SEKUENSING 16S rDNA ARKAEBAKTERIA HIPERTERMOFILIK ISOLAT TS3 ASAL KAWAH DOMAS TANGKUBAN PERAHU SEQUENSING 16 rDNA of HYPERTHERMOPHYLIC ARCHAEBACTERIA TS3 ISOLATE from DOMAS CRATER TANGKUBAN PERAHU (D. Andang Arif Wibawa1 dan Agnes Sri Harti 2) Fakultas Biologi Universitas Setia Budi ABSTRAK Hipertermofil adalah kelompok mikroorganisme yang mampu hidup pada suhu di atas 70oC bahkan dapat hidup sampai suhu 113 oC. Mikroorganisme termofilik dan hipertermofilik memiliki potensi besar sebagai penghasil biokatalis tahan panas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi urutan basa 16S rRNA dari isolat TS3 yang berasal dari Kawah Domas Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Isolat ditumbuhkan dalam medium cair Luria – Bertani (LB) yang dimodifikasi pada suhu inbubasi 70 oC selama 3 x 24 jam. Penentuan urutan basa 16S rDNA dilakukan dengan hasil amplifikasi gen 16S rDNA diberi label menggunakan Big Dye Terminator Reaction Mixture Sequensing Kit. Isolat diidentifikasi dengan analisis urutan nukleotida 16 S rDNA. Berdasarkan analisis urutan nukleotida dapat disimpulkan bahwa isolate TS3 memiliki kemiripan 80% dengan urutan nukleotida 16S rDNA dengan Arkaebakteria uncultured. Kata kunci : hipertermofilik, arkaebakteria, 16S rDNA.
ABSTRACT Hyperthermophyl microorganism are microorganisms which are able to live at a temperature higher than 70 oC and on even up to 113 oC. Thermophylic and hyperthermophylic microorganisms have a potency to be used as a heat resistant biocatalyst producers. The aim of this study was to sequencing 16S rDNA from a hyperthermophylic microorganisms isolated TS3 from Domas Crater, Tangkuban Perahu., West of Java. The isolated microorganisms was cultivated in liquid modified Luria-Bertani medium (LB) at 70oC and incubated for 3 x 24 hours. The isolated microorganisms was identified by the sequencing its 16S rDNA. Base on the nucleotide sequence, the isolate wan concluded to be an Archaeabacteria which has a 80% similarity in its 16S rDNA sequence to member of the uncultured Archaeabacteri. Key words : hyperthermophylic, archaeabacteria, 16S rDNA.
1
1 . Pendahuluan Ekstremofil adalah mikroorganisme yang mampu hidup pada kondisi suhu, salinitas, tekanan atmosfir, maupun pH yang ekstrim. Mikroorganisme ini memiliki enzim yang mampu bekerja secara normal sebagai biokatalisator reaksi metabolisme pada kondisi ekstrim tersebut. Salah satu kelompok ekstremofil yang menarik untuk ditelaah adalah kelompok hipertermofilik yang mampu hidup pada suhu diatas 70 oC dan bahkan dapat mencapai suhu 113oC (Martinez, 2004). Habitat penyebaran organisme hipertermofilik dan termofilik, baik dari golongan eubakteria dan atau arkaebakteria sangat banyak tetapi hanya terpusat di beberapa belahan dunia (Madigan dkk, 1997; Stetter, 1999). Wilayah Kawasan gunung berapi dan sumber air panas menjadi habitat tempat ditemukan mikroorganisme hipertermofilik. Arkaebakteria juga ditemukan di daerah temperatur rendah dan daerah ekstrim lainnya (salinitas tinggi, pH rendah maupun tinggi). Sejak pertama kali ditemukannya mikroorganisme yang mampu hidup pada temperatur tinggi, usaha ekplorasi terhadap mikroba tersebut semakin banyak dilakukan (Brock, 1994; Takai dkk, 2001) Kemampuan mikroorganisme termofilik dan hipertermofilik untuk dapat bertahan hidup pada temperatur yang tinggi dikarenakan adanya enzim dan protein yang lebih stabil terhadap temperatur tinggi dibandingkan jenis protein dan enzim dari mikroorganisme lain yang hidup pada temperatur sedang. Enzim ini dengan istilah enzim termostabil (Kumar dan Nusinnov, 2001).
Enzim
termostabil
ini
banyak
digunakan dalam berbagai bidang khususnya di bidang kesehatan utamanya adalah DNA polymerase. Jenis mikroorganisme yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim termostabil perlu diketahui terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan enzimnya. Pada kondisi suhu yang ekstrim, seperti halnya kondisi ekstrim lainnya, mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah dari golongan arkaebakteria. Struktur sel dari arkaebakteria yang berbeda dengan kelompok prokariotik menjadikan pembagian domain organisme menjadi tiga domain yaitu prokariotik, arkaebakteria dan eukariotik (Woese dkk, 1990 ). Indonesia memiliki gunung-gunung berapi aktif dan sumber air panas yang berpotensi sebagai habitat mikroorganisme tahan panas, termofil dan hipertermofil. Mikroorganisme tahan panas telah banyak diisolasi dari, antara lain kawah Wayang di
2
Pangalengan Bandung (Indrajaya et al., 2003), kawah Sileri Dieng (Kim, 2001), kawah Sikidang di Dieng, Domas di Tangkuban Perahu dan sumber air panas Baturaden (Ardiansyah, 2006). Penelitian ini memiliki tujuan utama menentukan dan menganalisis urutan basa 16S rDNA dari mikroorganisme
hipertermofilik isolat TS3 asal kawah Domas
Tangkuban Perahu, Jawa Barat 2. Metode Penelitian 2.1. Bahan dan Alat Sampel mikroorganisme Sampel mikrooganisme hipertermofilik yang digunakan adalah hasil isolasi yang dilakukan Ardiansyah (2006) yang bekerjasama dengan pengusul. Isolat yang dipergunakan sebagai sampel adalah TS3, berasal dari Kawah Domas Tangkuban Perahu, Jawa Barat.
Media Luria Bertani modifikasi : tripton, ekstrak yeast, NaCl, MgS04.7H20, CaCl2, H3BO3, Na2Mo0 4.2H20.
Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan Tris Base, EDTA (garam natrium dari etilendiaminatetra asetat), Lisosim, SDS (Dodecyl sulfate sodium), kloroform, NaCl, isopropanol,
etanol,
phenol,
Na-asetat
dan
asam
asetat
glasial.
CTAB
(Hexadecyltrimethyl ammonium bromide), etidium bromida, RNAse, air destilat ganda (aquabidest), agarosa, pemberat DNA (Lampiran), primer UA751F dan A1406R dari Proligo (dari Laboratorium Mikrobiologi UGM), Kit Spin Prep
TM
Gel DNA dari
Novagen (Wisconsin, USA).
Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, tabung reaksi, waterbath shaking, laminair air flow, pH meter, cawan petri, autoklaf, timbangan analitik, mikrotube, mikropipet, tip (putih, kuning, biru), sentrifuge, spetrofotometer, parafilm, bunsen, mini gel migration through, hot plate, thermocycler dan sekuenser.
3
3. Jalannya Penelitian Persiapan kultur isolat Isolat TS3 yang disimpan pada gliserol -20°C, ditumbuhkan pada medium LB agar dan diinkubasi pada tempertur 37°C. Koloni yang muncul diinokulasikan ke dalam 5 ml medium LB modifikasi dan diinkubasi pada temperatur 80°C (Ardiansyah, 2006) selama 5 x 24 jam digojog dehgan menggunakan waterbath shaking. Kultur diperbanyak dalam 5 tabung reaksi 5 ml medium LB modifikasi.
Isolasi DNA DNA genom diisolasi menggunakan metode preparasi mini (Ausubel dkk, 1992) yang sudah dimodifikasi. Metode ini menggunakan 1.5 ml biakan
sel yang
disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Pelet yang diperoleh kemudian diresuspensi ke dalam 500 µl TE (0.1 M Tris-HCl, 0.1 M EDTA; pH 8), ditambah
40 µl lisosim (50 mg/ml) dan diinkubasi pada 37oC selama 60 menit.
Suspensi kemudian ditambah lagi dengan 200 µl SDS 10 %, 100 µl NaCl 5 M, dan 80 µl CTAB, dihomogenkan dan inkubasi dilanjutkan pada suhu 68 oC selama 30 menit, kemudian ditambahkan kloroform 1:1 dengan volume campuran larutan, dicampur dengan hati-hati dan disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 5 menit. Lapisan atas yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung mikro baru, ditambah isopropanol 0.6 x volume lapisan atas yang dipindahkan dan disentrifugasi kembali pada 13.000 rpm selama 5 menit. Pelet yang terbentuk dicuci dengan mengalirkan etanol 70 % dan dikeringanginkan, kemudian diresuspensi dalam 20 µl TE. Visualisasi DNA dilakukan elektroforesis menggunakan 0.8 % gel agarosa (pembuatan gel agarosa lampiran). Pita yang terbentuk dilihat menggunakan UV transluminator. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 Volt selama 25 menit menggunakan larutan penyangga TAE 0.5 X
Pemurnian DNA Hasil isolasi DNA dimurnikan dengan menambahkan TE hingga volume mencapai 100
µl.
Kemudian
ditambah
100
µl campuran fenol:kloroform:
isoamilalkohol (25:24:1) dan dihomogenkan. Campuran disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 5 menit dan lapisan atas yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung mikro
4
baru, ditambah Na-asetat 3 M dan etanol absolut, masing-masing 0.1x dan 2x volume lapisan atas yang dipindahkan. Campuran disentrifugasi kembali pada 13.000 rpm selama 5 menit, pelet yang terbentuk dicuci dengan etanol 70 %, dikering-anginkan dan kemudian diresuspensi ke dalam 20 µl TE. Visualisasi DNA dilakukan dengan elektroforesis menggunakan 0.8 % gel agarosa
dan pita yang terbentuk dilihat
menggunakan UV transluminator setelah perendaman dalam larutan etidium bromida.
Pengukuran Konsentrasi dan Kemurnian DNA Penentuan kemurnian dan konsentrasi DNA dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kerapatan optik pada panjang gelombang 260 nm setara dengan 50 µg/ml DNA untai ganda (Sambrook dkk, 1989). Perbandingan nilai kerapatan optik pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm menunjukkan kemurnian DNA. Nilai perbandingan antara 1.8-2.0 menunjukkan kemurnian DNA yang tinggi. Nilai perbandingan di bawah 1.8 menunjukkan adanya kontaminasi dari senyawa dengan berat molekul besar seperti protein, sedangkan di atas 2.0 menunjukkan adanya kontaminasi berupa senyawa dengan berat molekul kecil seperti RNA (Ausubel dkk, 1995; Sambrook dkk., 1989).
Amplifikasi gen 16S rDNA Pada tahap amplifikasi gen penyandi 16S rDNA digunakan PCR dengan komposisi campuran d H2O 36,5 ul 2,5 mM dNTP 4 ul, 10 x bufer DNA polymerase 5
ul,
5x
KOD+
polymerase
(5’GAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’)
o,5 1
ul, ul,
100 100
ml pmol
primer primer
20
F
920R
(5’CCGTCAATTCACCTTTCAG-3’) 1 ul, template DNA (< 1 ug) 2 ul untuk volume larutan PCR 50 ul. Daur PCR berlangsung pada kondisi denaturasi awal 95 oC selama 5 menit dan proses selanjutnya sebanyak 35 daur yang terdiri dari denaturasi (95oC selama 30 detik), penempelan primer (55oC selama 20 detik) dan polimerisasi (72oC selama 35 detik). Setelah akhir daur, polimerisasi dilanjutkan pada suhu 72oC selama 5 menit kemudian proses dihentikan pada suhu 4 oC. DNA hasil PCR, dielektroforesis pada gel agarosa 2% dan pita yang terbentuk dilihat menggunakan UV transluminator setelah perendaman dalam larutan etidium bromida.
5
Sekuensing 16S r DNA Hasil amplifikasi gen 16S rDNA diberi label menggunakan Big Dye Terminator Reaction Mixture Sequencing Kit dari Perkin Elmer, dengan campuran reaksi 8 µl mixture reaction, 10 µl hasil PCR DNA yang akan ditentukan urutan basanya (DNA template) dan 2 µl primer (primer yang digunakan 20F, 520F, 920R, 520R).Program PCR berlangsung pada kondisi denaturasi awal
95oC selama 5 menit dan proses
selanjutnya sebanyak 35 daur yang terdiri dari denaturasi (95oC selama 30 detik), penempelan primer (55 oC selama 20 detik) dan polimerisasi (72oC selama 35 detik). Setelah akhir daur, polimerisasi dilanjutkan pada suhu 72oC selama 5 menit kemudian proses dihentikan pada suhu 4 oC. Hasil PCR tersebut kemudian diendapkan dengan sodium aseat dan etanol. DNA hasil pengendapan ditambah 25 µl TSR (Template Suppresion Reagent, ABIPRISM, California, USA), diinkubasi pada suhu 95 oC selama 5 menit, dipindahkan dengan cepat ke dalam es selama 10 menit, kemudian dipindahkan ke dalam tabung baru untuk dianalisis susunan basanya dengan mesin sequencer (AB 310 Genetic Analyzers). Penentuan
identitas
mikroorganisme
dan
kekerabatannya
dengan
mikroorganisme yang telah diketahui berdasarkan hasil penentuan urutan basa gen 16S rRNA. Penentuan identitas dan untuk membuat pohon filogenetiknya dilakukan dengan menggunakan program Blast dengan data pembanding dari Bank Gen NCBI (www.ncbi.nih.nlm.gov/Blast) dan untuk membuat pohon filogenetiknya menggunakan program ClustalW melalui http://align.genome.jp.
4. Hasil dan Pembahasan Filogenetik Sekuen 16S rDNA Isolat TS3 Amplifikasi DNA gen penyandi 16S ribosomal RNA (16S rDNA) dari isolat TS3 dilakukan dengan menggunakan primer 20F dan 920R. Produk amplifikasi 16S rDNA isolat TS3 melalui PCR diperlihatkan pada Gambar 1.
6
M 1
Gambar 1. Amplfikasi 16S rDNA dari isolate TS3. PCR menggunakan primer 20F (5’GAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’) dan primer 920R (5’CCGTCAATTCACCTTTCAG-3’) pada gel agarose 1%. Keterangan: M = Marker DNA Ladder 500, 1 = produk PCR 16 S rDNA isolate TS3. Gambar 1 menunjukkan amplifikasi parsial gen 16S rRNA isolat TS3 memiliki urutan basa berukuran 900 bp. Produk PCR yang diperoleh kemudian ditentukan urutan basa nukleotidanya. Penentuan basa nukleotida dari 16S rDNA isolat TS3 dengan menggunakan primer universal untuk Eubakteria yakni urutan basa 20F, 520F, 520R dan 920R. Analisis homologi urutan homologi urutan basa nukleotida 16S rDNA dilakukan dengan menggunakan data dari Gene Bank melalui www.ncbi.nih.nlm.gov/Blast menghasilkan pohon filogeneik dari isolat TS3 sebagaimana gambar 2.
Gambar 2 Pohon filogenetik domain eubakteria, arkaebakteria, dan eukaria berdasarkan perbandingan sekuen 16S rRNA(Woese dkk, 1990).
7
Berdasarkan diagram pohon filogenetik tersebut isolat TS3 memiliki kekerabatan dengan
Arcahaebakteri
paling
dekat
dengan
yang
ulcultured
belum
pernah
archeon
clone
dibiakan
klon
ODP204_30Bac269
(archaebakteria
ODP204_30Bac269)
dengan tingkat homologi 80%. Sekuen basa nukleotida 16S
rDNA isolat TS3 juga memiliki homologi berkisar 80% dengan arkaebakteri yang belum pernah dibiakan yang lain.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan : Isolat TS3 asal kawah Domas, Tangkuban Perahu memiliki homologi 80% dengan arkaebakteria yang belum pernah dibiakan.
8