Jurnal At-Tajdid
SEKUENSI PENYAJIAN MATERI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF MAKKY-MADANY Wildan Nafi’i * Abtract: The process of Prophet preaching from the beginning until the end phase in Mecca and Medina is actually an ideal prototype for Islamic religious education system. Both Prophet’s preaching and Islamic education process need adjust the substance of teaching to the reality. It is included the condition of the target object. Although these values have been understood by many people, most of the experts of Holly Qur’an, in the understanding of Makky Madany (Mecca and Medina), are still limiting criteria for distinction on geographical aspects, goals, and time only without pay enough attention to the phenomenon of revelation as text which moves with realities. The indication of problem is when a paragraph is disputed it’s status. Th erefore, tarjih (reinforcement) of some history becomes the alternative, or syncretism history when both of Makky Madany are not able to be compromised. Th e result is the status of verse which ignores the reality and the verse itself both structurally and contextually. This article is going to review the discourse distinction Makky Madany more critically than others, by leading the classification on the textual approach and the reality. It is called a discourse indzaar (admonition) towards risalah (treatise) in the process of prophet preaching. The expectation of goal is by understanding of the phenomenon of Makky Madani, it can be found a new alternative in the paradigm of Islamic education, particularly in order to construct a teaching materials or materials sequence which are relevant to the reality and the goal of education. Keywords: Makky-Madany (Mecca and Medina), Indzaar-Risalah (admonition–treatise), sequence material, the Islamic education
* Mahasiswa Pascasarjana PBA UIN Sunan Kalijaga 2012/2013
13
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
PENDAHULUAN Hampir semua studi ilmu apapun pasti mengalami shifting paradigm atau pergeseran paradigm karena terikat oleh lokus dan tempus, terpengaruh oleh perkembangan pikiran dan kehidupan sosial. Dengan begitu, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaik an, perumusan kembali, nasikh mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun epistimologi keilmuan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah kemandekan atau statisnya kegiatan studi ilmu. Termasuk juga di sini ilmu agama. Jika keadaannya statis maka menurutnya, tidaklah layak dinamakan ‘studi’ agama tetapi ‘doktrin’ agama lebih pantas. Adanya perubahan dalam studi agama menurutnya tidak perlu dikhawatirkan. Rumusan rumusan baru, pendekatan-pedekatan kontemporer,bahkan uraian baru yang actual-kontekstual harus diupayakan dan diprogramkan. Jika hal ini tidak dilakukan maka diskursus ‘studi Islam’ akan ter tinggal dari laju pertumbuhan cara berpikir manusia muslim pendukungnya dan paling tidak akan terjadi gap antara keberagaman dan kehidupan itu sendiri.1 Telaah mengenai hakikat manusia, proses kejadiannya, dan perbuat annya memberikan pengertian bahwa manusia merupakan makhluk historis yang mengalami proses perkembangan. Dengan demikian, pe ngembangan pengetahuan dan kehidupan sosial yang cocok dengan manusia adalah model pengembangan sebagai proses bertahap. Ilmu seba gaimana fungsinya seharusnya merupakan teoritisasi petunjuk Kitab yang dilakukan untuk memecahkan berbagai masalah yang muncul dalam realitas objektif kehidupan manusia. Setidaknya sebagian bersifat fungsional dan pragmatis yang secara sistematis berhubungan dengan ilmu-ilmu yang metafisis, namun tidak satu di antaranya akan tetapi mencakup keduanya sebagai sebuah sistem. Singkatnya ilmu harusnya meliputi ilmu abstrak, teoritis dan praktis.2 Penjelasan di atas mengingatkan kita akan pentingnya empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Dengan adanya tahapan pendidikan semacam ini peserta didik akan mampu mengantisipasi perubahan tidak hanya yang 14
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i
bersifat linier saja, tetapi juga eksponensial yang diantisipasi akan terjadi dalam masyarakat yang mengglobal.3 Sangat disayangkan, pendidikan di Negara kita -khususnya pendidikan agama-secara umum, seperti diistilahkan Paulo Freire, masih sebagai banking concept of education. Peserta didik ibarat sebagai sebuah karung yang terus menerus di isi muatan tanpa ada proses untuk mengolah muatan itu. Pendidikan yang ada belumlah mencerminkan problem posing of education, yang menawarkan persoalan-persoalan yang problematic dan menuntut anak didik untuk berpikir kreatif dalam memecahkannya.4 Kesenjangan antara fenomena diatas dengan idealisme pendidikan yang telah diungkapkan tadi sepertinya akan menjadi sesuatu yang tidak lazim jika sejarah tentang dakwah dan pendidikan pada masa Rasulullah dikaji dan ditelaah kembali secara mendalam. Kesempurnaan Islam se perti yang dijelaskan dalam QS.5:3 tidak dapat dipahami dengan meng asumsikan bahwa Islam telah sempurna pada akhir usia Nabi di mana wahyu penutup diturunkan. Kalau asumsi ini dipegang lalu apakah status Nabi dan muslimin ketika masih di Mekkah di awal dakwah itu belum sempurna Islam? Kesempurnaan Islam di mana risalah dakwah dan tarbiyah Nabi ada di dalamnya, seyogyanya di pahami sebagai suatu kesatuan historis dan sosologis dari risalah kenabian. Jadi Islam yang dibawa Muhammad SAW telah lahir saat wahyu pertama diturunkan. Dan karenanya dakwah rasul sudah dimulai saat itu juga, sehingga periode Mekkah dan Madinah adalah suatu kesatuan historis dan sosiologis risalah Nabi. Proses panjang yang ditempuh rasul dari bai’at hingga wafat serta momen historis dan sosiologis yang berlangsung di antara dan di dalam proses itu seharusnya merupakan dasar filosofis pendidikan dan dakwah Islam. Pendidikan dan dakwah Islam haruslah merupakan abstraksi logis dari perjalanan risalah Muhammad dari periode Mekkah dan Madinah. Hal ini memberikan pengertian bahwa Islam bukanlah agama yang ahistoris dan asosial, akan tetapi merupakan pertumbuhan melalui proses sejarah yang sosiologis dari Mekkah ke Madinah.5
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
15
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
Jadi sebenarnya paparan di atas memberikan sebuah gambaran bahwa dakwah yang dilakukan Nabi secara periodik (Mekkah-Madinah) merupakan suatu kesatuan. Dan kita tidak bisa mengelak bahwa ilmu pengetahuan tentang makky dan madany -sebagai ilmu yang konsen pada periodisasi turunnya teks ilahiyah secara sistematis pada masa dakwah Nabi- tentunya bertanggung jawab besar terhadap pemahaman yang benar akan filososfi dakwah dan pendidikan Islam itu, dengan tidak mengurangi peran ilmu lainnya seperti asbab al-nuzul. Sebagaimana pendapat Muhsin al-Maili yang telah disunting oleh Nasr Hamid abu Zaid, sebenarnya para ulama Quran dan juga para pelajar ilmu Quran menyadari bahwa turunnya syariat secara bertahap dan realistis sangat membantu dalam mengarahkan manusia pada nilai Islam dan moralitas yang baik, dan semangat ini sangat baik diterapkan dalam proses pendidikan. Sayangnya selama ini, para ulama al-Quran dan juga kebanyakan pelajar ulumul Quran –dengan tidak mengurangi penghormatan dan apresiasi atas jerih payah dan kegigihan mereka-tidak me nyadari kontradiksinya, ketika mereka sendiri menyatakan bahwa wahyu yang ilahiyah tidak dibatasi oleh sejarah ruang, dan waktu. Sebaliknya dimensi-dimensi tersebut bergantung pada wahyu, sehingga konsekuen si dari pemahaman ini adalah wahyu memiliki hak prioritas di depan akal dan realitas selama ‘yang universal’ lebih agung, kosmopolit, dan sempurna ketimbang yang parsial. Jika titik tolak para ulama dalam mempelajari makky madany dan atau asbab al-nuzul adalah titik tolak fiqhiyah, yang bertujuan membedakan nasikh-mansukh, aam dengan khash, mengeluarkan hukum syar’i dari teks, maka titik tolak ini sebenarnya bersifat semantik, selama pengambilannya dari teks melalui penyaringan makna teks secara cermat. Namun karena entri point dalam pembahasan makky madany bersifat fiqhiyah semata, akibatnya para ulama Quran terjebak dalam kekacauan konseptual, khususnya yang berkaitan dengan batas-batas antara yang makky dengan madany, baik dari sisi kandungan maupun strukturnya.6 Adanya ketentuan-ketentuan seperti pembedaan makky madany dengan mengacu pada riwayat, yang pada gilirannya sampai pada feno
16
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i
mena di mana ada dua atau lebih periwayatan berbeda, sinkretisme antar periwayatan yang akhirnya menyebabkan status ayat jadi semakin kabur, dan masalah-masalah lainnya, tanpa disadari oleh para ahli ilmu Quran agaknya telah menggiring mereka kepada pemisahan teks dengan realitas yang ada. Persoalan yang bersifat logis-karena diiringi oleh sikap penyakralan akan teks dan juga riwayat yang ada yang dibaya ngi oleh hegemoni aliran mistis legitimatif-akhirnya diletakkan begitu saja. Persoalan makky madany hanya berkutat pada masalah yang statis dan bersifat repetitif saja, sehingga sangat jauh harapan untuk da pat mengambil dasar filosofis atau wacana pemikiran baru dari konsepsi makky madany untuk diaplikasikan pada proses pendidikan, kecuali hanya sedikit yang barangkali juga masih diwarnai oleh corak statisindoktrinatif-doktriner. Persoalan ini menggugah penulis untuk mengkaji kembali konsepsi tentang makky madany dengan lebih memperhatikan pada aspek keterkaitan teks/wahyu dengan realitas, sebagai alternative wacana baru dalam kajian pendidikan. Tulisan ini menelaah konsepsi makky madany menurut para ulama dan membandingkannya dengan pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Pengetahuan tentang hakikat ayat-ayat makky dan madany baik dari struktur dan kandungannya, juga nilai sosial dan historisitasnya pada proses dakwah diharapkan dapat diimplikasikan pada model pengembangan materi pendidikan Islam atau sekurang-kurangnya pada sekuensi/urutan penyajian materinya.
Makky madany: SUATU PROSES DARI INDZAAR KE RISALAH Dalam upaya untuk menarik benang merah dari fenomena makky madany, memaknai struktur dan kandungan ayat-ayat makky dan madany lalu kemudian kita analogikan dengan sekuensi penyajian materi pendidikan Islam, dan mengaplikasikannya; kita terlebih dahulu ha rus memiliki konsepsi yang cermat mengenai keduanya. Kesalahan atau kurang cermat dalam menyusun konsepsi tentang makky madany akan berakibat pada pengerucutan pemahaman sebagaimana tergambar dalam pendahuluan.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
17
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
Sampai saat ini kita mengenal adanya tiga teori tentang kategorisasi makkiyah dan madaniyah. Teori yang pertama merupakan teori geografis, yaitu pembedaan di bedakan atas tempat turunnya ayat. Ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya dinamakan makkiyah sedangkan ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya dinamakan madaniyah.7 Sebagian lagi membedakannya secara hiperbolis yaitu ada ayat yang turun di gua, di gunung, antara langit dan bumi, di bawah tanah, dan sebagainya.8 Namun kriteria ini cacat, mengingat banyak sekali ayat yang turun jauh dari kedua tempat itu. Selain itu semua pembagian yang begitu detail sebagai dasar klasifikasi ini hanya didasarkan pada factor geografis tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap teks dari segi isi maupun bentuknya. Teori yang kedua adalah teori subjektif, dengan mengasumsikan bahwa surat/ayat yang menyeru pada penduduk Mekkah dinamai makkiyah dan biasanya di mulai dengan redaksi yaa ayyuhannasu, sedangkan surat/ayat yang menyeru pada penduduk Madinah dinamai madaniyah dan biasanya dimulai dengan lafad yaa ayyuhalladzina aamanu. Kriteria ini juga cacat karena nyatanya mukhatab ayat itu sangat bervariasi, belum lagi banyak ayat yang dikecualikan hukumnya.9 QS:2:31 panggilannya jelas-jelas untuk orang Mekkah tapi dihukumi Madaniyah. Belum lagi ketidakkonsistenan yang lain. Sekali lagi kriteria pembedaan sama sekali mengesampingkan realitas dan teks dan lebih mengedepankan pada apa yang menonjol atau bagaimana kecenderungannya secara ke seluruhan dari surat. Teori ketiga adalah teori waktu dengan mengasumsikan bahwa ayat yang turun sebelum hijrah adalah makkiyah sedangkan yang turun setelah hijrah adalah madaniyah.10 Perlu diketahui bahwa hijrah Nabi ke Madinah tidak terjadi semata-mata pindah tempat begitu saja. Dakwah di Mekkah bisa dikatakan nyaris terbatas pada masalah peringatan/indzaar dan belum mencapai tahap risalah/membangun ideologi masyarakat baru. Sebaliknya di Madinah dakwah sudah merambah pada wilayah risalah dan sedikit mengulang tentang indzaar. Dalam hal ini agaknya teori waktu ini yang paling mendekati kesesuaian dan kekon-
18
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i
sistenannya. Namun begitu, tetap saja hal ini tidak dapat dimutlakkan mengingat para ulama juga memiliki ijtihad terhadap ayat-ayat tertentu, manakala ada dua periwayatan yang berbeda atau kurang kuatnya suatu riwayat.11 Jika permasalahan ini sebenarnya bersifat ijtihady maka menurut hemat penulis, ada sebuah kemungkinan untuk mengklasifikasikan ayat-ayat pada makky madany dengan tetap memakai criteria pembedaan yang ada lalu menggunakan pendekatan realitas dan teks pada porsi yang lebih dominan mengingat teks selalu bersesuaian dengan realitasnya. Dengan realitas, maksudnya melihat kecenderungan substansi teks itu mengarah pada indzaar ataukah risalah. Dengan teks, maksudnya melihat antara susunan gaya bahasa yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, periode indzaar adalah periode di mana anak didik masih pada taraf awal pendidikan yang ba ginya ilmu yang diajarkan masih sangat asing. Dalam kondisi semacam itu ekses-ekses yang berakar dari kebiasaan atau kehidupan sekitarnya mungkin masih begitu terasa menyelimuti. Di mata orang Mekkah waktu itu ajaran Nabi Muhammad sangat asing bagi mereka. Ajaran Mu hammad yang asing itu akan sangat sulit untuk secara cepat diterima orang dan akan lebih berpotensi untuk ditolak atau paling tidak dihiraukan. Nyatanya selama 3 tahun pertama dakwah Nabi secara diamdiam, hanya mendapatkan 11 orang saja. Dan 10 tahun berikutnya sebelum akhirnya beliau hijrah ke Madinah, hanya ada sekitar 120an orang. Proses dakwah ini pun tak luput dari marabahaya, ancaman dan peng aniayaan yang terus dilancarkan para kafir Mekkah.12 Pada fase ini al-Quran dihadapkan pada orang-orang musyrik di satu sisi dan juga pada Nabi dan umat muslim di sisi yang lain. Orang kafir dengan gejala psikologisnya yang keras kepala, lihai, dan sombong, membangkang terhadap ajaran Islam dan merongrong dakwah Islam,13 sedapat mungkin harus diperingatkan dengan tegas dan cara yang eks lusif baik dengan ditakuti atau dibujuk agar mau mengkuti jalan kebenaran. Sebaliknya orang-orang mukmin berada pada posisi minoritas, Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
19
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
dimana prioritas penting bagi mereka selain perlindungan pada waktu itu adalah ketabahan, dan ketetapan hati di tengah-tengah kesulitan yang bertubi-tubi.14 Maka al-Quran mendidik mereka dengan nilai-nilai moral dan kebajikan, ketabahan, pokok-pokok keimanan, dan juga janjijanji Allah akan hari pembalasan, juga tentang surga dan neraka. Dalam hal ini, baik janji, ajaran moral, ancaman, cerita, eksposisi tentang surga dan neraka dan sebagainya, sebenarnya semua seruan itu dapat dikatakan sebagai persuasi yang berlaku sama rata baik untuk orang kafir Mekkah maupun umat muslim. Ini mengingat bahwa sighat yang umum pada redaksi di tahap indzaar ini adalah yaa ayyuhannasu. Secara struktur seruan ini menunjukkan universalitasnya.15 Dalam dunia pendidikan kekinian, di tahap awal pengajaran, materi disajikan dengan sebuah corak yang cenderung ke arah stimulus, dan motivasi. Peserta didik tentunya memiliki latar belakang yang berbeda, dari yang bermotivasi tinggi sampai yang tidak punya motivasi. Namun semuanya perlu belajar. maka perlu adanya rangsangan agar mereka mau bersama-sama belajar.16 Pada suatu waktu di mana peserta didik sulit untuk dikondisikan, diperlukanlah apa yang disebut sebagai sugesti. Sugesti ini bisa berbentuk pujian, ancaman dengan menakut-nakuti atau dengan menunjukkan kelemahannya. Efek dari sugesti ini adalah menguatkan perasaan dan membakar semangat jiwa atau meluluhkan jiwa yang kaku menjadi lebih lunak.17 Sama halnya orang-orang kafir dan mukmin yang disu gesti dengan janji, ancaman, dan ajaran moral, peserta didik hendaknya diberikan sugesti yang terkait dengan urgensi belajar dan efek yang ditimbulkan oleh ketidaksungguhan belajar. Singkatnya, sebagaimana Quran mendidik generasi muslim awal sebagai person-person yang mantap dan kuat, seorang pendidik pada tahap awal pembelajaran lebih banyak memberikan materi-materi yang secara fungsional membantu pembentukan karakter anak agar menjadi pribadi yang baik. Pada periode risalah, jika kita analogikan dengan pendidikan merupakan masa di mana peserta didik sudah menyadari siapa dirinya dan apa yang harus dikerjakannya. Kita melihat bahwa di Madinah keberadaan kaum muslim lebih stabil jika dibandingkan dengan Mekkah, meski
20
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i
pun mereka tetap tinggal bersama penganut Yahudi dan Nasrani dan tak jarang persinggungan pemikiran dan perselisihan terjadi.18 Namun pada situasi yang kondisional tersebut agaknya dialog logis antar umat beragama (dalam hal ini Islam dengan yahudi dan nasrani), peletakan ideologi masyarakat beserta cabang cabang hukum serta aturan-aturan teknis seperti membangun tempat ibadah, menetapkan aturan jual beli, munakahat, mawaris, hukum sipil, perang dan sebagainya19 lebih memungkinkan untuk dilakukan. Dalam pendidikan materi pada jenjang yang lebih tinggi ini menuntut adanya analitik dan juga kemampuan untuk mensintesis, sehingga memberi dorongan kepada anak untuk memiliki kemampuan mengurai unsure-unsur yang membentuk suatu keseluruhan secara sistematik.20 Dalam system urutan materi yang di ajukan oleh Permendiknas, dikenal adanya system hirarkis, artinya urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya.21 Pengajaran yang tersistem dan bersifat structural-parsial-hirarkis seperti di atas menuntut adanya loyalitas dari peserta didiknya. Artinya, selama siswa masih belum menyadari siapa dirinya dan apa yang harus dilakukan, atau dengan kata lain dia masih dalam tahap indzaar, maka sulit dimungkinkan siswa itu dapat mengikuti jalannya ‘tahap risalah’. Aksin wijaya dengan bahasanya yang lebih terbuka mengatakan bahwa pada fase risalah terdapat semacam dikotomi pada strata social dan juga universalitas Islam. Menurutnya hal ini dapat dibuktikan dengan redaksi ‘yaa ayyuhalladzin amaanu’ yang konsekuensinya mengabaikan orang di luar Islam. Selain itu kedudukan yahudi dan nasrani pada strata sosial menjadi warga kelas dua dengan diberlakukannya piagam Madinah.22 Dalam pendidikan, problematika semacam ini mungkin sering kita temui. Beberapa orang sudah ‘sadar’ akan keberadaannya, sedangkan yang lain mungkin belum. Maka mau tak mau tugas kita dalah meng ayomi keduanya. Memberikan suntikan materi secara berjenjang dan konsisten untuk mereka yang telah ‘sadar’ dan memberikan ‘penyaJurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
21
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
daran’ bagi mereka yang belum. Agak sulit memang, menerapkan hal itu. Namun kita tentu perlu lebih hati-hati dan cermat dalam menyatakan sesuatu seperti pernyataan aksin tadi. Upaya-upaya untuk meminimalisir dikotomi ini telah diupayakan oleh teks Quran bersama Nabi. Apalagi bahwa sebenarnya tahap indzaar itu tidak selesai begitu saja ketika hijrah. Dalam surat-surat madaniyah ada beberapa ayat yang memiliki karakteristik makkiyah yang menurut penulis merupakan ayat indzaar yaitu al-anfaal:22. Ini menunjukkan bahwa kedua prose situ sebenarnya terus bergulir dan tidak serta merta berubah apalagi lenyap begitu saja.23
BELAJAR MEMPROSES SECARA MENDALAM KEMUDIAN ELABORASI: PENDIDIKAN MASYARAKAT DARI TEOLOGIS KE METAFISIS Bahan atau materi pendidikan dalam pengertiannya yang luas adalah suatu system nilai yang merupakan bentuk abstrak dari tujuan pendidikan. Secara khusus, bahan atau materi pendidikan adalah apa yang harus diberikan dan disosialisasikan serta ditransformasikan sehingga ia menjadi milik peserta didik. Karenanya, bahan dan materi pendidikan Islam secara garis besar merupakan konseptualisasi dari fungsi umum manusia sebagai penghamba (fungsi ibadah) dan sebagai khalifah. De ngan demikian, maka apa yang harus diberikan sehingga menjadi milik peserta didik adalah nilai-nilai pribadi penghamba dan khalifah yang meliputi aspek keterampilan, pengetahuan, kecerdasan dan moral.24 Selanjutnya bagi seorang pengajar, Prof. Omar Syaibany dalam falsafah yang diusungnya menjelaskan bahwa pendidik harus banyak menaruh perhatian pada peserta didiknya, dan mendahulukannya di atas kepentingan sendiri. Pendidik memberikan pemahaman sesuai taraf kepahaman peserta didiknya, tidak menguraikan panjang-panjang bila memang sukar dihafalkan, tidak pula meringkas demi mempersempit pemahaman. Memberikan deskripsi yang sejelas-jelasnya bagi mereka yang awam, dan cukup memberikan pengantar atau gambaran saja bagi mereka yang sudah mampu untuk mengembangkan pemahamannya terrhadap materi.25 Analoginya dengan fenomena makky madany, periode Mekkah atau fase indzaar masyarakat di tempat itu pada umumnya adalah ung22
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i
gul secara intelektual namun kering secara spiritual. Kemampuan me reka bersyair, berdagang, dan berdialog dengan ahli kitab pada waktu itu merupakan bukti kecerdasan mereka, namun sikap keras kepala, sombong, dan temperamental merupakan refleksi dari keringnya spiritual mereka.26 Maka dalam hal ini teks al-Quran harus menghadapi mereka dengan bahasa yang sepadan dengan intelektual mereka, yaitu bahasa dengan diksi yang bagus, lugas, dan tidak basa-basi. Uraian yang terlalu panjang akan membuat mereka jemu dan tidak tergerak, karenanya gaya bahasa pada periode ini relative pendek.27 Dan perlu diperhatikan sekali lagi bahwa gaya bahasa ini tidak berakhir ketika hijrah. Ayat-ayat dengan gaya bahasa semacam ini beberapa masih ditemukan di periode Madinah seperti QS:Al-Anfaal di atas, yang ditujukan untuk mukhotob yang serupa dengan masyarakat Mekkah. Lain halnya dengan periode Madinah, masyarakatnya sangat he terogen, di satu sisi ada umat muslim yang dalam hal ini terbagi menjadi muhajirin dengan pengalaman yang lebih mendalam tentang Islam bila dibandingkan dengan kaum anshar. Di sisi lain ada umat yahudi dan nasrani.28 Di sini teks wahyu harus berusaha untuk menyampaikan ajaran dengan bobot yang setara untuk dapat dicerna lebih banyak umat muslim. Disamping itu sudah waktunya untuk membangun system masyarakat secara jelas. Karenanya instruksi-instuksi terutama yang bersifat teknis haruslah disampaikan secara naratif dan mengikuti alur yang logis dan berurutan.29 Dengan ini tampaknya kesesuaian materi dan juga metode penyampaian yang tepat mengarahkan kita pada membentuk strategi penyampaian materi. Permendiknas menjelaskan tentang strategi suksesif dalam menyampaikan materi secara urut yaitu jika guru harus menyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula.30 Dalam beberapa kasus ditemui adanya ayat atau surat yang diperselisihkan, apakah ia tergolong makkiyah atau madaniyah. Kelemahan Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
23
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
para ulama kuno dalam mengaitkan teks dengan realita menyebabkan munculnya hipotesis bahwa ayat turun berulang-ulang, pertama di Mekkah dan kedua di Madinah, berdasarkan dua periwayatan yang berbeda dan tidak dapat dikompromikan, dan tidak adanya keberanian untuk mengambil inisiatif logis (ijtihad). Menurut zayd, akan lebih baik jika sebuah ayat dicermati secara teliti bagaimana gaya bahasanya, uslubnya, lalu kandungannya. Dengan begitu klasifikasi akan lebih jelas. Begitu pula tentang ayat-ayat hukum. Beberapa ayat muncul belakangan setelah hukumnya dilaksanakan(menurut para ulama kuno: tentang wudlu). Zayd mengkritisi mereka sebab tidak memahami bahwa pesan primer dalam ayat itu adalah tentang tayammun dan bukan pada wudlunya. Adanya pengulangan semacam ini jika di analogikan dalam pendidikan, pengulangan dalam proses pendidikan adalah bagian penting pada stimulasi belajar peserta didik. Namun pengulangan ini tidak akan efektif manakala pengulangan itu tidak dibarengi dengan merekonstruksi memori mereka dengan cara yang bermakna.31 Rekonstruksi ini dapat dilakukan dengan pemrosesan yang mendalam disertai dengan elaborasi. Pemrosesan mendalam artinya pendalaman etimologis dari apa-apa yang telah diajarkan.32 Dalam kasus makky madany diulang-ulangnya perintah salat, taqwa, syukur dan sebagainya merupakan sebuah pemrosesan mendalam. Elaborasi artinya ekstensivitas pemrosesan dengan memakai ibrah atau tamsil.33 Dalam kasus makky madany turunnya ayat mendahului hukum, dan disampaikannya ayat berkali-kali dan sebagainya sebenarnya merupakan fenomena usaha wahyu untuk melakukan dialog dan elaborasi pengetahuan kepada umat Islam waktu itu. Dan elaborasi terbukti lebih menguatkan ingatan dan konsepsi seseorang atas sesuatu, lebih baik daripada hanya sekedar mengulang dan mendalami etimologinya saja. Proses yang panjang itu pada akhirnya mengantarkan masyarakat Islam pada tatanan masyarakat yang lebih moderat dan beradab. Dengan meminjam istilah Comte (walaupun tidak mengambil seluruhnya), masyarakat akan terbagi pada tiga fase, yaitu fase teologis, lalu metafisis, kemudian positivis.34 Kita tentu tidak mengharapkan masyarakat Islam
24
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i
akan berada pada level positivis karena dengan itu ideology ketuhanan sudah runtuh. Namun agaknya kita mendapati bahwa Islam dan ajarannya telah membawa masyarakat berkembang dari pandangan yang teo logis an sich menuju masyarakat yang metafisis, masyarakat yang memiliki akal budi yang tinggi dengan tetap memegang prinsip-prinsip teologis dengan benar. Jika kita kembali pada pemahaman pada pendahuluan di atas, bahwasanya kesempurnaan islamisasi yang dilakukan Nabi pada hakikatnya berada pada proses yang terus berkelanjutan dan bukan pada tujuannya semata-mata, maka kita mengasumsikan bahwa sejak awal periode Mekkah hingga akhir periode Madinah adalah sebuah proses yang bersifat siklik, rancang bangun pengetahuan itu terus menerus dikembangkan dan tidak akan berhenti. Bahwa wafatnya Nabi dan berakhirnya turun wahyu tidak akan menghentikan laju perkembangan tersebut karena teks al-Quran telah bergerak bersama realitas yang ada. Pada akhirnya model penyampaian firman yang evolutif dan demikian pula risalah keNabian mengajarkan kita contoh, bahwa sosialisasi Islam yang dikenal dengan pendidikan adalah sebuah prose situ sendiri. Justru kepada pro ses itulah tujuan pendidikan diletakkan, sementara tujuan pendidikan merupakan konsekuen dari proses itu sendiri.
PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah bahwasanya pembedaan makky madany tidak cukup hanya dengan sekedar memakai kriteria tertentu saja tanpa memperhatikan pergerakan teks terhadap realita yang ada. Pemaknaan akan makky dan madany haruslah menyen tuh pada teks dan realitas yang sangat terkait dengan proses pendidik an masyakat muslim menjadi masyarakat yang berperadaban. Adanya proses yang siklik dan berkesinambungan dari indzaar menuju risalah merupakan hal yang tak terhindarkan. Dan melakukan penyusunan dan pengurutan materi berdasarkan pendekatan indzaar dan risalah tersebut adalah hal yang patut untuk dipertimbangkan. [ ]
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
25
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
ENDNOTES 1
2
3
4
5 6
7
8
9
10 11
12
13
14 15
16 17 18 19
20 21
22 23 24
26
Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 103. Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 205. Kasinyo Harto, rekonstruksi pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan HAM: Jurnal Studi Agama Al-Millah Vol XII. No. 1 (Yogyakarta: Pasca Sarjana FIAI MSI UII Yogyakarta, 2012) Paulo Friere, Pedadogi Pengharapan (Terj.), diterjemahkan oleh A. Widyamartayya (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 196. Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim ..., hlm. 206. Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Quran, Terj: Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003), hlm. 88. Manna’ul Qaththan, Mabaahits Fi Ulum Al-Quran, terj: Ainur Rofiq ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 74. Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan Fi’ulum Al-Quran (Beirut: ar-Risaalah, 2008), hlm.9. Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Al-Ulum Al-Quran (Kairo: Dar al-Turats, t.t.), hlm. 187. Ibid. Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Quran ..., hlm. 90. Muhammad Syadid, Manhaj Tarbiyah,terj: Nabhani Idris ( Jakarta: Robbani Press, 2003), hlm. 272. Subhi al-Shalih, Mabaahits Fi Al-Ulum Al-Quran (Beirut: Dar al-Ilm li alMalaayin, 1985), hlm. 203. Ibid. Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 131. Abu Ahmadi, Psikologi Belajar ( Jakarta: Rinneka Cipta, 2004), hlm. 214. Ibid., hlm. 42. Muhammad Syadid, Manhaj Tarbiyah., hlm. 277. Fahd ibn Abd al-Rahman al-Ruumi, Diraasat Fi Al-Ulum Al-Quran, terj: Amirul Hasan (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 174. Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim ..., hlm. 247. Kemendiknas, Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran ( Jakarta: Dirjen Pengembangan Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008), hlm. 7. Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Quran ..., hlm. 131. Manna’ul Qaththan, Mabaahits Fi Ulum Al-Quran., hlm. 277. Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim., hlm. 247.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
Wildan Nafi’i 25
26
27 28 29
30 31 32
33 34
Omar Mohammad al-Toumy a-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam. terj: Hasan Langgulung ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 603. Ibnu Khaldun, Muqaddimah,(ttp.: Bait al-Funuun wa al-Adaab, t.t.), hlm. 439. Subhi al-Shalih, Mabaahits Fi Al-Ulum Al-Quran ..., hlm. 227. Ibnu Khaldun, Muqaddimah., hlm. 333. Fahd ibn Abd al-Rahman al-Ruumi, Diraasat Fi Al-Ulum Al-Quran ..., hlm. 174. Kemendiknas, Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran ..., hlm. 14. WS. Winkel, Psikologi Pengajaran (Yogyakarta: Media Abadi, 1987), hlm. 351 John. W. Santrock, Psikologi Pendidikan,terj: Tri Wibowo ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 316. Ibid. Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 104.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdullah. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yog yakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Quran, Kritik terhadap Ulumul Quran, Terj: Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2003. Ahmadi, Abu, Psikologi Belajar, Jakarta: Rinneka Cipta: 2004. al-Ruumi, Fahd ibn Abd al-Rahman, Diraasat Fi Al-Ulum Al-Quran, terj: Amirul Hasan, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997. al-Shalih, Subhi, Mabaahits Fi Al-Ulum Al-Quran, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malaayin, 1985. Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Al-Ulum Al-Quran, Kairo: Dar al-Turats as-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan Fi’ulum Al-Quran, Beirut: ar-Risaalah, 2008. as-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj: Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Friere, Paulo, Pedadogi Pengharapan, alih bahasa: A. Widyamartayya, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013
27
Sekuensi Penyajian Materi Pembelajaran Pendidikan Islam Perspektif Makky-Madany
Harto, Kasinyo, “Rekonstruksi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan HAM”, Jurnal Studi Agama Al-Millah Vol XII. No. 1 Yogyakarta: Pasca Sarjana FIAI MSI UII Yogyakarta, 2012. Kemendiknas, Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran, Jakarta: Dirjen Pengembangan Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008. Khaldun, Ibnu. Muqaddimah, Bait al-Funuun wa al-Adaab, ttp.: tnp., t.t. Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1993. Qaththan, Manna’ul, Mabaahits Fi Ulum Al-Quran, terj: Ainur Rofiq, Ja karta: Pustaka al-Kautsar, 2005. Santrock, John. W., Psikologi Pendidikan, terj: Tri Wibowo, Jakarta: Ken cana Prenada Media Group, 2004. Syadid, Muhammad, Manhaj Tarbiyah, terj: Nabhani Idris, Jakarta: Rob bani Press, 2003. Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum Quran, Yogyakarta: Pustaka Pe lajar, 2009. Winkel, WS., Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi, 1987.
28
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 2, No. 1, Januari 2013