Biji
Biji/benih di alam
-
Cabutan
Cabut Bibit di alam
-
Stek
Stek Pucuk
Seleksi
-
Stek Batang
Kebun
Pohon
Pangkas Penanaman di polybag
Bak Steril
-
-
-
induk Penanam an di Polybag
- Media tumbuh - Penanaman
Steril
Media tumbuh Penanam an di polybag
- Media Tumbuh - Mikoriza - Penyungkupan - Intensitas Cahaya
Prakondisi dengan alam dan penanam an
Tanpa
Pemeliharaan
Penyelek sian - Penyusunan (peregangan sama tinggi)
dan
Cungkup
Intensitas Cahaya (naungan 25%) - Penyiraman Bibit Siap Tanam
264
Komposisi banyaknya bibit di pesemaian cukup bervariasi, tergantung musim buah. Pada musim buah, komposisi benih terdiri dari 50% biji, 30% cabutan, dan 20% stek. Sementara pada saat bukan musim buah, bibit di pesemaian terkomposisi 70% cabutan dan 30% stek. Pada awalnya jenis bibit yang diusahakan adalah jenis Shorea leprosula, Shorea johorensis, Shorea parvifolia, Shorea artinervosa, Shorea platicados, Shorea virescen, Shorea makroptera, Shorea makropila, Shorea leavis, Shorea compresa, Dipterocarpus sp, Hopea, dan sungkai. Dari jenis-jenis bibit tersebut terdapat 3 jenis yang mempunyai riap tumbuh terbaik, yakni Shorea leprosula, Shorea johorensis dan Shorea parvifolia. Kini sebagian besar -mencapai 90%- bibit yang dikembangkan berasal dari ketiga jenis bibit unggulan tersebut. Sejak tahun 1999, rata-rata bibit yang disediakan di pesemaian setiap tahun mencapai lebih dari 400.000 bibit. Berikut ditampilkan tabel realisasi pengadaan bibit di PT SBK. Tabel 5.8. Realisasi Pengadaan Bibit di PT SBK No
Tahun
Jumlah Bibit (batang)
1
1999
402.439
2
2000
335.545
3
2001
492.829
4
2002
481.133
5
2003
472.611
Jumlah Sumber : PT SBK, 2004
2.184.557
Kegiatan penyediaan bibit masih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor alam. Dalam konteks tersebut, hambatan utama yang dihadapi dalam pengadaan bibit adalah musim buah yang tidak terjadi sepanjang tahun. Sebaliknya pada musim berbuah, biji tidak dapat disimpan lama karena masa dormansinya yang relatif pendek dengan waktu tidak lebih dari 3 hari. Karena hambatan inilah sebagian besar bibit yang diadakan berasal dari cabutan. Selain itu, proses pengadaan bibit belum menyertakan pengetahuan tentang ilmu pemuliaan pohon, khususnya data dan informasi tentang sifat-sifat genotifnya. Untuk menyediakan bibit bagi kegiatan penanaman dan sekaligus mengatasi kelemahan sifat-sifat genotif, bibit asal cabutan diseleksi sebanyak 5 kali sebelum ditanam di lapangan. Dari kalkulasi yang dilakukan, biaya operasional langsung dari pengadaan bibit cabutan, biji, dan stek sungkai mencapai Rp 2.003/batang, sedangkan untuk stek Meranti mencapai Rp 5.875/batang. Biaya itu belum termasuk biaya penyusutan, pengawas, sarana prasarana, dan overhead cost lainnya.
Agar lahan siap tanam dan memberikan hasil yang optimal diperlukan kegiatan penyiapan lahan terlebih dahulu. Kegiatan penyiapan lahan pada kegiatan penanaman dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur sebagaimana dilaksanakan di PT. SBK meliputi kegiatan-kegiatan diantaranya:132 1. Pembuatan jalur tanam (jalur bersih) Urutan tata kegiatan pembuatan jalur tanam, meliputi (1) menentukan sumbu jalur tanam yang akan dikerjakan dengan acuan 12,5 meter jarak datar dari batas petak untuk jalur pertama, (2) untuk jalur berikutnya berjarak 25 meter jarak datar, begitu seterusnya sampai jalur terakhir dalam petak yang bersangkutan. Pada awal dan akhir jalur diberi patok besar dan kuat yang ujungnya dicat kuning/merah, kemudian ditulis nomor petak, nomor jalur, jumlah ajir, dan jumlah tanaman dalam jalur dengan menggunakan cat berwarna biru/hitam, (3) jalur bersih (jalur tempat penanaman) dengan lebar 3 meter harus bersih dari tunggak, limbah bekas tebangan, semak belukar, pohon-pohon yang berdiameter sama dengan atau kurang dari 20 Cm, yang dilakukan dengan cara menebang dan menebas untuk menyisakan tunggak yang serendah-rendahnya, (4) pada saat pembersihan jalur apabila ada anakan alam jenis komersil yang baik maka anakan tersebut harus dipertahankan, dan (5) pada piringan tanaman dengan radius 1 meter titik tanam harus dilakukan pembersihan terhadap akar dan tunggak karena disinilah bibit akan ditanam. 2. Pembuatan jalur bebas naungan Urutan tata kegiatan pembuatan jalur bebas naungan meliputi, (1) pembuatan jalur bebas naungan dikerjakan dengan cara manual, semi mekanis (menggunakan chain saw), atau kemis (peracunan dengan arborisida), (2) pohon-pohon yang berada dalam jalur yang menaungi jalur bersih/tanaman harus ditebang/dimatikan kecuali jenis komersil, seperti ulin, manggris dan jenis lain yang dilindungi. Penebangan ini dimaksudkan agar cahaya yang masuk sampai di lantai hutan sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman, (3) Limbah bekas tebangan yang berada pada jalur tanam harus dibuang sampai bersih dengan cara digolek atau disusun di tepi jalur, dan (4) apabila pembebasan naungan harus melakukan penebangan, maka arah rebah harus memperhatikan arah jalur dan jalur disampingnya sehingga pohon tidak rebah menimpa jalur yang sudah dikerjakan. Jika rebahan menimpa jalur yang sudah 132
PT. SBK. 2004. Petunjuk Teknis Pelaksanaan TPTJ (Tidak dipublikasikan).
dikerjakan, maka segera harus dibersihkan ulang. 3. Penentuan jarak tanam (pemasangan ajir). Penentuan jarak tanam merupakan salah satu kegiatan dalam persiapan penanaman. Sesuai dengan sistem silvikultur yang diterapkan, maka jarak tanam antara tanaman telah ditetapkan selebar 5 meter, sehingga diharapkan akan memperoleh ruang tumbuh yang optimal. Setelah jarak tanam dan lubang tanam ditetapkan, maka untuk memudahkan mencari atau mengenali kolasinya, maka pada tempat yang telah ditetapkan dilakukan pemasangan ajir. 4. Pembuatan lubang tanam. Urutan tata kegiatan pembuatan lubang tanam meliputi, (1) pada Setiap ajir dibuat lubang tanam dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm, lubang tanam dibuat di depan atau di belakang ajir secara konsisten dengan jarak dari ajir maksimal 20 cm. Dengan demikian kerapihan dan kelurusan tanaman dapat dipertahankan, (2) apabila pada titik tanam tidak dapat dibuat lubang tanam karena berbatu atau banyak rebak kayu, maka lubang tanam dapat digeser radius 1 meter ajir dari titik tanam, dan (3) apabila ada anakan alam yang dipertahankan 1 meter radius titik tanam maka pada ajir tersebut tidak dilakukan pembuatan lubang tanam. 5. Penimbunan. Urut-urutan kegiatan penimbunan meliputi (1) pada setiap lubang tanam dilakukan penimbunan dengan tanah hitam (top soil) bermikoriza, gembur dan dilakukan sampai mengunduk. Untuk lubang tanam pada TPn sebelum ditimbun terlebih dahulu diberi pupuk dasar sebanyak 30 gram, (2) tanah bekas galian lubang tidak diperkenankan dimasukkan kembali ke dalam lubang tanam, dan (3) penimbunan dengan top soil dilakukan agar pertumbuhan akar awal tanaman dapat lebih baik, karena top soil selain cukup kandungan unsur hara juga mempunyai drainase dan porositas yang baik.
Selain berbagai kegiatan di atas, dalam rangka penyiapan lahan diperlukan pula pembuatan jalur bebas naungan, baik secara manual maupun dengan menggunakan cara semi mekanis (menggunakan chain saw). Pada pembuatan jalur bebas naungan yang dikerjakan secara semi mekanis semua pohon-pohon yang berada dalam jalur ditebang, kecuali pohon jenis komersial, buah-buahan, dan pohon yang dilindungi seperti tengkawang, ulin, manggris, maupun jenis lain yang dilindungi. Penebangan ini dimaksudkan agar cahaya yang masuk bisa sampai ke lantai hutan
sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Limbah bekas tebangan yang masih berada pada jalur tanam dibuang sampai bersih dengan cara (1) dipotong-potong/ dicincing, (2) dipindahkan ke tepi jalur tanam, (3) karena pembebasan naungan dilakukan dengan cara menebang, maka arah rebah harus memperhatikan arah jalur serta jalur sebelah agar rebahan pohon tidak menimpa/menutupi jalur disebelah dan permudaan yang dipertahankan di jalur antara. Apabila arah rebah pohon menimpa jalur yang sudah dikerjakan pembersihan ulang pada jalur tersebut. Dalam kegiatan penyiapan lahan itu dibuat jalur bersih selebar 3 meter yang dikerjakan secara manual, dan jarak antar jalur dibuat selebar 25 meter. Jalur bebas naungan dimana di dalamnya terdapat jalur bersih, dibuat selebar 10 meter. Pelebaran jalur bebas naungan ini dilaksanakan secara bertahap yang dilaksanakan dalam kegiatan pemeliharaan. Gambar 5.6. Progres Jalur Sistem TPTJ PT SBK
Keterangan : - Penyiangan - Pendangiran - Penyulaman - Pelebaran jalur bebas naungan 1 meter - Umur tanaman 6 bulan s.d. 1 tahun 21m
Keterangan : - Penyiangan - Piringan - Peneresan/peracunan - Pemangkasan - Pelebaran jalur bebas naungan 2 meter - Umur tanaman 2 tahun 19 m
Keterangan : - Penyiangan - Peneresan/peracunan - Penyulaman - Pelebaran jalur bebas naungan 3,5 meter - Umur tanaman 3-4 tahun 15 m
Sumber: PT SBK, 2004
Pada saat umur tanaman mencapai 6 bulan, jalur bebas naungan diperlebar sejauh 1 meter. Pelebaran dilakukan kembali pada saat tanaman mencapai umur 2 tahun dan 3 tahun, dimana masing-masing dilebarkan menjadi 2 meter dan 3,5 meter dari batas jalur bersih. Sehingga pada saat tanaman mencapai umur 4 tahun komposisi jalur secara lengkap terdiri dari jalur bersih selebar 3 meter, jalur bebas naungan yang juga jalur tanam selebar 10 meter, jarak antar jalur 25 meter, jarak antar tanaman 5 meter, dan jarak antara TPTJ (jalur antara) selebar 15 meter (lihat Gambar 5.6).
Ajir dipasang dengan jarak antar ajir 5 meter. Ajir terbuat dari kayu keras berdiameter 5-7 Cm. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 Cm x 30 Cm x 30 Cm. Lubang tanam diisi topsoil yang diambil dari sekitar pohon induk yang cukup mengandung mikoriza. Dalam penyiapan lahan ini apabila pada jalur bersih ditemukan adanya anakan alam, permudaan jenis komersial atau pohon yang dilindungi, tetap dipertahankan dan dipelihara. 5.1.2.5. PENANAMAN Penanaman dilaksanakan setelah lahan siap tanam. Kegiatan penanaman dilakukan paling cepat 7 hari setelah kegiatan pembersihan jalur, pembuatan lubang dan penimbunan, karena apabila selang waktunya terlalu lama dari penyiapan lahan maka jalur bersih sudah mulai ditumbuhi gulma dan ini mengganggu pertumbuhan tanaman yang ditanam. Kegiatan penanaman dilakukan pada waktu musim hujan. Karena pada musim hujan tanah lembab sehingga setelah tanaman ditanam tidak kekurangan air, karena apabila tanah dalam keadaan kering tanaman yang kita tanam akan kekurangan air dan kondisi ruang tumbuh juga kurang lembab sehingga tanaman dapat mati. Apabila dalam waktu cukup lama tidak turun hujan setelah tanaman ditanam harus dilakukan penyiraman. Setiap ajir tanam harus ditanam satu bibit yang baik dan sehat. Untuk melindungi tanaman, setelah bibit ditanam ajir tetap harus dipasang lagi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman bibit, antara lain: (1) Polybag yang dipakai sebagai pembungkus akar harus dibuka secara sempurna agar posisi perakarannya tidak terganggu. Selain itu, polybag dapat dijadikan sebagai bukti bahwa pada ajir tersebut sudah ditanami. (2) Bibit ditanam tegak berdiri sampai batas leher akar. Tinggi leher akar kurang lebih 3 Cm di atas polybag (3) Hanya tanah yang gembur saja yang dimasukkan kembali pada lubang tanam, tanah pengisi lubang tanam tersebut ditekan secara hati-hati dengan tumit kaki sehingga tanah benar-benar dapat mengikat akar dengan kuat. Timbunan tanah di permukaan lubang tanam dilakukan sampai menggunduk agar air tidak menggenang. Selanjutnya dilakukan pemberian mulsa (daun-daun kering), dan akan lebih baik apabila mulsa yang diberikan adalah humus (daun-daun yang telah terdekomposisi). Hal
ini
dikarenakan,
apabila
daun-daun
belum terdekomposisi
secara
sempurna proses dekomposisi akan meningkatkan suhu tanah (4) Sebelum
dilakukan
penanaman
sebaiknya
bibit
dipangkas
untuk
mengurangi penguapan, karena apabila penguapan tinggi sementara kandungan air tanah kurang maka tanaman dapat mati. Hingga akhir tahun 2003, areal PT SBK yang telah ditanami dengan sistem TPTJ mencapai 15.774 hektar (lihat tabel). Tahapan kegiatannya, antara lain pengangkutan bibit dari pesemaian ke pondok bibit di pinggir petak, pengeceran bibit di dalam jalur, serta penanaman bibit pada tiap lubang tanam. Kegiatan ini dilaksanakan oleh regu tersendiri. Pengeceran dan penanaman dilaksanakan secara serempak oleh satu regu penanaman yang terdiri dari 4 orang pengecer bibit, 3 orang penanam bibit, dan seorang pengawas lapangan.
Tabel 5.9. Rencana dan Realisasi Penanaman No 1 2 3 4 5
Tahun RKT
Luas (ha) Rencana 3.566 2.417 3.005 3.598 3.588
1999 2000 2001 2002 2003
Realisasi 3.522 2.415 3.005 3.590 3.242 15.774
Jumlah Sumber : PT Sari Bumi Kusuma, 2004
Hingga akhir tahun 2002, jumlah tanaman yang berhasil ditanam pada jalur-jalur tanam mencapai 856.312 tanaman dari 138 petak. Selain itu terdapat 13.106 anakan alam yang dipelihara dan berada dalam jalur. Anakan alam itu memang disengaja tidak dibuang pada saat pembersihan jalur. Untuk lebih jelasnya berikut ditampilkan tabel Realisasi Jumlah Tanaman pada Jalur. Tabel 5.10. Realisasi Jumlah Tanaman pada Jalur No
Tahun RKT
Jumlah Petak
Jumlah Tanaman (batang) Anakan Alam
Penanaman Jalur
1
1999/2000
36
3.586
236.216
2
2000
27
2.656
152.979
3
2001
43
3.595
235.729
4
2002
32
3.269
231.388
138
13.106
856.312
Jumlah
Sumber : Realisasi Penanaman PT SBK, 2004
5.1.2.6. PEMELIHARAAN Kegiatan lain yang dilakukan dalam sistem TPTJ adalah pemeliharaan tanaman dan perlindungan. Kegiatan pemeliharaan merupakan aspek penting agar diperoleh hasil TPTJ secara optimal. Peranan kegiatan pemeliharan menentukan bentuk dan hasil akhir hutan yang dikelola. Secara garis besar, kegiatan pemeliharaan terdiri dari pemeliharaan awal dan pemeliharaan lanjutan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan pada tahap pemeliharaan awal, antara lain meliputi: 1. Penyiangan (weeding) Penyiangan tanaman dilakukan untuk membebaskan tanaman pokok dari tumbuhan pengganggu, seperti rumput-rumputan, alang-alang, tumbuhan memanjat (liana), semak, dan herba. Penyiangan dikerjakan secara manual dengan menggunakan parang atau arit. Penyiangan dilakukan dengan
cara
tebas
total,
yaitu
membersihkan
semua
tumbuhan
pengganggu yang ada di sekitar tanaman selebar jalur bersih (3 meter) dengan tinggi penebasan gulma 5 – 10 Cm dari permukaan tanah. Penyiangan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 6 – 8 bulan setelah tanam. Penyiangan pada tahun pertama dapat dilakukan sampai 2 kali tergantung dari kondisi gulma yang tumbuh dalam jalur. Penyiangan selanjutnya dikerjakan setiap tahun sekali sampai umur tanaman 3 tahun. 2. Pendangiran Pendangiran dilakukan untuk menggemburkan tanah di sekitar tanaman, sehingga meningkatkan aerasi dan drainase tanah. Pendangiran dilakukan menggunakan cangkul, yaitu mencangkuli sekitar tanaman membentuk piringan selebar
tajuk
atau
minimal
diameter
piringan
1
meter.
Pendangiran dilakukan hanya pada pemeliharaan tahun pertama, bersamaan pengerjaannya dengan penyiangan. Pada pemeliharaan tahun berikutnya
tidak
dilakukan
pendangiran
karena
dikhawatirkan
pencangkulannya akan mengenai akar yang dapat menyebabkan tanaman dapat mati. 3. Penyulaman Kegiatan penyulaman tanaman dilakukan 1 kali selama daur, yaitu pada tahun pertama kegiatan pemeliharaan. Penyulaman dilakukan dengan cara
menanami
pada
bagian-bagian
tanaman
yang
hilang,
mati
atau
diperkirakan akan mati. Penyulaman tanaman menggunakan bibit dari pesemaian yang diusahakan spesifikasi umur sama dengan tanaman yang ada di lapangan serta dalam kondisi sehat. Hal ini bertujuan agar tanaman sulaman dapat cepat menyamai pertumbuhan dengan tanaman yang sudah ada. Apabila umur yang sama tidak ada, minimal bibit untuk penyulaman mempunyai tinggi yang tidak jauh berbeda. pada saat menanam bibit, hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain (1) polybag yang dipakai sebagai pembungkus akar harus dibuka secara sempurna agar posisi perakarannya tidak terganggu. Selain itu, polybag ini dapat sebagai bukti bahwa pada ajir tersebut sudah ditanam, (2) bibit ditanam tegak berdiri sampai batas leher akar, leher akar ini kurang lebih 3 Cm di atas polybag, (3) hanya tanah yang gembur saja yang dimasukkan kembali pada lubang tanam. Tanah pengisi lubang tanam ditekan secara hati-hati dengan tumit kaki sehingga tanah benar-benar dapat mengikat akar dengan kuat, (4) timbunan tanah di permukaan lubang tanam dilakukan sampai menggunduk agar air tidak menggenang. Selanjutnya dilakukan pemberian mulsa (daun-daun kering), akan lebih baik lagi apabila mulsa yang diberikan adalah humus (daun-daun yang telah terdekomposisi), dan (5) sebelum dilakukan penanaman sebaiknya bibit dipangkas untuk mengurangi penguapan, karena apabila penguapan tinggi sementara kandungan air tanah kurang maka tanaman dapat mati. 4. Pemupukan Pemupukan hanya diberikan terutama pada tanaman yang berada dibekas TPn dan jalan sarad, karena pada daerah ini kandungan unsur hara tanah relatif miskin dan tanahnya juga padat. Pemupukan dilakukan untuk meningkatkan
kesuburan
tanah.
Diharapkan
melalui
pemupukan
pertumbuhan tanaman akan dapat menyamai tanaman yang lain dan dapat menyaingi pertumbuhan gulma. Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan
pupuk
mengelilingi
tanaman
selebar
piringan
hasil
pendangiran. Setelah pupuk ditaburkan kemudian pupuk ditimbun dengan tanah. Pada tanaman yang ada di dalam jalur, maka pemupukan diberikan pada tanaman yang pertumbuhannya kerdil atau tertinggal dengan tanaman yang lain. Pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan yang
mengandung unsur hara primer, yaitu Urea dan TSP dengan pencampuran 2 : 1. Dosis pupuk yang diberikan untuk tiap tanaman adalah 50 gram. 5. Pembebasan naungan Pemeliharaan
lanjutan
dilaksanakan
setelah
tanaman
saling
mempengaruhi, umumnya setelah tanaman berumur 3 tahun. Kegiatan yang dikerjakan
adalah
pembebasan
vertikal133,
pembebasan
horizontal134,
pemangkasan cabang (prunning), dan penjarangan seleksi.
5.1.2.7. PERLINDUNGAN Perlindungan tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk melindungi dan mencegah terjadinya kematian, kerusakan, atau hilangnya tanaman peliharaan. Perlindungan tanaman tersebut, diantaranya meliputi kegiatan pencegahan (1) serangan hama dan penyakit, (2) ancaman erosi, (3) kebakaran hutan, (4) perambahan, dan (5) pencurian kayu. Selain itu, kegiatan perlindungan juga dilakukan terhadap kelangsungan dan kelestarian jenis-jenis satwa dan pertumbuhan alam yang dilindungi beserta habitatnya. Kegiatan perlindungan dilakukan secara terus menerus. Pengendalian hama penyakit dalam pengelolaan hutan alam menjadi salah satu perhatian utama meskipun sejauh ini belum ada hama penyakit yang secara serius menyerang jenis Meranti. Namun demikian, harus di monitor terus menerus karena akan lebih mudah penanggulangannya. Untuk sementara hama yang biasa ditemukan adalah ulat tanah dan penggerek batang. Ulat tanah memakan akar tanaman muda, sehingga tanaman menjadi layu dan mati. Penanggulangannya dilakukan secara fisik, yaitu dengan mengganti tanaman yang diserang sehingga tidak menjalar ke tanaman lain atau membunuh ulat tersebut. Hama penggerek menyerang pangkal batang dan daun. Apabila serangan hama penyakit sudah cukup luas dan berada di atas ambang batas toleransi, maka harus dilakukan pengendalian yang serius dengan menyemprotkan larutan insektisida atau bakterisida pada seluruh
133
Pembebasan vertikal bertujuan agar naungan tidak terlalu gelap dan cahaya matahari yang masuk optimal untuk pertumbuhan tanaman. 134
Pembebasan horizontal dilakukan terhadap tumbuhan pengganggu yang berada di dalam jalur tanam dan jalur bersih. Sedangkan pembebasan vertikal dilakukan di jalur tanam atau bebas naungan.
tanaman sampai tanaman benar-benar bebas dari hama penyakit.135 Bahaya serangan hama penyakit maupun bencana kebakaran hutan merupakan ancaman utama terhadap kelangsungan kegiatan pembangunan HTI. Namun, PT. SBK yang mengadopsi sistem silvikultur TPTJ memiliki perbedaan dengan pengelolaan HTI biasa. Sejauh ini hama dan penyakit yang secara serius menyerang tanaman Meranti di PT SBK belum ditemukan. Karenanya, kegiatan perlindungan hutan yang dilakukan lebih bersifat pengamatan dan antisipasi, sehingga apabila ditemukan adanya hama penyakit dapat segera dideteksi dan diupayakan pencegahannya. Selain hama penyakit dalam pengelolaan hutan yang harus selalu diwaspadai adalah bahaya kebakaran.136 Dampak dari kebakaran sangat luas tidak hanya pada tanaman pokok akan tetapi lingkungan sekitarnya juga terpengaruh. Upaya-upaya pencegahan kebakaran ini harus dilakukan sejak dini, antar lain (1) membuat jalur pemisah atau sekat selebar 8-12 meter antara kelompok petak satu dengan petak yang lain (jalur kuning). Jalur pemisah ini harus dipelihara, sebab berfungsi pula sebagai jalan inspeksi dan jalan angkutan, (2) melakukan penyuluhan kepada masyarakat serta membuat papan-papan himbauan di lokasi strategis, (3) membangun menara api pada lokasi tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengetahui secara dini apabila ada kebakaran. Menara api diusahakan lebih tinggi dari pohon atau diletakkan di lokasi puncak bukit, (4) membentuk satuan tugas pengendali kebakaran yang secara aktif melakukan perondaan terutama pada saat rawan kebakaran (musim kemarau), (5) membangun kantong-kantong air
pada
lokasi tertentu
untuk dapat
dipergunakan apabila terjadi kebakaran tanaman, (6) melengkapi sistem komunikasi yang dapat menjangkau seluruh areal tanaman dan sekitarnya, (7) membuat prosedur tetap (PROTAP) tentang cara-cara mengatasi apabila terjadi kebakaran. Bahaya lain yang mengancam kelangsungan kegiatan PT SBK adalah bencana erosi. Erosi di areal konsesi PT. SBK sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti penutupan lahan, topografi, kedalaman solum tanah, curah hujan dan intensitas hujan. Hal itu didasarkan pada besarnya kandungan sedimen yang terangkut ke badan sungai yang terjadi di DAS yang bersangkutan.
135
Lihat Keputusan Menteri Kehutanan No. 280/Kpts-II/1986 tentang Usaha-Usaha Mencegah dan Membatasi Kerusakan Hutan dan Hasil Hutan yang Disebabkan Daya Alam, Hama dan Penyakit. 136
Lihat Keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/1986 tentang Petunjuk Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan junto Keputusan Menteri Kehutanan No. 260/Kpts-II/1995
Berdasarkan hasil pengukuran beberapa sampel di kawasan konsesi PT. SBK diperoleh data bahwa kandungan sedimen di perairan sungai–sungai di areal studi berkisar antara 20 – 26 mg/l. Secara rinci, laju erosi pada beberapa lokasi pengamatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel. 5.11. Laju Erosi pada Beberapa Lokasi Pengamatan di Areal PT. SBK Unit Seruyan Lokasi Pengambilan Contoh Tanah
Faktor Lereng
Faktor Tanaman
Erositivitas (R)
Erodibilitas (K)
Berat Erosi (ton/Ha/th)
TBE
Plot Erosi
1,29
0,0024
373,775
0,199
0,23028
SR
Hutan Primer
1,42
0,0010
373,775
0,277
0,14702
SR
Areal Bekas Tebangan
3,57
0,0015
373,775
0,231
0,46236
SR
Plot Penanaman
3,00
0,0023
373,775
0,327
0,84335
SR
Jalan Sarat
2,49
0,1287
373,775
0,363
43,48052
S
Jalan Angkut
2,33
0,1354
373,775
0,338
39,85672
R
Sumber: PT SBK, 2004 Keterangan: SR R S T
= = = =
Sangat Rendah (0-20 ton/ha/tahun) Rendah (20 – 40 ton/ha/tahun) Sedang (40 – 60 ton/ha/tahun) Tinggi (60 < ton/ha/tahun)
5.1.2.8. KETENAGAKERJAAN Secara konseptual, sistem TPTJ tidak semata-mata memberikan dampak positif terhadap pihak pengelolanya semata. Dalam skala yang lebih makro, penerapan sistem TPTJ akan memberikan dampak positif terhadap aspek ketenagakerjaan, khususnya konfigurasi ketenagakerjaan lokal. Intinya, praktek penanaman dan pemeliharaan intensif pada sistem silvikultur TPTJ sama artinya dengan pembukaan kesempatan dan peluang penyerapan tenaga kerja dan peluang usaha yang tidak kecil. Dalam setiap kegiatan, sejak dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan hingga pemanenan membutuhkan serapan tenaga kerja yang cukup banyak. Dalam konteks kepentingan masyarakat lokal hal itu menjadi semakin substansial, karena tenaga kerja yang dibutuhkan memiliki kualifikasi tingkat pendidikan yang beragam. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja berpeluang mengutamakan masyarakat setempat. Dengan terserapnya masyarakat setempat pada kegiatan yang lebih “produktif”, kontinyu, dan berjangka panjang, diharapkan akan dapat mengurangi malpraktek
tentang Petunjuk Pencegahan Kebakaran Hutan junto Keputusan Menteri Kehutanan 97/Kpts-VI/1998 tentang Prosedur Penanganan Krisis Kebakaran Hutan.
No.
yang
bersifat kontra produktif, seperti kegiatan perladangan berpindah,
perambahan hutan, maupun illegal logging. Seluruh kegiatan yang dilakukan PT SBK pada unit TPTJ membutuhkan banyak tenaga kerja. Untuk menyiapkan lahan seluas satu hektar saja dibutuhkan paling tidak sebanyak 20 HOK. Secara keseluruhan tenaga kerja yang dibutuhkan pada unit TPTJ terdiri dari tenaga kerja (1) perencanaan, (2) pesemaian, (3) penyiapan lahan, (4) penanaman, (5) pemeliharaan, (5) Litbang dan evaluasi, serta (6) umum dan administrasi. Jumlah tenaga kerja tersebut meliputi tenaga kerja bulanan dan tenaga kerja harian. Secara lengkap daftar tenaga kerja unit kegiatan TPTJ tercantum pada gambar 5.6. Dalam rangka memperbesar tingkat keterlibatan masyarakat setempat, maka kebutuhan tenaga kerja berbagai kegiatan TPTJ di atas diutamakan diisi oleh masyarakat setempat yang terdapat di desa-desa di dalam dan di sekitar hutan. Pada tahun 2004, tenaga kerja pada unit TPTJ mencapai lebih dari 500 orang yang mengelola areal TPTJ seluas 15.776 hektar. Jumlah itu akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah areal yang dikelolanya. Bila kini unit TPTJ hanya terdiri dari satu unit maka dengan penambahan areal TPTJ dimungkinkan terdiri dari beberapa unit. Hal ini memperkuat asumsi bahwa praktek pengelolaan hutan berbasis sistem TPTJ memiliki kelebihan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar. Gambar 5.7. Struktur Organisasi Unit TPTJ PT SBK Manager Camp
Koordinator
Sie Pesemaian
Asisten Wilayah I, II, III, dst
Sie Litbang & Evaluasi
Staf
Sie Pesemai an
Staf
Staf
Sie Perencanaan
Sie Penyiapan Lahanan
Sie Penanaman
Sie Pemeliharaan
Staf
Staf
Staf
Staf
Sie Perlindungan
Staf
Sie Umum & Adm
Staf
Sumber: PT SBK, 2004
Selain struktur organisasi PT. SBK yang mencerminkan penerapan sistem silvikultur TPTJ, kebutuhan tenaga kerja perusahaan juga dibagi berdasarkan bagian. Masing-masing bagian yang diisi oleh tenaga kerja ini, secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu (1) tenaga kerja bulanan yang bersifat tetap, dan (2) tenaga harian. Jumlah dari masing-masing bagian berdasarkan pembagian tenaga kerja berbeda. Untuk lebih jelasnya berikut ditampilkan tabel daftar tenaga kerja unit TPTJ PT SBK. Tabel 5.12. Daftar Tenaga Kerja Unit TPTJ PT Sari Bumi Kusuma No
Bagian
1
Perencanaan
2
Pesemaian
3
Penyapan Lahan
Bulanan
- Manual - Semi Mekani 4
Penanaman
5
Pemeliharaan
6
Litbang dan Evaluasi
7
Umum dan Administrasi
Jumlah
Harian
Jumlah
3
20
23
11
64
75
15
136
151
9
28
37
6
44
50
17
100
117 29
7
22
15
14
29
83
428
511
Sumber : PT SBK, 2004
Berdasarkan pembagian tenaga kerja yang dibedakan antara pekerja bulanan dan harian, maka dalam upaya meningkatkan prestasi kerja dari karyawan pihak perusahaan menyusun pedoman prestasi kerja dengan satuan tenaga kerja per HOK. Melalui penyusunan pedoman kegiatan yang terukur dari prestasi kerja, diharapkan akan menghasilkan suatu prestasi kerja yang optimal. Dari berbagai kegiatan sistem silvikultur TPTJ secara lengkap prestasi kerjanya dapat dilihat dari tabel berikut ini, yaitu: Tabel 5.13. Prestasi Kerja Kegiatan Pembinaan Hutan TPTJ No
Jenis Kegiatan
I
Prestasi Kerja
Pesemaian 1
Mencari Top Soil
2
Mengisi Polybag
3
Mengangkut sekaligus menyusun polybag di bedeng
4
Survey dan cabut bibit di hutan
5
Pangkas bibit
1.467 Btg/HOK
6
Menanam bibit di polybag
1.200 Btg/HOK
II
28 Tkg/HOK 500 plb/HOK 1.000 plb/HOK 600 Btg/HOK
Penanaman 1
Penjaluran, pasang ajir sekaligus buat lubang tanam
0,10 Ha/HOK
2
Pengisian lubang tanam dengan top soil (7 orang/regu)
0,44 Ha/HOK
3 III
Penanaman (7 orang/regu)
0,53 Ha/HOK
Pemeliharaan 1
Pemeliharaan Tahun I (6 orang/regu)
0,33 Ha/HOK
2
Pemeliharaan Tahun II (5 orang/regu)
0,22 Ha/HOK
Sumber: PT SBK, 2004.
Secara keseluruhan, jumlah tenaga kerja yang terserap dalam aktivitas pengusahaan hutan di PT. SBK mencapai 1.855 orang yang terdiri dari divisi penanaman sebanyak 927 orang, sementara divisi logging sebanyak 928. Diperkirakan, 42 % dari keseluruhan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan pengusahaan hutan PT. SBK tersebut , diantaranya merupakan tenaga kerja yang berasal dari masyarakat lokal.137
5.1.2.8. RIAP TUMBUH Penerapan sistem silvikultur TPTJ yang terdiri atas berbagai kegiatan yang bersifat intensif diharapkan akan menghasilkan output yang optimal. Artinya semakin tinggi intensitas kegiatan dalam sistem silvikultur yang diterapkan mencerminkan intensitas manajemen (perlakuan) yang baik, sehingga diharapkan pertumbuhan yang dicapai pun akan optimal. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tanaman pada umur 3 - 4,5 tahun dalam jalur plot-plot ukur menunjukkan adanya pertumbuhan yang cukup baik. Pertumbuhan tanaman tersebut berbeda dari satu jenis dengan jenis lainnya. Berikut ditampilkan tabel dari rekapitulasi hasil pertumbuhan tanaman yang dilakukan di pengukuran 10 jenis tanaman TPTJ. Tabel 5.14. Rekapitulasi Pertumbuhan Tanaman Hasil Pengukuran 10 Jenis Tanaman TPTJ
No 1 2
Jenis Tanaman Shorea leprosula
Shorea
Umur (Th)
Rata-rata Diameter (Cm)
Tinggi (M)
Rata-rata Pertumbuhan/tahun Diameter Tinggi (Cm) (M)
4,50 4,50
9,06 8,69
7,62 7,54
2,01 1,93
1,69 1,68
4,50 4,50 4,50
8,42 7,61 5,98
7,07 6,29 4,17
1,87 1,69 1,33
1,57 1,40 0,93
johorensis 3 4 5 137
Shorea parvifolia Shorea compresa Shorea seminis
Sesuai dengan letak administrasi PT. SBK, maka kebutuhan akan tenaga kerja di atas akan dapat dipenuhi dari kawasan terdekat dengan wilayah HPHTI PT. SBK, yaitu diutamakan berasal dari wilayah Kecamatan Seruyan Hulu dan Kecamatan katingan Hulu Kalimantan Tengah dan sedikit dari wilayah Kalimantan Barat.
6 7 8 9
Shorea virescens Shorea fallax Shorea macroptera
Hopea
3,30 4,50 3,28 3,23
4,38 5,46 3,25 2,25
3,67 4,45 3,22 2,98
1,33 1,21 0,99 0,70
1,11 0,99 0,98 0,92
3,42
2,19
2,79
0,64
0,82
mangerawan 10
Shorea leavis
Sumber : Hasil Pengukuran 10 Jenis Tanaman TPTJ PT SBK, 2004
Dari 10 jenis tanaman yang diukur, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jenis Shorea leprosula dimana pada umur 4,5 tahun rata-rata telah mencapai tinggi 7,62 meter dengan diameter 9,06 Cm. Tanaman lainnya, Shorea johorensis ratarata mencapai tinggi 7,54 meter dengan diameter 8,69 Cm, dan Shorea parvifolia rata-rata mencapai tinggi 7,07 meter dengan diameter 8,42 Cm. Dari ketiga jenis itu rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter setiap tahun mencapai lebih dari 1,5 Cm dan 1,5 meter. Hasil kesimpulan perhitungan itu mempunyai hasil yang sama dengan hasil pengamatan pada Uji Species dan Uji Tanaman yang dilaksanakan oleh PT SBK, UGM dan ITTO, dimana ketiga jenis itu mempunyai pertumbuhan terbaik dan dijadikan sebagai jenis unggulan. Di samping itu, ketiga jenis tanaman tersebut merupakan jenis yang dominan. Hasil kesimpulan ini dijadikan landasan bagi PT. SBK untuk memprioritaskan ketiga jenis itu bagi realisasi penanaman di lapangan.
5.1.3. PREDIKSI PANENAN Hutan alam yang berada di areal PT SBK, sebagaimana hutan alam lainnya di Kalimantan merupakan hutan alam hujan tropis yang kaya akan jenisjenis pohon kelompok Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae ialah suku pohon hutan di Indonesia yang memiliki nilai komersial paling tinggi. Sebagain ekspor kayu industri Indonesia berasal dari berbagai jenis suku pohon ini. Demikian pula industri penggergajian dan kayu lapis, sebagian besar mengolah kayu suku ini. Pohon dari suku dipterocarpaceae tumbuh subur di hutan tropika luar Pulau Jawa. Kalimantan merupakan daerah yang mempunyai jenis terbanyak, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Kalimantan dan sekitarnya adalah daerah asal suku pohon Dipterocarpaceae. Meskipun berada pada areal bekas tebangan, komposisi jenis-jenis itu masih cukup kaya menyusun tegakan. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI dengan format selective cutting diperkirakan hanya mampu menebang 8 pohon
setiap hektarnya, sehingga pohon yang masih tersisa di hutan alam bekas tebangan, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon sebenarnya masih banyak tersedia. Dari hasil Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) di PT SBK yang dilaksanakan satu tahun setelah penebangan, rata-rata setiap hektar tegakan sisa tingkat pohon mencapai 44 pohon, 108 batang tingkat tiang, 310 batang tingkat pancang, dan 2.760 semai. Selain itu, hutan-hutan bekas tebangan mempunyai kemampuan melakukan regenerasi secara alamiah, sehingga dipastikan jumlah pohon setiap hektarnya pada masa-masa berikutnya akan terus bertambah secara akumulatif asalkan tidak terjadi kegiatan penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan maupun konversi hutan. Tentu diperlukan mekanisme tertentu agar potensi yang ada tersebut dapat dikelola
dengan
baik.
Bahkan
harus
selalu
diupayakan
meningkat
produktivitasnya. Sistem silvikultur TPTJ merupakan alternatif sistem silvikultur yang diharapkan mampu mengelola areal bekas tebangan menjadi lebih ekonomis sekaligus mampu memenuhi prinsip-prinsip ekologi dan sosial. Terdapat dua jenis panenan yang dapat diperoleh dari sistem silvikultur ini. Pertama, panenan yang diperoleh dari hasil penebangan pohon berdiameter di atas 40 Cm pada jalur antara yang dilakukan dengan sistem tebang pilih. Kedua, panenan yang diperoleh dari hasil penanaman pada jalur bersih yang dilakukan dengan sistem tebang habis. Prediksi panen pada jalur antara didekati dengan hasil ITT, sedangkan prediksi panenan jalur bersih didekati dengan pertumbuhan riap pohon hasil penanaman pada jalur bersih. Panenan hasil penanaman didekati melalui tingkat pertumbuhan tanaman pada jalur bersih dalam satuan luas. Pada tahun 1987 telah dilakukan uji coba penanaman Meranti seluas 100 hektar dengan jarak antar tanaman 3 meter pada jalur selebar 1 meter dengan jarak antar jalur 5 meter. Tanaman yang ditanam dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni (1) kelompok dengan tajuk tertutup oleh permudaan alam, (2) kelompok tajuk tanaman setengah tertutup oleh permudaan alam, dan (3) kelompok tajuk tanaman terbuka penuh. Hasil pengukuran pada umur 13 tahun menunjukkan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kelompok dengan tajuk tanaman terbuka penuh. Untuk lebih jelasnya berikut ditampilkan tabel data pengamatan kondisi tanaman jalur uji coba.
Tabel 5.15. Data Pengamatan Kondisi Tanaman Jalur Uji Coba
No
Diameter (Cm)
Kondisi Tanaman
Ratarata
Riap
Tinggi (M) Ratarata
Riap
Tinggi Bebas Cabang (M) Ratarata
Riap
1
Tajuk tertutup oleh permudaan alam
11,52
0,89
13,21
1,02
8,06
0,62
2
Tajuk tanaman setengah tertutup oleh permudaan alam
17,76
1,36
17,90
1,37
9,46
0,73
3
Tajuk tanaman terbuka penuh
21,45
1,65
19,28
1,48
7,44
0,57
16,91
1,30
16,80
1,29
8,32
0,64
Rata-rata
Sumber : PT Sari Bumi Kusuma, Tahun 2004
Mengingat sistem silvikultur TPTJ dilakukan pada areal bekas tebangan dengan penebangan pada tanaman berdiameter 40 Cm ke atas, maka prediksi panenan TPTJ mengacu hasil pengukuran kondisi tanaman jalur uji coba pada kondisi tanaman dengan tajuk tanaman terbuka penuh. Sebagaimana tercantum pada tabel dengan tinggi riap 1,48 meter dan diameter tanaman 1,65 Cm. Angka-angka ini selanjutnya digunakan sebagai patokan pertumbuhan tanaman pada sistem TPTJ. Sebagai pembanding, hasil pengukuran riap pertumbuhan tanaman tersebut tidak terlalu jauh dari hasil pengukuran pelaksanaan sistem TPTJ pada tanaman umur 2 tahun. Dengan jarak tanaman dalam jalur sepanjang 5 meter, lebar jalur bersih 3 meter dan jarak antar jalur 25 meter, maka dalam satu hektar terdapat 80 tanaman di dalam jalur dan 0,80 hektar hutan alam bekas tebangan yang berada di antara jalur tanaman. Dari hasil pengukuran tanaman umur 2 tahun tersebut, rata-rata tinggi tanaman mencapai 3,83 meter dengan diameter rata-rata 4,89 Cm. Atau selama umur 2 tahun itu pertumbuhan diameter dan tinggi rata-rata setiap tahun mencapai 2,44 cm dan 1,92 meter. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Shorea leprosula yang mencapai tinggi rata-rata 4,05 meter dan diameter 5,32 Cm dan diikuti oleh Shorea johorensis serta Shorea parvifolia. Jelas, besarnya riap tumbuh tanaman dengan sistem silvikultur TPTJ ternyata jauh lebih besar dibandingkan riap tumbuh dengan menerapkan sistem silvikultur hutan alam lainnya. Untuk memahami rata-rata pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman pada umur 2 tahun, berikut ditampilkan tabelnya.
Tabel 3.16. Rata-rata Pertumbuhan Diameter dan Tinggi Tanaman Umur 2 Tahun No
Jenis Tanaman
Diameter (Cm)
Tinggi (M)
Rata-rata 1
Shorea leprosula
2
Shorea
Riap/th
Rata-rata
Riap/th
5,32
2,66
4,05
2,03
4,50
2,25
3,55
1,78
johorensis 3
Shorea parvifolia
4,99
2,50
4,37
2,19
4
Shorea fallax
4,72
2,36
2,53
1,27
5
Shorea sp
4,91
2,46
4,67
2,34
4,89
2,44
3,83
1,92
Rata-rata Sumber : PT. SBK, 2002
Berdasarkan data tabel di atas, hasil produksi tanaman dalam jalur TPTJ setiap hektar diprediksi mencapai 83,5 meter kubik138. Angka tersebut merupakan hasil panenan dari 80 pohon hasil tanaman dengan asumsi areal efektif yang dikelola mencapai 90 persen, jumlah tanaman yang bisa dipanen pada akhir daur mencapai 50 persen, diameter tanaman 56 Cm dan tinggi tanaman bebas cabang 17 meter. Sementara panenan dari areal hutan alam di antara jalur menggunakan dasar perhitungan hasil ITT. Berdasarkan hasil ITT, pohon-pohon komersial berdiameter 20 Cm ke atas yang berada pada jalur antara setiap hektar mencapai 28 pohon. Pohon-pohon ini pada akhir daur (35 tahun) bisa ditebang, sebab penebangan pada jalur tersebut adalah pohon yang berdiameter di atas 40 Cm. Dengan dasar perhitungan tersebut diperkirakan hasil panen setiap hektar dari jalur ini mencapai 62 meter kubik139. Atas dasar perhitungan ini, maka secara keseluruhan dari sistem silvikultur TPTJ PT. SBK pada akhir daur setiap hektar bisa dipanen 145,5 meter kubik.140
Angka produksi itu jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem silvikultur TPTI yang setiap hektar rata-rata memproduksi kayu logs 40-60 meter kubik dengan sistem silvikultur tebang pilih. Produksi kayu sistem TPTJ hanya bisa didekati dengan produksi kayu Hutan Tanaman Industri sistem tebang habis yang setiap hektar mencapai 150-200 meter kubik. Bedanya, pada HTI jenis-jenis yang ditanam adalah jenis yang cepat tumbuh yang pada umumnya digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas dengan jangka waktu panen yang lebih singkat, yaitu sekitar 8 – 10 tahun.
138
Angka prediksi potensi tebangan jalur tanam pada akhir daur (35 tahun) merupakan angka 3 perkalian dari 80 pohon x 90% x 50% x 2,9 m /pohon (56 Cm dan tinggi 17 m) x fe. 139
Angka prediksi potensi tebangan jalur antara pada akhir daur (35 tahun) merupakan angka 3 perkalian dari 28 pohon x 0,80 x 75% x 90% (10% pohon induk) x 4,1 m /pohon ( 65 cm dan tinggi 18 m) x fe
KOTAK 5.5. PREDIKSI PANENAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS SISTEM TPTJ
Salah satu kelebihan pebfelolaan konsesi HPHTI berbasisi sistem TPTJ adalah pemanenan tegakan kayu hasil produksinya, baik yang berasal dari panenan hutan alam maupun pemanenan tegakan hasil. Berdasarkan kalkulas didasarkan hasil riset dan uji coba yang telah berjalan di PT SBK selama ini, tanaman dalam jalur TPTJ setiap hektar diprediksi mencapai 83,5 meter kubik. Angka tersebut merupakan hasil panenan dari 80 pohon hasil tanaman dengan asumsi areal efektif yang dikelola mencapai 90 persen, jumlah tanaman yang bisa dipanen pada akhir daur mencapai 50 persen, diameter tanaman 56 cm dan tinggi tanaman bebas cabang 17 meter. Sementara panenan dari areal hutan alam di antara jalur menggunakan dasar perhitungan hasil ITT. Berdasarkan hasil ITT, pohon-pohon komersial berdiameter 20 Cm ke atas yang berada pada jalur antara setiap hektar mencapai 28 pohon. Pohonpohon ini pada akhir daur (35 tahun) bisa ditebang, sebab penebangan pada jalur tersebut adalah pohon yang berdiameter di atas 40 Cm. Dengan dasar perhitungan tersebut diperkirakan hasil panen setiap hektar dari jalur ini mencapai 62 meter kubik. Atas dasar perhitungan tersebut, maka secara keseluruhan dari sistem silvikultur TPTJ PT. SBK pada akhir daur setiap hektar bisa dipanen 145,5 meter kubik. Angka produksi itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem silvikultur TPTI yang setiap hektar rata-rata memproduksi kayu logs 40-60 meter kubik dengan sistem silvikultur tebang pilih. Produksi kayu sistem TPTJ hanya bisa didekati dengan produksi kayu Hutan Tanaman Industri sistem tebang habis yang setiap hektar mencapai 150-200 meter kubik. Bedanya, pada HTI jenis-jenis yang ditanam adalah jenis yang cepat tumbuh yang pada umumnya digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas dengan jangka waktu panen yang lebih singkat, yaitu sekitar 8 – 10 tahun.
Artinya dari panenan sisi produksi, silvikultur TPTJ mampu meningkatkan Dengan prediksi tersebut, sistem tampaknya skenario kehutanan Indonesia di masa depan tidak terlalu perlu dikhawatirkan. Yang penting terdapat dukungan dari berbagai hasil pihak, produksi secara optimal melebihi produksi yang bisa dipanen dari sistem utamanya Pemerintah dalam menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan produktif. silvikultur TPTI. Peningkatan produksi berdampak pada efektivitas pengelolaan Sumber : Data primer
suatu kawasan hutan yang pada gilirannya akan mampu mendukung aspek kelestarian hutan. Dengan demikian, ke depan industri perkayuan yang berbasis pada pemanfaatan bahan baku kayu bulat jenis-jenis Meranti akan memperoleh sumber pasokan bahan baku yang lebih pasti dan kontinyu. ADAPTASI EKOLOGI DAN KONSERVASI PT SBK berdasarkan tipe dan fungsi kawasan konsesinya merupakan kawasan hutan produksi. Namun berdasarkan salah satu parameter keberhasilan praktek pengusahaan hutan, indikator keberhasilan justru terletak pada kemampuannya beradaptasi terhadap kondisi ekologi dalam mewujudkan kelestarian
fungsi
konservasi.141
Meskipun,
kemampuan
mewujudkan
Angka tersebut adalah hasil panen dari areal tanaman (83,5 M3/Ha) dan areal jalur antara (62 M /Ha). 141 Lihat UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya junto UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 140
3
keberlanjutan fungsi ekonomi dan kelestarian fungsi sosial hutan juga menjadi tolok ukur keberhasilan. Hutan primer yang terdapat di kawasan konsesi PT. SBK merupakan hutan hujan tropika yang didominasi oleh keluarga Dipterocarpaceae pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon. Jenis-jenis dari familia tersebut adalah Bangkirai (Shorea laevis Ridley), Keruing (Dipterocarpus appendiculatus Scheff), Mayau (Shorea palembanica Miq), Melapi (Shorea atrinerfosa Sym), Meranti Kuning (Shorea mujogensis), Meranti merah (Shorea leprosula Miq), Meranti Merah (Shorea fallax), Meranti merah (Shorea balangeran Burck), Meranti putih (Shorea lamellata Fox), Merawa (Hopea mengerawan Miq), Mersawa (Anisoptera costata Korth), Resak (Vatica rassak Blume), Resak nangka (Vatica granulata V.SL), serta Tengkawang Bukit (Shorea beccariana Burck). Jenis tegakan yang mendominasi areal bekas tebangan (LOA) 15 tahun di areal PT. SBK untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon adalah jenis Medang (Litsea firma Hook F) dari familia Lauraceae, sedangkan jenis Ubah (Eugenia sp) dari famili Myrtaceae mendominasi pada tingkat tiang. Secara keseluruhan areal TPTJ didominasi famili Dipterocarpaceae pada hutan primer maupun LOA. Nilai keanekaragaman jenis142 pada setiap keadaan hutan di kelompok hutan Sungai seruyan dapat dilihat pada grafik di bawah. Diketahui bahwa keanekaragaman hayati secara keseluruhan pada areal PT. SBK untuk seluruh tingkatan dari semai - hingga pohon lebih besar dibandingkan di aeral hutan primer maupun LOA, meskipun dengan perbedaan angka yang tidak terlampau besar. Dengan demikian, kondisi keanekaragaman jenis di berbagai kawasan areal PT. SBK, baik di hutan primer, areal bekas tebangan, maupun kawasan TPTJ tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Grafik. 5.6. Keanekaragaman Jenis (H) Berdasarkan Tingkat Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon di Setiap Keadaan Hutan PT. SBK Unit Seruyan
142
Hutan hujan tropika terkenal memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal ini sangat penting sabagai salah satu sumber genetis dan sumber plasma nutfah. Lihat UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati.
1.5 1 0.5 0
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Hutan Primer
1.11763
1.18032
1.16345
1.38472
TPTJ
1.12718
1.23579
1.31507
1.40036
LOA 15 Tahun
1.10839
1.20663
1.28166
1.33589
Sumber: PT SBK, Tahun 2004
Selain keanekaragaman hayati, dalam perspektif konservasi PT. SBK juga melakukan upaya perlindungan terhadap jenis-jenis pohon yang dilindungi. Hal ini dikarenakan jenis-jenis pohon tersebut sudah termasuk langka maupun tergolong pohon kehidupan yang duimanfaatkan oleh masyarakat lokal.143 Jenis-jenis pohon di areal PT. SBK yang termasuk ke dalam jenis-jenis pohon yang dilindungi, antara lain Ulin (Eusideroxylon zwageri), Durian (Durio zibethinus), Palaquium canthocyanum, Palaquium glandiflorum, Scorodocarpus borneensis, dan Jelutung (Dyera costulata). Untuk jenis tanaman lain yang dilindungi di kawasan hutan primer adalah tanaman anggrek, khususnya jenis anggrek Dendrobium sp dan Gymbidium sp. Kawasan konsesi PT. SBK yang termasuk lembaran hutan hujan tropis memiliki potensi dalam menghasilkan produksi hasil hutan ikutan (nir kayu) yang memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat desa hutan. Produksi hasil hutan ikutan tersebut dikerjakan sebagai sumber mata pencarian pokok maupun pekerjaan sampingan dalam menambah pendapatan. Hasil hutan nir kayu yang dimanfaatkan, antara lain rotan, getah, buah-buahan hutan, dan tumbuhan obatobatan144. Jenis rotan yang tumbuh secara alami diperkirakan cukup banyak, namun demikian hanya beberapa jenis yang dipungut dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Jenis rotan yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan, antara 143 144
Lihat Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 261/Kpts-IV/1990.
Bagi masyarakat yang berada di sekitar areal konsesi PT. SBK, hutan banyak menyediakan berbagai jenis tanaman obat-obatan. Frekuensi pemungutan jenis ini tergantung kebutuhan (baca: bersifat subsisten). Artinya bila ada anggota keluarga yang sakit, mereka baru mengambilnya untuk dijadikan obat tradisional. Pemrosesan tanaman tersebut untuk dijadikan obat tergolong sederhana, yaitu dengan cara meramu langsung sehingga menjadi obat yang siap diminum atau dioleskan pada bagian yang sakit.
lain rotan irit (Calamus trachycoleus), rotan sega (Calamus scipionum), dan rotan manau (Calamus manau). Rotan irit dan rotan manau merupakan jenis rotan kecil yang paling banyak dimanfaatkan karena mempunyai mutu yang baik dan potensinya di alam cukup besar. Jenis rotan ini mempunyai diameter batang 4 – 11 mm, berwarna kuning muda mengkilat, tumbuh secara berumpun (cluster), dan tumbuh pada daerah yang secara temporer tergenang air yang kebanyakan tumbuh di pinggir sungai. Rotan taman dan rotan irit banyak dimanfaatkan masyarakat karena mempunyai kegunaan yang sangat beragam, diantaranya bahan membuat anyaman tikar, keranjang, dan hasil kerajinan lainnya. Rotan manau merupakan jenis rotan besar yang mempunyai mutu dan warna cukup baik (kuning langsat) dengan ukuran 3 – 8 Cm. Di banding rotan sega maupun rotan irit, jenis rotan manau relatif jarang dijumpai karena sifat pertumbuhannya menyebar dan berbatang tunggal (soliter). Pada umumnya rotan manau tumbuh di tanah kering dan memanjat pohon penopang (inang). Hutan merupakan habitat yang menjadi tempat hidup satwa liar, karena menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup satwa liar sehingga memungkinkan berkembang secara alami. Sumber daya tersebut, meliputi pakan sebagai sumber energi, cover sebagai pelindung, dan ruang sebagai tempat melakukan aktivitas harian dan proses regenerasi (berkembang biak, memelihara dan membesarkan anak). Interaksi secara alami antara satwa liar dan tumbuhan di hutan hujan tropis sangat kompleks. Beberapa jenis satwa liar sangat tergantung pada keberadaan tumbuhan, tetapi banyak pula tumbuhan yang bergantung pada satwa liar untuk kelestarian hidupnya. Keberadaan satwa liar dalam kaitannya dengan kelestarian hutan dapat berperan aktif, yaitu untuk pengendalian hama hutan, peningkatan kesuburan tempat tumbuh, merangsang atau mempercepat permudaan alam (jenis mamalia dari familia Pteropopidae dan Rhinolophidae, burung pemakan biji seperti jenis-jenis dari famili Columbidae), membantu memproduksi benih (misalnya famili Pteropopidae dan jenis burung dari famili Nectarinidae), dan memperlancar siklus rantai makanan (seluruh jenis satwa). Jenis burung pemakan serangga seperti walet (Hydrochocus gigas) dan burung layang-layang (Hirudo tahitica) dapat memberikan jasa pengendalian hama.145 Beberapa jenis satwa liar yang terdapat di areal konsesi PT. SBK dari jenis mamalia adalah Babi hutan (Sus schaorofa), Tupai (Tupaia glis), Rusa sambar
(Cervus unicolor), Kelasi (presbytis rubicunda), Orang utan (Pongo pigmaeus), Kijang (Muntiacus muntjak), Berang-berang (Lutra sumatrana), Klempiau (Hylobates meller), Harimau akar (Neofels mormota), Harimau dahan (Neofels nebulosa),
Kelelawar
(Pteropus
hypomelamus),
Musang
hutan
(Vivera
tangalunga), Tikus (Rattus rattus), Kancil jawa (Tragalus javanicus), Kancil napu/ Pelanduk (Tragus napu), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), serta Beruang madu (Helarctos malayanus). Sementara jenis-jenis burung yang terdapat di areal konsesi PT. SBK, antara lain Rangkong (Buceros rhinoceros), Tingang (Anthracoceros convexus), Kucica hutan (Copsychur malabaricus), Gagak (Corvus enca), Kadalan (Phaenicophaeus curvirostris), Pelatuk hitam besar
hitam
(Dryocopus
avansis),
Pelatuk
besar
kelabu
(Mulleripicus
pulverurenthus), Kipasan bintik (Rhpudura periata), Perenjak daun (Phylloscopus trivirgatus), Elang jambul garis dagu (Saccipiter trivigatus), Punai gading (Trenon vernans), Hingkis (Bubo sumatranus), Cekakak cina (Halcyon pileata), Bultok (Megalaima australis), Tiung batu kecil (Myophonus glaucimus), Kecembang (Irena puella), Burung jantung gunung (Arachnothera affinis), Burung jantung besar (Arachnothera robusta), dan Perak (Raphidura leucopygialis). Dari jenis reptilia yang terdapat di areal PT. SBK, antara lain Biawak (Varanus nebulosus), Ular sawa (Phyton reticulatus), Ular sanca (Phyton morulus), Ular hijau (Chendrophyton leichardii), dan kura-kura.146 Mengingat berbagai jenis tumbuhan dan jenis-jenis satwa liar di atas memiliki nilai bagi pelestarian konservasi, maka yang termasuk ke dalam jenis-jenis yang dilindungi jelas dilarang untuk dimanfaatkan. Sementara untuk jenis tumbuhan dan stawa liar yang tidak tergolong ke dalam jenis-jenis yang dilindungi dan dilarang untuk dimanfaatkan, maka tata cara
pemanfaatannya terutama
bagi pemenuhan kepentingan-
kepentingan pihak luar harus benar-benar mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku.147 Berbagai kepentingan konservasi di kawasan hutan produksi yang menjadi areal konsesi PT. SBK tersebut telah diatur dalam sistem perencanaan hutan
145
Dokumen ANDAL HPHTI PT. SBK. 2004.
146
Ibid.
147
Lihat PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar junto SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 692/Kpts-II/1998 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan N0. 58/Kpts-II/1996 tentang Perubahan Keputusan Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972 jo Keputusan Menteri Kehutanan No. 261/Kpts/IV/1990 tentang Pohon-Pohon di Dalam Kawasan Hutan yang Dilindungi.
dengan berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.148 Hal ini sesuai dengan prinsip kerja manajemen unit PT. SBK yang senantiasa harus taat aturan (complience to the rule). Berbagai kawasan di hutan produksi yang memiliki kepentingan ekologi dan pelestarian fungsi konservasi tersebut antara lain dimasukkan ke dalam kawasan lindung149. Areal-areal yang termasuk ke dalam kawasan lindung, meliputi kawasan penyangga (buffer zone), kawasan dengan kelerengan di atas 40 %, kawasan sempadan sungai150, sekitar danau atau waduk151, maupun sekitar mata air. Dalam rangka mengakomodir kepentingan jenis-jenis tumbuhan dan satwa endemik yang dilindungi atau memiliki manfaat ekonomis bagi masyarakat sekitar hutan, maka ditetapkan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN)152. Disamping itu, untuk menjaga habitat satwa liar yang memiliki “home range” bagi pergerakkannya maka ditetapkan pula kawasan-kawasan yang menjadi koridor satwa serta konservasi in situ. Dengan demikian,
dalam setiap kegiatan tahapan pengusahaan hutan
sesuai dengan sistem silvikultur yang diterapkan tidak akan mengganggu kawasan-kawasan konservasi tersebut. Kalaupun akan terkena dampak, maka dampak yang akan timbul diupayakan untuk diminimalisir semaksimal mungkin dengan melakukan pencegahan maupun kegiatan rehabilitatif sesuai dengan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) maupun dokumen Rencana Kelola Lingkungan (RKL)153.
148
Lihat Keputusan Direktur Jendral RLPS No. 028/Kpts/V/1994 tentang Pedoman Konservasi di Areal Pengusahaan Hutan. 149
Lihat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
150
Lihat Keputusan Keputusan Menteri Kehutanan No. 837/Kpts-II/1990 tentang Larangan Penebangan Pohon di 100 meter Kiri Kanan Sungai dan 200 meter dari Radius Mata Air 151
Lihat Keputusan Menteri Kehutanan No. 353/Kpts-II/1986 tentang Penetapan Radius/Jarak Larangan Penebangan Pohon dari Mata Air, Tepi Jurang, Waduk/Danau, Sungai dan Anak Sungai dalam Kawasan Hutan, Hutan Cadangan, dan Hutan Lainnya 152
Lihat Keputusan junto Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 375/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi 153
Lihat PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Lihat pula berbagai aturan teknis melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 602/KptsII/1998 junto No. 622/Kpts-II/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan. Lihat pula Keputusan Menteri negara Lingkungan Hidup RI No. 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Terakhir lihat pula Keputusan Ketua Komisi AMDAL Pusat Departemen Kehutanan dan Perkebunan No. 115/Kpts/II-DAR/2000 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Kegiatan Pembangunan Kehutanan.
5.3. KESELARASAN SOSIAL BUDAYA KOMUNITAS Keselarasan sosial budaya komunitas sebagai cermin kelestarian fungsi kelola sosial hutan merupakan salah satu parameter keberhasilan pengelolaan hutan secara lestari. Terdapat beberapa konsep dan realitas yang melatar belakangi pentingnya mewujudkan kelestarian fungsi sosial hutan. Pertama, secara historis kultural keberadaan hutan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi komunitas lokal (seringkali disebut dengan isilah komunitas adat) beserta seluruh sistem dan tata nilai sosial budayanya. Komunitas lokal secara turun temurun dan lintas generasi telah tinggal dan menggantungkan kelangsungan hidupnya dari ketersedian
sumber daya hutan. Kedua, secara yuridis formal keberadaan
komunitas lokal dan sumber daya hutan berdasarkan aturan perundangan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, baik dalam konteks peran dan fungsi negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat154 maupun dalam konteks hak penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan oleh komunitas.155
Ketiga,
dalam
perspektif
realitas
yang
berkembang
atas
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan tropis Indonesia dewasa ini adalah terjadinya proses reduksi terhadap fungsi sosial hutan bagi kehidupan berbagai komunitas lokal. KOTAK 5.6. KESELARASAN SOSIAL BUDAYA KOMUNITAS : SEBUAH KENISCAYAAN TERWUJUDNYA PHPL Keselarasan sosial budaya komunitas sebagai cermin kelestarian fungsi kelola sosial hutan merupakan salah satu parameter keberhasilan terwujudnya praktek pengelolaan hutan secara lestari (PHPL). Terdapat beberapa konsep dan realitas yang melatar belakangi pentingnya mewujudkan kelestarian fungsi sosial hutan. Pertama, secara historis kultural keberadaan hutan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi komunitas lokal (seringkali disebut dengan isilah komunitas adat) beserta seluruh sistem dan tata nilai sosial budayanya. Komunitas lokal secara turun temurun dan lintas generasi telah tinggal dan menggantungkan kelangsungan hidupnya dari ketersedian sumber daya hutan. Dengan demikian, masyarakat lokal merupakan bagian integral dari ekosistem hutan alam. Kedua, secara yuridis formal keberadaan komunitas lokal dan sumber daya hutan berdasarkan aturan perundangan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, baik dalam konteks peran dan fungsi negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat maupun dalam konteks hak penguasaan dan pengelolaan sumber daya 154 Landasan formalHalyang mendasari hakdalam komuniti untukperaturan memperoleh peningkatan hutan oleh yuridis komunitas. tersebut tertuang berbagai perundangundangan, mulai dari UUD 1945 hasil amandemen, Tap MPR RI, UU, PP, Keppres kesejahteraan melalui pengelolaan hutan oleh negara termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 hingga peraturan – peraturan teknis lainnya. ayat (3) yang menyatakan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya Ketiga, dalam perspektif realitas yang berkembang atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan tropis Indonesia dewasa ini, terdapat kecenderungan terjadinya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. proses reduksi terhadap fungsi sosial hutan bagi kehidupan berbagai komunitas lokal. 155 Dampaknya, terjadi proses marginalisasi masyarakat desa hutan yang menimbulkan Landasan yuridis formal yang mendasari komuniti untuk memperoleh hak penguasaan atau berbagai persoalan, antara lain yang palingdaya menonjol konflik pengelolaan sumber hak pengelolaan/pemanfaatan atas sumber hutanadalah termaktub dalam UUD 1945 Pasal 18 daya hutan yang diseabkan karena persoalan hak tenurial. Atas dasar berbagai yang menyatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan perspektif maupun realitas tersebut di atas, perluundang-undang, kiranya kelola dengan sosial masyarakat bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan memandang dan menjadi salah sasaran yang dalam harus diwujudkan dalam praktek pengelolaan hutan– usul mengingati dasarsatu pemusyawaratan sistem pemerintahan negara, dan hak asal secara lestari. dalam daerah yang bersifat istimewa”. Sumber : Berbagai literatur yang diolah
Potret krisis kehutanan multidimensi dewasa ini merupakan salah satu dampak
kebijakan
pembangunan
kehutanan
masa
lalu
yang
terlalu
mengedepankan aspek ekonomi. Salah satu implikasinya adalah terabaikannya kesejahteraan masyarakat desa hutan sehingga tidak saja mengancam kelestarian hutan, namun sekaligus juga mengancam eksistensi dan keberadaan berbagai komunitas tu sendiri. Dengan demikian, kelestarian fungsi sosial adalah sebuah keharusan dalam kerangka kelestarian sumber daya hutan secara keseluruhan. Kelestarian fungsi sosial merupakan salah satu aspek yang sejajar – bahkan dalam kondisi dan tipologi tertentu kawasan hutan produksi memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutandengan aspek kelestarian fungsi lingkungan dan aspek kelestarian fungsi ekonomi hutan. Dalam rangka mengaktualisasikan peran perusahaan sebagai salah satu institusi pemberdayaan (empowering) masyarakat156, maka segenap pengusaha sepakat untuk ikut andil dalam upaya menyejahterakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar areal konsesinya. Selain kelestarian produksi dan lingkungan, maka pengelolaan hutan juga dituntut untuk mengintegrasikan kelestarian fungsi sosial hutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar konsesi pengusahaan hutan. Sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa pembangunan masyarakat desa hutan telah menjadi bagian yang menyatu dalam kegiatan pengusahaan hutan di areal konsesinya. Hal itu tertuang dalam kesepakatan Forestry Agreement oleh para pemegang perusahaan HPH yang dieksplisitkan melalui SK Menhut No 691/Kpts-II/1991 tentang HPH Bina Desa Hutan (HPH
156
Secara etimologis, pemberdayaan memiliki dua makna. Pertama pemberdayaan diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sementara pengertian kedua pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan (Priyono dan Pranarka, 1996). Sementara Sumodiningrat (1996) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat.
BDH) dan disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) melalui SK Menhut No 69/Kpts-II/1995. Kesepakatan para pengusaha sektor
kehutanan untuk melibatkan
masyarakat yang tinggal di sekitar areal konsesinya dalam unit kerja manajemen perusahaan agar terwujud kondisi sosial yang aman dan sejahtera telah menjadi komitmen perusahaan HPHTI PT. SBK sebagai salah satu bagian dari perusahaan di sektor kehutanan. PT. SBK berdasarkan siaran pers Departemen Kehutanan No S.533 /II/PIK-1/2004 terpilih sebagai salah satu model penerapan sistem silvikultur hutan alam dari 17 perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam157. Sistem silvikultur TPTJ yang dikembangkan oleh PT SBK berpegang pada nadi pokok fungsi kelola hutan, yaitu fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial. Fungsi kelola sosial ditujukan untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
cara
melibatkan
masyarakat secara aktif. Pelibatan secara aktif dilakukan dengan menyerap tenaga kerja yang berasal dari masyarakat sekitar PT SBK. Sisi keuntungan lain dengan pelibatan masyarakat secara aktif adalah adanya pengakuan secara hukum sosial budaya masyarakat setempat atas kepemilikan kawasan TPTJ oleh perusahaan PT SBK.
Dalam konsepsi hukum sosial budaya (baca: adat) di
masyarakat sekitar perusahaan PT SBK, sistem kepemilikan lahan didasarkan pada penanaman tanaman keras. Siapa yang membuka hutan (virgin forest) pertama kali kemudian menanam tanaman keras di kawasan hutan yang baru dibuka, berarti orang itu secara adat resmi menjadi pemilik lahan tersebut. Seseorang yang resmi menjadi pemilik kawasan tersebut secara hukum adat akan dilindungi. Jika ada seseorang yang akan mengusahakan kawasan tersebut, statusnya hanya meminjam. Atas dasar hukum kepemilikan adat yang berlaku di
157
Dalam rangka mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien Departemen Kehutanan akan mengembangkan pembangunan sistem silvikultur intensif dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Silvikultur adalah cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan. Dengan demikian sistem silvikultur merupakan cara utama untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang dikehendaki, yang disesuaikan dengan lingkungan setempat. Sistem silvikultur paling dikenal yang diterapkan pada hutan alam di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Di samping itu, sistem silvikultur lainnya dan pernah diujicoba adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Tanam Jalur (TTJ), dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB).Untuk pelaksanaan pembangunan sistem silvikultur intensif tersebut, telah ditetapkan 17 pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam yang akan digunakan sebagai model untuk melakukan inovasi-inovasi silvikultur dalam pemanfaatan hutannya. Ke 17 IUPHHK tersebut ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: SK.194/VI-BPHA/2004, tanggal 20 Juli 2004. PT
masyarakat sekitar PT SBK, maka konsepsi sistem silvikultur TPTJ yang menerapkan kegiatan “tebang – tanam” akan memperkuat hak izin usaha perusahaan secara kultural. Dengan demikian, kepastian usaha perusahaan secara de facto akan terjamin dan kontinuitas penyerapan tenaga kerja warga sekitar perusahaan akan berlanjut. Hal ini akan mewujudkan terjadinya keselarasan budaya perusahaan dengan budaya komunitas. Integrasi kedua budaya tersebut akan membawa secara cepat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Tekad bulat PT SBK untuk menyelaraskan budaya komunitas tercermin dari keseriusannya melaksanakan program pemberdayaan masyarakat melalui payung kebijakan serta program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Program pemberdayaan masyarakat oleh PT SBK yang dimulai sejak tahun sembil 90-an ini pada dasarnya merupakan suatu kegiatan sosial kemasyarakatan perusahaan dalam rangka membina masyarakat yang tinggal di sekitar atau dalam areal HPH untuk diarahkan secara bertahap menjadi masyarakat yang berusaha tani menetap, berusaha lain yang produktif, serta berwawasan lingkungan dengan dukungan pemerintah158. Adapun tujuan utama program pemberdayaan ini ialah meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dalam 5 aspek, yaitu pertanian menetap, peningkatan ekonomi, sosial budaya, sarana dan prasarana, dan
pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan. Program
pemberdayaan masyarakat (PMDH) oleh PT SBK dalam rangka menyelaraskan budaya komunitas setempat difokuskan pada 3 kegiatan, yaitu (1) pengembangan sarana-prasarana, (2) peningkatan pendapatan ekonomi, dan (3) pembinaan mental melalui pendidikan formal maupun penyuluhan keagamaan. Pemfokusan kegiatan ini menyebabkan terjadinya dinamika sosial budaya masyarakat sekitar PT SBK. Masyarakat sekitar HPHTI PT SBK diarahkan dalam perjalanannya ke masa depan yang lebih sejahtera, mandiri, dan sadar lingkungan159.
Sebuah
SBK menjadi salah perusahaan yang terpilih sebagai model (Siaran Pers Departemen Kehutanan No S.533 /II/PIK-1/2004). 158
Ada 3 dimensi baru yang perlu dicermati dalam muatan kebijakan pemberdayaan ini, yaitu (1) usaha pemerintah untuk melibatkan pihak swasta dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan harus dinilai positif, karena selama ini pihak swasta tidak pernah dilibatkan pada upaya yang bersifat sosial, (2) pemerintah cukup jeli dalam mengoptimalkan potensi pihak swasta, khususnya HPH dalam upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat desa hutan. Potensi tersebut yakni modal, sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (3) keberhasilan HPH BDH dikaitkan bagi syarat HPH untuk memperoleh beberapa dokumen pengelolaan areal hutan di wilayah konsesinya, sehingga menjadi sebuah keharusan. 159
Tujuan utama kegiatan PMDH yang dilakukan oleh HPHTI PT SBK adalah meningkatkan peran serta masyarakat sekitar hutan untuk mengelola hutan dalam bentuk kemitraan, membantu
proses
menuju
perubahan
sosial
kultural
kondisional. Mulai dari waktu yang relatif
yang
membutuhkan
berbagai
panjang hingga komitmen dan
kesadaran yang kuat dari manajemen PT. SBK. Tentu saja semuanya akan siasia bila tidak didukung oleh Pemerintah maupun berbagai stakeholder lain terkait. Pengembangan
sarana
prasarana
melalui
program
PMDH
oleh
perusahaan PT SBK dibagi dalam 4 bidang, yaitu pengembangan bangunan fisik desa, bantuan fisik keagamaan, bantuan sarana olahraga, dan bantuan sarana belajar mengajar. Untuk pengembangan bangunan fisik desa meliputi 13 kegiatan, yaitu pembuatan jalan desa, MCK, irigasi sawah, bendungan, pondok sawah, sarana air bersih, sarana kesehatan, balai desa dan pusat penyuluhan, gudang pupuk, UKS, bantuan speed boot, dan sarana penerangan. Total biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan rata-rata tiap tahun sekitar Rp 162.538.731.86. Berikut ditampilkan tabel penyediaan sarana prasarana oleh PT SBK kepada masyarakat. Tabel 5.17. Realisasi Anggaran Penyediaan Sarana Prasarana Masyarakat oleh PT SBK Tahun 1995/ 2001 No I
II III IV
Jenis Kegiatan
Realisasi Fisik
(Rp)
Rata-rata/th (Rp)
48,138 Km 26 unit 9.068 M 7 unit 22 unit 73 unit 31 unit 2 unit 14 unit 1 unit 2 paket 28 unit
41.198.120.83 5.667.916.67 55.092.536.67 3.036.500.00 81.103.116.67 54.546.741.67 65.026325.00 167.339.411.00 107.330.807.50 55.501.570.00 10.000.000.00 506.395.00 130.000.000.00
6.866.353.47 944.652.78 9.182.089.45 506.083.33 13.517.186.11 9.091.123.61 10.837.720.83 27.889.901.83 17.888.467.92 9.250.261.67 1.666.666.67 84.399.17 21.666.666.67
16 unit 3 unit
62.010.583.00 1.043.000.00 135.469.367.14 975.232.391.15
10.355.097.17 233.833.33 22.578.731.86 162.538.731.86
Bangunan Fisik Desa 1. Pembuatan & perbaikan jalan desa 2. Pembuatan MCk 3. Pembuatan irigasi sawah 4. Pembuatan bendungan 5. pembuatan permukiman 6. Pondok sawah 7. sarana air bersih 8. Sarana kesehatan 9. Bantuan speed boot 10. Balai desa dan pusat penyuluhan 11. Gudang pupuk 12. UKS 13. Penerangan Bantuan Fisik Keagamaan Bantuan Sarana Olah Raga Bantuan Sarana Pendidikan Jumlah
Sumber: PT SBK, Tahun 2001.
Pengembangan bangunan fisik desa oleh PT SBK ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap masyarakat sekitarnya. Masyarakat sekitar PT SBK menjadi semakin sejahtera, makmur, dan mandiri. Masyarakat sekitar PT SBK sebelum adanya perusahaan mengandalkan jasa transportasi dari arus sungai. Waktu yang diperlukan untuk satu kali perjalanan pulang balik ke
masyarakat dalam percepatan usaha, dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, serta pemberian kesempatan bekerja di perusahaan
pasar terdekat sekitar 12 hari. Sulitnya sarana transportasi di masyarakat sekitar PT SBK mulai berubah, ketika perusahaan menapakkan kaki di rimba Kalimantan Tengah. Melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat desa hutan yang telah dimulai
pada
tahun sembilan
puluhan.
Perusahaan
pemegang
konsesi
pengusahaan hutan mengembangkan infrastruktur jalan yang mampu membuka keterisoliran masyarakat desa hutan pedalaman. Aksesibilitas masyarakat menjadi lebih terbuka. Pada pertengahan tahun 90-an peternakan ayam pedaging telah menjadi mata pencarian sebagian masyarakat sekitar PT SBK. Kemudian, muncul kebijakan dari unit manajemen PT SBK untuk menyediakan fasilitas kendaraan bagi pelayanan pembelian bibit ayam dan berbelanja kebutuhan makanan ke pasar kabupaten. Fasilitas ini digunakan oleh masyarakat untuk sekalian berbelanja kebutuhan rumah tangga dan menjual hasil ladang, kebun, ternak, dan memungut hasil hutan. Secara tidak langsung pembuatan jalan dan persediaan sarana transportasi oleh PT SBK mengakibatkan meningkatnya hasil pendapatan masyarakat setempat. Peningkatan pendapatan masyarakat berdampak pada semakin meratanya kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan masyarakat. Mata pencarian utama masyarakat
sekitar
PT
SBK
sebelum
adanya
perusahaan
hanyalah
menggantungkan hidupnya dari potensi alam yang ada disekitar masyarakat. Masyarakat memenuhi kebutuhan hidup dari berburu, meramu, dan menangkap ikan. Berburu binatang dilakukan di hutan sekitar kampung dengan hasil buruan berupa babi hutan, rusa, dan ular. Meramu hasil hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan protein nabati yang berupa sayuran. Sungai-sungai yang melintas di tepi kampung masyarakat menjadi ladang kedua untuk diambil ikannya. Dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar masyarakat, maka mereka telah mampu memenuhi kebutuhan akan pangan. Didukung oleh kesuburan tanah yang tersedia, dalam perkembangannya masyarakat sekitar PT SBK kemudian mengolah tanah dengan membuka hutan dijadikan ladang. Tanaman ladang yang dibudidayakan adalah padi ladang yang panen satu tahun sekali. Budi daya padi ladang digunakan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat. Kebutuhan padi ladang semakin bertambah, ketika mulai dikenal perdagangan dengan masyarakat luar. Padi ladang tidak hanya untuk kebutuhan
subsisten
masyarakat,
melainkan
sudah
ditukarkan
dengan
masyarakat luar. Padi ladang ditukarkan dengan garam, gula, tembakau, pakaian, gong, tempayan, dan perhiasan lainnya. Dikenalnya sistem pertukaran barang –
barter- berdampak makin besarnya kebutuhan ladang tiap warga masyarakat. Rata-rata setiap keluarga pada tahun 70-an mengolah ladang antara 2-3 Ha dengan hasil yang diperoleh tiap tahun sekitar 3000 gantang (5,4 ton) padi. Kebutuhan non pangan yang semakin meningkat berakibat masyarakat lebih giat bekerja. Pada saat kegiatan ladang tidak padat, maka masyarakat memungut hasil hutan rotan, tengkawang, dan damar untuk ditukarkan dengan kebutuhan non pangan. Makin terbukanya hubungan dengan masyarakat luar berdampak pada masuknya sistem peternakan. Masyarakat mulai memelihara kerbau, sapi, dan babi di dekat rumah. Hewan ternak tersebut dipersiapkan untuk keperluan pesta dan sebagian ditukarkan dengan barang non pangan, seperti perhiasan atau harta pusaka. Masyarakat sekitar PT SBK sejak dahulu telah mempunyai rutinitas kerja yang padat dengan diversitas pekerjaan yang bermacam. Diversitas pekerjaan yang dikerjakan oleh warga pada tahun sembilan puluhan mengalami perkembangan dengan ditandai oleh masuknya program HPH Bina Desa (HPH BDH) PT SBK. Program yang kemudian berganti nama menjadi Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) ini disosialisasikan kepada warga. Program yang diperkenalkan kepada warga, antara lain pertanian sawah, perkebunan, perikanan, dan peternakan yang kesemuanya dikerjakan secara intensif. Pertanian sawah diperkenalkan kepada warga pada tahun 1991 dengan membangun demplot padi sawah seluas 0,18 Ha untuk setiap desa binaan kemudian berkembang menjadi 8,3 Ha tiap desa binaan pada tahun 2004. Perkebunan yang diperkenalkan ada 2 jenis, yaitu kebun sayuran dan kebun tanaman keras. Kebun sayuran dibuat ukuran 10 X 10 meter terletak di samping sawah. Jenis sayuran yang dibudidayakan, antara lain kacang panjang, sawi, buncis, bayam, dan kol. Sedangkan tanaman keras yang dibudidayakan, antara lain Karet, Meranti, dan Tengkawang. Perikanan disatukan dengan kegiatan pertanaian sawah yang dikenal dengan istilah minatani, yaitu gabungan antara pengolahan padi sawah dengan pemeliharaan ikan. Peternakan ayam pedaging juga dikembangkan dan sekarang telah menjadi kegiatan pokok sebagian warga. Diveritas pekerjaan yang ada di masyarakat secara tidak langsung telah menambah jumlah kegiatan dan penghasilan masyarakat. Intensitas kerja yang tinggi berdampak secara tidak langsung dari kemampuan seorang kepala keluarga mengolah lahan ladang. Saat ini setiap kepala keluarga rata-rata hanya mampu mengolah lahan ladang sekitar 0,65 Ha. Hasil padi ladang hanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga160. Sedangkan hasil ladang, seperti sayuran, cabe, dan ketela pohon dijual ke komunitas camp persuahaan atau pasar. Penjualan hasil ladang, sawah, kebun, hutan, ternak, dan perikanan dapat dijual untuk mendapatkan uang cash sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup. Pasar menjadi tempat jual beli masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat yang disebabkan oleh diversitas pekerjaan dalam perjalanannya makin beragam dengan ditandai terserapnya sebagian anggota masyarakat menjadi tenaga kerja perusahaan. Pada periode tahun 1992-1997 penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan PT SBK untuk wilayah Kecamatan Katingan Hulu mencapai 32 % dan untuk wilayah Kecamatan Seruyan Hulu penyerapan tenaga kerja lokal mencapai 30 % dari total jumlah penduduk masing-masing kecamatan. Pada tahun 2003 penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan PT SBK untuk wilayah Kecamatan Katingan Hulu naik menjadi 42 % dan untuk wilayah Kecamatan Seruyan Hulu penyerapan tenaga kerja lokal meningkat menjadi 35 % dari total jumlah penduduk masing-masing kecamatan. Terserapnya sebagian tenaga kerja masyarakat menjadi karyawan perusahaan berdampak pada menetesnya aliran pengelolaan sumber daya hutan ke masyarakat, sehingga diindikasikan akan menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Realitas peningkatan pendapatan masyarakat yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan, dan upah perusahaan secara tidak langsung mendorong meningkatnya (1) tingkat pendidikan masyarakat, (2) kesadaran kesehatan, dan (3) terpenuhinya gizi masyarakat. Pertama. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar PT SBK dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada periode tahun 1992-1997 untuk kelompok hutan sungai Seruyan Hulu persentase penduduk melek huruf latin berkisar 25,50 % - 69,14 % yang apabila dibandingkan dengan standar pendidikan nasional termasuk dalam kategori tingkat pendidikan rendah dengan kualitas lingkungan jelek dengan skala kualitas 2. Lima tahun berselang, tepatnya pada tahun 2003 persentase jumlah penduduk melek huruf latin meningkat menjadi rata-rata 20,45 % dari jumlah penduduk. Dengan demikian, tingkat pendidikan masyarakat di dalam dan sekitar wilayah HPHTI PT SBK tergolong tinggi (0 – 40 % melek huruf latin) dengan kualitas lingkungan dalam kategori baik pada skala kualitas 4. 160
Nugraha, Agung (2005), Rindu Ladang: Perspektif Perubahan Masyarakat Desa Hutan, Wana Aksara, Banten.
PT SBK dalam rangka meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat sekitar setiap tahun mengucurkan bea siswa kepada siswa tingkat SD, SLTP, SLTA, serta para mahasiswa dan pegawai negeri yang sedang melanjutkan studi S1, S2, atau S3. Berdasar catatan administratif hingga tahun 2001 terhitung 117 siswa dan mahasiswa yang mendapat bantuan bea siswa dari PT SBK. Selama satu tahun rata-rata realisasi anggaran yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membantu kegiatan pendidikan di masyarakat sekitar PT SBK mencapai Rp 101.019.117.86. Realisasi tersebut digunakan untuk dana beasiswa, anak asuh, bantuan honor guru SD, dan bantuan kelengkapan sarana belajar mengajar. Untuk lebih jelasnya berikut ditampilkan tabel realisasi anggaran PMDH bidang pendidikan PT SBK, tahun 1995/2001. Tabel 5.18. Realisasi Anggaran PMDH PT SBK Bidang Pendidikan Tahun 1995/ 2001 No
Jenis Kegaitan
Realisasi Fisik
Rata-rata Biaya /th (Rp)
(Rp)
1.
Beasiswa
117 org
44.634.083.00
7.439.013.83
2.
Anak Asuh
12 org
4.987.350.00
831.225.00
3.
Bantuan Guru SD
102 org
421.200.883.00
70.200.147.17
4.
Bantuan Sarana Belajar
-
135.469.367.14
22.578.731.86
606.291.683.14
101.019.117.86
Jumlah
Sumber: PT SBK, 2001
Kedua.
Peningkatan
jenjang
pendidikan
dari
sebagian
anggota
masyarakat, berdampak pada kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan. Peningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi masyarakat dapat dilihat dari menurunnya tingkat kematian akibat penyakit epidemik malaria dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Penurunan julah pasien yang terserang penyakit epidemik terjadi hampir di semua masyarakat sekitar PT SBK. Penurunan ini ditopang oleh gencarnya penyuluhan kesehatan dan timbulnya kesadaran serta rasionalitas masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan pola hidup sehat. Masyarakat saat ini telah muncul kesadaran menjaga kebersihan lingkungan dan tempat tinggalnya. Pola pemukiman masyarakat telah mengumpul menjadi satu dan terpencar dalam rumah-rumah pribadi, sehingga pembersihan secara intensif dapat dilakukan. Masyarakat secara rutin telah melakukan kegiatan kerja bakti setiap bulan untuk menjaga kebersihan kampung. Hewan ternak sekarang dipisah dari rumah induk semang dipindah ke kandang yang dibuat di dekat ladang. Rumah-rumah telah dilengkapi dengan fasilitasi sanitasi
dan setiap hari dibuka untuk saluran keluar masuknya udara. Ruang dapur dipisahkan dengan ruang utama keluarga untuk mengurangi asap dapur masuk ke dalam rumah. Acara minum tuak dan arak dengan kadar kandungan alkohol yang tinggi sedikit demi sedikit ditinggalkan. Masyarakat telah berpikir berdasar rasionalitas dan efisiensi sebagai salah satu tata nilai budaya masyarakat modern. Pola berpikir tersebut sebagian telah diadopsi oleh warga sekitar PT SBK. Ketiga. Rasionalitas berpikir masyarakat untuk menjaga kesehatan diaktuliasasi oleh masyarakat dengan menyeimbangkan kadar gizi dalam setiap menu makan. Komposisi menu makan masyarakat sekitar PT SBK setiap harinya memanfaatkan nasi ladang sebagai kebutuhan karbohidrat, ikan dan daging hewan buruan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, sayuran kebun untuk memenuhi kebutuhan protein nabati, buah-buahan hutan untuk kebutuhan vitamin, dan air putih untuk memenuhi kebutuhan mineral. Berdasarkan hasil pengkajian dokumen AMDAL, pada tahun 2003 masyarakat sekitar PT SBK unit Seruyan digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat pemenuhan kadar gizi yang relatif baik. Ada sintesa menarik yang dimunculkan dalam studi AMDAL tersebut, yaitu kehadiran kegiatan pengelolaan hutan oleh PT SBK berdampak terhadap peningkatan pendapatan, peningkatan status gizi, serta kecukupan pangan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat berdampak pada peningkatan
kemampuan
untuk
memperbaiki
kualitas
kesehatan
melalui
peningkatan status gizi dan kecukupan pangan. Rasionalitas dan konsep efisiensi sebagai salah satu introduksi sistem dan tata nilai baru dalam masyarakat sekitar PT SBK berdampak pada perubahan persepsi masyarakat. Masyarakat sekitar PT SBK saat ini telah memandang aspek penting bidang pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan gizi keluarga. Hal tersebut didukung oleh masuknya media informasi elektronik yang dimiliki oleh sebagian warga. Melalui media televisi cakrawala berpikir masyarakat terbuka dan menyadari, bahwa dunia ini luas dan persaingan semakin ketat. Salah satu peluru antisipasi yang dipersiapkan oleh warga masyarakat adalah dengan menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan tertinggi. Hanya melalui pendidikan dan kecerdasan berpikir lah seseorang dapat menduduki jabatan terhormat. Saat ini sudah banyak para pemuda sekitar PT SBK yang sekolah sampai jenjang perguruan tinggi. Diharapkan melalui generasi pemuda ini masyarakat sekitar PT SBK bisa bangkit menghadang gelombang globalisasi dan
modernisasi yang terus bergulir. Tentu saja semuanya dilakukan dengan tetap berbasis pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Salah satu karakteristik dunia usaha yang berdampak terhadap efektivitas, efisiensi dan optimalisasi keberhasilan kegiatan pengusahaan hutan
adalah
periode waktu yang dibutuhkan -mulai dari tahapan kegiatan penanaman hingga kegiatan pemanenan- bersifat jangka panjang. Hutan tanaman meranti untuk keperluan penghara industri perkayuan maupun sebagai bahan baku kayu perkakas dengan siklus panenan sekitar 25 – 35 tahun jelas memiliki resiko yang relatif besar. Karena itu, perencanaan pada setiap tahapan kegiatan, mulai dari penyediaan bibit unggul, persemaian dan pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga pemanenan memiliki peran yang sangat penting bagi keberhasilan kegiatan pengusahaan hutan tanaman meranti. Dengan demikian, investasi yang telah ditanamkan benar-benar akan menghasilkan output optimal (baca: profit). Dalam konteks tersebut, kegiatan penelitian dan pengembangan atau litbang (research and development atau R and D) memegang peranan yang sangat vital161. Dengan demikian, setiap kebijakan yang ditetapkan atau diputuskan terhadap suatu permasalahan senantiasa dilandasi oleh rasionalitas yang jelas dan kuat yang bersumber dari kegiatan penelitian dan pengembangan dengan dukungan data dan informasi riil yang akurat. Menyadari bahwa investasi –dana, waktu dan tenaga- dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman meranti merupakan sebuah investasi jangka panjang yang bersifat padat modal (capital intensive), dengan berbagai resiko ketidakpastian, maka dalam rangka memperkecil resiko kegagalan sekaligus meningkatkan peluang keberhasilan, PT. SBK mengembangkan kegiatan litbang guna mendukung keberhasilan kegiatan pengusahaan hutannya. Bahkan, menyadari betapa pentingnya kegiatan litbang, secara struktural keberadaan dan
161
Di sebagian besar unit manajemen HPH ataupun HTI di masa lalu, kegiatan Litbang tidak ubahnya merupakan sebuah kegiatan yang bersifat beban atau cost. Karenanya, banyak diantara unit manajemen HPH ataupun HTI menjadikan kegiatan litbang hanya sebagai sebuah kegiatan yang bersifat formalitas. Dengan demikian, secara substansial kegiatan litbang yang dilakukan seringkali tidak memiliki korelasi dengan permasalahan yang dihadapi pihak perusahaan. Dengan kegiatan yang bersifat formalitas, tidak mungkin dihasilkan sebuah solusi konkrit atas berbagai permasalahan di lapangan. Termasuk rekomendasi bagi revisi atau penyempurnaan sebuah kebijakan.
kedudukannya secara khusus telah ditempatkan berada di bawah tanggung jawab seorang direksi, yaitu Direktur Penelitian dan Pengembangan. Kegiatan litbang PT. SBK dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, kegiatan litbang yang dilakukan oleh sumber daya manusia intern perusahaan, yaitu divisi litbang PT. SBK. Kegiatan litbang yang dilakukan oleh pihak SDM intern perusahaan pada umumnya bersfat aplikatif – pragmatis162 dalam rangka mencari berbagai langkah terobosan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi langsung para pelaksana di lapangan, baik dalam aspek produksi, lingkungan dan konservasi maupun sosial budaya. Sebagai contoh, kegiatan litbang di bidang produksi yang dilakukan dalam rangka mencegah efek pecah batang pohonpohon hasil tebangan dengan menggunakan metode paku S dan paku U. Hasil penelitian ini akan direkomendasikan kepada departemen Pengusahaan Hutan (PH) agar menjadi sebuah kebijakan operasional di lapangan dalam rangka efisiensi hasil tebangan sekaligus mengurangi limbah kayu hasil tebangan yang tidak dapat dimanfaatkan. Contoh lain, kegiatan litbang terhadap besarnya laju permukaan air (run off) sebagai akibat praktek kegiatan pembalakan di kawasan kawasan bekas tebangan dengan memperbandingkan laju permukaan air di areal hutan primer. Hasil penelitian tersebut selanjutnya akan direkomendasikan sebagai kebijakan kelola lingkungan maupun pemantauan lingkungan. Demikian pula di bidang sosial budaya, dilakukan penelitian terhadap perkembangan diversifikasi mata pencarian serta dampaknya terhadap praktek perladangan berpindah. Hasil penelitian tersebut akan digunakan sebagai salah satu bahan untuk membuat deliniasi kawasan pemukiman dan perladangan, sekaligus sebagai salah satu bahan kajian perkembangan tingat kesejahteraan masyarakat desa hutan. Berbagai kegiatan litbang yang dilakukan intern PT. SBK pada perusahaan. Kategori kegiatan litbang kedua yang dilakukan manajemen PT. SBK di areal konsesi hutannya adalah kegiatan litbang yang dilakukan divisi litbang PT. SBK bekerjasama dengan institusi eksternal perusahaan, antara lain Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian Pemerintah, LSM, lembaga donor dan institusi lainnya.
Dalam konteks tersebut, masing-masing pihak memiliki kepentingan
dengan kegiatan kerjasama litbang yang dilakukan. Misalnya, PT. SBK 162
Pengertian aplikatif – pragmatis disini digunakan untuk menjelaskan bahwa kegiatan penelitian atau pengembangan yang dilakukan oleh internal perusahaan benar-benar bersifat praktis sekaligus diupayakan bagi kepentingan-kepentingan praktis di lapangan. Karenanya, dalam format dokumen tertulisnya pun tidak terlalu mempertimbangkan referensi atau kepustakaan.
bekerjasama
dengan
Fakultas
Kehutanan
IPB
dalam
mengkaji
kondisi
keanekaragaman hayati pasca aktivitas penebangan di areal bekas tebangan (logged over area). Tujuannya jelas, mengukur sejauh mana dampak kegiatan penebangan. Kerjasama lain yang melibatkan Lembaga donor –Natural Resources Management Project atau NRMP bersama-sama dengan USAIDadalah penelitian tentang dampak ekonomi, ekologi dan sosial budaya penerapan metode pemanenan ramah lingkungan atau Reduced Impact Logging (RIL). Berbagai bentuk kerjasama penelitian dan pengembangan yang melibatkan berbagai institusi tersebut di atas sangat penting karena memberikan manfaat yang bersifat resiprositas. Pihak PT. SBK seringkali memanfaatkan kerjasama kemitraan dalam bidang penelitian dan pengembangan dengan institusi eksternal ini dengan cara menindaklanjuti hasil-hasil penelitian internalnya. Biasanya, dalam rangka menemukan solusi praktis atas berbagai persoalan di lapangan, divisi litbang internal PT. SBK melakukan kegiatan riset dan kajian. Pada umumnya, kegiatan riset yang dilakukan tidak terlalu mengedepankan mekanisme atau tahapan kegiatan sebuah penelitian dengan berbagai metode pendekatan, teori yang menjadi latar belakang sekaligus pisau atau alat analisanya
dan sebagainya.
Melalui kerjasama atau kemitraan penelitian dan pengembangan dengan institusi luar –terlebih lembaga penelitian atau institusi pendidikan- PT. SBK berupaya menyempurnakan berbagai hasil riset dan penelitiannya dengan melengkapi berdasarkan metode pendekatan serta teori dan kepustakaan sebagai pisau analisanya. Dengan demikian, secara metodologis dan akademik penelitian yang dilakukan PT. SBK dapat dipertanggungjawabkan. Terakhir, kategorisasi kegiatan penelitian dan pengembangan di PT. SBK dilakukan oleh pihak eksternal dimana PT. SBK hanya bertindak selaku host atau fasilitator. Dalam konteks ini, substansi yang menjadi sumber kajian atau penelitian tentu saja memiliki korelasi dengan kepentingan PT. SBK. Baik kepentingan langsung maupun tidak langsung.