Seminar Akuntansi Keuangan
“Latar Belakang Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan: Tinjauan dan Kritikan”
Oleh: Rico Lesmana, 200103 Susy Ingelda Rico, 200107
Magister Akuntansi Universitas Indonesia, 2001
Tinjauan & Kritik SAK
Pentingnya Standar Akuntansi Keuangan Akuntansi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan usaha di belahan mana pun di dunia ini. Mengapa? Sebab begitu melekatnya fungsi akuntansi di dalam sebuah usaha. Dapatkah kita bayangkan sebuah usaha tanpa adanya akuntansi atau suatu sistem pelaporan lainnya yang sejenis. Dapatkah kita bayangkan bagaimana sebuah perusahaan tanpa akuntansi. Dengan membayangkannya perlahan-lahan dan mendalam, kita akan dapat merasakan dan memikirkan, bagaimana pentingnya akuntansi dalam kehidupan usaha (bisnis). Dan perlu diingat bahwa akuntansi juga berlaku untuk institusi-institusi nirlaba. Setiap entitas usaha yang jika digabungkan akan menjadi suatu sub-sistem perekonomian yang sangat besar. Dan kaitan antar entitas dan juga dengan sub-sistem lainnya di dalam suatu sistem perekonomian akan mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat di suatu negara, dan dalam sistem ekonomi terbuka saat ini dan globalisasi, maka dampak suatu sub-sistem akan sangat besar. Dapat dibayangkan SAK yang mengatur sistem pencatatan dan pelaporan sub-sistem entitas-entitas tersebut akan sangat berdampak luas. Dampak yang luas dapat menjadi lebih luas lagi, sebab kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti sosial, politik dan budaya. Suatu laba atau rugi yang dihasilkan suatu entitas akan mempengaruhi kesejahteraan karyawannya, para pemiliknya, pajak yang dibayarkan pada pemerintah, kontribusi entitas tersebut pada masyarakat sekitar. Dan di balik sangat berperannya akuntansi dalam dunia ini, perlu juga dilihat di belakang berjalannya sebuah proses akuntansi, ada yang disebut SAK (Standar Akuntansi Keuangan). SAK dibuat untuk menjembatani pembuat dan pengguna laporan keuangan, sehingga dapat mencapai tujuannya dalam memberikan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan investasi dan kredit. Kerangka Dasar Kieso, Donald E., dan Weygandt, Jerry J., 1998, menyebutkan bahwa kerangka laporan keuangan yang telah dibuat oleh FASB (Financial Accounting Standards Board) di Amerika Serikat, dalam SFAC (Statements of Financial Accounting Concepts) yang berjumlah 5 yang berhubungan dengan pelaporan keuangan, yaitu: 1. SFAC No. 1, Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises. 2. SFAC No. 2, Qualitative Characteristics of Accounting Information. 3. SFAC No. 3, Elements of Financial Statements of Business Enterprises. 4. SFAC No. 5, Recognition and Measurement in Financial Statements of Business Enterprises. 5. SFAC No. 6, Elements of Financial Statements, yang menggantikan SFAC No. 3. Keseluruhan konsep tersebut dirangkum oleh Kieso et. Al., seperti dapat dilihat pada grafik “Conceptual Framework for Financial Reporting” berikut. Mereka membagi konsep-konsep tersebut menjadi 3 tingkatan. 1. Tingkat pertama mengenai “Mengapa”, mempertanyakan tujuan dan sasaran dari pelaporan keuangan, dan di sana disebutkan bahwa laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi untuk pengambilan keputusan investasi dan kredit, dengan turunannya yaitu mengenai alokasi sumber daya suatu entitas dengan keputusankeputusan tersebut. 2. Tingkat kedua, menghubungkan tingkat pertama dan tingkat ketiga. Halaman:
1
Tinjauan & Kritik SAK 3.
Tingkat ketiga mengenai “How”, mempertanyakan bagaimana implementasi konsepkonsep tersebut.
Konsep-konsep ini merupakan rujukan penting dalam pelaporan keuangan, baik bagi pembuat standar, maupun penyusun laporan keuangan. Hal ini ditegaskan dalam Kata Pengantar oleh Komite Prinsip Akuntansi tertanggal 7 September 1994, dalam pemberlakukan “Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan”, yang diadopsi secara langsung -dilampirkan “Framework for the Preparartion and Presentation of Financial Statements” yang dikeluarkan oleh International Accounting Standards Committee (IASC)-, sebagai berikut: 2. Memberlakukan “Framework for the Preparartion and Presentation of Financial Statements” yang disusun IASC sebagai Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Informasi Keuangan di Indonesia. Kerangka dasar ini merupakan rujukan penting bagi badan penyusun standar akuntansi keuangan dan bagi penyusun laporan keuangan serta bagi auditor dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur secara jelas dalam standar akuntansi keuangan yang ada. Tapi perlu dipahami bahwa kerangka dasar tersebut bukanlah suatu standar akuntansi keuangan.
Conceptual Framework for Financial Reporting Recognition and Measurement Concepts
Assumptions 1. Economic entity 2. Going concern 3. Monetary unit 4. Periodicity
Principles 1. Historical cost 2. Revenue recognition 3. Matching 4. Full disclosure
Qualitive Characteristics I. Primary Qualities A. Relevance (1) Predictive value (2) Feedback value (3) Timeliness B. Reliability (1) Verifiability (2) Representational faithfulness (3) Neutrality II. Secondary Qualities A. Comparability B. Consistency
Constraints 1. Cost-benefit 2. Materiality 3. Industry practice 4. Conservatism
Elements 1. Assets 2. Liabilities 3. Equity 4. Investment by owners 5. Distribution to owners 6. Comprehensive income 7. Revenues 8. Expenses 9. Gains 10. Losses
Objectives Provide information: 1. Useful in investment and credit decisions. 2. Useful in assessing future cash flows. 3. About enterprise resources, claims to resources, and changes in them.
Third level: The "How" implementation
Second level: bridge between levels 1 and 3
First level: The "Why" - goals and purposes of accounting
Halaman:
2
Tinjauan & Kritik SAK Dan dalam paragraf 3, dalam “Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan” disebutkan: Dalam hal terdapat pertentangan antara kerangka dasar dan standar akuntansi keuangan, maka ketentuan standar akuntansi keuangan yang harus diunggulkan relatif terhadap kerangka dasar ini. Namun demikian, berhubung kerangka dasar ini dimaksudkan sebagai acuan bagi komite penyusun standar akuntansi keuangan dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di masa depan dan dalam peninjauan kembali terhadap standar akuntansi keuangan yang berlaku, maka banyaknya kasus konflik tersebut akan berkurang dengan berjalannya waktu. Kerangka dasar merupakan hal yang sangat penting bagi penyusunan standar seperti yang telah disebutkan di atas, sebab kerangka dasar ini akan menjadi rujukan atau referensi yang sangat berguna bagi para pihak yang terkait dalam penyusunan standar. Kerangka dasar ini disusun berdasarkan konsep-konsep akuntansi yang telah ada sebelumnya, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa akan dimunculkan konsep-konsep akuntansi yang baru di kemudian hari, yang tentunya akan memerlukan revisi terhadap kerangka dasar. Melihat kondisi di Indonesia, dalam SAK yang diterbitkan oleh IAI, Ikatan Akuntan Indonesia, 1999, tidak tampak adanya konsep-konsep dalam pedoman yang diterbitkan oleh IAI tersebut. Di dalamnya hanya terdapat kerangka dasar, standar dan interpretasi; bahkan untuk kerangka dasar keseluruhannya diambil secara langsung (adopsi) dari kerangka dasar yang dikeluarkan oleh IASC, atau dengan kata lain, negara kita tidak mempunyai konsep-konsep tersendiri. Mengenai IAI membuat standar sendiri, hal ini sesuai Media Akuntansi, 1999, yang dalam paragraf pertama menyebutkan: Kalau ada yang mengatakan IAI bisanya hanya menterjemahkan standar, sebetulnya tidak juga. Sejak 1994 dan dipertegas lagi 1997 IAI berkomitmen untuk terus melakukan harmonisasi dengan standar internasional… Meski secara tidak langsung, tulisan tersebut hendak menyatakan bahwa IAI juga membuat standar sendiri. Dan kalau ada kesamaan, itu disebut dengan harmonisasi (selararisasi), seperti yang juga disebutkan dalam paragraf lain dari Media Akuntansi, 1999, yaitu: Jelas bahwa IAI selalu berusaha agar standarnya selaras dan tidak menyimpang dari standar-standar internasional itu. Tetapi mengingat sebab tidak mempunyai acuan konsep sendiri, rasanya janggal jika IAI membuat standar sendiri untuk hal-hal yang khas dalam kejadian ekonomi di Indonesia, sebab kita tidak mempunyai konsep yang khas untuk itu. Apa semua konsep yang tercantum dalam kerangka dasar yang dikeluarkan IASC selalu dapat dipergunakan? Kalau jawabannya “ya”, tentu hal ini tidak perlu dipermasalahkan lebih lanjut. Tetapi kalau jawabannya malah sebaliknya, hal ini perlu dipertanyakan pada IAI sebagai standard setter di Indonesia, bagaimana akuntabilitas standar-standar tersebut. Salah satu contoh yang mungkin cukup ekstrem adalah mengenai Koperasi, di mana jenis entitas ini sangat khusus apalagi jika sudah dikaitkan dengan Pancasila dan derivasinya yang dikembangkan dan menjadi theme pemerintahan pada masa Orde Baru. Tentunya ini sangat khas Indonesia, dan tentunya dalam kerangka dasar dari IASC tidak memuat konsep-konsep mengenai hal-hal yang terkait dengan Koperasi ini.
Halaman:
3
Tinjauan & Kritik SAK Lebih lanjut mengenai alasan harmonisasi atau selarasisasi yang didengung-dengungkan oleh IAI, dalam perkuliahan pertama Seminar Akuntansi Keuangan di MAKSI UI, seorang peserta kuliah, Sophar Julius Hutagalung sempat menyatakan sebagai berikut: 1. Bahwa ada ada standar yang janggal diterapkan di Indonesia, seperti misalnya mengenai migas (minyak dan gas) dan pertambangan, yang sesuai dengan pasal 33 dalam UUD 45, dikuasai oleh negara. Dan dalam penerapannya memang dikuasai oleh instansi-instansi pemerintah dengan label BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seperti Pertamina, Aneka Tambang (kini sudah go public) dan sejenisnya. Dan standar yang ada ditujukan pada entitas bisnis, apakah BUMN-BUMN ini adalah entitas binis? 2. Bahwa ada standar yang word by word sama persis dengan standar yang dikeluarkan oleh FASB. Dan sebagai tanggapan, pengajar pada hari yang bersangkutan, Dr. Siddharta Utama, menanggapi bahwa dirinya juga ada yang tidak mengerti makna dari suatu standar meski telah membacanya berulang-ulang, yang tampaknya merupakan hasil terjemahan. Sebab kalau hal tersebut dialami sehari-hari dalam kejadian ekonomi di Indonesia, tentunya para penyusun standar akan dapat membuat standar yang lebih membumi. Maka dari itu tampaknya alasan harmonisasi atau selarasisasi oleh IAI perlu dipertanyakan.
Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penyusunan Standar Dalam penyusunan sebuah standar, terkait banyak pihak dengan berbagai latar belakang, motivasi dan kepentingan yang berbeda dengan adanya suatu standar. Dengan heterogenitas tersebut, maka unsur politis dapat sangat berperanan dalam penyusunan suatu standar. User Groups that Influence the Formulation of Accounting Standards
Business entities
CPAs and accounting firms
Financial community (analysts, bankers, etc.)
AICPA (AcSEC)
Professional organizations (AAA, IMA, FEI, etc.) FASB
Academicians
Government (SEC, IRS, other agencies)
Investing Public
Industry associations
Accounting standards, interpretations, and bulletins
Halaman:
4
Tinjauan & Kritik SAK Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penyusunan Standar Pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan standar keuangan, terdiri dari berbagai macam pihak. Kieso, Donald E., dan Weygandt, Jerry J., 1998, memberikan sebuah gambaran yang sangat bagus dalam formulasi standar, seperti yang ditunjukkan dalam grafik “User Groups that Influence the Formulation of Accounting Standards”. Gambaran ini adalah mengenai pembuatan standar di Amerika. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan standar adalah: 1. FASB, dengan badan-badan dalamnya seperti FASAC (Financial Accounting Standards Advisory Committee), EITF (Emerging Issues Task Force). 2. Business entities, yang adalah kelompok perusahaan sebagai penyusun laporan keuangan atau penyedia informasi. 3. CPAs and accounting firms, adalah para akuntan dan auditor secara individu. 4. AICPA (American Institute of Certified Public Accountants), AcSEC (Accounting Standards Executive Committee). 5. Academicians, kalangan akademisi di perguruan-perguruan tinggi. 6. Investing public. 7. Financial community, yang terdiri dari analis, banker, reksa dana, perusahaan asuransi dan sebagainya. 8. Professional organizations, seperti AAA (American Accounting Association), IMA (Institute of Management Accountant), FEI (Financial Executives Institute), MBA (Mortgage Bankers Association), RMA (Robert Morris and Associates) dan sebagainya. 9. Government, seperti SEC (Securities and Exchange Commission), IRS (Internal Revenue Service) dan instansi pemerintah lainnya. 10. Industry associations, yang biasanya ada di masing-masing industri. Hal yang sama tampaknya terjadi di negara-negara lainnya, termasuk Di Indonesia, mengenai pihak-pihak yang terlibat atau berpengaruh dalam pembuatan standar. Hal ini dinyatakan oleh M. Dudy Kurniawan, Direktur Pengembangan Standar Profesi IAI, sesuai Media Akuntansi, 1999, sebagai berikut: Perlu diketahui standar sendiri sebenarnya merupakan suatu konsensus hasil proses politik antara user laporan keuangan seperti investor, kreditor dan pemerintah, manajemen perusahaan dan para auditor. Hubungan antar pihak terkait Hubungan antar pihak terkait dalam penyusunan dan pernyataan standar sudah tidak dipungkiri merupakan tanggung jawab standard setting bodies seperti FASB seperti ditunjukkan dalam grafik “User Groups that Influence the Formulation of Accounting Standards” yang telah dibahas sebelumnya. Dalam grafik tersebut ditunjukkan bahwa FASB menjadi sentral dalam penetatapn standar. Hal ini merupakan hal yang wajar dan sepantasnya mengingat, standard setting bodies adalah yang mempunyai hajat dalam hal ini. Dalam hubungan antar pihak terkait tersebut, setiap standard setting body di negara-negara yang berbeda tentu mempunyai proporsi yang berbeda mengenai intensitas hubungan dengan pihak-pihak terkait lainnya. Seperti misalnya dalam Beresford, Dennis R., 1997, di mana penulis adalah mantan Ketua FASB, mencantumkan secara khusus tiga hal mengenai
Halaman:
5
Tinjauan & Kritik SAK yang dilakukan oleh FASB yaitu pada: hubungan dengan kalangan akademisi, komunikasi dan aktivitas internasional. Ketiga hal tersebut berhubungan dengan pihak-pihak terkait, dan sebagai tambahan dari grafik yang telah dibuat oleh Kieso dan Weygandt, tampaknya institusi-institusi internasional perlu ditambahkan sesuai dengan Beresford. Hubungan dengan akademisi sudah jelas, mengenai komunikasi adalah komunikasi yang berkaitan dengan pihak-pihak selain kalangan akademisi dan institusi-institusi internasional. Kalangan akademisi
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia, melihat IAI dari sejak dulu (PAI), hingga saat ini, kalau diperhatikan dari nama-nama yang tercantum di dalam standar, terdapat nama-nama seperti: Wahyudi Prakarsa Katjep K. Abdoelkadir Nur Indriantoro (alm) Nama-nama tersebut kental sekali dengan dunia akademisi, meski terdapat juga nama-nama lain yang juga dapat dianggap kalangan akademisi meski mempunyai kegiatan-kegiatan lainnya, seperti: Jan Hoesada Istini T. Siddharta IPG Ary Suta Timoty E. Marnandus Gunadi Dan dari nama-nama yang muncul dalam standar-standar akuntansi keuangan di Indonesia, dapat dikatakan bahwa kalangan akademisi mempunyai pengaruh yang signifikan dalam IAI. Dan dari nama-nama tersebut dapat dikatakan bahwa kalangan akademisi tersebut dari kalangan yang sangat sempit, dapat dikatakan bahwa mereka-mereka tersebut datang dari seputar lingkungan Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada dan STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hal tersebut dapat dikatakan cukup disayangkan, sebab di Indonesia banyak orang-orang dengan potensi besar dari kalangan lain seperti misalnya STIE IBII dengan Drs. Kwik Kian Gie. Bandingkan dengan Beresford, yang berasal dari University of Georgia yang tidak termasuk dari Ivy League, seperti Harvard, Stanford, Wharton (Pennsylvania), Sloan (MIT), dan Kellog (Northwestern). Maka mungkin ada baiknya, di masa depan, IAI melibatkan kalangan akademisi yang lebih luas. Bagaimanapun, kalangan akademisi merupakan hal yang sangat penting, dalam pengembangan SAK, tentu tidak dengan alasan utama bahwa kalangan akademisi lebih mau kerja bakti dibandingkan pihak lainnya. Mengingat para penyusun SAK di Indonesia berbeda halnya dengan FASB adalah merupakan profesi paruh waktu atau malah sambilan saja. Dan bukan hal yang aneh, jika untuk hal demikian, tampaknya kalangan akademisi adalah yang merupakan kalangan yang paling feasible dan reasonable, sebab mungkin opportunity costnya paling kecil. Komunikasi dengan internasional
pihak-pihak
selain
kalangan
akademisi
dan
institusi-institusi
Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang berkaitan dengan pihak-pihak selain kalangan akademisi dan institusi-institusi internasional, yaitu seperti AICPA, AAA, IMA, FEI, Halaman:
6
Tinjauan & Kritik SAK SEC, IRS dan sebagainya. Di Indonesia, juga masih melihat dari nama-nama yang tercantum dalam standar-standar akuntansi keuangan, tampaknya selain kalangan akademisi, banyak nama-nama yang tercantum adalah dari kalangan auditor atau akuntan publik, seperti misalnya: Basuki Siddharta Hans Kartikahadi Theodorus M. Tuanakotta J. Prasetio Dan nama lain yang di luar akuntan publik mungkin hanya IPG Ary Suta, yang dapat dianggap mewakili Bapepam. Tampaknya pihak-pihak terkait lainnya di Indonesia tidak terlalu banyak dilibatkan dari proses penyusunan standar, sehingga namanya kurang layak dicantumkan dalam standar-standar yang ditetapkan oleh IAI. Paling banyak, mereka mewakili institusinya memberikan kata sambutan seperti terlihat dalam beberapa SAK. Lalu di mana nama-nama seperti Kwik Kian Gie, Suad Husnan, Roy Sembel, Hasan Zein Mahmud, Syahril Sabirin, Anwar Nasution, Hekinus Manao, Binsar Simandjuntak, Theo F. Tumeon, Muhammad (Bob) Hasan, Hutomo Mandala Putra (Tommy) Soeharto dan sebagainya, yang merupakan orang-orang yang tentunya akan sangat berkompeten dalam proses penyusunan SAK di Indonesia. Kedua nama terakhir disebutkan karena keterlibatan mereka dalam hal yang khusus dengan kejadian ekonomi misalnya Bob Hasan dengan urusan HPH dan kayu lapis, dan Tommy Soeharto dengan tata niaga cengkeh oleh BPPC. Tampaknya proporsi dari dunia akademisi yang kadang terlalu teoritis perlu diperkecil dalam proporsinya dalam penysunan SAK, sehingga lebih banyak masukan dari pihak-pihak terkait lainnya. IAI juga memerlukan untuk memikirkan mengenai masalah proporsi ini. Institusi-institusi internasional
Mengenai institusi-institusi internasional, tampaknya FASB dan IAI mempunyai orientasi yang sangat berbeda atau bahkan bertentangan. FASB sebagaimana layaknya Amerika Serikat, dapat dikatakan selalu ingin berperan sebagai penentu atau pengatur terhadap dunia ini. Kebalikannya dengan IAI, yang selalu mengikuti institusi-institusi internasional dengan alasan harmonisasi. FASB bergabung dengan IASC bersama Australia, Kanada, dan Britania Raya (Inggris) bersama dengan IASC disebut G4+1 berperan sebagai observer dalam dunia usaha internasional. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan observer di sini. Tapi melihat dari gemanya, tampak bahwa FASB hendak menjadi pengawas, pengatur dan polisi dunia dalam masalah SAK.
Area-area yang penting bagi para penyusun standar Beresford dalam Beresford, Dennis R., 1997, menyebutkan area-area yang penting yang diobservasinya selama menjadi Ketua FASB, yaitu: Netralitas, Fleksibilitas, Kompleksitas dan Produktivitas. Netralitas adalah hal mendasari (esensial) FASB selama bertahun-tahun, dalam pengambilan keputusan dan dalam pandangan atau penampilan. Masalah netralitas ini tampaknya merupakan hal yang sulit, sebab bagaimanapun pendapat mengenai netralitas adalah subjektif. Seperti Beresford mengilustrasikan bagaimana ada pihak-pihak yang kurang
Halaman:
7
Tinjauan & Kritik SAK sependapat dengan FASB dalam SAK, dengan pertimbangan-pertimbangan economic consequences, competitive disadvantage dan cost-benefit. Bagaimana dengan konteks di Indonesia? Tampaknya masalah netralitas bukan merupakan masalah bagi IAI, sebab kritik yang lebih lantang dan sering terdengar adalah IAI hanya mengadopsi standar-standar lain. Masalah fleksibilitas, kompleksitas dan produktivitas dapat merupakan area yang penting di Amerika Serikat, tapi di Indonesia mungkin area yang penting adalah kompleksitas, sebab fleksibilitas dan produktivitas, sesuai dengan theme “harmonisasi” sudah selaras dengan standar-standar internasional, tidak usah dipusingkan. Mungkin mengenai masalah produktivitas dapat melihat tulisan di Media Akuntansi, 1999, sebagai berikut: Sebetulnya, bagaimana proses pembuatan sebuah standar. Menurut Dudy, pembuatan sebuah standar tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Di AS, sebuah standar bahkan membutuhkan waktu sampai 2 sampai 10 tahun untuk dapat diterbitkan. Mengapa Dudy (M. Dudy Kurniawan), yang adalah Direktur Pengembangan Standar Profesi IAI, sampai mengambil gambaran AS (Amerika Serikat) untuk menggambarkan bagaimana lamanya pembuatan standar. Ini dapat merupakan indikator bahwa para penyusun standar di Indonesia tidak pernah mengalami proses pembuatan standar yang utuh. Jadi ya masalah produktivitas bukan masalah yang penting, sebab untuk adopsi dan harmonisasi tentu waktunya relatif tidak selama proses penyusunan standar yang utuh. Kompleksitas, ini dia baru perlu dipertimbangkan sungguh-sungguh di Indonesia. Mengapa? Sebab seperti disebutkan sebelumnya, seorang pengajar di MAKSI UI sampai menyebutkan bahwa setelah membaca berulang-ulang suatu SAK, beliau belum juga mengerti. Tentu jika seorang dengan pendidikan sangat tinggi dalam bidang akuntansi saja, bagaimana dengan orang-orang lainnya yang berpendidikan lebih rendah. Memang mengenai kompleksitas dalam standar ini juga dirasakan berbagai kalangan di kalangan negara maju, tetapi tampaknya semakin kompleks dirasakan di Indonesia, sebab kadang ada standar yang penerapannya sehari-hari belum umum di Indonesia tetapi telah muncul SAK yang mengaturnya. Tentu ini patut dipertanyakan, darimana asal muasalnya sehingga standar tersebut eksis tanpa ada substansi ekonominya. Hal ini tentu akan menambah masalah kompleksitas pembaca SAK tersebut. Tampaknya, selain 4 hal yang diutarakan oleh Beresford, netralitas, fleksibilitas, kompleksitas dan produktivitas, perlu ditambahkan satu hal lagi: kapabilitas. Alasan-alasan yang mendasarinya adalah: 1. Jika orang-orang yang kapabilitasnya tidak memadai mengerjakan proses penyusunan standar, tentu standar-standar yang dihasilkan akan lemah. 2. Standar-standar yang dihasilkan selain lemah tentu akan mengundang banyak keberatan di sana-sini, terutama oleh orang-orang yang mempunyai kapabilitas lebih atau kompetensi lebih tinggi. 3. Standar yang dihasilkan dapat tidak optimal. Dapatkah dibayangkan orang yang mampu berlari 100 meter dalam 11 detik, dalam olimpiade pun hasil yang akan dicapai tidak akan terpaut jauh dari waktu 11 detik itu.
Halaman:
8
Tinjauan & Kritik SAK
Pentingnya fokus terhadap pengguna laporan keuangan dalam pembuatan standar akuntansi Kunci terpenting dalam menilai kualitas informasi yang dihasilkan oleh suatu standar adalah melalui kaca mata pengguna (user) dari informasi tersebut. Mengingat bahwa tujuan utama pembuatan laporan keuangan, adalah untuk memberikan informasi untuk dapat diguanakan para pengguna (investor, kreditur, dan mereka yang terkait dengan kedua pengguna tersebut) dalam membuat keputusan pengalokasian dana yang merupakan sumber pendanaan internal atau eksternal entitas terkait. Hal ini juga telah disebutkan dalam kerangka dasar yang telah dibahas sebelumnya. Jonas, Gregory J., dan Young, Stephen J., 1997, mengetengahkan pentingnya fokus pengguna dalam penyusunan SAK, dengan alasan win-win situation buat masing-masing partisipan, yaitu: 1. Pengguna, SAK yang berfokus pada pengguna akan membuat informasi akan benarbenar bernilai dan berguna. 2. Perusahaan, dengan menyajikan laporan yang informatif akan menurunkan rata-rata biaya modal. 3. Auditor, sebab mereka berhubungan dengan informasi yang relevan. 4. Kalangan akademisi, dengan tersedianya kesempatan besar untuk menjembatani antara pengguna dan standard setter, dan memastikan studi-studi ke arah yang jelas yaitu studi berdasarkan pengguna. 5. Standard setter, sebab standar memperbaiki relevansi dari model pelaporan. Penyusun standar keuangan di berbagai negara kini telah menyadari betapa pentingnya melihat dan mengukur nilai yang terkandung informasi dari sudut pandang pengguna laporan keuangan (user focus). IASC dengan IAS-nya yang menjadi acuan penyusunan standar akuntansi di berbagai negara, termasuk Indonesia, tertantang melakukan pemberdayaan pengguna dalam proses penyusunan standar keuangan internasional yang berkualitas tinggi. Begitu pula dengan FASB yang secara konsisten berusaha untuk mendapatkan masukan dan melibatkan pengguna dalam proses penyusunan standar. Hal ini mengundang pertanyaan mengenai penyusunan standar keuangan di Indonesia yang dilakukan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui sebuah tim standar, yaitu Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK). Standar keuangan di Indonesia kebanyakan memang mengacu kepada IAS, SFAS, dan Accounting Principles Board Opinion. Dari ke-55 PSAK yang ada kini, 23 PSAK mengacu pada IAS, 13 pada SFAS, dan 5 pada Accounting Principles Board and Accounting Research Bulletin, namun terdapat 14 PSAK yang dikembangkan sendiri oleh IAI dengan bekerjasama dengan Bapepam, instansi terkait, dan berbagai asosiasi industri. Sejauh ini IAI belum melibatkan user untuk turut serta dalam proses penyusunan standar, kehadiran pengguna baru terjadi pada saat exposure draft disebarluaskan, itu pun hanya sekedar suatu konsensus dan proses politik antar user (investor, kreditur, pemerintah, manajemen perusahaan, dan auditor). IAI sesuai dengan namanya, hanya beranggotakan orang-orang dari profesi akuntan. Hal ini otomatis berlaku pula dalam DSAK yang terdiri dari sembilan anggota profesi senior dari Halaman:
9
Tinjauan & Kritik SAK kalangan akuntan publik, akademisi, dan akuntan pemerintah. Tidak terlibat sama sekali adanya pengguna, khususnya dari kalangan non-akuntan dalam proses penyusunan standar. Lain halnya dengan FASB, meskipun pada kenyataannya baru sebagian kecil (5 dari 33 anggota FASAC adalah pengguna), berusaha untuk menggiatkan peranan pengguna dalam memberikan masukkan mengenai issue-issue yang harus dimasukkan dalam agenda. Namun dirasakan bahwa user kurang termotivasi untuk mengambil peranan dalam proses penyusunan standar. Sebagaimana diungkapkan Jonas et. al., alasan mengapa pengguna kurang memiliki insentif untuk turut berpartisipasi adalah karena: 1. Kebanyakan pengguna memang sengaja ingin mengambil keuntungan dari informasi yang tidak dapat dimiliki oleh orang lain. 2. Kebanyakan pengguna adalah orang-orang yang berpenghasilan tinggi dan sangat sibuk, sehingga kalau dilihat dari sisi manfaat dan biaya sangat tidak menarik. 4. Kalaupun ada yang berminat, proses penyusunan standar merupakan pekerjaan yang berat, ditambah dengan lingkungan yang didominasi profesi akuntan, menjadikan proses penyusunan standar sebagai pekerjaan yang kurang menarik bagi pengguna yang kebanyakan non-akuntan. Menyikapi pendapat Jones Jonas et. al., tampaknya dalam kondisi di Indonesia di mana dominasi para auditor atau akuntan publik dalam IAI dan DSAK, dapat menimbulkan alasan lain. Apakah dengan fokus pada pengguna, pekerjaan dalam bidang jasa-jasa akuntansi tidak akan menyusut? Sepintas lalu, memang pertanyaan tersebut mengada-ngada, tetapi mungkin ilustrasi berikut dapat membantu mengapa pertanyaan tersebut dapat muncul: 1. Dengan SAK yang mengacu pada pengguna, maka secara konsekuensi logis, pengguna akan lebih mudah melakukan praktik akuntansi. Kebutuhan akan jasa konsultasi dalam bidang akuntansi akan berkurang dan demikian juga dengan jasa pelayanan akuntansi. 2. Situasi win yang digambarkan oleh Jonas et. al. bagi auditor, sebenarnya ibarat pedang bermata dua, sebab dengan informasi yang relevan, tentu biaya audit akan menjadi lebih murah sebab tingkat kesulitannya dapat dianggap menurun oleh pengguna. Jadi apa fokus pengguna masih menarik untuk dilakukan? Tampaknya para standard setter yang mayoritas akuntan dan auditor perlu memikirikannya lebih lanjut. Lalu bagaimana caranya agar penyusun standar dapat lebih memahami informasi apa yang user inginkan? Jonas et. al. mengemukakan bahwa kalangan akademisi dapat membantu menjembatani jarak antara penyusun standar dengan pengguna dengan melakukan penelitian dan memberikan bukti-bukti empiris mengenai nilai dan kualitas informasi yang dihasilkan oleh penerapan standar, sehingga dapat memberikan masukan yang dapat dipercaya untuk memutakhirkan standar yang ada agar terus dapat menandingi pergerakan kondisi usaha yang cepat berubah. Lebih jauh lagi, kalangan akademisi diharapkan dapat melakukan penelitian yang tepat waktu dengan isu terkini, yang dapat dijadikan dasar yang relefan dalam penyusunan suatu standar baru. Pengakuan mengenai peran penting kalangan akademisi ini juga datang dari Beresford dan anggota FASB lainnya. Keterlibatan kalangan akademisi, menurut mereka, sangat menunjang efektifitas kerja mereka. Halaman: 10
Tinjauan & Kritik SAK
Kesimpulan dan rekomendasi 1.
2.
3. 4. 5.
SAK dan penyusunan SAK adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan usaha dan secara tidak langsung menyangkut banyak lainnya yang terkait seperti masalah sosial dan politik. Indonesia tidak mempunyai konsep sendiri dalam penyusunan standar selain kerangka dasar yang secara utuh mengikuti kerangka dasar dari IASC. Sehingga lebih lanjut perlu dipertimbangkan dampaknya. Hubungan penyusun standar dengan institusi-institusi lainnya di Indonesia perlu diperbaiki dan melakukan heterogenisasi. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam standard setter adalah kapabilitas para anggotanya. Pemberdayaan pengguna dalam penyusunan SAK merupakan suatu paradigma yang tepat dalam penyusunan standar, dan sepantasnya dilakukan dalam penyusunan standar. Tetapi ibarat pedang bermata dua, fokus pengguna dapat menyusutkan ruang kerja dalam jasa-jasa akuntansi, masih pantaskah dilanjutkan?
Daftar Pustaka Beresford, Dennis R., 1997, “How to Succeed as a Standard Setterby Trying Really Hard”, Accounting Horizons, September 1997, 79-90. Ikatan Akuntan Indonesia, 1999. “Standar Akuntansi Keuangan”, Penerbit Salemba Empat, 1999. Jonas, Gregory J., dan Young, Stephen J., 1997, “Bridging the Gap: Who Can Bring a User Focus to Business Reporting?”, Accounting Horizons, September 1997, 154-159. Kieso, Donald E., dan Weygandt, Jerry J., 1998, “Intermediate Accounting”, 9th ed., John Wiley & Sons, 1998. Media Akuntansi, 1999, “Kisah Dibalik Munculnya Standar”, Juni 1999, 15.
Halaman: 11