PENGEMBANGAN MADRASAH / SEKOLAH SEBAGAI SEKOLAH BERCIRI KHAS AGAMA (Studi Terhadap Beberapa Kebijakan Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Madrasah Tsanawiyah Sebagai Sekolah Berciri Khas Agama ) Oleh : Septuri
Abstrak Pembahasan dalam makalah ini secara rinci tidak memisahkan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis Konsep Manajemen Pendidikan Islam tersebut, sehingga pembahsannya masih sangat umum, untuk itu penulis perlu meminta masukan-masukan dalam diskusi pembahasan persoalan dimaksud.Apakah hakikat Manajemen Pendidikan Islam ?. Menyangkut hal apa saja Manajemen Pendidikan Islam itu, baik yang bersifat kongkrit atau bersifat abstrak?.Pembahasan mengenai Ontologi Manajemen Pendidikan Islam ini akan dimulai dari tinjauan teoretis pengertian dan fungsi-fungsi manajemen, kemudian seperti apa isyarat AlQur‟an dan Hadits tentang fungsi manajemen tersebut. Pengertian manajemen dari segi bahasa bahwa kata manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata “management” yang berarti: pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia, bahwa kata “Management” berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
Key Word : Manajemen, Pendidikan Islam
123
I.
PENDAHULUAN
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Pengembangan pendidikan Islam pada umumnya dan pengembangan Madrasah pada khususnya didasarkan pada “Tiga Pilar Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional” yaitu : 1. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan; 2. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan 3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik pengelolaan pendidikan. (http://nhidayat62) Pembangunan Pendidikan Nasional dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan, dengan keberadaan lembaga pendidikan madrasah ( Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah ) ternyata sangat signifikan, hal ini terindikasi dari banyaknya lembaga-lembaga pendidikan madrasah yang berdiri, terutama di daerah-daerah pedesaan, meskipun keberadaannya belum menunjukkan kualitas yang memadai, misalnya madrasahmadrasah swasta di pedesaan. Dalam hal peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan, lembaga pendidikan madrasah secara kuantitatif masih belum menggembirakan,
hal
ini
tentu
terkait
dengan
banyak
faktor
yang
mempengaruhinya, baik faktor internal maupun faktor eksternal lembaga madrasah tersebut. Faktor internal antara lain faktor Sumber daya manusianya dan faktor tujuan kurikulernya, dengan tujuan yang belum kongkrit, maka kurikulumnya jelas tidak fokus, misalnya tujuan pendidikan secara umum Jenjang Madrasah Tsanawiyah Terbentuknya Keperibadian Muslim, kepribadian muslim 124
seperti apa yang harus dicapai?, Jenjang Tsanawiyah juga harus memiliki keterampilan, keterampilan seperti apa yan harus dicapai?, dan tujuan-tujuan lain yang kurang kongkrit. Sejalan dengan faktor internal sebagaimana di atas, maka menyebabkan faktor eksternal juga tidak kongkrit; antara lain: faktor dana, fasilitas dan sarana prasarana. Adapun penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik pengelolaan pendidikan, sebagian besar madrasah juga masih belum memuaskan, meskipun secara yuridis bahwa madrasah sudah diakui setara dengan lembaga pendidikan yang dikelola di bawah Kementerian Pendidikan Nasional., namun pengakuan saja ini belum cukup, perlu diiringi oleh pengelolaan yang lebih baik. Hal ini tentu berangkat dari fakor-fakor internal dan fakor eksternal di atas. Kondisi di atas sesungguhnya terkait dengan kebijakan dan manajemen pendidikan yang diterapkan di madrasah tersebut, baik pada tataran kebijakan, maupun pada tataran aplikasinya, meskipun secara garis besar kebijakan pengembangan madrasah yang meliputi visi, misi dan tujuan pendidikan Islam sudah cukup baik. Dimana Visi Pendidikan Islam adalah: “Terbentuknya Peserta Didik yang Cerdas, Rukun, dan Muttafaqqih fi alDin dalam rangka mewujudkan masyarakat yang Bermutu, Mandiri, dan Islami”, dan Visi Madrasah adalah : “ Terwujudnya pelayanan pendidikan yang mendukung perkembangan madrasah dan pendidikan agama Islam yang berkualitas, yang mampu mengantarkan perserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. (http://nhidayat62, hal 1)
125
Dan misi madrasah adalah : 1.
Menghasilkan lulusan yang Islami, unggul dalam ilmu pengetahuan, bersikap
mandiri,
dan
berwawasan
kebangsaan
yang
mampu
mengembangkan potensi peserta didik dalam berpikir, berkarya, serta proaktif dalam merespons perkembangan teknologi. 2.
Meningkatkan kualitas dan profesionalisme pendidik, tenaga kependidikan dan pengawas.
3.
Meningkatkan kualitas manajerial dan tata kelola pendidikan Islam yang Islami berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi.
Dan Tujuan Madrasah adalah : 1.
Mengantarkan peserta didik menjadi: manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia dan berkepribadian, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; serta, mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.
Menyediakan layanan pendidikan yang berbasis pada masyarakat.
(http://nhidayat62, hal 1) Namun walaupun konsep kebijakan sebagaimana disebutkan di atas sudah baik, namun untuk mencapai tujuan ideal tersebut masih sangat sulit, tentunya harus diteruskan dengan upaya-upaya yang strategis, dan didukung oleh kebijakan-kebijakan yang strategis pula. Bagaimanakah kebijakan-kebijakan terkait dengan pengembangan madrasah tersebut? . Dan secara rinci makalah ini akan menganalisis hal-hal sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sejarah dan pengertian madrasah? 2. Apa sajakah jenis dan jenjang madrasah ? 3. Apakah kebijakan yang menyangkut madrasah dari aspek funggsi Manajemen Pendidikan? 4. Apa saja Tantangan Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan ? 126
II.
PEMBAHASAN.
1. Sejarah dan Pengertian Madrasah. Manusia dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya, mewariskan berbagai nilai-nilai budaya dan peradaban dari satu generasi ke generasi berikutnya, di samping itu juga sebagai pengembangan potensi yang ada pada diri agar dapat dipergunakan oleh setiap individu untuk menghadapai tantangan dan permasalahan bagi hidup setiap individu itu sendiri. Pendidikan Islam yang dilakukan Rasulullah di Makkah merupakan bentuk dasar dari pendidikan yang bertujuan untuk membina pribadi muslim agar menjadi kader yang berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, mubaligh, dan pendidik yang baik. Dan setelah hijrah, di samping membentuk pribadi muslim pendidikan Islam mengalami perkembangan dan diarahkan untuk membina seluruh aspek-aspek kehidupan manusia dalam mengelola dan menjaga kesejahteraan umat manusia. Kepedulian Rasulullah terhadap pendidikan ini terlihat sekali pada saat selesai perang Badar, bahwa tawanan perang dari orang-orang Quraisy yang mampu membaca dan menulis ditawari oleh beliau untuk mengajar membaca dan menulis kepada masyarakat muslim di Madinah untuk menebus kebebasan mereka, satu orang tawanan menajar 10 orang anak-anak madinah. (Mahmud Yunus, 1990, hal 22) Sehingga dalam waktu relatif singkat masyarakat muslim di Madinah banyak yang mampu membaca dan menulis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sesuai dengan tujuan hidup manusia, sebab pendidikan hanyalah alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya baik sebagai individu maupun masyarakat. (Muh. Thalhah Hasan, hal 58)
127
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat umum seperti masjid, terdapat juga lembaga yang sengaja dibangun dengan orientasi tertentu. Ahmad Syalabi membagi institusiinstitusi pendidikan Islam itu menjadi dua kelompok, yakni kelompok sebelum madrasah dan setelah madrasah. (Ahmad Syalaby, 1954, hal 55) Jauh sebelum mengenal madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang terstruktur dan terorganisasi, umat Islam telah mengenal beberapa lembaga pendidikan yang bisa dikatakan sebagai embrio perkembangan pendidikan Islam, adapun lembaga-lembaga tersebut adalah : a. Shuffah. Pada masa Rasulullah SAW, shuffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan, biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin di sini para siswa diajari membaca dan menghafal Al- Qur‟an secara benar dan hukum Islam di bawah bimbingan langsung dari Nabi, dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar menghitung, kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat. (Abuddin Nata, 2004, hal 32-42) b. Kuttab atau maktab. Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu “Kataba” yang artinya menulis. Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk menulis atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis. Kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi kepada Al- Qur‟an sebagai suatu tex book, hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab. Sejarah khususnya yang berkaitan dengan Nabi SAW.
128
c. Halaqah. Halaqah artinya lingkaran. Artinya proses belajar mengajar di sini dilaksanakan dimana murid dan melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum,termasuk filsafat. d. Majlis. Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam, mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran berlangsung. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan, dan majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7 (tujuh)macam majlis, seperti: Majlis al-hadits, Majlis al-tadris, Majlis al-manazharah, Majlis muzakarah, Majlis al- syu‟ara , Majlis al-adab, Majlisal-fatwa dan al-nazar. e. Masjid. Semenjak berdirinya di zaman Nabi SAW, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan. Urgensi masyarakat terhadap masjid menjadi semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk yaitu mesjid sebagai tempat sholat jum‟at atau jami dan masjid biasa. Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabatpenjabat pemerintah, seperti,qodhi, khotib dan iman masjid.
129
f. Khan. Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti, khan al narsi yang berlokasi di alun-alun kota di bagdad. g. Ribarth. Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang inginmenjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. .h.Rumah Ulama. Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatanbelajar mengajar, namun para ulama dizaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan .i. Toko buku dan perpustakaan. Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam, pada awalnya memang hanya manjual buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan di situ. Di samping toko buku, perpustakan juga memilki peranan pentingdalam kegiatan transfer keilmuan Islam. j. Rumah sakit. Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan dilaksanakan sehingga kemajuan ilmu kedoteran dan obat-obatan cukup pesat. Rumah sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah
130
kedoteran yang didirikan di luar rumah sakit, rumah sakit juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan. k. Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal badui). Badiah merupakan sumber bahasa arab yang asli dan murni, dan mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Oleh karena itu badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak kholifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusastraan arab. Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan. (Abuddin Nata, 2004, hal 32-42) Di antara faktor yang mendukung berdirinya madrasah adalah faktor politik, hal ini bermula pada perpecahan yang terjadi akibat dari berdirinya kekhalifahan Syiah di Kairo yang memisahkan diri dari kekhalifahan Sunni di Baghdad sebelum akhir abad ke 4 Hijriyah. Selain karena perbedaan doktrin kedua golongan terjadi pula persaingan di antara keduanya. Maka dari itu pendidikan menjadi senjata dari perlombaan politik tersebut. Khalifah-khalifah Syiah di Kairo mengklaim diri mereka sebagai keturunan Nabi dan mereka memperkuatnya melalui pendidikan yang terencana dan diselenggarakan oleh negara yang berpusat pada lembaga yang diberi nama Dar-al-Ilmi. Sebuah masjid yang berhasil direbut di Kairo segera digunakan sebagai tempat belajar sesuai dengan doktrin penguasa baru. Masjid ini sekarang dikenal dengan Al-Azhar, dan dianggap sebagai universitas tertua di dunia. Menanggapi tantangan pendidikan tersebut, meskipun agak terlambat khalifah Sunni yang berada di Baghdad dengan langkah yang sama juga mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama madrasah pada abad ke 5 hijriyah. Serupa dengan apa yang dilakukan oleh saingannya, lembaga ini didirikan guna menyebarluaskan dogma penguasa saat itu. (Mahmud Yunus, Op.Cit., hal 66-67) 131
Selain motivasi di atas diantara motivasi pendirian madrasah pada masa awal pemerintahan bangsa Turki adalah untuk mengambil hati rakyat, mengaharap ampunan dari Allah, memelihara kehidupan anak-anak di kemudian hari, memperkuat aliran keagamaan bagi sultan atau penguasa, (motif politik ini yg paling dominan). (Mahmud Yunus, Op.Cit., hal 69) Masih pada abad 5 hijriyah Nizam Al-Mulk salah seorang wazir Dinasti Seljuk yang sunni dan juga seorang penganut ideologi Syafi iyah Asy„ariyah, merasa bahwa untuk melawan ideologi Dinasti Fathimiyah di Kairo yang beraliran Syiah saat itu tidak cukup dengan mengangkat senjata, maka beliau berinisiatif untuk mendirikan madrasah-madrasah di setiap kota daerah kekuasaannya yang tidak lain untuk membendung doktrin-doktrin Syi‟ah yang disebarkan secara aktif dan sistematik oleh Dinasty Fathimiyah. Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di mesjid-mesjid. Di sisi lain perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, madrasah adalah tujuan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak mengganggu kegiatan ibadah, dibuatlah tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah. Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru, dan madrasah-madrasah tersebut adalah: a. Madrasah sebelum Nizhamiyah. Sebelum Nizham Al-Mulk menggagas berdirinya madrasah bagi Dinasty Seljuk, sebelumnya telah berdiri madrasah-madrasah yang menjadi cikal bakal munculnya madrasah Nizhamiyah, madrasah tersebut berada di daerah Persia yaitu di wilayah Nisyafur misalnya madrasah Al-Baihaqiyah, Saidiyah. Akan tetapi madrasah ini tidak begitu terkenal karena masih bersifat ahliyah (kekeluargaan).
132
b. Madrasah Nizhamiyah. Madrasah nizhamiyah merupakan perototipe awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengansistem asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalammenentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, saranafisik dan lain-lain. c. Madrasah di Mekah dan Madinah. Informasi tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari berbagai literatur. Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di Mekah dan Madinah. Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut kurang lengkap. Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah lebih banyak dibandingkan di Madinah. Di antara madrasah tersebut adalah: madrasah Abu Hanifah, madrasah Maliki, madrasah Ursufiyah, madrasah Muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah Qoi‟it bey yang didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir. (Abuddin Nata, 2004, hal 58) Kurikulum Pendidikan Islam sebelum Madrasah adalah sebagai berikut; Pada pendidikan rendah sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalamp pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula dikuttab dan berakhir didiskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis di samping alQur‟an, kadang diajarkan tata bahasa Arab. Adapun kurikulum pendidikan tinggi berpariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, 133
demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusanilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan. Al-Khuwarazmi (Yusuf al-kutub, tahun 976 M) meringkas kurikulum agama sebagai berikut: Ilmu Fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh, dan lain-lain. Kurikulum setelah berdirinya Madrasah pada zaman keemasan Islam (Masa pemerintahan Daulah Abbasyiyah; tahun 750 – 1261 M) , aktivitasaktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka, mereka meyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik psikologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, seni, arsitektur. Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi‟i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir. (Abuddin Nata, 2004, hal 120) Di Indonesia madrasah adalah saksi dari perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah Tahun 1908 M, dimotori oleh Syekh Abdullah Ahmad, tahun 1910 M berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 M mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan oleh Syeikh Abdul Karim Amrullah ( Ayah Hamka) di Padang Panjang tahun 1907 M. Lalu, Madrasah Nurul Umam dididirikan H. Abdul Somad di Jambi pada tahun 1908 M. Madrasah berkembang di Jawa mulai tahun 1912 M. Ada model madrasah-pesantren
NU
dalam
bentuk
Madrasah
Awaliyah,
Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya mulai tahun 1919 M; ada 134
madrasah
yang
mengadobsi
sistem
pendidikan
Belanda
plus,
seperti
Muhammadiyah tahun 1912 M yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad tahun 1913 M yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jawa Barat yang mengembangkan madrasah pertanian. Belanda tentu saja resah akan perkembangan madrasah, lalu keluarlah peraturan yang menetapkan madrasah sebagai “sekolah liar”, kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan yang melarang atau membatasi madrasah. Kalaupun kemudian Pemerintah Belanda memberikan apresiasi pada kepentingan Islam, bantuan diberikan 7.500 gulden untuk 50.000.000 jiwa. Menyimak pidato Oto Iskandardinata pada 1928 M di Voolkraad, bantuan itu dianggap penghinaan karena seharusnya yang diberikan Belanda satu juta gulden. Akan tetapi, madrasah berdiri di mana-mana. Madrasah adalah perjuangan warga republik ini untuk mendapatkan pendidikan. Pada 1915
M berdiri
madrasah bagi kaum perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah Al-Yunisiah. Zaiuniddin Labai ini juga yang pertama kali mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau pada 1919 M. (Abuddin Nata, 2004, hal 122)
2. Apa sajakah jenis dan jenjang madrasah ? Bab VI Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, menyebutkan bahwa : Pasal 17 (2) Pendidikan Dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yan sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (M.Ts) atau bentuk 135
Lain yang sederajat. Pasal 18 (3) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah ( MA) Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan ( MAK) , atau bentuk lain yang sederajat. (Afnil Guza , 2009, hal 252) Berdasarkan Undang-undang di atas, maka madrasah di Indonesia terdiri dari 3 jenjang, yakni Madrasah Ibtidaiyah ( MI ), Madrasah Tsanawiyah ( M.Ts.) dan Madrasah Aliyah ( MA). Dan dalam UU No. 20/2003 tersebut dapat difahami bahwa madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum, MI sama dengan SD, M.Ts sama dengan SMP ,dan MA sama dengan SMA.
3. Apakah kebijakan yang menyangkut Madrasah Tsanawiyah dari aspek funggsi Manajemen Pendidikan? Apakah sebenarnya Madrasah Tsanawiyah tersebut ? Madrasah Tsanawiyah adalah Pendidikan dasar yang berciri khas keagamaan setelah menyelesaikan jenjang Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar, dan sebelum melanjutkan ke Madrasah Aliyah atau ke SMA. Madrasah Tsanawiyah di bawah Kementerian Agama. Kemajuan dan kekuatan suatu bangsa bukan terletak pada melimpahnya kekayaan dan seberapa hebatnya kecanggihan alat –alat kerja yang dimilikinya. Tetapi terletak pada kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, dengan SDM yang berkualitaslah dapat mengelola dan memanfaatkan kekayaan dengan sebaikbaiknya, serta dengan SDM berkualitas pula yang dapat menjalankan dan menciptakan alat-alat itu. Agar terciptanya SDM berkualitas proses yang harus dilakukan adalah dengan pendidikan, proses ini akan menumbuh kembangkan potensi-potensi pribadi manusia sehingga menucul sosok yang profesional. Karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok (basic needs) manusia dalam 136
menjalani proses kehidupannya dan menentukan tingkat kedudukannya di antara sesamanya, dan oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan adanya proses pemerataan kesempatan pendidikan (education for all) menyentuh diseluruh lapisan masyarakat. Proses pembangunan pemerataan kesempatan pendidikan ini pada akhirnya menimbulkan ledakan pendidikan (education explosion), dan efeknya memberikan peningkatan mutu secara signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Oleh karena itu penyelengaraan pendidikan di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tidak lain meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia seutuhnya sebagai modal dasar pembangunan. Tapi
perlu menjadi perhatian kita akan kondisi dunia pendidikan di
Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang disajikan dalam Human Development Report 2000, pendidikan di Indonesia berada ditingkat 109 dari 174 negara yang diteliti profil pendidikannya oleh UNICEF. Ini berarti bahwa Indonesia berada dalam “Medium Human Development” atau berada pada peringkat tengah dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Selanjutnya Prof.DR.Ir.Zuhal, M.Sc. EE, mengatakan indikasi lain ketertinggalan Indonesia, dapat pula diukur berdasarkan kriteria Technology Achievement Index yang membagi negara-negara di dunia menjadi empat kelompok, yaitu ; Pertama: kelompok Technology Inovator Countries yang beranggotakan 18 negara (AS, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat) ), Kedua: kelompok Technology Implementor Countries yang mencakup negara yang bisa memproduksi barang atau inovasi meskipun baru bisa (Malaysia), sedang Indonesia masuk kelompok Ketiga: yakni Technology Adaptor Countries, merupakan kelompok negara yang baru bisa mengadopsi teknologi belum ke implementasi luas, dan ironisnya berada pada pringkat ke 60 dari 63 negara dalam kelompok ini, dan keempat kelompok Marginalized Countries. (http://feryaguswijaya.blogspot.com/2010/04/fenomena-madrasah-di-indonesiaanalisis.html)
137
Problematik mutu pendidikan di atas jelas menjadi perhatian yang serius bagi kita, apalagi di era yang mengalami proses globalisasi dan AFTA yang bersifat internasionalisasi serta universalitas menuntut kita untuk memperbaiki mutu hasil pendidikan (Out put School Quality). Kondisi ini mempengaruhi prosedur, dan orientasi kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan, diantaranya pola pengelolaan dan orientasi program-program pendidkan serta sarana dan prasarana pendidikan, yang pada akhirnya pendidikan akan menjadi ajang kerjasama (bermitra), sekaligus sebagai arena persaingan bebas. Dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, baik dilihat dari aspek kuantitatif maupun kualitatif. secara nasional pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti ; perubahan dan penyempurnaan kurikulum, penataan undang-undang dan peraturan tentang pendidikan, peningkatan angka partisipasi belajar anak usia sekolah, penambahan alokasi anggaran pendidikan, pengembangan konsep manajemen berbasis sekolah, dan peningkatan pendidkan dan profesionalitas guru. Hal tersebut berarti menuntut adanya lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola dengan professional agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan kuat, serta dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan pasaran kerja (marketable) sehingga menjadi pilhan dan kebutuhan masyarakat, untuk terus eksis di masa mendatang. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak dikelola secara professional berangsur-angsur akan ditinggalkan masyarakat, maka akan tergilas dalam kompetisi mutu, berhenti lalu tutup (bubar). Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia adalah Madrasah, yang hingga kini masih mengalami problematic dalam pengembangan dan peningkatan mutu proses pendidikannya, karena “madarasah hanyalah menjadi pelaksana program yang direncanakan dan diputuskan oleh pusat (DEPAG)”. (Departemen Agama RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Dirjen BINBAGA Islam, Jakarta, hal 17)
138
Walaupun sekarang sedang gencar-gencarnya program otonomisasi daerah termasuk dunia pendidikan hal ini menurut Prof.DR, Ahmad Rofiq, MA membuat “otonomi pendidikan tidak banyak berpengaruh terhadap perkembangan Madrasah”. (Departemen Agama RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Dirjen BINBAGA Islam, Jakarta, hal 21) Apalagi madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Bahkan sering dipandang sebelah mata, padahal lembaga ini memiliki potensi yang besar terhadap perkembangan sejarah dan kemajuan di Indonesia. Adapun secara rinci permasalahan dan kelemahan madrasah adalah sebagai berikut : 1. Secara structural pola kebijakan penyelenggaraan madrasah cendrung bersifat sentralistik mulai dari sistem pengelolaan lembaga sampai pada teknis pengelolaan pembelajaran. Sentralistik ini menunjukkan pada kebijakan-kebijakan Departemen Agama yang mengikat dan kurang aspiratif. 2. Secara menejerial, sistem pengangkatan kepala madrasah sebagai pengelola madarasah belum secara professional hanya dasar kedekatan antar interpersonal tanpa melalui proses secara sistematik. 3.
Secara finansial, perhatian pemerintah belum optimal terhadap pengembangan madarsah (termasuk Pemerintah Daerah kurang peduli).
4. Secara potensial, pemberdayaan peranserta masyarakat masih terbatas pada dukungan financial (sekarang semakin rendah) dalam bentuk uang komite, sedangkan
potensi-potensi lain belum tergarap dengan baik.
Misalnya pengembangan kemitraan. Hal ini menunjukkan rendahnya partisipatif dan tingkat kepercayaan stakeholders. 139
5. Secara profesionalisasi edukasi, di madarasah masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai denga spesifikasi keilmuannya (mis Match), hal ini sekaligus menggambarkan rendahnya kualitas SDM di Madrasah. 6. Belum dimilikinya organisasi yang mengkhususkan pada perjuangan memperbaiki kondisi madrasah (mungkin saat ini LPM (lembaga pengembangan Madrasah) belum kelihatan trobosannya). 7. Mutu hasil pendidikan yang masih rendah dibandingkan mutu hasil pendidikan sekolah umum, disamping kurang marketable terhadap lapangan pekerjaan atau kebutuhan masyarakat. (Fery Aguswijaya) Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan. Kebijakan terkait dengan Madrasah atau Pendidikan Agama mengacu pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan. Lahirnya kebijakan hukum ini berdampak signifikan bagi keberadaan serta perkembangan madrasah. Tetapi pada tataran implementatifnya banyak terjadi diskriminatif terhadap keberadaan madrasah. (http://badrussholeh_jember.guru-indonesia.net/artikel_detail-14903.html hlm. 1)
140
Di antara permasalahan madrasah yang dihadapi adalah: 1.
Manajemen dan infra struktur yang masih lemah dan kurang memadai.
2.
Keterbatasan SDM terutama dari aspek kualitas: (tenaga pendidik yang belum memenuhi kualifikasi dan kompetensi; lemahnya wawasan guru dalam bidang pedagogis dan pengembangan kurikulum; guru yang miss match )
3.
Pengawasan kinerja yang lemah.
4.
Keterbatasan anggaran dan tidak optimal dalam penggunaan.
5.
peningkatan mutu pendidikan,
6.
peningkatan akses bagi daerah yang belum terjangkau layanan pendidikan dasar, dan peningkatan profesionalitas pelayanan dan kemandirian pengelolaan.
7.
peningkatan mutu program, peningkatan akses untuk masyarakat marginal atau terpencil, dan peningkatan pelayanan akademik. (http://nhidayat62.wordpress.com/2010/02/25/kebijakanpengembangan-madrasah-2010/;)
Berangkat dari masalah-masalah di atas maka selayaknya Kebijakan Pengembangan Madrasah hendaknya diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut : 1. Mengejar ketertinggalan kualitas lulusan pendidikan; 2. Analisis dan penerapam kurikulum satuan pendidikan pada tiap madrasah. 3. Penguatan persiapan madrasah menghadapi akreditasi 4. Penguatan program pembelajaran: 5. Perencanaan pembelajaran 6. Pelaksanaan layanan pembelajaran 7. Penilaian yang akurat dan akuntabel 8. Pendampingan dan pembimbingan perkem-bangan psikhologis dan kepribadaian 9. Penguatan supervisi, monitoring dan pembinaan 141
10. Mengembangkan standard nasional/ internasional dalam mengukur kualitas lulusan 11. Mengembangkan budaya belajar di madrasah 12. Mengkaji ulang tipologi madrasah sebagaimana yang sudah ada sekarang 13. Keberfihakan kepada madrasah swasta. 14. Meningkatkan kualifikasi pendidik; 15. Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan Pengawas, 16. Beasiswa S2 pendidik dan Pengawas; 17. Meningkatkan kualitas 18. Seleksi dan distribusi tenaga pendidik; 19. Percepatan proses sertifikasi dan tunjangan profesi; 20. Pemberdayaan KKG, MGMP, Pokjawas. 21. Mengubah sistem manajemen dan birokrasi pendidikan (layanan pendidikan); 22. Prioritas program dan pelayanan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pemeran utama dalam pendidikan (pendidik, pengawas dan tenaga kependidikan). 23. Mengurangi regulasi yang cenderung bersifat mengatur. 24. Mengurangi supervisi yang cenderung bersifat mengawasi. 25. Memprioritaskan anggaran untuk memenuhi kepentingan pemeran utama pendidikan, baik untuk peningkatan kualitas SDM, kesejahteraan tenaga pengajar, maupun untuk memenuhi sarana dan pra sarana pendidikan, 26. Menentukan perencanaan untuk selalu diarahkan pada kepentingan peningkatan kualitas pendidikan, 27. Perencanaan dibuat berdasarkan usulan dari bawah. 28. Memenuhi kebutuhan infrastruktur yang layak. 29. Perencanaan dan master plan. 30. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana. 142
31. Pemberdayaan sarpras yang tersedia dan maintenance. 32. Tata ruang dan lingkungan yang nyaman dan kondusi. (Hidayat,. Loc.Cit) Segenap
aktivitas
sebuah
kegiatan
pendidikan
terpulang
kepada
pelaksanaan manajemen pendidikan tersebut dalam rangka mencapai tujuan madrasah tersebut, oleh sebab itu bagaimana bentuk kebijakan dan aplikasinya dalam merealisasikan fungsi-fungsi manajemen terkait dengan “Planing, Organizing, Actuating, dan Controling” Madrasah Tsanawiyah tersebut dalam upaya mencapai tujuan madrasah ?. artrinya ada kebijakan tapi aplikasinya keliru maka tujuan tidak akan tercapai dengan maksimal, apalagi kalau tidak ada kebijakan. Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, mau tidak mau madrasah harus berbenah dengan mencari model pembaharuan yang sinergi terhadap tantangan globalisasi dan menjawab permasalahan tersebut. Apalagi lembaga ini secara sosial banyak dibentuk dan dikelola oleh lembaga sosial keagamaan pada umat muslim Indonesia (berstatus swasta) dan hanya sebagian kecil saja madrasah dikelola oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (berstatus negeri), yang pasti perimbangan jumlah ini juga menimbulkan permasalahan dalam segi pengelolaan terutama pada kebanyak madrasah swasta dengan lebel tidak memenuhi standar pengelolaan (menejemen) yang professional. Akibatnya kondisi ini membuat madrasah semakin termarginalkan dari lembaga pendidikan umum. Belum lagi dilema madrasah hingga kini sebagai lembaga pendidikan Islam adalah menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan (ukhrawi) dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didiknya dalam ilmu-ilmu umum yang merupakan bagian yang harus dipenuhi sebagai kebutuhan hidup. Tentu saja dilema ini menuntut madrasah mencetak hasil didikannya yang memiliki karakteristik berbeda (bahkan seharusnya bernilai plus) dengan keluaran hasil 143
didikan non madrasah. Namun kenyataanya berbicara lain antara siswa madrasah dengan siswa non madrasah menunjukkan karakteristik sama (malah cenderung merosot), hal ini juga akan mempengaruhi minat pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada madrasah (fenomena ini terutama di perkotaan). Dari permasalahan yang melilit madrasah tersebut, ditengah geliat reformasi bangsa ini dan mulai terbangunnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, khususnya
mobitas peningkatan mutu pendidikan, madrasah pun
bangkit dari tidur ketertinggalan dan melangkah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
tersebut.
“Kementerian
agama
mencoba
pembaharuan
dengan
mengembangkan bermacam strategi, seperti membentuk madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah terbuka, madrasah aliyah program ketrampilan, madrasah aliyah keagamaan dan lain-lain.”. (http://feryaguswijaya.blogspot.com/2010/04/fenomena-madrasah-di-indonesiaanalisis.html,) Walaupun demikian usaha tersebut tetap memiliki nilai tersendiri, tetapi dari perkembangan yang terjadi tetap menimbulkan pertanyaan, bagaimana eksistensi madrasah dimasa yang akan datang, tantangan apa saja yang dihadapi terhadap prospek pendidikan di madrasah, akankah madrasah menjadi pendidikan yang maju dan diminati. Inilah yang melatar-belakangi penulisan ini, yang diawali dengan analisis histories madarsah di Indonesia.
Mengutip Peter F. mengatakan
bahwa “There are no under developed countries, there are only undermanaged ones” (tidak ada negara terbelakang yang ada hanyalah negera-negara yang tidak ditangani dengan baik). Maka tidak salah jika kita berfikir pula bahwa there are no under developed Islamic education institute (Madrasah), there are only under managed ones ( tidak ada lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang terbelakang, yang ada hanyalah madrasah-madrasah yang tidak dikelola dengan baik). (Fery Aguswijaya., Op.Cit., hlm. 5)
144
Dalam dunia pendidikan Islam, madrasah dibentuk awalnya mengajarkan berbagai pengetahuan keagamaan, melatih pengalaman dalam ajaran-ajaran Islam, termasuk praktek ibadah, muamalah, serta akhlaq. Dan pada periode awal ini madrasah tidak mengenal kategorisasi ataupun polarisasi ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada persoalan dikotomi ilmu, semua ilmu pengetahuan dipandang sebagai bagian dari ilmu-ilmu Islam, dan dikembangkan oleh ulama‟ yang integritas keislamannya tidak diragukan. Menurut Imam Suparyogo, bahwa alGhazalilah yang kemudian membuat perbedaan ilmu-ilmu keislaman (ulumuddin) dan ilmu-ilmu umum, dengan menekankan bahwa mempelajari ilmu-ilmu agama hukumnya fardlu „ain, sedangkan mempelajari ilmu-ilmu umum hukumnya fardlu kifayah. (Imam Suparyogo, Op.Cit., hlm.24) Madrasah mulai didirikan pada abad ke 5 H yang paling dikenal dalam sejarah, yaitu pada masa Nizham Al-Muluk dari khalifah Bani Saljuk mendirikan madrasah Nizhamiyah di Baghdad pada tahun 495 H (1067 Masehi), tetapi menurut penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Hasan Ibrahim Hasan dan Richard Bulliet, bahwa eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada pada kawasan Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun 400 H/ 1009 M terdapat madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum madrasah Nizham al-Mulk, dan yang tertua Mdrasah Miyan Dahiya yang didirikan oleh Abu Ishaq Ibrahim Ibn Mahmud di Nishapur. (Azyumardi Azra, 2000, hal.x) Perkembangan
selanjutnya diikuti pertumbuhan madrasah diberbagai
wilayah lain di Timur Tengah. Madrasah ketika itu merupakan bentuk pendidikan tinggi Islam, yang didukung oleh koleksi literature Islam di bawah asuhan ulama terkemuka diantaranya Imam al-Ghazali (w.1111). (Nurhayati Djamas, 2005, hal 24)
145
Pada masa pertumbuhannya madrasah merupakan lembaga kajian ilmiah (tadarus al-„ilm), yang bercorak inklusif, bebas, dinamis, dan progresif, oleh karena itu pada masanya madrasah merupakan lembaga yang memiliki reputasi yang gemilang, dengan melahirkan ulama‟ dan ilmuwan besar yang menjadi central kemajuan peradaban dunia selama + 10 abad (merujuk pada masa kejayaan Islam). Sejak di bukanya terusan Suez pada tahun 1869 M, banyak pelajar Indonesia yang mengikuti pendidikan di Mekkah (Timur Tengah) dan kemudian mengembangkannya di tanah air. Dengan demikian madrasah merupakan lembaga yang diadopsi dari kebudayaan Islam yang memiliki fungsi bukan saja tempat pendidikan tapi juga tempat kajian ilmiah yang mengembangkan berbagai ilmu dan ijtihad (pemikiran) tentang masalah-masalah keislaman. Dan background ini berbeda dengan pertumbuhan madrasah di Indonesia hanya sebutan sebuah sekolah yang bercirikan khas Islam, yang hanya diperuntukan untuk jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Adapun menurut Mastuki, hingga saat ini tidak diketahui secara persis sejak kapan “madrasah” sebagai satu jenis pendidikan Islam digunakan di Indonesia. Namun jika yang dimaksud adalah madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam “berkelas” dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu agama dan non-keagamaan, sudah nampak sejak abad ke – 20. (Mastuki, www. Bagais.co.id.) Menurut DR. Masykuri Abdilah, pada tahun 1905 M sejumlah ulama memperkenalkan sistem “madrasah”, yakni dengan penerapan sistem klasikal sesuai
dengan
sistem
Barat,
dan
sekaligus
sebagian
mereka
bahkan
memperkenalkan ilmu pengetahuan umum. Sistem madrasah ini muncul sebagai akibat realitas politik pada zaman kolonial, karena dalam bahasa yang lebih sederhana madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Yang berarti pengaruh Timur Tengah hanyalah salah satu factor selain perkembangan sosial-politik di tanah air pada 146
saat itu. Lebih rinci lagi sebagaimana yang dikemukakan Husni Rahim (2002), bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi, pertama, interaksi Islam dengan budaya local-pra Islam-telah melahirkan pesantren, meskipun ini dipandang controversial, tetapi kelembagaan ini tidak terlepas dari proses akulturasi Islam dengan budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan Lembaga sekolah Islam. Artinya inspirator dari madrasah berbeda dengan sekolah Islam, yakni satu dari lulusan Timur Tengah dan yang satu lagi dari gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda. (http://feryaguswijaya.blogspot.com/2010/04/fenomena-madrasah-di-indonesiaanalisis.html,) Model sekolah yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk rakyat Indonesia pada awalnya terbatas pada kalangan bangsawan, berupa sekolah kelas satu yakni Hollands Inlandsche school (HIS) dan sekolah kelas dua yakni Standard School, yang diselenggarakan dengan tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah. Selanjutnya akibat perkembangan di wilayah Asia pada khususnya dan negara-negara jajahan, Belanda pun mengembangakan sistem “Sekolah Rakyat” atau “Sekolah Desa” (Volkschoolen) untuk rakyat pribumi secara luas dengan biaya yang murah, dipertengahan abad ke 19. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan tradisional (pesantren, surau, langgar, atau masjid) mendapat sangaingan secara langsung. Karena sekolah tersebut selain biayanya murah dengan mata pelajaran yang lebih praktis, juga menjanjikan pekerjaan yang bervariasi walaupun pada tingkat rendahan. Hal ini terlihat dari animo masyarakat kala itu adalah menjadikan sekolah ala Belanda ini menjadi alternatif pilahan. Pada tahun 1871 terdapat 263 SD dengan jumlah siswa sekitar 16.606 orang , tahun 1892 menjadi 515 SD dengan jumlah siswa 52.685 orang. Dan pada tahun 1910 mencapai 70.000 orang, sampai pada tahun 1914 mencapai 200.000 orang. Pada tahun ini pula pemerintah Belanda mengembangkan pendidikan lanjutan 147
yaitu MULO (Meer Unigebreid Lager Onderwijs) dan AMS. Lembaga pendidikan tersebut (HIS, MULO, dan AMS) adalah cikal bakal dari SD, SLTP, dan SLTA hingga saat ini. (Mastuki, www, bagais. Co.id.) Perkembangan yang pesat tersebut, merespon kalangan umat Islam, apalagi kebijakan saat itu dirasakan umat Islam masih sangat diskriminatif terhadap anakanak muslim, yang mempersempit peluang mereka masuk pada sekolah-sekolah itu. Yang akhirnya menumbuhkan kesadaran untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam yang tradisional agar lebih maju, mulai dari kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, dalam rangka mengimbangi sekolah ala Belanda tersebut. Realisasi awal dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan Islam modern, atas dasar ide pembaharuan madrasah Timur tengah juga mengadopsi sistem pendidikan ala Belanda. Sebagai pemrakarsa pertama adalah organisasiorganisasi “modernis” Islam seperti Jami‟at Khair, al-Irsyad, dan Muhammadiyah, yang kemudian gerakan ini diikuti oleh NU, Persis, PUI, al-Washliyah, dan Perti, dengan corak masing-masing, dan semua ini menandakan babak baru perkembangan pendidikan Islam. (Fery Aguswijaya., Op.Cit., hlm. 7) Menurut Mastuki, gagasan modernisasi pendidikan Islam tersebut memiliki dua kecenderungan yaitu: Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (ala Belanda) secara menyeluruh, yang melahirkan sekolah umum tetapi diberi muatan pendidikan agama, diantaranya perubahan madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 menjadi Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) tahun 1915, dengan ciri yang berbeda pada kurikulumya dengan menambah pelajaran agama 2 jam setiap minggu. Begitu juga Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah model Belanda 148
dengan memasukan pendidikan agama yang diistilahkannya “Metode Qur‟an”, disamping itu mendirikan madrasah modern berupa madrasah Mu‟allimin dan madrasah Mu‟allimat namun selanjutnya madrasah ini kelembagaannya tidak berkembang menjadi sistem kelembagaan pendidikan Islam. Kedua, muncul madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodelogi pendidikan Belanda, yang bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam yakni sistem madrasah, surau, atau pesantren yang secara tradisional adalah kelembagaan pendidikan Islam indigenous. Pada proses ini yang diadopsi hanya aspek-aspek tertentu saja misalnya, kandungan kurikulum, teknik dan metodologi pengajaran. Diantaranya H. Abdul Karim Amarullah pada tahun 1916 menjadikan “Surau
Jembatan
Besi”
sebagai
lembaga
pendidikan
tradisional
Minangkabau sebagai basis pengembangan madrasah modern yang kemudian dikenal dengan “Sumatera Thawalib”. Pada waktu yang sama Zainuddin Labay el-Yunusi mengembangkan “Madrasah Diniyah”, yang diikuti oleh adiknya, Rangkayo Rahma el-Yunusiah mendidrikan “Diniyah Putri”. Di Jakarta Jami‟at al-Khair tahun 1905 mendirikan madrasah dengan karakteristik yang sama, kemudian diikuti oleh organisasi al-Irsyad. (Mastuki. www. Bagais. Co.id) Aktivitas pemodernan itu juga dilakukan oleh Pesantren Mambaul „Ulum di Surakarta tahun 1906, pesantren Tebu Ireng pada tahun 1916 mendirikan “madrasah Salafiyah”. Pesantren Rejoso Jombang mendirikan sebuah madrsah tahun 1927, termasuk Pondok Modern Gontor berdiri tahun 1926, yang berpijak pada basis pendidikan pesantren dengan memasukan mata pelajaran umum dalam kekurikulumnya, pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Arab, sedangkan kegiatan ekstra kurikuler berupa olah raga, kesenian, dan sebagainya. Yang jelas semuanya memiliki respon yang sama dengan nuansa masing-masing berbeda. Organisasiorganisasi Islam lain yang bergerak dalam bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenis, dan jemnjang yang bermacam-macam, misalnya Mathlaul anwar di Menes (Banten) mendirikan madrasah Ibtidaiyah, 149
Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah. PUI tahun 1927 mendirikan madrasah Diniyah, Tsanawiyah, dan madrasah pertanian. Perti tahun 1928 mendirikan madrasah Tarbiyah Islamiyah, awaliyah, Tsanawiyah, dan kuliyah syari‟ah, dan NU tahun 1926 juga mendirikan madrasah awaliyah, ibtidaiyah, mu‟alimin wustha dan mu‟alimin ulya. Di Tapanuli, Medan, al-Washliyah (1930) menyelenggarakan madrasah tajhiziyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, qismul‟ali, dan tahassus. Selain itu ada juga madrasah yang menggunakan nama formal Islam (kuliah Muallimin Islamiyah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan Islamic College didirikan oleh pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931. (Mastuki. www. Bagais. Co.id) Dengan demikian berdasarkan
background
sejarah tersebut
dapat
dinyatakan bahwa munculnya sistem pendidikan madrasah dalam pendidikan Islam di Indonesia adalah dikarenakan : 1. Tumbuhnya semangat pembaharuan (medernisasi) dikalangan umat Islam di dunia
kususnya dalam sistem pendidikan Islam, termasuklah
di Indonesia sendiri. 2. Adanya politik “Etis” dari kebijakan kolonial, dalam bidang pendidikan dengan membangun sekolah (lembaga pendidikan) ala Belanda yang sekuler. 3. Pesatnya perkembangan lembaga pendidikan tersebut, karena biayanya murah dan dengan kurikulum yang praktis, dan menjanjikan lapangan pekerjaan yang bervariasi walaupun pada tingkat rendah, sehingga meningkatkan
minat
masyarakat
kala
itu.
Dan
dikhawatirkan
berkembangnya dan meluasnya pengaruh sekularisme dikalangan umat Islam di Indonesia. 4. Adanya sikap diskriminatif dalam kebijakan kolonial yang dirasakan oleh umat Islam terhadap anak-anak (generasi) muslim dalam kesempatan belajar. 150
5. Sistem pendidikan tradisional (pesanteren, surau, masjid, dan kelompok pengajian), belum sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. (Fery Aguswijaya., Op.Cit., hlm. 9) Pertumbuhan madrasah di Indonesia, menunjukkan adanya respon positif yang progresif terhadap perkembangan dan gerakan pembahruan yang terjadi di negeri-negeri Islam, di samping terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan kompleksitas dan variasi sesuai dengan basis pendukungnya (organisasi sosial Islam). Dan madrsah terus tumbuh dan berkembang di setiap pelosok negeri ini (Indonesia) dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin meningkat. Era baru madrasah dimulai tahun 1930 ketika madrasah mulai menggunakan kurikulum dan metode pembelajaran yang terorganisasikan. Sebagai upaya menciptakan pendidikan Islam yang simbang dan sederajat dengan pendidikan sekolah ala Belanda yang bersifat formal dan sekuler. Hal ini mempengaruhi para pemikir pendidikan kala menjelang kemerdekaan dalam penentuan sistem pendidikan Indonesia, antara sistem pendidikan pribumi yang berupa pondok pesantren dan madrasah ataukah sistem pendidikan umum seperti yang dikembangkan oleh Belanda. Adapun pilihan akhirnya jatuh pada sistem pendidikan umum yang berorientasi pada sekolah ala Belanda. Sedangkan madrasah eksistensinya tetap berbasis pada swadaya masyarakat (swasta), tetap pada jalurnya sendiri yang terpisah dari sistem pendidikan nasional. Dan ini berarti pesantren dan madrasah berada pada posisi marjinal sebagaimana terjadi di saat belum merdeka, yang memprihatinkan lagi pemerintahan sudah ditangan pribumi. (Aziz, Abdul, 2005, hal 34) Selanjutnya madrasah meningkat statusnya saat dikeluarkanya maklumat pada tanggal 22 Desember 1945 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), yang diantaranya menganjurkan untuk memajukan pendidikan 151
dan pengajaran di madrasah, pengajian-pengajian di langgar atau surau-surau, dan pondok pesantren. Serta menyarankan agar institusi-institusi pencerdasan rakyat seperti itu yang keberadaannya sudah berakar dalam masyarakat Indonesia, mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah. Maklumat ini diwujudkan melalui Departemen Agama yang didirikan pada 3 Januari 1946, dan sejak saat itu pembinaan dan pengembangan madrasah dan pondok pesantren menjadi tugas pokok pemerintah yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI. “Dan melalui Panitia Penyelidik Pengajaran, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 tentang pemberian subsidi bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam. (Nurhayati Djamas,Op.Cit, hlm. 23) Melalui Departemen Agama pula, pemerintah berusaha mengintegrasikan pendidikan madrasah menjadi salah satu komponen pendidikan nasional, dan upaya ini membuahkan hasil dengan diakuinya lembaga pendidikan agama secara yuridis yang dituangkan dalam “Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950 ayat 2, menyatakan bahwa belajar di sekolahsekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Kebijakan ini kemudian menuntut madrasah agar dapat diakui, harus memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar yaitu memberikan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu di samping pelajaran umum lainnya,
dan terdaftar di
Kementerian Agama. Pada tahun 1958, Departemen Agama memperkenalkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) di beberapa tempat, dengan maksud sebagai usaha awal untuk memberikan bantuan dan pembinaan pada madrasah. Dan dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraan, maka komposisi jam pelajaran terbagi 25% agama dan 75% umum. Namun penyelenggaraan madrasah model ini mendapat reaksi yang kurang baik dari masyarakat, karena dianggap kurang representatif. Hal tersebut mendorong Departemen Agama mendirikan 152
madrasah-madrasah negeri secara lengkap dan terperici, baik dari segi strata maupun materi serta sistem penyelenggaraan. Ketentuan muatan kurikulum adalah 30% agama dan 70% umum. Pendirian madrasah ini bertujuan sebagi model dan standar dalam memberikan ketentuan dasar secara lebih konkrit bagi penyelenggaraan madrasah serta diharapkan akan tercapainya mutu dan kualitas madrasah. (Hanun Asrohah, 1998, hal 25) Hingga tahun 1970-an keberadaan madrasah dalam sistem pendidikan Indonesia, belum juga terangkat dari kemarginalannya, karena madrasah masih tetap terkonsentrasi pada kurikulum agama, sedang sekolah umum mengutamakan pada kurikulum umum. Oleh karena itu muncul gagasan untuk mengintegrasikan administrsi penyelenggaraan pendidikan, dengan dikeluarkanya Keppres No. 34 Tahun 1972 yang dikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1975. alasan dikeluarkanya peraturan tersebut yaitu untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di Madrasah. Tetapi kalangan Islam pendukung sistem pendidikan Islam yang tergabung dalam MP3A keberatan, sebab keputusan tersebut sebagai upaya dari kelompok sekuler untuk mengurangi fungsi pendidikan Islam.. Respon kelompok tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkanya SKB 3 Menteri Tahun 1975, antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah. Dalam keputusan itu selain menetapkan kurikulum dengan muatan 30% agama dan 70% umum, juga pengakuan atas lulusan madrasah yang dapat melanjutkan kejenjang pendidikan umum berikutnya. Walaupun demikian masih ada dikalangan umat Islam yang keberatan dengan keputusan tersebut. (Nurhayati Djamas, Op.Cit,. hal 26)
153
Penetapan Undang-undang No. 2 Tahun 1989, “yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.” (Mudjahid, 2000, hal 9) Hal ini lebih
memantapkan secara yuridis akan eksistensi madrasah
sebagai lembaga pendidikan yang mencerdaskan bangsa yang membentuk pribadi taqwa. Sebagai mana tujuan pendidikan dalam undang-undang tersebut. “Kedudukan madrasah kemudian diperkuat lagi dengan PP. No. 28 Tahun 1990 dan SK Mendikbud No. 0487/U/1992 dan No. 054/U/1993. SK-SK tersebut kemudian ditindaklajuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.” (Abdillah, Maskuri, DR, 2002, hal 12) Terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, merupakan UU yang mempertegas jalur atau jenjang dan jenis pendidikan, dimana Madrasah (MI, MTs, MA) mendapatkan tempat dan kedudukan yang sama dengan sekolah umum dengan pelaksanaan kurikulum yang sama. Dan ini berarti bahwa madrasah bukanlah lagi pendidikan kelas dua, yang sekaligus menuntut madrasah untuk mengejar ketertinggalannya dalam mutu penyelenggaraan hingga mutu lulusan agar sama dengan sekolah umum (dan bahkan seharusnya bernilai plus). UU Sisdiknas tersebut menempatkan MI dan MTs sebagai sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang bercirikan agama, sedang MA adalah sekolah menengah umum yang bercirikan agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Perkembangan madrasah secara kualitas belum bisa berbicara banyak, walaupun di daerah tertentu telah ada madrasah berkualitas berkaliber Nasional seperti di Malang mulai dari MI, MTs, dan MA, dan di Jakarta dengan Madrasah Insan Cendekia. Menurut Husni Rahim sebagaimana dikutip oleh Agus Feriwijaya bahwa: “praktek pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana diidentifikasikan 154
mengalami pasang surut dari waktu ke waktu, walaupun demikian dalam perkembangannya terakhir, menunjukkan kemajuan setidak-tidaknya jika dilihat dari indicator kuantitas.” Keadaan perkembangan pendididkan Islam di Indonesia belakangan dapat dilihat dari data yang menunjukkan peningkatan jumlah madrasah dan peserta didiknya (siswa), mulai dari tingkat Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), sampai Aliyah (MA) baik negeri maupun swasta dari table berikut ini : Tabel Jumlah Madrasah dan Siswa Pada Madrasah Negeri dan Swasta Tahun 1999 – 2000 Jenjang dan
Jumlah Lembaga
Jumlah Siswa
No
Status
1
MIN
1.545
269.841
2
MIS
20.000
2.624.287
3
MTsN
1.178
492.937
4
MTsS
8.682
1.320.198
5
MAN
552
232.608
6
MAS
2.737
326.897
Jumlah
34.694
5.266.768
(Data EMIS yang dikutip oleh Mudjahid AK.M.Sc) (Fery Aguswijaya., Op.Cit., hal 15) Data ini selain menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan madrasah, juga sebagai gambaran bahwa konstribusi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang ikut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencetak sumberdaya pembangunan masih sangat dibutuhkan, apalagi sebagian besar madrasah-madrasah tersebut memiliki basis yang kuat dan berakar pada masyarakat,
“walaupun
secara
objektif
kondisi
madrasah
tersebut 155
memprihatinkan, ternyata masyarakat masih ada yang mempercayakan pendidikan anaknya di madrasah terutama di daerah pedesaan.” (Fery Aguswijaya., Op.Cit., hal 16) Dengan melihat beberapa perkembangan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia, pertama, posisi madrasah yang termajinalisasi diakibatkan dari sifatnya yang dianggap tradisonal dari aspek kurikulum dan sistem penyelenggaraan sehingga perlu penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional, dapat pula didentifikasi sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bahkan cendrung diskriminatif dan hingga saat ini dirasakan oleh madrasah), yang menurut Nurhayati Djamas (2005) diakibatkan dari persoalan “psiko politik” dimana kebijakan (Orde Baru) yang memarginalkan kelompok Islam politik didalam mainstream politik nasional (terutama pada fase awal) yang melahirkan frustasi dan kecurigaan adanya pengaruh politik yang kuat dari kelompok “nasionalis sekuler”. Kedua, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah merupakan ciri khas dari lembaga pendidikan persekolahan umum yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, dan oleh organisasi dan yayasan sosial keagamaan Islam. Ketiga, madrasah merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki basis kemasyarakatan yang kuat terutama di pedesaan, walaupun demikian ini berarti madrasah sangat berpotensi dapat berkembang lebih mandiri (otonom) melalui swadana kemasyarakatannya (atau katakanlah sebagai pondasi yang menguatkan madrasah untuk dapat lebih maju secara idealnya). (Fery Aguswijaya., Op.Cit., hal 17) Dari background baik sejarah sampai keperkembangannya, jelas pada prinsip idealnya madrasah sudah seharusnya lebih maju dan lebih mudah berkembang dikarenakan social power yang dimiliki oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan yang keberadaanya di tengah wilayah yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Walaupun pemikiran tersebut tidak terlalu mendasar, tetapi paling tidak memiliki hubungan yang vertical terutama sebagai tempat untuk mewriskan dan melestarikan eksistensi keyakinan dan nilai-nilai 156
Islam diantara generasi muslim. Namun kenyataanya madrasah semakin jauh dari harapan tersebut, karena “ berdasarkan kepada kenyataan, bahwa madrasah pada seluruh levelnya adalah equivalen dengan sekolah-sekolah umum”. (Azyumardi Azra, 2002, hal 92) Ini berarti motivasi orang tua murid tentang pendidikan madrasah yang cukup memadai pengetahuan agamanya mungkin harus bersiap-siap untuk kecewa. Hal ini adalah konsekwensi dari ketentuan UUSPN 1989, dimana madrasah harus mengadopsi dan menerapkan kurikulum yang dikeluarkan oleh Diknas. Bagaimanapun hebatnya suatu lembaga, untuk tetap eksis dan berkualitas tetap akan menghadapi permasalahan dan tantangan diantaranya adalah lembaga pedidikan. Hal ini logis karena zaman yang berubah dengan tuntutan kebutuhan pun berubah dan semakin berkualitas serta memiliki daya kompetitif yang kian ketat. Madrasah yang memiliki segudang permasalahan baik secara eksternal maupun internal terus menurus tiada henti untuk eksis dan berupaya guna mencapai puncak kualitas yang diharapkan. Tentulah madrasah tidak akan lepas dari bidikan tantangan setiap langkah dan geraknya, mulai dari zaman, kebijakan, kurikulum, manajemen, sumberdaya baik dana maupun manusia, kualitas produk pembelajaran,
dan sebagainya jelas menunjukkan dinamika positif atau pun
negatif sebagai salah satu lembaga pendidikan. Tegasnya masalah madrasah tidak dapat dipisahkan dari permasalah dan tantangan yang sedang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan nasional, walaupun dalam kapasitas yang berbeda. Adapun tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah adalah sebagai berikut : a. Tantangan Eksternal Madrasah Menurut Mastuhu, pada dinamika kehidupan abad 21 ini berjalan sangat cepat dan semakin cepat sebagai dunia tanpa batas, adapun tantangan eksternal bagi pendidikan dapat dilihat dari unsur-unsur; globalisasi, kompleksitas, 157
turbelence, dinamika, akselerasi, keberlanjutan dari yang kuno ke yang modern, koneksitas,
konvergensi, konsolidasi, rasionalisme, paradoks global, dan
kekuatan pemikiran. (Mastuhu, 2003, hal 9) Sedangkan menurut Husni Rahim, bahwa secara eksternal masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi, demokratisasi, dan liberalisme Islam. Atas pendapat tersebut dalam tulisan ini, akan dipaparkan beberapa tantangan bagi madrasah saat ini dan yang akan datang, sebagai berikut : 1. Tantangan globalisasi Dalam membangun sector pendidikan tidak akan pernah mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamis, berubah, dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih-lebih dalam era global.
Dalam era
global ini terjadi proses globalisasi yang bersifat universal dan internasionalitas. Menurut H.A.R Tilaar, bahwa era global itu ditandai dengan “Dunia tanpa batas (borderless world), kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan aplikasinya di dalam kehidupan manusia, kesadaran terhadap hak dan kewajiban asasi manusia (human rights and obligations), dan kerjasama serta kompetisi antar bangsa (mega competition society).” (Tilaar, H.A.R, 2004 hal 2) Era global merupakan sebagai tanda perubahan zaman pada abad 21, dan globalisasi adalah sebuah proses yang menciptakan perubahan yang sangat revolusioner yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style) yang dilandasi persaingan sehingga menuntut pembenahan dan penyesuaian diri. Perubahan ini memberikan tekanan-tekanan kepada suatu organisasi untuk mempertahankan keberadaannya, termasuklah lembaga pendidikan. Tekanan tersebut mengarah pada permasalahan produktivitas, efisiensi, tingkat kompetisi, yang menuntut 158
peningkatan kinerja dan kualitas. Pada era ini menuntut manusia unggul dan hasil karya yang unggul, sebagai akibat terbentuknya masyarakat yang terbuka yang memberikan berbagai jenis kemungkinan pilihan. Globalisasi dapat pula dibaca sebagai hegemoni kekuatan ekonomi, politik, dan cultural negara-negara industri maju terhadap negara-negara yang belum terindustrialisasikan sepenuhnya. (Abdul Aziz, 2005, hal 20) Salah satu penyebab mengapa bangsa Indonesia tidak mampu segera keluar dari krisis demensionalnya, adalah karena rendahnya kualitas SDM yang dimiliki. “Hal ini terjadi karena kurang berfungsinya dan kurang relevannya programprogram pembangunan pendidikan dalam menghadapi persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam perspektif kekinian dan masa depan.” (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 15) Dan ini menjadi ancaman terhadap keberlangsungan bangsa kita, yang mau tidak mau harus bersaing secara terbuka pada tatanan dunia baru di era globalisasi ini. Dalam situasi itu, hanya bangsa yang memiliki SDM yang unggul dari setiap bidang yang akan survive dan mampu bertahan dengan baik. Andersen Consulting (dalam Jusuf Amir Faisal, 2002) merumuskan SDM di era mendatang adalah SDM yang memiliki profil sebagai berikut: higher skill level, increased productivity, quality of results, better leadership, hightened work ethics, ability to work in teams, cross functional team involvement, more working hours, dan sebagainya. (http://feryaguswijaya.blogspot.com/2010/04/fenomena-madrasah-di-indonesiaanalisis.html,) Oleh karena itu, “....dalam perspektif pendidikan, mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang menghasilkan lulusanlulusan yang “mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya.” (Mastuhu,., Op.Cit., hal10) 159
Problematic tantangan tersebut juga menjadi bagian dari tantang yang dihadapi Madrasah, adapun secara khusus pertanyaannya bagaimana madarash terus eksis dan menjadi pilihan masyarakat di era mendatang, dan dapatkah menghasilkan produk (out come) yang berkualitas serta mampu bersaing dalam era global ini, tetapi tetap dapat memainkan peranan penting dalam kehidupan bercorak global dengan tidak kehilangan ciri khasnya dan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Artinya madrasah dutuntut pada saat ini harus mampu membangun suatu sistem pendidikan yang kompetitif dan memiliki daya inovatif serta dapat mengembangkan identitas peserta didiknya sebagai seorang muslim khususnya dan bangga sebagai bangsa
Indonesia dengan penuh percaya diri
memasuki era global. Tantangan lain yang muncul bagi madrasah adalah terjadinya pergeseran orientasi masyarakat terhadap pendidikan sebagai wahana untuk mencari ilmu menjadi pendidikan sebagai persiapan mencari kerja. Tantangan
ini
menuntut
madrasah
agar
menentukan
program-program
pendidikannya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (marketable). (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hlm.15) Misal untuk tingkat MI dan M.Ts. ( selama 9 tahun ) sangat memungkinkan peserta didik Hafal Al Qur‟an 30 juz, Mampu berbahasa Arab dan Inggris, serta memiliki dasar-dasar salah satu keterampilan praktis yang menjadi dasar kerja setelah mereka tamat, yang selanjutnya pada jenjang berikutnya keterampilan tersebut diperdalam lagi sebagai bidang keahlian yang ditekuni. 2. Tantangan Demokratisasi Demokratisasi merupakan isu lain yang mempengaruhi masa depan pendidikan Islam Indonesia. Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem politik negara sebagai „perlawanan‟ terhadap sistem politik yang otoriter. Dalam perkembangannya tuntutan ini mengarah kepada sistem pengelolaan berbagai bidang termasuklah pendidikan. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 15) 160
Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai akan potensi individu yaitu individu yang berbeda dari individu yang mau hidup bersama, artinya bahwa setiap bentuk homogenisasi masyarakat adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi. (Tilaar, H.A.R, 2004 hal 10) Sehingga dalam bidang pendidikan semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan , juga memiliki kewajiban yang sama dalam membangun pendidikan nasional yang berkualitas (education for all). Tantangan bagi madrasah yang memiliki sistem pendidikan yang bersifat sentralistik, seragam, dan dependen, maka tuntutan dari tantangan ini, madrasah harus mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom dan beragam. Dalam batas tertentu sentralistik, seragam, dan dependen diperlukan, dalam rangka evaluasi
secara
nasional
untuk
memperoleh
standar
minimal
sebuah
penyelenggaraan pendidikan yang dikehendaki, namun tentunya hal ini juga harus diiringi dengan “penunjang” dan berangkat dari start yang terstandar minimal yang seragam pula. Adapun otonom dan keberagaman sebuah penyelenggaraan pendidikan diperlukan dalam alur kebijakan yang jelas. Penyelenggaraan pendidikan sekarang ini sekurangnya ada 2 type, misalnya jenjang Sekolah Dasar 6 tahun; pertama, ada Sekolah Dasar Negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah di bawah Kemendiknas langsung, kedua Sekolah Dasar Swasta yang diselengarakan oleh yayasan, Misalnya SD yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Dharma Bangsa, SD Islam Terpadu, yang diselengarakan oleh Yayasan Ar Raihan. Kemudian ada MIN yang diselenggarakan oleh pemerintah di bawah Kemenag langsung, juga ada MI swasta yang diselenggarakan oleh yayasan-yayasan pendidikan Islam. Bagaimana mungkin kwalitas mereka harus sama, sementara mereka berangkat dari “Start” yan berbeda, mungkin juga “kebijakan” berbeda. Begitu juga jenjang-jenjang yang selanjutnya.
161
3. Tantangan Otonomisasi Sejak tanggal 1 Januari 2001, otonomi daerah resmi diberlakukan di tanah air kita. Melalui UU. 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah yaitu kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan undang-undang. Lebih tegas lagi pada pasal 7 ayat 1 tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah, seluruh bidang ( kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan moneter dan fiscal, serta agama ini tidak diotonomikan ) diserahkan kepada daerah (Kabupaten/kota). Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu kewenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Jelas kebijakan ini berimplikasi terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan khususnya madrasah yang selama ini bernaung pada Departemen agama. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal16) Muncul wacana baru untuk mempertimbangkan secara mendalam terhadap kebijakan yang berkaitan dengan madrasah. Apakah tetap dikeklola pemerintah pusat ataukah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota seperti halnya sekolah umum. “Hal yang patut menjadi pertimbangan adalah jumlah lembaga pendidikan dilingkungan Depag mencapai 72.650 buah dari seluruh level yang ada termasuk pesantren.” Dengan dampak penyerahan terhadap pencapaian tujuan pendidikan agama serta kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan UU No. 25/1999. Yang jelas apapun pilihannya, kebijakan Depag akan berdampak lebih jauh di masa mendatang terhadap keberadaan madrasah sebagai institusi. Karena salah satu tugas penting Depag pada era otonomi
daerah
adalah
bagaimana
mengoptimalkan
pengelolaan
dan
penyelenggaraan pendidikan agama, baik pada sekolah umum yang berciri khas agama Islam (madrasah) maupun pada sekolah umum.
162
Implikasi mikro adalah otonomisasi pendidikan yang lebih dikenal dengan otonomi sekolah. Pemikiran ini merupakan sebagai upaya menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah otonom, “dengan maksud agar sekolah dapat menawarkan pendidikan yang lebih bermutu berdasarkan pertimbangan akademik dan nilai-nilai yang diberikan untuk membentuk sikap kepada siswa dalam kerangka mewujudkan kematangan diri dan juga dapat menunjang pengembangan kehidupan masyarakat.” Dengan demikian, sekolah dapat mengembangkan program-program inovatif dan pengembangan SDM yang ada, serta mendorong peran serta masyarakat dalam mengoptimalkan perencanaan, pengawasan, pelaksanaan kegiatan pendidikan.
Artinya sekolah dapat leluasa mengelola
sumber daya yang dimilikinya. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal17) Bagi
madrasah
kemandriannya
dan
ini
merupakan
keberdayaannya
kesempatan dalam
luas
bingkai
untuk
menuju
keislaman
dan
kemasyarakatan. Tetapi, semua ini mesti menuntut tanggungjawab bersama. Oleh karena itu keputusan yang tepat untuk menempatkan posisi madrasah dalam sistem penyelenggaraan pendidikan nasional pada era otonomi ini, merupakan salah satu aspek penting yang ikut menentukan perjalanan lembaga tersebut di masa-masa yang akan datang. Menurut Mudjahid paling tidak ada tiga opsi alternatif untuk posisi madrasah dalam proses otonomi pendidikan, sebagai berikut : a. Tetap menyerahkan penyelenggaraan madarsah kepada pemerintah pusat (Depag) dengan sistem sentralistik, dengan konsekwensi madarsah akan sulit berinovasi, terciptanya pola ketergantungan dengan pusat, terisolasi dari pemerintah daerah, adanya penyeragaman kurikulum sehingga tidak bisa menjawab need assessment keagamaan masyarakat dan kebutuhan pembangunan daerah. “ Bahkan dengan pendekatan ini madrasah akan menanggung beban dari program-program penting pusat atau wilayah.
163
b. Menyerahkan penyelenggaraan pendidikan madrasah kepada pemerintah daerah, dimana pemerintah pusat hanya memberikan kebijakan umum, seperti standarisasi kelayakan madrasah, ketenagaan, dan sistem evaluasi. Konsekuwensinya, madrasah akan menjadi tanggungjawab dan perhatian sepenuhnya dari pemerintah daerah, madrasah dapat mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan daerah dan kebutuhan masyarakat, dan mudah untuk kembali pada identitas kulturalnya yang berorientasi pada masyarakat disekitarnya. c. Menyerahkan seluruh lembaga pendidikan agama yang berstatus sebagai pendidikan umum berciri khas Islam seperti; MI, MTs, MA kepada pemerintah daerah, tetapi untuk lembaga pendidikan keagamaan seperti Madrasah Diniyah(MD), MAK, TPA, pesantren, dan majelis ta‟lim tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Dengan pembagian ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memfokuskan pengembangan Madrasah umum sedang pemerintah pusat terkonsentrasi pada lembaga pendidikan keagamaan.” (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal18) 4. Tantangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan, karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. “Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecendrungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu, (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek keperencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari herarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari satu pilihan ke pilihan majemuk.”
Kecendrungan di atas jelas berdampak terhadap dunia
pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen, tenaga pendidik, strategi 164
dan metoda pendidikan. Selanjutnya Naisbiti mengemukan ada 8 kecendrungan besar Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu ; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke konsumen, (3) dari pengaruh barat ke asia, (4) dari kontrol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke tekno;ogi canggih, (7) dari dominasi pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Hal ini akan mempengaruhi pergeseran tata nilai dalam berbagai kehidupan, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Akhirnya semua itu akan mempengaruhi juga pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecendrungan tersebut. Dalam hubungan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan Sumber Daya Manusia yang mampu menghadapi tantangan kecendrungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya. Tantangan ini juga merupakan bagian yang sedang dihadapi oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hlm.19) Apalagi dalam memasuki abad pengetahuan ini paradigma pendidikan akan mengalami perubahan, menurut Makagiansar meliputi; (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar fokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistic, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke hubungan kemitraan, (4) dari pengajaran yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan, (5) dari kampanye buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi keorientasi kerja bersama. “Kecendrungan ini muncul dengan hadirnya alat-alat canggih (seperti komputer) yang membawa tantangan baru bagi pendidikan, karena alat-alat tersebut diciptakan untuk mempermudah kerja manusia dan menimbulkan rasa senang” Kecepatan informasi melalu internet yang up to date mendorong tumbuhnya motivasi membaca dan mengikuti perkembangan IPTEK di dunia. Hal ini menjadi 165
tantangan pendidikan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang tepat. Sayling Wen mengatakan bahwa yang dihadapi dunia pendidikan sekarang ini adalah revolusi dalam cara belajar di zaman ini, zaman internet harus menyesuaikan diri dan berubah, kalau tidak akan tinggal sejarah. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 20) 5. Tantangan Sosial, politik, dan budaya Tantangan politik terutama politik kenegaraan banyak berkaitan dengan masalah
bagaimana
lembaga
itu
membimbing,
mengarahkan,
dan
mengembangkan kehidupan bangsa dalam jangka panjang, yang disesuaikan atas falsafah negara yang mengikat semua sector perkembangan bangsa dalam proses pencapaian tujuan nasional. Dengan kata lain pendidikan adalah bagian dari sector perkembangan kehidupan budaya bangsa yang terikat pada tujuan nasional. Efeknya mau tidak mau lembaga pendidikan harus mau mengikuti politik negara, kalau tidak akan menjadi tekanan (pressure) terhadap cita lembaga tersebut. “ Karena hal tersebut menyangkut kepentingan perkembangan bangsa di masa depan dalam pemeliharaan watak dan kepribadian, kreatifitas, dan disiplin bangsa itu sendiri.” (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 20) Adapun budaya adalah hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun immaterial dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Perkembangan budaya saat ini tidak terlepas dari proses akulturisasi dimana factor nilai yang mendasari kebudayaan sendiri sangat menentukan daya tahan, dan kalau melemah maka bangsa tersebut akan kehilangan identitas kebangsaannya. Mencermati kurikulum yang ada pada pendidikan dasar dan menengah sangat sedikit prosentasenya dalam upaya menanamkan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat beragam, sehingga tidak heran kalau generasi anak bangsa cenderung mengikuti budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, karena mereka tidak dikenalkan dengan budaya sendiri, apalagi nilai166
nilai filosofis yang dikandung oleh budaya tersebut. Sebut saja budaya Lampung; “Seibatin / Pepadun”, bagaimana dan kapan melestarikannya?, begitu juga adat “Nandangkah Bunting” dalam adat Semende yang penuh haru, hidmat dan penuh penghormatan antara pihak Laki-laki dan pihak perempuan dalam acara Perkawinan. Belum lagi adat “Tunggu Tubang” yang sarat dengan nilai filosofisreligius (Islam) dalam kekerabatan Semende tersebut. Demikian pula adat-istiadat pada suku-suku yang ada di Nusantara ini. Pendidikan sekarang sepertinya layak kalau mata pelajaran diformat yang mengakomodir pelestarian adat tersebut. Secara sosial kemasyarakatan, kehidupan mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh budaya dan IPTEK sebagai sistem kehidupan. Proses sosial tidak statis dan tidak beku, cendrung dinamis yang mengakibatkan perubahan-perubahan yang biasa dikenal sebagai perubahan sosial. Selain itu dalam kehidupan sosial berkembang nilai-nilai (norma) baik norma tradisonal maupun norma agama, yang juga berkembang dari proses sosial yang terjadi. Sistem nilai juga menjadi tolok ukur bagi tingkah laku manusia yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur, dan mengarahkan perkembangan masyarakat secara sosialitas. Semua ini tidak terlepas dari eksistensi sebuah lembaga pendidikan sebagai agen perubahan sosial dan budaya, sehingga lembaga tersebut harus dapat memainkan peranannya tersebut melalui kemasan program-program yang relevan terhadap tuntutan itu. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 20) b. Tantangan Internal Secara internal, dunia pendidikan Islam mengahadapi problem pokok yang cukup mendasar, yang sangat sering didengar masalah kualitas SDM, kelengkapan sarana-prasarana, pendanaan, kurikulum, proses belajar mengajar, menajemen pengelolaan, dan kebijakan pendidikan terhadapnya. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 21) 167
1. Kualitas Sumberdaya Manusia Kualitas sumber daya manusia yang dihadapi oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan adalah “rendahnya kualitas SDM pengelola dan pelaksana pendidikan. Hal ini terkait dengan program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang masih lemah, dan pola rekrutmen tenaga pegawai yang kurang selektif. Namun demikian, trend dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa penyelesaian atas masalah sumberdaya manusia itu mengalami penangan yang semakin baik, di samping adanya usaha perbaikan pada lembaga-lembaga kependidikan, juga diselenggarakan program-program pelatihan dalam berbagai bidang dan profesi kependidikan.” (Husni Rahim, 2002, hal 21) Masih seputar SDM, adanya penyakit klise berupa tenaga pendidik (guru) yang mismatch, dimana satu guru menangani materi mata pelajaran yang banyak, hal ini biasanya mempengaruhi dalam persoalan kompetensi yang tidak mumpuni sehingga out put yang dihasilkan pun rendah. Ini menunjukan adanya problematic rendahnya kualitas guru yang dimiliki madarsah. SDM yang sering menjadi permasalahan hingga saat ini adalah rendahnya kualitas lulusan (out put school quality), bahkan isu ini sudah menjadi perbincangan secara nasional. Cukup beragam pengukuran rendahnya mutu lulusan madrasah, ada yang dilihat dari prestasi pencapai NEM, ada juga yang melihat berapa besar lulusan itu dapat memasuki lapangan pekerjaan, ada yang melihat banyak sedikitnya lulusan itu menembus keperguruan tinggi, dan sebagainya. Problema lain yang dihadapi adalah kualitas input yang masih terus menjadi keprihatinan yang sering dilontarkan oleh praktisi pendidikan di madrasah, yang menyatakan rendahnya mutu input sebagai sisa seleksi dari sekolah umum. Hanya sebagian kecil saja yang masuk madrasah itu merupakan input yang bermutu, tapi inilah tantangan bagi madrasah sebagai lembaga pendidikan. 168
2. Sarana Prasarana Pendidikan Kelengkapan sarana dan prasarana juga menjadi problema yang dihadapi oleh madrasah. Dan bukan menjadi rahasia umum bahwa pendidikan madrasah diselenggarakan dengan berbagai keterbatasan saran prasarana, termasuk juga dalam segi pendanaan. Keterbatasan ini jelas menunjukkan tidak lengkapnya ketersediaan sarana prasarana pendidikan, yang menjadikan rendahnya kualitas penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Kerena problema ini menjadikan proses pembelajaran yang apa adanya. Namun sekarang sudah mulai bergeser, “banyak madrasah diberbagai tempat, apakah itu di wilayah perkotaan maupun di pedesaan, mulai mempunyai gedung-gedung atau bangunan yang megah, dan lebih penting lagi sehat dan kondusif sebagai tempat berlangsunganya proses pendidikan yang baik. Dengan demikian, citra yang pernah disandang madrasah yang memiliki bangunan seadanya, atau bahkan reot dan tidak higienis semakin memudar khususnya untuk madrasah negeri. Namun tetap saja keterbatasan sarana prasarana dalam hal ini pada saat proses pembelajaran masih melilit erat pada tubuh madrasah. 3. Kebijakan Pemerintah a. Kurikulum Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan kerangka (frame-work) pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Singkatnya kurikulum sebagai pengeja-wantahan dari tujuantujuan pendidikan yang ingin dicapai. Persoalannya adalah seberapa banyak tenaga kependidikan memahami tujuan pendidikan tersebut, Berhubungan dengan ini Menurut Mastuhu, kelemahan sistem pendidikan madrasah pada dasarnya sama dengan kelemahan umum yang disandang oleh pendidikan di Indonesia. Kelemahan tersebut meliputi ; a) memetingkan materi di atas metodologi, b) mementingkan memori di atas analisis dan dialog, c) mementingkan pikiran vertical di atas literal, d) mementingkan penguatan pada otak kiri di atas otak 169
kanan, e) materi pelajaran agama yang diberikan masih bersifat tradisional, belum menyentuh aspek rasional, f) penekanan yang berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya, g) mementingkan orientasi “memiliki” di atas “menjadi”. (Mastuhu, Op.Cit., hlm. 59) Karena status madrasah pada semua jenjang telah disamakan (eguivalen) dengan sekolah umum, maka kurikulum komponen pendidikan umum madrasah sepenuhnya (100%) mengikuti kurikulum yang ditetapkan Diknas, dengan demikian isi pendidikan madarasah tidak lagi memiliki perbedaan yang terlalu subtansial dan sustantif dengan sekolah umum. Padahal, madrasah sesuai dengan akar eksistensi dan pengalaman histories, semestinya memiliki ciri dan karakter pendidikan Islam. Oleh karena itu, madrasah perlu mengembangkan kurikulum pendidikan Islamnya, baik melalui celah muatan local, maupun dengan penambahan waktu belajar yang khusus untuk materi keislaman. (Azyumardi Azra, Op.Cit., hal 115) Dan prospek ini dapat terakomodasi melalui kurikulum KBK dan kebijakan desentralisasi pendidikan. b. Pendanaan Madrasah Salah satu bentuk tantangan yang dihadapi oleh madrasah hingga saat ini adalah pendanaan madarsah, yang hingga saat ini pula dirasakan perlakuan yang diskriminatif, walaupun dalam praktek sekarang adanya dana BOS (Bantuan Oprasional Sekolah) secara nasional ada pemerataan, tapi dampak dari otonominisasi daerah, dengan status tanggungjawab terhadap madrasah oleh pemerintah pusat (Kementerian Agama), otomatis menjadi lemahnya perhatian dan tanggungjawab pemerintah daerah terhadap madrasah. Apalagi adanya kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena
170
adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan UU No. 25/1999. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 21) Ketidak keseimbangan pendanan antara pendidikan agama dan umum ini sudah terjadi sejak lama. Hal in terlihat pada data pembiayan pendidikan pada tahun 1999/2000 , biaya pendidikan untuk IAIN sebesar Rp. 50. 000,- per mahasiswa setiap tahun, sedangkan universitas negeri sebesar Rp 150.000,-. MAN sebesar Rp 51. 000,- per siswa, sedang SMU sebesar Rp 67. 000,-. MTsN sebesar Rp 33. 000,- per siswa sedangkan SLTPN sebesar Rp 49. 000,- per siswa, sedangkan SDN sebesar Rp 100. 000,- per anak setiap tahunnya. (Perta, No. 2, Vol. III/2000 : 1, dalam Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 21) Dengan gambaran ini jelas menjadi tantangan sendiri bagi madrasah, apalagi anak-anak yang bersekolah di madrasah memiliki latar belakang sosial ekonomi yang rendah, yang seharusnya memperoleh subsidi anggaran lebih besar dibandingkan sekolah umum. 4.
Manajemen Madrasah Pengertian manajemen dari segi bahasa, bahwa kata “manajemen” berasal
dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata “management” yang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia karangan management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan. (John M. Echols dan Hasan Shadily, 1995 hal 372) Ramayulis menyatakan bahwa: “Pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan)”. (Ramayulis, 2008, hal 362)
171
Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur‟an seperti firman Allah SWT : Artinya:. Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (Q.S.AL Sajadah : 5 ) (Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjamah,1980, hal 315) Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah SWT adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah SWT dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain. (Robbin dan Coulter, 2007, hal 8) Sedangkan Sondang P Siagian
mengartikan manajemen sebagai
kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain. (Sondang P Siagian, 1990, hal 5)
172
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupkan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktip. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat, serta terhindar dari azab neraka. Dengan demikian maka manajemen pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan di atas, adalah: proses memanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat, serta terhindar dari azab neraka. Agar manajemen berjalan dengan baik, maka semua fungsi manajemen harus berjalan dengan baik. Berbicara tentang fungsi manajemen pendidikan Islam tidaklah bisa terlepas dari fungsi manajemen secara umum seperti yang dikemukakan Henry Fayol seorang industriyawan Prancis, dia mengatakan bahwa fungsi-fungsi manajemn itu adalah merancang, mengorganisasikan, memerintah, mengoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang. Sementara itu Robbin dan Coulter mengatakan bahwa fungsi dasar manajemen yang paling penting adalah merencanakan, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan. (Robbin dan Coulter, Op. Cit, hlm.9)
173
Senada dengan itu Mahdi bin Ibrahim menyatakan bahwa fungsi manajemen atau tugas kepemimpinan dalam pelaksanaannya meliputi berbagai hal, yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. (Mahdi bin Ibrahim, 1997, hal 61) Suatu sistem hanya produktif dan efisien apabila dikelola secara tepat. Begitu pula lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai suatu sistem haruslah dikelola secara professional. Selama ini menajemen yang berlangsung pada pendidikan di madrasah masih bersifat sentralistik dan berjalan secara top-down, tetapi dengan semakin baiknya tingkat intelektual masyarakat, maka manajemen secara topdown tidak memadai lagi. “Dewasa ini dunia yang semakin terbuka , dan semakin tingginya
partisipasi
masyarakat
termasuk
dalam
bidang
pembangunan
pendidikan, maka perencanan dari bawah (bottom-up) dan mengikut sertakan partisipasi masyarakat akan membuahkan hasil yang lebih efisien”. (Tilaar, H.A.R, Op.Cit., hal 4) Ini berarti sudah saatnya madrasah mengubah sistem manajemennya sesuai dengan tuntutan tersebut. Peningkatan kompetisi, pilihan, dan tuntutan masyarakat jelas mempengaruhi pendidikan hari ini. Pada saat bersamaan, factor-faktor eksternal mempengaruhi juga. Oleh karena itu pendidikan perlu mendapat pengaturan dan standardisasi untuk memenangkan kompetisi dan peningkatan mutu terus menerus. Dan sebagai jawabannya adalah manajemen madrasah harus mengembangkan kreativitas, inovasi, dan modernisasi bagi fokus pada pelanggan pendidikan. Maka yang harus diperhatikan para menejer, kepala madrasah, guru-guru, dan supervisor pendidikan madrasah adalah perbaikan mutu sebagai kunci sukses pendidikan di masa depan. Untuk ini maka sistem manajemen baik pada tataran kebijakan dan implementasinya harus mengakomodir dan memihak kepada perbaikan madrasah pada masa yang akan datang.
174
Implementasi kebijakan kepala Madrasah pada dasarnya melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan di atasnya secara struktural, artinya sistem implementasi kebijakan pada umumnya bila bertentangan dengan kebijakan yang di atasnya maka dianggap menyalahi kebijakan. Manakala misalnya Tujuan Madrasah Tsanawiyah tidak sejalan dengan kurikulum yang sudah dikeluarkan oleh Kemendiknas atau Kemenag maka ini dianggap menyimpang, padahal tujuan Madrasah tersebut melebihi target yang ditentukan, tapi memang tujuan tersebut berdampak kepada biaya yang lebih dari pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dan biasanya ini harus melibatkan partisipasi orang tua murid melalui komite madrasah, tapi karena kebijakan tidak mendukun, maka oran tua murid menolak kebijakan tersebut. Hal tersebut tentunya mempengaruhi manajemen yang sudah direncanakan.
Idealnya Tujuan madrasah itu berkelanjutan sebagaimana ilustrasi berikut: No
Jenjang
Lama Belajar
Tujuan Institusional Pendidikan
Pendidikan 1
Madrasah
6 Tahun, usia Peserta didik terbiasa sholat wajib, solat
Ibtidaiyah
anak
ketika sunnah Tahajud, sholat sunnah Dhuha;
tamat
12 Hafal Al Qur‟an 30 Juz; dan mampu
tahun.
berbahasa asing (Arab dan Inggris) serta memiliki dasar-dasar keahliah praktis yang bernilai jual.
2
Madrasah
3 tahun, usia Peserta
Tsanawiyah
anak tamat tahun
didik
mampu
membayar
ketika zakatnya sendiri dari mengembangkan 15 ketrampilan praktis yang sudah dipelajari pada
jenjang
dikembangkan
MI dalam
untuk kuantitas
lebih dan
kualitas yang lebih baik, kemudian 175
menerapkan konsep-konsep al Qur‟an secara
berangsur-angsur.
Promosi
produk dengan bahasa asing melalui teknologi informasi. 3
Madrasah
3 tahun, usia Peserta didik mampu melaksanakan haji
Aliyah
anak tamat 18 sendiri, karena usahanya sudah memiliki tahun
nilai jual yang teruji oleh user, dengan sekala
minimal
tingkat
regional
/propinsi. Jadi pengusaha yang islami karena mereka hafal AlQur‟an, dengan bahasa asing mencoba membuat kerja sama dengan luar negeri sebab mereka mampu
berkomunikasi dengan baik,
sambil merancang menerapkan konsep Ekonomi yang Islami, mudhorabah, muzaraah , dan mukhabarah.
Dari ilustrasi di atas, maka persoalan melanjutkan ke Perguruan Tinggi maka peserta didik diharuskan mengambil Paket A,B dan C secara bertahap sesuai jenjangnya. Pola pembelajaran sesungguhnya kalau merujuk kepada para ulama Islam tempo dulu, mereka mempelajari ilmu itu satu – satu, setelah tamat baru melanjutkan pada ilmu yang lain, lain halnya dengan kurikulum yang ada sekarang, ilmu yang di pelajari banyak sekali, tapi tidak fokus, sehingga hasilnya kurang optimal, jangankan tamat SLTA, tamat S1 -pun masih sangat kurang ilmu yang bisa diandalkan untuk menopang kebutuhan sehari-hari karena belum ada keahlian yang layak jual. Tujuan pendidikan sebagaimana ilustrasi di atas membutuhkan kebijakan yang mendukung, sistem manajemen yang tepat, kurikulum yang menunjang, SDM yang mumpuni, lingkungan dan sarana belajar yang kondusif, serta dana 176
yang memadai. Masalah dana misalnya, seandainya ada kebijakan bahwa “setiap kepala orang muslim di Propinsi Lampung ini di hargai Rp 1.000,-/orang/bulan selama satu tahun, andaikan jumlah orang Islam di Lampung ini berjumlah 5 juta jiwa, maka akan terkumpullah dana sejumlah 60 Miliar setahun, ini dana partisipasi masyarakat, ditambah dengan dana dari pemerintah yang mendukung, dengan sistem pembelajaran pola pesantren, anak-anak dari tidur ke tidur lagi berada dalam suasana belajar dan praktek dalam laboratorium ketrampilan praktis yang mereka minati, di bawah bimbingan guru-guru yang kompeten dengan gaji 10 juta perbulan, selama 12 tahun ( MI – MA), dalam bahasa asing yang di kondisikan, serta sistem evaluasi yang melibatkan user/pengguna produk, serta sosialisasi minimal dalam tiga bahasa (Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia) maka tujuan pendidikan di atas dapat dicapai. Ini dapat kita bandingkan dengan sistem pendidikan yang berlaku sekarang. Madrasah adalah salah satu model lembaga pendidikan Islam, jika dilihat secara normatif pada dasarnya bersumber dari ajaran agama yang universal. Berdasarkan komitmen ini jelas pendidikan Islam akan mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi dari masa ke masa. Perinsip universal menunjukkan kesanggupannya untuk di satu sisi mempertahankan semangat keislamannya dan di sisi lain menyesuaikan aspek teknisnya dengan perkembangan zaman. Di dalam artikel Business Week 23 – 30 Agustus 1999 mengenai dua puluh satu trend perkembangan kehidupan manusia dalam abad 21, ada dua kecendrungan menurut penulis. Pertama ialah peranan agama yang akan semakin relevan, dan kedua trend mengenai kemajuan ilmu dan teknologi yang akan mengubah wajah dan kehidupan manusia. (Tilaar, H.A.R, Op.Cit., hal 146) Pernyataan ini paling tidak memberi sebuah prospek ke depan bahwa kebutuhan akan pendidikan agama di masa depan akan menjadi salah satu bagian trend dari kebutuhan masyarakat. Dan ini memberikan peluang yang besar bagi 177
kemantapan eksistensi lembaga pendidikan Islam (madrasah) ditengah arus globalisasi, “menjadikannya salah satu pendidikan alternatif.” (Tilaar, H.A.R, Op.Cit., hal 147) Karena agama akan muncul kembali sebagai pegangan hidup manusia di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada sisi lain prospek madrasah sebagai lembaga pendidikan di masa yang akan datang dapat pula dilihat dari angka pertumbuhan madrasah yang semakin meningkat secara kuantitatif. Hal tersebut menggambarkan pada kita sebuah keoptimisme-an akan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan madrasah ditengah kehidupan mereka. Menurut Azyumardi Azra, mengatakan bahwa “dalam
pengamatan
saya,
madrasah
kelihatan
mengalami
semacam
“kebangkitan”, atau setidaknya menemukan “popularitas” baru. Secara kuantitatif jumlah madrasah kelihatannya meningkat; berbagai madrasah baru muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera. Dan Yang menarik lagi dari perkembangan kuantitatif ini adalah gejala pertumbuhan madrasah-madrasah favorit karena keunggulannya….Kemunculan madrasah-madrasah unggulan dan favorit bisa jadi merupakan indikasi lebih lanjut tentang kerinduan orang tuaorang tua Muslim untuk mendapatkan pendidikan Islami yang baik, dan sekaligus unggul pula ilmu-ilmu umum. Sehingga pendidikan madrasah juga kompetitif bagi anak-anak mereka”. (Azyumardi Azra, Op.Cit., hal 89 – 90) (Disinilah letak kelebihan madrasah sekarang ini, anak-anak mendapatkan pendidikan umum, tetapi juga mendapat kelebihan dalam pendidikan Islam. Selanjutnya
Azyumardi
Azra
mengatakan
“masih
dalam
konteks
perkembangan kuantitatif ini adalah terjadinya perpindahan murid-murid sekolah umum dalam berbagai jenjang ke madrasah di berbagai daerah, seperti dilaporkan para pengamat pendidikan Islam dan konsultan madrasah”. Ini pun menunjukkan peningkatan minat masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anak-anak 178
mereka pada madrasah. Hal ini dapat pula dilihat dari angka partisipasi kasar peserta belajar pada madrasah ibtidaiyyah mencapai 2. 894. 128 murid, pada tingkat tsanawiyah 1. 813. 135 murid, dan tingkat aliyah mencapai 525. 596 murid pada tahun ajaran 1999-2000. Angka-angka itu menunjukkan bahwa sumbangsih madrasah terhadap mobilisasi pendidikan anak-anak usia sekolah secara nasional mencapai 10, 1% dari sekitar 27. 454. 191 anak usia 7 – 12 tahun, 12,8% dari sekitar 14. 145. 659 anak usia 13 – 15 tahun, dan 4 % dari keseluruhan remaja usia 16 – 18 tahun. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perkembangan ini mengalami peningkatan sekitar 1,8 % untuk madrasah tingkat MI dan 3,9 % untuk madrasah tingkat MTs. (Husni Rahim, 2002, hal 23) Yang jelas eksis sebuah madrasah adalah melaksanakan pendidikan yang bersifat student oriented dan diabdikan sepenuhnya untuk mencetak calon manusia unggul yang siap hidup ditengah masyarakat global yang ditandai kemajuan iptek, kalau tidak unggul, maka akan mengurangi nilai ibadah, atau bahkan dapat jatuh menjadi perbuatan dosa karena menelantarkan anak didik yang telah diamanatkan oleh masyarakat untuk di didik secara baik, dan ini menjadi nilai moral bagi pendirian madrasah. (Abdul Aziz, 2005, hal 23) Menjadikan pendidikan pada madrasah sebagai salah satu pendidikan alternatif di masa depan tentu memerlukan paradigma-paradigma baru untuk meningkatkan kualitasnya. Terlepas dari perdebatan apakah pendidikan agama dimasukan ke dalam bidang agama atau bidang pendidikan. Yang jelas harus dilakukan adalah melihat realitas madrasah sebagai “instrumen pendidikan”. Berdasarkan tantangan yang sedang dan yang akan dihadapi maka madrasah perlu berbenah dengan menata kembali sistem pendidikannya sesuai dengan tuntutan dari tantangan tersebut. Malik Fajar merumuskan pendidikan Islam dapat menjadi alternatif apabila memenuhi empat tuntutan sebagai berikut :
179
1. Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah yang oprasional di dalam usaha mewujudkan cita-cita pendidikan Islam. 2.
Memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya.
3.
Meningkatkan dan memperbaiki manajemen.
4.
Peningkatan mutu sumberdaya manusia.
(A. Malik Fajar, 1998, hal 13) Pemikiran di atas di kemas lebih spesifik lagi oleh H.A.R Tilaar dengan melihat kekuatan madrasah yang bersumber dari masyarakat dan kelemahan madrasah yang dianggapnya cendrung kepada ortodoksi, maka menurutnya pengelolaan pendidikan Islam di prioritaskan pada empat bidang yaitu , (1) peningkatan mutu, (2) pengembangan inovasi dan kreativitas, (3) membangun jaringan kerjasama (Networking), dan (4) pelaksanaan otonomi daerah. (Tilaar, Op,Cit., hal 152- 155) Dari pemikiran ini dan perubahan struktur kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk mewujudkan masyarakat madani, maka paradigma yang harus dipenuhi dalam meningkatkan mutu pendidikan madrasah sebagai berikut : 1. Mempertegas visi, misi, orientasi, tujuan, dan strategi mencapai cita-cita pendidikan Madrasah Saat ini perlu penegasan visi pendidikan madrasah sehingga sehingga lebih rasional, tetapi mampu mengelola berbagai kecendrungan kehidupan seharihari yan lebih Islami secara reponsif dan tuntas. Visi itu ditempatkan sebagai pemandu yang menjamin konsistensi pendidikan Islam dalam konteks perubahan dan dinamika yang terjadi dalam dirinya secara terus menerus. Kerangkanya harus dibangun dengan mempertimbangkan sumber nilai/ajaran Islam, karekter sejarah pendidikan Islam, dan dirumusan tantangan masa depan. Dengan kata lain, visi 180
pendidikan madrasah masa depan adalah terciptanya pendidikan Islami, populis, berorientasi mutu, dan keragaman minat dan potensi peserta didik dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari yang Islami. Sedangkan menurut Prof Azyumardi Azra, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan zaman. Bagi Azyumardi, lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemodernan dan kemanusiaan agar compatible dengan perkembangan zaman. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 24) Dari pernyataan tersebut bahwa madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam harus memiliki ketegasan dan kejelasan visi, yaitu keislaman karena bersumber dan mengembangkan, serta mewariskan nilai-nilai dalam Islam, populis dan kemodernan , karena harus dikenal dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, kemanusiaan, karena Islam memiliki ajaran yang rahmatan lil‟alamin, keindonesiaan, karena madrasah adalah salah satu komponen dari sistem pendidikan nasional, dan berorientasi pada mutu, karena era global dipenuhi oleh kompetitif yang professional dan berkualitas, sehingga dapat menjawab tantangan zaman, terpenuhinya kebutuhan yang Islami ( Dunia hasanah, akherat hasanah, dan terlepas dari azab neraka), hal ini dapat diilustrasikan sebagaimana tujuan pendidikan pada jenjang MI, MTs., dan MA di atas. Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan atau program-program yang harus dilakukan sebagai misi madrasah, dan karakter Islami merupakan identitas utama yang tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikan. Orientasi dimaksudkan adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan tantangan dan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki. Penyelenggaraan pendidikan madrasah juga harus merumuskan tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan yang paling dekat, kecil, dan praktis maupun tujuan yang paling mendasar, filosofis, dan makro harus dirumuskan dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Sedang strategi disusun untuk pencapaian tujuan pendidikan 181
yang mudah dipahami, diikuti, dan dikembangkan oleh para petugas sesuai dengan posisi dan peran serta tanggungjawab masing-masing. (Mastuhu, 2003, hal 69) 2. Demokrasi pendidikan Madrasah Madrasah harus mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom dan beragam. Masyarakat demokratis memiliki daya partisipasi yang kuat khususnya dalam pengawasan mutu pendidikan, dimana menuntut pengelolaan pendidikan yang transparan dan bertanggung jawab. Termasuk juga tuntutan akan demokratisasi terhadap paradigma pendidikan yang lebih menekankan pada peran siswa secara aktif. Dengan demikian madrasah harus melakukan proses pendidikan yang menjadikan berkembangnya potensi pribadi anak mengarah kepada anak-anak yang muslim, bukan Majusi, Nasrani, atau Yahudi. Anak didik sebagai human being, artinya tidak menciptakan manusia yang hanya menerima petunjuk dari atas, tetapi pendidikan yang mengembangkan pribadi-pribadi yang kreatif, kritis, dan produktif. Untuk ini maka mendidik anak sedini mungkin mencoba mengidentifikasi potensi dan minat anak, yang selanjutnya diarahkan pada pendidikan yang menekankan praktek, meneliti, menganalisa, dan menyimpulkan, dengan kata lain pendidikan harus membuat peserta didik aktif menemukan sendiri pengetahuan yang diminatinya melalui bimbingan guru-guru yang kompeten. 3. Paradigma otonomi Otonomi pendidikan memberikan kesempatan luas bagi madrasah menuju kemandiriannya
dan
keberdayaannya
dalam
bingkai
keislaman
dan
kemasyarakatan. Ada beberapa hal dapat dilakukan madrasah. Pertama, mengakomodasi berbagai masukan dan kritikan dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kepada mereka untuk berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Kedua, madrasah hendaknya menjadi lembaga inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan 182
dikotomis yang selama ini melingkupi, dan ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang reponsif terhadap berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakat, khususnya dunia kerja. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 25)
4. Akuntabilitas Untuk meningkatkan kualitas madrasah usaha yang efektif adalah dengan peningkatan akuntabilitas proses pendidikan, yang di kembangkan sebagai berikut: a. Lebih pada kegiatan belajar dari pada mengajar pada setiap tingkatan madrasah. b.Orientasi pelatihan guru pada kemampuan memfasilitasi proses belajar daripada mengajar. c. menerapkan pengembangan kurikulum secara komprehensip. d. mengembangkan sistem penilaian menyeluruh terhadap proses pendidikan. e. menerapkan manajemen sistem pendidikan. f. mengembangkan manajemen berbasis pada masyarakat dan berbasis madrasah (school base management). Sehingga program dan proses pendidikan dapat berlangsung dan memenuhi kepuasan pelanggan. 5. Profesionalisme Profesionalisme adalah aspek penting lainnya untuk menentukan kualitas pendidikan. Selama ini madrasah belum sepenuhnya menempatkan para profesionalisme secara memadai untuk menunjang kegiatannya. Dengan kata lain, para personil madrasah yang professional merupakan tumpuan keberhasilan suatu sistem yang berkualitas belum diperhatikan secara optimal.
183
Professional madrasah terletak pada: 1). Kepala sekolah sebagai personil yang memiliki posisi strategis dalam meningkatkan kualitas madrasah.. Oleh karena itu penunjukkan kepala madrasah harus melalui seleksi yang ketat, selain itu professional diartikan juga sesuatu yang memberikan keuntungan dalam bidang materi. Tanpa harus mengorbankan semangat iklas beramal (semboyan DEPAG) dan jiwa pengabdian., sudah waktunya sistem dan lembaga pendidikan Islam , khususnya madrasah dikelola secarta professional, bukan hanya dalam soal penggajian, pemberian honor, tunjangan atau pengelolaan administrasi dan keuanagan. 2) Guru sebagai penanggung jawab utama perlu diperhatikan yang sungguhsungguh, karena disadari penentu
keberhasilan suatu pelaksanaan
pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran di madrasah lebih banyak bertumpu pada mmenejemen guru. Sehingga berbagai aspek yang berkaitan dengan guru perlu diperhatikan, baik aspek rekrutmen, pelatihan perkembangan karir, dan peningkatan insentif. Dalam hal rekrutmen, hendaknya dapat memilih guru yang interdisipliner dengan latar belakang ilmu yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Professionalisme
mutlak
pula
diwujudkan
dalam
perenacanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. (Azra , 1999 : 60) 6. Pendanaan Madrasah Berkaitan dengan lemahnya sector pendanaan pendidikan laporan komnas pendidikan menyebutkan bahwa salah satu kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah belum dirumuskannya pola dan mekanisme pendanaan pendidikan yang memadai. Penerapan mekanisme pendanaan terpusat selama ini 184
ternyata diwarnai dengan maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak heran kalau bocornya anggaran pendidikan juga mengakibatkan semakin rendahnya kualitas pendidkan termasuk madarasah. Berkenaan dengan pendanaan madrasah , maka perlu upaya sistematis dan terprogram untuk memperjuangkan anggaran pendidikan lebih besar dari pada keadaan sekarang. Sehingga biaya bagi peningkatan kualitas madrasah dapat ditanggulangi. Secara makro perlu trobosan dari pihak Kementrian Agama untuk meningkatkan anggaran baik dari APBN dan APBD maupun dari sumbar – sumber lainnya. Sedangkan secara mikro misalnya, perlu penerapan manajemen madrasah yang berbasis masyarakat (community base education), guna menjalin dukungan finansial masyarakat (stakeholders) sebagai pemilik sesungguhnya madrasah. Memang seharusnyalah pendidikan tersebut harus berangkat dari kebutuhan penguna lulusan bukan lulusan madrasah mencari dan mengemis pada pengguna. 7. Penerapan Model Community Base Education Perbaikan madrasah tidak bisa dicapai jika tidak ada kerjasama, terutama dilkalangan stakeholders madrasah. Masyarakat luas, seperti pemikir dan praktisi pendidikan, pengelola, dan pelaksana dilapangan, orang tua murid, pemerintah, penghasil dan pengguna jasa pendidikan, harus bahu membahu memberikan perhatian seoptimal mungkin pada pengelolaan madrasah, hal ini akan terlaksana dengan baik apabila pengguna merasa tergantung kepada madrasah. Model manajemen berbasis madrasah (MBM) mengenal organisasi yang disebut dengan dewan Madarsah/ komite madrasah. Keberadaan dewan madrasah diharapkan menjadi lembaga pemegang otoritas pendidikan di era otominisasi ini. Dewan madrasah beranggotakan kepala madrasah , guru, orangtua murid, masyarakat, Stakholder, dan birokrat yang membidangi pendidikan , berperan dalam meningkatkan kualitas madrasah. Banyak hal seperti pemakaian dana, penggalanagn dana, pemecahan berbagai masalah yang dihadapi madrasah,
185
pemilihan buku-buku pelajaran yang bermutu dan cocok di suatu madrasah dan kebijakan-kebijakan strategis madrasah. Menurut sudiono, ada sembilan aspek yang dapat dikerjakan madarsah dalam kerangka MBM yaitu : 1) perencanaan dan evaluasi program sekolah, 2) pengelolaan kurikulum, 3) pengelolaan proses belajar mengajar, 4) pengelolaan ketenagaan, 5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, 6) pengelolaan keuangan, 7) pelayanan siswa , 8) hubungan sekolah dengan masyarakt, dan 9) pengelolaan iklim sekolah. (Sudiono, 2001, hal 28) Menejemen berbasis madrasah sebagai alternatif pengelolaan pendidikan di era otominisasi
pendidikan, mengutamakan independensi daerah dalam
mengelola pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah. Independensi itu, menurut Arief Rahman antara lain : 1. independensi konsep, misalnya dalam hal standarisasi keberhasilan pendidikan selama ini dalam merumuskan visi dan misi pendidikan masih sangat normatif, sehingga sulit dibahas secara kontekstual dan tidak dapat diukur. Sebagai contoh perumusan visi dan misi madrsah dalam membentuk peserta didik yang berakhlaq karimah, insan kamil yang berkualitas dan memiliki skill, perlu dirumuskan lebih singkat dan lebih dapat diukur, karena perumusan visi dan misi, menurut Komaruddin Hidayat, tidak diukur dan hasilnya sulit untuk dievalusi. 2. independensi materi yang menunjang konsep. Hal ini dimaksudkan supaya daerah
dapat
mengembangkan
materi
kurikulum
sesuai
dengan
kebutuhannya. Misalnya daerah pegunungan dengan daerah pantai memiliki kebutuhan SDM yang berbeda. Sehingga dapat dengan efektif mengembangkan potensi daerah. 3. independensi support system, bertanggungjawab sendiri menopang kebutuhan penyelenggara pendidikan, seperti kesejahteraan, fasilitas,
186
proses belajar mengajar, hendaknya berbasis pada tanggung jawab masyarakat. 4. independensi manajerial,. Visi selalu menjadi landasan dalam menentukan setiap keputusan atau kebijakan yang akan diambil. Sehubungan dengan idependensi manejerial ini, dibutuhkan adanya perubahan dari manajemen kultur parental manjadi manajemen yang berkultur demokratis, khususnya dalam kontek hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengantisipasi kondisi itu harus dibuat tata tertib yang jelas. Sejauh ini daya responsive pemerintah daerah dituntut mengeluarkan kebijakan antisipatif untuk sistem pengelolaan pendidikan di daerah. (Ferry Aguswijaya, Op.Cit., hal 29) Dengan demikian, pembinaan terhadap kemampuan daerah agar mampu mengelola pendidikan di daerahnya masing-masing termasuk juga penyiapan SDM menjadi persyaratan mutlak untuk terwujudnya kualitas pendidikan, khususnya madrasah di era otonomisasi pendidika. Melalui dewan madrasah (sekolah) diharapkan peran serta masyarakat dapat di manage dengan baik. Sehingga masyrakat dapat memahami, mengawasi dan membantu sekolah dalam proses peningkatan kualitas pengelolaan madrasah termasuk juaga kualitas dalam proses belajar mengajar, dan akhirnya melahirkan kualitas in put dan out come madarasah. 8. Membangun Jaringan (Networking) Dalam zaman modern mendatang, penyelenggaraan pendidikan tidak hanya cukup dengan memiliki dana dan sarana, tetapi para penyelenggara pendidikan dituntut mampu bekerja sama dalam jaringan, yaitu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memanfaatkan berbagai sumber kekuatan dan peluang pendidikan. (Mastuhu, Op. Cit.., hal 123)
187
Di samping itu yang perlu sekali adalah membangun jaringan kerjasama antar madrasah-madrasah baik negeri maupu swasta yang lebih baik (kalau sekarang dalam bentuk MKKM dan KKM), yang lebih berorientasi pada mutu dan professional pengelolaan madrasah. Dan “dengan networking tersebut juga dapat dibangun suatu educational management information system (EMIS) yang sangat berguna di dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber belajar sehingga sumber-sumber tersebut dapat bermanfaat secara optimal.” (Tilaar, Op. Cit., hal 157)
III. KESIMPULAN Fenomena madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan dalam system pendidikan nasional terselubungi oleh berbagai problematic baik dari segi kelembagaan, manajemen, dana dan kualitas. Dari persepsi masyarakat kebanyakan memandangan madrasah sebagai sebuah pendidikan kelas dua, padahal persepsi ini tak layak lagi karena paling tidak dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa ini madrasah telah banyak melahirkan generasi tangguh yang menjadi pelopor dan revolusiner pada masa-masa bangsa ini merebut serta mengisi kemerdekaan. Sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia atas dasar uraian di dalam makalah ini didorong oleh factor ekternal dan internal, dari factor ekternal dipengaruhi oleh perkembangan system pendidikan madrasah yang berkembang di Timur tengah, yang diiringi oleh kegiatan gerakan pembaharuan (modernisasi) dari berbagai gerakan-gerakan keagamaan. Pengaruh ini dibawa oleh generasi muslim Indonesia yang belajar di Timur Tengah yang akhir memunculkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Secara internal munculnya madrasah didorong oleh perkembangan system pendidikan kolonial yang 188
diadakan oleh Belanda, system pendidikan ini dianggap tidak memenuhi kebutuhan untuk perkembangan intelektual generasi muslim, karena sifat yang sekuler di samping memperlakukan kesempatan kepada generasi muslim Indonesia secara tidak adil. Factor internal lain dikarenakan system pendidikan tradisional Islam seperti surau, pesantren, dan kelompok pengajian dirasakan belum systematic sehingga perlu diadakan pembahruan dalam sistemnya. Dengan melihat beberapa perkembangan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia, pertama, posisi madrasah yang termajinalisasi diakibatkan dari sifatnya yang dianggap tradisonal dari aspek kurikulum dan sistem penyelenggaraan sehingga perlu penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional, dapat pula didentifikasi sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bahkan cendrung diskriminatif dan hingga saat ini dirasakan oleh madrasah), yang menurut Nurhayati Djamas, diakibatkan dari persoalan “psiko politik” dimana kebijakan (Orde Baru) yang memarginalkan kelompok Islam politik di dalam mainstream politik nasional (terutama pada fase awal) yang melahirkan frustasi dan kecurigaan adanya pengaruh politik yang kuat dari kelompok “nasionalis sekuler”. Kedua, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah merupakan ciri khas dari lembaga pendidikan persekolahan umum yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, dan oleh organisasi dan yayasan sosial keagamaan Islam. Ketiga, madrasah merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki basis kemasyarakatan yang kuat terutama di pedesaan, walaupun demikian ini berarti madrasah sangat berpotensi dapat berkembang lebih mandiri (otonom) melalui swadana kemasyarakatannya (atau katakanlah sebagai pondasi yang menguatkan madrasah untuk dapat lebih maju secara idealnya). (Nurhayati Djamas, 2005, hal 29) Tantangan yang dihadapai oleh madrasah meliputi tanyangan eksternal yaitu globalisasi, demokatisasi, otonomisasi, Ilmu pengetahuan dan teknologi, dan Sospolbud. Secara internal, dunia pendidikan Islam mengahadapi problem pokok yang cukup mendasar, yang sangat sering didengar masalah kualitas SDM, 189
kelengkapan sarana-prasarana, pendanaan, kurikulum, proses belajar mengajar, menajemen pengelolaan, dan kebijakan pendidikan terhadapnya. Madrasah memiliki prospek masa depan yang cerah dilihat dari sisi normatif keagamaan yaitu agama Islam, prediksi trend masa depan abad 21, pertumbuhan madrsah, dan jumlah partisipasi peserta didik. Beberapa paradigma yang ditawarkan untuk peningkatan mutu madrasah agar menjadi pendidikan alternatif masa depan adalah dengan, mempertegas visi,misi, orientasi, tujuan, strategi sesuai dengan cita-cita lembaga, dokratisasi, atonomisasi atau desentralisasi, akuntabilitas proses, pendadaan, profesionalitas, community base education, dan kerja jaringan.
190
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul, Kesetaraan Status dan Masalah Mutu Lulusan Madrasah, Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005 Abdillah, Maskuri,
Pesantren Dalam Konteks Pendidikan Nasional dan
Pengembangan Masyarakat, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002 Amir, Feisal Jusuf, Kebijakan pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam :Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru , Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 2000. ---------------------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional , Jakarta, Kompas, 2002 Asrohah, Hanun, Sejatrah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1998 Djamas, Nurhayati, Posisi Madrasah di tengah perubahan Sistem Pendidikan Islam, Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005 Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjamah, Dirjen Kelembagaan Departemen Agama, Jakarta, 1980 ----------------------, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Dirjen BINBAGA Islam. Fajar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung, Mizan, 1998
191
Fery Aguswijaya, Fenomena Madrasah Di Indonesia ( Analisis Historis, Tantangan, dan Prospek Keberadaanya, dalam Sistem Pendidkan Nasional), 2006. George R Terry, Prinsip-prinsip Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta, 2006 Hawi, Akmal, Tantangan Lembaga Pendidikan Islam, Conciencia jurnal pendidikan, No. 2, Volume.1, Desember 2001 HS
Mastuki, Asal Usul Madrasah, Artikel dari data internet dalam www. Bagais.co.id
Hidayat,
Kebijakan
Pengembangan
Madrasah.,
http://nhidayat62.wordpress.com/2010/02/25/kebijakanpengembangan-madrasah-2010/;
Diunduh Hari Minggu, 21
Oktober 2012 Jam : 14.00. Mahdi bin Ibrahim, Amanah dalam Manajemen, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1997 Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta, Safria Insania Press, 2003 Mudjahid, Madrasah Belum Siap Mandiri, Majalah Ikhlas Beramal, No. 15 Tahun III. Desember 2000. Rahim, Husni, Pendidikan Islam Di Indonesia Keluar Dari Eksklusivisme, (dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo, 2002 Rahim, Husni, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, PT Logos Wacana
Ilmu, 2001
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2008 192
Rafiq, Ahmad, Otonomi Pendidikan Tidak banyak Pengaruh Bagi Madrasah, Inovasi Kurikulum, Edisi II, Tahun 2003 Redaksi Inovasi, Strategi Baru Untuk Problema Klise, Jurnal Inovasi, Edisi 2, Tahun 2003 Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), PT Indeks, Jakarta, 2007 Suparyogo, Imam, Madrasah dan Masalah Jati Diri Pendidikan Islam, Edukasi, Vol. 3, Nomer 1, Januari – Maret 2005 Sudiono. Strategi Sukses Implementasi MBS, Kompas tanggal 27 Juli 2001 (Internet) Ta‟rifin, Ahmad, Reposisi Madrasah di Era Otonomi Pendidikan, Inovasi Kurikulum, Edisi II, Tahun 2003 Tilaar, H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004 ___________, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002 Zuhal,. EE, Kerjasama Di Bidang Pendidikan, Sains dan Teknologi Sebagai Pilar Penyanggah Persahabatan Indonesia – Jepang, makalah yang disampaikan pada FLS yang diselenggarakan oleh Tha Japan Fondation dengan Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakrta, 26 Januari 2005. http://feryaguswijaya.blogspot.com/2010/04/fenomena-madrasah-di-indonesiaanalisis.html, di unduh MINGGU, 21 Oktober 2012 jam : 16.00. http://farhansyaddad.wordpress.com/2009/10/30/manajemen-pendidikan-Islam/, diunduh tanggal 4 Oktober 2012 jam 18.28
193