“SEMINAR HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT”
• Bidang Sosial, Ekonomi dan Humaniora/Agama
• Bidang Teknologi dan Rekayasa/Produk • Bidang Biologi dan Kesehatan
Dipublikasikan oleh: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Telp.(0274) 563929 ext.126 Fax.(0274) 513235 ISBN : 978-602-6806-02-4 ©November 2015
Tim Reviewer : 1. Prof. Ir. Titien Saraswati, M.Arch., Ph.D 2. Dr. dr. Nining Sri Wuryaningsih, Sp.PK 3. Dr. Charis Amarantini, M.Si 4. Dr. Ir. Sri Suwarno, M.Eng 5. Dr. Singgih Santoso, MM 6. Pdt. Robert Setio, Ph.D
KATA PENGANTAR Dalam rangka mencapai visi dan misi Universitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana telah menyelenggarakan kegiatan ilmiah berupa diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan seminar ini merupakan salah satu bentuk kegiatan ilmiah yang dilakukan guna mendorong dan meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian dosen. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan universitas khususnya dalam mengemban dharma penelitian dan dharma pengabdian kepada masyarakat seperti tersebut dalam dokumen Rencana Induk Penelitian Universitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UKDW berpendapat bahwa pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional adalah suatu keharusan sehingga eksistensi perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat berkontribusi nyata kepada peningkatan daya saing bangsa. Perbaikan kualitas penelitian akan dapat mewujudkan negara yang bermutu dan berwibawa, yang salah satu indikator utamanya adalah publikasi para peneliti dan akademisi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UKDW terus berupaya untuk mengemas program penelitian dan pengabdian masyarakat secara simultan dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan ipteks-sosbud dan kebutuhan pembangunan. Reformulasi berbagai program penelitian terus dilakukan dalam upaya merespon atas keinginan para peneliti dan stake-holders serta sekaligus merespon atas kemajuan Ipteks itu sendiri. Semua artikel yang termuat dalam prosiding ini diperoleh melalui suatu proses seleksi yang panjang yang dilakukan oleh tim reviewer dan telah dipresentasikan pada hari Jumat 23 Oktober 2015. Prosiding ini mencakup tiga kelompok bidang yaitu bidang Sosial, Ekonomi dan Humaniora/Agama, bidang Teknologi dan Rekayasa/Produk serta bidang Biologi dan Kesehatan. LPPM berharap dengan diselenggarakan acara seminar ini dapat meningkatkan produktivitas karya ilmiah serta menjadi sarana bagi dosen dalam upaya mendiseminasikan dan mempublikasikan hasil penelitian yang selanjutnya dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam. Yogyakarta, November 2015 Ketua LPPM UKDW,
dr. The Maria Meiwati Widagdo, Ph.D
CONTENTS • • •
• • • • • • • • • •
KILLER YEAST AND ITS FUTURE APPLICATION Dhira Satwika
ROLE OF ORGANIZATIONAL LEARNING IN THE RELATIONSHIP BETWEEN TQM PRACTICES AND ORGANIZATIOAL PERFORMANCE Sisnuhadi
RINGKASAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN MODUL MODEL PENDIDIKAN PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA DI KOTA YOGYAKARTA Dra. Alviani Permata, M.Hum., Dra.Endah Setyowati, M.Si., MA, Dra.Krisni Noor Patrianti,M.Hum., Marsius Tinambunan, S.Th., B.Ch.M, Pratomo Nugroho Soetrana, MA., DAMPAK PEMBAKUAN PERAN GENDER TERHADAP KELAS SOSIAL DI YOGYAKARTA Asnath. N.Natar; Edy Nugroho ARSITEKTUR GEREJA BERPERSFEKTIF FEMINIS Asnath Niwa Natar
ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI YOGYAKARTA Petra Surya Mega Wijaya, SE, MSi dan Dra Ety Istriani, MM PEMODELAN DATA BERBASIS SEMANTIC WEB UNTUK KATALOG BUKU PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS Budi Susanto1), Umi Proboyekti2)
MAKNA SIMBOL RELASI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL SUMBA SEBAGAI ACUAN PERWUJUDAN KESETARAAN JENDER Wiyatiningsih, Asnath Niwa Natar, Endah Setyowati, Alviani Permata
KONTRIBUSI DAN PENERIMAAN PENGGUNA DALAM KESUKSESAN IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ANGGARAN DAN REALISASI Lussy Ernawati, Halim Budi Santoso PENINGKATAN PEMASARAN SEKOLAH MELALUI DESAIN WEBSITE Parmonangan Manurung1), Ferdy Sabono2)
MODEL KLASIFIKASI SIDIK JARI DENGAN TEORI HIMPUNAN GANDA Sri Suwarno
KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI MAKROFUNGI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI LERENG UTARA KABUPATEN BOYOLALI Aniek Prasetyaningsih dan Djoko Rahardjo
PEMBERDAYAAN EKONOMI JEMAAT MELALUI BUDIDAYA JAMUR DI MAGELANG DAN GUNUNG KIDUL Aniek Prasetyaningsih dan Kisworo
1 5
19
29 41 54
66 76 90 96 101 106 115
• • • • • • •
PROFIL CEMARAN KROM DI LINGKUNGAN DAN AKUMULASINYA PADA RAMBUT DAN KUKU WARGA DESA BANYAKAN, PIYUNGAN BANTUL Djoko Rahardjo DETECTION OF ENTEROBACTERIACEAE FROM PROCESSED-WELL WATER Eunike Ilona Hilson, Dhira Satwika
DETEKSI MOLEKULER SALMONELLA SP PADA SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA DI KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA Gracia Imelda Ubas1), Charis Amarantini1) POTENSI DAN ADAPTASI JENIS-JENIS IKAN PAYAU (MANGROVE) SEBAGAI IKAN HIAS AIR TAWAR Guruh Prihatmo; Haryati Bawole Sutanto
MOLECULAR DETECTION OF ESCHERICHIA COLI FROM WATER WELLS IN KLITREN, YOGYAKARTA RA Mertha Prana, Dhira Satwika GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DBD DI DUSUN TRISIGAN, DESA MURTIGADING, KECAMATAN SANDEN, KABUPATEN BANTUL Amaze Grace Sira1), Yoseph Leonardo Samodra1)
STUDI KASUS PENYELEKSIAN MODEL DALAM SISTEM BIOLOGI SANGAT BERGANTUNG PADA RANCANGAN PERCOBAAN YANG DIPILIH Suhardi Djojoatmodjo
123 131 136 144 150 153 158
Procceding
KILLER YEAST AND ITS FUTURE APPLICATION Dhira Satwika Faculty of Biotechnology, Duta Wacana Christian University
[email protected] ABSTRACT Structural and functional study on killer yeast was done using a naturally isolated yeast, Debaryomyces hansenii CBS770. This yeast carry a pair of linear plasmid, namely pDH1A and pDH1B, which was then renamed as a virus-like element (VLE). As it is a cryptic yeast, a study was done to determine the function of this VLE. The yeast chromosomal DNA and its VLE were isolated, and then sequenced by mean of primer walking. It is found out the pDH1A has a total length of 8.2 kb, having 5 open reading frames (ORFs) which were responsible for DNA polymerase, α- and β–sub units of the toxin, and 2 ORFs are still unknown. As it is lacking the toxin γ-sub unit, this yeast has no killing property, and proven by curing experiment. This study also revealed the evidence of repeated capture of pDH1A DNA by the yeast chromosomal DNA, that may reflect the function of VLE for autoselection. Another studies have shown the importance of killer yeast in food industries, such as food preservative, in brewing industry as well as a potential candidate for combating Candida albicans, and as a biocontrol agent. Keywords: yeast linear plasmid, VLE, yeast evolution, industry, biocontrol agent
Introduction The study of linear plasmid was started as early as 1980s when researchers examining extrachromosomal genetic material in fungi. The secretion of fungicidal proteins was first realized in 1963 when a so-called killer strain of the baker’s yeast Saccharomyces cerevisiae was discovered [Bevan and Makower 1963]. It is already reported elsewhere that a number of yeast species belonging to different genera carry linear plasmid in their cytoplasm [Kitada and Hishinuma 1987, Meinhardt et al. 1990, Bolen et al. 1992, Fukuhara 1995, Blaisonneau et al. 1999]. Yeast linear plasmids could occur as pairs or triplets, while the largest being invariably autonomous in terms of replication and plasmid maintenance [Klassen and Meinhardt 2007]. Sequencing data of the large autonomous linear plasmids from already known killer yeasts shown a strictly conserved genetic organization independent of the geographic and taxonomic origin. It displays an almost identical gene contents containing loci coding for replication, transcription and transcript modification [Schaffrath et al. 1992, Schaffrath and Meacock 1995, Schaffrath et al. 1995, Larsen and Meinhardt 2000, Tiggemann et al. 2001, Jeske et al. 2006a, b]. It could also be concluded an identi-
cal genetic structure of the autonomous elements based on experimental findings for pGKL2 of K. lactis [Hishinuma et al. 1984, Stark et al. 1990, Schickel et al. 1996, Larsen and Meinhardt 2000], pPE1B of Pichia etchelsii [Klassen et al. 2001] and pPac1-1 of Pichia acaciae [Jeske and Meinhardt 2006]. A different situation was realized for smaller plasmids as they are rather diverse; only in few cases biological functions including killer toxin production and the corresponding immunity have been shown to be plasmid encoded [Gunge and Sakaguchi 1981, Tokunaga et al. 1987, Worsham and Bolen 1990, Schaffrath and Meinhardt 2004, Jeske et al. 2006a, Paluszynski et al. 2007, Meinhardt and Klassen 2009]. Since there is only one cryptic non-autonomous linear plasmid known by sequence so far [ie.: pPE1A of P. etchellsii, Klassen et al. 2002] and taking into consideration that most of the non-autonomous plasmids up to the present remain functionally cryptic, a detailed genetic structure study of pDH1A from D. hansenii, which is a non-pathogenic, halo- and osmo-tolerant species that is frequently isolated from cheese, diaries, brines and from other habitats with low water activity such as soil, wine, and beer [Breuer and Harms 2006, Léplingle et al. 2000] was done ����������������������������������� for gaining insights into the function of its yeast linear plasmid.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
1
Procceding
Genetic organisation of pDH1A Sequencing data of pDH1A revealed a plasmid of 8.2 kb length, with 5 ORFs coding for DNA polymerase, αβ-subunits, and lacking toxic γ-subunit, with another 3 ORFs are still unknown. As it contain ORF coding for DNA polymerase, pDH1A is located in the same group with pGKL1 and pPin1-3, contrast with the other group lacking ORF for DNA polymerase (Fig. 1). Grouping of smaller, non-autonomous genetic elements in killer yeast is possible, however, the larger autonomous elements are reportedly having a universal gene content. They are carrying ORFs responsible for proteins with close relation to viruses, to make them to be named as virus-like elements (VLEs) (Satwika et al. 2012b).
Figure 2. Genetic organization of pDH1A, including the TIRs and positions of corresponding NUPAVs. (A) 120 nucleotides from both ends of pDH1A are comparatively aligned. The TIRs comprise 96 bp of identical nucleotides (identical positions are in bold face), followed by regions with a lower degree of similarity. (B) Schematic representation of the genomic organization of pDH1A. TIRs are depicted as black triangles; open reading frames (ORFs) are depicted as arrows and numbering starts from the right side; the orientation of the ORFs corresponds to the transcriptional direction. (C) Homologous sequences of pDH1A found in D. hansenii CBS767 chromosomes are depicted as dark grey boxes and designated with their chromosomal identifiers (reproduced from Satwika et al., 2012a).
Killer yeasts in indutry
Figure 1. Grouping of smaller, non-autonomous VLE in yeast (modified from Meinhardt and Klassen, 2009)
Another interesting finding shows the genetic similarities between pDH1A and the closely related strain D. hansenii CBS767 (Fig. 2). Bioinformatic analysis revealed high degree of nucleotide sequences similarities between them and it was concluded that pDH1A as the only known characterized recent ancestor of NUPAV (nuclear sequences of plasmid and viral origin) in a yeast species [Satwika et al., 2012a]. As more and more entire yeast genome sequences become available, it is very likely another NUPAVs originating from linear plasmids to be identified, implying their role in yeast genome evolution.
2
Recent studies have shown the growing number of killer yeast isolated from different sources, especially in tropical countries. They could be isolated from fruits, flowers, cacti, bromeliads, Drosophila, as well as fermented foods. Some were found to be lethal to sensitive strains, and already identified as Aureobasidium, Cryptococcus, Issatchenkia, Kloeckera apis, Kluyveromices, Pichia, Pseudozyma, Trichosporon, and Ustilago. Some strains was found to be lethal against Candida albicans [Tan & Tay, 2010; Lim & Tay, 2011]. Another finding was the effectiveness of toxic protein produced by killer yeast in preserving fruits as reported by a research group from Italy. Protein produced by Wickerhamomyces anomalus was able to prevent the growth of pathogenic fungi, Penicillium digitatum, so it could be used as biocontrol agent for orange fruits [Platania et al., 2012]. It was also reported the ability of a strain of Saccharomyces cerevisiae which grows on grape surface so protected them from pathogenic fungi [Pretorius, 2000]. Another yeast, Kluyveromyces phaffii, known to produce killer protein KpKt, was found to functions as biopreservatives in wine
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
industry as it inhibit apiculate yeasts at the pre-fermentation stage [Ciani & Fatichenti, 2001]. While toxic protein from Williopsis has been reported effective for treating skin lession in man [Buzzini et al., 2004]. It could be predicted more and more killer yeasts will be identified, which could be of man benefit as biocontrol agent, helping people in combatting diseases, as well as in food industries. Research on killer yeast will be of great value to be develop.
References Bevan EA, Makower M.1963. The physiological basis of the killer character in yeast. Proc 11th Int Congr Genet 1:202–203 Blaisonneau J, Nosek J, Fukuhara H. 1999. Linear DNA plasmid pPK2 of Pichia kluyveri: distinction between cytoplasmic and mitochondrial linear plasmids in yeasts. Yeast 15: 781-791. Bolen PL, Kurtzman CP, Ligon JM, Mannarelli BM, Bothast RJ. 1992. Physical and genetic characterization of linear DNA plasmids from the heterothallic yeast Saccharomycopsis crataegensis. Antonie van Leuwenhoek 61: 195-295. Breuer U, Harms H. 2006. Debaryomyces hansenii – an extremophilic yeast with biotechnological potential. Yeast 23: 415-437. Buzzini P, Corazzi L, Turchetti B, Buratta M, Martini A. 2004. Characterization of the in vitro antimycotic activity of a novel killer protein from Williopsis saturnus DBVPG 4561 against emerging pathogenic yeasts. FEMS Microbiol Lett 238: 359-365 Ciani M, Fatichenti F. 2001. Killer toxin of Kluyveromyces phaffii DBPVG 6076 as a biopreservative agent to control apiculate wine yeasts. Appl Environ Microbiol 67:30583063 Fukuhara H. 1995. Linear DNA plasmids of yeasts. FEMS Microbiol Lett 131: 1-9. Gunge N, Sakaguchi K. 1981. Intergeneric transfer of deoxyribonucleic acid killer plasmids, pGKl1 and pGKl2, from Kluyveromyces lactis into Saccharomyces cerevisiae by cell fusion. J Bacteriol 147: 155-160.
Hishinuma F, Nakamura K, Hirai K, Nishizawa R, Gunge N, Maeda T. 1984. Cloning and nucleotide sequence of the DNA killer plasmids from yeast. Nucleic Acids Res 12: 7581-7597. Jeske S, Meinhardt F. 2006. Autonomous cytoplasmic linear plasmid pPac1-1 of Pichia acaciae: Molecular structure and expression studies. Yeast 23: 479-486. Jeske S, Meinhardt F, Klassen R. 2006a. Extranuclear inheritance: Virus-like DNA-elements in yeast. In: Progress in Botany. Vol 68. Esser K, Lüttge U, Beyschlag W, Murata J (eds). Springer, Berlin Heidelberg New York; 98-129. Jeske S, Tiggemann M, Meinhardt F. 2006b. Yeast autonomous linear plasmid pGKL2: ORF9 is an actively transcribed essential gene with multiple transcription start points. FEMS Microbiol Lett 255: 321-327. Kitada K, Hishinuma H. 1987. A new linear plasmid isolated from the yeast Saccharomyces kluyveri. Mol Gen Genet 206: 377-381. Klassen R, Tontsidou L, Larsen M, Meinhardt F. 2001. Genome organization of the linear cytoplasmic element pPE1B from Pichia etchellsii. Yeast 18: 953-961. Klassen R, Jablonowski D, Schaffrath R, Meinhardt F. 2002. Genome organization of the linear Pichia etchellsii plasmid pPE1A: evidence for expression of an extracellular chitin-binding protein homologous to the α-subunit of the Kluyveromyces lactis killer toxin. Plasmid 47: 224-233. Klassen R, Meinhardt F. 2005. Induction of DNA damage and apoptosis in Saccharomyces cerevisiae by a yeast killer toxin. Cell Microbiol 7: 393-401. Klassen R, Meinhardt F. 2007. Linear proteinprimed replicating plasmids in eukaryotic microbes. In: Microbial linear plasmids. Microbiology Monographs. Vol. 7. Meinhardt F, Klassen R (eds). Springer-Verlag, Berlin Heidelberg; 187-226. Larsen M, Meinhardt F. 2000. Kluyveromyces lactis killer system: identification of a new gene encoded by pGKL2. Curr Genet 38: 271-275. Lépingle A, Casaregola S, Neuveglise C, Bon E, Nguyen H-V, Artiguenave F, Wincker P, Gaillardin C. 2000. Genomic exploration of the hemiascomycetous yeasts: 14. Debaryomyces hansenii var. hansenii. FEBS Lett 487: 82-86.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
3
Procceding
Lim, S.L. & Tay, S.T. (2011). Diversity and killer activity of yeasts in Malaysian fermented food samples. Tropical Biomedicine 28(2): 438443. Meinhardt F, Kempken F, Kämper J, Esser K. 1990. Linear plasmids among eukaryotes: Fundamentals and Applications. Curr Genet 17: 89-95. Meinhardt F, Klassen R. 2009. Yeast killer toxins: Fundamentals and applications. In: The Mycota Vol. 15. Anke T, Weber D (eds). Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 107-130. Paluszynski JP, Klassen R, Meinhardt F. 2007. The Pichia acaciae killer system: Genetic analysis of toxin immunity. Appl Environ Microbiol 73: 4373-4378. Platania C, Restuccia C, Muccilli S, Cirvilleri G. 2012. Efficacy of killer yeasts in the biological control of Penicillium digitatum on Tarocco orange fruits (Citrus sinensis). Food Microbiol 30: 219-225 Pretorius IS. 2000. Tailoring wine yeast for the new millenium: novel approaches to the ancient art of wine-making. Yeast 16:675-729 Satwika D, Klassen R, Meinhardt F. 2012a. Repeated capture of a cytoplasmic linear plasmid by the host nucleus in Debaryomyces hansenii. Yeast 29(3–4):145–154 Satwika D, Klassen R, Meinhardt F. 2012b. Anticodon nuclease encoding virus-like elements in yeasts. Appl Microbiol Biotechnol 96:345-356 Schaffrath R, Stark MJR, Gunge N, Meinhardt F. 1992. Kluyveromyces lactis killer system: ORF1 of pGKL2 has no function in immunity expression and is dispensable for killer plasmid replication and maintenance. Curr Genet 21: 357-363.
4
Schaffrath R, Meacock PA. 1995. Kluyveromyces lactis killer plasmids pGKL2: molecular analysis of an essential gene, ORF 5. Yeast 11: 615-628. Schaffrath R, Soond SM, Meacock PA. 1995. The DNA and RNA polymerase genes of yeast plasmid pGKL2 are essential loci for plasmid integrity and maintenance. Microbiology 141: 2591-2599. Schaffrath R, Meinhardt F. 2004. Kluyveromyces lactis zymocin and other plasmid-encoded yeast killer toxins. In: Topics in Current Genetics Vol. 11. Schmitt M, Schaffrath R (eds). Microbial Protein Toxins; 133-155. Schickel J, Helmig C, Meinhardt F. 1996. Kluyveromyces lactis killer system: Analysis of cytoplasmic promoters of the linear plasmids. Nucleic Acids Res 24: 1879-1886. Stark MJR, Boyd A, Mileham AJ, Romanos MA. 1990. The plasmid-encoded killer system of Kluyveromyces lactis: A Review. Yeast 6: 1-29. Tan, H.W. & Tay, S.T. (2010). Anti-Candida activity and biofilm inhibitory effects of secreted products of tropical environmental yeasts. Tropical Biomedicine 28(1): 175 -180. Tiggemann M, Jeske S, Larsen M, Meinhardt F. 2001. Kluyveromyces lactis cytoplasmic plasmid pGKL2: heterologous expression of Orf3p and proof of guanylyltransferase and mRNAtriphosphatase activities. Yeast 18: 815-825. Worsham PL, Bolen PL. 1990. Killer toxin production in Pichia acaciae is associated with linear DNA plasmids. Curr Genet 18: 77-80.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
ROLE OF ORGANIZATIONAL LEARNING IN THE RELATIONSHIP BETWEEN TQM PRACTICES AND ORGANIZATIOAL PERFORMANCE Sisnuhadi Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana
[email protected] ABSTRACT
This study investigates the mediating role of organizational learning in the relationship between TQM practices (infrastructure practices and core practices) and organizational performance in Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies. To test the hypotheses, survey was conducted to collect data on the perceptions of quality managers concerning the TQM practices, organizational learning and organizational performance. The target sample frame was Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies, and the research unit was the manufacturing company. A judgement and systematic sampling process was applied in this research. The sampling process resulted 498 samples from Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies, 108 of them participated in this study. The data was analized using SEM-PLS for examining the the measurement model, the structural model and mediating effect. The results of this study indicate that in Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies, the infrastructure practices significantly affect core practices, infrastructure practices and core practices significantly affect organizational learning, organizational learning significantly affects organizational performance and organizational learning mediates the relationship between both infrastructure and core practices and organizational performance. The study and its findings have resulted theoretical contributions and practical implications. A major contribution of this study is the formation of a theoretically based model which integrates of TQM practices, organizational learning and organizational performance. The research model also serves as adiagnostic tool for the practitioners to gain insight into the positive influences of TQM practices on organizational learning and orgnizational performance. This finding enables the practitioners to manage the implementation of TQM practices to improve learning process to maximize organizational results. Keywords: Strategic Management, TQM, infrastructure practices, core practices, organizational learnng, organizational performance
Introduction Globalization and international trade, together with the fast improvement in information technology, have increased competition worldwide dramatically. In response to these challenges, companies adopted a various strategic postures to obtain competitive advantage (Parnell et al., 2003). The succcess of this strategic allignment determined the successfulness of the companies in the global competition. Some scholars who have adopted a resource-based view of total quality management (TQM) stressed the important role of TQM in facilitating intangible resources (such as knowledge) to maintain a sustainable competitive advantage (Thigarajan & Zairi, 1997; Sitkin et al., 1994; Zairi & Yousef, 1995; Zakuan et al. 2010). Total Quality Management (TQM) practices can be used as a promotion of learning in business
settings (Love et al., 2000; Moreno et al., 2005; Martinez-Costa & Jiminez-Jiminez, 2008).Barrow (1993) pointed that organizaional learning basically enclosed in the TQM. Organizational learning in quality practices is regarded as a means which enables firms to create a unique, rare, or specialized resources (Mosakowski, 1993), and turn resources into sustainable competitive advantage for above average returns (Barney, 1991, 2001).
Many companies have adopted TQM practices in order to improve performance and to achieve competitive advantage in the global market (Zhang et. al., 2000; Yusof and Aspin-
wall, 2001). However, the question whether each TQM practices related each other and then affects organizational performance still emerge. Studies on the relationship between TQM practices yielded conflicting results on how infrastructure practices
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
5
Procceding
and core practices related each other and their effect organizational performance. Studies found that there is a relationship between infrastructure practices and core practices in affecting organizational performance. Some authors contended that behavior aspects of TQM facilitate the existence of technical aspects of TQM and then contribute to quality performance (Flynn et al., 1995; Kaynak, 2003; Yeung et al. 2005; Zu, 2009). Other authors suggested that TQM practices (infrastructure and core practices) should be implemented in an integrated manner(Ahire and Ravichandran, 2001; Kaynak, 2003). While some other scholars suggested that either infrastructure practices or core practices could affect organizational performance individually. Few studies found that only the infrastructure QM practices (e.g. management commitment, employee empowerment, and customer focus) support quality improvement (Abdullah et al. 2008; Baird et al. 2011), while the core practices (e.g. information and analysis, process improvement, benchmarking, and use of advanced manufacturing technologies) do not support (Powell, 1995; Samson and Terziovski, 1999). In regards to the relationship between TQM practices (infrastructure practices and core practices) and organizational learning, some scholars pointed out that TQM practices can be used to promote learning (Morrison and Terziovski, 1998; Love et al., 2000; Moreno et al., 2005) and to develop organizational capabilities to produce a unique value of products which is difficult to imitate (Chiles & Choi, 2000; Hackman & Wageman, 1995). Garvin (1993) argued that continuous improvement and change-oriented aspects (infrastructure practices) that inherent in the TQM definition facilitate organizational learning. Ruiz-Moreno et al. (2005) explained that core practices support an organization to enhance its resources to adapt with environmental changing. Some studies found that there is positive impact of organizational learning on organizational performance. Crossan & Berdrow (2003) argued that organizational learning supports companies to develop the organizational capability which contributes to competitive advantage. According to some scholars, learning is intrinsically oriented to performance (Kuchinke, 1995) and contributes to the improvement of organizational performance through knowledge creation processes (Bontis et al., 2002; Lopez et al., 2005a) and the knowledge enhance organization to achieve improved results, and grow through innovation (Aydin and Ceylan, 2009). Since organizational learning is embedded in TQM practices (infrastructure practices and core practices), and organizational learning has positive impact on organizational performance, organiza-
6
tional learning may mediates the relationship between TQM practices (infrastructure practices and core practices) and organizational performance. However, little attention was given to investigate the relationship between multidimensional of TQM practices (infrastructure and core practices) that affect organizational learning and organizational performance. Malaysia have rapidly grown and become a developing economy because of the remarkable success of its manufacturing and service industries during the past 20 years. The country had made any effort to be competitive in the Asean Economic Community 2015. However, in term of manufacturing competitiveness, the rank of manufacturing competitiveness for Malaysia is 13 (Deloitte, Global Manufacturing Index 2013). Malaysia manufacturing competitiveness rankings are under Singapore (9) and Thailand (11) manufacturing competitiveness rankings. The manufacturing competitiveness ranking shows that Malaysian manufacturing companies face the challenge of sustaining competitive advantage. In order to be competitive in the Asean Economic Community 2015, Malaysian manufacturing companies should improve their competitive position in ASEAN maket. Given that the economy is moving into a knowledge based economy, learning-based resource management within companies is needed for the companies’ survival in the global market. In this new situation, knowledge has become one of the most important intangible assets for the company since it is accumulated through organizational learning, and is difficult to imitate (Nonaka, 1994; Nonaka & Toyama, 2003; Garcia et al., 2007). Since the adoption of TQM practices encourage learning process in organization (Moreno, et al., 2005) and then resulted in better competitive advantage (Kandemir and Hult, 2005; Aydin and Ceylan, 2009), a research on the relationship among TQM practices (infrastructure practices and core practices), organizational learning and organizational performance to improve competitive advantage topics in Malaysian manufacturing companies is needed. Therefore, this study will explore the relationship between infrastructure and core practices, organizational learning and organizational performance to maintain competitive advantage in Malaysia’s ISO 90001:2008 registered manufacturing companies.
Hypotheses Development A number of empirical studies on the relationship between infrastructure and core practices have been conducted during the last decade. Some elements of infrastructure practices such as,
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
management leadership, training, and employee relation have positive relation to some elemenets of core practices such as data reports on quality, product/service design, and process management (Kaynak, 2003). Moreover, Lakhal et al.(2006) found that employee training and employee participation have a statistically significant direct effect on the information analysis and quality system improvement. Flynn (1995) in empirical study based on 42 manufacturing plants in USA found that infrastructure practices are significantly related to core practices by providing significant path, such as between management support and product design process, and between work attitude and process flow management. Some studies reported that infrastructure practices facilitate companies to improve their performance. Sit et al. (2009) found that leadership, customer focus, information analysis and human resource have significant relationship with customer satisfaction. Abdullah et al. (2008) reported that the soft factors such as management commitment, customer focus, and employee involvement had a significant influence onorganizational performance. While other scholars argued that the infrastructure practices such as the management supports, employee relations, employee involvement, employee selection, and development (Adam et al., 1997) were not significantly related to performance. Other empirical evidence reported that the core TQM practices directly affect organization’s performance. For example, emphasizes on standardizing product components in the product/ service design stage to reduce costs and to improve reliability (Ahire and Dreyfus, 2000), and considering customer needs in new product design reviews before production to reduce quality problems (Kaynak, 2003).Tarı´ and Sabater (2004) found that the usage of TQM tools and techniques(i.e. internal audits,graphics, SPC, flow chart, quality costs, failure mode and effects analysis, problem solving methodology, benchmarking, Pareto diagram, cause-and-effect diagram, histograms, and scatter diagram) was significantly correlated with the TQM results in terms of employee satisfaction, customer satisfaction, impact on society, and other organizational performance results. While some other scholars also reported that infrastructure and core practices jointly influence on organizational performance. For example, Kumar et al (2009), argued that there were positive impact of TQM on all investigated dimensions of company performance, i.e.employee relations (improved employee participation and morale), operating procedures (improved products and services quality, process and productivity, and reduced errors/ defects), customer satisfaction (reduced number
of customer complaints), and financial results (increased profitability). Gadenne and Sharma (2009) found that a combination of “hard” TQM factors such as benchmarking and quality measurement, continuous improvement, and efficiency improvement; and the “soft” TQM factors consisting of top management philosophy, supplier support, employee training, and increased interaction between employees and customers influence companies’ performance.However, Zu (2009) and Yeung et al. (2005) reported that core practices mediate the relationship between infrastructure practices and organizational performance. According to Yeung et al. (2005) top management leadership and cultural elements such as learning and teamwork facilitated operational support systems and process control and improvement, which in turn led to improved customer satisfaction, operational efficiency and financial and marketing performance. Scholars have identified that there is a relationship between TQM practices and organizational learning. They explain that the concept of learning is embedded in quality practices. According to them, learning is a means to develop organizational capabilities to identify customers’ needs and to create a unique product which is difficult to imitate (Chiles & Choi, 2000; Hackman & Wageman, 1995). TQM practices can be used as a promotion of learning in business settings (Morrison and Terziovski, 1998; Love et al., 2000; Moreno et al., 2005; Martinez-Costa & Jiminez-Jiminez, 2008). Barrow (1993) pointed that organizational learning basically enclosed in the TQM. Continuous improvement and change-oriented aspects that inherent in the TQM definition facilitate organizational learning (Garvin, 1993). In other words, organizational learning in quality practices is regarded as a means which enables firms to create a unique, rare, or specialized products (Mosakowski, 1993), turns resources into sustainable competitive advantage for higher returns (Barney, 1991, 2001), and enables organizations to explore new markets and contribute to their competitive advantage (Crossan, et al., 1999; Ruiz-Moreno et al., 2005; Sitkin, Sutcliffe, & Schroeder, 1994). Moreover, Samson & Terziovski (1999) argue that TQM practices (e.g. process management, information and analysis, customer focus, people management, and leadership) provide learning opportunities for people to develop their capabilities (Chiles &Choi, 2000). In addition, TQM practices create a good learning environment. Infrastructure practices encourage people to be creative, to develop knowledge about customer needs, and to align that knowledge with the organization’s strategy, while core practices provide learning tools to share the knowledge without distortion (Hackman & Wageman, 1995).
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
7
Procceding
Ruiz-Moreno, Morales, and Montes (2005) used Structural Equation Modelling (SEM) analysis to examine the relationships between five TQM practices (i.e. leadership, policy and strategy, people, partnership and resources, and process) and organizational learning. Researchers assumed TQM as a set of interrelated practices and organizational learning as the strategic organizational capability to achieve competitive advantages. The researchers found that the process and leadership practices have the greatest influence (directly or indirectly) on organizational learning. Moreover, high degree of implementation of TQM practices increases the relationship between TQM practices and organizational learning. Ruiz-Moreno et al. (2005) concluded that implementation of TQM practices in service TQM firms contributes to enhancement of competitive advantages through organizational learning. Mukherjee, Lapre, and Wassenhove (1998) conducted a quantitative study to examine the relationship between core TQM practices (i.e. information and analysis and process management) and Kim’s (1993) two types of individual learning, that is, operational learning and conceptual learning. Mukherjee et al. (1998) reported that conceptual learning which focuses on the acquisitions of ‘know-why’ takes place when individuals participate in analytical processes such as experimentations which use statistical and scientific tools, while operational learning which focuses on the acquisitions of ‘know-how’ occurs when individuals involve in simple quality projects. Both conceptual and operational learning generating from the core TQM practices facilitate in achieving goals, and creating new technological knowledge. In organizational learning literature, there are many studies that examine the impact of organizational learning on organizational performance. Crossan & Berdrow (2003) suggested that organizational learning is a means to develop the organizational capability which contributes to competitive advantage. Even though there have been some debates on whether learning is a prerequisite necessary for visible performance (Crossan et al., 1995), learning is intrinsically oriented to performance (Kuchinke, 1995) and contributes to the improvement of organizational performance through knowledge creation processes within organizations (Bontis et al., 2002; Lopez et al., 2005a). Lopez et al. (2005a) reported that organizational learning process (e.g. knowledge acquisition, distribution, interpretation, and memorization) directly influences organizational competitiveness and financial performance. Goh and Ryan (2008) found that there is a positive link between learning capability and competitive advantage. Moreover, some studies has found that there is a positive relationship between organizational learning and perceptual measure of performance such as perceptual measure of
8
overall organization’s performance (Hult, Ketchen, and Nicholas, 2003), meeting customer’s needs or overall business performance (Bontis et al., 2002), profitability, return on investment (ROI), customer retention, and sales growth (Tippins & Sohi, 2003). While Michna (2005) reported that there is an empirical positive relationship between organizational learning dimensions such as dialogue and empowerment of the employees, collaboration, team learning, leaders’ attitudes and organizational performance such as sales and employment growth. However, there are some disagreements about the relationship between organizational learning and organizational performance. Salim and Sulaiman (2011) reported that organizational learning indirectly contributes to firm performance. While, Yeung et al. (2007) found that organizational learning leads to superior performance when it is valued by top management and when knowledge is shared in organizational routines through appropriate infrastructure and a culture of learning.In addition, the previous studies only used single dimension of performance: financial performance or non-financial performance. Moreover, most research on organizational learning has been based on case studies or other non-quantitative descriptive methods (Lopez et al. 2005b). Based on the discussion above,
the hypothesis can be formulated below:
H1: Infrastructure practices significantly affect core practices H2: Infrastucture practices significantly affect organizational performance H3: Core practices significantly affect organizational performance H4: Infrastructure practices significantly affect organizational learning H5: Core practices significantly affect organizational learning H6: Organizational learning significantly affects organizational performanace H7: Organizational learning significantly mediates the relationship between infrastructure practices and organizational performanace H8: Organizational learning significantly mediates the relationship between core practices and organizational performanace
Based on the hypotheses, the conceptual framework that depicted relationship among constructs under investigation is developed. Figure 1 below shows the conceptual framework.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
process approach to management (PA), system approach to management (SA), and factual approach to management (FA). Respondents were asked to provide their judgement on these instruments based on five point Likert scale range between “Strongly Disagree (1)” and “Strongly Agree (5)”. Figure 1 Procceding Conceptual framework depicting the relationships between Infrastructure Practices, Core Practices, Organizational Learningand Organizational Performance
Instrumentations A structured survey questionnaire was developed. This questionnaire was designed to collect data about quality management practices (infrastructure practices and core practices), organizational learning and organizational performance. The survey instrument took approximately 20-25 minutes to complete via online administration. All constructs employed for this research were measured through this questionnaire.
Operationalization of Infrastructure Practices and Core Practices
The independent constructs of this study are infrastructure practices and core practices. The infrastructure and core practices measurements used in this research were adapted from the scale developed by Lee et al. (2009). Lee et al. (2009) developed the questionnaire based on ISO 9000:2008 Quality Management Systems. According to Lee at al. (2009), the draft questionnaire was subjected to a pilot test by three experienced empirical researchers and six quality management practitioners who have expertise in managing quality in service operations. The comments from the researchers suggest that the questionnaire items could measure what they are intended to reflect and were phrased succinctly. The practitioners provided similar comments to the items. Moreover, the questionnaire has demonstrated considerable sensitivity and validity in other studies (Sisnuhadi, 2014). To measure the infrastructure, participants were asked to answer questions about customer focus (CF), leadership (LE), involvement of people (IP), continuous improvement (CI), and mutually beneficiary supplier relationship (MB); and for core practices, participants were asked to respond questions concerning process approach to management (PA), system approach to management (SA), and factual approach to management (FA). Respondents were asked to provide their judgement on these instruments based on five point Likert scale range between “Strongly Disagree (1)” and “Strongly Agree (5)”.
Figure 1 Conceptual framework depicting the relationships between Infrastructure Practices, Core Practices, Organizational Learningand Organizational Performance
Infrasfructure Practices H4
H1
H7
H2
H6
Organizational Learning
H5
H8
Organizational Performance
H3
Core Practices Operationalization of Organizational Learning (OL) This study employed organizational learning measurement created by Templeton et al. (2002). The Templeton’s et al. (2002) organizational learning measurement was chosen for this study for several reasons. First, Templeton et al. (2002) developed the organizational measurement based on the Huber’s (1991) organizational learning definition. Second, the instrument was explored, examined, and refined through several steps. Fifth, The selection of this scale was supported by its extensive use in theorganizational studies (e.g., Busch, M., 2006; Benveniste, M., 2010). Finally, the developers have stated the organizational learning instrument may be used to examine the relationship Thisthatstudy employed organizational learning between organizational learning activities and other outcome measures such as objective and measurement created by Templeton et al. (2002). subjective financial data (Templeton et al., 2002). The organizational learning instrument measurement consists of 28 questions was intended to The Templeton’s et al. (2002) organizational learncollect judgment from managers concerning the activities of organizational learning in their ing measurement was chosen for this study for sevcompanies. To measure the level of organizational learning, participants were asked to answer eral reasons. First, Templeton et al.at(2002) develquestions about the organization, employees, and management their organization based on five point Likert anchored between “Strongly Disagree (1)” and “Strongly Agree (5)”. oped thescale organizational measurement based on the
Operationalization of Organizational Learning (OL)
Huber’s (1991) organizational learning definition. Operationalization of Organizational Performance The dependent construct in the study organizational performance. In this study, Second, the instrument wasis explored, examined, organizational performance consists of two perceptual performance measurements adapted from the and refined through several steps. Fifth, The selecDLOQ survey instrument defined by Watkins and Marsick (2003): perceptual financial performance and perceptual measurements. The was selecteduse because this tion of thisknowledge scaleperformance was supported bymeasurement its extensive preformance measurements represent competitive advantage in the market (Sousa and inperceptual theorganizational studies (e.g., Busch, M., 2006; Voss, 2002; Nair 2006). Moreover, the Watkins and Marsick’s (2003) perceptual financial Benveniste, M., 2010). the have studies performance and perceptual knowledge Finally, performance had beendevelopers examined in many empirical (McHargue, 2000; the Ellinger et al., 2002; Power andlearning Waddell, 2004;instrument Kumar and Idris, 2006). stated that organizational Respondents were invited to respond on this measurement based on five point Likert scale range may used to examine between betweenbe “Strongly Disagree (1)” and “Stronglythe Agreerelationship (5)”. organizational learning activities and other outcome measures such as objective and subjective 6 financial data (Templeton et al., 2002). The organizational learning instrument measurement consists of 28 questions was intended to collect judgment from managers concerning the activities of organizational learning in their companies. To measure the level of organizational learning, participants were asked to answer questions about the organization, employees, and management at their organization based on five point Likert scale anchored between “Strongly Disagree (1)” and “Strongly Agree (5)”.
Operationalization of Organizational Performance
The dependent construct in the study is organizational performance. In this study, organizational performance consists of two perceptual performance measurements adapted from the DLOQ survey instrument defined by Watkins and Marsick (2003): perceptual financial performance and perceptual knowledge performance measurements. The measurement was selected because this perceptual preformance measurements represent
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
9
Procceding
competitive advantage in the market (Sousa and Voss, 2002; Nair 2006). Moreover, the Watkins and Marsick’s (2003) perceptual financial performance and perceptual knowledge performance had been examined in many empirical studies (McHargue, 2000; Ellinger et al., 2002; Power and Waddell, 2004; Kumar and Idris, 2006). Respondents were invited to respond on this measurement based on five point Likert scale range between “Strongly Disagree (1)” and “Strongly Agree (5)”.
Research Design
This quantitative research employed crosssectional survey design to collect a wide array of information regarding the TQM practices, organizational learning and organizational performance from a large number of individuals, using measurement items of the research constructs. Population of this study is Malaysia’s ISO9001:2008 registered manufacturing companies. The unit of analysis for this research was the Malaysia’s ISO9001:2008 registered manufacturing companies. The sample comprised the quality managers of Malaysia ISO9001:2008 registered manufacturing companies. The reason for choosing quality managers for the study was based on the assumption that the quality managers are in the best position to provide information that is relevant to the purpose of this study. A judgement and systematic sampling process was applied in this research. In this study, the researcher determines quality managers in Malaysia’a ISO9001:2008 registered manufacturing companies as respondents. In Malaysia, there are 996 ISO9001:2008 registered manufacturing companies listed in FMM Directory 2011, the researcher took 50% of them as a sample and 108 of the respondents participated in the survey (response rate: 21.69%).
Data Collection Method
An online survey was applied to collect data from quality managers or representatives in MaCF
Loadings
CF3
0.732*)
CF1 CF2 CF4 CF5
0.808*) 0.772*) 0.735*) 0.748*)
Findings and Discussions
This study employed PLS approach. PLS has been suggested as an alternative to maximum likelihood approach in social sciences research when data do not meet the requirements for maximum likelihood estimation (Fornell and Bookstein, 1982; Haenlein and Kaplan, 2004).
Testing the Measurement Model (Outer Model) (Indonesia and Malaysia)
The measurement model is used to examine if the latent constructs have sufficient validity and reliability. WarpPLS 3.0 is used to assess the measurement and the structural model for this study (Kock, 2012).
Convergent Validity
The first criteria is the minimum factor loadings indicators on intended construct. This criteria required that the factor loadings of all indicators should above 0.50 (Hair et al, 2006; Chin, 1998) on their hypothesized component. Table 1 presents the indicator factor loadings of infrastructure practices latent construct which consists of: customer focus (CF), leadership (LE), involvement of people (IP), continuous improvement (CI) and mutually beneficiary supplier relationship (MB) constructs. As it shown on table 1 that indicators LE2 and MB3 (in italic-bold) have factor loadings below 0.50. This implies that the indicators do not measure the intended constructs. Those indicators should be removed. The remaining indicators exceed 0.50. It means that the indicators measure their intended constructs.
Table 1. Infrastructure Practices Indicators Factor Loadings LE
Loadings
LE3
0.884*)
LE1 LE2 LE4 LE5
CF6 0.566*) LE6 *) Signifacant at p<0.01
10
laysia’s ISO9001:2008 registered manufacturing companies. Those respondents were sent questionnaires including cover letter that explain the objective of the research and instruction to complete via email.
IP
Loadings
IP3
0.648*)
0.789*)
IP1
0.864*)
IP4
0.442
0.885*) 0.926*)
IP2 IP5 IP6
CI
Loadings
CI3
0.840*)
CI1
0.826*)
CI4
0.855*) 0.861*) 0.845*)
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
CI2 CI5
0.867*)
MB
Loadings
0.707*)
MB3
0.095
0.651*)
MB5 MB6
0.841*) 0.731*)
MB1 MB2 MB4
0.789*) 0.785*) 0.767*) 0.778*) 0.832*)
Procceding
Table 2 presents the indicator factor loadings of core practices latent construct which consists of process approach to management (PA), system approach to management (SA) and factual approach to decision making (FA). In table 2, indicators SA2 and FA2 (in italic-bold) in the core practices latent construct have factor loadings less 0.50, therefore those indictors should be deleted because the indicators do not measure the intended construct. Table 2. Core Practices Indicators Factor Loadings (Malaysia) PA
Loadings
PA3
0.797*)
PA1 PA2 PA4 PA5 PA6
SA
Loadings
SA3
0.866*)
0.802*) 0.820*)
SA2
0.855*) 0.828*)
SA4 SA5
0.876*)
SA1
*) Signifacant at p<0.01
Loadings
FA3*)
0.741*)
0.873*)
FA1*)
0.784*)
FA4*)
0.421
FA
0.791*)
0.812*)
FA2
0.254
0.877*)
Table 3 shows the indicator factor loadings for organizational learning latent cosntruct which consists of knowledge acquisition (KA), information distribution (ID), information interpretation (II) and organizational memory (OM) constructs. All indicators in the constructs has factor loadings above 0.50, therefore, those indicators measure their intended constructs. Table 4 presents indicator factor loadings for organizational performance latent constructs which includes PFP and KNP constructs. As it can be seen from table 4.14 that indicators PFP 5 and KNP 4 each has factor loadings below 0.50. Those indicators should be removed, because they do not measure the PFP and KNP constructs respectively. Loadings
KA3
0.734*)
KA2 KA4 KA5 KA6 KA7 KA8 KA9
PFP
Loadings
PFP3
PFP1 PFP2
PFP5
KNP3
0.831*)
0.771*)
KNP1
0.801*)
KNP4
0.732*)
KNP6
0.877*)
KNP2
0.412
PFP6
Loadings
0.735*) 0.75*)
PFP4
KNP
0.807*) 0.25
KNP5
0.797*) 0.519*)
KNP7
*) Signifacant at p<0.01
0.884*)
KNP8
0.817*)
The second and third criterias are the minimum of average variance extracted (AVE) and composite reliability were presented in table 5. It can be seen from table 5 that the AVEs for Malaysia are above 0.50 and the composite reliability for all constructs were above 0.70. Convergent validity required that the scale items load strongly only on the intended construct (Gefen and Straub, 2005). Three criterias employed to examine convergent validity are: (1) the minimum factor loadings of indicators on the intended construct is 0.5 (Barclay et al., 1995; Chin, 1998), (2) the minimum of average variance extracted (AVE) is 0.5 (Barclay et al., 1995) and (3) the minimum composite reliability of a construct is 0.7 (Chin, 1998, Fornell and Larcker, 1981). The first criteria is the minimum factor loadings indicators on intended construct. This criteria required that the factor loadings of all indicators should above 0.50 (Hair et al, 2006; Chin, 1998) on their hypothesized component. All of the indicator factor
Table 3. Organizationa Learning Indicator Factor Loadings (Malaysia)
KA
KA1
Table 4. Organizational Performance Indicator Factor Loadings
ID
Loadings
ID3
0.622*)
0.774*)
ID1
0.687*)
ID4
0.782*)
ID2
0.731*) 0.605*) 0.655*) 0.543*) 0.721*)
*) Signifacant at p<0.01
ID7
0.822*)
0.516*)
II4
II2
0.697*)
Loadings
OM3
0.766*)
OM1
0.789*)
OM4
0.520*)
OM2
0.728*)
OM
0.780*) 0.823*)
II5
0.634*)
II3
II1
0.689*)
ID6
Loadings
0.622*) 0.710*)
ID5
II
0.838*) 0.755*)
OM5
0.598*)
OM6
OM7
0.685*)
0.626*)
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
11
Procceding
loadings of latent constructs used in this study were above 0.50; It means that the indicators measure their intended construct.The second and third criteria are average variance extracted (AVE) and composite reliability. The average variance extracted (AVE) of lall constructs were above 0.50 and the composite reliability of all constructs were above 0.70.
Discriminant Validity The indicators of a latent construct should load strongly on that intended construct, but weakly on the other unintended constructs (Gefen and Straub, 2005). Table 6 shows indicator factor loadings of latent constructs. It was evident from the table 6 that indicators loaded > 0.50 on their intended theoretical constructs (in bold) and significantly lower on any other constructs; therefore, cross-loadings requirement for indicator factor loadings second order are also met. Table 5 Average variances extracted (AVE) and Composite Reliability (CR)
AVE
CF
0.534
0.872
CI
0.584
0.874
LE
0.767
IP
0.666
MB
0.625
PA
0.689
SA
0.701
FA
0.669
KA
0.588
ID II
OM
0.615
KNP
0.623 0.679 0.64
PFP 0.585 AVE: Average variances extracted CR: composite reliability
12
CR
0.943 0.922 0.893 0.93
0.903 0.858 0.893 0.831 0.892 0.863 0.924 0.876
Table 6. Indicator Factor Loadings Latent Construct
lv_CF
lv_LE
INFRA 0.592 0.585
CORE
OL
OP
P-Value
0.292
<0.001
0.412
0.326
0.398
0.180
0.312
0.315
0.317
0.404
lv_IP
0.724
lv_SA
0.354
0.772
lv_OM
0.581
0.466
0.774
0.527
0.517
0.864
0.405
0.450
0.342
lv_CI
0.571
lv_FA
0.369
0.767
0.550
0.436
0.894
0.283
0.384 0.865
lv_MB
0.735
lv_PA
0.469
0.609
0.430
0.265
0.739
0.366
0.538 0.865
lv_II
lv_ID
lv_KA
lv_PFP
lv_KNP
0.359 0.510
0.410
0.535 0.273 0.423 0.442
0.298 0.201 0.364 0.246 0.485 0.457 0.343 0.460
<0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001
Discriminant validity is also tested by comparing the inter-construct correlation with the square roots of their respective average variances extracted. Table 7 shows latent construct correlation and square root of AVE. The square roots of average variances extracted (AVEs) for each latent variable are shown in diagonal. It can be seen from table 7 that the value of square roots of AVE are higher than the value of correlation between constructs, therefore, these data meet the discriminant validity requirement. After the requirements for data screening (construct validity, convergent validity, internal consistency reliability and discriminant validity) are met, the next step is to examine the model fit indices of the structural model.
Model Fit Indices (Indonesia and Malaysia)
The results of the model fitness tests along with associated P-values of structural model are shown in table 7. Tables 4 above shows that the model meets these requirements, suggesting the data are a good fit with the proposed model.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Tabel 7. Model Fit Indices and P values of Structural Model for Malaysia
INFRA
CORE
OL
APC
0.354
0.422
0.621
ARS
1)
1)
OP
1)
0.866
1)
Structural
Model
0.624 1)
0.8331) 0.7271) 0.8791) 0.7491) 0.536 1)
AVIF 1.3732) 1.3982) 1.5462) 1.0002) 1.5672)
Significant at p< 0.001; 2) good at AVIF<5
1)
In summary, the measurement model passes several stringent tests of convergent validity, internal consistency reliability, discriminant validity and collinearity. These results show that the model in this study meets widely accepted data validation criteria, suggesting that the results of the SEM can be generally trusted as free from data measurement problems (Kline, 2005).
Examine the Structural Model (Inner Model)
Table 8 is a structural model which presents the relationship of each construct, path coefficient, and its significance. Based on table 5, infrastructure practices significantly affect core practices at p <0.01. Standard β for the relationship is 0.60, and R2 = 0.35. The R2 = 0.35 indicates that 35% of variance in the core practices is explained by infrastructure practices. Infrastructure practices significantly affect organizational learning at p<0.01 and standard β = 0.52. Core practices significantly affect organizational learning at (p<0.01), β = 0.22 and R2 = 0.45. The R2 = 0.45 indicates that 45% of variance in organizational learning is explained by infrastructure practices and core practices. Infrastructure practices significantly affect organizational performance at p<0.01, β = 0.27, and R2 = 0.35. Core practices insignificantly (p = 0.24) influence organizational performance. Organizational learning significantly affects organizational performance at p<0.01, β = 0.34, and R2 = 0.35. The R2 = 0.35 indicates that 35% of variance in organizational performance is explained by infrastructure practices and organizational learning.
Determination of the Mediating Role
This section explore whether the introduction of organizational learning significantly improve the influence of TQM practices (infrastructure practices and core practices on organizational performance).
Table 9 shows the indirect effects of infrastructure practices on organizational performance through the mediation of organizational learning and the indirect effect of core practices on organizational performance through organizational learning. The indirect effect of infrastructure practices on organizational performance through the mediation of organizational learning in Malaysia is 0.267 which was statistically significant at P <0.01 level. The results suggest that organizational learning plays a mediating role in the relationships between infrastructure practices and organizational performance in Indonesia’s and Malaysia’s ISO 9001: 2008 registered manufacturing companies. The indirect effect of core practices on organizational performance through the mediation of organizational learning in Malaysia is 0.077 and significant at p<0.05. This result indicates that organizational learning mediates the relationship between core practices and organizational performance Table 8. Structural Model
Path
INFRA-CORE
INFRA-OL
INFRA-OP CORE-OL
CORE-OP
Coefficient β
P-value
0.27
<0.01
0.60 0.52 0.22 0.08
R2
<0.01
0.35
<0.01
0.45
<0.01 0.24
0.45 0.35 0.35
OL-OP 0.34 <0.01 0.35 Note: INFRA: practices, CORE: core practices, OL: orgnizational learning, OP: organizational performance. Table 9. Indirect Effect of Infrastructure Practices on Organizational Performances Path
Infra-OL-OP
Indirect effect 0.267*)
Core-OL-OP 0.077**) *) Significant at p<0.01; **) Significant at p<0.05 Note: INFRA: practices, CORE: core practices, OL: orgnizational learning, OP: organizational performance.
Discussions The finding of this study indicate that infrastructure practices have a significant relationship with core practices in Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies. The finding
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
13
Procceding
of this study support H1. The result of this study implies that the higher the infrastructure activities create the higher the core practices activities. The company also need to establish process and system to support the data collection and data translation activites. This result supports Zu’s finding. In the previous study, Zu (2009) reported that infrastructure practices whichincludes of four elements (e.g. top management support, customer relationship, supplier relationship, and workforce management) support the implementation of core practices which consists of three elements (e.g. quality information,product/service design, and process management). This study found that in Malaysia, the infrastructure practices significantly affect organizational performance. This finding supports H2. In Malaysia ISO 9001:2008 registered manufacturing companies, the higher infrastructure practices produced the higher organizational performance. This results in line with the previous finding. Idris (2011) found that leadership, customer focus, strategy and objectives, best practices, employee focus, community focus, and productivity focus have significant relationship with sustainable company performances. However, this result is different with Adam’s et al finding. Adam et al. (1997) found that the infrastructure practices such as the management supports, employee relations and employee involvement, employee selection, and development were not significantly influence on performance. In Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies core practices insignificantly affect organizational performance. These results do not support H3. This result implies that core practices did not affect organizational performance. This result different than Zu’s (2008) finding that core practices which consists of quality information, product/service design and process management directly leads to improved quality performance. . These findings support H4. This result implies that infrastructure practices facilitate a good environment for employees to develop their competencies through learning. For example, in order to continually improve the competencies and performance to satisfy customers, managers together with employees, and suppliers should focus on undestanding about the dynamic of customer needs and expectations and then translate the customer needs and expectations into products. Core practices significantly affect organizational learning. This result support H5. The finding shows that in Malaysia’s ISO 9001:2008 registered manufacturing companies, core practices such as process approach to management, system approach to management and factual approach to decision making facilitate learning process.
14
Organizational learning significantly affects organizational performance, therefore, supports H6. This result shows that the organizationl learning has a significant impact on organizational performance. The result of this study implies that companies can foster organizational learning to improve their competitive advantage. This result is in line with López et al. (2005a) that organizational learning contributes positively both to innovation and competitiveness and to economic/financial results. This result also supports DeGues’s (1988) and Garvin’s (1993) theoritical agreements that learning is an important element for the achievement of companies’ goals. Organizational learning significantly mediates the relationship between infrastructure practices and organizational performance and therefore, supports H7. Infrastructure practices have indirect effect on organizational performance through organizational learning. The introduction of organizational learning will improve the influence of infrastructure practices on organizational performance. For example, in order to continuously improve its performance, company should collect the information related to customers’ needs and expectations, distribute the information to the organization members, translate the information into product design (information interpretation), and store the information for further use. This finding are consistent with Martinez-Costa and JimenezJimenez (2008) that TQM influence on behavior and learning process of the employees through person interaction and the interaction affect performance. Organizational learning significantly mediates the relationship between core practices (system approach to management, process approach to management and factual approach to decision making) and organizational performance and therefore supports H8. Core practices facilitate organization members to create new ways to improve their competencies and enhance the organizational results.
Theoretical and Practical Implications This study contributes by formulating and examining a research model that explains how and why infrastructure practices and core practices have different relationships with organizational learning and organizational performance. Moreover, the proposed research model fulfills a need to bridge the gap in the literature of infrastructure practices and core practices, organizational learning and organizational performance. The findings provide incentive for practitioners to recognize and develop appropriate implementation of infrastructure practices and core practices procedures to in alleviate the level of
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
organizational learning and then enhancing organizational performance. In order to improve performance, quality managers should continuously improve their organizational learning. However, developing an organizational learning system is not by chance but by intervention of quality managers to establish the necessary internal conditions for the organization to operate in a learning mode. Garvin (2000), pointed out that organizations need to design and actively manage learning process. Some TQM programs failed because the organization immune against learning and change (Asif, et. al., 2009).
Limitations of the Study
There are some limitations associated with this study. First, the researcher collected data from quality manager from each systematically selected company that participated in this study. These quality managers are difficult to be invited to participate in this research; therefore, resulted in small sample size. In addition, the characteristics of the participants for this study may be different because they belong to various types of companies and industries; therefore, their responses will vary according to their experiences. As a result, the findings in this study do not lend themselves to generalizability in other organizations
Future Studies
Further empirical studies need to be undertaken in different industry sectors. The studies in different industry sectors may produce different implications on the relationship between TQM practices (infrastructure practices and core practices), organizational learning, and organizational performance. In addition, future study needs to examine the moderating effects of organizational learning between TQM practices (infrastructure practices and core practices) and organizational performance to explore the impact of TQM practices (infrastructure practices and core practices) on organizational performance based on the level of organizational learning.
REFERENCES Abdullah, M. M., Uli, J. and Tari, J. J. (2008). The influence of soft factors on quality improvement and performance: Perceptions from managers. The TQM Journal, 20(5): 436452.
Adam, E.E. Jr, Corbett, L.M., Flores, B.E., Harrison, N.J., Lee, T.S., Rho, B.H., Ribera, J., Samson, D. and Westbrook, R. (1997). An international study of quality improvement approach and firm performance. International Journal of Operations & Production Management, 17(9): 842-73. Ahire, S.L. and Dreyfus, P. (2000), “The impact of design management and process managementon quality: an empirical examination”, Journal of Operations Management, 18(5): 549-75. Asif, M., Bruin, E. J., Douglas, A. and Fisscher O.A.M. (2009). Why quality management program fail: A strategic and operations management perspective. International Journal of Quality & Reliability Management, 26(8):778-794 Aydin, B. and Ceylan, A. (2009). Feature article does organizational learning capacity impacton organizational effectiveness? Research analysis of the metal industry. Development & Learning in Organizations, 23(3): 21-23. Baird, K., Hu, K.J. and Reeve, R. (2011). The relationships between organizational culture, total quality management practices and operational performance. International Journal of Operation & Production Management, 31(7): 789-814. Barclay, D., Higgins, C. and Thompson, R. (1995). The partial least squares (PLS) approach to causal modeling: Personal computer adoption and use as an illustration. Technology Studies, 2(2): 285-309. Barney, J. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17(1):99-120. Barney, J. (2001). Resource-based theories of competitive advantage: a ten-year retrospective on the resource-based view. Journal of Management, 27(6): 643-8. Barrow, J. W. (1993). Does total quality management equal organizational learning? Quality Progress, 26(1): 39-44. Benveniste, Marshall (2010). A study of organizational learning and its relationship to organizational size, ownership, and performance in the large US newspaper organizations. Unpublished Ph.D’s thesis. Capella University. USA.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
15
Procceding
Bontis, N., Crossan, M. and Huallnd, J. (2002). Managing an organizational learning system by aligning stocks and flows. Journal of Management Studies, 39(A): 437- 469. Busch, Monique (2006). Examining organizational learning for application in human service organization.Unpublished Ph.D’s thesis. Indiana University. Bloomington, Indiana, USA. Chiles, T. and Choi, T. (2000). Theorising TQ: an Austrian and evolutionary economics interpretation. Journal of Management Studies, 37(2):.185-212 Chin, W. W. (1998). Issues and opinion on structure equation modeling. MIS Quarterly, 22(1), viixvi. Crossan, M. and Berdrow, I. (2003). Organizational learning and strategic renewal. Strategic Management Journal, 24(11): 1087-1105. Crossan, M., Lane, H., White, R. E. and Djurfeldt, L. (1995). Organizational learning— Dimensions for a theory. International Journal of Organizational Analysis, 3(4):337-360. Crossan, M, Lane, H. and White, R. E. (1999). An organizational learning framework from intuition to institution. Academy of Management Review, 24(3): 522-537. DeGeus, A. (1988). Planning as learning. Harvard Business Review, 66(2): 10-1 A. Deloitte, Global Manufacturing Index 2013. (Online). Available: http://www.deloitte.com/assets/ Dcom-Global/Local%20Assets/Documents/ Manufacturing/dttl_2013%20Global%20 Manufacturing%20Competitiveness%20 Index_11_15_12.pdf (2013, April 11) Ellinger, A.D., Ellinger, A.E., Yang, B. & Howton, L. (2002). Relationship between the learning organization concept and firms’ financial performance: an empirical analysis. Human Resource Development Quarterly, 13(1), 5-22. Flynn, B. B., Schroeder, R. G. and Sakakibara, S. (1995). The Impact of Quality Management Practices on Performance and Competitive Advantage. Decision Sciences, 26(5): 659-691. Fornell, C. and Bookstein, F. L. (1982). Two structural equation models: LISREL and PLS applied to consumer exit-voice theory. Journal of Marketing Research, 19(4): 440-452. Fornell, C. and Larcker, D. F. (1981). Structural equation models with unobservable variables and measurement error: Algebra and statistics. Journal of Marketing Research, 18(3): 382-388.
16
Gadenne, D. and Sharma, B., (2009). An investigation of the hard and soft quality management factors of Australian SMEs and their association with firm performance International Journal of Quality & Reliability Management, 26 (9): 865880 Garcia, V. J., Ruiz, A. and Lloréns, F. J.(2007). Effects of technology absorptive capacity and technology proactivity on organizational learning, innovation and performance: an empirical examination. Technology Analysis & Strategic Management, 19{4): 521-558. Garvin, D.A (1993). Building a learning organisation. Harvard Business Review, 71 (4): 78-91. Gavin, D. A. (2000). Learning in action: A guide to putting the learning organization to work. Boston: Harvard Business School Press. Gefen, D. and Straub, D. (2005). A practical guide to factorial validity using PLS-Graph: Tutorial and annotated example. Communications of the Association for Information Systems, 16(5): 91- 109. Goh, S. C. and Ryan, P. J. (2008). The organizational performance of learning companies: A longitudinal and competitor analysis using market and accounting financial data. The Learning Organization, 15(3):225-239 Hackman, J. R. and Wageman, R. (1995). Total quality management: Empirical, conceptual, and practical issues. Administrative Science Quarterly. 40(2): 309-341. Haenlein, M. and Kaplan, A. M. (2004). A beginner’s guide to partial least squares analysis. Understanding Statistics, 3(4): 283-297. Hair, J. F. Jr., Black, W. C., Babin, B. J., Anderson, R. E., and Tatham, R. L. (2006). Multivariate Data Analysis (6th ed.). New Jersey: Pearson Education Inc. Huber, G. P. (1991). Organizational Learning: The contributing processes and the literatures. Organization Science, 2(1): 88-115. Hult, G. T. M., Ketchen, D. J., Jr. and Nicholas, E. L., Jr. (2003). Organizational learning as a strategic resource in supply management. Journal of Operations Management,27(5): 541-556. Idris, F., (2011) Total quality management (TQM) and Sustainable company performances: Examining the relationship in Malaysian firms. International Journal of Business and Society, 12 (1): 31-52
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Kandemir, D. and Hult, G.T. (2005). A conceptualization of an organizational learning culture ininternational joint ventures, Industrial Marketing Management, 34 (5): 430-439 Kim, D. H. (1993). The Link between Individual and Organizational Learning. Sloan Management Review, Fall: 37-50. Kline, R.B. (2005). Principles and Practice of Structural Equation Modeling 2nd ed. The Guilford Press: New York. Kock, N. (2012). WarpPLS 3.0 user Manual, Laredo, Texas: ScriptWarp Systems. Kuchinke, P. K. (1995). Managing Learning for Performance. Human Resource Development Quarterly, 6(3):307-316. Kumar, N. & Idris, K (2006). An examination of educational institutions’ knowledge performance: analyis, implications, and outlines for future research. TheLearning Organization, 13(1), 96-117. Lakhal, L., Pasin, F. and Limam, M. (2006). Quality management practices and their impact on performance. International Journal of Quality & Reliability Management, 23 (6): 625-646 Lee, P.K.C., To W.M. and Yu, B.T.W. (2009). The implementation and performance outcomes of ISO 9000 in service organizations An empirical taxonomy. International Journal of Quality & Reliability Management. 26 (7), 646-662 Lopez, S. P., Peon, M. M. and Ordas, V.J. (2005a). Organizational learning as a determining factor in business performance, The Learning Organization. 12(3): 227-245. Love, P., Li, H., Irani, Z. and Faniran, O. (2000). Total quality management and the learning organization: a dialogue for change in construction. Construction Management and Economics, (18): 321-31 Martinez-Costa, M. and Jimenez-Jimenez, D. (2008). Are companies that implement TQM better learning organization? An empirical study. Total Quality Management, 19(11):1101-1115 McHargue, S. (2003). Learning for performance in nonprofit organizations. Advances in Developing Human Resources, 5(2), 196-204. Michna, A. (2009). The relationship between organizational learning and SME performance in Poland. Journal of European Industrial Training 33 (4): 356-370
. Morrison, M. and Terziovski, M. (1998), The relationship between quality management practices and learning in the Australian retail hardware sector, Working Paper 31/98, Monash University, Victoria. Mosakowski, E. (1993). A resource-based perspective on the dynamic strategyperformance relationship: an empirical examination of the focus and differentiation strategies in entrepreneurial firms. Journal of Management, 19 (4):819-38. Mukherjee, A.S., Lapre´, M.A. and Van Wassenhove, L.N. (1998). Knowledge driven quality improvement. Management Science, 44(11): 535–549. Nair, A. (2006). Meta-analysis of the relationship between quality management practices and firm performance - implications for quality management theory development. Journalof Operations Management, 24:948-975. Nonaka, I. (1994). A dynamic theory of organizational knowledge creation. OrganizationScience, 32(1): 7-23. Nonaka, I. and Toyama, R. (2003). The knowledgecreating theory revisited: knowledge creation as a synthesizing process, Knowledge Management Research & Practice, 1(1): 2-10. Parnell, J.A., Shwiff, S., Yalin, L. and Langford, H. (2003). American and Chinese entrepreneurial and managerial orientation: A management Education Perspective, Interntional Journal of Management 20 (2): 125-137 Powell, T.C. (1995). Total quality management as competitive advantage: a review and empirical study. Strategic Management Journal, 16 (1):15-37. Power, J. & Waddell, D. (2004). The link between self-managed work teams and learning organizations using performance indicators. The Learning Organization, 11(2/3), 244-260. Ruiz-Moreno, A., Gracia-Morales, V. and LorensMontes, J. (2005). Learning during the quality management process: Antecedents and effects in services firms. Industrial Management & Data system, 105(8): 1001-1021. Salim, I.M. and Sulaiman, M. (2011). Organizational learning, innovation and performance:A Study of Malaysian small and medium sized enterprises.International Journal of Business and Management 6 (12):118-125
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
17
Procceding
Samson, D., Terziovski, M. (1999). The relationship between total quality management practices and operational performance. Journal of Operations Management, 17: 393-409. Sisnuhadi (2014). The relationship between soft factors and hard factors of TQM practices and organizational learning. European Scientific Journal. 10 (7), 85-99 Sit, W. Y., Ooi, K. B., Lin, B. and Chong, A.Y. L. (2009). TQM and customer satisfaction in Malaysia’s service sector. Industrial Management & Data Systems, 109(7): 957-975. Sitkins, S.B., Sutcliff, K.M. and Schroeder, R.G. (1994). Distiguish control from learning total qaulity management: a contigency perspective. Academy Management Review, 19(3):537-64 Sousa, R. and Voss, C. (2002). Quality management re-visited: a reflective review and agenda for future research. Journal of Operations Management, 20:91-109. Tarı´, J.J. and Sabater, V. (2004), “Quality tools and techniques: are they necessary for quality management?”, International Journal of Production Economics, 92 (3): 267-80. Templeton, G. F., Lewis, B. and Snyder, C. A. (2002). Development of a measure for the organizational learning construct. Journal of Management Information, 19(2): 175-218. Thiagarajan, T., Zairi, M., and Dale, B.G. (2001). A proposed model of TQM implementation based on an empirical study of Malaysian industry. International Journal of Quality & Reliability Management, 18(3): 289-306. Tippinns, M. J. and Sohi, R. S. (2003). IT competency and firm performance: Is organizational learning a missing link? Strategic Management Journal, 24(8): 745-761.
18
Watkins, K. E. and Marsick, V.J. (2003). Dimensions of the learning organization questionnaire. San Francisco: Jossey-Bass, Inc Yeung, A.D.L., Cheng, T.C.E. and Lai, K.H. (2005). An empirical model for managing quality in the electronics industry, Poduction and Operations Management, 14 (2): 189-204. Yeung, A.C.L., Lai, K.H. and Yee, R.W.Y. (2007). Organizational learning, innovativeness, and organizational performance: a qualitative investigation. International Journal of Production Research. 45(11): 2459–2477 Yusof, S.M. and Aspinwall, E. (2001). Case studies on the implementation of TQM in the UK automotive SME’s. International Journal of Quality & Reliability Mabagement, 18(7): 72243 Zakuan, N. M., Yusof, S.M., Laosirihongthong, T. and Shaharoun, A. M. (2010). Proposed relationship of TQM and organisational performance using structured equation modelling. Total Quality Management, 21(2): 185-203. Zairi, M. and Yousef, M.A.(1995). A review key publications on benchmarking, Part I. Benchmarking for Quality Management Technology, 2(1):37-45. Zhang, Z. (2000). Developing a model of quality management methods and evaluating their effects on business performance. Total Quality Management, 11(1): 129–137. Zu,X., (2009). Infrastructure and core quality & Reliabilit practices: how do they affect quality? International Journal of Quality & Reliability Management, 26(2): 129-149
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
RINGKASAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN MODUL MODEL PENDIDIKAN PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA DI KOTA YOGYAKARTA Penyusun Dra. Alviani Permata, M.Hum., Staf Pengajar Prodi Manajemen, Fakultas Bisnis UKDW Dra.Endah Setyowati, M.Si., MA, Staf Pengajar Prodi TI, Fakultas Teknologi Informasi UKDW Dra.Krisni Noor Patrianti,M.Hum.,Staf Pengajar SI, Fakultas Teknologi Informasi UKDW Marsius Tinambunan, S.Th., B.Ch.M, Staf Pengajar Prodi Managemen, Fakultas Bisnis UKDW Pratomo Nugroho Soetrana, MA., Staf Pengajar Prodi TI, Fakultas Teknologi Informasi UKDW Koordinatorat Humaniora Universitas Kristen Duta Wacana,Yogyakarta 2015 Peace education is a strategic element in preventing conflict and strengthening civil society. It is, however, a relatively new issue in Indonesia since it was first perceived by the end of the New Order regime to the current regime of Reformation. The need for peace building skills based on local wisdom becomes crucial. Therefore conducting research on local culture as a basis for peace education materials development, designing modules, and then applying them within the framework of pilot projects and publishing the module can be done for developing community-based peace education model.
Pengantar Penelitian lapangan ini difokuskan pada penggalian potensi sumber-sumber budaya lokal di Kota Yogyakarta dalam rangka menyusun modul pendidikan perdamaian bagi mahasiswa pergurua n tinggi. Pentingnya penyusunan modul pendidikan perdamaian dilandasi oleh pemikiran pertama bahwa pendidikan perdamaian merupakan elemen penting dalam strategi pencegahan konflik dan secara lebih luas dapat menjadi sarana pendidikan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil. Kedua, pendidikan perdamaian merupakan isu yang relatif baru dan dirasakan pentingnya sejak maraknya konflik kekerasan yang bersifat horisontal dan melibatkan berbagai identitas terutama etnik atau agama seperti yang terjadi di Ambon, Poso, dan Kalimantan Barat pada akhir rejim Orde Baru hingga rezim Reformasi. Adapun konflik vertikal di dua daerah, Aceh dan Papua juga belum memperlihatkan penanganan yang memuaskan bagi para pihak yang berkonflik sehingga tetap menyimpan potensi konflik yang mampu pecah setiap saat (Ta-
joedin,2001). Ketiga, pendidikan perdamaian selama ini lebih banyak menjadi inisiatif pihak ketiga, terutama lembaga-lembaga internasional lewat kerja sama dengan lembaga lokal terutama di daerah konflik. Sekali pun demikian, pemerintah setempat yang kurang serius menjadikan pendidikan perdamaian sebagai pengayaan pendidikan dan strategi pencegahan konflik di sekolah-sekolah menjadi halangan bagi keberlanjutan pendidikan perdamaian yang telah diprakarsai oleh pihak ketiga. Keempat, model pendekatan pendidikan perdamaian sebagai isu yang dilatihkan juga merupakan pendekatan baru yang berbasis kepada pendekatan budaya yang berbeda, terutama Barat, sehingga apabila ketersediaan sumber daya manusia untuk mengayakan metode maupun materi pendidikan perdamaian agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat juga akan mempengaruhi keberlanjutan pendidikan perdamaian itu sendiri. Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, maka kebutuhan akan pendidikan perdamaian yang berorientasi pada peningkatan ketrampilan mengembangkan perdamaian berbasis kepada ke-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
19
Procceding
arifan lokal menjadi penting. Dalam hal ini , pendidikan perdamaian adalah pilihan strategis untuk menumbuhkan kesadaran berbagai kelompok identitas untuk berkoesksistensi secara damai. Oleh karena itu, penelitian tentang budaya setempat sebagai basis mengembangkan model-model pengembangan perdamaian, pembuatan modul, dan kemudian menerapkannya lewat pilot project serta melakukan publikasi modul merupakan tahapan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan model pendidikan perdamaian berbasis budaya lokal.
Kota Yogyakarta sebagai Konteks Penelitian
Kota Yogyakarta dewasa ini merupakan ibu kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Wilayah Kota Yogyakarta terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 362 Rukun Wilayah (RW), dan 2523 Rukun Tetangga (RT). Wilayah Kota Yogyakarta dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi 14.239 jiwa perkilometer persegi. Dari komposisi penduduk, berdasarkan SUPAS penduduk tahun 2009, penduduk tercatat 453.236 jiwa.1 Dari hasil sensus penduduk oleh BPS pada tahun 2000, jumlah penduduk tetap sebesar 396.371 dan dari jumlah itu 355.232 adalah Jawa, 6.429 Sunda, Melayu 5.019, Batak 2.768, Minangkabau, 1.813, Bali 660, Madura 1.358 dan suku-suku lain yang berjumlah 16.837. Adapun dari komposisi agama, jumlah terbesar adalah pemeluk Islam, 326.560, 42.295 Katolik, 25.053 Kristen, 793 Hindu, 1598 Buddha dan lain-lain 412 orang. Dengan demikian, suku Jawa dan agama Islam merupakan kelompok suku dan agama yang dominan di Kota Yogyakarta. Hasil pengamatan awal para peneliti yang rata-rata telah bermukim lebih dari 20 tahun bermukim di Yogyakarta terhadap relasi antaretnik dan antaragama dalam keseharian para narasumber serta didukung pengetahuan sosial para peneliti memberikan gambaran sementara bahwa polapola integrasi masyarakat yang semakin plural di Kota Yogyakarta, dalam satu dasawarsa menunjukkan kecenderungan clear-cut lewat kesamaan identitas agama dari pada cross-cut yang menjadi landasan integrasi masyarakat kota yang memiliki heterogenitas yang tinggi. Pengamatan awal itu juga menemukan bahwa di Kota Yogyakarta dalam 10 tahun terakhir, relasi antaretnik relatif lebih kondusif daripada relasi antaragama sehingga poBadan Pusat Statistik Prop. D.I. Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka 2011 (Yogyakarta : BPS Prop. D.I.Y,2011), dalam http://jogjakota.bps.go.id/index.php?option=com_content& view=article&id=8:kependudukan&catid=5:kependudukan&Item id=6 (akses pada tanggal 7 Juni 2012); Gatut Murniatmo ed. (1995). Pembinaan Disiplin di Lingkungan Masyarakat Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm.5-6. 1
20
tensi konflik dengan identitas agama menjadi lebih besar. Sementara itu, adanya Budaya Jawa yang menjadi code of conduct selama ini bagi masyarakat permanen maupun temporer di Kota Yogyakarta dan meminimalkan pergesekan antaretnik maupun antaragama,2 juga berpotensi mengalami pergeseran sebagai sumber perdamaian bagi hubungan antaretnik dan antaragama di Yogyakarta.
Permasalahan dan Pendekatannya
Potensi pergeseran posisi Budaya Jawa sebagai dasar integrasi antaretnik dan antaragama di Yogyakarta menghasilkan beberapa rumusan penelitian: (1) apa yang menjadi potensi utama yang menggeser posisi Budaya Jawa di Yogyakarta sebagai sumber perdamaian dalam hubungan antaretnik dan antaragama; (2) apa peran komunitas dan negara dalam merespon pergeseran itu; serta (3) adakah peluang untuk mengembangkan alternatif sumber perdamaian di tingkat komunitas dan negara? Ketiga aspek itu menjadi signifikan untuk menemukan kapasitas atau sumber daya untuk mengembangkan sistem masyarakat multikultur yang mendukung koeksistensi kelompok-kelompok etnik dan agama di Kota Yogyakarta. Milton Gordon dalam artikelnya yang berjudul “Toward a General Theory of Racial and Ethnic Group Relations” (1975), mengajukan pertanyaan apa yang terjadi ketika kelompok-kelompok etnik bertemu. Banyak pola hubungan yang dapat terjadi yang secara sederhana menjadi hubungan yang penuh benturan atau berkoeksistensi secara damai. Gordon memberikan tujuh dimensi atau variabel asimilasi: kultural, struktural, perkawinan, identifikasi, sikap dan perilaku penerimaan dalam bentuk ketiadaan prasangka dan diskriminasi, serta ketiadaan konflik nilai dan kekuasaan. Apabila dihipotesiskan, maka variabel-variabel itu akan menjadi antara lain (1) dalam kontak budaya antara kelompok Mayoritas-minoritas pertamatama akan menghasilkan akulturasi atau asimilasi; (2) akulturasi mungkin terjadi bahkan ketika tipe asimilasi mana pun tidak terjadi, dan situasi “hanya akulturasi” mungkin terus berlangsung; dan (3) jika asimilasi struktural terjadi dengan atau berikut dengan akulturasi, akan diikuti semua tipe asimilasi.3 Mohtar Mas’oed, Samsu Rizal Panggabean, dan Muhammad Najib Azca. “Sumber-sumber Sosial bagi Sivilitas dan Partisipasi: Kasus Yogyakarta, Indonesia” dalam Robert Heffner ed. Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. (2007). 2
Yogyakarta: Impulse dan Penerbit Kanisius. hlm.200 3 Milton M. Gordon (1975), “Toward a General Theory of Racial and Ethnic Group Relations” dalam Nathan Glazer dan Daniel P Moynihan, Ethniciy: Theory and Experience. Cambridge: Harvard University Press. hlm.84.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Publikasi yang kedua adalah tulisan Frederick Barth yang dimuat dalam Bunga Rampai berjudul The Anthropology of Ethnicity: Beyond Ethnic Groups and Boundary (1994).4 Barth menuediakan kerangka analisis tiga level yaitu level Mikro, level Median, dan level Makro. Apabila diterapkan, maka Level Mikro merupakan model yang menggambarkan proses pembentukan batas etnik melalui pengalaman pribadi yang mengesankan yang muncul dari interaksi antarpribadi. Apa yang terjadi dalam level Mikro dapat mempengaruhi kejadian-kejadian pada level lainnya. Adapun level Median atau analisis relasi di tingkat komunitas dibutuhkan untuk menggambarkan proses yang menciptakan kolektivitas dan yang memobilisasi kelompok bagi tujuan yang berbeda-beda melalui cara-cara yang berbeda pula. Level makro menunjukkan pengaruh kebijakan negara pada proses rekrutmen identitas etnik. Ideologi sering diartikulasikan dan dipaksakan oleh negara, misalnya ide-ide tentang nasionalisme yang sering mengacaukan identitas etnik seseorang. Dalam penelitian ini pendekatan Bart akan melihat bagaimana peran negara dalam memfasilitasi relasi kelompok-kelompok yang berbeda identitas etnik dan agama di Kota Yogyakarta Oleh karena penelitian juga menyoroti posisi budaya Jawa yang merupakan kultur dominan di Yogyakarta�������������������������������������� , maka diperlukan tinjauan tentang Budaya Jawa agar memberikan gambaran sebuah kultur yang menjadi panduan sikap dan perilaku oleh para pelakunya. Magnis-Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ( 1993) merinci kaidah Jawa berdasarkan dua prinsip. (1) Prinsip Kerukunan. Rukun adalah ‘berada dalam keadaan selaras’, ‘tenang dan tenteram’, ‘bersatu dalam maksud untuk saling membantu’, dan ‘keadaan damai’. Sebagai contoh, pertemuan desa (rembug desa); (2) Prinsip Hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajad dan kedudukannya.5 Lebih lanjut, tuntutan sosial utama etika Jawa adalah kewajiban untuk mencegah konflik dan memelihara suasana rukun, serta untuk menghormati kedudukan semua pihak. Dengan kata lain, nilai yang mendasari seluruh etika Jawa, adalah “manusia hendaknya selalu berlaku tidak merugikan masyarakat. Penelitian dengan setting Kota Yogyakarta tentu tak dapat dilepaskan dari kedudukan Kraton seBarth, Fredrik. (1994).“Enduring and Emerging Issues in The Analysis of Ethnicity” dalam Hans Vermeulen dan Cora Govers. The 4
Anthropology of Ethnicity: Beyond Ethnic Groups and Boundary. Amsterdam: Het Spinhuis. 5 Frans Magnis-Suseno (1993) Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, hlm. 38-39, 52, dan 60.
bagai figur utama yang menegaskan keistimewaan Yogyakarta dalam politik nasional berkat faktor keputusan sejarah oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX Tulisan Sudomo Sunaryo sebagai orang dekat Sultan HB IX dan pernah menjabat sebagai SEKDA DIY merupakan acuan penting untuk memahami posisi politik Yogyakarta hingga hari ini. Dengan berkembanganya pemikiran demokrasi di Indonesia dan adanya perubahan politik yang sangat cepat maka gagasan pemerintahan yang lebih terbuka baik di daerah dan pusat sedang menghadapi ‘gugatan’. Secara khusus pemerintahan daerah yang pernah, atau yang masih mendapat kedudukan istimewa adalah Yogyakarta. Adapun pemerintahan di Yogyakarta sesuai dengan ‘keyakinan orang Yogya’(de facto dan de jure) bahwa keistimewaannya adalah termasuk tidak memilih kepala pemerintahan melainkan dengan penetapan. Referensi yang berkenaan dengan Kota Yogyakarta sebagai setting penelitian adalah menyoroti posisi politik kota Yogyakarta terhadap Pemerintah Pusat. Posisi istimewa Yogyakarta yang menjadi basis ‘kemandirian” Yogyakarta terhadap dominasi Pemerintah Pusat, bagi rezim pemerintahan presiden RI ke-6 ditanggapi secara ragu-ragu Tarik ulur dalam pengakuan resmi atas keistimewaan DIY lebih mencerminkan persoalan di tingkat Pusat. Buku yang ditulis seorang peneliti Jepang, Ehito Kimura berjudul Indonesia in 2010: A Leading Democracy Disappoints on Reform6 memuat analisis tentang Indonesia sejak pemerintahan presiden RI kelima, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sejak terpilih hingga tahun 2010. Apa yang ditulis oleh Kimura sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu baru bagi pengamat Indonesia dari dalam negeri mengingat keterbukaan informasi sejak runtuhnya Orde Baru memudahkan akses masyarakat terhadap informasi terhadap perilaku pemimpin nasional. Artikel Kimura memberikan gambaran situasi tantangan para pelaku kebijakan di tingkat nasional karena penelitian ini akan menguji respon masyarakat Yogyakarta terhadap problematika kepemimpinan nasional. Asumsi yang dibangun oleh penelitian ini adalah relatif minimnya pertikaian politik nasional yang berpengaruh langsung di Yogyakarta sehingga faktor-faktor penyangga ketahanan masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang masih terpelihara perlu dieksplorasi. Oleh karena itu, hasil analisis temuan penelitian diharapkan menyumbangkan
Ehito Kimura “ Indonesia in 2010 : A Leading Democracy Disappoints on Reform” dalam Jurnal Asian Survey, Vol. 51, No. 1 January/February 2011, pp. 186-195 6
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
21
Procceding
suatu model pendidikan perdamaian yang dituangkan ke dalam bentuk modul dengan sasaran mahasiswa perguruan tinggi. Terdapat beberapa pertimbangkan untuk meneliti ketahanan masyarakat berbasis budaya di Kota Yogyakarta. Pertama, Kota Yogyakarta dengan status keistimewaannya yang masih diperjuangkan secara politik, namun secara de facto kemandirian terhadap pemerintah pusat telah dibangun berkat kesejarahannya pada masa awal kemerdekaan NKRI. Di samping itu Yogyakarta luput dari kerusuhan berbasis etnik yang melanda Kota Solo yang hanya berjarak 60 km darinya. Hal ini menegaskan asumsi bahwa budaya dominan itu yang perlu didokumentasikan dan dikembangkan sebagai model ketahanan budaya perdamaian dalam konteks masyarakat kota yang semakin pluralistik; Kedua persepsi, sikap, dan perilaku para penduduk Yogyakarta yang bersifat temporer maupun menetap terhadap budaya dominan itu dipandang penting bagi pengelolaan konflik oleh para pengambil keputusan. Sebagai contoh, misalnya sebagai kota pendidikan, Yogyakarta masih merupakan kota tujuan pendidikan tinggi para pemuda dari pelosok nusantara. Akan tetapi, temuan awal penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik menyimpan bibit konflik yang mengancam perdamaian etnik termasuk di di dalam lembagalembaga pendidikan tinggi.Ketiga, beragamnya asosiasi di Yogyakarta yang keanggotaannya melewati batas-batas primordial belum banyak dicitrakan sebagai sebuah potensi yang memperkaya sumber perdamaian berbasis kultural. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan melihat peran media massa sebagai sarana pendidikan perdamaian melalui pembentukan opini maupun pencitraan Yogyakarta kepada para pembacanya di Yogyakarta. Penelitian lapangan ini merupakan penelitian deskriptif dengan cara mengumpulkan dan menganalisis informasi dan data kualitatif. Pertanyaan tertutup dan terbuka diajukan kepada sejumlah narasumber terpilih dengan pemikiran Barth bahwa latar belakang pekerjaan para narasumber dikategorikan menjadi tiga level. Level 1 mewakil para pembuat kebijakan di Kota Yogyakarta. Level 2 mewakili mereka yang dikategorikan memiliki ciri-ciri sebagai kelas menengah kota, serta level 3 yang mewakili kategori akar rumput. Masa tinggal narasumber di Yogyakarta pun yang berjumlah 43, bervariasi antara 19 tahun hingga 65 tahun dengan mempertimbangkan keseimbangan gender, etnik, agama, suku, daerah asal, jenis pekerjaan serta tingkat pendidikan.
22
TEMUAN PENELITIAN Sumber Daya Yogyakarta
Perdamaian
di
Kota
1. Nilai-nilai Jawa sebagai Budaya Dominan Peran orang tua atau keluarga, termasuk keluarga besar, melalui contoh perilaku atau keteladanan mereka, dan ditunjang oleh para pendidik atau guru serta masyarakat merupakan satu kesatuan yang penting di dalam proses internalisasi dan penguatannya nilai-nilai nilai-nilai luhur kemanusiaan, termasuk nilai-nilai perdamaian. Martin Heidegger menyebut “bahasa adalah rumah anda”7 karena kekuatannya (power).8 Melalui bahasa maka ungkapan nilai-nilai Jawa disampaikan. Daftar ungkpan sikap dan perilaku yang berhasil dalam penelitian di lapangan antara lain, alon-alon waton kelakon, yang artinya “jangan buru-buru” bertindak karena “yang penting adalah pendekatannya” atau cara penyelesaiannya. 9.Ungkapan narima ing pandum, yakni suatu pandangan Jawa yang “menerima dengan ikhlas pemberian dari Tuhan”10, juga disampaikan informan yang berinisial TWKH (27 tahun, laki-laki, Jawa, Islam, seorang sarjana bidang hukum yang adalah ketua forum organisasi berbagai NGO di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. sing waras ngalah wae, wong edan dijarke wae, rasah rame-rame, guyub, srawung, sing rukun”, yang artinya serupa “orang yang sehat akal-pikirannya lebih baik mengalah, orang gila dibiarkan saja, tidak perlu membuat keributan, akrab saling menolong,mau bergaul, bersikap yang rukun”, juga masih diingat dan menjadi kecenderungan sikap mereka terhadap orang-orang yang memancing emosi atau konflik dengan kekerasan. Sikap dengan ungkapan Jawa unggah-ungguh, memperlakukan orang lain dengan sikap hormat dan santun. Sosialisasi nilai- nilai Jawa di tingkat publik atau dalam relasi interetnik tidak dapat dilepaskan dari code of conduct di komunitas dan figur Sultan. Seorang pendatang (LS), menyatakan “kalau kita seorang pendatang,duduk dulu, jangan banyak bicara, setelah kenal baru boleh ngomong”. Temuan yang menarik adalah para pendatang mempelajari Bahasa Jawa dengan sukarela dan bukan memanIbid. hlm.44. Parwito. “Bahasa dan Politik: Ungkapan Simbolik Elit Politik di Indonesia Periode PEMILU 2004”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kebudayaan dan Komunikasi di Indonesia, diselenggarakan oleh Jurusan 7 8
Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret, Solo, 27 Juli 2004. 9 Endraswara, Suwardi. (2012). Falsafah Hidup Jawa. hlm. 21. Dari kisah legenda tersusunnya alfabet Jawa ini dapat ditafsirkan untuk mengajarkan perlunya menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, menang atau kalah. 10 Ibid., hal 147
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
dang sebagai dominasi orang-orang Jawa atas pendatang seperti diungkapkan salah seorang narasumber. Pengalaman BM (60) yang bukan Jawa, ia lebih menyoroti mengenai penggunaan bahasa daerah. Ia mengatakan belajar Bahasa Jawa penting, dan hal ini ia buktikan dengan mempelajari bahasa Jawa halus (krama inggil) “dengan belajar bahasa Jawa halus maka dalam pergaulan di tengah-tengah orang Jawa sendiri kita akan dihargai”. Hal ini menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya Jawa sudah dianggap oleh sebagian besar informan pendatang sebagai nilai-nilai budaya mereka. Hal tersebut tercermin dari sikap dan perilaku pendatang dalam kehidupan sehari-hari yang sarat dengan penghormatan terhadap tradisi di Yogyakarta. menurut Mochtar Mas’oed dkk yang meniliti tentang Yogyakarta, 11 “…Yogyakarta dilihat sebagai sebuah komunitas toleransi dan akomodasi multikultural ke-Yogya-an seringkali digambarkan sebagai orang-orang yang mempunyai komitmen pada tradisi kesabaran, ketenangan, dan moderasi. Tempat mereka sangat istimewa, dimana kebudayaan tinggi Jawa dijaga dengan penuh semangat”.
Lebih lanjut menurut OTH (57) seorang perantau “paling damai dan paling nyaman untuk tinggal adalah Yogya. Sikap saling menghargai di kota ini masih sangat tinggi, Sri Sultan sangat diterima sebagai tokoh yang sangat berpengaruh.” Hampir semua informan menjawab ‘Sri Sultan’ ketika ditanya sosok yang berperan dalam meredakan ketegangan interetnik (dan antaragama) di Yogyakarta. Beberapa pernyataan informan berikut ini membuktikan hal itu. “… peran Sultan cukup besar di Yogyakarta. Sultan IX sebagai sosok yang tidak sombong. Sultan X terjun langsung di jalan Solo pada tahun 1998 mencegah perusuh, dan mereka langsung bubar” (Er, 46, Tionghoa, perempuan);
11
“Menurut saya, mungkin karena Sri Sultan dengan karismanya mampu meredam/ menyatukan suku-suku yang ada di Yogyakarta”. (DA, 33, laki-laki, Jawa); “…warga asli Jogja masih percaya ada hubungan mistik, memandang keraton (Sri Sultan, pen.) itu sebagai suatu yang masih disegani, masih dihormati, itu faktor utama ya,…” (BY, 66 tahun, laki-laki, Tionghoa)
Robert W Heffner, ed. (2007). Politik Multikulturalisme, hlm.200.
2. Peran Media Massa dalam Pencitraan Positif Kota Yogyakarta Satu faktor penting yang berperan dalam sosialiasi potensi damai di Yogyakarta adalah kegiatan oleh media massa. Semua informan dengan latar belakang pendidikan mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi menunjukkan antusiasme yang besar terhadap informasi yang berkenaan dengan situasi nasional dan lokal. Sebagian besar Informan ini lebih mengenal Jogja melalui koran lokal (Kedaulatan Rakyat/KR), dan TV lokal (Jogja TV atau TVRI Yogyakarta). Bagi informan pendatang, khususnya mahasiswa, media massa banyak membantu untuk memahami Yogyakarta selain dalam keseharian lingkungan kampung dan kampus. Salah seorang informan, mahasiswa perguruan tinggi swasta yang bermukim sejak tiga tahun yang lalu menyatakan,”Dari media massa, saya lebih banyak tahu tentang orang Yogya, terutama posisi Sultan dan kedudukan Kraton yang masih dihormati hingga hari ini oleh orang Yogya”. Informan yang kemudian menetap di Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliahnya menegaskan, “ dalam satu segi pandangan Jawa yang nrimo ing Pandum (menerima nasib apa adanya, peneliti) juga ada cukup kuat, membuat Yogya aman.” Seorang ibu rumah tangga yang merupakan pendatang juga menyatakan bahwa media massa memberikan pencitraan yang positif tentang Yogyakarta terutama dari sudut wisata, “ Dari sudut wisara kuliner yang member kesan luar biasa, wisata alam yang membuat pengunjung ingin kembali, penduduk yang ramah, dan banyak produk batik yang dijumpai di Yogya.” Seorang aktivis LSM yang muda usia di Yogyakarta menyatakan bahwa peran media massa lokal di Yogyakarta relatif baik dalam mendukung relasi lintas etnik di Yogyakarta, bahkan pada 10 tahun yang lalu koran lokal, Bernas memiliki satu rubrik khusus tentang komunitas Yogya. Hal ini dikuatkan seorang pengusaha Tionghoa,
“Di sini (Yogyakarta, peneliti) ada komunitas Tionghoa yang tergabung dalam Komunitas Jogja (KOMJOG) dan mereka punya rubrik mingguan di Harian Bernas….kawankawan Tionghoa sendiri mengusulkan agar komunitas KOMJOG tidak eksklusif.”
3. Partisipasi Masyararakat dalam Asosiasi Sukarela
Varshney (2001) menunjukkan bahwa kehadiran suatu jaringan kerja sama (networks of en-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
23
Procceding
gagement) dapat menjadi wadah pengelolaan dan pengaturan konflik dan ketegangan. Jaringan kerja sama tersebut dapat mewujud dalam dua hal, yaitu asosiasi (associational forms of engagement) sebagai organisasi yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan persamaan kepentingan pribadi maupun bersama, dan wujud kedua, yaitu kerja sama dalam kehidupan sehari-hari (everyday forms of engagement). Dalam asosiasi, para anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Asosiasi sukarela yang merujuk pada kebebasan para anggotanya untuk memilih identitas yang cocok untuknya serta kepedulian/ keinginan bersama untuk mencapai tujuan bersama sehingga asosiasi sukarela menunjukkan kebebasan. Sebagian dari para informan yang diteliti adalah anggota asosiasi baik sukarela. Ada yang menjadi anggota asosiasi geguritan karena minatnya di bidang sastra Jawa, ada pula yang mengikuti kelompok golf karena berhobi main golf, atau juga olah raga taekwondo. Informan pengusaha yang meyakini bahwa relasi baik untuk kemajuan bisnisnya, memilih menjadi anggota asosiasi yang terkait dengan pemeliharaan pertemanan, seperi Pamitra (Paguyuban Mitra Masyarakat Yogyakarta). “… kalau bisnis coba nyanyikan 2 (re) 6 (la) 7 (si). Lha ini cerminan bahwa orang harus punya relationship yang bagus, berkawanlah sebanyak-banyaknya.” Demikian seorang pengusaha Tionghoa (E, 53). Informan lain (Ch, 50) memiliki keanggotaan yang lebih beragam. Dia tertarik pada kegiatan olah raga, yaitu klub karate dan silat Merpati Putih, di samping keanggotaan sesuai profesinya sebagai advokat (IKADIN) dan yang sesuai latar belakang etniknya, yaitu Tionghoa (INTI). Dari data yang diperoleh secara online, ditemukan paling tidak ada 30 (tiga puluh) kelompok masyarakat yang terbentuk karena kesamaan minat, hobi, atau pandangan tertentu. Menerapkan pandangan Barth, maka tetangga dan lingkungan RT sebagai bagian dari jenis kolektivitas, dapat mempengaruhi pola hubungan antaretnik dan antaragama, sehingga penting bagi seseorang yang berada dalam lingkungan RT/RW untuk membuka diri dengan mengikuti secara aktif segala kegiatan yang ditawarkan oleh RT/RW-nya. Di samping itu, sesuai dengan Varshney, segala bentuk kegiatan di RT/RW merupakan wujud kedua dari jaringan kerja sama, yaitu everyday forms of engagement yang melintas batas etnik dan agama. Dengan demikian, asosiasi dan lingkungan RT/RW menjadi bentuk kolektivitas keseharian yang berperan penting dalam membangun perdamaian. Keterbukaan dan kesetaraan di antara para anggotanya menciptakan suasana cair, menghilangkan ketegangan, sehingga segala masalah yang dihadapi potensial diselesaikan dengan baik.
24
Kota Yogyakarta dan Potensi Konfliknya 1. Penguatan sentimen agama Kecenderungan adanya polarisasi di masyarakat Yogyakarta sebenarnya sudah terjadi lebih dari 40 tahun silam. Namun 10 tahun terakhir ini polarisasi tersebut semakin menguat. Adanya polarisasi ini ditunjukkan antara lain tentang pemilihan sekolah. Semua informan yang beretnis Tionghoa, bersekolah di sekolah swasta yang berafiliasi agama Kristen atau Katolik. BY (66 tahun, Tionghoa, Konghucu). Menurutnya jika dibandingkan antara zaman dulu (40 tahun silam) dan zaman sekarang (10 tahun terakhir), ada perubahan terhadap pilihan sekolah bagi informan yang beretnis Jawa dan beragama Kristen atau Katolik. Pada zaman dulu, khususnya bagi informan yang berusia diatas 50 tahun, biasanya mereka masih tetap menjatuhkan pilihan di sekolah negeri. Seperti yang dilakukan oleh Y (63 tahun, Jawa, Kristen), sejak SD hingga SMA ia bersekolah di sekolah negeri. Akhir-akhir ini kondisi tersebut mengalami perubahan, informan yang beretnis Jawa dan beragama Kristen atau Katolik, mempunyai kecenderungan untuk bersekolah dengan afiliasi agama Kristen atau Katolik. Seperti yang dilakukan oleh AK (19 tahun, Jawa, Kristen) sejak TK hingga SMA bersekolah di sekolah yayasan Katolik. Dengan demikian, saat ini sekolah negeri lebih banyak didatangi oleh siswasiswi yang beragama Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di sekolah, para siswa cenderung hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki identitas agama dan etnis yang sama. Informan merasakan perubahan dalam kedekatan relasi lintas agama sejak adanya pendatang yang dominan dengan nilai-nilai keagamaan yang mengancam nilai-nilai budaya setempat. Hal ini diceritakan oleh salah satu mahasiswa, A (19 tahun, Jawa, Kristen), ia mengatakan “Dulu hubungan kami dengan para tetangga di kampung tempat tinggal baik, sekarang beda. Dulu dan sekarang beda. Di belakang rumah ada masjid, dalam kotbah-kotbah, sering dikatakan bahwa orang Kristen itu kafir. Dulu kalau acara natalan, tetangga ikut nyalami, sebaliknya kalau Lebaran, yang Kristen juga nyalami. Sekarang, yang Kristen masih menyalami, tapi yang Muslim sudah tidak. Kalau pas halal bihalal yang kristiani ditariki uang, tapi gak dikasih undangan.”
Beberapa waktu lalu juga terjadi kekerasan di Yogyakarta, yaitu bentrok antarpemuda di sekitar Titik Nol Kilometer dan Jalan Kusumanegara, Jumat (1/6/2012) dini hari hingga subuh. Dua
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
sepeda motor dibakar, satu unit sepeda motor lainnya rusak berat. Menyikapi peristiwa tersebut, Sultan Hamengkubuwono X12 menyerukan semua pihak, siapapun yang tinggal, belajar, bekerja, dan berada di wilayah Yogyakarta, untuk menghentikan setiap bentuk kekerasan. Sultan meminta setiap persoalan diselesaikan dengan cara terpelajar.
2. Pengelolaan Konflik oleh Negara
Negara sering mengartikulasikan dan memaksakan ideologi, misalnya ide-ide tentang nasionalisme yang sering mengacaukan relasi keduanya. Sebagai contoh, misalnya kebijakan yang cukup mengundang kelompok pendidikan berbasis agama terhadap undang-undang pendidikan SISDIKNAS. Beberapa informan yang diwawancara, menyatakan bahwa kementerian pendidikan dan kebudayaan kurang berperan dalam menyosialisasikan nilai-nilai universal dalam sikap beragama.
“… Kebijakan Depdikbud juga cermin kebijakan pemerintah. …Sekarang ini (kebijakan) mungkin lebih ke soal agama karena di buku sekolah anak-anak saya, saya melihat contoh-contoh yang kurang netral. Misalnya bacaan yang dimulai dengan Assalamu’alaikum yang lebih dikenal sebagai ucapan orang Muslim dan kadang yang bukan Muslim tidak diperkenankan mengucapkan, padahal itu diwajibkan secara nasional”.
Hal di atas juga didukung oleh pernyataan informan lain bahwa politik adu domba dan state violence oleh Orde Baru masih dapat dirasakan karena adanya kebijakan di masa itu yang memperjelas stereotip kesukuan. Pandangan bahwa pihak kepolisian lebih memihak kepada mereka yang memiliki uang juga mendukung situasi state violence tersebut.
“Polisi tidak pernah menangani tuntas kejahatan. Polisi lebih memihak kepada yang mempunyai uang, contohnya jarang perkara sampai ke pengadilan karena polisi yang menghentikan karena sogokan.” Atau “…secara umum, sebagai warga kita sangat kecewa karena (polisi) memang tidak berfungsi sebagaimana mestinya,…” (BY, 66 tahun).
12
Tribunnews.com, Sabtu 2 Juni 2012, 07.58 WIB
Dari undang-undang pun, indikasi state violence tampak dari pernyatan informan berikut yang berstatus tentara. “Dari undang-undang yang saya baca dan saya pahami, polisi hanya mulai bergerak kalau ada sanksi, ada bukti, ada kejadian. Prevensinya sedikit sekali… Kelemahan TNI/ POLRI (adalah dalam hal) early warning, wewenangnya sedikit, sehingga polisi raguragu.” Kebijakan Negara yang ada termasuk Perdaperda semakin menjauhkan hubungan baik kedua hal tersebut. Negara tampaknya tidak hadir dalam menyelesaikan permasalahan hubungan antaretnik dan antaragama, bahkan cenderung melanggengkannya. Ketidakpercayaan informan terhadap kinerja lembaga negara juga seringkali diungkapkan dalam proses penggalian informasi. Seorang penggiat masyarakat dari forum LSM menjelaskan bahwa hearing antara forum LSM, pemerintah dan DPRD biasanya dapat dinilai aspiratif namun ketika menjadi PERDA memunculkan pro dan kontra, sesuatu yang seharusnya terjadi sebelum keputusan diambil.Jadi sebenarnya proses pengambilan keputusan berjalan baik, namun menjadi tidak lagi ideal ketika sampai pada tataran praktis, teknis sampai tingkat RAPERDA dan alasan penyebab yang dapat dikemukakan adalah RAPERDA tidak dipandang tidak menguntungkan karena tidak menghasilkan Pendapat Asli Daerah (PAD). Demikian halnya dengan informan yang pernah menjadi aktivis organisasi pemuda sebelum masa Orde Baru
“ Polisi, militer di negara mana pun sama saja, alat negara. Negara itu apa, to? Negara adalah pentung ( alat pemukul, peneliti) dari tangan penguasa. Karena itu polisi adalah alatnya pentung alias alat pemukul dari angan penguasa.”
Seorang politisi terkemuka di tingkat kota agak segan mengutarakan pendapatnya bahwa masalah terbesar yang menyebabkan kinerja polisi belum memuaskan adalah sistem kenegaraan yang dinilai ambigu terutama di bidang hukum yang belum mampu menjadi sistem yang berlaku untuk semua. Sementara itu, institusi negara di bidang pertahanan relatif tergambar positif di mata para informan terutama karena perubahan besar yang dirasakan sejak Era Reformasi yang menurunkan keterlibatan militer secara terang-terangan di bidang politik, bahkan hampir seluruh informan menyatakan keprihatinannya akan minimnya anggaran di bidang pertahanan di tahun-tahun terakhir.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
25
Procceding
Akan tetapi, yang menarik ketika informan menyatakan bahwa keterwakilan etnik mereka di dalam lembaga legislatif akan memberikan pengaruh langsung dalam kehidupan mereka. Persepsi yang sama juga terjadi pada lembaga-lembaga negara, sebagai contoh semua informan merasa terwakili hanya dalam hal etnik dan agama saja sebagai identitas primordial, namun tidak di dalam aspirasi politik. Hal itu menyebabkan dalam pemilu para informan tingkat massa lebih banyak memilih atas dasar partai dan sejarah keluarga sementara informan tingkat mahasiswa lebih memiliki alasanalasan yang lebih rasional dengan lebih memilih berdasarkan performa kandidat. Di tengah pesimis yang besar, sebagian besar informan berpatisipasi namun pesta demokrasi dalam bentuk pemilu dan pilkada karena memang menumbuhkan harapan perbaikan secara umum di samping pengalaman baru berdemokrasi bagi para informan dari kalangan mahasiswa. Di pihak lain, apabila menyangkut posisi Sultan, maka ambiguitas yang ditunjukkan para informan dalam mempersepsikan lembaga negara di tingkat lokal akan nyata, maupun karena prioritas terpenting adalah menjaga otonomi Yogyakarta terhadap pemerintah pusat menyangkut kebijakan-kebijakan menyangkut pengelolaan negara yang bersifat majemuk yang juga mengancam pluralitas di Yogyakarta .
PENUTUP Berpijak pada 3 pertanyaan penelitian yang diajukan pada permasalahan, maka kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian lapangan ini adalah bahwa potensi utama yang menggeser posisi Budaya Jawa yang dominan sebagai sumber perdamaian di Yogyakarta terletak pada kebijakan negara dalam pengelolaan masyarakat yang bersifat majemuk. Budaya Jawa yang direpresentasikan oleh eksistensi Kraton selama ini berfungsi sebagai sumber perdamaian relasi interetnik di kota Yogyakarta yang bekerja secara efektif di tingkat komunitas dan menjadi pedoman perilaku bagi penduduk asli Yogyakarta termasuk para pendatang yang bersifat temporer maupun permanen. Isu utama terletak pada ketahanan Budaya Jawa sebagai budaya yang dominan di Yogyakarta yang selama inin sanggup mewadahi pluralitas masyarakat. Implementasi kebijakan negara di tingkat pusat dengan spirit agama memperlihatkan pengaruhnya terutama pada lembaga pendidikan dan melahirkan wacana baru dalam relasi antaretnik di level masyarakat. Pengaruh ini ditunjukkan dengan kecenderungan clear-cut di lembaga pendidikan maupun di tingkat komunitas. Dalam studi Milton Gordon, bentuk yang dihasilkan dari 7 (tujuh) ma-
26
cam tipe yang lahir dari pertemuan etnik13, maka situasi relasi etnik di Yogyakarta dapat dikategorikan sebagai “hanya asimilasi” yang artinya koeksistensi damai antaretnik belum mencapai tahap yang memenuhi ciri masyarakat yang multikultur yang menyaratkan kecenderungan cross cutting affiliation. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa media massa berperan besar terhadap pencitraan Yogyakarta yang relatif damai dan berpeluang memotivasi masyarakat untuk mempertahankan solidaritas yang melintasi batas etnik. Hal itu tercermin dalam beberapa isu. Pertama, masyarakat Yogyakarta relatif menunjukkan resistensinya terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam kebijakan interetnik. Kedua, nilai solidaritas dan kesukarelawanan yang relatif tinggi ditunjukkan dalam kehidupan relasi interetnik di tingkat kampung. Ketiga, potensi mempertahankan sumber perdamaian di kota Yogyakarta juga dapat digali dengan hadirnya suatu sistem damai yang terinstitusionalisasi dalam bentuk organisasi-organisasi seperti perkumpulan atau berbagai asosiasi seperti asosiasi pebisnis, pedagang, guru, dokter, pengacara, dan kader partai secara komunal terintegrasi, yang menciptakan suatu countervailing forces. 14 Potensi asosiasi ini belum banyak mendapat perhatian sebagai kekuatan alternatif sumber perdamaian yang hadir lewat budaya dominan. Oleh karena itu, keterlibatan dalam asosiasi sukarela menjadi pilihan metode pembelajaran agar para peserta didik di perguruan tinggi mengalami situasi beragam tersebut dan menjadi lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan. Sebagai kontribusi dalam menciptakan ketahanan budaya damai di Yogyakarta, maka lembaga pendidikan tinggi pun dapat mengembangkan pilihan strategis sebagai pihak yang mengintervensi sesuai dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Temuan dalam penelitian ini ditujukan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan sebuah pilot project dalam bentuk pendidikan perdamaian di level perguruan tinggi.
Milton Gordon, op.cit., hlm. 84 Ashutos Varsney (2002), Ethnic Conflict and Civic Life. New Haven & London. hlm . 11 13 14
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Prop. D.I. Yogyakarta. (2011), Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka 2011. Yogyakarta: BPS Prop. D.I.Y dalam http:// jogjakota.bps.go.id/index.php?option=com_co ntent&view=article&id=8:kependudukan&ca tid=5:kependudukan&Itemid=6 (akses pada tanggal 7 Juni 2012). Barth, Fredrik. (1994).“Enduring and Emerging Issues in The Analysis of Ethnicity” dalam Hans Vermeulen dan Cora Govers. The Anthropology of Ethnicity: Beyond Ethnic Groups and Boundary. Amsterdam: Het Spinhuis. Baskoro, Haryadi dan Sudomo Sunaryo. (2010). Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Buku Profil Kota Yogyakarta. (2010).Yogyakarta: Kantor Humas dan Informasi Kota Yogyakarta. Daniel Chandler,”Marxist Media Theory” dalam http://www.aber.ac.uk/media/Documents/ marxism/marxism08.html. (diunggah tanggal 10 Juli 2012). Direktorat Jenderal Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (2011), Juknis - Pedoman Pendidikan Karakter pada Pendidikan Anak Usia Dini, http://www.academia. edu/6873524/MILIK_NEGARA_PETUNJUK_ TEKNIS_PENYELENGGARAAN. Djojosuroto, Kinayati. (2007). Filsafat Bahasa. Jakarta: Pustaka Book. Endraswara, Suwardi. (2012). Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen. Jakarta: Cakrawala Girard, Rene. (2005). Violence and Sacred. London: Continuum. Gordon, Milton M. (1975). “Toward a General Theory of Racial and Ethnic Group Relations” dalam Nathan Glazer dan Daniel P Moynihan, Ethniciy: Theory and Experience .Cambridge: Harvard University Press. Heffner. Robert. (ed.). (2007). Politik Multikulturalisme. Yogyakarta: Kanisius. Kimura. Ehito. “Indonesia in 2010: A Leading Democracy Disappoints on Reform” dalam Jurnal Asian Survey, Vol. 51, No. 1 January/ February 2011. Lincoln, Erik & Amalee, Irfan, Peace Generation, Mari Mengenal 12 Nilai Dasar Perdamaian http:// edukasi.kompasiana.com/2011/02/02/marimengenal-12-nilai-dasar-perdamaian/ .
Magnis-Suseno, Frans. (1993). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Masjkuri dan Sutrisno Kutoyo. (Eds). (1982). Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Kebudayaan Daerah 1976-1977 Mas’oed, Mohtar. Samsu Rizal Panggabean, dan Muhammad Najib Azca. (2007). “Sumber-sumber Sosial bagi Sivilitas dan Partisipasi: Kasus Yogyakarta, Indonesia dalam Robert Heffner ed., “Politik Multikulturalisme:Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Impulse dan Penerbit Kanisius. Mulyatno, C.B. (2010). Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil. Jakarta dan Yogyakarta: Gramedia. Parwito, “Bahasa dan Politik: Ungkapan Simbolik Elit Politik di Indonesia Periode PEMILU 2004”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kebudayaan dan Komunikasi di Indonesia, diselenggarakan oleh Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret, Solo, 27 Juli 2004. Saafroedin Bahar. (1996). “Masalah Etnisitas dan Ketahanan Nasional : Risiko atau Potensi” dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi, Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sanders, Jimy M. (2002), “Ethnic Boundaries and Identity in Plural Societies” Annual Review of Sociology, Vol. 20. Soewarno, P. J. (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Oemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Strauss, Anselm. (1990). Qualitative Analysis for Social Scientist. Cambridge: Cambridge University Press Sultan Hamengku Buwono X “Keynote Speaker Diskusi Buku, Angkat Pena Dialog Papua, Yogyakarta, 20 Juni 2012. Suparlan, Parsudi. (1995). The Javanese in Suriname: Ethnicity and Ethnically Plural Society. Phoenix: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
27
Procceding
__________. (1999). “ Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antarsuku Bangsa (Plural Society and Ethnic Relations” ) in Wibowo. I. (1999). Restrospeksi and Rekontekstualisasi Masalah Cina (Retrospection and Re-contextualization on Chinese Issues). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina. Tadjoeddin, Mohammad Zulfan. (2001).”Database on Social Violence in Indonesia 1990 – 2001”. Jakarta: Nations Support Facility for Indonesian Recovery. This database is an integral part of the UNSFIR working paper 02/01, entitled Anatomy of Social Violence in The Context of Transitions: The Case of Indonesia, 1990-2001 The Structure of Personality: The Collective Unconscious is The Storehouse of Latent Memory Traces Inherited From Man’s Ancestral Past” dalam Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1970), Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons. Tribun, 2 Juni 2012. Tribunnews.com, Sabtu 2 Juni 2012. Tuti Artha, Arwan. (2000). “Wisata Konvensi Menguntungkan Yogyakarta” dalam Yogyakarta Tempo Doeloe: Sepanjang Catatan Pariwisata.Yogyakarta: Bigraf Publisihing. Varshney, Ashutos. (2002). Ethnic Conflict and Civic Life. London: New Haven. Yewangoe, A.A. (2002). Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
28
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
DAMPAK PEMBAKUAN PERAN GENDER TERHADAP KELAS SOSIAL DI YOGYAKARTA Oleh : Asnath. N.Natar Edy Nugroho ABSTRAKSI Budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat Indonesia telah mengakibatkan adanya pembedaan gender, yaitu pembedaan perilaku, peran, dan akses antara laki-laki dan perempuan. Dalam keluarga Indonesia pada umumnya, orangtua atau orang-orang terdekat lainnya, secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan peran anak laki-laki dan anak perempuan secara berbeda. Kondisi demikian secara tidak sengaja telah mengarahkan anak laki-laki berbeda perannya dengan anak perempuan. Di Indonesia justru pembedaan peran laki-laki dan perempuan tersebut dibakukan oleh negara dalam kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Melalui produk hukumnya, negara melegitimasi pembakuan peran gender yang sengaja atau tidak menempatkan perempuan pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Hal ini terutama nampak dalam UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan, khususnya pasal 31), yang menempatkan perempuan dalam statusnya sebagai istri, dan sebagai ibu rumah tangga; sedangkan laki-laki dalam statusnya sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap perempuan dalam keluarga terhadap nilai-nilai gender dan juga dampaknya bagi kelas bawah dan menengah atas terhadap variabel yang diteliti. Variabel yang diteliti adalah; peran gender dan implikasinya, keputusan dalam keluarga, pembagian tugas reproduksi kerja, pembagian tugas resproduksi sosial, dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Penelitian ini mengambil sampel responden di 3 lokasi kecamatan yaitu; Kotabaru sebagai wilayah yang mewakili daerah pusat perkotaan dengan kelas sosial menengah keataslebih dominan, Wirobrajan sebagai sebagai daerah pinggiran yang mewakili kelas sosial bawah, dan Mergangsan sebagai daerah tengah yang mempunyai rata-rata tingkat kesejahteraan lebih heterogen. Responden dalam penelitian ini berjumlah 96 responden dengan menggunakan metode purposive sampling dengan perbandingan 48 dari kelas sosial bawah dan 48 dari kelas menengah-atas. Jumlah 96 tersebut sudah mencukupi karena sesuai dengan syarat minimal sepuluh kali jumlah variabel yang digunakan (Sekaran, 2010). Dengan menggunakan teori Judith Butler (1990) Susanne Williams, Janet Seed, dan Adelina Mwau (1994) memberikan argumentasinya bahwa gender merupakan bentuk simbolik dari aksi masyarakat yang mengikuti kebiasaan yang dilakukan di sebagian besar masyarakat Dengan kata lain, gender adalah peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur sesuai dengan ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dari statistik diskriptif rata-rata responden masih setuju dengan nilai-nilai gender yang selama ini dilakukan dalam keluarga. Hanya aspek akses terhadap lembaga ekonomi dan keputusan dalam keluarga, perempuan mempunyai nilai independen relatif lebih baik dibandingkan dengan aspek-aspek lain yang diteliti. Dengan menggunakan uji chi square dapat disimpulkan bahwa perbedaan dalam aspek; pembakuan gender dan implikasinya, pembagian tugas reproduksi kerja, dan akses terhadap sumber daya ekonomi di kelas sosial menengah keatas dan kelas sosial bawah, sebaliknya tidak ada perbedaan dalam aspek keputusan dalam keluarga dan keputusan sosial.
Keywords: pembakuan gender, kebijakan pemerintah, kelas sosial, uji beda.
1. Latar Belakang Pembangunan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini belum banyak menyentuh kebutuhan dasar bagi kaum perempuan. Hal ini disebabkan adanya kendala budaya di berbagai suku yang menempatkan perempuan pada lapisan ke dua, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat sehingga menyebabkan sem-
pitnya kesempatan perempuan untuk mengembangkan kemampuannya dalam berbagai bidang pembangunan. Tidak mengherankan kalau pada Konferensi Dunia tentang Wanita tahun 1990 di Nairobi, dimunculkan Pendekatan Pemberdayaan Perempuan (Empowerment Women’s Approach), yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan posisi perempuan di semua bidang. Pendekatan ini berasumsi bahwa untuk memperbaiki kondisi
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
29
Procceding
dan posisi perempuan, intervensi dari atas tanpa disertai upaya peningkatan kekuasaan perempuan dalam pengambilan keputusan, maka pembangunan tidak akan membawa hasil. Pendekatan ini berpusat pada upaya penghapusan sub-ordonasi perempuan dan menuntut adanya kesamaan hakhak perempuan di semua bidang, yaitu hak-hak perempuan di bidang ekonomi, sosial budaya, politik, serta hak reproduksi untuk dimasukkan dalam agenda pembangunan. Budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat Indonesia telah mengakibatkan adanya pembedaan gender, yaitu pembedaan perilaku, peran, dan akses antara laki-laki dan perempuan. Dalam keluarga Indonesia pada umumnya, orangtua atau orang-orang terdekat lainnya, secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan peran anak laki-laki dan anak perempuan secara berbeda. Anak laki-laki diminta membantu orang tua dalam hal-hal tertentu saja, bahkan sering diberi kebebasan untuk bermain dan tidak dibebani dengan tugas-tugas kerumahtanggaan. Kondisi demikian secara tidak sengaja telah mengarahkan anak laki-laki berbeda perannya dengan anak perempuan. Anak perempuan sengaja atau tidak sengaja telah dipersiapkan sebagai ibu rumah tangga, karena dalam masyarakat telah disosialisasikan bahwa setelah menikah, anak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, suami, dan anak-anak. Sedangkan anak laki-laki sebagai kepala keluarga yang berkewajiban bekerja mencari nafkah. Adanya pembagian peran yang demikian, maka peran perempuan yang resmi diakui adalah peran domestiknya, yaitu mengatur urusan rumah tangga, seperti mengurus rumah, merawat anak, mencuci, memasak dan lain-lain. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya kewajiban utama istri, yaitu mengurus rumah tangga dan merawat anak, sedangkan kewajiban suami sebagai kepala keluarga adalah mencari nafkah. Hal ini merupakan pengejawantahan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah terbagi-bagi. Perempuan sebagai ibu rumah tangga, mempunyai kewajiban melayani kebutuhan konsumsi keluarga dan mengasuh anak. Perempuan dianggap tidak boleh menjadi kepala keluarga, terutama untuk fungsi pengatur dan “hakim”. Sedangkan laki-laki mempunyai kewajiban sebagai kepala keluarga, pencari nafkah, pelindung, “hakim”, pengatur dalam keluarga. Laki-laki selama masih ada istrinya, tidak boleh terlalu terlibat dengan tugas-tugas keseharian rumah tangga yang biasanya mengakibatkan martabatnya turun. Perspektif tersebut berangkat dari pandangan bahwa peran-peran gender merupakan wujud dari sistem masyarakat patriarki. Budaya patriarki yang diciptakan oleh masyarakat melalui proses sosial dan budaya yang panjang tersebut, ternyata banyak merugikan kaum perempuan. Patriarki pada
30
dasarnya mempunyai pengertian, suatu sistem penataan sosial berdasarkan otoritas laki-laki, dimana perempuan di subordinasi melalui institusiinstitusi sosial, ekonomi dan politik (Mosse, 2007). Indikasi dari adanya subordinasi perempuan antara lain adalah posisi perempuan yang lebih lemah dalam memperoleh akses dan kontrol terhadap berbagai sumberdaya ekonomi, politik dan sosial. Nilai-nilai gender yang mensubordinasikan kaum perempuan, merupakan nilai yang telah mengakar dalam masyarakat dan merupakan hasil dari proses sosialisasi dalam keluarga dan institusi-institusi lainnya (Sihite, 2007). Peran-peran gender dalam sebuah masyarakat merupakan sikap ekspresi berbagi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian peran gender bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, namun merupakan sebuah konstruksi sosial.
2. Rumusan Masalah
Ketimpangan-ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia selain diawali dengan faktor budaya dan agama juga dikontribusi oleh pemerintah lewat undang-undang. Suku jawa yang merupakan mayoritas di Indonesia menempatkan perempuan sebagai “konco wingking” dalam struktur keluarga. Ajaran Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat memberikan label isteri sholekah adalah isteri yang tunduk dan penurut terhadap suami. Dalam agama Kristen dan Katolik posisi perempuan juga belum setara memimpun ritual tertentu. Kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kependudukan juga telah memberi dampak pembakuan peran gender terhadap kaum perempuan kelas menengah ke atas maupun bawah, yang berarti pembakuan gender telah memberikan dampak kepada seluruh lapisan masyarakat perempuan. Meskipun kondisi sosial ekonomi dan demografis di antara keduanya berbeda. Stereotip dan pembakuan peran gender, disadari atau tidak telah menempatkan kaum perempuan pada kondisi yang dirasa kurang adil, baik di dalam maupun luar rumah. Dalam kondisi yang demikian, penelitian ini berusaha mengungkapkan bagaimana dampak pembakuan peran gender terhadap beberapa aspek bagi perempuan kelas menengah-bawah dan kelas atas. Secara khusus penelitian ini bertujuan; 1. Mengidentifikasi karakteristik demografis dan sosial ekonomi perempuan kelas sosial bawah dan kelas menengah atas yang bekerja. 2. Mengetahui persepsi responden tentang nilai-nilai pembakuan peran gender dan implementasi dalam kehidupan seharihari di lingkungan keluarganya.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
3.
Mengetahui perbedaan pembakuan peran gender dan pengaruhnya terhadap kelas sosial.
3. Landasan Teori Istilah gender dengan pemaknaan modern seperti yang sekarang dipergunakan, pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Gagasan ini dapat dilihat sebagian dari rangkaian yang diperkenalkan oleh Simone de Beauvoir (1949) dalam bukunya Le Deuxieme Sexe. Beauvoir mengemukakan bahwa dalam masyarakat perempuan sama dengan warga negara kelas dua seperti yang terjadi pada kultur Yahudi atau Negro. Hal ini juga terjadi di Indonesia pada suku-suku tertentu. Dalam ilmu sosial, orang yang sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley (1972). Sebagai mana Stoller, Oakley dalam Sex, Gender, and Society menuturkan bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Ia menegaskan bahwa gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan yang secara permanen berbeda dengan gender. Gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan manusia melalui proses sosial dan kultur yang panjang. Isu kesetaraan gender muncul dari menguatnya kesadaran publik bahwa telah terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan pada penyelenggaraan kehidupan bersama. Ketimpangan ini tidak saja ada di negara-negara berkembang, namun telah menjadi sebuah fenomena global. Salah satu riset yang mampu menunjukkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat barat dilakukan oleh Mino Vianello (1990) dan diterbitkan dalam buku Gender Inequality: A Comparative Study of Discrimination and Participation. Dalam kesimpulannya Vianello menemukan bahwa kesenjangan dan ketimpangan tersebut dibentuk oleh berbagai hal, di antaranya adalah pemahaman perbedaan sex dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Faktor-faktor ini menjadi penyebab yang bersifat umum. Perbedaan gender (gender differences) sebenarnya bukan suatu masalah sosial sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inqualities). Namun yang menjadi masalah adalah gender differences ini telah menimbulkan ketidakadilan baik bagi kaum perempuan, maupun bagi
kaum laki-laki. Secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksi dapat hamil, melahirkan, kemudian menyusui sehingga muncul istilah peran gender (gender role) sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, sehingga profesi yang lazim dilakukan juga tidak jauh dari pekerjaan di rumah seperti; perawat, guru, sekretaris, dll. Dengan demikian gender role dianggap tidak menimbulkan masalah dan tidak perlu digugat. Namun, yang menjadi masalah adalah munculnya struktur gender inequalities yang ditimbulkan oleh gender role dan gender differences. Gender inequalties merupakan sistem dan struktur di mana kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Beberapa anomali ketimpangan gender dalam masyarakat kita adalah inkonsistensi masyarakat menggunakan konsep yang ada. Sebagai contoh adalah kaum laki-laki dan masyarakat akan turun derajatnya kalau mengerjakan pekerjaan domestik seperti; mencuci, belanja kebutuhan pokok, dan memasak. Namun demikian, masyarakat tidak memberikan label negatif pada profesi cheff yang sekarang menjadi profesi favorit bagi kaum laki-laki. Designer terkenal di Indonesia-pun banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Dari sini nanpak bahwa bila pekerjaan tersebut berhubungan dengan ekonomi dan pendapatan, masyarakat dan laki-laki cenderung diam. Agar dapat memahami perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai berikut: Marginalisasi. Permasalahan kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan negara merupakan akibat dari proses marginalisasi baik terhadap kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, antara lain penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender di negara berkembang terlihat lebih jelas dibandingkan dengan negara-negara maju. Meskipun tidak setiap bentuk marginalisasi perempuan disebabkan oleh gender inequalities, namun yang dipermasalahkan di sini adalah bentuk marginalisasi yang disebabkan oleh gender differences. Gender differnces merupakan akibat bentuk, tempat, dan waktu, serta mekanisme dari proses marginalisasi perempuan. Fenomena ini salah satunya dapat ditinjau dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi kebudayaan, dan bahkan mungkin ilmu pengetahuan. Sebagai contoh dalam instansi pendidikan adalah bila perempuan akan melanjutkan studi, harus ada ijin dari suami secara tertulis, sementara tidak sebaliknya. Fenomena lain adalah ada kategori bahwa politik dalam arti kelembagaan dan kegiatan adalah wilayah laki-laki sejak lama sehingga akhir-akhir ini pemerintah baru mendorong kuota partisipasi perempuan dalam partai politik. Itupun sebenarnya masih setengah hati
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
31
Procceding
dan rentan. Setengah hati karena sejauh ini partai politik juga melaksanakan tidak secara serius karena sekedar mencapai kuota yang disyaratkan dan kurang memperhatikan kualitas perempuan yang akan menjadi pemimpin. Rentan karena masih tercatat dalam memori masyarakat bagaimana arus hambatan yang diciptakan secara terstruktur dan individu ketika Megawati Soekarnoputri tahun 2001 dicalonkan sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. Gelombang serangan dengan menggunakan isu gender dihembuskan secara masif dan serempak baik dari partai politik sampai pimpinan agama. Sejarah akhirnya mencatat beliau hanya menduduki jabatan sebagai wakil presiden. Hal ini tidak lazim dalam ilmu politik secara teori maupun praktek dimanapun dimana partai pemenang pemilu menjadi wakil presiden. Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara, jadi tidak hanya dalam pekerjaan. Di dalam rumah tangga, marginalisasi terhadap perempuan juga secara gamblang terjadi sejak lama. Timbulnya proses marginalisasi ini juga diperkuat oleh tafsir keagamaan dan adat istiadat. Misalnya, pemberian hak waris di dalam sebagian tafsir keagamaan porsi untuk laki-laki dan perempuan berbeda, dimana bagian laki-laki lebih besar daripada perempuan seperti suku jawa. Hal itu sudah relatif menguntungkan, karena ada beberapa suku di Indonesia yang menerapkan bahwa perempuan tidak mempunyai hak atas warisan orang tua. Subordinasi. Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada hal yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin. Proses subordinasi yang disebabkan oleh gender terjadi dalam segala macam bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Dalam kehidupan di masyarakat, rumah tangga, dan bernegara, banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting kaum perempuan. Dalam keluarga misalnya, dalam kondisi keuangan yang terbatas, masih sering terdengar adanya prioritas untuk bersekolah bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Karena adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena akhirnya nanti akan masuk mengurusi dapur. Fenomena yang memprihantinkan sekarang ini adalah munculnya Undang-Undang Anti Pornografi dan Perda-perda syariat di berbagai daerah di Indonesia. Dalam kedua peraturan ini perempuan ditempatkan sebagai subyek, sehingga perlu diatur secara ekstra karena perilaku dan penampilan akan menimbulkan permasalahan bagi masyarakat terutama kaum laki-laki. Peran negara di sini sudah terlalu jauh bahkan sampai mengatur penampilan dan perilaku perempuan
32
dengan mengabaikan muatan lokal yang sangat beragam di berbagai suku di Indonesia. Hal ini ironis, alih-alih pemerintah mestinya membuat kebijakan terhadap perempuan. Namun yang terjadi justru sebaliknya mengekang kebebasan perempuan untuk berkembang dengan dalih ajaran agama. Stereotip. Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotip yang terjadi di masyarakat kepada perempuan sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Sebagai contoh misalnya laki-laki adalah pencari nafkah, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai tambahan saja sehingga pekerjaan perempuan boleh saja dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki. Selain itu, ada juga anggapan dari masyarakat yang melihat bahwa tugas perempuan adalah melayani suami. Stereotip seperti ini memang suatu hal yang wajar, namun berakibat pada menomorduakan pendidikan bagi kaum perempuan. Stereotip yang ada dimasyarakat suka atau tidak dapat membatasi ruang gerak perempuan. Perempuan yang keluar malam akan dipandang negatif oleh masyarakat karena tidak terlalu lumrah. Padahal dengan berkembangnya industri menuntut jam kerja yang lebih panjang sehingga industri menerapkan jam kerja secara shift. Model shift tidak akan menimbulkan masalah bagi pekerja laki-laki, namun bagi perempuan hal ini membawa dampak secara psikologis individu dan sosial apalagi bila tempat kerjanya cukup jauh dan memerlukan kendaraan umum. Sterotipe perempuan yang tidak benar akan melekat pada perempuan yang bekerja di ruang publik pada jam-jam malam. Kondisi demikian menjadi hal yang rawan bagi kaum perempuan. Beruntung apabila perusahaan menyediakan fasilitas antar jemput. Namun belum semua perusahaan mempunyai kemampuan sarana dan prasarana yang ideal seperti itu. Violence. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotip gender. Pemerkosaan yang merupakan salah satu bentuk violence yang seringkali terjadi sebenarnya disebabkan bukan karena unsur kecantikan melainkan karena kekuasaan dan stereotip gender yang melekat pada kaum perempuan. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidakselarasan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Violence yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-relate violence. Bentuk dan macam kejahatan yang masuk dalam kategori gender violence dapat meliputi, anatara lain :
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
1.
2.
3.
4.
5.
Pemerkosaan. Artinya pemerkosaan yang terjadi jika seseorang untuk mendapat pelayanan seksual dilakukan secara paksa tanpa kerelaan. Serangan fisik dan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk didalamnya penyiksaan terhadap anakanak. Prostitusi, Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dengan motif ekonomi. Pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni berupa pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan sesorang. Pelecehan seksual. Ada banyyak bentuk pelecehan seksual diantaranya adalah; 1). Menyampaikan lelucon tidak pantas; 2). Menyentuh bagian tubuh sensitif perempuan tanpa seijin dari yang bersangkutan; 3). Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau materi yang lain lain.
Beban kerja. Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dibandingkan kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga sehingga pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab perempuan. Bahkan, bagi keluarga miskin, beban yang harus ditanggung oleh perempuan sangat berat jika harus bekerja di luar rumah sehingga harus memikul beban kerja ganda. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang cukup, beban kerja domestik dapat dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga. Namun demikian, permasalahan tidak selesai dan berhenti sampai di sini. Hal itu disebabkan karena beban kerja hanya dipindahkan pada perempuan lain yang statusnya lebih rendah dengan dibayar sebagai gaji pembantu rumah tangga. Dalam keseharian di media baik surat kabar maupun televisi banyak juga yang menayangkan ekploitasi tenaga pembantu rumah tangga baik yang terjadi di dalam negeri apalagi kasus TKI di Luar Negeri. Dengan kondisi perekonomian keluarga yang lebih baikpun masih menyisakan beban kerja pada kaum perempuan lain. Ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip,
dan beban kerja telah terjadi di berbagai tingkatan masyarakat. Pertama, wujud dari ketidakadilan gender terjadi pada level negara, baik pada suatu negara maupun organisasi antar negara. Banyak kebijakan dan hukum negara, serta program kerja yang masih mencerminkan sebagai wujud ketidakadilan gender. Kedua, wujud ketidakadilan ini dapat terjadi di tempat kerja, organisasi maupun pendidikan. Banyak aturan kerja, kebijakan organisasi yang masih melanggengkan ketidakadilan gender. Ketiga, dalam adat istiadat di banyak kelompok etnik masyarakat, kultur suku-suku maupun dalam tafsiran keagamaan wujud ketidakadilan gender juga terjadi. Keempat, ketidakadilan gender juga terjadi dalam lingkungan rumah tangga, mulai dari proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interkasi antar anggota rumah tangga. Semua manifestasi ketidakadilan itu tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan secara masif, yang akhirnya diyakini bahwa peran gender lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa sehingga diyakini bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat.
4. Metode Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Yogyakarta dengan mengambil 3 sampel Kecamatan yaitu; Wirobrajan yang mewaliki sampel di Yogyakarta bagian Barat, Kecamatan Gondokusuman yang terletak di bagian Tengah, dan Kecamatan Mergangsan yang merupakan wakil bagian Selatan. Pemilihan Kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian adalah; 1. Kota Yogyakarta mempunyai HDI (Human Development Index) tertinggi dibandingkan seluruh kabupaten dan kota di Indonesia dengan nilai 79, 52. Nilai tersebut lebih tinggi juga dari rata-rata di Propinsi DIY yang mencapai 75,77. HDI merupakan komposit dari angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita. Sejauh ini HDI menjadi salah satu alternatif tolok ukur pembangunan yang sekarang dijadikan acuan bagi para peneliti. Hal ini disebabkan HDI tidak hanya melihat dari sisi ekonomi semata. Namun juga dimensi sosial yang ada di masyarakat. Dalam HDI sudah menyajikan perbedaan 3 aspek tersebut antara laki-laki dan perempuan. 2. Tiga kecamatan dipilih sebagai sampling secara snapshot mempunyai karakteristik yang berbeda. Kecamatan Gondokusuman merupakan kawasan yang relatif maju karena merupakan pusat kegiatan
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
33
Procceding
industri perbankan, pendidikan, dan perdagangan sejak jaman tahun 1970-an. Dari wilayah ini diharapkan akan memperoleh responden yang mewakili kelas atas. Sementara itu, Kecamatan Wirobrajan dan Mergangsan lebih difokuskan pada kelas menengah dan bawah karena secara demografis terletak di pinggir kota yogyakarta. Adapun daerah sampel dapat dilihat di Gambar 4.1. di bawah.
Gambar 4.1 Kota Yogyakarta dan Area Sampel
gambilan keputusan dalam keluarga, pembagian kerja dalam keluarga, akses terhadap sumber daya ekonomi, dan akses terhadap lembaga sosial. Setelah data terkumpul, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan tabulasi sehingga lebih memudahkanh peneliti dalam melakukan analisis dan penyajian bagi khalayak umum menjadi lebih informatif. Proses tabulasi dibantu dengan program statistik SPSS Versi 17. Program ini dipilih selain mempertimbangkan kemudahan dalam operasionalnya (user friendly) juga powerfull untuk data Cross Section. Metode analisis yang digunakan meliputi;
1. Analisis Prosentase
Analisis persentase digunakan untuk mengetahui gambaran relatif suatu kelompok responden terhadap keseluruhannya. Dari analisis prosentase ini dapat diketahui nilai kecenderungan dari responden atau nilai sikap terhadap variable apa saja yang diteliti. Rumus prosentase adalah; p=
nx x100% N
dimana: P : nilai persentase nx: jumlah pilihan responden N : jumlah responden seluruhnya
2. Uji Perbedaan Chi Square
5. Metode Analisis Responden dalam penelitian ini berjumlah 96 responden dengan menggunakan metode purposive sampling dengan perbandingan 48 dari kelas sosial bawah dan 48 dari kelas menengah-atas. Jumlah 96 tersebut dirasa cukup karena sesuai dengan syarat minimal sepuluh kali jumlah variabel yang digunakan (Sekaran, 2010). Penelitian ini menggunakan delapan bagian pertanyaan yang terdiri; dua tentang karakteristik, satu bagian melakukan rangking, dan lima bagian variabel utama tentang persepsi. Mengacu pada rumus tersebut, maka jumlah minimal responden adalah lima puluh. Namun demikian, dalam statistik terdapat thesis theorema kurva normal yang berasumsi semakin banyak jumlah sampel maka distribusi data semakin baik. Pertanyaan kuesioner bersifat tertutup dan terbagi menjadi lima bagian dimana bagian-bagian tersebut meliputi; kondisi demografis, gender dan implikasinya, kondisi kelas sosial ekonomi, pen-
34
Untuk menguji hipotesis yang diajukan tentang perbedaan terhadap kelas sosial digunakan metode chi square. Secara teoritis, alat analisis ini digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis komparatif dua sampel independent dengan data berbentuk skala ordinal dan nominal. (Field, 2005). Teknik analisis ini ingin memberikan gambaran, apakah ada perbedaan pengaruh pembakuan gender dengan beberapa aspek yang sudah dirumuskan ditinjau dari kelas sosial di Kota Yogyakarta. Adapun rumus menghitung nilai Chi Square hitung adalah:
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
X =∑ 2
(nij − eij )2 eij
dimana : X2 : Chi Square nij : frekuensi observasi dari baris (r) dan kolom (c) eij : frekuensi yang diharapkan
α
: 5%
Procceding
6. Hasil dan Pembahasan Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyebar kuesioner secara langsung kepada responden yang mermpunyai status istri dalam suatu keluarga atau ibu dari anak-anak. Pengumpulan data penelitian dilakukan kurang lebih selama satu bulan dari awal Mei 2014 sampai dengan awal Juni 2014. Rincian perolehan kuesioner dalam penelitian ini tersaji pada tabel 6.1. di bawah;
No
Tabel 6.1 Tingkat Response Responden
Jumlah
Kuesioner yang tidak kembali
10
Kuesioner yang disebar
4
Kuesioner yang kembali tidak lengkap
2 3 5
Kuesioner yang kembali Total yang dianalisis
6 Response rate Sumber : Data diolah, 2014.
Gambar 6.2 Persepsi Rata-rata Pembakuan Gender Gambar ar 6.2 (dalam persen) Persep epsi Rata-rata ta Pembakuan an Gender (dalam (da persen en) Baawah
Keterangan
1
jumlah sekitar 1 persen. Dari total 65 persen yang setuju 39 persen berasal dari kelas sosial bawah dan 26 persen dari kelas sosial menengah atas. Sementara itu, dari jumlah total yang agak setuju 9 persen berasal dari kelas sosial bawah dan 22 persen dari kelas menengah atas.
110 96
26
222
39
9
1 1 Gambar ar 6.2 Persep taS Pembakuan an Gender (dalam (da persen en) TS epsi Rata-rata AS S SS
4
96
Men nengah -Atas
Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014
87.2 %
Sumber: Data Primer, 2014 Baawahdiolah Men nengah -Atas
Va Variabel tent ntang rata-ra rata keputus tusan dalam m keluarga,, mempunya yai pola yan ang agak
berbeda da dengan va variabel sebel belumnya. Jaw Jawabanrata-rata respo sponden yang ng menyataka akan setuju dan da agak Variabel tentang keputusan dalam 26
setuju m mempunyai ai jumlah yan ang imbang g yyaitu 42 persen pe denga gan komposis yang salin ling tukar keluarga, mempunyai pola yang agaksisiberbeda
satu sam sama lain. Jum Jumlah variabel 42 dari da responde nden yang setuju, se 19 persen pe beras rasal dari kela elas sosial dengan sebelumnya. Jawaban responden Dari 110 buah kuesioner yang disebarkan, yang menyatakan setuju 222 bawah. dan mempumeneng ngah-atas dan an 23 persen n dari kalang ngan . Sementara S 39agak a itu, i setuju untuk ja jawaban aga gak setuju 96 kuesioner kembali secara lengkap dan dapat nyai jumlah yang imbang yaitu 42 persen dengan 23 perse rsen berasall dari d kalanga gan menenga gah n 19 persen n berasal b dari ari kelas sosia sial bawah 9 atas dan 1 dikatakan layak untuk dijadikan bahan analisis. komposisi1 yang saling tukar sama lain. Jumlah Kemudia dian disusull dengan d jaw waban yang g menyatakan kan satu tidak setu etuju yang jum jumlahnya 11 persen TS ASS S SS Tingkat partisipasi (response rate) dinilai cukup 42 dari responden 19 persen berasal dan sisa isanya sebanya nyak 5 persen en menjawab abyang sangat setuju, setu etuju. Dengan an komposisi sisi yang sedik ikit relatif tinggi yaitu 87.2 persen. Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014 berimba bang. dari kelas sosial menengah-atas dan 23 persen Uji Validitas lazim digunakan dalam pene- dari kalangan bawah. Sementara itu, untuk jawalitian yang menggunakan data survey dengan kue-Va Gambarr 6.3. ban agakrata-ra setuju 23 persen berasal dariyaikalangan Variabel tent ntang rata keputus tusan dalam m keluarga, , mempunya pola yan ang agak Persepsii Rata-rata Ra Kep eputusan dala alam Keluarga rga (dalam per persen) sioner dan skala likert sebagai metode klasifikasi menengah atas dan 19 persen berasal darisetuju kelas berbeda da dengan va variabel sebel belumnya. Jaw Jawaban respo sponden yang ng menyataka akan dan da agak dan pembobotan setiap pilihan jawaban. Instru- sosial bawah Kemudian disusul dengan jawaban setuju m mempunyai ai jumlah yan ang imbang gBaawah yyaitu 42 Men persen penengahdenga gan komposis sisi yang salin ling tukar -Atas men yang digunakan dalam penelitian ini juga yang menyatakan tidak setuju yang jumlahnya 11 satu sam sama lain. Jum Jumlah 42 dari da responde nden yang setuju, se 19 persen pe beras rasal dari kela elas sosial berupa kuesioner. Sebagai bukti bahwa instrumen persen dann sisanya sebanyak 5 persen menjawab meneng ngah-atas dan an 23 persen dari kalang ngan bawah.. Sementara S a itu, i untuk ja jawaban aga gak setuju yang digunakan untuk mengukur sebuah konsep sangat setuju. Dengan komposisi yang sedikit rela23 perse rsen berasall dari d kalanga gan menenga gah atas dan n 19 persen n berasal b dari ari kelas sosia sial bawah benar-benar mengukur variabel yang dimaksud, tif berimbang. 19 d jaw waban yang g223menyatakan kan tidak setu etuju yang jum jumlahnya 11 persen maka dilakukan suatu uji validitas. SedangkanKemudia un-dian disusull dengan dan sisa isanya sebanya nyak 5 persen en menjawab ab sangat setu etuju. Dengan an komposisi sisi yang sedik ikit relatif tuk membuktikan konsistensi dan stabilitas varia23 Gambar 6.3. 119 berimba bang. 6 bel tersebut, pengukuran dilakukan uji reliabilitas 2 Persepsi5 Rata-rata Keputusan dalam3 Keluarga (Sekaran, 2003). Gambar r 6.3. TS ASS S SS (dalam persen) Persepsii Rata-rata Ra Kep eputusan dala alam Keluarga rga (dalam per persen) Hasil survey kuesioner, di samping diuji secara statistik juga dianalisis secara prosentase. Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014 Baawah Men nengah -Atas Hal ini dilakukan untuk dapat melihat persepsi rata-rata responden terhadap variabel yang terkait tentang gender dan aspek-aspek yang melekat di dalamnya. Pada variabel atau aspek pembakuan 19 223 gender dan implikasinya, jawaban responden yang berhasil di survey 65 persen menyatakan setuju 23 119 6 terhadap aspek pembakuan peran gender dan im2 5 3 pilikasinya. Berikutnya 31 persen menyatakan agak TS ASS S SS setuju atau ragu-ragu dan yang menjawab secara ekstrem sangat setuju dan tidak setuju hanya berSum mber: Data Primer, P Primer, diolah lah 2014 Sumber: Data diolah 2014
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
35
Procceding
Gambar 6.5. Persepsi Rata-rata Reproduksi Sosial Gambarr 6.5. 6 Persep sepsi Rata-rata ata Reproduks uksi Sosial (dal alam persen) n) (dalam persen)
Untuk variabel tentang reproduksi kerja mempunyai pola yang lain dimana 62 persen responden menjawab setuju dengan aspek-aspek yang ada dalam pertanyaan dalam pembagian kerja dalam keluarga. Dari jumlah tersebut 33 persen berasal dari kelas bawah dan 29 persen berasal dari kelas menengah atas. Berikutnya disusul dengan responden yang menjawab agak setuju 23 persen, dengan komposisi 17 persen berasal dari kelas menegah atas dan 6 persen dari kelas bawah. Sedangkan 16g persen bagian yang Un Untuk sisanya variabe abel tentang reproduksi si adalah kerja memp mpunyai pola olaresponden yang lain in dimana 62 persen menjawab sangat setuju dengan komposisi 11 dalam respond nden menjaw jawab setuju ju dengan aaspek-aspek ek yang ada ad dalam pertanyaan an persen dari kelas sosial bawah dan sisanya 4 perspembag agian kerja da dalam keluarg arga. Dari jum umlah tersebu but 33 persen en berasal da dari kelas baw awah dan en dari menengah terhadap aspek-aspek 29 pers ersen berasal al darikelas kelas as menengah ah atas. atas Beri erikutnya disu isusul dengan gan responde den yang yang berada dalamanreproduksi kerja. menjaw wab agak set etuju 23 pers rsen, dengan komposisi si 17 1 persen berasal b dariri kkelas meneg egah atas
Baawah
Men nengah -Atas
38
42 9 6
3 1 AS
dan 6 p persen dari ri kelas k bawa ah. Sedangka gkan sisanya a 16 1 persen adalah a bagia gian responde den yang
S
0
SS
Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014 menjaw wab sangatt ssetuju deng ngan kompos osisi 11 perse rsen dari kela elas sosial baw bawah dan sisanya si 4 Sumber: Data Primer, diolah
Gambar 6.4.
15
2014
persen nd dari kelas me menengah atas ata terhadap ap aspek-aspe pek yang bera erada dalam re reproduksii kerja. k Va Variabel yang ng terakhir adalah a akses ses terhadap p ekonomi.. Hasil H jawaba ban responde den yang Persepsi Rata-rata Reproduksi Kerja Gambarr 6.4. 6 berhasil sil di survey adalah adVariabel 48 persen pe yang menya yatakan agak ak setuju. Ber erikutnya isusul jawaba ban setuju terakhir adalah aksesdisu terhadap Perse rsepsi Rata-rat rata Reproduk uksi Kerja (dal alam persen) n) (dalam persen) dengan n jumlah tot total 26 pers rsen. Berbed eda dengan n variabel atau atayang aspekberhasil se sebelumnya, a, ekonomi. Hasil jawaban responden dijumlah Baawah
Men nengah -Atas
survey 48aspe persen menyatakan agak respond nden yang tid tidak adalah setuju ju dalam spek ini cuku kup tinggi dengan de juml mlah setuju. 21 pers ersen dan Berikutnya disusul setuju dengan jumterakhir ir adalah ben bentuk ekstre trem dari tida idakjawaban setuju yaitu ya sangat at setuju den engan jumlah lah relatif total dengan variabel atau mencap apai 5 lah persen en. Dari 26 total talpersen. 48 persen en Berbeda yang men enyatakan agak ag setuju te tersebut, 26 persen
29
jumlah yang tidak berasal al dari aspek kelas sosial s sebelumnya, bawah ah dan 22 pe persen berasa asal responden dari men enengah-atas. as. Sementara ra itu, 26 dalam inikompo cukup dengan jumpersen n yyangsetuju menya nyatakan setu tuju aspek mempun unyai posisi 10tinggi per ersen dari ke kelas bawah h dan 16
lah me 21 persen danjaw terakhir persen nd dari kelas menengah-ata atas. Pada jawaban tidak ak adalah setuju yang ngbentuk mempunya nyaiekstrem prosentas tase relatif
dari tidak setuju yaitu sangat setuju dengan jumlah jawaban relatifyang mencapai 5 persen. Dari total 48 persen persen nd dari total jaw ng menyataka akan sangat setuju se semua ua berasal da dari kelas men enengah33 yang menyatakan agak setuju tersebut, 26 persen 7 17 4 atas. berasal dari kelas sosial bawah dan 22 persen ber11 6 asal dari menengah-atas. Sementara itu, 26 persen AS S SS yang menyatakan setuju mempunyai komposisi 10 Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014 persen dari kelas bawah dan 16 persen dari kelas Sumber: Data Primer, diolah 2014 menengah-atas. Pada jawaban tidak setuju yang mempunyai prosentase relatif tinggi 14 persen beJa Jawaban tent ntang reprod oduksi sosial,l, mempunya yai pola yang ng hampir mir mirip dengan n variabel rasal dari kelas bawah dan 7 persen berasal dari sebelum mnya, diman ana jawaban an tertinggi i m menyatakan an setuju terhadap ter sosial, aspe spek-aspek yang ya ada Jawaban tentang reproduksi mempukelas menengah-atas. 5 persen dari total jawaban dalam p pertanyaan ng berkaitan an dengan keluarga ke dan an lingkungan annya. Nilai i tersebut t nyain hhal-hal pola yang yang hampir mirip dengan variabel seyang menyatakan sangat setuju semua berasal dari menyatakan mencap apai 80belumnya, persen sen, dengan dimana komposisi k 43jawaban persen berasal be tertinggi dari kelas ke bawah h dan 38 per ersen dari kelas menengah-atas. setuju yangdua dalam kelas m menengah atas. at terhadap Sement ntara ituaspek-aspek sisa isanya dibagi gi menjadi du ada kategori ori sangatperset etuju dan hal-hal dengan keluarga agak set setuju tanyaan dengan an jumlah 15 persenyang dim dimana berkaitan 9 pers ersen disumba bang oleh ke kelas sosial menegah m Gambar 6.6. dan lingkungannya. Nilai tersebut mencapai 80 atas dan an 5 persen d dari kelas sosial sos bawah h. Gambarr 6.6. persen, dengan komposisi 43 persen berasal dari Persepsi Perse Rata-rata Akses Ekonomi rsepsi Rata-ra rata Akses Ekonomi Ek (dala alam(dalam persen) persen) kelas bawah dan 38 persen dari kelas menengah atas. Sementara itu sisanya dibagi menjadi dua katBaawah Men nengah -Atas egori sangat setuju dan agak setuju dengan jumlah 15 persen dimana 9 persen disumbang oleh kelas sosial menegah atas dan 5 persen dari kelas sosial bawah . tinggi 1 14 persen berasal be dari ri kelas k bawah ah dan 7 persen pe berasa sal dari kelas las menengah ah-atas. 5
22
7 14 4 TS
26
16 10
AS
S
5 SS
Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014
Sumber: Data Primer, diolah 2014
Ch Chi-Square merupakan m salah s satu aalat statistik tik yang sering ing digunakan kan untuk menjawab me
36
hipotesa sa perbedaan an terhadap p obyek yang ng diamati disamping dis uji t dan ANO NOVA. Pemilih ilihan alat
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
analisis is yang tepa pat tidak terlepas te dari ari karakteris ristik data yang ya dipero roleh. Peneli elitian ini menggu gunakan alat at analisis Chi hi Square dise isebabkan karena ka obyek ek yang diama mati memiliki liki banyak variabel el atau dimen ensi. Variabel el-variabel ter tersebut adala alah; sikap terhadap ter pem mbakuan, keputusan ke
Procceding
Chi-Square merupakan salah satu alat statistik yang sering digunakan untuk menjawab hipotesa perbedaan terhadap obyek yang diamati disamping uji t dan ANOVA. Pemilihan alat analisis yang tepat tidak terlepas dari karakteristik data yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan alat analisis Chi Square disebabkan karena obyek yang diamati memiliki banyak variabel atau dimensi. Variabel-variabel tersebut adalah; sikap terhadap pembakuan, keputusan dalam keluarga keseharian, pembagian kerja dalam keluarga, pembagian kerja dalam lingkungan sosial, dan akses terhadap lembaga ekonomi baik formal seperti perbankan atau non formal seperti arisan di tingkat RT/RW. Tabel 6.1. Uji Chi Square variabel Chi Square
Kelas Sosial * Pembakuan
9,050
Kelas Sosial * Kerja
7,965
Kelas Sosial * Kep. Keluarga Kelas Sosial * Sosial
1,091 1,925
Asymp. Sig
Keterangan
0,779
Tidak Ada
0,382
Tidak Ada
0,029 0,019
Ada Beda Ada Beda
Kelas Sosial * 8,148 0,043 Ada Beda Ekonomi Sumber : Data diolah, 2014. Hasil uji Chi Square dengan menggunakan program SPSS versi 17 tersaji dalam tabel 4.8 di atas. Dengan menggunakan nilai signifikansi 5 persen, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah: 1. Pada variabel pembakuan peran gender dan implikasinya menghasilkan kesimpulan statistik ada perbedaan persepsi antara kelas bawah dan menengah atas. Hal itu ditunjukkan dengan nilai chi square 9,050 dengan Asymp. Sig 0,029 atau 2,9 persen yang notabenenya kurang dari 5 persen. 2. Pada variabel keputusan dalam keluarga menghasilkan kesimpulan statistik tidak ada perbedaan persepsi di antara kelas bawah dengan menengah atas. Hal itu ditunjukkan dengan nilai chi square 1,091 dengan Asymp. Sig sebesar 0,779 atau 77,9 persen dimana nilai tersebut jauh melebihi kriteria nilai pembanding yaitu 5 persen.
3.
4.
5.
Pada variabel pembagian kerja menghasilkan kesimpulan statistik ada perbedaan persepsi antara kelas bawah dengan menengah atas. Hal itu ditunjukkan dengan nilai chi square 7,965 dengan Asymp. Sig 0,019 atau 1,9 persen dimana nilai tersebut terletak di bawah 5 persen sebagai dasar pengambilan keputusan. Pada variabel tugas sosial menghasilkan kesimpulan tidak ada perbedaan persepsi antara antara kelas bawah dengan menengah atas. Hal itu ditunjukkan dari hasil perhitungan chi square 1,925 dengan Asymp. Sig sebesar 0,382 atau 38,2 persen dimana nilai tersebut lebih tinggi dari 5 persen. Pada variabel sumber daya ekonomi menghasilkan kesimpulan ada perbedaan persepsi antara kelas bawah dengan menengah atas. Hal itu ditunjukkan hasil perhitungan chi square 8,148 dimana Asymp. Sig sebesar 0,043 atau 4,3 persen dimana nilai tersebut masih dibawah 5 persen.
Bagian terakhir kuesioner, responden diharapkan melakukan pemeringkat tentang masalahmasalah yang dikhawatirkan perempuan atau ibu dalam keluarga baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Hasil survey bagian terakhir tersebut tersaji pada gambar 4.11 di bawah, dari gambar sekilas bahwa kekhawatiran satu dengan yang lain tidak memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Kekhawatiran tertinggi bagi responden dalam keluarga adalah masa depan anak dimana nilainya mencapai 32 persen. Urutan kedua berikutnya adalah kondisi kesehatan anggota keluarga yang nilainya mencapai 31 persen. Urutan ketiga berikutnya adalah kondisi ekonomi keluarga dengan jumlah 17 persen, keempat adalah kemungkinan terjadinya KDRT dengan nilai 16 persen, dan yang terakhir adalah kondisi responden sendiri dengan nilai 13 persen. Dari 32 persen urutan yang tertinggi tentang kekhawatiran masa depan anak, 22 persen dirasakan oleh kelas sosial menengah-atas dan 10 persen dari kelas sosial bawah. Sementara itu urutan ketiga tentang kondisi perekonomian keluarga yang mencapai 17 persen, 11 persen dirasakan oleh kelas bawah dan 6 persen dirasakan oleh kelas menengah-atas. Hal ini wajar karena kelas bawah mempunyai tingkat ketidakpastian ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas menengah-atas. Di samping itu cadangan yang berupa tabungan untuk masa depan, kelas menengah-atas mempunyai pemahaman lebih baik.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
37
Procceding
Fenomena tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wanita atau seorang ibu mempunyai naluri yang lebih memikirkan anggota keluarga lain dibandingkan diri sendiri. Hal ini dibuktikan dari hasil survey yang nilainya relatif lebih rendah dibandingkan dengan hal lain dengan komposisi yang berimbang antara kelas menengah-atas 7 persen dan kelas sosial bawah 6 persen. Anak merupakan hal yang penting dalam masyarakat timur seperti Indonesia dan masyarakat Jawa. Hal yang cukup menggembirakan kekhawatiran tentang KDRT termasuk cukup rendah dengan komposisi 12 persen dari kelas bawah dan hanya 4 persen saja dari kelas menengah-atas. Hal ini mempunyai arti pemahaman masyarakat tentang posisi perempuan atau wanita ada proses ke arah yang relatif lebih sejajar dengan laki-laki dibandingkan dengan era sebelumnya. KDRT terjadi tidak dalam ruang kosong, dengan kata lain KDRT lebih potensial terjadi bila subordinasi perempuan oleh laki-laki masih terjadi dalam ruang lingkup keluarga dan masyarakat. Kekhawairan tentang kesehatan anggota keluarga juga relatif cukup imbang antar dua kelas sosial tersebut. Mestinya hal ini tidak terjadi demikian, terutama kelas menengah-atas karena produk asuransi sudah semakin beragam di Indonesia dan kelas tersebut melek dengan inovasi produk asuransi yang beragam dengan pemasaran yang cukup agresif dengan berbagai media yang tersedia. Hal ini terjadi juga tidak lepas dari kesan yang selama ini melekat bahwa lembaga asuransi yang rajin mengejar iuran bulanan ataupun tahunan namun susah, rumit dan butuh waktu lama dalam melakukan klaimnya. Gambar Gambarr 6.7. 6 6.7. Kekhawatiran Responden (dalam persen) Kekhawatira tiran Respond nden (dalam persen) p Baawah
22
Men nengah -Atas
16
6
4 6
11
Ekonomi
15 10
Anak
122 7
Kesehatan
Sum mber: Data Primer, P diolah lah 2014
Sendiri
Sumber: Data Primer, diolah 2014 7.
Kesimpula an dan Rek komendasii Kebijakan n
KDRTT
7. Kesimpulan
Rekomendasi
Kebijakan Atas dasar survey lapangan, pengolahan data, dan analisis data yang sudah dilakukan pada babbab sebelumnya, maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini. Dari beberapa kesimpulan tersebut, selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan untuk menyusun rekomendasi kebijakan. Bagian terakhir laporan penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu: 1). Kesimpulan; 2). Rekomendasi Kebijakan; dan 3). Keterbatasan Penelitian.
Kesimpulan
Dari analisis data yang sudah dilakukan, maka penelitian ini mengambil kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Pembakuan peran gender seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah membudaya dan diterima oleh sebagian besar perempuan masyarakat. Hal ini dikarenakan sosialisasi yang sudah dilakukan dalam lingkungan keluarga inti baik secara langsung maupun tidak langsung dan berlangsung secara kontinyu. 2. Pengenalan nilai-nilai pembedaan peran gender dari orang tua serta pemahaman norma budaya dan nilai keagamaan membuat perempuan menerima nilai-nilai pembakuan peran gender dengan iklas sepenuhnya tanpa menyadari adanya ketimpangan yang diakibatkannya. Dengan kondisi yang demikian, pengenalan isuisu gerakan kesetaraan gender akan mengalami resisten dari kaum perempuan sendiri karena peran yang dilakukan selama ini sudah diterima sebagai kodrat. 3. Terdapat perbedaan persepsi di antara kelas sosial bawah dengan menengah atas terhadap pelaksanaan nilai gender dalam aspek; pembakuan gender dan implikasinya, reproduksi kerja, dan akses terhadap keputusan ekonomi. Fenomena ini mewujudkan bahwa telah terjadi penguatan peran perempuan pada aspek-aspek kehidupan tersebut. Pergeseran peran perempuan relatif terjadi di kelas menengah atas. Perempuan kelas menengah atas mengalami pergeseran relatif lebih independen dalam pengam-
At Atas dasar ssurvey lapan angan, pengo golahan data ta, dan analis alisis data yan ang sudah dilakukan di
38
dan
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
pada ba bab-bab sebe belumnya, maka ma terdapa pat beberapa pa kesimpulan lan yang dap apat diperoleh leh dalam penelitia itian ini. Dari ri beberapa kesimpulan k n tersebut, selanjutnya se dapat d dijadik dikan sebaga gai bahan
untuk m menyusun rekomendasi re si kebijakan. n. Bagian tera rakhir laporan ran penelitian ian ini terdiri ri dari d tiga
Procceding
4.
bilan keputusan, kendati belum layak dikatakan ideal. Tidak ada perbedaan persepsi di antara kelas sosial bawah dengan menengah-atas terhadap variabel keputusan dalam keluarga dan reproduksi sosial persepsi antara kelas bawah dengan menengah atas. Dua kelompok kelas sosial yang diteliti masih setuju dan mempraktekkan pembagian kerja dalam keluarga dan sosial kemasyarakatan dengan lingkungannya.
Rekomendasi Kebijakan Atas dasar kesimpulan tersebut, maka kajian ini memberikan beberapa rekomendasi yang relevan untuk dilakukan untuk segenap stakeholders yang concern terhadap perjuangan kesetaraan gender. Rekomendasi tersebut antara lain; 1. Atas dasar pertimbangan rasa keadilan, maka sudah waktunya diadakan perubahan-perubahan menuju pada masyarakat yang berkeadilan gender. Dalam keluarga, kemasyarakatan, sekolah, maupun lembaga keagamaan sebaiknya gencar diperkenalkan perihal tentang kesetaraan gender. Gerakan sosialisasi kesetaraan gender tersebut dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersamaan. Tidak tertutup kemungkinan bekerja sama dengan lembaga internasional karena kesetaraan gender sudah menjadi agenda dunia lewat program MDG’s. 2. Perlu perombakan isi Undang-undang perkawinan terutama pasal 31 yang membagi peran laki-laki dan wanita secara baku sehingga dalam kelas sosial bawah sering terjadi peran ganda perempuan. Negara tidak perlu campur tangan dalam pembagian peran dalam keluarga, justru perlindungan terhadap perempuan merupakan hal yang mendesak untuk dipikirkan. 3. Perlu meningkatkan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan sehingga mereka bisa meningkatkan kualitas diri dan memiliki penghasilan sendiri. Hal ini akan menunjang aktualisasi diri perempuan dalam masyarakat, sekaligus memiliki daya tawar bila laki-laki memperlakukan mereka secara tidak adil.
Keterbatasan Penelitian Harus diakui masih terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Beberapa keterbatasannnya adalah sebagai berikut; 1. Penelitian ini mengambil lokasi sampel di Kota Yogyakarta yang hampir 100 persen responden beretnis jawa yang mempunyai kultur budaya patriarki, sehingga analisis variasi berdasarkan etnis tidak dapat dilakukan. Dengan keterbatasan yang demikian, sulit untuk mengeneralisasi hasil penelitian ini terhadap etnisetnis lain yang sangat banyak di Indonesia. 2. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dengan kuesioner dengan pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya sehingga ekspektasi jawaban sudah dapat diduga dengan tingkat kedalaman yang terukur. Metode FGD dalam penelitian ini tidak dilakukan, padahal secara normatif dengan metode tersebut dapat melengkapi analisis kuantitatif yang sudah dilakukan sehingga tidak tertutup kemungkinan analisis menjadi lebih tajam. 3. Penelitian ini tidak dapat mengkaji bagaimana aspek norma agama turut andil dalam sosialisasi pembakuan gender. Dengan metode kuantitatif dapat diketahui secara eksak seberapa besar andil norma agama dalam pembakuan peran gender.
Daftar Pustaka
Beauvoir, Simone de, 1964. The Second Sex. New York : Alfred . Knopf. Butler, Judith, 1990. Gender Troble: Feminism and the Subversion of Identity. New York, Routledge, Chapman & Hall. Inc. Field, Andy. 2005. Discovering Statistics with SPSS. 2nd Edition. London. Sage Publication Ltd. Hair, Joseph, et. all, 2007, Multivariate Data Analysis. 7th Edition. Prentice Hall. Lips, M. Hillary, 1993. Sex and Gender : An Introduction, London: Mayfield Publishing Company. Mosse, Julia Cleves, 2007, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
39
Procceding
Nugroho, Riant. 2008, Gender dan Administrasi Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Oakley, Ann. 1972, Sex, Gender and Society. London: Temple Smith. Reprinted with new Introduction, London: Gower, 1985. Scott, A. McEwan. 1986. Women and Industrialisation: Examining the Female Marginalisation Thesis. The Journal of Development Studies No.22 (4). Sekaran, Uma. 2003, Research Methods for Business: A Skill Building Approach. 4th Edition. John Wiley & Son, Inc. Sihite, Romany, 2007. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan. Jakarta. Rajawali Pers. Stoller, Robert, 1968. Sex and Gender : On the Development of Masculinity and Feminity, London: Hogarth Press. Tong, Rosemary, F. 1998. Feminist Thought. Jakarta. Jalasutra. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Vianello, Mino. Et.al, 1990, Gender Inequality: A Comparative Study Discrimination and Participation, London: Sage Publication. Williams, Suzanne, Seed, Janet, and Mwau, Adelina. 1994. The Oxfam Gender Training Manual, Oxford: Oxford. Wilson, H.T, 1983, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln. E.J Brill. World Bank. 2000. Engendering Development:, Through Gender Equality, Resources, and Voice. London: Oxford University.
40
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
ARSITEKTUR GEREJA BERPERSFEKTIF FEMINIS Asnath Niwa Natar ABSTRAK Arsitektur gereja tidak hanya memiliki dimensi estetis melainkan juga mengkomunikasikan sebuah pesan. Ia tidak hanya berfungsi menampung banyak orang, melainkan memiliki juga makna Teologis pada dirinya (Arsitektur mendukung fungsi gereja). Arsitektur gereja adalah bagian dari liturgi dan menolong jemaat untuk bertemu Allah dan merefleksikan hubungan mereka denganNya. Namun, pada kenyataannya ada jemaat yang tidak tahu makna teologis dari arsitektur gereja. Ketiadaan makna teologis seperti ini terjadi karena dalam konteks arsitektur gereja di Indonesia, banyak gereja mengikuti model gereja di Eropa yaitu model bangunan memanjang dan bermenara serta tidak ada penjelasan tentang makna dari arsitektur yang demikian. Hal yang sama terjadi juga pada bagian interior dari bangunan gereja. Mimbar yang tinggi di depan ruangan memberikan kesan kaku dan maskulin. Perbedaan tempat duduk dan pakaian dari pendeta dan warga jemaat semakin memperkuat kesan ekslusiv. Pendeta dan majelis duduk lebih tinggi dan berada jauh dari warga jemaat. Bentuk bangunan seperti ini tentunya dirancang atas dasar pikiran laki-laki dan bukan atas dasar pikiran perempuan. Mereka merefleksikan pemahaman maskulin tentang kuasa dan otoritas, keagungan, dan kemuliaan. Unsur feminin seperti keramahan, keterbukaan, kasih, persaudaraan menjadi tidak nampak. Sehubungan dengan hal ini sebuah penelitian lapangan dirancang untuk melihat apa makna teologis yang ada pada arsitektur gereja warisan Eropah (Gereja tua), dan arsitektur gereja bernuansa traditional (gereja hasil kontekstual), dan bagaimana perspektif feminis nampak dalam arsitektur gereja tersebut, baik pada eksterior maupun interiornya. Perspektif feminis memberikan nuansa yang berbeda, yang lebih menempatkan umat dalam posisi setara dan mencerminkan kasih dan persaudaraan, berbeda dengan perspektif maskulin yang cenderung top down. Dalam penelitian lapangan ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang terdiri dari observasi/pengamatan dan wawancara dengan menggunakan pertanyaan terbuka. Penelitian lapangan dilakukan pada 4 gereja yang telah melakukan upaya kontekstualisasi, yaitu di GKPB Pniel Blimbingsari Bali, Gereja Toraja Surabaya, Gereja Katolik St. Fransiscus Karo, dan Gereja Katolik Ganjuran, Yogyakarta. Selain melihat makna arsitektur gereja, juga dilihat apa makna atau filosofi bangunan rumah tradisional dan adakah unsur feminis atau tidak. Kemudian juga dilihat apakah arsitektur gereja hasil kontekstualisasi mendapat pengaruh dari filosofi gereja tua dan rumah tradisional atau tidak. Penelitian lapangan ini juga dilengkapi dengan penelitian literatur, yang terdiri dari penelitian buku-buku dan dokumen tertulis untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan makna dan filosofi rumah adat dan gedung gereja (tradisional dan hasil inkulturasi). Hasil penelitian terhadap rumah tradisional dan gereja tua di keempat daerah tersebut menunjukkan bahwa unsur feminis tidak terlalu diperhatikan. Demikian pula pada empat bangunan gereja hasil inkulturasi (Yogyakarta, Toraja, Bali dan Batak Karo) nampak bahwa unsur feminis dan makna theologis tidak menjadi perhatian dalam membangun gereja dan hanya sekedar mengambilalih bentuk rumah traditional dengan pertimbangan memelihara budaya tradisional supaya tidak punah. Berkaitan dengan gambar-gambar yang ada pada gereja inkutulrasi, memang sangat kuat unsur laki-laki. Kenyataan ini kiranya dapat dipahami karena sejarah kekristenan memang sangat menonjolkan kaum laki-laki baik sebagai gambaran Allah, Nabi, Imam, dsb, sehingga tidak mengherankan sangat jarang ditemui gambar atau simbol yang bernuansa feminis kecuali Bunda Maria. Khusus bangunan gereja Ganjuran dan GKPB Pniel Bali, nampak unsur feminis namun ini muncul ketika terjadi wawancara. Artinya bahwa pemaknaan tersebut tidak lahir ketika bangunan tersebut dirancang dan dibangun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik dalam arsitektur gereja dan rumah tradisonal masih belum memperhatikan tema gender, secara khusus unsur feminis. Kata-kata Kunci: arsitektur, gereja, feminis, maskulin, teologis, Sumba
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arsitektur gereja tidak hanya memiliki dimensi estetis melainkan juga mengkomunikasikan sebuah pesan. Ia tidak hanya berfungsi menampung banyak orang, melainkan memiliki juga makna teologis pada dirinya (Arsitektur mendukung fungsi gereja). Hal ini nampak pada bangunan-bangunan gereja di Eropa, misalnya gaya Basilika yang me-
nyerupai sebuah kapal, memiliki makna pertemuan antara Allah dengan orang-orang kudus. Gaya Byzantium dengan kubah, mencerminkan kesatuan antara gereja dan negara. Gaya Romawi dengan tembok-temboknya yang tebal dan menara yang tinggi menyimbolkan iman yang kokoh di dunia dan semangat pengabdian yang menjulang tinggi sampai ke langit. Demikian pula gaya Gotik yang menekankan pengefektifan cahaya pada kaca jendela bergambar dipandang sebagai tanda ke-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
41
Procceding
hadiran Allah di segala tempat.1 Arsitektur gereja baik dari luar maupun dari dalam (eksterior dan interior) adalah bagian dari liturgi dan menolong anggota jemaat untuk bertemu dengan Allah dan merefleksikan hubungan mereka denganNya. Namun kebanyakan bangunan gereja di Indonesia tidak dibangun dengan makna teologis tertentu, yang penting adalah bangunannya besar dan dapat menampung banyak orang untuk beribadah, malah ada kecenderungan untuk membuat gereja yang indah dan megah, dengan mengikuti bentuk-bentuk bangunan di Eropa. Bentuk bangunan gereja seperti ini terkesan kaku dan tidak ramah terhadap umat dari berbagai latarbelakang. Hal yang sama terjadi juga pada bagian interior dari bangunan gereja yang juga mengikuti model ruang bangunan di Eropa. Mimbar yang tinggi di depan ruangan memberikan kesan kaku dan maskulin. Perbedaan tempat duduk dan pakaian dari pendeta dan warga jemaat semakin memperkuat kesan ekslusif. Pendeta dan majelis duduk lebih tinggi dan berada jauh dari warga jemaat. Ketika pendeta dan majelis berprosesi di antara barisan jemaat menuju ke tempat duduk mereka di depan, yang lebih tinggi daripada tempat duduk jemaat, kesan yang timbul adalah bahwa mereka sedang naik ke tempat yang tinggi, tempat yang menunjukkan kuasa dan otoritas. Dari tempat yang tinggi dan agung itu pendeta berseru kepada jemaat: „mari kita beribadah! Salam damai sejahtera bagimu......“. Warga jemaat duduk berjejer dalam sebuah ruang, mirip di dalam bus dan tidak ada komunikasi di antara mereka. Sebuah pembagian ruang yang demikian tidak mendukung aspek persekutuan dalam jemaat, dimana semua manusia adalah sama dan tidak ada perbedaan posisi dan status sosial. Bentuk bangunan seperti ini kemungkinan dirancang atas dasar pikiran laki-laki yang merefleksikan pemahaman maskulin tentang kuasa dan otoritas, keagungan, dan kemuliaan. Hal ini bisa dipahami karena memang hanya laki-laki yang terlibat dalam merancang bangunan gereja sehingga hasilnya pun lebih mewakili apa yang dipikirkan dan dibutuhkan oleh laki-laki. Unsur feminin seperti keramahan, keterbukaan, kasih, persaudaraan menjadi tidak nampak. Makna teologisnya pun lebih menunjuk pada gereja sebagai yang kuat, kokoh, pemenang, dan lebih tinggi. Kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh teologi laki-laki Eropa yang lebih menekankan pada Yesus sebagai Tuan, Raja yang menang dan imam besar yang berkuasa, karena tidak bisa menerima Yesus yang “kalah’ dan tersalib. Gambaran seperti ini tidak sesuai dengan konteks Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, Tangerang, Bintang Fajar, 1999, h. 71-87. 1
42
masyarakat Indonesia, secara khusus perempuan Indonesia, yang hidup dalam berbagai bentuk penderitaan akibat kekerasan dan ketidakadilan yang dialami. Mereka memahami Yesus sebagai figur yang memahami penderitaan mereka dan ikut menderita bersama mereka. Bentuk arsitektur yang berciri maskulin dan hierarki ini, menyebabkan apa yang diucapkan oleh pendeta tentang kasih, persaudaraan, kesederajatan tidak didukung oleh bentuk arsitektur (kenyataan) yang ada. Dengan kata lain, bahasa verbal dan bahasa arsitektur bertentangan atau tidak saling mendukung.
B. Permasalahan
Arsitektur gereja dengan model bangunan memanjang dan bermenara, cocok dengan konteks Eropa dan memiliki makna teologis yang sesuai dengan konteks Eropa, tetapi menjadi tidak cocok ketika ditempatkan di daerah yang jelas-jelas berbeda konteks pergumulannya, seperti di Indonesia. Dari luar bentuk gereja semacam itu nampak kaku, dingin dan angkuh. Ia mencerminkan sebuah kemenangan, Kolonial, Pietismus dan maskulinitas. Sebuah arsitektur yang demikian tentu saja tidak cocok dengan kehidupan bersama masyarakat lokal yang hidup sederhana dan menekankan aspek persekutuan (bersifat komunal). Selain itu, bentuk arsitektur seperti ini semakin memperkuat dominasi kaum laki-laki dalam gereja dan pemahaman akan Tuhan. Sementara di lain pihak, Indonesia memiliki beragam rumah tradisional yang memiliki filosofi tertentu, termasuk aspek kesetaraan gender. Hal ini dapat mendukung penghayatan akan relasi dengan Tuhan dari perspektif feminis dan upaya penciptaan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Namun hal ini masih belum begitu diperhatikan dalam merancang bangunan gereja. Saat ini baru ada beberapa bangunan gereja yang menggunakan arsitektur rumah tradisional, yaitu di Bali, Toraja, Karo dan Yogyakarta. Namun pertanyaan yang timbul adalah, apakah arsitektur gereja-gereja tersebut memiliki makna teologis tertentu atau tidak? Apakah bentuk arsitektur tersebut juga memiliki perspektif feminis yang mendukung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau tidak? Sehubungan dengan hal tersebut, saya akan meneliti arsitektur gereja yang telah mengalami proses kontekstualisasi/inkulturasi2 di daerah Bali, Toraja, Karo dan Yogyakarta, gereja tertua (awal) di keempat tempat tersebut, dan makna rumah Gereja Katholik menggunakan istilah inkulturasi sedangkan gereja Kristen Protestan menggunakan istilah kontekstualisasi. Kedua istilah ini akan digunakan bersama-sama. 2
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
tradisional Bali, Toraja, Karo dan Yogyakarta serta pengaruhnya terhadap arsitektur gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
2.
Mendapatkan data tentang pemahaman warga jemaat akan makna teologis dan unsur-unsur feminis dari gereja-gereja, baik gereja tertua (awal) maupun gerejagereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi, di Batak Karo, Toraja, Bali dan Yogyakarta. Melihat makna atau filosofi serta unsur feminis rumah tradisional Batak Karo, Toraja, Bali dan Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap bangunan gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi yang dibuat.
C. Landasan Teori Berbicara tentang liturgi, tidak hanya menyangkut tata ibadah, tata warna dan pakaian, tetapi juga mencakup bangunan, baik eksterior maupun interior. Bangunan gereja penting untuk mendukung umat, baik laki-laki maupun perempuan, dalam berefleksi dan bertemu dengan Tuhan. Dalam kenyataan banyak gereja yang tidak memperhatikan makna dari bangunan gereja, dan hanya mengikuti bangunan gereja dari Eropa yang cenderung maskulin. Kenyataan ini tentunya dipengaruhi oleh pemahaman liturgi yang juga cenderung menampilkan wajah maskulin, dimana unsur-unsur maskulin sangat dominan, yang nampak pada tata ibadah, formasi dalam ibadah, pemimpin, pakaian dan interior. Berikut akan disinggung sedikit tentang liturgi feminis. Hal ini penting karena liturgi pada dasarnya tidak bebas gender atau netral gender. Ketika orang merancang sebuah liturgi, tentunya dipengaruhi oleh pemikiran gender, yang kadang cenderung bias gender, dalam arti hanya memperhatikan gendernya sendiri dan mengabaikan gender yang lain. Sejarah gereja menunjukkan bahwa seringkali terjadi pengucilan atau peminggiran terhadap perempuan dalam ibadah karena pada saat itu kaum laki-lakilah yang merancang liturgi. Karena itu, perlu merancang liturgi yang mengakomodasi pengalaman yang membebaskan, mentransformasi dan memberdayakan semua orang, laki-laki dan perempuan. Istilah liturgi feminis muncul sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat dan marak dilaksanakan dalam perkumpulan para perempuan (juga laki-laki) dari berbagai latar belakang profesi, gereja (kepercayaan), tingkat keterlibatan dalam gereja, dsb. Kelompok yang terkenal adalah Wom-
en-Church. Liturgi feminis muncul sebagai reaksi atas peminggiran para perempuan dalam kehidupan peribadahan gereja dan keinginan para perempuan untuk terlibat dalam liturgi secara aktif, penuh, sadar dan jujur terhadap kenyataan dirinya sebagai perempuan.3 Seorang teolog feminis, Janet Walton, merumuskan liturgi feminis sebagai ibadah yang mengandung kebebasan dan penuturan kebenaran di tengah-tengah diskriminasi saat ini, ketika sebuah norma untuk beribadah dipertahankan dengan gigih yang membatasi partisipasi umat, khususnya mereka yang dipinggirkan.4 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa liturgi feminis adalah liturgi yang dirancang, diramu dan dilaksanakan oleh para perempuan (dan laki-laki) yang disemangati oleh teologi atau sudut pandang feminis, yang memberdayakan para perempuan.5 Paham dualisme (maskulin dan feminin), dimana maskulin (rasional, logika, menang, penguasa, aktif, dominan, hierarki, tertutup, dll) dan feminin (tidak rasional, emosional, mengalah, subordinat, pasif, tunduk, solidaritas, cinta, jejaring, terbuka) yang selama ini dipisahkan secara tajam, coba diangkat untuk memberikan keseimbangan antara keduanya, sekaligus meniadakan diskriminasi atas dasar gender. Hal ini nampak pada tata ibadah yang dialogis dan memberi tempat kepada umat sehingga umat sungguh terlibat dalam ibadah dan tidak menjadi penonton yang pasif. Dalam liturgy feminis, tidak ada jarak antara umat dengan pemimpin. Apa yang diucapkan harus pula didukung oleh tindakan dan penampilan pemimpin dalam ibadah. Dengan demikian ibadah tidak bersifat hierarki, tetapi sejajar. Liturgi feminis tidak hanya pada masalah bagaimana perempuan terlibat dalam liturgi, tetapi lebih pada perspektif feminis (untuk laki-laki dan perempuan). Dalam kaitan dengan liturgi feminis maka akan dilihat tentang bangunan gereja yang berperspektif feminis. Hal ini berhubungan dengan apa yang sudah disinggung sebelumnya bahwa bangunan gereja di Indonesia lebih dipahami sebagai tempat berkumpul untuk ibadah dan tidak mempunyai makna teologis. Bangunan gereja belum berfungsi sebagai komunikasi iman non verbal dari jemaat. Selain itu, bangunan gereja juga lebih berciri maskulin yang dipengaruhi oleh liturgi yang juga berciri maskulin. Ester Pudjo Widiasih, “Liturgi Feminis: Liturgi Yang Merangkul”, dalam: Danang Kurniawan, dkk, Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen Indonesia, Prosiding, Jakarta, PERSETIA, 2015, h. 123. 3
Seperti dikutip oleh Ester Pudjo, dalam: Ester Pudjo Widiasih, “Liturgi Feminis: Liturgi Yang Merangkul”, dalam: Danang Kurniawan, dkk, Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen Indonesia, Prosiding, Jakarta, PERSETIA, 2015 h. 123-124. 5 Ibid, h. 123. 4
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
43
Procceding
Dari sini nampak bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya datang dari budaya, melainkan juga melalui agama, dalam hal ini bangunan gereja. Bentuk bangunan gereja yang ada kurang atau tidak memberi ruang bagi ekspresi diri kaum perempuan dan mendukung kaum perempuan (dan laki-laki) untuk bertemu dengan Tuhannya. Hal ini berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan dan menuntun kepada suatu hubungan yang tidak adil. Kendati perempuan hadir di tempat seperti itu, mereka sering berpikir secara berbeda. Perempuan lebih menekankan unsur keterbukaan, keintiman, keakraban dan persekutuan satu dengan yang lain, hal mana tidak nampak dalam ibadah dan arsitektur gereja. Sehubungan dengan hal itu maka perlu merumuskan dasar teologis bangunan gereja sebagai persekutuan jemaat yang inklusif dan terbuka terhadap semua orang, termasuk perempuan. Tidak hanya itu, perlu juga memperhatikan ruang ibadah (interior) dan simbol-simbol yang digunakan. Ruang ibadah diatur dengan memperhatikan prinsip keterbukaan, yang menyambut semua orang tanpa membedakan latarbelakang dan gendernya. Formasi tempat duduk juga perlu diatur sedemikian rupa sehingga semua peserta ibadah duduk sama rendah, saling berdekatan, saling menatap, tidak ada pemisahan berdasarkan hierarkis kepemimpinan. Bangunan yang dibuat tidak hanya berperspektif feminis, namun juga harus bersifat kontekstual, yang muncul dari konteks tertentu dan ditujukan untuk merespon konteks dengan memakai materi yang ada dalam konteks tersebut. Untuk kebutuhan ini, maka akan diperhatikan bagaimana pengaruh budaya setempat, dalam hal ini bangunan rumah tradisional mempengaruhi bangunan gereja kontekstual atau inkulturasi yang dibuat. Perhatian akan diberikan pada aspek kesetaraan gender (unsur feminis) yang ada dalam arsitektur rumah tradisional.
D. Metode Penelitian
Dalam penelitian lapangan ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang terdiri dari observasi/pengamatan dan wawancara dengan menggunakan pertanyaan terbuka. Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi langsung dari responden tentang makna teologis gereja, makna rumah tradisional dan perspektif feminis di dalamnya. Penelitian lapangan dilakukan pada 4 gereja yang telah melakukan upaya kontekstualisasi/inkulturasi, yaitu di GKPB Pniel Blimbingsari Bali, Gereja Toraja Surabaya, Gereja Katolik St. Fransiscus Karo, dan Gereja Katolik Ganjuran, Yogyakarta. Selain melihat makna arsitektur gereja, juga dilihat apa makna atau filosofi bangunan
44
rumah tradisional dan adakah unsur feminis atau tidak. Kemudian juga dilihat apakah arsitektur gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi mendapat pengaruh dari filosofi gereja tua dan rumah tradisional atau tidak. Sebelum melakukan wawancara dengan nara sumber untuk memperoleh data tentang makna bangunan gereja kontekstual/inkulturasi, gereja tua dan rumah traditional, terlebih dahulu dilakukan pengisian angket untuk mengetahui pemahaman jemaat tentang makna teologis bangunan gereja dan hubungan antara arsitektur dengan ibadah atau liturgi dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan. Penelitian lapangan ini juga dilengkapi dengan penelitian literatur, yang terdiri dari penelitian buku-buku dan dokumen tertulis untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan makna dan filosofi rumah adat dan gedung gereja (gereja tua/awal dan hasil kontekstualisasi/inkulturasi). Berikut ini akan dijelaskan satu per satu tentang bangunan gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi.
E. Metode Analisis
Warga jemaat yang diwawancarai berjumlah 20 orang untuk setiap gereja, dengan pembagian 10 orang (5 laki-laki dan 5 perempuan) untuk gereja tua dan 10 orang (5 laki-laki dan 5 perempuan) di gereja hasil kontekstualisasi. Hal ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan pemahaman terhadap gereja berarsitektur Eropa dengan yang berarsitektur rumah tradisional. Namun ada beberapa responden keliru memahami pertanyaan sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan pertanyaan. Kesalahan yang lain terjadi di gereja Katolik St. Fransiscus Karo, dimana mahasiswa mengubah pertanyaan dengan maksud untuk menyederhanakan supaya mudah dimengerti oleh responden, namun yang terjadi malah berbeda dengan maksud semula sehingga hasilnya tidak semua bisa digunakan di sini. Adapun tokoh adat yang diwawancarai, semula direncanakan berjumlah 4 orang dan tokoh gereja 4 orang (2 laki-laki dan 2 perempuan) masingmasing 2 dari gereja tua dan 2 dari gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi. Namun perkembangan di lapangan berbeda sehingga jumlah disesuaikan dengan nara sumber yang tersedia, dan masing-masing jumlahnya bervariasi. Di Yogyakarta: 2 tokoh adat dan 6 tokoh gereja (4 laki-laki dan 2 perempuan), Gereja Toraja Surabaya: 4 orang tokoh gereja (2 laki-laki, 2 perempuan), GKPB Pniel: 2 orang tokoh adat dan 2 orang tokoh gereja, Gereja Katolik St. Fransiscus: 2 tokoh adat dan 4 tokoh gereja (2 laki-laki, dua perempuan). Wawancara di sini bertujuan mengumpulkan data tentang sejarah dan makna rumah traditional dan arsitektur gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi (teologis, filoso-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
fis), serta melihat unsur feminis dalam kedua arsitektur tersebut. Penelitian ini menggunakan masing-masing 6 pertanyaan untuk rumah tradisional, gereja tertua (awal) dan untuk gereja hasil kontekstualisasi/ inkulturasi, yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan: makna teologis dan filosofis arsitektur, fungsi tiap-tiap ruang, pembagian ruang berdasarkan jenis kelamin, makna interior dan ornamen yang digunakan, dan formasi dalam ibadah. Tentu saja pertanyaan ini tidak sama persis untuk ketiga obyek penelitian karena rumah tradisional tidak memiliki makna teologis, dan gereja tidak memiliki pembagian ruang berdasarkan jenis kelamin. Setelah semua data dikumpulkan, lalu dianalisa berdasarkan tempat penelitian, dengan melihat makna teologis gereja dan filosofi rumah tradisional serta aspek feminis didalamnya. Selanjutnya dilihat pengaruh dari rumah tradisional dan gereja tertua (awal) dalam arsitektur gereja hasil kontektualisasi/inkulturasi di masing-masing daerah penelitian. Pada akhirnya disimpulkan gereja mana yang memperhatikan aspek feminis dan gereja mana yang tidak.
F. Hasil dan Pembahasan
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pemahaman warga jemaat tentang makna teologis, menunjukkan bahwa mayoritas warga jemaat tidak mengetahui makna teologis dari bentuk arsitektur gereja, baik eksterior maupun interior. Hal ini nampak dari hasil penyebaran angket terhadap warga jemaat di Yogyakarta, Toraja, dan Bali. Berdasarkan hasil angket di tiga daerah tersebut, didapati bahwa dari 80 responden (jemaat) yang diwawancarai, hanya 19 orang atau 23.5% (Yogyakarta 9 orang, Toraja 1 orang, dan Bali 9 orang), yang dapat menyebutkan makna teologis dari arsitektur gereja mereka, sedangkan sisanya 61 orang atau 75% tidak menyebutkan. Selain itu, responden yang mampu menyebutkan makna teologis hanya mampu menyebutkan beberapa bagian saja, tidak secara menyeluruh. Misalnya makna dari ornamen atau interior gereja saja. Data yang diungkapkan di atas dapat dipahami karena responden memang tidak terlalu memberi perhatian kepada arsitektur gereja mereka, yang terpenting hanya terlihat indah dan nyaman saja. Hal ini nampak dari hasil wawancara di empat daerah (Yogyakarta, Toraja, Bali, dan Batak Karo). Berdasarkan hasil wawancara, terlihat bahwa dari 80 responden (jemaat), 29 orang (36%) diantaranya mengungkapkan bahwa mereka tidak terpengaruh dengan arsitektur gereja. Alasannya, karena yang paling penting adalah pribadi (hati) masing-masing individu. Artinya arsitektur gereja tidak me-
miliki arti selain hanya tempat beribadah saja. Kenyataan ini cukup memprihatinkan karena seperti yang telah diungkapkan di awal, arsitektur gereja bukan hanya berbicara mengenai keindahan (estetis) tetapi juga mengkomunikasikan pesan teologis dan filosofis kepada manusia, khususnya jemaat. Ketiadaan makna teologis kiranya juga dapat dimengerti karena dalam konteks arsitektur gereja di Indonesia, banyak gereja mengikuti model gereja di Eropa yaitu model bangunan memanjang dan bermenara serta tidak ada penjelasan tentang makna dari arsitektur yang demikian. Para Misionaris hanya mengikuti model gereja di Eropa dan tidak menggunakan model arsitektur rumah traditional yang ada (penghapusan budaya lokal dengan dalih “kafir” atau tidak berbudaya). Arsitektur semacam ini cocok dengan konteks Eropa dan memiliki makna teologis yang sesuai dengan konteks Eropa, tetapi menjadi tidak cocok ketika ditempatkan di daerah yang jelas-jelas berbeda konteks pergumulannya, seperti di Indonesia. Selanjutnya akan dibahas tentang hasil penelitian terhadap makna arsitektur rumah tradisional, gereja tertua (awal), dan gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi di empat daerah: Yogyakarta, Toraja, Bali dan Karo.
I.
Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran
a. Arsitektur Tajug dari Rumah Adat Jawa Penelitian tidak hanya dilakukan di gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, tetapi juga pada gereja Katolik Bintaran dan makna arsitektur Tajug yang merupakan konsep rumah adat Jawa. Arsitektural Mesjid atau Tajug merupakan salah satu dari lima bentuk bangunan yang berkembang di lingkungan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selain bentuk rumah Joglo, Limasan, Panggang-pe, dan Kampung. Berbeda dengan tipe bangunan lainnya yang seringkali digunakan sebagai tempat tinggal, Tajug digunakan sebagai tempat beribadah atau pemujaan. Bentuk bangunan Tajug beserta berbagai ornamen tradisional Jawa inilah yang akhirnya digunakan sebagai bentuk Inkulturasi budaya Jawa oleh Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul – DIY (Gereja Ganjuran). Penelitian dilakukan terhadap Masjid Gedhe Kauman sebagai bentuk arsitektur Tajug. Mesjid berbentuk Tajug ini memiliki atap yang runcing, yang dimaknai sebagai lambang keabadian Tuhan dan keesaan Tuhan. Selain itu, atapnya berbentuk susunan segi tiga yang memiliki makna kesatuan antara raja, rakyat
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
45
Procceding
dan Tuhan. Terdapat pembagian ruang yang terdiri dari Mighrab (tempat imam memimpin Sholat Jama’ah), Mimbar Khotib, Maksura (ruangan kecil, tempat Sultan dan keluarganya melaksanakan sholat), Yatihun (ruang berdiskusi atau koordinasi para Ulama), dan Pawestren (ruang sholat berjamaah kaum wanita). Dalam ornamen-ornamennya seperti kaligrafi dan interior yang polosan dengan warna alami, secara umum hendak mengkomunikasikan manusia holistik yang berhati bersih dan murni dalam mengagungkan nama Tuhan Y.M.E dan Nabi Muhammad sebagai nabi utusanNya. Berkaitan dengan formasi dalam ibadah, di dalam arsitektural tradisional Tajug terlihat bahwa ada pembagian antara laki-laki dan perempuan, dalam ruangan khusus yang berbeda pula. Posisi ini dikatakan sebagai Satuan Terpisah yang terdapat di dalam hukum agama Islam, yang bermakna bahwa meski terpisah tetapi di dalam ibadah antara laki-laki dan perempuan adalah satu. Pemisahan antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan ketika melaksanakan ibadah. Hal ini tidak berarti bahwa ada tingkatan yang rendah ataupun tinggi di hadapan Tuhan, melainkan adanya pembagian demi kenyamanan dan hukum agama Islam sebagai satuan terpisah.
b. Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran Yogyakarta Arsitektur bangunan gereja Bintaran menggunakan arsitektur bergaya Eropa sebagai peninggalan dari missionaris Belanda. Bangunan ini berbentuk seperti pedati dengan ventilasi berbentuk bunga mawar yang melambangkan bunda Maria dengan sejumlah manik-manik Rosario. Bentuk ini menggambarkan semangat Santo Yusup yang mencari tempat untuk melahirkan Yesus. St. Yusup adalah santo pelindung suci gereja Bintaran sekaligus suami yang setia bagi Maria yang hendak melahirkan Yesus. Yusup dan Maria bersama-sama susah demi kehadiran Yesus Kristus. Jadi pada dasarnya ada sebuah kesetaraan gender yang hendak dibangun di dalam spiritualitas Yusup dan Maria. Bangunan ini memiliki tiga tingkatan: ruang utama untuk memuliakan Tuhan yaitu ruang bagi umat (profan), tempat bagi para petugas prodiakon, misdinar, suster termasuk imam (pengantara) dan tempat bagi tabernakel sebagai pertanda bahwa Tuhan hadir (sakral). Ketiga tempat ini dibedakan dari tingkatan yang lebih rendah ke lebih tinggi. Tiang-tiang yang kokoh, dinding yang tebal dan
46
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
tinggi menampakkan ciri-ciri maskulin yang sekaligus bermakna mengayomi dan melindungi jemaat. Gereja ini dihiasi dengan ornamen-ornamen yang berhubungan dengan peristiwa jalan salib (patung Yesus dan Yesus yang disalibkan (dalam bahasa Jawa); Patung Maria; dan patung santo/santa suci pelindung gereja (Yusup)). Salah satu ornamen yang terdapat pada seluruh ventilasi, menampakkan penghormatan kepada bunda Maria yaitu bunga Mawar atau berbentuk menyerupai rosario. Formasi ibadah tidak membagi antara laki-laki dan perempuan. Ibadah menghadap ke depan sehingga pusat perhatiannya tertuju pada simbol-simbol tradisi Kristen yang terlihat pada ruang sakral (depan), maupun ornamen-ornamen di sekitarnya. Terdapat spiritualitas akan keseimbangan dan kesetaraan masyarakat Jawa yang ditunjukkan melalui duduk bersama-sama di bawah. Hal ini sekaligus menampakkan spiritualitas feminis, yaitu adanya kesetaraan dan keharmonisan dengan sesama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meski bentuk arsitektur bangunan Gereja Bintaran lebih memperlihatkan sisi maskulin yang bermakna kekuatan dan perlindungan terhadap umat, namun terdapat keseimbangan antara maskulin maupun feminis yang menjadi spiritualitas yang dihidupi dalam kehidupan Gereja Bintaran. c. Gereja Katholik Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran Gereja Katholik Ganjuran berbentuk Tajug dengan tiang-tiang penopang sehingga terlihat tanpa dinding dan terbuka. Dengan bangunan yang terbuka dan tanpa dinding tersebut hendak mengkomunikasikan persekutuan yang terbuka dan menerima siapa saja, baik jemaat maupun masyarakat Jawa di sekitarnya. Selain itu, tidak ada pembagian ruangan antara laki-laki dan perempuan. Pada bagian dalam gereja, dapat dilihat berbagai ornamenornamen khas Eropa peninggalan missionaris seperti Altar, Tabernakel, dan fiber glass. Adapun pengaruh Hindu yang terlihat didalamnya adalah Patung HKTY, bunda Maria, dan Malaikat, yang menggunakan ciri-ciri fisik orang bule (Eropa), tetapi menggunakan pakaian dan aksesoris layaknya orang-orang Jawa. Yesus dan Maria pun terlihat seperti pemimpin bagi masyarakat Jawa dengan tahtanya dalam sebuah candi Hindu. Selain itu terdapat pula ornamen khas Jawa seperti umpak, praba, wa-
Procceding
jikan, dan usuk peniyung. Ornamen-ornamen ini ingin mengkomunikasikan secara umum makna hubungan keselarasan dan keharmonisan sebagaimana filosofi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Keselarasan tersebut tidak hanya terlihat dalam hubungan vertikal, tetapi juga dalam hubungan horisontal. Dari segi formasi, terdapat unsur-unsur yang memberi perbedaan, yaitu pada pemimpin ibadah (imam) laki-laki dan para petugas yang berada di bagian depan, sedangkan jemaat duduk terpusat ke depan. Dari formasi ibadah tersebut, setidaknya dapat dilihat sebuah pola hierarkis peninggalan khas Eropa yang membedakan antara petugas dan umat. Sifat inilah yang sebenarnya berbeda dengan semangat persekutuan dan kepemimpinan yang saling berbagi dari sisi feminis. Sama juga halnya dengan pembedaan pakaian antara petugas dan umat. Berdasarkan pemaparan di atas, Gereja Ganjuran memperlihatkan perpaduan dari beberapa tradisi yaitu tradisi Eropa, tradisi Hindu dan tradisi Jawa. Perpaduan ini menjadikan Gereja Ganjuran sebagai gereja inkulturasi dengan budaya khususnya Jawa sebagai konteks setempat sekaligus menempatkan secara seimbang antara unsur feminis maupun maskulin. Akhirnya, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kendati gereja Ganjuran mendapat pengaruh dari gereja Bintaran yang bergaya Eropa dan rumah tradisional Jawa model Tajug, namun terdapat perbedaan, yaitu perbedaan tempat antara laki-laki dan perempuan yang ada dalam ibadah di arsitektur tradisional Tajug. Adapun unsur yang sama adalah dalam hal formasi ibadah yang terlihat hierarkis dipraktekkan oleh Gereja Bintaran, Ganjuran dan formasi ibadah dalam arsitektur Tajug. Dari segi feminis, gereja Ganjuran sebagai gereja hasil inkulturasi budaya Jawa, tidak dipengaruhi oleh Tajug maupun Gereja Bintaran. Hal itu berarti bahwa gereja Ganjuran tidak mempertimbangkan secara khusus mengenai adanya pembagian antara unsur maskulin maupun feminis, melainkan lebih menempatkan kedua unsur tersebut pada posisi yang seimbang. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa ketika gereja Ganjuran dibangun, tidak ada pertimbangan untuk menempatkan secara khusus unsur tertentu. Meskipun demikian, formasi dalam ibadah yang hierarkis hendak mengimplikasikan bahwa ada penekanan pada tradisi Eropa yang lebih maskulin, dengan membedakan posisi anta-
ra petugas dan umat. Apalagi ada perbedaan pakaian antara petugas dan umat yang secara implisit memperlihatkan perbedaan tersebut. Pada akhirnya, arti dari perbedaan ini sebenarnya hendak menekankan bahwa adaptasi tradisi Eropa maupun inkulturasi terhadap budaya Jawa tidak dilakukan menyeluruh, melainkan ada unsur-unsur yang secara seimbang ataupun secara khusus diberi pertimbangan tertentu. Gereja Ganjuran dapat dikatakan berbeda (khas) dengan bentuk bangunan gereja tanpa dinding, berbeda dengan Tajug maupun Gereja Bintaran yang tertutup dengan dinding. Keterbukaan gereja Ganjuran tersebut memberikan arti penerimaan, persekutuan yang terbuka serta merangkul masyarakat pada umumnya maupun dalam konteks Jawa pada khususnya sebagai tempat gereja berdiri.
II. Gereja Toraja Surabaya a. Arsitektur Rumah Tradisional Toraja (Tongkonan) Untuk memahami makna arsitektur gereja Toraja Surabaya juga dilakukan penelitian terhadap rumah tradisional Toraja, Tongkonan. Dalam falsafah hidup orang Toraja disebutkan bahwa kosmos/alam, rumah dan manusia saling mengisi dan saling mengikat antara satu dengan yang lainnya. Ketiga hal ini dinampakkan melalui bangunan Tongkonan yang terbagi atas tiga bagian utama: bagian kaki (kolong), bagian badan Tongkonan, dan bagian atas (atap). Bentuk atap Tongkonan merupakan abstraksi dari bentuk ‘perahu’ yang didasarkan pada dugaan adanya ikatan budaya ‘perahu’ yang dibawa oleh leluhur mereka. Namun bisa juga menggambarkan bentuk tanduk kerbau sebagai simbol pokok harta benda. Rumah Tongkonan dihiasi dengan berbagai macam ornamen dengan maknanya masing-masing. Adapun bagian dalam Tongkonan terdiri atas: 1. Bagian depan (bagian Utara). Bagian ini dianggap sebagai bagian yang suci dan terhormat disebut mewakili unsur lakilaki. 2. Bagian belakang (bagian Selatan). Bagian ini dimaknai sebagai tempat bombo’ (setan jahat), tempat untuk membuang kesialan dan bagian yang dianggap kotor. Di bagian inilah kaum perempuan melakukan kegiatannya yaitu menumbuk padi.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
47
Procceding
3.
Bagian kanan Bagian ini berfungsi sebagai tempat untuk anak bermain. Selain itu, fungsi terpenting bagian ini adalah area ritual Aluk Rambu Tuka’ (ritual perkawinan). 4. Bagian kiri Bagian ini berfungsi sebagai area Aluk rambu Solo’ (ritual kematian)
Bagian penting lainnya dari Tongkonan bukan hanya bangunan rumahnya saja tetapi juga termasuk halaman rumah, karena di tempat inilah kegiatan-kegiatan banyak dilakukan, termasuk ritual-ritual. Berdasarkan pembagian ruang ini nampak adanya pembedaan posisi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan ditempatkan pada posisi yang tampak lebih rendah daripada laki-laki. Laki-laki diberikan tempat di bagian depan (Utara) yang memiliki konotasi sebagai tempat yang suci dan mulia sedangkan perempuan mendapat tempat di bagian belakang, yang berkonotasi kurang baik yaitu bagian yang dianggap sebagai kaki, bawahan, ekor, pengikut dan tempat kotor.
b. Gereja Toraja Tertua (Awal) Sejak jaman Pekabaran Injil di Toraja, sudah dipikirkan agar orang Toraja tidak perlu meninggalkan adat istiadat mereka ketika mereka menjadi orang Kristen. Sehubungan dengan hal itu maka dibangunlah gereja dengan model arsitektur Tongkonan. Walaupun sudah terdapat gereja yang menggunakan arsitektur Tongkonan, pengaruh arsitektur Belanda masih nampak pada gereja-gereja tersebut yaitu bentuk bangunan yang memanjang (persegi panjang). Contoh bangunan gereja berarsitektur Tongkonan bisa dilihat pada gereja di Sangalla, yang dibangun pada tahun 1924.
c. Gereja Toraja Surabaya berarsitektur
Tongkonan
Arsitektural gereja ini pada dasarnya menggunakan arsitektural rumah Tongkonan. Tetapi tidak semua bagian dari rumah Tongkonan digunakan dalam arsitektural gereja, misalnya halaman tidak difungsikan seperti pada Tongkonan. Gereja ini tidak memiliki pembagian ruang, dan mengikuti pembagian ruang seperti gereja pada umumnya, dimana bentuknya memanjang dari depan ke belakang. Di dalam
48
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
ruang gereja terdapat mimbar, kursi penatua dan diaken, kursi untuk pemain musik dan pro kantor. Kursi jemaat berada lebih rendah dibanding dengan mimbar. Penggunaan ukiran Toraja pada ruangan gereja sangat minim dan tidak ada makna teologis dari ukiran tersebut. Beberapa ornamen Tongkonan yang digunakan pada ornamen arsitektural gereja adalah ukiran dasar (Goronto Passura) dan ukiran tua (Passura’ todolo). Pada Beberapa ornamen yang digunakan pada eksterior gereja, nampak adanya penggunaan unsur maskulin dalam ukiran-ukiran tersebut, yaitu passura’ pa’ tedong. Dalam masyarakat Toraja, hewan kerbau (tedong) merupakan hewan yang istimewa dan memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Unsur feminis sama sekali tidak terlihat dalam ornamen-ornamen tersebut Dari hasil penelitian nampak bahwa kendati ada kaitan antara arsitektur Gereja Toraja dan rumah Tongkonan, namun bangunan gereja Eropa lebih mempengaruhi arsitektur gereja. Hal ini terlihat pada bagian dalam bangunan gereja dimana ruangan dan formasi duduk di kursi mengikuti gereja Eropa, dan tidak ada pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, halaman pada Gereja Toraja tidak difungsikan sebagaimana pada rumah Tongkonan. Padahal halaman juga merupakan bagian dari Tongkonan itu sendiri. Oleh karena halaman pada gereja tidak difungsikan maka nampak tidak ada pembagian posisi antara laki-laki dan perempuan dalam gereja. Hal ini menarik, karena ini berarti bahwa gereja tidak membedakan antara lakilaki dan perempuan (setara), namun sayang, masih terdapat perbedaan antara kaum awam dan pemimpin ibadah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penggunaan arsitektur Tongkonan pada gereja Toraja Surabaya, hanya sebagai ornamen biasa tanpa adanya pemaknaan teologis tertentu. Gereja dengan arsitektur Tongkonan hanya digunakan sebagai tempat untuk beribadah. Selain itu, tidak nampak perspektif feminis dalam arsitektur gereja Tongkonan, baik pada eksterior maupun interior. Yang nampak justru unsur maskulin dalam formasi ibadah dan penggunaan ornamen kerbau sebagai simbol laki-laki.
Procceding
III. Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Jemaat Pniel Blimbingsari6
yang dapat dibuat bervariasi. Umumnya Pura menghadap ke barat, memasuki Pura menuju ke arah timur dan demikian pula pemujaan dan persembahyangannya yang menghadap ke arah terbitnya matahari.10 Dalam Arsitektur Bali, khususnya tempat pemujaan, perempuan mendapat ruang yang sama dengan laki-laki. Artinya tidak ada pembedaan dan pembatasan bagi perempuan. Mereka boleh memasuki bagian-bagian yang boleh dimasuki umat yaitu Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi. Dalam formasi peribadatan tidak ada pembatasan dan pemisahan terhadap perempuan dalam beribadah di Pura karena semua orang sama di hadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Tidak adanya pembatasan antara laki-laki dan perempuan karena umat di dalam Pura harus berpikir Suci dan ketika masuk ke Jeroan umat meniti tangga dan turun sedikit yang memiliki makna bahwa umat diundang untuk beribadah dan tangga turun berarti penyerahan diri kepada Tuhan. Formasi dalam ibadah di Pura hanya tergantung kepada masalah etika saja, misalnya yang lebih tua duduk di deretan depan. Namun, apabila perempuan sedang mendapat Haid (datang bulan) memang tidak diijinkan untuk memasuki area Pura karena akan berbahaya bagi perempuan tersebut. Hal ini dikarenakan dalam keyakinan agama Hindu, bukan hanya Haid tetapi juga keadaan sedang berduka, sehabis melahirkan, dianggap sebagai sesuatu kesialan dan tidak suci (kotor) sehingga tidak dapat beribadah di Pura yang disucikan oleh umat Hindu. Larangan ini demi kebaikan mereka agar tidak terkena sanksi alam. Berkaitan dengan penghormatan kepada perempuan, ada hal yang menarik. Di dalam Jeroan, terdapat Gedong yaitu tempat pemujaan yang terdiri dari 3 ruang atau bilik. Sebelah kanan untuk nenek moyang laki-laki, sebelah kiri untuk nenek moyang perempuan dan di tengah merupakan simbol penyatuan bersama (nenek moyang laki-laki dan perempuan) dengan Tuhan. Berdasarkan hal ini, nampak sebuah penghargaan yang setara terhadap perempuan dalam pemujaan di Pura. Dengan kata lain, perempuan mendapat tempat yang sama dalam konteks pemujaan.
Pada penelitian terhadap GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari, dilakukan juga penelitian terhadap bangunan gereja awal dan rumah tradisional Bali untuk melihat pengaruhnya terhadap bangunan GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari.
a. Arsitektur Rumah Tradisional Bali Arsitektur rumah Bali sangat erat kaitannya dengan manusia dan alam semesta. Hal ini nampak pada konsep arsitektur tradisional Bali yang sangat dipengaruhi oleh konsep “pembagian tiga” yang dikenal dengan konsep Tri Angga (Hierarki Ruang).7 Konsep ini mengansumsikan bahwa segala sesuatu di dalam dunia secara alamiah dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu utama, nista, dan madya. Utama berarti sesuatu yang tinggi atau ‘atas’ yang diidentifikasikan dengan gunung-gunung, sorga dan hal-hal yang sakral. Nista merupakan kebalikan dari utama. Nista merupakan sesuatu yang rendah atau ‘bawah’ dan yang termasuk di dalamnya adalah laut, neraka, kematian, dan hal-hal yang dianggap profan. Sedangkan manusia berada pada level menengah atau madya yang merupakan keadaan dunia biasa atau sehari-hari yang terbentang dari pantai sampai kaki gunung. Secara singkat konsep Tri Angga merupakan pembagian tiga yaitu Nista (bawah, kotor, kaki), Madya (tengah, netral, badan) dan Utama (atas, murni, kepala). Secara sederhana arsitektur tradisional Bali dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu dasar (base), dinding (walls), dan atap atau langit-langit (roof).8 Bali memiliki rumah untuk ibadah yaitu Pura. Pura memiliki tingkatan-tingkatan yaitu utama, madya (menengah) dan sederhana, yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan yang terbagi menjadi tiga zona.9 Zona utama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan. Zona tengah disebut jaba tengah yaitu tempat persiapan dan pengiring upacara. Zona depan disebut jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam Pura. Pekarangan Pura dibatasi oleh tembok batas (penyengker). Pintu masuk pertama atau di jabaan memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan memakai Kori Agung
Seluruh pembahasan bagian ini disarikan dari hasil wawancara
6
dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub dan Pdt. Em. Siluh Ketut Nyeneng 7 Julian Davison and Bruce Granquist, Balinese Architectur, Singapore, Periplus, 1999, hal. 4 8 Ibid, hal. 4 9 Ibid
b. Bangunan gereja Tertua (awal) Gereja awal berbentuk salib, dengan kepala menghadap ke utara dan kaki menghadap ke selatan. Makna bentuk salib ini ingin men-
I Nyoman Gelebet, dkk., Arsitektur Tradisional Daerah Bali I, Denpasar, Depdikbud, 1982, hal. 120 10
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
49
Procceding
gingatkan bahwa Yesus adalah Penyelamat manusia melalui kematianNya di kayu Salib. Pada bangunan itu terdapat 2 pintu masuk dan 2 menara yang bergaya Eropa. Namun, terdapat pula bale kulkul dan ukiran khas Bali pada mimbar sebagai usaha kontekstualisasi pada waktu itu, meskipun makna dan dasarnya belum seperti saat ini. Hal yang menarik ada pada formasi ibadah. Ketika beribadah, bagian timur ditempati oleh perempuan, bagian barat oleh pemuda, dan bagian selatan ditempati oleh laki-laki. Pembagian ini murni karena budaya (tidak ada pengaruh dari pemahaman teologis), dimana orang belum terbiasa datang dan duduk bersama di dalam gereja. Pada bangunan gereja awal ini, pemikiran tentang kontekstualisasi memang sangat minim sehingga interior dan ekterior yang ada belum menampakkan kontekstualisasi. Pada waktu itu yang penting adalah kehadiran mereka (jemaat) di gereja. Arsitektur Gereja belum memiliki makna bagi jemaat. Kehadiran di gedung gereja sudah dirasa cukup oleh jemaat, dimana jemaat dapat merasakan suasana ibadah dan tidak terlalu memperhitungkan arsitektur gereja. c. Arsitektur
Blimbingsari
50
GKPB
Jemaat
Pniel
Arsitektur gereja mengikuti gaya arsitektur Pura. Gedung gereja (ruang ibadah) dirancang terbuka (tanpa dinding) yang mengandung makna bahwa seluruh ciptaan dapat memuliakan Allah (tidak hanya manusia). Dalam tradisi agama Hindu suara air merupakan simbol dari Dewa Wisnu, Sinar (panas) simbol Dewa Brahmana, dan udara simbol dari Dewa Siwa. Hal ini ingin mengajak seluruh ciptaan untuk memuji Tuhan (Manusia bersama dengan seluruh alam ciptaan). Pembagian bangunan gereja mengikuti arsitektur Bali yang terdiri dari Jaba Sisi, Jaba Tengah, dan Jeroan. Candi Bentar merupakan tanda peralihan dari luar gereja ke halaman gereja. Kemudian Candi Gelung merupakan tanda peralihan dari halaman ke ruang ibadah dengan menaiki tangga. Pintu masuk ke ruang ibadah terdiri dari 2 pintu yang bermakna bahwa laki-laki dan perempuan bisa masuk beribadah dan menyatu dalam persekutuan. Di pintu masuk terdapat Candi Bentar (sama dengan arsitektur Bali) yang merupakan simbol dari perkataan Yesus bahwa “Akulah Jalan Kebenaran…melalui Aku”. Kemudian, sebelum masuk ke dalam gedung gereja terdapat Candi Gelung yang terdiri dari 2 pintu.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Candi Gelung sangat kental arsitektur Bali tetapi simbol yang digunakan merupakan simbol-simbol kristiani seperti simbol Roh Kudus, Anggur, salib, dll. Candi ini adalah perpaduan antara arsitektur tradisional Bali dan Kekristenan. Candi merupakan simbol dari gunung. Orang Bali percaya bahwa roh dan kehidupan datang atau mengalir dari gunung, sedangkan laut (Kelod) adalah kematian. Candi Gelung ini mempunyai dua pintu masuk. Ketika merencanakan gedung gereja, memang bermaksud menghargai pendahulu yang membangun gereja berbentuk salib dengan menara dan dua pintu masuk. Pintu masuk direnovasi dengan posisi yang sama dengan aslinya sehingga ada kelanjutan sejarah. Dua pintu ini memberi simbol manusia datang dari asal budaya dan ras yang berbeda. Namun, setelah masuk ke dalam gedung gereja, mereka dipersekutukan dalam satu nama yaitu Yesus Kristus. Pada pintu ini juga terdapat simbolsimbol penciptaan sebelum manusia jatuh dalam dosa. Selain itu, ada pula kisah tentang kedatangan generasi awal di Blimbingsari. Atap bangunan ruang ibadah menjulang tinggi ke atas yang menunjuk kepada Allah yang Maha Tinggi namun pada bagian puncak dibuat datar (flat) sebagai peringatan bahwa manusia tidak bisa memanjat Allah. Ruang ibadah berbentuk oval yang mengandung makna satu persekutuan. Ruang ibadah tidak mengadopsi konsep dalam Pura dimana umat bersembahyang dengan duduk atau bersila tanpa kursi, melainkan menggunakan kursi yang dapat diduga berasal dari tradisi gereja yang dibawa misionaris. Formasi duduk yang berbentuk oval ini dianggap dapat mendukung keintiman, keakraban, dan persekutuan atau dengan kata lain terdapat unsur feminis. Unsur feminis dalam arsitektur gereja Pniel terlihat jelas dari bentuk gereja yang tidak memanjang seperti gereja peninggalan misionaris serta ruang ibadah berbentuk oval dimana suasana keakaraban lebih terasa. Bentuk ini tentu lebih dekat pada unsur feminis. Selain itu, unsur feminis yang cukup kuat juga muncul pada dua bagian yaitu Candi Gelung dan Patung Malaikat. Walaupun bukan sebagai bangunan utama, tetapi dapat diartikan bahwa ada penghargaan yang cukup tinggi kepada perempuan (ada unsur feminis). Selain itu, dilihat dari bentuk gereja yang tidak memanjang melainkan oval lebih memberikan kesan keakraban dan keintiman bagi jemaat yang hadir. Setelah melihat arsitektur gereja hasil kontekstualisasi dan arsitektur rumah tradisional Bali, nampak ada hubungan di antara
Procceding
keduanya. Arsitektur gereja yang merupakan hasil kontekstualisai mencerminkan gaya arsitektur rumah tradisional Bali khususnya tempat pemujaan. Meskipun tidak sama persis, tetapi paling tidak ada kemiripan pada beberapa bagian. Paling jelas misalnya pembagian tempat ibadah menjadi 3 bagian diadopsi oleh arsitektur gereja Pniel lengkap dengan penanda tiap bagian yaitu Candi Bentar dan Kori Agung (Candi Gelung). Arsitektur Candi Bentar dan Kori Agung (Candi Gelung) bergaya khas Bali namun ditambahkan simbol kekristenan yaitu Salib. Selain pembagian tempat ibadah, ada pula konsep ruang ibadah yang terbuka, menyatu dengan alam yang digunakan pada arsitekur gereja yang mirip dengan konsep Pura. Meskipun demikian masih terdapat pengaruh arsitektur gereja Eropa khususnya dalam interior misalnya penggunaan kursi. Banyak interior dan eksterior gereja yang bernuansa Bali namun tidak berasal dari arsitektur tradisional Pura. Misalnya ukiran pada mimbar dan tembok. Hal yang menarik terjadi dalam formasi ketika ibadah. Selain ruang ibadah berbentuk oval yang dapat mendukung keakraban, majelis jemaat duduk pada kursi paling depan namun sejajar dan tidak terpisahkan dengan kursi jemaat. Selain itu altar dan mimbar tidak dibuat terlalu tinggi. Kedua hal tersebut memberi kesan kesetaraan di antara pendeta, majelis dan jemaat atau dengan kata lain tidak ada hierarki. Baik dalam arsitektur GKPB Pniel dan arsitektur rumah tradisional Bali, perempuan cukup mendapat tempat. Hal ini nampak jelas dari beberapa bagian yang memberi ruang dan penghormatan kepada perempuan. Pada bangunan Gereja Pniel terdapat dua bagian yang memberi ruang kepada perempuan yaitu Candi Gelung dan Patung Malaikat. Sedangkan dalam arsitektur rumah tradisional Bali, pada Jaba (tempat ibadah utama) terdapat Gedong (tempat pemujaan) yang terdiri dari tiga bilik di mana satu bilik untuk pemujaan leluhur perempuan. Dalam arsitektur gereja, Gedong tidak ada karena gereja tidak mengenal pemujaan leluhur. Pada arsitektur gereja dan rumah tradisional tidak ditemukan pembedaan terhadap laki-laki dan perempuan ketika peribadatan berlangsung. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama. Berdasarkan semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk arsitektur seperti ini dapat mendukung umat, secara khusus perempuan untuk menghayati Allah dalam perspektif feminis sehingga tema yang dikhotbahkan yaitu kasih, kesetaraan, per-
sekutuan, dll., didukung oleh arsitektur baik eksterior maupun interior gereja.
IV. Arsitektur Gereja Katholik Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi a. Rumah Adat Bata Karo: “Siwaluh
Jabu”.
Rumah adat Karo merupakan simbol masyarakat pra-modern dalam memandang mikrokosmos, mikrokosmos, dan metakosmos. Rumah Adat berukuran kira-kira panjang 12 meter dan lebar 10 meter terdiri dari 8 jabu (ruang) yang ditempati oleh 8 keluarga.11 Rumah adat Karo mencerminkan kekeluargaan dengan pembagian tugas yang tegas dan teratur sesuai adat Karo untuk mencapai keharmonisan bersama. Dalam pandangan masyarakat tradisional, rumah adalah sumber kehidupan (kosmos). Alam pikiran masyarakat tradisional, menempatkan hidup mereka pada ruang kosmos bertingkat, yaitu langit, tengah dan bawah (makrokosmos, mikrokosmos, dan metakosmos). Rumah siwaluh jabu yang terdiri dari beberapa keluarga mencerminkan bahwa pada masa itu prinsip gotong-royong sangat tinggi. Masyarakat bergotong-royong baik dalam membangun rumah, mengerjakan ladang, dan dalam kegiatan sehari-hari lainnya. Rumah adat tersebut juga agak tinggi. Hal ini kemungkinan besar untuk mewaspadai serangan binatang liar dan musuh. Adapun fungsi rumah bagi masyarakat Karo antara lain sebagai tempat tinggal keluarga, tempat berlindung ketika terik/panas, hujan dan udara yang dingin, tempat beristirahat ketika selesai bekerja, dan tempat berkumpul atau bermusyawarah keluarga (sangkep nggeluh). Tidak ada bagian rumah yang digunakan sebagai tempat peribadahan karena masyarakat Karo tidak pernah melakukan ritual pemujaan di rumah adat. Ruangan tidak memiliki penyekat, kecuali tirai berupa kain yang khusus dipasang waktu malam hari. Pada tiap dua ruangan terdapat satu dapur di depannya, tempat memasak untuk dua kepala keluarga. Rumah diberi hiasan sebagai fungsi estetik dan magis yang ditempatkan pada bagian luar rumah, mulai dari ujung atap sampai palang dapur (dapur-dapur). Hiasan-hiasan itu disebut Jabu artinya suatu bagian ruangan yang terdapat pada rumah adat dan ditempati oleh satu keluarga yang memiliki pertalian dengan yang lainnya. 11
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
51
Procceding
sebagai Gerga (ragam hias). Hiasan yang ditambahkan pada sebuah bidang atau dinding, harus terdiri dari pola, sehingga bisa memperlihatkan keberadaannya sebagai ragam hias atau ornamen. Pola juga memiliki struktur. Motifnya berbeda-beda, hingga pola dapat digolongkan berdasarkan motifnya, seperti bentuk manusia, hewan, raksasa, tumbuhtumbuhan, geometrik, kosmos atau alam. Arsitektur tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Namun tidak dipungkiri, adanya kemungkinan Adat Karo membungkus pembedaan laki-laki dengan perempuan melalui adatnya. Terlepas dari itu semua, secara arsitektur tidak terlihat adanya unsur feminis, tetapi posisi perempuan diberi tempat. Hal ini terlihat dari penempatan dapur di tengah-tengah, bukan di sudut atau di pinggir rumah, sedangkan berdasarkan posisi duduk dalam upacara adat atau musyawarah, perempuan berada di belakang laki-laki. b. Gereja Tertua di Tanah Karo (Gereja
Katholik St. Perawan Maria)
Bangunan gereja berbentuk memanjang, dan terbuat dari papan. Secara eksterior, gereja tertua tidak memiliki kekhasan, hanya penambahan salib di depan dan di atas atap gereja. Di bagian kanan dan kiri terdapat ruang ekaristi dan ruang pengakuan dosa yang wajib ada di Gereja Katholik. Di samping kanan dan kiri Altar terdapat simbol/patung “Bunda Maria” dan “Yesus Kristus”. Pada arstitektur Gereja Katholik St. Perawan Maria, unsur feminis tidak menjadi pertimbangan karena pembangunannya masih mengikuti bangunan bergaya Eropa. Simbol dan gambar yang digunakan masih mengikuti gaya umum Gereja Katholik yang memiliki patung “bunda Maria”, jalan salib serta alat-alat sakramen lainnya. Dalam hal formasi ketika peribadatan, tidak ada pembedaan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan. c. Arsitektur
Gereja Katholik Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi
Sejak awal gereja dirancang dengan arsitektur “rumah adat Karo; siwaluh jabu” sehingga disebut gereja inkulturasi. Tujuannya agar rumah adat Karo tetap ada dan terpelihara sehingga generasi seterusnya tetap mengenal bentuk rumah adat. Hal ini tidak terlepas dari rasa cinta para orang tua akan budaya Karo dan memaknainya secara rohani (hubungan dengan Allah)
52
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Pada bagian atap depan gereja, terdapat gambar Santo Fransiskus Asisi yang menjadi teladan karena ia dekat dengan orang Islam atau “agama lain” dan alam. Selanjutnya terdapat gambar empat Injil yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, serta dua gambar Rasul Paulus sebagai batu penjuru. Hal ini untuk memperlihatkan dasar kekristenan yaitu empat Injil dan tokoh yang kuat dalam perjanjian baru yaitu Rasul Paulus. Bagian atas (atap) Gereja dibuat bertingkat yang bermakna menuju ke Allah. Di tingkat pertama (bawah) atap terdapat malaikat sebagai lambang pelindung manusia. Tingkat kedua (tengah), terdapat gambar Allah yang merupakan Alfa dan omega, berhati kudus, dan mengajar. Tingkat ketiga (atas), diisi ornamen dengan gambar salib serta puncaknya adalah salib. Sisi-sisi samping kanan dan kiri bangunan Gereja diisi dengan gambar-gambar yang diambil dari 10 Perjanjian Lama dan 10 Perjanjian Baru . Di setiap sela gambar selalu ada ornamen Karo untuk memperkaya seni adat Karo dalam eksterior gereja. Apabila dilihat secara seksama, gambar-gambar yang ditampilkan Gereja Katolik inkulturasi Karo masih kental bernuansa Eropa. Artinya, tidak sesuai dengan adat setempat khususnya adat Batak Karo, karena pakaian yang dipakai ataupun tokoh-tokoh Alkitab tidak menggambarkan orang Karo pada umumnya. Hal ini menjadi sebuah ketidaksinkronan antara bangunan inkulturasi dan gambar yang ditampilkan. Ruang ibadah berbentuk cekung agar jemaat dapat memandang “meja Altar” dan terpusat kepada ALLAH. Dalam hal tempat duduk tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan juga dilibatkan sebagai petugas ibadah, kecuali sebagai imam atau Pastor, tetap laki-laki. Tokoh-tokoh Alkitab yang ditampilkan di bagian eksterior gereja kebanyakan laki-laki. Hanya ada satu tokoh perempuan, yaitu Bunda Maria, yang melahirkan Yesus. Dari sini dapat disimpulkan bahwa unsur feminis tidak terlalu diperhatikan dalam ketiga bentuk bangunan tersebut. Dalam rumah adat, secara arsitektural tidak terlihat unsur feminis, tetapi perempuan mendapat tempat yaitu penempatan dapur di tengahtengah rumah adat siwaluh jabu, bukan di sudut atau di pinggir ruangan. Penempatan ini menunjukkan bahwa perempuan menempati posisi yang sentral dalam rumah. Dalam gereja tertua juga tidak terlihat unsur feminis karena masih kental dengan arsitektur Eropa.
Procceding
Aristektur gereja hanya mengambil alih gaya dan makna yang berasal dari para misionaris. Sedangkan dalam gereja inkulturasi Karo, nampak melalui bentuk cekung pada bagian interior, dimana menyimbolkan keterbukaan dan umat saling memperhatikan satu dengan yang lain. Namun secara keseluruhan arsitektur hanya berfokus pada bentuk rumah adat sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan akan rumah adat Karo siwaluh jabu, dan tidak mempertimbangkan aspek feminis di dalamnya.
V. Kesimpulan Hasil penelitian terhadap rumah tradisional di keempat daerah tersebut menunjukkan bahwa terdapat pemisahan antara tempat laki-laki dan perempuan, yang menunjukkan bahwa mereka berbeda. Hanya pada rumah tradisional Bali yang menunjukkan unsur penghargaan kepada perempuan. Namun pada bangunan gereja tua (awal) nampak bahwa unsur feminis tidak terlalu diperhatikan. Pada arsitektur gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi (Yogyakarta, Toraja, Bali dan Batak Karo) nampak bahwa pada gereja Toraja dan Karo, unsur feminis dan makna theologis tidak menjadi perhatian dalam membangun gereja dan hanya sekedar mengambilalih bentuk rumah tradisional dengan pertimbangan memelihara budaya tradisional supaya tidak punah. Hal ini berbeda dengan gereja Pniel di Bali yang menunjukkan unsur feminis lewat bentuk bangunan dan interior yang terbuka, setara dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada arsitektur gereja Katholik Ganjuran, kendati masih terdapat pemisahan tempat (mimbar yang tinggi dan pakaian yang berbeda) antara warga jemaat dan pemimpin ibadah, namun bentuk bangunan yang tanpa dinding dan terbuka, menampakkan unsur feminis. Berkaitan dengan gambar-gambar yang ada pada gereja kontektualisasi dan inkutulrasi, memang sangat kuat unsur laki-laki. Kenyataan ini kiranya dapat dipahami karena sejarah kekristenan memang sangat menonjolkan kaum laki-laki baik sebagai gambaran Allah, Nabi, Imam, dsb, sehingga tidak mengherankan sangat jarang ditemui gambar atau simbol yang bernuansa feminis kecuali Bunda Maria. Khusus bangunan gereja Ganjuran dan GKPB Pniel Bali, nampak unsur feminis namun ini muncul ketika terjadi wawancara. Artinya bahwa pemaknaan tersebut tidak lahir ketika bangunan tersebut dirancang dan dibangun. D����������� engan demikian ���������������������������������������� dapat disimpulkan bahwa baik dalam arsitektur gereja dan rumah tradisonal masih belum memperhatikan tema gender, secara khusus unsur
feminis. Kendati demikian, bentuk arsitektur gereja hasil kontekstualisasi/inkulturasi memberikan inspirasi untuk membangun gedung gereja yang lebih kontektual, tentu dengan memperhatikan unsur feminis sejak awal pembuatannya, sehingga mendukung umat untuk menghayati Tuhan dalam perspektif yang lebih setara, terbuka dan penuh kasih.
Daftar Pustaka
Davison, Julian and Bruce Granquist, Balinese Architectur, Singapore, Periplus, 1999. Gelebet, I Nyoman, dkk., Arsitektur Tradisional Daerah Bali I, Denpasar, Depdikbud, 1982 Rachman, Rasid, Pengantar Sejarah Liturgi, Tangerang, Bintang Fajar, 1999 Widiasih, Ester Pudjo, “Liturgi Feminis: Liturgi Yang Merangkul”, dalam: Danang Kurniawan, dkk, Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen Indonesia, Prosiding, Jakarta, PERSETIA, 2015.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
53
Procceding
ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI YOGYAKARTA (PETRA SURYA MEGA WIJAYA, SE, MSI DAN DRA ETY ISTRIANI, MM) ABSTRACT Pemerintah Indonesia mulai tahun 2011 mengeluarkan sebuah undang-undang tentang jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia minimal 6 bulan. Jaminan sosial ini berdasarkan Undang-undang nomor 24 tahun 2011 yang merupakan kelanjutan dari Undang-undang nomor 40 tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52. Konsekuensi dari adanya undang-undang ini maka dibentuklah sebuah badan hukum nirlaba yang akan menjalankan UU tersebut yang kemudian bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal krusial dari pelayanan BPJS adalah mengenai kepuasan pelanggan. Sejumlah variable yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, diantaranya adalah kualitas layanan, kualitas produk dan harga. Berdasarkan hal tersebut, maka pengembangan rumusan masalah penelitian ini adalah (1) apakah peserta BPJS sudah merasa puas dengan pelayanan yang diterima selama ini, dan (2) apakah kualitas layanan, kualitas produk dan harga mempengaruhi kepuasan konsumen. Sebanyak 200 kuesioner dibagikan kepada peserta BPJS yang dirujuk pada rumah sakit di Yogyakarta. Alat analisis yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut adalah (1) MAM / Multi Attribute Model, dan (2) regresi linier berganda. Berdasarkan hasil olah data, didapatkan hasil sebagai berikut : (1) konsumen BPJS telah merasa puas dengan pelayanan yang telah diterima selama ini, (2) terdapat sejumlah variabel yang signifikan mempengaruhi kepuasan konsumen, yaitu bukti fisik, jaminan, kualitas produk, dan harga, sedangkan variabel yang tidak signifikan membentuk kepuasan konsumen, yaitu kehandalan, ketanggapan, dan empati. Kata Kunci : Bukti fisik, jaminan, kualitas produk, harga, kehandalan, ketanggapan, empati, BPJS.
1. Latar Belakang Penelitian Pemerintah Indonesia mulai tahun 2011 mengeluarkan sebuah undang-undang tentang jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia minimal 6 bulan. Jaminan sosial ini berdasarkan Undang-undang nomor 24 tahun 2011 yang merupakan kelanjutan dari Undang-undang nomor 40 tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 (http:// www.bpjs.info). Konsekuensi dari adanya undangundang ini maka dibentuklah sebuah badan hukum nirlaba yang akan menjalankan UU tersebut yang kemudian bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS akan menggantikan peran lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia diantaranya PT Askes Indonesia (BPJS Kesehatan) dan PT Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan). Fungsi BPJS Ketenagakerjaan adalah menangani jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Perusahaan formal maupun informal wajib mendaftarkan tenaga kerjanya. Seluruh penduduk Indonesia ditargetkan paling lambat tahun 2019 telah tercatat sebagai anggota BPJS.
54
Permasalahan yang muncul di lapangan dengan adanya kebijakan pemerintah ini adalah puskesmas dan rumah sakit menjadi semakin penuh dengan pasien yang akan menggunakan BPJS. Sejumlah keluhan dari pasien diantaranya adalah (1) antrian yang panjang dan lama, (2) rumitnya prosedur pelayanan, (3) kualitas obat, (4) diskriminasi pasien BPJS dan non BPJS, dan masih banyak lagi keluhan dari pasien. Teori mengenai kepuasan konsumen dirasakan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan di atas secara obyektif. Menurut Kotler dan Keller (2013:150) menyatakan bahwa kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang dihasilkan dari membandingkan kinerja produk dengan harapan. Kepuasan pelanggan merupakan faktor kunci dalam pembentukan keinginan pelanggan untuk pembelian masa depan (Mosahab, Mahamad, & Ramayah, 2010). Konsumen yang merasa puas atau tidak puas dengan suatu barang atau pelayanan diperkirakan akan menyebarkan pengalamannya itu kepada orang lain.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Berkaitan dengan anteseden pembentuk kepuasan konsumen, penelitian yang dilakukan oleh Scotti, et al., (2007) menyebutkan bahwa kualitas jasa (service quality) dapat menerangkan pembentukan kepuasan konsumen di sector jasa kesehatan. Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Mosahab, et al., (2010) juga menyatakan hal yang sama. Selain kualitas jasa, terdapat dua variabel lagi diyakini dapat mempengaruhi kepuasan konsumen, yaitu kualitas produk dan harga (Pour, Nazari, & Emami, 2013). Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah (1) apakah peserta BPJS sudah merasa puas dengan pelayanan yang diterima selama ini, dan (2) apakah kualitas layanan, kualitas produk dan harga mempengaruhi kepuasan konsumen.
2. Landasan Teori Pengembangan Hipotesis
dan
Manajemen Pemasaran Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan, dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain (Daryanto, 2011:1). Sedangkan menurut Kotler dan Keller (2013), pemasaran adalah proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan bebas bertukar produk dan jasa yang bernilai dengan orang lain. Sedangkan manajemen pemasaran menurut Kotler dan Keller (2013) adalah seni dan ilmu dalam memilih pasar sasaran dalam mendapatkan, mempertahankan, dan menumbuhkan pelanggan melalui menciptakan, memberikan, dan mengkomunikasikan nilai-nilai yang unggul. Dari definisi tersebut, maka seorang pemasar diharapkan untuk memiliki keahlian yang cukup tinggi untuk dapat menjual produknya sehingga dapat bersaing dengan pesaing perusahaan.
Marketing Mix
Marketing mix is the set of tactikal marketing tools that the firm blends to produce the response it wants in the target market (Kotler & Keller, 2013). Marketing mix secara umum terdiri dari 4 komponen yaitu Product (produk), Price (harga), Place (tempat/lokasi), dan Promotion (promosi). Berikut ini akan dijelaskan masing-masing komponen tersebut.
a. Product (Produk) Product (produk) adalah segala sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan (Kotler & Armstrong, 2010:253). Produk merupakan faktor terpenting bagi sebuah perusahaan karena dapat ditawarkan kepada pasar untuk dijual, dimiliki, dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.
b. Price (Harga)
Price (harga) adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut (Kotler & Armstrong, 2010:314). Harga merupakan faktor yang penting bagi suatu perusahaan karena harga dapat menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk bersaing dengan perusahaan sejenis lainnya. Harga yang ditawarkan juga harus sesuai dengan nilai dan manfaat yang diperoleh konsumen dari produk yang disediakan.
c. Place (Tempat/Lokasi)
Place (tempat) adalah seperangkat organisasi yang saling bergantung satu sama lain, yang dilibatkan dalam proses penyediaan suatu produk, untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen atau pengguna bisnis (Kotler & Amrstrong, 2010:363). Place merupakan hal yang penting bagi perusahaan karena dengan adanya tempat maka produk bisa dijual kepada konsumen dengan penjual bertemu langsung dengan konsumennya. Dengan begitu, perusahaan perlu mempertimbangkan tempat yang cocok untuk pendirian usahanya.
d. Promotion (Promosi)
Promosi adalah cara yang dilakukan perusahaan untuk menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen secara langsung maupun tidak langsung tentang suatu produk atau merek yang dijual (Kotler & Amrstrong, 2010). Promosi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pemasaran karena menjadi komunikasi awal antara perusahaan dengan konsumen dan perusahaan dapat memberikan informasi kepada konsumen tentang keberadaan dan manfaat produknya.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
55
Procceding
Kualitas Jasa Kualitas jasa atau yang biasa disebut dengan service quality pertama kali diperkenalkan oleh Parasuraman, Berry, dan Zenthaml pada tahun 1985. Kualitas jasa dapat diartikan sebagai sebuah skala multi dimensi yang dikembangkan untuk mengukur persepsi konsumen terhadap layanan jasa yang diterimanya (Parasuraman, Zeithaml, & Berry, 1985). Kualitas jasa dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi konsumen atas layanan yang benar-benar mereka terima dengan layanan sesungguhnya yang mereka harapkan. Kualitas jasa menjadi hal utama yang diperhatikan oleh perusahaan, yang melibatkan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan. Definisi mutu jasa berpusat pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan. Apabila jasa yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan idela. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dianggap buruk dan tidak memuaskan (Tjiptono, 2007:121). Menurut Lopiyoadi dan Hamdani (2006:182), kualitas jasa dapat dibagi dalam 5 dimensi, diantaranya adalah: a. Tangibles (bukti fisik) Yaitu kemampuan perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Yang dimaksud bahwa penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dan pelayanan yang diberikan. b. Reliability (kehandalan) Yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. c. Responsiveness (daya tanggap) Yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, dengan menyampaikan informasi yang jelas. d. Assurance (jaminan) Yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya diri para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelang-
56
gan kepada perusahaan. Dimensi dari jaminan diantaranya adalah komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi, dan sopan santun. e. Emphaty (empati) Yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan. Sebagai contoh perusahaan harus mengetahui keinginan pelanggan secara spesifik dari bentuk fisik produk atau jasa sampai pendistribusian yang tepat.
Kepuasan Konsumen
Menurut Tjiptono (2007:349) kepuasan pelanggan merupakan respons emosional terhadap pengalaman-pengalaman berkaitan dengan produk atau jasa tertentu yang dibeli, gerai ritel atau bahkan pola perilaku (seperti perilaku berbelanja dan perilaku pembeli), serta pasar. Respons emosional dipicu oleh proses evaluasi kognitif yang membandingkan persepsi atau keyakinan terhadap objek, tindakan atau kondisi tertentu dengan nilainilai (kebutuhan atau keinginan) individual. Kepuasan konsumen merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka keberhasilan suatu bisnis. Banyak perusahaan yang menyatakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk memuaskan konsumen. Banyak ragam pengungkapannya, karena kepuasan itu adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur. Setiap orang mempunyai penilaian tersendiri tentang kepuasan yang diinginkan, maka keberhasilan suatu perusahaan sangat ditentukan oleh kepuasan yang dapat diberikan kepada konsumen. Bagi bisnis, kepuasan dipandang sebagai salah satu dimensi kinerja pasar.
Faktor Pendorong Terhadap Kepuasan Konsumen
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mendorong kepuasan konsumen menurut Irawan (2004) yaitu:
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
a. Kualitas Produk Pelanggan akan merasa puas setelah membeli dan menggunakan produk tersebut yang memiliki kualitas produk baik. Kualitas produk adalah salah satu sarana positioning utama pemasar. Kualitas mempunyai dampak langsung pada kinerja produk atau jasa, oleh karena itu, kualitas berhubungan erat dengan
Procceding
nilai dan kepuasan pelanggan. Perusahaan yang berpusat pada pelanggan mendefinisikan kualitas berdasarkan penciptaan nilai dan kepuasan pelanggan.
dan harga pada kepuasan konsumen. Penelitian yang dilakukan oleh Scotti et al., (2007) pada 74.662 pasien dan tenaga medis di Amerika Serikat menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kualitas jasa terhadap kepuasan konsumen. Sedangkan penelitian Rahaman, Abdullah, dan b. Harga Rahman (2011) dengan setting 310 nasabah bank Biasanya harga murah adalah sumber swasta di Bangladesh juga menyatakan bahwa ada kepuasan yang penting. Akan tetapi biasanya keterkaitan antara kualitas jasa terhadap kepuasan faktor harga bukan menjadi jaminan suatu konsumen perbankan. produk memiliki kualitas yang baik. Dalam Sejumlah penelitian Berikutnya telah dilakukan untuk penelitian menguji pengaruh jasa, kualitas adalah yang kualitas dilakukan beberapa kasus, harga yang mahal dianggap Mosahab, Mahamad, & Ramayah (2010) juga produk, dandaharga oleh pada kepuasan konsumen. Penelitian yang dilakukan oleh Scotti et al., mencerminkan kualitas tinggi, terutama bahwa kepuasan konsumen dapat terlam kategori specialty products. (2007) pada 74.662menyatakan pasien dan tenaga medis di Amerika Serikat menyatakan bahwa ada bentuk dari adanya kualitas jasa. Setting penelitian pengaruh yang signifikan antarapada kualitas terhadapbank kepuasan konsumen. dilakukan 147jasa nasabah di Iran. Pene-Sedangkan c. Kualitas Jasa lainnya yang (2011) berkaitan penelitian Rahaman,litian Abdullah, dan Rahman dengan dengan setting 310pengaruh nasabah bank swasta Pelanggan merasa puas apabila mereka variabel kualitas produk dan harga, dilakukan oleh Bangladesh menyatakan bahwa ada keterkaitan antara kualitas jasa terhadap kepuasan memperoleh jasa yang baik atau disesuai den-juga Pour, Nazari, & Emami (2013) pada 250 nasabah gan yang diharapkan dari pegawai maupun konsumen perbankan. Saderat Bank, Iran juga memberikan hasil bahwa karyawan perusahaan. Untuk dapatBerikutnya mewu- adalah adapenelitian pengaruh yang kuat oleh pembentukan kepuasan yang dilakukan Mosahab, Mahamad, & Ramayah judkan kualitas jasa yang baik, sebuah perusa- konsumen yang dikaitkan pada variabel kualitas (2010) juga menyatakan bahwa kepuasan konsumen dapat terbentuk dari adanya kualitas haan perlu memberikan karyawan tanggung produk dan harga. jawab dan insentif yang mereka perlukan unjasa. Setting penelitian dilakukan pada 147 nasabah bank di Iran. Penelitian lainnya yang tuk mengenali, memperhatikan dan mengerti berkaitan dengan pengaruh variabel kualitas produk dan harga, dilakukan oleh Pour, Nazari, kebutuhan konsumen. Model Penelitian dan Pengembangan
& Emami (2013) pada 250 nasabah Saderat Bank, Iran juga memberikan hasil bahwa ada
Hipotesis
pengaruh yang kuat pembentukan kepuasan konsumen yang dikaitkan pada variabel kualitas d. Faktor Emosional Seperti telah dipaparkan pada uraian sebeproduk danproharga. Kepuasannya bukan karena kualitas lumnya, bahwa ada pengaruh antara kualitas jasa duk, tetapi harga diri atau nilai sosial yang (terdiri atas bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, menjadikan pelanggan puas terhadap merek dan Pengembangan Model Penelitian Hipotesis jaminan, dan empati), kualitas produk, dan harga produk tertentu. Konsumen ingin dianggap Seperti telah dipaparkan pada uraian sebelumnya, bahwa ada pengaruh antara kualitas cerdas terhadap produk pilihannya. Dalam terhadap kepuasan konsumen, maka model penelitian akan ketanggapan, dibangun untuk tingkat jasaingin (terdiri atas bukti fisik,yang kehandalan, jaminan,menguji dan empati), kualitas produk, memilih sebuah produk, konsumen prokepuasan konsumen BPJS di Yogyakarta adalah seduk yang bernilai atau prestige. dan harga terhadap kepuasan konsumen, maka model penelitian yang akan dibangun untuk bagai berikut. menguji tingkat kepuasan konsumen BPJS di Yogyakarta adalah sebagai berikut.
e. Biaya atau kemudahan untuk mendapatkan produk atau jasa Kenyamanan dan efisien dalam mendapatkan suatu produk atau jasa serta mudah mendapatkan jasa produk memberikan nilai tersendiri bagi kepuasan pelanggan. Konsumen ingin menapatkan produk atau jasa yang diinginkan dengan mudah. Kemudahan mendapatkan produk atau jasa disekitar konsumen menjadikan nilai tambah bagi kepuasan konsumen. Karena hal tersebut berkaitan dengan efisiensi, sehingga konsumen tidak perlu repot mencari dimana harus mendapatkan produk atau jasa yang dibutuhkan tersebut.
Hubungan Antar Variabel Penelitian Sebelumnya
dan
Hasil
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh kualitas jasa, kualitas produk,
Bukti Fisik Kehandalan Ketanggapan Kepuasan Konsumen
Jaminan Empati Kualitas Produk Harga
Gambar 1. Model Penelitian
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
57
Procceding
Berdasarkan pada model penelitian yang dibangun tersebut, maka sejumlah hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :
Hipotesis 1 : bahwa peserta BPJS di Yogyakarta
sudah puas Hipotesis 2 : bukti fisik memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen Hipotesis 3 : kehandalan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen Hipotesis 4 : ketanggapan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen Hipotesis 5 : jaminan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen Hipotesis 6 : empati memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen Hipotesis 7 : kualitas produk memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen Hipotesis 8 : harga memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif pada pembentukan kepuasan konsumen
3. Metoda Penelitian Populasi dan Penentuan Sampel Subyek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pengguna fasilitas BPJS kesehatan. Subyek ini dipilih karena saat ini ada ketentuan wajib dari pemerintah Indonesia untuk semua Warga Negara Indonesia dan pekerja asing yang tinggal di Indonesia minimal 6 bulan untuk menjadi peserta BPJS. Kewajiban ini harus dipenuhi paling lambat tahun 2019. Populasi adalah koleksi total elemen-elemen yang diharapkan dapat dipakai untuk berbagai macam kepentingan (Cooper & Schindler, 2013). Berdasarkan pada responden penelitian yang akan diambil, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk di Yogyakarta yang telah menjadi peserta BPJS kesehatan dan telah menggunakan fasilitas tersebut minimal satu kali di rumah sakit. Selanjutnya penelitian ini tidak menggunak-
58
an populasi namun sampel dari sebagian peserta BPJS kesehatan. Sampel dapat diartikan sebagai seleksi beberapa elemen dalam populasi, yang dapat dipakai untuk membuat suatu kesimpulan yang berkenaan tentang populasi tersebut (Cooper & Schindler, 2013). Sedangkan teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan convenience sampling. Jumlah sample yang akan digunakan sebanyak 200 responden. Diharapkan dengan jumlah responden yang diambil dapat mencerminkan pendapat para peserta BPJS kesehatan secara komprehensif.
Definisi Operasional
a.
Bukti Fisik Menurut Lopiyoadi dan Hamdani (2006:182), disebutkan bahwa bukti fisik adalah kemampuan perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat didefinisikan bukti fisik penelitian ini adalah kemampuan penyelenggara BPJS dalam menunjukkan eksistensinya kepada pengguna BPJS kesehatan di Yogyakarta. b. Kehandalan Kehandalan adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang disajikan secara akurat dan terpercaya (Lopiyoadi & Hamdani, 2006:182). Selanjutnya penelitian ini mendeskripsikan kehandalan adalah kemampuan penyelenggara BPJS untuk memberikan pelayanan sesuai yang disajikan secara akurat dan terpercaya kepada pengguna BPJS kesehatan di Yogyakarta. c. Ketanggapan Lopiyoadi dan Hamdani (2006:182) menjelaskan bahwa ketanggapan adalah suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Dari definisi tersebut, maka ketanggapan dalam penelitian ini adalah suatu kemampuan penyelenggara BPJS untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada peserta BPJS kesehatan di Yogyakarta dengan penyampaian informasi yang jelas. d. Jaminan Selanjutnya Lopiyoadi dan Hamdani (2006:182) mendefisinikan jaminan sebagai
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Pengertian jaminan dalam penelitian ini adalah pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pelaksana BPJS untuk menumbuhkan rasa percara para pengguna BPJS kesehatan di Yogyakarta kepada penyelenggara BPJS. e. Empati Empati adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami pelanggan (Lopiyoadi dan Hamdani, 2006:182). Dari definisi tersebut, selanjutnya empati dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai upaya penyelenggara BPJS untuk memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pengguna BPJS kesehatan di Yogyakarta dengan berupaya memahami pengguna tersebut. f. Kualitas Produk Kualitas product (produk) adalah segala sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan (Kotler & Armstrong, 2010:253). Berdasarkan definisi umum tersebut, maka kualitas produk dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ditawarkan oleh penyelenggara BPJS ke peserta BPJS kesehatan di Yogyakarta untuk mendapatkan perhatian, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. g. Harga Price (harga) adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut (Kotler & Armstrong, 2010:314). Dari definisi tersebut, maka harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu jasa pelayanan kesehatan atau jumlah dari nilai yang ditukar peserta BPJS kesehatan di Yogyakarta atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan jasa BPJS kesehatan. h. Kepuasan Konsumen
Menurut Tjiptono (2007:349) kepuasan pelanggan merupakan respons emosional terhadap pengalaman-pengalaman berkaitan dengan produk atau jasa tertentu yang dibeli, gerai ritel atau bahkan pola perilaku (seperti perilaku berbelanja dan perilaku pembeli), serta pasar. Kepuasan konsumen dalam penelitian ini adalah respon emosional para pengguna BPJS kesehatan di Yogyakarta terhadap pengalaman-pengalaman mereka berkaitan dengan jasa pelayanan BPJS kesehatan.
Uji Kuesioner
Sebelum dilakukan uji hipotesis perlu dilakukan uji kuesioner terlebih dahulu untuk mengetahui keabsahan suatu data dan valid atau tidaknya suatu data. Uji kuesioner ini meliputi uji validitas dan uji reliabilitas.
a. Uji Validitas
Analisis ini merupakan analisis untuk mengukur suatu riset secara tepat dan benar-benar dapat diukur. Dalam analisis ini yang digunakan adalah analisis data empirik dengan rumus sebagai berikut (Marzuki, 2000:298) : =
Keterangan : N
= Koefisien korelasi = Banyaknya sampel
= Jumlah skor keseluruhan untuk item pertanyaan
= Jumlah skor keseluruhan untuk semua item pertanyaan
Untuk mengetahui apakah suatu data valid atau tidak maka ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1. Jika r-hitung positif dan r-hitung > r tabel, maka variabel tersebut valid (tingkat signifikansi 5%, df – n-2, 30-2 = 28 = 0,239). 2. Jika r-hitung positif dan r-hitung < r tabel, maka variabel tersebut tidak valid (tingkat signifikasi 5%, df = n-2, 30-2 = 28 = 0,239).
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
59
Procceding
b. Uji Reliabilitas
b. Regresi Linier Berganda Analisis linier berganda merupakan analisis yang digunakan peneliti untuk meramalkan naik turunnya keadaan variabel dependen, bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor dimanipulasi atau dinaik turunkan nilainya. Menurut Ghozali (2005:82) rumus linier berganda adalah sebagai berikut :
Reliabilitas adalah derajat konsistensi/keajegan data dalam interval waktu tertentu (Sugiyono, 2012:122). Analisis ini untuk mengukur objek yang sama dan apakah instrumen yang digunakan untuk mengukur beberapa kali akan menghasilkan data yang sama. Alat ukur yang baik tidak akan mengarahkan responden untuk memilih jawaban tertentu. suatu kuesioner dikatakan reliable apabila jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Indikator dikatakan reliable jika alat ukur tersebut menunjukkan koefisien Cronbach’s alpha lebih besar atau sama dengan 0.70 (Sekaran, 2002, Hair et al., 2009).
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 +b5X5 + b6X6 b7X7 + e Keterangan : Y = Variabel dependen (kepuasan konsumen) a = Konstanta b1, 2, 3,4,5,6,7 = Koefisien regresi X1 = Variabel bukti fisik (variabel independen) X2 = Variabel keandalan (variabel independen) X3 = variabel tanggapan X4 = Variabel jaminan (variabel independen) X5 = Variabel empati (variabel independen) X6 = Variabel kualitas produk (variabel independen) X7 = Variabel harga (variabel independen) e = Error
Uji Hipotesis
Terdapat dua alat uji hipotesis yang akan digunakan. Untuk menjawab hipotesis pertama, akan digunakan alat analisis Multi Atribut Model (MAM), sedangkan untuk hipotesis 2 hingga 8 akan digunakan alat analisis regresi linier berganda.
a. Multi Atribut Model Model pengukuran sikan konsumen ini diadopsi dari Martin Fishbein karena diyakini paling berpengaruh dalam bidang pemasaran (Peter & Olson, 2013:138). Proporsi inti dalam teori Fishbein adalah evaluasi kepercayaan menonjol menyebabkan sikap secara keseluruhan. Secara sederhana, seseorang cenderung menyukai obyek yang memiliki asosiasi dengan karakteristik ‘baik’ dan tidak menyukai obyek yang memiliki karakteristik ‘jelek’. Dalam model multiatribut yaitu kekuatan kepercayaan menonjol yang diasosiasikan dengan obyek dan evaluasi atas kepercayaan tersebut (Peter & Olson, 2013:138). Multiatribut model sejatinya memiliki sejumlah model yang berbeda, namun secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut (Hawkins & Mothersbaugh, 2013:385).
Dimana : Ab : sikap konsumen terhadap obyek Xib : kepercayaan konsumen terhadap kin erja obyek pada atribut i n : jumlah kepercayaan menonjol menyenai obyek
60
4. Hasil Penelitian dan Analisis Data Pengujian hipotesis penelitian dimulai melalui penyebaran kuesioner kepada 200 responden yang telah memenuhi kriteria penelitian. Penyebaran kuesioner dilakukan pada sejumlah rumah sakit besar di Yogyakarta sebagai rujukan akhir pasien BPJS untuk mendapatkan perawatan lanjutan yang lebih intensif. Penyebaran kuesioner diantaranya dilakukan pada Rumah Sakit Bethesda, Rumah Sakit Panti Rapih, dan Rumah Sakit Sarjito. Adapun tingkat respon rate sebesar 100% karena kuesioner yang dibagikan langsung ditunggu untuk diisi dan selanjutnya dikumpulkan kembali setelah pengisian selesai dilakukan. Adapun hasil olah data dari penelitian tersebut dapat dilihat pada bagian di bawah ini.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Uji Validitas Untuk mengetahui apakah suatu data valid atau tidak. Adapun hasil pengolahan data untuk menguji validitasnya, dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Tabel 1. Hasil Uji Validitas Arti Penting
Scale Mean Scale Variance Corrected Cronbach’s H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14
if Item
Deleted 55.70 55.84 55.76 55.72 55.77 55.75 55.87 55.72 55.71 55.71 55.58 55.54 55.65 55.90
if Item
Deleted 46.905 47.455 46.404 46.213 46.432 46.570 47.159 46.524 45.445 45.747 47.200 47.576 48.590 47.638
Item-Total Alpha if Item
Correlation .727 .671 .745 .760 .712 .758 .637 .799 .806 .765 .836 .733 .679 .563
Deleted .942 .943 .941 .941 .942 .941 .944 .940 .939 .941 .939 .942 .943 .946
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16
Deleted 62.06 62.11 61.95 61.93 62.05 62.08 62.13 61.99 62.01 62.00 61.98 61.93 62.03 62.10 62.06 62.10
if Item
Deleted 73.363 72.112 74.073 74.232 76.082 74.641 74.529 74.226 74.502 74.261 75.346 76.407 77.306 77.401 76.509
78.432
.826 .826 .805 .777 .690 .760 .780 .812 .759 .767 .759 .710 .703 .609 .713
Cronbach’s
.566
Deleted .952 .952 .952 .953 .954 .953 .953 .952 .953 .953 .953 .954 .954 .956 .954 .956
Keterangan
Nilai Cronbach’s alpha
Arti Penting
0.946
Kinerja
Item-Total Alpha if Item
Correlation
Pengujian reliabilitas bertujuan untuk menguji konsistensi indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Indikator tersebut dikatakan reliable jika alat ukur tersebut menunjukkan hasil yang konsisten yaitu jika koefisien Cronbach’s alpha menunjukkan hasil lebih besar atau sama dengan 0.70 (Sekaran, 2002, Hair et al., 2009). Adapun hasil pengujian reliabilitas untuk Arti Penting dan Kinerja tertuang dalam Tabel 3. Hasil Uji Reliabilitas Arti Penting dan Kinerja
Tabel 2. Hasil Uji Validitas Kinerja
if Item
Uji Reliabilitas
Tabel 3.
Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan maka pada kolom Corrected Item-Total Correlation didapatkan hasil di atas 0.239, atau dapat dikatakan bahwa semua pertanyaan untuk Arti Penting sudah memenuhi syarat minimal uji validitas.
Scale Mean Scale Variance Corrected
Hasil yang sama dengan pertanyaan Arti Penting, maka pengujian validitas untuk semua pertanyaan telah memiliki nilai di atas 0.239, atau dapat dikatakan bahwa pertanyaan Kinerja sudah sesuai dengan kriteria minimal uji validitas.
0.956
Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s alpha instrument yang digunakan dalam penelitian ini sudah memiliki hasil di atas 0.7 sebagai batas bawah suatu instrument dikatakan memenuhi kriteria reliabel. Berdasarkan pada hasil tersebut, maka dapat dikatakan bahwa semua pertanyaan dalam penelitian ini sudah memenuhi kriteria reliabel.
Analisis Kepuasan Konsumen
Berikut ini akan disajikan hasil olah MAM. Adapun hasil olah data kepuasan konsumen dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Hasil Olah Data Arti Penting
Variabel Bukti fisik Keandalan Tanggapan Jaminan Empati Kualitas produk Harga
Skala 4.248 4.083 4.083 4.083 4.083 4.083 4.083
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
61
Procceding
Tabel 4 menunjukan bahwa secara arti penting, bukti fisik gedung rumah sakit menjadi arti penting konsumen BPJS memilih rumah sakit yang menjadi pilihannya untuk melakukan pengobatan lebih lanjut, selain itu peralatan yang ada didalamnya menjadi pilihan yang utama dari konsumen BPJS. Selanjutnya atribut keandalan, tanggapan, jaminan, empati, kualitas produk, dan harga memiliki nilai yang sama sehingga menurut konsumen, variabel tersebut memiliki arti penting yang sama. Tabel 5. Hasil Olah Data Kinerja
Variabel Keandalan Kualitas produk Empati Jaminan Harga Tanggapan Bukti fisik
Skala 4.225 4.215 4.165 4.105 4.103 4.1 4.083
Pada Tabel 5 yang mengurutkan kinerja rumah sakit rujukan BPJS memiliki nilai yang berbeda dengan arti penting. Adapun variabel keandalan memiliki peringkat teratas dalam kinerja rumah sakit, berikut secara berturut-turut adalah kualitas produk, empati, jaminan, harga, tanggapan, dan terakhir bukti fisik. Temuan ini cukup menarik karena secara arti penting, bukti fisik memiliki peringkat tertinggi namun secara kinerja ternyata memiliki peringkat terendah. Setelah dilakukan penghitungan arti penting dan kinerja untuk semua variabel penelitian, maka dilakukan penghitungan tingkat kepuasan konsumen BPJS terhadap rumah sakit rujukan terakhir. Adapun hasil penghitungan kepuasan konsumen BPJS adalah sebesar 121.7838. Hasil tersebut masuk dalam kriteria memuaskan. Tabel 6 menunjukkan urutan tingkat kepuasan secara rangking. Tabel 6. Urutan Peringkat Kepuasan Konsumen
Keterangan Sangat memuaskan Memuaskan Netral Tidak memuaskan Sangat tidak memuaskan
62
Nilai 141.5 – 175 107.9 – 141.4 74.2 – 107.8 40.6 – 74.1 7 – 40.5
Analisis Regresi Berganda Setelah menghitung kepuasan konsumen untuk menjawab hipotesis 1, maka dilakukan pengolahan data menggunakan regresi berganda untuk menjawab hipotesis 2 hingga hipotesis 8. Adapun hasil regresi berganda variabel penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Regresi Berganda Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Std. B Beta Error (Constant) .535 .214 Fisik .179 .084 .232 Handal .065 .072 .079 Tanggap .039 .065 .045 1 Jaminan .258 .085 .286 Empati .051 .065 -.063 Kualitas .307 .079 .321 Harga -.417 .072 -.412 a. Dependent Variable: Kepuasan Model
T
Sig.
2.505 2.140 .906 .603 3.022 .795 3.900 -5.795
.013 .034 .366 .547 .003 .428 .000 .000
Suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan jika memiliki nilai ‘sig’ maksimal 0.05. Pada Tabel 7 terlihat bahwa ada sejumlah variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan untuk membentuk kepuasan konsumen BPJS. Variabel tersebut adalah bukti fisik, jaminan, kualitas produk, dan harga. Sedangkan variabel yang tidak signifikan adalah kehandalan, daya tanggap, dan empati. Secara bersama-sama (F test), variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan pada pembentukan kepuasan konsumen BPJS. Adapun hasil penghitungannya dapat dilihat pada Tabel 8.
Model
Tabel 8. Hasil Penghitungan F Test Sum of
df
Mean
F Sig. Squares Square Regression 47.714 7 6.816 47.303 .000a 1 Residual 27.666 192 .144 Total 75.380 199
a. Predictors: (Constant), Harga, Empati, Handal, Tanggap, Kualitas, Jaminan, Fisik b. Dependent Variable: Kepuasan
Terakhir adalah menghitungan seberapa besar pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Model 1
Tabel 9. Hasil Penghitungan Besaran Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen R
.796a
Adjusted Std. Error of R Square R Square the Estimate .633
.620
.380
Change Statistics R Square F Change df1 df2 Change .633
47.303
7
a. Predictors: (Constant), Harga, Empati, Handal, Tanggap, Kualitas, Jaminan, Fisik
Pada Tabel 9 terlihat bahwa besaran pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen adalah 0.620 atau 62%, yang berarti bahwa secara bersama-sama semua variabel independent memiliki pengaruh sebesar 62% terhadap variabel kepuasan konsumen BPJS sedangkan sisanya yaitu 38% dipengaruhi oleh variabel lainnya.
Pembahasan
a. Tingkat Kepuasan Konsumen Pada penghitungan kepuasan konsumen terdapat nilai sebesar 121.7838, dimana hasil tersebut masuk pada range puas. Hasil ini menunjukkan bahwa konsumen BPJS merasa puas dengan pelayanan yang telah diberikan selama ini, terlepas bahwa masih adanya keluhan atau sejenisnya, hal ini dapat diatasi dengan baik dan secara umum mereka menyatakan puas. Berdasarkan hipotesis 1 yang menyatakan bahwa peserta BPJS di Yogyakarta sudah puas dapat didukung.
b. Pengaruh Bukti Fisik Kepuasan Konsumen
terhadap
Pada Tabel 7 terlihat bahwa nilai sig bukti fisik terhadap kepuasan konsumen adalah 0.034. Hal ini menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan bukti fisik terhadap kepuasan konsumen. Dengan adanya peralatan yang lengkap dan mutakhir dari rumah sakit rujukan membuat konsumen BPJS merasa bahwa rumah sakit tersebut dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk menangani keluhan kesehatannya. Konsumen merasa bahwa peralatan yang ada tersebut memberikan dampak pada percepatan kesehatan mereka. Semakin peralatan yang dimiliki rumah sakit lengkap dan mutakhir, maka kepuasan mereka semakin tinggi. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis 2 yang menyatakan bahwa bukti fisik memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen dapat didukung.
192
c. Pengaruh Kehandalan Kepuasan Konsumen
Sig. F Change .000
terhadap
Hasil olah data regresi berganda pada kehandalan terhadap kepuasan konsumen memberikan nilai sig sebesar 0.366. Hasil ini menunjukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan pada kehandalam terhadap pembentukan kepuasan konsumen. Hasil ini menarik, bahwa pelayanan yang akurat dan terpercaya ternyata tidak memberikan dampak pada kepuasan konsumen BPJS. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena konsumen merasa rumah sakit yang melayani mereka memang sudah seharusnya memberikan pelayanan yang demikian, sehingga konsumen merasa hal itu sudah wajar dan tidak memberikan dampak yang signifikan pada kepuasan mereka. Dari hasil tersebut, maka hipotesis 3 yang menyatakan bahwa kehandalan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen tidak dapat didukung.
d. Pengaruh Ketanggapan Kepuasan Konsumen
terhadap
Variabel ketanggapan memberikan nilai sig sebesar 0.547 terhadap kepuasan konsumen. Hasil tersebut berarti bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan ketanggapan terhadap kepuasan konsumen. Ketanggapan yang dimaksud adalah pelayanan yang cepat dan tepat. Konsumen juga merasakan bahwa semua rumah sakit rujukan terakhir sudah sewajarnya memberikan pelayanan yang cepat dan tepat karena melihat reputasi rumah sakit tersebut yang sangat bagus selama ini sehingga ditunjuk oleh BPJS sebagai rumah sakit rujukan terakhir pada penanganan penyakit yang dirasakan sangat berat sehingga tidak dapat dilayani dengan baik oleh rumah sakit biasa atau lebih rendah peringkatnya. Dapat disimpulkan bahwa hipotesis 4 yang menyatakan bahwa ketanggapan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen tidak dapat didukung.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
63
Procceding
e. Pengaruh Jaminan terhadap Kepuasan Konsumen
h. Pengaruh Harga terhadap Kepuasan Konsumen
Tabel 7 menunjukan nilai sig sebesar 0.003 pada pengaruh jaminan terhadap kepuasan konsumen BPJS. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan pada jaminan terhadap kepuasan konsumen. Jaminan yang dimaksudkan diantaranya adalah jaminan mendapatkan kamar sesuai pilihan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pasien. Rumah sakit rujukan terakhir sebagai rumah sakit yang memiliki reputasi yang sangat bagus sesuai kriteria yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga konsumen BPJS dapat merasakan jaminan tersebut secara langsung sehingga mereka puas pada jaminan yang telah diberikan. Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa jaminan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen dapat didukung.
Tabel 7 menunjukan angka sig sebesar 0.000 pada pengaruh harga terhadap pembentukan kepuasan konsumen BPJS. Artinya bahwa ada pengaruh yang signifikan pada harga terhadap kepuasan konsumen. Semakin tinggi harga maka kepuasan konsumen akan turun, namun sebalik jika nilai harga lebih rendah maka kepuasan konsumen semakin rendah juga. Dari hasil tersebut, maka hipotesis 8 yang menyatakan bahwa harga memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif pada pembentukan kepuasan consume dapat didukung.
f. Pengaruh Empati terhadap Kepuasan Konsumen
Nilai sig empati terhadap kepuasan konsumen menunjukan angka sebesar 0.428, hal ini berarti bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan pada variabel empati terhadap kepuasan konsumen. Pelayanan yang berupa keramahan dan ketulusan yang diberikan oleh staf rumah sakit rujukan tersebut dirasakan tidak memberikan dampak yang signifikan pada kepuasan mereka. Empati yang telah diberikan oleh rumah sakit dirasakan sebagai sesuatu yang sudah umum dilakukan oleh semua rumah sakit besar sehingga konsumen tidak merasa kaget dengan pelayanan yang telah diterimanya. Berdasarkan hasil olah data yang telah dilakukan maka hipotesis 6 yang menyatakan bahwa empati memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen tidak dapat didukung.
g. Pengaruh Kualitas Produk terhadap Kepuasan Konsumen
Kualitas produk memiliki pengaruh yang signifikan pada pembentukan kepuasan konsumen BPJS. Hal ini dapat ditunjukan pada nilai sig sebesar 0.000. Semakin tinggi kualitas produk berupa obat yang manjur dan sesuai dengan jenis penyakit, maka semakin tinggi juga kepuasan konsumen BPJS. Dari hasil tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis 7 yang menyatakan kualitas produk memiliki pengaruh yang signifikan dan positif pada pembentukan kepuasan konsumen dapat didukung.
64
5. Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran Penelitian Lanjutan Kesimpulan Berdasarkan pada temuan dianalisis data, maka dapat diambil sejumlah kesimpulan diantaranya adalah : a. Konsumen BPJS di Yogyakarta sudah merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh BPJS selama ini dalam melayani keluhan kesehatan pada pasien. b. Terdapat sejumlah variabel yang signifikan mempengaruhi kepuasan konsumen, yaitu bukti fisik, jaminan, kualitas produk, dan harga. c. Selain itu, terdapat variabel tidak signifikan membentuk kepuasan konsumen, yaitu kehandalan, ketanggapan, dan empati.
Keterbatasan
Penelitian ini memiliki kelemahan atau kesulitan yang dihadapi pada saat penelitian dilaksanakan. Adapun keterbatasan tersebut diantaranya adalah kesulitan mendapatkan responden yang dengan segera menanggapi kuesioner yang diberikan oleh peneliti karena pembagian dilaksanakan di rumah sakit sehingga harus melakukan survai dengan jumlah yang lebih sering dan banyak untuk mendapatkan target responden yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu 200 responden.
Penelitian Lebih Lanjut
Berdasarkan pada keterbatasan yang dihadapi peneliti pada saat pembagian kuesioner tersebut,
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
maka perlu adanya pendekatan yang lebih baik pada saat menyebarkan kuesioner, diantaranya adalah mendatangi responden di rumah mereka masingmasing sehingga responden dalam keadaan fisik yang cukup baik dalam mengisi kuesioner daripada dilaksanakan di rumah sakit, dimana kemungkinan responden dalam keadaan yang kurang siap mengisi karena sudah lelah menunggu pelayanan yang diberikan atau factor lainnya.
Daftar Pustaka Cooper, D.R., & Schindler, P.S., 2013, Business Research Methods. 12th Ed, McGraw-Hill. Daryanto., 2011, Sari Kuliah Manajemen Pemasaran, Bandung, PT Sarana Tutorial Nurani Sejahtera Hair, J.F, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Black, W.C., 2009, Multivariate Data Analysis. 7th Ed, Prentice-Hall International, Inc. Hawkins, D.I., & Mothersbaugh, D.L., 2013, Consumer Behavior: Building Marketing Strategy, 13th Ed., McGraw-Hill, New York. http://www.bpjs.info/peraturan/Undang_ Undang-33/ Kotler, P., & Armstrong, G., 2010, Prinsip-Prinsip Pemasaran, Edisi 13, United States of America, Pearson Education. Kotler, P., & Keller, K.L., 2013, Marketing Management, 14th Ed., Pearson Education. Lopiyoadi, R., & Hamdani, A., 2006, Manajemen Pemasaran Jasa, PT Salemba Empat, Jakarta. Marzuki., 2000, Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Mosahab, R., Mahamad, O., & Ramayah, T., 2010, Service Quality, Customer Satisfaction and Loyalty: A Test of Mediation, International Business Research, 3(4): 72-80.
Nasution, M., 2005, Total Quality Management, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L. (1985), “A conceptual model of service quality and its implication”, Journal of Marketing, 49: 41-50. Peter, J.P., & Olson, J.C., 2013, Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran, Edisi 9, Buku 1, Salemba Empat, Jakarta. Pour, B.S., Nazari, K., & Emami, M., 2013, The Effect of Marketing Mix in Attracting Custoers: Case Study of Saderat Bank in Kermanshah Province, Academic Journals, 7(34): 32723280. Rahaman, M.M., Abdullah, M., & Rahman, A., 2011, Measuring Service Quality using SERVQUAL Model: A Study on PCBs (Private Commercial Banks) in Bangladesh, Business Management Dynamics , 1(1): 1-11. Scotti, D.J., Harmon, J., Behson, S.J., & Messina, D.J., 2007, Link among High-Performance Work Environment, Service Quality and Customer Satisfaction: an Extention to the Healthcare Sector, Journal of Healthcare Management, 52(2): 109-125. Sekaran, U., 2002, Research Methods For Business: A Skill-Building Approach, 4th Ed, John Wiley & Sons Inc, Singapore. Sugiyono., 2012, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung. Tjiptono, F., 2005, Pemasaran Jasa, Bayu Media, Malang. Tjiptono, F., 2007, Strategi Pemasaran. Edisi ke dua, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
65
Procceding
PEMODELAN DATA BERBASIS SEMANTIC WEB UNTUK KATALOG BUKU PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS Budi Susanto1), Umi Proboyekti2) Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Duta Wacana 1) email:
[email protected] 2) email:
[email protected] ABSTRACT As the library catalog grow in size, the challenge in management emerges when metadata is difficult to be processed by machine. Reformating the definition of book’s metadata in order support collaboration between catalog system caused redundancy and inconsistency. The implementation of metadata format has to be transformed in order to reach wider catalog users. It becomes more open and ;processed by human and machine. Its orientation is on data not only on documents. Semantic web approach presumably enable metadata to be processed by machine and human. Semantic web implementation on library catalogs forms a linked-data from other parties that participate in open data. Using the Web semantic design method approach, this research generated a simple semantic web based data model to represent a book catalog and its relation between books. Along with the model, a user interface for developing a semantic web-based library catalog application is presented. The research focused on the catalog of academic libraries whose collections related to the courses provided by the university. Keywords: semantic web, book catalog, library.
1. PENDAHULUAN Perpustakaan saat ini bukanlah satu-satunya tempat sumber informasi. Layanan perpustakaan digital dan mesin pencari yang tersedia di internet, telah mendorong pergeseran kebutuhan untuk mengakses informasi. Dengan demikian, perumusan kebutuhan akan ketersediaan layanan OPAC (Online Public Access Catalog) pada perpustakaan juga harus disesuaikan, baik secara fungsi ataupun teknologinya. Layanan OPAC berbasis web merupakan salah satu bentuk digital library. Terkait dengan struktur dan pengorganisasian informasi pada digital libray, penelitian awal oleh Ed Fox dari Virginia Polytechnic and State University (Feldman, October 1999) mengungkapkan adanya permasalahan interaksi manusia komputer yang berhubungan dengan penggunaan standar metadata (seperti TEI (Text Encoding Initiative), GILS (Government Information Locator Service), MARC (MAchine-Readable Cataloging), RDF (Resource Description Framework), Dublin Core). Berdasar permasalahan tersebut telah mendorong penerapan standarisasi yang mendukung adanya keterbukaan data yang juga memberikan kandungan semantik dalam sumber datanya
66
(Westrum, 2011). Dengan menerapkan sifat keterbukaan data (open data) serta kandungan semantic dalam datanya, dipercaya akan membuat layanan OPAC menjadi lebih mudah untuk digunakan dan memberikan manfaat bagi penggunanya. Pada penelitian ini akan dilakukan telaah terhadap penggunaan standar semantic web sebagai bentuk representasi pengetahuan dari data sesumber yang dimiliki perpustakaan sekaligus membangun sebuah model data untuk katalog buku, secara khusus pada perpustakaan UKDW, yang dapat digunakan pada sistem OPAC UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana) yang mendukung open data.
2. KAJIAN LITERATUR
Layanan OPAC yang disediakan oleh masingmasing perpustakaan, pada prinsipnya mengelola metadata-metadata baku yang digunakan oleh seluruh layanan perpustakaan. Namun kondisi ini pada kenyataannya sulit untuk dipenuhi oleh beberapa layanan, bahkan ada layanan OPAC yang menyediakan informasi katalognya tanpa menerapkan metadata baku. Beragamnya penggunaan format metadata atau bahkan tidak adanya penggunakan metadata baku memunculkan suatu per-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
masalahan baru tatkala akan dibangun suatu jejaring perpustakaan untuk saling berbagi metadata katalog dari sesumber yang ada di masing-masing perpustakaan. Di sisi lain, adanya prinsip-prinsip dan standar baku metadata yang berlaku untuk layanan perpustakaan saat ini, seperti FRBR (Functional Requirements for Bibliographic Records) dan RDA (Resource Description and Access), cenderung terbaca oleh manusia daripada untuk diproses oleh mesin, selain berorientasi pada document-centric daripada data-centric (Alemu, et al., 2012). Demikian juga dengan penerapan format teknis yang masih banyak digunakan, seperti MARC, juga memunculkan masalah baru terkait dengan duplikasi, konsistensi, dan kurangnya kompleksitas dan level kedetilannya. Pengembangan standar baku metadata yang digunakan di perpustakaan saat ini dinilai sebagai sebuah upaya pembentukan ulang terhadap koleksi metadata yang digunakan dalam sistem katalog konvensional dengan menggunakan kartu katalog 7.5 x 12.5 cm. Bentuk langkah pemformatan ulang juga dilakukan ketika perpustakaan bergeser untuk menggunakan format XML (eXtensible Markup Language) sebagai upaya mempresentasikan metadata yang lebih terbuka dalam sistem katalog online berbasis web. Semua upaya pemformatan tersebut masih belum menjawab permasalahan redundasi yang masih ditemukan di banyak perpustakaan saat ini (Singer, 2009). Dengan semakin besarnya data katalog yang tersimpan dalam perpustakaan, maka akan dibutuhkan suatu pemrosesan yang dapat dilakukan secara otomatis oleh mesin untuk dapat memberikan manfaat lebih kepada pengguna. Ketika kumpulan metadata-metadata dalam katalog perpustakaan hanya dipelihara oleh perpustakaan itu sendiri, maka akan memunculkan masalah lain, yaitu redundansi data masih terjadi, sulitnya membangun jejaring antar perpustakaan dan pihak ketiga, serta menjaditerbatasnya dalam perluasan informasi. Padahal perpustakaan merupakan salah satu pemasok informasi utama bagi masyarakat (Bowen & Schreur, 2012). Goswami & Biswas (2011) menegaskan bahwa fungsi utama yang mendasari peran perpustakaan modern saat ini harus dapat memberikan layanan, akses informasi, mendukung penemuan pengetahuan, dan mendukung standar format data.
A. Semantic Web
Untuk membangun suatu infrastruktur LOD bagi perpustakaan, maka dibutuhkan adanya kerjasama antar perpustakaan dalam berbagai hal untuk menyepakati prinsip dasar Linked Data. Ada empat prinsip dasar dalam membangun Linked Data (Heath & Bizer, 2011, pp. 7-9), yaitu (1) peng-
gunaan rujukan URI (Uniform Resource Identifier) untuk pengenalan, tidak hanya halaman web atau digital content, namun juga objek sesungguhnya dan konsep abstrak; (2) penggunaan protokol HTTP (Hyper Text Transfer Protocol) untuk menerapkan fungsi dereferenced (atau pencarian balik); (3) penggunaan model data tunggal untuk mempublikasikan data terstruktur di web dengan penerapan standar RDF; (4) penggunaan hyperlink untuk menghubungkan tidak hanya dokumen web, namun juga berbagai tipe dari segala sesuatu (Thing). Penerapan dari ke-empat prinsip Linked Data tersebut pada prinsipnya dilandaskan pada arsitektur Semantic Web yang distandarisasi oleh W3C (Word Wide Web Consortium)1. Ide dasarnya adalah pertukaran informasi tidak hanya dilakukan melalui komunikasi manusia dengan manusia saja, namun mesin juga dapat terlibat dan membantu (Berners-Lee, 1998). Semantic Web dapat dilihat sebagai sebuah lapisan metadata baru yang dibangun di dalam web. Metadata dalam kontek Semantic Web diartikan sebagai struktur sintaktik metadata yang menjadikan isi web dapat diketahui oleh mesin, berdasar spesifikasi semantik yang dimodelkan dalam bentuk formal logic. Arsitektur Semantic Web di bangun di atas lapisan web yang sudah distandarisasikan oleh W3C sebelumnya. Lapisan dalam arsitektur Semantic Web dapat dikelompokkan dalam 3 lapisan (Hyvönen, 2012): (1) Level Metadata, (2) Level Ontologi, dan (3) level Logika. Dalam pembangunan kamus kata yang digunakan untuk model data tidak selalu harus dilakukan sendiri, namun juga dapat menggunakan kamus kata yang sudah dibagikan oleh organisasi atau komunitas lain. Contoh beberapa kamus kata yang dapat digunakan dalam membangun model data, antara lain: Dublin Core Metadata Initiative (DCMI) Metadata Terms2, Friend-of-a-Friend (FOAF)3, Bibliographic Ontology (BIBO)4, atau OAI Object Reuse and Exchange5. Munculnya berbagai kamus tersebut didasari pemahaman bahwa peran kamus dalam bentuk Ontologi sangat penting untuk mendukung pemrosesan, sharing, dan reuse pengetahuan berbasis web antar aplikasi (Decker, et al., 2000).
B. Layanan Perpustakaan berbasis Semantic Web
Dengan melihat peran arsitektur Semantic Web yang terbuka, maka sudah selayaknya jika arsitek1 2 3 4 5
http://www.w3.org/standards/semanticweb/ http://dublincore.org/documents/dcmi- terms/ http://xmlns.com/foaf/spec/ http://bibliontology.com/ http://www.openarchives.org/ore/
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
67
Procceding
tur tersebut dapat diterapkan untuk meningkatkan peran dan layanan perpustakaan modern kepada para penggunanya. Goswami & Biswas (2011) menguatkan pandangan tersebut dengan memberikan alasan bahwa semantic web dapat mendukung kebijakan pengembangan koleksi perpustakaan yang lebih bersifat terbuka agar siapapun yang ingin berkontribusi dalam pengembangan koleksi dapat dilakukan. Semantic web juga dipandang dapat mendukung katalogisasi koleksi perpustakaan, khususnya penyediaan representasi yang lebih memperhatikan “arti”/semantik dari suatu koleksi. Hal lain yang dipandang penting oleh Goswami & Biswas adalah Semantic Web dapat membantu perpustakaan untuk berjejaring dengan komunitas perpustakaan dan pustakawan lain dalam menyediakan rujukan yang lebih lengkap. Penerapan Semantic Web menawarkan dimensi baru yang lebih baik untuk pengelolaan dan manipulasi informasi. Representasi metadata sebagai ontologi web dapat memberikan manfaat untuk kerangka logika dalam layanan pencarian berdasar automated reasoning sekaligus memperkaya deskripsi objek dokumen/ informasi dengan mendefinisikan relasi antar sesumber yang tersimpan dalam repositori (Koutsomitropoulos, et al., 2009). Penerapan Semantic Web untuk sistem perpustakaan telah banyak diteliti dan diterapkan dengan tetap mengikuti arsitektur dasar yang telah ditetapkan oleh W3C. Seperti yang dilakukan di University of Arizona Library (Han, 2006) dengan membangun sistem berbasis arsitektur lapisan: lapisan penyimpan yang menggunakan RDF/RDFS, lapisan manajemen metadata dan semantik termasuk ontologi dan taksonomi, lapisan layanan umum (seperti OAI-PMH (Open Archives Initiative - Protocol for Metadata Harvesting), OpenURL (Open Uniform Resource Locator), dan layanan pencarian), serta lapisan aplikasi. Sebuah proyek bernama JeromeDL6 atau sering dikenal sebagai Social Semantic Digital Library (Burke, 2009) dikembangkan oleh Semantic Web Research Group7 di DERI (Digital Enterprise Research Institute) yang memanfaatkan MarcOnt sebagai mediator antara standar DublinCore, MARC21, BibTEX dengan struktur ontologi. JeromeDL juga memanfaatkan kekuatan komunitas untuk memperkaya konsep untuk ontologi. Untuk penyediaan fasilitas tersebut, JeromeDL menerapkan FOAFRealm untuk mengontrol informasi profil, WordNet untuk mengontrol vocabulary semantic keyword, dan SIOC (Semantically-Interlinked Online Communities) untuk menyediakan interoperabilitas dengan sumber informasi semantik sosial lainnya (Kruk, et al., 2007). 6 7
http://sourceforge.net/projects/jeromedl/files/JeromeDL/ http://sw.deri.ie
68
Setiawan, Rhoedy, & Nurkamid (2012) mengembangkan aplikasi bibliografi yang memanfaatkan infrastruktur semantic web, yaitu OWL (Ontology Web Language) dan SKOS (Simple Knowledge Organization System) dalam penyediaan layanan pencarian katalog buku di perpustakaan. Fungsi pencarian katalog didasarkan pada ontologi bibliografi yang dikembangkan dan menggunakan SPARQL (SPARQL Protocol and RDF Query Language) untuk pencarian data triple. Class untuk pustaka yang dibentuk antara lain Article, Proceedings, PeriodicReport (memiliki sub class Journal, Magazine, Newspaper), FinalReport (memiliki sub class BachelorThesis, MasterThesis, PhdThesis), TextBook. Wijayanto, Laksito, & Susyanto (2012) juga pernah mengembangkan aplikasi serupa dengan Setiawan & Nurkamid, dengan struktur ontologi yang yang berbeda, yaitu dengan mendefinisikan bibliografi perpustakaan dalam class Person, Book, Bookcase, dan Organization. Bentuk penerapan yang lain dilakukan juga oleh Wahyudi (2013) dengan menggunakan ontologi serupa dengan yang digunakan oleh Setiawan, Rhoedy & Nurkamid (2012) dengan penambahan domain pengetahuan untuk pembuatan indek setiap objek bibliografik sebagai Kalimat, Stopword, Keyword (dengan sub class Category, Kp, Dtp, Obp, pKeyword, synonimKeyword). Penambahan tersebut didasarkan pada kebutuhan ketersediaan query yang menerapkan aturan linguistik yang didefinisikan. Dengan adanya aturan ini, Wahyudi menerapkan standar SWRL (Semantic Web Rule Language). OCLC (Online Computer Library Center, Inc.) sebagai wadah yang menjembatani perpustakaan-perpustakaan di dunia telah menerapkan schema.org untuk setiap item bibliografik yang ada di WorldCat.org dengan tujuan agar layanan informasi bibliografi semakin relevan dengan web (Fons, et al., 2012). WorldCat.org sendiri saat ini telah menyediakan layanan data mencapai 194 juta bibliografi untuk mendukung Linked Open Data Bibliography (Walls, 2014). Pendefinisian ontologi dalam aplikasi berbasis Semantic Web menjadi sesuatu tahapan yang wajib dilakukan, termasuk pengembangan layanan katalog perpustakaan berbasis Semantic Web. Seperti yang pernah diterapkan pada proyek SEKT (Semantic Knowledge Technologies)8 (Warren, 2005) (Sure & Studer, 2005) yang membangun tiga lapis ontologi: lapisan teratas berisi general class (People, Role, Topic, TimeInterval, dan class general lain yang lebih spesifik pada domain), lapisan tengah berisi class-class yang mendukung manajemen pengetahuan (UserProfile dan Device). Lapisan terakhir berisi class-class detil sesuai dengan domain perpustakaan. SEKT merupakan aplikasi manajemen pengetahuan yang 8
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
http://www.sekt-project.com/
Procceding
dapat digunakan perpustakaan digital yang memberikan pengguna menambah dan berbagi pengetahuan kepada perpustakaan. Penerapan Semantic Web di dalam perpustakaan juga perlu memperhatikan blok pembangun metadata (Mitchell, 2013) yang terdiri dari: Data Model, Content Rules, Metadata Schema/ Vocabulary, Data serialization, Data exchange. Mitchell mengungkapkan bahwa saat ini dibutuhkan standarisasi schema berbasis semantic web untuk setiap blok tersebut agar dapat membangun prinsip LOD bagi komunitas LAM (Library, Archive, Museum). Setidaknya terdapat standar dari DCMI (Dublin Core Metadata Initiative) dan IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions). Keduanya menawarkan standarisasi dalam pemanfaatan Semantic Web untuk LAM. DCMI memiliki DCAM (DCMI Abstract Model) berdasar Singapore Framework yang membantu organisasi untuk menentukan DCAP (Coyle & Baker, 2009). DCMI menggunakan RDF/XML sebagai format metadata. DCMI juga membuat sebuah task Group yang fokus untuk pengembangan DCMI Schema.org yang membantu pengembang web untuk menempelkan data terstruktur dalam halaman web (Baker, 2012). Serupa dengan DCMI, IFLA juga membuat spesifikasi standar tentang model metadata, struktur dan vocabulary yang dapat tersedia untuk Semantic Web. Standar ISDB/XML (International Standard Bibliographic Description) merupakan salah satu standar metadata untuk mendeskripsikan sesumber bibliografi di sembarang tipe katalog. Elemenelemen dalam ISDB mengacu pada standar FRBR yang sudah lama digunakan. ISDB tidak mencakup relasi antar sesumber, sehingga tidak ada properti RDF terkait dengan relasi. Semua atribut ISDB menyatakan aspek spesifik dari sebuah sesumber, sehingga setiap atribut direpresentasikan sebagai properti RDF. Terkait dengan penggunaan Dublin Core, dengan adanya DCAP memungkinkan organisasi untuk menggunakan sistem metadata lain, seperti ISDB sebagai vocabulary dalam profil aplikasinya (Willer, et al., 2010). Konsep yang dikembangkan dalam berbagi informasi bibliografi antar perpustakaan dengan menggunakan berbagai macam protokol dan format pertukaran data (MARC, OAI-PMH misalnya) telah lama dilakukan. Mengingat bahwa data perpustakaan sangatlah dinamis, maka perlu untuk dikembangkan pula bahwa data bibliografi tidak hanya dipertukarkan antar perpustakaan untuk redundansi penyimpanan secara lokal, namun juga dapat dibagi secara global. Dengan berbagi, maka tentu akan mengurangi biaya perpustakaan dan memperluas akses informasi perpustakaan. Usaha untuk mengembangkan konsep berbagi data bibliografi tersebut sudah dikembangkan
oleh IFLA melalui International Cataloguing Principles (ICP) dalam bentuk model konseptual untuk mendeskripsikan sesumber (menggunakan elemen data FRBR, FRAD (Functional Requirements for Authority Data)). Model konseptual data tersebut mengubah standar pengkatalogan, seperti ISBD (International Standard Bibliographic Description), dan kode katalog, seperti AACR (Anglo-American Cataloguing Rules). Berdasar kebutuhan berbagi yang mendasar tersebut, IFLA menetapkan sebuah standar bernama RDA yang didasarkan pada model konsep FRBR, FRAD, AACR2, dan ICP. RDA dapat digunakan untuk mengidentifikasi sembarang sesumber dengan berbagai format. Dengan RDA juga dapat digunakan untuk mengindikasikan orang, keluarga, organisasi, tempat, dan sebagainya. Spesifikasi RDA dapat digunakan untuk membangun LOD, karena RDA juga menggunakan controlled vocabularies yang tersedia di lingkungan linked data melalui Open Metadata Registry (OMR) sehingga URI untuk setiap term dapat digunakan (Tillett, 2013). Mitchell E. memberikan gambaran tentang struktur masing-masing standar dalam blok pembangun metadata, yaitu: penerapan RDA untuk content rule; OWL, SKOS untuk metadata schema; XML, JSON (JavaScript Object Notation), RDFa untuk encoding dan serialisasi; dan SPARQL untuk data exchange menjadi prinsip untuk pembangunan LOD untuk komunitas LAM.
3. METODOLOGI
Dalam penelitian ini ada dua tahapan besar yang akan dikerjakan, yaitu pemodelan data menggunakan RDF untuk sesumber buku di perpustakaan UKDW, serta pengembangan antarmuka OPAC berdasar model data dan hasil survey melalui kuesioner. Untuk tahapan pemodelan data RDF, dalam penelitian ini direncanakan menggunakan pendekatan metode WSDM (Web Semantic Design Method) seperti yang diutarakan oleh De Troyer dan Leune (Plessers, et al., 2005). Metode WSDM menyediakan 5 (lima) tahapan utama, yaitu Mission Statement Specification, Audience Modelling, Conceptual Design, Implementation Design, Implementation.
A. Spesifikasi Pernyataan Misi Spesifikasi pernyataan misi ini merupakan suatu bentuk dari penentuan kebutuhan sistem yang akan dibangun. Seperti yang sudah diungkapkan oleh Christel & Kang (1992), dalam pendefinisian kebutuhan pengembangan sistem perlu untuk mempertimbangkan tantangan-tantangan, antara lain: ruang lingkup masalah, masalah pemahaman kebutuhan pemakai, serta masalah terkait dengan perubahan-perubahan kebutuhan.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
69
Procceding
Dalam penelitian ini, telah didefinisikan sebuah pernyataan misi yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan langkah-langkah berikutnya. Berikut adalah pernyatan misi dalam memodelkan data katalog buku berbasis Semantic Web:
No 1
2
3
4
5
6
7
70
TABEL 1 Hasil Survey Terhadap Penggunaan Katalog Perpustakaan
PERTANYAAN
Anda menggunakan katalog perpustakaan untuk mencari buku Anda menggunakan mesin pencari untuk mencari buku Kata kunci untuk mencari buku adalah bagian dari judul buku Kata kunci untuk mencari buku adalah bagian dari isi buku
Topik (subyek) dari buku bantu untuk pencarian buku
Beberapa halaman yang disajikan di book.google. com cukup untuk penuhi kebutuhan Anda Pengarang digunakan untuk mencari buku
SETUJU
NETRAL
TIDAK
73.80%
12.66%
13.54%
91.70%
4.59%
3.71%
86.90%
11.79%
1.31%
42.79%
27.51%
29.69%
62.66%
29.26%
8.08%
28.17%
74.45%
46.72%
16.59%
25.11%
8.95%
8
9
Penerbit digunakan untuk mencari buku Buku-buku yang setopik membantu menemukan buku yang lain
42.14%
27.95%
29.91%
72.71%
21.62%
5.68%
“Menyediakan layanan katalog buku perpustakaan universitas yang memperhatikan keterkaitan dengan informasi lain dalam suatu infrastruktur Semantic Web. Sistem katalog ini akan dapat memberikan arti lebih untuk suatu obyek informasi yang dibutuhkan agar pada akhirnya dapat memberikan pengetahuan baru kepada pengguna. Keterhubungan antar obyek disajikan dalam visualisasi graf obyek buku untuk diakses dengan mudah oleh mahasiswa dan dosen.”
B. Pemodelan Audien
Tahap ke-2 dari metodologi WSDM adalah mengenali target pengguna sistem melalui pengenalan terhadap klasifikasi pengguna serta karakterisasi pengguna. Tujuan dari klasifikasi pengguna adalah untuk mengenali tipe-tipe pengguna yang berbeda (yang dikenal sebagai kelas pengguna). Setiap kelas pengguna akan memiliki kebutuhan informasi dan fungsionalitas sistem yang berbeda pula. TABEL 2 Perilaku Pemilihan Buku Berdasar Atribut Buku
No
1 2
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
PENILAIAN ATRIBUT UNTUK PEMILIHAN BUKU
Tahun terbit menjadi penentu dalam pemilihan buku Pengarang menjadi penentu dalam pemilihan buku
SETUJU
NETRAL
TIDAK
44.54%
37.12%
18.34%
52.40%
36.03%
11.57%
Procceding
3
4
5
6
7
8
9
Fisik (ketebalan, jumlah halaman, jenis sampul, warna) buku menjadi penentu dalam pemilihan buku Reputasi pengarang penting dalam pemilihan buku
24.67%
40.39%
35.59%
38.65%
Pilih buku yang pengarangnya terkenal/dikenal 50.00% dan dianggap ahli di bidangnya
38.21%
43.01%
46.51%
Buku bertahun terbit lebih dari 5 tahun lalu masih relevan
Edisi terbaru dari buku yang pengarangnya 64.63% terpercaya lebih cenderung untuk dipilih Informasi profil pengarang yang meyakinkan mendukung pilihan terhadap buku Pemilihan buku ditentukan dari menarik atau tidaknya judul
Pemilihan buku ditentukan 10 dari reputasi penerbitnya Pemilihan buku 11 ditentukan dari daftar isinya
Topik(subjek) dari buku 12 membantu pemilihan buku
39.74%
20.96%
11.79%
10.48%
NO 1
2 3
4 5
6 7
6.55%
41.48%
40.83%
17.69%
44.98%
32.75%
22.27%
28.17%
43.45%
28.38%
46.29%
33.62%
20.09%
74.45%
21.62%
3.93%
ATRIBUT BUKU
Judul
Nama Pengarang
Profil Pengarang Subjek Buku
Deskripsi buku
isi
Daftar Isi Buku Tahun Terbit
SETUJU
96.51%
84.72%
NETRAL
3.28%
12.66%
TIDAK 0.22% 2.62%
31.66%
47.38% 20.96%
74.24%
21.40%
4.37%
25.98%
6.55%
69.65% 57.86% 67.47%
24.67%
5.68%
27.29% 14.85%
8
Penerbit
59.61%
28.82% 11.57%
11
Nomor Panggil/ 42.58% Klasifikasi
41.05% 16.38%
9
10 12
28.82%
TABEL 3 Penilaian Atribut Buku Yang Dibutuhkan Responden
13 14 15
Gambar Sampul Informasi Fisik
49.56% 32.53%
Lokasi buku (rak, perpustakaan, 78.82% toko buku)
33.84% 16.59% 46.07% 21.40%
Informasi buku70.31% buku lain setopik
15.28%
5.90%
24.45%
5.24%
Informasi ku-buku sepenerbit
44.32% 23.14%
Informasi bukubuku lain sepen- 47.16% garang bulain 32.53%
39.74% 13.10%
Kuesioner disusun untuk mencari kecenderungan dari pengguna ketika menggunakan katalog buku. Pernyataan-pernyataan yang disajikan dalam kuesioner didasari dari atribut-atribut yang digunakan untuk menjelaskan buku. Pengalaman pengguna menggunakan katalog perpustakaan dianggap penting, karena itu salah satu identitas responden adalah PERNAH atau TIDAK PERNAH menggunakan katalog perpustakaan. Katalog perpustakaan tidak merujuk pada perpustakaan universitas tertentu, tetapi perpustakaan manapun. Untuk mereka yang mengaku tidak pernah menggunakan perpustakaan asumsinya mereka mengenal bentuk katalog buku yang disediakan oleh toko buku. Pertanyaan dalam kuesioner yang digunakan, dibagi dalam 3 kelompok: alat pencarian informasi buku, pemilihan buku, dan informasi buku di katalog. Survei yang telah dilakukan terhadap 458 peserta survey (responden) memberikan gambaran tentang tingkat kebutuhan informasi dan
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
71
Procceding
pencarian dari pengguna terhadap sebuah sistem katalog. Dari 458 responden sejumlah 72% menyatakan pernah menggunakan layanan katalog buku, dan sisanya menyatakan belum pernah. Terkait dengan kebutuhan pencarian untuk sesumber yang ada di perpustakaan, gambaran kebutuhan yang dinyatakan oleh responden antara lain dapat dinyatakan pada Tabel 1. Di samping itu, pemilihan sebuah buku dapat dilihat dari pertimbangan akan atribut-atribut yang melekat pada buku itu sendiri. Tabel 2 menunjukkan hasil survey yang menggambarkan tentang atribut-atribut buku yang dapat dijadikan sebagai prioritas bagi pembaca untuk memilih sebuah buku. Berkaitan dengan kebutuhan informasi detil sebuah buku, pada dasarnya semua atribut yang ditanyakan dinilai penting dan membantu (Lihat Tabel 3).
4. MODEL DATA KATALOG
Oleh karena menggunakan DCMI sebagai basis, maka dalam pemodelan informasi katalog buku perpustakaan UKDW yang dibangun dalam penelitian akan menggunakan metode Dublin Core Application Profile (DCAP). Sebuah DCAP adalah sekumpulan dokumen yang mengkhususkan dan mendeskripsikan penggunaan metadata dalam suatu aplikasi (Coyle & Baker, 2009). Dalam DCAP, hal pertama yang perlu dispesifikasikan adalah mendefinisikan functional requirements. Berdasar kebutuhan fungsional, berikutnya dikembangkan sebuah model domain sebagai dasar cetak biru untuk pembangunan DCAP. Model domain mendeskripsikan tentang things metadata seperti apa yang akan diuraikan, dan relasi antar things tersebut. Dengan 21 atribut buku yang dikelola dalam sistem katalog buku perpustakaan UKDW, dalam penelitian ini mengembangkan model domain, sebagai berikut: • d c t e r m s : B i b l i o g r a p h i c R e s o u r c e d a n • • • •
72
bibo:Book (keduanya didefinisikan sebagai class yang sama)
foaf:Person dilengkapi dengan vcard:Individual (untuk memodelkan editor dan pengarang)
ddc:Subject (untuk memodelkan subyek buku) foaf:Organization vcard:Organization penerbit)
dilengkapi dengan (untuk memodelkan
ukdw:Course (untuk memodelkan matakuliah)
Dalam kontek katalog perpustakaan universitas, seperti UKDW, penekanannya adalah pada penggunaan buku untuk mendukung penelitian dan perkuliahan. Setiap properti yang terpilih atau dibangun sendiri memiliki karakteristik untuk sifat nilai range, value string, SES URI (Syntax Encoding Scheme atau datatype), value URI, dan VES URI (Vocabulary Encoding Scheme). SES URI akan bernilai YES jika nilai untuk properti terkait harus mengikuti encoding yang sudah ditentukan. VES URI akan bernilai YES jika nilai untuk properti terkait memiliki batasan nilai dari kamus kosa kata yang telah tersedia. Properti dcterms:subject oleh karena harus berisi dari DDC, maka nilai-nilainya bersifat terkontrol yaitu hanya dari kosa kata yang terdefinisi dalam skema DDC. Dari domain dan properti yang didefinisikan, selanjutnya dapat diuraikan tentang deskripsi record metadata lebih detil. Dalam pendekatan DCMI, sebuah record metadata didasarkan pada Description Set Model (bagian dari DCMI Abstract Model DCAM). Rancangan sebuah record didetilkan dalam sebuah Description Set Profile (DSP) menggunakan bahasa batasan (restriction) DSP. Untuk setap Description dan Statement dalam sebuah record, DSP mendefinisikan sebuah template, dan setiap template menyimpan batasan (restriction) yang menyatakan detil teknis seperti pengulangan elemen atau pembatasan nilai yang diijinkan (Coyle & Baker, 2009). Sebagai catatan penting di sini adalah template class BibliographicResource bersifat serupa (equal) dengan template class Book dari skema Bibliographic Ontology. Dengan definisi sifat yang sama, maka pengguna properti dari skema Bibliographic Ontology dapat dikenakan dalam model katalog yang dibangun. Deklarasi template class Person dari skema FoaF dideklarasikan serupa dengan template class Individual dari VCard. Demikian juga template class Organization dari FoaF dideklarasikan serupa dengan template class Organization dari VCard. Tujuan dari deklarasi tersebut adalah agar kekayaan kosa kata properti yang digunkana dalam model data katalog buku perpustakaan UKDW menjadi lebih kaya dan lebih terbuka. Dalam model data katalog yang dikembangkan dalam penelitian ini juga melibatkan representasi dari Matakuliah yang memiliki hubungan referensi ke beberapa buku. Dengan demikian model data yang terbentuk dapat membantu civitas UKDW untuk mendapatkan buku-buku pendukung lain diluar dari daftar rujukan yang disebutkan. Untuk itu, dalam model data katalog juga akan memiliki domain Matakuliah yang diwakili dengan template class Course.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Gambar 1. Graf ontologi model data katalog buku perpustakaan universitas
Pada Gambar 1 diperlihatkan graf dari model data berbasis semantic web untuk representasi buku dan matakuliah. Dalam model data yang dikembangkan tersebut, terdapat representasi Universitas, Fakultas, Program Studi, dan Matakuliah sebagai representasi dari sebuah perpustakaan perguruan tinggi.
Selanjutnya dari setiap item buku yang ditemukan pada daftar hasil pencarian, pengguna dapat menuju ke halaman informasi detil buku dari tautan detail yang tersedia di bawah cover buku. Pada rancangan Gambar 3, informasi relasi antar buku, baik berdasar subyek, penulis, ataupun pembuplikasi, tersedia dalam satu halaman yang sama. Dengan rancangan tersebut, pengguna dapat dituntun untuk mendapatkan buku-buku sejenis lainnya. Sekaligus pada halaman tersebut, pratinjau buku dapat terlihat untuk membantu pengguna me-review secara cepat.
5. REKOMENDASI ANTARMUKA
Berdasar hasil survey terkait dengan kebutuhan pencarian dan informasi detil buku dari pengguna katalog perpustakaan universitas UKDW, rancangan antarmuka aplikasi secara khusus untuk menunjukkan arsitektur informasi daftar hasil pencarian dari sistem OPAC sebaiknya mementingkan daftar subyek unik berdasar seluruh pustaka yang ditemukan. Pada setiap item pustaka yang ditemukan, akan menampilkan informasi tentang judul, cover buku, pengarang, tahun terbit, penerbit, klasifikasi, lokasi buku, deskripsi, dan subyek terkait dengan buku. Dengan informasi ini, pengguna sudah mendapat informasi yang mencukupi untuk pemilihan buku. (Gambar 2)
Gambar 3. Rancangan Detil Buku
Sesuai dengan hasil respondensi, informasi detil buku yang diharapkan dapat diperoleh dengan satu halaman saja. Kebutuhan untuk mendapatkan informasi buku-buku lain, baik dari satu topik yang sama, dari penerbit yang sama, ataupun dari penulis yang sama, juga dapat diperoleh oleh pengguna. Rancangan antarmuka yang diusulkan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk perancangan aplikasi katalog perpustakaan lainnya.
6. REKOMENDASI KOMPONEN SISTEM Gambar 2. Rancangan hasil pencarian
Ketersediaan informasi seputar subyek buku hasil dari pencarian dapat membantu pengguna untuk menemukan buku-buku subyek sejenis lainnya pada halaman yang sama, tanpa harus melakukan pencarian ulang.
Model data berbasis RDF/OWL pada prinsipnya menerapkan sistem graf. Dengan demikian, dalam pengelolaan triple RDF, yaitu sepasang node yang terhubung dengan sebuah edge, juga sebaiknya memperhatikan tentang karakteristik graf yang ukurannya sangat mungkin besar. Untuk itulah ketika akan menerapkan sebuah sistem berbasis Semantic Web, maka baik manajemen database dan layanan yang disediakan juga harus mengikuti arsitektur Semantic Web.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
73
Procceding
Berdasar kebutuhan sebuah sistem katalog pustaka perpustakaan universitas, maka dalam penelitian ini direkomendasikan sebuah arsitektur sistem aplikasi yang harus memperhatikan tersedianya layanan Semantic Web dan juga sistem temu kembali (information retrieval) yang mampu memberikan fungsi pencarian dan visualisasi informasi yang dinamis dan terbuka kepada siapapun yang ingin menggunakannya.
Gambar 4. Rancangan Blok Pembangun Sistem Katalog Perpustakaan berbasis Semantic Web
Pada Gambar 4 ditunjukkan beberapa komponen utama dalam suatu sistem katalog perpustakaan yang menerapkan arsitektur Semantic Web dan sistem temu kembali. Untuk menerapkan Semantic Web harus menyediakan sebuah layanan query yang mengikuti standar bahasa SPARQL. Layanan ini disebut sebagai SPARQL end-point. Melalui layanan inilah database katalog pustaka berbasis RDF yang dimiliki perpustakaan dapat diakses oleh pengguna atau sistem lain. Dengan SPARQL endpoint tersebut juga dapat digunakan oleh modul temu kembali untuk membaca beberapa properti yang dibutuhkan agar terbentuk sebuah indeks pencarian. Melalui SPARQL end-point juga dapat digunakan oleh modul aplikasi pengelolaan data katalog, sehingga mempermudah pustakawan dalam mengelola data pustaka yang dimilikinya. Modul pencarian katalo g buku dapat didasarkan pada modul temu kembali, karena akan memberikan daftar hasil pencarian yang lebih baik bagi pengguna daripada berdasar pencocokan string. Untuk mempermudah dalam pengembangan aplikasi pencarian bagi sisi pengguna, modul pencarian dapat memanfaatkan layanan temu kembali dari pihak ketiga, misalnya SOLR, yang menyediakan berbagai macam fungsi temu kembali secara lengkap. Berdasar hasil yang diterima dari layanan temu kembali, modul pencarian katalog pustaka dapat meminta layanan SPARQL end-point untuk mendapatkan data lebih detil terkait sebuah pusta-
74
ka yang ingin dilihat oleh pengguna. Di sinilah peranan visualisasi informasi pustaka menjadi sangat dinamis.
7. PENUTUP
Penggunaan metodologi WSDM dinilai sangat membantu dalam menuntun pendefinisian spesifikasi kebutuhan, secara khusus pendekatan dengan metode kuesioner dapat digunakan untuk mendapat gambaran kebutuhan profil pengguna. Selain WSDM, penggunaan pendekatan DCAP dapat menuntun dalam pendefinisian metadata, properti baik obyek ataupun data, serta domain-domain pengetahuan yang seharusnya ada. Berdasar responden, sebuah fungsi pencarian dari sebuah sistem katalog buku perpustakaan sebaiknya berdasar beberapa atribut buku, yaitu: Judul Buku, Nama Pengarang, Daftar kata kunci atau frase penting dari buku, Tahun Terbit, Subyek Buku, Daftar Isi Buku, Penerbit, serta Deskripsi Isi Buku. Salah satu peranan penting perpustakaan perguruan tinggi adalah memperkaya rujukan dari setiap matakuliah dalam kurikulum yang dijalankan di setiap program studi. Untuk itu pemodelan data yang dibangun juga merepresentasikan keterkaitan matakuliah dan buku. Dalam penelitian ini direkomendasikan sebuah model data berbasis RDF yang melibatkan beberapa skema baku lain, yaitu: DCMI Terminology, Dewey Decimal Classification RDF, FoaF yang di dalamnya sudah melibatkan Schema.org, VCard, dan Bibliography Ontology. Model data yang direkomendasikan tidak melibatkan semua properti, baik obyek ataupun data, karena prinsip yang digunakan adalah model data harus dapat bersifat terbuka dan mudah untuk dikembangkan .
DAFTAR PUSTAKA
Alemu, G., Stevens, B., Ross, P. & Chandler, J., 2012. Linked Data for Libraries: Benefits of a Conceptual Shift from Library-Specific Record Structures to RDF-based Data Models. [Online] Available at: http://conference. ifla.org/sites/default/files/files/ papers/wlic2012/92-alemu-en.pdf [Diakses 20 02 2014].
Baker, T., 2012. Libraries, languages of description, and linked data: a Dublin Core perspective. Library Hi Tech, 30(1), pp. 116-133. Berners-Lee, T., 1998. Semantic Web Road map. [Online] Available at: http://www.w3.org/ DesignIssues/Semantic.html [Diakses 22 05 2014].
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Bowen, J. & Schreur, P. E., 2012. Linked Data for Libraries: Why Should We Care? Where Should We Start?. [Online] Available at: http://www.cni. org/topics/information-accessretrieval/linked-data-for-libraries/ [Diakses 20 02 2014]. Burke, M., 2009. The semantic web and the digital library. s.l., Emerald Group Publishing Limited, pp. 316322. Christel, M. & Kang, K., 1992. Issues in requirements elicitation. [Online] Available at: http://resources.sei.cmu.edu/asset_ files/technicalreport/1992_005_001_16478.pdf [Diakses 05 04 2014]. Coyle, K. & Baker, T., 2009. Guidelines for Dublin Core Application Profiles. [Online] Available at: http://dublincore. org/documents/profile-guidelines/ [Diakses 20 10 2014]. Decker, S. et al., 2000. The Semantic Web: The roles of XML and RDF. IEEE Internet Computing, September - October, pp. 63-74. Feldman, S., October 1999. Digital Libraries’99: ACM’s conference this year showed that the technology and ideas are maturing, s.l.: Information Today. Fons, T., Penka, J. & Wallis, R., 2012. OCLC’s Linked Data Initiative: Using Schema.org to Make Library Data Relevant on the Web. Information Standards Quarterly, 24(2/3), pp. 29-33. Goswami, S. & Biswas, P., 2011. The Concept of Semantic Web in Library Services. International Journal of Information Dissemination and Technology, JulySeptember, 1(3), pp. 165-170. Han, Y., 2006. A RDF-based digital libray system. Library Hi-Tech, 24(2), pp. 234-240. Heath, T. & Bizer, C., 2011. Linked data evolving the web into a global data space. s.l.:Morgan & Claypool. Hyvönen, E., 2012. Publishing and Using Cultural Heritage Linked Data on the Semantic Web. s.l.:Morgan & Claypool. Koutsomitropoulos, D. A., Solomou, G. D., Alexopoulos, A. D. & Papatheodorou, T. S., 2009. Semantic Web enabled digital repositories. International Journal on Digital Libraries, December, 10(4), pp. 179-199. Kruk, S. R., Woroniecki, T., Gzella, A. & Dąbrowski, M., 2007. JeromeDL – a Semantic Digital Library. Busan, Korea, s.n.
Mitchell, E., 2013. Metadata Developments in Libraries and Other Cultural Heritage Institutions. Library Technology Reports, 49(5), pp. 5-10. Plessers, P., Casteleyn, S. & Troyer, O. D., 2005. Semantic Web Development with WSDM. Galway, Ireland, s.n. Setiawan, R. R. & Nurkamid, M., 2012. Teknologi Web Semantik Untuk Bibliografi Perpustakaan. Semarang, s.n., pp. 17-23. Singer, R., 2009. Linked Library Data Now!. Journal of Electronic Resources Librarianship , 12(2), pp. 114126. Sure, Y. & Studer, R., 2005. Semantic Web technologies for digital libraries. Library Management, 26(4/5), pp. 190-195. Tillett, B., 2013. RDA and the Semantic Web, Linked Data Environment. JLIS.it, January, 4(1), pp. 139-145. Wahyudi, A. T., 2013. Semantic Search pada digital library online public access catalog. [Online] Available at: http://jurnal.stmikelrahma. ac.id/assets/file/Adhie%20 Tri%20Wahyudi_stmikelrahma.pdf [Diakses 18 10 2014]. Walls, R., 2014. OCLC Preview 194 Million Open Bibliographic Work Descriptions. [Online] Available at: http://dataliberate. c o m / 2 0 1 4 / 0 2 / o c l c - p rev i e w- 1 9 4 - m i l l i o n o p e n - b i b l i o g r a p h i c - w o r k- d e s c r i p t i o n s / [Diakses 18 10 2014]. Warren, P., 2005. Applying semantic technology to a digital library: a case study. Library Management, 26(4/5), pp. 196-205. Westrum, A.-L., 2011. The key to the future of the library catalog is openness. Info Today, April, pp. 11-14. Wijayanto, H., Laksito, W. & Susyanto, T., 2012. Penerapan Web Semantik dalam Pencarian Katalog Buku di Perpustakaan Stmik Sinar Nusantara Surakarta. [Online] Available at: https://www.academia.edu/4659333/ P E N E R A PA N _ W E B _ S E M A N T I K _ DA L A M _ PENCARIAN_KATALOG_BUKU_DI_PERPUSTAKAAN_ S T M I K _ S I N A R _ N U S A N TA R A _ S U R A K A R TA
[Diakses 18 10 2014]. Willer, M., Dunsire, G. & Bosancic, B., 2010. ISBD and the Semantic Web. JLIS.it, 1(2), pp. 213-236.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
75
Procceding
MAKNA SIMBOL RELASI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL SUMBA SEBAGAI ACUAN PERWUJUDAN KESETARAAN JENDER Wiyatiningsih, Asnath Niwa Natar, Endah Setyowati, Alviani Permata ABSTRAK Relasi antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tradisional tercermin dari arsitektur rumah tinggal dan kampung adat yang merupakan wujud budaya dari masyarakat tradisional tersebut. Pada kasus di Sumba, masyarakat tradisional mengenal konsep simbol berpasangan yang terwujud dalam agama, bahasa maupun arsitektur. Makna dari konsep tersebut dipahami melalui relasi sosial dan kultural antar kelompok jender dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan perkembangan jaman, pola relasi antara perempuan dan laki-laki tersebut telah mengalami pergeseranpergeseran akibat adanya persentuhan dengan budaya luar, terutama nilai-nilai nasional yang masuk melalui saluran birokrasi dan pemerintahan. Pergeseran-pergeseran tersebut merupakan tanggapan dari interupsi eksternal terhadap budaya tradisional masyarakat Sumba. Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna simbol relasi perempuan dan laki-laki dalam arsitektur tradisional Sumba dalam kaitannya dengan upaya pelestarian dan keberlanjutan budaya Sumba yang proporsional. Penelitian ini merupakan suatu rangkaian studi dengan studi kasus Sumba Barat dan Sumba Timur. Kedua lokasi tersebut dipilih sebagai studi kasus untuk mendapatkan keragaman wujud arsitektural dan bentuk relasi jender yang diakibatkan oleh perbedaan budaya dan kondisi geografis. Selain itu, pemilihan kedua lokasi tersebut juga didasarkan pada dugaan adanya ketimpangan jender yang dihadapi oleh masyarakat tradisional Sumba yang tercermin melalui ketidaksesuaian antara konsep filosofis dengan praktik relasi jender dalam kehidupan seharihari dari masyarakat Sumba. Penelitian ini menerapkan metode grounded research yang menggali teori-teori lokal secara empiris di lapangan. Pengambilan data tentang simbol-simbol relasi perempuan dan laki-laki dilakukan melalui dokumentasi pola-pola ruang dan detil arsitektur serta wawancara yang mendalam dengan metode sample bertujuan (purposive sampling). Untuk memandu penelitian, disusun hipotesis awal penelitian yang kemudian dibuktikan melalui studi di lapangan, yaitu: nilai kesetaraan pada konsep simbol berpasangan dalam budaya Sumba yang mewujud pada arsitektur rumah tinggal dan kampung adat di Sumba belum terwujud dalam relasi keseharian antara laki-laki dan perempuan. Wujud arsitektur rumah tinggal dan kampung adat dinegosiasikan sebagai respon atas tatanan baru yang diperkenalkan oleh agen perubahan lewat kebijakan sosial politik negara. Kata Kunci: simbol, relasi jender, arsitektur, berkelanjutan, negosiasi
PENDAHULUAN Unsur-unsur berpasangan sebagai simbolisasi dari aspek saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan tercermin dalam arsitektur tradisional Sumba, baik pola ruang mikro (rumah) maupun makro (kampung). Demikian pula dalam sistem religi, penyebutan nama allah dan pemimpin adat, selalu menggunakan bahasa dan simbol berpasangan. Sebutan berpasangan ini tidak bersifat ontologis, namun menunjuk pada fungsi. Mengingat eratnya kaitan antara arsitektur dengan budaya, maka arsitektur tradisional, khususnya pola ruang, menjadi salah satu aspek yang akan dilihat dari studi terhadap pemaknaan simbol relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tradisional di Sumba. Topan (2007) mengungkapkan bahwa, pola ruang rumah adat Sumba dibentuk oleh nilai kosmologi dan sistem kebudayaan mega-
76
litik dari masyarakat tradisional Sumba. Dengan demikian, pendekatan lintas disiplin diperlukan untuk mengkaji makna simbolis dari relasi jender pada arsitektur tradisional Sumba. Dalam budaya Sumba, ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki didukung oleh praktek budaya yang bias jender, di mana kaum laki-laki diberi kedudukan yang lebih tinggi dan penting daripada perempuan. Kaum perempuan disubordinasikan, baik dalam lingkungan keluarga, maupun dalam masyarakat. Secara filosofis, budaya Sumba mempunyai konsep keseimbangan dan keutuhan yang mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Namun, dalam perkembangan dan perjumpaan dengan budaya lain, konsep keseimbangan dalam budaya Sumba mengalami pergeseran. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu dilakukan studi untuk menelusuri kembali konsep-konsep keseimbangan dalam budaya Sumba melalui bahasa dan
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
simbol yang digunakan, baik dalam arsitektur, adat perkawinan, maupun sistem religi (gambaran akan allah). Penemuan nilai-nilai harmoni antar kelompok jender dalam budaya Sumba diharapkan akan menjadi acuan bagi pengambilan kebijakan dalam pembangunan masyarakat NTT, khususnya Sumba. Dengan demikian, secara praksis, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan dalam merumuskan peraturan daerah yang lebih sensitif jender. Selain itu, hasil dari penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai bahan pengajaran dalam lingkup akademis.
KAJIAN PUSTAKA Konsep Berpasangan dalam Budaya Sumba Kepercayaan pada Marapu1 menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat Sumba seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan pekerjaan. Penganut agama Marapu menduga bahwa kata Marapu terdiri dari kata Mara dan pu. Mara berarti keselamatan, dan pu berarti roh para leluhur. Dengan demikian Marapu berarti roh-roh leluhur yang membawa keselamatan. Selain itu, ada juga pengertian lain yang berasal dari bahasa Kambera (Sumba Timur) bahwa Marapu terdiri dari Ma yang berarti yang, dan Rapu yang berarti tersembunyi. Jadi, Marapu artinya: Yang tersembunyi2. Roh-roh para leluhur (Marapu) ini disembah dan dipandang sebagai perantara antara manusia dengan Allah.
Konsep Berpasangan dalam Bahasa tentang Alkhalik sebagai Ibu-Bapa
Alkhalik menurut orang Sumba disebut sebagai Ibu-Bapa (Ina-Ama). Penggambaran seseorang tentang dunia ditandai secara mendalam oleh pengalamannya tentang kedua tokoh, bapa dan ibu (manusia pertama diciptakan berpasangan, lakilaki dan perempuan), yang merupakan asal mula eksistensi dirinya. Masyarakat Sumba memandang
Marapu adalah roh para leluhur (yang pertama kali datang ke Sumba dan menjadi cikal bakal masyarakat Sumba) yang memiliki kualitas ilahi melebihi manusia biasa. Seluruh kehidupan masyarakat Sumba berpusat pada Marapu (tujuan mereka bekerja, kawin dan memiliki anak adalah untuk melayani Marapu). Masyarakat Sumba memahami bahwa kehidupan di dunia hanya sebagai persiapan (beersifat sementara) kehidupan di balik kematian (kehidupan yang sesungguhnya). 2 Kapita, Oe. H., Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta, 1976. Band. Hermann-Josef May, Die Insel Sumba, Mächte und Mythen der Steinzeit im 20. Jahrhundert, Bonn, 1979, h. 54. 1
bahwa alam semesta dengan segala isinya diciptakan oleh “Alkhalik” (Yang Ilahi) yang dikenal dengan sebutan Mawulu-Majii atau Ina PakawurunguAma Pakawurungu (Ibu-Bapa alam semesta)3. Sebutan ibu-bapa juga menunjukkan bahwa Alkhalik memiliki sifat-sifat keibuan dan kebapaan dan bukan menunjuk pada jender. Sang Alkhalik dinyatakan dalam wujud yang beraspek transenden. Sebutan yang berpasangan sebagai ibu-bapa, juga diikenakan kepada Alkhalik dalam kapasitasNya sebagai pemberi tata hukum yang berlaku. Hubungan dengan segala yang ada di alam semesta dipelihara dengan sejumlah ketentuan hukum sakral dan ritus-ritus kurban yang ditetapkan. Hukum adat ini disebut dengan istilah: Nuku Hara (Hukum dan Cara) yaitu tata cara dan norma-norma hidup bermasyarakat. Alkhalik yang dianggap sebagai asal hukum dan tata cara hidup di dunia ini disebut sebagai Ina Nuku-Ama Hara (Ibu hukumBapa Cara).
Konsep Berpasangan Perkawinan
dalam
Adat
Dalam hubungan dengan perkawinan, belis (mas kawin) harus dibayarkan. Jumlah belis tergantung pada kemampuan keluarga4. Seorang laki-laki dapat menikah bila ia dapat membayar belis. Melalui belis yang dibayarkan oleh keluarga laki-laki, maka keluarga perempuan akan dihormati. Jumlah belis tidak ditentukan oleh pasangan yang menikah, melainkan oleh orangtua, paman, kakek dan saudara laki-laki. Belis dari pihak laki-laki biasanya menyimbolkan unsur maskulin: emas (Mamuli, Kanatar), perak (Luluamah), kuda dan kerbau. Pemberian laki-laki dan balasan dari perempuan memiliki karakter maskulin dan feminin: kain untuk laki-laki (hinggi) dan sarung untuk perempuan (lau). Sebuah mamuli harus diberikan bersama dengan rantai (Luluamah). Mamuli dapat diberikan satu atau sepasang, yang melambangkan laki-laki dan perempuan. Selain Mamuli dan Luluamah juga diserahkan seekor kuda. Seekor kuda bisa diberikan bersama satu atau sepasang Mamuli, dan sebuah Mamuli dapat diberikan bersama satu atau dua ekor kuda. Jika dua ekor kuda diberikan, maka harus sepasang (jantan dan betina). Belis tambah-
Ibid. h. 11 Belis (mas kawin) tidak hanya disiapkan oleh orangtua pihak lakilaki, tetapi juga dari anggota sesama marga. Ini bersifat sumbangan yang harus dikembalikan ketika orang yang menyumbang suatu saat memiliki kesusahan atau acara. Mereka saling menolong. Itulah sebabnya perkawinan bukan hanya urusan sebuah keluarga, melainkan urusan seluruh keluarga dan klan. Hal ini menyebabkan bahwa seseorang selalu hidup dalam rangkaian tuntutan dan kewajiban. 3 4
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
77
Procceding
an, biasanya terdiri dari dua pasang Mamuli, seekor kuda jantan dan seekor kuda betina. Untuk komposisi belis, tidak hanya memperhatikan nilai, tetapi juga jumlah, khususnya angka empat dan delapan.
Konsep Berpasangan dalam Arsitektur Rumah Adat
Alam semesta dipahami sebagai makrokosmos dan rumah adalah mikrokosmos di dalam makrokosmos (alam). Gambaran ini nampak dalam bentuk rumah adat Sumba yang bermenara (uma mbatangu), yang terdiri dari tiga bagian yang melambangkan tiga lapisan dunia, yaitu bagian atas (loteng, menara), tempat dewa atau Marapu (emas perak sebagai media kehadiran Marapu), melambangkan alam atas (langit); bagian tengah melambangkan alam tengah (dunia) sebagai tempat hidup manusia dan makhluk lainnya; dan bagian bawah sebagai tempat binatang, melambangkan alam bawah (tempat arwah dan roh jahat). Dengan demikian, dunia ini diibaratkan sebagai tempat pertentangan antara roh-roh yang baik dan roh-roh yang jahat untuk dapat menguasainya. Rumah adat berbentuk persegi empat dan bertumpu pada empat tiang utama yang disebut kambaniru ludungu (tempat bertumpu seluruh badan rumah) dengan fungsinya masingmasing. Menurut Kapita (1976), keempat tiang utama rumah adat tersebut melambangkan fungsi manusia dalam masyarakat Sumba, yaitu: ratu (imam), ina-ama (ibu-bapak, pemimpin), petani dan peternak. Selain itu, keempat tiang utama itupun melambangkan sistem lapisan sosial sebagai kerangka bangunan masyarakat Sumba yakni: ratu (imam), maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka/rakyat biasa), dan ata (hamba/budak)5. Namun dalam perkembangan masyarakat tersebut hanya ada tiga lapisan saja, yaitu: maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka/rakyat biasa), dan ata (hamba/budak). Interior rumah dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu sakral (sebelah kanan) dan profan (sebelah kiri). Pada bagian kanan seorang wanita yang sudah kawin tetapi belum ditahbiskan tidak boleh menginjaknya. Sedangkan, bagian kirinya adalah tempat penghuni rumah atau keluarga melakukan kewajibannya sehari-hari. Pada bagian kiri dan belakang dalam rumah tersebut terdapat beberapa kamar tidur (biliku). Bagian tengah (di antara empat tiang utama) terdapat dapur (kaheli kudu) sebagai tempat masak dan persiapan sesaji, serta bagian perlengkapan rumah tangga dan bahan 5
Oe. H. Kapita, Masyarakat Sumba dan ......., h.36.
78
makanan. Bagian depan rumah disebut “hanamba” (pendopo), dan pada bagian sebelah kanannya terdapat tempat agak lebih tinggi yang disebut “bangga hanamba” (balai-balai depan) untuk menyambut tamu yang dihormati.
Arsitektur Budaya
Tradisional
sebagai
Wujud
Dari perspektif sosiologi, rumah diartikan sebagai perwujudan dari keberadaan manusia dalam relasinya sebagai makhluk sosial dan pandangan terhadap dunia di sekitarnya. Mengacu pada konsep Claude Lévi-Strauss tentang rumah sebagai tipe yang lain dari sebuah struktur sosial, Fox (1993) menyatakan bahwa sebuah rumah bukan sekedar sebuah kesatuan fisik, tetapi juga sebuah kategori sosial yang mempunyai kemampuan untuk menjaga kesinambungan sosial. Sebagai sebuah kategori sosial, sebuah rumah dipandang sebagai perpaduan antara teater dengan candi, sebuah tempat untuk melaksanakan upacara-upacara kehidupan sosial. Sementara itu, untuk menjaga kesinambungan sosial, sebuah rumah menjadi penggalan dari rantai kehidupan, dari generasi masa lalu sampai masa kini. Sejalan dengan Fox, Waterson (1993) menyatakan bahwa, makna sebuah rumah, dalam konteks rumah Austronesia, seharusnya juga dipandang dari perspektif etnografis. Sebagai manifestasi dari kepercayaan adat ‘animisme’, sebuah rumah dianggap sebagai sebuah entitas bernyawa yang mempunyai jiwa atau kekuatan vital. Waterson (1993) menegaskan bahwa sebuah rumah, di Asia Tenggara, bukan hanya merupakan struktur fisik, tetapi juga sebuah kelompok orang-orang yang menyatakan keanggotaan di dalamnya. Dengan demikian, relasi antara rumah dengan kelompok kekerabatan, dan cara orang-orang untuk melacak jejak ikatan antar anggota kelompok melalui rumah menjadi kunci utama untuk memahami rumah dalam masyarakat di Asia Tenggara.
Simbol dan Hirarki dalam Arsitektur Tradisional Sumba Lingkungan buatan tidak pernah bebas dari makna simbolik baik dalam masyarakat industri modern maupun non industri tradisional (Waterson 1993). Demikian halnya, arsitektur tradisional Sumba sarat dengan makna-makna simbolik terkait dengan sistem kepercayaan dan aturan adatnya. Menurut Adams (1974), simbol-simbol tersebut mencakup keseluruhan aspek dari sebuah lingkungan hunian atau kampung adat, mu-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
lai dari ornamen, elemen bangunan sampai dengan tata ruang baik dalam lingkup rumah maupun kampung. Selain itu, simbol-simbol tersebut juga mencerminkan struktur atau hirarki sosial dari masyarakat yang tinggal di dalam sebuah kampung adat. Elemen-elemen simbolik yang terdapat pada rumah tersebut mencerminkan kisah rumah itu sendiri sebagaimana Bourdieu (1973, 1977) dalam Waterson (2014) yang mengibaratkan rumah sebagai buku. Dalam sistem kepercayaan masyarakat tradisional Sumba, ruang-ruang di dalam rumah dan lingkungan sekitarnya diatur sesuai dengan sistem kepercayaan dan ritual-ritual adat yang berlangsung di dalamnya. Rumah-rumah berderet mengelilingi ruang terbuka di mana terdapat batu-batu kubur dan altar penyembahan yang terbuat dari batu yang mencerminkan kebudayaan megalitik (Topan 2007; Adams 1974). Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dirumuskan peta jalan penelitian sebagai berikut: H HARMONI
K Kesetaraan jender dalam daya Sumba bud
konse ep filosofis
SIIMBOL
unsur berpasangan
Menelusuri kembali konsep HARMONI Sumba
siste em religi b bahasa perrkawinan
arssitektur
pola a ruang elemen n arsitektural
gap
memperlemah kekuatan dan keistimewaan kaum perempuan secara umum (Spain 1992, 3). Demikian halnya, pengaruh kaum laki-laki secara kultural diperlemah oleh peran pokok dari kaum perempuan dalam menyelenggarakan ritual-ritual sosial dan kultural di dalam rumah. Dalam hal ini rumah bagi masyarakat di Negara non-industri (termasuk Austronesia) bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat tinggal, namun tempat penyelenggaraan ritual fisik (hunian) dan spiritual (pemujaan) (Waterson, 1993). Perpaduan fungsi rumah ini memberikan peluang bagi kaum perempuan untuk memiliki kekuasaan di area rumah tinggalnya. Dengan demikian, kaum perempuan memiliki akses terhadap pengetahuan dan sumber daya melebihi yang terjadi di negara industri. Dengan demikian, pemahaman kesetaraan jender dan marjinalisasi jender sebagai bagian dari konstruksi sosial juga sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lokal yang mungkin berbeda dengan nilainilai di daerah lain.
METODE PENELITIAN Metode Pengambilan Data dan Analisis
praktek
DISKRIMINA ASI
A Angka kematia an Ibu NTT 306 > 228 Nas.
SUBORDINA ASI
double burd den political pow wer
kampun ng adat rumah a adat
Gambar 1. Keranggka Berpikir Peneliitian
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Konsep Jender seebagai Konstrukssi Sosial
Konsep Jender sebagai Konstruksi Sosial Jender merupakan konstruksi sosial yang membedakan laki-laki dan perempuan sesuai dengan peran sosial masing-masing. Mengingat bahwa jender adalah konstruksi sosial, maka lokalitas sangat berpengaruh dalam penyebutan marjinalisasi jender. Sebagaimana yang disampaikan oleh Santosa (1996) bahwa konsep ruang yang terjenderkan (gendered space) menurut Spain (1992) hanya sesuai diterapkan pada konteks negara industri. Di negara non-industri, keterbatasan kaum perempuan terhadap pengetahuan dan sumber daya
Penelitian tentang simbol relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tradisional Sumba ini dilakukan dengan menggunakan metode grounded research (Glaser dan Strauss, 1970) yang membangun teori dari data yang dihimpun melalui studi lapangan dengan studi literatur untuk memposisikan permasalahan penelitian. Pengambilan data dilakukan melalui data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan berupa foto, gambar/sketsa ruang dan detil-detil arsitektur dan wawancara dengan narasumber penelitian melalui panduan pertanyaan yang bersifat tertutup dan terbuka. Panduan pertanyaan itu menggali informasi yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yakni, (1) wujud konsep berpasangan (maskulin-feminin) dalam arsitektur rumah dan kampung adat Sumba; (2) konsep berpasangan (maskulin-feminin) dimaknai dalam relasi keseharian antara laki-laki dan perempuan pada masa kini; dan (3) negosiasi dilakukan untuk mempersempit gap antara konsep filosofis dan praktis dalam memaknai relasi laki-laki dan perempuan di kampung adat Sumba. Pengamatan terlibat juga dilakukan sebagai bagian dari penggalian data karena membuka peluang untuk menemukan narasumber penelitian secara snowball maupun jalan masuk untuk melakukan wawancara mendalam. Cara kombinasi ini bertujuan mengelola inferensi deskriptif yang kerap kali muncul dalam penelitian yang menggu-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
79
Procceding
nakan data-data kualitatif. Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengelola inferensi adalah dengan kejenuhan data. Kejenuhan data adalah keadaan ketika narasumber terus bertambah namun memberikan jawaban yang serupa terhadap pertanyaan tertentu yang diajukan sehingga tidak memberikan informasi baru (King, Keohane dan Verba 1994). Analisis dilakukan melalui pembandingan antara kampung adat yang menjadi studi kasus. Pembandingan ini ditujukan untuk mendapatkan keragaman struktur ruang dari kampung adat Sumba dan menemukan keterkaitan antar obyek. Sampel penelitian dipilih secara selektif (purposive sampling) berdasarkan tingkat keaslian dari ruangruang yang terdapat di dalam kampung adat. Dari pembandingan beberapa sample tersebut kemudian ditemukan pola-pola ruang yang khas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Di Sumba Barat, khususnya Waikabubak, terdapat beberapa kampung adat yang masih dipertahankan untuk melaksanakan upacara Wula Podu. Kampung - kampung itu adalah Tarung dan Waitabar dan Bodomaroto yang keduanya terletak di atas bukit. Kampung Tarung dan Waitabar merupakan kampung adat yang paling besar, karena terdapat sekitar 47 rumah adat beratap ilalang, sedangkan di kampung Bodomaroto yang terletak di desa Tebar terdapat 16 rumah tradisional beratap ilalang dan satu rumah beratap seng yang akan segera diganti dengan ilalang.
Laki-laki dan Perempuan dalam Budaya Sumba
Pada masa lalu terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan, misalnya hanya anak laki-laki yang boleh bersekolah. Selain itu, terdapat perbedaan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki bekerja di sawah, ladang dan memelihara ternak, sedangkan perempuan bekerja di rumah menyiapkan makanan, mengatur rumah, memelihara babi dan ayam, dan menenun. Tetapi sekarang perempuan juga bekerja di sawah, ladang. Bagi perempuan yang tidak menikah, ia mengerjakan baik pekerjaan perempuan maupun laki-laki. Ada juga laki-laki yang sudah mulai belajar memasak dan menenun, walau masih sedikit. Secara umum, dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki lebih bersifat dominan dan sebagai penentu keputusan6. Hasil wawancara dengan Hina Kartika, kepala desa Watu Hadang di Pau, Sumba Timur pada tanggal 5 Juli 2013, dan Umbu Maramba Meha, tokoh masyarakat di Rindi, Sumba Timur pada tanggal 6 Juli 2013. 6
80
Dalam masalah warisan, anak perempuan hanya mendapat perhiasan. Anak perempuan bisa mendapat warisan tanah bila ia tidak menikah atau suaminya kawin masuk. Tetapi bila ia kawin ke luar, maka ia tidak dapat warisan tanah karena dia masuk ke marga lain. Kendati demikian anak laki-laki lebih dipentingkan karena sebagai penerus generasi/ marga, sedangkan anak perempuan dianggap sebagai “orang keluar” (masuk pada marga suaminya). Pada masa kini seorang perempuan yang memiliki wawasan dan berusia tua bisa didengarkan pendapatnya dalam forum adat. Dalam kebaktian kepada Marapu, perempuanlah yang menyiapkan sesaji (makanan dan sirih pinang). Mereka juga bisa ikut mendengarkan hasil percakapan dengan Marapu dan memberikan pendapat. Kendati perempuan yang mengurusi masalah domestik dan memasak dalam keluarga, namun dalam acara kematian, laki-laki juga ikut membantu memasak makanan supaya pekerjaan cepat selesai dan tamu tidak kelaparan (alasan praktis)7. Dalam budaya Sumba terdapat simbol-simbol yang menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam adat pernikahan, apa yang diberikan pihak laki-laki harus sama banyak/ seimbang dengan apa yang diberikan oleh pihak perempuan. Istilah berpasangan yang menunjuk pada jender, yaitu8: - Dalam upacara pengakuan dosa pada bulan Desember terdapat kabihu yang berperan sebagai Ina Waimariingu (Ibu air dingin), Ama Tolumata (Bapak daging mentah), yang menyimbolkan sebagai penebus dan pendamai. - Pahappa tau mini, pahappa tau kawinni (sirih pinang laki-laki, sirih pinang perempuan), yang dipersembahkan kepada Marapu.
Pembagian Kerja Laki- laki dan Perempuan Dalam perkawinan, seorang perempuan akan mengikuti cara - cara suaminya, termasuk dalam hal pola asuh anak. Menurut Ina Sairo, sejak kanakkanak, seseorang sudah harus belajar adat, seperti bertani, memasak, memotong kayu sesuai prosedur yang biasa dilakukan. Dalam upacara, perempuan Loli memiliki peran dalam upacara sebagai pihak yang mempersiapkan nasi, daging, dan sesembahan lain. Atau dengan kata lain, kaum perempuanlah yang memasak unHasil wawancara dengan Tamu Rambu Paki, seorang tokoh perempuan dan Hina Kartika, kepala desa Watu Hadang di Pau, Sumba Timur pada tanggal 5 Juli 2013. 8 Wawancara dengan Nggau Behar, seorang tokoh adat di Makamenggit, Sumba Timur pada tanggal 14 Juli 2013. 7
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
tuk sesembahan, sedangkan kaum lelakinya yang memimpin upacara, meskipun para lelaki berperan juga dalam penyembelihan hewan untuk hidangan pesta. Menenun dan memasak adalah pekerjaan perempuan, sedangkan laki- laki mengerjakan ladang, membuat rumah, dan memimpin upacara.
Pesta pada Upacara Adat
bang dan membawanya dari hutan ke lokasi dilakukan upacara tertentu. Demikian pula untuk bagianbagian rumah yang lain.
Pola Ruang Kampung Adat Sumba
Pada umumnya kampung adat Sumba terletak di atas bukit. Penentuan letak kampung tersebut didasarkan pada strategi pertahanan dari serangan musuh dan binatang buas. Selain itu, peletakkan kampung di atas bukit juga dipengaruhi oleh kepercayaan Marapu agar lebih dekat dengan roh leluhur. Penyebutan sebagai kampung adat atau kampung besar didasari oleh keberadaan rumah bermenara dan upacara adat yang diselenggarakan di kampung tersebut. Sebaliknya, kampung kecil adalah kampung yang di dalamnya hanya terdapat rumah-rumah tidak buas. bermenara diseleng-kampung d musuh dan binatang Selaindan itu,tidak peletakkan garakan upacara adat. Sebuah kampung adat hanyadekat deng dipengaruhi oleh kepercayaan Marapu agar lebih ditinggali oleh orang-orang tertentu yang terpilih Penyebutan sebagai kampung adat atau kampung bes secara adat. Sementara, orang-orang yang lainnya keberadaan rumahkebun bermenara dan upacara adat yang dise tinggal di rumah yang terletak di luar kamkampung tersebut. Sebaliknya, kampung kecil adalah ka pung adat. dalamnya hanya terdapat tidak bermen Sebuah kampung adat rumah-rumah diletakkan di tanah yang rata dengan pola tata ruang menyerupai ben-adat hanya diselenggarakan upacara adat. Sebuah kampung tuk perahu. Bentuk perahu yang memanjang orang-orang tertentu yang terpilih secara adat.arah Sementara, or Timur – Barat ini mencerminkan kedatangan lainnya tinggal di rumah kebun yang terletak dineluar kampun nek moyang di tanah Sumba. Sebuah kampung adat Sebuah kampung adat diletakkan di tanah yang rata d dibentuk oleh deretan rumah-rumah bermenara ruang bentuk perahu yang m yang menyerupai berorientasi ke dalam,perahu. di mana Bentuk rumah-rumah menghadap ke halaman tengah yang menjadi pusat nenek m Timur – Barat ini mencerminkan kedatangan upacaraSebuah ritual, seperti Wula adat Podu (bulan pamali) Sumba. kampung dibentuk oleh deretan dan upacara pengampunan dosa. Di halaman terse- rumah-rum bermenara yang berorientasi ke dalam, di mana but terdapat batu-batu kubur megalitik yang berkederet halaman tengah yang rumah menjadi pusat upacaraDi ritual, sep mengikuti deretan di seberangnya. (bulan pamali) dan upacara pengampunan dosa. Di ha bagian tengah terdapat kemah suci dan altar peterdapat batu-batu kubur boleh megalitik yangoleh berderet nyembahan yang hanya dimasuki Rato mengikut (pimpinan adat tertinggi di kampung adat) pada di seberangnya. Di bagian tengah terdapat kemah upacara khusus. Di dekat sucidimasuki ditanam popenyembahan yang hanyakemah boleh oleh Rato hon terang sebagai bagian dari ritual masa panen.
Meskipun sebagian besar tingkat perekonomian masyarakat Sumba masih rendah, namun masyarakat Sumba menyelenggarakan pesta adat yang membutuhkan biaya tinggi. Upacara atau pesta adat yang biasa diadakan antara lain adalah membangun rumah adat, menikahkan anak, memberi nama anak, dan upacara sebelum dan sesudah panen. Upacara besar biasanya dilakukan pada saat kematian pada dan masa panen (Wula yang dir biasanya dilakukan saat kematian dan Podu) masa panen lakukan pada pertengahan Oktober sampai pertenang dilakukan pada pertengahan Oktober sampai gahan November setiap tahunnya. Khusus untuk mber setiap tahunnya. Khusus untuk upacara masa panen, upacara masa panen, acara puncak pesta diadakan a diadakan selama selamadua dua semalam padabulan saatpurnama. bulan harihari semalam pada saat acara kematian para kerabat yang tinggal jauh biasanya Pada upacara kematian para kerabat yang tinggal jauh biasanya akan adat, datang sendiri tanpa mereka diundang. i tanpa diundang. Pada pesta selain kerbau, adat,yang selainmengadakan kerbau, mereka pun harus babi hutan.Pada Bagipesta mereka perburuan, berburu perburuan babi hutan.harus Bagi mereka mengadag yang mengikuti dijamu yang makan dan kan perburuan, maka orang- orang yang mengikuti ulah salah satu letak mahalnya upacara adat, juga Di perburuan harus dijamu makan dan selain minumnya. ng lainnya.9situlah salah satu letak mahalnya upacara adat, selain juga pemotongan lainnya9. seorang warisan jabatan kepala upacarabinatang (Rato Rumat), hal pewarisan jabatan kepala ’ oleh roh yangDalam ditunjukkan melalui bahasa roh upacara yang (Rato Rumat), seorang Loli akan ‘dipilih’ oleh umat tidak dipilih secara sengaja. Hanya rohlah yangroh yang ditunjukkan bahasaRumat roh yang dikepun akan bisa terpilih kecualimelalui perempuan. dipilih luarkannya. Rumat tidak dipilih secara sengaja. up dan hanya akanrohlah digantikan ketika yang bersangkutan Hanya yang membantu. Siapa pun akan bisa Pewarisan nilainilai adat kebanyakan dilakukan terpilih kecuali perempuan. Rumat dipiliholeh untuk seumur hidup dan hanya akan digantikan ketika yang bersangkutan meninggal Pewarisan rumah adat sebagai salah satu dunia. kegiatan yangnilainilai adat kebanyakan dilakukan oleh ayah ya besar, karena kebutuhan akan material rumah dandan nenek. yertainya. Satu rumah adat jika dihitung biayanya setara tertinggi di kampung adat) pada upacara khusus. Di de Membangun rumah adat sebagai salah satu h biasa. Untuk tiang-yang tiang rumah dibuat daribesar, pohonkarena di ditanam pohon terang sebagai bagian dari ritual masa panen kegiatan membutuhkan biaya ihannya sungguh personal. Ketikarumah pohondanyang untuk kebutuhan akan material upacara yang udah terpilih, untuk menebang dan adat membawanya menyertainya. Satu rumah jika dihitungdari biayanya setara dengan tiga rumah Untuk tianglakukan upacara tertentu. Demikian pulabiasa. untuk bagiantiang rumah dibuat dari pohon di hutan yang peg lain. milihannya sungguh personal. Ketika pohon yang untuk dijadikan tiang sudah terpilih, untuk mene-
pung Adat Sumba ya kampung adat Sumba terletak di atas bukit. Penentuan Adapun dalam membuatpertahanan batu kubur, biayadari yang dibutuhkan sebut didasarkan pada strategi seranganjuga
pintu
pintu
kemah
9
sangat mahal, karena batu yang dicari dari gunung itu harus dipotong dan dibawa ke lokasi makam melalui upacara (memotong binatang). Makam bentuknya masih sama, namun dari beton buat batu kubur, biayamoderen yang dibutuhkan juga sangat mahal,terbuat karena dan dilapis keramik, serta diberi salib atau gambar Yesus. gunung itu harus dipotong dan dibawa ke lokasi makam melalui Orang Sumba Barat Aslibentuknya 100% beragama ada orang beragama binatang). Makam moderen masihKristen. sama,Jika namun terbuat Islam, maka menurut penduduk di sana, orang itu adalah pendatang. s keramik, serta diberi salib atau gambar Yesus. Orang Sumba Barat
ma Kristen. Jika ada orang beragama Islam, maka menurut orang itu adalah pendatang.
rumah adat
Gambar Pola Ruang Kampung Gambar 2. Pola Ruang2.Kampung Adat Sumba Adat Sumba
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
81
Procceding
Pintu gerbang mempunyai makna yang besar bagi sebuah kampung adat. Pintu masuk terletak di sisi Timur dan pintu keluar di sisi Barat. Posisi pintu tersebut berhirarki, di mana pintu masuk dianggap sebagai kepala dan pintu keluar sebagai ekor. Karena hirarkinya yang lebih tinggi, maka area di sekitar pintu masuk ditempati oleh orangorang yang lebih tua. Area di sekitar pintu keluar ditempati oleh orang-orang yang lebih muda. Di sisi ini pula diletakkan kuburan. Sementara itu, kaum perempuan yang melaksanakan tugas domestiknya, yaitu mencari air dan kayu bakar, harus melalui pintu kecil yang tidak terlihat oleh umum karena dianggap sebagai kegiatan privat10.
kepada marapu di Katoda utama (Katoda Kawindu) digunakan winnu kawinni (pinang perempuan) dan kuta hau (sirih) untuk pengakuan dosa. Pinang dibelah, kemudian diselipkan sirih didalamnya. Ini memiliki arti bahwa yang melakukan dosa adalah laki-laki dan perempuan11.
Rumah Dewa/ Rumah Doa
Biasanya orang Sumba melakukan ibadah di dalam rumah doa, di halaman (di katoda) dan di rumah keramat atau rumah Marapu (Uma Marapu). Rumah doa memiliki tiga bagian (atas, tengah dan bawah), namun tidak didiami (rumah tidak berpenghuni).
Gambar 3. Pelataran Tengah dan Pintu Keluar Kampung Adat Rindi, Sumba Timur
Pada setiap pintu terdapat katoda (dewa penunggu laki-laki dan perempuan) untuk penolak penyakit dan bala supaya tidak masuk ke dalam kampung, yaitu katoda pindu tama (dewa pintu masuk) di pintu masuk dan katoda pindu luhu (dewa pintu keluar) di pintu keluar, serta katoda kawindu (Katoda utama) yang terletak di tengah kampung. Pintu masuk disebut sebagai kepala (Katiku), pintu keluar sebagai ekor (kiku), dan bagian tengah kampung disebut pinggang (mbanggi). Upacara pengampunan dosa dilakukan di katoda kawindu, yang dilakukan sekali setahun, yaitu pada bulan Desember, sebagai bulan penutup tahun. Di sini orang mengaku dosa seperti berzinah dan mencuri. Sebelum bersembahyang (ritus utama) di Katoda Utama/ Katoda kawindu (di tengah kampung), terlebih dahulu harus melakukan ritual di kedua pintu tersebut untuk pemberitahuan. Pada Katoda Kawindu, setiap kepala keluarga membawa sesaji dan mengungkapkan semua perbuatan dan kesalahan anggota keluarganya. Setelah itu, dimohonkan berkat untuk tahun selanjutnya. Hanya kepala keluarga (laki-laki) yang bisa mengikuti ritual pengakuan dosa di Katoda. Bila tidak ada laki-laki dalam keluarga tersebut, maka bisa meminta kepala keluarga dari keluarga yang lain. Dalam kebaktian
Wawancara dengan Umbu Panggering, seorang tokoh adat dan Hina Kartika, kepala desa Watu Hadang di Pau pada tanggal 5 Juli 2013, dan Nggau Behar, tokoh adat di Makamenggit pada tanggal 14 Juli 2013. 10
82
Gambar 4. Uma Marapu Pada rumah inilah dilakukan berbagai ritual atau kebaktian kepada marapu (dewa). Di rumah ini, orang tidak boleh menggunakan lampu dan memasak sesaji harus menggunakan kayu (tidak boleh menggunakan minyak). Perempuan tidak boleh memasuki rumah doa atau adat, kecuali bila ia sudah disucikan dengan cara mencuci muka dengan air yang ada dalam tempayan khusus untuk Marapu12. sedangkan rumah keramat terletak di samping rumah doa dan berbentuk kecil dengan satu ruang dan satu pintu serta di kedua sudut puncaknya (kawuku uma) diletakkan sepasang patung Marapu (laki-laki dan perempuan). Rumah ini letaknya agak terpisah dengan rumah tinggal dan tidak berpenghuni serta hanya imam yang boleh memasukinya. Di dalam rumah keramat diletakkan benda-benda keramat sebagai simbol kehadiran marapu (dewa-dewa). Namun ibadah di rumah keramat hanya dilakukan bila berhubungan dengan peristiwa-peristiwa besar seperti ibadah meminta hujan. Pada kesempatan ini umat membawa persembahan dan menaikkan doa permohonan. Wawancara dengan Umbu Panggering, tokoh adat, dan Hina Kartika, kepala desa Watu Hadang di Pau pada tanggal 5 Juli 2013, dan Umbu Maramba Meha, tokoh masyarakat di Rindi pada tanggal 6 Juli 2013. 12 Wawancara dengan Hina Kartika, kepala desa Watu Hadang di Pau, Sumba Timur pada tanggal 5 Juli 2013 11
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Rumah Adat di Sumba Timur Rumah terdiri dari tiga tingkat: pertama, bagian atas (loteng, menara) yang terdiri dari dua bagian, yaitu lapisan atau tingkat atas digunakan sebagai tempat menyimpan emas dan perak sebagai media kehadiran Marapu (Hindi Maringu/loteng dingin), dan pada bagian bawah digunakan untuk menyimpan makanan (hindi mbana/loteng panas). Kedua, bagian tengah sebagai tempat tinggal manusia. Ketiga, bagian bawah sebagai tempat binatang.
(Anda Karaha, dula kajia) sebagai penyangga agar kuat. Tiang-tiang ini menyimbolkan marga-marga sebagai penopang keluarga tersebut14.
Gambar 6. Tiang “mau-ratungu” (Pendoa) dengan Simbol Marapu
Gambar 5. Loteng di Bawah Menara
Tiang sebelah kanan depan disebut mauratungu (pendoa) yang melambangkan tugas dan fungsi imamat, karena pada tiang itulah orang Sumba berdoa ketika menyelenggarakan upacara penyembahan kepada para leluhurnya (Marapu)13. Pada tiang ini terdapat gambar simbol Marapu (dewa) dan orang yang sedang berdoa (hamayangu). Tiang sebelah kanan belakang disebut payenu (petinggi) yang melambangkan tugas dan fungsi kepemimpinan politik, karena pada tiang itulah orang Sumba bermusyawarah ketika ada urusan-urusan adat. Pada bagian ini pula orangtua (Ina-Ama) akan menurunkan segala ajaran leluhur kepada anak cucunya secara turun-temurun. Mereka berfungsi sebagai pendidik, pelindung dan pengatur seluruh kehidupan dalam rumah dan masyarakat. Sedangkan tiang sebelah kiri depan disebut mataku (penyendok nasi) yang melambangkan tugas dan fungsi dalam pertanian, karena pada tiang itulah kaum ibu memasak dan menyiapkan makanan untuk keluarga dan persembahan sesajian bagi para leluhurnya. Tiang sebelah kiri belakang disebut matungu uhu wei (pemberi makan ternak) yang melambangkan tugas dan fungsi dalam peternakan, karena di samping tiang itu terdapat sebuah tangga pintu belakang untuk kaum wanita turun memberikan makan kepada ternak-ternak piaraannya (ayam, babi). Selain empat tiang utama, terdapat 36 tiang kecil Sebuah rumah adat biasa dihuni oleh beberapa keluarga yang tinggal bersama dalam rumah itu, ketika upacara keagamaan dilangsungkan, semua penghuni rumah terlibat bahkan dari luar anggota keluarga tersebut. 13
Empat tiang utama yang berada di bagian tengah rumah adat ini adalah penyangga keutuhan dan kekokohan rumah tersebut. Tanpa keempat tiang ini, maka rumah adat akan mudah roboh. Menurut Kapita, keempat tiang utama rumah adat tersebut merupakan lambang atau simbol dari fungsi manusia dalam masyarakat Sumba, yaitu: ratu (imam), ina-ama (ibu-bapak, pemimpin), petani dan peternak. Selain itu, keempat tiang utama itupun melambangkan sistem lapisan sosial sebagai kerangka bangunan masyarakat Sumba yakni: rato (imam), maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka/ rakyat biasa), dan ata (hamba/budak)15. Namun dalam perkembangan masyarakat tersebut hanya ada tiga lapisan saja, yaitu: maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka/rakyat biasa), dan ata (hamba/budak). Bagian interior rumah adat Sumba memiliki fungsi sosial dan religius. Bagian sebelah kanan rumah adat tersebut dipandang sebagai “bagian yang sakral” (pamali), sedangkan bagian sebelah kirinya adalah “bagian yang profan”. Pembagian tersebut menunjukkan adanya hirarki ruang dalam rumah adat. Bagian kanan dalam rumah disebut kaheli bokulu sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara religi dan upacara-upacara adat lainnya (kelahiran, perkawinan, kematian). Pada zaman dulu seorang wanita yang sudah kawin tetapi belum ditahbiskan tidak boleh menginjak bagian kanan rumah, namun saat ini aturan tersebut sudah mulai hilang. Kaum perempuan bisa melewati bagian dan pintu sebelah kanan. Bagian kiri rumah adalah Wawancara dengan Elias Rawambani, tokoh masyarakat di Waingapu, Sumba Timur pada tanggal 12 Juli 2013. 15 Oe. H. Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, 1976, h.36. 14
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
83
Procceding
tempat penghuni rumah atau keluarga melakukan kewajibannya sehari-hari. Bagian kiri rumah disebut juga sebagai balai-balai perempuan (Mbangga Mbai). Di tempat inilah kaum perempuan duduk dan mengikuti ibadah yang berlangsung dalam rumah. Pada bagian kiri dan belakang dalam rumah tersebut terdapat beberapa kamar tidur (biliku). Bagian tengah (di antara empat tiang utama) terdapat dapur (kaheli kudu) sebagai tempat masak dan persiapan sesaji, serta bagian perlengkapan rumah tangga dan bahan makanan. Bagian ini adalah wilayah perempuan karena di situlah pusat aktifitas perempuan. Bagian depan rumah disebut hanamba (pendopo), dan pada bagian sebelah kanannya terdapat tempat agak lebih tinggi yang disebut Mbangga hanamba (balai-balai depan) untuk menyambut tamu yang dihormati. Bagian depan dan kanan rumah disebut sebagai Mbangga mini (balaibalai laki-laki). Ketika tamu itu masuk ke dalam rumah, maka harus melalui pintu sebelah kanan depan sebagai tanda penghormatan. Sedangkan, pintu sebelah kiri depan dimanfaatkan oleh kaum wanita penghuni rumah tersebut jika mereka hendak turun ke depan rumah. Pada bagian kiri belakang rumah juga terdapat sebuah pintu yang dapat dipergunakan oleh kaum wanita untuk turun ketika hendak memberi makan hewan piaraannya16. Perempuan yang belum ditahbiskan (disucikan) oleh Marapu (dewa) tidak boleh melewati pintu sebelah kanan karena mereka dianggap najis atau kotor, berhubung mereka datang dari luar (berbeda dengan laki-laki sebagai pemilik rumah dan yang memimpin ibadah kepada Marapu dalam keluarga itu). Karena itu, perempuan atau istri harus dibersihkan (Hawari) supaya bisa masuk ke rumah tersebut17. Sebuah rumah di kampung adat didiami dua sampai empat keluarga (1 keluarga - 1 kamar). Anak-anak yang sudah besar bisa tidur di balaibalai depan. Bila keluarga anak bisa mandiri, maka mereka bisa membuat rumah sendiri. Sangat jarang sebuah rumah hanya ditinggali satu keluarga. Minimal sebuah rumah didiami oleh dua keluarga18. Selain ritual membangun rumah, terdapat beberapa upacara adat yang dilakukan, yaitu upacara penguburan orang mati, panen, ritual inisiasi memasuki masa remaja dan ibadah melanjutkan sekolah. Perempuan biasanya bertugas menyiapkan Wawancara dengan Elias Rawambani, tokoh masyarakat di Waingapu, Sumba Timur pada tanggal 12 Juli 2013. Dulu hanya terdapat satu pintu di bagian depan rumah, namun kemudian dibuat dua pintu (kiri dan kanan). 16
Wawancara dengan Nggau Behar, tokoh adat di Makamenggit, Sumba Timur pada tanggal 14 Juli 2013. 18 Wawancara dengan Nggau Behar, tokoh adat di Makamenggit, Sumba Timur pada tanggal 14 Juli 2013 dan Umbu Panggering, tokoh adat di Pau, Sumba Timur pada tanggal 5 Juli 2013. 17
84
sesaji dan makanan untuk para tamu, sedangkan laki-laki (sebagai imam) bertugas mempersembahkan sesaji dan berdoa. Namun perempuan juga bisa mendengarkan dan melihat hati dan telur ayam kalau dia mengetahui maknanya.
Kampung Tarung dan Waitabar, Sumba Barat
Kampung Tarung dan Waitabar terletak terletak di sebuah bukit di pusat keramaian Waikabubak, ibu kota Sumba Barat. Keunikan dari kampung ini adalah, bahwa meskipun berada di tengah kota yang padat penduduk, namun kampung ini tetap bertahan dengan pola ruang tradisionalnya.
Gambar 7. Pola Kampung Tarung dan Waitabar
Di kompleks kampung ini terdapat tiga kampung adat yang berdampingan, yaitu Kampung Tarung, Kampung Waitabar dan Kampung Wano Kalada. Namun, karena kondisi geografis dan lokasi yang bersebelahan, maka secara umum hanya dikenal dua kampung yang besar, yaitu Tarung dan Waitabar. Pola kampung Tarung dan Waitabar berorientasi ke dalam, di mana rumah-rumah menghadap ke halaman tengah yang menjadi pusat upacara ritual. Di halaman tersebut terdapat batu-batu kubur megalitik yang berderet mengikuti deretan rumah di seberangnya. Di bagian tengah terdapat kemah suci dan altar penyembahan yang hanya boleh dimasuki oleh Rato (pimpinan adat tertinggi di kampung Tarung dan Waitabar) pada upacara khusus. Pada saat diselenggarakan upacara bulan pamali pada bulan November, Rato dan 1 orang perwakilan yang dipilih oleh masyarakat memasuki kemah sudi (uma kabuba) untuk melakukan doa. Kemah suci ini merupakan ruangan yang paling sakral yang hanya boleh diakses oleh Rato dan orang khusus yang terpilih.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Di dekat kemah suci ditanam pohon pelindung (lakara = pohon terang) pada setiap bulan Mei untuk menggantikan pohon yang lama. Pada ranting pohon tersebut diletakkan buah pinang. Pada harihari biasa laki-laki boleh memetik buah pinang tersebut, tetapi terlarang bagi kaum perempuan. Pada masa kini, altar sebagai pusat ritual masyarakat Tarung dan Waitabar menjadi bagian dari atraksi budaya yang menarik wisatawan, khususnya pada saat berlangsungnya upacara ritual, seperti kematian dan Wula Podu atau upacara pembersihan diri pada bulan suci (biasanya bulan Oktober sampai November). Menurut Rato Kampung Tarung, di Kampung Tarung terdapat dua rumah induk. Yang dimaksudkan dengan rumah induk di sini adalah rumah yang berada di pusat kampung, yaitu di sekeliling kuburan batu atau altar penyembahan. Di dalam rumah induk disimpan benda-benda pusaka yang dikeramatkan, seperti tombak. Keberadaan rumah induk ini terkait dengan kepentingan ritual. Kedua rumah induk ini mempunyai jumlah anggota yang jumlahnya sesuai dengan jumlah suku yang terdapat di sebuah kampung adat. Rumah induk yang pertama beranggotakan empat rumah induk dan yang kedua beranggotakan enam rumah induk. Jadi, secara keseluruhan terdapat 12 rumah induk di Kampung Tarung.
perempuan (depan tengah), dapur dan perkakasnya (kiri tengah), serta teras di depan rumah.
Rumah Wano Kalada
Penghuni Wano Kalada saat ini adalah keturunan ke tujuh dari pemilik rumah adat Wano Kalada pada awalnya. Wano Kalada berasal dari kata wano (kampung) dan kalada (rumah besar). Rumah ini pernah direnovasi sebanyak tiga kali. Renovasi pertama dan kedua dilakukan oleh nenek dari penghuni sekarang. Sedangkan, renovasi ketiga dilakukan pada tahun 2005 oleh penghuni yang sekarang. Renovasi ketiga rumah Wano Kalada dimulai dengan pengumpulan bambu sejak tahun 2003. Pada tahun 2004 dilakukan pengumpulan alang sebagai bahan penutup atap, dan pada tahun 2005 renovasi dilaksanakan. Renovasi rumah adat ini memerlukan waktu sekitar 3 bulan.
Rumah Adat di Kampung Tarung
Sebuah rumah adat dihuni oleh dua sampai empat kepala keluarga. Rumah yang tidak mempunyai menara di Kampung Tarung merupakan rumah sementara. Rumah tersebut akan diperbaiki sebagai rumah menara, jika bahan bangunan yang diperlukan sudah terpenuhi. Setiap penghuni kampung adat mempunyai kebun dan sawah di lokasi yang terpisah. Keluarga rumah besar di kampung adat ini mempunyai sawah seluas dua Ha yang dikerjakan oleh rumpun keluarga, serta 10 Ha kebun yang dikerjakan oleh orang lain. Sebagaimana dengan pola ruang dari sebuah kampung adat, ruang-ruang di dalam rumah adat juga tersusun secara hirarkis. Pola ruang dari rumah adat Sumba juga berorientasi terpusat. Keempat rumah yang dijadikan sebagai studi kasus memiliki struktur ruang yang sama, di mana tungku dapur berada di tengah dan dikelilingi oleh ruang-ruang lain. Perbedaan tata ruang terutama disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran lahan maupun letak geografisnya. Secara umum, ruang-ruang di dalam rumah adat Sumba dibedakan berdasarkan fungsi dan jender, yaitu: dapur (di tengah), kamar suami istri (kiri belakang), kamar orang tua (belakang tengah), kamar anak laki-laki (samping kanan), kamar anak
Gambar 8. Rumah Wano Kalada
Rumah Weebole Ruang tengah yang terletak di antara empat tiang penyangga utama merupakan inti rumah. Di tengah-tengahnya diletakkan tungku tiga batu yang dipergunakan untuk memasak. Di atas tungku tersebut digantungkan sebuah peti kayu berpintu tempat penyimpanan bahan makanan. Di bawah peti dipergunakan sebagai tempat utk menggantung dan mengasapi daging. Sisi kanan dari tungku dipergunakan sebagai ruang penyimpanan kayu bakar dan beras yang akan dimasak. Bagian ��������������� ini termasuk ruang yang tidak boleh diakses oleh menantu perempuan. Sisi atas tungku biasa dipergunakan sebagai ruang tidur bagi mertua. Pada saat terjadi kedukaan, ruang ini dipergunakan sebagai tempat memandikan jenasah.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
85
Procceding
Gambar 9. Rumah Weebole
Menantu perempuan mempunyai akses yang terbatas di dalam rumah. Untuk memasuki rumah menantu perempuan hanya boleh melalui pintu samping. Ruang tidur di sudut kiri dipergunakan untuk pasangan suami istri (anak dan menantu), sedangkan orang tua (mertua) di lantai bambu atau bale-bale yang terletak di sisi atas tungku. Ruang tidur di sisi bawah tungku dipergunakan oleh anak gadis yang belum menikah. Sedangkan sisi kiri dari tungku perapian dipergunakan untuk ruang tempayan air dan perkakas dapur. Ruang di sisi kanan merupakan ruang penyelenggaraan ritual seharihari maupun ritual perayaan atau kedukaan. Ruang ini mempunyai pintu yang tidak bisa diakses oleh menantu perempuan, namun hanya kaum laki-laki dan anak gadis. Di ruang ini terdapat bale-bale yang dipergunakan sebagai tempat tidur kaum laki-laki dan untuk penerimaan tamu pada acara tertentu. Ruang ini juga dipakai untuk menyimpan lumbung padi hasil panen dan benda keramat. Sisi paling kiri merupakan pintu masuk samping yang bisa digunakan oleh menantu perempuan dan seluruh anggota keluarga. Untuk memasuki pintu samping diperlukan tangga karena adanya perbedaan ketinggian. Empat tiang penyangga menara atap saling berpasangan menyilang. Tiang di sisi kanan adalah tiang laki-laki yang berpasangan menyilang dengan tiang di sisi kiri. Menantu perempuan tidak boleh menyentuh tiang sisi kanan depan.
Uma Dara
Menurut Yuliana, nara sumber penghuni Uma Dara, penghuni yang dituakan dalam Uma Dara bernama Lado Resitera (Ama Magi), beliau merupakan turunan ke-9. Penentuan siapa yang layak untuk menempati rumah adat dilakukan melalui penun-
86
jukkan oleh keluarga besar. Dipercaya bahwa tidak setiap orang cocok untuk menempati rumah adat dan hanya orang yang cocok saja yang dapat diberikan kepercayaan untuk menghuni rumah adat. Jika tidak ada laki-laki dalam sebuah keluarga, maka rumah adat akan diserahkan kepada sepupu lakilaki. Rumah ini mempunyai dua pintu di bagian depan. Peletakan pintu di sisi depan ini dipertimbangkan oleh keterbatasan lahan yang tidak memungkinkan untuk membuat pintu di samping. Direncanakan, jika direnovasi, pintu akan dipindahkan ke samping seperti posisi semula. Karena lahan yang curam dan adanya perbedaan tinggi antara tanah dengan lantai rumah, maka banyak anak-anak yang terjatuh ketika keluar dari pintu. Oleh karenanya pada renovasi yang akan datang di bawah pintu akan dipasang tangga.
Gambar 10. Uma Dara
Uma Dara pernah direnovasi sebagian, yaitu bagian di bawah menara atap kira-kira 15 tahun yang lalu. Pada tahun 2013 ini akan dilakukan renovasi lagi mengingat kondisi fisik rumah yang sudah miring.
Uma Winne
Menurut Lida Mawomude, penghuni Uma Winne, rumah ini dibangun pertama kali pada tahun 1978. Pada tahun 1992 dibongkar dan selesai dibangun kembali pada tahun 1993. Pada bulan Juli/Agustus 2013 akan dibongkar dan dibangun kembali karena kondisinya yang sudah hampir roboh. Rumah ini disebut sebagai Uma Mawine karena menyimpan barang keramat jenis perempuan yang bisa menghitung tahun dan bulan (terkait dengan sifat biologis perempuan) yang disebut Rabirara Winitama.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Pembongkaran dan pembangunan kembali Uma Winne yang diyakini sebagai rumah induk diiringi dengan ritual tarian dan lagu pawei maringuna dan payoye lano yang dilakukan pada waktu siang dan malam.
Gambar 11. Uma Winne
Hirarki pada Tata Ruang Kampung Adat Sumba Pola ruang kampung adat Sumba yang berorientasi ke dalam terbentuk oleh sistem kepercayaan Marapu (roh leluhur). Kepercayaan ini menempatkan altar penyembahan di pusat kampung, yaitu sebagai sarana untuk penyembahan kepada Sang Khalik melalui roh leluhur. Kepercayaan Marapu mengandung makna berjenjang atau hirarki. Jenjang tersebut tercermin dalam tata ruang secara horisontal (kampung dan rumah) maupun tata ruang secara vertikal (rumah panggung tiga tingkat). Hirarki vertikal tersebut juga mencerminkan pandangan masyarakat bahwa rumah itu hidup. Pandangan ini mengasosiasikan rumah sebagai manusia hidup dengan pengandaian elemen-elemen arsitektural sebagai biologi fisik manusia.
Struktur hirarki yang dipandang sebagai bagian dari harmoni kehidupan tercermin juga dalam konsep berpasangan dalam masyarakat Sumba. Konsep berpasangan ini diterapkan dalam berbahasa dan pernikahan. Sang Khalik yang dihubungkan oleh para leluhur disebut sebagai ibu bapa sebagaimana manusia pertama yang diciptakan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Relasi laki-laki dan perempuan diatur sesuai dengan peran masing-masing jender dalam kehidupan sosial dan spiritual yang berlangsung sehari-hari. Pembagian ������������������������������������ peran jender tersebut tercermin dalam tata ruang luar (kampung) dan tata ruang dalam (rumah). Kemah suci dan altar penyembahan merupakan pusat dari sistem struktur ruang kampung adat Sumba. Posisi sentral dan sakral ini dipersembahkan kepada kaum laki-laki sebagai pemimpin upacara adat. Sedangkan, kaum perempuan menempati ruang-ruang di tepi luar sebagai tempat untuk melaksanakan tugasnya dalam penyajian masakan untuk upacara.
Relasi Berjenjang pada Rumah Adat Sumba
Konsep harmoni berpasangan laki-laki dan perempuan terwujud dalam tata ruang rumah adat yang membagi ruang sesuai pembagian peran lakilaki dan perempuan dalam adat Sumba. Wilayah sakral yang berada di sisi kanan merupakan area laki-laki dan wilayah profan di sisi kiri adalah area perempuan. Laki-laki sebagai pemimpin upacara adat mendominasi ruang-ruang sakral di sisi kanan, dan perempuan melengkapi peran sakral tersebut sebagai penyedia makanan. Ritual-ritual sakral dan simbol penghormatan yang dilakukan oleh laki-laki berlangsung di ruang sebelah kanan, sedangkan kegiatan profan oleh kaum perempuan terjadi di ruang sebelah kiri.
makrokosmos
Sang Khalik mikrokosmos menara
leluhur
tengah
manusia
kolong
ternak
perempuan profan - sosial
roh jahat
Gambar 12. Hirarki pada Rumah Adat Sumba
laki-laki sakral - religius
Gambar 13. Pembagian Ruang dalam Rumah Adat Sumba berdasarkan Jender
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
87
Procceding
Ruang di bawah menara atap dipergunakan sebagai ruang penyimpanan benda berharga yang diwariskan oleh nenek moyang dan bahan pangan. Ruang ini hanya dapat diakses oleh orang tertentu, khususnya laki-laki dan yang dituakan di dalam rumah. Ruang tengah dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan ritual fisik maupun spiritual dalam kehidupan sehari-hari dari penghuninya. Pembagian ruang-ruang di bagian tengah ini diatur sesuai dengan peran sosial laki-laki dan perempuan dalam adat Sumba. Harmoni tercipta ketika kedua peran tersebut berjalan beriringan, saling melengkapi dan setara. Harmoni tersebut dilambangkan melalui empat tiang utama yang menopang menara atap. Dua tiang dan pintu di sisi kanan merupakan bagian dari ruang sakral yang diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan dua tiang dan pintu di sisi kiri adalah bagian dari ruang profan untuk kaum perempuan. Penghormatan terhadap kaum laki-laki di dalam rumah juga ditunjukkan melalui penggunaan ruang di sisi kanan sebagai ruang penerimaan tamu. Bagi masyarakat Sumba, tamu harus dihormati. Dengan demikian, tamu harus ditempatkan pada posisi yang terhormat pula. Laki-laki adalah penerus marga dan pemegang warisan keluarga, sementara perempuan akan keluar dari rumah untuk memasuki marga suaminya. Dengan demikian, keberlanjutan rumah adat tergantung pada laki-laki yang ditunjuk sebagai penerus marga yang harus menempati rumah adat. Sistem pewarisan semacam ini sejalan dengan pandangan Lèvi Strauss tentang rumah sebagai kategori sosial untuk menjaga kesinambungan sosial. Hirarki juga terdapat pada ritual yang berlangsung di dalam rumah. Pada kasus rumah Wano Kalada, barang/ sirih pinang yang diambil dari cincin tiang tidak boleh langsung diturunkan ke bale-bale atau lantai, tetapi harus melalui kotak yang diletakkan dibagian bawah tiang. Dari kotak tersebut barang diturunkan ke bale-bale, dan kemudian baru ke lantai jika diperlukan. Proses berjenjang juga tercermin pada proses lamaran pernikahan yang dilakukan melalui perantara yang menempati balebale antara ruang tungku dengan ruang laki-laki. Tamu dari pihak laki-laki diterima di sisi kanan (ruang laki-laki), sedangkan pihak perempuan di ruang tengah yang berada di depan ruang tidur. Ruang laki-laki merupakan ruang yg dikeramatkan dan terlarang bagi menantu perempuan. Relasi berjenjang yang tercermin dalam ritual adat dan elemen-elemen arsitektural sebagai sarana penyelenggaraan ritual tersebut memperkuat definisi Waterson (1993) bahwa rumah Austronesian merupakan penyatuan tempat tinggal dan pemujaan.
88
KESIMPULAN Konsep berpasangan (maskulin – feminin) dalam arsitektur rumah dan kampung adat Sumba terwujud dalam sistem religi (Marapu) yang mendasari harmoni/keseimbangan relasi antar jender. Harmoni antar kelompok jender tersebut merupakan bagian dari konsep keseimbangan horisontal – vertikal masyarakat adat Sumba yang tercermin dari tata ruang luar (kampung) dan tata ruang dalam (rumah). Tata ruang luar (kampung) yang berpusat pada altar suci di tengah kampung adat menempatkan Sang Pencipta melalui roh leluhur (Marapu) sebagai pusat kehidupan dengan laki-laki sebagai pemegang kuasa spiritual yang memiliki akses terhadap altar suci tersebut dan perempuan sebagai penyokongnya. Sedangkan pada tataran rumah, tungku perapian diletakkan di tengah-tengah rumah yang dipahami sebagai pusat kehidupan dari penghuninya. Ruang di dalam rumah dibedakan berdasarkan jender, di mana sisi kanan merupakan ruang sakral tempat penyelenggaraan ritual adat yang diakses oleh kaum laki-laki, dan sisi kiri adalah ruang profan untuk kegiatan ritual fisik sehari-hari bagi kaum perempuan. Pemisahan ruang vertikal – horisontal ini mencerminkan struktur hirarkis dari masyarakat adat Sumba. Pembagian peran jender dalam masyarakat Sumba pada masa kini sedikit mengalami pergeseran. Peran domestik kaum perempuan diperluas, sehingga kaum perempuan mempunyai akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan dapat berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi. Penambahan peran tersebut berpengaruh terhadap perubahan fungsi ruang di dalam dan di luar rumah. Teras rumah menjadi ruang produksi (menenun) bagi kaum perempuan yang menghasilkan keuntungan finansial. Kain tenun yang dihasilkan tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan kultural masyarakat adat Sumba, namun juga pariwisata. Peningkatan peran ekonomi dari kaum perempuan Sumba tersebut tidak mengubah posisi mereka yang berada di lapisan luar dari ritual-ritual sakral yang dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Negosiasi menjadi sebuah cara untuk mempersempit gap antara konsep filosofis dan praktis dalam memaknai relasi laki-laki dan perempuan di kampung adat Sumba. Langkah-langkah negosiasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi kaum perempuan Sumba, yaitu: a. meningkatkan akses dan kontrol perempuan Sumba terhadap sumber daya alam dan infrastruktur b. memperbaiki kualitas ruang di dalam rumah yang menjadi wilayah kaum perempuan Sumba
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
c.
keterlibatan kaum perempuan dalam upaya keberlanjutan kampung adat
REKOMENDASI Berdasarkan pada hasil penelitian ini, maka disampaikan beberapa rekomendasi untuk kegiatan penelitian berikutnya, yaitu: a. Interaksi dengan masyarakat kampung adat perlu dilakukan secara intensif dan tidak hanya berlangsung dalam waktu yang singkat untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dan terpercaya. b. Observasi terhadap obyek penelitian di lokasi yang terpisah, yaitu Sumba Barat dan Sumba Timur memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi, oleh karenanya perlu direncanakan secara lebih terperinci strategi survey yang lebih efisien untuk kedua lokasi tersebut. c. Masing-masing studi kasus seharusnya memiliki kedalaman data yang sama, sehingga bisa diperbandingkan secara setara. d. Perlu ketelitian dalam mengolah informasi yang didapatkan dari nara sumber, supaya lebih obyektif dan akurat. e. Salah satu topik penelitian yang dapat dikembangkan adalah, bagaimana strategi masyarakat Sumba untuk mempertahankan keaslian kampung dan rumahnya di tengah arus modernisasi dan globalisasi merupakan f. Topik yang terkait dengan upaya pelestarian arsitektur tradisional di Sumba adalah penelitian tentang transfer keahlian ketukangan rumah adat Sumba dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Glaser, Barney G. and Anselm L. Strauss, “The discovery of grounded theory: strategies for qualitative research”, Chicago: Aldine Publ. Co, 1970. Kapita, Oe. H., Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta, 1976 Kapita, Oe. H., Sumba dalam Jangkauan Jaman, Jakarta, 1976. King, Keohane & Verba, “Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research”. Princeton: Princeton University Press, 1994. Santosa, Revianto Budi, Omah: The Production of Meanings in Javanese Domestic Settings. M.A. Thesis. Montreal: McGill University, 1996. Spain, Daphne, Gendered Spaces. Chapel Hill and London: The University of North Carolina Press, 1992. Topan, Moh. Ali, “Morfologi Arsitektur Sumba“, dalam Jejak Megalitik Arsitektur Tradisional Sumba, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007. Waterson, Roxana, “Houses and the Built Environment in Island South-East Asia: Tracing some shared themes in the uses of space”, dalam James J. Fox (Ed.), Inside Austronesian Houses: Perspective on Domestic Design for Living. Canberra: The Australian University, 1993, p. 221-231, 1993. Waterson, Roxana, “The Living House: An Anthropology of Architecture in South-East Asia”. Singapore: Tuttle Publishing, 2014.
DAFTAR PUSTAKA Adams, Marie Jeanne, “Symbols of The Organized Community in East Sumba, Indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (130), 1974, no: 2/3, Leiden, 324 – 347. Fox, James J., “Comparative Perspective on Austronesian Houses: An Introductory Essay”, dalam James J. Fox (Ed.) (1993): Inside Austronesian Houses: Perspective on Domestic Design for Living, Canberra: The Australian University, p. 1-29, 1993. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
89
Procceding
KONTRIBUSI DAN PENERIMAAN PENGGUNA DALAM KESUKSESAN IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ANGGARAN DAN REALISASI Lussy Ernawati, Halim Budi Santoso Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Duta Wacana Email:
[email protected] 1)
Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Duta Wacana Email:
[email protected] 2)
ABSTRACT Penerapan Teknologi Informasi dalam suatu organisasi telah menjadi salah satu kebutuhan yang sangat penting guna mendukung kinerja dan tercapainya tujuan organisasi tersebut. Universitas Kristen Duta Wacana telah menggunakan Sistem Informasi Anggaran dan Realisasi sejak 1996. Akan tetapi penggunaan Sistem Informasi ini belum pernah dilakukan evaluasi. Evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan pengguna dalam kesuksesan implementasi sistem informasi, khususnya Sistem Informasi Anggaran dan Realisasi (SIAR) di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Sasaran dari penelitian ini adalah pengguna akhir SIAR yaitu karyawan UKDW. Penelitian ini menggunakan model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean (1992), teori penerimaan teknologi (TAM) Davis et al., (1989), dan partisipasi pengguna, Barki dan Hartwick (1989).Penelitian ini menguji elemen kualitas sistem dan kualitas informasi, serta partisipasi pengguna terhadap persepsi kemudahan penggunaan, persepsi kebermanfaatan, niat untuk menggunakan teknologi dan penggunaan teknologi sesungguhnya. Sejumlah 38 responden berpartisipasi dalam penelitian ini. Data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan pemodelan persamaan struktural (SEM) dan perangkat lunaknya PLS (SmartPLS ver.2.0). Hasil penelitian menunjukkan dari 9 hubungan yang dihipotesakan dan diuji, ditemukan 5 hipotesa menjadi signifikan dan 4 hipotesa tidak signifikan. Kualitas sistem dan partisipasi pengguna mempunyai dukungan yang kuat untuk pengaruh persepsi kemudahan penggunaan dan persepsi kebermanfaatan, dan selanjutnya mempengaruhi niat untuk menggunakan teknologi dan penggunaan teknologi sesungguhnya. Disisi lain, kualitas informasi tidak mempengaruhi persepsi kemudahan penggunaan dan persepsi kebermanfaatan. Keywords: Teori Penerimaan Teknologi, Sistem Informasi Anggaran, Kualitas informasi, kualitas sistem, partisipasi pengguna.
1.
Pendahuluan
Penerapan teknologi informasi dalam suatu organisasi sudah menjadi kebutuhan yang sangat penting guna mendukung kinerja dan tercapainya tujuan organisasi tersebut. Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), mulai membangun sistem teknologi informasi yang terintegrasi sejak 1996. Salah satu aplikasi yang dibangun adalah sistem informasi anggaran dan realisasi (SIAR). Pengguna SIAR adalah seluruh pimpinan rektorat, lembaga, fakultas dan unit yang ada di UKDW. Fasilitas SIAR antara lain entry penerimaan
90
dan pengeluaran anggaran, informasi total pemakaian anggaran per-rekening, dan informasi-informasi lain yang dapat untuk membantu pengambilan keputusan dari level unit sampai ke level pimpinan puncak. Penelitian ini menganalisis permasalahan yang terjadi selama ini dalam penggunaam SIAR. Beberapa fasilitas yang disediakan dalam SIAR belum digunakan sesuai fungsinya secara sukses. Penelitian ini mengindentifikasikan beberapa permasalahan yang mengakibatkan SIAR tidak sukses dalam implementasinya: 1) kualitas informasi 2) kualitas sistem dan 3) partisipasi pengguna.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Penelitian ini akan mengidentifikasikan faktor-faktor apa saja yang mendorong penerimaan SIAR: 1. Membuktikan kualitas informasi yang baik, akurat dan cepat dapat berpengaruh secara positif terhadap kesuksesan implementasi sistem informasi anggaran dan realisasi. 2. Membuktikan kualitas sistem yang andal dapat berpengaruh secara positif terhadap kesuksesan implementasi sistem informasi anggaran dan realisasi. 3. Membuktikan faktor partisipasi pengguna dapat berpengaruh secara positif terhadap kesuksesan implementasi sistem informasi anggaran dan realisasi. 4. Membuktikan faktor manfaat (usefulness) dapat berpengaruh secara positif terhadap penerimaan sistem anggaran dan realisasi. 5. Membuktikan faktor kemudahan (ease of use) dapat berpengaruh secara positif terhadap penerimaan sistem anggaran dan realisasi. Motivasi dari penelitian ini pencapaian akan implementasi SIAR dengan sukses, serta partisipasi dan keterlibatan seluruh pengguna sistem informasi supaya aktif mengarahkan dan membentuk peran bahwa teknologi dapat membantu kinerja tugas individual sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. 2.
Penelitian Mohs, et al (2005) menggunakan faktor kualitas informasi untuk mendukung kesuksesan implementasi sistem EMR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kualitas informasi dan perceived usefulnes, serta korelasi antara kualitas informasi dan perceived easy of use. Dalam penelitiannya, Suki (2008) melakukan penelitian untuk menguji niat pembayar pajak dengan menggunakan sistem e-Filling dan untuk pengujiannya menggunakan TAM dan model kesuksesan sistem informasi DeLone and McLane. Berbeda dengan kedua penelitian sebelumnya, Radityo dan Zulaikha (2007) melakukan penelitian untuk melakukan pengujian terhadap model DeLone dan McLean. Menurut penelitian tersebut, dapat di simpulkan bahwa model DeLone dan McLean dapat digunakan untuk mengukur model kesuksesan sistem informasi. Lapiedra, Alegre, dan Chiva (2006) melakukan pembahasan mengenai partisipasi pengguna pada proses pengembangan sistem informasi. Dari hasilnya di dapatkan bahwa partisipasi pengguna diperlukan agar pengembangan sistem informasi dapat berjalan dengan baik dan sukses. 3.
Metodologi Penelitian
Untuk melakukan uji coba dalam penelitian ini, digunakan model pada Gambar 1
Tinjauan Pustaka
Teori penerimaan teknologi (TAM) Davis et al., (1989) menjelaskan penerimaan individu terhadap penggunaan sistem tekonologi informasi yang ditentukan oleh dua konstruk, yaitu persepsi kebermanfaatan (perceived usefulness) dan persepsi kemudahaan penggunaan (perceived ease of use). Model kesuksesan sistem teknologi informasi DeLone & McLean (1992), yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesuksesan teknologi informasi. Faktor-faktor yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitas sistem dan kulitas informasi. Partisipasi pemakai (user participation) di pengembangan sistem juga sebagai salah satu faktor dalam mencapai kesuksesan sistem informasi. Efek dari partisipasi pemakai dapat berpengaruh pada tingkat individual dan organisasional. Partisipasi pemakai (user participation) didefinisikan oleh Barki dan Hartwick (1989) sebagai perilaku-perilaku, penugasan-penugasan, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh pemakai atau wakil-wakilnya selama proses pengembangan sistem.
Gambar 1: Model Penelitian
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terhadap persepsi kemudahan penggunaan dan persepsi kebermanfaatan. Faktor tersebut adalah kualitas sistem, partisipasi pengguna, dan kualitas informasi. Persepsi kemudahaan penggunaan dan persepsi kebermanfaatan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku penggunaan teknologi. Hal ini akan mempengaruhi penggunaan teknologi sesungguhnya. Berdasarkan Gambar 1, terdapat hipotesa sebagai berikut: H1: semakin tinggi kualitas sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan perceived usefulness. H2: semakin tinggi kualitas sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan perceived easy of use.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
91
Procceding
H3: semakin tinggi kualitas informasi yang dihasilkan sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan perceived usefulness. H4: semakin tinggi kualitas informasi yang dihasilkan sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan perceived easy of use. H5: semakin tinggi partisipasi pengguna sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan perceived usefulness. H6: semakin tinggi partisipasi pengguna sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan perceived easy of use. H7: semakin tinggi kegunaan persepsian (perceived usefulness) sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan niat perilaku menggunakan teknologi (behavioral intention to use). H8: semakin tinggi kemudahaan penggunaan persepsian (perceived ease of use) sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan niat perilaku menggunakan teknologi (behavioral intention to use). H9:semakin tinggi niat perilaku menggunakan teknologi (attitude toward using technology) sistem informasi anggaran dan realisasi, akan semakin meningkatkan penggunaan teknologi sesungguhnya (actual technology use).
Data dalam penelitian diperoleh dari para karyawan UKDW yang berhubungan dan memakai sistem informasi ini. Jumlah populasi 38 orang. Penelitian menggunakan data survei dengan membagikan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan kepada responden. Teknik analisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) berbasis component atau variant yang terkenal dengan menggunakan Partial Least Square (PLS). PLS merupakan metode analisis yang powerful karena tidak didasarkan banyak asumsi dan sample tidak harus besar. PLS selain AVE
dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antar variabel laten (Ghozali, 2008 : 4). 4.
Analisis dan Pembahasan
Pengujian hasil dengan mengukur Goodness of Fit. Dalam hal ini pengukuran dibagi menjadi dua yaitu outer model (model pengukuran) dan inner model (model struktural). Gambar output model pengukuran dan output iterasi algoritma untuk menguji outer model (model pengukuran) dan inner model (model struktural) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2: Output Model Pengukuran
Berdasarkan hasil kuisioner yang didapatkan, Gambar 2 menunjukkan Output Model Pengukuran. Dari Output Model Pengukuran tersebut dilakukan pengujian baik Outer Model dan Inner Model.
a. Pengujian Model Pengukuran (Outer Model) Pengukuran model adalah untuk menguji validitas konstruk dan reliabilitasnya. Pengujian pengukuran model dilakukan untuk verifikasi indikator dan variabel latennya. Pengujian tersebut meliputi pengujian validitas konstruk (konvergen dan diskriminan) dan uji reliabilitas konstruk (cronbach’s alpha dan composite reliability)
Tabel 1. Hasil Output Iterasi Algoritma Composite Realiability R Square
Cronbachs Alpha
Communality
Redudancy
ATU
0.7072
0.8777
0.1799
0.7814
0.7072
0.1198
ATUT
0.6407
0.8766
0.5493
0.8125
0.6407
0.0207
PEoU
0.6434
0.8774
0.3900
0.8118
0.6434
0.0258
PU
0.7323
0.9316
0.3719
0.9076
0.7323
0.0784
Kualitas Informasi
0.6672
0.9091
0.8764
0.6672
Kualitas Sistem
0.6766
0.8615
0.7701
0.6768
Partisipasi Pengguna
0.7291
0.8895
0.8386
0.7291
92
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
1. Uji validitas konstruk a.
Uji validitas konvergen Parameter uji validitas konvergen dalam Tabel 1, dilihat dari skor AVE dan communality, masing-masing harus bernilai >0,5 dan yang memiliki loading factor indikator > 0,7. Dari hasil output iterasi algoritma, didapatkan skor AVE dan communality, masing-masing sudah bernilai >0,5 sehingga konstruk telah memenuhi convergent validity yang tinggi.
b. Pengujian Model Struktural (Inner Model) Pengujian model struktural dilakukan untuk memprediksi hubungan kausal antar variabel atau pengujian hipotesis. Gambar 3 output Model Struktural dan Tabel 3 adalah Bootstrapping.
b.
Uji validitas diskriminan. Parameter uji validitas diskriminan, diukur dengan membandingkan akar dari AVE suatu konstruk harus lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi antar variabel laten. Nilai AVE dalam uji validitas konstruk diambil dari hasil output iterasi algoritma. Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa akar AVE setiap konstruk lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Jadi semua konstruk dalam model yang diestimasi memenuhi validitas diskriminan
Gambar 3: Output Model Struktural Tabel 3. Output Bootstraping
Tabel 2. Average Variance Extracted (AVE)
Original Sample Standar Standar Sample Mean Deviasi Error (O) (M)
T Statistics
AVE
Akar AVE
0,667239
0,816847
ATUT>ATU
0.4242
0.4742
0.1038
0.1038
4.0833
0.0463
0.0528
0.1562
0.1562
0.2968
Perceived Usefulness (PU) 0,732308
0,802183
PEoU -> ATUT PU -> ATUT
0.7193
0.7314
0.0892
0.0892
8.0633
Kualitas Informasi
0.0522
0.0615
0.1785
0.1785
0.2958
Kualitas Informasi -> PU
0.1523
0.1765
0.2093
0.2093
0.7276
Kualitas Sistem
0.5679
0.5451
0.1692
0.1692
3.3554
0.3433
0.3351
0.1945
0.1945
1.7649
Quality Information Quality System User Participation
Perceived Ease of Use (PEoU)
Attitude Toward Using Technology (ATUT) Actual Technology Use (ATU)
0,676682 0,729165 0,643498 0,640787 0,707274
0,822607 0,853912 0,855750 0,800492 0,840996
2. Uji reliabilitas
Uji reliabilitas dapat dilihat dari nilai Cronbach’s alpha dan nilai composite reliability. Untuk dapat dikatakan suatu konstruk reliable, maka nilai Cronbach’s alpha dan nilai composite reliability harus >0,7. Dari hasil output iterasi algoritma dapat diketahui nilai Cronbach’s alpha dan nilai composite reliability untuk konstruk sudah >0,7. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konstruk memiliki reliabilitas yang tinggi.
-> PEoU
-> PEoU Kualitas Sistem -> PU
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
93
Procceding Partisipasi Pengguna -> PEoU
0.0879
Partisipasi Pengguna -> PU
0.3230
0.1066
0.1996
0.1996
Hipotesis 0.3127
0.1598
0.1598
2.0211
H 1: Quality System ® perceived usefulness (PU) H2: Quality System ® perceived easy of use (PEoU)
Tabel 3 Output Bootstrapping diatas dapat digunakan untuk mengukur keterdukungan hipotesis. Ukuran signifikansi keterdukungan hipotesis dapat digunakan perbandingan nilai t-table (≥ 1,64) dan t-statistics. Jika nilai t-statistics lebih tinggi dibandingkan nilai t-table, berarti hipotesis terdukung. Berdasarkan output bootstrapping, dapat disimpulkan hipotesisnya sebagai berikut: H1: Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa faktor kualitas sistem ke perceived usefulness (PU) berpengaruh positif signifikan dengan nilai koefisien beta sebesar 0,343353 dan tvalue 1,764870. H2: Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa faktor kualitas sistem ke perceived easy of use (PEoU) berpengaruh positif signifikan dengan nilai koefisien beta sebesar 0,567970 dan tvalue 3,355440. H3: Hasil perhitungan menunjukkan H3 tidak terdukung dengan nilai koefisien beta sebesar 0,152368 dan t-value 0,727685. H4: Hasil perhitungan menunjukkan H4 juga tidak terdukung dengan nilai koefisien beta sebesar 0,052235 dan t-value 0,292583. H5: Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa faktor partisipasi user ke perceived usefulness (PU) berpengaruh positif signifikan dengan nilai koefisien beta sebesar 0,323031 dan tvalue 2,021188. H6: Hasil perhitungan menunjukkan H6 tidak terdukung dengan nilai koefisien beta sebesar 0,087993 dan t-value 0,440677. H7: Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa PU ke ATUT berpengaruh positif signifikan dengan nilai koefisien beta sebesar 0,719357 dan t-value 8,063346. H8: Hasil perhitungan menunjukkan H8 tidak terdukung dengan nilai koefisien beta sebesar 0,046391 dan t-value 0,296849. H9: Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa ATUT ke ATU berpengaruh positif signifikan dengan nilai koefisien beta sebesar 0,424256 dan t-value 4,083381.
94
Tabel 4. Hasil Hipotesis
0.4406
H5: User Participation ® perceived usefulness (PU)
H7: PU ® attitude toward using technology (ATUT) H9: ATUT ® actual technology use (ATU)
H3: Quality Information ® perceived usefulness (PU) H4: Quality Information ® perceived easy of use (PEoU) H6: User Participation ® perceived easy of use (PEoU)
H7: PEoU ® attitude toward using technology (ATUT)
Note Significant Significant Significant Significant Significant Not Significant Not Significant Not Significant Not Significant
Dari hasil pengujian hipotesis dalam Tabel 4 yang signifikan, diperoleh kesimpulan bahwa kualitas sistem dan partisipasi pengguna sangat berpengaruh positif terhadap penerimaan sistem informasi anggaran dan realisasi di UKDW. Hasil ini membuktikan, SIAR dapat membantu pekerjaan dan meningkatkan kinerja, sehingga semakin tinggi manfaat yang didapat oleh pengguna akan semakin tinggi pula niat pengguna untuk tetap menggunakan SIAR. Hasil pengujian hipotesis yang tidak signifikan, diperoleh kesimpulan bahwa konstruk kualitas informasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap perceived usefulness dan perceived easy of use. Ini terjadi karena output SIAR sudah tidak akurat, relevan dan tepat waktu pada saat informasi tersebut dibutuhkan sehingga pengguna tidak percaya akan manfaat yang dihasilkan SIAR tersebut untuk pengambilan keputusan pada saat itu, begitu juga akan kemudahaan penggunaan terhadap sistem tersebut dengan tidak ada keterlibatan dan komunikasi pengguna saat pengembangan sistem tersebut, menyebabkan beberapa fasilitas dalam sistem tersebut tidak mudah dipahami, sehingga pengguna merasa kesulitan saat menggunakan sistem tersebut. Dengan tidak adanya kepercayaan akan kemudahaan penggunaan terhadap sistem tersebut,
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
maka akan mempengaruhi juga niat pengguna untuk tidak terus menerus atau secara rutin menggunakan sistem tersebut. 5.
Penutup
a. Kesimpulan Dari hasil temuan-temuan yang diperoleh, ada beberapa tujuan dan pertanyaan penelitian yang tidak tercapai. Pada faktor kualitas informasi tidak diperoleh hasil positif yang mendukung kesuksesan implementasi anggaran dan realisasi, ini dikarenakan kualitas informasi yang dihasilkan sistem informasi anggaran dan realisasi ini sudah tidak akurat, relevan, dan tepat waktu pada saat informasi tersebut dibutuhkan. Untuk faktor kualitas sistem dan partisipasi pengguna diperoleh hasil positif yang dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi anggaran dan realisasi, demikian juga faktor manfaat (usefulness) dan kemudahan (ease of use) dapat berpengaruh secara positif terhadap penerimaan sistem anggaran dan realisasi.
b. Saran
Berdasarkan hasil analisis penelitian, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Manajemen puncak mewajibkan untuk menggunakan sistem informasi anggaran dan realisasi. 2. Keterlibatan seluruh pengguna saat pengembangan dan implementasi sistem. 3. Adanya sanksi yang tegas terhadap unitunit apabila melebihi batas yang sudah ditetapkan untuk melakukan pertanggungjawaban laporan keuangan. 4. Membuat SOP (standard operating procedure) untuk setiap sistem informasi yang telah dibuat.
6.
Daftar Pustaka
Barki, H, Hartwick, J (1989). “Rethingking the Concept of User Involvement,” MIS Quarterly, Vol. 13(1), pp. 53-64. Davis, F.D., Bagozzi, R.P., dan Warshaw, P.R (1989). “User Acceptance of Computer Technology: A Comparison of Two Theoretical Models”, Management Science, Vol. 35(8), pp.982-1003. DeLone dan McLean (1992). “Information System Success: The Quest for Dependent Variable,” Information System Research, Vol. 3(1), pp. 60-95. Ghozali, Imam (2008), Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Leas Square ed.2, Universitas Diponegoro. Lapiedra, Rafael, Alegre, Joaquín dan Chiva, Richardo (2006), User Participation on the Development of Information System. In European and Mediterranean Conference on Information Systems (EMCIS) 2006, July 6-7 2006, Costa Blanca, Alicante, Spain. Mohs, aslina; Syed-Mohamad, Sharifah-Mastura dan Zaini, Bakhtiar Jamili. (2005). “Correlation Between Information Quality, User Acceptance, and Doctors’ Attitude of EMR System”. Dipresentasikan dalam ICOQSIA 2005, 6-8 December, Penang, Malaysia. Radityo, Dodi dan Zulaikha (2007), Pengujian Model DeLone and McLean Dalam Pengembangan Sistem Informasi Manajemen (Kajian Sebuah Kasus), Simposium Nasional Akuntansi X Unhas Makassar 26-27 Juli 2007. Suki, Norazah Mohd (2008). “A Study of Taxpayers’ Intention in Using e-Filing System: A Case in Labuan”. Journal Computer and Information Science, Vol. 1 No. 2 May 2008.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
95
Procceding
PENINGKATAN PEMASARAN SEKOLAH MELALUI DESAIN WEBSITE Parmonangan Manurung1), Ferdy Sabono2) Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana
[email protected] 2 Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana
[email protected] 1
ABSTRAK
Sekolah-sekolah swasta di Indonesia baik tingkat dasar, maupun menengah harus mampu membiayai berbagai kebutuhannya secara mandiri. Oleh sebab itu setiap sekolah harus mampu mendapatkan siswa baru sesuai target agar mampu memenuhi anggaran operasionalnya. Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat ini merupakan sebuah kegiatan yang membantu Sekolah Joannes Bosco dalam meningkatkan pemasaran mereka melalui pengembangan website sekolah.Metode yang digunakan adalah dengan memberikan pendidikan bagi staf humas sekolah serta guru-guru, memberikan pelatihan, memberikan konsultasi serta simulasi sistem informasi. Kegiatan yang dilakukan telah membekali staf humas dan guru-guru dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai strategi pemasaran, desain website serta pembuatan website yang kreatif sehingga dapat mengembangkan website sekolah untuk dapat meningkatkan pemasaran dan mencapai target yang telah ditetapkan. Kata kunci: pemasaran, website, desain, layout, kreatif, inovatif.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sekolah-sekolah swasta di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk dapat secara mandiri memenuhi berbagai kebutuhannya, termasuk dalam menjaga kesinambungannya dalam melayani masyarakat melalui pendidikan. Kondisi ini seringkali sejalan dengan pemenuhan target jumlah siswa baru setiap tahunnya, sehingga pelayanan dapat tetap berjalan dengan baik. Di sisi lain, seiring hadirnya institusi pendidikan lain yang melayani pada jenjang yang sama, tantangan yang dihadapi sekolah-sekolah swasta semakin besar. Tanpa disadari, pemenuhan target menjadi semakin berat dengan semakin banyaknya kompetitor yang ada. SD Joannes Bosco Yogyakarta merupakan sekolah dasar swasta yang berada di bawah kepengurusan Yayasan Santo Dominikus. Sekolah ini mengalami tantangan yang sama dengan sekolahsekolah swasta lainnya di Indonesia. Pencapaian target jumlah siswa baru setiap tahunnya menjadi sebuah tantangan berat yang harus diperjuangkan melalui sebuah strategi pemasaran, terutama bagi Humas SD Joannes Bosco Yogyakarta. Untuk menjawab tantangan tersebut, Humas SD Joannes Bos-
96
co meminta bantuan pendampingan kepada Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, dalam pengembangan fasilitas promosi. Kegiatan dilakukan dengan mengembangkan dan meningkatkan kegiatan pemasaran melalui media internet dengan mengembangkan website yang telah dimiliki serta media online lainnya seperti media sosial. Pengembangan media ini sangat penting dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan perangkat keras yang telah menyasar berbagai kalangan. Dengan pengembangan website dan media sosial, diharapkan SD Joannes Bosco Yogyakarta dapat memiliki sebuah sarana promosi dan pemasaran yang menjangkau target pasar seperti orang tua calon murid, serta menjadi media bagi pengembangan sistem pembelajaran siswa.
Rumusan Masalah
Setelah melakukan tahapan awal seperti diskusi dengan humas SD Joannes Bosco, serta melakukan wawancara kepada beberapa orang tua siswa mengenai pengembangan desain website adalah, “Bagaimana mengembangan pemasaran sekolah SD Joannes Bosco melalui desain Website?”
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Tujuan dan Manfaat Pengabdian
1. Tujuan Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk membantu SD Joannes Bosco Yogyakarta meningkatkan pemasarannya melalui desain website.
2. Manfaat pengabdian
Manfaat yang didapat melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah, SD Joannes Bosco dapat mengembangkan desain website sehingga dapat menjangkau terget pasar dan menjalin komunikasi yang interaktif melalui website serta mengembangkan sistem pengajaran, dalam menjawab tantangan di era informasi saat ini.
2. METODE PENGABDIAN Dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mendapatkan manfaat pengabdian masyarakat bagi SD Joannes Bosco, maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan dengan metode sebagai berikut: 1. Memberikan pendidikan bagi staf humas sekolah serta guru-guru Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan dengan memberikan materi tentang pemasaran, pembuatan website, desain komunikasi visual, serta desain website. 2. Memberikan pelatihan Pelatihan-pelatihan strategi pemasaran, pembuatan website diberikan dengan mengadakan workshop sehingga Humas SD Joannes Bosco dan guru-guru dapat langsung belajar dan mempraktekkan materi yang diberikan. 3. Memberikan konsultasi serta simulasi sistem informasi Konsultasi diberikan sebelum, selama dan setelah kegiatan pelatihan berlangsung. Konsultasi dilakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan dan permasalahan yanbg dihadapi Humas SD Joannes Bosco maupun guru-guru terkait dengan materi yang telah diberikan.
3. HASIL dan PEMBAHASAN
Perencanaan Program
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan dengan memberikan pendampingan kepada SD Joannes Bosco diawali dengan perencanaan program kegiatan bersama Humas SD Joannes Bosco. Beberapa pertemuan dilakukan untuk menyusun program, menentukan tempat pelaksanaan serta waktu yang tepat bagi pelaksanaan program. Perencanaan program didasarkan pada rumusan masalah yang telah didapatkan berdasarkan konsultasi awal dan latar belakang yang ada. Dengan telah adanya rumusan masalah, maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berfokus pada peningkatan pemasaran melalui pengembangan website dan media sosial, dengan program yang direncanakan adalah pelatihan dan workshop serta pendampingan melalui konsultasi sebelum maupun sesudah dilaksanakannya kegiatan pelatihan dan workshop. Kegiatan pelatihan dan workshop dilakukan dengan menghadirkan narasumber yang kompeten di bidang pemasaran, pembuatan website, desain komunikasi visual serta desain website. Sedangkan kegiatan konsultasi dilayani secara langsung dan intens oleh narasumber yang diminta pihak Humas SD Joannes Bosco. Kegiatan yang dilakukan dapat dilihat pada diagram 1, kegiatan pelatihan dan workshop serta konsultasi dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Diagram 1. Alur kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan pengabdian.
Pelaksanaan Program
Pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat dengan SD Joannes Bosco secara garis besar dilakukan dalam dua kegiatan utama sebagaimana ditunjukkan Diagram 1. Kegiatan pertama adalah Pelatihan dan Workshop yang diselenggarakan pada tanggal 22 Agustus 2015, pukul 08.00 sampai 13.00 WIB bertempat di Laboratorium
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
97
Procceding
Komputer UKDW. Materi pelatihan dibagi menjadi empat bagian dengan tujuan agar Humas dan guruguru SD Joannes Bosco dapat memahami topik dan materi secara keseluruhan sesuai tujuan pengabdian. Materi dibagi berdasarkan kebutuhan akan pemahaman terhadap strategi pemasaran dan desain website, yaitu: 1. Pemasaran dan Pencitraan SD Joannes Bosco; 2. Membangun website dengan Wordpress; 3. Desain Komunikasi Visual; dan 4. Desain Website.
Dengan penjabaran melalui masing-masing topik tersebut, Humas dan guru-guru SD Joannes Bosco akan memahami pentingnya sebuah konsep pemasaran yang baik yang kemudian diwujudkan melalui media website, serta bagaimana desain website yang mampu mengomunikasikan ide-ide dan strategi pemasaran yang telah ditetapkan secara menarik dan menjangkau target pasar. 1. Pemasaran dan Pencitraan SD Joannes Bosco Materi ini disampaikan melalui ceramah dan diskusi serta para peserta pelatihan diajak untuk merumuskan satu konsep pemasaran. Narasumber yang mengisi materi ini adalah Dr. Singgih Santoso, MM., yang merupakan Dekan Fakultas Bisnis Unversitas Kristen Duta Wacana. Materi dibagi ke dalam tiga topik yang semakin mengerucut yaitu: a. P e m a s a r a n ; Menjabarkan secara umum tentang pemasaran sebuah produk, baik barang maupun jasa, serta pentingnya pemasaran yang berfokus kepada konsumen. Fokus kepada konsumen dilakukan dengan memenuhi kebutuhan konsumen akan tiga hal; kebutuhan (need), keinginan (want), dan permintaan (demand). b. Promosi SD Joannes Bosco; Menjabarkan berbagai jenis promosi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemasaran seperti melalui Iklan, Sales Promotion, Personal Selling, Direct Marketing, Humas, dan Internet Marketing. c. Desain website SD Joannes Bosco Menjabarkan pentingnya desain website yang tetap berpijak pada prinsip pemasaran dan menampilkan keunggulankeunggulan yang dimiliki SD Joannes Bosco.
98
Gambar 1. Peserta saat mengikuti pelatihan dan workshop Pemasaran yang disampaikan Dr. Singgih Santoso, MM.
2. Membangun Website dengan Wordpress Materi ini disampaikan setelah peserta memiliki pemahaman tentang pemasaran sekolah, terutama strategi promosi melalui website. Setelah memiliki pemahaman tersebut, peserta diajak untuk mengerti dan memahami teknis pembuatan website, serta hal-hal penting yang harus ditampilkan untuk mewujudkan website yang mampu menjadi media promosi. Materi yang dilanjutkan dengan workshop dan simulasi ini disampaikan oleh Aloysius Airlangga Bajuadji, S.Kom, M.Eng., Kepala Puspindika UKDW. Dalam pelatihan dan workshop ini peserta dikenalkan pada CMS/Content Management System, dan lebih spesifik mendalami Wordpress sebagai sebuah CMS. Peserta dikenalkan dengan berbagai istilah dalam sebuah website serta fungsi masing-masing seperti domain, hosting, materi, dan elemen website lainnya. Peserta kemudian diajak untuk melakukan simulasi dalam sebuah workshop. Dalam waktu yang cukup singkat, peserta telah mampu membuat sebuah website sederhana yang dapat dikembangkan secara mandiri dengan prinsip-prinsip pemasaran dan strategi promosi.
Gambar 2. Aloysius Airlangga Bajuadji, S.Kom., M.Eng., memberikan pelatihan membuat website.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
3. Desain Komunikasi Visual Website merupakan sebuah media yang sangat mengandalkan visual dalam menyampaikan pesan-pesannya, termasuk strategi pemasaran. Agar pesan visual dapat diterima dengan baik, maka penataan elemen-elemen visual seperti text, gambar, grafik, foto, serta elemen lainnya harus dilakukan dengan benar sesuai dengan target pasar. Dalam hal ini, target pasar SD Joannes Bosco adalah orang tua calon siswa, karena calon siswa belum memahami website dan memiliki keterbatasan dalam mengaksesnya. Layout sebuah komunikasi visual dapat pada ke dua hal, yaitu ‘fungsional’ sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya atau ‘estetis’ untuk menciptakan daya tarik visual bagi setiap orang yang mengakses informasi tersebut (Manurung, 2011). Sementara menurut Lichty (1994), terdapat lima prinsip utama dalam layout yaitu; proporsi, keseimbangan, kontras, irama dan kesatuan. Dengan memahami prinsip-prinsip layout, maka para peserta akan memiliki kemampuan untuk menata elemen-elemen yang terdapat pada website yang akan mereka buat untuk mendukung strategi promosi dan pemasaran. Salah satu metode desain komunikasi visual yang dapat digunakan adalah metode Super ‘A’. Menurut Hakim (2006), “Super ‘A’ adalah rumusan dasar untuk menilai sebuah iklan yang bagus. Sebuah formulasi yang terilhami dari materi presentasi Djokolelono (Creative Directore Grey Advertising) pada acara Creative Circle Workshop tahun 2002 di Lowe”. Super ‘A’ merupakan konsep iklan yang memiliki makna huruf-huruf yang dikandungnya, ‘S’ (simple), ‘U’ (unexpected), ‘P’ (persuasive), ‘E’ (entertaining), ‘R’ (relevant) dan ‘A’ (acceptable).
4. Desain Tampilan Website yang Menarik Menurut Williem Velthoven dalam Sutanto, P.R., dkk (2010) salah satu kriteria dalam mendesain website adalah aspek visual desain. Bahkan review yang dilakukan oleh Team Training SMK-TI pada 9 detik awal adalah waktu penentu dimana pengunjung akan memutuskan untuk menjelajah website atau berhenti. Untuk itu tujuan mendesain tampilan website yang menarik adalah (1) Kenyaman mengunjungi website (2) Meningkatkan jumlah visitor (3) Menjaring lebih banyak visitor (4) memiliki ciri khas. Berikut adalah unsur-unsur dalam mendesain sebuah tampilan website yang menarik. a. Komposisi Layout Tampilan Website Dalam mendesain tampilan website sudah tersedia tata letak dasar dari kontent atau isi yang ingin dimunculkan dalam tampilan. Diantaranya; (a) header (b)
b.
c.
d.
navigasi (c) sidebar (d) content , dan (e) footer. Pemilihan Gambar & Foto Ekspresi pada gambar atau foto harus dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan lewat gambar jangan sampai memberikan makna ambigu bagi pengunjung. Contoh untuk gambar pada website sekolah dasar maka foto yang ditampilkan harus menunjukan gambar aktivitas belajar yang ceria dan menyenangkan. Jenis Huruf (Font) Teks merupakan bagian yang paling utama untuk menampilkan informasi isi web konten. Fonts tidak harus sama terus menerus dalam situs agar tidak membosankan. Namun pemakaian font yang terlalu beraneka ragam dalam suatu halaman juga tidak baik. Pemilihan Warna Sesuaikan pemilihan warna dengan image yang akan pakai. Dengan memberikan warna yang tepat, maka akan menambah kesempurnaan situs, sehingga halamanhalamannya akan mudah dibaca. Contoh untuk tampilan warna website SD harus mengandung unsur-unsur warna pastel atau ceria.
Setelah mendapatkan pelatihan dan worksho pada masing-masing sesi dari ke empat sesi tersebut, peserta mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi terkait masing-masing topik yang telah diberikan. Peserta kemudian melakukan konsultasi dengan masing-masing narasumber terkait topik yang ingin mereka kembangkan, baik dari sisi pemasaran maupun desain website.
Gambar 3. Peserta dan narasumber setelah berakhirnya kegiatan pelatihan dan workshop.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
99
Procceding
4. KESIMPULAN Dari kegiatan pengabdian yang telah diberikan kepada Humas dan guru-guru SD Joannes Bosco Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemasaran dan promosi bagi sekolah-sekolah swasta penting untuk keberlanjutan dan kesinambungan sekolah tersebut. Sekolah-sekolah membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak khususnya perguruan tinggi dalam meningkatkan pemasaran mereka agar memenuhi target yang telah ditetapkan. Strategi pemasaran sekolah melalui website menjadi sebuah strategi yang sangat penting dikembangkan di era digital informasi. Kemampuan Humas sekolah dalam promosi melalui website penting untuk ditingkatkan, dan pihak perguruan tinggi dapat mengambil peran dalam hal ini.
5. DAFTAR PUSTAKA Hakim, B., 2006, Lanturan Tapi Relevan, Dasar-dasar Kreatif Periklanan, Galang Press, Yogyakarta. Lichty, Tom, 1994, Design Principle For Desktop Publishing, Second Edition, Wadsworth Publishing Company. Manurung, P., 2011, Teknik Komunikasi Visual Arsitektur, Pohon Cahaya, Yogyakarta. Sutanto, P.R, Natadjaja. L, Erandaru dalam Jurnal Desain Komunikasi Visual Nirmana, Vol. 12, No. 1, Januari 2010, hal. 10. Team Training SMK-TI Modul Konsep Desain Web. Hal. I-19
100
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
MODEL KLASIFIKASI SIDIK JARI DENGAN TEORI HIMPUNAN GANDA1 Sri Suwarno Prodi Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
[email protected] ABSTRACT The purpose of fingerprint classification is to group the fingerprints based on the degree of their similarity. By classifying, the process of searching and matching will be faster because they are more localized. There are some existing methods for this purpose with very satisfactory results. However, the main problem is their long and complicated process due to the use of core and delta features to do the classification. Detecting core and delta by a computer program needs some processing stages to achieve the desired results. On the contrary, the proposed model using ridges, curved lines that form the fingerprint pattern, as a feature. They always exist in fingerprints and can be detected easily. Initially, the fingerprint image is decomposed by Haar wavelets of one level to decrease its size as well as to generate the average, vertical, horizontal and diagonal components. Based on these components, pixels are clustered using the Self-Organizing Map network. Furthermore, the decomposed image is divided into blocks of equal size. The most dominant pixels in a block is used as a feature of the block. Finally, based on these blocks’ feature, the classification process is done by using the multiset theory. The model were tested using 4,000 of fingerprint images from National Institute of Standards and Technology (NIST). From the conducted experiment, it is concluded that the model produces a classification accuracy of 67%. This result is lower than the existing classification methods that use core and delta features. Keywords: fingerprint, classification, multiset, Haar wavelet, Self-Organizing Map
Paper ini diambil dan dikembangkan dari sebagian topik disertasi dari penulis dengan judul “Model Klasifikasi dan Identifikasi Sidik Jari dengan Wavelet dan Self-Organizing Map” yang sudah lulus diuji pada ujian tertutup 13 Juli 2015, pada Prodi Ilmu Komputer dan Elektronika, Fakultas MIPA-UGM, Yogyakarta. 1
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
101
Procceding
PENDAHULUAN Sidik jari merupakan salah satu alat bukti diri yang sudah lama digunakan. Bahkan ketika masyarakat Indonesia masih banyak yang buta huruf, sidik jari digunakan sebagai pengganti tanda tangan. Di Indonesia pemanfaatan sidik jari dapat ditemui pada dokumen-dokumen penting seperti pada Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dan pada Surat Ijin Mengemudi (SIM). Akhir-akhir ini, ketika alat pengambil sidik jari sudah semakin praktis, sidik jari digunakan sebagai alat presensi di kantor-kantor maupun di ruang-ruang kelas. Sidik jari diakui sebagai alat bukti diri yang handal karena memiliki sifat unik dan permanen. Keunikan sidik jari diperoleh dari fakta empiris yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pola sidik jari yang sama dengan pola sidik jari lain. Bahkan dari kesepuluh jari seseorang, tidak ada yang memiliki pola sama. Sidik jari juga diyakini permanen dalam arti tidak berubah sejak seseorang masih dalam kandungan sampai orang tersebut meninggal dunia. Perubahan pola sidik jari hanya terjadi apabila terjadi kerusakan secara fisik pada permukaan jari. Secara alami jumlah sidik jari yang harus disimpan di suatu instansi semakin bertambah. Penambahan jumlah sidik jari dalam suatu basis data akan menambah kesulitan apabila diperlukan pencarian atau pencocokan suatu sidik jari. Kesulitan ini akan semakin besar apabila proses penyimpanan dan pencariannya masih dilakukan secara manual. Usaha untuk memproses basis data sidik jari dengan komputer sudah dilakukan dengan dikembangkannya aplikasi AFIS (Automatic Fingerprint Identifikation Systems). Sistem tersebut sudah berkembang dengan pesat dan memiliki tingkat keakuratan yang tinggi, khususnya untuk memproses sidik jari yang memiliki kondisi normal. Dalam konteks ini, yang dimaksud sidik jari normal adalah sidik jari yang memiliki fitur core dan delta. Core adalah ujung alur (ridge) yang terputus dan tidak memiliki kelanjutan, sedangkan delta adalah persimpangan tiga buah alur yang membentuk segitiga. Gambaran lebih jelas tentang ridge, core, delta dan fitur-fitur lainnya pada sidik jari dapat dilihat pada Gambar 1. Namun demikian, untuk sidik jari yang kondisinya tidak normal, misalnya tidak lengkap, rusak atau mengandung banyak derau, AFIS menghadapi kendala besar, karena tidak dapat melokalisir keberadaan core dan delta.
102
Gambar 1. Fitur-fitur pada sidik jari
Model yang dikembangkan pada penelitian ini dirancang untuk mengatasi ketidaksempurnaan sidik jari dengan cara memanfaatkan fitur yang selalu ada dan mudah dideteksi keberadaannya meskipun kondisi sidik jari tidak normal. Fitur yang dipilih adalah ridge, yaitu alur berwarna gelap yang membentuk garis-garis lengkung pada sidik jari.
KAJIAN LITERATUR
Dalam pencocokan sidik jari, baik untuk tujuan identifikasi maupun verifikasi, diperlukan pencarian sidik jari satu persatu dalam suatu basis data sampai ditemukan kecocokan. Proses pencocokan tersebut akan menghadapi kondisi terburuk (worst case) apabila data yang dicari berada pada ujung belakang dari basis data. Kondisi pencarian ini akan lebih cepat apabila prosesnya tidak dilakukan pada seluruh basis data, tetapi dilokalisir pada sebagian dari basis data saja. Untuk maksud tersebut, sidik jari yang memiliki kemiripan fitur dikumpulkan dalam basis data yang terpisah-pisah. Dalam konteks penelitian sidik jari proses pengelompokan ini disebut klasifikasi. Klasifikasi pada sidik jari dimungkinkan karena berdasarkan penemuan Galton seperti dilaporkan pada (Maltoni et al. 2009), pola sidik jari dapat dibedakan kedalam klas. Pengelompokan ini didasarkan pada pola atau arah alur yang membentuk sidik jari. Kelima klas tersebut adalah Left-loop (LL), Right-loop (RL), Whorl (W), Arch (A) dan Tented-Arch (TA). Ada sejumlah metode yang sudah dikembangkan untuk melakukan klasifikasi. Salah satu yang digunakan secara manual oleh para ahli forensik adalah rule based atau berdasarkan aturan. Aturan ini didasarkan pada banyaknya dan posisi relatif antara core dan delta. Tabel 1 adalah contoh aturan untuk menentukan klas suatu sidik jari.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Klas
Tabel 1. Aturan klasifikasi
Banyaknya Banyaknya core delta
LL
1
1
A
0
0
RL W
TA
1 2 1
Posisi relatif core terhadap delta kiri
1
kanan
1
atas
2
-
Sejumlah literatur menerapkan aturan pada Tabel 1 kedalam algoritma klasifikasi. Para peneliti pada (Li et al. 2008) memanfaatkan core dan delta untuk melakukan klasifikasi berdasarkan aturan seperti tercantum pada Tabel 1. Deteksi core dan delta divalidasi dengan orientation field untuk memperbaiki ketelitiannya. Setelah core dan delta ditemukan, selanjutnya diklasifikasi berdasarkan aturan tersebut. Mereka melaporkan bahwa metode yang diusulkan dapat menghasilkan ketelitian sebesar 93,5%. Perbaikan terhadap deteksi core dan delta dilakukan pada (Wei 2008). Peneliti memanfaatkan Poincare index untuk mendeteksi keberadaan dan posisi core dan delta. Keduanya selanjutnya digunakan sebagai dasar klasifikasi dengan aturan seperti pada Tabel 1. Peneliti melaporkan bahwa metode yang digunakan dapat mencapai ketelitian sampai 96,6%. Wang et al. pada (Wei et al. 2002) juga mengusulkan perbaikan deteksi core dan delta. Mereka menggabungkan fitur orientation field dengan singular points , yaitu core dan delta, untuk melakukan klasifikasi. Fitur arah kemiringan ridge yang disajikan dalam bentuk orientation field digunakan untuk memperjelas sidik jari. Selanjutnya core dan delta dideteksi dan digunaan sebagai dasar klasifikasi dengan aturan seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Metode ini dilaporkan dapat menghasilkan ketelitian klasifikasi hingga 96,1 %. Dari kajian terhadap literatur yang diuraikan diatas dapat dilihat bahwa ketelitian yang dicapai masing-masing metode diatas 90%. Namun perlu dicatat bahwa semuanya menggunakan fitur core dan delta. Penelitian yang memanfaatkan ridge sebagai fitur dan menghindari pemakaian core dan delta untuk klasifikasi sudah banyak dilakukan. Fokus utama para peneliti adalah mencari metode untuk mengekstrak ridge yang mudah dan handal. Nilai orientasi ridge pada area yang lebih luas pada umumnya disebut dengan istilah orientation field. Nilai inilah yang digunakan sebagai dasar klasifikasi dengan berbagai metode.
Pada (Ma et al. 2005) konsep line tracing digunakan untuk mengekstrak fitur ridge. Dalam penelitian tersebut ridge ditelusuri dengan metode target tracking techniques seperti yang biasa digunakan pada computer vision. Mereka melaporkan bahwa metode ini dapat mengekstrak ridge dengan baik, bahkan pada sidik jari yang memiliki banyak derau. Ekstraksi ridge dapat juga menggunakan Jaringan Syaraft Tiruan (JST), seperti yang dilakukan oleh Zhu et al. pada (Zhu et al. 2006) dan Suwarno et al. pada (Suwarno et al. 2014). Zhu et al. membagi-bagi citra sidik jari kedalam blok-blok berukuran sama. Dari setiap blok dibuat 12 fitur yang disusun dalam bentuk vektor. Vektor-vektor tersebut selanjutnya ditentukan arah orientasinya dengan menggunakan jaringan Back Propagation. Suwarno, et al. (2014) menggabungkan jaringan Self-Organizing Map (SOM) dengan konsep prior knowledge untuk mengestimasi kemiringan ridge. Dalam penelitian mereka citra sidik jari dibagi-bagi kedalam blok-blok berukuran 8×8 piksel. Setiap piksel dalam setiap blok diestimasi kemiringannya dengan filter Sobel. Orientation field dalam blok tersebut diestimasi berdasarkan kemiringan piksel yang paling dominan dalam blok tersebut. Berdasarkan orientation field blok-blok itulah klas dari sidik jari ditentukan. Selain untuk mengekstrak kemiringan ridge, JST juga digunakan untuk proses klasifikasi, seperti yang dilakukan oleh Krasnjak dan Krivec pada (Krašnjak 2005). Mereka membagi-bagi sidik jari kedalam blok-blok berukuran sama. Dari blok-blok tersebut mereka membentuk Quad-tree structure. Struktur yang dibentuk digunakan sebagai masukan bagi jaringan Multilayer Preceptron (MLP) untuk diklasifikasi. Semua penelitian yang sudah dibahas diatas pada umumnya memberikan hasil yang memuaskan, namun masih memerlukan sejumlah preprocessing. Tahap preprocessing memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sidik jari sebelum diproses lebih lanjut, namun menambah waktu proses secara keseluruhan.
METODE PENELITIAN Model klasifikasi yang diusulkan pada penelitian ini didasarkan pada teori himpunan ganda. Misalkan semua citra sidik jari dipandang sebagai himpunan semesta U, dan himpunan
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
103
METOD DE PENELIITIAN
Model yang diusulkann pada peneelitian ini k menggun nakan preprrocessing, semacam tidak Model klasifikkasi yang diusulkan pada noisse reduction n, edge dete tection, thin ning atau penelitiaan ini didassarkan pada teori himppunan imag ge enhancem ment, tetapi h hanya mema anfaatkan Procceding ganda. M Misalkan sem mua citra sidik jari dipanndang deko omposisi citrra sidik jari ddengan Haarr wavelet. sebagai himpunan semesta U, dan himppunan Mula-mula citra sidikk jari didek komposisi (cD). Dengan demikian setiap piksel dapat dipansatu level dengan menggunnakan Haar wavelet. 4 dang sebagai titik yang berada pada ruang R dan 4 komponen yaitu Prosses ini ditulis menghasilkan dapat P(cA,cV,cH,cD). kom mponen avera age (cA), verrtical (cV), horizontal h Citranal hasil dekomposisi selanjutnya dibagi-ba(cH)) dan diagon (cD). Denngan demiki ian setiap gi kedalam blok-blok berukuran 8×8. Selanjutnya pikssel dapat dipandang sebaagai titik yan ng berada piksel-piksel dalam setiap blok ditetukan yang pal4 padaa ing ruang R daan dapat dituulis P(cA,cV,cH,cD). dominan dengan menggunakan jaringan SOM. dibagiCitra hasil dekomposis si selanjutny Piksel yang paling dominan inilaha yang digunakan bagii sebagai kedalam k dimana berukura an 8×8. fitur blok-blok bagi blok piksel tersebut beSelaanjutnya pik ksel-piksel dalam seti rada. Dengan proses semacam iniiap makablok setiap sidik g paling dengan ditettukan yan dominan jari dapat dikonversi menjadi matrik yang elemenmen nggunakan jaaringan SOM M. Piksel ng paling elemennya berupa fitur dari yan blok. Matrik inilah fiturbagi bagi jaringan dom minan yang y digunak kan sebagai yanginilah digunakan sebagai masukan untuk Diagram proses dari metode Dengan blok k SOM dimana piksel p klasifikasi. tersebbut berada. inisemacam dapat m dilihat padassetiap Gambar 2. jari prosses ini maka sidik j dapat diko onversi meenjadi matrrik yang elemenelem mennya beru upa fitur dari ri blok. Matrrik inilah PENELITIAN DAN PEMBAHASAN jaringan yang g HASIL digunakan n sebagai maasukan bagi SOM M untuk kllasifikasi. D Diagram oses dari2, mulaSeperti ditunjukkan olehpro Gambar meto ode ini dapat t dilihat pada a Gambar 2. mula citra sidik jari didekomposisi dengan Haar wavelet sebanyak 1 level. Hasil dekomposisi yang Ga ambar L, 2. R, DiaW, gram proses klasifikasi Bagian A dan T adalah partisi himpuHAS SIL PENEL LITIANkomponen DAN N PEMBAH HASAN berupa nilai-nilai cA, cH, cV dan cD digunan dari U, maka berlaku: nakan sebagai masukan bagi jaringan SOM. Untuk bagian L, R, W, A dan T adalah paartisi 2, mulaSeperti ditu unjukkan pembentukan oleeh Gambar fitur, menyederhanakan matrik hasil himpunaan dari U, maaka berlaku: dekomposisi dibagi-bagi kedalam blok berukuran mulaa citra sidik jari didekom mposisi deng gan Haar 8×8 elemen. Dari setiap blok ditentukan wavelet sebanyak 1 level.. Hasil dek komposisi elemen � � �� � � �� � � � �� � � yang paling dominan dengan jaringan SOM. Nilai yang g berupa nilaai-nilai kompponen cA, cH H, cV dan elemen dominan inilah yang digunakan sebagai ficD digunakan sebagai maasukan bagi jaringan �� ∩ �� � ∩ � ∩ �� ∩ � � �� tur untuk blok yang bersangkutan. Setelah SOM M. Untuk menyederhan anakan pem mbentukan semua blok ditentukan fiturnya maka fitur-fitur fiturr, matrik hasil dekom mposisi dib bagi-bagi tersebut deengan ketenttuan: membentuk fitur bagi sidik jari. kedaalam blok beerukuran 8×88 elemen. Dari setiap dengan ketentuan: Model dikembangkan dengan mengdominan blok k ditentukan n yang elemen yaang palingdiuji L, R, W W, A dan TA A adalah him mpunan sidikk jari gunakan 4,000 citra sidik jari yang dikeluarkan oleh deng gan jaringan n SOM. Nillai elemen dominan L, sR,left-loop, W, A danright-loop, TA adalahwhorl, himpunan dari klas archh sidik dan jari NIST (National Institute of Standards and Technoloinilaah yang digu unakan sebaagai fitur un ntuk blok dari klas left-loop, whorl, dan tenttented aarch. Setiappright-loop, klas sidiik jari arch ideaalnya gy)bersangk USA. Ukuran citra sidik jari dalam yang g kutan. Sete telah semu ua basis blok data ini ed arch. klas sidik jarianidealnya merupak kanSetiap himpun nan-himpuna yang merupakan saaling adalah 512��������������������������������������� ×�������������������������������������� 512 piksel. Setelah didekomposisi denditen ntukan fiturrnya maka fitur-fitur tersebut himpunan-himpunan yang saling asing, sehingga gan Haar wavelet sebanyak satu level maka ukuran asing, ssehingga hiimpunan-him mpunan terssebut mem mbentuk fiturr bagi sidik jaari. himpunan-himpunan tersebut dari merupakan partisi citra menjadi 256×256 piksel. Dengan menentukan merupak kan partisi himpunan himppunan ngkan blok diujiidiwakili Model ng 8×8 dikemban denganoleh satu himpunan dari himpunan semesta. ukuran yan blok dan setiap semesta. . men nggunakan 4,000 citra a sidik ja ari yang Pada lingkupyang yanglebih lebihkeecil, kecil,sebuah sebuahcitra citra si- elemen, maka dari setiap sidik jari akan terbentuk Pad da lingkup dike eluarkan ole eh NIST (N National Ins stitute of inilah dik jari dapatdapat sebagaiseb himpunan matrik fitur berukuran atau 32×32. Matrik sidik jaarijugajuga d dimodelkan dimo odelkan bagai Stan ndards and Technology) ) USA. Uku uran citra semesta anggota-anggotanya adalahtanya nilai inyang selanjutnya diklasifikasi dengan menggunakhimpuna an yang semesta yang ang ggota-anggot sidik k an jarijaringan dalam m SOM. basis data ini adalah 512×512 tensitas piksel. Selanjutnya, setiap bagian dari citra adalah nnilai intensitaas piksel. Seelanjutnya, ssetiap tersebut pada posisi tertentu dapat dianggap sebdidekompo osisi dengaan beberapa pikssel. Setelah Haar Pada penelitian ini digunakan nilai bagian ddari citra teersebut padaa posisi tert rtentu agai himpunan bagian. Dengan model semacam ini wavelet ak satu leveel maka uku uran citra tersebut sebanya terkait dengan parameter SOM. Nilai-nilai dapat ddianggap s dipandang sebagai him mpunan maka sidik jari dapat sebagaibaagian. himpunan men njadi 256×25 56berdasarkan piksel. D Dengan meenentukan ditentukan percobaan terhadap 100 Dengan model sema acam ini mak ka sidik jari ddapat ganda yang tersusun dari blok-blok yang merupakukurran blok 8× 8 dan setiap p blok parameter-parameter diwaakili oleh sampel sidik jari. Setelah dipandan ng himpunan. sebagaii himpunan n ganda yang an partisi diperoleh, selanjutnya satu tersebut m dari se etiap sidik jari jdigunakan akan untuk elemen, maka tersusunn dari blok-bblok yang merupakan m p artisi ��� �ada ��� Model yang diusulkan pada penelitian ini timenguji seluruh sidik jari yang basis � terbeentuk matrik fitur beru rukuran � � � � dalam himpuna an. �yang diper� dak menggunakan preprocessing, semacam noise data NIST. Adapun nilai-nilai parameter reduction, edge detection, thining atau image en- oleh adalah: hancement, tetapi hanya memanfaatkan dekompo• Banyaknya neuron input = 1024 4 sisi citra sidik jari dengan Haar wavelet. • Banyaknya neuron output = 5 Mula-mula citra sidik jari didekomposisi satu • Epoch = 500 level dengan menggunakan Haar wavelet. Proses ini menghasilkan 4 komponen yaitu komponen aver• Topology = hexagonal age (cA), vertical (cV), horizontal (cH) dan diagonal • Ukuran neighborhood = 4
104
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
selanjutnya digunakan untuk menguji seluruh sidik jari yang ada dalam basis data NIST. Adapun nilai-nilai parameter yang diperoleh adalah: • Banyaknya neuron input = 1024 • Banyaknya neuron output = 5 • Epoch = 500 Dengan menggunakan nilai-nilai parameter tersebut, percobaan seperti ditun• diperoleh Topology =hasil hexagonal jukkan•pada Tabelneighborhood 2 dan visualisasinya ditunjukkan Ukuran =4 oleh Gambar 3. Dengan menggunakan nilai-nilai parameter tersebut, diperoleh hasil percobaan seperti ditunjukkan pada klasterisasi Tabel 2 dan visualisasinya Tabel 2 Hasil jaringan SOM ditunjukkan oleh Gambar 3. Klas Klaster Tabel 2LHasil klasterisasi R WjaringanASOM TA
1 Klaster 2 31 42 3 5 4 5
171
151 L 169 171 151 142 169 167 142 167
170
152 R 152 170 152 168 152 158 168 158
159 Klas 165 W 159147 165161 147 168 161 168
178
184
A144 TA137 178141 184 156 144160 137 150 141 156 177 173 160 150 177 173
Gambar 3 Visualisasi dari Tabel 2
Komposisi Isi Klaster
200 150
L
100
R W
50
A
0
TA
Gambar 3 Visualisasi dari Tabel 2
Dari 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahDariTabel Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat wa klaster 1 didominasi oleh klas TA, klater 2 dibahwa klaster 1 didominasi oleh klas TA, klater 2 dominasi oleh klas W, klaster 3 didominasi oleh didominasi klas W, klaster didominasi klas L, klasteroleh 4 didominasi klas R3dan klaster 5 oleh klas L, klaster 4 didominasi klas R setiap dan didominaso oleh klas A. Dengan demikian klaster 5 didominaso oleh klas A. Dengan klaster didominasi oleh klas yang berbeda. Hasil setiap klaster oleh klas yang inidemikian menunjukkan bahwa didominasi SOM mampu memisahkan klas-klas sidik jari cukup baik, meskipun masih tercampur dengan klas-klas lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum model klasifikasi yang diusulkan memberikan kecepatan eksekusi yang relatif cepat karena hanya membutuhkan 500 epoch. Namun demikian model ini belum memberikan hasil yang optimal untuk proses klasifikasi. Isi setiap klaster yang dihasilkan dari pengolahan SOM masih bercampur dari semua klas. Ketepatan maksimal yang dicapai hanya sebesar 45,12%.
diusulkan memberikan kecepatan eksekusi yang relatif cepat karena hanya membutuhkan 500 epoch. Namun demikian model ini belum memberikan hasil yang optimal untuk proses Procceding klasifikasi. Isi setiap klaster yang dihasilkan dari pengolahan SOM masih bercampur dari semua klas. Ketepatan maksimal dicapaihasil hanya Berdasarkan analisisyang terhadap yang disebesar 45,12%. peroleh, diusulkan perbaikan untuk menaikkan haBerdasarkan analisis Perbaikan terhadap hasil yang dapat sil ketepatan klasifikasi. pertama diperoleh, diusulkan perbaikanfitur untuk menaikkan dilakukan pada pemilihan yang dimiliki ridge, hasil ketepatan klasifikasi. Perbaikan pertama misalnya ketebalan ridge dan jarak antar ridge. Selain itu, perbaikan juga pemilihan dapat dilakukan dapat dilakukan pada fitur pada yang tahap klasifikasi, mengunakan jaringan dimiliki ridge,yaitu misalnya ketebalan ridge multilayer dan perceptron (MLP) dengan pelatihan backpropagajarak antar ridge. Selain itu, perbaikan juga dapat tion. dilakukan pada tahap klasifikasi, yaitu mengunakan jaringan multilayer perceptron (MLP) dengan pelatihan backpropagation.
REFERENSI
REFERENSI Krašnjak, D., 2005. Fingerprint Classification Using a Homogeneity StructureClassification of Fingerprint Krašnjak, D., 2005. Fingerprint ’ s Orientation Field and Neural of Net. In Using a Homogeneity Structure Proceedings of the 4th International Symposium Fingerprint ’ s Orientation Field and Neural on Image and Signal Processing and Analysis, Net. In Proceedings of the 4th International 2005. pp. 7–11. Symposium on Image and Signal Li, J., Yau, W.-Y. & Wang, H., 2008. Combining singular Processing and Analysis, 2005. pp.information 7–11. points and orientation image for Li, J., Yau, W.-Y. &classification. Wang, H., 2008. Combining fingerprint Pattern Recognition, singular and orientation image 41(1), points pp.353–366. Available at: http:// linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/ information for fingerprint classification. S0031320307001471 [Accessed March 21, Pattern Recognition, 41(1), pp.353–366. 2014]. Available at: Ma,http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S R. et al., 2005. A novel approach to fingerprint ridge line extraction. IEEE International 0031320307001471 [Accessed March 21, Symposium on Communication and 2014]. Information Technology, pp.1–4. Available Ma, R.at:et al., 2005. A novel approach to http://ieeexplore.ieee.org/xpls/abs_all. fingerprint ridge line extraction. IEEE jsp?arnumber=1566785. International on Maltoni, D. et al., 2009.Symposium Handbook of Fingerprint Recognition Second.,and London:Information Springer. Communication Technology, pp.1–4.Estimation Available at: Suwarno, S. et al., 2014. of Fingerprint Orientation Field By Utilizing Prior Knowledge http://ieeexplore.ieee.org/xpls/abs_all.jsp?ar and Self-Organizing Map. Journal of Computer number=1566785. Science, 10(12), pp.2422–2428. Available at: Maltoni, D. et al., 2009. Handbook of Fingerprint http://thescipub.com/abstract/10.3844/ jcssp.2014.2422.2428. 5 Wei, L., 2008. Fingerprint Classification Using Singularities Detection. , 2(2). Wei, W., Yang, Z. & Wang, S., 2002. Fingerprint Classification by Directional Fields. , 00(5), pp.395–398. Zhu, E.N. et al., 2006. Fingerprint Ridge Orientation Estimation Based on Neural Network. Proceedings of the 5th WSEAS International Conference on Signal Processing, Robotics and Automation, 2006, pp.158–164.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
105
Procceding
KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI MAKROFUNGI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI LERENG UTARA KABUPATEN BOYOLALI Aniek Prasetyaningsih dan Djoko Rahardjo Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta ABSTRAK
Jamur makrofungi merupakan komponen utama dalam ekosistem terestrial dan mempunyai kontribusi penting terhadap ekosistem. Namun masih sedikit informasi yang tersedia terkait keanekaragaman, distribusi dan pemanfaataannya. Data base berdasarkan hasil penelitian terdahulu menemukan 227 spesies makrofungi di Lereng Tenggara dan Selatan TNGM, sedangkan database tentang keragaman makrofungi di TNGM Utara belum ditemukan. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan guna melengkapi database keanekaragaman, distribusi dan pemanfaatan makrofungi di kawasan TNGM. Penelitian dilakukan melalui dua jalur pendakian, yaitu dusun Selo dan dusun Setabelan, Kabupaten Boyolali. Eksplorasi dan pengambilan sampel makrofungi dilakukan dengan metode jelajah, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan pengkoleksian, disetiap lokasi yang ditemukan spesimen makrofungi dicatat kondisi lingkungan, serta vegetasinya. Deskripsi makromorfologi mengikuti deskripsi Bolete and Agaric annotation sheet (Lodge et al., 2004), sedangkan deskripsi mikromorfologi dilakukan dengan mengamati karateristik spora (bentuk, warna dan ukuran). Uji potensi senyawa aktif dilakukan dengan metode HTS serta pengklasifikasian berdasar Dictyonary of the Fungi (Kirk, et al., 2008) dan Buku Morphology of Plants and Fungi ( Bold et al., 1999). Hasil eksplorasi ditemukan makrofungi sebanyak 37 spesies. Spesies terbanyak berasal dari Agaricales (51,35 %) diikuti Aphyllophorales (37,84 %). Spesies Ganoderma applanatum merupakan yang paling potensial untuk digunakan sebagai biokontrol terhadap bakteri Xanthomonas oryzae pv. Oryzae ; Ralstonia solanacearum ; Pectobacterium carotovorum, dengan nilai MIC 1 mg/ml. Keragaman spesies makrofungi sangat dipengaruhi faktor lingkungan suhu, kelembaban dan flora sekitarnya. Keyword : TNGM lereng Utara, makrofungi, makromorfologi, HTS, biokontrol
PENDAHULUAN Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 6.410 Ha yang terletak di empat Kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali Propinsi Jawa Tengah. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan alih fungsi dari hutan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Plawangan Turgo, Hutan Lindung Kaliurang dan sebagian hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Salah satu nilai penting TNGM adalah potensi keanekaragaman hayati berupa kekayaan jenis tumbuhan dan satwa liar. Potensi keanekaragaman hayati perlu dikelola dengan baik sehingga dapat mendukung tercapainya sasaran fungsi pengelolaan TNGM yaitu sebagai perlindungan terhadap ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan lestari. Dalam upaya pengelolaan terhadap keanekaragaman hayati yang
106
ada serta menunjang pelestarian dan pengembangan pengelolaan kawasan di TNGM perlu dilakukan pendataan terhadap keanekaragaman biota, distribusi dan potensi pemanfaatan bioata yang ada di TNGM. Berdasarkan Laporan Tahunan Tahun 2008, Balai Taman Nasional Gunung Merapi mempunyai keanekaragaman hayati meliputi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar, berdasarkan hasil invetarisasi terdapat lebih dari 1000 jenis tumbuhan termasuk 75 jenis anggrek langka, sedangkan potensi satwa liar adalah terdapat jenis mamalia kecil dan besar 147 jenis burung termasuk 90 jenis diantaranya burung-burung menetap. Informasi tentang database tentang makrofungi di Taman Nasional Gunung Merapi belum ditemukan. Penelitian tentang komposisi dan kemelimpahan jamur makroskopis pernah dilakukan di Kaliadem dan Kalikuning yang merupakan lereng Tenggara daerah TNGM pada tahun 2008 (Arianto, 2009). Dari hasil tersebut jamur yang ditemukan sejumlah 98 jenis. sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasetyaningsih (2013) pada bulan Pebruari sampai Desember 2013, ditemukan 129
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
spesies makrofungi di kawasan TNGM Lereng Selatan, namun demikian untuk kawasan yang lain belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan fokus utama untuk mengidentifikasi dan dokumentasi keanekaragaman jenis jamur, mengetahui sebaran, potensi manfaat oleh masyarakat serta mengidentifikasi langkahlangkah konservasinya guna melengkapi database keragaman makrofungi di TNGM lereng Utara.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di kawasan TNGM Lereng Utara pada bulan Maret 2014 – Januari 2015. Penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu observasi awal untuk menentukan lokasi penelitian, menetapkan garis transek dan lokasi plot, tahap kedua yaitu ekplorasi, pengambilan sampel makrofungi serta analisis vegetasi dan pengukuran parameter lingkungan, serta tahap ketiga adalah identifikasi makrofungi dan analisis potensinya. Observasi dan koleksi makrofungi dilakukan dengan metode jelajah yang dilakukan disepanjang jalur wisata di kawasan New Selo. Sampling spesimen dilakukan dengan mengkoleksi semua makrofungi dan miselium yang dijumpai tumbuh pada batang kayu, seresah dan tanah mineral. Deskripsi Makrofungi didasarkan pada karakteristik makromorfologi dan mikromorfologi dengan mangacu pada deskripsi Bolete and Agaric annotation sheet (B.Ortiz-Santana and D.J. Lodge and Cantrell) Lodge et.al., 2004 dalam Mueller, 2004., sedangkan deskripsi Mikromorfologi dilakukan dengan mengamati kharateristik spora (bentuk, warna, ukuran dan apabila diperlukan dilanjutkan dengan uji amyloidity). Untuk identifikasi digunakan Dictionary of the Fungi oleh : Kirk, et al., 2008 dan Buku Morphology of Plants and Fungi oleh Bold et al., 1999. Uji potensi khususnya terhadap antioksidan dan assay anti bakteri digunakan metode HTS (High Troughput Screening), dengan menggunakan MTT sebagai indikator pertumbuhan sel dan DPPH untuk indikator adanya potensi antioksidan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat Makrofungi Observasi terhadap kondisi vergetasi dan lingkungan dikedua jalur pendakian menunjukkan secara jelas bahwa semua lokasi memiliki sedikit substrat, seresah, pohon tumbang, patahan ������������� ranting, karena kedua kawasan ini didominasi oleh vegetasi muda hasil program reboisasi yang ditujukan untuk memulihkan kondisi lingkungan pasca erupsi tahun 2010 yang telah menumbangkan
hampir 90% vegetasi yang ada. Jalur pendakian Selo dengan lereng yang curam didominasi oleh Acasia decurrens, puspa Schiima wallichii yang kebanyakan masih muda serta semak belukar berupa paku-pakuan, dan rumput. Sementara untuk jalur Setabelan didominasi akasia, rumpun bambu dan semak. Kedua jalur pendakian memiliki tipe vegetasinya yang sama yaitu didominasi oleh vegetasi muda yaitu akasia serta semak. Dengan kondisi vegetasi yang umumnya masih terbuka sehingga sangat minim dari tutupan menyebabkan rendahnya kelembaban udara dan tanah. Hasil pengukuran diperoleh kelembaban tanah dan udara di jalur Selo dan Setabelan secara berurutan berkisar 5566% dan 20-25% serta 50-65% dan 20-30%, dan di kedua lokasi relatif tidak berbeda, begitu pula untuk pengukuran parameter pH dan temperatur, dikedua lokasi tidak menunjukan perbedaan. Minimnya vegetasi dan terbukanya kawasan hutan akan berdampak pada perubahan iklim mikro yang akan berpengaruh pada keanekaragaman dan distribusi makrofungi dikedua jalur tersebut. Perihal karakteristik dan gambaran lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Keanekaragaman Makrofungi
dan
Distribusi
Hasil ekplorasi dan identifikasi makrofungi dikedua jalur penelitian hanya ditemukan 37 spesies dijalur pendakian Selo 20 dan 16 spesies dijalur pendakian Setabelan (Tabel 4). Hasil ini jauh dibawah hasil penelitian yang dilakukan pada lereng selatan kabupaten Sleman yang ditemukan sebanyak 129 spesies makrofungi (Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2014). Rendahnya keragaman jenis makrofungi selain faktor erupsi dan kebakaran juga diakibatkan oleh tingginya tingkat interaksi masyakarat terhadap sumberdaya hutan. Kedua lokasi ini menjadi kawasan wisata alam serta sebagai zona peyangga sehingga masih banyak aktivitas masyarakat yang masuk ke kawasan TNGM untuk pengambilan langsung sumberdaya dari kawasan hutan ini seperti rencek kayu bakar, rumput untuk pakan ternak, pertanian serta tingginya aktivitas pendakian melalui jalur ini. Hal lain juga disebabkan adanya beberapa kendala yaitu bersamaan dengan meningkatnya aktivitas merapi, sehingga eksplorasi harus dihentikan karena adanya larangan atau penutupan jalur pendakian oleh pihak TNGM.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
107
Procceding
No
Kondisi Lokasi
1.
Gambar lokasi
2.
Ketinggian
4.
Kelembaban Tanah
3. 5. 6.
Tabel 3. Karakteristik Kondisi Lingkungan
Kelembaban Udara pH
Jalur Setabelan
1790 -2072 62-65%
1300-2100
20-25%
20-30%,
21-27
21-26
6.5-6.8
Temperatur
7.
Tipe Vegetasi
8.
Dampak Erupsi 2010
9.
Keberadaan Substrat
Keanekaragaman Makrofungi
Jalur Selo
dan
6.4-6.7
Area perkebunan, vegetasi Area perkebunan, vegetasi didominasi oleh Acasia decurrens, didominasi oleh Acasia Schiima wallichii yang kebanyakan decurrens, serta semak belukar. masih mudah serta semak belukar Kerusakan sedang
Sangat miskin. Dampak erupsi, topografi lereng curam serta didominasi oleh vegetasi yang relative muda
Distribusi
Hasil ekplorasi dan identifikasi makrofungi dikedua jalur penelitian hanya ditemukan 37 spesies dijalur pendakian Selo 20 dan 16 spesies dijalur pendakian Setabelan (Tabel 4). Hasil ini jauh dibawah hasil penelitian yang dilakukan pada lereng selatan kabupaten Sleman yang ditemukan sebanyak 129 spesies makrofungi (Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2014). Rendahnya keragaman jenis makrofungi selain faktor erupsi dan kebakaran juga diakibatkan oleh tingginya tingkat interaksi masyakarat terhadap sumberdaya hutan. Kedua lokasi ini menjadi kawasan wisata alam serta sebagai zona peyangga sehingga masih banyak aktivitas masyarakat yang masuk ke kawasan TNGM untuk pengambilan langsung sumberdaya dari kawasan hutan ini seperti rencek kayu bakar, rum-
108
62-70%
Kerusakan berat
Sangat miskin, topografi curam serta didominasi oleh perkebunan dan rumpun bambu
put untuk pakan ternak, pertanian serta tingginya aktivitas pendakian melalui jalur ini. Hal lain juga disebabkan adanya beberapa kendala yaitu bersamaan dengan meningkatnya aktivitas merapi, sehingga eksplorasi harus dihentikan karena adanya larangan atau penutupan jalur pendakian oleh pihak TNGM. Hasil eksplorasi di jalur Selo ditemukan 20 spesies yang dikelompokkan dalam 13 familia. Jenis tanaman yang paling banyak menjadi tempat pertumbuhan makrofungi adalah tanaman Kayu Puspa (Schima wallichii (DC)). Korth, Kayu Kina (Cinchona ledgeriana Moens), Sengon Gunung. (Albazia lophanta ) dan Bambu (Bambusa vulgaris Schard). Puspa merupakan pohon yang memiliki kayu dengan kandungan hemiselulosa yang tinggi dan tidak bergetah, sehingga menjadi tempat yang paling tepat untuk pertumbuhan makrofungi (Tabel 5).
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Deviso
Tabel 4. Hasil Klasifikasi Makrofungi di jalur Pendakian Selo dan Setabelan
Amastigomycota
Class
Sub Class
Basidiomycetes
Hollobasidiomycetidae
Agaricales
Ascomy cetes
Hymenoascomycetidae
Pezizales
TOTAL
Hasil eksplorasi di jalur Selo ditemukan 20 spesies yang dikelompokkan dalam 13 familia. Jenis tanaman yang paling banyak menjadi tempat pertumbuhan makrofungi adalah tanaman Kayu Puspa (Schima wallichii (DC)). Korth, Kayu Kina (Cinchona ledgeriana Moens), Sengon Gunung. (Albazia lophanta ) dan Bambu (Bambusa vulgaris Schard). Puspa merupakan pohon yang memiliki kayu dengan kandungan hemiselulosa yang tinggi dan tidak bergetah, sehingga menjadi tempat yang paling tepat untuk pertumbuhan makrofungi (Tabel 5).Jalur pendakian Selo merupakan jalur pendakian dengan tanaman-tanaman yang relatif masih pendek, dan bukan tanaman yang rindang, selain itu juga memiliki kharakteristik banyak ruang terbuka, yang menyebabkan suhu tinggi dan kelembaban rendah. rendahnya keragaman makrofungi juga No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14 15 16 17 18 19
20.
Ordo
Aphyllophorales
Auriculariales Xylariales
Jumlah Familia
Selo 9 1
Seta belan
Selo
1
1
7 3
1 1 1
13
Jumlah spesies
0 24
0
11
10 7
Seta belan 9 7 1
1 1
20
0 37
0
17
dikarenakan jumlah bahan organik yang tersedia dari pepohonan sangat sedikit, hal ini sesuai dengan pernyataan (Schmit, 2005) yaitu faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan makrofungi diantaranya adalah ketersediaan nutrisi karena pelapukan dan kondisi lingkungan. Sebagian besar makrofungi yang ditemukan adalah jenis yang tumbuh di ranting pohon dan seresah. Hanya dari kelompok polyporaceae saja yang ditemukan pada pohon dan sisa tebangan pohon. Kondisi vegetasi di Jalur Pendakian Setabelan, menunjukkan kondisi yang sama, yaitu hanya ditemukan 17 spesies makrofungi yang dikelompokkan ke dalam 3 Ordo dan 11 Family. Spesies terbanyak yang ditemukan adalah dari golongan Agaricales dan Aphylloporales (Tabel 6).
Tabel 5. Keanekaragaman makrofungi di jalur Pendakian Selo
Ordo Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Auriculariales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales
Class :Ascomycetes Ordo : Xylariales Pzizales
Family Bolbitiaceae Hypholomataceae Coprinaceae Inocybaceae Psysalacriaceae Tricholomataceae Tricholomataceae Xeromphalinaceae Volvariaceae Hydnangiaceae Auriculariaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Xylariaceae
Sarcoscyphaceae
spesies Bolbitius reticulatus (Pers.) Rickan Clytocibe sp. Coprinellus micaceus Crepidotus mollis Guyanagaster necrorhiza Marasmiellus candidus Tricholomopsis formosa Xeromphalina campanella Volvariella volvace Laccaria amestytina (Huds.) Cooke Auricularia polytrica Daedaleopsis confragosa Ganoderma applanatum Polyporus tuberaster Laetiporus sulphureus/Trametes versicolor Microporus flabelliformis Polyporus sensulato Pycnoporus cinnabarinus (Jacq.) P.Karst Aphyllophorales Daldinia concentric
Dacrymyces ovisporus
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
109
Procceding
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa keanekargaman makrofongi juga rendah seperti halnya di jalur pendakian selo, hal ini terjadi diduga karena kondisi yang sama dengan di Selo. Pertama, tegakan pohon yang tumbuh di daerah tersebut masih pendek, hasil dari penghijauan setelah kena erupsi Merapi tahun 2010. Tegakan ini menyebabkan semakin banyaknya ruang terbuka dengan kelembaban rendah. Kedua, tingginya aktifitas pertanian di lokasi tersebut, sehingga mengganggu pertumbuhan jamur. Hal-hal ini yang menyebabkan pertumbuhan makrofungi kurang baik, sehingga keragamannya rendah.
Pemanfaatan dan Potensi Pengembangan
Makrofungi merupakan produk hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi sebagai bahan pangan maupun bahan obat. Manfaat langsung jamur adalah sifat edibilitasnya sebagai jamur yang bisa dikonsumsi dan digunakan sebagai obat-obatan. Hasil observasi dan identifikasi makrofungi liar yang telah dilakukan di kawasan TNGM Lereng Utara ditemukan beberapa genus atau spesies yang mempunyai potensi untuk dikomer-
Tabel 6. : Keanekaragaman makrofungi di jalur Pendakian Setabelan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Ordo Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales Agaricales/ Russulales Auriculariales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales Aphyllophorales
Family Bolbitiaceae Hypholomataceae Coprinaceae Coprinaceae Hypholomataceae Inocybaceae Tricholomataceae Tricholomataceae Hericiaceae Auriculariaceae Cantharellaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae
16. 17.
Aphyllophorales Aphyllophorales
Schizophyllaceae Polyporaceae
15.
sialkan karena sifat edibilitas dan kandungan bahan alam. Berdasarkan data referensi yang ada beberapa jenis makrofungi liar yang ditemukan memiliki potensi sebagai makrofungi edible atau berpotensi obat, seperti tercantum pada Tabel 7. Selain karena sifat edibilitasnya, jamur diperdagangkan sebagai bahan obat. Beberapa jenis jamur yang berpotensi sebagai bahan obat ditemukan di TNGM menurut perbandingan literatur adalah Ganoderma, Xylariaceae. Beberapa jenis jamur basidiomyctes memiliki senyawa bioaktif, dan beberapa diantara telah diisolasi, lazim disebut dengan nutricetical. Nutricetical adalah senyawa bioaktif yang dapat diekstrak dari jamur dan memiliki gizi dan kandungan medis yang dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit (Chang dan Buswell, 1996). Senyawa bioaktif tersebut bersifat spesifik pada masing-masing jenis, seperti misalnya asam ganoderik pada jamur Ganoderma, senyawa lentinulan pada jamur Lentinus edodes, senyawa pleurin pada jamur Pleurotus ostreatus. Jamur lain yang dikenal mengandung senyawa anti kanker adalah Antrodea cinnamomea dan Phellinus linteus.
Aphyllophorales
Polyporaceae
Spesies Bolbitius reticulatus (Pers.) Rickan Clytocibe sp. Coprinellus micaceus Coprinus disseminatus Cortinarius sp Crepidotus mollis Marasmius androsaceus Coprinopsis radiata Hericium clathoroides Auricularia polytrica Clavulina amethystina Ganoderma applanatum Ganoderma sp.1 Polyporus sensulato Pycnoporus cinnabarinus (Jacq.) P.Karst Aphyllophorales Schizophyllum sp.1 Stereum hirsutum/ Postia stiptica
Makrofungi juga memiliki senyawa aktif sebagai sumber obat dan nutracetical (suplemen, mineral dan vitamin). Terutama pada beberapa jenis dari makrofungi basidiomycetes yang mengandung nutricetical. Nutricetical pada setiap jenisnya basidiomycetes berbeda-beda. Nutricetical adalah senyawa bioaktif yang dapat diekstrak dari makrofungi dan memiliki gizi dan kandungan medis yang dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit. Hal ini disebabkan kandungan senyawa aktif dalam jamur yang bersifat anti kanker, anti kolesterol, anti mikroba (bakteri) dan virus. Sebagai langkah awal untuk mengetahui kandungan bahan aktif dalam beberapa spesies makrofungi, maka dilakukan uji potensi secara kualitatif terutama uji antibiotik dan antioksidan. Tidak semua sampel makrofungi dapat dilakukan uji potensi, disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel sehingga tidak memadai untuk ektraksi dan diproses secara lebih lanjut. Berdasarkan hasil uji potensi yang dilakukan terhadap beberapa sampel, mewakili beberapa ordo yang ditemukan terbukti secara kualitatif positif mempunyai potensi antibiotik dan antioksidan, sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini.
110
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Tabel 7. Hasil Uji beberapa ekstrak makrofungi terhadap bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae ; Ralstonia solanacearum dan Pectobacterium carotovorum. Remaserasi
Ekstrak EtOH
Sampel
X.o R.s
Daedaleopsis confragosa Laetiporus sulphureus/ Trametes versicolor Polyporus tuberaster Ganoderma applanatum Microporus flabelliformis
+
-
-
-
Coprinellus micaceus
-
+
+ -
X.o R.s P.c +
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
-
+
Marasmius androsaceus
Keterangan :
+
P.c
Ekstrak E.A
-
+
+
+ +
-
+
+
+
+
+ -
: ada aktivitas senyawa aktif (tidak ada per tumbuhan organism uji) - : tidak ada aktivitas senyawa aktif (ada per tumbuhan organisme uji) X.o : Xanthomonas oryzae pv. oryzae ; R.s : Ralsto nia solanacearum ; P.c: Pectobacterium caro tovorum.
Berdasar tabel 7 diketahui bahwa hasil uji beberapa ordo Aphyllophorales terhadap 3 jenis bakteri uji, memberikan hasil paling baik adalah Ganoderma applanatum dan Microporus flabelliformis (Tabel 7), sedangkan hasil uji dari Ordo Agaricales adalah Marasmius androsaceus dan Coprinellus micaceus. Dari 7 sampel yang diuji, 4 spesies memberikan hasil terbaik pada ekstrak etanol. Hasil uji semi kuantitatif (MIC) ekstrak makrofungi menunjukkan bahwa Ganoderma dan Microporus menunjukkan hasil paling efektif (Tabel 8) dengan menggunakan pelarut etanol dengan MIC yang paling kecil (1 mg/ml). Oleh karena itu ekstrak ini selanjutnya di uji dengan GC-MS.
Analisa Metabolit Sekunder
Hasil identifikasi metabolit sekunder menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa ekstrak etanol spesies 8 mengandung salah satu senyawa ergosta-7,22-dien-3-ol (peak 11). Hal ini mirip dengan data yang ditemukan pada genus Ganoderma yang memiliki senyawa yang sama (Paterson, R., 2006, Ziegenbein et al., 2006). Diduga mekanisme crude extract Polyporaceae sebagai antibakteri akibat adanya gangguan membran sel bakteri uji dan gangguan ini terjadi karena adanya senyawa ergosta-7,22-dien-3-ol dalam eksrak Polyporaceae. Kompleks ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan melalui pori tersebut konstituen essensial sel bakteri seperti ion K+, bocor dan keluar hingga menyebabkan kematian sel bakteri. Menurut Suliantri (2009) ion Ca+ berfungsi untuk menjaga stabilitas dinding bakteri dan dengan adanya keluarnya ion tersebut dari sel maka kestrabilan dinding sel akan terganggu yang selanjutnya dapat mengakibatkan kematian bakteri.
Tabel 8. Hasil Pengukuran MIC ektrak makrofungi terhadap bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae ; Ralstonia solanacearum dan Pectobacterium carotovorum. Sampel
Daedaleopsis confragosa Laetiporus sulphureus/Trametes versicolor Polyporus tuberaster Ganoderma applanatum Microporus flabelliformis Marasmius androsaceus Coprinellus micaceus
Keterangan :
Etanol 96% X.o R.s 4 3 3 2 1 5 4 2 5 5
MIC (mg/mL) P.c 4 2 1 5 -
X.o 1 3 -
Etil Asetat R.s 3 4 4 2 2
P.c 4 4 4 -
X.o : Xanthomonas oryzae pv. oryzae ; R.s : Ralstonia solanacearum ; P.c: Pectobacterium carotovorum (-) menunjukkan tidak ada aktivitas antibakteri hasil uji kualitatif Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
111
Procceding
Analisa Metabolit Sekunder Hasil identifikasi metabolit sekunder menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa ekstrak etanol spesies 8 mengandung salah satu senyawa ergosta-7,22-dien-3-ol (peak 11). Hal ini sesuai dengan data yang ditemukan pada genus Ganoderma (Paterson, R., 2006, Ziegenbein et al., 2006). Diduga crude extract Polyporaceae sebagai antibakteri akibat adanya gangguan membran sel bakteri uji yang disebabkan karena adanya senyawa ergosta-7,22dien-3-ol dalam ekstrak Polyporaceae. Kompleks ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori sehingga konstituen essensial sel bakteri seperti ion K+, bocor dan keluar hingga menyebabkan kematian sel bakteri. Menurut Suliantri (2009) ion Ca+ berfungsi untuk menjaga stabilitas dinding bakteri, dengan keluarnya ion tersebut dari sel maka kestrabilan dinding sel akan terganggu yang selanjutnya dapat mengakibatkan kematian bakteri.
Berdasarkan hasil GC-MS, ekstrak etanol spesies Ganoderma mengandung turunan asam lemak seperti asam tridekanoat, asam heksadekanoat, asam 9-oktadekanoat (berturut-turut peak 3,4, dan 5). Isaac et al., (1995) menyatakan bahwa asam lemak dan monogliserida dengan atom karbon 8-12 memiliki daya antimikrobia yang kuat. Selain asam lemak dan turunannya, juga terdapat lycopene (peak 9). Lycopene adalah tetraterpena yang disusun dari delapan unit isoprena seluruhnya yang terdiri dari karbon dan hidrogen yang mengandung 11 karbon terkonjugasi dan 2 karbon ikatan ganda non-konjugasi (Agarwal & Rao, 2000). Lycopene memiliki sifat antibakteri dan antijamur (Dahan et al., 2008 ; Rao, 2002). Hasil GC-MS menunjukkan beberapa senyawa seperti ergosta-7,22-dien-3-ol, lycopene, beta karoten, dan turunan asam lemak. Kelompok senyawa inilah yang berperan menghambat tiga bakteri uji,
Gambar 5. Hasil GC-MS Ganoderma applanatum
Keterangan gambar : (WILEY Library)
Peak 2 : β-sesquiphellandrene (BM = 204) Peak 3 : Hexadecanoic acid (BM= 256) Peak 4 : Octadecanoic acid (BM= 312)
Peak 5 : 9,12- Octadecadienoic acid (BM = 280) Peak 6 : 9,12- Hexadecadienoic acid (BM=266)
112
Peak 7 : 9-Hexadecanoic acid (BM= 254)
Peak 8 : 1,2- Benzenedicarboxylic acid (BM = 390) Peak 9 : β-carotene (BM = 328)
Peak 10 : Ergosta-5,7,22-trien-3-ol (BM = 396) Peak 11 : Ergosta-7,22-dien-3-ol (BM = 398) Peak 12 : Kauran 18-al
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
dengan mempengaruhi permeabilitas membran dan dinding sel bakteri yang dapat menyebabkan keluarnya asam nukleat dan protein dari sel bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu dan akhirnya menyebabkan sel bakteri mati. Akibat terganggunya dinding sel, sel tidak dapat menahan tekanan osmotik internal yang dapat memecah sel apabila dinding sel rusak (Brooks et al., 2005). Menurut Cowan, (1999) mekanisme penghambatan senyawa golongan terpena tidak diketahui secara pasti, akan tetapi diduga terlibat dalam kerusakan membran oleh gugus lipofiliknya. Hal ini juga sesuai dengan uji yang dilakukan oleh Sampe dkk (2014) yang menunjukkan bahwa Ganoderma dari family Polyporaceae, memiliki senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai biokontrol dalam pertania
Alternatif Konservasi Makrofungi
Makrofungi punya peran penting bagi kelangsungan dan keberlanjutan proses-proses ekologi yang terjadi didalam ekosistem hutan yaitu sebagai dekomposer, yang bertugas mengurai dan mendaur ulang materi organik (kayu, ranting, seresah) menjadi materi anorganik yang vital sebagai sumber nutrisi bagi komunitas vegetasi di hutan. Selain itu makrofungi juga merupakan produk hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi sebagai bahan pangan maupun bahan obat. Sebagai konsekuensi dari tingginya nilai ekonomi dan manfaat makrofungi bagi masyarakat justru akan mengancam eksistensi dari makrofungi liar di ekosistem hutan karena aktivitas pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat. Umumnya ancaman terhadap keanekaragaman fungi, oleh dan sebagian besar disebabkan oleh proses-proses yang sama yang mengancam keragaman semua makhluk hidup. Hal lain yang berpotensi memberikan ancaman pada keberadaan dan perkembangan makrofungi di TNGM antara lain yaitu tingginya aktivitas erupsi Gunung Merapi yang berpotensi menimbulkan kerusakan habitat dan berubahnya iklim mikro, aktivitas masyarakat untuk mencari rumput, rencek, kayu dll. Untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan lingkungan dan ancaman kepunahan makrofungi maka perlu upaya untuk melakukan konservasi. Pembangunan konservasi harus didasarkan pada tiga pilar penting yang sering disebut “Stategi Konservasi”, yaitu 1). Perlindungan terhadap prosesproses ekologi yang esensial dan sistem penyangga kehidupan, 2). Pengawetan keanekaragaman hayati baik pada tingkatan genetik, spesies, dan ekosistem, serta 3). Pemanfaatan secara lestari terhadap sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya. Hal tersebut merujuk pada hasil konggres World Comission on Prorected Areas (WCPA) di Durban, Yordania tahun 2003, yang memandatkan bahwa
pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi (Soekmadi, 2003). Salah satu alternatif yang perlu diupayakan meski sulit dalam aplikasinya adalah pendekatan konservasi secara in-situ. Konservasi secara in situ relative sulit untuk diterapkan karena permasalahan bahwa tidak semua jenis ada dan dapat tumbuh baik pada luasan area tertentu sehingga menyulitkan pemilihan area yang akan di prioritaskan sebagai kawasan konservasi makrofungi (Cannon, 1997). Pemilihan daerah untuk konservasi mungkin dapat mempertimbangkan luasan habitat yang tidak terganggu yang menunjukkan keragaman tipe habitat, keragaman jenis yang tinggi, terutama spesies tanaman (Ing 1996, Hawksworth 1990). Kesulitan utama upaya konservasi adalah kenyataan bahwa tidak mungkin melakukan proteksi dari segala bentuk ancaman kerusakan hutan seperti perubahan iklim dan erupsi merapi. Konservasi makrofungi, dan mikroorganisme pada umumnya, belum mendapat perhatian sebagaimana perhatian terhadap spesies kharismatik (Davison et al., 1999). Namun ironisnya, kelangsungan hidup semua ekosistem sangat tergantung pada fungi dan simbion mereka dari pada kelangsungan hidup megafauna yang digunakan sebagai ikon populer gerakan konservasi. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan keindahan, daya tarik dan pentingnya fungi menjadi hal penting dan harus dijadikan tujuan utama dalam berbagai aktivitas riset dan konservasi keanekaragaman hayati fungi.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil ekplorasi dan identifikasi makrofungi di TNGM Lereng Utara, ditemukan 27 spesies,dan didominasi spesies-spesies dari ordo Agaricales (51,35 %) dan ordo Aphyllophorales (37,84 %). Keragaman spesies makrofungi dipengarui oleh beberapa faktor lingkungan seperti elevasi, suhu, kelembaban, cahaya dan flora sekitarnya dan terdistribusi secara spesifik sesuai dengan karakteristik lingkungan. Keragaman tertinggi ditemukan di kawasan Jalur Pendakian Selo. Identifikasi dan upaya pemanfaatan
makrofungi liar memainkan peran penting dalam pengayaan kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat. Makrofungi Ganoderma terbukti berpotensi dikembangkan karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan Xanthomonas oryzae pv. oryzae ; Ralstonia solanacearum dan Pectobacterium carotovorum.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
113
Procceding
DAFTAR PUSTAKA Agarwal, S.and Rao, A.V. 2000. Carotenoid and Chronic Diseases. Drug Metabol Drug Interact.17:184-210. Arianto F. 2009. Komposisi dan Kemelimpahan Jamur Makroskopis Bermanfaat Pada Tipe Habitat Berbeda di Daerah Kalikuning dan Kaliadem, Taman Nasinal Gunung Merapi. Fakultas Biologi UNAS. Bold, C.H., Alexopoulos, C.J. and Delevoryas T.1999. Morphology of Plants and Fungi. F o u r t edition. Harper and Row, Publisher, New York. Cannon, P.F. (1997) Strategies for Rapid Assessment of Fungal Diversity. Biodiversity and Conservation 6: 669-680. Chang, S.T Buswell, J.A 1996. Mushroom Nuticeuticals. World J. Microbiol Biotechnol. 12:473-476. Davison, A.D., Yeates, C., Gillings, M.R. and de Brabandere, J. (1999) Microorganisms, Australia and the Convention on Biological Diversity. Biodiversity and Conservation 8: (in press). COWAN, MM., 1999. Plant Product as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Reviews , vol. 12, no. 4, p. 564-582.
Dahan K, Fennal M, Kumar NB, 2008. Lycopene in The Protection of Prostate Cancer. J Soc Integrat Oncol.;2:29–36. Davison, A.D., Yeates, C., Gillings, M.R. and de Brabandere, J. (1999) Microorganisms, Australia and the Convention on Biological Diversity. Biodiversity and Conservation 8: (in press). Hawksworth, D.L. (1990) The Fungal Dimension of Biodiversity: Magnitude, significance and conservation. Mycological Research 95: 641655. Hawksworth, D.L. 2001. The Magnitude of Fungal Divers: the 1.5 million species estimate revisited. Mycol. Res. 105:1422-1432. Ing, B. (1996) Red Data Lists and Decline in Fruiting of Macromycetes in Relation to Pollution and Loss of Habitat. In: Frankland J.C., Magan N. and Gadd G.M. (eds). Isaacs, C. E., Litou, R. E., and Thormar, H. (1995). “Antimicrobial Activity of Lipids Added to Human Milk, Infant Formula, and Bovine Milk,” J. Nutr. Chem.6(7), 362-366.
114
Kirk, P.M., Cannon, P.F., Minter, D.W. and Stalpers, J.A. (2008), Dictyonary of The Fungi Tenth Edition, Cromwell Press, Trowbridge. Lizon, P. (1993) Decline of Macrofungi in Europe: An overview. Transactions of the Mycological Society ROC 8: 21-48. Mueller,G.M., Bills G.F. Faster H.S., 2004. Biodiversity of Fungi: Inventory and Monitoring Methods. Diservier Academic Press, China. 128-158. Prasetyaningsih, A. dan Rahardjo D., 2013. Laporan Penelitian Keanekaragaman dan Potensi Makrofungi di Taman Nasional Gunung Merapi Lereng Selatan.
Rao AV, Agarwal S. 2000. Role of antioxidant lycopene in cancer and heart disease. J Am Coll Nutr.;19:563–569.
Rao AV, 2002. Lycopene, Tomatoes, and the Prevention of Coronary Heart Disease. Exp Biol Med (Maywood). Nov;227(10) :908-13. R. Russell, M. Paterson, 2006. Ganoderma – A Therapeutic Fungal Biofactory, Phytochemistry, 67: 1985–2001. Sampe H, dan A. Prasetyaningsih, 2014. Skrining Antibakteri Ekstrak Polyporaceae Taman Nasional Gunung Merapi Lereng Selatan Yogyakarta, Sebagai Agen Pengendali Hayati Penyakit Tanaman. Prosiding Seminar Nasional UNNES. Schmit, J.P.(2005). Spesies Richness of Tropical Wood-inhabiting Macrofungi Provides Support for Spesies-energy Theory. Mycologia 97(4), 2005, 751-761. Soekmadi, R. 2003. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi: Sebuah Wacana Baru Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Media Konservasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suliantari, 2009, Aktivitas Antibakteri dan Mekanisme Penghambatan Ekstrak Sirih Hijau (Piper betle Linn) Terhadap Bakteri Patogen Pangan, Disertasi, Jurusan Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Ziegenbein FC, Hanssen HP, König WA, 2006. Secondary Metabolites from Ganoderma lucidum and Spongiporus leucomallellus. Phytochemistry 67:202–211
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
PEMBERDAYAAN EKONOMI JEMAAT MELALUI BUDIDAYA JAMUR DI MAGELANG DAN GUNUNG KIDUL Aniek Prasetyaningsih dan Kisworo Fakultas Bioteknologi UKDW
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Jamur merupakan salah satu komoditas unggulan pertanian yang saat ini berkembang sangat pesat, pasaran dalam maupun luar negeri masih terbuka lebar khususnya di wilayah Asia. Permintaan pasar akan berbagai jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus masih sangat besar, karena banyak digemari dan mudah di tanam di negara dengan iklim tropik. Usaha Budidaya jamur merupakan zerowaste technology, sehingga sangat tepat untuk menjadi salah satu usaha agribisnis. Di sisi lain usaha ini dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Berdasar pemikiran tersebut, kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab membangun perekonomian Indonesia melalui peningkatan taraf ekonomi jemaat gereja. Dengan meningkatnya ekonomi jemaat secara tidak langsung, diharapkan juga akan meningkatkan ekonomi gereja, sehingga bisa menopang seluruh kegiatan gereja dan terlaksananya visi dan misi dari gereja tersebut sekaligus menjadi sarana pengembangan kemitraan dengan masyarakat, pemerintah dan swasta. Oleh karena itu dilakukan usaha peningkatan perekonomian jemaat melalui budidaya jamur. Kegiatan dilakukan di Dusun Bono Magelang, Kemadang dan Paliyan Gunung Kidul mulai bulan Juni 2012 sampai Desember 2014. Metode yang digunakan adalah penerapanan Iptek melalui pelatihan dan pendampingan serta pemberikan pinjaman modal usaha. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan ada kendala pada pembudidaya di Bono Magelang, namun di Kemadang dan Paliyan Gunung Kidul mengalami kemajuan dan menuju kemandirian usaha. Kata kunci : Pleurotus ostreatus, zero waste technology, ekonomi jemaat, penerapan Iptek.
1. PENDAHULUAN Berbagai tantangan globalisasi telah mendorong terjadinya pergeseran paradigma pengembangan pendidikan tinggi, sehingga memicu penataan ulang beserta perumusan kembali rencana pengembangan bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat agar utuh dan komprehensif, serta bermanfaat bagi masyarakat, selain itu diharapkan mahasiswa memiliki misi visi yang jelas, kreatif dan inovatif, memiliki jiwa kompetisi dan berani mengambil peluang dan resiko, serta memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Bertitik tolak dari hal tersebut maka Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta berkiprah dan membantu segala persoalan yang ada di masyarakat melalui aplikasi hasil-hasil penelitian/kajian/studi yang berkualitas (research based activity), dan mengedepankan kreativitas mahasiswa. Disiplin ilmu biologi (bioteknologi) sampai saat ini masih dipandang kurang bermanfaat, meski berdasar kompetensinya mampu terjun dan mengaplikasikan ilmunya diberbagai bidang. Oleh karena itu fakultas tertantang untuk menunjukan kepada masyarakat luas tentang kontribusi penting ilmu bioteknologi bagi lingkungan dan masyarakat melalui pengembangan program dengan tema
”Optimization of the potential of biodiversity for a better life through entrepreneurship (Bioentrepreneurship)”. Bioentrepreneurship merupakan pusat untuk proses pembentukan bio-ekonomi, yaitu bisnis berbasis bioteknologi (komoditas biologi) sebagai salah satu insentif utama untuk praktek komersialisasi ilmu bioteknologi. Jamur merupakan salah satu komoditas unggulan pertanian yang saat ini berkembang sangat pesat, pasaran dalam negeri maupun luar negri masih terbuka lebar khususnya di wilayah Asia. Permintaan pasar akan berbagai jenis mushroom jamur tiram putih (P. ostreatus), masih sangat besar, karena banyak digemari dan mudah di tanam di negara dengan iklim tropik. Selain kandungan protein, lemak dan karbohidrat, P. ostreatus juga banyak mengandung CHO, Ca, Vitamin B1, B2, B3 dan Fe. Dalam dunia kesehatan, jenis jamur ini dikenal menghasilkan senyawa beta-1,3/ 1,6-glucan (pleuran) yang berfungsi untuk menstimulasi pembentukan sistem imun, dan senyawa mevinolin yang dapat menghambat kerja enzyme reductase. Salah satu enzym yang digunakan dalam biosintesis kolesterol, manfaat lain adalah mencegah konstipasi, mencegah tekanan darah tinggi, berfungsi sebagai aprodisiak dan mudah dicerna (Quimio,
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
115
Procceding
2002; Balewu, M.A. 2003). Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengembangkan hasil budidaya, diantaranya adalah dengan menambahkan EM4 atau menambahkan berbagai suplemen dengan memanfaatkan limbah cair dan padat lain sebagai nutrisi jamur untuk meningkatkan hasil. (Prasetyaningsih dam Hartanto, 2010.; Lestari, dkk. 2014) Salah satu keistimewaan dari usaha budidaya jamur ini adalah merupakan zero waste technology, sehingga merupakan salah satu teknologi yang ramah lingkungan. Dari praktek budidaya mushroom dihasilkan limbah sisa baglog yang dapat dimanfaatkan sebagai, pupuk tanaman, pakan ternak dan ikan,media cacing. Berdasarkan hasil empirik dilapangan diketahui, bahwa penambahan sisa baglog jamur pakan bebek petelur, dapat meningkatkan kualitas telur yang dihasilkan demikian juga dengan pakan ikan. Hal tersebut dapat terjadi karena sisa baglog jamur memiliki kandungan protein yang tinggi yang berasal dari miselium jamur. Dengan berbagai alasan di atas, maka Fakultas Bioteknologi UKDW terpanggil untuk mengaplikasikan hasil penelitian, pengkajian dan pengalaman dalam bidang jamur untuk membantu masyarakat gereja agar dapat meningkatkan kegiatan dan ekonominya melalui pengembangan usaha budidaya jamur. Melalui pelaksanaan program ini diharapkan dapat meningkatnya ketrampilan warga jemaat dalam budidaya jamur, tumbuhnya kewirausahaan khususnya komoditas jamur dan meningkatnya ekonomi jemaat.
2. METODE PENGABDIAN MASYARAKAT Program dilakukan selama 3 tahun, mulai bulan Juli 2012 sampai Desember 2014 di Desa Bono Kabupaten Magelang,
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Sosialisasi Program
Sosialisasi program dilakukan di 5 desa binaan yaitu Bono-Magelang, Porot-Temanggung, serta Gunung Kidul yang meliputi desa Semanu, Paliyan dan Kemadang. dengan penyampaian program kepada pengurus gereja dan perwakilan warga. Berdasarkan diskusi yang dilakukan, pada prinsipnya pengurus gereja dan perwakilan warga menyambut baik program pengabdian ini dan berharap dapat dilaksanakan dengan baik dan mampu memberikan ketrampilan kepada warga dalam usaha budidaya jamur serta meningkatkan ekonomi jemaat. Hasil obervasi awal untuk menggali potensi lokal termasuk ketersediaan sumberdaya manusia di masing-masing lokasi salah satu program yang diharapkan warga dapat meningkatkan taraf
116
perekonomian adalah budidaya jamur. Oleh karena itu kemudian dilakukan observasi lanjut untuk mengetahui potensi daerah tersebut dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Hal lain juga dilakukan penyusunan jadwal program pelatihan budidaya dan pembibitan. Sosialisasi program dilakukan masing-masing dua kali pertemuan disetiap lokasi.
3.2 Program Pelatihan Pembibitan Jamur
Budidaya
dan
Program pelatihan yang dilakukan meliputi pengenalan dan budidaya jamur, pembibitan jamur serta prospek dan manajemen usaha budidaya jamur. Ketiga materi tersebut menjadi paket program pelatihan di ke 5 desa Binaan. Namun dari hasil evaluasi, untuk selanjutnya program dilaksanakan di 3 desa yaitu : Bono-Magelang, Paliyan dan kemadang Gunung Kidul (Tabel3.1). Seluruh kegiatan dikoordinasi oleh pihak gereja. Oleh karena itu peserta relativ bervariasi karena tidak ada ketentuan. Dengan pertimbangan dari sekian peserta pelatihan diharapkan akan terbentuk kelompok jemaat yang secara sungguh mempunyai komitmen untuk mengembangkan usaha budidaya jamur. Untuk melengkapi pemahaman peserta tentang proses budidaya dan untuk meningkatkan ketrampilan, maka dibuat program demplot budidaya jamur tiram di masing-masing lokasi yang dilakukan dengan prinsip kemitraan yaitu warga berpartisipasi menyediakan lahan dan kubung, dan UKDW memfasilitasi penyediaan bibit baglog masing-masing kelompok sebanyak 500 baglog jamur tiram. Program pembuatan demplot budidaya dilakukan selama 2 bulan dan selanjutnya akan dilakukan pendampingan berupa evaluasi dan konsultasi proses budidaya, kondisi kobung, perawatan dan teknik panen serta hasil dan penjualannya. Hasil evaluasi secara umum menunjukkan bahwa semua peserta ditiga lokasi dapat memahami proses budidaya jamur dan dapat menumbuhkan jamur dengan baik serta memahami teknik dan tahapan proses budidaya jamur (Gambar 1.)
3.3 Pendampingan Budidaya dan Usaha
Setelah pembuatan demplot budidaya serta penyerahan bantuan bibit disemua lokasi, tim UKDW melakukan program pendampingan dengan melakukan kunjungan secara periodik untuk monitoring, memberikan evaluasi dan masukan-masukan untuk peningkatan pengetahuan, ketrampilan budidaya dan konsultasi pengembangan usaha. Program pendampingan dilakukan selama 9 bulan terhitung mulai bulan Januari hingga September 2014, dengan hasil disajikan dalam table 3.2.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Berdasarkan hasil evaluasi keseluruhan, salah satu kendala penting yang menyebabkan hasil tidak bisa seperti yang diharapkan adalah, karena kurangnya ketersediaan bibit yang berkualitas, sehingga banyak kontaminasi yang mengakibatkan rendah produktivitasnya. Faktor lain adalah waktu tunggu pemesanan bibit juga relativ lama mencapai 2 -3 bulan sehingga pemanfaatan kubung menjadi tidak maksimal dan dari sisi kontinyuitas pasukan jamur kepasar atau pelanggan menjadi terganggu. Bahkan untuk kelompok usaha di Desa Bono, hampir semua bibit mengalami kegagalan karena adanya kontaminasi. Oleh karena itu sebagai langkah antisipasi terhadap permasalahan tersebut program pelatihan pembibitan akan lebih diintensifkan sehingga dapat mengatasi permasalahan tersebut di atas, sekaligus memberikan sumber pemasukan bagi kelompok selain dari hasil penjualan panenan jamur juga mendapatkan pemasukan dari penjualan bibit (baglog).
Tabel 3.1 Program pelatihan budidaya dan pembibitan jamur
No.
Lokasi dan Waktu
1.
Bono, 18 Juli 2012
2.
Paliyan, 25 Juli 2012
3.
Kemadang, 6 Agustus 2012
Materi
Pengenalan dan Budidaya Jamur Pembibitan Jamur
Prospek dan Manajemen Usaha Budidaya Jamur Pengenalan dan Budidaya Jamur Pembibitan Jamur Prospek dan Manajemen Usaha Budidaya Jamur Pengenalan dan Budidaya Jamur Pembibitan Jamur Prospek dan Manajemen Usaha Budidaya Jamur
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
117
Procceding
LOKASI
Hasil Monitoring
a.
b. c. d. e.
Hasil budidaya mengalami kegagalan mencapai 99%, yang dikarenakan bibit yang tidak berkualitas. Penggantian bibit udah dilakukan, tetapi kegagalan masih mencapai 90%. Oleh karena itu kemudian masyarakat mencari alternative untuk bekerjasama dengan pengusaha pembuat bibit jamur yang baru. Dalam hal pemasaran tidak mengalami kendala yang berarti.
Jenis jamur yang dipelihara adalah Jamur Tiram, belum mencoba jenis jamur yang lain Belum bisa melakukan pembibitan sendiri Jamur yang dihasilkan dijual segar dengan cara dijajakan keliling atau di pasarkan di pasar desa pada hari-hari tertentu. Namun kebutuhan masyarakat cukup tinggi. Saat ini sedang dalam taraf penjajagan untuk berlatih pengolahan jamur agar pada saatnya tidak hanya menjual jamur segar namun juga hasil olahan jamur. Khusus kelompok Kemadang sedang dalam proses pengembangan kelompok baru yang akan segera membuat kandang baru di rumah Bpk Sumadi (Dusun Sumuran).
1. Pengelolaan Kelompok Ada kesulitan dalam pengelolaan kelompok usaha ini. Belum semua anggota aktif terlibat dalam perkumpulan atau sekadar ikut menjadi anggota yang pasif. 2. Produksi belum optimal Berdasarkan perhitungan produksi baru mencapai kira-kira baru 66 % ideal. 3. Pengguliran dana/modal Mengingat produksi yang belum optimal dan masih periode pertama budidaya, sehingga kami belum bisa menggulirkan atau mengembalikan modal usaha tersebut.
Kendala
Tabel 3.2. Resume hasil progam pendampingan kelompok budidaya jamur di lokasi Paliyan, Kemadang dan Bono.
Kelompok Budidaya Jamur Tiram di Menggoro, Banyusoco, GKJ Paliyan Gunungkidul. Penanggung Jawab : Pdt.Yusak
Di Lokasi ini, pinjaman yang diberikan sebanyak Rp. 20.000.000,00 yang dibagikan kepada 18 orang untuk dikelola pada masing-masing orang.
Koperasi Artha Mandiri GKJ Kemadang menerima pinjaman modal sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Yang didistribusikan ke 3 kelompok yaitu: 1) Kelompok Kemadang sebesar Rp 10.000.000,(sepuluh juta rupiah). 2) Kelompok Padangan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) 3) Kelompok Wonosari sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) Pendapatan Kelompok Sampai Bulan Oktober 2014 a. Kelompok Kemadang Rp 9.029.500,- (Sembilan juta dua puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah) b. Kelompok Padangan Rp 4.200.000,- (empat juta dua ratus ribu rupiah) c. Kelompok Wonosari Rp 4.600.000,- (empat juta enam ratus ribu rupiah).
1. Masyarakat merasakan dampak budidaya jamur ini besar sekali. Baik bagi masyarkat maupun bagi anggota. Bagi masyarakat mendapatkan tambahan gizi yang baik, 2. Masyarakat dapat belajar bagaimana usaha bersama untuk menggerakkan jemaat dan masyarakat. 3. Bagi anggota yang aktif ikut dalam pengelolaan walaupun sedikit.
GKJ Kemadang Koperasi Artha Mandiri GKJ Kemadang Gunungkidul Penanggung jawa : Pdt. Kristianto
Dusun Bono Desa Kajangkoso Kec. Pakis. Kab Magelang. GKJ Bono Penanggung jawab: Bpk Waluyo
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
118
Procceding
Gambar 1. Pelatihan yang dilakukan di desa Paliyan
Pelatihan pembuatan baglog di Paliyan
Pelatihan budidaya jamur di Semanu
Pelatihan budidaya jamur di Gunung Kidul
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
119
Procceding
Gambar 2. Pelaksanaan Budidaya Jamur di Berbagai Lokasi Binaan
Pelatihan pembuatan baglog di Paliyan
Pelatihan budidaya jamur di Semanu
Pelatihan budidaya jamur di Gunung Kidul
120
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
3.4 Fasilitasi Pinjaman Modal Usaha
4. Kesimpulan
Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap kemampunan budidaya dan kesiapan kelompok untuk menjalankan usaha budidaya, memperlihatkan bahwa semua kelompok menunjukan antusisme dengan mengikuti keseluruhan program serta terbentuknya kelompok usaha budidaya jamur di bawah koordinasi pendeta di masing-masing lokasi. Bedasarkan pertimbangan tersebut dan setelah mendapatkan persetujuan dari Yayasan Oikumene, Jakarta maka pinjaman modal usaha tahap pertama sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) diberikan kepada 3 kelompok pembudidaya jamur hasil seleksi (Tabel 3.3 Tiga kelompok usaha yang mendapatkan bantuan pinjaman modal tanpa bunga selama 1 tahun ini, diharapkan dapat digunakan sebagai modal untuk menfasilitasi usaha budidaya bibit, baik untuk pengadaan kubung serta bibit. Dana pinjaman tersebut, tanpa bunga dan wajib dikembalikan kepada Tim UKDW untuk selanjutnya digunakan sebagai pinjaman modal pada kelompok lainnya. Untuk itu maka setiap kelompok usaha dituntut untuk menjalankan usaha secara sungguh-sungguh dan mengelola keuangan secara baik sehingga dalam rentang waktu 1 tahun dapat mengembalikan pinjaman modal usaha. Pengelolaan keuangan, pengaturan pembagian kelompok dan mekanisme dalam memberikan pinjaman, sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat dimasing-masing lokasi. Hal ini dikarenakan, setiap lokasi memiliki spesifikasi karakter masyarakat yang berbeda dan sistem dalam pengelolaan keuangan yang berbeda, sehingga segala keputusan tentang pengelolaan diserahkan pada hasil musyawarah yang telah dilakukan.
Program pengembangan ekonomi jemaat melalui usaha budidaya jamur mendapat respon yang baik terbukti dengan berjalannya keseluruhan program dan terbentuknya kelompok usaha. Pelaksanaan program pendampingan ekonomi jemaat merupakan program yang perlu terus dikembangkan baik dalam hal program dan kelembagaannya karena terbukti mendapat dukungan mitra yaitu Yayasan Oikumene yang bersedia untuk berpartisipasi dengan memfasilitasi pinjaman modal usaha tanpa bunga. Semua kelompok usaha sudah dapat melakukan budidaya dan memasarkan produk dengan baik, dalam arti semua hasil panen dapat dijual serta mampu meningkatkan entrepreneurship warga jemaat sekaligus sebagai alternatif usaha yang dapat menyerap tenaga kerja dan memberikan tambahahan pemasukan warga. Pengembangan usaha budidaya masih banyak terkendala oleh ketersediaan bibit jamur baik dalam hal kuantitas, kualitas dan kontinyuitas pasokan sehingga hasil panen menjadi tidak maksimal begitu pula dengan pemanfaatan kubung. Mengingat masih rendahnya produktivitas panen karena faktor kualitas bibit dan kontinyuitas pasokan menyebabkan rendahnya pemasukan bagi kelompok, sehingga hampir semua kelompok belum dapat mengembalikan pinjaman modal sesuai schedule yang ditetapkan dan memohon perpanjangan untk pembayaran ditahun berikutnya.
Tabel 3.3. Daftar kelompok dan alokasi pinjaman modal usaha
No 1 2 3
Asal Kelompok Pembudidaya
GKJ-Paliyan Gunung Kidul
Penanggung jawab Pdt. Yusak
GKJ-Kemadang dan Banjarejo Pdt. Kristianto Gunung Kidul GKJ-Bono Magelang
Majelis Bpk. Waluyo
Jumlah Dana yang digulirkan Rp.
Masa pinjaman
10.000.000,00
Agustus 2013September 2014
20.000.000,00 20.000.000,00
Agustus 2013September 2014 Agustus 2013September 2014
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
121
Procceding
PUSTAKA Balewu,M.A., 2003.Nutritional Quantities of Corn Cob and Waste Paper Incubated With Edible Mushroom (Pleurotus sajor-caju). Nig.J.Anm. Prod. Volume 30(1) 20 – 25. Lestari S.R. A. Prasetyaningsih,. 2014. Penambahan Aktivator EM-4 Pada media Tandan Kosong kelapa Sawit Untuk meningkatkan Produksi Jamur Merang (Volvariella volvaceae). Prosiding Seminar Nasional Biologi 2014. Jurusan Biologi, MIPA-UNES Semarang. Prasetyaningsih, A., H.B.Sutanto,2010. Pemanfaatan Serbuk gergaji Kelapa Untuk Budidaya Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Laporan Penelitian. Perpustakaan UKDW. Quimimo, 2002. Oyster Mushroom Cultivation. Tropical Mushroom Cultivation.
122
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
PROFIL CEMARAN KROM DI LINGKUNGAN DAN AKUMULASINYA PADA RAMBUT DAN KUKU WARGA DESA BANYAKAN, PIYUNGAN BANTUL Djoko Rahardjo Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta ABSTRAK Penelitian tentang profil cemaran krom pada air permukaan, sedimen, air tanah dan biota serta akumulasi pada rambut dan kuku dilakukan di desa Banyakan khususnya pada kawasan aliran pembuangan limbah cair industri kulit. Ada 5 lokasi pengambilan sampel yang ditentukan berdasar jarak dari titik pembuangan limbah, dan untuk setiap lokasi diambil jenis media air, sedimen, biota dan atau rambut dan kuku. Prosedur analisa krom dilakukan sesuai Standard Methods (APHA, 2001). Konsentrasi logam berat dianalisis dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer (AAS), tipe flame. Prosedur ini dilakukan dengan sistem duplo. Data kosentrasi krom untuk masing-masing media dan stasiun pengambilan sampel dianalisis dan dibandingkan dengan bakumutu yang ada. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembuangan limbah cair industri penyamakan kulit di Dusun Banyakan merupakan sumber utama konsentrasi krom di lingkungan dan telah terdistribusi dihampir semua komponen lingkungan (air, sedimen, tanah, air tanah dangkal, biota dan manusia). Konsentrasi tertinggi umumnya ditemukan pada lokasi disekitar titik lokasi pembuangan limbah cair industri kulit, dan semakin menurun konsentrasinya dengan meningkatnya jarak dengan titik pembuangan limbah. Berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DIY tahun 2001 tentang Baku Mutu Air Sungai, konsentrasi Krom total (Cr) adalah sebesar 0.05 ppm, sehingga pada stasiun I dan II dengan konsentrasi krom sebesar 9.06 dan 0.68 mg/l telah melebihi dari batas konsentrasi yang ditetapkan. Aktivitas pembuangan limbah cair industri kulit mempunyai potensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan dengan ditemukannnya akumulasi dalam rambut dan kuku warga masyarakat Dusun Banyakan. Kata kunci : krom, distribusi, akumulasi
PENDAHULUAN Industri penyamakan kulit sebagian besar menggunakan proses penyamakan secara kimia dengan menggunakan krom yang membutuhkan banyak air. Proses penyamakan kulit akan menghasilkan banyak limbah cair yang mengandung kromium. Masuknya logam berat krom ke lingkungan melalui aktivitas pembuangan limbah akan menyebabkan pencemaran lingkungan dan sangat berbahaya baik bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat, karena bersifat toksik, karsinogenik, bioakmulatif dan biomagnifikasi (Kosnett 2007, Plaa 2007, Wardhana 2004). Akumulasi logam berat dapat berdampak pada rantai makanan sehingga mempengaruhi kesehatan manusia (ElKammar, 2009). Hasil penelitian Vymazal (1995) menyatakan bahwa krom heksavalen mempunyai kekuatan lebih besar untuk mengoksidasi, lebih larut dalam air dan lebih mudah melewati membran biologi dibandingkan dengan krom trivalent. Aktivitas pembuangan limbah industri kulit yang masih mengandung logan krom ke lingkungan dapat menimbulkan dampak yang merugikan karena krom akan terdistribusi ke barbagai komponen
lingkungan serta masuk ke dalam rantai distribusi dan konsumsi pangan yang pada akhirnya dapat meracuni manusia yang mengkonsumsinya. Terakumulasinya krom dalam jumlah besar di tubuh manusia jelas-jelas mengganggu kesehatan karena krom memiliki dampak negatif terhadap organ hati, ginjal serta bersifat racun bagi protoplasma makhluk hidup. Selain itu juga berdampak sebagai karsinogen (penyebab kanker), teratogen (menghambat pertumbuhan janin) dan mutagen (USEPA, 2000 cit. Schiavon et al., 2008). Oleh karena itu penelitian tentang profil cemaran krom di lingkungan dan akumulasinya pada rambut dan kuku warga masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan industri kulit sangat penting untuk dilakukan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan bulan April – Oktober 2014, di desa Banyakan khusunya di kawasan yang mendapat aliran pembuangan limbah industri penyamakan kulit. Ada lima (5) titik pengambilan sampel, yaitu T1 area pembuangan oulet limbah industri penyamakan kulit, T2 pertemuan saluran air
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
123
Procceding
dan sungai, T3 pertemuan aliran sungai dengan saluran air dari TPA sampah, T4 aliran sungai dengan pemukiman padat dan T5 adalah aliran sungai Oya. Jenis sampel yang diambil yaitu air, sedimen, tanah, tanaman dan hewan serta kuku dan rambut warga masyarakat. Prosedur analisa Cr untuk sampel air mengacu pada metode standar APHA (2001), dan besarnya konsentrasi logam berat dianalisis dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer (AAS), tipe flame. Data kosentrasi krom untuk masing-masing media dan stasiun pengambilan sampel dianalisis secara deskriptif dengan gambar, tabel dan histogram serta secara kualitatif dibandingkan dengan baku mutu lingkungan yang ada
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Distribusi lingkungan
pencemar
krom
di
Berdasarkan hasil observasi lapang, diketahui bahwa ada 3 industri penyamakan kulit yang ada di desa Banyakan, dan kesemuanya melakukan aktivitas pembuangan limbah cair dengan pola yang sama yaitu outlet limbahnya dialirkan ke saluran irigasi. Selajutnya dari air irigasi akan terdistribusi kedalam area persawahan dan akhirnya masuk ke sungai Oya. Buangan limbah cair ketiga industri tersebut mempunyai konsentrasi logam berat krom (Cr, krom total) yang bervariasi tergantung jenis perusahaan dan waktu pengambilan sampelnya. Secara umum kandungan logam berat krom pada effluent ditemukan dengan konsentrasi pal-
ing tinggi pada outlet limbah cair PT. Reka Pratama dengan konsentrasi krom berkisar antara 0.38 - 29.56 dengan nilai rata-rata sebesar 14.97 mg/l, kemudian diikuti oleh PT. Bintang Alam Semesta dengan kisaran konsentrasi krom sebesar 1.18 9.37 mg/l dengan rata-rata sebesar 5.26 mg/l dan terakhir yaitu PT ASA dengan konsentrasi krom sebesar 0.34 -8.04 mg/l dengan rata-rata sebesar 4.89 mg/l. Umumnya konsentrasi krom tertinggi ditemukan pada waktu pengambilan sampel pada malam hari, yaitu berkisar antara 8.04-29.56 mg/l, sementara pada siang dan pagi hari berturut-turut didapatkan hasil yang lebih rendah, yaitu berkisar antara 0.38-7.67 mg/l dan 0.34 mg/l, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data distribusi krom pada Tabel 1, terbukti bahwa aktivitas pembuangan limbah industri kulit ke lingkungan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan yang besar potensinya untuk menimbulkan permasalahan kesehatan lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannnya akumulasi krom pada rambut dan kuku warga masyarakat Desa Banyakan, yaitu berkisar antara 0.024-1.904 mgl/kg pada rambut dengan rata-rata sebesar 0.77 mg/kg, konsentrasi ini lebih tinggi bila dibanding dengan besarnya krom yang terakumulasi pada kuku, yaitu berkisar antara 0.059-0.422 dengan nilai rata-rata sebesar 0.23 mg/kg. Ditemukannya akumulasi krom pada sampel rambut dan kuku membuktikan bahwa aktivitas industri kulit terbukti mencemari lingkungan serta berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
Tabel 1. Konsentrasi logam berat krom pada berbagai sampel lingkungan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
124
Jenis Sampel
Outlet limbah cair industri kulit PT. ASA PT. BAS PT. Reka Pratama Air permukaan Sedimen Air Tanah Dangkal Tanah Tanaman Hewan Akuatik Rambut Kuku
Konsentrasi mg/L atau mg/Kg
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
0.34 - 8.04 1.18 - 9.37 0.38 - 29.56 0.04 - 9.06 2.11 - 327.28 0.05 - 1.04 0.27 - 56.19 0.02 - 193.93 0.024 - 6.822 0.024 - 1.904 0.06 - 0.422
Mean 4.89 5.26 14.97 2.1 68.85 0.32 6.13 11.93 2.52 0.77 0.23
Procceding
2. Konsentrasi krom di air permukaan, sedimen, air sumur, tanah dan biota 2.1. Konsentrasi krom dalam air permukaan dan sedimen Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel air permukaan (saluran irigasi) yang mendapatkan aliran buangan limbah industri kulit, terdapat 13 sampel yang mengandung logam berat krom dengan kisaran 0.02 – 11.91 mg/l dan hanya dua sampel yang tidak terdeteksi (atau di bawah nilai minimum kemampuan alat untuk mendeteksi), yaitu sampel di statsiun IV dan V, yang mempunyai jarak dengan aliran pembuangan limbah mencapai lebih 1 km. Sementara pada semua sampel sedimen ditemukan krom dengan kisaran 2.11 - 327.28 mg/kg jauh lebih tinggi atau sekitar 24-100 kali dibanding dengan konsentrasi krom dalam sampel air permukaan (Tabel 2).
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa konsentrasi krom pada sampel air ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada stasiun I yaitu rata-rata sebesar 9.06 mg/l (jarak 0-50 m, dari aliran pembuangan limbah) dan akan semakin menurun konsentrasinya seiring dengan semakin jauhnya dengan lokasi pembuangan limbah. Penurunan konsentrasi krom tertinggi terjadi pada stasiun II yaitu sebesar 0.68 mg/l, dan pada stasiun V tinggal menjadi 0.03 mg/l. Pola yang sama juga terjadi pada konsentrasi krom dalam sedimen saluran irigasi dan sungai. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada titik pengambilan sampel dekat dengan titik pembuangan limbah industri kulit dan semakin jauh dengan lokasi pembuangan limbah maka konsentrasi krom akan semakin menurun.
Tabel 2. Konsentrasi krom dalam air dan sedimen No 1
2
Sampel
Waktu
Air
Siang
Sedimen
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pagi
Malam Rata-rata Pagi Siang Malam
Rata-rata
Konsentrasi Krom (mg/l atau mg/kg)
I
II
III
IV
V
06.22
0.36
0.31
0.40
0.02
81.78 272.77 627.30
10.54 09.70 05.48
5.13 1.99 2.85
3.79 2.75 2.40
1.93 1.89 2.50
11.91
0.09
09.04 9.06
1.60 0.68
327.28
8.57
0.42
0.07
0.34 0.36
ttd 0.17
3.32
2.98
0.07 ttd 0.03
2.11
Tabel 3. Konsentrasi logam krom dalam air sumur
Kode Sampel SM1 SM2 SM3 SM4 SM5 SM6 SM7 SM8 SM9-15
Konsentrasi (mg/l) 0,06* 0,20* 1,04* 0,52* 0,27* 0,23* 0,06* 0,59* ttd
Baku Mutu (mg/l)
0.05
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
125
Procceding
2.2. Konsentrasi Krom pada air sumur warga desa Banyakan Berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DIY tahun 2001 tentang Baku Mutu Air Sungai, konsentrasi Krom total (Cr) adalah sebesar 0.05 ppm, sehingga stasiun I dan II dengan konsentrasi krom sebesar 9.06 dan 0.68 mg/l telah melebihi batas ambang yang ditetapkan, sementara untuk ketiga stasiun berikutnya kesemuanya masih dibawah batas ambang. Untuk krom dalam sedimen, di Indonesia belum ada baku mutunya, oleh karenanya dapat digunakan baku mutu US-EPA (2004), yang menetapkan NAB krom dalam sedimen sebesar 76,00 mg/kg. Konsentrasi krom dalam sedimen di stasiun I sebesar 327.28 mg/kg telah melebihi NAB yang ditetapkan oleh US-EPA dan merupakan satusatunya lokasi dengan konsentrasi krom melebihi NAB. Delapan dari 15 sampel air sumur warga Desa Banyakan, telah tercemar oleh logam krom dengan konsentrasi berkisar 0,06 - 1,04 mg/l. Sedangkan 7 sumur lainnta warga lainnya tidak ditemukan adanya krom. Kedelapan sumur warga yang tercemar oleh logam krom, konsentrasinya telah melebihi baku mutu sumber air bersih yakni > 0,05 mg/l. Berdasar kandungan krom, maka kedelapan sumur warga tidak layak untuk digunakan sebagai air bersih (Tabel 3). No
Jenis Sampel
Padi
3
Pisang
5
Pisang
4 6 7 8 9
10 11 12 13
126
2.3. Konsentrasi krom pada tanah dan berbagai jenis tanaman
Hasil analisis kandungan logam krom dalam sampel menunjukkan bahwa hampir semua tanah dan berbagai jenis tanaman di sekitar kawasan industri mengandung bahan pencemar krom dengan konsentrasi berkisar 0.66 - 56.19 mg/kg untuk krom pada tanah dan konsentrasi berkisar 0.02 193.93 mg/kg pada berbagai jenis tanaman (Tabel 4). Namun ada perbedaan konsentrasi krom pada masing-masing lokasi, dan besarnya konsentrasi ditentukan oleh jenis tanah, kedekatan dengan lokasi pembuangan atau aliran air, kandungan bahan organik dalam tanah, jenis dan umur tanaman (Huang dan Schnitzer, 1997). Dalam proses penyerapan logam, tanah dipengaruhi oleh beberapa fak-
Tabel 4. Konsentrasi logam Krom pada tanah dan berbagai jenis tanaman
1 2
Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa konsentrasi krom dalam air sumur relatif bervariasi dan tidak ada hubungannya antara jarak sumur dan sungai sebagai sumber pencemar. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi krom dalam air sumur, seperti aliran air limbah serta tekanan limbah di badan sungai, posisi lokasi sumur (kemiringan tanah), pola aliran air tanah, tipe dan struktur tanah serta keragaman jenis dan kerapatan vegetasi yang ada.
Markisah
Pisang Cabai
Pepaya
Singkong Srikaya
Mangga
Kemangi Kunyit
Rumput Gajah
Tanah Daun Tanah Daun Tanah Buah Tanah Jantung Tanah Daun Tanah Daun Tanah Buah Tanah Daun Tanah Daun Tanah Daun Tanah Daun Tanah Daun Tanah Daun
I 12.10 0.26 2.51 0.59 2.45 193.93 5.91 0.02 1.55 0.94 -
Konsentrasi Kromium (mg/kg) II III IV 10.40 0.16 4.44 0.09 -56.19 0.09 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
V -
-
-
-
-
-
1.48 0.23 1.68 ttd -
-
1.31 0.02 -
-
-
0.66 0.46 -
1.24 0.27 0.27 0.31 0.84 0.60 --
-
2.87 2.44 1.62 2.30 1.76 0.02
Procceding
tor seperti adanya keragaman, heterogenitas dan perbedaan habitat mikro tanah pada masing-masing jarak di lokasi tersebut. Huang dan Schnitzer (1997) menyatakan bahwa pada jarak yang sangat dekat (<1mm) komposisi partikel, ukuran partikel, jumlah air, jenis air, hara, gas, pH, dan kekuatan ion, serta karakteristik fisikokimia tanah pada saat musim dapat bervariasi. Berdasarkan hal ini, sangat memungkinkan terjadinya distribusi logam Cr pada jarak yang berbeda tidak sama. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi perbedaan pendistribusian logam Cr adalah erosi hujan terutama pada tanah yang miring, sehingga dapat menyebabkan hilangnya sebagian endapan logam yang telah terkandung pada lapisan tanah tersebut (Connel dan Miller, 1995). Berdasar Tabel 4, diketahui bahwa kandungan logam Cr pada tanah masih normal atau belum mengalami pencemaran yaitu dengan konsentrasi ≤ 84 mg/kg (Alloway1995, Radojevic dan Baskhin, 1999), namun apabila proses pembuangan limbah ke lingkungan terjadi secara terus menerus dalam jumlah yang besar dan dalam kurun waktu yang relatif lama, maka dapat membahayakan lingkungan tersebut. Apabila tanah yang mengandung logam Cr cukup banyak digunakan sebagai lahan tempat tumbuhnya berbagai tanaman baik untuk memenuhi kebutuhan manusia atau hewan, maka logam berat tersebut akan dapat terakumulasi pada tubuh mahluk hidup tersebut (Pallar, 1995., Connell dan Miller, 1995). Di samping itu, tanah yang telah jenuh dengan logam berat seperti Cr akan berinteraksi dengan air dan mineral-mineral tanah sehingga berpotensi mencemari air tanah dan mineral-mineral yang ada di dalamnya. Apabila zat pencemar tersebut telah memasuki siklus rantai makanan maka dipastikan akan memberikan efek tertentu yang luas dan bervariasi serta bersifat merugikan bagi organisme, terutama pada tingkat tropik yang lebih tinggi karena sifat bioakumulasi dari logam tersebut (Pallar, 1995;Darmono, 1995).
2.4. Konsetrasi akuatik
kromium
pada
hewan
Hampir semua hewan akuatik yang ditemukan terbukti telah terkontaminasi oleh logam krom dengan kisaran konsentrasi yang bervariasi yaitu berkisar antara 0.02-6.82 mg/kg (Tabel 5). Berdasar Tabel 5, terlihat bahwa keong mempunyai kandungan krom paling tinggi dibanding dengan kepiting dan ikan. Konsentrasi krom pada keong juga cenderung menurun pada keong yang ditemukan pada lokasi yang jauh dengan titik pembungan limbah cair. Biokonsentrasi dan akumulasi logam berat dalam tubuh organisma akuatik umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, sedimen, kemampuan akumulasi (fisiologis, sifat organisme, jenis, umur dan ukuran). Sementara kepiting hanya ditemukan di stasiun III dengan konsentrasi krom sebesar 2.06 mg/kg. Tanpa mempertimbangkan faktor umur dan berat antar organisma akuatik yang ditemukan maka konsentrasi krom dalam kepiting dan ikan lebih kecil dibanding pada keong. Diduga faktor penyebab utama adalah sifat hidup, cara makan serta konsentrasi krom pada air dan sedimen. Kepiting mempenyai sifat hidup dan cara makan yang sama dengan keong, yaitu filter feeder, namum kepiting relative bergerak aktif dibanding dengan keong yang sesil. Oleh karena itu kepiting juga sering dijadikan sebagai bioindikator logam berat. Sementara untuk ikan umumnya hidup berenang aktif pada air, dan hal tersebut yang menyebabkan ikan tidak banyak berpengaruh pada kondisi pencemaran logam seperti makhluk lainnya (kepiting, udang dan kerang). Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuh ikan adalah tingkah laku makan ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya memiliki pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang berbeda pula. Penye-
Tabel 5. Distribusi logam berat kromium pada beberapa jenis hewan akuatik
No 1 2 3
Jenis Sampel Keong Kepiting Ikan
Anandonta sp
I 6.82 -
Konsentrasi Kromium (mg/kg) II III IV 3.52 2.06 0.02
Parathelphusa convexa
V 0.16 -
Rasbora lateristriata
Gambar 1. Jenis-jenis organisma akuatik di aliran pembuangan limbah
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
127
Procceding
baran habitat dan pola tingkah laku makan akan berpengaruh terhadap interaksi ikan yang bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang tersuspensi di dasar perairan (Lodenius dan Malm., 1998; dalam Simbolon dkk., 2010). Menurut Darmono (1995) kebanyakan logam berat secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme yaitu pada ikan akan mempengaruhi aktivitas organisme tersebut. Darmono (2001) menyebutkan bahwa logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu, saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi darah berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ dektoksifikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal). Keracunan yang di akibatkan oleh kromium (Cr) dapat bersifat akut dan kronis. Keracunan yang bersifat akut di tandai dengan kecenderungan pembengkakan yang terjadi pada hati, sedangkan keracunan yang bersifat kronis dapat menimbulkan gejala kanker paru-paru dan dapat berakhir pada kematian. Namun daya racun yang dibawa oleh logam kromium (Cr) tidak sama untuk semua makhluk hidup. Daya racun/tingkat keracunan pada makhluk hidup ditentukan oleh sistem imunitas dari masing-masing individu dalam menetralisir bahan-bahan racun yang masuk ke dalam tubuh (Daud, 2010).
2.5. Akumulasi krom pada Rambut dan Kuku Warga Masyarakat Kehadiran unsur-unsur beracun dan jejak dalam jaringan biologis seperti rambut dan kuku bisa menjadi ukuran jumlah pencemar yang diserab oleh seseorang. Penentuan konsentrasi bahan pencemar dalam rambut manusia adalah penting dalam biologi, medis, forensik dan lingkungan (Ciswezki et al., 1978). Hasil ekstrasksi dan analisis kandungan krom pada sampel kuku dan rambut warga ditemukan adanya akumulasi logam krom dengan kisaran 0.02 - 1.90 mg/kg pada sampel kuku, dan 0.06 - 0.42 mg/kg pada rambut (Tabel 6).
Berdasar Tabel 6, terlihat bahwa tingkat akumulasi krom pada kuku maupun rambut cenderung tinggi pada daerah yang dekat dengan lokasi pembuangan limbah cair. Pada daerah-daerah yang semakin menjauh dari titik pembuangan limbah cair, maka konsentrasi krom semakin menurun. Pola yang sama juga terjadi pada konsentrasi krom dalam air dan sedimen. Akan tetapi akumulasi krom pada rambut tertinggi ditemukan pada warga masyarakat yang tinggal di sekitar stasiun IV. Dengan demikian selain faktor jarak dengan lokasi pembuangan limbah cair, maka faktor mobilitas, jenis pekerjaan, intensitas, perilaku dan pola makan, biomasa rambut, usia, lama tinggal dapat mempengaruhi besarnya akumulasi krom dalam rambut. Ditemukannya logam krom pada spesimen kuku dan rambut, membuktikan bahwa masyarakat desa Banyakan telah terpapar dan mengabsorbsi logam krom dalam jangka waktu yang relatif lama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Laker (1982) dan Patering et al., ( 1982) berpendapat bahwa tingkat konsentrasi krom pada rambut dan kuku menggambarkan retensi paparan jangka panjang. Demikian pula bahwa konsentrasi logam krom dalam kuku juga menunjukan beban pencemaran logam berat dalam tubuh (Choudhary et al.,1995). Kuku merupakan bioindikator cemaran logam berat yang sifatnya kontinyu. Kuku dibentuk dari sel-sel keratinosit, sehingga selama loam berat masih ada di dalam sistem darah, maka keratinosit juga akan mengakumulasi logam berat. Kehadiran unsur-unsur beracun dan jejak dalam jaringan biologis seperti rambut dan kuku bisa menjadi ukuran jumlah pencemar yang diserap oleh seseorang. Akumulasi krom dalam kuku diperngaruhi oleh faktor umur, jenis pekerjaan dan pola konsumsi. Krom masuk kedalam tubuh manusia tidak hanya melalui oral (makanan dan minuman) tetapi juga kontak langsung dengan air yang tercemar krom, hal ini terjadi karena mayoritas warga desa Banyakan berprofesi sebagai petani dan dalam melakukan kegiatan pertanian tidak mengenakan sepatu dan kaos tangan. Kondisi tersebut ditunjang oleh hasil pengukuran sampel komponen lingkungan lainnya, seperti sungai, tanah, air tanah dan berbagai jenis tanaman yang ada di kawasan Desa Banyakan tercemar oleh logam krom. Kondisi tersebut menyebabkan warga desa Banyakan mempunyai resiko tinggi terkena dampak kesehatan akibat paparan krom dari aktivitas pembungan limbah cair industri ku-
Tabel 6. Akumulasi logam berat kromium pada rambut dan kuku
No
Jenis Sampel
2
Rambut
1
128
Kuku
I
1.90 0.23
Konsentrasi Kromium (mg/kg) II
0.39 0.06
III
0.02 0.20
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
IV
ttd
0.42
V
ttd ttd
Mean
0.77 0.23
Procceding
lit ke lingkungan. Meski krom merupakan unsur esensial dalam tubuh, khususnya krom valensi III dengan kebutuhan lebih kurang 0.025 mg/hari, dan berperan dalam metabolisme glukosa dan lipida, namun absorspsi dan tingginya krom yang terdistribusi dalam tubuh, terutama krom valensi VI dapat menyebabkan kanker paru-paru, kanker ginjal, menurunnya jumlah sel darah putih, sementara akumulasi dalam jangka pendek akan menimbulkan mual, muntah dan ruam-ruam pada kulit (Drew et al., 2006).
KESIMPULAN
Aktivitas pembuangan limbah cair industri penyamakan kulit di Desa Banyakan merupakan sumber utama konsentrasi krom di lingkungan dan telah terdistribusi dihampir semua komponen lingkungan (air, sedimen, tanah, air tanah dangkal, biota dan manusia). Konsentrasi tertinggi umumnya ditemukan pada lokasi disekitar titik lokasi pembuangan limbah cair industri kulit, dan semakin menurun konsentrasinya dengan meningkatnya jarak dengan titik pembuangan limbah. Pembuangan limbah cair industri kulit berpotensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan dengan ditemukannnya akumulasi dalam rambut dan kuku warga masyarakat desa banyakan.
Daftar Pustaka
Alloway, B. J., 1995, Heavy Metals in Soil, Univ. of Sydney Library. Choudhary K, Ehmann W D, Regan K and Markesebery W R, Trace element correlations with age and sex in human fingernails, J. Radioana Chem, 195 (1995) 51-56 Ciszewski A, Wasiak W and Ciszewska W, Hair Analysis. Part 2. Differential pulse anodic stripping voltametric determination of thallium hair samples of persons in permanent contact with lead in their workplace, Anal Chim Acta, 334 (1997) 225-229. Connel, W. D. and G. J. Miller, 1995, Chemistry and Ecology of Pollution, terjemahan oleh Y. Koestoer, Penerbit UI Press, Jakarta. Darmono, 1995, Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup, UI Press, Jakarta. Darmono, 2001.Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Daud, Anwar, 2010.Pencemaran Logam Berat Kromium dan pengaruhnya terhadap kesehatan Manusia, Bagian Kesehatan Lingkungan FKM-UNHAS. Drew, D., Ifeoma, S.I., Tucker, P. 2006. Chromiun Toxicity, ATSDR Publication No.ATSDR-HECS-2001-2005.Diakses, Januari 2006. El-Kammar, A. M., Ali, B. H., El-Badry, A.M., 2009, Environmental Geochemistry of River Nile Bottom Sediments Between Aswan and Isna, Upper Egypt, Journal of Applied Sciences Research (INSInet Publication), Vol. 5(6), pp. 585-594. EPA-Ohio, 2001, Sediment Sampling Guide and Methodologies 2nd edition, Environmental Protection Agency, state of Ohio Huang, P. M. and M. Schnitzer, 1997, Interaksi Mineral Tanah Dengan Organik Alami dan Mikroba, Terjemahan D. H. Goenadi, Gajah Mada University Press., Yogyakarta. Kosnett M.J. 2007. Heavy metal intoxication & chelators. In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical Pharmacology, 10th Ed (International Ed), Boston, New York: Mc Graw Hill. P. 970-981. Laker M, On determining trace element levels in man the uses of blood and hair, Lancet, 2 (1982) 260-262. MENLH. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 51/MENLH/2004 Tahun 2004, tentang penetapan baku mutu air laut dalam himpunan peraturan di bidang lingkungan hidup. Jakarta Palar H. 1995. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta. Rineka Cipta Patering H G, Yeager D W and Wintherup S O, Trace metal content of hair-I. Zinc and copper content of human hair in rekation to age and sex, Arch Environ Hlth. 23 (1971) 202-207 Plaa G.L. 2007. Introduction to toxicology: Occupational & Environmental. In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical Pharmacology, 10th Ed (International Ed), Boston, New York: Mc Graw Hill p. 958-970.. Radojevic, M and V. N. Bashkin, 1999, Practical Environmental Analysis, Royal Society of Chemistry.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
129
Procceding
Saleh, M. H. 2007. Recovery dan Zeolit Cegah Pencemaran Logam Berat. Suara Merdeka Cyber News. Diakses 2 Maret 2009. Schiavon, M., E. A. H. Pilon-Smits, M. Wirtz, R. Hell and M. Malagoli. 2008. Interactions between chromium and sulfur metabolism in Brassica juncea. Jurnal of Environmental Quality. 37 : 1536-1545 Sudarmaji J, Mukono dan Corrie IP.2006. Toksikologi Logam Berat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Dampaknya. Jurnal KesehatanLingkungan. 129-142. Vymazal J.1995. Algae and element Cycling in Wetlands. Lewis Pub. Boca Raton p 689 Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
130
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
DETECTION OF ENTEROBACTERIACEAE FROM PROCESSED-WELL WATER Eunike Ilona Hilson, Dhira Satwika Faculty of Biotechnology, Duta Wacana Christian University
[email protected] [email protected] ABSTRACT
Enterobacteriaceae has become the important bacterial group due to its pathogenicity and as the indicator of fecal contamination from human and animal gastrointestine. Contamination of well water from this bacteria give rise to the need of effective and efficient treatment. It is the objective of this research to effectively identifiy the presence of enteric Enterobacteriaceae from processed-well water by measuring physical, biochemical, and microbiological parameters before and after its treatment. Samples were collected from wells at Klitren area, Yogyakarta, and processed by means of ultrafiltration membrane. Physical parameters were measured, continued by platting the samples onto agar plate. Suspected bacteria grown on selective media were biochemically tested specifically detect the members of enteric Enterobacteriaceae. The result showed the presence of enteric Enterobacteriaceaebefore and after its treatment, which give rise to the awareness of microbiological quality of water treatment product. Keywords: well water, Klitren, filtration, Enterobacteriaceae
1. PENDAHULUAN Air minum yang dikonsumsi dapat terkontaminasi secara mikrobiologis oleh limbah domestik dan industri atau kontaminasi fecal dari hewan liar, septic tank, dan meluapnya saluran drainase. Keamanan suplai air minum bergantung pada sumber air yang tejaga, teknologi pengolahan yang mampu mendeteksi dan mengurangi patogen, dan pencegahan rekontaminasi pada sistem distribusi (Agarwal, et al,2014). Kontrol kualitas mikrobiologis erat kaitannya dengan masuknya air yang terkontaminasi feses Bakteri
Tabel 1. Patogen waterborne di daerah berkembang
Salmonella Typhimurium
Salmonella Paratyphimurium Salmonella spp Shigella spp
Enteropatogenik E. coli Bakteri oportunistik
manusia dan hewan. Patogen yang bersumber dari feses merupakan fokus utama dalam menjaga kemanan mikrobiologis air karena konsentrasi patogen dapat meningkatkan resiko waterborne disease (WHO, 2011), terutama di daerah berkembang (Tabel 1). Kualitas mikrobiologis sumber air dapat diketahui melalui monitoring bakteri indikator fecal. Menurut Permenkes No.492/Menkes/Per/ IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, parameter mikrobiologis meliputi Escherichia coli dan total bakteri coliform dengan jumlah maksimum yang ditetapkan adalah 0 per 100 ml air.
Sumber : Ashbolt, 2004 (dimodifikasi)
Penyakit yang ditimbulkan
Reservoir dan sumber
Demam paratifoid
Feses manusia
Demam tifoid
Salmonellosis
Disentri basiler Gastroenteritis Variabel
Feses manusia Feses manusia Feses manusia Feses manusia Air alami
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
131
Procceding
Salah satu teknologi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kualitas mikrobiologis air adalah pengolahan dengan metode filtrasi. Teknologi pengolahan air modern, meskipun aman dan berkualitas tinggi, belum tentu steril dan terbebas dari bakteri, terutama bakteri patogen penyebab penyakit. Salah satu kelompok bakteri yang sering ditemukan pada sumber air adalah Enterobacteriaceae. Kelompok bakteri ini sering digunakan dalam mempelajari bakteri patogen pada air dan sebagai indikator fecal polusi hewan dan manusia (Cabral, 2010). Beberapa genusnya termasuk dalam bakteri enterik yang berasal dari sistem pencernaan manusia dan hewan, seperti Escherichia sp, Citrobacter sp, Edwardsiella sp, Salmonella sp, Shigella sp, Klebsiella sp, Serratia sp, dan Enterobacter sp (Madigan, et al., 2009). Melalui penelitian ini dilakukan pengukuran parameter fisik dan mikrobiologis air sumur, morfologi bakteri, dan uji biokimia untuk deteksi Enterobacteriaceae yang terdapat pada sampel air sumur selama proses pengolahan air dengan metode filtrasi. Enterobacteriaceae yang diteliti meliputi 9 genus, yaitu Salmonella, Shigella, Escherichia, Citrobacter, Enterobacter, Edwardsiella, Serratia, Proteus, dan Klebsiella.
2. METODE PENELITIAN Sampel air. Sampel air sumur diambil dari RT 08/03 dan RT 09/03 Kelurahan Klitren, Gondokusuman. Delapan sumur digunakan sebagai sampel untuk dianalisis dalam penelitian ini, dengan mengukurparameter fisik (pH, suhu, TDS dan turbiditas) dan mirobiologisnya menggunakan media Plate Count Agar (PCA) (Oxoid) dilanjutkan dengan pengolahan air sumur dengan membran ultrafiltra-
si. Penempatan alat dilakukan pada 2 area sumur yang diteliti (Lokasi A dan G) menggunakan 4 sumber air sumur. Perlakuan kontrol dilakukan selama proses pengolahan air di lapangan. Isolasi bakteri. Sampel air yang dianalisis berasal dari air sumur pada proses pengolahan air dengan metode filtrasi meliputi inlet dan outlet. Isolasi bakteri dilakukan menggunakan media selective enrichment, yaitu Enterobacteriaceae Enrichment broth (Merck) dan media selective differential yaitu Chromocult Coliform Agar (CCA) (Merck) dan Salmonella Shigella Agar (SSA) (Oxoid Ltd.). Isolat bakteri yang diduga kelompok Enterobacteriaceae disimpan pada media NutrienAgar (Merck). Uji biokimia (Madigan et al., 2009) dan pengecatan gram. Isolat yang diperoleh dari sampling selama analisis profil air sumur dan proses pengolahan air diuji sifat biokimianya. Diawali dengan uji MR-VP untuk membedakan kelompok bakteri mixed-acid fermenters dan butanediol fermenters. Sampel positif mixed-acid fermenters dilakukan uji urease, KCN, indol, sitrat, kemampuan pembentukan gas, dan produksi H2S. Sedangkan sampel positif butanediol fermenters dilanjutkan dengan uji motilitas dan uji fermentasi pada medium Lactose Broth. Hasil identifikasi genus Enterobacteriaceae dilanjutkan dengan pengecatan gram pada 1 isolat yang dipilih secara acak dari hasil uji biokimia positif dan isolat kontrol positif E. coli ATCC 25922. Hasil pengecatan gram diamati pada mikroskop perbesaran 1000x.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan proses pengolahan air dengan metode filtrasi, terlebih dulu dilakukan analisis mikrobiologis dan fisik air sumur. Berdasarkan data
Tabel 2. Data profil mikrobiologis dan fisik air sumur
Sumur
Jumlah koloni (CFU/ ml)
Profil coliform
Suhu
pada CCA
(ºC)
Sampling
Sampling
Sampling
1
2
A
2, 41 x 10
1, 55 x 10
D
1, 34 x 10
0
B C
E F
G
H
3
8, 35 x 10
4
1, 27 x 10
5 4
1, 26 x 10
3
1, 40 x 10
2
1, 49 x 10
5
9, 80 x 10
3
3
6, 1 x 10
4
1
2
1
2
P>M
P
30
28
8, 2
6, 9
335
209
1
0
P
0
29
28
8, 3
7, 4
222
223
0
0
P>M>BG P>M>BG P>M
P>M>BG
0
P P
P>M P
M>P
28 28 29 29 29 32
28 28 29 28 28 33
8, 4 8, 3 8, 4 8, 1 8, 2 8, 4
7, 3 7, 1 6, 7 6, 7 6, 7 7, 3
Keterangan :P : Koloni Putih Susu M :Koloni Merah BG :Koloni Biru Gelap
132
Sampling
2
P>BG
5, 6 x 10
Sampling
1
5
3
(FAU)
2
3 x 10
4, 1 x 10
(ppm)
1
P>M>BG
4
Turbiditas
2
2
5, 5 x 10
Sampling
TDS
1
2 x 10
2
pH
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
217 280 227 276 233 204
209 279 246 281 252 207
0 0 4 0 0 0
0 0 0 0 0 0
Procceding
karakteristik mikrobiologis dan fisik air sumur (Tabel 2), diketahui bahwa jumlah koloni pada air sumur selama dua kali sampling berkisar antara 102-104 CFU/ ml, menunjukkan keberadaan jumlah total bakteri yang cukup banyak pada media PCA dan hasillnya sangat bervariasi. Data parameter fisik air sumur juga menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Suhu air sumur berkisar antara 28-32ºC. Suhu yang tinggi akan meningkatkan kelembaban sehingga bakteri patogen akan tumbuh lebih baik dan didukung adanya nutrisi yang cukup dalam air. Selain itu, peningkatan suhu juga dapat mendukung keberadaan patogen oportunistik dalam biofilm (Shar, 2010). pH air sumur berkisar antara 6,7 – 8,4 dan nilai TDS berada pada kisaran 200 – 335 ppm. Menurut Ayadin (2007), pH 3-10,5 dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme patogenik. Data turbiditas menunjukkan kualitas fisik air sumur yang cukup baik dengan kisaran 0-4 FAU menunjukkan bahwa air sumur sangat jernih. Kondisi fisik seperti pH, suhu, TDS dan turbiditas pada air sumur menjadi faktor pendukung pertumbuhan Enterobacteriaceae pada air sumur. Dari sampel air sumur pun dapat diamati adanya pertumbuhan Enterobacteriaceae pada air sumur. Rendahnya kualitas mikrobiologis air sumur berdasarkan data profil mikrobiologis dan fisik air sumur yang diperoleh, menjadi fokus dalam upaya memperbaiki kualitas air sumur agar aman dikonsumsi oleh masyarakat. Penghitungan jumlah koloni. Sampel air selama proses filtrasi (inlet dan outlet) diinokulasikan pada media PCA selama proses pengolahan air pada lokasi A hanya efektif pada awal proses filtrasi yang menunjukkan adanya penurunan jumlah bakteri pada outlet, meskipun pengurangannya tidak mencapai 100%. Sedangkan pada sampling berikutnya efektifitas metode filtrasi ini mengalami
penurunan bahkan dapat dikatakan tidak efektif ditandai dengan munculnya bakteri pada outlet (Tabel 3 dan 4). Gejala yang sama juga ditemukan pada hasil proses filtrasi pada lokasi G dan pada kontrol. Isolasi bakteri. Isolasi bakteri secaraselective enrichment pada media EE broth dan selective differential pada media CCA dan SSA menunjukkan adanya pertumbuhan Enterobacteriaceae. Pada media CCA terlihat adanya keberadaan bakteri kolonimerah, putih dan biru gelap berdasarkan aktivitas β-glukoronidase dan β-galaktosidase yang dimiliki oleh genus-genus kelompok Enterobacteriaceae (Gambar 1). Koloni merah dan putih merupakan koloni yang mendominasi pada sampel air sumur maupun selama proses pengolahan air dengan metode filtrasi. Sedangkan koloni biru gelap hanya ditemukan pada sampel inlet dan tidak selalu muncul pada semua sampel pada saat sampling. Keberadaan Enterobacteriaceae menunjukkan adanya kontaminasi bakteri fecal.
Gambar 1. Pertumbuhan bakteri Enterobacteriaceae pada CCA dari sampel air sumur.
Tabel 3. Beberapa data hasil pengolahan air dengan metode filtrasi Jumlah Koloni (CFU/ml)
Sampling 1 3 8
Lokasi A
Lokasi G
Inlet
Outlet
Inlet
Outlet
1,6 x 102
2 x 10
9,5 x 10
3,1 x 103
1,7 x 105 4,5 x 104
5,2 x 103 2 x 103
7,8 x 104 1,9 x 104
1,5 x 103 9 x 103
Tabel 4. Beberapa data kontrol pengolahan air dengan metode filtrasi. Sampling 2 4
Jumlah Koloni (CFU/ml)
Inlet
Outlet
3,3 x 105
2 x 103
5,2 x 105
2 x 103
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
133
Procceding
Isolasi dan pemurnian bakteri pada media SSA spesifik untuk bakteri Salmonella dan Shigella menunjukkan variasi warna koloni bakteri yang tumbuh (Gambar 2). Beberapa genus bakteri anggota Enterobacteriaceae seperti Edwardsiella, Salmonella dan beberapa spesies dari genus Citrobacter dan Proteus mampu menghasilkan H2S sehingga membentuk koloni berwarna hitam pada media SSA. Hasil isolasi bakteri kelompok Enterobacteriaceae diperoleh 222 isolat berdasarkan sifat morfologisnya pada media selective differential. Gambar 3. Persentase jumlah genus Enterobacteriaceae terdeteksi melalui uji biokimia sederhana berdasarkan Madigan et al. (2009). Gambar 2. Karakteristik koloni Enterobacteriaceae pada media SSA.
Uji biokimia (Madigan, et al., 2009) dan pengecatan gram. Dari 95 isolat yang diambil secara acak selama proses isolasi bakteri pada sampel air sumur dan proses filtrasi diperoleh 75 isolat mengarah pada beberapa genus Enterobacteriaceae, yaitu: Proteus, Salmonella, Enterobacter, Serratia, Shigella, Klebsiella, Escherichia, dan Citrobacter. Jumlah persentase kemunculan genus Enterobacteriaceae adalah Enterobacter sebanyak 22%, diikuti dengan Proteus, Klebsiella, Escherichia, Serratia, Shigella, Citrobacter, Salmonella, dan 5% diantaranya tidak dapat terdeteksi (Gambar 3). Berdasarkan hasil pengecatan gram terlihat morfologi bakteri yang berbentuk batang dan berwarna merah yang merupakan cirri morfologi utama kelompok Enterobacteriaceae (Gambar 4). Keberadaan Enterobacteriaceae menunjukkan adanya kontaminasi bakteri fecal pada sampel air. Berdasarkan persyaratan kualitas air minum yang mengharuskan jumlah maksimum E. coli dan total bakteri coliform pada air adalah 0 per 100 ml (Permenkes No.492/Menkes/Per/IV/2010), menunjukkan bahwa sampel air selama proses pengolahan tidak layak untuk dikonsumsi.Menurut Howard, et al. (2003) yang melakukan penelitian kualitas mikrobiologis air minum pada daerah rural dan urban di Uganda, disimpulkan jika semakin tinggi tingkat kontaminasi feses akan menyebabkan semakin besar kemungkinan Enterobacteriaceae terdeteksi pada sampel air.
134
Gambar 4. Pengecatan gram E. coli ATCC 25922 (a) dan isolat bakteri hasil uji biokimia positif Enterobacteriaceae (b) merupakan bakteri gram negatif batang. Dari keseluruhan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pencemaran Enterobacteriaceae fekal di daerah Klitren, Yogyakarta. Jika tidak ada tindakan nyata berupa penataan kawasan hunian, maupun penyuluhan kepada masyarakat tentang perlunya mengolah air sumur, dikhawatirkan dapat terjadi penyakit-penyakit akibat kontaminasi bakteri ini.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
4. SIMPULAN Hasil analisis sampel air selama proses pengolahan air dengan membran ultrafiltrasi ditemukan 8 genus dari total 73 isolat positif Enterobacteriaceae berdasarkan uji biokimia. Persentase genus terbanyak secara berurutan Enterobacter, Proteus, Klebsiella, Escherchia, Serratia, Shigella, Citrobacter, dan Salmonella. Keberadaan Enterobacteriaceae yang terdeteksi pada sampel air menunjukkan bahwa proses pengolahan air belum mampu menghilangkan Enterobacteriaceae pada sampel air.
5. REFERENSI Agarwal, M., Tomar, RS, Jyoti, A. 2014. Detection of water-borne pathogenic bacteria: where molecular methods rule. Int. J. Multidisc. Current Res. 351-358. Ashbolt, NJ. 2004. Microbial contamination of drinking water and disease outcomes in developing region.Toxicology 198, 229–238. Ayadin, A. 2007. The Microbiological dan PhysicoChemical Quality of Groundwater in West Thrace, Turkey. Polish J. of Environ. Stud. 16 (3):377-38. Cabral, JPS. 2010. Bacterial pathogens andwater microbiology. Water.Int. J. Environ. Res. Public Health 7:3657-3703. Howard, G., Pedley, S., Barrett, M., Nalubega, M., Johal, K.2003. Risk faktors contributing to microbiological contamination of shallow groundwater in Kampala, Uganda. Water Res. 37:3421–3429. Madigan, MT., Martinko, JM., Dunlap, PV., Clark, DP. 2009. Brock : Biology of microorganism. 12th ed. Prentice Hall. Shar, A H. 2010. Isolation and identification of patogenic bacteria from drinking water of Khairpur, Sukkur dan Rohri. Doctor of Philosophy. Department microbiology Shah Abdul Latif University. Khairpur. WHO. 2011. Guidelines for drinking-water quality. Malta, Gutenberg. 4th ed.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
135
Procceding
DETEKSI MOLEKULER SALMONELLA SP PADA SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA DI KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA Gracia Imelda Ubas1), Charis Amarantini1) 1)
Faculty of Biotechnology, Duta Wacana Christian University ABSTRACT
Crossbred Goats milk is nutritious with low lactose and easy to digest because it doesn’t contain aglutinin. The nutritional content of these milk is similar with dairy cattle. Yogyakarta is the center largest farm Crossbred Goat in java. The farmers often distribute the milk to various regions in java and other city, as a frozen milk. This study concern for quality of fresh and frozengoat milk, because some of the pathogenic bacteria can survive in a frozen condition. Salmonella sp is a bacterial pathogen that frequently contaminate milk, and even the type of bacteria is able to survive in freezing conditions, and will be inactive. The risk of contamination may occur in fresh and frozen milk, so it is necessary to attempt the detection of Salmonella sp in goat breeding center Yogyakarta. Identification of Salmonella sp was done using the multiplex PCR technique with the specific primer for Salmonella. The oligonucleotide pairs used in this study were invA gene (F: 5’-TCG TCA CAC CGT AGG CAA AAC C-3 ‘ and R: 5’-GTG AAA CCA TTA TCG TCG GGC CGT AA-3 ‘) and spvC gene (F: 5’- CCT ACT ACA ACC TGC TGC AAA GGA-3’ and R: 5’- CTC TGT TGC ATT TCG TCA CCA CCA-3’). The amplicons was detected in all samples. This suggests that the samples has contamined with Salmonella. Keywords :Salmonella sp, Crossbred Goat (PE), invA, spvC, PCR-multiplex
PENDAHULUAN Susu kambing merupakan salah satu asupan minuman bergizi yang kini sangat diminati oleh masyarakat. Tidak seperti susu sapi, susu kambing tidak mengandung aglutinin akibatnya globula lemak susu kambing tidak mengalami klusterisasi, sehingga lebih mudah dicerna. Susu kambing juga mengandung kadar laktosa yang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan susu sapi. Kondisi ini sangat baik bagi orang yang mengalami lactose-intolerant sehingga orang tua yang memiliki bayi yang alergi terhadap susu sapi dan susu formula, seringkali dianjurkan untuk menggunakan susu kambing sebagai salah satu alternatif (Maree, 1978). Di Indonesia kambing yang digunakan sebagai kambing perah adalah kambing jenis Peranakan Etawa (PE). Salah satu penghasil susu dan peternakan kambing PE terbesar di pulau Jawa adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini pun banyak peternakan susu kambing PE yang mengembangkan usahanya menjadi home industry yang mengolah susu menjadi berbagai produk yang diminati masyarakat. Selain diolah sendiri, para peternak juga mendistribusikan susu kambing ke berbagai daerah di dalam maupun luar pulau Jawa namun dalam keadaan beku (frozen). Hal tersebut tentu menyita perhatian akan kualitas susu dari kambing PE, mengingat beberapa jenis bakteri patogen dapat
136
bertahan hidup dalam kondisi beku (Hiramatsu et al., 2005). Kondisi sanitasi kandang yang buruk dan penggunaan air yang tidak bersih juga dapat menjadi sumber kontaminasi pada susu kambing segar (Suwito et al., 2014). Salah satu bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi susu kambing adalah Salmonella sp. Jenis bakteri ini sangat berbahaya bagi manusia karena merupakan penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis dan beberapa kasus penyebab demam Typhoid dan Paratyphoid (Cliver dan Doyle, 1990). Di Inggris dan Wales pada kurun waktu 1992-2000, terdapat beberapa kasus yang disebabkan oleh Salmonella dan Campylobacter. Bakteri ini berasal dari jalur intestin pada binatang ternak yang kemudian mengkontaminasi daging seperti sapi, domba, dan babi. Diawal tahun 19901998 terlebih dahulu di Irlandia dilaporkan lebih dari 1,4 juta orang atau sebanyak 9,7% sakit yang diderita karena adanya kontaminasi mikrobia pada makanan, 25,6% dirawat di rumah sakit dan 30,6% meninggal dunia, dan di dominasi oleh kasus salmonellosis yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotip Typhimurium (Burgess et al., 2005). Di Indonesia bahaya kontaminasi Salmonella pada susu kambing masih jarang diteliti dan kasuskasus yang terkait dengan kontaminasi bakteri tersebut sangat jarang dilaporkan. Untuk standar khusus susu kambing di Indonesia saat ini pun belum tersedia, tetapi untuk persyaratan susu segar
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
mengacu SNI No 01-6366-2000, yang memiliki persyaratan bahwa susu segar mempunyai TPC 1x106, Coliform 2x10 cfu/ml, sedangkan Salmonella sp dan E. coli adalah negatif (BSN, 2000). Standar tersebut tidak jauh berbeda dengan standar susu kambing segar di benua Eropa yang telah mempunyai standar dan diatur dalam EU Council Directive 92/46/EEC (EC, 1992) yang juga menyatakan bahwa E. coli dan Salmonella sp keberadaannya harus negatif. Mengingat risiko kontaminasi Salmonella sp pada susu kambing baik segar maupun beku sangat mungkin terjadi, maka perlu diadakan deteksi dini sebagai langkah untuk mengambil tindakan awal dalam mencegah kontaminasi pada susu kambing yang akan diolah menjadi berbagai produk dan dipasarkan di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk deteksi dini bakteri patogen Salmonella sp di dalam susu kambing PE segar (pre-processing) dan pada susu kambing PE beku di peternakan kambing PE kabupaten Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi dalam mengembangkan strategi pencegahan penularan penyakit yang disebabkan oleh Salmonellasp dari bahan pangan yang diminati oleh masyarakat, sehingga proses pengolahan dan pendistribusian dapat lebih diperhatikan lagi keamanannya.
METODE DETEKSI Salmonella sp Pengambilan sampel
Sampel diambil dari 3 pusat peternakan kambing PE di kota Yogyakarta dengan waktu pengambilan antara pukul 08.00 – 09.00 WIB. Setiap lokasi diambil sebanyak 3 kali pada waktu yang berbeda. Sampel yang telah diambil disimpan dalam ice box, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian.
Preparasi sampel
Sampel susu cair yang sudah diperoleh dari penjual, diletakkan pada erlenmeyer steril dan ditutup rapat supaya tidak terjadi kontaminasi dari lingkungan. Sedangkan sampel susu beku dibiarkan selama beberapa jam pada suhu kamar sampai keseluruhan sampel menjadi cair.
Tahap pre-enrichment
Sampel susu segar dan susu yang sudah cair divortex agar tetap homogen, kemudian diambil 25 ml dan dimasukkan ke dalam 225 ml medium BPW (Buffer Peptone Water) setelah itu dishaker selama satu jam dalam rotary shaker dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 jam.
Tahap enrichment Sampel dari tahap pre-enrichment disentifuse kembali untuk memisahkan pellet dan supernatan, pellet yang sudah didapat kemudian ditambahkan 10 ml medium RVS (Rappaport-Vassiliadis Soya) dan divortex agar homogen lalu diinkubasi pada suhu 42oC selama 24 – 48 jam. Selanjutnya dilakukan seri pengenceran 10-1 - 10-6 dengan medium air pepton 1%, ditumbuhkan pada medium CCA secara spread plate dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.
Uji konfirmasi Urea dan Triple Sugar Iron Agar (TSIA) Uji urea ini dimaksudkan untuk mendeteksi kemampuan mikroorganisme mendegradasi urea menggunakan enzim urease. Deteksi urease terlihat dari perubahan warna orange menjadi merah muda jika kelompok bekteri tersebut mampu mendegradasi urea sedangkan kelompok Salmonella sp yang negatif terhadap uji urease, tidak menyebabkan perubahan warna pada medium.Uji ini dilakukan dengan menginokulasi isolat pada medium cair urea secara aseptis, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24- 48 jam dan diamati perubahan warna pada medium. Pada uji TSIA, kandidat koloni terduga Salmonella sp hasil seleksi dari medium CCA, diinokulasikan pada medium TSIA dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 sampai 48 jam. Hasil positif pada medium TSIA ditandai dengan terbentuknya warna hitam dan gas. Isolat yang berhasil teridentifikasi disimpan kedalam medium Brain Heart Infusion Agar (BHIA) untuk selanjutnya dilakukan identifikasi secara molekuler.
Identifikasi molekuler Sampel dari BHIA kemudian diinokulasikan ke dalam BHIB 3ml dan diinkubasi selama 12 jam, kemudian sampel disentrifuse 6.500 rpm selama 3 menit untuk memisahkan antara supernatan dan pellet. Pellet yang didapatkan kemudian ditambahkan 500µl lysis buffer. Sel dalam larutan diendapkan dengan disentrifuse 6500 rpm selama 1 menit. Endapan yang didapat ditambahkan rinse bufferdan digestion buffer masing-masing 500µl, kemudian diinkubasi dalam waterbath suhu 55oC selama 2 jam dan divortex setiap 5 menit. Setelah itu ditambahkan larutan fenol 500µl dan dihomogenkan perlahan selama 20 menit dan sentrifuse 13000 rpm, 3 menit. Fase yang terlihat seperti lendir dipindahkan ke tabung baru dan kemudian ditambahkan 500µl CIAA dan dihomogenkan kembali selama 20 menit, disentrifuse 13000 rpm, 3 menit. Cairan lendir kedua dipindahkan kembali ke tabung baru dan ditambah etanol absolut 2x vol-
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
137
Procceding
ume cairan (300-600µl). Gumpalan DNA diendapkan dengan sentrifuse 13000 rpm selama 7 menit dan kemudian etanol dibuang perlahan, ditambah 500µl alkohol 70% ke dalam tabung, sentrifuse 13000 rpm, 5 menit. Sisa alcohol dibuang dan gumpalan DNA dikeringkan. DNA yang dikeringkan kemudian ditambahkan DNAse RNAse free distilled water dan disimpan di suhu -20oC. Kualitas DNA dilihat dengan menggunakan UV transmisilluminator gel dan menggunakan komposisi gel agarose 0,8% dalam TBE 1x dan sybr® safe DNA gel stain dengan kecepatan 80 V selama 45 menit. Identifikasi Salmonella sp dilakukan dengan menggunakan primer spesifik chromosomal, gen invA (F: 5’-TCG TCA CAC CGT AGG CAA AAC C-3 ‘ dan R: 5’-GTG AAA CCA TTA TCG TCG GGC CGT AA-3 ‘) dan gen spvC(F: 5’- CCT ACT ACA ACC TGC TGC AAA GGA-3’ dan R: 5’- CTC TGT TGC ATT TCG TCA CCA CCA-3’). Kedua primer tersebut mengamplifikasi DNA target sepanjang 278bp untuk invA dan 571bp untuk gen spvC (Chiu dan Ou, 1996). Deteksi molekuler menggunakan tekhnik singleplex dan multiplex PCR dengan modifikasi pada beberapa suhu annealing dengan menggunakan gradient yakni pada kisaran suuhu 56oC-68oC. Hal ini agar mampu mendeteksi tingkat sensitifitas primer dalam menyandi gen target. Pada tahap ini akan dideteksi keberadaan gen virulensi invA dan spvC pada isolat Salmonella. Gen virulensi invA mewakili faktor virulensi yang disandi oleh kromosom sedangkan gen spvC mewakili faktor virulensi yang berasal dari plasmid.
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi kandidat Salmonella sp dilakukan dalam beberapa tahap utama yakni tahap pre-enrichment, tahap enrichment dan isolasi yang dilakukan dengan mengggunakan medium selektif CCA. Hasil isolasi ditunjukkan pada Gambar 1. Medium CCA merupakan salah satu medium selektif dalam mengidentifikasi jenis bakteri patogen seperti Salmonella sp. Pada medium CCA Salmonella ditunjukan dengan koloni berwarna putih transparan (colourless) atau biru terang. Hal ini dikarenakan bakteri tersebut memiliki enzim β-glukoronidase namun tidak memiliki β-galaktosidase. Namun beberapa strain akan berwarna putih transparan (colourless) jika tidak memiliki kedua aktivitas enzim tersebut. Aktifitas enzim yang menandakan positif terhadap β-galaktosidase dan β-glukoronidase akan ditandai dengan kenampakan koloni biru gelap pada medium CCA. Hal ini terindetifikasi sebagai kelompok E.coli, sedangkan koloni yang menunjukan kenampakan merah dipastikan merupakan kelompok coliform, karena mereka hanya menunjukan aktifitas enzim β-galaktosidase dan negatif terhadap β-glukoronidase (Turner et al., 2000). Namun seperti yang terlihat pada Gambar 1, bahwa ter-
138
dapat beberapa koloni yang menunjukan kenampakan warna biru terang yang diduga merupakan kelompok Salmonella sp. Selain jenis Salmonella sp, koloni biru terang tersebut dapat ditemukan juga pada kelompok strain Yersinia dan Shigella. Sedangkan beberapa kelompok dari Salmonella sp yang menunjukan kenampakan warna putih transparan pada medium CCA disebabkan tidak adanya aktifitas dari kedua enzim yaitu β-galaktosidase dan β-glukoronidase.
Gambar.1 Kenampakan koloni pada medium CCA
Dalam penelitian kali ini jumlah bakteri yang diisolasi dari medium CCA sebanyak 157 isolat, dan setelah dilakukan uji konfirmasi pada medium urea diperoleh total bakteri yang teruji negatif urease adalah 67 isolat (Tabel 1). Sisanya diduga merupakan kelompok dari Proteus sp, Yersinia sp maupun Shigella sp. Tabel 1. Sampel Isolat Negatif Urea
Kode sampel ASKS 1 ASKS 2 ASKS 3 ASKF 1 ASKF 2 ASKF 3 BSKS 1 BSKS 2 BSKS 3 BSKF 1 BSKF 2 BSKF 3 CSKS 1 CSKS 2 CSKS 3 CSKF 1 CSKF 2 CSKF 3 TOTAL
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Jumlah isolat yang diambil
10 6 6 10 10 6 6 6 14 10 6 19 6 10 6 6 9 6 152 isolat
Jumlah isolat urea negatif 4 0 6 2 2 0 4 4 8 10 0 19 0 8 0 0 0 0 67 isolat
Procceding
bakteri kandidat (Tabel 2) yang mengarah pada tipikal Salmonella typhimurium, Salmonella enteritidis dan Salmonella typhi (Gambar 3). Untuk lebih memastikan hasil tersebut maka dilakukan uji molekuler terhadap 13 sampel positif Salmonella pada medium TSIA.
Keterangan : ASKS = A peternakan Susu Kambing Segar ASKF = A peternakan Susu Kambing Frozen BSKS = B peternakan Susu Kambing Segar BSKF = B peternakan Susu Kambing Frozen CSKS = C peternakan Susu Kambing Segar CSKF = C peternakan Susu Kambing Frozen
Tabel 2. Hasil uji koloni Tipikal Salmonella sp
Kelompok bakteri positif urease ditandai dengan berubahnya warna medium urea dari orange menjadi merah muda dan hasil negatif urease ditandai dengan perubahan warna medium menjadi kuning terang (Gambar 2). Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kualitas mikrobiologis susu kambing PE dalam kondisi segar dan beku memilki perbedaan yang cukup signifikan. Susu kambing yang dibekukan dapat meminimalisir kontaminasi dari kelompok Salmonella sp, namun tidak menutup kemungkinan kelompok tersebut hanya bersifat inaktif saja dalam keadaan beku. Berbeda dengan sampel dari susu segar yang isolatnya kebanyakan tidak dapat mendegradasi urea, yang menunjukan salah satu sifat biokimia dari kelompok Salmonella sp.
Kode Isolat
b
Gambar 2. Hasil uji pertumbuhan isolat pada medium urea. (a) Urease positif; (b) Urease negatif
Setelah terlihat adanya kenampakan kandidat Salmonella sp pada medium urea, dilakukan konfirmasi kembali dengan menggunakan medium TSIA. Pertumbuhan Salmonella sp pada medium TSIA dideteksi dengan produksi H2S yang menghasilkan warna hitam karena penggunaan glukosa, laktosa dan sukrosa sehingga menghasilkan gas. Warna hitam yang dihasilkan merupakan pemanfaatan sodium thiosulphate oleh Salmonella sp sebagai sumber sulfur untuk memproduksi H2S, selanjutnya H2S tersebut akan berikatan dengan ferric citrate sehingga menghasilkan ferrous sulfida yang menyebabkan warna hitam pada medium. Sedangkan pembentukan gas terjadi karena adanya fermentasi glukosa oleh Salmonella sp (Swanenburg et al., 2001). Hasil seleksi pada medium urea diperoleh 67 bakteri yang diujikan pada TSIA dan diperoleh 13 isolat
DugaanTipikal Salmonella sp
TSIA
Urea
butt
slope
H2S
ASKS 3.1
-
AG
ALK
+
ASKS 3.3
-
AG
ALK
+
ASKS 3.2 ASKS 3.4 ASKS 3.5 ASKS.3.6
BSKS 2.1 BSKS 2.2 BSKS 2.3 BSKS 2.4
a
Uji seleksi terhadap Salmonella sp
BSKF 1.8 BSKF 1.9 BSKF 1.10
-
AG A
-
AG
-
G
-
AG
-
A
-
G
-
G
ALK ALK
+w
ALK
+
ALK
+gas
NC
+gas
NC NC
A
ALK
-
G
NC
A
+
ALK
-
+
NC
+gas +gas + + +
Salmonella enteritidis Salmonella enteritidis Salmonella enteritidis Salmonella typhi Salmonella enteritidis Salmonella enteritidis Salmonella typhimurium Salmonella typhi Salmonella typhimurium Salmonella typhimurium Salmonella typhi Salmonella typhi Salmonella typhimurium
Keterangan Butt : AG= Asam Gas; A =Asam Slope : A=Asam; ALK =Alkali; NC= Not change H2s : + = Ada produksi H2S (Hitam) ; +(w)= sedikit produksi H2S; - = Tidak ada 1
2
3
Gambar 3. Uji konfirmasi pada medium TSIA. (1) S.typhimurium; (2) S. typhi, (3) S.enteritidis
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
139
Procceding
Pada uji molekuler, diambil beberapa perwakilan jenis bakteri untuk diisolasi dan dimurnikan DNAnya. Isolasi dan pemurnian DNA harus dilakukan dengan baik dan teliti karena kualitas akhir DNA akan mempengaruhi hasil yang akan diamplifikasi. Diharapkan pada tahap isolasi DNA tidak terjadi smear yang diakibatkan oleh ketidakmurnian DNA (Gambar 4).
Gambar 4. Hasil isolasi dan pemurnian DNA sampel yang akan di PCR
Keterangan : S1.1 = S. typhi; S1.2 = S. enteritidis; S3.1= S.typhi S3.2 = S.typhimurium; S5 = S.typhimurium
Identifikasi Salmonella sp dilakukan dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan teknik singleplex-PCR dan multiplex-PCR. Primer yang digunakan adalah invasif A (F: 5’-TCG TCA CAC CGT AGG CAA AAC C-3 ‘ dan R: 5’-GTG AAA CCA TTA TCG TCG GGC CGT AA-3 ‘) dan gen spvC (F: 5’- CCT ACT ACA ACC TGC TGC AAA GGA-3’ dan R: 5’- CTC TGT TGC ATT TCG TCA CCA CCA-3’).Kedua primer ini mengamplifikasi DNA target sepanjang 278bp untuk gen invA dan 571bp untuk gen spvC (Chiu dan Ou, 1996). Tipikal yang diduga kelompok Salmonella sp dapat teramplifikasi secara sempurna oleh kedua primer baik yang dilakukan secara singleplex-PCR maupun multiplex-PCR. Hal ini bahkan ditandai dengan adanya fragmen tunggal yang sejajar dari primer invA dan spvC terhadap kontrol positif. Berdasarkan acuan dari jurnal penelitian sebelumnya suhu optimum annealing pada Salmonella sp dengan primer spvC dan invA adalah ±56oC , 30 detik (Chiu dan Ou, 1996). Namun, pada isolat yang diisolasi dari susu kambing segar dan beku diketahui suhu annealing mencapai 60-68o C (Gambar 5). Pada kisaran tersebut kedua primer masih dapat mengamplifikasi DNA dengan baik, namun tidak terhadap kontrol.
140
Kontrol positif menggunakan Salmonella typhi NCTC 786 dan Salmonella paratyphi A ATCC 9150, pada kedua kontrol positif, suhu annealing yang mencapai 60-68OC tidak berhasil teramplifikasi, namun pada suhu 56oC sampel berhasil diamplifikasi (Gambar 5, no.4) (Arif Ridwan et al,. 2015). Penempelan primer dapat terjadi dikarenakan adanya kecocokan pasangan basa. Temperatur yang digunakan untuk proses annealing sangat bergantung pada temperatur yang dibutuhkan oleh utas ganda DNA kontrol yang akan menempel pada primernya yaitu gen invA dan spvC. Hal yang harus diketahui bahwa keberadaan plasmid virulence pada bahan pangan dapat menyebabkan persistensi dan penyebaran spesies Salmonella dengan sangat cepat. Akan tetapi, peran dari plasmid terhadap virulensi bervariasi tergantung pada inangnya. Gen virulensi invA telah mewakili faktor virulensi yang disandi oleh kromosom sedangkan gen spvC mewakili faktor virulensi yang berasal dari plasmid (Jenikova, et al., 2000; dan Mercanoğlu dan Griffiths, 2005). Dari data molekuler yang diperoleh, maka dipastikan bahwa kelompok Salmonella yang memilikigen invasif dari plasmid dan virulence plasmid dari kromosom adalah sampel dengan kode ASKS 3.2 (S1); S.Enteritidis, kode sampel BSKS 2.2 (S2); S.Typhi dan sampel susu beku dengan kode BSKF 1.10 (S3) yang merupakan S.Typhimurium. Melihat pada berbagai uji yang sudah dilakukan, baik secara mikrobiologis pada medium CCA dengan kenampakan koloni berwarna putih transparan, dan uji konfirmasi tipikal Salmonella pada medium TSIA sampai pada deteksi molekuler menggunakan primer gen invA dan spvC, maka dapat disimpulkan bahwa sampel susu kambing Peranakan Etawa (PE) kabupaten Sleman, Yogyakarta baik yang dalam kondisi segar maupun kondisi beku mengandung kelompok Salmonella typhimurium, Salmonella enteritidis dan Salmonella typhi. Namun untuk memastikan secara akurat maka harus dilakukan uji yang lebih spesifik lagi karena penelitian ini hanya mendeteksi secara dini keberadaan Salmonella sp pada susu kambing.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
1
Procceding
2
3
C+
4
Gambar 5. (1) Hasil PCR-Singleplex suhu 50oC-60oC 1,4,7,10,13), S.typhi (lane 2,5,8,11,14), S. typhimurium (lane 3,6,9,12,15); (3) Hasil amplifikasi DNADengan metode multiplex PCR, primer invA panjang 278bp Primer spvC isolat ASKS 3.5 (S.enteritidis); (2) Hasil amplifikasi DNA dengan metode PCR-Singleplex suhu 61oC-65oC , primer invA (278bp)dan spvC (571bp) S.enteritidis (lane panjang 571bp. Lane C+ST menunjukan control
positif Salmonella typhi,Lane C+SP menunjukan control positif Salmonella paratyphi, Lane S1-S3 merupakan sampel S.enteritidis (S1), S.typhi (S2), S. typhimurium (S3).Lane M merupakan marker Vc 100bp. (4) hasil amplifikasi DNA C+ Salmonella typhi NCTC 786 menggunakan primer spvC suhu 56oC (Arif Ridwan et al., 2015). Kontaminasi susu oleh bakteri patogen dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi sanitasi kandang yang buruk dan penggunaan air yang tidak bersih itulah yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada susu kambing segar (Suwito et al., 2014). Saat pemerahan berlangsung sangat dimungkinkan ada bagian-bagian tubuh kambing yang luput dari kebersihan, karena sisa kotoran kambing dipastikan melekat pada lipatan tubuh yang sukar dibersihkan sehingga dengan sangat mudah ikut mengontaminasi susu segar. Sedangkan kontaminasi yang terjadi pada susu kambing beku dikarenakan tidak adanya perlakuan terlebih dahulu untuk mematikan bakteri patogen pada susu, padahal sangat banyak jenis bakteri yang dapat bertahan hidup pada suhu ekstrim, seperti kelompok Salmonella typhimurium yang masih dapat bertahan hidup pada suhu 6.2oC (Jay,2000). Salmonella typhimurium juga dapat bertahan selama 9 bulan pada suhu -25.5oC dan pada es krim dapat bertahan pada suhu -23oC selama 7 tahun (D’Aoust,1989). Jay (2000) menyatakan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap reaksi katalis enzim yang kemudian mengakibatkan rendahnya metabolisme mikroorganisme. Dari 2500 serovar Salmonella yang dikenal, sebagian besar memiliki kemampuan untuk tumbuh pada rentang suhu yang luas yakni pada suhu 5-4oC dengan suhu optimum mencapai 35-37oC (Gassem et al., 2004). Dewanti et al (2006) melakukan evaluasi kemampuan bertahan Salmonella sp pada es batu didapatkan bahwa kelompok Salmonella sp mengalami peningkatan pertumbuhan saat es mulai mendekati titik cair, yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia dan pertumbuuhan mikroorganisme terutama jika proses pencairan berlangsung lambat. Kelompok Salmonella yang mampu beradaptasi dengan menunjukan peningkatan jumlah koloni yaitu S. infantis, S. lexiton, S. enteritidis, S. Hadar, S.Heidelberg dan S.typhimurium (Dewanti et al., 2006). D’Aoust (1989) menyatakan bahwa pada produk chicken chow mein, S. typhimurium dapat bertahan selama 9 bulan pada suhu -25.5oC dan pada es krim bertahan hingga 7 tahun pada -23oC. Berbeda dengan Salmonella paratyphi B dan Salmonella typhi yang ternyata mampu bertahan selama 270 hari pada suhu -25.5oC (Jay, 2000). Oleh karena susu merupakan minuman yang memiliki kandungan nutrisi yang sangat kompleks maka sangat dimungkinkan pula banyak bakteri patogen yang dapat beradaptasi dan berkembang selama proses
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
141
Procceding
penyimpanan baik saat masih segar maupun dalam keadaan beku. Hal ini pun mendorong perlunya tindakan sebelum mengkonsumsi bahan pangan lewat proses yang terstandarisasi sesuai dengan standar keamanan pangan yang berlaku, agar dapat meminimalisir resiko yang mungkin saja terjadi akibat kontaminasi bakteri patogen penyebab sakit pada manusia dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
KESIMPULAN
Secara mikrobiologi dan molekuler susu kambing baik dalam kondisi segar maupun beku dari pusat peternakan PE belum sepenuhnya terbebas dari kontaminan bakteri Salmonella sp oleh sebab itu diperlukan kewaspadaan dalam pengolahan selanjutnya ketika akan dikonsumsi, agar konsumen terhindar dari resiko yang diakibatkan dari kontaminasi bakteri tersebut.
REFERENSI
Aleandri MA, Fagiolo P, Calderini R, Colafrancesco G, Giangolini R, Rosati, De Michelis F, 1996. Studies Conducted on Somatic Cells Counts of Goats Milk. in: Somatic Cells and Milk of SmallRuminants (Rubino R, Ed). Wageningen Pers. EAAP 77: 65-70. Amarantini C, Sembiring L, Kushadiwijaya H, Asmara W. 2011. Identification and Characterization of Salmonella typhi isolates from Southwest Sumba District, East Nusa Tenggara based on 16S rRNA gene sequences. Electr J of Biological Diversity 12(1): 6p. Arif Ridwan D, Amarantini C. 2015. Deteksi molekuler Salmonella sp pada minuman Es Teh yang Dijual di Kota Yogyakarta [skripsi]. Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. [Indonesia] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI7388:2009. Brock, T.D. 2000. Biology of Microorganisms. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cluffs, New Jersey. Buchanan, RE, Gibbons NE. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 8th edition. Williams and Wilkins Company. Baltimore. Budiarso TY, Rusilowati P, Esti S, Gultom Laura A. 2012. Penentuan Titik Kendali Kritis Cemaran Coliform, Escherichia coli dan Escherichia
142
coli O157 Pada Proses Pemerahan Susu Sapi. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi Jurdik Biologi FMIPA; Oktober 2012; UNY, Yogyakarta. ISBN : 978602-95166-1-6 Burgess F, Little CL, Allen G, Williamson K, Mitchell RT. 2004. Prevalence of CampylobacterSalmonella, and Echerichia coli on the External Packaging of Raw Meat. J Food Prot.68:469-475 Chiu CH, JT OU. 1996. Rapid Identification of Salmonella Serovars in Feces by SpecificDetection of Virulence Genes, invA and spvC, by an Enrichment Broth CultureMultiplexPCR Combination Assay. Journal of Clinical Microbiology. 34(10): 2619-2622. Cliver DO, Doyle MP. 1990. Foodborne Diseases. Academic Press, Inc. San Diego. California D’Amico DJ, Groves E, Donnelly C. W. 2008. Low Incidence Of Foodborne Patogens of Concern in Raw Milk Utilized for Farmstead Cheese Production. J. Food Prot. 71:1580–1589. D’Aoust ,J-Y. 1989. Foodborne Bacterial Patogen, PP. 328-413.Marcell Decker, New York. Dewanti R, Hariyadi, Hartini SM. 2006. Keberadaan dan Perilaku Salmonella Dalam Es Batu, Prosiding PATPI Mikrobiologi dan Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. [Indonesia] Drastini Y, Budiharta S, Asmara W.2002. Isolation of VTI and/or VT2 gene bearing Escherichia colifrom Cattle, Swine, Sheep and Goat. J. Sain Vet XX(2) : 28-35. Foschino, R., Barucco R, Stradiotto K. 2002. microbial composition, including the incidence of patogens of goat milk from the bergamo region of italy during a lactation year. J. Dairy Res.69:213–225. Gassem, M.H, Dolmans W.M.V, Keuter M.M, Djokomoelijanto R.R, 2001. Poor food hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia. Tropical Medicine danInternasional Health 6(6) 484-490. Hiramatsu R, Matsumoto M, Sakae K, Miyazaki Y.2005. Ability of Shiga Toxin-Producing Escherichia coli and Salmonella spp. to Survive in A Desiccation Model System And in Dry Foods. Holt J.G. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, Ninth edition, Baltimore, Maryland, USA.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Jandal JM. 1996. Comprative Aspect of Goat and Sheep Milk. Small Ruminant Research 22 177183 Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology sixth Edition. An Aspen Publication, Maryland. Jayarao, B. M, Pillai S. R, Sawant A. A, Wolfgang D. R, and Hegde N. V. 2004. Guidelines for monitoring bulk tank milk somatic cell and bacterial counts. J. Dairy Sci. 87:3561–3573. Jenikova G, Pazlarova J, Demnerova. 2000. Detection of salmonella in food samples by the combination of Immunomagnetic Separation and PCR assay. International Microbiol. 3:225229. Lin CL, Chiu CH, Chu C, Huang YC, Lin TY, O.U JT. 2007. A Multiplex Polymerase Chain Reaction Method For Rapid Identification OfCitrobacter freundii and Salmonella Species, IncludingSalmonella typhi. J Microbiol Immunol Infect. 40:222-226 Li Q, Cheng W, Zhang D, Yu T, Yin Y, Ju H, Ding S. 2012. Rapid and Sensitive Strategy for Salmonella Detection Using an invA Genebased Electrochemical DNA Sensor. Int. J.Electrochem. Sci. 7:844-856. Liu, Y. M. Lee, E. Ooi, Y. Mavis, A. Tan, and H. Quek. 2003. Molecular Typing of SalmonellaentericaSerovar typhi isolates from Various Countries in Asia by Multiplex PCR Assay on VariableNumber Tandem Repeats. Journal of Clinical Microbiology. Vol. 41, No. 9. p: 4388-4394. Maree PH. 1978. Goat Milk and Its Use as a HypoAllergenic Infant. First printed in Dairy GoatJournal. Monfort P, Le Gal D, Le Saux JC. 1993. Improved Rapid Method For Isolation and Enumeration of Salmonella Bivalves Using Rambach Agar. Morgan, F., Massouras T, Barbosa M, Roseiro L, Ravasco F, Kandarakis I, Bonnin V, Fistakoris M, Anifantakis E, Jaubert G, and RaynalLjutovac K. 2003. Characteristics of Goat Milk CollectedFrom Small and Medium Enterprises in Greece, Portugal and France. Small Rumin. Res. 47:3949.
Park YW, 1991. Relative Buffering Capacity Of Goat Milk,Cow Milk,Soy-Based Infant Formula and Commercial Non-Prescription Antiacid Drugs. J.Dairy Sci,24: 3326-3333. Pinanditya FS, Wahyuni AETH. 2011. Isolation and Identification of Bacteria From Etawah Cross Breed Goats Milk in Sleman Yogyakarta, in: Procceding International Seminar and 2ndCongress of SEAVSA. Surabaya,21-22 June 2011.pp.331-336 Ray B. 1996. Fundamental Food Microbiology. CRC Press. New York. Suwito W.2009. Escherichia coli Verotoksigenik (VTEC) Yang Diisolasi Dari Susu Sapi. JITV 14(3):237-243 Suwito W, Nugroho SW, Wahyuni H. 2014. FaktorFaktor Resiko Masitis Subklinis PadaKambing Peranakan Etawah Di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Swanenburg, M., H.A.P. Urlings, D.A. Keuzenkamp, and J.M.A. Snijders, 2001. SalmonellaIn The Lairage of Pig Slaughterhouses. Journal of Food Protection. Vol. 64, No. 1. p: 12-16. Thomason B.M. 1977. Increased Recovery of Salmonellae from Enrichment Samples enriched with Buffered Peptone Water. Appl Environ Microbiol 34 (3) : 270-273 Turner KM, Restaino L, Frampton EW. 2000. Efficicacy Of Chromocult Coliform Agar For Coliform and Eschercihia coli Detection In Foods. J Food Prot. 63(4):539-541. WHO. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines And Biologicals.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
143
Procceding
POTENSI DAN ADAPTASI JENIS-JENIS IKAN PAYAU (MANGROVE) SEBAGAI IKAN HIAS AIR TAWAR Guruh Prihatmo Haryati Bawole Sutanto Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 2015 ABSTRAK
Populasi ikan payau di kawasan ekosistem mangrove makin hari makin menurun, seiring dengan terjadinya degradasi hutan mangrove di daerah pasang surut baik secara kualitas, maupun kuantitas. Disamping itu banyak jenis-jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi sangat rendah, sehingga tidak ada upaya untuk pemeliharaan atau pelestarian jenis-jenis tersebut. Untuk itu perlu adanya peningkatan nilai ekonomi jenis-jenis ikan tersebut supaya ada perhatian untuk pemeliharaan dan pelestariannya. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonominya yaitu dengan menjadikannya sebagai ikan hias air tawar, untuk itu ikan-ikan air payau perlu diteliti dan dikaji tentang kemampuan adaptasi dan potensinya sebagai ikan hias air tawar. Metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini dengan ikan uji berjumlah 11 jenis, dan masing-masing jenis ada 10 ekor, yang diperlakukan ditempat pengujian berupa akuarium . Proses adaptasi dilakukan dengan cara pengurangan salinitas air payau secara bertahap hingga menjadi tawar ( 100%, 87,5%, 75%, 62,5%, 50%, 37,5%, 25%, 12,5%, 0% atau 100% air tawar) dan dalam proses tersebut juga dicoba pakan alternatif yang mudah dicari dan ikan mau makan. Selain itu kondisi oksigen terlarut, suhu, dan pH air juga selalu dijaga agar tetap dalam keadaan normal, dan juga dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna dan perilaku ikan. Dari hasil penelitian terhadap 11 jenis ikan uji, 10 jenis (Scatophagus argus, valamugil seheli, Acanthopagrus berda, Ambassis dussumieri, Diodon holocanthus, Lutjanus argentimaculatus, Tridentiger brevispinis, Bentophilus sp, Mystus nigriceps, dan Labeo rohita) bertahan hingga hidup pada kondisi air tawar, sedangkan untuk jenis Sicyopterus stimpsoni mati semua pada hari ke 25 dimana kondisi air payau masih 12,5%. Kata kunci: Ekosistem mangrove, ikan payau, adaptasi
PENDAHULUAN Perairan payau merupakan perairan yang sangat kaya akan keanekaragam hayati, karena perairan tersebut merupakan daerah ekoton atau transisi atau pertemuan antara air laut dengan air sungai. Anasir-anasir abiotik maupun biotiknya juga dipengaruhi oleh perairan laut dan perairan sungai, sehingga keanekaragaman hayatinya juga berasal dari kedua ekosistem perairan tersebut. Selain itu pada perairan payau juga dijumpai jenis-jenis mahluk hidup yang khas, yang hanya hidup pada perairan payau saja dan tidak dijumpai pada perairan laut maupun perairan tawar, misalnya untuk hewan yaitu jenis ikan glodok, dan untuk tumbuhan yaitu jenis Rhizopora sp (bakau) dan Avecenia sp (apiapi). Pada perairan payau dengan substrat yang berlumpur dan berpasir serta akumulasi bahan organik biasanya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan yang menyusun ekosistem atau hutan mangrov. Pengertian mangrove menunjuk pada semua tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut atau daerah peralihan an-
144
tara air laut dengan air tawar. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut, yang mempunyai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya (Prihatmo, 2014). Sebagai fungsi ekologi yaitu menyedia nutrien bagi biota perairan, tempat bersarang atau pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah atau remidiasi bahan pencemar, dan pencegah intrusi air laut. Selain itu hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomi yang tinggi seperti penyedia kayu bakar atau arang, bubur kertas, kayu untuk mebel, kerajinan tangan, bahan obat obat-obatan, dan penghasil komoditas perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Sedangkan fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi, pendidikan, dan ecotourism. Hutan mangrove yang alami yang mempunyai area yang sangat luas yaitu di Jawa Tengah Kabupaten Cilacap, dengan luas mencapai lebih dari 20.000 Ha. Di kawasan mangrove Cilacap terdapat pemukiman yang cukup luas, yaitu ada 4 desa yang biasa disebut dengan Kampung Laut, dan sebagian besar
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
masyarakatnya adalah nelayan. Namun makin hari keadaan perikanan kawasan mangrove produksinya semakin menurun, karena meningkatnya aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove dan perairan payau secara umum, sehingga menurunkan pendapatan nelayan dan akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat nelayan. Untuk itu perlu adanya alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan di kawasan perairan payau hutan mangrove. Salah satu alternatif tersebut yaitu menjadikan ikan-ikan payau yang mempunyai nilai ekonomi rendah menjadi ikan hias air tawar. Banyak jenis-jenis ikan payau yang mempunyai bentuk dan warna yang unik dan indah, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan ikan hias. Supaya ikan hias tersebut diminati banyak orang dan mempunyai pasar yang luas maka harus diadaptasikan untuk hidup di air tawar. Karena itu kemampuan adaptasi jenis-jenis ikan payau untuk hidup di air tawar perlu diteliti. Tujuan penelitian ini yaitu untuk: Mempelajari dan menguji-coba apakah jenis-jenis ikan perairan payau dapat diadaptasikan untuk hidup di air tawar, dan jenis-jenis ikan payau apa saja yang dapat diadaptasikan untuk hidup di air tawar dan mempunyai potensi untuk dijadikan ikan hias.
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001). Mangrove membentuk salah satu ekosistem yang paling unik di dunia karena mereka berkembang di mana tidak ada tumbuhan lain yang dapat bertahan di zona transisi antara laut dan daratan. Mereka juga berada di antara sebagian besar ekosistem produktif di dunia (Mithaphala, 2008). Faktor utama yang mempengaruhi ekosistem ini adalah salinitas, tipe tanah, resistensi terhadap arus air, masukan air tawar, sedimentasi, aliran pasang surut, dan gelombang air laut (Setyawan , dkk, 2003). Menurut MacKinnon dkk. (2000) hutan mangrove adalah nama kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur di dalam wilayah pasang surut, dari tingkat air pasang tertinggi sampai tingkat air surut terendah. Selain itu ia terbentuk karena adanya masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Goldman dan Horne, 1983). Mangrove tidak tumbuh di pantai terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir yang merupakan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005 dalam Muhaerin 2008). Menurut Murniati (2010),
kehidupan beberapa jenis/spesies fauna, baik ikan maupun fauna bentik lainnya sangat bergantung pada kondisi wilayah mangrove. Penangkapan ikan menurut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2004) data perikanan menunjukkan bahwa sekitar 3 % dari hasil tangkapan laut Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem mangrove, seperti Penaeus monodon, Penaeus mareueiensis, Metapenaeus sp, kepiting bakau, dan Scylla serrata. Peranan ekosistem mangrove bagi penyedia produk tangkapan hasil laut adalah sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah pencari makanan (feeding grounds), dan daerah pemijahan (spawning grounds). Kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap merupakan wilayah ekosistem Estuaria yaitu Estuaria Laguna Segara Anakan. Menurut LIPI (Oseanografi) Segara Anakan menpunyai banyak keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki fungsi ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini tentu akan membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal (PEP-LIPI, 2001 dalam Pratiwi, 2013). Menurut Wakil Administratur Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Barat, Hilman Firmansyah, sejak tahun 2000 kawasan hutan mangrove di Segara Anakan, Cilacap mengalami alih fungsi lahan, hampir 4.000 hektar hutan mangrove beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan juga telah beralih fungsi menjadi areal tambak, permukiman, serta kayu mangrove yang ditebang untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar (Perum Perhutani, 2000 dalam Pratiwi, 2013). Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, Supriyanto menjelaskan bahwa pada tahun 1974, luas hutan mangrove di Segara Anakan yaitu 15.551 hektar, tahun 1978 menyusut menjadi 10.975 hektar, tahun 1994 kembali menyusut menjadi 8.975 hektar, dan tahun 2003 hanya sekitar 8.359 hektar (Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilacap, 2009). Jenis-jenis ikan perairan payau sangat beranekaragam, karena ikan-ikan pada daerah ini berasal dari laut dan juga berasal dari sungai, yang mempunyai toleransi terhadap kadar garam sedang. Misalnya di Kawasan Mangrove Taman Nasional Ujung Kulon ditemukan 58 jenis ikan, yang tergolong dalam 34 famili dan 43 genus (Wahyudewantoro tahun 2009). Ikan dapat ditemukan di hampir semua genangan air yang berukuran besar, baik air tawar, air payau maupun air asin dan pada kedalaman bervariasi mulai dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan (Fatkhomi, 2009). Raharjo (2011), menyebutkan beberapa habitat ikan pada umumnya yaitu hábitat air tawar
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
145
Procceding
dan air laut. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi 2 yaitu air tergenang atau disebut habitat lentik dan habitat lotik. Sungai yang deras dan sungai yang tenang memiliki arus yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Ikan berada dalam estuari pada bulan-bulan tertentu, baik ikan air tawar maupun ikan laut. Baik ikan-ikan yang hidup di estuari maupun ikan-ikan pendatang sangat toleran terhadap perubahan salinitas dan faktor lain seperti temperatur, pH dan sebagainya (Raharjo, 2011). Ada beberapa parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan, yaitu: 1. Suhu. Menurut Nybakken (1988), ikan dapat hidup dengan baik pada suhu berkisar antara 25-29ºC sedangkan batas minimum suhu berkisar antara 16-17ºC. 2. Salinitas. Salinitas setiap jenis ikan tidak sama (Brotowidjoyo, dkk., 1995). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan. Pada ikan, salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. 3. pH. Ikan dapat hidup dalam air dengan nilai pH berkisar antara 5-9 (Michael, 1995). 4. Arus Air. Arus air mempermudah penyebaran telur, larva dan ikan-ikan kecil, serta bermigrasi. (Brotowidjoyo, dkk., 1995) Pasang surut juga mempengaruhi keberadaan jenis ikan, karena air laut mengalir dengan volume tinggi sehingga ikan yang mempunyai habitat di laut akan menuju ke arah hulu. 5. Cahaya. Cahaya merupakan faktor penting bagi kehidupan di perairan. Bagi produsen sebagai sumber energi untuk fotosíntesis, bagi ikan yaitu untuk mencari mangsa, reproduksi, berlindung dari predator dan orientasi migrasi. Ikan menanggapi rangsangan cahaya antara 0 sampai 5 meter (Brotowidjoyo, dkk.,1995). 6. BOD (Biochemical Oxygen Demand). Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut tercemar oleh bahan organik. Kadar BOD yang aman untuk kehidupan biota perairan tidak lebih dari 4 ppm Menurut Radiopoetro (1991), bentuk, ukuran dan jumlah sisik ikan dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan ikan tersebut. Sisik ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar, sisik sikloid dan stenoid merupakan
146
sisik yang kecil, tipis atau ringan serta sisik placoid merupakan sisik yang lembut. Umumnya tipe ikan perenang cepat atau secara terus menerus bergerak pada perairan berarus deras mempunyai tipe sisik yang lembut, sedangkan ikan-ikan yang hidup di perairan yang tenang dan tidak berenang secara terus menerus pada kecepatan tinggi umumnya mempunyai tipe sisik yang kasar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2015, dengan lokasi pengambilan sampel ikan untuk diuji di perairan payau Desa Ujung Alang, Kampung Laut Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Ikan ditangkap dengan menggunakan jala dengan mata jaring 1,5 cm dan 2,5 cm, jaring tebar (gillnet) dengan mata jaring 1 cm dan serok ikan. Ikan-ikan yang tertangkap diidentifikansi dengan buku identifikasi ikan yang ditulis oleh Saanin, 1984 dan Omar, 2012. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, yaitu dengan melakukan percobaan dengan menguji-coba beberapa jenis ikan yang ditangkap di perairan payau hutan mangrove untuk diadaptasikan secara bertahap untuk dikondisikan agar bisa hidup di air tawar. Adaptasi tersebut didasarkan pada pengurangan konsentrasi air payau dan waktu aklimasi. Pengurangan konsentrasi air payau seara bertahap, yaitu mulai dari 100%, 87,5%, 75%, 62,5%, 50%, 37,5%, 25%, 12,5%, dan yang terkahir semua air tawar. Waktu aklimasi masing-masing tahap selama 4 hari, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk adaptasi selama 32 hari. Jumlah ikan yang diuji untuk setiap jenis sebanyak 10 ekor dengan tempat uji menggunakan akuarium sehingga perilaku ikan dapat diamati dengan jelas, dengan ukuran akuarium panjang 50 cm, lebar 30 cm, dan tinggi 40 cm dan kedalaman air 32 cm. Selama proses adaptasi, konsentrasi oksigen terlarut, pH, dan suhu selalu dijaga agar sesuai dengan kondisi lapang. Data-data yang diperoleh selama percobaan dianalisis secara deskriptif dan kualitatif.
HASIL
Jenis-jenis Ikan Air Payau yang Diuji Dalam penelitian ini ikan yang diuji sebanyak 11 jenis, yaitu: 1. Scatophagus argus (ikan keeper) Ikan ini sering dijumpai pada perairan payau, baik di muara sungai, sekitar dermaga pelabuhan, maupun di perairan hutan mangrove, umumnya hidup berkelompok. Di alam ikan ini memakan lumut atau larva hewan lain, jadi bersifat omnivore,
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
dan toleran terhadap fluktuasi salinitas. Ikan keeper di pasaran jarang di jumpai dan masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias, padahal mempunyai bentuk dan motif yang bagus seperti ikan discus (ikan hias air tawar).
2. Valamugil seheli ( Forsskal) (ikan belanak) Ikan belanak umumnya dijumpai di perairan payau, umumnya hidup berkelompok.. Secara umum tubuhnya berbentuk memanjang agak langsing dan memipih, sirip punggung terdiri dari satu jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah, sirip dubur berwarna putih kotor terdiri dari satu jari-jari keras dan sembilan jari-jari lemah, dan bibir bagian atas lebih tebal dari pada bagian bawahnya. Di alam hewan ini memakan lumut atau larva hewan lain. Ikan ini jarang sekali dipelihara sebagai ikan hias. 3. Acanthopagrus berda (ika bekuku) Acanthopagrus berda merupakan ikan perairan payau dan banyak dijumpai di daerah estuary, terutama pada tempat-tempat yang dasar perairannya berpasir atau berlumpur. Ikan ini merupakan ikan predator, dan di alam ia memakan hewn invertebrate, termasuk cacing, molusca, crustacean, ikan kecil lainnya. Ikan ini sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias, padahal mempunyai bentuk dan warna yang bagus. 4.
Ambassis dussumieri (ikan pempreng/ seriding) Seriding atau ambassis umumnya berukuran kecil berwarna keperakan, terang agak tembus pandang. Hidup di perairan payau di dataran rendah, jarang ditemukan di air tawar, hidup di perairan yang banyak vegetasi, di perairan dangkal dan banyak dijumpai di ekosistem mangrove. Ikan ini termasuk ikan omnivora cenderung ke karnivora, pakan alaminya ganggang, serangga air, crustacean, dan hewan kecil lainnya. Ikan ini tidak memiliki nilai jual di pasar tetapi sering dijadikan sebagai umpan untuk memancing ikan yang berukuran lebih besar. Ikan ini masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias, tetapi berpotensi sebagai ikan hias. 5. Diodon holocanthus (ikan buntal) Diodon holocanthus (ikan buntal) hidup di laut maupun perairan payau. Ikan ini tersebar luas, bersifat pelagic, umumnya hidup berkelompok, dan apabila dipegang tubuhnya bisa menggelembung seperti bola dengan ukuran jauh lebih besar dari ukuran semula. Ikan ini bersifat omnivore namun cenderung untuk karnivora. Di alam ia memakan hewan invertebrate, termasuk di dalamnya moluska, crustacean, dan hewan kecil lainnya. Ikan ini jarang dikonsumsi karena sangat beracun, tetapi kalau mengetahui
teknik dan cara memasaknya, akan menjadi hidangan yang lezat. Di Indonesia, secara umum ikan ini tidak dimanfaatkan, namun akhir-akhir ini mulai ada yang mencoba untuk dipelihara sebagai ikan hias, karena bentuk, warna serta motifnya yang unik dan bagus, serta mempunyai penampilan dan gerak gerik yang lucu. 6. Lutjanus argentimaculatus (mangrove jack) Lutjanus argentimaculatus (mangrove jack/ kakap merah) terebar secara meluas. Ikan ini mempunyai toleransi yang lebar terhadap factor lingkungan, umumnya di jumpai pada estuary atau perairan payau pada ekosistem mangrove, tetapi diwaktu dewasa sering dijumpai di lautan lepas. Ikan ini mempunyai warna tubuh yang bermacammacam, bahkan warna tubuhnya bisa berubahubah tergantung pada konidisi lingkungan dimana mereka berada, misalnya warna kemerahan dengan garis-garis putih vertical sampai warna tembaga, atau warna kecoklatan sampai coklat tua “Mangrove jacks” merupakan ikan predator, makanan di alam berupa crustacean, gastropoda atau moluska, maupun ikan-ikan kecil lainnya. Ikan ini mulai banyak peminatnya untuk dipelihara sebagai ikan hias. 7. Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran) Jenis Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran) terdistribusi meluas dan family ikan ini merupakan salah satu family yang mempunyai jenis sangat banyak, yaitu lebih dari 2000 jenis dengan lebih dari 200 marga atau genus, dan sebagian jenisjenisnya mempunyai toleransi yang lebar terhadap lingkungan, karena itu jenis-jenis dari family gobiidae tersebar sangat luas. Ikan ini umumnya hidup pada perairan yang dangkal dan mereka cenderung beristirahat di dasar perairan serta berperilaku sangat pendiam, namun ia sangat cepat dalam menangkap mangsanya. Ikan ini bertubuh memanjang dengan warna terang sampai gelap, atau kadang berwarna terang dan kadang berwarna gelap, dan di permukaan sisiknya ada bercakbercak mengkilap seperti mutiara, sehingga apabila terkena cahaya akan tampak gemerlap. Ikan ini merupakan ikan predator, di alam ia memakan crustacean, muluska, dan hewan-hewan atau ikan kecil lainnya. Ikan ini masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias. 8. Benthophilus sp (ikan boso) Benthophilus sp (ikan boso) berada dalam family yang sama dengan ikan Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran) , karena itu secara sepintas hamper sama. Ikan ini banyak dijumpai di estuary atau perairan payau, bahkan naik sampai ke sungai, namun jarang sekali dijumpai di laut lepas. Ikan ini malas untuk bergerak dan cenderung beristirahat diam di
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
147
Procceding
dasar perairan, dan umumnya hidup pada perairan dangkal. Boso merupakan ikan predator dan memakan hewan-hewan invertebrata termasuk crustacea, moluska, dan ikan-ikan kecil lainnya. Ikan ini di pasaran jarang dijumpai karena populasinya sudah sangat bekurang, dan jarang dipelihara sebagai ikan hias.
9. Sicyopterus stimpsoni (ikan tenggeleng) Sicyopterus stimpsoni (ikan tenggeleng) juga berada dalam satu family dengan ikan boso, karena itu bentuk tubuhnya juga mirip, namun yang dewasa ukurannya lebih kecil dibandingkan ikan boso atau jangkaran, dan ikan ini tidak bisa besar. Pada permukaan tubuhnya ada bercak-bercak mengkilap hijau kebiruan. Ikan ini juga hidup dan beristirahat di dasar perairan dan biasanya tinggal di dalam lubang-lubang dalam lumpur pada perairan mangrove. Ikan ini mempunyai sirip perut yang dapat dibentuk seperti mangkuk, sehingga ikan ini dapat menempel pada batu, kayu, kalau di akuariun dapat menempel di kaca dinding akuarium. Ikan ini juga merupakan ikan predator, dan makanannya berupa hewan-hewan invertebrate termasuk crustacean dan moluska. Ikan ini di pasaran sekarang jarang dijumpai, karena populasinya sudah sangar menurun, dan jarang dipelihara sebagai ikan hias. 10. Mystus nigriceps (ikan keting) Mystus nigriceps (ikan keting) penyebarannya sangat luas. Ikan ini banyak di jumpai di muara, atau perairan payau, atau di sungai-sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan arus airnya lamban, namun tidak dijumpai di laut lepas, panjangnya tidak sampai 30 cm, dan hidupnya berkelompok. Keting bersifat omnivore, di alam ia lebih suka memakan hewan invertebrate. Keting mempunyai sirip badan dan sirip punggung dengan spina atau duri yang keras dan runcing, dan apabila tertusuk durinya akan terasa sangat sakit. Ikan ini lebih suka hidup pada perairan yang dangkal dan berlumpur. Ikan ini juga dikonsumsi, namun banyak orang yang tidak menyukainya karena dagingnya sedikit, dan juga jarang dipelihara sebagai ikan hias. 11. Labeo rohita Labeo rohita mempunyai penyebaran yang sangat luas. Ikan ini dapat besar dan dapat mencapai panjang lebih dari 1,5 m dengan berat lebih dari 80 kg, lebih suka hidup soliter atau menyendiri. Ikan ini sering dijumpai pada daerah estuary atau sungai-sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ikan ini bersifat omnivore, di Indonesia jarang dijumpai di pasaran karena populasinya sedikit, dan ikan ini jarang sekali dipelihara sebagai ikan hias.
148
Proses Adaptasi Salinitas atau kadar garam awal (air payau) rata-rata sebesar 10 %o, dan salinitas ini relatif rendah, karena pengambilan ikan uji di lapangan pada saat musim hujan, sehingga daerah muara sungai dipenuhi oleh luapan air sungai, sehingga salinitasnya menurun atau rendah. Selama proses pengujian atau adaptasi ikan dari air payau menuju ke air tawar, konsentrasi oksigen terlarut (DO), pH, dan suhu selalu dijaga agar sesuaui dengan kondisi lapang, yaitu: DO berkisar antara 6 – 8 ppm, pH berkisar antara 6,5 – 8, dan suhu berkisar antara 250C – 280C, sedangkan salinitas dilakukan pengurangan secara bertahap hingga mencapai kondisi air tawar 100%. Selain juga diuji coba pakan alternatif yang mudah dicari di pasaran, yaitu cacing sutera, cacing darah (baik segar maupun beku, dan ulat hongkong. Dari ke tiga macam pakan alternative ini, cacing suteracing dan cacing darah sangat di sukai oleh ke 11 jenis ikan tersebut, tidak megitu di sukai, bahkan sebagaian jenis ikan tidak mau. Selama proses adaptasi, respon atau perilaku ikan berbeda-beda untuk tiap jenisnya. Ikan yang stress dan tidak tahan terhadap proses adaptasi tidak mau makan, dan cenderung berenang dengan mulut menyembul di permukaan air, permukaan tubuhnya tampak berlendir, dan biasanya diikuti oleh keluarnya faeses seperti benang yang tidak lepas dari kloakanya. Biasanya kalau sudah menunjukkan tanda-tanda seperti ini ikan tidak akan tahan lama dan akan mati.
Hasil adaptasi
Ikan yang bertahan hidup sampai akhir adaptasi dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil adaptasi, 11 jenis ikan yang diuji hanya 1 jenis saja yang tidak tahan sampai kondisi air tawar, yaitu jenis Sicyopterus stimpsoni. Ikan ini mulai mengalami kematian pada hari ke 17, yaitu pada konsentrasi air payau 50 % dan semua ikan mati pada hari ke 25, yaitu pada saat konsentrasi air payau 25 %. Ini disebabkan ikan tersebut biasa hidup lubang-lubang substrat berlumpur, sehingga kondisi akuarium sangat tidak sesuai untuk kehidupannya. Sedangkan 10 jenis lainnya bisa tahan sampai kondisi air tawar. Jenis Mystus nigriceps, Benthophilus sp, dan Tridentiger brevispinis bisa bertahan dan hidup semua (100 %) sampai kondisi air tawar, ini disebabkan ikan-ikan tersebut toleran pada salinitas rendah, dan diwaktu air pasang mereka sering naik sampai ke sungai-sungai yang airnya cenderung tawar. Hal ini juga sering terjadi untuk jenis Labeo rohita dan Valamugil seheli, sehingga prosentase hidup mereka juga relatif masih tinggi, yaitu 90% dan 80%.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Tabel 1. Jumlah dan prosesntase ikan yang hidup sampai akhir adaptasi Jenis
Mystus nigriceps Benthophilus sp Tridentiger brevispinis Labeo rohita Valamugil seheli Scatophagus argus Lutjanus argentimaculatus Acanthopagrus berda Ambassis dussumieri Diodon holocanthus Sicyopterus stimpsoni
Jml ikan hidup 10 10 10 9 8 7 7 6 6 5 0
% ikan hidup 100 100 100 90 80 70 70 60 60 50 0
Untuk jenis-jenis yang prosentase hidupnya 70% ke bawah seperti: Scatophagus argus, Lutjanus argentimaculatus, Acanthopagrus berda, Ambassis dussumieri, dan Diodon holocanthus agar prosentase hidupnya lebih tinggi maka perlu adaptasi lebih lama dengan interval pengurangan konsentrasi air payau yang lebih kecil. Sedangkan untuk jenis Sicyopterus stimpsoni agar bisa hidup sampai kondisi air tawar maka perlu perlakuan yang khusus, dalam hal ini kondisi akuarium dibuat sedemikian rupa sehingga mendekati kondisi habitatnya di lapang. Dari 10 jenis ikan yang mampu beradaptasi hingga air tawar, sangat berpotensi untuk ikan hias air tawar. Hal ini karena ada beberapa penjual ikan hias yang mau membeli dengan harga berkisar antara Rp 15.000,- sampai Rp 30.000; per ekor, padahal di masyarakat nelayan ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomi rendah, bahkan beberapa jenis tidak mempunyai nilai ekonomi.
Daftar Pustaka
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Brotowidjoyo, M. D., Fauziah, Y., Nursal dan Supriyanti.1995.Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty Fatkhomi, F. 2009. Ekologi Ikan. [serial online] http://wordbiology.wordpress.com/2009/01/20/ ekolologi-ikan/ [ diaksestanggal 17 Maret 2012]. Goldman ,C.R and A.J Horne, 1983. Limnology. McGraw-Hill Book Company ,London
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Universitas Indonesia Press. Jakarta Mithaphala, Sriyani. 2008. Coastal Ecosystem Series Volume 2. Karunaratne and Sons Ltd. Homagama. Sri Lanka. Murniati, D. 2010. Komposisi Jenis Kepiting ( Decapoda: Brachyura ) Dalam Ekosistem Mangrove dan Estuari, Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati LIPI. Vol 10 (2) .ISSN :0126-1754. Muhaerin, M. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove Untuk Pengelolaan Ekowisata di Estuari Perancak, Jembrana, Bali [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi (Terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta. Omar, S.B.A., 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada University Press. Pratiwi, R.E., 2013. Konversi Hutan Mangrove Tahun 1998-2009, dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Perikanan dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Segara Anakan Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Prihatmo, G. 2014. Penentuan Zonasi untuk Pengelolaan dan Pengembangan Area Mangrove di Dusun Baros, Kabupaten Bantul. Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Radiopoetro. 1991. Zoologi. Penerbit Erlangga. Jakarta Raharjo, M., Setiadi, D., Muhdiono, I. dan Yusron, A.. 2011. Iktiology. Lubuk Agung. Bandung Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Bogor Setyawan, A., dkk. 2003. Ekosistem Mangrove di Jawa: Kondisi Terkini. Jurnal Biodiversitas Vol 4 (2) : 130-142. ISSN :1411-4402. Wahyudewantoro, G. 2009. Keanekaragaman Fauna Ikan Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Banten. Jurnal Berita Biologi 9.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
149
Procceding
MOLECULAR DETECTION OF ESCHERICHIA COLI FROM WATER WELLS IN KLITREN, YOGYAKARTA RA Mertha Prana, Dhira Satwika Faculty of Biotechnology, Duta Wacana Christian University
[email protected] [email protected] ABSTRACT
Escherichia coli has been known as an indicator bacteria for drinking water safety; its presence is a sign that the water is not safe to be drink. The objective of this research is to detect the presence of E. coli in the wells at Klitren, Yogyakarta which are used as drinking water. Water samples were collected from the wells, and then passed into an ultrafiltration membrane. Samples before and after passed from the membrane were platted onto enriched and selective media for E. coli. Biochemical assays were then performed for the suspected colonies grown on that media, including motility test, indole and sorbitol fermentation, methyl red, lysine decarboxylase assays and growth on lactose broth. The result showed there were 27 colonies giving positive result for E. coli. Confirmation was done by means of molecular detection targeting specific genes. Specific primer pairs derived from conserved areas covering the respective genes were deduced and used for performing in silico and in vitro PCR studies. This analysis resulted in the high specificity of the newly deduced primer pairs for E. coli. The result showed the presence of E. coli in the samples before filtration and its absence after being treated by the membrane. Keywords: well water, Klitren, filtration, E. coli
PENDAHULUAN Kawasan Klitren merupakan salah satu kawasan di Yogyakarta dengan pemukiman padat penduduk sehingga kebutuhan air bersih relatif tinggi. Banyaknya aktivitas sehari-hari menjadi faktor utama kemunculan Escherichia coli yang secara luas mengakibatkan sumber air terkontaminasi (Bettelheim, 2003). E. coli dikenal sebagai bakteri indikator untuk keamanan air minum. Berdasarkan standar kualitas air minum di Indonesia menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia, kandungan E. coli untuk air minum adalah 0/100 mL. Kebanyakan patogen di dalam air umumnya berasal dari kotoran hewan dan manusia (Leclerc et al., 2002). Kotoran ini dapat masuk ke dalam sungai (jika tidak mempunyai septic tank) dan mencemari sungai, serta jika septic tank mengalami kebocoran dapat mencemari sumber air bersih di sekitarnya. Escherichia coli adalah bakteri gram negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dan ditemukan di dalam usus besar pada organisme berdarah panas. Escherichia coli merupakan bakteri yang memfermentasi laktosa menggunakan β-Dgalaktosidase yang menghasilkan asam dan gas dalam waktu sekitar 24 – 48 jam. Escherichia coli yang tidak patogen tidak menyebabkan diare, namun pada E.coli yang patogen dapat menyebabkan
150
infeksi saluran kemih, bakteremia, meningitis dan diare pada manusia (Bidet et al., 2005). Pertumbuhan optimal E. coli pada suhu 37oC tetapi beberapa strain dapat tumbuh pada temperatur diatas 49oC (Fotadar et al., 2005). Uji IMViC menjadi uji biokimia yang digunakan untuk identifikasi E. coli. Uji IMViC terdiri dari uji indol, uji voges-proskauer, dan uji fermentasi sitrat. Hasil uji indol dan metil merah positif,dan negatif pada ujivoges-proskauer dan sitrat merupakan karakter E. coli (Leclercq et al, 2002). Escherichia coli dapat memfermentasi sorbitol dan menghasilkan glukuronidase (Geldreich and LeChavellier, 1999). Media yang dapat digunakan untuk uji fermentasi sorbitol dan aktivitas glukuronidase adalah sorbitol MacConkey agar (Meng et al., 2001). PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah tehnik spesifik di bidang biologi molekuler yang berfungsi untuk amplifikasi salinan potongan DNA dan menghasilkan ribuan sampai jutaan salinan urutan DNA tertentu (Bogdanova et al ., 1982). Primer gyrB dan lacZ dapat digunakan untuk deteksi E. coli karena gen gyrB terdapat di semua bakteri yang mengkode domain ATPase dari DNA girase dan merupakan enzim yang penting untuk replikasi DNA(Nitiss, 2009). Gen gyrB ini banyak
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
dipakai untuk deteksi E. coli dan Salmonella (Fukushima et al., 2002). Gen lacZ dapat mengkode -galaktosidase dan dapat mendeteksi kelompok koliform terutama E. coli. Sejak tahun 1990, gen lacZ ini telah digunakan untuk mendeteksi tersangka E. coli (Higgins et al.,2007). Penelitian ini bertujuan untuk deteksi E. coli selama proses pengolahan air melalui uji biokimia, mikrobiologis dan molekuler.
METODE PENELITIAN Tahap mikrobiologis. Sampel air sumur diencerkan dalam media NaCl dengan pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dan diinokulasikan pada media PCA. Sampel juga ditanam pada media EE broth untuk enrichment dan diinokulasikan pada media CCA. Isolat terdugaE. coli dikumpulkan dan dilanjutkan dengan uji biokimia. Isolasi DNA dengan metode fenol kloroform (dimodifikasi). Isolat tersangka ditumbuhkan pada media Luria Bertani selama sekitar 15 jam, dan selanjutnya dilakukan isolasi DNA berdasarkan metode fenol kloroform standar dengan modifikasi penambahan RNAse. DNA yang diperoleh dilarutkan ke dalam DNAse RNAse free distilled water, selanjutnya digunakan untuk PCR. Pengamatan hasil dilakukan dengan elektroforesis pada agarosa 0,8% (Sigma Biology) yang ditambah Red SafeTM Nucleic Acid Solution (iNtRON Biotechnology) pada TBE solution dengan tegangan 60 Volt. Amplifikasi DNA. Amplifikasi DNA dilakukan pada tabung dengan volume 20µl yang terdiri dari 7 akuades ditambahdengan 10 red mix, 1 primer dan 1 DNA E. coli. PCR dilakukan dengan kondisi denaturasi awal 94oC selama 2 menit diikuti oleh 30 siklus denaturasi pada suhu 94oC selama 2 menit, annealing primer pada temperatur (untuk gyrB 55oC dan untuk lacZ 58oC) selama 45 detik, primer extension pada suhu 72oC selama 10 menit. Kontrol positif yang digunakan adalah E. coli ATCC 25922 dan kontrol negatif adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923 (Irwanto, 2015). Hasil PCR diamati dengan elektroforesis pada agarose 0,8% pada tegangan 60 Volt.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel diambil dari dua lokasi yang berbeda di daerah Klitren dan dilakukan pengamatan bakteri yang terdapat pada air sumur. Koloni biru gelapyang muncul pada media spesifik diamati lebih lanjut karena merupakan tersangka E.coli, sedangkan koloni warna putih dan merah diduga sebagai Enterobacteriaceae. Koloni biru gelap tidak ditemukan pada sampel outlet baik di lokasi 1 maupun 2. Metode filtrasi dapat dikatakan efektif untuk mengurangi keberadaan bakteri dengan warna koloni biru gelap. Deteksi E. coli dengan Uji Biokimia. Isolat biru gelap ditemukan pada sampel inlet. Isolat tersebut kemudia diuji secara biokimia melalui uji indol, motilitas, uji metil merah, fermentasi laktosa, MacConkey, dan lisin dekarbosilase. Dari 81 isolat hasil sampling pada sampel inlet, diambil 44 isolat secara acak untuk uji ini. Dari 44 isolat yang diuji terdapat 27 isolat positif E. coli (data tidak ditunjukkan). Deteksi Molekuler E. coli. Pada uji molekuler, dipilih 27 isolat hasil uji biokimia yang positif E. coli secara acak dan dilakukan PCR. Primer gyrB dan lacZ yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai kontrol positif digunakan E. coli ATCC 25922 dan untuk kontrol negatif Staphylococcus aureus ATCC 25923 (Irwanto, 2015). Hasil PCR menunjukkan tiga isolat berhasil dideteksi sebagai E. coli. Amplikon pada PCR (pada gambar 1) menunjukkan semua isolat (I1, I2, I3) dengan ukuran sesuai dengan gen target 531 bp untuk gyrB dan 465 bp untuk lacZ. Pada kontrol negatif tidak terdapat produk PCR. Kedua gen yang dipakai dapat digunakan sebagai marker yang baik untuk deteksi semua jenis E. coli karena hasil produk PCR menunjukkan hasil yang spesifik. Dari hasil PCR tersebut dapat dikatakan bahwa masih ditemukan E. colipada air sumur Klitren sebelum mengalami proses filtrasi. Bakteri ini tidak lagi ditemukan pada sampel setelah diolah dengan membran ultrafiltrasi. Meskipun demikian, masyarakat harus mengolah air sumur sebelum dikonsumsi karena adanya potensi keberadaan bakteri lain setelah proses pengolahan (Hilson, 2015).
Tabel 1.Primer yang digunakan untuk uji molekuler dan ukuran produk PCR yang dihasilkan
Bakteri
Primer
Urutan DNA
E. coli
gyrB
Forward: GGC-GTA-ACC-GCA-AGA-ACC-AG
E. coli
lacZ
Forward: CGG-CGG-TGA-AAT-TAC-CGA-TG
Reverse: GTC-GGC-TGA-TAG-ATA-AGC-TC Reverse: CAC-CAT-CGC-GTT-ACG-CGT-TC
Suhu Annealing
Ukuran Produk PCR
58oC
531 bp
55oC
465 bp
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
151
Procceding
Gambar 1. Produk PCR dengan primer gyrB 531 bp (A) primer lacZ 465 bp (B) 100 bp marker (M), kontrol positif E. coli ATCC 25922 (K+),kontrol negatif Staphylococcus aureus ATCC 25923 (K-) dan 3 isolat yang diduga E. coli (I1, I2, I3).
KESIMPULAN
Deteksi dini secara mikrobiologis dan molekuler air sumur di wilayah Klitren menemukan E. colipada sampel sebelum diolahdan bakteri ini tidak ditemukan pada sampel air yang telah diolah.
DAFTAR PUSTAKA Bettelheim, KA. 2003. The genus Escherichia. In The Prokaryotes: An Evolving Electronic Resource for the Microbiological Community, electronic release 3.14, 3th ed.; Dworkin, M., Falkow, S., Rosenberg, E., Eds.; Springer-Verlag: New York, NY, USA. Bidet P, Mariani P, Grimont F, Brahim N, Courroux C, Grimont P, Bingen E. 2005. Characterization of Escherichia coli O157: H7 isolates causing haemolytic uraemic syndrome in France. J. Med. Microbiol., 54: 71 - 75.
152
Bogdanova ES, Mirkin S, Shmerling ZG, 1982, Changed properties of the A subunit in DNA gyrase with a subunit B mutation, Mol Gen Genet, 186;572-574. Douglas H, Brian W, Reuben E. 2012. LacZ β-galactosidase: Structure and function of an enzyme of historical and molecular biological importance. Protein Sci. 21(12): 1792-1807. Fukushima M, Kakinuma K, Kawaguchi R. 2002. Phylogenetic Analysis of Salmonella, Shigella, and Escherichia coli Strains on the Basis of the gyrB Gene Sequnce. J Clin Microbiol 40 (8): 2779-2785 Fotadar U, Zaveloff P, Terracio L. 2005. Growth of Escherichia coli at elevated temperatures. Basic Microbiol.45:403-4. Geldreich EE, Le-Chavellier MW. 1999. Microbiological quality control in distribution systems. In: Letterman RD, ed. Water supplies. 5th ed. New York:McGraw-Hill. pp 1-49. Higgins J, Hohn C, Hornor S, Frana M, Denver M, Rolf J. 2007. Genotyping of Escherichia coli from environmental and animal samples. J MicrobiolMeth70: 227–235 Hilson EI. 2015. Sekuen Parsial Gen rpoB dan gyrB Sebagai Penanda Genetik Potensial untukDeteksi Molekuler Enterobacteriaceaepada Sampel Air. Skripsi. Fakultas Bioteknologi UKDW. Yogyakarta Irwanto MI. 2015. Karakterisasi Biokimiawi dan Molekuler Isolat Staphylococcus aureus dari Produk Susu Segar. Skripsi. Fakultas Bioteknologi UKDW. Yogyakarta Leclercq A, Wanegue C, Baylac P. 2002. Comparison of fecal coliform agar and violet red bile lactose agar for fecal coliform enumeration in foods, Appl Environ Microbiol 68:1631-8. Meng J, Doyle M, Zhao T, Zhao S. 2001. Escherichia coli 0157:H7. In: Doyle MP, Beauchat LR, Montville TJ, eds. Food microbiology: fundamentals and frontiers, 2nd ed. Washington DC: ASM Pess. pp 193-213. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Persyaratan Kualitas Air Minum. Nitiss JL. 2009. DNA Topoisomerase II and its growing repertoire of biological functions, Nature. 16;1-6.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DBD DI DUSUN TRISIGAN, DESA MURTIGADING, KECAMATAN SANDEN, KABUPATEN BANTUL Amaze Grace Sira1), Yoseph Leonardo Samodra1) Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Duta Wacana email:
[email protected]
1
ABSTRACT
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a disease that caused by dengue virus. Dengue infection is most prevalent mosquito-borne disease inrecent years, so it becomes one of world health problems. In 2010, Indonesia ranked first in South East Asia, with 150,000 cases and mortality in 1,317 cases. Many factors related to prevalency of DHF, such as host characteristics, vector, environment, mobility, knowledge, attitude, and behaviour of the people regarding DHF. This study is aiming to measure the knowledge, attitude, and behaviour of the people live in Dusun Trisigan, Desa Murtigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. This study used observational method, with descriptive cross-sectional design, done in April-May 2015. From 50 respondents, 64% have good knowledge, 90% have good attitude, and 78% have good behaviour regarding DHF, regarding mostly about environment setting related to mosquito breeding place. But most of them (96%) stated that mosquito, not virus, causes DHF. Keywords: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), knowledge, attitude, behaviour
ABSTRAK Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Infeksi dengue merupakan penyakit menular melalui nyamuk yang paling sering terjadi pada manusia dalam beberapa tahun terakhir, sehingga masih merupakan masalah kesehatan dunia. Pada tahun 2010 Indonesia memiliki kasus DBD tertinggi di ASEAN dengan 150.000 kasus dan 1.317 orang meninggal akibat penyakit ini. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di suatu wilayah antara lain faktor penderita (host), tersangka vektor, kondisi lingkungan, tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku serta mobilitas penduduk, yang berbeda-beda untuk setiap daerah dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap DBD di Dusun Trisigan, Desa Murtigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional, dengan rancangan cross-sectional yang bersifat deskriptif. Penelitian berlangsung pada AprilMei 2015. Dari responden berjumlah 50 orang, didapatkan gambaran pengetahuan yang baik (64%), sikap yang baik (90%), dan perilaku yang baik (78%) terhadap DBD, terutama menyangkut kondisi lingkungan yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk. Namun sebagian besar (96%) menyatakan bahwa penyebab DBD adalah nyamuk, bukan virus. Kata kunci: Demam Berdarah Dengue (DBD), pengetahuan, sikap, perilaku
1. Pendahuluan Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. DBD disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae1. Infeksi dengue merupakan penyakit menular melalui nyamuk (mosquito-borne) yang paling sering terjadi pada manusia dalam beberapa tahun terakhir, sehingga masih merupakan masalah kesehatan dunia. World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa 2,5 miliar manusia tinggal di daerah virus dengue bersirkulasi2. Di seluruh dunia diperkirakan terjadi lebih dari 50 juta kasus infeksi virus dengue terjadi tiap tahunnya dengan jumlah rawat inap sebesar 500.000 dan angka kematian lebih dari 20.000 jiwa. Tahun 2006 di Indonesia didapatkan laporan kasus dengue sebesar 106.425 orang dengan tingkat kematian 1,06%3. Pada tahun 2010 Indonesia memiliki kasus DBD tertinggi di ASEAN dengan 150.000 kasus dan 1.317 orang meninggal akibat penyakit ini4.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
153
Procceding
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di suatu wilayah antara lain faktor penderita (host), tersangka vektor, kondisi lingkungan, tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku serta mobilitas penduduk, yang berbeda-beda untuk setiap daerah dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Faktor lingkungan meliputi kondisi geografi dan demografi. Kondisi geografi yaitu ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, dan iklim5. Selama bulan Januari hingga April 2015 terjadi tiga kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Sanden. Kasus terakhir di bulan April 2015 adalah salah satu warga Dusun Trisigan yang lokasinya hanya sekira 800 meter dari Puskesmas Sanden. Hal ini perlu diperhatikan agar dapat mencegah timbulnya kasus baru di kemudian hari. Peran serta masyarakat sangat penting dalam menurunkan angka kesakitan DBD di suatu wilayah. Berbagai program kesehatan seperti Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dan 3M Plus telah dilaksanakan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kasus DBD baru. Agar program tersebut dapat memberi hasil yang optimal, masyarakat perlu memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik terkait DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap DBD di Dusun Trisigan, Desa Murtigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul.
lompok umur di atas 65 tahun hanya mencakup 4% responden, dan tidak ada responden yang berusia kurang dari 20 tahun (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Umur
<20 tahun 20-35 tahun
3. Hasil dan Pembahasan
Karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa kelompok umur terbanyak adalah umur 36-50 tahun (66%), sedangkan ke-
154
%
11
22
4
8
36-50 tahun 50-65 tahun
>65 tahun
0
33
0
66
2
4
Tabel 2 menunjukkan bahwa tiga kelompok responden terbanyak berdasarkan tingkat pendidikan terakhir adalah SMA (50%), diikuti oleh SMP (28%) dan SD (10%). Sedangkan tiga kelompok responden terbanyak berdasarkan pekerjaan adalah ibu rumah tangga (56%), diikuti oleh PNS (16%) dan petani (14%). Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Pekerjaan Variabel
Frekuensi
%
SD
5
10
0
0
Pendidikan
Tidak tamat SD
2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan rancangan potong lintang yang bersifat deskriptif. Lokasi penelitian adalah di Dusun Trisigan, Desa Murtigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Penelitian dilakukan selama bulan April hingga Mei 2015. Sampel yang diambil adalah 50 orang yang mewakili 50 keluarga, berasal dari ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan PKK. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner. Variabel yang diteliti adalah pengetahuan, sikap, dan perilaku responden. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif menggunakan software Microsoft Excel® 2010. Analisis data hasil penelitian disajikan secara deskriptif untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel dalam bentuk tabel dan grafik.
Frekuensi
2
SMP
14
Sarjana
4
SMA
Diploma
Pekerjaan
Buruh
Petani PNS
Pegawai Swasta Pensiunan PNS Wiraswasta
Ibu Rumah Tangga
25
1
4
28 50 8 2
7
14
1
2
8 5 0
28
16 10 0
56
Ketika dilakukan pengelompokan berdasarkan kategori tingkat pengetahuan mengenai DBD, didapatkan bahwa 32 orang (64%) pengetahuannya dikategorikan baik, 12 orang (24%) pengetahuannya dikategorikan sedang, dan hanya 6 orang
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Kettika dilakkukan pengelompokkan berdasarrkan kategoori tingkat pengetahuuan mengenaai DBD, diddapatkan bah hwa 32 oran ang (64%) ppengetahuannnya dikatego orikan baik, 12 orang ((24%) pengetahuannya dikategorikkan sedang, dan hanyaa 6 orang (12%) yaang (12%) yang dalampenget kategori pengetahuan termasuk k termasuk dalam kateegori tahuan kuranng. kurang. Gambar 1 menyampaikan distribusi frekueGambar 1 menyamppaikan distriibusi frekuen nsi nsiresponde responden berdasarkan jawaban atas kelompok en berdasarkkan jawaban atas kelomp ok pertanyaan DBD. pertanyaaanmengenai mengennaipengetahuan pengetaahuanterkait terkkait Hal yang menarik adalah hanya 2 orang (4%) yang DBD. H Hal yang mennarik adalah hanya 2 oran ang mengetahui penyebab DBD adalah virus, bukannya (4%) yan ng mengetah hui penyebab b DBD adal lah(venyamuk yang hanya berperan sebagai penular virus, bu ukannya nya amuk yang hanya h berper ran ktor). sebagai ppenular (vekktor). 60 50 40 30 20 10 0
Tidakk Tahu
1. Distribusi Distribussi Responden n Berdasarka an Gambarr 1. Gambar Responden Berdasarkan T Topik Pengettahuan Terkaait DBD Topik Pengetahuan Terkait DBD
sarkann % 4 10 28 50 0 8 2 14 16 10 2 0 56
mpokkan getahuuan 2 oran ang baik, 12 egorikkan %) yaang kuranng. rekuennsi elomp ok terkkait 2 oran ang D adallah berperran
Hassil penelitiann menunjukk kan respondden Hasil penelitian menunjukkan responden yang me empunyai si ikap dalam kategori aik yang mempunyai sikap dalam kategori baikba seban(90%) dan sebanyak k 45 orang hanya h 5 oran ang yak 45 orang (90%) dan hanya 5 orang (10%) yang (10%) yyang mempu unyaikategori sikap dalam d sedang. katego ori mempunyai sikap dalam Gambar sedang. Gambar 2 menyampai ikan distribu usi 2 menyampaikan distribusi frekuensi responden ponden berda jawaaban atas frrekuensi resp berdasarkan jawaban atasasarkan kelompok pertanyaan ke elompok per rtanyaan me engenai sika ap terkait mengenai sikap terkait DBD. Hanya 1 orang (2%) DBD. D tidakHanya orang (2% %) yang3M tidaak setuju yang setuju1 bahwa kegiatan (mengubur, ba ahwa kegia tan 3M (m mengubur, menutup, m menutup, menguras) harus dilakukan secara rutin. menguras) m harrus dilakukann secara rutin n. 60
50 40 30 20 10
0
Tidak
Setuju
Gambar G 2. Distribusi Diistribusi Resp sponden Berd dasarkan Gambar 2. Responden Berdasarkan Sikap Terka ait DBD Sikap Terkait DBD
Procceding
Gambar G 2. Diistribusi Resp sponden Berd dasarkan Tidak semua Sikap responden Terkaait DBDmemiliki perilaku dalam kategori baik. Lebih lanjut, distribusi responden berdasarkan perilaku dapati perilaku dilihat pada Tidak sem mua respond den memiliki Tabel 3. daalam katego ori baik. Lebbih lanjut, distribusi reesponden berdasarkan pperilaku dapaat dilihat paada Tabel Tabel 3. 3. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Terkait DBD Tabel 3. Disstribusi Respponden Berdaasarkan Perilaku Frekuensi % Perilaku P Terk kait DBD Baik 39 % 78 Per rilaku Frekkuensi Baik B 339 9 78 18 Sedang Sedang 9 18 Kurang 2 4 Ku 4 urang 2
Karakteriistik respond den berdasark kan umurumur Karakteristik responden berdasarkan menunjukkan bahwa mayoritas ibu-ibu PKKdidi Dumenunjukkan m bahwa mayo oritas ibu-ibu u PKK sun Desa Murtigading, Dusun D Trisigan, Trisigaan, Desa Murrtigading,Kecamatan Keecamatan Sanden, Kabupaten Bantul berusia antaraantara Saanden, Kabu upaten Bantu ul berusia a 20 hingga 20 50 tahun, yaitu sebanyak 44 orang (88%). Meskipun hiingga 50 taahun, yaitu sebanyak 44 4 orang di(8 pedesaan, tingkat di pendidikan 88%). Messkipun pedesaan,responden tingkat cukup tinggi, 58% ibu-ibu PKK memiliki peendidikan responden cukkup tinggi, 58% 5 pendidikan ibuterakhir minimal tamat SMA. Pekerjaan lebih ib bu PKK memiliki ppendidikan terakhir dari separuh responden (56%) adalah ibu rumah tangminimal m tamat SMA. PPekerjaan leebih dari ga, yang memungkinkan mereka untuk lebih banse eparuh respo ondenwaktu (56% %)di adalah ib bu lingkungan rumah yak menghabiskan rumah dan ta angga, yang memungki inkan merek ka untuk sekitar. leebih banyak menghabiskkan waktu di d rumah Mayoritas responden memiliki tingkat pengedaan lingkungaan sekitar. tahuan yang baik (64%) dan sedang (24%), meskiMayorita as responden n memiliki i tingkat yang pun masih banyak ditemukan pengetahuan pe engetahuan yang baik (64%) dan n sedang belum lengkap dan benar. Terbukti bahwa sebagian besar (96%) menyatakan bahwa penyebab DBD adalah nyamuk, bukan virus. Padahal nyamuk hanyalah penular (vektor), bukan penyebab DBD. Di Indonesia, vektor penyakit DBD yang paling sering dijumpai adalah nyamuk Aedes sp. terutama adalah Aedes aegypti walaupun Aedes albopictus dapat juga menjadi vektornya1. Pendidikan formal bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan terkait DBD. Pada penelitian di Kelurahan Parang Tambung, wilayah Puskesmas Tamalate, Kota Makassar, respondennya memiliki karakteristik tingkat pendidikan akhir yang mirip dengan penelitian ini, namun didapatkan hasil tingkat pengetahuan yang baik pada 90,4 responden. Hal ini diikuti dengan adanya hubungan antara pengetahuan dengan pengendalian DBD6. Pengetahuan yang belum lengkap dan benar dapat dipicu kurangnya informasi yang benar untuk meluruskan salah kaprah di masyarakat. Temuan menarik di wilayah kerja Puskesmas Mataram menunjukkan bahwa kader kesehatan di dua kelurahan sebagian besar hanya memiliki pengetahuan terkait DBD pada kategori cukup7. Hal ini menjadi salah satu hal yang perlu diintervensi oleh Puskesmas untuk dapat memberikan informasi yang lengkap dan benar dalam kapasitasnya sebagai lembaga kesehatan milik pemerintah.
Tidak sem mua respondden memilikii perilaku daalam katego ori baik. Lebbih lanjut, distribusi Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat reesponden berdasarkan pperilaku dapaat dilihat paada Tabel 3.
155
Procceding
Pada penelitian di Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pada tahun 2012 ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan kejadian DBD. Namun, ada hubungan signifikan antara sikap dan tindakan masyarakat dengan kejadian DBD8. Tidak ada responden yang memiliki sikap dalam kategori kurang. Terdapat 90% responden yang memiliki sikap dalam kategori baik, dan 10% dalam kategori sedang. Beberapa responden yang tidak setuju dengan mengubur barang bekas yang dapat menjadi perindukan nyamuk beralasan bahwa barang tersebut dapat dijual atau digunakan kembali. Hasil penelitian ini menyerupai hasil penelitian di Kelurahan Oebufu, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang pada tahun 2008, yaitu didapatkan 97% responden dengan sikap positif. Namun pada pembahasannya, ditekankan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan praktik ibu rumah tangga terkait DBD9. Perilaku sebagian besar responden (78%) adalah terkategorikan baik. Hanya 18% responden yang memiliki perilaku dengan kategori sedang, dan 4% responden dengan kategori kurang. Hal yang diperhitungkan dalam penilaian perilaku adalah: pemberian obat penurun panas pada anggota keluarga yang dicurigai menderita DBD, melakukan 3M dan PSN, dan kerja bakti jika ada warga yang terjangkit DBD. Pemberian obat penurun panas sebagai bagian dari penatalaksanaan awal DBD sudah dilakukan oleh 78% responden kepada anggota keluarganya yang dicurigai terjangkit DBD. Dalam lingkup kesehatan lingkungan keluarga, perilaku terkait DBD dapat dinilai amat baik karena banyak keluarga yang rutin melakukan 3M dan PSN. Ada 70% responden yang rutin mengubur barang bekas yang dapat menjadi penampungan air, dan ditemukan 80% responden yang rutin menguras bak mandi minimal satu kali dalam seminggu. Selain itu, 90% responden mengaku menutup tempat penampungan air bersih. Sedangkan dalam penelitian tentang pemberantasan sarang nyamuk di Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara pada tahun 2012 didapatkan bahwa hanya 48,9% responden yang menjalankan aktivitas PSN dengan baik10. Dalam lingkup komunitas, ternyata hanya 40% responden yang melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan ketika ada warga yang terjangkit DBD. Padahal kemungkinan besar di lingkungan yang tidak terawat akan ditemukan banyak tempat perindukan nyamuk. Secara keseluruhan perilaku responden dalam bidang kesehatan lingkungan terkait DBD sudah cukup baik, meskipun perlu meningkatkan perilaku dalam lingkup komunitas.
156
4. Simpulan Dan Saran Sebagian besar warga Dusun Trisigan, Desa Murtigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul sudah memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik terkait DBD. Pemerintah Bantul melalui Puskesmas Sanden diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dengan terus melaksanakan berbagai program untuk mencegah terjadinya wabah DBD. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan kesehatan dan kembali menggiatkan kegiatan PSN yang tidak hanya mencakup tiap-tiap rumah penduduk, namun juga lingkungan sekitarnya.
5. Referensi 1. 2. 3. 4.
5.
6.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Rampengan, T. (2008). Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. In T. Rampengan, Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. (pp. 122-147). Jakarta: EGC. Karyanti, M., & Hadinegoro, S. (2009). Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Sari Pediatri , 10 (6), 424432. Rizal. (2011). Kebocoran Plasma pada Demam Berdarah Dengue. Cermin Dunia Kedokteran , 38 (2), 92-96. Puspitasari, R., & Susanto, I. (2011). Analisis Spasial Kasus Demam Berdarah di Sukoharjo Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ”Matematika dan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran” (pp. 67-77). Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Djati, A. P., Rahayujati, B., & Raharto, S. (2012). Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY Tahun 2010. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat (pp. 1-16). Purwokerto: FKIK UNSOED. Risdayanti, Haskas, Y., & Sumira. (2014). Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Demam Bedarah Dengue di Kelurahan Parang Tambung Wilayah Kerja Puskesmas Tamalate Kota Makassar. Jurnal ilmiah kesehatan Diagnosis , 5 (4), 423-431.
Procceding
Jelantik, I. G., & Kurniatun. (2014). Perbedaan Perilaku Kader Kesehatan tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSNDBD) terhadap Angka Bebas Jentik (ABJ) antara Kelurahan Monjok dengan Kelurahan Monjok Timur Wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah , 8 (7), 29-33. 8. Aryati, I. K., Sali, I. W., & Aryasih, I. G. (2014). Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Masyarakat dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Baler Bale Agung Kecamatan Negara Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan , 4 (2), 118-123. 9. Lerik, M. D., & Marni. (2008). Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap dengan Praktik Ibu Rumah Tangga dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSNDBD) di Kelurahan Oebufu Kecamatan Oebobo Kota Kupang Tahun 2008. Media Kesehatan Masyarakat , 3 (1), 34-44. 10. Santhi, N. M., Darmadi, I. G., & Aryasih, I. (2014). Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang DBD terhadap Aktivitas Pemberantasan Sarang Nyamuk di Desa Dalung Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan , 4 (2), 152-155. 7.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
157
Procceding
STUDI KASUS PENYELEKSIAN MODEL DALAM SISTEM BIOLOGI SANGAT BERGANTUNG PADA RANCANGAN PERCOBAAN YANG DIPILIH Suhardi Djojoatmodjo Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana email: hardhy@
[email protected] ABSTRACT
Experimental design in this literature study attempts to maximise the information available for modelling tasks. the inferred models or parameters are allowed in an optimal experiment allows to be chosen with the highest expected degree of confidence. If the true system is faithfully reproduced by one of the models, the merit of this approach is clear - we simply wish to identify it and the true parameters with the most certainty. However, in the more realistic situation where all models are incorrect or incomplete, the interpretation of model selection outcomes and the role of experimental design needs to be examined more carefully.Using a novel experimental design and model selection framework for stochastic state-space models, we perform highthroughput in-silico analyses on families of gene regulatory cascade models, to show that the selected model can dependon the experiment performed. We observe that experimental design thus makes confidence a criterion for model choice,but that this does not necessarily correlate with a model’s predictive power or correctness. Finally, in the special case of linear ordinary differential equation (ODE) models, we explore how wrong a model has to be before it influences the conclusions of a model selection analysis Key Words: Experimental design, optimal experiment, stochastic state-space models, linear ordinary differential equation.
1. PENDAHULUAN. Dalam Studi literatur ini secara eksplisit terdapat misi bahwa model mampu menginterpretasikan secara biologi fenomena-fenomena yang terjadi di dalam sistem biologi. Selanjutnya, bergantung pada: pertanyaan yang diajukan, relevansi pengetahuan dasar, dan hipotesis alternatif dimungkinkan melakukan kombinasi antara pengkodean, analisis dan teknik komputasi, dan sebagai konsekuensinya bahwa setiap hipotesis dapat memvalidasi percobaan melalui pemahaman atas perilaku model, dan prediksi yang dibuat. Untuk rancangan pemodelan yang baik tentu saja tersedia waktu, biaya dalam mengkonstruksi data, dan identifikasi parameter [1, 2] sehingga dapat mengendalikan kajian rancangan percobaan. Pada prinsipnya, rancangan percobaan memaksimalkan: (1) informasi data hasil pemodelan, seperti hasil kajian Liepe dkk [2] atas keberadaan metode-metode [3–8], dan (2) informasi mutual berdistribusi parameter posterior dan prior berdasarkan sekuensial aproksimasi dengan kerangkakerja komputasi Bayesian; dan perancangan model lainnya dapat disimak dari Apgar dkk. Al [8] yang menggunakan prinsip teori kontrol sebagai pembeda persaingan antara model; dalam hal ini diusulkan model yang menginformasikan pengontrol terbaik untuk mengendalikan sistem per-
158
cobaan melalui trayektori target. Jadi tujuan dari studi literature ini adalah mengkonstruksi metode menurut (i) Flassig dan Sundmacher [9] di mana probabilitas yang diharapkan akan diprediksi dengan menggunakan metode aproksimasi efisiensi - dan pengaruh rancangan percobaan optimal, (ii) Busetto dkk. [10] di mana pemilihan ukuran optimal dan ketepatan waktu dilakukan secara iterasi; selanjutnya penggunaan aproksimasi Sigma-point untuk perbaharuan distribusi posterior. Intuisi yang melekat pada pendekatan (dideskripsikan selengkapnya di dalam ‘Material dan Metode’) ditunjukkan di dalam Gambar 1, di mana untuk inputan identitas, model dua PDB diilustrasikan berturutturut warna biru dan merah dan disimulasikan untuk wilayah bernilai parameter dengan waktu dengan T1 dan T2 merepresentasikan dua kemungkinan pilihan waktu pada sistem yang benar dapat diukur dan dihasilkan data yang diinginkan.
2. KAJIAN LITERATUR
Berangkat dari batasan untuk sistem biologi yaitu merupakan penggabungan dari beberapa cabang ilmu, seperti genomik (genomics), biokimia, dan biologi molekuler. Ilmu biologi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh (holistik) terhadap
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
makhluk hidup sebagai kesatuan sistem. Beberapa strategi yang dipilih dalam sistem biologi antara lain adalah pengukuran kuantitatif komponen selular dalam tingkat mRNA, protein, dan metabolit, pengembangan model matematika yang menggabungkan pemahaman biokimia dengan data-data yang dihasilkan oleh eksperimen dengan hasil data bervolume tinggi, aplikasi mikroorganisme. Karena yang dianalisis merupakan data bervolume tinggi, dibutuhkan semacam perangkat mutakhir untuk mengolah, menganalisis, memvisualisasi, dan mensimulasikan data tersebut. Oleh karena itu, pengembangan ilmu bioinformatika sangat memegang0 peranan. Telah diperoleh dalam penelitian sebelumnya bahwa Wilayah dari modelmodel crosstalk dibentuk (Gambar 2) dengan memasukkan tambahan jalur regulator antara {x1,...,x4 } dan {x5,...,x8 } dan dengan kinetic yang sama seperti disebutkan di atas. Model tunggal dipilih sebagai sistem biologi yang ‘tepat’ untuk percobaan yang bersangkutan yang sedang dilaksanakan, dan enam lainnya dengan porbabilitas prior yang sama diusulkan sebagai model-’model yang benar’ untuk system yang dibuat dan akan diidentifikasi sebagai sistem yang paling cocok. Hasil-hasil ini berayun pada rancangan percobaan yang ditunjukkan oleh nilai pada sisi atas sebelah kiri dari Gambar 3, di mana suatu pilihan yang baik dari didapat yaitu (7,55;14,26; 17,97;19,55), dengan skor kaitannya adalah 31,5. Di dalam suatu percobaan untuk menghitung nilai rasional tambahan dari pilihan ϕ untuk contoh ini, dihitung skor-skor untuk sampel seragam dari 1000 nilai ϕ terhadap wilayah yang sama sebagaimana tereksplor di atas. Hasil distribusi skor ditunjukkan di dalam Gambar 4a, puncak dalam interval (15,16) yang berkaitan dengan rata-rata jarak Hellinger <0,065 antara kemungkinan-kemungkinan marginal terpisah secara maksimal dari setiap pasangan model. Bahkan distribusi dari model-model yang terseleksi secara independen data dibangun oleh percobaan-percobaan random merupakan sumbangsih yang besar (Gambar 4b). Bahkan pada setiap tingkat-tingkat rendah dari noise yang diasumsikan, frekuensi terbanyak dari model yang terseleksi dipilih untuk kecil dari setengah percobaan-percobaan yang dilakukan. Di samping itu juga telah dikaji tentang Sifat robustness penyeleksian model untuk pemilihan pecobaan, yaitu bahwa hasil-hasil untuk himpunan data ukuran 1 dan 8 diilustrasikan di dalam Gambar 4c dan 4d sebagai asal-usul probabilitas-probabilitas posterior dari model pertama, dan ditunjukkan bahwa yang sangat majoritas dari ruang percobaan di-sekat ke dalam daerah yang dibedakan atas tinggi rendahnya dan probabilitas yang sama untuk setiap model. Untuk tujuan menetapkan apakah yang terobservasi tidak konsisten me-rupakan keberadaan aproksimasi UT, dalam hal ini dilakukan hal serupa tetapi tentu saja perlu studi yang dalam dengan menggunakan MultiNest [12,13], suatu implementasi dari sampling tersarang (Monte Carlo berdasarkan teknik dengan rata-rata konvergen1 si o(n 2 ) [14]). Hasil-hasil diperoleh dengan meng-
gunakan MultiNest (ditunjukkan di dalam sisi kanan atas dari gambar 5) hampir identik terhadap gambar 4c, peragaan wilayah yang sama dari sokongan yang nyata untuk setiap model, dari apa yang diberikan di atas dapat diketahui pada umumnya bagaimana sulitnya mengestimasi kemungkinan-kemungkinan marginal, tampilan yang paling baik dari UT (hanya komponen Gaussian) tampak lebih surprise, sampai satu fakta untuk model-model dan percobaan-percobaan yang diperhatikan, distribusi-distribusi prediksi prior merupakan aproksimasi Gaussian di antara satu dengan lainnya (Gambar 5). Selanjutnya didiskusikan bagaimana kerangkakerja dapat menggali pengaruhpengaruh non-Gaussian, seperti yang diperoleh di dalam contoh-contoh dalam apendiks.
3. METODE PENELITIAN. Untuk menguraikan kejelasan hubungan/ keterkaitan fenomena empiris dan kajian teoritis dapat ditelusuri dari skema di bawah ini:
maka dalam hal ini dilakukan analisis terhadap contoh tiga metode aksi masa dari berbagai derajat resolusi alur pelacakan JAK-STAT [15]. Setiap model mendeskribsikan aktifitas alur awal setelah aktifitas reseptor (Gambar 6), yang diamati sebelum sebarang arus balik terjadi. Singkatnya, proses pelacakan terdiri dari ikatan reseptor terhadap untuk membentuk kompleksitas yang dapat dimerisasi dalam keberadaanya dari interferon- (). Dimer ini diaktifkan oleh phosphorylation oleh , dan diaktifkan kembali setelah dalam pembatasan oleh . Di dalam keadaan aktif, maka , yang kemudian dapat dimerisasi dan berperan sebagai faktor transkripsi [16]. Selanjutnya diambil model dengan detil terbanyak, dengan variabel yang ditetapkan dan parameter (diterbitkan Yamada dkk. [16]), sebagaimana sistem yang diacu benar adanya yang mana percobaan-percobaan - dapat dilakukan, dan seleksi antara dua dari model lainnya yang diusulkan oleh Quaiser dkk [15]. Pertama dari model-model yang bersaing ini, M1, menyederhanakan system yang benar oleh pengabaian reaksi-asosiasi phosphorylated STAT1 untuk peng-aktifan reseptor dan oleh karena itu reduksi sistem untuk 16 tempat dan 23 parameter.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
159
MacKay bahwa hal ini bukanlah suatumengusulkan masalah [17], penetapan ��� ��� � � tambahanmodel baris dan ���sistem didefinisikan basiskolom, sebagai bergantung waktu atau pilihan spesies � � � � bukanlah suatu masalah [17], penetapan bahwa inferensi Bayesian hanya � ���� ��� � tambahan baris dan kolom, � � �� PDB-linier yang didefinisikan oleh matriks yang diperoleh menjadi tidak informative. �� �� �� bahwa pada inferensi Bayesian hanya secara biologi perluasan demikian bergantung koleksi data, dan tidak Procceding �� �� Di dalam konteks dari rancangan � dan Jacobian dengan secara entries, biologi��inklusi perluasan demikian merepresentasikan spesies koleksi data, dapat dan tidak pada bergantung data yang pada lainnya bahwa � �� percobaan untuk estimasi parameter, Suatu deret dari simplifikasi ’inspirasi biologi’ , dan ’perluasan’ untuk model ini sebagai tambamerepresentasikan inklusi spesies molekuler tambahan di model padalima data yang lainnya dihasilkan tetapi ternya tidakbahwa pada dapat ’perluasan’ untuk model ini dalam sebagai lainnya memastikan menuju model M2 , yang han baris dan kolom MacKay mengusulkan bahwa halkeduaini molekuler tambahan di bagainana dalam model sepanjang tetapi ternya tidak pada tertentu, kenyataannya. sini berbeda, �auran mempunyai 9dihasilkan tetapan Situasi dan 10 di parameters (lang� �� �� bukanlah suatu masalah [17], penetapan kah-langkah ini diringkas di Situasi dalam Pe- tambahan baris dan kolom, ��� �auran tertentu, sepanjang � �� � bagainana interaksi dengan komponen-komponen kenyataannya. di sini 6).berbeda, karena dalam hal ini Gambar diperhatikan nyeleksian model terjadu untuk setiap percobaan �� �� �� bahwa inferensi Bayesian hanya interaksi dengan dipenuhi. komponen-komponen dari sistem orthogonal Penentu karena dalam hal7)hanya ini diperhatikan perubahan yang tidak untuk (ditunjukkan di dalam Gambar menunjukkan secara biologi perluasan demikian pada koleksi data, dan model-modtidak halbergantung yang serupa yang mengutamakan biologi perluasan demikian merepresentasistem orthogonal dipenuhi. Penentu basis dari yang benar dan model-model perubahan yang tetapi tidakjugahanya prosedur koleksi data, prosesuntuk, secara el crosstalk, wilayah berbeda dari proba- merepresentasikan sikan inklusi spesiesinklusi molekulerspesies tambahan di dalam pada datadengan yang lainnya bahwa dapat bilitas posterior tinggi untuk model. Untuk basis yang benar (�� , auran prosedur data, juga prosesmodel �dan �� ) = interperluasan oleh generasi data koleksi dan setiap dalamtetapi gilirannya tertentu, sepanjang � , �bagainana � ,model-model tambahan di dalam model kelas pertama tetapi dari percobaan-percobaan, dihasilkan ternya tidak pada seleksi molekuler aksi dengan komponen-komponen sistem or(�� , ��dari , �Dan , �� ) = oleh generasi dalam gilirannya (−1,0;perluasan 2,0; 0,5; Penentu −4,0). terhadap model yang dan berkompetensi ituso- thogonal �benar antara model-model Mdata dan M mengungkap dipenuhi. basis yang dan 1 2 tertentu, sepanjang auran bagainana kenyataannya. Situasimodel di sini kongan yang kuat untuk yangberbeda, lebih sederhaperluasan , b1, , b30). , b4 ) =Dan (-1,0; −4,0). terhadap model yang berkompetensi ) = oleh (�� , �(−1,0; sendiri. Adalah masuk akal bahwa itumodel-model �� , ��0,5; (0, 1,(b0, 1 2 � , �� , 2,0; na karena jika data dalam is gathered pada titik waktu yang lebih interaksi dengan komponen-komponen 2,0; 0,5; -4,0). Dan (e , e , e , e , e ) = (0,1,0,1,0) . Sehal ini diperhatikan 1 2 3 4 5 ) (� sendiri. Adalah masuk akal bahwa , � , � , � , � = (0, 1, 0, 1, 0). beberapa model-model akan mendapatSelanjutnya, perhatikan dua model, berikut awal. Model M lebih komplek yang secara umum � � � � � lanjutnya, perhatikan dua model, berikut ini 1 perubahan hanya untuk disokong untukyang time tidak series berikutnya, dan juga dari sistem orthogonal dipenuhi. Penentu � ���dua ℎ��model, berikut � �� beberapa atau model-model mendapatSelanjutnya, perhatikan kan tambahan kehilanganakan yang lebih untuk wilayah yangdata, sangat terbatas kekuatan basis yang �benar� dan� model-model prosedur koleksi tetapi juga dari proses � �� � � ℎ �� ℎ dan stimulusfleksibilitas IFN kan dalam time series lebih awal. Model tambahan atau lainnya kehilangan yang lebih ini � � ��� � �� � �� �� �� daripada dengan �� �� � ℎ � ℎ ���� ℎ��� ) (����� �� ��� ,� ��� , = yang lebih sederhana dipilih secaragilirannya nyata dan ham- perluasan generasi data dan dalam � , �� � �� � � dan inioleh � �� ℎ�� � fleksibilitas daripadatime lainnya dengan data pir tidakmemperkarakan bergantung daripenentuan ukuran yanguntuk diper� � ��� ℎ�� �Dan ��� ℎ�� dan �2,0; �� ℎ�� � � �0,5; � � ℎ�� ��� −4,0). terhadap yang berkompetensi itu STAT1, (−1,0; hatikan ketikamodel cytoplasmic phosphorylated � memperkarakan penentuan pilihan khusus percobaan. Bahkandata jikauntuk ��� � �� � � � ℎ di mana �� �� �� ��1,ℎ�� di dalam bentuk atau dua (�� , �� , �� , ������ sendiri.monomerik Adalah atau masuk akaldimeric, bahwa , ����) �=� (0, 1, 0, 0). � �� � � ℎ � ℎ � ℎ pilihan khusus percobaan. Bahkan jika penyeleksian model yang sebenarnya tidak �� ��� �� �� bentuk resptor komplek (IFN_ R_JAKPhos_2 dan �� � ��� ��� ℎ�� � di mana � �� �� beberapa) model-model akan mendapatperhatikan dua �model, berikut � � IFN_R_JAK terukur. Kesamaan merupakan yang Selanjutnya, ��� ℎ�� ) = ��� ℎ�� model yang sebenarnya , ℎℎ����, ℎ���, �� ℎ�� bias, penyeleksian maka kepercayaan yang terkait tidak (ℎ�� , ℎ�� benar dari model komplek untuk ukuran dua ben�� ��� ℎ�� �� � �� kan tambahan atau kehilangan yang lebih tuk lain-nya dari reseptor komplek ,�ℎ,h ℎ32 bias, maka yang dengannya akan kepercayaan menskala (IFN_R_JAK2 denganterkait ,� ��� ,,�ℎ , �23 )��31,,h ,h ,h, ℎ33ℎ�� ) )== (edan ,e ,e dan ,e ,e ) dan �� �(ℎ �(h ��� 13 1 2 3 4 5 ���, �� � � ini di (� �mana � � �� �� � danfleksibilitas IFN_R_JAKPhos_ 2_SHP_2). Jika tidak demikian (h’13,h’ daripada lainnya dengan ,h’ ,h’ ,h’ ) = (1,0,1,0,1), yang sedang � 23(� � 31, � � 32 �33 � ) ℎ�� dengannya akan menskala dengan (ℎ� ,��,�� ��� dan )��= percobaan yang optimal. Ukuran Sensifitas , ℎℎ�� (1,0,1,0,1), �� � ℎ��� �ℎ,ℎ �,,ℎ��� � �tentang ���� �� maka penyeleksian kejadian model adalah berganberkompetisi hipotesis struktur perluasan memperkarakan penentuan datayang untuk � � � � � � tung waktu atau pilihan spesies diperoleh h’ samahipotesis dengan 0 atau �yang �� dengan ��, ℎ��nilai ��model, (ℎ�� optimal. Ukuran Sensifitas , ℎ��� ,ℎzero ℎ�� untukpercobaan Model yang yang Tidak Akurat. sedang berkompetisi �� �� , ℎ��kj ) = (1,0,1,0,1), menjadi informative. Di dalam � kepercayaan bahwa spesuatu pilihantidak khusus percobaan. Bahkankonteks jika dari ���hkj�menunjukkan �� yang �� sedang ��� ℎ�� �berkompetisi di mana hipotesis untuk Model yang Tidak Akurat.sies Bagaimanakah kesalahan struktur model tentang struktur perluasan model, dengan rancangan percobaan untuk estimasi parameter, langsung berpengaruh pada rata � tidak secara � � � ℎ � ℎ � ℎ penyeleksian model yang sebenarnya �� �� �� �� �� �� MacKay mengusulkan bahwa hal initidak bukanlah kenaikan species j. Kekurangannya adalah meng� Bagaimanakah struktur (nilai-nilai parameter kesalahan ) harus lebih kecilmodel nilai tentang perluasan model,ℎ�� dengan sama dengan 0 atau zero ℎ��struktur suatu masalah [17], penetapan bahwa inferensi implementasikan di dalam setingan yang lebih ) (ℎ , ℎ , ℎ , ℎ , ℎ = bias, maka kepercayaan yang terkait �� �� �� �� �� � Bayesiandari hanya bergantung pada koleksi (nilai-nilai parameter ) harusdata, lebihdan kecilgeneral-sebagai prediksi model sebelumnya (bahwa sama 0 atau� ℎ�� di nilai zerosuatu ℎ�� kepercayaan contoh: di dengan dalambahwa klimatologi, menunjukkan dengannya akan lainnya menskala tidak pada data yang bahwa dengan dapat dihasil- (��mana , �� , �� , metode �� , �� ) yang diterima dari dan menyiasati dendari prediksi model sebelumnya (bahwa spesies yang tertangkap lebih kecil terhadap menunjukkan suatu kepercayaan bahwa � tidak secara langsung berpengaruh kan tetapi ternya tidak pada kenyataannya. Situasi gan struktur yang tidak jelas adalah � � � � � (ℎ�� , ℎ�� , ℎ�� , ℎ�� , ℎ�� ) = (1,0,1,0,1), melalui pengpercobaan yang optimal. Ukuran Sensifitas di sini berbeda, karena dalam hal ini diperhatikan perangkat yang dari berpengaruh model-model terhadapgunaan sistemyang yang tertangkap benar) dipilihlebih ? Jelaskecil jawaban secarabesar langsung pada spesies rata tidak kenaikan species �. perubahan yang tidak hanyaTidak untuk prosedur serupa yang dihasilkan berbagai kelompok untuk Model yang Akurat. kolek- yang sedang berkompetisiolehhipotesis yang benar) dipilih ? dan Jelasdalam jawabankajian adlah sistem sensitive terhadap system dan si data, tetapi juga proses generasi data pada rata kenaikan species �. [18]. Kekurangannya adalah mengBagaimanakah kesalahan struktur model tentang struktur perluasan model, dengan gilirannya terhadap model yang berkompetensi adlah sensitive terhadap system dan model-model atas kajian, dan lebih tinggi, Kekurangannya adalah mengitu (nilai-nilai sendiri. Adalah masuk akal bahwa beberapa nilai zero ℎ � parameter ) harus lebih kecil sama dengan 0 atau ℎ�� �� model-modelmodel-model akan mendapat-kan tambahan atas kajian, dan lebihatau tinggi,4. HASIL DAN PEMBAHSAN. 5 dari prediksi modelfleksibilitas sebelumnyadaripada (bahwa lainnya menunjukkan suatu kepercayaan bahwa � kehilangan yang lebih Hasil yang diperoleh dari kajian literature5ini dengan memperkarakan penentuan data untuk pilyang tertangkap lebih kecil jika terhadap tidak secara langsung berpengaruh adalah alat (tool) untuk mengoptimalkan modelihan khusus percobaan. Bahkan penyeleksian spesies model yang sebenarnya tidak? bias, kepercay- model di dalam sistem biologi yaitu: sistem yang benar) dipilih Jelas maka jawaban pada rata kenaikan species �. aan yang terkait dengannya akan menskala dengan Model Unscented transform. UT adalah adlah sensitive terhadap system dan untuk Kekurangannya percobaan yang optimal. Ukuran Sensifitas adalah mengmetode yang mendeskribsikan bagaimana moment Model yang Tidak Akurat. Bagaimanakah kesalarandom variabel, θ ditransformasikan oleh fungsi model-model atas kajian, dan lebih tinggi, han struktur model (nilai-nilai parameter ) harus non-linier g. Algoritma mulai menghitung suatu lebih kecil dariisu prediksi modelmembanding-kan sebelumnya (bahwa bagaimana ukuranhimpunan berat partikel (sigma-points) ��� ������ℎ�� dengan 5 yang tertangkap lebih kecil terhadap sistem yang sampel momen sampai tingkat yang diinginkan seketidak akuratan yang berbdebagai distribusi p(θ) . Hasil-hasil yang ditunjukk demikianbenar) maka dipilih ?dari Jelas jawaban adlahstruktur sensitive terhasystem dan model-model atas kajian, leb- inikan di sini digunakan skala himpunan sigma-point adalah non trivial. Dalam dan kajian model dap adalah ih tinggi, isu bagaimana membanding-kan ukuran {χk}k=0,…2L tertangkap oleh keduanya yaitu mean dan didefinisikan model basis sebagai sistemkovarian [21]. u pilihan spesies dari ketidak akuratan struktur yang berbde adalah non trivial. Dalam kajian ini didefinisikan model Model Seleksi Unscented. Model-model PDB-linier yang didefinisikan oleh matriks tidak informative. basis sebagai sistem PDB-linier yang didefinisikan komplek atau stokastik, peluang probabilitas maroleh matriks Jacobian dengan entries � �� dari rancangan � danginal merupaka suatu hal yang harus diperlunak, Jacobian dengan entries, � � �� �� masi parameter, ’perluasan’ untuk model ini sebagai bahwa hal 160 ini Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat �� �� �� h [17], penetapan � tambahan baris dan kolom, � � �� �� � �� �� �� Bayesian hanya
r dari
n oleh
erature
malkan
yaitu:
adalah
imana �
nier �.
suatu
�����)
t yang
Hasil-
nakan
������
n dan
model
eluang
tu hal
engan
adalah
halnya
enjadi
dalam
n yang
-Carlo
terkait
atau
sini terhadap beberapa noise aditif sedikit untuk membandingkan �� �� �(�) �� . Di�(�) (�) (�)�− =�−�� + �++ = �� (�) ��+ �� � (�) �� ��� �� ���
mungkin kurang informatif atau yang tingkat koreksinya. Persamaan atau terseleksi tingkat koreksinya. Persamaan sebagai petunjuk terhadap kuasa Diferensial dalamprediksi rancangan Diferensial Biasa di Biasa dalamdi rancangan
persamaan telah diperluas sebagai berikut pasangan-pasangan model. Ukuran �� �� Procceding �� �(�) (�) �); = + �);�� (�, = −� �� �Gaussian �−� + � (�) � + atau tingkat koreksinya. Persamaan + ���(�, � � (�) ��� campuran dan proses noise (�) ini melambangkan �� �− = � + � � + percobaanpercobaan ini melambangkan bentuk bentuk � � �� ��� Diferensial Biasa di sistem dalam rancangan dapat juga diperhatikan, karja pada �sebagai + �untuk �); untukmodel wilayah model �(�) � +�(�) �� (�, �); wilayah fenomena optimisasi dalam sistem biologi. � (�, fenomena optimisasi dalam biologi. �� dan dengan demikian peluang (�, �); (�) � + (2) Menjamin adanya efisiensi untuk mengeksplor = −��adalah �� � + ��aproksimasi �� percobaan inipenyeleksian melambangkan bentuk jumlah dari filterprobabilitas Gaussia [26,27]. Suatu metode yang bebas halnya aproksimasi ketahanan kejadian terhadap dari seperti probabilitas perturbasi percobaan, perturbasi percobaan, Kumpulan data yang adamodel terhadap kondisi Kumpulan data yang ada terhadap kondisi komputasi Bayesian menjadi lebih penting dan pilihan percobaan, dan (3) rancangan percobaan (�, �(�) � + � �); untuk wilayah model fenomena optimisasi sistem biologi. � metoda perbaikan untuk = � mengarah yaitu menetapkan �yang ini lebih menyerupai yang signifikan mengarah yaitu menetapkan �� (�) ini lebih menyerupai hasildalam yanghasil signifikan � (�) popular di dalam biosciences [24].=Suatu kekurandapat memberikan peningkatan tingkat kepercaydari probabilitas perturbasi percobaan, gan yang besar berdasarkan algoritma Monte-Caraan di dalam model-model terseleksi yang mungKumpulan data yang ada terhadap kondisi dideskribsikan dikepada sini akan memperbaharui kegagalan dari dihasilkan gen yang dihasilkan atas penyeleksian model atau kepada kegagalan dari gen yang atas penyeleksian kejadian kejadian model atau lo adalah besarnya jumlah simulasi terkait biaya kin kurang informatif sebagai petunjuk terhadap (�) = � mengarah yaitu� menetapkan ��) lebih yang dapat signifikan jumlah ���� komponen secara �otomatis hasilmenyerupai pemilihan. Lebih formal, dapat (�, , dan �mengestimasi adalah input ���� hasil ini pemilihan. Lebih hasil formal, komputasi-dipersyaratkan kuasa prediksi atau tingkat koreksinya. Persamaan ���untuk adalah � (�, �)input � , dan � distribusi posterior atau faktor-faktor Bayes. BahDiferensial Biasa di dalam rancangan percobaan ini kepada kegagalan dari gen cara yang atas mengukur penyeleksian kejadian model�, atau terhadap perilaku model di �. dalam nilai percobaan dengan stimulus untuk spesies �. dihasilkan mengukur nilai percobaan �,optimisasi dengan stimulus untuk spesies kan dengan implementation GPU [25], sampai melambangkan bentuk fenomena dalam (�, hasil pemilihan. formal, dapatantara ��Gaussian �) adalah input sistem ���� �� , dan yang sama yaitu bagaimana sekarang aplikasi-aplikasi masih terbatas atau sebiologi. Kumpulan data ada terhadap menggunakan jarak yang Hellinger menggunakan jarak Lebih Hellinger antara dikit untuk stimulus membandingkan pasangan-pasangan kondisi ini lebih menyerupai hasil yang signifikan mengukur nilai distribusi-distribusi percobaan �,prior, denganprior, untuk spesies �. campuran dspst campuran dipilih secara adaptif distudi prediksi 5. SIMPULAN. Dalam literaturatas ini prediksi distribusi-distribusi 5. SIMPULAN. Dalam studi literatur ini model. Ukuran Gaussian dan proses penyeleksian kejadian model atau hasil pe-
noise jugaberdasarkan diperhatikan, karja (1) pada Lebih formal, �jarak dapat mengukur nilai Hellinger antara �perco� dalamdapat simulai partikel memberikan 3 sebagai (tiga) kontribusi yaitu:milihan. (1) menggunakan � memberikan 3 (tiga) pada kontribusi yaitu: ��an− ��(�)� �) = �−���(�) ���(�) ��(�)� �� �(�,ϕ,�)dengan =�(�, jumlah filter Gaussia [26,27]. Suatu perbaikan un- baan menggunakan jarak Hellinger � � prediksi�distribusi-distribusi distribusi-distribusi 5. SIMPULAN. Dalam studi literatur darimetoda tipe persamaan-persamaan Liouvilletuk yang dideskribsikan diyang sini akan mem-ini tara prior prior, Perluasan suatu menjanjikan dan prediksi Perluasan suatu yang menjanjikan dan yang mengambil bentuk dengan terdekat dengan bentuk terdekat � perbaharui jumlahSedangkan komponen secara otomatis � memberikan 3kerangkakerja (tiga) kontribusi yaitu: rancang(1) yang mengambil type [28,29]. Rancangan efisiensi hitungan kerangkakerja efisiensi hitungan rancang��(�)� ���(�) − �� �(�, �) = � terhadap perilaku model di dalam cara yang sama � distribusi-distribusi multivariate distribusi-distribusi multivariate Gaussian, Gaussian, Perluasan suatucampuran yang danmodel Percobaannya sendiri untuk yaitu bagaimana dspst dipilih anGaussian percobaan untukmenjanjikan penyeleksian an percobaan untuk penyeleksian model terdekat yangyang mengambil bentuk terdekat dengan secara adaptif di dalam simulai berdasarkanrancangpada , ���(� �� )bentuk dan �mengambil ���(� ��dengan ), distri� ,dan � , �� ), � , ���(� �) � ,���(� efisiensi hitungan kerangkakerja mengilustrasikan bagaimana hal ini dapat busi-distribusi multivariate Gaussian, P~N(μ ,Σ ) stokastik, dengan distribusi-distribusi stokastik, dengan distribusi-distribusi partikel dari tipe persamaan-persamaan Liouvilledistribusi-distribusi multivariate Gaussian,p p dan Q~N(μ ,Σ ), �(�, �) = �(�, �) = type [28,29]. Sedangkan Rancangan Percobaannya percobaan untuk penyeleksian model Q Q dilakukan dalam perhatikan priorpraktek, non-Gaussian, (2) Menjamin adanya prioran non-Gaussian, (2) Menjamin adanya ���(�� , �� ), ���(� sendiri untuk mengilustrasikan bagaimana hal ini � dan � �� , �� )� � � �� stokastik, dengan distribusi-distribusi � |��� � ����| � |�� |� |����|�� | tipikal himpunan dari persamaan |� | �� �� � �|�� ��� ��� � �� �� � � untuk perhatikan mengeksplor ketahanan dapat dilakukan dalam tipikal efisiensi efisiensi untuk praktek, mengeksplor ketahanan H(P,Q)= −= , di � − �(�,���) � � �� �� � � � � � � , di himpunan dari persamaan diferensial biasa digu� � � � |� | |� | prior non-Gaussian, (2) Menjamin adanya diferensial biasa digunakan untuk kejadian penyeleksian model terhadap kejadian penyeleksian model terhadap � � nakan untuk mendekribsikan mekanisme regula���� ��� �� �|�� �� �� � |�� |��|� |��� ���� � �� � di mana , � untuk � �untuk � campuran. efisiensi untuk mengeksplor ketahanan � mendekribsikan mekanisme regulator gen, atau , �= tor gen,pilihan percobaan, atau Gaussian �atau untuk Gaussian mana� ,− mana = , Gaussian di pilihan percobaan, (3) rancangan dan (3) dan rancangan ��
� |� |�
�
� �� kejadian model terhadap percobaan memberikan peningkatan � �� � penyeleksian ��memberikan ; dapat � �� � � km percobaan dapat peningkatan campuran. campuran. � � � ��� � � �� �� �� mana , � = � � atau untuk Gaussian pilihan percobaan, dan (3) rancangan � , ��, di mana = (k, β1,�β� ,α, α ) adalah parameter yang di θmana 2 ��� 0��� � ��� � �� ��� ) Mathematical REFERENSI. Mathematical Statistics Statistics 27: 986– 27: 986– REFERENSI. percobaan dapat memberikan peningkatan campuran. mengkontrol kecepatan produksi dan mendegradiREFERENSI. adalah parameter yang mengkontrol 1005 [1]. Erguler K, Stumpf MPH (2011) 1005 [1]. Erguler K, Stumpf MPH (2011) si mRNA, m, dan protein, P, terhadap pokok per[4]. Tiemann CA, Hilbers Practical limits for q; reverse Vanlier J,Vanlier Tiemann CA, Hilbers Practical limits for reverse [1]. [4]. Erguler K, Stumpf MPHJ, (2011) Practical limits masalahan konsentrasi protein repressor kecepatan yaitu produksi dan mendegradisi Mathematical Statistics 27: 986– REFERENSI. PAJ, van Riel NAW (2012) A engineering of dynamical PAJ, vanengineering Riel NAWof (2012) dynamical A engineering of tertentu dynamical definisikan fungsi transisi yang fi sebagai for reverse 1005 [1]. Erguler K, Stumpf MPH (2011) ����, m, dan protein, �, terhadap pokok solusi yang �dievaluasi pada ukuran waktu berikutBayesian approach targeted systems: a persoalan statistical analysis of systems: Bayesian approach to targeted systems:dan a statistical analysis of a statistical analysis of to sensitivity tingkat kepercayaan di dalam model-model waktu pokok ��� (�), [4]. Vanlier J, Tiemann CA,Bioinformatics Hilbers Practical limits forselanjutreverse nya tn(ϕ) yang bergantung pada pilihanparameter ϕ, experiment design. sensitivity and parameter experiment design. Bioinformatics sensitivity and and parameter inferability in systems biology permasalahan yaitu konsentrasi protein dynamical PAJ,England) vankurang Riel NAW (2012) A engineering of nya terhadap diberikanbeberapa ketetapan pada waktu - biology (ϕ) , danbiology terseleksi yang mungkin informatif .tDi sini noise ��in (Oxford, England) 28: 1136–1142 inferability (Oxford, 28: 1136–1142 inferability inaditif systems n 1 systems models. Molecular bioSystems 7: 1593–1602 Bayesian approach to targeted systems: a statistical analysis of pokok persoalan terhadap beberapa noise aditif ν repressor �; models. definisikan fungsiMolecular transisi bioSystems [5].terhadap X, Marzouk YM (2012) models. 7:[5].petunjuk Huan X,Huan Marzouk YM (2012) Molecular bioSystems 7: n kuasa prediksi persamaan telahsensitivity diperluas sebagai berikut [2]. Liepe J, Filippi S, Komorowski M, Stumpf MPH experiment design. and parametersebagai . Di sini persamaan telah diperluas sebagai berikut Simulation-based optimal Bayesian 1593–1602 Simulation-based optimalBioinformatics Bayesian 1593–1602 sebagai solusi yang yang �� inferability Maximizing the information content (Oxford, England) 1136–1142 systems biologyatauM, (2013) �� tertentu �(�) tingkat koreksinya. experimental design for nonlinear [2]. Liepe J, in Filippi S, Komorowski experimental design Persamaan for28: nonlinear Liepe Komorowski M, (�) �S, �−J,�Filippi =[2]. �� (�) + + � of experiments in systems biology. PLoS [5]. HuanJournal X, Marzouk YMComputational (2012) models. Molecular �� ��� bioSystems 7: dievaluasi pada ukuran waktu berikutnya systems. of Stumpf MPH (2013) Maximizing systems. ofJournal Computational Stumpf MPH (2013) Maximizing Diferensial Biasa di dalam rancangan biology 9: e1002888 Simulation-based optimal 1593–1602 Physics 232: 288–317Bayesian the �� =information content of computational Physics 232: 288–317 the information of (�, �); (�) −�S,�content �� �yang + �� bergantung pada pilihan �,� + �� ��) experimental design for [2]. Liepe J, Filippi Komorowski M, �� percobaan ini[6]. melambangkan [3]. [6]. Lindley DV (1956) OnCho a bentuk measure of the Z, KH,nonlinear Wolkenhauer experiments in biology. systems biology. Kutalik Z,Kutalik Cho KH, Wolkenhauer experiments in systems systems. Journal of Computational Stumpf MPH (2013) Maximizing information provided by an experiment. The O (2004) Optimal sampling time PLoS computational biology 9: selanjutnya diberikan ketetapan pada O (2004) Optimal sampling time PLoS computational biology 9: �(�) �+ + �); untuk wilayah model k(ϕ)m sp �(ϕ,t); optimisasi dalam sistem biologi. � (�, Physics 288–317 the e1002888 information content offenomena Annals of Mathematical 27: 986– selection for Statistics parameter estimation selection for232: parameter estimation e1002888 untuk model dari probabilitas [6]. Kutalik Cho KH, Wolkenhauer experiments in percobaan, systems biology. dariwilayah probabilitas perturbasi Kumpulan data yang inadaZ, terhadap kondisi dynamic pathway modeling. [3]. Lindley DV (1956) On a measure 1005 in dynamic pathway modeling. [3]. Lindley DV (1956) On a perturbasi measure percobaan, yaitu menetapkan δ (ϕ)=0 mengarah 6 O (2004) Optimal sampling time PLoS computational biology 9: k Biosystems 75: 43–55 of(�) the =information provided by lebih an Vanlier Biosystems 75: 43–55 of the information provided by an J,selection Tiemann CA, Hilbers PAJ, van Riel �dihasilkan mengarah yaitukegagalan menetapkan �gen menyerupai hasil yang signifikan kepada dari mRNA ini[4]. � yang for parameter estimation e1002888 [7]. Chu Y, Hahn J (2008)toIntegrating experiment. The spesies Annals of[7]. Y, Hahn J (2008) Integrating experiment. The Annals of NAWChu (2012) A Bayesian approach targeted mk, dan sx(ϕ,t)[3]. adalah input stimulus untuk in dynamic modeling. Lindley DV (1956) On a measureatas penyeleksian kepada kegagalan dari gen yang dihasilkan kejadian pathway model atau x. experiment design. Bioinformatics (Oxford, Biosystems 75: 43–55 of the information provided by an 7 7 (�, hasil pemilihan. Lebih formal, dapat � �) adalah input ���� �� , dan England) 28: 1136–1142 � [7]. Chu Y, Hahn J (2008) Integrating experiment. The Annals of [5]. Huannilai X, Marzouk YM (2012) Simulation-based mengukur percobaan �, dengan stimulus untuk spesies �. 5. SIMPULAN. optimal Bayesian experimental design7 for menggunakan Hellinger antara nonlinearjarak systems. Journal of Computational Dalam studi literatur ini memberikan 3 (tiga) kontribusi yaitu: (1) Perluasan suatu yang menjanPhysics 232: 288–317 prediksi distribusi-distribusi prior, 5. SIMPULAN. Dalam studi literatur ini jikan dan efisiensi hitungan kerangkakerja rancang� � memberikan 3 (tiga) kontribusimodel yaitu: stokastik, (1) an percobaan untuk penyeleksian �(�, �) = � ���(�) − ��(�)� �� � dengan distribusi-distribusi prior non-Gaussian, Perluasan suatu yang menjanjikan dan yang mengambil bentuk terdekat dengan efisiensi hitungan kerangkakerja rancangSeminar Hasil Penelitian dan multivariate Pengabdian pada Masyarakat distribusi-distribusi Gaussian, 161 an percobaan untuk penyeleksian model dan ���(�� , �� ), ���(�� , �� ) stokastik, dengan distribusi-distribusi �(�, �) = ��
Procceding
[6]. Kutalik Z, Cho KH, Wolkenhauer O (2004) Optimal sampling time selection for parameter estimation in dynamic pathway modeling. Biosystems 75: 43–55 [7]. Chu Y, Hahn J (2008) Integrating parameter selection with experimental design under uncertainty for nonlinear dynamic systems. AIChE Journal 54: 2310–2320 [8]. Apgar JF, Witmer DK, White FM, Tidor B (2010) Sloppy models, parameter uncertainty, and the role of experimental design. Molecular bioSystems 6: 1890–1900 [9]. Flassig RJ, Sundmacher K (2012) Optimal design of stimulus experiments for robust discrimination of biochemical reaction networks. Bioinformatics (Oxford, England) 28: 3089–3096 [10]. Busetto AG, Hauser A, Krummenacher G, Sunna°ker M, Dimopoulos S, et al. (2013) Near-optimal experimental design for model selection in systems biology. Bioinformatics 29: 2625–2632 [11]. Julier S, Uhlmann J, Durrant-Whyte H (2000) A new method for the nonlinear transformation of means and covariances in filters and estimators. IEEE Transactions on Automatic Control 45: 477–482 [12]. Feroz F, Hobson MP, Bridges M (2009) MULTINEST: an efficient and robust Bayesian inference tool for cosmology and particle physics. Mon Not Roy Astron Soc 398: 1601– 1614 [13]. Kirk P, Thorne T, Stumpf MP (2013) Model selection in systems and synthetic biology. Current opinion in biotechnology 24: 551–826 [14]. Aitken S, Akman OE (2013) Nested sampling for parameter inference in systems biology: application to an exemplar circadian model. BMC systems biology 7: 72 [15]. Quaiser T, Dittrich A, Schaper F, Mo¨nnigmann M (2011) A simple work flow for biologically inspired model reduction–application to early JAK-STAT signaling. BMC systems biology 5: 30 [16]. Yamada S, Shiono S, Joo A, Yoshimura A (2003) Control mechanism of JAK/STAT signal transduction pathway. Febs Letters 534: 190– 196 [17]. MacKay DJ (1992) Information-based objective functions for active data selection. Neural computation 4: 590–604
162
[18]. Team CW (2010) Good practice guidance paper on assessing and combining multi model climate projections. In: IPCC Expert Meeting on Assessing and Combining Multi Model Climate Projections. p. 1 [19]. Kitano H (2002) Systems biology: a brief overview. Science 295: 1662–1664 [20]. Anderson J, Papachristodoulou A (2009) On validation and invalidation of biological models. BMC bioinformatics 10: 132 [21]. Julier SJ The scaled unscented transformation. In: Proceedings of the 2002 American Control Conference. American Automatic Control Council. pp. 4555–4559 [22]. Wan E, van der Merwe R (2000) The unscented Kalman filter for nonlinear estimation. Adaptive Systems for Signal Processing, Communications, and Control Symposium 2000 AS-SPCC The IEEE 2000 : 153–158 [23]. Jeffreys H (1961) Theory of Probability. 3rd ed. Oxford: The Clarendon Press [24]. Sunna°ker M, Busetto AG, Numminen E, Corander J, Foll M, et al. (2013) Approximate Bayesian computation. PLoS computational biology 9: e1002803. doi: 10. 1371/ journal. pcbi.1002803 [25]. Zhou Y, Liepe J, Sheng X, Stumpf MP, Barnes C (2011) Gpu accelerated biochemical network simulation. Bioinformatics 27: 874–876 [26]. Alspach D, Sorenson H (1972) Nonlinear Bayesian estimation using Gaussian sum approximations. Automatic Control, IEEE Transactions on 17: 439–448 [27]. Faubel F, McDonough J (2009) The split and merge unscented Gaussian mixture filter. Signal Processing Letters [28]. Horenko I, Weiser M (2003) Adaptive integration of molecular dynamics. Journal of computational chemistry 24: 1921–1929 [29]. Weibe A, Horenko I, Huisinga W (2006) Adaptive approach for modelling variability in pharmacokinetics. Computational Life Sciences II : 194–204 [30]. Kristan M, Leonardis A (2010) Multivariate online kernel density estimation. In: Computer Vision Winter Workshop. pp. 77–86 [31]. Perone CS (2009) Pyevolve: a Python opensource framework for genetic algorithms. ACM SIGEVOlution 4: 12–20
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
LAMPIRAN-LAMPIRAN GAMBAR
tan stimulant, dan waktu pengukuran x8 dioptimalkan untuk membedakan yang terbaik antara model-model crosstalk yang dikompetisikan
Gambar 2. Crosstalk antara aliran regulator. Kerja di sini adalah mengidentifikasi peng-hubung crosstalk yang tidak diketahui antara jalur 1 dan 2. Range terbatas dari percobaan yang diperhatikan melibatkan stimulasi eksternal dari x1 dan x5, dan pengamatan x8, dan himpunan model (M1,...,M6 ) yang berkaitan dengan seleksi perbedaan opsi crosstalk. Waktu dan kekuatan stimulant, dan waktu pengukuran x8 dioptimalkan untuk membedakan yang terbaik antara model-model crosstalk yang dikompetisikan.
Plot-plot simulasi dua model yang berbeda (biru dan merah) untuk berbagai nilai parameter, terhadap kondisi percobaan yang sama. Pada saat T2 , perilaku dua model adalah sangat serupa, sedangkan pada saat T1, trayektori-trayektorinya terpisah. c) aproksimasi Gaussian dari simulasi model pada saat T1 dan T2 (pada umumnya ini akan merupakan campuran Gaussians) yang diperoleh melalui transformasi- unscented. Pada waktu T1 bersifat lebih informatif daripada waktu T2 untuk usulan penyeleksian model. Percobaan-percobaan dapat diskor berdasarkan pemisahan yang secara kuantitatif menggunakan jarak Hellinger
Gambar 3. Diagram aliran yang menunjukkan dua babak rancangan percobaan dan seleksi model. Pemetaan panas sebelah kiri menunjukkan jarak Hellinger antara distribusi prediksi prior dari pasangan model, untuk percobaan terpilih. Plot bar pada sebeleh kanan menunjukkan probabilitas posterior setiap model terhadap data yang dihasilkan oleh percobaan terpilih. Setelah percobaan pertama, model M2 dan M6 mempunyai supor yang terbanyak, tetapi terjadi pilihan antara di antara percobaan yang negligible. Bagaimanapun juga percobaan kedua dirancang hanya untuk dua model ini (dengan himpunan prior menurut proporsi probabilitas posterior setelah urutan pertama dari model terseleksi) yang lebih kuat dari model M2
Gambar 2. Crosstalk antara aliran regulator. Kerja di sini adalah mengidentifikasi peng-hubung crosstalk yang tidak diketahui antara jalur 1 dan 2. Range terbatas dari percobaan yang diperhatikan melibatkan stimulasi eksternal dari x1 dan x5, dan pengamatan x8, dan himpunan model (M1,...,M6 ) yang berkaitan dengan seleksi perbedaan opsi crosstalk. Waktu dan kekua-
Gambar 4a. Sifat robust dari seleksi model. Distribusi frekuensi dari skor 1000 nilai ϑ yang tersampel secara seragam. Konsentrasi skor berkisar dalam interval (15, 18) yang berkaitan dengan konten informasi yang sangan kecil. Garis titik menunjukkan skor ϑ* yang terpilih di dalam pelaksanaan rancangan percobaan yang pertama
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
163
Procceding
Gambar 4b. Sifat robust dari seleksi model. Penggunaan 16 model crosstalk yang terdiri dari koneksi tunggal dari jalur 1 ke 2, ditetapkan suatu model ‘benar’ dan 1000 sampel seragam dalam percobaan yang dilakukan; ditunjukkan frekuensi pada sisa 15model crosstalk diseleksi, dengan setiap himpunan data yang diperkarakan secara independen. (biru) pada ukuran noise tingkat rendah (dengan variansi 0,01) model 5 dipilih dengan frekunesi terbanyak, tetapi masih belum mencapai target untuk setengah ke atas dari percobaan. (abu-abu) Pada saat ukuran noise dinaikkan hingga variansinya 0,1, maka pemilihan model bahkan menjadi kurang robust.
Gambar 5. Validasi Monte Carlo.
Plot kanan atas menunjukkan probabilitas model posterior yang diperoleh dengan menggunakan MultiNest. Perlunya hasil-hasil yang diinginkan persis diperoleh melalui UT di dalam gambar 4c. Setiap plot dari hasil lainnya membandingkan aproksimasi UT dengan distribusi prediksi prior dengan aproksimasi Monte Carlo menggunakan ukuran sampel ukuran 10000, untuk kondisi percobaan yang berbeda ditunjukkan dengan anah panah.Garis merah berkaitan terhadap aproksimasi (menggunakan komponen Gaussian tunggal) untuk model 1 dan biru berkaitan terhadap aproksimasi UT (menggunakan komponen Gaussian tunggal) untuk model 2. Garis titik-titik menunjukkan data tersimulasi dari model ‘benar’
Gambar 4.c,d. Sifat robust dari seleksi model. Setiap heatmap menunjukkan probabilitas posteriordari model 1 (versus model 2), hitungan terpisah untuk 9025 percobaan, dengan himpunan data dari ukuran yang berbeda-beda (berturut-turut dari 1 sampai dengan 8). Setiap koordinat merepresentasikan suatu percobaan yang berbeda, dengan waktu variasi keduanya ditunda antara stimulant, dan waktu pengukuran.
164
Gambar 6. Modul jalur JAK STAT (disesuaikan dari Quaiser dkk [15]). Panah-panah mengindikasikan reaksi asosiasi atau disosiasi antara spesies protein. Reaksi abu-abu hanya terjadi di dalam model ‘benar’. Model T1 yang terdiri dari komponen ungu, jingga dan hijau. Model T2 diperoleh dengan memindahkan komponen-komponen hijau, dan mengganti reaksi jingga tua dengan reaksi di dalam bujur telur sebelah kanan.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat