk dalam Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Gentianales, Famili Loganiaceae, Genus Strychnos, spesies Strychnos lucida R.Br., sinonim Strychnos ligustrina Blume MANFAAT Secara tradisi masyarakat menggunakan kayu ular sebagai obat penambah nafsu makan, rematik, sakit perut, bisul, kurap, radang kulit bernanah, dan mengatasi gula darah. Selain itu masyarakat juga menggunakan kayu ular sebagai obat tradisional yang dapat menyembuhkan penyakit gula (diabetes mellitus). Tumbuhan ini mengandung alkaloid (brusina dan striknina), tannin , steroid/ triterpenoid (saponin). Pada bagian biji dan kayu tanaman ini mengandung zat alkaloida yang mempunyai daya anti mikroba dan juga sebagai antioksidan. Selain itu, zat tannin dan galat, bermanfaat sebagai penurun panas, melancarkan air seni, dan antiradang. Saponin (steroid dan triterpenoid) dapat menurunkan kadar gula darah dengan salah satu mekanismenya yaitu menghambat pelepasan enzim α-glukosidase yang berasal dari pankreas. Pada sebagian masyarakat kayu ular juga dimanfaatkan untuk menyegarkan muka, membangkitkan nafsu makan, obat rematik (nyeri persendian), sakit perut, bisul (obat luar), kurap (obat luar), dan radang kulit bernanah (obat luar). Di samping itu kayu ular juga memiliki sifat khas pahit mendinginkan, melancarkan peredaran darah,
membersihkan darah, dan beracun. Kayu ular mempunyai kandungan alkaloid yang mencakup senyawa bersifat basa mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan, sehingga merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid digunakan secara luas dalam bidang pengobatan, walaupun seringkali beracun bagi manusia (Hanani 2005). Uji sederhana, walaupun tidak sempurna untuk alkaloid dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah (dicoba sendiri). Selain bermanfaat untuk menurunkan gula darah, saponin juga bermanfaat sebagai sumber anti bakteri dan anti virus, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, dan mengurangi penggumpalan darah. Kandungan alkaloid dan saponin dalam kayu ular juga dapat berfungsi sebagai antioksidan. Saponin adalah senyawa surfaktan. Dari berbagai hasil penelitian disimpulkan, saponin bersifat hipokolesterolemik, imunostimulator, hipoglikemik, dan antikarsinogenik. Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan di dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin bersifat racun bagi hewa berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai sapotoksin (Sadono 2011). Selanjutnya Edinur et al. (1979), Usia et al. (2006) dan Mustarichie et al. (2012), mengemukakan bahwa kegunaan kayu ular diyakini oleh masyarakat NTB dapat mengobati/menyembuhkan berbagai penyakit seperti obat kencing manis, darah tinggi, malaria, kanker, dan lain-lain. Salah satu cara memanfaatkan kayu ular sebagai obat dengan cara dibuat menjadi bentuk mangkok/gelas/wadah minum dan digunakan untuk minum (Wibowo dan Utomo 1991). Dengan menggunakan wadah minum dari kayu ular diharapkan ada senyawa yang larut dalam minuman tersebut yang bermanfaat untuk kesembuhan suatu penyakit, atau dibuat serbuk halus (Gambar 1) kemudian diseduh dengan air mendidih.
Gambar 1. Kayu dan serbuk kayu ular sebagai bahan obat
GUSMAILINA & KOMARAYATI – Senyawa organik pada Strychnos lucida
HASIL ANALISIS Hasil analisis kayu ular yang dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor dengan menggunakan Pyrolisis GCMS dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kayu ular memiliki 30 komponen senyawa aktif. 10 komponen senyawa yang mendominasi antara lain secara berurutan: 2,5-Dimethoxybenzyl alcohol; Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol (C11H14O3) synonym Chavicol; 3-Methoxyacetophenone; Phenol, 2,6-dimethyl-4-nitro- (CAS) 2,6-Dimethyl-4nitrophenol; Pentanal (CAS) n-Pentanal; 2-Propanone, 1(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) 1-(4-Hydroxy; Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol; Phenol, 2,6dimethoxy-4-(2-propenyl)(CAS) 4-Allyl-2,6dimethoxyphenol; Acetic acid (CAS) ethylic acid; dan 2methoxy-4-methylphenol. Berdasarkan konsentrasi kandungan dari kayu ular dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa struktur molekul dari senyawa aktif dominan yang ditemui pada kayu ular seperti pada Gambar 2-5 (Lide 2007 dan Lewis 2007). Kayu ular mengandung alkaloid (brusina dan striknina), tannin, steroid/ triterpenoid (saponin). Pada bagian biji dan kayu tanaman ini mengandung zat alkaloida yang mempunyai daya mikroba dan juga sebagai antioksidan. Selain itu, zat tannin dan galat, bermanfaat sebagai penurun panas, melancarkan air seni, dan antiradang. Kandungan alkaloid kayu ular mencakup senyawa bersifat basa mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan, sehingga merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid digunakan secara luas dalam bidang pengobatan, walaupun seringkali beracun bagi manusia (Harborne 1984). Uji sederhana, walaupun tidak sempurna untuk alkaloid dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah. Kayu ular mengandung saponin (steroid dan triterpenoid) yang dapat menurunkan kadar gula darah dengan salah satu mekanismenya yaitu menghambat pelepasan enzim α-glukosidase yang berasal dari pankreas. Sebagian masyarakat memanfaatkan kayu ular untuk menyegarkan muka, membangkitkan nafsu makan, obat rematik (nyeri persendian), sakit perut, bisul (obat luar), kurap (obat luar), dan radang kulit bernanah (obat luar). Selain bermanfaat untuk menurunkan gula darah, saponin juga bermanfaat sebagai sumber anti bakteri dan anti virus, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, dan mengurangi penggumpalan darah. Kandungan alkaloid dan saponin dalam kayu ular juga dapat berfungsi sebagai antioksidan. Saponin adalah senyawa surfaktan. Dari berbagai hasil penelitian disimpulkan, saponin bersifat hipokolesterolemik, imunostimulator, hipoglikemik, dan antikarsinogenik. Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan di dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin bersifat racun bagi hewa berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan.
1743
Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai sapotoksin. Selanjutnya pada Tabel 2 dapat dilihat hasil analisis ekstrak kayu ular yang dilakukan oleh Sadono (2011) dengan menggunakan kromatografi gas-spektrometer massa (GCMS). Hasil analisis menunjukkan bahwa bagian pohon yang memiliki aktivitas antioksidan paling besar adalah ekstrak metanol kayu dengan nilai IC50 148.41 mg L-1. Nilai IC50 setelah dipartisi menggunakan n-heksana ialah 103.14 mg L-1 dengan butil hidroksil toluena sebagai kontrol positif memiliki nilai IC50 sebesar 10.86 mg L-1. Kandungan total fenol menggunakan metode FolinCiocalteau diperoleh sebesar 1936.844 mg kg-1 sampel kering. Hasil analisis senyawa dengan GCMS menunjukkan terdapat senyawa fenolik dengan komponen utama 1,2,3-benzenatriol sebanyak 2.66% (RT 10.77).
Gambar 2. Struktur molekul 2,5-dimethoxybenzyl alcohol (C9H12O3)
Gambar 3. Struktur molekul phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6Dimethoxyphenol (C11H14O3) synonym chavicol
Gambar 4. Strutktur molekul 3-methoxyacetophenone (sinonim: 3-acetylanisole)
Gambar 5. Struktur molekul phenol, 2,6-dimethyl-4-nitro- (CAS) 2,6-dimethyl-4-nitrophenol (Formula C8H9NO3)
1744
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1741-1746, Oktober 2015
Selain itu dalam hal yang sama juga dikemukakan dan disimpulkan oleh Sadono (2011), bahwa bagian pohon yang memiliki aktivitas antioksidan paling besar ialah ekstrak metanol kayu (Ciddi dan Kaleab 2005) dengan nilai IC50 148.41 mg L-1. Nilai IC50 setelah dipartisi menggunakan n-heksana ialah 103.14 mg L-1 dengan butil hidroksil toluena sebagai kontrol positif memiliki nilai IC50 sebesar 10.86 mg L-1. Kandungan total fenol menggunakan metode Folin-Ciocalteau diperoleh sebesar 1936.844 mg kg-1 sampel kering. Hasil analisis senyawa dengan GCMS menunjukkan terdapat senyawa fenolik dengan komponen utama 1,2,3-benzenatriol sebanyak 2.66%.
Gambar 3. Chromatogram analisis kayu ular dengan pyrolisis GCMS
Hasil eksplorasi dan analisis kayu ular mengandung 30 jenis senyawa aktif sebagai sumber biofarmaka yang dapat digunakan sebagai obat (biomedicine). 10 komponen utama senyawa aktif kayu ular antara lain berturut-turut: 2,5Dimethoxybenzyl alcohol, Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol. 3-Methoxyacetophenone, Phenol, 2,6-dimethyl-4-nitro- (CAS) 2,6-Dimethyl-4-nitrophenol, Pentanal (CAS) n-Pentanal, 2-Propanone, 1-(4-hydroxy-3methoxyphenyl)- (CAS) 1-(4-hydroxy, Phenol, 2-methoxy(CAS) Guaiacol, Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)(CAS) 4-Allyl-2,6-dimethoxyphenol, Acetic acid (CAS) Ethylic acid, dan 2-Methoxy-4-methylphenol. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar bagi penelitian pengembangan selanjutnya.
GUSMAILINA & KOMARAYATI – Senyawa organik pada Strychnos lucida
1745
Tabel 1. Hasil eksplorasi analisis senyawa aktif kayu ular berdasarkan konsentrasi secara pyrolisis GCMS No.
Senyawa
Persentase %
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
2,5-Dimethoxybenzyl alcohol Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-dimethoxyphenol 3-Methoxyacetophenone Phenol, 2,6-dimethyl-4-nitro- (CAS) 2,6-dimethyl-4-nitrophenol Pentanal (CAS) n-pentanal 2-Propanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-(CAS)1-(4-hydroxy-3-methoxy) Phenol, 2-methoxy- (CAS) guaiacol Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)- (CAS) 4-Allyl-2,6-dimethoxyphenol Acetic acid (CAS) Ethylic acid 2-Methoxy-4-methylphenol 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) acetol D-xylit, 1,5-anhydro-tri-o-acetyl Cyclohexanone (CAS) anon 2,5-Dimethoxytoluene Benzene, 1,2,3-trimethoxy-5-methyl- (CAS) toluene, 3,4,5-trimethoxy2-Propanone (CAS) acetone 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- (CAS) corylon Acetaldehyde, 2-propenylhydrazone (CAS) allylhydrazone acetaldehyde 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) acetol 2,3-Butanedione (CAS) diacetyl Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)- (CAS) 4-allyl-2,6-dimethoxyphenol Phenol, 2-methoxy-4-(2-propenyl)-, acetate (CAS) aceteugenol 3-Methyl-hexan-2-one 1-Octene (CAS) caprylene Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-dimethoxyphenol 1H-imidazole,1-ethyl-2-methyl 2-Cyanomethyl-tetrahydrofuran 3-(3',5'-dimethoxy-4'-hydroxyphenyl)-E-2-propenal Hexadecanoic acid (CAS) palmitic acid Ethanone, 1-(4-hydroxy-3,5-dimethoxyphenyl)- (CAS) acetosyringone
8.65 6.48 6.31 6.28 6.21 5.97 5.66 5.51 5.21 5.13 4.42 3.67 3.30 3.21 3.07 2.87 2.38 1.64 1.54 1.49 1.49 1.42 1.40 1.37 1.24 0.89 0.87 0.86 0.75 0.70
Tabel 2. Analisis ekstrak methanol kayu ular
DAFTAR PUSTAKA Ciddi V, Kaleab A. 2005. Antioxidants of plant origin. J Nat Prod 21: 3-17. Edinur, Kosasih P, Hoyaranda E. 1979. Efek Perasan Averrhoa carambola Linn., Infus Kayu Strychnos ligustrina Bl. 10%, Infus Daun Persea
americana Mill. 10%, Infus Daun Barleria dichotoma Roxb. 10%, Infus Daun Symphytum ssp. 10% terhadap Tekanan Darah Tikus. [Skripsi]. Fakultas Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hanani, Fellig M, Udassin Y. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callysongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 2: 127-133.
1746
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (7): 1741-1746, Oktober 2015
Harborne JB. 1984. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata SI (penerj.). ITB, Bandung. Lewis RJ. Sr. 2007. Hawley's Condensed Chemical Dictionary 15th Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York, NY 2007., p. 1309 Lide DR. CRC. 2007. Handbook of Chemistry and Physics 88TH Edition 2007-2008. CRC Press, Taylor & Francis, Boca Raton, FL . Mustarichie R, Moektiwardoyo M, Levita J, Supriyatna, Muhtadi A, Subarnas A, Udin LZ. 2011. The research evidence of antioxidant and anti cancer activity of genistein content in the indonesian traditional food (oncom) ethanol extract. Intl Res J Pharm Appl Sci 2 (5): 65-73. Sadono A. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Analisis Komposisi Senyawa Fenolik dari Pohon Bidara Laut (Strychnos ligustrina). Departemen
Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Usia T, Iwata H, Hiratsuka A et al. 2006. CYP3A4 and CYP2D6 inhibitory activities of Indonesian medicinal plants. Phytomedicine 13 (1-2): 67-73. Wibowo T, Utomo P. 1991. Potensi dan upaya pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat di Taman nasional Meru Betiri, pelestarian dan pemanfaatan tumbuhan obat dari hutan tropis. Jurusan Konservasi Sumber daya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.