BAB II
Beautiful Girl
Gadis itu tinggi semampai. Wajah gadis itu sangat unik. Sangat menarik dan bisa dibilang cantik. Bentuk wajahnya oval dengan rambut panjang tergerai lepas sampai sepunggung meskipun tidak sepanjang rambut foto model iklan shampo yang sering nongol di TV. Ya, matanya yang hitam dan teduh serta senyumnya yang sangat manis dengan lesung pipit yang membuatnya sangat menarik. Wajah yang dapat dipercaya dan menimbulkan rasa damai. Begitu pikir Joe saat pertama kali bertatap mata dengan mata hitam bening itu sekitar dua menit yang lalu. Saat Joe keluar dari mobil Mercedes yang mengantarnya, sang gadis baru beranjak dari sebuah stand fast food di luar terminal pemberangkatan Bandara Soekarno Hatta. Sang gadis diantar seorang wanita setengah baya dengan paras yang mirip dengan gadis itu. Pasti ibunya. Anak kesayangan mami, pikir Joe. Dia perkirakan usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Ya kurang lebih delapan tahun lebih muda darinya. Kulit kuning langsatnya dibungkus celana panjang jean hitam dan T Shirt hijau muda. Ransel sportif yang dibawanya membuat Joe berani taruhan dia seorang mahasiswi. Sambil antri check in, Joe mengamati gadis itu selama satu menit. Saat itu sang gadis sedang check in sementara Joe antri tepat dibelakangnya. Joe memfokuskan pendengarannya. Sang gadis bernama Novi. Terpaksa memperoleh seat 3 A di kelas bisnis karena seat kelas ekonomi sudah habis. Maklum penerbangan Jumat malam ke Yogya selalu penuh dengan pekerja dengan keluarga yang tinggal di sekitar kota Yogya. “Selamat malam Bapak“ “Selamat Malam. Seat 3 B masih tersedia mbak?” suara Joe agak pelan takut kedengaran gadis tadi yang belum jauh melangkah. Gadis ayu staf Garuda tersenyum manis. Namanya Ratna seperti tertulis di emblem terpasang di blousnya. Mungkin tahu bahwa dia sengaja ingin duduk di samping gadis bernama Novi. “Masih. Seat 3 B Bapak?” “Ya, boleh. 3 B.” “Ok. 3 B. Ada barang yang mau dititipkan?” “Nggak ada. Cuma koper kecil dan notebook. Saya bawa saja.” “Baik. Terima kasih, Bapak Juweni. Selamat jalan. Selamat menikmati penerbangan kami” “Terima kasih. Selamat bekerja Mbak Ratna” Joe agak sok ramah. Kebiasaannya untuk mengambil hati klien atau orang pajak. Joe berjalan cepat menuju boarding roam sebelum bunyi handphonenya memaksanya berjalan ke sudut ruangan. “Ya, Pak Joko” “Joe. Senin bisa nggantiin saya meeting dengan Smartrade nggak? Saya dan Septi harus ke Sydney hari Senin.“ “Saya ada meeting dengan Freshberg bersama Pak Wijaya di kantor Senin jam empat. Meetingnya jam berapa Pak?” “Jam dua di kantor. Paling satu jam selesai kok. Sigit ikut meeting nanti. Dia lebih banyak tahu daripada saya. Jadi, kalo hampir jam empat belum selesai, kamu pergi saja. Sebenarnya meetingnya hanya dalam rangka general audit. Saya pengin kamu yang nggantiin karena kamu kan yang dulu membantu menyelesaikan masalah rugi selisih kurs Smartrade dan STP yang belum dikreditkan.“ “Baik, Pak.” “Thanks Joe.” “No problems, Pak.”
Joe berani mengandalkan kompetensi Sigit yang sudah manager. Tinggal dua level lagi untuk menjadi partner di PCI. Juweni Wijaya, nama lengkap dari nama panggilan Joe, dijuluki the Rising Star karena dalam waktu empat tahun sudah menjadi senior manager. Lima tahun lalu Joe bergabung sebagai Senior di divisi Tax. Setahun setelah bekerja sebagai Junior di Dart Mellanie, salah satu dari the big four. Dalam waktu setahun Joe promosi menjadi supervisor. Dua tahun kemudian menjadi Manager untuk waktu yang cukup singkat, satu tahun, sebelum menjadi Senior Manager. Joe identik dengan PCI. Selama lima tahun ini, Joe tidak pernah absen di kantor, kecuali satu dua hari kalau sakit agak berat. Tetapi Joe tetap masuk kantor kalau cuma flu dan sedikit panas badan. Bekerja sekitar lima belas jam sehari dari jam 9 sampai jam 12 malam. Enam hari seminggu. Hari libur pun Joe lebih sering berada di kantor. Bertarif US$ 275 per jam, dengan 100 jam kerja dalam seminggu dimana paling tidak 80 persen merupakan chargeable hour, Joe benar-benar menjadi salah satu mesin uang PCI.
*** Novi duduk di sudut boarding roam. Menghela nafas lega. Memandang sekeliling barangkali ada yang dikenalnya. Ternyata tidak ada. Hampir semua orang asyik memandang tiga buah TV di ruangan tersebut. Sebuah film komedi Mandarin. Selintas dia melihat pria dengan setelan jas hitam dengan kancing dibuka meletakkan tas koper dan tas kecil dengan tulisan Dell, sebuah merk komputer, di kursi di tengah ruangan. Duduk membaca koran Asian Wall Street Journal. Bisnismen, pikir Novi. Tipe manusia yang tidak disukainya. Novi jadi teringat mendiang papanya. Salah satu bisnismen yang gila kerja. Berangkat ke kantor jam tujuh dan pulang paling cepat jam sembilan malam. Sering tidak pulang dan langsung keluar kota. Novi tidak peduli apakah benar-benar dalam rangka tugas atau ada suatu yang lain. Novi sangat apatis terhadap papanya. Papanya meninggal dua tahun lalu dalam perjalanan ke kantor. Dokter bilang kena serangan jantung. Tidak, Novi tidak sependapat. Bukan serangan jantung tapi pekerjaannyalah yang telah membunuh papanya, demikian pikir Novi. Novi teringat sewaktu pemakaman mamanya dan Dian, satu-satunya saudara kandung Novi, yang masih dalam perawatan di panti rehabilitasi narkotika, menangis saat tanah mulai menutupi liang kubur. Novi hanya menitikkan air mata. Iba terhadap papa, mama dan kakaknya. Tetapi Novi tidak menangisi nasibnya yang ditinggal pergi papa. Sepuluh tahun lalu Novi telah kehabisan air mata menangisi papanya yang mulai jarang di rumah dan kurang memperhatikannya lagi sejak pindah dari Semarang. Hanya mamanya yang tahu kesedihannya. Tidak pernah ada tanda-tanda kesedihan di wajah mamanya. Tetapi Novi yakin di balik wajah mamanya yang teduh, tersimpan kesedihan yang mendalam. Papa tidak pernah ada waktu untuk mereka. Novi jadi benci yang diajarkan guru SD-nya. Waktu adalah uang. Ingin rasanya ia mencari gurunya untuk memprotes ajaran itu. Ah, pasti sudah tidak mengajar di SD itu lagi. Barangkali sudah meninggal, pensiun atau pindah mengajar di tempat lain. Waktu bukan uang. Waktu adalah suatu anugerah Allah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Waktu tidak pernah berhenti atau mundur ke belakang. Waktu hanya berhenti bagi seseorang saat kematiannya. Sementara uang tidak dapat dibawa mati. Di kehidupan yang lain, manusia pasti akan ditanya mengenai waktu yang telah diberikan. Kalau jawabannya adalah uang. Waktu hanya untuk uang. Allah pasti cemburu. Eh, kok gue malah berfilsafat, pikirnya.
Masih sekitar tiga puluh menit sebelum waktu pemberangkatan. Novi membuka tas ranselnya. Dia ambil diktat kuliah yang dibikin dosennya. Setelah satu minggu menikmati waktu bersama mamanya. Jalan-jalan di Gelora Senayan. Senam. Renang. Menginap sehari di Puncak. Shopping di Plaza Senayan. Kini saatnya untuk belajar menghadapi ujian besok Senin pagi. *** Joe menunggu sampai hampir seluruh calon penumpang keluar dari boarding roam dan masuk ke pesawat Garuda. Gadis yang menarik perhatiannya tadi sudah keluar dari boarding room. Jumat malam itu cuaca cerah. Seluruh kursi terpakai. Joe menyimpan koran Asian Wall Street Journal-nya kedalam tas notebook. Kemudian ia memasukkan koper dan tas notebooknya ke atas tempat menyimpan tas dan bawaan lainnya. Sementara jas hitamnya dititipkan ke pramugari untuk disimpankan. Gadis itu kelihatan cuek. Memandang keluar pesawat dari balik kaca jendela. Gadis itu menoleh. Joe tersenyum. Ada getaran aneh yang menyenangkan di dadanya saat gadis itu membalas senyumnya. Joe duduk memasang seat beltnya. “Sendirian?” Joe membuka percakapan. Ucapan yang tolol pikir Joe. Sudah jelas sendirian pakai nanya. “Nggak. Tuh banyak orang.” Sang gadis mengajak becanda. Aduh senyumnya manis sekali. Joe tersenyum.“Very funny. Joe.” Joe mengulurkan tangannya dan menjabat erat. “Novi. Iya sendirian.“ “Kuliah di Yogya?” Joe menunjuk ke buku yang dipegang Novi. “Iya.” “Dimana” “Psikologi UGM” Joe jadi teringat dulu wakti kuliah dia pernah punya keinginan beristri dokter atau psikolog. “Saya juga di UGM dulu. Fakultas ekonomi. Tujuh tahun lalu lulus.” Novi menganggukkan kepalanya. “Sekarang sudah banya berubah.” kata Novi kepada Joe. “O ya?” “Tidak nyaman lagi kata dosen saya. Dulu teduh banyak pohon rindang. Sekarang gedung melulu.“ Joe tersenyum. “Benar. Dulu nyaman sekali. Saya paling suka ngabisin waktu di danau. Masih ada?“ “Masih. Dan masih dipakai untuk yang nggak-nggak kata temen saya.“ “Iya kalo malam. Kalo siang saya paling suka belajar di sana. Naik motor. Jas hujan dan koran bekas dipakai buat alas. Tenang. Paling cuma keganggu sedikit sama anak pacaran.” “Kerja dimana sekarang mas Juweni?” “Panggil saja Joe.“ “Ok. Joe.” “Di PCI. Asing bagi Novi ya.“ Joe memberikan kartu namanya. “Temen saya ada yang kerja di Dart Mellannie. Kompetitornya ya?“ Novi menyebutkan salah satu nama the big four. “Ya, betul. Saya dulu pernah kerja disitu setahun sebelum pindah ke PCI“ Mereka diam memperhatikan pramugari yang cantik memperagakan prosedur penyelamatan. Matanya mengamati peragaan, tetapi pikirannya ke yang lain. Teringat dia akan masa kuliahnya dulu. Teringat dengan dosen-dosennya. Teman kuliahnya. Teringat pula dengan Anik. Adik kelasnya sekaligus pacarnya sewaktu kuliah. Joe dan Anik putus tidak berapa lama setelah Joe kerja di Jakarta. Kurang komunikasi. Dia dengar sekarang Anik jadi dosen FE UGM. Menikah dengan dosen muda Fakultas Hukum sekaligus pengacara terkenal di daerah Yogya dan Jawa Tengah.
Joe membandingkan Anik saat kuliah dulu dengan Novi. Anik lebih lembut. Parasnya ayu keibuan. Tibatiba rasa kangen menyelimutinya. Ah seandainya dulu ia menerima tawaran untuk jadi dosen di UGM. Mungkin penerbangan ini menjadi perjalanan pulang menemui istrinya, Anik, dan anaknya. Joe tersenyum pahit. Kelemahlembutan Anik tidak ada yang mengalahkan. Apalagi di kantornya yang penuh dengan wanita pekerja keras. Tipe seperti Anik cuma betah tiga hari barangkali terus keluar, tidak menyelesaikan masa percobaan tiga bulan. Paras Anik mirip dengan artis Ida Iasha. Cuma Anik bertubuh sedang, tidak tinggi. Lebih tinggi Novi. Kulitnya kuning langsat, mulus seperti Novi. Tidak ada kesan kelemahlembutan di wajah Novi. Kesan yang Joe tangkap adalah keceriaan, kemandirian, kejujuran, dan ada sedikit kesan keteguhan sikap. Joe paling suka dengan matanya, jernih dan teduh, serta tentu saja senyum manisnya. Vicky Chao. Ya, Novi mirip Vicky Chao, idola Bambang, staf juniornya yang baru bergabung lima bulan. Ada foto Vicky Zhao di mejanya. Kayak cewek suka memasang foto artis, Joe pernah mengomentari Bambang yang memasang foto artis di mejanya. Entah kenapa Joe malas membandingkan Novi dengan Vena. Mungkin ada rasa bersalah kalau membandingkan Novi dengan Vena. Kayaknya nggak etis pikir Joe. “Punya rumah di Yogya, Joe?” “Nggak. Ibu saya tinggal di Magelang bersama kakak.“ “Ayah?“ “Sudah meninggal waktu saya SMA. Kecelakaan bersama adik saya.” “Sorry. Menyedihkan sekali. Kasihan Ibu kamu ya.” Novi menjadi lebih simpati dengan Joe. Pasti dulu sedih sekali. Tetapi Novi tidak melihat ada rona kesedihan di wajah Joe. “Mau pulang ke Magelang Joe?“ “Nggak. Besok pagi ada meeting dengan klien terus langsung balik Jakarta. Tidak sempat ke Magelang.“ “Sayang Joe. Tinggal sejam sudah sampai ke Magelang. Nggak sempet nengok Ibu? Keluarga di Jakarta?“ Gadis ini penuh perhatian juga batin Joe. Tapi nggak ada rasa bersalah di hati Joe. “Saya belum menikah. Tapi minggu pagi saya ada acara golf dengan klien.” “Kenapa nggak batalkan aja. Toh bisa lain kali.“ Novi agak menggurui dan Joe agak tidak suka. “Nggak bisa. Lain kali biasanya ada meeting atau acara lainnya.“ “Poor guy. Kayak papa saya, kamu Joe.” Nada tidak suka tercermin di suaranya. Joe tidak suka juga dengan ucapan Novi. Joe merasa privacy-nya dilanggar. “Saya bisa telpon di hotel.” “Doesn’t help.” Agak ketus suara Novi. Novi pun membaca kembali bukunya. Joe diam saja. Kenapa jadi begini, pikirnya. “By the way, It’s your business. Not mine. Sorry Joe.” “Nggak apa-apa. Maybe you’re right.“ Dan perbincangan pun berhenti sampai disitu. Joe merebahkan seat-nya. Memejamkan matanya. Tidur. Tidur merupakan barang mewah bagi Joe. Dia tahan tidak tidur selama dua hari. Tetapi pikirannya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dalam sehari saja. Joe hanya terbangun saat makan malam disediakan. **** “Joe.... Joe.... Sudah sampai nih.“ lirih Novi membangunkannya saat para penumpang sibuk mengeluarkan tas dan bawaannya dari atas. “Thanks.“ Joe mengambil tasnya. Tas Novi diambilkannya juga. “Thanks Joe.”
Kemudian mereka pun turun dari pesawat. Joe sempat hampir lupa membawa jas hitamnya yang disimpan pramugari. Sebagian penumpang menunggu tas yang disimpan di bagasi pesawat. Sementara Joe dan Novi langsung berjalan ke arah pintu keluar. “Novi dijemput?” “Nggak, naik taksi.“ “Bareng mobil jemputan saya saja. Saya antar ya. Udah malam kan sekarang.“ “No, thanks Joe.” “Hati-hati ya.” “Sure. Bye.” “Bye.” Joe memandang Novi berjalan ke arah tempat pemesanan taksi. Shit. Joe belum tahu alamat dan nomor telponnya. Joe berjalan mendekat ke arah seorang pria muda dengan papan nama dipegangnya. Juweni – PCI tertulis di situ. Joe duduk di jok belakang mobil Mercedes. Mobil yang disediakan kliennya itu tidak sebaik yang tadi dipakai untuk mengantar Joe. “Pak, parkir dulu di depan ya, Pak.” Joe mengamati Novi berjalan dari tempat pemesanan taksi ke taksi. Joe menunggu sampai taksi itu melewati mereka. "Langsung ke hotel Pak?” “Sebentar, Pak. Tolong ikuti taksi didepan ya.” “Baik Pak.” Mercedez itu pun melaju. Melewati jalan raya Yogya Solo. Terus belok ke Ring Road. Mengikuti taksi yang ditumpangi Novi. Akhirnya taksi itu belok ke kiri, menuju kompleks kampus. Belok ke kanan. Melaju ke arah kampus Fakultas Peternakan. Masuk ke jalan kampung Klebengan. Novi turun dari taksi masuk ke sebuah rumah besar dua lantai bercat putih yang cukup mewah. Setelah taksi pergi dan Novi telah berada di rumah itu, Mercy mendekat pelan. Joe mencatat alamat dan nama yang terpasang di tembok depan rumah. “Langsung ke Melia Purosani, Pak?“ “Baik Pak.” Joe mengeluarkan Hpnya. Menekan nomor. “Halo, Bu. Ini Joe.“ “Bagaimana kabarmu Joe?“ “Baik, bu, Ibu baik-baik saja? Sehat?“ “Sehat-sehat aja. Andi dan keluarganya juga sehat-sehat aja kok. Kamu dimana?“ “Saya barusan tiba di Yogya. Malam ini nginap di sini. Besok pagi ada meeting.“ “Nggak mampir ke sini lagi?” tanya ibunya dengan nada agak menyudutkan. “Lihat besok kalo sempet Bu.” “Ya. Kabarin Ibu ya.” “Ya bu. Salam buat Mas Andi dan keluarganya ya.” “Ya. Hati-hati.” Kemudian dia telpon Vena. “Hai Joe. Udah sampai Yogya?“ “Yap. Lagi jalan ke hotel nih.“ “Nginep dimana?“ “Melia Purosani.“ “Oo.“ datar suara Vena “Kapan pulang“
“Minggu siang kayaknya Ven. Pengin ke Magelang dulu.“ “Ok. Hati-hati ya. Eh tadi gimana sama Pak Rasyid?“ “Ya. Dia bicara tentang kemungkinan aku jadi partner dalam dua bulan mendatang.“ “Oo.“ suara Vena datar lagi. Vena sebenarnya tidak suka Joe bekerja di KAP. Vena lebih suka kalau Joe ngikutin kemauan papa Vena agar bersama Vena ngurusin perusahaan keluarganya. Papa Vena memang pengusaha terkenal yang mempunyai banyak perusahaan dari mulai perkebunan, manufaktur sampai showroom mobil. Tentu saja Joe tidak mau. Saya suka dunia pajak dan it’s a good business begitu dalih Joe kalau ditanya Vena. Meskipun sebenarnya Joe mempunyai ego yang tinggi dan ingin menunjukkan bahwa dia mampu sukses dengan usahanya sendiri. Yah kembali lagi ke permainan persaingan ego. “Ok. See you Ven. Bye“ “Bye.“ ***