Seminar Nasional& International Conference
o: Ranar Pradipto
Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon vol. 1 | no. 4 | pp. 691-959 | Juli 2015 ISSN: 2407-8050
| vol. 1 | no. 4 | pp. 691-959 | Juli 2015 | ISSN: 2407-8050 |
DEWAN PENYUNTING: Ketua, Ahmad Dwi Setyawan, Universitas Sebelas Maret Surakarta Anggota, Sugiyarto, Universitas Sebelas Maret Surakarta Anggota, Ari Pitoyo, Universitas Sebelas Maret Surakarta Anggota, Udhi Eko Hernawan, UPT Loka Konservasi Biota Laut, LIPI, Tual, Maluku Anggota, Sutomo, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya”, LIPI, Tabanan, Bali Anggota, A. Widiastuti, Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Depok
PENYUNTING TAMU (PENASEHAT): Suwarno Hadisusanto, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Mochammad Arief Soendjoto, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Budi Setiadi Daryono, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Antonius Y.P.B.C. Widyatmoko, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta
PENERBIT: Masyarakat Biodiversitas Indonesia
PENERBIT PENDAMPING: Program Biosains, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta
PUBLIKASI PERDANA: 2015
ALAMAT: Kantor Jurnal Biodiversitas, Jurusan Biologi, Gd. A, Lt. 1, FMIPA, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Telp. & Fax.: +62-271-663375, Email:
[email protected]
ONLINE: biodiversitas.mipa.uns.ac.id/psnmbi.htm
PENYELENGGARA & PENDUKUNG: MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA
JURUSAN BIOLOGI FMIPA & PS. BIOSAINS PPS UNS SURAKARTA
FAKULTAS KEHUTANAN IPB BOGOR
BBPBPTH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEHUTANAN UNLAM BANJARBARU
Pedoman untuk Penulis Ruang lingkup Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia (Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon) menerbitkan naskah bertemakan keanekaragaman hayati pada tumbuhan, hewan, dan mikroba, pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem serta etnobiologi (pemanfaatan). Di samping itu, prosiding ini juga menerbitkan naskah dalam ruang lingkup ilmu dan teknologi hayati lainnya, seperti: pertanian dan kehutanan, peternakan, perikanan, biokimia dan farmakologi, biomedis, ekologi dan ilmu lingkungan, genetika dan biologi evolusi, biologi kelautan dan perairan tawar, mikrobiologi, biologi molekuler, fisiologi, dan botani. Tipe naskah yang diterbitkan adalah hasil penelitian (research papers) dan ulasan (review).
PENULISAN MANUSKRIP Seminar nasional merupakan tahapan menuju publikasi akhir suatu naskah pada jurnal ilmiah, oleh karena itu naskah yang dipresentasikan harus seringkas mungkin, namun jelas dan informatif (semacam komunikasi pendek pada jurnal ilmiah). Naskah harus berisi hasil penelitian baru atau ide-ide baru lainnya. Dalam Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon ini panjang naskah dibatasi hanya 2000-2500 kata dari abstrak hingga kesimpulan. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa Lokal Nusantara. Materi dalam Bahasa Inggris atau bahasa lokal telah dikoreksi oleh ahli bahasa atau penutur asli. Naskah ditulis pada template yang telah disediakan biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/namaanda-semnasbiodiv.doc.
di
Sebelum dikirimkan, mohon dipastikan bahwa naskah telah diperiksa ulang ejaan dan tata bahasanya oleh (para) penulis dan dimintakan pendapat dari para kolega. Struktur naskah telah mengikuti format Pedoman Penulisan, termasuk pembagian sub-judul. Format daftar pustaka telah sesuai dengan Pedoman Penulisan. Semua pustaka yang dikutip dalam teks telah disebutkan dalam daftar pustaka, dan sebaliknya. Gambar berwarna hanya digunakan jika informasi dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Grafik dan diagram digambar dengan warna hitam dan putih; digunakan arsiran (shading) sebagai pembeda. Judul ditulis padat, jelas, informatif, dan tidak lebih dari 20 kata. Authors pada nama ilmiah tidak perlu disebutkan pada judul kecuali dapat membingungkan. Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris (dan bahasa lokal, khusus untuk naskah berbahasa lokal).
miring), misalnya: Saharjo dan Nurhayati (2006) atau (Boonkerd 2003a, b, c; Sugiyarto 2004; El-Bana dan Nijs 2005; Balagadde et al. 2008; Webb et al. 2008). Kutipan bertingkat seperti yang ditunjukkan dengan kata cit. atau dalam harus dihindari. Bahan dan Metode harus menekankan pada prosedur/cara kerja dan analisis data. Untuk studi lapangan, lebih baik jika lokasi penelitian disertakan. Keberadaan peralatan tertentu yang penting cukup disebutkan dalam cara kerja. Hasil dan Pembahasan ditulis sebagai suatu rangkaian, namun untuk naskah dengan pembahasan yang panjang dapat dibagi ke dalam beberapa sub judul. Hasil harus jelas dan ringkas menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil terjadi, tidak sekedar mengungkapkan hasil dengan kata-kata. Pembahasan harus merujuk pada hasil-hasil yang penelitian terdahulu, tidak hanya opini penulis. Kesimpulan Pada bagian akhir pembahasan perlu ada kalimat penutup. Ucapan Terima Kasih disajikan secara singkat; semua sumber dana penelitian perlu disebutkan dan setiap potensi konflik kepentingan disebutkan. Penyebutan nama orang perlu nama lengkap. Lampiran (jika ada) harus dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA Sebanyak 80% dari daftar pustaka harus berasal dari jurnal ilmiah yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, kecuali untuk studi taksonomi. Pustaka dari blog, laman yang terus bertumbuh (e.g. Wikipedia), koran dan majalah populer, penerbit yang bertujuan sebagai petunjuk teknis harus dihindari. Gunakan pustaka dari lembaga penelitian atau universitas, serta laman yang kredibel (e.g. IUCN, FAO). Nama jurnal disingkat merujuk pada ISSN List of Title Word Abbreviations (www.issn.org/222661-LTWA-online.php). Berikut adalah contoh penulisan Daftar Pustaka: Jurnal: Saharjo BH, Nurhayati AD. 2006. Domination and composition structure change at hemic peat natural regeneration following burning; a case study in Pelalawan, Riau Province. Biodiversitas 7: 154-158. Penggunaan "et al." pada daftar penulis yang panjang juga dapat dilakukan, setelah nama penulis ketiga, e.g.:
Nama penulis bagian depan dan belakang tidak disingkat.
Smith J, Jones M Jr, Houghton L et al. 1999. Future of health insurance. N Engl J Med 965: 325-329.
Nama dan alamat institusi harus ditulis lengkap dengan nama jalan dan nomor (atau yang setingkat), nama kota/kabupaten, kode pos, provinsi, nomor telepon dan faksimili (bila ada), dan alamat email penulis untuk korespondensi.
Artikel DOI:
Abstrak harus singkat (200-300 kata). Abstrak harus informatif dan dijelaskan secara singkat tujuan penelitian, metode khusus (bila ada), hasil utama, dan kesimpulan utama. Abstrak sering disajikan terpisah dari artikel, sehingga harus dapat berdiri sendiri (dicetak terpisah dari naskah lengkap). Pustaka tidak boleh dikutip dalam abstrak, tetapi jika penting, maka pengutipan merujuk pada nama dan tahun. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Kata kunci maksimum lima kata, meliputi nama ilmiah dan lokal (jika ada), topik penelitian dan metode khusus; diurutkan dari A sampai Z; ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Singkatan (jika ada) semua singkatan penting harus disebutkan kepanjangannya pada penyebutan pertama dan harus konsisten. Judul sirahan sekitar lima kata. Pendahuluan adalah sekitar 400-600 kata, meliputi tujuan penelitian dan memberikan latar belakang yang memadai, menghindari survei literatur terperinci atau ringkasan hasil. Tunjukkan tujuan penelitian di paragraf terakhir. Pustaka dalam naskah ditulis dalam sistem "nama dan tahun"; dan diatur dari yang terlama ke terbaru, lalu dari A ke Z. Dalam mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh dua penulis, keduanya harus disebutkan, namun, untuk tiga dan lebih penulis, hanya nama akhir (keluarga) penulis pertama yang disebutkan, diikuti dengan et al. (tidak
Slifka MK, Whitton JL. 2000. Clinical implications of dysregulated cytokine production. J Mol Med. DOI:10.1007/s001090000086. Buku: Rai MK, Carpinella C. 2006. Naturally Occurring Bioactive Compounds. Elsevier, Amsterdam. Bab dalam buku: Webb CO, Cannon CH, Davies SJ. 2008. Ecological organization, biogeography, and the phylogenetic structure of rainforest tree communities. In: Carson W, Schnitzer S (eds). Tropical Forest Community Ecology. Wiley-Blackwell, New York. Abstrak: Assaeed AM. 2007. Seed production and dispersal of Rhazya stricta. The 50th Annual Symposium of the International Association for Vegetation Science, Swansea, UK, 23-27 July 2007. Prosiding: Alikodra HS. 2000. Biodiversity for development of local autonomous government. In: Setyawan AD, Sutarno (eds). Toward Mount Lawu National Park; Proceeding of National Seminary and Workshop on
Biodiversity Conservation to Protect and Save Germplasm in Java Island. Sebelas Maret University, Surakarta, 17-20 July 2000. Tesis, Disertasi: Sugiyarto. 2004. Soil Macro-invertebrates Diversity and Inter-cropping Plants Productivity in Agroforestry System based on Sengon. [Dissertation]. Brawijaya University, Malang. Dokumen Online: Balagadde FK, Song H, Ozaki J, Collins CH, Barnet M, Arnold FH, Quake SR, You L. 2008. A synthetic Escherichia coli predator-prey ecosystem. Mol Syst Biol 4: 187. www.molecularsystemsbiology.com [21 April 2015].
dalam naskah. Kutipan (pribadi) yang tidak relevan untuk meningkatkan kutipan penulis (h-index) atau kutipan yang tidak perlu untuk meningkatkan jumlah referensi tidak diperbolehkan. Persetujuan etika Percobaan yang dilaksanakan pada manusia dan hewan harus mendapat izin dari instansi resmi dan tidak melanggar hukum. Percobaan pada manusia atau hewan harus ditunjukkan dengan jelas pada "Bahan dan Metode", serta diperiksa dan disetujui oleh para profesional dari sisi aspek moral. Penelitian pada manusia harus sesuai dengan prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki dan perlu mendapatkan pendampingan dari dokter dalam penelitian biomedis yang melibatkan subjek manusia. Rincian data dari subjek manusia hanya dapat dimasukkan jika sangat penting untuk tujuan ilmiah dan penulis (atau para penulis) mendapatkan izin tertulis dari yang bersangkutan, orang tua, atau wali. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Penulis (atau para penulis) harus taat kepada hukum dan/atau etika dalam memperlakukan objek penelitian, memperhatikan legalitas sumber material dan hak kekayaan intelektual.
UNCORRECTED PROOFS Proof reading akan dikirimkan kepada penulis untuk korespondensi (corresponding author) dalam file berformat .doc atau .docx untuk pemeriksaan dan pembetulan kesalahan penulisan (typographical). Untuk mencegah terhambatnya publikasi, proofs harus dikembalikan dalam 7 hari.
Konflik kepentingan dan sumber pendanaan Penulis (atau para penulis) perlu menyebutkan semua sumber dukungan keuangan untuk penelitian dari institusi, swasta, dan korporasi serta mencatat setiap potensi konflik kepentingan.
PEMBERITAHUAN
PERSETUJUAN
Semua komunikasi mengenai
[email protected].
naskah
dilakukan
melalui
email:
PEDOMAN ETIKA Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon setuju untuk mengikuti standar etika yang ditetapkan oleh Komite Etika Publikasi (Committee on Publication Ethics, COPE) serta Komite Internasional para Penyunting Jurnal Medis (International Committee of Medical Journal Editors, ICMJE). Penulis (atau para penulis) harus taat dan memperhatikan hak penulisan, plagiarisme, duplikasi publikasi (pengulangan), manipulasi data, manipulasi kutipan, serta persetujuan etika dan Hak Atas Kekayaan Intelektual. Kepenulisan Penulis adalah orang yang berpartisipasi dalam penelitian dan cukup untuk mengambil tanggung jawab publik pada semua bagian dari konten publikasi. Ketika kepenulisan dikaitkan dengan suatu kelompok, maka semua penulis harus memberikan kontribusi yang memadahi untuk hal-hal berikut: (i) konsepsi dan desain penelitian, akuisisi data, analisis dan interpretasi data; (ii) penyusunan naskah dan revisi; dan (iii) persetujuan akhir dari versi yang akan diterbitkan. Pengajuan suatu naskah berarti bahwa semua penulis telah membaca dan menyetujui versi final dari naskah yang diajukan, dan setuju dengan pengajuan naskah untuk publikasi ini. Semua penulis harus bertanggung jawab atas kualitas, akurasi, dan etika penelitian. Plagiarisme Plagiarisme (penjiplakan) adalah praktik mengambil karya atau ide-ide orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri tanpa mengikutsertakan orang-orang tersebut. Naskah yang diajukan harus merupakan karya asli penulis (atau para penulis). Duplikasi publikasi Duplikasi publikasi adalah publikasi naskah yang tumpang tindih secara substansial dengan salah satu publikasi yang sudah diterbitkan, tanpa referensi yang dengan nyata-nyata merujuk pada publikasi sebelumnya. Kiriman naskah akan dipertimbangkan untuk publikasi hanya jika mereka diserahkan semata-mata untuk publikasi ini dan tidak tumpang tindih secara substansial dengan artikel yang telah diterbitkan. Setiap naskah yang memiliki hipotesis, karakteristik sampel, metodologi, hasil, dan kesimpulan yang sama (atau berdekatan) dengan naskah yang diterbitkan adalah artikel duplikat dan dilarang untuk dikirimkan, bahkan termasuk, jika naskah itu telah diterbitkan dalam bahasa yang berbeda. Mengiris data dari suatu "penelitian tunggal" untuk membuat beberapa naskah terpisah tanpa perbedaan substansial harus dihindari. Manipulasi data Fabrikasi, manipulasi atau pemalsuan data merupakan pelanggaran etika dan dilarang. Manipulasi pengacuan Hanya kutipan relevan yang dapat digunakan
Persetujuan penerbitan suatu naskah menyiratkan bahwa naskah tersebut telah diseminarkan (baik oral atau poster) dan di-review oleh Dewan Redaksi atau pihak lain yang ditunjuk. Penulis umumnya akan diberi tahu penerimaan, penolakan, atau kebutuhan untuk revisi dalam waktu 1-2 bulan setelah presentasi. Naskah ditolak, jika konten tidak sesuai dengan ruang lingkup publikasi, tidak memenuhi standar etika (yaitu kepenulisan palsu, plagiarisme, duplikasi publikasi, manipulasi data, dan manipulasi kutipan), tidak memenuhi kualitas yang diperlukan, ditulis tidak sesuai dengan Format, memiliki tata bahasa yang rumit, atau mengabaikan korespondensi dalam tiga bulan. Kriteria utama untuk publikasi adalah kualitas ilmiah dan telah dipresentasikan. Makalah yang disetujui akan dipublikasikan dalam urutan kronologis. Publikasi ini diterbitkan pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Namun, publikasi online dilakukan segera setelah "proof reading" dikoreksi penulis.
HAK CIPTA Pengiriman naskah menyiratkan bahwa karya yang dikirimkan belum pernah dipublikasikan sebelumnya (kecuali sebagai bagian dari tesis atau laporan, atau abstrak); bahwa tidak sedang dipertimbangkan untuk diterbitkan di tempat lain; bahwa publikasi telah disetujui oleh semua penulis pendamping (co-authors). Jika dan ketika naskah diterima untuk publikasi, penulis (atau para penulis) setuju untuk mentransfer hak cipta dari naskah tersebut kepada publikasi ini. Penulis tidak lagi diperkenankan untuk menerbitkan naskah tanpa izin. Penulis atau orang lain diizinkan untuk memperbanyak naskah sepanjang tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan untuk mengurus paten sebelum diterbitkan.
OPEN ACCESS Publikasi ini berkomitmen untuk memberikan akses terbuka (free-open access) yakni tidak mengenakan biaya kepada pembaca atau lembaganya untuk akses. Pengguna berhak untuk membaca, mengunduh, menyalin, mendistribusikan, menyetak, mencari, atau membuat tautan ke naskah penuh, sepanjang tidak untuk tujuan komersial.
PENOLAKAN Tidak ada tanggung jawab yang dapat ditujukan kepada penerbit dan penerbit pendamping, atau editor untuk cedera dan/atau kerusakan pada orang atau properti sebagai akibat dari pernyataan yang secara aktual atau dugaan memfitnah, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual dan hak pribadi, atau liabilitas produk, baik yang dihasilkan dari kelalaian atau sebaliknya, atau dari penggunaan atau pengoperasian setiap ide, instruksi, prosedur, produk, atau metode yang terkandung dalam suatu naskah.
PERINGATAN: Semua komunikasi sangat disarankan untuk dilakukan melalui email.
Kata Pengantar
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia (Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon) Volume 1, Nomor 3, Juni 2015 dan Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 berisikan naskah-naskah dari kegiatan Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015 yang bertemakan Manajemen Biodiversitas dalam Melindungi, Mempertahankan dan Memperkaya Sumber daya Genetik dan Pemanfaatannya. Keduanya juga menerbitkan beberapa naskah yang telah dipresentasikan pada seminar nasional sebelumnya, yaitu: Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Depok, 20 Desember 2014, namun naskah revisinya baru dapat disetujui oleh Dewan Penyunting akhir-akhir ini. Naskah-naskah yang diterbitkan dalam prosiding ini telah melalui beberapa tahapan proses seleksi, dimulai dari seleksi awal terhadap abstrak-abstrak yang dikirimkan untuk dipresentasikan pada seminar nasional; dilanjutkan dengan proses presentasi oral atau poster, sekaligus review melalui tanya jawab oleh sesama peserta seminar. Selanjutnya, naskah-naskah tersebut dinilai dan dikoreksi oleh penyunting, penyunting tamu, serta penyunting khusus untuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Setiap proses koreksi berimplikasi pada kewajiban revisi, sehingga naskah-naskah yang diterbitkan dalam prosiding ini telah melalui beberapa kali proses revisi oleh penulis atau para penulis. Sebelum dicetak, naskah-naskah pra-cetak (uncorrected proof) juga telah dikirimkan kepada para penulis untuk mendapatkan koreksi akhir dan dibaca oleh korektor (proof-reader) untuk pembetulan kesalahan cetak dan penyesuaian dengan gaya selingkung prosiding ini. Naskah yang secara kualitas berpotensi untuk diterbitkan namun karena alasan tertentu penulis belum dapat memenuhi saran revisi dari para penyunting, maka akan diterbitkan pada prosiding nomor berikutnya. Adapun
naskah yang tidak lolos dari proses tersebut, tidak dapat diterbitkan. Atas terlaksananya kegiatan seminar nasional dan terbitnya prosiding ini, diucapkan terima kasih kepada para pemakalah utama, pemakalah, peserta, panitia, dan para pihak lainnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai instansi yang telah mendukung kegiatan ini dengan hadirnya para pemakalah utama dari lingkungannya, yaitu: Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, serta Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta. Sebagaimana seminar nasional sebelumnya, sebagian pendanaan kegiatan ini juga diperoleh dari Hibah Program Insentif Jurnal Terindeks Internasional Tahun 2014, untuk jurnal Biodiversitas, Journal of Biological Diversity dari Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, RI, dalam rangka penjaringan naskah dari penulis dalam negeri untuk jurnal tersebut. Untuk itu diucapkan terima kasih. Akhir kata, permohonan maaf disampaikan kepada para penulis bahwasanya masih ada naskah yang belum dapat diakomodasi dalam terbitan ini mengingat proses revisi belum selesai, sementara waktu tenggat penerbitan sudah terlampaui. Naskah-naskah tersebut diharapkan dapat diterbitkan pada prosiding edisi berikutnya.
Yogyakarta, 31 Juli 2015 Ketua Dewan Penyunting
Rumusan
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015, tema: Manajemen Biodiversitas dalam Melindungi, Mempertahankan dan Memperkaya Sumber daya Genetik dan Pemanfaatannya Konversi habitat di daratan dan illegal, unreported and unregulated fishing di lautan merupakan faktor antropogenik utama yang menjadi hambatan dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati Indonesia. Sementara itu, faktor alam yang paling mengancam adalah perubahan iklim di masa depan. Di samping ketiga faktor tersebut, keanekaragaman hayati juga dapat terancam oleh faktor antropogenik lainnya, seperti pencemaran lingkungan, pertambahan penduduk, dan perubahan perilakunya yang menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan sumberdaya alam hayati, serta faktor alam seperti bencana alam (khususnya banjir dan gunung meletus). Penurunan kualitas habitat telah menyebabkan sejumlah besar hidupan liar terancam kelangsungan hidupnya, bahkan termasuk kelestarian jenis-jenis yang belum pernah teridentifikasi atau diketahui manfaatnya. Oleh karena itu, upaya untuk melindungi dan mempertahankan keanekaragaman hayati sangat wigati untuk dilakukan, karena berkejaran dengan laju kepunahannya. Indonesia merupakan salah satu negara mega-biodiversitas dengan laju kepunahan spesies alami paling tinggi. Sementara itu, sumber daya genetik alam merupakan sumber utama dalam proses domestikasi dan pemuliaan dari tumbuhan, hewan, dan mikroba budi daya. Introduksi spesies asing sebagaimana introduksi varietas baru spesies budi daya dapat meningkatkan keanekaragaman hayati. Namun, keberadaan jenis-jenis ini dapat pula mengganggu keseimbangan ekosistem, terlebih pada ekosistem yang rapuh karena besarnya tekanan antropogenik. Meskipun demikian, kehadiran jenis-jenis
asing kadang-kadang tidak dapat dielakkan karena adanya kebutuhan ekonomi. Dalam seminar nasional ini diungkapkan berbagai tantangan, hambatan, dan keberhasilan dalam mengelola, mempertahankan, dan memperkaya keanekaragaman hayati Indonesia. Berbagai kekayaan hayati Indonesia baik dari kawasan pegunungan, dataran rendah, perairan darat (sungai, rawa, danau), perairan laut (laguna, delta, pantai), serta kawasan budi daya diungkapkan. Upaya perlindungan mamalia endemik, seperti bekantan di Kalimantan dan anoa di Sulawesi telah diungkapkan, termasuk juga upaya pengelolaan mamalia introduksi, seperti macan tutul sri lanka di penangkaran. Salah satu contoh menarik terjadinya ancaman kepunahan spesies alam, sekaligus upaya seleksi, budi daya, dan konservasinya diungkapkan dalam makalah tentang kontes burung. Sementara itu, pertumbuhan Acacia decurrens di Gunung Merapi merupakan contoh nyata bagaimana spesies asing dapat mengalahkan spesies asli. Dalam seminar ini, juga dikemukakan potensi spesies asli untuk dikembangkan dalam program pemuliaan, baik tanaman perkebunan/kehutanan seperti sowang maupun tanaman budi daya, seperti buah plajau dan kapul. Dikemukakan pula berbagai upaya peningkatan kapasitas produksi tanaman pangan, seperti padi, talas, dan sorghum, termasuk di kawasan-kawasan marginal. Dari hasil seminar nasional ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumberdaya genetik, namun laju kepunahan alamnya juga sangat tinggi. Oleh karena itu, para peneliti harus bekerja keras untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan manfaat jenis-jenis hidupan liar; di samping terus melakukan seleksi untuk memperbaiki kualitas varietas budi daya sehingga dengan diketahui manfaatnya maka upaya pelestariannya akan lebih mudah karena tumbuhnya dukungan dari berbagai pihak.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
Daftar Partisipan
No.
Nama
Institusi
1.
Adi Nugroho
Laboratorium Satwa Liar, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
2.
Ady Suryawan
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado. Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-3666683, Fax. +62-431-3666683
3.
Afrizon
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Jl. Irian, Km. 6,5, Kelurahan Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu 38119, Bengkulu. Telp. +62-73623030, Fax. +62-736-345568
4.
Agnes Triasih Agustin
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado (Unsrat). Jl. Kampus Kleak Unsrat Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-846748; Fax. +62-431-868027
5.
Ahmad Choirunnafi
Kelompok Studi Kepak Sayap, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-663375
6.
Ahmad Dwi Setyawan
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-663375
7.
Ahmad Gadang Pamungkas
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA). Jl. Soekarno Hatta Km 38 Samboja, PO Box 578 Blpp, Kelurahan Sei Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara 75271, Kalimantan Timur. Telp. +62-542-7217663, Fax. +62-542-7217665
8.
Alfin Widiastuti
Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBPPMBTPH). Jl. Raya Tapos Kotak Pos 20, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Telp. +62-21-8755 046
9.
Andi Detti Yunianti
Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Kampus Unhas Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Makassar 90245, Sulawesi Selatan. Telp./Fax. +62-411 589592
10.
Angga Yudaputra
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
11.
Anneke K. Rintjap, Dr.
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
12.
Anthonius Y.P.B.C. Widyatmoko, Dr.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Telp./Fax. +62-274-896080
13.
Ari Fiani
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Telp./Fax. +62-274-896080
14.
Ari Pitoyo
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-663375
15.
Arief Priyadi
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. Telp. +62368-2033211
16.
Arief Rakhmad Budi Darmawan
Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Jl. Jenderal Ahmad Yani Km 36 Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Telp./Fax. +62-511-4772254
17.
Arif Irawan
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado. Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-3666683, Fax. +62-431-3666683
18.
Aris Winaya, Dr.
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian-Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang. Kampus III: Jl. Raya Tlogomas No. 246, Malang 65145, Jawa Timur. Telp. +62-431-460948, 463513, 464318-319, Fax. +62-341-460782
19.
Ary Susatyo Nugroho
Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas PGRI Semarang. Jl. Sidodadi Timur No. 24, Dr. Cipto, Semarang 50125, Jawa Tengah. Telp. +62-24-8316377, Fax. +62-248448217
viii
20.
Asef Kurniyawan Hardjana
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD) Samarinda. Jl. A. Wahab Syahranie No. 68, PO Box 1206, Sempaja, Samarinda Utara, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-206364, Fax. +62-541-742298
21.
Atok Subiakto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Telp. +62-251-8633234, 7520067, Fax. +62251 8638111
22.
Ayda Krisnawati
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Telp. +62-341-801468, 801075, Fax. +62-341-801496
23.
Ayi Rustiadi
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jl. Raya Cibodas PO Box 3 SDL Cipanas, Cianjur 34253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-512776
24.
Bambang Heru Budianto
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno No.63 Karangwangkal, Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62281 638794, Fax. +62-281 631700
25.
Bambang Sulistyo, Dr.
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371, Indonesia. Telp./Fax. +62-736-21290
26.
Bayu Wisnu Broto
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 16,5, PO Box 1560, Makassar, Sulawesi Selatan. Telp. +62-411-554049, Fax. +62-411-554058
27.
Bernadetta Rina Hastilestari
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911, Jawa Barat. Telp. +6221-8754587, Fax. +62-21-8754588
28.
Budi S. Daryono, Dr.
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
29.
Budi Utomo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Jl. BPTP No. 40, Bukit Tegal Lepek, Ungaran, Jawa Tengah. Telp. +62-24-6924965/7, Fax. +62-24-6924966
30.
Budiawati S. Iskandar, Prof. Dr.
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Padjajaran. Kampus Unpad Jatinangor, Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat
31.
Budiman Achmad
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 PO Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Telp. +62-265-771352, Fax. +62-265-775866
32.
Burhansyah
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-663375
33.
Cathrien A. Rahasia
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
34.
Chandra Pradhitaningrum
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Telp./Fax. +62-274-580839
35.
Cherly J. Pontoh
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
36.
Claudya Larisha
Program Studi Biologi, Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Telp. +62-2172792753, Fax. +62-21-7244767
37.
Danang Wahyu Purnomo
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
38.
Destri
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Cibodas PO Box 19 SDL Cipanas, Cianjur 43253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-263-512233
ix
39.
Dewi Lestari
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. Telp. +62368-2033211
40.
Dewi Nur Pratiwi
Menara Bank Danamon, Mega Kuningan, Jakarta Selatan 12950, Jakarta
41.
Dhani Suryawan
Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Jl. Kaliurang Km 22,6 Hargobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Telp. +62-274-4478664, Fax. +62-4478865
42.
Dian Diniyati
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Telp. +62-265-771352, Fax. +62-265-775866
43.
Dina Banjarnahor
Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana. Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga. Telp. +62-298-321212, Ext 354
44.
Djumhawan Ratman Permana
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911, Jawa Barat. Telp. +6221-8754587, Fax. +62-21-8754588
45.
Eko Sutrisno
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH), Kuok. Jl. Raya Bangkinang-Kuok Km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang, Kampar 28401, Riau. Telp. +62-762-7000121
46.
Eming Sudiana, Dr.
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno No.63 Karangwangkal, Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62281 638794, Fax. +62-281-631700
47.
Endang S. Srimariana
Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura. Jl. Mr. Chr. Soplanit Kampus Poka, Ambon 97233, Maluku. Telp. +629113825060, Fax. +62-911382061
48.
Endang Semiarti, Dr.
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
49.
Endjang Sujitno
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Jl. Kayuambon 80, PO Box 8495, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat. Telp. +62-22-2786238, 2789846, Fax. +62-22-2786238
50.
Eni Maftu'ah
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Jl. Kebun Karet PO Box 31, Loktabat Utara, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Telp./Fax. +62-511-4772534
51.
Enie Tauruslina Amarullah
Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Sumatera Barat. Jl. Raya Padang-Indarung Km 8 Bandar Buat, Padang, Sumatera Barat. Telp. +62-7517054686, Fax. +62-751-7055587
52.
Erma Prihastanti, Dr.
Laboratorium Ekologi dan Biosistematika, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-24-70799494
53.
Ervina Indrayani
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Cenderawasih. Jl. Kamp Wolker, Kampus Baru Uncen Waena, Jayapura 99358, Papua. Telp. +62-967-572115
54.
Erwan Saripudin
Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jl. Flora No. 1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
55.
Etik Ainun Rohmah
Lembaga Penyakit Tropis, Universitas Airlangga. Kampus C, Jl. Mulyorejo Surabaya, 60115, Jawa Timur. Telp. +62-31-5992445
56.
Etti Swasti, Dr.
Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manih-Padang 24063, Sumatera Barat. Telp. +62-751-72701, Fax. +62-751-72702
57.
Eva Fauziyah
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 PO Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Telp. +62-265-771352, Fax. +62-265-775866
58.
Fakhruddin Mustofa
Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas, Badan Informasi Geospasial. Jl. Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Telp. +62-21-8752062-63, Fax. +62-21-8752064
59.
Fatihah Dinul Qoyyimah
Program Studi Biologi, Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Telp. +62-2172792753. Fax. +62-21-7244767
60.
Fitri Fatma Wardani
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
x
61.
Fitri Handayani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-220857
62.
Gerson Ndawa Njurumana, Dr.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7 Airnona, Kupang 85115, Nusa Tenggara Timur. Telp. +62-380-823357, Fax. +62-380831068
63.
Hapry F.N. Lapian, Dr.
Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
64.
Hartutiningsih M. Siregar
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
65.
Hendra Gunawan, Dr.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Telp. +62-251-8633234, 7520067, Fax. +62251 8638111
66.
Hendra Helmanto
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
67.
Henti Hendalastuti Rachmat
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH), Kuok. Jl. Raya Bangkinang-Kuok Km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang, Kampar 28401, Riau. Telp. +62-762-7000121
68.
Hery Pratiknyo Subagdja
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno No. 63 Karangwangkal, Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62281 638794, Fax. +62-281-631700
69.
I Putu Gede Ardhana, Prof. Dr.
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana. Jl. Kampus Bukit Jimbaran Denpasar, Bali. Telp./Fax. +62-361-703137, 701954 ext 226
70.
Ign. Pramana Yuda, Ph.D.
Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya. Jl. Babarsari 44 Yogyakarta 55281. Kampus II Gedung Thomas Aquinas. Telp. +62-274-487711 ext. 2222, Fax. +62-274487748
71.
Ihda Novany Badriyah
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Batang. Jl. Dr. Wahidin No. 56 Batang, Jawa Tengah. Telp. +62-285-391031
72.
Iin Setyowati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 CiruasSerang 42182, Banten. Telp. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507
73.
Imam Widhiono, Dr. rer. nat.
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno No.63 Karangwangkal, Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62281 638794, Fax. +62-281-631700
74.
Imron Riyanto
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
75.
Indra A.S.L.P. Putri
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 16,5, PO Box 1560, Makassar, Sulawesi Selatan. Telp. +62-411-554049, Fax. +62-411-554058
76.
Iwan Suyatna, Dr.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman (Unmul). Jl. Gunung Tabur, Kampus Gunung Kelua, Samarinda 75116, Kalimantan Timur. Telp./Fax. +62541-748648
77.
Jein Rinny Leke, Dr.
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
78.
Jet Saartje Mandey, Dr.
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
79.
Johan Iskandar, Prof. Dr.
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Telp. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
80.
Karmila Ibrahim
Fakultas Pertanian Universitas Khairun. Jl. Bandara Babullah, Ternate 97728, Maluku Utara. Telp. +62-921-3110903, +62-921-21550, Fax. +62-921-23364
xi
81.
Khairuddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan. Jl. Panglima Batur Barat No. 04 Banjarbaru 70700, Kalimantan Selatan
82.
Laode M. Harjoni Kilowasid, Dr.
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo. Jl. HEA Mokodompit, Kampus Hijau Bumi Thidarma Anduonohu, Kendari 93231, Sulawesi Tenggara. Telp./Fax. +62-401-391692
83.
Lily Ismaini
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Cibodas PO Box 19 SDL Cipanas, Cianjur 43253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-263-512233
84.
Lussana Rossita Dewi
Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas PGRI Semarang. Jl. Sidodadi Timur No. 24, Dr. Cipto, Semarang 50125, Jawa Tengah. Telp. +62-24-8316377, Fax. +62-248448217
85.
M. Arief Soendjoto, Prof. Dr.
Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36 Kotak Pos 19, Simpang Empat, Banjarbaru 70714 , Kalimantan Selatan. Telp. +62-511-477 2290
86.
M. Muchlish Adie
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Telp. +62-341-801468, 801075, Fax. +62-341-801496
87.
M.S. Handayani
Dinas Pendidikan, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah
88.
Maftuchah, Dr.
Fakultas Pertanian-Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang. Kampus III: Jl. Raya Tlogomas No. 246, Malang 65145, Jawa Timur. Telp. +62-431-460948, 463513, 464318-319, Fax. +62-341-460782
89.
Maikel Simbiak
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Cenderawasih. Kampus Uncen, Jl. Raya Sentani, Abepura, Kota Jayapura 99351, Papua. Telp. +62-967-572108, Fax. +62-967-572102
90.
Maria Ulfah
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
91.
Maria Ulfah, S.Si, M.Pd.
Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas PGRI Semarang. Jl. Sidodadi Timur No. 24, Dr. Cipto, Semarang 50125, Jawa Tengah. Telp. +62-24-8316377, Fax. +62-248448217
92.
Marida Santi Yudha Ika Bayu
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Telp. +62-341-801468, 801075, Fax. +62-341-801496
93.
Marina Silalahi
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Jl. Mayjen Sutoyo No. 2 Cawang, Jakarta Timur 13630, Jakarta. Telp. +62-21-800919 (ext. 301, 302), Fax. +62-21-8088-5229
94.
Martina E.R. Montong
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
95.
Meity Sompie
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Telp. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568
96.
Meksy Dianawati, Dr.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Jl. Kayuambon 80, PO Box 8495, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat. Telp. +62-22-2786238, 2789846, Fax. +62-22-2786238
97.
Mochamad Hadi
Laboratorium Ekologi dan Biosistematika, Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-24-70799494
98.
Mochammad Zamroni
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH), Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Depok 16436, Jawa Barat. Telp. +62-21-7765838, 7520482, Fax. +62-21-7520482
99.
Muhamad Rizal, S.P.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-220857
100.
Muhammad Imam Surya
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Kebun Raya Cibodas, Sindanglaya PO Box 19 Cipanas-Cianjur, Jawa Barat 43253, Indonesia. Telp./Fax. +62-263-512233
101.
Muhammad Iqram
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintas Kemerdekaan Km 10, Kampus Unhas Tamalanrea, Makassar 90915, Sulawesi Selatan. Telp. +62-411-62444, Psw. 2470, 2471, 2472, Fax. +62-411-620411
xii
102.
Muhammad Noor, Prof. (Ris), Dr.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Jl. Kebun Karet PO Box 31, Loktabat Utara, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Telp./Fax. +62-511-4772534
103.
Muhammad Saleh
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Jl. Kebun Karet PO Box 31, Loktabat Utara, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Telp./Fax. +62-511-4772534
104.
Namriah
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo. Jl. HEA Mokodompit, Kampus Hijau Bumi Thidarma Anduonohu, Kendari 93231, Sulawesi Tenggara. Telp./Fax. +62-401-391692
105.
Nibras Zakiyah
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
106.
Ning Setiati
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Semarang, Kampus Unnes Sekaran Gd. D6 Lt. 1, Gunungpati, Semarang 50229, Jawa Tengah. Telp. +62-24-8508033
107.
Nisfi Yuniar
Laboratorium Entomologi, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jl. Ulin, Kampus IPB Darmaga, Ciampea, Bogor 16680, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8626806/+62-251-8626886
108.
Novarina Irnaning Handayani
Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI) Semarang. Jl. Ki Mangunsarkoro No. 6, Semarang 50136, Jawa Tengah. Telp. +62-24-8316315, Fax. +62-24-8414811
109.
Novianty Djafri, Dr.
Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo. Jl. Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96128, Provinsi Gorontalo. Telp. +62-435-821125, Fax. +62-435-821752
110.
Novri Nelly, Prof. Dr.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat. Telp. +62-751-72701, Fax. +62-751-72702
111.
Nur Edy Suminarti, Dr.
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Jl. Veteran, Malang 65145, Jawa Timur. Telp. +62-341-551665, 565845, Fax. +62-341-560011
112.
Nur Her Riyadi Parnanto
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-637457
113.
Nurbani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-220857
114.
Nurmegawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Jl. Irian, Km 6,5, Kelurahan Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu 38119, Bengkulu. Telp. +62-736 23030, Fax. +62-736-345568
115.
Nurwanita Ekasari Putri
Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manih-Padang 24063, Sumatera Barat. Telp. +62-751-72701, Fax. +62-75172702
116.
Oedjijono
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno No.63 Karangwangkal, Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62281 638794, Fax. +62-281-631700
117.
Pipih Suningsih Effendi
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Jl. Agathis, Ciampea, Bogor 16680, Jawa Barat. Telp. +62-251-622841, 622810, 622811, Fax. +62-251-622842
118.
Praptining Rahayu
Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas PGRI Semarang. Jl. Sidodadi Timur No. 24, Dr. Cipto, Semarang 50125, Jawa Tengah. Telp. +62-24-8316377, Fax. +62-248448217
119.
Prasetyarti Utami
FMIPA, UPBJJ-UT (Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka) Purwokerto. Jl. Kampus No. 54 Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62-281-624317, Fax. +62-281-624318
120.
Prayudi Nastia
Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Jl Agro No. 1 Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
121.
Putri Sri Andila
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. Telp. +62368-2033211
xiii
122.
R.C. Sulistyanto
SMA Muhammadiyah I Karanganyar. Jl. Brigjen Slamet Riyadi No.12, Tegalgede, Karanganyar, Jawa Tengah. Telp. +62-271-495171
123.
Randi Hendrawan
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Telp. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
124.
Rani Triana
Program Studi Biologi, Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Telp. +62-2172792753, Fax. +62-21-7244767
125.
Ratri Tri Hapsari
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Telp. +62-341-801468, 801075, Fax. +62-341-801496
126.
Raynard C. Sanito
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Jl. Raya ITS, Campus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Jawa Timur
127.
RC Hidayat Soesilohadi
Laboratorium Entomologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
128.
Regina Melianawati
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
129.
Rekyan Galuh Witantri
Kelompok Studi Kepak Sayap, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-663375
130.
Renie Oelviani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Jl. BPTP No. 40, Bukit Tegal Lepek, Ungaran, Jawa Tengah. Telp. +62-24-6924965/7, Fax. +62-24-6924966
131.
Retno Endrasari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Jl. BPTP No. 40, Bukit Tegal Lepek, Ungaran, Jawa Tengah. Telp. +62-24-6924965/7, Fax. +62-24-6924966
132.
Retno Prayudyaningsih
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 16,5, PO Box 1560, Makassar, Sulawesi Selatan. Telp. +62-411-554049, Fax. +62-411-554058
133.
Reza Ramdan Rivai
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
134.
Reza Ramdan Rivai
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
135.
Rina Wahyu Cahyani
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD) Samarinda. Jl. A. Wahab Syahranie No. 68, PO Box 1206, Sempaja, Samarinda Utara, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-206364, Fax. +62-541-742298
136.
Rizmoon Nurul Zulkarnaen
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
137.
Robi Rizki Zatnika
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jl. Raya Cibodas PO Box 3 SDL Cipanas, Cianjur 34253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-512776
138.
Rokhmani
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Jl. Dr. Soeparno No.63 Karangwangkal, Grendeng, Purwokerto 53122, Banyumas, Jawa Tengah. Telp. +62281 638794, Fax. +62-281-631700
139.
Rony Irawanto
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Surabaya-Malang Km 65, Pasuruan 67163, Jawa Timur. Telp. +62-343-615033, Fax. +62-343-615033
140.
Rosnaeni
Program Studi Biologi, Universitas Al Azhar Indonesia. Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia. Telp. +62-2172792753, Fax. +62-21-7244767
141.
Ruhyat Partasasmita, Dr.
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Telp. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
142.
S. Asikin
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Jl. Kebun Karet PO Box 31, Loktabat Utara, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Telp./Fax. +62-511-4772534
xiv
143.
Saidah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Jl. Lasoso 62 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Telp. +62-451-482546
144.
Saiful Anwar
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911, Jawa Barat. Telp. +6221-8754587, Fax. +62-21-8754588
145.
Sepus M. Fatem
Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua. Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari 98314, Papua Barat. Telp. +62-986211974, 211754, Fax. +62-986-211455
146.
Sevi Sawestri
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BP3U). Jl. Beringin No.08, Mariana, Palembang, Sumatera Selatan. Telp. +62-711-7537194, Fax. +62-711-7537205
147.
Silvia Yuniarti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 CiruasSerang 42182, Banten. Telp. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507
148.
Siti Sumarmi, Dr.
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
149.
Siti Yulaikah
Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro. Jl. Imam Bardjo SH No. 5 Semarang. Telp. +62-24-8452560, Fax. +62-24-8452560
150.
Solikin
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Surabaya-Malang Km 65, Pasuruan 67163, Jawa Timur. Telp. +62-343-615033, Fax. +62-343-615033
151.
Sri Sudarwati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Jl. BPTP No. 40, Bukit Tegal Lepek, Ungaran, Jawa Tengah. Telp. +62-24-6924965/7, Fax. +62-24-6924966
152.
Sri Suhadiyah
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintas Kemerdekaan Km 10, Kampus Unhas Tamalanrea, Makassar 90915, Sulawesi Selatan. Telp. +62-411-62444, Psw. 2470, 2471, 2472, Fax. +62-411-620411
153.
Steffanie Nurliana
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371, Indonesia. Telp./Fax. +62-736-21290
154.
Sudarmono, Dr.
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
155.
Sugiarti
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
156.
Sugiyarto, Prof. Dr.
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah. Telp./Fax. +62-271-663375
157.
Suluh Normasiwi
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl.Raya Cibodas PO Box 19 SDL Cipanas, Cianjur 43253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-263-512233
158.
Sumardi
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Telp./Fax. +62-274-896080
159.
Sumarhani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 165, Bogor 16001, Jawa Barat. Telp. +62-251-8633234, 7520067, Fax. +62251 8638111
160.
Sumarmiyati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-220857
161.
Surni
Puslitbang Wilayah Tata Ruang dan Informasi Spasial, Universitas Hasanuddin, Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Makassar 92045, Sulawesi Selatan. Telp./Fax. +62-411-587032
162.
Suwarno Hadisusanto, Prof. Dr.
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Telp./Fax. +62-274-580839
xv
163.
Syarifuddin Kadir, Dr.
Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36 Kotak Pos 19, Simpang Empat, Banjarbaru 70714 , Kalimantan Selatan. Telp. +62-511-477 2290
164.
Teguh Husodo
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Telp. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545
165.
Teguh Pribadi
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Palangka Raya. Jl. Hiu Putih-Tjilik Riwut Km 7, Palangka Raya 73112, Kalimantan Tengah
166.
Tika Rahma Yunita
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jl. Flora, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
167.
Tintin Retno Pramesti
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jl. Raya Cibodas PO Box 3 SDL Cipanas, Cianjur 34253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-512776
168.
Tri Cahyo Mardiyanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Jl. BPTP No. 40, Bukit Tegal Lepek, Ungaran, Jawa Tengah. Telp. +62-24-6924965/7, Fax. +62-24-6924966
169.
Tri Warseno
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. Telp. +62 368-2033211
170.
Trizelia, Prof. Dr.
Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manih-Padang 24063, Sumatera Barat. Telp. +62-751-72701, Fax. +62-75172702
171.
Tumpak Sidabutar
Laboratorium Plankton dan Produktivitas, Pusat Penelitian Oseanografi (P2O), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Komplek Bina Samudera, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, PO Box 4801/JKTF Jakarta 11048. Telp. +62-21-64713850, Fax. +6221-64711948
172.
Tutik Kadarini
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias BPPBIH, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Depok 16436, Jawa Barat. Telp. +62-21-7765838, 7520482, Fax. +62-21-7520482
173.
Vonda M.N. Lalopua, Dr.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura. Jl. Mr. Chr. Soplanit Kampus Poka, Ambon 97233, Maluku. Telp. +62-9113825060, Fax. +62-911382061
174.
Wahyu Tejo Baskoro
Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274-580839
175.
Wartika Rosa Farida, Dr.
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Telp. +62-21-8765056, Fax +62-21-8765068
176.
Widodo, Dr.
Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Jl. Marsda Adisucipto 1, Sleman 55281, Yogyakarta
177.
Wiguna Rahman
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Cibodas PO Box 19 SDL Cipanas, Cianjur 43253, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-263-512233
178.
Wiwit Rahajeng
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Telp. +62-341-801468, 801075, Fax. +62-341-801496
179.
Wuri Handayani
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Telp. +62-265-771352, Fax. +62-265-775866
180.
Y.B. Subowo
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Telp. +62-21-876156, Fax. +62-21-8765062
181.
Yahumri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Jl. Irian, Km 6,5, Kelurahan Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu 38119, Bengkulu. Telp. +62-736 23030, Fax. +62-736-345568
182.
Yasir Sidiq
Laboratorium Genetika dan Biologi Molekular, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Telp./Fax. +62-274580839
183.
Yayan Hadiyan
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Telp./Fax. +62-274-896080
xvi
184.
Yogastyo Sukmanto
Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) Yogyakarta. Jl. Nangka II, Maguwoharjo, Yogyakarta 55282, Daerah Istimewa Yogyakarta. Telp. +62-274-885479
185.
Yossita Fiana
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Telp. +62-541-220857
186.
Yupi Isnaini
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Telp./Fax. +62-251-8322187
| vol. 1 | no. 4 | pp. 691-959 | Juli 2015 | ISSN: 2407-8050 |
BIODIVERSITAS EKOSISTEM Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat BENYAMIN DENDANG, WURI HANDAYANI
691-695
Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya: Studi kasus di Desa Sukamaju, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Tasikmalaya, Jawa Barat SANUDIN, EVA FAUZIYAH
696-701
Pentingnya integrated approach dalam konservasi keragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung YAYAN HADIYAN
702-706
Kajian ekologis habitat dan pertumbuhan ikan ringau (Datnioides microlepis) di Danau Sentarum, Kalimantan Barat MOCHAMMAD ZAMRONI, AHMAD MUSA, SLAMET SUGITO, RUSLAN SUTRISNA, ABANG ZULKIFLI
707-713
Potensi dan strategi pengembangan Taman Hutan Raya Gunung Tumpa Manado, Sulawesi Utara dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati subkawasan Wallacea ADY SURYAWAN, MARGARETA CHRISTITA, ISDOMO YULIANTORO
714-720
Perbandingan komposisi dan keanekaragaman jenis yang berasal dari soil seed bank pada kawasan yang terganggu dan tidak terganggu erupsi 2010 di Gunung Merapi, Yogyakarta SUTOMO, DINI FARDILA, ARIEF PRIYADI
721-726
Populasi dan potensi Ploiarium alternifolium (Theaceae) di hutan gambut pasca terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah INGE LARASHATI SUBRO
727-731
Pengelolaan hutan rakyat pada lahan sempit MARIA PALMOLINA
732-737
Sebaran spesies asing invasif Acacia decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi DHANI SURYAWAN, EDDY SUTYARTO, RUKY UMAYA, ASEP KURNIA, YAYAN HADIYAN
738-742
ETNOBIOLOGI Etnobotani pasak bumi (Eurycoma longifolia) pada etnis Batak, Sumatera Utara MARINA SILALAHI, NISYAWATI
743-746
Pemanfaatan aneka ragam burung dalam kontes burung kicau dan dampaknya terhadap konservasi burung di alam: Studi kasus di Kota Bandung, Jawa Barat JOHAN ISKANDAR, BUDIAWATI S. ISKANDAR
747-752
Keragaman tumbuhan sebagai pewarna pada kerajinan tenun suku Sasak: Studi kasus di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat I DEWA PUTU DARMA, ARIEF PRIYADI
753-756
xviii
Potensi sumber daya genetik tanaman perkebunan sebagai bahan budidaya di Provinsi Bengkulu AFRIZON
757-762
BIOSAINS Respons tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap berbagai jumlah frekuensi pemberian air NUR EDY SUMINARTI
763-766
Evaluasi manfaat daun ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai bahan pakan ayam pedaging JET SAARTJE MANDEY, CHERLY J. PONTOH, JEIN RINNY LEKE, CATHRIEN A. RAHASIA
767-770
Penggunaan tepung insang cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai pengganti tepung ikan dalam beberapa level pemberian dan metode pengolahan terhadap penampilan ayam broiler JEIN RINNY LEKE,TUTI WIDYASTUTI, JET S. MANDEY, MARIE NAJOAN, JACQUELINE LAIHAD
771-775
Potensi berbagai bahan organik rawa sebagai sumber biochar ENI MAFTU'AH, DEDI NURSYAMSI
776-781
Karakteristik dan daya kecambah biji mutan Hoya diversifolia REZA RAMDAN RIVAI, SRI RAHAYU
782-786
Keragaman dan pengelompokan galur harapan kedelai di Kabupaten Sleman, Yogyakarta M. MUCHLISH ADIE, AYDA KRISNAWATI, DIDIK HARNOWO
787-791
Pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap karakteristik gelatin kulit kaki ayam MEITY SOMPIE, ARIE D. MIRAH, LINDA CH. M. KARISOH
792-795
Keefektifan metode ceramah dalam pelatihan Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai di Kabupaten Lebak, Banten IIN SETYOWATI, SRI KURNIAWATI
796-799
Evaluasi pertumbuhan tanaman uji keturunan eboni (Diospyros rumphii) umur satu tahun di persemaian JULIANUS KINHO, JAFRED HALAWANE, ARIF IRAWAN, YERMIAS KAFIAR
800-804
Pemanfaatan cocopeat dan arang sekam padi sebagai media tanam bibit cempaka wasian (Elmerrilia ovalis) ARIF IRAWAN, YEREMIAS KAFIAR
805-808
Keragaan hasil gula dan hasil biji beberapa kultivar sorghum manis di tiga wilayah lahan kering Kabupaten Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah IHDA NOVANY BADRIYAH, TARYONO, RUDI HARI MURTI
809-813
Induksi pembentukan sporofit pada massa prothallus pakis simpei (Cibotium barometz) secara in vitro EKA MARTHA DELLA RAHAYU, YUPI ISNAINI, TITIEN NGATINEM PRAPTOSUWIRYO
814-818
Variasi genetik pertumbuhan tanaman uji keturunan nyatoh (Palaquium obtusifolium) umur 1,5 tahun di hutan penelitian Batuangus, Sulawesi Utara JAFRED E. HALAWANE, JULIANUS KINHO, ARIF IRAWAN
819-823
Karakteristik seedling Anchomanes difformis RIZMOON NURUL ZULKARNAEN, FITRI FATMA WARDANI, REZA RAMDAN RIVAI
824-827
Kajian perubahan tingkat kekritisan lahan sebagai akibat proses eliminasi unit lahan: Studi kasus di kawasan pertambangan Danau Mas Hitam, Provinsi Bengkulu BAMBANG SULISTYO
828-833
xix
Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia hirta) terhadap germinasi biji tumbuhan asli (Impatiens platypetala) LILY ISMAINI
834-837
Peningkatan performa pedet sapi Peranakan Ongole pascasapih melalui perbaikan manajemen dengan pemanfaatan sumber daya lokal BUDI UTOMO, RENIE OELVIANI, SUBIHARTA
838-842
Potensi kerang manis (Gafrarium tumidum) di pesisir Pantai Negeri Laha, Teluk Ambon sebagai sumber mineral ENDANG S. SRIMARIANA, BERNITA BR. SILABAN, EDIR LOKOLLO
843-847
Respons pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) padi gogo di Kabupaten Pandeglang, Banten SILVIA YUNIARTI
848-851
Pengaruh pupuk kompos bioposka dalam proses perkecambahan dan pertumbuhan biji Quassia indica HENDRA HELMANTO, FRISCA DAMAYANTI, DANANG W. PURNOMO
852-855
Perkecambahan dan pertumbuhan kecambah Clausena excavata pada perlakuan pemberian kompos bioposka FRISCA DAMAYANTI, HENDRA HELMANTO
856-859
Pengaruh cekaman panas terhadap daun stroberi (Fragaria L. Elsanta) BERNADETTA RINA HASTILESTARI, CARLA FRIEDA PANTOUW
860-863
Plastisitas sistem fotosintesis pada tanaman CAM BERNADETTA RINA HASTILESTARI
864-867
Kajian berbagai varietas unggul terhadap serangan wereng batang cokelat dan produksi padi di lahan sawah Kabupaten Garut, Jawa Barat MEKSY DIANAWATI, ENDJANG SUJITNO
868-873
Produksi panen berbagai varietas unggul baru cabai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat ENDJANG SUJITNO, MEKSY DIANAWATI
874-877
Tingkat serangan berbagai hama polong pada plasma nutfah kedelai MARIDA SANTI YUDHA IKA BAYU
878-883
Prospek pengembangan buah naga (Hylocereus costaricensis) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur MUHAMAD RIZAL
884-888
Preferensi masyarakat terhadap karakter nasi varietas unggul baru padi: Kasus di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten IIN SETYOWATI, SRI KURNIAWATI
889-893
Review: Usaha peningkatan kualitas mangga kasturi (Mangifera casturi) dengan modifikasi budi daya tanaman ARIEF RAKHMAD BUDI DARMAWAN
894-899
Pertumbuhan enam populasi nyamplung (Calophyllum inophyllum) ras lahan Jawa umur lima tahun di plot konservasi ex situ Cilacap, Jawa Tengah ARI FIANI
900-903
Pendugaan keragaman karakter morfologi 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar WIWIT RAHAJENG
904-909
xx
Kajian galur harapan padi gogo di Kalimantan Timur DARNIATY DANIAL, NURBANI
910-913
Rekomendasi pupuk tanaman jagung dan kedelai di Kabupaten Kaur, Bengkulu NURMEGAWATI, YAHUMRI, AFRIZON
914-917
Review: Keragaman plasma nutfah kacang hijau dan potensinya untuk program pemuliaan kacang hijau RATRI TRI HAPSARI, TRUSTINAH, RUDI ISWANTO
918-922
Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul (Baccaurea macrocarpa) di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur NOOR ROUFIQ AKHMADI, SUMARMIYATI
923-929
Abnormalitas spermatozoa domba dengan frekuensi penampungan berbeda FIFI AFIATI, YULNAWATI, MUHAMMAD RIYADI, RADEN IIS ARIFIANTINI
930-934
Pertumbuhan dan produktivitas beberapa varietas unggul baru dan lokal padi rawa melalui pengelolaan tanaman terpadu di Sulawesi Tengah SAIDAH, ANDI IRMADAMAYANTI, SYAFRUDDIN
935-940
Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten SRI LESTARI, PEPI NUR SUSILAWATI
941-946
Fisiologi dan pertumbuhan bibit rambutan, mangga, durian, dan alpukat terhadap berbagai intensitas cahaya dan pemupukan nitrogen TITI JUHAETI, NURIL HIDAYATI
947-953
Mikroorganisme tanah bermanfaat pada rhizosfer tanaman umbi di bawah tegakan hutan rakyat Sulawesi Selatan RETNO PRAYUDYANINGSIH, NURSYAMSI, RAMDANA SARI
954-959
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 691-695
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010401
Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat Structure and composition of forest stands in Mount Gede Pangrango National Park, West Java BENYAMIN DENDANG♥, WURI HANDAYANI♥♥ Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 PO. Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Tel. +62-265-771352, Fax. +62265-775866,♥email:
[email protected], ♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 26 April 2015.
Dendang B, Handayani W. 2015. Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 691-695. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu cagar biosfer di Indonesia, dengan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Keberlangsungan fungsi-fungsi tersebut sangat ditentukan oleh keberadaan vegetasi di dalamnya dan diperlukan upaya pengelolaan yang didasarkan pada analisis vegetasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, khususnya berhabitus pohon, di sebagian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian ini menggunakan metode petak kuadrat, dengan panjang transek 100 m dan petak ukur 20x20 m2 untuk pengamatan tingkat pohon, petak ukur 10x10 m2 untuk pengamatan tingkat tiang, 5x5 m2 untuk pengamatan tingkat pancang, dan 2x2 m2 untuk pengamatan tingkat semai. Hasil pengamatan dianalisis menggunakan Indeks Nilai Penting, Indeks Keragaman Shannon-Wiener, Indeks Keseragaman Shanon, dan Indeks Dominansi. Hasil penelitian diketahui terdapat 25 jenis pohon dengan berbagai tingkat pertumbuhan. Strata atas tegakan didominasi jenis Altingia excelsa. Pepohonan banyak tersebar pada kelas diameter 10 hingga <15 cm (120 pohon). Pohon berdiameter besar (>35 cm) terbanyak dijumpai pada jenis A. excelsa (35 pohon/ha). Altingia excelsa (INP=127,8%) adalah jenis yang dominan pada tingkat pohon, Villebrunea rubescens (INP=116,3%) pada tingkat tiang, Laportea stimulans (INP=34,7%) pada tingkat pancang, dan Cestrum aurantiacum (INP=73,8%) pada tingkat semai. Polyosma integrifolia memiliki prospek regenerasi positif, dengan jumlah semai dan pancang mendominasi struktur pertumbuhan vegetasi tersebut. Indeks keragaman (H’) pohon pada setiap tingkat pertumbuhan mendekati stabil (0,765-0,901). Indeks dominansi (C) termasuk rendah pada setiap tingkat pertumbuhan (0,1280,214), yang menunjukkan kemampuan penguasaan masing-masing jenis dalam komunitas relatif seimbang, sehingga kelestarian keanekaragaman jenis dapat dipertahankan. Indeks keseragaman (e) jenis pada setiap tingkat pertumbuhan termasuk rendah (0,3720,432) menunjukkan komposisi jenis tinggi. Kata kunci: Hutan, komposisi, pohon, struktur, taman nasional
Dendang B, Handayani W. 2015. Structure and composition of forest stands in Mount Gede Pangrango National Park, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 691-695. The Mount Gede Pangrango National Park is one of the biosphere reserves in Indonesia, for the protection of life support system, preservation of biodiversity and ecosystems, as well as the sustainable use of natural resources and ecosystems. Continuity of these functions is determined by the presence of vegetation and required the management system based on the analysis of vegetation. The research objective was to determine the structure and composition of vegetation, especially trees, in a part of the Mount Gede Pangrango National Park. This study used quadratic plot, with a transect length of 100 m and 20x20 m2 plot for observation of trees stage, 10x10 m2 plot for poles, 5x5 m2 plot for saplings and 2x2 m2 plot for seedlings. The results were analyzed using Importance Value Index, diversity index of Shannon-Wiener, Shannon uniformity index and dominance index. The survey results known there were 25 species of trees at various growth stages. The upper strata of stands were dominated by Altingia excelsa. Most of the trees have a diameter class from 10 to <15 cm (120 trees). Large diameter trees (>35 cm) found in most of A. excelsa (35 trees/ha). Altingia excelsa (IVI=127.8%) were the dominant species at the trees stage, Villebrunea rubescens (IVI=116.3%) at the poles stage, Laportea stimulant (IVI=34.7%) at the saplings stage and Cestrum aurantiacum (IVI=73.8%) at the seedlings stage. Polyosma integrifolia have a regeneration prospect positively, with numbers of seedlings and saplings dominate the structure of vegetation growth. Diversity index (H ') of trees at each growth stages were nearly steady (0.765 to 0.901). Dominance index (C) of trees at each growth stages was low (0.128 to 0.214). These dominance index values indicated the dominance ability of each species in the community was balanced relatively, thus the diversity preservation can be maintained. Uniformity index (e) of trees at each of growth stages was low (0.372 to 0.432), showed the high species composition. Keywords: Forest, composition, trees, structure, national park
692
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 691-695, Juli 2015
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mempunyai hutan hujan tropis yang sangat luas dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Secara geografis, Indonesia berada di antara dua benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Selain itu, Indonesia juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dimana kondisi ini menyebabkan Indonesia memiliki bermacam-macam tipe hutan. Hutan hujan tropis adalah ciri hutan alam dimana masyarakat tumbuhtumbuhannya berada dalam formasi klimaks. Ciri lainnya dari hutan hujan tropis adalah adanya penampakan tajuk pohon yang berlapis-lapis dan tajuk pohon yang dominan berada pada lapisan atasnya. Hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat tinggi, sehingga termasuk negara megabiodiversity yang hanya tertandingi oleh Brazil dan Zaire (Dunggio dan Gunawan 2009). Biodiversitas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan banyak kebutuhan yang dapat diperoleh dari hutan seperti pangan, sandang, obat-obatan, penyedia oksigen, dan penyerap karbon dioksida. Salah satu cara terpenting untuk dapat menjamin agar biodiversitas tetap lestari sehingga dapat lebih memenuhi kebutuhan manusia sekarang dan masa yang akan datang adalah dengan menetapkan dan mengelola kawasan-kawasan yang dilindungi. Termasuk hal ini adalah penetapan dan pengelolaan taman nasional yang merupakan salah satu cara memperoleh manfaat sumberdaya hutan selain kayu, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara lestari lintas generasi (Dunggio dan Gunawan 2009). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan salah satu kawasan yang dilindungi dan ditetapkan melalui SK Menteri Nomor 736/36/Menteri/X/82. Taman nasional ini juga telah diakui dan diresmikan oleh UNESCO sebagai salah satu cagar biosfer yang ada di Indonesia pada tahun 1977 (Arrijani 2008; Larasati et al. 2012). Pengelolaan taman nasional telah diarahkan agar dapat berfungsi untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya. Untuk mengelola keanekaragaman hayati ini diperlukan strategi yang dapat dikembangkan, dan menurut Setiadi (2005) ada tiga aspek yang tercakup di dalamnya yaitu melindungi, mempelajari, dan memanfaatkan. Mempelajari struktur dan komposisi vegetasi yang terdapat di dalam taman nasional merupakan salah satu langkah untuk mendapatkan pengetahuan yang baik tentang ekologi dasar yang diperlukan dalam pengembangan suatu skema pengelolaan hutan secara lestari (Kartawinata et al. 2008). Di sisi lain persoalan-persoalan dalam pengelolaan taman nasional terus meningkat, seperti perambahan kawasan, ilegal logging, perburuan liar, dan sengketa tata batas (Dunggio dan Gunawan 2009). Dinamika permasalahan sosial di atas, termasuk bencana alam yang pernah dan mungkin akan terjadi, dapat mengubah struktur dan komposisi vegetasi maupun hasil suksesinya. Arrijani (2008) menambahkan bahwa secara umum kehadiran vegetasi pada suatu landskap memberikan dampak positif
bagi keseimbangan ekosistem, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisinya. Oleh karena itu, sekalipun telah banyak dilakukan penelitian di kawasan TNGP, informasi yang diperoleh dari hasil penelitian secara terus-menerus tetap diperlukan untuk menjelaskan dinamika hutan yang terjadi. Mengingat pentingnya informasi ini, maka telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi berhabitus pohon di wilayah resort Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang juga merupakan hulu dari beberapa Daerah Aliran Sungai.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 di stasiun pengamatan 4 (HM 4), Resort Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
Gambar 1. Area kajian di HM 4 Resort Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Gambar 2. a. Petak ukur tingkat semai (2x2) m2, b. petak ukur tingkat pancang (5x5) m2, c. petak ukur tingkat tiang (10x10) m2, d. petak ukur tingkat pohon (20x20) m2
DENDANG & HANDAYANI – Tegakan hutan di TN Gunung Gede Pangrango
Pengumpulan data Pengumpulan data dilaksanakan dengan teknik analisis vegetasi petak kuadrat atau kombinasi antara jalur dan garis berpetak. Petak contoh dibuat dengan jalur/transek sepanjang 100 m dengan arah azimuth 1800 di sebelah kiri ruas jalan menuju puncak gunung dengan titik awal jalur berjarak 5 m dari tepi ruas jalan. Sepanjang transek dibuat petak ukur 20x20 m2 (pengamatan tingkat pohon) yang dibuat berselang-seling kiri dan kanan jalur. Di dalam petak ukur 20x20 m2 terdapat petak ukur 10x10 m2 (pengamatan tingkat tiang), 5x5m2 (pengamatan tingkat pancang), dan 2x2 m2 (pengamatan tingkat semai) (Gambar 2). Pengamatan vegetasi pada tingkat tiang dan pohon meliputi identifikasi jenis, jumlah individu, tinggi, dan diameter (dbh), sedangkan pada tingkat semai dan pancang pengamatan hanya meliputi identifikasi jenis dan jumlah individu. Tingkat semai adalah anakan pohon dengan tinggi kurang dari 1,5 meter. Tingkat pancang berukuran tinggi ≥ 1,5 m dan diameter < 10 cm. Tingkat tiang adalah pohon muda dengan diameter mulai dari 10-19,9 cm. Tingkat pohon adalah pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm.
693
tingkat pertumbuhan (Gambar 3), memperlihatkan kurva berbentuk huruf “J” terbalik, yang menunjukkan kondisi hutan berada dalam kondisi normal/seimbang, dimana jumlah individu pada tingkat semai>pancang>tiang>pohon, sehingga proses regenerasi dapat berlangsung karena tersedia permudaan dalam jumlah yang mencukupi. Struktur/sebaran jumlah pohon dengan kurva seperti itu umumnya dijumpai pada hutan hujan tropis yang menggambarkan satu komunitas hutan yang dinamis (Sidiyasa 2009; Hidayat 2014). Namun demikian, tidak tiap jenis dapat beregenerasi, karena memungkinkan terjadi pergantian jenis yang mendominasi pada tiap tingkat pertumbuhan. Pada beberapa jenis seperti Altingia excelsa, Schima wallichii, Magnolia blume, dan Toona sureni tidak ditemukan permudaan tingkat semai, pancang, maupun tiang, sehingga regenerasi pada jenis-jenis tersebut akan terhambat (Tabel 1). Jenis yang memiliki prospek regenerasi positif adalah jenis Polyosma integrifolia dengan jumlah semai dan pancang mendominasi struktur pertumbuhan, dan satu-satunya jenis yang memiliki kehadiran tingkat pertumbuhan yang lengkap.
Jumlah (N/ha)
Analisis data Analisis data meliputi Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keragaman Shanon-Wiener, Indeks Keseragaman Shanon, dan Indeks Dominansi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
13000
15000 10000 5000
720
200
120
0 Semai Pancang Tiang
Struktur dan komposisi tegakan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 25 jenis vegetasi berhabitus pohon pada berbagai tingkat pertumbuhan. Grafik sebaran jumlah individu dalam setiap
Pohon
Gambar 3. Jumlah individu tiap ha pada berbagai tingkat pertumbuhan
Tabel 1. Jumlah individu dan Indeks Nilai Penting jenis pada setiap tingkat pertumbuhan Jenis vegetasi Altingia excelsa Ficus alba Ficus ribes Macropanax dispermum Magnolia blumea Persea rimosa Polyosma integrifolia Pygeum latifolium Schima wallichii Symplocos fasciculata Toona sureni Turpinia argentea Villebrunea rubescens Castanopsis javanica Eugenia densiflora Laportea stimulans Saurauia reinwardtia Papeta montana Homalanthus populneus Cestrum aurantiacum Euonymus javanicus Elaeocarpus ganitrus Macropanik disperrium Dysoxylum excelsum Persea excelsa Jumlah
Semai K (N/ha) INP (%)
500
13,8
500
13,8
1.500
21,5
7.000 1.000 500 500 500 1.000 13.000
73,8 17,7 13,8 13,8 13,8 17,7
Pancang K (N/ha) INP (%)
Tiang K (N/ha) INP (%) 20
35,2
80 80
23,6 23,6
20
26,8
80
23,6
20
26,8
80 20 20 20
116,3 35,2 29,9 29,9
160 80 80 80 80
720
34,7 23,6 23,6 23,6 23,6
200
Pohon K (N/ha) INP (%) 35 127,8 10 19,9 5 10,1 10 20,3 5 9,7 5 10,5 5 11,7 10 20,7 5 9,7 10 20,3 5 9,7 5 9,6 10 20,1
120
694
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 691-695, Juli 2015
Turpinia argentea Toona sureni Schima wallichii Pygeum latifolium Persea rimosa Magnolia blumea Macropanax dispermum Ficus alba Altingia excelsa Villebrunea rubescens Symplocos fasciculata Polyosma integrifolia Laportea stimulans Ficus ribes Eugenia densiflora Castanopsis javanica
Gambar 4. Struktur vetikal dan horizontal tegakan hutan di TN Gunung Gede Pangrango
Struktur vegetasi juga dapat dilihat secara vertikal dan horisontal khususnya untuk pohon-pohon dengan diameter >10 cm. Struktur vertikal suatu tegakan dilihat dari sebaran tinggi tegakan, sedangkan struktur horizontal dilihat dari sebaran diameter tegakan. Pada struktur vertikal diketahui jumlah individu terbanyak berada pada kelas tinggi 5 m-<15 m yang mencapai 170 individu/ha. Strata paling atas didominasi oleh jenis A. excelsa (35 pohon/ha) dengan tinggi mencapai 50 m (Gambar 4). Pada struktur horisontal diketahui jumlah pohon tersebar pada kelas diameter 10-<15 cm yang mencapai 120 pohon/ha, dengan jumlah terbanyak dicapai oleh jenis V. rubescens. Hasil penelitian Zuhri dan Mutaqien (2011) juga mengungkap adanya kerapatan yang tinggi pada pohon-pohon dengan kelas diameter kecil khususnya jenis V. rubescens. Adapun pada kelas diameter terbesar (>35 cm) yang total berjumlah 35 pohon/ha, jumlah terbanyak dicapai oleh jenis A. excelsa (Gambar 4). Kehadiran pohon-pohon dengan tinggi dan diameter lebih besar cenderung menurun, dengan bentuk kurva menyerupai huruf J terbalik meskipun terdapat fluktuasi di beberapa kelas. Struktur horisontal dengan bentuk kurva J terbalik ini juga ditemukan pada kurun waktu yang berbeda (1959 dan 2009) dengan peningkatan kerapatan pohon berdiameter kecil pada hasil penelitian Zuhri dan Mutaqien (2011). Hal ini mempertegas bahwa hutan dalam kondisi seimbang. Menurut Arrijani (2008), jenis A. excelsa yang ditemukan di zona Montana sebagai jenis dominan dan berdiameter batang besar diperkirakan sebagai hasil suksesi primer setelah letusan Gunung Gede tahun 1886, dan memungkinkan mengalami dispersal ke dalam lokasi TNGP. Jenis A. excelsa dan V. rubescens juga merupakan jenis pohon yang sudah ada sejak tahun 1959 dalam plot permanen Meijer di daerah sekitar Cibodas, kawasan Gunung Gede Pangrango (Zuhri dan Mutaqien 2011). Jenis yang mendominasi suatu areal dinyatakan sebagai jenis yang memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan (Arrijani 2008). Suatu spesies dianggap dominan diindikasikan oleh indeks nilai penting, yaitu mempunyai nilai frekuensi, densitas, dan dominansi lebih tinggi dibanding spesies lain. Indeks
nilai penting suatu jenis memberikan gambaran bahwa keberadaan jenis tersebut semakin stabil atau berpeluang untuk dapat mempertahankan pertumbuhan dan kelestarian jenisnya. Suatu jenis tingkat pohon dan tingkat tiang dapat dikatakan berperan jika INP ≥15%, sedangkan pada tingkat pancang dan semai dikatakan berperan jika memiliki INP > 10% (Ferianita 2006; Mawazin dan Subiakto 2013). Pada lokasi penelitian ditemukan vegetasi pada tingkat pohon sebanyak 13 jenis, yang merupakan jenis vegetasi tipe ekosistem hutan sub-montana di hutan tropis (Tabel 1). Jenis dengan jumlah individu terbanyak adalah jenis A. excelsa dengan nilai kerapatan 35 pohon/ha. Nilai INP tertinggi terdapat pada jenis A. excelsa (127,8%), diikuti oleh jenis Pygeum latifolium (20,7%), Macropanax disperpum (20,3%), Symplocos fasciculata (20,3%),V. rubescens (20,1%), dan Ficus alba (19,9%). Jadi 46% dari seluruh jenis tingkat pohon memiliki nilai penting yang tinggi. Pada tingkat tiang ditemukan 7 jenis vegetasi. Jenis dengan jumlah individu terbanyak adalah jenis V. rubescens dengan kerapatan sebesar 80 pohon/ha. Nilai INP seluruh vegetasi pada tingkat tiang termasuk tinggi, dan tertinggi dicapai oleh jenis V. rubescens (116,3%). Dengan membandingkan jenis-jenis dominan antara vegetasi tingkat tiang dan tingkat pohon tampak terdapat komposisi jenis yang sangat berbeda. Jika jenis-jenis dominan pada tingkat pohon telah mencapai puncak pertumbuhan, jenis-jenis pada tingkat tiang dengan komposisi berbeda akan naik menjadi tingkat pohon. Dengan demikian komposisi pohon dominan di TNGP di masa yang akan datang akan bergeser. Pada tingkat pancang ditemukan 8 jenis vegetasi. Jenis dengan jumlah individu terbanyak adalah jenis Laportea stimulans dengan kerapatan sebesar 160 pohon/ha. Nilai INP seluruh vegetasi pada tingkat pancang termasuk tinggi, dengan INP tertinggi pada jenis L. stimulans (34,7%). Jumlah jenis tingkat semai ditemukan sebanyak 9 jenis. Jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah Cestrum aurantiacum, dengan kerapatan sebesar 7.000 pohon/ha. Nilai INP seluruh vegetasi pada tingkat semai termasuk tinggi, dan tertinggi dicapai C. aurantiacum (73,8%). Meskipun jenis C. aurantiacum pada tingkat
DENDANG & HANDAYANI – Tegakan hutan di TN Gunung Gede Pangrango
semai termasuk mendominasi, tetapi jenis ini tidak ditemukan pada tingkat tiang dan pohon, sebaliknya jenis yang mendominasi pada tingkat pohon (A. excelsa) dan tiang tidak ditemukan pada tingkat semai maupun pancang. Hal ini menunjukkan adanya perubahan komposisi jenis yang menduduki tiap strata pertumbuhan, dan telah terjadi gangguan terhadap proses regenerasi jenis dominan pada tingkat pohon khususnya A. excelsa. Menurut hasil penelitian Zuhri dan Mutaqien (2011), telah terjadi perubahan komposisi jenis dan struktur pohon selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun yang menunjukkan adanya proses regenerasi hutan setelah terjadi gangguan. Melimpahnya C. aurantiacum merupakan indikasi bahwa hutan telah terganggu. Proses perubahan tersebut dapat dipicu oleh beberapa faktor antara lain bencana angin besar pada tahun 1984 yang menimbulkan rumpang (gap), atau perusakan kawasan secara berulang. Rumpang menciptakan terbukanya ruang tumbuh yang cukup sehingga dapat merangsang berkembangnya pohon-pohon yang tadinya tertekan untuk tumbuh secara bersamaan (Sidiyasa 2009). Indeks keragaman (H’), keseragaman (e), dan dominansi (C) Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi merupakan indeks yang sering digunakan untuk menggambarkan keadaan lingkungan berdasarkan kondisi biologinya (Lusi dan Allo 2009). Indeks-indeks tersebut juga dapat digunakan untuk menilai adanya tekanan-tekanan oleh manusia (Odum 1998). Indeks keragaman (H’) tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian berkisar 0,765-0,901 atau tergolong rendah (Tabel 2), yang artinya keanekaragaman jenis dalam setiap tingkat pertumbuhan tergolong kurang stabil hingga mendekati stabil (komunitas stabil jika 1≤H’≤2). Kondisi ini menunjukkan tegakan hutan sedang mengalami regenerasi setelah mengalami gangguan misalnya bencana angin besar, atau perusakan kawasan akibat akses yang mudah dan dekat dengan permukiman penduduk. Demikian juga menurut pernyataan Setiadi (2005) bahwa indeks keragaman rendah terjadi pada kondisi hutan yang telah klimaks, dan adanya gangguan sebelumnya dapat meningkatkan indeks keragaman yang mengindikasikan proses regenerasi, kemudian kembali menurun setelah mencapai kondisi klimaks. Tabel 2. Nilai indeks keragaman (H’), keseragaman (e), dan dominansi (C) Tingkat pertumbuhan Pohon Tiang Pancang Semai
Nilai indeks H’ e 0,901 0,351 0,765 0,393 0,899 0,432 0,852 0,388
C 0,212 0,214 0,128 0,188
695
Indeks keseragaman (e) jenis pada setiap tingkat pertumbuhan termasuk rendah (0,372-0,432) menunjukkan komposisi jenis yang berlainan semakin banyak. Adanya gangguan telah menimbulkan rumpang (gap), sehingga dapat menyebabkan tumbuhnya jenis-jenis yang tidak memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, atau yang cepat tumbuh, masa hidupnya pendek, serta adanya ketersediaan biji (Zuhri dan Mutaqien 2011). Indeks dominansi (C) setiap tingkat pertumbuhan berkisar 0,128-0,214 atau tergolong rendah. Hal ini menunjukkan pola dominansi jenis dalam setiap tingkat pertumbuhan relatif menyebar pada masing-masing jenis, sehingga kemampuan penguasaan masing-masing jenis dalam komunitas relatif seimbang dan kelestarian keanekaragaman jenis dapat dipertahankan. Komposisi jenis tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, khususnya di HM 4 resort Cibodas, telah mengalami perubahan, sedangkan struktur tegakan menunjukkan kondisi hutan relatif masih baik dengan regenerasi permudaan alami berjalan normal. Melalui indeks keragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi dapat diketahui bahwa perubahan tersebut terjadi karena hutan sedang beregenerasi setelah mengalami gangguan.
DAFTAR PUSTAKA Arrijani. 2008. Struktur dan komposisi vegetasi zona montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas 9 (2): 134-141. Dunggio I, Gunawan H. 2009. Telaah sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 6 (1): 43-56. Ferianita M. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta. Hidayat S. 2014. Kondisi vegetasi hutan lindung Sesaot, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sebagai informasi dasar pengelolaan kawasan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacaea 3 (2): 97-105. Kartawinata K, Purwaningsih, Partomihardjo T et al. 2008. Floristic and structure of a lowland Dipterocarp forest at Wanariset Samboja, East Kalimantan, Indonesia. Reinwardtia 12 (4): 301-323. Larasati R, June T, Dewi S. 2012. Peran cagar biosfer Cibodas dalam penyerapan CO2. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9 (2): 66-76. Lusi IALSP, Allo MK. 2009. Degradasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 6 (2): 169-194. Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragaman dan komposisi jenis permudaan alam hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau. Forest Rehabilitation Journal 1 (1): 59-73. Odum EP. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sidiyasa K. 2009. Struktur dan komposisi tegakan serta keanekaragaman di hutan lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 6 (1): 79-93. Setiadi D. 2005. Keanekaragaman spesies tingkat pohon di taman wisata alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Biodiversitas 6 (2): 118-122. Zuhri M, Mutaqien Z. 2011. Perubahan komposisi vegetasi dan struktur pohon pada plot Meijer (1959-2009) di Gunung Gede, Jawa Barat. Buletin Kebun Raya 14 (1): 37-45.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 696-701
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010402
Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya: Studi kasus di Desa Sukamaju, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Tasikmalaya, Jawa Barat Characteristic of private forest based on its management orientation: Case study in Sukamaju Village, Ciamis District and Kiarajangkung Village, Tasikmalaya District, West Java SANUDIN1,2, EVA FAUZIYAH1,♥ 1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 PO. Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Tel. +62-265-771352, Fax. +62265-775866, ♥email:
[email protected],
[email protected] 2 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No, 1. Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 20 April 2015.
Sanudin, Fauziyah E. 2015. Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya: Studi kasus di Desa Sukamaju, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 696-701. Pengelolaan hutan rakyat secara agroforestri menjadi pilihan banyak petani di berbagai tempat di Jawa. Pengelolaan hutan rakyat memang tergantung pada keinginan pemiliknya sehingga karakteristik hutan rakyat berlainan baik dari pemilihan jenis tanaman maupun pola tanamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya. Penelitian ini dilakukan di Desa Sukamaju, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Kecamatan Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya, pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara responden petani hutan rakyat sebanyak 20 orang di masing-masing desa yang dipilih secara sengaja dan melalui observasi lapang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik hutan rakyat pada petani subsisten lebih mendekati model agroforestri kompleks (jenis yang ditanam lebih beragam), pengelolaan seadanya, dan pemanenan sebagian besar dilakukan dengan sistem tebang pilih. Sementara pada petani semi-komersial/ komersial, karakteristik hutan rakyatnya lebih mendekati sistem agroforestri sederhana (jenis tanaman cenderung seragam/monokultur), pengelolaan intensif, dan pemanenan sebagian besar dilakukan dengan sistem tebang habis. Kata kunci: Hutan rakyat, karakteristik, komersial, subsisten
Sanudin, Fauziyah E. 2015. Characteristic of private forest based on its management orientation: Case study in Sukamaju Village, Ciamis District and Kiarajangkung Village, Tasikmalaya District, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 696-701. Private forest management with agroforestry is a choice of many farmers in Java. Private forest management depends on farmers pretension, thus characteristic of private forest different both choices of crops and planting patterns. This study aimed to know private forest characteristic based on its management orientation. The study was conducted in Sukamaju Village, Panumbangan, Ciamis District and Kiarajangkung, Sukahening, Tasikmalaya District on April to Juli 2012. Data were collected through interviews with 20 respondents (farmers) with purposive sampling and through field observation. The results showed that private forests characteristic on subsistence orientation was more approximate a complex agroforestry model (diversity of crops), simple management and selective cutting in harvesting. While, in the semi-commercial/commercial farmers, characteristics of private forest were more like a simple agroforestry system (monoculture), intensive management, and mostly used clear cutting system in harvesting. Keywords: Private forest, characteristic, commercial, subsistence
PENDAHULUAN Dewasa ini kondisi hutan rakyat semakin berkembang dan dirasakan keberadaannya baik sebagai sumber pendapatan, sebagai pemasok bahan baku industri kayu, maupun dalam menjaga fungsi lingkungan. Cahyono dan Kusumedi (2010) menyatakan bahwa tingginya harga kayu sebagai akibat permintaan kayu yang lebih besar dari pasokan membuat pengembangan hutan rakyat semakin prospektif. Hutan rakyat tidak lagi hanya sebagai ‘sambilan’ lagi, tetapi dituntut dengan produktivitas tinggi
dan tetap lestari. Oleh karena itu, hutan rakyat berupaya dikelola agar dapat memberikan hasil yang optimal. Pengelolaan hutan rakyat secara agroforestri menjadi pilihan banyak petani di berbagai tempat di Jawa. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibandingkan dengan di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan hutan rakyat di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibandingkan dengan luar Jawa. Di samping itu, lahan mempunyai status kepemilikan dan tata
SANUDIN & FAUZIYAH – Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya
batas yang lebih jelas, luas lahan sangat semping, serta kondisi-kondisi lain seperti pasar, informasi, dan aksesibilitasnya relatif lebih baik. Salah satu karakteristik agroforestri (agroforestry) adalah mempunyai tingkat resiliensi (kekenyalan) yang tinggi baik produk yang dihasilkan maupun kondisi atau perkembangan biofisiknya. Kekenyalan biofisik ini dapat dilihat dari kemampuan budidaya jenis tanaman semusim untuk merespons perkembangan sumber energi (resources) dalam sistem agroforestri tersebut (Suryanto et al. 2005). Hal ini didasari oleh beberapa alasan seperti terbatasnya kepemilikan lahan, keterbatasan modal, serta mengikuti perkembangan pasar. Pengelolaan hutan rakyat memang tergantung pada keinginan pemiliknya sehingga karakteristik hutan rakyat berlainan baik dari jenis tanaman maupun pengelolaannya. Ada beberapa tipologi hutan rakyat, salah satunya tipologi berdasarkan orientasi ekonomi yang terdiri dari subsisten dan komersial. Menurut Wiyono (2011), pengelolaan hutan rakyat mempunyai dua karakteristik, di satu sisi bersifat individual, tidak responsif, subsisten, serta sebagai tabungan keluarga, sementara di sisi lain hutan rakyat dihadapkan pada situasi peningkatan kebutuhan bahan baku oleh industri kehutanan. Latini et al. (2011) menyebutkan bahwa kondisi petani di Indonesia umumnya
697
subsisten sehingga menjadikan petani dalam posisi lemah, seperti posisi tawar yang lemah dan informasi yang kurang. Kecenderungan yang ada, menurut Purwanto et al. (2004), petani subsisten menanami lahannya dengan tanaman yang lebih beragam (agroforestri), namun hasilnya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pasar. Sementara petani yang mapan (komersial) menerapkan agroforestri sederhana dengan jenis tanaman lebih sedikit, namun lebih bernilai ekonomi atau dapat djual dengan harga yang baik karena tujuan mengelola hutan rakyatnya sudah semikomersial atau komersial. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya (subsisten atau komersial).
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilakukan di Desa Sukamaju, Cihaurbeuti, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Sukahening, Tasikmalaya pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, kompas, phiband, meteran, dan tape recorder. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Desa Sukamaju, Cihaurbeuti, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Sukahening, Tasikmalaya
698
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 696-701, Juli 2015
Cara kerja Pemilihan responden dilakukan secara sengaja yaitu petani yang memiliki hutan rakyat sebanyak 20 orang dari setiap desa. Metode yang digunakan adalah wawancara menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung, pengisian kuesioner, dan wawancara terhadap responden petani hutan rakyat yang terdiri dari: (i) karakteristik rumah tangga responden, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan sumber mata pencaharian; (ii) pengelolaan hutan rakyat, meliputi: luas kepemilikan lahan, status kepemilikan lahan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat, dan (iii) kondisi tegakan yang diperoleh dari hasil inventarisasi hutan rakyat. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif seperti analisis pendapatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum lokasi penelitian Desa Sukamaju mempunyai luas 452 ha yang terdiri dari sawah 140 ha dan tanah kering 312 ha yang berupa pekarangan 92 ha, tegal/kebun 121 ha, hutan rakyat 67 ha, kolam 9 ha, dan lain-lain. Desa ini terletak pada ketinggian 500 m dpl. Jumlah penduduk Desa Sukamaju pada tahun 2011 sebanyak 4.082 jiwa yang terdiri dari 2.082 laki-laki dan 2.000 perempuan dengan kepadatan penduduk 956 orang/km2 dan rata-rata anggota keluarga 2,95 orang. Sementara itu, secara geografis, Desa Kiarajangkung terletak pada 07.20109 o LS dan 108.12915 o BT dan berada pada ketinggian 780 m dpl. dengan keberadaan air yang bersumber dari pegunungan dengan jumlah cukup. Desa ini secara topografi meliputi daerah pegunungan 65% dan sisanya berupa lembah dan dataran. Desa ini mempunyai luas wilayah 331,54 ha yang terdiri dari areal persawahan 120 ha, hutan lindung 180 ha, tanah darat 211,54 ha, dan lainnya 6 ha. Jumlah penduduk desa ini pada tahun 2011
sebanyak 5.841 orang yang terdiri dari 2.935 laki-laki dan 2.906 perempuan (1.206 KK). Karakteristik sosial ekonomi Karakteristik sosial ekonomi responden disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa karakteristik responden (petani) di kedua lokasi penelitian relatif hampir seragam. Umur petani yang aktif dalam pengelolaan hutan rakyat berada pada usia yang produktif, namun sebagian besar berumur lebih dari 50 tahun. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang berusia muda lebih banyak yang tertarik bekerja di sektor lain, bukan hutan rakyat. Dengan rata-rata pendidikan responden yang hanya tamat SD, sehingga akses masyarakat terhadap pekerjaan alternatif di luar bidang pertanian menjadi terbatas dan pekerjaan yang tersedia hanya di sektor pertanian yaitu bekerja sebagai petani dan buruh tani. Perbedaan yang cukup terlihat di kedua lokasi adalah kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap pendapatan keluarga. Di Desa Sukamaju, kontribusi pendapatan hutan rakyat hanya sekitar 11%, sementara di Desa Kiarajangkung kontribusinya mencapai 29,91%. Kondisi ini berkaitan dengan adanya kegiatan migrasi di Desa Kiarajangkung. Pada umumnya masyarakat yang bermigrasi tetap mengelola hutan rakyatnya baik melalui keluarganya maupun mengupahkan. Tanaman yang dipilih sebagian besar adalah tanaman kayu, sehingga pendapatan yang diperoleh lebih besar. Sementara di Desa Sukamaju tanaman yang ditanam sangat beragam, lebih untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan tidak didominasi oleh tanaman kayu, sehingga nilai ekonominya lebih rendah. Menurut Premono dan Lestari (2014), umur, jumlah anggota keluarga yang bekerja, dan pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menanam kayu bawang (Scorodocarpus borneensis (Baill.) Becc.). Masyarakat yang lebih tua akan cenderung lebih banyak menanam kayu bawang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja maka semakin banyak tenaga kerja yang tersedia dan semakin tinggi tingkat pendapatanya maka akan lebih banyak masyarakay yang menanam kayu bawang. Kondisi ini terlihat di lokasi penelitian dimana tanaman kayu lebih banyak ditanam oleh masyarakat yang lebih tua atau yang memiliki pendapatan besar. Pendapatan masyarakat di Desa Kiarajangkung lebih besar dibandingkan masyarakat di Desa Sukamaju, yang kecenderunganya lebih banyak menanam tanaman kayu.
Tabel 1. Karakteristik sosial ekonomi responden Karakteristik
Desa Sukamaju
Desa Kiarajangkung
Umur rata-rata (tahun) Pendidikan (tahun) Jumlah tanggungan keluarga (Jiwa) Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Pendapatan total (Rp/tahun) Pendapatan hutan rakyat (Rp/tahun) Pengalaman usaha tani (tahun)
53 6 5 Petani Buruh tani 18.127.980 1.989.900 > 10
50 6 3 Petani Buruh tani 14.783.292 4.422.667 > 10
SANUDIN & FAUZIYAH – Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya
Karakteristik hutan rakyat Masyarakat di kedua desa menjadikan hutan rakyat sebagai sumber mata pencaharian utama karena terbatasnya alternatif pekerjaan. Hutan rakyat yang dikelola masyarakat secara umum menggunakan pola agroforestri (campuran tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan) mempunyai keunggulan diantaranya adalah diperolehnya kontinuitas pendapatan. Penelitian mengenai kontribusi hutan rakyat terhadap petani sudah banyak dilakukan. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan total petani di Desa Sukamaju sebesar 10,9%, sementara di Desa Kiarajangkung sebesar 29,9%. Menurut Darusman dan Hardjanto (2006), pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih dari 10% pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Sementara menurut Fauziyah (2009), kontribusi hutan rakyat dengan pola monokultur mencapai 34,78%, sedangkan hutan rakyat dengan pola campuran mencapai 28,50%. Hasil tanaman pertanian dan perkebunan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan pendapatan dari kayu selain bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya temporal seperti kebutuhan anak sekolah, hajatan/pesta, dan membangun rumah. Hutan rakyat sebagai salah satu sumber pendapatan petani di kedua desa berdasarkan orientasi pengelolaannya dapat dibagi menjadi dua yakni subsisten dan komersial. Bagi petani yang orientasinya subsisten, menurut Wiyono (2011), hasil hutan rakyat terutama kayu berfungsi agar petani tetap survive untuk mempertahankan hidupnya (way of life) dan sebagai cadangan pemenuhan kebutuhan keluarga yang kemudian dikenal dengan istilah subsisten kultural. Siswoyo (2007) menyebutkan bahwa pengusahaan hutan di lahan milik oleh masyarakat dalam skala kecil secara ekonomi memang berjalan lambat, meskipun hutan rakyat menjadi penopang utama kehidupan petani dan merupakan tabungan jangka panjang melalui penanaman jenis kayu keras bernilai ekonomi, namun masih banyak petani yang mengusahakannya hanya untuk tujuan subsisten. Subsisten maksudnya bukan semata mencukupi kebutuhan dasar saja, tetapi sistem pengusahaan hutan rakyat belum banyak melakukan kegiatan bisnis yang terencana dengan cashflow yang meningkat. Di kedua desa terdapat petani yang subsisten maupun komersial, tetapi terlihat bahwa di Desa Sukamaju persentase petani subsisten lebih banyak dibandingkan di Desa Kiarajangkung. Secara keseluruhan, petani subsisten memang masih banyak ditemui. Menurut Cahyono dan Kusumedi (2010), petani yang cenderung berorientasi komersial dicirikan oleh petani berlahan luas dengan akses pasar, memiliki modal, dan melihat hutan sebagai sebuah bisnis, adapun petani berlahan sempit, modal kecil, miskin, dan kurang memiliki akses pasar, cenderung berorientasi subsisten. Jumlah responden berdasarkan orientasi pengelolaannya disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Jumlah pengelolaannya
responden
berdasarkan
699
orientasi
Sebagian besar responden (75%) di Desa Sukamaju mengelola hutan rakyatnya dengan mencampur jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman serbaguna (MPTs), dan tanaman pertanian, sementara sisanya hanya menanam jenis tanaman berkayu saja baik sejenis (monokultur) maupun berbagai jenis tanaman berkayu. Kondisi ini diduga berkaitan dengan kepemilikan lahan petani dimana petani yang hanya menanam tanaman berkayu saja mempunyai kepemilikan lahan lebih dari atau sama dengan 0,7 ha sementara yang menanam jenis campuran kurang dari atau sama dengan 0,42 ha. Rata-rata kepemilikan lahan responden di Desa Sukamaju seluas 0,343 ha. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwanto et al. (2004) yang menyatakan bahwa petani yang lahannya sempit pada umumnya menanam pohon yang dicampur dengan tanaman lain dengan pola agroforestri, sedangkan petani berlahan luas yang komersial memungkinkan pengembangan hutan rakyat pola monokultur. Menurut Cahyono dan Kusumedi (2010), struktur dan komposisi hutan yang berbentuk monokultur dengan tujuan optimalisasi dan keseragaman produk lebih banyak dilakukan oleh petani yang berorientasi komersial, sedangkan petani subsisten cenderung menanam secara campuran. Namun, struktur campuran atau agroforestri tidak menghambat orientasi komersial pengelolanya, sebaliknya pula ada pola monokultur yang berorientasi subsisten. Huxley (1983) juga menyebutkan bahwa pengembangan hutan rakyat dengan pola monokultur terbukti tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga petani, atau tidak bisa mengoptimalkan penggunaan lahan, tenaga kerja, dan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia. Petani yang mempunyai orientasi komersial tentunya tidak menjadikan hutan rakyat sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang maksimal tentunya harus didukung oleh luasnya kepemilikan lahan. Oleh karena itu dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,335, hampir semua petani di Desa Kiarajangkung hanya menanam jenis tumbuhan berkayu saja atau tanaman pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Jenis tanaman penyusun hutan rakyat yang ditanam petani di kedua desa disajikan pada Tabel 2.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 696-701, Juli 2015
700
Tabel 2. Jenis tanaman penyusun hutan rakyat Kelompok tanaman Tanaman kayu-kayuan Tanaman serbaguna (MPTS) Tanaman pertanian
Jenis tanaman Desa Sukamaju sengon, mahoni, suren, tisuk, afrika, manglid kelapa, aren, petai, durian, jengkol, alpukat, manggis, pala kapulaga, pisang, pepaya
Desa Kiarajangkung sengon, puspa, manglid aren kapulaga
Tabel 3. Karakteristik hutan rakyat Karakteristik hutan rakyat Jenis tanaman Sistem pengelolaan Sistem pemanenan
Petani subsisten Beragam Tidak intensif-intensif Tebang pilih-tebang pilih-tebang habis
Di kedua desa, sengon merupakan jenis tanaman berkayu yang banyak dibudidayakan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa beberapa alasan pemilihan sengon diantaranya adalah: mempunyai daur hidup pendek (5 tahun), mudah dipasarkan, dan bibit mudah diperoleh baik dari anakan maupun dengan cara membeli. Jumlah pedagang pengumpul kayu rakyat di setiap desa rata-rata terdapat lebih dari 3 orang sehingga memudahkan petani dalam menjual kayunya. Terlihat ada perbedaan jumlah jenis tanaman berkayu dan jenis tanaman non-kayu yang ditanam. Di Desa Kiarajangkung dimana jumlah petani komersialnya lebih banyak cenderung hanya menanam jenis tanaman berkayu tertentu saja yang dinilai bernilai ekonomi tinggi, sementara di Desa Sukamaju tidak hanya menanam satu jenis tanaman berkayu tetapi juga kayu rimba yang biasanya tumbuh sendiri dan nilai ekonominya tidak terlalu tinggi. Hal ini juga terlihat pada jenis tanaman serbaguna dan tanaman pertanian. Kondisi tersebut memperlihatkan kecenderungan bahwa pada petani subsisten jenis yang ditanam beragam dan tidak hanya tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sementara pada petani komersial jenis tanaman yang dipilih adalah jenis-jenis yang bernilai ekonomi tinggi baik tanaman kayu, tanaman serbaguna, maupun tanaman pertanian. Aren merupakan sumber pendapatan harian petani. Di Desa Kiarajangkung bahkan sudah ada kelompok pengrajin gula aren (sekitar 50 pengrajin) dengan produksi minimal 300 kg/bulan yang bahan bakunya diperoleh dari lahan masyarakat. Tanaman aren memang tumbuh sendiri secara alami di lahan masyarakat. Kapulaga juga merupakan jenis tanaman rempah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hasil penelitian Kusumedi dan Jariyah (2010) menunjukkan pada agroforestri sengon dan kapulaga, tanaman kapulaga dapat memberikan kontribusi pendapatan mencapai 89% pada strata 1 dan 57% pada strata 2. Sistem pengelolaan yang dilakukan antara petani yang subsisten dan komersial juga berbeda. Kecenderungannya pada petani subsisten pengelolaannya dilakukan seadanya. Sebanyak 50% petani menggunakan bibit kayu berupa cabutan atau anakan. Pemupukan juga cenderung seadanya,
Petani semi-komersial/komersial Lebih seragam Instensif Tebang pilih-tebang habis
sehingga pertumbuhan tanaman kayunya tidak optimal. Pemeliharaan yang dilakukan secara intensif oleh petani subsisten adalah pada kegiatan pembersihan rumput. Sementara itu, petani komersial biasanya sudah memperhitungkan hasil yang akan diperoleh sehingga mereka memilih bibit yang baik dan melakukan pemeliharaan lebih intensif terhadap tanaman berkayu. Sistem pemanenan atau penebangan yang dilakukan di kedua desa sebagian besar dilakukan dengan sistem tebang pilih baik pada petani subsisten maupun petani komersial yaitu memilih kayu-kayu yang diameternya sudah cukup besar. Tebang pilih dilakukan karena pada umumnya umur tanaman kayu sangat beragam terutama pada petani subsisten. Tebang pilih dinilai sebagai pilihan yang baik karena hanya memilih tanaman kayu yang sudah besar serta tidak merusak tanaman kayu yang masih kecil atau tanaman lainnya (non-kayu) yang ada di lahan tersebut. Dengan tebang pilih, harapan petani dapat memperoleh hasil yang tinggi. Jika terdesak oleh kebutuhan, petani dapat melakukan penebangan pada batang kayu yang masih memiliki diameter kecil. Sistem penebangan ini seringkali disebut dengan daur butuh, yaitu pengelolaan hutan rakyat yang penebangannya mengikuti kebutuhan ekonomi rumah tangga. Namun jika tidak terpenuhi juga kebutuhannya, penebangan akan mendekati tebang habis karena dilakukan secara terus-menerus hingga habis (Cahyono dan Kusumedi 2008). Di Desa Kiarajangkung terdapat 50% petani yang melakukan tebang habis karena kayu yang ditanam semuanya berupa tanaman berkayu dengan dominasi sengon. Pemanenan sengon dilakukan pada umur tanaman 5-10 tahun. Dari uraian di atas dapat disusun karakteristik petani subsisten dan petani komersial di kedua desa seperti pada Tabel 3. Berdasarkan komunikasi pribadi (2012) dengan kepala desa, sekitar 50% masyarakat di Desa Kiarajangkung melakukan migrasi sirkuler ke luar kota. Hutan rakyat yang dimilikinya digarap baik oleh keluarganya maupun oleh mereka sendiri ketika pulang. Tanaman berkayu lebih banyak ditanam di desa tersebut karena pemeliharaannya dapat dilakukan oleh tenaga upahan dan hanya dilakukan secara intensif sampai dengan
SANUDIN & FAUZIYAH – Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya
umur 2-3 tahun. Biaya yang digunakan berasal dari usahanya di daerah migrasi. Menurut Lastiantoro dan Cahyono (2013), ada keterkaitan antara migrasi sirkuler dengan perkembangan agroforestri dimana ketersediaan tenaga kerja mempengaruhi pola agroforestri. Keluarga yang bermigrasi sirkuler pola hutan rakyatnya mengarah pada agroforestri kompleks dengan beragam tanaman, terlihat tidak teratur, tidak terurus, dan menjadi salah satu tabungan bagi keluarga migran. Pendapat tersebut berbeda dengan kondisi hutan rakyat di Desa Kiarajangkung dimana hutan rakyatnya lebih sederhana tetapi memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi. Karakteristik hutan rakyat memang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya orientasi pengelolaannya. Petani dengan orientasi subsisten akan berbeda dengan petani yang memiliki orientasi komersial. Namun demikian, kontribusi hutan rakyat dengan kedua karakteristik tersebut memberikan keuntungan masingmasing bagi pemiliknya. Petani subsisten dapat menjadikan hutan rakyat sebagai sumber penghidupan kebutuhan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang walaupun belum maksimal. Sementara itu, petani komersial dapat memberikan manfaat jangka panjang terhadap pendapatan petani dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Cahyono SA, Kusumedi P. 2010. Tipologi hutan rakyat untuk pengembangan hutan produktivitas tinggi yang lestari: Prosiding Seminar Nasional Kontribusi Litbang dalam Peningkatan
701
Produktivitas dan Kelestarian Hutan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor, 29 November 2010. Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Bogor, 13 April 2006. Huxley PA. 1983. Plant Research and Agroforestry. ICRAF, Nairobi. Kusumedi P, Jariyah N. 2010. Analisis finansial pengelolaan agroforestri dengan pola sengon kapulaga di Desa Tirip, Kecamatan Wandaslintang, Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 7 ( 2): 93-100. Lastiantoro YC, Cahyono SA. 2013. Hubungan antara migrasi sirkuler dengan perkembangan agroforestri: studi kasus Kecamatan Bulu dan Weru, Kabupaten Sukoharjo. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri. Kerjasama Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis dan Universitas Brawijaya, Malang, 21 Mei 2013. Lastini T, Suhendang E, Jaya INS, Hardjanto, Purnomo H. 2011. Tipologi desa berdasarkan variabel penciri hutan rakyat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8 (3): 155-168. Premono BT, Lestari S. 2014. Karakteristik petani dan praktek silvikultur agroforestri kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) di Kabupaten Bengkulu Tengah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 11(3): 185-197. Purwanto, Ekawati S, Cahyono SA. 2004. Kelembagaan untuk mendukung pengembangan hutan rakyat produktifitas tinggi. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Yogyakarta, 11-12 Oktober 2004. Siswoyo B. 2007. Hutan rakyat dan serbuan pasar: studi refleksi pengusahaan hutan rakyat lestari secara kolaboratif di Pacitan, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 11 (2): 153-286. Suryanto P, Tohari, Sabarnurdin MS. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya (resources sharing) dalam agroforestry: Dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. Ilmu Pertanian 12 (2): 165-178. Wiyono EB. 2011. Subsistensi dan Ekonomisasi Hutan (Studi Kasus Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Gunungkidul). [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 702-706
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010403
Pentingnya integrated approach dalam konservasi keragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung The importance of integrated approach in the conservation of species diversity and genetic resources of damar mata kucing in Pesisir Barat District, Lampung YAYAN HADIYAN Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Tel./Fax. +62-274-896080, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 21 April 2015.
Hadiyan Y. 2015. Pentingnya integrated apparoach dalam konservasi keragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 702-706. Damar mata kucing (Shorea javanica) merupakan spesies penghasil resin bernilai tinggi yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri cat, tinta, dan stabiliser bahan campuran minuman. Spesies ini tersebar luas pada kebun damar (repong damar) di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Luas dan keanekaragaman jenis tumbuhan repong damar terus menurun karena berbagai tekanan. Dampaknya, keberadaan keanekaragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di kabupaten tersebut pun menjadi terancam. Tulisan ini berisi analisis masalah yang menekan kelestarian damar mata kucing dan pendekatan terpadu sebagai upaya melindungi keragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat tiga masalah yang secara langsung berdampak pada percepatan degradasi damar: (i) penebangan damar, (ii) serangan hama dan penyakit, (iii) dan konversi repong damar menjadi kebun kelapa sawit, di samping 11 masalah lain yang secara tidak langsung menjadi pendorong degradasi damar. Masalah-masalah yang meliputi beberapa aspek yaitu: ekologi, ekonomi, sosial, budaya, kebijakan, dan teknis. Oleh karena itu, pendekatan terintegrasi perlu dilakukan melalui kerjasama sinergitas dari banyak stakeholder untuk menekan laju degradasi damar. Kata kunci: Biodiversitas, damar mata kucing, pendekatan terintegrasi, repong
Hadiyan Y. 2015. The importance of integrated approach in conserving the biodiversity and genetic resources of damar mata kucing in Pesisir Barat District, Lampung. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 702-706. Shorea javanica (damar mata kucing) is a tree species that producing a high value resins which is widely used as raw material of paint industry, ink and beverage stabilizer. This species is widespread in repong damar (damar agroforestry) in Pesisir Barat District, Lampung. Repong area and its biodiversity were now degraded due to many pressures. As the impact, the species biodiversity existence and genetic resources of damar mata kucing in the district was threatened. This paper contained an analysis of the problem that reduce the preservation of damar mata kucing and the integrated approach as an effort to protect the species biodiversity and the genetic resources of damar mata kucing in Pesisir Barat District. The analysis result showed that there were three problems which directly impact the acceleration of damar degradation, i.e. (i) damar logging, (ii) pest and disease attack and (iii) the conversion of repong damar area into palm oil plantation, while 11 other problems that investigated as driving of degradation indirectly. The problems that identified were including some aspects involving ecology, economic, social, culture, policy and technical. Therefore, the integrated approach was needed to be done through the synergy collaboration from many stakeholders to reduce the rate of degradation on damar mata kucing. Keywords: Damar agroforestry, biodiversity, integrated approach
PENDAHULUAN Damar mata kucing (Shorea javanica) merupakan spesies penghasil resin, dikenal sebagai getah damar, yang bernilai tinggi sebagai bahan baku industri cat, tinta, dan bahan campuran minuman. Bahkan getah damar juga dimanfatkan sebagai antirayap, antijamur (Sari 2002), serta bahan pangan tambahan (Edriana et al. 2004; Van Lakerveld 2007). Potensi ekonomi getah damar telah dikenal sejak lama. Cusson (2013) menyampaikan bahwa
perdagangan damar telah berlangsung sejak awal abad ke10 di Cina dan negara-negara di Asia Tenggara, yang kemudian berkembang ke Eropa dan Amerika pada awal abad ke-19. Tanaman damar mata kucing tumbuh subur pada kebun masyarakat, dalam bahasa lokal disebut “repong damar" (damar agroforestry), tersebar luas di Kabupaten Pesisir Barat. Getah damar yang dihasilkan repong damar dari Kabupaten tersebut, khususnya daerah Krui, memiliki kualitas tinggi dan sangat diminati para importir, sehingga
HADIYAN – Pentingnya integrated apparoach dalam konservasi damar
tidak heran jika keberadaan dan keberlangsungannya menjadi sangat penting dalam rantai perdagangan getah damar mata kucing di Indonesia. Damar mata kucing, yang dominan tumbuh pada repong damar, telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Kabupaten Pesisir Barat, baik bagi petani yang memiliki repong maupun bagi masyarakat yang terlibat dalam penyadapan getah damar, pengumpulan, dan proses jual beli. Suminar (2013) menyebutkan praktik-praktik sosial dan budaya dalam mengelola repong damar telah membangun kelestarian ekologi lokal, sosial, budaya, dan lembaga-lembaga ekonomi. Terkait potensi ekologis, Harianto dan Hidayat (2012) mengatakan repong damar memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tergolong sedang sampai dengan tinggi. Repong damar, khususnya yang berada di Kabupaten Pesisir Barat, kini tengah menghadapi berbagai tekanan yang cukup serius. Tekanan berasal dari banyak faktor baik terkait kepentingan ekonomi sesaat, lemahnya dukungan regulator, maupun perubahan sosial budaya masyarakat lokal itu sendiri. Akibatnya, luas areal repong damar berkurang drastis yang berdampak pada menurunnya jumlah pohon damar dan Indeks Nilai Penting (INP) Damar. Penurunan populasi damar mengancam keberadaan sumberdaya genetik damar sebagai material penting yang menjaga keberlangsungan jenis tersebut di masa datang. Menurut Herawati (2014), degradasi repong damar secara
703
drastis tersebut jika tidak segera dikendalikan dapat mengakibatkan kepunahan populasi damar dan berpotensi menimbulkan gangguan ekologis dan keberlangsungan sosial ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Terkait dengan kondisi tersebut, pihak-pihak yang berkepentingan pada keberadaan damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat seharusnya dapat berkontribusi dan mengambil bagian dalam membuat solusi dari degradasi yang tengah terjadi. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis masalah yang menekan kelestarian damar mata kucing dan pendekatan terpadu sebagai upaya melindungi keragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat.
BAHAN DAN METODE Fokus dari kajian ini adalah khusus pada repong damar yang berada di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Kusuma (2014) menyebutkan bahwa Kabupaten tersebut merupakan wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat yang telah ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2012. Kabupaten tersebut memiliki luas wilayah sekitar 2.809,71 km2 yang beribu kota di Krui dengan jumlah penduduk sekitar 143.279 jiwa pada tahun 2012 dan 118 pekon/kelurahan.
Gambar 1. Lokasi repong damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 702-706, Juli 2015
704
Kajian dilakukan melalui penelusuran berbagai literatur terkait damar mata kucing (Shorea javanica), baik prosiding, jurnal, maupun media lain yang relevan. Kajian difokuskan pada fakta terjadinya degradasi repong damar dan jenis damar mata kucing, identifikasi masalah, analisis masalah, dan pendekatan terpadu yang diperlukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Degradasi damar mata kucing Luas repong damar di Pesisir Krui mencapai 29.000 ha pada tahun 1998, ditambah dengan yang berada di luar kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan luasnya mencapai 44,000 ha (Vebrist dan Gamal 2004). Namun demikian, Dinas Kehutanan Lampung Barat pada tahun 2011 melaporkan bahwa luas repong damar tinggal sekitar 17.500 ha (Herawati 2014). Bahkan menurut Kusuma (2014) yang melakukan kajian di Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, khususnya di Kabupaten Pesisir Barat kini luas repong damar masyarakat tinggal 10.298 ha. Di samping itu, jumlah pohon damar dan keanekaragaman hayati terus menurun. De Foresta dan Michon (1994) menyatakan bahwa pada repong damar dewasa, proporsi pohon damar mencapai 65% dari komunitas pepohonan yang ada. Namun demikian, pada tahun-tahun berikutnya komposisi populasi pohon damar mengalami degradasi. Badan Litbang Kehutanan (2005) melaporkan bahwa proporsi pohon damar di Kecamatan Pasir Tengah tinggal 50,6% dan di Pasir Selatan tinggal 51,4%. Keanekaragaman hayati di Pahmungan dan Gunung Kemala, Pesisir Barat juga telah mengalami penurunan sebagaimana laporan oleh Harianto dan Hidayat (2012) pada Tabel 1. Identifikasi masalah damar mata kucing Banyaknya keterkaitan peran damar mata kucing dengan berbagai pihak baik masyarakat, pengusaha maupun pemerintah menyebabkan damar menjadi rentan terhadap berbagai perubahan kepentingan. Masalahmasalah yang teridentifikasi yang menyebabkan degradasi repong damar dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis masalah damar mata kucing Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak
langsung yang mendorong terjadinya penurunan keanekaragaman jenis dan sumberdaya genetik damar mata kucing di Krui. Tabel 3 mengkonfirmasi bahwa terdapat 3 masalah utama yang berpotensi langsung dan 11 masalah lain yang secara tidak langsung dapat menyebabkan degradasi damar mata kucing. Masalah utama berupa penebangan tegakan damar, serangan hama dan penyakit, dan konversi repong damar menjadi kebun kelapa sawit. Masalah-masalah tersebut dapat berdampak langsung pada berkurangnya tingkat biodiversitas jenis dan ketersediaan sumberdaya genetik damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat.
Penebangan tegakan/pohon damar yang dilakukan masyarakat didasari beberapa alasan. Meskipun pemerintah sendiri telah melakukan pembatasan penebangan pohon damar mata kucing di Provinsi Lampung melaui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.459/Menhut-VI/2010, tetapi implementasinya belum berjalan dengan baik. Menurut Dewi (2014), meski masyarakat mengetahui adanya larangan menebang pohon damar, tetapi penebangan tetap dilakukan karena terdesak kebutuhan ekonomi. Ditambahkan Herawati (2013) bahwa permintaan kayu damar yang tinggi dan berdirinya perusahaanperusahaan perkayuan atau sawmill di sekitar pesisir diduga kuat menjadi faktor signifikan yang mendorong penebangan damar mata kucing. Di sisi lain, sebagian penebangan dilakukan pada pohon damar yang tidak produktif. Sementara itu, terkait serangan hama dan penyakit damar, Supriyanto (2014) melaporkan opened wound decay cancer merupakan contoh kerusakan yang dapat dijumpai pada pohon damar. Serangan jamur Ganoderma juga sering ditemukan pada pohon damar. Akibat terserang jamur ini banyak pohon damar yang ditebang. Di sisi lain, terkait konversi repong damar menjadi kebun kelapa sawit, sejak lama banyak pihak telah mengkawatirkan dampaknya terhadap kelestarian hayati. Suporahardjo dan Wodicka (2003) menyebutkan para petani repong damar di Pesisir Barat telah lama harus berjuang keras mempertahankan sistem agroforestri dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merupakan program pemerintah dan dikelola kalangan swasta. Bahkan akibat konversi kebun sawit itu, Cusson (2000) melaporkan masyarakat lokal telah kehilangan kebun dan terjadi konflik sosial. Namun demikian, sebagaian masyarakat melihat nilai ekonomi sawit masih lebih baik dan menjamin jika dibandingkan damar.
Tabel 1. Indeks Nilai Penting spesies dominan di petak Pahmungan dan Gunung Kemala (Harianto dan Hidayat 2012) Spesies dominan Pahmungan Damar Duku Bayur Durian Gunung Kemala Damar Duku Tupak Haneban
INP (%) 2008 2009
2005
2006
2007
2010
2011
2012
123,23 52,88 23,43 14,02
120,94 48,80 21,06 17,70
113,27 51,28 23,87 18,04
113,21 52,90 21,58 19,29
101,41 54,54 23,07 14,99
95,48 54,33 25,82 15,02
102,97 53,57 24,91 14,06
94,44 54,51 25,53 14,29
111,74 14,98 13,66 12,92
108,99 17,00 12,79 11,63
107,51 12,66 12,95 16,18
102,46 16,86 13,03 10,54
107,90 17,87 13,28 8,64
111,88 16,11 12,61 15,84
110,87 17,96 13,77 9,00
87,76 18,50 14,18 9,26
HADIYAN – Pentingnya integrated apparoach dalam konservasi damar
705
Tabel 2. Masalah yang menekan keberadaan damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat
Tabel 3. Klasifikasi masalah yang menekan keberadaan damar mata kucing di Kabupaten Pesisir Barat
Masalah
Sumber
Penyebab
Masalah
Fluktuasi harga damar Posisi tawar petani yang rendah Berkurangnya luas kawasan repong Perubahan minat generasi muda atas kegiatan budidaya damar Penebangan tegakan damar Pencurian getah damar Penurunan produktivitas getah damar Hama dan penyakit tanaman Peranan lembaga adat yang lemah Minimnya lembaga ekonomi pada tingkatan masyarakat petani Penguasaan teknologi pascapanen petani sangat minim Konversi repong damar menjadi kebun kelapa sawit Bibit damar yang berkualitas tidak tersedia Kualitas getah damar yang dihasilkan petani masih rendah Kebijakan pemerintah belum memaksimalkan partisipasi masyarakat Belum ada langkah terpadu untuk menstabilkan harga damar Posisi tawar petani yang rendah Belum ada promosi potensi lain repong damar
Herawati (2013)
Langsung
Penebangan tegakan damar Serangan hama dan penyakit tanaman damar Konversi repong damar menjadi kebun kelapa sawit
Harianto (2014)
Tidak langsung
Peranan lembaga adat yang lemah Posisi tawar petani yang rendah Belum ada langkah terpadu untuk menstabilkan harga getah damar Belum ada promosi potensi lain repong damar Bibit damar berkualitas tidak tersedia Penurunan produktivitas getah damar Kualitas getah damar yang dihasilkan petani masih rendah Pencurian getah damar Penguasaan teknologi digabung petani sangat minim Minimnya lembaga ekonomi pada tingkatan masyarakat petani Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan damar masih lemah
Kusuma (2014)
Zulfaldi (2014)
Di samping tiga masalah utama tersebut terdapat pula masalah lain yang dipandang sangat berpotensi mendorong degradasi repong damar, meskipun tidak secara langsung berdampak pada menurunnya biodiversitas dan sumberdaya genetik damar. Pemecahan masalah-masalah tersebut dapat berdampak positif pada 3 masalah utama. Penebangan pohon damar dapat diminimalkan dengan memperkuat kembali peranan lembaga adat yang kian lemah, meningkatkan posisi tawar petani, memadukan langkah stakeholder terkait untuk menstabilkan harga getah damar, dan promosi potensi lain dari repong damar. Serangan hama dan penyakit pada damar perlu diantisipasi dengan pendekatan teknis dari para ahli dan penyediaan bibit damar yang berkualitas melalui seed production area (SPA) yang sekarang telah tersedia 125 ha (Supriyanto 2014). Untuk mencegah tekanan dari konversi menjadi kebun kelapa sawit, maka perlu peningkatan produktivitas dan kualitas getah damar serta membangun lembaga ekonomi pada tingkatan masyarakat petani sehingga harga getah damar dapat bersaing dengan kelapa sawit dan posisi tawar petani meningkat. Di samping itu, perlu juga meningkatkan penguasaan teknologi pascapanen para petani sehingga dapat meningkatkan nilai tambah getah damar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan damar sehingga prioritas penanganan masalah dapat diakomodasi dalam program pemerintah. Integrated approach sebagai pemecahan masalah Pemasalahan degradasi repong damar mata kucing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu aspek
ekologi, ekonomi, sosial, budaya, kebijakan, dan teknis. Dengan banyaknya aspek yang menjadi sumber masalah yang saling terkait pada damar mata kucing, maka penanganan masalah ini pun tidak bisa difokuskan hanya pada satu aspek tanpa mempertimbangkan perbaikan dan keterkaitan aspek lainnya. Alternatif pemecahan masalah yang diambil harus didesain agar tidak mereduksi upaya pemecahan pada aspek lain, bahkan sebaliknya harus saling memperkuat. Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan harus terintegasi (integrated approach). Upaya untuk mengurangi tingginya laju penebangan tegakan damar dan konversi repong damar menjadi kebun kelapa sawit, perlu didahului atau bersamaan dengan upaya promosi potensi lain repong damar seperti peningkatan nilai tambah agroforestri, peningkatan kualitas getah damar, serta peningkatan posisi tawar petani. Di samping itu, pengendalian penebangan yang dipicu oleh meningkatnya permintaan kayu damar dan pola pikir masyarakat tentang menebang damar cepat menghasilkan uang, harus dilakukan melalui berbagai pendekatan lain, baik sosial, budaya, maupun kebijakan. Sementara itu, pemecahan masalah hama dan penyakit damar perlu peran serta para peneliti atau akademisi. Masalah yang mengancam biodiversitas dan keberadaan sumberdaya genetik damar melingkupi banyak aspek, stakeholder yang harus menyelesaikan masalah pun perlu melibatkan banyak pihak. Supriyanto (2014) menyarankan agar dalam penyelesaian masalah damar mata kucing perlu kerjasama yang sinergis antara akademisi (academician), pelaku bisnis (businessman), pemerintah (government), dan masyarakat (community), atau “ABG & C”.
706
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 702-706, Juli 2015
Degradasi repong damar, yang ditandai dengan menurunnya keanekaragaman hayati dan luas Repong secara cepat di Kabupaten Pesisir Barat, perlu segera ditangani melalui pendekatan yang terintegrasi (integrated approach) dengan mempertimbangkan multi-aspek yang meliputi: aspek ekologi, ekonomi, sosial, budaya, kebijakan, dan teknis. Penanganan masalah damar memerlukan kerjasama banyak pihak: akademisi/ peneliti, pelaku bisnis, pemerintah, masyarakat, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat. Bahkan terkait kebijakan, pelibatan kalangan legislatif pun manjadi pilihan penting agar dapat mendorong sinkronisasi program pengembangan damar pada beberapa lembaga pemerintahan terkait.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sugeng P. Harianto, Lingga Kusuma, Dr. Tuti Herawati, Zulafaldi, Dr. Bainah Sari Dewi, dan Dr. Supriyanto serta pihak-pihak lain yang telah menjadi sumber inspirasi dari tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Cusson A. 2013. Cat’s Eye Forests: The Krui Damar Gardens. FAO, Rome. ftp://ftp.fao.org [17 Mei 2013]. De Foresta H, Michon G. 1994. Agroforestry in Sumatra – Where ecology meets economy. Agrofor Today 6-4: 12-13. Dewi BS. 2014. Peran kearifan lokal masyarakat pengelolaan damar (Shorea Javanica) dari aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi konservasi pada Masyarakat Pekon Pahmungan Krui Lampung Barat. Dalam: Hadiyan Y, Widodo T (eds). Prosiding Seminar Regional Status Konservasi, Silvikultur, Produk dan Pengelolaan Damar Mata Kucing. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI, Bandar Lampung, 7 September 2013 Edriana E, Dahlian E, Sumadiwangsa ES. 2004. Teknik pembuatan pernis dari damar untuk usaha kecil. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (4): 205-213.
Harianto S, Hidayat W. 2012. Dinamika tumbuhan di repong damar Krui. Laporan Hasil Penelitian. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unila, Bandar Lampung. Harianto S. 2014. Aspek biologi dan konservasi di Repong Damar Krui. Dalam: Hadiyan Y, Widodo T (eds). Prosiding Seminar Regional Status Konservasi, Silvikultur, Produk dan Pengelolaan Damar Mata Kucing. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI, Bandar Lampung, 7 September 2013. Herawati T. 2014. Apa yang harus kita lakukan untuk pengembangan damar mata kucing? (Tinjauan aspek sosial ekonomi). Dalam: Hadiyan Y, Widodo T (eds). Prosiding Seminar Regional Status Konservasi, Silvikultur, Produk dan Pengelolaan Damar Mata Kucing. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI, Bandar Lampung, 7 September 2013. Kusuma L. 2014. Kebijakan daerah dalam pembangunan hutan damar dan implementasinya. Dalam: Hadiyan Y, Widodo T (eds). Prosiding Seminar Regional Status Konservasi, Silvikultur, Produk dan Pengelolaan Damar Mata Kucing. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI, Bandar Lampung, 7 September 2013. Sari RK. 2002. Isolasi dan identifikasi komponen bioaktif dari damar mata kucing (Shorea javanica K.et.V). [Disertasi]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suminar P. 2013. Bringing in Bourdieu's theory of practice: Understanding community-based Damar agroforest management in Pesisir Krui, West Lampung District, Indonesia. http://www.ijhssnet.com/journals. [11 maret 2015]. Suporahardjo, Wodicka S. 2003. Conflicts over community-based “Repong” resource management in Pesisir Krui Region, Lampung Province, Indonesia. Natural Resource Conflict Management Case Studies: An Analysis of Power, Participation And Protected Areas. FAO, Rome. http://www.fao.org [8 april 2015]. Supriyanto. 2014. Research Needed for Developing damar mata kucing (Shorea Javanica) in Lampung. Hadiyan Y, Widodo T (eds). Prosiding Seminar Regional Status Konservasi, Silvikultur, Produk dan Pengelolaan Damar Mata Kucing. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI, Bandar Lampung, 7 September 2013. Van Lakerveld A. 2007. Price determination and upgrading within the damar trade chain. [Thesis]. University of Amsterdam, the Netherland Verbis B, Pasya G. 2004. Perspektif sejarah status kawasan hutan, konflik dan negosiasi di sumberjaya, Lampung Barat–Propinsi Lampung. Agrivita 26 (1): 20-28. Zulfaldi. 2014. Pentingnya peranan kelembagaan yang terpadu dalam upaya pelestarian agroforestry. Dalam: Hadiyan Y, Widodo T (eds). Prosiding Seminar Regional Status Konservasi, Silvikultur, Produk dan Pengelolaan Damar Mata Kucing. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah VI, Bandar Lampung, 7 September 2013.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 707-713
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010404
Kajian ekologis habitat dan pertumbuhan ikan ringau (Datnioides microlepis) di Danau Sentarum, Kalimantan Barat Ecological study of the habitat and growth of tiger fish (Datnioides microlepis) in Lake Sentarum, West Kalimantan MOCHAMMAD ZAMRONI1,♥, AHMAD MUSA1, SLAMET SUGITO1, RUSLAN SUTRISNA2, ABANG ZULKIFLI2 1
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jl. Perikanan No 13, Pancoran Mas, Depok 16436, Jawa Barat. Tel. +62-21-7765838, 7520482, Fax. +62-21-7520482, ♥email:
[email protected] 2 Balai Benih Ikan Kelansin, Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 1 Mei 2015.
Zamroni M, Musa A, Sugito S, Sutrisna R, Zulkifli A. 2015. Kajian ekologis habitat dan pertumbuhan ikan ringau (Datnioides microlepis) di Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 707-713. Ikan ringau (Datnioides microlepis) yang termasuk dalam Famili Datniodidae merupakan salah satu sumberdaya ikan bernilai ekonomis tinggi. Ikan ini tersebar di Sumatera dan Kalimantan, namun sejak beberapa tahun terakhir ikan ini sudah semakin sulit untuk ditemukan di alam. Status populasi ikan ringau termasuk dalam kategori sumberdaya yang mempunyai risiko kepunahan yang tinggi, sehingga perlu dikelola dengan baik agar tetap lestari. Ikan ini dapat dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi dan ikan hias karena warnanya yang menarik. Akibat dari penangkapan yang semakin meningkat setiap tahunnya, saat ini sudah semakin sulit mendapatkan ikan ringau pada ukuran induk (>20 cm). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ekologi habitat dan pertumbuhan ikan ringau asal Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai informasi dalam upaya pelestarian ikan endemik di Danau Sentarum. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei, Juli, dan Desember 2014 pada 10 stasiun pengamatan. Parameter utama dari penelitian ini adalah karakter habitat yang meliputi kualitas air secara fisika dan kimia, serta data panjang dan bobot ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan data kualitas air pada habitat ikan ringau di Danau Sentarum adalah suhu berkisar antara 28,6-30,7oC, kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,29-7,76 ppm, pH berkisar antara 4,55-5,92, kesadahan berkisar antara 12,2-61,02 ppm, dan alkalinitas berkisar 12,2-24,41 ppm, TDS berkisar antara 0,0029-0,0074, konduktivitas air berkisar antara 10,70-26,60, kadar amoniak 0,56-1,63 ppm, kadar nitrit 0-0,75 ppm, kadar nitrat 0-10 ppm, dan kadar fospat 0,1-1 ppm. Berdasarkan hubungan antara panjang dan bobot pertumbuhan, ikan ringau bersifat alometrik positif dengan faktor kondisi untuk ikan jantan adalah 1,83 dan ikan betina 2,09. Kata kunci: Datnioides microlepis, Danau Sentarum, ekologi, ikan ringau, pertumbuhan Singkatan: BBI: Balai Benih Ikan; DAS: Daerah Aliran Sungai; GPS: Global Positioning System; TNDS: Taman Nasional Danau Sentarum
Zamroni M, Musa A, Sugito S, Sutrisna R, Zulkifli A. 2015. Ecological study of the habitat and growth of tiger fish (Datnioides microlepis) in Lake Sentarum, West Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 707-713. Tiger fish (Datnioides microlepis) which included into the Datniodidae family was one of the fish resources with high economic value. This fish was spread in Sumatra and Borneo Island, but since the last few years, tiger fish has been increasingly difficult to find it in the wild. The status of tiger fish population was included in the category of resources that have a high risk of extinction, so it was needed to be managed well in order to remain sustainable. Tiger fish can be used for consumption fish and ornamental fish. Now it is more difficult to get this fish on the size of the parent (>20 cm). This study aimed to assess the ecological habitat and growth of tiger fish originating from Lake Sentarum, West Borneo. The results of this research will be used as information in an effort of conserving endemic fish from Lake Sentarum. This research was conducted in May, July and December 2014 at 10 observation stations. The main parameters of this study: the character of the habitat that includes water quality in physics and chemistry, as well as the data of length and weight of fish. The results showed water quality data on fish habitat in Lake Sentarum were the temperature ranged 28.6-30.7oC, dissolved oxygen value ranged from 5.29 to 7.76 ppm, pH value ranged from 4.55 to 5.92, hardness value ranged from 12.2 to 61.02 ppm, and alkalinity value ranged from 12.2 to 24.41 ppm, TDS ranged from 0.0029 to 0.0074, conductivity value ranged from 10.70 to 26.60, ammonia level ranged from 0.56 to 1.63 ppm, nitrite level ranged from 0 to 0.75 ppm, nitrate level ranged 0-10 ppm, and phosphate level ranged 0.1-1 ppm. Based on the length and weight relationship, tiger fish growth was a positive allometric, with the condition factor were 1.83 for male fish and female fish 2.09. Keywords: Datnioides microlepis, ecology, growth, Lake Sentarum, tiger fish
708
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 707-713, Juli 2015
PENDAHULUAN Perairan Indonesia merupakan suatu kawasan perairan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati ikan air tawar yang tinggi utamanya berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai-sungai besar seperti Sungai Kapuas di Kalimantan. Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa di Sungai Kapuas, Kalimantan ditemukan sebanyak 310 jenis ikan air tawar, sedangkan di Indonesia bagian barat serta Sulawesi terdapat sekitar 900 jenis ikan air tawar dan 25 jenis di antaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di Sepanjang DAS Sungai Mekong terdapat 773 spesies ikan, Sungai Chao Phraya 297 spesies, dan di Sungai Salween terdapat 197 spesies (Suvarnaraksha 2011). Sungai Kapuas terletak di Pulau Kalimantan, Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia dengan panjang total mencapai 1.037 km (DJSDA 2013). DAS Kapuas memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada setiap segmennya, Keragaman karakteristik ekosistem ini menjadikan Sungai Kapuas menyimpan keanekaragaman hayati ikan yang besar. Salah satu spesies ikan yang ditemukan di perairan sungai Kapuas adalah ikan ringau (Datnioides microlepis). Muflikhah dan Dharyati (2010) menyatakan bahwa Perairan umum sungai di Indonesia bagian barat yaitu Sumatera dan Kalimantan dihuni dua jenis anggota marga Datnioides yaitu Datnioides microlepis dan D. quadrifasciatus. Sebelumnya, Weber dan Beaufort (1936) menyatakan bahwa ikan ringau hanya ditemukan di Sungai Kapuas. Berdasarkan hasil penelitian Zamroni et al. (2013), ikan ringau dari DAS Kapuas saat ini hanya ditemukan di sekitar kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Taman Nasional Danau Sentarum merupakan kawasan taman nasional yang berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Letaknya kira-kira 700 kilometer dari Kota Pontianak. Secara administrasi, kawasan ini meliputi 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Batang Lupar, Badau, Embau, Bunut Hilir, Suhaid, Selimbau, dan Semitau. Secara geografis, kawasan taman nasional ini terletak di antara 00º45’-01º02’ LU dan 111º55’-112º26’ BT atau berjarak sekitar 100 km di sebelah utara garis khatulistiwa. Ikan ringau memiliki ciri yaitu badan pipih ke samping (compressed), memiliki moncong yang runcing, tutup insang berjumlah 13-15 sisik yang berurutan, dan terdapat duri datar pada sudutnya. Sirip berduri agak kuat terutama sirip punggung; panjang duri sirip punggung lebih dari separuh panjang jari-jari lemah sirip punggung (Muflikhah dan Dharyati 2010). Ikan ringau merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis penting. Ikan ini termasuk ke dalam golongan ikan hias potensial (Satyani et al. 2007). Harga jual ikan ringau saat ini di pasar domestik mencapai kisaran Rp. 7000 (ukuran 2 inci) hingga Rp. 850,000 (ukuran 10 inci) (Yuda 2013). Selain sebagai ikan hias, ikan ini juga dikonsumsi oleh masyarakat sekitar DAS Sungai Kapuas. Menurut Muflikhah dan Dharyati (2010), berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan di Sungai Kapuas bagian
tengah, ikan ringau memiliki rasa yang sangat lezat. Saat ini ikan ringau ini diekspor dalam berbagai ukuran, baik sebagai ikan hias maupun ikan konsumsi (Hendry, CV. Kapuas Pontianak, komunikasi pribadi 2013). Pemanfaatan ikan ringau sebagai ikan konsumsi dan ikan hias ini memberikan dampak upaya eksploitasi secara besar-besaran di alam. Pola pemanfaatan yang bersifat eksploratif ini dikhawatirkan akan mempengaruhi jumlah populasi ikan ringau di alam. Hal ini dikarenakan sampai saat ini pasokan ikan masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Jika hal ini terus terjadi akan memberikan ancaman besar terhadap sumberdaya ikan ringau. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Dalam upaya pengelolaan sumber daya ikan ringau diperlukan informasi biologi mengenai ikan tersebut. Salah satu informasi biologi yang diperlukan adalah mengenai bioekologi ikan ringau di habitat alamnya karena sampai saat ini informasi mengenai bioekologi ikan ringau di alam masih sangat sedikit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji ekologi habitat dan pertumbuhan ikan ringau (Datnioides microlepis) asal danau sentarum, Kalimantan Barat. Hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai informasi dalam upaya pelestarian ikan endemik asal Danau Sentarum
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei lapangan pada bulan Mei, Juli, dan Desember 2014 di sekitar kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, Provinsi Kalimantan Barat. Pengamatan pertumbuhan ikan ringau dilakukan di Balai Benih Ikan (BBI) Kelansin, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Penentuan stasiun pengambilan sampel pengamatan adalah dengan metode purposive random sampling dengan mempertimbangkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zamroni et al. (2013). Penentuan koordinat peta menggunakan Global Positioning System (GPS) merk Magellan. Lokasi survei dilaksanakan di DAS Kapuas dengan titik stasiun pengambilan sampel ikan adalah di sekitar kawasan TNDS. Peta dan data stasiun pengambilan sampel ikan ringau di sekitar kawasan Danau Sentarum dan DAS Kapuas disajikan pada Gambar 1 dan Tabel 1. Sampel ikan ringau (Datnioides microlepis) yang diamati merupakan hasil tangkapan nelayan. Parameter utama dalam penelitian ini adalah Karakteristik habitat yang meliputi jenis perairan, kualitas air (kadar oksigen terlarut, suhu, pH, kecerahan, alkalinitas, kesadahan, kandungan nitrit, nitrat, ammonia, fosfat, dan konduktivitas), serta ukuran panjang dan bobot ikan. Ikan yang didapatkan dari alam kemudian dibawa menggunakan kapal motor menuju ke Kecamatan Putussibau untuk selanjutnya dilakukan pengukuran panjang dan bobotnya di BBI Kelansin. Metode pengukuran kualitas air disajikan pada Tabel 2.
ZAMRONI et al. – Datnioides microlepis di Danau Sentarum
Analisis data Analisis data karakteristik habitat dan kualitas air dilakukan secara deskriptif, sedangkan data pertumbuhan ikan mengacu pada data hubungan antara panjang dan bobot. Analisis hubungan antara panjang dan bobot menggunakan uji regresi dengan rumus sebagai berikut (Effendie 1997): W = aLb Keterangan: W = Bobot tubuh ikan (gram) L = Panjang ikan (mm), a dan b = konstanta uji-t dilakukan terhadap nilai b untuk mengetahui apakah b=3 (isometrik) atau b≠3 (alometrik). Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan Ponderal Index, untuk pertumbuhan isometrik (b=3) faktor kondisi (KTL) dengan menggunakan rumus (Effendie 1997): 105W KTL = ------L3 Sementara itu, jika pertumbuhan tersebut bersifat allometrik (b≠3), faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Effendie 1997): W Kn = ----aLb
709
Tabel 1. Stasiun pengamatan di TNDS Ketinggian (mdpl) Danau Termabas 0°7.651'N, 110° 36.168'E 96 Danau Empanggau 0°1.449'N, 110° 53.587'E 82 Sungai Tawang 0°4.845'N, 111° 29.536'E 0 Pulau Buntar 0°50.025'N, 112° 3.119'E 26 Danau Luar 0°51.881'N, 112° 5.416'E 30 Danau Sentarum 0°52.421'N, 112° 6.129'E 33 Danau Genali 0°56.146'N, 112° 9.964'E 34 Batang Belitung 0°53.082'N, 112° 9.538'E 35 Danau Bekuan 0°48.464'N, 112° 9.024'E 29 Danau Kedabang 0°45.876'N, 112° 10.104'E 34 Sumber Data Diolah dari GPS (Magellan), 2014. Nama stasiun
Koordinat
Tabel 2. Metode analisis sampel kualitas air Parameter Suhu
Satuan mg/L
Metode In situ
Oksigen terlarut pH Kesadahan Alkalinitas Konduktivitas TDS NH3 NO2 NO3 PO4 Kecerahan
mg/L
In situ
pH unit mg/L mg/L µSm/cm2 mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L Meter
Lab. In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ
Gambar 1. Lokasi penelitian di sekitar kawasan TNDS dan DAS Kapuas
Peralatan YSI 550-A DO dan Temperature Meter YSI 550-A DO dan Temperature Meter pH meter Merck Test kit Hardness Merck Test kit Alkalinity YSI Conductivity Meter YSI TDS Meter Hanna Test kit NH3 Hanna Test kit NO2 Hanna Test kit NO3 Hanna Test kit PO4 Piring Secchi
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 707-713, Juli 2015
710
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik habitat Berdasarkan hasil survei lapang di kawasan TNDS dan DAS Kapuas didapatkan data karakteristik habitat ikan ringau seperti yang disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil pengamatan pada tiap-tiap stasiun didapatkan data karakterisitik habitat yang disajikan pada Tabel 3. Karakteristik habitat ikan ringau di perairan lahan gambut memiliki karakteristik seperti disajikan pada Tabel 3, dimana tingkat kecerahan berkisar antara 58-108 cm
(rerata 73,30 ± 15,08 cm) dan air berwarna cokelatkehitaman. Ikan ringau sering ditemukan di daerah sungai dengan banyak pohon kayu yang tumbuh di tepian, pohon yang tumbang, atau kayu yang terendam air. Menurut Muflikhah dan Dharyati (2010), ikan ringau banyak ditemukan di daerah dengan banyak tumbuhan dan kayu yang tumbang karena di lokasi tersebut merupakan habitat dari udang, serangga, dan zooplankton seperti Cladocera dan Rotifer dimana jenis-jenis tersebut merupakan makanan bagi ikan ringau.
Gambar 2. Karakter habitat ikan ringau di kawasan TNDS dan DAS Kapuas
Tabel 3. Data hasil analisis karakterisitik habitat Nama stasiun Danau Termabas Danau Empanggau Sungai Tawang Pulau Buntar Danau Luar Danau Sentarum Danau Genali Batang Belitung Danau Bekuan Danau Kedabang
Waktu 13:23 15:47 10:01 11:21 12:14 13:26 13:49 14:39 15:19 15:47
Kecerahan (cm) 16 19 22 83 69 76 88 89 80 77
Karakterisitik habitat Warna air Keterangan Cokelat Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat Ditemukan ikan ringau Cokelat kehitaman Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat kehitaman Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat kehitaman Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat kehitaman Tidak ditemukan ikan ringau Cokelat kehitaman Tidak ditemukan ikan ringau
ZAMRONI et al. – Datnioides microlepis di Danau Sentarum
Pada saat survei dilakukan pada bulan Mei, hanya di lokasi stasiun Danau Empanggau ditemukan ikan ringau. Pada setiap stasiun pengamatan dilakukan pengambilan sampel air baik secara fisika maupun kimia. Data kualitas air pada stasiun pengamatan di TNDS disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Data hasil analisis kualitas air di TNDS Parameter
Satuan
Kisaran terukur
Suhu Oksigen terlarut pH Kesadahan Alkalinitas TDS Konduktivitas NH3 NO2 NO3 PO4
o
28,6-30,7oC 5,29-7,76 4,55-5,92 12,2-61,02 12,2-24,41 0,0029-0,0074 10,70-26,60 0,56-1,63 0-0,75 0-10 0,1-1
C ppm Unit ppm ppm ppm µSm/cm2 ppm ppm ppm ppm
711
Berdasarkan data hasil analisis kualitas air di kawasan TNDS pada Tabel 4 terlihat bahwa suhu berkisar antara 28,6-30,7oC, kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,297,76 ppm, pH berkisar antara 4,55-5,92, kesadahan berkisar antara 12,2-61,02 ppm, dan alkalinitas berkisar 12,2-24,41 ppm, TDS berkisar antara 0,0029-0,0074, konduktivitas berkisar antara 10,70-26,60, kadar amoniak 0,56-1,63 ppm, kadar nitrit 0-0,75 ppm, kadar nitrat 0-10 ppm, dan kadar fospat 0,1-1 ppm. Berdasarkan informasi dari para nelayan pada tahun 2013 (Zamroni et al. 2013) dan tahun 2014, ikan ringau dapat ditemukan di Danau Empanggau. Pada saat survei pada bulan Mei di lokasi tersebut tim peneliti mendapatkan nelayan yang menangkarkan ikan ringau. Ikan ringau ini merupakan hasil tangkapan nelayan setempat pada musim kemarau. Gambar ikan ringau yang didapatkan dari Nelayan selama survei disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengambilan sampel ikan ringau dari hasil tangkapan nelayan
712
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 707-713, Juli 2015
Hubungan panjang dan bobot ikan Analisis hubungan antara panjang dan bobot ikan ringau didapatkan dari lokasi stasiun Jongkong, Empanggau, dan Bunut. Adapun hasil analisis hubungan antara panjang dan bobot ikan ringau berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Gambar 4 dan 5. Data hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan seperti disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 5 terlihat bahwa jumlah ikan ringau yang berhasil ditangkap tidak ada yang lebih dominan antara ikan jantan maupun betina (16 ekor jantan dan 13 ekor betina), namun ukuran panjang total dan bobot ikan ringau jantan rata-rata lebih rendah dibanding ikan ringau betina. Dari hasil ini terlihat bahwa ikan ringau betina memiliki ukuran lebih besar dibanding ikan jantan yang tertangkap. Panjang total ikan ringau jantan rata-rata 26,4 cm dengan bobot rata-rata 335,6 g, sedangkan ikan betina memiliki panjang rata-rata 31,9 cm dengan bobot rata-rata 681,5 g. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa apabila pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah ikan dari salah satu jenis kelamin, hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan masa hidup dan pemasukan jenis ikan atau spesies baru pada suatu populasi yang sudah ada. Menurut Umar et al. (2013), ikan betina memiliki ukuran dan bobot lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya pematangan gonad dan sel telur. Berdasarkan data pada Tabel 5, dapat diketahui bahwa pengaruh ukuran panjang dan bobot tubuh ikan ringau sangat berpengaruh terhadap koefisien pertumbuhan (nilai b) yang dapat diperoleh secara tidak langsung dari faktor ketersediaan makanan, tingkat kematangan gonad, dan variasi ukuran ikan (Efendie 1997) Hasil uji-t nilai koefisien pertumbuhan (nilai b) terhadap konstanta 3 menunjukkan bahwa baik ikan ringau jantan maupun betina mempunyai nilai koefisien pertumbuhan (nilai b) yang lebih besar dari konstanta 3 (p<0,05) yang artinya tipe pertumbuhan ikan ringau jantan dan betina bersifat alometrik postif, di mana tipe pertumbuhan alomerik positif ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot tubuh lebih cepat daripada pertambahan panjangnya (Effendie 1997). Nilai R2 atau koefisien korelasi hubungan antara panjang dan bobot ikan ringau jantan dan betina masingmasing menunjukkan nilai 92,09 dan 93,71. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang dan bobot ikan ringau bersifat sangat kuat dan bernilai positif. Santoso (2003) menyatakan bahwa angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan angka korelasi di bawah 0,5 menunjukkan korelasi lemah. Berdasarkan data pada Tabel 5, nilai faktor kondisi ikan ringau jantan dan betina masing-masing adalah 1,83 dan 2,09. Menurut Effendie (1997), nilai faktor kondisi (K) untuk ikan-ikan yang bentuk badannya kurang pipih berkisar antara 1-3, sedangkan menurut Muflikhah dan Dharyati (2010), bentuk ikan ringau tersebut memiliki ciri berupa badan pipih ke samping (compressed). Kesimpulan dari penelitian ini adalah karakteristik habitat ikan ringau (Datnioides microlepis) di perairan lahan gambut memiliki tingkat kecerahan berkisar antara
58-108 cm (rerata 73,30 ± 15,08 cm) dimana air berwarna cokelat kehitaman. Karakteristik air pada habitat tersebut yaitu memiliki suhu berkisar antara 28,6-30,7oC, kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,29-7,76 ppm, pH berkisar antara 4,55-5,92, kesadahan berkisar antara 12,2-61,02 ppm, dan alkalinitas berkisar antara 12,2-24,41 ppm, TDS berkisar antara 0,0029-0,0074, konduktivitas berkisar antara 10,70-26,60, kadar amoniak 0,56-1,63 ppm, kadar nitrit 0-0,75 ppm, kadar nitrat 0-10 ppm, dan kadar fospat 0,1-1 ppm. Sementara itu, ikan ringau jantan berukuran lebih kecil dibandingkan ikan betina. Ikan ringau jantan dan betina sama-sama memiliki tipe pertumbuhan alometrik positif dengan faktor kondisi 1,83 dan 2,09.
Gambar 4. Hubungan panjang total dengan bobot ikan ringau jantan
Gambar 5. Hubungan panjang total dengan bobot tubuh ikan ringau betina Tabel 5. Data analisis hubungan panjang dan bobot ikan ringau Parameter Jumlah ikan uji (ekor) Panjang rata-rata (cm) Bobot rata-rata (gr) Persamaan hubungan panjang dan bobot ikan Nilai b Nilai R2 Uji-t nilai b terhadap 3 Tipe pertumbuhan Faktor kondisi
Ikan jantan 16 26,4 335,6 W=0,005L3,3797
Ikan betina 13 31,9 681,5 W=0,0084L3,2508
3,3797 92,09 b>3 (p<0,005) Alometrik positif 1,83
3,2508 93,71 b>3 (p<0,005) Alometrik positif 2,09
ZAMRONI et al. – Datnioides microlepis di Danau Sentarum
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Darti Satyani dan Sulasy Rohmy yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam kegiatan ini. Sumber dana penelitian berasal dari APBN dan APBD Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Anggaran 2014. Penelitian ini merupakan hasil kerjasama Pusat Litbang Perikanan Budidaya (P4B) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas Hulu.
DAFTAR PUSTAKA DJSDA. 2013. Profil Balai Wilayah Sungai Kalimantan. Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
713
Kottelat M, Anthony JW, Sri NK, Soetikno W. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi), Java Books, Jakarta. Muflikhah N, Dharyati E. 2010. Studi Biologi Ikan ringau (Datnioides microlepis) di Daerah Aliran Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Fakultas Biologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 24-25 September 2010. Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press, London. Santoso S. 2003. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS versi 11.5. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Suvarnaraksha A. 2011. Biology of two keystone fish species and fish assemblage patterns and modeling approaches in tropical river basin: Case study of Ping River Basin, Thailand. [Dissertation]. L'Université Toulouse III Paul Sabatier, France and Ubon Ratchathani University, Thailand. Weber M, Beaufort LFD. 1936. The Fishes of the Indo-Australian Archipelago. Book VII. E.J. Brill Ltd., Leiden. Zamroni M, Musa A, Satyani D, Rohmy S. 2013. Studi Bioekologi Ikan ringau (Datnioides microlepis) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas dan Musi. Laporan Seminar Hasil Tahun Anggaran 2013. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 714-720
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010405
Potensi dan strategi pengembangan Taman Hutan Raya Gunung Tumpa Manado, Sulawesi Utara dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati subkawasan Wallacea Potential and development strategies of Mount Tumpa Great Forest Park, Manado, North Sulawesi to conserve the biodiversity of Wallacea subregion ADY SURYAWAN♥, MARGARETA CHRISTITA♥♥, ISDOMO YULIANTORO♥♥♥ Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado. Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683, Fax. +62431-3666683, ♥email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Manuskrip diterima: 21 Februari 2015. Revisi disetujui: 30 April 2015.
Suryawan A, Christita M, Yuliantoro I. 2015. Potensi dan strategi pengembangan Taman Hutan Raya Gunung Tumpa Manado, Sulawesi Utara dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati subkawasan Wallacea. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 714-720. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan potensi dan analisis strategi pengembangan Taman Hutan Raya (Tahura) Gunung Tumpa, Manado, Sulawesi Utara dalam mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati subkawasan Wallacea dan visi Kota Manado. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengamatan langsung, dan kajian referensi, diolah menggunakan analisis SWOT SWOT (Strenghts, Opportunities, Weaknesses, Threats). Dari hasil penelitian diketahui beberapa potensi Tahura Gunung Tumpa yaitu: (i) tingginya potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna di subkawasan Wallacea pada ekosistem dataran rendah sampai dataran tinggi,(ii) adanya spesies asing invasif dan dinamika ekosistem hutan, (iii) potensi panorama yang menarik, (iv) budaya masyarakat lokal yang ramah, (v) akses dari pusat kota yang mudah, (vi) adanya kegiatan tahunan yang bersifat internasional, (vii) jumlah wisatawan dan peneliti baik asing maupun domestik yang masuk ke Manado dan sekitarnya, serta (viii) fungsi fisik dan ekologis yang tinggi terhadap Kota Manado. Strategi pengembangan kawasan berdasarkan S-O mengarah pada aspek ekowisata, konservasi, penelitian, dan pendidikan. Ekowisata yang dapat dibentuk antara lain berupa paket wisata konservasi (konservasi in situ flora dan fauna, pengamatan satwa diurnal dan nokturnal, kebun tematik atau agrowisata, fotografi, dan mendaki gunung). Penelitian dan pendidikan di antaranya meliputi identifikasi jenis vegetasi, anggrek, burung, pendidikan lingkungan, penangkaran, dan perilaku satwa. Upaya pengembangannya sangat memerlukan kerjasama yang kompak dari setiap elemen dan didasari pada hasil-hasil penelitian. Strategi W-O yaitu peningkatan keterampilan masyarakat sekitar untuk dapat menjadi guide, menyediakan souvenir (handycraft/tanaman hias), kuliner, penginapan yang menyatu dengan budaya masyarakat lokal, serta peningkatan fasilitas dan kerjasama dengan instansi konservasi yang kompeten. Kata kunci: Gunung Tumpa, Manado, SWOT, Tahura, Wallacea
Suryawan A, Christita M, Yuliantoro I. 2015. Potential and development strategies of Mount Tumpa Great Forest Park, Manado, North Sulawesi to conserve the biodiversity of Wallacea subregion. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 714-720. This paper aimed to describe the potential and analysis of the development strategy of Mount Tumpa Great Forest Park, Manado, North Sulawesi in supporting of the effort of biodiversity conservation of Wallacea sub-region and the vision of Manado city. Data collection was carried out through interviews, direct observation and research references, then the observation data was processed using a SWOT (Strenghts, Opportunities, Weaknesses, Threats) analysis. The survey result revealed some potentials value of Mount Tumpa Great Forest Park, included (i) the high potential of biodiversity of flora and fauna in the lowland to highland ecosystem of sub-regional Wallacea, (ii) the presence of invasive alien species and the dynamics of forest ecosystems, (iii) the potential of attractive natural landscape, (iv) the friendly local community culture, (v) easy access from the city centre, (vi) the existence of annual international events, (vii) the number of tourists and researchers of both foreign and domestic coming to Manado and the surrounding area, and (viii) the high physical and ecological functions to Manado city. Regional development strategy based on the SO, lead to aspects of ecotourism, conservation, research and education. The ecotourism that can be formed was a tour package of conservation (in situ conservation of flora and fauna, diurnal and nocturnal wildlife observation, thematic gardens or agro-tourism, photography and hiking). Research and education were included of identification of vegetation, orchids, birds, environmental education, breeding, and animal behavior. This development needed an integrated partnership of each element based on the research results. A WO strategy was increasing the skills of local people to become a guide, provide the souvenirs (handicraft/ornamental plants), food, lodging which fuses with the local culture, as well as improved facilities and built partnership with the competent conservation institution. Keywords: Mount Tumpa, Great Forest Park, Wallacea, Manado, SWOT
SURYAWAN et al. – Pengembangan Tahura Gunung Tumpa, Manado
715
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Taman Hutan Raya Gunung Tumpa (Tahura Gunung Tumpa) seluas 208.801 ha pada ketinggian 175-627 mdpl ditetapkan berdasarkan SK.434/Menhut-II/2013 (Christita dan Wiharisno 2014; Dishutpropsulut 2014). Secara bioregion terletak di kawasan Wallacea dengan tingkat endemisitas tinggi (Supriatna 2008). Tahura memiliki fungsi strategis dalam konservasi sumber daya genetik (Yudohartono 2008). Macrogalidia muschenbroekii (musang sulawesi) dan Leucocephalon yuwonoi (kura-kura sulawesi), Penelopides exarhatus dari Famili Bucerotidae, Idea tambusisiana (kupu-kupu sulawesi), dan Diospyros celebica (kayu hitam) merupakan jenis asli dari Sulawesi yang menjadi prioritas konservasi 2008-2018 (Mardiastuti et al. 2008). Kawasan konservasi memiliki kontribusi terhadap aspek ekologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ekonomi (Dominggus 1999). “Manado Kota Model Ekowisata” adalah visi Manado 2011-2015 (Kota Manado 2012). Upaya menjaga keutuhan kawasan konservasi dapat melalui ekowisata (Flamin dan Asnaryati 2013). Ekowisata di dalam Tahura diatur dalam PP No. 36 Tahun 2010 tentang pengusahaan pariwisata alam. Pariwisata memiliki dampak positif dan negatif terhadap kelestarian alam dan masyarakat (Widyastuti 2010). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan potensi Tahura Gunung Tumpa, penggunaan analisis SWOT (Strenghts, Opportunities, Weaknesses, Threats) untuk menentukan strategi pengembangan kawasan yang mendukung konservasi keanekaragaman hayati subkawasan Wallacea, manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, kualitas lingkungan, dan visi Kota Manado.
Penelitian dilaksanakan di Tahura Gunung Tumpa, Sulawesi Utara pada bulan Desember 2014 hingga Januari 2015. Cara kerja Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei langsung (ke lokasi masyarakat sekitar dan UPTD terkait) metode kepustakaan (pengumpulan data dari berbagai literatur) dan dokumentasi. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data yang diperoleh secara langsug di lapangan melalui wawancara dan oberservasi langsung dimana pengambilan data primer dilakukan menggunakan metode transek. Adapun data sekunder berupa data yang berasal dari berbagai instansi atau lembaga terkait, meliputi: data demografis, kondisi klimatologi, dan geografis wilayah. Data sekunder diperoleh dari UPTD Taman Hutan Raya Gunung Tumpa. Analisis data Analisis data dilakukan dengan dua metode yaitu: analisis deskriptif dan analisis SWOT (Strenghts, Opportunities, Weaknesses, Threats) menggunakan model yang dilakukan oleh Flamindan Asnaryati (2013). Menurut Hidayat et al. (2012), Strategi S-O bersifat agresif yaitu optimalisasi potensi dan peluang. Strategi S-T bersifat berbenah diri yaitu mengatasi kelemahan. Strategi W-O bersifat diversifikasi, yaitu: memanfaatkan kekuatan untuk meminimalkan ancaman. Sementera itu, strategi W-T bersifat defensif yaitu mengurangi kelemahan dan menghindari adanya ancaman.
Gambar 1. Peta Taman Hutan Raya Gunung Tumpa, Sulawesi Utara (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara 2014)
716
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 714-720, Juli 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kawasan Tahura Gunung Tumpa Hasil pengamatan keanekaragaman jenis-jenis flora dan fauna di kawasan Tahura Gunung Tumpa disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 1. Data penelitian sebelumnya menyebutkan keanekaragaman flora dan fauna sebanyak 59 jenis vegetasi pada tahun 2014, 45 jenis vegetasi pada tahun 2008, dan 154 jenis vegetasi pada tahun 1996. Selain itu, Macaca nigra dan Corvus sp. (Wowor et al. 2014), 53 jenis vegetasi (Kainde et al. 2011), 8 jenis burung endemik Sulawesi Utara dari 28 jenis burung diurnal yang telah dilaporkan (Christita et al. 2015). Potensi panorama yang dapat dijumpai di Tahura Gunung Tumpa antara lain panorama kepulauan di kawasan Taman Nasional Bunaken, panorama Kota Manado, dan panorama matahari terbenam. Fungsi fisik dari hasil penelitian Wahyuni et al. (2012) memiliki simpanan karbon sebesar 474,58 ton/ha. Sementara itu, berdasarkan hasil kajian Kumajas (2006) dan Putra (2014), daerah di sekitar kawasan Tahura memiliki potensi longsor yang tinggi, sehingga diperlukan adanya tutupan vegetasi. Tahura Gunung Tumpa adalah kawasan konservasi yang lokasinya paling dekat dengan Pusat Kota Manado. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2014) Tahura Gunung Tumpa hanya berjarak 13,2 km dari pusat kota dan 15,3 km dari Bandara Samratulangi. Jalan di dalam kawasan masih berupa jalan tanah sepanjang 5.380 meter. Sarana yang telah ada antara lain pusat informasi, pondok kerja, pos jaga, shelter, toilet, menara pengamatan, dan adanya bukit doa sebagai kegiatan keagamaan dan wisata religi. Peta zonasi kawasan Tahura Gunung Tumpa dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2014), sebagian Tahura Gunung Tumpa seluas 155,85 ha termasuk dalam wilayah Kota Manado dan seluas 52,96 ha termasuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Tahura Gunung Tumpa terletak pada ketinggian 175-627 m dpl, topografi bergelombang,
berbukit dan bergunung, tipe iklim A menurut Schmidt dan Ferguson, curah hujan tahunan 3.187 mm, temperatur 21,632,2oC, kelembaban 75%-96%, serta terletak di antara Taman Nasional Bunaken, Cagar Alam Tangkoko, dan Cagar Alam Gunung Lokon. Hal ini mendukung fungsi konektivitas berdasarkan pedoman konservasi menurut Riberio et al. (2005) dan Gunawan dan Prasetyo (2013) yaitu memprioritaskan fragmentasi hutan besar, meminimalkan efek tepi, dan meningkatkan konektivitas antar kawasan. Potensi sekitar kawasan Haris et al. (2010) menyebutkan Suku Minahasa, Bolangmongondow, dan Sangihe Talaud memiliki beberapa acara adat antara lain: monondeaga, mupuk im bene, metipu, watu pinawetengan, upacara adat pemakaman, upaca adat pernikahan, bacoho, serta upacara perkawinan. Adapun produk-produk budaya yang dihasilkan antara lain: mapalus, rumah adat “woloan”, tarian (maengket, katrili, kabasaran), alat musik (kolintang, musik bambu), lagu khas daerah, kuliner, bahasa, tulisan kuno Minahasa, dan busana tradisional. Menurut Tendean et al. (2014), jumlah wisatawan pada tahun 2013 sebanyak 634.466 jiwa, jumlah wisatawan berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jumlah wisatawan yang masuk ke Manado diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 36% pada tahun 2015 dan 42% pada tahun 2016 (Kaloh 2013). Proporsi keuangan wisatawan di Manado meliputi akomodasi 35%, makan-minum 25%; oleh-oleh atau souvenir 25%; rekreasi wisata 10%; dan lain-lain 5% (Kota Manado 2011) Manado sebagai gerbang menuju beberapa kawasan Subkawasan Walacea bagian utara tentunya memiliki daya tarik tersendiri. Berdasarkan jppn.com (2011) pada tahun 2010-2011, sedikitnya ada 600 peneliti asing yang keluarmasuk ke Indonesia dengan tema penelitian mengenai keanekaragaman hayati.
Tabel 1. Keanekaragaman jenis flora-fauna yang dijumpai Kelompok
Jenis
Mamalia Burung
Kuskus (Strigocuscus celebensis), Pelatuk sulawesi (Mulleripicus fulvus), jalak tunggir merah (Scissirostrum dubium), cekaka (Todiramphus chloris), gagak (Corvus enca celebensis), elang sulawesi (Spilornis rufipectus), weris (Gallirolus torquatus), pergam kelabu (Ducula Pickeringii), kadalan sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus), ayam hutan (Gallus gallus), srigunting (Dicrurus montanus), tekukur (Streptopelia Chinensis), cui-cui (Tahuraeptes malacensis celebensis), malia sulawesi (Malia Grata), bubut sulwesi (Centropus celebensis celebensis), perling kecil (Aplonis minor), kutilang (Pysnonotus aurigaster), burung gereja (Passer montanus malaccensis), merpati buah (Ptilinopus melanospila), elang laut putih (Haliaeetus leucogaster), raja udang (Todiramphus sanctus), walet manado (Collocalia esculenta manadensis), merpati kaisar (Ducula forsteni), tuwur sulawesi (Eudynamys melanorhynchus), layang-layang batu (Hirundo tahitica), cirik ungu (Meropogon forsteni), kipasan sulawesi (Rhipidura teysmanii coomansii), kareo sulawesi (Amauornis isabellina), pelanduk sulawesi (Trichastoma celebenses)
Jenis anggrek
Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), anggrek merpati (Dendrobiumcruminatum), anggrek (Vanda sp.), anggrek tanah (Calante sp.).
Jenis pohon
Kayu bunga (Spathodea campunulata), kayu dadap (Tahuraina sobumbrans), beringin (Ficus spp.), gora hutan (Eugenia sp.), kayu hitam (Diospyros rumphii), kelapa (Cocos nucifera), aren (Arenga pinata), nantu/nyatoh (Palaquium sp.), durian (Durio sp.), cengkeh (Syzygium aromaticum)
Reptil
Ular (Dendrelephis pictus)
SURYAWAN et al. – Pengembangan Tahura Gunung Tumpa, Manado
A
717
B
D
C
E
F
Gambar 2. Hasil pengamatan jenis-jenis fauna di kawasan Tahura Gunung Tumpa: A. Jalak tunggir merah, B. Cekaka, C. Kadalan sulawesi, D. Merpati kaisar, E. Elang sulawesi,F. Ular (Dendrelephis sp.)
A
B
C
D
Gambar 3.A. Panorama Pulau Bunaken, B. Panorama Kota Manado, C. Burung saat pagi, dan D. Matahari tenggelam
718
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 714-720, Juli 2015
Gambar 4. Zonasi pemanfaatan kawasan Tahura Gunung Tumpa. Keterangan peruntukan: A = Fasilitas umum, B = Fasilitas tidak permanen, C = Jalan setapak, pendakian, olahraga berkuda, menara pandang, D = Tidak ada akses jalan masuk dan fasilitas (UPTD Tahura Gunung Tumpa 2015)
Kegiatan internasional di kawasan Tahura Gunung Tumpa antara lain WOC 2008, CTI 2014, dan WCRC International Blue Carbon 2014. Menurut BI Sulawesi Utara (2012), kegiatan internasional berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sebagai contoh ASEF yang diikuti oleh 500 peserta (16 negara), Colombo Plan oleh 27 negara, dan pertemuan bilateral antara Indonesia dan pengusaha Uni Eropa. Strategi pengembangan pembangunan Strategi pengembangan pembangunan memerlukan pengetahuan tentang potensi, kelemahan, peluang, dan ancaman. Potensi kawasan Tahura Gunung Tumpa telah diidentifikasi di atas, sedangkan faktor penghambatnya yaitu adanya perkebunan, perburuan satwa liar, dan penebangan pohon (Wowor et al. 2014). Saroyo (2011) menyimpulkan terdapat 39 jenis satwa yang dikonsumsi masyarakat Sulawesi Utara. Pada penelitian ini maupun yang telah dilakukan oleh Christita dan Suryawan (2015) tidak dijumpai Famili Bucerotidae. Dominasi Spathodea campunulata sangat jelas, didukung oleh Kainde et al. (2011) dan Wowor et al. (2014). Jenis S. campunulata adalah jenis invasif berisiko tinggi (Daehler 2005). Adanya jenis invasif dapat menghilangkan keanekaragaman hayati (Tjitrosemitro et al. 2013). Jenis S. campunulata memiliki potensi besar merusak biodiversitas hutan dataran tropis rendah karena penyebarannya dibantu oleh angin, merupakan jenis pionir, cepat tumbuh, dan dapat tumbuh di bawah tegakan (Keppel dan Watling 2011). Jenis S. campunulata telah menginvasi di beberapa negara antara lain di Pulau Hawai (Larrueet al. 2014), Kepulauan Pasifik (Meyer 2000; Minnich 2009), Amerika Utara (AbelleiraMartínez 2010; Meyer 2012), dan Indonesia (hutan Kampus IPB) (Prinando 2011). Berikut matriks analisis SWOT.
Strategi S-O (kekuatan dan peluang) Potensi dan keunikan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, kebudayaan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1990. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 diperlukan partisipasi, aspirasi, dan budaya masyarakat sekitar kawasan. Adapun dari aspek peluang yang dapat menjadi faktor pendukung kelestarian kawasan dan dampak positif terhadap pendapatan daerah adalah kepariwisataan alam (Dominggus 1999). Tahura Gunung Tumpa dapat menjadi daerah baru tujuan pariwisata di Sulawesi Utara serta menjadi lokasi kegiatan konservasi in situ flora dan fauna, serta pusat penelitian dan pendidikan lingkungan yang dikelola bersama masyarakat. Ekowisata yang dapat dikembangkan berupa paket wisata konservasi yang memfasilitasi pengunjung mengerti arti dan dapat terlibat langsung dalam kegiatan konservasi. Pengunjung mendapat informasi lengkap tentang potensi kawasan dan kegiatan konservasi seperti penanaman dan pengelolaan sampah terpadu. Kegiatan ekowisata yang dapat diusahakan dalam waktu relatif singkat antara lain pengamatan satwa diurnal dan nokturnal, kebun tematik atau agrowisata, fotografi, pengelolaan sampah organik, hiking, dan outbond. Konservasi in situ flora dan fauna dapat dikembangkan di dalam kawasan Tahura Gunung Tumpa, baik jenis yang ada di dalam kawasan itu sendiri maupun mendatangkan jenis hayati yang ada di Sulawesi Utara sehingga dapat menjadi miniatur keanekaragaman hayati di Sulawesi Utara. Kegiatan konservasi ini sekaligus dapat menjadi pusat penelitian dan pendidikan. Penelitian terutama dilakukan pada konservasi jenis langka dan sulit berkembang, penangkaran, dan budidaya. Sementara itu, aspek pendidikan yang mendukung ilmu pengetahuan yaitu identifikasi jenis flora dan fauna. Strategi S-T (kekuatan dan ancaman) Kerjasama dan pembinaan antara pengelola dan masyarakat sekitar kawasan akan mendukung kelestarian kawasan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanah dari PP No. 36 Tahun 2010. Tingkat kesadaran dan rasa memiliki dan membangun akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat itu sendiri dan kelestarian kawasan. Kerjasama dan pembagian tugas dalam pengelolaan sebagai contoh menjadi pemandu, petugas kebersihan, petugas keamanan, pekerja harian lepas, dan penunjang ekonomi kreatif. Strategi W-O (kelemahan dan peluang) Perlu peningkatan kapasitas SDM dalam mengelola kawasan konservasi dan kerjasama dengan instansi seperti : Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Dinas Perindustrian, Balai Penelitian Kehutanan, Perguruan Tinggi, serta Balai Diklat Kehutanan dan Masyarakat. Sesuai dengan tupoksinya, masing-masing institusi dapat menggali potensi yang ada di dalam kawasan dan sekitarnya dengan baik.
SURYAWAN et al. – Pengembangan Tahura Gunung Tumpa, Manado
719
Tabel 2. Matrik analisis SWOT dan strategi pengembangan pembangunan Kekuatan (Strengths)
Kelemahan (Weakness)
1.
Memiliki kepastian hukum kawasan (SK.434/Menhut-II/2013) 2. Keanekaragaman hayati tinggi 3. Keindahan panorama alam 4. Keanekaragaman adat dan budaya 5. Aksesibilitas terjangkau 6. Memiliki fungsi tinggi terhadap lanskap Kota Manado 7. Memiliki fungsi konektivitas yang cukup tinggi Strategi S-O
1. 2. 3. 4.
Tren peningkatan jumlah wisatawan ke Manado 2. Peraturan tentang pariwisata alam dalam kawasan konservasi sudah ada 3. Peluang pendapatan daerah dan masyarakat 4. Adanya lembaga non-pemerintah di bidang penelitian dan lingkungan 5. Dukungan dari instansi terkait di sekitar Manado (Dinas Kehutanan, Pariwisata, Budaya, KSDA, TN, Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi) Ancaman (Threats)
Optimalisasi potensi dan peluang yang telah teridentifikasi, kawasan Tahura dapat dikembangkan menjadi satu lokasi ekowisata, kegiatan konservasi in situ flora dan fauna, penelitian dan pendidikan yang dikembangkan bersama-sama dengan masyarakat sekitar kawasan
Memanfaatkan kerjasama dengan instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk menggali potensi di dalam dan di sekitar kawasan, meningkatkan promosi dan membuat paket wisata untuk menarik wisatawan
Strategi S-T
Strategi W-T
1.
Perlu pembinaan dan kerjasama antara pengelola dengan masyarakat sekitar kawasan, dengan tujuan meningkatkan kesadaran, serta rasa memiliki dan membangun bersama sehingga kegiatan ekonomi dan kelestarian kawasan dapat berjalan
Pendidikan dan pelatihan SDM pengelola, membentuk kelompok masyarakat sadar konservasi yang dapat mendukung kelestarian potensi, serta meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait (Dinas Kehutanan, KSDA, Taman Nasional, Balai Penelitian Kehutanan, Pariwisata, Budaya, Industri, Universitas)
Internal
Eksternal
Peluang (Oppotunities) 1.
2. 3. 4.
Gangguan aktivitas masyarakat karena kebutuhan ekonomi yang meningkat Kawasan konservasi lainnya yang lebih unggul Ancaman bencana alam karena topografi Adanya jenis invasif
Kondisi topografi yang ada menarik untuk sarana hiking, iklim, dan panorama yang dimiliki sangat potensial untuk menjadi pusat rekreasi sehingga perlu dukungan infrastruktur, kuliner, souvernir, dan penginapan. Budaya masyarakat lokal dapat dikembangkan sebagai unsur estetika dan hiburan, serta menunjang pendidikan dan penelitian. Kondisi sarana dan prasarana di kawasan Tahura Gunung Tumpa yang masih terbatas. Beberapa fasilitas yang diperlukan antara lain aliran listrik, pusat informasi dalam kawasan dan media elektronik/website, perbaikan akses dan jalur wisata, lokasi parkir, pengolahan sampah yang ramah lingkungan, ketersediaan air bersih, fasilitas presentasi, pengembangan perkemahan, menara pengamat, pembangunan fasilitas kuliner, dan tempat ibadah. Strategi W-T (kelemahan dan ancaman) Perlu dibangun organisasi/lembaga konservasi masyarakat sekitar kawasan. Tujuannya meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi, peluang ekonomi, dan mitigasi akan adanya ancaman yang ada. Upaya mengatasi kelemahan dan ancaman diperlukan kerjasama yang sinergis antar instansi terkait. Pembangunan dan pengelolaan Tahura yang baru dibentuk memerlukan perencanaan. Sebagai referensi, dapat belajar hasil penelitian Gunawan dan Sugiarti (2015)
5. 6.
Potensi masih belum banyak digali Dana pengelolaan terbatas Fasilitas masih belum memadai SDM pengelola butuh pendidikan dan pelatihan mengelola kawasan konservasi Masyarakat masih belum terlibat dalam pengelolaan Adanya jenis invasif
Strategi W-O
dan Sugiarti (2015) dapat digunakan dalam pembangunan Taman Kehati/ ecopark yaitu perencanaan, pembangunan, pengelolaan, dan pemantauan serta didukung dengan kegiatan pendidikan lingkungan, kampanye konservasi, serta pelatihan dan pemberdayaan masyarakat, dimana kegiatan ini dapat dibantu oleh swasta. Keanekaragaman hayati, fisik, panorama alam dan infrastruktur, produk budaya masyarakat, jumlah wisatawan, peneliti, dan kegiatan internasional di Manado merupakan potensi. Strategi pengembangannya antara lain menjadikan Tahura Gunung Tumpa sebagai miniatur keanekaragaman hayati di Sulawesi Utara dan dikelola menjadi ekowisata berbasis masyarakat. Dalam upaya tersebut diperlukan peningkatan kemampuan SDM, fasilitas, dan kerjasama dengan instansi di bidang penelitian, konservasi, dan pariwisata.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Herry Rotinsulu dan Thomas A. Kumesan selaku pemangku kawasan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Yakob yang telah mendampingi dalam penelitian ini.
720
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 714-720, Juli 2015
DAFTAR PUSTAKA Abelleira-Martínez OJ. 2010. Invasion by native tree species prevents biotic homogenization in novel forests of Puerto Rico. Plant Ecology 211: 49-64. BI Sulawesi Utara. 2012. Kajian ekonomi regional Propinsi Sulawesi Utara Triwulan IV tahun 2012. Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Provinsi Sulawesi Utara, Manado. Christita M, Suryawan A, Mayasari A. 2015. Keragaman dan status konservasi jenis burung diurnal di Taman Hutan Raya Gunung Tumpa Manado, Sulawesi Utara. Seminar Nasional Ornitologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 13 Pebruari 2015. Christita M, Wiharisno J. 2014. Kiprah kehutanan 50 tahun Sulawesi Utara 1964-2014. Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado. Daehler C. 2005. Pacific Island Ecosystems at Risk (PIER). http://www.hear.org/pier/wra/pacific/spathodea_campanulata_htmlwr a.htm [3 Maret 2015]. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara. 2014. Pembangunan taman hutan raya Gunung Tumpa. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, Manado. Dominggus. 1999. Prospek dan Kontribusi Taman Nasional Bunaken terhadap Pembangunan Daerah. Pertemuan Regional "Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia". NRM/EPIQ-USAID Konservasi Kawasan, Manado. Flamin A, Asnaryati. 2013. Potensi ekowisata dan strategi pengembangan Tahura Nipa-nipa, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 2 (2): 154-168. Gunawan H, Prasetyo LB. 2013. Fragmentasi hutan “Teori yang mendasari penataan ruang menuju pembangunan berkelanjutan”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Gunawan H, Sugiarti. 2015. Pelestarian keanekaragaman hayati ex situ melalui pembangunan taman kehati oleh sektor swasta; Lesson learned dari Group Aqua Danone Indonesia. Abstrak Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015. Haris A, Martin A, Saragih DR, et al. 2010. Kebudayaan Minahasa. Sekolah Tinggi Akuntasi Negara, Manado. Hidayat NM, Wibowo, Riswati F et al. 2012. Peningkatan daya saing tenaga kerja sektor agroindustri di Indonesia melalui sertifikasi. Jurnal Aplikasi Manajemen 10 (2): 357-370. Jppn.com. 2011. 600 Peneliti asing keluar masuk Indonesia. http://www.jpnn.com/read/2011/12/11/110896/600-Peneliti-AsingKeluar-Masuk-Indonesia- [28 Januari 2015]. Kaloh MRP. 2013. Peramalan kunjungan wisatawan internasional dan domestik ke Manado tahun 2015 dan 2016. Jurnal Ilmu Administrasi 9 (2): 1-6. Keppel G, Watling D. 2011. Ticking time bombs-current and potential future impacts of four invasive plant species on the biodiversity of lowland tropical rainforests in Southeast Viti Levu, Fiji. South Pac J Nat Appl Sci 29: 43-45. Kota Manado. 2011. Manado kota model ekowisata: daya tarik dan potensi ekonominya. http://www.manadokota.go.id/berita-1055manado-kota-model-ekowisata-daya-tarik-dan-potensiekonominya.html [28 Januari 2015]. Kota Manado. 2012. Visi dan misi. http://www.manadokota.go.id/page107-visidanmisi.html [28 Januari 2015]. Kumajas M. 2006. Inventarisasi dan pemetaan rawan longsor Kota Manado Sulawesi Utara. Forum Geografi 20 (2): 190-197. Laure S, Daehler C, Vauter F et al. 2014. Forest invasion by the african tulip tree (Spathodea campanulata) in the Hawaiian Islands: are seedlings shade-tolerant Jurnal Pacific Science. Juli 2014: 345-358.
Mardiastuti A, Kusrini MD, Mulyani YA et al. 2008. Arahan Strategis Konservasi Sspesies Nasional 2008-2018. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam-Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Meyer JY. 2012. Plant introduction, naturalization, and invasion in French Guiana (South America). J Bio Invas 14: 915-927. Meyer F. 2000. Preliminary review of the invasive plants in the pacific islands (sprep member countries). Prosiding Invasive Species in the Pacific: A Technical Review and Draft Regional Strategy. South Pacific Regional Environment Programme, Samoa. Minnich A. 2009. Insidious island invasion: an exploration of Falcataria moluccana stand ecology [Student Research Papers]. University of California, Los Angeles. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam. Prinando M. 2011. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Kampus IPB Bogor. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putra EH. 2014. Identifikasi daerah rawan longsor menggunakan metode smorph slope morphology di kota Manado. Jurnal Wasian 1 (1): 1-7. Riberio MC, Metzger JP, Martensen AC et al. 2009. The brazilian atlantic forest: how much is left, and how is the remaining forest distributed? implications for conservation. Biol Conserv 142 (9): 1141-1153. Saroyo. 2011. Konsumsi mamalia, burung, dan reptil liar pada masyarakat Sulawesi Utara dan aspek konservasinya. Jurnal Bioslogos 1 (1): 2531. Sharley GD. 2000. Toward a regional invasive species strategy. Prosiding Invasive Species in The Pasific: A Technial Review and Draft Regional Strategy. South Pacific Regional Environment Programme, Samoa. Sugiarti. 2015. Peran swasta dalam upaya konservasi flora Indonesia melalui pembangunan Ecology Park di Cibinong Science Center, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia. Abstrak Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015. Supriatna J. 2008. Melestarikan alam Indonesia.Yayasan Obor Indonesia, Yogyakarta. Tendean JC, Palar SW, Tolosang KD. 2014. Pengaruh jumlah wisatawan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Manado melalui pajak hotel sebagai intervening variable. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi 14 (3): 1-15. Tjitrosemitro S, Setyowati T, Susmianto A. 2013. Invasive plant species risk management for forestry sector in Indonesia. Proceeding Forest and Biodiversity International Conference. Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado, 5-6 Juli 2013. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. UPTD Tahura Gunung Tumpa. 2015. Kebijakan pembangunan Tahura Gunung Tumpa, Sulawesi Utara. Rapat Koordinasi Regional. Manado, 12 Januari 2015 Wahyuni NI, Suryawan A, Irawan A et al. 2012. Pembangunan plot sampling permanen (PSP) untuk mendukung sistem MRV stok karbon hutan di Propinsi Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado. Widyastuti A. 2010. Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada pelestarian fungsi lingkungan. Jurnal Ekosains 2 (3): 69-82. Wowor MM, Langi MA, Saroinsong FB et al. 2014. Kondisi biofisik Gunung Tumpa sebagai Taman Hutan Raya (Tahura). Ejournal Cocos 4(2): 15. Yudohartono T. 2008. Peranan taman hutan raya dalam konservasi sumber daya genetik: peluang dan tantangan. Informasi Teknis 6 (2): 1-6.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 721-726
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010406
Perbandingan komposisi dan keanekaragaman jenis yang berasal dari soil seed bank pada kawasan yang terganggu dan tidak terganggu erupsi 2010 di Gunung Merapi, Yogyakarta Comparison of species composition and diversity originating from soil seed bank on the disturbed and undisturbed regions by 2010 eruption in Mt. Merapi, Yogyakarta SUTOMO1,, DINI FARDILA2, ARIEF PRIYADI1 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. Tel. +62-368-2033211, ♥email:
[email protected] 2 Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah, Jl. Ir. H. Juanda, Tangerang Selatan, Banten
1
Manuskrip diterima: 5 Februari 2015. Revisi disetujui: 28 April 2015.
Sutomo, Fardila D, Priyadi A. 2015. Perbandingan komposisi dan keanekaragaman jenis yang berasal dari soil seed bank pada kawasan yang terganggu dan tidak terganggu erupsi 2010 di Gunung Merapi, Yogyakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 721726. Gunung Merapi merupakan salah satu dari gunung api teraktif di Indonesia yang berada di Pulau Jawa dan erupsi yang periodik telah menyebabkan kerusakan dan kematian berbagai jenis vegetasi di kawasan tersebut. Namun demikian, beberapa jenis tumbuhan memiliki kemampuan untuk beregenerasi, salah satunya melalui mekanisme seed bank. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman jenis biji yang berada di dalam tanah berupa seed bank di daerah yang terkena erupsi Gunung Merapi tahun 2010 (Kalikuning) jika dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena dampak erupsi (Kaliurang). Sampel tanah diambil sebanyak 12 titik pada masing-masing lokasi, dengan ukuran plot 20 cm x 20 cm x 5 cm, yang diambil secara acak yaitu di daerah Kalikuning dan Kaliurang. Selanjutnya dilakukan pengukuran kondisi tanah yang meliputi temperatur tanah, kelembaban tanah, dan pH tanah. Sampel tanah kemudian disimpan di dalam kantong kain dan disimpan di dalam screenhouse untuk dikecambahkan. Tanah sampel disebar di atas nampan plastik/bak semai berukuran 40 cm x 30 cm dengan kedalaman 2-2,5 cm. Nampan/bak semai ditempatkan secara acak di rumah kaca dan dipertahankan kelembaban tanahnya dengan disiram menggunakan sprayer setiap 1-2 hari sekali. Dari hasil analisis ordinasi diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (RANOSIM = 0.622) dalam hal komposisi jenis biji berupa seed bank antara kawasan yang terkena erupsi dengan kawasan yang tidak terkena erupsi. Di kawasan yang tidak terkena erupsi, jenis dari suku Asteraceae mendominasi, kemudian diikuti oleh jenis dari suku Poaceae. Sementara itu di kawasan yang terkena erupsi, komposisinya berupa Asteraceae yang diikuti oleh jenis dari suku Fabaceae, Cyperaceae, dan Poaceae. Namun demikian, keanekaragaman jenis biji berupa seed bank di lokasi yang terkena dampak erupsi lebih rendah dengan nilai indeks H‟ sebesar 1,59 jika dibandingkan dengan lokasi yang tidak terkena dampak erupsi dengan nilai indeks H‟ sebesar 1,64. Kata kunci: Erupsi 2010, Gunung Merapi, Kalikuning, Kaliurang, soil seed bank Sutomo, Fardila D, Priyadi A. 2015. Comparison of species composition and diversity originating from soil seed bank on disturbed and undisturbed regions by 2010 eruption in Mt. Merapi, Yogyakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 721-726. Merapi mountain is one of most active volcanos in Indonesia, which is located in Java island. The frequently occurred eruption has detrimental effect on vegetation in this area. However, there are some species which have capability to regenerate, and seed bank is one of the alternatives mechanism to preserve them. This research aimed to investigate the species composition and diversity in seed bank at disturbed region by 2010 eruption (Kalikuning) compared to undisturbed region (Kaliurang). Twelve (12) soil samples were collected randomly from each of the site .The plot size was 20 cm x 20 cm x 5 cm. Soil condition measurements were temperature, moisture content and pH. Subsequently samples were put in cloth bag and kept in a greenhouse for germination. Soil samples were sown in plastic pots/germination boxes holding 40 cm x 30 cm area and 2-2.5 cm depth. Plastic pots/ germinations boxes were placed randomly at the green house and moisture content of soil was adjusted by spraying water every 1-2 day(s). The analysis of result showed that there was a significant difference (RANOSIM = 0.622) in term of seed species composition between disturbed and undisturbed region. Species of Asteraceae family dominate at the undisturbed region following by species from Poaceae while, at the disturbed region, Asteraceae, Fabaceae, Cyperaceae and Poaceae are existed almost equivalently. However, species diversity in seed bank was less at the disturbed region, occupying H‟ index 1.59 compared to 1.64 in undisturbed counterpart Keywords: Kalikuning, Kaliurang, Mt. Merapi, soil seed bank, 2010 eruption
PENDAHULUAN Erupsi Gunung Merapi dengan tipe piroklastiknya dapat menyebabkan suksesi primer akibat endapan material
padatnya, namun erupsi tersebut juga dapat menyebabkan suksesi sekunder melalui embusan awan panas yang suhunya dapat mencapai 300°C dan membakar vegetasi yang dilewatinya (Sutomo dan Fardilla 2013). Kebakaran
722
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 721-726, Juli 2015
hutan ini dapat menyebabkan kerusakan dan kematian vegetasi. Namun demikian, kebakaran hutan akibat erupsi juga dapat menciptakan kondisi yang sesuai bagi perkecambahan biji dan tumbuhnya anakan-anakan baru secara alamiah dari jenis-jenis yang teradaptasi terhadap api (fire adapted species) dan jenis-jenis awal suksesi (early-succession species). Agregasi dari biji yang viabel yang terkubur di dalam tanah, di permukaan tanah, atau lapisan serasah, dan berpotensi mampu menggantikan tanaman dewasa disebut seed bank (Baker 1989). Tumbuhnya individu baru untuk membentuk suatu populasi tergantung pada seed bank yang berada di dalam tanah. Biji-biji tersebut akan tetap dorman sampai kondisi menguntungkan bagi perkecambahan dan pertumbuhan biji (Alvarez-Aquino et al. 2005). Individuindividu baru yang tumbuh dapat berasal dari biji yang terdapat di daerah itu sendiri ataupun berasal dari luar wilayah. Pemencaran biji-biji tersebut dapat terjadi dengan bantuan angin, air, ataupun perantaraan hewan (Epp 1987). Input seed bank biasanya ditentukan oleh seed rain. Dalam komunitasnya, biji yang berasal dari daerah di sekitarnya akan lebih mendominasi, namun dapat pula terjadi biji yang mendominasi adalah jenis yang berasal dari luar wilayah (Turner 2001). Angin, air, dan hewan merupakan faktor yang sangat penting dalam penyebaran biji ke luar wilayah. Tingkatan-tingkatan dalam proses penting ini selanjutnya akan menciptakan dinamika soil seed bank (Grime 1989). Kebakaran hutan dapat menyebabkan terjadinya suksesi ke arah pembentukan formasi vegetasi dengan jenis-jenis biji yang tahan api (Galı´ndez et al. 2013; Lemmenih dan Taketay 2006). Soil seed bank yang merupakan mode regenerasi alami vegetasi, dapat berpotensi untuk
digunakan sebagai alat dalam kegiatan rehabilitasi maupun restorasi lahan pascaerupsi (Sutomo et al. 2014; van der Valk dan Pederson 1989). Soil seed bank dapat memperkaya dan mempercepat proses suksesi sekunder pascaerupsi Gunung Merapi (Sutomo et al. 2014). Untuk mengetahui jenis-jenis biji yang terkubur di dalam tanah yang berpotensi menggantikan tanaman dewasa setelah dua tahun erupsi Gunung Merapi, perlu dilakukan penelitian tentang soil seed bank di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
BAHAN DAN METODE Gunung Merapi terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan letak geografis di antara 7° 32,5‟ LS dan 110° 26,5„ BT. Aktivitas gunung api ini terekam dengan baik sejak tahun 1768. Gunung Merapi dikenal sebagai gunung api teraktif di dunia. Karakteristik erupsinya bersifat aktif permanen, yaitu guguran kubah lava atau lava pijar yang membentuk aliran piroklastik (awan panas) atau nuee ardentes, yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan “wedhus gembel”. Peristiwa ini dipicu oleh tekanan dari dalam ataupun akibat gaya gravitasi yang bekerja pada kubah lava yang berada pada posisi tidak stabil (pada dasar kawah lama yang miring) (Bardintzeff 1984). Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2012 di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan di lokasi yang terkena gangguan vulkanik pascaerupsi Gunung Merapi tahun 2010 yaitu di Kalikuning, serta di daerah Kaliurang sebagai kawasan yang tidak terkena gangguan vulkanik (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel di kawasan Gunung Merapi yang ditunjukkan dengan titik-titik lingkaran berwarna merah dan hijau. Lingkaran hijau menandakan areal yang terkena dampak aliran piroklastik (Kalikuning). Adapun titik-titik lingkaran berwarna merah menandakan areal yang tidak terkena dampak erupsi (Kaliurang).
SUTOMO et al. – Komposisi dan keanekaragaman jenis soil seed bank
Sampel tanah diambil sebanyak 12 titik pada masingmasing lokasi, dengan ukuran plot 20 cm x 20 cm x 5 cm, yang diambil secara acak di daerah Kalikuning dan Kaliurang. Total seluruh sampel tanah yang diambil berjumlah 24 sampel tanah. Sampel tanah kemudian dimasukkan ke dalam kantong kain dan disimpan di dalam screenhouse untuk dikecambahkan. Setelah pengumpulan sampel, sampel tanah ditempatkan dalam screenhouse di bawah naungan jaring hitam kasar atau paranet di Kebun Benih Induk Ragunan. Intensitas cahaya di dalam screenhouse diatur berkisar 15-20% dengan sinar matahari penuh. Di dalam screenhouse, suhu udara juga diatur agar lebih rendah 0,4oC dibanding suhu di luar screenhouse. Empat sampel tanah dari masing-masing plot di-autoclave pada suhu 120oC selama 1 jam dan digunakan sebagai kontrol untuk mendeteksi kontaminasi melalui angin yang menyebarkan biji dari vegetasi di sekitar screenhouse. Tanah dari 20 sampel yang tersisa dari dua lokasi yang berbeda, disebar di atas 20 nampan plastik/bak semai berukuran 40 cm x 30 cm dengan kedalaman 2-2,5 cm. Nampan/bak semai ditempatkan secara acak di rumah kaca dan dipertahankan kelembaban tanahnya dengan cara disiram menggunakan sprayer setiap 1-2 hari sekali. Biji yang telah berkecambah kemudian diidentifikasi sampai tingkat jenis atau marga. Kecambah yang belum dapat diidentifikasi ditandai dan dibiarkan tumbuh sampai kecambah tersebut dapat diidentifikasi. Proses pengidentifikasian ini dilakukan setiap 2 minggu sekali pada setiap nampan/bak semai selama 5 bulan dari bulan Februari sampai Juni 2012. Proses identifikasi jenis biji menggunakan buku panduan Flora Pegunungan Jawa oleh Van Steenis (2006). Penghitungan Indeks Nilai Penting (INP) dilakukan untuk mengetahui dominansi jenis semai pada lokasi penelitian. Indeks nilai penting (INP) menggunakan parameter nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif yang dihitung untuk setiap jenis semai. Selanjutnya dilakukan pula penghitungan keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (H‟), dengan rumus:
H
∑
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi jenis semai yang berasal dari soil seed bank pada masingmasing lokasi, data kemudian dianalisis menggunakan Analysis of similarities (ANOSIM) untuk membandingkan komposisi jenis biji dari kedua lokasi. Untuk mengetahui pola ordinasi dari komposisi soil seed bank yang berada di lokasi sampel dilakukan analisis Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS) dengan menggunakan Software Ekologi PRIMER V.6 (Clarke et al. 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perkecambahan seed bank dari kedua lokasi pengambilan sampel tercatat sebanyak 1.439 individu yang berkecambah. Dari seluruh seed bank yang berkecambah teridentifikasi 31 jenis tumbuhan berbiji, 2
723
jenis tumbuhan paku, dan 1 jenis lumut. Empat jenis tumbuhan berbiji dan satu jenis lumut yang sama tumbuh pada kedua lokasi penelitian. Keempat jenis tumbuhan berbiji tersebut terdiri atas Eupatorium riparium (Asteraceae), Phylanthus urinaria (Euphorbiaceae), Saccharum spontaneum (Poaceae), dan Cyperus rotundus (Cyperaceae), sedangkan satu jenis lumut yaitu Marchantia polymorpha (Marchantiaceae) atau biasa disebut dengan lumut hati (Hepaticae). Dominansi jenis-jenis biji yang terdapat di dalam tanah berupa seed bank di daerah Kalikuning dan Kaliurang, dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan INP masing-masing jenis biji yang tersaji dalam Tabel 1. Jenis biji yang dominan adalah jenis biji yang memiliki nilai INP tertinggi. Sebanyak 31 jenis biji yang diperoleh termasuk ke dalam 16 suku tumbuhan. Di daerah Kaliurang, jumlah suku dari jenis biji yang tumbuh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah suku di daerah Kalikuning (Gambar 2). Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener jenis biji di daerah Kalikuning (1,59) lebih rendah dibandingkan dengan jenis biji di lokasi Kaliurang (1,64). Berdasarkan nilai indeks tersebut, keanekaragaman pada kedua lokasi pengambilan sampel tersebut (Kalikuning dan Kaliurang) termasuk dalam kategori sedang, karena kedua lokasi tersebut memiliki nilai H‟ yaitu 1≤H‟≤3. Keanekaragaman tumbuhan juga dapat terlihat dari persentase keanekaragaman habitus jenis biji yang berkecambah pada masing-masing lokasi. Habitus dari masing-masing jenis biji yang berasal dari seed bank pada kedua daerah pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat persentase dari habitus jenis biji yang tumbuh pada proses perkecambahan. Tabel 1. Sepuluh jenis biji dengan nilai INP tertinggi di daerah Kalikuning dan Kaliurang, kawasan TN Gunung Merapi Σ Individu
KR (%)
FR (%)
INP (%)
Kalikuning Borreria occimoides Cyperus rotundus Cyperus flavidus Ageratum conyzoides Eupatorium riparium Lactuca rostrata Oxalis corniculata Crotalaria micans Polygala paniculata Arachis hypogeal
73 15 37 35 5 6 4 3 2 1
39,67 8,15 20,11 19,02 2,72 3,26 2,17 1,63 1,09 0,54
21,85 18,73 6,24 6,24 12,48 9,36 6,24 3,12 3,12 3,12
61,52 26,88 26,35 25,27 15,20 12,62 8,42 4,75 4,21 3,66
Kaliurang Eupatorium riparium Cardamine hirsuta Saccharum spontaneum Spermacoce mauritiana Oplismenus compositus Eupatorium odoratum Cyperus rotundus Eupatorium inulifolium Maesa tetrandra Sida rhombifolia
207 50 9 31 14 15 4 8 6 6
55,05 13,30 2,39 8,24 3,72 3,99 1,06 2,13 1,60 1,60
19,58 6,53 8,70 2,17 6,53 4,35 6,53 4,35 4,35 4,35
74,64 19,83 11,10 10,42 10,25 8,34 7,59 6,48 5,95 5,95
Nama Ilmiah
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 721-726, Juli 2015
724
Kalikuning
Urticaceae
Scrophulariaceae
Rubiaceae
Polygalaceae
Poaceae
Piperaceae
Oxalidaceae
Myrsinaceae
Moraceae
Melastomataceae
Malvaceae
Fabaceae
Euphorbiaceae
Cyperaceae
Brassicaceae
Asteraceae
6 5 4 3 2 1 0
Kaliurang
Gambar 2. Grafik perbedaan komposisi famili (suku) tumbuhan yang berasal dari soil seed bank di areal pengambilan sampel (Kalikuning dan Kaliurang) kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
Kalikuning (13 jenis)
Kaliurang (22 jenis)
0%
8%
38% 50% 62%
Herba
Semak A
Pohon
42%
Herba
Semak
Pohon
B
Gambar 3. Persentase perbandingan keanekaragaman habitus jenis biji di daerah Kalikuning dan Kaliurang, kawasan TN Gunung Merapi
Kalikuning
Gambar 4. Hasil analisis ordinasi NMDS dengan data kelimpahan dan komposisi jenis tumbuhan dari soil seed bank pada masingmasing lokasi pengambilan sampel.
SUTOMO et al. – Komposisi dan keanekaragaman jenis soil seed bank
Persentase habitus jenis biji dari urutan paling banyak pada kedua lokasi adalah jenis biji yang berasal dari habitus herba kemudian semak dan paling sedikit pohon. Pada sampel yang diambil dari daerah Kalikuning, tidak ada biji dari jenis pohon yang berkecambah. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Honda (2008) bahwa jenis-jenis tumbuhan berumur pendek cenderung lebih banyak mengalokasikan biji dalam seed bank dibandingkan jenis tumbuhan tahunan. Berdasarkan grafik ordinasi NMDS (Gambar 4), terlihat bahwa terjadi pengelompokan di antara kedua lokasi. Gambar tersebut juga memperlihatkan adanya pemisahan titik-titik antara lokasi Kalikuning dengan lokasi Kaliurang. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan dalam kelimpahan maupun komposisi jenis biji pada kedua lokasi penelitian. Berdasarkan hasil uji ANOSIM yang ditunjukkan pada Gambar 4, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap komposisi jenis biji antarlokasi di daerah Kalikuning dengan Kaliurang. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat signifikansi p<0,001 dengan taraf perbedaan R hampir 0,7. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat variasi yang besar antara kedua lokasi penelitian dalam hal karakteristik habitat dan komposisi serta kelimpahan jenis biji yang terdapat di dalamnya. Jenis biji di daerah Kaliurang lebih beragam daripada Kalikuning, hal ini diduga dikarenakan di daerah Kaliurang masih banyak terdapat pohon induk. Keberagaman jenis biji di daerah Kaliurang diduga juga disebabkan oleh adanya hewan-hewan yang berperan sebagai pemencar biji seperti burung, kera, dan tupai melalui kotorannya (Calviño‐Cancela et al. 2006). Jika tidak ada hewan yang memencarkan biji, biji dari tumbuhan induk akan jatuh dan tumbuh di sekitar pohon induk. Pada lokasi Kalikuning yang terkena langsung dampak erupsi Gunung Merapi, jenis biji yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan jenis biji di daerah Kaliurang. Hal ini diduga disebabkan akibat letusan Gunung Merapi yang menyemburkan material abu vulkanik dengan disertai awan panas sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian massal bagi berbagai jenis vegetasi pohon induk di kawasan Kalikuning. Oleh karena itu, hanya jenis biji yang teradaptasi terhadap api (fire adapted species) dan jenis awal suksesi (early-succession species) yang dapat tumbuh menjadi anakan-anakan baru secara alamiah (Cayuela et al. 2006). Kondisi tanah yang terdapat pada kedua lokasi penelitian juga sangat berpengaruh terhadap kemampuan perkecambahan biji yang terdapat di dalam tanah. Biji yang viabel akan mampu berkecambah apabila kondisi lingkungannya sesuai (Honda 2008). Lokasi Kaliurang memiliki kondisi yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan kondisi di Kalikuning. Suhu tanah dan pH tanah masing-masing sebesar 20,1oC dan 6,8 dengan kelembaban tanah sebesar 35,2% yang ditunjukkan pada hasil rata-rata pengukuran faktor fisik di Kaliurang. Sementara itu, hasil rata-rata pengukuran faktor fisik di Kalikuning yaitu suhu tanah dan pH tanah masing-masing sebesar 21,6 oC dan 7,0 dengan kelembaban tanah sebesar 14,2%.
725
Persentase habitus jenis biji terbanyak di lokasi Kalikuning adalah jenis biji yang berasal dari habitus herba. Hal ini diduga biasanya karena hutan yang baru mengalami suksesi ditandai dengan adanya tumbuhan pionir dan tumbuhan kecil lainnya seperti herba dan semak (del Moral et al. 2010). Hal ini diduga karena pada lokasi Kalikuning sudah banyak biji dari habitus herba dan semak yang telah tumbuh terlebih dahulu di lapangan, serta didukung dengan kondisi lapangan yang terbuka yang menyebabkan tingginya kecepatan angin sehingga memungkinkan penyebaran biji melalui angin. Pada kedua daerah lokasi penelitian yaitu Kalikuning dan Kaliurang, persentase habitus lebih banyak berupa tanaman perdu, salah satunya adalah Eupatorium riparium atau biasa disebut dengan nama “irengan”. Hal ini dapat disebabkan karena biji jenis ini merupakan jenis invasif yaitu jenis yang memiliki kemampuan untuk dapat berkembang pesat, diduga biji jenis tumbuhan ini memiliki pengaruh penyerapan nutrisi yang besar di dalam tanah. Jenis tumbuhan pionir, terutama jenis eksotis, umumnya memiliki karakteristik invasif yang tidak diinginkan yang dapat merusak ekosistem. Eupatorium riparium telah terbukti memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih dominan sehingga dapat menghambat pertumbuhan jenis tumbuhan lain (Kunwar 2003).
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Angga, mahasiswa Jurusan Biologi, FST UIN Jakarta, dan Gunawan dari Taman Nasional Gunung Merapi, atas bantuannya dalam penelitian ini. Penelitian ini didukung oleh Rufford Foundation for Conservation, 2012.
DAFTAR PUSTAKA Alvarez-Aquino C, Williams-Linera G, Newton AC. 2005. Disturbance effects on the seed bank of Mexican cloud forest fragments. Biotropica 37: 337-342. Baker HG. 1989. Some aspects of the history of seed banks. In: Leck MA, Parker VT, Simpson RL (eds). Ecology of Soil Seed Banks. Academic Press, California. Bardintzeff JM. 1984. Merapi volcano (Java, Indonesia) and Merapi-type nuees ardentes. Bull Volcanol 47: 433-446. Calviño‐cancela M, Dunn R, van Etten EJ, Lamont B. 2006. Emus as non standard seed dispersers and their potential for long distance dispersal. Ecography 29: 632-640. Cayuela L, Golicher DJ, Benayas J et al. 2006. Fragmentation, disturbance and tree diversity conservation in tropical montane forests. Appl Ecol 43: 1172-1181. Clarke KR, Somerfield PJ, Gorley RN. 2008. Testing of null hypotheses in exploratory community analyses: similarity profiles and biotaenvironment linkage. J Exp Mar Biol Ecol 366: 56–69. del Moral R, Saura JM, Emenegger JN. 2010. Primary succession trajectories on a barren plain, mount St. Helens, Washington. J Veg Sci 1: 1-11. Epp GA. 1987. The seed bank of Eupatorium odoratum along a successional gradient in a tropical rain forest in Ghana. Trop Ecol 3: 139-149. Gali´ndez G, Ortega-baes P, Scopel AL, Hutchings MJ. 2013. The dynamics of three shrub species in a fire-prone temperate savanna: the interplay between the seed bank, seed rain and fire regime. Plant Ecol 214: 75-86.
726
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 721-726, Juli 2015
Grime JP. 1989. Seed bank in ecological perspective. In: Leck MA, Parker VT, Simpson RL (eds). Ecology of Soil Seed Banks. Academic Press, California. Honda Y. 2008. Ecological correlations between the persistence of the soil seed bank and several plant traits, including seed dormancy. Plant Ecol 196: 301-309. Kunwar RM. 2003. Invasive alien plants and Eupatorium: biodiversity and livelihood. Him J Sci 1: 129-133. Lemmenih M, Taketay D. 2006. Changes in soil seed bank composition and density following deforestation and subsequent cultivation of a tropical dry Afromontane forest in Ethiopia. Trop Ecol 47: 1-12.
Sutomo, Fardilla D. 2013. Floristic composition of groundcover vegetation after the 2010 pyroclastic fire on mount Merapi. J Manaj Hut Trop 19: 54-62. Sutomo, van Etten E, Fardilla D. 2014. Changes in soil seed bank species composition following the 2010 eruption of mount Merapi volcano, Yogyakarta Indonesia. In: Mucina L, Price J, Kalwij JM (eds). Biodiversity & Vegetation: Patterns, Processes, Conservation. Int Assoc for Veg Sci - Kwongan Foundation, Perth. van der Valk AG, Pederson RL. 1989. Seed banks and the management and restoration of natural vegetation. In: Leck MA, Parker VT, Simpson RL (eds). Ecology of Soil Seed Banks. Academic Press, California.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 727-731
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010407
Populasi dan potensi Ploiarium alternifolium (Theaceae) di hutan gambut pasca terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah Population and potential of Ploiarium alternifolium (Theaceae) in the post fire peat forests of Kalampangan, Central Kalimantan INGE LARASHATI SUBRO Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46 Cibinong 16911, Bogor, Jawa Barat. Telp. +62-21-8765066, Fax. +62-21 8765059, ♥e-mail:
[email protected] Manuskrip diterima: 27 November 2014. Revisi disetujui: 22 April 2015.
Subro IL. 2015. Populasi dan potensi Ploiarium alternifolium (Theaceae) di hutan gambut pasca terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 727-731. Indonesia memiliki lahan basah termasuk hutan rawa gambut terluas di antara negara-negara tropis dunia, yaitu sekitar 21 juta hektar yang tersebar terutama di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna unik dan langka. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan telah menyebabkan kerusakan dan punahnya beberapa jenis hewan dan tumbuhan yang belum sempat diketahui keberadaan dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Hutan gambut yang mengalami kebakaran akan segera melakukan regenerasi dan ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan perintis sekunder seperti Macaranga, Anthocephalus, Shorea, Dryobalanops, dan Cratoxylum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi dan keberadaan jenis-jenis tumbuhan berpotensi yang dilakukan dengan metode petak kuadrat dan eksploratif terhadap tumbuhan yang sedang berbunga, berbuah, dan jenis-jenis yang melimpah di sekitar kawasan hutan pasca terbakar. Berdasarkan hasil analisis data diketahui Ploiarium alternifolium memiliki populasi dan persebaran yang sangat melimpah. Jenis ini merupakan sumber pangan lokal yang perlu dilestarikan, berpotensi untuk dikembangkan, dan dijadikan produk olahan dalam mendukung ketahanan pangan keluarga. Kata kunci: hutan rawa gambut, Kalimantan Tengah, Ploiarium alternifolium
Subro IL. 2015. Population and potential of Ploiarium alternifolium (Theaceae) in the post fire peat forests of Kalampangan, Central Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 727-731. Indonesia has wetlands, include the largest peat swamp forests among the tropical countries, which is the size of about 21 million hectares and are scattered mainly in Kalimantan, Sumatra and Papua. Most peat lands are still covered by forest, and are habitats for many species of flora and fauna that is unique and rare. Fires in Kalimantan caused the damage and the extinction of some species of animals and plants that have not been known their existence and moreover their function for human life. Peat forest affected by fire will soon regenerate and become secondary forest with the pioneering species such as Macaranga, Anthocephalus, Shorea, Dryobalanops and Cratoxylum. This study aimed to determine the population and the existence of potential species which was done by the square plots and the exploratory method on the flowering and fruiting plants, and also the abundant species in the surrounding post fire peat forests. Based on the analysis of data, population and distribution Ploiarium alternifolium was very abundant. This species was a source of local food that need to be preserved, has the potential to be developed and used as the processed products in favoring of family food security. Keywords: Central Kalimantan, peat swamp forest, Ploiarium alternifolium
PENDAHULUAN Indonesia memiliki sekitar 47 jenis ekosistem alami, mulai dari hutan basah dataran rendah sampai alpin es di pegunungan Papua dan berbagai tipe ekosistem lahan basah, termasuk di antaranya adalah hutan rawa gambut (Simbolon 2010). Lahan basah termasuk hutan rawa gambut di Indonesia diperkirakan memiliki luas sekitar 13 juta hektar. Perkiraan tersebut merupakan 50% dari luas areal lahan gambut tropis yang ada di dunia (KNPELB 2004). Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa jaringan tumbuhan/vegetasi alami pada masa lampau. Tanah gambut biasanya terbentuk
di daerah cekungan atau depresi di belakang tanggul sungai (backswamps) yang selalu jenuh air dengan drainase terhambat sampai sangat terhambat sehingga proses dekomposisi terjadi sangat lambat. Tegakan hutan pada hutan rawa gambut ini selalu hijau dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Hutan rawa gambut di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah menunjukkan adanya tiga lapisan kanopi hutan. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan rawa gambut di antaranya adalah Glutta wallichii yang merupakan jenis pohon yang paling dominan di kawasan ini, kemudian diikuti oleh Neoscortechinia philippinensis, Gonystyllus bancanus, dan Shorea fallax (Mirmanto 2000).
728
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 727-731, Juli 2015
Hutan rawa gambut Kalampangan merupakan kawasan hutan sisa tebang pilih pada tahun 1980-an. Daerah ini juga termasuk ke dalam Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) di Kalimantan Tengah berdasarkan Keputusan Presiden No. 93 Tahun 1992 yaitu suatu mega proyek yang mengubah hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian khususnya padi mencapai sekitar 1,4 juta ha. Pada awalnya, PLG merupakan salah satu upaya pengamanan pangan nasional, diharapkan dalam lima tahun proyek ini dapat memproduksi 5 juta ton beras per tahun. Pembangunan mega proyek PLG dilaksanakan dengan jalan membuka kawasan hutan, menebangi pohon-pohon penyusun hutan rawa gambut, mengeringkan lahan gambut, serta dibuatnya sistem pengairan dengan menggali dan membangun kanal-kanal dengan berbagai ukuran lebar antara 8-32 m dan panjang total mencapai 4.470 km yang terhampar di antara tiga sungai yaitu Sungai BaritoKapuas-Kahayan, Provinsi Kalimantan Tengah (Simbolon 2010) yang pada akhirnya berdampak pada terdegradasinya hutan rawa gambut. Gangguan terhadap hutan tropika basah sangat tinggi, kebakaran hutan, konversi lahan, dan penebangan liar merupakan gangguan yang terjadi di hutan rawa gambut Kalampangan. Lahan gambut mengalami penurunan potensi, kehilangan flora dan fauna, serta penurunan permukaan air yang mengakibatkan tanah
gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Pada tahun 2002 terjadi kebakaran di hutan rawa gambut Kalampangan yang berdampak pada kerusakan dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang belum sempat diketahui keberadaan dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan tumbuhan bawah berpotensi, Ploiarium alternifolium (Vahl) Melchior (Theaceae), setelah hutan tersebut mengalami pada tahun 1997, 2002, dan 2006.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada tahun 2007 di kawasan hutan gambut pasca terbakar Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, yang terletak sekitar 30 km di sebelah tenggara pusat kota Palangka Raya (Gambar 1). Secara geografis, daerah ini terletak pada 2º 20´ 32˝ LS dan 114º 02´ 20˝ BT-2º 20´ 32˝ LS dan 114º 02´ 23˝ BT. Daerah ini sebagian besar merupakan hutan rawa gambut dengan ketebalan gambut >3 meter dan pH tanah antara 3,3 sampai dengan 3,5. Hutan rawa gambut di lokasi ini telah mengalami sekurang-kuranya tiga kali kebakaran.
Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan hutan gambut pasca terbakar Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah
SUBRO – Ploiarium alternifolium di hutan gambut pasca terbakar
Cara kerja Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode petak kuadrat yaitu dengan membuat petak seluas satu hektar kemudian dibagi lagi menjadi 100 anak petak berukuran 10 m x 10 m. Seluruh pohon berdiameter >10 cm dicatat kemudian pada anak petak tersebut dibuat sub anak petak berukuran 5 m x 5 m untuk pencacahan anakan pohon berdiameter antara 2-9,9 cm. Pengukuran diameter pohon dan anakannya dilakukan pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Pencacahan semai dilakukan pada 100 anak petak pada petak-petak kecil ukuran 1 m x 1 m. Untuk mendapatkan data yang maksimal maka dilakukan penjelajahan di luar petak kajian yaitu di lokasi yang diduga sebagai habitat P. alternifolium yang masih dalam satu kawasan dengan cara mengoleksi tumbuhan yang sedang berbunga serta jenis-jenis yang melimpah di sekitarnya kemudian dilakukan pemotretan (Rugayah 2004). Pengambilan material dilakukan dengan mengikuti jalan setapak, kadang-kadang harus membuat jalan rintisan. Contoh-contoh herbarium dikumpulkan sebagai spesimen bukti ekologi untuk selanjutnya diidentifikasi. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan cara Cox dan GreighSmith. Parameter kuantitatif dalam penelitian ini meliputi kerapatan, frekuensi, dan dominansi. Penjumlahan dari tiga variabel tersebut merupakan nilai yang digunakan untuk menentukan Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting sering digunakan karena memudahkan dalam interpretasi hasil analisis vegetasi. Selain itu, analisis untuk mendapatkan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dan Indeks Kemerataan Jenis (E’) juga dilakukan. Metode untuk mendapatkan kegunaan dan potensi P. alternifolium dilakukan melalui wawancara dengan pemandu lapangan dan berdasarkan buku-buku referensi hasil kajian para peneliti.
729
HASIL DAN PEMBAHASAN Ploiarium alternifolium (Vahl) Melchior (Gambar 2) merupakan tumbuhan yang termasuk dalam suku Theaceae. Di Indonesia tumbuhan ini dikenal dengan bermacammacam nama, seperti riang-riang (Sumatera), asam-asam, bingir (Kalimantan), dan soma (Kalimantan Barat). Ploiarium alternifolium memiliki daerah penyebaran dari Indo-China, Semenanjung Malaysia, Singapura, dan Indonesia terutama di daerah rawa Kalimantan dan Sumatera Selatan. Ploiarium alternifolium merupakan tumbuhan berperawakan pohon kecil yang memiliki tinggi antara 10-13 m, dapat dikenali dari akar tunjangnya yang kecil, kulit kayunya yang tebal, berwarna merah tua kecokelatan dan retak-retak baik memanjang maupun melintang, bercabang, sepanjang pinggiran daunnya yang halus memiliki panjang antara 7-10 cm, serta memiliki bunga yang besar dan berwarna putih dengan kelopak bunga yang pendek. Terdapat benang sari yang banyak di dalam kelopak bunga, berbentuk batang, serbuk sari, berbentuk memanjang antara 1-1,2 cm. Buah kapsul dalam 5 bagian, di dalamnya terdapat banyak biji. Ekologi Ploiarium alternifolium Ploiarium alternifolium berupa pohon kecil yang biasanya tumbuh di tempat terbuka, semak belukar, atau hutan, seperti hutan Dipterocarpaceae terganggu dan campuran, hutan kerangas, dan hutan rawa gambut. Di hutan rawa gambut, P. alternifolium dapat dijumpai hingga pada ketinggian 500 m dpl. Jenis ini banyak tumbuh pada tanah aluvial dan tanah berpasir. Selain itu, P. alternifolium juga tumbuh di lereng bukit dan lapangan terbuka yang memiliki struktur tanah keras dan liat. Di Palembang, P. alternifolium biasa tumbuh bersama jenis Tristania obovata di hutan rawa gambut masin (Heyne 1987).
A Gambar 2. A. Ploiarium alternifolium, B. Nepenthes ampullaria Jack.
B
730
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 727-731, Juli 2015
Di dalam petak kajian seluas 1 ha tercatat sebanyak 10 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 7 marga dan 7 famili. Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang bertahan hidup antara lain Nepenthes ampullaria (Nepenthaceae), Blechnum orientale (Blechnaceae), Ilex pleobrachiata, dan Stenochlaena palustris (Stenochlaenaceae). Sebanyak 70% jenis memiliki frekuensi rendah (FR≤10), kondisi demikian menggambarkan tingkat heterogenitas tumbuhan yang cukup tinggi. Tiga jenis memiliki frekuensi >10 yaitu S. palustris, B. orientale, dan I. pleobrachiata. Empat jenis memiliki kerapatan tertinggi yaitu S. palustris dengan kerapatan (KR = 63,8), kemudian diikuti oleh B. orientale (KR = 11,5), I. pleobrachiata (KR = 9,32), dan N. ampullaria (KR = 7,12). Jenis-jenis yang memiliki jumlah individu relatif sedikit antara lain kelompok Tectaria (group 1) dengan kerapatan sebesar 4,66, Nepenthes gracilis (KR = 0,55), Tectaria (group 2) (KR = 1,1), Orchidaceae (KR = 0,55), Nepenthes sp.1 (KR = 2,0), dan P. alternifolium (KR = 0,82). Berdasarkan nilai penutupan, S. palustris tergolong tinggi yaitu mencapai DR = 67,6, diikuti oleh B. orientale (DR = 12,7) dan I. pleobrachiata (DR = 5,51), serta jenis-jenis lain masing-masing dengan nilai penutupan <5. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1. Ploiarium alternifolium merupakan jenis yang berhasil diamati dan dicacah, tercatat tiga individu yang memiliki nilai penting <10 yaitu hanya mencapai (NP = 5,6). Kerusakan hutan gambut di kawasan Kalampangan yang terjadi akibat kebakaran menyebabkan perubahan floristik atau hilangnya spesies. Persentase penutupan jenis dari hasil penelitian pada tahun 2004 dan 2007 dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat tiga jenis yang masih ditemukan pada tahun 2007 yaitu P. alternifolium, S. palustris, dan Nephrolepis sp. (Tabel 2). Kebakaran hutan di lahan gambut berdampak negatif terhadap jenis-jenis tumbuhan primer. Tidak hanya tumbuhan yang mengalami kerusakan, tetapi juga lapisan tanah gambut yang semula tergenang air menjadi kering serta akar tumbuhan menjadi hangus dan mati. Kondisi tersebut mengakibatkan kerusakan mencapai lebih dari 60% individu yang mati di hutan pasca terbakar Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Yusuf 2000). Nepenthes ampullaria merupakan jenis yang melimpah di hutan gambut pasca terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah (Gambar 2).
Potensi Ploiarium alternifolium Menurut Marfu'ah (2008), di Cagar Alam Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat P. alternifolium sering disebut bingir, berupa pohon berukuran kecil hingga sedang. Batang kayunya digunakan sebagai stiger atau penyangga rumah. Secara empiris, daunnya digunakan sebagai sampo dan bumbu ikan, sedangkan daun mudanya dilalap sebagai sayur dan dijadikan obat diare. Di Sarawak, akar pohon P. alternifolium dicampurkan ke dalam “ubat periuk” bagi ibu selepas bersalin. Selain itu, tumbuhan ini juga dapat ditanam sebagai pohon hias karena memiliki bunga yang sangat indah dan dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur (Blackham et al. 2014). Hasil penelitian Wibowo (2014) menunjukkan bahwa skrining fitokimia dari akar tumbuhan P. alternifolium mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, polifenol, dan saponin. Kulit batang P. alternifolium mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, polifenol, dan triterpenoid. Kandungan total fenol dari ekstrak kulit batang dan akar masing-masing sebesar 2,15 µg TAE/mg dan 1,99 µg TAE/mg. Aktivitas antioksidan pada ekstrak kulit batang dan akar masing-masing sebesar 243,524 ppm dan 300,576 ppm, sedangkan vitamin C sebesar 5,372 ppm. Uji sitotoksik pada ekstrak kulit batang dan akar masing-masing sebesar 489,465 µg/mL dan 523,464 µg/mL. Sementara itu, Kuncari (2011) dalam penelitiannya mengisolasi kandungan kimia pada kulit batang dan skrining fitokimia pada daun soma. Dari penelitian tersebut diperoleh lemak, saponin, tanin, dan gula pereduksi (monosakarida dan disakarida), sedangkan senyawa yang tidak terdeteksi antara lain minyak atsiri, sterol, triterpenoid, alkaloid basa, garam alkaloid, glikosida steroid, dan flavonoid. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa P. alternifolium berpotensi sebagai obat antikanker. Hal ini juga didukung oleh penelitian Nee (2001) yang telah melakukan uji aktivitas sitotoksik pada ekstrak kulit batang fraksi n-heksan, etil asetat, dan etanol serta mengisolasi kandungan kimia pada kulit batang soma yaitu emodin, ploiarikuinon A, 1,8-dihidroksi-3-metil-6metoksi antrakuinon, 3-β-benzoiloksiolean-11-en-13-β, 28olid, dan euxanmodin C.
Tabel 1. Hasil analisis data frekuensi relatif (FR), kerapatan relatif (KR), dominansi relatif (DR), nilai penting (NP), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan (E’) jenis-jenis tumbuhan di hutan rawa gambut pasca terbakar tahun 2002 di Kalampangan, Kalimantan Tengah Spesies
Famili
FR
KR
DR
NP
H'
E'
Stenochlaena palustris (Burm. f.) Bedd. Blechnum orientale L. Ilex pleobrachiata Loes Nepenthes ampullaria Jack Tectaria group 1 Nepenthes gracilis Korth Tectaria group 2 Orchids Ploiarium alternifolium (Vahl) Melchior Nepenthes sp.1 Total
Stenochlaenaceae Blechnaceae Aquifoliaceae Nepenthaceae Tectaria group Nepenthaceae Tectaria group Orchidaceae Theaceae Nepenthaceae
36 24 12 4 4 4 4 4 4 4 100
63.8 11.5 9.32 7.12 4.66 0.55 1.1 0.55 0.82 2 100
67.6 12.7 5.51 3.68 4.9 1.84 0.98 1.23 0.74 0.74 100
167.4 48.2 26.83 14.8 13.56 6.39 6.08 5.78 5.56 5.29 300
-0.3678 -0.3425 -0.2544 -0.1288 -0.1288 -0.1288 -0.1288 -0.1288 -0.129 -0.1288 -1.866
-0.15973 -0.14875 -0.1105 -0.05592 -0.05592 -0.05592 -0.05592 -0.05592 -0.0559 -0.05592 -0.8104
SUBRO – Ploiarium alternifolium di hutan gambut pasca terbakar
731
Tabel 2. Daftar jenis-jenis tumbuhan berdasarkan persentase penutupan di hutan rawa gambut pasca terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah Tahun 2004 *) Persentase Spesies penutupan (%) Adenanthera paponina L. 2 Blechnum orientale L. 9.44 Cratoxylon arborencens Bl. 0.5 Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser 12 Ctenolophon parvifolius Oliv 4 Ficus sp. 1.79 Melastoma malabatricum (L.) Smith. 0.5 Nephrolepis sp. 2.88 Ploiarium alternifolium (Vahl) Melchior 1 Rubiaceae 3.83 Stenochlaena palustris (Burm. f.) Bedd. 24.08 Syzigium sp. 2 Keterangan: *) Simbolon (2004), **) Larashati (2012)
Hasil analisis menunjukkan populasi tumbuhan P. alternifolium masih ditemukan di hutan rawa gambut pasca kebakaran pada tingkat semai dan dewasa meskipun dalam jumlah individu yang relatif sedikit yaitu hanya ditemukan tiga individu di dalam petak kajian. Namun dengan metode eksplorasi dan penjelajahan, tumbuhan P. alternifolium sangat melimpah di kawasan hutan pasca terbakar dan tampak memiliki persebaran yang meluas. Kulit batang dan akar P. alternifolium berpotensi sebagai bahan obat antikanker. Dibandingkan dengan bagian akar, kulit batangnya memiliki kemampuan aktivitas antioksidan dan sifat sitotoksik yang lebih tinggi. P. alternifolium tidak hanya berpotensi sebagai bahan baku obat-obatan, namun juga bermanfaat sebagai obat tradisional, bahan pangan, dan bahan bangunan. Oleh karena itu agar dapat dimanfaatkan secara maksimal, P. alternifolium perlu dijaga kelestariannya baik habitat, dalam hal ini hutan rawa gambut, maupun seluruh vegetasi yang ada di kawasan hutan yang mutlak memerlukan perhatian dari pihak-pihak terkait di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Blackham GV, Webb EL, Corlett RT. 2014. Natural regeneration in a degraded tropical peatland, Central Kalimantan, Indonesia: Implications for forest restoration. For Ecol Manag 324: 8–15. CCFPI [The Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia]. 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands InternationalIndonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Faskalia, Wibowo MA. 2014. Skrining fitokimia, uji aktivitas, antioksidan dan uji sitotoksik ekstrak metanol pada akar dan batang soma (Ploiarium alternifolium). Jurnal Kimia Khatulistiwa 3 (3): 1-6. Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Kent M, Paddy C. 1992. Vegetation description and analysis: a practical approach. Belhaven Press, London. KNPELB [Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah]. 2004. Strategi nasional dan rencana aksi pengelolaan lahan basah Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Tahun 2007 **) Spesies Ilex pleiobrachiata Loes. Nepenthes ampullaria Jack Nepenthes sp.1 Nepenthes sp.2 Nephrolepis sp. Orchidaceae Ploenarium alternifolium (Vahl) Melchior Pteridophyta Pteridophyta Stenochlaena palustris (Burm. f.) Bedd.
Persentase penutupan (%) 5.51 3.67 1.83 0.73 12.74 1.22 0.73 4.9 0.98 67.64
Kuncari ES. 2011. Perbandingan kandungan kimia jengitri dan riang-riang dari suku Theaceae yang tumbuh di Kalimantan Timur. [Laporan]. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Larashati I. 2012. Analysis of the under shrubs in peat swamp forest. Prosiding Seminar Nasional Proses Biologi dan Kimia dalam Industri yang Berwawasan Lingkungan. Peran serta dalam Peningkatan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal. Universitas Nusa Bangsa bekerjasama dengan: Himpunan Kimia Indonesia Cabang JabarBanten dan Perhimpunan Biologi Cabang Bogor. 8 Desember 2011. Mansur M. 2010. Analisis populasi Nepenthes spp. di hutan rawa gambut, Kalampangan, Kalimantan Tengah. Jurnal Teknik Lingkungan 11 (1): 33-38. Marfu’ah W. 2008. Keragaman potensi tumbuhan berguna di Cagar Alam Mandor, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5 (3): 251-266. Mirmanto E. 2000. Ekologi hutan gambut di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Berita Biologi 5 (3): 331-339. Mirmanto E. 2005. Pengelolaan hutan gambut dan hutan pasca kebakaran: Laju penutupan tumbuhan bawah di hutan rawa gambut Sebangau, Kalimantan Tengah. [Laporan Teknik]. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1964. Aims and methods of vegetation Ecology. John Willey & Sons, New York. Nee NK. 2001. Bioactive compounds from Ploiarium alternifolium (Theaceae) and Callophyllum mucigerum (Guttiferae). [Thesis]. Universiti Putra Malaysia, Kuala Lumpur. Rugayah, Retnowati A, Windadri FI, Hidayat A. 2004. Pengumpulan data taksonomi. Dalam: Rugayah, Widjaja EA, Praptiwi (eds). Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Pusat Penelitian BiologiLIPI, Bogor. Schmidt FH, Ferguson JA. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhandelingen, No. 42. Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Simbolon H. 2004. Tumbuhan bawah hutan rawa gambut KelampanganKalimantan Tengah. [Laporan Teknik]. Proyek Inventarisasi dan Karakterisasi Sumberdaya Hayati, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Simbolon H. 2010. Ekologi hutan hujan tropika Indonesia: Hutan rawa gambut dan perubahan iklim global. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ekologi dan Evolusi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Whitmore TC. 1990. An introduction to tropical rainforests. Clarendon Press, Oxford, UK. Yusuf R. 2000. Analisis vegetasi dan degradasi jenis tumbuhan hutan gambut setelah kebakaran di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Berita Biologi 5 (3): 277-283.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 732-737
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010408
Pengelolaan hutan rakyat pada lahan sempit Private forest management in narrow land MARIA PALMOLINA Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO Box 5, Ciamis 46201, Jawa Barat. Tel. +62-265-771352, Fax. +62-265775866, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 15 Desember 2014. Revisi disetujui: 23 April 2015.
Palmolina M. 2015. Pengelolaan hutan rakyat pada lahan sempit. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 732-737. Fenomena peningkatan luas hutan rakyat di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta perlu dicermati karena berdampak pada kehidupan masyarakat petaninya. Tujuan penelitian adalah mempelajari dampak konversi lahan pertanian menjadi hutan rakyat dari sudut pandang etnografi. Penelitian dilakukan di wilayah perbukitan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Desa Hargorejo. Alasan memilih Desa Hargorejo adalah: (i) adanya fenomena perubahan pola pemanfaatan lahan oleh para petani di desa tersebut, dan (ii) Desa Hargorejo berada pada posisi tertinggi dalam garis kemiskinan. Data dikumpulkan dari bulan Januari hingga Juni 2013 melalui wawancara terhadap 50 orang anggota kelompok tani. Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki (98%) dengan usia lanjut lebih dari 50 tahun (68%), dan berpendidikan SD/sederajat (62%). Masyarakat di Desa Hargorejo mulai melakukan pengelolaan lahan dengan tanaman kayu pada tahun 1980-an dengan motivasi ekonomi memperoleh keuntungan dari penjualan kayu serta motivasi ekologi memperoleh iklim yang sejuk dan persediaan air tanah lebih banyak. Jenis tanaman kayu yang dominan dikembangkan adalah tanaman kayu (jati, mahoni, akasia), tanaman buah (pisang, nangka), tanaman pangan (singkong, jagung, kedelai, kacang tanah), serta tanaman herbal (jahe, kunyit, temulawak). Hasil dari penelitian ini adalah kecenderungan petani yang terus-menerus mengubah lahan sempit yang semula lahan pertanian menjadi hutan rakyat (50-100% dari luas lahan milik) tanpa diikuti dengan pengetahuan pengelolaan hutan rakyat yang mengakibatkan hasil dari hutan rakyat tidak berbeda dengan hasil dari pertanian, bahkan mengancam ketahanan pangan mereka. Selain itu, intervensi terhadap lahan semakin berkurang sehingga mendorong generasi muda untuk bekerja di luar desa. Dampak lanjutannya dikhawatirkan hutan rakyat tidak terjaga kelestariannya. Kata kunci: hutan rakyat, lahan sempit, pengetahuan, sumber daya manusia
Palmolina M. 2015. Private forest management in narrow land. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 732-737. The phenomenon of the increase in the forest area in Kulon Progo District, Yogyakarta need to be considered because had an impact on farmer’s lives. The purpose of this research was to study the impact of the conversion of agricultural land into private/community forest from the ethnographic point of view. The research was carried out in Menoreh Hills area, Kulon Progo District, Yogyakarta, precisely at Hargorejo’s Village. The underlying reason for chosing Hargorejo Village are: (i) the phenomenon of change of land use patterns by farmers in this village, and (ii) Hargorejo Village was on the highest position in the line of poverty. Data was collected from January to June 2013 through interviews with 50 members of a farmer group. The majority of respondents gender were male (98%) with an advanced age over 50 years (68%), and an elementary education/equivalent (62%). People in Hargorejo Village started doing a land management with the timber plants in 1980s with an economic motivation to get the advantage from the sale of timber and an ecological motivation to obtain the cool climate and the groundwater supplies more. The dominant type of timber plants developed were wood plants (teak, mahogany, acacia), fruit crops (banana, jackfruit), food crops (cassava, corn, soybean, peanut) and herbs (ginger, turmeric, java turmeric). The results of this research was the tendency of farmers who continuously changed the original narrow area of agricultural land into private forests (50-100% of the owned land area) without being followed by a knowledge of private forest management causing the product of private forest was not different with the results of the farming, even threatening their food security. In addition, the intervention on the land was on the wane, therefore encouraged young people to work outside the village. The subsequent impact feared the private forest are not sustainable. Keywords: human resources, knowledge, narrow land, private forest
PENDAHULUAN Pembangunan kehutanan menyebabkan perubahan sosial ekonomi dan kebudayaan pada masyarakat petani, begitu pula dengan pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 hektar,
penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 9 Tahun 2013), maka dapat dikatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan milik masyarakat, baik di pekarangan (sekitar rumah tinggal), tegalan (tanah kering yang umumnya ditanami tanaman selain padi), maupun sawah. Perkembangan luasan hutan rakyat di Kabupaten Kulon Progo dapat
PALMOLINA – Pengelolaan hutan rakyat pada lahan sempit
dilihat pada Tabel 1 (BPS Kulon Progo 2012). Berdasarkan data Monografi Desa Hargorejo (2012), Desa Hargorejo adalah desa termiskin di Kecamatan Kokap dan Kecamatan Kokap adalah kecamatan termiskin di Kabupaten Kulon Progo. Sementara itu, peningkatan luasan hutan rakyat yang menonjol ada di Kecamatan Kokap (Tabel 1). Fenomena peningkatan luasan hutan rakyat tersebut perlu dicermati bagaimana dampak dari meningkatnya luasan hutan rakyat terhadap kehidupan perekonomian para petaninya, dimana luasan lahan garapan semakin menyusut sebagai dampak pertambahan jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga petani. Maka dari itu, tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh data dan informasi mengenai dampak pengelolaan hutan rakyat di lahan sempit sebagai dasar penyusunan kebijakan pengelolaan kehutanan yang tidak hanya mengedepankan fungsi lingkungan, namun juga sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
BAHAN DAN METODE Metode dan waktu penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Melalui metode ini akan dihasilkan suatu deskripsi sosial budaya masyarakat yang isinya disusun berdasarkan ungkapan dan tingkah laku masyarakat yang diteliti. Menurut Kaplan dan Manners (2000), suatu deskripsi etnografi merupakan bagian dari suatu bangunan teori yang menjelaskan cara pembentukan, pelestarian, dan perubahan budaya sehingga dilakukan dengan menggunakan sudut pandang emik dan etik. Penelitian dilaksanakan di Desa Hargorejo, Kokap, Kulonprogo (Tabel 2) pada bulan Januari hingga Juni 2013. Teknik pengumpulan dan analisis data Unit analisis pada penelitian ini adalah anggota kelompok tani di lokasi kajian yang memiliki lahan milik yang ditanami perpaduan antara tanaman keras/kayu dan tanaman pertanian/semusim (hutan rakyat berpola agroforestry). Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap 10 orang narasumber kunci yang meliputi ketua kelompok tani, kepala dusun, ketua LSM Damar, penyuluh kehutanan wilayah Kecamatan Kokap, dan kepala Desa Hargorejo. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap 50 responden dan observasi tentang perubahan pengelolaan lahan yang terjadi di lokasi kajian. Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan melalui teknik dokumentasi yang diperoleh dari monografi desa dan kecamatan dalam bentuk angka serta data pendukung lainnya. Hasil pengumpulan data selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif yang berupa uraian dan disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi lokasi penelitian Secara administratif, Desa Hargorejo terbagi dalam 16 pedukuhan yaitu Pedukuhan Gunung Kukusan, Gunung
733
Rego, Ngaseman, Sambeng, Tejogan, Sangkrek, Selo Barat, Selo Timur, Kliripan, Pandu, Anjir, Penggung, Krengseng, Sindon, Ngulakan, dan Kriyan. Dari 16 pedukuhan tersebut meliputi 37 Rukun Warga (RW), dan 126 Rukun Tetangga (RT). Peta administrasi Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 1. Profil petani hutan rakyat Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap Tabel 3 menunjukkan bahwa petani hutan rakyat didominasi oleh responden laki-laki (96%), berusia lanjut (68% berusia lebih dari 50 tahun), berpendidikan SD/sederajat (62%), dengan lama bertani lebih dari 30 tahun (36%), dan jumlah tanggungan keluarga antara 3-6 orang (72%). Petani hutan rakyat mayoritas berusia lanjut karena sumber daya manusia (SDM) yang berusia muda lebih berminat bekerja di sektor non-agraris. Pengelolaan hutan rakyat oleh responden didukung oleh kepemilikan lahan milik dan lahan garapan yang mayoritas tergolong sempit yaitu kurang dari 0,5 ha (92%). Tabel 1. Perkembangan luasan hutan rakyat di Kabupaten Kulon Progo Kecamatan Temon Wates Panjatan Galur Lendah Sentolo Pengasih Kokap Girimulyo Nanggulan Kalibawang Samigaluh Jumlah
Luas Hutan Rakyat (Ha) 2008 2009 2010 779,25 794,25 799,75 183,00 184,00 184,00 651,00 651,00 659,50 275,00 291,63 301,75 556,00 572,67 582,35 937,00 947,55 972,55 1.349,50 1.389,50 1.489,50 4.070,00 4.247,31 4.347,31 2.920,50 3.095,50 3.195,00 410,00 435,00 460,00 1.765,00 1.855,37 1.970,26 3.615,00 3.675,00 3.770,00 17.511,25 18.138,78 18.731,97
2011 804,25 186,90 669,50 310,00 590,00 997,55 1.589,50 4.447,31 3.245,00 470,00 2.020,26 3.870,00 19.200,27
Tabel 2. Gambaran lokasi Desa Hargorejo, Kokap, Kulonprogo Kecamatan Luas (ha) Batas wilayah
Topografi wilayah
Ketinggian
Jarak ke ibu kota Jumlah penduduk
Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1.543,45 ha Utara: Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap Barat: Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap Selatan: Desa Tawangsari, Kecamatan Pengasih Timur: Desa Karangsari, Kecamatan Pengasih Utara: dataran tinggi, rawan longsor Tengah: dataran sedang, berombak dan bergelombang Selatan: dataran rendah, relatif landai Utara: 251-500 m dpl Tengah: 76-250 m dpl Selatan: 0-75 m dpl Kecamatan: 2 km Kabupaten: 5 km Provinsi: 32 km 10.446 jiwa yang terdiri atas 5.168 orang lakilaki dan 5.278 orang perempuan yang berasal dari 2.708 KK yang didominasi keluarga miskin sebanyak 1.049 KK atau 38,74%
734
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 732-737, Juli 2015
Gambar 1. Peta administrasi Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Monografi Desa Hargorejo 2010)
Kondisi perekonomian petani hutan rakyat Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat bahwa perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi adalah sekitar 50-100% lahan pertanian berubah menjadi hutan rakyat, dengan dominasi jenis tanaman keras/kayu berupa mahoni,
sengon, jati, dan kelapa. Tanaman pertanian yang diusahakan meliputi jagung, ubi, kacang tanah, dan kedelai, sedangkan tanaman herbal meliputi jahe, kunyit, dan temulawak (Tabel 4).
PALMOLINA – Pengelolaan hutan rakyat pada lahan sempit Tabel 3. Profil responden di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta Uraian Usia (tahun) a. <30 b. 30-50 c. >50 Tingkat pendidikan a. SD/sederajat b. SLTP/sederajat c. SLTA/sederajat d. Perguruan tinggi Pekerjaan utama a. Petani b. Buruh tani c. Penyadap nira d. Non-pertanian (tukang kayu, pengrajin batu bata, sopir, PNS) Pekerjaan sampingan a. Petani b. Buruh tani c. Peternak d. Penyadap nira e. Non-pertanian (buruh serabutan, penjahit) f. Tidak punya Lama bertani (tahun) a. <10 b. 10-20 c. 20-30 d. >30 Luas lahan milik (ha) a. <0,250 b. 0,251-0,500 c. 0,510-0,750 d. 0,751-1,000 Jumlah tanggungan keluarga (orang) a. <3 b. 3-6 c. >6
Jumlah
%
0 16 34
0 32 68
31 10 8 1
62 20 16 2
28 5 4 13
56 10 8 26
19 8 7 8 3 5
38 16 14 16 6 10
9 6 17 18
18 12 34 36
26 20 3 1
52 40 6 2
13 36 1
26 72 2
Tabel 5. Kondisi perekonomian petani hutan rakyat Kondisi ekonomi petani Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik Jumlah
< Tahun 1980
Tahun 1980-kini
41 7 2 0 50
38 10 2 0 50
735
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa perkembangan perekonomian mereka sebelum hutan rakyat meluas (sebelum tahun 1980-an) dengan setelah hutan rakyat berkembang pesat (tahun 1990-ankini), tidak ada peningkatan yang berarti (Tabel 5). Penilaian kurang baik, cukup baik, baik, dan sangat baik ditentukan oleh para petani sendiri selaku informan dan responden dalam penelitian ini. Mereka menyebutkan “kurang baik” bilamana sering kekurangan sampai berhutang dan makan sekali atau dua kali sehari. Makanan mereka pun bukan berupa nasi dan lauk-pauk, namun hanya sekedarnya, terkadang hanya ubi atau jagung rebus. “Cukup baik” bilamana mereka bisa makan tiga kali sehari meskipun mereka lebih sering makan ubi dan/atau jagung rebus, “baik” bilamana mereka sudah bisa makan tiga kali sehari dengan nasi, lauk-pauk, dan sayuran serta bisa menyekolahkan anak-anaknya, serta “sangat baik” bilamana mereka dapat makan tiga kali sehari dengan laukpauk, dan sayuran, tidak kekurangan/berhutang hanya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, dan bisa membiayai sekolah anak-anaknya tanpa ada kesulitan. Fenomena kehidupan petani hutan rakyat di Desa Hargorejo ini memberikan dampak lanjutan berupa realitas pembagian kemiskinan. Sebagaimana yang diceritakan oleh Mbah Marto, salah satu responden yang memiliki lahan seluas 10.000 m2, bahwa sekalipun hasil pertanian yang ia dapatkan dari lahan garapannya banyak, namun hasilnya tidak hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (tanggungan keluarga 3 orang termasuk dirinya sendiri), melainkan dia bagikan juga kepada para buruh dan keluarga (anak dan menantunya) yang tingkat perekonomiannya relatif masih rendah. Jadi meskipun Mbah Marto memiliki lahan garapan yang luas dan hasil pertanian yang relatif banyak, kehidupan dalam kesehariannya pun tidak berlebihan, tidak ada bedanya dengan kehidupan dari para buruh, anak, dan menantunya. Realita ini menunjukkan bahwa dalam budaya masyarakat petani hutan rakyat di Perbukitan Menoreh, khususnya Desa Hargorejo, tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial ekonomi yang relatif tinggi dengan cara membagi-bagikan rezeki yang ada, sebagaimana yang dikatakan oleh Geertz (1983) sebagai proses shared proverty (kemiskinan yang dibagi rata: kemiskinan bersama). Kumoro (2014) menjelaskan maksud dari shared proverty dari Clifford Geertz tersebut adalah sebagai dampak dari kerumitan dan kesengsaraan petani Jawa dalam mengakomodasi setiap mulut manusia yang bertambah semakin banyak agar kebagian makanan dari pengelolaan lahan miliknya yang sempit.
Tabel 4. Perubahan pemanfaatan lahan pada lahan milik
Perubahan pola tanam <50% tanaman pertanian diselingi tanaman kayu >50% tanaman pertanian diselingi tanaman kayu 100% tanaman kayu
<2.500 m2 N % 2 7,7 17 65,4 7 26,9 26 100,0
Responden dengan luasan lahan 2.500-4.999 m2 5.000-10.000 m2 N % N % 3 20,0 0 0 7 46,7 6 66,7 5 33,3 3 33,3 15 100,0 9 100,0
>10.000 m2 N % 0 0 0 0 0 0 0 0
736
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 732-737, Juli 2015
Pembahasan Hakim et al. (2012) menjelaskan bahwa terdapat beberapa strategi yang menjadi pilihan petani untuk tetap survive, di antaranya: (i) berusaha memperluas lahan garapan atau mempertahankan lahan yang dimiliki, (ii) mengusahakan secara maksimal pemenuhan kebutuhan pokok, (iii) menghindari kerugian dalam bertani, (iv) memanfaatkan tenaga kerja dari kalangan keluarga, dan (v) memaksimalkan penggunaan tenaga untuk bekerja apa saja. Demikian halnya dengan masyarakat petani di Perbukitan Menoreh, khususnya Desa Hargorejo, untuk bisa survive, mereka cenderung mengubah lahan pertaniannya menjadi hutan rakyat. Hanya saja upaya ini justru berdampak negatif terhadap keamanan pangan mereka. Hal ini dikarenakan lahan mereka yang relatif sempit (1.000-5.000 m2) lebih banyak ditanami tanaman keras/kayu, sementara tanaman semusim yang pada umumnya dijadikan sebagai ketahanan pangan mereka semakin berkurang. Keadaan petani hutan rakyat di Desa Hargorejo ini memang dilematis. Di satu pihak, pertumbuhan penduduk terus meningkat sehingga untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka memerlukan lahan. Di pihak lain, lahan pertanian semusim mereka sudah banyak yang diubah menjadi rumah dan hutan rakyat. Sebagai akibatnya, mereka bergantung pada pasar untuk memenuhi kebutuhan mereka yang semula mereka dapatkan dari lahan pertanian mereka. Hal ini menjadi polemik tersendiri bagi masyarakat petani hutan rakyat yang relatif miskin karena hal ini menyebabkan beban hidup mereka menjadi lebih berat. Harga satuan pangan di pasar tentunya mengeluarkan biaya yang relatif lebih mahal dibanding mengambil dari lahan pertanian mereka sendiri. Selain itu, masyarakat petani hutan rakyat relatif belum banyak yang mengetahui manajerial/pengelolaan hutan rakyat. Oleh karena itu, sebagaimana Geertz (1983) yang memperkenalkan involusi, kemandegan dan keterbelakangan masyarakat petani hutan rakyat bisa dikatakan lebih disebabkan oleh tumbuh pesatnya hutan rakyat yang tidak diimbangi atau diikuti dengan peningkatan pengetahuan mengenai pengelolaan hutan rakyat tersebut. Dengan kata lain, hutan rakyat lebih digerakkan untuk pesatnya upaya konservasi, sementara para petaninya tidak/kurang diberikan pendampingan pengetahuan agar mereka benar-benar paham dan mau/bisa menjalani pola tanam hutan rakyat berdasarkan sistem silvikultur dan manajemen kehutanan. Hanya saja terdapat perbedaan antara involusi pertanian dan yang terjadi di hutan rakyat. Pada pertanian, involusi terjadi akibat dari sistem penanaman yang intensif, bahkan cenderung rumit dan ruwet, untuk menampung tenaga kerja produktif yang semakin tahun semakin bertambah, sementara luasan lahan yang dikelola tetap, bahkan semakin berkurang, dan hasil yang diperoleh dari pertanian tersebut tidak memberikan hasil lebih melainkan hanya sekedar untuk menampung tenaga kerja produktif agar tidak menganggur. Sementara pada hutan rakyat, involusi terjadi akibat dari pengurangan lahan pertanian semusim menjadi hutan rakyat dengan tujuan untuk mempermudah tenaga kerja produktif mencari pekerjaan di luar hutan rakyat dan hasil dari hutan rakyat itu pun tidak memberikan hasil lebih dikarenakan mereka
belum memahami dan melaksanakan pengelolaan silvikultur dan manajemen hutan rakyat. Mereka beranggapan bahwa tanaman keras/kayu dapat hidup dengan baik tanpa harus diperlakukan secara intensif seperti komoditas pertanian semusim. Tanaman keras/kayu dapat dijadikan tabungan bilamana sewaktu-waktu petani membutuhkan dana besar dan cepat. Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka mengupayakan dari pekerjaan di luar dari menggarap lahan. Sebagai akibatnya, mereka berlaku konsumtif dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apabila sebelumnya beberapa bahan makanan tinggal mengambil dari lahan yang mereka miliki, kini mereka harus membeli dengan harga yang tentunya lebih mahal dibanding dengan mengambil dari lahan sendiri. Sementara pada saat menjual hasil tanaman kayu, mereka selalu berada pada posisi tawar yang rendah. Hal tersebut mengkondisikan petani hutan rakyat tetap berada pada posisi petani subsisten. Melihat fenomena yang ada pada masyarakat petani hutan rakyat di Perbukitan Menoreh, khususnya Desa Hargorejo, apabila dikaitkan dengan hasil penelitian dari Geertz (1983), terlihat bahwa masyarakat petani hutan rakyat berusaha semaksimal mungkin melakukan suatu upaya agar dapat survive dengan melakukan suatu perubahan/pergeseran pola tanam/produksi terhadap lahan milik (dalam luasan sempit <5000m2) tanpa memiliki pengetahuan yang mendampingi mereka dalam melakukan perubahan/pergeseran pola tanam/produksi tersebut. Sebagai dampaknya, pola tanam/produksi yang telah terbentuk tersebut pada kelanjutannya justru kemudian membatasi perkembangan hutan rakyat itu sendiri. Masyarakat petani seakan melakukan perubahan/ pergeseran untuk meningkatkan kesejahteraan, tapi sebenarnya mereka ‘diam di tempat’ tanpa ada peningkatan kesejahteraan dikarenakan perubahan selanjutnya terhalang oleh keruwetan dari pola yang mereka bangun sendiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan lahan secara optimal adalah dengan usaha hutan rakyat berbasis agroforestry, dimana di lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan untuk pohon-pohon berkayu (pohon-pohon kehutanan) dan tanaman pertanian (palawija, buah-buahan, tanaman herbal, dan komoditas pertanian lainnya) sebagai tanaman sela yang mengisi antarpohon kehutanan. Sudiana (2009) dalam penelitiannya di Ciamis memberikan bukti bahwa hutan rakyat agroforestry lebih baik daripada hutan rakyat monokultur. Demikian pula dengan hasil penelitian dari Sanudin dan Priambodo (2013) bahwa salah satu keunggulan penerapan pola agroforestry adalah dapat diperolehnya kontinuitas pendapatan dimana tanaman semusim dan perkebunan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan pendapatan dari kayu selain bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya temporal seperti kebutuhan anak sekolah, hajatan/pesta, dan membangun rumah. Melihat perkembangan luasan hutan rakyat yang terjadi di lahan sempit milik petani di Desa Hargorejo, banyak lahan yang kemudian ditanami dengan tanaman monokultur tanpa adanya bekal pengetahuan manajerial
PALMOLINA – Pengelolaan hutan rakyat pada lahan sempit
hutan rakyat, maka dari itu perlu dilakukan peningkatan pengetahuan manajerial/pengelolaan hutan rakyat melalui pelatihan, pendampingan, dan pembentukan kelembagaan hutan rakyat terhadap masyarakat petani, khususnya pada generasi muda sebagai penjaga kelestarian hutan rakyat. Dengan demikian akan terwujud kelestarian keanekaragaman hayati dan hewani melalui pengembangan hutan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA BPS Kulon Progo. 2012. Kabupaten Kulon Progo dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. BPS Kulon Progo. 2010. Kecamatan Kokap dalam angka. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
737
Desa Hargorejo. 2012. Monografi Desa Hargorejo. Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Geertz C. 1983. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Involusi Pertanian. Yayasan Obor, Jakarta. Hakim A. 2012. Strategi Adaptasi Petani dalam Menghadapi Krisis. Universitas Brawijaya, Malang. Kaplan D, Manners AA. 2000. Teori Budaya. Penerjemah: Simatupang L. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Kumoro D. 2014. Ekologi Jawa. In: Geerts C (eds). Involusi Pertanian: Proses perubahan ekologi di Indonesia. https://spektrumologi.wordpress.com/2014/01/08/ekologi-jawadalam-involusi-pertanian-proses-perubahan-ekologi-di-indonesiaclifford-geertz/ [20 Januari 2015]. Sanudin, Priambodo D. 2013. Analisis sistem dalam pengelolaan hutan rakyat agroforestry di hulu DAS Citanduy. Kasus di Desa Sukamaju, Ciamis. Jurnal Online Pertanian Tropik 1 (1): 33-46. Sudiana E, Hanani N, Yanuwiadi B, Soemarno. 2009. Pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan di Kabupaten Ciamis. Jurnal Agritek 17 (3): 543555.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 738-742
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010409
Sebaran spesies asing invasif Acacia decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Distribution of invasive alien species of Acacia decurrens in Mount Merapi National Park DHANI SURYAWAN1, EDDY SUTYARTO1, RUKY UMAYA1, ASEP KURNIA1, YAYAN HADIYAN2,♥ 1 Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Jl. Kaliurang Km 22.6, Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Tel./Fax. +62-274-896080, ♥email:
[email protected]
2
Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 25 April 2015.
Suryawan D, Sutyarto E, Umaya R, Kurnia A, Hadiyan Y. 2015. Sebaran spesies asing invasif Acacia decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 738-742. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki dua fungsi vital ekologis untuk perlindungan kawasan. Salah satu fungsi ekologi yang sangat penting adalah melindungi keberadaan keanekaragaman hayati. Dinamika keanekaragaman hayati terjadi setelah erupsi Gunung Merapi. Beberapa spesies endemik hilang, tumbuh kembali, dan spesies yang belum dikenal mungkin tumbuh. Acacia decurrens adalah salah satu jenis yang tumbuh cepat, menyebar, dan dominan pascaerupsi Gunung Merapi. Tegakan A. decurrens dalam skala dominasi tertentu berpotensi mengubah ekosistem asli setempat sehingga penanganannya sangat diperlukan. Oleh karena itu, jenis ini dipandang sebagai invasive alien species (IAS) di kawasan TNGM. Tujuan studi ini adalah mengetahui sebaran pertumbuhan A. decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode sampling jalur sistematis pada 4 lokasi pengamatan. Hasil studi menunjukkan bahwa kerapatan jenis A. decurrens pada berbagai tingkat pertumbuhan bervariasi. Tingkat tiang dan pancang jenis ini tumbuh dominan pada seluruh lokasi pengamatan, sedangkan tingkat pohon dan semai tidak. Hot spot A. decurrens tersebut terdapat di wilayah Resort Cangkringan, Sleman dan Kemalang, Klaten. Kata kunci: Acacia decurrens, invasif, sebaran, taman nasional, tingkat pertumbuhan
Suryawan D, Sutyarto E, Umaya R, Kurnia A, Hadiyan Y. 2015. Distribution of invasive alien species of Acacia decurrens in Mount Merapi National Park. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 738-742. Mount Merapi National Park (MMNP) is a natural conservation area targeted to keep two vital ecological functions to protect the area. One of the key functions is protect the existence of biodiversity. The dinamic of biodiversity had been occured after Mount Merapi was erupted. Some endemic species were loss, regrowth and unknown species might be emerged. Acacia decurrens is one of the species that grow fast, scattered and dominant after Mount Merapi eruption. The stands of A. decurrens in a certain domination level had the potential to change the native ecosystem of Mount Merapi, hence the appropriate management is required. Therefore, this species is considered as an invasive alien species (IAS) in MMNP area. The purpose of this study was to know the distribution of A. decurrens in Mount Merapi National Park area. Vegetation analysis was done by using a systematic track sampling method at four locations of observation. The results of study showed that the species density of A. decurrens on various growth stages varies. The pole and sapling stages of this species grew dominantly at all observation locations, while the tree and seedling stages were not. The hot spot of A. decurrens was in Cangkringan Resort area, Sleman and Kemalang, Klaten. Keywords: Acacia decurrens, distribution, growth stage, invasive, national park
PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati di Indonesia sedang mengalami penurunan cukup tinggi akibat berbagai tekanan terutama di Sumatera dan Kalimantan. Uryu (2008) mencatat sebanyak 65% tutupan hutan di Sumatera berubah dalam kurun waktu 25 tahun. Alaydrus (2013) mengidentifikasi bahwa kemerosotan keanekaragaman hayati disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena konservasi lahan, eksploitasi yang berlebihan, dan introduksi spesies asing (invasive alien species; IAS). Convention on Biodiversity (2015) secara lebih spesifik menyatakan bahwa spesies
asing yang invasif diduga menjadi penyebab langsung dari hilangnya biodiversitas di dunia. Introduksi spesies asing dapat berpengaruh terhadap keseimbangan sistem ekologi. Indonesia berada pada posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Alaydrus 2013). Pulau Jawa tercatat sebagai pulau dengan keberadaan jenis asing invasif tertinggi. Namun demikian, selama keberadaan jenis asing invasif ini berada di luar kawasan pelestarian alam, kawasan lindung, dan kawasan khusus untuk pengawetan keanekaragaman hayati lokal, lalu dapat
SURYAWAN et al. – Sebaran Acacia decurrens di TN Gunung Merapi
mendatangkan manfaat nyata bagi masyarakat, berada di areal atau kawasan yang secara intensif ada pengendalian manusia, dan secara ilmiah tidak membahayakan, maka keberadaan jenis ini masih bisa diperdebatkan. Salah satu kawasan pelestarian alam yang tidak direkomendasi adanya jenis asing invasif adalah taman nasional, karena kawasan ini dirancang untuk melindungi ekosistem asli, baik jenis-jenis tumbuhan asli maupun satwa endemik. Di antara sekian banyak taman nasional di Indonesia, salah satunya adalah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang kini tengah menghadapi adanya IAS berupa Acacia decurrens. Jenis tersebut tumbuh dominan secara alami di kawasan TNGM yang rusak pascaerupsi Gunung Merapi pada tahun 2010. Situasi yang sama juga terjadi pada erupsi tahun 2006 bahwa A. deccurens merupakan jenis dominan pada tahap awal suksesi pascaerupsi (Suryanto et al. 2010). Jenis tersebut sangat potensial untuk kayu bakar dan arang bagi masyarakat yang tinggal di sebelah selatan Gunung Merapi. Hal ini karena
739
bagi masyarakat kayu bakar adalah sumber utama untuk memasak dengan biaya murah (Hadikusumah et al. 1991) Keberadaan A. decurrens di kawasan TNGM perlu dikendalikan, terutama jika menimbulkan berbagai gangguan pada ekosistem setempat. Oleh karena itu, sebaran jenis tersebut menjadi sangat penting untuk diketahui. Tulisan ini menyajikan hasil studi sebaran A. decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi pada lokasi terdampak erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di kawasan TNGM yang tersebar di tiga kabupaten, yaitu: Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Klaten dan Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013.
D
C
B
A
Gambar 1. Lokasi studi Acacia decurrens di kawasan TNGM, diarsir warna hijau, yaitu: A. Resort Turi-Pakem; B. Resort Cangkringan; C. Resort Kemalang; D. Resort Dukun Tabel 1. Kondisi vegetasi dan topografi lokasi pengamatan Lokasi
Kondisi vegetasi
Topografi
Blok Labuhan Sapu Angin
Didominasi oleh tegakan A. decurrens berkerapatan tinggi Hutan berkerapatan sedang, tidak ada jenis tertentu yang mendominasi Berupa tegakan A. decurrens berkerapatan sedang hingga tinggi
Berada di punggung bukit, kelerengan di atas 20o Berupa punggung bukit dengan kelerengan di atas 20o
Babadan
Merupakan daerah dengan kelerengan di atas 15o
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 738-742, Juli 2015
740
Analisis vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan A. deccurent dengan menggunakan metode sampling jalur sistematis (systematic strip sampling) di 4 lokasi pengamatan. Pada masing-masing lokasi dibuat petak ukur (PU) dengan jumlah 37 PU di wilayah Resort Kemalang, 33 PU di wilayah Resort Cangkringan, 15 PU di wilayah Resort Turi Pakem, dan 6 PU di wilayah Resort Dukun. Petak ukur yang dibuat berukuran 20 m x 20 m (tingkat pohon), 10 m x 10 m (tingkat tiang), 5 m x 5 m (tingkat pancang), dan 2 m x 2 m (tingkat anakan). Pada tingkat pohon, tiang, dan pancang variabel yang diukur meliputi diameter batang dan tinggi tanaman, sedangkan pada tingkat anakan variabel yang diukur berupa tinggi tanaman. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan petak ukur ditunjukkan pada Gambar 2. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menurut Randal (1978) untuk menghitung: kerapatan A. decurrens, kerapatan seluruh jenis, kerapatan relatif (KR), frekuensi A. decurrens, frekuensi relatif (FR), dominasi A. decurrens, dominasi relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data keragaman tumbuhan dari hasil inventarisasi di 4 lokasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis vegetasi di wilayah Resort Turi-Pakem, Sleman (Tabel 2), dimana areal tersebut terkena dampak berat awan panas Gunung Merapi, menunjukkan A. decurrens pada tingkat tiang (INP=262,73) dan pancang
(INP=130,50) terlihat mendominasi areal pengamatan, diikuti tingkat pohon (INP=100), sedangkan tingkat semai tidak ada sama sekali. Jenis A. decurrens pada tingkat pohon diduga telah ada sebelum terjadi erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dan ketiadaan tingkat semai menunjukkan bahwa pada areal tersebut akan mengalami stagnasi perkembangan tegakan. Hasil analisis vegetasi di wilayah Resort Cangkringan Sleman (Tabel 2) menunjukkan bahwa A. decurrens pada tingkat tiang (INP=182,98) dan pancang (INP=131,74) terlihat mendominasi areal pengamatan, diikuti oleh tingkat semai (61,06%), sedangkan tingkat pohon tidak ditemukan sama sekali. Tingkat semai ditemukan relatif merata di plot pengamatan dan ketiadaan tingkat pohon menunjukkan bahwa A. decurrens yang terdapat di wilayah Resort Cangkringan tumbuh belum terlalu lama. Jenis ini diperkirakan tumbuh setelah erupsi Gunung Merapi tahun 2010, khususnya pada areal yang tadinya terdegradasi akibat awan panas Gunung Merapi. Hasil analisis vegetasi di wilayah Resort Kemalang Klaten (Tabel 2) yang terkena dampak berat awan panas Gunung Merapi, menunjukkan bahwa A. decurrens pada tingkat tiang (INP=220,50) dan pancang (INP=189,65) mendominasi areal pengamatan, sedangkan tingkat pohon dan semai terlihat jarang. Hasil analisis vegetasi di wilayah Resort Dukun, Magelang (Tabel 2) yang terkena dampak berat awan panas Gunung Merapi, menunjukkan bahwa A. decurrens pada tingkat tiang (INP=288,64), pancang (INP=198,31), dan semai (INP=200) mendominasi areal pengamatan, sedangkan tingkat pohon tidak ada.
20 m
5m
10 m 5m 2m
2m 10 m 20 m
Gambar 2. Gambar petak ukur
SURYAWAN et al. – Sebaran Acacia decurrens di TN Gunung Merapi
741
Tabel 2. Hasil inventarisasi Acacia decurrens di TNGM Lokasi, tingkatan
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan Frekuensi Luas total Kerapatan Frekuensi Dominasi A. Dominasi individu A. A. individu 2 A. decurrens seluruh jenis sampel (m ) relatif (%) relatif (%) decurrens relatif (%) 2 2 decurrens semua jenis decurrens (∑/m ) (∑/m )
INP
Turi-Pakem, Sleman Pohon 6 Tiang 44 Pancang 65 Semai 0
8 45 86 20
4.400 1.100 275 68,3
0,00 0,03 0,17 0,00
0,00 0,03 0,40 0,22
66,67 83,33 63,83 0,00
0,07 1,00 0,67 0,00
33,33 100 66,67 0,00
0,00 0,02 0,00 0,00
33,33 79,40 0,00 0,00
100,00 262,73 130,50 0,00
Cangkringan, Sleman Pohon 0 Tiang 187 Pancang 409 Semai 129
29 247 546 312
14.800 3.700 925 189
0,00 0,04 0,40 0,43
0,00 0,06 0,53 1,38
0,00 49,36 62,40 22,50
0,00 0,67 0,73 0,36
0,00 66,67 69,34 38,57
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 66,94 0,00 0,00
0,00 182,98 131,74 61,06
Kemalang, Klaten Pohon 28 Tiang 51 Pancang 254 Semai 3
123 64 259 112
12.000 3.000 750 188
0,00 0,02 0,35 0,02
0,01 0,02 0,36 0,06
11,60 78,33 96,83 37,50
0,21 0,60 0,89 0,11
21,03 60,85 92,83 10,87
0,00 0,00 0,00 0,00
10,10 68,91 0,00 0,00
42,73 220,50 189,65 48,38
Dukun, Magelang Pohon 0 Tiang 36 Pancang 58 Semai 12
1 38 59 12
2.400 600 150 38
0,00 0,06 0,39 0,32
0,00 0,06 0,39 0,32
0,00 94,74 98,31 100,00
0,00 1,00 1,00 1,00
0,00 100 100 100
0,00 0,00063 -
0,00 93,90 -
0,00 288,64 198,31 200,00
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pada 4 lokasi pengamatan: Resort Turi-Pakem, Cangkringan, Kemalang, dan Dukun, A. decurrens pada tingkat tiang dan pancang tersebar dominan dengan hot spot jenis tersebut terdapat di wilayah Resort Cangkringan (Sleman) dan Kemalang (Klaten). Sebaran A. decurrens pada tingkat pohon ditemukan tidak banyak dengan INP antara 40-100, bahkan pada dua plot pengamatan, Cangkringan dan Dukun, tidak ditemukan sama sekali. Di sisi lain, sebaran A. decurrens pada tingkat semai ditemukan bervariasi dengan INP antara 48,38-200,00, bahkan pada pengamatan di Resort PakemTuri tidak ditemukan sama sekali. Kerapatan jenis pada setiap tahap pertumbuhan terlihat bervariasi. Banyak faktor diduga mempengaruhi variasi tersebut. Uriarte et al. (2004) mengindikasikan bahwa kerapatan pada saat suksesi, baik pada tingkat pohon maupun semai dan pancang, akan dipengaruhi oleh faktor kematian, pertumbuhan, dan tumbuhnya kembali anakan. Pengamatan di lapangan menunjukkan secara umum jenis A. decurrens mendominasi areal yang terbuka dan kritis akibat erupsi Gunung Merapi, terutama di bagian wilayah yang terkena dampak awan panas erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Seiring dengan hasil penelitian yang dilaporkan Suryanto (2010) bahwa dari banyak spesies yang tumbuh pada awal suksesi di Gunung Merapi, A. deccurens merupakan spesies yang memiliki daya adaptasi tinggi dan cepat tumbuh pada areal pascaerupsi Gunung Merapi tahun 2006. Dominasi pertumbuhan A. decurrens di wilayah TNGM dipandang invasif. Seperti beberapa jenis akasia lainnya yang dikategorikan invasif dalam Global Invasive Species
Database, A. deccurens yang diamati juga memiliki beberapa sifat invasif yang mirip. Pada bagian yang lebih luas, Lowe et al. (2000) melaporkan bahwa inisiatifinisiatif yang berkontribusi pada perbaikan praktik pengelolaan dan pengurangan dampak invasi biologi kini tengah dilakukan oleh banyak komunitas di dunia. Namun untuk mengetahui lebih jauh tentang dampak invasif suatu spesies, Charles dan Dukes (2007) mengatakan bahwa perlunya mengetahui berapa besar dampak invasif suatu jenis terhadap kerugian ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Di sisi lain, kasus spesies invasif di taman nasional tidak hanya di TNGM. Setyowati (2013) melaporkan bahwa Acacia nilotica juga tumbuh invasif di areal TN Baluran, Austroeuptorium inulaefolium tumbuh invasif di TN Gunung Gede Pangrango, dan Merremia peltata tumbuh invasif di TN Bukit Barisan Selatan. Terkait dengan berkembangnya spesies asing invasif, Pallewatta et al. (2003) bahkan menyampaikan pandangan yang lebih berani bahwa untuk alasan ekonomi dan kebutuhan pembangunan sumber daya, penting sekali untuk mengenalkan spesies asing di bidang kehutanan, pertanian, dan perikanan, tapi kehati-hatian perlu diterapkan untuk mengantisipasi sifat alami dan dampak potensialnya. Mereka memberi catatan bahwa suatu spesies hanya boleh diintroduksi setelah dilakukan analisis risiko dan penaksiran dampak terhadap lingkungan. Acacia decurrens dipandang sebagai salah satu invasive alien species di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Jenis tersebut dapat tumbuh sebagai pioner, cepat, dan dominan di areal terdampak letusan Gunung Merapi. Jenis A. decurrens pada tingkat tiang dan pancang tumbuh
742
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 738-742, Juli 2015
dominan di semua lokasi pengamatan, sedangkan tingkat pohon dan semai tidak merata. Hot spot A. decurrens tersebut terdapat di wilayah Resort Cangkringan (Sleman) dan Kemalang (Klaten). Pada masa yang akan datang, mengetahui dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial akibat kehadiran A. decurrens di kawasan TNGM sangat diperlukan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Edy Sutiyarto, Kepala Balai TNGM atas arahan dan bimbingannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Tri Atmojo atas dorongannya, serta Kamaludin dan tim atas bantuan teknis yang diberikan selama penulis melakukan studi.
DAFTAR PUSTAKA Alaydrus R. 2013. Spesies tumbuhan asing invasif (invasive alien plant species) dan peluang pengawasannya dalam penyelenggaraan perkarantinaan tumbuhan. http://karantina.pertanian.go.id [20 Maret 2015].
CBD [Convention on Biodiversity]. 2015. Invasive Alien Species. https: //www.cbd.int/invasive [20 Maret 2014]. Charles H, Dukes JS. 2007. Impacts of invasive species on ecosystem services. Ecol Stud 7 (193): 217-237. Hadikusumah HK, Balla MK, Chaudhary S et al. 1991. Wood Fuel Flows: Rapid Rural Appraisal in Four Asian Countries. FAO, Bangkok. Lowe S, Browne M, Boudjelas S, De Poorter M. 2000. 100 of the World’s Worst Invasive Alien Species a Selection from the Global Invasive Species Database. IUCN, Auckland. Pallewatta N, Reaser JK, Gutierrez AT. 2003. Invasive Alien Species in South-Southeast Asia: National Reports and Directory of Resources. Global Invasive Species Programme, Cape Town. Randal RE. 1978. Theories and Technique in Vegetation Analysis. Oxford University Press, Oxford. Setyowati T. 2013. Ancaman Jenis Asing Invasif di Kawasan Hutan Indonesia. http://www.forda-mof.org [21 April 2015]. Suryanto P, Hamzah MZ, Mohamed A, Alias MA. 2010. The dynamic growth and standing stock of Acacia decurrens following the 2006 eruption in Mount Merapi National Park, Java, Indonesia. Int J Biol 2 (2): 165-170. Uriarte M, Canham CD, Thompson J, Zimmerman JK. 2004. A neighborhood analysis of tree growth and survival in a HurricaneDriven Tropical Forest. Ecol Monogr 74: 591-614. Uryu Y, Mott C, Foead N, et al. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia. WWF Technical Report, Jakarta. Yuniasih B. 2013, Ancaman Invasi Acacia decurrens Pasca Erupsi Gunung Api Merapi 2010 terhadap Pemulihan Keanekaragaman Hayati Flora Pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 743-746
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010410
Etnobotani pasak bumi (Eurycoma longifolia) pada etnis Batak, Sumatera Utara Ethnobotany of pasak bumi (Eurycoma longifolia) on Batak ethnic, North Sumatera MARINA SILALAHI1,♥, NISYAWATI2 1
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Jl. Mayjen Sutoyo No. 2 Cawang, Jakarta Timur 13630, Jakarta. Tel. +62-21-800919 (ext. 301, 302), Fax. +62-21-8088-5229, ♥email:
[email protected] 2 Program Biologi Konservasi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok 16424, Jawa Barat Manuskrip diterima: 9 Januari 2015. Revisi disetujui: 28 April 2015.
Silalahi M, Nisyawati. 2015. Etnobotani pasak bumi (Eurycoma longifolia) pada etnis Batak, Sumatera Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 743-746. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi baru mengenai pengetahuan etnobotani pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) oleh etnis Batak, Sumatera Utara sehingga dapat melengkapi ataupun merevisi data yang telah ada. Penelitian etnobotani pasak bumi pada etnis Batak dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnobotani. Penelitian dilakukan di lima desa yang merupakan daerah induk sub-etnis Batak. Eurycoma longifolia memiliki nama lokal yang berbeda pada kelima sub-etnis Batak, yaitu bulung besan oleh Karo, tongkat ali oleh Phakpak, horis kotala oleh Simalungun, tengku ali oleh Toba, dan ampahan gunjo oleh Angkola-Mandailing. Pasak bumi dimanfaatkan oleh etnis Batak sebagai obat sakit perut, demam, malaria, penambah stamina, dan membuat ramuan. Hasil penjelajahan bebas menunjukkan bahwa pasak bumi dapat ditemukan di agroforestry karet (Hevea brasiliensis) dan hutan primer di Desa Tanjung Julu dan Simbou Baru. Di desa Peadundung, pasak bumi ditemukan di pekarangan, agroforestry, dan hutan primer. Kata kunci: Etnis Batak, etnobotani, Eurycoma longifolia, Sumatera Utara Silalahi M, Nisyawati. 2015. Ethnobotany of pasak bumi (Eurycoma longifolia) on Batak ethnic, North Sumatra. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 743-746. The study was conducted to obtain new information about the ethnobotanical knowledge of pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) by Batak ethnic, North Sumatera therefore can complement or revise the existing data. The research of ethnobotany of pasak bumi on Batak ethnic was conducted by using an ethnobotanical approach. The research was conducted in five villages which were the center region of Batak sub-ethnic. Eurycoma longifolia has the different local names on fifth sub-ethnic of Batak, those were bulung besan by Karo, tongkat ali by Phakpak, horis kotala by Simalungun, tengku ali by Toba and ampahan gunjo by Angkola-Mandailaing. Pasak bumi had been used by Batak ethnic to cure stomachache, fever, malaria, stamina enhancer and to make a concoction. The field survey result showed that pasak bumi could be found in agroforestry of rubber (Hevea brasiliensis) and the primary forest in the villages of Tanjung Julu and Simbou Baru. In the village of Peadundung, pasak bumi was found in the home garden, agroforestry and primary forest. Keywords: Batak ethnic, ethnobotany, Eurycoma longifolia, North Sumatra
PENDAHULUAN Indonesia merupakan pusat penyebaran keanekaragaman hayati di dunia, di dalamnya terdapat sekitar 25.000-30.000 jenis tumbuhan berbunga. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan berbagai etnis di Indonesia untuk berbagai tujuan seperti sumber pangan, sumber obatobatan, bahan konstruksi, kerajinan, pakan ternak, pewarna, dan juga racun. Dilihat dari jumlah spesies, tumbuhan berbunga paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat (Heyne 1987). Pengetahuan lokal mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat bervariasi antaretnis dan masingmasing etnis memiliki keunikan tersendiri. Di Indonesia pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat semakin tertinggal akibat menurunnya minat generasi muda untuk mempelajari atau memanfaatkannya (Suryadarma 2005), cara pewarisan
yang dilakukan secara lisan, dan kehadiran pengobatan modern (Silalahi 2014). Pasak bumi atau dengan nama ilmiah Eurycoma longifolia Jack. merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang telah lama dimanfaatkan oleh berbagai etnis di Indonesia, khususnya masyarakat baik yang bermukim di Sumatera maupun Kalimantan (de Padua 1999). Kedua pulau tersebut merupakan pusat penyebaran E. longifolia. Nama lokal E. longifolia berbeda-beda pada setiap etnis seperti bidara pahit (Melayu), tungkek ali (Minangkabau), petola bumi (Riau), empedu tanah (Jambi), dan merule (Kalimantan Timur) (Achmad et al. 2009). de Padua (1999) menyatakan bahwa Eurycoma merupakan tanaman endemik di Asia Tenggara. Di antara spesies yang termasuk ke dalam genus Eurycoma, pemanfaatan E. longifolia sebagai bahan obat lebih menonjol dibandingkan dengan spesies lainnya.
744
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 743-746, Juli 2015
Buku yang ditulis Heyne pada tahun 1927 (bahasa Belanda) dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (1987) mencatat babi kurus sebagai nama lokal E. longifolia oleh etnis Batak. Bangun (2010) menuliskan bahwa etnis Batak terdiri atas lima sub-etnis yaitu Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Phakpak, Batak Toba, dan Batak Angkola-Mandailing. Setiap sub-etnis Batak memiliki bahasa, daerah induk, budaya, dan agama. Oleh karena itu, keragaman ini akan mempengaruhi pengetahuan dalam memanfaatkan sumber daya hayati yang terdapat di sekitar (Walujo 2009). Setelah buku catatan Heyne (1927) belum pernah dilakukan penelitian etnobotani pasak bumi pada kelima sub-etnis Batak yang bermukim di Sumatera Utara. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian etnobotani pasak bumi pada etnis Batak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru mengenai pengetahuan etnobotani pasak bumi pada etnis Batak sehingga dapat melengkapi ataupun merevisi data yang telah ada.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilakukan di lima desa di Provinsi Sumatera Utara, yaitu: (i) Desa Kaban Tua, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo untuk sub-etnis Batak Karo; (ii) Desa Surung Marsada, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Phakpak Barat untuk sub-etnis Phakpak; (iii) Desa Simbou Baru, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun untuk subetnis Simalungun; (iv) Desa Peadundung, Kecamatan
Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan untuk sub-etnis Toba; (v) Desa Tanjung Julu, Kecamatan Penyabungan Timur, Kabupaten Mandailing-Natal untuk sub-etnis Angkola-Mandailing (Gambar 1). Cara kerja Kajian etnobotani Penelitian dilakukan dengan pendekatan etnobotani dan ekologi. Untuk mengetahui manfaat dari pasak bumi dilakukan wawancara kepada informan yang terdiri atas dukun/pengobat tradisional, kepala adat, dan kepala desa di setiap desa. Untuk mengetahui habitat pasak bumi dilakukan jelajah bebas bersama 3-4 informan di setiap desa pada beberapa satuan lanskap yang menjadi habitat pasak bumi atau tempat perolehannya. Kajian ekologi Untuk mengetahui jumlah dan persebaran pasak bumi dibuat transek di Desa Peadundung. Pemilihan desa tersebut didasarkan pertimbangan bahwa di antara kelima desa tempat penelitian, Peadundung merupakan tempat yang paling mudah dan paling banyak ditemukan pasak bumi. Transek dibuat seluas 1 ha di lima lokasi berbeda dan masing-masing transek dibuat berukuran 20 m x 100 m. Lokasi dibuat transek dengan purposive sampling yaitu tempat-tempat ditemukan pasak bumi. Di setiap transek dihitung jumlah pasak bumi yang ditemukan. Untuk melengkapi data diukur pH tanah, kemiringan tanah, dan struktur tanah tempat ditemukan tanaman tersebut. Analisis data Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif.
Gambar 1. Lokasi penelitian (lima desa sub-etnis Batak di Sumatera Utara)
SILALAHI & NISYAWATI – Etnobotani pasak bumi pada etnis Batak
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan lokal pemanfaatan Eurycoma longifolia Jack. Eurycoma longifolia memiliki nama lokal yang berbeda pada kelima sub-etnis Batak yaitu bulung besan (Karo), tongkat ali (Phakpak), horis kotala (Simalungun), tengku ali (Toba), dan ampahan gunjo (Angkola-Mandailing). Pada semua sub-etnis Batak (kecuali sub-etnis Toba), pasak bumi hanya diketahui dan dikenali oleh responden yang berumur lebih dari 50 tahun. Masyarakat lokal sub-etnis Toba di Desa Peadungdung, hampir seluruh komponen lapisan masyarakat mengenali dan mengetahui manfaat pasak bumi. Secara umum, pasak bumi ditemukan di hutan primer atau agroforestry karet yang telah lama ditinggal petani. Alasan petani meninggalkan agroforestry karet tersebut karena karet yang ditanam sudah tidak menghasilkan getah sehingga petani kurang menyukai lahan tersebut. Hasil pengukuran pH tanah pada setiap lokasi menunjukkan pasak bumi ditemukan di tanah asam dan berpasir dengan pH 4-5 serta dengan kemiringan >30o. Bagi petani, pasak bumi merupakan indikator tanah yang tidak subur. Pada masyarakat Batak di Sumatera Utara, pasak bumi dimanfaatkan sebagai obat demam, malaria, sakit perut, dan penambah stamina. Daun, biji, dan akar merupakan organ utama yang dimanfaatkan. Untuk mendapatkan akar pasak bumi dilakukan penggalian, namun karena sulit mendapatkan akar, masyarakat lokal khususnya di Desa Peadundung lebih sering memanfaatkan bagian daun dibandingkan dengan bagian lainnya. Pemanfaatan bagian akar dan biji jarang dilakukan, dan hanya digunakan untuk menyembuhkan penyakit berat seperti malaria. Berdasarkan rasa pahit yang dihasilkan oleh pasak bumi, bagian biji lebih pahit dibandingkan dengan akar maupun daun. Bagian tumbuhan dengan rasa yang sangat pahit diyakini dapat menyembuhkan penyakit berat. Masuknya makelar tumbuhan obat ke Desa Tanjung Julu (Angkola-Mandailing) memperkenalkan cara baru untuk mendapatkan akar pasak bumi, yaitu dengan cara memotong bagian pangkal batang kira-kira 10 cm di atas permukaan tanah, kemudian batang ditekan ke arah bawah dengan bantuan martil. Hal tersebut bertujuan agar ujung akar terputus sehingga akar mudah dikeluarkan/ditarik ke atas. Akar pasak bumi oleh makelar dihargai dengan harga Rp2.000,00 per kilogram. Hal tersebut mengakibatkan eksploitasi pasak bumi yang berlebihan. Kajian ekologi Di antara kelima desa tempat penelitian dilakukan, Desa Peadundung merupakan lokasi paling banyak ditemukan tanaman pasak bumi. Di desa-desa tersebut pasak bumi ditemukan di pekarangan, agroforestry karet, dan hutan primer. Untuk mengetahui persebarannya dibuat transek pada agroforestry hingga hutan primer. Transek sebanyak 3 lokasi ditempatkan di agroforestry karet dengan tahap suksesi lanjut, sedangkan 2 transek ditempatkan di hutan primer. Pada kelima tempat transek dengan ukuran masing-masing 20 m x 100 m ditemukan
745
pasak bumi dengan jumlah yang bervariasi yaitu antara 325 pohon. Di agroforestry karet ditemukan jumlah pasak bumi antara 3-13 pohon, lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditemukan di hutan primer yaitu 16-25 pohon. Ukuran tinggi pasak bumi yang ditemukan juga bervariasi, yaitu antara 1-10 m. Tinggi pasak bumi yang ditemukan di hutan primer lebih bervariasi dibandingkan dengan yang ditemukan di agroforestry, sedangkan anakan pasak bumi hanya ditemukan di hutan primer. Pembahasan Pemanfaatan Eurycoma longifolia Jack. Nama lokal E. longifolia pada sub-etnis Batak dalam penelitian ini sangat berbeda dengan nama lokal yang dituliskan oleh Heyne (1950) dan Achmad et al. (2008) yang menuliskan babi kurus. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya revisi untuk nama lokal E. longifolia. Kuswata Kartawinata (komunikasi pribadi) yang merupakan peneliti senior di Herbarium Bogoriense, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa beberapa nama lokal tumbuhan yang dituliskan pada buku Heyne (1987) tidak sesuai dengan nama yang ditemukan di lapangan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa pada saat eksplorasi, tanaman bermanfaat yang ditulis Heyne dibantu oleh masyarakat lokal, namun diperlakukan oleh tim ekspedisi (dipimpin oleh Belanda) secara kurang manusiawi. Akibatnya, beberapa nama tumbuhan tersebut digunakan sebagai bahan “ejekan-ejekan” atau ungkapan “kekesalan” kaum pribumi terhadap Belanda sehingga diduga muncul kata “babi kurus”. Pada etnis Batak, pasak bumi dimanfaatkan sebagai obat sakit perut, demam, malaria, dan penambah stamina. Pemanfaatan pasak bumi sebagai bahan obat berhubungan dengan kandungan senyawa bioaktifnya. Senyawa utama yang terdapat pada Simaroubaceae merupakan senyawa kuasinoid yang memiliki rasa pahit. Pada masyarakat lokal Batak, Sumatera Utara tumbuhan yang memiliki rasa pahit diyakini berkhasiat sebagai obat demam, sedangkan tumbuhan yang sangat pahit dimanfaatkan untuk penyakit malaria (Silalahi 2014). Etnis Batak memanfaatkan daun pasak bumi sebagai obat sakit perut, sedangkan bagian akarnya dimanfaatkan sebagai obat malaria, khususnya pada etnis Batak yang bermukim di dataran rendah. Perbedaan khasiat organ daun dan akar pasak bumi berkaitan dengan kandungan senyawa bioaktifnya. Akar pasak bumi mengandung kuasinoid-C20 yang mengandung 13ᵝ,21-dihidroksieuri-kamanol, sedangkan bagian daun mengandung kuasinoid-C20 yang mengandung gugus 13-alpha(21)-epoksi (Achmad et al. 2008). Berdasarkan bioessay ekstrak alkohol dari daun dan batang pasak bumi memperlihatkan aktivitas positif terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Escherichia coli, namun bagian akar tidak memperlihatkan hal yang sama (Farouk dan Benafri 2007). Kemampuan ekstrak daun pasak bumi untuk menghambat pertumbuhan E. coli mendukung pemanfaatannya sebagai obat sakit perut, sedangkan kemampuan menghambat pertumbuhan S. typhi berhubungan dengan manfaatnya sebagai obat demam khususnya demam tifus.
746
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 743-746, Juli 2015
Selain dimanfaatkan sebagai obat deman dan sakit perut, pasak bumi juga dimanfaatkan untuk meningkatkan stamina dan sering dikaitkan sebagai obat aprosidiak. Ang et al. (2002) menyatakan bahwa pemberian ekstrak pasak bumi dapat meningkatkan aktivitas seksual hewan percobaan dan menunjukkan waktu koitus lebih panjang sehingga cocok digunakan sebagai aprosidiak. Talbott et al. (2013) menyatakan bahwa pemberian ekstrak akar pasak bumi dapat meningkatkan hormon testosteron dan kortison pada manusia sehingga mendukung pemanfaatannya sebagai aprosidiak. Dalam penelitian ini, sub-etnis Batak yang bermukim di dataran rendah (Pakphak, Toba, dan Angkola-Mandailing) memanfaatkan akar maupun daun pasak bumi sebagai obat malaria, namun sub-etnis yang bermukim di dataran tinggi (Karo dan Simalungun) tidak mengenal penyakit malaria sehingga pasak bumi hanya dimanfaatkan sebagai obat demam. Chan et al. (2004) dan Kuo et al. (2003) menyatakan bahwa beberapa senyawa kuasinoid pada pasak bumi seperti eurykamanol dan eurykamanol 2-O-ᵝ-Dglukopiranosida menunjukkan aktivitas antimalaria terhadap Plasmodium falciparum. Ekologi Eurycoma longifolia Jack Di Desa Peadundung, pasak bumi ditemukan di pekarangan, agroforestry, dan hutan primer. Penemuan pasak bumi di pekarangan merupakan hal baru yang belum pernah dilaporkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pasak bumi yang ditemukan di pekarangan sengaja ditanam sebagai usaha untuk konservasi dan memudahkan perolehan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal Desa Peadundung memiliki hubungan yang kuat dengan pasak bumi. Anggraeni (2013) melaporkan bahwa pasak bumi merupakan tumbuhan obat dengan uses values dan index cultural significance paling tinggi di desa tersebut. Mardisiswojo dan Harsono (1968) menyatakan bahwa pasak bumi merupakan tumbuhan liar yang banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan di dataran rendah hingga ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Hal yang berbeda ditemukan dalam penelitian ini bahwa pada ketinggian >600 m masih ditemukan tanaman pasak bumi yaitu di Desa Simbou Baru (>700 m dpl). Hal ini menunjukkan bahwa persebaran pasak bumi yang ditemukan dalam penelitian ini lebih luas dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya. Pasak bumi yang ditemukan mirip dengan hasil penelitian Heryanto et al. (2006) bahwa kondisi habitat pasak bumi di lokasi penelitian bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 15-45%, ketinggian tempat 250-300 m di atas permukaan laut, dan termasuk hutan primer yang sudah terganggu. Eurycoma longifolia oleh sub-etnis Batak memiliki nama lokal yang berbeda-beda yaitu bulung besan (Karo), tongkat ali (Phakpak), horis kotala (Simalungun), tengku
ali (Toba), dan ampahan gunjo (Angkola-Mandailing). Etnis Batak memanfaatkan pasak bumi sebagai obat demam, sakit perut, bahan pembuat ramuan, dan penambah stamina. Berdasarkan tulisan ini, penting dilakukan revisi pada buku maupun laporan ilmiah yang menuliskan babi kurus sebagai nama lokal pasak bumi oleh etnis Batak.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada masyarakat lokal di Desa Kaban Tua, Surung Mersada, Simbou Baru, Peadundung, dan Tanjung Julu, Provinsi Sumatera Utara yang membantu dalam pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA Achmad SJ, Syah YM, Hakim EH et al. 2008. Ilmu Kimia dan Kegunaan Tumbuh-tumbuhan Obat Indonesia. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Ang HH, Cheang HS, Yusof AP. 2000. Effects of Eurycoma longifolia Jack. (tongkat ali) on the initiation of sexual performance of inexperienced castrated male rats. Exp Anim 49 (1): 35-38. Anggraeni R. 2013. Etnobotani Masyarakat Sub-etnis Batak Toba di Desa Peadundung, Sumatera Utara. [Skripsi]. Universitas Indonesia, Depok. Bangun P. 2010. Kebudayaan Batak. Dalam: Koentjaraningrat (ed). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan, Jakarta. Chan KL, Choo CY, Abdullah NR, Ismail Z. 2004. Antiplasmodial studies of Eurycoma longifolia Jack. using the lactate dehydrogenase assay of Plasmodium falciparum. J Ethnopharmacol 92 (2): 223-227. de Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMJ. 1999. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (1). Medicinal and Poisonous Plants. Backhuys Publishers, Leiden. Farouk AE, Benafri A. 2007. Antibacterial activity of Eurycoma longifolia Jack., a Maleysian medicinal plant. Saudy Med J 28 (9): 1422-1424. Heriyanto NM, Sawitri R, Subiandono E. 2006. Kajian ekologi dan potensi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) di kelompok hutan Sungai Manna, Sungai Nasal, Bengkulu. Buletin Plasma Nutfah 12 (2): 69-72. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 2. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Kuo PC, Shi LS, Damu AG et al. 2003. Cytotoxic and antimalaria ᵝcarboline alkaloids from the roots of Eurycoma longifolia. J Nat Prod 66 (10): 1324-1327. Mardisiswojo S, Harsono. 1968. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Jilid I. PT. Karya Wreda, Jakarta. Silalahi M. 2014. Etnomedisin Tumbuhan Obat Tradisional Sub-etnis Batak Sumatera Utara dan Perspektif Konservasinya. [Disertasi]. Universitas Indonesia, Depok. Suryadarma. 2005. Kosmologi pengobatan Usada Taru Pramana. J Trop Ethnobiol 2 (1): 65-80. Talbott SM, Talbott JA, George A, Pugh M. 2013. Effect of tongkat ali on stress hormones and psychological mood state in moderately stressed subjects. J Intl Soc Sports Nutr 10 (28): 1-7. Walujo EB. 2009. Etnobotani: memfasilitasi penghayatan, pemutakhiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Prosiding Seminar Etnobotani IV. Cibinong Science Center-LIPI, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 747-752
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010411
Pemanfaatan aneka ragam burung dalam kontes burung kicau dan dampaknya terhadap konservasi burung di alam: Studi kasus di Kota Bandung, Jawa Barat Benefit of various birds in the song-bird contest and its impact to bird conservation in nature: A case study in Bandung, West Java JOHAN ISKANDAR1,♥, BUDIAWATI S. ISKANDAR2.♥♥ 1
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. +62-22-7797712 psw. 104, Fax. +62-22-7794545, ♥email:
[email protected] 2 Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat. ♥♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 17 Februari 2015. Revisi disetujui: 25 April 2015.
Iskandar J, Iskandar BS. 2015. Pemanfaatan aneka ragam burung dalam kontes burung kicau dan dampaknya terhadap konservasi burung di alam: Studi kasus di Kota Bandung, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 747-752. Tulisan ini mendiskusikan hasil studi etno-ornitologi tentang pengetahuan masyarakat mengenai aneka ragam jenis burung kontes, kebiasaan merawat burung, kegiatan kontes burung kicau, dan dampaknya terhadap konservasi burung di alam berdasarkan studi kasus di Kota Bandung, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran antara metode kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercatat 14 jenis burung dari 8 famili yang biasa dikonteskan. Jenis-jenis burung tersebut terdiri atas 11 jenis burung lokal dan 3 jenis burung impor. Pengaruh maraknya kegiatan kontes burung kicau telah menyebabkan maraknya hobi memelihara burung dan perdagangan burung di Kota Bandung. Secara positif, kegiatan tersebut dapat mengembangkan berbagai pengetahuan masyarakat tentang burung, seperti aneka ragam jenis ataupun ras burung, tingkah laku burung, kicau burung, perawatan, dan penangkaran burung, khususnya terhadap jenis-jenis burung yang biasa dikonteskan. Selain itu, maraknya kontes burung kicau juga telah menyebabkan berkembangnya kegiatan ekonomi dan industri pada masyarakat yang berkaitan dengan hobi memelihara burung, seperti industri pembuatan sangkar, pembuatan pakan, vitamin, dan obat-obatan burung piaraan. Namun, kegiatan tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap konservasi burung di alam. Kegiatan kontes burung kicau dan perdagangan burung di kota telah menyebabkan maraknya perburuan burung secara tidak terkendali di daerah-daerah pedesaan. Akibatnya, populasi beberapa jenis burung kicau menjadi langka dan berisiko tinggi untuk punah di alam akibat eksploitasi yang berlebihan untuk perdagangan burung di kota. Oleh karena itu untuk pemanfaatan burung kicau secara berkelanjutan, upaya konservasi burung berlandaskan partisipasi masyarakat sungguh dibutuhkan. Kata kunci: Bandung, etno-ornitologi, konservasi alam, burung kicau, pengetahuan masyarakat
Iskandar J, Iskandar BS. 2015. Benefit of various birds in the song-bird contest and its impact to bird conservation in nature: A case study in Bandung, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 747-752. This paper discussed the result of ethno-ornithology study about the local knowledge about various contest song-bird species, bird-keeping practice, song-bird contest activity and its impact to the bird conservation in nature based on a case study undertaken in Bandung, West Java. The method that applied in this research was a mixed between the qualitative and the quantitative methods. The result of study showed that there were 14 bird species of 8 families that been commonly entertained in the song-bird contests. They were consisted of 11 bird species that categorized as native birds and 3 bird species as bird import origin. The influence of more popular song-bird contests activity had caused of more popular bird keeping hobby and bird trading in Bandung urban area. Positively, the song-bird contests has developed various knowledge of people about the birds, such as various bird species or races, bird behavior, bird song, bird keeping and bird breeding, especially to bird species that commonly to be contested. In addition, by undertaking regular song-bird contests have stimulated the development of local economic and industry activities in relation to the song-bird keeping hobby, such as an industry of bird cage, feeding, vitamin and medicines. However, the song-bird contests have also negatively impact on the bird conservation in nature. The song bird contests activity and bird trading in the urban area have caused of uncontrolled bird hunting and catching in the village areas. Consequently, the population of some song-bird species have became very rare and a high risk to be extinct in the nature due to over exploitation for the bird trading in the urban area. Therefore, to obtain a sustainable benefit of song-bird species, the bird conservation efforts based on the local community participation are urgently needed. Keywords: Bandung, ethno-ornithology, local knowledge, nature conservation, song-bird
748
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 747-752, Juli 2015
PENDAHULUAN Ditilik dari sejarah ekologi, kebiasaan masyarakat Indonesia memelihara burung dalam sangkar telah dikenal sejak lama (Kunto 1986; Whitten et al. 1999; Jepson 2010). Bahkan, di etnik Jawa, kebiasaan memelihara burung lekat (embedded) dengan kebudayaan (Brotoisworo dan Iskandar 1984; Jepson dan Ladle 2005). Mengingat berdasarkan tradisi di etnik Jawa bahwa seorang lelaki dianggap berhasil atau sempurna hidupnya apabila telah terpenuhi lima aspek, yaitu memiliki: (i) pekerjaan (narpadha), (ii) rumah (wismo), (iii) kuda atau kereta (turangga), (iv) istri (wanita), dan (v) burung (kukila) (Brotoisworo dan Iskandar 1984). Oleh karena itu, kebiasaan memelihara burung sangat populer di masyarakat. Pada umumnya jenis burung yang banyak dipelihara adalah burung perkutut (Geopelia striata). Masyarakat percaya bahwa memelihara burung perkutut dianggap dapat membawa keberuntungan. Dalam perkembangannya, kini jenis burung bukan lagi sekedar untuk dipelihara dalam sangkar atau kandang dan dinikmati dalam keluarga, namun jenis-jenis burung juga biasa dikonteskan untuk dipertandingkan irama lagu kicauan, volume suara, stamina atau durasi kicauan, dan keindahan fisik burung. Kontes burung di Indonesia mulai populer pada awal 1970-an. Pada umumnya, jenis burung utama yang biasa dikonteskan adalah burung perkutut (Jepson 2010). Kemudian pada pertengahan 1976-an, aneka ragam jenis burung kicau pun mulai dikonteskan di Indonesia (Turut 2012). Pada saat itu, jenis-jenis burung kicau yang populer dikonteskan terutama adalah burung impor, seperti hwa mei/wambi (Garrulax canorus), poksay hitam (Garrulax chinensis), dan kenari (Serinus canarius). Sementara itu, jenis burung lokal yang biasa dikonteskan terutama burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanica). Namun, dalam perkembangannya pada masa krisis moneter pada tahun 1998, jenis-jenis burung impor tidak lagi banyak dikonteskan. Hal ini disebabkan jenis-jenis burung impor harganya menjadi mahal karena nilai rupiah terhadap nilai dolar sangat terpuruk. Selain itu, pemerintah juga melarang mengimpor jenis-jenis burung dari luar negeri karena maraknya penyakit flu burung. Pasca krisis moneter, kontes burung kicau (KBKC) di Indonesia semakin marak. Penyelenggaraan KBKC tidak hanya dimonopoli oleh PBI (Perhimpunan Pelestari Burung Indonesia), akan tetapi juga oleh berbagai kelompok yayasan, seperti BnR bekerja sama dengan PBI. Bahkan, penyelenggaraan KBKC tidak hanya di Jakarta, tapi juga marak diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia. Penyelenggaranya adalah para event organizer (EO) lokal bekerja sama dengan BnR (Jakarta), Ebod Jaya (Bandung), dan PBI. Kegiatan KBKC di Indonesia memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya yaitu kegiatan KBKC tersebut dapat mengembangkan berbagai pengetahuan masyarakat tentang aneka ragam jenis ataupun ras burung, tingkah laku burung, kicau burung, perawatan burung, dan penangkaran burung, khususnya terhadap jenis-jenis burung yang biasa dikonteskan. Selain itu, maraknya kontes burung kicau juga menyebabkan
berkembangnya kegiatan ekonomi dan industri di masyarakat yang berkaitan dengan hobi pemeliharaan burung. Contohnya adalah industri pembuatan sangkar, pembuatan pakan, vitamin, dan obat-obatan burung piaraan. Dampak negatifnya yaitu kegiatan KBKC sangat mengkhawatirkan terhadap kepunahan berbagai jenis burung, khususnya burung yang marak dikonteskan di perkotaan. Misalnya saja, maraknya burung cucak rawa dikonteskan di Indonesia. Akibatnya, populasi cucak rawa di alam turun secara drastis dan nyaris punah. Hal ini disebabkan burung cucak rawa banyak diburu di berbagai daerah karena banyak dipelihara, diperdagangkan, dan dikonteskan di perkotaan (Nash 1994; Turut 2012). Mengingat semakin maraknya kegiatan kontes burung kicau (KBKC) di Indonesia maka studi tentang etnoornitologi yang berkaitan dengan kontes burung di perkotaan sangat penting. Etno-ornitologi adalah studi tentang berbagai aspek burung dari sudut pandang pengetahuan dan budaya masyarakat (Hunn 2011; Tidemann et al. 2011). Tulisan ini membahas hasil studi etno-ornitologi tentang pengetahuan masyarakat para pemelihara burung dan peserta kontes burung kicau dari berbagai aspek kaitannya dengan kontes burung kicau, berupa studi kasus di Kota Bandung. Tujuan studi ini adalah: (i) mengkaji pengetahuan penduduk para pemelihara burung tentang aneka ragam jenis burung kontes; (ii) mengkaji kebisaan merawat burung; (iii) kegiatan kontes burung kicau (KBKC) di Kota Bandung, Jawa Barat; dan (iv) dampak kegiatan kontes burung kicau terhadap konservasi burung di alam.
BAHAN DAN METODE Area kajian Kajian ini dilakukan di beberapa daerah di Kota Bandung, Jawa Barat dan sekitarnya, terutama di Bandung Timur, seperti kawasan Cibiru, Ujungberung, dan Sukamiskin, pada tahun 2013-2014. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku pegangan untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung karangan MacKinnon et al. (1992). Bahan lainnya yaitu buku catatan lapangan untuk mencatat data hasil wawancara dengan informan, yaitu penduduk yang biasa mengikuti kontes burung di Kota Bandung. Selain itu diperlukan juga lembar kuesioner, khusus untuk wawancara dengan 30 responden dari para pemelihara burung di Kota Bandung. Metode yang digunakan yaitu pendekatan campuran antara metode kualitatif dan kuantitatif (Newing et al. 2011). Cara kerja Cara kerja dalam studi ini meliputi tiga kegiatan utama. Pertama, wawancara yang dilakukan secara terstruktruk menggunakan kuesioner terhadap 30 responden yang gemar memelihara burung di kawasan Bandung Timur. Kedua, wawancara secara deep interview terhadap beberapa informan yang biasa aktif mengikuti kontes burung di kawasan Bandung Timur, seperti kawasan Cibiru, Ujungberung, dan Sukamiskin. Ketiga, pengamatan
ISKANDAR & ISKANDAR – Dampak kontes burung kicau terhadap konservasi burung di alam
langsung pada saat kegiatan kontes burung di tingkat lokal dan regional yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Pengetahuan jenis burung Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 responden para pemelihara burung di Kota Bandung dan sekitarnya, tercatat 14 jenis burung dari 8 famili, yang sering dikonteskan oleh para pemelihara burung di berbagai wilayah di Kota Bandung dan sekitarnya (Tabel 1). Dari hasil wawancara dengan informan, para peserta kontes burung memiliki pengetahuan yang mendalam tentang jenis-jenis burung yang kontes. Selain itu, mereka juga memiliki pengetahuan tentang variasi dari setiap jenis burung kontes. Misalnya, burung murai batu (Copsychus malabaricus) dikenal memiliki 10 variasi atau ras, yaitu murai batu Jawa, atau biasa disebut pula larwo, murai batu Binjai, murai batu Lampung, murai batu Medan, murai batu Jambi, murai batu Nias, murai batu Borneo, murai black jack (Aceh), murai balak lima, dan murai batu Bordam. Murai batu balak lima merupakan burung murai batu hasil penyilangan induk jantan murai batu Medan dengan burung betina murai black jack (Aceh). Sementara itu, murai batu Bordam merupakan hasil penyilangan burung murai batu jantan Medan dengan burung murai batu Borneo. Menurut informan, variasi burung murai batu dapat dibedakan, seperti panjang ekor, warna bulu ekor, bentuk ekor, bentuk tubuh, kicauan, dan perilakunya pada saat dikonteskan. Contoh lainnya, menurut informan, adalah burung pentet/toed (Lanius schach). Burung pentet dapat dibedakan menjadi tiga variasi, yaitu pentet Priangan, pentet Jawa, dan pentet Madura. Ketiga variasi burung pentet tersebut dibedakan terutama berdasarkan ukuran tubuh, warna bulu di kepala, kicauan, dan sifat agresif ketika sedang dilombakan pada saat kontes.
Kebisaan merawat burung Penilaian kontes burung kicau (KBKC) utamanya ditekankan pada aspek keindahan lagu atau irama kicauan burung, rendah atau tingginya volume suara burung, durasi atau stamina terutama rajin atau tidaknya burung berkicau pada saat kontes, serta kondisi fisik dan gaya burung ketika berkicau. Oleh karena itu para pemelihara burung kontes merawat burungnya secara seksama dengan target untuk menjadi juara lomba kontes. Berbagai kegiatan perawatan burung yang utama dilakukan, antara lain memandikan burung, menjemur burung, memberi pakan, melakukan perawatan burung saat bulunya rontok (mabung), dan pengisian suara. Pengisian suara burung dilakukan agar burung utama kontes memiliki suara bagus dan bervariasi. Biasanya, burung utama kontes diisi oleh jenis-jenis burung lainnya yang disebut sebagai burung master. Misalnya saja, burung murai batu, biasanya diisi oleh suara burung master seperti lovebird, parkit, cucak jenggot, cililin, kenari, dan gereja tarung. Oleh karena itu bagi para pemelihara burung yang biasa ikut KBKC, di rumahnya, selain memiliki jenis burung utama kontes seperti murai batu dan anis merah, mereka juga memiliki aneka ragam jenis burung lain yang berfungsi sebagai burung master. Bahkan dalam perkembangannya, kini jenis-jenis burung master pun juga biasa dikonteskan (Tabel 1). Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 responden pemelihara burung, dapat diketahui bahwa mereka memperoleh pengetahuan merawat burung dengan berbagai cara, antara lain belajar dan pengalaman pribadi dengan melakukan trial and error (56,66%), belajar dari buku/literatur (20,00%), belajar dari internet (16,66%), dan belajar dari orang terutama sesama teman dari komunitas pemelihara burung (6,66%). Sementara itu, dalam melakukan perawatan burung, responden biasanya dibantu oleh istri dan anaknya (66,66%), dibantu oleh anak saja (20,00%), atau dibantu oleh pembantu khusus (13,33%).
Tabel 1. Jenis-jenis burung yang biasa dikonteskan di tingkat lokal Kota Bandung dan sekitarnya Nama jenis
Nama ilmiah
Famili
Keterangan
Anis kembang Anis merah Ciblek Cucak hijau Cucak jenggot Gelatik batu Jalak suren Kacer/murai Kenari*) Lovebird*) Murai batu Parkit*) Pentet/toed Pleci/kacamata
Zoothera interpres Zoothera citrina Prinia familiaris Chloropsis sonneratii Criniger bres Parus major Sturnus contra Copsychus saularis Serinus canarius Agapornis sp. Copsychus malabaricus Melopsittacus undulates Lanius schach Zostrops palpebrosa
Turdidae Turdidae Sylviidae Chloropseidae Pycnonotidae Paridae Sturnidae Turdidae Fringilidae Psittacidae Turdidae Psittacidae Laniidae Zosteropidae
Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung utama untuk dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung utama untuk dikonteskan Burung utama untuk dikonteskan Burung utama dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan Burung master dan juga biasa dikonteskan
Keterangan: *) Burung asal impor
749
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 747-752, Juli 2015
750
Tabel 2. Kontes burung kicau tingkat lokal/latihan bersama (latber) di Kota Bandung dan sekitarnya periode 2014 No.
Aspek
A.
Penyelenggara Tempat dan waktu
: :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket Hadiah
: :
Keterangan
:
Penyelenggara Tempat dan waktu
: :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Keterangan
:
Penyelenggara Tempat dan waktu Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : : : :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Kelas dan tiket
:
B.
C.
Keterangan Harmony Even Kantor Gudang Bulog, Jl. Raya Gede Bage, Bandung, Minggu, 30 November 2014, Pukul 10.00selesai Exclusive, tiket Rp. 80.000,00 Anis, murai batu, lovebird Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 1.000.000,00 dan Rp. 150.000,00; juara ke-2 Rp. 500.000,00 dan Rp. 100.000,00; juara ke-3 Rp. 250.000,00; juara ke-4 Rp. 125.000,00; juara ke-5 Rp. 100.000,00; juara ke-6 s/d 9 Rp. 90.000,00 Harmony, Rp. 60.000,00 Anis, murai, kenari, pentet, cucak jenggot, lovebird AB, kacer Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 700.000,00 dan Rp. 100.000,00; juara ke-2 Rp. 300.000,00 dan Rp. 50.000,00; juara ke-3 Rp. 150.000,00; juara ke-4 Rp. 100.000,00; juara ke-5 Rp. 80.000,00; juara ke-6 s/d 9 Rp. 70.000,00 Bintang, Rp. 40.000,00 Anis merah, kacer, kenari bebas, ciblek, lovebird A, murai Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 450.000,00 dan Rp. 100.000,00; juara ke-2 Rp. 200.000,00 dan Rp. 50.000,00; juara ke-3 Rp. 120.000,00; juara ke-4 Rp. 80.000,00; juara ke-5 Rp. 60.000,00; juara ke-6 s.d. 9 Rp. 45.000,00 Favorite, Rp. 30.000,00 Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 350.000,00 dan Rp. 100.000,00; juara ke-2 Rp. 150.000,00 dan Rp. 50.000,00; juara ke-3 Rp. 80.000,00; juara ke-4 Rp. 60.000,00; juara ke-5 Rp. 50.000,00; juara ke-6 Rp. 35.000,00 Besaran hadiah seperti dijelaskan di atas berlaku jika jumlah peserta kontes/gantangan 30 atau lebih. Namun, jika jumlah gantangan hanya 30 atau kurang, besaran hadiah berlaku diambil mulai dari juara 2 dan seterusnya. Sementara itu, jika jumlah gantangan 20 atau kurang, besaran hadiah diambil mulai dari juara 3 dan seterusnya. Selain itu, hadiah dengan plus akan diberikan jika peserta kontes/gantangan full, yaitu 48 gantangan. Anugrah Bird Club (ABC), dengan sponsor Ebod Jaya, Ngabat Team, Koploba Sanggar Indah Banjaran No.114 (Anugrah Motor), Cangkuang, Bandung, Rabu, 26 November 2014, pukul 10.00-selesai Ebod Vit, Rp. 40.000,00 Anis merah, murai batu, lovebird, kenari kecil Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 750.000,00; juara ke-2 Rp. 300.000,00; juara ke-3 Rp. 150.000,00; juara ke-4 Rp. 80.000,00; juara ke-5 s.d. 6 Rp. 40.000,00 Jati Jajar, Rp. 30.000,00 Anis merah, murai batu, lovebird, kenari kecil, cucak jenggot Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 400.000,00; juara ke-2 Rp. 200.000,00; juara ke-3 Rp. 100.000,00; juara ke-4 Rp. 60.000,00; juara ke-5 s.d. 6 Rp. 30.000,00 Ngebat, Rp. 20.000,00 Lovebird, kenari kecil, cucak jenggot, pentet, kacer Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 250.000,00; juara ke-2 Rp. 125.000,00; juara ke-3 Rp. 60.000,00; juara ke-4 Rp. 40.000,00; juara ke-5 s.d. 6 Rp. 20.000,00 Ebod Joss, Rp. 15.000,00 Lovebird, kenari kecil, cucak jenggot, pentet, ciblek Hadiah dan piagam: juara ke-1 Rp. 200.000,00; juara ke-2 Rp. 100.000,00; juara ke-3 Rp. 60.000,00; juara ke-4 Rp. 30.000,00; juara ke-5 s.d. 6 Rp. 15.000,00 Besaran hadiah seperti dijelaskan di atas berlaku jika jumlah peserta kontes/gantangan 30 atau lebih. Namun, jika gantangan 30 atau kurang dari 30, besaran hadiah diambil mulai dari besaran juara ke-2 dan seterusnya. Demikian pula, jika gantangan 20 atau kurang, besaran hadiah diambil mulai dari besaran juara ke-3 dan seterusnya. Bandung Timur Bird Club (BTC) Sabtu, 29 November 2014, Pukul 10.000-selesai E-Bodre, Sangkar Bebas, Rp. 20.000,00 Lovebird, kenari Juara ke-1 Rp. 500.000,00; juara ke-2 Rp. 200.000,00; juara ke-3 Rp. 100.000,00; juara ke-4 Rp. 50.000,00; juara ke-5 s.d. 10 Rp. 20.000,00 Jatijajar, sangkar bebas, Rp. 40.000,00 Anis merah, lovebird, kenari kecil Juara ke-1 Rp. 500.000,00; juara ke-2 Rp. 200.000,00; juara ke-3 Rp. 100.000,00; juara ke-4 Rp. 50.000,00; juara ke-5 s.d. 10 Rp. 30.000,00 Ebod Vit, sangkar bebas, Rp. 30.000,00
ISKANDAR & ISKANDAR – Dampak kontes burung kicau terhadap konservasi burung di alam Jenis burung Hadiah
: :
Kelas dan tiket Jenis burung Hadiah
: : :
Keterangan
:
Keterangan: Setiap hari Minggu, (Galamedia 2014).
751
Anis merah, lovebird, kenari kecil, kenari umum, pentet, kacer, cucak jenggot, murai batu Juara ke-1 Rp. 350.000,00; juara ke-2 Rp. 150.000,00; juara ke-3 Rp. 70.000,00; juara ke-4 Rp. 50.000,00; juara ke-5 s.d. 10 Rp. 30.000,00 Ebod Vit, sangkar bebas, Rp. 20.000,00 Anis merah, lovebird, kenari kecil, cucak jenggot, kacer, pentet Juara ke-1 Rp. 200.000,00; juara ke-2 Rp. 100.000,00; juara ke-3 Rp. 50.000,00; juara ke-4 Rp. 30.000,00; juara ke-5 s.d. 10 Rp. 20.000,00 Besaran hadiah seperti dijelaskan di atas berlaku jika jumlah peserta kontes/gantangan 25 atau lebih. Namun, jika jumlah gantangan 25 atau kurang, besaran hadiah diambil mulai dari juara ke-2 dan seterusnya. Demikian pula, jika gantangan 15 atau kurang, besaran hadiah diambil mulai dari juara ke-3 dan seterusnya. kontes burung di Kota Bandung dan sekitarnya diselenggarakan sekurang-kurangnya di 30 tempat
Kegiatan kontes burung kicau Dewasa ini, kegiatan kontes burung kicau (KBKC) di berbagai daerah di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu tingkat lokal, regional, dan nasional. Misalnya saja, kegiatan KBKC di tingkat lokal atau biasa disebut sebagai kegiatan ’latihan bersama (latber)’ di Kota Bandung, marak dilaksanakan secara rutin setiap minggu oleh berbagai EO lokal (Tabel 2). Sementara itu, di tingkat regional, KBKC biasanya diselenggarakan secara rutin setiap 3 bulan, sedangkan KBKC di tingkat nasional diselenggarakan setiap 6 bulan atau setahun sekali. Kegiatan KBKC di tingkat lokal Bandung biasanya diikuti oleh para pemelihara burung dari Kota Bandung dan sekitarnya. Pada KBKC tingkat regional diikuti oleh para juara atau pemenang KBKC di tingkat lokal di Jawa Barat. Sementara itu, KBKC di tingkat nasional diikuti oleh para juara atau pemenang kontes burung di tingkat regional di Indonesia. Pada kegiatan KBKC di tingkat lokal, pembayaran tiket dan uang hadiah yang diberikan kepada para peserta relatif masih murah dibandingkan dengan KBKC di tingkat regional dan nasional (Tabel 2). Pada setiap EO lokal, kegiatan KBKC biasanya diikuti oleh sekitar 20-30 peserta atau lebih dengan disertai penonton 15-20 orang. Jadi, apabila di Kota Bandung minimal terdapat 30 tempat KBKC, setiap minggu tercatat minimal 30 x (20-30) atau sekitar 600-900 orang bisa rutin mengikuti KBKC di tingkat lokal. Sementara itu, pada kegiatan KBKC di tingkat regional dan nasional, jumlah peserta kontes lebih banyak lagi. Misalnya saja, pada KBKC tingkat regional pada tanggal 8 Maret 2015 di kawasan TVRI Bandung, diikuti oleh 2.240 peserta lomba. Para peserta KBKC tersebut dibagi menjadi 32 kelompok. Pada setiap kelompoknya terdiri atas 70 gantangan yang dinilai oleh 6-7 orang juri. Dampak kegiatan kontes burung Maraknya kontes burung kicau (KBKC) telah memberikan dampak positif dan negatif. Secara positif, kegiatan tersebut dapat mengembangkan berbagai pengetahuan masyarakat tentang aneka ragam jenis ataupun variasi/ras burung, tingkah laku burung, kicau burung, perawatan burung, penangkaran, dan lain-lain. Selain itu, maraknya kontes burung kicau juga telah mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi dan industri di masyarakat yang berkaitan dengan hobi pemeliharaan burung, seperti industri pembuatan sangkar, pembuatan pakan, vitamin, dan obat-obatan burung piaraan.
Namun demikian, kegiatan KBKC juga memberikan dampak negatif terhadap konservasi burung di alam. Maraknya kegiatan kontes burung kicau dan perdagangan burung di perkotaan telah menyebabkan meningkatnya perburuan burung secara tidak terkendali di daerah-daerah pedesaan. Misalnya kajian penulis di pedesaan DAS Cisokan, sub-DAS Citarum, Jawa Barat, menunjukkan bahwa jenis-jenis burung yang biasa dikonteskan di kota, seperti anis merah, murai batu, pentet, dan ciblek, marak diburu oleh penduduk lokal maupun para pengepul dari kota yang datang ke desa-desa. Pasalnya, jenis-jenis burung tersebut laku diperdagangkan dan harga jualnya mahal. Akibatnya, menurut informasi warga lokal di pedesaan DAS Cisokan, populasi jenis-jenis burung kontes yang tadinya cukup banyak di desanya, kini populasinya sangat rendah akibat banyak diburu secara liar. Pembahasan Pengetahuan jenis burung Ditilik dari pengetahuan penduduk pemelihara burung dan penduduk yang biasa ikut serta kontes burung kicau (KBKC), mereka memiliki pengetahuan yang mendalam terhadap jenis dan variasi/ras burung. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Diamond dan Bishop (2000) pada penduduk Ketengban di Papua New Guinea. Penduduk lokal Ketengban umumnya mengenal nama-nama burung di daerahnya dengan sangat baik dalam tingkatan jenis (spesies) dan variasi (sub-spesies) menurut klasifikasi sains Biologi. Namun, penduduk Katengban tidak mengenal secara baik klasifikasi burung pada tingkat spesies dan di atasnya, seperti bangsa ataupun kelas dalam klasifikasi sains Biologi. Kebiasaan merawat burung Studi tentang pengetahuan memelihara burung dari para responden memberikan hasil yang sangat menarik. Misalnya para informan mampu mengisikan beraneka ragam suara burung dari berbagai jenis burung pada satu jenis burung kicau utama. Hal tersebut mengubah kebiasaan kicauan burung di alam yang hanya memiliki kemampuan menirukan kicauan jenis burung lainnya secara terbatas (Petingill 1970). Berbagai studi etnobiologi terdahulu umumnya memberikan gambaran bahwa sumber pengetahuan penduduk lokal biasanya didominasi dari hasil pembelajaran dari orang tua melalui bahasa lisan, bahasa ibu (Puri 1997; Zent dan Zent 2004; Lizarralde 2004; Suryana et al. 2014). Pada studi kasus etno-ornitologi di
752
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 747-752, Juli 2015
Bandung, para pemelihara burung memperoleh pengetahuan bukan hanya secara lisan, namun pengetahuan tersebut juga merupakan hasil belajar dari buku/literatur dan internet. Hal tersebut dapat dimengerti, mengingat studi ini dilakukan di kawasan perkotaan. Oleh karena itu, pengaruh modernisasi, seperti penggunaan internet, telah mempengaruhi mereka dalam memperoleh berbagai pengetahuan tentang pemeliharaan dan perawatan burung. Kegiatan kontes burung Pada kenyataannya, pemeliharaan burung di Indonesia pada masa silam dilandasi lekat (embeddedness) oleh kebudayaan ataupun moral (Granoveter 1985; Jepson dan Landle 2005). Akan tetapi, kini memelihara burung oleh penduduk kota tidak lagi lekat moral. Memelihara burung tersebut cenderung lebih dilandasi oleh interest. Hal tersebut antara lain terjadi akibat perkembangan zaman secara cepat. Misalnya, adanya penetrasi faktor ekonomi pasar yang sangat intensif. Konsekuensinya, aneka ragam jenis burung marak dikonteskan dan laku diperdagangkan di kota (Jepson et al. 2011; Iskandar 2013). Dampak kegiatan kontes burung Berdasarkan studi ini, pemeliharaan burung, kegiatan kontes burung, dan perdagangan burung, selain memberikan keuntungan ekonomi, juga mempengaruhi populasi burung liar di alam. Pasalnya, kegiatan tersebut dapat mendorong perburuan liar di alam (Jepson 2008; Kristanto dan Jepson 2011; Iskandar 2015a). Akibatnya, kini beberapa jenis burung kontes, seperti anis merah dan murai batu, cenderung semakin langka di alam akibat banyak diburu. Dengan demikian, kegiatan kontes dan perdagangan burung secara tidak langsung dapat menjadi salah satu faktor yang membahayakan kelestarian burung di alam, di samping berbagai faktor gangguan lainnya, seperti konversi habitat, fragmentasi habitat, dan pencemaran lingkungan (Nash 1994; Shannaz et al. 1995; Watson et al. 1998; Pangau-Adam dan Noske 2010; Iskandar 2015b). Secara singkat, berdasarkan hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa kini kegemaran penduduk kota dalam memelihara burung tidak lagi sekedar untuk hobi dalam keluarga, namun cenderung lebih bersifat bisnis. Oleh karena itu, upaya konservasi aneka ragam jenis burung liar di alam, tidak cukup hanya dengan pendekatan formal, namun juga harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Misalnya dengan mempromosikan jenis-jenis burung yang dikonteskan harus merupakan burung hasil penangkaran, dengan dibuktikan memiliki sertifikat dan ditandai menggunakan cincin (ring).
DAFTAR PUSTAKA Brotoisworo E, Iskandar J, 1984. Problems of bird protection in Indonesia: a case study on Java. 10th Asian Continental Conference, Sri Lanka. Diamond J, Bishop KD. 1999. Ethno-ornithology of the Ketengban people Indonesian New Guinea. In: Medin DL, Atran S (eds). Folk Biology. Massachussets Institute of Technology, London. Galamedia. 2014. Galamedia News Online. www.galamedianews.com
Granoveter M. 1985. Economic action and social structure. Amer J Sociol 91: 481-510. Hunn E. 2010. Forward. In: Tidemann S, Gosler A (eds). Ethnoornithology: Birds, Indigenous People, Culture and Society. Earthscan, London. Iskandar J. 2013. Dilema perdagangan burung untuk membantu kesejahteraan dan perlindungan lingkungan: studi kasus perdagangan burung Kota Bandung. Seminar Nasional Biologi. Jatinangor, 22 Oktober 2013. Iskandar J. 2015a. Dilema antara hobi dan bisnis perdagangan burung serta konservasi burung. Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia 2015. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 13-14 Februari 2015. Iskandar J. 2015b. Keanekaan Hayati Jenis Binatang: Manfaat Ekologi bagi Manusia. Graha Ilmu, Yogyakarta. Jepson P. 2008. Developing a certification system for captive-bred birds in Indonesia. Traffic Bull 22(1): 7-9. Jepson P. 2010. Towards and Indonesian bird conservation ethos: Reflections from a study of birds-keeping in the cities of Java and Bali. In: Tidemann S, Gosler A (eds). Ethno-ornithology: Birds, Indigenous People, Culture and Society. Earthscan, London. Jepson P, Ladle RJ. 2005. Bird keeping in Indonesia: conservation impacts and the potential for substitution-based conservation responses. Oryx 4:442-448. Jepson P, Ladle RJ, Sujatnika. 2011. Assesing market based conservation governance approach: a socio-economic profile of Indonesia market for wilds. Oryx 45(4): 482-491. Kristanto IGN, Jepson P. 2011. Harvesting orange-headed thrush Zoothera citrina Chick in Bali, Indonesia: magnitude, practices and sustainability. Oryx 45 (4): 492-499. Kunto H. 1986. Semerbak Bunga di Bandung. Granesia, Bandung. Lizarralde M. 2004. Indigenous knowledge and conservation of rain forest: ethnobotany of the Bari of Venezuela. In: Carlson TJS, Maffi L (eds). Ethnobotany and conservation of biocultural diversity. The New York Botanical Garden Press, New York. MacKinnon J, Phillipps K, van Balen B. 1992. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. Petingill OS. 1970. Ornithology in Laboratory and Field. Burgess Publishing Company, Minneponis. Nash SV. 1994. Going for a Song: the Trade in SE Asian non-CITES Birds. Traffic, Cambridge. Pangau-Adam M, Noske R. 2010. Wildlife hunting and bird trade in Northern Papua (Irian Jaya), Indonesia. In: Tidemann S, Gosler A (eds). Ethno-ornithology: Birds, Indigenous People, Culture and Society. Earthscan, London. Newing H, Eagle CM, Puri RK, Watson CW. 2011. Conducting Research in Conservation: Social Science Methods and Practice. Routledge, London. Puri RK. 1997. Hunting knowledge of Penan Benalui of East Kalimantan Indonesia. [Dissertation]. University of Hawaii, Honolulu. Shannaz J, Jepson P, Rudyanto. 1995. Faktor-faktor penyebab burung secara global terancam punah dan kecenderungannya. Dalam: Shannaz J, Jepson P, Rudyanto (eds). Burung-burung Terancam Punah di Indonesia. PHPA/BirdLife International-Indonesia Programme, Bogor. Suryana Y, Iskandar J, Supratman U. 2014. Studi pengetahuan lokal tanaman obat pada agroekosistem pekarangan dan dinamika perubahannya di Desa Cibunar, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang-Jawa Barat. Bionatura 16 (1): 19-25. Tidemann S, Chirgwin S, Sinclair JR. Indigenous knowledge, birds that have “spoken” and science. In: Tidemann S, Gosler A (eds). Ethnoornithology: Birds, Indigenous People, Culture and Society. Earthscan, London. Turut R. 2012. Burung Ocehan Juara Kontes. Penebar Swadaya, Bogor. Watson R, Dixon JA, Hamburg SP et al. 1998. Protecting Our Planet Developing Our Future. UNEP, US National Aeronautics and Space Administration, and the World Bank, Washington DC. Zent S, Lopez-Zent E. 2004. Ethnobotanical convergence, divergence, and change among the Hoti of the Venezuelan Guayana. In: Carlson TJS, Maffi L (eds). Ethnobotany and Conservation of Biocultural Diversity. The New York Botanical Garden Press, New York.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 753-756
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010412
Keragaman tumbuhan sebagai pewarna pada kerajinan tenun suku Sasak: Studi kasus di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat Plant diversity as weaving crafts-dye of Sasak ethnic: A case study in Sukarara Village, Jonggat Sub-district, Central Lombok District, West Nusa Tenggara I DEWA PUTU DARMA♥, ARIEF PRIYADI♥♥ UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Bali. Tel. +62-368-2033211, +62-368-21273, ♥email:
[email protected], ♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 22 Januari 2015. Revisi disetujui: 20 April 2015.
Darma IDP, Priyadi A. 2015. Keragaman tumbuhan sebagai pewarna pada kerajinan tenun suku Sasak: Studi kasus di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 753-756. Indonesia sebagai negara kepulauan, mempunyai keragaman suku bangsa yang masing-masing mempunyai pengetahuan lokal. Salah satu pengetahuan tersebut adalah kerajinan tenun. Kerajinan ini merupakan salah satu hasil kreativitas manusia untuk pemenuhan kebutuhan berupa sandang. Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, sampai saat ini masih melestarikan kerajinan tenun. Salah satu pendukung keberlanjutan tenun adalah ketersediaan bahan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan. Pengetahuan tentang jenis-jenis tumbuhan pewarna perlu didokumentasikan untuk mendukung usaha pelestarian jenis-jenis tersebut. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu pusat kerajinan tenun di Lombok. Metode penelitian berupa observasi langsung di lapangan dan wawancara. Hasil penelitian menginformasikan terdapat 6 suku, 8 marga, dan 8 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai perwarna kerajinan tenun oleh penduduk Desa Sukarara. Adapun bagian tumbuhan yang digunakan mencakup kulit batang, daun, buah, biji, dan kayu. Dari 8 jenis tumbuhan tersebut, warna-warna yang dihasilkan yaitu merah, hitam, ungu, biru, hijau terang, kuning gelap, dan cokelat. Kata kunci: Pewarna, suku Sasak, tenun, tumbuhan
Darma IDP, Priyadi A. 2015. Plant diversity as weaving crafts-dye of Sasak ethnic: A case study in Sukarara Village, Jonggat SubDistrict, Central Lombok District, West Nusa Tenggara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 753-756. Indonesia as an archipelago country, has a diversity of ethnic groups that each of them generally has a certain local knowledge. One of the knowledge is weaving crafts. This craft is one of result of human creativity to fulfill their basic need of clothing. Sasak ethnic in Lombok Island, have still conserved the weaving crafts until now. One proponent of the weaving craft sustainability is the availability of the natural dyes derived from plants. The knowledge of dye plant species should be documented to support the conservation efforts of these species. In this research, the data collection was carried out in Sukarara Village, Jonggat sub-District, Central Lombok District, West Nusa Tenggara, which was one of the center of weaving crafts in Lombok. The research method was a direct field observation and interview. The result showed that there were six plant families, eight genera and eight plant species which had been used as a weaving craft dye. Meanwhile, parts of the plant used included barks, leaves, fruits, seeds and woods. From eight species of plant, the produced colors were red, black, purple, blue, light green, dark yellow and brown. Keywords: Dye, plant, Sasak ethnic, weaving craft
PENDAHULUAN Industri tekstil baik dalam skala besar maupun kecil tidak bisa dipisahkan dari penggunaan bahan pewarna. Dalam makalah ulasannya, Indrianingsih dan Darsih (2013) mengemukakan bahwa penggunaan bahan pewarna sintetis telah menyebabkan pencemaran lingkungan di pusat-pusat industri tekstil. Terlebih lagi, jenis-jenis pewarna sintetis sering mengandung logam berat yang tidak baik bagi kesehatan manusia yang dapat menimbulkan kanker, menyerang saraf otak, dan merusak lingkungan. Logam
berat ini sangat berbahaya meskipun kadarnya relatif kecil, sangat mudah diserap, dan terakumulasi secara biologis oleh biota dalam perairan. Logam timbal apabila terserap dan terakumulasi pada tubuh manusia dapat mengganggu kesehatan (Pranoto et al. 2002). Beberapa dampak negatif akibat penggunaan bahan pewarna sintetis menyebabkan perlunya upaya untuk mengganti bahan-bahan tersebut dengan bahan-bahan alami yang lebih ramah lingkungan (Baliarsingh 2012). Di kalangan masyarakat Indonesia, bahan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan sebenarnya telah diketahui dan
754
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 753-756, Juli 2015
diterapkan dalam usaha produksi tekstil dalam skala kecil. Salah satu pengetahuan tradisional tentang bahan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan yang masih dilestarikan oleh masyarakat lokal, ditemukan dalam kerajinan tenun di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Kerajinan ini juga disebut sebagai tenun Sukarara dan karena kualitasnya yang bagus, kerajinan ini sudah dikenal di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Pemanenan akar, kulit batang, daun, dan bagian-bagian lain dari tumbuhan pewarna, terutama yang statusnya masih liar/belum dibudidayakan, harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (Cunningham 2001). Kajian etnobotani penting dilakukan karena sering terkait dengan peran serta masyarakat lokal dalam manajemen biodiversitas (Pamungkas et al. 2013), termasuk pemanfaatan dan pelestarian sumber daya nabati tumbuh-tumbuhan untuk bahan baku pewarna alami. Dalam hal ini, perlu diperhatikan juga bahwa pada jenisjenis tumbuhan yang berbeda, potensi kuantitas bahan baku yang dihasilkan akan berbeda. Dalam sebuah kajian, Baliarsingh (2012) mengatakan kuantitas hasil bahan baku yang diperoleh dari tumbuhan Saraca asoka dan Albizia lebbeck berbeda nyata satu dengan yang lain, sementara rendemen bahan pewarna yang dihasilkan dari satu satuan bahan baku yang sama tidak berbeda nyata. Mengingat pemakaian pewarna sintetis sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, serta dengan semakin berkembangnya kesadaran ‘kembali ke alam’, penggunaan pewarna alami adalah alternatif pilihannya (Indrianingsih dan Darsih 2013). Oleh karena itu untuk menambah informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai perwarna alami, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi keragaman jenis tumbuhan sebagai pewarna tenun serta warna-warna yang
dihasilkan. Adapun terkait dengan usaha konservasi secara ex situ di Kebun Raya Bali, berdasarkan informasi daftar jenis tumbuhan dan pewarna yang dihasilkan, dilakukan penelusuran terhadap koleksi jenis-jenis tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis apa saja yang sudah dikoleksi dan sebaliknya. Daftar jenis-jenis berpotensi yang belum dikoleksi, dapat dijadikan acuan untuk kegiatan eksplorasi di masa mendatang.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Letak Desa Sukarara sekitar 25 km dari Kota Mataram. Desa ini merupakan salah satu pusat kerajinan tenun di Lombok yang didiami oleh suku Sasak. Penelitian dilakukan pada bulan September 2013. Cara kerja Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi langsung di lapangan dan wawancara. Pada pengambilan contoh digunakan responden kunci yang ditentukan secara sengaja yang terdiri atas masyarakat pengrajin tenun. Data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi nama jenis tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, dan warna yang dihasilkan. Analisis data Data pengamatan ditabulasikan dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel.
Gambar 1. Lokasi penelitian, ditandai dengan bentuk persegi panjang di samping kiri Kota Praya, Lombok Tengah
DARMA & PRIYADI –Tumbuhan pewarna pada suku Sasak, Lombok
755
Tabel 1. Keragaman tumbuhan sebagai pewarna pada kerajinan tenun di Desa Sukarara, Lombok Tengah Nama ilmiah/Nama lokal Mangifera indica L./Mangga Indigofera tinctoria L./Tahum Sesbania grandiflora (L.) Pers./Turi Tamarindus indica L./Asam Tectona grandis L.f./Jati Swietenia mahagoni (L.) Jacq./Mahoni Piper betle L./Sirih Morinda citrifolia L./Pace Morinda citrifolia L./Pace Morinda citrifolia L./Pace
Suku Anacardiaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Lamiaceae Meliaceae Piperaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lokasi penelitian, jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 diketahui bahwa bagian tanaman yang digunakan sebagai pewarna tenun yaitu kulit batang, daun, buah, biji, dan kayu. Adapun warna yang dihasilkan adalah merah, hitam, ungu, biru, hijau terang, kuning gelap, dan cokelat. Untuk lebih lengkapnya, informasi mengenai warna yang dihasilkan oleh jenis-jenis tumbuhan tersebut diuraikan sebagai berikut. Warna merah diperoleh dari kulit batang dan daun Tectona grandis serta daun Piper betle L. Adapun Harbelubun et al. (2005) melaporkan bahwa warna merah juga dapat dihasilkan dari tumbuhan Zizipus sp., Gmelina sp., kesumba keling (Bixa orellana L), biji secang (Caesalpinia sappan L), dan jambal (Peltophorum pterocarpum (Dc.). Pada kerajinan tenun suku Sasak, warna hitam diperoleh dari daun Mangifera indica L. Adapun menurut Harbelubun et al. (2005), warna hitam juga dapat dihasilkan dari tumbuhan Zyzygium sp. dan secang. Selanjutnya, warna ungu didapatkan dari daun dan kulit batang Sesbania grandiflora (L.) Pers. Warna biru menggunakan daun Morinda citrifolia L. dan Indigofera tinctoria L. Warna hijau terang menggunakan buah dari Morinda citrifolia L. Warna kuning gelap menggunakan kayu dari Morinda citrifolia L. Selanjutnya, Harbelubun et al. (2005) menyebutkan warna kuning juga dapat dihasilkan dari Vaccinium sp., Curcuma domestica Val., dan Mangifera indica L. Secara umum, jenis-jenis tumbuhan yang tercantum pada Tabel 1 merupakan jenis-jenis yang cukup dikenal luas oleh masyarakat. Namun demikian, beberapa jenis tidak sepenuhnya dikenal sebagai penghasil warna tekstil. Sebagai contoh jati, lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai penghasil kayu berkualitas istimewa dibandingkan sebagai penghasil warna. Seperti halnya jati, mahoni juga umumnya dikenal sebagai penghasil kayu. Bagian yang digunakan dari tumbuhan jati dan mahoni adalah kulit batang (Tabel 1). Dalam Cunningham (2001) disebutkan bahwa pemanenan bagian kulit batang mempunyai dampak nyata terhadap kesehatan individu tumbuhan tersebut. Oleh karena itu dalam hal ini, perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang frekuensi pemanenan kulit batang untuk meminimalkan dampak negatifnya.
Habitus Pohon Perdu Pohon Pohon Pohon Pohon Liana Pohon Pohon Pohon
Bagian yang digunakan Daun Daun Kulit batang, daun Biji Kulit batang, daun Kulit batang Daun Daun Buah Kayu
Warna yang dihasilkan Hitam Biru Ungu Cokelat Merah Cokelat kemerahan Merah Biru Hijau terang Kuning gelap
Hasil kajian ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa ekstrak daun mangga menghasilkan warna hitam, sementara Indrianingsih dan Darsih (2013) menyatakan bahwa ekstrak daun mangga menghasilkan warna hijau. Perbedaan ini tampaknya terkait dengan metode ekstraksi yang diterapkan sehingga menghasilkan produk warna yang berbeda. Menurut Kasiri dan Safapour (2013), metode ekstraksi yang dapat digunakan untuk memperoleh bahan pewarna dari tumbuhan di antaranya metode ekstraksi cair, metode ekstraksi dengan pelarut alkohol/pelarut organik, metode ekstraksi ultrasonik, dan metode ekstraksi yang dibantu enzim. Dari beberapa alternatif ini, metode ekstraksi cair dengan pelarut air merupakan metode yang paling sederhana dan dalam hal ini adalah metode yang diterapkan dalam industri tenun di Desa Sukarara. Sirih dan pace sudah umum diketahui sebagai jenis tanaman obat. Piper betle tergolong dalam suku Piperaceae, atau dalam bahasa Inggris dikenal secara umum sebagai ‘pepper’. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pewarna kain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga menunjukkan aktivitas antimikrobia (Siva 2007; Kasiri dan Safapour 2013). Lebih lanjut Kasiri dan Safapour (2013) menjelaskan bahwa secara alamiah beberapa bahan pewarna alami mempunyai banyak sifat tambahan seperti antibakteri, antingengat, antialergi, dan antiultraviolet. Terkait dengan warna yang dihasilkan, informasi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa daun sirih menghasilkan warna merah, sedangkan daun, buah, dan kayu pace menghasilkan warna biru, hijau terang, dan kuning gelap. Adapun Indrianingsih dan Darsih (2013) dalam ulasannya menyatakan bahwa daun sirih menghasilkan warna cokelat, sedangkan akar pace menghasilkan warna merah, kuning, dan cokelat. Hal ini menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan oleh bagianbagian berbeda dari satu jenis tumbuhan bisa berbeda dan pada organ yang sama untuk jenis tumbuhan yang sama bisa berbeda tergantung pada metode ekstraksinya. Terkait dengan pemanfaatannya sebagai bahan pewarna alami, daun Sesbania grandiflora dilaporkan juga berfungsi sebagai antimikrobia (Jacob dan Shenbagaraman 2011). Adapun menurut Baliarsingh (2012), potensi antimikrobia dari bahan pewarna alami semacam ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk pencegahan infeksi penyakit umum dalam dunia perhotelan dan rumah sakit. Dengan demikian, penggunaan pewarna alami dengan aktivitas antimikrobia
756
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 753-756, Juli 2015
pada kerajinan tenun suku Sasak merupakan hal positif yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Sementara itu, hal yang menarik dari pohon asam adalah selain bijinya dapat digunakan sebagai penghasil warna cokelat, menurut Mishra et al. (2006), kulit ari bijinya yang berlendir ternyata dapat diolah menjadi flokulan air limbah yang tercemar oleh bahan pewarna pakaian. Dari data pada Tabel 1, Indigofera tinctoria merupakan jenis yang sudah dikenal luas sebagai penghasil warna tekstil. Selain itu, Ergashev et al. (2014) menjelaskan bahwa tumbuhan penghasil pigmen alami indigo ini juga telah dimanfaatkan di bidang lain seperti farmasi, kosmetik, dekoratif-arsitektur, dan pangan sehingga kebutuhan akan jenis ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, aspek budi dayanya perlu mendapat perhatian untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat. Adapun dari 8 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna kerajinan tenun di Lombok sebagaimana tersaji pada Tabel 1, satu-satunya jenis yang belum dikonservasi secara ex situ di Kebun Raya Bali adalah jati. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat jenis tumbuhan tersebut adalah tumbuhan dataran rendah, sedangkan Kebun Raya Bali berada di dataran tinggi (1.200-1.450 m dpl) sehingga tidak sesuai untuk jati. Selain itu, jati sudah umum dibudidayakan secara komersial sehingga tingkat keterancamannya rendah. Berdasarkan hasil penelitian keragaman tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna pada kerajinan tenun di Desa Sukarara, tercatat 8 jenis, 8 marga, dan 6 suku. Bagian tumbuhan yang digunakan yaitu kulit, daun, buah, biji, dan kayu. Dari 8 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna dapat menghasilkan warna merah, hitam, ungu, biru, hijau terang, kuning gelap, dan cokelat.
DAFTAR PUSTAKA Baliarsingh S, Panda AK, Jena J et al. 2012. Exploring sustainable technology on natural dye extraction from native plants for textile: identification of colourants, colourimetric analysis and dyed yarns and their antimicrobial evaluation. J Cleaner Prod 37: 257-264. Cunningham AB. 2001. Applied Ethnobotany: People, Wild Plant Use and Conservation. EarthScan, London. Ergashev A, Eshchanov R, Yakubov G et al. 2014. Abiotechnology of Indigofera tinctoria L. on the saline land of Aral Sea Basin and producing of the natural plant indigo pigment for the industry. J Chem Eng 8: 707-716. Haque MA, Khan GMA, Razaaque SMA et al. 2013. Extraction of rubiadin dye form Swietenia mahogany and its dyeing characteristics onto silk fabric using metallic mordants. Indian J Fibre Text Res 38: 280-284. Harbelubun AE, Kesaulija EM, Rahawarin YY. 2005. Tumbuhan pewarna alami dan pemanfaatannya secara tradisional oleh suku Marori MenGey di Taman Nasional Wasur, Kabupaten Merauke. Biodiversitas 6 (4): 281-284. Indrianingsih AW, Darsih C. 2013. Natural dyes from plants extract and its applications in Indonesian textile small medium enterprise. Eksergi 11 (1): 16-22. Jacob SJP, Shenbagaraman S. 2011. Evaluation of antioxidant and antimicrobial activities of the selected green leafy vegetables. Int J Pharm Tech Res 3 (1): 148-152. Kasiri MB, Safapour S. 2013. Natural dyes and antimicrobials for textiles. In: Lichfouse E (ed). Green Materials for Energy, Product and Depollution, Environmental Chemistry for a Sustainable World 3. Springer, Dordrecth. Mishra A, Bajpai M, Pal S et al. 2013. Tamarindus indica mucilage and its acrylamide-grafted copolymer as flocculants for removal of dyes. Colloid Polym Sci 285: 161-168. Pamungkas RN, Indriyani S, Hakim L. 2013. The ethnobotany of homegardens along rural corridors as a basis for ecotourism planning: a case study of Rajegwesi village, Banyuwangi, Indonesia. J Biol Environ Sci 3 (8): 60-69. Pranoto A, Masykur, Mawahib SH. 2002. Penurunan kadar timbal dan zat warna tekstil dalam larutan dengan menggunakan karbon aktif bagasse. Enviro 2(1): 9-16. Siva R. 2007. Status of natural dyes and dye-yielding plants in India. Curr Sci 92 (7): 916-925.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 757-762
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010413
Potensi sumber daya genetik tanaman perkebunan sebagai bahan budidaya di Provinsi Bengkulu Genetic resources potential of plantation crops as material for cultivation in Bengkulu Province AFRIZON Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Jl. Irian, Km 6,5, Kelurahan Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu 38119, Bengkulu. Tel. +62-736-23030, Fax. +62-736-345568, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 23 Februari 2015. Revisi disetujui: 26 April 2015.
Afrizon. 2015. Potensi sumber daya genetik tanaman perkebunan sebagai bahan budidaya di Provinsi Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 757-762. Provinsi Bengkulu memiliki kekayaan sumber daya genetik tanaman perkebunan yang beragam. Beberapa di antara sumber daya genetik tersebut sudah berhasil dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman sumber daya genetik tanaman perkebunan dan potensi pengembangannya bagi usaha pertanian di Provinsi Bengkulu. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten di Provinsi Bengkulu yaitu Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah, Seluma, dan Kaur pada bulan Februari sampai Mei 2014. Metode yang digunakan adalah survei terhadap berbagai jenis sumber daya genetik tanaman perkebunan yang berada pada lahan pekarangan penduduk yang terpilih sebagai sampel lokasi. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposive dari masingmasing kabupaten sebanyak 30 titik sehingga jumlah total titik lokasi survei adalah sebanyak 150 titik. Data yang diamati antara lain berupa jenis dan jumlah tanaman perkebunan yang ada. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis keragamannya menggunakan Indeks Shanon untuk mengukur indeks diversitas sumber daya genetik dalam suatu wilayah. Selanjutnya, data dianalisis untuk mengetahui jenis tanaman yang berpotensi sebagai sumber daya genetik tanaman perkebunan untuk dikembangkan. Hasil kajian menunjukkan: (i) gambaran sumber daya genetik tanaman perkebunan di Provinsi Bengkulu; (ii) terdapat 25 famili tanaman dengan 61 spesies tanaman perkebunan dengan indeks keanekaragaman 3,45; dan (iii) sumber daya genetik tanaman perkebunan di Provinsi Bengkulu didominasi oleh tanaman kelapa (Cocos nucifera) sehingga komoditas ini sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan dikembangkan pada masyarakat petani. Kata kunci: Bengkulu, potensi, perkebunan, sumber daya genetik
Afrizon. 2015. Genetic resources potential of plantation crops as material for cultivation in Bengkulu Province. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 757-762. Bengkulu Province has a wealth of genetic resources of plantation crops. Some of these genetic resources have already been successfully developed. The objective of this research was to determine the diversity of genetic resources of plantation crops and the potential for development for the agricultural businesses in Bengkulu Province. This research was conducted in five districts of Bengkulu Province, namely North Bengkulu, South Bengkulu, Central Bengkulu, Seluma and Kaur, in February to May 2014. The method used was a field survey to various types of plantation plant genetic resources in the residents farm yard area which selected as a location sample. The location sample selection was done purposively from each district by using 30 plots, therefore the total number of locations surveyed were 150 plots. The data observed were the species and the number of existing plantation crops. The data was then tabulated and analyzed for the diversity by using Shannon Index to measure the diversity index of plant genetic resources in the region. Further, the data was analyzed to determine the plant species which potentially as genetic resources of plantation crops to be developed. The results of the study showed: (i) the description of plant genetic resources of plantation crops in Bengkulu Province; (ii) there were 25 families of plants with 61 species of plantation crops with the diversity index of 3.45; and (iii) the genetic resources of plantation crops in Bengkulu Province was dominated by the coconut (Cocos nucifera), therefore this commodity was potential to be cultivated and developed in the farming community. Keywords: Bengkulu, plant genetic resources, plantation, potential
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki sumber daya hayati sangat beragam sehingga dinyatakan sebagai negara "mega-biodiversity". Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan yang ada di dunia, namun Indonesia memiliki 10% spesies bunga dunia, 12% mamalia dunia, 17% burung di dunia, lebih dari 400 spesies palem dunia, dan sekitar 25.000 jenis
tumbuhan berbunga dan masyarakat Indonesia selama ini telah memanfaatkan keanekaragaman plasma nutfah sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kultural yang dimiliki oleh masing-masing individu ataupun kelompok masyarakat (Gautam et al. 2000). Banyak spesies tanaman di Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya genetik yang tinggi dan persebarannya meliputi berbagai daerah. Setiap daerah di Indonesia memiliki beberapa sumber daya genetik yang
758
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 757-762, Juli 2015
khas yang sering berbeda dengan yang ada di daerah lain. Kenyataan ini merupakan suatu potensi yang bernilai tinggi bagi daerah untuk memanfaatkan fenomena ini. Sebagian dari sumber daya genetik tersebut ada yang telah dikembangkan sehingga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun, banyak pula sumber daya genetik yang belum dimanfaatkan sama sekali sehingga mengalami ancaman kepunahan. Beberapa plasma nutfah tanaman yang pemanfaatannya telah dikembangkan adalah salak pondoh (Yogyakarta), salak bali (Bali), nanas bogor (Bogor), duren petruk (Semarang), mangga gedong gincu (Cirebon), beras rojolele (Delanggu), beras cianjur (Cianjur), bareh solok (Solok), dan sebagainya (Sumarno 2002). Provinsi Bengkulu terletak di sebelah barat Pegunungan Bukit Barisan dengan luas wilayah mencapai lebih kurang 1.978.870 hektar atau 19.788,7 km2. Wilayah Provinsi Bengkulu memanjang di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan di sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung yang jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Di sebelah barat, Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Samudera Hindia dan di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini memiliki agroekosistem yang beragam dan elevasi wilayah dari 02000 m dpl. Luas wilayah dataran rendah (0-500 m dpl) yaitu 1.333.258 ha atau 67,37%, dataran sedang (500-1.000 m dpl) yaitu 405.688 ha atau 20,50%, dan dataran tinggi (>1.000 m dpl), yaitu 239.924 ha atau 12.0% dari luas wilayah (Bappeda dan P3SDA UNIB 2003). Ketinggian wilayah sangat erat hubungannya dengan kondisi iklim setempat, seperti suhu, kelembaban tanah, kondisi udara, dan penyinaran matahari. Berdasarkan kondisi agroklimat yang dimiliki, daerah ini berpotensi sebagai wilayah pengembangan berbagai sumber daya genetik tanaman perkebunan, tanaman pangan, tanaman obat, dan hortikultura (Sukma 1990). Fenomena lingkungan dan sumber daya hayati yang ada di Provinsi Bengkulu memberikan indikasi bahwa Provinsi Bengkulu kaya akan sumber daya genetik tanaman. Sumber daya genetik (SDG) merupakan landasan hayati yang langsung atau tidak langsung menopang kesejahteraan manusia di muka bumi. SDG mencakup keanekaragaman bahan genetik yang terdapat dalam tanaman dan hewan yang dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan, serat, pakaian, bangunan, energi, dan pemenuhan estetika. Provinsi Bengkulu memiliki berbagai kekayaan SDG, baik dari tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kentang merah), tanaman buah (jeruk, mangga, durian, pisang, manggis), tanaman hias (anggrek, bunga raflesia), tanaman biofarmaka, dan tanaman perkebunan. Potensi SDG yang ada tersebut tersebar sesuai dengan agroekosistemnya dan perlu upaya pengelolaan dan konservasi (Alnopri 2012). Ketersediaan sumber daya genetik merupakan faktor yang sangat mendasar untuk perakitan varietas dan menjadi inti industri benih perkebunan. Dari ratusan spesies tanaman perkebunan, hanya sebagian kecil yang sumber daya genetiknya dikelola secara sistematis dan dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan ekonomi. Sebagian besar sumber daya genetik yang bernilai ekonomi adalah spesies introduksi, diintroduksi dalam jumlah sedikit, dikelola dalam bentuk koleksi, dan memiliki basis
genetik sempit. Meskipun demikian, beberapa tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, kopi, karet, tebu, kakao, dan teh telah menjadi tanaman dominan dan dibudidayakan secara berkelanjutan di daerah yang sesuai dan sudah menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat (Wahid 2002) Pemanfaatan sumber daya genetik bukan hanya untuk menghasilkan produk antara berskala riset, tetapi telah menghasilkan produk jadi benih dan bibit bernilai komersial tinggi. Beberapa tanaman perkebunan lainnya seperti lada, vanili, serai wangi, jarak pagar, tembakau, kapas, kelapa, dan aren juga potensial untuk memperkuat daya saing industri berbasis perkebunan. Basis sumber daya genetik yang sempit pada tanaman perkebunan perlu mendapat perhatian seluruh pemangku kepentingan dan memberikan perhatian ekstra, baik dalam hal pengayaan sumber daya genetik, konservasi, karakterisasi, maupun pemanfaatan yang berkelanjutan, agar industri perkebunan dapat ditingkatkan daya saingnya. Sinergi antara pemangku kepentingan, peningkatan kapasitas SDM, serta kebijakan dan tata aturan yang jelas merupakan faktor penentu keberhasilan pemanfaatan sumber daya genetik perkebunan secara berkelanjutan (Wahid 2002). Belum banyak informasi tentang keanekaragaman SDG tanaman perkebunan di Bengkulu sehingga pengelolaan yang merupakan faktor penting dalam pelestarian tidak bisa dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Akses untuk mencari informasi keberadaan sumber daya genetik tanaman perkebunan sangat diperlukan agar SDG tanaman asli Bengkulu bisa diketahui dan dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan alasan tersebut telah dilakukan kajian tentang keberadaan dan sebaran SDG tanaman perkebunan pada agroekosistem dataran rendah di Provinsi Bengkulu serta tanaman potensial bagi perekonomian masyarakat khususnya petani di pedesaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keragaman sumber daya genetik tanaman perkebunan potensial bagi usaha pertanian di Provinsi Bengkulu.
BAHAN DAN METODE Kajian dilaksanakan di areal lahan dataran rendah Provinsi Bengkulu pada ketinggian tempat 0-400 m dpl yang terdapat di 5 kabupaten di Provinsi Bengkulu, yaitu Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, Kaur, dan Seluma. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei dengan pemilihan sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dengan melihat keragaman jenis tanaman perkebunan yang ada. Pengamatan tanaman melalui survei dilakukan pada 30 titik lokasi lahan pekarangan milik penduduk di setiap kabupaten dengan melakukan pencatatan terhadap berbagai jenis tanaman perkebunan yang terdapat pada lahan pekarangan. Data yang diamati meliputi nama jenis, nama lokal, dan jumlah tanaman/luas lahan. Untuk mengetahui lokasi pengambilan sampel dilakukan pencatatan data yang meliputi ketinggian tempat dan titik koordinat dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).
AFRIZON – Sumberdaya genetik tanaman perkebunan di Bengkulu
Penghitungan indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan Shannon. Rumus yang digunakan sebagai berikut. Indeks keanekaragaman
Dimana H merupakan indeks keanekaragaman, n adalah jumlah total individu dalam sampel, dan N adalah jumlah total individu yang ditemukan. Tolak ukur indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai tolak ukur indeks keanekaragaman menurut Shannon dan Weaver (1963) Nilai tolak ukur H’ < 1,0
H’ 1,0-3,322
H’ > 3,322
Keterangan Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah, sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis
Setelah diketahui jenis tanaman perkebunan yang dominan diusahakan masyarakat, selanjutnya data dianalisis secara deskriptif untuk melihat gambaran usaha tani yang dilakukan tersebut. Pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan komoditas perkebunan dominan dilakukan untuk menggali potensi serta peluang pengembangannya bagi usaha pertanian masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman jenis SDG tanaman perkebunan Berdasarkan hasil survei terlihat keragaman SDG tanaman perkebunan pada lahan pekarangan dataran rendah di Provinsi Bengkulu cukup tinggi. Ditemukan banyak jumlah famili maupun spesies tanaman perkebunan yang sebarannya hampir terdapat pada semua daerah kajian, seperti disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat ada sebanyak 25 famili tanaman perkebunan dengan 61 spesies dan 1.386 individu tanaman. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman pada Tabel 2 yang berada pada angka 3,45, keragaman dikategorikan pada tingkat tinggi. Menurut Fitriana (2006), tanaman dengan indeks keanekaragaman >3,322 dikategorikan berada pada tingkat yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman tanaman perkebunan di Provinsi Bengkulu tergolong tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, serta tahan terhadap tekanan ekologis. Selanjutnya dikatakan bahwa tingginya keanekaragaman jenis tanaman perkebunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, selain manusia sebagai pemilik pekarangan, tingginya nilai keanekaragaman jenis diduga karena faktor tingginya tingkat adaptasi jenis-jenis yang ditanam. Menurut
759
Deshmukh (1992), keanekaragaman yang tinggi pada daerah tropika dapat disebabkan karena: (i) lebih banyak jenis yang terdapat pada masing-masing habitat, (ii) lebih banyak habitat yang masing-masing berisi jenis dengan jumlah sama, dan (iii) kombinasi dari keduanya. Selain itu, suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis tinggi jika tersusun oleh banyaknya spesies dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Kondisi agroklimat menjadi faktor sangat penting keberadaan dan adaptasi suatu komoditas (Soegianto 1994). Dari jumlah spesies yang ditemukan terdapat 5 spesies tanaman perkebunan yang belum teridentifikasi masuk ke dalam salah satu famili. Dari 25 famili (Tabel 3) terdapat dua famili yang mempunyai jumlah spesies tanaman terbanyak yaitu Famili Palmae sebanyak 11 spesies dan Famili Fabaceae sebanyak 8 spesies. Dari Famili Palmae yang ditemukan didominasi oleh spesies kelapa (Cocos nucifera) dengan 7 macam spesies dan 335 jumlah individu tanaman. Banyaknya jumlah spesies kelapa pada Famili Palmae terkait dengan kesesuaian lahan dan iklim di Provinsi Bengkulu, khususnya di daerah dengan ketinggian di bawah 400 m dpl untuk perkembangan tanaman yang bersangkutan. Provinsi Bengkulu didominasi oleh jenis tanah asosiasi podsolik merah kuning-latosol seluas 41,22% dan diikuti oleh latosol dengan komposisi 20,81%. Adapun kondisi iklim di Provinsi Bengkulu dikategorikan iklim basah dengan curah hujan berkisar antara 2.5003.000 mm/tahun (BPS Provinsi Bengkulu 2013). Potensi pengembangan kelapa (Cocos nucifera) Pertanaman kelapa tumbuh hampir di setiap daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Bengkulu. Kelapa di Provinsi Bengkulu mempunyai kedudukan yang sangat penting dengan luas areal tanam saat ini mencapai 9.954 ha (BPS Provinsi Bengkulu 2013). Kelapa merupakan salah satu jenis tanaman tropis dengan kegunaan yang sangat beragam. Secara umum, tanaman kelapa digolongkan menjadi dua tipe, yaitu tipe kelapa dalam dan tipe kelapa genjah. Tipe kelapa dalam memiliki ciri antara lain mempunyai batang yang tinggi dan kekar dengan dasar batang membengkok yang disebut bol, tinggi batang mencapai 15-18 meter, serta mahkota mempunyai 25-40 daun yang terbuka penuh dengan panjang daun 5-7 meter. Pembungaan pertama lambat yaitu mulai pada umur 5-7 tahun dan umur tanaman bisa mencapai 90 tahun (Tulalo 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa tipe kelapa dalam lebih toleran terhadap berbagai jenis tanah dan kondisi iklim, umumnya menyerbuk silang, serta memiliki buah berkisar antara 6-12 butir per tandan. Adapun tipe kelapa genjah mempunyai karakteristik batang yang pendek dan lebih cepat berbunga yaitu pada umur sekitar 3-4 tahun setelah tanam, batang agak kecil tanpa bol dan memiliki produksi buah lebih banyak yaitu 10-30 butir per tandan dengan ukuran lebih kecil. Pertanaman kelapa yang dimiliki masyarakat di Provinsi Bengkulu sebagian besar adalah jenis kelapa dalam dan sudah ada yang dirilis yaitu jenis kelapa dalam Manna yang berasal dari Kabupaten Bengkulu Selatan (Disbun Provinsi Bengkulu 2013). Kepemilikan tanaman kelapa di lahan pekarangan ratarata 2 pohon/kepala keluarga. Tingginya minat masyarakat
760
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 757-762, Juli 2015
untuk menanam kelapa selain ditunjang oleh kesesuaian tanaman terhadap lahan dan iklim di dataran sendah di Provinsi Bengkulu, juga karena tanaman ini memiliki banyak manfaat yaitu sebagai salah satu kebutuhan keluarga serta memiliki manfaat ganda seperti disajikan pada Tabel 4 (Badiaroh 2012). Dari Tabel 4 terlihat bahwa semua bagian tanaman kelapa dapat digunakan, mulai dari buah, batang, daun, serta bunga kelapa, sehingga tanaman kelapa memiliki nilai ekonomi yang tinggi apabila diolah untuk menghasilkan berbagai produk serta kerajinan rumah tangga. Menurut Badiaroh (2012), kelapa merupakan salah satu komoditas yang penting dalam dunia industri sehingga perkebunan kelapa merupakan salah satu bisnis yang sangat
menjanjikan. Tanaman kelapa di dataran rendah (<400 m dpl) di Provinsi Bengkulu tersebar di semua kabupaten yang disurvei dan 95% rumah tangga petani yang disurvei mempunyai tanaman kelapa di pekarangan dengan rata-rata 2 pohon. Sebagian besar tanaman kelapa diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat (Disbun Provinsi Bengkulu 2013). Selanjutnya dikatakan bahwa tanaman kelapa menghendaki persyaratan tumbuh dan perkembangan di daerah tropis dengan ketinggian antara 0-450 m dpl dan curah hujan antara 1.300-2.300 mm/tahun, bahkan sampai 3.800 mm/tahun atau lebih, sepanjang tanah mempunyai drainase yang baik serta penyinaran matahari dengan lama penyinaran minimum 120 jam/bulan sebagai sumber energi untuk fotosintesis.
Tabel 2. Keragaman SDG tanaman perkebunan dataran rendah Provinsi Bengkulu tahun 2014 Nama spesies
Famili
Jumlah spesies
Jumlah individu
Kepayang (Pangium edule Reinw ex. Blume) Jelutung (Dyera costulaca (Miq.) Hook) Aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr) Kedondong pagar (Poluscias frusticosa Miq.) Kelapa (Cocos nucifera) Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pinang (Areca catechu L.) Rotan (Calamus sp.) Rumbia (Metoxylon sagu Rottb.) Randu (Ceiba pentandra L. Gaertn) Ketapang (Terminalia catappa L.) Jarak (Ricinus communis L.) Karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.) Petai (Parkia speciosa) Dadap (Erythrina variegata L.) Gamal (Gliricida sepium (Jacq.) Kunth ex. Walp) Jengkol (Archidendron paisiflorum (Benth.) I.C. Nielson) Kayu sengon (Albizia chinensis (Osbeck) Merr.) Lamtoro (Leucaena glauca (Linn.) Benth) Turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.) Melinjo (Gnetum gnemon L.) Kayu jati (Tectona grandis L.) Kayu manis (Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees)) Kakao (Theobroma cacao L.) Kayu bayur (Pterosermum javanicum Jungh.) Kayu bawang (Melia azedarach L.) Kayu suren (Toona sinensis) Kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.) Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) Kersen (Muntingia calabura L.) Pala (Myristica fragrans) Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Meril & Perry) Panili (Vanilla planifolia) Lada (Piper nigrum L.) Bambu (Bambusa sp.) Tebu (Saccarum officinarum L.) Kopi (Coffea sp.) Jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Brosser) Labu kayu (Aegle marmelos (L.) Corr.) Kayu sungkai (Peronema canescens Jack.) Batang kapung *) Kayu api *) Kayu bambang lanang *) Kayu simpul *) Kayu pelawi pipit *)
Achariaceae Apocynaceae Aracaceae Araliaceae Palmae Palmae Palmae Palmae Palmae Bombaceae Combretaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Gnetaceae Lamiaceae Lauraceae Malvaceae Malvaceae Meliaceae Meliaceae Moringaceae Moraceae Muntingiaceae Myristicaceae Myrtaceae Orcidaceaea Piperaceae Poaceae Poaceae Rubiaceae Rubiaceae Rutaceae Verbenaceae
1 1 2 1 7 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 4 2 1 1 1 1 1 1 1 1 61 3,45 (Tinggi)
1 1 12 1 335 238 102 39 12 5 2 35 50 4 2 85 35 10 7 10 33 9 1 73 10 5 1 1 15 3 2 7 4 3 6 39 156 7 3 11 1 1 2 6 1 1.386
Jumlah Indeks keanekaragaman Keterangan: *) nama ilmiah dalam proses identifikasi
AFRIZON – Sumberdaya genetik tanaman perkebunan di Bengkulu
Tabel 3. Famili dan jumlah spesies tanaman perkebunan di Provinsi Bengkulu tahun 2014 Famili
Jumlah spesies
Achariaceae Apocynaceae Arecaceae Araliaceae Palmae Bombaceae Combretaceae Euphorbiaceae Fabaceae Gnetaceae Lamiaceae Lauraceae Malvaceae Meliaceae Moringaceae Moraceae Muntingiaceae Myristicaceae Myrtaceae Orchidaceae Piperaceae Poaceae Rubiaceae Rutaceae Verbenaceae
1 1 2 1 11 1 1 4 8 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 7 3 1 1
Tabel 4. Bagian tanaman kelapa dan pemanfaatannya (Badiaroh 2012) Bagian tanaman
Pemanfaatan
Sabut
Keset, sapu, matras, bahan pembuat spring bed Charcoal, karbon aktif, dan kerajinan tangan Kopra, minyak kelapa, coconut cream, santan, kelapa parutan kering Cuka, nata de coco Bahan bangunan untuk kerangka atau atap Lidi untuk sapu, barang anyaman (dekorasi pesta atau mayang) Gula merah (kelapa)
Tempurung Daging buah Air kelapa Batang Daun Nira
Tabel 5. Luas dan sebaran pertanaman kelapa di Provinsi Bengkulu (BPS Provinsi Bengkulu 2013)
Kabupaten Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Muko-Muko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu Jumlah
Jumlah petani (KK) 4.022 3.296 14.899 9.010 11.947 2.002 4.132 3.667 4.871 2.403 60.239
Luas (ha) 977 236 2.175 2.585 1.261 633 328 169 1.350 240 9.954
Rerata Produksi produksi (ton) (kg/ha) 1.007 1.213,25 110 748,30 2.480 1.365,64 530 466,67 1.131 1.330,59 415 857,74 271 1.404,15 53 389,71 733 1.219,63 211 1.098,96 6.941 1.010
761
Sebaran tanaman kelapa di Provinsi Bengkulu Tanaman kelapa di Provinsi Bengkulu tersebar hampir di semua kabupaten. Pada umumnya, tanaman kelapa ditanam untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga bagi petani di pedesaan. Luas dan sebaran pertanaman kelapa di Provinsi Bengkulu disajikan seperti pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat cukup banyak pertanaman kelapa di Provinsi Bengkulu yaitu 60.239 kepala keluarga petani yang mengusahakan tanaman kelapa dengan luas mencapai 9.954 ha. Di lahan pekarangan, rata-rata petani memiliki 2 pohon kelapa, sebagian besar kelapa ditanam di kebun secara polikultur atau pada hamparan ditanami berbagai tanaman baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan lainnya baik di pekarangan maupun di kebun yang dimiliki. Dari segi produksi terlihat masih rendah yaitu rata-rata 1.010 kg/ha/tahun, setara dengan kopra. Potensi produksi kopra pada pertanaman kelapa yang dipelihara secara intensif adalah di atas 2000 kg/ha/tahun (Badiaroh 2012) Untuk 10-20 tahun ke depan, sektor pertanian masih menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi di Provinsi Bengkulu termasuk di dalamnya subsektor perkebunan. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Bengkulu mencapai 66,51% yang didominasi dari subsektor tanaman pangan (45,67%), diikuti subsektor perkebunan (12,52%), dan sisanya pada subsektor lainnya (BPS Provinsi Bengkulu 2013). Potensi untuk pengembangan komoditas kelapa di Provinsi Bengkulu sangat tinggi karena kesesuaian agroklimat dan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi usaha perkebunan kelapa yang diharapkan untuk mencapai tingkat pendapatan yang memadai adalah dengan beberapa kriteria yang harus dicapai yaitu: (i) produktivitas dan mutu meningkat sehingga daya saing menjadi kuat; (ii) potensi sumber daya dimanfaatkan secara optimal dengan tingkat efisiensi yang tinggi; (iii) usaha tani terpadu dari hulu sampai ke hilir; (iv) pemasaran hasil berupa produk olahan jadi atau setengah jadi; (v) mengoptimalkan peran petani dalam proses produksi (Wahid 2002). Diperoleh gambaran bahwa SDG tanaman perkebunan Provinsi Bengkulu cukup banyak dan sangat beragam dengan indeks keanekaragaman 3,45 yang termasuk dalam kategori tinggi. Ditemukan sebanyak 61 spesies sumber daya genetik tanaman perkebunan yang didominasi oleh Famili Palmae dengan tanaman dominan berupa jenis tanaman kelapa. Terdapat 7 spesies sumber daya genetik tanaman kelapa yang tersebar di lima kabupaten di Provinsi Bengkulu. Tanaman kelapa sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan dikembangkan karena kesesuaian agroklimat serta memiliki nilai ekonomi yang komparatif bagi usaha tani masyarakat.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah membina pelaksanaan kajian dan mendukung keikutsertaan dalam seminar ini sehingga bisa
762
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 757-762, Juli 2015
menghasilkan data tentang potensi sumber daya genetik tanaman perkebunan di Provinsi Bengkulu yang dapat dipublikasikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan serta stakeholder di lokasi kajian yang telah membantu dalam kelancaran kegiatan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Alnopri. 2012. Implementasi sumber daya genetik (SDG) di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Ilmiah Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Badiaroh. 2012. Budidaya Tanaman Kelapa. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan-Kementerian Pertanian, Jakarta. Bappeda Provinsi Bengkulu dan P3SDA UNIB. 2003. Identifikasi Tata Ruang Provinsi Bengkulu. Bappeda Provinsi Bengkulu dan P3SDA UNIB, Bengkulu. BPS Provinsi Bengkulu. 2013. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2012. Nagarindo Cipta Persada, Bengkulu. Deshmukh I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Penerjemah: Kartawinata K, Danimiharja S. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Disbun Provinsi Bengkulu. 2013. Statistik Perkebunan Provinsi Bengkulu. Dinas Perkebunan Tingkat I Provinsi Bengkulu, Bengkulu.
Fitriana YR. 2006. Keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos di hutan mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas 7 (1): 67-72. Gautam M, Lele U, Kartodihardjo H et al. 2000. Indonesia: the Challenges of World Bank Involvement in Forest. Evaluation Coutry Case Study Series. The World Bank, Washington DC. Shannon CE, Weaver W. 1963. The Mathematical Theory of Communication. University of Illinois Press, Urbana. Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional, Surabaya. Sukma HD, Hikmatullah, Hidayat JA et al. 1990. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Bengkulu (0912), Sumatera. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sumarno. 2002. Menuju sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman nasional secara adil dan bermanfaat. Prosiding dan Kongres IV dan Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tulalo M. 2006. Petunjuk pelaksanaan pengelolaan plasma nutfah kelapa (Cocos nucifera). Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Plasma Nutfah Tanaman Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor. Wahid. 2002. Dukungan iptek dalam pemberdayaan industri subsektor perkebunan. Prosiding Simposium III Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 763-766
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010414
Respons tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air The response of taro (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) to various amount and frequency of water provision NUR EDY SUMINARTI Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia. Tel. +62-341-566363, Fax. +62-341-560011, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 4 Maret 201. Revisi disetujui: 17 April 2015.
Suminarti NE. 2015. Respons tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 763-766. Upaya pelestarian sumber bahan pangan lokal seperti pemanfaatan umbi talas perlu dilakukan. Hal ini selain karena umbi talas berpotensi sebagai penghasil karbohidrat, pelestarian umbi talas juga bertujuan untuk mengangkat kembali potensi pangan lokal yang selama ini telah tenggelam. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya perakitan teknologi tentang budi daya tanaman talas perlu dilakukan, terutama tentang kebutuhan air untuk tanaman talas. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang jumlah dan frekuensi pemberian air pada tanaman talas. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2013 sampai April 2014 di greenhouse Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STTP) Bedali Lawang, Malang. Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan menempatkan jumlah pemberian air pada petak utama, terdiri atas 3 takaran, yaitu: (i) 500 mm/musim; (ii) 1.000 mm/musim; dan (iii) 1.500 mm/musim. Adapun frekuensi pemberian air ditempatkan pada anak petak, terdiri atas 3 macam, yaitu: (i) 1 hari sekali; (ii) 2 hari sekali; dan (iii) 3 hari sekali. Pengumpulan data dilakukan secara destruktif, meliputi: (i) komponen pertumbuhan: luas daun, bobot kering total tanaman, dan jumlah anakan produktif; (ii) analisis pertumbuhan tanaman: laju pertumbuhan relatif; serta (iii) komponen hasil: jumlah umbi dan bobot segar umbi per tanaman. Uji F pada taraf 5% ditujukan untuk menguji pengaruh perlakuan, sedangkan perbedaan di antara rata-rata perlakuan didasarkan pada nilai BNT pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya interaksi nyata antara jumlah dan frekuensi pemberian air pada semua parameter yang diamati. Frekuensi pemberian air sehari sekali pada berbagai jumlah pemberian air memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik, sedangkan pemberian air sebanyak 1.500 mm/musim pada berbagai frekuensi pemberian, memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik. Kata kunci: Air, frekuensi pemberian air, jumlah air, talas
Suminarti NE. 2015. The response of taro (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) to various amount and frequency of water provision. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 763-766. The effort to increase the productivity local food sources particularly tuber of Taro needs to be envisaged with great importance. As it can be consumed being one of rich carbohydrate sources. Besides, the effect of physical factors, especially the right amount and frequency of irrigated water, during the cultivation of taro needs to be explored. This research aimed to find out the appropriate amount of water and irrigation frequency for taro cultivation. The research has been conducted from October 2013 to April 2014 at the College of Agricultural Extension in Bedali Lawang, Malang. This research used split plot design and the three different amount of water was utilized in the main-plots, such as : (i) 500 mm/season, (ii) 1000 mm/season, (iii) 1500 mm/season. The frequency of irrigation was divided into 3 ways namely (i) once a day, (ii) twice a day, and (iii) thrice a day. Data was collected on the basis of considering important parameters such as: (i) growth components: leaves area, total dry weight, and the amount of tuber productivity, (ii) Plant’s growth analysis: relative growth rate, (iii) Yield components: the amount of tuber and total fresh weight per plant. F-test at 5% level of significance was used to test the effect of treatment. The result showed that the right amount of water and frequency of irrigation have significant effect on the cultivation of Taro. The best growth and yield were found providing 1500 mm/season amount of water and irrigation once at daily basis. Kata kunci: Amount of water, frequency of water provision, taro, water,
PENDAHULUAN Penganekaragaman sumber bahan pangan lokal merupakan langkah tepat untuk mengantisipasi timbulnya peristiwa rawan pangan. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yaitu: (i) semakin sempitnya luas lahan basah yang merupakan lahan penanaman tanaman padi, dan (ii) upaya memanfaatkan dan mengangkat sumber bahan pangan lokal
yang berpotensi sebagai penghasil karbohidrat seperti umbi talas. Keputusan ini menjadi penting karena Indonesia cukup kaya dengan sumber bahan pangan lokal yang keberadaannya perlu diangkat dan dilestarikan. Oleh karena itu, agar umbi talas dapat segera diketahui pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat maka kontinuitas ketersediaan umbi talas perlu dilakukan. Tanaman talas umumnya ditanam di lahan kering
764
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 763-766, Juli 2015
dengan kendala utama rendahnya tingkat ketersediaan air tanah. Akibatnya, hasil yang diperoleh rendah yaitu sekitar 5-7 ton/ha umbi segar, sedangkan potensi produksinya dapat mencapai 20,7 ton/ha (Onwueme 1978; Suminarti 2011). Hal ini cukup dipahami karena air merupakan senyawa penting untuk menunjang keberlangsungan hidup tanaman melalui perannya sebagai pengatur membuka dan menutupnya stomata, selain sebagai senyawa pelarut unsur hara dan media pengangkut asimilat dari sumber ke bagian tumbuhan yang mengalami pembelahan (Tjondronegoro et al. 1981). Berdasarkan pada pentingnya peranan air tersebut, informasi tentang kebutuhan air, terutama pada tanaman talas, sangat diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman talas maupun dalam upaya untuk menjaga kontinuitas produksi tanaman talas.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang jumlah dan frekuensi pemberian air pada tanaman talas. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2013 sampai April 2014 di greenhouse Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STTP) Bedali Lawang, Malang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah petak terpisah dengan menempatkan jumlah pemberian air pada petak utama, terdiri atas tiga takaran, yaitu: (i) 500 mm/musim; (ii) 1.000 mm/musim; dan (iii) 1.500 mm/musim. Adapun frekuensi pemberian air ditempatkan pada anak petak, terdiri atas 3 macam, yaitu: (i) 1 hari sekali; (ii) 2 hari sekali; dan (iii) 3 hari sekali. Pengumpulan data dilakukan secara destruktif, meliputi: (i) komponen pertumbuhan tanaman: luas daun, bobot kering total tanaman dan jumlah anakan produktif; (ii) analisis pertumbuhan tanaman: laju pertumbuhan relatif (LPR); serta (iii) komponen hasil: jumlah umbi dan bobot segar umbi per tanaman. Uji F taraf 5% ditujukan untuk menguji pengaruh perlakuan, sedangkan perbedaan di antara rata-rata perlakuan didasarkan pada nilai BNT pada taraf 5% (Gomez dan Gomez 1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN Interaksi nyata terjadi antara jumlah dan frekuensi pemberian air pada seluruh parameter yang diamati, meliputi komponen pertumbuhan, analisis pertumbuhan, dan komponen hasil (panen). Komponen pertumbuhan Pengamatan komponen pertumbuhan meliputi luas daun, bobot kering total tanaman, dan jumlah anakan produktif per tanaman. Rerata luas daun, bobot kering total tanaman, dan jumlah anakan produktif per tanaman disajikan dalam Tabel 1, 2, dan 3. Luas daun Apabila dilihat berdasarkan pengaruh jumlah pemberian air pada berbagai frekuensi pemberiannya, pada pemberian berbagai jumlah air yang dilakukan sehari sekali, luas daun
yang dihasilkan paling luas. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi ketersediaan air adalah lebih penting daripada kuantitasnya karena tanaman selalu melakukan transpirasi (Sabetfar et al. 2002). Melalui proses transpirasi inilah tanaman kehilangan sejumlah air dari dalam tubuhnya dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya, tanaman harus mengganti sejumlah air yang hilang melalui penyerapan air dari dalam tanah. Oleh karena itu, apabila air tidak tersedia ketika tanaman memerlukan, kondisi tersebut akan mengganggu proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis tanaman (Impron 1999). Selanjutnya, apabila dilihat berdasarkan pengaruh frekuensi pemberian air pada berbagai jumlah air yang diberikan, pada pemberian air sebanyak 1.500 mm/musim pada berbagai frekuensi, luas daun yang dihasilkan paling luas. Hal ini sangat terkait karena tanaman talas termasuk tanaman yang berumur panjang sehingga kebutuhan airnya relatif lebih banyak dibandingkan tanaman yang berumur pendek. Oleh karena itu, apabila tanaman talas mengalami kekurangan air, tanaman akan melakukan adaptasi dengan cara menggulungkan daunnya. Cara adaptasi yang demikian ini di satu sisi menguntungkan bagi tanaman karena dapat mencegah kehilangan air lebih banyak, tetapi di sisi lain akan merugikan tanaman karena menghambat proses fotosintesis (Alahdadi et al. 2011). Terhambatnya proses fotosintesis ini mengakibatkan rendahnya asimilat yang dihasilkan, pada akhirnya akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tanaman yang dapat ditunjukkan dengan lebih sempitnya luas daun yang dihasilkan. Hasil penelitian Prasetyo (2010) menginformasikan bahwa luas daun tanaman talas yang ditanam pada musim kering 36,73% lebih sempit dibandingkan dengan tanaman talas yang ditanam pada musim penghujan. Bobot kering total tanaman Bobot kering total tanaman merupakan fungsi dari seluruh organ tanaman, terutama daun, dan merupakan cerminan asimilat yang dihasilkan tanaman. Daun merupakan organ asimilasi yang penting bagi tanaman sehingga luas tidaknya daun akan menentukan banyak sedikitnya asimilat yang dihasilkan. Hasil penelitian Pratiwi (2014) menginformasikan bahwa tanaman talas dengan luas daun 3.583,89 cm2 menghasilkan bobot kering total tanaman yang nyata lebih tinggi 15,57% dibandingkan tanaman talas yang luas daunnya 3.082,99 cm2. Tanaman talas termasuk tanaman yang mempunyai susunan daun horizontal menyebar sehingga pengaruh saling menaungi di antara daun yang terbentuk sangat kecil. Akibatnya, semakin luas daun, semakin banyak pula asimilat yang dapat diakumulasikan. Dengan demikian, bobot kering total tanaman tertinggi juga dihasilkan pada tanaman yang frekuensi pemberian airnya dilakukan sehari sekali dengan jumlah pemberian air sebanyak 1.500 mm/musim. Jumlah anakan produktif Jumlah anakan produktif menggambarkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan faktor lingkungan tumbuhnya secara optimum. Lingkungan tumbuh optimum adalah lingkungan yang dapat menyediakan faktor tumbuh tanaman secara optimum, seperti ketersediaan air (Sugito
SUMINARTI – Respon tanaman talas terhadap frekuensi pemberian air
2009). Tabel 1 memperlihatkan bahwa jumlah anakan paling banyak didapatkan pada tanaman yang frekuensi pemberian airnya sehari sekali dengan jumlah 1.500 mm/musim. Hal ini karena pada tanaman yang mengalami kekurangan air, tanaman akan melakukan mekanisme ketahanan dengan mengurangi pembentukan jumlah anakan agar tanaman tetap dapat hidup (Hadisaputro 2012). Hasil penelitian Prihandini (2007) menunjukkan bahwa tanaman tebu yang ditanam pada 40% kapasitas lapang, jumlah anakan yang dihasilkan 56,36% lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada 100% kapasitas lapang. Hal ini mengindikasikan bahwa air merupakan faktor terpenting bagi tanaman, terutama dalam proses pembentukan jumlah anakan. Analisis pertumbuhan tanaman Laju pertumbuhan relatif (LPR) LPR menggambarkan pertambahan bobot per satuan bobot awal per satuan waktu (Sitompul dan Guritno 1995). Mengingat perhitungan LPR ini didasarkan pada pengukuran bobot kering total tanaman, dan bobot kering total tanaman tertinggi didapatkan pada tanaman yang frekuensi pemberian airnya dilakukan sehari sekali dan pada pemberian air sebanyak 1.500 mm/musim, maka LPR tertinggi juga diperoleh pada perlakuan tersebut (Tabel 4). Komponen hasil Jumlah umbi per tanaman Umbi merupakan organ penyimpan makanan pada tanaman talas dan banyak sedikitnya umbi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya asimilat yang dihasilkan. Pada Tabel 5 diperlihatkan bahwa jumlah umbi paling banyak didapatkan pada frekuensi pemberian air sehari sekali dan pada pemberian air sejumlah 1.500 mm/musim. Hal ini karena asimilat terbanyak juga didapatkan pada perlakuan tersebut. Banyaknya asimilat yang terbentuk tersebut sebagai akibat cukup tersedianya kebutuhan air bagi tanaman (Surtinah 2005). Air, selain berperan dalam mengatur turgiditas sel, juga berfungsi sebagai senyawa pelarut yang mengakibatkan unsur hara dapat diserap tanaman. Selain itu, air juga berfungsi sebagai media translokasi asimilat dari sumber ke bagian yang meristematis (Tjondronegoro et al. 1981). Oleh karena itu, apabila tanaman mengalami kekurangan air, proses penyerapan hara dan air maupun translokasi asimilat ke bagian yang mengalami pembelahan juga terganggu. Akibatnya, proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terhambat, asimilat yang dihasilkan rendah, dan akhirnya berdampak pada rendahnya jumlah umbi yang dihasilkan. Bobot umbi per tanaman Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa bobot umbi per tanaman tertinggi didapatkan pada frekuensi pemberian air sehari sekali dan pada pemberian air sejumlah 1.500 mm/musim (Tabel 6). Lebih tingginya bobot umbi tersebut tidak terlepas dari lebih banyaknya jumlah umbi (Tabel 5) dan bobot kering total tanaman (Tabel 2) yang dihasilkan. Hasil analisis regresi memperlihatkan terbentuknya hubungan yang nyata antara
765
bobot kering total tanaman (X) dengan bobot umbi (Y), diberikan melalui persamaan Y = 146,73X + 172,33; R2 = 0,98*. Hal ini mengindikasikan bahwa 98% bobot umbi dipengaruhi oleh bobot kering total tanaman dan semakin besar bobot kering total tanaman yang dihasilkan, semakin tinggi pula bobot umbi yang diperoleh (Suminarti 2011). Tabel 1. Rerata luas daun (cm2) pada berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air pada saat tanaman berumur 140 hari setelah tanam (hst) Perlakuan Jumlah pemberian air (mm/musim) 500
Frekuensi pemberian air 1 hari sekali
2 hari sekali
3 hari sekali
523,02 b 271,06 ab 76,33 a A A A 1.000 2.537,77 c 651,09 b 255,31 a B B A 1.500 5.478,24 c 1.015,66 b 629,96 a C C B BNT 5% 346,69 Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Tabel 2. Rerata bobot kering total tanaman (gram) pada berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air pada saat tanaman berumur 140 hari setelah tanam (hst) Perlakuan Jumlah pemberian air (mm/musim) 500
Frekuensi pemberian air 1 hari sekali
2 hari sekali
3 hari sekali
19,67 b 9,43 ab 3,43 a A A A 1.000 92,53 b 14,27 a 14,93 a B A A 1.500 208,47 c 31,70 b 17,03 a C B B BNT 5% 12,38 Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Tabel 3. Rerata jumlah anakan produktif per tanaman pada berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air pada saat tanaman berumur 140 hari setelah tanam (hst) Perlakuan Jumlah pemberian air (mm/musim) 500 1.000 1.500
Frekuensi pemberian air 1 hari sekali 0a A 1,0 b B 3,0 c C
2 hari sekali 0a A 0a A 1,0 b B
3 hari sekali 0a A 0a A 0a A
BNT 5% Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Data setelah ditransformasi X + 1, BNT=0,33
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 763-766, Juli 2015
766
Tabel 4. Rerata laju pertumbuhan relatif (g g-1 hari-1) pada berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air pada saat tanaman berumur 105-140 hari setelah tanam (hst) Perlakuan Jumlah pemberian air (mm/musim) 500
Frekuensi pemberian air 2 hari sekali
1 hari sekali
3 hari sekali
0,033 b 0,032 b 0,007 a A A A 1.000 0,037 a 0,034 a 0,033 a A A B 1.500 0,051 a 0,045 a 0,042 a B B B BNT 5% 0,010 Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5% Tabel 5. Rerata jumlah umbi per tanaman pada berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air pada saat tanaman berumur 140 hari setelah tanam (hst) Perlakuan Jumlah pemberian air (mm/musim) 500 1.000 1.500
Frekuensi pemberian air 2 hari sekali
1 hari sekali 4,0 b A 29,0 c B 53,0 c C
0,0 a A 3,0 b B 10,0 b C
3 hari sekali 0,0 a A 1,0 a A 7,0 a B
BNT 5% Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Data setelah ditransformasi X + 1, BNT=1,01 Tabel 6. Rerata bobot umbi per tanaman pada berbagai jumlah dan frekuensi pemberian air pada saat tanaman berumur 140 hari setelah tanam (hst) Perlakuan Jumlah pemberian air (mm/musim) 500 1.000 1.500
Frekuensi pemberian air 2 hari sekali
1 hari sekali
3 hari sekali
16,07 b
0,0 a
0,0 a
A
A
A
284,03c
17,47 b
1,87 a
B
B
A
538,27 c
95,40 b
45,03 a
C
C
B
BNT 5% Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Data setelah ditransformasi X + 1, BNT=2,84
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh dua kesimpulan sebagai berikut: (i) Frekuensi pemberian air sehari sekali pada berbagai jumlah pemberian air memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik pada tanaman talas; (ii) Pemberian air sebanyak 1.500 mm/musim pada berbagai frekuensi pemberian air memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik pada tanaman talas.
DAFTAR PUSTAKA Alahdadi I, Oraki H, Khajani FP. 2011. Effect of water stress on yield and yield components of sun flower hybrids. African J Bio 10 (34): 65046509. Gomez AK, Gomez AA. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2nd eds. An International Rice Research Institute Book. John Wiley & Sons, New York. Hadisaputro S. 2006. Mengenal beberapa konsep sistem budi daya tebu di Indonesia. Program Pelatihan Bidang Tanaman. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Malang, 14-16 Februari 2006. Impron. 1999. Kapita Selekta Agroklimatologi: Tanggap Transpirasi terhadap Lingkungan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Onwueme IC. 1978. The Tropical Tuber Crops. John Wiley & Sons, New York. Prasetyo ND. 2010. Pengaruh Tingkat Kepadatan Tanaman dan Pemupukan N, K pada Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum pada Musim Kemarau. Universitas Brawijaya, Malang. Pratiwi SH. 2014. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum pada Berbagai Ukuran Umbi dan Jumlah Daun. [Tesis]. Universitas Brawijaya, Malang. Prihandini E. 2007. Respons Beberapa Varietas Tebu (Saccharum officinarum L.) pada Berbagai Tingkat Kapasitas Lapang. [Tesis]. Universitas Brawijaya, Malang. Sabetfar SM, Ebrahim A, Shahriyar B. 2013. Effect of drought stress at different growth stages on yield and yield component of rice plant. Persian Gulf Crop Protection 2 (2): 14-18. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sugito Y. 2009. Ekologi Tanaman: Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Beberapa Aspeknya. Universitas Brawijaya Press, Malang. Suminarti NE. 2011. Teknik Budidaya Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum pada Kondisi Kering dan Basah. [Disertasi]. Universitas Brawijaya, Malang. Surtinah. 2005. Pengaruh lama cekaman air dan frekuensi pemberian Gandasil B terhadap kualitas melon. Jurnal Dinamika Pertanian 19(3): 25-35. Tjondronegoro P, Prawiranata W, Harran S. 1981. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan I. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 767-770
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010415
Evaluasi manfaat daun ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai bahan pakan ayam pedaging Evaluation of the benefits of sweet potato leaves (Ipomoea batatas) as broiler chickens feed stuff JET SAARTJE MANDEY♥, CHERLY J. PONTOH, JEIN RINNY LEKE, CATHRIEN A. RAHASIA Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 23 Januari 2015. Revisi disetujui: 25 April 2015.
Mandey JS, Pontoh CJ, Leke JR, Rahasia CA. 2015. Evaluasi manfaat daun ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai bahan pakan ayam pedaging. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 767-770. Potensi daun ubi jalar (Ipomoea batatas)sebagai bahan pakan ayam pedaging belum banyak diketahui. Penelitian bertujuan untuk mengkaji respons ayam pedaging yang mengkonsumsi tepung daun ubi jalar untuk menggantikan bungkil kelapa melalui pengukuran konversi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak abdominal. Sebanyak 96 ekor ayam pedaging CP 707 digunakan. Penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan susunan perlakuan yaitu: P0 (12% bungkil kelapa (BK) + 0% tepung daun ubi jalar (TDUJ)); P1 (8% BK + 4% TDUJ); P2 (4% BK + 8% TDUJ); dan P3 (0% BK + 12% TDUJ). Pengambilan data dilakukan selama 4 minggu pada periode finisher. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan tepung daun ubi jalar sampai 12% dalam menggantikan bungkil kelapa dalam pakan tidak berbeda nyata (P˃0,05) dilihat dari konversi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak abdominal. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tepung daun ubi jalar dapat menggantikan bungkil kelapa dalam pakan sampai dengan 12%. Kata kunci: Tepung daun ubi jalar, bungkil kelapa, ayam pedaging
Mandey JS, Pontoh CJ, Leke JR, Rahasia CA. 2015. Evaluation of the benefits of sweet potato leaves (Ipomoea batatas) as broiler chickens feed stuff. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 767-770. Information about the potency of sweet potato leaves (Ipomoea batatas) as a feed stuff of broiler chickens was still limited. The research was conducted to investigate the response of broiler chickens fed the sweet potato leaves meal to substitute the coconut cake through the measurement of the feed conversion, the carcass percentage and the abdominal fat percentage. A total of 96 broiler chickens CP 707 were used. Four treatments were designed using a completely randomized design and were allocated each with four replications with the treatment arrangement was consisted of: R0 (12% coconut cake (CC) + 0% sweet potato leaves (SPL); R1 (8% CC + 4% SPL); R2 (4% CC + 8% SPL); R3 (0% CC + 12% SPL). The data collection was done for 4 weeks at the finisher period. Feed and water were provided at ad libitum. The results showed that there were no significant (P˃0.05) differences between the treatments of sweet potato leaves and the coconut cake in the feed conversion, the carcass percentage and the abdominal fat percentage. It was concluded that the sweet potato leaves can substitute the coconut cake in the feed up to 12%. Keywords: Broiler chicken, coconut cake, sweet potato leaves meal
PENDAHULUAN Masalah yang dihadapi industri unggas terutama untuk produksi daging saat ini adalah tingginya biaya pakan akibat tingginya harga biji-bijian (Mmereole 2008, 2009) sebagai sumber energi dan protein. Diketahui bahwa bijibijian menyusun 60-70% pakan unggas dan kebutuhan bijibijian untuk pakan unggas berkompetisi dengan kebutuhan manusia. Jika ingin mempertahankan keberlanjutan industri unggas, dibutuhkan sumber daya energi alternatif yang murah, merlimpah, harus tersedia, dan tidak berkompetisi dengan kebutuhan manusia. Sekarang ini, penelitian tentang bahan pakan unggas diarahkan kepada substitusi satu bahan dengan bahan yang lain dalam konteks tetap mempertahankan nutrisi seimbang. Penggantian serealia
dan sisa-sisa agro-industri yang mahal dan terbatas ketersediaannya dengan sisa-sisa hasil pertanian yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dapat meningkatkan ketersediaan sumber protein untuk ternak (Tsega dan Tamir 2009). Studi tentang identifikasi sumber daya pakan alternatif dan nonkonvensional untuk produksi unggas yang murah dan mudah didapat sudah dilakukan (Ekenyem 2007). Saat ini perhatian ditujukan pada daun ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai alternatif sumber energi dan protein untuk pakan ternak. Ubi jalar, disebut juga ketela rambat, memiliki nama ilmiah Ipomoea batatas (L.) Lam. (Convolvulaceae) dan berasal dari daerah di antara Peninsula, Mexico, dan Venezuela. Tanaman ini sudah sejak lama di Peru, kemudian menyebar ke Karibia dan
768
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 767-770, Juli 2015
Polinesia. Bagian umbi ubi jalar merupakan bahan pangan alternatif untuk manusia, sedangkan bagian daunnya, yang merupakan sisa-sisa hasil pertanian, sudah digunakan untuk bahan pakan ternak sapi, kambing, domba, dan kambing, dan sekarang sudah mulai digunakan untuk unggas (Heuze et al. 2015). Daun ubi jalar sudah digunakan di daerah tropis sebagai sumber protein yang murah untuk bahan pakan ternak ruminansia (Ekenyem dan Madubuike 2006), dan daun ubi jalar dapat dipanen berulang-ulang sepanjang tahun (Hong et al. 2003). Menurut Preston (2006), daun ubi jalar mengandung protein kasar 10,4% dan serat kasar 11,1%, sedangkan menurut Montagnac et al. (2009) bahwa total kandungan asam amino esensial dalam protein lebih tinggi dibanding protein kedelai. Selanjutnya, Adewolu (2008) menyatakan bahwa daun ubi jalar mengandung protein kasar yang tinggi, yaitu 26-35%, dengan kandungan mineral yang baik, dan juga vitamin A, B2, C, dan E. Nguyen dan Ogle (2004) juga melaporkan bahwa daun ubi jalar mengandung protein kasar sekitar 24-29%. Daun ubi jalar memiliki faktor pembatas ketika digunakan sebagai bahan pakan yaitu adanya faktor antinutrisi yang terkandung di dalamnya seperti sianida, tanin, oksalat, dan fitat (Antia et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan daun ubi jalar dalam bentuk silase dapat menggantikan tepung ikan dan bungkil kacang tanah dalam pakan babi yang sedang tumbuh (Van Ann et al. 2005). Pertambahan berat badan ayam pedaging menurun ketika diberikan 150-200 g/kg bahan kering daun ubi jalar kering dalam ransum dibanding dengan kontrol, sedangkan pemberian daun ubi jalar kering sebanyak 100 g/kg bahan kering tidak mempengaruhi berat karkas ayam (Tamir dan Tsega 2010). Informasi tentang manfaat daun ubi jalar terhadap kualitas karkas ayam pedaging umumnya belum cukup. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji respons ayam pedaging yang mengkonsumsi tepung daun ubi jalar menggantikan bungkil kelapa melalui pengukuran konversi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak abdominal.
Variabel penelitian Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (i) konversi pakan, diukur dengan membagi jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dicapai pada periode atau waktu yang sama, (ii) Persentase karkas (ready to cook), diperoleh dari perbandingan antara berat karkas dengan berat hidup dikalikan 100% (North dan Bell 1990), (iii) Persentase lemak abdominal, diperoleh dari perbandingan antara berat lemak abdominal dengan berat hidup dikalikan 100% (Kubena et al. 1974). Analisis data Data yang diperoleh ditabulasi dengan program MS Office Excell 2010 dan data rataan dianalisis berdasarkan analisis varian (Anova) dari Rancangan Acak Lengkap Pola Searah (dengan program Genstat 12.2), dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan’s (Duncan’s Multi Range Test = DMRT) terhadap parameter-parameter yang berbeda nyata antarperlakuan dengan menggunakan perangkat software Genstat 12.2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang manfaat daun ubi jalar menggantikan bungkil kelapa dalam pakan ayam pedaging terhadap konversi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak abdominal disajikan dalam Tabel 2. Konversi pakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai konversi pakan tiap perlakuan berkisar antara 2,83-2,91. Menurut Blakely dan Blade (1998) dan Scott et al. (1982), nilai konversi pakan ayam pedaging dalam 6 minggu pertama sebaiknya ≤2,0. Nilai konversi pakan di atas 2 disebabkan karena ayam dipanen pada umur 7 minggu. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggantian tepung daun ubi jalar dengan bungkil kelapa pada
BAHAN DAN METODE Ternak dan pakan percobaan Penelitian ini menggunakan 96 ekor ayam pedaging periode finisher yang ditempatkan dalam 16 unit kandang baterei secara acak. Tiap unit ditempati 6 ekor ayam dan dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Bahan pakan yang digunakan sebagai penyusun ransum percobaan dan perhitungan nilai nutrisinya dapat dilihat pada Tabel 1. Tepung daun ubi jalar yang digunakan yaitu 0%, 4%, 8%, dan 12% menggantikan bungkil kelapa dan susunan perlakuannya adalah: P0 (12% bungkil kelapa (BK) + 0% tepung daun ubi jalar (TDUJ); P1 (8% BK + 4% TDUJ); P2 (4% BK + 8% TDUJ); dan P3 (0% BK + 12% TDUJ). Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Rancangan percobaan Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel dan Torrie 1980) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan susunan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pakan percobaan dan nilai nutrisi pakan tiap perlakuan Bahan pakan (%) Jagung kuning Dedak halus Kedelai Tepung ikan Tepung tulang Bungkil kelapa Tepung daun ubi jalar Top mix Total
51 10 12 12,5 2 12 0 0,5 100
Perlakuan P1 P2 51 51 10 10 12 12 12,5 12,5 2 2 8 4 4 8 0,5 0,5 100 100
P3 51 10 12 12,5 2 0 12 0,5 100
19,25 8,11 6,63 1,08 0,71 4.085
19,41 7,50 6,77 1,06 0,69 4.071
19,72 6,28 7,07 1,04 0,67 4.037
P0
Zat-zat makanan: Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Ca (%) P (%) GE (kkal/kg)
19,57 6,88 6,92 1,05 0,68 4.054
MANDEY et al. – Daun ubi jalar pakan broiler
769
Tabel 2. Pengaruh daun ubi jalar terhadap konversi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak abdominal Parameter
R0
R1
Konversi pakan 2,84 Persentase karkas 70,03±1,34 Persentase lemak abdominal 2,08±0,26 Keterangan: ns= not significant (P˃0,05)
2,86 69,85±1,49 1,73±0,26
beberapa level tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P˃0,05) terhadap nilai konversi pakan. Ini berarti bahwa penggunaan tepung daun ubi jalar sampai 12% memberikan respons yang sama dengan pemberian bungkil kelapa dalam pakan. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Unigwe et al. (2014) bahwa penggunaan 5% daun ubi jalar dalam pakan ayam pedaging menghasilkan pertambahan berat badan dan konversi pakan yang baik. Perbaikan nilai konversi pakan adalah salah satu target yang paling penting dalam nutrisi unggas komersial. Jika nilai konversi pakan meningkat, mengimplikasikan bahwa efisiensi penggunaan pakan semakin jelek, dan ini terjadi karena penurunan konsumsi pakan diikuti dengan penurunan berat badan dan perbedaan kecernaan pakan. Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa semakin rendah angka konversi pakan berarti kualitas pakan semakin baik. Faktor utama yang mempengaruhi konversi pakan adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas air, pengobatan, serta manajemen pemeliharaan. Nilai konversi pakan yang tidak berbeda nyata antarperlakuan menunjukkan bahwa tepung daun ubi jalar dalam penelitian ini dapat menggantikan bungkil kelapa dalam pakan ayam pedaging. Persentase karkas Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata persentase karkas dari tiap-tiap perlakuan berkisar antara 68,87-70,54%. Menurut Jull (1951), persentase karkas siap masak (ready to cook) berkisar antara 66-76%. Hal ini berarti bahwa persentase karkas yang dihasilkan dalam penelitian ini berada dalam kisaran tersebut. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggantian tepung ubi jalar dengan bungkil kelapa pada beberapa level tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P˃0,05) terhadap persentase karkas. Persentase karkas biasanya meningkat sesuai dengan meningkatnya bobot hidup (Soeparno 1994) dan faktor-faktor yang mempengaruhi persentase bobot karkas adalah bobot hidup, perlemakan, jenis kelamin, umur, aktivitas, serta jumlah dan kualitas pakan (Diwiyanto et al. 1979). Tamir dan Tsega (2010) melaporkan bahwa penambahan daun ubi jalar kering sampai 100 g/kg bahan kering dalam pakan ayam pedaging periode finisher sebagai dosis optimal untuk suplementasi pada ayam berat pasaran, tetapi untuk menghasilkan berat karkas sesuai pasaran perlu suplementasi sampai dosis 150 g/kg bahan kering. Selanjutnya, Asmara et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan daun ubi jalar sampai 5% dalam pakan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap berat
Perlakuan R2 2,83 70,54±1,32 1,76±0,15
R3 2,91 68,87±1,19 1,41±0,28
p Value ns ns ns
hidup, berat karkas, dan pigmentasi kulit karkas dibanding dengan pakan kontrol tanpa daun ubi jalar. Djakaria (1983) mengemukakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi persentase karkas. Tidak berbedanya persentase karkas dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh kualitas pakan tiap perlakuan yang hampir sama dilihat dari komposisi nutrisinya. Hal ini dapat dilihat juga dari nilai konversi pakan yang hampir sama yang menyebabkan persentase karkas juga sama. Ini berarti bahwa penggunaan tepung daun ubi jalar memberikan respons yang sama dengan pemberian bungkil kelapa dalam pakan. Dengan demikian, tepung daun ubi jalar dapat menggantikan bungkil kelapa dalam pakan ayam pedaging. Persentase lemak abdominal Persentase lemak abdominal dalam penelitian ini berkisar antara 1,41-2,08%. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa persentase lemak abdominal ayam berkisar antara 2,64-3,30%. Dalam kondisi normal, persentase lemak berkisar antara 1%-2,5% dari bobot hidup (Lesson dan Summers 2001). Hal ini berarti bahwa kualitas karkas hasil penelitian ini baik karena lemak abdominalnya sedikit. Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas karkas ayam pedaging adalah rasio lemak abdominal. Kelebihan lemak pada karkas tidak diinginkan konsumen dan kelebihan lemak menyebabkan penurunan efisiensi penggunaan pakan ayam pedaging. Ayam dengan konversi pakan yang baik hanya memiliki sedikit lemak abdominal. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggantian tepung ubi jalar dengan bungkil kelapa pada beberapa level tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P˃0,05) terhadap persentase lemak abdominal. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung daun ubi jalar memberikan respons yang sama dengan penggunaan bungkil kelapa dalam pakan dilihat dari persentase lemak abdominal. Hasil penelitian yang melaporkan tentang pengaruh penggunaan daun ubi jalar terhadap persentase lemak abdominal belum ditemukan. Sarikhan et al. (2010) menyatakan bahwa kandungan lemak abdominal, lemak karkas, dan lemak total dalam tubuh akan menurun pada pemberian pakan yang mengandung serat tinggi dan menyebabkan depot lemak abdominal sedikit. Menurunnya lemak abdominal diduga disebabkan karena terjadi peningkatan laju metabolik terutama peningkatan βoksidasi. Wardah et al. (2012) menyatakan bahwa serat memiliki peran penting dalam menghambat absorpsi lemak
770
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 767-770, Juli 2015
dan kolesterol dalam saluran pencernaan. Peningkatan jumlah serat dalam pakan dapat menghambat proses lipogenesis melalui penghambatan koenzim NAD+ dan NADP+. Dari hasil dan pembahasan tentang pengaruh penggantian tepung daun ubi jalar dengan bungkil kelapa terhadap konversi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak abdominal, dapat disimpulkan bahwa tepung daun ubi jalar dapat menggantikan bungkil kelapa dalam pakan sampai 12%.
DAFTAR PUSTAKA Adewolu MA. 2008. Potentials of sweet potato (Ipomoea batatas) leaf meal as dietary ingredient for Tilapia zilli fingerlings. Pak J Nutr 7 (3): 444-449. Antia S, Akpan EJ, Okon PA, Umoren IU. 2006. Nutritive and antinutritive evaluation of sweet potato (Ipomoea batatas) leaves. Pak J Nutr 5 (2): 166-168. Asmara IY, Gamida D, Tanwiriah W. 2007. The effect of Ipomoea batatas leaves in diet on the carcass characteristics of broiler. Trop Anim Agric 32 (2): 126-130. Blakely J, Bade DH. 1998. Ilmu Peternakan. Cetakan IV. Diterjemahkan oleh Srigandono B. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Diwiyanto K, Resnawati H, Sabrani M, Sumarni. 1979. Evaluasi produksi daging ayam jantan final stock tipe dwiguna. Prosiding Seminar Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor. Djakaria HR. 1983. Pengaruh Umur Terhadap Persentase Karkas dan Efisiensi Ekonomi pada Ayam Broiler Unsexed. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ekenyem BU, Madubuike FN. 2006. An assessment of Ipomoea ascarifolia leaf meal as feed ingredient in broiler chick production. Pak J Nutr 5: 46-50. Ekenyem BU. 2007. Effect dietary inclusion of Ipomea ascarifolia leaf meal on the performance of carcass and organ characteristics of grower pigs. Adv In Sci Tech 1: 87-91. Heuze V, Tran G, Hassoun P. 2015. Sweet potato (Ipomoea batatas) forage. Feedipedia. A programme by INRA, CIRAD, AFZ and FAO. http://www.feedipedia.org/node/551. Hong NTT, Wanapat M, Wachirapakorn CKP, Rowlinson P. 2003. Effect of timing of initial cutting and subsequent cutting on yields and chemical composition of cassava hay and its supplementation on lactating dairy cows. Asia-Australian J Anim Sci 16: 1763-1769. Jull MA. 1951. Poultry Husbandry. McGraw-Hill Book Company, New York. Kubena IF, Deaton JW, Chan TC, Reece FN. 1974. Factors influencing the quality of abdominal fat in broilers. Poult Sci 53: 211-214.
Lacy M, Vest LR. 2000. Improving Feed in Broiler: A Guide for Growers. http://www.ces.edu.uga.edu. Lesson S, Summers JD. 2001. Broiler Breeder Production. University Books, Guelph. Mmereole F. 2009. Evaluation of dietary inclusion of sweet potato (Ipomoea batatas) leaf meal (SPLM) with and without enzyme treatment in broiler diets. Pak J Nutr 8 (6): 841-844. Mmereole FUC. 2008. Effects of replacing groundnut cake with rubber seed meal on the haematological and serological indices of broilers. Intl J Poult Sci 7: 622-624. Montagnac AJ, Christopher RD, Tanumihardjo SA. 2009. Nutritional value of cassava for use as a staple food and recent advances for improvement. Compr Rev Food Sci Food Saf 8: 186-194. Nguyen TT, Ogle B. 2004. The Effect of Supplementing Different Green Feed (Water Spinach, Sweet Potato Leaves and Duck Weed) to Broken Rice based Diets on Performance, Meat and Egg Yolk Color of Luong Phuong Chickens. Department of Animal Nutrition and Management, Sweden. North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th ed. Chapman and Hall, Washington DC. Preston TR. 2006. Forages as protein sources for pigs in the tropics. Workshop-Seminar: Forages for Pigs and Rabbits. MEKARNCelAgrid, Phnom Penh, Cambodia, 22-24 August, 2006. Sarikhan M, Shahryar HA, Gholizadeh B et al. 2010. Effects of insoluble fiber on growth performance, carcass traits and ileum morphological parameters on broiler chick males. Intl J Agric Biol 12: 531-536. Scott ML, Nesheim MC, Young RJ. 1982. Nutrition of the Chicken. 3rd ed. ML Scott and Associates, New York. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Steel RGD, Torrie JA. 1980. Principles and Procedures of Statistics. McGraw-Hill, New York. Tamir B, Tsega W. 2010. Effects of different levels of dried sweet potato (Ipomoea batatas) leaves inclusion in finisher ration on feed intake, growth, and carcass yield performance of Ross broiler chicks. Trop Anim Health Prod 42 (4): 687-695. Tsega W, Tamir B. 2009. The effect of increasing levels of dried leaves of sweet potato (Ipomoea batatas) on dry matter intake and body weight gain performance of broiler finisher chickens. Livestock Res For Rural Develop 21 (12): http://www.lrrd.org/lrrd21/12/wude21208.htm [22 Maret 2015]. Unigwe CR, Okorafor UP, Atoyebi TJ, Ogbu UM, 2014. The nutritive value and evaluation of sweet potato (Ipomoea batatas) leaf meal on the growth performance of broiler chickens. Intl J Pure Appl Sci Technol 20 (2): 19-26. Van Ann L, Hong TTT, Ogle B, Lindberg JE. 2005. Utilization of ensiled sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam) leaves as a protein supplement in diets for growing pigs. Trop Anim Health Prod 37: 77-88. Wardah T, Sopandi EB, Aksono H, Kusriningrum. 2012. Reduction of intracellular lipid accumulation, serum leptin and cholesterol of levels in broiler fed diet supplemented with powder leaves of Phyllanthus buxitolius. Asian J Agric Res 6: 106-117.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 771-775
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010416
Penggunaan tepung insang cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai pengganti tepung ikan dalam beberapa level pemberian dan metode pengolahan terhadap penampilan ayam broiler Performance of broiler chickens fed skipjack (Katsuwonus pelamis) gills meal as a replacement in several levels and methods for fish meal JEIN RINNY LEKE1,♥,TUTI WIDYASTUTI2, JET S. MANDEY3, MARIE NAJOAN3, JACQUELINE LAIHAD1 1
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568, ♥email:
[email protected] 2 Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 3 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara Manuskrip diterima: 23 Januari 2015. Revisi disetujui: 28 April 2015.
Leke JR, Widyastuti T, Mandey JS, Najoan M, Laihad J. 2015. Penggunaan tepung insang cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai pengganti tepung ikan dalam beberapa level pemberian dan metode pengolahan terhadap penampilan ayam broiler. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 771-775. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan tepung insang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) menggantikan tepung ikan dalam beberapa level dan metode pengolahan terhadap performans ayam broiler. Penelitian ini menggunakan 225 ekor ayam pedaging Day Old Chick (DOC) galur “Arbor Acres” CP 707. Ayam ditempatkan secara acak ke dalam 45 unit kandang dan tiap kandang berisi 5 ekor ayam. Perlakuan dibagi menjadi faktor A yang terdiri atas lima level pemberian tepung insang cakalang, yaitu 0, 3, 6, 9, dan 12%, serta faktor B yang terdiri atas tiga taraf metode pengolahan insang cakalang, yaitu jemur, kukus, dan rebus, sehingga terdapat 15 kelompok perlakuan. Variabel yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Data dianalisis menggunakan analisis variansi (ANOVA) dengan rancangan acak lengkap pola faktorial dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s. Ransum yang digunakan mengandung 22% protein dan energi metabolik 3.200 kkal/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara level tepung insang ikan cakalang dengan metode pengolahan insang cakalang ternyata tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Faktor level tepung insang ikan cakalang ternyata tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum, tetapi faktor metode pengolahan insang ikan cakalang memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung insang cakalang dapat menggantikan tepung ikan dalam pakan sehingga meningkatkan pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum terhadap penampilan broiler. Kata kunci: Broiler, insang ikan cakalang, Katsuwonus pelamis
Leke JR, Widyastuti T, Mandey JS, Najoan M, Laihad J. 2015. Performance of broiler chickens fed skipjack (Katsuwonus pelamis) gills meal as a replacement in several levels and methods for fish meal. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 771-775. The research was conducted to evaluate the performance of broiler chickens fed skipjack (Katsuwonus pelamis L.) gills meal as a replacement for fish meal. Five diets were formulated such that skipjack gills meal in three methods of processing (sun dried, steamed and boiled) replaced fish meal at 0, 3, 6, 9 and 12% levels. The 225 day-old broiler chicks (Arbor acres CP 707) were divided into 5 treatments and 3 processing methods, each with 3 replications, so there were 45 pens (5 birds per pen). The diets were compounded to be 22% protein and 3200 kcal/kg ME. The chicks were randomly allotted to treatments in a completely randomized design with factorial pattern. Effects on production results were evaluated by live weight gain, feed intake and feed conversion. The results showed that there were no interaction between the methods of processing (factor B) and the levels of skipjack gills meal (factor A) and that there were no significant (P>0.05) differences in live weight gain, feed intake and feed conversion between the treatment means of skipjack gills levels. However, live weight gain, feed intake and feed conversion were significantly (P<0.05) affected by the processing method of skipjack gills. This result showed that the skipjack gills meal can be used to substitute the fish meal in the diets of broiler without any adverse effect on growth performance. Keywords: Broiler, Katsuwonus pelamis, skipjack gills
PENDAHULUAN Permasalahan yang sering dijumpai dalam memelihara ayam broiler umumnya menyangkut pengadaan pakan yang
tersedia dan berkualitas baik. Hal ini dibutuhkan karena ayam broiler tumbuh cepat sehingga memerlukan pakan yang berkualitas baik. Sebagian bahan pakan unggas (broiler) harganya mahal dan ketersediaannya bersaing
772
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 771-775, Juli 2015
dengan kebutuhan manusia. Tepung ikan merupakan bahan pakan yang sangat penting dalam menyusun ransum sebagai sumber protein (Hossain et al. 2003; Okah dan Onwujiariri 2012; Ologhobo et al. 2012). Tepung ikan merupakan sumber protein hewani konvensional yang harganya mahal. Apabila tepung ikan diberikan pada unggas akan meningkatkan biaya produksi. Tepung ikan dikenal sebagai sumber protein bernilai biologi tinggi dalam nutrisi ternak monogastrik. Di samping mengandung asam amino esensial yang tinggi, bahan pakan ini juga mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi, mineral terutama fosfor, serta vitamin A, D, dan B kompleks yang tinggi (Mikulec et al. 2004). Tepung ikan dalam ransum ayam biasanya 10-15% atau sepertiga dari total protein hewani atau total protein ransum. Protein ransum yang dianjurkan pada ayam broiler adalah 22%. Jika tepung ikan yang digunakan sebanyak 10-15% dalam ransum, ransum akan mengandung 6-9% protein hewani atau sepertiga bagian protein ransum hewani (apabila protein tepung ikan 60%) dan sisanya 13-16% protein nabati atau 2/3 bagian protein ransum berasal dari protein nabati (Yunilas 2005). Harga tepung ikan terus meningkat dan kualitasnya tidak menentu sehingga mempengaruhi harga dan kualitas ransum. Untuk keberlanjutan usaha peternakan ayam broiler maka biaya produksi harus ditekan seminimal mungkin. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menekan biaya ransum adalah mencari bahan pakan alternatif yang murah dan mudah didapat untuk menggantikan tepung ikan. Limbah insang cakalang (Katsuwonus pelamis L.) adalah bahan pakan alternatif yang harganya relatif murah dan merupakan limbah industri dari pabrik ikan cakalang di Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Sulawesi Utara berpotensi sebagai sumber ikan dimana jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) atau tuna skipjack merupakan salah satu jenis ikan ekspor. Data produksi ikan cakalang dari Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2010 sebesar 60.168 ton. Dari produksi ikan cakalang pada tahun 2010 tersebut, sebesar 198,55 ton terbuang sebagai limbah insang ikan cakalang yang sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dalam rangka pemanfaatan limbah insang cakalang menjadi bahan pakan berbentuk tepung yang mempunyai nilai nutrisi dan kandungan zat-zat makanan yang baik, perlu mendapat perlakuan pengolahan guna mengantisipasi kondisi cuaca yang tidak menentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan tepung insang cakalang (Katsuwonus pelamis L.) menggantikan tepung ikan dalam beberapa level dan metode pengolahan terhadap penampilan ayam broiler.
BAHAN DAN METODE Bahan penelitian Bahan penelitian berupa ayam broiler umur 1 hari Day Old Chick (DOC) galur “Arbor acres” CP 707 sebanyak 225 ekor yang dipelihara selama 35 hari. Bahan pakan yang digunakan adalah pakan basal yang terdiri atas jagung, dedak, bungkil kedelai, bungkil kelapa, minyak kelapa, grit, top mix, dan insang ikan cakalang. Kandungan zat
makanan pada pakan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Pemberian air minum secara ad libitum. Tindakan preventif kesehatan dilakukan berupa sanitasi kandang ayam dan lingkungan sekitar kandang, serta vaksinasi pada waktu ayam berumur empat hari dengan memberikan vaksin ND (Newcastle Disease) melalui tetes mata untuk mencegah penyakit tetelo. Pemberian pakan perlakuan dilakukan setelah ayam broiler berumur 12 hari. Metode penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental in vivo berdasarkan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor pertama (A) adalah lima taraf pemberian tepung insang cakalang, yaitu 0, 3, 6, 9, dan 12%, sedangkan faktor kedua (B) adalah tiga taraf metode pengolahan insang cakalang, yaitu (i) insang cakalang jemur, (ii) insang cakalang kukus, (iii) insang cakalang rebus. Dengan demikian terdapat 15 kelompok perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 5 ekor ayam broiler. Variabel penelitian yang diukur sebagai berikut: (i) Pertambahan bobot badan (g), ditentukan dengan cara mengurangkan bobot badan akhir dengan bobot badan awal (Winedar et al. 2006). (ii) Konsumsi ransum (g), dihitung dengan cara menimbang sejumlah pakan yang diberikan (g) kemudian dikurangi dengan sejumlah pakan yang tersisa (g) (Asmara et al. 2007). (iii) Konversi pakan, dihitung selama enam minggu berdasarkan banyaknya pakan yang dikonsumsi dibagi dengan pertambahan berat badan (Ollong et al. 2012). Analisis data Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis variansi (Anova). Apabila hasilnya berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan bobot badan Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan berkisar antara 1.509,851.613,78 gram. Hal ini menunjukkan pertambahan bobot badan sampai 12% memberikan pertumbuhan yang optimal. Asmara et al. (2007) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa pemberian ransum yang mengandung tepung daun ubi jalar menghasilkan rataan pertambahan bobot badan antara 883,20-1.138,80 gram. Sementara itu, Baye et al. (2015) melaporkan bahwa penggunaan tepung limbah pengalengan ikan dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan rataan pertambahan berat badan antara 879,80-1.032,20 g/ekor. Anoh dan Akpet (2013) juga melaporkan bahwa tepung ikan dapat digantikan dengan tepung darah dalam ransum broiler tanpa mengganggu pertumbuhan ayam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor level tepung insang ikan cakalang dan interaksi antara level tepung insang ikan cakalang dengan metode pengolahan insang cakalang memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan.
LEKE et al. – Insang cakalang dalam pakan broiler
Sementara itu, faktor metode pengolahan tepung insang ikan cakalang memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan bobot badan. Metode pengolahan kukus insang ikan cakalang dapat meningkatkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dari kontrol dan rebus, karena mampu meningkatkan ketersediaan nutrien dalam pakan dalam saluran pencernaan broiler. Pertambahan bobot badan sangat berkaitan dengan pakan, baik kuantitas maupun kualitas pakan. Kualitas berkaitan dengan konsumsi pakan dimana apabila konsumsi pakan terganggu akan mengganggu pertumbuhan (Widodo 2009). Hasil uji jarak berganda Duncan memperlihatkan bahwa pertambahan bobot badan ayam broiler yang diberikan pakan tepung insang ikan cakalang kukus secara nyata lebih tinggi dibandingkan metode pengolahan jemur dan rebus. Hal ini karena protein dari pengolahan limbah insang ikan cakalang yang dikukus belum mengalami denaturasi protein dan asam amino. Yunilas (2005) mengemukakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan kelengkapan asam amino dalam ransum sesuai dengan kebutuhan dan jumlah ransum yang dikonsumsi. Nutrisi dan manajemen yang baik akan menentukan performan broiler. Leeson dan Summers (2005) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Keadaan ini disebabkan pertumbuhan ayam pedaging tercepat terjadi pada umur satu hari sampai enam minggu, di samping itu ransum yang dikonsumsi mengandung cukup asam amino yang dibutuhkan, selain keseimbangan kandungan protein dan energinya. Scott et al. (1982) menyatakan bahwa ransum untuk ayam broiler pada fase finisher harus mengandung energi sebesar 2.900-3.400 kkal/kg ransum dan protein kasar sebesar 18,1-21,2%. Adapun menurut Yuwanta (2007), kebutuhan energi ayam broiler pada fase finisher sebesar 3.000 kkal/kg sampai dengan 3.200 kkal/kg dalam ransum. Konsumsi ransum Berdasarkan hasil penelitian, rataan konsumsi pakan broiler yang diberi limbah insang ikan cakalang berkisar antara 3.325,27-3.376,14 g selama 6 minggu pemeliharaan. Rusmana (2010) menyatakan bahwa pemberian pakan dengan penambahan minyak ikan lemuru tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan dengan rataan 3.359-4.035 g. Menurut Purwanti dan Zainuddin (2007), konsumsi pakan ayam broiler dengan pemberian probiotik mempunyai rataan berkisar 2.606-2.725 g selama 5 minggu pemeliharan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa level tepung insang ikan cakalang dan interaksi antara metode pengolahan dengan level insang cakalang tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Hal ini berarti pengaruh level dan metode pengolahan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak berbeda nyata. Hal disebabkan oleh palatabilitas ransum yang disediakan dan kandungan nutrisi ransum dalam penelitian ini adalah sama. Udayana (2005) menyatakan bahwa penambahan tallow (lemak sapi) ke dalam pakan hingga aras 30% tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap pertambahan bobot badan broiler. Faktor metode pengolahan insang ikan cakalang memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
773
konsumsi ransum. Kualitas protein, dalam hal ini komposisi asam amino, pada insang cakalang kukus lebih baik dibandingkan dengan pengolahan rebus dan jemur. Kebutuhan protein dan energi dalam penyusunan pakan ayam juga memerlukan keseimbangan asam amino. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kandungan zat makanan dalam pakan (Widodo 2009). Kandungan energi metabolis dalam pakan berkisar 3.000-3.100 kkal yang menghasilkan konsumsi pakan berkisar 1.930-2.380 g selama 6 minggu pemeliharaan (Scott et al. 1982). Kandungan energi dalam pakan bersama konsentrasi energi yang berpengaruh terhadap pakan secara proposional mempengaruhi konsumsi pakan harian. Semakin tinggi kandungan energi pakan, semakin banyak energi yang dikonsumsi. Widodo (2009) mengemukakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh kandungan zat makanan dalam pakan, lingkungan, kesehatan ayam, perkandangan, dan wadah pakan. Konversi ransum Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara level insang ikan cakalang dan metode pengolahan tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum. Level insang ikan cakalang dalam pakan belum mampu memperbaiki nilai konversi pakan broiler dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata dengan pakan kontrol. Bentuk fisik dari pakan yang dikonsumsi, bobot badan ayam, serta kandungan nutrien adalah beberapa faktor yang turut berperan dalam nilai konversi pakan. Kartikasari et al. (2001) menyatakan bahwa konversi ransum mempunyai arti dan nilai ekonomis yang menentukan bagi kepentingan usaha karena merupakan perbandingan antara ransum yang dihabiskan dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Semakin kecil angka konversi yang dihasilkan berarti semakin baik. Konversi ransum perlu diperhatikan karena erat hubungannya dengan biaya produksi karena dengan bertambah besarnya konversi ransum berarti biaya produksi pada setiap satuan bobot badan akan bertambah besar. Rataan konversi ransum dalam penelitian ini masih termasuk nilai konversi ransum rata-rata normal yaitu 2,112,17. Angka konversi ransum lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh Ollong et al. (2012) yang menggunakan minyak buah merah pada broiler dengan kisaran konversi 2,46-3,04. Demikian pula dengan hasil penelitian Anitha et al. (2006) dengan konversi ransum berkisar antara 2,32-2,45 yang memanfaatkan crude rice born oil hingga 5% dalam pakan dan tidak berbeda nyata dengan pakan kontrol. Zulkarnain (2008) dengan nilai konversi ransum ayam broiler berada pada kisaran 1,82-2,10. Tabiedian et al. (2005) menyatakan bahwa penambahan minyak kedelai sebesar 2,5% dan protein 10% dalam pakan mampu menghasilkan nilai konversi terendah yang berkaitan erat dengan tingginya tingkat konsumsi pakan ayam broiler yang berumur 7-21 hari sebesar 1,66, namun berbeda tidak nyata dengan kontrol yaitu sebesar 1,76. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung insang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) dapat menggantikan tepung ikan dalam pakan sehingga meningkatkan pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum terhadap penampilan ayam broiler.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 771-775, Juli 2015
774
Tabel 1. Susunan ransum percobaan, komposisi zat-zat makanan penelitian Ransum penelitian (%) J0 J1 J2 J3 J4 K1 K2 K3 K4 R1 R2 R3 R4 Jagung kuning 55,95 55,95 55,72 54,7 54,14 55,4 54,8 54,4 54,25 55,8 54,78 54,15 53,6 Dedak halus 6 6 5,7 5,05 5,1 5,55 5,05 5 5 6,05 6,05 6 4 Bungkil kelapa 3 3 2,5 2,5 2,5 3 3 2,5 2 2,5 2,5 2,5 3 Tepung insang 12 12 9,98 7,97 5,96 10 8,07 6,1 4,15 10,1 6,25 6,25 4,33 Tepung insang cakalang jemur 0 3 6 9 12 0 0 0 0 0 0 0 0 Tepung insang cakalang kukus 0 0 0 0 0 3 6 9 12 0 0 0 0 Tepung insang cakalang rebus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 6 9 12 Minyak kelapa 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 Grit 1 1 1 1 1 1 1 1 0,05 1 1 0,05 0,05 Top mix 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Protein (%) ** 22,41 22,26 22,42 22,1 22,04 22,3 22,2 22 22,17 22,1 22,18 22,13 22,4 Energi metabolis (Kkal/Kg)* 3.200 3.204 3.202 3.201 3.202 3.202 3.204 3.204 3.230 3.202 3.201 3.213 3.223 Ca (%)** 1,3 1,48 1,66 1,84 2,03 1,49 1,67 1,86 1,76 1,51 1,71 1,62 1,82 P (%)* 0.47 0.6 0.73 0.86 1 0.59 0.72 0.84 0.95 0.63 0.8 0.96 1.13 Keterangan: *Hasil perhitungan berdasarkan analisis Laboratorium Balai Industri Manado. ** Hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrisi hasil analisis. J0 = pakan kontrol, J1 = pakan 3% tepung insang cakalang jemur, J2 = pakan 6% tepung insang cakalang jemur, J3= pakan 9% tepung insang cakalang jemur, J4 = pakan 12% tepung insang cakalang jemur, K1 = pakan 3% tepung insang cakalang kukus, K2 = pakan 6% tepung insang cakalang kukus, K3 = pakan 9% tepung insang cakalang kukus, K4 = pakan 12% tepung insang cakalang kukus, R1 = pakan 3% tepung insang cakalang rebus, R2 = pakan 6% tepung insang cakalang rebus, R3 = pakan 9% tepung insang cakalang rebus, R4 = pakan 12% tepung insang cakalang rebus. Bahan makanan
Tabel 2. Rataan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi ransum broiler selama 6 minggu penelitian Tingkat pemberian tepung insang ikan cakalang (g) Metode pengolahan R0 R1 R2 R3 PBB Jemur 1.574,46 + 37,94 1.563,357 + 29,84 1.515,42 + 22,92 1.537,727 + 24,04 Kukus 1.608,34 + 21,93 1.584,99 + 16,99 1.613,78 + 19,59 1.589,74 + 4,99 Rebus 1.544,43 + 45,56 1.509,85 + 25,05 1.530,71 + 9,43 1.548,39 + 12,28 Konsumsi Jemur 3.288,52 + 55,23 3.355,90 + 40,16 3.321,74 + 44,49 3.366,00 + 24,85 Kukus 3.343,72 + 14,78 3.375,40 + 82,24 3.440,33 + 39,41 3.377,61 + 77,26 Rebus 3.343,72 + 14,78 3.314,41 + 48,29 3.334,41 + 22,09 3.354,27 + 17,34 Konversi Jemur 2,09 + 0,07 2,15 + 0,02 2,19 + 0,01 2,19 + 0,04 Kukus 2,08 + 0,07 2,13 + 0,02 2,13 + 0,05 2,12 + 0,04 Rebus 2,17 + 0,07 2,16 + 0,06 2,18 + 0,00 2,16 + 0,05 Keterangan: Level tepung insang ikan cakalang tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan, dan konversi ransum. Interaksi antara metode pengolahan insang ikan cakalang dan level pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi, pertambahan berat badan (PBB), dan konversi ransum. Variabel
R4 1.559,98 + 20,70 1.597,96 + 13,93 1.549,07 + 42,43 3.382,31 + 53,18 3.390,93 + 33,33 3.355,17 + 39,85 2,17 + 0,05 2,12 + 0,03 2,17 + 0,03 konsumsi pakan, tidak memberikan
Tabel 3. Rataan metode pengolahan terhadap konsumsi ransum, PBB, dan konversi ransum selama 6 minggu Variabel (g) PBB Konsumsi Jemur 1.550,19+23,57a 3.342,90+37,62b Kukus 1.598,96+12,13b 3.385,57+35,20a a Rebus 1.536,49+16,62 3.340,39+16,82a Keterangan: Metode pengolahan insang ikan cakalang memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap (PBB), konsumsi, dan konversi ransum Metode pengolahan
DAFTAR PUSTAKA Anitha B, Moorthy M, Viswanathan K. 2006. Production performance of broiler fed with crude rise bran oil. Int J Poult Sci 5 (11): 1046-1052. Anoh KU, Akpet SO. 2013. Growth response of broiler chickens fed diets containing blood meal with enzyme supplementation as a replacement for fish meal. IOSR J Agric Veter Sci (IOSR-JAVS) 4 (4): 31-34.
Konversi 2,16+0,04b 2,12+35,20a 2,17+16,82b pertambahan berat badan
Asmara IYD, Garnida D, Tanwiriah D. 2007. Penampilan broiler yang diberi ransum mengandung tepung daun ubi jalar (Ipomoea batatas) terhadap karakteristik karkas. Trop Anim Agric 32 (2): 126-130. Baye A, Sompie FN, Bagau B, Regar M. 2015. Penggunaan tepung limbah pengalengan ikan dalam ransum terhadap performan broiler. J Zootek 35 (1): 96-105.
LEKE et al. – Insang cakalang dalam pakan broiler Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara. 2010. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Utara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara, Manado. Hossain MH, Ahammad MU, Howlider MAR. 2003. Replacement of fish meal by broiler offal in broiler diet. Int J Poult Sci 2 (2): 159-163. Kartikasari, Soeparno LR, Setiyono. 2001. Komposisi kimia dan studi asam lemak daging dada ayam broiler yang mendapat suplementasi metionin pada pakan berkadar protein rendah. Buletin Peternakan 25 (1): 33-39. Leeson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd ed. National Academy Press, Washington DC. Mikulec ŽN, Masek MT, Strmotiae A. 2004. Soybean meal and sunflower meal as a substitute for fish meal in broiler diet. Vet Archiv 74: 271279. Okah U, Onwujiariri EB. 2012. Performance of finisher broiler chickens fed maggot meal as a replacement for fish meal. J Agric Tech 8 (2): 471-477. Ollong AR, Wihandoyo, Erwanto Y. 2012. Penampilan produksi ayam broiler yang diberi pakan mengandung minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) pada aras yang berbeda. Buletin Peternakan 36 (1): 14-18. Ologhobo AD, Asafa AR, Adejumo IO. 2012. Performance characteristics of broiler chicken fed poultry offal meal. Int J Agric Sci 2 (11): 10211025. Purwanti AS, Zainuddin D. 2007. Penggunaan Probiotik (Lactobaccilus sp.) sebagai Imbuhan Pakan Broiler. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar. Rusmana D. 2010. Pengaruh Ransum Mengandung Minyak Ikan Lemuru dan Suplementasi Vitamin E Terhadap Bobot Badan Akhir,
775
Persentase Karkas dan Lemak Abdominal Ayam Broiler. [Skripsi]. Universitas Padjadjaran. Bandung. Scott ML, Mc Nesheim, Young RJ. 1982. Nutrition of the Chicken. Westport, Connecticut. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tabiedian SA, Sadeghi GH, Pourreza J. 2005. Effect of dietary protein level and soybean oil supplementation on broiler performance. Int J Poult Sci 4 (10): 799-803. Udayana. 2005. Pengaruh Penggunaan Lemak Sapi dalam Ransum sebagai Pengganti Sebagian Energi Jagung terhadap Berat Badan Akhir dan Persentase Karkas Itik Bali. Universitas Udayana, Bali. Widodo. 2009. Pengaruh Penambahan Mineral Supplement ”Biolife” dalam Pakan Terhadap Penampilan Produksi Ayam Pedaging. [Skripsi]. Universitas Brawijaya, Malang. Winedar H, Listyawati S, Sutarno. 2006. Daya cerna protein pakan, kandungan protein daging, dan pertambahan berat badan ayam broiler setelah pemberian pakan yang difermentasi dengan effective microorganism-4 (EM-4). Bioteknologi 3 (1): 14-19. Yunilas. 2005. Performans ayam broiler yang diberi berbagai tingkat protein hewani dalam ransum. Jurnal Agribisnis Peternakan 1 (1): 2226. Yuwanta T, Supadmo. 2007. Pengaruh telur ber-omega-3 dan 6 hasil olahan profil lipid darah tikus Rattus norgevitus, normal dan hiperkolesterolemia. Media Peternakan 30 (1): 26-34. Zulkarnain D. 2008. Pengaruh Suplementasi Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.) sebagai Bahan Antioksidan dalam Ransum terhadap Performan dan Kualitas Karkas Ayam Broiler. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 776-781
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010417
Potensi berbagai bahan organik rawa sebagai sumber biochar Potency of various organic materials from swampland as a source of biochar ENI MAFTU'AH1,♥, DEDI NURSYAMSI2 1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Jl. Kebun Karet PO Box 31, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tel./Fax. +62-511-4772534, ♥email:
[email protected] 2 Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu. Jl. Tentara Pelajar No. 12 Cimanggu, Bogor 16111, Jawa Barat Manuskrip diterima: 9 Februari 2015. Revisi disetujui: 5 Mei 2015.
Maftu'ah E, Nursyamsi D. 2015. Potensi berbagai bahan organik rawa sebagai sumber biochar. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 776-781. Pemanfaatan lahan rawa dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain kesuburan tanah yang sangat rendah dan masalah lingkungan, terutama emisi gas rumah kaca. Biochar merupakan arang aktif yang mampu memperbaiki sifat kimia, fisik, maupun biologi tanah serta menurunkan emisi gas rumah kaca. Bahan organik rawa sangat beragam kualitasnya dan berpotensi dijadikan sumber biochar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi berbagai bahan organik rawa sebagai sumber biochar. Penelitian dilaksanakan dengan mencari beberapa jenis bahan organik rawa di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, pada bulan Januari-April 2014. Bahan organik hasil eksplorasi dianalisis kandungan selulosa, lignin, C organik, serta N total. Setelah dilakukan analisis awal, dibuat biochar dengan cara pirolisis pada suhu 600oC dan dianalisis kandungan C, N total, SiO2, dan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 13 bahan organik rawa yang melimpah di lahan rawa dan berpotensi sebagai bahan biochar, yaitu: sekam padi (Oryza sativa), jerami jagung (Zea mays), jerami padi (Oryza sativa), kalakai (Stenochlaena palustris), karamunting (Melastomataceae), galam (Melaleuca leucandra), bambu (Bambusa vulgaris), bungkil sawit (Elaeis sp.), daun sawit, pelepah sawit, tandan sawit, tempurung kelapa (Cocos nucifera), dan purun tikus (Eleocharis dulcis). Bahan organik tersebut mempunyai kualitas yang berbeda-beda. Biochar yang mempunyai rasio C/N tertinggi adalah biochar dari galam, terendah dari jerami jagung dan padi; kandungan SiO2 tertinggi dijumpai pada biochar dari sekam padi dan terendah pada biochar dari galam. Semua biochar mempunyai kadar air kurang dari 10%. Rasio C/N tergantung pada jenis biochar dan berhubungan positif dengan C/N bahan baku. Kadar air dalam biochar lebih berhubungan dengan kadar selulosa bahan dibandingkan dengan kadar lignin bahan. Kadar abu berhubungan positif dengan lignin dan selulosa bahan, sedangkan kadar SiO2 berhubungan positif dengan kandungan lignin bahan. Kata kunci: Bahan organik, biochar, potensi, rawa Maftu'ah E, Nursyamsi D. 2015. Potency of various organic materials from swampland as a source of biochar. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 776-781. The utilization of swampland have several problems, among others, are the very low soil fertility and the environmental problems, especially the greenhouse gas emissions. Biochar is a charcoal that able to improve the properties of the chemical, physical and biological of the soil and reduce the greenhouse gas emissions. The organic materials of swampland are very diverse qualities and potential as a source of biochar. The purpose of this study was to obtain the information about the potential of various organic materials from swamplands as a source of biochar. The research was carried out by looking for some kinds of organic material from swampland in South Kalimantan and Central Kalimantan areas, in January-April 2014. The organic material of exploration results were analyzed for the cellulose, lignin, organic C and total N. After the initial analysis, biochar was made by means of pyrolysis at temperatures of 600oC and analyzed for the content of C, total N, SiO2 and water content. The results showed that there were 13 types of the abundant organic material in swamplands and potentially used as the biochar materials, included: husk of rice (Oryza sativa), corn straw (Zea mays), rice straw (Oryza sativa), kalakai (Stenochlaena palustris), karamunting (Melastomataceae), galam (Melaleuca leucandra), bamboo (Bambusa vulgaris), oil cake (Elaeis sp.), palm leaves, palm fronds, bunches of palm, coconut shell (Cocos nucifera) and water chestnut (Eleocharis dulcis). The organic materials had different qualities. Biochar which had the highest C/N ratio was a biochar from galam, the lowest from maize and rice straw; the highest SiO2 content was found in biochar from rice husk and the lowest in biochar from galam. All biochar had a water content less than 10%. The C/N ratio depend on the type of biochar and positively associated with C/N of material. The water content of biochar was more associated with the cellulose contents than the lignin content of material. The ash content was positively associated with lignin and cellulose materials, while SiO2 content was positively associated with the lignin material. Kata kunci: Biochar, organic material, potency, swampland
PENDAHULUAN Lahan rawa merupakan salah satu agroekologi yang cukup luas di Indonesia dan memiliki potensi cukup besar
untuk pengembangan pertanian masa kini dan di masa yang akan datang, tetapi pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Lahan ini sebagian besar tersebar di tiga pulau yaitu Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Lahan rawa
MAFTU'AH & NURSYAMSI – Sumber biochar dari bahan organik rawa
terbagi dalam dua jenis, yaitu lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak. Widjaja-Adhi et al. (1992) melaporkan bahwa potensi lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33.429 juta ha yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20.149 juta ha dan lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Lahan rawa merupakan salah satu agroekosistem lahan basah (wetland) yang terletak antara wilayah dengan sistem daratan (terrestrial) dan sistem perairan dalam (aquatic). Lahan rawa secara ekologi merupakan habitat tempat berbagai makluk hidup berkembang. Kondisi rawa yang khas tersebut berpengaruh terhadap perkembangan flora secara spesifik (Mukhlis et al. 2014). Lahan rawa selain ditumbuhi oleh tumbuhan khas rawa, seperti galam, kalakai, purun tikus, dan karamunting, juga dimanfaatkan oleh berbagai tanaman non-rawa melalui pengelolaan lahan dan air. Saat ini pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian sudah semakin intensif dan diharapkan mampu mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Namun, lahan rawa umumnya merupakan lahan marginal dan kurang subur sehingga diperlukan pengelolaan yang tepat. Pengelolaan lahan rawa memerlukan teknologi spesifik antara lain perbaikan kondisi tanah melalui ameliorasi. Bahan amelioran yang umum digunakan petani di lahan rawa adalah kapur, pupuk kandang, dan abu (Maftu’ah 2012). Bahan-bahan tersebut cukup efektif memperbaiki sifat tanah rawa, namun pengaruhnya hanya sementara sehingga pemberian harus dilakukan setiap tanam. Salah satu bahan yang berpotensi untuk dijadikan bahan amelioran adalah biochar. Pemanfaatan biochar di lahan rawa sebagai amelioran belum banyak dilakukan. Biochar adalah residu pirolisis berbentuk arang yang mengandung karbon tinggi. Biochar mampu memperbaiki tanah melalui kemampuannya meningkatkan pH, meretensi air, meretensi hara, dan meningkatkan aktivitas biota dalam tanah serta mengurangi pencemaran (Laird et al. 2008). Namun, biochar tidak mampu menyediakan unsur hara secara langsung, tetapi secara tidak langsung biochar mampu mengurangi hilangnya hara melalui pelindian, sehingga efisiensi pemupukan dapat ditingkatkan. Biochar merupakan bahan alternatif untuk perbaikan kesuburan tanah sekaligus untuk perbaikan lingkungan yang murah, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Biochar dapat memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Kehilangan N melalui pemupukan dapat dikurangi dengan penambahan biochar (Steiner 2007). Kualitas dari biochar sangat ditentukan oleh karakteristik bahan baku dan proses pirolisis (Amonette dan Joseph 2009). Bahan dasar yang digunakan akan mempengaruhi sifat-sifat biochar itu sendiri dan mempunyai efek yang berbeda-beda terhadap produktivitas tanah dan tanaman (Gani 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi berbagai bahan organik rawa sebagai sumber biochar.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan organik yang digunakan sebagai sumber biochar berupa limbah pertanian dan gulma rawa, yaitu sekam padi
777
(Oryza sativa), jerami jagung (Zea mays), jerami padi (Oryza sativa), kalakai (Stenochlaena palustris), karamunting (Melastomataceae), galam (Melaleuca leucandra), bambu (Bambusa vulgaris), bungkil sawit (Elaeis sp.), daun sawit, pelepah sawit, tandan sawit, tempurung kelapa (Cocos nucifera), dan purun tikus (Eleocharis dulcis). Bahan kimia untuk analisis antara lain akuades, NaOH, NH3, asam borat, penunjuk Conway, H2SO4 1%, HCl 72%, HF, dan SiF4. Alat yang digunakan meliputi neraca analitik, oven, botol timbang, alat pirolisis, alat destilasi, pipet tetes, pengaduk, gelas piala, corong, cawan platina, hotplate, dan muffle. Cara kerja Penelitian meliputi kegiatan eksplorasi (pengumpulan) beberapa bahan organik dari tumbuhan di lahan rawa, baik tumbuhan khas rawa maupun non-rawa. Eksplorasi dan pengumpulan bahan organik rawa dilakukan pada bulan Januari-Maret 2014, sedangkan pembuatan biochar dilakukan pada bulan April 2014. Pengumpulan bahan organik dilakukan di lahan rawa Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Gambar 1 dan 2). Luas lahan rawa di Kalimantan Selatan sekitar 930 ribu ha yang terdiri atas 260 ribu ha lahan pasang surut dan 670 ribu ha lahan lebak. Lahan pasang surut dan lahan lebak tersebut tersebar di 13 kabupaten. Luas lahan rawa di Kalimantan Tengah sekitar 4,37 juta ha yang terdiri atas 107 ribu ha lahan pasang surut dan 4,2 juta ha lahan lebak. Lahan pasang surut dan lahan lebak tersebut tersebar di 14 kabupaten dengan proporsi yang berbeda-beda (Balittra 2014). Bahan organik yang telah dikumpulkan kemudian dicacah kecil-kecil dengan ukuran ±2-3 cm. Pembuatan biochar dilakukan dengan teknik pirolisis pada suhu 400500oC di laboratorium Fakultas Kehutanan, UGM. Pirolisis adalah suatu proses dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen atau dengan reagen lainnya, dimana material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Setelah proses pirolisis selesai, biochar yang dihasilkan dihaluskan dan diayak sampai ukuran <2 mm. Analisis bahan organik sebagai bahan baku biochar dilakukan yaitu meliputi analisis kandungan C organik, N total, selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Setelah diperoleh biochar selanjutnya dilakukan analisis untuk sifat kimia biochar yaitu kandungan C organik, N total, kadar air, dan kadar SiO2. Analisis kandungan C organik dilakukan dengan metode pengabuan (Radjagukguk et al. 2000), N total dengan metode Kjeldahl (Bremer 1996), kadar air menurut Radjagukguk et al. (2000), kadar SiO2 menurut Balittanah (2005), serta kandungan selulosa dan lignin menurut metode Chesson (Datta 1981). Analisis data Data yang diperoleh dianalisis korelasi dan regresinya untuk mengetahui hubungan di antara variabel pengamatan.
778
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 776-781, Juli 2015
Gambar 1. Lahan rawa pasang surut dan lebak di Kalimantan Selatan (Balittra 2014)
Gambar 2. Lahan rawa pasang surut dan lebak di Kalimantan Tengah (Balittra 2014)
MAFTU'AH & NURSYAMSI – Sumber biochar dari bahan organik rawa
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik kimia bahan organik sebagai bahan baku biochar Bahan organik yang memiliki tingkat kelimpahan tinggi di lahan rawa, baik dari tumbuhan/gulma rawa maupun limbah pertanian, meliputi sekam padi, jerami jagung, jerami padi, kalakai, karamunting, galam, bambu, bungkil sawit, daun sawit, pelepah sawit, tandan sawit, tempurung kelapa, dan purun tikus. Bahan organik tersebut dikarakterisasi dan dianalisis kandungan selulosa, hemiselulosa, dan rasio C/N dari masing-masing bahan biochar tersebut disajikan pada Tabel 1. Lignin merupakan polimer amorf dimana struktur kimianya sangat berbeda dengan selulosa dan hemiselulosa. Kadar lignin tertinggi terdapat pada bahan baku kalakai (35,76%) dan terendah pada jerami jagung (17,03%). Kandungan lignin yang tinggi menyebabkan bahan organik sulit terdekomposisi (Pratikno 2002). Kadar selulosa tertinggi terdapat pada bahan organik dari bungkil sawit (34,45%) dan terendah pada bahan organik dari jerami jagung (17,03%), sebaliknya untuk kadar hemi-
779
selulosa (Tabel 1). Hemiselulosa merupakan polimer amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan lignin. Sifatnya mudah mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, bersifat basa, dan mudah larut air. Hemiselulosa memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat daripada ikatan dengan selulosa dan mudah mengikat air. Kadar hemiselulosa berbeda pada jenis kayu berdaun jarum dan kayu berdaun lebar (Achmadi 1990). Kadar C organik pada bahan baku biochar juga berbeda, tergantung pada jenis bahan, yaitu berkisar antara 49,0757,54%. Kadar C organik tertinggi terdapat pada bahan organik dari galam dan terendah pada sekam padi. Kadar nitrogen tertinggi terdapat pada karamunting, kalakai, dan jerami jagung yaitu mencapai 1,12%, sedangkan terendah pada galam yaitu 0,34%. Bahan organik yang digunakan sebagai sumber biochar mempunyai kualitas beragam. Berdasarkan urutan rasio C/N dari yang paling rendah sampai tinggi yaitu: karamunting < kalakai < jerami jagung < daun sawit < sekam padi < purun tikus < jerami padi < tandan sawit < bambu < pelepah sawit < tempurung kelapa < bungkil sawit < galam.
Tabel 1. Kandungan selulosa, hemiselulosa, dan rasio C/N beberapa bahan organik sumber biochar Jenis bahan Karamunting (Melastomataceae) Kalakai (Stenochlaena palustris) Jerami jagung (Zea mays) Daun sawit (Elaeis sp.) Sekam padi (Oryza sativa) Purun tikus (Eleocharis dulcis) Jerami padi (Oryza sativa) Tandan sawit (Elaeis sp.) Bambu (Bambusa vulgaris) Pelepah sawit (Elaeis sp.) Tempurung kelapa (Cocos nucifera) Bungkil sawit (Elaeis sp.) Galam (Melaleuca leucandra)
Lignin 27,71 35,76 17,03 30,08 32,69 26,34 24,49 25,60 24,81 25,45 31,87 34,45 25,61
Selulosa 50,88 42,67 34,06 42,93 43,46 43,82 40,43 49,63 50,11 50,14 46,36 51,56 51,03
Kadar (%) Hemiselulosa 20,58 21,15 37,63 26,33 23,16 19,17 30,72 20,69 24,57 24,39 19,65 14,04 23,32
C 52,63 53,89 54,85 50,47 49,07 50,68 51,18 55,49 56,49 55,96 55,52 50,57 57,54
N 1,12 1,12 1,12 0,98 0,84 0,84 0,84 0,70 0,50 0,45 0,42 0,36 0,34
C/N 46,99 48,12 48,98 51,50 58,42 60,34 60,93 79,27 112,08 124,91 132,19 138,92 171,24
Tabel 2. Karakteristik biochar yang digunakan dalam penelitian Jenis bahan Karamunting (Melastomataceae) Kalakai (Stenochlaena palustris) Jerami jagung (Zea mays) Daun sawit (Elaeis sp.) Sekam padi (Oryza sativa) Purun tikus (Eleocharis dulcis) Jerami padi (Oryza sativa) Tandan sawit (Elaeis sp.) Bambu (Bambusa vulgaris) Pelepah sawit (Elaeis sp.) Tempurung kelapa (Cocos nucifera) Bungkil sawit (Elaeis sp.) Galam (Melaleuca leucandra)
C organik % 42,41 45.89 20,75 30,12 32,06 35,64 36,49 42,33 51,52 40,04 29,69 23,73 45,07
N total 1,79 1,59 1,19 1,41 0,73 0,44 2,09 0,99 1,04 1,01 1,28 0,87 0,54
C/N 23,69 28,86 17,46 21,36 43,92 81,00 17,46 42,76 49,54 39,64 23,20 27,28 83,46
Kadar abu 26,57 21,03 32,43 47,92 44,35 38,41 32,43 27,09 11,26 31,17 48,96 59,32 23,15
SiO2 % 4,28 10,81 20,97 29,97 34,83 21,62 27,38 4,90 3,21 6,30 4,04 3,90 2,13
Kadar air 6,98 8,78 6,91 1,10 5,10 4,75 6,88 7,19 5,81 9,19 5,87 3,49 5,56
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 776-781, Juli 2015
780
selulosa
Gambar 3. Hubungan rasio C/N bahan baku dengan biochar, serta lignin dan selulosa bahan dengan kadar air biochar
selulosa
selulosa
Gambar 4. Hubungan kadar abu dan SiO2 biochar dengan kadar lignin dan selulosa bahan biochar
Karakteristik biochar Biochar merupakan substansi arang kayu yang berpori (porous), sering juga disebut charcoal atau agri-char. Di dalam tanah, biochar menyediakan habitat yang baik bagi mikroba tanah, tapi tidak dikonsumsi seperti bahan organik lainnya. Dalam jangka panjang, biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, bahkan mampu menahan dan menjadikan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Semua biochar yang digunakan mempunyai kadar air di bawah 10%. Rasio C/N tergantung pada jenis biochar dan berhubungan positif dengan rasio C/N bahan (Gambar 3). Semakin tinggi rasio C/N bahan, semakin tinggi nilai C/N biochar yang dihasilkan. Kadar air biochar yang dihasilkan juga beragam tergantung pada jenis biochar. Kadar air biochar lebih berhubungan dengan kadar selulosa dibandingkan dengan kadar lignin (Gambar 2). Kadar abu biochar juga beragam tergantung pada jenis biochar. Abu merupakan bahan yang tersisa apabila biomassa dipanaskan hingga beratnya konstan. Salah satu unsur utama yang terkandung dalam abu adalah silika dan pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Kadar abu berhubungan positif dengan
kandungan lignin bahan (Gambar 4). Kadar SiO2 berhubungan positif dengan kandungan lignin dan membentuk hubungan kuadratik sesuai dengan persamaan Y = 0,030x2 - 1355x + 54,76 (R2=0,763) (Gambar 4). Komposisi fraksi abu biochar sebagian besar tergantung pada kandungan mineral dalam bahan baku karena sebagian besar unsur-unsur anorganik tidak menguap pada suhu pirolisis. Bahan baku dan proses pirolisis menentukan jumlah dan distribusi bahan mineral pada biochar (Amonette dan Joseph 2009). Bahan yang berasal dari kayu umumnya memiliki kadar abu rendah (<1% berat), sedangkan rumput, jerami, dan biji-bijian (sekam) memiliki kandungan silika yang tinggi mencapai 24% (Raveendran et al. 1995). Sebagian besar kandungan mineral dalam bahan baku tersebut masih ada dalam biochar dan sebagian lagi hilang (C, H, dan O) selama pirolisis. Biochar dari pupuk organik dan limbah biasanya memiliki kandungan abu yang sangat tinggi. Biochar pukan (pupuk kandang) ayam dapat memiliki kandungan 45% abu dari bahan baku (Koutcheiko et al. 2007), sedangkan biochar tulang dapat mengandung mineral mencapai 84% dari bahan baku (Purevsuren et al. 2004).
MAFTU'AH & NURSYAMSI – Sumber biochar dari bahan organik rawa
Karakteristik biochar selain ditentukan oleh bahan bakunya, juga ditentukan oleh proses pirolisis. Suhu, tekanan parsial O2, uap, dan karbon dioksida (CO2) mengontrol jumlah abu mineral dalam biochar (Bridgwater dan Boocock 2006). Selama degradasi termal, ion yang sangat mobile (K dan Cl) akan mulai menguap pada suhu yang relatif rendah (Yu et al. 2005). Kalsium (Ca) terutama terletak di dinding sel dan terikat dengan asam organik (Marschner 1995). Ion Ca dan Si dilepaskan selama degradasi pada suhu yang lebih tinggi dari K dan Cl (Bourke et al. 2007). Magnesium (Mg) baik ionik maupun kovalen terikat dengan molekul organik dan hanya menguap pada temperatur tinggi. Fosfor (P) dan sulfur (S) berhubungan dengan senyawa organik kompleks di dalam sel dan relatif stabil pada suhu rendah. Kadar nitrogen dikaitkan dengan sejumlah molekul organik yang berbeda dan dapat dilepaskan pada suhu relatif rendah (Schnitzer et al. 2007). Karakteristik biochar tergantung pada kualitas bahan organik awal, terutama kandungan lignin dan rasio C/N bahan. Biochar yang mempunyai rasio C/N tertinggi adalah biochar dari galam, terendah dari jerami jagung dan padi; kandungan SiO2 tertinggi dijumpai pada biochar dari sekam padi dan terendah pada biochar dari galam. Semua biochar mempunyai kadar air kurang dari 10%. Rasio C/N tergantung pada jenis biochar dan berhubungan positif dengan C/N bahan baku. Kadar air biochar lebih berhubungan dengan kadar selulosa bahan dibandingkan dengan kadar lignin bahan. Sementara itu, kadar abu berhubungan positif dengan kandar lignin dan selulosa bahan, sedangkan kadar SiO2 biochar berhubungan positif dengan kadar lignin bahan.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Amonette JE, Joseph S. 2009. Characteristics of biochar microchemical properties. In: Lehman J, Joseph S (eds). Biochar for Environmental Management Science and Technology. Earthscan, London. Balittanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Balittra. 2014. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru.
781
Bourke J, Manley-Harris M, Fushimi C et al. 2007. Do all carbonized charcoals have the same chemical structure? 2. A model of the chemical structure of carbonized charcoal. Ind Eng Chem Res 46 (18): 5954-5967. Bremner JM. 1996. Total nitrogen. In: Black CA, Evans DD, White JL, Ensminger LE, Clark FE (eds.). Methods of Soil Analysis. Part 2. Chemical and Microbiological Properties. American Society of Agronomy, Madison. Bridgwater A, Boocock DGB. 2006. Science in Thermal and Chemical Biomass Conversion. CPL Press, Newbury. Datta R. 1981. Acidogenic fermentation of lignocelluloses-acid yield and conversion of components. Biotechnol Bioeng 23(9): 2167-2170. Gani A. 2009. Arang hayati biochar sebagai komponen perbaikan produktivitas lahan. Iptek Tanaman Pangan 4(1): 33-48. Koutcheiko S, Monreal CM, Kodama H et al. 2007. Preparation and characterization of activated carbon derived from the thermochemical conversion of chicken manure. Bioresour Technol 98 (13): 24592464. Laird DA, Chappell MA, Marteus DA et al. 2008. Distinguishing black carbon from biogenic humic substances in soil clay fraction. Geoderma 143: 115-122. Maftu’ah E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya terhadap Produksi Tanaman Jagung Manis. [Disertasi]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mukhlis, Noor M, Alwi M et al. 2014. Biodiversitas Rawa: Eksplorasi, Penelitian dan Pelestariannya. IAARD Press, Jakarta. Pratikno H. 2002. Studi Pemanfaatan Berbagai Biomasa Flora untuk Peningkatan Ketersediaan P dan Bahan Organik Tanah pada Tanah Berkapur di DAS Brantas Hulu Malang Selatan. [Tesis]. Universitas Brawijaya, Malang. Purevsuren B, Avida B, Gerelmaa T et al. 2004. The characterization of tar from the pyrolysis of animal bones. Fuel 83: 799-805. Radjagukguk B, Hastuti S, Kurnain A, Sajarwan A. 2000. Panduan Analisis Laboratorium untuk Gambut. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Raveendran K, Ganesh A, Khilart KC. 1995. Influence of mineral matter on biomass pyrolysis characteristics. Fuel 74: 1812-1822. Schnitzer MI, Monreal CM, Jandl G, Leinweber P. 2007. The conversion of chicken manure to bio-oil by fast pyrolysis II. Analysis of chicken manure, biooils, and char by curie-point pyrolysis-gas chromatography/mass spectrometry (Cp Py-GC/MS). J Environ Sciand Health B 42: 79-95. Steiner C, Teixeira WG, Lehmann J et al. 2007. Long term effects of manure, charcoal and mineral fertilization on crop production and fertility on a highly weathered Central Amazonian upland soil. Pl Soil 291: 275-290. Widjaja-Adhi IPG, Nugroho K, Ardi DS, Karama AS. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam: Partohardjono S, Syam M (eds). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertanian Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Puslibangtan-SWAMPS I, Bogor. Yu C, TangY, Fang M et al. 2005. Experimental study on alkali emission during rice straw pyrolysis. J Zhejiang Univ Eng Sci 39: 1435-1444.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 782-786
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010418
Karakteristik dan daya kecambah biji mutan Hoya diversifolia Characteristics and seed viability of mutant from Hoya diversifolia REZA RAMDAN RIVAI♥, SRI RAHAYU Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, PO Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat, Indonesia. Tel./Fax. +62-251-8322187, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 13 Februari 2015. Revisi disetujui: 30 April 2015.
Rivai RR, Rahayu S. 2015. Karakteristik dan daya kecambah biji mutan Hoya diversifolia. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 782786. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik biji mutan Hoya diversifolia dan mendapatkan media yang tepat untuk perkecambahan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Treub, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI, Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor perlakuan dan tiga pengulangan. Faktor pertama adalah varietas yang terdiri atas mutan dan indukan, sedangkan faktor kedua adalah media yang terdiri atas pasir, cocopeat, serta campuran antara pasir dan cocopeat (1:1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi daya kecambah biji mutan H. diversifolia pada media campuran pasir dan cocopeat (1:1) selama dua minggu setelah tanam adalah 83,33%. Tinggi kecambah awal satu minggu setelah tanam dipengaruhi oleh varietas. Mutan H. diversifolia memiliki tinggi kecambah lebih tinggi dibandingkan indukannya. Namun, dua minggu setelah tanam, tinggi kecambah dipengaruhi oleh media. Media cocopeat maupun campuran antara pasir dan cocopeat (1:1) merupakan media terbaik untuk menghasilkan kecambah mutan dan indukan H. diversifolia yang lebih tinggi. Kata kunci: Biji, Hoya diversifolia, mutan, perkecambahan
Rivai RR, Rahayu S. 2015. Characteristics and seed viability of mutant from Hoya diversifolia. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 782-786. The objective of this research was to get an information about the characteristics of mutant seed from Hoya diversifolia and to obtain the best media for its germination. The research was conducted at Treub Laboratory, Center for Plant Conservation Bogor Botanic Gardens LIPI, Bogor. The research was arranged in a Completely Randomized Design with two treatment factors and three replications. The first factor was varieties that consisted of a mutant and parents, while the second factor was germination media that consisted of sand, cocopeat, and a mixture media between sand and cocopeat (1:1). The results showed that the highest seed germination of mutant from H. diversifolia on a mixture media between sand and cocopeat (1:1) for two weeks after planting was 83.33%. The height of initial seedling one week after planting was influenced by varieties. The mutant of H. diversifolia had a higher seedling height than its mother stock. However, two weeks after planting, the seedling height was influenced by the media. Cocopeat or a mixture media between sand and cocopeat (1:1) were the best media for producing the highest seedling of mutant and its mother from H. diversifolia. Keywords: Hoya diversifolia, germination, mutant, seed
PENDAHULUAN Hoya diversifolia Blume merupakan jenis tumbuhan dari suku Apocynaceae, anak suku Asclepiadoideae, yang tersebar luas di kawasan tropis. India sampai dengan Kepulauan Pasifik, termasuk Indonesia, merupakan persebaran utama tumbuhan ini (Wanntorp et al. 2006). Spesies H. diversifolia termasuk tumbuhan merambat dan memiliki perawakan sukulen. Seluruh bagian tanaman bergetah putih apabila dilukai. Daun H. diversifolia merupakan daun tunggal, berbentuk bulat telur terbalik, dan tersusun bersilang berhadapan. Bunga majemuk tersusun dalam payung. Mahkota bunga berbentuk bintang menjadikan tumbuhan ini unik dan sangat berpotensi untuk dijadikan tanaman hias (Rahayu 1998; Rodda dan Ang 2012). Selain itu, beberapa jenis Hoya memiliki manfaat sebagai tanaman obat. Air rebusan H. diversifolia
dimanfaatkan sebagai obat herbal untuk gejala rematik (Rahayu 2011). Mengingat manfaatnya yang luas, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI selain melakukan kegiatan konservasi ex situ juga telah melakukan upaya domestikasi dan perbaikan sifat tanaman. Kegiatan penginduksian keragaman genetik H. diversifolia telah dilakukan melalui iradiasi sinar gamma. Hasil seleksi mutan menyisakan satu varian yang memiliki warna bunga putih polos dan berbeda dari indukannya. Tanaman hasil mutasi telah diperbanyak secara vegetatif hingga lebih dari 10 generasi. Pada generasi ke-11 dari perbanyakan vegetatif, diperoleh tanaman yang berhasil melakukan penyerbukan alami dan berkembang menjadi buah. Buah tersebut kemudian diamati hingga dewasa dan masak serta menghasilkan biji. Sifat-sifat biologi keturunan tanaman mutan perlu diketahui, termasuk karakteristik biji, daya dan sifat perkecambahannya. Hal pertama yang perlu
RIVAI & RAHAYU – Daya kecambah mutan Hoya diversifolia
dikonfirmasi adalah mengetahui perbedaan sifat mutan dengan indukannya. Pengetahuan terkait karakter dan sifat biji serta kecambah mutan H. diversifolia berguna dalam mendukung program konservasi, budi daya, maupun perbaikan sifat tanaman tersebut melalui persilangan. Selain itu, pengetahuan sifat perkecambahan juga dapat mendeteksi potensi sifat kelangkaan (sulit tumbuh) atau sifat invasif (mudah tumbuh dan agresif) akibat mutasi yang dialami. Perkecambahan biji salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan abiotik terutama lingkungan tumbuh. Optimalisasi pemilihan media yang memiliki aerasi, drainase, serta daya ikat air yang tepat perlu diupayakan untuk meningkatkan daya kecambah biji (Copeland dan McDonald 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biji dan mendapatkan media yang tepat untuk perkecambahan biji mutan H. diversifolia.
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di rumah kaca Laboratorium Treub, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan OktoberDesember 2014. Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah biji mutan dan indukan H. diversifolia koleksi tumbuhan Kebun Raya Bogor yang berasal dari buah yang sudah masak pada waktu bersamaan dan dari pohon yang ditanam di rumah kaca secara berdampingan. Biji yang digunakan langsung ditanam setelah panen. Menurut Rahayu (1998), biji H. diversifolia bisa langsung ditanam tanpa mengalami dormansi. Metode percobaan Penelitian ini difokuskan pada dua faktor percobaan, yaitu varietas dan media perkecambahan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua taraf varietas sebagai faktor pertama dan tiga taraf media perkecambahan sebagai faktor kedua. Varietas yang diujikan yaitu mutan dan indukan H. diversifolia. Media perkecambahan yang diujikan pada penelitian ini terdiri atas pasir, cocopeat, dan campuran antara pasir dan cocopeat (1:1). Terdapat 6 kombinasi perlakuan dengan tiga ulangan sehingga terdapat 18 satuan percobaan (bak perkecambahan). Tiap satuan percobaan terdiri atas 10 biji sehingga terdapat 180 satuan amatan. Prosedur kerja Karakterisasi buah dan biji Karakteristik buah dan biji diamati secara visual untuk karakter kualitatif seperti warna dan bentuk serta diukur untuk karakter kuantitatif seperti ukuran dan bobot. Karakter buah yang diamati terdiri atas warna kulit buah masak, panjang tangkai buah, serta panjang dan diameter buah. Adapun karakter biji yang diamati meliputi jumlah biji per buah, warna, bobot, panjang dan lebar biji, serta
783
diamati pula struktur internal biji menggunakan mikroskop binokuler. Penghitungan kadar air Kadar air biji dihitung dengan metode Oven Temperatur Konstan (Draper et al. 1985), yaitu dengan rumus: ; dimana M1 adalah berat wadah yang digunakan, M2 adalah berat biji dan wadah sebelum dioven, dan M3 adalah berat biji dan wadah setelah dioven. Penyemaian biji Media perkecambahan yang digunakan terdiri atas pasir, cocopeat, serta campuran antara pasir dan cocopeat (1:1). Masing-masing media dimasukkan ke dalam 6 bak plastik berukuran 40 cm x 30 cm x 15 cm yang bagian bawahnya sudah dilubangi. Media disterilisasi dengan cara menyiraminya dengan air panas. Setelah media dingin, masing-masing bak ditanami sejumlah 10 biji H. diversifolia sesuai perlakuan (biji mutan atau indukan) dan diulang sebanyak tiga kali. Seluruh bak semai disimpan di rumah kaca. Selanjutnya dilakukan penyiraman setiap hari. Pengamatan Pengamatan dilaksanakan setiap minggu dengan parameter yang diamati adalah daya kecambah dan pertumbuhan tinggi kecambah. Daya kecambah dihitung dengan rumus menurut Draper et al. (1985), yaitu: ; dimana DK = daya kecambah, n = biji yang berkecambah, N = biji yang dikecambahkan. Pertumbuhan kecambah diamati dengan cara mengukur tinggi kecambah menggunakan penggaris secara berkala. Pengamatan terhadap iklim mikro meliputi pH dan RH media, intensitas cahaya, kecepatan angin, serta suhu dilakukan pada awal penanaman. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode deskriptif serta analisis ragam dengan uji F pada taraf nyata 5%. Jika uji F berpengaruh nyata, nilai tengah diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/DMRT) pada taraf nyata 5%. Perangkat lunak yang digunakan adalah Microsoft Excel dan Statistical Tool for Agricultural Research (STAR 2.0.1).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik buah dan biji Buah dan biji mutan H. diversifolia memiliki karakteristik yang hampir sama dengan indukannya. Pembeda utama terlihat pada warna kulit luar buah saat masak. Mutan H. diversifolia memiliki kulit luar buah berwarna cokelat muda, sedangkan indukannya berwarna hijau muda. Buah H. diversifolia baik itu mutan maupun indukan termasuk ke dalam buah follicle atau bumbung. Pangkal buah membulat dan ujungnya meruncing. Buah pecah diikuti dengan menyebarnya biji. Terdapat sumbu berwarna putih tempat menempelnya biji pada pertengahan
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 782-786, Juli 2015
784
dalam buah. Setiap biji memiliki bulu berwarna putih (Tabel 1). Menurut Rahayu dan Sutrisno (2007), biji Hoya yang kecil dan ringan serta berbulu halus sangat mudah diterbangkan angin. Kulit biji Hoya terlihat berlignin tipis dan dilindungi oleh lapisan lilin. Embrio berukuran kecil dengan testa yang tipis. Endosperma besar hampir memenuhi seluruh struktur internal biji. Menurut Copeland dan McDonald (2011), cadangan makanan berupa endosperma yang besar menjadi salah satu faktor pendukung biji berkecambah (Gambar 1). Kadar air biji dan pola perkecambahan Rata-rata kadar air biji mutan H. diversifolia setelah dipanen langsung adalah sekitar 30,1%. Menurut Rahayu dan Sutrisno (2007), biji Hoya memiliki beberapa karakteristik morfologi dan fisiologi sebagai penciri dari biji ortodoks. Ciri-ciri yang telah diketahui adalah ukuran biji relatif kecil, biji yang telah masak fisiologis mempunyai kadar air relatif rendah (30-50%), serta pengeringan biji lebih lanjut sampai kadar air 5% tidak mempengaruhi viabilitas biji. Pola perkecambahan kedua varietas juga menunjukkan kesamaan, yaitu dapat langsung berkecambah pada saat relatif baru dipanen pada kondisi
sesuai untuk perkecambahan. Kondisi media semai yang lembab dan suhu udara yang relatif hangat dapat merangsang biji mutan dan indukan H. diversifolia untuk segera berkecambah 2-3 hari setelah tanam. Pertumbuhan kecambah H. diversifolia dimulai dengan retaknya testa dan munculnya hipokotil di atas permukaan media semai. Kotiledon terangkat ke atas menjauhi permukaan media (tipe semai epigeal). Hipokotil dan radikula (calon akar) bertambah panjang serta diikuti dengan melepasnya testa pada kotiledon 7-8 hari setelah tanam. Pertumbuhan kecambah ditandai dengan bertambah panjang dan besarnya akar, hipokotil, dan kotiledon (Gambar 2). Daya kecambah Keadaan lingkungan iklim mikro di rumah kaca yang memiliki rata-rata suhu harian 30,9 oC, kelembaban udara 56,9%, dan intensitas cahaya 7.423,3 lux dapat mendukung perkecambahan biji mutan dan indukan H. diversifolia. Menurut Pahlevani et al. (2008), biji tumbuhan dari suku Apocynaceae optimum berkecambah pada suhu rata-rata 25-32oC dan tidak dipengaruhi oleh fluktuasi intensitas cahaya. Rahayu et al. (2011) menambahkan bahwa di habitat aslinya biji Hoya berkecambah pada suhu udara yang relatif hangat yaitu sekitar 27-30oC.
Tabel 1. Perbandingan karakteristik buah dan biji mutan H. diversifolia dengan indukannya Varietas Mutan Indukan
Warna buah Cokelat Hijau
A
Panjang buah (cm) 10,2 12,3
Diameter buah (cm) 1,4 1,2
Panjang sumbu (cm) 9,8 12
Warna kulit biji Cokelat tua Cokelat tua
Jumlah biji 178 175
Panjang biji (cm) 0,4 - 0,9 0,3 - 0,5
Lebar biji (cm) 0,1 - 0,2 0,1 - 0,2
Panjang bulu (cm) 1,5 - 2,8 1,1 - 1,9
C
i B
ii
Gambar 1. Karakteristik biji mutan H. diversifolia. A. Buah pecah; B. biji; C. struktur internal biji. (i) Testa, (ii) endosperma
RIVAI & RAHAYU – Daya kecambah mutan Hoya diversifolia
785
iii
ii
A i B
C
Gambar 2. Pola dan struktur kecambah mutan H. diversifolia. A. Biji; B. pertumbuhan radikula dan hipokotil; C. struktur kecambah. (i) Radikula, (ii) hipokotil, (iii) kotiledon yang sudah terbuka
Daya kecambah biji Hoya pada percobaan ini relatif tinggi yaitu berkisar 63-93%, tergantung varietas dan media perkecambahannya (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan penelitian Rahayu dan Sutrisno (2007) yang menyatakan bahwa biji Hoya parasitica Wall mudah berkecambah setelah berimbibisi, baik dalam keadaan terang maupun gelap, dan tidak memiliki masa dormansi yang nyata. Abdellaoui et al. (2013) menambahkan bahwa sebagian besar biji tumbuhan dari suku Apocynaceae tidak memiliki masa dormansi dan lebih baik ditanam langsung setelah panen. Daya kecambah biji mutan lebih rendah jika dibandingkan dengan indukannya pada semua media semai yang digunakan (Gambar 3). Hal ini diduga karena mutan merupakan tanaman baru dengan komposisi gen yang sudah berubah dari indukannya. Selain itu karena biji yang digunakan merupakan buah pertama dari mutan, masih dimungkinkan tanaman memerlukan adaptasi untuk perbanyakan menggunakan bijinya. Media campuran antara pasir dan cocopeat (1:1) merupakan media terbaik dalam mengecambahkan biji mutan H. diversifolia maupun indukannya meskipun tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05). Komposisi pencampuran media cocopeat yang tepat dapat menghasilkan daya kecambah biji yang optimal. Cocopeat merupakan media hasil dari ekstraksi kulit kelapa yang memiliki porositas, daya ikat air, dan nisbah C/N yang tinggi sehingga cocok untuk mengecambahkan tumbuhan tropis (Utami et al. 2006; Yuniarti et al. 2013). Namun demikian, jika digunakan tanpa dicampur pasir, ternyata menghasilkan daya kecambah yang lebih rendah. Hal ini diduga karena media cocopeat tanpa dicampur pasir lebih sedikit mengikat air dan kelembaban media jika dibandingkan dengan media yang dicampur pasir.
Tinggi kecambah Pengamatan terhadap tinggi kecambah menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi kecambah pada umur satu minggu setelah tanam (Tabel 2). Sementara pada umur dua minggu setelah tanam, tinggi kecambah dipengaruhi oleh media semai. Tidak terdapat interaksi antara varietas dan media semai. Tinggi kecambah pada saat satu minggu setelah tanam dipengaruhi oleh varietas. Tinggi kecambah mutan H. diversifolia lebih tinggi dibandingkan indukannya (Tabel 3). Faktor genetik mempengaruhi perbedaan kecepatan kecambah untuk tumbuh di masa awal pertumbuhannya. Menurut Copeland dan McDonald (2011), efektivitas penggunaan endosperma sebagai cadangan makanan biji berkecambah berbeda untuk setiap tumbuhan. Genetik merupakan faktor utama kemampuan biji untuk tumbuh dan berkecambah. Diduga varietas mutan lebih efektif dalam proses-proses fisiologisnya. Media semai berpengaruh nyata terhadap tinggi kecambah pada saat dua minggu setelah tanam. Kecambah yang ditanam pada media cocopeat maupun media campuran antara cocopeat dan pasir (1:1) memiliki tinggi kecambah lebih tinggi dibandingkan dengan kecambah yang ditanam pada media pasir (Tabel 4). Komposisi bahan organik yang terdapat pada cocopeat dapat meningkatkan kecepatan tumbuh beberapa tumbuhan tropis (Utami et al. 2006; Yuniarti et al. 2013). Selain itu, pertumbuhan kecambah Hoya dapat dilihat dari jumlah daun. Kecambah mutan dan indukan H. diversifolia memiliki rata-rata jumlah daun yang sama pada saat 12 minggu setelah tanam (Tabel 5). Secara umum, daya kecambah biji mutan H. diversifolia lebih rendah jika dibandingkan dengan indukannya. Namun, kecambah mutan memiliki petumbuhan tinggi tanaman yang lebih cepat dibanding indukannya.
786
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 782-786, Juli 2015 Tabel 5. Rata-rata jumlah daun kecambah mutan H. diversifolia dan indukannya 12 minggu setelah tanam Varietas
Rata-rata jumlah daun
Indukan
2,47a
Mutan 2,44a Catatan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
UCAPAN TERIMA KASIH Gambar 3. Daya kecambah biji mutan dan indukan H. diversifolia dua minggu setelah tanam
Tabel 2. Rekapitulasi berbagai faktor yang mempengaruhi tinggi kecambah mutan H. diversifolia dan indukannya Faktor
1 MST
2 MST
Varietas
*
tn
Media
tn
*
Interaksi varietas dan media tn tn Catatan: *= Berbeda nyata secara signifikan (P<0,05); tn= tidak berbeda nyata secara signifikan (P>0,05); MST= minggu setelah tanam
Tabel 3. Tinggi kecambah mutan H. diversifolia dan indukannya satu minggu setelah tanam (cm) Varietas
Tinggi kecambah (cm)
Indukan
0,83b
Mutan 1,00a Catatan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 4. Tinggi kecambah mutan H. diversifolia dan indukannya pada berbagai media perkecambahan dua minggu setelah tanam (cm) Media
Tinggi kecambah (cm)
Pasir
1,14b
Pasir : cocopeat (1:1)
1,45a
Cocopeat 1,64a Catatan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Penelitian ini didanai oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fahmi (Teknisi Laboratorium Treub Kebun Raya Bogor, LIPI) yang telah membantu perawatan tanaman yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA Abdellaoui R, Souid A, Zayoud D, Neffati M. 2013. Effects of natural long storage duration on seed germination characteristics of Periploca angustifolia Labill. African J Biotechnol 12(15): 1760-1768. Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of Seed Science and Technology. 4th ed. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Draper SR, Bass LN, Bould A et al. 1985. Seed Science and Technology. International Seed Testing Association, Zurich. Pahlevani AH, Rashed MH, Ghorbani R. 2008. Effects of environmental factors on germination and emergence of swallowwort. Weed Technol 22 (1): 303-308. Rodda M, Ang WF. 2012. Hoya caudate Hook. F. (Apocynaceae), a new record for Singapore and keys to the Hoya species of Singapore. Nat Sing 5 (1): 123-128. Rahayu S. 1998. Pertumbuhan dan perkembangan Hoya diversifolia Bl. (Asclepiadaceae) di Kebun Raya Bogor. Buletin Kebun Raya Indonesia 8 (4): 131-138. Rahayu S. 2011. Hoya sebagai tumbuhan obat. Warta Kebun Raya 11 (1): 15-21. Rahayu S, Sutrisno. 2007. Potensi biji Hoya untuk perkembangbiakan dan konservasi: studi kasus pada Hoya parasitica Wall. Buletin Kebun Raya Indonesia 10 (2): 33-39. Rahayu S, Abdulhadi R, Risna RA, Kusuma YWC. 2011. Keragaman habitat Hoya multiflora Blume di stasiun penelitian Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas ke 159. Cianjur, 7 April 2011. Utami NW, Witjaksono, Hoesen DSH. 2006. Perkecambahan biji dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus Miq.) pada berbagai media tumbuh. Biodiversitas 7 (3): 264-268. Wanntorp L, Kocyan A, Renner SS. 2006. Wax plants disentangled: a phylogeny of Hoya (Marsdenieae, Apocynaceae) inferred from nuclear and chloroplast DNA sequences. Mol Phylogenet Evol 39(1): 722-733. Yuniarti N, Megawati, Leksono B. 2013. Teknik perlakuan pendahuluan dan metode perkecambahan untuk mempertahankan viabilitas benih Acacia crassicarpa hasil pemuliaan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 2(2): 1-11.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 787-791
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010419
Keragaman dan pengelompokan galur harapan kedelai di Kabupaten Sleman, Yogyakarta Diversity and clustering of the soybean promising lines in Sleman District, Yogyakarta M. MUCHLISH ADIE♥, AYDA KRISNAWATI, DIDIK HARNOWO Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Tel. +62-341801468, 801075, Fax. +62-341-801496, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 17 Februari 2015. Revisi disetujui: 20 April 2015.
Adie MM, Krisnawati A, Harnowo D. 2015. Keragaman dan pengelompokan galur harapan kedelai di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 787-791. Varietas unggul yang dibentuk dari berbagai bahan kegenetikan memiliki peran penting dalam peningkatan produksi kedelai per satuan luas. Sebanyak 29 genotipe kedelai, termasuk varietas Grobogan, Baluran, Dering 1, Panderman, dan Anjasmoro sebagai pembanding, diuji keragaannya di Sleman pada MK2 (Juni-September) 2014. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 29 perlakuan dan diulang empat kali. Pemupukan dengan Phonska sebanyak 250 kg/ha, 100 kg/ha SP 36, dan pupuk organik 1 ton/ha diberikan seluruhnya pada saat tanam. Pengelolaan tanaman yang meliputi saluran drainase, gulma, serta hama dan penyakit dilakukan secara optimal. Rentang umur masak antara 72-80 hari (ratarata 75 hari), tinggi tanaman berkisar 41,25-60,50 cm (rata-rata 48,92 cm), bobot 100 biji antara 8,39-20,33 g/100 biji (rata-rata 15,32 g/100 biji), dan rentang hasil antara 2,28-3,00 ton/ha (rata-rata 2,70 ton/ha). Di antara lima varietas pembanding, Anjasmoro memiliki hasil tertinggi (2,91 ton/ha) dan hasil terendah adalah dari varietas Grobogan (2,62 ton/ha). Pengelompokan dari 29 genotipe berdasarkan karakter umur masak, tinggi tanaman, ukuran biji, dan hasil biji terkelompok menjadi empat gerombol. Gerombol I yang beranggotakan 19 genotipe bercirikan relatif pendek. Varietas Grobogan dan Baluran menjadi anggota dari gerombol I. Gerombol II yang beranggotakan tujuh genotipe bercirikan hasil yang tinggi (2,68-3,00 ton/ha). Varietas Panderman dan Anjasmoro berada di gerombol II, artinya terdapat lima genotipe yang hasilnya serupa dengan kedua varietas tersebut. Anggota gerombol III hanya beranggotakan dua genotipe yang bercirikan ukuran biji dan tinggi tanaman tergolong sedang, sedangkan varietas Dering 1 berada di gerombol IV yang dicirikan oleh ukuran bijinya yang kecil. Genotipe G 511 H x Anjs-6-6, G 511 H x Anjs-6-10, dan G 511 H x Anjs-42 dinilai adaptif di agroekosistem mirip di Sleman. Kata kunci: Glycine max, komponen hasil, sidik gerombol Adie MM, Krisnawati A, Harnowo D. 2015. Diversity and clustering of the soybean promising lines in Sleman District, Yogyakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 787-791. High yielding variety formed from various genetic materials has an important role in the improvement of soybean production per unit area. A total of 29 soybean genotypes, including the check varieties of Grobogan, Baluran, Dering 1, Panderman and Anjasmoro, were evaluated for the performance in Sleman during dry season II (June-September) 2014. The research was conducted by using a randomized block design with 29 treatments with four replications. The fertilizer was 250 kg/ha of Phonska, 100 kg/ha SP 36 and 1 t/ha of organic fertilizer, all of them were given when planting. A crop management included drainage channel, weed, and pest and disease were carried out optimally. The days to maturity started from 72-80 days (average 75 days), plant height ranged from 41.25-60.50 cm (average 48.92 cm), 100 seed weight was from 8.39-20.33 g/100 seeds (average 15.32 g/100 seeds) and the seed yield from 2.28-3.00 t/ha (average 2.70 t/ha). Among the five check varieties, Anjasmoro produced the highest yield (2.91 t/ha) and the lowest yield was from Grobogan variety (2.62 t/ha). A clustering of 29 genotypes based on the characters of days to maturity, plant height, seed size and yield were clustered into four clusters. Cluster I that consisted of 19 genotypes was characterized by relatively short plant. Grobogan and Baluran varieties were to be the members of cluster I. Cluster II consisted of seven genotypes was characterized by high yield (2.68-3.00 t/ha). Panderman and Anjasmoro variety were in the cluster II, had meaning that there were five genotypes with similar yield with these varieties. The member of cluster III was only two genotypes which characterized by seed size and plant height were middle, while Dering 1 variety was in the cluster IV which characterized had a small seed size. Genotypes of G 511 H x Anjs-6-6, G 511 H x Anjs-6-10 and G 511 H x Anjs-4-2 were classified as adaptive in the similar agroecosystem as in Sleman. Keywords: Cluster analysis, Glycine max, yield component
PENDAHULUAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) konsisten menjadi penyumbang kebutuhan kedelai nasional, dengan luas areal kedelai sekitar 16.459 ha dengan produktivitas sekitar 1,30 ton/ha (BPS 2014). Upaya peningkatan
produktivitas per satuan luas, salah satunya dapat ditempuh melalui penyediaan varietas unggul kedelai berpotensi hasil tinggi dan memiliki adaptasi agroekologi spesifik. Pada tahun 2015, pemerintah menetapkan target produktivitas kedelai sebesar 1,57 ton/ha (Direktorat Buakabi 2015).
788
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 787-791, Juli 2015
Hingga saat ini, Kementerian Pertanian telah melepas 83 varietas kedelai dan sebagian besar diperoleh melalui persilangan antartetua yang menjadi target perakitan varietas kedelai. Keberhasilan program perakitan varietas kedelai yang salah satunya ditentukan oleh keragaman bahan kegenetikan. Ketersediaan bahan kegenetikan untuk perakitan varietas tanaman semusim dinilai lebih menentukan dibandingkan dengan program perakitan varietas untuk tanaman tahunan, baik untuk peningkatan hasil kedelai maupun untuk perbaikan ketahanan terhadap penyakit (NSRL 1999). Perakitan varietas kedelai di Indonesia tidak hanya mengarah kepada peningkatan produktivitas per satuan luas, namun juga harus dikombinasikan dengan karakter lain yang menjadi prasyarat preferensi pengguna seperti umur genjah dan ukuran biji besar. Hasil biji kedelai merupakan resultan dari potensi genetik, kondisi lingkungan, dan pengelolaan tanaman. Adapun produktivitas pertanaman ditentukan oleh berbagai komponen hasil yang saling berinteraksi. Vollmann (2000) mengemukakan terdapat peluang merakit varietas kedelai untuk tujuan umur genjah dan sekaligus mengandung protein tinggi, karena tidak diperoleh korelasi yang kuat antara hasil dengan kandungan protein. Di Indonesia telah dihasilkan varietas kedelai berumur hingga 73 hari dan juga dihasilkan varietas kedelai dengan kandungan protein hingga 46%, namun belum dihasilkan varietas kedelai berumur genjah dan memiliki kandungan protein di atas 45%. Di Amerika dilaporkan bahwa kedelai berumur genjah bercirikan batangnya pendek dan untuk mempertahankan produktivitas per satuan luas diperlukan populasi tanaman yang lebih banyak (FactSheet 2001). Pengelompokan ukuran biji dan umur masak memang berbeda antarnegara penghasil kedelai di dunia. Daya adaptasi suatu varietas diukur melalui kemampuannya berproduksi optimal pada suatu lingkungan. Di Indonesia, lingkungan budi daya kedelai sangat beragam, seperti keragaman jenis tanah, musim tanam, pola tanam, dan elevasi. Di Sleman, umumnya kedelai dibudidayakan pada musim kemarau kedua (MK2) mengikuti pola tanam setahun padi-padi-kedelai. Di lokasi tersebut, preferensi petani juga mulai mengarah pada varietas kedelai yang memiliki ukuran biji besar dengan umur masak dari genjah hingga sedang. Tersedianya varietas kedelai yang sesuai dengan preferensi pengguna adalah penting dan diperlukan pengujian sejumlah galur pada lingkungan bersangkutan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai keragaan hasil dan komponen hasil dari beberapa genotipe kedelai.
BAHAN DAN METODE Keragaan dan pengelompokan dari 29 genotipe kedelai yang terdiri atas 24 galur harapan dan lima varietas pembanding (Grobogan, Baluran, Dering 1, Panderman, dan Anjasmoro) dikaji di Sleman pada MK2 (JuniSeptember 2014). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 29 perlakuan dan diulang empat kali. Ukuran plot adalah 2,4 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15
cm, dua tanaman per rumpun. Pupuk Phonska 250 kg/ha, 100 kg SP 36, dan pupuk organik 1 ton/ha diberikan seluruhnya pada saat tanam. Perawatan benih (seed treatment) menggunakan theametoxam. Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan sawah bekas tanaman padi sehingga tidak dilakukan pengolahan tanah. Sebelum penanaman dibuat saluran drainase dan diaplikasikan herbisida. Pengendalian gulma dilakukan pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam. Data yang dikumpulkan adalah umur masak, tinggi tanaman saat panen, bobot 100 biji, dan hasil biji. Pengelompokan genotipe menggunakan sidik gerombol (cluster analysis).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan hasil analisis sidik ragam untuk karakter umur masak, tinggi tanaman, bobot 100 biji, dan hasil biji (Tabel 1), diperoleh pengaruh sangat nyata antargenotipe yang diuji, kecuali karakter tinggi tanaman tidak berbeda nyata. Hal ini menandakan bahwa terdapat perbedaan keragaan dari 29 genotipe kedelai yang diuji. Umur masak memiliki nilai KK terendah yaitu 1,97%, sedangkan nilai KK untuk tinggi tanaman, bobot 100 biji, dan hasil biji masing-masing adalah 16,39%, 22,19%, dan 10,29%. Kisaran umur masak dari 29 genotipe kedelai adalah 70-80 hari dengan rata-rata 75 hari (Tabel 2). Varietas Grobogan memiliki umur masak 73 hari, sedangkan Panderman dan Anjasmoro umur masaknya sama yaitu 79 hari. Umur masak dari 24 galur harapan berkisar antara 7080 hari, sedangkan 13 galur harapan di antaranya memiliki umur masak antara 70-74 hari. Karakter tinggi tanaman berkisar antara 41,25-64,75 cm (rata-rata 48,92 cm) (Tabel 2), artinya bahwa pertumbuhan genotipe yang diuji berkriteria normal. Keragaan tinggi tanaman yang berada dalam kondisi normal yang disertai dengan bobot 100 biji yang relatif berukuran biji besar, berkontribusi terhadap tingginya capaian rata-rata hasil seluruh genotipe kedelai yang diuji, yaitu 2,70 ton/ha dengan kisaran antara 2,28-3,00 ton/ha. Hasil biji dari lima varietas pembanding adalah Grobogan (2,62 ton/ha), Baluran (2,68 ton/ha), Dering 1 (2,64 ton/ha), Panderman (2,75 ton/ha), dan Anjasmoro (2,91 ton/ha) (Tabel 3). Grobogan yang memiliki umur masak hanya 73 hari ternyata hasil bijinya hanya 2,62 ton/ha. Seleksi genotipe kedelai yang paling sesuai untuk diadaptasikan pada lingkungan yang mirip di Sleman dilakukan dengan mengelompokkan 29 genotipe kedelai menjadi beberapa gerombol. Pengelompokan didasarkan pada karakter umur masak, tinggi tanaman, ukuran biji, dan hasil biji, dan dari 29 genotipe kedelai terkelompok menjadi empat gerombol (Tabel 4). Gerombol I beranggotakan 19 genotipe dan merupakan gerombol yang anggotanya paling banyak, bercirikan memiliki tanaman relatif pendek. Varietas Grobogan dan Baluran menjadi anggota dari gerombol I. Gerombol II yang beranggotakan tujuh genotipe bercirikan hasil tinggi (2,68-3,00 ton/ha). Varietas Panderman dan Anjasmoro berada di gerombol II, artinya terdapat lima genotipe yang hasilnya serupa dengan kedua
ADIE et al. – Keragaman dan pengelompokan galur kedelai Tabel 1. Sidik ragam hasil dan komponen hasil dari 29 genotipe kedelai (Sleman, 2014) Kuadrat tengah Ulangan Galur Umur masak (hari) 5,086987tn 49,886693** Tinggi tanaman (cm) 53,264616tn 245,337436tn Bobot 100 biji (g) 6,580849tn 43,081335** tn Hasil biji (ton/ha) 0,01315319 0,18543540** Keterangan: tn dan ** = tidak nyata dan nyata, p= 0,01
KK (%) 1,97 16,39 22,19 10,29
Karakter
Tabel 2. Umur masak dan tinggi tanaman dari 29 genotipe kedelai (Sleman, 2014) Genotipe A PSJ B PSJ E PSJ F PSJ G PSJ H PSJ G 511 H x Anjs-6-5 G 511 H x Anjs-6-6 G 511 H x Anjs-6-9 G 511 H x Anjs-6-10 G 511 H x Anjs-4-2 G 511 H x Anjs-10-7 Bio-bal-420 Bio-bal-456 Bio-G-366 Bio-G-422 Bio-497 AnjsxArg-200-22 AnjsxArg-189-19 AnjsxArg-169-15 AnjsxArg-235-27 AnjsxMal-134-9 SinbgxMal-461-45 SinbgxMal-479-49 Grobogan Baluran Dering 1 Panderman Anjasmoro Rata-rata
Umur masak (hr) 77 78 76 76 76 77 80 78 80 78 78 79 73 74 74 70 70 72 72 72 73 72 72 74 73 77 77 79 79 75
Tinggi tanaman (cm) 48,50 44,75 45,75 43,50 44,50 47,50 56,75 60,50 48,00 64,75 55,25 54,00 51,75 48,50 46,50 44,50 42,75 45,50 44,00 43,25 41,25 46,25 49,00 52,25 44,25 46,75 45,75 55,50 57,25 48,92
789
Tabel 2. Bobot 100 biji dan hasil biji 29 genotipe kedelai (Sleman, 2014) Genotipe A PSJ B PSJ E PSJ F PSJ G PSJ H PSJ G 511 H x Anjs-6-5 G 511 H x Anjs-6-6 G 511 H x Anjs-6-9 G 511 H x Anjs-6-10 G 511 H x Anjs-4-2 G 511 H x Anjs-10-7 Bio-bal-420 Bio-bal-456 Bio-G-366 Bio-G-422 Bio-497 AnjsxArg-200-22 AnjsxArg-189-19 AnjsxArg-169-15 AnjsxArg-235-27 AnjsxMal-134-9 SinbgxMal-461-45 SinbgxMal-479-49 Grobogan Baluran Dering 1 Panderman Anjasmoro Rata-rata
Bobot 100 biji (g) 17,95 14,63 20,00 20,33 17,19 19,91 15,31 15,80 15,33 13,74 15,08 13,99 9,80 15,61 15,02 16,79 16,75 15,96 15,10 11,89 14,00 15,24 15,98 13,22 17,26 13,28 8,39 15,14 15,73 15,32
Hasil biji (ton/ha) 2,28 2,68 2,77 2,37 2,67 2,56 2,68 2,95 2,66 3,00 2,99 2,75 2,44 2,53 2,60 2,63 2,65 2,81 2,75 2,81 2,80 2,75 2,84 2,63 2,62 2,68 2,64 2,75 2,91 2,70
varietas tersebut. Gerombol III hanya beranggotakan dua genotipe yang bercirikan ukuran biji dan tinggi tanaman tergolong sedang. Adapun varietas Dering 1 merupakan satu-satunya anggota dari gerombol IV yang dicirikan oleh ukuran bijinya kecil.
Tabel 4. Pengelompokan 29 genotipe kedelai berdasarkan karakter umur masak, tinggi tanaman, bobot 100 biji, dan hasil biji (Sleman, 2014) Sandi genotipe
Gerombol
Umur masak (hr)
Rentang Tinggi tanaman Bobot 100 biji (cm) (g)
Hasil (ton/ha)
I
18, 22, 16, 17, 19, 3, 6, 14, 15, 25, 23, 2, 26, 1, 20, 21, 4, 5, 9
72-80
41,25-8,50
13,28-20,00
2,28-2,82
II
11, 28, 7, 29, 12, 8, 10
78-80
54,00-4,75
13,74-15,73
2,68-3,00
III
13, 24
73-74
51,75-2,25
9,80-13,22
2,44-2,63
IV
27
77
45,75
8,39
2,64
Keterangan: Sandi genotipe seperti Tabel 2
790
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 787-791, Juli 2015
Pembahasan Pada daerah beriklim tropis seperti Indonesia, budi daya kedelai dapat dilakukan pada berbagai musim tanam. Di lahan kering, kedelai ditanam pada awal musim penghujan dan pada musim kemarau I (MK1) kedelai ditanam di lahan kering atau lahan sawah yang berpengairan terbatas, sedangkan pada musim kemarau II (MK2) ditanam di lahan sawah. Pada susunan pola tanam tersebut, umur tanaman kedelai menjadi sangat penting. Kedelai berumur sangat dalam akan mengganggu penerapan pola tanam setahun. Kedelai di Indonesia dikategorikan berumur genjah jika umur masaknya di bawah 80 hari, dan jika umur masaknya di bawah 75 hari dikategorikan berumur masak super genjah. Penelitian yang dilakukan pada MK2 di Sleman ternyata memperpendek umur masak dari 29 genotipe yang diuji. Varietas Anjasmoro dan Panderman umumnya memiliki umur masak sekitar 84 hari, namun pada MK2 umur masaknya lima hari lebih cepat. Dari penelitian ini diperoleh 13 galur harapan berumur super genjah dan 10 galur harapan berumur genjah, dan hanya satu galur (80 hari) umur masaknya tergolong sedang. Jika dibandingkan dengan umur masak varietas Grobogan (73 hari), terdapat beberapa galur harapan yang umur masaknya lebih genjah dari varietas Grobogan. Namun penggunaan kedelai berumur genjah harus dikompensasi oleh jumlah polong yang tinggi agar hasil biji tetap optimal (Machikowa dan Laosuwan 2011). Varietas Grobogan dan Baluran memiliki tinggi tanaman lebih rendah daripada rata-rata umum, sebaliknya Panderman dan Anjasmoro tinggi tanamannya lebih tinggi dari rata-rata umum. Dua galur harapan yang umur masaknya 70 hari yaitu Bio-G-422 dan Bio-497 masingmasing memiliki tinggi tanaman hanya 44,50 cm dan 42,75 cm, sebanding dengan tinggi tanaman varietas Grobogan. Peran karakter tinggi tanaman dalam menunjang hasil biji tidak konsisten. Penelitian yang dilakukan oleh Sudaric et al. (2003) diperoleh karakter tinggi tanaman memiliki nilai heritabilitas arti luas berkriteria medium dan pengaruh langsungnya terhadap hasil dinilai kecil. Pada kedelai sayur juga dilaporkan justru tinggi tanaman berpengaruh negatif terhadap perolehan berat kedelai sayur (Li et al. 2013). Varietas kedelai yang memiliki ukuran biji besar (>14 g/100 biji) dinilai lebih sesuai untuk bahan baku industri tempe. Dari 29 genotipe yang diuji memiliki rentang ukuran biji antara 8,39-20,33 g/100 biji, dengan rata-rata mencapai 15,32 g/100 biji (Tabel 3), artinya sebagian besar genotipe yang diuji berkriteria berukuran biji besar. Baluran memiliki ukuran biji sedang, Dering 1 tergolong berukuran biji kecil, sedangkan Grobogan, Panderman, dan Anjasmoro masing-masing memiliki ukuran biji 17,26; 15,14; dan 15,73 g/100 biji, sehingga ketiga varietas tersebut tergolong memiliki ukuran biji besar. Diperoleh empat galur harapan yang ukuran bijinya lebih besar dari Grobogan yang berkisar antara 17,95-20,33 g/100 biji. Terdapat dugaan bahwa kedelai berukuran biji kecil memiliki kapasitas perkecambahan lebih tinggi dibandingkan kedelai dengan ukuran biji sedang dan ukuran biji besar (Adebesi et al. 2013).
Varietas Anjasmoro mampu berproduksi optimal diikuti oleh Panderman. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Grobogan memiliki daya adaptasi yang sangat spesifik, sebaliknya Anjasmoro memiliki daya adaptasi yang cukup luas. Bahkan di Sleman, petani mulai tertarik menanam Anjasmoro, selain hasilnya tinggi juga memiliki ukuran biji besar. Fase berbunga hingga masak fisiologis merupakan fase terpenting pada kedelai dalam menentukan hasil dibandingkan dari fase kecambah hingga berbunga (Schou et al. 1978). Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Egli et al. (1985) menunjukkan bahwa jumlah biji per satuan luas ditentukan oleh kondisi lingkungan yang terjadi antara fase berbunga hingga pengisian biji. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pedersen dan Lauer (2004) di Iowa, pengolahan tanah menjadi faktor penting dalam mengoptimalkan hasil biji kedelai, demikian juga tanam kedelai lebih awal akan diperoleh jumlah biji, jumlah polong, dan indeks panen yang tinggi, namun jumlah biji per tanaman akan menurun dibandingkan dengan penanaman yang terlambat. Di Indonesia, sebagian besar kedelai di lahan sawah ditanam setelah tanaman padi dipanen, bahkan penanaman kedelai harus dilakukan paling lambat 10 hari setelah padi dipanen, oleh karenanya tidak dilakukan pengolahan tanah. Dengan memperhatikan sebaran genotipe pada gerombol II, tiga genotipe yaitu G 511 H x Anjs-6-6, G 511 H x Anjs-6-10, dan G 511 H x Anjs-4-2 berada dalam satu gerombol dengan varietas terbaik Anjasmoro dan Panderman. Ketiga genotipe tersebut memiliki umur masak sama yaitu 78 hari dan tergolong genjah; hasil bijinya juga setingkat, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil biji Anjasmoro. Galur G 511 H x Anjs-6-6 dan G 511 H x Anjs-4-2 memiliki ukuran biji besar; sedangkan ukuran biji dari galur G 511 H x Anjs-6-10 tergolong sedang. Ketiga genotipe tersebut dinilai adaptif di agroekosistem yang mirip dengan Sleman. Preferensi pengguna terhadap varietas kedelai adalah hasil tinggi, berukuran biji besar, dan berumur genjah. Perakitan varietas kedelai melalui persilangan berpeluang besar memperoleh genotipe kedelai yang memiliki karakteristik sesuai preferensi pengguna saat ini. Karakteristik agronomis galur G 511 H x Anjs-6-6, G 511 H x Anjs-6-10, dan G 511 H x Anjs-4-2 mirip dengan varietas Anjasmoro, dinilai adaptif di agroekosistem seperti yang terdapat di Sleman.
DAFTAR PUSTAKA Adebisi MA, Kehinde TO, Salau AW et al. 2013. Influence of different seed size fraction on seed germination, seedling emergence and seed yield characters in tropical soybean. Intl J Agric Res 8: 26-33. BPS DIY. 2014. Produksi padi dan palawija Daerah Istimewa Yogyakarta (angka ramalan III 2014). Berita Resmi Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta No. 62/11/34/Th.XVI, 3 November 2014. Direktorat Buakabi. 2015. Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2015. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Egli DB, Guffy RD, Meckel LW, Leggett JE. 1985. The effect of source sink alterations on soybean seed growth. Ann Bot 55: 395-402. Fact Sheet. 2001. Yield of early maturing soybeans. The Ohio State University Extension. http://ohioline.osu.edu/agf-fact/0138.html.
ADIE et al. – Keragaman dan pengelompokan galur kedelai Li YS, Du M, Zhang QY et al. 2013. Correlation and path coefficient analysis for yield components of vegetable soybean in Northeast China. Legume Res 36: 284-288. Machikowa T, Laosuwan P. 2011. Path coefficient analysis for yield of early maturing soybean. Songklanakarin J Sci Technol 33: 365-368. NSRL [National Soybean Research Laboratory]. 1999. It would be a huge advantage for growers to have commercial varieties available with resistance to these emerging diseases. Bulletin 6 (2). University of Illinois. Pedersen P, Lauer JG. 2004. Response of soybean yield components to management system and planting date. Agron J 96: 1372-1381.
791
Schou JB, Jeffers DL, Streeter JG. 1978. Effect of reflectors, black boards, or shades applied at different stages of plant development on yield of soybeans. Crop Sci 18: 29-34. Sudaric A, Vrataric M, Duvnjak M. 2003. Quantitative genetic analysis of yield components and grain yield for soybean cultivars. UDK 633.64:631.523: 1-6. Vollmann J, Fritz CN, Wagentristl H, Ruckenbauer P. 2000. Environmental and genetic variation of soybean seed protein content under Central European growing conditions. J Sci Food Agric 80: 1300-1306.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 792-795
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010420
Pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap karakteristik gelatin kulit kaki ayam Effect of extraction temperature difference on characteristics of chicken leg skin gelatin MEITY SOMPIE♥, ARIE D. MIRAH, LINDA CH. M. KARISOH Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Kleak-Bahu Unsrat, Manado 95115, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-863886, 863786, Fax. +62-431-822568, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 30 April 2015.
Sompie M, Mirah AD, Karisoh LChM. 2015. Pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap karakteristik gelatin kulit kaki ayam. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 792-795. Kaki ayam merupakan hasil ikutan pemotongan ayam yang pemanfaatannya terbatas karena kandungan kulit dan tulangnya tinggi. Kulit dan tulang tersusun dari jaringan ikat padat yang kaya akan kolagen. Hidrolisis partikel kolagen akan menghasilkan gelatin yang banyak dimanfaatkan dalam industri pangan sebagai bahan penstabil, pembentuk gel, pengikat, pengental, pengemulsi, perekat, dan pembungkus makanan yang dapat dimakan (edible film), sedangkan pada produk non-pangan, gelatin sering digunakan dalam industri farmasi dan kedokteran, industri teknik, industri kosmetik, dan industri fotografi. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap karakteristik gelatin kulit kaki ayam. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan suhu ekstraksi yaitu P1 (50oC), P2 (55oC), P3 (60oC), masing-masing dengan 5 ulangan. Variabel penelitian adalah rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar protein, dan kadar air gelatin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap rendemen, kekuatan gel, dan viskositas gelatin kulit kaki ayam, sedangkan terhadap kadar protein dan kadar air memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05). Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah gelatin kulit kaki ayam yang diproduksi menggunakan suhu ekstraksi 50oC, 55oC, dan 60oC menghasilkan karakteristik gelatin dengan kualitas baik karena masih memenuhi standar yang ditetapkan SNI. Kata kunci: Gelatin, kolagen, kulit kaki ayam, suhu ekstraksi
Sompie M, Mirah AD, Karisoh LChM. 2015. Effect of extraction temperature difference on characteristics of chicken leg skin gelatin. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 792-795. Chicken leg is a product of cutting chickens limited use due to the high content of skin and bones. Skin and bones are composed of dense connective tissue that rich in collagen. Hydrolysis of collagen particles will produce a gel that is widely used in food industry as a stabilizer, gelling agent, binder, thickener, emulsifier, adhesives and packaging (edible coating), while the non-food products gelatin is often used in the pharmaceutical and medicine, engineering, cosmetic and photographic industries. This research was conducted to determine the effect of extraction temperature on characteristics of chicken legs skin gelatin. The experiment used Completely Randomized Design (CRD) with the extraction temperature treatment P1 (50°C), P2 (55°C), P3 (60°C), and five replicates of treatment. The research variables were yield, gel strength, viscosity, protein content and water content of gelatin. The results showed that the difference in extraction temperature had no significant effect (P>0.05) to the yield, gel strength and viscosity skin gelatin chicken feet, while the protein content and water content gave a significantly different effect (P<0.05) on the chicken leg skin gelatin. The conclusion of this research was a chicken leg skin gelatin produced using the extraction temperature 50°C, 55°C and 60°C had the best characteristics and included in the range of Indonesian National Standard. Key words: Chicken legs skin, collagen, gelatin, temperature extraction
PENDAHULUAN Kebutuhan gelatin di Indonesia semakin meningkat dengan pesat, namun industri yang secara khusus memproduksi gelatin belum tersedia, sehingga kondisi ini memaksa pemerintah untuk terus mengimpor gelatin. Impor gelatin semakin meningkat dari tahun ke tahun (Said 2011). Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan akan produk impor tersebut, diperlukan pengembangan industri untuk memproduksi gelatin secara komersial. Gelatin sangat penting dalam diversifikasi bahan makanan karena nilai gizinya yang tinggi, terutama kadar protein
yaitu asam amino dan rendahnya kadar lemak (Wulandari 2006). Penggunaan gelatin sangat luas antara lain dapat digunakan sebagai bahan makanan, yaitu sebagai agen pembentuk gel, pengental, pengemulsi, pembentuk busa, dan edible film. Di bidang farmasi, gelatin banyak digunakan dalam industri kapsul antara lain dapat dibuat kapsul lunak dan keras (Imeson 1992; Antoniewski 2007; Karim dan Bhat 2008; Park et al. 2008). Pada prinsipnya, gelatin dapat dibuat dari bahan yang kaya akan kolagen seperti kulit sapi, kambing, babi, ayam, dan itik (Anersen dan Gildberg 2002). Akan tetapi, apabila dibuat dari kulit sapi atau hewan besar lainnya, proses produksi lebih lama
SOMPIE et al. – Karakteristik gelatin kulit kaki ayam
dan membutuhkan air pencuci dan bahan penetral yang lebih banyak. Kondisi ini menyebabkan dibutuhkannya investasi besar sehingga dengan sendirinya harga gelatin relatif mahal. Potensi kaki ayam sebagai sumber gelatin dapat dilihat dengan semakin meningkatnya jumlah populasi ternak unggas di Indonesia. Populasi dan pemotongan ternak ayam di Sulawesi Utara, khususnya di Kabupaten Minahasa, cukup menjanjikan karena menurut data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan tahun 2012 menyatakan jumlah populasi dan pemotongan ternak ayam cenderung mengalami peningkatan setiap tahun. jumlah populasi ayam ras pedaging di Indonesia pada tahun 2012 yaitu 1.343.275 ekor. Di Indonesia, pemanfaatan kaki ayam pada umumnya hanya digoreng, dimasak untuk campuran sup, campuran sayur, bubur, dibuat krecek rambak, direbus untuk diambil kaldunya, atau digunakan sebagai campuran makanan hewan. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya informasi dan ketersediaan teknologi pengelolaan yang tepat serta manfaat produk kaki ayam yang dihasilkan (Hasdar 2012). Kaki ayam (tarso metatarsus) merupakan salah satu sisa hasil pemotongan ayam yang dapat dimanfaatkan dan diproses menjadi produk-produk yang akan menghasilkan nilai tambah. Ditinjau dari komposisi kimianya, kulit kaki ayam mengandung sekitar 22% protein kasar, 5,50% lemak, 3,5% abu, 64% air, dan 3% substansi lain (Taufik 2011). Gelatin merupakan produk hidrokoloid yang diperoleh dengan menghidrolisis protein kolagen yang terdapat pada kulit, tulang, dan jaringan pengikat (Ockerman dan Hansen 2000). Kualitas gelatin dipengaruhi oleh tahapan proses pembuatan gelatin seperti swelling (pembengkakan), ekstraksi, presipitasi (penyaringan hasil ekstraksi), dan pengeringan. Swelling atau pembengkakan biasanya menggunakan larutan asam, basa, atau asam dan basa. Jenis dan konsentrasi larutan asam tersebut mempengaruhi sifat gelatin yang dihasilkan. Kolodziejska et al. (2004) menyatakan bahwa bahan kimia yang digunakan sebelum perlakuan maupun dalam kondisi ekstraksi (suhu dan waktu) dapat berpengaruh terhadap panjang rantai polipeptida dan sifat fungsional gelatin. Lebih lanjut dikatakan oleh Chamidah dan Elita (2002), ekstraksi gelatin kulit ikan hiu menggunakan asam asetat 2,18% dan lama perendaman 4 jam menghasilkan gelatin dengan kekuatan gel tertinggi. Gelatin dapat diproduksi melalui perendaman secara asam atau basa. Larutan asam asetat dapat mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal (Ward dan Court 1977). Selain itu, keuntungan dari proses asam antara lain persiapan bahan baku hanya memerlukan waktu relatif singkat dan biaya lebih murah. Konsentrasi larutan asam asetat juga berpengaruh terhadap jumlah kolagen yang terlarut selama proses ekstraksi berlangsung (Wang et al. 2008). Ulfah (2011) menyatakan konsentrasi asam asetat 3,5% berpengaruh nyata terhadap karakteristik fisik gelatin kulit kaki ayam. Menurut Ockerman dan Hansen (2000), mutu gelatin yang tinggi diperoleh dari suhu ekstraksi yang rendah, tetapi suhu ekstraksi yang tinggi akan meningkatkan rendemen. Suhu ekstraksi yang berbeda diharapkan akan menghasilkan
793
gelatin dengan karakteristik yang baik. Berdasarkan hal tersebut di atas, telah dilakukan penelitian tentang karakteristik gelatin kulit kaki ayam dengan tujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan suhu ekstraksi.
BAHAN DAN METODE Bahan utama penelitian menggunakan 3.000 gram kulit kaki ayam pedaging yang diperoleh dari 15 kg kaki ayam. Bahan kaki ayam tersebut diambil dari tempat pemotongan ayam pedaging. Bahan-bahan pendukung yang dibutuhkan antara lain: H2SO4, NaOH, CH3COOH, Ca(OH)2, akuades, kain flanel, kertas saring, dan indikator PP. Peralatan utama yang digunakan dalam proses produksi gelatin antara lain waterbath, oven elektrik, timbangan analitik, gelas kimia, corong gelas, gelas ukur, termometer, ember, dan pisau untuk proses membuang bulu. Peralatan pendukung untuk proses analisis antara lain: Texture Analyser model TAXT2 (Stable Microsystem, UK), Viscometer Brookfield RTV, pH meter 2 elektrode (Consort P901, ECC), dan peralatan untuk pengujian proksimat. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah yaitu pembuatan gelatin kulit kaki ayam dengan menggunakan perlakuan suhu ekstraksi P1 (50oC), P2 (55oC), dan P3 (60oC), ulangan sebanyak lima kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila terdapat perbedaan nyata antarperlakuan, dilanjutkan dengan uji beda nyata menurut Duncan’s Multiple Range Test (Steel dan Torrie 1991). Peubah yang diteliti dalam penelitian ini adalah rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar protein, dan kadar air gelatin. Preparasi kaki ayam Kaki ayam pedaging dipisahkan dari badannya, dibersihkan, dan dikuliti. Kaki ayam pedaging yang masih ada sisiknya dicuci sampai bersih. Kuku-kuku jari dipotong. Pada jari tengah, kulit bagian belakang diiris dengan pisau mulai dari bonggol atas lurus sampai pangkal jarinya yang paling panjang. Kulit bagian bonggol dikelupas sampai ±2 cm ke bawah lalu dijepit dengan tang. Bagian tulang yang sudah terkelupas dijepit dengan tang, kemudian masing-masing dipegang dengan satu tangan, ditarik berlawanan arah secepatnya sampai kulit pada ujung jari ikut terkelupas. Estraksi gelatin Pembuatan gelatin kulit kaki ayam pedaging dilakukan dengan cara ekstraksi melalui proses asam menurut metode Said (2011). Kulit kaki ayam yang telah bersih dari sisasisa lemak dan daging yang menempel dicuci bersih kemudian dipotong kecil-kecil berukuran kira-kira 1 cm x 1 cm. Kulit yang sudah dipotong kecil-kecil ditimbang, kemudian direndam dalam larutan asam asetat 3% (b/v) sambil diaduk-aduk. Perbandingan kulit kaki ayam dengan larutan perendam = 1:3 untuk masing-masing perlakuan dan direndam selama 48 jam pada suhu dingin 50C. Setelah proses perendaman selesai, kulit dicuci kembali dengan air mengalir berkali-kali sampai pH netral sekitar pH=6.
794
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 792-795, Juli 2015
Setelah itu, kulit diekstraksi sesuai dengan perlakuan yaitu pada suhu 500C, 550C, dan 600C, masing-masing selama 5 jam. Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kain penyaring. Larutan gelatin yang diperoleh dari hasil ekstraksi, dipekatkan pada suhu 700C selama 12 jam, didinginkan dalam refrigerator 5-100C selama 30 menit, setelah itu dituang ke dalam wadah berukuran 30,5 cm x 30,5 cm dan dikeringkan dalam oven pada suhu 600C selama 48 jam sampai kering. Gelatin yang diperoleh dalam bentuk lembaran dihaluskan dengan blender, dikemas dalam wadah plastik vakum, dan disimpan dalam desikator untuk analisis lebih lanjut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik gelatin kulit kaki ayam pedaging dengan perlakuan perbedaan suhu ekstraksi disajikan pada Tabel 1. Rendemen Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata ((P>0,05) terhadap rendeman gelatin. Namun berdasarkan data yang diperlihatkan pada Tabel 1, nilai rendemen gelatin memiliki kecenderungan naik dengan peningkatan suhu ekstraksi. Dengan kata lain, semakin meningkat suhu ekstraksi, semakin tinggi pula rendemen gelatin yang dihasilkan. Ockerman dan Hansen (2000) menyatakan bahwa suhu ekstraksi yang tinggi akan meningkatkan rendemen karena struktur kolagen terbuka akibat beberapa ikatan dalam molekul proteinnya terlepas. Taufik (2011) menyatakan bahwa suhu yang tinggi membantu memecah ikatan hidrogen dalam gel yang terhidrolisis. Banyaknya gel ikatan hidrogen yang terpecah akan memudahkan larutnya kolagen dalam air panas sehingga gelatin yang dihasilkan lebih banyak. Selain itu, karena pembuatan gelatin direndam dalam larutan asam asetat maka struktur kolagen akan menjadi lebih terbuka sehingga semakin banyak kolagen yang terhidrolisis dan gelatin yang terekstraksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chamidah dan Elita (2002) bahwa larutan asam asetat berfungsi untuk menghidrolisis kolagen sehingga mempermudah kelarutannya pada saat ekstraksi gelatin. Nilai rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 13,22-13,91%, lebih rendah dari nilai rendemen yang diperoleh Taufik (2011) yaitu pada kisaran 14-16%. Kekuatan gel Kekuatan gel gelatin adalah jumlah gelatin kering yang dihasilkan dari sejumlah bahan baku kulit dalam keadaan bersih melalui proses ekstraksi (Said 2011). Kekuatan gel berhubungan dengan kemampuan mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible (Taufik 2011). Kekuatan gel gelatin kulit kaki ayam dengan perlakuan perbedaan suhu ekstraksi ditampilan pada Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata ((P>0,05) terhadap kekuatan gel gelatin. Dengan pengertian bahwa perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang sama
meskipun berdasarkan data pada Tabel 1 menunjukkan nilai kekuatan gel semakin meningkat dengan bertambahnya suhu ekstraksi. Menurut Taufik (2011), suhu ekstraksi tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel gelatin kulit kaki broiler. Hal ini diduga berkaitan dengan distribusi berat molekul dari gelatin yang hampir sama. Produksi gelatin pada penelitian ini menghasilkan kekuatan gel rata-rata pada kisaran 62,44-64,42 g Bloom. Secara umum, nilai kekuatan gel gelatin yang diproduksi masih sesuai standar mutu SNI dan hampir sama dengan hasil yang diperoleh oleh Said (2011) yaitu pada kisaran 50-280 g Bloom. Viskositas Viskositas merupakan parameter sifat fisik gelatin yang sangat penting. Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap viskositas gelatin meskipun berdasarkan data pada Tabel 1, nilai viskositas mempunyai kecenderungan menurun. Artinya, nilai viskositas cenderung menurun dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi. Ward dan Courts (1997) menyatakan bahwa suhu ekstraksi di atas 50oC menyebabkan kemampuan membentuk gel dan sifat fisik gelatin menurun, hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen dan gugus hidroksil dari asam amino. Nilai viskositas yang tinggi menurut Stainsby (1987) berhubungan dengan berat molekul dan rantai panjang asam amino gelatin. Nilai viskositas gelatin yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 5,05-5,12 cP dan masih termasuk dalam kisaran standar mutu SNI yaitu antara 2,0-7,5 cP (Wahyuni dan Rosmawaty 2003). Kadar protein Kadar protein merupakan salah satu syarat dalam penentuan kualitas gelatin. Persentase kadar protein gelatin pada kulit kaki ayam dengan perlakuan perbedaan konsentrasi asam asetat dan suhu ekstraksi, disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antarsetiap perlakuan suhu ekstraksi gelatin. Dengan kata lain, semakin meningkat suhu ekstraksi, semakin tinggi kadar
Tabel 1. Karakteristik fisik dan kimia gelatin kulit kaki ayam Suhu ekstraksi Karakteristik gelatin 50oC 55oC 60oC Rendemen (%) 13,22±0,25 13,74±0,75 13,91±0,43 Kekuatan gel (g 62,44±0,42 64,12±0,09 64,42±0,18 Bloom) Viskositas (cP) 5,12±0,17 5,06± 0,30 5,05 ±0,10 Kadar protein (%) 87,05±0,92d 87,52±0,71ed 88,93±0,79e 5,85±0,25a 5,80±0,75a 4,98±0,43b Kadar air (%) Keterangan: notasi huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
SOMPIE et al. – Karakteristik gelatin kulit kaki ayam
protein yang dihasilkan. Kolagen mengalami denaturasi ketika dipanaskan dalam larutan pada suhu 30-400C. Pada saat protein mengalami denaturasi, tidak ada ikatan kovalen pada kerangka rantai polipeptida yang rusak sehingga deret asam amino khas protein tetap utuh setelah denaturasi. Konversi tropokolagen menjadi gelatin menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen yang membuat stabil ikatan triplet dan berubah menjadi ikatan konfigurasi ikatan acak gelatin (Ockerman dan Hansen 2000). Kadar protein gelatin menunjukkan kemurnian gelatin yang diperoleh. Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kolagen sehingga kadar protein yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Menurut Taufik (2011) dan Ulfah (2011), kadar protein gelatin menurut SNI yaitu 85-90% sehingga kadar protein dalam penelitian ini berkisar antara 87,05-88,93%, masih termasuk dalam kisaran standar SNI. Kadar air Kadar air merupakan parameter penting dari suatu produk pangan karena kadar air berhubungan erat dengan umur simpan gelatin. Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1997). Persentase kadar air gelatin kulit kaki ayam dengan perlakuan perbedaan konsentrasi suhu ekstraksi disajikan pada Tabel 1. Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kadar air gelatin. Hasil uji Duncan (Tabel 1) menunjukkan bahwa kadar air gelatin pada suhu ekstraksi 500C sama dengan kadar air gelatin pada suhu ekstraksi 550C, tetapi lebih tinggi dari kadar air gelatin pada suhu ekstraksi 600C. Dengan kata lain, nilai kadar air cenderung menurun dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi. Menurunnya kadar air gelatin akibat suhu ekstraksi yang tinggi disebabkan karena proses denaturasi yang terjadi akan mengakibatkan perubahan molekul dan jumlah air yang terikat menjadi lebih lemah dan menurun (Soeparno 2005). Struktur kolagen yang terbuka dan lemah menghasilkan gelatin dengan struktur yang lemah sehingga daya mengikat air pada gelatin kurang kuat. Daya ikat air yang lemah akan membuat air mudah menguap pada saat pengeringan gelatin dan kadar air gelatin kering menjadi lebih rendah (Astawan et al. 2002; Ulfah 2011). Kadar air gelatin kulit kaki ayam hasil penelitian ini adalah 4,985,85% dan hasil ini masih memenuhi standar maksimal SNI, yaitu sampai 16%.
795 KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah gelatin kulit kaki ayam yang diproduksi menggunakan suhu ekstraksi 50oC, 55oC, dan 60oC menghasilkan karakteristik gelatin dengan kualitas yang baik karena masih memenuhi standar yang ditetapkan SNI.
DAFTAR PUSTAKA Antoniewski MN, Barringer SA, Knipe L, Zerby HN. 2007. Effect of a gelatin coating on the shelf life of fresh meat. J Food Sci 72: 382-387. Arnesen JA, Gildberg A. 2002. Preparation and characterization gelatin from the skin of sharp seal (Phoca groendlandica). J Bioresour Technol 82: 191-194. Astawan M, Hariyad P, Mulyani A. 2002. Analisis sifat reologi gelatin dari kulit ikan cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 13: 38-46. Chamidah A, Elita. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap kualitas gelatin ikan hiu. Seminar Nasional PATPI, Malang. Hasdar M. 2012. Karakteristik Edible Film yang Diproduksi dari Kombinasi Gelatin Kulit Kaki Ayam dan Soy Protein Isolate. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Imeson A. 1992, Thickening and Gelling Agents for Food. Aspen, New York. Karim AA, Bhat R. 2008. Fish gelatin: properties, challenges, and prospects as an alternative to mammalian gelatins. Food Hydrocoll 23 (3): 563-576. Kolodziejska I, Kaczorowski K, Piotrowsia B, Sadowska M. 2004, Modification of properties of gelatin from skins of Baltic cod (Gadus morhua) with transglutaminase. Food Chem 86: 203-209. Ockerman HW, Hansen CL. 2000. Animal by Product Processing and Utilization. CRC Press, USA. Park JW, Whiteside WS, Cho SY. 2008. Mechanical and water vapor barrier properties of extruded and heat-pressed gelatin films. LWT 41: 692-700. Said MI, Triatmojo S, Erwanto Y, Fudholi A. 2011. Karakteristik gelatin kulit kambing yang diproduksi melalui proses asam basa. J Agritech 31 (3): 0216-0455. Soeparno. 2009. Ilmu dan teknologi daging. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Principles and procedures of statistics. McGraw-Hill, New York. Stainsby G. 1987. Gelatin gels. In: Pearson AM, Dutson TR, Bailey AJ (eds). Advances in Meat Research (Vol. 4). Collagen as A Food. Van Nostrand Reinhold Co, New York. Taufik M. 2011. Kajian Potensi Kulit Kaki Ayam Broiler sebagai Bahan Baku Gelatin dan Aplikasinya dalam Edible Film Antibakteri. [Disertasi]. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ulfah M. 2011. Pengaruh konsentrasi larutan asam asetat dan lama waktu perendaman terhadap sifat-sifat gelatin ceker ayam. J Agritech 31(3): 161-167. Wahyuni M, Rosmawaty P. 2003. Perbaikan Daya Saing Industri Perikanan melalui Pemanfaatan Limbah Non-ekonomis Ikan menjadi Gelatin. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ward AG, Courts A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, London. Winarno FG. Kimia Pangan dan Gizi. 1997. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wulandari D. 2006. Ekstraksi dan Karakteristik Gelatin dari Kulit Kaki Ayam. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 796-799
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010421
Keefektifan metode ceramah dalam pelatihan Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai di Kabupaten Lebak, Banten The effectiveness of lecture method in training for the Field Guide Agents ICMFS of paddy, corn and soybean in Lebak District, Banten IIN SETYOWATI♥, SRI KURNIAWATI♥♥ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas-Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507. ♥ email:
[email protected], ♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 2 Februari 2015. Revisi disetujui: 24 April 2015.
Setyowati I, Kurniawati S. 2015. Keefektifan metode ceramah dalam pelatihan Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai di Kabupaten Lebak, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 796-799. Pemandu Lapang program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi, jagung, dan kedelai memiliki peran strategis dalam keberhasilan program ini. Pelatihan terhadap Pemandu Lapang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi Pemandu Lapang dalam melaksanakan tugasnya. Pelatihan terhadap Pemandu Lapang dilakukan pada tanggal 16 April 2012 menggunakan metode ceramah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keefektifan model pelatihan menggunakan metode ceramah pada Pemandu Lapang SLPTT di Kabupaten Lebak. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 29 orang dari populasi 32 Pemandu Lapang peserta pelatihan. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan memberikan pretest dan posttest untuk mengetahui peningkatan pengetahuan peserta, selanjutnya data tersebut dianalisis menggunakan analisis statistik non-parametrik yaitu uji Wilcoxon Match Pairs Test. Hasil penelitian menunjukkan nilai Z hitung adalah -3,106 (merupakan nilai mutlak) dan nilai Z tabel adalah 1,6 (pada taraf kesalahan 5%), sehingga nilai Z hitung lebih besar dari nilai Z tabel. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai menggunakan metode ceramah di Kabupaten Lebak efektif dalam meningkatkan pengetahuan Pemandu Lapang peserta pelatihan. Kata kunci: Pelatihan, pemandu lapang Singkatan: SLPTT = Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
Setyowati I, Kurniawati S. 2015. The effectiveness of lecture method in training for the Field Guide Agents ICMFS of paddy, corn and soybean in Lebak District, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 796-799. The Field Guide Agents for Integrated Crop Management Field School (ICMFS) of paddy, corn and soybean have a strategic role for the success of this program. Training for Field Guide Agents aimed to increase their competence. The training was carried out on 16 April 2012 used a lecture method. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the training model using the lecture method on ICMFS of Field Guide Agents in Lebak District, Banten. The samples used 29 people from 32 populations of Field Guide Agents using a purposive sampling method. Pretest and posttest were given to determine the increase participants knowledge, and then the data were analyzed by non-parametric statistical analysis with Wilcoxon Match Pairs Test. The results showed that the value of Z count was -3,106 (absolute value) and Z count was 1,6 (on the error level of 5%), therefore the Z count was greater than Z table. This indicated that the training of ICMFS of paddy, corn and soybean Field Guide Agents using the lecture method in Lebak District was effective to improve the Field Guide Agents knowledge. Keywords: Field guides agents, training
PENDAHULUAN Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) merupakan salah satu program pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai. Program SLPTT di Provinsi Banten telah dimulai sejak tahun 2009 dan dilaksanakan di lima kabupaten/kota, yaitu wilayah Kabupaten Lebak, Pandeglang, Tangerang, Serang, dan Kota Serang. Pemandu Lapang merupakan petugas pendamping pelaksanaan program SLPTT padi, jagung, dan kedelai yang memiliki peran strategis dalam mendukung keberhasilan program tersebut. Pendampingan kegiatan SLPTT dilakukan oleh Pemandu Lapang yang
terdiri atas Penyuluh Pertanian (PP), Petugas Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Petugas Pengawas Benih Tanaman (PBT), Penyuluh Swadaya, dan Peneliti. Peran Pemandu Lapang dalam kegiatan SLPTT adalah sebagai berikut: (i) pemandu yang paham terhadap permasalahan, kebutuhan, dan kekuatan yang ada di lapangan dan desa; (ii) dinamisator proses latihan SLPTT sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan latihan; (ii) motivator yang kaya akan pengalaman dalam berolah tanam dan dapat membantu membangkitkan kepercayaan diri para peserta SLPTT; (iv) konsultan bagi petani peserta SLPTT untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam
SETYOWATI & KURNIAWATI – Keefektifan metode ceramah pemandu lapang
melaksanakan kegiatan usaha taninya setelah kegiatan SLPTT selesai; dan (v) petugas yang akan melaporkan pelaksanaan kegiatan SLPTT dari laporan awal, bulanan, hingga laporan akhir (Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia 2008). Pemandu Lapang dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga target pencapaian program SLPTT dapat terpenuhi salah satunya adalah dengan peningkatan kompetensi Petugas Lapang dalam mendampingi petani melaksanakan program SLPTT. Kemampuan Pemandu Lapang dalam melaksanakan tugas pendampingan tidak terlepas dari pengetahuan Pemandu Lapang mengenai materi SLPTT. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan, seseorang tidak memiliki dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengetahuan, dan informasi (BBP2TP 2014). Peningkatan pengetahuan Pemandu Lapang SLPTT dilakukan melalui berbagai metode. Secara umum, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan dan membina tenaga kerja, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki kemampuan dalam profesinya, kemampuan melaksanakan loyalitas, serta dedikasi dan disiplin yang baik (Hamalik 2005). Menurut Sastradipoera (2006), konsep pelatihan sebagai salah satu bentuk proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya pengubahan tingkah laku sumber daya manusia agar tingkah laku itu sesuai dan memadai untuk kebutuhan dan tujuan tertentu. Salah satu metode yang digunakan dalam penyuluhan pertanian (pelatihan) adalah metode ceramah. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 52/Permentan/ OT.140/12/2009 tentang Metode Penyuluhan Pertanian, metode ceramah adalah penyampaian informasi secara lisan kepada pelaku utama, pelaku usaha, dan/atau tokoh masyarakat dalam suatu pertemuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ooi et al. (2007), faktor yang paling
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
797
berkontribusi terhadap pencapaian efektivitas pelatihan adalah kompetensi trainer dan metode pelatihan. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Haslinda (2009) bahwa kompetensi instruktur dan jenis pelatihan merupakan faktor yang signifikan berkontribusi terhadap efektivitas pelatihan. Melalui pelatihan ini diharapkan pengetahuan Pemandu lapang dapat meningkat sehingga Pemandu Lapang dapat melakukan tugasnya dalam mendampingi program SLPTT. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pelatihan menggunakan metode ceramah yang diberikan kepada Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai di Kabupaten Lebak. Keefektifan dapat juga diartikan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai. Dengan demikian, semakin tinggi kadar keefektifan maka semakin tinggi pula tingkat capaian kuantitas, kualitas, dan waktu pencapaiannya (BBP2TP 2014). Hasil dari penelitian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai instrumen pendekatan dalam memperbaiki dan menyempurnakan program/kegiatan penyuluhan pertanian sehingga lebih efektif, efisien, dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak pada tanggal 16 April 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah 32 Pemandu Lapang peserta pelatihan SLPTT padi, jagung, dan kedelai, mewakili 28 kecamatan di Kabupaten Lebak. Pengambilan sampel sebanyak 29 Pemandu Lapang dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan ciri-ciri atau sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut yang erat dengan populasi untuk pengambilan sampel (Narbuko 2004; Martono 2010).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 796-799, Juli 2015
798
Penelitian ini dilakukan dengan mengukur pengetahuan Pemandu Lapang sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan dengan menggunakan metode ceramah. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner pretest dan posttest. Kuisioner berupa soal pilihan ganda mengenai materi SLPTT padi, jagung, dan kedelai. Kuisioner pretest dan posttest yang digunakan sama. Pelatihan dilakukan selama delapan jam dimulai dari jam 08.00-16.00 WIB. Materi yang disampaikan berupa teknis tahap pelaksanaan SLPTT mulai dari pra-kegiatan, pelaksanaan kegiatan hingga pelaporan, serta kepemanduan dan teknologi budi daya termasuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan pengelolaan pascapanen. Data yang dihimpun berupa data primer yang terdiri atas karakteristik responden serta hasil pretest dan posttest. Data dianalisis dengan perangkat lunak aplikasi SPSS 20 menggunakan analisis statistik non-parametrik yaitu Wilcoxon Match Pairs Test (Siegel 1985; Sugiyono 2010). Uji ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan peserta antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan.
pretest oleh responden sebelum pelatihan dimulai. Peningkatan pengetahuan responden setelah pelatihan diukur menggunakan kuisioner posttest yang diisi oleh responden setelah pelatihan selesai dilaksanakan. Hasil pengisian kuisioner pretest dan postest disajikan pada Tabel 2. Data selanjutnya dianalisis dengan aplikasi SPSS 20 menggunakan analisis statistik non-parametrik yaitu dengan uji Wilcoxon Match Pairs Test. Hasil dari analisis data yang dilakukan tersaji pada Tabel 3. Analisis data dilakukan dengan membandingkan nilai hasil pretest dan posttest untuk menguji signifikansi dua subjek penelitian berpasangan (Sudirman 2007). Analisis tersebut dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini: (i) hasil nilai skor aspek pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan pelatihan, (ii) nilai total dan rata-rata dari aspek pengetahuan, (iii) perbedaan sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan serta jenjang nilai dari masing-masing peserta pelatihan (Sugiyono 2010). Tabel 1. Karakterisasi Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan responden Respoden dalam penelitian ini adalah peserta pelatihan perwakilan Pemandu Lapang dari 28 kecamatan di Kabupaten Lebak. Seluruh responden berjenis kelamin laki-laki, namun terdapat keragaan karakteristik responden dari aspek usia dan pendidikan (Tabel 1). Proporsi responden berdasarkan usia adalah 3,45 pada responden berusia 15,5-31 tahun, 62,07 pada responden berusia 3246,5 tahun, dan 34,48 pada responden berusia 47-62 tahun. Selanjutnya, proporsi responden berdasarkan pendidikannya adalah responden berpendidikan SMK Pertanian sebanyak 6,9; 17,24 pada responden berpendidikan S1; 20,69 pada responden berpendidikan SPMA; 24,24 pada responden berpendidikan SMP; dan 31,03 pada responden berpendidikan SLTA. Berdasarkan Tabel 1, seluruh responden berusia produktif yaitu 15,5-64 tahun. Seluruh responden merupakan Pemandu Lapang SLPTT yang profesinya terlibat langsung dalam dunia pertanian, baik sebagai pelaku utama, pelaku usaha, maupun petugas pertanian. Pendidikan responden terendah adalah SMP yaitu sebanyak 24,24 dan lainnya berpendidikan setingkat SLTA dan S1. Keefektifan model pelatihan dengan metode ceramah Untuk mengetahui efektifitas model pelatihan menggunakan metode ceramah dilakukan pengisian kuisioner
Usia (tahun)
Jumlah
Pendidikan
Jumlah
15,5-31 32-46,5 47-62
1 18 10
SMP SLTA SMK Pertanian SPMA S1
7 9 2 6 5
Tabel 2. Hasil pretes dan posttest Responden Pretest Posttest Responden Pretest Posttest 1 80 2 55 3 40 4 90 5 40 6 40 7 55 8 30 9 50 10 75 11 60 12 35 13 65 14 95 15 70 Total pretest Rata-rata
85 70 20 95 55 70 80 50 55 80 70 40 75 90 80 1.715 59,13793
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
80 70 35 70 35 70 75 85 35 80 55 35 60 50
Total posttest Rata-rata
Tabel 3. Analisis statistik uji Wilcoxon Match Pairs Test
Posttest-pretest
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Posttest < pretest b. Posttest > pretest
Negative Ranks Positive Ranks Total
N 5a 24b 29
Mean Rank 15,00 15,00
Sum of Ranks 75,00 360,00 -3,106b 0,002
90 80 95 80 55 80 80 80 55 70 60 40 80 25 1.985 68,44828
SETYOWATI & KURNIAWATI – Keefektifan metode ceramah pemandu lapang
Hasil analisis uji Wilcoxon dengan n = 10 dan taraf kesalahan 5% menunjukkan nilai Asymp. Sig. = 0,002 (Asymp. Sig. ≤ 0,05). Nilai Z hitung pada uji Wilcoxon adalah -3,106 yang merupakan nilai mutlak. Selanjutnya pada taraf kesalahan 5%, Z tabel = 1,6 sehingga Z hitung lebih besar dari Z tabel. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan yang dilakukan menggunakan metode ceramah berpengaruh signifikan dalam meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan. Peningkatan pengetahuan Pemandu Lapang melalui pelatihan ini tidak terlepas dari peran narasumber pelatihan yang berkompeten dalam materi SLPTT padi, jagung, dan kedelai. Narasumber pelatihan merupakan peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Padi serta peneliti dan penyuluh dari BPTP Banten. Sebagaimana yang disampaikan oleh Atmodiwirio (2005) bahwa kriteria utama yang dibutuhkan oleh seorang pelatih adalah: (i) menguasai materi yang diajarkan; (ii) terampil mengajar secara sistematik, efektif, dan efisien; serta (iii) mampu menggunakan metode dan media yang relevan dengan tujuan dari pelatihan. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Ooi et al. (2007) dan Haslinda et al. (2009) bahwa kompetensi instruktur merupakan faktor yang signifikan berkontribusi terhadap efektivitas pelatihan. Keragaan peserta pelatihan yang merupakan orangorang yang terlibat aktif dalam pertanian juga merupakan faktor penting yang berpengaruh dalam meningkatnya pengetahuan peserta pelatihan, sebagaimana yang disampaikan BBP2TP (2014) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengetahuan, dan informasi. Proporsi responden berdasarkan pendidikanya adalah 24,24 pada responden berpendidikan SMP dan 75,76 pada responden berpendidikan SLTA/sederajat dan S1. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian responden berpendidikan di atas sekolah dasar. Seluruh responden merupakan Pemandu Lapang SLPTT yang berumur produktif dan profesinya terlibat langsung dalam dunia pertanian, baik sebagai pelaku utama, pelaku usaha, maupun petugas pertanian. Berdasarkan analisis uji Wilcoxon dengan membandingkan pengetahuan peserta pelatihan melalui pretest dan posttest adalah signifikan dalam meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan. Hasil penelitian membuktikan bahwa model pelatihan menggunakan
799
metode ceramah efektif dalam meningkatkan pengetahuan Pemandu Lapang SLPTT padi, jagung, dan kedelai di Kabupaten Lebak.
UCAPAN TERIMA KASIH Sumber dana penelitian berasal dari DIPA BPTP Banten Tahun Anggaran 2012. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim SLPTT BPTP Banten tahun 2012 dan narasumber pelatihan dari BB Padi.
DAFTAR PUSTAKA Atmodiwirio S. 2005. Manajemen Pelatihan. Ardadizya Jaya, Jakarta. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. 2008. Pedoman Umum SLPTT Padi. Departemen Pertanian Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Pusat pengembangan Penyuluhan pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. BBP2TP. 2014. Panduan pelaksanaan dan kumpulan materi training of trainer (TOT) “Metodologi pengkajian penyuluhan dan evaluasi kinerja diseminasi hasil litkaji bagi penyuluh pertanian lingkup Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TPBalitbangtan)”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. Hamalik O. 2005. Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu: Pengembangan Sumber daya Manusia. Bumi Aksara, Jakarta. Haslinda A, Mahyuddin MY. 2009. The effectiveness of training in the public service. Amer J Sci Res 6 (1): 39-51. Kementerian Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 52/Permentan/OT.140/12/2009 tentang metode penyuluhan pertanian. Kementerian Pertanian. Martono N. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Analisis Isi, dan Analisis Data Sekunder. Raja Garafindo Persada, Jakarta. Narbuko. 2004. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara, Jakarta. Ooi YE, Hau SL, Ching-Wing BL. 2007. The determinants of training effectiveness in Malaysian organizations. Intl J Business Res 7 (4): 143-149. Sastradipoera, Komarudin. 2006. Pengembangan dan Pelatihan, Suatu Pendekatan Manajemen SDM. Penerbit Kappa Sigma, Bandung. Siegel S. 1985. Statistik Non-parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudirman. 2007. Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu bagi Petani Sebagai Upaya Alih Komoditas Studi pada Petani Penggarap Lahan Perhutani di Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung. [Desertasi]. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Sugiyono. 2010. Statistik Non-parametrik untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 800-804
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010422
Evaluasi pertumbuhan tanaman uji keturunan eboni (Diospyros rumphii) umur satu tahun di persemaian Evaluation of plant growth on progeny test ebony (Diospyros rumphii) age one year in the nursery JULIANUS KINHO♥, JAFRED HALAWANE, ARIF IRAWAN, YERMIAS KAFIAR Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado. Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683, Fax. +62-431-3666683, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Maret 2015. Revisi disetujui: 18 April 2015.
Kinho J, Halawane J, Irawan A, Kafiar Y. 2015. Evaluasi pertumbuhan tanaman uji keturunan eboni (Diospyros rumphii) umur satu tahun di persemaian. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 800-804. Diospyros rumphii Bakh. merupakan salah satu jenis kayu perdagangan yang dikenal dengan sebutan kayu eboni. Jenis ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan industri untuk dieksploitasi. Sifat pertumbuhan yang lambat merupakan salah satu faktor pembatas dari jenis tersebut sehingga eksploitasi yang dilakukan secara besar-besaran pada masa lalu telah menyisakan kekhawatiran akan ancaman kelangkaan dan kepunahannya pada saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keberadaan jenis tersebut yaitu dengan melakukan konservasi sumber daya genetik. Penelitian uji keturunan ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik pertumbuhan dan menaksir nilai parameter genetik tanaman eboni umur 1 tahun di persemaian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap berblok dengan menggunakan 22 famili, 4 treeplot, dan 12 blok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa famili atau asal pohon induk berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter, yang menunjukkan bahwa secara genetik terdapat variasi pada pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan eboni umur 1 tahun di persemaian. Taksiran nilai heritabilitas individu untuk parameter tinggi dan diameter masing-masing sebesar 0,59 dan 0,65. Adapun heritabilitas famili untuk parameter tinggi dan diameter masing-masing sebesar 0,97 dan 0,89. Korelasi genetik antara parameter tinggi dan diameter adalah 0,89, sedangkan korelasi fenotipe sebesar 0,50. Berdasarkan breeding value diketahui enam famili terbaik yang cukup stabil dalam performa pertumbuhan tinggi dan diameter yaitu famili 15, 14, 11, 12, 13, dan 22. Kata kunci: Eboni, persemaian, uji keturunan, variasi genetik
Kinho J, Halawane J, Irawan A, Kafiar Y. 2015. Evaluation of plant growth on progeny test ebony (Diospyros rumphii) age one year in the nursery. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 800-804. Diospyros rumphii Bakh. is one species of commercial timber where known as ebony. This species has a high economic value, thus the main attraction to the local people and industry to be exploited. This species has characterized on slow growing thus it is the limiting factors. Nowadays, this species decreases in nature and fear to extinction. This condition were caused by massive exploitation in the past. One effort to maintain the existence of these species is the conservation of genetic resources. This study aimed to determine the genetic variation of growth and assess the value of plant genetic parameters of ebony age one year in the nursery. The methode of this research was a Randomized Complete Block Design by using 22 families, 4 treeplot and 12 block. The results showed that family or the source of mother tree have significant effect on height and diameter growth, which suggested that they had genetic variations in height and diameter growth of the test plants on progeny test of ebony age one year in the nursery. The estimation of individual heritability values for the parameters on height and diameter were 0.59 and 0.65. Meanwhile, the values of heritability family on parameters high and diameter were 0.97 and 0.89. The genetic correlation between height and diameter parameter was 0.89, while the phenotype correlation was 0.50. Based on the breeding value, there were six best families that were stable in height and diameter growth performance, namely families 15, 14, 11, 12, 13 and 22. Keywords: Ebony, genetic variation, nursery, progeny test
PENDAHULUAN Diospyros rumphii Bakh. merupakan salah satu jenis kayu perdagangan yang dikenal dengan sebutan kayu eboni. Jenis ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan industri untuk dieksploitasi. Dalam pengelompokan kayu perdagangan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 Tanggal 26 Mei 2003 tentang pengelompokan jenis kayu sebagai dasar
pengenaan iuran kehutanan, kayu eboni termasuk dalam kelompok indah satu. Sebagai salah satu jenis kayu kelompok indah satu, jenis ini memiliki daya tarik tersendiri untuk menjadi target eksploitasi, baik legal maupun ilegal. Hal ini tentu saja menjadi salah satu ancaman terhadap keberadaan dan kelestarian eboni, khususnya di Sulawesi Utara. Konsekuensi dari pemanfaatan yang dilakukan terhadap jenis ini yaitu terjadinya tekanan dan ancaman terhadap keragaman genetik, populasi, maupun habitatnya.
KINHO et al. – Pertumbuhan tanaman uji keturunan Diospyros rumphii
Kayu eboni memiliki sifat pertumbuhan yang lambat (slow growing species), merupakan salah satu faktor pembatas lainnya terhadap regenerasi alaminya sehingga eksploitasi yang dilakukan secara besar-besaran pada masa lalu menimbulkan kekhawatiran akan ancaman kelangkaan dan kepunahannya baik jenis maupun genetiknya pada saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keberadaan jenis tersebut yaitu dengan melakukan konservasi sumber daya genetik. Uji keturunan (progeny test) adalah suatu percobaan yang diberi ulangan untuk menduga susunan genetik suatu individu tetua dengan meneliti sifat-sifat keturunannya yang berasal dari perkembangbiakan secara generatif. Menurut Wright (1976), uji keturunan dikelompokkan menjadi dua, yaitu uji keturunan half-sib (jika asal usul salah satu induknya tidak diketahui) dan uji keturunan full-sib (jika asal usul kedua induknya diketahui). Uji keturunan dimaksudkan untuk menduga nilai pemuliaan (breeding value) tetua dengan membandingkan kinerja keturunannya. Selain itu, penilaian terhadap tetua (pohon induk) akan lebih akurat karena sejumlah keturunan dari tiap tetua dievaluasi pada kondisi lingkungan yang lebih terkendali daripada kondisi lingkungan dimana tetua berada (Hardiyanto 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik pertumbuhan dan menaksir parameter genetik (heritabilitas, korelasi genetik, dan perolehan genetik) dari parameter pertumbuhan yang diukur pada tanaman uji keturunan eboni umur 1 tahun di persemaian.
BAHAN DAN METODE Material tumbuhan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu anakan eboni umur 1 tahun di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado yang berasal dari hutan lindung Danowudu, Bitung, Sulawesi Utara. Anakan eboni ditanam pada media tanah + pasir + pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Tanaman diberikan naungan 25% dengan menggunakan paranet. Cara kerja Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete Block Design). Jumlah famili (pohon induk asal benih) yang digunakan sebanyak 22 famili, 4 tanaman per plot (treeplot), dan 12 ulangan/blok sehingga jumlah total bibit yang digunakan sebanyak 1.056. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman dilakukan saat tanaman berumur 1 tahun. Paramater yang diukur adalah tinggi dan diameter tanaman. Pengukuran tinggi dilakukan mulai dari pangkal batang yang berbatasan dengan permukaan media sampai pucuk, sedangkan pengukuran diameter dilakukan pada pangkal batang (±1 cm dari leher akar). Analisis data Hasil pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter kemudian dianalisis dengan menggunakan program SAS 9.0.
801
Model analisis varian (ANOVA) untuk Rancangan Acak Lengkap Berblok adalah sebagai berikut. Yijk = µ + Fi + Bj + FBij + εijk Keterangan: Yijk = pengamatan tanaman ke-k pada famili ke-i dalam blok ke-j µ = rerata umum Fi = pengaruh famili ke-i Bj = pengaruh blok ke-j FBij = interaksi famili ke-i dan blok ke-j εijk = random error Untuk mengetahui pengaruh famili, blok, dan interaksi famili dengan blok serta pengaruh genetik terhadap variabilitas pertumbuhan di antara famili yang diuji maka dilakukan analisis varian menggunakan sidik ragam seperti ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Sidik ragam Rancangan Acak Lengkap Berblok Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Fhitung keragaman bebas kuadrat tengah Famili F-1 JKF KTF KTF/KTE Blok B-1 JKB KTB KTB/KTE Famili*Blok (F-1)(B-1) JKFB KTFB KTFB/KTE Galat FB(T-1) JKE KTE Keterangan: F = famili, JKFB = jumlah kuadrat interaksi famili dengan blok, B = blok, JKE = jumlah kuadrat error, JKF = jumlah kuadrat famili, KTF = kuadrat tengah famili, JKB = jumlah kuadrat blok, KTFB = kuadrat tengah interaksi famili dengan blok, KTB = kuadrat tengah blok, KTE = kuadrat tengah error, KT = kuadrat tengah
Besarnya faktor genetik terhadap variabel total dianalisis dengan menghitung nilai heritabilitas individu dan heritabilitas famili menggunakan persamaan Zobel and Talbert (1984) sebagai berikut. Taksiran nilai heritabilitas famili (h2f): h2f =
σ2f σ2f + (σ2fb/t) + (σ2e/tb)
Taksiran nilai heritabilitas individu (h2i): h2i =
4 σ2f σ2f + σ2fb + σ2e
Keterangan: h2f : nilai heritabilitas famili h2i : nilai heritabilitas individu σ2f : keragaman famili σ2e : keragaman lingkungan t : jumlah ulangan individu b : jumlah blok σ2fb : keragaman interaksi antara famili dan blok Korelasi genetik (rG) antarsifat dihitung dengan menggunakan persamaan (Zobel dan Talbert 1984): rG =
σf(xy) √(σ2f(x) . σ2f(y))
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 800-804, Juli 2015
802
Keterangan: rG : korelasi genetik σf(xy) : komponen kovarians untuk sifat x dan y σ2f(x) : komponen varians untuk sifat x σ2f(y) : komponen varians untuk sifat y Pemeringkatan untuk evaluasi kinerja keturunan individu dan famili menggunakan model matematis: Y = µ + Ri + Fj + εijk Keterangan: Yijk = pengamatan tanaman ke-k pada famili ke-i dalam blok ke-j µ = rerata umum Ri = pengaruh replikasi ke-i Fj = pengaruh famili ke-j FBij = interaksi antara famili ke-i dan blok ke-j εijk = random error
Tabel 2. Analisis varian diameter dan tinggi tanaman Parameter Sumber Derajat Kuadrat F pengukuran variasi bebas rerata Diameter Blok 11 0,38 0,18 ns Famili 21 4,00 9,06 * Blok x famili 231 4,69 1,15 ns Error 750 13,81 Tinggi Blok 11 97,82 0,04 ns Famili 21 2.317,98 34,26* Blok x famili 231 67,66 1,00 ns Error 750 67,66 Keterangan: * = berpengaruh nyata (pada selang kepercayaan 5%), ns = tidak berpengaruh nyata
HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi genetik pertumbuhan eboni Variasi merupakan hal yang penting dalam program pemuliaan tanaman. Untuk mengetahui informasi adanya variabilitas yang terjadi di antara faktor pertumbuhan pohon yang akan dimuliakan dapat dilakukan dengan analisis varians. Analisis varians terhadap parameter tinggi dan diameter tanaman eboni ditunjukkan pada Tabel 2. Taksiran parameter genetik Heritabilitas Taksiran nilai heritabilitas individu (h²i) dan heritabilitas famili (h²f) parameter tinggi dan diameter tanaman uji keturunan eboni umur 1 tahun di persemaian ditampilkan pada Gambar 1. Korelasi genetik Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan diameter yang diukur sebesar 0,89 dengan nilai positif. Ranking famili Hasil penelitian menunjukkan bahwa famili-famili yang terbaik secara berurutan ditampilkan pada Tabel 3. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis varian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor famili berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan eboni umur 1 tahun di persemaian. Hal ini mengindikasikan bahwa secara genetik terdapat variabilitas yang tinggi pada pertumbuhan tinggi maupun diameter tanaman uji keturunan eboni. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya variasi antarpohon adalah perbedaan genetik antarpohon, perbedaan lingkungan tempat tumbuh, dan interaksi antara keduanya (Na’iem 2004).
Gambar 1. Heritabilitas individu (h²i) dan heritabilitas famili (h²f)
Tabel 3. Ranking famili uji keturunan eboni umur 1 tahun Ranking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Diameter Famili Estimasi 15 0,13 1 0,10 14 0,07 11 0,07 13 0,05 12 0,04 22 0,03 21 0,03 3 0,02 10 0,01 8 -0,01 7 -0,02 9 -0,02 20 -0,03 19 -0,04 16 -0,04 2 -0,06 17 -0,06 5 -0,06 18 -0,06 4 -0,06 6 -0,07
Tinggi Famili Estimasi 15 15,79 14 10,58 12 9,37 11 8,65 22 6,51 13 4,65 10 3,11 21 2,61 3 -0,65 9 -1,05 8 -1,24 7 -1,50 1 -3,08 17 -3,35 16 -3,36 20 -4,15 18 -5,20 19 -5,81 2 -6,71 5 -7,35 4 -8,73 6 -9,07
KINHO et al. – Pertumbuhan tanaman uji keturunan Diospyros rumphii
Penaksiran nilai heritabilitas perlu dilakukan untuk mengetahui proporsi kontribusi faktor genetik yang diturunkan dari induk (tetua) kepada keturunannya. Berdasarkan hasil perhitungan nilai heritabilitas pada tanaman uji keturunan eboni umur 1 tahun menunjukkan bahwa nilai heritabilitas famili (h²f) sifat tinggi dan diameter termasuk dalam kategori tinggi yaitu 0,97 dan 0,89. Heritabilitas individu untuk sifat tinggi (0,60) dan diameter (0,65) termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Cotterill dan Dean (1990), nilai heritabilitas individu (h²i) ≤0,1 berarti rendah; 0,1-0,3 berarti moderat/sedang; >0,3 berarti tinggi, sedangkan untuk nilai heritabilitas famili (h²f) ≤0,4 berarti rendah; 0,4-0,6 berarti moderat/sedang; >0,6 berarti tinggi. Taksiran nilai heritabilitas famili untuk sifat tinggi sebesar 0,97, mengindikasikan bahwa 97% sifat tinggi diwariskan secara genetik, sisanya sebesar 3% dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Taksiran nilai heritabilitas famili untuk sifat diameter 0,89, mengindikasikkan bahwa 89% sifat diameter diwariskan secara genetik dan sisanya 11% dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hasil perhitungan taksiran nilai heritabilitas pada Gambar 1 terlihat bahwa taksiran nilai heritabilitas individu (h²i) eboni lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai heritabilitas familinya. Hal ini sesuai dengan Zobel dan Talbert (1984) yang menyatakan bahwa nilai heritabilitas famili biasanya lebih besar dari nilai heritabilitas individu, karena pendugaan nilai heritabilitas famili didasarkan pada rata-rata famili dari sejumlah individu, sehingga pengaruh lingkungan dapat diperkecil terutama apabila jumlah tree plot-nya besar. Taksiran nilai heritabilitas famili (h²f) dan heritabilitas individu (h²i) untuk parameter pertumbuhan diameter dalam penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan taksiran nilai heritabilitas famili dan heritabilitas individu tanaman sengon (Falcataria moluccana) umur 8 bulan di Kediri, Jawa Timur, yaitu heritabilitas individu sebesar 0,2 dan heritabilitas famili sebesar 0,44 (Ismail dan Hadiyan 2008). Hasil penelitian ini juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan taksiran nilai heritabilitas famili dan individu untuk parameter pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji provenans dan uji keturunan Araucaria cunninghamii umur 12 bulan di Bondowoso, Jawa Timur, yaitu untuk parameter tinggi sebesar 0,58 (h²f) dan 0,28 (h²i), sedangkan untuk parameter diameter sebesar 0,55 (h²f) dan 0,30 (h²i) (Setiadi 2011). Taksiran nilai heritabilitas famili (h²f) untuk sifat tinggi dalam penelitian ini juga lebih besar (0,97) jika dibandingkan dengan taksiran nilai heritabilitas famili (h²f) semai tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) umur 5 bulan, 8 bulan, dan 8 bulan setelah penanaman di lapangan, yaitu berturut-turut sebesar 0,95, 0,94, dan 0,83 (Yudohartono 2013). Taksiran nilai heritabilitas famili (h²f) untuk sifat diameter dalam penelitian ini juga lebih besar (0,89) jika dibandingkan dengan taksiran nilai heritabilitas famili (h²f) semai tanaman jabon umur 5 bulan, 8 bulan, serta 8 bulan setelah penanaman di lapangan, yaitu berturut-turut sebesar 0,84, 0,81, dan 0,41 (Yudohartono 2013). Menurut Wright (1976), informasi mengenai nilai heritabilitas akan membantu proses seleksi dalam program pemuliaan pohon.
803
Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan diameter yang diukur adalah sebesar 0,89 dengan nilai positif. Perhitungan nilai korelasi genetik antara sifat yang satu dengan sifat yang lain sangat perlu untuk dilakukan karena akan bermanfaat dalam kegiatan seleksi di masa mendatang. Mahfudz et al. (2010) mengemukakan bahwa dengan menghitung korelasi genetik antara satu sifat dengan sifat yang lainnya akan sangat bermanfaat dalam perbaikan sifat karena dengan memperbaiki satu sifat, secara tidak langsung dapat ikut memperbaiki sifat-sifat yang lainnya. Dalam penelitian ini dengan nilai korelasi genetik (rG) sebesar 0,89 mengindikasikan bahwa dengan memperbaiki sifat diameter pada tanaman uji keturunan eboni maka secara tidak langsung ikut memperbaiki sifat pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 89%. Dalam program pemuliaan, rangking famili merupakan faktor yang sangat penting karena rangking famili merupakan ukuran kinerja dari famili yang diuji dalam suatu uji keturunan yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar dalam kegiatan seleksi serta pengembangan program pemuliaan lebih lanjut (Halawane 2013). Secara umum, rangking famili biasanya didasarkan atas sifat yang diinginkan, misalnya tinggi, diameter, berat jenis, produksi getah, tipe percabangan, dan bentuk batang. Dalam penelitian ini sifat yang diteliti adalah sifat pertumbuhan tinggi dan diameter. Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa famili 15 memiliki kinerja yang paling baik dan stabil di antara seluruh famili yang diuji. Hal ini disebabkan karena baik terhadap parameter pertumbuhan tinggi maupun diameter, famili 15 menempati urutan rangking teratas. Selain famili 15, terdapat 5 famili lainnya yang juga cukup stabil yaitu famili nomor 14, 11, 12, 13, dan 22. Famili-famili tersebut dapat dipertahankan apabila akan dilakukan seleksi di masa yang akan datang. Selain famili-famili yang memiliki kinerja baik dan stabil, terdapat juga famili dengan kinerja yang cukup baik namun kurang stabil seperti pada famili nomor 1. Pada Tabel 3 terlihat bahwa famili nomor 1 menempati rangking 2 pada sifat diameter, sedangkan pada sifat tinggi, famili tersebut menempati urutan rangking ke13 dengan kinerja di bawah rata-rata. Terdapat variasi genetik sifat pertumbuhan tinggi dan diameter pada tanaman uji keturunan eboni umur 1 tahun di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado. Nilai heritabilitas famili (h²f) untuk sifat pertumbuhan tinggi dan diameter termasuk dalam kategori tinggi, yaitu 0,97 dan 0,89. Sementara itu, nilai heritabilitas individu untuk sifat tinggi (0,60) dan diameter (0,65) juga termasuk dalam kategori tinggi. Taksiran nilai korelasi genetik bersifat positif dan termasuk dalam kategori tinggi. Enam famili terbaik dan cukup stabil dalam pertumbuhan tinggi dan diameter berdasarkan nilai breeding value yaitu famili 15, 14, 11, 12, 13, dan 22.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Titiek Setyawati selaku koordinator Rencana Penelitian Integratif Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme, Badan
804
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 800-804, Juli 2015
Litbang Kehutanan Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Mahfudz (Mantan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado) dan Muh. Abidin (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado) yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh karyawan dan staf Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, selama pelaksanaan kegiatan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Cotterill PP, Dean CA. 1990. Succesful Tree Breeding with Index Selection. CSIRO-Division off Forestry and Forest Product, Melbourne, Australia.
Halawane J. 2013. Variasi Genetik Pertumbuhan dan Berat Jenis Kayu Tanaman Jati Uji Keturunan Umur 15 Tahun di KPH Ngawi dan Bojonegoro. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hardiyanto EB. 2010. Pemuliaan Pohon Lanjut. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ismail B, Hadiyan Y. 2008. Evaluasi awal uji keturunan sengon (Falcataria moluccana) umur 8 bulan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 (3): 1-7. Mahfudz, Na’iem M, Sumardi, Hardiyanto EB. 2010. Variasi pertumbuhan pada uji keturunan merbau (Intsia bijuga O. Ktze) di Sobang, Banten. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4 (3): 157-165. Na’iem M. 2004. Keragaman genetik, pemuliaan pohon dan peningkatan produktivitas hutan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Setiadi D. 2011. Evaluasi awal kombinasi uji provenans dan keturunan Araucaria cunninghamii umur 12 bulan di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Kehutanan 5 (1): 1-8. Wright JW. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, London. Yudohartono TP. 2013. Karakteristik pertumbuhan jabon dari provenans Sumbawa pada tingkat semai dan setelah penanaman. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 7 (2): 85-95. Zobel BJ, Talbert JT. 1984. Applied Forest Tree Improvment. John Wiley and Sons, New York.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 805-808
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010423
Pemanfaatan cocopeat dan arang sekam padi sebagai media tanam bibit cempaka wasian (Elmerrilia ovalis) Use of saw dust and rice husk as a growth media of cempaka wasian (Elmerrilia ovalis) ARIF IRAWAN♥, YEREMIAS KAFIAR Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado. Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683, Fax. +62431-3666683, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari2015. Revisi disetujui: 21 April 2015.
Irawan A, Kafiar Y. 2015. Pemanfaatan cocopeat dan arang sekam padi sebagai media tanam bibit cempaka wasian (Elmerrilia ovalis). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 805-808. Penggunaan tanah lapisan atas (top soil) masih menjadi pilihan utama sebagai media tanam dalam pembibitan tanaman kehutanan. Namun di sisi lain, pemanfaatan top soil dalam jumlah besar dapat berdampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan bahan organik cocopeat dan arang sekam padi sebagai komposit media top soil terhadap pertumbuhan bibit cempaka wasian. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan menggunakan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah perbedaan penggunaan media tanam yang terdiri atas: (i) top soil; (ii) top soil + cocopeat; dan (iii) topsoil + arang sekam padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan organik arang sekam padi sebagai komposit media top soil mampu memberikan respons yang lebih baik bagi pertumbuhan bibit cempaka wasian dibandingkan dengan penggunaan bahan organik cocopeat. Kata kunci: Arang sekam padi, cempaka wasian, cocopeat
Irawan A, Kafiar Y. 2015. Use of saw dust and rice husk as a growth media of cempaka wasian (Elmerrilia ovalis). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 805-808. The use of top soil is still the main choice as weaning media in the forestry plant nursery. On the other hand, the use of top soil in large amounts could adversely affect on the environmental balance. This study aimed to determine the effect of the use of organic materials cocopeat and rice husk as a composite medium of top soil as a growing medium for the growth of cempaka wasian seedlings. The experimental design was a Completely Randomized Design with three treatments and three replications. The treatments tested were the differences in the use of planting medium consisting of: (i) top soil; (ii) top soil + cocopeat; and (iii) top soil + rice husk . The results showed that the rice husk provided a better response to the growth of cempaka wasian seedlings than cocopeat. Keywords: Cempaka wasian, cocopeat, rice husk
PENDAHULUAN Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy merupakan salah satu jenis kayu pertukangan yang banyak digemari oleh masyarakat Minahasa dan Bolaang Mongondow. Kayu ini memiliki warna kayu khas yaitu cokelat kuning muda atau kelabu kekuning-kuningan dan terkadang di antaranya terdapat bintik-bintik hijau. Baunya sedap, harum segar, dan rasanya pahit. Pitopang et al. (2008) menyatakan bahwa jenis kayu ini mempunyai sifat yang tahan akan kelembaban dan air, serta tetap awet jika ditempatkan langsung di atas tanah. Kayu ini umumnya digunakan untuk pembuatan perabot rumah tangga seperti lemari, kursi, meja, daun pintu, pembuatan saluran air pengganti pipa, bantalan kayu, tiang, papan, atau kontruksi di bawah atap pada bangunan. Teknik pembibitan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam program-program pembangunan hutan tanaman (hutan rakyat) maupun kegiatan rehabilitasi hutan. Penggunaan bibit yang berkualitas akan menghasilkan
tegakan dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Untuk menghasilkan bibit yang berkualitas di antaranya diperlukan media tanam yang tepat dari sifat fisik, kimia, dan biologisnya sehingga bibit dapat bertahan hidup dan tumbuh dengan baik setelah ditanam di lapangan (Winarni 2008). Penggunaan tanah lapisan atas (top soil) masih menjadi pilihan utama sebagai media tanam dalam pembibitan tanaman kehutanan karena sangat subur dan banyak mengandung bahan organik. Namun di sisi lain, penggunaan top soil dalam jumlah besar dapat berdampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan. ITTO (2006) menyatakan bahwa penggunaan top soil sebagai media pertumbuhan bibit selayaknya sangat dibatasi agar dampak negatif akibat pengambilan top soil secara besar-besaran dapat dihindarkan. Pemanfaatan bahan organik seperti cocopeat dan arang sekam padi sangat potensial digunakan sebagai komposit media tanam alternatif untuk mengurangi penggunaan top soil. Salah satu kelebihan penggunaan bahan organik
806
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 805-808, Juli 2015
sebagai media tanam adalah memiliki struktur yang dapat menjaga keseimbangan aerasi. Bahan-bahan organik terutama yang bersifat limbah yang ketersediaannya melimpah dan murah dapat dimanfaatkan untuk alternatif media tumbuh yang sulit tergantikan. Bahan organik mempunyai sifat remah sehingga udara, air, dan akar mudah masuk dalam fraksi tanah dan dapat mengikat air. Hal ini sangat penting bagi akar bibit tanaman karena media tumbuh sangat berkaitan dengan pertumbuhan akar atau sifat di perakaran tanaman (Putri 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan bahan organik cocopeat dan arang sekam padi sebagai komposit media top soil terhadap pertumbuhan bibit cempaka wasian.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado yang terletak di Kecamatan Mapanget Kota Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl dengan suhu 29-34 derajat celcius dan tingkat kelembaban 40-70%. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan pada bulan April-Oktober 2014. Cara kerja Perkecambahan benih cempaka wasian dilakukan pada bak plastik menggunakan media pasir. Perkecambahan benih berlangsung pada 10-14 hari setelah penaburan dan bibit siap disapih 1 (satu) minggu setelahnya. Penyapihan dilakukan pada kecambah yang telah memiliki sepasang daun. Media yang digunakan adalah top soil (M0), top soil+cocopeat (M1), dan top soil+arang sekam padi (M2). Perbandingan penggunaan komposit dan top soil yang digunakan adalah 1:1. Parameter yang diamati dalam penelitian ini antara lain tinggi, diameter batang, berat kering pucuk, dan berat kering akar bibit. Pengukuran parameter tersebut dilakukan pada saat bibit berumur enam bulan setelah penyapihan. Rancangan penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap. Perlakuan yang diuji yaitu perbedaan media tanam yang digunakan, masingmasing perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali dengan setiap ulangan terdiri atas enam bibit. Analisis data Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan uji F (analisis varian). Apabila hasil uji F berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan analisis varian (Tabel 1) dapat diketahui bahwa penggunaan komposit media top soil memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, berat kering pucuk, dan berat kering akar bibit cempaka wasian umur enam bulan. Uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan terbaik disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil uji lanjut tersebut dapat diketahui bahwa media M2 (top soil+arang sekam padi) merupakan media yang memberikan respons terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, berat kering pucuk, dan berat kering akar bibit cempaka wasian umur enam bulan dengan nilai respons yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 15,37 cm, 4,77 mm, 1,44 g, dan 1,17 g. Adapun penggunaan media top soil+cocopeat (M1) memberikan pengaruh yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan kontrolnya (M0), dengan nilai respons tinggi, diameter, berat kering pucuk, dan berat kering akar sebesar 10,34 cm, 3,57 cm, 0,60 g, dan 0,50 g. Nilai persentase perbedaan peningkatan respons laju pertumbuhan bibit cempaka wasian akibat perlakuan komposit arang sekam padi ditampilkan pada Tabel 3. Pembahasan Media sapih sebagai tempat perkembangan akar merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bibit. Media penyapihan yang baik harus memiliki persyaratan antara lain mampu menjaga kelembaban tanah, memiliki aerasi dan drainase yang baik, tidak memiliki salinitas yang tinggi, serta bebas dari hama dan penyakit (Prananda et al. 2014). Penambahan arang sekam padi pada media top soil memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan bibit cempaka wasian umur enam bulan. Penambahan arang sekam dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, berat kering pucuk, dan berat kering akar sebesar 16,97%, 23,58%, 56,25%, dan 77,27% jika dibandingkan dengan perlakuan kontrolnya. Kusmarwiyah dan Erni (2011) menyatakan bahwa media tanah yang ditambah arang sekam dapat memperbaiki porositas media sehingga baik untuk respirasi akar, dapat mempertahankan kelembaban tanah, karena apabila arang sekam ditambahkan ke dalam tanah akan dapat mengikat air, kemudian dilepaskan ke pori mikro untuk diserap oleh tanaman dan mendorong pertumbuhan mikroorganisme yang berguna bagi tanah dan tanaman. Sukaryorini dan Arifin (2007) juga menyampaikan bahwa arang sekam mampu memberikan respons yang lebih baik terhadap berat basah tanaman maupun berat kering tanaman. Karakteristik arang sekam padi adalah memiliki sifat lebih remah dibanding media tanam lainnya (Agustin et al. 2014). Sifat inilah yang diduga memudahkan akar bibit cempaka wasian yang diuji dapat menembus media dan daerah pemanjangan akar akan semakin besar serta dapat mempercepat perkembangan akar. Berdasarkan persentase perbedaan peningkatan pertumbuhan juga dapat diketahui bahwa berat kering akar memiliki nilai peningkatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan berat kering pucuknya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa penambahan arang sekam memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan perkembangan akar bibit cempaka wasian dibandingkan bagian pucuknya yang efeknya juga positif terhadap pertumbuhan tajuk. Bobot kering akar
IRAWAN& KAFIAR –Pemanfaatan cocopeat dan arang sekam
807
Tabel 1. Analisis varian tinggi, diameter, indeks mutu bibit, dan persen hidup bibit cempaka wasian umur enam bulan F hitung
Sumber variasi Media
Tinggi
Diameter
BKP
BKA
14,18*
13,91*
17,48*
12,92*
Keterangan: * = Berbeda nyata pada taraf uji 0,05; tn = tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05
Tabel 2. Uji lanjut Duncan dan peningkatan laju pertumbuhan tinggi, diameter, BKA, dan BKA bibit cempaka wasian umur 6 bulan Perlakuan
Tinggi (cm)
Diameter (mm)
b
BKP (g)
b
BKA (g)
b
M0 13,14 3,86 0,92 0,66b c b c M1 10,34 3,57 0,60 0,50b a a a M2 15,37 4,77 1,44 1,17a Keterangan: M0 = Media top soil, M1 = media top soil+cocopeat, M2 = media top soil+arang sekam; BKP = berat kering pucuk, BKA= berat kering akar. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 0,05.
Tabel 3. Persentase perbedaan peningkatan dan penurunan laju pertumbuhan tinggi, diameter, BKP, dan BKA bibit cempaka wasian umur enam bulan Persentase peningkatan (%)
Perlakuan
Tinggi Diameter M1 -21,31 -7,51 M2 16,97 23,58 Keterangan: M1 = Media top soil+cocopeat, M2 = media top soil+arang sekam padi; BKP = akar
BKP -34,78 56,52 berat kering pucuk, BKA
BKA -24,24 77,27 = berat kering
Tabel 4. Kandungan unsur hara media tanam Media
% KA
pH H2O
Tanah (M0) 8,05 6,78 Tanah+cocopeat (M1) 8,12 6,59 Tanah+arang sekam (M2) 7,70 6,66 Sumber: Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lainnya
merupakan akumulasi senyawa organik dan terkait dengan pertumbuhan panjang akar, semakin panjang akar maka akan menghasilkan bobot kering akar yang lebih besar (Sofyan et al. 2014). Pada dasarnya, pertumbuhan organ akar dan batang sangat kompleks, terutama dalam hal mobilisasi fotosintat, banyak faktor yang mempengaruhi tanaman. Apabila kondisi terbatas, pertumbuhan akar akan digalakkan untuk mendapatkan hara dan air lebih banyak (Siswadi dan Yuwono 2015). Lebih lanjut, Agustin et al. (2014) juga menyampaikan bahwa perkembangan sistem perakaran akan mempengaruhi perkembangan tajuk bibit yaitu pertumbuhan tinggi dan diameter bibit. Akar menyediakan unsur hara dan air yang diperlukan oleh tajuk bibit untuk kegiatan fotosintesis, sementara tajuk bibit menyediakan hasil fotosintesis yang diperlukan untuk pertumbuhan akar dan bagian lainnya. Supriyanto dan Fiona (2010) dalam hasil penelitiannya juga menyampaikan bahwa secara umum penambahan arang sekam dapat meningkatkan perkembangan yang lebih efektif pada akar bibit jabon yang diuji pada media sub soil.
pH KCl
%N
% C organik
5,36 5,45 5,25
0,48 0,01 0,36
7,01 5,97 5,30
Selanjutnya, penambahan media cocopeat dalam penelitian ini memberikan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Nilai penurunan dari penambahan media komposit tersebut cukup signifikan, terutama respons yang diberikan terhadap parameter berat kering pucuk (BKP). Media cocopeat pada dasarnya memiliki kemampuan mengikat dan menyimpan air yang sangat kuat. Serbuk sabut kelapa (cocopeat) merupakan media yang memiliki kapasitas menahan air cukup tinggi. Media cocopeat memiliki pori mikro yang mampu menghambat gerakan air lebih besar sehingga menyebabkan ketersediaan air lebih tinggi (Istomo dan Valentino 2012). Pada saat tertentu, kondisi tersebut menyebabkan pertukaran gas pada media mengalami hambatan karena media mulai jenuh oleh air. Hal ini terjadi karena ruang pori makro yang seharusnya terisi oleh udara ikut terisi oleh air sehingga akar mengalami hambatan dalam pernapasan. Oleh karena itu, udara dalam media sapih akan semakin berkurang sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman.
808
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (2): 805-808, Juli 2015
Utami et al. (2006) juga menyatakan bahwa cocopeat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dikarenakan sifatnya yang dapat menjadikan media lebih masam. Dalam penelitiannya diketahui media campuran tanah+cocopeat dan kompos+cocopeat memiliki pH yang relatif lebih rendah, yaitu antara 5,3-6,8, dibandingkan dengan kelompok media campuran tanah+kompos yaitu 6,3-7. Berdasarkan hasil analisis media yang digunakan pada bibit cempaka wasian ini juga diketahui nilai pH media top soil+cocopeat memiliki nilai yang paling rendah meskipun perbedaannya dengan media lain tidak terlalu signifikan (Tabel 4). Hal lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya respons yang diberikan oleh penambahan bahan cocopeat terhadap pertumbuhan bibit cempaka wasian adalah adanya zat tanin yang terkandung dalam serbuk sabut kelapa. Sukarman et al. (2012) menyatakan bahwa zat tanin merupakan senyawa penghalang mekanis dalam penyerapan unsur hara. Dalam penelitiannya, respons yang diberikan dari pengaruh penggunaan cocopeat terhadap pertumbuhan bibit sengon adalah menjadikan ukuran daun lebih kecil dan berwarna kekuning-kuningan, akibatnya bibit sengon mengalami pertambahan tinggi dan diameter yang lambat. Unsur hara makro yang terkandung dalam suatu media sapih akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Unsur-unsur tersebut tidak dapat tergantikan oleh unsur lain dan jika tidak tersedia dalam jumlah yang cukup akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi tidak normal. Hasil analisis kandungan hara dalam media (Tabel 4) menunjukkan bahwa media komposit top soil+arang sekam padi mempunyai persentase kandungan unsur N yang lebih tinggi dibandingkan dengan media komposit top soil+cocopeat, namun memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (top soil). Agustin et al. (2014) mengungkapkan bahwa media arang sekam padi merupakan media yang telah melalui proses pembakaran sehingga kadar karbon tinggi dan mudah terdekomposisi. Selain itu, arang sekam padi memiliki daya serap tinggi karena memiliki pori yang lebih besar sehingga mampu menyerap unsur hara yang ada di sekitarnya untuk disimpan dalam pori tersebut. Tidak sebandingnya respons pertumbuhan bibit dengan unsur hara yang terkandung antara media top soil+arang sekam padi dan top soil diduga disebabkan oleh tingkat kepadatan media top soil yang digunakan. Top soil yang cenderung padat akan menyebabkan aerasi kurang baik sehingga akar bibit cempaka wasian yang diuji pada perlakuan kontrol (top soil) tidak dapat berkembang secara maksimal. Sementara itu, pada media komposit tanah+cocopeat diketahui memiliki kandungan unsur N yang paling rendah dibandingkan dengan media sapih lainnya yaitu hanya sebesar 0,01. Fungsi unsur N pada tanaman adalah memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Gejala tanaman yang kekurangan unsur ini adalah tanaman kerdil, pertumbuhan akar terbatas, dan daun berwarna lebih pucat (Hardjowigeno 2010).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pemanfaatan bahan organik arang sekam padi sebagai komposit media top soil mampu memberikan respons yang lebih baik bagi pertumbuhan bibit cempaka wasian dibandingkan dengan penggunaan bahan organik cocopeat.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Ir. Mahfudz, M.P (Mantan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado) dan Ir. Muh. Abidin, M.Si (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado) yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Jafred E. Halawane (peneliti BPK Manado) serta Rifai dan Johny (petugas persemaian) yang telah banyak memberikan bantuan selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini hingga selesainya penulisan naskah.
DAFTAR PUSTAKA Agustin DA, Riniarti M, Duryat. 2014. Pemanfaatan limbah serbuk gergaji dan arang sekam sebagai media sapih untuk cempaka kuning (Michelia champaca). Jurnal Sylva Lestari 2 (3): 49-58. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Istomo, Valentino N. 2012. Pengaruh perlakuan kombinasi media terhadap pertumbuhan anakan tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser). Jurnal Silvikultur Tropika 3 (2): 81-84. ITTO. 2006. Status of Tropical Forest Management 2005. A Special Edition of The Tropical Forest Update 2006/1. Yokohama, Japan. Kusmarwiyah R, Erni S. 2011. Pengaruh media tumbuh dan pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman seledri (Apium graveolens L.). Crop Agro 4 (2): 7-12. Pitopang R, Khaerruddin I, Tjoa A, Burhanuddin IF. 2008. Pengenalan Jenis-jenis Pohon yang Umum di Sulawesi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Herbarium Celebence. Universitas Taduluko, Palu. Prananda R, Indriyanto Riniarti M. 2014. Respons pertumbuhan bibit jabon (Anthocephalus cadamba) dengan pemberian kompos kotoran sapi pada media penyapihan. Jurnal Sylva Lestari 2 (3): 29-38. Putri AI. 2008. Pengaruh media organik terhadap indeks mutu bibit cendana (Santalum album). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 21 (1): 1-8. Siswadi, Yuwono T. 2015. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan dan hasil selada (Lactuca sativa L.) hidroponik. Jurnal Agronomika 9 (3): 257-264. Sofyan SE, Riniarti M, Duryat. 2014. Pemanfaatan limbah teh, sekam padi, dan arang sekam sebagai media tumbuh bibit trembesi (Samanea saman). Jurnal Sylva Lestari 2 (2): 61-70. Sukarman, Kainde R, Rombang J, Thomas A. 2012. Pertumbuhan bibit sengon (Paraserianthes falcataria) pada berbagai media tumbuh. Eugenia 18 (3): 215-221. Sukaryorini P, Arifin. 2007. Kajian pembentukan caudex Adenium obesum pada diversifikasi media tanam. Jurnal Pertanian Mapeta 10 (1): 31-41. Supriyanto, Fiona F. 2010. Pemanfaatan arang sekam untuk memperbaiki pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) pada media subsoil. Jurnal Silvikultur Tropika 1 (1): 24-28. Utami NW, Witjaksono, Hoesen DSH. 2006. Perkecambahan biji dan pertumbuhan semai ramin (Gonystylus bancanus Miq,) pada berbagai media tumbuh. J Biol Div 7 (3): 264-268. Winarni E. 2008. Pertumbuhan meranti merah (Shorea ovalis) pada media sapih campuran bokashi jerami-topsoil. Jurnal Hutan Tropis Borneo 24: 174-179.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 809-813
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010424
Keragaan hasil gula dan hasil biji beberapa kultivar sorghum manis di tiga wilayah lahan kering Kabupaten Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah Performance of sugar yield dan grain yield some sweet sorghum cultivars in the three dry land of Pekalongan and Batang, Central Java IHDA NOVANY BADRIYAH1,♥, TARYONO2, RUDI HARI MURTI2 1
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Batang, Jl. Dr. Wahidin No. 56, Batang 51215, Jawa Tengah, Indonesia. Tel./Fax. +62285-391031, email:
[email protected] 2 Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Sleman 55281,Yogyakarta Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 6 Mei 2015.
Badriyah IN, Taryono, Murti RH. 2015. Keragaan hasil gula dan hasil biji beberapa kultivar sorghum manis di tiga wilayah lahan kering Kabupaten Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 809-813. Sorghum manis (Sorghum bicolor L. Moench) memiliki potensi yang tinggi untuk tumbuh dan dikembangkan di Indonesia karena adaptabilitas yang luas dan produktivitas yang tinggi. Studi ini bermaksud untuk mengetahui pengaruh interaksi genotipe x lingkungan pada tujuh nomor sorghum manis yang ditanam di tiga wilayah lahan kering, yaitu Kajen, Kabupaten Pekalongan, Subah, dan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Berdasarkan nilai PC1, G1, G2, dan G3 memiliki hasil gula yang tinggi, sementara G4, G5, dan G6 memiliki hasil biji yang tinggi. Untuk parameter hasil gula, G1, G2, dan G3 memiliki interaksi positif dengan lokasi 1 (Kajen, Kabupaten Pekalongan) dan lokasi 3 (Batang, Kabupaten Batang), tetapi memiliki interaksi negatif dengan lokasi 2 (Subah, Kabupaten Batang). Sementara untuk parameter hasil biji G4, G5, dan G6 memiliki interaksi negatif dengan seluruh lokasi pengujian. Hasil analisis GGE Biplot pada grafik which-won-where menunjukkan bahwa untuk parameter hasil gula, G1 memiliki hasil gula tertinggi untuk lokasi di Kabupaten Pekalongan, sementara G3 untuk lokasi di Kabupaten Batang. Untuk parameter hasil biji, G2 memiliki hasil biji tertinggi di Kabupaten Pekalongan, Subah, dan Kabupaten Batang, sementara G4 memiliki hasil biji tertinggi di Batang, Kabupaten Batang. Kelompok genotipe pada grafik GGE biplot, baik untuk parameter hasil gula maupun hasil biji, menunjukkan sebaran yang tidak berkelompok. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter genotipe yang diuji berbeda-beda. Kata kunci: GGE biplot, interaksi genotipe x lingkungan, sorghum manis, uji multilokasi Badriyah IN, Taryono, Murti RH. 2015. Performance of sugar yield dan grain yield some sweet sorghum cultivars in the three dry land of Pekalongan and Batang, Central Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 809-813. Sweet sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) has a high potential to grow and develop in Indonesia due to broad adaptability and high productivity. The aim of this study was to know the effect of interaction between genotype and environment for seven sweet sorghum cultivars that was planted in the three dry land i.e. Kajen in Pekalongan District, Subah, and Batang in Batang District, Central Java. The PC1 score showed that G1, G2 and G3 had a high sugar yield, while G4, G5 and G6 had a high grain yield. For sugar yield, G1, G2 and G3 had a positive interaction with first location (Kajen) and third location (Batang). But for grain yield, G4, G5 and G6 showed negative interaction with all locations. Which-wonwhere graph of GGE biplot analysis showed that G1 had the highest sugar yield in Pekalongan and G3 in Batang. The different result for the highest grain yield was G2 in Pekalongan and Subah, and G4 in Batang. The genotype distribution as shown in GGE biplot graph showed unlocalized spreading. It meant that the sweet sorghum cultivars that were used in this study had different genotype. Kata kunci: Genotype x environment interaction, GGE biplot, multilocation trial, sweet sorghum
PENDAHULUAN Sorghum manis (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan dan energi. Salah satu kelebihan sorghum manis adalah proses budi dayanya dapat dilakukan bersamaan untuk kepentingan produksi bahan pangan dan energi. Biji sorghum manis memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai bahan pangan, sementara nira batang dan pati bijinya dapat dikonversi
menjadi bioetanol melalui proses fermentasi sebagai sumber energi (Tsuchihashi dan Goto 2008). Sebagai bahan baku bioenergi, sorghum memenuhi tiga syarat utama yang diperlukan untuk dapat diproduksi secara massal, yaitu tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitas tinggi, dan biaya produksi rendah. Dari aspek budi daya, sorghum manis memiliki keunggulan daya adaptasi yang luas untuk kondisi kekeringan (Sungkono et al. 2009). Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa dan masuk ke dalam
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 809-813, Juli 2015
810
Provinsi Jawa Tengah. Sebagian besar wilayah Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang memiliki karakteristik lahan kering yang banyak dimanfaatkan masyarakat untuk tanaman pekarangan. Pada pengujian lingkungan, komponen hasil merupakan gabungan dari pengaruh genetik, lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan (DeLacy et al. 2010; Yan dan Tinker 2005; Yang et al. 2009). Adanya interaksi genotipe x lingkungan dapat menyebabkan tidak stabilnya hasil tanaman pada tiap lingkungan. Akan tetapi, pada batasan tertentu, tanaman memiliki kemampuan adaptasi yang dapat meminimalkan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan dan memaksimalkan pengaruh lingkungan yang menguntungkan (Adugna 2010; DeLacy et al. 2010; Mortazavian et al. 2014) Keragaan sifat tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor fenotipe, genotipe, dan interaksi genotipe x lingkungan. Kandungan gula dan hasil biji tanaman sorghum manis merupakan sifat penting dalam pengembangan sorghum manis menjadi salah satu tanaman sumber energi terbarukan. Kedua sifat penting tersebut merupakan komponen sifat yang selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga oleh faktor lingkungan (Aina et al. 2009; Alwala et al. 2010; DeLacy et al. 2010). Oleh karena itu, pengetahuan atas interaksi faktor genetik x lingkungan terhadap kedua sifat tersebut menjadi sangat penting untuk diketahui. Hasil pengujian genotipe di beberapa lokasi sering kali tidak disajikan dalam bentuk grafik sehingga sulit untuk memetakan tanggapan genotipe terhadap lokasi yang berbeda (Mortazavian et al. 2014; Rao et al. 2011). Analisis biplot memberikan solusi untuk permasalahan tersebut karena menyajikan data dua arah (two-way data) dan memberikan visualisasi hubungan antara lingkungan, genotipe, dan interaksi keduanya. Analisis GGE biplot telah digunakan secara luas untuk menunjukkan interaksi genotipe x lingkungan (Aina et al. 2009; Mortazavian et al. 2014; Rao et al. 2011). Metode GGE biplot merupakan gabungan dua konsep, yaitu konsep biplot dan konsep GGE yang menggambarkan hubungan PC1 dengan PC2 untuk biplot. Grafik GGE biplot ini dapat digunakan untuk membandingkan
C
perbedaan penampilan genotipe pada suatu lingkungan, membandingkan penampilan suatu genotipe pada lingkungan berbeda, membandingkan penampilan dua genotipe pada semua lingkungan, mengidentifikasi suatu genotipe terbaik pada semua lingkungan, serta mengidentifikasi galur ideal dan lokasi pengujian (Alwala et al. 2010; Aina et al. 2009; Mortazavian et al. 2014; Samonte et al. 2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan kandungan gula batang dan hasil biji beberapa kultivar sorghum manis di 3 (tiga) wilayah lahan kering Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah serta memberikan rekomendasi genotipe unggulan sebagai bahan pemuliaan selanjutnya.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu di Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan (L1), Kecamatan Subah (L2), dan Kecamatan Batang, Kabupaten Batang (L3), dimulai dari bulan Oktober 2011 dan berakhir pada bulan Agustus 2012. Bahan yang digunakan berupa tujuh nomor sorghum manis yang merupakan koleksi salah seorang penulis (i.e. Taryono). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 ulangan dan masing-masing plot berukuran 10 m2. Pengamatan dilakukan untuk hasil biji dan hasil gula. Hasil biji diperoleh dengan menimbang hasil panen biji pada plot dan dinyatakan dalam ton/ha. Hasil gula diperoleh dengan mengalikan hasil batang (berat batang) dengan rasio ekstraksi jus (nira batang) dan kandungan gula total kemudian dinyatakan dalam ton/ha. Rasio ekstraksi jus diperoleh dengan perhitungan berat jus batang dibagi dengan berat batang sebelum dijus, dinyatakan dalam persentase (%). Kandungan gula total = {(1,1 x Brix)-3,46} (Tsuchihashi dan Goto 2004) dimana nilai Brix dari jus diukur menggunakan hand refraktomer merk “alla france”. Selanjutnya dilakukan analisis GGE Biplot menggunakan GGE biplot software (Yan dan Kang 2003).
B
A
Gambar 1. Lokasi penelitian: A. Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, B. Kecamatan Subah, dan C. Kecamatan Batang, Kabupaten Batang
BADRIYAH et al. – Keragaan hasil gula dan biji sorghum manis
HASIL DAN PEMBAHASAN Rerata hasil gula dari genotipe yang diuji berkisar antara 110,9-204,7 ton/ha (rerata 140,7 ton/ha). G3 memiliki rerata hasil gula paling tinggi, disusul G3. Kedua genotipe tersebut memiliki rerata hasil gula yang lebih tinggi dibanding rerata umum. Sementara rerata hasil biji berkisar antara 0,7-1,4 ton/ha (rerata 1,1 ton/ha). G6 memiliki rerata paling tinggi, disusul G5 dan G4. Ketiganya memiliki hasil biji yang lebih tinggi dibanding rerata umum. Nilai PC1>0 pada suatu genotipe menggambarkan bahwa genotipe tersebut memiliki hasil biji yang tinggi, dan sebaliknya nilai PC1<0 pada suatu genotipe menggambarkan bahwa genotipe tersebut memiliki hasil yang rendah (Karimizadeh et al. 2013; Mortazavian et al. 2014). Dengan demikian, G1, G2, dan G3 memiliki hasil gula yang tinggi, sedangkan G4, G5, G6, dan G7 memiliki hasil gula yang rendah. Demikian juga untuk parameter hasil biji, G4, G5, dan G6 memiliki hasil biji yang tinggi, sementara G1, G2, G3, dan G7 memiliki hasil biji yang rendah. Nilai PC1 lokasi untuk parameter hasil gula tersebar pada nilai PC1>0 yaitu lokasi 1 (Kajen, Kabupaten Pekalongan) dan lokasi 3 (Batang, Kabupaten Batang), sementara nilai PC1<0 untuk lokasi 2 (Subah, Kabupaten Batang). Hal yang berbeda tampak untuk parameter hasil biji dimana nilai PC1 lokasi berkelompok pada nilai PC1<0. Kondisi ini menunjukkan adanya interaksi genotipe x lingkungan pada parameter hasil gula yang bersifat kualitatif (crossover), yaitu bahwa peringkat hasil biji genotipe berbeda-beda di berbagai lingkungan (Yan et al. 2007), sementara pada parameter hasil biji tidak berlaku demikian. Genotipe dengan nilai PC1 bertanda sama dengan nilai PC1 lokasi menunjukkan interaksi yang positif, sebaliknya apabila tandanya berbeda maka interaksinya negatif. Dengan demikian untuk parameter hasil gula, G1, G2, dan G3 memiliki interaksi positif dengan lokasi 1 (Kajen, Kabupaten Pekalongan) dan lokasi 3 (Batang, Kabupaten Batang), tetapi memiliki interaksi negatif dengan lokasi 2 (Subah, Kabupaten Batang). Untuk parameter hasil biji, G4, G5, dan G6 memiliki interaksi negatif dengan seluruh lokasi pengujian. Sebagaimana diungkapkan Najafian et al. (2010) bahwa adaptasi spesifik lingkungan merupakan salah satu kunci perbaikan sifat tanaman. Sebuah poligon yang menunjukkan pola “whichwon-where” dapat digunakan untuk mengidentifikasi genotipe terbaik pada tiap lingkungan. Di dalam sebuah sektor, genotipe yang terletak pada titik sudut poligon merupakan genotipe yang paling baik di semua lingkungan pada sektor tersebut (Alwala 2010; Yan dan Kang 2003). Gambar 1 menunjukkan hasil analisis GGE biplot untuk parameter hasil gula (ton/ha). Gambar tersebut menunjukkan bahwa lokasi terbagi menjadi 2 sektor. Pada sektor yang berisikan lokasi 1 (Kajen, Kabupaten Pekalongan), G3 menunjukkan hasil gula yang terbaik. Sementara pada sektor yang berisikan lokasi 2 (Subah, Kabupaten Batang) dan lokasi 3 (Batang, Kabupaten
811
Batang), G1 menunjukkan hasil gula yang terbaik. Genotipe lainnya yang diujikan menunjukkan interaksi negatif untuk semua lokasi yang diujikan. Keberadaan genotipe dan lingkungan yang berada pada dua sektor yang berlawanan arah dengan jarak terjauh menunjukkan bahwa genotipe tersebut berinteraksi negatif paling besar dengan lingkungan tersebut. Hasil ini sejalan dengan banyak penelitian lain dengan analisis GGE biplot sebagaimana dilakukan oleh Adugna (2010), Aina et al. (2009), Alwala et al. (2010), dan Mortazavian et al. (2014). GGE biplot menampilkan genotipe ideal berdasarkan keragaan tanaman dan stabilitasnya. Dengan GGE biplot, genotipe yang memiliki respons yang sama pada suatu lingkungan akan berada pada kelompok yang sama pada grafik. Sementara untuk parameter hasil biji (ton/ha), grafik poligon ditunjukkan oleh Gambar 2. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa lokasi terbagi menjadi 2 sektor. G2 menunjukkan hasil biji terbaik untuk sektor yang berisikan lokasi 1 (Kajen, Kabupaten Pekalongan) dan lokasi 2 (Subah, Kabupaten Batang). Sementara G4 menunjukkan hasil biji yang paling baik untuk sektor yang berisikan lokasi 3 (Batang, Kabupaten Batang). Keragaan hasil dan stabilitas suatu genotipe dapat dievaluasi dengan metode koordinat rerata lingkungan atau ATC (Yan 2001; Aina et al. 2009; Karimizadeh et al. 2013; Krisnawati 2013). Pada metode ini, rerata lingkungan didefinisikan dengan rerata nilai PC1 dan PC2 semua lingkungan dan digambarkan dengan lingkaran kecil pada grafik GGE biplot. Garis lurus yang melewati titik koordinat rerata lingkungan (ATC) dengan titik asal biplot disebut sumbu rerata lingkungan (sumbu horizontal) yang berperan sebagai absis ATC. Sebagai ordinat, ATC adalah garis lurus yang melalui titik asal biplot dan tegak lurus ATC (sumbu vertikal). Absis ATC mengikuti arah tanda panah menunjukkan semakin besar efek utama genotipe. Sumbu horizontal ATC membagi genotipe-genotipe yang memiliki hasil biji lebih tinggi dari rerata umum dengan genotipe-genotipe yang memiliki hasil biji lebih rendah dari rerata umum. Sementara sumbu vertikal ATC membagi genotipe-genotipe yang memiliki kestabilan lebih tinggi dengan genotipe-genotipe yang memiliki kestabilan lebih rendah (Karimizadeh et al. 2013; Krisnawati 2013). Tabel 1. Rerata hasil dan skor PC1 dan PC2 Rerata hasil Genotipe gula (ton/ha) G1 156,662 G2 128,628 G3 204,749 G4 112,455 G5 134,782 G6 136,942 G7 110,994 L1 178,020 L2 107,603 L3 136,611
PC1
PC2
0,067 0,657 11,825 -3,346 -4,156 -1,507 -3,539 13,191 -0,243 3,077
5,168 -5,860 0,736 -1,503 4,548 -1,111 -1,978 -2,036 2,444 8,920
Rerata hasil biji (ton/ha) 0,967 1,057 0,963 1,331 1,343 1,468 0,732 0,701 0,560 2,108
PC1
PC2
-0,262 -0,491 -0,469 0,762 0,399 0,639 -0,578 -0,088 -0,071 1,414
-0,132 0,390 0,103 -0,310 0,150 0,218 -0,419 0,562 0,450 0,058
812
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 809-813, Juli 2015
Gambar 5. Koordinat rerata lingkungan GGE biplot parameter hasil biji (ton/ha) Gambar 2. Grafik poligon GGE biplot parameter hasil gula (ton/ha) untuk pola which-won-where
Gambar 6. Sebaran genotipe GGE biplot parameter hasil gula (ton/ha)
Gambar 3. Grafik poligon GGE biplot parameter hasil biji (ton/ha) untuk pola which-won-where
Gambar 7. Sebaran genotipe GGE biplot parameter hasil biji (ton/ha)
Gambar 4. Koordinat rerata lingkungan GGE biplot parameter hasil gula (ton/ha)
Gambar 3 menunjukkan bahwa G3 memiliki rerata umum hasil gula lebih tinggi dari rerata lingkungan serta lebih stabil. Sementara G1 meskipun memiliki rerata umum hasil gula yang lebih tinggi tetapi tidak stabil. Genotipe lainnya menunjukkan rerata umum hasil gula yang lebih rendah. Untuk parameter hasil biji, sebagaimana
BADRIYAH et al. – Keragaan hasil gula dan biji sorghum manis
ditunjukkan oleh Gambar 4, terlihat bahwa G4, G5, dan G6 memiliki rerata umum hasil biji yang lebih tinggi meskipun tidak stabil. Sementara genotipe lainnya menunjukkan rerata umum hasil biji yang lebih rendah tetapi stabil. Genotipe ideal didefinisikan sebagai genotipe yang memiliki rerata hasil tertinggi di semua lokasi pengujian, sekaligus memiliki stabilitas yang tinggi (memiliki peringkat tertinggi di semua lokasi pengujian) (Yan dan Kang 2003; Aina et al. 2009; Adugna 2010; Mortazavian et al. 2014). Meskipun genotipe yang benar-benar ideal belum tentu ada dalam kenyataan, namun dengan menentukan genotipe yang mendekati ideal maka hal tersebut dapat dijadikan acuan untuk evaluasi genotipe. Suatu genotipe akan terpilih apabila terletak lebih dekat dengan definisi genotipe ideal. Dari penelitian ini, genotipe yang tergolong stabil untuk parameter hasil gula adalah G1 dan G3. Sementara untuk parameter hasil biji genotipe yang terbaik adalah G4, G5, dan G6. G2 meskipun merupakan genotipe terbaik di lokasi 1 (Kajen Kabupaten Pekalongan) dan lokasi 2 (Subah Kabupaten Batang) memiliki rerata umum yang lebih rendah meskipun stabil. Sebaran genotipe yang diujikan ditunjukkan oleh Gambar 5 dan 6. Kelompok genotipe pada grafik GGE biplot, baik untuk parameter hasil gula maupun hasil biji, menunjukkan sebaran yang tidak berkelompok. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter genotipe yang diuji berbeda-beda. Telah banyak penelitian yang mengungkap manfaat penggunaan GGE biplot dalam pengujian genotipe di beberapa lokasi. Penelitian ini menegaskan kembali kemudahan interpretasi hasil penelitian setelah dianalisis dengan GGE biplot. Hasil gula dan hasil biji sorghum manis di Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang cukup baik. Dengan teknologi budi daya konvensional yang sederhana, pengembangan sorghum manis di kawasan utara Pulau Jawa sangat mungkin dilakukan. Untuk lokasi Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, G1 dan G3 dapat dikembangkan karena memiliki hasil gula yang tinggi meskipun hasil bijinya rendah karena pada dasarnya penggunaan sorghum manis memang bertujuan untuk mendapatkan hasil gula yang tinggi sebagai bahan baku bioetanol. Hasil biji sorghum manis bukan merupakan bahan pangan utama. Namun mengingat pati bijinya dapat dimanfaatkan pula sebagai bahan baku bioetanol maka diperlukan penelitian lebih lanjut guna memperoleh sorghum manis dengan hasil gula dan hasil biji yang tinggi.
813
DAFTAR PUSTAKA Adugna A. 2010. Assessment of yield stability in sorghum. Afr Crop Sci J 15 (2): 83-92. Aina O, Dixon A, Paul I, Akinrinde E. 2009. GxE interaction effects on yield and yield components of cassava (landraces and improved) genotypes in the savanna regions of Nigeria. Afr J Biotechnol 8 (19): 4933-4945. Alwala S, Kwolek T, McPherson M et al. 2010. A comprehensive comparison between Eberhart and Russel joint regression and GGE biplot analysis to identify stable and high yielding maize hybrids. Field Crops Res 119: 225-230. DeLacy I, Kaul S, Rana B, Cooper M. 2010. Genotypic variation for grain and stover yield of dryland (rabi) sorghum in India 2. A characterization of genotype x environment interactions. Field Crops Res 118 (3): 236-242. Karimizadeh R, Mohammadi M, Sabaghni N et al. 2013. GGE biplot analysis of yield stability in multi-environment trials of lentil genotypes under rainfed condition. Not Sci Biol 5 (2): 256-262. Krisnawati A. 2013. Analisis Uji Multilokasi Galur-galur Kedelai (Glycine max L.) Menggunakan Regresi dan Dekomposisi Nilai Tunggal. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mortazavian SMM, Nikkhah HR, Hassani FA et al. 2014. GGE biplot and AMMI analysis of yield performance of Barley genotypes accross different environment in Iran. J Agr Sci Tech 16: 609-622. Najafian G, Kaffashi A, Jafar-Nezhad A. 2010. Analysis of grain yield stability in hexaploid wheat genotypes grown in temperate regions of iran using additive main effects and multiplicative interaction. J Agr Sci Tech 12: 213-222. Rao PS, Reddy PS, Rathore A et al. 2011. Application GGE biplot and AMMI model to evaluate sorghum (Sorghum bicolor) hybrids for genotype x environment interaction and seasonal adaptation. Indian J Agric Sci 81 (5): 438-444. Samonte SOPB, Wilson LT, McClung AM, Medley JC. 2005. Targeting cultivar onto rice growing environment using AMMI and SREG GGE biplot analysis. Crop Sci 45: 2414-2424. Sungkono, Trikoesoemaningtyas, Wirnas D et al. 2009. Pendugaan parameter genetik dan seleksi galur mutan Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di tanah masam. J Agron Indonesia 37 (3): 220-225. Tsuchihashi N, Goto Y. 2004. Cultivation of sweet sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) and determination of its harvest time to make use as the raw material for fermentation, practiced during rainy season in dry land of Indonesia. Plant Prod Sci 7 (4): 442-448. Tsuchihashi N, Goto Y. 2008. Year-round cultivation of sweet sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) through a combination of seed and ratoon cropping in Indonesian savanna. Plant Prod Sci 11: 377-384. Yan W, Kang MS. 2003. GGE Biplot Analysis: A Graphical Tool for Breeders, Geneticists, and Agronomists. CRC Press, Boca Raton. Yan W, Kang MS, Ma B et al. 2007. GGE biplot vs AMMI analysis of genotype-by-environment data. Crop Sci 47: 643-653. Yan W, Tinker NA. 2005. An integrated biplot analysis system for displaying, interpreting, and exploring genotype x environment interaction. Crop Sci 45: 1004-1016. Yang RC, Crossa J, Cornelius PL, Burgueno J. 2009. Biplot analysis genotype x environment interaction: Proceed with caution. Crop Sci 49: 1564-1576.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 814-818
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010425
Induksi pembentukan sporofit pada massa prothallus pakis simpei (Cibotium barometz) secara in vitro Induction of sporophyte formation on prothallus mass of the golden chicken fern (Cibotium barometz) in vitro EKA MARTHA DELLA RAHAYU, YUPI ISNAINI♥, TITIEN NGATINEM PRAPTOSUWIRYO Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187. email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 5 Mei 2015.
Rahayu EMD, Isnaini Y, Praptosuwiryo TNg. 2015. Induksi pembentukan sporofit pada massa prothallus pakis simpei (Cibotium barometz) secara in vitro. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 814-818. Pakis simpei, Cibotium barometz (L.) J. Sm. (Cibotiaceae), merupakan salah satu jenis paku pohon komoditas ekspor yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi karena bermanfaat sebagai bahan obat tradisional maupun modern. Rimpang dan bulunya bermanfaat untuk bahan obat penyakit hati dan ginjal, rematik, dan sebagai pembeku darah. Rimpang maupun bulu C. barometz yang diperdagangkan selama ini masih diambil dari alam dan upaya budi dayanya secara luas belum ada. Populasi jenis ini secara global mengalami penurunan. Oleh karena itu, perdagangannya diatur secara internasional dan termasuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 1976. Untuk mencegah kepunahan jenis ini dan juga untuk memenuhi keperluan bibit secara massal di kemudian hari, baik untuk keperluan domestikasi maupun reintroduksi, serta membantu konservasi jenis dan program-program manajemen lingkungan maka kajian-kajian ke arah budi dayanya sangat diperlukan. Kultur spora secara in vitro dapat menjadi salah satu pemecah masalah untuk memenuhi bibit paku pohon dalam skala massal. Massa prothallus yang sebagian besar merupakan gametofit dewasa, telah terbentuk alat kelamin jantan (antheridium) maupun alat kelamin betina (archegonium), diinduksi untuk membentuk sporofit dengan cara mensubkultur massa prothallus pada berbagai konsentrasi media Murashige-Skoog (MS). Massa prothallus dari 4 genotipe C. barometz (Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3) disubkultur pada berbagai konsentrasi media MS, yaitu media 1/4 MS, 1/6 MS, 1/8 MS, 1/10 MS, dan 1/12 MS. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah sporofit paling banyak terbentuk pada media 1/12 MS untuk semua genotipe yang diuji. Jika dibandingkan antargenotipe, kultur C. barometz genotipe Cb2 membentuk sporofit paling banyak dibandingkan dengan genotipe lainnya pada semua media perlakuan. Kata kunci: Cibotium barometz, gametofit, massa prothallus, sporofit
Rahayu EMD, Isnaini Y, Praptosuwiryo TNg. 2015. Induction of sporophyte formation on prothallus mass of the golden chicken fern (Cibotium barometz) in vitro. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 814-818. The golden chicken fern, Cibotium barometz (L.) J. Sm. (Cibotiaceae), is an Indonesian tree fern with a high value as an export commodity due to its uses both for modern and traditional medicine. Its rhizomes and hairs are used as ingredients for treating liver and kidney diseases, rheumatism and as a blood coagulant. Currently, the rhizomes and hairs of C. barometz are harvested from the wild due to a lack of agricultural propagation and culture. Along with habitat degradation, uncontrolled harvests have led this species toward extreme global population decline. In order to prevent further decline, this species has been included in the Appendix II of CITES since 1976. Therefore, agricultural research of this species is indispensable to meet the needs of sporelings on a mass scale for domestication and for reintroduction into nature, and assisting species conservation and for environment management programmes. In vitro spore culture can be a solution to produce sporelings of the tree fern on a mass scale. Prothallus masses which mostly consisted of mature gametophyte with already formed antheridium and archegonium, were induced to form sporophytes by subculturing them on various mineral salt concentrations of Murashige-Skoog’s (MS) media. Prothallus masses of 4 genotypes of C. barometz (Cb, Cb1, Cb2 and Cb3) were subcultured on various MS media concentrations, which consisted of 1/4 MS, 1/6 MS, 1/8 MS, 1/10 MS and 1/12 MS. The results showed that the highest sporophyte formation occured on 1/12 MS medium for all genotypes tested. Genotype Cb2 formed sporophytes at the most compared to the other genotypes on all treatment media. Keywords: Cibotium barometz, gametophyte, prothallus mass, sporophyte
PENDAHULUAN Pakis simpei (Cibotium barometz (L.) J. Sm.) merupakan tumbuhan paku pohon yang termasuk dalam suku Cibotiaceae (Smith et al. 2006). Cibotium barometz tumbuh di tanah yang asam, di hutan primer dan sekunder,
di lereng-lereng bukit atau gunung pada ketinggian 600800 m dpl, dan di area hutan terbuka pada ketinggian sampai 1.600 m dpl (Holttum 1963; Praptosuwiryo 2003; Praptosuwiryo et al. 2011). Jenis ini tersebar di bagian selatan Cina, sebelah timur laut India, sebelah barat Semenanjung Malaya, Indonesia (dari Jawa ke Sumatera),
RAHAYU et al. – Pembentukan sporofit Cibotium barometz
Myanmar, Thailand, Vietnam, Jepang, Taiwan, Laos, dan Filipina (Holttum 1963). Cibotium barometz di Asia Tenggara dilaporkan digunakan untuk tujuan pengobatan, sebagai bahan makanan, dan sumber penghasil serat. Cibotium barometz termasuk salah satu tumbuhan obat komoditas ekspor bernilai tinggi. Cibotium barometz telah lama dikenal sebagai bahan obat tradisional dan telah dijadikan sebagai bahan obat modern di berbagai negara seperti Cina, Jepang, dan Perancis (Praptosuwiryo 2003). Uji fitokimia terhadap C. barometz akhir-akhir ini membuktikan bahwa C. barometz merupakan bahan obat modern yang potensial untuk masa depan. Daunnya memiliki kandungan fenol total dan antioksidan cukup tinggi (Lai dan Lim 2011). Ekstrak rimpangnya berpotensi untuk terapi antisindrom pernapasan akut yang parah atau severe acute respiratory syndrome (SARS) (Wen et al. 2011). Kandungan kimia dari rimpang C. barometz berpotensi untuk mengobati osteoporosis (Xu et al. 2014a) atau anti-osteoporosis (Xu et al. 2014b). Jenis ini juga memiliki kandungan Protocatechuic Acid (PCA) yang memiliki potensi sebagai antioksidan dan zat anti-pembengkakan (Li et al. 2011). Kecenderungan populasi global C. barometz diperkirakan akan menurun (UNEP-WCMC 2010). Perdagangan C. barometz diatur dalam Apendiks II CITES. Untuk mengantisipasi kepunahan spesies ini dan memenuhi kebutuhan bibit untuk keperluan domestikasi dan reintroduksi, diperlukan kajian budi dayanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya perbanyakan dari C. barometz. Salah satu teknik perbanyakan yang dapat menghasilkan bibit C. barometz dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang cepat adalah dengan metode kultur jaringan melalui kultur spora. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PKT KRLIPI) telah melakukan penelitian terkait dengan kultur in vitro spora dari 3 varian C. barometz, yaitu varian cokelat, kuning emas, dan putih atau bule (Isnaini dan Praptosuwiryo 2015). Hasil penelitian tersebut masih dominan berupa kumpulan massa prothallus dan belum banyak yang membentuk sporofit. Untuk menghasilkan bibit yang sempurna, spora C. barometz yang telah berkecambah perlu diinduksi untuk membentuk sporofit
815
sehingga dapat segera diaklimatisasi dan memenuhi kebutuhan bibit. Li et al. (2010) telah berhasil menginduksi pembentukan sporofit C. barometz dari eksplan spora pada media Murashige-Skoog 1/10 konsentrasi (1/10MS) tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Hasil penelitian tersebut menjadi dasar bagi penelitian induksi pembentukan sporofit dari empat genotipe C. barometz, yaitu Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3. Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi pembentukan sporofit pada empat genotype C. barometz (Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3) pada berbagai konsentrasi media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh.
BAHAN DAN METODE Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah massa prothallus hasil semai spora pada penelitian sebelumnya (Isnaini dan Praptosuwiryo 2015). Kumpulan massa prothallus yang digunakan terdiri atas 4 genotipe yang mewakili varian kuning emas dan cokelat (Tabel 1). Induksi pembentukan sporofit Massa prothallus C. barometz dari empat genotipe (Cb, Cb1, Cb2, dan Cb3) yang sebagian besar merupakan gametofit dewasa, telah membentuk alat kelamin jantan (antheridium) atau alat kelamin betina (archegonium) atau keduanya (antheridium dan archegonium, biseksual), disubkultur pada media perlakuan induksi sporofit. Media perlakuan yang digunakan adalah media dasar MS dengan modifikasi konsentrasi hara makro, hara mikro, dan vitaminnya menjadi 1/4 MS, 1/6 MS, 1/8 MS, 1/10 MS, dan 1/12 MS. Semua media ditambahkan gula 30 gram/L dan tingkat keasaman media diatur pada pH 5,7. Selanjutnya, media dipadatkan dengan agar gelrite 3 g/L. Media yang telah diracik selanjutnya dimasak sampai mendidih lalu dituangkan ke dalam botol kultur masingmasing sebanyak sekitar 30 ml. Media selanjutnya disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit lalu diinkubasi sampai 3 hari sampai siap digunakan.
Tabel 1. Spora Cibotium barometz yang digunakan untuk kultur spora in vitro Kode sampel Cb
Nomor koleksi TNgP 2509
Nama varian Kuning emas
Cb1
TNgP 3353
Kuning emas
Cb2
TNgP 2780 H
Cokelat emas
Cb3
TNgP 2792
Kuning emas
Asal koleksi Desa Sungai Medang, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi Bukit Soriak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Bukit Barisan, Jorong Seberang Air, Negari Seberang Air, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat Bukit Sitaba, Jorong Sungai Ipuh, Negari Sitanang, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Sumatera Barat
Lokasi tanam Kebun Raya Bogor
Waktu panen spora Juni 2012
Ecopark, Cibinong Sciences Center Kebun Raya Cibodas
7 Januari 2013
Kebun Raya Cibodas
20 Juni 2013
20 Juni 2013
816
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 814-818, Juli 2015
Massa prothallus dari setiap genotipe C. barometz yang masih bergerombol dipisahkan masing-masing sekitar 0,5 cm2, selanjutnya disubkultur ke media perlakuan yang telah disiapkan sebelumnya. Semua eksplan yang telah ditanam selanjutnya disimpan di rak kultur dengan penyinaran lampu neon dengan pencahayaan 16 jam/hari. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL). Setiap perlakuan diulang 3 kali dan setiap ulangan terdiri atas 5 botol kultur (volume 250 ml). Pengamatan dilakukan setiap bulan untuk mengetahui jumlah sporofit yang terbentuk dan perawakan kultur pada setiap media perlakuan. Analisis data Data jumlah sporofit yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam. Apabila dari hasil analisis ragam terdapat pengaruh nyata dari perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui pengaruh beda antarperlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap induksi pembentukan sporofit menunjukkan bahwa sporofit mulai terbentuk satu bulan setelah subkultur. Lima bulan setelah subkultur, jumlah sporofit terbanyak terdapat pada media 1/12 MS untuk semua genotipe (Tabel 2), tetapi warna dan perawakan kultur umumnya kecokelatan (Tabel 3 dan Gambar 1). Tabel 2. Pembentukan sporofit 4 genotipe Cibotium barometz pada media perlakuan yang diujikan 5 bulan setelah subkultur Media perlakuan 1/4 MS 1/6 MS 1/8 MS 1/10 MS 1/12 MS
Rata-rata jumlah sporofit yang terbentuk pada setiap genotipe Cb Cb1 Cb2 Cb3 0,33b 0,17b 4,33ab 0,83ab 0,55b 0,50b 2,14c 0,67b b b bc 0,67 0,71 2,43 0,00c b b c 0,67 0,86 1,58 0,63b 4,79a 4,29a 5,15a 1,36a
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Li et al. (2010) yang telah berhasil menginduksi pembentukan sporofit C. barometz dari eksplan spora pada media 1/10 MS. Pertumbuhan sporofit yang lebih banyak pada media 1/12 MS diduga berkaitan dengan kondisi fisik media kultur. Kondisi fisik media 1/12 MS tidak memadat meskipun telah ditambahkan agar sehingga seperti media cair. Pembentukan sporofit dapat terjadi melalui amfimiksis atau apogami. Menurut Goller dan Rybczyński (2007) serta Soare (2008), keberadaan air berperan penting dalam pembentukan sporofit tumbuhan paku. Produksi sporofit secara seksual mengimplikasikan terjadinya fusi gamet pada prothallus yang sama atau prothallus yang berbeda (Klekowski dan Lloyd 1968). Keberadaan air dibutuhkan untuk pelepasan gamet jantan. Air juga merupakan sarana vital bagi antherozoid untuk berenang mencapai oospheres yang tersimpan dalam archegonium pada prothallus yang sama atau prothallus yang berbeda (Soare 2008). Berdasarkan hal tersebut maka kondisi fisik media 1/12 MS yang cair pun secara spontan membantu proses pembentukan sporofit C. barometz. Pertumbuhan sporofit tertinggi pada penelitian ini terdapat pada media dengan konsentrasi mineral yang paling rendah yaitu media 1/12 MS, tetapi perawakannya kurang subur. Pada media 1/12 MS, kultur terlihat berwarna hijau kecokelatan sampai cokelat pucat. Hal ini diduga terkait dengan gejala kekurangan nutrisi tertentu yang menyebabkan daun mengalami klorosis atau menguning. Menurut Cox et al. (2003), pertumbuhan spora paku Schizae adichotoma terbaik adalah pada media kultur dengan konsentrasi mineral yang minimal. Selain itu, Khoo dan Thomas (1980) menyebutkan bahwa konsentrasi mineral yang tinggi justru menghambat pembentukan sporofit Adiantum raddianum. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan sporofit C. barometz dipengaruhi oleh kondisi fisik media kultur serta konsentrasi makronutrien dan mikronutrien dalam media kultur. Pembentukan sporofit C. barometz tertinggi terdapat pada media 1/12 MS dengan kondisi fisik media cair, tetapi perawakannya terlihat kurang subur dengan gejala klorosis. Untuk menghasilkan sporofit yang sehat diperlukan kajian lebih lanjut.
Tabel 3. Warna kultur 4 genotipe Cibotium barometz pada media perlakuan yang diujikan 5 bulan setelah subkultur Penampilan kultur pada setiap genotipe Media perlakuan Cb Cb1 Cb2 Cb3 1/4 MS Hijau Hijau Hijau Hijau kecokelatan 1/6 MS Hijau Hijau Hijau Hijau kecokelatan kecokelatan 1/8 MS Hijau Hijau Kuning Tidak ada kecokelatan kecokelatan kecokelatan pertumbuhan sporofit 1/10 MS Hijau Hijau Kuning Kuning pucat kecokelatan kecokelatan pucat 1/12 MS Hijau Hijau Cokelat Cokelat pucat kecokelatan kecokelatan pucat
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Kompetitif LIPI 2013-2014 yang berjudul ”Valuasi Varian Pakis Simpei (Cibotium barometz) sebagai Tumbuhan Penghasil Bahan Obat”. Terima kasih disampaikan kepada staf Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor yang telah membantu penelitian ini.
RAHAYU et al. – Pembentukan sporofit Cibotium barometz
Media perlakuan
817
Rata-rata jumlah sporofit yang terbentuk pada setiap genotipe Cb
Cb1
Cb2
Cb3
1/4 MS
1/6 MS
1/8 MS
1/10 MS
1/12 MS
Gambar 1. Perawakan kultur 4 genotipe Cibotium barometz pada media perlakuan yang diujikan 5 bulan setelah subkultur.
DAFTAR PUSTAKA Cox J, Bhatia P, Ashwath N. 2003. In vitro spore germination of the fern Schizae adichotoma. Scientia Horticulturae 97: 369-378. Goller K, Rybczyński JJ. 2007. Gametophyte and sporophyte of tree ferns in vitro culture. Acta Societatis Botanicorum Poloniae 76(3): 193199. Holttum RE. 1963. Cyatheaceae. Flora Malesiana Ser. II. 1 (2): 165. Isnaini Y, Praptosuwiryo TN. 2015. Kultur spora in vitro tiga varian pakis simpei (Cibotium barometz). Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2015. Khoo SI, Thomas MB. 1980. Studies on the germination of fern spores. Plant Propag 26: 11-15.
Klekowski EJJr, Lloyd RM. 1968. Reproductive biology of the Pteridophyta I. Geneal Considerations and Study of Onoclea sensibilis L. J Linn Soc (Bot) 60: 315-325. Li X,Ye Q-M, Zhan QC et al. 2010. In vitro culture and plant regeneration of Cibotium barometz (L.) J. Sm. Northern Horticulture 2010 (6): 152-155. Li X, Wang X, Chen D, Chen S. 2011. Antioxidant activity and mechanism of protochatechuic acid in vitro. Funct Foods Health Dis 7: 232-244. Praptosuwiryo TNg, Pribadi DO, Puspitaningtyas DM, Hartini S. 2011. Inventorying of the tree fern genus Cibotium of Sumatra: Ecology, population size and distribution in North Sumatra. Biodiversitas 12 (4): 204-211.
818
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 814-818, Juli 2015
Praptosuwiryo TNg. 2003. Cibotium barometz. (L.) J. Smith. In: de Winter WP, Amoroso VB (eds.). Plant Resources of South-East Asia 15 (2) Cryptogams: Ferns and Ferns Allies, Backhuys Publishers, Leiden, Netherlands. Smith AR, Pryer KM, Schuettpelz E et al. 2006. A classification for extant fern. Taxon 55: 705-731. Soare LC. 2008. In vitro development of gametophyte and sporophyte in several fern species. Not Bot Hort Agrobot Cluj 36(1): 13-19. UNEP-WCMC. 2010. Review of Cibotium barometz and Flickingeria fimbriata from Viet Nam. UNEP-WCMC, Cambridge.
Wen CC, Shyur LF, Jan JT et al. 2011. Traditional Chinese medicine herbal extracts of Cibotium barometz, Gentiana scabra, Dioscorea batatas, Cassia tora, and Taxillus chinensis inhibit SARS-CoV replication. J Trad Compl Med 1 (1): 44-50. Xu G, Sun N, Zhao M-J et al. 2014b. Study on decoction’s effect of different processed rhizome of Cibotium barometz on retinoic acid induced male rats osteoporosis. China J Chin Mat Med 39 (6): 10111015. Xu G, Zhao M-J, Sun N et al. 2014a. Effect of the RW-Cb and its active ingregient like P-acid and P-aldehyde on primary rat osteoblast. J Ethnopharmacol 151 (10): 237-241.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 819-823
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010426
Variasi genetik pertumbuhan tanaman uji keturunan nyatoh (Palaquium obtusifolium) umur 1,5 tahun di hutan penelitian Batuangus, Sulawesi Utara Genetic variation of plant growth on progeny test of nyatoh (Palaquium obtusifolium) age 1.5 year in Batuangus forest research station, North Sulawesi JAFRED HALAWANE♥, JULIANUS KINHO, ARIF IRAWAN Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado. Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683, Fax. +62431-3666683, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Maret 2015. Revisi disetujui: 30 April 2015.
Halawane J, Kinho J, Irawan A. 2015. Variasi genetik pertumbuhan tanaman uji keturunan nyatoh (Palaquium obtusifolium) umur 1,5 tahun di hutan penelitian Batuangus, Sulawesi Utara. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 819-823. Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck.) merupakan salah satu jenis kayu unggulan lokal Sulawesi Utara yang telah dikenal dan dimanfaatkan sejak dulu untuk alat rumah tangga, bahan bangunan, maupun sebagai bahan baku industri. Sampai saat ini, sebagian besar kebutuhan kayu nyatoh masih bersumber dari tegakan alam sehingga potensi tanaman nyatoh yang terdapat di alam terus mengalami penyusutan dan semakin berkurang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan tindakan budi daya. Tanaman uji keturunan nyatoh merupakan demplot yang dibangun dalam rangka penyediaan benih unggul untuk mendukung pengembangan nyatoh di Sulawesi Utara. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok dengan 55 famili, 5 blok, dan 5 pohon per plot. Jarak tanam yang digunakan 4 m x 5 m. Parameter yang diukur adalah pertumbuhan tinggi dan diameter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antarfamili (keturunan yang berasal dari pohon induk yang sama) untuk pertumbuhan tinggi dan diameter yang menggambarkan bahwa secara genetik terdapat variabilitas yang tinggi. Taksiran nilai heritabilitas individu pertumbuhan tinggi dan diameter adalah 0,33 dan 0,05. Heritabilitas famili pertumbuhan tinggi dan diameter adalah 0,53 dan 0,12. Korelasi genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter adalah 0,77. Perolehan genetik sifat diameter dengan intensitas seleksi 10%, 25%, dan 30% berturutturut adalah 0,09 cm (10,78%), 0,061 cm (7,72%), dan 0,055 cm (7,05%). Perolehan genetik sifat tinggi dengan intensitas seleksi yang sama adalah 14,94 cm (28,16%), 10,70 cm (20,16%), dan 9,76 cm (18,40%). Kata kunci: Kebun benih, nyatoh, parameter genetik, uji keturunan
Halawane J, Kinho J, Irawan A. 2015. Genetic variation of plant growth on progeny test of nyatoh (Palaquium obtusifolium) age 1.5 year in Batuangus forest research station, North Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 819-823. Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) is one of important commercial timber in the local of North Sulawesi that has been wide known and used for household appliances, raw material of house construction and industry. Nowadays, most of nyatoh wood were supplied from natural stands, thus the potency of nyatoh was continue decreasing. One effort to anticipate this condition is cultivated action. Progeny test of nyatoh was demonstration plots established for the provision of improved seed to support the development of nyatoh in North Sulawesi. This research was conducted using Randomized Complete Block Design with 55 families, 5 blocks and 5 plants per plot. Plantation spacing was 4 m x 5 m. The measured parameters were height and diameter growth. The results showed that there were significant differences between families (descended from the same of mother tree) for height and diameter growth which illustrated that there was a high genetic variability of plant growth. Estimated of individual heritability for height and diameter growth were 0.33 and 0.05. Estimated of family heritability for height and diameter growth were 0.53 and 0.12. Genetic correlation between height and diameter growth was 0.77. The obtain of genetic trait of diameter growth based on selection intensity of 10%, 25% and 30% were 0.09 cm (10.78%), 0.061 cm (7.72%) and 0.055 cm (7.05%). The obtain of genetic trait of high growth based on the same selection intensity were 14.94 cm (28.16%), 10.70 cm (20.16%) and 9.76 cm (18.40%). Keywords: Genetic parameters, nyatoh, progeny test, seeds garden
PENDAHULUAN Kayu merupakan salah satu hasil hutan yang banyak dimanfaatkan untuk alat rumah tangga, bahan bangunan, maupun sebagai bahan baku industri. Sebagai salah satu bahan bangunan, kayu masih banyak digunakan karena
harganya relatif murah dibanding bahan bangunan lainnya, mudah dikerjakan, dan memiliki penampilan dekoratif. Saat ini pasokan kayu yang berasal dari hutan alam semakin berkurang sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu, salah satu langkah yang ditempuh yaitu dengan membangun hutan tanaman, baik dalam bentuk Hutan
820
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 819-823, Juli 2015
Tanaman Industri (HTI) maupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Dalam rangka peningkatan produktivitas dan kualitas kayu dari HTI maupun HTR, diperlukan pasokan sumber benih yang berkualitas dan memiliki produktivitas yang tinggi. Dalam rangka menyikapi permasalahan tersebut di atas maka pada tanggal 28 Desember 2010 melalui SK No. 63/VIII-P3PH-1/2010, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah mencanangkan program pembangunan sumber benih dari jenis-jenis kayu unggulan lokal. Program tersebut telah dilaksanakan oleh 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Uji keturunan (progeny test) adalah suatu percobaan yang diberi ulangan untuk menduga atau menaksir susunan genetik suatu individu tetua dengan meneliti sifat-sifat keturunannya yang berasal dari pembiakan generatif. Uji keturunan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu uji keturunan half-sib (jika salah satu induknya tidak diketahui) dan uji keturunan full-sib (jika kedua induknya diketahui) (Wright 1976). Untuk mendukung program pembangunan sumber benih unggulan lokal di Sulawesi Utara, Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2012 telah membangun demplot kebun benih nyatoh
(Palaquium obtusifolium) di hutan penelitian Batuangus, Bitung. Demplot kebun benih yang dibangun merupakan pertanaman uji keturunan half-sib yang selanjutnya akan dievaluasi dan dikonversi menjadi Kebun Benih Semai (KBS). Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui variasi genetik pertumbuhan dan menaksir parameter genetik (heritabilitas, korelasi genetik, dan perolehan genetik) dari parameter pertumbuhan yang diukur pada tanaman uji keturunan nyatoh umur 1,5 tahun di hutan penelitian Batuangus.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman nyatoh (P. obtusifolium) uji keturunan umur 1,5 tahun di hutan penelitian Batuangus. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di hutan penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara
HALAWANE et al. – Variasi genetik tanaman Palaquium obtusifolium
Cara kerja Plot tanaman uji keturunan nyatoh telah dibangun pada bulan November 2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete Block Design). Jumlah famili (pohon induk asal) yang digunakan adalah 45 famili, 5 pohon per plot (treeplot), dan 5 ulangan/blok dengan jarak tanam adalah 4 m x 5 m. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman dilakukan pada bulan Juni 2014. Analisis data Hasil pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman di lapangan selanjutnya dianalisis menggunakan program SAS 9.0. Model matematis yang digunakan yaitu: Yijk = µ + Fi + Bj + FBij + εijk Keterangan : Yijk = pengamatan tanaman ke-k pada famili ke-i dalam blok ke-j µ = rerata umum Fi = pengaruh famili ke-i Bj = pengaruh blok ke-j BFij = interaksi famili ke-i dan blok ke-j εijk = random error Untuk mengetahui pengaruh famili, blok, dan interaksi famili dengan blok serta pengaruh genetik terhadap variabilitas pertumbuhan yang terjadi di antara famili yang diuji maka dilakukan analisis varians dengan tabel sidik ragam seperti ditampilkan pada Tabel 1. Besarnya faktor genetik terhadap variabel total dianalisis dengan menghitung nilai heritabilitas individu (h2i) dan heritabilitas famili (h2f) dengan menggunakan persamaan Zobel dan Talbert (1984) sebagai berikut. Taksiran nilai heritabilitas famili (h2f): 2
h2f =
σf σ2f + (σ2fb/t) + (σ2e/tb)
821
Pendugaan besarnya perolehan genetik yang dilakukan untuk mengekspresikan respons terhadap seleksi dan perolehan genetik dilakukan dengan menggunakan formula (Zobel dan Talbert 1984; William dan Matheson 1994) sebagai berikut: G = h²S = h²Iσp Keterangan: G = perolehan genetik, h² = heritabilitas, S = diferensial seleksi, σp = standar deviasi venotipe, I = intensitas seleksi (tabel intensitas seleksi menurut Becker 1992)
HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi genetik pertumbuhan tanaman nyatoh Variasi merupakan hal yang penting dalam suatu program pemuliaan tanaman. Untuk mengetahui informasi adanya variabilitas yang terjadi di antara faktor pertumbuhan pohon yang akan dimuliakan dapat dilakukan dengan analisis varians. Analisis varians terhadap parameter tinggi dan diameter tanaman nyatoh ditampilkan pada Tabel 2. Taksiran parameter genetik Heritabilitas Taksiran nilai heritabilitas individu (h²i) dan heritabilitas famili (h²f) parameter tinggi dan diameter tanaman uji keturunan nyatoh ditampilkan pada Gambar 1. Korelasi genetik Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan diameter yang diukur adalah sebesar 0,77 dengan nilai positif. Perolehan genetik Taksiran nilai perolehan genetik terhadap sifat tinggi dan diameter berdasarkan intensitas seleksi yang digunakan ditampilkan pada Tabel 3.
Taksiran nilai heritabilitas individu (h2i): h2i =
4 σ2f σ2f + σ2fb + σ2e
Keterangan: h2f = nilai heritabilitas famili, σ2e = keragaman lingkungan, h2i = heritabilitas individu, σ2f = keragaman famili, σ2fb = keragaman interaksi antara famili dan blok, b= jumlah blok, t = jumlah ulangan individu Korelasi genetik (rG) antarsifat dihitung dengan menggunakan persamaan (Zobel dan Talbert 1984): rG =
σf(xy) √( σ2f(x) . σ2f(y))
Keterangan: rG = korelasi genetik, σ2f(x) = komponen varians untuk sifat x, σf(xy) = komponen kovarians untuk sifat x dan y, σ2f(y) = komponen varians untuk sifat y
Tabel 1. Sidik ragam Rancagan Acak Lengkap Berblok Sumber Derajat keragaman bebas Famili F-1
Jumlah Kuadrat Fhitung kuadrat tengah JKF KTF KTF/KTE
Blok
B-1
JKB
KTB
KTB/KTE
Famili*Blok
(F-1)(B-1)
JKFB
KTFB
KTFB/KTE
Galat FB(T-1) JKE KTE Keterangan: F = famili, JKFB = jumlah kuadrat interaksi famili dengan blok, B = blok, JKE = jumlah kuadrat error, JKF = jumlah kuadrat famili, KTB = kuagrat tengah blok, JKB = jumlah kuadrat blok, KTFB = kuadrat tengah interaksi famili dengan blok, KT = kuadrat tengah, KTE = kuadrat tengah error, KTF = kuadrat tengah famili
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 819-823, Juli 2015
822
Tabel 2. Analisis varians diameter dan tinggi tanaman nyatoh Parameter pengukuran Diameter
Sumber Derajat Kuadrat F variasi bebas rerata Blok 4 1,77 1,18 ns Famili 44 12,49 1,16 * Blok x Famili 151 45,13 1,35 ns Error 234 16,23 Tinggi Blok 4 1.185 2,30* Famili 44 48.839 1,891* Blok x Famili 151 97.424 1 ns Error 234 136.511 Keterangan: * = berpengaruh nyata (pada selang kepercayaan 5%), ns = tidak berpengaruh nyata
Gambar 1. Diagram heritabilitas indvidu (h²i) dan heritabilitas famili (h²f)
Tabel 3. Taksiran nilai perolehan genetik pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman uji keturunan nyatoh berdasarkan intensitas seleksi yang diterapkan Sifat yang diseleksi Diameter Tinggi
Intensitas seleksi 10%
Intensitas seleksi 25%
0,09 cm (10,78%) 14,94 cm (28,16%)
0,061 cm (7,72%) 10,70 (20,16%)
Intensitas seleksi 30% 0,055 cm (7,05%) 9,76 (18,40%)
Pembahasan Berdasarkan hasil analisis varians pada Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor famili memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan nyatoh. Hal ini mengindikasikan bahwa secara genetik terdapat variabilitas yang tinggi pada pertumbuhan tinggi maupun diameter tanaman uji keturunan nyatoh. Menurut Nai’em (2004), faktor penyebab terjadinya variasi antarpohon adalah perbedaan genetik antarpohon, perbedaan lingkungan tempat pohon itu tumbuh, dan interaksi antara keduanya. Heritabilitas diartikan sebagai pembandingan antara besarnya varians genetik dengan varians total di dalam suatu populasi, dimana varians total adalah penjumlahan antara varians genetik dengan varians lingkungan (Wright 1976; Zobel dan Talbert 1984; Fins et al. 1991). Berdasarkan hasil perhitungan nilai heritabilitas pada
tanaman uji keturunan nyatoh umur 1,5 tahun menunjukkan bahwa nilai heritabilitas famili (h²f) sifat tinggi termasuk dalam kategori sedang (0,53), sedangkan untuk sifat diameter termasuk dalam kategori rendah (0,12). Heritabilitas individu termasuk dalam kategori tinggi untuk sifat tinggi (0,33) dan sifat diameter termasuk dalam kategori rendah (0,05). Menurut Cotterill dan Dean (1990), nilai heritabilitas individu (h²i) ≤0,1 berarti rendah, 0,1-0,3 berarti sedang/moderat, >0,3 berarti tinggi, sedangkan untuk nilai heritabilitas famili (h²f) ≤0,4 berarti rendah, 0,40,6 berarti sedang/moderat, >0,6 berarti tinggi. Taksiran nilai heritabilitas famili sebesar 0,53 untuk sifat tinggi mengindikasikan bahwa 53% sifat tinggi diwariskan secara genetik dan sisanya sebesar 47% dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan sifat diameter hanya sebesar 0,12% pewarisan sifat secara genetik dan 88% dipengaruhi faktor lingkungan. Hasil perhitungan taksiran nilai heritabilitas pada Gambar 1 menunjukkan bahwa taksiran nilai heritabilitas individu tanaman nyatoh umur 1,5 tahun di hutan penelitian Batuangus lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai heritabilitas familinya. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Zobel dan Talbert (1984) bahwa nilai heritabilitas famili biasanya lebih besar dari nilai heritabilitas individu karena pendugaan nilai heritabilitas famili didasarkan pada rata-rata famili dari sejumlah individu sehingga pengaruh lingkungan dapat diperkecil terutama apabila jumlah treeplot-nya besar. Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan diameter yang diukur adalah sebesar 0,77 dengan nilai positif. Perhitungan nilai korelasi genetik antara sifat yang satu dengan sifat yang lain sangat perlu untuk dilakukan karena akan bermanfaat dalam kegiatan seleksi di masa mendatang. Menurut Mahfudz et al. (2010), disebutkan bahwa dengan menghitung korelasi genetik antara satu sifat dengan sifat yang lainnya akan sangat bermanfaat dalam perbaikan sifat karena perbaikan atau peningkatan satu sifat secara tidak langsung dapat memperbaiki atau meningkatkan sifat-sifat yang lainnya. Dalam penelitian ini dengan nilai korelasi genetik (rG) sebesar 0,77 mengindikasikan bahwa dengan memperbaiki sifat diameter pada tanaman uji keturunan nyatoh maka akan ikut memperbaiki sifat tingginya sebesar 77%. Perolehan genetik merupakan indikator yang penting dalam kegiatan seleksi karena merupakan dasar penentu efektivitas seleksi. Semakin tinggi perolehan genetik dapat menggambarkan semakin efektifnya suatu kegiatan seleksi diterapkan (Santoso 1995). Menurut Leksono (2012), taksiran perolehan genetik merupakan respons dari adanya seleksi yang dilakukan untuk memperbaiki suatu sifat agar diperoleh peningkatan hasil dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan hasil pada Tabel 3 diketahui bahwa apabila diterapkan intensitas seleksi 10%, 25%, dan 30% terhadap sifat tinggi tanaman nyatoh maka secara berturut-turut nilai genetik yang diperoleh adalah 14,94 cm (28,16%), 10,70 cm (20,16%), dan 9,76 cm (18,40%) atau terjadi peningkatan pertumbuhan antara 18,40% sampai 28,16%. Untuk sifat diameter apabila dilakukan seleksi dengan intensitas seleksi yang sama maka akan mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 0,09 cm (10,78%), 0,061 cm (7,72%), dan 0,055 cm (7,05%).
HALAWANE et al. – Variasi genetik tanaman Palaquium obtusifolium
Terdapat variabilitas petumbuhan secara genetik di antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan nyatoh. Nilai heritabilitas individu untuk sifat diameter nyatoh termasuk kategori rendah, sedangkan heritabilitas individu sifat tinggi termasuk kategori tinggi. Nilai heritabilitas famili termasuk dalam kategori sedang untuk sifat tinggi, sedangkan untuk sifat diameter termasuk dalam kategori rendah. Taksiran nilai korelasi genetik bersifat positif dan termasuk kategori tinggi. Perolehan genetik pada sifat tinggi, apabila dilakukan seleksi dengan intensitas 10%, 25%, dan 30% dapat meningkatkan pertumbuhan antara 18,40% sampai 28,16%, sedangkan untuk sifat diameter dengan intensitas seleksi yang sama akan meningkatkan pertumbuhan sebesar 7,05% sampai 10,78%.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budi Leksono, selaku koordinator Rencana Penelitian Integratif Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Badan Litbang Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Mahfudz (Mantan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado) dan Muh. Abidin (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado) yang telah banyak memberikan petunjuk dan arahan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sudiyono (Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam
823
Sulawesi Utara) yang telah memberikan izin dan dukungan selama pelaksanaan kegiatan penelitian di hutan penelitian Batuangus, Bitung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh karyawan dan staf Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, selama pelaksanaan kegiatan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Cotterill PP, Dean CA. 1990. Succesful Tree Breeding with Index Selection. CSIRO-Division of Forestry and Forest Product. Melbourne, Australia. Fins L, Friedman ST, Brotschol JV. 1991. Handbook of Quantitative Forest Genetics. Kluwer, London. Leksono B. 2012. Teknik penunjukan dan pembangunan sumber benih. Inhouse Training Perbenihan Tanaman Hutan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Kalimantan, Banjarbaru. Mahfudz, Na’iem M, Sumardi, Hardiyanto EB. 2010. Variasi pertumbuhan pada uji keturunan merbau (Intsia bijuga O. Ktze) di Sobang, Banten. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4 (3): 157-165. Na’iem M. 2004. Keragaman genetik, pemuliaan pohon dan peningkatan produktivitas hutan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Santoso B. 1995. Indeks Seleksi dari Beberapa Sifat Pinus merkusii Jungh et de Vierse. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. William ER, Matheson AC. 1994. Design and Analysis of Trials for Use in Tree Improvement. CSIRO, Melbourne, Australia. Wright JW. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, London. Zobel BJ, Talbert JT. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons, New York.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 824-827
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010427
Karakteristik seedling Anchomanes difformis Seedling characteristics of Anchomanes difformis RIZMOON NURUL ZULKARNAEN♥, FITRI FATMA WARDANI, REZA RAMDAN RIVAI Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, PO Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 1 Mei 2015.
Zulkarnaen RN, Wardani FF, Rivai RR. 2015. Karakteristik seedling Anchomanes difformis. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 824827. Anchomanes difformis (Blume) Engl. merupakan salah satu jenis tumbuhan yang tergolong dalam suku Araceae. Anchomanes difformis mempunyai karakteristik yang khas pada masa pertumbuhannya, yaitu ketika seedling daunnya akan membelah menjadi tiga bagian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah media dan perlakuan biji memengaruhi perkembangan seedling A. difformis. Media yang digunakan ada empat macam yaitu pasir, cocopeat, moss, dan serbuk gergaji. Perlakuan biji yang diberikan yaitu biji dikupas dan biji tidak dikupas. Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan pada setiap unit percobaan. Variabel pengamatan pada percobaan ini yaitu jumlah daun yang membelah, panjang hipokotil, panjang epikotil, dan jumlah tunas baru. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa media dan perlakuan biji tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang membelah, panjang hipokotil, dan jumlah tunas A. difformis (ANOVA α=5%). Adapun panjang epikotil dipengaruhi oleh media yang digunakan dalam persemaian (ANOVA α=5%). Kata kunci: Anchomanes difformis, media, perlakuan biji, seedling Zulkarnaen RN, Wardani FF, Rivai RR. 2015. Seedling characteristics of Anchomanes difformis. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 824-827. Anchomanes difformis (Blume) Endl. is one of the plant that belongs to the Araceae family. Anchomanes difformis have distinct characteristics during its growth. The seedling leaves will divide into three parts. The purpose of this study was to determine whether the media and seed treatment affected the development of seedlings of A. difformis. There were four planting media that we used consisted of sand, cocopeat, moss and sawdust. Seed treatment given shelled seeds and seeds that are not peeled. The design of the experiments in this study was a completely randomized design factorial with eight treatments and three replications in each experimental unit. Variable observation in this experiment was the amount of cut leaf, hypocotyl length, epicotyl length and number of new shoots. Based on the data obtained, the study showed that the media and seed treatment did not significantly affect the number of leaves that cut, hypocotyl length and number of shoots of A. difformis (ANOVA α=5%). Meanwhile, the epicotyl length was influenced by the medium that used in nurseries (ANOVA α=5%). Keywords: Anchomanes difformis, media, seedling, seed treatment
PENDAHULUAN Anchomanes difformis (Blume) Engl. merupakan salah satu jenis tumbuhan dari suku Araceae. Anchomanes difformis memiliki morfologi tangkai dan helaian daun yang unik sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai tanaman hias. Selain itu, A. difformis dimanfaatkan juga sebagai tanaman obat untuk beberapa penyakit seperti diare, batuk, disentri, konstipasi, ginjal, TBC, dan malaria (Bero et al. 2011; Eneojo et al. 2011; Okpo et al. 2012; Adebayo et al. 2014). Perbanyakan tanaman A. difformis sama seperti pada tanaman lain dari suku Araceae, yaitu dengan menggunakan umbi atau biji. Perbanyakan dengan memanfaatkan umbi dilakukan dengan cara memotong bagian yang terdapat mata tunas. Biji yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan A. difformis adalah biji yang sudah matang. Kematangan biji dicirikan dengan kulit buah yang berwarna putih keunguan. Perbanyakan A. difformis
lebih efektif menggunakan biji, mengingat banyaknya biji pada setiap tandan buah serta karakter biji yang relatif mudah untuk dikecambahkan. Perkecambahan merupakan fase pertama tanaman tumbuh (Copeland dan McDonald 2011). Biji A. difformis mudah berkecambah pada media semai pasir ataupun moss. Kecambah A. difformis yang sudah tumbuh harus dipindahtanamkan (transplanting). Keterbatasan unsur hara pada media semai menjadi faktor utama terhambatnya perkembangan dan pertumbuhan suatu tanaman sehingga diperlukan pengetahuan mengenai karakteristik tanaman untuk siap dipindahtanamkan ke media yang lebih kaya akan unsur hara (Firmansyah et al. 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik seedling A. difformis yang siap untuk dipindahtanamkan.
ZULKARNAEN et al. – Karakteristik seedling Anchomanes difformis
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di bank biji dan pembibitan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI (PKT KRLIPI), Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2014. Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain media semai (pasir, cocopeat, serbuk gergaji, dan tanah), bak semai, alat tulis, kamera, dan kertas label. Bahan yang digunakan yaitu biji A. difformis yang dipanen dari tanaman koleksi Kebun Raya Bogor di vak XI.B.VIII.125 dan XI.B.XV.231. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (Complete Random Design) dengan jumlah 20 tanaman per unit percobaan. Percobaan dilakukan dengan 3 ulangan dan 8 perlakuan. Media perlakuan menggunakan 4 media, yaitu pasir, cocopeat, moss, dan serbuk gergaji. Adapun perlakuan biji terdiri atas dikupas dan tidak dikupas. Setelah biji disemai selama 6 bulan kemudian dipanen dalam bentuk seedling. Morfologinya kemudian dideskripsikan berdasarkan bentuk dan karakteristiknya. Variabel/ parameter yang diamati antara lain jumlah daun yang membelah, panjang hipokotil, panjang epikotil, dan jumlah tunas. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Anova (Analysis of Variance) dengan program STAR (Statistical Tools for Agriculture) dan apabila terdapat pengaruh kemudian diuji lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada derajat kepercayaan (α) 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum percobaan Achomanes difformis merupakan salah satu koleksi Kebun Raya Bogor dari suku Araceae yang berbuah sepanjang tahun. Tumbuhan ini mempunyai biji dengan sifat rekalsitran. Di alam, biji A. difformis yang sudah jatuh akan secara alami tumbuh mengalami transformasi daun membelah menjadi 3 bagian. Pada penelitian ini dilihat perkembangan seedling A. difformis sampai daun bertransformasi. Rekapilutasi hasil analisis yang diperoleh disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan parameter yang diamati, terlihat bahwa media yang digunakan dalam percobaan ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan seedling A. difformis, kecuali pada panjang epikotil berpengaruh nyata. Perlakuan biji berupa dikupas dan tidak dikupas juga tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan seedling A. difformis. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di alam, buah yang secara alami jatuh dan berkecambah mengalami perubahan bentuk sangat cepat. Hal ini diduga kandungan unsur hara dalam tanah di alam yang memengaruhinya.
825
Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata antara media dan panjang epikotil. Oleh karena itu, diperlukan uji lanjut untuk mengetahui beda nyata antarperlakuan terkait dengan media mana yang terbaik untuk perkembangan epikotil.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil ANOVA pada percobaan karakterisasi seedling Achomanes difformis Perlakuan Media Kupas Interaksi Jumlah daun yang membelah tn tn tn Panjang hipokotil tn tn tn Panjang epikotil * tn tn Jumlah tunas tn tn tn Keterangan: * = perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah pada taraf 5%; tn = perlakuan tidak berpengaruh terhadap peubah pada taraf 5% Parameter
Tabel 2. Uji lanjut pengaruh media terhadap panjang epikotil Media
Panjang epikotil
Pasir 10,16b Cocopeat 12,98ab Moss 14,93a Serbuk gergaji 11,89ab Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama (pada kolom yang sama) tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf 5%
Berdasarkan uji lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada derajat kepercayaan (α) 5% diketahui bahwa media moss merupakan media perkecambahan yang paling baik bagi perkembangan tinggi tanaman (Tabel 2). Media moss merupakan media yang berasal dari lumut kering. Moss memiliki pH asam berkisar antara 5,7 sampai 6,1 dan dapat menyimpan air dengan baik (RH=80-95%). Hal ini dapat menyebabkan media perkecambahan menjadi baik dan optimal. Secara alami, A. difformis tumbuh dan berkembang di daerah hutan savana dan padang rumput. Cocopeat dan serbuk gergaji menunjukkan pengaruh yang relatif sama terhadap panjang epikotil. Dua media perkecambahan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Cocopeat yang merupakan hasil ekstraksi serabut kulit kelapa memiliki pH asam (4,8-5,4) dan konduktivitas elektrik yang baik. Namun di sisi lain, cocopeat tidak mempunyai kemampuan meloloskan air (porositas) dengan baik sehingga ketika dilakukan penyiraman setiap hari, media cocopeat akan lembab (basah). Hal ini menyebabkan perkembangan tanaman yang disemai dalam media ini akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Begitu juga terhadap serbuk gergaji walaupun ketersediaannya banyak di lapangan dan merupakan salah satu media kecambah yang memiliki tingkat porositas tinggi. Kedua media ini, baik cocopeat maupun serbuk gergaji, mudah terkena jamur sehingga tidak dianjurkan untuk dijadikan sebagai media perkecambahan.
826
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 824-827, Juli 2015
Karakteristik seedling Perkecambahan biji A. difformis termasuk dalam tipe hipogeal, yaitu kotiledon tetap di bawah dan tidak terjadi perkembangan hipokotil. Achomanes difformis termasuk dalam kelompok tanaman yang tidak mempunyai batang, sehingga bagian yang menopang daun pada tunas adalah tangkai daun. Tangkai daun pada tanaman dewasa akan berbentuk menyerupai batang, besar, dan berduri. Seedling A. difformis bertipe daun tunggal, tepi daun rata, tekstur permukaan atas dan bawah daun halus (tidak berbulu), ibu tulang daun dan tulang daun sekunder terlihat jelas, dan bentuk helaian daunnya berbentuk jantung. Panjang dan lebar daun masing-masing berukuran 10-15 cm dan 8-12 cm. Tangkai daun berwarna krem kehijauan, berlurik putih, tanpa duri, dan berukuran 20-30 cm. Tangkai daun yang berduri merupakan ciri khas tanaman yang sudah dewasa, duri berwarna hijau kelabu, dan terkadang berlurik putih. Akar seedling-nya merupakan akar serabut dan berwarna putih. Pada umur 3-4 bulan, helaian daun A. difformis mulai berbentuk segitiga dengan ujung membelah (Gambar 3), kemudian membelah menjadi tiga bagian pada setiap
bagian helaian cabang daun kemudian menjadi 2-3 bagian. Hal ini terjadi hingga tanaman ini berumur dewasa (tua). Namun, bentuk helaian daun keseluruhan pada daun dewasa yang sudah sempurna perubahannya berbentuk jantung. Akan tetapi, ada juga daun yang masih menggulung dan sudah membelah. Sebagian daun yang menggulung dan membelah merupakan daun kedua dari tanaman A. difformis. Jadi, daun pertama utuh dan daun kedua membelah (pada saat masih menggulung). Seedling A. difformis tersebut mirip dengan seedling Amorphophallus muelleri Blume. Akan tetapi, pembelahan pada daun A. muelleri sudah terjadi pada daun pertama saat masih menggulung. Pada saat masih seedling, tangkai daun A. muelleri berwarna lebih hijau dibandingkan dengan tangkai daun A. difformis (Sumarwoto 2005). Pertumbuhan seedling dari suku Araceae juga erat dipengaruhi oleh adanya naungan/intensitas cahaya. Kondisi naungan pada seedling A. difformis dapat dikatakan stabil karena berada di rumah kaca. Efektivitas pemberian naungan pada Amorphophallus onchophyllus yang efektif adalah 30% (Pratiwi 2010).
B
A
E
C
D
F
Gambar 2. Karakteristik seedling A. difformis. A. Seedling, B. akar, C. umbi, D. tangkai daun, E. daun utuh, F. daun membelah
A
Gambar 3. A. Pola perubahan bentuk daun A. difformis, B. daun menggulung yang sudah membelah
B
ZULKARNAEN et al. – Karakteristik seedling Anchomanes difformis
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa karakteristik seedling A. difformis memiliki daun yang bertipe tunggal dan helaian daun berbentuk jantung. Helaian daun akan membelah menjadi tiga bagian. Perubahan bentuk daun seedling A. difformis tidak dipengaruhi oleh media yang digunakan dan perlakuan biji yang diberikan. Penyebab dari pembelahan daun tersebut sedang diteliti lebih lanjut untuk mengetahui faktor apa saja yang memengaruhinya.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Dian Latifah yang telah memberikan media dan kesempatan dalam melakukan penelitian ini. Selain itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim bank biji, yaitu Aulia Hasan, Mimin, dan Harto yang telah membantu dalam proses pengerjaan penelitian ini.
827
DAFTAR PUSTAKA Adebayo AH, John-Africa LB, Agbafor AG et al. 2014. Anti-nociceptive and anti-inflammatory activities of extract of Anchomanes difformis in rats. Pak J Pharm Sci 27 (2): 265-270. Bero J, Hannaert V, Chataigne G et al. 2011. In vitro antitrypanosomal and antileishmanial activity of plant used in benin in traditional medicine and bio-guided fractionation of the most active extract. J Ethnopharmacol 137 (1): 998-1002. Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of Seed Science and Technology. 4th ed. Kluwer, Dordrecht. Eneojo AS, Egwari LO, Mosaku TO. 2011. In vitro antimicrobial screening on Anchomanes difformis (Blume) Engl. leaves and rhizomes against selected pathogens of public health importance. Adv Biol Res 5 (4): 221-225. Firmansyah F, Anngo TM, Akyas AM. 2009. Pengaruh umur pindah tanam bibit dan populasi tanaman terhadap hasil dan kualitas Brassica campestris L. Jurnal Agrikultura 20 (3): 216-224. Okpo SO, Ayinde BA, Ugwa ZI et al. 2012. Anti-ucler activity of the aqueous extract of Anchomanes difformis. Nigerian J Pharm Sci 11 (1): 58-65. Pratiwi E. 2010. Pengaruh Pupuk Organik dan Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan Porang (Amorphophallus onchophyllus). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumarwoto. 2005. Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); deskripsi dan karakteristiknya. Biodiversitas 6: 185-190.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 828-833
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010428
Kajian perubahan tingkat kekritisan lahan sebagai akibat proses eliminasi unit lahan: Studi kasus di kawasan pertambangan Danau Mas Hitam, Provinsi Bengkulu Study on the degree of critical land as a result of land unit elimination: The case study of Danau Mas Hitam Mining Area, Bengkulu Province BAMBANG SULISTYO Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jl. W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21290, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 6 Februari 2015. Revisi disetujui: 19 Februari 2015.
Sulistyo B. 2015. Kajian perubahan tingkat kekritisan lahan sebagai akibat proses eliminasi unit lahan: Studi kasus di kawasan pertambangan Danau Mas Hitam, Provinsi Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 828-833. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh eliminasi unit lahan pada tingkat kekritisan lahan pada kawasan pertambangan Danau Mas Hitam di Provinsi Bengkulu. Eliminasi unit lahan merupakan salah satu langkah dalam penyusunan Rencana Rehabilitasi Lahan yang dikerjakan Balai Pengelola DAS. Metode penelitian yang dilakukan yaitu melakukan analisis menggunakan Program SIG dalam rangka menghitung besarnya erosi permukaan dan tingkat kekritisan lahan menggunakan rumus Universal Soil Loss Equation. Analisis perbandingan dilakukan antara erosi permukaan hasil perhitungan sebelum dan setelah eliminasi unit lahan. Perubahan kategori tingkat kekritisan lahan sebagai akibat eliminasi unit lahan juga dievaluasi. Eliminasi unit lahan yaitu suatu proses penghilangan suatu unit lahan yang luasnya kurang dari 1 cm2 di peta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan besarnya erosi total permukaan di lokasi penelitian adalah sebesar 187,12 ton/ha/tahun sebelum dilakukan eliminasi dan 61,34 ton/ha/tahun setelah dilakukan eliminasi. Hal ini menunjukkan ada bias sebesar 125,78 ton/ha/tahun. Penurunan jumlah erosi tersebut merupakan akibat dari proses eliminasi unit lahan. Konsekuensi dari adanya pengaruh eliminasi unit lahan tersebut yaitu pada tingkat kekritisan lahan, karena tingkat kekritisan lahan merupakan fungsi dari erosi permukaan. Secara lebih nyata, ada unit lahan yang berubah kategori tingkat kekritisannya. Terdapat 80,84% dari luas total kawasan kajian yang tidak mengalami perubahan kategori, sedangkan sebesar 19,02% mengalami perubahan kategori. Perubahan tersebut tentunya akan berdampak pada perencanaan yang akan menentukan jenis arahan atau rekomendasi rehabilitasi dan konservasi yang harus dilakukan, demikian juga terjadi perubahan lokasi dan biaya. Kata kunci: Eliminasi, erosi, tingkat kekritisan
Sulistyo B. 2015. Study on the degree of critical land as a result of land unit elimination: The case study of Danau Mas Hitam Mining Area, Bengkulu Province. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 828-833. The aim of this research was to determine the effect of land unit elimination on the degree of critical land in Danau Mas Hitam Mining Area in Bengkulu Province. Land unit elimination is one step in arranging field planning for soil rehabilitation usually conducted by Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai. The method applied was by doing a digital analysis using GIS program to calculate erosion of the catchment area using Universal Soil Loss Equation formula. A comparison analysis was done between the result of erosion before and after land unit elimination. Their degree of critical land was also evaluated. Land unit elimination is a process to eliminate a land unit that has area <1 cm2 on map. The result showed that the overall erosion in the study area was 187.12 ton/ha/year before land unit elimination and 61.34 ton/ha/year after land unit elimination. It had a meaning that there was a refraction as much as 125.78 ton/ha/year. The decrease in erosion was as consequences of land unit elimination. Its consequences also affected the degree of critical land. There was a change in category of the degree of critical land. There was about 80.84% of the total area was unchanged in the degree of critical land, while the rest was changed, i.e. 19.02%. Those changes would effect on the planning to determine recommendations that should be taken to rehabilitate and to conserve the catchment area, also changed in the location as well as budget to run the project. Keywords: Degree of critical land, elimination, erosion
PENDAHULUAN Lahan kritis merupakan permasalahan global (Bohre dan Chaubey 2014). Jumlah lahan kritis selalu meningkat dari waktu ke waktu, sementara laju perbaikannya tidak dapat mengatasi laju kerusakannya. Rusaknya sumber daya
alam di Indonesia terjadi akibat seluruh komoditas dari sumber daya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan daya dukungnya (Kartodihardjo 2008). Indikasinya adalah semakin banyaknya kejadian banjir, longsor, kekeringan, serta berkurangnya atau hilangnya berbagai spesies dari sumber daya alam seperti kayu, rotan, tanaman obat-
SULISTYO – Tingkat kekritisan lahan di Danau Mas Hitam, Bengkulu
obatan, ikan, berbagai jenis satwa, serta kemiskinan hara (Hardjowigeno 2007; Arsyad 2010). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan mengeluarkan data bahwa Indonesia memiliki lahan hutan terdegradasi seluas 96,3 juta ha, 54,6 juta ha mencakup kawasan hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung, sedangkan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan (Nawir et al. 2008). Data tersebut tentunya saat ini sudah berubah dan cenderung meningkat. Upaya perbaikan kondisi lahan kritis akan dapat terlaksana dengan baik apabila informasi objektif kondisinya dapat teridentifikasi secara menyeluruh (Tarigan 2012; Gibbs dan Salmon 2015). Penyediaan data dan informasi tersebut sangat diperlukan, terutama dalam menunjang formula strategi yang berdaya guna, sehingga diharapkan dapat diperoleh acuan dalam pengalokasian sumber daya secara proporsional. Artinya, untuk mengatasi permasalahan lahan kritis diperlukan peta sebaran tingkat kekritisan lahan sedemikian rupa sehingga dapat diketahui kawasan yang secara prioritas harus ditangani, tindakan apa saja yang harus dilakukan, dan berapa jumlah dana yang diperlukan. Namun demikian, penyusunan peta sebaran tingkat kekritisan lahan yang menggambarkan kondisi sebenarnya akan memerlukan waktu lama serta sumber daya dan dana yang tidak sedikit sehingga dibuat suatu model untuk dapat memetakan penyebaran lahan kritis. Departemen Kehutanan telah mengembangkan model pemetaan lahan kritis dan sudah diterapkan di Indonesia, khususnya melalui Balai Pengelolaan DAS. Panduan untuk melakukan analisis lahan kritis sudah diterbitkan pada tahun 1998 dan
829
diperbaharui pada tahun 2009 (Departemen Kehutanan 1998; Kementerian Kehutanan 2009). Model tersebut banyak diadopsi oleh berbagai instansi pemerintah, LSM, maupun kalangan perguruan tinggi (Prasetya dan Gunawan 2012). Sulistyo (2011) telah melakukan kajian menggunakan data berbasis raster yang didukung data penginderaan jauh dan SIG yang menyimpulkan bahwa model yang sudah dibangun tersebut perlu dilakukan revisi. Salah satu tahapan dalam analisis lahan kritis adalah adanya eliminasi unit lahan, yaitu suatu proses penghilangan suatu unit lahan yang luasnya kurang dari 1 cm2 di peta. Sulistyo (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh eliminasi unit lahan terhadap besarnya erosi permukaan yang terjadi pada DAS Air Nelas di Provinsi Bengkulu. Namun demikian, penelitian tersebut belum mengkaji bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat kekritisan lahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh eliminasi unit lahan pada tingkat kekritisan lahan di kawasan pertambangan Danau Mas Hitam di Provinsi Bengkulu.
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Lokasi penelitian secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Secara geografis terletak pada 102,46-102,57o BT dan 3,72-3,80o LS (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi penelitian di sekitar Danau Mas Hitam, Provinsi Bengkulu
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 828-833, Juli 2015
830
DATA HUJAN
Analisis
PETA EROSIVITAS HUJAN / R
PETA TANAH DAN SATUAN LAHAN
PETA RUPA BUMI
Pengumpulan data tanah dan analisis laboratorium
Analisis garis kontur
PETA ERODIBILITAS TANAH / K
CITRA SATELIT LANDSAT
Klasifikasi multispektral
PETA PANJANG LERENG DAN KEMIRINGAN / LS
PETA PENUTUPAN LAHAN DAN PRAKTIK KONSERVASI / CP
PETA UNIT LAHAN
ELIMINASI UNIT LAHAN
ANALISIS EROSI DAN TKL TANPA ELIMINASI
ANALISIS EROSI DAN TKL DENGAN ELIMINASI
EVALUASI PEMBANDINGAN
Arah analisis TANPA proses eliminasi unit lahan Keterangan: TKL = Tingkat Kekritisan Lahan
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Analisis data Data yang diperlukan meliputi peta topografi, peta tanah/satuan lahan, citra satelit landat Thematic Mapper, dan data curah hujan bulanan selama 10 tahun. Piranti lunak dan alat yang digunakan meliputi Program ILWIS versi 3.3 untuk mengolah data berbasis raster, ARC/INFO versi 3.4.2 dan ARC/VIEW versi 3.3 untuk analisis data berbasis vektor dan untuk layout peta, teropong, kompas, ring tanah, bor tanah, dan GPS untuk perlengkapan lapangan. Tahapan penelitian Tahapan penelitian meliputi: (i) persiapan, (ii) interpretasi digital, (iii) analisis data, (iv) digitasi, (v) kerja lapangan, (vi) reinterpretasi dan analisis, dan (vii) penulisan dan pembuatan peta. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2. Analisis erosi dan tingkat kekritisan lahan Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) dirumuskan: TKL = w1 Slope + w2 TBE + w3 Tajuk + w4 Manajemen ................................................................................... (1)
Dalam rumus tersebut, w1, w2, w3, dan w4 adalah bobot yang sudah ditentukan. TBE merupakan Tingkat Bahaya Erosi yang dihasilkan dengan cara menumpangsusunkan hasil erosi dengan peta kedalaman tanah. Besarnya erosi dihitung menggunakan rumus USLE (Universal Soil Loss Equation) (Wischmeier dan Smith 1978) yaitu: A = R x K x LS x C x P
....................................... (2)
Keterangan: A = banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun) R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (MJ/ha)(mm/jam) K = indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam)/(ha x mega joule x mm) LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks pengelolaan tanaman P = indeks upaya konservasi tanah Semua parameter dilakukan pengumpulan datanya kemudian dilakukan analisis yang akhirnya hasilnya disajikan sebagai peta tematik. Sebelum dilakukan penghitungan erosi dibuat terlebih dahulu peta unit lahan
SULISTYO – Tingkat kekritisan lahan di Danau Mas Hitam, Bengkulu
yang merupakan hasil analisis tumpang susun (overlay) antara peta erodibilitas tanah, peta slope, dan peta penutupan lahan. Setiap unit lahan yang diperoleh akan mempunyai luas yang berbeda-beda. Pada tahap pertama dilakukan perhitungan erosi dan tingkat kekritisan lahan tanpa eliminasi unit lahan, sedangkan pada tahap kedua dilakukan perhitungan dengan eliminasi unit lahan. Hasil dari kedua analisis kemudian dilakukan pembandingan untuk mengetahui pengaruh eliminasi unit lahan terhadap peta tingkat kekritisan lahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis parameter tingkat kekritisan lahan Hasil interpretasi citra Landsat Thematic Mapper menunjukkan bahwa kawasan penelitian didominasi oleh kebun karet/belukar tua, diikuti tanaman tahunan/belukar muda, hutan lebat, dan seterusnya sampai tanaman semusim/semak belukar. Dari data penutupan lahan tersebut kemudian dapat diketahui faktor C, kerapatan tajuk, dan faktor P seperti yang disajikan pada Tabel 1. Data curah hujan selama 10 tahun yang diamati pada 4 stasiun pengamatan yang terletak di sekitar kawasan penelitian dianalisis menggunakan bantuan poligon
831
Thiesen dan diperoleh hanya satu nilai erosivitas hujan sebesar 5.418,7 (MJ/ha) (mm/jam). Hasil analisis kemiringan lahan (slope) menunjukkan bahwa kawasan pertambangan Danau Mas Hitam didominasi kemiringan 8-15%. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Dari peta tanah dan satuan lahan serta analisis laboratorium seperti disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kawasan penelitian didominasi oleh jenis tanah yang merupakan asosiasi antara Dystrandepts, Haplohumults, dan Dystropepts, dan yang paling sempit yaitu asosiasi antara Dystropepts. Nilai erodibilitas tanah bervariasi dari 0,13 sampai dengan 0,35, sedangkan kedalaman tanahnya adalah 60-90 cm dan >90 cm. Sementara itu, keberadaan batu-batuan pada lokasi penelitian adalah seragam, yaitu pada tingkat sedikit. Tabel 2. Slope kawasan pertambangan Danau Mas Hitam, Bengkulu Kode
Faktor S
Luas (ha)
Luas (%)
1 2 3 4 5 Jumlah
0-8% 8-15% 15-25% 25-40% 40-60%
194,40 7.462,31 5.180,33 2.606,18 635,12 16.078,35
1,21 46,41 32,22 16,21 3,95 100,00
Tabel 1. Penutupan lahan kawasan pertambangan Danau Mas Hitam, Bengkulu No. Penutupan lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kebun karet/belukar tua Tanaman tahunan/belukar muda Hutan lebat Lahan terbuka berumput/TS Kebun kelapa sawit masyarakat Batu bara Sawah Permukiman Kebun sawit muda/semak rumput Kebun campur Kebun karet muda/semak rumput Perkebunan karet Tanaman semusim/semak belukar
Faktor C
Faktor P
Skor Tajuk
0,500 0,100 0,001 0,950 0,500 0,950 0,010 0,950 0,750 0,100 0,750 0,500 0,400
0,40 1,00 1,00 1,00 0,40 0,40 0,04 1,00 0,40 1,00 0,40 0,40 0,90
3 5 5 0 2 0 4 0 2 5 3 3 5
Luas (ha)
Jumlah
5.390,75 4.513,00 3.564,88 697,59 676,94 449,18 263,76 214,06 167,58 88,68 21,97 10,39 19,56 16.078,36
Kedalaman
Luas (ha)
Luas (%) 33,53 28,07 22,17 4,34 4,21 2,79 1,64 1,33 1,04 0,55 0,14 0,06 0,12 100,00
Tabel 3. Keadaan tanah kawasan pertambangan Danau Mas Hitam, Bengkulu No
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ma 2.1.2 Mab 2.2.3 Hab 1.1.7 Mab 2.2.2 Mq 2.2.2 Hq 1.2.1 X.1 Af 1.2.1 Ma 2.3.3 Hq 1.1.1
Jenis Tanah Dystrandepts/Haplohumults/Dystropepts Dystropepts/Hapludults/Humitropepts Dystropepts/Humitropepts Hupludults/Haplohumults/Humitropepts Dystropepts/Hapludults/Hapludoxs Dystropepts/Kandiudoxs/Humitropepts Hapludult Tropoquepts/Tropofluvents/Dystropepts Dystropepts/Eutrandepts/Humitropepts Dystropepts/Kandiudoxs/Humitropepts
Faktor K 0,2600 0,2500 0,2700 0,2600 0,2600 0,3500 0,1900 0,1300 0,2700 0,2500
60-90 60-90 > 90 > 90 > 90 > 90 < 30 > 90 > 90 > 90 Jumlah
6.311,77 4.875,18 1.817,28 1.144,80 827,89 528,52 394,00 94,86 79,78 4,26 16.078,35
Luas (%) 39,26 30,32 11,30 7,12 5,15 3,29 2,45 0,59 0,50 0,03 100,00
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 828-833, Juli 2015
832
Tabel 4. Besarnya perubahan erosi total permukaan yang dihitung antara sebelum dan sesudah eliminasi Item Jumlah unit lahan Rata-rata erosi total permukaan/luas kajian Selisih erosi total permukaan
Tabel 5. Luas perubahan kategori tingkat kekritisan lahan Perubahan kategori
Luas (Ha)
Tetap 12.998,30 K menjadi AK 957,56 AK menjadi K 669,47 PK menjadi AK 376,10 PK menjadi K 226,63 K menjadi PK 197,19 AK menjadi PK 196,36 SK menjadi K 154,87 SK menjadi AK 122,77 SK menjadi PK 90,81 PK menjadi SK 38,54 TK menjadi AK 20,67 AK menjadi SK 19,93 K menjadi SK 7,25 K menjadi TK 1,92 Jumlah 16.078,36 Keterangan: K = kritis, AK = agak kritis, PK = SK = sangat kritis, TK = tidak kritis
Luas (%) 80,84 5,96 4,16 2,34 1,41 1,23 1,22 0,96 0,76 0,56 0,24 0,13 0,12 0,05 0,01 100,00 potensial kritis,
Hasil analisis tingkat kekritisan lahan Dengan melakukan analisis tumpang susun antara peta penutupan lahan, peta erodibilitas tanah, dan peta slope, diperoleh peta unit lahan (selanjutnya diberi kode UNITnol) dengan jumlah unit 816 poligon. Setelah dilakukan eliminasi, jumlah unitnya menjadi 240 (selanjutnya diberi kode UNIT25). Setiap unit lahan tersebut kemudian ditentukan nilai L untuk menghitung besarnya LS. Erosi (A) dapat dihitung dengan terlebih dahulu melakukan analisis tumpang susun antara peta unit lahan dengan peta erosivitas hujan. Ringkasan hasilnya disajikan pada Tabel 4. Pembahasan Tabel 4 menunjukkan bahwa besarnya erosi total permukaan di kawasan penelitian adalah 187,12 ton/ha/tahun sebelum dilakukan eliminasi dan 61,34 ton/ha/tahun setelah dilakukan eliminasi. Hal ini menunjukkan ada penurunan sebesar 125,78 ton/ha/tahun sebagai akibat dari proses eliminasi unit lahan. Dengan proses eliminasi maka unit lahan yang kecil akan bergabung dengan unit lahan di dekatnya. Dengan bergabungnya beberapa unit lahan menjadi satu maka nilai L juga berubah, demikian juga faktor LS. Hasil ini senada dengan penelitian Sulistyo (2008) yang dilakukan di DAS Air Nelas yang menyimpulkan bahwa eliminasi unit lahan cenderung menghasilkan erosi yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil erosi yang sesungguhnya. Jika diamati dari rumus, terlihat bahwa nilai CP terbesar terjadi pada lahan lokasi batu bara dan permukiman (CP =
Sebelum eliminasi
Setelah eliminasi
816 187,12 ton/ha/tahun
240 61,34 ton/ha/tahun 125,78 ton/ha/tahun
0,95). Namun demikian, kedua penutupan lahan tersebut mempunyai unit lahan yang kecil sehingga menjadi hilang karena bergabung dengan unit lahan yang lain di dekatnya, dalam hal ini kebun karet (CP = 0,20) yang mendominasi kawasan penelitian. Jika hanya mengamati faktor CP, secara logika jumlah erosi dalam kawasan penelitian akan berkurang dengan melakukan proses eliminasi karena nilai CP mengecil. Dari tabel-tabel yang disajikan menunjukkan bahwa kebun karet tidak hanya mendominasi kawasan penelitian, tetapi secara keruangan juga banyak menempati kawasan yang mempunyai kemiringan lahan yang peka terhadap erosi serta menempati bagian hulu yang mempunyai erosivitas hujan tinggi, yaitu 5.418,7. Faktor-faktor inilah yang diduga merupakan penyebab menurunnya jumlah erosi setelah dilakukan eliminasi unit lahan. Sementara itu, faktor K tampaknya kurang berpengaruh karena nilainya yang hampir seragam antara 0,13 sampai dengan 0,35. Konsekuensinya, terjadi perubahan pada tingkat kekritisan lahan karena tingkat kekritisan lahan merupakan fungsi dari erosi. Secara lebih nyata yaitu ada unit lahan yang berubah kategori tingkat kekritisannya. Perubahan kategori tingkat kekritisan lahan, khususnya luasnya, disajikan pada Tabel 5 yang berurutan dari luas yang terbesar menuju luas yang terkecil, sedangkan penyebarannya disajikan pada Gambar 3. Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa sebesar 80,84% tidak mengalami perubahan kategori, sedangkan sisanya sebesar 19,02% mengalami perubahan kategori. Sebenarnya, proses eliminasi hanya diperlukan apabila analisis dilakukan secara manual dimana analisis tumpang susun (overlay) peta hanya mungkin dilakukan menggunakan peta yang digambar pada kertas transparan (kalkir). Namun demikian, apabila analisis dilakukan secara digital, menggunakan teknologi SIG, maka semestinya tidak perlu dilakukan eliminasi unit lahan, karena berapapun kecilnya luas unit lahan yang terbentuk sebagai hasil analisis tumpang susun (overlay) akan tetap dapat dilakukan penghitungan erosi sehingga hasilnya akan lebih mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Dengan melakukan eliminasi unit lahan, maka akan terjadi penyimpangan terhadap hasilnya. Hal ini akan berakibat terjadinya kesalahan dalam perencanaan yang berkait dengan kegiatan rehabilitasi lahan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Penelitian Program PHK A2.
SULISTYO – Tingkat kekritisan lahan di Danau Mas Hitam, Bengkulu
833
Gambar 3. Peta perubahan kategori tingkat kekritisan lahan di kawasan pertambangan Danau Mas Hitam sebagai akibat proses eliminasi unit lahan
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. IPB Press, Bogor. Bohre P, Chaubey OP. 2014. Restoration of degraded lands through plantation forests. Global J Sci Frontier Res 14: 18-27. Departemen Kehutanan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Gibbs HK, Salmon JM. 2015. Mapping the world's degraded lands. J Appl Geogr 57: 12-21. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Kartodihardjo H. 2008. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Seminar Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam. Universitas Bengkulu, Bengkulu. Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor
P. 32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS, Jakarta. Prasetya, Gunawan T. 2012. Pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk pemetaan lahan kritis di daerah Kokap dan Pengasih Kabupaten Kulonprogo. Jurnal Bumi Indonesia 1: 281-290. Sulistyo B. 2008. Pengaruh generalisasi unit lahan pada besarnya erosi. Jurnal Ilmu Kehutanan 1: 1-11. Sulistyo B. 2011. Pemodelan Spasial Lahan Kritis Berbasis Raster di DAS Merawu Kabupaten Banjarnegara melalui Integrasi Citra Landsat 7 ETM+ dan SSIG. [Disertasi]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tarigan SD. 2012. Methods for delineating degraded land at Citarum Watershed, West Java, Indonesia. J Trop Soils 17: 267-274. Wischmeier WH, Smith DD. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses: A Guide to Conservation Planning. USDA Agriculture Handbook No. 37, USA.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 834-837
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010429
Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia hirta) terhadap germinasi biji tumbuhan asli (Impatiens platypetala) Allelopathic effect of invasive plant (Clidemia hirta) on seed germination of native plant (Impatiens platypetala) LILY ISMAINI UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Raya Cibodas PO Box 19 SDL Cipanas, Cianjur 43253, Jawa Barat. Tel/fax: +62-263-512233, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 22 Januari 2015. Revisi disetujui: 28 April 2015.
Ismaini L. 2015. Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia hirta) terhadap germinasi biji tumbuhan asli (Impatiens platypetala). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 834-837. Clidemia hirta merupakan tumbuhan invasif yang diduga memiliki senyawa yang bersifat alelopati sehingga dapat menghambat pertumbuhan spesies asli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh alelopati ekstrak daun C. hirta terhadap germinasi biji tumbuhan asli Impatiens platypetala. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi ekstrak daun C. hirta 10, 20, 40, 60, 80, 100%, dan kontrol pelarut akuades. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak akuades C. hirta pada konsentrasi 60%, 80%, dan 100% dapat mengurangi perkecambahan biji, dengan persentase perkecambahan biji I. platypetala pada hari ke-14 adalah sebesar 63,3%, 50%, dan 43,3%, menghambat pertumbuhan batang dan akar I. platypetala, dengan rata-rata panjang batang pada hari ke-21 berturut-turut adalah 0,52 cm, 0,33 cm, dan 0,37 cm dan rata-rata panjang akar 0,4 cm, 0,25 cm, dan 0,24 cm. Kata kunci: Alelopati, Clidemia hirta, germinasi, Impatiens platypetala
Ismaini L. 2015. Allelopathic effect of invasive plant (Clidemia hirta) on seed germination of native plant (Impatiens platypetala). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 834-837. Clidemia hirta is an invasive species which probably exerts allelopathic effects to invasion native species. The objectives of this study were to determine whether C. hirta effects the germination and growth of native species Impatien platypetala by allelopathic function. The experiment used was Completely Randomized Design with seven treatments. The treatments were control, distilled water extract of 10, 20, 40, 60, 80 and 100% concentration of C. hirta. Results showed that distilled water extract of 60, 80 and 100% concentration of C. hirta were significantly reduced seed germination by 43.3-63.3%. That extracts also suppressed shoot lengths 0.52, 0.33 and 0.37 cm and root lengths 0.4, 0.25 and 0.24 cm, respectively. Keywords: Allelopathic, Clidemia hirta, germination, Impatiens platypetala
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang tinggi. Keanekaragaman hayati tersebut ditunjang oleh tanah yang subur dan sumber daya alam yang melimpah. Dewasa ini, keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah di Indonesia menjadi terancam karena tumbuhan lokal terinvasi oleh tumbuhan asing invasif. Tumbuhan invasive alien species (IAS) banyak menginvasi taman nasional, tempat wisata, lahan pertanian, dan vegetasi yang ada di Indonesia. Tumbuhan invasif dapat mereduksi komposisi vegetasi asli sehingga dapat mengancam keanekaragaman hayati dalam suatu kawasan. Proses invasi oleh tumbuhan invasif dilaporkan menyerang beberapa kawasan taman wisata, cagar alam, dan taman nasional di Indonesia. Tanaman yang tergolong sebagai spesies asing invasif (invasive alien species/IAS) berjumlah 187 famili dan 1.936 jenis (Tjitrosoedirdjo 2005).
Tumbuhan invasif merupakan tanaman yang tumbuh dan menyebar ke daerah di luar habitat aslinya (Radosevich et al. 2007). Ada beberapa mekanisme yang dilakukan tumbuhan invasif untuk memengaruhi komunitas alami, di antaranya melalui kompetisi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan proses dalam suatu ekosistem. Orr et al. (2005) melakukan investigasi terhadap satu mekanisme potensial yang dilakukan tumbuhan invasif yang dapat membahayakan spesies alami, yaitu alelopati. Senyawa kimia unik yang berasal dari tumbuhan invasif dilaporkan memiliki banyak aktivitas, meliputi antiherbivora, antifungi, antimikroba, dan efek alelopati yang dapat memberikan beberapa keuntungan pada tumbuhan tersebut di lingkungan yang baru (Cappuccino dan Arnason 2006). Clidemia hirta merupakan tumbuhan yang ditemukan di area yang terganggu, padang rumput, aliran sungai, tetapi tidak ditemukan di hutan primer. Tumbuhan tersebut merupakan tanaman asli dari dataran rendah Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Kepulauan Karibia. Pada
ISMAINI – Pengaruh alelopati tumbuhan invasif
saat ini, C. hirta telah menyebar ke seluruh dunia dan telah menjadi tanaman invasif di kawasan hutan dan area terbuka di beberapa kawasan di Asia Tenggara (Malaysia, Singapura, Kalimantan), Afrika (Tanzania, Mauritius), Kepulauan Fiji, dan Hawaii (Strahm 1999; Singhakumara et al. 2000; Peters 2000; Teo et al. 2003). Penelitian yang dilakukan di Taman Wisata Alam Telaga Warna juga menemukan empat jenis tanaman invasif, salah satunya adalah C. hirta (BLK 2010). Clidemia hirta diklasifikasikan ke dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Myrtales, famili Melastomaceae, genus Clidemia, dan spesies C. hirta. Bunga tumbuhan ini memiliki ciri: infloresens terbatas, daun mahkota (petal) berwarna putih, benang sari berjumlah sepuluh, bunga biseksual, tabung kelopak melebar berbentuk lonceng dengan panjang 0,5 cm, dan tangkai bunga berukuran 3-4 cm. Daun C. hirta memiliki ciri: pertulangan daun melengkung 3-9, bentuk daun bulat telur, ujung daun meruncing, pangkal daun berbentuk jantung, tepi daun beringgit (crenate), permukaan daun adaksial dan abaksial berambut, panjang daun 5-18 cm, lebar daun 3-10 cm, daun tanpa stipula, dan tangkai daun berambut jarang. Batang C. hirta memiliki ciri: tegak, ditutupi rambut halus, bertangkai berhadapan, dan tingginya 82-190 cm (Steenis 2006). Clidemia hirta termasuk ke dalam 100 jenis asing invasif paling buruk di dunia. Sifatnya menyebar dengan cepat dan lebih melimpah di luar daerah asalnya dibanding habitat aslinya (Lowe et al. 2000). Hal ini mengembangkan suatu teori bahwa tumbuhan invasif memiliki senjata biokimia yang berfungsi sebagai agen alelopati yang kuat sehingga dapat menyebar dengan cepat dan mengalahkan spesies asli di habitat barunya (Callaway et al. 2005). Clidemia hirta merupakan salah satu tumbuhan invasif yang terdapat di Kebun Raya Cibodas sehingga diperlukan pengelolaan agar tumbuhan tersebut tidak menyebar luas dan mengganggu tanaman asli. Penelitian Mutaqien et al. (2011) melaporkan terdapat 15 tumbuhan asing di Hutan Wornojiwo (kawasan Kebun Raya Cibodas), di antaranya dapat dikategorikan sebagai tumbuhan invasif. Beberapa contoh tumbuhan invasif tersebut yaitu Clidemia hirta, Calathea litzei, Eupatorium riparium, dan Strobilanthes hamiltoniana. Beberapa tumbuhan dianggap sebagai tanaman invasif di hutan Wornojiwo karena tumbuhan tersebut tidak sengaja ditanam dan pertumbuhannya sangat cepat. Alelopati merupakan tipe interaksi kimia antartumbuhan, antarmikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme (Einhellig 1995). Interaksi tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung atau tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan, atau mikroba) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain (Rice 1995). Pengaruh alelopati bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu, namun tidak terhadap organisme lain (Weston 1996). Senyawa alelopati yang dihasilkan oleh tumbuhan berasal dari eksudat akar, serbuk sari, luruhan organ (dekomposisi), senyawa yang menguap (volatile) dari daun, batang, dan akar, serta melalui pencucian (leaching) dari
835
organ bagian luar (Reigosa 2000). Pelepasan alelopati pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Einhellig 1995). Clidemia hirta merupakan tanaman invasif yang diduga mempunyai senyawa alelopati yang dapat menghambat germinasi tumbuhan asli. Belum memadainya informasi yang tersedia mengenai efek alelopati C. hirta terhadap tumbuhan asli maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh alelopatinya terhadap tumbuhan asli Impatiens platypetala. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak akuades C. hirta terhadap germinasi biji I. platypetala.
BAHAN DAN METODE Pembuatan ekstrak akuades daun Clidemia hirta Bahan tumbuhan yaitu daun segar C. hirta yang dikoleksi dari sekitar Kebun Raya Cibodas, dicuci sampai bersih, kemudian dikeringanginkan selama 14 hari. Selanjutnya, sebanyak 100 gram serbuk daun C. hirta diekstraksi dengan 1.000 ml akuades di ruangan selama 24 jam. Kemudian filtrat yang dihasilkan ditambah dengan akuades dengan volume akhirnya ditetapkan menjadi 1.000 ml sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 100%. Larutan ekstrak 100% tersebut dijadikan sebagai larutan stok. Untuk mendapat seri konsentrasi 10, 20, 40, 60, dan 80% maka dilakukan pengenceran larutan stok. Uji pengaruh ekstrak daun Clidemia hirta terhadap germinasi biji tanaman asli Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan yaitu: tanpa ekstrak daun C. hirta (kontrol), ekstrak daun C. hirta dengan konsentrasi 10, 20, 40, 60, 80, dan 100%. Biji tanaman yang akan diuji direndam selama 15 menit dalam larutan NaClO 2%. Selanjutnya, 10 biji uji diletakkan pada cawan petri yang dialasi kertas saring. Setelah itu, masing-masing kertas saring dilembabkan dengan 2 ml ekstrak C. hirta, setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Kemudian, cawan petri disimpan pada suhu ruang selama 21 hari. Pengamatan dilakukan terhadap persentase biji yang bergerminasi, panjang akar, dan panjang batang. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam menggunakan SPSS 13.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak akuades daun C. hirta dapat menghambat germinasi biji I. platypetala. Persentase germinasi I. platypetala pada hari ke-14 mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan kontrol pada konsentrasi ekstrak C. hirta 60%, 80%, dan 100% dengan persentase perkecambahan sebesar 63,3%, 50%, dan 43,3%. Terjadinya penurunan persentase germinasi dapat disebabkan oleh semakin tingginya tingkat
836
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 834-837, Juli 2015
konsentrasi ekstrak akuades daun C. hirta yang diuji. Konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi dapat menyebabkan semakin besarnya jumlah senyawa alelopati yang berdifusi ke dalam biji. Senyawa alelopati yang dapat menyebabkan penghambatan germinasi biji, antara lain senyawa fenol. Einhellig (1995) menyatakan bahwa senyawa-senyawa fenol yang terserap ke dalam biji dapat menghambat metabolisme perombakan endosperma dan dapat merusak daya katalitik enzim germinasi, terutama yang terkait dengan perombakan karbohidrat. Senyawa tanin (golongan polifenol) dapat menghambat aktivitas enzim-enzim germinasi seperti selulase, poligalakturonase, proteinase, dehidrogenase, dan dekarboksilase. Dorning
dan Cipollini (2006) menyatakan bahwa ekstrak akuades daun tanaman invasif Lonicera maackii mengandung senyawa fenol dan dapat menghambat germinasi Impatiens capensis, Arabidopsis thaliana, dan Alliaria petiolata. Pada hari ke-14 dan 21, ekstrak akuades daun C. hirta pada konsentrasi 10% sampai 100% dapat menghambat pertumbuhan batang I. platypetala. Rata-rata panjang batang I. platypetala menunjukkan penghambatan pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1). Ekstrak akuades C. hirta menghambat pertumbuhan batang I. platypetala tertinggi pada konsentrasi 60%, 80%, dan 100% dengan rata-rata panjang batang 0,52 cm, 0,33 cm, dan 0,37 cm.
Tabel 1. Rata-rata perkecambahan biji, rata-rata panjang batang (cm), rata-rata panjang akar (cm) Impatiens platypetala pada hari ke-7, 14, dan 21 Hari ke7 14 21
Kontrol 63ns 90a 90ns
10% 56,7ns 80a 93,3ns
Konsentrasi ekstrak C. hirta 20% 40% 60% 56,7ns 83,3ns 76,7ns 83,3a 73,3ab 63,3abc 73,3ns 86,7ns 66,7ns
80% 50ns 50bc 60ns
100% 46,7ns 43,3c 53,3ns
Rata-rata panjang batang
14 21
0,79a 2,15a
0,55b 1,81b
0,31c 1,04c
0,29c 0,85c
0,24cd 0,52d
0,17d 0,33d
0,15d 0,37d
Rata-rata panjang akar
14 21
2,10a 3,95a
1,27b 2,56b
0,26c 1,02c
0,21c 0,51d
0,14c 0,40de
0,17c 0,25e
0,04c 0,24e
Rata-rata biji berkecambah (%)
Gambar 1. Pertumbuhan biji Impatiens platypetala pada berbagai konsentrasi ekstrak daun C. hirta
ISMAINI – Pengaruh alelopati tumbuhan invasif
Pada hari ke-14 dan 21, ekstrak akuades daun C. hirta pada konsentrasi 10% sampai 100% dapat menghambat pertumbuhan akar I. platypetala. Rata-rata panjang akar I. platypetala menunjukkan penghambatan pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1). Pada hari ke-21, ekstrak akuades C. hirta menunjukkan penghambatan pertumbuhan akar I. platypetala tertinggi pada konsentrasi 60%, 80%, dan 100% dengan rata-rata panjang akar 0,4 cm, 0,25 cm, dan 0,24 cm. Adanya penghambatan pertumbuhan akar dan batang I. platypetala oleh ekstrak akuades daun C. hirta diduga disebabkan terdapatnya senyawa alelokemik yang larut dalam pelarut akuades. Senyawa alelopati yang larut dalam akuades, antara lain senyawa fenolik dan turunannya. Senyawa fenolik yang bersifat toksik tersebut diserap oleh membran sel sehingga dapat menyebabkan terjadinya penghambatan pembelahan sel-sel akar dan batang. Beberapa senyawa alelopati seperti senyawa fenol dan derivatnya, seperti kumarin, asam sinamat, dan asam benzoat, dapat menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan, menurunkan daya permeabilitas membran sel, menghambat aktivitas enzim, dan menyebabkan kerusakan hormon IAA dan giberelin (Einhellig 1995). Senyawa fenol dan derivatnya juga dapat meningkatkan dekarboksilasi IAA sehingga IAA menjadi tidak aktif dan pertumbuhan menjadi terhambat. Tanaman invasif Abutilon theophrasti mempunyai senyawa alelopati yang dapat memberikan efek hambat yang kuat terhadap germinasi biji Raphanus sativus dan Zea mays. Pada biji R. Sativus terjadi penghambatan panjang batang sebesar 66,4% dan panjang akar sebesar 49,4% (Scepanovic et al. 2007). Penghambatan perkecambahan biji juga diduga terjadi akibat adanya terhambatnya penyerapan air. Penghambatan difusi ini dapat juga disebabkan oleh perbedaan potensial air di dalam sel dan di luar sel. Semakin besar konsentrasi partikel atau zat, semakin rendah nilai potensial air. Meningkatnya potensial osmotik ekstrak akan menurunkan potensial air sehingga akan menyulitkan biji mendapatkan air (Scepanovic et al. 2007). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak akuades daun C. hirta pada konsentrasi 60%, 80%, dan 100% dapat menghambat germinasi biji serta menghambat pertumbuhan batang dan akar I. platypetala secara signifikan. Hal ini berarti bahwa C. hirta merupakan tanaman invasif yang senyawa alelopatinya dapat menimbulkan efek alelopati terhadap tanaman asli I. platypetala sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efek alelopati C. hirta tersebut terhadap tanaman asli lainnya yang berasal dari kawasan kebun raya.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas yang telah
837
memberi dukungan dan fasilitas dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA BLK [Badan Litbang Kehutanan]. 2010. Baseline information on IAS in Indonesia. Workshop Pilot Site Selection and Capacity Building. Badan Litbang Kehutanan, Bogor, 23 Desember 2010. Callaway RM, Ridenour WM, Laboski T et al. 2005. Natural selection for resistance to the allelopathic effects of invasive plants. J Ecology 93: 576-583. Cappuccino N, Arnason JT. 2006. Novel chemistry of invasive exotic plants. Biol Lett 2: 189-193. Dorning M, Cipollini D. 2006. Leaf and root extracts of the invasive shrub, Lonicera Maackii, inhibit seed germination of three herbs with no autotoxic effects. Plant Ecol 184: 287-296. Einhellig FA. 1995. Allelopathy: Current status and future goals. In: Inderjit, Dakhsini KMM, Einhellig FA (eds). Allelopathy, Organism, Processes and Applications. American Chemical Society, Washington DC. Lowe S, Browne M, Boudjelas S, De Poorter M. 2000. 100 of the World’s Worst Invasive Alien Species a Selection from the Global Invasive Species Database. The Invasive Species Specialist Group (ISSG). Hollands Printing Ltd Publisher, Auckland, New Zealand. Mutaqien Z, Tresnanovia VM, Zuhri M. 2011. Penyebaran tumbuhan asing di Hutan Wornojiwo Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional HUT UPT BKT Kebun Raya Cibodas Konservasi Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan. Kebun Raya Cibodas, Cianjur, 7 April 2011. Orr SP, Rudgers JA, Clay K. 2005. Invasive plants can inhibit native tree seedling: testing potential allelopathic mechanism. Pl Ecol 181: 153165. Peters HA 2001. Clidemia hirta invasion of the Pasoh Forest Reserve: an unexpected plant invasion in an undisturbed tropical forest. Biotropica 33: 60-68. Radosevich SR, Holt JS, Ghersa CM. 2007. Ecology of Weeds and Invasive Plants: Relationship to Agriculture and Natural Resources Management. John Wiley & Sons Inc, New York. Rice EL. 1995. Biological Control of Weeds and Plant Diseases. Advances in Applied Allelopathy. University of Oklahoma Press, Norman, OK. Reigosa MS, Gonzalezy L, Soute XC et al. 2000. Allelopathy in forest ecosystems, allelopathy in ecological agricultural and forestry. Proceedings III. International Congress Allelopathy in Ecological Agricultural and Forestry. Dhawad, India, 18-21 August, 1998. Scepanovic M, Novak N, Baric K et al. 2007. Allelopathic effect of two weed species, Abutilon theophrasti Med. and Datura stramonium L. on germination and early growth of corn. Agronomski Glasnik 6: 459-472. Singhakumara BMP, Uduporuwa RSJP, Ashton PMS. 2000. Soil seed banks in relation to light and topographic position of a hill dipterocarp forest in Sri Lanka. Biotropica 32: 190-196. Strahm W. 1999. Invasive species in Mauritius: examining the past and charting the future. In: Sandlund OT, Schei PJ, Viken A (eds). Invasive Species and Biodiversity Management. Kluwer, Dordrecht, The Netherlands. Teo DHL, Tan HTW, Corlett RT et al. 2003. Continental rain forest fragments in Singapore resist invasion by exotic plants. J Biogeogr 30 (2): 305-310. Tjitrosoedirdjo SS. 2005. Inventory of the invasif alient plant species in Indonesia. Biotropia 25: 60-73. Weston LA. 1996. Utilization of Allelopathy for weed management in agroecosystems. Agron J 88: 860-866.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 838-842
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010430
Peningkatan performa pedet sapi Peranakan Ongole pascasapih melalui perbaikan manajemen dengan pemanfaatan sumber daya lokal Enhancing perfomance of weaned Ongole calf through management improvement using local resources BUDI UTOMO, RENIE OELVIANI, SUBIHARTA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Jl. BPTP No. 40, Bukit Tegal Lepek, Ungaran 50501, Jawa Tengah. Tel. +62-24-6924965/7, Fax. +62-24-6924966, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 16 Februari 2015. Revisi disetujui: 1 Mei 2015.
Utomo B, Oelviani R, Subiharta. 2015. Peningkatan performa pedet sapi Peranakan Ongole pascasapih melalui perbaikan manajemen dengan pemanfaatan sumber daya lokal. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 838-842. Salah satu sapi lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil daging adalah sapi Peranakan Ongole (PO), mengingat sapi tersebut populasinya cukup tinggi dan menyebar hampir di seluruh daerah di Indonesia. Kebumen merupakan salah satu sentra peternakan sapi potong lokal, khususnya sapi dari bangsa PO dan ditinjau dari kualitasnya mendekati kualitas aslinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan pedet sapi PO pascasapih. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tahun 2012 dan lokasi penelitian di Desa Tanggulangin, Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen. Materi ternak sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedet sapi PO milik peternak periode lepas sapih (umur 4 s.d. 6 bulan). Pedet sebanyak 22 ekor yang terdiri atas 12 ekor (5 ekor pedet jantan dan 7 ekor pedet betina) dialokasikan ke dalam perlakuan dengan pemberian pakan konsentrat masing-masing sebanyak 1 kg/ekor/hr dan 10 ekor (5 ekor pedet jantan dan 5 ekor pedet betina) diberi pakan gliricidia masing-masing sejumlah 0,5 kg/ekor/hari yang diberikan dalam bentuk kering. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial, yaitu faktor pakan dan jenis kelamin. Variabel yang diamati meliputi bobot badan pedet, ukuran tubuh pedet, dan pakan yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan sapi yang mendapat pakan gliricidia lebih tinggi (475 g/ekor/hr) daripada pedet yang mendapat pakan konsentrat (385 g/ekor/hari). Introduksi pakan konsentrat dan gliricidia ternyata memberikan pertambahan bobot badan pedet jantan lebih tinggi (480 g/ekor/hr) dari pada pertumbuhan pedet betina (380 g/ekor/hr). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pakan hijauan gliricidia yang tersedia di lokasi penelitian dan didapatkan secara mudah tanpa mengeluarkan biaya, dapat memberikan respons pertumbuhan yang lebih baik pada pedet lepas sapih dibandingkan penggunaan pakan konsentrat yang harus dibeli sehingga membutuhkan biaya lebih mahal. Kata kunci: Gliricidia, pascasapih, pedet Peranakan Ongole, ukuran tubuh pedet
Utomo B, Oelviani R, Subiharta. 2015. Enhancing perfomance of weaned ongole calf through management improvement using local resources. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 838-842. Ongole Cattle is potential to be developed as meat source because the population of Ongole Cattle is high enough and it is widely spread almost in Indonesia. Kebumen is one of the cattle breeding central especially for Ongole Cattle and known has good quality. The purpose of this research was to describe the development of Ongole Cattle after their breastfeeding period. The research was conducted in 2012 and the location was in Tanggulangin Village, Klirong District of Kebumen. The type of Ongole Cattle for this reasearch was Ongole Cattle after the breastfeeding period (the age was about 4 to 6 months). The total that used in this research were 22 Ongole Cattles. These were 12 Ongole Cattles (5 male Ongole Cattles and 7 female Ongole Cattles) were treated by giving them 1 kg concentrate each/day and these were 10 Ongole Cattles (5 male Ongole Cattles and 5 female Ongole Cattles) were treated by giving them 0.5 kg dry gliricidia each/day. Statistical design that we used was a Complete Random Plan using Factorial Pattern by food factor and sex. The variables were the weight of the Ongole Cattle, the size of the Ongole Cattle and the food treatment for them. The results showed that the Ongole Cattle’s weight that was treated by dry gliricidia was higher than the others. It was increasing 475 g each/day. The Ongole Cattle’s weight which was treated by concentrate was increasing 385 each/day. The food introduction using consentrate and dry gliricidia were affecting the Ongole Cattle’s height too. The male Ongole Cattle’s height was higher than the female. The male’s height was increasing 480 g each/day and for the female’s height was increasing 380 g each/day. We concluded from the result that by using gliricidia (which is abundant and can be freely obtain) can give better response to Ongole Cattle after breastfeeding Period’s growth than using the concentrate. Keywords: After breastfeeding period, gliricidia, Ongole Cattle, size of Ongole Cattle’s body
PENDAHULUAN Kabupaten Kebumen merupakan salah satu sentra peternakan sapi potong lokal, khususnya sapi dari bangsa
Peranakan Ongole (PO) dan ditinjau dari kualitasnya mendekati kualitas aslinya. Keberhasilan usaha ternak sapi potong tidak terlepas dari masalah ketersediaan pakan, khususnya pakan tambahan atau konsentrat dan hijauan.
UTOMO et al. – Peningkatan performans pedet sapi pasca sapih
Tersedianya pakan ternak yang cukup jumlahnya maupun kualitasnya dan berkesinambungan, merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan ternak sapi potong. Pakan tambahan yang umum dan sering digunakan peternak adalah dedak padi, akan tetapi ketersediaannya sering dibatasi oleh musim panen, harga cukup tinggi, dan penggunaannya untuk ternak sapi semakin kompetitif dengan ternak nonruminansia. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif yang dapat menggantikan dedak padi. Salah satu alternatifnya adalah dengan pemberian hijauan yang mempunyai kualitas yang baik dan peternak tidak mengeluarkan banyak biaya untuk pengadaannya (Subiharta et al. 2013). Sumber hijauan untuk pakan ternak yang mempunyai kualitas cukup baik yaitu leguminosa pohon, di antaranya gamal atau gliricidia. Namun demikian, pemanfaatan dan pembudidayaan tanaman tersebut sebagai sumber pakan ternak sapi potong belum banyak mendapat perhatian. Pemanfaatan daun gliricidia sebagai sumber pakan sapi cukup menjanjikan, karena tanaman gliricidia dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kesuburannya kurang, toleran terhadap tanah masam, produksi hijauan cukup tinggi, dapat tumbuh dengan baik di wilayah hingga ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, serta mempunyai kandungan protein kasar berkisar antara 19-22%
839
(Prawiradiputra et al. 2006). Hasil penelitian Noor (2005) menunjukkan bahwa daun gliricidia merupakan sumber hijauan yang baik sebagai pakan ternak ruminansia karena mempunyai kandungan protein 23,62% dan TDN 63,40% guna memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya. Ketersediaan pakan yang kurang memadai, baik kualitas, kontinuitas, dan kuantitas, dapat menyebabkan ternak mengalami kehilangan bobot badan dan kematian pedet pascasapih. Hasil penelitian Wirdahayati (1998) menunjukkan bahwa tingkat kematian pedet sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif atau semiekstensif dapat mencapai 25-39%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan pedet sapi PO pascasapih melalui perbaikan manajemen dengan pemanfaatan sumber daya lokal.
BAHAN DAN METODE Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tahun 2012 dengan melibatkan anggota kelompok ternak “Gelora Tani” secara partisipatif dan lokasi penelitian di Desa Tanggulangin, Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Tanggulangin (tanda kotak), Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen
840
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 838-842, Juli 2015
Gambar 2. Pedet sapi PO sebagai materi penelitian
Materi ternak sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedet sapi PO milik peternak periode lepas sapih umur 4 s.d. 6 bulan (Gambar 2). Pedet sebanyak 22 ekor, yang terdiri atas 12 ekor (5 ekor pedet jantan dan 7 ekor pedet betina) dialokasikan ke dalam perlakuan dengan pemberian pakan konsentrat masing-masing sebanyak 1 kg/ekor/hr dan 10 ekor (5 ekor pedet jantan dan 5 ekor pedet betina) diberi pakan gliricidia masing-masing sebanyak 0,5 kg/ekor/hari yang diberikan dalam bentuk kering. Penelitian berlangsung selama 4 bulan. Pakan dasar hijauan yang diberikan berupa rumput lapang, rumput gajah, serta jerami padi dan pemberiannya secara ad libitum. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial yaitu faktor pakan dan jenis kelamin. Variabel yang diamati meliputi bobot badan pedet, ukuran-ukuran tubuh pedet, dan pakan yang diberikan. Analisis data menggunakan analisis ragam. Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata maka dilakukan uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie 1981).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan sapi yang mendapat perbaikan manajemen dengan memanfaatkan sumber daya lokal berupa pakan tambahan gliricidia lebih tinggi (475 g/ekor/hr) daripada pedet yang mendapat pakan konsentrat (385 g/ekor/hari). Introduksi perbaikan manajemen dengan penambahan pakan hijauan berupa legume, yaitu gliricidia, ternyata memberikan pertambahan bobot badan nyata (P<0,05) lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penambahan pakan konsentrat, yaitu sebesar 530 g/ekor/hari dan 430 g/ekor/hari untuk pedet jantan dan 420 g/ekor/hari dan 340 g/ekor/hari untuk pedet betina (Tabel 1). Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pedet sapi Peranakan Ongole (PO) berkisar antara 0,2-0,5 kg/ekor/hari (Hartati dan Dikman 2007). Hasil penelitian Ratnawati et al. (2010) menunjukkan bahwa PBBH ternak sapi potong PO pascasapih untuk sapi betina muda adalah 382,4-536,1
g/ekor/hari dan sapi jantan muda berkisar antara 462,6506,8 g/ekor/hari. Hasil penelitian Hastono et al. (2000) menunjukkan bahwa dengan introduksi pakan konsentrat dan gliricidia ternyata memberikan pertumbuhan pedet jantan lebih tinggi daripada pertumbuhan pedet betina. Kondisi ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya bahwa pedet jantan secara konsisten menunjukkan respons pertumbuhan yang lebih besar dan cepat daripada pedet betina pada semua bangsa sapi. Kebutuhan pakan untuk ternak sapi yang sudah tercukupi tercermin dari penampilan produksinya, di antaranya adalah penampilan pertambahan bobot badan harian yang meningkat. Strategi yang umum digunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan memberikan suplemen protein dan dengan protein yang tinggi memungkinkan pertumbuhan pedet menjadi lebih baik (Fattah 2005). Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa perbaikan manajemen dengan memanfaatkan sumber daya lokal berupa hijauan, yaitu legume gliricidia, lebih baik daripada pemberian pakan konsentrat, sebagai pakan tambahan ternak sapi untuk meningkatkan pertambahan bobot badan pedet jantan maupun pedet betina pascasapih. Pada umumnya, peternak sapi tidak menggunakan pakan konsentrat untuk ternak sapi karena harga pakan konsentrat yang mahal dan di perdesaan relatif sulit untuk mendapatkannya sehingga sering kali asupan zat gizi pakan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi sering terabaikan dan tidak terpenuhi. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan ternak sapi akan mengalami keterlambatan estrus post partus, kawin berulang, calving interval menjadi panjang, dan bobot lahir serta bobot sapih pedet rendah. Bobot lahir dan bobot sapih pedet yang rendah berdampak terhadap pertumbuhan selanjutnya. Pertumbuhan ternak merupakan hasil dari proses yang berkesinambungan dalam seluruh hidup ternak, dimana setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan yang berbeda-beda (Tazkia dan Anggraeni 2010). Pertumbuhan ternak tidak bisa terlepas dari pengaruh kuantitas dan kualitas pakan yang dikonsumsi karena pakan merupakan salah satu faktor penting yang
UTOMO et al. – Peningkatan performans pedet sapi pasca sapih
berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Penyediaan pakan sepanjang tahun dan strategi pemberiannya yang tepat merupakan hal yang sangat penting karena pakan membutuhkan biaya produksi yang paling banyak. Pemberian hijauan legume merupakan usaha untuk mencukupi kebutuhan protein ternak yang pakan dasarnya rumput lapang yang nilai gizinya relatif rendah. Oleh karena itu, pakan hijauan yang mempunyai nilai nutrisi tinggi dan mudah diusahakan peternak adalah tanaman legume, terutama gliricidia, yang dapat diberikan kepada ternak sebagai pakan tambahan yang merupakan sumber protein ataupun energi. Hijauan berupa legume, terutama gliricidia, cukup tersedia di lapang yang pada umumnya ditanam petani ternak sebagai tanaman pagar hidup dan di sekitar pematang/kebun sebagai pembatas kepemilikan lahan. Gliricidia selama ini belum banyak dimanfaatkan oleh peternak untuk pakan ternak sapi dan tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di lahan marjinal sehingga tanaman gliricidia merupakan pakan alternatif untuk mengantisipasi kekurangan asupan kandungan zat nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh ternak sapi, terutama pada periode pertumbuhan, bunting, dan menyusui. Hasil penelitian Prawairadiputra et al. (2006) menunjukkan bahwa daun gliricidia sebagai sumber pakan sapi mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan rumput-rumputan karena rumput-rumputan kandungan proteinnya tidak lebih dari 9%, sementara kandungan protein kasar daun gliricidia berkisar antara 19-22% dan tanaman gliricidia dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kesuburannya sedang, toleran terhadap tanah masam, produksi hijauan cukup tinggi (43 ton/tahun), dan dapat tumbuh dengan baik di wilayah hingga ketinggian 1.2001.500 meter di atas permukaan laut. Ukuran tubuh ternak dapat digunakan untuk melihat performa ternak yang menggambarkan pertumbuhan tulang dan pertambahan bobot badan. Menurut Blackmore et al. (1995), parameter ukuran tubuh yang biasa digunakan sebagai standar adalah panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada yang berkorelasi positif dengan bobot badan. Essien dan Adescope (2003) menyatakan bahwa ukuran tubuh ternak dapat digunakan sebagai standar seleksi untuk memperoleh ternak yang mempunyai ukuran lebih besar karena hal ini berkaitan dengan bobot badan dan pertumbuhan. Ternak yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar pada umur yang sama menggambarkan kualitas pertumbuhan yang baik dibanding dengan ternak yang lain. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pertambahan ukuran tubuh pedet lepas sapih untuk panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada antarperlakuan
841
pakan tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, penambahan hijauan gliricidia pertambahannya lebih baik apabila dibanding dengan penambahan konsentrat. Ukuran panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada antara pedet jantan dan betina berbeda nyata (P<0,05). Pertambahan ukuran panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada untuk pedet jantan dan betina dengan tambahan pakan hijauan gliricidia dan konsentrat masingmasing adalah 0,16 cm/ekor/hari dan 0,05 cm/ekor/hari, 0,16 cm/ekor/hari dan 0,04 cm/ekor/hari, 0,12 cm/ekor/hari dan 0,11 cm/ekor/hari, serta 0,17 cm/ekor/hari dan 0,14 cm/ekor/hari, seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil penelitian yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tazkia dan Anggraeni (2010), yaitu rataan pertambahan ukuran tubuh panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada pedet Friesian Holstein (FH) umur 4-6 bulan adalah 0,12 cm/ekor/hari, 0,09 cm/ekor/hari, dan 0,15 cm/ekor/hari. Namun demikian, hasil penelitian yang diperoleh sedikit lebih rendah dari hasil penelitian Handiwirawan et al. (1999), yaitu rataan pertambahan ukuran tubuh panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada pedet umur 3-4 bulan hasil persilangan pejantan Brahman dan induk sapi bali, masing-masing 0,18 cm/ekor/hari, 0,17 cm/ekor/hari, dan 0,25 cm/ekor/hari. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan sumber daya lokal berupa pakan hijauan gliricidia untuk pakan tambahan pada ternak sapi pascasapih dapat memberikan pertumbuhan ukuran tubuh lebih baik dibanding pakan tambahan konsentrat yang harganya mahal. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan sumber daya lokal berupa pakan hijauan pada ternak sapi berupa legume yaitu gliricidia yang tersedia di lokasi penelitian dan didapatkan dengan mudah tanpa mengeluarkan biaya yang banyak, dapat memberikan respons pertumbuhan yang lebih baik pada pedet lepas sapih dibandingkan penggunaan pakan konsentrat yang harus dibeli dengan biaya lebih mahal dan ketersediaannya belum tentu ada. Tabel 1. Pertambahan bobot badan pedet lepas sapih dengan pakan konsentrat dan gliricidia Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari) Jantan Betina Rataan Gliricidia 530a 420c 475 Konsentrat 430b 340d 385 Rataan 480 380 Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Perlakuan
Tabel 2. Pertambahan ukuran tubuh pedet lepas sapih dengan pakan konsentrat dan gliricidia Pertambahan ukuran tubuh harian (cm/ekor/hari) Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Jantan Betina Rataan Jantan Betina Rataan Jantan Betina Rataan Gliricidia 0,16a 0,05b 0,105 0,12a 0,07b 0,095 0,17a 0,09c 0,130 Konsentrat 0,16a 0,04b 0,100 0,11a 0,06b 0,085 0,14b 0,08d 0,110 Rataan 0,16 0,045 0,115 0,065 0,155 0,085 Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dan superskrip pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) Perlakuan pakan
842
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 838-842, Juli 2015
DAFTAR PUSTAKA Blackmore DW, McGulliard LD, Lush JL. 1995. Genetic relationship between body measurements at three ages in Holstein. J Dairy Sci 41: 1045. Essien A, Adescope OM. 2003. Linier body measurements of N’ damacalves at 12 months in a South Western zone of Nigeria Livestock. Res Rural Dev 15: 4-9. Fattah S. 2005. Tampilan pertumbuhan pedet yang diberikan pakan padat pemula di lahan kering. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Handiwirawan E, Setiawan ED, Mathius IW et al. 1999. Ukuran tubuh anak sapi bali dan persilangannya di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional peternakan dan Veteriner. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 1-2 Desember 1999. Hartati, Dikman DM. 2007. Performans pedet sapi Peranakan Ongole (PO) pada kondisi pakan low external input. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hastono, Mathius IW, Handiwirawan E et al. 2000. Penampilan anak sapi keturunan brangus-bali di NTB. Prosiding Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Noor NK. 2005. Peningkatan Produktivitas Ternak Kambing Melalui Pemberian Daun Gamal dan Suplementasi Blok Multinutrisi. [Tesis]. Universitas Hasanudin, Makasar.
Prawiradiputra BR, Sajimin, Nurhayati DP, Herdiawan I. 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Ratnawati D, Affandhy L, Hartati. 2010. Performans produktivitas induk sapi Peranakan Ongole (PO) beranak kembar dan turunannya di kandang percobaan Lolit Sapi potong, Pasuruan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Teknologi Peternakan dan Veteriner Ramah Lingkungan dalam Mendukung Program Swasembada Daging dan Peningkatan Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 3-4 Agustus 2010. Steel RGD, Torrie RJ. 1981. Principle and Procedure of Statistic, A. biometrical approach. McGraw-Hill International Book Company, London. Subiharta, Muryanto, Utomo B et al. 2013. Laporan Kegiatan Pendampingan PSDS melalui Inovasi Teknologi dan Kelembagaan untuk Peningkatan Produksi Daging di Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Semarang. Tazkia R, Anggraeni A. 2010. Introduksi beberapa jenis rumput serta pola dan estimasi kurva pertumbuhan sapi Friesian Holstein di wilayah kerja bagian Timur KPSBU Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Peternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 13-14 Agustus 2009. Wirdahayati RB, Pohan A, Fernandez PTH, Bamualim A. 1998. Studi banding produktivitas sapi bali dan sapi Ongole di pulau Timor. Prosiding Seminar Regional hasil-Hasil Penelitian Pertanian Berbasis Perikanan, Peternakan, dan Sistem Usaha Tani Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama BPTP NTT Kupang dengan Departement of Primary Industry and Fisheries Darwin, Northern Territory, Australia, Kupang, 29-30 Juli 1997.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 843-847
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010431
Potensi kerang manis (Gafrarium tumidum) di pesisir Pantai Negeri Laha, Teluk Ambon sebagai sumber mineral Kerang manis (Gafrarium tumidum) from the coastal of Negeri Laha, Ambon Bay, potential as a source of minerals ENDANG S. SRIMARIANA♥, BERNITA BR. SILABAN, EDIR LOKOLLO Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura. Jl. Mr. Chr. Soplanit Kampus Poka, Ambon 97233, Maluku. Tel. +62-9113825060, Fax: +62-911382061, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 7 Mei 2015.
Srimariana ES, Silaban BB, Lokollo E. 2015. Potensi kerang manis (Gafrarium tumidum) di pesisir Pantai Negeri Laha, Teluk Ambon sebagai sumber mineral. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 843-847. Kerang manis (Gafrarium tumidum) atau bia manis, sebutan umum masyarakat di Maluku, merupakan salah satu jenis moluska dari kelas Bivalva yang berukuran 3-4 cm. Kerang manis hidup dengan cara membenamkan diri di daerah pantai berpasir dan lingkungan estuari. Salah satu lokasi dimana kerang manis banyak ditemukan adalah di pesisir pantai Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon. Penelitian tentang keanekaragaman moluska di sekitar wilayah perairan Maluku telah banyak dilakukan, namun penelitian tentang potensinya sebagai sumber mineral masih relatif sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kerang manis (G. tumidum), khususnya dari pesisir pantai Negeri Laha, sebagai sumber mineral. Kandungan mineral diuji dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Pengujian yang dilakukan meliputi kandungan mineral makro (natrium, kalium, magnesium) dan mineral mikro (yodium, selenium, tembaga). Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kerang manis (G. tumidum) mempunyai potensi sebagai sumber mineral makro dengan kadar natriumnya 515,83 ppm, kalium 475,56 ppm, magnesium 97,80 ppm; dan sumber mineral mikro dengan kadar yodiumnya 485,09 ppm, selenium 0,201 ppm, dan tembaga 2,18 ppm. Kata kunci: AAS, Gafrarium tumidum, kerang manis, mineral makro, mineral mikro
Srimariana ES, Silaban BB, Lokollo E. 2015. Kerang manis (Gafrarium tumidum) from the coastal of Negeri Laha, Ambon Bay, potential as a source of minerals. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 843-847. Kerang manis (Gafrarium tumidum) or bia manis, a common name by people in Maluku, is one of molluscs which belong to Bivalve class with 3-4 cm of size. They live by immersing themselves in the sandy beaches and estuarine environments. One of the locations where kerang manis can be found abundantly is in the coastal area of Negeri Laha, the district of Ambon Bay. Many researches related on molluscs diversity around the waters of Maluku have been carried out, however, research on its potential as a source of minerals was still scarce. The purpose of this research was to determine the potential of kerang manis (G. tumidum) as a source of minerals, especially clams collected from coastal area of Negeri Laha. The mineral content was analysed by of Atomic Absorption Spectrophotometer method (AAS). Analysis was conducted on the content of macro minerals (sodium, potassium, magnesium) and micro minerals (iodine, selenium, copper). Based on this research, it could be concluded that kerang manis (G. tumidum) have the potential as a source of macro minerals with its concentration of sodium 515.83 ppm, potassium 475.56 ppm, magnesium 97.80 ppm; and a source of micro mineral with its concentration of iodine 485.09 ppm, selenium 0.201 ppm and copper 2.18 ppm. Keywords : AAS, Gafrarium tumidum, kerang manis, macro minerals, micro minerals
PENDAHULUAN Provinsi Maluku merupakan provinsi kepulauan yang memiliki hasil laut yang berlimpah, salah satu di antaranya adalah kerang manis. Kerang manis atau bia manis, sebutan umum masyarakat di Maluku, merupakan hewan laut yang berukuran 3-4 cm yang hidup dengan cara membenamkan diri di daerah pantai berpasir dan lingkungan estuari. Bentuk tubuhnya pendek, memiliki warna pada bagian luar yang bervariasi, biasanya berwarna putih pada bagian posterior; pada bagian umbo, pada bagian tepi terdapat bintik-bintik berwarna cokelat tua dan kehitaman, tetapi
kadang-kadang menyebar ke seluruh permukaan kerang. Kerang manis (Gafrarium tumidum) termasuk ke dalam famili Veneridae, kelas Bivalvia (Poutiers 1998). Kerang telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik secara ekologi, ekonomi, maupun kepentingan lainnya. Secara ekologi, kerang memiliki peranan yang penting dalam suatu ekosistem dan menjadi salah satu elemen yang tidak terpisahkan dari rantai makanan yang ada di perairan. Selain itu, kerang juga dapat digunakan sebagai indikator dari suatu kondisi lingkungan. Secara ekonomi, kerang telah dikenal sebagai sumber makanan yang lezat dan bergizi. Selain itu, cangkangnya juga dapat
844
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 843-847, Juli 2015
digunakan untuk hiasan atau pernak-pernik (Mikkelsen dan Henne 2011). Di negara lain seperti di India dan juga di Asia Tenggara, Bivalvia juga merupakan sumber makanan enak dan bergizi, kandungan protein yang tinggi, dan harga yang murah (Jagadis dan Rajagopal 2007; Babu et al. 2012). Dilaporkan oleh Babu et al. (2012) bahwa komposisi biokimia G. tumidum terdiri atas total asam amino 42,97%, di antaranya adalah 20,77% asam amino esensial (EAA) dan 22,2% asam amino nonesensial (NEAA). Ditambahkannya pula bahwa komposisi Bivalvia laut adalah jaminan gizi bagi jutaan orang yang mengalami malnutrisi. Kerang manis merupakan salah satu jenis makanan hasil laut yang digemari masyarakat Maluku karena rasanya yang lezat dan juga memiliki kandungan gizi tinggi. Di kawasan pesisir Maluku, kerang manis dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai salah satu sumber makanan alternatif selain ikan, terutama pada saat musim ombak dimana ikan sulit didapat. Kerang diambil pada saat air laut surut. Aktivitas pengambilan kerang saat air laut surut biasa disebut dengan bameti. Salah satu area bameti kerang adalah di pesisir Passo dan Laha. Penelitian yang berhubungan dengan kerang di sekitar perairan Teluk Ambon, Maluku telah banyak dilakukan, seperti pertumbuhan kerang bulu di perairan Teluk Ambon (Pattikawa 2007), parameter populasi kerang tropis Anodontia edentula (Natan 2009), pertumbuhan kerang tiram pada perairan Teluk Ambon bagian Luar (Toja et al. 2011), dan bioekologi kerang kerek di perairan Teluk Ambon (Islami 2014). Namun, informasi tentang kandungan gizi dan mineral pada kerang, khususnya yang berasal dari perairan Teluk Ambon, masih relatif terbatas. Mineral merupakan salah satu jenis zat gizi yang diperlukan oleh tubuh selain karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin (Inoue et al. 2002). Mineral memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral juga berperan dalam berbagai tahap metabolisme terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim. Kekurangan mineral dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti anemia, gondok, osteoporosis, dan osteomalasia (King 2006). Defisiensi mineral juga memengaruhi metabolisme dan struktur jaringan (Simsek dan Aykut 2007). Pemenuhan kebutuhan mineral dapat diperoleh dengan cara mengkonsumsi bahan pangan, baik yang berasal dari tumbuhan (mineral nabati) maupun hewan (mineral hewani) (Almatsier 2006). Untuk mengevaluasi asupan makanan dan kecukupan mineral, informasi mengenai kandungan mineral pada bahan pangan perlu diketahui, termasuk informasi kandungan mineral pada kerangkerangan dan produk perikanan, khususnya dari perairan di Maluku yang masih relatif terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan mineral makro (natrium, kalium, magnesium) dan mineral mikro (yodium, selenium, tembaga) pada kerang manis yang diambil dari perairan pantai Negeri Laha, Teluk Ambon.
BAHAN DAN METODE Bahan baku kerang manis yang digunakan diambil dari pesisir pantai Negeri Laha, Teluk Ambon bagian Luar. Pengambilan sampel dilakukan pada saat air laut surut. Kerang manis yang telah dibersihkan, dilakukan pemisahan daging dari cangkang dengan menggunakan pisau. Daging kerang kemudian dicuci bersih, ditiriskan, dan ditimbang sebanyak 3 g dan dilakukan preparasi sampel, selanjutnya dianalisis dengan metode AAS untuk pemeriksaan mineral, baik makro (natrium, kalium, magnesium) maupun mikro (selenium dan tembaga), serta sebanyak ±10 g dilakukan preparasi sampel untuk pemeriksaan yodium yang dianalisis dengan metode titrasi. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah HNO3, HCl, KNO3 1%, NaOH 2%, akuades, PO4385%, KI 30%, larutan kanji, Na2S2O3, dan akuabides. Alatalat yang digunakan adalah seperangkat alat gelas, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), timbangan analitik, labu destruksi, lemari asam, oven, labu takar, pH meter, pipet, pisau, wadah plastik, dan saringan plastik. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2014. Cara kerja Preparasi dan analisis kandungan mineral Cara kerja dan analisis kandungan mineral makro (natrium, kalium, magnesium) dan mineral mikro (selenium dan tembaga) dilakukan dengan menggunakan AAS (AOAC 2005). Kandungan mineral daging kerang manis yang telah diabukan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 10 ml asam nitrat pekat dan 30 ml asam klorida pekat, dan dibiarkan selama sehari. Selanjutnya, daging kerang manis dipanaskan hingga kurang lebih 1 jam pada suhu 200oC, ditambahkan 2 ml asam nitrat pekat, dan dipanaskan kembali sampai diperoleh larutan jernih. Larutan ini kemudian dipindahkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera dan disaring. Larutan hasil destruksi kemudian dianalisis menggunakan metode AAS. Preparasi dan analisis yodium (metode analisis Baristand Ambon) Sebanyak 10 g daging kerang manis direndam dalam campuran KNO3 (1%) dan NaOH (2%) dengan perbandingan 1:1, dibiarkan hingga 1 jam, kemudian dikeringkan dalam oven (105oC) dan diabukan pada suhu 550oC sampai abu berwarna putih. Abu dimasukkan ke dalam labu takar, ditambahkan NaOH 0,1 N, kemudian ditera dengan akuades sampai tanda tera, dikocok dan disaring. Selanjutnya ke dalam campuran abu ditambahkan akuades dan 2 ml orthofosfat 85% sampai pH menjadi asam kemudian diaduk selama 2 menit. Larutan sampel ditambah dengan 5 ml KI 30% dan 2-3 tetes larutan kanji, kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat 0,1 N sampai tidak berwarna.
ENDANG S. SRIMARIANA et al. – Potensi kerang manis (Gafrarium tumidum)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kandungan mineral yang diteliti pada penelitian ini adalah mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro merupakan unsur mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar, yaitu lebih dari 100 mg sehari (Almatsier 2006). Kelompok mineral makro yang diamati pada penelitian ini adalah natrium (Na), kalium (K), dan magnesium (Mg). Sementara itu, mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2006). Kelompok mineral mikro antara lain yodium (I), selenium (Se), dan tembaga (Cu). Mineral mikro dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peranan esensial untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi (Almatsier 2006). Rata-rata kandungan mineral kerang manis dari perairan pantai Negeri Laha disajikan pada Tabel 1. Mineral makro pada kerang manis Kandungan mineral makro tertinggi pada kerang manis adalah natrium sebesar 515,83 ppm (mg/kg). Kandungan natrium pada kerang manis ini lebih tinggi nilainya dibanding dengan kandungan natrium kerang pisau (Sollen spp.) dari perairan Kabupaten Pamekasan, Madura (Nurjanah et al. 2008) yaitu 83,35 mg/kg, dan kandungan natrium pada siput air tawar hasil penelitian Tayo et al. (2011) yang berkisar antara 0,136-0,419 mg/kg. Kandungan natrium pada remis (Corbicula javanica) yang diperoleh dari sungai yang berada di situ Gede, Bogor lebih tinggi yaitu 5.212 mg/kg (Salamah et al. 2012), demikian juga dengan kandungan natrium pada oyster dari pantai barat Peninsula, Malaysia sebesar 1.152,3 mg/kg (Nurnadia et al. 2013) dan natrium pada keong matah merah (Cerithidea obtusa) yaitu sebesar 7.132,3 mg/kg (Purwaningsih et al. 2011). Kandungan mineral kerang Meretrix casta (Chemnitz) juga tinggi, dari pantai Cuddalore sebesar 196,35 mg/g dan pantai Parangipettai sebesar 155,6 mg/g (Srilatha et al. 2013). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Periyasamy et al. (2014) pada Bivalvia Donax incarnatus dari pantai Cuddalore (pantai tenggara India) sebesar 91,69 mg/g. Perbedaan ini diduga akibat perbedaan habitat, jenis, dan asupan nutrisi yang terdapat di habitat masing-masing. Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler (Almatsier 2006). Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. Natrium berfungsi mengatur tekanan osmotik. Natrium juga berfungsi menjaga keseimbangan asam basa tubuh, transmisi saraf, kontraksi otot, absorpsi glukosa, dan alat angkut zat gizi lain melalui membran (Almatsier 2006). Natrium juga berperan bagi metabolisme glukosa dan merupakan elemen esensial dari molekul DNA (Tayo et al. 2011). Kandungan kalium pada kerang manis adalah sebesar 475,56 ppm (mg/kg). Yenni et al. (2011) dalam penelitiannya pada kerang pokea (Batissa violacea celebensis) (Martens 1897) dari sungai Pohara, Sulawesi Tenggara mendapatkan hasil yang tinggi untuk kalium yaitu sebesar 1.774,96 ppm, demikian juga dengan kalium dari kerang pisau yaitu 2.118,49 mg/kg (Nurjanah et al.
845
Tabel 1. Kandungan mineral kerang manis (Gafrarium tumidum) Jenis Mineral Mineral makro: Natrium Kalium Magnesium Mineral mikro: Yodium Selenium Tembaga
Kandungan mineral (ppm) 515,83 + 2,19 475,56 + 1,94 97,80 + 1,22 485,09 + 2,43 0,201 + 0,017 2,18 + 0,195
2008), kalium dari keong matah merah sebesar 2.188,2 mg/kg (Purwaningsih et al. 2011), kalium dari remis sebesar 4.650,1 mg/kg (Salamah et al. 2012), dan kalium dari Donax incarnatus sebesar 20,36 mg/g (Periyasamy et al. 2014). Tayo et al. (2011) dan Nurnadia et al. (2013) mendapatkan hasil kalium yang lebih rendah pada siput air tawar yang berkisar antara 0,362-0,418 mg/kg dan oyster dari pantai barat Peninsula, Malaysia yaitu sebesar 98,2 mg/kg. Kandungan mineral yang berbeda-beda pada suatu organisme dapat disebabkan oleh perbedaan habitat. Kalium merupakan ion bermuatan positif (kation) utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler. Di dalam tubuh, kalium mempunyai fungsi dalam menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Kalium juga diperlukan selama glycogenesis. Kalium membantu transfer fosfat dari ATP menjadi asam piruvat dan berperan dalam reaksi-reaksi enzimatis (Soetan et al. 2010). Hampir sama dengan natrium, kalium juga merupakan garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh. Kekurangan kalium pada manusia akan mengakibatkan lemah, lesu, kehilangan nafsu makan, dan kelumpuhan, sedangkan kelebihan kalium akan menyebabkan gagal jantung yang berakibat kematian serta gangguan fungsi ginjal (Soetan et al. 2010). Kandungan magnesium kerang manis adalah 97,80 ppm (mg/kg). Kandungan magnesium dari kerang pokea adalah 655,88 ppm (Yenni et al. 2011), kerang pisau 472,46 mg/kg (Nurjanah et al. 2008), keong matah merah 1.253,6 mg/kg (Purwaningsih et al. 2011), remis 2.614,9 mg/kg (Salamah et al. 2012), oyster 15.348,0 mg/kg (Nurnadia et al. 2013), menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dibanding kandungan magnesium dari kerang manis. Demikian juga dengan kandungan magnesium dari kerang Meretrix casta dari pantai Tenggara India, yaitu sebesar 145,6 mg/g (dari pantai Parangipettai) dan 94,13 mg/g (dari pantai Cuddalore) (Srilatha et al. 2013). Hasil yang tinggi juga dilaporkan oleh Periyasamy et al. (2014) untuk kandungan magnesium dari Donax incarnates, sebesar 60,54 mg/g. Namun kandungan magnesium siput air tawar jauh lebih rendah dibanding kerang manis, yaitu sebesar 0,262-0,297 mg/kg (Tayo et al. 2011). Perbedaan ini dapat terjadi akibat perbedaan habitat, yaitu komponenkomponen anorganik di lingkungan perairan tempat kerang berasal dan spesies. Magnesium juga berperan dalam mencegah kerusakan gigi, mengendorkan otot, transmisi syaraf, dan berbagai aktivitas enzim. Magnesium merupakan kation nomor dua paling banyak setelah natrium dalam cairan ekstraseluler. Kurang lebih 60% dari 20-28 mg magnesium dalam tubuh terdapat pada tulang
846
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 843-847, Juli 2015
dan gigi, 26% di dalam otot, dan sisanya di jaringan lunak lainnya serta cairan tubuh (Almatsier 2006). Status kesehatan dari sistem pencernaan dan ginjal secara signifikan dipengaruhi oleh status magnesium (Soetan et al. 2010). Mineral mikro pada kerang manis Kandungan mineral mikro tertinggi adalah yodium sebesar 485,09 ppm, merupakan nilai yang tinggi. Kandungan yodium pada penelitian-penelitian terdahulu pada kelompok kerang masih terbatas. Kandungan yodium dari rumput laut silpau (Dictyosphaeria versluysii) sebesar 8,79 ppm (Lewerissa dan Srimariana 2012). Kandungan yodium pada bahan pangan sangatlah dipengaruhi dari asal bahan pangan tersebut (Öhrvik et al. 2012). Yodium merupakan komponen dasar dari hormon thyroid, thyroxine, dan mono-, di-, dan tri-iodothyronine. Yodium disimpan dalam thyroid sebagai thyroglobulin. Defisiensi yodium pada anak-anak menyebabkan kretinisme dan pada orang dewasa menyebabkan goiter, hypothyroidism, dan myxedemia. Seafood adalah salah satu sumber yodium yang baik (Soetan et al. 2010) dan kerang manis dapat dijadikan sebagai sumber asupan yodium yang baik karena kandungannya yang tinggi, yaitu sebesar 485,09 ppm. Kandungan selenium kerang manis adalah 0,201 ppm atau sama dengan 20,1 µg/100g. Selenium pada kerang darah tidak terdeteksi (Nurjanah et al. 2005). Selenium pada kerang pokea lebih rendah dari kerang manis, yaitu sebesar <0,002 ppm (Yenni et al. 2011), demikian juga dengan selenium pada remis sebesar <0,001 mg/100 g atau <0,01 ppm (Salamah et al. 2012), dan keong matah merah sebesar <0,01 mg/kg (Purwaningsih et al. 2011). Selenium merupakan antioksidan yang meningkatkan fungsi kekebalan. Selenium dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun penting bagi tubuh. Selenium adalah mineral mikro yang merupakan bagian esensial dari enzim glutation peroksidase (Almatsier 2006). Selenium adalah elemen konstituen sistem pertahanan yang melindungi organisme hidup dari bahaya radikal bebas. Selenium organik diserap lebih menyeluruh dan lebih efisien dibandingkan selenium anorganik. Selenium anorganik bertindak lebih sebagai pro-oksidan yang memicu oksidasi glutathione dan kerusakan oksidatif pada DNA (Wycherly et al. 2004). Kandungan tembaga (Cu) kerang manis adalah sebesar 2,18 ppm atau 218 µg/100g. Mineral tembaga oyster hasil penelitian Nurnadia et al. (2013) jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1.258,34 µg/100g, demikian juga dengan kandungan tembaga pada kerang darah (Anadara granosa) sebesar 12,37 ppm atau 1.237 µg/100g (Nurjanah et al. 2005). Kandungan tembaga Donax incarnatus adalah 1,45 mg/g (Periyasamy et al. 2014). Namun, oyster dari Perancis hasil penelitian Guerin et al. (2011) memiliki kandungan tembaga yang lebih rendah yaitu sebesar 2,1 µg/100g, demikian juga dengan kandungan tembaga pada remis 15 µg/100 g (Salamah et al. 2012), dan kerang matah merah <0,15 mg/kg (Purwaningsih et al. 2011). Mineral tembaga (Cu) berperan melalui aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD). SOD mempunyai substrat spesifik yaitu ion superoksida. Peran tembaga sebagai kofaktor maupun sebagai pengatur enzim SOD cukup besar. Jika tubuh
kekurangan tembaga, akan terjadi peningkatan peroksida lipid. Menurut Santoso et al. (2007), perbedaan kandungan mineral pada organisme perairan pada umumnya dipengaruhi oleh daya absorpsi makanan dari berbagai zat tersuspensi dalam perairan tempat tinggalnya. Kemampuan absorpsi zat tersuspensi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, ukuran organisme, spesies, pH, dan kondisi kelaparan dari organisme tersebut. Kerang merupakan salah satu makanan yang mempunyai gizi seimbang dan juga kandungan mineral yang baik bagi kesehatan. Nilai-nilai gizi termasuk di dalamnya kandungan mineral dari kerang perlu dipublikasikan agar dapat diketahui konsumen. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kerang manis mempunyai potensi sebagai sumber mineral makro: natrium (515,83 ppm), kalium (475,56 ppm), magnesium (97,80 ppm); dan sumber mineral mikro: yodium (485,09 ppm), selenium (0,201 ppm), tembaga (2,18 ppm). Untuk melengkapi data nilai gizi kerang manis disarankan untuk dilakukan penelitian tentang profil asam lemak, asam amino, dan vitamin pada kerang manis.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. Association of official analytical chemists 18th ed. AOAC Press, Gaithersburg, USA. Babu A, Venkatesan V, Rajagopal S. 2012. Biochemical composition of different body parts of Gafrarium tumidum (Roding, 1798) from Mandapam, South East Coast of India. African J Biotech 111 (7): 1700-1704. Guerin T, Chekri R, Vastel C et al. 2011. Determination of 20 trace elements in fish and other seafood from the French market. Food Chem 127 (3): 934-942. Inoue Y, Osawa T, Matsui A et al. 2002. Changes of serum mineral concentration in horses during exercise. Asian Austr J Anim Sci 15 (4): 531-536. Islami MM. 2014. Bioekologi Kerang Kerek Gafrarium tumidum Röding, 1798 (Bivalvia: Veneridae) di Perairan Teluk Ambon, Maluku. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jagadis I, Rajagopal S. 2007. Age and growth of the venus clam Gafrarium tumidum (Roding) from South-East coast of India. Indian J Fish 54 (4): 351-356. King MW. 2006. Clinical aspect of iron metabolism. J Med Biochem 15 (9): 1-4. Lewerissa S, Srimariana ES. 2012. A preliminary study of silpau (Dictyospaeria versluysii): nutritional content. Jurnal STP (Teknologi dan Penelitian Terapan) 2: 112-123. Mikkelsen PM, Henne R. 2011. The Teacher-friendly Guide to Evolution using Bivalves as a Model Organism. The Paleontological Research Institution 1259 Trumansburg Road Ithaca, New York. Natan Y. 2009. Parameter populasi kerang lumpur tropis Anodontia edentula di ekosistem mangrove. J Biol Indon 6 (1): 25-38. Nurjanah, Tarman K, Rusyadi S. 2008. Karakteristik gizi dan potensi pengembangan kerang pisau (Solen spp.) di perairan Kabupaten Pamekasan, Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan 13 (1): 41-51. Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat kerang darah (Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 8 (2): 15-24. Nurnadia AA, Azrina A, Mohd Yunus AS, Mohd Izuan Effendi H. 2013. Mineral contents of selected marine fish and shellfish from the west coast of Peninsular Malaysia. Int Food Res J 20 (1): 431-437. Öhrvik V, Malmborg A, Mattisson I et al. 2012. Fish, shellfish and fish products-analysis of nutrients. Food Agency Report Series no 1/2012 Livsmedelsverkets, Sweden.
ENDANG S. SRIMARIANA et al. – Potensi kerang manis (Gafrarium tumidum) Pattikawa JA. 2007. Pertumbuhan kerang bulu (Anadara antiquate) di perairan pantai Paso, Teluk Ambon, Maluku. Ilmu Kelautan 12(4): 181-186. Periyasamy N, Murugan S, Bharadhirajan P. 2014. Biochemical composition of marine bivalve Donax incarnates (Gmelin, 1791) from Cuddalore Southeast coast of India. IJAPBC 3 (3): 575-582. Poutiers JM. 1998. Bivalves (A cephala Lamellibranchia, Pelecypoda). In: Carpenter KE, Niem VH (eds.). FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. Living Marine Resources of The Western Central Pacific 1. Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods. FAO, Rome. Purwaningsih S, Salamah E, Mirlina N. 2011. Pengaruh metode pengolahan terhadap kandungan mineral keong matah merah (Cerithidea obtusa). In: Nurhayati T, Tarman K, Suseno SH et al. (eds.). Peningkatan Peran Pengolahan Hasil Perikanan dalam Mengantisipasi Lonjakan Produksi Perikanan Nasional.. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-3 MPHPI 2011. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 6-7 Oktober 2011. Salamah E, Purwaningsih S, Kurnia R. 2012. Kandungan mineral remis (Corbicula javanica) akibat proses pengolahan. Jurnal Akuatika 3 (1): 74-83. Santoso J, Nurjanah, Abi I. 2007. Kandungan dan kelarutan mineral pada cumi-cumi Loligo sp. dan udang Litopenaeus vannamei. Jurnal IlmuIlmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1: 7-12. Simsek A, Aykut O. 2007. Evaluation of the microelement profile of Turkish hazelnut (Corylus avellana L) varieties for human nutrition and health. Int J Food Sci Nutr 58: 677-688.
847
Soetan KO, Olaiya CO, Oyewole OE. 2010. The importance of mineral elements for humans, domestic animals and plants: A review. Afr J Food Sci 4 (5): 200-222. Srilatha G, Chamundeeswari K, Ramamoorthy K et al. 2013. Proximate, amino acid, fatty acid and mineral analysis of clam, Meretrix casta (Chemnitz) from Cuddalore and Parangipettai coast, South East coast of India. J Mar Biol Oceanogr 2:2. Doi: 10.4172/2324-8661.1000111. Tayo BCA, Onilude AA, Etuk FI. 2011. Studies on microbiological, proximate mineral and heavy metal composition of freshwater snails from Niger Delta Creek in Nigeria. Technical report AU JT 14 (4): 290-298. Toja TT, Kaligis F, Ompi M. 2011. Pertumbuhan tiram Saccoctrea echinata pada perairan Teluk Ambon bagian luar. Jurnal Perikanan dan Kelautan 7(2). http://jurnal.unipa.ac.id/index.php/perikanankelautan/article/view/304. Wycherly BJ, Moak MA, Christensen MJ. 2004. High dietary intake of sodium selenite induces oxidative DNA damage in rat liver. Nutr Cancer 48: 78-83. Yenni, Nurhayati T, Nurjanah, Losung F. 2011. Kandungan mineral, proksimat dan penanganan kerang pokea (Batissa violacea celebensis) dari Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. In: Nurhayati T, Tarman K, Suseno SH et al. (eds.). Peningkatan Peran Pengolahan Hasil Perikanan dalam Mengantisipasi Lonjakan Produksi Perikanan Nasional. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-3 MPHPI 2011. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 6-7 Oktober 2011.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 848-851
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010432
Respons pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) padi gogo di Kabupaten Pandeglang, Banten The growth and yield response of new superior varieties of upland rice in Pandeglang District, Banten SILVIA YUNIARTI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas, Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507. ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 19 Februari 2015. Revisi disetujui: 24 April 2015.
Yuniarti S. 2015. Respons pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) padi gogo di Kabupaten Pandeglang, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 848-851. Varietas padi gogo yang biasa digunakan petani selama ini adalah varietas lokal yang sudah ditanam secara turun temurun dengan jumlah yang terbatas. Kualitas benih lokal sudah sangat beragam, baik pertumbuhan maupun produksinya, akibat percampuran fisik dan genetik yang sudah tidak jelas. Penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi yang sangat berperan dalam meningkatkan produktivitas padi gogo. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui respons pertumbuhan dan hasil 4 VUB padi gogo di Kabupaten Pandeglang, Banten. Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Kaduela, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang berlangsung pada bulan November 2012 hingga Maret 2013. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan, yaitu VUB Situbagendit, Inpago 4, Inpago 6, dan Inpago 8, masingmasing dengan enam ulangan. Dosis pupuk yang diberikan yaitu Urea 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan NPK Phonska 250 kg/ha, ditanam secara jajar legowo 2:1, jarak tanam (15 x 20) cm2, ditanam dengan tugal dengan jumlah 5 benih per lubang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Inpago 4 dan Inpago 8 memiliki tinggi tanaman yang tertinggi, sedangkan jumlah anakan yang terbanyak adalah varietas Situbagendit. Varietas Inpago 4 memberikan produktivitas yang tertinggi yaitu 3,9 t/ha GKP. Kata kunci: Hasil, padi gogo, Pandeglang, pertumbuhan, VUB Singkatan: Varietas Unggul Baru (VUB), Gabah Kering Panen (GKP)
Yuniarti S. 2015. The growth and yield response of new superior varieties of upland rice in Pandeglang District, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 848-851. Upland rice varieties used by farmers for this is a local variety that has been grown for generations in limited quantities. The quality of local seeds are very diverse both growth and production, because of physical and genetic mixing has been unclear. The use of new varieties is one technology that was instrumental in increasing the productivity of upland rice. The purpose of this study was to evaluate the response of growth and yield of four new superior varieties of upland rice in Pandeglang, Banten. This study was conducted in the Village of Kaduela, Cadasari, Pandeglang District, Banten Province between November 2012 and March 2013. This assessment used a Randomized Block Design to four treatments, namely Situbagendit, Inpago 4, Inpago 6 and Inpago 8 with six replicates. The dosages given were Urea 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha and NPK Phonska 250 kg/ha, planted as jajar legowo 2: 1, a spacing of (15 x 20) cm2, planted with a drill, with five seeds per hole. The results showed that varieties of Inpago 4 and 8 had the highest plant height and Situbagendit had the highest number of tillers. Meanwhile, Inpago 4 had the highest productivity of 3.9 t/ha Dry Grain Harvest (GKP). Keywords: Growth, Pandeglang, upland rice, VUB, yield
PENDAHULUAN Padi gogo adalah padi yang ditanam pada lahan kering yang sepanjang hidupnya tidak digenangi air dan sumber kebutuhan airnya berasal dari kelembaban tanah yang berasal dari curah hujan (Sumarno dan Hidajat 2007). Secara umum, budi daya padi gogo yang dilakukan petani berada di lahan terbuka (ladang), di sekitar bantaran sungai, di sekitar perbukitan daerah aliran sungai (DAS), ditumpangsarikan dengan tanaman perkebunan, dan pada hutan tanaman industri yang masih muda (Toha 2005).
Selain lahan sawah, masih banyak lahan kering yang sangat berpotensi untuk ditanami padi gogo untuk mendukung program peningkatan beras nasional. Potensi lahan kering di Provinsi Banten masih dapat ditingkatkan, baik dari pemanfaatan lahan maupun produktivitasnya. Pemanfaatan lahan kering untuk padi gogo sangat prospektif, khususnya di Kabupaten Pandeglang, karena kabupaten ini merupakan salah satu wilayah yang memiliki lahan kering terluas setelah Kabupaten Lebak. Namun demikian, pengembangan padi gogo masih jauh yang diharapkan karena luas panen padi gogo di Provinsi Banten
YUNIARTI – Pertumbuhan dan hasil padi gogo
pada tahun 2014 yaitu 24.726 ha dengan produktivitas yang tergolong rendah yaitu 3,3 ton/ha (BPS 2014). Pengembangan padi gogo merupakan usaha yang komplementer dalam meningkatkan ketahanan pangan. Sampai saat ini masih terdapat kesenjangan hasil antara produktivitas padi gogo nasional dengan di petak penelitian (Wahyuni 2008). Produktivitas padi gogo secara nasional masih rendah, yaitu berkisar antara 1,68-2,96 ton/ha dengan rata-rata 2,58 ton/ha (BPS 2005). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi gogo di tingkat petani, selain kondisi suboptimal seperti kekeringan dan kahat hara, hal yang terpenting adalah penggunaan varietas. Selama ini varietas yang biasa digunakan petani adalah varietas lokal yang sudah ditanam secara turun temurun dengan jumlah yang terbatas. Wahyuni et al. (1999) dan Pringadi et al. (2001) juga menyatakan bahwa sebagian besar petani masih menanam padi gogo varietas lokal dengan teknik budi daya yang belum optimal. Terdapat beberapa varietas padi gogo dari Badan Litbang Pertanian yang memiliki potensi hasil tinggi dan toleran terhadap kondisi suboptimal dan telah dipublikasikan (Suprihatno et al. 2011). Dengan penggunaan varietas unggul, budi daya yang optimal, dan pengendalian penyakit yang baik, produktivitas padi gogo bisa mencapai 5,4-6,8 ton/ha (Permadi dan Toha 1996; Guswara et al. 1998). Varietas unggul baru (VUB) merupakan salah satu komponen teknologi yang berperan sangat besar dalam meningkatkan produksi padi. Penggunaan VUB padi dengan menggunakan teknik budi daya yang tepat telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan produksi. Pembentukan VUB terus berlangsung untuk menghasilkan varietas dengan keunggulan yang semakin beragam sesuai dengan spesifikasi lokasi dengan potensi agroekosistem, kendala, dan preferensi pengguna (Kustianto 2001). Badan Litbang
849
telah banyak melepas varietas unggul padi gogo. Sampai tahun 2011 telah dilepas berbagai macam varietas padi gogo lahan kering, antara lain Situbagendit, Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, dan Inpago 8. Secara umum, varietasvarietas tersebut berumur genjah, toleran terhadap keracunan aluminium, toleran terhadap kekeringan, tahan terhadap penyakit blas, dan cocok dibudidayakan di lahan kering dataran rendah (Suwito 2005). Hasil penelitian Bora et al. (2013) menunjukkan bahwa padi gogo varietas Inpago 5 dan Inpago 4 memberikan produktivitas masing-masing 2,05 ton/ha dan 1,96 ton/ha yang ditanam pada lahan kering. Hasil penelitian Triastono et al. (2007) menunjukkan bahwa padi gogo varietas Situbagendit dan Batu Tegi memberikan produktivitas masing-masing 3,25 ton/ha dan 2,32 ton/ha sebagai tanaman sela, sedangkan pada lahan terbuka di wilayah yang sama memberikan produktivitas masing-masing 3,77 ton/ha dan 5,5 ton/ha. Toha (2007) juga mengungkapkan bahwa penggunaan VUB padi gogo melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) memberikan hasil 4-5,32 ton/ha. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui respons pertumbuhan dan hasil 4 VUB padi gogo di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di lahan kering di Desa Kaduela, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Banten (Gambar 1) pada bulan November 2012 hingga Maret 2013. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan enam ulangan. Sebagai perlakuan adalah 4 VUB yang terdiri atas Situbagendit, Inpago 4, Inpago 6, dan Inpago 8.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
850
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 848-851, Juli 2015
Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna dengan cara manual yaitu dengan dicangkul. Bibit ditanam dengan cara ditugal dengan jumlah bibit 5 benih per lubang. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm dengan menggunakan sistem tanam jajar legowo 2:1. Luas setiap petak percobaan yaitu 15 m2. Dosis pupuk yang digunakan yaitu Urea 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan NPK Phonska 250 kg/ha. Pemupukan diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pemupukan pertama adalah dengan Phonska dan SP-36 pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam, pemupukan kedua adalah dengan Urea pada saat tanaman berumur 35 hari setelah tanam, dan pemupukan ketiga adalah dengan Urea pada saat tanaman berumur 60 hari setelah tanam. Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan dengan cara manual. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) padi. Pengambilan data dilakukan dengan mengambil sampel 5 rumpun per plot. Parameter yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai yang dilakukan pada saat 1 minggu sebelum panen (umur sekitar 90 hari), dan produktivitas dengan cara menghitung hasil pada semua luasan setiap petak perlakuan dengan luas 15 m2 kemudian dikonversi menjadi ha. Data hasil diambil pada waktu panen. Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Perbedaan nilai tengah perlakuan dalam hal ini varietas dilakukan dengan uji Duncan pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi tanaman dari 4 varietas padi gogo yang diuji berkisar antara 71,0108,5 cm seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa tinggi tanaman varietas Inpago 4 dan Inpago 8 memiliki tinggi yang sama, demikian juga varietas Situbagendit dan Inpago 6 memiliki tinggi tanaman yang tidak berbeda. Berdasarkan deskripsi varietas tinggi tanaman dari keempat varietas tersebut berkisar 99-134 cm (Suprihatno et al. 2011). Hasil pengkajian Bora et al. (2013) yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa tinggi tanaman padi gogo varietas Inpago 4 yang ditanam pada lahan kering yaitu 109,39 cm dan varietas Inpago 6 memiliki tinggi tanaman 99,46 cm. Menurut Sembiring (2013), padi gogo varietas Inpago 4, Inpago 6, dan Inpago 8 toleran Al serta tahan blas daun dan blas leher. Varietas Inpago 8 juga memiliki kelebihan toleran kekeringan dan rasanya pulen. Jumlah anakan produktif varietas Situbagendit, Inpago 6, Inpago 4, dan Inpago 8 diperoleh antara 9,2-12,2 batang/rumpun. Jumlah anakan produktif yang terbanyak yaitu Situbagendit, kemudian diikuti Inpago 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif untuk varietas Inpago 6, Inpago 4, dan Inpago 8 tidak berbeda nyata (Tabel 1). Jumlah anakan produktif pada penelitian ini untuk varietas Situbagendit sama dengan deskripsi varietasnya yang berjumlah 12-13 batang. Adapun untuk varietas Inpago 6, Inpago 4, dan Inpago 8
memiliki anakan produktif yang lebih rendah dari deskripsi varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang malai tertinggi diperoleh pada Inpago 4 dan terendah Situbagendit. Varietas Situbagendit, Inpago 6, Inpago 4, dan Inpago 8 memiliki panjang malai yang tidak berbeda nyata (Tabel 2). Panjang malai dan gabah isi merupakan komponen hasil yang menentukan produksi. Jika panjang malai dan gabah isi tinggi, hasil yang diperoleh juga tinggi (Yuniarti 2013). Varietas Inpago 4 memiliki jumlah gabah isi paling banyak tidak berbeda nyata dengan Inpago 8 (Tabel 2). Varietas Situbagendit, Inpago 6, dan Inpago 8 memiliki jumlah gabah isi yang tidak berbeda nyata. Pada pengkajian ini, varietas Inpago 4 memiliki malai yang terpanjang dan gabah isi yang terbanyak, namun jumlah gabah hampanya juga yang tertinggi. Jumlah gabah hampa terbanyak terdapat pada Inpago 4, tidak berbeda dengan Inpago 8, sedangkan jumlah gabah hampa Situbagendit dan Inpago 6 tidak berbeda nyata dengan Inpago 8. Produksi tertinggi terdapat pada varietas Inpago 4 yaitu 3,9 ton/ha GKP, kemudian diikuti urutan yang kedua Inpago 8 yaitu 3,3 ton/ha GKP, sedangkan produksi untuk Situbagendit dan Inpago 6 tidak berbeda dengan Inpago 8. Varietas Inpago 4 memiliki malai terpanjang dan gabah isi terbanyak, tetapi memiliki jumlah gabah hampa yang tinggi. Namun demikian, produksinya juga masih tertinggi. Jumlah gabah hampa sangat berpengaruh terhadap hasil padi, semakin tinggi jumlah gabah hampa maka produksi padi menjadi rendah (Bobihoe et al. 2011). Namun pada pengkajian ini, varietas Inpago 8 memiliki jumlah gabah hampa yang tinggi, tetapi produksinya masih termasuk tertinggi, hal ini diduga disebabkan bobot dari varietas Inpago 8 lebih padat.
Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan 4 varietas unggul baru padi gogo Varietas
Tinggi tanaman Jumlah anakan (cm) produktif Situbagendit 71,0 a 12,2 b a Inpago 6 93,2 9,5 ab Inpago 4 108,5 c 9,2 a c Inpago 8 107,6 9,3 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan
Tabel 2. Keragaan panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan hasil 4 varietas unggul baru padi gogo Jumlah Hasil gabah Varietas (ton/ha hampa GKP) (butir) a a a Situbagendit 20,1 64,7 20,2 2,6 a a a a Inpago 6 22,9 80,2 22,5 2,3 a Inpago 4 23,2 a 121,8 b 51,5 b 3,9 b a ab ab Inpago 8 21,9 93,0 32,8 3,3 ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Panjang malai (cm)
Jumlah gabah isi (butir)
YUNIARTI – Pertumbuhan dan hasil padi gogo
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas Situbagendit, Inpago 6, Inpago 4, dan Inpago 8 masih lebih rendah dari potensi hasilnya. Potensi hasil dari masingmasing varietas tersebut adalah Situbagendit 4,0 ton/ha pada lahan kering, Inpago 6 rata-rata hasil yang diperoleh 3,9 ton/ha dengan potensi hasil 5,8 ton/ha, Inpago 4 ratarata hasil 4,1 ton/ha dengan potensi hasil 6,1 ton/ha, dan Inpago 8 potensi hasilnya 8,1 ton/ha (Suprihatno et al. 2011; Sembiring dan Widiarta 2013). Varietas yang produksinya dianggap baik adalah Inpago 4 dan Inpago 8, namun demikian perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk penggunaan varietas yang sama pada musim tanam yang berbeda, baik di Kabupaten Pandeglang maupun kabupaten lainnya di Provinsi Banten, agar didapatkan data yang lebih baik lagi. Varietas yang memiliki tinggi tanaman yang tertinggi adalah Inpago 4 dan Inpago 8. Varietas Situbagendit dan Inpago 6 memiliki jumlah anakan produktif terbanyak. Varietas Inpago 4 memiliki panjang malai yang terpanjang, gabah isi dan gabah hampa terbanyak, dan hasil yang tertinggi yaitu 3,9 ton/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian yang telah memberikan dana dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sri Kurniawati dan Mayunar selaku Penanggung Jawab kegiatan, Ahyani yang telah membantu dalam penelitian ini, dan Dr. Pepi Nur Susilawati yang telah membantu dalam penulisan.
DAFTAR PUSTAKA BPS [Badan Pusat Statistik]. 2014. Banten dalam Angka. Provinsi Banten. BPS [Badan Pusat Statistik]. 2005. Statistik Indonesia tahun 2004. Biro Pusat Statistik Indonesia, Jakarta. Bobihoe J, Jumakir, Endrizal. 2011. Keragaan dan potensi hasil varietas unggul baru (VUB) Inpari di lahan sawah irigasi mendukung program peningkatan beras nasional di Provinsi Jambi. In: Arsyad DM, Arifin M, Dhalimi A, Ananto E, Hendayana R, Bustaman S, Sankarto B, Sudana W, Gozali A, Djauhari A, Mardiharini M (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Percepatan Transfer Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi untuk Pemberdayaan Petani Mendukung Ketahanan Pangan. Balai Besar
851
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor, 19-20 November 2011. Bora CY, Murdolelono B, Da Silva H. 2013. Uji adaptasi varietas unggul baru (VUB) padi gogo Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. In: Arsyad DM, Arifin M, Las I, Hendayana R, Bustaman S (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Lahan Kering. Percepatan Penciptaan dan Penyebarluasan Inovasi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Buku 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kupang, 4-5 September 2012. Guswara A, Toha HM, Permadi K. 1998. Perbaikan Budidaya Padi Gogo di Tingkat Petani Perhutani Sosial. Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi. Balai Penelitian Tanamana Padi, Sukamandi, Subang. Kustianto B. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleransi cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Pelatihan dan Koordinasi Program Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi, Subang, 9-14 April 2001. Permadi K, Toha HM. 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengembangan Wilayah Lahan Kering 18: 27-39. Pringadi K, Toha HM, Permadi K, Guswara A. 2001. Optimasi Hara dalam Tanah dan Pemacu Penyerapan Hara oleh Tanaman Padi Gogo melalui Modifikasi Cara Tanam dan Pemupukan. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Sembiring H, Widiarta. 2013. Inovasi teknologi lahan kering tanaman pangan mendukung pencapaian swasembada pangan. In: Arsyad DM, Arifin M, Las I, Hendayana R, Bustaman S (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Lahan Kering. Percepatan Penciptaan dan Penyebarluasan Inovasi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Buku 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kupang, 4-5 September 2012. Sumarno, Hidajat JR. 2007. Perluasan areal padi gogo sebagai pilihan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 2 (1): 26-40. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto et al. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Suwito T. 2005. Status pembentukan varietas padi unggul untuk lahan suboptimal. Lokakarya Jaringan Penelitian Pemuliaan Partisipatif. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, 12-13 Desember 2005. Toha HM. 2005. Padi gogo dan pola pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Toha HM. 2007. Peningkatan produktivitas padi gogo melalui penerapan pengelolaan tanaman terpadu dengan introduksi varietas unggul. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 26 (3): 180-187. Triastono J, Lidjang IK, Marawali HH et al. 2008. Pengkajian Tanaman Sela dalam Budidaya Lorong. Laporan Kegiatan Penelitian Tahun 2007. BPTP NTT, Kupang. Wahyuni S, Nugraha US, Kadir TS. 1999. Evaluasi teknik pengelolaan mutu benih padi gogo di tingkat petani. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 8(1): 1-5. Wahyuni S. 2008. Hasil padi gogo dari dua sumber benih yang berbeda. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 27(3): 135-140. Yuniarti S, Kurniawati S. 2013. Keragaan komponen pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru padi pada lahan rawan banjir di Kabupaten Pandeglang, Banten. Buletin IKATAN 3: 2.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 852-855
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010433
Pengaruh pupuk kompos bioposka dalam proses perkecambahan dan pertumbuhan biji Quassia indica Effect of bioposka compost in the seed germination process and growth of Quassia indica HENDRA HELMANTO♥, FRISCA DAMAYANTI♥♥, DANANG W. PURNOMO♥♥♥ Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, PO Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 27 April 2015.
Helmanto H, Damayanti F, Purnomo DW. 2015. Pengaruh pupuk kompos bioposka dalam proses perkecambahan dan pertumbuhan biji Quassia indica. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 852-855. Quassia indica (Gaertn.) Noot. merupakan anggota famili Simaroubaceae. Tanaman ini memiliki potensi sebagai tanaman obat dan ornamental. Metode propagasi Quassia indica yang sering digunakan adalah melalui biji. Bioposka adalah salah satu jenis kompos yang diproduksi oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bioposka terhadap perkecambahan dan pertumbuhan semai Quassia indica sehingga digunakan media standar (pasir) dengan penambahan bioposka pada jumlah yang berbeda. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Media semai yang digunakan adalah pasir, pasir:bioposka (1:1), dan bioposka. Masingmasing media dibuat 2 ulangan dan setiap ulangan terdapat 10 biji percobaan. Parameter yang diukur adalah jumlah biji berkecambah dan tinggi semai selama 3 bulan. Analisis data viabilitas (daya kecambah total, daya kecambah normal, hari pertama berkecambah, hari terakhir berkecambah, koefisien kecepatan berkecambah, koefisien keserempakan tumbuh) dan pertumbuhan tinggi menggunakan ANOVA dengan perangkat STAR. Hasil penelitian menunjukkan daya viabilitas tertinggi terdapat pada media pasir:bioposka dengan daya kecambah total 55%, sedangkan pada bioposka 35% dan pasir 30%. Analisis varian pertumbuhan tinggi, perlakuan media menunjukkan perbedaan yang nyata dalam taraf uji 5%. Pada uji lanjut DMRT, pertumbuhan tinggi terbaik terjadi pada media pasir dengan rerata pertumbuhan 24,49 cm, selanjutnya pasir:bioposka 18,48 cm dan paling rendah bioposka 16,22 cm. Kata kunci: Bioposka, media, Quassia indica, tinggi, viabilitas
Helmanto H, Damayanti F, Purnomo DW. 2015. Effect of bioposka compost in the seed germination process and growth of Quassia indica. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 852-855. Quassia indica (Gaertn.) Noot. is a member of Simaroubaceae family. This plant has many potential as a medicinal and ornamental plant. Propagation of Quassia indica is seed germination. Bioposka is one type of compost produced by the Center for Plant Conservation Botanical Garden LIPI, Bogor. This study aimed to determine the effect of bioposka on germination and seedling growth of Quassia indica. The research used standard media (sand) with the addition different number of bioposka. The research method used a Completely Randomized Design (CRD). Seedling media used was sand, sand:bioposka (1: 1) and bioposka. Each media was made two replications and each replication contained 10 unit of seeds. The parameters measured were the high number of seeds germinated and seedling growth for 3 months. Data analysis of viability (germination total, normal germination, germination first day, the last day of germination, germination rate coefficient, coefficient of simultaneity grow) and seedling growth used Anova with the STAR software. The results showed that the highest viability was the sand media:bioposka with a total of 55%, while on bioposka 35% and 30% sand. Analysis of variance of high growth, the media's treatment showed significant differences in test level 5%, in a further test DMRT, the highest growth occurred in sand medium with an average growth of 24.49 cm, sand:bioposka 18.48 cm and bioposka 16.22 cm. Key words: Bioposka, media, Quassia indica, high, viability
PENDAHULUAN Quassia indica (Gaertn.) Noot. merupakan anggota dari suku Simaroubaceae. Spesies ini terdistribusi mulai dari Madagascar, India, Sri Lanka, termasuk Asia Tenggara (kecuali Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara). Quassia indica memiliki potensi sebagai tanaman obat karena mengandung quassinoids. Koike dan Ohmoto (1994) menemukan quassinoids baru yang disebut indaquassins yang diisolasi dari kulit Q. indica dengan menggunakan spektroskopi dan pembuktian kimia. Selain itu, ditemukan
juga senyawa samaderines, dihydrosamaderine B, brucein D, soulameolide, dan cedronindancanthin-2,6-dion. Kassim (2010) menyatakan bahwa Q. indica telah digunakan sebagai obat terhadap sejumlah penyakit dalam sistem pengobatan tradisional. Dalam penelitiannya, daun Q. indica dianalisis untuk diketahui kandungan senyawa potensial dan fitokimia antibakteri. Kandungan senyawa tersebut dapat meningkatkan polaritas terhadap bakteri patogen penyebab penyakit kulit pada manusia. Kandungan petroleum eter dan etanol yang ditemukan diduga aktif sebagai antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa
HELMANTO et al. – Pengaruh bioposka pada viabilitas dan pertumbuhan Quassia indica
853
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Unit Pembibitan I, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI (PKT-KR LIPI) Bogor, Jawa Barat (S: 06036’155”, E: 106047’825”) pada ketinggian 291 m dpl. Biji Q. indica diperoleh dari koleksi PKT-KR LIPI yang terletak pada Vak VI.B.47 dalam kondisi masak fisiologis, selanjutnya biji tersebut dikecambahkan pada media dengan penambahan bioposka. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 3 bulan (29 Oktober 2014-29 Januari 2015).
Gambar 1. Buah Quassia indica (Gaertn.) Noot. yang telah masak
(Kassim 2010). Quassia indica berbuah banyak sepanjang tahun karena tidak terpengaruh oleh musim sehingga tanaman ini sangat cocok sebagai tanaman penghasil bahan industri. Buah Q. indica berbentuk unik menjadikan tanaman ini juga cocok sebagai tanaman ornamental. Pasir merupakan salah satu media yang umum digunakan untuk perkecambahan. Akan tetapi, pasir memiliki beberapa kekurangan, yaitu luas permukaan komulatif yang relatif kecil, sehingga kemampuannya menyimpan air sangat rendah sehingga media lebih cepat kering (Fahmi 2013). Kandungan unsur hara yang terkandung dalam pasir tergolong miskin. Hal ini memang tidak akan mengganggu proses perkecambahan biji, akan tetapi berpotensi menimbulkan cekaman hara saat cadangan makanan di kotiledon mulai habis pada fase pertumbuhan selanjutnya. Penambahan bioposka P1 dimaksudkan untuk menambah kandungan hara pada media sehingga dapat mengurangi potensi cekaman hara saat kotiledon habis. Tabel 1 menunjukkan kandungan unsur hara dalam bioposka jenis P1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bioposka terhadap perkecambahan dan pertumbuhan semai Q. indica sehingga didapatkan media yang optimal untuk perkecambahan biji dan juga pertumbuhan benih Q. indica setelah kotiledon habis.
Cara kerja Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Media semai yang digunakan adalah pasir, pasir:bioposka (1:1), dan bioposka. Setiap media dibuat 2 ulangan dan setiap ulangan terdapat 10 biji percobaan. Parameter yang diukur adalah jumlah biji berkecambah dan tinggi semai selama 3 bulan. Rumus yang digunakan sebagai berikut (Draper et al. 1985). ................ (1) ......................... (2) ................................. (3)
...... (4) ∑n = jumlah total biji berkecambah t x n = n biji yang berkecambah pada hari ke-t Analisis data Daya kecambah biji dianalisis dengan analisis viabilitas (daya kecambah total, daya kecambah normal, hari pertama berkecambah, hari terakhir berkecambah, koefisien kecepatan berkecambah, koefisien keserempakan tumbuh) dan petumbuhan tinggi dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan perangkat STAR (Statistic Tool for Agricultural Research).
Tabel 1. Hasil uji laboratorium kandungan hara bioposka P1 (Balai Penelitian Tanah-Kementerian Pertanian 2014) Indikator
Nilai
Indikator
Nilai
Indikator
Nilai
pH Kadar air C-Total N-Total C/N P2O5
6,8 57,92 % 9,34% 1,26% 7 0,04%
K2O Fe Mn Cu Zn B
0,17% 9.374 ppm 555 ppm 21 ppm 85 ppm 30 ppm
Pb Cd Co Asam humat KTK
19 ppm 1,7 ppm 6,87 % 22,27
854
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 852-855, Juli 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan parameter daya kecambah Q. indica dan perhitungan parameter lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2. Media mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kecepatan tumbuh kecambah. Hasil uji lanjut DMRT kecepatan tumbuh kecambah Q. indica dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan daya perkecambahan tertinggi terdapat pada media pasir:bioposka dengan daya kecambah total 55%, sedangkan pada bioposka 35% dan pasir 30%. Tabel 2 menunjukkan Q. indica lebih efektif disemai pada media campuran antara pasir:bioposka. Media campuran antara pasir:bioposka memiliki RH di antara pasir dan bioposka sehingga tidak terlalu basah ataupun kering. Berbeda dengan bioposka, pasir memiliki water holding capacity yang kurang baik sehingga media menjadi cepat kering. Media perkecambahan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perkecambahan biji (Akbar 1992). Media yang digunakan untuk perbanyakan tanaman mempunyai beberapa persyaratan, yaitu cukup kompak agar kuat menopang tegaknya batang serta mempunyai kapasitas pegang air (water holding capacity) yang cukup baik untuk perkembangannya (Hartman et al. 1990), sementara bioposka murni memiliki water holding capacity yang terlalu besar sehingga air menjadi terlalu banyak. Media yang terlalu lembab akan merangsang pertumbuhan jamur yang dapat menyebabkan penyakit (Lakitan 1995). Media campuran antara pasir:bioposka memiliki water holding capacity di antara pasir dan bioposka sehingga baik untuk perkecambahan Q. indica. Penelitian sebelumnya yang menambahkan kompos dengan media lain dilakukan oleh Muniarti (2006), menunjukkan bahwa media tanah:kompos (88,7%) memiliki daya kecambah lebih besar dari media pasir (74,7%) pada jenis Morinda citrifolia L. (mengkudu). Daya berkecambah tertinggi pada penambahan kompos juga diperoleh dari penelitian Ekasari (1994), benih tanpa perlakuan yang ditanam pada media tanah:kompos (1:1) terhadap biji kemiri. Sutopo (1984) menyatakan bahwa proses perkecambahan biji merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia. Tahap pertama dimulai dari penyerapan air oleh biji, melunaknya kulit biji, dan hidrasi oleh protoplasma. Tahap kedua dimulai dengan kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi biji. Tahap ketiga berupa penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi bentuk terlarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan di daerah enzimatik ke daerah meristimatik untuk menghasilkan energi guna pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima adalah pertumbuhan kecambah melalui proses pembelahan dan pembesaran sel. Pada saat daun belum berfungsi untuk fotosintesis, pertumbuhan kecambah sangat bergantung pada persediaan makanan di dalam biji. Setelah biji berkecambah, pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman) dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dalam
Tabel 2. Data hasil pengamatan daya kecambah Quassia indica (Gaertn.) Noot.
Daya kecambah total Daya kecambah normal Hari pertama berkecambah Hari terakhir berkecambah Koefisien kecepatan berkecambah Koefisien keserempakan tumbuh
Media Pasir: Pasir bioposka 30% 55% 30% 55% 19 19 58 86 0,0365 0,0157 0,0047 0,0009
35% 35% 40 92 0,0175 0,0020
Faktor lingkungan RH (%) pH
10 7
88 7
Uji daya kecambah
30 7
Bioposka
Tabel 3. Hasil uji lanjut DMRT Media
Rata-rata
Grup
M1 24,49 a M2 18,48 b M3 16,22 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% uji Duncan
biji (kotil). Apabila ketersediaan cadangan makanan (karbohidrat, lemak, protein, dan miaeral) dalam biji habis maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan selanjutnya. Media tumbuh sangat berperan terhadap kelangsungan pertumbuhan kecambah (Sumiasri 2006). Analisis varian pertumbuhan tinggi pada Tabel 3 menunjukkan media yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi semai Q. indica. Tabel 3 menunjukkan uji lanjut DMRT pada taraf uji 5%. Pertumbuhan tinggi terbaik terjadi pada media pasir dengan rerata pertumbuhan 24,49 cm, selanjutnya pasir:bioposka 18,48 cm dan paling rendah bioposka 16,22 cm. Hasil ini menunjukkan kenyataan yang berbeda dengan hipotesis awal dimana media pasir yang tergolong miskin hara memiliki rerata pertumbuhan tinggi paling baik. Sementara media pasir:bioposka dan bioposka yang memiliki kandungan hara lebih tinggi justru memiliki pertumbuhan tinggi yang lebih rendah. Media pasir memang tergolong miskin unsur hara, tetapi media pasir mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman (Wiryanto 2007) walaupun dalam jumlah yang terbatas. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daya viabilitas tertinggi terdapat pada media pasir:bioposka dengan daya kecambah total 55%, selanjutnya bioposka 35% dan pasir 30%. Adapun pertumbuhan tinggi terbaik terjadi pada media pasir dengan rerata pertumbuhan 24,49 cm, selanjutnya pasir:bioposka 18,48 cm dan paling rendah bioposka 16,22 cm.
HELMANTO et al. – Pengaruh bioposka pada viabilitas dan pertumbuhan Quassia indica
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Riki Ruhimat dan tim bioposka yang telah memberikan informasi dan material bioposka, serta kepada Bapak Suharto, teknisi Bank Biji PKT Kebun Raya, Bogor yang telah membantu penulis dalam pengambilan sampel biji di Kebun Raya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Dian Latifah selaku kepala bagian Bank Biji PKT Kebun Raya, Bogor yang telah memberikan izin tempat penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Akbar A. 1992. Aspek-aspek penting uji perkecambahan benih pohon menurut ACFTSC. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 8 (2): 5-10. Draper SR, Bass LN, Bould A et al. 1985. Seed science and technology. International Seed Testing Association, Zurich.
855
Ekasari P. 1994. Pengaruh Tingkat Kemasakan, Media Tanam, dan Posisi Benih Ditanam terhadap Perkecambahan Benih Kemiri (Aleurites moluccana Willd). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fahmi ZI. 2013. Media tanam sebagai faktor eksternal yang memengaruhi pertumbuhan tanaman. http://ditjenbun.pertanian.go [9 April 2015]. Hartmann HT, Kester DE, Davies FT. 1990. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice-Hall International Inc, New Jersey. Kassim AP, Toji T. 2010. Antibacterial evaluation of Quassia indica (Gaertn.) Nooteb. in Steenis towards bacteria involved in skin diseases. J Global Pharma Technol 2: 48-52. Koike K, Ohmoto T. 2010. Quassinoids from Quassia indica. Phytochemistry 35: 459-463. Lakitan B. 1995. Hortikultura, Teori, Budidaya, dan Pascapanen. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Murniati E, Suminar M. 2006. Pengaruh jenis media perkecambahan dan perlakuan pra perkecambahan terhadap viabilitas benih mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan hubungannya dengan sifat dormansi benih. Bul Agron 34 (2): 119-123. Sumiasri N, Setyowati N. 2006. Pengaruh beberapa media pada pertumbuhan bibit eboni (Diospyros celebica Bakh) melalui perbanyakan biji. Biodiversitas 7: 260-263. Sutopo L. 1984. Teknologi Biji. Rajawali, Jakarta. Wiryanto BTW. 2007. Media Tanam untuk Tanaman Hias. Agro Media, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 856-859
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010434
Perkecambahan dan pertumbuhan kecambah Clausena excavata pada perlakuan pemberian kompos bioposka Seed germination and seedling growth of Clausena excavata on bioposka composting treatment FRISCA DAMAYANTI1,♥, HENDRA HELMANTO1,♥♥ Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jl. Ir. H. Juanda No. 13, PO Box 309, Bogor 16003, Jawa Barat. Tel./Fax. +62-251-8322187, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 27 April 2015.
Damayanti F, Helmanto H. 2015. Perkecambahan dan pertumbuhan kecambah Clausena excavata pada perlakuan pemberian kompos bioposka. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 856-859. Pasir merupakan salah satu media yang paling sering digunakan untuk mengecambahkan biji. Pasir memiliki beberapa kekurangan yaitu luas permukaan komulatif yang relatif kecil serta kemampuan menyimpan air sangat rendah sehingga media lebih cepat kering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bioposka terhadap perkecambahan dan pertumbuhan semai Clausena excavata. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan media semai yang diberikan adalah pasir, pasir: bioposka (1:1), dan bioposka murni. Setiap media dibuat 2 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 10 unit biji C. excavata. Parameter yang diukur adalah jumlah biji berkecambah dan tinggi semai selama 3 bulan. Analisis daya berkecambah (daya kecambah total, daya kecambah normal, hari pertama berkecambah, hari terakhir berkecambah, koefisien kecepatan berkecambah, koefisien keserempakan tumbuh) dan pertumbuhan tinggi menggunakan Microsoft Excel dan analisis varian menggunakan software STAR (Statistical Tool for Agricultural Research). Hasil penghitungan daya viabilitas menunjukkan pada media pasir:bioposka dan bioposka murni memiliki daya kecambah total yang sama tinggi yaitu 100%, sedangkan media pasir sebesar 90%. Analisis varian pertumbuhan tinggi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perbedaan media dalam taraf uji 5%. Hasil uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) menunjukkan media pasir menghasilkan pertumbuhan C. exavata tertinggi dengan rerata pertumbuhan 10,19 cm selama 3 bulan, bioposka 7,71 cm, dan paling rendah media campuran pasir:bioposka 5,06 cm. Kata kunci: Bioposka, C. excavata, daya kecambah, media, pasir
Damayanti F, Helmanto H. 2015. Seed germination and seedling growth of Clausena excavata on bioposka composting treatment. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 856-859. Sand is one of the most commonly medium used for germinating the seeds. Sand has some deficiency that the surface area is relatively small, the ability to store water is so low that dry faster media. This study aimed to determine the effect of bioposka on seed germination and seedling growth of Clausena excavata. The research method used a Completely Randomized Design (CRD). Treatment of media was sand, sand:bioposka (1:1) and pure bioposka. Each media was made two replications and each replication contained 10 units of seeds. The parameters measured were the number of seeds germinated and high of seedlings for 3 months. Data analysis of viability (germination total, normal germination, first day of germination, the last day of germination, germination rate coefficient, coefficient of simultaneity grow) and height of seedlings used Microsoft Excel and Analysis of Variance used STAR (Statistical Tool for Agricultural Research) software. The results showed that the viability on the media of sand:bioposka and pure bioposka had as high as 100% and 90% for sand media. Analysis of variance showed that seedling growth significant difference to the media in the level of 5%. Further, the test results of DMRT (Duncan's Multiple Range Test) showed that sand media produced the highest growth of C. exavata with average growth of 10,19 cm, bioposka 7,71 cm and sand:bioposka 5,06 cm. Key words: Bioposka, C. excavata, media, sand, viability
PENDAHULUAN Clausena excavata merupakan salah satu anggota suku Rutaceae yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Tanaman ini sering dimanfaatkan sebagai tanaman obat oleh sebagian masyarakat Indonesia (Takemura et al. 2000). Clausena excavata mengandung banyak kandungan senyawa obat seperti alkaloid, kumarin, karbazol, dan flavonoid (Arbab et al. 2011; Manosroi et al. 2003; Syarif et al. 2011). Clausena excavata merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara (Froelicher dan Ollitrault 2000). Siriseree
(2010) menyebutkan bahwa anggota subfamily Aurantioideae, salah satunya jenis C. excavata, mempunyai native habitat yang sangat terbatas di dunia. Menurut Vieira (2010), biji C. excavata termasuk ke dalam biji rekalsitran, dimana bijinya perlu dilakukan penanganan yang cepat karena mempunyai daya simpan biji yang pendek. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya perbanyakan jenis ini untuk menjaga keberlangsungan hidupnya dan mendapatkan teknik perkecambahan C. excavata yang efisien.
DAMAYANTI et al. – Bioposka: perkecambahan Clausena excavata
Pasir merupakan salah satu media yang paling sering digunakan untuk mengecambahkan biji. Pasir memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai media semai. Kelebihan pasir sebagai media tanam di antaranya adalah media pasir mempunyai porositas yang baik, media pasir mampu meneruskan kelebihan air dalam media, media pasir miskin unsur hara tetapi mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan tanaman, selain itu media pasir baik untuk perkembangan akar kecambah (Wiryanto 2007). Kekurangan media pasir di antaranya adalah luas permukaan komulatif yang relatif kecil, kemampuan menyimpan air sangat rendah sehingga media lebih cepat kering. Bioposka merupakan kompos yang diproduksi oleh Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor. Bioposka mempunyai karakteristik yaitu mempunyai struktur yang sangat halus, padat, dan mempunyai porous yang sangat kecil. Menurut hasil analisis kandungan bioposka yang dilakukan di Laboratorium Pengujian, Balai Penelitian Tanah Bogor, bioposka mengandung unsurunsur seperti C, N, Fe, Mn, Cu, Zn, B, Pb, Cd, dan Co (KRB, data tidak dipublikasikan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bioposka terhadap perkecambahan dan pertumbuhan semai C. excavata sehingga akan didapatkan metode persemaian yang efisien bagi C. excavata.
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor, Jawa Barat selama 3 bulan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015. Cara kerja Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan media semai yang diberikan adalah pasir, pasir:bioposka (1:1), dan bioposka murni. Setiap media dibuat 2 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 10 unit biji C. excavata. Parameter yang diukur adalah viabilitas biji (daya kecambah total, daya kecambah normal, koefisien kecepatan berkecambah, koefisien keserempakan, hari pertama berkecambah, dan hari terakhir berkecambah) serta pertumbuhan kecambah (penambahan tinggi kecambah). Perhitungan parameter daya berkecambah biji dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini (Draper et al. 1985). ................ (1)
857 ......................... (2) ................................. (3)
...... (4) ∑n = jumlah total biji berkecambah t x n = n biji yang berkecambah pada hari ke-t Analisis data Analisis daya berkecambah, pertumbuhan kecambah, dan biomassa kecambah menggunakan Microsoft Excel. Analisis varian untuk daya berkecambah menggunakan software Statistical Tool for Agricultural Research (STAR Nebula).
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya kecambah Hasil penghitungan daya viabilitas menunjukkan media pasir:bioposka dan kompos bioposka murni memiliki daya kecambah total yang sama tinggi yaitu 100%, sedangkan pasir sebesar 90%. Perhitungan parameter viabilitas biji disajikan pada Tabel 1. Perhitungan parameter lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2. Pertumbuhan kecambah Analisis varian pertumbuhan tinggi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perbedaan media dalam taraf uji 5%. Hasil uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) menunjukkan media pasir menghasilkan pertumbuhan C. exavata tertinggi dengan rerata pertumbuhan sebesar 10,19 cm, bioposka sebesar 7,71 cm, dan paling rendah pasir:bioposka sebesar 5,06 cm pada akhir pengamatan pada minggu ke-15. Pertumbuhan kecambah C. excavata dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 2. Parameter lingkungan Media
pH
Pasir Pasir:Bioposka Bioposka
7 7 6,8
RH (%) 17,67 53 75
Suhu lingkungan 310 C
Ketinggian tempat 291 m dpl
Tabel 1. Pengukuran parameter viabilitas biji C. excavata Hari pertama berkecambah (hari ke-) Pasir 90 90 0,046 a 0,107 19 Pasir:Bioposka 100 100 0,029 b 0,069 25 Bioposka 100 100 0,031 b 0,055 25 Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0,05) Media
DKT (%)
DKN (%)
Koef. Kec
Koef. Ksr
Hari terakhir berkecambah (hari ke-) 29,5 48 41
858
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 856-859, Juli 2015
Gambar 1. Pertumbuhan kecambah C. excavata
Pembahasan Media pasir:bioposka dan bioposka murni menghasilkan daya kecambah tertinggi, hal ini dapat dikarenakan kelembaban pada media tersebut cukup tinggi (Tabel 1 dan Tabel 2) sehingga air yang ada di dalam media dapat masuk ke dalam biji. Proses perkecambahan dimulai dengan adanya proses penyerapan air (imbibisi) yang diikuti oleh proses pembesaran dan pembelahan sel serta pengaktifan enzim (Vieira et al. 2010). Dengan adanya proses imbibisi air, biji dapat berkecambah dan tumbuh menjadi individu baru. Di sisi lain, media pasir mempunyai kelembaban yang sangat rendah (Tabel 2) sehingga ketersediaan air dalam media tersebut sangat minim. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumiasri et al. (2010) bahwa palem putri (Veitchia merilli (Becc.) h.f. Moors) mempunyai daya kecambah tertinggi pada media kompos. Nilai DKN dan DKT menunjukkan hasil yang sama. Daya Kecambah Total (DKT) merupakan total persentase biji yang berkecambah dibanding jumlah biji yang disemaikan, sedangkan Daya Kecambah Normal (DKN) merupakan persentase kecambah yang hidup normal sampai hari terakhir pengamatan dibandingkan dengan jumlah biji yang disemai. Hal ini berarti semua biji yang telah berkecambah dapat hidup dengan baik dan tidak ada yang mati. Kecambah tumbuh dengan baik karena disemaikan pada media dan lingkungan yang optimum bagi kecambah. Media pasir mempunyai koefisien kecepatan berkecambah paling tinggi. Hal ini menandakan bahwa biji C. excavata paling cepat berkecambah pada media pasir, ditandai dengan rata-rata waktu berkecambah pertama pada hari ke-19, dibandingkan bioposka dan pasir:bioposka dimana rata-rata waktu berkecambah pertama pada hari ke25 (Tabel 1). Media pasir mempunyai porositas yang baik (Wiryanto 2007), aerasi dan drainase yang baik akan membuat biji cepat berkecambah. Pada Gambar 1 terlihat bahwa media pasir mempunyai pertumbuhan kecambah yang paling baik. Menurut Wiryanto (2007), media pasir memang tergolong media yang miskin unsur hara, tetapi pasir mengandung mineralmineral yang dibutuhkan tanaman, selain itu media pasir baik untuk perkembangan akar kecambah. Oleh karena itu, pertumbuhan semai pada media pasir menghasilkan
pertumbuhan kecambah yang baik karena ketersediaan mineral yang memadai dalam media tersebut. Walaupun bioposka mengandung banyak unsur hara yang dibutuhkan pertumbuhan kecambah, media pasir:bioposka dan bioposka menghasilkan pertumbuhan kecambah yang tidak terlalu baik. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kadar air di dalam media tersebut. Dengan banyaknya air dalam media, sistem aerasi dan drainase dalam media menjadi tidak terlalu baik sehingga ketersediaan oksigen di dalam media akan menurun. Oleh karena terganggunya proses respirasi, pertumbuhan kecambah menjadi terganggu. Pada awal pertumbuhan, kecambah menggunakan kotiledon (cadangan makanan) pada biji untuk pertumbuhan (Zheng et al. 2011) sehingga media tidak begitu berpengaruh pada awal pertumbuhan kecambah sampai kotiledon di dalam bijinya habis, barulah akar mulai menyerap unsur-unsur hara dari media. Tiap perlakuan disemaikan pada media dengan pH dan RH cukup baik (kecuali RH media pasir), serta suhu lingkungan dan intensitas cahaya yang optimum sehingga kecambah dapat hidup dengan baik. Dengan pH yang netral akan membuat unsur hara dalam media larut dalam air yang nantinya dapat diserap oleh kecambah setelah kotiledonnya habis sebagai nutrien bagi pertumbuhannya. Kesimpulan penelitian ini adalah hasil perhitungan daya kecambah menunjukkan media pasir:bioposka dan bioposka memiliki daya kecambah total yang sama tinggi yaitu 100%, sedangkan pada media pasir sebesar 90%. Analisis varian pertumbuhan tinggi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perbedaan media dalam taraf uji 5%. Hasil uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) menunjukkan media pasir menghasilkan pertumbuhan C. exavata tertinggi dengan rerata pertumbuhan 10,19 cm selama 3 bulan, bioposka 7,71 cm, dan paling rendah media campuran pasir:bioposka 5,06 cm.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Supandi, pengawas rumah kaca Pembibitan I Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor yang telah memfasilitasi tempat dan media perkecambahan; serta kepada Suharto, teknisi di Bank Biji Kebun Raya Bogor yang telah membantu dalam pengambilan sampel biji di Kebun Raya Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Arbab IA, Abdul AB, Aspollah M, et al. 2011. Clausena excavata Burm.f. (Rutaceae): A review of its traditional uses, pharmacological and phytochemical properties. J Med Plants Res 5 (33): 7177-7184. Draper SR, Bass LN, Bould A, et al. 1985. Seed science and technology. International Seed Testing Association, Zurich. Froelicher Y, Ollitrault P. 2000. Effect of hormonal balance on Clausena excavata androgenesis. In: Goren R, Goldschmidt EE (eds). Proceedings of First International Cytrus Biotechnology Symposium. Eilat: ISHS Acta Horticulturae 535, Book I: 139-146. Manosroi A, Saraphanchotiwitthaya A, Manosroi J. 2003. Immunomodulatory activities of Clausena excavata Burm.f. wood extracts. J Ethnopharmacol 89: 155-160.
DAMAYANTI et al. – Bioposka: perkecambahan Clausena excavata Siriseree S. 2010. Taxonomic Clarification of the Genus Clausena Burm.f., Micromelum Blume and Murraya Koen. Ex L. (Aurantioideae, Rutaceae) in Thailand. [Thesis]. Kasetsart University, Bangkok. Sumiasri N, Priadi D, Kabinawa INK. 2010. Pertumbuhan biji palem putri (Veitchia merilli) (Becc) h.f. Moors pada berbagai media tumbuhan. Jurnal Agrikultura 21 (1): 51-55. Syarif NWM, Mustahil NA, Noor HSM. 2011. Cytotoxic constituents of Clausena excavata. Afr J Biotechnol 10 (72): 16337-16341
859
Takemura Y, Nakamura K, Hirusawa T et al. 2000. Four new furanonecoumarins from Clausena excavata. Chem Pharm Bull 48 (4): 582584. Vieira DCM, Socolowski F, Takaki M. 2010. Seed germination and seedling emergence of the invasive exotic species, Clausena excavata. Braz J Biol 70 (4): 1015-1020. Wiryanto BTW. 2007. Media tanam untuk tanaman hias. Agro Media, Jakarta. Zheng W, Wang P, Zhang HX, Zhou D. 2011. Photosynthetic characteristics of the cotyledon and first true leaf of castor (Ricinus communis L.). AJCS 5 (6): 702-708.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 860-863
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010435
Pengaruh cekaman panas terhadap daun stroberi (Fragaria L. Elsanta) Effect of heat stress on the strawberry leaves (Fragaria L. Elsanta) BERNADETTA RINA HASTILESTARI♥, CARLA FRIEDA PANTOUW Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911, Jawa Barat, Tel. +62-21-8754587, Fax. +62-21-8754588, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 29 April 2015.
Hastilestari BR, Pantouw CF. 2015. Pengaruh cekaman panas terhadap daun stroberi (Fragaria L. Elsanta). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 860-863. Perkembangan tanaman stroberi di daerah yang bersuhu dingin sering kali mengalami kendala karena cekaman biotik dan abiotik. Salah satu cekaman abiotik yang sering dialami tanaman stroberi adalah cekaman panas. Cekaman ini akan mengakibatkan daun menjadi layu dan hasil panen berkurang karena terhambatnya proses fotosintesis, rusaknya membran plasma yang merupakan barier ion intraseluler. Penelitian ini menganalisis pengaruh cekaman panas terhadap tanaman stroberi, terutama daun. Daun Stroberi muda dan tua diberi perlakuan panas 23, 35, 40, 45, 50, dan 55°C. Nilai parameter fotosintesis yang didasarkan pada nilai Fv/Fm setelah perlakuan cekaman panas menunjukkan bahwa daun yang muda secara signifikan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada daun yang tua. Setelah perlakuan panas, kuantum efisiensi juga menurun secara signifikan pada daun yang muda dan tua pada suhu 40, 45, 50, dan 55°C. Kerusakan sel akibat cekaman panas mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga elektrolit yang terdapat di dalam sel keluar. Jumlah total ion yang keluar menunjukkan tingkat kerusakan membran sel. Jumlah ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara daun muda dan daun tua pada suhu 23 sampai 50°C. Perbedaan tampak signifikan pada suhu 55°C. Jumlah ion yang keluar pada daun muda meningkat 30,8%, sedangkan pada daun tua meningkat 37%. Hal ini menunjukkan bahwa cekaman panas menimbulkan kerusakan sel yang lebih besar pada daun yang tua daripada daun yang muda. Kata kunci: Cekaman panas, fotosintesis, stroberi
Hastilestari BR, Pantouw CF. 2015. Effect of heat stress on the strawberry leaves (Fragaria L. Elsanta). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 860-863. The development of strawberry plants in cold temperature regions often faces constraints due to biotic and abiotic stresses. One of abiotic stress experienced strawberry is heat stress. The stress will induce the leaves withering and reduce yields due to photosynthesis inefficiencies. This inefficiency is caused by the destruction of plasma membrane of intracellular ion barrier. This study was to analyze the influence of heat stress on strawberry leaves. Young and old strawberries leaves were given a heat treatment 23, 35, 40, 45, 50 and 55°C. Photosynthesis parameter values based on the value of Fv/Fm after heat stress treatment showed that the young leaves had significantly higher values than the older leaves. After heat treatment, the quantum efficiency decreased significantly in young at 40, 45, 50 and 55°C. Cell damage due to heat stress resulted in damage to the cell membrane inducing ion leakage. The total number of ion leakage indicated the damage of the cell membrane. The young and old leaves showed significant differences of ion leakage at a temperature of 55°C. The number of ions leakage of young leaves increased 30.8% and 37% in old leaves. This indicated that heat stress causing greater damage to cells in old leaves than young leaves. Keywords: Heat stress, photosynthesis, strawberry
PENDAHULUAN Cekaman panas merupakan hambatan yang dialami petani stroberi di daerah tropis dan subtropis sebagai akibat perubahan iklim. Stroberi merupakan tanaman yang tumbuh di daerah dengan suhu lingkungan yang rendah. Salah satu kendala dalam peningkatan produksi stroberi adalah cekaman panas. Tanaman stroberi merupakan tanaman yang sensitif terhadap panas. Cekaman panas yang diikuti dengan cekaman kekeringan akan mengakibatkan kerusakan tanaman yang lebih parah. Ketahanan terhadap cekaman panas dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kultivar, genotipe, jaringan, tahap perkembangan fisiologis dari organ tanaman (Mengistu 2009), serta aklimatisasi terhadap cekaman (Ehlert dan Hincha 2008).
Cekaman terhadap panas mengakibatkan kerusakan buah, akar, serta daun sehingga dapat menurunkan produktivitas. Kerusakan pada daun akibat cekaman panas di atas 400C dapat memengaruhi fotosintesis (Fitter dan Hay 2012). Dengan demikian, deteksi gejala akibat cekaman abiotik adalah terhambatnya fotosintesis, dimana semakin tinggi tingkat cekaman, semakin rendah laju fotosintesisnya. Cekaman yang tinggi dapat menyebabkan kematian sel (Kim et al. 2010) serta rusaknya membran plasma yang berfungsi sebagai barier semipermeable bagi ion-ion yang terdapat di dalam sel (Ehlert dan Hincha 2008). Fotosintesis, suatu proses yang penting dalam menentukan pertumbuhan vegetatif tanaman, sangat sensitif terhadap perubahan suhu (Mohammed dan Tarpley 2009). Salah satu cara yang mudah dan efektif dalam
HASTILESTARI & PANTOUW. – Pengaruh cekaman panas pada daun stroberi
mengukur terhambatnya fotosintesis adalah pengukuran klorofil fluorescence. Metode ini mengukur nilai kuantum efisiensi (Fv/Fm) dari fotosistem II yang memungkinkan prediksi tingkat keparahan akibat cekaman dengan resolusi dan akurasi yang tinggi (Baker 2008). Sel yang mati atau rusak tidak dapat mempertahankan permeabilitas dan potensial membran plasma sehingga mengakibatkan bocornya ion dalam sel ke dalam simplas. Tingkat kerusakan sel dapat diukur melalui pengukuran banyaknya elektrolit yang bocor dari sel (Kocheva et al. 2005; Ehlert dan Hincha 2008). Marques et al. (2005) menjelaskan adanya korelasi kebocoran ion dengan parameter fisiologi dan biokimia tanaman pada kondisi lingkungan yang tercekam. Pengaruh tingkat perkembangan pada hasil fotosintesis merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi produktivitas fotosintesis dari tanaman buah. Penelitian pada beberapa kultivar ubi dengan berbagai perbedaan tahapan fisiologis dan ditanam di dalam kondisi lingkungan yang berbeda menunjukkan kecepatan fotosintesis berbeda secara signifikan dengan umur daun (Xu et al. 2011). Stroberi merupakan tanaman yang membentuk daun baru sepanjang periode vegetasi. Dengan demikian, tanaman ini dapat dijadikan objek penelitian untuk mengetahui pengaruh cekaman terhadap daun berdasarkan umur fisiologis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh umur fisiologis daun stroberi terhadap cekaman panas dengan membandingkan klorofil fluoresen dan tingkat kebocoran ion sebagai indikator terhadap stres.
BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian ini menggunakan daun stroberi (Fragaria L. `Elsanta´). Tanaman tersebut ditanam di rumah kaca dengan suhu 16/10°C (siang/malam). Umur fisiologis daun dibedakan menjadi tua dan muda berdasarkan ukuran; daun muda mempunyai ukuran kecil, sedangkan daun tua mempunyai petiola yang panjang. Kemudian daun dipotong membentuk lingkaran dengan diameter 1 cm menggunakan cork borer. Potongan daun tersebut diletakkan pada cawan petri yang telah dilapisi tisu basah dan ditutup rapat. Setelah itu, cawan petri dimasukkan ke dalam waterbath selama 10 menit pada suhu 23, 35, 40, 45, 50, dan 55°C. Perlakuan suhu dan jenis daun dilakukan dengan tiga pengulangan. Cara kerja Klorofil fluoresen Klorofil fluoresen diukur sebelum dan sesudah perlakuan cekaman panas. Sebelum pengukuran, potongan daun diaklimatisasi dalam gelap selama 20 menit dan kuantum efisiensi (Fv/Fm) diukur untuk masing-masing potongan daun dengan menggunakan Mini-PAM fluorometer (Heinz Walz GmbH, Effeltrich, Germany). Pengukuran klorofil fluoresen sebelum perlakuan dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh lingkungan sebelum perlakuan.
861
Permeabilitas/selektivitas membran Segera setelah pengukuran klorofil fluoresen, potongan daun diinkubasi dalam 50 ml air yang tidak mengandung ion (deionised water) dalam tabung falkon, kemudian ion diukur setiap 0, 30, 60, 90, 120, dan 1320 menit dengan konduktivitas meter (Schott® Instruments LAB 960, SI Analytics GmbH, Mainz, Germany). Setelah itu, tabung ditutup dengan kertas aluminium dan dimasukkan ke dalam autoclave selama 15 menit pada suhu 121°C untuk merusak semua jaringan. Setelah dingin, jumlah ion diukur dengan asumsi bahwa semua jaringan sel telah rusak sehingga nilai konduktivitas ion yang terukur menunjukkan jumlah keseluruhan ion. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran kuantum efisiensi (Fv/Fm) sebelum perlakuan panas menunjukkan tidak adanya perbedaan antara daun muda dan daun tua. Rata-rata efisiensi daun muda adalah 0,773±0,007, sedangkan daun tua adalah 0,793±0,005. Ritchie (2006) menyatakan bahwa nilai Fv/Fm daun dalam kisaran 0,7 dan 0,8 menunjukkan bahwa tanaman tidak dalam keadaan stres. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan tidak mengalami stres sebelum diberi perlakuan. Hasil perlakuan panas pada daun muda dan daun tua menyebabkan menurunnya secara signifikan kuantum efisiensi pada suhu antara 40 dan 45°C dan antara 50 dan 55°C (Gambar 1). Nilai kuantum efisiensi dari daun tua secara signifikan lebih rendah daripada daun muda. Nilai kuantum efisiensi daun tua menurun dari 0,7 pada perlakuan 23°C ke 0,3 pada perlakuan 55°C, sedangkan daun muda menurun dari 0,8 pada perlakuan 23°C ke 0,4 pada perlakuan 55°C. Persentase jumlah ion total tidak menunjukkan perbedaan nyata pada perlakuan panas pada suhu 23, 35, 40, dan 45°C yang diinkubasi selama 30, 60, dan 90 menit. Hilangnya permeabilitas membran plasma terlihat dari persentase jumlah ion total setelah inkubasi selama 120 menit antara daun tua dan daun muda (Gambar 2). Kerusakan membran terjadi setelah perlakuan panas 55°C. Jumlah total setelah perlakuan panas pada suhu antara 23°C dan 50°C berkisar antara 3,2 dan 6,5%. Pada suhu 55°C, kebocoran ion meningkat hingga 30,8% pada daun muda dan 37% pada daun tua. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa temperatur 40 sampai 45oC menunjukkan penurunan nilai Fv/Fm hingga 0,6. Menurut Ritchie (2006), nilai Fv/Fm di bawah 0,6 menunjukkan bahwa tanaman dalam kondisi tercekam. Hal ini disebabkan pada suhu sekitar 45oC, terjadi kerusakan fotosistem II daun yang mengakibatkan turunnya efisiensi fotosintesis (Baker 2008). Denaturasi protein juga berpengaruh terhadap turunnya nilai Fv/Fm karena beberapa protein PSII akan rusak di atas suhu 40°C, sedangkan pada suhu di atas 50°C, protein dari HSP akan rusak (Kotak et al. 2007). Hal ini dapat dilihat dari turunnya Fv/Fm secara drastis pada Gambar 2. Turunnya Fv/Fm terjadi lebih besar pada daun yang tua, hal ini menunjukkan bahwa cekaman panas membawa kerusakan lebih parah pada daun tua dibandingkan daun muda.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 860-863, Juli 2015
Percentage of total ion content (%) Quantum Efficiency (Fv/Fm)
862
A
0,8
0,6
0,4
Young Old
0,2
0,0 B
40
30
20
10
0 0
10
20
30
40
50
Temperature (°C)
Percentage of total ion content (%)
Gambar 1. A. Kuantum efisiensi, B. persentase jumlah total ion setelah inkubasi 120 menit dari daun muda dan daun tua Fragaria L. `Elsanta´
merespons fitokrom B, sinyal sinar UV-B (Jenkins 2009), dan respons terhadap hormon (Lee et al. 2007; Lorrain et al. 2008; Akio-kido et al. 2011). Enzim ini juga berperan penting pada awal stres lingkungan sebagai energi cadangan bagi sel dan bioenergetika mitokondria (Trono et al. 2011). Saat tanaman tercekam, kuantitas mtNDPK, tingkat kapasitas respirasi, dan efisiensi fosforilasi oksidatif berkurang seiring bertambahnya umur (Armstrong et al. 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran klorofil fluoresen lebih sensitif sebagai indikator stres daripada pengukuran kebocoran ion dari membran sel, hal ini menunjukkan bahwa membran kloroplas sensitif terhadap stres oksidatif yang dapat menimbulkan kematian sel (Asada 2006; Gill dan Tuteja 2010). Reactive oxygen intermediates yang dihasilkan dari transpor elektron fotosintesis dan transfer energi juga memengaruhi perbaikan PSII selama stres (Stirbet 2011; Klughammer dan Ulrich 2008). Paparan panas pada daun stroberi dapat menyebabkan penurunan efisiensi kuantum dan meningkatnya persentase kebocoran elektrolit dalam sitoplasma ke apoplas. Hal ini disebabkan karena kerusakan membran plasma karena denaturasi protein. Klorofil fluoresensi terbukti lebih cocok untuk deteksi pengaruh cekaman panas pada tahap awal. Tingkat kerusakan dipengaruhi oleh umur fisiologis organ tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
80 Young 23 Young 35 Young 40 Young 45 Yougn 50 Young 55 Old 23 Old 35 Old 40 Old 45 Old 50 Old 55
60
40
20
0 0
500
1000
1500
Time (min)
Gambar 2. Persentase jumlah ion total dari daun pada perlakuan panas 23, 35, 40, 45, 50, dan 55 oC setelah inkubasi 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Tanda panah menunjukkan hasil setelah inkubasi 120 menit.
Dengan terjadinya denaturasi protein, terjadi kebocoran ion yang terdalam dalam sitoplasma. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah ion ketika sel dipanaskan pada suhu antara 40-45°C dan 50-55°C. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sel dalam jaringan daun dapat mempertahankan integritas membran sel sampai suhu 50°C. Respons terhadap cekaman dari organ tanaman pada tahap perkembangan fisiologis tertentu adalah berbeda. Daun muda tidak begitu terpengaruh oleh stres karena memiliki mtNDPK (mitokondria Nucleoside Diphosphate Kinase) yang tinggi, fungsi enzim tersebut adalah untuk
Akio-kido E, Pedranne KAB, Jose RCFN et al. 2011. Identification of plant protein kinases in response to abiotic and biotic stresses using SuperSAGE. Curr Prot Pep Sci 12: 643-656. Armstrong AF, Murray RB, David AD et al. 2008. Dynamic changes in the mitochondrial electron transport chain underpinning cold acclimation of leaf respiration. Plant Cell Environ 31: 1156-1169. Asada K. 2006. Production and Scavenging of Reactive Oxygen Species in Chloroplasts and Their Functions. Plant Physiol 141: 391-396. Baker NR. 2008. Chlorophyll fluorescence: a probe of photosynthesis in vivo. Ann Rev Pl Biol 59: 89-113. Ehlert B, Hincha DK. 2008. Chlorophyll fluorescence imaging accurately quantifies freezing damage and cold acclimation responses in Arabidopsis leaves. Plant Methods 4(12): 1-7. Fitter A, Hay RKM. 2012. Environmental Physiology of Plants. Academic Press, New York. Gill SS, Tuteja N. 2010. Reactive oxygen species and antioxidant machinery in abiotic stress tolerance in crop plants. Plant Physiol Biochem 48: 909-930. Jenkins GI. 2009. Signal transduction in responses to UV-B radiation. Ann Rev Pl Biol 60: 407-431. Kim TH, Maik B, Hu H et al. 2010. Guard cell signal transduction network: advances in understanding abscisic acid, CO2, and Ca2+ signaling. Ann Rev Pl Biol 61: 561-591. Klughammer C, Ulrich S. 2008. Complementary PS II quantum yields calculated from simple fluorescence parameters measured by PAM fluorometry and the Saturation Pulse method. PAM Application Notes 1: 27-35. Kocheva KV, Georgi IG, Valery KK. 2005. A diffusion approach to the electrolyte leakage from plant tissues. Physiologia Plantarum 125:1-9. Kotak S, Larkindale J, Lee U et al. 2007. Complexity of the heat stress response in plants. Curr Op Pl Biol 10: 310-316. Lee D, Nagib A, Sang‐Hoon L et al. 2007. A proteomic approach in analyzing heat‐responsive proteins in rice leaves. Proteomics 7: 33693383. Lorrain S, Trudie A, Paula DD et al. 2008. Phytochrome‐mediated inhibition of shade avoidance involves degradation of growth‐promoting bHLH transcription factors. Plant J 53: 312-323.
HASTILESTARI & PANTOUW. – Pengaruh cekaman panas pada daun stroberi Marques AP, Maria CF, Hubert TW et al. 2005. Cell-membrane damage and element leaching in transplanted Parmelia sulcata lichen related to ambient SO2, temperature, and precipitation. Environ Sci Technol 39: 2624-2630. Mengistu DK. 2009. The influence of soil water deficit imposed during various developmental phases on physiological processes of tef (Eragrostis tef). Agric Ecosyst Environ 132: 283-289. Mohammed A, Tarpley L. 2009. Impact of high night time temperature on respiration, membrane stability, antioxidant capacity, and yield of rice plants. Crop Sci 49: 313-322. Ritchie GA. 2006. Chlorophyll Fluorescence: What is it and what do the numbers mean? In: Riley LE, Dumroese RD, Landis TS (eds).
863
National Proceedings: Forest and Conservation Nursery Associations2005. Proc. RMRS-P-43. Fort Collins, CO, USA. Stirbet A. 2011. On the relation between the Kautsky effect (chlorophyll a fluorescence induction) and photosystem II: basics and applications of the OJIP fluorescence transient. J Photochem Photobiol B Biology 104: 236-257. Trono D, Soccio M, Laus MN, Pastore D. 2011. Potassium channeloxidative phosphorylation relationship in durum wheat mitochondria from control and hyperosmotic-stressed seedlings.ePl Cell Environ 34: 2093-2108. Xu Z, Zhou G, Han G et al. 2011. Photosynthetic potential and its association with lipid peroxidation in response to high temperature at different leaf ages in maize. Pl Growth Regulat 30: 41-50.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 864-867
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010436
Plastisitas sistem fotosintesis pada tanaman CAM Plasticity of photosynthetic system on CAM plants BERNADETTA RINA HASTILESTARI Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong-Bogor 16911, Jawa Barat, Tel. +62-21-8754587, Fax. +62-21-8754588, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 28 April 2015.
Hastilestari BR. 2015. Plastisitas sistem fotosintesis pada tanaman CAM. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 864-867. Perubahan iklim global telah membawa banyak permasalahan, di antaranya adalah kekeringan dan tingginya curah hujan. Tanaman harus dapat beradaptasi pada perubahan-perubahan tersebut agar dapat bertahan hidup. Perubahan fisiologi yang diinduksi oleh cekaman abiotik pada beberapa tanaman menunjukkan adanya perubahan fotosintesis. Beberapa genotipe, misalnya Peperomia, Clusia, Tillandsia usneoides, Mesembryanthemum crystallinum, dan Euphorbia tirucalli L. dapat mengubah sistem fotosintesis dari C3 ke CAM ketika terdapat cekaman. Pengukuran konsentrasi asam malat dapat menunjukkan jalur fotosintesis CAM cekaman karena asam malat merupakan hasil penambatan CO2 di malam hari. Penambatan ini merupakan ciri yang didapat pada tanaman CAM. Penelitian ini akan mengulas kemungkinan perubahan sistem fotosintesis dari C3 ke CAM yang terjadi pada saat terdapat cekaman dengan menggunakan tanaman model E. tirucalli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem fotosintesis pada tumbuhan dapat berubah karena faktor lingkungan, tetapi E. tirucalli mempunyai dua sistem fotosintesis yang tidak terpengaruh oleh cekaman suhu. Kata kunci: CAM, fotosintesis, plastisitas
Hastilestari BR. 2015. Plasticity of photosynthetic system on CAM plants. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 864-867. Climate change has brought many problems, such as drought and high rainfall. Plant must adapt to these changes in order to survive. An adaptation to this changing climate is changing of its photosynthesis pathway induced by abiotic stress. Some genotypes can change the photosynthetic system of C3 to CAM whenever there is stress exposure, for example Peperomia, Clusia, Tillandsia usneoides, Mesembryanthemum crystallinum and Euphorbia tirucalli. Malate concentration measurements indicate CAM photosyntetic pathway as malic acid is the result of CO2 collection at night. This study examined the possibility of changes in the C3 photosynthetic system to CAM due to stress using plant model E. tirucalli. The results showed that the photosynthesis system might change due to environmental factors, but E. tirucalli had two photosynthetic systems that were not affected by temperature stress. Keywords: CAM, photosynthesis, plasticity
PENDAHULUAN Jalur fotosintesis C4 dan CAM merupakan evolusi dari jalur fotosintesis C3. Modifikasi morfologi dan biokimia dari jalur fotosintesis C3 muncul pada tanaman yang lebih tinggi taksanya. Jalur fotosintesis C4 berevolusi sebagai tanggapan terhadap konsentrasi CO2 di atmosfer yang rendah. Konsentrasi CO2 yang rendah mengakibatkan peningkatan yang signifikan dalam fotorespirasi. Tanaman CAM mengurangi penguapan air akibat respirasi dengan cara melakukan respirasi di malam hari dimana suhu lingkungan lebih rendah daripada ketika siang hari, menyimpan CO2 tersebut dalam vakuola dalam bentuk asam malat. Asam malat tersebut akan mengalami dekarboksilasi dan menjadi sumber CO2 untuk fotosintesis di siang hari (Ramirez et al. 2012). Sebagian besar spesies Clusia memiliki jalur fotosintesis CAM atau jalur fotosintesis C3/CAM. Kemampuan beralih dari jalur fotosintesis C3 ke CAM merupakan cara untuk beradaptasi ketika terjadi kekeringan dan kembali ke jalur fotosintesis
C3 ketika ketersediaan air meningkat (Vaasen et al. 2006; Ceusters et al. 2009; Silvera et al. 2010; Ramirez et al. 2012). Tanaman seperti Mesembryanthemum crystallium (Kore-eda et al. 2004), genus Sedum (Zhou dan Qui 2005) mempunyai dua jenis sistem fotosintesis yaitu C3 dan CAM. Apabila berapa yang sesuai, tanaman tersebut menjalankan fotosintesis C3, tetapi akan menjalankan fotosintesis CAM pada saat tanaman tersebut dalam keadaan tercekam (Lüttge 2004). Euphorbia tirucalli telah dilaporkan bahwa tanaman tersebut memiliki dua jalur fotosintesis (Van Damme 2001). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa batang sukulen mengikuti jalur CAM, sedangkan daun nonsukulen berumur pendek adalah jalur C3. Produk akhir dari fiksasi CO2 di pabrik CAM adalah malat. Malat adalah produk yang stabil pertama dan utama fiksasi CO2 di CAM (Winter et al. 2008). Fotosintesis pada E. tirucalli belum diketahui secara pasti seperti pada tanaman CAM lainnya termasuk apakah tanaman ini termasuk dalam golongan tanaman yang dapat mengubah
HASTILESTARI. – Plastisitas fotosintesis pada tanaman CAM
sistem fotosintesis apabila dalam keadaan tercekam. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian apakah terdapat plastisitas fotosintesis saat terjadi cekaman. Euphorbia tirucalli tumbuh terutama di daerah kering sehingga tanaman ini terpapar cekaman kekeringan yang memengaruhi asimilasi karbon akibat meningkatnya defisit air (Loke et al. 2011). Dalam artikel ini, kami menguji konsentrasi malat untuk mengkonfirmasi jalur fotosintesis yang berbeda (C3/CAM) dalam bagian yang berbeda, batang dan daun, dan apakah terdapat perbedaan jalur fotosintesis jalur yang berbeda pada E. tirucalli. Respons kekeringan diuji dengan menggunakan parameter fotosintesis utama dalam keterbatasan air yang berbeda dengan metode noninvasif.
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman E. tirucalli varietas Morocco dan Senegal diperbanyak dengan media tanam tanah:pasir (2:1). Tanaman tersebut ditempatkan di rumah kaca selama 3 minggu dengan suhu 22-240C, pencahayaan 14 jam, dan disiram dua hari sekali. Pupuk (Wuxal Top N, Jerman) terdiri atas 0,6% NPK dan 99,4% air. Cara kerja Penelitian ini dilakukan di ruang iklim selama 8 minggu dengan kondisi suhu siang 240C (14 jam)/malam 200C (10 jam). Semua tanaman memiliki tunas 26-29 cm sebelum perlakuan cekaman kekeringan. Perlakuan diaplikasikan dengan menggunakan empat jenis kadar air volumetrik (VWC 5, 10, 15, 25%). Perlakuan kontrol adalah VWC 25%, sedangkan perlakuan kekeringan dilakukan dengan menggunakan kadar air volumetrik 5, 10, dan 15% dengan menggunakan FieldScout® TDR 100/200, Spectrum Technologies Inc, Plainfield, IL, AS. Untuk mengamati aktivitas jalur fotosintesis CAM, malat diukur dari batang dan daun. Batang dan daun yang dipanen dari rumah kaca di akhir periode gelap (pukul 5 pagi) dan akhir periode cahaya (pukul 7 malam). Akhir periode gelap adalah fase dimana akumulasi malat adalah yang tertinggi dan akhir periode cahaya adalah fase dimana akumulasi malat adalah yang terendah (Giordano et al. 2005). Materi yang dipanen dimasukkan dalam nitrogen cair dan disimpan dalam freezer -80oC sebelum diekstraksi. Konsentrasi malat diukur dengan menggunakan elektroforesis kapilar. Kondisi elektroforesis kapilar adalah 10 KV dan 3,5 s. Konsentrasi sampel diperoleh dalam bentuk elektrogram. Untuk standar, asam malat digunakan dengan konsentrasi 10 mM dan kemudian diencerkan dengan konsentrasi 5 mM, 2,5 mM, 1,25 mM, 0,625 mM, dan 0,3125 mM. Dengan mengintegrasikan puncak tersebut dan perbandingan standar asam malat, konsentrasi malat dalam sampel tanaman dapat diukur. Malat diekstraksi dari 60 mg daun dan batang dalam 1,4 ml H2O dan di-vortex selama 1 menit, disimpan pada suhu ruang selama 10 menit, dan dicampur lagi selama 1 menit. Kemudian hasil ekstraksi disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama 10 menit pada suhu 40C. Supernatan
865
dipindahkan ke dalam tabung yang baru dan siap untuk diukur kadar malatnya menggunakan elektroforesis kapiler.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi malat yang signifikan antara bagian-bagian dari tanaman E. tirucalli ketika tanaman tidak dalam keadaan tercekam (Gambar 1). Konsentrasi malat berkurang pada siang hari sebesar 58,9% pada genotipe Maroko. Sementara itu, pada genotipe Senegal, penurunannya sebesar 17,4%. Perbedaan konsentrasi malat dipengaruhi oleh perbedaan bagian tanaman (daun dan batang) serta waktu (siang dan malam) (p=0,0040, mengikuti prosedur Tukey (P≤0,05). Adapun varietas Morrocco dan Senegal tidak memengaruhi konsentrasi malat (p=0,6878), mengikuti prosedur Tukey, (P≤0,05). Perbedaan jalur fotosintesis, C3 pada daun dan CAM pada batang, perlu dikaji lebih dalam apakah jalur fotosintesis ini dipengaruhi oleh cekaman lingkungan seperti kekeringan. Cekaman kekeringan yang dirancang dari penelitian ini menggunakan kadar air volumetrik 25%, 15%, 10%, dan 5%. Daun dan batang dipanen pada pagi dan sore hari. Ada perbedaan yang signifikan antara konsentrasi malat di bagian yang berbeda dari tanaman (batang dan daun) (p=0,00, mengikuti prosedur Tukey (P≤0,05)), konsentrasi malat dari waktu yang berbeda (siang dan malam) berbeda nyata (p=0,00, mengikuti prosedur Tukey (P≤0,05)). Antara genotipe, tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,2926, mengikuti prosedur Tukey (P≤0,05)). Tidak ada perbedaan dalam batang dan daun pada siang dan malam hari dalam menanggapi isi air pembatasan (p=0,7538, mengikuti prosedur Tukey (P≤0,05)). Konsentrasi tertinggi malat kedua genotipe dalam batang pada malam hari (Gambar 2). Hasil penelitian (Gambar 2) ini menunjukkan bahwa konsentrasi malat di bagian batang tanaman pada waktu siang dan malam berbeda secara signifikan, sedangkan konsentrasi malat di daun tidak berbeda signifikan. Malat yang disintesis disimpan sebagai asam malat dan disimpan dalam vakuola. Hasil dekarboksilasi digunakan pada siang hari sebagai persediaan CO2 untuk fotosintesis yang terjadi pada saat stomata tertutup. Persentase dekarboksilasi malat pada siang hari untuk varietas Morocco pada konsentrasi VWC (%) 25, 15, 10, dan 5 adalah 55,95%, 68,75%, 65,91%, dan 42,24%. Adapun untuk varietas Senegal pada konsentrasi VWC (%) 25, 15, 10, dan 5 adalah 56,86%, 58,35%, 69,55%, dan 57,25% (Tabel 1). Tingkat dekarboksilasi varietas Maroko adalah 41,5%, lebih tinggi dari varietas Senegal. Oleh karena itu, varietas Morocco memiliki cadangan CO2 yang lebih tinggi untuk fotosintesis di siang hari dan lebih tahan terhadap cekaman akibat spesies oksigen reaktif. Pada kadar air yang berbeda, E. tirucalli melakukan jalur fotosintesis yang sama, C3 pada daun dan CAM pada batang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa E. tirucalli terus melakukan fotosintesis C3 pada daun dan fotosintesis CAM pada batang. Perbedaan ini tidak dipengaruhi oleh cekaman lingkungan.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 864-867, Juli 2015
-1
Malate concentration (µmol g fresh weight)
866
12
Senegal Morocco 10
8
6
4
2
0
Leaf, day
Stem, day Leaf, night Stem, night
Gambar 1. Konsentrasi malat (µmol g-1 berat basah) dari varietas Senegal dan Morocco pada keadaan tidak tercekam (n=5). Garis vertikal menandakan standard error of mean.
140
Senegal
100
80
VWC VWC VWC VWC
25% 15% 10% 5%
60
-1
Malate concentration (µmol g fresh weight)
120
40
20
0 160
Morocco 140 120 100 80 60 40 20 0
leaf day
stem day
leaf night stem night
Gambar 2. Konsentrasi malat (µmol g-1 berat basah) dari varietas Senegal dan Morocco pada keadaan tercekam kekeringan (n=5). Garis vertikal menandakan standard error of mean.
Tabel 1. Persentase dekarboksilasi malat dari varietas Morocco dan Senegal Varietas Morocco Senegal
vwc 25% 55,95 56,86
vwc 15% 68,75 58,53
vwc 10% 65,91 69,55
vwc 5% 42,24 57,25
Adanya dua sistem fotosintesis, memungkinkan tanaman tersebut untuk tumbuh di daerah kering. Daun E. tirucalli dengan sistem fotosintesis C3 mempunyai morfologi daun yang kecil (0,8-2,5 cm) dan tebal 2 mm. Dalam kondisi tercekam, daun-daun tersebut gugur sehingga mengandalkan batang sebagai tempat fotosintesis. Di bawah kondisi yang menguntungkan, fotosintesis C3 daun mendukung pertumbuhan tanaman dan tanaman dapat tumbuh lebih cepat. Fotosintesis di batang dengan sistem CAM dapat dilanjutkan dengan stomata tertutup (Herrera 2009). Tanaman CAM melakukan fiksasi CO2 pada malam hari dan asimilasi pada siang hari sehingga kebutuhan air tanaman ini 5% sampai 10% dibandingkan tanaman C3, akan tetapi, laju pertumbuhan tanaman dengan sistem fotosintesis CAM lebih rendah daripada tanaman C3 karena terbatasnya penyimpanan malat sebagai sumber CO2 (Heldt dan Piechulla 2011). Per hari, tanaman CAM memiliki tingkat pertumbuhan maksimum 20-30 g/m2, sedangkan tanaman C3 memiliki 20-40 g/m2. Meskipun pertumbuhan tanaman CAM di bawah tanaman C3, sistem fotosintesis ini bermanfaat bagi lahan marginal. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan bahwa fotosintesis E. tirucalli memiliki dua jenis fotosintesis pada batang dan daun dengan mengukur pertukaran gas (Van Damme 2001). Analisis konsentrasi asam malat pada E. tirucalli menunjukkan adanya perbedaan jumlah asam malat pada daun dan batang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jalur fotosintesis antara kedua bagian tanaman ini. Jumlah asam malat yang tinggi pada batang menunjukkan aktivitas pengambilan CO2 di malam hari (Tabel 1). Jumlah asam malat ketika tanaman tercekam kekeringan menunjukkan peningkatan, baik di daun maupun batang. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan plastisitas jalur fotosintesis C3 ke CAM di daun. Akan tetapi secara anatomi, daun E. tirucalli tidak sukulen sehingga asam malat yang disimpan terbatas jumlahnya. Meskipun jelas bahwa E. tirucalli memiliki dua jenis fotosintesis, belum diketahui bagaimana tanaman dapat melakukan fotosintesis CAM dan C3 pada bagian yang berbeda. Memahami kekhawatiran ini dapat berkontribusi pada penilaian potensi tanaman ini dalam studi stres oksidatif. Kondisi lingkungan dapat memengaruhi plastisitas jalur fotosintesis. Stres yang kuat mengarah ke konversi jalur fotosintesis C3 ke CAM. Perubahan C3 ke CAM telah didokumentasikan dalam spesies sukulen lainnya, seperti M. crystallinum (Kore-eda et al. 2004) dan beberapa spesies Peperomia, Clusia (Feng et al. 2008; Vaasen et al. 2006), dan E. tirucalli. Induksi CAM selama stres positif memengaruhi aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolisme malat dan glukogenesis (Brendan et al. 2011). Kinerja enzim nicotinamine adenin dinukleotida sangat tergantung enzim malat (NAD-ME) (Herrera 2009). Pendapat ain menyatakan bahwa kinerja enzim nicotinamide adenin dinukleotida fosfat tergantung enzim malat (NADP-ME) dan karboksilase PEP (Borland et al. 2014). Beberapa tanaman CAM akan mengalami peningkatan aktivitas enzim yang berfungsi dalam metabolisme malat dan glukogenesis ketika mengalami
HASTILESTARI. – Plastisitas fotosintesis pada tanaman CAM
cekaman kekeringan (Lüttge 2004). Aktivitas NADP-ME dan NAD-ME meningkat 4 sampai 10 kali lipat ketika tercekam (Borland et al. 2009). PEPC terlibat dalam berbagai proses metabolisme pada tanaman terlepas dari jenis fotosintesisnya. Proses non-fotosintesis yang terkait dengan isoform PEPC penting untuk fungsi dasar seperti asimilasi anaplerosis/nitrogen atau gerakan stomata (Borland et al. 2011; Edwards dan Ogbum 2012). Berbagai PEPC isoform pada tanaman C4, CAM, dan C3 diatur oleh family gene yang kecil (Dodd et al. 2002; Borland et al. 2011). Dengan hadirnya dua jalur fotosintesis pada daun dan batang, tingkat plastisitas tertentu beralih antara metabolisme C3/CAM pada E. tirucalli, tidak mengherankan bahwa tanaman ini direkomendasikan sebagai sumber biomassa untuk produksi biofuel yang dapat tumbuh dalam kondisi marjinal. Loke et al. (2011) menyebutkan prospek penanaman E. Tirucalli, mereka sudah memantau perkebunan di Kolombia dan berencana untuk memiliki lebih banyak di Somalia dan negara-negara Afrika kering lainnya. Suatu spesies dapat menghasilkan biomassa berat kering 22-25 ton per hektar per tahun dalam kondisi optimal dimana jarak tanam yang optimal diperkirakan 14.000 tanaman per hektar. Sistem fotosintesis pada tanaman dapat berubah karena faktor lingkungan. Akan tetapi, tanaman E. tirucalli mempunyai dua sistem fotosintesis yang tidak terpengaruh oleh cekaman lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Brendan O, Joonho P, William CP. 2011. The remarkable diversity of plant PEPC (phosphoenolpyruvate carboxylase): recent insights into the physiological functions and post-translational controls of nonphotosynthetic PEPCs. Biochem J 436 (1): 15-34. Borland AM, Griffiths H, Hartwell J et al. 2009. Exploiting the potential of plants with crassulacean acid metabolism for bioenergy production on marginal lands. J Exp Bot 60: 2879-2896. Borland AM, Barrera ZVA, Ceusters J, Shorrock K. 2011. The photosynthetic plasticity of crassulacean acid metabolism: an evolutionary innovation for sustainable productivity in a changing world. New Phytol 191: 619-633.
867
Borland AM, Hartwell J, Weston DJ et al. 2014. Engineering crassulacean acid metabolism to improve water-use efficiency. Trends Pl Sci 19(5): 327-338. Ceusters J, Borland AM, Londers E et al. 2009. Differential usage of storage carbohydrates in the CAM bromeliad Aechmea ‘Maya’during acclimation to drought and recovery from dehydration. Physiologia Plantarum 135 (2): 174-184. Dodd AN, Borland AM, Haslam RP et al. 2002. Crassulacean acid metabolism: plastic, fantastic. J Exp Bot 53 (369): 569-580. Edwards EJ, Ogburn RM. 2012. Angiosperm responses to a low-CO2 world: CAM and C4 photosynthesis as parallel evolutionary trajectories. Intl J Plant Sci 173 (6): 724-733. Feng Y, Fu G, Zheng Y. 2008. Specific leaf area relates to the differences in leaf construction cost, photosynthesis, nitrogen allocation, and use efficiencies between invasive and noninvasive alien congeners. Planta 228 (3): 383-390. Giordano M, Beardall J, Raven JA. 2005. CO2 concentrating mechanisms in algae: mechanisms, environmental modulation, and evolution. Ann Rev Plant Biol 56: 99-131. Heldt H, Piechulla B. 2011. Plant Biochemistry. 4th ed. Elsevier, London. Herrera A. 2009. Crassulacean acid metabolism and fitness under water deficit stress: if not for carbon gain, what is facultative CAM good for? Ann Bot 103: 645-653. Kore-eda S, Cushman MA, Akselrod I et al. 2004. Transcript profiling of salinity stress responses by large-scale expressed sequence tag analysis in Mesembryanthemum crystallinum. Gene 341: 83-92. Loke J, Mesa LA, Franken JY. 2011. Euphorbia tirucalli Biology Manual: Feedstock Production, Bioenergy Conversion, Application, Economics. Version 2. FACT, Foundation Fuels from Agriculture in Communal Technology. The Nederland. Lüttge U. 2004. Ecophysiology of crassulacean acid metabolism (CAM). Ann Bot 93: 629-652. Ramirez I, Estay D, Stange C, Cardemil L. 2012. Superoxide dismutase is a critical enzyme to alleviate oxidative stress in Aloe vera (L.) Burm. plants subjected to water deficit. Pl Ecol Divers 5 (2): 183-195. Silvera K, Neubig KM, Whitten WM et al. 2010. Evolution along the crassulacean acid metabolism continuum. Funct Pl Biol 37 (11): 9951010. Vaasen A, Begerow D, HAMPP R. 2006, Phosphoenol pyruvate carboxylase genes in C3, crassulacean acid metabolism (CAM) and C3/CAM intermediate species of the genus Clusia: rapid reversible C3/CAM switches are based on the C3 housekeeping gene. Pl Cell Environ 29: 2113-2123. Van Damme PLJ. 2001. Euphorbia tirucalli for high biomass production. In: Schlissel A, Pasternak D (eds). Combating Desertification with Plants. Kluwer Academic Publisher, Doodrech. Winter K, Garcia M, Holtum JA. 2008. On the nature of facultative and constitutive CAM: environmental and developmental control of CAM expression during early growth of Clusia, Kalanchoe and Opuntia. J Exp Bot 59:1829-1840. Zhou W, Qiu B. 2005. Effects of cadmium hyperaccumulation on physiological characteristics of Sedum alfredii Hance (Crassulaceae). Plant Sci 169: 737-745.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 868-873
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010437
Kajian berbagai varietas unggul terhadap serangan wereng batang cokelat dan produksi padi di lahan sawah Kabupaten Garut, Jawa Barat Assessment of many new varieties on brown planthopper Nilaparvata lugens attack and wetland rice production of Garut District, West Java MEKSY DIANAWATI♥, ENDJANG SUJITNO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Jl. Kayuambon 80, PO Box 8495, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat. Tel. +62-222786238, 2789846, Fax. +62-22-2786238, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 20 April 2015.
Dianawati M, Sujitno E. 2015. Kajian berbagai varietas unggul terhadap serangan wereng batang cokelat dan produksi padi di lahan sawah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 868-873. Penggunaan varietas tahan dalam mengendalikan wereng batang cokelat merupakan cara ideal karena mudah digunakan, murah, dan ramah terhadap lingkungan. Namun demikian, ketahanannya dapat patah akibat penggunaan insektisida yang tidak bijaksana. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji berbagai varietas unggul baru terhadap serangan wereng batang cokelat dan produksi padi di lahan sawah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di Desa Jangkurang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada ketinggian 800 m dpl dari bulan Maret hingga Agustus 2013. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan varietas dan 5 ulangan dengan petani sebagai ulangan. Perlakuan varietas yang diuji adalah Inpari 4, Inpari 13, Mekongga, Ciherang, dan Sarinah. Data dianalisis dengan menggunakan Anova dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal dan uji korelasi peubah pengamatan pada P<0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas unggul baru umur genjah Inpari 13 memiliki produksi yang lebih tinggi daripada varietas unggul baru umur dalam Inpari 4. Varietas unggul lama dengan postur tanaman yang tinggi Mekongga memiliki produksi lebih tinggi daripada tanaman yang pendek (Ciherang dan Sarinah). Produksi padi nyata menurun dengan semakin tingginya tingkat serangan wereng (97%), semakin cepat terserang wereng (94%), dan semakin tinggi populasi wereng (91%). Kata kunci: Padi, produksi, varietas, wereng
Dianawati M, Sujitno E. 2015. Assessment of many new varieties on brown planthopper Nilaparvata lugens attack and wetland rice production of Garut District, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 868-873. The use of resistant varieties in controlling brown planthopper is the ideal way because it is easy to use, inexpensive and environmentally friendly. However, the resistance can be broken due to the indiscriminate use of insecticides. The purpose of this research was to assess various new varieties against brown planthopper and wetland rice production in Garut, West Java. The research was conducted in the Village of Jangkurang, Leles Subdistrict, Garut District, West Java at an altitude of 800 m asl. from March to August 2013. The research was conducted by a Randomized Completed Block Design with five treatments and five replications varieties with farmers as replications. Treatment varieties tested were Inpari 4, Inpari 13, Mekongga, Ciherang and Sarinah. Data were analyzed by ANOVA and if it was significantly different, the test will be continued by an orthogonal contras test and a correlation test at P<0.05. The results showed that the new varieties of early maturity Inpari 13 had higher than the production of new varieties in the old age of Inpari 4. Old variety with high plant posture Mekongga had higher production than the shorter varieties (Ciherang and Sarinah). Rice production markedly decreased with the higher level of attack leafhoppers (97%), the faster the stricken plant hopper (94%) and the higher the leafhopper population (91%). Keywords: Planthopper, production, rice, variety
PENDAHULUAN Hama wereng batang cokelat/WBC (Nilaparvata lugens [Stål]) merupakan salah satu hama utama tanaman padi. WBC merusak langsung tanaman padi dengan cara mengisap cairan sel tanaman (Harini et al. 2013) dan juga dapat berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit (Gurr et al. 2010) yang serangannya dapat lebih besar dari serangan wereng cokelat itu sendiri (Baehaki 2012a). Wereng cokelat dapat menyerang tanaman padi pada
semua fase pertumbuhan, mulai dari pembibitan sampai menjelang panen. Serangan yang berat dapat mengakibatkan puso (hopperburn) dan menggagalkan panen (Harini et al. 2013). Selain itu, hama ini juga dapat menyerang berbagai varietas tanaman padi, khususnya padi tipe baru (PTB), padi hibrida, dan padi varietas unggul baru (VUB) (Fitriningtyas 2012). Setiap tahun WBC menyerang tanaman padi di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 2010, serangan wereng cokelat yang diikuti penyakit virus kerdil hampa
DIANAWATI et al. – Varietas padi terhadap wereng
dan virus kerdil rumput hingga terjadi penurunan produksi padi sebesar 1,1% pada tahun 2011 (65,756 juta ton GKG) dari produksi tahun 2010 (66,469 juta ton GKG). Luas serangan wereng batang cokelat meningkat 5 kali lipat dari 47.473 ha pada tahun 2009 menjadi 218.060 ha pada tahun 2011 (Baehaki 2012b). Wereng batang cokelat ini sebelumnya termasuk hama sekunder. Berubahnya wereng batang cokelat menjadi hama penting karena adanya penyemprotan pestisida yang tidak tepat pada awal pertumbuhan tanaman sehingga dapat membunuh musuh alaminya (Gurr et al. 2010). Keganasan hama tersebut disebabkan oleh kemampuan hama beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk mudah beradaptasi dengan varietas tahan. Wereng cokelat merupakan hama r-strategik dengan ciri: (i) serangga kecil yang dapat menemukan habitatnya, (ii) berkembang biak dengan cepat dan mampu mempergunakan sumber makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, (iii) menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak lagi berguna (Baehaki 2012a). Faktor utama yang berkontribusi terhadap meningkatnya populasi dan serangan WBC dalam beberapa tahun terakhir adalah potensi biotik WBC yang tinggi, faktor abiotik, dan sistem budi daya padi yang mendukung berkembangnya populasi wereng batang cokelat. Ketiga faktor tersebut bekerja secara bersama-sama. Faktor-faktor yang optimum untuk perkembangan populasi WBC adalah tersedianya padi sepanjang tahun, jarak tanam yang rapat untuk varietas padi yang memiliki anakan banyak sehingga tercipta iklim mikro yang sesuai untuk perkembangan populasinya, pemakaian varietas yang memiliki hasil yang tinggi namun rentan terhadap WBC, pemberian pupuk N yang berlebihan, kondisi suhu lingkungan 18-30ºC, kelembaban relatif antara 70-85%, dan penggunaan insektisida dengan tidak bijaksana yang dapat menyebabkan terbunuhnya musuh alami dan menimbulkan masalah resistensi serta resurjensi pada populasi hama WBC. Tanam serempak dan waktu panen yang bersamaan dapat mencegah terjadinya kerusakan oleh WBC (Alfitra 2011). Penanaman padi varietas unggul tahan wereng (VUTW) merupakan salah satu upaya penanganan hama WBC yang terbukti sangat bermanfaat karena penerapannya yang relatif mudah dan murah, juga ramah lingkungan (Harini et al. 2013). Namun demikian, VUTW dapat patah ketahanannya hanya dalam 3-4 musim karena munculnya biotipe WBC baru (Ikeda dan Vaughan 2004). Jika suatu varietas tahan ditanam secara terus-menerus pada suatu area akan menyebabkan perubahan biotipe. Baehaki et al. (2011) menyatakan bahwa wereng cokelat secara bertahap muncul dengan berbagai biotipe, mulai dari biotipe 1, 2, 3, dan terakhir biotipe 4 yang serangannya dinilai cukup ganas di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tekanan terhadap populasi wereng sangat tinggi sehingga cepat berubah menjadi biotipe yang lebih virulen (Rahmini et al. 2012). Dengan demikian, penggunaan varietas tahan harus disesuaikan dengan biotipe wereng yang dihadapinya dan tidak terlalu ditekankan pada satu varietas saja karena dapat mengurangi keragaman genetik di pertanaman. Seperti varietas unggul Ciherang yang dilepas pada tahun 2000,
869
pada awalnya dinyatakan sebagai varietas tahan terhadap biotipe 2, tetapi agak tahan terhadap biotipe 3 (Suprihatno et al. 2011), namun Ciherang sudah terserang sampai pada tingkat keparahan yang tinggi. Baehaki (2012a) melaporkan bahwa wereng biotipe 3 dilaporkan menunjukkan tingkat keganasan yang lebih parah, yaitu menyebabkan ketahanan varietas IR 64 dan Ciherang yang sebelumnya dianggap tahan berubah menjadi tidak tahan. Varietas Ciherang di Jawa Barat telah menggeser dominasi IR 64 yang telah ditanam petani secara luas. Lahan sawah di Kabupaten Garut sebagian besar ditanami padi dengan varietas dominan adalah Ciherang, namun sejak tahun 1995, varietas Sarinah mulai dikenal luas di daerah Garut. Penggunaan varietas unggul baru seperti Inpari diharapkan dapat menggantikan varietas Ciherang yang ketahanan di lapang sudah terpatahkan. Penelitian ini akan mengkaji berbagai varietas terhadap serangan WBC dan produksi padi di lahan sawah Kabupaten Garut, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Jangkurang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada ketinggian 800 m dpl dari bulan Maret hingga Agustus 2013. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan varietas dan 5 ulangan dengan petani sebagai ulangan. Perlakuan varietas yang diuji adalah Inpari 4, Inpari 13, Mekongga, Ciherang, dan Sarinah. Petak percobaan berupa petakan petani. Percobaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi. Komponen PTT padi terdiri atas penggunaan benih bermutu (label ungu), penanaman bibit padi umur 14 hari dengan jumlah bibit 2-3 per lubang, dan sistem tanam jajar legowo 4:1. Pupuk yang digunakan per hektar adalah 500 kg pupuk organik Petroganik, 200 kg pupuk Urea, dan 250 kg pupuk Phonska. Pengendalian gulma dengan gasrok. Serangan hama wereng dikendalikan dengan pestisida dan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen diperlakukan dengan score. Panen tanaman padi dilakukan pada waktu biji telah masak fisiologis. Data yang diamati adalah umur tanaman mulai terkena serangan WBC (HST). Saat panen, dilakukan pengamatan populasi WBC (ekor per rumpun), tingkat serangan (%), bobot 1000 butir (g), dan produksi padi (ton/ha). Tingkat serangan dihitung dengan cara menghitung jumlah rumpun yang terserang dari jumlah rumpun secara keseluruhan. Data dianalisis dengan Anova dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal dan uji korelasi peubah pengamatan pada P<0,05. Uji kontras ortogonal dalam penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kelompok perlakuan berdasarkan deskripsi varietas padi (Tabel 1). Kelompok varietas unggul baru yang dilepas setelah tahun 2008 adalah Inpari 4 dan Inpari 13, sedangkan varietas unggul lama sebelum tahun 2008 adalah Mekongga, Ciherang, dan Sarinah. Varietas unggul baru dibedakan berdasarkan umur panen, yaitu Inpari 14 sebagai varietas umur dalam (115 hari),
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 868-873, Juli 2015
870
sedangkan Inpari 13 sebagai varietas umur genjah (99 hari). Varietas unggul lama dengan postur tanaman pendek adalah Mekongga (91-106 cm) dan anakan produktif sedikit (13-16), sedangkan postur tanaman tinggi dengan anakan produktif banyak adalah Ciherang (107-115 cm, 1417 batang) dan Sarinah (107-116 cm, 15-20 batang). Sarinah merupakan varietas yang biasa ditanam di dataran sedang sampai tinggi (>800 m dpl), sedangkan Ciherang biasa ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl) (Suprihanto et al. 2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman varietas unggul lama lebih cepat terkena serangan WBC daripada varietas unggul baru dimana varietas lama terkena serangan pada hari ke-6, sedangkan varietas unggul baru terkena pada hari ke-50 (Tabel 1). Varietas lama yaitu Ciherang, Mekongga, dan Sarinah telah lama digunakan oleh petani di Garut dan telah menunjukkan resisten terhadap WBC, sedangkan varietas baru Inpari 4 dan 13 belum resisten terhadap WBC, hal ini karena keduanya masih baru dan dikembangkan setelah tahun 2008. Baehaki (2012a) menyatakan bahwa penggunaan varietas yang sama secara terus-menerus akan
menimbulkan resistensi terhadap hama tertentu, terutama terhadap hama r-strategik seperti WBC. Apabila pada awal penanaman tanaman sudah terserang WBC, serangan WBC akan lebih parah karena WBC pendatang ini kemudian berkembang biak dan selama stadium vegetatif, tanaman dapat mencapai satu atau dua generasi tergantung dari waktu migrasinya. Varietas unggul lama yang terserang pada 6 HST (Tabel 1) diduga berasal dari daerah lain yang bermigrasi. Migrasi hama di daerah tropik pada umumnya disebabkan oleh habisnya sumber daya makanan, misalnya saat padi menjelang panen, sehingga hama berpindah ke daerah lain (Fu et al. 2014). Oleh karena itu, tanam serempak dapat mengurangi serangan WBC (Alfitra 2011). Baehaki dan Widiarta (2008) menyatakan bahwa apabila migrasi terjadi pada waktu 2-3 MST, imigran akan berkembang biak dua generasi. Puncak populasi nimfa generasi pertama dan kedua berturut-turut muncul pada umur padi 5-6 MST dan 10-11 MST. Apabila migrasi terjadi setelah padi berumur 5-6 MST, puncak populasi nimfa hanya ditemukan satu kali, yaitu pada 9-10 MST. Dengan demikian, varietas unggul lama kemungkinan mengalami dua kali puncak populasi, sedangkan varietas unggul baru kemungkinan hanya mengalami satu kali puncak populasi.
Tabel 1. Deskripsi varietas unggul padi bahan percobaan Uraian
Varietas unggul padi Mekongga Ciherang 2004 2000 8,4 8,5 6 6 116-125 116-125 91-106 107-115 13-16 14-17
Inpari 4 2008 8,8 6,04 115 95-105 16
Inpari 13 2009 8 6,6 99 102 17
Ketinggian <600 m dpl
-
Dataran rendah sampai 500 m dpl
Dataran rendah sampai 500 m dpl
Tadah hujan
-
-
-
Ketahanan WBC
AR biotipe 1, 2, 3
Dataran rendah sampai 600 m dpl T biotipe 1,2,3
Dataran sedang sampai tinggi (>800 m dpl) -
AT biotipe 2 dan 3
T biotipe 2 dan AT biotipe 3
AT biotipe 1, AR biotipe 2 dan 3
Tahun dilepas Potensi hasil (ton/ha) Rata-rata hasil (ton/ha) Umur tanaman (hari) Tinggi tanaman (cm) Anakan produktif (batang) Anjuran tanam Sawah irigasi
Sarinah 2006 8 6,98 110-125 107-116 15-20
Tabel 2. Pengaruh beberapa varietas unggul terhadap umur terkena serangan WBC (hari setelah tanam/hst) Perlakuan
Umur terkena serangan (hst)
Inpari 4 (V1) Inpari 13 (V2) Mekongga (V3) Ciherang (V4) Sarinah (V5)
44,8 53,2 11,8 3,0 2,8 49,0 vs 5,9* 44,8 vs 53,2* 11,8 vs 2,9* 3,0 vs 2,8ns
Varietas unggul: baru vs lama (V1, V2 vs V3, V4, V5) Umur: dalam vs genjah (V1 vs V2) Tanaman: rendah vs tinggi (V3 vs V4, V5) Dataran: tinggi vs rendah (V4 vs V5) Keterangan: *= uji kontras ortogonal berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata pada P<0,05
DIANAWATI et al. – Varietas padi terhadap wereng
871
Tabel 3. Pengaruh beberapa varietas unggul terhadap peubah tanaman padi Populasi wereng (ekor/rumpun) 4,9 3,8 12,2 30,5 35,8 4,4 vs 26,1*
Perlakuan
Tingkat serangan (%) 44,7 10,1 50,9 90,3 88,5 27,4 vs 76,6*
Inpari 4 (V1) Inpari 13 (V2) Mekongga (V3) Ciherang (V4) Sarinah (V5) Varietas unggul: baru vs lama (V1, V2 vs V3, V4, V5) Umur: dalam vs genjah 5,0 vs 3,8ns 44,7 vs 10,1* (V1 vs V2) Tanaman: rendah vs tinggi 12,2 vs 33,1* 50,9 vs 89,4* (V3 vs V4, V5) Dataran: tinggi vs rendah 30,5 vs 35,8* 90,3 vs 88,5ns (V4 vs V5) Keterangan: *= uji kontras ortogonal berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata pada P<0,05
24,5 24,2 26,1 25,5 24,7 24,4 vs 25,4*
Produksi (ton/ha) 4,05 6,06 2,84 0,98 0,90 5,1 vs 1,6*
24,5 vs 24,2ns
4,0 vs 6,1*
26,1 vs 25,1*
2,8 vs 0,9*
25,5 vs 24,7*
1,0 vs 0,9ns
Populasi wereng
Bobot 1000 butir
Bobot 1000 butir (g)
Tabel 4. Korelasi peubah panen tanaman padi Peubah
Produksi
Tingkat serangan -0,97* -
Umur terkena serangan 0,94* -0,89* -
Produksi Tingkat serangan Umur terkena serangan Populasi wereng Bobot 1000 butir Keterangan: ns = tidak berbeda nyata, * = beda nyata pada P<0,05
A
-0,91* 0,90* -0,86* -
-0,47* 0,39ns -0,64* 0,26ns -
B
Gambar 1. A. Inpari 13 tahan WBC, B. Ciherang terkena WBC
Baehaki dan Widiarta (2008) menyatakan bahwa pemencaran WBC terdiri atas tiga tipe, yaitu: (i) pemencaran jarak pendek dalam pertanaman padi, biasanya dilakukan oleh nimfa, wereng brakhiptera, dan wereng makroptera, (ii) pemencaran jarak pendek antarpertanaman yang dilakukan oleh wereng makroptera, dan (iii)
pemencaran jarak jauh atau emigrasi yang dilakukan oleh wereng makroptera. Wereng makroptera biasanya bermigrasi saat padi mulai ditanam. Perpindahan individu ini dipicu oleh perilaku WBC yang meninggalkan tanaman tua. Pemencaran maksimum terjadi sebelum panen. Setelah bentuk makroptera menetap, WBC mulai berkembang biak
872
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 868-873, Juli 2015
satu atau dua generasi pada tanaman padi stadia vegetatif. Serangga dewasa yang muncul setelah padi berumur 7 MST, umumnya bersayap pendek (brakhiptera), bertelur di tempat tanaman awal tempat mereka hinggap atau berpindah pada tanaman yang berdekatan, dan tidak bermigrasi pada jarak yang relatif jauh. Semakin tinggi kepadatan populasi, kerusakan tanaman yang dialami semakin berat. Populasi yang berpotensi sangat merusak tanaman adalah stadia nimfa. Jumlah populasi makroptera meningkat saat tanaman memasuki 9 stadium pembungaan. Generasi populasi akhir ini didominasi oleh betina brakhiptera dan jantan makroptera. Makroptera inilah yang bermigrasi mencari pertanaman padi muda. Varietas unggul baru dan lama menunjukkan perbedaan nyata, baik dari sisi produksi, tingkat serangan WBC, populasi WBC, dan bobot 1000 butir gabah (Tabel 2). Varietas unggul baru yang lebih lambat terkena serangan WBC, pada akhirnya saat panen memiliki populasi dan tingkat serangan WBC lebih rendah dengan bobot 1000 butir dan produksi lebih tinggi daripada varietas unggul lama. Verma et al. (1979) menyatakan bahwa jumlah WBC ambang pengendalian adalah 5 ekor wereng per rumpun tanaman muda dan 25 ekor per rumpun pada tanaman tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi WBC pada akhir panen pada varietas unggul baru adalah 4,4, masih berada di bawah ambang batas pengendalian, sedangkan pada varietas unggul lama telah melewati ambang batas yaitu 26,1. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah WBC varietas unggul lama telah melebihi ambang batas pengendalian. Kondisi ini berakibat tingkat serangan meningkat dan menurunkan bobot 1000 butir dan produksi tanaman. Bobot 1000 butir yang rendah menunjukkan adanya gabah yang hampa akibat serangan WBC. Varietas Inpari 13 memiliki produksi yang lebih tinggi daripada Inpari 4 (Tabel 2), karena lebih lambat terkena serangan WBC (Tabel 1). Baehaki (2012a) menyatakan bahwa ketahanan WBC yang dimiliki Inpari 13 adalah ketahanan wereng cokelat biotipe 1, 2, dan 3, sedangkan Fitriningsih (2012) melaporkan bahwa varietas Inpari 4 masih dikategorikan agak rentan terhadap WBC biotipe 1. Dengan demikian, Inpari 13 memiliki ketahanan WBC lebih baik daripada Inpari 4. Rozakurniati (2010) menyatakan bahwa untuk mengatasi serangan WBC dianjurkan untuk menanam varietas Inpari 13, terutama di daerah-daerah endemik hama WBC (Gambar 1.A). Baehaki et al. (2011) menyatakan bahwa varietas Inpari13 meskipun belum diketahui gen ketahanannya, menun-jukkan sifat tahan seperti IR74 dan PTB33 yang memiliki mekanisme ketahanan antisenosis. Penelitian Damayanti dan Utami (2014) melaporkan bahwa Inpari 13 tahan terhadap WBC karena memiliki gen alel bph2 dan bph3. Rozakurniati (2010) menyatakan bahwa Inpari 13 sulit dirontokkan. Hal ini mengindikasikan bahwa batang Inpari 13 relatif lebih kuat. Ditinjau dari segi morfologi, varietas tahan dan agak tahan memiliki batang yang keras dan permukaan daun yang agak kasar. Hal yang demikian pada umumnya kurang disukai oleh WBC. Batang yang keras dan daun yang kasar diduga dapat menyulitkan WBC saat menusukkan alat pada mulutnya untuk mengisap cairan tanaman dan dapat pula menyebabkan kematian pada nimfa
karena tidak dapat makan. Selain faktor morfologi, umur tanaman yang genjah pada Inpari 13 akan membantu tanaman lolos dari serangan WBC. Hal ini menyebabkan paparan terkena serangan WBC menjadi lebih rendah dan produksi lebih tinggi. Escape/lolos dapat menjadi salah satu mekanisme penghindaran serangan hama penyakit. Di antara varietas unggul lama, varietas tanaman dengan postur tanaman pendek dan anakan produktif lebih sedikit (Mekongga) dengan memiliki produksi lebih tinggi dibandingkan varietas berpostur tinggi dan anakan produktif lebih banyak (Ciherang dan Sarinah) (Tabel 2). Diduga dengan tanaman lebih rendah dan sedikit anakan menyebabkan kelembaban lebih rendah sehingga serangan WBC menjadi lebih rendah pula. Alfitra (2011) menyatakan bahwa varietas padi yang memiliki anakan banyak mendorong terciptanya iklim mikro yang sesuai untuk perkembangan populasi WBC. Mekongga merupakan varietas tahan WBC pada saat musim hujan dan kemarau. Varietas unggul lama dataran tinggi (Sarinah) maupun dataran rendah (Ciherang) tidak memengaruhi produksi padi dan serangan WBC, tetapi memengaruhi bobot 1000 butir dalam hal pembentukan gabah dan populasi wereng (Tabel 2). Dengan demikian, varietas Sarinah dan Ciherang sama-sama tidak tahan terhadap serangan WBC sehingga produksinya rendah. Penelitian Damayanti dan Utami (2010) melaporkan bahwa Ciherang termasuk varietas rentan WBC dengan gen alel bph2, sedangkan penelitian Baehaki et al. (2011) melaporkan bahwa Ciherang agak rentan terhadap WBC (Gambar 1.B). Produksi padi menurun dengan semakin tinggi tingkat serangan wereng (97%), semakin cepat terserang wereng (94%), dan semakin tinggi populasi wereng (91%) (Tabel 3). Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriningtyas (2011) yang melaporkan bahwa setiap terjadi penambahan 1 ekor wereng dari pelepasan satu pasang WBC nyata menurunkan produksi padi sebesar 0,0042 g/rumpun sehingga semakin tinggi jumlah populasi wereng maka semakin rendah produksi gabah yang dihasilkan. Hal ini dapat dipahami karena wereng dapat merusak langsung tanaman padi dengan cara mengisap cairan sel tanaman dan juga dapat berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa (Baehaki 2012a). Virus yang dibawa oleh WBC dapat masuk dengan mudah ke dalam jaringan kutikula yang impermiabel yang menutupi epidermis tanaman dan secara langsung masuk ke dalam jaringan atau sitoplasma (Zhang et al. 2010). Serangan yang berat dapat mengakibatkan puso (hopperburn) dan menggagalkan panen seperti yang terjadi pada penelitian ini pada varietas Ciherang dan Sarinah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa varietas unggul baru umur genjah Inpari 13 memiliki produksi yang lebih tinggi daripada varietas unggul baru umur dalam Inpari 4. Varietas unggul lama dengan postur tanaman yang tinggi Mekongga memiliki produksi lebih tinggi daripada tanaman yang pendek (Ciherang dan Sarinah). Produksi padi nyata menurun dengan semakin tinggi tingkat serangan wereng (97%), semakin cepat terserang wereng (94%), dan semakin tinggi populasi wereng (91%).
DIANAWATI et al. – Varietas padi terhadap wereng
DAFTAR PUSTAKA Alfitra R. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keparahan Serangan Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Baehaki SE, Arifin K, D Munawar. 2011. Peran varietas tahan dalam menurunkan populasi wereng cokelat biotipe 4 pada tanaman padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30 (3): 145-153. Baehaki SE, Widiarta IN. 2008. Hama wereng dan cara pengendaliannya pada tanaman padi. In: Daradjat AA, Setyono A, Makarim AK, Hasanudin A (eds). Padi 2: Inovasi Teknologi Produksi. LIPI Press, Jakarta. Baehaki. 2012a. Perkembangan biotipe hama wereng cokelat pada tanaman padi. Iptek Tanaman Pangan 7 (1): 8-17. Baehaki. 2012b. Tanam padi berjamaah berlandaskan triangle strategis dalam pencapaian surplus beras 10 juta ton. Sinar Tani 3478 (13):1-8. Damayanti D, Utami D. 2014. Pendugaan gen Bph1, Bph2, Bph3, dan Bph4 pada galur-galur padi terpilih tahan hama wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens [Stål]). J AgroBiogen 10 (1): 1-8. Fitriningtyas W. 2012. Perkembangan Populasi dan Pembentukan Makroptera Tiga Biotipe Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stål pada Sembilan Varietas Padi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
873
Fu XW, Li C, Feng HQ et al. 2014. Seasonal migration of Cnaphalocrocis medinalis (Lepidoptera: Crambidae) over the Bohai Sea in Northern China. Bull Entomol Res 1-9. DOI.:10.1017/S0007485314000376. Gurr GM, Liu J, Read DMY et al. 2010. Parasitoids of Asian rice planthopper (Hemiptera: Delphacidae) pests and prospects for enhancing biological control by ecological engineering. Ann Appl Biol 158: 149-176. Harini SA, S Kumar S, P Balaravi et al. 2013. Evaluation of rice genotypes for brown planthopper (BPH) resistance using molecular markers and phenotypic methods. African J Biotechnol 12 (19): 25152525. Ikeda R, DA Vaughan. 2004. The distribution of resistance genes to the brown planthopper in the germplasm. Rice Gen News 8: 125-127. Rahmini, Hidayat P, Ratna ES. 2012. Respons biologi wereng batang cokelat terhadap biokimia tanaman padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31 (2): 117-123. Rozakurniati. 2010. Inpari 13 padi sangat genjah dan tahan wereng cokelat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32 (6): 7-9. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto et al. 2010. Deskripsi Varietas Padi. BB Padi, Sukamandi, Subang. Verma SK, Pathak PK, Singh BN, Lal MN. 1979. Occurrence of brown and white backed planthopper in Uttar Pradesh, India. Int Rice Res Newsl 4: 20. Zhang F, Guo H, Zheng H et al. 2010. Massively parallel pyrosequencingbased transcriptome analyses of small brown planthopper (Laodelphax striatellus), a vector insect transmitting rice stripe virus (RSV). Genomics 11: 1-13.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 874-877
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010438
Produksi panen berbagai varietas unggul baru cabai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat Harvest production of many new varieties of Capsicum frutescens in dry land on Garut District, West Java ENDJANG SUJITNO, MEKSY DIANAWATI♥ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Jl. Kayuambon 80, PO Box 8495, Lembang, Bandung Barat 40391, Jawa Barat. Tel. +62-222786238, 2789846, Fax. +62-22-2786238, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 20 April 2015.
Sujitno E, Dianawati M. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru cabai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 874-877. Rata-rata produksi cabai rawit per hektar di Jawa Barat sebesar 13,15 ton lebih tinggi daripada produksi nasional sebesar 5,75 ton, tetapi masih di bawah potensi hasilnya yang berkisar antara 12-20 ton. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi adalah dengan penggunaan varietas unggul baru. Saat ini petani masih banyak yang menggunakan varietas cabai rawit lokal dan menginginkan varietas unggul baru dengan produksi tinggi dan warna buah merah cerah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respons berbagai varietas unggul baru terhadap produksi cabai rawit di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat. Percobaan dilaksanakan di Desa Jangkurang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada ketinggian 800 m dpl dari bulan Maret hingga Agustus 2013. Percobaan dilaksanakan di lahan kering dengan jenis tanah regosol. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan varietas dan 6 ulangan dengan petani sebagai ulangan. Perlakuan varietas yang diuji adalah Kencana, Jossy, CR ASA 7, dan lokal. Data dianalisis dengan Anova dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal dan uji korelasi pada P<0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi cabai rawit varietas unggul nyata lebih tinggi dibandingkan lokal. Peubah yang nyata paling berpengaruh terhadap produksi buah adalah tinggi tanaman (92%), diameter buah (89%), dan panjang buah (78%). Tidak ada perbedaan nyata terhadap produksi buah di antara varietas unggul baru. Namun demikian, Kencana merupakan varietas unggul baru cabai rawit berwarna merah cerah ketika buah masak yang disukai oleh petani. Kencana memiliki buah yang nyata lebih panjang dibandingkan kedua varietas unggul baru lainnya. Kata kunci: Cabai rawit, produksi, varietas
Sujitno E, Dianawati M. 2015. Harvest production of many new varieties of Capsicum frutescens in dry land on Garut District, West Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 874-877. The average production per hectare of chili in West Java at 13.15 tonnes is higher than the national production of 5.75 tonness, but it still below the potential production that ranges between 12-20 tonnes. One effort to increase production is the use of new varieties. Currently, there are many farmers who use local varieties of chili and want new varieties with high production and bright red fruit. The research objective was to determine the response of new varieties for the production of chili on dry land of Garut, West Java. The experiment was conducted in the Village of Jangkurang, Leles Sub-districy, Garut District, West Java at an altitude of 800 m asl. from March to August 2013. The experiment was conducted on dry land with soil type of regosol. The research was conducted with a Randomized Completed Block Design with four treatments and six replicates varieties with farmers as replications. Treatment varieties tested were Kencana, Jossy, ASA CR 7 and local chili. Data were analyzed by ANOVA and if it was a significantly different, the test will continued by orthogonal contras test and correlation test at P<0.05. The results showed that the production of new varieties of chili was significantly higher than one of local. The most significant variables that affect the production of fruit was posture of plants (92%), fruit diameter (89%) and the length of the fruit (78%). There was no sigfinicantly difference to the production of fruit in the new varieties. However Kencana, which was a new varieties of bright red when ripe fruit, was favored by farmers. Kencana had longer fruit than the other two new varieties. Keywords: Chilly, production, varieties
PENDAHULUAN Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura dari famili Solanaceae yang tidak saja memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi juga karena buahnya yang memiliki kombinasi warna, rasa, dan nilai nutrisi yang lengkap (Kouassi et al. 2012). Rodrigues dan Tam (2010) menyatakan cabai rawit digunakan sebagai
bumbu masakan dan bahan obat. Varietas cabai rawit dengan tingkat kepedasan sedang dan tinggi digunakan baik dalam bentuk segar maupun olahan, sedangkan dengan tingkat kepedasan rendah digunakan untuk produksi oleoresin atau bahan pelengkap makanan (Sharma et al. 2008). Secara umum, buah cabai rawit mengandung zat gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1, B2, C, dan senyawa alkaloid
SUJITNO et al. – Varietas unggul baru cabai rawit
seperti capsaicin, oleoresin, flavanoid, dan minyak esensial. Ikpeme et al. (2014) melaporkan bahwa di antara genus cabai, cabai rawit memiliki kandungan protein, abu, dan anthraquinone paling tinggi. Jawa Barat merupakan provinsi kedua sebagai sentra produksi cabai rawit terbesar di Indonesia pada tahun 2011 dan 2012 yaitu sebesar 13-18% dari produksi cabai rawit nasional. Rata-rata produksi cabai rawit per hektar di Jawa Barat sebesar 13,15 ton lebih tinggi daripada produksi nasional sebesar 5,75 ton, tetapi masih di bawah potensi hasilnya yang berkisar antara 12-20 ton. Produksi cabai rawit segar tahun 2012 sebesar 90.522 ton dengan luas panen sebesar 6.884 hektar dan rata-rata produktivitas 13,15 ton per hektar. Dibandingkan tahun 2011, terjadi penurunan produksi sebesar 14.716 ton (13,98 persen). Penurunan ini lebih disebabkan menurunnya luas panen sebesar 1.311 hektar (16,00 persen), sedangkan produktivitas meningkat 0,31 ton per hektar (2,40 persen) dibandingkan tahun 2011. Sementara itu, produksi cabai rawit Jawa Barat tahun 2012 sebesar 73,12 persen dihasilkan di enam wilayah sentra, yaitu Kabupaten Cianjur sebesar 23.560 ton, Kabupaten Garut 18.605 ton, Kabupaten Bandung 7.965 ton, Kabupaten Sukabumi 5.477 ton, Kabupaten Bandung Barat 5.320 ton, dan Kabupaten Majalengka 5.261 ton. Sisanya sebesar 26,88 persen tersebar di 20 kabupaten/kota lainnya (BPS 2013). Selain luas panennya yang rendah, cabai rawit harganya di pasaran sering kali lebih tinggi daripada cabai jenis lainnya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit petani yang mengalami gagal panen. Terjadinya gagal panen diakibatkan karena adanya beberapa kendala, terutama penggunaan varietas lokal, tingkat kesuburan tanah, dan serangan hama dan penyakit (Rukmana 2000). Salah satu cara untuk meningkatkan produksi cabai rawit adalah dengan penggunaan varietas unggul baru. Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah cabai kecil, cabai hijau, dan cabai putih. Cabai kecil memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2-2,5 cm, lebar 5 mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau dan pada saat masak berubah menjadi merah. Cabai hijau memiliki panjang 3-3,5 cm, lebar 11 mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih. Potensi hasilnya 600 gram per tanaman atau 12 ton per hektar. Rasa buahnya pedas. Varietas ini tahan terhadap serangan hama dan penyakit yang biasa menyerang cabai. Panen berlangsung pada umur 80 HST. Cabai putih memiliki ciri-ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan berukuran panjang 3 cm serta berat rata-rata 2,5 g/buah. Buah yang muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang memiliki rasa pedas. Pertumbuhan tanaman sangat kuat dengan membentuk banyak percabangan. Posisi buah tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan rasa amat pedas. Varietas in mampu menghasilkan 12 ton per hektar dengan rata-rata 300 buah per tanaman. Varietas ini dapat dipanen pada umur 85-90 HST serta tahan terhadap serangan penyakit. Saat ini petani masih banyak yang menggunakan
875
varietas cabai rawit lokal dan menginginkan varietas unggul baru dengan produksi tinggi dan warna buah merah cerah. Produksi varietas lokal saat ini masih di bawah 5 ton per hektar, namun memiliki ketahanan hama dan penyakit yang cukup baik. Varietas unggul baru telah banyak diperkenalkan di pasaran, seperti Kencana, Jossy, dan CR ASA7, namun demikian informasi keunggulan dari masing-masing varietas tersebut di lahan kering Kabupaten Garut masih terbatas (BPS 2013). Padahal, Garut merupakan kabupaten kedua terluas sentra cabai rawit di Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respons berbagai varietas unggul baru terhadap produksi cabai rawit di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Desa Jangkurang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada ketinggian 800 m dpl dari bulan Maret hingga Agustus 2013. Percobaan dilaksanakan di lahan kering dengan jenis tanah regosol. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan varietas dan 6 ulangan dengan petani sebagai ulangan. Perlakuan varietas yang diuji adalah Kencana, Jossy, CR ASA 7, dan lokal. Kencana merupakan produk dari PT Oriental Seed Indonesia, CR ASA7 dari CV Aditya Sentana Agro, sedangkan lokal berasal dari benih turun-temurun petani. Operasionalisasi penelitian di lapangan mengikuti pendekatan model Pengelolaan Tanaman Terpadu, antara lain seperti pengolahan tanah dilakukan secara sempurna yaitu tanah digemburkan dengan cara dicangkul, kemudian dibuat bedengan dengan ukuran lebar 90-120 cm. Pembuatan parit atau saluran irigasi dengan ukuran 40 cm dengan kedalaman 30 cm. Pemupukan dasar yaitu dengan menggunakan pupuk kandang, berupa kotoran ayam, disebarkan secara merata pada permukaan tanah bedengan. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 15 ton/ha. Selain itu, ditambahkan pupuk NPK (1:1:1) sebanyak 800 kg/ha. Kemudian bedengan tersebut ditutup plastik mulsa. Sebelum ditanam, benih disemaikan dalam bumbungan yang terbuat dari daun pisang. Benih cabai rawit disemai dan dipelihara selama 4 minggu. Setelah memiliki 2-4 daun, bibit dipindahkan ke bedengan. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 60 cm x 75 cm. Pemeliharaan tanaman antara lain penyulaman yang dilakukan sampai dengan umur 2 minggu. Penyiangan dilakukan dengan cara manual. Pemangkasan tunas air wiwilan di bawah cabang utama dipangkas seawal mungkin. Penyiraman dilakukan sesuai kondisi lapang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan konsep PHT. Panen cabai rawit dilakukan pada buah yang sudah matang berwarna merah secara bertahap. Data yang diamati meliputi tinggi tanaman (cm), panjang buah (cm), diameter buah (cm), dan produksi tanaman (ton/ha). Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga titik tumbuh tertinggi pada saat panen akhir. Produksi buah dihitung sebagai akomodasi bobot segar buah setiap kali panen. Diameter buah diukur dengan alat zigmat, sedangkan panjang buah diukur dengan penggaris.
876
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 874-877, Juli 2015
Data dianalisis dengan Anova dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal dan uji korelasi pada p<0,05. Uji kontras ortogonal dalam penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kelompok perlakuan berdasarkan deskripsi varietas padi. Kelompok varietas dibagi dalam lokal dan varietas unggul, dimana yang termasuk varietas unggul adalah Kencana Jossy dan CR ASA 7. Kelompok varietas unggul dibagi berdasarkan warna buah saat masak, yaitu Kencana yang berwarna merah cerah, sedangkan Jossy dan CR ASA 7 berwarna merah pucat. Perbedaan varietas Jossy dan CR ASA 7 terletak pada bentuk buah dimana Jossy berbentuk gepeng, sedangkan CR ASA 7 berbentuk bulat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kencana merupakan varietas dengan tanaman kokoh, mempunyai banyak cabang, serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Posisi buah tegak ke bawah. Buah muda berwarna putih kekuningan dan berubah menjadi merah setelah masak. Panjang buah 5,0-7,0 cm, diameter 1,0-1,3 cm, berat buah sekitar 2,5-4,0 gram, dan rasa buah pedas (Anonim 2013). Sementara itu, informasi keragaan varietas Jossy dan CR ASA 7 belum bisa diketahui, namun demikian kedua varietas tersebut tergolong cabai putih yang apabila masak, buahnya berwarna merah pucat. Pertumbuhan vegetatif tanaman yang ditunjukkan dari tinggi tanaman berbagai varietas cabai rawit menunjukkan bahwa varietas lokal memiliki postur tanaman yang lebih rendah daripada varietas unggul baru, baik Kencana, Jossy, maupun CR ASA 7 (Tabel 1). Sementara itu, antarvarietas unggul baru tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman. Dengan demikian, varietas unggul Kencana, Jossy, dan CR ASA 7 memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang relatif sama. Produksi buah segar varietas unggul lebih tinggi daripada varietas lokal (Tabel 1). Tanaman dengan postur tinggi dari varietas unggul (Tabel 1) akan membentuk percabangan yang banyak sehingga setiap percabangan
A Gambar 1. Varietas unggul baru cabai rawit: A. Kencana, B. Jossy
akan membentuk bunga dan buah yang banyak pula. Hal ini menyebabkan produksi buah varietas unggul lebih tinggi pula daripada varietas lokal (Tabel 1). Hermansyah dan Inoriah (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi tanaman akan meningkatkan pertumbuhan tunas sehingga akan mampu memperbanyak jumlah cabang. Meningkatnya tinggi tanaman sejalan dengan meningkatnya jumlah cabang karena meningkatnya pembelahan sel pada meristem apikal dan peningkatan perpanjangan sel mengakibatkan pertambahan tinggi tanaman, kemudian diikuti oleh pembentukan cabang. Peningkatan jumlah cabang tanaman dapat meningkatkan munculnya bunga sehingga banyaknya cabang akan berpengaruhi terhadap banyaknya bunga sehingga jumlah cabang produktif dapat menghasilkan jumlah bunga dan buah yang lebih banyak. Varietas unggul baru memiliki buah yang lebih panjang dan diameter buah lebih besar daripada varietas lokal (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa buah varietas unggul baru lebih besar daripada varietas lokal sehingga dapat dipahami produksi buah varietas unggul baru juga lebih tinggi daripada lokal. Dengan buah yang panjang dan lebar maka kemungkinan buah lebih besar dan berat. Hasil survei keanekaragaman cabai rawit di Georgia oleh Jarret et al. (2007) menunjukkan bahwa panjang buah cabai rawit bervariasi antara 1 hingga 8,5 cm dengan rata-rata 3,2 cm dan lebih kecil dibandingkan varietas yang digunakan dalam penelitian ini, baik varietas lokal maupun varietas unggul baru. Perbedaan varietas unggul baru yang tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 1) juga tidak memengaruhi produksi buah di semua kelompok warna buah dan kelompok bentuk buah (Tabel 2). Perbedaan ukuran buah antarvarietas unggul terlihat bahwa Kencana memiliki buah yang lebih panjang daripada kedua varietas unggul lainnya. Selain itu, diameter buah Jossy lebih besar daripada CR ASA 7 sehingga Jossy tergolong buah yang bulat, sedangkan CR ASA 7 tergolong buah yang gepeng. Hasil survei keanekaragaman cabai rawit yang dilakukan Jarret et al. (2007) di Georgia menunjukkan sebagian besar buah cabai merah adalah memanjang dengan rasio panjang berat bervariasi antara 1-7 dengan rata-rata 3,6.
B
SUJITNO et al. – Varietas unggul baru cabai rawit
877
Tabel 1. Pengaruh beberapa varietas terhadap tinggi tanaman cabai rawit dan peubah panen cabai rawit Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
Panjang buah (cm)
Kencana (V1) 116,1 6,1 Jossy (V2) 116,2 5,4 CR ASA 7 (V3) 114,9 5,8 Lokal (V4) 92,8 4,6 Varietas: lokal vs unggul (V4 vs V1, V2, V3) 92,8 vs 115,7 * 4,6 vs 5,8* Warna buah: merah cerah vs merah pucat (V1 vs V2, V3) 116,1 vs 115,6ns 6,1 vs 5,6* Bentuk buah: bulat vs gepeng (V2 vs V3) 116,2 vs 114,9ns 5,4 vs 5,8ns Keterangan: *= uji kontras ortogonal berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata pada P<0,05
Tabel 2. Korelasi peubah panen tanaman cabai rawit Peubah
Produksi buah
Tinggi tanaman
Panjang buah
Diameter buah
Produksi buah 0,92* 0,78* 0,89* Tinggi 0,74* 0,92* tanaman Panjang buah 0,64* Diameter buah Keterangan: ns = tidak berbeda nyata, * = beda nyata pada P<0,05
Diameter buah (cm)
Produksi buah (ton/ha)
0,97 1,08 0,97 0,59 0,59 vs 1,0* 0,97 vs 1,0ns 1,08 vs 0,97*
7,47 7,37 7,40 3,85 3,85 vs 7,4* 7,47 vs 7,4ns 7,37 vs 7,4ns
buah adalah tinggi tanaman (92%), diameter buah (89%), dan panjang buah (78%). Tidak ada perbedaan nyata terhadap produksi buah di antara varietas unggul baru. Namun demikian, Kencana merupakan varietas unggul baru cabai rawit berwarna merah cerah ketika buah masak yang disukai oleh petani. Kencana memiliki buah yang nyata lebih panjang dibandingkan kedua varietas unggul baru lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Produksi buah dipengaruhi oleh tinggi tanaman (92%), diameter buah (89%), dan panjang buah (78%) (Tabel 2). Dengan demikian, semakin tinggi tanaman maka produksi buah akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman sangat memengaruhi produksi buah cabai rawit. Dengan semakin tinggi tanaman maka akan meningkatkan percabangan tanaman sehingga kemungkinan produksi bunga dan buah juga meningkat. Tabel 1 menunjukkan bahwa tanaman varietas unggul baru lebih tinggi daripada varietas lokal yang ternyata juga memengaruhi produksi buah yang lebih tinggi. Setiap konsumen memiliki preferensi terhadap produk pertanian masing-masing, baik dilihat dari rasa, warna, aroma, dan bentuk. Adiyoga dan Nurmalinda (2012) menyatakan bahwa konsumen lebih menyukai cabai merah yang besar, kulit berwarna merah terang, dan memiliki tingkat kepedasan agak pedas. Konsumen lebih menyukai cabai yang buahnya berwarna merah cerah (Lannes et al. 2007) dan buahnya kecil tetapi pedas (Sota 2013). Di antara varietas unggul yang diuji, Kencana merupakan varietas dengan warna buah merah cerah dan produksi buah lebih tinggi daripada varietas lokal. Lannes et al. (2007) menyatakan bahwa pada saat buah cabai masak, terjadi sintesis pigmen karotenoid, terutama capsanthin, capsorubin, dan cryptocapsin. Prasath dan Ponnuswani (2008) menambahkan bahwa penentu warna merah ditentukan oleh pigemen capsanthin dan capsorubin, sedangkan warna kuning ditentukan oleh pigmen betakaroten dan violanthin. Akumulasi pigmen-pigmen tersebut menunjukkan tingkat kemerahan buah yang akan memengaruhi kualitas cabai sebagai pewarna makanan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa produksi cabai rawit varietas unggul nyata lebih tinggi dibandingkan lokal. Peubah yang nyata paling berpengaruh terhadap produksi
Adiyoga W, Nurmalinda. 2012. Analisis konjoin preferensi konsumen terhadap atribut produk kentang, bawang merah, dan cabai merah. J Hort 22 (3): 292-302. Alka KS. 2011. Induced variation in quantitative traits due to chemical mutagen (hydrazine hydrate) treatment in Lentil (Lens culinaris Medik.). Indian Stream Res J 1 (7): 1-11. Anonim. 2013. Benih OR Kencana. https: //faedahjaya.com/distributorbenih/benih-cabai/kencana [23 Januari 2015]. BPS. 2013. Produksi cabai besar, cabai rawit, dan bawang merah Provinsi Jawa Barat tahun 2012. Berita Resmi Statistik BPS Propinsi Jawa Barat 39 (8): 1-10. Hermansyah Y, Inoriah E. 2009. Penggunaan pupuk daun dan manipulasi jumlah cabang yang ditinggalkan pada panen kedua tanaman nilam. Akta Agrosia 12 (2): 194-203. Ikpeme CE, Henry P, Okiri OA. 2014. Comparative evaluation of the nutritional, phytochemical and microbiological quality of three pepper varieties. J Food Nutr Sci 2 (3): 74-80. Jarret RL, Baldwin E, Perkins B et al. 2007. Diversity of fruit quality characteristics in Capsicum frutescens. Hortsci 42 (1): 16–19. Kouassi CK, Koffi-nevry R, Guillaume LY et al. 2012. Profiles of bioactive compounds of some pepper fruit (Capsicum L.) Varieties grown in Côte d’ivoire. Innovative Romanian Food Biotechnol 11: 23-31. Lannes SD, FL Finger, AR Schuelter, VWD Casali. 2007. Growth and quality of Brazilian accessions of Capsicum chinense fruits. Sci Hort 112: 266–270 Prasath D, Ponnuswami V. 2008. Breeding for extractable colour and pungency in Capsicum-A review. Veg Sci 35 (1): 1-9. Rodrigues KF, HK Tam. 2010. Molecular markers for Capsicum frutescens varieties cultivated in Borneo. J Pl Breeding Crop Sci 2 (6): 165-167. Rukmana RH. 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Kanisius, Yogyakarta. Sharma A, Kumar V, Giridhar P. 2008. Induction of in vitro flowering in Capsicum frutescens under the influence of silver nitrate and cobalt chloride and pollen transformation. J Biotechnol 11 (2): 1-6. Sota Y. 2013. Use of Capsicum frutescens in Weno, Romanum, and Piis Islands, Chuuk Atoll, Federated States of Micronesia. Occasional Papers 53: 77-89. Sutapradja H. 2008. Pertumbuhan dan hasil tanaman tomat kultivar Intan dan Mutiara pada berbagai jenis tanah. J Hort 18 (2): 160-164.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 878-883
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010439
Tingkat serangan berbagai hama polong pada plasma nutfah kedelai Attack level of various pod pests on soybean germplasm MARIDA SANTI YUDHA IKA BAYU Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Tel. +62-341801468, 801075, Fax. +62-341-801496, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 17 Maret 2015. Revisi disetujui: 18 April 2015.
Bayu MSYI. 2015. Tingkat serangan berbagai hama polong pada plasma nutfah kedelai. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 878-883. Peningkatan produktivitas kedelai di Indonesia terkendala oleh serangan berbagai jenis hama. Hama polong kedelai merupakan hama yang menyebabkan kehilangan hasil paling tinggi. Hama polong kedelai dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu penggerek polong (Etiella zinckenella), pengisap polong (Riptortus linearis, Nezara viridula, Piezodorus hybneri), dan pemakan polong (Helicoverpa armigera). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan hama polong pada plasma nutfah kedelai. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-September 2010 di laboratorium entomologi dan kebun percobaan Kendalpayak, Balitkabi, Malang. Rancangan yang digunakan adalah augmented design, 68 perlakuan diulang 6 kali. Pengamatan serangan pengisap polong, penggerek polong, dan pemakan polong dilakukan dengan cara mengamati gejala serangan pada polong dan biji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengisap polong, penggerek polong, dan pemakan polong menyerang semua aksesi kedelai yang dikonservasi dengan persentase polong terserang berkisar antara 9,63-80,93% dan persentase biji terserang berkisar antara 4,50-76,11%. Tingkat serangan pengisap polong, penggerek polong, dan pemakan polong pada polong berturut-turut berkisar antara 1,34-73,13%, 0,19-74,20%, dan 0-5,11% serta pada biji berkisar antara 0,54-70,78%, 0,08-49,78, dan 0-3,01%. Persentase polong dan biji terserang pengisap polong, penggerek polong, dan pemakan polong terendah berturut-turut terdapat pada aksesi Gepak Ijo, MLGG 377, dan Gepak Kuning. Gejala serangan pengisap polong yaitu terdapat tusukan pada polong dan biji yang berwarna kecokelatan. Gejala serangan penggerek polong yaitu terdapat kotoran bekas gerekan larva pada kulit polong, sedangkan gejala serangan pemakan polong yaitu adanya lubang besar pada polong tempat biji berada. Kata kunci: Kedelai, pemakan polong, penggerek polong, pengisap polong Bayu MSYI. 2015. Attack level of various pod pests on soybean germplasm. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 878-883. Increasing productivity of soybean in Indonesia is constrained by attacks of pests. Soybean pod pests are the major pest causing the highest yield loss. There are three groups of soybean pod pests, i.e. pod borer (Etiella zinckenella), pod sucking bugs (Riptortus linearis, Nezara viridula, Piezodorus hybneri) and pod feeder (Helicoverpa armigera). The objective of this study was to determine the attack level of pod pests on soybean germplasm. The research was conducted in May-September 2010 in laboratory of entomology at Kendalpayak Research Station, Balitkabi, Malang. The experimental design was augmented design, 68 treatments with six replicates. The attack of pod sucking bugs, pod borer and pod feeder were done with observed symptoms on the pods and seeds. The results showed that pod sucking bugs, pod borer and pod feeder attacked all of soybean germplasm that conserved with the percentage of pods damaged ranged from 9.63 to 80.93% and the percentage of seeds damaged ranged from 4.50-76.11%. The pod damage caused by pod sucking bugs, pod borer and pod feeder were 1.34-73.13%, 0.19-74.20% and 0-5.11% respectively and the seed damage were 0.54-70.78%, 0.08-49.78% and 0-3.01%. The low percentage of pod and seed damage due to pod sucking bugs, pod borer and pod feeder were in Gepak Ijo, MLGG 377 and Gepak Kuning. The symptom of pod sucking bugs in pods and seeds were a small hole with lightly browned. The symptom of pod borer was dirt caused by larvae. However, the symptom of pod feeder was a huge hole in the pod. Keywords: Pod borer, pod feeder, pod sucking bug, soybean
PENDAHULUAN Kedelai merupakan bahan makanan pokok penduduk Indonesia yang kebutuhannya terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Selain di Indonesia, kedelai merupakan tanaman pangan penting di India, Iran, China, Argentina, Brazilia, dan Amerika (Favre dan Myint 2009). Serangan berbagai jenis hama merupakan hambatan utama dalam upaya peningkatan produktivitas kedelai di Indonesia (Baliadi et al. 2008). Hama polong kedelai merupakan hama yang menyebabkan kehilangan hasil
paling tinggi yaitu mencapai 80%. Hama polong kedelai dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu penggerek polong (Etiella zinckenella), pengisap polong (Riptortus linearis, Nezara viridula, Piezodorus hybneri), dan pemakan polong (Helicoverpa armigera) (Naseri et al. 2010; Bae et al. 2014). Tingkat serangan masing-masing kelompok hama tersebut dapat diamati berdasarkan tanda serangan yang berbeda antarkelompok. Stadia penggerek polong yang merusak kedelai adalah larva. Larva penggerek polong menyerang dengan cara membuat lubang gerekan pada polong lalu merusak biji
BAYU et al. – Tingkat serangan hama polong kedelai
dengan meninggalkan kotoran hasil gerekan (Tohamy dan El-Hafez 2005). Stadia pengisap polong yang paling signifikan menyerang kedelai adalah imago. Imago pengisap polong menyerang polong kedelai dengan cara menusukkan stiletnya pada polong dan mengisap cairan nutrisi yang terkandung pada biji. Pengisap polong yang menyerang pada fase pembentukan polong akan menyebabkan polong kering dan gugur. Pengisap polong yang menyerang pada fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji akan menyebabkan polong dan biji kempis, mongering, lalu gugur. Pengisap polong yang menyerang pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi hitam. Pengisap polong yang menyerang pada fase pemasakan polong menimbulkan bercak hitam kecokelatan pada biji dan biji menjadi keriput. Sementara itu, pengisap polong yang menyerang pada saat polong tua atau menjelang panen dapat menyebabkan biji berlubang. Tanda kerusakan akibat serangan pengisap polong adalah adanya bintik cokelat pada biji atau kulit polong bagian dalam (Bayu dan Tengkano 2014). Selain penggerek polong dan pengisap polong, hama polong yang sering dijumpai pada pertanaman kedelai adalah pemakan polong. Larva pemakan polong menyerang polong kedelai dengan cara membuat lubang pada polong dan memakan biji tanpa meninggalkan kotoran. Hasil survei di Lampung (Tengkano et al. 2003, komunikasi pribadi) dan di Jawa Timur (Prayogo dan Tengkano 2003, komunikasi pribadi) menunjukkan bahwa salah satu pengisap polong (R. linearis) menunjukkan serangan yang paling luas dibandingkan dengan hama lainnya. Penggunaan insektisida yang dilakukan untuk mengendalikan hama polong kedelai belum dapat memberikan hasil yang maksimal. Tingkat serangan hama polong pada kedelai masih tinggi, bahkan sering menyebabkan gagal panen. Adapun aplikasi insektisida menimbulkan dampak berupa pencemaran residu yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Norris et al. 2003). Salah satu komponen PHT yaitu pengendalian dengan menggunakan varietas tahan yang harus dilakukan sebagai alternatif pengendalian. Saat ini telah diketahui bahwa genotipe IAC 100 dan IAC 80 yang merupakan genotipe kedelai introduksi dari Brazil tahan terhadap serangan pengisap polong dan penggerek polong (Suharsono 2004). Genotipe hasil persilangan dari IAC 100 yaitu G100H juga terindikasi tahan terhadap penggerek polong (Santi-YIB et al. 2014). Genotipe tersebut digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk menghasilkan varietas baru yang diharapkan akan mewariskan sifat tahan pada keturunannya. Pengendalian hama dengan varietas tahan sangat penting karena ramah lingkungan dan aplikasinya memerlukan biaya yang rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat serangan masing-masing kelompok hama polong pada 68 plasma nutfah kedelai yang dikonservasi. Informasi mengenai tingkat serangan tiap kelompok hama polong tersebut dapat digunakan untuk menilai tingkat ketahanan plasma nutfah kedelai terhadap hama polong.
879
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium entomologi dan kebun percobaan (KP) Kendalpayak, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang pada bulan Mei-September 2010. Cara kerja Penelitian ini menggunakan rancangan augmented design, 68 perlakuan diulang 6 kali. Sebanyak 66 aksesi kedelai dan dua genotipe pembanding tahan (Gepak Ijo dan Gepak kuning) ditanam pada plot berukuran 1,6 m x 3,5 m dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemupukan pada saat tanam menggunakan 50kg/ha Urea, 100 kg/ha SP36, dan 100 kg/ha KCL. Pengairan dilakukan sesuai kebutuhan. Penyiangan dilakukan pada 14 dan 28 hari setelah tanam (HST). Pengendalian hama dilakukan pada 14-70 HST, yaitu dengan aplikasi insektisida interval 1 minggu disertai pengendalian secara mekanis. Hama daun dikendalikan dengan insektisida sihalotrin dan hama polong dikendalikan dengan insektisida deltametrin dengan dosis sesuai rekomendasi. Pertanaman ini tidak khusus untuk penelitian tingkat serangan hama polong sehingga pengambilan tanaman contoh untuk diamati hanya dapat dilakukan pada saat panen. Pengamatan serangan pengisap polong, penggerek polong, dan pemakan polong dilakukan dengan cara mengamati gejala serangan pada polong dan biji. Gejala serangan pengisap polong yaitu terdapat tusukan pada polong dan biji yang berwarna kecokelatan. Gejala serangan penggerek polong yaitu terdapat kotoran bekas gerekan larva pada kulit polong. Adapun gejala serangan pemakan polong yaitu adanya lubang besar pada polong tempat biji berada. Peubah yang diamati adalah polong dan biji terserang pengisap polong, polong dan biji terserang penggerek polong, dan polong dan biji terserang pemakan polong. Analisis data Tingkat serangan hama polong dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. Persentase polong terserang = jumlah polong terserang x 100% jumlah polong total Persentase biji terserang = jumlah biji terserang x 100% jumlah biji total
Untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman digunakan rumus (Chiang dan Talekar, 1980): < X-2 SD = ST (Sangat Tahan) X-2 SD sampai X-SD = T (Tahan) X-SD sampai X = AT (Agak Tahan) X sampai X + SD = R (Rentan) >X + SD = SR (Sangat Rentan) Keterangan : X = rerata persen polong atau biji terserang per perlakuan SD = standar deviasi Data yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif.
880
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 878-883, Juli 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hama polong menyerang semua aksesi kedelai yang dikonservasi dengan persentase polong terserang berkisar antara 9,63-80,93%. Persentase polong kedelai terserang hama polong yang tertinggi terdapat pada genotipe MLGG 592 yaitu 80,93% dan persentase polong terserang yang terendah terdapat pada genotipe MLGG 695 yaitu hanya 9,63%. Persentase biji terserang hama polong berkisar antara 4,50-76,11%. Persentase biji terserang hama polong yang tertinggi terdapat pada genotipe MLGG 685 yaitu 76,11% dan persentase biji terserang yang terendah terdapat pada genotipe MLGG 759 yaitu hanya 4,50%. Berdasarkan rumus Chiang dan Talekar (1980) serta genotipe pembanding tahan (Gepak Ijo dan Gepak Kuning) diketahui ada 9 aksesi dengan persentase polong terserang dan persentase biji terserang ketiga kelompok hama polong yang rendah (Tabel 1). Pada Tabel 1 juga dapat dilihat tingkat serangan pengisap polong pada polong plasma nutfah kedelai berkisar antara 1,34-73,13%. Genotipe dengan persentase polong terserang pengisap polong tertinggi yaitu MLGG 685 (73,13%) dan genotipe dengan persentase polong terserang pengisap polong terendah yaitu Gepak Ijo (1,34%). Persentase polong terserang penggerek polong berkisar antara 0,19-74,20%. Genotipe dengan persentase polong terserang penggerek polong tertinggi yaitu MLGG 592 (74,20%) dan genotipe dengan persentase polong terserang penggerek polong terendah yaitu MLGG 377 (0,19%). Persentase polong terserang pemakan polong berkisar antara 0-5,11%. Genotipe dengan persentase polong terserang pemakan polong tertinggi yaitu MLGG 611 (5,11%) dan terdapat 21 genotipe dengan polong yang tidak terserang oleh pemakan polong (0%). Tingkat serangan pengisap polong pada biji plasma nutfah kedelai berkisar antara 0,54-70,78%. Genotipe dengan persentase biji terserang pengisap polong tertinggi yaitu MLGG 685 (70,78%) dan genotipe dengan persentase biji terserang pengisap polong terendah yaitu Gepak Ijo (0,54%). Persentase biji terserang penggerek polong berkisar antara 0,08-49,78%. Genotipe dengan persentase biji terserang penggerek polong tertinggi yaitu MLGG 592 (49,78%) dan genotipe dengan persentase biji terserang penggerek polong terendah yaitu MLGG 377 (0,08%). Persentase biji terserang pemakan polong berkisar antara 03,01%. Genotipe dengan persentase biji terserang pemakan polong tertinggi yaitu MLGG 762 (3,01%) dan terdapat 22 genotipe dengan biji yang tidak terserang oleh pemakan polong (0%) (Tabel 1). Ketiga kelompok hama polong menyerang polong kedelai pada seluruh aksesi yang dikonservasi dengan persentase yang berbeda-beda. Pengisap polong merupakan hama polong yang menyerang kedelai dengan intensitas paling tinggi yaitu rata-rata mencapai 61,37% dari total polong terserang per aksesi dan 61,67% dari total biji terserang per aksesi. Penggerek polong menduduki peringkat kedua dengan tingkat serangan 35,29% dari total polong terserang per aksesi dan 35,62% dari total biji
terserang per aksesi. Adapun pemakan polong menunjukkan tingkat serangan yang rendah yaitu hanya 0,03% dari total polong terserang per aksesi dan 2,46% dari total biji terserang per aksesi. Berdasarkan persentase polong terserang hama polong (penggerek polong, pengisap polong, dan pemakan polong) didapatkan 11 aksesi kedelai yang tergolong tahan (Tabel 2) dan berdasarkan biji yang terserang didapatkan 10 aksesi yang tergolong tahan hama polong (Tabel 3). Pembahasan Dari hasil pengamatan diketahui bahwa tingkat serangan hama polong pada plasma nutfah kedelai di KP Kendalpayak, Malang tergolong tinggi, baik pada polong maupun biji. Pengisap polong merupakan salah satu hama polong yang menyebabkan tingkat serangan tertinggi. Pengisap polong yang utama terdiri atas tiga jenis, yaitu R. linearis, N. viridula, dan P. hybneri. Imago ketiga jenis pengisap polong tersebut memiliki kemampuan jelajah atau mobilitas yang tinggi sehingga memungkinkan ketiganya menemukan inang dengan cepat. Aplikasi insektisida untuk mengendalikan pengisap polong tidak efektif karena sifat imago pengisap polong mampu berpindah secara cepat sehingga sering tidak tepat sasaran. Selain imago, nimfa instar III, IV, dan V pengisap polong memiliki kemampuan mengisap cairan biji kedelai sehingga berpotensi merusak biji kedelai. Pengisap polong merusak polong dan biji kedelai dengan cara menusukkan stiletnya pada permukaan polong dan biji. Pengisap polong tidak tertarik pada polong kedelai yang memiliki struktur kulit polong yang keras karena stiletnya akan sulit menjangkau biji. Santi-YIB et al. (2012) melaporkan bahwa populasi pengisap polong di KP Ngale, Ngawi, Jawa Timur sangat tinggi, yaitu mencapai 896 ekor pada lahan seluas 625 m2. Keberadaan pengisap polong harus diperhatikan karena serangan pengisap polong menyebabkan kuantitas dan kualitas hasil panen berkurang serta mengakibatkan daya kecambah biji berkurang karena tusukan stiletnya merusak jaringan biji (Bae et al. 2014). Leonard et al. (2011) mengemukakan bahwa serangan pengisap polong yang menyebabkan peningkatan pelukaan pada biji mengakibatkan umur masak atau umur panen tanaman menjadi tertunda. Hal ini berarti bahwa untuk keberhasilan penelitian di bidang agronomi, pemuliaan, dan proteksi tanaman aneka kacang sangat penting untuk melakukan pengendalian pengisap polong secara efektif dan efisien. Selain pengisap polong, hama polong yang menyerang aksesi kedelai adalah penggerek polong. Penggerek polong merupakan serangga dari ordo Lepidoptera yang stadia larvanya sangat aktif merusak polong dan biji kedelai. Preferensi penggerek polong terhadap genotipe kedelai dipengaruhi oleh karakter morfologi polong dan juga senyawa kimia yang dimiliki oleh suatu genotipe. Karakter morfologi polong yaitu berupa kerapatan trikoma dan kekerasan kulit polong. Genotipe IAC 100 diketahui memiliki karakter trikoma yang rapat dan kulit polong yang keras (Suharsono 2004). Hal ini menyebabkan IAC 100 kurang disukai oleh penggerek polong sebagai tempat meletakkan telur. Keberadaan telur yang diletakkan oleh imago penggerek polong berkorelasi positif dengan tingkat
BAYU et al. – Tingkat serangan hama polong kedelai
881
Tabel 1. Tingkat serangan hama polong dan statistik deskriptif 68 aksesi kedelai yang dikonservasi di KP Kendalpayak, Malang No. genotipe MLGG 128 MLGG 152 MLGG 158 MLGG 159 MLGG 162 MLGG 164 MLGG 169 MLGG 175 MLGG 201 MLGG 223 MLGG 230 MLGG 250 MLGG 266 MLGG 275 MLGG 292 MLGG 295 MLGG 296 MLGG 300 MLGG 317 MLGG 374 MLGG 330 MLGG 331 MLGG 376 MLGG 377 MLGG 381 MLGG 394 MLGG 400 MLGG 417 MLGG 534 MLGG 535 MLGG 537 MLGG 552 MLGG 553 MLGG 554 MLGG 559 MLGG 563 MLGG 565 MLGG 580 MLGG 582 MLGG 588 MLGG 592 MLGG 593 MLGG 595 MLGG 597 MLGG 611 MLGG 612 MLGG 675 MLGG 685 MLGG 695 MLGG 699 MLGG 712 MLGG 713 MLGG 717 MLGG 721 MLGG 731 MLGG 745 MLGG 757 MLGG 759 MLGG 762 MLGG 763 MLGG 771 MLGG 772 MLGG 786 MLGG 801 MLGG 806 MLGG 839 Gepak ijo Gepak kuning
Tingkat serangan ketiga kelompok hama polong (%) Polong Biji 31,71 31,19 38,41 33,54 21,88 12,05 11,68 5,85 11,29 6,51 12,20 6,38 13,58 6,67 37,22 24,83 31,68 19,98 53,91 47,65 20,00 12,33 13,13 9,56 63,84 53,72 52,15 37,82 48,46 38,69 45,34 36,69 22,89 12,91 48,68 29,73 25,28 31,23 40,26 30,20 29,91 20,19 32,06 21,88 56,65 43,83 26,56 23,67 41,51 34,43 27,99 19,42 35,42 26,64 33,86 26,10 14,00 8,57 27,30 35,93 23,24 18,66 37,15 23,04 66,10 64,12 25,44 18,02 23,57 17,85 30,05 24,42 11,63 7,70 24,28 21,76 21,94 8,35 30,16 23,79 80,93 53,35 20,67 15,90 41,45 36,06 31,18 22,80 31,24 23,20 15,90 11,49 49,31 38,73 79,74 76,11 9,63 6,92 18,22 10,67 25,80 18,42 11,07 7,37 15,70 9,41 15,30 9,33 18,17 11,62 34,41 24,91 15,77 9,76 14,59 4,50 41,04 29,29 23,87 15,17 19,64 12,02 9,94 7,71 32,99 24,39 21,07 15,25 42,71 36,71 23,92 14,67 10,38 6,61 12,05 8,22
Tingkat serangan penggerek polong (%) Polong Biji 1,76 1,40 2,42 1,74 9,59 5,58 7,79 3,84 4,41 3,40 8,70 4,29 5,90 2,28 4,60 2,79 23,14 15,65 2,99 2,25 7,42 3,88 4,18 3,89 1,31 1,11 0,66 0,53 0,75 9,38 0,86 0,77 16,56 10,05 23,25 14,65 3,30 1,45 0,79 0,60 5,24 4,56 1,22 0,74 1,71 1,34 0,19 0,08 0,66 0,51 5,70 3,11 1,15 0,59 4,41 3,75 10,69 6,61 4,25 3,57 12,97 10,09 26,45 18,20 3,82 8,30 1,01 0,76 0,97 0,95 0,25 0,33 9,78 6,77 3,98 3,30 18,24 6,46 1,40 1,12 74,20 49,78 16,55 13,71 4,10 4,86 0,45 0,23 0,91 0,42 9,77 7,77 1,12 0,84 5,98 5,09 3,22 2,70 12,89 7,22 19,13 13,74 6,25 2,27 9,36 6,09 12,60 8,15 6,10 3,47 17,70 12,66 2,95 1,46 8,53 1,95 6,84 4,01 21,15 13,96 12,09 6,91 7,65 5,87 19,51 15,68 3,60 3,24 0,95 0,64 12,42 7,57 8,12 5,47 10,64 7,17
Tingkat serangan pengisap polong (%) Polong Biji 29,95 29,80 34,98 31,08 12,15 6,41 1,70 0,73 6,28 2,87 3,50 2,09 6,25 3,19 30,71 20,63 8,54 4,33 49,01 44,21 12,29 8,31 7,20 5,14 61,95 52,36 51,49 37,29 47,02 29,02 43,69 35,61 5,83 2,66 24,95 14,98 18,62 28,36 39,31 29,53 23,90 15,34 30,84 21,14 52,28 41,89 24,67 23,01 40,63 33,72 19,04 14,97 33,83 25,86 29,04 22,06 3,31 1,95 21,49 31,79 10,28 8,56 10,69 4,84 62,28 55,81 20,20 15,19 18,97 15,14 29,67 24,04 1,85 0,92 20,30 18,46 3,70 1,89 27,21 22,07 6,47 3,44 3,89 2,09 35,89 30,14 30,19 22,32 25,23 20,65 5,90 3,60 48,19 37,89 73,13 70,78 6,41 4,22 4,98 3,09 6,68 4,68 4,47 3,54 4,92 2,73 2,70 1,18 11,46 7,86 15,49 11,86 12,52 8,30 6,06 2,55 31,63 22,27 2,72 1,21 7,24 4,98 2,29 1,84 12,40 8,61 17,47 12,01 41,43 35,97 10,54 6,69 1,34 0,54 1,41 1,05
Tingkat serangan pemakan polong (%) Polong Biji 0,00 0,00 1,01 0,72 0,14 0,06 2,20 1,28 0,60 0,24 0,00 0,00 1,43 1,20 1,90 1,41 0,00 0,00 1,92 1,19 0,30 0,14 1,76 0,53 0,58 0,25 0,00 0,00 0,69 0,28 0,79 0,32 0,50 0,20 0,47 0,10 3,37 1,42 0,16 0,07 0,77 0,30 0,00 0,00 2,66 0,59 1,70 0,58 0,23 0,21 3.24 1,34 0,44 0,20 0,41 0,29 0,00 0,00 1,57 0,58 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,23 2,07 3,63 1,76 0,12 0,06 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,55 0,60 0,26 0,13 0,23 0,10 1,45 1,06 0,55 0,25 5,11 2,13 0,23 0,12 0,00 0,00 0,63 0,24 0,00 0,00 0,35 0,36 0,00 0,00 0,35 0,33 1,41 0,59 0,00 0,00 0,62 0,29 1,21 0,39 0,30 0,00 0,00 0,00 2,57 3,01 0,00 0,00 0,31 0,13 0,00 0,00 1,08 0,10 0,00 0,00 0,33 0,09 0,97 0,41 0,92 0,60 0,00 0,00
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 878-883, Juli 2015
882 Rata-rata Simpangan baku Nilai minimum Nilai maksimum Pembanding Gepak Ijo Gepak Kuning Jumlah aksesi terbaik
29,84 16,25 9,63 80,93
22,60 14,80 4,50 76,11
8,22 10,46 0,19 74,20
5,64 7,05 0,08 49,78
20,77 17,59 1,34 73,13
16,52 15,61 0,54 70,78
0,84 1,12 0,00 5,11
0,42 0,61 0,00 3,01
10,38 12,05 9*
6,61 8,22 9**
8,12 10,64
5,47 7,17
1,34 1,41
0,54 1,05
0,92 0,00
0,60 0,00
Keterangan: * = dibandingkan dengan Gepak Ijo dan Gepak Kuning; ** = dibandingkan dengan Gepak Ijo
Tabel 2. Ketahanan 68 aksesi kedelai berdasarkan persentase polong terserang hama polong Kriteria ketahanan 68 aksesi kedelai berdasarkan persentase polong terserang hama polong 13,59-29,84 (AT) 29,84-46,09 (R) MLGG 158 MLGG 593 MLGG 128 MLGG 552 MLGG 230 MLGG 612 MLGG 152 MLGG 563 MLGG 296 MLGG 699 MLGG 175 MLGG 588 MLGG 317 MLGG 712 MLGG 201 MLGG 595 MLGG 377 MLGG 717 MLGG 295 MLGG 597 MLGG 394 MLGG 721 MLGG 374 MLGG 611 MLGG 534 MLGG 731 MLGG 330 MLGG 745 MLGG 535 MLGG 757 MLGG 331 MLGG 762 MLGG 537 MLGG 759 MLGG 381 MLGG 786 MLGG 554 MLGG 763 MLGG 400 MLGG 806 MLGG 559 MLGG 771 MLGG 417 MLGG 580 MLGG 801 MLGG 582 MLGG 839 11 26 21 Keterangan: T = tahan, AT = agak tahan, R = rentan, SR = sangat rentan <-2,66-13,59 (T) MLGG 159 MLGG 162 MLGG 164 MLGG 169 MLGG 250 MLGG 565 MLGG 695 MLGG 713 MLGG 772 Gepak Ijo Gepak Kuning
>46,09 (SR) MLGG 223 MLGG 266 MLGG 275 MLGG 292 MLGG 300 MLGG 376 MLGG 553 MLGG 592 MLGG 675 MLGG 685
10
Tabel 3. Ketahanan 68 aksesi kedelai berdasarkan persentase biji terserang hama polong Kriteria ketahanan 68 aksesi berdasarkan persentase biji terserang hama polong 13,59-29,84 (AT) 29,84-46,09 (R) MLGG 158 MLGG 593 MLGG 128 MLGG 535 MLGG 201 MLGG 612 MLGG 152 MLGG 552 MLGG 230 MLGG 699 MLGG 175 MLGG 563 MLGG 250 MLGG 712 MLGG 295 MLGG 588 MLGG 296 MLGG 717 MLGG 300 MLGG 595 MLGG 330 MLGG 721 MLGG 317 MLGG 597 MLGG 331 MLGG 731 MLGG 374 MLGG 611 MLGG 394 MLGG 757 MLGG 377 MLGG 745 MLGG 534 MLGG 763 MLGG 381 MLGG 762 MLGG 537 MLGG 771 MLGG 400 MLGG 786 MLGG 554 MLGG 801 MLGG 417 MLGG 806 MLGG 559 MLGG 839 MLGG 580 Gepak kuning MLGG 582 10 27 22 Keterangan: T = tahan, AT = agak tahan, R = rentan, SR = sangat rentan <-2,66-13,59 (T) MLGG 159 MLGG 162 MLGG 164 MLGG 169 MLGG 565 MLGG 695 MLGG 713 MLGG 759 MLGG 772 Gepak ijo
serangan larva pada polong dan biji kedelai. Pada penelitian ini, tingkat serangan penggerek polong lebih rendah dibandingkan dengan serangan pengisap polong. Selain itu, terlihat fenomena bahwa setiap aksesi yang didominasi oleh pengisap polong menunjukkan tingkat serangan penggerek polong yang rendah dan juga sebaliknya. Diduga bahwa setiap jenis hama polong menginginkan biji sebagai bahan makanan karena mengandung protein yang dapat menunjang pertumbuhan
>46,09 (SR) MLGG 223 MLGG 266 MLGG 275 MLGG 292 MLGG 376 MLGG 553 MLGG 592 MLGG 675 MLGG 685
9
hama itu sendiri. Pengisap polong maupun penggerek polong akan memilih aksesi lain untuk menghindari terjadinya kompetisi. Pada penelitian ini, tingkat serangan pemakan polong sangat rendah yaitu hanya 5,11%. Diduga bahwa di sekitar pertanaman plasma nutfah tidak terdapat tanaman inang pemakan polong yang dapat menjadi sumber infestasi ke tanaman kedelai. Santi-YIB dan Tengkano (2013) melaporkan bahwa tanaman jagung merupakan inang
BAYU et al. – Tingkat serangan hama polong kedelai
utama pemakan polong. Keberadaan tanaman jagung tua di sekitar tanaman kedelai yang berada pada fase generatif perlu diperhatikan karena imago dari larva yang memakan tongkol jagung akan meletakkan telurnya pada polong kedelai. Tidak adanya tanaman inang pemakan polong menyebabkan populasinya rendah sehingga tingkat serangan yang ditimbulkan juga rendah. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama polong pada tanaman kedelai sangat bervariasi, ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tinggi rendahnya populasi, fase pertumbuhan tanaman, tanggapan tanaman terhadap hama, varietas yang ditanam, serta tindakan pengendalian yang dilakukan. Dampak serangan yang ditimbulkan oleh hama polong berkaitan erat dengan waktu terjadinya serangan (Depieri dan Panizzi 2011). Penentuan tingkat serangan tiap kelompok hama polong adalah berdasarkan gejala serangan. Seluruh plasma nutfah kedelai yang dikonservasi diketahui terserang oleh ketiga kelompok hama polong, baik itu pengisap polong, penggerek polong, maupun pemakan polong. Tingginya populasi hama polong karena adanya aplikasi insektisida yang dilakukan secara terus-menerus sehingga mengakibatkan hama polong menjadi resisten. Pada penelitian ini, aplikasi insektisida dilakukan mingguan sejak tanaman muda hingga menjelang panen. Aplikasi insektisida berbahaya bagi lingkungan dan belum dapat menekan tingkat serangan hama polong pada plasma nutfah kedelai. Oleh karena itu, dalam pengelolaan hama dianjurkan untuk memperhatikan prinsip pengelolaan hama terpadu agar tepat sasaran serta mengurangi dampak negatif bagi lingkungan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah didapatkannya 12 aksesi kedelai dengan tingkat serangan hama polong yang rendah yaitu MLGG 159, MLGG 162, MLGG 164, MLGG 169, MLGG 250, MLGG 565, MLGG 695, MLGG 713, MLGG 759, MLGG 772, Gepak Hijau, dan Gepak Kuning. Ke-12 aksesi tersebut berpeluang untuk dilepas sebagai varietas atau digunakan sebagai tetua dalam persilangan selanjutnya. Selain itu, diketahui bahwa persentase polong dan biji terserang pengisap polong, penggerek polong, dan pemakan polong terendah berturut-turut terdapat pada aksesi Gepak Ijo, MLGG 377, dan Gepak Kuning.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan dana melalui DIPA untuk terlaksananya penelitian ini hingga
883
selesai serta kepada pihak-pihak yang telah mambantu pelaksanaan penelitian ini hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA Bae SD, Kim HJ, Mainali BP. 2014. Infestation of Riptortus pedestris (Fabricius) decreases the nutritional quality and germination potential of soybean seeds. J Asia-Pac Entomol 17: 477-481. Baliadi Y, Tengkano W, Marwoto. 2008. Penggerek polong kedelai, Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae) dan strategi pengendaliannya di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (4): 113123. Bayu MSYI, Christanto, Tengkano W. 2012. Komposisi genus dan spesies pengisap polong kedelai pada pertanaman kedelai. Dalam: Widjono A, Hermanto, Nugrahaeni N, Rahmianna AA, Suharsono, Rozi F, Ginting E, Taufiq A, Harsono A, Prayogo Y, Yusnawan E (eds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Bayu MSYI, Tengkano W. 2014. Endemik kepik hijau pucat, Piezodorus hybneri Gmelin (Hemiptera: Pentatomidae) dan pengendaliannya. Buletin Palawija 28: 73-83. Chiang HS, Talekar NS. 1980. Identification of source of resistance and to the bean fly and two other agromyzid flies in soybean and mungbean. Entomology 73: 1-5. Depieri RA, Panizzi AR. 2011. Duration of feeding and superficial and indepth damage to soybean selected species of stink bugs (Heteroptera: Pentatomidae). Neotrop Entomol 40: 197-203. Favre R, Myint UK. 2009. An analysis of the Myanmar edible oil crops sub-sector. Electronic Publishing Policy and Support Branch, FAO, Viale delle Terme, Caracalla, Rome, Italy. Leonard BR, Boquet DJ, Padgett B et al. 2011. Soybean green plant malady contributing factors and mitigation. Louisiana Agric 54: 3234. Naseri B, Fathipour Y, Moharramipour S, Hosseininaveh V. 2010. Nutritional indices of the cotton bollworm, Helicoverpa armigera, on 13 soybean varieties. J Insect Sci 10 (5): 1-14. Norris RF, Caswell-Chen EP, Kogan M. 2003. Concepts in integrated pest management. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Santi-YIB M, Baliadi Y, Suhartina, Tengkano W. 2014. Tanggap galur harapan kedelai toleran lahan masam dan kekeringan terhadap penggerek polong. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013. Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. Santi-YIB M, Tengkano W. 2013. Potensi tanaman jagung dan sangket (Basilicum polystachyon) sebagai perangkap hama polong kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32 (2): 109-115. Suharsono. 2004. Preferensi peneluran hama penggerek polong kedelai Etiella zinckenella Treit pada beberapa galur kedelai (salah satu aspek ketahanan terhadap hama penggerek polong). Dalam: Hardaningsih S, Soejitno J, Rahmiana AA, Marwoto, Heriyanto, Tastra IK, Ginting E, Adie MM, Trustinah (eds). Teknologi Inovatif Agribisnis Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tohamy HT, El-Hafez GA. 2005. Integrated crop management system for controlling cowpea pod worm, Etiella zinckenella (Treit.) in relation to soybean yield at Minia and new valley regions. Egyptian J Agric Res 83: 1079-1098.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 884-888
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010440
Prospek pengembangan buah naga (Hylocereus costaricensis) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Development prospect of dragon fruit (Hylocereus costaricensis) in Kutai Kartanegara District, East Kalimantan MUHAMAD RIZAL Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 30 April 2015.
Rizal M. 2015. Prospek pengembangan buah naga (Hylocereus costaricensis) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 884-888. Hingga saat ini kebutuhan akan buah naga di Indonesia cukup besar. Kebutuhan tersebut belum mampu dipenuhi, baik oleh produsen di dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga peluang untuk membudidayakan buah naga masih sangat terbuka, baik untuk pasaran lokal maupun internasional. Di Kalimantan Timur, pengembangan agribisnis buah naga (dragon fruit) belum banyak dibudidayakan oleh petani. Jenis yang ditanam didominasi jenis buah naga daging super merah (Hylocereus costaricensis) atau super red. Jenis ini tergolong paling manis di antara jenis lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai prospek pengembangan buah naga dalam mendukung keberlanjutan usaha tani buah naga yang bernilai lebih dan berdaya saing tinggi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2013. Jenis data terdiri atas data primer yang diperoleh dari petani buah naga dan data sekunder yang diperoleh dari dinas atau instansi terkait serta publikasi karya ilmiah terkait, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan pencatatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi pengembangan buah naga di Kalimantan Timur memiliki prospek yang baik karena selain dapat mengurangi impor buah dan memiliki peluang menembus pasar ekspor, juga memberikan keuntungan ekonomis tinggi pada petani. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio R/C analisis usaha tani buah naga sebesar 1,42 yang berarti layak untuk dikembangkan. Kata kunci: Buah naga, Kalimantan Timur, prospek pengembangan Rizal M. 2015. Development prospect of dragon fruit (Hylocereus costaricensis) in Kutai Kartanegara District, East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 884-888. To date, the demand for dragon fruit in Indonesia is quite large. The domestic and international producers can not fulfill this requirement, thus the chance to cultivate the dragon fruit is still open to meet the demand of domestic and international market. In East Kalimantan, dragon fruit has not been much cultivated by farmers. The predominantly planted dragon fruit is red flesh dragon fruit (Hylocereus costaricensis) or Super Red. This variety is the sweetest dragon fruit. The purpose of this study was to provide information about the prospects of dragon fruit development for supporting sustainable farming of dragon that more valuable and high competitive. This assessment was conducted in Samboja sub-District, Kutai Kartanegara District, East Kalimantan Province in 2013. The collected data consisted of primary data obtained from dragon fruit farmers and secondary data taken from related ministries or agencies and scientific papers. The collecting data technique was observation, interview and record-keeping. The result showed that the potency of dragon fruit development in East Kalimantan had good prospects in the future; it reduced fruit import and was also important to penetrate export market. In addition, dragon fruit gave high economic benefit for the farmer, because of the value of dragon fruit R/C was 1.42. It meant that it was reasonable to be developed. Keywords: Dragon fruit, East Kalimantan, prospect for development
PENDAHULUAN Hingga saat ini kebutuhan akan buah naga di Indonesia cukup besar. Kebutuhan tersebut belum mampu dipenuhi, baik oleh produsen di dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga peluang untuk membudidayakan buah naga masih sangat terbuka, baik untuk pasaran lokal maupun internasional. Peluang usaha buah naga sangat menjanjikan, tidak saja untuk konsumsi segar tetapi juga untuk produk kesehatan (Departemen Pertanian 2005). Tanaman buah naga (Hylocereus costaricensis) atau
dragon fruit atau pitaya adalah jenis kaktus yang awalnya berasal dari Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, kemudian dibawa ke kawasan Indocina (Vietnam) sebagai tanaman hias karena penampilannya yang unik, berbunga indah, dan berbuah merah mengilap bersirip. Dengan iklim tropis yang sesuai, dewasa ini Vietnam dan Thailand merupakan produsen terbesar buah naga (Bowman 2008). Tanaman buah naga masuk ke Indonesia sekitar tahun 2000, diimpor dari Thailand, kemudian dibudidayakan menjadi tanaman pertanian di beberapa daerah seperti
RIZAL – Pengembangan buah naga di Kutai Kartanegara
Yogyakarta, Malang, Mojokerto, Bogor, dan Jember (Purba 2007). Buah naga memang belum banyak dikenal di Indonesia. Buah ini sulit diperoleh di pasar-pasar tradisional dan hanya dapat dijumpai di pasar swalayan tertentu saja. Selain karena masih sedikit yang menanamnya, hal ini juga disebabkan buah naga masih tergolong jenis tanaman budi daya baru (Winarsih 2007). Terdapat empat jenis buah naga yang dikembangkan, yaitu buah naga daging putih (Hylocereus undatus), buah naga daging merah (H. polyrhizus), buah naga daging super merah (H. costaricensis), dan buah naga kulit kuning daging putih (Selenicereus megalanthus). Masing-masing buah naga memiliki karakteristik tersendiri. Dari buah naga yang dikembangkan tersebut, buah naga daging merah lebih sering dibudidayakan karena memiliki kelebihan tersendiri, yaitu ukuran buah lebih besar dan warna daging lebih menarik. Adapun buah naga yang jarang dibudidayakan adalah buah naga kulit kuning daging putih (S. megalanthus) karena ukuran buahnya yang relatif kecil walaupun rasanya paling manis di antara jenis buah naga yang lain (Novita 2010). Dari segi nilai gizi, setiap 100 g buah naga mengandung 82,5-83 g air, 0,21-0,61 g lemak, 0,15-0,22 g protein, 0,70,9 g serat, 0,005-0,01 mg karoten, 6,3-8,8 mg kalsium, 30,2-31,6 mg fosfor, 0,55-0,65 mg besi, 13-18 briks kadar gula, 11,5 g karbohidrat, 60,4 mg magnesium, serta vitamin B1, B2, dan vitamin C (Cahyono 2009; Kristanto 2009). Dengan komposisi itu, buah naga dipercaya berkhasiat dapat menyeimbangkan gula darah, mencegah kanker usus, melindungi kesehatan mulut, menurunkan kolesterol, menguatkan fungsi ginjal dan tulang, serta mencegah pendarahan sehingga secara keseluruhan meningkatkan daya tahan tubuh (Hardjadinata 2010). Pengembangan agribisnis buah naga mulai muncul di Indonesia pada tahun 2003. Sejak itu, pengusaha agrobisnis di Indonesia sudah banyak yang meminati komoditas ini. Mereka menilai bahwa membudidayakan buah naga relatif mudah dan prospek ke depannya sangat cerah dibandingkan dengan buah lainnya. Di Kalimantan Timur, pengembangan agribisnis buah naga belum banyak dibudidayakan oleh petani, sementara permintaan pasar akan buah naga semakin meningkat serta dengan didukung oleh ketersediaan luas lahan pertanian bukan sawah yang potensial untuk pengembangan komoditas (termasuk hortikultura buah), yaitu seluas 16.570.051 ha (BPS Kalimantan Timur 2013). Adapun untuk jenis tanaman yang dibudidayakan didominasi oleh jenis buah naga daging super merah (H. costaricensis) atau super red. Jenis ini tergolong paling manis di antara jenis lainnya. Melihat prospek dan peluang yang menguntungkan, Kalimantan Timur memiliki potensi yang besar untuk membudidayakan buah naga dalam skala yang lebih luas dan bernilai tambah dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai prospek pengembangan buah naga dalam mendukung keberlanjutan usaha tani buah naga yang bernilai lebih dan berdaya saing tinggi di Provinsi Kalimantan Timur.
885
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2013 di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Jenis data terdiri atas data primer yang diperoleh dari petani buah naga dan data sekunder yang diperoleh dari dinas atau instansi terkait serta publikasi karya ilmiah, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan pencatatan langsung di lapangan. Data dan informasi disajikan secara deskriptif informatif. Untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha tani buah naga digunakan pendekatan analisis finansial yang paling sederhana dengan menggunakan R/C, yaitu rasio antara penerimaan dengan biaya. Jika R/C >1 = usaha tersebut layak untuk diteruskan, dan jika R/C <1 = usaha tersebut tidak layak untuk dilanjutkan (Swastika dan Sadra DK 2004). R/C dihitung dengan cara: TR TC
Keterangan: TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya) Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sarana produksi penanaman buah naga seperti pupuk organik (pupuk kandang dan pupuk cair), kayu tiang, waring, dan polybag, serta alat yang digunakan di antaranya palu, gergaji, paku, meter, pacul, ember, dan alat tulis. Untuk mendorong pengembangan buah naga super red sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi dengan produktivitas yang optimal, dilakukan introduksi teknologi dengan tahapan sebagai berikut (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur 2013): (i) persiapan/pemilihan benih, (ii) penanaman, (iii) pengaturan letak dan pengikatan cabang/batang tanaman, (iv) pemupukan, (v) pemangkasan, (vi) pengendalian OPT, dan (vii) panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai luas wilayah 27.263,10 km2 atau 12,89% dari wilayah Kalimantan Timur yang memiliki luas wilayah daratan 127.267,52 km2 dan luas pengelolaan laut 25.656 km2 (Gambar 1). Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman buah-buahan. Adapun buahbuahan yang diproduksi di antaranya adalah pisang, durian, papaya, nanas, dan buah naga. Rata-rata produksi tertinggi selama 5 (lima) tahun ditempati oleh tanaman pisang dengan jumlah produksi 42.997,20 ton, disusul nanas 16.344,40 ton, durian 12.558,80 ton, dan pepaya 8.228,60 ton. Perkembangan tanaman pangan lainnya adalah tanaman sayuran (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura 2013).
886
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 884-888, Juli 2015
Gambar 1. Lokasi penelitian: Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur (kiri); dan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (kanan)
Kecamatan Samboja terletak antara 116o-117o BT dan 040o-045o LS dengan topografi sebagian besar bergelombang dan berbukit dengan ketinggian rata-rata 200 m dpl serta kemiringan rata-rata 2,19%. Kecamatan Samboja terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas wilayah 3.800,00 km2 atau kurang lebih 3,28 % dari luas wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Gambar 2). Kecamatan Samboja terdiri atas 23 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 34.499 jiwa yang sebagian besar mata pencaharian penduduk didominasi dari sektor pertanian (Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Samboja 2012). Lahan usaha tani buah naga di Kecamatan Samboja sampai saat ini kurang lebih seluas 200 ha, dengan pola panen per 10 hari dengan kapasitas produksi rata-rata untuk 1 ha adalah 2 ton. Setiap tahun luasan usaha tani buah naga selalu mengalami peningkatan. Ini menunjukkan besarnya animo masyarakat/petani untuk mengembangkan budi daya buah naga karena selain memiliki prospek yang cerah, peluang pengembangannya masih terbuka luas. Pemasaran buah naga untuk saat ini masih di pasar lokal (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur 2013). Teknologi budi daya buah naga Tanaman buah naga tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang rumit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soelistyari dan Utomo (2000) menunjukkan bahwa tanaman buah naga masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi air tanah mendekati titik layu (wilting point). Jika tanah bertekstur liat, untuk memperbaiki aerasi, pemberian pasir dan pupuk kandang sangat diperlukan untuk pertumbuhan akar bibit. Tanaman buah naga tahan terhadap fluktuasi temperatur yang sangat tinggi. Tanaman akan mengalami kerusakan pada temperatur lebih dari 39oC
sehingga pembungaan terhambat (Mizrahi dan Nerd 1999). Di Israel, untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman ini memerlukan naungan antara 30-60% (Raveh et al. 1996). Santoso (2010) menyatakan bahwa intensitas naungan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan cahaya berkurang dan suhu terlalu rendah, akibatnya pertumbuhan tanaman terhambat. Menurut Nursanti (2011), pada siang hari naungan berperan untuk mengurangi tingginya suhu maksimum dengan cara menahan cahaya matahari yang diterima tanaman dan pada malam hari naungan mengurangi turunnya suhu minimum dengan cara menghambat radiasi panas dari bumi ke atmosfer. Produksi buah naga di Kalimantan Timur berbuah sepanjang tahun sehingga Provinsi Kalimantan Timur menjadi salah satu pusat produksi buah naga di Indonesia. Kemajuan ini karena didukung oleh introduksi teknologi yang spesifik lokasi. Adapun teknologi budi daya usaha tani buah naga yang dikembangkan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, antara lain sebagai berikut: (i) Perbanyakan bibit buah naga dilakukan secara vegetatif dengan mengambil 80% cabang/sulur yang telah berbuah (dipotong sepanjang 25-30 cm) untuk digunakan sebagai bibit, dimana setek dikering-anginkan antara 5-7 hari agar getah mengering; (ii) Sebanyak 2-4 batang setek untuk setiap tiang pancang/panjatan dengan cara memasukkan benih/bibit sedalam 5-7 cm dengan jarak 10 cm dari pangkal, lalu setek diikat erat; (iii) Dilakukan pengontrolan dan pengikatan cabang setiap 21-25 cm. Sebaiknya ikatan tidak terlalu kencang; (iv) Pupuk organik diberikan secara melingkar tanaman dengan menggunakan campuran pupuk kandang, apabila perlu ditambahkan dolomit dengan perbandingan 10 kg pupuk kandang dan 300 g dolomit per pancang; (v) Pemangkasan untuk membentuk batang pokok, dipilih tunas yang terletak di bagian ujung, sedangkan bagian pangkal tunas dipangkas. Pemangkasan
RIZAL – Pengembangan buah naga di Kutai Kartanegara
dilakukan kembali kurang lebih 1-2 cm apabila tunas teratas telah mencapai ujung pancang serta dilakukan pemangkasan pada tunas yang tumbuh pada bagian bawah tanaman; (vi) Pemberian kapur di sekitar pangkal tanaman untuk mencegah serangan bekicot, melakukan pengamatan terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara berkala (seminggu sekali), serta mengenali dan mengidentifikasi gejala serangan, jenis OPT, dan musuh alaminya. Beberapa OPT yang sering menyerang tanaman buah naga di antaranya busuk pangkal batang, busuk bakteri, Fusarium, tungau, kutu sisik, bekicot dan tupai. Pengendalian OPT dapat dilakukan secara mekanik maupun kimiawi; (vii) Panen dilakukan apabila kulit buah naga mulai berwarna merah mengilap (sekitar 30-40%) atau tingkat kematangan telah mencapai 80-100% untuk pasar lokal.
887
Tabel 1. Analisis usaha tani budi daya buah naga di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Biaya produksi
No.
Uraian
1
Sewa tanah 1 ha 5 tahun Cangkul 10 buah Parang 10 buah Kayu ulin 1.600 btg Ban 1.600 btg Total biaya produksi
2 3 4 5
Harga satuan (Rp) 5.000.000
Volume
50.000 50.000 45.000 2.500
Jumlah (Rp) 25.000.000 500.000 500.000 72.000.000 4.000.000 102.000.000
Sarana produksi
Analisis usaha tani budi daya buah naga Hasil analisis usaha tani budi daya buah naga daging super merah di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan nilai rasio R/C sebesar 1,42. Benefit cost ratio merupakan suatu analisis pemilihan proyek yang biasa dilakukan karena mudah, yaitu perbandingan antara benefit dengan cost. Apabila nilai rasio R/C<1 berarti proyek tersebut tidak ekonomis, sebaliknya apabila R/C>1 berarti proyek tersebut layak, dan apabila R/C=1 berarti proyek tersebut marginal (tidak rugi dan tidak untung). Adapun analisis usaha tani budi daya buah naga untuk luasan penanaman 1 ha di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa hasil analisis usaha tani budi daya buah naga di Kecamatan Samboja memberikan keuntungan sebesar Rp. 562.300.000,00 atau dengan rasio R/C sebesar 1,42. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha tani buah naga di lokasi penelitian tersebut layak untuk dikembangkan. Peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi dapat dicapai apabila usaha tani buah naga yang dibudidayakan oleh petani di lokasi tersebut menggunakan lahan sendiri dan meminimalisasi penggunaan tenaga kerja serta dukungan peralatan dan sarana produksi yang memadai. Berdasarkan pengamatan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, usaha tani buah naga yang dilaksanakan PT. KSE sampai tahun ke-4 memperoleh keuntungan sebesar Rp. 335.995.581,84/ha/tahun, atau nilai rasio R/C sebesar 1,34 (Gusti 2011). Hasil penelitian Soelistyari et al. (2003) menunjukkan secara ekonomis pengusahaan tanaman buah naga sangat layak. Pada akhir tahun keempat, modal investasi telah kembali dan diperoleh keuntungan Rp. 32.000.000,00. Pada tahun kelima dan seterusnya diperoleh hasil sekitar Rp. 150.000.000,00/tahun dengan biaya pemeliharaan Rp. 40.000.000,00/tahun. Berdasarkan hasil penelitian Santoso (2013), analisis usaha tani buah naga di pekarangan selama 7 tahun menghasilkan keuntungan Rp. 96.805.000,00 atau dengan rasio B/C sebesar 2,76. Peluang pengembangan buah naga di Kecamatan Samboja memiliki prospek yang baik karena selain
No.
Uraian
1
Benih buah 6.400 btg naga (setek) Pupuk 64.000 kandang kg Total biaya produksi
2
Volume
Harga satuan (Rp) 15.000 1.500
Jumlah (Rp) 96.000.000 96.000.000 192.000.000
Tenaga kerja
No.
Uraian
1
Pengolahan 50 Hok tanah Penanaman 20 Hok Penyiraman 20 Hok Pemupukan 20 Hok Penyiangan 10 Hok Panen dan 10 Hok pascapanen Total biaya produksi
2 3 4 5 6
Volume
Harga satuan (Rp) 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
Jumlah (Rp) 5.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 1.000.000 1.000.000 13.000.000
Analisis biaya dan pendapatan usaha tani Uraian
Volume (kg)
Harga satuan (Rp)
Biaya usaha tani Sewa lahan 5 tahun Nilai penyusutan Sarana produksi Tenaga kerja Total biaya produksi (tc) Pendapatan usaha tani Panen tahun ke-1 10 x 6.400 x 0,5 kg 32.000 Total pendapatan (tr) Keuntungaan usaha tani (tr-tc) MBCR
Jumlah (Rp) 25.000.000 7.700.000 192.000.000 13.000.000 237.700.000
25.000
800.000.000 800.000.000 562.300.000 1,42
888
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 884-888, Juli 2015
didukung oleh kondisi iklim dan keadaan tekstur tanah yang sesuai serta introduksi teknologi spesifik lokasi yang tepat, komoditas ini juga mempunyai prospek yang cerah dimana pasarannya masih terbuka lebar, baik untuk pasar lokal maupun internasional. Budi daya buah naga di Kecamatan Samboja memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan buah yang lain. Hal ini terlihat dari hasil analisis usaha tani sebesar 1,42 yang berarti pengembangan komoditas buah naga tersebut sangat layak untuk dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Samboja. 2013. Program Penyuluhan Pertanian BPP Samboja. Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Bowman JE. 2008. Good agricultural practices and EurepGAP certification for Vietnam's small farmer-based dragon fruit industry [710-8]. 2008 Joint Annual Meeting, Celebrating the International Year of Planet Earth. George R. Brown Convention Center, Houston, Texas, 5-9 October 2008. BPS Kalimantan Timur. 2013. Kalimantan Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Departemen Pertanian. 2005. Pengembangan Agribisnis Buah Naga (dragon fruit) Indonesia dalam Mencapai Pasar Ekspor. Departemen Pertanian, Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kutai Kartanegara. 2013. Laporan Tahunan Tahun 2013. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Road Map dan Rancang Bangun Pengembangan Kawasan Hortikultura Provinsi Kalimantan Timur.
Gusti RY. 2011. Analisis Usaha Tani Buah Naga Daging Super Merah (Hylocereus costaricencis) sampai Tahun Ke-4 di Kabupaten Padang Pariaman. [Tesis]. Universitas Andalas, Padang. Hardjadinata. 2010. Budidaya Buah Naga Super Red secara Organik. Penebar Swadaya, Bogor. Mizrahi Y, Nerd A. 1999. Climbing and columnar cacti: new arid land fruit crops. In: Janick J (ed). Perspektive on New Crops And New Uses. ASHS Press, Alexandria. Novita. 2010. Budidaya Tanaman Buah Naga Super Red. [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Nursanti DF. 2011. Pengaruh beberapa tingkat naungan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman seledri (Apium graveolens). Agronobis 3 (5): 12-18. 10-16. Raveh E, Nerd A, Mizrahi Y. 1996. Response of climbing cacti to different levels of shade and to carbon dioxide enrichment. Acta Hort 434: 271-278. Santoso. 2010. Pengaruh intensitas naungan buatan dan dosis pupuk K terhadap pertumbuhan dan hasil jahe gajah. Akta Agrosia 13 (1): 6269. Santoso. 2013. Budidaya buah naga organik di pekarangan, berdasarkan pengalaman petani di Kabupaten Malang. Iptek Hortikultura 9: 26-31. Soelistyari HT, Siniati K, Lema B, Utomo WH. 2002. The Prospect of dragon fruit development in East Java. Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi Hasil Pengkajian BPTP Jawa Timur. Malang, 910 Juli 2012. Soelistyari HT, Utomo. 2000. Pengaruh tekstur dan potensial air tanah terhadap pertumbuhan bibit stek tanaman buah naga. Sciencetek 4: 78-81. Swastika, Sadra DK. 2004. Beberapa teknik analisis dalam penelitian dan pengkajian teknologi pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7 (1): 90-103. Winarsih S. 2007. Mengenal dan membudidayakan buah naga. Aneka Ilmu, Semarang.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 889-893
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010441
Preferensi masyarakat terhadap karakter nasi varietas unggul baru padi: Kasus di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten People's preference for rice character of new varieties: Cases in Cibadak Sub-district, Lebak District, Banten IIN SETYOWATI, SRI KURNIAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas-Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507. ♥ email:
[email protected], ♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 26 April 2015.
Setyowati I, Kurniawati S. 2015. Preferensi masyarakat terhadap karakter nasi varietas unggul baru padi: Kasus di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 889-893. Sebagian besar penduduk Indonesia mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehingga penggunaan varietas unggul baru padi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi. Pengenalan dan pengembangan VUB padi dilakukan melalui berbagai upaya, di antaranya adalah dengan melalui pengenalan karakter nasi dari beberapa VUB. Uji preferensi masyarakat terhadap karakter nasi VUB ini bertujuan untuk mengenalkan karakter nasi dan mengetahui preferensi masyarakat terhadap karakter nasi VUB. Hasil dari pengujian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pelaku usaha perbanyakan benih di Provinsi Banten, khususnya Kabupaten Lebak, dan sebagai umpan balik bagi pemulia padi agar dapat merakit varietas padi yang sesuai dengan preferensi masyarakat. Pengujian dilakukan pada tanggal 12 September 2012, di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak. Populasi pengujian adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi display VUB padi sawah dan berusaha tani padi. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dengan sampel pengujian berjumlah 20 orang. Metode pengumpulan data dilakukan menggunakan alat kuisioner yang dibuat dengan sederhana. Data kuantitatif dengan skala ordinal dianalisis menggunakan statistik non-parametrik menggunakan alat uji Friedman test. Hasil dari uji preferensi ini menunjukkan bahwa responden menyukai karakter nasi VUB Inpari 10 pada variabel bentuk dan rasa nasi, dan VUB Inpari 7 disukai responden pada variabel warna, aroma, dan tekstur nasi. Kata kunci: Karakter, nasi, VUB Singkatan: VUB = varietas unggul baru
Setyowati I, Kurniawati S. 2015. People's preference for rice character of new varieties: Cases in Cibadak Sub-district, Lebak District, Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 889-893. Most of Indonesian’s people consume rice as their main food, therefore the introduction of new varieties are very important to improve the productivity of rice. One of the effort in introduction and development of new varieties is introduction of rice character. This research was conducted to introduce new varieties and to determine people's preference of rice characters. The information of people’s preference could be used as a recommendation for company of seed production in Banten Province and information for breeder to assemble new varieties refers to people’s preference. The tests was carried out on September 12, 2012, in the Sub-district of Cibadak, Lebak District. The sample population were people who lives at location of rice new varieties display and rice farming. This research used a purposive sampling technique with 20 people respondents. Method of data collection was questionnaire. Quantitative data with scale ordinal were analized by non-parametric statistical with Friedman test. The results showed that Inpari 10 was the most prefered by respondents for shape and taste of rice, and Inpari 7 was the most prefered by respondents for color, flavour and texture of rice. Keywords: Character, new variety, rice
PENDAHULUAN Varietas unggul baru padi merupakan salah satu komponen teknologi yang berpengaruh besar dalam peningkatan produktivitas padi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Suhendrata et al. (2008), pentingnya penggunaan VUB padi untuk meningkatkan produktivitas padi ini disebabkan sebagian besar penduduk indonesia mengonsumsi beras. Beras berkontribusi 25-50% dari menu sehari-hari, hal ini menunjukkan keterikatan manusia
akan beras sangat erat, khususnya penduduk Indonesia (Nurmala 1998). Pengenalan dan pengembangan serta penyebaran VUB untuk meningkatkan produktivitas padi di tingkat petani dilakukan melalui berbagai upaya di antaranya melalui penyampaian informasi deskripsi varietas padi yang baru dilepas kepada penangkar dan identifikasi kesukaan petani terhadap benih padi VUB (Puspadi et al. 2011). Pengenalan VUB padi sebagai upaya peningkatan produktivitas padi juga dilakukan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak.
890
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 889-893, Juli 2015
Masyarakat di Kabupaten Lebak, khususnya Kecamatan Cibadak, hanya menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Pengenalan berbagai VUB padi di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak dilanjutkan dengan uji preferensi petani terhadap VUB padi yang dilakukan dari aspek karakter nasi dari VUB tersebut. Yang et al. (2010) menyatakan bahwa masing-masing VUB menghasilkan beras dengan karakteristik yang berbeda dan unik seperti cita rasa, aroma, warna, zat gizi, dan komposisi kimia. Sejalan dengan itu, Larasati (2012) menyampaikan bahwa konsumen di setiap daerah mempunyai preferensi yang berbeda-beda terhadap mutu beras. Selain perbedaan preferensi terhadap mutu beras, preferensi penduduk Indonesia terhadap karakteristik nasi juga beragam. Nasi pulen lebih disukai oleh sebagian besar penduduk di Indonesia, sedangkan di Kalimantan Barat (Sembiring 2007) dan beberapa bagian di Pulau Sumatera lebih menyukai nasi yang agak pera (Haryadi 2008), seperti di Sumatera Barat. Pengujian preferensi petani terhadap karakter nasi berbagai VUB padi di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak ini bertujuan untuk mengetahui preferensi petani terhadap karakter nasi berbagai VUB padi. Hasil dari pengujian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pelaku usaha perbanyakan benih di Provinsi Banten, khususnya Kabupaten Lebak, dan sebagai umpan balik bagi pemulia padi agar dapat merakit varietas padi yang sesuai dengan preferensi petani/konsumen.
BAHAN DAN METODE Uji preferensi petani terhadap karakter nasi VUB padi sawah dilaksanakan di lokasi display VUB padi di Desa Bojongcae, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak pada tanggal 13 September 2012 (Gambar 1). Populasi dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang berusaha tani padi dan tinggal di sekitar lokasi display VUB padi sawah. Sampel yang digunakan sebagai sumber data adalah petani/keluarga petani yang tinggal di sekitar lokasi display VUB padi sebanyak 20 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan populasi untuk pengambilan sampel (Narbuko 2004; Martono 2010). Nasi yang diuji karakternya berasal dari VUB Inpara 4, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 3, Inpari 4, dan Inpari 7. Preferensi terhadap nasi dilakukan dengan memberi kode A, B, C, sampai dengan F pada masing-masing sampel nasi, agar responden tidak terpengaruh oleh nama varietas. Nasi dimasak dengan cara yang sama pada semua varietas dan dimasak menggunakan cara yang biasa digunakan petani. Pengujian dilakukan oleh responden secara subjektif dengan uji indra (Haryadi 2008). Hubeis (1985) menyatakan bahwa mutu nasi berdasarkan alat indra lebih utama didasarkan pada aroma, cita rasa, tingkat kelunakan, dan tingkat keputihan nasi. Metode pengumpulan data dilakukan menggunakan alat kuisioner yang dibuat dengan sederhana agar responden mudah memahami dan mudah dalam menjawab pertanyaan. Kuisioner dibuat dengan skala ordinal, responden memilih jawaban sangat tidak suka, tidak suka, agak suka, suka, dan sangat suka pada kolom yang sudah disediakan. Variabel yang dinilai oleh responden meliputi bentuk, warna, aroma, rasa, dan tekstur nasi (Gambar 2). Hubeis (1985) menyatakan bahwa sifatsifat yang menentukan daya tarik dan penerimaan nasi yaitu tingkat keputihan, aroma, dan kepulenan. Sejalan dengan itu, Winarno (1980) menyatakan bahwa penentuan mutu suatu bahan makanan pun pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor, di antaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya di samping faktor-faktor lain, misalnya dari segi mikrobiologi.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Bojongcae, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
SETYOWATI & KURNIAWATI – Preferensi karakter nasi VUB padi
891
KUISIONER UJI PREFERENSI KARAKTER NASI VUB PADI Nama
:
Pendidikan
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Jenis Kelamin
:
Umur
:
1.
Varietas A Variabel
Sangat tidak suka
Tidak suka
Nilai Agak suka
Suka
Sangat suka
Warna Bentuk Aroma Rasa Tekstur
Gambar 2. Variabel yang dinilai oleh responden, meliputi warna, bentuk, aroma, rasa, dan tekstur nasi
Pelaksanaan uji preferensi dilakukan di dalam ruangan dengan dipandu oleh petugas dari BPTP dan penyuluh pertanian dari BPP Kecamatan Cibadak. Setiap responden mengamati dan mencicipi nasi yang diuji satu per satu kemudian langsung memberi penilaian pada setiap variabel pertanyaan yang ada pada form kuisioner dari setiap varietas nasi yang diuji. Hasil penghimpunan data dan pengamatan lapang selanjutnya dilakukan entry data ke dalam format yang telah disusun. Data kulitatif meliputi data karakteristik responden yang akan dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif dengan skala ordinal dianalisis menggunakan statistik non-parametrik menggunakan alat uji Friedman test melalui program SPSS 20.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Karakteristik responden dalam uji preferensi ini adalah 40% laki-laki dan 60% perempuan. Persentase perempuan sebagai responden cukup besar disebabkan perempuan memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan jenis beras yang akan mereka konsumsi. Umur responden berkisar antara 13-65 tahun dan 70% responden berumur 52,3-65,3 tahun. Pendidikan responden 70% adalah berpendidikan SD dan 55% responden berprofesi sebagai petani (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1, informasi karakteristik responden pada kajian ini cukup beragam dan diharapkan mampu mewakili konsumen beras, khususnya
di lokasi pengkajian dan di Kabupaten Lebak pada umumnya. Preferensi terhadap karakter nasi Pengujian preferensi responden terhadap karakter nasi ini dilakukan secara subjektif menggunakan alat indra. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan alat uji Friedman test. Hasil menunjukkan bahwa preferensi responden terhadap karakter nasi dari enam VUB yang diuji berbeda nyata pada semua varietas dan semua variabel, hal ini dibuktikan dengan nilai Asymp. Sig <0,05 (Tabel 2). Pada umumnya preferensi responden terhadap warna, bentuk, aroma, rasa, dan tekstur nasi lebih tinggi pada varietas Inpari 10 dan Inpari 7, sedangkan Inpara 4 memiliki tingkat preferensi yang paling rendah untuk semua variabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mean rank varietas Inpara 4 paling rendah dibandingkan dengan varietas yang lainnya. Warna nasi dari lima varietas yang diujikan tidak berbeda secara mencolok, dan warna nasi yang paling disukai responden adalah varietas Inpari 7. Menurut Haryadi (2008), warna nasi dipengaruhi oleh derajat sosoh, kandungan amilosa, dan perubahan-perubahan selama penyimpanan beras. Derajat sosoh yang tinggi mengakibatkan semakin banyak kulit ari yang terlepas sehingga warna beras menjadi lebih putih. Sementara itu, bentuk nasi yang paling disukai responden adalah varietas Inpari 10.
Tabel 1. Proporsi responden berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, dan pekerjaan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Proporsi 40% 60%
Usia (tahun) 13-26 26,1-39,1 39,2-52,2 52,3-65,3
Proporsi 20% 70% 10%
Pendidikan SD SMP SMA
Proporsi 70% 15% 15%
Pekerjaan IRT Petani Siswa Wiraswasta
Proporsi 35% 55% 5% 5%
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 889-893, Juli 2015
892
Tabel 2. Preferensi responden terhadap karakter nasi Varietas
Warna 1,85 4,23 3,28 3,05 4,18 4,43
Bentuk 1,80 4,60 2,80 3,28 4,15 4,38
Mean Rank Aroma 2,23 4,28 2,80 2,90 4,20 4,60
Rasa Inpara 4 1,80 Inpari 10 4,78 Inpari 13 2,80 Inpari 3 2,80 Inpari 4 4,28 Inpari 7 4,55 Friedman test N 20 20 20 20 Chi-Square 39,206 44,241 36,882 48,395 Df 5 5 5 5 Asymp. Sig. 0,000 0,000 0,000 0,000 Keterangan: Asymp. Sig. <0,05 artinya penilaian responden terhadap beberapa varietas berbeda nyata
Nasi yang diuji bukan berasal dari VUB padi aromatik, tetapi menurut responden nasi dari varietas Inpari 7 memiliki aroma yang lebih harum dibandingkan dengan aroma nasi yang lain sehingga aroma yang paling disukai responden adalah varietas Inpari 7. Menurut Juliano (1994), aroma nasi selain dipengaruhi oleh varietas, juga dipengaruhi oleh lama penyimpanan. Beras yang tidak disosoh 100% akan berbau tidak enak (apek) setelah disimpan dalam waktu yang lama. Perubahan aroma selama penyimpanan lebih cepat daripada perubahan warnanya. Peranan aroma dalam bahan makanan adalah sangat penting karena aroma merupakan salah satu indeks mutu yang menentukan penerimaan konsumen. Rasa dan aroma nasi dipengaruhi oleh varietas padinya. Lama penyimpanan beras tidak memengaruhi rasa nasi, tetapi memengaruhi baunya. Beras yang disimpan lebih lama memiliki bau lebih apek yang masih tercium ketika sudah menjadi nasi (Shafwati 2012) Rasa nasi yang paling disukai responden adalah varietas Inpari 10. Menurut responden, nasi dari varietas Inpari 10 memiliki rasa yang paling kuat (paling legit dibandingkan dengan rasa nasi dari varietas yang lain). Preferensi responden terhadap variabel rasa secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh preferensi responden terhadap variabel yang lain, yaitu tekstur, warna, rasa, dan aroma nasi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Haryadi (2008) bahwa kesukaan terhadap rasa terutama ditentukan oleh tingkat kepulenan, kemekaran, tekstur, warna, rasa, dan aroma nasi. Varietas Inpari 3, 4, 7, 10, dan 13 memiliki tekstur nasi yang pulen dan pada umumnya disukai, namun demikian varietas yang paling disukai adalah Inpari 7. Adapun varietas Inpara 4 memiliki tekstur nasi yang pera sehingga tidak disukai oleh responden. Tekstur merupakan ciri sensor utama nasi yang menentukan tingkat penerimaan konsumen (Bergman 2004). Tekstur nasi ditentukan oleh kadar amilosa yang merupakan salah satu sifat fisikokimia beras yang ditentukan oleh sifat pati (beras mengandung 80% pati). Beras yang mengandung kadar amilosa 10-20% (amilosa rendah) memiliki tekstur nasi sangat pulen, beras dengan kadar amilosa 20-25% (amilosa sedang) memiliki tekstur nasi pulen, dan beras yang mengandung amilosa >25% (amilosa tinggi) memiliki tekstur nasi pera
Tekstur 2,03 4,30 3,08 2,90 4,30 4,40 20 36,830 5 0,000
(Suprihatno 2010). Varietas Inpari 3, 4, 7, 10, dan 13 memiliki kadar amilosa 20,57-22,4%, sedangkan Inpara 4 memiliki kadar amilosa 29% (Suprihatno 2010). Preferensi responden terhadap sampel nasi dari beberapa VUB padi dilakukan melalui pengujian menggunakan alat indra yang bersifat subjektif sehingga preferensi responden terhadap karakter nasi dari beberapa VUB secara keseluruhan sulit untuk mendapatkan penilaian yang objektif. Sebagaimana yang disampaikan Shafwati (2012) bahwa preferensi adalah selera sehingga preferensi masyarakat akan berbeda-beda di setiap daerah. Hasil pengujian preferensi terhadap karakteristik nasi di Desa Bojongcae, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten menunjukkan bahwa VUB Inpari 10 lebih disukai berdasarkan bentuk dan rasa nasi, sedangkan Inpari 7 lebih disukai berdasarkan warna, aroma, dan tekstur nasi.
UCAPAN TERIMA KASIH Sumber dana penelitian berasal dari DIPA BPTP Banten TA 2012. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Mayunar atas arahan dan bimbingannya dan Asep Budi (alm.) selaku Penyuluh Pertanian yang mendampingi pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Bergman CJ, Bhattacharya KR, Ohtsubo K. 2004. Rice end-use quality analysis. In: Champagne ET (ed). Rice: Chemistry and Technology 3rd edition. American Association of Cereal Chemists Inc, St Paul, Minnesota. Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hubeis. 1985. Pengembangan Metode Kepulenan Nasi. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juliano BO. 1994. Rice in Human Nutrition. IRRI and FAO, Rome. Larasari SP. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Nasi dari Beberapa Varietas Beras. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Martono N. 2010. Metode penelitian kuantitatif, analisis isi, dan analisis data sekunder. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Narbuko. 2004. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara, Jakarta. Nurmala T. 1998. Serealia Sumber Karbohidrat Utama. Rineka Cipta, Jakarta.
SETYOWATI & KURNIAWATI – Preferensi karakter nasi VUB padi Puspadi K, Untung S, Pridiminggo, Hadiawat L. 2011. Akselerasi adopsi varietas unggul baru padi melalui model industri perbenihan padi rakyat (MIP2R) di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Penguatan Sosial Ekonomi Menuju Kesejahteraan Masyarakat. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sembiring H. 2007. Kebijakan penelitian dan rangkuman hasil penelitian BB Padi dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi, Subang. Shafwati AR. 2012. Pengaruh Lama Pengukusan dan Cara Penanakan Beras Pratanak terhadap Mutu Nasi Pratanak. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
893
Suhendrata TE, Kushartanti, Widarto. 2008. Preformasi varietas unggul baru dalam mendukung peningkatan produksi beras di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Padi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto et al. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Winarno FG. 1980. Kimia pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yang DS, Lee KS, Kays SJ. 2010. Characterization and discrimination of premium-quality, waxy and black pigmented rise based on odoractive compounds. J Sci Food Agric, DOI: 10.1002/jsfa.4126.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 894-899
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010442
Review: Usaha peningkatan kualitas mangga kasturi (Mangifera casturi) dengan modifikasi budi daya tanaman Efforts to improve the quality of kasturi mango (Mangifera casturi) with modification of cultivation ARIEF RAKHMAD BUDI DARMAWAN Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Jl. Jenderal Ahmad Yani Km 36 Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan. Tel./Fax. +62-5114772254. ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 1 Mei 2015.
Darmawan ARB. 2015. Usaha peningkatan kualitas mangga kasturi (Mangifera casturi) dengan modifikasi budi daya tanaman. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 894-899. Mangga kasturi (Mangifera casturi) merupakan salah satu plasma nutfah spesifik Kalimantan Selatan yang keberadaannya terancam punah, bentuknya mirip mangga kecil, memiliki rasa sangat manis dan legit dengan bau yang khas. Mangga ini berbuah pada awal musim penghujan atau sekitar bulan Januari. Mangga kasturi ditemukan paling banyak di Kabupaten Banjar dan Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Tanaman ini umumnya ditemukan di dua agroekosistem, yaitu lahan kering dan lahan rawa pasang surut. Status kelangkaan buah ini dianalisis dengan menggunakan kategori dan kriteria tumbuhan langka menurut IUCN Red List Categories 30 November 1994. Tim penilai dari World Conservation Monitoring Centre pada tahun 1998 menetapkan M. casturi berada pada kategori punah in situ atau Extinct in the Wild (EW). Mangga ini diketahui hanya hidup dan tumbuh secara alami di kebun hutan atau kawasan konservasi lain, namun tidak ditemukan lagi di habitat aslinya. Pohon mangga kasturi dapat mencapai tinggi 25-50 meter, dengan diameter batang 40-115 cm dan percabangan yang tinggi, serta membentuk tajuk yang rapat dan rindang. Potensi mangga kasturi kurang bisa berkembang menjadi buah unggulan nasional dikarenakan beberapa kendala seperti daging buah yang sangat sedikit karena ukuran buahnya yang kecil sementara ukuran bijinya besar, umur tanaman untuk dapat berbuah cukup panjang, dan periode panennya yang singkat. Salah satu cara mengatasi kendala ini adalah dengan melakukan berbagai usaha modifikasi budi daya tanaman, baik dengan cara memperkecil ukuran biji menggunakan teknik genetika dan pemuliaan tanaman, maupun dengan memperbesar volume daging buah dengan cara melakukan sambung pucuk dengan tanaman mangga jenis harum manis sebagai batang bawahnya yang dikombinasikan dengan formulasi nutrisi tanaman. Keberhasilan percobaan untuk meningkatkan kualitas mangga kasturi sehingga menghasilkan daging buah yang banyak akan memacu masyarakat membudidayakan tanaman ini dan pada akhirnya mangga kasturi dapat lebih dikenal masyarakat secara luas sehingga menambah keanekaragaman hayati tanaman mangga di Indonesia. Kata kunci: Mangga kasturi, modifikasi budi daya, peningkatan kualitas Darmawan ARB. 2015. Efforts to improve the quality of kasturi mango (Mangifera casturi) with modification of cultivation. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 894-899. Kasturi mango (Mangifera casturi) is one of specific germplasm in South Kalimantan that is threatened. Its shape is like a small mango, has a very sweet taste and sticky with a specific odor characteristic. The mango bear fruit at the beginning of the rainy season or around January. Kasturi mango is mostly found abundant in Banjar and Hulu Sungai Selatan Regency, South Kalimantan. This plant is commonly found in two agro-ecosystem that is dry land and tidal wetlands. The status of this fruit rareness was analyzed using categories and criteria of rare plants according to the IUCN Red List Categories 30 November 1994. The assessment team from the World Conservation Monitoring Centre in 1998 decided that M. casturi was in the category of in situ extinct or Extinct in the Wild (EW). This mango was known only to live and grow naturally in forests and gardens or other protected areas, but not found in their natural habitat. Kasturi mango tree can reach a height of 25-50 meters, with a trunk diameter of 40-115 cm and a high branching, forming a dense plant canopy and shade. Kasturi mango is less potentially able to develop into a national supreme fruit due to several constraints such as small fruit size, large seed size, long age of fruitful, and short harvest period. This obstacle can be overcome by various modifications cultivation either by minimizing the size of seed using genetic method and plant breeding, as well as by increasing the volume of pulp by means of grafting with harum manis mango variety as the underlying rods combined with formulation of plant nutrition. The success of experiment to improve the quality of kasturi mango, thus producing much fruit flesh, will encourage cultivated by the community, therefore kasturi mango can be well-known by the community and add to mango crop biodiversity in Indonesia Keywords: Kasturi mango, modification of cultivation, quality improvement
PENDAHULUAN Mangga kasturi (Mangifera casturi) merupakan salah satu jenis tumbuhan mangga sangat khas yang habitat
aslinya berada di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan sendiri terdapat 31 jenis tumbuhan mangga atau anggota dari keluarga Mangifera dimana 3 di antaranya bersifat endemik. Merujuk pada Keputusan Menteri Dalam Negeri
DARMAWAN – Usaha peningkatan kualitas mangga kasturi
No.48 yang dikeluarkan pada tahun 1989 mengenai Identitas Flora di setiap provinsi, maka M. casturi ditetapkan menjadi Identitas Flora dari Provinsi Kalimantan Selatan. Mangga kasturi kini keberadaannya terancam punah karena jumlahnya yang semakin berkurang, baik dari segi jumlah individu, populasi, ataupun keanekaragaman genetiknya. Mangga kasturi sudah diklasifikasikan di dalam IUCN Red List Categories pada tanggal 30 November 1994. Adapun tim penilai yang berasal dari World Conservation Monitoring Center pada tahun 1998 sudah memutuskan bahwa M. casturi sudah berada di dalam kategori punah in situ atau Extinct in the Wild (EW). Mangga ini hanya hidup dan tumbuh dengan cara alami di hutan atau daerah konservasi lainnya, akan tetapi keberadaannya sudah tidak lagi ditemukan di habitat aslinya. Berkurangnya populasi mangga kasturi dikarenakan banyak pohon buah-buahan mangga lokal, termasuk mangga kasturi, yang ditebang untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Akibatnya, tanaman tersebut menjadi langka atau bahkan musnah sama sekali. Di samping itu, adanya eksploitasi hutan berupa penebangan liar (illegal logging) dan pembukaan hutan untuk permukiman dan perkebunan (kelapa sawit) dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan habitat alami tanaman buah kerabat mangga (Sari 2008). Lingkungan tumbuh tanaman mangga kasturi berasal dari pekarangan penduduk, ladang, dan hutan. Dari hasil survei yang dilakukan terhadap beberapa pemilik pohon mangga kasturi, diketahui bahwa sebagian besar tanaman buah tersebut merupakan peninggalan dari orang tua pemilik, banyak yang tumbuh secara liar (tanpa teknologi budi daya), berumur hingga 50 tahun, dan tidak ada usaha dari pemiliknya untuk melakukan peremajaan atau pembibitan terhadap jenis-jenis yang memiliki keunggulan tertentu (Antarlina 2009). Pada musim berbuah, pemilik pohon berharap dari kemampuan masing-masing pohon untuk menghasilkan buah. Dari hasil pengamatan pada saat eksplorasi, pohonpohon tersebut umumnya menghasilkan cukup banyak, berkisar antara 200-400 buah per pohon untuk jenis buahbuahan berukuran besar dan 500-1000 buah per pohon untuk buah-buahan berukuran kecil. Musim berbuah berlangsung sesuai dengan jadwal berbuah tahunan dan fase berbuah yang hampir bersamaan (Krismawati 2008).
CIRI-CIRI DAN KARAKTERISTIK MANGGA KASTURI Pohon mangga kasturi dapat berumur berpuluh-puluh tahun, tumbuh di pekarangan atau di hutan. Kulit kayu berwarna putih keabu-abuan sampai cokelat terang, kadangkala terdapat retakan atau celah kecil ±1 cm berupa kulit kayu mati dan mirip dengan Mangifera indica. Tanaman bisa mencapai tinggi 25-50 m atau bahkan lebih, dengan diameter batang ±40-115 cm tanpa akar papan dan percabangan yang tinggi, membentuk tajuk yang rapat dan rindang. Apabila dilukai, kulit batang akan mengeluarkan getah yang mula-mula bening, kemudian berwarna kemerahan dan menghitam dalam beberapa jam. Getah ini
895
mengandung terpentin dan berbau tajam, dapat melukai kulit atau menimbulkan iritasi, terutama bagi kulit yang sensitif (Baswarsiati dan Yuniarti 2007). Daun tunggal, gundul, tersusun dalam spiral atau spiral rapat, bertangkai panjang, berbentuk lanset memanjang dengan ujung runcing dan pada kedua belah sisi tulang daun tengah terdapat 12-25 tulang daun samping. Kerap kali meningggalkan bekas luka yang jelas di ranting apabila gugur. Tanpa daun penumpu. Daun muda menggantung lemas dan berwarna ungu tua (Abdelnaser dan Shinkichi 2010). Bunga mangga kasturi merupakan bunga majemuk berkelamin ganda dengan bentuk bunga berkarang dalam malai dengan banyak bunga yang berukuran kecil, aktinomorf, dan kerap kali berambut rapat. Panjang tangkai bunga ±28 cm dengan anak tangkai sangat pendek, yaitu 2-4 mm seolah-olah duduk pada cabang-cabang malai. Daun kelopak bulat telur memanjang dengan panjang 2-3 mm. Daun mahkota bulat telur memanjang dan bunga berbau harum. Benang sari sama panjang dengan mahkota, staminodia sangat pendek dan seperti benang sari yang tertancap pada tonjolan dasar bunga (Rashedy 2014). Buah mangga kasturi berbentuk bulat sampai elips dengan berat 60-84 g, panjang 4,5-5,5 cm, dan lebar 3,53,9 cm, daging buah kuning atau oranye dan berserabut, tekstur daging buah agak kasar, rasa buah manis sedikit masam, dan beraroma khas (Gambar 1). Biji tergolong biji batu dengan dinding yang tebal. Biji tunggal, terkadang dengan banyak embrio, terselubung cangkang endokarp yang mengeras dan seperti kulit. Mangga ini berbuah pada awal musim penghujan atau sekitar bulan Januari (Shaban 2009). Pada saat musim berbuah (November-Januari), tanaman ini berbuah sangat lebat. Kulit buah saat masih muda berwarna hijau, setelah tua berubah menjadi cokelat kehitaman, permukaan kulitnya licin. Bentuk buah lonjong dengan nisbah panjang/lebar 1,25-1,53. Kulit buah sekitar 0,24 mm. Daging buah berkadar air tinggi (87,2%), namun beberapa komponen kimia yang lainnya rendah, seperti protein (0,3%), lemak (0,04%), pati (1,4%), total gula (2%), dan kalori (9,6 kal/100g). Kadar asam (4,7%) dan karbohidratnya (12%) relatif tinggi (Antarlina 2009). Buah kasturi umumnya dipanen pada saat sudah masak. Apabila dipanen sebelum masak berpengaruh terhadap kualitas aroma dan warna buah. Oleh karena itu, walaupun mempunyai kulit yang tebal dan keras, buah tidak dapat disimpan lebih dari 6 hari. Buah mengalami susut bobot selama penyimpanan, bervariasi antara 5-17% pada akhir penyimpanan. Selama penyimpanan, tekstur buah umumnya menurun (menjadi lunak) dan pada permukaan kulit buah tampak berkerut (Antarlina et al. 2005). PERSEBARAN MANGGA KASTURI Tanaman ini umumnya ditemukan di dua agroekosistem yaitu lahan kering dan lahan rawa pasang surut, namun aksesi terbanyak berada di lahan kering. Di Kalimantan Selatan, tanaman mangga kasturi ditemukan di semua kabupaten/kota, namun demikian mangga kasturi paling banyak ditemukan di Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, dan Tabalong (Rosyidah et al. 2010).
896
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 894-899, Juli 2015
Gambar 1. Buah mangga kasturi
Lokasi persebaran dari populasi M. casturi yang ada di Kabupaten Banjar tepatnya berada di Desa Mataraman, Kecamatan Mataraman yang mana berada di kebun campuran. Biasanya kebun campuran ini ditanami tanaman padi dan diselingi pohon mangga kasturi yang umurnya lebih dari 50 tahun dan tanpa sengaja ditanam oleh masyarakat setempat. Kebun ini umumnya ada di pekarangan tempat tinggal penduduk dengan pola tanam tidak teratur. Meski demikian, data kelimpahan spesies ini tidak diketahui secara pasti (Sari 2008). Jenis-jenis mangga kasturi Terdapat tiga varietas mangga kasturi, yaitu varietas mangga yang dikenal masyarakat Kalimantan Selatan dengan sebutan kasturi, cuban/kastuba, dan asem pelipisan/palipisan (Fitmawati dan Purwoko 2009). Buah kasturi: kenampakannya mirip dengan buah mangga tetapi berukuran kecil, berbentuk bulat sampai ellipsoid dengan ukuran panjang 5-6 cm, lebar 4-5 cm, dan berat ±65,6 gram. Kulit buah tipis dengan warna hijau
terang dengan bintik-bintik berwarna gelap dan apabila masak, kulit buah berubah menjadi kehitaman. Daging buah berwarna oranye gelap, kandungan serat 1,06%, dan memiliki rasa yang manis dan lezat. Sifat yang menonjol dari kasturi adalah aroma buah yang harum sehingga banyak disukai masyarakat Kalimantan Selatan. Mangga cuban: berbentuk bulat sampai ellipsoid dengan ukuran panjang 6-6,3 cm dan lebar 4,2-5,2 cm. Kulit buah berwarna merah mawar dan tidak berwarna hitam penuh apabila telah masak. Daging buah berwarna oranye terang, mengandung serat, dan tidak beraroma harum seperti buah kasturi. Asem pelipisan atau palipisan: memiliki kenampakan mirip dengan buah kasturi, tetapi tidak menimbulkan aroma harum. Buah berbentuk ellipsoid dengan panjang 6-7,2 cm, lebar 3-4,4 cm, dan berat ±66,26 gram. Warna kulit buah hijau dengan bintik-bintik cokelat dan jika telah masak berwarna hijau agak kehitaman serta memiliki banyak getah di bagian bekas tangkai buah. Daging buah berwarna kuning oranye dengan kandungan serat ±1,89%.
DARMAWAN – Usaha peningkatan kualitas mangga kasturi
Pemanfaatan buah mangga kasturi Mangga kasturi umumnya dikonsumsi segar sebagai buah meja, dijadikan sebagai salah satu pelengkap dalam minuman es buah, maupun diolah menjadi sirup pada industri kecil rumah tangga. Selain pemanfaatannya menjadi buah konsumsi, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mangga kasturi memiliki kandungan terpenoid dan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan yang baik sehingga dapat menjadi dasar penemuan obat-obatan baru. Penggunaan antioksidan dapat menjadi salah satu terapi inflamasi karena banyak radikal bebas dilepaskan selama proses inflamasi (Fakhrudin et al. 2013). Akar dan batang dari tumbuhan kasturi mempunyai kandungan senyawa fitokimia, yakni mengandung saponin dan tanin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang tergolong sebagai glikosida triterpena. Terdapatnya saponin dalam akar dan batang kasturi semakin mendukung potensi tanaman tersebut sebagai obat diabetes, karena saponin berperan aktif dalam mengobati diabetes (Mustikasari dan Ariyani 2008). Secara fisiologis, saponin merupakan senyawa aktif yang menghambat penyerapan glukosa dan mencegah naiknya glukosa dalam darah sehingga dapat digunakan untuk mengobati diabetes. Selain saponin, akar dan batang kasturi juga mengandung tanin. Tanin merupakan senyawa tumbuhan yang termasuk ke dalam golongan fenolik (Ribeiro et al. 2008).
PERMASALAHAN Mangga kasturi memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan jenis mangga lain yang sudah dikenal secara luas dan lebih komersial. Keunggulannya antara lain karena rasanya yang manis dan legit serta beraroma wangi sehingga disukai masyarakat lokal Kalimantan Selatan, berbuah lebat, lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta memiliki kandungan nutrisi yang tinggi terutama vitamin A dan vitamin C (Ichsan 2010). Beberapa keunggulan tersebut belum bisa menjadikan mangga kasturi sebagai buah mangga bernilai komersial tinggi. Potensi mangga kasturi kurang bisa berkembang menjadi buah unggulan nasional dikarenakan beberapa kendala seperti daging buah yang sangat sedikit karena ukuran buahnya yang kecil sementara ukuran bijinya besar, umur tanaman untuk dapat berbuah cukup panjang dan periode panennya yang singkat. Ukuran biji lebih dominan, tidak sebanding dengan ukuran buah yang kecil sehingga bagian daging buah yang dapat dimakan hanya 45% (Mukherjee1 dan Litz 2009). Mangga kasturi juga hanya muncul di lapak-lapak pedagang satu kali setahun sehingga penggemar jenis mangga yang manis dan kaya akan serat ini tidak dapat mengonsumsinya sepanjang tahun. Waktu panen yang bersamaan dengan buah lain yang sejenis yang telah populer di pasaran sering menyebabkan buah-buahan ini kurang mendapat tempat dalam hal pemasarannya. Akibatnya, banyak buah-buahan tersebut yang terbuang begitu saja. Beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut perlu dicari pemecahannya sehingga potensi mangga
897
kasturi dapat lebih dioptimalkan dan semakin dikenal oleh masyarakat luas. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya tinjauan atau ulasan mengenai mangga kasturi dalam kajian ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk diadakannya penelitian mengenai budi daya mangga kasturi sehingga diperoleh hasil panen yang optimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
PEMBAHASAN Usaha-usaha untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang ada sehingga potensi mangga kasturi dapat dioptimalkan dan menjadi buah komersial unggulan nasional adalah dengan melakukan berbagai usaha modifikasi budi daya tanaman, baik dengan cara memperkecil ukuran biji sehingga daging buah yang dapat dikonsumsi menjadi lebih besar menggunakan bioteknologi, maupun dengan cara memperbesar volume daging buah dengan cara melakukan sambung pucuk dengan tanaman mangga jenis harum manis sebagai batang bawah dipadukan dengan formulasi nutrisi tanaman. Usaha memperkecil ukuran biji Buah tanpa biji dapat dibuat dengan menyilangkan tanaman tetraploid dengan tanaman diploid untuk mendapatkan tanaman triploid. Tanaman triploid ini berbunga dan berbuah tetapi tidak menghasilkan biji. Gagalnya tanaman menghasilkan embrio sebagai awal pembentukan tanaman tanpa biji dimulai dari proses gametogenesis. Kegagalan pemisahan kromosom yang homolog pada triploid sewaktu meiosis dalam proses gametogenesis pada megaspora sel induk mengakibatkan tidak terbentuknya sel sperma yang merupakan pasangan sel telur untuk membentuk biji. Apabila sel sperma tidak dapat dibentuk, sel telur tidak akan memiliki pasangan untuk membentuk embrio, sedangkan embrio merupakan bakal biji apabila buah menjadi matang. Buah dapat berkembang tanpa embrio (biji), tetapi biji tidak dapat matang tanpa buah (Haryanti et al. 2009). Tanaman tetraploid dapat terjadi secara spontan dan bisa ditemui di alam meski dalam persentase yang rendah. Apabila berhasil diseleksi dan ditemukan, tanaman ini dapat disilangkan dengan tanaman diploid sehingga menghasilkan tanaman triploid untuk memperoleh tanaman tanpa biji. Namun, apabila tanaman tersebut sulit diperoleh, alternatifnya adalah membentuk jaringan yang tetrapolid melalui kultur jaringan. Pembentukan jaringan yang tetraploid dapat dilakukan dengan memberikan kolkisin pada kultur kalus embriogenik (Sardoei et al. 2014). Kolkisin dapat membuat kromosom menduplikasi diri. Apabila jaringan atau sel diploid diberi kolkisin, jumlah kromosom akan menjadi tetraploid, selanjutnya kalus embriogenik diregenerasi menjadi tanaman sehingga diperoleh tanaman yang tetraploid. Metode lain untuk memperoleh tanaman tetraploid yaitu dapat dilakukan pada entres sewaktu mengadakan micrografting. Entres direndam dengan kolkisin pada konsentrasi tertentu sebelum ditempel ke batang bawah. Tunas yang terbentuk
898
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 894-899, Juli 2015
akan bersifat tetraploid, sedangkan batang bawahnya tetap diploid (Madon et al. 2005). Perkembangan ilmu genetika, bioteknologi, dan pemuliaan tanaman yang cukup pesat dan mampu menghasilkan buah-buahan tanpa biji seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dimungkinkan dapat diaplikasikan dalam permasalahan yang terjadi pada mangga kasturi. Penerapan ilmu-ilmu tersebut diharapkan dapat mereduksi ukuran biji tanpa memengaruhi ukuran buahnya sehingga diharapkan tanaman mangga kasturi triploid yang dihasilkan memiliki biji yang berukuran kecil atau tanpa biji sama sekali sehingga volume buah yang dapat dikonsumsi akan semakin besar. Mangga kasturi triploid yang sudah didapat selanjutnya dapat diperbanyak dengan cara okulasi maupun cangkok. Usaha mendapatkan volume daging buah lebih banyak Usaha lain untuk mengatasi kendala kecilnya volume buah mangga kasturi yang dapat dikonsumsi serta untuk peningkatan kualitas dan kuantitasnya adalah dengan melakukan sambung pucuk antara mangga kasturi dan mangga harum manis sebagai batang bawahnya dan dikombinasikan dengan pengaturan nutrisi yang tepat. Batang bawah dari jenis mangga unggul yang kokoh dan dapat menyerap hara dengan lebih banyak diharapkan akan dapat menimbun hasil asimilat ke buah dan memperbesar ukuran buah sehingga diperoleh buah mangga kasturi dengan volume daging buah lebih banyak, dapat memperpanjang periode panen buah, dan meningkatkan kualitas mangga kasturi yang dihasilkan (Ichsan 2010). Sambung pucuk merupakan penyatuan pucuk dengan batang bawah. Pucuk dan batang bawah yang disambung tersebut berasal dari dua tumbuhan. Sambung pucuk dapat menghasilkan tanaman yang lebih baik mutunya dan lebih cepat menghasilkan buah. Sambung pucuk dilakukan secara sederhana. Batang bawah diperoleh dari semaian biji, sedangkan pucuk diambil dari cabang tumbuhan yang mempunyai sifat-sifat unggul (Tambing dan Hadid 2008). Beberapa faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan dalam memproduksi bibit dengan metode sambung pucuk (grafting) antara lain: (i) faktor tanaman (genetik, kondisi tumbuh, panjang entres); (ii) faktor lingkungan (ketajaman/kesterilan alat, kondisi cuaca, waktu pelaksanaan grafting (pagi, siang, sore hari); dan (iii) faktor keterampilan orang yang melakukan grafting (Saeed et al. 2010). Keberhasilan pertautan kedua batang varietas yang disambungkan ditentukan oleh banyak faktor, dua di antaranya adalah panjang entres dan waktu pelaksanaan penyambungan (Tambing dan Hadid 2008). Selain melakukan sambung pucuk, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian formulasi nutrisi hara kepada tanaman mangga kasturi kultivar unggul yang telah didapatkan, baik dengan cara bioteknologi maupun sambung pucuk. Hara yang diberikan tidak hanya terbatas pada unsur makro saja, seperti N (nitrogen), P (fosfor), K (kalium), Mg (magnesium), S (sulfur), dan Ca (kalsium), tetapi juga perlu diperhatikan penambahan unsur hara mikro yang biasanya terdapat dalam pupuk majemuk khusus untuk tanaman buah (Khattab et al. 2006). Demikian juga dengan rekayasa formula (komposisi hara)
tertentu mampu menjamin agar tanaman berbuah sepanjang tahun serta untuk perbaikan penampilan (tekstur, warna) maupun rasa.
KESIMPULAN Mangga kasturi memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan jenis mangga lain yang sudah dikenal secara luas dan lebih komersial. Potensi mangga kasturi kurang bisa berkembang menjadi buah unggulan nasional dikarenakan beberapa kendala seperti daging buah yang sangat sedikit karena ukuran buahnya yang kecil sementara ukuran bijinya besar, umur tanaman untuk dapat berbuah cukup panjang, dan periode panennya yang singkat. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala yang ada antara lain dengan modifikasi budi daya tanaman menggunakan bioteknologi sehingga didapatkan tanaman mangga kasturi yang menghasilkan buah dengan biji yang kecil, maupun melakukan sambung pucuk dan rekayasa formulasi nutrisi hara tanaman sehingga dihasilkan buah yang berukuran lebih besar, lebih cepat menghasilkan, dan kualitasnya bagus. Keberhasilan percobaan untuk meningkatkan kualitas mangga kasturi akan menyebabkan mangga kasturi dapat lebih dikenal masyarakat secara luas sehingga menambah keanekaragaman hayati tanaman mangga di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abdelnaser AE, Shinkichi T. 2010. Preliminary phytochemical investigation on mango leaves. World J Agric Sci. 6: 735-739. Antarlina SS, Danu IS, Zahirotul HH et al. 2005. Pengkajian pascapanen pengolahan berbagai jenis buah kerabat mangga spesifik Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan, Banjarbaru. Antarlina SS. 2009. Identifikasi sifat fisik dan kimia buah-buahan lokal Kalimantan. Buletin Plasma Nutfah 15: 80-90. Baswarsiati, Yuniarti. 2007. Karakter morfologis dan beberapa keunggulan mangga Podang Urang. Buletin Plasma Nutfah 13: 62-69. Fakhrudin N, Peni SP, Sutomo, Subagus W. 2013. Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanolik buah mangga kasturi (Mangifera casturi) melalui penghambatan migrasi leukosit pada mencit yang diinduksi thioglikolat. Trad Med J 18: 151-156. Fitmawati AH, Purwoko BS. 2009. Taksonomi mangga budidaya Indonesia dalam praktik. J Agron Indonesia 37: 130-137. Haryanti S, Hastuti RB, Setiari N, Banowo A. 2009. Pengaruh kolkisin terhadap pertumbuhan, ukuran sel metafase dan kandungan protein biji tanaman kacang hijau (Vigna radiata (L) Wilczek). Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi 10 (2): 112-120. Ichsan MC. 2010. Teknik persilangan mangga kasturi (Mangifera casturi) sebagai hasil perakitan beberapa varletas unggul. Jurnal Agritrop 2: 20-26. Khattab MM, Haseeb GM, Shaban AE, Arafa MA. 2006. Effect of paclobutrazol and potassium nitrate on flowering and fruiting of Ewais and Sediek mango trees. Bull Fac Agric 57: 107-124. Krismawati A. 2008. Eksplorasi dan karakterisasi buah spesies kerabat mangga Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah 14: 76-80. Madon M, Clyde MM, Hashim H et al. 2005. Polyploidy induction of oil palm through colchicine and oryzalin treatments. J Oil Palm Res 17: 110-123. Mukherjee1 SK, Litz RE. 2009. Introduction: botany and importance. In: Litz RE (ed). The Mango Botany, Production and Uses. CAB International, London. Mustikasari K, Ariyani D. 2008. Studi potensi binjai (Mangifera caesia) dan kasturi (Mangifera casturi) sebagai antidiabetes melalui skrining fitokimia pada akar dan batang. Sains dan Terapan Kimia 2: 64-73.
DARMAWAN – Usaha peningkatan kualitas mangga kasturi Rashedy AA, El Kheshin MA, Abd. Allatif AM. 2014. Histological parameters related to dwarfism in some mango cultivars. World J Agric Sci 10: 216-222. Ribeiro SMR, Barbosa LCA, Queiroz JH et al. 2008. Phenolic compounds and antioxidant capacity of Brazilian mango varieties. Food Chem 110: 620-626. Rosyidah K, Nurmuhaimina SA, Komari N, Astuti MD. 2010. Aktivitas antibakteri fraksi saponin dari kulit batang tumbuhan kasturi. Alchemy 1: 65-69. Saeed M, Dodd PB, Sohail L. 2010. Anatomical studies of stems, roots and leaves of selected rootstock varieties in relation to their vigour. J Hortic For 2: 87-94. Sardoei AS, Rahbarian P, Imani F. 2014. Stimulatory effect of GA3 and BA on growth and pigments of plants. Intl J Adv Biol Biomed Res 2: 34-42.
899
Sari GS. 2008. Kelimpahan dan penyebaran populasi Mangifera casturi sebagai usaha konservasi dan pemanfaatan tumbuhan langka khas Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Shaban AEA. 2009. Vegetative growth cycles of some mango cultivars in relation to flowering and fruiting. World J Agric Sci 5: 751-759. Tambing Y, Hadid A. 2008. Keberhasilan pertautan sambung pucuk pada mangga dengan waktu penyambungan dan panjang entris berbeda. J Agroland 15(4): 296-301. World Conservation Monitoring Centre. 1998. Mangifera casturi. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List Threatened Species. http://www.iucnredlist.org.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 900-903
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010443
Pertumbuhan enam populasi nyamplung (Calophyllum inophyllum) ras lahan Jawa umur lima tahun di plot konservasi ex situ Cilacap, Jawa Tengah Growth of six populations of Calophyllum inophyllum of Java land race at five years of age at the ex situ conservation plot in Cilacap, Central Java ARI FIANI Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta. Tel./Fax. +62-274-896080, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 2 Februari 2015. Revisi disetujui: 30 April 2015.
Fiani A. 2015. Pertumbuhan enam populasi nyamplung (Calophyllum inophyllum) ras lahan Jawa umur lima tahun di plot konservasi ex situ Cilacap, Jawa Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 900-903. Sejak tahun 2009, Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta telah melakukan upaya konservasi ex situ jenis nyamplung di Cilacap. Tujuan dari kegiatan ini adalah mempertahankan sumber daya genetik dan mendukung program pemuliaan nyamplung. Sebagai salah satu jenis alternatif untuk biofuel, nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu jenis pohon potensial yang multifungsi. Pada umumnya, masyarakat memanfaatkan kayunya antara lain sebagai penahan api, penahan angin di pantai, perindang, bahan kerajinan, dan perahu. Koleksi yang terkumpul pada plot konservasi di Cilacap berasal dari 6 populasi ras lahan Pulau Jawa antara lain Banyuwangi, Carita, Cilacap, Purworejo, Sobang, dan Yogyakarta. Penanaman dilakukan dalam 6 blok populasi yang terpisah satu dengan lainnya. Jarak tanam dalam blok 5 m x 5 m dengan jalur isolasi antarblok 20 m. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman nyamplung pada umur 5 tahun masih bervariasi dengan kisaran 44% sampai dengan 82%, diameter batang antara 52,81 mm (Cilacap) sampai dengan 77,26 mm (Banyuwangi), dan tinggi tanaman antara 319,46 cm (Carita) sampai dengan 421,83 cm (Banyuwangi). Dalam dua periode pengamatan pada umur 4,5 tahun dan 5 tahun, populasi Banyuwangi memiliki kecenderungan menempati peringkat pertama untuk persentase hidup, pertumbuhan tinggi tanaman, dan diameter batang. Dengan melihat kecenderungan pada persentase hidup, pertumbuhan tinggi batang, dan diameter batang maka dapat dikatakan bahwa populasi Banyuwangi berpotensi menjadi sumber benih yang baik untuk keperluan penanaman di kawasan Jeruklegi, Cilacap dan tapak-tapak yang setipe di sekitarnya. Kata kunci: Calophyllum inophyllum, diameter batang, persentase hidup, populasi, tinggi tanaman
Fiani A. 2015. Growth of six populations of Calophyllum inophyllum of Java land race at five years of age at the ex situ conservation plot in Cilacap, Central Java. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 900-903. An ex situ conservation plot of Calophyllum inophyllum has been established in Cilacap, Central Java since 2009 by The Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement, Yogyakarta. This activity aimed to preserve the genetic resources of C. inophyllum and to support a breeding program of the species. This multipurposes tree species is one of alternative biofuel producing species. It is generally utilized as a fire barrier, windbreaker, shading, craft materials and boat. There are six land races populations of C. inophyllum of Java planted in the plot, namely Banyuwangi, Carita, Cilacap, Purworejo, Sobang and Yogyakarta. Each population was planted in 5x5 m2 spacing in a separate area of one another with an isolation barrier of 20 m to prevent genetic contamination among populations, therefore population differentiation was maintained. The research findings showed that the survival rate of plantation at 5 years after planting was ranged from 44% (Cilacap) to 82% (Banyuwangi), whereas the stem diameter was ranged from 52.81 mm (Cilacap) to 77.26 mm (Banyuwangi) and the tree height was ranged from 319.46 cm (Carita) to 421.83 cm (Banyuwangi). Based on the trends in survival rates, stem diameter and tree height growth, it can be concluded that the Banyuwangi population is more likely potential to be used as a seed source for planting program in Jeruklegi, Cilacap and other sites that similar to the conservation plot area. Keyword: Calophyllum inophyllum, plant height, population, stem diameter, survival percentage
PENDAHULUAN Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu jenis pohon yang multifungsi. Masyarakat biasa memanfaatkan tanaman ini sebagai tanaman obat, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kapal, bijinya dimanfaatkan untuk kerajinan tangan, dan bahan bakar.
Selain itu, pohon nyamplung juga dimanfaatkan sebagai penahan api, penahan angin dan garam di pantai, tanaman perindang di taman, dan kayunya bisa dimanfaatkan untuk kerajinan serta perahu (Adinugraha et al. 2013). Seiring dengan terjadinya krisis energi secara global, telah mendorong pemanfaatan sumber daya energi alternatif sebagai sumber bahan baku energi. Salah satu
FIANI – Pertumbuhan enam populasi nyamplung
jenis tanaman hutan yang berpotensi tinggi sebagai biofuel adalah nyamplung. Hasil utama yang diharapkan dari pohon nyamplung adalah bijinya. Biji nyamplung diproses untuk diambil minyaknya. Kandungan minyak pada biji nyamplung sebesar 40-73% (Handoko et al. 2013). Meskipun berpeluang sebagai alternatif sumber bahan baku energi, namun potensinya secara ekonomi belum dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu, potensinya di alam semakin menyusut, populasinya terfragmentasi kecilkecil yang terpisah satu dengan lainnya akibat deforestasi, fragmentasi, dan bencana alam (Pamungkas dan Mahfudz 2013). Oleh karena itu, program konservasi jenis nyamplung dirasa perlu untuk segera dilaksanakan. Mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2009, Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Yogyakarta telah melakukan upaya konservasi ex situ jenis nyamplung untuk mempertahankan keragaman genetik jenis nyamplung yang ada. Kegiatan diawali dengan eksplorasi materi genetik, pemeliharaan bibit di persemaian, dan pembangunan plot konservasi di Cilacap. Selanjutnya, informasi tentang karakter masing-masing populasi yang terkumpul perlu dikaji untuk memberikan peluang pemanfaatan sumber daya genetik tanaman tersebut. Tulisan ini menyajikan informasi pertumbuhan dari 6 provenan/ras lahan nyamplung yang berasal dari Pulau Jawa di lapangan sampai umur 4,5 dan 5 tahun. Dengan informasi tersebut diharapkan dapat memberi peluang
901
pemanfaatan sumber daya genetik yang telah terkumpul untuk peningkatan produktivitas nyamplung melalui program pemuliaan tanaman maupun pengembangan nyamplung selanjutnya.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan pada plot konservasi ex situ nyamplung di Bumi Perkemahan Jambusari, Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pengumpulan materi genetik dan penanaman dilakukan pada akhir tahun 2009, sedangkan pengamatan dilakukan pada bulan April 2014 dan Oktober 2014 dengan interval 6 bulan. Adapun gambaran lokasi penanaman ditunjukkan pada Gambar 1. Bahan penelitian Pengamatan dilakukan terhadap materi genetik yang terkumpul dalam plot konservasi genetik nyamplung seluas 9 ha yang berasal dari enam populasi berbeda. Keenam populasi tersebut adalah Sobang, Carita, Cilacap, Purworejo, Yogyakarta, dan Banyuwangi. Gambaran umum dari kondisi lingkungan area pengambilan materi genetik keenam ras lahan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Peta lokasi plot konservasi ex situ nyamplung di Jeruklegi, Cilacap
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 900-903, Juli 2015
902
Tabel 1. Kondisi lingkungan 6 provenan/ras lahan nyamplung di Jawa (Fiani dan Hadiyan 2014)
Gunung Kidul
Tinggi tempat (m dpl) 150
Banyuwangi
12-17
Cilacap
10
Purworejo
100
Carita
13
Sobang
<50
Populasi
Deskripsi lokasi asal tanaman Topografi datar berbukit dengan kemiringan 0-150, vegetasi campuran, tanah grumosol hitam (tanah berbatu). Vegetasi yang berasosiasi dengan nyamplung antara lain Podocarpus sp., Tritinopsis canariodes Boer. Lokasi eksplorasi di Banyuwangi merupakan hutan pantai dengan jenis tanah berpasir pada kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Hutan ini merupakan hutan alam dengan komposisi jenis campuran. Secara umum, diameter pohon nyamplung pada kawasan ini berkisar antara 50-100 cm dengan taksiran tinggi antara 12-17 m. Topografi datar dan vegetasi campuran. Lokasi tersebut berjarak kurang lebih 100 m dari pantai. Vegetasi yang dijumpai berasosiasi dengan nyamplung antara lain Acacia auriculiformis dan kelapa. Lokasi berada di tepi pantai dan dataran rendah, topografi datar dengan vegetasi campuran. Vegetasi yang dijumpai berasosiasi dengan nyamplung antara lain ketapang dan kelapa. Lokasi di sepanjang pantai, tanaman berasosiasi dengan waru, jambu-jambuan, ketapang, dan butun atau keben. Lokasi eksplorasi berada di tepi pantai dan dataran rendah, tanaman pantai yang berasosiasi dengan nyamplung terdiri atas beberapa macam antara lain pandan pantai, waru, jambu-jambuan, ketapang, dan butun.
Tabel 2. Persentase hidup (%) tanaman nyamplung umur 4,5 dan 5 tahun di plot konservasi ex situ Cilacap Populasi
Umur 4,5 tahun
Umur 5 tahun
Banyuwangi Carita Cilacap Purworejo Sobang Yogyakarta
86,00 56,00 44,00 83,00 64,00 65,00
82,00 54,50 44,00 81,00 63,50 64,50
Tabel 3. Rata-rata diameter batang tanaman nyamplung (mm) umur 4,5 dan 5 tahun di plot konservasi ex situ Cilacap Populasi
Umur 4,5 tahun
Umur 5 tahun
Banyuwangi Carita Cilacap Purworejo Sobang Yogyakarta
64,92 46,91 40,37 51,46 57,99 57,64
77,26 56,99 52,81 61,96 72,90 66,32
Tabel 4. Rata-rata tinggi batang tanaman nyamplung (cm) umur 4,5 dan 5 tahun di plot konservasi ex situ Cilacap Populasi
Umur 4,5 tahun
Umur 5 tahun
Banyuwangi Carita Cilacap Purworejo Sobang Yogyakarta
366,93 280,77 298,36 283,35 355,04 337,41
421,83 319,46 344,02 329,07 419,01 380,26
Pembangunan plot konservasi ex situ dilakukan dalam 6 blok populasi yang terpisah satu dengan lainnya. Jarak tanam dalam blok 5 m x 5 m dengan jalur isolasi antarblok 20 m. Antarpopulasi dipisah dengan jarak 20 m dengan maksud tidak terjadi perkawinan silang antarpopulasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian genetik dari masing-masing populasi atau menghindari terjadinya kontaminasi polen dari populasi lain. Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, serta penyiangan gulma. Metode penelitian Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap tinggi tanaman dan diameter batang tanaman. Sampel tanaman yang diukur dari tiap-tiap populasi sebanyak 200 tanaman. Adapun cara pengukurannya adalah sebagai berikut. (i) Persentase hidup tanaman dihitung dari persentase jumlah tanaman yang masih hidup pada saat pengukuran dibandingkan dengan jumlah tanaman awal pada saat penanaman. (ii) Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan alat ukur meteran yang dibuat dari galah yang telah diberi tanda meteran. Pengukuran dilakukan dari permukaan tanah sampai dengan ujung tanaman (titik tumbuh tanaman). (iii) Diameter batang diukur dengan menggunakan alat ukur kaliper pada ketinggian kurang lebih 10 cm di atas permukaan tanah. Hasil pengukuran dihitung rata-ratanya pada setiap populasi, selanjutnya rerata dari setiap parameter pertumbuhan disajikan sebagai hasil analisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil utama yang diharapkan dari tanaman nyamplung adalah bijinya. Namun demikian, sampai dengan umur 5 tahun di lapangan tanaman belum juga berbuah. Dengan demikian, karakter yang dapat diamati adalah pertumbuhan
FIANI – Pertumbuhan enam populasi nyamplung
vegetatifnya. Hasil pengukuran persentase hidup, tinggi, dan diameter batang sampai umur 4,5 dan 5 tahun disajikan dalam Tabel 1, 2 dan 3. Pada umur 4,5 tahun, persentase hidup nyamplung berkisar antara 44% sampai dengan 86%, sedangkan pada umur 5 tahun persentase hidupnya mencapai 44% sampai dengan 82%. Pada kedua umur tersebut, persentase hidup populasi Cilacap menempati urutan terendah, sedangkan populasi Banyuwangi menempati urutan tertinggi. Diameter batang bervariasi pada kisaran 40,37 mm (Cilacap) sampai dengan 64,92 mm (Banyuwangi) pada umur 4,5 tahun. Adapun pada umur 5 tahun, diameter batang berkisar antara 52,81 mm (Cilacap) sampai dengan 77,26 mm (Banyuwangi). Tinggi tanaman nyamplung pada umur 4,5 tahun berkisar antara 280,77 cm (Carita) sampai dengan 366,93 cm (Banyuwangi). Pada umur 5 tahun, tinggi tanaman tertinggi mencapai 421,83 cm (Banyuwangi) dan terendah 319,46 cm (Carita). Pembahasan Kemampuan tumbuh dan adaptasi tanaman terhadap kondisi lingkungan tumbuhnya dapat ditandai dari persentase hidup tanaman. Selain itu, indikator persentase hidup ini dapat juga digunakan sebagai kriteria seleksi, terutama dalam kegiatan pengembangan tanaman di daerah lain, introduksi jenis ataupun provenan yang memiliki perbedaan kondisi habitat aslinya. Nyamplung akan tumbuh baik di wilayah pantai berpasir sampai dengan ketinggian tempat 200 m dpl (Soerianegara dan Lemmens 1994). Kondisi geografis Cilacap dimana plot konservasi ini dibangun kurang lebih cukup mendukung pertumbuhan nyamplung. Secara umum, Cilacap merupakan daerah pantai yang berbatasan dengan laut selatan Samudera Indonesia dengan wilayah tertinggi 196 m dpl dan terendah 6 m dpl. Dari pengamatan terhadap persentase hidup tanaman dapat dikatakan bahwa meskipun keenam populasi berasal dari lingkungan yang cukup beragam, namun nyamplung mampu tumbuh dengan baik di daerah Cilacap, Jawa Tengah. Sampai umur 5 tahun, populasi Banyuwangi mempunyai persentase hidup yang paling tinggi (82%). Hal itu mengindikasikan bahwa populasi Banyuwangi merupakan populasi yang paling toleran untuk tumbuh pada kondisi lingkungan di Cilacap. Hal ini didukung pula dengan hasil pengukuran diameter batang dan tinggi tanaman yang memperlihatkan bahwa secara konsisten dalam dua kali pengukuran, populasi Banyuwangi menempati urutan pertama (diameter batang sebesar 77,26 mm dan tinggi tanaman sebesar 421,83 cm). Hasil pengukuran pada tingkat umur sebelumnya juga memperlihatkan bahwa populasi Banyuwangi berpotensi untuk tumbuh dengan baik jika dikembangkan di Cilacap ataupun wilayah yang mempunyai tipe seperti Cilacap. Pamungkas dan Mahfudz (2013) yang melakukan pengukuran pada materi yang sama pada umur 24 bulan, menyatakan bahwa secara umum baik untuk jumlah cabang dan tinggi pada populasi Purworejo, Banyuwangi, dan Sobang menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan populasi Gunung Kidul, Cilacap, dan Carita.
903
Meskipun populasi-populasi yang mempunyai performa lebih baik relatif sama, tetapi urutan peringkat jumlah cabang dan tinggi masih belum konsisten. Fiani dan Hadiyan (2014) menyatakan bahwa evaluasi pertumbuhan nyamplung umur 3 tahun dan 4 tahun di Jeruklegi, Cilacap dari materi yang sama belum menunjukkan konsistensi, namun demikian sampai umur 4 tahun dari aspek pertumbuhan nyamplung populasi Banyuwangi dan Sobang cenderung berpotensi menjadi sumber benih yang baik untuk keperluan penanaman di kawasan Jeruklegi, Cilacap dan tapak-tapak yang setipe di sekitarnya. Dari hasil pengukuran terhadap enam populasi nyamplung yang ditanam pada plot konservasi ex situ nyamplung di Cilacap dapat disimpulkan bahwa pada umur 5 tahun persentase hidup tanaman cukup bervariasi, antara 44-82%, mengindikasikan bahwa nyamplung mampu tumbuh dengan baik di daerah Cilacap, Jawa Tengah. Dalam dua periode pengamatan pada umur 4,5 tahun dan 5 tahun, populasi Banyuwangi memiliki kecenderungan menempati peringkat pertama untuk persentase hidup, pertumbuhan tinggi tanaman, dan diameter batang. Dengan melihat kecenderungan pada persentase hidup, pertumbuhan tinggi batang, dan diameter batang, dapat dikatakan bahwa populasi Banyuwangi berpotensi menjadi sumber benih yang baik untuk keperluan penanaman di kawasan Jeruklegi, Cilacap dan tapak-tapak yang setipe di sekitarnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Eko Diro Pramono dan Jamin yang telah membantu dalam pengumpulan data serta pemeliharaan tanaman di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Adinugraha HA, Hasnah TM, Pudjiono S. 2013. Beberapa teknik produksi tanaman untuk mendukung penyediaan bibit nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) secara massal. Prosiding Seminar Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu. Peranan Hasil Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Mendukung Pembangunan Kehutanan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Mataram, 12 September 2012. Fiani A, Hadiyan Y. 2014. Konservasi ex situ nyamplung: Melindungi sumber daya genetik dan mendukung upaya rehabilitasi lahan. Prosiding Seminar Nasional. Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (KomHinDo), Makassar, 4-5 September 2014. Handoko C, Wahyuni R, Agustarini R et al. 2013. Pengaruh variabelvariabel lingkungan terhadap periode pembungaan dan pembuahan nyamplung (Calophyllum inophyllum): Studi kasus di Pulau Lombok dan Nusa Penida. Prosiding Seminar Nasional HHBK “Peranan Hasil Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Mendukung Pembangunan Kehutanan”. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Mataram, 12 September 2012. Pamungkas T, Mahfudz. 2013. Status terkini konservasi sumber daya genetik nyamplung di Cilacap. Prosiding Seminar Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu. Peranan Hasil Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Mendukung Pembangunan Kehutanan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Mataram, 12 September 2012. Soerianegara I, Lemmens RHM. 1994. Plant resources of South East Asia No. 5 (1). Timber Trees: Major Commercial Timbers. Prosea, Bogor.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 904-909
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010444
Pendugaan keragaman karakter morfologi 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar Estimation of morphological characters diversity of 50 germplasm accessions of sweet potato WIWIT RAHAJENG Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Tel. +62-341801468, 801075, Fax. +62-341-801496, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 18 Februari 2015. Revisi disetujui: 22 April 2015.
Rahajeng W. 2015. Pendugaan keragaman karakter morfologi 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 904-909. Karakterisasi morfologi plasma nutfah ubi jalar (Ipomoea batatas) diperlukan untuk mengetahui sumber gen dari plasma nutfah sehingga bisa dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman (perakitan varietas). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai keragaman karakter morfologi aksesi plasma nutfah ubi jalar menggunakan metode analisis klaster. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Kendalpayak, Malang pada bulan April sampai dengan September 2013. Bahan yang digunakan adalah 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar koleksi Balitkabi. Setiap nomor aksesi ditanam pada guludan berukuran 1 m x 5 m, satu setek per lubang, jarak tanam dalam guludan 20 cm. Tanaman dipupuk dengan 100 kg urea + 100 kg SP36 + 200 kg KCl per hektar, diberikan seluruhnya pada saat tanam, kecuali Urea diberikan 2 kali, yaitu pada saat tanam dan 1,5 bulan setelah tanam. Karakter yang diamati adalah tipe tumbuh, kemampuan membelit, bentuk daun, ciri daun, jumlah cuping, panjang tangkai daun, warna daun dewasa, warna pucuk, pigmentasi tangkai daun, pigmentasi batang muda (warna dominan dan warna sekunder), bulu pada daun muda, bentuk bunga, warna bunga, kemampuan berbunga, kedudukan putik, warna kulit umbi, warna daging umbi (dominan dan sekunder), jumlah umbi per tanaman, dan bobot umbi per tanaman. Terdapat keragaman morfologi pada 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar. Analisis komponen utama menghasilkan delapan komponen utama dengan proporsi keragaman 75,4%. Berdasarkan analisis klaster, 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar terbagi menjadi tujuh kelompok aksesi pada derajat kemiripan 65%. Karakter tipe tumbuh, warna kulit umbi, dan warna dominan (pigmentasi batang muda) berkontribusi paling besar terhadap keragaman total. Kata kunci: Aksesi, analisis klaster, karakter morfologi, keragaman, ubi jalar
Rahajeng W. 2015. Estimation of morphological characters diversity of 50 germplasm accessions of sweet potato. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 904-909. Morphological characterization of sweet potato germplasm is required to determine the source of germplasm gene, therefore it can be used in the breeding program. The purpose of this study was to obtain information about the diversity of morphological characters of sweet potato germplasm accessions. The research was carried out in the experimental garden of Kendalpayak from April to September 2013. The material used was 50 sweet potato germplasm accessions from Balitkabi collection. Each accession number was planted on ridge measuring 1 m x 5 m, one cutting per hole, the space of the ridges was 20 cm. The plants were fertilized by 100 kg urea + 100 kg SP36 + 200 kg KCl per hectare, given entirely at planting time, except for urea which given twice, at the time of planting and 1.5 months after planting. The characters observed was the type of growth, ability to twist, leaf shape, leaf characteristics, number of lobes, petiole length, mature leaf color, color of shoots, petiole pigmentation, pigmentation of young stems (dominant color and secondary color), feathers on young leaves, flower’s shape, flower’s color, flowering ability, position of pistil, tuber skin color, tuber flesh color (dominant and secondary), the amount of tuber crops and weight of tuber crops. There was a diversity of morphology from 50 sweet potato germplasm accessions. Principal component analysis produce eight major components on the diversity proportion of 75.4%. Based on the clusters analysis, 50 sweet potato germplasm accessions are divided into seven groups on the similarity degree of 65%. The character of growing types, tuber skin color and the dominant color (pigmentation young stems) contribute most of the total diversity. Keywords: sweet potato, diversity, morphological characters, accession, cluster analysis
PENDAHULUAN Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam) merupakan anggota famili Convolvulaceae yang mempunyai keragaman genetik yang sangat tinggi (Laurie et al. 2013). Dengan keragaman genetik yang tinggi pada plasma nutfah ubi jalar maka diperlukan pengelolaan yang cukup baik terhadap keragaman tersebut. Menurut Trustinah dan Iswanto (2014) pengelolaan keragaman genetik di dalam
populasi bahan genetik diawali dengan karakterisasi, evaluasi, dokumentasi, dan pembaruan benih atau konservasi. Menurut Dewi Hayati et al. (2013), kajian keragaman genetik plasma nutfah yang dilakukan dengan cara mengkarakterisasi karakter morfologis merupakan informasi awal bagi pemulia untuk menentukan karakterkarakter tanaman yang memiliki keragaman genetik yang tinggi. Karakterisasi morfologi plasma nutfah ubi jalar
RAHAJENG – Keragaman karakter morfologi plasma nutfah ubijalar
diperlukan untuk mengetahui sumber gen dari plasma nutfah sehingga bisa dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman (perakitan varietas). Reed et al. (2004) dan Manamela (2009) menyatakan bahwa karakterisasi morfologi tanaman sangat penting untuk mendeteksi sifat khusus yang diinginkan, mengidentifikasi aksesi yang terduplikasi, dan penataan populasi untuk keperluan konservasi. Norman et al. (2014) menambahkan karakterisasi morfologi plasma nutfah ubi jalar saat ini akan menjadi panduan yang baik untuk pengembangan genetik, konservasi, koleksi, dan pemanfaatan plasma nutfah. Karakterisasi morfologi sampai saat ini telah banyak digunakan untuk menganalisis keragaman pada koleksi plasma nutfah ubi jalar (Gichuru et al. 2006; Veasey et al. 2007). Keragaman pada koleksi plasma nutfah dapat dianalisis menggunakan analisis multivariat. Analisis yang sering digunakan adalah analisis komponen utama (Principle Component Analysis) dan analisis klaster (cluster analysis). Analisis komponen utama merupakan teknik untuk mengetahui seberapa besar suatu karakter berkontribusi terhadap keragaman sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakter yang menjadi ciri suatu varietas (Afuape et al. 2011). Klaster analisis berdasarkan karakter morfologi digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kedekatan, jarak, dan kemiripan antaraksesi plasma nutfah (Triesnawati dan Randriani 2011). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai keragaman karakter morfologi aksesi plasma nutfah ubi jalar menggunakan metode analisis klaster. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi mengenai keragaman genetik 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar koleksi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang, Jawa Timur.
BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Kendalpayak, Malang (Gambar 1) pada bulan April sampai dengan September 2013. Bahan yang digunakan adalah 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar koleksi Balitkabi. Pada Tabel 1 disajikan aksesi-aksesi yang digunakan pada penelitian ini. Cara kerja Setiap nomor aksesi ditanam pada guludan berukuran 1 m x 5 m, satu stek per lubang, jarak tanam dalam guludan 20 cm. Tanaman dipupuk dengan 100 kg Urea + 100 kg SP36 + 200 kg KCl per hektar, diberikan seluruhnya pada saat tanam, kecuali Urea diberikan 2 kali, pada saat tanam dan 1,5 bulan setelah tanam. Pupuk bisa diganti dengan pupuk Phonska dengan dosis 500 kg/ha. Pupuk phonska diberikan dua kali, pertama pada umur satu minggu, dosis 1/3 bagian dan sisanya (2/3 bagian) diberikan pada umur satu bulan. Penyiangan (pengendalian gulma) dilakukan pada umur 4, 7, dan 10 MST. Penurunan gulud dilakukan sebelum pemupukan kedua pada umur 1,5 bulan. Penyemprotan fungisida dan insektisida dilakukan sebulan sekali.
905
Tabel 1. Aksesi plasma nutfah ubi jalar yang digunakan dalam penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Aksesi MLG 12501 MLG 12504 MLG 12505 MLG 12506 MLG 12509 MLG 12511 MLG 12512 MLG 12514 MLG 12521 MLG 12522 MLG 12523 MLG 12526 MLG 12527 MLG 12528 MLG 12530 MLG 12531 MLG 12534 MLG 12536 MLG 12537 MLG 12539 MLG 12542 MLG 12544 MLG 12547 MLG 12548 MLG 12553
No. 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Aksesi MLG 12554 MLG 12557 MLG 12558 MLG 12559 MLG 12563 MLG 12565 MLG 12566 MLG 12569 MLG 12570 MLG 12571 MLG 12573 MLG 12576 MLG 12577 MLG 12580 MLG 12581 MLG 12582 MLG 12583 MLG 12584 MLG 12585 MLG 12588 MLG 12593 MLG 12594 MLG 12595 MLG 12609 MLG 12610
Pembalikan tanaman dilakukan pada umur 4, 9, dan 12 MST. Pengendalian hama boleng secara preventif dilakukan dengan pengairan dan pemberian Furadan. Pengendalian penyakit kudis selama pertumbuhan dengan penyemprotan insektisida. Pengairan dilakukan sesuai kondisi di lapangan. Karakter yang diamati adalah tipe tumbuh, kemampuan membelit, bentuk daun, ciri daun, jumlah cuping, panjang tangkai daun, warna daun dewasa, warna pucuk, pigmentasi tangkai daun, pigmentasi batang muda (warna dominan dan warna sekunder), bulu pada daun muda, bentuk bunga, warna bunga, kemampuan berbunga, kedudukan putik, warna kulit umbi, warna daging umbi (dominan dan sekunder), jumlah umbi per tanaman, dan bobot umbi per tanaman. Kode skor atau nilai serta singkatan setiap karakter disajikan pada Tabel 2. Analisis data Kontribusi keragaman karakter morfologi ubi jalar diketahui dengan melakukan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA). Selanjutnya, nilai komponen utama tersebut digunakan untuk analisis cluster (analisis gerombol).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan karakter morfologi dari 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar menunjukkan adanya keragaman morfologi pada semua karakter yang diamati baik pada batang, daun, umbi, dan bunga. Kemampuan berbunga dari 50 aksesi bervariasi dari berbunga sangat sedikit sampai
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 904-909, Juli 2015
906
yang berbunga banyak. Selain kemampuan berbunga, keragaman morfologi bunga ditemukan pada bentuk bunga, warna bunga, dan kedudukan putik. Keragaman pada daun ditemui pada bentuk, cuping, warna daun, dan tangkai daun. Aksesi-aksesi yang diuji mempunyai tipe tumbuh dari menggerombol sampai menyebar dengan kemampuan membelit dari tidak membelit sampai sangat membelit. Selain itu juga terdapat keragaman pada warna batang. Pada umbi terdapat keragaman pada warna kulit umbi dan warna daging umbi. Pada Tabel 3 disajikan hasil analisis deskriptif karakter morfologi aksesi plasma nutfah ubi jalar. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh karakter memiliki nilai koefisien keragaman yang cukup besar yaitu dari 19,07% (bentuk daun) sampai 97,81% (warna sekunder (pigmentasi batang muda).
Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui karakter yang berkontribusi terhadap keragaman. Penggunaan analisis komponen utama untuk mempelajari keragaman berbagai karakter morfologi ubi jalar telah dilakukan pada bebarapa penelitian di antaranya adalah penelitian Tairo et al. (2008) yang mendapatkan lima komponen utama dengan keragaman sebesar 52,5% dari total keragaman. Dua komponen utama dengan keragaman sebesar 40,7% dari total keragaman didapatkan dari penelitian Yada et al. (2010). Adapun pada penelitian Koussao et al. (2014), didapatkan empat komponen utama yang mampu menjelaskan keragaman sebesar 67,2% dari total keragaman di antara aksesi yang diuji.
Tabel 2. Karakter morfologi yang diamati pada penelitian Singkatan
Variabel pengamatan
Kode skor/nilai
TT KM
tipe tumbuh kemampuan membelit
BD
bentuk daun
CD
ciri daun
JC
jumlah cuping
PaTD WDD
panjang tangkai daun warna daun dewasa
WPD
warna pucuk
PiTD
pigmentasi tangkai daun
WDBM
BPDM BB WB
warna dominan (pigmentasi batang muda) warna sekunder (pigmentasi batang muda) bulu pada daun muda bentuk bunga warna bunga
3= menggerombol, 5= semikompak, 7= menyebar, dan 9= sangat menyebar 0= tidak membelit, 3= sedikit membelit, 5= setengah membelit, 7= membelit, dan 9= sangat membelit 1= membulat, 2= ginjal, 3= hati, 4= segitiga sama sisi, 5= tombak, 6 cuping, dan 7 = hampir terpisah 0=tidak ada, 1= sangat dangkal, 3= tepi daun berlekuk dangkal, 5= tepi daun berlekuk sedang, 7= tepi daun berlekuk dalam, dan 9= tepi daun berlekuk sangat dalam 0= tidak bercuping, 1= bercuping 1, 3= bercuping tiga, 5= bercuping 5, 7= bercuping 7, dan 9= bercuping 9 1= sangat pendek, 3= pendek, 5= sedang, 7= panjang, dan 9= sangat panjang 1= kuning kehijauan, 2= hijau, 3= hijau dengan ungu melingkari pada tepi daun, 4= keabuabuan karena adanya bulu yang lebat pada permukaan daun, 5= hijau dengan tulang daun ungu pada permukaan atas helai daun, 6= agak ungu, 7= hampir ungu, 8= permukaan atas hijau dan permukaan bawah ungu, dan 9= permukaan atas dan bawah ungu 1= kuning-hijau, 2= kuning, 3= hijau dengan ungu melingkari pada tepi daun, 4= keabuabuan karena adanya bulu pada permukaan daun, 5= hijau dengan tulang daun ungu pada permukaan atas helai daun, 6= agak ungu, 7= hampir ungu, 8= permukaan atas hijau dan ungu pada bagian bawah, dan 9= permukaan atas dan bawah daun berwarna ungu 1= hijau, 2= hijau, pangkal tangkai (dekat sulur) berwarna ungu, 3= hijau, ujung tangkai (dekat helai daun) ungu, 4= hijau, pangkal dan tangkai daun ungu, 5= hijau dengan bercak ungu sepanjang tangkai, 6= hijau dengan garis-garis ungu, 7= ungu, ujung tangkai berwarna hijau, 8= sebagian besar tangkai ungu, hijau sedikit, dan 9= seluruh tangkai ungu 1= hijau, 3= hijau dengan sedikit bercak ungu, 4= hijau dengan beberapa bercak ungu, 5= hijau dengan beberapa bercak ungu tua, 6= hampir semua berwarna ungu, 7= hampir berwarna ungu tua, 8= semua berwarna ungu, dan 9= semua berwarna ungu tua 0= tidak ada, 1= hijau pada pangkal, 2= hijau pada pucuk, 3= hijau pada buku-buku, 4= ungu pada pangkal, 5= ungu pada pucuk, 6= ungu pada buku-buku, dan 7= adanya warna lain
KB KP
kemampuan berbunga kedudukan putik
WKU WDUD
warna kulit umbi warna daging umbi (dominan) warna daging umbi (sekunder) jumal umbi /tanaman bobot umbi /tanaman (g)
WSBM
WDUS JUT BUT
0= tidak ada, 3= jarang, 5= sedang, 7= lebat , 9= sangat lebat 3= menyerupai bintang, 5= segi lima, dan 7= berputar 1= putih, 2= putih dengan warna leher bagian dalam ungu, 3= daun bunga putih dilingkari warna ungu pucat dan warna leher bagian dalam ungu , 4= ungu pucat dengan leher bagian dalam berwarna ungu, 5= ungu, dan 6= warna lain 0= tidak berbunga, 1= sangat sedikit, 3= sedikit, 5= sedang, 7= banyak, dan 9=sangat banyak 1= lebih pendek dari benang sari terpanjang, 3= sama tinggi dengan benang sari terpanjang, 5= hampir sama tinggi dengan benang sari, dan 7= lebih panjang dari benang sari yang panjangnya seragam 1= putih, 2= krem, 3=M1, 4= M2 , 5= M3, 6= M4, 7= M5, dan 8= M6 1= putih, 2= K1, 3=K2, 4= K3, 5= K4, 6= O2, 7= O3, 8= O4, 9= U4, 10= U6, dan 11= U7 (K= kuning, O= oranye, dan U= ungu) 0= tidak ada, 1= putih, 2= O1, 3= O2, 4= U2, dan 5=U3 (O= oranye, dan U= ungu) diukur dari 5 tanaman sampel diukur dari 5 tanaman sampel
RAHAJENG – Keragaman karakter morfologi plasma nutfah ubijalar
Tabel 3. Statistik deskriptif karakter morfologi plasma nutfah ubi jalar Variabel Rata-rata Simpangan baku Min Maks KK (%) TT KM BD CD JC PaTD WDD WPD PiTD WDBM WSBM BPDM BB WB KB KP WKU WDUD WDUS JUT BUT
4,360 4,020 5,220 3,320 3,440 3,280 2,580 4,620 4,360 3,420 2,760 2,620 4,640 2,820 3,240 5,560 4,760 3,520 0,540 4,450 733,7
1,306 2,352 0,996 2,299 1,820 1,213 0,731 2,547 1,903 1,980 2,700 1,748 1,699 0,850 1,836 1,853 2,568 3,138 1,328 2,327 388,4
3 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 3 2 1 1 1 1 0 0,5 50,0
7 9 7 9 7 5 5 9 9 8 6 5 7 5 7 7 8 11 5 10,5 1727,5
29,94 58,50 19,07 69,23 52,91 36,98 28,33 55,12 43,66 57,91 97,81 66,73 36,63 30,13 56,66 33,33 53,95 89,15 24,59 52,28 52,94
Hasil analisis komponen utama (PC) pada penelitian ini telah mereduksi karakter yang diamati menjadi delapan komponen utama yang mempunyai eigen value >1 dan mampu menjelaskan keragaman materi yang diuji sebesar 75,4% (Tabel 4). PC1 dengan eigen value 3,45
907
berkontribusi terhadap 16,4% keragaman total, PC2 dengan eigen value 3,18 berkontribusi terhadap 31,6% keragaman total, PC3 dengan eigen value 2,31 berkontribusi terhadap 42,6% keragaman total, PC4 dengan eigen value 1,97 berkontribusi terhadap 51,9% keragaman total, PC5 dengan eigen value 1,46 berkontribusi terhadap 58,9% keragaman total, PC6 dengan eigen value 1,23 berkontribusi terhadap 64,8% keragaman total, PC7 dengan eigen value 1,15 berkontribusi terhadap 70,3% keragaman total, dan PC8 dengan eigen value 1,09 berkontribusi 75,4% terhadap keragaman total di antara 50 aksesi yang diuji. Haydar et al. (2007) menyatakan bahwa karakter yang berkontribusi maksimum terhadap keragaman pada materi genetik adalah karakter-karakter yang mempunyai nilai vektor ciri terbesar dan positif. Pada PC1, karakter yang berkontribusi besar terhadap keragaman adalah warna dominan (pigmentasi batang muda), pigmentasi tangkai daun, dan warna daging umbi (dominan). Pada PC2 warna skunder (pigmentasi batang muda) mempunyai pengaruh cukup besar pada keragaman. Pada PC3, karakter yang berkontribusi terhadap keragaman adalah jumlah umbi per tanaman dan warna kulit umbi, pada PC4 karakter yang memengaruhi keragaman adalah warna kulit umbi. Pada PC5, karakter warna daging umbi sekunder dan warna daun dewasa berkontribusi terhadap keragaman. Pada PC6 tipe tumbuh, bentuk bunga, dan kemampuan berbunga berpengaruh pada keragaman. Tipe tumbuh merupakan karakter yang berkontribusi terhadap keragaman pada PC7. Pada PC8, bentuk bunga, warna daun dewasa, dan jumlah umbi per tanaman adalah karakter yang berkontribusi pada keragaman (Tabel 4).
Tabel 4 . Analisis komponen utama aksesi plasma nutfah ubi jalar Variabel
PC1
PC2
PC3
PC4
PC5
PC6
PC7
PC8
TT KM BD CD JC PaTD WDD WPD PiTD WDBM WSBM BPDM BB WB KB KP WKU WDUD WDUS JUT BUT Eigen value Proporsi Kumulatif
-0,071 -0,148 0,059 0,090 0,032 -0,245 0,228 0,287 0,371 0,439 -0,130 0,215 -0,037 0,287 0,123 -0,128 0,086 0,323 0,093 -0,277 -0,245 3,454 0,164 0,164
0,118 0,044 -0,445 -0,400 -0,482 0,213 0,008 0,205 0,119 0,107 0,267 0,135 -0,115 0,058 -0,220 0,040 0,106 0,232 -0,168 0,067 0,164 3,176 0,151 0,316
0,218 0,230 0,197 0,155 0,178 0,225 0,032 0,125 0,062 0,108 -0,286 -0,138 -0,373 0,207 0,137 0,293 0,303 0,151 -0,197 0,338 0,258 2,310 0,110 0,426
-0,092 -0,298 0,145 -0,022 0,002 -0,270 -0,337 -0,237 0,160 0,036 -0,070 -0,096 -0,040 -0,374 -0,238 -0,042 0,472 0,221 -0,290 -0,141 0,148 1,968 0,094 0,519
-0,143 -0,433 -0,109 -0,161 -0,073 -0,165 0,327 -0,019 0,009 -0,021 -0,136 -0,495 0,159 0,116 -0,018 0,254 -0,031 0,109 0,338 0,180 0,296 1,463 0,070 0,589
0,557 0,122 0,100 -0,377 -0,043 -0,094 0,047 -0,183 0,282 0,084 -0,161 -0,054 0,379 -0,088 0,367 -0,203 -0,006 -0,117 -0,065 0,004 0,128 1,234 0,059 0,648
0,395 -0,247 0,066 0,240 0,060 0,162 0,141 -0,060 0,212 0,041 0,254 -0,125 -0,288 -0,006 -0,338 -0,443 0,077 -0,201 0,290 0,127 0,022 1,153 0,055 0,703
-0,255 0,175 0,020 0,070 0,038 -0,086 0,315 0,269 -0,060 0,032 -0,271 0,186 0,325 -0,093 -0,331 -0,386 0,087 -0,143 -0,196 0,305 0,273 1,085 0,052 0,754
908
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 904-909, Juli 2015
Hasil penelitian Laurie et al. (2013) menunjukkan bahwa jumlah cuping, tipe cuping, bentuk daun, ciri daun, dan warna skunder (pigmentasi batang muda) adalah karakter-karakter yang memiliki kontribusi besar pada keragaman aksesi ubi jalar. Penelitian Koussao et al. (2014) juga menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu tipe cuping, pigmentasi tangkai daun, ukuran daun, jumlah cuping, dan cacat permukaan umbi merupakan karakter yang berkontribusi paling besar terhadap keragaman aksesi ubijalar. Analisis multivariat dengan pengelompokan (analisis klaster) berdasarkan derajat kemiripan sebesar 65%, membagi 50 aksesi ke dalam tujuh kelompok (Gambar 1). Kelompok pertama terdiri atas 43 aksesi, yaitu MLG 12501, MLG 12502, MLG 125 41, MLG 12506, MLG 12527, MLG 12511, MLG 12535, MLG 12531, MLG 12536, MLG 12540, MLG 12509, MLG 12515, MLG 12530, MLG 12505, MLG 12547, MLG 12514, MLG 12521, MLG 12549, MLG 12550, MLG 12544, MLG 12504, MLG 12543, MLG 12548, MLG 12522, MLG 12525, MLG 12507, MLG 12524, MLG 12528, MLG 12529, MLG 12542, MLG 12508, MLG 12516, MLG 12519, MLG 12517, MLG 12518, MLG 12545, MLG 12538, MLG 12539, MLG 12513, MLG 12520, MLG 12537, MLG 12523, MLG 12532, dan MLG 12533. Kelompok ini mempunyai kemiripan pada bentuk daun dan warna daging umbi sekunder, dengan bobot umbi per tanaman sedang. Kelompok kedua sampai ketujuh, masing-
Gambar 2. Pengelompokan 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar
masing beranggotakan satu aksesi (MLG 12503, MLG 12512, MLG 12526, MLG 12510, MLG 12546, dan MLG 12534). Kelompok kedua (MLG 12503) memiliki bobot umbi per tanaman tertinggi, sedangkan MLG 12510 (kelompok kelima) bobot umbi per tanaman paling rendah. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa terdapat keragaman morfologi pada 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar. Analisis komponen utama menghasilkan delapan komponen utama dengan proporsi keragaman 75,4%. Berdasarkan analisis gerombol, 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar diterbagi menjadi tujuh kelompok aksesi pada derajat kemiripan 65%. Karakter tipe tumbuh, warna kulit umbi, dan warna dominan (pigmentasi batang muda) merupakan karakter yang berkontribusi paling besar terhadap keragaman total.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Astanto Kasno selaku penanggung jawab RPTP Plasma Nutfah tanaman aneka kacang dan umbi, Kepala KP Kendalpayak, dan para teknisi KP Kendalpayak, serta semua pihak yang telah membantu penelitian ini. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan konservasi plasma nutfah ubi jalar dan dibiayai oleh APBN 2013.
RAHAJENG – Keragaman karakter morfologi plasma nutfah ubijalar
DAFTAR PUSTAKA Afuape SO, Okocha PI, Njoku D. 2011. Multivariate assessment of the agromorphological variability and yield components among sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam) landraces. African J Plant Sci 5 (2): 123-132. Dewi Hayati PK, Kristina N, Sutoyo. 2013. Keragaman genetik klon ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam) pada beberapa sentra produksi di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas dan Ekologi Tropika Indonesia. Universitas Andalas, Padang. Haydar A, Ahmed MB, Hannan MM et al. 2007. Analysis of genetic diversity in some potato varieties grown in Bangladesh. Middle East J Sci Res 2: 143-145. Koussao S, Gracen V, Asante I et al. 2014. Diversity analysis of sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam) germplasm from Burkina Faso using morphological and simple sequence repeats markers. African J Biotechnol 13 (6): 729-742. Laurie SM, Calitz FJ, Adebola PO, Lezar A. 2013. Characterization and evaluation of South African sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam) landraces. S A J Bot 85: 10-16.
909
Manamela MT. 2009. Morphological Characterization and Cryopreservation of Sweet Potato, Ipomoea batatas (L.) Lam, Accessions at The NPGRC of South Africa. [Thesis]. CBM, Uppsala. Norman PE, Beah AA, Samba JA et al. 2014. Agro-phenotipic characterization of sweet potato (Ipomoea batatas L.) genotypes using factor and cluster analysis. Agric Sci Res J 4(2): 30-38. Reed BM, Engelmann F, Dullo ME, Engels JMM. 2004. Technical guidelines for the management of field and in vitro germplasm collection. IPGRI Handbooks for Genebank No. 7. International Plant Genetics Resources Institute, Rome, Italy. Tairo F, Mneney E, Kullaya A. 2008. Morphological and agronomical characterization of sweet potato (Ipomoea batatas (L.). Lam) germplasm collection from Tanzania. African J P Sci 2 (8): 77-85. Tresniawati C, Randriani E. 2011. Uji kekerabatan aksesi cengkeh di Kebun Percobaan Sukapura. Buletin Plasma Nutfah 17 (1): 40-45. Trustinah, Iswanto R. 2014. Pengelompokan aksesi kacang hijau berdasarkan karakter kuantitatif. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2013. Malang. Yada B, Tukamuhabwa P, Wanjala B et al. 2010. Characterization of Ugan dan sweet potato germplasm using fluorescent labeled simple sequence repeat markers. Hortscience 45 (2): 225-230.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 910-913
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010445
Kajian galur harapan padi gogo di Kalimantan Timur Study on promising lines of upland rice in East Kalimantan DARNIATY DANIAL, NURBANI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥Email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 27 April 2015.
Danial D, Nurbani. 2015. Kajian galur harapan padi gogo di Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 910-913. Selama ini andalan produksi padi nasional terfokus pada lahan sawah irigasi, terutama di Pulau Jawa. Adapun sumbangan lahan kering atau padi gogo yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia masih sangat terbatas. Usaha pertanian padi gogo memiliki nilai positif dalam mendukung ketahanan pangan nasional, karena musim panennya lebih awal pada saat cadangan beras di pasar sedang menipis. Pandangan bahwa padi gogo kurang bersifat ramah lingkungan, dapat dikoreksi dengan penerapan pola tanam lanskap hijau lestari (permanent green landscape) berbasis padi gogo. Kajian galur harapan padi gogo dilaksanakan di Desa Bukit Harapan, Samboja, Kalimantan Timur. Kegiatan ini bertujuan mendapatkan calon galur harapan padi gogo yang mempunyai potensi hasil tinggi dan spesifik lokasi. Kegiatan dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa 6 galur harapan yang ditanam diperoleh 2 galur harapan yang memilki hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Towuti dan Situ Bagendit, yaitu galur SHS 126 dengan rata-rata hasil 2,27 ton/ha dan galur SHS 125 dengan rata-rata hasil 2,03 ton/ha. Berdasarkan gabah hampa/malai tidak terdapat beda nyata. Jumlah gabah hampa per malai yang paling rendah adalah galur SHS 126 dengan nilai 13,27 dan galur SHS 127 dengan nilai 16,60. Adapun jumlah gabah isi per malai nilai rata-rata tertinggi terdapat pada galur SHS 126 dengan nilai 118,33, SHS 125 dengan nilai 113,00, dan SHS 127 dengan nilai 105,13. Pada parameter pengamatan bobot 100 butir, galur SHS 126 mempunyai bobot yang tertinggi dengan rata-rata nilai 2,59 g dan tidak berbeda nyata terhadap galur SHS 125 dan SHS 126 dengan nilai rata-rata masing-masing 2,58 g dan 2,59 g, tetapi terdapat beda nyata dengan varietas pembanding yaitu varietas Towuti. Galur SHS 126 (B) dan galur SHS 125 (A) memilki adaptasi yang cukup baik dengan rata-rata hasil 2,27 ton/ha dan 2,03 ton/ha lebih tinggi dari varietas Situ Bagendit dan Towuti. Kata kunci: Galur, lahan kering, padi gogo, produktivitas
Danial D, Nurbani. 2015. Study on promising lines of upland rice in East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 910-913. To date, the national rice production is focused on irrigated land, especially in Java. While the contribution of dry or upland rice fields spread across various islands of Indonesia is still very limited. Upland rice farming has a positive value in supporting of national food security, because of the earlier harvest season, when the rice stocks in the market is depleting. The idea that upland rice is less environmentally friendly, can be corrected by the application of sustainable green landscape planting (permanent green landscape) based on upland rice. The aim of this activity was to get candidates promising lines of upland rice that had high yield potential and specific location. The study was conducted in the Village of Bukit Harapan, Samboja, East Kalimantan. The activities were carried out using a Randomized Block Design (RBD) with three replications. The results showed that of the six planted strains were obtained two strains that had higher yields than Towuti and Situ Bagendit as check varieties, i.e. SHS 126 and SHS 125 with an average yield was 2.27 t/ha and 2.03 t/ha, respectively. Based on the empty grains per panicle there was no significant difference. The lowest number of empty grains per panicle was SHS 126 (13.27) and SHS 127 (16.60). Meanwhile, the highest number of filled grain per panicle was SHS 126 (118.33), SHS 125 (113.00) and SHS 127 (105.13). At a weight of 100 grains, SHS 126 has the highest weight (2.59 g) and was not significantly different with SHS 125 (2.58 g) and SHS 126 (2.59 g), but significantly different with Towuti. SHS 126 and SHS 125 had an adaptation that was pretty well with average yield of 2.27 t/ha and 2.03 t/ha higher than Situ Bagendit and Towuti. Keywords: Dry land, lines, productivity, upland rice
PENDAHULUAN Pengembangan padi gogo belum mendapat perhatian pemerintah secara layak dibandingkan dengan padi sawah. Di samping belum terdapat prasarana yang diperuntukkan khusus bagi usah atani padi gogo, insentif produksi berupa kredit usaha tani dan pelayanan penyuluhan sangat juga minim. Di beberapa negara lain pun, petani lahan kering yang menanam padi gogo umumnya tergolong miskin dan
sering kekurangan pangan. Selama ini andalan produksi padi nasional terfokus pada lahan sawah irigasi terutama di Pulau Jawa. Adapun sumbangan lahan kering atau padi gogo yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini erat kaitannya dengan produksi luas areal padi gogo yang relatif lebih kecil dan tingkat produktivitas padi sawah yang telah mencapai 5,68 ton/ha, sementara padi gogo baru mencapai 2,439 ton/ha atau baru mencapai 43% dari produktivitas padi sawah.
DANIAL & NURBANI – Galur harapan padi gogo di Kalimantan Timur
Data luas lahan kering yang tersedia dan sesuai untuk pertanian sangat beragam. Laporan Badan Litbang Pertanian (2008a,b) menyebutkan terdapat 9 juta ha lahan terlantar dan 32 juta ha sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Berdasarkan angka tersebut terdapat 1,1 juta padang alang-alang yang telah dipetakan dengan skala 1:50.000, yang mestinya dapat dipilih untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman pangan. Sementara data luas lahan bukan sawah di Kalimantan Timur yaitu sekitar 22.654.913 ha. Luas lahan ini merupakan potensi untuk pengembangan padi gogo. Pada saat ini luas panen padi gogo di Indonesia sekitar 1,12 juta ha yang tersebar di beberapa provinsi. Pertanaman terluas ada di Pulau Jawa diikuti Kalimantan, Sumatera, dan lainnya, masing-masing seluas 357.333 ha (32%). 302.971 ha (27,1%), dan 301.367 ha (27%). Potensi pengembangan padi gogo terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Badan Litbang Pertanian 2008a,b). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produksi padi, salah satu faktor yang memengaruhi produksi padi adalah varietas yang ditanam. Oleh karena itu, perbaikan varietas terus dilakukan terutama dari aspek potensi hasil, umur genjah, serta tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik (BB Padi 2003). Pada skala keluarga petani, padi gogo dapat diandalkan sebagai tanaman penyedia pangan pokok yang tidak memerlukan investasi prasarana dan sarana secara mahal. Padi gogo beradaptasi baik pada lahan kering yang baru dibuka dan memiliki toleransi yang baik terhadap tanah masam yang mengandung aluminium. Pada lahan pertanian yang sudah terbentuk, padi gogo merupakan komponen usaha tani juga memiliki keuntungan spesifik, yakni: (i) panen padi gogo terjadi lebih awal dibanding padi sawah, pada periode paceklik atau saat persediaan bahan pangan masyarakat pedesaan menipis; (ii) hasil panen padi gogo dapat berfungsi sebagai buffer (penyangga) ketahanan pangan regional, pada saat stok beras di pasar menipis; (iii) harga jual gabah/beras padi gogo tinggi, karena panen terjadi pada waktu stok beras di pasar rendah dan panen tidak terjadi bersamaan pada areal yang luas; (iv) rasa nasi padi gogo pada umumnya lebih enak sehingga beras padi gogo banyak diminati masyarakat kota dan harga jualnya oleh petani tinggi (Sumarmo dan Hidajat 2007). Penanaman padi di Indonesia berada pada kondisi agroekologi yang beragam sehingga sulit mendapatkan varietas yang unggul dan sesuai untuk seluruh agroekologi. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan suatu varietas unggul spesifik lokasi dalam jangka sangat pendek. Cara paling sederhana untuk mendapat varietas unggul spesifik lokasi adalah dengan menguji sejumlah galur potensial sejak generasi awal pada berbagai kondisi agroekologi, kemudian memilih dan mengembangkan galur-galur terbaik di suatu tipe agroekologi tertentu di sejumlah sentra produksi padi yang memiliki kesamaan karakteristik kondisi agroekologinya. Untuk mengetahui kecocokan penampilan fenotipik, daya hasil, dan daya adaptasi spesifik lokasi dari bahan pemuliaan tersebut, maka perlu dilakukan uji multilokasi pada lahan-lahan yang mewakili tipe zone agroekologi tertentu (Badan Litbang Pertanian 2001).
911
Untuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan komponen produksi dari galur-galur harapan di setiap daerah/lokasi yang telah dirilis maka perlu dilakukan uji multilokasi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan calon galur harapan padi gogo yang mempunyai potensi hasil tinggi dan spesifik lokasi.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Samboja, BPTP Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provisi Kalimantan Timur. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan Kebun Percobaan Samboja masih memiliki lahan kering yang memenuhi standar penanaman padi gogo. Bahan dan alat Bahan yang digunakan berupa benih padi gogo galur SHS 125 (SEB.8FA-281-2), SHS 126 (SEB.8FA-300-2), SHS 128 (SEB.Bsl-47-12), SHS 130 (CIRAD 141), SHS 127 (SEB.8FA-337-2), SHS 131 (SEB.8FA-67-5), Situ Bagendit (cek 1), Towuti (cek 2), pupuk NPK, Urea, herbisida, dan pestisida. Alat-alat yang digunakan antara lain cangkul, parang, timbangan, meteran, hansprayer, karung, dan alat tulis. Metode analisis Penelitian menggunakan petak percobaan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang sebanyak 3 (tiga) kali dengan luas per plot 4 x 5 m. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan uji statistik (Duncan). Parameter yang diamati yaitu: (i) tinggi tanaman (cm), (ii) jumlah anakan produktif, (iii) umur tanaman berbunga 50%, (iv) umur tanaman dapat dipanen, (v) jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai, (vi) bobot 100 butir, (vii) hasil gabah kering bersih per plot, serta (viii) tingkat serangan hama dan penyakit di lapang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman, umur berbunga 50%, anakan produktif, dan umur tanaman panen Keragaan pertumbuhan tinggi tanaman dan anakan produktif galur-galur harapan dan varietas pembanding disajikan pada Tabel 1. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman antargalur dan varietas pembanding terdapat perbedaan yang sangat nyata. Pertumbuhan tertinggi dicapai galur SHS 130 yakni ratarata 104,4 cm dan terendah varietas pembanding Towuti yakni rata-rata 91,53 cm. Pertumbuhan galur SHS 130 juga berbeda sangat nyata dengan galur-galur lainnya dan varietas pembanding. Sementara pertumbuhan galur SHS 126 tidak berbeda nyata dengan galur SHS 125, galur 131, galur SHS 127, dan varietas pembanding Situ Bagendit, tetapi berbeda nyata nyata dengan galur SHS 128 dan varietas pembanding Towuti. Jumlah anakan produktif antara galur dan varietas pembanding tidak ada perbedaan
912
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 910-913, Juli 2015
yang nyata berdasarkan analisis statistik. Namun demikian, galur SHS 125 memberikan jumlah anakan produktif tertinggi yakni rata-rata 20,80 rumpun dan terendah galur SHS 128 yakni rata-rata 15,13 rumpun. Hasil pengamatan umur berbunga 50% menunjukkan bahwa galur-galur harapan dan varietas pembanding ratarata berbunga pada umur 63 hingga 66 hst. Umur berbunga 50% 63 hst ditunjukkan oleh semua galur dan varietas pembanding, kecuali galur SHS 128 umur 66 hst. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umur tanaman dapat dipanen yaitu 95 hst hingga 100 hst. Umur panen 95 hst ditunjukkan oleh galur SHS 125, SHS 126, SHS 130, SHS 127, dan varietas pembanding Towuti. Sementara umur panen 100 hst ditunjukkan oleh galur SHS 128, SHS 131, dan varietas pembanding Situ Bagendit. Komponen-komponen pertumbuhan tinggi tanaman, anakan produktif, umur berbunga, dan umur panen merupakan beberapa faktor yang menunjang hasil akhir tanaman. Menurut Makarim et al. (2008), individu tanaman merupakan sistem yang bersifat dinamis (hidup) yang komponen utamanya terdiri atas: (i) daun, yang dapat mengolah sinar radiasi surya menjadi karbohidrat/energi untuk tumbuh dan berkembangnya organ-organ tanaman lainnya atau disebut sebagai source; (ii) batang, sebagai penopang tanaman, penyalur senyawa-senyawa kimia dan air dalam tanaman dan sebagai cadangan makanan; (iii) akar, penguat/penunjang tanaman untuk dapat tumbuh tegak, menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk selanjutnya diteruskan ke organ lainnya di atas tanah; (iv) malai dan gabah/produk, sebagai penampung (sinks) akhir energi dan substansi yang dihasilkan tanaman. Bahwa proses yang berlangsung selama pertumbuhan tanaman, seperti fotosintesis, respirasi, partisi, penuaan, dan penyerapan hara dan air, sangat menentukan akumulasi biomassa dan ukuran organ-organ tanaman. Proses inilah yang menghubungkan komponen-komponen menjadi satu kesatuan atau sistem. Serangan hama dan penyakit Tingkat serangan hama dan penyakit selama pelaksanaan kegiatan cukup tinggi. Hal ini terjadi di antaranya karena penanaman dilakukan di luar musim tanam, yakni pada bulan Maret. Sementara kebiasaan rata-rata petani di lokasi penelitian (Kabupaten Kutai Kartanegara), penanaman padi gogo dilaksanakan pada bulan September. Hama yang menyerang pada saat pelaksanaan penelitian yaitu hama penggerek batang, walang sangit, wereng, dan tikus. Sementara penyakit yang menyerang yaitu blas, bercak daun cokelat, dan bercak daun cokelat bergaris. Hama penggerek batang menyerang daun padi muda (sebelum pembungaan) yang ditandai dengan daun mulai menguning dan mengering. Tanda lainnya yaitu adanya ngengat (kupukupu) kecil berwarna putih yang terbang pada sore dan malam hari. Serangan hama ini dapat menyebabkan kehilangan hasil panen yang tinggi. Sementara hama walang sangit merusak bulir padi pada fase pemasakan, yaitu dengan cara mengisap butiran gabah yang sedang mengisi. Hama ini merusak tanaman ketika mencapai fase berbunga sampai matang susu. Serangan hama tikus di lapangan terjadi pada fase pemasakan bulir padi. Hal ini
menyebabkan produksi yang dihasilkan rendah. Menurut Widiarta dan Hendarsih (2008), hama dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang menyebabkan senjang hasil antara potensi hasil dan hasil aktual dan juga menyebabkan produksi tidak stabil. Komponen hasil Keragaan komponen hasil (jumlah gabah hampa dan isi, bobot 100 butir, hasil gabah kering bersih) disajikan pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa produksi antara galur harapan dan varietas pembanding tidak ada perbedaan yang nyata. Meskipun demikian, galur SHS 126 memberikan hasil yang tertinggi 2,27 ton/ha dibanding galur harapan yang lain dan varietas pembanding. Hasil yang terendah diperlihatkan oleh varietas pembanding Towuti yaitu 1,29 ton/ha. Komponen hasil yang menunjang tingginya hasil galur SHS 126 adalah gabah isi dan bobot 100 butir. Untuk gabah isi, berdasarkan analisis statistik tidak ada perbedaan yang nyata antara galur harapan dan varietas pembanding, tetapi pada komponen hasil bobot 100 butir, terdapat perbedaan yang nyata antara galur harapan dan varietas pembanding. Galur SHS 126 memperlihatkan berat bobot yang tertinggi yaitu 2,58 g dan terendah adalah varietas pembanding Towuti yaitu 2,22 g. Berdasarkan pengamatan di lapangan, keragaan morfologis (vegetatif) galur-galur harapan dan varietas pembanding cukup baik, tetapi pada perkembangannya tingkat serangan hama dan penyakit cukup tinggi, sehingga komponen hasil (produksi) masih jauh dari potensi hasil. Hal ini juga dilaporkan oleh Toha (2005) pada penelitian dan pengkajian model PTT padi gogo di Desa Rama Murti Seputih Raman, Lampung selama 3 tahun berturut-turut, bahwa karena tingginya serangan penyakit blas leher menyebabkan produksi padi gogo rendah. Hasil gabah kering panen (GKP) pada musim pertama (MH 2002/2003) rata-rata 10 petani mencapai 4,462 ton/ha dengan kisaran 2,125-5,250 ton/ha. Hasil paling rendah dicapai varietas Towuti dan yang tertinggi varietas Batu Tegi. Menurut Suprihatno dan Darajat (2008) bahwa potensi hasil maksimum dari suatu varietas sering tidak tercapai karena fotosintat yang akan disimpan pada gabah sering dimanfaatkan oleh hama atau penyakit tanaman. Diperkirakan hama dan penyakit menyebabkan kehilangan hasil sekitar 25%. Selanjutnya menurut Makarim et al. (2008), tanaman padi selama proses pertumbuhannya hingga mencapai hasil panen ditentukan oleh iklim, faktor internal tanaman, tanah, air, hama dan penyakit, serta pengelolaan. Potensi hasil didefinisikan sebagai hasil tertinggi yang dapat dicapai tanaman untuk varietas dan lingkungan iklim tertentu, serta tidak terkendala oleh faktor biotik (hama, penyakit, gulma) dan abiotik (kahat hara, keracunan unsur kimia, kekeringan, rendaman salinitas, dan lain-lain). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas terlihat bahwa galur SHS 126 dan galur SHS 125 memiliki adaptasi yang cukup baik dengan rata-rata hasil 2,27 ton/ha dan 2,03 ton/ha lebih tinggi dari varietas pembanding Situ Bagendit dan Towuti yaitu 1,9 ton/ha dan 1,29 ton/ha.
DANIAL & NURBANI – Galur harapan padi gogo di Kalimantan Timur Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman dan anakan produktif 6 galur harapan dan 2 varietas pembanding di KP Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Umur Galur dan Tinggi Anakan Umur tanaman Kode varietas tanaman produktif berbunga panen pembanding (cm) (rumpun) 50% (hst) (hst) A SHS 125 102,47 b 20,80 a 63 95 B SHS 126 104,40 b 18,93 a 63 95 C SHS 128 89,20 a 15,13 a 66 100 D SHS 130 117,73 c 16,67 a 63 95 E SHS 127 94,67 ab 16,60 a 63 95 F SHS 131 96,53 ab 16,53 a 63 100 G Towuti 91,53 a 20,67 a 63 95 H Situ Bagendit 92,2 ab 19,07 a 63 100 Keterangan: Angka-angka dalam lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada Uji Duncan (0,01) Tabel 2. Rata-rata komponen hasil galur-galur harapan dan varietas pembanding di KP Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Bobot Galur dan Gabah Gabah isi 100 Hasil Kode varietas hampa (bulir/malai) butir (ton/ha) pembanding (bulir/malai) (g) A SHS 125 20,40 a 113,00 a 2,58 b 2,03 a B SHS 126 13,27 a 118,33 a 2,59 b 2,27 a C SHS 128 21,40 a 90,07 a 2,31 ab 1,59 a D SHS 130 20,93 a 91,60 a 2,38 ab 1,79 a E SHS 127 16,60 a 105,13 a 2,55 b 1,95 a F SHS 131 41,40 a 90,00 a 2,23 a 1,41 a G Towuti 20,53 a 84,73 a 2,22 a 1,29 a H Situ 34,07 a 100,93 a 2,42 ab 1,90 a Bagendit Keterangan: Angka-angka dalam lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada Uji Duncan (0,05)
913
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Badan Litbang Pertanian, Jakarta yang telah membiayai penelitian ini melalalui DIPA BPTP Kalimantan Timur, Samarinda.
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2001. Pembentukan Varietas Unggul Baru Padi di Berbagai Zone Agroekologi: Pendekatan shuttle breeding. Kerjasama antara PAATP dengan Pusat Penelitin Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. BB Padi. 2003. Evaluasi Mutu Beras Berbagai Varietas Padi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Badan Litbang Pertanian. 2008a. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Gogo. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2008b. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Gogo. Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Makarim AK, Suhartatik E, Fagi AM. 2008. Analisis sistem dan simulasi untuk peningkatan produksi padi melalui penggunaan teknologi spesifik lokasi. Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Sumarmo, Hidajat JR. 2007. Perluasan areal padi gogo sebagai pilihan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Iptek Tanaman Pangan 2 (1): 26-40. Suprihatno B, Darajat AA. 2008. Kemajuan dan ketersediaan varietas unggul padi. Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sukamandi. Widiarta IN, Hendarsih S. 2008. Pengendalian hama dan penyakit tanaman padi secara terpadu. Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Peneltian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 914-917
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010446
Rekomendasi pupuk tanaman jagung dan kedelai di Kabupaten Kaur, Bengkulu Recommendations on fertilizer of corn and soybean crops in Kaur District, Bengkulu NURMEGAWATI ♥, YAHUMRI , AFRIZON 1
1
1
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Jl. Irian, Km 6,5, Kelurahan Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu 38119, Bengkulu. Tel. +62-736-23030, Fax. +62-736-345568, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 5 Mei 2015.
Nurmegawati, Yahumri, Afrizon. 2015. Rekomendasi pupuk tanaman jagung dan kedelai di Kabupaten Kaur, Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 914-917. Pemupukan merupakan komponen teknologi produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman. Rekomendasi pemupukan tanaman palawija, khususnya jagung dan kedelai, masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rekomendasi pupuk tanaman palawija, yaitu tanaman jagung dan kedelai. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kaur, Bengkulu yang meliputi 2 kegiatan utama, yaitu pengambilan sampel tanah dan mengukur tingkat kesuburan tanah dan rekomendasi pupuk dengan menggunakan perangkat uji tanah kering. Hasil penelitian menunjukkan rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Luas, Muara Saung, Kaur Utara, dan Lungkang Kule adalah urea 300 kg/ha (+ bahan organik) atau 350 kg/ha (tanpa bahan organik), SP-36 125 kg/ha, KCl 100 kg/ha. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Kaur Tengah, Kinal, Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, dan Padang Guci Ilir adalah urea 300 kg/ha (+ bahan organik) atau 350 kg/ha (tanpa bahan organik), SP-36 125 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Padang Guci Hulu adalah urea 300 kg/ha (+ bahan organik) atau 350 kg/ha (tanpa bahan organik), SP-36 125 kg/ha, dan KCl 50 kg/ha. Kata kunci: Jagung, rekomendasi pupuk, status hara
Nurmegawati, Yahumri, Afrizon. 2015. Recommendations on fertilizer of corn and soybean crops in Kaur District, Bengkulu. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 914-917. Fertilization is a component of the production technology that affect the increase in crop production. Recommendations for fertilizing crops, particularly corn and soybean, are very limited. The aim of this study was to get fertilizer recommendations for crops, namely corn and soybean crops. This study was conducted in Kaur District, Bengkulu which includes two main activities, namely soil sampling and measuring the level of soil fertility and fertilizer recommendations by using dry land equipment test. The results showed that the recommendations of corn crop fertilizer for Luas, Muara Saung, Kaur Utara and Lungkang Kule Sub-districts were urea 300 kg/ha (+ organic matter) or 350 kg/ha (without organic matter), SP-36 125 kg/ha and KCl 100 kg/ha. The recommendations of maize crop fertilizer for Kaur Tengah, Kinal, Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah and Padang Guci Ilir Sub-districts were urea 300 kg/ha (+organic matter) or 350 kg/ha (without organic matter), SP-36 125 kg/ha and KCl 75 kg/ha. The recommendations of maize crop fertilizer for Padang Guci Hulu was urea 300 kg/ha (+ organic matter) or 350 kg/ha (without organic matter), SP-36 125 kg/ha and KCl 50 kg/ha. Keywords: Corn, fertilizer recommendations, nutrient status
PENDAHULUAN Jagung dan kedelai merupakan komoditas prioritas yang diprogramkan oleh Kementerian Pertanian. Produksi kedua komoditas tersebut belum mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga setiap tahun masih dilakukan impor. Produktivitas jagung nasional baru mencapai 48,44 Ku/ha (Kementan 2014). Peluang untuk peningkatan produksi jagung cukup besar karena sekitar 94,1 juta ha lahan Indonesia di antaranya merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian dan ditambah dengan adanya penerapan teknologi. Pemupukan merupakan komponen teknologi produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi jagung. Data menunjukkan bahwa tanaman jagung yang
kekurangan nitrogen hasilnya turun sampai 30%. Fosfor berperan dalam pembentukan bunga, buah, biji, dan perkembangan akar yang pada gilirannya meningkatkan kualitas tanaman. Kekurangan fosfor memengaruhi aspek metabolisme dan pertumbuhan tanaman, khususnya pembentukan tongkol dan biji tidak normal. Demikian juga kalium mengakibatkan hasilnya turun sampai 10% (Taufik dan Thamrin 2009). Pemupukan merupakan faktor penentu keberhasilan budi daya jagung manis pada lahan kering. Lahan kering di daerah tropis seperti Indonesia umumnya memiliki kesuburan tanah atau kandungan unsur hara tanah yang rendah (Suratmini 2009). Produktivitas jagung di Kabupaten Kaur masih rendah, hal ini akibat dari masih rendahnya penerapan teknologi yang adopsi salah satunya mengenai pemupukan. Praktik
NURMEGAWATI et al. – Rekomendasi pupuk tanaman jagung dan kedelai
pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah sampai sedang, petani masih menggunakan pupuk N yang berlebihan, sebaliknya pupuk P dan K diberikan dengan dosis terbatas, sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Rekomendasi pemupukan yang dipakai masih bersifat umum, sementara kondisi lahan berbeda sesuai dengan karakteristik tanahnya. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk tidak efisien sehingga pendapatan petani tidak optimal. Rekomendasi pemupukan adalah suatu rancangan yang meliputi jenis dan takaran pupuk untuk tanaman pada areal tertentu. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008), banyak manfaat dan dampak penerapan pemupukan spesifik lokasi antara lain: (i) pemberian pupuk yang tepat takaran, tepat waktu, dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi, dan pendapatan petani meningkat; (ii) pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga, dan produksi padi lestari atau berkelanjutan; serta (iii) mengurangi biaya pembelian pupuk. Mengingat rekomendasi pemupukan khususnya tanaman jagung masih sangat terbatas maka penelitian terhadap aspek tersebut perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan rekomendasi pemupukan tanaman jagung dan kedelai di Kabupaten Kaur, Bengkulu.
915
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Status hara tanah Dari hasil analisis tanah dengan PUTK diperoleh status hara tanah di Kecamatan Luas, Muara Saung, Kaur Utara, Lungkang Kule, Kaur Tengah, Kinal, Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, dan Padang Guci Ilir (Tabel 1). Berdasarkan analisis tanah dengan PUTK, status hara P, K, pH, dan kandungan C-organik pada 10 kecamatan di Kabupaten Kaur yaitu masing-masing berturut-turut tergolong rendah, sedang, agak masam, dan rendah. Rekomendasi pupuk tanaman jagung Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk 11 kecamatan di Kabupaten Kaur dapat dilihat pada Tabel 2. Rekomendasi pupuk tanaman kedelai Rekomendasi pupuk tanaman kedelai untuk 11 kecamatan di Kabupaten Kaur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Status hara tanah lahan kering Kabupaten Kaur Status hara Kecamatan
BAHAN DAN METODE Pengkajian ini dilaksanakan di Kabupaten Kaur, Bengkulu pada 11 kecamatan yaitu Kecamatan Luas, Muara Saung, Kaur Utara, Lungkang Kule, Kaur Tengah, Kinal, Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, Padang Guci Ilir, dan Padang Guci Hulu yang meliputi 2 kegiatan utama yaitu pengambilan sampel dan mengukur tingkat kesuburan tanah dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK). Sampel tanah diambil secara komposit, yang diambil sebelum tanam atau menjelang pengolahan tanah, pengambilan contoh tanah tunggal secara acak. Rumputrumputan, batu-batuan atau krikil, sisa-sisa tanaman, atau bahan organik segar/serasah di permukaan tanah disisihkan. Contoh tanah individu diambil dengan bor tanah pada kedalaman 0-20 cm. Pengukuran kadar hara dengan PUTK adalah sebagai berikut. (i) Contoh tanah sebanyak ½ sendok stainless dimasukkan ke dalam tabung reaksi, atau tanah diambil sebanyak 0,5 ml sesuai dengan batas yang tertera pada tabung. (ii) Pengekstrak ditambahkan dan diaduk hingga tanah dan larutan menyatu dan homogen dengan pengaduk kaca. Pengekstrak ditambahkan sesuai dengan urutannya. (iii) Didiamkan sekitar +10 menit hingga timbul warna. Warna yang muncul pada larutan jernih dibaca atau dipadankan dengan bagan warna yang disediakan. (iv) Status hara P dan K tanah terbagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kandungan C-organik dibuat 2 kelas yaitu <3% tergolong rendah dan >3% tergolong sedang sampai tinggi. (v) Rekomendasi pemupukan P, K, C-organik, dan kebutuhan kapur ditentukan sesuai dengan hasil pembacaan status hara hasil pengujian.
Corganik Luas R R M R Muara Saung R R AM R Kaur Utara R R M R Lungkang Kule R R AM R Kaur Tengah R S AM R Kinal R S M R Semidang Gumay R S AM R Tanjung Kemuning R S M R Kelam Tengah R S AM R Padang Guci Ilir R S M R Padang Guci Hulu R T AM R Keterangan: T= tinggi, S= sedang, R= rendah, AM= agak masam, M: masam P
K
pH
Tabel 2. Rekomendasi pupuk tunggal untuk tanaman jagung Rekomendasi (kg/ha) Urea Kecamatan SP-36 Tanpa + BO BO Luas 300 350 125 Muara Saung 300 350 125 Kaur Utara 300 350 125 Lungkang Kule 300 350 125 Kaur Tengah 300 350 125 Kinal 300 350 125 Semidang Gumay 300 350 125 Tanjung Kemuning 300 350 125 Kelam Tengah 300 350 125 Padang Guci Ilir 300 350 125 Padang Guci Hulu 300 350 125 Keterangan: BO= bahan organik
KCl 100 100 100 100 75 75 75 75 75 75 50
916
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 914-917, Juli 2015
Tabel 3. Rekomendasi pupuk tanaman kedelai Rekomendasi (kg/ha) Urea Kecamatan SP-36 Tanpa + BO BO Luas 25 50 100 Muara Saung 25 50 100 Kaur Utara 25 50 100 Lungkang Kule 25 50 100 Kaur Tengah 25 50 100 Kinal 25 50 100 Semidang Gumay 25 50 100 Tanjung Kemuning 25 50 100 Kelam Tengah 25 50 100 Padang Guci Ilir 25 50 100 Padang Guci Hulu 25 50 100 Keterangan: BO= bahan organik
KCl 100 100 100 100 75 75 75 75 75 75 50
Pembahasan Status hara Status P tersedia pada daerah penelitian termasuk rendah, hal ini diduga sebagai akibat dari fiksasi P salah satunya unsur Al. P merupakan kunci kehidupan karena langsung berperan dalam proses kehidupan tanaman. Umumnya P sukar tercuci oleh air hujan. Masalah yang sering timbul di lapangan adalah adanya fiksasi P sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman, akibatnya ketersediaan P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah. Menurut Nursyamsi dan Setyorini (2009), faktor yang memengaruhi ketersediaan P tanah yaitu jumlah dan jenis mineral tanah, pH tanah, pengaruh kation, pengaruh anion, tingkat kejenuhan P, bahan organik, waktu dan suhu, serta penggenangan. Sitorus et al. (2011) menambahkan bahwa pada tanah yang telah terdegradasi sedang sampai berat memiliki kandungan P tersedia rendah sampai sangat rendah akibat terbawah erosi dan aliran permukaan. Status K pada daerah penelitian termasuk sedang dan rendah dengan kandungan K-dd >0,25 me/100 g. Unsur hara kalium di dalam tanah selain mudah tercuci, tingkat ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pH dan kejenuhan basa. Pada pH rendah dan kejenuhan basa rendah, kalium mudah hilang tercuci, sedangkan pada pH netral dan kejenuhan basa tinggi, kalium diikat oleh Ca. Kapasitas tukar kation yang makin besar meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan K, dengan demikian larutan tanah lambat melepaskan K dan menurunkan potensi pencucian. Penyebab kekurangan unsur kalium antara lain unsur kalium yang terdapat di dalam tanah rendah, kemasaman tanah tinggi dengan kemampuan tukar kation rendah, serta aplikasi pemupukan unsur kalium kurang atau tidak seimbang. Nilai pH tanah pada daerah penelitian termasuk agak masam dan masam, Kemasaman tanah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bahan induk tanah, reaksi oksidasi terhadap mineral tertentu, bahan organik, dan pencucian basa-basa. Tingkat keasaman tanah sangat penting karena memengaruhi proses-proses yang lain. Menurut Tan (1998), sejumlah proses tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah. Banyak reaksi kimia dan biokimia tanah hanya dapat berlangsung pada reaksi tanah spesifik.
Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh reaksi asambasa dalam tanah, baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsungnya terhadap tanaman adalah melalui pengaruhnya terhadap kelarutan dan ketersediaan hara tanaman. Secara langsung, ion H+ dilaporkan mempunyai pengaruh meracun terhadap tanaman jika terdapat dalam konsentrasi tinggi. Kandungan bahan organik dalam bentuk karbon organik tergolong rendah. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Dengan banyaknya bahan organik maka warna tanah menjadi cokelat hingga hitam, biasanya warna tanah yang hitam tanahnya subur. Tinggi rendahnya bahan organik juga memengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah, meningkatnya kegiatan organisme tanah akan mempercepat dekomposisi bahan organik menjadi humus. Menurut Hakim et al. (1986), bahan organik adalah bahan perekat tanah yang sangat penting, sekitar setengah dari KTK berasal dari bahan organik. Bahan organik merupakan sumber hara tanaman dan sumber energi bagi sebagian besar organisme tanah. Rekomendasi pemupukan Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Luas, Muara Saung, Kaur Utara, dan Lungkang Kule adalah urea 300 kg/ha (+ bahan organik) atau 350 kg/ha (tanpa bahan organik), SP-36 125 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Kaur Tengah, Kinal, Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, dan Padang Guci Ilir adalah urea 300 kg/ha (+ bahan organik) atau 350 kg/ha (tanpa bahan organik), SP-36 125 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Padang Guci Hulu adalah urea 300 kg/ha (+ bahan organik) atau 350 kg/ha (tanpa bahan organik), SP-36 125 kg/ha, dan KCl 50 kg/ha. Rekomendasi pupuk tanaman kedelai untuk Kecamatan Luas, Muara Saung, Kaur Utara, dan Lungkang Kule adalah 25 kg/ha urea (+ bahan organik) atau 50 kg/ha Urea (tanpa bahan organik), 100 kg/ha SP-36, dan 100 kg/ha KCl. Rekomendasi pupuk tanaman kedelai untuk Kecamatan Kaur Tengah, Kinal, Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, dan Padang Guci Ilir adalah 25 kg/ha urea (+ bahan organik) atau 50 kg/ha Urea (tanpa bahan organik), 100 kg/ha SP-36, dan 75 kg/ha KCl. Rekomendasi pupuk tanaman kedelai untuk Kecamatan Padang Guci Hulu adalah 25 kg/ha urea (+ bahan organik) atau 50 kg/ha Urea (tanpa bahan organik), 100 kg/ha SP36, dan 50 kg/ha KCl. Rekomendasi pupuk tersebut dapat dijadikan rekomendasi pupuk untuk tanaman palawija pada lahan kering. Rekomendasi pupuk tersebut diperoleh berdasarkan status hara daerah tersebut yang merupakan spesifik lokasi, yang merupakan suatu rancangan yang meliputi jenis dan takaran pupuk untuk tanaman pada areal tertentu. Menurut
NURMEGAWATI et al. – Rekomendasi pupuk tanaman jagung dan kedelai
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008), banyak manfaat dan dampak penerapan pemupukan spesifik lokasi antara lain: (i) pemberian pupuk yang tepat takaran, tepat waktu, dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi, dan pendapatan petani meningkat; (ii) pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga, dan produksi padi lestari atau berkelanjutan; serta (iii) mengurangi biaya pembelian pupuk.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hendri Suyanto yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.
917
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Modul Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Hakim N, Nyakpa Y, Lubis AM et al. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. Kementan. 2014. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2013. Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Jakarta. Nursyamsi D, Setyorini D. 2009. Ketersedian P tanah-tanah netral dan alkalin. Jurnal Tanah dan Iklim 30: 25-36. Sitorus SRP, Susanto B, Haridjaja O. 2011. Kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering (Studi kasus: Lahan kering di Kabupaten Bogor). Jurnal Tanah dan Iklim 34: 66-83. Setyorini D, Nurjana, Widowati LR, Kasno A. 2009. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK). Balai Penelitian Tanah, Bogor. Suratmini P. 2009. Kombinasi pemupukan urea dan pupuk organik pada jagung manis di lahan kering. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 28 (2): 83-88. Taufik MM, Thamrin. 2009. Analisis input-output pemupukan beberapa varietas jagung di lahan kering. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28 (2): 78-82. Tan KH. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 918-922
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010447
Review: Keragaman plasma nutfah kacang hijau dan potensinya untuk program pemuliaan kacang hijau Diversity of mungbean germplasm and its potential for mungbean breeding program RATRI TRI HAPSARI♥, TRUSTINAH, RUDI ISWANTO Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Jl. Raya Kendalpayak Km 8, PO Box 66 Malang 65101, Jawa Timur. Tel. +62-341801468, 801075, Fax. +62-341-801496, ♥email:
[email protected] Manuskrip diterima: 23 Februari 2015. Revisi disetujui: 28 April 2015.
Hapsari RT, Trustinah, Iswanto R. 2015. Keragaman plasma nutfah kacang hijau dan potensinya untuk program pemuliaan kacang hijau. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 918-922. Plasma nutfah berperan penting dalam program perbaikan varietas unggul sebagai bahan dasar keragaman genetik. Keberhasilan pengelolaan plasma nutfah dapat dinilai apabila dapat menyediakan aksesi plasma nutfah sebagai sumber gen donor dalam program pemuliaan tanaman. Koleksi plasma nutfah kacang hijau (Vigna radiata) Balitkabi hingga saat ini berjumlah 1.074 aksesi yang berasal dari lokal dan introduksi. Aksesi tersebut berasal dari Afganistan, Australia, Brazil, Cina, India, Indonesia, Iran, Korea, Pakistan, Filipina, Sri Langka, Taiwan, Thailand, USA, AVRDC (World Vegetable Center), dan Vietnam. Dari tahun 1945-2013, sebanyak 22 varietas kacang hijau telah dilepas. Dari 22 varietas yang telah dihasilkan, hampir seluruhnya memanfaatkan varietas lokal dan introduksi sebagai bahan seleksi maupun tetua persilangan. Hanya satu varietas yang merupakan hasil radiasi dari varietas yang telah dilepas. Kata kunci: Vigna radiata, plasma nutfah, sumber gen
Hapsari RT, Trustinah, Iswanto R. 2015. Diversity of mungbean germplasm and its potential for mungbean breeding program. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 918-922. Germplasm plays important role for improvement program in yielding superior varieties as raw material of genetic diversity. Successful management of germplasm can be assessed if it can provide a source of germplasm accessions as a donor genes in plant breeding programs. Until now, the number germplasm collection of ILETRI (Balitkabi) mungbean (Vigna radiata) were 1,074 accessions, originating from local and introduction. Accessions were from Afghanistan, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Iran, Korea, Pakistan, Philippines, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, USA, AVRDC (World Vegetable Center) and Vietnam. A total of 22 varieties of mungbean have been released, from the year 1945-2013. Twenty two varieties that have been produced almost entirely utilized local varieties and introduced as the selection materials and cross parent. Only one variety that has been released is originating from radiation. Keywords: Gene source, germplasm, Vigna radiata
PENDAHULUAN Kacang hijau (Vigna radiata) merupakan tanaman kacang-kacangan yang memiliki keunggulan karena dapat ditanam di lahan kering, berumur genjah, dan bernilai ekonomis. Di Indonesia, kacang hijau menempati urutan ketiga terpenting dalam pangan legume setelah kedelai dan kacang tanah. Sentra produksi kacang hijau di Indonesia terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan (Dirbukabi 2012). Keunggulan lain yang dimiliki kacang hijau adalah kandungan proteinnya yang cukup tinggi. Kandungan protein varietas kacang hijau berkisar antara 18,3-28,02% (Balitkabi 2012). Kadar asam amino esensial kacang hijau tergolong cukup tinggi dan
dapat memenuhi angka kecukupan protein anak-anak umur 1-6 tahun (Tiommanisyah 2010). Preferensi dan budi daya kacang hijau yang berbeda di setiap daerah merupakan tantangan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas unggul sesuai kebutuhan pengguna. Untuk mendukung program pembentukan varietas unggul, dibutuhkan sumber daya genetik yang memiliki keragaman untuk sifat yang akan diperbaiki. Plasma nutfah memiliki peran penting dalam program pemuliaan tanaman sebagai bahan dasar perakitan varietas unggul. Oleh karena itu, kekayaan plasma nutfah harus dipelihara. Kegiatan eksplorasi, inventarisasi, evaluasi, serta konservasi merupakan usaha pengkayaan dan pemeliharaan plasma nutfah untuk mendukung pemuliaan tanaman dalam program perakitan varietas unggul. Pemanfaatan keragaman gen-gen unggul yang terkandung dalam aksesi plasma nutfah akan lebih efektif dan
HAPSARI et al. – Plasma nutfah kacang hijau
efisien jika dikelola dengan baik. Pengelolaan plasma nutfah dapat dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti konservasi, karakterisasi, evaluasi, dan dokumentasi. Menurut Hakim (2008), ketersediaan pangkalan data sangat penting dalam pengelolaan dan pemanfataan plasma nutfah. Data yang telah terdokumentasi dengan baik dapat digunakan oleh pemulia tanaman sebagai informasi dalam pemilihan tetua persilangan.
PLASMA NUTFAH KACANG HIJAU Plasma nutfah merupakan sumber perbendaharaan gen atau karakter. Pengkoleksian plasma nutfah bertujuan untuk mengumpulkan keragaman genetik semaksimal mungkin dengan jumlah sampel yang tidak besar (Trustinah 2009). Dalam arti yang lebih luas, plasma nutfah diartikan sebagai bahan tanaman, hewan, mikroba, atau makhluk lainnya yang mengandung satuan-satuan fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai, baik aktual maupun potensial. Plasma nutfah dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit agar tercipta suatu jenis kultivar baru (Komisi Nasional Plasma Nutfah 2000). Menurut Sumarno (2007), plasma nutfah tanaman adalah sumber daya alam yang dapat dilestarikan (conservable) dan tak terhabiskan (renewable), tetapi sekali hilang maka plasma nutfah tidak dapat diketemukan kembali dan sekali mati maka tidak dapat dihidupkan kembali (nonrevivable) (Sumarno, 2007). Oleh karena itu, plasma nutfah perlu mendapat perhatian yang serius. Salah satu sumber plasma nutfah kacang hijau di dunia terdapat di AVRDC yang terletak di Taiwan. Koleksi plasma nutfah kacang hijau di AVRDC berjumlah 6.742 aksesi yang berasal dari penjuru dunia (AVGRIS 2015). Plasma nutfah kacang hijau di Indonesia terdapat di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) dan Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB-Biogen). Jumlah koleksi kacang hijau di Balitkabi, hingga tahun 2015 berjumlah 1.074 aksesi, sedangkan di BB-Biogen berjumlah 915 aksesi (Kurniawan 2015). Hakim (2008) melaporkan pada tahun 2006, koleksi plasma nutfah kacang hijau di BB-Biogen berjumlah 1.024 aksesi. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan jumlah koleksi sebanyak 109 aksesi. Di Balitkabi juga terjadi penurunan jumlah koleksi kacang hijau, dari semula 1.086 aksesi menjadi 1.074 aksesi. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya koleksi plasma nutfah kacang hijau, di antaranya adalah fasilitas penyimpanan benih yang kurang baik, minimnya genset (jika listrik mati), serangan hama dan penyakit, serta biaya pemeliharaan yang terbatas sehingga kualitas benih sulit dipertahankan. Plasma nutfah dapat digolongkan menjadi lima jenis, yaitu: (1) plasma nutfah elit, (2) plasma nutfah hasil perbaikan, (3) varietas lokal, (4) spesies liar, dan (5) stok genetik (Rubenstein dan Heisey 2003). Berdasarkan penggolongan tersebut, koleksi kacang hijau plasma nutfah Balitkabi tergolong ke dalam plasma nutfah elit, plasma nutfah hasil perbaikan, dan varietas lokal. Koleksi plasma nutfah kacang hijau di Balitkabi berasal dari Afganistan, Australia, Brazil, Cina, India, Indonesia, Iran, Korea,
919
Pakistan, Filipina, Sri Langka, Taiwan, Thailand, USA, AVRDC, dan Vietnam (Tabel 1). Adapun koleksi dari Indonesia berasal dari Provinsi Bali (Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karang Asem, Klungkung, Tabanan), Jawa Tengah (Banyumas, Blora, Brebes, Cilacap, Demak, Grobogan, Klaten, Surakarta, Wonogiri), Yogyakarta (Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo), Jawa Timur (Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Jember, Jombang, Kediri, Lumajang, Madiun, Magetan, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Trenggalek, Tulungagung), NTB (Bima, Lombok Barat, Lombok Tengah, Sumbawa), NTT (Belu), Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan (Bantaeng, Barru, Janeponto, Maros, Pangkep, Pare-pare).
KARAKTERISASI DAN EVALUASI Keragaman plasma nutfah kacang hijau dapat diketahui setelah dilakukan kegiatan karakterisasi dan evaluasi. Karakterisasi dilakukan terhadap sifat kualitatif dan kuantitatif, sedangkan evaluasi dilakukan terhadap sifatsifat penting untuk keperluan perakitan varietas. Prosedur karakterisasi kacang hijau mengacu pada deskripsi yang dikeluarkan IBPGR (1985). Di Balitkabi, karakterisasi dilakukan terhadap sifat warna hipokotil, warna polong, warna biji, kekilauan biji, nodulasi Rhizobium, warna daun, luas daun, rasio daun, umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah cluster pada cabang utama, jumlah cluster pada cabang, jumlah cluster pada tanaman, jumlah polong pada tanaman, jumlah polong pada cluster, berat polong, persentase shelling, hasil biji per tanaman, hasil biji per polong, dan umur panen. Hasil penelitian pada 900 aksesi kacang hijau, diketahui bahwa warna hipokotil ungu lebih mendominasi dengan jumlah 621 aksesi (69%), dibandingkan dengan warna hipokotil hijau sebanyak 279 aksesi (31%). Warna polong hitam lebih dominan (844 aksesi) (93%) dibandingkan dengan warna polong cokelat (24 aksesi), cokelat kehitaman (3 aksesi), hitam kekuningan (9 aksesi), warna kuning (11 aksesi), dan sisanya berwarna campuran. Warna biji terdiri atas cokelat (28 aksesi), hijau (40 aksesi), hitam (2 aksesi), hijau kusam (363 aksesi) (29%), hijau mengilat (241 aksesi) (27%), hijau campuran (18 aksesi), kuning kusam (4 aksesi), kuning mengilat (7 aksesi), kuning (8 aksesi), dan hijau campuran (mix) (189 aksesi) (Kasno 2014). Keragaman biji dan polong masak plasma nutfah kacang hijau dapat dilihat pada Gambar 1. Hakim (1998) melaporkan dari 1.024 aksesi kacang hijau, warna hipokotil hijau (673) lebih mendominasi dibandingkan warna hipokotil merah (351). Warna polong hitam (706) lebih dominan dibandingkan dengan warna cokelat (244) dan hitam kecokelatan (74). Warna biji hijau lebih dominan dibandingkan kuning, cokelat, dan hitam. Ukuran biji kacang hijau dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu besar (>61 g/1.000 biji), sedang (50-60 g/1.000 biji), dan kecil (<50 g/1.000 biji). Ukuran biji sedang (407) lebih mendominasi dibandingkan besar (233) dan kecil (384) (Tabel 2).
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 918-922, Juli 2015
920
Gambar 1. Keragaman warna biji dan polong masak plasma nutfah kacang hijau Tabel 1. Asal negara/lembaga koleksi plasma nutfah kacang hijau Balitkabi Asal negara/lembaga Afganistan Australia Brazil Cina India Indonesia Iran Korea Pakistan Filipina Sri Langka Taiwan Thailand USA AVRDC Vietnam BORIF MARIF
Jumlah aksesi 4 1 1 1 56 659 1 3 2 32 2 263 5 2 35 2 4 1
Tabel 2. Jumlah aksesi plasma nutfah kacang hijau berdasarkan karakter morfologi (Hakim 1998) Karakter Warna hipokotil Warna polong Bentuk polong Warna biji
Ukuran biji Tipe tanaman
Kelompok Hijau Merah Hitam Cokelat Hitam kecokelatan Silindris Gepeng Hijau mengilat Hijau kusam Kuning Cokelat Hitam Besar (>61 g/1.000 biji) Sedang (50-60 g/1.000 biji) Kecil (<50 g/1.000 biji) Tegak Agak merambat
Jumlah aksesi 673 351 706 244 74 601 423 506 450 30 21 17 233 407 384 792 232
Evaluasi dilakukan terhadap cekaman biotik, abiotik, dan kimia. Evaluasi terhadap cekaman biotik terutama dilakukan terhadap hama dan penyakit utama. Evaluasi terhadap ketahanan hama dilakukan pada hama penggerek polong (Etilla spp.), lalat bibit (Ophiomyia phaseoli (Tryon)), Melanagromyza sojae (Zehntn.), thrips, maruca, dan lamprosema. Adapun ketahanan terhadap penyakit dilakukan terhadap bercak daun, embun tepung, dan penyakit layu. Penyakit tular tanah sering terjadi pada pertanaman kacang hijau di beberapa instalasi Balitkabi dan yang dominan di antaranya diakibatkan oleh infeksi cendawan Pythium sp., Phytophthora sp., Rhizoctonia sp., Sclerotium rolfsii, dan Collelotrichum sp. Tanaman yang terserang jamur tersebut mengalami kelayuan dan menyebabkan kematian. Dari 460 aksesi yang dievaluasi, belum diperoleh aksesi yang tahan penyakit tular tanah Rhizoctonia hingga stadia reproduktif (ILETRI 2007). Evaluasi terhadap cekaman abiotik dilakukan terhadap cekaman tanah masam. Kacang hijau merupakan tanaman yang peka terhadap lingkungan masam. Trustinah et al. (2007) melaporkan dari 50 aksesi yang diuji, hanya 20 aksesi yang dapat bertahan hingga stadia reproduktif dengan jumlah tanaman panen (populasi tanaman) hanya 50 persen dari populasi awal saat tumbuh. Pertumbuhan tanaman kurang subur, tanaman kerdil, daun menguning atau kecokelatan, dan beberapa tanaman mati sebelum berbunga. Meskipun tanaman dapat bertahan hidup hingga stadia reproduktif, namun jumlah dan ukuran polong yang dihasilkan sangat sedikit dan kecil. Evaluasi sifat fisik dan kimia dilakukan terhadap karakter kadar air, kadar abu, protein, amilosa, warna biji mentah, warna biji rebus, aroma biji rebus, tekstur biji rebus, dan rasa biji rebus. Di antara 30 genotipe yang diuji, 10 genotipe memiliki kadar protein cukup tinggi, yakni >26% bk. Kacang hijau dengan kadar protein tinggi sesuai untuk pengolahan tepung, terutama untuk makanan bayi dan isolat protein untuk bahan fortifikasi makanan (Trustinah et al. 2007). Menurut Hakim dan Sutarman (1996), kacang hijau yang berwarna hijau kusam mempunyai mutu lebih baik karena rasanya lebih enak (pulen) dan apabila dibuat bubur lebih tahan basi dibandingkan dengan biji yang mengilat. Hal yang relatif berbeda dilaporkan oleh Ginting et al. (2008) bahwa biji yang warna kulitnya kusam tidak selalu cepat mekar apabila direbus, demikian juga sebaliknya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian terhadap varietas No.129, lokal PB, Kenari, Kutilang, dan Merpati yang memiliki kulit biji mengilat namun memiliki waktu mekar yang relatif singkat (35 menit).
POTENSI PLASMA NUTFAH KACANG HIJAU DALAM PROGRAM PEMULIAAN Hasil karakterisasi dan evaluasi terhadap sifat-sifat penting dapat digunakan pemulia tanaman sebagai tetua persilangan untuk merakit varietas unggul baru (VUB). Hasil evaluasi terhadap sifat agronomi, cekaman biotik, abiotik, maupun sifat fisik dan kimia plasma nutfah kacang hijau disajikan pada Tabel 3.
HAPSARI et al. – Plasma nutfah kacang hijau
921
Tabel 3. Plasma nutfah kacang hijau hasil evaluasi terhadap sifat agronomi, cekaman biotik, abiotik, maupun sifat fisik dan kimia Sifat
Sandi aksesi
Sumber
Umur sangat genjah (52 hari) Ukuran biji besar (>70 g/1.000 biji)
MLGV 0353, MLGV 0354, MLGV 0358, MLGV 0460 MLGV 0215, MLGV 0379, MLGV 0380, MLGV 1019, VR2010, VR 2768, Lokal Demak, Lokal Belu MLGV 0048, MLGV 0058, MLGV 0061, MLGV 0062, MLGV 0438, MLGV 0465, MLGV 0975 MLGV 0253, MLGV 0256, MLGV 0372, MLGV 0395, MLGV 0396, MLGV 0397, MLGV 0401, MLGV 0402, MLGV 0403, MLGV 0404, MLGV 0405, MLGV 0406, MLGV 0407, MLGV 0435, MLGV 0450, MLGV 0454, MLGV 0461, MLGV 0491, MLGV 0516, MLGV 0517, MLGV 0603, MLGV 0606, MLGV 0686, MLGV 0687, MLGV 0715, MLGV 0717, MLGV 0762, MLGV 0770, MLGV 0771, MLGV 0778, MLGV 0780, MLGV 0782, MLGV 0785, MLGV 0799, MLGV 0800, MLGV 0803, MLGV 0805, MLGV 0807, MLGV 0809, MLGV 0819, MLGV 0839, MLGV 0856, MLGV 0866 MLGV 0014, MLGV 0021, MLGV 0032, MLGV 0051, MLGV 0064, MLGV 0109, MLGV 0124, MLGV 0162, MLGV 0168, MLGV 0248, MLGV 0249 MMC 224d-Mn-3, MMC 111d-Kp-3, MMC 225-7e, MLGV 0110, MLGV 0046, MMC 326-2d-Mn-2, MMC 274-1d-Jg-1Mn-3, MLGV 0112, MLGV 0431, MLGV 0098, MLGV 0716 V5000, VC 1137, VC1560D, VC2720 VR298, VR2535, VR2543, VR2545, VR2773, VR4718 MLGV 0432, MLGV 0256, MLGV 0716, MLGV 0850, MLGV 0510, MLGV 0526, MLGV 0902
Hapsari 2015 Hapsari 2015, Kasno 2014, Hakim 2008 Hapsari 2015 Kasno 2014 ILETRI 2007
Ukuran biji sangat kecil (<30 g/1.000 biji) Ketahanan penggerek polong (moderate resistant)
Ketahanan lalat bibit (moderate resistant) Ketahanan Thrips
Ketahanan bercak daun Ketahanan embun tepung Kadar protein tinggi (>28% BK)
Sifat umur genjah sangat penting untuk menghindari kekeringan dan serangan hama dan penyakit serta meningkatkan indeks pertanaman. Biji kacang hijau yang cepat mengembang dan masak disukai untuk produk bubur. Kadar protein yang tinggi dalam kacang hijau juga sangat cocok untuk bahan baku produk pangan berbasis tepung. Setiap daerah memiliki preferensi khusus yang unik dalam penggunaan jenis kacang hijau tertentu. Di beberapa sentra produksi kacang hijau, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan, karakteristik yang dominan diminati selain hasil biji tinggi adalah warna biji (kusam/mengilap) dan ukuran biji (kecil/besar). Di Jawa Tengah, sentra produksi kacang hijau terdapat di Kabupaten Demak, Grobogan, dan Pati. Karakteristik yang menjadi pilihan di daerah tersebut adalah ukuran biji besar dan berwana kusam, serta warna polong hitam/cokelat. Sentra produksi di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) lebih menyukai kacang hijau berukuran biji kecil, di Kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan) karakteristik biji mengilap dan berukuran biji besar lebih disukai, sedangkan di Jawa Timur (Kabupaten Sumenep dan Sampang) biji kusam atau mengilap tidak menjadi masalah. Secara garis besar, dapat diketahui bahwa daerah-daerah yang dekat dengan industri roti, makanan, dan minuman, petani banyak menanam kacang hijau berbiji besar. Di daerah-daerah industri taoge, petani menanam kacang hijau berbiji kecil (Trustinah et al. 2014). Sejak tahun 1945-2013, sebanyak 22 varietas kacang hijau telah dilepas. Dari 22 varietas yang telah dihasilkan, hampir seluruhnya memanfaatkan varietas lokal dan introduksi sebagai bahan seleksi maupun tetua persilangan.
ILETRI 2007
Anwari et al. 2006
Hakim 2008 Hakim 2008 Trustinah et al. 2008
Hanya satu varietas yang merupakan hasil radiasi dari varietas yang telah dilepas (varietas Camar). Sebanyak 13 varietas kacang hijau yang dihasilkan berasal dari pemurnian atau seleksi galur introduksi (Bhakti, No.129, Merak, Nuri, Manyar, Walet, Gelatik, Merpati, Sriti, Kenari, Murai, Perkutut, dan Kutilang). Tiga varietas berasal dari varietas lokal (Siwalik, Arta Ijo, dan Sampeong) dan sisanya merupakan hasil persilangan. Varietas kacang hijau yang dirilis tahun 2008-2013 (Vima1, Vima-2, dan Vima-3) merupakan varietas hasil persilangan buatan. Ketiga varietas tersebut menggunakan plasma nutfah koleksi Balitkabi sebagai tetua persilangan. Pengelompokan plasma nutfah kacang hijau hasil evaluasi terhadap sifat agronomi, cekaman biotik, abiotik, maupun sifat fisik dan kimia seperti Tabel 3 diharapkan dapat membantu pemulia untuk memanfaatkan sumber gen yang tersedia. Program pemuliaan kacang hijau dapat menggunakan aksesi plasma nutfah sebagai tetua persilangan agar didapatkan varietas kacang hijau yang memiliki kandungan genetik yang luas. Indonesia memiliki lahan dan topografi yang spesifik di setiap daerah. Varietas lokal memiliki keunggulan dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan spesifik, selain itu varietas tersebut biasanya juga memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit tertentu. Persilangan antara varietas lokal dengan aksesi yang memiliki keunggulan tertentu dapat memperkaya populasi dasar bahan seleksi sehingga dapat dimanfaatkan untuk program pemuliaan.
922
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 918-922, Juli 2015
DAFTAR PUSTAKA Anwari, Kuswanto H, Trustinah et al. 2006. Konservasi, karakterisasi fenotipik, dan evaluasi plasma nutfah kacang-kacangan dan umbiumbian. Laporan Akhir Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian Tahun 2005. Balitkabi, Malang. AVGRIS [AVRDC Vegetable Genetic Resources Information System]. 2015. Vigna radiata germplasm. http://203.64.245.173/index.asp [16 Maret 2015]. Balitkabi [Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian]. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Cetakan ke-7). Puslitbangtan, Bogor. Day-Rubenstein K, Heisey PW. 2003. Plant genet-icresources: New rules for international exchange. Amber Waves 1 (3): 23-29. Dirbukabi [Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi]. 2012. Kacang hijau. Buletin Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi. http://tanamanpangan.pertanian.go.id/ditjentp/files/Booklet_KcHijau. pdf [19 September 2013]. Ginting E, Ratnaningsih, Iswanto R. 2008. Karakteristik fisik dan kimia 17 genotipe kacang hijau untuk bahan pangan. Dalam: Harsono A, Taufiq A, Rahmianna AA, Suharsono, Adie MM, Rozi F, Wijanarko A, Widjono A, Soehendi R. (eds). Seminar Nasional Balitkabi: Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. Malang, 9 November 2007. Hakim L, Sutarman T. 1996. Karakterisasi sifat kualitatif dan kuantitatif plasma nutfah kacang hijau. Buletin Plasma Nutfah 1 (1): 38-43. Hakim L. 1998. Pengelolaan dan pemanfaatan plasma nutfah kacang hijau. Buletin Plasma Nutfah 3 (1): 34-40. Hakim L. 2008. Konservasi dan pemanfaatan sumber daya genetik kacang hijau. J Litbang Pertanian 27 (1):16-23. Hapsari RT. 2015. Hubungan kekerabatan plasma nutfah kacang hijau berdasarkan karakter agronomik. Seminar Balitkabi 2015. Balitkabi, Malang.
IBPGR [International Board for Plant Genetic Resources]. 1985. Descriptors for Vigna mungo and V. radiata (Revised). International Board for Plant Genetic Resources, FAO, Rome. ILETRI [Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute]. 2007. Germplasm catalogue of mungbean (Vigna radiata (L.) Wilczek). Balitkabi, Malang. Kasno A. 2014. Pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya genetik tanaman aneka kacang dan umbi. Laporan Akhir Tahun 2014. Balitkabi, Malang. Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2000. Draft Rencana Strategis Komisi Nasional Plasma Nutfah. KNPN, Departemen Pertanian, Jakarta. Kurniawan H. 2015. Status koleksi sumber daya genetik tanaman pangan pada bank gen Balitbangtan di BB Biogen. http://biogen.litbang.pertanian.go.id/index.php/2015/03/statuskoleksi-sdg-tanaman-pangan-di-bank-gen-bb-biogen/ [13 Maret 2015]. Sumarno. 2007. Menuju sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman secara adil dan bermanfaat. Zuriat 18 (1): 63-81. Tiommanisyah. 2010. Analisa Kadar Protein Kasar dalam Kacang Kedelai, Kacang Tanah dan Kacang Hijau Menggunakan Metode Makro Kjehdal sebagai Bahan Makanan Campuran. USU, Medan. Trustinah, Anwari M, Soehendi R et al. 2008. Evaluasi sumber daya genetik aneka kacang toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik serta mutu hasil. Laporan Akhir Penelitian Aneka Kacang dan Umbiumbian Tahun 2007. Balitkabi, Malang. Trustinah, Radjit BS, Prasetiaswati N, Harnowo D. 2014. Adopsi varietas unggul kacang hijau di sentra produksi. Iptek Tanaman Pangan 9 (1): 24-38. Trustinah, Kasno A, Widjanarko A et al. 2007. Evaluation of legume and tuber crops germplasm resistant on biotic and abiotic stress. 2006 Technical Reports. ILETRI, Malang. Trustinah. 2009. Plasma nutfah kacang tanah: Keragaman dan potensinya untuk perbaikan sifat-sifat kacang tanah. Buletin Palawija 18: 58-65.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 923-929
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010448
Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul (Baccaurea macrocarpa) di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur Exploration and characterization of kapul (Baccaurea macrocarpa) fruit in West Kutai District, East Kalimantan NOOR ROUFIQ AKHMADI♥, SUMARMIYATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. P.M. Noor Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur. Tel. +62-541-220857, ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 13 Maret 2015. Revisi disetujui: 27 April 2015.
Akhmadi NR, Sumarmiyati. 2015. Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul (Baccaurea macrocarpa) di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 923-929. Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur menyimpan banyak keanekaragaman hayati (biodiversity), antara lain buah-buahan lokal spesifik lokasi yang merupakan ciri khas daerah. Buah kapul atau tampoi (Baccaurea macrocarpa) merupakan salah satu buah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat lokal yang banyak tersebar di daerah pedalaman dan kawasan hutan di Kutai Barat yang merupakan habitat alaminya. Studi ini bertujuan untuk mengkarakterisasi sumber daya genetik buah kapul di Kutai Barat. Eksplorasi dan karakterisasi dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di Kutai Barat. Keberadaan buah lokal perlu mendapatkan perhatian yang serius, terutama dalam rangka konservasi dan pelestarian mengingat saat ini keberadaan buah lokal mulai mengalami kepunahan. Koleksi tanaman kapul dilakukan di pekarangan, kebun, maupun hutan sebagai habitat aslinya. Metode penelitian lapangan yang dilakukan meliputi: (i) eksplorasi, (ii) karakterisasi, dan (iii) data direkap dalam data paspor diikuti dengan dokumentasi data. Hasil penelitian menunjukkan buah kapul putih, kapul kuning, dan kapul kecil (jentikan) memiliki karakteristik yang spesifik, baik morfologi batang, daun, dan buahnya. Kata kunci: Kapul, karakterisasi, Kutai Barat
Akhmadi NR, Sumarmiyati. 2015. Exploration and characterization of kapul (Baccaurea macrocarpa) fruit in West Kutai District, East Kalimantan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 923-929. West Kutai District, East Kalimantan Province has many biodiversities, such as local fruit specific locations that are characteristic of the region. Kapul or tampoi (Baccaurea macrocarpa) fruit is one of the fruits which consumed by local people in rural and forest areas in West Kutai. The aims of this study were to characterize the genetic resources of kapul fruit in West Kutai. Exploration and characterization was conducted in May to June 2014 in West Kutai. The existence of local fruit needs serious concern especially for conservation and preservation, because the existence of local fruit begin to extinction now. Kapul fruit colection was done in the backyard farmers, gardens, also forest as natural habitat. The field research methods was included: (i) exploration, (ii) characterization and (iii) data recapitulation in the data passport followed by documentation of the data. The result showed that white, yellow and small kapul (jentikan) had specific morphological characteristics both stems, leaves and fruit. Keywords: Characterization, kapul, West Kutai
PENDAHULUAN Kutai Barat merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Timur yang memiliki keanekaragaman sumber daya genetik (SDG) berupa buah-buahan lokal, di antaranya buah kapul atau tampoi (Baccaurea macrocarpa). Buah kapul banyak ditemukan di daerah hutan dan kebun pekarangan milik petani. Antarlina (2009) menyebutkan beberapa tanaman buah-buahan lokal Kalimantan banyak tumbuh di pekarangan, pada umumnya tanpa budi daya intensif, dan sebagian adalah tanaman hutan (berada di hutan). Tanaman buah tropis lokal semakin berkurang akibat berbagai faktor, antara lain adanya perubahan fungsi lahan oleh perkembangan pertanian, industri dan permukiman, pembukaan hutan yang merupakan tuntutan
pembangunan, dan adanya seleksi tanaman oleh manusia dengan masuknya buah-buahan impor ke Indonesia. Penggunaan varietas unggul telah berhasil meningkatkan produksi pertanian, tetapi tanpa disadari keberhasilan tersebut ternyata memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, antara lain berupa hilangnya sumber daya genetik yang sebagian besar belum teridentifikasi, terutama yang ada di kawasan hutan. Hilangnya sejumlah varietas lokal yang sudah berabad-abad beradaptasi pada berbagai ekosistem adalah salah satu kerugian yang disebabkan oleh eksploitasi hutan (Krismawati dan Sabran 2004). Buah kapul, termasuk dalam buah indigenous, dianggap sebagai buah pinggiran dan manfaat nutrisi di dalamnya dianggap kurang penting. Buah lokal sebagai sumber vital serat dan vitamin dapat bertindak sebagai jaring pengaman ketika
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 923-929, Juli 2015
924
buah-buahan lainnya dalam kondisi langka. Mengonsumsi buah sebagai bagian dari pola diet seimbang merupakan cara yang efektif untuk mengatasi masalah kesehatan seperti kekurangan gizi dan kekurangan vitamin (Susi 2014). Untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil dari suatu produk lokal termasuk buah-buahan lokal, menurut Suryani dan Nurmansyah (2009), perlu dilakukan inventarisasi, koleksi, karakterisasi, dan evaluasi tanaman yang sudah ada untuk mencegah adanya erosi genetik yang berakibat pada hilangnya sumber genetik. Eksplorasi merupakan kegiatan mencari, menemukan, dan mengumpulkan SDG tertentu untuk mengamankannya dari kepunahan. SDG yang ditemukan perlu diamati sifat dan asalnya kemudian dilakukan upaya-upaya pelestarian. Pelestarian SDG yang disertai dengan karakterisasi merupakan upaya menyediakan gen-gen yang bermanfaat untuk perakitan suatu varietas. Deskripsi dari SDG sangat diperlukan untuk mendapatkan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif dari masing-masing genotipe yang terdapat di dalam plasma nutfah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi sifat morfologi daun dan buah kapul sebagai dasar dalam upaya
pelestarian dan pengembangan tanaman buah lebih lanjut. Hasil eksplorasi dan karakterisasi dimaksudkan untuk memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat luas agar buah kapul semakin familiar dan dikembangkan sebagai aset daerah yang terus dijaga kelestariannya. Tanaman kapul hasil eksplorasi diharapkan dapat dibudidayakan sebagai langkah penyelamatan dari kepunahan di kebun koleksi yang ada.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Eksplorasi tanaman kapul dilakukan di Desa Mencimai, Kecamatan Barong Tongkok dan Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur pada bulan Mei sampai Juni 2014 dengan metode survei (eksplorasi) di lokasi hutan dan pekarangan yang merupakan habitat tanaman kapul (Gambar 1). Kawasan hutan habitat tanaman kapul termasuk daerah dengan tekstur tanah lempung merah kuning (ultisol).
KALIMANTAN BARAT KUTAI KARTANEGARA
KALIMANTAN TENGAH
B
A
A
Gambar 1. Lokasi eksplorasi tanaman buah kapul: A. Desa Mencimai, Kecamatan Barong Tongkok; dan B. Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
AKHMADI & SUMARMIYATI – Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul
Eksplorasi dan karakterisasi Eksplorasi adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk mengamankannya dari kepunahan. Plasma nutfah yang ditemukan perlu diamati sifat dan asalnya. Karakterisasi dilakukan dengan mengamati bentuk morfologi, baik batang, daun, dan bunga dari tiga jenis buah kapul yang ditemukan di daerah Kutai Barat. Tanaman diamati ciri morfologi dan karakteristiknya kemudian dicatat dalam data paspor tanaman. Penelusuran data primer maupun data sekunder dari pemberi informasi, baik secara langsung melalui wawancara maupun data pustaka. Wawancara langsung menggunakan petani pemilik pohon kapul. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan karakterisasi terhadap tanaman kapul. Pengamatan dilakukan terhadap karakteristik morfologi meliputi tinggi tanaman, diameter batang, warna daun, ukuran daun, bentuk daun, dan ukuran panjang daun. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bagian morfologi tumbuhan kapul (batang, daun, buah), data paspor tanaman, GPS, dan kamera. Dokumentasi Pendokumentasian adalah teknik untuk melengkapi hasil-hasil yang telah diperoleh dari eksplorasi dan observasi. Dokumen-dokumen ini kebanyakan berupa fotofoto tanaman. Metode dokumentasi ini berfungsi sebagai pelengkap atau menerangkan lewat media visual, berupa foto atau gambar, data yang dikumpulkan lewat metode observasi sebelumnya. Dokumentasi sangat penting dilakukan untuk menyimpan data-data terkait karakteristik suatu tanaman agar dapat dikenali perbedaannya dengan jenis tanaman lain yang mungkin memiliki kemiripan karakter. Data yang dihasilkan dari identifikasi dan karakterisasi didokumentasikan di dalam file khusus, katalog, data paspor tanaman, dan komputer untuk memudahkan pengamanan dan pengaksesan kembali data yang disimpan. Untuk pengamanan dan pelestarian, tanaman kapul hasil eksplorasi ditanam dan dikoleksi di kebun percobaan.
925
kondisi datar dan bergelombang. Wilayah dengan topografi pegunungan mencapai 1.586.552,08 hektar atau lebih dari 50% dari luas seluruh wilayah tersebut, berada di bagian barat laut Kutai Barat. Adapun luas wilayah dengan topografi datar hanya sebesar 10,35% atau 327.400,84 hektar dan terletak di bagian tenggara Kutai Barat. Sebagian besar wilayah Kutai Barat berpotensi terjadi bahaya longsor karena mempunyai jenis tanah dengan tekstur berlempung, curah hujan yang tinggi, dan kemiringan lereng yang besar (BPS Kalimantan Timur 2014). Kutai Barat merupakan salah satu daerah yang banyak ditumbuhi tanaman buah lokal Kalimantan, salah satunya adalah tanaman buah kapul. Menurut hasil wawancara dengan beberapa responden (pemilik tanaman), tanaman kapul banyak tumbuh di habitat aslinya yaitu hutan, kebun, dan pekarangan penduduk di Kutai Barat. Tanaman ini merupakan peninggalan nenek moyang dan sampai saat ini tidak dibudidayakan dengan baik. Tanaman kapul dapat tumbuh pada kondisi optimal dengan kelembaban tanah dan curah hujan yang tinggi (Dispertan Kaltim 2013). Karakteristik iklim di Kutai Barat termasuk dalam kategori iklim tropika humida dengan rata-rata curah hujan tertinggi terdapat pada bulan April dan terendah pada bulan Agustus, serta tidak menunjukkan adanya bulan kering atau sepanjang bulan dalam satu tahun selalu terdapat sekurangkurangnya tujuh hari hujan. Namun demikian dalam tahun-tahun terakhir ini, kondisi iklim di Kutai Barat terkadang tidak menentu. Pada bulan-bulan yang seharusnya turun hujan pada kenyataannya tidak hujan, atau sebaliknya pada bulanbulan yang seharusnya kemarau justru terjadi hujan dengan musim yang lebih panjang. Temperatur minimum umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Januari, sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai dengan bulan Agustus. Daerah beriklim seperti ini tidak mempunyai perbedaan yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim angin barat, hujan turun sekitar bulan Agustus sampai bulan Maret, sedangkan pada musim angin timur, hujan relatif kurang, hal ini terjadi pada sekitar bulan April sampai bulan September.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik daerah/wilayah tumbuh tanaman kapul di Kutai Barat Secara geografis, Kabupaten Kutai Barat terletak pada 1130 45’ 05” - 1160 31’ 19” BT serta di antara 10 31’ 35” LU dan 10 10’ 16” LS. Adapun batas wilayah secara administratif adalah Kabupaten Malinau dan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur di sebalah utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah timur, Kabupaten Pasir di sebelah selatan, dan Provinsi Kalimantan Tengah serta Provinsi Kalimantan Barat di sebelah barat dengan luas wilayah sebesar 31.628,70 km2 (kurang lebih 15% dari Provinsi Kalimantan Timur). Berdasarkan data topografi, Kutai Barat dengan luas wilayah mencapai 316.287.000,00 hektar, didominasi oleh lahan dengan topografi sangat curam (50,16%) dan curam (6,11%) dan selebihnya dengan
Karakteristik morfologi tanaman kapul Pengamatan terhadap karakter morfologi tumbuhan kapul dilakukan dengan mengamati bagian tanaman seperti batang/pohon, daun, dan buah. Hasil pengamatan terhadap bagian batang/pohon pada Tabel 1, menunjukkan tinggi ketiga jenis tanaman kapul kurang lebih 15 m, tajuk berbentuk payung, keadaan tajuk rimbun, bentuk batang bulat, percabangan mendatar, letak cabang terendah lebih dari 5 m, tekstur kulit batang kasar, warna kulit batang kecokelatan, warna getah cokelat, dan kekentalan getah agak lengket (Gambar 2). Tanaman kapul yang dikarakterisasi merupakan tanaman dengan umur rata-rata lebih dari 15 tahun. Tanaman kapul di Kabupaten Kutai Barat tumbuh pada tanah dengan tekstur lempung podsolik merah kuning (ultisol), dengan irigasi tadah hujan. Status tanaman merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 923-929, Juli 2015
926
vegetasi tanaman di sekitarnya heterogen. Adanya curah hujan yang tinggi dan kondisi kemiringan lahan mengakibatkan tanah di sekitar kawasan hutan dan pekarangan sebagai habitat asli tanaman kapul mengalami degradasi yang mengakibatkan hilangnya unsur hara bagi tanaman. Sitorus (2009) menyebutkan pada lahan yang berlereng, proses degradasi tanah akan lebih cepat terjadi akibat adanya erosi. Erosi akan membawa lapisan permukaan tanah yang relatif subur ke tempat lain sehingga terjadi pemiskinan unsur hara dan penurunan kualitas fisik tanah dan akibatnya tanah terdegradasi, hal inilah yang mengakibatkan populasi tanaman kapul semakin berkurang dan mati. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan peremajaan tanaman dengan budi daya tanaman yang baik. Hasil karakterisasi terhadap morfologi bagian daun sesuai Tabel 1 menunjukkan tanaman kapul berdaun majemuk, warna daun bagian atas (munsel) hijau tua
mengilat, arah daun menghadap ke atas, warna daun bagian bawah (munsel) hijau, serta permukaan daun bagian atas/bawah mengilap, ujung daun meruncing, ukuran daun tua dengan panjang rata-rata ±18,8 cm dan lebar rata-rata ±7cm, serta tangkai daun berwarna cokelat dengan panjang rata-rata ±1,9 cm. Bentuk daun jorong memanjang, tepi daun rata, tata letak daun pada ibu tangkai trifoliolate dengan jarak antardaun rata-rata 3 cm. Jumlah daun baru/tangkai/siklus 5-8 helai, sedangkan kapul kecil (jentikan/kliwatn) memiliki ciri daun yang mirip dengan kapul putih dan kuning (Gambar 3). Ukuran daun kapul kecil, lebih sempit dibanding kapul putih dan kuning, panjang daun rata-rata ±11,6 cm, lebar daun rata-rata ±6,1 cm, tangkai daun berwarna cokelat dengan panjang ratarata ±1,7 cm. Jarak antardaun rata-rata 2 cm. Jumlah daun baru/tangkai/siklus 6-8 helai.
Tabel 1. Morfologi batang, daun, dan buah pohon kapul Karakteristik
Kapul putih
Kapul kuning
Kapul kecil
Batang Tinggi pohon Warna kulit batang Keadaan getah Bentuk tajuk Keadaan tajuk Bentuk batang Pecabangan Letak cabang terendah Tekstur kulit batang Warna getah
15 m Cokelat abu-abu Sedikit lengket Payung Rimbun Bulat Mendatar 1-5 Kasar Cokelat
15 m Cokelat abu-abu Sedikit lengket Payung Rimbun Bulat Mendatar >5 Kasar Cokelat
<15 m Cokelat abu-abu Sedikit lengket Payung Rimbun Bulat Mendatar >5 Kasar Cokelat
Daun Panjang daun Lebar daun Bentuk daun Tipe daun Tepi daun Tata letak daun Belahan daun Warna daun bagian atas Warna daun bagian bawah Ujung daun Pangkal daun Permukaan daun bagian atas Permukaan daun bagian bawah Arah daun menghadap Warna tangkai daun Jumlah daun baru/tangkai/siklus
18,8 cm 7 cm Jorong Majemuk, datar Rata Alternate Simetris Hijau tua Hijau Meruncing Tumpul Mengilap Tidak mengilap Ke atas Cokelat 8 helai
19 cm 7 cm Jorong Majemuk, datar Rata Alternate Simetris Hijau tua Hijau Meruncing Tumpul Mengilap Tidak mengilap Ke atas Cokelat 8 helai
11,6 cm 6,1 cm Jorong Majemuk, datar Rata Alternate Simetris Hijau tua Hijau Meruncing Tumpul Mengilap Tidak mengilap Ke atas Hijau 6-8 helai
Buah Tipe buah Bentuk buah Berat buah Panjang buah Lingkar buah Jumlah biji Ketebalan kulit buah Kadar gula (Brix) Warna daging buah Rasa daging buah
Rata Bulat 135 gram 6,34 cm 6,56 cm 5 biji 8 mm 19,6 0 brix Putih Manis asam
Rata Bulat 130 gram 6,25 cm 6,4 cm 5 biji 7,5 mm Kuning Manis asam
Rata Bulat 30,19 gram 3,55 cm 4,13 cm 5 biji 4 mm 22 0brix Kuning kemerahan Manis asam
AKHMADI & SUMARMIYATI – Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul
927
A B C A A Gambar 2. Bentuk batang, tajuk,Adan percabangan tanaman kapul: A. batang pohon kapul, B. tajuk pohon kapul, C. percabangan pohon kapul A
B A A A Gambar 3. Morfologi daun kapul: A. daun A kapul putih; B,C. permukaan daun bagian bawah dan atas kapul kecil A
A
B
C
C
D
Gambar 4. Buah kapul putih (A, B); kapul kecil/jentikan (C, D)
Karakterisasi terhadap buah kapul putih menunjukkan tanaman kapul putih memiliki bentuk buah bulat, tipe buah rata, tekstur kulit buah halus, warna kulit buah cokelat, warna daging buah putih hingga putih bening, rasa daging buah manis asam, tekstur daging buah berserat halus, kadar gula 200brix, aroma lembut, ketahanan buah dalam pengangkutan lebih tahan, ketahanan buah dalam penyimpanan ±7 hari, dan kandungan air agak basah. Adapun kapul kuning memiliki ciri-ciri yang hampir sama, hanya saja daging buahnya berwarna kuning. Kapul kecil sering disebut orang Dayak sebagai jentikan atau kliwatn. Kliwatn memiliki bentuk buah bulat, rata, tekstur kulit buah halus, warna kulit buah cokelat, warna daging buah kuning kemerahan, rasa daging buah manis asam, tekstur daging buah halus berserat, kandungan air agak basah, aroma lembut, dan buah tahan dalam pengangkutan (Gambar 4). Hasil analisis yang dilakukan oleh (Tirtana et
al. 2013) menunjukkan tanaman kapul memiliki kandungan nutrisi yang baik, antara lain serat 2,2%, lemak 1,1%, abu 0,9%, karbohidrat 34,6%, protein 1,5%, kadar air 61,9%, dan vitamin C 1,5%, serta mengandung senyawa kimia golongan saponin, alkaloid, dan flavanoid yang aktif. Selain itu, tanaman kapul juga memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat karena memiliki EC50 kurang dari 50 ppm. Menurut Yunus et al. (2014), kulit buah kapul mengandung golongan senyawa alkaloid, polifenol, dan flavonoid. Uji aktivitas antibakteri kulit buah kapul fraksi etil asetat memiliki daya hambat antibakteri paling tinggi terhadap pertumbuhan S. aureus dan E. coli. Nilai ekonomis dan peluang pengembangan budi daya tanaman kapul Buah-buahan lokal mempunyai potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan serta mempunyai nilai
928
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 923-929, Juli 2015
ekonomi tinggi jika dibarengi dengan upaya-upaya peningkatan industri pariwisata, pengolahan hasil pertanian, serta meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dengan mengonsumsi buah-buahan. Menurut Muzdalifah (2012), konsumsi masyarakat terhadap buahbuahan yang cenderung mengalami peningkatan, membuat impor buah-buahan juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan gejala terjadinya pergeseran konsumsi buah, dari buah lokal menjadi buah impor. Perubahan gaya hidup (life style) masyarakat telah merubah pola dan gaya konsumsi produk-produk agribisnis yang telah meluas pada dimensi psikologis dan kenikmatan. Perubahan ini menyebabkan meningkatnya tuntutan keragaman produk dan keragaman kepuasan. Keadaan ini menyebabkan tekanan yang besar bagi petani buah-buahan lokal. Hal serupa juga terjadi pada petani buah lokal kapul di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan upaya perbaikan mutu produk buah kapul menjadi buah yang bisa digemari dan disukai masyarakat. Pengembangan tumbuhan kapul di Kutai Barat memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan karena tanaman ini banyak disukai oleh masyarakat karena termasuk buah eksotik dan berbuah melimpah setiap tahun. Manfaat kapul sebagai buah lokal di antaranya tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia karena dibudidayakan secara alami. Saat ini petani banyak menjual buah kapul dalam bentuk buah segar sebagai buah meja. Di pasar lokal Kalimantan Timur, harga buah kapul bervariasi tergantung dari saat panen atau musim berbuah. Saat ini belum dilakukan usaha perbaikan mutu buah kapul untuk meningkatkan nilai tambah sehingga harga juanya juga lebih tinggi. Oleh karena itu, perlu untuk dikembangkan usaha-usaha pengolahan buah kapul dalam rangka mendorong agroindustri pedesaan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan dari sumber bahan pangan lokal guna meningkatkan kesejahteraan petani. Tanaman kapul di Kutai Barat mempunyai peluang untuk dikembangkan dan dibudidayakan pada habitat alaminya mengingat sumber daya alam di daerah ini tersedia cukup luas, kondisi iklim sesuai, teknologi budi daya tanaman cukup tersedia, sumber daya manusia cukup memadai, serta tersedianya pasar yang cukup luas baik dalam maupun luar daerah. Oleh karena itu, perlu dikembangkan usaha-usaha budi daya dan pengolahan kapul dalam rangka mendorong pelestarian tanaman lokal spesifik lokasi serta menumbuhkembangkan agroindustri tanaman buah berbasis sumber daya lokal Kalimantan Timur. Upaya konservasi tanaman kapul Menurunnya areal kawasan hutan di Indonesia yang semakin meluas tentunya sangat mengancam kelestarian tumbuhan yang tumbuh di dalamnya. Bahkan, apabila keadaan ini terus berlangsung maka dapat mengakibatkan musnahnya berbagai jenis tumbuhan hutan termasuk pula jenis-jenis buah-buahan hutan yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia (Uji 2007). Padahal, jenis-jenis tersebut mungkin mempunyai nilai ekonomi maupun ekologis yang tinggi. Oleh karena
itu, pemerintah dan semua pemangku kepentingan bersama-sama dengan masyarakat luas perlu segera melakukan tindakan-tindakan nyata untuk menyelamatkan hutan dengan segala isinya dari kehancuran dan kepunahan. Oleh karena itu, pemerintahan daerah dengan kebijakankebijakannya telah mengambil langkah-langkah untuk berusaha melestarikan sumber plasma nutfah tersebut di antaranya melalui penguatan kemampuan pengelolaannya pada tingkat daerah dengan dibentuknya Komisi Daerah (KOMDA) Plasma Nutfah di Provinsi Kalimatan Timur pada tahun 2006. Pengelolaan plasma nutfah yang ada di masing-masing daerah perlu diberdayakan secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pembangunan daerah. Pelestarian plasma nutfah dapat didorong untuk menghasilkan varietas unggul baru yang memberikan manfaat ekonomi. Punahnya plasma nutfah asli Indonesia dapat berpengaruh dalam jangka pendek dan jangka panjang. Bagaimanapun juga dengan mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah lokal yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang penuh kendala, dengan sistem produksi yang cukup rendah biaya produksinya, akan meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi secara nasional (Diwyanto dan Setiadi 2000). Pelestarian plasma nutfah harus diusahakan untuk mencegah adanya penyusutan atau hilangnya koleksi yang ada (Purwati 1996). Saat ini, pelestarian plasma nutfah perlu ditekankan kepada upaya-upaya pemanfaatan sumber daya genetik secara berkelanjutan. Selain itu, perlu diperhatikan pula penanganan dan penyelamatan materi koleksi yang telah ada melalui peningkatan ketersediaan fasilitas, manajemen dan dana, serta penanggulangan pencurian dan tindakantindakan yang tidak bertanggung jawab (Kurniati et al. 1996). Keberadaan tanaman kapul di Kutai Barat dapat terancam punah jika tidak dilakukan upaya-upaya penyelamatan, terutama pelestarian tanaman kapul. Upaya pelestarian tanaman buah kapul dilakukan melalui upaya perbaikan budi daya dan penanaman kembali di kebun koleksi, baik di kebun koleksi milik BPTP Kalimantan Timur, hutan alami, maupun pekarangan milik penduduk sebagai habitat aslinya. Adapun salah satu contoh partisipasi dari masyarakat dalam melakukan pelestarian buah-buahan hutan adalah seperti yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kalimantan. Masyarakat lokal menanam berbagai jenis tumbuhan hutan yang berguna termasuk buah-buahan hutan di kebun-kebun. Mereka menyebutnya lokasi kebun ini sebagai lembo, munan, simpukng, pulong bua, dalung bua, tundang kemurlan, kanoka kemurlan, tembawang, dan pedukuhan (Siregar 2006). Buah kapul yang terdapat di Kutai Barat terdiri atas tiga jenis yaitu kapul putih, kapul kuning, dan kapul kecil (jentikan). Setiap jenis memiliki karakteristik yang spesifik baik morfologi batang, daun, dan buahnya. Untuk menjaga tanaman kapul dari kepunahan, dilakukan konservasi dengan mengoleksi tanaman kapul di pekarangan, kebun koleksi, maupun hutan sebagai habitat aslinya.
AKHMADI & SUMARMIYATI – Eksplorasi dan karakterisasi buah kapul
DAFTAR PUSTAKA Antarlina S. 2009. Identifikasi sifat fisik dan kimia buah-buahan lokal Kalimantan. Buletin Plasma Nutfah 15 (2): 80. BPS Kalimantan Timur. 2013. Kalimantan Timur dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Dinas Pertanian Kalimantan Timur. 2012. Laporan Akhir Tahun 2012. Dinas Pertanian Kalimantan Timur, Samarinda. Diwyanto K, Setiadi B. 2000. Perplasmanutfahan (pertanian) di Indonesia. Dalam: Pemuliaan dan pemanfaatan plasma nutfah menuju ketahanan ekonomi. Pengurus Pusat Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia, Bogor. Krismawati A, Sabran M. 2004. Pengelola sumber daya genetik tanaman obat spesifik Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah 12 (1): 16. Kurniati S, Sejati WK, Handiwirawan E. 1996. Penyusunan sistem konservasi berkaitan dengan pemanfaatan plasma nutfah di bidang pangan. Warta Plasma Nutfah Indonesia No. 3 dan 4 Tahun 1996/1997. Muzdalifah. 2012. Kajian preferensi konsumen terhadap buah-buahan lokal di Kota Banjarbaru. Jurnal Agribisnis Perdesaan 2 (4): 297-298. Purwanti E. 1996. Pemuliaan tanaman dalam kaitannya dengan plasma nutfah. Dalam: Pertemuan pemuliaan dalam pemanfaatan plasma nutfah. Komisi Nasional Plasma Nutfah, Bogor.
929
Siregar M. 2006. Species diversity of local fruit trees in Kalimantan: Problems of conservation and its development. Biodiversitas 7 (1): 94-99. Sitorus S, Soewandita H. 2010. Rehabilitasi lahan terdegradasi melalui penambahan kompos jerami dan gambut untuk keperluan pertanian. Jurnal Tanah dan Iklim 31: 28-29. Suryani E, Nurmansyah. 2009. Inventarisasi dan karakterisasi tanaman kayu manis seilon (Cinnamomum zeylanicum Blume) di Kebun Percobaan Laing Solok. Buletin Penelitian Rempah dan Obat 20 (2): 100. Susi. 2014. Potensi pemanfaatan nilai gizi buah eksotik khas Kalimantan Selatan. Zira’aah 39 (3): 145. Tirtana E, Nora, Warsidah, Afghani J. 2013. Analisa proksimat, uji fitokimia dan aktivitas antioksidan pada buah tampoi (Baccaurea macrocarpa). Jurnal Kimia Khatulistiwa 2 (1): 42-45. Uji T. 2007. Keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia dan potensinya. Biodiversitas 8 (2): 157-167. Yunus R, Alimuddin AA, Ardiningsih P. 2014. Uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah tampoi (Baccaurea macrocarpa) terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Kimia Khatulistiwa 3 (3): 19-24.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 930-934
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010449
Abnormalitas spermatozoa domba dengan frekuensi penampungan berbeda Spermatozoa abnormality with different semen collection frequency in ram FIFI AFIATI1,♥, YULNAWATI1, MUHAMMAD RIYADI2, RADEN IIS ARIFIANTINI3 1
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, Jawa Barat. Tel./Fax. +6221-8754587/8754588, ♥email:
[email protected] 2 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 3 Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Jawa Barat Manuskrip diterima: 15 Desember 2014. Revisi disetujui: 4 April 2015.
Afiati F, Yulnawati, Riyadi M, Arifiantini RI. 2015. Abnormalitas spermatozoa domba dengan frekuensi penampungan berbeda. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 930-934. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tingkat abnormalitas spermatozoa dua jenis domba yang ditampung dengan frekuensi berbeda, yaitu terhadap domba Garut dan domba Priangan. Ejakulat ditampung 1 atau 2 kali dalam seminggu menggunakan vagina buatan. Hasil menunjukkan bahwa ditemukan klasifikasi spermatozoa dengan abnormalitas mayor dan abnormalitas minor. Terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada abnormalitas microcephalus domba Garut (0,09%) dan domba Priangan (0,88%) pada frekuensi penampungan satu kali. Abnormalitas nuclear vacuolus pada domba Priangan (1,33%) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan domba Garut (0,02%) pada frekuensi penampungan yang sama. Dapat disimpulkan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa domba Garut lebih kecil dibandingkan dengan tingkat abnormalitas spermatozoa domba Priangan, baik pada frekuensi penampungan satu kali atau dua kali dalam seminggu. Kata kunci: abnormalitas, domba Garut, domba Priangan, frekuensi penampungan
Afiati F, Yulnawati, Riyadi M, Arifiantini RI. 2015. Spermatozoa abnormality with different semen collection frequency in ram. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 930-934. The objective of this research was to get representation of spermatozoa abnormality level from two types of ram that collected in different frequency, namely Garut and Priangan rams. Ejaculate was collected once or twice in a week using artificial vagina. The result showed that spermatozoa classification with major and minor abnormalities had been found. There was a significant difference (P<0.05) in microphalus abnormality of Garut ram (0.09%) and Priangan ram (0.88%) in one time collection. Nuclear vacuolus abnormality of Priangan ram (1.33%) had a significant difference (P<0.05) compared to Garut ram (0.02%) in the same collection frequency. It could be concluded that spermatozoa abnormality level of Garut ram was smaller then Priangan ram, whether once or twice collected in a week. Keywords: abnormality, collected frequency, Garut ram, Priangan ram
PENDAHULUAN Ternak domba (Genus Ovis) merupakan jenis ternak yang sudah lama dikenal dan diternakkan oleh masyarakat Indonesia. Salah satu keunggulan ternak domba adalah mudah dipelihara, produktivitas cepat, dan harganya relatif murah sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan dapat melalui peningkatan kualitas pejantan unggul untuk pembibitan. Pejantan unggul yang sehat fisik dan reproduksi akan menghasilkan spermatozoa yang baik untuk menghasilkan anak yang baik (Afiati et al. 2013). Domba Garut merupakan plasma nutfah domba Indonesia, merupakan hasil persilangan antara domba Merino dengan domba Kapstaat dari Afrika Selatan, serta domba lokal Indonesia yang terbentuk sejak tahun 1880-an sehingga memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tropis di Indonesia, terutama Jawa Barat
(Herdis 2005). Domba Garut jantan biasa digunakan sebagai domba laga sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lainnya. Domba Garut jantan memiliki postur yang gagah, libido yang sangat baik, dan tanduk khas dengan ukuran besar, kokoh, kuat, dan melingkar. Domba Garut tidak mengenal musim kawin dan mempunyai sifat dapat melahirkan anak kembar dua ekor atau lebih (Herdis et al. 2006). Di daerah Jawa Barat, untuk pejantan domba Garut yang telah teruji kualitasnya melalui ajang domba tangkas akan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Hal itu sekaligus menjadi faktor pembatas dalam mendapatkan keturunan domba Garut kualitas unggul (Yulnawati dan Herdis 2009). Spermatozoa merupakan hasil akhir dari sel kelamin jantan yang telah mengalami pendewasaan. Proses pembentukan spermatozoa di dalam tubulus seminiferus (spermatogenesis) terbagi dalam dua fase, yaitu
AFIATI et al.– Abnormalitas spermatozoa domba
spermatositogenesis, dimana spermatogonia mengalami pembelahan secara mitosis, meiosis, dan spermiogenesis, dimana spermatid akan berubah menjadi spermatozoa. Membran akrosom pada kepala sperma berfungsi untuk kapasitasi, reaksi akrosom, dan penembusan ovum pada proses fertilisasi. Membran bagian belakang akrosom (post acrosomal region) berfungsi untuk mengadakan kontak pertama dan menjadi satu dengan oolema ovum pada proses fertilisasi, sedangkan membran pada bagian tengah (midpiece) ekor berfungsi untuk mendapatkan substrat untuk energi spermatozoa dan menghantarkan gelombang gerak, serta membran bagian utama (principle piece) berfungsi untuk pergerakan spermatozoa (Schatten dan Constantinescu 2007). Barth dan Oko (1989) menyampaikan bahwa bentukbentuk abnormalitas spermatozoa diklasifikasikan menjadi dua yaitu abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena adanya kegagalan dalam proses spermatogenesis di tubuli seminiferus. Abnormalitas primer dapat dikarenakan faktor keturunan dan pengaruh lingkungan yang buruk. Bentuk dari abnormalitas primer meliputi kepala besar (macrocephalus) atau kepala kecil (microchepalus), kepala pendek, lebar, dan ekor ganda. Adapun abnormalitas sekunder terjadi selama proses penyimpanan atau kriopreservasi spermatozoa dan kemungkinan besar disebabkan perlakuan pada saat pewarnaan dalam proses pembuatan preparat ulas (Garner dan Hafez 2000). Bentuk abnormalitas sekunder meliputi bagian ekor yang melipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau distal, dan selubung akrosom yang terlepas dari kepala tanpa adanya ekor, dan ekor yang terputus. Abnormalitas yang teramati dalam penelitian ini adalah abnormalitas sekunder yang dapat dilihat bagian dari ekor spermatozoa melingkar atau membengkok. Semen domba memiliki volume yang rendah namun konsentrasi yang tinggi (Aku et al. 2007). Upaya peningkatan populasi domba dengan Inseminasi Buatan (IB) menggunakan spermatozoa pejantan kualitas unggul sangat perlu dilakukan. Hal tersebut menjadi penting karena terbatasnya jumlah pejantan berkualitas dan harga pejantan unggul domba Garut yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan bangsa domba lainnya. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas spermatozoa seekor pejantan. Umumnya evaluasi spermatozoa meliputi motilitas, viabilitas, dan keutuhan membran plasma, dimana sampai saat ini penilaian terhadap abnormalitas spermatozoa kurang mendapat perhatian, padahal abnormalitas spermatozoa berkaitan erat dengan kemampuan membuahi sel telur dan kemandulan pada berbagai spesies. Struktur sel yang abnormal dapat menyebabkan gangguan dan hambatan pada saat fertilisasi sehingga lebih jauh menyebabkan rendahnya angka implantasi maupun kebuntingan (Yulnawati et al. 2013). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian abnormalitas spermatozoa domba Garut dan domba Priangan dengan frekuensi penampungan yang berbeda.
931
BAHAN DAN METODE Semen ditampung sesuai dengan perlakuan, yaitu kelompok yang ditampung satu minggu sekali dan kelompok yang ditampung dua kali dalam seminggu selama 5 minggu menggunakan vagina buatan dari domba Garut dan domba Priangan berumur 1-2 tahun. Ternak dipelihara di kandang percobaan dengan suhu berkisar antara 30-33°C dan kelembaban 70%. Pemberian pakan meliputi hijauan dan konsentrat serta air minum yang selalu tesedia. Kandang percobaan berlokasi di wilayah Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Spermatozoa ejakulat hasil penampungan diencerkan dengan NaCl dengan perbandingan 1:4 untuk selanjutnya dibuat preparat ulas tipis di atas gelas objek bersih. Ulasan spermatozoa tersebut dikering-udarakan dan disimpan dalam kotak penyimpanan preparat sampai saat pewarnaan. Pewarnaan preparat ulas dilakukan menggunakan pewarna carbolfuchsin-eosin (William staining) yang dimodifikasi (Kavak et al. 2004). Tahapan yang dilakukan untuk pewarnaan tersebut adalah preparat ulas yang telah kering-udara difiksasi dengan api bunsen, lalu dicuci dengan alkohol absolut selama 4 menit dan dikeringudarakan kembali. Selanjutnya, preparat dicelupkan dalam larutan chloramin 0,5% selama 2 menit untuk menghilangkan lendir dan menjernihkan sampel. Kemudian preparat dicuci menggunakan distilled water, alkohol 95%, dan diwarnai dengan pewarnaan William selama 10 menit. Terakhir, preparat dibersihkan dengan air mengalir dan dikering-udarakan hingga siap untuk diamati. Pengamatan abnormalitas spermatozoa dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus CH 20) dengan perbesaran 400 kali. Penghitungan jumlah abnormalitas dilakukan minimal 500 sel spermatozoa dari 5-10 lapang pandang yang berbeda. Abnormalitas spermatozoa yang diamati dikelompokkan menjadi pyriform (bentuk yang menyempit di bagian post acrosome), detached head (kepala yang terpisah dari ekor), pear shaped (bagian anterior akrosom membulat dan bagian posterior akrosom mengecil dan mengalami elongasi seperti buah pir), macrocephalus (kepala lebih besar), microcephalus (kepala lebih kecil daripada normal), double head (satu sel memiliki dua kepala dan satu ekor), nuclear vacuolus (terdapat vacuola di bagian kepala sperma yang menunjukkan abnormalitas inti dan kromatin sel), underdeveloped (perkembangan yang tidak sempurna, ukuran yang lebih kecil daripada normal, ekor pendek dengan material sel yang belum sempurna pada pengamatan selanjutnya), round head (bentuk kepala yang membulat), abnormal contour (bentuk yang abnormal di kepala maupun ekor), abaxial (terbentuk fossa perlekatan di bagian tengah ekor), abnormal decondensation (abnormalitas kondensasi DNA sperma), decapasitation (mengalami kapasitasi dini), defect midpiece (kerusakan pada bagian midpiece seperti ekor yang melingkar, patah, dan melipat), dan distal cytoplasmic droplet (Barth dan Oko 1989). Anatomi spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan klasifikasi abnormalitas spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 2.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 930-934, Juli 2015
932
Rataan pengamatan untuk mengetahui perbedaan masing-masing abnormalitas spermatozoa dari dua jenis domba dianalisis menggunakan analisis uji-t. Jika terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Abnormalitas merupakan salah satu indikator dalam menentukan kualitas spermatozoa, karena struktur sel yang abnormal dapat menyebabkan gangguan dan hambatan pada saat fertilisasi, lebih jauh menyebabkan rendahnya angka implantasi maupun kebuntingan. Selain pengelompokan abnormalitas primer dan sekunder, saat ini pengelompokan abnormalitas dilihat berdasarkan akibat yang ditimbulkannya yaitu abnormalitas mayor dan abnormalitas minor (Yulnawati et al. 2013). Data abnormalitas spermatozoa domba Garut dan domba Priangan yang ditampung 1 dan 2 kali seminggu ditampilkan pada Tabel 1. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ditemukan 13 kelompok abnormalitas baik mayor ataupun minor pada spermatozoa domba Garut dan domba Priangan yang ditampung satu atau dua kali dalam seminggu. Abnormalitas mayor dapat menyebabkan terjadinya
infertilitas, sedangkan abnormalitas minor menyebabkan gangguan kecil pada fertilitas spermatozoa (Chenoweth 2005). Morfologi spermatozoa seekor pejantan dengan abnormalitas spermatozoa mayor disebabkan karena banyak memiliki DNA yang rusak atau disebabkan gagalnya mekanisme apoptosis (Ensico et al. 2011). Pengamatan morfologi biasanya dilakukan dengan membuat preparat dan pewarnaan melalui pemeriksaan terhadap 200-500 sel spermatozoa sehingga dapat diketahui jumlah spermatozoa abnormal. Abnormalitas pyriform merupakan salah satu abnormalitas akibat rusaknya kondensasi kromatin selama proses spermiogenesis (AlMakhzoomi et al. 2008). Akrosoma Nukleus Sentriola Mitokhondria
Kepala Midpiece
Gambar 1. Anatomi spermatozoa (Abbyramiy dan Shanthi 2010)
Gambar 2. Abnormalitas spermatozoa (Cahill 1989)
Tabel 1. Abnormalitas spermatozoa dua jenis domba dengan frekuensi penampungan ejakulat berbeda Jenis abnormalitas Pyriform head Detached head Pear shaped Macrocephalus Microcephalus Double heads Nuclear vacuolus Underdeveloped Round head Abnormal countour Abaxial Defect midpiece Abnormal decondensation Total
Priangan 1x 1,05±0,93 a 2,47±3,09 a 0,62±0,25 ab 0,15±0,17 a 0,88±0,76 a 0,01±0,02 a 1,33±1,51 a 0,69±1,09 a 0,15±0,07 a 0,25±0,18 a 0,11±0,20 a 2,47±3,36 a 10,19±8,24 a 20,38±19,87
Jenis domba dan jumlah penampungan Priangan 2x Garut 1x 0,88±0,84 a 0,42±0,50 a 3,28±5,20 a 0,59±0,38 a 1,28±1,07 a 0,38±0,47 b a 0,19±0,33 0,07±0,15 a ab 0,59±0,64 0,09±0,08 b 0,00±0,00 a 0,00±0,00 a b 0,00±0,00 0,02±0,04 b 0,32±0,19 a 0,05±0,06 a a 0,24±0,16 0,27±0,18 a a 0,21±0,18 0,13±0,11 a 0,09±0,15 a 0,00±0,00 a a 1,04±0,77 0,98±0,46 a 8,13±7,35 a 5,84±0,10 a 16,26±16,89 8,85±2,52
Garut 2x 0,57±0,32 a 1,41±1,51 a 0,73±0,33 ab 0,05±0,08 a 0,21±0,26 a 0,00±0,00 a 0,06±0,06 b 0,33±0,41 a 0,21±0,11 a 0,12±0,09 a 0,09±0,22 a 1,41±1,50 a 5,19±3,85 a 10,38±8,75
AFIATI et al.– Abnormalitas spermatozoa domba
Persentase abnormalitas terbesar yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah abnormal decondensation, berkisar antara 5,19-5,84% pada domba Garut dan 8,13-10,19% pada domba Priangan. Sementara itu, Yulnawati et al. (2013) hampir tidak menemukan abnormal decondensation pada spermatozoa sapi Simmental (0,00%) ataupun pada spermatozoa sapi Hongarian (0,02%). Sitiayu et al. (2005) mengemukakan bahwa pada spermatozoa mencit, dimana status inti spermatozoa berstatus kondensasi apabila kepala spermatozoa masih dalam bentuk kait, seperti bentuk spermatozoa pada mencit dan belum menggembung atau membesar. Status ini didapatkan pada saat kepala spermatozoa baru saja memasuki sel telur, tetapi ada keadaan dimana kepala spermatozoa sudah masuk ke dalam sel telur tetapi statusnya tidak berubah menjadi dekondensasi. Sementara itu, dekondensasi terjadi apabila spermatozoa memfertilisasi sel telur dan masuk ke dalam sitoplasma maka intinya harus berdekondensasi sehingga kromosomnya bisa berpasangan dengan kromosom dari pronukleus betina. Selain itu, prasyarat dari dekondensasi adalah ikatan disulfid harus direduksi. Abnormalitas morfologi selalu ditemukan dalam setiap ejakulasi, namun mempunyai dampak yang berbeda terhadap fertilitas. Beberapa abnormal tertentu dapat menghambat pembuahan, sementara yang lain, seperti kelainan kepala spermatozoa pear shape dapat mengganggu perkembangan embrio (Rodriguez-Martinez dan Barth 2007), sehingga frekuensi penampungan dan evaluasi spermatozoa dari seekor pejantan harus dilakukan secara rutin. Spermatozoa yang abnormal tidak mampu membuahi sel telur, meliputi round head, pin head, very large head, double head, abnormal midpiece, absent tail, dan double tails (Abbiramy dan Shanthi 2010). Namun demikian, persentase abnormalitas double heads pada penelitian ini tidak ditemukan pada spermatozoa domba Garut (0,00%) dengan satu dan dua kali penampungan, sedangkan pada domba Priangan tidak ditemukan (0,00%) dengan dua kali penampungan tapi sedikit ditemukan dengan satu kali penampungan (0,01%). Abnormalitas spermatozoa double heads juga hampir tidak ditemukan pada sapi Hongarian (0,02%) dan sapi Simmental (0,00%) yang telah diteliti oleh Yulnawati et al. (2013). Total abnormalitas yang ditemukan dalam penelitian ini berkisar 8,85-10,38% pada domba Garut, serta 16,2620,38% pada domba Priangan. Nilai abnormalitas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan beberapa hasil penelitian, yaitu berkisar antara 1,2-3,17%, seperti yang dihasilkan dari penelitian Herdis et al. (2005) (2,67%); 2,92% (Yulnawati dan Herdis 2009); 1,2% dan tidak mendapatkan perbedaan pada abnormalitas spermatozoa domba setelah pengenceran sampai selama 6 jam pascathawing dan setelah penambahan serta 3,17 (Herdis 2013). Adapun persentase abnormalitas domba Priangan 8,3-8,7% dan meningkat setelah mengalami proses pendinginan dan pembekuan 21,67% pada media SKT dan 19,05% pada media TKT (Herdiawan 2004). Persentase abnormalitas tersebut masih normal karena menurut Garner dan Hafez (2000) bahwa kisaran abnormalitas spermatozoa domba antara 5-20%, sedangkan menurut Toelihere (1985), abnormalitas spermatozoa yang melampaui angka 14%
933
menunjukkan adanya gejala infertilitas atau ketidaksuburan seekor pejantan, sedangkan menurut Hafez (1987), jumlah spermatozoa abnormal dalam semen hingga mencapai 20% tidak akan menyebabkan penurunan angka fertilitas. Walau bagaimanapun terdapat banyak variasi dalam suatu proses ejakulasi dari seekor pejantan sehingga dalam penentuan kesuburannya membutuhkan analisis dari beberapa ejakulasi (Rodríguez-Martínez 2013). Hasil penelitian pada domba ekor tipis yang dilakukan Widyaningrum (2006) menunjukkan bahwa frekuensi penampungan satu, dua, dan tiga kali dalam seminggu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna, bau, konsistensi, pH, motilitas, persentase hidup, dan abnormalitas spermatozoa. Abnormalitas spermatozoa domba ekor tipis juga tidak berbeda nyata pada frekuensi penampungan satu, dua, dan tiga kali, baik sebelum pembekuan ataupun setelah pembekuan. Terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada abnormalitas microcephalus domba Garut (0,09%) dan domba Priangan (0,88%) pada frekuensi penampungan satu kali. Abnormalitas nuclear vacuolus pada domba Priangan (1,33%) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan domba Garut (0,02%) pada frekuensi penampungan yang sama. Abnormalitas spermatozoa pada semen domba yang diamati, secara morfologi tidak menunjukkan adanya abnormalitas primer, namun lebih terlihat sebagai penilaian abnormalitas sekunder seperti kelainan melipatnya ekor, kepala putus, atau ekornya putus. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa domba Garut lebih kecil dibandingkan dengan tingkat abnormalitas spermatozoa domba Priangan, baik pada frekuensi penampungan satu kali atau dua kali dalam seminggu. Jenis abnormalitas yang paling banyak ditemukan adalah double decondensation.
DAFTAR PUSTAKA Abbiramy VS, Shanthi V. 2010. Spermatozoa segmentation and morphological parameter analysis based detection of teratozoospermia. Int J Comp Appl 3 (7): 19-23. Adelman MM, Cahil EM. 1989. Atlas Sperm Morphology. ASCP Press, Chicago. Afiati F, Herdis, Said S. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Penebar Swadaya, Jakarta. Aku S, Purwantura B, Toelihere MR. 2007. Preservasi semen domba Garut (Ovis aries) dalam berbagai konsentrasi bahan pengencer berbasis lesitin nabati. Agriplus 17 (1): 44-51. Al-Makhzoomi A, Lundeheim N, Håård M, Rodriguez-Martinez H. 2008. Sperm morphology and fertility of progeny-tested AI dairy bulls in Sweden. Theriogenology 70: 682-691. Astuti S. 2012. Karakteristik Spermatozoa Domba Selama Proses Pembekuan dengan Medium Pengencer yang Ditambahkan Glutation. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Barth AD, Oko RJ.1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Lowa States University Press, Lowa. Chenoweth PJ. 2005. Genetic sperm defects. Theriogenology 64: 457-468. Enciso M, Cisale H, Johnston SD et al. 2011. Major morphological sperm abnormalities in the bull are related to sperm DNA damage. Theriogenology 76: 23-32. Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and seminal plasma. In: Hafez B, Hafez ESE (eds). Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lippincot William and Wilkins, Philadelphia. Herdiawan I. 2004. Pengaruh laju penurunan suhu dan jenis pengencer terhadap kualitas semen beku domba Priangan. JITV 9 (2): 98-107.
934
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 930-934, Juli 2015
Herdis, Rizal M, Boediono A et al. 2005. Optimasi kualitas semen beku domba Garut melalui penambahan trehalosa ke dalam pengencer kuning telur. J Indon Trop Anim Ageuc 30 (4) :229-236. Herdis, Surachman M, Rizal M et al. 2006. Pengaruh penambahan trehalosa dalam pengencer tris terhadap kualitas semen cair domba garut (Ovis aries). Jurl Il Biol Biosfer 23 (1): 24-30. Herdis, Darmawan. 2013. Pengaruh maltose sebagai krioprotektan ekstraseluler dalam meningkatkan kualitas semen beku guna mendukung keberhasilan teknologi inseminasi buatan. J Sains Tek Indon 14 (3): 197-202. Kavak A, Lundheim N, Aidnik M, Einarsson S. 2004. Sperm morphology in estonian and toi breed stallions. Act Vet Scan 45: 11-18. Rizal M, Toelihere MR, Yusuf TL et al. 2003. Quality of Garut ram frozen semen in various glycerol concentrations. JITV 7 (3): 194-199. Rodriguez-Martinez H, Barth AD. 2007. In vitro evaluation of sperm quality related to in vivo function and fertility. In: Juengel JI, Murray JF, Smith MF (eds). Reproduction in Domestic Ruminants VI. Nottingham University Press, Nottingham, UK. Rodríguez-Martínez H. 2013. Semen evaluation techniques and their relationship with fertility. Anim Reprod 10 (3): 148-159.
Schatten H, Constantinescu GM. 2007. Comparative Reproductive Biology. Blackwell Pub, USA. Sitiayu DR, Sutarno, Said S. 2005. Pembentukan pronukleus jantan dan betina pada mencit (Mus musculus) setelah terjadinya fertilisasi. Bioteknologi 2 (2): 35-42. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Widyaningrum R, Ismaya, Keman S. 2006. Pengaruh frekuensi penampungan sperma terhadap kualitas sperma domba ekor tipis yang diencerkan dengan tris-glucose-kuning telur dan dibekukan pada suhu -196oC. Bul Pet 30 (2): 69-78. Yulnawati, Herdis. 2009. Kualitas semen cair domba Garut pada penambahan sukrosa dalam pengencer Tris kuning telur. Jur Il Ter Vet 14 (1): 45-49. Yulnawati, Afiati F, Rizal M, Arifiantini RI. 2013. Gambaran Abnormalitas Spermatozoa Sapi Subtropis di Lingkungan Tropis. Forum Komunikasi dan Seminar Nasional Peternakan. Puslit Bioteknologi LIPI, Cibinong.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 935-940
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010450
Pertumbuhan dan produktivitas beberapa varietas unggul baru dan lokal padi rawa melalui pengelolaan tanaman terpadu di Sulawesi Tengah Growth and productivity of several new superior varieties and locally swamp rice through integrated crop management in Central Sulawesi SAIDAH, ANDI IRMADAMAYANTI, SYAFRUDDIN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Jl. Lasoso 62 Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tel. +62-451-482546. ♥ email:
[email protected] Manuskrip diterima: 5 Desember 2014. Revisi disetujui: 21 April 2015.
Saidah, Irmadamayanti A, Syafruddin. 2015. Pertumbuhan dan produktivitas beberapa varietas unggul baru dan lokal padi rawa melalui pengelolaan tanaman terpadu di Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 935-940. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produktivitas beberapa varietas unggul baru (VUB) dan lokal melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kajian dilaksanakan di lahan rawa pasang surut Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli, Provinsi Sulawesi Tengah, mulai Juli hingga Oktober 2012. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan lima ulangan. Ada tujuh varietas yang dikaji, lima varietas unggul yaitu Mendawak, Banyuasin, Dendang, Inpara 3, dan Inpara 5 serta dua varietas lokal yaitu Kristal dan Bari-bari. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (i) pertumbuhan 7 (tujuh) varietas yang dikaji tergolong baik, dengan kriteria rendah hingga sedang; (ii) terdapat dua varietas unggul baru yang mencapai produksi di atas 7 ton/ha GKP, yaitu Banyuasin (7,99 ton/ha) dan Mendawak (7,08 ton/ha). Preferensi positif (sangat suka-suka) petani terhadap VUB padi rawa yang dikaji adalah Banyuasin (100%), Mendawak (88%), Inpara 3 (36%), Dendang (4%), dan Inpara 5 (0%). Kata kunci: Lokal, padi, produktivitas, rawa, varietas
Saidah, Irmadamayanti A, Syafruddin. 2015. Growth and productivity of several new superior varieties and locally swamp rice through integrated crop management in Central Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 935-940. The aim of this research was to identify growth and productivity of several new superior varieties (VUB) and locally swamp rice through the approach of Integrated Crop Management (ICM). The studies were conducted in tidal swamp land of Ogomatanang Village, Lampasio Sub-district, Toli-Toli District, Central Sulawesi Province, from July until October 2012. The method used was a Randomized Block Design with five replications. Five new superior varieties were studied, namely Mendawak, Banyuasin, Dendang, Inpara 3 and Inpara 5, and also two local varieties namely Crystals and Bari-bari. The results showed that: (i) growth of seven varieties studied were good, with low to moderate criteria; (ii) there were two new superior varieties that reach production over 7 t/ha GKP, namely Banyuasin (7.99 t/ha) and Mendawak (7.08 t/ha). Positive preferences (very like-like) farmers to new superior varieties of swamp rice studied were Banyuasin (100%), Mendawak (88%), Inpara 3 (36%), Dendang (4%) and Inpara 5 (0%). Key words: Local, productivity, rice, swamp, varieties
PENDAHULUAN Lahan rawa pasang surut merupakan lahan suboptimal yang semakin penting perannya dalam upaya peningkatan produksi padi, mengingat luasnya mencapai 25,29 juta hektar. Penyebaran lahan rawa pasang surut cukup luas, di Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan Papua (Djaenudin 2008). Namun, pemanfaatan lahan rawa pasang surut menghadapi beberapa keterbatasan, antara lain masalah tanah dan air. Pengembangan lahan rawa harus mengacu kepada tipologi lahan dan tipe luapan serta varietas yang memiliki daya adaptasi tinggi karena sangat memengaruhi cara pengelolaan lahan, termasuk pengaturan pola tanam atau jenis tanaman yang cocok, dan perlu
mempertimbangkan kondisi biofisik, tata air mikro, dan ketersediaan modal petani (Sudana 2005; Mulyani et al. 2011). Luas lahan rawa di Sulawesi Tengah +224.160 hektar yang tersebar di 9 kabupaten yakni Kabupaten Morowali seluas 191.390 hektar, Kabupaten Parimo 18.640 hektar, Kabupaten Banggai Kepulauan 5.320 hektar, Kabupaten Toli-Toli 2.820 hektar, Kabupaten Buol 1.320 hektar, Kabupaten Poso 1.660 hektar, Kabupaten Donggala 960 hektar, dan Kabupaten Touna 440 hektar (BPS Sulteng 2005). Dengan luasan tersebut cukup besar potensinya untuk dijadikan lahan pertanian. Namun demikian, produktivitas usaha tani di lahan rawa ini masih sangat rendah akibat minimnya pengetahuan petani tentang
936
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 935-940, Juli 2015
berbagai teknologi dan belum memerhatikan aspek sosial budaya petani yang ada di wilayah tersebut. Umumnya penanaman hanya sekali setahun dan varietas yang digunakan adalah lokal dengan produktivitas antara 1,0-3,0 ton/ha (Noorsyamsi et al. 1984; Sulaiman et al. 1998; Sutami dan Sulaiman 2000; Sulaiman dan Imberan 2000; Wirosoedarmo dan Apriadi 2008). Di Sulawesi Tengah, rata-rata produktivitasnya hanya 1,29 ton/ha GKP (Rusdi dan Amin 2006). Penggunaan varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas padi dan cepat diadopsi petani karena murah dan penggunaannya lebih praktis. Keterbatasan pengetahuan petani terhadap varietas yang cocok ditanam di lahan rawa, menyebabkan petani menggunakan varietas-varietas yang diperuntukkan bagi lahan sawah irigasi. Padahal saat ini telah tersedia varietas padi lahan rawa, namun penyebarannya dirasakan sangat lambat. Untuk itu diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke pengguna. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah display varietas. Hasil penelitian tentang uji adaptasi varietas lahan rawa telah banyak dilakukan dengan hasil yang berbeda-beda setiap lokasi. Ini menunjukkan bahwa respons dan interaksi varietas dengan kondisi lingkungan juga berbeda. Hasil uji adaptasi beberapa varietas padi di lahan rawa yang dilakukan Achmadi dan Las (2010), khususnya rawa lebak tengahan, menunjukkan bahwa Banyuasin, Ciherang, dan Sei Lalan memberikan hasil yang optimal. Di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, varietas Inpara 1 dan Inpara 2 masing-masing 7,43 ton/ha GKP dan 7,40 ton/ha GKP (Suparwoto dan Waluyo 2011). Di lahan Lebak Karangagung, Sumatera Selatan, Dadahup, Kalimantan Tengah (pasang surut), dan Kayuagung (rawa lebak) dari tahun 2005 sampai 2007, hasil galur B9852E-KA-66 (Inpara-1) mencapai 5,65 ton/ha dan galur B10214F-TB-72-3 (Inpara-2) 5,49 ton/ha, sedangkan di lahan pasang surut 4,45 dan 4,83 t/ha (Kustianto 2009). Endrizal dan Jumakir (2011) juga melakukan uji varietas di lahan rawa lebak dan
menunjukkan hasil yang berbeda dan hasil tertinggi varietas Indragiri yaitu 6,56 ton/ha, diikuti oleh varietas Banyuasin, Ciherang sebagai pembanding, Inpara 1 dan Inpara 2. Uji varietas dengan inovasi teknologi PTT dilakukan Sirappa dan Titahena (2011), menunjukkan varietas Indragiri, Inpara 4, Inpara 1, dan Inpara 2 rata-rata memberikan hasil di atas 7-8 ton/ha GKP, sedangkan Inpara 3 dan Inpara 5 rata-rata di atas 4-5 ton/ha GKP. Di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah, Inpara 3 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpara 5 (Basrum et al. 2011). Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan produktivitas beberapa varietas unggul baru (VUB) dan lokal padi rawa melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Kajian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Desember 2012. Lokasi pelaksanaan berada di wilayah Dusun Bambuan, Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah (Gambar 1). Rancangan pengkajian Pengkajian ini dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 (tujuh) perlakuan varietas padi yang terdiri atas lima varietas unggul nasional dan dua varietas lokal. Varietas yang dimaksud adalah Mendawak, Banyuasin, Dendang, Inpara 3, dan Inpara 5 sebagai varietas unggul nasional, sedangkan Kristal dan Bari-bari adalah varietas lokal yang biasa digunakan petani setempat. Jumlah ulangan 5 (lima) dan petani sebagai ulangan sehingga jumlah unit kajian sebanyak 35 unit. Luasan masing-masing varietas +0,60 ha sehingga jumlah luasan keseluruhan +3,0 hektar.
Gambar 1. Lokasi pengkajian di Dusun Bambuan, Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah
SAIDAH et al. – Produktivitas VUB dan lokal padi rawa
Tahapan pelaksanaan Kegiatan diawali dengan survei dan identifikasi lokasi. Hal ini untuk mengetahui karateristik lahan, teknologi yang diterapkan, dan respons petani terhadap kegiatan yang dilaksanakan. Selanjutnya adalah pelaksanaan penanaman padi rawa. Sistem budi daya padi menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut. (1) Pengolahan tanah awal dilakukan bersamaan dengan pembuatan pesemaian. Luasan pesemaian sebesar 4% dari total luasan keseluruhan. (2) Lahan pesemaian tanpa olah tanah dan dibuat bedengan dengan lebar 1,20 m dan panjangnya sesuai dengan panjang petakan. Sebelum penaburan benih, tanah pesemaian diberi abu sekam sebanyak 2 kg per meter persegi (m2). (3) Selama penyemaian, bibit tanaman padi diberi pupuk urea dan SP-36 sebanyak 8 kg dan dicampur bersama insektisida Karbofuran untuk mengendalikan hama penggerek batang. Waktu pemberian satu minggu setelah semai. (4) Bibit padi dipindahkan pada umur 21 hari sesudah semai. Cara tanam menggunakan sistem jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 25 cm x 12,5 cm x 50 cm sebanyak 2-3 batang per rumpun. (5) Pemupukan dasar dilakukan saat tanaman berumur seminggu setelah pindah tanam. Berdasarkan hasil uji tanah dengan perangkat uji tanah sawah, status hara tanah lokasi kajian adalah N tinggi, P tinggi, dan K sedang. Dengan demikian, rekomendasi pupuknya adalah urea 200 kg/ha, 100 kg/ha SP-36, dan KCl 50 kg/ha. Bersamaan pupuk dasar, juga diberikan insektisida Karbofuran sebanyak 17 kg/ha. (6) Pemupukan selanjutnya berdasarkan bagan warna daun (BWD). (7) Pemeliharaan tanaman, khususnya pengendalian hama dan penyakit serta gulma dilakukan berdasarkan kondisi di lapangan. (8) Panen dilakukan saat tanaman menunjukkan lebih dari 90% gabah berwarna kuning/masak fisiologis. Parameter pengamatan dan analisis data Pengamatan dilakukan terhadap komponen pertumbuhan dan hasil tanaman, mencakup: tinggi tanaman, jumlah anakan, umur panen, gabah isi, gabah hampa, jumlah gabah per malai, panjang malai, produksi dalam bentuk gabah kering panen, dan hama/penyakit yang menyerang. Jumlah sampel masing-masing varietas 10 unit atau rumpun. Adapun produktivitas berdasarkan ubinan dengan sistem jajar legowo 2:1. Selain itu, untuk mengetahui preferensi petani dan pengguna lainnya, dilakukan wawancara secara terstruktur dengan menggunakan kuisioner. Preferensi didefinisikan sebagai pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap suatu produk barang atau jasa yang dikonsumsi. Preferensi petani terhadap VUB padi rawa yang diujicobakan didasarkan pada tingkat kesukaan petani terhadap karakteristik tiap varietas, meliputi: tinggi tanaman, umur tanaman, jumlah anakan produktif, bentuk bulir, panjang malai, ketahanan terhadap OPT, kemudahan dalam memanen, tekstur beras/rasa nasi, dan potensi produksi. Jumlah responden 30 orang yang berasal dari petani, petugas, dan pengambil kebijakan saat acara temu lapang.
937
Data pengkajian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Data teknis yang diamati diolah dengan menggunakan Anova dan uji lanjutnya menggunakan BNJ 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi pengkajian Lokasi pelaksanaan berada di wilayah Dusun Bambuan, Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli. Secara geografis, Dusun Bambuan, Desa Ogomatang terletak pada posisi 120o47’3” BT dan 00o50’24,3” LU. Secara administratif, Desa Ogomatang terletak pada: (i) sebelah utara berbatasan dengan Desa Lampasio, Kecamatan Lampasio; (ii) sebelah timur berbatasan dengan Desa Janja, Kecamatan Lampasio; (iii) sebelah barat berbatasan dengan Desa Bambalaga, Kecamatan Ogodeide; (iv) sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kinapasan, Kecamatan Basidondo. Desa Ogomatanang merupakan desa pemekaran dari Desa Lampasio yang telah berdiri secara definitif pada tanggal 24 juli 2009 yang terdiri atas 4 (empat) dusun yaitu Dusun Batuan, Salusu Pande, Pamangkalan, dan Bambuan. Jarak dari ibu kota kecamatan +20 km dan jarak dari ibu kota kabupaten +37 km. Lahan yang digunakan sebagai lokasi kajian adalah lahan yang telah diberokan selama 6 tahun karena hasil yang diperoleh petani selama berusaha tani rendah yaitu <1,5 ton/ha. Tingkat produktivitas tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi hasil beberapa varietas unggul baru padi yang ada saat ini >7 ton/ha GKP (BB Padi 2011). Rendahnya produktivitas padi di wilayah ini terutama disebabkan: (i) penggunaan benih tidak bermutu, dimana petani biasanya menggunakan benih dari tanaman sebelumnya; (ii) penggunaan pupuk tidak berimbang; (iii) tingginya serangan hama dan penyakit, utamanya penggerek batang, tikus, serangan penyakit tungro, dan blas leher; serta (iv) seringnya terendam pertanaman padi akibat luapan air sungai. Berdasarkan tipe luapan air, lokasi ini termasuk tipe B, yaitu lahan yang terluapi hanya oleh pasang besar. Hasil uji tanah dengan menggunakan PUTS menunjukkan bahwa status hara tanah tergolong sedang hingga tinggi (N tinggi, P tinggi, dan K sedang). Jumlah curah hujan yang diambil dari Stasiun Pengamat Lalos, Toli-Toli selama pengkajian (Juli-Oktober 2012) bervariasi seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Keragaan pertumbuhan Hasil pengamatan komponen pertumbuhan berupa tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dari 7 (tujuh) varietas disajikan pada Tabel 1. Tabel ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkisar antara 90,4-115 cm. Dari 7 (tujuh) varietas yang dikaji, varietas lokal Bari-bari memiliki tinggi tanaman yang terbesar yakni 115 cm, disusul varietas lokal lainnya Kristal 114 cm. Adapun tinggi tanaman yang terendah VUB Inpara 5 yaitu 90,4 cm, disusul Mendawak 95 cm. Tinggi tanaman pada pengkajian ini tergolong rendah sampai sedang. Menurut IRRI (1996), kriteria tinggi tanaman tergolong rendah, sedang
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 935-940, Juli 2015
938
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa VUB padi rawa di Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli MT. II Tahun 2012 Jumlah anakan produktif (batang) Mendawak 95 ab 12,4 cd Banyuasin 104 bcd 13 d abc Dendang 100,8 11,2 abcd abcd Inpara 3 103 12,8 d a Inpara 5 90,4 10 abc cd Kristal (lokal) 114 9a d Bari-bari (lokal) 115 9,7 ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5% Varietas
Gambar 2. Kondisi curah hujan dan hari hujan selama pengkajian (Juli-Oktober 2012) di Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli
Tinggi tanaman (cm)
Tabel 2. Rata-rata panjang malai, jumlah gabah isi per malai, berat 1.000 biji, hasil, dan umur tanaman beberapa VUB padi rawa di Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli MT. II Tahun 2012 Jumlah Berat 1.000 Hasil gabah isi biji (g) (ton/ha) per malai Mendawak 26,44 ab 157,4 bc 33,30 e 7,08 d ab cde e Banyuasin 26,48 167,2 35,11 7,99 d ab b cd Dendang 25,52 138 28,43 4,68 b Inpara 3 26,76 ab 145,8 bc 28,81 cd 5,26 bc Inpara 5 23,90 a 113 a 25,42 bc 2,17 a Kristal (lokal) 27,24 b 153,8 cd 20,53 ab 5,43 bc Bari-bari (lokal) 27,36 b 153,6 cd 22,02 a 5,78 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5% Varietas
Panjang malai (cm)
Umur tanaman (hari) 120 a 124 b 125 b 122 b 117 a 130 b 122 b
Tabel 3. Preferensi petani terhadap beberapa VUB padi rawa di Desa Ogomatanang, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Toli-Toli MT. II Tahun 2012
Karakteristik Tinggi tanaman padi Umur tanaman padi Jumlah anakan produktif Bentuk bulir padi Panjang malai padi Ketahanan terhadap OPT Kemudahan dalam memanen Tekstur beras/rasa nasi Potensi produksi
Preferensi positif (sangat suka-suka) petani terhadap varietas unggul baru (VUB) padi rawa (%) Banyuasin Mendawak Dendang Inpara 3 Inpara 5 100 80 0 40 0 100 80 0 0 0 0 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 0 80 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 80 20 60 0
sedang dan tinggi apabila tingginya masing-masing adalah <110, 110-130, dan >130 cm. Hirosawa (1999) berpendapat, tinggi tanaman ditentukan oleh kecepatan perpanjangan batang dan daun. Hal ini antara lain disebabkan oleh tinggi rendahnya potensi air atau tekanan turgiditas pada daun. Tinggi tanaman yang sedang sampai tinggi, sangat cocok untuk lahan-lahan sawah pasang surut yang genangan airnya cukup dalam (Khairullah et al. 2007). Hal serupa juga dikemukakan oleh Jumberi dan Alihamsyah (2005), bahwa varietas lokal umumnya
tanamannya tinggi yang menyebabkan kurang responsif terhadap pemupukan, jumlah anakan sedikit, berumur panjang, dan daya hasil rendah. Adapun varietas unggul, tinggi tanamannya rendah sehingga respons terhadap pemupukan, jumlah anakan sedang, umur tanaman genjah, toleran terhadap penyakit, dan berdaya hasil tinggi. Parameter jumlah anakan produktif berkisar 10-13 batang. Jumlah anakan tertinggi diperoleh pada varietas Banyuasin, sedangkan yang terendah pada varietas Kristal. Jumlah anakan tergolong sedang sampai tinggi. IRRI (1996)
SAIDAH et al. – Produktivitas VUB dan lokal padi rawa
melaporkan bahwa kriteria jumlah anakan tergolong rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi apabila jumlah anakannya masing-masing adalah <5, 5-9, 10-19, dan 2025 batang. Perbedaan jumlah anakan aktif berkaitan dengan sistem tanam, dimana jumlah anakan per satuan luas dengan sistem tanam jajar legowo lebih banyak daripada tegel. Sistem tanam jajar legowo mengoptimalkan pengelolaan ruang, cahaya, air, dan nutrisi bagi tanaman padi sehingga meningkatkan source dan kekuatan sink (Suhartatik et al. 2012). Dengan bertambahnya jumlah anakan, maka luas daun akan meningkat sehingga penyerapan cahaya matahari oleh daun lebih besar dengan ditunjukkan oleh peningkatan jumlah anakan produktif. Khusus untuk varietas lokal, hasil karakterisasi Khairullah et al. (2004) menunjukkan bahwa jumlah anakan varietas lokal berkisar antara 7-19 batang. Jumlah anakan produktif berpengaruh terhadap jumlah gabah per tanaman dan memengaruhi produksi hasil. Semakin banyak jumlah anakan maka produksi akan semakin besar. Keragaan komponen hasil Hasil pengamatan komponen hasil 7 (tujuh) varietas disajikan pada Tabel 2. Data Tabel 2 menunjukkan panjang malai 7 (tujuh) varietas bervariasi antara 23,9027,36 cm. Varietas Bari-bari memiliki panjang malai yang tertinggi yaitu 27,36 cm dan terendah Inpara 5 (23,90 cm). Varietas lokal menunjukkan penampilan panjang malai yang lebih tinggi dibandingkan varietas unggul baru, tetapi memiliki berat 1.000 biji yang terendah. Bentuk malai yang panjang akan menghasilkan cabang yang lebih banyak sehingga gabah yang dihasilkan akan lebih banyak. Malai yang terlalu panjang membuat batang padi akan melengkung dan apabila kondisi batang tidak kokoh akan menyebabkan batang patah sehingga pengisian bulir tidak sempurna atau hampa. Hal ini menyebabkan produksi menurun. Jumlah gabah isi per malai bervariasi antara 113167,2. Varietas Banyuasin memiliki jumlah gabah isi yang terbesar, yaitu 167,2, sedangkan Inpara 5 terendah (113). Berat 1.000 biji tertinggi diperoleh varietas Banyuasin, yaitu 35,11 g, dan terendah varietas Kristal (20,53 g). Menurut Harsanti et al. (2003), berat 1.000 biji gabah lebih banyak ditentukan oleh sifat genotipe varietas tersebut seperti ukuran dan bentuk gabah itu sendiri. Semakin berat bobot 1.000 biji maka semakin tinggi produksinya. Produksi yang dihasilkan oleh 7 (tujuh) varietas yang dikaji bervariasi antara 2,17-7,99 ton/ha GKP. Produksi tertinggi diperoleh varietas Banyuasin, yaitu 7,99 ton/ha GKP, sedangkan yang terendah varietas Inpara 5 (2,17 ton/ha GKP). Menurut Satoto dan Suprihatno (1998), hasil gabah ditentukan oleh komponen hasil seperti jumlah gabah, jumlah gabah hampa per malai, dan bobot 1.000 biji. Satoto et al. (2007) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara hasil gabah dengan jumlah gabah tiap satuan luas, jumlah gabah per malai tinggi, jumlah anakan produktif tinggi, dan persentase gabah hampa rendah maka produksi per satuan luas akan meningkat. Rendahnya hasil yang diperoleh varietas Inpara 5 disebabkan tingginya serangan hama dan penyakit (hama penggerek dan penyakit blas leher). Selain itu, tinggi tanaman Inpara 5 terkecil, tidak seperti 6 (enam) varietas lainnya, sehingga akan tenggelam
939
apabila genangan airnya dalam. Umur tanaman juga bervariasi, yakni antara 117-130 hari. Umur yang terpanjang adalah varietas lokal Kristal. Preferensi petani terhadap varietas unggul baru (VUB) Pada Tabel 3 terlihat bahwa VUB Banyuasin paling disukai responden karena potensi produksi, tekstur beras/rasa nasi, ketahanan terhadap OPT, tinggi, dan umur tanaman. VUB Mendawak selanjutnya disukai responden pada karakteristik yang sama, namun dengan nilai yang lebih rendah pada tinggi dan umur tanaman jika dibandingkan VUB Banyuasin. Selanjutnya, responden menyukai VUB Inpara 3 dan Dendang. Adapun VUB Inpara 5 cenderung tidak diminati responden karena memiliki kekurangan pada keseluruhan karakteristiknya jika dibandingkan VUB lain. Pertumbuhan 7 (tujuh) varietas yang dikaji tergolong baik dengan kriteria rendah hingga sedang. Terdapat 2 (dua) varietas unggul baru yang mencapai produksi di atas 7 ton/ha GKP, yaitu Banyuasin (7,99 ton/ha) dan Mendawak (7,08 ton/ha). Preferensi positif (sangat sukasuka) petani terhadap varietas unggul baru (VUB) padi rawa yang diujicobakan secara berturut-turut adalah Banyuasin (100%), Mendawak (88%), Inpara 3 (36%), Dendang (4%), dan Inpara 5 (0%).
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Las I. 2010. Inovasi teknologi pengembangan pertanian lahan rawa lebak. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru. BPS Sulteng [Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah]. 2005. Sulawesi Tengah dalam angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah, Palu. Basrum, Saidah, Subagio H. 2012. Introduksi varietas unggul baru dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) berbasis padi rawa di Kabupaten Toli-Toli Sulawesi Tengah. Dalam: Mahfud MC, Purnomo S, Hosni S (eds). Prosiding Seminar Nasional Kemandirian Pangan, Malang 3 Desember 2011. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Malang. BB Padi. 2011. Dekripsi Varietas Padi (Edisi Revisi). BB Padi Sukamandi, Subang. Djaenudin D. 2008. Perkembangan penelitian sumberdaya lahan dan kontribusinya untuk mengatasi kebutuhan lahan pertanian di Indonesia. Litbang Pertanian 27 (4): 137-145. Endrizal, Jumakir. 2011. Produktivitas beberapa varietas unggul baru padi rawa lebak mendukung desa mandiri pangan Kabupaten Batanghari. Dalam: Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki, Sudir (eds). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. BB Padi, Sukamandi, Subang. Harsanti L, Hambali, Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim. Zuriat 144 (1): 1-7. Hirosawa T. 1999. Physiological characterization of the rice plant for tolerace of water deficit. In: Ito O, O’Toole J, Hardy B (eds). Genetic Improvement of Rice for Water Limited Environments. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice (SES). 4th ed. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Jumberi A, Alihamsyah T. 2005. Pengembangan lahan rawa berbasis inovasi teknologi. Dalam: Ar-Riza I, Kurnia U, Noor I, Jumberi A (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Banjarbaru, 5-7 Oktober 2005.
940
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 935-940, Juli 2015
Khairullah I, Mawardi, Sarwani M. 2007. Karakteristik dan pengelolaan lahan rawa: 7. Sumber daya hayati pertanian lahan rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Khairullah I, Wahdah R, Jumberi A, Sulaiman S. 2004. Mekanisme toleransi keracunan besi pada varietas lokal padi (Oryza sativa L.) pasang surut di Kalimantan Selatan. Agroscientiae 12 (1): 58-68. Kustianto B. 2009. Produktivitas galur harapan padi di lahan pasang surut dan rawa lebak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28 (1): 34-38. Rusdi M, Amin M. 2006. Identifikasi dan karakterisasi sosial budaya petani di lahan rawa Sulawesi Tengah. [Laporan Hasil Pengkajian]. BPTP Sulawesi Tengah, Palu. Mulyani A, Ritung S, Las I. 2011. Potensi dan ketersediaan sumberdaya lahan untuk mendukung ketahanan pangan. Litbang Pertanian 30 (2): 73-80. Noorsyamsi H, Anwarhan, Sulaiman S, Beachell HM. 1984. Rice cultivation of the tidal swamps of Kalimantan. Workshop on Research Priorities in Tidal Swamp Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. Satoto, Suprihatno B. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida padi turunan galur mandul jantan IR62829A dan IR58025A. Penelitian Pertanian 17 (1): 3-37. Satoto, Rumanti IA, Diredja M, Suprihatno B. 2007. Yield stability of ten hybrid rice combinations derived from introduced cms and local restorer lines. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (3): 145-149. Sirappa MP, Titahena MIJ. 2012. Keragaan hasil beberapa varietas padi rawa (Inpara) pada lahan marginal dengan pengelolaan tanaman terpadu. Dalam: Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki, Sudir (eds). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2012. BB Padi, Sukamandi, Subang. Sudana W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian 3 (2): 141-151. Suhartatik E, Makarim AK, Ikhwani. 2012. Respons lima varietas unggul baru terhadap perubahan jarak tanam. Dalam: Suprihatno B, Daradjat
AA, Satoto, Baehaki, Sudir (eds). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011. Buku 3: Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik.. BB Padi, Sukamandi, Subang. Sulaiman S, Imberan M. 2000. Galur harapan padi pasang surut toleran keracunan besi. Dalam: Prayudi B, Sabran M, Noor I, Ar-Riza I, Partohardjono S, Hermanto (eds.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru. Sulaiman S, Khirullah I, Imberan M. 1998. Hasil pemuliaan padi rawa. Dalam: Prayudi B, Sabran M, Noor I, Ar-Riza I, Partohardjono S, Hermanto (eds.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru. Suparwoto, Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas Inpara 1, Inpara 2 dan Ciherang di lahan lebak tengahan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam: Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki, Sudir (eds). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. BB Padi, Sukamandi, Subang. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, et al. 2007. Deskripsi varietas padi. BB Penelitian Padi, Sukamandi, Subang. Sutami, Sulaiman S. 2000. Penampilan galur dan varietas padi terpilih pada kondisi lahan pasang surut potensial. Dalam: Prayudi B, Sabran M, Noor I, Ar-Riza I, Partohardjono S, Hermanto (eds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru. Wirosoedarmo R, Apriadi U. 2008. Studi perencanaan pola tanam dan pola operasi pintu air jaringan reklamasi rawa Pulau Rimau di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Teknologi Pertanian 3 (1): 56-66.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 941-946
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010451
Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten Organoleptic test ofwet noodles made from beneng taro flour (Xantoshoma undipes) in an effort to increase local value added food ingredients in Banten SRI LESTARI, PEPI NUR SUSILAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten. Jl. Ciptayasa Km 01, Ciruas Serang 42182, Banten. Tel. +62-254-281055, Fax. +62-254-282507, email:
[email protected] Manuskrip diterima: 15 Desember 2014. Revisi disetujui: 5 Mei 2015.
Lestari S, Susilawati PN. 2015. Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 941-946. Di Provinsi Banten, khususnya di Kelurahan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, terdapat sejenis talas yang penduduk setempat menamakannya dengan sebutan talas beneng (artinya besar dan koneng) (Xantoshoma undipes). Tujuan dari kajian ini yaitu untuk menguji secara organoleptik mi basah berbahan dasar terigu substitusi tepung talas beneng serta menganalisis kelayakan usaha produksi mi basah talas beneng. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 1 perlakuan dan 5 taraf yaitu substitusi tepung talas beneng 0%, 5%, 15%, 25%, dan 30%. Pengujian dilakukan oleh 25 orang panelis semiterlatih terhadap sifat organoleptik yang meliputi uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, kelengketan, kekenyalan, dan rasa secara umum serta rasa gatal pada lidah yang dilanjutkan dengan perhitungan persentase masing-masing kategori. Analisis data menggunakan metode ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan dengan mengabaikan sampel kontrol A (100% terigu), untuk warna sampel yang paling disukai panelis yaitu sampel B (95% terigu: 5% tepung talas beneng), untuk aroma yaitu sampel E (70% terigu: 30% tepung talas beneng), untuk tekstur sampel B (95% terigu: 5% tepung talas beneng), untuk kelengketan yaitu sampel B (95% terigu: 5% tepung talas beneng), untuk kekenyalan yaitu sampel B (95% terigu: 5% tepung talas beneng), dan untuk rasa secara umum yaitu sampel B (95% terigu: 5% tepung talas beneng). Panelis juga diminta untuk menilai rasa gatal pada lidah. Skor gatal tertinggi yaitu pada sampel E (70% terigu: 30% tepung talas beneng). Penambahan tepung beneng ke dalam adonan mi basah sampai 30% dari sisi rasa secara umum dinilai oleh panelis dengan tingkat kesukaan netral sampai suka. Analisis usaha pembuatan mi basah dengan substitusi talas beneng menghasilkan Gross B/C sebesar 1,57 yang menandakan bahwa usaha ini layak/menguntungkan. Kata kunci: Mi, organoleptik, talas beneng Lestari S, Susilawati PN. 2015. Organoleptic test of wet noodles made from beneng taro flour (Xantoshoma undipes) in an effort to increase local value added food ingredients in Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 941-946. In Banten Province, particularly in the Village of Tanjung Karang, Pandeglang there is a kind of taro that locals named as beneng taro (meaning great and yellow) (Xantoshoma undipes). The purpose of this study was to examine the organoleptic wet noodles made from wheat flour substitution of beneng taro and analyze the production feasibility of wet noodles beneng taro. The research design used a Completely Randomized Design with one treatment and five levels namely beneng taro flour substitution of 0%, 5%, 15%, 25% and 30%. Testing was conducted by 25 semi-trained panelists to organoleptic properties include hedonic test for color, aroma, texture, stickiness, firmness and flavor in general and itching of the tongue, followed by calculation of the percentage of each category. Data was analysed using ANOVA and if significantly different followed by DMRT. The results showed that by ignoring control samples A (100% wheat), for color, the most preferred samples was B sample (95% wheat: 5% beneng taro flour), for aroma was E sample (70% wheat: 30% beneng taro flour), for texture was B sample (95% wheat: 5% beneng taro flour), for stickiness was B sample (95% wheat: 5% beneng taro flour), for firmness was B sample (95% wheat: 5% beneng taro flour), for general flavor was B sample (95% wheat: 5% beneng taro flour). Panelists were also asked to assess the itching on the tongue. Itching scores was highest in E samples (70% wheat: 30% beneng taro flour). In addition of flour into dough of beneng wet noodle up to 30%, the flavor was generally considered neutral to like by the panelists. The B/C gross value for analysis wet noodle-making business with beneng taro substitution was 1.57 which indicated that the business was feasible or profitable. Keywords: Beneng taro, noodles, organoleptic
PENDAHULUAN Mi (kadang-kadang ditulis mie) merupakan jenis kuliner yang memiliki banyak penggemar dari semua
kalangan usia. Secara umum, pengertian mi adalah bahan pangan bentuk pipih dengan diameter 0,07-0,125 inci, dibuat dari tepung terigu dengan penambahan air, telur, dan air abu melalui proses ekstrusi basah (Badrudin 1994)
942
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 941-946, Juli 2015
dalam Widaningrum et al. (2005). Jenis mi ada 4 macam, yaitu mi segar, mi basah, mi kering, dan mi instan. Mi segar adalah mi yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan. Mi basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah pemotongan dan sebelum dipasarkan. Mi kering adalah mi segar yang dikeringkan sehingga kadar airnya mencapai 8-10%. Mi instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan tepung terigu atau tanpa penambahan bahan makanan lainnya yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah masak atau diseduh dengan air mendidih (Astawan 2005). Bahan dasar pembuat mi yaitu tepung terigu, merupakan produk impor dengan volume permintaan yang terus meningkat. Pada tahun 2003, Indonesia mengimpor terigu sebanyak 344,2 juta ton yang setara dengan US$ 75,3 juta atau Rp 677,9 miliar (BPS 2003). Adanya bahan pangan lain yang dapat dijadikan sebagai alternatif pensubstitusi tepung terigu menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan potensi bahan pangan lokal yang belum termanfaatkan secara optimal seperti halnya umbi-umbian. Selain mudah untuk dibudidayakan, umbi-umbian juga relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan biji-bijian dan serealia. Salah satu jenis umbi yang dapat dimanfaatkan adalah talas. Tanaman talas-talasan merupakan salah satu tanaman umbi-umbian minor yang dapat digunakan sebagai tanaman pangan (Sulistyowati et al. 2014). Salah satu jenis talas yang ada di Provinsi Banten dan menjadi alternatif pangan lokal adalah talas beneng. Di Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang, Kecamatan Sukaratu, Desa Juhut memiliki potensi komoditas lokal berupa talas raksasa yang masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “talas beneng (besar dan koneng)” dengan luas sekitar 250 hektar. Talas beneng tergolong dalam jenis Xanthosoma undipes K. Koch yang asal mulanya adalah tanaman liar di hutan Gunung Karang. Tanaman beneng dahulu dianggap sebagai tanaman pengganggu karena pertumbuhannya yang sangat mudah dan cepat namun saat ini talas beneng sudah dijadikan makanan selingan yang sewaktu-waktu dapat dikonsumsi masyarakat. Umbi beneng segar mempunyai berbagai kandungan gizi. Umbi talas beneng memiliki panjang mencapai 1,2-1,5 m dengan bobot 35-40 kg pada umur 2 tahun. Lingkar umbi mencapai 45-55 cm. Begitu kulit dikupas, tampak warna umbi kuning menyala. Umbi itu dihasilkan dari pohon setinggi 2-2,5 m dengan daun raksasa sebesar 1 meter (Purnamasari 2013). Umbi talas lokal Banten selama ini dimanfaatkan penduduk sekitar menjadi keripik dan tepung yang bisa diolah lebih lanjut menjadi aneka makanan. Produk olahan tersebut dapat menjadi alternatif makanan selingan sekaligus sebagai makanan khas Banten (Muharfiza et al. 2012). Pada Tabel 1 disajikan data karakteristik beberapa macam talas sehingga dapat dilihat perbedaannya dengan talas beneng. Salah satu kendala terbatasnya pemanfaatan talas yaitu adanya rasa gatal yang tertinggal di mulut setelah memakan talas. Rasa gatal tersebut disebabkan oleh zat kimia yang disebut kalsium oksalat. Kalsium oksalat tidak menimbulkan gangguan serius. Kalsium oksalat dapat
dihilangkan dengan cara pencucian menggunakan banyak air atau dengan cara perebusan yang intensif. Rasa gatal pada talas dapat diminimalisir dengan perendaman dengan menggunakan garam (NaCl) yang dilarutkan dalam air. Kajian ini bertujuan untuk menguji secara organoleptik mi basah berbahan dasar terigu substitusi tepung talas beneng serta menganalisis kelayakan usaha produksi mi basah talas beneng.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Kajian dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2014. Metode Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 1 perlakuan dan 5 taraf yaitu substitusi tepung talas beneng 0% (A), 5% (B), 15% (C), 25% (D), dan 30% (E). Uji organoleptik menggunakan 25 orang panelis semiterlatih dengan uji hedonik (sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka, netral/biasa, agak suka, suka, dan sangat suka). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi perlakuan tepung terigu dan tepung talas beneng yang disukai panelis. Bahan yang digunakan adalah tepung terigu dengan kadar protein sebesar 20%, tepung talas beneng, telur, aci singkong, serta air perasan daun suji. Penambahan daun suji dimaksudkan untuk memberi warna hijau pada mi dan memberi aroma harum pada mi karena tepung talas memiliki aroma yang khas (berbau agak apek). Alat yang digunakan meliputi timbangan digital, alat pencetak mi manual, baskom, saringan, panci, dan kompor. Tepung talas dibuat dengan proses pengupasan, pencucian, penyawutan, perendaman dengan larutan NaCl 10% selama 1 jam, pencucian dengan air, perendaman dengan air selama 3 jam, pengeringan 50oC-60oC dengan cabinet dryer selama 6-12 jam, penggilingan, dan pengayakan 100 mesh (Haliza et al. 2012). Proses pembuatan mi basah substitusi tepung talas beneng dijelaskan seperti pada Gambar 1.
Tabel 1. Karakteristik beberapa macam talas Karakteristik (%) Kadar air Kadar pati Kadar protein Kadar abu Kadar lemak Kadar oksalat (ppm) Rendemen Tepung
Talas beneng 84,65 6,97 8,77 8,53 0,46 61.783,75
Talas bogor 77,00 18,03 2,65 7,84 0,47 8.578,28
Talas kalbar 67,08 22,06 1,85 5,37 1,07 7.328,18
Talas malang 53,50 30,84 2,70 1,95 0,43 10.887,61
10,24
23,08
25,31
31,33
LESTARI & SUSILAWATI. – Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng
Air perasan daun suji, telur, 1 sendok tepung aci singkong
Tepung komposit Kemudian dilakukan pengirisan
Pencampuran Kemudian dilakukan pengirisan
Pengadukan (10-20 menit) Kemudian dilakukan pengirisan
Analisis data Data yang dihasilkan akan dianalisis menggunakan analisis statistik ANOVA (analisys of variance) pada taraf nyata 5%. Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis finansial dilakukan untuk melihat kelayakan usaha pembuatan mi basah talas beneng pada berbagai komposisi tepung yang berbeda. Analisis yang digunakan adalah Gross B/C, dimana usaha dianggap layak jika nilai Gross B/C lebih dari satu. Formulasi dari Gross B/C adalah (Kasijadi dan Suwono 2001): PxQ Gross B/C = ---------Bi P = harga produksi (Rp/kg) Q = hasil produksi (kg/ha) Bi = biaya produksi ke-i (Rp/ha)
Pembentukan lembaran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemudian dilakukan pengirisan
Pemotongan Kemudian dilakukan pengirisan
Pemberian tepung terigu Kemudian dilakukan pengirisan
Perebusan Kemudian dilakukan pengirisan
Penirisan Kemudian dilakukan pengirisan
Pemberian minyak goreng Kemudian dilakukan pengirisan
Mie basah Kemudian dilakukan pengirisan
Gambar 1. Proses pembuatan mi basah
Variabel pengamatan pada uji organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, kelengketan, kekenyalan, dan rasa secara umum dengan menggunakan skor 1 sampai 7 (1= sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4= netral/biasa, 5= agak suka, 6= suka, 7= sangat suka). Untuk parameter rasa gatal dihitung dengan skor 1 jika gatal dan 0 jika tidak gatal.
943
Karakteristik produk mi basah yang dihasilkan Proses pembuatan mi memiliki tingkat kesukaran yang berbeda-beda. Semakin tinggi kadar tepung talas beneng maka tingkat kesulitannya pun menjadi semakin tinggi. Hal ini dikarenakan sifat dari tepung talas beneng yang tidak memiliki gluten sehingga adonan yang dihasilkan agak sulit untuk menyatu. Penambahan air juga berpengaruh pada tingkat penyatuan adonan. Pada percobaan ini jumlah air yang diberikan pada saat pembuatan adonan memiliki takaran yang sama untuk kelima macam perlakuan sehingga pada adonan yang memiliki gluten yang tinggi seharusnya ditambahkan air yang lebih banyak agar adonan lebih kalis. Konsistensi penambahan air pada semua perlakuan ditujukan agar kelima sampel tersebut dapat dilihat perbedaan dari performa mi yang dihasilkan. Rendemen mi yang dihasilkan untuk kelima sampel seperti tertera pada Tabel 2. Dari data pada tabel dapat dilihat bahwa rendemen pada perlakuan kontrol (A), perlakuan substitusi tepung talas beneng 5% dan 15% menghasilkan rendemen yang hampir sama karena masing-masing adonan masih utuh (tidak ada remah-remah yang terbuang akibat dari kekurangan air). Pada substitusi tepung talas beneng 25% dan 30% menghasilkan tingkat rendemen yang menurun. Hal ini dikarenakan ketika proses pembuatan mi, adonan tidak Tabel 2. Rendemen mi yang dihasilkan (gram) Perlakuan (tepung terigu %: tepung talas beneng %) 100 : 0 (A) 95 : 5 (B) 85 : 15 (C) 75 : 25 (D) 70 : 30 (E)
Tepung komposit (g) 500 500 500 500 500
Mi segar (g) 715 710 710 625 555
Mi basah (g) 1475 1475 1470 1320 1090
944
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 941-946, Juli 2015
dapat terikat semua, masih adanya adonan yang kering (tidak terairi) sehingga tidak dapat dijadikan lembaran mi. Air yang digunakan merupakan jumlah yang optimum yaitu 110 ml/500 g adonan (pada adonan mi normal). Jika jumlah air ditambah maka akan menghasilkan mi dengan tekstur yang lembek. Hasil uji organoleptik Uji organoleptik yang digunakan yaitu uji hedonik (uji kesukaan) terhadap 25 orang panelis. Panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Tingkat-tingkat kesukaan disebut sebagai skala hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendakinya. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis data secara parametrik (Setyaningsih et al. 2010). Pada penelitian ini, parameter sampel yang dilakukan uji hedonik meliputi parameter warna, aroma, tekstur, kelengketan, kekenyalan, dan rasa mi secara umum. Hasilnya seperti tertera pada Tabel 3. Warna Warna merupakan visualisasi suatu produk yang langsung terlihat lebih dahulu dibandingkan dengan variabel lainnya. Warna secara langsung akan memengaruhi persepsi panelis. Menurut Winarno (2002), secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan sering kali menentukan nilai suatu produk. Hasil perhitungan skor uji hedonik warna menunjukkan bahwa skor tertinggi dari panelis yaitu pada perlakuan tepung terigu:tepung talas beneng yaitu 95%:5% (B) yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa penambahan talas beneng), dengan skor rata-rata sebesar 5,32 (agak suka sampai suka). Adapun kesan panelis terhadap warna pada perlakuan C, D, dan E adalah tidak berbeda nyata. Pada perlakuan substitusi tepung talas beneng 15% didapatkan nilai skor rata-rata sebesar 4,08 yang menandakan bahwa kesukaan panelis terhadap warna mi 15% talas beneng yaitu netral sampai agak suka. Skor kesukaan terendah panelis terhadap warna yaitu pada perlakuan substitusi tepung talas beneng 30% yaitu dengan nilai 3,28 yang artinya tingkat kesukaan panelis agak tidak suka sampai netral. Jika dilihat dari bentuk fisik, warna mi talas pada substitusi tepung talas 30% berwarna paling gelap jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Semakin tinggi kadar tepung talas beneng maka warna mi akan semakin cokelat. Hal ini menandakan terjadinya proses browning (pencokelatan).
Aroma Aroma merupakan salah satu variabel kunci, karena pada umumnya cita rasa konsumen terhadap produk makanan sangat ditentukan oleh aroma. Tepung talas beneng menghasilkan aroma lebih tajam jika dibandingkan dengan tepung terigu. Untuk mengurangi aroma yang tajam ditambahkan perasan air daun suji ke dalam tepung talas beneng. Penambahan bahan pewangi seperti daun suji akan membantu menghilangkan bau dan juga dapat menambah daya tarik dari sisi warna. Kesukaan panelis terhadap aroma yang dihasilkan pada berbagai macam komposisi tepung talas beneng (perlakuan B, C, D, E) tidak berbeda nyata dengan kontrol. Panelis menganggap bahwa bau mi talas beneng masih normal dan berbau khas mi sama seperti kontrol (100% terigu). Tekstur Preferensi panelis terhadap tekstur menghasilkan tanggapan yang sama seperti terhadap warna. Dengan mengabaikan perlakuan kontrol, tekstur mi yang paling disukai panelis yaitu pada perlakuan substitusi tepung beneng 5% yaitu dengan skor rata-rata 5,44 (agak suka sampai suka). Kesukaan panelis terendah yaitu pada perlakuan substitusi tepung beneng 25% dan 30% yaitu dengan skor rata-rata sebesar 3,80 yang artinya agak tidak suka sampai netral. Kelengketan Panelis paling menyukai kelengketan mi talas dengan perlakuan substitusi tepung talas beneng sebesar 5% yaitu dengan skor rata-rata 5,80 (netral sampai agak suka). Perlakuan yang memiliki skor terendah untuk uji hedonik terhadap kelengketan mi yaitu pada perlakuan substitusi tepung talas beneng 25% dengan skor sebesar 4,12 (netral sampai agak suka). Kelengketan sangat dipengaruhi oleh kadar gluten, semakin tinggi kadar gluten maka adonan cenderung lebih lengket. Pada perlakuan C, D, dan E dimana rasio penambahan tepung beneng mencapai 15%30% mengakibatkan adonan tidak lengket (cenderung kering). Gluten merupakan protein yang terdapat pada terigu, bersifat elastis sehingga memengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi (Widyaningsih dan Murtini 2006). Protein gandum atau terigu memiliki sifat istimewa karena dapat menghasilkan adonan yang dapat menahan gas dan mengembang secara elastis ketika gas memuai pada waktu proses pembakaran. Hal ini disebabkan sifat gluten yang terhidrasi dan mengembang apabila tepung terigu dicampur air. Proses tersebut berlangsung ketika adonan diaduk dan akhirnya terbentuk massa tiga dimensi dari protein gluten yang memiliki viskositas yang elastis (Winarno 1997).
Tabel 3. Hasil analisis uji hedonik Perlakuan (tepung terigu %: tepung Warna Aroma Tekstur talas beneng %) b tn 100 : 0 (A) 6,00 4,80 5,76b 95 : 5 (B) 5,32b 4,32 tn 5,44b a tn 85 : 15 (C) 4,08 4,12 4,36a 75 : 25 (D) 3,56a 4,32 tn 3,80a a tn 70 : 30 (E) 3,28 4,36 3,80a Catatan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel DMRT pada taraf α=0,05; tn=tidak nyata
Rasa secara umum 5,76b 5,08 ab 5,60b 5,80b 5,76 b 5,48 b a ab 4,60 5,08 4,80 ab 4,12a 4,48 a 4,32 a a a 4,20 4,44 4,68 ab menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Kelengketan
Kekenyalan
LESTARI & SUSILAWATI. – Uji organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng
Kekenyalan Skor kesukaan tertinggi panelis terhadap kekenyalan mi yaitu pada perlakuan substitusi tepung talas beneng 5% yaitu dengan skor 5,76 (agak suka sampai suka). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan kontrol walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan C. Perlakuan D dan E menghasilkan skor rata-rata sebesar 4,48 dan 4,44 (netral sampai agak suka). Perlakuan ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan kontrol walaupun dari skor hedonik berada pada kelas yang berbeda. Rasa secara umum Dengan membandingkan terhadap kontrol semua perlakuan mi disukai dari sisi rasa. Dengan penambahan tepung talas beneng sampai dengan 30% secara umum panelis tidak merasakan ada perbedaan rasa yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa subtitusi tepung talas beneng dalam berbagai komposisi tidak mengubah cita rasa mi basah yang dihasilkan. Talas beneng dalam hal ini dapat direkomendasikan sebagai salah satu bahan yang dapat mensubtitusi tepung terigu. Subtitusi tepung terigu selain akan menurunkan ketergantungan impor terigu juga dapat meningkatkan citra tepung lokal Indonesia dan menjaga plasma nutfah spesifik lokasi dari kepunahan. Preferensi panelis terhadap penambahan tepung talas beneng tertinggi didapatkan pada perlakuan substitusi tepung talas beneng sebesar 5% (perlakuan B) yaitu dengan skor sebesar 5,48 (agak suka sampai suka). Perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya (C dan E). Rasa gatal pada lidah Rasa gatal pada pangkal lidah diakibatkan karena talas beneng menghasilkan kadar asam oksalat yang cukup tinggi (61.783,75 ppm). Asam oksalat memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan yang kuat dengan berbagai mineral, seperti sodium, potasium, magnesium, dan kalsium. Ketika ini terjadi, senyawa yang terbentuk biasanya disebut garam sebagai oksalat. Dengan demikian, "oksalat" biasanya mengacu pada garam asam oksalat, salah satunya adalah kalsium oksalat (Liebman 2002). Hasil uji menunjukkan bahwa rasa gatal beragam antarpanelis, pada perlakuan B (5% tepung beneng) dan perlakuan C (15% tepung beneng) ada sebanyak 22% panelis merasakan rasa gatal pada lidah. Sebanyak 19% panelis merasakan gatal pada pangkal lidah setelah mengonsumsi mi dengan kandungan tepung beneng sebesar 25% (perlakuan D). Adapun pada perlakuan E (30% tepung talas beneng) ada 18% panelis yang merasakan gatal. Perbedaan reaksi rasa gatal pada masing-masing panelis sangat ditentukan oleh tingkat kepekaan individu, dimana masing-masing individu panelis memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap tingkat kadar oksalat. Selain itu, perbedaan respons panelis terhadap rasa gatal juga diakibatkan karena dalam mencicipi mi masing-masing panelis tidak secara berurutan dalam mengonsumsinya.
945
Tabel 4. Analisis usaha pembuatan mi basah talas beneng
Uraian
Volume
Pengeluaran Tepung terigu 0,425 kg Tepung talas beneng 0,075 kg Telur 1 butir Minyak goreng 0,1 liter Gas 0,2 kg Total biaya Penerimaan 1,470 kg Total penerimaan Pendapatan (total penerimaan-total biaya) Gross B/C
Satuan biaya (Rp) 10.000 15.000 1.500 13.000 6.000 10.000
Jumlah biaya (Rp) 4.250 1.125 1.500 1.300 1.200 9.375 14.700 14.700 5.325 1,57
Analisis kelayakan usaha pembuatan mi talas beneng Analisis kelayakan usaha pembuatan mi basah talas beneng dengan adonan tepung komposit per 500 g dengan asumsi harga jual per kg sebesar Rp10.000,00 (dianalogikan dengan harga mi basah bayam) seperti tertera pada Tabel 4. Analisis usaha pembuatan mi basah talas beneng dianggap layak karena menghasilkan nilai Gross B/C lebih dari satu. Dari setiap 500 g bahan tepung komposit dapat menghasilkan mi basah seberat 1.470 g, dengan asumsi harga mi basah sebesar Rp10.000,00/kg, maka didapatkan penghasilan sebesar Rp14.700,00. Dengan demikian, dengan modal sebesar Rp9.375,00 dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp5.325,00. Nilai Gross B/C mencapai 1,57, hal ini menunjukkan bahwa setiap Rp1,00 nilai yang dikeluarkan akan menghasilkan Rp1,57 (keuntungan Rp 0,57 per satu rupiah). Dengan demikian, usaha produksi mi basah talas beneng secara finansial layak untuk dilakukan. Dari hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa perlakuan B (5% subtitusi talas beneng) merupakan mi yang paling disukai dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dari semua variabel yang diamati (warna, aroma, tekstur, kelengketan, kekenyalan, dan rasa secara umum). Penambahan tepung beneng ke dalam adonan mi basah sampai 30% dari sisi rasa secara umum dinilai oleh panelis dengan tingkat kesukaan netral sampai suka. Analisis usaha pembuatan mi basah dengan substitusi talas beneng menghasilkan Gross B/C sebesar 1,57 yang menandakan bahwa usaha ini layak/menguntungkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Oka Imran yang telah membantu proses pembuatan mi basah substitusi tepung talas beneng ini. Terima kasih pula kepada temanteman BPTP Banten dan PMT PUAP yang bersedia menjadi panelis. Terima kasih pula kepada Pipit Afifah dan Ulima Darmania Amanda yang telah membantu memproses mi basah ini menjadi mi goreng yang lezat sehingga dapat dinikmati oleh teman-teman di BPTP. Sumber dana penelitian berasal dari dana pengelolaan
946
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 941-946, Juli 2015
Laboratorium Pascapanen BPTP Banten (APBN Badan Litbang Kementerian Pertanian RI).
DAFTAR PUSTAKA Astawan. 2005. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Yogyakarta. BPS. 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia (impor) Jilid I. BPS, Jakarta. Haliza W, Kailaku SI, Yuliani S. 2012. Penggunaan mixture response surface methodology pada optimasi formula brownies berbasis tepung talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai alternatif pangan sumber serat. J Pascapanen 9 (2): 96-106. Kasijadi F, Suwono. 2001. Penerapan rakitan teknologi dalam peningkatan daya saing usaha tani padi di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 4 (1): 1-12. Liebmen M. 2002. The truth about oxalate: answer to frequently asked questions. The Vulvar Pain Newsletter, No. 22. Summer/Fall 2002. www.thevpfoundation.org/vpfoxalate.htm [2 Januari 20015].
Muharfiza, Kardiyono, Muttakin S et al. 2010. Laporan akhir kegiatan Kajian Komoditas Unggulan Khas Banten. BPTP Banten, Serang. Purnamasari RA. 2013. Mengenal jenis pangan lokal Banten: Talas Beneng. www.beranda-miti.com/mengenal-jenis-pangan-lokalbanten-talas-beneng/ [13 Desember 2014]. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press, Bogor. Sulistyowati PV, Kendarini N, Respatijarti. 2014. Observasi keberadaan tanaman talas-talasan genus Colocasia dan Xanthosoma di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang dan Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. J Produksi Tanaman 2 (2): 86-93. Widaningrum, Widowati S, Soekarto ST. 2005. Pengayaan tepung kedelai pada pembuatan mie basah dengan bahan baku tepung terigu yang disubstitusi tepung garut. J Pascapanen 2 (1): 41-48. Widyaningsih TB, Murtini ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya. Winarno FG. 2002. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 947-953
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010452
Fisiologi dan pertumbuhan bibit rambutan, mangga, durian, dan alpukat terhadap berbagai intensitas cahaya dan pemupukan nitrogen Physiological and growth of rambutan, mango, durian and avocado seedlings on various light intensity and nitrogen fertilization TITI JUHAETI♥, NURIL HIDAYATI Bidang Botani, Pusat Penelitan Biologi-LIPI. Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 16911, Bogor, Jawa Barat. Tel. +62-21-8765066, Fax. +62-21 8765059, ♥e-mail:
[email protected] Manuskrip diterima: 17 Desember 2014. Revisi disetujui: 17 Februari 2015.
Juhaeti T, Hidayati N. 2015. Fisiologi dan pertumbuhan bibit rambutan, mangga, durian, dan alpukat terhadap berbagai intensitas cahaya dan pemupukan nitrogen. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 947-953. Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui fisiologi dan pertumbuhan bibit mangga, durian, rambutan, dan alpukat yang ditanam pada intensitas cahaya dan tingkat pemupukan nitrogen yang berbeda di Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong, Bogor. Bibit ditanam di polibag pada media tanam berupa campuran tanah : pupuk kandang = 2:1. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah naungan: 0% (N0), 55% (N1), dan 75% (N2), faktor kedua adalah dosis pupuk N yakni 0 g urea/pot (P0), 5 g urea/pot (P1), dan 10 g urea /pot (P2), dan faktor ketiga adalah jenis tanaman yakni rambutan (T1), mangga (T2), durian (T3), dan alpukat (T4). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di pembibitan, bibit rambutan, mangga, durian, dan alpukat toleran terhadap cahaya rendah. Pada nilai Q leaf yang relatif rendah, fotosintesis masih bisa berlangsung, tetapi apabila nilai Q leaf terlalu tinggi maka laju fotosintesis semakin menurun. Masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda untuk berfotosintesis. Laju fotosintesis (A) tertinggi ada pada mangga (10,079) diikuti alpukat, durian, dan rambutan. Nilai transpirasi (E) tertinggi pada alpukat, diikuti durian, rambutan, dan mangga. Pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap serapan CO 2, transpirasi, dan pembukaan stomata (Gs). Sementara itu, perlakuan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap laju fotosintesis, tetapi berpengaruh nyata terhadap E dan Gs. Pada umur 11 BST (bulan setelah tanam), pemupukan berpengaruh nyata terhadap ukuran diameter batang (terbesar 1,4 cm pada perlakuan P3) tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Naungan berpengaruh nyata baik terhadap tinggi tanaman (tertinggi 133,2 cm dari perlakuan N2) maupun terhadap diameter batang (terbesar 1,5 cm dari perlakuan N1). Bibit rambutan, mangga, durian, dan alpukat memberikan respons fisiologis yang hampir sama terhadap cahaya. Kata kunci: Buah, fisiologi, naungan, pertumbuhan, pupuk
Juhaeti T, Hidayati N. 2015. Physiological and growth of rambutan, mango, durian and avocado seedlings on various light intensity and nitrogen fertilization. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 947-953. The research has been conducted to find out physiology and growth of mango, durian, rambutan and avocado seedlings on various light intensity and nitrogen fertilization in Botany Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Cibinong Bogor. Seedlings were grown in polybags in soil:manure = 2:1 planting medium, using Factorial Randomized Completed Block Design. The first factor are shading: 0% (N0), 55% (N1) and 75% (N2), the second are dose of N fertilizer: 0 (P0), 5 (P1) and 10 g of urea/pot (P2) and the third factor are the type of plant: rambutan (T1), mango (T2), durian (T3) and avocado (T4). The result showed that in the nursery, rambutan, durian, mango and avocado seedlings were tolerant to low light intensity. On relatively low Q-leaf value, the photosynthesis can still occurred, meanwhile if it’s too high the rate of leaf photosynthesis was declined. The photosynthesis capabilities were not significantly different on each plant species. The highest rate of photosynthesis (A) was on mango (10,079) followed by avocado, durian and rambutan. The high rate of transpiration (E) was on avocado followed by durian, rambutan and mango. The effects of fertilization were not significantly different on CO 2 absorption, transpiration and stomatal opening (Gs). Meanwhile, the effect of shading treatment were significantly different on E and Gs but not on the rate of photosynthesis. On 11 MAP (months after planting) old, nitrogen fertilization were significantly affected stem diameter (the largest is 1.4 cm in P3 treatment), but not on height of plant. The shading treatment were significantly different both of stem diameter (the largest 1.5 cm from the treatment of the N1) and plant height (highest 133,2 cm from the N2 treatment). The rambutan, durian, mango and avocado seedlings gave nearly same physiological response to light intensity. Keywords: fruit plants, shade, fertilizer, growth, physiology
PENDAHULUAN Mangga (Mangifera indica Linn.), durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum Linn.), dan
alpukat (avokad) (Persea Americana Mill.) merupakan jenis buah tropis Indonesia yang potensial untuk diperdagangkan, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Pembibitan merupakan salah satu kunci
948
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 947-953, Juli 2015
keberhasilan pengembangan tanaman termasuk tanaman buah-buahan. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mendapatkan bibit yang bermutu adalah dengan memerhatikan kesesuaian kondisi mikroklimat di pembibitan serta ketersediaan haranya. Peningkatan produksi buah bermutu perlu dilakukan bahkan mulai dari penyediaan bibit bermutu dan pemeliharaannya sejak masa pembibitan. Setiap jenis tanaman pada setiap tahap pertumbuhannya diduga memiliki toleransi terhadap cahaya dan kebutuhan hara yang berbeda untuk menunjang pertumbuhan optimalnya. Tanaman kakao muda dalam pertumbuhannya memerlukan intensitas cahaya rendah, tanaman yang berumur 3-4 bulan membutuhkan sekitar 35-40% intensitas cahaya matahari dan berangsur-angsur meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman (Nasaruddin 2002). Cahaya merupakan sumber tenaga penggerak dalam fotosistem yang akan menghasilkan ATP yaitu sumber energi dalam fotosintesis (Lawlor 1987). Rendahnya intensitas cahaya akan menyebabkan berkurangnya ATP yang terbentuk. Berkaitan dengan ketersediaan hara di pembibitan, pemberian pupuk nitrogen perlu diperhatikan. Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substrat penting dalam tanaman, sekitar 40-50% kandungan protoplasma dari sel tumbuhan terdiri atas senyawa nitrogen. Nitrogen digunakan tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein. Nitrogen juga diperlukan dalam pembentukan klorofil, asam nukleat, dan enzim sehingga nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang besar terutama saat pertumbuhan vegetatif seperti pembentukan tunas, perkembangan batang dan daun (Novizan 2004). Pemberian unsur nitrogen dapat dilakukan melalui pemberian urea pada media tanam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons fisiologi dan pertumbuhan bibit tanaman mangga, durian, rambutan, dan alpukat yang ditanam pada intensitas cahaya dan tingkat pemupukan yang berbeda yang dapat digunakan sebagai dasar pemeliharaan tanaman di pembibitan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong. Bahan tanaman berupa bibit durian, mangga, rambutan, dan alpukat (tinggi ±60 cm dan diameter batang ±0,56 cm) ditanam di polibag (30 cm x 40 cm) pada media tanam berupa campuran tanah : pupuk kandang = 2:1. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah naungan: 0% (N0), 55% (N1), dan 75% (N2), faktor kedua adalah dosis pupuk N yakni 0 g urea/pot (P0), 5 g urea/pot (P1), dan 10 g urea/pot (P2), dan faktor ketiga adalah jenis tanaman yakni rambutan (T1), mangga (T2), durian (T3), dan alpukat (T4). Pengaturan intensitas cahaya yang mencapai tanaman menggunakan paranet hitam. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah pertumbuhan (tinggi tanaman dan diameter batang) dan fisiologi tanaman (laju fotosintesis (A), transpirasi (E),
quantum leaf (Q leaf), konduktivitas stomata (Gs), kandungan karbohidrat daun, dan kandungan klorofil daun). Analisis data dilakukan menggunakan program statistik SAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman dan diameter batang Hasil pengamatan terhadap tinggi dan diameter masingmasing jenis tanaman pada umur 11 bulan setelah tanam (BST) tertera pada Tabel 1. Hasilnya menunjukkan sesuai dengan genetisnya, dimana pertumbuhan masing-masing jenis tanaman berbeda nyata. Tanaman yang paling tinggi adalah mangga, diikuti rambutan, alpukat, dan durian. Mangga juga menunjukkan pertumbuhan diameter batang yang paling besar, diikuti rambutan, alpukat, dan durian. Pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing tanaman pada perlakuan pupuk dan naungan dapat dilihat pada Gambar 1-4. Pada perlakuan pemupukan terlihat bahwa secara umum pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, tanaman yang tertinggi yakni 119,83 cm dicapai pada dosis pemupukan 5g/pot, diikuti 10 g/pot (P2) dan 0 g/pot (P0). Terhadap diameter batang, pemupukan berpengaruh nyata. Diameter batang pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan diameter pada perlakuan P0. Diameter batang terbesar yakni 1,401 cm terdapat pada perlakuan P2 (Tabel 2). Dengan memerhatikan data yang didapat, maka dosis pemupukan yang diberikan masih dapat ditingkatkan. Naungan berpengaruh nyata baik terhadap tinggi tanaman maupun diameter batang. Tinggi tanaman pada kondisi tanpa naungan (N0) tidak berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada kondisi naungan 75%, tetapi berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada naungan 50%. Tanaman tertinggi didapat dari perlakuan naungan 55% yakni mencapai 133,16 cm. Diameter batang pada N0 dan N1 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan diameter batang pada perlakuan N2. Diameter batang terbesar didapat dari perlakuan N1 yakni 1,502 cm (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan hasil penelusuran pustaka yang menunjukkan bahwa pada tanaman karet yang ternaungi secara alami, diameter batang dan tinggi tanaman karet umur 15 BST paling tinggi pada perlakuan tanpa naungan, dan menurun seiring meningkatnya naungan, sedangkan pada umur 7 dan 14 BST, bobot kering total tertinggi dicapai pada perlakuan tanpa naungan dan terendah pada naungan 77% (Senevirathna et al. 2003). Sementara itu pada Vigna radiata, naungan menurunkan bobot kering total tanaman (Takuya et al. 2014). Bobot kering (Larix kaempferi Sarg) yang ternaungi pada umur 12 MST lebih kecil dibanding kontrol yakni tanpa naungan (Qu et al. 2005). Serapan CO2, transpirasi, dan pembukaan stomata Faktor abiotik seperti cahaya matahari, suhu, konsentrasi CO2, vapour pressure deficit, dan status hara memiliki pengaruh yang besar terhadap fotosintesis atau asimilasi CO2, dan selanjutnya pada pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Kondisi lingkungan tumbuh yang
JUHAETI & HIDAYATI – Fisiologi dan pertumbuhan bibit buah-buahan
dapat berakibat pada penurunan fotosintesis atau serapan CO2 termasuk intensitas cahaya yang kurang, suhu, dan ketersediaan hara yang rendah (Ceulmens dan Sauger 1991). Intensitas cahaya yang optimal akan memengaruhi aktivitas stomata untuk menyerap CO2, semakin tinggi intensitas cahaya matahari yang diterima oleh permukaan daun tanaman, maka jumlah absorpsi CO2 relatif semakin tinggi pada kondisi jumlah curah hujan yang cukup, tetapi pada intensitas cahaya matahari di atas 50%, absorpsi CO2 mulai konstan (Nasaruddin 2002). Pengaturan intensitas radiasi matahari yang dapat mencapai tanaman dilakukan melalui pemberian naungan, yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro dan aktivitas fotosintesis tanaman. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme dan turunnya laju fotosintesis serta sintesis karbohidrat yang berimplikasi terhadap menurunnya laju pertumbuhan dan produksi tanaman (Chozin et al. 1999). Hasil pengamatan terhadap serapan CO2, transpirasi, dan pembukaan stomata pada masing-masing jenis tanaman tertera pada Tabel 4. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda untuk berfotosintesis. Laju fotosintesis (A) tertinggi ada pada mangga (10,079) diikuti alpukat, durian, dan rambutan. Pada peubah transpirasi (E) terlihat bahwa nilai transpirasi tertinggi pada alpukat, diikuti durian, rambutan, dan mangga. Adapun nilai konduktivitas stomata (Gs) paling tinggi pada durian, diikuti rambutan, mangga, dan alpukat. Bibit mangga menunjukkan kandungan klorofil paling tinggi, sedangkan kandungan karbohidrat tertinggi pada alpukat. Pada bibit Pinus canariensis, laju fotosintesis dan efisiensi pemakaian air meningkat dengan meningkatnya pemupukan (Luis et al. 2010). Pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap serapan CO2, transpirasi, dan pembukaan stomata. Sementara itu, perlakuan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap laju fotosintesis tetapi berpengaruh nyata terhadap E dan Gs. Karakter fisiologis rambutan Karakter fisiologis rambutan dapat dilihat pada Gambar 5-7. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada rambutan meningkatnya nilai Gs tidak otomatis akan meningkatkan laju fotosintesis. Adapun meningkatnya nilai Gs pada umumnya akan meningkatkan transpirasi daun (Gambar 6). Pada nilai Q leaf yang rendah, rambutan masih dapat berfotosintesis dengan laju yang cukup tinggi, meningkatnya quantum leaf juga cenderung meningkatkan nilai laju fotosintesis, tetapi pada nilai Q leaf yang tinggi (≥1.000), laju fotosintesis menjadi menurun (Gambar 7). Karakter fisiologis mangga Karakter fisiologis mangga ditunjukkan pada Gambar 8-10. Pada tanaman mangga terlihat bahwa laju fotosintesis tidak hanya dipengaruhi oleh konduktivitas stomata (Gambar 8). Konduktivitas stomata lebih berpengaruh terhadap nilai respirasi tanaman (Gambar 9). Sementara itu pada nilai quantum leaf yang rendah di bawah 200, mangga masih mampu berfotosintesis, tetapi pada nilai Q leaf lebih dari 800, nilai laju fotosintesis cenderung menurun (Gambar 10).
949
Karakter fisiologis durian Karakter fisiologis durian tertera pada Gambar 11-13. Pada durian, nilai Gs yang rendah masih mampu membuat durian melakukan fotosintesis dengan baik, tetapi nilai Gs yang terlalu tinggi membuat laju fotosintesis menurun. Laju fotosintesis tertinggi terjadi pada kisaran nilai Gs 0,20,4 (Gambar 11). Pada nilai Q leaf yang terlalu tinggi, laju fotosintesis menurun, sedangkan pada nilai Q leaf yang rendah, reaksi fotosintesis tetap berlangsung. Laju fotosintesis tertinggi terjadi pada kisaran Q leaf 400-450 (Gambar 13). Karakter fisiologis alpukat Karakter fisiologis alpukat tertera pada Gambar 14-16. Laju fotosintesis pada alpukat tidak hanya dipengaruhi oleh konduktivitas stomata. Pada nilai konduktivitas yang terlalu tinggi (≥0,3) laju fotosintesis menurun. Bibit alpukat memiliki toleransi yang baik terhadap cahaya, pada nilai Q leaf yang cukup rendah yakni pada kisaran 200-400, laju fotosintesis berlangsung dengan nilai yang cukup tinggi hampir sama dengan laju fotosintesis pada nilai Q leaf pada kisaran 600 µmolm-2s-1. Pada nilai Q leaf yang tinggi yakni pada kisaran 1.000-1.200, laju fotosintesis menurun. Takuya et al. (2014) menyatakan bahwa pada Vigna radiata, laju fotosintesis menurun akibat perlakuan naungan. Naungan juga menurunkan laju fotosintesis tanaman apel (Brunella et al. 2011). Sementara itu, kakao yang ditanam pada naungan ringan menunjukkan laju fotosintesis yang lebih tinggi saat musim hujan, sedangkan saat musim kering terdapat kecenderungan laju fotosintesis lebih tinggi pada tanaman yang lebih ternaungi. Luas area daun umumnya lebih kecil pada tanaman yang ternaungi (Acheampong et al. 2013).
Gambar 1. Pertambahan tinggi tanaman sampai umur 11 bulan setelah tanam (BST)
Tabel 1. Tinggi tanaman dan diameter batang pada umur 11 BST Perlakuan Rambutan Mangga Durian Alpukat
Tinggi (cm) 128,83 a 137,53 a 91,13 c 107,13 b
Diameter batang (cm) 1,506 b 1,589 a 1,048 d 1,302 c
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 947-953, Juli 2015
950
Tabel 3. Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman dan diameter batang 11 BST Perlakuan 0% 55% 75%
Tinggi (cm) 106,62 b 133,16 a 108,70 b
Diameter (cm) 1,456 a 1,502 a 1,126 b
Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap fisiologi tanaman
Gambar 2. Tinggi tanaman pada umur 11 BST
9,544 a 10,079 a 9,738 a 10,627 a
E (molm-2s-1) 3,206 b 2,699 c 3,840 a 3,877 a
Gs (molm-2s-1) 0,288 b 0,206 c 0,328 a 0,195 c
P0 P1 P2
9,449 a 9,217 a 11,325 a
3,298 a 3,446 a 3,473 a
0,256 a 0,258 a 0,249 a
N0 N1 N2
9,149 a 10,311 a 10,532 a
2,075 c 3,678 b 4,465 a
0,158 c 0,195 b 0,409 a
Perlakuan
A (µmolm-2s-1)
Rambutan Mangga Durian Alpukat
Gambar 3. Pertambahan diameter batang tanaman sampai umur 11 BST
Gambar 5. Hubungan laju fotosintesis dan konduktivitas stomata pada rambutan
Gambar 4. Diameter batang tanaman pada umur 11 BST
Tabel 2. Pengaruh pemupukan terhadap tinggi tanaman dan diameter batang 11 BST Perlakuan pupuk (g/pot) 0 5 10
Tinggi (cm) 112,37 a 119,83 a 116,28 a
Diameter batang (cm) 1,294 b 1,389 a 1,401 a
Gambar 6. Hubungan transpirasi dan konduktivitas stomata pada rambutan
JUHAETI & HIDAYATI – Fisiologi dan pertumbuhan bibit buah-buahan
Gambar 7. Hubungan laju fotosintesis dan quantum leaf pada rambutan
Gambar 8. Hubungan laju fotosintesis dan konduktivitas stomata pada mangga
Gambar 9. Hubungan transpirasi dan konduktivitas stomata pada mangga
951
Gambar 10. Hubungan laju fotosintesis dan quantum leaf pada mangga
Gambar 11. Hubungan laju fotosintesis dan konduktivitas stomata pada durian
Gambar 12. Hubungan transpirasi dan konduktivitas stomata pada durian
952
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 947-953, Juli 2015
Gambar 13. Hubungan laju fotosintesis dan quantum leaf pada durian
Gambar 16. Hubungan laju fotosintesis dan quantum leaf pada alpukat
Tabel 5. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan karbohidrat dan klorofil daun
Gambar 14. Hubungan laju fotosintesis dan konduktivitas stomata pada alpukat
Gambar 15. Hubungan transpirasi dan konduktivitas stomata pada alpukat
Perlakuan Rambutan Mangga Durian Alpukat
Karbohidrat (%) 15,364 c 16,404 b 17,120 b 19,475 a
(SPAD) 48,405 a 48,529 a 40,966 b 38,494 b
P0 P1 P2
16,203 b 17,479 a 17,590 a
43,883 a 43,000 a 45,413 a
N0 N1 N2
22,418 a 14,961 b 13,894 c
38,265 b 43,656 b 50,375 a
Kandungan karbohidrat dan klorofil Kandungan karbohidrat pada daun alpukat nampak paling tinggi (19,475) dan berbeda nyata dibanding rambutan, mangga, dan durian yang menunjukkan angka paling rendah (15,364). Pemupukan berpengaruh nyata terhadap kandungan karbohidrat daun, perlakuan pemupukan P2 menunjukkan angka tertinggi (17,590) tidak berbeda nyata dengan perlakuan P1 (17,494), tetapi berbeda nyata dengan kontrol (16,203) yang menunjukkan angka terendah. Naungan juga berpengaruh nyata terhadap kandungan karbohidrat. Kondisi tanpa naungan menunjukkan kandungan karbohidrat tertinggi, berbeda nyata dengan perlakuan naungan lainnya. Semakin tinggi intensitas naungan, kandungan karbohidrat daun semakin menurun, terlihat dari kandungan karbohidrat pada perlakuan N2 yang menunjukkan angka terendah yakni 13,894% (Tabel 5). Hal ini sesuai dengan hasil temuan Rey dan Stephens (1996) bahwa karbohidrat daun tanaman yang diberi naungan menurun, lebih rendah dibandingkan tanaman tanpa naungan. Sesuai dengan genetisnya, kandungan klorofil setiap tanaman berbeda-beda. Daun mangga menunjukkan kandungan klorofil paling tinggi (48,529 SPAD) dan yang
JUHAETI & HIDAYATI – Fisiologi dan pertumbuhan bibit buah-buahan
terendah daun alpukat (38,494 SPAD). Pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil. Sementara itu, naungan berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil. Semakin tinggi tingkat naungan, maka kandungan klorofil semakin meningkat, seperti terlihat pada perlakuan N2 yang menunjukkan angka tertinggi yakni 50,375 SPAD (Tabel 5). Semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan maka tanaman akan melakukan adaptasi atau penghindaran terhadap cekaman naungan dengan cara meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit luas daun dan rasio klorofil b/a (Levitt 1980). Hale dan Orcutt (1987) menyatakan bahwa efisiensi penangkapan cahaya tergantung pada jumlah klorofil per unit luas daun. Sementara itu, Dwijoseputro (1980) menyatakan bahwa pembentukan klorofil pada daun yang ternaungi dipengaruhi antara lain oleh cahaya, karbohidrat dalam bentuk gula, serta komponen utama pembentuk klorofil yaitu unsur N dan Mg. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bibit rambutan, mangga, durian, dan alpukat memberikan respons fisiologis yang hampir sama terhadap cahaya. Pada nilai Q leaf yang relatif rendah, fotosintesis masih bisa berlangsung, tetapi apabila nilai Q leaf terlalu tinggi maka laju fotosintesis semakin menurun. Masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda untuk berfotosintesis. Laju fotosintesis (A) tertinggi ada pada mangga (10,079) diikuti alpukat, durian, dan rambutan. Nilai transpirasi (E) tertinggi pada alpukat, diikuti durian, rambutan, dan mangga. Pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap serapan CO2, transpirasi, dan pembukaan stomata. Sementara itu, perlakuan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap laju fotosintesis tetapi berpengaruh nyata terhadap E dan Gs. Pada umur 11 BST (bulan setelah tanam), pemupukan berpengaruh nyata terhadap ukuran diameter batang (terbesar 1,4 cm pada perlakuan P3) tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Naungan berpengaruh nyata, baik terhadap tinggi tanaman (tertinggi
953
133,2 cm dari perlakuan N2) maupun terhadap diameter batang (terbesar 1,5 cm dari perlakuan N1).
DAFTAR PUSTAKA Acheampong K, Hadley P, Daymond AJ. 2013. Photosynthetic activity and early growth of four cacao genotypes as influenced by different shade regimes under West African dry and wet season conditions. Exp Agric 49 (1): 31-42. Brunella M, Zibordi M, Losciale P et al. 2011. Shading decreases the growth rate of young apple fruit by reducing their phloem import. Scientia Horticulturae 127: 347-352. Ceulmens RJ, Sauger B. 1991. Photosynthesis. In: Raghavendra AS (ed). Physiology of Trees. Wiley & Sons Publ, New York. Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumardjo S, Suwarno. 1999. Physiology and Genetic of Upland Rice Adaptability to Shade. Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project. [Report]. Directorate General of Higher Education, Ministry of National Education, Jakarta. Dwijoseputro D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta. Hale MG, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plant Under Stress. John Wiley and Sons, Toronto. Lawlor DW. 1987. Photosynthesis: Metabolism, Control and Physiology. John Wiley and Sons, New York. Levitt J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stresses: Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Vol II. Academic Press, New York. Luis VC, Llorca M, Chirino E et al. 2010. Differences in morphology, gas exchange and root hydraulic conductance before planting in Pinus canariensis seedlings growing under different fertilization and light regimes. Trees Structure and Function 24 (6): 1143-1150. Nasaruddin. 2002. Kakao, Budidaya dan Beberapa Aspek Fisiologisnya. Universitas Hasanuddin, Makassar. Novizan. 2004. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media Pustaka, Jakarta. Qu L, Ji D, Shi F et al. 2005. Growth and photosynthetic performance of seedlings of two larch species grown in shaded conditions. Eurasian J For Res 8 (1): 43-51. Rey JR, Stephens FC. 1996. Effects of shading and rhizome isolation on soluble carbohydrate levels in blades and rhizome on the seagrass Syringodium filiforme. Gulf of Mexico Sci 14: 47-54. Senevirathna AM, Stirling CM, Rodrigo VH. 2003. Growth, photosynthetic performance and shade adaptation of rubber (Hevea brasiliensis) grown in natural shade. Tree Physiol 23 (10):705-712. Takuya A, Thay OO, Fumitake K. 2014. Effects of shading on growth and photosynthetic potential of greengram (Vigna radiata (L.) Wilczek) cultivars. Environ Contrib Biol 52 (4): 227-231.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 Halaman: 954-959
ISSN: 2407-8050 DOI: 10.13057/psnmbi/m010453
Mikroorganisme tanah bermanfaat pada rhizosfer tanaman umbi di bawah tegakan hutan rakyat Sulawesi Selatan Advantaging soil microorganism on the rhizosphere of tuber crop under the shade of community forest stand in South Sulawesi RETNO PRAYUDYANINGSIH♥, NURSYAMSI♥♥, RAMDANA SARI♥♥♥ Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 16,5 Makassar 90243, Sulawesi Selatan. Tel. +62-411-554049, Fax. +62-411554058, ♥email:
[email protected], ♥♥
[email protected], ♥♥♥
[email protected] Manuskrip diterima: 20 Februari 2015. Revisi disetujui: 5 Mei 2015.
Prayudyaningsih R, Nursyamsi, Sari R. 2015. Mikroorganisme tanah bermanfaat pada rhizosfer tanaman umbi di bawah tegakan hutan rakyat Sulawesi Selatan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 954-959. Pemanfaatan ruang di bawah tegakan hutan rakyat Vitex cofassus (bitti), Toona sinensis (suren), Tectona grandis (jati), dan Alleurites moluccana (kemiri) dengan tanaman umbi diharapkan tidak hanya meningkatkan ekonomi masyarakat, tetapi juga meningkatkan kesuburan dan mengkonservasi tanah. Keberadaan tanaman umbi akan memperluas daerah rhizosfer sehingga populasi mikroorganisme tanah bermanfaat juga meningkat. Kehadiran mikroorganisme tanah bermanfaat seperti bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik diharapkan akan meningkatkan kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri pelarut fosfat dan penambat nitrogen nonsimbiotik pada rhizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan hutan rakyat di Sulawesi Selatan. Kegiatan penelitian dibagi menjadi dua bagian. Kegiatan pertama adalah pengambilan sampel tanah sedalam 20 cm pada rhizosfer tanaman umbi-umbian yang tumbuh di bawah tegakan V. cofassus, T. sinensis, T. grandis, dan A. moluccana pada delapan kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan kedua adalah isolasi dan identifikasi mikroorganisme tanah bermanfaat. Mikroorganisme tanah yang diisolasi dan diidentifikasi adalah bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik. Hasil penelitian menunjukkan genera bakteri pelarut fosfat di rhizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan hutan rakyat adalah Micrococcus dan Clostridium dengan jumlah koloni bakteri terbanyak dijumpai pada rhizosfer tanaman umbi Xanthosoma violaceum (kimpul). Genera bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yaitu Azotobacter, dengan jumlah koloni bakteri terbanyak dijumpai pada rhizosfer tanaman umbi Amorpohophallus campanulatus (iles-iles/suweg). Kata kunci: Bakteri pelarut fosfat, bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik, hutan rakyat, mikroorganisme tanah, tanaman umbi
Prayudyaningsih R, Nursyamsi, Sari R. 2015. Advantaging soil microorganism on the rhizosphere of tuber crop under the shade of community forest stand in South Sulawesi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 954-959. Utilization of space under the stand of Vitex cofassus (bitti) stand, Toona sinensis (suren), Tectona grandis (teak) and Alleurites moluccana (hazelnut) with tuber crops are not only expected to improve the economy of local community but also to improve soil fertility as well as soil conservation. The existence of tuber crops would extend rhizosphere zone so that it will increase soil microorganism population. The presence of beneficial soil microorganisms such as phosphate solubilizing bacteria and free living N fixing bacteria are expected to increase soil fertility. The objective of the research was to indentify phosphate solubilizing bacteria and free living N fixing bacteria on the rhizosphere of tuber crops grown under community forest stands in South Sulawesi. The results showed genera of phosphate solubilizing bacteria on the rhizosphere of tuber crops which grown under community forest stands i.e Micrococcus and Clostridium, in which the highest number of bacterial colonies were found on rhizosphere of Xanthosoma violaceum (kimpul). There was one genera of free living nitrogen-fixing bacteria i.e Azotobacter, in which the highest number of bacterial colonies was found in the rhizosphere of Amorpohophallus campanulatus (iles-iles/suweg). Key words: Community forest, free living nitrogen fixing bacteria, phosphat solubilizing bacteria, soil microorganism, tuber crop
PENDAHULUAN Luas hutan rakyat di Sulawesi Selatan 223.428 hektar atau 7,40% dari kawasan hutannya (Rizal et al. 2012). Ada beberapa tegakan hutan rakyat di Sulawesi Selatan yaitu tegakan bitti yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, tegakan jati di Kabupaten Soppeng, kemiri di Kabupaten Maros, dan tegakan suren di Kabupaten Bantaeng. Namun,
pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan milik masyarakat masih kurang, padahal hutan rakyat di Sulawesi Selatan cukup luas. Lahan di bawah tegakan hutan rakyat dapat dimanfaatkan dengan memadukan tanaman kayu dan tanaman pangan atau dikenal dengan istilah pola agroforestry. Penanaman dengan pola agroforestry dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perolehan hasil dari tanaman pangan dan tanaman kehutanan.
PRAYUDYANINGSIH et al. – Mikroorganisme pada rhizosfer tanaman umbi
Penanaman tanaman pangan seperti jenis umbi-umbian di bawah tegakan hutan rakyat selain meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan masyarakat Sulawesi Selatan, juga diharapkan dapat mengkonservasi tanah dan air serta meningkatkan kualitas biologi tanah sehingga menjamin kelestarian hutan rakyat di Sulawesi Selatan. Kualitas biologi tanah meningkat dengan adanya mikroorganisme tanah terutama pada rhizosfer. Menurut Simatupang (2008), rhizosfer merupakan bagian tanah yang berada di sekitar perakaran tanaman. Populasi mikroorganisme di rhizosfer umumnya lebih banyak dan beragam dibandingkan pada tanah nonrhizosfer. Aktivitas mikroorganisme rhizosfer dipengaruhi oleh eksudat yang dihasilkan oleh perakaran tanaman. Beberapa mikroorganisme rhizosfer berperan dalam siklus hara dan proses pembentukan tanah, pertumbuhan tanaman, memengaruhi aktivitas mikroorganisme, serta sebagai pengendali hayati terhadap patogen akar. Mikroorganisme tanah yang bermanfaat antara lain bakteri pelarut fosfat (BPF) dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik. Bakteri pelarut fosfat merupakan bakteri yang berperan dalam penyuburan tanah karena mampu melarutkan fosfat dengan mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, fumarat, dan malat. Asam-asam organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat, seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Simanungkalit dan Suriadikarta 2006). Widawati dan Suliasih (2006) menyatakan populasi BPF di daerah rhizosfer mencapai 10100 kali lebih banyak dibandingkan daerah nonrhizosfer karena akar mengekskresikan bahan organik yang dapat mencukupi dan merangsang pertumbuhan bakteri. Bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik merupakan bakteri yang dapat mengubah molekul nitrogen menjadi amonium tanpa bergantung pada organisme lain. Jumlah nitrogen hasil penambatan nitrogen secara biologis merupakan yang terbesar dari seluruh proses penambatan N2 atmosfer menjadi ion amonium (Danapriatna 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis mikroorganisme tanah bermanfaat yaitu bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik pada rhizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan hutan rakyat di Sulawesi Selatan. Melalui penelitian ini akan diperoleh informasi dampak pemanfaatan tanaman umbi di bawah tegakan hutan rakyat terhadap peningkatkan kualitas biologi tanah. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan pada 8 lokasi hutan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu pada lokasi tegakan V. cofaasus, di Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara, tegakan A. moluccana di Kabupaten Maros dan Barru, tegakan T. sinensis di Kabupaten Bantaeng dan Enrekang, serta tegakan T. grandis di Kabupaten Soppeng dan Sidrap. Pada lokasi hutan rakyat tersebut dilakukan inventarisasi
955
jenis-jenis tanaman umbi dan pengambilan sampel tanah pada rhizosfer tanaman umbi. Kegiatan pengamatan keragaman dan identifikasi mikroorganisme tanah bermanfaat dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Alat dan bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tumbuhan dan tanah dari rhizosfer tanaman umbiumbian yang tumbuh di bawah tegakan hutan rakyat di Sulawesi Selatan; medium Piskovskaya yang terdiri atas glukosa 10 g, Ca(H2PO4)2.H2O 5 g, (NH4)2SO4 0,5 g, MgSO4.7H2O 0,1 g, KCl 0,2 g, MnSO4, FeSO4 0,005 g, NaCl 0,2 g, yeast extract 0,5 g, agar-agar 20 g; medium manitol ashby yang terdiri atas agar-agar (Difco), akuades, alkohol 70%, manitol, K2HPO4, MgSO4.7H2O, NaCl, CaCO3, FeCl3, Na2MoO4.2H2O, yeast extract (Difco), FeSO4.7H2O, ammonium oxalat crystal violet, kalium iodida, safranin, CuSO4, H2O2 3%, pepton (Difco), sampel tanah, HCl, peptonized iron, Na2S2O3, KNO2, dan skim milk. Cara kerja Kegiatan penelitian dibagi menjadi 2 bagian yaitu pertama, kegiatan di lapangan yang meliputi pengambilan sampel tanah pada rhizosfer tanaman umbi-umbian yang tumbuh di bawah tegakan hutan rakyat. Untuk setiap lokasi penelitian dilakukan pengambilan sampel tanah pada tiap rhizosfer tanaman umbi-umbian sebanyak 500-1.000 g dengan kedalaman 20 cm. Kegiatan yang kedua adalah di laboratorium yang meliputi isolasi dan identifikasi mikroorganisme tanah bermanfaat. Mikroorganisme tanah yang diisolasi dan diidentifikasi adalah bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik. Kegiatan isolasi dan identifikasi bakteri pelarut fosfat dan bakteri pengikat nitrogen nonsimbiotik sebagai berikut. Isolasi dan identifikasi bakteri pelarut fosfat pada rhizosfer Sampel tanah dari lapangan sebanyak 10 g disuspensikan ke dalam 90 ml NaCl fisiologis steril dan dikocok hingga homogen dengan shaker pada kecepatan 150 rpm selama 3 x 24 jam pada suhu kamar. Selanjutnya dibuat seri pengenceran dengan cara memipet larutan tersebut sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam larutan 9 ml NaCl fisiologis dan diencerkan hingga tingkat pengenceran sampai 107. Selanjutnya, masing-masing tingkat pengenceran diinokulasi ke dalam media Pikovskaya dengan metode tabur kemudian diinkubasi pada suhu kamar (27-28oC) selama 24-48 jam. Setelah itu dilakukan pengamatan pertumbuhan dan penghitungan jumlah koloninya. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan metode cawan hitung (plate count) (Marista et al. 2013). Untuk setiap koloni tunggal yang berbeda selanjutnya dibuat biakan murni dengan metode gores pada cawan petri yang berisi medium Pikovskaya. Hasil biakan murni selanjutnya diidentifikasi. Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik dari rhizosfer Sampel tanah dari lapangan sebanyak 10 g disuspensikan ke dalam 90 ml NaCl fisiologis steril dan
956
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 954-959, Juli 2015
dikocok hingga homogen dengan shaker pada kecepatan 150 rpm selama 3 x 24 jam pada suhu kamar. Selanjutnya dibuat seri pengenceran dengan cara memipet larutan tersebut sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam larutan 9 ml NaCl fisiologis dan diencerkan hingga tingkat pengenceran sampai 107. Selanjutnya, masing-masing tingkat pengenceran diinokulasi ke dalam medium agar manitol ashby dengan metode tabur dan kemudian diinkubasi pada suhu kamar (27-28oC) selama 24-48 jam. Setelah itu dilakukan pengamatan pertumbuhan dan penghitungan jumlah koloninya. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan metode cawan hitung (plate count) (Marista et al. 2013). Untuk setiap koloni tunggal yang berbeda selanjutnya dibuat biakan murninya dengan metode gores pada cawan petri yang berisi medium agar manitol ashby. Hasil biakan murni selanjutnya diidentifikasi. Analisis data Pengamatan dilakukan terhadap keragaman mikroorganisme tanah bermanfaat pada rhizosfer tanaman umbi yaitu keragaman bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik meliputi jenis dan jumlah populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteri pelarut fosfat (BPF) Sumber utama fosfor tanah dapat berasal dari pelapukan batuan (proses mineralisasi). Pada tanah masam, fosfor akan bersenyawa dengan aluminium membentuk Al-P, sedangkan pada tanah alkali, fosfor akan bersenyawa dengan kalsium membentuk Ca-P yang sukar larut sehingga tidak tersedia untuk tanaman (Ilham et al. 2014). Pengikatan-pengikatan fosfat tersebut menyebabkan pupuk fosfat yang diberikan tidak efisien sehingga perlu diberikan dalam takaran tinggi. Namun, tanaman hanya dapat menyerap sekitar 15-20% fosfat yang berasal dari pemupukan. Adapun sisanya akan terjerap di antara koloid tanah dan tinggal sebagai residu di dalam tanah. Hal ini akan menyebabkan defisiensi fosfat bagi pertumbuhan tanaman (Simanungkalit dan Suriadikarta 2006). Pemanfaatan fosfat tanah yang kurang efisien oleh tanaman dapat diatasi dengan cara memanfaatkan bakteri pelarut P sebagai pupuk hayati. Penggunaan bakteri pelarut P sebagai pupuk hayati mempunyai keunggulan antara lain hemat energi, tidak mencemari lingkungan, mampu membantu meningkatkan kelarutan P yang terjerap, menghalangi terjerapnya P dari pupuk oleh unsur-unsur penjerap, serta mengurangi toksisitas Al+3, Fe+3, dan Mn-3 terhadap tanaman, khususnya di daerah masam (Novriani 2010). Persentase kandungan unsur P dalam ekosistem tanah juga sangat bergantung dari adanya BPF dalam ekosistem tanah tersebut (Widawati dan Sulasih 2006). Bakteri pelarut fosfat (BPF) berperan dalam melarutkan fosfat organik dan anorganik menjadi fosfat terlarut sehingga dapat digunakan oleh akar tanaman dan mikroba tanah lainnya yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Beberapa bakteri yang termasuk dalam kelompok BPF, seperti Pseudomonas sp., Bacillus sp., Bacillus
megaterium, dan Chromobacterium sp. dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer dengan menghasilkan asam-asam organik yang dapat menggantikan P dalam ikatannya dengan Al ataupun Fe sehingga unsur P akan dilepaskan menjadi P larut yang dapat dimanfaatkan tanaman (Niswati et al. 2008). Hasil identifikasi BPF pada rhizosfer tanaman umbi di bawah tegakan hutan rakyat kemiri, jati, suren, dan bitti menunjukkan bahwa BPF yang terdapat pada rhizosfer tanaman umbi merupakan genera Micrococcus dan Clostridium. Jumlah koloni bakteri pelarut fosfat, jumlah isolat, rata-rata diameter zona bening yang dibentuk oleh BPF (halozone), serta genera bakteri yang diperoleh di rhizosfer umbi-umbian pada tegakan kemiri, jati, suren, dan bitti disajikan pada Tabel 1. Jumlah koloni bakteri pelarut fosfat terbanyak di tegakan kemiri dan bitti diperoleh dari rhizosfer X. violaceum (kimpul). Pada tegakan jati, jumlah koloni BPF yang terbanyak diperoleh dari rhizosfer T. palmate, sedangkan pada tegakan suren diperoleh dari rhizosfer A. campanulatus (iles-iles/suweg). Jumlah koloni BPF pada rhizosfer tanaman umbi tersebut merupakan salah satu indikator tingkat kesuburan tanah. Mikroba pelarut fosfat umumnya ditemukan sebagai pelarut fosfat anorganik, yaitu sebesar 104-106 sel/g tanah dan sebagian besar terdapat pada bagian perakaran (Niswati et al. 2008). Umumnya jumlah mikroba pelarut fosfat secara alami sekitar 0,1-0,5% dari total populasi mikroba tanah dan populasi mikroba pelarut fosfat dari golongan bakteri mencapai sekitar 12 juta mikroorganisme per gram tanah (Simanungkalit dan Suriadikarta 2006). Bakteri pelarut fosfat berkembang baik pada tanah yang mengandung banyak bahan organik dan mineral tersedia sebagai karbon. Akar tanaman akan mengeluarkan senyawa metabolit (eksudat) ke dalam tanah, seperti senyawasenyawa gula, asam amino, asam organik, glikosida, senyawa nukleotida, enzim, vitamin, dan senyawa indol yang dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi untuk bakteri tanah sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Purwantari 2008). Sebaliknya, bakteri menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Hal ini menunjukkan adanya hubungan sinergis antara tanaman umbi-umbian yang terdapat pada tegakan kemiri, jati, suren, dan bitti dengan BPF yang ada pada rhizosfer. Pembentukan zona bening oleh isolat BPF mengindikasikan kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Pada tegakan jati, rata-rata zona bening terbesar ditemukan di rhizosfer D. esculenta (ubi opa) dan pada tegakan suren diperoleh di rhizosfer A. campanulatus (iles-iles/suweg). Pada tegakan bitti, rata-rata zona bening yang dibentuk oleh BPF yang terbesar diperoleh di rhizosfer umbi X. violaceum (kimpul) dan tegakan kemiri pada rhizosfer Dioscorea hispida POIR (gadung). Hal ini menunjukkan isolat-isolat BPF pada rhizosfer tanaman umbi tersebut mempunyai kemampuan melarutkan fosfat yang lebih tinggi dibandingkan isolat yang lain. Menurut Maryanti (2006), pertambahan zona bening akan diikuti dengan pertambahan diameter koloni bakteri tersebut. Gambar 1 menunjukkan diameter zona bening.
PRAYUDYANINGSIH et al. – Mikroorganisme pada rhizosfer tanaman umbi
957
Tabel 1. Jumlah koloni bakteri pelarut P, jumlah isolat, rata-rata halozone dan genera bakteri pada rhizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan kemiri, jati, suren, dan bitti Jenis tegakan
Jenis tanaman umbi
Aleurites moluccana (kemiri)
Alocasia denudata (keladi B) Amorphophallus campanulatus Bl. (iles-iles/suweg) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Dioscorea hispida Poir (gadung) Tacca palmata Bt (merah-merah) Dioscorea hispida Poir (gadung) Amorphophallus campanulatus BL (iles-iles/suweg Dioscorea esculenta (ubi opa) Tacca palmata Bt (merah-merah) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Canna edulis Ker (ganyong) Amorphophallus campanulatus BL (iles-iles/suweg) Alocasia cuculata (talas lurik) Amorphophallus campanulatus BL (iles-iles/suweg)
Tectona grandis (jati)
Toona sinensis (suren)
Vitex cofassus Reinw (bitti)
Typonium divaricatum (dandalis) Tacca pinnatifida (mirip iles-iles) Alocasia cuculata (talas lurik) Tacca palmata Bt (merah-merah) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Keterangan: CFU = Colony Forming Units
Gambar 1. Lingkaran zona bening (tanda panah) yang dibentuk oleh bakteri pelarut fosfat
Bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik Kandungan nitrogen di atmosfer sekitar 78% tetapi tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman. Ketersediaan kadar nitrogen di dalam tanah bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Patti et al. (2013) menunjukkan kandungan N total tanah masih rendah berkisar 0,06%-0,17% pada beberapa daerah. Salah satu usaha yang dapat mengubah N dari bentuk tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman adalah melalui proses penambatan nitrogen biologis (biological nitrogen fixation). Proses ini akan mengubah N2 udara menjadi amonia karena adanya enzim nitrogenase. Enzim tersebut hanya dimiliki oleh mikroba tertentu
Jumlah koloni BPF (CFU/g tanah 4,1 x 102 3,2 x 102 3,9 x 103 3,2 x 102 3,4 x 102 4,2 x 102 7,1 x 102 3,9 x 102 1,9 x 103 3,6 x 102 4,2 x 103 4,6 x 103 5,0 x 103 4,1 x 102 4,9 x 102
Rata-rata halozone (mm) 2,269 1,369 2,11 2,821 2,299 1,887 6,837 7,361 3,106 1,669 1,406 5,097 8,698 2,034 3,428
2,5 x 103 3,6 x 103 3,9 x 102 6,2 x 102 7,1 x 103
5,012 2,070 1,783 2,359 5,749
Genera bakteri
Micrococcus Micrococcus Micrococcus Micrococcus Micrococcus Micrococcus Micrococcus Micrococcus Tidak diketahui Tidak diketahui Micrococcus Micrococcus, Clostridium Micrococcus Micrococcus Micrococcus Micrococcus
misalnya pada bakteri penambat nitrogen yang hidup bebas (nonsimbiotik) (Kurniaty et al. 2013). Pengamatan jumlah koloni bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik pada tegakan kemiri, jati, suren, dan bitti di Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 2. Jumlah koloni bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yang terbanyak pada tegakan kemiri dan bitti ditemukan di rhizosfer T. palmata. Pada tegakan jati, jumlah koloni terbanyak ditemukan pada rhizosfer umbi X. violaceum (kimpul), sedangkan pada tegakan suren diperoleh dari rhizosfer A. campanulatus (iles-iles/suweg). Banyaknya bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik pada rhizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan hutan menunjukkan peranan bakteri ini untuk mengikat nitrogen lebih maksimal. Keberadaan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pH tanah, aerasi, drainase yang baik, kelembaban, kandungan bahan organik, serta kondisi perakaran tumbuhan tingkat tinggi tempatnya hidup juga akan memengaruhi keragaman dan populasi bakteri penambat N nonsimbiotik (Agustian et al. 2012). Mikroorganisme tanah merupakan salah satu faktor penting dalam ekosistem tanah karena memengaruhi siklus dan ketersediaan unsur hara tanaman serta stabilitas struktur tanah Susilawati et al. (2013). Ditambahkan oleh Purwaningsih (2009) bahwa tanah yang subur mengandung ˃100 juta mikroorganisme per gram tanah. Tanah yang banyak mengandung berbagai macam mikroorganisme secara umum dapat dikatakan bahwa tanah tersebut memiliki sifat fisik dan kimia yang baik. Salah satu mikroorganisme yang terdapat dalam tanah antara lain bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik. Dengan adanya
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (4): 954-959, Juli 2015
958
Tabel 2. Jumlah koloni bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik pada rizosfer tanaman umbi yang tumbuh di bawah tegakan kemiri, jati, suren, dan bitti
Jenis tegakan Aleurites moluccana (kemiri)
Tectona grandis (jati)
Toona sinensis (suren)
Vitex cofassus Reinw (bitti)
Jenis tanaman umbi Alocasia denudata (beladi B) Amorphophallus campanulatus Bl. (iles-iles/suweg) Tacca palmata Bt (merah-merah) Dioscorea hispida POIR (gadung) Amorphophallus campanulatus Bl. (iles-iles/suweg Dioscorea esculenta (ubi opa) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Canna edulis KER (ganyong) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Xanthosoma violaceum Schott (kimpul) Typonium divaricatum (dandalis) Tacca pinnatifida (mirip iles-iles) Alocasia cuculata (talas lurik) Tacca palmata Bt (merah-merah)
mikroorganisme ini akan berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah, karena mikroorganisme memegang peranan penting dalam proses pelapukan bahan organik dalam tanah sehingga unsur hara menjadi tersedia bagi tanaman. Hasil identifikasi bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yang terdapat pada rhizosfer tanaman umbi menunjukkan ciri makroskopik dan mikroskopik yang sama pada semua jenis tegakan yaitu berasal dari genera Azotobacter. Jenis ini mampu bertahan menghadapi persaingan dengan mikroorganisme tanah lainnya. Azotobacter memiliki kelebihan dibandingkan dengan bakteri penambat N nonsimbiotik lainnya karena mampu mensintesis hormon seperti IAA (Indole Acetic Acid) sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman (Widiastuti et al. 2010). Dengan demikian, mikrooganisme tanah bermanfaat yaitu bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yang ditemukan pada rizosfer tanaman umbi di bawah tegakan kemiri, jati, suren, dan bitti di Sulawesi Selatan berasal dari satu genera. Genera bakteri pelarut fosfat yaitu Micrococcus dan/atau Clostridium dengan jumlah koloni terbanyak terdapat pada umbi X. violaceum (kimpul) yaitu 3,6 x 103-7,1 x 103 CFU/g tanah. Genera bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yang ditemukan adalah Azotobacter dengan jumlah koloni terbanyak dijumpai pada rizosfer A. campanulatus (iles-iles) yaitu 8,3x105 CFU/g tanah.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih sebesar-besarnya diberikan kepada Bintarto Wahyu W, Heri Suryanto, Muhammad Syarif, Edi Kurniawan, Abdul Qudus Toaha, Isnadiyah Juhdi, Andi Sri Rahmadania, Sulasri, dan Prita Reski Utaminingsih yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan proses pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga ditujukan ke
Rata-rata total bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik (CFU/g sampel tanah) 8,2 x 103 5,5 x 103 1,95 x 105 4,2 x 102 7,1 x 102 3,9 x 102 2 x 105 7,47 x 104 1,8 x 105 8,3 x 105 3,9 x 103 6,4 x 105 3,6 x 103 4,2 x 103 7,5 x 105
Kementerian DIKNAS yang telah membiayai penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA Agustian, Syafei R, Maira L. 2012. Keragaman bakteri penambat N pada rhizosfer titonia (Tithonia diversifolia) yang tumbuh pada tanah masam ultisol. Jurnal Solum 9 (2): 98-105. Danapriatna N. 2010. Biokimia penambatan nitrogen oleh bakteri non simbiotik. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 1 (2): 1-10. Ilham, Darmayasa IBG, Nurjaya IGMO, Kawuri R. 2014. Isolasi dan identifikasi bakteri pelarut fosfat potensial pada tanah konvensional dan tanah organik. Jurnal Simbiosis 2 (1): 173-183. Kurniaty R, Bustomi S, Widyati E. 2013. Penggunaan Rhizobium dan mikoriza dalam pertumbuhan bibit kaliandra (Calliandra callothyrsus) umur 5 bulan. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan 1 (2): 71-81. Maryanti D. 2006. Isolasi dan Uji kemampuan Bakteri Pelarut Fosfat dari Rhizosfer Tanaman Pangan dan Semak. [Skripsi]. Universitas Andalas, Padang. Marista E, Khotimah S, Linda R. 2013. Bakteri pelarut fosfat hasil isolasi dari tiga jenis tanah rhizosfer tanaman pisah nipah (Musa paradisiaca var. Nipah) di Kota Singkawang. Probiont 2 (2): 93-101. Niswati A, Yusnaini S, Arif MAS. 2008. Populasi mikroba pelarut fosfat dan P-tersedia pada rhizosfer beberapa umur dan jarak dari pusat perakaran jagung (Zea mays L.). Jurnal Tanah Trop 13 (2): 123-130. Novriani. 2010. Alternatif pengelolaan unsur hara P (fosfor) pada budidaya jagung. Agronobis 2 (3): 42-49. Patti PS, Kaya E, Silahooy C. 2013. Analisis status nitrogen tanah dalam kaitannya dengan serapan N oleh tanaman padi sawah di Desa Waimital, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Agrologia 2 (1): 51-58. Purwaningsih S. 2009. Populasi bakteri Rhizobium di tanah pada beberapa tanaman dari Pulau Buton, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Tanah Trop 14 (1): 65-70. Purwantari ND. 2008. Penambatan nitrogen secara biologis: Perspektif dan keterbatasannya. Wartazoa 18 (1): 9-17. Rizal A, Nurhaedah, Hapsari E. 2012. Kajian strategi optimalisasi pemanfaatan lahan hutan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9 (4): 216-228. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor.
PRAYUDYANINGSIH et al. – Mikroorganisme pada rhizosfer tanaman umbi Simatupang DS. 2008. Berbagai Mikroorganisme Rhizosfer pada Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) di Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) IPB Desa Ciomas, Kecamatan Pasirkuda, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susilawati, Mustoyo, Budhisurya E et al. 2013. Analisis kesuburan tanah dengan indikator mikroorganisme tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan di Plateau Dieng. Jurnal Agrik 25 (1): 64-72.
959
Widawati S, Suliasih. 2006. Populasi bakteri pelarut fosfat (BPF) di Cikaniki, Gunung Botol dan Ciptarasa, serta kemampuannya melarutkan P terikat di media Pikovskaya padat. Biodiversitas 7 (2): 109-113. Widiastuti H, Siswanto, Suharyanto. 2010. Karakterisasi dan seleksi beberapa Isolat Azotobacter sp. untuk meningkatkan perkecambahan benih dan pertumbuhan tanaman. Buletin Plasma Nutfah 16 (2): 160167.