SELEKSI KEKERINGAN IN VITRO ENAM BELAS NOMOR TANAMAN TERUNG (Solanum melongena L.) DENGAN POLIETILENA GLIKOL (PEG)
ERNA SIAGA
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Seleksi Kekeringan In Vitro Enam Belas Nomor Tanaman Terung (Solanum melongena L.) dengan Polietilena Glikol (PEG adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Erna Siaga NIM A24100157
ABSTRAK ERNA SIAGA. Seleksi Kekeringan In Vitro Enam Belas Nomor Tanaman Terung (Solanum melongena L.) dengan Polietilena Glikol (PEG). Dibimbing oleh AWANG MAHARIJAYA dan MEGAYANI SRI RAHAYU Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh beberapa konsentrasi polietilena glikol (PEG) terhadap pertumbuhan tanaman terung in vitro, mendapatkan konsentrasi PEG yang dapat digunakan untuk seleksi tanaman terung secara in vitro dan nomor terung toleran terhadap cekaman kekeringan. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini disusun dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi PEG terdiri atas 0, 5, 10, dan 15%. Faktor kedua adalah nomor terung terdiri atas enam belas nomor (Kania F1, 001, 007, 013, 016, 030, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan PEG pada media in vitro memberikan pengaruh nyata dan sangat nyata pada persentase hidup eksplan, persentase eksplan berkalus, pertambahan tinggi tunas, dan jumlah daun tanaman terung. Media PEG 10 dan 15% merupakan media yang dapat digunakan untuk seleksi kekeringan tanaman terung in vitro. Nomor terung Kania F1, 001, 007, 016, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090 merupakan nomor-nomor terung yang toleran terhadap cekaman kekeringan.. Kata kunci: kekurangan air, kultur jaringan, seleksi in vitro, solanaceae, toleran ABSTRACT ERNA SIAGA. In Vitro Selection of Sixteen of Eggplant (Solanum melongena L.) Accessions with Polyethylene Glycol (PEG) to drought resistance. Supervised by AWANG MAHARIJAYA and MEGAYANI SRI RAHAYU The objectives of this study were to study the effect of several concentrations of polyethylene glycol (PEG) on the in vitro growth of eggplant, to find the appropriate PEG concentration for in vitro selection to drought resistance of eggplant and the drought tolerant eggplant accessions. The experiment was conducted at the Laboratory of Tissue Culture, Department of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural University. The experiment was laid on a completely randomized design with two factor. The first factor was concentration of PEG ( 0, 5, 10, and 15% ) while the second factor was eggplant accessions (Kania F1, 001, 007, 013, 016, 030, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, and 090 ). The results showed that the addition of PEG to in vitro media significantly affected the survival percentage, the percentage of callus, developed the bud and the number of leaves of eggplant. Addition of PEG 10 and 15% in media can be used as the drought resistance selective agent of eggplant in vitro. Kania F1, 001, 007, 016, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, and 090 were eggplant accessions which might be tolerant to drought resistance. Keywords: in vitro selection, solanaceae, tissue culture, tolerant, water deficiency
SELEKSI KEKERINGAN IN VITRO ENAM BELAS NOMOR TANAMAN TERUNG (Solanum melongena L.) DENGAN POLIETILENA GLIKOL (PEG)
ERNA SIAGA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak Januari sampai Juli 2014 dengan judul Seleksi Kekeringan In Vitro Enam Belas Nomor Tanaman Terung (Solanum melongena L.) dengan Polietilena Glikol (PEG). Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr Awang Maharijaya, SP MSi dan Ir Megayani Sri Rahayu, MS selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan arahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Dr Ir Diny Dinarti, MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulisan skripsi ini. 3. Dr Ir Sudradjat, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di Departemen Agronomi dan Hortikultura. 4. Kedua orang tua dan keluarga atas doa dan dorongan semangat yang selalu dicurahkan. 5. Ibu Juariah sebagai staf laboratorium dan teman lab ( Kak Tika, Kak Kiki, Kak Erick, Kak Elin, Bu Tendy, dan Bu Indri) atas bantuannya selama penelitian di laboratorium. 6. PT Bukit Asam Tanjung Enim Tbk. selaku penyandang dana yang telah membiayai pendidikan S1 penulis di Institut Pertanian Bogor. 7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu serta seluruh teman-teman seperjuangan AGH 47 dan BUD Lahat. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat. Bogor, Oktober 2014 Erna Siaga
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Hipotesis Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Terung
2 2
Kultur Jaringan
3
Kebutuhan Air Tanaman
4
Cekaman Kekeringan
4
Seleksi Tanaman Cekaman Kekeringan dengan PEG
5
METODE PENELITIAN
6
Lokasi dan Waktu Penelitian
6
Bahan penelitian
6
Peralatan Penelitian
6
Prosedur Penelitian
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum
9 9
Persentase Hidup Eksplan
11
Persentase Eksplan Berkalus
14
Pertambahan Tinggi Tunas
16
Jumlah Daun
18
KESIMPULAN DAN SARAN
19
Kesimpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
DAFTAR LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL 1 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung dan konsentrasi PEG terhadap persentase hidup eksplan tanaman terung 11 2 Persentase hidup 16 nomor eksplan tanaman terung pada media seleksi kekeringan in vitro 12 3 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase hidup eksplan tanaman terung 12 4 Uji F persentase hidup eksplan nomor-nomor tanaman terung selama 3 MSP 13 5 Pengaruh konsentrasi PEG 10% dan PEG 15 % terhadap persentase eksplan hidup pada tanaman terung 14 6 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung dan konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan berkalus pada tanaman terung 15 7 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan berkalus pada tanaman terung 15 8 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung dan konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman terung 16 9 Pengaruh nomor terung terhadap pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman terung 16 10 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman terung 17 11 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung dan konsentrasi PEG terhadap jumlah daun per botol eksplan tanaman terung 18 12 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun per botol eksplan tanaman terung 18
DAFTAR GAMBAR 1 Planlet tanaman terung, (a) planlet tanaman terung dari benih, (b) planlet tanaman terung dari subkultur
9
2 Planlet tanaman terung yang terkontaminasi , (a) planlet tanaman terung terkontaminasi cendawan, (b) planlet tanaman terung terkontaminasi bakteri 10 3 Media perlakuan berupa MS0 cair dengan PEG, (1) Media cair MS0, (2) Kertas saring, (3) Busa, (4) Eksplan stek satu mata tunas 10 4 Kondisi eksplan tanaman terung nomor 013 saat 3 MSP, (a) PEG 0%, (b) PEG 5%, (c) PEG 10%, (d) PEG 15% 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi Media Murashige and Skoog (MS) 1962
23
PENDAHULUAN Latar Belakang Terung (Solanum melongena L) merupakan salah satu tanaman sayuran asli daerah tropik yang cukup terkenal di Indonesia dan mudah ditemukan di pasar tradisional dengan harga relatif murah. Buah terung mengandung vitamin A, B1, B2, C, P dan fosfor serta memiliki manfaat sebagai obat tradisional seperti obat gatal pada kulit, obat sakit gigi, wasir dan tekanan darah tinggi (Hastuti 2007). Prospek pengembangan komoditas sayuran di Indonesia sangat baik karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta potensi pasar yang terbuka lebar, baik di dalam negeri maupun luar negeri (Zulkarnain 2010). Terung merupakan sayuran yang memiliki potensi sangat baik untuk dikembangkan di Indonesia saat ini. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan kesadaran untuk hidup sehat berdampak terhadap peningkatan konsumsi sayuran termasuk terung. Data konsumsi kalori (Kkal) per kapita per hari komoditas sayuran pada bulan Maret 2013 sebesar 34.96 dan meningkat menjadi 36.71 pada bulan September 2013 (SUSENAS BPS 2014). Terung merupakan satu-satunya komoditas sayuran yang tidak diimpor oleh Indonesia bahkan justru diekspor sebanyak 1 277 ton pada tahun 2012 (Deptan 2013). Produksi terung nasional dari tahun 1997- 2011 yaitu sebanyak 279 516 ton tahun-1 hingga mencapai 519 646 ton tahun-1 (BPS 2013). Produksi terung Indonesia tersebut masih tergolong rendah. Menurut data FAO (2012) produksi terung Indonesia menempati posisi keenam di dunia dengan nilai produksi sebesar 518 827 ton, jauh lebih rendah dibandingkan China yang mencapai produksi 28 800 000 ton sehingga pengembangan tanaman terung perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi terung nasional. Rendahnya angka produksi dapat disebabkan karena penurunan luas area tanam dan rendahnya produktivitas. Luas area tanam terung Indonesia menurut FAO (2012) adalah 50 431 ha. Rata-rata produktivitas terung dunia sebesar 15 ton ha-1. China mampu mencapai produktivitas 35 ton ha-1 sedangkan produktivitas terung Indonesia masih lebih rendah dari produktivitas terung dunia yaitu 10 ton ha-1 (FAO 2012). Cekaman kekeringan merupakan salah satu permasalahan utama yang terjadi pada lahan-lahan pertanaman saat ini. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim yang tidak menentu dan menurunnya ketersedian air tanah akibat dari persaingan penggunaan air tanah untuk kebutuhan industri (Efendi et al. 2010). Hal tersebut menjadikan lahan pertanaman tidak selamanya ideal untuk pertumbuhan tanaman sehingga pengembangan jenis terung yang toleran kekeringan perlu dilakukan demi peningkatan produksi terung nasional. Program ekstensifikasi pertanian saat ini pun hanya dapat dilakukan dengan pembukaan areal yang umumnya marjinal, seperti pemanfaatan lahan kering dengan kendala cekaman kekeringan. Salah satu tahapan metode yang dapat dilakukan dalam mengembangkan tanaman terung toleran kekeringan adalah seleksi kekeringan berbagai jenis terung secara in vitro. Penggunaan seleksi in vitro merupakan alternatif untuk mendapatkan tanaman toleran cekaman kekeringan. Indriani et al. (2009) menyatakan bahwa seleksi kekeringan tanaman kedelai secara in vitro dapat dilakukan dengan memberikan simulasi kekeringan dengan menggunakan
2 polietilena glikol (PEG). PEG merupakan senyawa yang dapat menurunkan potensial osmotik larutan melalui aktivitas matriks sub-unit etilena oksida yang mampu mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen. Penyiraman larutan PEG ke dalam media tanam tanah diharapkan dapat menciptakan kondisi cekaman kekeringan karena ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang sedangkan penambahan larutan PEG dalam media in vitro diharapkan dapat mensimulasi kondisi cekaman kekeringan. Penggunaan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5–20% pada media in vitro diharapkan dapat menciptakan potensial osmotik yang setara dengan kondisi tanah kapasitas lapang dan titik kelembaban kritis sehingga eksplan memberikan respon yang sama dengan tanaman yang mengalami cekaman di lapangan (Rahayu et al. 2005).
Tujuan Penelitian 1. Mempelajari pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan tanaman terung in vitro 2. Mendapatkan konsentrasi PEG yang dapat digunakan untuk seleksi kekeringan tanaman terung secara in vitro 3. Mendapatkan nomor terung toleran terhadap cekaman kekeringan
Hipotesis Penelitian 1. Terdapat pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan tanaman terung in vitro 2. Terdapat konsentrasi PEG yang dapat digunakan untuk seleksi kekeringan tanaman terung secara in vitro 3. Terdapat nomor tanaman terung yang toleran terhadap cekaman kekeringan
TINJAUAN PUSTAKA Terung Terung (Solanum melongena L.) dengan nama lain brinjal atau aubergin, merupakan tanaman bernilai ekonomi penting di beberapa negara (Furini dan Wunder 2004). Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari India (Prabhu et al. 2009) dan menyebar ke Amerika, Eropa dan Asia (Sekara et al. 2007). Tanaman terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman setahun berumur pendek di daerah tropika dan dibudidayakan sebagai tanaman setahun di wilayah iklim sedang. Tinggi tanaman antara 0.5-2.5 cm dengan tipe pertumbuhan indeterminate. Akar tunggang kuat, daun besar tunggal berselangseling. Bunga terung termasuk bunga sempurna, biasanya tumbuh berlawanan dengan daun, bukan pada ketiak daun (Rubatzki dan Yamaguchi 1999)
3 Suhu optimum harian untuk pertumbuhan dan produksi buah terung berkisar 25-350C. Jika ditumbuhkan dibawah rentang suhu optimum, pertumbuhan terung akan sangat lambat (George dan Raymond 1999). Syarat pertumbuhan terung yaitu sebaiknya ditanam pada tanah lempung berpasir yang kaya bahan organik, berdrainase dan beraerasi baik, dan keasaman pH 6.8-7.3. Terung ditanam di dataran rendah sampai ketinggian kurang lebih 100 mdpl, dan mendapat sinar matahari langsung yang cukup (LPTP 1996). Menurut Yanto (2008), Tanaman terung dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Plantae : Spermatophyta Sub- divisi Kelas : Dycotyledone Ordo : Tubyflorae Family : Solanaceae Genus : Solanum Spesies : Solanum melongena L. Hastuti (2007) melaporkan bahwa kriteria varietas terung ternyata tidak hanya berupa bentuk, ukuran, dan warna kulit saja, tetapi juga disertai dengan panjang dan diameter buah serta berat buah per gram untuk memudahkan pengenalan varietas terung. Saat ini telah ada perusahaan yang khusus memproduksi benih terung dengan kualitas yang baik. Biasanya macam varietas terung tersebut dibedakan berdasarkan bentuk, ukuran dan warna buah yang bervariasi seperti pada varietas terung Mustang, Pingtung Long, Extra Long, Black Coral, Early Bird, Black King, Vista, Dusky dan Ichiban PS (Samadi 2001).
Kultur Jaringan Kultur jaringan tanaman didasarkan pada konsep bahwa tanaman dapat dipisah–pisahkan menjadi bagian–bagian (organ, jaringan atau sel) yang dapat dimanipulasi secara in vitro sehingga masing–masing bagian tanaman dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap (Caponetti et al. 2000). Konsep ini dikemukakan oleh Schleiden dan Schawn yang dinamakan konsep totipotency cell. Totipotency adalah total genetik potensial dimana dalam tubuh multiseluler setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigotnya yang mampu memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (George dan Sherington 1984). Dalam kultur jaringan dikenal tiga jenis media yang digunakan yaitu media padat, semi padat dan cair. Pertumbuhan kultur dan laju pembentukan tunas dipengaruhi oleh keadaan fisik dari media (Wattimena et al. 2011). Menurut Torres (1957) media kultur jaringan mengandung beberapa komponen : hara makro, hara mikro, vitamin, asam amino, nitrogen, gula, pelengkap organik yang tidak diketahui, dan zat pengatur tumbuh. Media kultur jaringan berperan penting karena tanaman yang dikulturkan hanya mendapatkan hara untuk pertumbuhannya dari media tersebut. Manfaat utama dari aplikasi teknik kultur jaringan tanaman adalah perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman yang sifat genetiknya
4 identik satu sama lain. Selain itu, teknik kultur jaringan pun bermanfaat dalam beberapa hal khusus seperti perbanyakan klon secara cepat, keragaman genetik, kondisi aseptik, seleksi tanaman, stok tanaman mikro, lingkungan terkendali, pelestarian plasma nutfah, produksi tanaman sepanjang tahun, memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak secara vegetatif konvensional (Zulkarnain 2011).
Kebutuhan Air Tanaman Iklim berperan penting dalam penentuan jenis dan kultivar tanaman yang dapat dibudidayakan. Keberhasilan produksi tanaman mensyaratkan penggunaan daya iklim seperti penyinaran matahari, karbon dioksida dan air secara efisien. Keseimbangan air adalah faktor iklim utama yang mempengaruhi pertanian seluruh daerah tropik (Goldsworthy dan Fisher 1996). Air berfungsi sebagai pelarut hara berperan dalam translokasi hara dan fotosintesis (Fitter dan Hay 1994). Kebutuhan air tanaman dipengaruhi iklim, tanah, irigasi dan teknik budidaya. Air yang masuk kedalam tanah dapat kembali ke udara dengan penguapan langsung dari permukaan tanah atau melalui transpirasi oleh tumbuhan (Arsyad 1989). Menurut Handoko (1995) keadaan air tanah terdapat dua istilah ETp (evapotranspirasi potensial) dan ETa (evapotranspirasi aktual). ETp adalah evapotranspirasi yang terjadi pada keadaan kapasitas lapang dan ETa terjadi pada keadaan sebenarnya. Kapasitas lapang adalah jumlah air yang ditahan oleh tanah setelah kelebihan air gravitasi meresap kebawah, sedangkan titik layu permanen merupakan kandungan air tanah pada saat tanaman diatasnya mengalami layu permanen, yaitu tidak dapat dipulihkan kembali meskipun telah diberikan air yang cukup (Soepardi 1983).
Cekaman Kekeringan Cekaman kekeringan adalah keadaan lingkungan yang menyebabkan kekurangan air bagi tanaman (Kramer 1969). Bray (1997) menyatakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung pada jumlah air yang hilang, tingkat kerusakan dan lama cekaman kekeringan dan juga sangat tergantung pada genotipe tanaman, lama dan jenis penyebab kehilangan air, umur dan fase perkembangan, tipe organ dan tipe seldan bagian-bagian sub seluler. Kehilangan air pada tingkat seluler dapat menyebabkan perubahan konsentrasi senyawa osmotik terlarut, perubahan volume sel dan bentuk membran, perubahan gradien potensial air, kehilangan turgor, kerusakan atau kehancuran integrasi membran dan denaturasi protein. Cekaman kekeringan dapat menurunkan tinggi, lebar daun, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang, bobot kering daun dan bobot kering akar tanaman terung (Byari dan Al-Rabighi 1995). Penambahan PEG dalam media in vitro nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan eksplan tunas kacang tanah yang ditanam secara in vitro dan perlakuan PEG 5% nyata menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah daun (Rahayu et al. 2005). Aazami et al. (2010) melaporkan bahwa empat kultivar tomat menumbuhkan kalus pada kondisi
5 tercekam kekeringan in vitro dengan penambahan PEG. Hartanti et al. (2011) juga menyatakan adanya respons pembentukan kalus yang berbeda antara media tanpa PEG dan media diberi PEG. Kalus yang terbentuk pada eksplan di media tanpa PEG bertekstur kompak yang ditandai dengan bentuknya yang terorganisir dan terlihat padat sedangkan kalus yang terbentuk pada eksplan di media yang diberi PEG memiliki tekstur yang remah. Banyo dan Nio (2011) melaporkan bahwa respons tanaman terhadap kekurangan air pada umumnya ditunjukkan dengan penurunan konsentrasi klorofil daun. Respons morfologi dan struktur anatomi daun terkait dengan mekanisme adaptasi terhadap kekeringan pada terung telah diteliti oleh Fu et al. (2013). Kerapatan dan jumlah trikom bagian atas daun terung lebih tinggi serta meningkat sekitar 20% pada kondisi tercekam sedangkan jumlah kloroplas per sel lebih rendah dan bentuknya menjadi bulat dengan struktrur membran yang rusak, jumlah granul osmiophilic meningkat dan jumlah butir pati menurun. Langenkamper et al. (2001) juga menyatakan bahwa terjadi penumpukan fibrillin/ protein-protein CDSP34 di kromoplas pada buah dan daun tanaman Solanaceae yang tercekam kekeringan. Seleksi terhadap 19 nomor tanaman terung toleran kekeringan melalui metode tanpa pemberian air selama 45 hari telah dilakukan di green house. Metode tanpa pemberian air selama 45-72 hari dapat digunakan untuk menyeleksi nomor tanaman terung toleran kekeringan (Sudarmonowati et al. 2012). cDNAAFLP dan Q-PCR juga dapat digunakan untuk mempelajari ekspresi gen kecambah tanaman terung pada suhu 430C ( Li et al. 2011). Menurut Jiban (2001) toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu (1) melepaskan diri dari cekaman kekeringan (drought escape), (2) bertahan terhadap kekeringan dengan tetap menjaga potensial air yang tinggi dalam jaringan (drought avoidance), dan (3) bertahan terhadap kekeringan dengan potensial air jaringan yang rendah (drought tolerance).
Seleksi Tanaman Cekaman Kekeringan dengan PEG Seleksi in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan polietilena glikol (PEG) atau manitol sebagai agen penyeleksi untuk mengidentifikasi sel atau jaringan tanaman kacang tanah yang tidak sensitif karena PEG atau manitol (Sumarjan dan Hemon 2009). Kemampuan PEG untuk menurunkan potensial air diharapkan dapat berfungsi sebagai kondisi selektif untuk menduga respon jaringan tanaman terhadap cekaman kekeringan dan mengisolasi sel/ jaringan varian yang mempunyai fenotipe cekaman toleran (Badami dan Amzeri 2010). Rahayu et al. (2005) melaporkan bahwa larutan PEG dalam media in vitro bersifat menghambat pertumbuhan tunas kacang tanah dan meningkatkan kandungan prolin total jaringan sehingga diduga mampu mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan dalam media in vitro. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan epikotil kacang tanah. Respons tunas kacang tanah terhadap media dengan penambahan PEG 15% dapat digunakan sebagai alternatif metode untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap cekaman kekeringan.
6 PEG merupakan jenis polimer linier larut air yang dibentuk dengan penambahan reaksi ethylene oxide (EO) dengan monoethylene glycols (MEG) atau diethylene glycol. PEG tersedia dengan berat molekul berkisar 200 sampai 8000, rentang yang besar tersebut sangat memungkinkan dibuat dalam aplikasi yang berbeda-beda. Adapun level PEG yaitu 200, 300, 400, 600 berbentuk cair , PEG 1000 , 1500 berbentuk cair lembut (putih) dan PEG 2000, 3000, 4000, 6000, dan 8000 berbentuk cair kasar (putih). Rentang besar berat molekul PEG tersebut menjadikan PEG dapat digunakan dalam berbagai metode fisika, seperti pelarut, higroskopik, tekanan uap, peleleh atau titik beku, dan variabel viskositas (ARPC 2004). PEG juga disebut macrogols di Industri Farmasi Eropa yang dibuat dari polymerization of ethylene oxide (EO) dengan tambahan air, monoethylene glycol atau diethylene glycol sebagai material awal dan dikatalis oleh alkaline. Adapun struktur kimianya yaitu HO-[CH2-CH2-O]n-H, dengan (n) sebagai nomor unit EO (Henning 2002). Hal penting dari PEG adalah kemampuannya larut dalam air yang membuat PEG sangat ideal digunakan dalam berbagai produk, yang diantaranya yaitu produk obat-obatan (pembuatan tablet, kapsul dan salep), kosmetik (cream, lotion, jelly, dan bedak bubuk), dan produk rumah tangga (deterjen dan pembersih lantai) (ARPC 2004).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari – Juli 2014.
Bahan Penelitian Penelitian seleksi kekeringan ini menggunakan 16 nomor tanaman terung sebagai bahan tanaman yang akan diseleksi. Nomor-nomor tanaman terung tersebut berasal dari petani terung daerah lahan pertanian yang cenderung kering. Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini yaitu bahan tanaman yang berupa stek satu mata tunas dari planlet 16 nomor tanaman terung (Kania F1, 001, 007, 013, 016, 030, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090 ). Bahan media kultur Murashige dan Skoog 0 (MS0) yang digunakan meliputi agar sebagai bahan pemadat, akuades, gula, kertas saring, dan busa. Bahan kimia yang digunakan meliputi alkohol 96% dan bahan pemutih komersial yang mengandung natrium hipoklorit, KOH 1 N sebagai pengatur keasaman larutan media, dan polietilena glikol (PEG).
7 Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan yaitu berupa laminar airflow cabinet, autoklaf listrik, botor kultur, timbangan analitik, pH meter dan peralatan tanam standar laboratorium.
Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah nomor tanaman terung dan faktor kedua adalah konsentrasi PEG. Nomor tanaman terung terdiri atas 16 nomor yaitu Kania F1, 001, 007, 013, 016, 030, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090 dan konsentrasi PEG terdiri atas empat taraf yaitu 0, 5, 10, dan 15 % yang setara dengan tekanan osmotik 0, -0.13, -0.19, dan -0.41 Mpa (Mexal et al. 1975) sehingga terdapat 64 kombinasi perlakuan. Tiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 192 satuan percobaan. Penelitian menggunakan rancangan lingkungan berupa Rancangan Acak lengkap (RAL). Penambahan PEG dalam media menyebabkan media akan menjadi cair (medium cair) sehingga untuk mencegah eksplan tidak tenggelam maka digunakan busa dan kertas saring. Eksplan yang digunakan pada media perlakuan PEG berupa stek satu mata tunas dengan ukuran 0.5 cm yang diperoleh dari planlet tanaman terung hasil subkultur. Eksplan ditanam di atas busa yang telah dilubangi dengan diameter 2 mm pada media perlakuan yang berupa media cair. Model linier rancangan yang digunakan adalah: Yijk
= µ + αi + βj + Ɣ k + (αβ)ij + εijk
Keterangan: = nilai pengamatan karena ada pengaruh dari nomor terung ke-i dan Yijk konsentrasi PEG ke-j (i= 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16, j= 1, 2, 3, 4) µ = nilai rataan umum αi = nilai tambahan karena pengaruh perlakuan nomor terung ke-i βj = nilai tambahan karena pengaruh perlakuan konsentrasi PEG ke-j (αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan nomor terung ke-i dan konsentrasi PEG ke-j εijk = galat pada perlakuan nomor terung ke-i dan konsentrasi PEG ke-j Pelaksanaan penelitian ini disusun dalam lima tahap yaitu sebagai berikut. a. Sterilisasi alat-alat tanaman Alat-alat yang digunakan untuk penanaman secara in vitro disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 17.5 psi selama 60 menit. Perhitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tercapainya tekanan yang diinginkan. Alat-alat yang perlu disterilkan adalah pinset, gunting, cawan petri, botol-botol kultur, dan akuades. Laminar air flow cabinet disterilisasi dengan sinar UV dan
8 blower yang dibiarkan menyala selama satu jam sebelum digunakan, serta dilakukan penyemprotan alkohol 96% pada bagian dinding dan dasar laminar sebelum digunakan. b. Pembuatan media tanam in vitro Media yang digunakan terdiri atas media padat MS0 dan media seleksi dengan penambahan PEG 6000 sesuai pelakuan. Media tanam benih in vitro yang digunakan berupa media padat Murashige dan Skoog 0 (MS0) yang mengandung hara makro dan mikro. Pembuatan media dilakukan dengan pembuatan larutan stok hara MS yang terdiri dari stok A, B, C, D, E, F, myo-inosol, dan vitamin. Selanjutnya, larutan media tersebut dimasukkan dalam gelas ukur dan ditambah larutan gula sebanyak 30 gl-1 lalu ditera dengan akuades hingga volume 1liter. Proses pengaturan pH hingga mencapai derajat keasaman media sekitar 5.8 – 6.2 dilakukan melalui penambahan KOH 1 N. Larutan kemudian dituangkan ke dalam panci untuk dimasak bersama dengan agar sebanyak 7 gl-1. Media yang sudah jadi dituangkan ke dalam botol-botol kultur yang telah disterilisasi terlebih dahulu sebanyak 20 ml/botol. Botol- botol kultur tersebut kemudian ditutup plastik dan disterilisasi lagi dengan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 17.5 psi selama 20 menit. Media seleksi untuk perlakuan terdiri atas komposisi hara makro dan mikro berupa media MS0 cair dengan penambahan PEG 6000. Pembuatan media diawali dengan mencampurkan larutan hara stok A, B, C, D, E, F, myo-inosol, dan vitamin. Selanjutnya, larutan media tersebut dimasukkan dalam gelas ukur dan ditambah larutan gula sebanyak 30 gl-1 dan PEG 6000 (0, 5, 10, dan 15%) lalu ditera dengan akuades hingga volume 1 liter dan diaduk hingga larut serta dilakukan pengaturan pH hingga berkisar 5.8 – 6.2 melalui penambahan KOH 1 N. Media seleksi sebanyak 25 ml dituangkan dalam botol kultur (volume 150 ml) yang telah diisi secara berturut-turut dengan kertas saring dan busa dengan ukuran 4 × 4 × 0.5 cm. Botol kultur kemudian ditutup dengan lembaran plastik tahan panas dan disterilkan dengan pemanasan selama 20 menit pada suhu 121°C dan tekanan udara 1.2 bar menggunakan autoklaf (Rahayu et al. 2005) c. Sterilisasi benih terung Benih terung disterilkan dengan direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 60 menit kemudian dicuci dengan menggunakan larutan deterjen dan dibilas dengan air mengalir selama 30 menit. Setelah itu, benih terung dimasukkan ke dalam larutan pemutih komersial 30% dikocok selama 20 menit, lalu dibilas dengan air steril dan dimasukkan kembali dalam larutan pemutih komersial 15%, lalu dibilas kembali dengan air steril. Benih steril dikecambahkan pada media MS0, diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25°C, dan diberi penyinaran (1000 lux) selama 24 jam. Benih terung yang berkecambah dipotong bagian epikotilnya dan disubkultur pada media MS0. Subkultur dilakukan sebanyak 3 kali. Buku-buku pada batang utama yang terdapat pada tanaman terung hasil subkultur dipotong dengan panjang 0.5cm dan digunakan sebagai eksplan.
9 d. Penanaman eksplan Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow. Eksplan yang telah dipotong ditanam dalam media kultur sesuai dengan jenis perlakuan masingmasing. Botol-botol kultur yang berisi eksplan lalu diletakkan dalam ruang kultur yang diberi penyinaran lampu TL 36 watt selama 24 jam per hari pada suhu 20 oC sejak awal penanaman hingga 3 MSP. e. Pengamatan Pengamatan dilakukan seminggu sekali dimulai sejak 1 hingga 3 minggu setelah perlakuan (MSP). Peubah yang diamati antara lain: 1. Persentase hidup eksplan yaitu persentase eksplan yang masih hidup selama 3 MSP 2. Persentase eksplan berkalus yaitu persentase eksplan yang menumbuhkan kalus selama 3 MSP 3. Pertambahan tinggi tunas yaitu pertambahan tinggi tunas pada eksplan selama 3 MSP 4. Jumlah daun per botol yaitu jumlah daun pada eksplan dalam satu botol selama 3 MSP
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian diawali dengan mengecambahkan benih terung pada media MS0 (Lampiran 1) selama dua minggu. Elimasni et al. (2006) menyatakan bahwa media MS0 adalah media yang terbaik untuk proliferasi dan diferensiasi eksplan tanaman terung secara in vitro. Perbanyakan planlet dilakukan dengan subkultur epikotil tanaman terung pada media MS0 selama empat minggu.
Gambar 1 Planlet tanaman terung a. Planlet tanaman terung dari benih b. Planlet tanaman terung dari subkultur
10 Tanaman terung tumbuh dengan baik selama dua minggu proses perkecambahan (Gambar 1a). Setelah dua minggu, epikotil tanaman dipotong dan ditanam pada media subkultur MS0 (Gambar 1b). Tanaman terung subkultur terlihat steril dan tumbuh dengan baik pada pengamatan minggu pertama dan kedua. Eksplan epikotil mulai membentuk kalus dan akar pada minggu pertama, lalu mulai mengalami pertambahan tinggi, jumlah tunas, dan jumlah daun pada minggu kedua hingga minggu keempat. Beberapa tanaman terung mulai terlihat terkontaminasi pada minggu ketiga subkultur (Gambar 2). Kontaminasi yang terlihat disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Cendawan dan bakteri yang tumbuh berasal dari pinggir botol dan permukaan media. Kontaminasi dapat muncul karena kurang sterilnya proses subkultur dan kondisi lingkungan.
Gambar 2 Planlet tanaman terung yang terkontaminasi a. Planlet tanaman terung terkontaminasi cendawan b. Planlet tanaman terung terkontaminasi bakteri
Gambar 3 Media perlakuan berupa MS0 cair dengan penambahan PEG. 1. Media cair MS0, 2. Kertas saring, 3. Busa, 4. Eksplan stek satu mata tunas.
11 Kondisi eksplan tanaman terung pada minggu pertama masih terlihat segar pada setiap media perlakuan (Gambar 3). Kondisi eksplan tanaman terung mulai terlihat mengalami perbedaan antar media perlakuan pada 2 dan 3 MSP. Pada 3 MSP, eksplan pada PEG 0% terlihat tetap segar dan tumbuh dengan baik, eksplan pada PEG 5% sebagian besar terlihat tetap berwarna hijau tetapi pertumbuhan tunasnya kerdil dan menghasilkan daun yang sedikit, eksplan pada PEG 10% sebagian besar terlihat menguning kecoklatan, dan eksplan pada PEG 15% sebagian besar terlihat berwarna coklat/mati (Gambar 4). Efektifitas PEG untuk menduga respon tanaman terung terhadap cekaman kekeringan in vitro diuji dengan mengevaluasi kemampuan bertahan hidup keenam belas nomor terung terhadap cekaman kekeringan. Kondisi selektif akibat penambahan PEG dalam media bersifat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel/jaringan yang peka (Badami dan Amzari 2010).
Gambar 4 Kondisi eksplan tanaman terung nomor 013 saat 3 MSP. a. PEG 0%, b. PEG 5%, c. PEG 10%, d. PEG 15%
Persentase Hidup Eksplan Persentase hidup eksplan tanaman terung dilihat dari warna eksplan tanaman terung. Tanaman yang berwarna hijau merupakan tanaman yang masih hidup sedangkan tanaman yang berwarna coklat merupakan tanaman yang sudah mati. Tabel 1 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung terhadap persentase hidup eksplan tanaman terung Umur Nomor Interaksi Nomor Terung dan PEG KK (%) terung Konsentrasi PEG (MSP) 1 tn tn tn 0 2 ** ** tn 12.88 3 * ** tn 22.89 **) berpengaruh sangat nyata p≤0.01 ; *) berpengaruh nyata p≤0.05 ; tn=tidak nyata; KK= Koefisien keragaman
Pengamatan persentase hidup eksplan tanaman dilakukan dari 1 sampai 3 MSP. Tabel 1 menunjukkan bahwa nomor terung memberikan pengaruh tidak
12 nyata pada 1 MSP, pengaruh sangat nyata pada 2 MSP dan nyata pada 3 MSP. PEG tidak berpengaruh nyata pada 1 MSP dan berpengaruh sangat nyata pada 2 dan 3 MSP. Interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata pada 1 hingga 3 MSP. Hal ini menunjukkan bahwa nomor terung dan PEG memberikan pengaruh terhadap persentase hidup eksplan tanaman terung. Tabel 2 Persentase hidup 16 nomor eksplan tanaman terung pada media seleksi kekeringan in vitro Eksplan Hidup (%) Nomor Terung 2 MSP 3 MSP a Kania F1 100.00 93.18 a ab 001 97.50 84.09 abc 007 97.50 ab 93.18 a bcd 013 85.00 72.73 bc 016 95.00 abc 90.91 ab d 030 75.00 68.75 c 034 82.50 cd 79.17 abc abc 035 90.63 84.09 abc abc 055 93.75 79.55 abc 057 100.00 a 85.00 abc abc 069 93.75 87.50 ab 071 100.00 a 97.50 a a 072 100.00 92.50 a 078 91.67 abc 90.00 ab ab 085 97.22 89.58 ab 090 88.89 abc 85.42 abc Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman terung nomor 013 dan 030 merupakan nomor terung yang toleran terhadap cekaman kekeringan pada uji lanjut DMRT. Persentase hidup eksplan tanaman terung nomor 013 dan 030 berbeda nyata dengan nilai persentase hidup eksplan tertinggi yaitu 97.50 % pada nomor 071. Tanaman terung Kania F1, 001, 007, 016, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090 merupakan nomor-nomor terung toleran terhadap cekaman kekeringan karena tidak berbeda nyata dengan nilai persentase hidup eksplan tertinggi. Tabel 3 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase hidup eksplan tanaman terung Eksplan Hidup (%) PEG (%) 2 MSP 3 MSP a a 0 97.22 (100.00 – 91.67) 94.79 (100.00 – 83.00) a 5 96.97 (100.00 – 83.33) 91.94 a (100.00 – 75.00) 10 94.82 a (100.00 – 67.00) 89.58 a (100.00 – 50.00) b 15 84.89 (100.00 – 66.67) 68.75 b (100.00 – 41.67) Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Angka dalam kurung adalah selang nilai persentase hidup yang didapat dalam pengamatan
13 Berdasarkan uji DMRT (Tabel 3) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi PEG yang diberikan pada media maka persentase hidup eksplan akan semakin rendah. Berdasarkan uji DMRT (Tabel 3), persentase hidup eksplan tanaman terung pada media PEG 0, 5 dan 10 % tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dibandingkan dengan media PEG 15%. Hal ini menunjukkan bahwa eksplan tanaman terung masih mampu bertahan pada media PEG 5 dan 10% dengan nilai rata-rata persentase hidup di atas 90%. Berdasarkan selang persentase hidup diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi PEG yang diberikan maka kemampuan membedakan nomor terung yang toleran dan tidak toleran semakin besar. Perlakuan pemberian PEG pada media mempengaruhi keberlangsungan hidup dan pertumbuhan eksplan tanaman terung yang ditanam. Tanaman terung dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kekeringan dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya. Meskipun terung diketahui lebih toleran terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya, tanaman terung memiliki tingkatan toleransi kekeringan yang beragam. Pada beberapa tingkatan cekaman kekeringan, proses fotosintesis dipertahankan lebih baik oleh tanaman terung daripada tanaman sayuran lainnya (Sudarmonowati et al. 2012). Kandungan air daun relatif (RWC) tanaman terung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata tanaman C3 yang didata oleh Ludlow (1976) sehingga hal ini mengindikasikan bahwa tanaman terung dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi cekaman kekeringan. Tabel 4 Uji F persentase hidup eksplan nomor-nomor tanaman terung pada 3 MSP MSP 1 2 3
0% tn tn tn
Respon nomor terung terhadap PEG 5% 10% tn tn tn tn tn *
15% tn * tn
**) berpengaruh sangat nyata p≤0.01 ; *) berpengaruh nyata p≤0.05 ; tn=tidak nyata
Hasil uji f Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase hidup eksplan tanaman terung mulai berbeda nyata pada media PEG 10% umur 3 MSP dan PEG 15% umur 2 MSP. Hal ini menunjukkan bahwa media PEG 10 dan 15% merupakan media yang dapat digunakan untuk seleksi kekeringan tanaman terung secara in vitro. Pada media PEG 10% umur 3 MSP, tanaman terung nomor 030 terseleksi sebagai nomor terung yang toleran terhadap cekaman kekeringan pada uji lanjut DMRT (Tabel 5). Persentase hidup eksplan tanaman terung nomor 030 berbeda nyata dengan nilai persentase hidup eksplan 100%. Tanaman terung Kania F1, 001, 007, 013, 016, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090 merupakan nomor-nomor terung yang toleran terhadap cekaman kekeringan karena tidak berbeda nyata dengan nilai persentase hidup eksplan 100%. Pada media PEG 15% umur 2 MSP, tanaman terung nomor 013, 030, dan 034 terseleksi sebagai nomor terung yang tidak toleran terhadap cekaman cekaman kekeringan pada uji DMRT (Tabel 5). Persentase hidup eksplan tanaman terung nomor 013, 030 dan 034 berbeda nyata dengan nilai persentase hidup eksplan 100%. Tanaman terung Kania F1, 001, 007, 016, 035, 055, 057, 069, 071,
14 072, 078, 085, dan 090 merupakan nomor-nomor terung yang toleran terhadap cekaman kekeringan karena tidak berbeda nyata dengan nilai persentase hidup eksplan 100%. Media PEG 15% memiliki kemampuan menyeleksi nomor terung yang tidak toleran cekaman kekeringan cukup banyak dan membutuhkan waktu hingga 2 MSP sedangkan media PEG 10% memiliki kemampuan menyeleksi nomor terung yang tidak toleran cekaman kekeringan hanya sedikit dan membutuhkan waktu hingga 3 MSP. Hal ini menunjukkan bahwa seleksi kekeringan tanaman terung in vitro dapat dilakukan melalui penambahan PEG 10% pada media dengan biaya yang dikeluarkan lebih murah tetapi waktu seleksi lebih lama atau melalui penambahan PEG 15% pada media dengan biaya yang dikeluarkan lebih mahal tetapi waktu seleksi lebih cepat. Tabel 5 Persentase hidup enam belas nomor eksplan tanaman terung pada media PEG 10 % (3 MSP) dan PEG 15% (2 MSP) Nomor Terung Kania F1 001 007 013 016 030 034 035 055 057 069 071 072 078 085 090
PEG 10% (3 MSP) 100.00 a 83.33 a 100.00 a 75.00 ab 100.00 a 50.00 b 75.00 ab 91.67 a 91.67 a 83.33 a 83.33 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a
PEG 15% ( 2 MSP) 100.00 a 91.67 ab 91.67 ab 66.67 b 83.33 ab 66.67 b 66.66 b 83.33 ab 83.33 ab 100.00 a 83.33 ab 100.00 a 100.00 a 83.33 ab 91.67 ab 75.00 ab
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Persentase Eksplan Berkalus Eksplan berkalus adalah eksplan yang membentuk kalus pada bagian jaringan eksplan yang ditanam. Kalus merupakan kumpulan sel yang belum terdiferensiasi yang biasanya berupa sel-sel parenkim (Hartmann et al.1990). Kalus pada media PEG 0, 5, 10 dan 15% terbentuk pada bagian eksplan yang mengalami luka akibat pemotongan. Eksplan berkalus diamati untuk melihat kemampuan berkalus dan perkembangan kalus eksplan pada media PEG.
15 Tabel 6 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung dan konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan berkalus pada tanaman terung Umur (MSP) 1 2 3
Nomor Terung tn tn tn
PEG ** ** **
Interaksi Nomor Terung dan Konsentrasi PEG tn tn tn
KK (%) 14.85 17.83 17.19
**) berpengaruh sangat nyata p≤0.01 ; *) berpengaruh nyata p≤0.05 ; tn=tidak nyata; KK= Koefisien keragaman; data di transformasi (x+0,5) ½ sebelum diolah menggunakan SAS
Rekapitulasi analisis sidik ragam Tabel 6 menunjukkan bahwa nomor terung dan interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh terhadap persentase eksplan berkalus tanaman terung mulai dari 1 hingga 3 MSP sedangkan PEG berpengaruh nyata terhadap persentase hidup tanaman terung mulai 1 hingga 3 MSP. Hal ini menunjukkan bahwa PEG memberikan pengaruh terhadap persentase eksplan berkalus pada tanaman terung. Tabel 7 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan tanaman terung Eksplan berkalus (%) PEG (%) 1 MSP 2 MSP 0 21.35 a 34.89 a 5 14.06 ab 34.89 a 10 10.94 b 25.00 a c 15 0.00 2.08 b
berkalus pada
3 MSP 52.08 a 47.92 a 27.08 b 2.60 c
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Tabel 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi PEG yang diberikan pada media maka persentase eksplan berkalus akan semakin rendah. Persentase eksplan berkalus pada media PEG 0% umur 3 MSP paling tinggi dibandingkan pada media PEG 5, 10, dan 15%. Persentase eksplan berkalus semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur eksplan. Berdasarkan uji DMRT, persentase eksplan berkalus pada media PEG 0 dan 5% tidak berbeda nyata. Persentase eksplan berkalus PEG 0 dan 5% terlihat berbeda nyata dibandingkan dengan persentase eksplan berkalus pada media PEG 10 dan 15%. Hal ini menunjukkan bahwa eksplan tanaman terung memiliki kemampuan menghasilkan kalus yang sama pada PEG 0 dan 5%. Kalus yang terbentuk pada media PEG 0 dan 5% terlihat berwarna putih kehijauan sedangkan kalus pada media PEG 10 dan 15% terlihat berwarna coklat. Kalus pada eksplan di PEG 5% umur 2 MSP, terlihat ada yang terdiferensiasi menjadi daun. Hartanti et al. (2011) menyatakan bahwa eksplan tanaman tembakau membentuk kalus pada media tanpa PEG berwarna putih kehijauan dengan tekstur kompak. Warna putih pada kalus menandakan keberadaan leukoplas yaitu butir-butir plastida yang tidak berwarna dan mengandung pati. Warna putih berubah menjadi putih kehijauan atau hijau dimana perubahan warna tersebut terjadi akibat sel mulai membentuk klorofil. Robbiani (2010)
16 menjelaskan bahwa kalus yang berwarna coklat merupakan respon oksidasi senyawa fenolik akibat pelukaan suatu jaringan eksplan.
Pertambahan Tinggi Tunas Tunas yang diamati pada eksplan yaitu tunas aksilar yang berasal dari stek mata tunas eksplan. Pertambahan tinggi tunas diukur dari dalam botol tanpa mengeluarkan eksplan. Mata tunas eksplan pada media PEG 0 dan 5% terlihat tumbuh menjadi tunas dan membentuk daun sedangkan mata tunas eksplan pada media PEG 10 dan 15% terlihat ada beberapa yang tumbuh namun banyak yang tidak tumbuh terutama eksplan pada media PEG 15%. Tabel 8 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh nomor terung dan konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman terung Umur Nomor Interaksi Nomor Terung PEG KK (%) Terung dan Konsentrasi PEG (MSP) 1 * ** tn 5.73 2 tn ** tn 10.23 3 tn ** tn 15.88 **) berpengaruh sangat nyata p≤0.01 ; *) berpengaruh nyata p≤0.05 ; tn=tidak nyata; KK= Koefisien keragaman; data ditransformasi (x+1) ½ sebelum diolah menggunakan SAS
Tabel 9 Pengaruh nomor terung terhadap pertambahan tinggi tunas pada tanaman terung Pertambahan Tinggi Tunas (cm) Nomor Terung 1 MSP Kania F1 0.13 ab 001 0.06 b 007 0.15 ab 013 0.06 b 016 0.09 b 030 0.04 b 034 0.09 b 035 0.06 b 055 0.16 ab 057 0.14 ab 069 0.05 b 071 0.27 a 072 0.13 ab 078 0.08 b 085 0.15 ab 090 0.14 ab Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Pembentukan tunas didefinisikan sebagai pembentukan daun dimana proliferasinya sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
17 Menurut George (2008), pembentukan tunas pada kultur in vitro lebih sering diinduksi pertama kali dibandingkan pembentukan akar supaya mekanisme fotosintesis kultur berlangsung lebih optimal. Tabel 8 menunjukkan bahwa nomor terung memberikan pengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tunas tanaman terung hanya pada 1 MSP dan tidak berbeda nyata pada 2 dan 3 MSP sedangkan PEG berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tunas tanaman terung mulai 1 hingga 3 MSP. Interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata pada 1 hingga 3 MSP. Pada 1 MSP, pertambahan tinggi tunas keenam belas nomor terung tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa PEG memberikan pengaruh terhadap pertambahan tinggi tunas tanaman terung. Tabel 10 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman terung Pertambahan Tinggi Tunas per Eksplan (cm) PEG (%) 1 MSP 2 MSP 3 MSP a a 0 0.25 0.43 0.36 a b b 5 0.14 0.23 0.14 b 10 0.06 c 0.04 c 0.02 c c c 15 0.01 0.00 0.00 c Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Semakin tinggi konsentrasi PEG yang diberikan pada media maka pertambahan tinggi tunas eksplan semakin rendah. Pertambahan tinggi tunas tanaman terung pada media PEG 0% paling tinggi dibandingkan pada media PEG 5, 10 dan 15% (Tabel 10). Berdasarkan uji DMRT, eksplan tanaman terung pada PEG 10 dan 15% memiliki pertambahan tinggi tunas yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dibandingkan dengan pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman terung pada PEG 0 dan 5%. Eksplan pada media PEG 15% memiliki pertambahan tinggi tunas terendah dengan nilai 0.00 cm. Hal ini menunjukkan bahwa PEG 15% pada media tidak dapat ditoleransi oleh eksplan untuk mendukung pertumbuhan tunas. Eksplan pada media PEG 15% tidak mengalami pertambahan tinggi mulai 2 dan 3 MSP. Penambahan PEG dalam media in vitro nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan eksplan tunas kacang tanah. Perlakuan PEG nyata menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah daun (Rahayu et al. 2005). Menurut Kong et al. (1998) PEG dalam media dapat menurunkan proliferasi dan pertumbuhan jaringan eksplan dan regenerasi tunas. Potensial osmotik media tumbuh merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap poliferasi tunas. PEG 15% yang ditambahkan ke dalam media mengakibatkan potensial air media lebih rendah dibandingkan potensial air sel sehingga senyawa makronutrien yang terkandung di dalam media tidak dapat berpindah ke dalam sel secara osmosis yang mengakibatkan tunas tidak tumbuh dan berkembang.
18 Jumlah Daun Jumlah daun yang diamati adalah jumlah daun pada eksplan yang telah membuka sempurna per botol. Perhitungan jumlah daun dimulai dari daun baru yang muncul. Daun tanaman terung sudah mulai tumbuh pada 1 MSP pada media PEG 0 dan 5% sedangkan daun pada media PEG 10 dan 15% hampir tidak ada karena tidak tumbuhnya mata tunas. Tabel 11 Rekapitulasi analisis ragam nomor terung dan konsentasi PEG terhadap jumlah daun per botol eksplan tanaman terung Umur Nomor Interaksi Nomor Terung PEG KK (%) Terung dan Konsentrasi PEG (MSP) 1 tn ** tn 10.96 2 tn ** tn 16.85 3 tn ** tn 18.92 **) berpengaruh sangat nyata p≤0.01 ; *) berpengaruh nyata p≤0.05 ; tn=tidak nyata; KK= Koefisien keragaman; data ditransformasi (x+3) ½ sebelum diolah menggunakan SAS
Tabel 11 menunjukkan bahwa nomor terung memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada 1 hingga 3 MSP sedangkan PEG berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tunas tanaman terung mulai 1 hingga 3 MSP. Interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata pada 1 hingga 3 MSP. Hal ini menunjukkan bahwa PEG memberikan pengaruh terhadap jumlah daun tanaman terung. Tabel 12 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun per botol eksplan tanaman terung Jumlah daun per botol PEG (%) 1 MSP 2 MSP 3 MSP 0 0.98 a 2.85 a 3.60 a 5 0.42 b 1.67 b 2.06 b c c 10 0.08 0.31 0.48 c c c 15 0.00 0.00 0.00 c Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Daun pada tanaman terbentuk dari tunas yang merupakan calon vegetatif tanaman yang berupa kuncup (Hartanti 2011). Tabel 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi PEG pada media maka jumlah daun eksplan yang tumbuh semakin rendah. Jumlah daun pada media PEG 0% paling tinggi dibandingkan pada media PEG 5, 10 dan 15%. Berdasarkan uji DMRT, jumlah daun per botol pada media PEG 10 dan 15% tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah daun per botol pada media PEG 0 dan 5%. Eksplan tanaman terung mampu membentuk daun hanya pada pada media PEG 0, 5, dan 10%. Eksplan pada media PEG 15% tidak menghasilkan daun pada 1 hingga 3 MSP. Hal ini terjadi karena tidak tumbuhnya tunas pada eksplan. Hal ini menunjukkan bahwa PEG 15% pada media tidak dapat ditoleransi oleh eksplan untuk membentuk daun. Byari dan Al-Rabighi (1995) menyatakan bahwa
19 kekeringan menyebabkan menurunnya jumlah daun secara signifikan pada tanaman terung. Kekeringan juga menurunkan bobot kering daun, batang dan akar tanaman terung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1.
2. 3.
Penambahan PEG pada media in vitro mampu menurunkan persentase hidup eksplan, persentase eksplan berkalus, pertambahan tinggi tunas, dan jumlah daun tanaman terung. Media PEG 10% dan 15% merupakan media yang dapat digunakan sebagai media seleksi kekeringan untuk tanaman terung secara in vitro. Tanaman terung Kania F1, 001, 007, 016, 034, 035, 055, 057, 069, 071, 072, 078, 085, dan 090 merupakan nomor-nomor tanaman terung yang toleran terhadap seleksi kekeringan.
Saran Perlu dilakukannya penelitian lanjutan seleksi kekeringan dilapangan terhadap nomor-nomor terung yang telah diduga toleran terhadap cekaman kekeringan secara in vitro.
DAFTAR PUSTAKA Aazami MA, Torabi M, Jalili E. 2010. In vitro response of promising tomato genotypes for tolerance to osmotic stress. African Journal of Biotechnology. 9(26): 4041-4017 Arsyad S, Bahrin S, Husainy A. 1992. Ilmu Iklim dan Pengairan. Jakarta (ID) :CV Yasaguna. 224p [ARPC] Arak Petrochemical Company. 2004. Chemical grade polietilena glikol (PEG) [internet]. [diunduh 2013 Nov 28]. Tersedia pada: www.arpc.ir.net [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi sayuran di Indonesia 1997-2013 [internet]. [ diunduh 2014 Sep 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_sub yek=55¬ab=70 Badami K, Amzeri A. 2010. Seleksi in vitro untuk toleransi terhadap kekeringan pada jagung (Zea mays L.) dengan polietilena glikol (PEG). Agrovigor. 3(1): 77-86 Bray EA. 1997. Plant responses to water defisit. Trend in Plant Science. 2(2):4854 Byari SH, Al-Rabighi SM. 1995. Morphological and physiological responses of eggplant cultivars (Solanum melongena L.) to drought. J.KAU: Met.Env,Arid Land Agric. Sci.6: 41-47
20 [Deptan]. 2013. Volume impor ekspor benih sayuran tahun 2011-2012[Internet]. [diunduh 2013 Nov 08]. Tersedia pada: http://hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=374&Itemid=689 [Deptan]. 2014. Volume impor dan ekspor sayuran tahun 2012 [Internet]. [ diunduh 2014 Sep 20]. Tersedia pada: http://hortikultura.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view= article&catid=57%3Aekspor-impor&id=336%3Anilai-impor-a-eksporsayuran-th-2012&Itemid=702 Desmarina R. 2009. Respon tanaman tomat terhadap frekuensi dan taraf pemberian air [skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 27p Efendi R. 2009. Tanggap genotipe jagung toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan pada fase perkecambahan. Prosiding Seminar Nasional Serealia; 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 82-91 Efendi R, Suwardi, Isnaini M. 2010. Metode dan penentuan karakter seleksi genotipe jagung terhadap cekaman kekeringan pada fase awal vegetatif. Pekan Serealia Nasional; 2010; Maros, Indonesia. Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia. 230-240 Elimasni, Nurwahyuni I, Sofyan MZ. 2006. Inisiasi in vitro biji muda terong belanda (Solanum betaceum Cav.) Berastagi Sumatera Utara pada komposisi media dan zat tumbuh yang berbeda. Jurnal Biologi Sumatera. 1(1): 15-19 [FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Top production eggplantaubergines. [Internet]. [diunduh 2014 September 10]. Tersedia pada: http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx Fitter AH, Hay RKM. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Andani S, Purbayanti ED, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press Furini A, Wunder J. 2004. Analysis of eggplant (Solanum melongena)-related germplasm: morphological and AFLP data contribute to phylogenetic interpretations and germplasm utilization. Theor Appl Genet. (108):197– 208. Fu QS, Yang RC, Wang HS, Zhao CL, Ren SX, Guo YD. 2013. Leaf morphological and ultrastructural performance of eggplant (Solanum melongena L.) in response to water cekaman. Photosynthetica. 51(10): 109- 114. George EF, Sherington PD. 1984. Handbook of Plant Propagation by Tissue Culture. England (GB): Eastern Press Ltd.709p. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor.165 hal. Goldsworthy, Fisher NM. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Tohari, penerjemah; Soedharoedjian, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. 2p Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta (ID): PT Dunia Pustaka Jaya. 192 hal Hartanti, Nurhidayati, Muryono. 2011. Budidaya tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L var Prancok 95) pada cekaman kekeringan polietilena glikol (PEG) secara in vitro. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember
21 Hartmann HT, Kester DE, Davies FT, Geneve RL. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices Sixth Edition. New Jersey (US): Prentice-Hall, Inc Hastuti LD. 2007. Terung tinjauan langsung ke beberapa pasar di kota bogor[skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara Henning T. 2002. Polietilena glikols (PEGs) and the pharmaceutical industry. Fine, Special & Performance Chemicals. Frankfurt (DE): Clariant GmbH 659226. 57-59p Indriyani S, Arumingtyas EL, Widoretno W. 2009. Pembentukan probe identifikasi gen tahan kering pada galur kedelai pasca perlakuan polietilena glikol (PEG) dengan metode pcr-sekuensing [Laporan Penelitian Hiba Bersaing]. Malang (ID): Universitas Brawijaya Jiban M. 2001. Genetics and genetic improvement of drought resistance in crop plants. Curr Sci. 80(6): 758-763. Kramer PJ. 1969. Plant and Soil Water Relationship. New York (US): Graw HJill Book Company.Inc. hlm 347. Kong L, Attree SM, Fowkw LC. 1998. Effects of polietilena glikol and methylglyoxal bis (guanyhydrazone) on endogenous polyamine levels and somatic embrio maturation in white spruce (Picea glauca). Plan Sci 133: 211-220 Langenkamper G, Manac’h N, Broin M, Cuine S, Becuwe N, Kuntz M, Rey P. 2001. Accumulation of plastid lipid- associated proteins (fibrillin/ CDSP34) upon oxidative stress, ageing and biotic stress in Solanaceae and in response to drought in other species. Journal of Experimental Botany. 52(360): 1545-1554 Li Y, Li Z, Luo S, Sun B. Effect of heat stress on gene expression in eggplant (Solanum melongena L.) seedlings. African Journal of Biotechnology.10(79): 18078-18084 [LPTP] Loka Pengkajian Pertanian. (1996 Feb). Budidaya terung (Solanum melongena L.). Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) LPTP Koya Barat, Irian jaya. Agdex: 441 Ludlow MM. 1976. Ecophysiology of C4 Grasses. In; OL Lange, Kappen L, Schulze ED (eds). Water and Plant Life-Problems and Modern Approaches. Berlin (DE): Springer-Verlag Mexal J, Fisher JT, Osteryoung, Patrick CP. 1975. Oxygen availability in polyethyl-ene glycol solutions and its implications in plant-water relations. Plant Physiol. (55): 20-24 Nasir M. 2001. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Makmur A, editor. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan Nasional Nio SA, Banyo Y. 2011. Konsentrasi klorofil daun sebagai indikator kekurangan air pada tanaman. J Ilmiah Sains. 11(2): 166-173 Rahayu ES, Guhardja E, Ilyas S, Sudarsono. 2005. Polietilena glikol (PEG) dalam media in vitro menyebabkan kondisi cekaman yang menghambat tunas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Hayati (11): 39-48 Raymond AT, George. 1999. Vegetable Seed Production 2nd edition. New York (US): CABI Publishing. 224-228p
22 Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1999. Sayuran Dunia 3 Prinsip, Produksi, dan Gizi. Edisi kedua. Catur Herison, penerjemah; Sofia Niksolihin, editor. Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari Word Vegetable: Principles, Production, and Nutritive Value. Robbiani D. 2010. Pengaruh kombinasi naphthalene acetic acid (NAA) dan kinetin pada kultur in vitro eksplan daun tembakau (Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95) [skripsi]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Surabaya Torres KC. 1957. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops. London (GB) : Chapman & Hall. Samadi B. 2001. Budi daya Terung Hibrida. Yogyakarta (ID): Kanisius Sekara A, Cebula S, Kunicki E. 2007. Cultivated eggplant – origin, breeding objective and genetic resources, a riview. Folia Horticulturae. Ann. 19(1): 97-114. Sudarmonowati E, Hartati NS, Kurniawati S. 2012. Drought resistant eggplant selection confirmed by genetic marker. Proc Soc Indon Biodiv Intl Conf.1: 64-69 Sumarjan, Hemon AF. 2009. Efektivitas polietilena glikol dan manitol sebagai agens penyeleksi in vitro untuk cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan embrio somatik kacang tanah. Crop Agro. 2(1): 30-36 [SUSENAS BPS] Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik. 2014. Rata-rata konsumsi kalori (Kkal) per kapita sehari menurut kelompok makanan 1999, 2002-2003. [Internet]. [diunduh 2014 Sep 20]. Tersedia pada:http://bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=05 ¬ab=5 Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 519 hal. Prabhu M, Natarajan S, Pugalendhi L. 2009. Genetic parameters in eggplant (Solanum melongena) backcross progenies. Amric-Eur J. of Sustn. Agric. 3(3): 275-279. Yusniwati. 2008. Galur cabai transgenik toleran kekeringan dengan gen p5cs penyandi enzim kunci biosintesis prolena: regenerasi dan karakteristik regeneran [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Yanto B. 2013. Klasifikasi Terong (Solanum melongena) [internet]. [diunduh 2013 Nov 11] Tersedia pada: http://www.biologionline.info/2013/07/klasifikasi-terong-solanummelongena.html Wattimena GA, Armini NM, Mattjik NA, Purwito A, Efendi D, Purwoko BS, Khumaida N. 2011. Bioteknologi Dalam Pemuliaan Tanaman. Bogor (ID): IPB Press Yuwono T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Zulkarnain. 2010. Dasar- Dasar Hortikultura. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.6-9p Zulkarnain. 2011. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. 3840p
23 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Komposisi Media Murashige and Skoog (MS) 1962 Konsentrasi Volume Stok Jenis Senyawa larutan stok dalam media (g/l) (ml/l) A NH4NO3 82.500 20 B KNO3 95.000 20 C KH2PO4 34.000 5 H3BO3 1.240 KI 0.166 NaMoO4.2h2O 0.050 CoCl.6H2O 0.005 D CaCl.2H2O 88.000 5 E MgSO4.7H2O 74.000 5 MgSO4.4H2O 4.460 ZnSO4.7H2O 1.720 CuSO4.5H2O 0.005 F Na2EDTA.2H2O 3.730 10 FeSO4.7H2O 2.780 Myo Myo-Inositol 10.000 10 Vit Thiamin 0.010 10 Niacin 0.050 Pyridoxine 0.050 Glycin 0.200 Gula 30.000 Agar 70.000 Sumber : George & Sherington, 1984
Konsentrasi senyawa dalam media (ppm) 1.650.000 1.900.000 170.000 6.200 0.830 0.250 0.025 440.000 370.000 22.300 8.600 0.025 100.000
24
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lahat pada tanggal 25 Juni 1992 dari ayah Pendi Musa dan ibu Kasmita Hariana. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis masuk SMA Negeri 4 Lahat. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Lahat dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Tahun 2010-2011 penulis aktif di BEM Tingkat Persiapan Bersama sebagai staf biro kesekretariatan dan tahun 2011-2012 penulis aktif di BEM A, Fakultas Pertanian sebagai sekretaris Departemen Keuangan. Penulis juga pernah aktif di berbagai kepanitiaan acara Departemen maupun Fakultas. Acara terbesar yang pernah diikuti adalah Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) 2013 sebagai staf kesekretariatan dan sekretaris bagian acara Opening Ceremony. Tahun 2013-2014 penulis menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam di Tingkat Persiapan Bersama dan asisten praktikum Biologi Dasar selama tiga semester di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis juga menjadi asisten praktikum Ilmu Tanaman Pangan dan Pembiakan Tanaman di Departemen Agronomi dan Hortikultura pada tahun 20132014.