SELFIE: PERANAN JENIS KOMENTARTERHADAP HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN SOSIAL DAN PERILAKU AGRESIF PELAKU SELFIE Sartika Rahmawati
[email protected] Cleoputri Al Yusainy Ratri Nurwanti Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
ABSTRACT Selfie phenomenon shows the human tendency to create a good impression on others through self-portrait uploaded to social media. When entering such a social situation, the level of social anxiety may affect their intepretation of the comments given by other people. The literature indicated that comments which did not comply the expectations could be judged as a form of provocation that would cause aggresive behavior. This research is part of the main study conducted by Yusainy, Nurwanti, Akhrani, and Dara (2014) in the 78 junior students (2013 batch) of Faculty of Social and Political Sciences of the University of Brawijaya. The purpose of this study was to examine the role of these types of comments (positive, negative, neutral) regarding to the relationship between social anxiety and aggressive behavior principals selfie. Aggressive behavior was measured indirectly by verbal assessment, such as written recommendation of the participants toward the people who have commented upon the selfie subjects. Bootstrap analysis showed that (i) there was no relationship between social anxiety and aggressive behavior, (ii) the relationship between social anxiety and aggressive behavior was not moderated by the types of comment. However, additional analysis showed that there was a significant influence of these types of comments on the aggressive behavior, the more negative the comments received, the higher aggressive behavior by selfie person. Further discussion will be presented in this study. Keywords: social anxiety, aggressive behavior, selfie
ABSTRAK Fenomena selfie menunjukkan kecenderungan manusia untuk menciptakan kesan baik pada orang lain melalui potret diri yang diunggah ke media sosial. Pada saat memasuki situasi sosial seperti ini, tingkat kecemasan sosial yang dimiliki seseorang mungkin memengaruhi intepretasinya terhadap komentar yang diberikan oleh orang lain. Literatur menunjukkan bahwa komentar yang tidak sesuai dengan harapan dapat dinilai sebagai bentuk provokasi yang akan menimbulkan perilaku agresif. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan oleh Yusainy, Nurwanti, Akhrani, dan Dara (2014) terhadap 78 mahasiswa tingkat awal (angkatan 2013) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Tujuan penelitian ini adalah menguji peranan jenis komentar (positif, negatif, netral) terhadap hubungan antara kecemasan sosial dan perilaku agresif pelaku selfie. 1
2
Perilaku agresif diukur secara tidak langsung berbentuk verbal, berupa rekomendasi tertulis partisipan terhadap orang yang telah memberikan komentar atas selfie partisipan. Analisis bootstrap menunjukkan bahwa (i) tidak ada hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif, (ii) hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif tidak dimoderasi oleh jenis komentar. Meskipun demikian, analisis tambahan menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari jenis komentar terhadap perilaku agresif, yaitu meningkatnya agresivitas pelaku selfie seiring dengan semakin negatifnya jenis komentar yang ia terima. Diskusi lebih lanjut akan dipaparkan dalam penelitian ini. Kata kunci: kecemasan sosial, perilaku agresif, selfie LATAR BELAKANG Fenomena selfie merupakan salah satu fenomena yang menjadi topik pembicaraan utama pada tahun 2013 bahkan sampai saat ini. Sedemikian fenomenalnya, sehingga Oxford Dictionaries pun mempopulerkan selfie sebagai Word of the Year. Selfie adalah foto hasil memotret diri sendiri, biasanya dengan smartphone atau webcam, lalu diunggah ke media sosial (Gibb, 2013). Jenis media sosial yang digunakan untuk mengunggah selfieseperti facebook, twitter, dan instagram. Saat ini selfie semakin banyak mengundang perhatian dari berbagai profesi khususnya para psikolog. Para psikolog biasanya menilai bahwa selfie memang sesuatu yang wajar, namun jika sudah menyebabkan kecanduan akan menjadi hal yang perlu mendapat perhatian dan pengawasan lebih terhadap diri sendiri maupun orang terdekat. Selfie sebenarnya tidak dimaksudkan untuk hal-hal yang negatif, karena hanya sekadar ingin menunjukan dirinya pada publik melalui sosial media. Bukan masalah yang besar ketika seseorang melakukan selfie lalu mengirim ke sosial media, bahkan bisa dikatakan banyak orang bisa melakukan hal tersebut. Namun, yang membuat prihatin adalah jika dampak dari selfie itu sendiri merugikan bagi orang yang melakukannya dan orang lain (Natalia, 2014). Selfie juga merupakan gambaran presentasi diri dimana bertujuan untuk menampilkan diri dengan cara-cara yang membuat kesan baik. Presentasi diri di sini maksudnya adalah bagaimana suatu individu menampilkan dirinya pada publik untuk membuat kesan yang baik, yang diperlukan karena untuk mengetahui identitas diri seseorang. Kesan baik yang biasa dimunculkan oleh pelaku selfie biasanya adalah mengambil selfie berkali-kali dengan berbagai macam gaya, menghabiskan waktu untuk mengedit foto supaya terlihat sempurna, mengunggah hasil selfie ke media sosial yang paling baik. Usaha untuk memberikan kesan baik merupakan tanda dari kecemasan sosial (Myers, 2012), yaitu ketakutan yang berlebihan terhadap interaksi atau situasi sosial sehingga sebisa mungkin untuk menghindari atau
3
menghadapi situasi tersebut dengan distres yang sangat besar (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Situasi sosial yang bisa menimbulkan kecemasaan sosial misalnya saat berhadapan dengan orang yang berstatus tinggi serta orang yang diusahakan agar terkesan, ketika membuat kesan pertama dihadapan calon mertua, calon atasan, dalam situasi baru yang tidak terstruktur seperti saat pesta dansa pertama kali, dan menunggu sesuatu yang diharapkan muncul (Myers, 2012). Menunggu komentar setelah mempublikasikan foto atau membuat status pada media sosial pun merupakan situasi sosial yang menimbulkan kecemasan sosial. Orang yang selfie mengharapkan respon, misalnya untuk variasi respon pada facebook yaitumemberikan like atau komentar pada sesuatu yang sudah diunggah, kemudian pada twitter untuk variasi respon seperti retweet, reply, favorite pada sesuatu yang sudah diunggah, kemudian pada instagram juga variasi respon yang diberikan seperti love dan komentar. Komentar merupakan salah satu bentuk respon dalam dunia maya terhadap virtual sharing yang sudah diberikan, dimana komentar tersebut tidak dapat dikendalikan oleh yang bersangkutan. Komentar yang muncul di dunia maya bisa berupa komentar positif, negatif, dan netral. Ketika komentar negatif yang muncul maka hal tersebut bisa memicu munculnya perilaku agresif. Sejauh ini, belum ada penelitian tentang dampak jenis komentar terhadap kecemasan sosial pada pelaku selfie. Penelitian yang dilakukan oleh Mu’arifah (2005) menyatakan bahwa individu yang mengalami kecemasan akan berdampak pada gangguan terhadap fungsi pikiran, fisiologis, psikologis serta mengganggu organ tubuh lainnya yang akan menimbulkan perilaku agresif. Perilaku agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang terhadap orang lain yang targetnya sebenarnya tidak mau untuk disakiti (Sarwono & Meinarno, 2009). Tindak agresif yang dilakukan bukan hanya terjadi secara insidental atau musiman, melainkan sudah menjadi kebiasaan, bahkan terencana. Bentuk-bentuk agresi dibagi menjadi dua (Myers, 2012), yaitu agresi langsung (direct aggression) yang melibatkan adanya interaksi wajah ke wajah sehingga pelaku mudah mengidentifikasi korbannya. Selanjutnya ada agresi tidak langsung (indirect aggression) yang tidak bisa diidentifikasi identitasnya oleh target agresi. Perilaku agresif yang terjadi karena adanya provokasi sehingga memicu agresi tidak langsung secara verbal misalnya seperti memberikan komentar yang negatif. Komentar negatif yang muncul merupakan salah satu bentuk dari provokasi. Provokasi merupakan tindakan oleh orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima, sering kali karena tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud yang jahat (Baron & Byrne, 2005). Adapun yang muncul adalah dengan
4
memprovokasi secara kuat maka hal tersebut berdampak menjadi perilaku agresif, misalnya saja dari hal tersebut menghasilkan respon marah dan agresif dari orang lain. Berdasarkan penelitian terdahulu dari Nashori (2009) dan Mu’arifah (2005) diketahui bahwa terdapat ada hubungan positif antara kecemasan sosial dan perilaku agresif. Artinya, semakin tinggi tingkat kecemasan maka semakin tinggi pula tingkat agresinya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat kecemasan maka semakin rendah pula tingkat agresinya. Dalam penelitian tersebut perilaku agresif tidak diukur secara langsung tapi menggunakan skala kecenderungan agresif. Sebaliknya, eksperimen yang dilakukan oleh DeWall, Buckner, Lambert, Cohen dan Fincham (2010) diketahui bahwa ada pengaruh negatif antara kecemasan sosial terhadap perilaku agresif. Adanya pengaruh negatif yang dihasilkan dari penelitian ini karena orang yang cemas secara sosial takut mendapatkan penilaian yang buruk apabila menampilkan perilaku agresif kepada orang lain. Jadi, semakin tinggi tingkat kecemasan sosial seseorang maka perilaku agresif yang dieksperimenkan semakin rendah. Penelitian ini merupakan penelitian payung dari eksperimen tentang perilaku agresif pada pelaku selfie yang dilakukan Yusainy, Nurwanti, Akhrani, dan Dara (2014). Dalam eksperimen tersebut, subjek diminta untuk selfie terlebih dahulu. Kemudian subjek mengisi skala kecemasan sosial, kemudian subjek akan mendapatkan feedback komentar positif, negatif, dan netral secara random, dan kemudian diminta untuk memberikan rekomendasi orang yang sudah memberikan feedback. Perilaku agresif pada eksperimen tersebut bentuknya tidak langsung karena pelakunya tidak bisa diidentifikasi identitasnya oleh target agresi. Konsekuensinya, ada kemungkinan subjek akan melupakan kecemasannya dalam bentuk perilaku agresif, terutama setelah ia mendapatkan provokasi berupa komentar negatif orang lain. Pentingnya penelitian ini dilakukan karena penelitian mengenai selfie yang relatif baru, sedangkan selfie sendiri dianggap sebagai fenomena yang populer dimasyarakat terutama di Indonesia. Fenomena selfie yang semakin membudaya membuat peneliti tertarik untuk meneliti, sehingga peneliti mengambil judul “Selfie: Peranan Jenis Komentar terhadap Hubungan antara Kecemasan Sosial dan Perilaku Agresif Pelaku Selfie.”
LANDASAN TEORI Selfie Selfie diklaim dan dipopulerkan sebagai kata yang paling banyak dipakai selama 2013 oleh
kamus
bahasa
Inggris
Oxford(Losh,
2014).
Pamela
Rutledge
(Rutledge,
5
2013)menjelaskan selfie adalah perilaku memotret diri sendiri atau self portrait yang biasanya dilakukan menggunakan kamera ponsel, dan kemudian diunggah ke media sosial. Selfie bisa memunculkan berbagai respon seperti respon suka atau tidak suka. Namun, tidak jarang selfie mendapatkan pujian dan kekaguman. Pada awalnya, selfie dilakukan dengan cara memegang kamera menghadap pada cermin. Namun, sekarang untuk teknik pengambilan foto selfie sudah canggih menggunakan kamera depan pada ponsel pintar yang dilengkapi oleh timer. Hasil dari selfie kemudian diunggah pada media sosial oleh para pelaku selfie, dan biasanya untuk digunakan sebagai foto profil atau dimunculkan untuk interaksi antar pengguna yang sedang online(Mazza, Silva, & Callet, 2014). Selfie didefinisikan juga sebagai tindakan menampilkan diri yang dilakukan oleh setiap individu untuk mencapai citra diri yang diharapkan. Selfie ini bisa dilakukan oleh individu atau bisa juga dilakukan oleh kelompok individu. Selfie yang dilakukan diambil dengan moment yang tepat serta dengan kualitas gambar yang baik supaya memunculkan suatu komentar bahkan kekaguman (Luik, 2012).
Kecemasan Sosial Menurut DeWall, dkk (2009), kecemasan sosial merupakan sebuah fenomena yang ditandai oleh rasa takut dan distres. Kecemasan sosial ditandai dengan melihat interaksi sosial sebagai kompetitif, kewaspadaan yang berlebihan pada tanda-tanda ancaman sosial, dan menghindari interaksi yang dapat mengakibatkan penolakan sosial. Pada skala ekstrem kecemasaan
sosial
berkaitan
dengan
kondisi
kesehatan
mental,
seperti
masalah
penyalahgunaan zat, depresi, keinginan bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Kecemasan sosial menurut Brown, Turovsky, Heimberg, Juster, Brown, Barlow (1997) menjelaskan bahwa kecemasan sosial merupakan rasa takut yang berlebihan dengan situasi sosial. Orang-orang dengan cemas secara sosial akan waspada dengan orang-orang yang asing. Mereka merasa melakukan hal yang memalukan sehingga takut dengan situasi sosial. Kecemasan sosial merupakan suatu bentuk rasa cemas dan rasa takut yang diarahkan pada lingkungan sosialnya. Individu khawatir dirinya akan mendapat penilaian negatif dari orang lain. Individu juga khawatir tidak mampu mendapat persetujuan dari orang lain serta takut melakukan perilaku yang memalukan dimuka umum (Suryabrata, 2008).
6
Definisi lain dari kecemasan sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Individu yang menderita kecemasan sosial biasanya mencoba menghindari situasi dimana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat yang berlebihan dan memerahnya wajah (Davison, Neale, & Kring, 2012).
Perilaku Agresif Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang pada orang lain yang dengan jelas disengaja (Sarwono & Meinarno, 2009). Tindakan melukai tersebut bisa berupa memukul, menendang, menyayat, dan lain-lain. Agresi juga merupakan suatu perilaku fisik atau verbal yang mempunyai maksud untuk menyebabkan kerusakan. Contoh dari agresi fisik misalnya seperti memukul, meninju, dan menendang. Contoh dari agresi verbal misalnya mencaci maki serta berkata kasar seperti bego, tolol.Definisi ini membedakan perilaku merusak yang tidak disengaja seperti kecelakaan yang terjadi pada peristiwa tabrakan (Myers, 2012). Agresi juga dapat diartikan sebagai tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti makhluk hidup lain melalui kekerasan oleh sifat alamiah yang dimiliki (Baron & Byrne, 2005). Agresi juga didefinisikan sebagai tindakan untuk menyakiti orang lain yang sering kali suli tuntuk mengetahui niat orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
METODE Responden dan Desain Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya Malang tingkat awal yang belum pernah mengikuti eksperimen psikologi sebelumnya. Berdasarkan perhitungan G*Power (2013) yang dikembangkan Erdfelder, Faul dan Buchner (2007), dengan power sebesar ,80 dan alpha level 0,05 diperlukan minimum 78 sampel untuk mendapatkan large effect (d= 0,40) dari tiga kondisi eksperimen. Large effect bertujuan untuk mendukung asumsi bahwa sampel akan mewakili populasi yang menjadi target generalisasi hasil penelitian (Widhiarso, 2012). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 78 subjek yang terdiri dari 39 perempuan dan 39 laki-laki. Pada penelitian ini yang berjudul “Selfie: Peranan jenis komentar terhadap hubungan antara kecemasan sosial dan perilaku agresif pelaku selfie,” menggunakan metode penelitian eksperimental kuasi. Menurut Seniati, Yulianto, dan Setiadi (2011) dikatakan ekperimental
7
kuasi apabila tidak dilakukannya randomisasi dalam meneliti hubungan sebab-akibat. Dalam penelitian ini, jenis komentar sebagai variabel moderator dimanipulasi dan kecemasan sosial sebagai variabel bebas tidak dimanipulasi.Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik non probability sampling. Non Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2009). Partisipan mendaftar secara langsung di laboratorium psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Setelah itu partisipan diberi nomor urut sesuai dengan randomisasi sudah dibuat dalam penelitian Yusainy, dkk (2014). Di dalam setting eksperimen, selfie yang dibuat subjek dikumpulkan dan seolah-olah dinilai oleh partisipan lain yang berjenis kelamin sama dengan subjek. Penilaian tersebut dinyatakan dalam bentuk kata sifat, dimana secara total terdapat 45 kata sifat yang bisa menggambarkan ciri atau karakteristik subjek, berdasarkan kesan yang ditimbulkan oleh selfie yang ia buat. Pada kenyataannya, peneliti telah terlebih dahulu mempersiapkan jenis penilaian atas selfie yang akan diterima subjek. Setiap kondisi eksperimen secara randomakan menerima salah satu kelompok penilaian yang bersifat (i) positif (15 kata sifat, contoh: cerdas, optimis, ramah), (ii) negatif (15 kata sifat, contoh: aneh, pemalas, sombong), atau (iii) netral (15 kata sifat, contoh: apa adanya, santai, waspada). Komentar yang bersifat negatif diharapkan dapat memicu perilaku agresif yang ditampilkan oleh subjek, karena mengindikasikan bentuk provokasi yang bersifat interpersonal (Anderson & Bushman, 2002; Berkowitz, 1993).
Alat Ukur dan Prosedur Penelitian Pengambilan data pada penelitian ini menggunkan skala penelitiaan.Setelah melakukan selfie, subjek diminta untuk mengisi Social Interaction Anxiety Scale (SIAS) dari Brown, Turovsky, Heimberg, Juster, Brown, Barlow (1997). Skala ini merupakan hasil dari trans adaptasi yang telah dilakukan oleh Yusainy & Nurwanti pada tahun 2014 menggunakan forward translation. Proses menerjemahkan skala kecemasan sosial ini tidak hanya sekadar diterjemahkan namun tetap menyesuaikan dengan budaya serta yang hendak diukur. Skala kecemasan sosial merupakan skala yang akan mengukur seberapa tinggi tingkat kecemasan sosial subjek. Skala ini terdiri dari 20 aitem dengan 5 alternatif respon 1 sampai 5 yaitu (1 = sangat tidak sesuai; 5 = sangat sesuai). Semakin tinggi rata-rata skor total maka semakin
8
tinggi pula tingkat kecemasan sosialnya. Salah satu contoh dari item SIAS adalah “ketika berada di situasi sosial, saya merasa tidak nyaman.” Selanjutnya
menggunakan
skala
perilaku
agresif
(Reputation
Damage
Recommendation). Perilaku agresif yang diukur dalam penelitian ini berbentuk verbal (berupa rekomendasi tertulis), yang diukur secara tidak langsung karena identitas subjek penelitian (pelaku agresi) bersifat anonim. Rekomendasi ini memiliki tujuan untuk merusak reputasi individu lain (target agresi). Perilaku agresif diukur sebagai variabel terikat. Dalam hal ini, target agresi dalam penelitian ini adalah individu yang telah memberikan komentar terhadap selfie subjek, baik berupa komentar positif, negatif, atau netral. Ketiga jenis komentar ini sebagai variabel moderator. Subjek diberi informasi bahwa rekomendasi yang ia berikan (1) akan digunakan untuk kepentingan seleksi, karena individu yang memberikan evaluasi kepada subjek telah mendaftar untuk berpartisipasi dalam eksperimen selanjutnya yang juga memperoleh bayaran (2) bersifat rahasia. Berikut ini aspek-aspek yang dinilai dalam rekomendasi tersebut (Yusainy, 2014). Dari skala 1 sampai 5 (1 = sangat sedikit atau tidak sama sekali; 5 = sangat), nyatakan: ____ Seberapa cakap partisipan yang telah memberikan evaluasi kepada Anda? ____ Apakah partisipan yang telah menilai Anda terkesan suka bermusuhan? ____ Apakah evaluasi yang anda terima bersifat negatif? ____ Seberapa adil evaluasi yang Anda terima? ____ Seandainya Anda diundang untuk ikut dalam eksperimen berikutnya, apakah Anda bersedia berpasangan dengan partisipan yang telah mengevaluasi Anda tadi? Semakin tinggi skor hasil penilaian yang diberikan subjek maka semakin tinggi tingkat agresivitas subjek. Bentuk pengukuran serupa sudah pernah digunakan dalam penelitian Yusainy (2013) dan Lawrence dan Hutchinson (2013, 2014). Namun, untuk data yang digunakan peneliti adalah aspek kompetensi, bermusuhan, dan keadilan sehingga dari lima aspek yang ada dalam skala perilaku agresif, peneliti menggunakan tiga aspek (lihat Lampiran 2). Peneliti memutuskan untuk menggunakan tiga aspek dikarenakan hal tersebut yang berkaitan dan aspek yang hendak diukur dalam penelitian ini. Sementara itu, untuk skoring aspek bermusuhan adalah antara 1-5 sedangkan untuk skoring aspek kompeten dan adil adalah antara 5-1. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode internal consistency, yaitu dengan memberikan satu bentuk tes yang hanya diberikan sekali
9
kepada sekelompok subjek, dan untuk estimasi reliabilitas, dapat dilihat melalui konsistensi antar aitem, dengan menggunakan SPSS. Penelitian ini internal consistency alat ukur diuji dengan menggunakan koefisien Cronbach Alpha, dimana reliabilitas yang tinggi ditunjukkan dengan nilai koefisien alpha mendekati 1. Reliabilitas yang dianggap sudah cukup memuaskan adalah jika mencapai 0,7. Untuk uji reliabilitas ini, peneliti juga meggunakan program SPSS dengan uji koefisien Cronbach Alpha. Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Mattick dan Clarke (1989) menggunakan SIAS didapatkan realibilitas dengan rentang 0,88 - 0,93. Skala tersebut digunakan dengan berbagai macam partisipan yaitu orang dengan fobia sosial, mahasiswa, komunitas sukarelawan, dan agoraphobia. Sementara itu Brown, dkk (1997) reliabilitas yang didapat dari SIAS adalah 0,79. Skala tersebut digunakan pada 265 partisipan yang terdiri 104 perempuan dan 61 laki-laki dengan orang yang memiliki gangguan kecemasan didasarkan dari wawancara terstruktur. Berdasarkan uji realibilitas dengan analisis Cronbach’s Alpha didapatkan nilai reliabilitas skala kecemasan sosial (SIAS) adalah 0,90. Kemudian untuk uji realiabilitas pada skala perilaku agresif didapatkan nilai reliabilitas sebesar 0,70. Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur tersebut memiliki reliabilitas yang cukup baik. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yusainy (2014), sehingga alat ukur ini dikatakan reliabel.
HASIL Peneliti melakukan analisis bootstrap moderasi sederhana (Hayes, 2012) dengan resampling 5000 kali dengan interval kepercayaan koreksi bias 95%. Analisis ini dilakukan untuk menguji dua hipotesis, yaitu “kecemasan sosial memiliki hubungan dengan perilaku agresif”, dan “hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif dimoderasi oleh jenis komentar”. Tabel 8. Hasil Uji Analisis Bootstrap Variabel C2: Jenis Komentar C1: Kecemasan Sosial C3: Jenis komentar x kecemasan sosial
SE 0,10 0,00
t -6,47 0,14
p 0,00 0,88
% 0% 8,8%
0,10
-0,26
0,79
7,9%
Hasil analisis bootstrap(Tabel 8) menunjukkan bahwa kecemasan sosial tidak memiliki hubungan dengan perilaku agesif (hipotesis 1; c1: B = 0,01, SE = 0,01, p = 0,88),
10
kemudian antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif tidak dimoderasi oleh jenis komentar (hipotesis 2; c3: B = -0,01, SE = 0,01, p = 0,79). Peran jenis komentar yaitu komentar positif, netral, dan negatif dapat mempengaruhi perilaku agresif sebesar 8,8% (lihat tabel 8). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan peneliti maka hipotesis 1 dan 2 yang diajukan peneliti ditolak. Pada penelitian ini, peneliti juga melakukan perbandingan antar kelompok pada jenisjenis komentar sebagai analisis tambahan. Perbandingan antar kelompok tersebut antara lain komentar positif dengan negatif, positif dengan netral, dan negatif dengan netral. Peneliti menganalisis dengan menggunakan indepedent sample t-test untuk menguji signifikansi beda rata-rata dua kelompok. 3.5 3 2.5 negatif
2
netral
1.5
positif
1 0.5 0 Jenis Komentar
Gambar 3. Perilaku agresif partisipan dari rata-rata skala agresif berdasarkan jenis komentar
Berdasarkan uji independent sample t-test terhadap skor perilaku agresif pada partisipan yang diberi komentar positif dan negatif, diketahui bahwa p=0,001 (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku agresif yang signifikan antara partisipan yang diberi komentar positif dengan komentar negatif. Rerata skor perilaku agresif kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa partisipan yang diberi komentar negatif (M = 3,03; sd = 0,88) memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang memeroleh komentar positif (M = 1,66; sd = 0,53). Selanjutnya, analisis pada subjek yang diberi komentar positif dan netral, diketahui bahwa p = 0,001 (p <0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku agresif yang signifikan antara partisipan yang diberi komentar positif dengan komentar netral. Rerata skor perilaku agresif kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa partisipan yang
11
diberi komentar netral (M = 2,30; sd = 0,41) memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang memeroleh komentar positif (M = 1,66; sd = 0,52). Begitu pula dengan skor perilaku agresif pada partisipan yang diberi komentar negatif dan netral, diketahui p = 0,00 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku agresif yang signifikan antara partisipan yang diberi komentar negatif dengan komentar netral. Rerata skor perilaku agresif kedua kelompok tersebut menujukkan bahwa partisipan yang diberi komentar negatif (M = 3,03; sd = 0,88) memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang memeroleh komentar positif (M = 2,30; sd = 0,41).
DISKUSI Berdasarkan hasil yang telah didapat oleh peneliti maka berikut ini interpretasi dari peneliti. Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa (1)
kecemasan sosial tidak memiliki
hubungan dengan perilaku agresif, dan (2) hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif tidak dimoderasi oleh jenis komentar yang diterima oleh subjek pelaku selfie. Dalam penelitian ini bentuk pengukuran perilaku agresif yang digunakan adalah dalam bentuk tidak langsung secara verbal dimana pelaku tindakan agresif tidak bisa diidentifikasi identitasnya oleh target agresi (Myers, 2012). Secara lebih spesifik, agresivitas pelaku selfie diukur dengan cara meminta subjek memberikan rekomendasi (dalam aspek kecenderungan bermusuhan, kompetensi, dan keadilan) terhadap orang yang telah memberikan evaluasi terhadap selfie subjek. 1. Hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif Tidak adanya hubungan antara perilaku agresif berbentuk tidak langsung yang diukur dalam penelitian ini dengan kecemasan sosial mengindikasikan bahwa bentuk perilaku agresif yang diukur menimbulkan dampak sosial yang kurang menonjol. Hal ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh DeWall, dkk (2010), dalam penelitian eksperimen mereka, ditemukan bahwa orang yang cemas secara sosial lebih takut mendapatkan penilaian yang buruk bila menampilkan perilaku yang agresif kepada orang lain. Sebagai akibatnya, orang yang cemas secara sosial justru menjadi lebih tidak agresif. Sementara dalam penelitian ini, terlepas dari apakah subjek memiliki kecenderungan untuk cemas atau tidak, hal ini tidak terkait dengan tingkat agresivitas yang ia miliki. Hal ini mungkin terjadi karena skala kecemasan sosial yang merupakan
12
skala yang diadaptasi peneliti ini mengandung bias budaya apabila digunakan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan norma baku skala ini (lihat Tabel 7), sebagian besar subjek penelitian tergolong ke dalam kategori fobia dan cemas secara sosial, padahal populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi normal (mahasiswa). Dalam masyarakat kolektivis (Kacen & Lee, 2002), yang seringkali dimotivasi oleh norma dan kewajiban yang diberlakukan oleh kelompoknya dan memberikan prioritas terhadap tujuan dari kelompok yang mengutamakan keharmonisan antar anggota. Oleh karena itu, butir-butir yang diukur dalam skala kecemasan sosial misalnya seperti “ketika berada disituasi sosial, saya merasa tidak nyaman”, mungkin hal tersebut tidak dianggap menunjukkan kecemasan sosial tapi justru dianggap baik oleh budaya di Indonesia. Dengan demikian, skala kecemasan sosial yang digunakan kurang mampu membedakan antara orang yang benar-benar cemas secara sosial dengan orang yang konformis terhadap norma. 2. Pengaruh jenis komentar terhadap hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif Temuan kedua dari penelitian ini adalah jenis komentar yang diterima oleh individu juga tidak memiliki pengaruh terhadap hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif. Artinya terlepas dari apakah individu yang bersangkutan memeroleh komentar positif, negatif, atau netral, hal ini tidak mengubah hubungan yang ada antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif. Sebelumnya, penelitian Bushman dan Baumeister (1998) mengaitkan antara kecenderungan narsisme dengan perilaku agresif berdasarkan jenis komentar yang diterima individu. Hasil dari penelitian tersebut adalah semakin tinggi narsisme seseorang, semakin kuat pula kecenderungan menampilkan agresivitas ketika ia mendapat penilaian buruk. Jika dibandingkan dengan temuan dalam penelitian ini hal ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan variabel narsisme lebih terkait dengan perilaku agresif dan jenis komentar daripada variabel kecemasan sosial. 3. Analisis tambahan: Pengaruh jenis komentar terhadap perilaku agresif Berdasarkan analisis tambahan, semakin negatif komentar yang diterima oleh pelaku selfie, semakin tinggi pula tingkat agresivitas yang ia tampilkan. Jenis komentar yang diterima dari orang lain bisa mempengaruhi perilaku dari seseorang. Kecenderungan yang umum terjadi yaitu setiap individu ingin menimbulkan kesan yang baik kepada lingkungannya (Myers, 2012). Kecenderungan ini seringkali lebih menonjol pada pelaku
13
selfie, sehingga dia menjadi hanya fokus pada dirinya sendiri atau biasa disebut dengan self centered (Damburn & Richard, 2011). Penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu dampak negatif pada pelaku selfie akibat terlalu fokus pada diri sendiri adalah ketika mendapatkan komentar yang bernada negatif, hal ini dianggap salah satu bentuk provokasi yang memicu terjadinya perilaku agresif (Anderson & Bushman, 2002). Dalam penelitian ini, agresivitas diekspresikan dengan cara merusak reputasi dari orang yang telah memberikan komentar negatif tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Aci. (2014). Awas Ketagihan Selfie. Radar Lampung. Februari 18. Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2002). Human Aggression. Ames: Department of Psychology, Iowa State University. Archer, J., & Coyne, S. M. (2005). An Integrated Review of Indirect, Realtional, and SocialAggression. Personality and Social Psychology Review. Azwar, S. (2013). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Balick, A. (2013). The Psychodynamics of Social Networking: Connected-up Instantaneous Culture and The Self. London: Karnac Books. Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Brown, Elissa. J., Turovsky, Julia., Heimberg, Richard. G., Juster, Harlan. R., Brown, Timothy. A., & Barlow, David. H. (1997). Validation of the Social Interaction Anxiety Scale and the Social Phobia Scale Across the Anxiety Disorders. Psychological Assesment. American Psychological Association. Bushman, Brad. J., & Baumeister. Roy. F. (1998). Threatened Egotism, Narcissism, SelfEsteem, and Direct and Displaced Aggression: Does Self-Love or Self-Hate Lead to Violence? Journal of Personality and Social Psychology. Boyd, D., & Ellison, N. (2007). Social Network Sites: Definition, History, and Scholarship. Joournal of Mediated Communication. Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2012). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. DeWall, C. N., Buckner, J. D., Lambert, N. M., Cohen, A. C., & Fincham, F. D. (2009). Bracing for the worst, but behaving the best: Social Anxiety, hostility, and behavioral aggression. Journal of Anxiety Disorders. Eisold, K. (2013). Why Selfies: The Instagram Generation. Psychology Today. Retrieved from http://www.psychologytoday.com/ blog/hidden-motives/201312/why selfies. December 21.
14
Erickson, David. (2013). Picture of health: A selfie that may save your life. Retrieved from http://phys.org/news/2013-12-picture-health-selfie-life.html. Desember 12. G*Power 3 (Version 3.1.7) (Software). (2013) Department of Experimental Psychology Heinrich-Heine-University, Dusseldorf: Germany. Retrieved from http://www.psycho.uniduesseldorf.de/abteilungen/aap/gpower3/ download -and-register. Gibb. (2013). Selfie, Fenomena Tahun 2013. Kompasiana. Desember 26. Ghozali, I. (2011). Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan Program Amos 21.0. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gonzales, A. L., & Hancock, J. T. (2011). Mirror, Mirror on my Facebook Wall: Effects of Exposure to Facebook on Self-Esteem. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. Hayes, A. F. (2012). PROCESS: A versatile computational tool for observed variable mediation, moderation, and conditional process modeling [White paper]. Retrieved from http://www.afhayes.com/public/process2012.pdf. Harmon-Jones, E., & Sigelman, J. (2001). State Anger and Prefontal Brain Activity: Evidence that Insult-Related Relative Left-prefontal Activation is Associated with Experienced Anger and Aggression. Journal of Personality and Social Psychology. Kacen, J. J,. & Lee, J. A. (2002). The influence of culture on consumer impulsive buying behavior, Jounal of Consumer Psychology. Kountur, R.(2004). Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Teruna Grafica. Lawrence, C., & Hutchinson, L, (2013). The Impact of non-aggressive behavior early in aggressive interaction: Sex differences in direct and indirect aggression in response to provocation. British Journal of Psychology. Advance online publication. Losh, E. (2014). Beyond Biometrics: Feminist Media Theory Looks at Selfiecity. Luik, J. E. (2012). Media Sosial dan Presentasi Diri. UK Petra Surabaya. Mattick, R. P., & Clarke, J. C. (1989). Development and validation of measures of social phobia scrutiny fear and social interaction anxiety. Unpublished manuscript. Mayestika, Tifanni. (2009). Kecemasan Sosial Facebooker ditinjau dari Harga Diri. Skripsi Universitas Katolik Soegijarpranata Semarang. Mazza, F., Silva, M. P., & Callet, P. L. (2014). Would you hire me? Selfie portrait images perception in a recruitment context.
15
Mu'arifah, Alif. (2005). Hubungan Kecemasan Sosial dan Agresivitas. Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan. Myers, D. G. (2012). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Nashori, Fuad. (2009). Remaja. Skripsi.
Hubungan antara Kecemasan Sosial dengan Agresivitas Masa
Natalia, K. D. (2014). Sisi Gelap Selfie. Gaya Hidup. Program Studi Psikologi UNS. April 13. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga. Parrot, D. J., & Giancola, P. R. (2006). Addressing “The criterion problem” in the assessment of aggressive. Aggression and Violent Behavior. Poerwanti, E. (2000). Program Penulisan Buku Teks Pendekatan Kuantitatif dalam Penelitian Perilaku. Malang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang. Post,
T. B. (2014). Youngsters Warned Over Selfie Addiction. pp. http://www.bangkokpost.com/news/local/394102/youngsters-warned-over-selfieaddiction. February 9.
Prasetyo, B., & Jannah, L. M. (2005). Rajagrafindo Persada.
Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT
Rutledge, P. (2013). Selfie Use: Abuse or Balance? Positively Media. July 28. Sarwono, S. W., & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suryabrata, S. (1988). Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali. ___________ (2008). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana. Widhiarso, Wahyu. (2012). Memperkenalkan Program G*Power untuk Mengkalkulasi Berapa Ukuran Sampel untuk Penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yusainy, Cleoputri. A. (2013). “Overcoming Aggression: Musing on Mindfulness and SelfControl”. Dissertation. Nottingham: School of Psychology. University of Nottingham. Yusainy, Cleoputri. A; Nurwanti, Ratri; Akhrani, Lusy. A; Dara, Yuliezar. P. (2014). Selfie dan Agresi: Eksperimen pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.
16