TexChem
1 KUMPULAN MAKALAH
Seminar Mahasiswa Kimia Tekstil – 9 Maret 2004
TexChem Student Science Fair 2004 Laboratorium Kimia Fisika Tekstil & Laboratorium Pencapan Penyempurnaan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI TEKSTIL BANDUNG
KUMPULAN MAKALAH SEMINAR
TexChem Student Science Fair 2004
Laboratorium Kimia Fisika Tekstil & Laboratorium Pencapan Penyempurnaan Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31 • Bandung 40272 Phone 062 22 7272580 • Fax 062 22 7271694
The fabrication of textile products is ... one of the bases of civilization. ... it is an expression of the artistry of the designer, the imagination of the scientist, the adventuring spirit of the entrepreneur, and the dignity of the craftsman. ... [which] have created and powered the slow upward climb of civilization which we call progress. (Smith and Block, Textile in Perspective) Untuk masa depan yang lebih baik
Daftar Isi 1
Penyempurnaan Anti Bakteri dan Tolak Darah Untuk Baju Bedah
1
2
Kaos Kaki Anti Busuk dan Tahan Kotor dari Kapas 100 %
7
3
Penyempurnaan Tahan Api Untuk Pakaian Seragam Industri Baja Dengan Senyawa Organik Fosfor
11
4
Pakaian Dalam Pria Anti Anti Bakteri dan Tahan Kotor
15
5
Celemek Bayi Tahan Kotor
19
6
Peningkatan Mutu Kain Kantong Pos Dengan Penyempurnaan Tolak Air Menggunakan Menggunakan Fluorokarbon dan Resin Melamin
23
7
Penyempurnaan Tolak Air Dengan Fluorokarbon Untuk Kain Payung Dari Poliester
25
8
Sarung Bantal Tahan Kotor dan Anti Kusut
29
9
Tirai Tahan Api dan Tahan Kotor Dari Kain Poliester 100%
33
10
Penyempurnaan Tolak Air Pada Kain Jaket Poliester Kapas Dengan Fluorokarbon
37
11
Penyempurnaan Tolak Air Untuk Kain Payung Dari Nilon 66
41
12
Mukena Katun Tahan Tahan Kusut dan Bebas Jamur Dengan DMDHEU dan Asam Benzoat
43
13
Kain Jok dari Poliester 100% dengan Penyempurnaan Tahan Api dan Tahan Kotor
47
14
Zat Warna Alam Untuk Bahan Tekstil Dari Ekstrak Kulit Buah Manggis
49
15
Mirabilis Jalapa L , Pemanfaatan dan Pengembangannya Untuk Zat Warna Alam
53
16
Pembuatan Sabun Cair Dengan Bahan Dasar Alkil Benzena Sulfonat
57
17
Aplikasi Nanoteknologi di Bidang Tekstil
61
iii
Daftar Tabel Hasil pengukuran reflektansi pada panjang gelombang 400 nm, contoh uji dengan Olephobol SL dan tanpa Oleophobol SL.
9
Hasil pengujian kekuatan kekuatan tarik (Kg), contoh uji dengan CuSO4 2 % dan tanpa CuSO4 2 %
9
Hasil uji nyala kain kapas 100% yang dikerjakan dengan Pyrovatex CP New 500 g/l.
12
Hasil pengujian daya serap dan ketahanan kotor kain rajut kapas 100% yang dikerjakan dengan Sanitized T96T96-20 dan Oleophobol SL
16
Resep penyempurnaan tahan kotor menggunakan Aversin Aversin KFCKFC-I untuk celemek bayi
20
Pengaruh senyawa tolak air terhadap kekuatan tarik kain
27
Nilai hasil uji siram kain poliester 100% untuk kain payung yang dikerjakan dengan Aversin KFCKFC-I.
27
Nilai hasil uji tahan hujan (bundesmann) kain poliester 100% untuk kain payung yang dikerjakan dengan Aversin KFCKFC-I.
27
Hasil pengujian nyala api cara vertikal kain tirai poliester 100% yang dikerjakan dengan Dekaflame
35
Pengaruh resin melamin terhadap kekakuan kain kain tirai poliester 100%
35
Ketahanan kusut (CRA) kain tirai poliester 100% pada berbagai konsentrasi resin melamin
35
Nilai K/S kainkain-yangyang-dikotorkan sebelum dan sesudah pencucian hasil pengerjaan dengan Oleophobol SL
35
Daya tolak air (uji siram) dan kekakuan kain poliesterpoliester-kapas pada berbagai konsentrasi Aversin KFCKFC-I dan Silicone Silicone NN-100
38
Hasil pengujian tahan api, tahan kotor, dan kekuatan tarik kain poliester 100% yang dikerjakan dengan Nicca FiFi-None PP-100 dan 2% Aversin KFCKFC-I
48
Penggolongan tanin tumbuhan
50
Hasil identifikasi zat warna pada ekstrak kulit buah manggis
51
Ketahanan Ketahanan gosok dan cuci hasil celupan ekstrak kulit manggis dengan berbagai pengerjaan iring
52
Ketahanan gosok hasil celupan daun kembang pukul empat dengan berbagai pengerjaan iring.
55
Ketahanan luntur terhadap pencucian hasil celupan ekstrak daun kembang pukul empat dengan berbagai pengerjaan iring
56
Pengaruh pengerjaan iring terhadap nilai ketuaan warna hasil celupan daun kembang pukul empat
56
v
Perbandingan komponen dan fungsi biomolekuler dengan skala makro
vi
62
Daftar Gambar Hasil Uji Siram Berbagai Resep Penyempurnaan Tolak Air/Tahan Kotor
20
Data Reflektansi Untuk Evaluasi Sifat Tahan Kotor
21
Asam benzoat
44
DMDHEU (1) dan dimetiloldimetilol-4-metoksimetoksi-5,55,5-dimetilpropilena urea (2, Fixapret PCL)
44
Hubungan K/S dengan metoda celup pada berbagai bahan
51
Struktur dasar flavonoida
54
Struktur dasar antosianin (ion flavinium) flavinium)
54
Flavon (a) dan flavonol (b)
54
Ester asam poliakrilat dan heksanol yang didi-perfluoronasi (Scotchgard, 3M Co.).
65
NanoNano-Care , bulubulu-bulu berukuran nano (nanonano-whiskers) ditempelkan pada tiap helai benang kapas.
66
Vektor gayagaya-gaya yang bekerja pada antarmuka padatan/udara/air. padatan/udara/air.
67
vii
KATA PENGANTAR TexChem Student Science Fair 2004 adalah program kerja sama Laboratorium Pencapan dan Penyempurnaan Tekstil dengan Laboratorium Kimia Fisika Tekstil, Jurusan Kimia Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, berupa seminar dan pameran hasil karya praktek mahasiswa. Kegiatan ini diharapkan menjadi bagian dari bentuk partisipasi laboratorium dan mahasiswa dalam menciptakan iklim akademik di kampus STTT, dengan membawa semangat perubahan paradigma belajar dalam menyikapi aktivitas perkuliahan. Kegiatan ini juga diharapkan dapat menjadi semacam ‘jendela’ bagi hubungan simbiosis mutualistik yang egaliter antara industri dan kampus dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Kuliah seringkali dipandang sebagai ‘hanya’ rutinitas yang bahkan tujuan akhirnya pun memperoleh nilai baik saja (nilai-oriented). Hal ini tentu tidak salah, tapi mungkin esensinya akan berbeda jika dibandingkan dengan pandangan bahwa kuliah merupakan bagian dari proses belajar, yang setiap tahapannya adalah ‘perubahan’, dengan pencapaian-pencapaian tertentu yang layak diapresiasi sebagai karya intelektual yang tak hanya berorientasi formalistik. Membangun sebuah budaya akademik adalah dan seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pendidikan dan merupakan tanggung jawab semua unsur di dalam kampus. Mewujudkannya tidaklah harus dengan kemewahan dan segala kompleksitas yang seringkali ditemui dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan semacam ini. TexChem Student Science Fair 2004 (untuk pertama kalinya) telah dilaksanakan pada 9 Maret 2004 di kampus STTT dengan membawa semangat kesederhanaan itu dan tetap bertumpu pada substansi misinya. Sebagai kelanjutan dari apresiasi tadi dan bertolak dari substansi pelaksanaannya, maka makalah-makalah yang telah disajikan dalam kegiatan ini ditampilkan kembali dalam bentuk “Kumpulan Makalah Seminar TexChem Student Science Fair 2004” untuk dapat diapresiasi lagi dalam lingkup yang lebih luas. Kumpulan makalah ini juga dimaksudkan sekaligus untuk memberi gambaran mengenai sisi lain dari wawasan belajar yang diperoleh mahasiswa dalam aktivitas kuliahnya. Hal ini ditunjukkan dengan ragam materi yang disajikan yang meliputi aplikasi tekstil dan teknologi tekstil di bidang kedokteran, upholstery, dekorasi rumah tangga (home decoration), dan sandang nonkonvensional serta tekstil untuk keperluan lainnya. Satu hal yang menarik untuk diamati dalam hal ini adalah minat penelitian mahasiswa yang mulai memasuki wilayah technical textiles. Semangat eksplorasi, unsur terpenting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga nampak pada karya mahasiswa dalam pembuatan zat warna dari bahan-bahan alam dan pembuatan sabun (textile auxiliaries). TexChem Student Science Fair memang dimaksudkan untuk memberi ruang dan menghidupkan semangat ini. Dengan segala kerendahan hati kami menyadari kegiatan ini dan kumpulan makalah yang dihasilkannya masih banyak kekurangannya dan jauh dari sempurna. Membangun adalah sebuah proses panjang yang semestinya bertahap berkesinambungan. Tanggapan berupa masukan maupun kritik dari semua pihak sangat diharapkan untuk pelaksanaan kegiatan serupa di masa-masa mendatang. Disamping itu, masukan juga diharapkan sebagai bahan bagi tambahan wawasan keilmuan dan peningkatan mutu penelitian dalam pengertian berkaitan erat dengan kebutuhan dan situasi nyata di industri, mengikuti perkembangan teknologi serta lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Kegiatan ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak yang dengan tulus telah memberikannya. Untuk itu kami haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
ix
1) Ketua Jurusan Kimia Tekstil atas ijin dan dukungan yang diberikan, beserta seluruh jajaran pimpinan Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 2) Para donatur dan simpatisan yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam bentuk materi maupun tenaga, 3) Perusahaan pembuat dan penyedia bahan-bahan kimia tekstil yang telah banyak membantu pengadaan bahan-bahan praktek dan penelitian mahasiswa, 4) Adik-adik mahasiswa yang selalu penuh semangat mempersiapkan kegiatan ini tanpa pamrih, dan mengerahkan seluruh sumber daya dan kemampuan yang dimiliki demi suksesnya kegiatan ini, dan 5) Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini. Akhirnya, kami berharap semoga karya kecil ini menjadi awal terciptanya budaya dan tradisi ilmiah yang lebih baik di Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu dan teknologi khususnya di bidang tekstil.
Bandung, 29 Maret 2004 Penyelenggara, Lab. Pencapan & Penyempurnaan Lab. Kimia Fisika Tekstil
x
1
PENYEMPURNAAN ANTI BAKTERI DAN TOLAK DARAH UNTUK BAJU BEDAH
Emsidelva Okasti, Firliani K, Linda, Liyana & Louise Mersenne Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Bahan tekstil atau produk tekstil dapat diolah dan dimanfaatkan dibidang kedokteran dan kesehatan karena mempunyai sifat-sifat yang dapat memenuhi syarat untuk penggunaan di bidang tersebut antara lain kekuatan tarik, lembut (softness), daya serap dan tembus udara. Pemanfaatannya sangat luas dengan fungsi yang berbeda-beda mulai dari penggunaaan benang tunggal sampai pada kain higienis untuk keperluan ruang bedah, dan salah satunya adalah baju bedah. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa peggunaan resin meningkatkan kekuatan tarik dan daya tembus udara kain. Pada pengujian spektrofotometer, kain dengan komposisi 1% zat anti bakteri dan 10 % glioksal menunjukan adanya noda darah yang tidak dapat dihilangkan dengan pencucian manual. Sedangkan kain dengan komposisi 0% anti bakteri – 5% glioksal dan 2% zat anti bakteri – 15% glioksal menunjukan tidak ada noda darah. Hal ini disebabkan bekerjanya fluorokarbon, sama seperti glioksal dan anti bakteri. Tidak adanya anti bakteri memberikan tempat yang cukup luas untuk fluorokarbon bekerja.
Abstract Due to their special characteristics textile material has been known and used for long time for medical purposes. Two of the most familiar examples are its use in the form of monofilament fiber as surgical sewing thread and in the form of finished fabric for surgical gown. In this study, we used an anti-bacterial agent (Sanitized T 96-20), glyoxal, and fluorocarbon (Aversin KFC-I) to produce fabric for surgical gown with anti-bacterial and blood-repellent properties. Glyoxal provides crosslinking for both anti-bacterial agent and fluorocarbon and improve their washing fastness.It was found that higher concentration of glyoxal and anti-bacterial agent gives result to higher tensile strength and air permeability. This is most probably due to the crosslinking formed by the presence of glyoxal. The efficiency of stain removal was evaluated by spectrophotometry. It was shown that blood stain still remains after manual washing of fabric treated by finishing liquor containing 1% anti-bacterial agent and 10% glyoxal. However, stain was completely removed when 5% glyoxal was used alone with Aversin KFC-I. It seems that anti-bacterial agent has an adverse effect to blood repellency, but actually stain was also removed by the addition of 2% anti-bacterial agent and 15% glyoxal. In all cases, we used 3% Aversin KFC-I to generate blood repellency effect onto the fabric.
1
PENDAHULUAN
Baju bedah operasi digunakan oleh paramedis untuk melakukan operasi selama kurang lebih 2 jam (operasi biasa) dalam kondisi ruangan tertentu. Sehingga paramedis membutuhkan per-
lengkapan yang memiliki kenyamanan yang tinggi. Kapas merupakan salah satu pilihan serat untuk memenuhi kenyamanan tersebut, karena serat kapas mudah didapat dan memiliki moisture regain yang tinggi (7 – 8,5%) sehingga dapat menyerap keringat dengan baik.
1
Lamanya waktu operasi menyebabkan paramedis banyak mengeluarkan energi dan keringat yang mengandung bakteri. Percikan darah pasien dapat mengenai baju bedah medis pada saat terjadi kontak antara paramedis dengan pasien selama operasi berlangsung. Oleh karena itu diperlukan baju bedah yang anti bakteri dan dapat menahan perembesan serta mudah dibersihkan dari noda darah. Baju bedah yang digunakan dalam ruang operasi juga memerlukan perlindungan yang tinggi terhadap HIV dan HBV. Proses sterilisasi baju bedah biasa dilakukan dengan perendaman air panas atau dengan suhu dan tekanan tinggi di dalam autoclave (130°C, 2 atm), sehingga baju bedah membutuhkan resin yang memiliki ketahanan terhadap pemanasan dan kondisi autoclave. Resin anti kusut merupakan senyawa pengikat silang yang dapat digunakan bersamaan dengan zat anti bakteri yang menyebabkan anti bakteri lebih kuat berikatan dengan serat yang mempunyai efek bawaan mengurangi derajat kekusutan dalam pemakaiannya. Penggunaan resin anti kusut dan zat anti bakteri secara bersamaan dikarenakan zat anti bakteri tidak bersifat permanen. Standar baju bedah yang digunakan pada umumnya berwarna hijau. Ini dimaksudkan untuk mengatasi efek shadow, yaitu efek yang timbul akibat mata lelah. Operasi biasanya berlangsung minimal 2 jam, dan dalam jangka waktu tersebut mata paramedis yang melakukan operasi mengalami kontak terus-menerus dengan warna merah yang berasal dari darah. Mata yang kelelahan akibat situasi demikian akan melihat warna putih atau lainnya dalam beberapa detik sebagai hijau, dan ini dapat mengganggu konsentrasi.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid cairan elektrolit. Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 91 – 92 % air yang 2
berperan sebagai medium transpor, dan 7 – 9 % zat padat yang terdiri dari protein-protein seperti albumin, globulin, dan fibrinogen. Komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin (Hb). Fluoropolimer merupakan senyawa tolak air yang baik yang juga memiliki kemampuan menolak minyak dan noda dengan cara mengurangi energi permukaan kritis pada permukaan serat tekstil. Sedangkan komposisi darah menyerupai kombinasi air (plasma darah), minyak dan noda (protein), sehingga dengan demikian, fluoropolimer dapat pula digunakan sebagai zat penyempurnaan tahan darah. Kombinasi penggunaan zat anti bakteri dan fluoropolimer dipandang sesuai untuk bahan yang harus terlindungi dari mikroorganisme (MRSA, Methicillin Resistance Staphilococcus Aureus, yaitu bakteri yang tahan terhadap antibiotik dan dapat menular melalui pernafasan) dan darah, tetapi sejauh ini tidak ditemukan informasi mengenai penggunaan kombinasinya padahal hal tersebut sangat baik untuk identifikasi konsentrasi optimum. Zat anti bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sanitized® T 96-20, yaitu senyawa fenoksi terhalogenasi. Larutannya memiliki pH 6,2 – 8,2 (20°C, 50 g/L), bersifat nonionik, dan berwarna kekuning-kuningan. Pemakaiannya dapat dikombinasikan dengan zat-zat lainnya seperti resin, binder, fluorokarbon dan zat penyempurnaan lainnya.
3
BAHAN DAN METODE
3.1 Persiapan Penyempurnaan Kain grey kapas dihilangkan kanjinya dan dimasak serta dikelantang secara simultan dengan sistem kontinyu menggunakan Pitchrun L-30.
3.2 Pencelupan dan Penyempurnaan Kain dicelup menggunakan zat warna reaktif dingin warna hijau sesuai standar hijau yang ditetapkan untuk baju bedah (berdasarkan hasil pengukuran warna pada baju bedah standar). Selanjutnya kain disempurnakan dengan larutan penyempurnaan yang mengandung Sanitized T 96-20 (1% dan 2% owf), glioksal sebagai zat pengikat silang (5, 10, 15% owf), 3% owf Aversin KFC-I sebagai senyawa tahan darah, dan katalis MgCl2 10 g/l. Ke dalam larutan tersebut juga ditambahkan pembasah sebanyak 2 ml/l. Kain dibenamperas dengan WPU 80%, lalu dikeringkan, dan dipanasawetkan pada suhu 130°C selama 2 menit. 3.3 Analisa dan Pengujian Hasil percobaan dievaluasi dengan Uji Siram ( SII.0124-75), Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat (SII 011775), Daya Tembus Udara Pada Kain (SII 1230-85), Kekuatan Tarik dan Mulur Kain Tenun (SII 0106 – 75). Pengukuran warna menggunakan spektrofotometri dilakukan untuk mengevaluasi daya tolak darah dan noda kain hasil penyempurnaan.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengujian terhadap kain kapas 100% dengan penyempurnaan anti bakteri dan tahan darah dalam pembuatan baju bedah opersi maka dapat diuraikan beberapa hal sebagai berikut: 4.1 Daya Tembus Udara DTU (daya tembus udara) kain yang telah dicuci berulang memiliki nilai rata-rata 4,39 cm2/detik/cm3, jauh lebih rendah daripada kain yang belum dicuci berulang, yaitu 11 cm2/detik/cm3. Pada saat dilakukan proses pengeringan dan termofiksasi digunakan suhu tinggi sehingga kain menjadi statik dan lebih keras. Pada kain hasil pengujian tanpa pencucian berulang struktur molekul
dari serat kapas menjadi lebih kompak karena proses penyempurnaan yang mengakibatkan penambahan struktur molekul dari polimerisasi glioksal dan penambahan zat anti bakteri serta fluorokarbon yang diproses pada suhu tinggi kain. Hal ini mengakibatkan kain menjadi sukar ditembus udara. Pada kain yang telah mengalami proses cuci berulang stabilitas kekompakan serat terganggu yang mengakibatkan bergesernya molekul satu dengan yang lain. Struktur molekul serat yang telah bergeser akan memberikan ruang-ruang di dalam serat sehingga udara lebih mudah masuk. 4.2 Kekuatan Tarik Pengujian kekuatan tarik pada kain yang telah diberi zat anti bakteri tidak dapat dilakukan secara maksimal karena tidak dilakukan uji tumbuh bakteri pada kain tersebut sehingga tidak diketahui efek dari zat anti bakterinya terhadap penambahan kekuatan tarik pada kain tersebut. Penambahan kekuatan tarik disebabkan oleh struktur molekul serat yang bertambah padat karena penambahan resin, yang berikatan dengan serat dan mengisi ruang-ruang kosong dalam serat, struktur molekul dalam kapas menjadi lebih rapat sehingga gaya yang mengenai kain akan terdistribusi lebih merata akibatnya pada gaya yang sama untuk kain yang telah dilakukan proses penympurnaan diperlukan waktu yang lebih lama untuk memutus kain. 4.3 Tahan Darah dan Penodaan Nilai uji siram untuk semua contoh uji menunjukkan angka 0, artinya kain tidak dapat menahan pembasahan. Pengujian juga memperlihatkan bahwa noda darah sangat sulit untuk dihilangkan dengan pencucian biasa (pencucian tanpa mesin dengan 5 kali pengucekan) dari kain yang belum disempurnakan, dan harus menggunakan sabun khusus. Sebaliknya, kain yang sudah disempurnakan mudah dibersihkan dari noda da-
3
rah, bahkan dengan pencucian biasa dan tanpa penggunaan sabun khusus. Ini dapat dilihat dengan mudah melalui pengukuran warna dengan spektrofotometri. Dengan adanya resin yang diberikan pada kain maka resin akan menempati ruang-ruang kosong pada polimer kapas, sehingga darah yang terserap menjadi lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kain yang tidak mengalami proses penyempurnaan. Oleh sebab itu kain yang telah mengalami penyempurnan noda darahnya mudah dihilangkan. 4.4 Analisa Spektofotometri Kain yang diberi zat anti bakteri 1% tanpa pencucian masih terdapat noda darah yang menempel dan memiliki rata-rata yang cukup tinggi dibanding penggunaan zat anti bakteri 2%. Hal ini disebabkan penggunaan zat anti bakteri sebesar 2% disertai dengan penggunaan konsentrasi glioksal yang tinggi pula sehingga semakin banyak ikatan silang. Sebagai senyawa pengikat silang glioksal berfungsi agar zat anti bakteri dan fluorokarbon dapat terjebak masuk dalam struktur serat sehingga diharapkan dapat permanen pada serat, penggunaan glioksal yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin besar pula peluang fluorokarbon sebagai zat tahan darah untuk dapat masuk ke dalam serat. 4.5 Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat Nilai gray scale 4 dan staining scale 4. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa hasil pencelupan dengan zat warna reaktif memiliki ketahanan luntur yang baik walaupun kain telah mengalami proses pencucian berulang (5x dan 7x). Tahan luntur yang baik ini disebabkan karena ikatan kovalen yang terbentuk antara serat dan zat warna reaktif. Ikatan kovalen yang terjadi meyebabkan zat zat warna reaktif menjadi bagian dari serat kapas. Penggunaan glioksal, fluorokarbon, dan zat 4
anti bakteri akan menambah kepadatan struktur molekul dalam serat. Glioksal yang mampu berikatan dengan serat kapas dan menjebak zat anti bakteri (phenoksi terhalogenasi). Fluorokarbon akan berikatan dengan salah satu gugus OH primer dari kapas. Glioksal kemungkinan besar hanya dapat mengisi satu gugus OH primer karena gugus OH primer yang lain sudah berikatan dengan zat warna reaktif. Namun tidak tertutup kemungkinan pula zat warna reaktif yang telah berikatan dengan serat bereaksi pula dengan glioksal sehingga menambah ketahanan luntur warna dari kain.
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulkan : 1) Kain yang telah mengalami proses pencucian memiliki tingkat kenyamanan yang lebih tinggi 2) Dengan adanya penyempurnaan tahan darah, penodaan pada kain dapat dengan mudah dihilangkan. 3) .Zat warna reaktif yang digunakan memiliki tahan luntur warna yang baik. 4) Pada kain yang telah disempurnakan dengan fluorokarbon, zat anti bakteri (phenoksi terhalogenasi) dan glioksal sebagai senyawa pengikat silang terjadi penambahan kekuatan tarik 5) Penggunaan glioksal sebagai senyawa pengikat silang berpengaruh besar pada konsentrasi zat anti bakteri dan zat tahan darah yang dapat masuk ke dalam serat. Dari kesimpulan dan hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan kombinasi yang tepat zat anti bakteri-fluorokarbonglioksal tidak dapat ditentukan secara optimal karena belum dilakukan pengujian anti bakteri (terhadap MRSA )
Ucapan Terima Kasih
Dalam penyusunan makalah ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya : 1. PT. Clariant yang telah memberikan bantuan zat anti bakteri. 2. Ibu Susyami, Bpk. Widodo, Ibu Ida selaku pembimbing dan dosen kami yang telah memberikan pengarahan. 3. Suster Sumihar Sinaga, dari RS Boromeus yang telah memberikan bantuannya. 4. Teman-teman kami, mahasiswa kedokteran yang telah memberikan informasinya.
DAFTAR PUSTAKA S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo (1998). Teknologi Penyempurnaan. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Technical Information: Sanitized T.: Clariant. Ayi Gumilar (1998). Pengamatan Perbedaan Warna Secara Kuantitatif Antara Hasil Celupan Proses Laboratorium dan Produksi Pada Kain Campuran Poliester-Rayon Viskosa Yang Dicelup dengan Zat Warna Dispersi dan Zat Warna Reaktif. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Lorraine M. Wilson, Sylvia A. Price (1998). Patofisiologi. Jakarta: ECG. Whitaker, Fernandez, Tsokos Concept of General Organic and Biological Chemistry.
5
2
KAOS KAKI ANTI BUSUK DAN TAHAN KOTOR DARI KAPAS 100 %
Nia Khairun Nisa, Nur Fitri Yanti, Rina Prastiwi, Sari Nengsih Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Kaos kaki yang terbuat dari serat kapas memiliki kelebihan yaitu daya serap terhadap keringat cukup baik. Selain itu juga memiliki kekurangan, yaitu mudah kotor. Kedua hal tersebut disebabkan adanya gugus OH pada serat kapas. Tanah, kotoran, air, minyak yang bersifat polar dapat membentuk ikatan hidrogen dengan gugus OH dari kapas. Kekurangan yang lain dari serat kapas yang disebabkan oleh adanya gugus OH adalah mudah mengalami pembusukan oleh mikroorganisme seperti bakteri yang diakibatkan pemaparan terhadap udara, cahaya dan kelembaban. Kondisi pemakaian kaos kaki membuatnya mudah terserang mikroorganisme dan kotor. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan kaos kaki bebas-bau dan tahan kotor menggunakan senyawa kimia berbasis fluorokarbon sebagai zat tahan kotor dan tembaga sulfat untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Hasil percobaan dan pengujian memperlihatkan bahwa pengerjaan dengan senyawa tahan kotor jenis fluorokarbon pada konsentrasi 50 ml/l dan zat anti busuk, CuSO4 sebanyak 3,95 gram dapat memberikan sifat anti busuk dan tahan kotor pada kain kapas. Data kekuatan tarik memperlihatkan bahwa dengan pemberian zat anti busuk, kain kapas tahan terhadap serangan mikroorganisme penyebab bau busuk. Dan data pengukuran reflektansi memperlihatkan bahwa kain kapas mudah melepaskan kotoran.
Abstract Socks made from cotton offers more comfort in the sense that it readily absorbs sweat produced during its use. This is primarily due to the presence of hydroxy groups in the molecular structure of cotton fiber. This group may also form hydrogen bond with other polar molecules or particles such as fats, soil and dirt. Another consequence of the presence of hydroxy groups is that it is susceptible to microbial attacks under suitable condition like warm temperature and moist. The purpose of this study is to investigate ways of producing rot-proof (odor-free) and soil-resistant socks by chemical treatment. Fluorocarbon-based chemical (Oleophobol SL) and copper sulphate were used in this study as soil-resistant finish and rot-proofing agent respectively. It was found that 50 ml/l Oleophobol SL and 3,95 g/l CuSO4 was adequate to impart the above mentioned properties to cotton fabric as shown by reflectance data and tensile strength after soil burial.
1
PENDAHULUAN
Kaos kaki yang terbuat dari serat kapas memiliki kekurangan, diantaranya mudah kotor dan terjadi pembusukan. Kedua hal tersebut dapat diperbaiki dengan proses penyempurnaan tahan kotor dan anti busuk. Dengan proses penyem-
purnaan pada kaos kaki tersebut diharapkan kamampuan serat kapas melepaskan kotoran dan tahan terhadap serangan mikroorganisme yang menyebabkan bau busuk pada serat kapas menjadi meningkat. Senyawa fluoro akan berpolimerisasi membentuk lapisan film yang sa7
ngat rapat sehingga kotoran dan minyak tidak dapat masuk ke dalam serat dan hanya menempel pada permukaan serat, kemudian akan hilang dengan pencucian. Sedangkan zat anti busuk yang digunakan adalah CuSO4, dimana tembaga akan membentuk senyawa kompleks dengan serat dan gugus hidroksil serat diikat oleh senyawa sulfat sehingga mikroorganisme tak lagi bisa menyerang gugus hidroksil tersebut. Penyempurnaan tahan kotor dan anti busuk pada benang kapas ini diharapkan dapat menghasilkan kaos kaki yang memiliki kemudahan dalam perawatannya.
menyerang gugus hidroksil tersebut, dan bahan menjadi anti busuk.
3
PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan Alat utama yang digunakan adalah stenter dan mesin benamperas skala laboratorium. Untuk penyempurnaan tahan kotor digunakan Oleophobol SL, dan CuSO4 sebagai zat anti busuk. Disamping itu juga digunakan zat-zat kimia lain untuk membantu penetrasi. 3.2 Prosedur Percobaan 3.2.1
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyempurnaan Tahan Kotor Senyawa fluorokarbon dapat pula digunakan untuk mendapatkan sifat tahan kotor. Senyawa ini akan berpolimerisasi pada saat pemanasawetan dan membentuk lapisan film yang melapisi permukaan serat tekstil dan terdiri dari gugus-gugus CF3-, CF2H-, atau CF2 yang sangat rapat. Lapisan tersebut akan menurunkan nilai tegangan permukaan kritis (Critical Surface Tension) substrat sehingga memberikan perlindungan secara kimia terhadap kemungkinan terjadinya pengotoran, baik kotoran dalam bentuk air maupun kotoran dalam bentuk minyak. Molekul senyawa tahan kotor berorientasi sedemikian rupa sehingga rantai fluorokarbonnya paralel dan gugus metil di ujungnya yang lain mengarah ke luar permukaan bahan, sedangkan gugus polarnya dapat mengadakan ikatan dengan serat di bawah permukaan luar.
Penyempurnaan Tahan Kotor
Bahan berupa benang kapas direndamperas dengan larutan 50 ml/l Oleophobol SL, 1 ml/l CH3COOH glasial, 5 g/l Silicone AMZ-3 (pelemas), 2,5 g/l Nicepole PR-86, 2 g/l NK Katalis SL, lalu dikeringkan selama 2 menit pada suhu 140°C. Setelah itu bahan dipanasawetkan pada suhu 170°C selama 45 detik diikuti dengan pencucian dan pembilasan. 3.2.2
Penyempurnaan Anti Busuk
Na2CO3 sebanyak 10,74 gram dilarutkan dalam 0,5 l air lalu dicampurkan secara pelahan dengan 0,5 l larutan yang mengandung 3,95 gram CuSO4 2 %. Larutan tersebut selanjutnya digunakan untuk merendamperas bahan. Pengeringan dilakukan pada suhu 140°C selama 2 menit dan dilanjutkan dengan pemanasawetan pada suhu 120°C selama 20 menit. 3.3 Diagram Alir Benang kapas grey
2.2 Penyempurnaan Anti Busuk Pada penyempurnaan ini digunakan senyawa tembaga sulfat, dengan suhu pemanasawetan yang tinggi tembaga akan membentuk senyawa kompleks dengan serat. Gugus hidroksil serat kapas diikat oleh senyawa sulfat sehingga mikroorganisme tak lagi bisa 8
Penghilangan kanji dan pemasakan dengan NaOH dan Na2CO3
Penyempurnaan anti busuk
Pencelupan dengan zat warna reaktif dingin
Tabel 2-2. Hasil pengujian kekuatan tarik (Kg), contoh uji dengan CuSO4 2 % dan tanpa CuSO4 2%
Penyempurnaan tahan kotor
Rata-rata kekuatan tarik (Kg) Contoh Uji
Perajutan kaos kaki
4
HASIL DAN DISKUSI
4.1 Uji Ketahanan Kotor Dari percobaan penyempurnaan tahan kotor dengan menggunakan OLeophobol SL, terbukti kemampuan serat melepaskan kotoran semakin baik. Hal ini disebabkan karena zat tahan kotor yang membentuk ikatan silang dengan serat sehingga kotoran tidak terikat pada serat. Penilaian kemampuan bahan tahan kotor dilakukan dengan pengukuran reflektansi pada panjang gelombang 400 nm pada contoh uji yang telah dicuci setelah mengalami pengotoran, baik contoh uji yang diberi zat tahan kotor maupun contoh uji tanpa zat tahan kotor.. Semakin besar reflektansi berarti bahan semakin bersih (lihat Tabel 2-1). Reflektansi besar artinya perbandingan kemampuan bahan untuk memantulkan cahaya lebih besar daripada kemampuan bahan untuk menyerap cahaya. Tabel 2-1. Hasil pengukuran reflektansi pada panjang gelombang 400 nm, contoh uji dengan Olephobol SL dan tanpa Oleophobol SL.
Contoh Uji
% Reflektansi
Dengan Oleophobol SL 50 ml
17,30
Tanpa Olephobol SL
16,08
4.2 Uji Anti Busuk Dari percobaan anti busuk dilakukan pengujian pendam bahan dalam tanah kemudian diukur kekuatan tariknya dan dibandingkan dengan kekuatan tariknya sebelum pemendaman.
Sebelum dipendam
Setelah dipendam
Dengan CuSO4 2 %
530
546
Tanpa CuSO4 2 %
493
480
Contoh uji yang telah disempurnakan dengan zat anti busuk, yaitu CuSO4, setelah dipendam dalam tanah tidak mengalami penurunan kekuatan tarik., sedangkan contoh uji yang tidak diberi zat anti busuk kekuatan tariknya lebih rendah (lihat Tabel 2-2). Ini berarti pada saat contoh uji yang diberi zat anti busuk tidak mengalami pembusukan karena serangan mikroorganisme selama pemendaman. Hal ini disebabkan oleh pembentukan senyawa kompleks antara serat dengan CuSO4 pada suhu pemanasawetan yang tinggi sehingga tidak ada ruang lagi untuk mikroorganisme membusukkan serat kapas.
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari percobaan dan analisa data yang telah dikerjakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses penyempurnaan tahan kotor dengan menggunakan Oleophobol SL dapat memperbaiki ketahanan kotor kain kapas. 2. Proses penyempurnaan anti busuk dengan menggunakan CuSO4 dapat memperbaiki ketahanan busuk kain kapas. Ucapan Terima Kasih
Dengan penyusunan makalah ini, kami tidak lupa menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, terutama kepada : 9
1. Bapak Mohamad Widodo .AT. M.Tech., selaku Dosen Praktikum Teknologi Penyempurnaan 2 beserta staf. 2. Rekan-rekan Mahasiswa Kimia Tekstil angkatan 2000.
DAFTAR PUSTAKA Arifin Lubis, et. al. "Teknologi Pencapan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1994.
10
P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975.
Rasyid Jufri, et. al. "Teknologi Pengelantangan, Pencelupan, dan Pencapan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1976. Ratnasari Nur Hijrinah. "Suatu Studi tentang Penyempurnaan Resin Senyawa Fluorokarbon dengan Penambahan Isopropyl Alcohol Terhadap Sifat Tahan Kotor Kain Celana Polyester/CDP (50 %/50 %)." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 2002.
3
PENYEMPURNAAN TAHAN API UNTUK PAKAIAN SERAGAM INDUSTRI BAJA DENGAN SENYAWA ORGANIK FOSFOR
Shinta Citra N, Taufiq F, Wawan G, Yanti R Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Bahan yang digunakan pada pakaian industri/bengkel ini menggunakan kain kapas 100 %. Kapas mempunyai daya serap yang tinggi sehingga akan memberikan kenyamanan dalam pemakaiannya. Salah satu syarat utama yang harus dipenuhi pakaian kerja di lingkungan seperti industri baja adalah tahan api, yaitu tidak mudah terbakar dan tidak meneruskan nyala. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan resep optimum penyempurnaan tahan api bagi kain kapas 100% untuk pakaian kerja tanpa mengurangi kenyamanan pakainya. Proses penyempurnaan tahan api biasanya menyebabkan pegangan kain menjadi keras dan kaku. Penambahan atau pengerjaan dengan pelemas seringkali justeru menyebabkan ketahanan api berkurang. Prose penyempurnaan tahan api pada penelitian ini dikerjakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengerjaan dengan senyawa tahan api dari jenis fosfor (Pyrovatex CP New). Pada tahap kedua kain dikerjakan dengan pelemas dari jenis silikon (Silicone N-100). Standar tahan api yang digunakan adalah nyala api kurang dari 2 detik dan panjang arang kurang dari 6 inchi, dan tahan pencucian sekurangnya 25 kali pencucian. Pada pemakaian 500 g/l Pyrovatex CP New dan 30 g/l Silicone N-100, sebelum pencucian berulang, kain memperlihatkan daya tahan api sangat baik, yaitu tidak meneruskan pembakaran dengan panjang arang kurang dari 6 inchi. Namun setelah dilakukan 5 kali pencucian kain terbakar. Artinya, daya tahan api hasil proses ternyata masih belum permanen.
Abstract The material used in this study is 100% cotton, and is intended for use as working uniform in steel industry or metal workshop. The selection was made based on the absorption property of cotton which is normally attributed to higher comfort. One of the most important requirements for any outfit used in such an environment like steel industry or metal workshop is adequate flame retardancy, that is material should not easily be consumed by fire and not propagate flame. This study was aimed at finding an optimum formula and condition for flame retardant finishing of 100% cotton without giving any adverse effect to its handle as well as its absorption. The fabric was first treated with nitrogen-containing phosphor compound (Pyrovatex CP New) to give the desired flame reatrdant property, and then with softening agent (Silicone N-100) to improve its handle. Cotton fabric treated with 500 g/l Pyrovatex CP New and 30 g/l Silicone N-100 showed good flame retardancy before repeated laundering, with ignition time and char length less than 2 seconds and 6 inch respectively, but then it failed to reach the same level of performance after 5 times repeated laundering. This shows that the treatment can only give a non-durable flame retardancy.
11
1
PENDAHULUAN
Kenyamanan pakaian kerja untuk lingkungan seperti industri baja merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan mengingat kondisi lingkungan kerjanya yang panas. Pakaian industri/bengkel ini biasanya terbuat dari kain campuran kapas/poliester yang menyebabkan pemakai menjadi tidak nyaman karena panas dan mempunyai daya serap yang rendah. Dengan demikian penggunaan kain kapas untuk pembuatan pakaian bengkel ini merupakan alternatif yang baik, karena sifat yang dimilikinya yaitu mempunyai daya serap yang tinggi yang dapat menyerap keringat lebih banyak. Namun kapas memiliki sifat mudah terbakar sehingga proses penyempurnaan tahan api perlu dilakukan untuk keamanan para pekerja.
2
PERCOBAAN DAN DIAGRAM ALIR
Proses-proses yang dilakukan pada bahan : 1) Penghilangan kanji dan pemasakan. 2) Pencelupan dengan zat warna reaktif dingin 3) Penyempurnaan 4) Pengujian
Penyempurnaan Tahan Api Pyrovatex CP New
: 500 g/l
Lyofix CHN
: 50-60 g/l
Ultratex FSA
: 30-60 g/l
Invadine
: 5 ml
Phosporic acid
: 20-25 g/l
WPU
: 70 %
Pengeringan
: 100°C 1 menit
Pemanasawetan : 170°C 1 menit Pelembutan Silicone N- 150 : 30 g/l
12
Teepol
: 2 g/l
WPU
: 70%
Pengeringan
: 100°C 1 menit
Pemanasawetan : 170°C 1 menit
3
HASIL DAN DISKUSI
Data ketahanan kain terhadap api yang diperoleh dari percobaan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Proses pembakaran pada dasarnya terdiri dari pemanasan, dekomposisi, penyalaan dan perambatan. Panas akan menaikkan temperatur serat sampai terjadi degradasi dan dekomposisi struktur polimer, dimana dari polimer selilosa biasanya akan dihasilkan padatan yang terbentuk dari sisa karbon. Selanjutnya padatan terurai menghasilkan gas, baik gas yang mempunyai sifat mudah terbakar maupun tidak. Tabel 3-1. Hasil uji nyala kain kapas 100% yang dikerjakan dengan Pyrovatex CP New 500 g/l.
KET
Sebelum pencucian Lusi
Pakan
Waktu nyala api 1 detik Waktu nyala arang 6 inchi 5.4 inchi Panjang Arang
Setelah Pencucian Lusi Ter bakar -
Pakan 16 detik 20 detik 8 inchi
Pada percobaan yang dilakukan terlihat adanya pengaruh penambahan zat tahan api (pyrovatex) terhadap nilai ketahanan api yang diperoleh, dimana dengan penambahan tersebut semakin tinggi konsentrasi zat, semakin baik hasil sifat tahan api yang diperoleh sampai mencapai titik maksimum kemudian turun lagi, selain itu jenis konstruksi kain berpengaruh terhadap sifat tahan api, semakin berat kain yang digunakan maka ketahanan api semakin baik. Apabila senyawa tahan api yang digunakan semakin banyak, maka senyawa tersebut meresap kedalam konstruksi kain serta melapisi kain pada
permukaan lebih banyak, sehingga menghasilkan sifat tahan api yang lebih baik. Semakin tinggi konsentrasi, panjang arang semakin kecil untuk berbagai konstruksi sampai batas tertentu, yang selanjutnya panjang arang akan naik lagi. Adanya pengaruh variasi konsentrasi zat terhadap nilai kekuatan tarik yang diperoleh, dimana semakin besar konsentrasi zat, kekuatan tarik kain semakin bertambah, hal ini disebabkan karena adanya pelapisan dan penyerapan zat tahan api terhadap serat yang membentuk ikatan silang dengan serat sehingga kekuatan tarik serat bertambah.
4
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1) Besarnya kekuatan tarik kain dipengaruhi oleh konsentrasi resin, dimana semakin besar konsentrasi resinnya, maka kekuatan tarik kain semakin meningkat hal ini disebabkan karena adanya pelapisan dari zat tahan api yang membentuk ikatan silang dengan serat. 6) Bahan yang telah disempurnakan dengan zat pyrovatex memiliki sifat tahan api yang baik untuk serat kapas. 7) Sifat tahan api pada kain yang telah disempurnakan akan menurun
apabila kain tersebut telah mengalami pencucian berulang . 8) Besarnya kekakuan kain dipengaruhi oleh pelemas, dimana semakin banyak penggunaan pelemas maka kekakuan kain semakin menurun.
DAFTAR PUSTAKA S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998. http://WWW.nap.edu/openbook/03090704/ht ml/499-512.html,copyright,2000 The National Academy of Science, L. P. Russo, B. W. Bequette. "Impact of Process Design on The Multiplicity Behaviour of A Jacketed Exothermic CSTR.." AlChe Journal 41.1 (1995): 135-147. http://WWW.etsu.com Suparman, et al. "Teknologi Penyempurnaan Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1973. A. J. Hall. "Textile Finishing." London: Heywood Books, 1966. P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975. J. T. Marsh. "An Introduction to Textile Finishing." London: Chapman & Hall, Ltd., 1957.
13
4
PAKAIAN DALAM PRIA ANTI BAKTERI DAN TAHAN KOTOR
Mariati Sihotang, Megie Yunita, Midian Pasaoran Napitupulu, Mulyono Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Banyaknya aktivitas yang dilakukan manusia khususnya kaum pria menyebabkan permintaan akan pakaian yang nyaman dan dapat mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri-bakteri yang terdapat dalam zat sisa metabolisme yang dikeluarkan oleh tubuh. Hal ini tidak terkecuali untuk celana dalam. Celana dalam sebaiknya terbuat dari kain yang mudah menyerap cairan, lembut, mudah dibersihkan dan tahan terhadap bakteri. Pada percobaan ini digunakan kain rajut kapas yang telah dihilangkan kanjinya, telah dimasak, dikelantang dan dicelup dengan zat warna reaktif, kemudian dilakukan penyempurnaan anti bakteri dengan menggunakan Sanitized® T9620, penyempurnaan tahan kotor dengan Oleophobol dan penyempurnaan pelemas dengan Silicon N-100.
Abstract Underwear in general must be able to offer comfort. It must also provide an adequate protection from bacterial growth which may arise from favourable conditions created by warm temperature, perspiration and other metabolismic residue. This is especially true for active persons. Such an underwear must therefore conform these requirements; it must have good absorption, soft, does not retain dirt and prevent bacterial growth. In this experiment we used cotton knitted fabric, which has been desized, scoured, bleached and subsequently dyed with reactive dye. The finishing was performed with Sanitized® T96-20 as anti-bacterial agent, Oleophobol SL as soil-resistant agent and Silicon N-100 softener.
1
PENDAHULUAN
Maksud dan tujuan dari percobaan ini adalah untuk meningkatkan mutu celana dalam pria dewasa yang dibuat sesuai dengan standar mutu yang ada. Dewasa ini para konsumen cenderung menggunakan produk yang tidak hanya berdaya pakai, tapi juga bermutu bagus. Celana dalam merupakan salah satu produk tekstil yang permintaan pasarnya tidak pernah surut. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap mahasiswa tentang frekuensi penggantian celana dalam selama seminggu, ternyata mereka rata-rata mengganti celana dalam sebanyak 2-4 kali per minggu, meskipun ada yang mengganti tiap hari. Kebiasaan ini
dengan dibarengi oleh aktivitas kaum pria yang tinggi memungkinkan pertumbuhan bakteri lebih besar akibat sisa metabolisme dari tubuh dan noda-noda yang sulit dihilangkan. Hal ini dapat menyebabkan penyakit berbahaya jika tidak diatasi. Pada pembuatan produk ini dipilih kain rajut kapas 100% yang memiliki MR tinggi sehingga mudah menyerap air dan memberi rasa nyaman. Namun ini dapat menyebabkan noda yang menempel sulit dihilangkan, jadi diperlukan penyempurnaan tahan kotor. Penyempurnaan anti bakteri untuk mencegah pertumbuhan bakteri dari zatzat sisa metabolisme tubuh. Agar celana dalam yang dihasilkan nyaman dipakai, dilakukan penyempurnaan pelemas. Pada
15
proses-proses penyempurnaan di atas digunakan kain rajut kapas yang telah dihilangkan kanjinya, dimasak, dikelantang dan dicelup dengan zat warna reaktif untuk menambah keindahan.
Penyempurnaan anti bakteri dan tahan kotor dilakukan secara simultan menggunakan Sanitized® T96-20 0,5% dan 1% dari berat bahan, 10 g/l Oleophobol, 15 % katalis, asam asetat (pH 4-5) dengan WPU 70%.
2
Pelemasan menggunakan 10 g/l dan 15 g/l Silicon N-100, asam asetat (pH 45) pada suhu 150oC dengan WPU 80%.
PERCOBAAN DAN DIAGRAM ALIR
2.1 Persiapan Penyempurnaan
Diagram alir Proses Penyempurnaan
Penghilangan kanji, pemasakan dan pengelantangan dilakukan secara simultan dengan 10 cc/l NaOH 38oBe, 20 cc/l H2O2, 2 cc/l teepol, 2 g/l Na2CO3 dan 5 cc/l Stabilisator pada suhu mendidih selama 45 menit dalam vlot 1:7.
persiapan larutan rendam-peras bahan dalam larutan zat anti bakteri dan tahan kotor WPU 70% pengeringan 100oC; 10 menit
2.2 Merserisasi Merserisasi dilakukan dengan NaOH 38o Be dan 10 cc/l teepol pada suhu kamar selama 60 detik dengan metode perendaman. Kemudian dinetralkan menggunakan asam asetat 5%.
rendam peras bahan dalam larutan zat pelemas WPU 80% pengeringan 100oC; 10 menit
2.3 Pencelupan pemanas awetan 150oC; 3 menit
Pencelupannya menggunakan zat warna reaktif dingin sebanyak 2%, 50 g/l NaCl, 1 cc/l pembasah dan 5 g/l Na2CO3 pada suhu kamar selama 45 menit dengan vlot 1:10.
pencucian dan pembilasan pengeringan
2.4 Penyempurnaan
Tabel 4-1. Hasil pengujian daya serap dan ketahanan kotor kain rajut kapas 100% yang dikerjakan dengan Sanitized T96-20 dan Oleophobol SL Resep Sanitized T96-20 (% owf)
Kontrol
I
II
III
IV
-
0,5
0,5
1,0
1,0
Oleophobol SL (g/l)
-
10
10
10
10
CH3COOH (pH)
-
4-5
4-5
4-5
4-5
Silicone N-100 (g/l)
-
10
15
10
15
76,2 ± 23,2
136,2 ± 4,5
204,8 ± 4,3
31,8 ± 4,0
114,4 ± 25,8
Hasil Pengujian Daya serap (detik) K/S Kecerahan (%)
16
Sebelum pencucian Sesudah pencucian Sebelum pencucian Sesudah pencucian
0,9048
1,0818
1,2581
0,7769
0,8610
1,1696
0,7269
65,10
62,93
69,14
63,06
66,96
68,68
3
HASIL DAN DISKUSI
3.1 Persiapan penyempurnaan Proses persiapan penyempurnaan yang simultan dapat menghemat pemakaian zat kimia dan biaya, mengefektifkan waktu. Karena kain grey diperoleh dari luar, kita tidak mengetahui jenis kanji yang dipakai, sehingga sulit diketahui jenis penghilang kanji yang efektif. Dengan penggunaan stabilisator diharapkan pelepasan On terjadi perlahan dan merata agar On tidak terbuang ke udara sebelum bereaksi dengan serat atau menyerang serat dengan tidak terkendali. Semakin banyak penggunaan stabilisator dan semakin lama waktu proses, maka semakin banyak H2O2 yang terurai untuk meningkatkan derajat putih kain. 3.2 Merserisasi Konsentrasi NaOH dan kemurniannya harus terkontrol untuk mendapatkan daya serap dan kilau yang baik. Kondisi perendaman harus terbebas dari lipatan dan mendapat tegangan yang sama agar penetrasi kostik ke dalam kain merata. Pada percobaan terjadi lipatan kain karena media perendamannya kurang luas, sehingga hasil merserisasi tidak optimal dan daya serap kain tidak rata. 3.3 Pencelupan Faktor yang menyebabkan warna hasil pencelupan belang yaitu, proses merserisasi tidak optimal sehingga daya serap kain terhadap zat warna dan zat-zat kimia tidak merata, penggunaan zat warna reaktif dingin yang sangat reaktif sehingga resiko belangnya tinggi, adanya lipatan kain pada proses pencelupan karena media celup tidak memadai, migrasi zat warna yang tidak rata karena pengadukan tidak kontinu. 3.4 Penyempurnaan Penyempurnaan anti bakteri dan tahan kotor dilakukan simultan bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan ikatan silang antara zat anti bakteri dengan serat. Penggunaan resin tahan kotor dan pelemas dapat mengurangi daya serap kain terhadap air, sehingga diusahakan penggunaannya tidak terlalu banyak agar celana dalam tersebut tetap nyaman digunakan.
4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan yang telah diuji, dapat diambil kesimpulan bahwa resep yang optimum penyempurnaan yaitu penggunaan anti bakteri Sanitized®T96-20 sebanyak 1% dari berat bahan, zat tahan kotor Oleophobol sebanyak 10 g/l, dan zat pelemas Silicon N-100 sebanyak 15 g/l. 4.2 Saran Untuk mendapatkan kain yang bersih, putih dan berdaya serap baik perlu diperhatikan pemilihan zat yang sesuai dan efektif terutama untuk proses yang simultan, konsentrasi dan kemurnian zat kimia, kain bebas dari lipatan pada proses merserisasi. Untuk mendapatkan hasil pencelupan yang optimal perlu diperhatikan tahapan proses, pengadukan yang kontinu, penambahan alkali diakhir, kain bebas dari lipatan dan terendam seluruhnya. Pemilihan jenis resin yang digunakan dalam penyempurnaan harus diperhatikan agar tidak mengganggu sifat fisik kain yang diharapkan dan daya kerja resin lain. Ucapan Terima Kasih
Puji syukur kami haturkan pada Allah SWT yang telah memberi perlindungan selama pembuatan produk penyempurnaan ini. Rasa terima kasih kami tujukan pada semua pihak yang telah mendukung kelancaran proses praktikum penyempurnaan. Terutama pada Bapak Widodo, AT selaku dosen Penyempurnaan yang telah membimbing
17
dan mengarahkan selama praktikum Penyempurnaan berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA "SII 0607-81. Ukuran Celana dalam Pria Dewasa Kain Rajut Rib." Astini Salihima. "Pedoman Praktikum Pengelantangan dan pencelupan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1978.
18
Ratnasari Nur Hijrinah. "Suatu Studi tentang Penyempurnaan Resin Senyawa Fluorokarbon dengan Penambahan Isopropyl Alcohol Terhadap Sifat Tahan Kotor Kain Celana Polyester/CDP (50 %/50 %)." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 2002. S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998. Surdia N. M., et. al. "Simposium Nasional Polimer III : Prosiding." Himpunan Polimer Indonesia, 2001.
5
CELEMEK BAYI TAHAN KOTOR
Achmad Fadjry, Anita Puspita, Depi Natalia P, Emma Sukmawati Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Spesifikasi khusus yang penting bagi produk bayi adalah aman dari zat-zat berbahaya dan nyaman. Pembuatan celemek atau pakaian bayi yang tahan terhadap kotoran dari makanan bayi diperoleh dengan memanfaatkan sifat oil-repellent dan water-repellent melalui proses penyempurnaan. Aversin KFC-I adalah senyawa kopolimer perfluoro alkil akrilat yang dapat memberikan sifat tolak air dan tolak minyak pada bahan tekstil dan aman. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi optimum bagi proses penyempurnaan tahan kotor pada kain campuran poliester rayon menggunakan Aversin KFC-I. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa penambahan pelemas jenis silikon menurunkan kemampuan tahan kotor kain. Penggunaan zat pengikat silang dari jenis dimetilol dihidroksi etilena urea (DMDHEU) terbukti meningkatkan daya tahan cuci hasil penyempurnaan tahan kotor. Pengujian tahan kotor dan pencucian berulang memperlihatkan hasil terbaik diperoleh pada penggunaan Aversin KFC-I sebanyak 60 g/l, Decaresin (DMDHEU) 30 g/l dan katalis MgCl2.H2O 15 g/l.
Abstract Some of the most important features required for babies products are safety and comfort. In addition to that, textile products for babies require good stain release mechanism due to risks of food spill on the material on wear. Aversin KFC-I is a perfluoro alkyl acrylic copolymer that gives water- and oil-repellent effect and is safe for human, even for babies. The purpose of this study is to investigate optimum condition for stain-release finishing of polyester-rayon fabric intended for baby apron. The addition of silicon as a softener decreases stain repellency of finished product. The permanent effect of finished product is strongly influenced by the addition of dimethylol dihydroxy ethylene urea (Decaresin) as cross-linking agent. It was shown that the best result in this circumstances is obtained by the use of Aversin KFC-I at 60 g/l, DMDHEU (Decaresin) 30 g/l, and magnesium chloride 15 g/l.
1
PENDAHULUAN
Celemek biasanya dibuat dari bahan sintetik seperti plastik. Alternatif lain celemek dapat dibuat dari kain yang telah melalui proses penyempurnaan oilrepellent dan water-repellent. Jenis kain yang dipilih berupa kain campuran polyester/rayon. Sifat-sifat ini dibutuhkan agar kotoran yang menempel yang biasanya berasal dari makanan bayi tidak melekat dengan kuat dan mudah dihilangkan. Makanan bayi umumnya mengandung susu, lemak, protein, air dan bahan lainnya yang berupa bubur
halus, sehingga sifat oil-repellent dapat menahan melekatnya kotoran yang mengandung lemak dan sifat waterrepellent dapat menahan meresapnya air sehingga tidak langsung membasahi pakaian bayi Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil penyempurnaan ini adalah konsentrasi dari resin dan penambahan zat pembantu lainnya. Resin dan zat pembantu lainnya mempengaruhi sifat-sifat kain seperti sifat tahan kotor (water and oil repellent) dan tahan terhadap pencucian.
19
2.2 Evaluasi
PERCOBAAN DAN EVALUASI
2.1 Percobaan Kain grey T/R dilakukan proses pre-treatment yaitu penghilangan kanji menggunakan enzim, stabilisator dengan suhu < 60 o C dan waktu 60 menit dan pemasakan-pengelantangan secara simultan menggunakan H2O2, NaOH, Teepol dengan suhu 70-90 oC dan waktu 60-90 menit Pencelupan kain T/R hanya dilakukan untuk serat rayon menggunakan zat warna reaktif dengan cara perendaman Lalu dilakukan proses dengan resep sebagai berikut : Aversin KFC-I 60 g/L
finishing
: 20 - 40 - 50 -
MgCl2 . H2O
: 0-15 ml/L
Silicone N-100
: 0 - 3 ml/L
WPU
: 65 % : 1500C – 4 menit
Tabel 5-1. Resep penyempurnaan tahan kotor menggunakan Aversin KFC-I untuk celemek bayi
Zat
1
2
3
4
5
Aversin KFC-I (g/L)
20
40
50
60
60
MgCl2.6H2O (ml/L)
15
15
15
0
15
Silicone N100 (ml/L)
3
3
3
0
0
Decaresin (g/L)
0
0
0
0
30
Variasi
SKEMA PROSES Pers. larutan Curing
Padding
Drying
(WPU 65%) (1000C – 2 mnt) (1500C – 4 mnt)
20
3
HASIL DAN DISKUSI Grafik Uji Spray Test 200 100 0 -100
Sblm Pencn Ssdh Penc
1
2
3
4
5
Percobaan
Gambar 5-1. Hasil Uji Siram Berbagai Resep Penyempurnaan Tolak Air/Tahan Kotor
Pengeringan awal: 1000C – 2 menit Curing
Untuk mengetahui efek penyempurnaan yang dihasilkan, dilakukan uji spray test dengan air suling sebanyak 250 ml dituangkan kedalam corong alat penguji kemudian didiamkan selama 25-30 detik kemudian diketuk dan dibandingkan peta spray test. Untuk pengujian Tahan kotor pengujian didasarkan pada ASTM D 3050-75.
Nilai Uji
2
Dari grafik terlihat pada resep 1, 2, 3 menunjukan hasil uji spray test yang meningkat efek tolak airnya dengan bertambahnya konsentrasi Aversin KFCI yang ditambahkan. Hasil yang maksimal ditunjukan pada kain yang diproses dengan penambahan Aversin KFC-I 60 g/l tanpa MgCl2 maupun silicon, dimana hasil uji menunjukan nilai 100 dengan tidak ada pembasahan sama sekali pada kain. Dari hasil uji terlihat bahwa penambahan Silicone sebagai zat pelemas/pelembut tidak kompatibel untuk digunakan bersama Aversin KFCI, sehingga menurunkan efek penyempurnaan tolak air dan tahan kotor yang dihasilkan, walaupun digunakan dalam jumlah kecil. Penambahan MgCl2 sebagai katalisator tidak diperlukan dalam proses penyempurnaan dengan Aversin KFC-I. Hal ini dihubungkan dengan kereaktifan jenis resin ini yang sudah dapat bereaksi dengan baik tanpa penambahan katalis. Namun ketiga resep diatas menunjukan
hasil yang tidak permanen dilakukan pencucian berulang.
setelah
Sifat permanen yang memuaskan terlihat pada kain yang diproses dengan resep Aversin KFC-I 60 g/l, Decaresin 30 g/l dan MgCl2.H2O 15 g/l. Penambahan Decaresin pada larutan padding dimaksudkan untuk memperkuat ikatan silang yang terjadi antara resin dan serat, sehingga diharapkan efek finishing yang diperoleh lebih maksimal. MgCl2 yang ditambahkan berfungsi sebagai katalis yang mempercepat proses Decaresin tersebut membentuk ikatan silang bersamaan dengan Aversin KFC-I terhadap serat.
Nilai % R Pada 440 nm
Efek tahan kotor yang baik terlihat dari kecilnya selisih persen reflektansi sebelum dan sesudah pencucian. Dimana dari data yang diperoleh pada resep 1, 2, 3 menunjukan efek tahan kotor yang cukup baik, namun efek yang paling baik terlihat pada hasil penyempurnaan dengan konsentrasi Aversin KFC-I 60 g/l tanpa penambahan zat pembantu lainnya. Grafik Uji Reflektansi
23
Ssdh Penc
22 21
Sblm Penc 20 19 18 17 1
2
3
4
Percobaan
penggunaan konsentrasi Aversin KFC-I dengan penambahan zat pembantu pada konsentrasi 50 g/l Hasil kemampuan menolak kotoran dengan penambahan decaresin sebagai penambah ikatan silang menghasilkan efek yang lebih permanen setelah dilakukan pencucian berulang dibandingkan daya ikat Aversin KFC-I. Dengan mempertimbangkan pengaruh konsentrasi Aversin KFC-I dan penambahan zat-zat pembantu untuk menghasilkan produk yang optimal dan ekonomis diperlukan Aversin KFC-I dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan penambahan Decaresin dan katalis yang menjamin sifat permanen dari efek water and oil repellent tersebut. Ucapan Terimakasih
Suatu hal yang tidak mungkin apabila kami melakukan penelitian ini tanpa adanya bimbingan dari pihak lain. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Prak. Penyempurnaan 2, Bpk. Mohamad Widodo. A.T. M.Tech, Bpk. Darso selaku asisten, Ibu Ida, Ibu Maya K.S,Ibu Juju Bpk. M. Ichwan,Bpk Solihin dan semua pihak yang turut membantu atas saran, bimbingan, kritikan, petunjuk, dan kerja sama selama penelitian ini berlangsung
Gambar 5-2. Data Reflektansi Untuk Evaluasi Sifat Tahan Kotor
4
KESIMPULAN
Penyempurnaan tahan kotor dan tolak minyak dengan Aversin KFC-I dan decaresin pada kain T/R memberikan kemampuan untuk menolak air dan minyak pada konsentrasi resin yang optimal. Semakin tinggi penggunaan konsentrasi Aversin KFC-I ditambah zat pembantu menghasilkan kemampuan menolak kotoran yang semakin baik. Penggunaan konsentrasi Aversin KFC-I 60 g/l tanpa zat pembantu menghasilkan kemampuan menolak kotoran yang lebih baik lagi dibandingkan dengan
DAFTAR PUSTAKA "Textile Finishing Manual." BASF, Iwa Kartiwa. "Suatu Studi Penyempurnaan Oil Dan Water-repellent Dengan Fc-804 Pada Kain Katun." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1985. Muhammad Dicky. "Studi Tentang Peran pH Dan Konsentrasi Zat Tolak Air Jenis Fluorokarbon Pada Penyempurnaan Tolak Air Dan Tolak Minyak Kain Poliester." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 2000.
21
S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998.
22
6
PENINGKATAN MUTU KAIN KANTONG POS DENGAN PENYEMPURNAAN TOLAK AIR MENGGUNAKAN FLUOROKARBON DAN RESIN MELAMIN
Aris Hudayana, Aryaji, Berlian zain, Eka Diasy Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Penyempurnaan tolak air pada kain kantong pos di Indonesia selama ini menggunakan senyawa lilin. Penyempurnaan ini dirasa kurang memuaskan karena dirasa kurang baik hasilnya tidak permanen, mudah kotor, warnanya mudah suram. Penyempurnaan dengan floro karbon adalah salah satu usaha untuk meningkatkan mutu penyempurnaan tersebut sehingga diperoleh penyempurnaan yang sesuai dengan kantong pos. Dalam proses ini digunakan dua macam zat utama yaitu senyawa fluorokarbon sebagai zat penolak air dan resin melamin sebagai pembantu meningkatkan keawetan daya tolak air sehingga lebih permanen. Pemilihan 2 senyawa tersebut atas dasar struktur molekulnya yang memungkinkan dapat menghasilkan hasil yang lebih permanen dan dapat digunakan untuk semua jenis serat. Hasil percobaan dan pengujian menunjukan bahwa kedua zat tersebut dapat bekerja sama sehingga dapat meningkatkan nilai tolak air dan sangat tahan terhadap pencucian berulang.
Abstract Mail bag requires certain qualities to serve its purpose, one of which most important is that it must provide sufficient protection for postal material contained in it. Water-proof, in this case, is extremely important especially in region like Indonesia. Such a property is normally provided by treating mail bag, which is usually made of canvas, with wax emulsion. This type of coating is not permanent, in the sense that it may be removed either by rubbing and/or other severe condition during its use. Chemical treatment with fluorokarbon and melamine resin was proposed to improve its water-proof effect. The experiment shows that fluorokarbon and melamine resin can work together in improving the quality of mail bag.
1
PENDAHULUAN
Dalam rangka memenuhi spesifikasi penyempurnaan tolak air pada kantong pos, perlu digunakan zat tolak air yang baik. Untuk itu senyawa fluorokarbon merupakan zat yang dapat berikatan dengan serat, sangat baik untuk penyempurnaan tolak air serat sintetik, tahan pencucian berulang dan tidak mempengaruhi hasil pencelupan. Selain zat diatas perlu ditambahkan resin pengisi untuk membantu memperkecil celah – celah diantara serat. Untuk itu resin melamin yang dapat membentuk
makromolekul tiga dimensi dapat digunakan untuk maksud tersebut, selain itu harganya relatif murah. Dengan pertimbangan aspek itu diharapkan dapat meningkatkan mutu penyempurnaan tolak air kantong pos.
2
PERCOBAAN
Kain campuran poliester/kapas mentah (grey) mula-mula dikerjakan dengan larutan alkali pada suhu 70°C selama 30 menit dengan cara perendaman untuk menghilangkan kanji dan kotorannya. Selanjutnya kain dicelup
23
dengan zat warna reaktif dingin dengan cara perendaman.
rendah, sehingga faktor ekonomis lebih untung.
Penyempurnaan tolak air dilakukan dengan cara kontinyu dimana kain mulamula dibenamperas dalam larutan yang mengandung senyawa tolak air dari jenis fluorokarbon (Aversin KFC-I), resin melamin (BT-336), dan senyawa polivinil akrilat sebagai pengisi, dengan WPU 70%. Selanjutnya kain dikeringkan pada suhu 100°C dan dipanasawetkan pada suhu 150°C selama 3 menit.
4
Untuk mengetahui daya tolak air dan perubahan sifat-sifat fisikanya dilakukan pengujian tolak air cara Bundesmann dan kekuatan tarik cara pita tiras. Disamping itu, dilakukan juga pengujian ketahanan gosok terhadap warna hasil pencelupan.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam percobaan yang telah dilakukan digunakan senyawa fluorokarbon dan zat pembantunya resin melamin.Dari hasil pengujian didapat bahwa pengerjaan tanpa kedua zat tersebut menunjukan daya tolak air yang jelek, yaitu kapasitas penyerapan air sebesar 8-14,6 %. Pengerjaan dengan senyawa fluorokarbon dengan penambahan resin melamin ternyata dapat diperoleh nilai tolak air yang lebih memuaskan. Pengerjaan dengan penambahan resin melamin tersebut dapat diperoleh kapasitas penyerapan sebesar 14.6 %. Peningkatan tersebut kemungkinan besar disebabkan karena terjadinya efek coating pada serat/benang yang terlalu besar oleh adanya resin melamin tersebut, meskipun tujuan penambahan resin tersebut bukan untuk coating. Pengerjaan dengan penambahan resin melamin lebih menguntungkan karena disamping diperoleh mutu yang lebih baik, harga resin melamin lebih
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kain yang tidak mengalami proses penyempurnaan tolak air mempunyai nilai tahan air yang jelek. Penambahan resin melamin pada penyempurnaan tersebut dapat lebih meningkatkan nilai tolak air dan daya tahan pencucian berulang . Makin tinggi konsentrasi resin melamin makin baik nilai tolak airnya sampai batas tertentu. Titik optimal dicapai pada variasi konsentrasi melamin dan fluorokarbon 50-40 g/l. Akibat proses penyempurnaan tolak air tersebut dapat sedikit menurunkan kekuatan tarik dan ketahanangosok.
DAFTAR PUSTAKA "SII 006-75. Cara Pengujian Kekuatan Tarik dan Mulur Kain Tenun." P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975. Perum Pos dan Giro - Balai Besar Tekstil. "Evaluasi dan Saran Standar Persyaratan Mutu Kantong Pos II." Bandung: Balai Besar Tekstil, 1981. S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998. Soeparman, et. al. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1973.
24
7
PENYEMPURNAAN TOLAK AIR DENGAN FLUOROKARBON UNTUK KAIN PAYUNG DARI POLIESTER
Ami Sebastian, Ari Rahmasari, Dini Nursari, Dreta Wulandari Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Payung adalah alat atau sarana untuk melindungi diri dari air hujan, sinar matahari dan terkadang sebagai aksesoris. Kain bahan payung biasanya terbuat dari serat kapas atau serat nylon. Ditinjau dari penggunaannya sebagai payung hujan, serat kapas mempunyai sifat hidrofil, berat dan harganya pun cukup mahal. Sedangkan serat nylon mempunyai moisture regain yang lebih tinggi dibandingkan dengan serat poliester. Dengan mengacu pada hal-hal yang dikemukakan tersebut, kain poliester yang mempunyai sifat hidrofob, ringan, kuat dan mudah didapat, sehingga diharapkan dapat lebih menguntungkan untuk dijadikan payung, baik dari segi teknis maupun ekonomis. Penyempurnaan tolak air yang dilakukan untuk proses penyempurnaan kain payung pada percobaan ono menggunakan senyawa perfluoro alkil akrilik kopolimer (Aversin KFC-I). Senyawa ini akan memberikan efek tolak air dengan jalan melapisi permukaan serat-serat penyusun kain dengan suatu film atau lapisan yang terdiri dari gugus-gugus –CF3, -CF2H atau -CF2 yang sangat rapat dan memberikan semacam pelindung kimiawi terhadap kemungkinan terjadinya penetrasi air. Hasil percobaan memperlihatkan jumlah pemakaian optimum untuk penyempurnaan tolak air kain payung dari poliester 100% adalah sebesar 50 g/l dengan nilai peta pada uji siram 100 dan nilai uji tahan hujan 8,4%.
Abstract In this work, we studied the application of perfluoro alkyl acrylic copolymer (Aversin KFC-I), a water-repellent agent, on 100% polyester fabric. The purpose of the study is to find an optimum recipe of water-repellent finishing that gives the fabric qualities required by an umbrella. The material for an umbrella is normally made of nylon or cotton. The latter is in general more expensive than the former. In addition to cost factor, cotton is normally much heavier than nylon, especially when gets wet. Polyester may offer some advantages over nylon both technically and economically. Technically, it has a lower moisture regain, which means that it retains less water than nylon does. It was found from the experiments that the best result was obtained by the use of 50 g/l Aversin KFC-I. Spray test showed a value of 100, which means wetting does not take place on the surface of 100% polyester fabric of concerned.
1
PENDAHULUAN
Kebutuhan payung di Indonesia sangat besar untuk melindungi tubuh dari sinar matahari dan hujan. Hal ini menjadi penting untuk membuat standar mutu bahan dasar payung, menyangkut jenis dan konstruksi kain, maupun pemilihan zat tolak air yang dapat menolak air dan tahan terhadap semburan air yang terus-menerus. Kain poliester mempunyai sifat hidrofob, kuat, mudah didapat dan mempunyai kandungan moisture regain yang lebih kecil dibandingkan serat kapas dan nylon
diharapkan dapat menjadi bahan dasar yang lebih baik untuk dijadikan payung. Resin tolak air yang digunakan adalah Aversin KFC-I yang merupakan senyawa fluorokarbon. Senyawa ini bersifat kompatibel dengan semua jenis serat dan zat-zat kimia lain. Pengerjaan dengan fluorokarbon memberikan efek tolak air dengan jalan melapisi permukaan serat-serat penyusun kain dengan suatu film atau lapisan yang terdiri dari gugusgugus -CF3,-CF2H atau -CF2 yang sangat rapat. Lapisan ini akan memberikan semacam pelindung kimiawi terhadap kemungkinan terjadinya penetrasi air.
25
Percobaan yang dilakukan mempunyai tujuan untuk mengetahui pemakaian resin Aversin KFC-I dalam penyempurnaan tolak air pada kain poliester 100% ditinjau dari segi teknis maupun ekonomis.
2
PERCOBAAN
Untuk mendapatkan payung dari kain poliester yang bersifat tolak air perlu dilakukan proses penyempurnaan dengan menggunakan senyawa fluorokarbon Aversin KFC-I . 2.1 Prosedur Adapun tahap sebagai berikut:
penyempurnaannya
1) Perendam perasan 2) Bahan direndam dalam larutan yang mengandung Aversin KFC-I , Silikon N180, MgCl2.6H2O dan asam asetat dengan WPU 70 %. 3) Pengeringan awal 4) Pengeringan awal pada suhu 100o C selama 2 menit.
dan dilakukan perendaman perasan dengan WPU 70 %. Dilakukan pemanasawetan pada suhu 180oC selama 15 detik. 2.5 Alat dan bahan Alat utama yang digunakan adalah padder untuk mengimpregnasi larutan dan steamer untuk proses pemanasawetan lembab. Bahan baku utama yang digunakan adalah Aversin KFC-I dengan bahan-bahan pembantu lain, berupa katalis (MgCl2.6H2O), silikon N-180 dan asam asetat yang mendukung hasil proses penyempurnaan ini.
3
PENGUJIAN DAN ANALISA
3.1 Uji Kekuatan Tarik Uji kekuatan tarik dan mulur kain dilakukan pada kain arah lusi dan pakan. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi resin tolak air terhadap perubahan kekuatan tariknya. 3.2 Uji Tahan Air (Spray Test)
6) Dilakukan pemanasawetan lembab pada suhu 180oC selama 15 detik.
Uji tahan air dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan konsentrasi resin tolak air terhadap daya tolak air. Semakin besar daya tolak airnya semakin baik pula hasil penyempurnaan tolak airnya.
7) Pencucian
3.3 Uji Tahan Hujan
8) Bahan yang telah dipanas awetkan dicuci menggunakan sabun kemudian dibilas.
Uji tahan hujan dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh penambahan resin tolak air terhadap % penyerapan air hujan. Semakin kecil % penyerapannya maka semakin baik hasil penyempurnaan tolak airnya.
5) Pemanas awetan lembab
9) Pengeringan 2.2 Kondisi Percobaan 1 30 g/l Aversin KFC-I dilarutkan dengan Silikon N-180, MgCl2.6H2O dan asam asetat dan dilakukan perendaman perasan dengan WPU 70 % . Dilakukan pemanasawetan pada suhu 180oC selama 15 detik. 2.3 Kondisi Percobaan 2 50 g/l Aversin KFC-I dilarutkan dengan Silikon N-180, MgCl2.6H2O dan asam asetat dan dilakukan perendaman perasan dengan WPU 70 % . Dilakukan pemanasawetan pada suhu 180oC selama 15 detik. 2.4 Kondisi Percobaan 3 70 g/l Aversin KFC-I dilarutkan dengan Silikon N-180, MgCl2.6H2O dan asam asetat
4
HASIL DAN DISKUSI
Dari percobaan pembuatan payung dari kain poliester dengan penyempurnaan tolak air menggunakan senyawa fluorokarbon Aversin KFC-I yang telah dilakukan diperoleh hasilhasil beserta pembahasan sebagai berikut: 4.1 Kekuatan Tarik dan Mulur Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa perubahan konsentrasi resin tolak air tidak begitu mempengaruhi kekuatan tarik dan mulur kain. Hal ini disebabkan karena serat poliester pada umumnya tahan pada suhu tinggi. Faktor lainnya, karena serat poliester tahan terhadap asam yang terjadi pada saat
26
proses pemanasawetan, sehingga kekuatan tarik poliester tidak terpengaruh walaupun proses pemanasawetan menghasilkan asam. Tabel 7-1. Pengaruh senyawa tolak air terhadap kekuatan tarik kain Kons. Aversin KFC-I (g/l) 0 30 50 70
Lusi
Pakan
Kekuatan Tarik (kg)
Mulur (cm)
Kekuatan Tarik (kg)
Mulur (cm)
28 25,5 26 25
5,1 4,3 5,1 5,4
35 33 35 34
7,1 7,1 7,2 7,1
4.2 Daya Tolak Air Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi resin maka semakin tinggi nilai pengujian daya tolak air. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya resin yang digunakan maka semakin banyak lapisan film yang terbentuk dengan sangat rapat, sehingga air lebih sulit berpenetrasi kedalam kain. Selain itu, karena terjadinya perbesaran sudut kontak dengan air, dimana pada bahan yang belum mengalami proses tolak air nilainya 0, artinya sudut kontak θ lebih kecil dari 900, sedangkan pada bahan yang mengalami tolak air sudut kontak θnya lebih besar dari 900. Tabel 7-2. Nilai hasil uji siram kain poliester 100% untuk kain payung yang dikerjakan dengan Aversin KFC-I. Konsentrasi Aversin KFC-I (g/l) 0 30 50 70
Nilai Uji 0 90 100 100
4.3 Daya Tahan Hujan Tabel 7-3. Nilai hasil uji tahan hujan (bundesmann) kain poliester 100% untuk kain payung yang dikerjakan dengan Aversin KFC-I. Konsentrasi Aversin KFC-I (g/l) 0 30 50 70
Nilai Uji
Pada uji tahan hujan, kain yang tidak dikerjakan dengan resin tolak air mempunyai penyerapan sebesar 58%. Hal ini menunjukkan bahwa kain tersebut tidak dapat menahan air hujan. Tetapi setelah kain mengalami proses penyempurnaan tolak air dengan senyawa fluorokarbon Aversin KFC-I diperoleh nilai penyerapan yang jauh lebih kecil. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi resin yang dipakai maka semakin kecil % penyerapan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena gugus fluorokarbon bersifat sebagai gugus hidrofob yang baik dan berpengaruh sangat besar terhadap jumlah volume air yang berpenetrasi pada sela-sela antara benang. Hal. Adanya tekanan-tekanan yang disebabkan oleh tetesan air yang kontinyu pada bahan poliester dalam waktu yang singkat masih dapat ditahan, tetapi setelah beberapa lama bahan akan menjadi bocor karena adanya tekanan dari air.
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari percobaan yang telah dikerjakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1) Penyempurnaan tolak air dengan senyawa fluorokarbon Aversin KFC-I memberikan kemampuan pada kain poliester untuk menolak air. 2) Semakin tinggi penggunaan senyawa fluorokarbon Aversin KFC-I pada kain poliester tidak mempengaruhi nilai kekuatan tariknya. 3) Semakin tinggi penggunaan senyawa fluorokarbon Aversin KFC-I pada kain poliester maka semakin tinggi daya tolak airnya. 4) Kondisi optimum dari percobaan penyempurnaan resin tolak air jenis fluorokarbon pada kain poliester 100% ini adalah pada konsentrasi 50 g/l, dengan nilai peta pada uji siram 100 dan nilai uji tahan hujan 8,4%. ______________________
58 11 8,4 8,1
Ucapan Terimakasih
Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis
27
mengucapkan terimakasih besarnya kepada:
yang
sebesar-
1) Bapak M.Widodo, AT selaku pembimbing yang telah menyumbangkan pikiran dan mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah ini. 2) Ibu Ida Nuramdhani, S.SiT selaku pembimbing yang telah menyumbangkan pikiran dan mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah ini. 3) Bapak Sukirman yang telah memberikan bantuan selama praktikum.
DAFTAR PUSTAKA "Teknologi Penyempurnaan Tekstil." Bandung: BPPIT, 1998.
M. W. Ikaney. "Waterproofing Textiles." 1970. Pramastahu. "Pengaruh Konsentrasi Dan Suhu Pemanasawetan Pada Penyempurnaan Tolak Air Kain Payung Kapas Dengan Senyawa Fluorokarbon Dan Peranan Proses Pelapisan Terhadap Hasil Akhir." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1984. Ria Harmini. "Study Perbandingan Beberapa Jenis Zat Tolak Air Pada Penyempurnaan Kain Payung Nylon." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1983. Soeparman, et. al. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1973.
Astini Salihima. "Pedoman Praktikum Pengelantangan dan pencelupan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1978.
28
8
SARUNG BANTAL TAHAN KOTOR DAN ANTI KUSUT
Selly, Sigit, Sri W, Ujang GP Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Sarung bantal merupakan alat pembungkus bantal atau istirahat menghilangkan kelelahan fisik. Biasanya sarung bantal mudah kotor oleh debu., keringat, kadang minyak dan kotoran lainnya. Maka dilakukan penyempurnaan dengan menggunakan resin tahan kotor dan anti kusut jenis senyawa flourokarbon (Oleophobol SL). Bahan yang digunakan yaitu kapas 100%. Biasanya dengan penggunaan resin tersebut pegangan kain kurang baik maka ditambahkan silikon pada konsentrasi optimum sehingga dapat bekerja untuk memperbaiki pegangan bahan. Hasil terbaik diperoleh pada pemakaian 30 g/l Olerophobol SL. Kain mulamula dibenamperas dengan WPU 60%, lalu dikeringkan pada suhu 1000C selama 2 menit dan dipanasawetkan pada 1700C selama 45 detik.
Abstract A pillowslip is a cover for a pillow, made of cotton or other fabric, that can be removed and washed. It adds an aesthetic value as well as provides protection to the pillow which otherwise looks dull and may cause some difficulties when gets dirty. The purpose of this work is to develop a process by which 100% cotton fabric, which is intended for use as a material for pillowslip, has the ability to resist creasing during its use and to release soil easily when washed. The type of dirt or soil that develops on a pillowslip normally comes from the perspiration and dust. In this experiment, we used water- and oil-repellent agent (Oleophobol SL) to impart soil-release property to the fabric. Silicone-based softener was added to improve the handle, which normally becomes somewhat stiff if fluorocarbon was used alone. The treated fabric was subsequently evaluated by its absorptivity, creaseresistance, stiffness, tensile strength and its fastness to crocking. It was found that the best result was obtained by treating the fabric with 30 g/l solution of Olephobol SL. The fabric was first impregnated with the finishing liquor at WPU of 60% and cured at 170°C for 45 seconds.
1
PENDAHULUAN
Karena kebanyakan sarung bantal yang dibuat mudah kotor oleh debu, keringat, minyak dan lainnya, maka dilakukan penyempurnaan terhadap bahan agar tahan kotor dan anti kusut dengan resin jenis flourokarbon (oleophobol) dan pelemas silikon untuk memperbaiki pegangan. Untuk pembuatan sarung bantal dibutuhkan suatu bahan yang memiliki ketahanan terhadap kotoran dan daya serap yang baik terhadap air.
Untuk membuat kain sarung bantal yang memiliki ketahanan kotor, pegangan yang lebih baik. Dibutuhkan suatu bahan yang memiliki kekuatan tarik, daya serap, tahan luntur terhadap keringat, pencucian, gosokan serta memiliki perubahan dimensi lusi dan pakan yang bak maka bahan yang cocok digunakan sebagai bahan pembuat sarung bantal tersebut adalah kain kapas. Pada kain kapas perlu dilakukan penambahan suatu zat yang menjadikan kain bersifat menolak kotoran dan memudahkan pelepasan kotoran juga memiliki pegangan yang lebih baik misalnya dngan penambahan resin.
29
Proses yang dilakukan yaitu benam peras dengan kecepatan putaran rol tertentu. Ketika kain diberi resin maka resin tersebut akan berpolimerisasi membentuk lapisan film.
2
PERCOBAAN DAN DIAGRAM ALIR
Proses desizing dan scouring simultan Desizing/scouring → bleaching → dyeing dan printing → finish → test → pembuatan produk. Diagram pencapan Larutan pasta cap → pencapan → dry → steaming → washing out. Penyempurnaan tahan kotor Larutan benam peras → padding → drying → cure.
3
HASIL DAN DISKUSI
•
Pengujian kekuatan tarik
maka kemampuan ketahanan penodaan kotoran dan kemampuan pelepasan kotoran pada kain menjadi meningkat karenan rantai flourokabon yang terbentuk semakin rapat sehingga tidak ada area yang terbuka yang memungkinkan kotoran berpenetrasi langsung ke dalam serat. Kekakuan kain semakin meningkat karena semakin banyak resin yang melapisinya. Kemampuan kembali dari lipatan dimana semakin besar konsentrasi resin semakin besar pula kemampuan kembali dari kekusutan.
4
KESIMPULAN
1) Semakin tinggi konsentrasi resin maka semakin anti kotor dan anti kusut. 2) Konsentrasi resin yang digunakan 30 ml/l. 3) Untuk pencucian dillakukan.
berulang
tidak
Lusi = 15,5 kg Pakan = 18,5 kg •
Ucapan Terimakasih
Pengujian mulur Lusi = 1,9 cm 2,1 cm
•
Pakan
=
Pengujian kemampuan dari lipatan Lusi = 700
•
=
Pengujian kekakuan Lusi = 1,7375 cm 2,25 cm
•
Pakan
Kami sebagai praktikan sangat mengharapkan sumbangsih kritikan demi kebaikan produk kami. Dan kami tak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada : •
Allah SWT, Tuhan kami.
•
Bapak, Ibu dosen praktikum yang telah membantu kelancaran kami.
•
Rekan-rekan praktikan kelompok lain atas saran dan diskusi hasil praktikum.
Pakan = 700
Pengujian ketahanan gosok Tebal awal = 0,30 cm Tebal akhir = 0,31 cm Berat awal = 0,146950 g Berat akhir = 0,147491 g
•
Pengujian ketahanan kotor
DAFTAR PUSTAKA P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975.
Cuci = 7,0313 Tanpa = 7,0313 Pengaruh penyempurnaan tahan kotor terhadap kemamuan pelepasan kotoran yaitu dengan peningkatan pemakaian konsentrasi resin senyawa flourokarbon
Ratnasari Nur Hijrinah. "Suatu Studi tentang Penyempurnaan Resin Senyawa Fluorokarbon dengan Penambahan Isopropyl Alcohol Terhadap Sifat Tahan Kotor Kain Celana Polyester/CDP (50
30
%/50 %)." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 2002.
E. R. Trotman. "Technology of Textile Bleaching, Dyeing, and Finishing." New York: Chapman & Hall, 1984.
Soeparman, et. al. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1973.
31
9
TIRAI TAHAN API DAN TAHAN KOTOR DARI KAIN POLIESTER 100%
Maskur, Muhamad Sofkhal Jamil, Mujib Islani, Risky Rinaldy Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Salah satu perlengkapan rumah tangga yang sangat mengutamakan keindahan dan kualitasnya adalah kain tirai. Dilihat dari segi manfaatnya tirai adalah sebuah perabotan rumah tangga yang digunakan sebagai kain penutup jendela dengan fungsi utama menghindari terpaan sinar matahari atau terpaan angin. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tirai rumah tangga dengan keunggulan sifat/karakteristik seperti tahan terhadap api, tahan kotor, serta lipatan permanen yang tetap. Sehingga dari fungsi tirai tersebut diperoleh tirai yang mempunyai kualitas yang lebih baik sehingga lebih awet dalam pemakaiannya dan lebih mudah dalam perawatannya. Pada percobaan dilakukan variasi resin. Dari hasil percobaan dan pengujian diperoleh kesimpulan bahwa semakin tinggi konsentrasi resin yang digunakan maka semakin tinggi pula efek dari peresinan tersebut yang meliputi tahan api, kekakuan, sudut kembali dan tahan kotor. Abstract Curtain is one of the most familiar examples of textile application in interior design and home decoration. It serves the purpose based on aesthetic as well as functional performance. Basically it provides a cover for a window to keep the light out or prevent people in the house from being seen by others outside. In addition to these, curtain must also meet some minimum requirements in relation to fire hazard; it must not propagate flame in case of fire. This study was directed toward the application of organic/inorganic salt of phosphor and perfluoro alkyl acrylic copolymer to obtain flame-retardant and durable-press as well as soil-release fabric made out of 100% polyester. The higher the concentration of chemicals used in te finishing the more pronounced the results: flame-retardancy, stiffness, and crease recovery angle (crease resistance) as well as soil-release ability.
1
PENDAHULUAN
Tirai adalah sebuah perabot/pelengkap rumah tangga yang digunakan sebagai kain penutup jendela atau pintu yang tidak permanen (fleksibel) dengan fungsi utama menghalangi pandangan langsung dari orang yang berada di luar ramah ke dalam rumah dan melindungi dari terpaan langsung sinar matahari yang masuk ke rumah serta hembusan angin dari luar. Karakteristik yang diinginkan biasanya adalah ketahanan terhadap nyala api, ketahanan terhadap kotoran/minyak, kemampuan mudah lepasnya kotoran
/minyak dari tirai, ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari, dan sifat keindahan yang pemanen (seperti sifat lipatan permanen, sifat drape (jatuh), dan ketahanan kusut yang baik). Hal yang dipermasalahkan adalah dilihat segi fungsinya, misalnya tirai yang dipasang pada ruang tamu. Banyak tamu kita yang datang baik dari orang tua, dewasa atau anak-anak. Pembuangan puntung rokok yang sembarangan sehingga mengenai tirai, maka kemungkinan dapat memicu kebakaran.Kotoran pada tangan dari sisasisa makannya yang mengandung minyak atau kotoran tanah maka tirai tersebut
33
harus mempunyai sifat tahan kotor dan kemampuan mudah melepas kotoran/ minyak. Jika dilihat dari segi keindahan pada lipatan permanent tirai sebagai hiasan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tirai rumah tangga dengan keunggulan sifat / karakteristik seperti tahan terhadap api, tahan kotor, serta mempunyai lipatan permanen yang tetap. Sehingga dari fungsi tirai tersebut diperoleh tirai yang mempunyai kualitas yang lebih baik sehingga akan lebih awet dalam pemakaiannya dan lebih mudah dalam perawatannya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Poliester terbentuk secara kondensasi menghasilkan polietilen tereftalat yang merupakan suatu ester dari komponen dasar asam dan alcohol yaitu asam tereftalat dan etilena glikol. nHOOC
COOH + nHOCH2CH2OH
Asam Tereftalat [-OC
Etilena Glikol COO(CH2)2 ]n + (2n – 1) H2O
Polyester
2.1 Penyempurnaan Tahan Api Kain mudah terbakar (flammable) adalah kain yang akan terus terbakar, meski tanpa dibantu bila terkena api. Pada peristiwa pembakaran kain terjadi dekomposisi kimia serat menghasilakan suatu bahan tertentu yang mudah menguap dan dapat terbakar. Penyempurnaan tahan api diharapkan dapat mencegah tekstil terbakar bila terkena api dan mencegah bara api terus menyala pada sisa pembakaran. Zat anti api bertujuan untuk menangkap udara dari serat dengan membentuk lapisan film dipermukaan dari zat – zat yang mempunyai titik leleh yang rendah, dengan menghasilkan zat anti api seperti amonia, klorin dan lain – lain terhadap dekomposisi panas, dan juga oleh kelarutan gas pembakaran.
2.2 Penyempurnaan Lipatan Permanen. Prinsipnya adalah proses penyempurnaan untuk mendapatkan sifat lipatan permanen pada serat poliester, dengan membentuk lapisan polimer resin pada permukaan kain. Sifat hidrofob dari serat poliester dan tidak adanya gugus reaktif serat dan sifat kristalinitasnya yang cukup tinggi menjadikan resin yang dikerjakan pada bahan poliester tidak masuk ke dalam serat melainkan hanya melapisi permukaan serat dan berpolimerisasi pada permukaan serat saja. 2.3 Penyempurnaan Tahan Kotor Senyawa Fluoro Fluorokarbon adalah senyawa organik yang sebagian besar atom H pada C –nya disubstitusi oleh atom F. Struktur kimia senyawa fluorokarbon yang pasti belum diketahui. Senyawa Fluorokarbon menurut Goldstein merupakan polimer atau kopolimer dari Asam vinil perfluoro dan atau perfluoro ester dari asam akrilat. Pada pemakaiannya, senyawa fluoro karbon akan berpolimerisasi pada saat dilakukan proses pemanan awetan dan membentuk lapisan film. Lapisan atau film yang melapisi kain terdiri dari gugusgugus CF3- , CF2H, atau –CF2 yang sangat rapat. Lapisan tersebut akan menurunkan nilai tegangan permukaan kritis (critical surface tention) substrat sehingga memberikan perlindungnan secara kimia terhadap kemungkinan terjadinya pengotoran, baik dalam bentuk kotoran dalam air, maupun kotoran dalam minyak. Hal ini dapat diilustrasikan seperti pada gambar dibawah ini. Molekul-molekul senyawa zat tahan kotor berorientasi sedemikian rupa sehingga rantai fluoro karbonnya paralel dan gugus metilnya diujung yang lain mengarah ke luar permukaan bahan, sedangkan gugus polarnya dapat mengadakan ikatan dengan serat di bawah permukaan luar.
34
3
diabaikan, artinya nilainya sama dengan nol atau Kontrol.
HASIL DAN DISKUSI
Tabel 9-1. Hasil pengujian nyala api cara vertikal kain tirai poliester 100% yang dikerjakan dengan Dekaflame PENGGUNAAN DEKAFLAME 200 g/l
Waktu nyala api (detik)
Sebelum cuci Sesudah cuci
300 g/l
400 g/l
Pakan 1
Pakan 2
Pakan 1
Pakan 2
Pakan 1
Pakan 2
< 12“
22 “
15 “
< 12 “
1‘1“
18 “
< 12“
< 12 “
< 12“
< 12 “
< 12“
< 12“
Kontrol
< 12 “
Tabel 9-2. Pengaruh resin melamin terhadap kekakuan kain tirai poliester 100% KONSENTRASI RESIN BT 336 (g/l)
Panjang Lengkung (cm)
Sebelum cuci
Pakan 2,4
Sampel
Lusi 3,5
Sampel
Kontrol
Sesudah cuci
40
60
80
1
2,9
4,3
3,8
2
3,4
3,8
4,4
3
4,4
3,0
3,8
1
2,1
3,3
3,3
2
2,4
3,1
4,4
3
2,3
2,9
3,1
Tabel 9-3. Ketahanan kusut (CRA) kain tirai poliester 100% pada berbagai konsentrasi resin melamin Nilai Sudut Kembali (o)
147
164
159
Muka 2
147
151
157
Muka 1
155
168
154
138
139 141 140
Sesudah cuci
145
lusi
Muka 1
pakan
142
60
lusi
141
40
pakan
138
Bahan Hasil Pengujian Sebelum cuci
Kontrol
KONSENTRASI RESIN BT 336 (g/l) 80
Muka 2
165
154
170
Muka 1
159
155
147
Muka 2
168
157
164
Muka 1
132
137
127
Muka 2
147
150
125
Dengan pencucian, penggunaan resin tahan api tidak memperbaiki sifat ketahanan terhadap api. Sebab rsin Dekaflame sifat ketahanan terhadap pencucian sangat buruk. Contoh uji mempunyai ketahanan api yang baik (ratarata <1 menit) 3.2 Uji Kekakuan Kain dan Uji Sudut kembali dari kekusutan Efek kaku merupakan efek yang diperoleh dari proses penyempurnaan oleh rsin. Semakin besar konsentrasi resin maka efek kaku juga semakin besar. Dan pencucian yang dilakukan setelah peresinan menyebabkan efek kekakuan pada kain menjadi berkurang sebagai akibat lepasnya sebagian resin yang telah menempel pada kain setelah pencucian. 3.3 Uji Tahan Kotor Kain Nilai K/S yang kecil menunjukan bahwa cahaya yang dipantulkan akan semakin banyak (% reflektansi besar) sehingga warna kain akan lebih muda, hal ini menyebabkan kandungan kotoran yang menempel pada bahan akan semakin sedikit yang artinya bahan akan semakin mudah melepaskan kotoran. Tabel 9-4. Nilai K/S kain-yang-dikotorkan sebelum dan sesudah pencucian hasil pengerjaan dengan Oleophobol SL Proses Lanjutan
λ
Tanpa pencucian
580
Dengan Pencucian
580
K/S standar
KONSENTRASI OLEOPHOBOL SL (g/l) 30
50
70
5,5404
7,4051
6,5520
6,7130
4,6313
7,9566
8,4075
7,5763
3.1 Uji Tahan Api
4
KESIMPULAN
Standar perhitungan waktu nyala api adalah 12“, artinya waktu a2” adalah waktu waktu nyala api kontak dengan bahan. Sedangkan untuk waktu >12” adalah waktu penerusan pembakaran. Jika waktu <12” maka besarnya waktu
Dari hasil diskusi yang telah diuraikan di atas maka dengan demikian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Semakin tinggi konsentrasi resin yang digunakan maka semakin tinggi pula efek dari hasil peresinan tersebut
35
(tahan api, kekakuan, sudut kembali dan tahan kotor) 9) Proses pencucian yang dilakukan setelah proses penyempurnaan resin sangat berpengaruh pada penurunan efek dari hasil peresinan tersebut. 10) Nilai k/s yang kecil pada pengujian tahan kotor menunjukan bahwa kandungan kotoran pada bahan semakin sedikit artinya bahan semakin mudah melepaskan kotoran. 11) Konsentrasi resin yang optimal yang digunakan pada pecobaan ini adalah : -
Resin tahan api
: 300 g/l
-
Resin tahan kotor 50 cc/l
-
Resin lipatan permanen : 80 g/l
:
DAFTAR PUSTAKA A. J. Hall. "Textile Finishing." London: Heywood Books, 1966. J. T. Marsh. "An Introduction to Textile Finishing." London: Chapman & Hall, Ltd., 1957. P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975. S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998. Bernd Jacob, et al. "Pretreatment and Finishing of Lyocell Woven Fabrics." International Textile.3 (1998):
36
10 PENYEMPURNAAN TOLAK AIR PADA KAIN JAKET POLIESTER KAPAS DENGAN FLUOROKARBON Esti Yuliani, Fernando S, Fina Dwi N, Ica Yuniarti Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Proses penyempurnaan tolak air adalah proses pembuatan kain agar dapat menahan penetrasi air, sehingga apabila kain tersebut ditetesi air, air tersebut tidak mudah meresap sehingga kain tidak mengalami pembasahan. Umumnya kain tolak air dibuat dari serat-serat sintetik 100% yang diberi zat tolak air, sehingga dapat menahan pembasahan pada kain, tetapi biasanya kurang nyaman bila dipakai. Sekarang mulai berkembang kain tolak air yang dibuat dari campuran serat sintetik dan serat alam, sehingga dapat menahan pembasahan, juga terasa nyaman bila dipakai. Dalam percobaan ini dipakai senyawa berbasis fluorokarbon (Aversin KFC-I) sebagai zat tolak air, karena senyawa ini mempunyai sifat-sifat yang baik seperti: dapat dipakai pada serat campuran polyester kapas, memberikan sifat tolak air yang baik, dan tidak berpengaruh terhadap ketahanan warna. Zat tolak air ini akan berikatan hidrogen dengan gugus OH dari serat selulosa, sehingga gugus OH tersebut kehilangan kemampuannya untuk berikatan dengan molekul air bila bahan dibasahi. Penambahan aditif seperti pelemas seringkali dapat mempengaruhi daya serap bahan sehingga pada penelitian ini juga dilakukan percobaan yang melibatkan pemakaian pelemas dari jenis silikon (Silicone N-100) pada berbagai konsentrasi. Percobaan memperlihatkan hasil terbaik diperoleh pada pemakaian fluorokarbon sebanyak 90 g/l tanpa pelemas.
Abstract Water-repellent finishing is a chemical process by which a certain kind of textile material is made resistant to water penetration but at the same time still allows transportation of air. Fabric made of polyester-cotton is in general considered more comfortable than that of polyester alone. In this study, fluorokarbon-based chemical (Aversin KFC-I) was used to generate water-repellent properties on polyester-cotton fabric. This particular chemical has good properties as waterrepellent finish: can be used for polyester-cotton fabric, good water-repellent properties, and does not change the color of the treated fabric. The addition of additives such as softener to the finishing liquor often produce an adverse effect to water-repellency, so experiment was also performed to investigate the effect of silicon type softener (Silicone N-100) to water-repellency. The data shows that the best result was obtained by the use of 90 g/l Aversin KFC-I without the addition of softener. Silicone N-100 only slightly improves the handle but it decreases the waterrepellency of the treated fabric, which is obviously observed at higher concentration of Aversin KFC-I (90 g/l).
1
PENDAHULUAN
Kain tolak air adalah kain yang dapat menahan pembasahan atau penetrasi air yang jatuh di atas permukaannya, namun demikian masih dapat melewatkan udara. Untuk mendapatkan kain yang tolak air, maka kain harus mengalami penyempurnaan khusus.
Teknik pemyempurnaannya bergantung pada jenis serat dan kain yang akan diproses serta senyawa kimia yang akan digunakan sebagai zat tolak air. Pengerjaan dengan senyawa fluorokarbon memberikan efek tolak air dengan jalan melapisi permukaan serat-serat dengan suatu lapisan (film) yang teridiri dari gugus-
37
gugus CF atau CF−H yang sangat rapat. Lapisan ini akan menurunkan nilai tegangan permukaan kritis zat padat, sehingga memberi semacam perlindungan kimia terhadap kemungkinan terjadinya pembasahan (penetrasi air). Senyawa ini memberikan daya tolak air jauh lebih baik daripada senyawa hidrokarbon karena dapat menurunkan energi permukaan zat padat jauh lebih rendah. Dalam pemakaiannya senyawa fluorokarbon dapat dicampurkan dengan zat penyempurnaan lainnya seperti zat anti kusut, zat anti mengkeret, dan sebagainya.
Tabel 10-1. Daya tolak air (uji siram) dan kekakuan kain poliester-kapas pada berbagai konsentrasi Aversin KFC-I dan Silicone N-100
PERCOBAAN Kain grey polyester kapas
Pemasakan dan penghilangan kanji
Aversin KFC-I (g/l)
Konsentrasi
Silicone N-100 (ml/l)
2
pelemas jenis silikon anionik dan Aversin KFC-I ternyata tidak kompatibel dengan senyawa anionik karena dapat menurunkan daya tolak air yang dihasilkannya. Silicone N-100 masih dapat memperbaiki sifat pegangan kain pada pemakaian Aversin KFC-I konsentrasi rendah (30 dan 60 g/l) dan tidak memberikan perbaikan pada konsentrasi lebih tinggi (90 g/l).
0
2
4
30
60
90
US
70
80
90
K
1,50
1,60
1,60
US
70
80
80
K
1,30
1,45
1,60
US
70
80
80
K
1,25
1,30
1,55
Pemantapan panas
Pencelupan
Percobaan Aversi 30 – 60 – 90 g/l Silikon N – 100 0 – 2 – 4 ml/l Pemanas awetan 180°C, 3 menit
Uji siram Uji tetes Uji kekuatan tarik Uji kekakuan Uji daya tembus udara Tahan luntur zw terhadap gosokan, pencucian, keringat
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa semakin besar jumlah pemakaian zat tolak air maka semakin tinggi pula daya tolak air yang didapatkan, diikuti dengan penurunan daya serap, dan kekuatan tarik. Kain pun terasa semakin kaku. Di sisi lain, daya tembus udaranya justeru bertambah baik. Hingga pemakaian 4 g/l pelemas Silicone N-100 tidak banyak mempengaruhi daya tolak air. Silicone N-100 adalah
38
Data percobaan memperlihatkan bahwa hasil tebaik diperoleh pada pemakaian Aversin KFC-I sebanyak 90 g/l tanpa pelemas.
4
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kain jaket poliester kapas dengan daya tolak air yang baik dapat diperoleh dengan pemakaian zat tolak air Aversin KFC-I sebanyak 90 g/l dengan suhu pemanas awetan 180 oC selama 30 detik tanpa penggunaan zat pembantu yang bersifat anionik karena zat pembantu yang bersifat anionik dapat mengurangi daya tolak air dari Aversin KFC-I . Untuk memperbaiki pegangan kain sebaiknya digunakan pelemas nonionik.
DAFTAR PUSTAKA P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975. Rasyid Jufri, et. al. "Teknologi Pengelantangan, Pencelupan, dan Pencapan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1976.
S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998. Joko Handoyo. "Penyempurnaan Tolak Air Pada Kain Poliester Rayon Menggunakan Senyawa Fluorokarbon (Light Guard FR
448)." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1999. "Aversin KFC-I For Permanent Stain Repellent Finishing." Dusseldorf: Henkel, "Silicon N - 100 A Softening Agent Consisting Of Silicon Oil, Technical Information." Jakarta: PT. Inkali,
39
11 PENYEMPURNAAN TOLAK AIR UNTUK KAIN PAYUNG DARI NILON 66 Yanti W, Yayu R, Yullia P Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Senyawa tolak air berbasis fluorokarbon pada pemanasawetan akan membentuk suatu lapisan tipis atau film berenergi permukaan rendah yang dapat menurunkan tegangan permukaan kritis zat padat sehingga bersifat tolak air dan tolak minyak. Percobaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi optimum untuk proses penyempurnaan tolak air pada kain nilon 66 menggunakan senyawa fluorokarbon (Scotchguard). Untuk mendapatkan hasil yang terbaik maka dilakukan variasi penggunaan zat tolak airnya, yaitu 10 g/l, 20 g/l, dan 40 g/l. Percobaan dan pengujian memperlihatkan hasil terbaik diperoleh pada pemakaian flurokarbon sebesar 40 g/l .
Abstract Fluorokarbon-based compound was used in this experiment to obtain water-repellent finish on nylon (Nylon 66) fabric intended for use as material for umbrella. This compound polymerizes when cured under suitable condition to form a film of low surface energy which subsequently lowers the critical surface tension of solid and hence renders it water-repellent and oil-repellent. The material was treated with finishing liquor containing: 10, 20, and 40 g/l, and then was subjected to various tests to evaluate the result. It was found that the best result was obtained by the use of fluorokarbon as much as 40 g/l.
1
PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia tidak hanya untuk sandang saja tapi untuk perlindungan tubuh dari panas dan hujan pun diperlukan sehingga diciptakan payung yang tahan terhadap rembesan air. Untuk menambah kesempurnaan payung maka dilakukan proses penyempurnaan tolak air dengan senyawa berbasis fluorokarbon (Scothguard) yang dapat memberikan sifat tolak air permanen pada bahan. Pada kondisi yang sesuai senyawa fluorokarbon akan berpolimerisasi membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan serat dan menurunkan tegangan kritis permukaannya, dan sebagai akibatnya serat bersifat tolak-air dan tolak-minyak.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Serat nilon memiliki kemungkinan pemakaian yang sangat luas dalam bidang
kehidupan manusia terutama karena sifatnya yang liat, ringan dan memiliki kekuatan tinggi. Nylon 66 sebagai bahan baku payung pada percobaan ini diperoleh dari asam adipat dan heksametilen diamina yang dapat dibuat dengan berbagai cara. Fluorokarbon adalah senyawa yang mengandung gugus fluor dan karbon. Senyawa fluorokarbon pada dasarnya berfungsi menurunkan energi permukaan bahan tekstil.
3
PERCOBAAN
Diagram Alir Pemasakan ↓ Pencelupan ↓ Persiapan larutan padding
41
↓ Impregnasi bahan dalam larutan ↓ Drying 1 menit ↓ Pemanas awetan ↓ Pengujian
4
Dari ketiga macam variasi proses yang dilakukan, hasil yang terbaik diperoleh dari proses penyempurnaan dengan konsentrasi zat tolak air yang paling tinggi yaitu pada konsentrasi 40 g/l. Proses ini rata-rata menghasilkan daya tembus air yang lebih baik di antara kedua proses yang lainnya, namun dilihat dari segi ekonomis hal ini cukup memakan biaya sehingga kurang efektif dan efisien. Sehingga untuk lebih memperkecil biaya produksi diambil kain dengan proses penyempurnaan tolak air menggunakan zat tolak air konsentrasi 20 g/l Karena pada konsentrasi tersebut film polimer telah terbentuk dan telah melapisi permukaan bahan melalui proses pemanasawetan.
akan
2) Hasil terbaik diperoleh dari kain payung dengan penyempurnaan menggunakan konsentrasi zat tolak air sebesar 40 g/l Ucapan Terima Kasih
Kepada ALLAH SWT, dosen dan asisten penyempurnaan, rekan-rekan kuliah, perpustakaan dan seluruh pihak yang terkait terima kasih atas bantuan, dorongan, dan dukungannya,
DAFTAR PUSTAKA "SII 0122-75." "SII 0168-77." "SII 0106-75." P. Soeprijono, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1975. S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 1998. Soeparman, et. al. "Teknologi Penyempurnaan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1973. "Standard Performance Specification For Woven Umbrella." ASTM 1985, Designation D 4112 82. ASTM, 1985.
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Penyempurnaan tolak air terbukti dapat menahan terjadinya perembesan dan penetrasi air namun masih dapat ditembus udara. Semakin besar konsentrasi zat tolak air yang digunakan
42
didapatkan
HASIL DAN DISKUSI
Peningkatan daya tolak air ini dapat disebabkan karena pembesaran sudut kontak (θ) antara kain dengan air.
5
maka hasil yang semakin baik.
"SII 0124-75 Uji Siram." "SII 0248-79 Kekuatan sobek." "SII 0108-75 uji bundesman."
12 MUKENA KATUN TAHAN KUSUT DAN BEBAS JAMUR DENGAN DMDHEU DAN ASAM BENZOAT Anita Anathasia, Anita Ris Herliana, Dian Rosdiana, Elsa Dewi Sulastri Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Mukena adalah peralatan ibadah untuk muslim perempuan. Mengingat kegunaannya itu maka mukena diharapkan selalu bersih, rapi dan nyaman dipakai. Pada pemakaiannya ada bagianbagian tertentu dari mukena yang sering terkena air, terutama bagian yang bersinggungan dengan bagian tepi wajah pemakai, sehingga seringkali mengundang tumbuhnya jamur yang menyebabkan timbulnya noda dan mengurangi nilai estetika maupun nilai ibadah pemakai. Pertumbuhan jamur pada kain kapas juga dapat berakibat berkurangnya kekuatan tarik akibat enzim yang berasal dari kegiatan metabolisma jamur. Disamping itu, kain kapas juga diketahui memiliki ketahanan kusut yang rendah. Untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut perlu dilakukan sutu proses yang dapat menghambat pertumbuhan jamur dan meningkatkan ketahan kusut kain kapas. Pada penelitian ini digunakan zat pengikat silang dari jenis dimetilol dihidroksi etilena urea (DMDHEU) dan asam benzoat sebagai zat anti jamur. Percobaan memperlihatkan hasil terbaik diperoleh dengan penggunaan DMDHEU pada konsentrasi 60 g/l dengan sudut kembali dari kekusutan (CRA) 141,5° dan asam benzoat sebanyak 0,05%.. Pemendaman di dalam tanah selama dua minggu tidak menurunkan kekuatan tarik kain kapas yang telah dikerjakan dengan asam benzoat 0,05%, sementara kain yang tidak diberi zat anti jamur mengalami penurunan sebesar 90%..
Abstract “Mukena” is a praying set for muslimah (muslim women) which covers all but the face and palms and is worn especially for praying (shalah). As a praying set it must always be clean and comfortable too. In relation to the latter, cotton fabric is usually the first choice of material for this particular clothing. There are certain parts that frequently get wet by traces of water left on the face and hands of the wearer after she takes ablution, especially those that are in contact with the face. This condition favors the growth of mildew or fungus on the fabric which creates an unpleasant look and may reduce the strength of the material if left for longer time (people does not normally wash this particular clothing every day). In this study, we used benzoic acid in combination with a crosslinking agent, dimethylol dihydroxy ethylene urea (DMDHEU), to inhibit fungal growth on the fabric and to improve its crease-resistance respectively. The best result was obtained when using 60 g/l DMDHEU and 0.05% benzoic acid. The crease recovery angle (CRA) of such treated fabric is 141.5° and it does not lose its strength significantly on two-weeks burial test. For comparison, untreated fabric loses 90% of its strength after the burial.
1
PENDAHULUAN
Pada kondisi panas dan lembab jamur akan udah sekali tumbuh dan berkembang biak pada kain kapas. Kegiatan metabolismenya akan menghasilkan enzim yang dalam waktu lama dapat merusak serat kapas. Dalam percobaan ini digunakan asam benzoat
sebagai zat anti septik atau anti jamur bersama dengan dimetilol dihidroksi etilena urea (Fixapret CL). Penggunaan zat pengikat silang pada proses penyempurnaan pada umumnya diketahui juga dapat memberi sifat anti jamur pada bahan tekstil.
43
2
2.3 Dimetilol Dihidroksi Etilena Urea Yang Dimodifikasi (Fixapret CL)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jamur Jamur merupakan mikroorganisme yang tersebar di seluruh bagian bumi. Dalam daur hidupnya yang pendek ia dapat bersifat positif maupun negatif terhadap kehidupan organisme lainnya, termasuk manusia. Pertumbuhan jamur sangat dipengaruhi oleh pH, suhu dan kelembaban udara di sekelilingnya. Meski belum diketahui pasti kondisi optimum pertumbuhan jamur, secara umum dapat diperkirakan sebagai berikut: Makanan: protein, karbohidrat, senyawa karbon, garam-garam anorganik, Air: − Kondisi pH: 6 – 8
Senyawa ini merupakan zat pengikat silang dari jenis siklik, hasil modifikasi dimetilol dihidroksi etilena urea, yang biasa digunakan pada penyempurnaan kain kapas untuk meningkatkan ketahanan kusut dan kestabilan dimensinya. Modifikasi dimaksudkan untuk menekan jumlah formaldehida bebas pada batas minimum. Penggunaan senyawa dari jenis ini (Fixapret CL) dipandang sangat efektif karena senyawa mampu dan lebih banyak mengadakan ikatan dengan selulosa daripada dengan sesama monomernya sehingga kepermanennya juga sangat baik. Senyawa ini juga dapat memberikan efek pegangan lembut dan tahan terhadap pencucian maupun pengeringan.
Suhu: biasanya 20 - 40°C
O
O C
C
Hampir semua mikroorganisme yang menyerang sera selulosa tidak memakan serat secara langsung, akan tetapi mereka mengeluarkan enzim tertentu yang akan mengubah selulosa menjadi glukosa yang larut yang kemudian menjadi sumber makanan mereka.
Gambar 12-2. DMDHEU (1) dan dimetilol-4-metoksi5,5-dimetilpropilena urea (2, Fixapret PCL)
2.2 Asam Benzoat
3
Asam benzoat sebenarnya tergolong zat yang berbahaya, terutama bila terhirup masuk ke paru-paru atau terkena mata. Nama lain asam benzoat adalah Asam benzena karboksilat:
Percobaan dilakukan dengan mengerjakan kain kapas 100% yang sudah dimasak dan dicelup dengan larutan yang mengandung 60 g/l Fixapret CL, dan asam benzoat pada konsentrasi yang divariasikan mulai dari 0,025%, 0,05%, dan 0,1%. Ke dalam larutan tersebut juga ditambahkan pelemas dari jenis silikon (Silicone N-100) untuk memperbaiki pegangan kain hasil penyempurnaan.
Rumus molekul:
C6H5COOH
Bentuk fisik:
kristal putih/bubuk
Titik didih:
249°C
Titik leleh:
122°C
H2 C
R1
COOH KMnO4.OH-, T tinggi H+/H2O
Gambar 12-1. Asam benzoat
44
HOH2C
N
N
HC
CH2OH
CH
OH
OH
(1)
CH 2OH
N
N
CH 2OH
H 2C
C OCH C H H 3C CH3
(2)
PERCOBAAN
Kain mula-mula dibenamperas dalam larutan penyempurnaan dengan WPU 80%, kemudian dikeringkan pada suhu 100°C selama 2 menit, dan dilanjutkan dengan pemanasawetan pada suhu 150°C selama 3 menit. Kain hasil proses selanjutnya dievaluasi kekuatannya (kekuatan tarik cara pita tiras) sebelum dan sesudah pemendaman di dalam tanah selama 7 – 14 hari. Ketahanan kusut dievaluasi berdasarkan sudut kembali dari
lipatan (CRA) menurut cara yang ditetapkan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia).
4
HASIL DAN DISKUSI
Dari hasil percobaan dan pengujian dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. 4.1 Anti Jamur Kain yang dikerjakan dengan asam benzoat 0,025% ternyata masih mengalami penurunan kekuatan tarik hingga sebesar 90% setelah dipendam selama 14 hari. Dengan kata lain, penggunaan asam benzoat pada konsentrasi tersebut masih belum dapat mencegah pertumbuhan jamur dan melindungi serat dari kerusakan. Pada pemakaian asam benzoat sebanyak 0,05% dan 0,10% hampir tidak terjadi penurunan kekuatan tarik. Demi pertimbangan ekonomis maka pemakaian asam benzoat optimum adalah pada konsentrasi 0,05% karena perbedaan hasilonya tidak terlalu jauh berbeda. 4.2 Ketahanan Kusut Penggunaan Fixapret CL sebanyak 60 g/l menghasilkan sudut kembali dari lipatan sebesar 141,5°, lebih besar dari persyaratan yang ditetapkan untuk kain tahan kusut, yaitu 135°.
5
KESIMPULAN
Dari diskusi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengerjaan kain kapas dengan asam benzoat sebesar 0,05% dan zat pengikat silang Fixapret CL sebanyak 60 g/l telah dapat menghasilkan kain anti jamur sekaligus tahan kusut sesuai dengan maksud dan tujuan dari penelitian ini.
Ucapan Terimakasih
Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1) Bapak Mohamad Widodo, AT. selaku pembimbing yang telah menyumbangkan pikiran dan mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah ini. 2) Ibu Ida Nuramdhani, S.SiT selaku pembimbing yang telah menyumbangkan pikiran dan mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah ini. 3) Bapak Sukirman yang telah memberikan bantuan dalam pengadaan bahan penyempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA Textile Finishing Manual.: BASF. Ine Hermin (1988). Studi Penyempurnaan Anti Jamur dan Pengujiannya pada Kain Kapas. Bandung: Institut Teknologi Tekstil. S. Hendrodyantopo, Susyami Hitariat, Purwanti, Mohamad Widodo (1998). Teknologi Penyempurnaan. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. SII 0106-75. SII 0168-77. SII 0122-75. Technical Information.: PT. Inkali
45
13 KAIN JOK DARI POLIESTER 100% DENGAN PENYEMPURNAAN TAHAN API DAN TAHAN KOTOR Tutty Sussy Nelly, Wendi Kartiwan, Yuliyana, Yulia Ratna Wulan Mahasiswa Kimia Tekstil Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580
Abstrak Salah satu bahan yang sering digunakan untuk kain jok adalah poliester karena kekuatannya. Namun demikian, sifatnya yang hidrofobik membuat poliester sukar melepaskan kotoran, baik yang dibawa oleh air maupun minyak. Disamping itu, sebagaimana umumnya serat-serat sintetik, poliester memiliki sifat listrik yang kurang baik, yaitu daya hantarnya lemah sehingga mudah menimbulkan efek listrik statik dan akibatnya sangat mengganggu kenyamanan pakainya. Disamping kemudahan dalam perawatan dan kenyamanan pakai, keselamatan merupakan salah satu faktor yang mendapatkan perhatian semakin besar dari konsumen, dan dalam hal ini kain jok dituntut untuk memiliki kemampuan menahan dan tidak meneruskan pembakaran saat terjadi kebakaran. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan kain poliester yang tahan api dan sekaligus tahan kotor sebagai bahan kain jok. Penyempurnaan tahan kotor dilakukan dengan menggunakan senyawa tolak air dan tolak air dari jenis kopolimer perfluoro alkil akrilat (Aversin KFC-I). Kain poliester 100% dikerjakan dengan larutan yang mengandung 10, 20, dan 30% senyawa fosfor yang mengandung nitrogen (Nicca Fi-None P-100) sebagai zat tahan api dan 2% kopolimer perfluoro alkil akrilat. Hasil percobaan menunjukkan hasil terbaik diperoleh pada pemakaian zat tahan api sebanyak 20% dan 2% kopolimer perfluoro alkil akrilat.
1
PENDAHULUAN
Jok kursi merupakan perabot rumah tangga yang dimiliki oleh hampir setiap keluarga. Dalam pemakaiannya jok kursi jarang sekali mengalami proses pencucian sehingga dapat terjadi penurunan penampilan karena adanya debu, minyak dan kotoran lain. Selain itu sering juga terjadi kecelakaan kebakaran karena rokok yang mengenai kursi yang ternyata menjadi media untuk meneruskan pembakaran. Poliester merupakan jenis serat yang banyak sekali digunakan dalam pembuatan produk tekstil. Kelebihannya antara lain terletak pada kekuatan dan kestabilan dimensinya. Sedangkan kekurangannya adalah hidrofobik dan karenanya mudah menimbulkan efek listrik statik sehingga mudah menarik kotoran. Untuk mengatasi kekurangan tersebut (mudah kotor dan sulit dibersihkan) dan untuk memenuhi persyaratan keselamatan
maka perlu dilakukan proses penyempurnaan tahan kotora dan tahan api.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada peristiwa pembakaran serat mengalami dekomposisi kimia yang menghasilkan bahan yang mudah menguap dan terbakar. Pada saat nyala api padam tersisa sejumlah arang atau karbon. Penyempurnaan tahan api dimaksudkan untuk mencegah penerusan pembakaran dan timbulnya nyala pada bara sisa pembakaran bahan tekstil. Penyempurnaan tahan kotor pada bahan tekstil dapat dilakukan dengan memberi sifat tolak air dan tolak minyak, dan senyawa yang biasa digunakan adalah dari jenis kopolimer perfluoro alkil akrilat. Senyawa ini akan melapisi permukaan serat dengan suatu lapisan film yang terdiri dari gugus CF3 dan CF2H yang sangat rapat. Lapisan ini akan menurunkan tegangan permukaan kritis dari serat sehingga memberi semacam
47
pelindung kimia terhadap kemungkinan terjadinya penetrasi air atau minyak.
3
PERCOBAAN
Kain poliester yang digunakan telah mengalami proses persiapan penyempurnaan, dimantap-panaskan (heeat set), dan dicelup. Penyempurnaan tahan api dan tahan kotor dikerjakan secara simultan dengan resep sebagai berikut: Nicca Fi-None P-100
10-20-30% owf
Aversin KFC-I
2%
WPU
60%
Pengeringan
100°C, 2 menit
Pemanasawetan
170°C, 1 menit
Pengujian tahan api dan tahan kotor masing-masing dilakukan menurut SII No. 0124-75 dan ASTM D 3050-75. Disamping itu, dilakukan pula uji kekuatan tarik menurut SII No. 0106-75.
4
HASIL DAN DISKUSI
Tabel 13-1. Hasil pengujian tahan api, tahan kotor, dan kekuatan tarik kain poliester 100% yang dikerjakan dengan Nicca Fi-None P-100 dan 2% Aversin KFC-I Kriteria
Standar
Waktu nyala (s) Nilai siram Sesudah Beda Cuci warna Sebelum (∆E*ab) Cuci Kekuatan tarik (kg)
4 0
Zat Tahan Api (% owf) 10 20 30 10 6 5 90 100 100
-
4,53
1,45
6,12
-
6,52
3,05
6,52
24
35
33
32
Hasil percobaan dan pengujian memperlihatkan pemakaian zat tahan api pada konsentrasi 20% memberikan hasil terbaik ditinjau dari waktu nyala dan panjang arangnya. Nilai uji siram pada konsentrasi ini mencapai 100. Artinya, kain dapat menahan pembasahan dengan sangat baik. Pengujian tahan kotor dilakukan dengan cara mengotori bahan dengan kotoran buatan standar lalu dicuci dan membandingkan hasilnya dengan bahan standar yang tidak dikotori. Tingkat perbedaan antara keduanya sebanding dengan ketahanan kotor. Semakin kecil perbedaannya berarti semakin baik pula sifat
48
tahan kotor bahan yang bersangkutan, dan ini dinyatakan dengan nilai ∆E dari hasil pengukuran spektrofotometer. Pengujian memperlihatkan bahwa ketahanan kotor terbaik, yaitu ∆E terkecil, diperoleh pada pemakaian Nicca-Fi-None P-100 20% dan 2% Aversin KFC-I. Selain hal-hal tersebut di atas, perlu pula dikemukakan bahwa penggunaan zat tahan api Nicca Fi-None P-100 tidak mempengaruhi kekuatan tarik kain. Ini dapat dilihat dari perbedaan kekuatan tarik yang tidak signifikan pada setiap konsentrasi. Dengan mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis maka hasil terbaik penyempurnaan tahan api dan tahan kotor pada kain poliester 100% dapat diperoleh dengan konsentrasi Nicca Fi-None P-100 sebesar 20% dan Aversin KFC-I 2%
DAFTAR PUSTAKA 1. Heffner, Lawrence L., and et. al. 1963. A Study of Oil and Water Repellent Surface. 2. Hendrodyantopo, and et. al. 1998. Teknologi Penyempurnaan. Bandung: STTT. 3. Lubis, Arifin, and et. al. 1975. Teknologi Persiapan Penyempurnaan. Bandung: Institut Teknologi Tekstil. 4. Moerdoko, Wibowo, and et. al. 1975. Evaluasi Tekstil Bagian Kimia. Bandung: ITT. 5. Prasetyo, Reddy. "Penyempurnaan tahan Api Pada Kain Kapas dengan Campuran Zat Tahan Api Boraks:DAP (1:1) dan Boraks: Asam (7:3)." STTT. 6. Soeprijono, P., and et. al. 1975. Serat-serat Tekstil. Bandung: ITT. 7. Y. R., Emma. 2002. "Suatu Pengamatan terhadap Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Penghilangan Kanji, Pemasakan, dan Relaksasi Simultan Kain Poliester." Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil.
14 ZAT WARNA ALAM UNTUK BAHAN TEKSTIL DARI EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS Shinta Citra N, Taufiq F, Wawan G, Yanti W, Yayu R Laboratorium Kimia Fisika Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272 Telp.: 022 7272580 E-mail:
[email protected]
Abstrak Pada percobaan ini akan digunakan kulit buah manggis untuk dijadikan bahan dasar dalam pembuatan zat warna alam, dengan pertimbangan selain untuk memanfaatkan limbah makanan, juga dilihat dari kandungan kimianya, yaitu memiliki tanin yang bisa digunakan sebagai dasar pembuatan zat warna. Kulit buah manggis diekstraksi terlebih dahulu sehingga diperoleh larutan ekstraksi zat warna. Dari ekstrak ini dilakukan pencelupan pada beberapa bahan yaitu kain kapas, poliester, akrilat dan poliamida. Pencelupan dilakukan dengan menggunakan metode perendaman biasa dan dengan perendaman iring. Hasil pencelupan yang didapat memiliki warna variatif dari kuning sampai coklat. Terhadap ekstrak larutan zat warna dlakukan identifikasi, sedangkan pada hasil pencelupannya dilakukan pengukuran %R dan K/S dan pengujian ketahan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian. Pencelupan dengan kulit buah manggis ternyata memberikan hasil baik hampir pada semua jenis kain yang diuji. Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin yang memiliki gugus hidroksi dan bersifat polar. Gugus ini dapat berikatan dengan logam membentuk senyawa mordan. Pada identifikasi zat warna teridentifikasi bahwa ekstraksi mengadung zat warna asam. Penguatan dengan pengerjaan iring memperlihatkan bahwa warna semakin kuat dan bervariasi. Ini menunjukkan bahwa zat warna yang terkandung di dalam kulit buah manggis adalah zat warna mordan dengan ketahanan luntur warna yang baik.
Abstract In this experiment we explored the possibility of using the extract from the skin of mangosteen, which is usually regarded food waste, as textile dye. The skin of mangosteen has been known and used for quite a long time in the leather industry, and is regarded potential for textile dye because it contains tannin, which is widely known as one of chemical base for dyes. We used the extract to dye cotton, polyester, acrylic and nylon by exhaust method which is subsequently followed by an aftertreatment for each of the dyeing process. It gives good coloration to each type of fiber with colors ranging from yellow to brown. Qualitative analysis shows that the extract from mangosteen skin has the properties of acid mordant dyes. We suggest that the good coloration results from polar hydroxy groups of tannin having the capability to form metal complex These groups form mordant with metals during the aftertreatment, which also improves its washing fastness as well as enriches its color depending upon the metal used in that particular process.
1
PENDAHULUAN
Kulit buah manggis merupakan cangkang yang dibuang oleh orang. Sejauh ini pemanfaatan kulit buah manggis hanya untuk penyamakan kulit. Pada percobaan ini akan dicoba pemanfaatan yang lebih jauh, yaitu dengan menggunakannya sebagai zat warna alam. Berdasarkan kandungan kimianya, kulit buah manggis memiliki tanin
yang merupakan bahan dasar pembuatan zat warna. Percobaan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa kandungan kulit buah manggis yang dapat diaplikasikan untuk mewarnai bahan tekstil dan mengidentifikasinya sebagai suatu jenis zat warna.
49
Tabel 14-1. Penggolongan tanin tumbuhan Struktur
Jangka bobot molekul
Endapan protein
Oligomer katekin dan flavan-3,4-diol
1000 – 3000
++++
Galotani
Ester asam galat dan glukosa
1000 – 1500
+++++
Elagitanin
Ester asam heksahidroksi di fenat
1000 – 3000
+++++
200 – 600
±
Tata nama Tanin-terkondensasi Proantosianidin♣ (atau flavolan) Tanin terhidrolisikan
Prototanin Prazat tanin
Katekin (dan galokatekin) Flavan-3,4-diol
Sumber: J. B. Harborne, 1984, 103
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Manggis Manggis (Garcinia Mangostana L) diduga berasal dari asia Tenggara terutama di wilayah Indonesia dan dikenal dunia barat sejak awal tahun 1631. Tanaman ini ditemukan tumbuh liar pada lokasi dan tanah yang berbeda-beda (Yacob dan Tindall, 1995). Ukuran tebal kulit buah manggis mencapai proporsi 1/3 bagian dari buahnya. Kulit buah manggis sering digunakan sebagai bahan pembuat cat anti karat dan cat untuk melapisi kayu dinding. Selain itu kulit buah manggis juga digunakan sebagai bahan penyamak kulit.
proantosianidin. Tanin ini dapat bereaksi dengan ion logam menimbulkan warna.
3
Kain yang digunakan dalam percobaan ini adalah kain kapas, poliester, poliakrilat dan poliamida. Urutan proses yang dilakukan pada saat percobaan adalah sebagai berikut: Menentukan kadar air kulit buah manggis ↓ ekstraksi kulit buah manggis ↓ pencelupan cara perendaman tanpa dan dengan iring (60 menit, suhu 70 – 800C)
2.2 Kandungan Kimia Kulit buah manggis banyak mengandung pektin, tanin katekin, rosin dan mangostin. Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan. Tanin-terkondensasi dan tanin-terhidrolisis. Penggolongan tanin ini terdapat pada Tabel 14-1. Tanin yang terdapat pada kulit buah manggis adalah tanin yang terdiri dari katekin (flavan-3,4-diol) yang tergolong
♣ Istilah leukoantosianidin (atau leukoantosianin) dahulu dipakai secara luas untuk tanin ini, tetapi sekarang penggunaannya terbatas pada flavan –3,4-diol monomer yang tidak mempunyai kerja tanin.
50
PERCOBAAN
↓ Pengujian (identifikasi zat warna bubuk, pengukuran %R dan K/S, pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian)
4
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Zat Warna Bubuk Pada identifikasi zat warna bubuk terlihat bahwa ekstrak kulit buah manggis ternyata teridentifkasi untuk zat warna asam. Pada pencelupan dengan ekstraksi kulit buah manggis, semua bahan dapat dicelup dengan baik oleh ekstraksi dan dengan penambahan beberapa macam iring warna yang dihasilkan
cenderung berbeda-beda dengan warna dari kuning hingga coklat.
variasi
Hasil pencelupan yang berbeda-beda dan identifikasi zat warna memperlihatkan bahwa kandungan kulit buah manggis yaitu salah satunya tanin yang dapat dijadikan dasar untuk dijadikan zat warna. Tanin katekin dengan struktur kimia berupa flavan3,4-diol dapat bereaksi dengan serat untuk mewarnainya. Tanin memiliki gugus hidroksi sebagai gugus polar yang apabila dalam medium air dapat mengion dan menjadikan tanin bersifat sedikit reaktif. Apabila logam ditambahkan ke dalam larutan ekstraksi maka logam akan membentuk ikatan ionik dengan gugus hidroksi dari tanin membentuk senyawa
Proses mordan tergantung pada kenyataan bahwa sejumlah elemen logam dapat berfungsi sebagai penerima (akseptor) terhadap pemberi elektron (donor) untuk membentuk ikatan karbonat (semi polar). Di dalam ikatan kovalen, setiap partisipan menghasilkan satu elektron, tetapi ikatan koordinat bergantung pada satu atom lebih pasangan elektron bebas kepada akseptor yang mempunyai lintasan kosong (Isminingsih et al., 1979, hal. 99). Teridentifikasinya ekstrak dengan pengujian zat warna asam menunjukkan bahwa tanin yang dikandung memiliki gugus polar dan pada pencelupan dengan serat protein tanin akan bereaksi dengan gugus amina membentuk ikatan-ikatan garam. Selain itu tanin akan bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
16 14 12 10 K/S 8 6 4 2 0
kapas polyester akrilat putih
tanpa iring
tawas kromat garam naftol
besi
poliamida
Metode celup
Gambar 14-1. Hubungan K/S dengan metoda celup pada berbagai bahan
mordan. Tabel 14-2. Hasil identifikasi zat warna pada ekstrak kulit buah manggis No
Identifikasi zat warna
1
Zat warna dispersi
−
2
Zat warna belerang
−
3
Zat warna basa
−
Akrilat
4
Zat warna asam
+
Wol
5
Zat warna direk
−
Kapas
6
Zat warna naftol AS
−
Kapas
Hasil
mantap yang tidak larut dalam air (reaksi penyamakan) (J. B. Harborne, 1984, hal. 102). Oleh sebab itu pada identifikasi zat warna terlihat adanya zat warna asam.
Bahan
4.2 Analisa Spektrofotometri Pada Bahan
Rayon asetat
Hasil analisa spektrofotometri menunjukkan bahwa pengerjaan dengan iring memberikan nilai K/S yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa iring. Dengan adanya logam, terjadi penguatan atau penambahan daya penetrasi dari tanin untuk dapat masuk ke dalam serat dan mengadakan ikatan ionik dengan serat. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa tanin memiliki gugus hidroksi sebagai gugus polar yang apabila dalam medium air dapat mengion dan menjadikan
51
tanin bersifat sedikit reaktif. Apabila logam ditambahkan ke dalam larutan ekstraksi maka logam akan membentuk ikatan ionik dengan gugus hidroksi dari tanin membentuk senyawa mordan. Hasil pengukuran %R dan K/S memperlihatkan bahwa hasil terbaik untuk bahan kapas diperoleh pada pengerjaan iring dengan besi (Gambar 14-1) 4.3 Ketahanan Luntur Warna Tabel 14-3 Ketahanan gosok dan cuci hasil celupan ekstrak kulit manggis dengan berbagai pengerjaan iring Pengujian
KESIMPULAN
Setelah melakukan percobaan, pengujian dan analisa dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Kulit buah manggis dapat mewarnai bahan tekstil secara permanen sehingga dapat digunakan sebagai zat warna alam. Zat warna yang terkandung dalam kulit buah manggis adalah zat warna mordan. Hasil dari pewarnaan dengan kulit buah manggis memiliki ketahanan luntur yang baik. Ucapan Terima Kasih
Gosokan
Pencucian
Kering
Basah
Staining scale
Staining scale
Staining scale
Grey scale
Tanpa iring
4
4
4
4
Tawas
4
4
4
4-5
Kromat
4
4-5
4
4-5
Garam naftol
4
4
4-5
Besi
4
4
4-5
Metode
5
4-5
Dilihat dari data pengujian ketahanan luntur warna terlihat bahwa pencelupan dengan menggunakan ekstrak kulit buah manggis memiliki tahan luntur warna yang baik. Ini membuktikan bahwa kandungan yang terdapat pada kulit buah manggis dapat digunakan sebagai zat warna alam. Hal ini dapat disebabkan oleh tanin yang berikatan dengan serat. Ikatan yang terjadi dapat berupa ikavalen kovalen, ikatan ionik, ikatan hidrogen, atau ikatan van der Walls. Ikatan-ikatan ini menyebabkan serat terwarnai secara permanen.
Kepada dosen dan asisten kimia zat warna, rekan-rekan kuliah, perpustakaan dan seluruh pihak yang terkait terima kasih atas bantuan, dorongan, dan dukungannya,
DAFTAR PUSTAKA Rasyid Jufri, et. al. "Teknologi Pengelantangan, Pencelupan, dan Pencapan." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1976. Estiti B. Hidajat. "Morfologi Pertumbuhan Bunga dan Buah Pada Mangostin (Garcinia Mangostana L)." Rahmat Rukmana. "Budidaya Manggis." Yogyakarta: Kanisius, 1995. Isminingsih G. et. al. "Pengantar Kimia Zat Warna." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1979. J. B. Harborne. "Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan." Bandung: ITB, 1984. "www.dweckdata.com/published/Natural_ingredients _forcoloring_and_styling.htm." www.idionline.org / obat-obat tradisional / Garcinia Mangostana L.
52
15 MIRABILIS JALAPA L , PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGANNYA UNTUK ZAT WARNA ALAM Indri Eka Putri, Noerlina, Prihartini Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Laboratorium Kimia Fisika Tekstil Jl. Jakarta No. 31, Bandung 40272, Telp.: 022 7272580
Abstrak Kembang pukul empat (Mirabilis Jalapa L) merupakan tumbuhan semak semusim dengan tinggi 50-80 cm. Daunnya mengandung zat-zat kimia seperti saponin, flavonoida dan tannin yang dapat menghasilkan warna alam. Flavonoida merupakan kelompok flavonol turunan senyawa benzena yang dapat digunakan sebagai senyawa dasar zat warna alam. Pada percobaan ini ekstraksi dari daun kembang pukul empat dibuat menjadi bubuk dan digunakan untuk mencelup kapas, nilon, poliester dan akrilat. Proses pencelupan dilakukan dengan cara perendaman selama 1 jam pada suhu mendidih diikuti dengan proses iring menggunakan FeSO4, garam kuning, tawas, dan kalium bikromat selama 15 menit pada suhu 80 0C. Hasilnya terjadi penodaan pada kain kapas dan poliester sedangkan kain nilon dan akrilat terwarnai dengan kuat. Pengujian terhadap hasil celup memperlihatkan ketahanan luntur yang baik terhadap pencucian dan gosokan. Identifikasi zat warna menunjukkan hasil ekstrak dari daun kembang pukul empat tergolong ke dalam zat warna asam.
Abstract “Kembang pukul empat” or Mirabilis Jalapa L is a seasonal small plant (bush), 50-80 cm high. Its leaves contain saponin, flavonoida and tannin which is very useful as source for natural dyes. Flavonoida, especially flavonol, is one of benzene derivatives that can be used to dye textile material. We used the extract from the leaves of “kembang pukul empat” to dye cotton, nilon, poliester, and acrylic to study its dyeing properties. Cloth of cotton, nilon, poliester and acrylic were immersed in the extract solution at boiling temperature for 1 hour, and was subsequently aftertreated with FeSO4, salt yellow, alum, and potassium bichromate at 80 0C for 15 minutes. Cotton and poliester is slightly stained whereas nilon and acrylic is highly coloured. The dyeing shows good washing as well as good rubbing fastness. The dye identification shows that the dye obtained from the extract of Mirabilis Jalapa L belongs to the acid dyes group. We also obtained some powder out of the extract.
1
PENDAHULUAN
Mirabilis Jalapa L atau yang biasa dikenal dengan kembang pukul empat merupakan tanaman yang tumbuh di habitat semak sehingga tanaman ini tidak berdayaguna seperti jenis bunga lainnya, misalnya mawar atau melati yang dapat dimanfaatkan untuk parfum ataupun tanaman hias yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tanaman ini memiliki daun tunggal segitiga dengan panjang 5-8 cm, lebar 5-10 cm dengan ujung yang meruncing, pangkal tumpul, tepi rata, tulang daun menyirip dan warna hijau keputihan. Daunnya mengandung saponin, flavonoida dan tanin.
Dari kandungan kimianya maka kemungkinan daun Mirabilis Jalapa L dapat mewarnai bahan tekstil, karena flavonoida terutama kelompok flavonol merupakan turunan dari senyawa benzena dan merupakan senyawa aromatik yang dapat digunakan sebagai senyawa dasar zat warna. Pada percobaan ini kami akan menganalisa daun kembang pukul empat sebagi zat warna alam atau hanya sebagai pigmen warna saja. Maksud dan tujuan percobaan ini adalah memanfaatkan dan mengembangkan daun kembang pukul empat yang tadinya merupakan tanaman yang tidak berdaya guna menjadi berdaya guna karena mempunyai kemampuan untuk mewarnai bahan sebagai zat warna asam,
53
sehingga dapat menambah dan memperkaya jenis-jenis zat warna alam yang ada.
atau kebiruan, bergantung pada antosianin dan pH vakuola tempat mereka terhimpun.
2
Pada posisi 3 selalu terglikosilasi oleh glukosa, galaktosa, ramnosa, xilosa-glukosa, ramnosa-glukosa atau glukosa-glukosa. Pada posisi 5 kadang terglikosilasi oleh glukosa sedangkan posisi 7 hampir tidak pernah terglikosilasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur dasar flavonoid dapat diubah sedemikian rupa sehingga terdapat lebih banyak ikatan rangkap yang menyebabkan senyawa tersebut menyerap cahaya tampak dan ini membuatnya berwarna.1 2' 8
O
7
3'
1
B
2
A
6'
6 5
4' 5'
4
Gambar 15-1. Struktur dasar flavonoida
Flavonol dan flavon berhubungan dekat dengan antosianin, tapi berbeda dalam hal struktur cincin tengah yang mengandung oksigen. Sebagian besar flavon atau flavonol merupakan pigmen berwarna kekuningan atau gading . Molekul flavon dan flavonol juga tersebar luas didaun.
Garis tebal yang mengelilingi cincin B dan tiga karbon cincin tengah menunjukkan bagian flavonoid yang berasal dari lintasan asam siklamat. Cincin A dan oksigen bagian tengah berasal seluruhnya dari unit asetat yang disediakan oleh asetil Ko A. Gugus hidroksil hampir seluruhnya terdapat di flavonoid, khususnya pada cincin B di posisi 3’ dan 4’ atau di posisi 5 dan 7 pada cincin A atau pada posisi 3 cincin tengah. Gugus hidroksil ini merupakan tempat menempelnya berbagai gula yang meningkatkan kelarutan flavonoid dalam air. 2
O
B
A O
(a)
O
B
A OH O
Gambar 15-3. Flavon (a) dan flavonol (b)
3'
O
HO 7
A
B
4'
3 5
OH
5'
OH
Cahaya, khususnya pada panjang gelombang biru dapat meningkatkan pembentukan flavonoid yang juga dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap radiasi UV.
Gambar 15-2. Struktur dasar antosianin (ion flavinium)
Ada tiga kelompok flavonoid yang amat menarik perhatian dalam fisiologi tumbuhan yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin adalah pigmen berwarna merah, ungu, dan biru. Warna antosianin pertamatama bergantung pada gugus pengganti yang terdapat dicincin B. Kedua, antosianin sering berhubungan dengan flavon atau flavonol yang menyebabkan warnanya mejadi lebih biru. Ketiga, antosianin berhubungan satu sama lain, khususnya pada konsentrasi tinggi dan ini dapat menyebabkan efek kemerahan 1,2
Salisbury, B. Frank & Ross, W. Cleon. Fisiologi Tumbuhan jilid 2. ITB. Bandung. 1995
54
3
PERCOBAAN
3.1 Pembuatan Zat Warna Bubuk Daun Kembang pukul empat (Mirabilis Jalapa L ) ditimbang sebanyak 1,5 kg, lalu dimasukkan ke dalam air sebanyak 15 liter, dan dididihkan sampai terbentuk larutan ektraksi. Larutan tersebut selanjutnya disusutkan hingga sepertiga bagian, kemudian ditiriskan, disaring dan dikeringkan filtratnya dalam oven hingga terbentuk bubuk zat warna, kemudian distabilkan dalam eksikator.
3.2 Pencelupan Bahan dicelup dengan larutan ekstrak dengan perbandingan larutan (liquor ratio) 1:30 pada suhu mendidih selama 1 jam, selanjutnya dilakukan pengerjaan iring dengan FeSO4 , garam kuning, tawas dan kalium bikromat. Kain hasil pencelupan selanjutnya dibilas, dicuci panas dan dicuci dingin, lalu disabun sebelum akhirnya dibilas dan dikeringkan. 3.3 Alat dan Bahan Bahan baku utama yang digunakan adalah daun kembang pukul empat dengan FeSO4 , garam kuning, tawas dan kalium bikromat untuk pengerjaan iring. Bahan tekstil terdiri dari kain kapas, poliester, nilon, dan akrilat. Disamping itu juga digunakan kain rajut multifiber (rayon, nilon dan poliakrilat). 3.4 Identifikasi Zat Warna dan Pengujian Ketahanan Luntur Identifikasi zat warna dilakukan menurut standar AATCC untuk mengetahui jenis dan golongan zat warna yang dihasilkan dari ekstrak daun Kembang Pukul Empat. Pengujian ketahanan luntur warna dilakukan menurut SII 0115-75 (gosokan) dan SII 01175 (pencucian). 3.5 Analisa Spektrofotometri Untuk mengetahui daya celup ekstrak daun Kembang Pukul Empat maka dilakukan analisa spektrofotometri yang melibatkan pengukuran reflektansi dan nilai K/S hasil pencelupan.
4
ke hijau, sedangkan untuk kain poliester dan kapas dengan kerja iring dan tanpa iring hanya menodai kain dan warnanya mengarah ke abuabu. Mekanisme utama dalam pencelupan serat nilon adalah pembentukan ikatan garam dengan gugusan amino dalam serat. Ikatan yang mungkin terjadi antara zat warna dengan serat adalah ikatan elektrovalen (ionik). Di dalam larutan, gugus amina dan karboksilat pada nilon akan terionisasi. Bila kedalamnya ditambahkan suatu asam, maka ion hidrogen asam langsung berikatan dengan ion karboksilat pada nilon sehingga terjadi gugusan ion ammonium bebas yang memungkinkan terbentuk ikatan ionik dengan zat warna. Zat warna daun kembang pukul empat dapat dipandang sebagai senyawa asam lemah, ionisasi zat warna dalam air cenderung bermuatan negatif. Dengan penambahan asam pada uji zat warna bubuk terbukti bahwa penyerapan zat warna terhadap serat lebih besar. 4.2 Hasil Uji Tahan Luntur Zat Warna terhadap Gosokan Ketahanan luntur zat warna terhadap gosokan basah mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan gosokan kering. Hal ini disebabkan karena dengan adanya medium air maka molekul zat warna akan ikut terbawa oleh air, atau dapat dikatakan di sini terjadi proses imbibisi. Selain itu air juga menyebabkan penggembungan pada serat sehingga molekul zat warna akan lebih mudah keluar saat penggosokan. Tabel 15-1. Ketahanan gosok hasil celupan daun kembang pukul empat dengan berbagai pengerjaan iring.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan Nilon
Kering
Basah
Tanpa iring
4-5
3-4
Iring FeSO4
4
3-4
4-5
4
4
4
4-5
3-4
4.1 Hasil Pencelupan Identifikasi zat warna yang dilakukan terhadap bubuk yang diperoleh dari ekstrak daun kembang pukul empat memperlihatkan kemungkinan zat warna tergolong sebagai zat warna asam, karena pada pengujian didapat hasil pencelupan wol tua dalam larutan asam asetat. Pencelupan dengan ekstraksi daun kembang pukul empat pada kain nilon dan akrilat setelah iring dan tanpa iring mewarnai kain dan warnanya mengarah
Nilai penodaan
Iring garam kuning Iring tawas Iring K2Cr 2O4
Nilai penodaan yang diperoleh baik unuk gosokan kering maupun basah dengan berbagai macam iring menunjukkan hasil yang baik.
55
4.3 Hasil Uji Tahan Luntur Zat Warna terhadap Pencucian Nilai ketahanan luntur zat warna terhadap pencucian dengan sabun netral untuk kain nilon mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan kain kapas. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan elektrovalen yang terjadi antara zat warna dengan serat nilon, dimana ikatan tersebut jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan ikatan hidrogen atau gaya-gaya Van der Waals pada serat kapas. Tabel 15-2. Ketahanan luntur terhadap pencucian hasil celupan ekstrak daun kembang pukul empat dengan berbagai pengerjaan iring Bahan Nilon
Nilai penodaan Kapas
Tanpa iring
Nilon
4-5
3-4
Iring FeSO4
4-5
4
Iring garam kuning
4-5
3
Iring tawas
4
3-4
Iring K2Cr 2O4
4
4
4.4 Analisa Spektrofotometri Hasil uji spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum 400 nm menunjukkan harga K/S kain nilon yang tercelup dengan iring tawas yaitu 5,2724. Ini berarti zat warna yng terserap kedalam kain nilon pada pencelupan dengan iring tawas lebih banyak, hal itu mungkin terjadi karena molekul zat warna yang berikatan dengan logam Al dari tawas di dalam serat lebih besar sehingga zat warna tidak keluar lagi pada saat proses pencucian. Tabel 15-3. Pengaruh pengerjaan iring terhadap nilai ketuaan warna hasil celupan daun kembang pukul empat
56
Bahan Nilon
Nilai K/S
Tanpa Iring
2,9204
Iring FeSO4
2,9644
Iring garam kuning
3,4504
Iring tawas
5,2724
Iring kalium bikromat
3,0084
5
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari hasil percobaan dan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Identifikasi zw bubuk menunjukkan zw yang terkandung pada daun kembang pukul empat adalah zat warna asam dengan konsentrasi 0,0015 g/l. 2. Zat warna dari daun kembang pukul empat dapat digunakan untuk mencelup akrilat dan nilon, tapi nilon memiliki K/S zat warna yang lebih tinggi daripada akrilat. Warna yang dihasilkan mengarah ke warna hijau. 3. Nilai penodaan pada uji tahan gosok kain nilon yang tercelup pada keadaan kering lebih besar daripada saat basahnya dan penodaan pada uji tahan cucinya memiliki nilai rata-rata yang lebih besar dari kain kapas. Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada Ibu Ida Nuramdhani, S.Si.T. dan Bapak Mohamad Widodo, AT, M.Tech atas bimbingan dan dukungannya serta kepada teman-teman sekalian atas dukungan dan kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA J. B. Harborne. "Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan." Bandung: ITB, 1984. Widayat, et al. "Serat-serat Tekstil." Bandung: Institut Teknologi Tekstil, 1973. Handy Setiawan. "Suatu Studi Mengenai Kemungkinan Pencelupan Kain Kapas Dan Nilon Dengan Zat Warna Alam Hasil Ekstraksi Kulit Bawang Merah." Bandung: STTT, 1986. Nono Chariono Ch. "Pedoman Praktikum Pencelupan IV Pengukuran Warna dan Percampuran Warna." Bandung: STTT, B. Frank Salisbury & W. Cleon Ross. "Fisiologi Tumbuhan 2." Bandung: ITB, 1995.
16 PEMBUATAN SABUN CAIR DENGAN BAHAN DASAR ALKIL BENZENA SULFONAT Arif Wibisana dan Budiyono Mahasiswa Jurusan Kimia Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31 Bandung 40272 Telp. 022 7272580 Fax 022 7271694
1
Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, terutama sesuai dengan fungsi utamanya, yaitu sebagai pencuci. Berbagai jenis sabun ditawarkan oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari sabun cuci (krim dan bubuk), sabun mandi (padat dan cair), sabun tangan (cair), serta sabun pembersih peralatan rumah tangga (cair dan krim). Membuat sabun sebetulnya bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu sulit untuk dilakukan karena selain mudah pengerjaannya, biaya pembuatannya pun relatif murah dengan bahan-bahan yang mudah pula didapat. Mengingat hal tersebut dan perannya yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari membuat sabun sendiri dapat dipandang sebagai suatu kegiatan ekonomi yang bisa cukup menguntungkan, baik untuk penghematan maupun untuk menambah penghasilan bila dikelola dengan baik dalam bentuk industri rumah tangga.
2
digunakan biasnya dari jenis anionik dan menghasilkan sabun dalam bentuk cair.
PENDAHULUAN
PENGGOLONGAN SABUN
Ditinjau dari bahan dasarnya sabun dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: 1) Sabun yang dibuat dari asam lemak dan logam yang digaramkan. Logam yang digunakan biasanya dari jenis logam alkali, misalnya natrium dan kalium. Jenis sabun yang dihasilkan di antaranya adalah sabun mandi padat dan krim. 2) Sabun yang dibuat dari bahan dasar zat aktif permukaan (ZAP). Jenis ZAP yang
Makalah ini akan menjelaskan cara pembuatan sabun dari golongan yang kedua, yaitu dari zat aktif permukaan. Zat aktif permukaan adalah suatu zat yang dapat mengubah tegangan permukaan suatu larutan. Sifat-sifat khusus ZAP adalah pembasahan, daya busa, dan daya emulsi. Zat aktif permukaan anionik adalah zat aktif permukaan yang akan terionisai dan membawa muatan negatif bila dilarutkan dalam air. Salah satu contohnya adalah alkil benzena sulfonat. Senyawa ini memiliki rantai lurus panjang yang bercabang dan dibuat dengan mereaksikan parafin dengan benzena. Beberapa sifatnya yang terpenting adalah : − tahan sadah karena tidak mengandung gugus karboksilat dan − tahan asam maupun alkali. Sebagai contoh misalnya alkil benzo natrium sulfonat.
3
PENCUCIAN
Pencucian adalah proses membersihkan suatu permukaan benda padat dengan bantuan larutan pencuci melalui suatu proses kimia-fisika yang disebut deterjensi. Sifat utama dari kerja deterjensi adalah membasahi permukaan yang kotor kemudian melepaskan kotoran. Pembasahan berarti penurunan tegangan permukaan dan antar muka padatan-cair. Pencucian atau penglepasan kotoran berlangsung dengan jalan mendispersikan dan mengemulsi kotoran, lalu dengan bantuan aksi mekanik
57
kotoran menjadi terlepas dari permukaan benda padat. Kotoran padat dapat melekat karena adanya pengaruh: ikatan minyak, gaya listrik statik, dan ikatan hidrogen. Penambahan sedikit alkali membantu daya deterjensi dari sabun, tetapi dapat mendorong terjadinya hidrolisa. Alkali digunakan untuk menjaga pH larutan. Deterjen cair biasanya menggunakan bahan pelarut organik sebagai pelengkap dan penambah daya deterjensi dan diperlukan untuk kotoran-kotoran yang sulit dihilangkan atau berlemak.
4
ZAT PEMBANTU DAN PENGISI
Dalam pembuatan sabun peran zat pembantu dan pengisi sangat besar karena akan sangat menentukan mutu dan kenampakan sabun yang akan dijual. Zat-zat yang biasa digunakan adalah: 1) Garam, berfungsi sebagai pengental. Semakin banyak jumlah garam yang ditambahkan ke dalam larutan persiapan sabun maka sabun yang dihasilkan akan semakin kental. 2) Alkali, pengatur pH larutan sabun dan penambah daya deterjensi. 3) Zat pemberi busa, untuk meningkatkan daya busa. Adanya busa menjamin hasil pencucian yang bersih, sebab tanpa busa kemungkinan besar sabun telah mengendap sebagai sabun kalsium atau sabun tidak larut lainnya. 4) EDTA, sebagai pengikat logam sadah dan pengawet. 5) Pewangi, untuk memberikan aroma tertentu sesuai selera dan meningkatkan daya tarik serta daya jual sabun. 6) Zat warna, memberi warna pada sabun agar mempunyai penampilan menarik.
5
PEMBUATAN SABUN
5.1 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah alatalat sederhana seperti: piala gelas atau wadah apapun yang dapat digunakan untuk mencampur larutan persiapan sabun asalkan bersih, alat timbangan, pengaduk, dan wadah
58
untuk mengemas sabun yang dihasilkan (botol-botol). Bahan yang digunakan adalah: 1) Alkil benzena sulfonat (ABS) 2) Soda kostik (NaOH) 3) Zat pemberi busa (Texapon) 4) Garam dapur (NaCl) 5) Zat warna direk 6) EDTA 7) Pewangi: Jasmine, Blueberry, Lemon, Rose 5.2 Cara Kerja 5.2.1
Sabun Pencuci Cair
Resep Larutan induk Zat pembusa Garam dapur Zat warna Pewangi Air Total
: 67% : 7% : 1% : secukupnya : 0,5% : 24,5% 100%
Larutan induk ABS Soda kostik Air Total
: 24% : 6% : 70% 100%
Cara Kerja 1) Mula-mula larutan induk disiapkan sebanyak 1000 ml. 240 ml larutan ABS dimasukkan ke dalam 700 ml air sambil diaduk-aduk, lalu ditambahkan ke dalamnya larutan soda kostik sebanyak 60 ml. Pengadukan dilanjutkan hingga diperoleh larutan homogen. 2) Untuk membuat sabun mula-mula zat warna dimasukkan ke dalam air sesuai dengan resep yang telah ditetapkan dan diaduk hingga terlarut sempurna. 3) Selanjutnya ke dalam larutan zat warna ditambahkan berturut-turut zat pembusa, garam dapur, larutan induk, dan pewangi
sambil terus diaduk-aduk diperoleh larutan homogen. 5.2.2
hingga
Sabun Tangan Cair
Resep ABS Zat pembusa Garam dapur EDTA Zat warna Pewangi Air Total
: 9% : 2% : 20% : 0,4% : secukupnya : 0,5% : 24,5% 100%
Cara Kerja 1) Mula-mula zat warna dimasukkan ke dalam air dan diaduk-aduk hingga terlarut sempurna. 2) Berikutnya ke dalam larutan tadi ditambahkan berturut-turut EDTA, ABS, zat pembusa, garam dapur, dan pewangi sesuai resep yang telah ditentukan sambil selalu diaduk pelahan hingga diperoleh larutan homogen.
6
HASIL DAN DISKUSI
Beberapa hal yang dapat dikemukakan dari hasil pembuatan sabun sebagaimana diterangkan di atas adalah bahwa penggunaan ABS ternyata kurang memberikan hasil yang memuaskan karena ABS memiliki warna dasar (coklat) yang mengganggu penampilan warna sabun yang dihasilkan. Disamping itu, penggunaan ABS juga kurang baik ditinjau dari aspek pelestarian lingkungan karena senyawa ini sulit didegradasi oleh alam sehingga akan tinggal dan menumpuk di badan-badan sungai menimbulkan pencemaran lingkungan. Sebagai gantinya bisa digunakan lauril alkil sulfonat (LAS) yang lebih mudah dibiodegradasi.
bahwa membuat sabun tidak sesulit yang dibayangkan. Bahan-bahannya pun relatif mudah didapat dan murah. Dengan menggunakan bahan dasar yang lebih ramah lingkungan dan sedikit modifikasi resep untuk mendapatkan sifat dan kenampakan yang diinginkan, membuat sabun cair baik untuk cuci pakaian maupun cuci tangan sangat mungkin untuk dilakukan pada skala rumahtangga sebagai usaha penghematan maupun industri rumahtangga untuk menambah penghasilan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Surfactants: A Comprehensive Guide. 1983 1st ed. Japan: Kao Corp. 2. Fujimoto, T. 1981. New Introduction to Surface Active Agents. Japan: Sanyo Chemical Industries, Ltd. 3. Haerani, Dian. 2002. "Perbandingan Hasil Pencucian Menggunakan Larutan Sabun dan Natrium Hidrosulfit dengan Larutan Sabun Tanpa Natrium Hidrosulfit pada Hasil Pencelupan Poliakrilat dengan Zat Warna Kationik." Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. 4. Tamzil, Panji Ahmad. 1975. "Pengaruh Pencucian dengan Sabun dan Deterjen Ditambah Pelemas Kationik Terhadap Daya Serap Kain Handuk Kain Kapas." Institut Teknologi Tekstil.
Pengujian pH memperlihatkan bahwa sabun yang dihasilkan ternyata memiliki pH asam, padahal sabun seharusnya bersifat alkalis. Untuk memperbaikinya perlu penambahan alkali atau larutan induk. Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut hasil percobaan telah menunjukkan
59
17 APLIKASI NANOTEKNOLOGI DI BIDANG TEKSTIL Mohamad Widodo Dosen Teknologi Penyempurnaan Kepala Laboratorium Pencapan & Penyempurnaan Tekstil Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Jl. Jakarta No. 31 Bandung 40272 Telp. 022 7272580, 08156143538 Fax 022 7271694 email:
[email protected]
1
PENDAHULUAN
“The fabrication of textile products is … in fact, one of the bases of civilization. … textile production is not just machines and factories; it is an expression of the artistry of the designer, the imagination of the scientist, the adventuring spirit of the entrepreneur, and the dignity of the craftsman. All of these have created and powered the slow upward climb of civilization which we call progress.” (Smith dan Block, hal. 3) Menurut laporan yang dikeluarkan oleh majalah Technical Textile Markets kita saat ini sedang menghadapi suatu perubahan besar yang mengawali lahirnya era baru setelah Era Informasi. Perubahan tersebut merupakan hasil konvergensi perkembangan teknologi di empat bidang kunci: teknologi informasi, bioteknologi, teknik manufaktur berskala nano (molecular nanotechnology), dan teknologi pembuatan bahan-bahan baru dari sumber-sumber berkelanjutan (sustainable resources). Dari keempat bidang tersebut nanoteknologi-lah yang membuat perubahan tersebut bersifat revolusioner. Dampaknya diyakini sangat luas dan mempengaruhi perkembangan teknologi selanjutnya, termasuk teknologi dan industri tekstil. Istilah nanoteknologi mungkin terdengar agak asing atau barangkali lebih tepatnya terdengar baru dalam ranah perbincangan tekstil pada umumnya. Apalagi kebanyakan artikel mengenai teknologi baru ini lebih banyak membicarakan aplikasinya pada bidang teknologi informasi dan bioteknologi, meskipun kemungkinan mengenai bidang aplikasinya sebetulnya telah dikenali sejak awal hampir tanpa batas (virtually limitless). Padahal, percaya atau tidak, produk tekstil yang memanfaatkan teknologi nano sudah
hadir sejak beberapa waktu lalu, setidaknya pada sekitar akhir tahun 90-an. Salah satunya adalah Nano-Care. Sama halnya seperti Sanforized, NanoCare adalah sebuah nama yang dipatenkan yang menyatakan suatu produk tekstil telah dikerjakan dengan suatu bahan kimia yang disiapkan melalui teknologi nano sehingga memiliki sifat tolak air dan tolak minyak (dan tahan kotor) permanen. Pemilik paten teknologi ini adalah Nano-Tex, anak perusahaan Burlington Industries di Amerika Serikat. Contoh lainnya adalah kain poliester berdayaserap tinggi yang diproduksi perusahaan Jepang, Kanebo Ltd. Daya serap serat poliester meningkat 30 kali lipat setelah permukaannya diberi lapisan film khusus yang disiapkan dengan teknologi nano dengan ketebalan puluhan nanometer.
Satu nanometer kira-kira seukuran dengan tiga hingga empat buah atom, dan nanoteknologi biasanya merujuk pada wilayah 1 – 100 nm (1 nm = 10-9 m). Pada wilayah ini elektron menunjukkan perilaku spesifik yang berbeda dari perilakunya pada wilayah makro (bulk material); nanoteknologi diarahkan untuk mengatur dan mengendalikan perilalu tersebut. Lalu apakah sebetulnya nanoteknologi itu? Bagaimana wujud teknologinya dan bagaimana pula kemungkinan ruang aplikasinya di bidang tekstil ? Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menjelaskan konsep teknologi nano dan aplikasinya di bidang tekstil, baik yang sudah ada saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan perkembangan aplikasinya di masa depan.
61
2
TERMINOLOGI, DEFINISI DAN KONSEP
Nanoteknologi secara literal dan sederhana dapat dipahami sebagai teknologi yang bekerja pada skala nano, yaitu skala atom dan molekul, “…the ability to do things on the scale of atoms and molecules.” Secara konsep, nanoteknologi didefinisikan sebagai teknologi yang memungkinkan kendali struktural tiga-dimensi secara penuh atas bahan, proses dan alat (devices) pada skala atom. Artinya, teknologi ini memungkinkan orang untuk membuat suatu produk dengan sifat apapun yang diinginkan melalui pengaturan struktur bahan pada skala atom. Oleh sebab itu, nanoteknologi sering juga dipahami sebagai teknologi untuk proses “manufaktur molekuler” (molecular manufacturing). Perbedaan antara nanoteknologi molekuler dengan kimia larutan terletak pada bagaimana reaksi kimia berlangsung pada masing-masing sistem. Pada kimia larutan reaksi kimia berlangsung melalui suatu proses statistik dimana molekul-molekul bertumbukan satu sama lain dalam suatu gerakan perpindahan yang arah maupun orientasinya bersifat acak. Dengan nanoteknologi molekuler orientasi dan lintasan masing-masing molekul dapat dirancang dan diatur sedemikian rupa hingga
reaksi dapat berlangsung di tiap tempat spesifik yang diinginkan melalui suatu pengendalian yang terprogram, dan dengan demikian reaksi kimia dapat berlangsung lebih cepat dan akurat. Teknologi ini merupakan bidang teknologi baru yang masih berkembang dan bersifat interdisiplin hasil kombinasi prinsipprinsip fisika dan kimia molekuler dengan prinsip-prinsip rancangan mekanik, analisa struktur, ilmu komputer, teknik listrik, dan teknik sistem. Proses manufaktur semacam ini akan memerlukan banyak sekali subsistem elektro-mekanik berskala molekul yang bekerja paralel dan menggunakan zat-zat kimia seperti biasa ditemukan pada prosesproses kimia umumnya. Semua benda yang ada di sekeliling kita terusun atas atom, dan sifat-sifatnya sangat ditentukan oleh bagaimana atom-atom tersebut tersusun. Mengubah susunan atom berarti mengubah sifat benda yang bersangkutan, dan ini mirip dengan bermain susun-bangun dengan LEGO. Bayangkan betapa sulitnya bermain LEGO dengan tangan terbungkus sarung tinju; kehadiran teknologi nano ibaratnya memberi kita kebebasan untuk melepas sarung tinju tersebut sehingga dengan leluasa kita dapat melepas dan menyusun kembali balok-balok LEGO sekemauan kita untuk mendapatkan bentuk bangun yang berbeda dan baru. Terkait erat dengan ilustrasi barusan adalah apa yang
Tabel 17-1. Perbandingan komponen dan fungsi biomolekuler dengan skala makro Device
Function
Struts, beams, casings Transmit force, hold positions Cables Transmit tension Fasteners, glue Connect parts Solenoids, actuators Move things Motors Turn shafts Drive shafts Transmit torque Bearings Support moving parts Containers Hold fluids Pumps Move fluids Conveyor belts Move components Clamps Hold workpieces Tools Modify workpieces Production lines Construct devices Numerical control systems Store and read programs Sumber: http://www.salsgiver.com/people/forrest/refs.html#ref2
62
Molecular example(s) Microtubules, cellulose Collagen Intermolecular forces Conformation-changing proteins, actin/myosin Flagellar motor Bacterial flagella Sigma bonds Vesicles Flagella, membrane proteins RNA moved by fixed ribosome (partial analogue) Enzymatic binding sites Metallic complexes, functional groups Enzyme systems, ribosomes Genetic system
lazim disebut positional assembly, yaitu suatu konsep mengenai penyusunan atom yang pada gilirannya memerlukan peralatan robotik1 berukuran dan dengan ketelitian molekuler. Peralatan tersebut memiliki tugas dan fungsi memanipulasi dan memindahkan atom maupun molekul sesuai dengan sifat yang diinginkan pada suatu produk. Tabel 17-1 memperlihatkan kemiripan bentuk dan fungsi mekanik antara sistem biologi molekuler dan sistem tradisional skala makro. Nampak disini, dilihat dari fungsinya, beberapa bentuk kehidupan ternyata lebih menyerupai robot daripada makhluk hidup seperti yang kita pahami selama ini.
3
Konsep lain yang sama pentingnya pada proses manufaktur molekuler adalah selfreplication, yaitu suatu konsep mengenai sistem yang dapat memperbanyak dirinya sendiri dan dapat pula membuat produk-produk lain selain dirinya. Tanpa konsep ini biaya manufaktur molekuler akan menjadi sangat mahal.
2) pada tingkat intermolekuler (atau intergranular), molekul-molekul yang berdekatan tidak dapat saling bersejajaran; kontaminasi oleh atom, molekul, atau film yang tidak diinginkan pada wilayah batas intermolekul,
Selama ini kita mengenal tiga sistem fase dimana reaksi kimia biasanya berlangsung: sistem fase-cair, -padat, dan –gas. Nanoteknologi molekuler bekerja di dalam suatu lingkungan yang disebut fase-mesin (machine-phase), yaitu suatu sistem fase dimana semua atom yang terdapat di dalamnya mengikuti suatu lintasan yang telah ditetapkan dalam keadaan terkendali penuh (dalam batasan yang dimungkinkan oleh eksitasi termal). Dalam lingkungan seperti itu reaksi kimia dapat berlangsung tanpa reaksi samping yang tidak diinginkan dan tidak ada kontaminasi sehingga reaksi kimia dapat berlangsung lebih akurat dan cepat. Konsep nanoteknologi menjanjikan keleluasaan hampir tanpa batas untuk berkreasi menciptakan bahan-bahan maupun produk-produk baru. Disamping itu, nanoteknologi juga menawarkan pendekatan baru yang lebih efisien dan efektif dalam memperbaiki sifat bahan. Uraian pada bagian selanjutnya akan menjelaskan beberapa kemungkinan dan contoh mengenai hal tersebut khusus untuk bidang tekstil. 1 A robot is a machine which is programmed to automatically perform a number of mechanical tasks (Collins Cobuild English Language Dictionary, 1987).
NANOTEKNOLOGI DALAM INDUSTRI TEKSTIL
3.1 Bahan Tekstil Berkekuatan Tinggi Bila dikaji lebih dalam bahan yang kita buat sebetulnya penuh dengan cacat pada berbagai skala: 1) pada tingkat intramolekuler atau intragranular, cacat tersebut bisa berupa hilangnya satu atom dari suatu molekul atau butir kristal, atom menempati posisi yang tidak diinginkan (salah tempat), atau bisa juga tertukar (tersubstitusi) oleh atom lain yang tidak diharapkan,
3) pada skala mikro, klaster molekul berukuran besar (seperti serat) tidak bersejajaran secara tepat, dan 4) pada skala makro, berupa sobekan mikro (microtears), lubang, dan retakan yang tampak mata. Cacat-cacat tersebut mempengaruhi unjuk kerja dan sifat bahan secara keseluruhan. Perhitungan atas sifat teoritik kristal sempurna memperlihatkan bahwa bila bahan logam dan keramik dapat dibuat dari kristal murni dan sempurna kekuatannya akan berlipat 10 hingga 50 kalinya, bahkan 100 kalinya. Jelas sangat banyak keuntungan yang bisa diperoleh bila kita dapat membuat bahan semacam itu. Kekuatan adalah syarat utama yang harus dipenuhi bahan tekstil untuk keperluan industri. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan bahan tekstil industri melalui pemanfaatan nanoteknologi adalah dengan memberi struktur pendukung berupa deretan panjang molekul karbin (carbyne) yang dicangkokkan pada serat konvensional sebagai penguat. Karbin adalah senyawa karbon berantai lurus panjang yang berikatan ganda dua dan tiga secara bergantian, dan memiliki kekuatan sangat tinggi. Jajaran molekul-molekul kar-
63
bin yang tersusun dalam bentuk kristal kubus memiliki kekuatan tarik sebesar 50 GPa (giga Pascal). Bandingkan dengan rayon dan nilon, yang selama ini dikenal sebagai pilihan terbaik untuk bahan tekstil industri; masing-masing memiliki kekuatan hanya sebesar 0,45 dan 0,083 GPa. Molekul karbin juga memiliki kelenturan yang memadai untuk dipintal menjadi serat. Daya hantar panasnya pada arah sumbu rantai molekul sangat tinggi, sehingga panas di satu titik dapat dengan cepat dibuang dengan cara disebarkan ke bagian lain dari bahan. Sebaliknya, daya hantar panasnya bisa sangat rendah pada arah tegak lurus sumbu rantai asalkan susunan molekul-molekulnya tidak terlalu rapat dengan ikatan silang panjang dan berjarak. Sifatnya yang demikian memungkinkan karbin dijadikan sebagai bahan dasar untuk kain anti panas (heat resistant fabric). Pengaturan susunan molekul seperti itu sangat dimungkinkan dengan nanoteknologi molekuler. Pendekatan lain yang juga sangat menarik untuk meningkatkan kekuatan bahan tekstil adalah dengan menghilangkan moda kegagalan (failure mode) akibat pemisahan serat dari kumpulan dan puntirannya akibat tarikan. Caranya dengan menghubungkan serat-serat pada ujung-ujungnya sehingga diperoleh suatu kekontinyuan (meski seratserat tersebut masih terpuntir dan terkumpul dengan cara yang sama) dan kekuatan tambahan disamping gaya friksi antar serat untuk melawan gaya tarikan yang dialami bahan dalam pemakaian. Pengaturan seperti ini hanya dapat dilakukan melalui nanoteknologi. Ini hanya beberapa contoh mengenai kemungkinan-kemungkinan dan peluang pemanfaatan teknologi nano pada proses fabrikasi bahan tekstil berkekuatan tinggi. Nanoteknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan bahan tekstil dengan sifat khusus lainnya. Toray Industries, Inc., telah berhasil membuat bahan tekstil berdaya serap lebih tinggi daripada kapas melalui penggunaan serat nilon yang sangat halus berukuran hanya puluhan nanometer, sekitar 1/100 diameter serat-serat tradisional yang telah dikenal selama ini.
64
3.2 Penyempurnaan Tekstil 3.2.1
Pencelupan
Meski belum mencapai tahap komersialisasi teknologi nano juga telah dimanfaatkan untuk memperbaiki daya celup polipropilena yang diketahui sangat sulit terwarnai dengan baik dengan teknologi yang ada saat ini. Serat polipropilena dipandang menarik untuk dikembangkan lebih jauh sebagai bahan kain jok maupun pakaian karena kekuatannya sebanding dengan nilon maupun poliester sementara harganya relatif murah. Salah satu kekurangannya yang utama adalah daya celupnya yang kurang baik. Pendekatan tradisional yang selama ini dilakukan: kopolimerisasi, polyblending, pencangkokan (grafting), pengerjaan plasma, maupun penggunaan zat warna khusus, terbukti belum bisa memberikan daya celup yang memadai ditinjau dari segi teknis dan aspek ekonomisnya. Sekelompok peneliti dari University of Massachussets dan University of Nebraska di Amerika Serikat menggunakan partikel nano yang dimodifikasi dengan garam amonium kuaterner sebagai bahan campuran untuk membuat bahan polipropilena nanokomposit (nanoPP).2 Garam tersebut dimaksudkan untuk memungkinkan reaksi pembentukan ikatan ionik dengan zat warna asam. NanoPP juga terbukti dapat tercelup dengan baik dengan zat warna dispersi. Pencampuran partikel nano ke dalam matriks polipropilena dapat dilakukan melalui proses pelelehan atau pelarutan menggunakan panas, pelarut organik, dan/atau pencampuran mekanik (termasuk sonikasi). Sifat-sifat mekaniknya dilaporkan lebih baik daripada polipropilena normal. Beberapa kelebihan dari teknik modifikasi polipropilena dengan cara ini adalah biayanya murah karena partikel nano mudah didapat dan dapat menggunakan peralatan ataupun
2 Dyeable Polypropylene via Nanotechnology; Qinguo Fan, Samuel C. Ugbolue, Alton R. Wilson, Yassir S. Dar, Yiqi Yang; http://www.umassd.edu/engineering/textiles/dyeablePP/index. html
mesin-mesin polimerisasi dan ekstrusi yang sudah ada. 3.2.2
Penyempurnaan Khusus
Penyempurnaan tekstil secara khusus dapat didefinisikan sebagai pengerjaan bahan tekstil dengan proses kimia untuk memperbaiki sifat-sifatnya yang kurang menguntungkan dan/atau memberikan sifat-sifat khusus yang diperlukan untuk tujuan pemakaian tertentu secara permanen. Beberapa contoh klasik misalnya penyempurnaan tahan-kusut untuk kain-kain selulosa seperti kapas, penyempurnaan pelemasan dan antistatik untuk kain-kain sintetik seperti poliester, penyempurnaan tolak-air untuk kain jaket, penyempurnaan tahan-kotor dan tahanapi pada kain-kain jok (upholstery). Cara yang biasa ditempuh selama ini adalah mereaksikan serat dengan zat-zat kimia yang umum dikenal sebagai resin atau zat pengikat-silang (crosslinking agent) yang bekerja secara eksternal maupun internal. Pada penyempurnaan tahan kusut misalnya, prakondensat senyawa N-metilol bekerja secara internal (dari dalam serat) memperbaiki ketahanan kusut kapas dengan cara memberi kestabilan dimensi melalui pembentukan ikatan silang antar rantai molekul selulosa dan/atau polimerisasi yang menghasilkan molekul-molekul berukuran besar yang mengisi ruang-ruang intermolekuler. Penyempurnaan pelemasan dan tolak air pada umumnya bekerja secara eksternal dengan membentuk suatu lapisan film pada permukaan serat3. Lapisan film tipis yang terbentuk pada proses pemanasawetan hanya melapisi permukaan serat dan tidak berikatan secara kimia, dan karenanya ketahanannya terhadap pencucian dan gosokan umumnya tidak sebaik penyempurnaan yang bekerja secara internal.
CF3
CF3
CF3
CF3
F
C6F12 C6F12 C6F12 C6F12 O
O O
O O
O O
O
H
C C C C C H C H C H C H C H2 H2 H2 H2 H2 (Sumber: Hall, Michael E. "Finishing of Technical Textiles." Handbook of Technical Textiles. Editor A. R. Horrocks and S. C. Anand. Cambridge, England: Woodhead Publishing Ltd., 2000. 169.)
Gambar 17-1. Ester asam poliakrilat dan heksanol yang di-perfluoronasi (Scotchgard, 3M Co.).
Senyawa kimia yang biasa digunakan untuk penyempurnaan tolak-air dan tolakminyak saat ini umumnya adalah senyawa berbasis fluorokarbon, yaitu ester dari asam poliakrilat dan heksanol yang di-perfluorinasi (Gambar 17-1). Senyawa ini terbagi atas dua segmen, yaitu segmen fluor (F) yang memberi sifat tolak-air, tolak-minyak, dan tahan-kotor, serta segmen hidrofilik (H), sehingga diperoleh fungsi ganda soil-resistant dan soil-release tergantung pada orientasi kedua segmen tersebut4. Dalam proses pencucian, segmen hidrofilik akan berorientasi menghadap air sementara segmen fluor menghadap serat, sehingga daya serap meningkat dan penglepasan-kotoran pun berlangsung lebih mudah (soil-release). Sebaliknya, dalam keadaan kering di udara terbuka segmen fluor akan menghadap keluar dan mencegah penempelan kotoran-minyak maupun kotoran-air pada bahan tekstil (soilresistant). Untuk memperbaiki ketahanan cuci hasil penyempurnaan tolak-air dan tolak-minyak biasa digunakan resin-resin tahan-kusut dari jenis pengikat-silang, seperti dimetilol dihidroksi etilena urea (DMHEU). Resin ini akan bekerja menahan penggembungan serat yang terjadi saat pencucian dan dengan demikian mengurangi tekanan yang dapat mengakibatkan sobeknya lapisan film senyawa fluorokarbon pada permukaan serat. Penggunaan resin biasanya menambah keka-
3
Valko, Emery I. "Penetration of Fibres." Chemical Aftertreatment of Textiles. Editor H. Mark, Norman S. Wooding, and Sheldon M. Atlas. New York: WileyInterscience, 1971. 6.
4 Smith, Betty.F. dan Ira Block. Textile in Perspective. Prentice-Hall, Inc. N.J., 1982, hal.301.
65
kuan kain sehingga diperlukan penambahan pelemas (non-silikon).
(Sumber: http://www.textileindustries.com/Default.htm)
Gambar 17-2. Nano-Care, bulu-bulu berukuran nano (nano-whiskers) ditempelkan pada tiap helai benang kapas.
3.2.2.1 Inovasi Teknologi NanoCare®
NanoCare adalah nama dagang untuk produk nanoteknologi keluaran Nano-Tex yang dikembangkan khusus untuk memberikan sifat tolak-air dan tolak-minyak serta tahan-kotor (soil- atau stain-resistance) permanen pada bahan kapas. Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan efek tersebut pada prinsipnya sama dengan teknik penyempurnaan konvensional, yaitu mengubah sifat permukaan bahan melalui aplikasi kimia polimer. Teknik pengaplikasiannya pun sama. Perbedaannya terletak pada bagaimana perubahan tersebut terjadi dan pada efek yang dihasilkannya. Gambar 17-2 memperlihatkan bagaimana NanoCare bekerja. Partikel berukuran nano (nanoparticle), yang tersusun atas deretan atom dengan konfigurasi tertentu, ditempelkan secara permanen dan langsung pada permukaan serat. Partikel-partikel tersebut berbentuk seperti bulu-bulu halus dan kemungkinan telah didisain sedemikian rupa hingga ujung yang satu akan mengarah ke permukaan serat kapas dan selanjutnya membentuk ikatan kimia dengan rantai molekul selulosa, sementara ujung lainnya mengarah ke udara. Dengan cara demikian bulu-bulu tersebut akan ‘mendarat’ dan menempel permanen secara tegak lurus di atas permukaan serat kapas. Disamping bentuk dan orientasinya, partikel-partikel nano tersebut juga harus didisain agar dapat disuspensikan di dalam air sehingga dapat dia-
66
plikasikan dengan mudah pada kain menggunakan teknologi proses yang sudah ada saat ini. Bulu-bulu nanoparticle yang menempel pada permukaan serat kapas menciptakan bantalan udara di sekeliling serat yang berfungsi menahan air. Besar kemungkinan pula ujung bulu yang menghadap ke atas tersusun atas atom-atom yang bersifat menolak air, sehingga air yang jatuh pada permukaan serat akan membentuk butiran dan menggelinding jatuh. Tekanan hanya dapat membantu air menerobos celah-celah kain, yaitu celah-celah yang terdapat di antara susunan benang dan serat, tapi tidak menyebabkan pembasahan serat. Artinya, kain yang dikerjakan dengan teknologi ini masih sangat memungkinkan terjadinya pertukaran (transport) udara dan air, dan ini sangat penting artinya bagi kenyamanan pakainya. Penyempurnaan tolak air konvensional dengan senyawa fluorokarbon menghasilkan lapisan film tipis yang bersifat kontinyu di atas permukaan serat. Lapisan tersebut mengurangi kelenturan dan menghalangi serat dari tekukan-tekukan sehingga pegangan kain menjadi lebih kaku. Dalam hal ini, sangat beralasan untuk menduga kain NanoCare® memiliki pegangan lebih lembut mengingat bahwa bulu-bulu halus yang menutupi permukaan serat bukan merupakan suatu kekontinyuan (continuum) sehingga masih memberi fleksibilitas dan tidak menghalangi serat dari tekukan-tekukan. Daya tembus udaranya diduga juga lebih baik daripada hasil penyempurnaan dengan senyawa fluorokarbon. Sayangnya data teknis mengenai kedua hal ini tidak tersedia. Ditinjau dari kepermanenan efeknya, maka NanoCare® menghasilkan efek tolak-air dan tolak-minyak lebih permanen mengingat pembentukan ikatan kimia antara bulu-bulu nanoparticle dan rantai molekul selulosa pada permukaan serat. Salah satu sumber5 menyebutkan ketahanan cucinya mencapai 30 kali pencucian berulang, sementara hasil penyempurnaan tolak-air dan tolak-minyak 5
Wawancara dengan perwakilan sebuah perusahaan pakaian jadi di Indonesia yang sedang dalam tahap trial penggunaan teknologi NanoCare® untuk kain-kain yang akan digunakan sebagai bahan pakaian jadi pesanan sebuah perusahaan retail Inggris.
biasa pada umumnya hanya mencapai 15 kali pencucian berulang (tanpa penambahan zat pengikat-silang). Kelebihan lain dari teknologi Nano-Tex untuk penyempurnaan bahan tekstil adalah bahwa pengerjaannya dapat dilakukan dengan teknik-teknik dan mesin-mesin maupun peralatan penyempurnaan kimia yang ada saat ini.6 Satu-satunya investasi yang perlu dilakukan oleh industri tekstil untuk bekerja dengan teknologi baru ini hanyalah penelitian dan percobaan-percobaan menyangkut penggunaan produk baru ditinjau dari aspek teknis dan ekonomisnya. Belum diketahui bagaimana kompatibilitasnya dengan zat-zat penyempurnaan lain maupun zat-zat pembantu tekstil pada umumnya. Konsep dan pendekatan yang sama juga dapat digunakan untuk mendapatkan efekefek penyempurnaan lain seperti peningkatan kenyamanan-pakai dan pegangan seperti kapas pada serat-serat sintetik seperti poliester dengan tetap mempertahankan keunggulankeunggulan yang pada umumnya dimiliki serat sintetik (kekuatan dan kemudahan dalam perawatan) (NanoTouch®). Efek tersebut dapat diperoleh dengan cara mencangkokkan suatu struktur-jaring yang dapat memberi sifat-sifat baik kapas pada permukaan serat sintetik. Ini mirip dengan penyempurnaan hidrofilik atau anti-statik pada penyempurnaan konvensional untuk seratserat sintetik. Belum jelas apakah perubahan sifat permukaan tersebut disebabkan oleh perubahan struktur geometri permukaan serat ataukah secara kimia, atau mungkin juga kedua-duanya. 3.2.2.2 NanoSphere: Modifikasi Struktur Geometrik Permukaan Serat Pada Skala Nano
Mengubah struktur geometrik permukaan suatu padatan telah sejak lama diketahui dapat mengubah sifat permukaannya dan interaksinya dengan benda-benda yang bersinggungan dengannya (padatan, cair, maupun gas), terutama pada skala molekuler. Beberapa jenis tertentu dedaunan (misalnya daun talas), cangkang kepik, dan sayap se-
6
www.textileinfo.com
rangga memperlihatkan fenomena alam yang menakjubkan: mereka selalu dalam keadaan bersih dan kering meski terkena kotoran dan tersiram air hujan. Rahasianya terletak pada struktur geometrik permukaannya yang khas. Ketiganya ternyata memiliki permukaan yang terstruktur dan sangat kasar, hanya saja kekasarannya berada pada skala nanometer sehingga tidak tertangkap mata dan tidak pula terasa di tangan. Schoeller Textiles AG7, sebuah perusahaan tekstil Swiss, menggunakan pendekatan yang sama dengan memanfaatkan teknologi nano untuk menghasilkan efek tolak-air, tahan-kotor, anti-lekat (anti-adhesive), dan bahkan self-cleaning pada bahan tekstil. Mereka menyebut hasil inovasi teknologinya “NanoSphere”. udara TL
air
θ TS
TLS (Sumber: Trotman, hal. 160)
Gambar 17-3. Vektor gaya-gaya yang bekerja pada antarmuka padatan/udara/air.
Sumber yang ada tidak secara jelas menerangkan bagaimana teknologi tersebut bekerja: apakah dengan cara mendeposisikan suatu lapisan film berstruktur nano (nanostructured thin film) di atas permukaan serat ataukah dengan teknik semacam plasma8 untuk mengubah permukaan serat itu sendiri. Namun demikian, kemungkinan pertama kelihatannya lebih masuk akal mengingat teknologi plasma masih mengandung beberapa kerumitan dalam aplikasi industrinya. Prinsipnya sederhana. Permukaan kasar memiliki bidang kontak lebih kecil daripada permukaan yang halus dan rata, sehingga semakin kecil bidang kontak berarti semakin
7
Swiss Textile Company Wins Award for Self-Cleaning 'NanoSphere' Finish. Web Page. URL: http://www.smalltimes.com/document_display.cfm?document _id=3124. 19 February 2004. 8 Kain ditempatkan pada suatu medan listrik di dalam ruang hampa bertekanan tinggi berisi gas tertentu, misalnya argon dan nitrogen, dan ditembak dengan ion-ion yang dihasilkan oleh medan listrik, dalam hal ini Ar+.
67
kecil pula interaksi antara tetesan air dan permukaan padatan. Ini berarti pula semakin kecil gaya tegangan permukaan padatan yang bekerja pada tetesan air sehingga tegangan permukaan air menjadi lebih dominan dan hasilnya air akan lebih mudah membentuk butiran (ini diikuti dengan naiknya tegangan antar-muka padatan-cairan). Padatan dengan sifat seperti itu akan sukar terbasahi sehingga air yang jatuh di atas permukaannya akan segera membentuk butiran dan menggelincir lepas dengan membawa partikel kotoran yang sempat menempel di sana. Gambar 5-1 memperlihatkan hubungan antara tegangan permukaan padatan (TS), tegangan permukaan cairan (TL), dan tegangan antarmuka padatan-cairan (TLS). Hubungan tersebut secara matematik dapat dijelaskan dengan persamaan Young sebagai berikut:
TS = TLS + TL cosθ
Pers. 17.1
Kekasaran yang dimaksud harus memiliki dimensi cukup kecil sehingga molekul air dan partikel kotoran tidak terperangkap di dalam strukur kekasaran dan justeru mempermudah pembasahan dan mempersulit penghilangan kotoran. Di sinilah peran teknologi nano. Menarik pula untuk dicatat bahwa pendekatan yang sama juga dapat diaplikasikan untuk cat mobil atau cat tembok. Permukaan badan mobil atau tembok yang dilapisi cat dengan teknologi baru ini akan bersih dengan sendirinya bila tersiram air hujan.
4
SMART-FABRIC
Baik NanoCare® maupun NanoSphere baru merupakan awal dari pemanfaatan teknologi nano pada bidang tekstil. Beberapa gagasan masa depan mengenai pemanfaatan teknologi akan membawa perubahan lebih radikal dimana komputer, sensor, dan mesinmesin berskala mikro maupun nano diintegrasikan pada bahan tekstil:9 Pompa dan pipa-pipa fleksibel berukuran mikro untuk transpor medium pendingin maupun pemanas ke bagian-bagian pakaian yang memerlukannya.
9
Forrest, David R.
68
Bahan aktif dan terprogram (active and programmable material). Ide dasarnya adalah membuat suatu bahan yang tersusun atas unit-unit sel berukuran kecil yang dihubungkan satu sama lain dengan baut-baut molekuler. Dengan bantuan motor elektrostatic berukuran kecil serangkaian komputer akan mengarahkan kerja baut-baut tersebut dan mengatur jarak antar sel, dan dengan memilih baut mana yang akan mengencangkan dan mengendurkan maka bentuk bahan akan dapat diatur mengikuti kebutuhan pemakainya. Bila perubahan bentuk tersebut dapat diatur sedemikian rupa hingga berlangsung sangat cepat maka suatu bahan yang dikenal bersifat kaku akan dapat dibuat berperilaku seperti kain dan bahkan mengikuti secara tepat bentuk tubuh dan gerakan pemakai bila dilengkapi dengan serangkaian sensor yang dapat mendeteksi secara dini arah gerakan; bila sambungan antar sel dilepaskan sementara maka bahan tersebut akan bersifat luwes seperti sehelai kain pada umumnya. Sebaliknya, kain yang biasanya dikenal sebagai bahan yang bersifat luwes dapat dibuat menjadi kaku mengikuti suatu bentuk tertentu dengan cara mengencangkan baut-baut antar sel pada bagian-bagian tertentu dari kain. Dengan konsep ini hampir tidak ada lagi batasan antara bahan tekstil kain dan bahan lainnya. Self-cleaning fabric: Peralatan robot yang kerjanya mirip dengan rayap secara berkala akan mengikis kotoran yang menempel pada permukaan serat dan suatu peralatan yang mirip dengan ban-berjalan akan membawa kotoran tersebut ke suatu tempat penampungan. Self-repairing fabric: Sobekan pada bahan akan mengakibatkan terputusnya sinyal yang seharusnya diterima oleh sensor dan menghasilkan respon untuk tindakan perbaikan berupa pengiriman “kru” robot ke bagian yang tersobek; diskontinyuitas pada bahan juga dapat dideteksi oleh sensor berdasarkan nilai input yang membandingkan nilai tegangan yang dialami kain dengan batas maksimum kekuatannya. Self-shaping fabric: Kain dengan kemampuan seperti ini akan mengembalikan bentuk kain di sekitar sobekan kepada keadaannya semula sebelum terjadi kerusak-
an dan menutup lubang atau celah yang ditinggalkannya hingga perbaikan memungkinkan untuk dilakukan. Intelligent knee-sleeve:10 Intelligent Polymer Research Institute dan Biomedical Science di Universitas Wollongong bekerjasama dengan CSIRO Textiles and Fibre Technology (masing-masing adalah lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian terkemuka di Australia) telah mengembangkan suatu pembungkus lutut yang biasa dikenakan para atlet dengan fungsi dan kemampuan khusus sebagai alat berlatih untuk melakukan gerakan-gerakan yang aman, efisien dan efektif. Pembungkus tersebut dilapisi dengan bahan polimer konduktif dan dilengkapi serangkaian sensor yang dapat mendeteksi perubahan bentuknya. Pembungkus akan mengeluarkan bunyi bila tekukan lutut ada pada posisi terbaik. SOFTswitch11 adalah sebuah perusahaan di Inggris yang mengkhusukan kegiatannya pada pengembangan kain dengan teknologi peka sentuhan dan interaktif. Dengan memanfaatkan nanoteknologi suatu bahan tekstil dimungkinkan untuk berfungsi sebagai antarmuka pengendali berbagai macam perangkat elektronik menggantikan tomboltombol atau saklar yang biasa kita kenal, keypads, dan keyboards. Kemungkinan aplikasinya bisa berupa sebuah jaket yang berhubungan dengan telepon seluler, remote control televisi yang “dijahitkan” pada lengan kursi, atau bisa juga saklar lampu penerangan rumah yang ditanamkan pada kain tirai atau karpet.
5
PERKEMBANGAN NANOTEKNOLOGI
Publikasi mengenai pengajuan paten yang dikeluarkan oleh sebuah kantor penerbitan hak paten dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur trend atau perkembangan teknologi di suatu bidang tertentu, termasuk nanoteknologi. Mengamati perkembangan suatu teknologi dapat memberi gambaran mengenai peluang kegiatan-kegiatan peneli-
tian maupun eksplorasi berikutnya dan untuk kepentingan perlindungan paten. Jumlah paten di bidang nanoteknologi yang dikeluarkan oleh U.S. Patent and Trademark Office (USPTO) memperlihatkan peningkatan sebesar 600% selama 5 tahun terakhir sejak 1997 hingga 2002, yaitu dari 370 menjadi 2.650.12 Angka tersebut masingmasing mewakili 0.3% dan 2.0% dari jumlah total paten. Sekitar 90% pemohon berasal dari perusahaan-perusahaan swasta, 7% dari universitas atau perguruan tinggi, sementara sisanya sebesar 3% berasal badan-badan pemerintah dan lembaga-lembaga atau pusatpusat penelitian independen. Jumlah permohonan paten untuk penemuan proses dan produk yang memanfaatkan nanoteknologi kurang lebih sama besar. Kebanyakan merupakan penyempurnaan dari teknologi yang sudah ada. Namun demikian ada juga sejumlah cukup besar penemuan yang betulbetul revolusioner, bersifat terobosan. Sayangnya informasi yang ada tidak menunjukkan berapa banyak dan meliputi apa saja paten yang sudah diterbitkan untuk aplikasi nanoteknologi di bidang tekstil. Salah satu contoh menarik yang dapat dikemukakan di sini adalah paten USPTO No. 2003/0013369 tentang pemanfaatan nanoteknologi untuk membuat bahan tekstil yang memiliki kemampuan untuk melepaskan wewangian, biosida, dan anti-jamur secara terkendali melalui pembentukan ikatan kovalen antara serat tekstil dengan partikel nano yang bersifat “textile reactive” (sumber tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “textile reactive” di sini).
6
PENUTUP
Nanoteknologi merupakan teknologi baru yang masih berkembang dan membuka peluang besar untuk eksplorasi mengenai pemanfaatannya di masa depan, termasuk di bidang tekstil. Beberapa contoh yang diberikan di muka mengenai aplikasi nanoteknologi dan kemungkinankemungkinan pengembangannya baru meru-
10
Disarikan dari: Macey, M. 2002, "Smart outfit has everything sewn up", The Sydney Morning Herald, 20 Feb 2002. 11 http://www.softswitch.co.uk/SOFTswitchAbout.html
12 Patent Trends in Nanotechnology. 2003. Web Page. URL: http://townsend.lawoffice.com. 19 February 2004.
69
pakan awal dari suatu perubahan besar yang sedang terjadi dalam teknologi dan industri tekstil. Penguasaan teknologi baru pada umumnya, minimal dalam hal pemanfaatannya, merupakan modal sangat penting untuk meningkatkan daya saing global suatu industri, dalam hal ini nanoteknologi dan industri tekstil. Sebagian orang menyebut industri tekstil Indonesia sebagai “sunset industry”, yaitu industri yang sedang tenggelam karena tidak memiliki prospek masa depan. Tapi pada dasarnya semua industri sebetulnya akan menghadapi hal yang sama bila tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk revitalisasi melalui inovasi-inovasi teknologi, penataan manajemen, dan yang terpenting pengembangan sumber daya manusia. Kutipan di awal tulisan ini mengatakan bahwa industri tekstil merupakan salah satu batu pondasi peradaban manusia. Artinya, industri tekstil ikut membentuk peradaban manusia dan pada gilirannya juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan peradaban yang direpresentasikan dalam bentuk perkembangan-perkembangan teknologi. Jadi, sangat salah untuk memandang industri tekstil sebagai industri yang tidak memiliki prospek masa depan, terlebih bila diingat bahwa kegiatannya berkaitan erat dan langsung dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu sandang, baik untuk perlindungan ataupun untuk memenuhi rasa estetik manusia. Sunset atau rising tergantung pada bagaimana kita memandang dan memperlakukannya, dan industri tekstil sangat selayaknya untuk dipandang sebagai highly potential sustainable industry. Sejarah perkembangan teknologi dan industri tekstil seharusnya telah mengajarkan itu dengan sangat jelas. Negara-negara industri besar mengawali industrinya dengan industri tekstil, dan bahkan hingga kini pun mereka masih menekuninya hanya saja pada “anaktangga” kegiatan industri yang jauh lebih tinggi. Kisah di balik sukses NanoCare® dan Nano-Tex memberi gambaran sangat jelas bagaimana perkembangan teknologi di bidang yang semula kelihatannya kurang relevan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing. Aplikasi nanoteknologi telah mengubah pandangan tradisional mengenai tekstil seba-
70
gai bahan sandang dan juga membuka banyak kemungkinan mengenai wilayah baru penggunaan bahan tekstil. Peluang untuk modifikasi struktur bahan tekstil (serat) untuk memperbaiki mutu hasil suatu pengerjaan tertentu, baik secara fisika maupun kimia, juga terbuka lebih lebar. Teknologi nano juga akan sangat mempengaruhi perkembangan teknologi proses yang berkaitan dengan proses industri tekstil, misalnya penghilangan warna air limbah proses pencelupan secara fotokimia dengan partikel nano titanium dioksida. Jelas sudah nanoteknologi telah membuka era baru bagi teknologi dan industri tekstil. Lalu bagaimana dengan industri tekstil Indonesia ? Siapkah kita memasuki era baru tersebut ? Tentu kita siap bila hanya menjadi technology user. Akan tetapi dibutuhkan lebih dari sekedar mampu menggunakan atau memanfaatkan untuk bisa bertahan, lalu tumbuh dan berkembang. Revitalisasi industri tekstil seharusnya memberi perhatian lebih besar pada pengembangan sumber daya manusia di bidang tekstil, yaitu sumber daya manusia yang memiliki kemampuan mengimbangi perkembangan dan mengembangkan teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan. Ini dibarengi dengan penataan kembali industri tekstil dan produk tekstil serta program-program penelitian terpadu yang bersifat mendasar (basic) maupun terapan (applied) yang diarahkan untuk mempertajam daya saing dan meningkatkan kemampuan menghadapi perubahan yang berlangsung semakin cepat. Catatan: Penyebutan nama dagang dalam makalah ini semata-mata untuk kemudahan perujukan dalam memberikan contoh mengenai perkembangan nanoteknologi di bidang tekstil dan bukan merupakan bagian dari promosi ataupun kecenderungan penulis kepada suatu produk tertentu.
DAFTAR PUSTAKA 1. "Japan Shows Increasing Interest in Auxiliaries Utilizing Nanotechnology." Web page, [accessed 19
February 2004]. Available at www.textileinfo.com. 2. 2003. "Patent Trends in Nanotechnology." Web page, [accessed 19 February 2004]. Available at http://townsend.lawoffice.com. 3. "Swiss Textile Company Wins Award for Self-cleaning 'NanoSphere' Finish." Web page, [accessed 19 February 2004]. Available at http://www.smalltimes.com/docu ment_display.cfm?document_id= 3124. 4. Fan, Qinguo, Samuel C. Ugbolue, Alton R. Wilson, Yassir S. Dar, and Yiqi Yang . 2002. "Dyeable Polypropylene via Nanotechnology." Web page, [accessed 19 February 2004]. Available at http://www.umassd.edu/engineeri ng/textiles/dyeablePP/index.html. 5. Forrest, David R. 1995. "The Future Impact of Molecular Nanotechnology on Textile Technology and on the Textile Industry." Web page, [accessed 19 February 2004]. Available at http://www.salsgiver.com/people/
forrest/refs.html#ref2. 6. Hall, Michael E. 2000. Finishing of Technical Textiles. Handbook of Technical Textiles. Editor A. R. Horrocks, and S. C. Anand, 169. Cambridge, England: Woodhead Publishing Ltd. 7. Rodie, Janet Bealer, Assistant Editor. 2004. "Like Water Rolling Off a Ducks Back." Web page, [accessed 19 February 2004]. Available at http://www.textileindustries.com/ Default.htm. 8. Smith, Betty F., and Ira Block. 1982. Textiles in Perspective. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 9. Trotman, E. R. 1990. Dyeing and Chemical Technology of Textile Fibres. 6th ed. London: Edward Arnold. 10. Valko, Emery I. 1971. Penetration of Fibres. Chemical Aftertreatment of Textiles. Editor H. Mark, Norman S. Wooding, and Sheldon M. Atlas, 6. New York: Wiley-Interscience.
71