SELEKS SI BAKTE ERI PROT TEOLITIK K DAN AP PLIKASI ENZIM ALITAS PAKAN PROTEA ASE UNT TUK MEN NINGKAT TKAN KUA P DAN D KINE ERJA PER RTUMBU UHAN IKA AN NILA
TITIN N KURNIA ASIH
SE EKOLAH H PASCAS SARJANA A INS STITUT P PERTANIA AN BOGO OR 2011 x
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Seleksi Bakteri Proteolitik dan Aplikasi Enzim Protease untuk Meningkatkan Kualitas Pakan dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Titin Kurniasih NRP C 151 080 271
xi
ABSTRACT TITIN KURNIASIH. Screening of Proteolytic Bacterias and Application of the Bacterial Protease for Increasing Feed Quality and Growth Performance of Nile Tilapia. Under direction of WIDANARNI and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO. Growth performance of fish is highly influenced by the quality of feed, which is determined dominantly by the quality of feedstuff used and also by supplementation of exogenous enzymes. This study aimed to select protease producing bacteria, to optimize their existing potential in producing protease and to evaluate the effect of dietary supplementation of bacterial protease on feed quality and growth performance of nile tilapia. Ten strains were isolated from gastrointestinal tract of Clarias gariepinus and two of them were selected based on their maximum clear zone diameter on casein agar medium and the absence of pathogenic activity against the test fish. The incubation time for maximum protease production of two strains was 72 hours, and the optimum dosage of bacterial protease was 1000 ml /kg feed, which was determined based on the level of hydrolyzed protein. A feeding study was conducted using 7 treatments with 3 replicate groups of nile tilapia (average weight of 4,07 ± 0.25 g), reared under laboratory condition. Result showed that the addition of A1 and L1 bacterial protease gave a significant increase on feed comsumption, growth rate of nile tilapia, apparent digestibility of dry matter and crude protein, protein retention and efficiency in formulated feed. Fish survival was not different among the seven treatments. This result suggested that bacterial protease was effective in improving feed quality and growth performance of nile tilapia when it was added to formulated feed containing poorly digestible feedstuffs. Keywords
: proteolytic bacteria, protease, growth performance, apparent digestibility coefficients, nile tilapia
xii
RINGKASAN TITIN KURNIASIH. Seleksi Bakteri Proteolitik dan Aplikasi Enzim Protease untuk Meningkatkan Kualitas Pakan dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila. Dibimbing oleh WIDANARNI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO. Kualitas pakan sangat menentukan laju pertumbuhan ikan. Pakan yang dikonsumsi oleh ikan tidak semuanya dapat dicerna namun ada yang dikeluarkan dalam bentuk limbah berupa feses dan sisa metabolisma lain seperti urin dan amoniak. Besarnya pakan yang dikeluarkan dalm bentuk feses tergantung dari kesesuaian komponen pakan dengan kemampuan enzimatik di saluran pencernaan atau daya cerna. Pakan yang berkualitas selain dihasilkan dari sumber bahan pakan juga dapat dihasilkan dari penambahan enzim dalam pakan. Penelitian mengenai isolasi dan seleksi bakteri dari saluran pencernaan ikan dan aplikasinya pada pakan telah banyak dilaporkan. Informasi bahwa bakteri dalam saluran pencernaan memiliki kemampuan menyumbangkan enzim pencernaan untuk meningkatkan aktivitas pencernaan, menimbulkan pemikiran untuk menyeleksi bakteri proteolitik sebagai penghasil enzim protease, dan mengaplikasikannya pada pakan untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan ikan nila. Penelitian terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah isolasi dan seleksi bakteri proteolitik yang terdiri dari uji zona hidrolisis protein dan uji patogenisitas. Tahap kedua adalah optimasi potensi bakteri terpilih sebagai penghasil protease, yang meliputi 1) pengamatan kerapatan optis dan produksi enzim protease bakteri terpilih dan 2) penentuan dosis enzim protease (0, 200, 400, 600, 800, 1000 ml/kg pakan) yang optimal untuk menghidrolisis pakan, berdasarkan parameter derajat hidrolisis protein pakannya. Tahap ketiga adalah uji pertumbuhan dan kecernaan pakan pada ikan nila, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu A) pakan formulasi tanpa penambahan enzim, B) pakan formulasi yang ditambah enzim protease bakteri A1, C) pakan formulasi yang diberi enzim bakteri L1, D) pakan komersial tanpa enzim (31% P), E) pakan komersial 31% P yang ditambah enzim A1, F) pakan komersial 31% P yang ditambah enzim L1 dan G) pakan komersial 28% P. Tahap seleksi zona hidrolisis protein mendapatkan 4 isolat dengan zona hidrolisis tertinggi, sedangkan uji patogenisitas hanya meloloskan 2 isolat, yaitu A1 dan L1. Pada tahap optimasi, didapatkan bahwa fase stasioner bakteri A1 dan L1 terjadi pada umur kultur 2 hari, produksi protease tertinggi terjadi pada sekitar umur 3 hari, dan dosis 1000 ml enzim / kg pakan memberikan derajat hidrolisis protein pakan yang tertinggi (91,99%). Pemberian enzim protease bakteri A1 dan L1 mampu meningkatkan laju pertumbuhan ikan nila pada pakan formulasi yang berkadar protein 28%, sehingga nilainya tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan pakan komersial kontrol dan terhidrolisisnya (pakan D, E dan F) yang berkadar protein 31%. Kecernaan protein dan total pakan meningkat secara signifikan dengan adanya penambahan enzim protease bakteri A1 dan L1, sehingga protein dan energi yang terserap dan dimetabolisme menjadi lebih banyak. Tambahan protein akan meningkatkan jumlah protein yang disimpan dalam tubuh, dan tambahan energi akan meningkatkan efek penghematan protein, sehingga pemanfaatan protein sebagai
xiii
komponen pembangun jaringan tubuh menjadi lebih optimal. Penambahan enzim bakteri A1 dan L1 juga secara nyata meningkatkan efisiensi, retensi protein dan palatabilitas pakan formulasi. Pada pakan komersial 31% P, penambahan enzim protease hanya meningkatkan kecernaan protein dan total pakan (P<0,05), tapi tidak untuk parameter laju pertumbuhan, efisiensi dan retensi protein pakan. Perbedaan efek ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas bahan baku penyusun pakannya. Pada pakan komersial 31% P, dimungkinkan bahwa bahan baku yang digunakan sudah memiliki kualitas yang cukup baik, sehingga penambahan enzim A1 dan L1 tidak memberikan efek yang signifikan. Kelangsungan hidup ikan nila tidak berbeda nyata di antara tujuh perlakuan. Hal ini disebabkan oleh terjaganya kualitas air media pemeliharaan dan tercukupinya kebutuhan nutrisi yang optimal. Kata kunci : bakteri proteolitik, enzim protease, kinerja pertumbuhan, kecernaan, ikan nila.
xiv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xv
SELEKSI BAKTERI PROTEOLITIK DAN APLIKASI ENZIM PROTEASE UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PAKAN DAN KINERJA PERTUMBUHAN IKAN NILA
TITIN KURNIASIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 xvi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Munti Yuhana, S.Pi, M.Si.
xvii
Judul Tesis
:
Nama : NRP : Program Studi :
Seleksi Bakteri Proteolitik dan Aplikasi Enzim Protease untuk Meningkatkan Kualitas Pakan Dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila Titin Kurniasih C151 080 271 Ilmu Akuakultur
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Widanarni, M.Si Ketua
Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 4 Januari 2011
Tanggal Lulus:
xviii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari - September 2010 ini adalah nutrisi akuakultur, dengan judul Seleksi Bakteri Proteolitik dan Aplikasi Enzim Protease untuk Meningkatkan Kualitas Pakan Dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Widanarni, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si selaku dosen pembimbing, atas arahan, masukan dan dukungan yang diberikan dalam penyusunan tesis ini dan Ibu Dr. Munti Yuhana, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Zafril Imran Azwar, Bapak Dr. Tri Heru Prihadi, Ibu Mulyasari, M.Si, Ibu Irma Melati, S.Si, Sdr. Teguh, Bapak Yosep Iskandar dan Sdr. M. Rizki dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan seluasnya kepada penulis dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua (Warsono alm dan Siti Toipah), suami Waryat, S.Pi, M.Si dan dua putra tersayang Amirul Falah dan Nasrul Hidayatullah atas doa, cinta kasih, pengertian serta dorongan yang selalu diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Akuakultur 2008 Program Pascasarjana IPB dan teman-teman di lingkup Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang tak dapat disebutkan satupersatu, untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011 Titin Kurniasih
xix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 23 Februari 1975 dari ayah Warsono (alm) dan ibu Siti Toipah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 1992 dan diterima di Universitas Diponegoro Semarang melalui jalur Program Seleksi Siswa Berprestasi (PSSB) pada tahun yang sama. Penulis memilih Program Sudi Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip dan lulus pada tahun 1997. Penulis bekerja di perusahaan pakan Manggalindo selama 1 tahun di tahun 1999. Pada tahun 2000, penulis diterima sebagai CPNS (peneliti) di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor. Pada tahun yang sama, penulis menikah dengan Waryat, M.Si dan telah dikaruniai 2 orang putra bernama Amirul Falah dan Nasrul Hidayatullah. Pada tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana dan memilih Mayor Ilmu Akuakultur.
xx
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Perumusan Masalah ........................................................................................ Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... Hipotesis ......................................................................................................... Ruang Lingkup................................................................................................
1 2 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila ........................................................................... Bahan Baku Sumber Protein Pakan ................................................................ Enzim Protease................................................................................................ Protease Mikrob .............................................................................................. Pemanfaatan Enzim Protease dalam Pakan ....................................................
4 6 9 11 12
METODOLOGI Tempat dan Waktu Percobaan ........................................................................ Prosedur Penelitian ......................................................................................... Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik ...................................................... Optimasi Potensi Bakteri Terpilih............................................................. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila ...................................... Analisis Data ...................................................................................................
16 16 16 18 20 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik ............................................................ Optimasi Potensi Bakteri Terpilih sebagai Sumber Enzim Protease .............. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila ............................................
24 26 31
KESIMPULAN ...............................................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
37
LAMPIRAN ....................................................................................................
44
xxi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi asam amino sumber protein bahan pakan .............................
7
2
Komposisi proksimat tepung darah .........................................................
8
3
Profil asam amino dalam protein tepung darah .......................................
8
4
Contoh protease asam, netral dan alkalis ................................................
10
5
Mikrob penghasil protease dan jenis enzim yang dihasilkannya ............
11
6
Ringkasan metode treatment protease pada TBK ...................................
13
7
Data hasil uji pertumbuhan dan kecernaan pada ikan nila ......................
31
xxii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Zona hidrolisis kasein oleh bakteri proteolitik dan non proteolitik .........
24
2
Kerapatan optis bakteri A1 dan L1 dalam media TSB ...........................
26
3
Aktivitas enzim protease bakteri A1 dan L1 (µg/menit.ml) ....................
27
4
Derajat hidrolisis protein pakan : uji dosis enzim A1dan L1 ..................
29
5
Sumbangan protein bahan baku terhadap total protein pakan (%) ..........
30
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur uji zona hidrolisis kasein ..........................................................
44
2
Prosedur analisis aktivitas enzim protease ..............................................
45
3
Prosedur analisis proksimat (metode Takeuchi 1988).............................
46
4
Komposisi pakan buatan untuk ikan nila.................................................
49
5
Hasil analisis proksimat pakan percobaan ...............................................
49
6
Prosedur pengukuran derajat hidrolisis pakan .........................................
50
7
Prosedur analisis kadar kromium pakan dan feses (Takeuchi 1988) ......
51
8
Luas zona hidrolisis kasein sepuluh isolat bakteri ..................................
52
9
Hasil uji patogenisitas isolat bakteri proteolitik .....................................
52
10 Kerapatan optis isolat bakteri proteolitik A1 dan L1 .............................
53
11 Aktivitas enzim protease isolat A1 dan L1(µg/menit.ml) .......................
54
12 Derajat hidrolisis protein pakan oleh enzim A1 dan L1 ..........................
54
13 Perhitungan kecernaan total dan protein .................................................
55
14 Perhitungan konsumsi pakan, efisiensi pakan, laju pertumbuhan spesifik (LPS) dan kelangsungan hidup ikan nila ...................................
56
15 Perhitungan retensi protein ......................................................................
57
16 Analisis ragam dan uji Duncan LPS ikan nila .........................................
58
17 Analisis ragam dan uji Duncan jumlah konsumsi pakan........................
58
18 Analisis ragam dan uji Duncan kecernaan total pakan ............................
59
19 Analisis ragam dan uji Duncan kecernaan protein pakan .......................
59
20 Analisis ragam dan uji Duncan efisiensi pakan .......................................
60
21 Analisis ragam dan uji Duncan retensi protein pakan .............................
60
22 Analisis ragam dan uji Duncan kelangsungan hidup ikan nila................
61
23 Kualitas air media pemeliharaan ikan nila ..............................................
61
xxiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam industri budidaya perikanan, pakan adalah komponen biaya terbesar bagi kegiatan operasional budidaya. Kian meningkatnya harga pakan ikan tanpa disertai kenaikan harga jual ikan hasil budidaya adalah permasalahan yang harus dihadapi setiap pembudidaya ikan. Tingginya harga pakan ikan terutama disebabkan oleh tingginya harga bahan baku sumber protein pakan yang sejauh ini masih didominasi oleh tepung ikan, dan juga tingginya kandungan protein yang diperlukan dalam formulasinya (Gatlin III et al. 2007). Oleh karena itu, upaya pencarian bahan baku sumber protein alternatif yang dapat mengurangi tingkat inklusi tepung ikan harus giat dilakukan. Berbagai jenis bahan baku sumber protein alternatif sudah dikaji, misalnya tepung bungkil kedelai (Saidy & Gaber 2002) dan tepung darah (Johnson & Summerfelt 2000). Bahan baku alternatif ini diharapkan ketersediaannya cukup, kontinyu, mudah didapat dan harganya murah. Tepung darah misalnya, memiliki kandungan protein cukup tinggi hingga 92% (Johnson & Summerfelt 2000), sedangkan tepung bungkil kedelai hingga 48% (Li et al. 2000). Namun kecernaan protein dan total kedua bahan baku ini masih perlu ditingkatkan. Koefisien kecernaan protein untuk ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berturut-turut adalah 82.4%, 67.2% dan 55.2% untuk tepung ikan, tepung bungkil kedelai dan tepung darah (Laining et al. 2003). Tingkat kecernaan suatu bahan dapat ditingkatkan dengan penambahan enzim pada pakan benih ikan bandeng (Aslamyah 2006), ikan gurami (Rosmawati 2005; Hasan 2000) dan ikan gilthead seabream (Kolkovski et al. 1993), salah satunya adalah enzim protease (Rosmawati 2005). Enzim protease disekresikan oleh mikrob proteolitik yang mampu menghidrolisis protein kompleks menjadi protein sederhana sehingga lebih mudah diserap dan dimanfaatkan ikan. Bakteri yang terdapat di dalam saluran pencernaan ikan diketahui dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan aktivitas pencernaan ikan, karena kemampuannya mensekresikan berbagai jenis enzim. Penelitian bakteri pada saluran pencernaan ikan telah banyak dilaporkan (Clarke & Bauchop 1977; Das & Tripathi 1991; Nakayama et al. 1994; Opuszynski & Shireman 1994;
xxv
Jankauskiene 2002; Tae 2003). Walaupun demikian, informasi mengenai peranannya sebagai sumber enzim pencernaan untuk pakan ikan dan aplikasinya untuk predigestion masih sangat terbatas, khususnya di Indonesia. Berpijak pada informasi tersebut dan beberapa hasil penelitian bakteri saluran pencernaan ikan, maka dibangun suatu pemikiran untuk mengisolasi secara selektif bakteri yang mempunyai
aktivitas
memperbanyak
proteolitik
bakteri
yang
dari
terpilih
saluran dan
pencernaan
memanfaatkan
ikan
lele,
enzim
yang
disekresikannya untuk meningkatkan kecernaan pakan untuk ikan nila (Oreochromis niloticus). Perumusan Masalah Kian meningkatnya harga pakan ikan mengharuskan pembudidaya untuk mendapatkan alternatif bahan baku sumber protein yang lebih murah dan mudah didapatkan. Permasalahan yang muncul adalah tingkat kecernaan protein bahan baku alternatif secara umum lebih rendah. Oleh karena itu, penambahan ekstrak kasar enzim protease yang disekresikan oleh bakteri proteolitik hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan lele, diharapkan dapat meningkatkan kecernaan pakan yang mengandung bahan baku alternatif tersebut, sehingga kualitasnya diharapkan dapat menyamai pakan ikan komersial. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendapatkan bakteri yang mempunyai aktivitas proteolitik dari saluran pencernaan ikan lele, dan menyeleksi bakteri dengan aktivitas proteolitik tertinggi. 2. Mengoptimasi potensi bakteri terpilih sebagai penghasil enzim protease. 3. Menguji pengaruh penambahan enzim protease bakteri terhadap kualitas pakan dan kinerja pertumbuhan ikan nila. Penelitian ini bermanfaat untuk : 1. Pengembangan ilmu nutrisi ikan, khususnya peranan bakteri sebagai penyedia enzim alamiah untuk pakan ikan. 2. Mendukung program pemerintah untuk pengembangan kegiatan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan, dengan menyediakan alternatif pakan yang ekonomis dan efisien. xxvi
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Ada bakteri yang mempunyai aktivitas proteolitik dari saluran pencernaan ikan lele. 2. Bakteri proteolitik yang terpilih dapat dioptimalkan kemampuannya dalam menghasilkan enzim protease. 3. Enzim protease bakteri berpengaruh terhadap kualitas pakan dan kinerja pertumbuhan ikan nila. Ruang Lingkup Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap isolasi dan seleksi bakteri proteolitik dari saluran pencernaan ikan lele, tahap optimasi potensi bakteri terpilih sebagai penghasil enzim protease dan tahap pengujian pengaruh pemberian enzim protease bakteri terhadap kualitas pakan
dan kinerja
pertumbuhan ikan nila.
xxvii
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Kebutuhan nutrisi ikan akan terpenuhi dengan adanya pakan. Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan energi tumbuh adalah protein, karbohidrat dan lemak. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah ukuran ikan, temperatur air, kadar pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein (Furuichi 1988). Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam amino esensial dan non esensial. Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh untuk pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon, dan juga sebagai sumber energi (NRC 1993). Sekitar 65-75% dari tubuh ikan dalam berat kering merupakan protein (Halver 2001). Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi (Lovell 1989). Pertumbuhan maksimum pada ikan nila didapat dengan level protein 3550%, tetapi level optimum dalam pakan komersil untuk ukuran juvenil sampai dengan dewasa biasanya 25-35% (Popma & Lovshin 1996). Pada kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan protein bagi ikan, kadar protein yang memadai untuk ikan dapat berkisar antara 20-25% (Webster & Lim 2002). Jika ikan kekurangan sumber protein, maka pertumbuhan akan terhambat dikarenakan
protein
yang
dimakan
oleh
ikan
akan
digunakan
untuk
mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting. Hal ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot ikan karena protein yang terkandung dalam jaringan tubuh ikan dipecah kembali untuk mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting tersebut (NRC 1993; Halver 2001). Lemak merupakan salah satu makronutrien bagi ikan karena selain berfungsi sebagai sumber energi non protein dan asam lemak esensial, juga berfungsi memelihara bentuk dan fungsi fosfolipid, membantu dalam absopsi vitamin yang larut dalam lemak dan mempertahankan daya apung tubuh (NRC 1993; Halver 2001).
xxviii
Lemak pakan merupakan sumber asam lemak esensial yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan metabolisme tubuh (NRC 1993). Satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9.4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5.6 dan 4.1 kkal (Watanabe 1988). Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan di antaranya asam lemak omega 3 dan omega 6, berupa asam linolenat, asam linoleat, EPA dan DHA. Akan tetapi menurut Takeuchi et al. (1983) dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan nila adalah asam lemak linoleat. Kadar lemak sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam pakan
ditingkatkan menjadi 12% akan memberikan pengaruh berupa
perkembangan maksimal pada ikan nila (Webster & Lim 2002). Menurut Lovell (1989), sumber lemak yang baik untuk ikan nila adalah berasal dari minyak nabati seperti minyak jagung atau minyak kedelai yang memiliki kandungan asam linoleat yang ditunjukkan dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan minyak ikan yang memiliki kandungan EPA. Kekurangan kadar asam lemak omega 3 dan 6 pada pakan dapat menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan lambat, pembengkakan, pucat dan timbunan lemak di hati. Karbohidrat
merupakan
sumber
energi
yang
murah
dan
dapat
menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena 2002). Menurut NRC (1993), karbohidrat dalam pakan dapat berupa serat kasar atau bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). BETN mengandung banyak gula dan pati yang bersifat mudah dicerna sedangkan serat kasar kaya akan lignin dan selulosa yang sukar untuk dicerna. Lovell (1989) mengemukakan bahwa pemberian tingkat energi yang optimum dalam pakan sangat penting karena kelebihan dan kekurangan energi dapat menurunkan pertumbuhan ikan. Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung pada kompleksitas karbohidrat. Kadar optimum karbohidrat dalam pakan sulit untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat sebagai sumber energi (Furuichi 1988). Ikan-ikan karnivora tidak mampu memanfaatkan
xxix
karbohidrat kompleks sebagai sumber energi utama dalam pakannya pada level yang tinggi. Ikan-ikan omnivora dan herbivora dapat mencerna karbohidrat yang berasal dari tumbuhan (Yamada 1983). Ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat optimum pada tingkat 10-20% dalam pakannya sedangkan ikan-ikan omnivora mampu memanfaatkan karbohidrat optimum sebesar 30-40% dalam pakan (Furuichi 1988). Komponen lain yang dibutuhkan dalam pakan ikan yaitu vitamin dan mineral. Jumlah vitamin dan mineral yang dibutuhkan dalam pakan sangatlah kecil namun kehadirannya dalam pakan sangat penting karena dibutuhkan untuk tumbuh dan menjalankan beberapa fungsi tubuh. NRC (1993) menjelaskan bahwa mineral merupakan senyawa yang digunakan untuk proses respirasi, osmoregulasi dan pembentukan kerangka tulang. Vitamin merupakan senyawa organik kompleks yang diperlukan untuk pertumbuhan normal, reproduksi, kesehatan dan metabolisme secara umum. Bahan Baku Sumber Protein Pakan Tepung Ikan Tepung ikan merupakan komponen penting dalam pakan. Menurut Lovell (1989) kandungan protein tepung ikan berkisar 60-80% dengan tingkat kecernaan protein tinggi (80-95%) dan memiliki kadar lisin dan metionin tinggi. Lisin dan metionin adalah jenis asam amino yang jumlahnya sedikit pada bahan-bahan nabati. Tepung ikan menjadi sumber protein utama yaitu sekitar 35-50% dalam formulasi pakan ikan salmon, udang dan spesies ikan laut lainnya (Dong & Hardy 2000). Protein tepung ikan memiliki kualitas yang unggul, baik dari komposisi asam amino dan kecernaannya serta disukai oleh ikan (Li et al. 2000). Nilai nutrisi atau kualitas dari tepung ikan tergantung asal spesies ikan, tingkat kesegaran ikan, suhu pemanasan saat produksi, penambahan antioksidan, penyimpanan dan kondisi saat pemindahan (Jobling et al. 2001). Kadar protein dan kadar abu tepung ikan menentukan harga bahan. Tepung ikan yang berasal dari ikan hering, capelin dan sidat pasir memiliki kandungan protein yang tinggi dan kadar abu rendah sehingga harganya paling mahal. Sedangkan tepung ikan yang berasal dari ikan menhaden dan tuna kadar proteinnya lebih rendah dan kadar abunya tinggi sehingga harganya murah.
xxx
Tepung Bungkil Kedelai (TBK) TBK diperoleh dari kedelai yang telah diperas minyaknya dengan ekstraksi pelarutan atau proses penekanan. Protein tepung bungkil kedelai berkisar antara 42-48% dan kandungan lemaknya berkisar antara 0.5-3.5%. Kandungan protein dan lemak tepung kedelai tergantung dari proses pembuatan tepung (Li et al. 2000). TBK telah banyak digunakan sebagai bahan suplemen pada pakan, karena mempunyai komposisi asam amino yang lebih baik dibandingkan dengan bahan nabati lain untuk memenuhi kebutuhan ikan (Pongmaneerat & Watanabe 1993). TBK juga mengandung faktor anti nutrisi yang dapat dihilangkan atau dideaktivasi melalui pemanasan dan pengeringan (Jobling et al. 2001). Komposisi asam amino beberapa bahan baku sumber protein pakan (NRC 1993) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi asam amino sumber protein bahan pakan (g/100 g protein) Asam Amino Arginin Fenilalanin Hestidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Treonin Valin
Tepung Ikan 5.88 4.24 2.46 4.84 7.71 7.69 3.04 4.31 5.34
TBK 7.57 4.96 2.66 4.53 7.79 6.36 1.27 3.97 4.51
Tepung Daging 6.47 3.09 1.60 2.95 5.13 5.27 1.19 2.95 4.53
Tepung Darah 4.20 6.64 5.76 1.09 12.13 8.35 1.21 4.22 8.39
Tepung Darah Salah satu alternatif bahan substitusi tepung ikan adalah tepung darah (Bureau et al. 1999). Di antara bahan makanan dari hewan, tepung darah paling tinggi kadar proteinnya, yaitu mencapai 92%. Tepung darah (blood meal) dihasilkan dari darah hewan yang dikeringkan dan digiling. Darah adalah kumpulan sel dalam jumlah besar dengan kandungan air tinggi (80%). Protein globular, albumin dan globulin-D terdapat sebanyak 59, 16 dan 13% dari total nitrogen yang terkandung dalam tepung darah (Marichal et al. 2000). Tepung darah adalah sumber yang kaya leusin tetapi miskin metionin dan isoleusin (Hertrampf & Pascual 2000). Komposisi proksimat dan profil asam amino tepung
xxxi
darah disajikan pada Tabel 2 dan 3. Kombinasi tepung darah dan tepung jagung akan membantu untuk memperkaya komposisi pakan ikan karena tepung jagung memiliki kandungan lisin yang rendah dan isoleusin yang tinggi (Harris 1980). Tabel 2. Komposisi proksimat tepung darah (Halimatusadiah 2009) Komposisi (% bobot kering) Protein 84.52 Lemak 7.05 Abu 3.23 Serat Kasar 0.75 BETN 4.44 Tabel 3. Profil asam amino dalam protein tepung darah (Johnson & Summerfelt 2000) Profil Asam Amino (%) Metionin 0.76 Treonin 3.12 Lysin 8.75 Triptofan 1.54 Isoleusin 0.63 Hestidin 7.32 Valin 9.12 Leusin 13.61 Arginin 4.12 Phenylalanin 6.28
Tepung darah komersial diproduksi dalam jumlah besar dengan cara spray-dried, dan disebut spray-dried blood cells (SBC). Tepung darah SBC dibuat dengan cara menyemprotkan darah segar ke aliran udara panas bersuhu 316oC kemudian dimasukkan ke dalam vakum bersuhu rendah yaitu 49oC. Produk SBC mengandung protein sangat tinggi (92% berat kering), kandungan lisin dan leusin tinggi (9% dan 13.61% dari total protein) dan hanya mengandung sedikit mineral fosfor (0.33%). SBC mengandung Fe sangat tinggi sampai pada level 2700 mg/kg (Johnson & Summerfelt 2000), dibandingkan dengan tepung ikan yang mengandung Fe sekitar 400-800 mg/kg, dan tepung kedelai 140 mg/kg. Kadar zat besi yang tinggi ini memungkinkan untuk pemakaian tepung darah dalam pakan sebagai sumber zat besi organik.
xxxii
Kendala dalam pemakaian tepung darah adalah tingkat kecernaan yang rendah dibandingkan tepung ikan, sebagaimana dilaporkan Laining et al. (2003) yaitu sebesar 55.2%. Enzim Protease Protease adalah enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Molekul yang berfungsi sebagai unit penyusun polimer protein adalah asam amino yang terangkai melalui ikatan peptida. Jumlah asam amino penyusun protein berkisar dari puluhan sampai ribuan. Biasanya protein yang tersusun oleh lebih dari 10 asam amino dikenal sebagai polipeptida. Istilah protein ditujukan bagi polimer asam amino dengan jumlah di atas 100 (Suhartono 1989a). Kerentanan struktur protein terhadap hidrolisis oleh protease berkaitan dengan strukturnya. Keseluruhan struktur protein dan fungsi hayatinya ditentukan oleh struktur primer protein, yaitu deret asam amino pada protein. Jumlah ikatan peptida yang dapat diuraikan oleh suatu protease bergantung pada jenis asam amino penyusun protein dan jenis asam amino yang letaknya saling berdekatan. Selain itu, struktur sekunder, acak, tersier dan kuarterner menentukan efektivitas kerja protease terhadap protein tersebut. Hal lain yang penting diketahui adalah, protease memecah ikatan peptida dengan bantuan molekul air (Suhartono 1989a). Kelompok protease atau proteinase diproduksi secara ekstraselular dan intraselular, serta memainkan peranan penting dalam proses metabolisme sel dan regulasinya. Peran utama protease ekstraselular di alam, sebagaimana enzim ekstraselular lainnya, adalah menghidrolisis substrat polimer (polipeptida) berukuran besar menjadi molekul kecil sehingga dapat diserap oleh sel. Protease intraselular membantu keseimbangan antara sintesis dan degradasi protein dan memegang peranan penting dalam berbagai proses seperti pembentukan dan germinasi spora, pematangan protein, koagulasi darah fibrinolisis, pengontrolan tekanan darah, diferensiasi, modifikasi dan sekresi berbagai enzim (Rao et al. 1998). Pembentukan spora bakteri dan bagian tubuh kapang melibatkan proteolisis dan mungkin juga melibatkan protease ekstraselular. Pada beberapa bakteri seperti Bacillus sp, sintesis protease biasanya terjadi saat sporulasi. Sintesis protease ekstraselular dan sporulasi dipengaruhi oleh kontrol katabolit
xxxiii
karbon dan nitrogen. Banyak laporan menyatakan bahwa sintesis protease netral dan jenis subtilisin mengalami hambatan selama pertumbuhan pada media miskin karbon (Suhartono 1989a). Ditinjau dari lingkungan daya kerjanya, protease digolongkan menjadi protease asam yang bekerja pada pH asam, protease netral yang bekerja pada pH netral dan protease alkalis yang bekerja pada pH basa (Tabel 4). Tabel 4. Contoh protease asam, netral dan alkalis (Suhartono 1989a) Jenis Protease Keterangan Protease asam Renin Renin digunakan di dalam pembuatan keju Renin mikrob Dihasilkan oleh Mucor miehei, Mucor pusillus dan Endothia parasitica Pepsin Biasanya diperoleh dari lambung sapi atau babi Protease asam kapang Biasanya dihasilkan oleh jenis Aspergillus dan Rhizopus Protease netral Tripsin pankreas Endoprotease dari pankreas sapi atau babi Papain Endoprotease dari getah pepaya Bromelin Endoprotease dari tanaman nenas Protease bakteri Endoprotease dari Bacillus subtilis Protease alkali Protease bakteri Spesifikasi luas dihasilkan oleh sejumlah Bacillus Protease termasuk golongan enzim yang relatif ’kuat’, karena tahan kondisi pH dan suhu lingkungan yang ekstrim. Dengan demikian, enzim ini lebih mudah ditangani. Salah satu yang agak menyimpang dari sifat ini adalah pepsin, yang stabil di dalam larutan enzim encer, tetapi cepat terdenaturasi pada pH netral. Tampaknya hal ini merupakan bagian dari mekanisme protektif makhluk hidup yang dirancang untuk meniadakan aktivitas pepsin di luar lambung (Suhartono 1989a). Protease Mikrob Protease dapat dihasilkan oleh hewan, tumbuhan dan mikrob. Meskipun demikian yang paling banyak digunakan saat ini sebagai penghasil protease komersial adalah mikrob karena produktivitasnya yang tinggi sangat efisien dipandang dari sudut waktu dan tempat produksi, kemudahan pengaturan produksi dan tingginya peluang perbaikan produksi melalui teknik optimasi fermentasi, teknik mutasi serta rekayasa genetika (Rehm & Reed 1987). Tabel 5 xxxiv
mencantumkan nama species mikrob penghasil protease dan jenis yang dihasilkannya. Tabel 5. Mikrob penghasil protease dan jenis enzim yang dihasilkannya (Suhartono 1989b) Mikrob Kelompok bakteri Bacillus cereus B. licheniformis B. megaterium B. polymixa B. amyloliquefaciens B. amyloliquefaciens B. cereus B. licheniformis B. pumilus B. subtilis Kelompok kapang Aspergillus niger A. oryzae A. sojae A. candidus A. oryzae
Jenis
pH optimum
netral netral netral netral alkali netral alkali alkali alkali alkali
7.0 6.5 - 7.5 7.0 6.0 - 7.2 10.2 - 10.7 6.5 - 7.5 10.5 - 11.0 10.3 - 11.8 10.3 - 10.8 10.3 - 10.8
asam asam netral alkali alkali
2.8 3.0 6.5 - 7.5 10 - 11 8.50 - 10.0
Berbagai jenis bakteri seperti Bacillus, Lactobacillus, Pseudomonas, Clostridium, Proteus dan Serratia serta kapang Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Endothia dan Mucor merupakan penghasil enzim protease yang berpotensi. (Rao et al. 1998). Spesies Bacillus banyak menghasilkan protease serin alkali dan protease logam, di antaranya protease serin alkali yang dihasilkan oleh Bacillus licheniformis yang lebih dikenal dengan nama subtilisin. Jenis enzim ini juga diproduksi oleh Bacilus pumilus. Dari golongan kapang, protease yang banyak dihasilkan umumnya juga termasuk golongan serin alkali. Kapang yang memproduksi enzim protease antara lain Aspergillus orizae, Aspergillus sydowi dan Aspergillus flavus. Kapang penghasil enzim termostabil dengan suhu optimum sekitar 65-70oC adalah Tritirachum album dan Malbranchea ounchella. Protease yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dinamakan protease staphylococcus, sedangkan clostripain yang termasuk dalam golongan protease tiol dihasilkan oleh Clostridium hystolyticum (Suhartono 1989b).
xxxv
Penggunaan protease dalam berbagai industri menyebabkan nilai penjualannya
meningkat.
Industri
pangan
menggunakan
protease
untuk
pengempukan daging, penjernihan bir, pembuatan protein, hidrolisat dan kecap, serta pembuatan roti dan kue dengan tekstur khusus. Industri detergen memanfaatkan protease untuk komponen pembersih yang bersifat biodegradable (ramah lingkungan), sedangkan industri kulit memanfaatkan protease untuk proses perontokan bulu (dehairing)
dan pra pewarnaan. Selain itu protease
dipakai untuk mengolah skleroprotein ulat sutera sebelum proses pemintalan benang dan untuk campuran salep penghalus bekas luka dan obat bantu pencernaan. Dunia bioteknologi modern memerlukan protease di dalam prosedurprosedur ekstraksi DNA dan pengolahan protein terapis (Rao et al. 1998). Pemanfaatan Enzim Protease dalam Pakan Pengujian in Vitro Pretreatment dengan enzim yang dilakukan sebelum prosesing pakan merupakan alternatif cara yang lebih aman, dibandingkan memberikan enzim secara langsung ke dalam saluran pencernaan hewan target melalui pakan. Cara yang pertama lebih praktis; enzim cukup bekerja aktif selama masa inkubasinya saja terhadap substrat, biasanya 24 jam (Thorpe & Beal 2001; Aslamyah 2006; Fitriliyani 2010), dan setelah produk hidrolisis didapatkan, maka enzim tersebut tidak perlu dipertahankan aktivitasnya lagi. Bahan baku yang banyak dikaji efeknya setelah ditreatment dengan enzim protease adalah kedelai. Target utama pemberian protease pada kedelai adalah kandungan anti-nutritional factors (ANFs), seperti inhibitor tripsin, lektin dan protein antigenik. Tabel 6 menggambarkan detail treatment protease pada TBK dalam penelitian-penelitian terhadap babi dan unggas. Tabel 6. Ringkasan metode treatment protease pada TBK. Bahan
Enzim
Treatment
Referensi
TBK
Protease asam Protease alkali Subtilisin
0.1% protease ditambahkan pada TBK (800 g kg-1) pH 4.5. Inkubasi 3 jam 50oC, pH netral, keringkan 65oC. 0.1% protease ditambahkan pada TBK (800 g kg-1) pH 8.5. Inkubasi 16 jam 50oC, tidak dikeringkan. 0.1% protease ditambahkan pada TBK (berikan air 1:2) pH 4.5. Inkubasi 3 jam 50oC, pH 7, keringkan 65oC. 0.25% protease ditambahkan pada TBK (berikan air 1:3) Inkubasi 24 jam 20oC, tak dikeringkan. 0.25% protease ditambahkan pada TBK (berikan air 1:3) Inkubasi 24 jam, 20oC, tak dikeringkan.
Rooke et al. (1996) Rooke et al. (1998) Caine et al. (1997) Beal et al. (1998a) Beal et al. (1998c)
TBK TBK TBKTL TBKTL
Protease (P4) Protease (P3)
xxxvi
Note : TBK = tepung bungkil kedelai, TBKTL = TBK tinggi lemak
Huo et al. (1993) melaporkan bahwa empat jenis protease bakterinya mampu menginaktivasi inhibitor tripsin dan lektin pada kedelai mentah. Penurunan level inhibitor tripsin yang paling efektif (96%) terjadi pada dosis protease 1% dan lama inkubasi 12 jam. Menurutnya, protease bakteri lebih efektif dibandingkan protease kapang dalam menurunkan inhibitor tripsin. Rooke et al. (1996) mendapatkan bahwa TBK yang diberi protease memiliki kandungan protein antigenik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak. Caine et al. (1997) mengobservasi kondisi optimal untuk treatment TBK dengan subtilisin Bacillus subtilis dan mendapatkan bahwa inkubasi pada suhu 50oC dan pH 4.5 merupakan kondisi optimal. Mereka juga melaporkan adanya peningkatan kelarutan protein yang signifikan. Beal et al. (1998a) menguji potensi 3 protease secara in vitro dan mendapatkan adanya peningkatan kecernaan nitrogen yang signifikan (P < 0.05) sebesar 5–12% dibandingkan kontrolnya. Beal et al (1998c) juga menguji efek salah satu dari 3 protease tersebut (P4) menggunakan SDSPAGE, dan menemukan adanya penurunan jumlah dan densitas pita protein dengan bobot molekul lebih besar dari 66 kDA, mengindikasikan adanya reaksi hidrolisis protein. Rooke et al. (1998) juga menggunakan SDS-PAGE untuk menguji efek protease P1 dan P2 terhadap TBK, dan ternyata konsentrasi nitrogen ά-amino terlarut meningkat setelah perlakuan. P1 menurunkan konsentrasi protein antigenik lebih baik daripada P2.
Pengujian in Vivo Penggunaan enzim protease yang bertujuan untuk meningkatkan kecernaan protein dan efisiensi pakan telah diteliti secara intensif pada unggas dan babi. Penelitian pada babi melaporkan adanya peningkatan signifikan untuk efisiensi pakan, tetapi tidak untuk kecernaan protein dan energi (O’-Doherty & Forde 1999). Pada ayam broiler, pemberian enzim protease pada TBK (Ghazi et al. 2003; Marsman et al. 1997) dan lupin (Rubio et al. 2003) mampu meningkatkan kecernaan nitrogen secara signifikan. Rooke et al. (1996) menemukan adanya peningkatan signifikan untuk parameter pertambahan bobot
xxxvii
harian pada babi yang mengkonsumsi pakan berbasis TBK yang ditreatment dengan protease. Beal et al. (1998b ; 1999) juga melaporkan adanya peningkatan signifikan untuk parameter pertambahan bobot harian dan efisiensi pakan pada babi yang diberi pakan berbasis TBK setelah ditreatment enzim protease. Sedangkan Szczurek et al. (2001) mendapatkan bahwa penambahan protease tidak memberikan efek yang berbeda untuk kecernaan protein dan energi. Perbedaan efek ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan jenis protease dan formulasi pakan yang digunakan. Pemberian enzim protease eksogen ke dalam pakan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan pada ikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasan (2000) memberikan enzim papain untuk pakan benih ikan gurami, dan melaporkan bahwa laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein dan kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada pemberian pakan yang ditambah enzim sebanyak 1.3 – 1.7% dari berat pakan. Penelitian Kolkovski et al. (1993) yang memberikan enzim berasal dari pankreas dalam pakan larva gilthead seabream (Sparus aurata, Sparidae, Linnaeus), mendapatkan bahwa pakan buatan yang diperkaya dengan enzim dari pankreas memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi pakan alami. Laju penyerapan dari pakan yang diperkaya enzim didapat sebesar 30%, dan kelangsungan hidup dari ketiganya tidak memperlihatkan perbedaan. Rosmawati (2005) melaporkan adanya peningkatan signifikan untuk kecernaan protein pakan ikan gurami setelah diberi
enzim
pepsin
dan
pankreatin,
tetapi
tidak
mendapatkan
hasil
menggembirakan untuk parameter pertumbuhan. Ng et al. (2002) menguji pengaruh pemberian enzim komersial Allzyme Vegpro yang mengandung protease terhadap pakan berbasis PKM (palm kernel meal), dan melaporkan bahwa penambahan enzim meningkatkan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan dibandingkan pakan kontrolnya. Davis et al. (1998) memberikan enzim protease pada pakan udang dan melaporkan adanya peningkatan kecernaan protein pakan dari 65.3% menjadi 74.3% pada dosis 0.4 gram protease / 100 g pakan, namun pada uji pertumbuhan, penambahan enzim protease pada dosis tersebut justru menurunkan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan udang Penaeus vannamei. Drew et al. (2005) memberikan enzim protease pada produk kombinasi flax:pea
xxxviii
(FP) dan canola:pea (CP) untuk ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Hasilnya sangat menarik bahwa produk CP yang diberi protease meningkat kecernaan total, protein, lemak dan energinya secara signifikan dibandingkan kontrolnya, sedangkan produk FP tidak ada perubahan. Demikian juga pada uji pertumbuhan, penambahan protease pada pakan berbasis CP meningkatkan efisiensi pakannya, tetapi tidak untuk pakan berbasis FP. Penulisnya merekomendasikan perlunya dilakukan penelitian mendetail mengenai efek protease untuk jenis bahan baku yang berbeda.
xxxix
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Kegiatan isolasi dan seleksi bakteri proteolitik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Nutrisi, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor, kegiatan ekstraksi enzim protease dilakukan di Laboratorium Institute de Recherche pour le Developpement (IRD-Perancis) di Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok, kegiatan pengujian aktivitas enzim protease dilakukan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, pengujian hidrolisis pakan secara in vitro dan analisis proksimat bahan baku dan pakan percobaan dilakukan di Laboratorium Kimia Nutrisi, BRPBAT Bogor, dan percobaan in vivo dilakukan di Laboratorium Basah Nutrisi, BRPBAT Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari-September 2010. Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik Prosedur isolasi bakteri yang mempunyai aktivitas proteolitik dilakukan dengan metode selektif, yang mengacu pada metode yang dilakukan pada hewan terrestrial seperti petunjuk Hungate (1966), serta mengkombinasikannya dengan prosedur isolasi bakteri dari saluran pencernaan ikan seperti yang dilakukan oleh Nakayama et al. (1994); Hoshino et al. (1997); Jankauskiene (2002) dan Tae (2003). Sumber inokulum berasal dari saluran pencernaan ikan lele dan air kolam pemeliharaan ikan lele sebagai pembanding. Dasar pemikirannya adalah bahwa lele memiliki kelebihan dalam hal efisiensi pakan, dengan nilai konversi mendekati 1. Diduga kelebihannya ini disebabkan karena lele berasosiasi dengan bakteri yang mampu mensekresikan enzim-enzim pencernaan, terutama protease, pada saluran pencernaannya. Isolasi bakteri juga dilakukan terhadap sampel air kolam pemeliharaan lele, dengan anggapan bahwa komposisi bakteri di saluran pencernaan suatu organisme, dimungkinkan tidak akan berbeda jauh dengan komposisi bakteri di air media hidupnya. Pengambilan isi saluran pencernaan ikan lele sebagai sumber inokulum dilakukan dengan cara mengeluarkan saluran pencernaan (lambung dan usus) dari
xl
ikan lele dewasa yang telah dimatikan. Lambung dan usus digerus, kemudian sebanyak 1 gram ditambah dengan 1 ml cairan fisiologis (NaCl 0.85%) steril (Aslamyah 2006) dan dihomogenkan dengan vortex. Sumber inokulum diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dalam tabung pengenceran serial yang berisi 9 ml larutan fisiologis, sebanyak 10 tabung pengencer (hingga pengenceran 1010 kali). Setelah dihomogenkan, maka dari setiap tabung pengencer diambil larutan sebanyak 0.1 ml, dan disebarkan dalam cawan petri berisi TSA yang dibuat secara duplo. Kultur ini kemudian diinkubasi pada suhu 29oC selama 24-48 jam sampai koloni bakteri dapat tumbuh, dalam suasana aerob. Koloni bakteri yang tumbuh diidentifikasi berdasarkan perbedaan warna, bentuk dan ukurannya. Setiap jenis koloni yang didapat dimurnikan dengan metode penggoresan kuadran, sampai didapatkan koloni bakteri yang tunggal dan seragam. Kultur murni selanjutnya diperbanyak atau diperkaya untuk mendapatkan isolat. Sebagian isolat bakteri digunakan sebagai kultur stok dan sebagian lagi dipakai sebagai inokulum pada percobaan berikutnya. Pengayaan dilakukan dengan cara menumbuhkan masing-masing isolat ke dalam media TSB kemudian diinkubasi pada suhu 29 oC selama 24 jam. Kultur yang didapat siap untuk diawetkan. Pengawetan dilakukan dengan menyimpan isolat-isolat yang telah diperoleh ke dalam media gliserol 15-20% yang selanjutnya disebut kultur stok. Seleksi Bakteri Proteolitik Untuk mendapatkan bakteri yang berpotensi tinggi sebagai penghasil enzim protease, maka seleksi bakteri dilakukan melalui tahapan pengujian aktivitas proteolitik dan pengujian patogenisitas. Pengujian aktivitas proteolitik bertujuan untuk mengukur besarnya aktivitas proteolitik masing-masing isolat dengan uji hidrolisis kasein (Lampiran 1). Aktivitas proteolitik ditandai dengan adanya zona bening di sekeliling isolat yang ditumbuhkan pada media agar yang mengandung kasein 2%. Pengujian patogenisitas bertujuan untuk mengetahui apakah isolat bakteri yang diperoleh merupakan bakteri patogen terhadap ikan uji atau tidak. Masing-masing isolat disuntikkan pada kelompok ikan nila sehat (terdiri dari 5 ekor pada setiap akuarium) secara intramuscular sebanyak 0.2 m1
xli
dengan kandungan bakteri sebanyak 107 cfu/ml. Sebagai kontrol digunakan larutan fisiologis yang juga disuntikkan pada satu kelompok ikan nila. Pemantauan dilakukan setiap hari selama dua minggu setelahnya,
apakah
didapatkan perbedaan mortalitas apabila dibandingkan dengan kontrol, atau adanya tanda klinis penyakit pada ikan uji. Setelah melakukan kedua tahap seleksi bakteri proteolitik, selanjutnya ditentukan isolat bakteri terpilih yang akan menjalani pengujian selanjutnya. Seleksi ditentukan berdasarkan peringkat luasnya zona hidrolisis kasein, dan yang terbukti tidak bersifat patogen terhadap ikan nila. Optimasi Potensi Bakteri Terpilih sebagai Sumber Enzim Protease Pemantauan Produksi Enzim Protease Bakteri Percobaan ini dilakukan dengan mengukur produksi enzim protease yang disekresikan oleh bakteri proteolitik terpilih dari waktu ke waktu, yang diukur dari aktivitasnya (Lampiran 2). Tujuannya untuk mendapatkan titik waktu yang optimal untuk pemanenan enzim protease. Pengamatan dilakukan dilakukan setiap 4 jam sekali selama 4 hari (25 titik pemantauan) dari waktu kulturnya. Pemantauan produksi enzim protease ini disertai dengan pengamatan optical density (OD) atau kerapatan optis dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm (Hadioetomo 1990). Nilai prosentase transmitan dikonversi menjadi nilai kerapatan optik mengikuti tabel menurut Hadieutomo (1993). Mula-mula bakteri proteolitik terpilih diperbanyak dalam media TSB di dalam tabung-tabung reaksi berkapasitas 15 ml (masing-masing 25 tabung). Produksi enzim kasar mengacu pada metode yang dilakukan Wang et al. (2008), dengan modifikasi pada suhu dan pengenceran media yang digunakan. Sebanyak 0.1 ml sumber inokulum bakteri proteolitik yang terpilih diinokulasikan dalam setiap 9.9 ml media di dalam tabung reaksi, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC. Setelah itu kultur dihentikan dengan cara sentrifus pada titik waktu yang diinginkan (waktu ke-0, 4, 8, 12, 16 jam, dan seterusnya) dengan kecepatan 12.000 g selama 20 menit pada suhu 4 oC. Supernatan yang diperoleh (filtrat ekstrak enzim kasar) ditambah ammonium sulfat (608 g/L) dan disimpan semalam pada suhu 4oC. Selanjutnya filtrat disentrifus kembali pada 12.000 g dan suhu 4 oC selama 20 menit, dan endapan yang terbentuk dilarutkan dalam buffer fosfat 50
xlii
mM pH 7, dan diuji aktivitas enzim proteasenya di laboratorium dengan metode Bergmeyer dan Graß1 (1986). Penentuan Dosis Enzim Protease Bakteri Percobaan ini bertujuan menguji secara in vitro dosis enzim protease yang optimal untuk mengkatalisis reaksi hidrolisis protein. Perlakuan yang diujikan adalah ekstrak enzim protease yang berasal dari kultur bakteri A1 dan L1 sebanyak 0, 200, 400, 600, 800 dan 1000 ml /kg pakan, dengan 2 ulangan. Stok kultur disiapkan dengan cara menumbuhkan 40 ml sumber inokulum cair bakteri dalam 3960 ml TSB baru dan diinkubasi selama 72 jam pada suhu 37oC. Homogenisasi dengan vortex dilakukan sesering mungkin selama inkubasi ini. Perlakuan dosis 1000 ml misalnya, disiapkan dengan cara mengambil stok kultur yang telah siap sebanyak 1000 ml. Kultur cair ini selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan diambil dan ditambah dengan ammonium sulfat (608 g/L), disimpan semalam pada suhu 4oC, dan disentrifus kembali pada kecepatan 12.000, suhu 4 oC selama 20 menit. Endapan yang terbentuk diambil dan dilarutkan kembali dalam 50 ml buffer fosfat 50 mM pH 7. Sediaan ini dapat disimpan lama dalam freezer, dan dapat digunakan kembali apabila diperlukan. Perlakuan dosis yang lain disiapkan dengan cara yang sama, dengan menyesuaikan volume stok kultur yang diambil sesuai perlakuannya (0, 200, 400, 600 dan 800 ml stok kultur). Ekstrak enzim kasar yang telah dikeluarkan dari freezer dibiarkan dalam suhu kamar beberapa saat supaya suhunya menyesuaikan. Supaya tercampur rata pada campuran bahan baku pakan, maka sediaan ekstrak enzim kasar diencerkan dengan air hangat hingga volumenya 1000 ml, dihomogenkan, kemudian dicampurkan pada kombinasi bahan baku untuk 1 kg pakan yang telah dihaluskan dan diaduk merata. Bahan baku penyusun pakan formulasi dalam percobaan ini sebelumnya telah dianalisis komposisi proksimatnya dengan metode yang tercantum pada Lampiran 3, dan komposisi bahan dan proksimat pakan tercantum pada Lampiran 4 dan 5. Campuran pakan dan enzim kasar ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Parameter yang diamati adalah derajat hidrolisis protein (Lampiran 6). Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila Uji Pertumbuhan xliii
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan buatan (formulasi) dan pakan komersial sebagai kontrol. Komposisi bahan pakan formulasi dan komposisi proksimat pakan percobaan tersaji di Lampiran 4 dan 5. Enzim yang diberikan pada pakan percobaan adalah enzim dari bakteri A1 dan L1, dengan dosis 1000 ml / kg pakan. Cairan enzim dituangkan ke dalam campuran bahan baku pakan formulasi atau pakan komersial yang sudah dihaluskan, sesuai dengan perlakuan yang ditentukan, dan diaduk merata. Selanjutnya inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam. Rancangan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan sebagai berikut : A.
Pakan formulasi kontrol (kadar protein 28%)
B.
Pakan formulasi yang ditambah enzim dari bakteri A1
C.
Pakan formulasi yang ditambah enzim dari bakteri L1
D.
Pakan komersial kontrol berkadar protein 31%
E.
Pakan komersial yang ditambah enzim dari bakteri A1
F.
Pakan komersial yang ditambah enzim dari bakteri L1
G.
Pakan komersial berkadar protein 28% Ikan nila dengan berat rata-rata 4.07 ± 0.25 gram ditebar dengan
kepadatan 10 ekor per akuarium. Wadah yang digunakan adalah akuarium berukuran 60 x 60 x 50 cm sebanyak 21 buah, yang masing-masing diisi air bervolume 90 liter dan dilengkapi sistem resirkulasi. Pengaturan dan penempatan wadah perlakuan dilakukan secara acak dengan menggunakan bilangan acak (Steel & Torrie 1995). Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari sebanyak 5% dari bobot biomassa ikan nila per akuarium per hari. Penyesuaian bobot biomassa ikan uji dilakukan dengan sampling setiap 15 hari sekali. Jumlah pakan yang diberikan dicatat untuk mendapatkan data konsumsi pakan, efisiensi pakan dan retensi protein. Percobaan pertumbuhan ini dilakukan selama 60 hari. Penggantian air di tandon filter dilakukan setiap 3 hari sekali, dan penyiponan kotoran dilakukan setiap hari. Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal, tengah dan akhir masa pemeliharaan meliputi suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. xliv
Parameter kinerja pertumbuhan yang diamati adalah:
Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) Laju pertumbuhan spesifik ikan uji dihitung mengikuti rumus yang digunakan oleh Mundheim et al. (2004) yaitu: LPS
= (ln Wt – ln Wo) x 100 T
Keterangan: LPS = laju pertumbuhan spesifik (%) Wt = rata-rata bobot individu pada akhir penelitian (g) Wo = rata-rata bobot individu pada awal penelitian (g) T = lama waktu pemeliharaan (hari) Jumlah Konsumsi Pakan Jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji dihitung dengan cara menimbang pakan yang diberikan setiap hari, dan juga pakan yang tersisa setiap hari sebagai pengurangnya. Jumlah keseluruhan pakan yang dikonsumsi pada setiap unit percobaan selama 60 hari dicatat sebagai data jumlah konsumsi pakan.
Retensi Protein Nilai retensi protein dihitung berdasarkan persamaan Takeuchi (1988) sebagai berikut : RP
(%)
=
[(F-I)/P] x 100%
Keterangan : RP = retensi protein (%) F = jumlah protein tubuh ikan pada akhir penelitian (g) I = jumlah protein tubuh ikan pada awal penelitian (g) P = jumlah protein yang dikonsumsi ikan (g) Efisiensi Pakan Perhitungan efisiensi pakan didasarkan pada NRC (1977), yaitu besarnya rasio perbandingan antara pertambahan bobot ikan yang didapatkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi ikan. Semakin besar nilai pertambahan bobot maka efisiensi pakan semakin besar. EP (%) Keterangan : EP = Wt = = Wo D =
=
(Wt + D) – Wo x 100 JKP
efisiensi pakan (%) biomassa ikan pada akhir pemeliharaan (g) biomassa ikan pada awal pemeliharaan (g) bobot ikan yang mati selama penelitian (g) xlv
JKP
=
Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g)
Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Huisman (1987) yaitu: SR
(%)
Keterangan; Nt = No =
=
Nt x 100% No
jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor) jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)
Uji Kecernaan Protein dan Total Pakan Pengujian daya cerna pakan oleh ikan nila dilakukan secara terpisah dari uji pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pengumpulan feses tidak mengganggu pertumbuhan ikan uji. Akuarium yang digunakan untuk uji kecernaan berukuran lebih besar, yaitu 100 x 60 x 50 cm. Pembuatan pakan percobaan untuk uji kecernaan dilakukan sama seperti pakan untuk uji pertumbuhan, namun ditambahkan 0.6% Cr2O3 sebagai indikator kecernaan. Pakan diberikan pada ikan selama 3 minggu dan pengumpulan feses mulai dilakukan pada hari ketujuh dengan cara menyedot feses di dasar akuarium dengan selang kecil dan ditampung di ember. Selanjutnya feses yang mengendap di dasar ember disaring dan dikumpulkan dalam botol film. Feses yang terkumpul dikeringkan dalam oven bersuhu 110 selama 4-6 jam, dan dianalisis kandungan Cr2O3 (Lampiran 7) dan kadar proteinnya. Penghitungan nilai kecernaan berdasarkan Takeuchi (1988): KT KP Keterangan : KT = KP = a = a’ = b = b’ =
= =
100 x (1 – b/b’) 100 x [1 – (a’/a x b/b’)]
kecernaan total (%) kecernaan protein (%) kadar nutrien (protein) dalam pakan (bobot kering) kadar nutrien (protein) dalam feses (bobot kering) kadar indikator Cr2O3 dalam pakan (% bobot kering) kadar indikator Cr2O3 dalam feses (% bobot kering) Analisis Data
xlvi
Data hasil isolasi dan seleksi bakteri proteolitik, data aktivitas enzim protease, kerapatan optis dan uji derajat hidrolisis pakan dianalisis secara deskriptif. Data hasil uji pertumbuhan dan kecernaan pakan dianalisis secara statistika dengan Anova dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik Ikan lele yang digunakan untuk isolasi bakteri berasal dari petani lele di daerah Cibalagung Bogor, sebanyak 4 ekor. Saluran pencernaan yang didapatkan dari masing-masing ikan digerus menjadi satu sebelum dilakukan kegiatan isolasi. Isolasi juga dilakukan terhadap sampel air kolam pemeliharaan lele dari tempat yang sama sebagai pembanding. Kegiatan isolasi bakteri dari saluran pencernaan ikan lele dan kolam pemeliharaan ikan berturut-turut mendapatkan 7 dan 3 isolat yang dipilih berdasarkan perbedaan morfologi koloninya. Koloni-koloni bakteri yang didapatkan memiliki karakter morfologis antara lain bulat kecil, bulat sedang, bulat besar, dan warna yang didapatkan adalah putih kusam, putih susu, krem, kuning, dan bening. Seleksi Bakteri Proteolitik Aktivitas Proteolitik Hasil uji aktivitas proteolitik bakteri hasil isolasi disajikan pada Gambar 1. Aktivitas proteolitik positif ditandai dengan adanya zona bening di sekeliling koloni isolat, yang merupakan luas areal hidrolisis substrat kasein oleh isolat bakteri.
Gambar 1. Zona hidrolisis kasein oleh bakteri proteolitik (A1, L1, L3, L4, L7), dan bakteri non proteolitik (C) dan TSB. xlvii
Hasil pengukuran luas diameter hasil aktivitas proteolitik disajikan pada Lampiran 8. Empat bakteri dengan diameter hidrolisis kasein tertinggi adalah A1, L1, L4 dan L3 yang menghasilkan zona bening dengan diameter berturut-turut sebesar 30, 28, 28 dan 25 mm. Enam isolat lainnya tidak terpilih untuk mengikuti pengujian patogenisitas karena zona hidrolisis kaseinnya terlalu sempit (11, 10, 8, 8, 6 dan 5 mm).
Keempat bakteri tersebut selanjutnya mengikuti pengujian
patogenisitas. Luas zona hidrolisis kasein dijadikan sebagai dasar acuan pertama dalam seleksi bakteri proteolitik, yang mengindikasikan kemampuannya dalam memanfaatkan protein untuk kelangsungan hidupnya, dengan terlebih dahulu merombak protein menjadi asam-asam amino. Meskipun menurut Suhartono (1989b), dalam beberapa kasus, luas zona hidrolisis kasein tidak secara otomatis langsung berkorelasi dengan produktivitasnya dalam menghasilkan enzim protease, namun metode ini masih cukup efektif untuk seleksi awal. Gupta dan Khare (2006) dan Tang (2008) juga melakukan metode zona bening ini untuk menyeleksi bakteri proteolitik, dan pada tahap terakhirnya memperoleh Pseudomonas aeruginosa yang mampu memproduksi protease dalam jumlah besar. Uji Patogenisitas Uji patogenisitas bertujuan untuk mengetahui apakah isolat yang didapatkan bersifat patogen terhadap ikan uji atau tidak. Meskipun isolat tidak diberikan secara langsung dalam keadaan hidup pada pakan uji (hanya ekstrak enzimnya saja), namun dikhawatirkan ekstrak protease dari bakteri patogen dapat berefek negatif terhadap ikan uji. Pengujian dilakukan terhadap 4 bakteri yang memiliki zona hidrolisis kasein tertinggi (A1, L1, L3 dan L4)
dan larutan
fisiologis sebagai kontrol menggunakan ikan nila sebagai ikan uji. Hasil uji patogenisitas yang dilakukan selama dua minggu di akuarium disajikan pada Lampiran 9. Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang diinjeksi isolat A1 dan L1 sebesar 100% hingga akhir masa pengamatan, sama dengan kontrol, yang mengindikasikan bahwa isolat A1 dan L1 tidak bersifat patogen terhadap ikan nila. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan injeksi isolat L3 dan L4 hanya 40 dan 20% di akhir pengamatan.
xlviii
Berdasarkan analisis secara deskriptif, isolat A1 dan L1 terpilih sebagai bakteri penghasil enzim protease pada percobaan selanjutnya. Pertimbangannya adalah berdasarkan peringkatnya yang tertinggi pada uji zona hidrolisis kasein, dan terbukti tidak bersifat patogen pada ikan nila. Optimasi Potensi Bakteri Terpilih sebagai Sumber Enzim Protease Kerapatan Optis Bakteri A1 dan L1 Nilai kerapatan optis mencerminkan kepadatan populasi bakteri di dalam cairan kultur. Meskipun nilai kerapatan optis ini tidak bisa membedakan antara populasi bakteri yang hidup dengan yang mati, namun metode ini cukup efektif menggambarkan dinamika pertumbuhan bakteri. Hasil pengamatan nilai kerapatan optis bakteri A1 dan L1 setiap 4 jam selama empat hari tersaji di Gambar 2 dan Lampiran 10. Kurva pertumbuhan pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa kedua bakteri mengalami fase-fase pertumbuhannya pada waktu yang hampir bersamaan.
Gambar 2.
Kerapatan optis cairan kultur bakteri A1 (▲) dan L1 (□) dalam pengamatan selama 4 hari pada waktu kulturnya. Fase pertumbuhan awal (lag phase) dan fase eksponensial bakteri A1 dan
L1 dimulai dari awal kultur hingga jam ke-44 (mendekati 2 hari). Fase stasioner bakteri A1 terjadi antara jam ke-44 sampai jam ke-52, sedangkan bakteri L1 antara jam ke-44 sampai jam ke-68. Fase kematian terjadi setelah stasioner, di mana populasi bakteri cenderung terus mengalami penurunan. Menurut Pelczar dan Chan (1986), fase pertumbuhan bakteri terdiri dari periode awal yaitu fase lamban atau lag phase, diikuti oleh suatu periode xlix
pertumbuhan yang cepat (fase logaritma atau eksponensial), kemudian mendatar (fase statis atau stasioner) dan akhirnya fase penurunan populasi sel-sel hidup (fase kematian atau penurunan). Penentuan fase pertumbuhan bermanfaat untuk mengetahui kapan waktu panen sel yang tepat untuk memproduksi suatu produk atau senyawa metabolit, antara lain enzim (Suhartono 1989b). Pemantauan Aktivitas Enzim Protease Bakteri A1 dan L1 Kegiatan ekstraksi enzim yang dilanjutkan dengan pengujian aktivitas enzim protease bakteri A1 dan L1, dilakukan selama 4 hari setiap 4 jam sekali pada waktu kulturnya, sebanyak 25 titik pengamatan (Gambar 3 dan Lampiran 11). Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya fluktuasi produksi enzim protease oleh kedua bakteri, karena daya sintesis enzim oleh bakteri dari satu fase ke fase lain tidak sama.
Gambar 3.
Aktivitas enzim protease (µg/menit.ml) bakteri A1 (▲) dan L1 (□) dalam pengamatan selama 4 hari pada waktu kulturnya. Dari Gambar 3 terlihat bahwa aktivitas enzim protease bakteri A1 mulai
mengalami peningkatan pada titik waktu ke-11 (atau jam ke-40) dan semakin meningkat pada titik waktu berikutnya, sedangkan pada bakteri L1, peningkatan yang signifikan dimulai pada titik waktu ke-14 (atau jam ke-52). Bakteri A1 mulai meningkatkan sekresi enzim proteasenya menjelang memasuki fase stasioner, sedangkan bakteri L1 di dalam fase stasioner. Enzim dari kedua bakteri menunjukkan tingkat aktivitas enzim tertinggi pada periode yang hampir
l
bersamaan, yaitu pada titik waktu ke-18 hingga ke-24 (atau jam ke-68 hingga ke92). Tingkat produksi tertinggi ini justru dihasilkan ketika kedua bakteri berada di dalam fase penurunan. Menurut Suhartono (1989a), sintesis enzim ekstraselular oleh bakteri dalam jumlah terbesar secara normal terjadi pada saat sebelum sporulasi, yaitu pada akhir fase eksponensial dan awal stasioner. Keadaan ini membawa pada suatu dugaan bahwa kemungkinan ada hubungan sebab akibat antara eksoenzim dan sporulasi. Bacilus sp misalnya, memproduksi protease serin pada tahap akhir pertumbuhan, yaitu saat sel memasuki fase sporulasi, dan Bacillus subtilis meningkatkan produksi protease jenis subtilisin pada saat menjalani proses sporulasi. Berdasarkan hasil pengamatan pada tahap ini, maka diputuskan bahwa pemanenan enzim protease untuk bakteri A1 dan L1 dilakukan pada umur kultur 3 hari (72 jam), yaitu pada posisi aman di dalam rentangan masa produksi enzim protease yang tertinggi. Hasil ini serupa dengan Wang et al. (2008), yang melaporkan bahwa kondisi produksi protease yang optimal oleh bakteri Chryseobacterium taeanense TKU001 adalah dengan inkubasi kultur bakteri tersebut pada suhu 37oC selama 3 hari. Tang (2008) yang mengisolasi bakteri penghasil protease dan mengoptimasi produksi protease oleh Pseudomonas aeruginosa juga melaporkan hal yang sama. Mabrouk et al. (1999) yang mengoptimasi produksi protease Bacillus licheniformis melaporkan hal yang berbeda, bahwa waktu inkubasi selama 5 hari pada suhu 37oC menghasilkan protease dengan aktivitas yang maksimal. Penentuan Dosis Enzim Protease Bakteri Setelah mendapatkan waktu kultur bakteri yang optimal untuk memanen enzim protease, tahap selanjutnya adalah menentukan dosis enzim protease yang tepat untuk menghidrolisis protein pakan percobaan. Hasil uji derajat hidrolisis protein pakan formulasi yang diberi ekstrak enzim protease bakteri A1 dan L1 pada beberapa level dosis disajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 12.
li
Gambar 4.
Nilai derajat hidrolisis protein pakan (%) pada beberapa level dosis enzim protease bakteri A1 (▲) dan L1 (□).
Dari Gambar 4 terlihat bahwa derajat hidrolisis protein pakan percobaan meningkat bersamaan dengan meningkatnya dosis enzim protease yang diberikan. Pada dosis 1000 ml enzim / kg pakan, derajat hidrolisis protein mencapai rataan 91.99% (±0.65). Ini mengandung pengertian bahwa dari 100 gram protein yang terkandung di dalam pakan, sebanyak 91.99 gram telah diubah menjadi bentuk protein terlarut, dan sisanya (8.01 gram) masih berupa protein tidak larut. Dosis 1000 ml ekstrak enzim protease / kg pakan terpilih untuk diaplikasikan dalam percobaan selanjutnya. Dosis 1000 ml enzim protease perkilogram pakan dalam penelitian ini setara dengan memberikan enzim protease dengan total aktivitas 8 x 105 µg perkilogram pakan. Hou et al. (2010) memberikan kombinasi enzim-enzim protease untuk menghidrolisis tulang rangka limbah ikan Pollock sebanyak 1.2 g/kg substrat dengan aktivitas 1.2 x 105 µg/g atau setara dengan 1.44 x 105 µg/kg substrat, dan berhasil memecahkan ikatan peptida pada substrat sebanyak 25%. Beal et al. (1998c) menghidrolisis tepung bungkil kedelai (TBK) dengan enzim protease sebanyak 2.5 g/ kg TBK dengan aktivitas 4 x 105 µg/g atau setara dengan 10 x 105 µg/kg TBK, dan melaporkan adanya penurunan jumlah dan densitas ikatan protein yang mengindikasikan adanya hidrolisis protein TBK. Tingginya derajat hidrolisis protein pada pakan percobaan yang disuplementasi dengan enzim protease bakteri A1 dan L1 disebabkan oleh adanya lii
kontribusi beberapa bahan baku pakannya. Protein yang terdapat di dalam pakan formulasi sebesar 31.12 % bobot kering pakan berasal dari sumbangan TBK sebesar 10.52%, tepung ikan 6.56%, polar 5.84%, tepung darah 5.67% dan dedak 2.52%. Prosentase sumbangan protein dari masing-masing bahan baku dibandingkan dengan total protein pakan ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5.
Prosentase sumbangan protein masing-masing bahan baku terhadap total protein pakan formulasi (%). TBK, tepung ikan dan tepung darah sebagai tiga komponen terbesar
penyumbang protein dalam pakan formulasi akan mengalami perombakan protein yang signifikan bila dihidrolisis oleh enzim protease. Hou et al. (2010) yang menggunakan kompleks enzim protease untuk menghidrolisis limbah ikan Pollock Alaska yang terdiri dari daging dan tulang buangan melaporkan adanya penurunan signifikan jumlah ikatan peptida. Beal et al. (1998a) menggunakan teknik in vitro untuk mengevaluasi kemampuan beberapa jenis enzim protease dalam meningkatkan kecernaan nitrogen TBK, dan menemukan peningkatan sebesar 12% daripada kontrolnya. Rooke et al. (1998) melaporkan adanya peningkatan konsentrasi asam amino TBK setelah ditreatment dengan enzim protease. TBK dalam pakan percobaan yang merupakan penyumbang terbesar dalam komposisi protein pakan akan secara signifikan menambah jumlah protein yang terhidrolisis. Uji Kecernaan dan Pertumbuhan pada Ikan Nila liii
Hasil uji kecernaan total dan protein pakan untuk ikan nila disajikan di Tabel 7, sedangkan perhitungan nilai kecernaan pakan oleh ikan nila, analisis ragam dan uji Duncannya berturut-turut tersaji di Lampiran 13, 18 dan 19. Pakan formulasi yang ditambah enzim A1 (pakan B) dan L1 (pakan C) meningkat nilai kecernaan protein dan totalnya secara signifikan dibandingkan kontrolnya (pakan A), dengan nilai kecernaan total 48, 72 dan 76%, dan kecernaan protein pakan 75, 84 dan 90%, berturut-turut untuk pakan A, B dan C. Pakan B dan C telah mengalami proses pencernaan awal dengan cukup baik, sehingga jumlah nutrien terhidrolisisnya lebih banyak dibandingkan pakan A, dan kecernaannya meningkat. Tabel 7. Laju pertumbuhan spesifik (LPS), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), kecernaan protein pakan (KP), kecernaan total pakan (KT) dan kelangsungan hidup (SR) ikan nila.
Parameter
KT (%) KP (%) LPS(%) JKP (g) EP (%) RP (%) SR (%)
Pakan Formulasi (28% P) Kontrol Enzim Enzim A1 L1 A B C
PERLAKUAN Pakan komersial (31%P) Kontrol Enzim Enzim A1 L1 D E F
Pakan Komersial (28% P) G
48 ± 1.6a 72 ± 1.8d 76 ± 0.8e 70 ± 0.5c 69 ± 0.3c 87 ± 0.3f 61 ± 0.9b a d e c b f 75 ± 1.0 84 ± 0.1 90 ± 0.3 82 ± 1.4 81 ± 0.8 93 ± 0.3 75 ± 0.5a a bc abc c c c 2.3±0.2 2.8±0.2 2.7±0.1 3.0 ± 0.3 2.9 ± 0.2 3.0±0.2 2.5±0.1ab a abc abc c bc c 162 ±25 209±32 203±11 245±58 242±37 257±20 184±17abc a bc ab c bc abc 76 ± 3.4 83 ± 2.7 80 ± 2.5 86 ± 3.2 83 ± 2.0 81 ± 4.4 76 ± 3.3a 44 ± 2.0a 50 ± 1.9c 49 ± 1.4bc 45 ± 2.1a 44 ± 1.1a 43 ± 2.0a 45 ± 2.0ab a a a a a a 97 ± 5.8 97 ± 5.8 100 ± 0 100 ± 0 97 ± 5.8 97 ± 5.8 100 ± 0.0a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)
Kecernaan protein dan total pakan komersial mengalami peningkatan signifikan dibandingkan kontrolnya (pakan D), untuk treatment dengan enzim L1 (pakan F), namun tidak untuk enzim A1 (pakan E). Pakan D, E dan F berturutturut memiliki nilai kecernaan total 70, 69 dan 87% dan kecernaan protein 82, 81 dan 93%. Tidak diketahui dengan pasti alasan timbulnya perbedaan respon di antara kedua enzim ini, namun diduga penyebabnya adalah bahwa enzim A1 tidak sebaik enzim L1 dalam menghidrolisis bahan pakan komersial. Dimungkinkan ada sejenis ikatan protein atau senyawa kompleks lain di dalam pakan komersial yang tidak dapat dipecahkan oleh enzim A1, tetapi enzim L1 berhasil melakukannya, sehingga kecernaannya berbeda.
liv
Di antara tiga jenis pakan yang tidak dihidrolisis dengan enzim, pakan formulasi (A) memiliki kecernaan total yang paling rendah (48%) dibandingkan pakan komersial 31% (D; 70% ) dan pakan komersial 28% (G; 61% ) dengan selisih di antara ketiganya yang signifikan, dan juga kecernaan protein A paling rendah (75%) dibandingkan G (75%) dan D (82%), dengan selisih antara A dan D yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas bahan pakan A secara umum paling rendah dari dua pakan lainnya, dan kualitas bahan sumber protein pakan A sama dengan pakan G, tetapi lebih buruk dari pakan D. Tidak mengherankan
apabila
treatmentnya
dengan
enzim
protease
mampu
meningkatkan kecernaan total dan protein pakan formulasi secara signifikan, karena kondisi bahan dasarnya masih memungkinkan untuk ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan nilai kecernaan pada pakan formulasi tidak terlepas dari kontribusi bahan-bahan sumber protein pakan yang mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim protease bakteri. Menurut Laining et al. (2003), tepung darah akan mengalami peningkatan kecernaan total dari 48.1% menjadi 67.9% dan 61.7%, dan peningkatan kecernaan protein dari 55.2% menjadi 87.5% dan 84.2% setelah difermentasi dengan asam format dan propionat pada uji kecernaan dengan ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Ini membuktikan bahwa nilai kecernaan total dan protein tepung darah dapat ditingkatkan dengan beberapa treatment, termasuk dengan hidrolisis oleh enzim protease bakteri A1 dan L1. Ghazi et al (2002, 2003) dan Marsman et al. (1997) melaporkan adanya peningkatan kecernaan protein pakan yang berbasis TBK setelah ditreatment dengan enzim protease, untuk ayam broiler. Swift et al. (1996) juga melaporkan adanya peningkatan kecernaan nitrogen dan energi secara signifikan pada pakan berbasis TBK untuk ayam broiler, setelah ditreatment dengan Vegpro (enzim protease komersial). Sedangkan tepung ikan, menurut Smith et al. (1994), nilai kecernaan proteinnya masih cukup bervariasi (75.1 – 91.7%, tergantung jenis ikan yang digunakan), sehingga masih dapat ditingkatkan kecernaannya dengan enzim protease. Lebih jauh, Rosmawati (2005) juga melaporkan adanya peningkatan kecernaan total dan protein yang signifikan pada pakan percobaannya yang dihidrolisis dengan enzim pankreatin dan pepsin.
lv
Nilai kecernaan pakan menggambarkan kinerja
pencernaan dan
penyerapan pakan yang terjadi di saluran pencernaan ikan. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh kemampuan ikan mencerna pakan dan kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ikan, yang ditentukan oleh karakter bahan baku penyusunnya. Bahan berserat tinggi tidak dapat dicerna oleh ikan non-herbivora karena ketiadaan enzim yang dapat memecah dinding sel yang kompleks yang terdapat padanya. Sumber protein nabati diketahui memiliki nilai kecernaan protein yang bervariasi karena adanya struktur sekunder dan tersier pada ikatan protein dan perbedaan komposisi asam aminonya. Selain itu, pakan yang karakternya diketahui dapat melintas cepat di saluran pencernaan ikan akan dicerna secara kurang sempurna, karena singkatnya waktu pemaparan oleh enzim pencernaan (Millamena et al. 2002). Perhitungan laju pertumbuhan spesifik (LPS), jumlah konsumsi pakan, efisiensi pakan dan retensi protein pakan tersaji di Lampiran 14 dan 15 serta Tabel 7. Terlihat dari Tabel 7, pemberian enzim A1 pada pakan formulasi berpengaruh nyata meningkatkan LPS ikan nila. LPS rata-rata pada pakan B dan pakan C adalah 2.8 dan 2.7%, sedangkan pakan A hanya 2.3%. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 16 dan Tabel 7), meskipun hanya pakan B yang secara signifikan meningkat dibandingkan pakan A, namun LPS pada pakan B dan C yang berkadar protein 28% tidak berbeda nyata dengan pakan komersial kontrol dan terhidrolisisnya (pakan D, E dan F) yang berkadar protein 31% (3.0; 2.9; 3.0%). LPS pakan A secara statistika jauh lebih kecil daripada pakan D, E dan F. Peningkatan LPS ini berkaitan dengan adanya peningkatan yang sangat signifikan untuk parameter kecernaan total dan protein pada pakan formulasi yang dihidrolisis oleh enzim A1 dan L1. Meningkatnya kecernaan total dan protein menyebabkan meningkat pula asupan nutrisi yang terserap dan dimanfaatkan oleh tubuh ikan dalam proses metabolisme. Penyerapan protein yang lebih baik akan menyebabkan meningkatnya ketersediaan asam amino yang diperlukan untuk pertumbuhan. Meningkatnya tingkat penyerapan nutrisi pakan secara total akan meningkatkan ketersediaan energi, yang selanjutnya akan meningkatkan ‘efek penghematan protein’, sehingga asam amino akan lebih termanfaatkan secara efisien sebagai komponen pembangun tubuh dan bukan sebagai sumber energi.
lvi
Jumlah pakan yang dikonsumsi ikan nila dari ketujuh perlakuan juga mengalami perbedaan (Lampiran 17 Tabel 7). Meskipun selisihnya belum signifikan, konsumsi pakan B dan C (209 dan 203 gram) mengalami peningkatan dibandingkan pakan A (162 gram), sehingga nilainya secara statistika menyamai konsumsi pakan D, E dan F (245; 242 dan 257 gram). Hal ini menunjukkan bahwa enzim protease dari bakteri A1 dan L1 juga mampu meningkatkan palatabilitas pakan formulasi. Inkubasi pakan formulasi dengan enzim bakteri A1 dan L1 menghasilkan aroma yang kuat seperti aroma terasi, yang menjadi atraktan tambahan bagi ikan yang mengkonsumsinya. Dilihat dari parameter efisiensi pakan, pakan formulasi kontrol (A) berada di posisi terendah (76%), sedangkan pakan komersial kontrol (D) di posisi tertinggi (86%) dengan jarak bentangan (multiple range test) yang berbeda sangat nyata (Lampiran 20 dan Tabel 7). Perlakuan hidrolisis pakan formulasi dengan enzim A1 (pakan B) mampu meningkatkan efisiensi pakan menjadi 83%. Nilai efisiensi pakan B secara statistik mampu menyamai pakan D, E dan F (86; 83 dan 81%). Ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah konsumsi pakan pada pakan formulasi yang dihidrolisis oleh enzim A1 dan L1 diikuti juga dengan peningkatan deposisi bobot tubuh yang lebih efisien, sehingga nilai efisiensi pakannya meningkat. Dari Tabel 7 dan Lampiran 21 terlihat bahwa pakan B dan C memberikan nilai retensi protein yang tertinggi (50 dan 49%), meningkat signifikan dibandingkan pakan A (44.40%), dan berbeda nyata dengan pakan D, E dan F (44; 44 dan 43%). Tingginya nilai retensi protein pada pakan B dan C disebabkan karena meskipun kadar proteinnya lebih rendah (28.00; 28.10% bobot basah) dibandingkan pakan D, E dan F (31.00; 31.10; 31.10% bobot basah), namun deposisi protein tubuhnya yang tercermin dari laju pertumbuhannya tidak berbeda nyata. Pemberian enzim A1 dan L1 mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan dan pembentukan jaringan tubuh. Pada pakan komersial dengan kadar protein 31% (bobot basah), pemberian enzim A1 dan L1 ternyata tidak meningkatkan laju pertumbuhan ikan nila (Tabel 7). LPS pakan komersial yang diberi enzim A1, L1 dan kontrolnya (pakan E, F dan D) adalah sebesar 2.9, 3.0 dan 3.0%. Meskipun ada peningkatan signifikan
lvii
pada parameter kecernaan protein dan total pakan dengan pemberian enzim L1, namun hal ini ternyata tidak diikuti dengan peningkatan laju pertumbuhannya. Hal yang serupa juga terjadi pada parameter retensi protein, efisiensi dan jumlah konsumsi pakan. Perbedaan efek ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan kualitas bahan baku penyusun di antara pakan formulasi dengan komersial. Nilai kecernaan total dan protein pakan formulasi hanya 48 dan 75%, sedangkan pakan komersial cukup tinggi yaitu 70 dan 82%. Kualitas pakan komersial yang sudah cukup baik menyebabkan perlakuan hidrolisis enzim tidak memberikan peningkatan yang berarti. Rosmawati (2005) yang memberikan enzim pepsin dan pankreatin komersial pada pakan buatan untuk benih gurami juga melaporkan hal serupa. Pemberian enzim pepsin meningkatkan kecernaan protein, tetapi tidak meningkatkan laju pertumbuhan benih gurami. Tidak ada perbedaan nyata untuk parameter kelangsungan hidup, yang mengindikasikan bahwa enzim A1 dan L1 tidak berpengaruh terhadap parameter ini (Tabel 7 dan Lampiran 22). Dari 10 individu ikan yang dipelihara di setiap unit percobaan, kematian yang terjadi maksimal hanya 1 individu saja. Nilai rata-rata SR terendah adalah 97% untuk perlakuan A, B, E dan F, sedangkan perlakuan C, D dan G mencapai 100%. Tingkat kelulusan hidup yang tinggi juga didukung oleh terjaganya kualitas air media hidup ikan nila (Lampiran 23). Sistem resirkulasi, penyiponan feses dan pembersihan bak filter resirkulasi yang rutin dilakukan dan pencahayaan dengan lampu TL telah mampu menjaga kualitas air media tetap stabil dan sesuai untuk mendukung kehidupan ikan nila yang optimal.
lviii
KESIMPULAN 1. Kegiatan isolasi dan seleksi mendapatkan dua isolat (A1 dan L1) yang memiliki zona hidrolisis terbesar dan lolos pada uji patogenisitas sehingga terpilih sebagai bakteri penghasil enzim protease. 2. Kegiatan optimasi produksi protease mendapatkan bahwa fase stasioner bakteri A1 dan L1 terjadi pada umur 2 hari, produksi protease yang optimal terjadi pada umur 3 hari, dan dosis enzim protease yang terpilih untuk menghidrolisis pakan percobaan adalah 1000 ml/kg pakan dengan nilai derajat hidrolisis protein pakan sebesar 91,99%. 3. Pemberian enzim bakteri A1 dan L1 pada pakan formulasi mampu meningkatkan laju pertumbuhan spesifik ikan nila, kecernaan protein dan total, efisiensi pakan, retensi protein dan palatabilitas pakan, sedangkan pada pakan komersial, peningkatan yang signifikan hanya pada parameter kecernaan.
lix
DAFTAR PUSTAKA Aslamyah S. 2006. Penggunaan mikroflora saluran pencernaan sebagai probiotik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng. [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Beal JD, Brooks PH, Schulze H. 1998a. The effect of pretreatment with different proteases on the in vitro digestibility of nitrogen in raw soya bean and four different full fat soya bean meals. Di dalam: van Arendonk JAM, editor. Book of Abstracts of the 49th Annual Meeting of the European Association for Animal Production, Warsawa, Polandia. Wageningen Pers, Wageningen, The Netherlands. Hlmn 264. Beal JD, Brooks PH, Schulze H. 1998b. The effect of the addition of a protease enzyme to raw or autoclaves soya bean on the growth performance of liquid fed grower/finisher pigs. British Society of Animal Science Winter Meeting. Scarborough, UK. Hlmn 161. Beal JD, Brooks PH, Schulze H. 1998c. The hydrolyzation of protein in raw and autoclaved soyabean meals by a microbial protease. British Society of Animal Science Winter Meeting. Scarborough, UK. Hlmn 167. Beal JD, Brooks PH,Schulze H. 1999. The effect of protease pretreatment of raw or micronized soyabean meal on the growth performance and carcass composition in liquid fed grower and finisher pigs. British Society of Animal Science Winter Meeting. Scarborough, UK. Hlmn 170. Bergmeyer J, Graß1 M, editor. 1986. Methods of Enzymatic Analysis. Volume V, Enzymes 3: Peptidases, Proteinases and Their Inhibitors. Ed ke-3. Germany: VCH. Hlmn 258-277. Bureau DP, Harris AM, Cho CY. 1999. Apparent digestibility of rendered animal protein ingredients for rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture 180:345–358. Caine WR, Sauer WC, Tamminga S, Schulze H. 1997. Apparent ileal digestibilities of amino acids in newly weaned pigs fed diets with protease-treated soyabean meal. Journal of Animal Sience 75:2962–2969. Clarke RTJ, Bauchop T. 1977. Microbial Ecology of Gut. London, New York, San Francisco. Academic Press. Das KM, Tripathi SD. 1991. Studies on digestive enzymes of grass carp, Ctenopharyngodon idella Val. Aquaculture 92:11-21. Davis DA, Johnston WL, Arnold CR. 1998. The use of enzyme supplements in shrimp diets. Symposium Publication IV : International Symposium on Aquatic Nutrition. November 12-18. La-Paz, BCS, Mexico. lx
Dong FM, Hardy RW. 2000. Feed Evaluation, Chemical. Di dalam: Robert Stickney, editor. Encyclopedia of Aquaculture. John Wiley and Sons. New York. Hlmn 340-349. Drew MD, Racz VJ, Gauthier R, Thiessen DL. 2005. Effect of adding protease to coextruded flax:pea or canola:pea products on nutrient digestibility and growth performance of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Animal Feed Science and Technology 119:117-128. Fitriliyani I. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi tepung daun lamtoro dengan penambahan ekstrak enzim cairan rumen domba (Ovis aries) untuk bahan pakan ikan nila (Oreochromis niloticus). [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Furuichi M. 1988. Fish Nutrition. Di dalam : Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture, editor. Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA. Hlmn 3-77. Gatlin III DM et al. 2007. Expanding the utilization of sustainable plant products in aquafeeds : a review. Aquaculture Research 38:551-579. Ghazi S, Rooke JA, Galbraith H, Bedford MD. 2002. The potential for the improvement of the nutritive value of soya bean meal by different proteases in broiler chicks and broiler cockerels. Br. Poult. Sci 43:70-77. Ghazi S, Rooke JA, Galbraith H. 2003. Improvement of the nutritive value of soybean meal by protease and alpha-galactosidase treatment in broiler chockerels and broiler chicks. Br. Poult. Sci. 44:410-418. Gupta A, Khare SK. 2006. A protease stable in organic solvents from tolerant strain of Pseudomonas aeruginosa. Bioresource Technology 97: 17881793. Hadioetomo RS. 1990. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan I. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Halimatusadiah SS. 2009. Pengaruh atraktan untuk meningkatkan penggunaan tepung darah pada pakan ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB. Halver JE. 2001. Fish Nutrition. Academic Press Inc. University of Washington. Seattle Washington. Hlmn 62-132.
lxi
Harris LE. 1980. Feedstuffs. Di dalam: Pillary TVR, editor. Fish Feed Technology. Lectures presented at the FAO/UNDP Training Course in Fish Feed Technology, College of Fisheries, University of Washington, Seattle, WA. 9 October-15 December, 1978. Hlmn 111-170. Hasan ODS. 2000. Pengaruh pemberian enzim papain dalam pakan buatan terhadap pemanfaatan protein dan pertumbuhan benih ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hetrampf JW, Pascual FP. 2000. Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. Kluwer Acadmic Publishers, London. Hoshino T et al. 1997. Isolated of Pseudomonas sp of fish intestine excretion an active protease at low temperature. Lett. Appl. Microbiol 25:70-72. Hou H, Li B, Zhao X, Zhang Z, Li P. 2010. Optimization of enzymatic hydrolysis of Alaska Pollock frame for preparing protein hydrolysates with low bitterness. LWT-Food Science and Technology. Doi:10.1016/j.lwt.2010. 09.009. Huisman EA. 1987. Principles of Fish Production. Department of Fish Culture and Fisheries, Wageningen Agriculture University, Wageningen, Netherland. 170p. Hungate R. 1966. The Rumen and its Microbes. London and New York, Academic Press. Huo GC, Fowler VR, Inborr J, Bedford M. 1993. The use of enzymes to denature antinutritive factors in soyabean. Di dalam: van der Poel AFB, Huisman J, Saini HS, editors. Recent Advances of Research in Antinutritional Factors in Legume Seeds. Proceedings of the Second International Workshop on ‘Antinutritional Factors (ANFs) in Legume Seeds’. Wageningen Pers, Eageningen, the Netherlands. Hlmn 517-521. Laining A, Rachmansyah, Ahmad T, Williams K. 2003. Apparent digestibility of selected feed ingredients for humpback grouper, Cromileptes altivelis. Aquaculture 218:529-538. Li MH, Robinson EH, Hardy RW. 2000. Protein sources for feeds. Di dalam: Robert Stickney, editor. Encyclopedia of Aquaculture. John Wiley and Sons, New York. 688-695. Lovell T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. Auburn University. Van Nostrand Reinhold. New York. P 260 Jankauskiene R. 2002. Bacterial Flora of Fishes from Aquaculture: the Genus Lactobacillus. Institut of Ecology Akademijos 2, Vilnius 2600. Lithuania.
lxii
Jobling, M. 2001. Feed composition and analysis. Di dalam: Houlin D, Boujard T, Jobling M, editors. Food Intake in Fish. Blackwell Science Ltd., Oxford. Hlmn 25-47. Johnson JA, Summerfelt RC. 2000. Spray-dried blood cells as partial replacement for fishmeal in diets for rainbow trout Oncorhynchus mykiss. J. of The World Aquac. Soc. 31(1):96-104. Kolkovski S, Tandler A, Kissil GM, Gertler A. 1993. The effect of dietary exogenous digestive enzyme on ingestion, assimilation, growth and survival of GH larvae. Fish Fisiol. and Biochem. 12:203-209. Mabrouk SS, Hashem AM, El-Shayeb NMA, Ismail AMS, Abdel-Fattah AF. 1999. Optimization of alkaline protease productivity by Bacillus licheniformis ATCC 21415. Bioresource Technology 69:155-159. Marichal MJ, Carriquiry M, Pereda R, San Martin R. 2000. Protein degradability and intestinal digestibility of blood meals : comparison of two processing methods. Animal and Feed Science Technology 88: 91-101. Marsman GJP et al. 1997. The effect of thermal processing and enzyme treatments of soybean meal on growth performance, ileal nutrient digestibilities and chime characteristics in broiler chicks. Poult. Sci 76: 864-872. Millamena OM, Coloso RM and Pascual FP. 2002. Nutrition in Tropical Aquaculture, Essentials of Fish Nutrition, Feeds, and Feeding of Tropical Aquatic Species. Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan, Iloilo, Philippines. Mundheim H, Aksnes A, Hope B. 2004. Growth, feed efficiency and digestibility in salmon (Salmo salar L.) fed different dietary proportions of vegetable protein sources in combination with two fish meal qualities. Aquaculture 237: 315-331. Nakayama A, Yano Y, Yoshida K. 1994. New method for isolating Barophiles from intestinal contents of deep sea fishes retrieved from the abyssal zone. Appl. and Environm. Microbiol. 60(11):4210-4212. [NRC]. National Research Council. 1977. Nutrient Requirements of Warmwater Fishes. National Academy of Sciences. Washington DC. Hlmn 78. [NRC]. National Research Council. 1993. Nutrient Requirement of Fish. National Academic Press. Washington DC. Hlmn 115. Ng WK, Lim HA, Lim SL, Ibrahim CO. 2002. Nutritive value of palm kernel meal pretreated with enzyme or fermented with Trichoderma koningii
lxiii
(Oudemans) as a dietary ingredient for red hybrid tilapia (Oreochromis sp). Aquaculture Research 33:1199-1207. O’-Doherty JV, Forde S. 1999. The effects of protease and alpha-galactosidase supplementation on the nutritive value of peas for growing and finishing pigs. Ir. J. Agricult. Food Res. 38 : 217 – 226. Opuszynski K, Shireman JV. 1994. Herbivorous Fishes, Culture and Use for Weed Management. Florida. London. Tokyo. Pelczar MJJr, Chan ECS. 2007. Dasar-dasar Mikrobiologi. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. UI Press. Jakarta. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Pongmaneerat J, Watanabe T. 1993. Nutritional evaluation of soybean meal for rainbow trout and carp. Nippon Suisan Gakkaishi 59(1):157-163. Popma T, Lovshin LL. 1996. Worldwide Prospect for Commercial Production of Tilapia. Research and Development Series No. 41. Department of Fisheries and Allied Aquacultures Auburn University. Alabama. Rao MB, Tanksale AM, Ghatge MS, Deshpande VV. 1998. Molecular and biotechnological aspects of microbial protease. Microb. Mol. Biol. Rev. 62: 1092-2172. Rehm HJ, Reed G. 1987. Biotechnology, Special Edition on Enzymes Technology. Vol 7a. WHC, Weinheim, Federal Republic of Germany. Rooke JA, Fraser H, Shanks M, Morgan A. 1996. The potential for improving soyabean meal in diets for weaned piglets by protease treatment: comparison with other protein sources. British Society of Animal Science Winter Meeting. Scarborough, UK. Hlmn 136. Rooke JA, Slessor M, Fraser H, Thomson JR. 1998. Growth performance and gut function of piglets weaned at four weeks of age and fed protease-treated soyabean meal. Animal Feed Science and Technology 70:175–190. Rosmawati 2005. Hidrolisis pakan buatan oleh enzim pepsin dan pankreatin untuk meningkatkan daya cerna dan pertumbuhan benih ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rubio LA, Brenes A, Centeno C. 2003. Effects of feeding growing broiler chickens with practical diets containing sweet lupin (Lupinus angustifolius) seed meal. Br. Poult. Sci. 44:391-397.
lxiv
Saidy DMSD, Gaber MMA. 2002. Complete replacement of fish meal by soybean meal with dietary l-lysine supplementation for nile tilapia Oreochromis niloticus (L.) fingerlings. J. of the World Aquac. Soc. 33(3):297-306. Smith RR, Winfree RA, Rumsey GW, Allred A, Peterson M. 1995. Apparent digestibility coefficients and metabolizable energy of feed ingredients for rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Journal of the World Aquaculture Society 26(4):432-437. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlmn 748. Suhartono, M.T. 1989a. Protease. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Suhartono, M.T. 198b. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Swift ML, Keyserlingk MAG, Leslie A, Teltge D. 1986. The effect of Allzyme Vegpro supplementation and expander processing on the nutrient digestibility and growth of broilers. 12th Annual Symposium on Biotechnology in the Feed Industry. Lexington, Kentucky. Szczurek W, Koreleski J, Hanczakowski P, Szymczyk B. 2001. Improving nutritive value of a chicken diet with a high concentration of thermally damaged meat meal by enzyme supplementation. Ann. Anim. Sci. 1: 139151. Tae KO. 2003. Probiotic Effect of Weissella helenica DS-12 in Flounder (Paralichtys olivaceus). Korea Research Institute of Bioscience and Biotechnology. Korea. Takeuchi T. 1988. Laboratory work, chemical evaluation of dietary nutrients. Di dalam: Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture. JICA Textbook the General Aquaculture Course. Department of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. Hlmn 179-233. Tang, X.Y, Pan Y, Li S, He BF. 2008. Screening and isolation of an organic solvent-tolerant bacterium for high-yield production of organic solventsable protease. Bioresource Technology 99: 7388-7392. Thorpe J, Beal JD. 2001. Vegetable protein meals and the effects of enzymes. Di dalam: Bedford MR, Partridge GG, editors. Enzymes in Farm Animal Nutrition. CAB International. Hlmn 125-133.
lxv
Wang SL, Yang CH, Liang TW, Yen YH. 2008. Optimization of condition for protease production by Chryseobacterium taenense TK U001. Bioresource Technology 99: 3700-3707. Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA. Webster CD, Lim C. 2002. Nutrient Requirement and Feeding of Finfish for Aquaculture. British Library. London, UK. Whitaker JR. 1972. Principles of Enzymology for the Food Science. Marcel Dekker, Inc, New York. Yamada R. 1983. Pond production systems: feeds and feeding practices in warmwater fish ponds. Di dalam: Lannan JE, Smitherman RO, Tchobanoglous G, editors. Principles and Practices of Pond Aquaculture, A State of the Art Review. Pond Dynamics / Aquaculture CRSP, Program Management Office, Oregon State University, Marine Science Center, Oregon. Hlmn 117-144.
lxvi
Lampiran 1. Prosedur uji zona hidrolisis kasein
Media kultur agar yang mengandung kasein 2% disiapkan di dalam cawan petri. Wilayah agar dibagi menjadi 4 bagian (kuadran) yang sama, dan empat buah kertas cakram ditempatkan di bagian tengah setiap kuadran. Sebanyak 0.1 ml kultur cair isolat yang akan diuji dipipet dan diteteskan di satu kertas cakram, sehingga satu cawan petri dapat digunakan untuk 4 isolat yang berbeda. Biakan diinkubasi pada suhu 29oC selama 24 sampai 48 jam. Jika terjadi proses hidrolisis protein, maka daerah bening akan terlihat di sekeliling koloni mikrob, sebaliknya bila tidak terjadi hidrolisis daerah sekitar koloni tetap berwarna keruh. Diameter wilayah yang dihidrolisis (daerah bening) diukur.
lxvii
Lampiran 2. Prosedur analisis aktivitas enzim protease (Bergmeyer dan Graβ1,
1986). Pereaksi 1. Buffer phosphat 0.05 M pH 7 2. Substrat kasein 2% (b/v) pH 7 3. Enzim protease 4. Tirosin standar 5 mmol/l 5. Aquadest
Blanko (µl) 250 250 50
Standar (µl) 250 250 50 -
Sampel (µl) 250 250 50 -
Di-vortex , kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit. 6. TCA 0,1 M 500 500 500 7. Aquadest 50 8. Enzim protease 50 50 Di-vortex , kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit lalu disentrifus 6000 g selama 10 menit dengan suhu 4oC. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 280 nm. Aktivitas enzim dihitung dengan rumus : U
= (Abs Sample – Abs blanko) x konsentrasi tirosin (mM) x 181 (Abs standar – Abs blanko) x waktu inkubasi (menit) x vol. enzim (ml)
Di mana : U = Abs = T =
aktivitas enzim dalam µg/ (menit.ml) atau unit absorbansi waktu inkubasi (menit)
lxviii
Lampiran 3. Prosedur analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar serat kasar) mengikuti metode Takeuchi (1988). a. Prosedur analisis kadar air -
Cawan dipanaskan pada suhu 110oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan, kemudian ditimbang (B). Cawan dan sampel dipanaskan tanpa penutup pada suhu 110oC selama 2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator sampai suhu ruang dan timbang. Proses tersebut diulang sampai beratnya konstan (C). Kadar air (%) = (B-C) x 100 (B-A)
b. Prosedur analisis kadar abu -
-
Cawan porselin dipanaskan pada suhu 600oC selama 1 jam di dalam muffle furnase, kemudian dibiarkan suhu muffle furnase turun sampai 110oC , selanjutnya cawan porselin dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 1 sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan, kemudian ditimbang (B). Cawan porselin dan sample dipanaskan di dalam muffle furnase pada suhu 600oC selama 1 jam, kemudian dibiarkan sampai samalam. Cawan porselin + sample dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang (C). Kadar abu (%) = C x 100 (B-A)
c. Prosedur analisis protein c.1. Tahap Oksidasi -
Sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjehldahl, salah satu dari labu digunakan sebagai blanko dan tidak diisi dengan sample. Tiga gram katalis (K2SO4 + Cu SO4.H2O dengan rasio 9:1) dan 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan. Labu Kjeldahl dipanaskan pada suhu 400oC selama 0,5 sampai satu jam, kemudian pemanasan dilanjutkan lagi selama 3 sampai 4 jam sehingga terjadi perubahan warna menjadi hijau bening. Larutan ditambah dengan 20 ml air destilata dan didinginkan. Setelah dingin diencerkan dengan air destilata sampai 100 ml.
lxix
c.2.Tahap Destilasi -
Beberapa tetes H2SO4 ditambahkan ke dalam botol A yang sebelumnya telah diisi setengah bagian dengan air destilata untuk menghindari amoniak lingkungan, kemudian dididihkan selama 10 menit. Botol erlenmeyer (F) yang berisi 10 ml H2SO4 0,05 N ditetesi 2 sampai 3 tetes indikator (methyl red / methyl blue), disiapkan untuk menampung NH3 yang dibebaskan. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke botol D melalui corong C, kemudian corong C dicuci dengan air destilata. 10 ml larutan NaOH 30% ditambahkan melalui corong C dan corong C dicuci kembali dengan air destilata, kemudian antara corong C dan botol D ditutup dengan cara dijepit. Campuran alkalin dalam botol destilasi dipanaskan dengan uap selama minimum 10 menit estela kondensasi terlihat pada kondensor. Larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan larutan NaOH 0,05 N dan catat hasilnya. Prosedur titrasi yang sama juga dilakukan pada blanko. Kadar protein (%) = 0,0007*1 x (Vb – Vs) x F x 6,25*2 x 20 x 100 S Di mana : Vs = volume NaOH 0,05 N untuk sampel F = faktor koreksi untuk larutan standar NaOH 0,05 N S = berat sampel (g) *1 = setiap ml NaOH 0,05 N equivalent dengan 0,0007 g nitrogen *2 = faktor nitrogen, protein diasumsikan pada 16% nitrogen, faktor 6,25 (100/16) digunakan untuk mengkonversi total nitrogen ke total protein.
d. Prosedur Analisis Lemak
-
Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 110oC selama 1 jam, setelah itu didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Labu dipanaskan kembali selama 30 menit dan dinginkan, kemudian ditimbang. Proses tersebut diulang sampai tidak ada perbedaan bobot labu (lebih kecil dari dari 0,3 mg). Bobot labu ekstraksi (A). Sampel ditimbang sebanyak 1 sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam tabung filter kemudian ditutup dengan lapisan tipis dari katon absorbent dan dikeringkan dalam oven pada suhu 90 sampai 100oC selama 2 sampai 3 jam. Tabung filter ditempatkan di dalam ruang ekstraksi dari alat soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor labu ekstraksi yang telah diisi dengan 100 ml petrolium ether, sebelumnya ether dipanaskan terlebih dahulu pada labu ekstraksi dalam water bath pada suhu 60 sampai 70oC selama 16 jam. Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 100oC, kemudian ditimbang (B)
-
Kadar lemak (%) =
-
-
(B-A) x 100 Berat sampel
lxx
e. Prosedur analisis serat kasar -
-
-
-
-
Kertas filter dipanaskan dalam oven pada suhu 110oC, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Dipanaskan kembali selama 30 menit dan dinginkan, kemudian ditimbang. Proses tersebut diulang sampai tidak ada perbedaan bobot (lebih kecil dari 0,3 mg). Cawan porselin dipanaskan pada suhu 550oC selama 1 jam di dalam muffle furnase, kemudian dibiarkan suhu muffle furnase turun sampai 110oC, selanjutnya cawan porselin dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Sampel sebanyak 1 sampai 2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, (kalau kandungan lemak sampel > 1% dilakukan ekstraksi dengan larutan ether untuk memindahkan lemak), tambahkan 200 ml H2SO4 1,25% panas dan 1 ml iso-amyl alkohol sebagai agen antifoam. Labu dihubungkan dengan kondensor dan dididihkan selama 30 menit, labu diputar secara periodik agar bahan tidak mengendap. Labu dipindah dan cairan disaring melalui filter fiber nilon dalam sebuah corong, kemudian dicuci sebanyak 3 kali berturut-turut dengan 40 sampai 50 ml air panas. Residu yang terdapat dalam filter dipindahkan ke dalam labu original yang berisi sedikit air panas dan ditambahkan dengan 50 ml NaOH 5% panas dan 1 ml iso-amyl alkohol, kemudian diencerkan dengan 200 ml air panas. Selanjutnya labu dididihkan dan cairan disaring kembali dengan filter fiber nilon, kemudian dicuci sebanyak 5 kali berturut-turut dengan 40 sampai 50 ml air panas. Residu yang terdapat pada filter dipindahkan dalam kertas filter dan dicuci dengan air, tambahkan 15 ml alkohol dan 10 ml ether. Selanjutnya dikeringkan pada suhu 110 oC sampai tercapai bobot konstan. Kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselin dipanaskan dalam muffle furnace pada suhu 550 oC selama 1 jam atau sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan. Kadar serat kasar (%) = Berat yang hilang selama pembakaran x 100 Berat sampel
lxxi
Lampiran 4. Komposisi pakan buatan untuk ikan nila
Prosentase (% bobot kering)
Komposisi Bahan Tepung ikan TBK Tp darah Dedak Polard Minyak ikan Minyak jagung Premix CMC Total
Keterangan :
10.00 20.77 6.13 19.78 34.62 2.12 2.12 2.97 1.48 100.00
Komposisi Proksimat Pakan Formulasi (%) Nutrien Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Serat Kasar Kadar Abu Kadar BETN Kadar Air C/P (kkal/g protein) DE (kkal/kg)
Basah 28.00 7.29 6.03 9.15 39.50 10.02
Kering 31.12 8.10 6.71 10.17 43.90 0.00 9.14 2842.99
total energi tercerna (DE) dihitung berdasarkan : protein 3.5 kkal; lemak 8.1 kkal, BETN 2.5 kkal (NRC 1977).
Lampiran 5. Hasil analisis proksimat pakan percobaan (% bobot basah) Perlakuan A B C D E F G
Protein 28.00 28.00 28.10 31.00 31.10 31.10 28.30
Lemak 7.29 7.48 7.71 6.16 8.11 7.67 7.37
Abu 9.15 9.11 8.97 9.53 9.42 9.50 9.27
Serat Kasar 6.03 6.14 6.14 5.05 5.28 5.32 5.41
BETN 39.50 37.82 37.79 39.00 35.15 36.16 39.31
Air 10.02 11.45 11.29 9.25 10.93 10.25 10.35
BETN 43.90 42.71 42.60 42.97 39.47 40.29 43.84
Air 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
(% bobot kering) Perlakuan A B C D E F G
Protein 31.12 31.62 31.68 34.16 34.92 34.65 31.57
Lemak 8.10 8.45 8.69 6.79 9.11 8.55 8.22
Abu 10.17 10.29 10.11 10.51 10.58 10.59 10.34
Serat Kasar 6.71 6.93 6.93 5.57 5.93 5.93 6.03
lxxii
Lampiran 6. Prosedur pengukuran derajat hidrolisis pakan Pakan sebanyak 15-20 gram dihidrolisis dengan enzim A1 atau L1 dengan dosis sesuai perlakuan. Pakan sebanyak 0.5 gram yang telah terhidrolisis oleh enzim protease ditambah 3 ml Tris HCl pH 6.5 dan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil, dan endapan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar protein total dengan metode Kjehldahl mengikuti metode Takeuchi (1988). Pengukuran kadar protein total juga dilakukan pada sampel yang tidak dihidrolisis. DHP
=
Di mana : DHP = P0 = = Pt
P0 – Pt x 100% P0 derajat hidrolisis protein kadar protein pakan pada waktu awal kadar protein pakan yang tidak dihidrolisis
lxxiii
Lampiran 7. Prosedur analisis kadar kromium pakan dan feses (Takeuchi 1988) Analisis kadar cromium oksida (Cr2O3) Feses ditimbang sebanyak 0.1-0.2 gram (sampel kering) dimasukkan ke dalam labu Kjehldahl. 5 ml asam nitrat 65 % ditambahkan pada sampel. Larutan campuran kemudian dipanaskan pada suhu sekitar 300oC sampai volume larutan menjadi ± 1 ml, kemudian larutan campuran didinginkan. 3 ml asam perklorat 72% ditambahkan, kemudian larutan dipanaskan kembali hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning atau jingga. Larutan dipanaskan kembali selama 10 menit dan didinginkan. Larutan dipindahkan dalam wadah 100 ml , akuades ditambahkan hingga 100 ml dan dibaca serapannya pada panjang gelombang 350 nm. Berat Cr2O3 dalam sampel dihitung berdasarkan persamaan: Y = 0.2089X + 0.0032 Dimana : Y = absorbansi X = mg Cr2O3 dalam 100 ml larutan (= dalam sampel yang ditimbang)
lxxiv
Lampiran 8. Luas zona hidrolisis kasein sepuluh isolat bakteri No
Isolat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A1 L1 L4 L3 L7 L2 L6 A2 A3 L5
Diameter hidrolisis (mm) 30 28 28 25 11 10 8 8 6 5
Lampiran 9. Hasil uji patogenisitas isolat bakteri proteolitik Isolat uji A1
JNA (ekor) 5
JNM (ekor) 0
SR (%) 100
L1
5
0
100
Sehat dan gesit hingga akhir masa pemantauan
L4
5
4
20
Ikan yang masih hidup kurang gesit di akhir masa pengamatan.
L3
5
3
40
Ikan yang masih hidup kurang gesit di akhir masa pengamatan
5
0
100
Sehat
Kontrol
Keterangan Sehat hingga akhir masa pemantauan
JNA : jumlah nila awal, JNM : jumlah nila mati, SR: survival rate
lxxv
Lampiran 10. Kerapatan optis isolat bakteri proteolitik A1 dan L1 dalam 4 hari pengamatan No Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Jam Kultur ke0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 60 64 68 72 76 80 84 88 92 96
Kerapatan Optis A1 L1 0.045 0.044 0.105 0.119 0.179 0.186 0.257 0.266 0.278 0.312 0.414 0.383 0.505 0.512 0.615 0.547 0.683 0.634 0.820 0.696 0.850 0.776 1.050 1.065 1.055 0.953 1.050 1.022 0.927 0.990 0.835 0.997 0.721 0.968 0.790 0.990 0.771 0.975 0.759 0.959 0.721 0.899 0.724 0.851 0.735 0.773 0.715 0.819 0.721 0.645
lxxvi
Lampiran 11. Aktivitas enzim protease (µg/menit.ml) isolat A1 dan L1 dalam 4 hari pengamatan. No Urut
Pengamatan jam ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 60 64 68 72 76 80 84 88 92 96
Absorbansi (λ = 280 nm)
Aktivitas enzim (µg/menit ml)
Enzim A1 Enzim A1 Enzim A1 0.000 0.000 0.00 0.030 0.020 37.19 0.020 0.086 24.79 0.010 0.025 12.40 0.030 0.028 37.19 0.040 0.056 49.59 0.050 0.041 61.99 0.055 0.044 68.18 0.045 0.079 55.79 0.056 0.080 69.42 0.150 0.070 185.96 0.250 0.090 309.93 0.390 0.090 483.49 0.430 0.120 533.08 0.440 0.330 545.48 0.450 0.450 557.88 0.510 0.500 632.26 0.580 0.660 719.04 0.570 0.646 706.64 0.590 0.630 731.44 0.570 0.643 706.64 0.588 0.680 728.96 0.533 0.612 660.77 0.561 0.650 695.49 0.420 0.520 520.68 Absorbansi tirosin standar 5 mM = 0,365
Enzim L1 0.00 24.79 106.03 30.99 34.57 69.42 50.96 54.55 97.94 99.18 86.78 111.58 111.58 148.77 409.11 557.88 619.86 818.22 800.87 781.03 797.14 843.01 758.41 805.82 644.66
Lampiran 12. Derajat hidrolisis protein pakan oleh enzim A1 dan L1 Dosis (ml/kg pakan) 0 200 400 600 800 1000
Derajat Hidrolisis Protein (%) Enzim A1 Enzim L1 Ulangan Ulangan Rataan SD Rataan 1 2 1 2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.67 35.75 33.21 3.59 40.26 37.82 39.04 50.56 55.98 53.27 3.83 53.79 58.92 56.36 62.88 66.96 64.92 2.88 58.95 55.70 57.33 72.98 77.64 75.31 3.30 68.42 73.36 70.89 90.23 91.65 90.94 1.00 91.53 92.45 91.99
SD 0.00 1.73 3.63 2.30 3.49 0.65
lxxvii
Lampiran 13. Perhitungan kecernaan total dan protein Parameter
U
Kadar kromium pakan (% bobot kering) Rata-rata Standar Deviasi Kadar kromium feses (% bobot kering) Rata-rata Standar Deviasi
1 2 3
Kecernaan total (%)
A
B
C
Perlakuan D E
F
G
0.71 0.71 0.71 0.71 0.00 1.42 1.33 1.37 1.37 0.04
0.52 0.52 0.52 0.52 0.00 1.74 1.86 1.99 1.86 0.12
0.72 0.72 0.72 0.72 0.00 2.89 3.08 2.99 2.98 0.09
0.68 0.68 0.68 0.68 0.00 2.28 2.24 2.21 2.24 0.04
1.01 1.01 1.01 1.01 0.00 3.25 3.21 3.28 3.25 0.03
0.50 0.50 0.50 0.50 0.00 3.72 3.80 3.64 3.72 0.08
0.58 0.58 0.58 0.58 0.00 1.51 1.44 1.47 1.47 0.03
1 2 3
50.14 46.92 48.16 48.41 1.62
70.12 72.00 73.79 71.97 1.83
75.18 76.69 75.97 75.95 0.76
70.11 69.55 69.13 69.59 0.49
68.80 68.47 69.10 68.79 0.31
86.65 86.92 86.36 86.64 0.28
61.65 59.92 60.73 60.77 0.86
Kadar protein pakan (% bobot kering) Rata-rata Standar Deviasi
1 2 3
31.12 31.12 31.12 31.12 0.00
31.62 31.62 31.62 31.62 0.00
31.68 31.68 31.68 31.68 0.00
34.16 34.16 34.16 34.16 0.00
34.92 34.92 34.92 34.92 0.00
34.65 34.65 34.65 34.65 0.00
31.57 31.57 31.57 31.57 0.00
Kadar protein feses (% bobot kering) Rata-rata Standar Deviasi
1 2 3
16.24 14.10 15.26 15.20 1.07
17.22 18.31 19.45 18.33 1.12
12.12 13.76 12.90 12.93 0.82
21.93 20.02 18.09 20.01 1.92
21.85 20.56 22.88 21.76 1.16
17.88 18.96 16.76 17.87 1.10
20.95 19.22 19.87 20.01 0.87
Kecernaan protein (%)
1 2 3
73.98 75.95 74.58 74.84 1.01
83.73 83.79 83.88 83.80 0.08
90.50 89.88 90.21 90.20 0.31
80.81 82.15 83.65 82.20 1.42
80.48 81.44 79.75 80.56 0.85
93.11 92.84 93.40 93.12 0.28
74.55 75.59 75.28 75.14 0.54
1 2 3
Rata-rata Standar Deviasi
Rata-rata Standar Deviasi
lxxviii
Lampiran 14. Perhitungan jumlah konsumsi pakan, efisiensi pakan, laju pertumbuhan spesifik (LPS) dan kelangsungan hidup ikan nila
Parameter Bobot Ikan Awal (g)
Rata-rata Standar Deviasi Bobot ikan akhir (g)
Rata-rata Standar Deviasi Jumlah Ikan Akhir (jumlah awal 10 ekor Per akuarium) Bobot ikan mati (g)
Konsumsi Pakan (g)
Rata-rata Standar Deviasi Efisiensi Pakan (%)
Rata-rata Standar Deviasi LPS (%)
Rata-rata Standar Deviasi Kelangsungan Hidup (%) Rata-rata Standar Deviasi
Perlakuan D E
U
A
B
C
1 2 3
40.05 41.27 40.85 40.72 0.62 143.50 164.93 170.30 159.58 14.18 10 9 10 0.00 18.33 0.00 136.96 186.59 162.92 162.16 24.82 75.53 72.77 79.46 75.92 3.36 2.13 2.48 2.38 2.33 0.18 100.0 90.0 100.0 96.7 5.8
40.25 41.20 40.72 40.72 0.48 212.67 194.30 208.00 204.99 9.55 9 10 10 23.63 0.00 0.00 245.10 185.06 196.06 208.74 31.97 79.99 82.73 85.32 82.68 2.67 2.95 2.58 2.72 2.75 0.18 90.0 100.0 100.0 96.7 5.8
40.56 41.57 40.55 40.89 0.59 198.90 216.20 192.20 202.43 12.38 10 10 10 0.00 0.00 0.00 204.86 212.46 190.34 202.55 11.24 77.29 82.19 79.67 79.72 2.45 2.65 2.75 2.59 2.66 0.08 100.0 100.0 100.0 100.0 0.0
1 2 3
1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 2 3
1 2 3
1 2 3
40.37 41.35 40.01 40.58 0.69 249.70 296.60 204.00 250.10 46.30 10 10 10 0.00 0.00 0.00 253.11 298.55 184.01 245.22 57.68 82.70 85.50 89.12 85.77 3.22 3.04 3.28 2.71 3.01 0.29 100.0 100.0 100.0 100.0 0.0
40.97 41.65 40.61 41.08 0.53 209.01 271.10 219.33 233.15 33.27 10 10 9 0.00 0.00 24.37 201.36 272.12 252.16 241.88 36.48 83.45 84.32 80.54 82.77 1.98 2.72 3.12 2.99 2.94 0.21 100.0 100.0 90.0 96.7 5.8
F
G
40.76 41.87 40.34 40.99 0.79 276.40 225.18 220.90 240.83 30.88 10 9 10 0.00 25.02 0.00 276.47 259.23 235.89 257.20 20.37 85.23 80.36 76.54 80.71 4.35 3.19 2.98 2.83 3.00 0.18 100.0 90.0 100.0 96.7 5.8
40.53 41.78 40.66 40.99 0.69 169.90 182.65 189.71 180.75 10.04 10 10 10 0.00 0.00 0.00 171.71 176.63 202.98 183.77 16.81 75.34 79.75 73.43 76.18 3.24 2.39 2.46 2.57 2.47 0.09 100.0 100.0 100.0 100.0 0.0
lxxix
Lampiran 15. Perhitungan retensi protein
Parameter Bobot Ikan Awal (g)
Kadar protein ikan awal (% bobot basah) Protein tubuh ikan awal (g) Bobot ikan akhir (g)
Kadar protein ikan akhir (% bobot basah) Protein tubuh ikan hidup akhir (g) Bobot ikan mati (g)
Protein tubuh ikan mati (g) Deposit protein tubuh (g) Konsumsi pakan (g)
Kadar protein pakan (% bobot basah) Protein dikonsumsi (g) Retensi Protein (%)
Rata-rata Standar Deviasi
U
A
B
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
40.05 41.27 40.85 10.94 10.94 10.94 82.19 75.53 78.77 143.50 164.93 170.30 15.01 15.01 15.01 21.54 23.82 25.56 0.00 18.33 0.00 0.00 2.75 0.00 17.16 22.06 21.09 136.96 186.59 162.92 28.00 28.00 28.00 38.35 52.25 45.62 44.74 42.22 46.24 44.40 2.03
40.25 41.20 40.72 10.94 10.94 10.94 79.99 80.54 85.50 212.67 194.30 208.00 15.69 15.69 15.69 33.37 30.49 32.64 23.63 0.00 0.00 3.71 0.00 0.00 32.67 25.98 28.18 245.10 185.06 196.06 28.00 28.00 28.00 68.63 51.82 54.90 47.61 50.14 51.33 49.69 1.90
C 40.56 41.57 40.55 10.94 10.94 10.94 82.73 85.23 89.12 198.90 216.20 192.20 15.85 15.85 15.85 31.53 34.27 30.46 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27.09 29.72 26.03 204.86 212.46 190.34 28.10 28.10 28.10 57.57 59.70 53.49 47.06 49.78 48.66 48.50 1.37
Perlakuan D 40.37 41.35 40.01 10.94 10.94 10.94 79.67 72.77 75.34 249.70 296.60 204.00 15.24 15.24 15.24 38.05 45.20 31.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 33.64 40.68 26.71 253.11 298.55 184.01 31.00 31.00 31.00 78.46 92.55 57.04 42.87 43.95 46.83 44.55 2.05
E
F
G
40.97 41.65 40.61 10.94 10.94 10.94 85.32 80.36 74.65 209.01 271.10 219.33 15.45 15.45 15.45 32.29 41.88 33.89 0.00 0.00 24.37 0.00 0.00 3.77 27.81 37.33 33.21 201.36 272.12 252.16 31.10 31.10 31.10 62.62 84.63 78.42 44.41 44.11 42.35 43.62 1.11
40.76 41.87 40.34 10.94 10.94 10.94 77.29 76.54 76.20 276.40 225.18 220.90 15.52 15.52 15.52 42.90 34.95 34.28 0.00 25.02 0.00 0.00 3.88 0.00 38.44 34.25 29.87 276.47 259.23 235.89 31.10 31.10 31.10 85.98 80.62 73.36 44.70 42.48 40.72 42.64 2.00
40.53 41.78 40.66 10.94 10.94 10.94 84.32 82.70 73.43 169.90 182.65 189.71 15.52 15.52 15.52 26.37 28.35 29.44 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21.9345 23.7765 24.9948 171.71 176.63 202.98 28.30 28.30 28.30 48.59 49.99 57.44 45.14 47.57 43.51 45.41 2.04
lxxx
Lampiran 16. Analisis ragam dan uji Duncan laju pertumbuhan spesifik ikan nila selama pemeliharaan. Analisis Ragam SK
dB
JK
KT
F hitung
Perlakuan Galat Total
6 14 20
1.29 0.48 1.76
0.21 0.03
6.29
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Uji Duncan Perlakuan
Rata2
Selisih Antara Rata-rata Perlakuan 3p 4p 5p 6p
2p
D (c) 3.01 F (c) 3.00 E (c) 2.94 B (bc) 2.75 C (abc) 2.66 G (ab) 2.47 A (a) 2.33 r (0,05; p; 14) Rp = r √ (KTG/r)
7p
0.01 0.06 0.19 0.09 0.19 0.14
0.07 0.25 0.28 0.28 0.33
0.26 0.34 0.47 0.42
0.35 0.53 0.61
0.54 0.67
0.68
3.03 0.32
3.18 0.34
3.27 0.35
3.33 0.35
3.37 0.36
3.39 0.36
Lampiran 17. Analisis ragam dan uji Duncan jumlah konsumsi pakan ikan nila selama pemeliharaan Analisis Ragam SK
dB
Perlakuan Galat Total
6 14 20
JK
KT
22129.34 14238.67 36368.01
3688.22 1017.05
F hitung 3.63
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Uji Duncan Perlakuan
Rata2 2p
(c) 257.20 (c) 245.22 (bc) 241.88 (abc) 208.74 (abc) 202.55 (ab) 183.77 (a) 162.16 r (0,05; p; 14) Rp = r √ (KTG/r) F D E B C G A
11.97 3.34 33.14 6.19 18.78 21.62 3.03 55.79
Selisih Antara Rata-rata Perlakuan 3p 4p 5p 6p
15.32 36.48 39.33 24.97 40.40 3.18 58.55
48.46 42.67 58.11 46.58 3.27 60.21
54.64 61.45 79.72 3.33 61.31
73.42 83.07 3.37 62.05
7p
95.04 3.39 62.42
lxxxi
Lampiran 18. Analisis ragam dan uji Duncan kecernaan total pakan ikan nila selama pemeliharaan Analisis Ragam SK
dB
Perlakuan Galat Total
JK
6 14 20
2581.51 15.48 2596.98
KT F hitung 430.25 1.11
389.16
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Uji Duncan Perlakuan
Rata2
Selisih Antara Rata-rata Perlakuan 3p 4p 5p 6p
2p 86.64 F (f) C (e) 75.95 B (d) 71.97 69.59 D (c) 68.79 E (c) 60.77 G (b) 48.41 A (a) r (0,05; p; 14) Rp = r √ (KTG/r)
10.69 3.98 2.37 0.80 8.03 12.36 3.03 1.84
14.67 6.35 3.18 8.83 20.39 3.18 1.93
17.05 7.15 11.20 21.19 3.27 1.99
17.85 15.18 23.56 3.33 2.02
25.88 27.54 3.37 2.05
7p
38.24 3.39 2.06
Lampiran 19. Analisis ragam dan uji Duncan kecernaan protein pakan ikan nila selama pemeliharaan Analisis Ragam SK
dB
Perlakuan Galat Total
JK 6
KT
868.99 8.46 877.45
14 20
144.83 0.60
F hitung 239.66
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Uji Duncan Perlakuan
Rata2 2p
(f) 93.12 (e) 90.20 (d) 83.80 (c) 82.20 (b) 80.56 (a) 75.14 (a) 74.84 r (0,05; p; 14) Rp = r √ (KTG/r) F C B D E G A
2.92 6.40 1.59 1.65 5.41 0.31 3.03 1.36
Selisih Antara Rata-rata Perlakuan 3p 4p 5p 6p
9.32 7.99 3.24 7.06 5.72 3.18 1.43
10.91 9.64 8.66 7.37 3.27 1.47
12.56 15.06 8.96 3.33 1.49
17.98 15.36 3.37 1.51
7p
18.28 3.39 1.52
lxxxii
Lampiran 20. Analisis ragam dan uji Duncan efisiensi pakan ikan nila selama pemeliharaan Analisis Ragam SK Perlakuan Galat Total
dB
JK
KT
F hitung
6 14 20
234.126 136.325 370.450
39.02 9.74
4.01
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Uji Duncan Perlakuan
Rata2
Selisih Antara Rata-rata Perlakuan 3p 4p 5p 6p
2p
(c) 85.77 (bc) 82.77 (bc) 82.68 (abc) 80.71 (ab) 79.72 (a) 76.18 (a) 75.92 r (0,05; p; 14) Rp = r √ (KTG/r) D E B F C G A
3.00 0.09 1.97 0.99 3.54 0.26 3.03 5.46
3.09 2.06 2.96 4.54 3.80 3.18 5.73
5.06 3.05 6.50 4.79 3.27 5.89
6.05 6.59 6.76 3.33 6.00
9.60 6.85 3.37 6.07
7p
9.85 3.39 6.11
Lampiran 21. Analisis ragam dan uji Duncan retensi pakan ikan nila selama pemeliharaan Analisis Ragam SK Perlakuan Galat Total
dB 6 14 20
JK 121.25 46.38 167.63
KT F hitung 20.21 3.31
6.10
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Uji Duncan Perlakuan
Rata2 2p
(c) 49.69 (bc) 48.50 (ab) 45.41 (a) 44.55 (a) 44.40 (a) 43.62 (a) 42.64 r (0,05; p; 14) Rp = r √ (KTG/r) B C G D A E F
1.19 3.09 0.86 0.15 0.78 0.99 3.03 3.18
Selisih Antara Rata-rata Perlakuan 3p 4p 5p 6p
4.29 3.95 1.00 0.93 1.77 3.18 3.34
5.14 4.10 1.78 1.92 3.27 3.44
5.29 4.88 2.77 3.33 3.50
6.07 5.87 3.37 3.54
7p
7.06 3.39 3.56
lxxxiii
Lampiran 22. Analisis ragam dan uji Duncan tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama pemeliharaan Analisis Ragam SK Perlakuan Galat Total
dB 6 14 20
JK 57.14 266.67 323.81
KT
F hitung
9.52 19.05
0.50
F tabel 5% (6 , 14) 2.848
Lampiran 23. Kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama penelitian No
Parameter
Kisaran
1 2 3 4 5 6
pH DO Alkalinitas Kesadahan NH3 NO2
7 5.5-6.5 80-100 58-71 0.02
lxxxiv