PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Master Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh : Veronica Dwiastuti 126322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Master Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh : Veronica Dwiastuti 126322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
NALAUIx
PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS
.
SEKOLAE BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAI\i ETIKA ALTDRNATIT YANG DIAJUIGN 0LEH SAITGGAR ANAKALAM (SALAM) YOGYAKARTA
ff.ffi*ff
sffiB -%*Td
Prof. Dr. Asustinus Sunratiknva DosenPembimbing
19 Juti 2016
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YAIYG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAKALAM (SALAM) YOGYAKARTA
Oleh: Veronica Dwiastuti 126322010 Telah dipertahankan di depanDewan Perrguji Tesis Pada tanggal 27 lud.i20l6 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguji
Ketua Sekretaris/moderator
Anggota
Jogyakarta,zT
111
tuli20l6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul: “Sekolah Biasa Saja: Kajian terhadap Praktik Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta” merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Pemakaian dan peminjaman karya dari peneliti lain adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan kaki dan daftar pustaka.
Yogyakarta, 9 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan
Veronica Dwiastuti
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Veronica Dwiastuti Nomor Mahasiswa : 126322010 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 9 Agustus 2016 Yang menyatakan
Veronica Dwiastuti
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karya ini kupersembahkan untuk ibuku tercinta
(RIP, Christina Bonirah)
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Bermula dari banyaknya ketertarikan sekaligus kegelisahan akan dunia pendidikan, perjalanan tesis ini dimulai. Tesis ini kemudian selain menjadi tempat bagi saya untuk melakukan praktik kerja budaya juga sekaligus menjadi tempat bagi saya untuk belajar banyak hal. Dan proses penyusunan tesis ini juga tidaklah serta merta berjalan dengan mulus. Ada banyak tantangan dan cobaan yang datang silih berganti. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya ingin berterimakasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dan mendukung saya selama proses penyusunan tesis ini. Pertama-tama saya ingin menghaturkan terimakasih kepada Pak Pratik selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran dan masukan selama penyusunan tesis ini. Terimakasih banyak Pak Pratik. Dan saya juga ingin menghaturkan terimakasih kepada seluruh dosen IRB yang dengan caranya masing-masing telah berperan besar baik dalam penulisan tesis ini maupun proses belajar saya di IRB. Tak lupa juga terimakasih kepada Mbak Desy selaku sekretariat IRB yang selalu bisa diandalkan dalam segala urusan administrasi, Mbak Dita yang selalu memberikan informasi jadwal bimbingan dan Pak Mul yang selalu bisa diandalkan dalam segala urusan logistik di IRB. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga besar Sanggar Anak Alam (SALAM) yang telah menerima saya dengan tangan terbuka serta telah bersedia menjadi narasumber penelitian tesis ini. Terimakasih kepada Pak Toto, Bu Wahya, para fasilitator, para orangtua murid, dan anak-anak SALAM yang sudah mendukung proses penelitian tesis ini. Terimakasih sekali kepada Mbak Hepi dan Bu Yetti yang tidak hanya bersedia menjadi teman fasilitator tetapi juga teman diskusi selama penyusunan tesis ini. Tak lupa, saya ingin berterimakasih kepada teman-teman IRB utamanya teman-teman IRB angkatan 2012 (Mbak Nurani, Mas Darwis, Mas Totok, Mas Miko, Mbak Lani, Mbak Ajeng, Mas Krisna, Mas Rendra, Pak Willy, Bang
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perdinan, Bang Saman, Septian, Mas Felik, Pak Rudi) yang dengan caranya masing-masing selalu memastikan bahwa (tesis) saya masih dalam keadaan hidup. Terimakasih juga kepada teman-teman IRB lintas angkatan yang juga telah banyak memberikan saran dan masukan untuk tesis ini. Terimakasih untuk Mbak Maria Dovita, Mbak Lucia Dianawuri dan Mas Leo yang sudah mau membagikan banyak pengalamannya kepada saya. Lalu, terimakasih juga untuk Emi dan Mbak Har yang sudah mau menjadi teman curhat saya di kos Sekartaji. Terakhir, saya ingin berterimakasih kepada mereka yang sangat berharga dalam hidup saya, yaitu Ignasius Parjiyo, (RIP) Christina Bonirah, dan Andreas Sugianto. Terimakasih selalu mendukung apapun jalan yang saya pilih walau kadang banyak
yang “aneh” di
mata
mereka. Saya
percaya bahwa
terselesaikannya tesis ini selain hasil dari usaha juga karena kekuatan dari doa-doa mereka. Saya menyadari bahwa dengan terselesaikannya tesis ini tidak berarti bahwa saya telah menyelesaikan kewajiban saya dengan tuntas. Ada banyak hal yang masih bisa ditingkatkan dan dikembangkan dari tesis ini. Namun, saya tetap berharap tesis ini bisa menjadi bahan belajar lengkap dengan segala kekurangannya baik bagi saya pribadi maupun para pembaca sekalian dalam upaya melakukan praktik-praktik kajian budaya selanjutnya.
9 Agustus 2016
Veronica Dwiastuti
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Berangkat dari kebijakan Kemdiknas tahun 2010 tentang pendidikan karakter yang menjadi trend pendidikan etika di sekolah arus utama, penelitian ini mencoba mencari sekaligus mengkaji praktik pendidikan etika yang tidak mengikuti pendekatan pendidikan karakter. Penelitian ini kemudian mengkaji soal praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM), sebuah sekolah yang terletak di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. SALAM mengajukan pendidikan etika berbasis pengalaman sebagai cara mengajarkan etika kepada para anak didiknya. Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah metodologi imajinasi etnografis sebagaimana diperkenalkan oleh Paul Willis. Adapun konsep yang dipakai untuk membantu analisa penelitian ini adalah konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Lewat hasil penelitian dan juga analisa yang telah dilakukan, tesis ini sampai pada kesimpulan bahwa praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM memuat tiga aspek penting sekaligus yaitu kritik, kemungkinan dan juga resiko. SALAM masih membutuhkan kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) baik untuk menjaga komitmen pendidikannya maupun untuk mengembangkan praktik pendidikan etika alternatif yang mereka ajukan. Kata-kata Kunci: pendidikan karakter, etika postmodern, pendidikan kepedulian, kritik, kemungkinan, resiko
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Departing from the policy by the Ministry of Education in 2010 on character education in mainstream schools, this research is trying to search and investigate the practice of ethical teaching that does not follow the main character education guidelines. This research investigates the practice of alternative ethical teaching that is being implemented by Sanggar Anak Alam (SALAM), a school located in Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Special District of Yogyakarta. SALAM introduces its ethical teaching to their pupils based upon direct experiences. The methodology that is used in this study is ethnographic imagination as familiarized by Paul Willis. As for the concept used to analyze the research is the concept of postmodern ethics by Zygmunt Bauman and Nel Noddings’ concept of care education. From the overall process of this study, I come to a conclusion that the practice of alternative ethical teaching as introduced by SALAM contains three aspects, namely: criticism, chances, and also risk. SALAM still needs ability to learn as they go either on their commitment to maintain their educational system or on how to develop their alternative ethical teachings. Key words: character education, postmodern ethics, care education, criticism, chances, risks
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN........................................................................
iv
PERNYATAAN PUBLIKASI.......................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
vi
KATA PENGANTAR....................................................................................
vii
ABSTRAK .....................................................................................................
ix
ABSTRACT ...................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiii
BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
12
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
13
D. Manfaat Penelitian....................................................................
14
E. Kajian Pustaka .........................................................................
16
F. Kerangka Teori ........................................................................
24
G. Metodologi dan Metode Penelitian .........................................
35
H. Sistematika Penulisan ....................................................................
39
BAB II : TREND PENDIDIKAN KARAKTER: MENYOAL KONSEP DAN PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ARUS UTAMA INDONESIA ..........................................................................................
41
A. Pengantar ..................................................................................
41
B. Pendidikan Etika di Beberapa Sekolah Alternatif ...................
43
C. Sekilas Perjalanan Pendidikan Karakter di Indonesia .............
46
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Pola, Konsep, dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia .
52
E. Menyoal Konsep dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia ..............................................................................
63
BAB III: PENDIDIKAN ETIKA BERBASIS PENGALAMAN: PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) ............................
67
A. Pengantar ..................................................................................
67
B. Berkenalan dengan Sanggar Anak Alam (SALAM) ...............
68
C. Pendidikan Arus Utama di Mata Para Pendiri SALAM ..........
89
D. Konsep Pendidikan Etika yang Diajukan oleh SALAM ..........
92
E. Praktik Pendidikan Etika yang Dijalankan oleh SALAM........
95
F. Hasil dari Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh SALAM ............................................................................
117
G. Negosiasi dan Evaluasi yang dilakukan oleh SALAM ............
121
BAB IV : SANGGAR ANAK ALAM (SALAM); SEKOLAH BIASA SAJA DI TENGAH PUSARAN PENDIDIKAN ARUS UTAMA .. ..... 131 A. Pengantar ..................................................................................
131
B. Potensi Pendidikan Berbasis Pengalaman sebagai Ruang Perjumpaan dengan Liyan ........................................................
132
C. Potensi yang tak Terolah Secara Optimal: Menyoal Komponen Pendidikan Etika Alternatif SALAM ....................................... 141 D. Menyoal Tarik Ulur yang Dihadapi SALAM: Resiko yang Mengiringi Pilihan untuk Menyelenggarakan Pendidikan Alternatif................................................................................... 148 BAB V: PENUTUP .......................................................................................
153
A. Kesimpulan...............................................................................
153
B. Refleksi Tesis ...........................................................................
157
C. Saran-saran ...............................................................................
158
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
161
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 3.1
: Susunan Keanggotaan SALAM .............................................
76
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1
: Media pendidikan karakter di SDN 4 Birugo ........................
61
Gambar 2.2
: Warung kejujuran sebagai salah satu media pendidikan karakter ...............................................................
62
Gambar 3.1
: Sosok Bu Wahya, pendiri SALAM........................................
71
Gambar 3.2
: Sosok Pak Toto, pendiri SALAM ..........................................
71
Gambar 3.3
: Bangunan sekolah SALAM ...................................................
83
Gambar 3.4
: Daur Belajar SALAM ............................................................
98
Gambar 3.5
: Garis Besar Proses Belajar Mengajar di SALAM .................
100
Gambar 3.6
: Target dasar belajar kelas lima semester 1 tahun ajaran 2014/2015...............................................................................
102
Gambar 3.7
: Riset ke museum Sonobodoyo oleh anak-anak kelas lima ....
104
Gambar 3.8
: Pasar Legi yang Diselenggarakan oleh SALAM ...................
111
Gambar 3.9
: Pasar Sehat dan Kreatif yang diselenggarakan oleh SALAM
112
Gambar 3.10 : Anak-anak SALAM mengantri untuk cuci tangan.................
114
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1
: Nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa ........................................................................
xiii
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan sangat akrab dengan kehidupan kita. Ia tidak hanya menjadi diskusi serius di dalam ruangan, di tengah kalangan para pembuat kebijakan, praktisi dan pemerhati pendidikan tetapi bisa juga berupa obrolan yang nampaknya sangat santai di pasar dan warung, tempat para orangtua saling menceritakan pendidikan anak-anaknya sembari berbelanja. Kita masing-masing pun pasti bisa bercerita dan memberi tanggapan tentang dunia pendidikan berangkat dari pengalaman proses pendidikan yang sudah kita jalani. Hampir semua orang pasti setuju bahwa pendidikan merupakan sebuah aspek yang sangat penting dalam rangka menyiapkan manusia dan generasi penerus masa depan. Letak penting pendidikan itu yang perlu kita lihat lebih jauh. Arti penting pendidikan berkaitan dengan pertanyaan utama “manusia dan generasi masa depan seperti apa yang ingin dibentuk oleh sebuah sistem pendidikan?” Dengan demikian yang dinamakan kualitas atau mutu pendidikan merupakan sebuah hasil konstruksi sosial. Definisi anak-anak beserta kehidupannya merupakan hasil konstruksi dari kita para orang dewasa menurut pemahaman kita tentang mereka yang juga tidak lepas dari konstruksi sosial. Seringkali kita mengatakan bahwa kita bicara dari sudut pandang anak-anak. Dalam pendidikan juga ada ungkapan “pendidikan berpusat pada anak”. Ungkapan tersebut terkesan sangat mulia, namun apabila kita lihat lebih lanjut, ungkapan-ungkapan tersebut sangat abstrak dan
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
problematis. Definisi dan kriteria “anak pintar” dan “anak baik” juga merupakan hasil dari konstruksi sosial. Orang dewasalah yang mengkonstruk pengetahuan, etika dan keterampilan yang harus dimiliki oleh anak-anak. Konstruksi seputar manusia dan generasi masa depan seperti apa yang ingin dibentuk lewat pendidikan mungkin saja berbeda, sehingga kita bisa menjumpai adanya kritik terhadap kualitas pendidikan yang ditentukan oleh pemerintah dan yang diupayakan oleh instansi pendidikan arus utama. Pemerintah mengatur dan menentukan penyelenggaran Pendidikan Nasional melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan diantaranya adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan penetapan kurikulum. Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 dijelaskan tentang fungsi dan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan nasional. Fungsi pendidikan nasional adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Adapun tujuan dari pendidikan nasional adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari penjelasan fungsi dan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas tersebut dapat kita lihat bahwa pemerintah pun berpandangan bahwa sekolah mempunyai banyak tanggung jawab yang harus diperhatikan, tidak hanya aspek kognitif semata tetapi juga berkaitan dengan pembentukan kepribadian dan keterampilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Berkaitan
dengan
pembentukan
kepribadian,
pada
tahun
2010,
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan karakter. Kebijakan tersebut konon beranjak dari keprihatinan akan berbagai persoalan bangsa Indonesia diantaranya: belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ancaman disintegrasi bangsa serta masih banyak persoalan lainnya. Beranjak dari keprihatinan tersebut, Kemdiknas kemudian mencanangkan penerapan pendekatan pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan. Pendidikan karakter ini digadang-gadang sebagai jalan mewujudkan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.1 Pendidikan karakter kemudian menjadi konsep sekaligus praktik pendidikan etika arus utama di sekolah-sekolah kita saat ini. Semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi diminta untuk menerapkan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kemdiknas tersebut. Pendidikan karakter menjadi trend baru di dunia pendidikan Indonesia. Berkaitan dengan munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia, belum ada kajian kritis terhadap trend tersebut. Banyak ulasan baik yang berupa artikel maupun buku dan seminar-seminar yang diadakan lebih mengarah pada pemberian dukungan atau sosialisasi kebijakan baru tersebut. Padahal banyak hal yang perlu dikaji lebih jauh mengenai kemunculan kebijakan tersebut. Ide soal
1
Badan Penelitian dan Pengembangan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm. 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
pendekatan pendidikan karakter tidak muncul dengan sendirinya di kalangan pembuat kebijakan kita. Trend pendidikan karakter yang terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari munculnya kembali gerakan pendidikan karakter (character education movement) di Amerika Serikat (AS) sejak tahun 1990an. Di AS sendiri, pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan pendidikan karakter telah menjadi perdebatan hangat di kalangan para praktisi maupun peneliti dan pengamat pendidikan khususnya pendidikan moral. Perdebatan itu tidak hanya soal konsep dan praktik dari pendekatan pendidikan karakter tetapi juga mengkaji lebih jauh seputar kepentingan politik di balik munculnya kembali gerakan pendidikan karakter. Berbeda dengan negara asalnya, trend pendidikan karakter di Indonesia tidak diimbangi dengan perdebatan hangat seputar pendekatan tersebut. Ide dasar pelaksanaan pendidikan karakter sebenarnya baik. Kita pun pasti setuju bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab untuk pengenalan ilmu pengetahuan semata tetapi juga pendidikan etika para peserta didiknya. Namun terlebih dahulu saya ingin menjelaskan penggunaan istilah pendidikan karakter dan pendidikan etika yang saya pakai secara bergantian dalam tesis ini. Pendidikan karakter dalam tesis ini lebih merujuk pada konsep dan praktik yang dijalankan di sekolah arus utama menurut kebijakan Kemdiknas sedangkan istilah pendidikan etika kemudian sengaja saya pilih untuk bisa lebih banyak membicarakan persoalan moralitas termasuk pendidikan karakter dari Kemdiknas itu sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Melanjutkan
persoalan
tanggung
jawab
sekolah
untuk
memberi
pendidikan etika dan pembentukan kepribadian, kita pun perlu mengkritisi hal tersebut lebih lanjut. Etika macam apa yang ingin kita tanamkan dan bagaimana etika itu disampaikan kepada anak-anak? Kedua pertanyaan dasar itulah yang menjadi bahan untuk terus mencari orientasi yang tepat bagi pendidikan etika. Berkaitan dengan pencarian orientasi dan kualitas pendidikan etika, apakah pendidikan karakter yang dicetuskan oleh pemerintah dan menjadi trend di dunia pendidikan sudah berangkat dari realitas sosial bangsa Indonesia saat ini? Aspek waktu dan tempat menjadi dua bahan pertimbangan penting dalam menyusun sistem pendidikan karena keduanya menentukan apakah sistem pendidikan tersebut relevan atau tidak. Dengan demikian pertanyaan di atas memang merupakan sebuah pertanyaan yang sulit. Sebuah tantangan yang tidak mudah untuk mencari orientasi pendidikan etika di tengah zaman yang terus beranjak serta di tengah-tengah perkembangan situasi lokal, nasional dan terlebih pengaruh pasar global dewasa ini. Kita berada pada masa di mana neoliberalisme telah mempengaruhi segala aspek kehidupan kita. Hubungan sosial masyarakat pun turut dikomodifikasikan dan disamaratakan. Neoliberalisme telah menimbulkan hubungan-hubungan subordinatif baru. Neoliberalisme memanfaatkan kebutuhan manusia sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan dan membuat konsumsi sebagai satu-satunya model relasi sosial serta melingkupi seluruh kehidupan sosial. Teknologi telah berkembang sedemikian rupa dan turut menjadi alat bagi neoliberalisme dalam membuat hubungan subordinat dalam masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Teknologi yang seharusnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia, justu sekarang kita dibuat untuk terus-menerus merasa butuh berbagai teknologi tersebut. Teknologi yang seharusnya semakin membuat manusia bertanggung jawab justru seringkali dimanfaatkan secara brutal untuk menindas manusia yang lain. Zygmunt Bauman banyak memberikan contoh bagaimana pada masa modern saat ini teknologi justru dimanfaatkan untuk menindas manusia yang lain. Misalnya, penggunaan teknologi dalam situasi perang yang bisa membuat orang terbunuh dalam waktu yang relatif cepat dan jarak yang relatif jauh di mana pembunuhnya tidak perlu melihat para korbannya. Orang kemudian bisa saja terbunuh tanpa adanya kesempatan untuk mempertahankan diri.2 Masih banyak contoh lain tentang bagaimana kemajuan teknologi saat ini justru mengarahkan orang pada militerisme, konsumerisme dan juga privatisasi. Dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh kekuasaan konsumerisme, neoliberalisme dan juga militerisme kemudian menjadi lebih sulit untuk mengambil posisi tanggung jawab moral, sosial dan politis. Kita juga menjadi sulit membayangkan tentang masa depan di mana kita merespon penderitaan Liyan sebagai elemen pusat dari kehidupan demokrasi. Berhadapan dengan situasi jaman sekarang yang seperti itu, pendidikan kemudian mengemban tanggung jawab penting yakni membentuk masyarakat etis yang peduli akan Liyan. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah konsep dan praktik yang diajukan oleh pendekatan pendidikan karakter bisa mengantar anak untuk bisa mengambil posisi tanggung jawab terhadap Liyan? Seperti yang sudah
2
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, Oxford, Blackwell, 1993, hlm. 227.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
saya singgung bahwa di AS sendiri, konsep dan praktik pendidikan karakter sudah mendapat kritik dari berbagai kalangan. David E. Purpel menyebut gerakan pendidikan karakter lebih bersifat sebagai sebuah gerakan ideologis dan politik daripada sebuah perdebatan tentang materi-materi moral.3 Penentuan standar melalui adanya nilai-nilai utama membuat para guru lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai itu. Tianlong Yu menyatakan bahwa kebanyakan guru pendidikan karakter lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai universal yang telah dipilih dan cenderung menghindari isu-isu perubahan politik yang terjadi.4 Dan Nel Noddings melihat metode yang digunakan oleh pendekatan karakter seperti memasang spanduk-spanduk berisikan nilai yang sedang ingin diajarkan atau pemberian kata-kata motivasi (motto) kepada para murid tidak efektif dalam mengajarkan moral kepada para muridnya.5 Nel Noddings sendiri merupakan tokoh pendidikan kepedulian (care education) yang selain mengkritik pendidikan karakter, ia juga mengajukan pendidikan kepedulian sebagai alternatif dalam pendidikan moral. Pendekatan pendidikan kepedulian sebenarnya setuju dengan tujuan pendekatan pendidikan karakter yang ingin menciptakan orang-orang atau masyarakat yang baik. Namun, cara yang dipakai dalam merealisasikan tujuan tersebut yang berbeda. Pendekatan
3
4
5
David E. Purpel, “The Politics of Character Education” dalam Counterpoints, Vol. 102, Tahun 1999, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42975410 pada hari Kamis, 25 Juni 2015, hlm. 83. Tianlong Yu, In the Name of Morality: Character Education and Political Control, New York, Peter Lang, 2004, hlm. 2. Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, New York, Teachers College Press, 2002, hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
pendidikan kepedulian lebih menekankan pada proses pembentukan relasi yang bisa menjadi lahan bagi tumbuh kembangnya etika anak. Demikianlah kita sudah melihat peta besar mengenai persoalan pendidikan etika. Di satu sisi, neoliberalisme membuat kita butuh sebuah etika baru, yaitu etika yang berdasar pada tanggung jawab terhadap Liyan yang partikular. Tetapi di sisi lain, pendidikan etika arus utama melalui pendekatan pendidikan karakter belum mampu memenuhi kebutuhan kita tersebut. Jika di AS, ada pendidikan kepedulian yang diajukan sebagai alternatif bagi pendidikan karakter, di Indonesia pendidikan karakter justru sedang menjadi trend di semua jenjang pendidikan arus utama. Pencarian alternatif bagi trend pendidikan karakter di Indonesia kemudian membawa saya pada institusi pendidikan yang mengusung bendera pendidikan alternatif. Berhadapan dengan pendidikan arus utama, di Indonesia sudah cukup banyak contoh pendidikan alternatif yang berdiri dan dikenal oleh masyarakat luas. Namun istilah “alternatif” ini juga perlu dikaji lebih dalam, yaitu alternatif dari realitas pendidikan yang mana. Saat ini ada cukup banyak institusi yang mengusung pendidikan alternatif dengan kegelisahan, tujuan maupun ideologi yang beragam. Pendidikan alternatif kemudian tidak hanya dalam pemaknaan akan sebuah pendidikan yang diajukan sebagai hegemoni tandingan terhadap wacana dan praktik pendidikan arus utama tetapi ada juga justru menggunakan istilah pendidikan alternatif sebagai barang jualan. Sanggar Anak Alam (SALAM) kemudian menjadi pendidikan alternatif yang saya pilih untuk penelitian saya. SALAM terletak di Desa Nitiprayan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Kasihan, Bantul, Yogyakarta. SALAM merupakan salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan dengan konsep dan strategi yang berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Proses pendirian SALAM tidak lepas dari sosok Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo yang merupakan rekan dari Y.B Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun. Nama Romo Mangun tentu sudah tidak asing dalam
dunia
pendidikan
Indonesia.
Persoalan
kemiskinan,
kekerasan,
ketidakberdayaan, ketidakadilan dan penyeragaman oleh pemerintahan Suharto menjadi perhatian Romo Mangun. Ia dan rekan-rekannya mengupayakan pendidikan yang memerdekakan dengan mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan Sekolah Dasar (SD) Eksperimental Mangunan . Toto Rahardjo sendiri merupakan sahabat dari Mansour Fakih dan Roem Topatimasang dimana mereka bertiga telah menyunting sebuah buku yang berjudul “Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis”. Dalam buku tersebut, terlihat jejak pemikiran Paulo Freire yaitu seorang tokoh pemikiran pendidikan kritis dari Brazil yang mencetuskan tentang pendidikan yang membebaskan. Ketika saya mengikuti workshop SALAM yang dipandu oleh Toto Rahardjo memang nampak bahwa ia menggeluti pemikiran Paulo Freire. Bagi pendidikan kritis, pemikiran serta aksi nyata Romo Mangun dan Paulo Freire merupakan contoh-contoh panutan yang ingin untuk dijalankan. Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo sudah bersentuhan dengan pendidikan yang dulu diupayakan oleh Rama Mangun dan juga sudah berkenalan dengan konsep pendidikan Paulo Freire. Lalu hal yang menarik perhatian saya yaitu bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
ketika konsep-konsep pendidikan kritis itu kemudian coba direalisasikan dalam bentuk SALAM. Bagaimana mereka menerjemahkan konsep-konsep pendidikan pendidikan kritis dan menerapkan dalam proses pembelajaran di SALAM. Berbagai ketertarikan dan pertanyaan yang muncul ketika saya bersentuhan dangan SALAM inilah yang membawa saya memilih SALAM sebagai objek material penelitian saya dengan berfokus pada pendidikan etika. Secara tampak mata, SALAM berbeda dengan sekolah pada umumnya. Dari penampakan luar, anak-anak yang belajar di SALAM tidak mengenakan seragam seperti anak-anak yang belajar di sekolah formal pada umumnya. Mereka bebas untuk memakai baju apa saja. Bangunan sekolah mereka berada di tengahtengah sawah dan ada yang terbuat dari bambu. Dari sisi proses pembelajarannya, terutama pendidikan etika, SALAM tidak menggunakan mata pelajaran seperti Pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) seperti di sekolah pada umumnya. Tentu kita kemudian menjadi bertanya, lalu bagaimana cara mereka membentuk kepribadian anakanaknya? Para pengurus SALAM ingin menumbuhkan tanggung jawab anakanaknya baik kepada dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitarnya. SALAM merangkum tujuannya itu dalam semboyan “jaga diri, jaga teman dan jaga lingkungan”. Cara yang dipakai oleh SALAM untuk memperkenalkan ketiga bentuk tanggung jawab itu ialah melalui pendidikan etika berbasis pengalaman. Berangkat dari kegelisahan para pengurus SALAM akan realitas pembelajaran etika di sekolah arus utama yang lebih mengarah pada pemberian ajaran,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
wejangan dan nasehat yang jauh dari bayangan anak-anak, SALAM kemudian menyusun keseluruhan dinamika pendidikannya untuk menjadi sarana anak-anak melihat realitas sekelilingnya dan kemudian belajar mengambil posisi tanggung jawab di tengah realitas tersebut. Keseluruhan dinamika SALAM mulai dari kegiatan belajar mengajar, kesepakatan kelas, pasar tradisional, bank sampah dan berbagai kegiatan lainnya diarahkan sebagai praktik pendidikan etika anak-anak muridnya. Pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM inilah yang akan saya kaji melalui penelitian saya. Saya menyusun judul untuk penulisan tesis saya ini adalah “Sekolah Biasa Saja: Kajian terhadap Praktik Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta”. Judul ini terinspirasi dari judul buku yang ditulis oleh Toto Rahardjo, yaitu “Sekolah Biasa Saja (Catatan Pengalaman Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di Sanggar Anak Alam)”. Kalimat “Sekolah Biasa Saja” menarik keingintahuan saya akan apa sebenarnya yang ingin mereka sampaikan berkaitan dengan keberadaan SALAM. Kalimat tersebut bagi saya bisa mengarahkan pada dua kemungkinan. Pertama, kalimat “Sekolah Biasa Saja” bernada rendah hati atau negasi dimana makna yang sebenarnya ingin diungkapkan yaitu bahwa SALAM bukan sekolah biasa seperti sekolah lain pada umumnya. Kalimat tersebut bisa dimaknai bahwa SALAM adalah sekolah yang bagus sebagai alternatif dari kecenderungan pendidikan arus utama. Kemungkinan yang kedua dari kalimat tersebut bahwa pada kenyataannya SALAM memang hanya sekolah biasa saja sama seperti dengan sekolah lain termasuk pendidikan arus utama yang ia lawan. Dua kemungkinan tersebut akan saya simpulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
melalui hasil penelitian saya, kemungkinan mana yang tepat berkaitan dengan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian saya berangkat dari pertanyaan utama yaitu “Praktik pendidikan etika alternatif seperti apa yang diajukan oleh Sangar Anak Alam (SALAM) dalam kaitannya dengan realitas pendidikan etika di jaman sekarang?” Pertanyaan utama tersebut, saya uraikan menjadi tiga rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana munculnya SALAM dalam kaitannya dengan realitas praktik pendidikan etika di jaman sekarang? Permasalahan pertama ini untuk mengkaji momen lahirnya konsep dan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Pendidikan etika menjadi salah satu bagian dari keprihatinan yang mereka rasakan ketika berhadapan dengan realitas pendidikan Indonesia saat ini. Oleh sebab itu, pertama-tama saya ingin tahu bagaimana para pendiri SALAM memandang realitas pendidikan etika di jaman sekarang.
2.
Praktik pendidikan etika alternatif seperti apa yang kemudian diajukan oleh SALAM? Pada permasalahan kedua ini, saya ingin memahami konsep dan praktik pendidikan etika yang dijalankan oleh SALAM. Saya ingin mengkaji tentang etika seperti apa yang ingin diperkenalkan oleh SALAM dan bagaimana etika itu diperkenalkan kepada para peserta didiknya. Permasalahan ini berkaitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
dengan persoalan etika yang lebih sering diterjemahkan menjadi pendidikan sopan-santun, taat pada perintah, larangan dan aturan tanpa melangkah lebih jauh pada tanggung jawab sosial. Oleh sebab itu, pertanyaan selanjutnya yaitu, apakah konsep dan praktik pendidikan etika yang diajukan SALAM memberi ruang pada anak-anak yang masih kecil usia Sekolah Dasar untuk bisa mulai belajar mengaitkan etika sampai pada kesadaran dan tanggung jawab sosial. 3.
Bagaimana SALAM melakukan negosiasi dengan realitas pendidikan etika arus utama dan juga evaluasi terhadap pendidikan etika alternatif yang diajukannya? Pendidikan kritis berkaitan dengan aspek waktu dan juga tempat. Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan yang harus direspon oleh pendidikan pun turut berubah. Oleh sebab itu, permasalahan ketiga ini bertujuan untuk mengkaji negosiasi dan evaluasi yang dilakukan SALAM. Bagaimana SALAM menjaga integritas dan komitmennya akan pendidikan etika alternatif yang diajukan. Kemudian bagaimana SALAM melakukan evaluasi terhadap kesinambungan konsep dan praktik pendidikan yang dijalankan. Permasalahan-permasalahan ini dapat digunakan untuk membaca masa depan pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian saya, antara lain:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
1. Menganalisis kemunculan pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. 2. Menganalisis pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kesadaran aktif dan politis yang dihasilkan dari pendidikan etika yang diterapkan oleh SALAM. 3. Menganalisis negosiasi dan evaluasi yang dilakukan oleh SALAM. Penelitian ini bertujuan untuk menangkap sisi kreatif SALAM dalam menghadapi wacana dan praktik pendidikan etika arus utama serta membaca masa depan pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM.
D. Manfaat Penelitian Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini dimaksudkan untuk mengajukan sebuah alternatif dalam penelitian-penelitian yang mengangkat tema tentang pendidikan, terutama tentang pendidikan etika. Seiring munculnya kebijakan pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Kemdiknas, banyak tulisan yang mengangkat seputar pendidikan karakter tersebut. Ada banyak sekali tulisan tentang bagaimana seharusnya pendidikan karakter diselenggarakan. Topik yang disampaikan pada umumnya adalah soal karakter apa saja yang harus diajarkan dan kemudian desain pelaksanaannya. Penelitian seputar praktik pendidikan etika selain belum terlalu banyak, juga terkesan kurang mendalam karena berpaku pada pendidikan karakter sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Ada pula tulisan dan penelitian lain yang mengulas soal pendidikan moral tapi kebanyakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
berkaitan dengan moral agama. Oleh sebab itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengajukan sebuah alternatif dalam penelitian-penelitian seputar pendidikan etika. Bagi saya pribadi, penelitian ini berangkat dari kegelisahan saya sebagai warga dari pendidikan arus utama. Ada banyak kegelisahan yang saya jumpai, baik ketika saya menjadi peserta didik dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi dan juga ketika saya menjadi pengajar walau hanya dalam waktu yang relatif singkat. Saya tidak tahu sebenarnya kegelisahan apa yang rasakan kala itu. Saya pernah berada di titik di mana saya histeris dan juga sinis. Tetapi saya kemudian berkenalan teori-teori kajian budaya yang ternyata juga dipakai oleh para tokoh pendidikan kritis. Pemikiran-pemikiran pendidikan kritis telah menunjukkan kritiknya terhadap pendidikan arus utama. Saya kemudian bisa melihat siapa sumber dari kegelisahan-kegelisahan yang selama ini saya rasakan. Namun, tidak berhenti pada kritik semata, pendidikan kritis juga memberi bahasa kemungkinan, bahwa masih ada yang bisa kita lakukan di tengah pusaran pendidikan arus utama. Oleh sebab itu, penelitian ini bagi saya merupakan sebuah pendalaman sekaligus sebagai praktik kerja budaya (the act of doing) tentang pendidikan kritis dengan berfokus pada persoalan etika. Bagaimana pendidikan bisa mendewasakan kepribadian manusia dan menjadikan Liyan sebagai sumber tanggung jawab moralnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
E. Kajian Pustaka Beberapa tulisan yang terkait dengan tema tesis ini saya pilah dalam beberapa sub pokok bahasan, yaitu: 1. Pendidikan etika Tulisan mengenai evaluasi atau tinjauan kritis terhadap pendidikan etika sangat sulit saya temukan. Kebanyakan tulisan lebih mengarah pada handbook tentang bagaimana pendidikan etika itu seharusnya dilaksanakan. Memang ada yang membuat evaluasi tentang belum efektifnya pendidikan etika melalui berbagai mata pelajaran seperti Budi Pekerti, Pendidikan Agama dan PKn namun evaluasi tersebut hanya diuraikan secara sekilas dan itu pun dalam rangka menawarkan pendidikan karakter sebagai jawaban akan masalah tersebut. Satu artikel yang ditulis cukup jauh sebelum munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia dan memotret pengaruh keseluruhan sistem pendidikan dalam menciptakan karakter siswa adalah artikel Paul Suparno yang dimuat dalam majalah BASIS No. 05-06, tahun 2000. Dalam artikelnya yang berjudul “Apakah Pendidikan Menghasilkan Ketulusan?”, Paul Suparno berangkat dari pertanyaan besar, apakah praktik pendidikan sampai sekarang ini membantu siswa menjadi pribadi yang tulus dan jujur, atau sebaliknya?.6 Paul Suparno melihat keseluruhan sistem pendidikan Indonesia dan praktiknya di lapangan justru membuat para muridnya menjadi penurut, tidak jujur dan juga tidak tulus. Kepentingan penguasa membuat sekolah berfungsi 6
Paul Suparno, “Apakah Pendidikan Menghasilkan Ketulusan?” dalam BASIS, Nomor 05-06, Tahun ke-49, Mei-Juni 2000, hlm. 58-59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Model indoktrinasi yang sering dipakai kemudian menciptakan manusia pembebek. Selain itu, pendidikan di sekolah juga lebih mengarah pada penyeragaman dan nonmultinilai dengan alasan demi kebersamaan. Bahan pelajaran, metode pembelajaran dan teladan yang diberikan guru pun justru banyak yang membuat para murid belajar untuk tidak jujur dan tidak tulus.7 Paul Suparno juga mengkritisi pelajaran agama di sekolah. Pelajaran agama yang dilakukan di sekolah negeri dengan memisahkan murid menurut agama mereka masing-masing, di satu pihak memang ada baiknya yaitu mereka bisa mendapatkan pendalaman pengetahuan agama mereka, namun di lain pihak, mereka tidak saling mengerti ajaran dan nilai baik dari agama teman-temannya yang lain. Akibatnya, mereka sulit untuk menghormati agama teman yang lain. Pendidikan yang dikelola institusi agama pun memiliki persoalan tersendiri dengan berbagai kemungkinan negatif dari adanya penekanan terhadap nilai baik agama masing-masing.8 Dari ulasan Paul Suparno tersebut, kita sudah mendapatkan beberapa tinjuan mengenai realita praktik pendidikan etika arus utama di Indonesia. Di tengah realita konsep dan praktik pendidikan etika arus utama yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, Gunilla Dahlberg dkk mengajak kita untuk mencari sebuah etika alternatif. Buku “Beyond Quality in Early Childhood Education and Care: Language of Evaluation” (karya Gunilla Dahlberg, Peter Moss dan Alan Pence) dan buku “Ethics and Politics in Early Childhood 7 8
Ibid, hlm. 60-61. Ibid, hlm. 61-62.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Education” (karya Gunilla Dahlberg dan Peter Moss) sama-sama ingin menawarkan etika alternatif dalam pendidikan kanak-kanak di tengah-tengah pengaruh neoliberalisme, negara maupun kelompok dominan lainnya. Pada buku “Beyond Quality in Early Childhood Education and Care: Languages of Evaluation”, Gunilla Dahlberg dkk mengangkat etika postmodern menurut Zygmunt Bauman dan pada buku “Ethics and Politics in Early Childhood Education”, Gunilla Dahlberg dan Peter Moss kembali mengangkat etika postmodern Bauman disertai dengan pandangan etika kepedulian dari para feminis dan etika sebagai sebuah perjumpaan dari Emmanuel Levinas. Baik menurut Levinas, Bauman maupun para tokoh etika kepedulian, etika merupakan sebuah bentuk tanggung jawab terhadap Liyan (responsibility for the Other). Dalam usaha berdialog dengan Liyan, sebenarnya kita sedang mendengarkan mereka dari posisi dan pengalaman mereka. Dengan demikian, pendidikan perlu untuk memperkenalkan berbagai bentuk relasi kepada anak-anak, baik relasi antara anak-anak sendiri maupun relasi dan guru, orang tua, orang dewasa lain dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam masyarakat. Hal ini berarti pertanyaan seputar apakah “baik” atau “buruk” praktik pedagogi dalam sebuah institusi pendidikan hanya dapat dijawab dalam sebuah konteks komunikasi, perjumpaan dan dialog dengan Liyan.9
9
Gunilla Dahlberg. dkk., Beyond Quality in Early Childhood Educatin and Care: Languages of Evaluation, London dan New York, Routledge, 2007, hlm. 42.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2.
Pendidikan alternatif Bicara soal SALAM tidak bisa dilepaskan dari realita pendidikan
alternatif di Indonesia. Anita Lie berpendapat bahwa munculnya pendidikanpendidikan alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat
merupakan
kemajuan
yang
menggembirakan.
Hal
ini
memperlihatkan sudah ada kesadaran dan keinginan untuk berperan serta dalam mengupayakan pendidikan yang tidak bisa diakomodasi secara optimal oleh pendidikan formal. Namun peran serta masyarakat ini masih bersifat sporadis dan belum cukup memadai dibandingkan banyaknya permasalahan di seputar dunia pendidikan. Pendidikan-pendidikan alternatif masih harus diuji komitmennya oleh waktu.10 Pendidikan alternatif juga memiliki banyak tantangan yang cukup berat. Permasalahan dana merupakan permasalahan pelik bagi organisasiorganisasi yang menangani pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Berkaitan dengan masalah pendanaan, ada kesulitan untuk menggalang dana dari masyarakat. Selain karena masih kurangnya kepedulian, masyarakat sendiri juga berada dalam situasi tidak berdaya. Maka, sumber dana biasanya berasal dari pemerintah dan luar negeri dengan jumlah bantuan yang menggiurkan namun juga meminta imbalan yang sepadan. Integritas dan komitmen
penyelenggara
pendidikan
alternatif
dipertaruhkan
ketika
berhadapan dengan penyumbang dana.11
10
11
Anita Lie, “Pendidikan Kritis dan Transformasi Masyarakat Kewargaan”, dalam I. Praptomo Baryadi. et.al (Ed.), Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2008, hlm. 7-8. Ibid, hlm. 15-16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Tantangan lain dalam menjalankan pendidikan alternatif adalah ketidaksinambungan antara teori dan praktiknya. Ada kecenderungan untuk berkutat pada teori pendidikan yang ingin diterapkan namun kesulitan untuk merealisasikannya dalam praktik nyata untuk membawa perubahan bagi masyarakat. Pendidikan alternatif yang tidak berangkat dari kerangka teoritis yang jelas dan mengalami ketidaksinambungan antara teori dan praktik hanya akan membuatnya menjadi gerakan-gerakan sosial yang sangat mudah terjerembab atau mudah kehilangan arah dan fokus.12 Dari tulisan Anita Lie ini, kita sedikit mendapat gambaran tentang adanya tantangan-tantangan yang bisa kita jumpai ketika berhadapan dengan pendidikan alternatif. 3.
Sanggar Anak Alam (SALAM) Berkaitan dengan pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM,
sudah ada beberapa skripsi hasil penelitian terhadap pendidikan SALAM. Muhammad Ikhsan Ghofur, mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti tentang materi, metode dan partisipasi orang tua dalam proses pembelajaran di SALAM. Dalam skripsinya yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Berbasis Mayarakat di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam Nitiprayan Bantul (Studi Materi, Strategi/Metode dan Partisipasi Orang Tua dalam Proses Pembelajaran)”, Muhammad Ikhsan Ghofur mengambil kesimpulan bahwa materi yang diajarkan di SALAM berkaitan dengan berbagai bentuk hubungan atau relasi baik hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan diri
12
Ibid, hlm. 17.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
sendiri, hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan dengan makluk lain dan lingkungan. Strategi yang digunakan di SALAM adalah strategi pembelajaran interaktif dan berdasar pada pengalaman. Orang tua murid SALAM berpartisipasi aktif dalam dinamika pembelajaran SALAM, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan muapun evaluasi. Ani Musfiroh yang juga merupakan mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti tentang konsep dan implementasi pendidikan di SALAM. Dalam skripsinya yang berjudul “Konsep dan Implementasi Sekolah Kehidupan di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan Kasihan Bantul Yogyakarta dalam Perspektif
Islam”,
menggunakan
Ani
konsep
Musfiroh
sekolah
menyimpulkan
kehidupan
yang
bahwa
belajar
SALAM
berdasarkan
pengalaman. Metode pembelajaran yang dipakai menyesuaikan tema yang telah disepakati. Mia Hera Puspita, mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta meneliti soal tingkat kepercayaan diri anak-anak SALAM. Dalam Skripsinya yang berjudul “Studi Deskriptif:
Tingkat Kepercayaan Diri
Siswa-Siswi SD Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Mia Hera Puspita menyimpulkan bahwa secara umum tingkat kepercayaan diri anak-anak SALAM termasuk tinggi. Mia melihat bahwa diskusi yang dilakukan antara fasilitator dan anak-anak membuat anak menjadi berpikir positif dalam melihat peristiwa. Anak-anak bukan berpikir salah benar, tetapi memandang suatu peristiwa dari sisi positif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Berbeda
dengan
penelitian-penelitian
yang
sudah
dilakukan
sebelumnya, penelitian yang saya lakukan tidak hanya berkutat pada masalah kepercayaan
diri
anak-anak
SALAM,
implementasi
pendekatan
pembelajaran, metode dan media pembelajaran ataupun menganalisis pendidikan SALAM dalam perspektif agama tertentu. Saya akan mengkaji pendidikan etika alternatif SALAM dengan berpedoman pada konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Namun, dari hasil penelitian-penelitian terdahulu tentang SALAM yang telah saya tuliskan di atas, kita bisa mendapat beberapa gambaran awal tentang proses pendidikan di SALAM. SALAM menggunakan pengalaman sebagai basis dari proses pembelajarannya. 4.
Pendidikan berbasis pengalaman Berkaitan dengan proses pendidikan yang berbasis pada pengalaman,
Stefanus Soejanto Sandjaja menulis sebuah artikel yang berjudul “Pendidikan Karakter
yang Berbasis Eksperiensial”.
Dalam
artikel
tersebut, ia
menguraikan tentang pendidikan karakter yang menghadirkan pengalaman langsung kepada para murid dan seberapa efektifnya strategi tersebut. Ia mengawali tulisannya dengan berbagai kritik yang ditujukan terhadap pelaksanaan pendidikan karakter melalui berbagai pelajaran di Indonesia. Dari hasil penelitian yang ia peroleh, ia menemukan bahwa metode ceramah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
masih sering digunakan secara berlebihan serta model duduk, dengar, catat dan hapal masih mendominasi pendidikan karakter di Indonesia.13 Stefanus Soejanto Sandjaja juga sedikit menyinggung gagasan Romo Mangun bahwa pendidikan karakter yang efektif adalah dimulai dari pengalaman anak sehari-hari dan dalam suasana dialogis. Lebih lanjut, Stefanus Soejanto Sandjaja menguraikan tentang pembelajaran eksperiensial. Yang dimaksud tentang pembelajaran eksperiensial adalah pemberian pengalaman langsung kepada murid-murid atau menghadirkan kehidupan sehari-hari murid dalam bentuk aktivitas. Ia mengutip pendapat Ortigas mengenai lima tahap penting dari pembelajaran eksperiensial, yaitu: tahap pencair suasana, memberikan pengalaman, refleksi, kesimpulan dan aplikasi.14 Namun penjelasan Stefanus Soejanto Sandjaja tentang kelima tahap tersebut lebih mengarah pada serangkaian metode belajar yang menyenangkan para murid. Efektivitas pembelajaran untuk pendidikan karakter pun dilihat dari peningkatan daya serap para murid, antusias para murid dalam mengerjakan tugas dan suasana pembelajaran moral yang menyenangkan dari penerapan pembelajaran eksperiensial. Pengukuran efektivitas atau baiknya pembelajaran karakter tidak cukup berhenti dengan kriteria-kriteria tersebut tetapi perlu sampai pada memperkenalkan anak-anak akan tanggung jawab terhadap Liyan di sekelilingnya.
13
14
Stefanus Soejanto Sandjaja, “Pendidikan Karakter Berbasis Pembelajaran Eksperiensial” dalam Metamorfosis, Vol. 5, diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=199799&val=6579&title=Pendidikan%20 Karakter%20Berbasis%20Pembelajaran%20Eksperiensial pada hari Kamis, 25 juni 2015, hlm. 21. Ibid, hlm. 22-24.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
F. Kerangka Teori Untuk menjawab persoalan-persoalan yang sudah saya jabarkan dalam rumusan masalah, saya menggunakan konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian (care education) Nel Noddings. Konsep etika Bauman akan digunakan sebagai titik terang seputar etika macam apa yang kita butuhkan di tengah himpitan neoliberalisme saat ini. Dan konsep pendidikan kepedulian dari Nel Noddings akan digunakan sebagai titik terang seputar bagaimana etika itu sebaiknya diajarkan. Kiranya kedua konsep tersebut dapat saling melengkapi dan dapat digunakan sebagai pisau bedah yang cukup tajam untuk mengkaji praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. 1. Etika postmodern menurut Zygmunt Bauman Bicara soal etika di jaman yang semuanya telah disamaratakan oleh neoliberalisme merupakan sebuah hal yang sangat rumit. Privatisasi dan individualisme sebenarnya berada sangat nyata di tengah-tengah masyarakat kita. Do it yourself (DIY) menjadi sebuah bentuk tanggung jawab moral baru di kalangan para individu modern.15 Etika menurut konstruksi modernisme turut menjadi persoalan yang dipertanyakan oleh kaum postmodern. Etika modern tidak bisa dilepaskan dari konsep etika menurut Immanuel Kant. Kant melihat penilaian etika dengan hukum universal yang abstrak. Menurut Kant, subjek moral modern
15
Zygmunt Bauman and Leonidas Donskis, Moral Blindness: The Loss of Sensitivity in Liquid Modernity, Cambride, Polity Press, 2013, hlm. 132.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
adalah bebas dari tuntunan tradisi, agama maupun sifat alamiah manusia melainkan diatur oleh hukum universal.16 Zygmunt Bauman banyak memberikan sumbangan dalam mengkaji etika modern. Ia sudah mulai menyusun pandangannya tentang etika modern dalam bukunya yang berjudul “Legislator and Interpreters” tahun 1988 dan kemudian ia melanjutkan analisisnya dalam buku “Postmodern Ethics” tahun 1993. Dalam “Postmodern Ethics”, Bauman ingin memotret masalah etika dengan menggunakan pandangan postmodern terhadap realitas-realitas yang dihasilkan oleh modernisme. Ia masih menulis banyak buku setelah itu seiring semakin rumitnya realitas di jaman yang ia sebut dengan jaman serba cair (liquid times). Bauman melihat para legislator dan pemikir modern memandang moralitas bukanlah sebuah “sikap alamiah” (natural trait) manusia melainkan sebagai sesuatu yang harus diajarkan atau dicangkokkan kepada manusia. Berangkat dari cara pandang seperti itulah mereka kemudian mencoba menyusun suatu etika komprehensif dengan seperangkat aturan moral. Aturan moral itu kemudian diajarkan ke masyarakat dan menjadi sebuah kewajiban untuk ditaati.17 Bauman melihat bahwa modernitas mengukur tanggung jawab masyarakat dengan menggunakan kode etik, peraturan atau hukum yang disusun secara rasional. Melalui kode etik tersebut, orang-orang modern seakan mempunyai kepercayaan diri akan keputusan yang akan diambil dan yang telah diambil. 16
17
Michael Hviid Jacobsen dan Paul Poder, The Sociology of Zygmunt Bauman: Challenges and Critique, England, Ashgate, 2008, hlm. 62. Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, op.cit., hlm. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Bauman menolak etika modern yang selama ini menjadi patokan universal dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa pandangan yang diungkapkan Bauman berkaitan dengan etika modern. Pertama, menurut Bauman pada hakikatnya moralitas masyarakat adalah ambivalen, oleh sebab itu tidak ada aturan moral yang tepat dengan kondisi tersebut seperti yang diungkapkannya berikut ini:18 In fact, humans are morally ambivalent: ambivalence resides at the heart of the ‘primary scene’ of human face-to-face. [...]No logically coherent ethical code can ‘fit’ the essentially ambivalent condition of morality. Kedua, fenomena moral secara inheren adalah non-rasional. Fenomena moral itu tidak teratur, tidak berulang, tidak monoton dan tidak dapat diprediksi sehingga juga tidak dapat dipandu oleh sebuah rumusan aturan moral. Tidak ada kode atau aturan yang dapat menyelesaikan masalah etika secara mendalam, lengkap dan memuaskan untuk semuanya.19 Ketiga, moralitas mengandung kontradiksi
yang tidak dapat
dipecahkan (aporia).20 Modernitas berusaha mengatasi aporia tersebut dengan menggunakan universalitas (universality) dan dasar-dasar etika (foundation). Modernitas mencari kode etik yang paten dan dasar-dasar etika yang tidak tergoyahkan untuk semua persoalan etika. Namun menurut Bauman, modernitas tidak akan pernah menemukan kode etik dan dasar-dasar etika semacam itu, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:21
18 19 20 21
Ibid, hlm. 10. Ibid, hlm. 11. Ibid. Ibid, hlm. 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
The foolproof – universal and unshakably founded – ethical code never be found; having singed our fingers once too often, we know now what did not know then, when we embarked on this journey of exploration; that a non-aporetic, non-ambivalent morality, an ethics that is universal and “objectively founded”, is a practical impossibility; perhaps also an oxymoron, a contradiction in terms. Berangkat
dari
penolakannya
terhadap
cara-cara
modernitas
memandang dan menghadapi masalah moral, Bauman kemudian mengajukan etika sebagai bentuk tanggung jawab kepada Liyan (Other). Pendapat Bauman ini sangat dipengaruhi oleh Emmanuel Levinas. Menurut Levinas, patokan moral adalah Liyan. Relasi kita dengan orang lain menekankan penderitaan mereka sebagai pusat perhatian kita. Menurut Bauman, etika itu berasal dari dalam diri individu (interhuman togetherness) bukan dari paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa “being for the Other” mendahului “being with the Other”. “Being for the Other” bukanlah sebuah produk dari konstruksi masyarakat melainkan realitas pertama yang ada dalam diri manusia itu sendiri.22 Etika kemudian dilihat sebagai tanggung jawab terhadap Liyan (responsibility for the Other), nasib Liyan adalah tanggung jawab saya. Soal tanggung jawab inilah yang menjadi permasalahan penting yang diulas oleh Bauman. Jika modernitas mengukur tanggung jawab dengan menggunakan patokan peraturan atau hukum yang disusun secara rasional, Bauman mengajukan Liyan sebagai patokan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Bauman juga menggunakan konsep Levinas tentang kedekatan (proximity) 22
Ibid, hlm. 13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dalam menjelaskan soal tanggung jawab terhadap Liyan. Kedekatan adalah representasi dari pengenalan Liyan sebagai wajah (face) yang menggugah tanggung jawab kita kepadanya.23 Demikianlah pandangan Bauman terhadap etika menurut konstruksi modernitas berserta etika postmodern yang telah diajukannya. Kebaruan etika postmodern bukan meninggalkan perhatian moral modern tetapi lebih pada penolakan
terhadap
cara-cara
modern
menghadapi
masalah
moral.
Postmodern juga tidak setuju dengan ide relativisme moral karena yang dilihat adalah relativisme kode etis. Berangkat dari ide soal relativisme kode etis tersebut, Bauman pun kemudian tidak mengajukan kode etik baru untuk menggantikan kode etik menurut modernitas yang sudah ia bongkar. Dalam bagian pengantar buku “Postmodern Ethics”, Bauman sudah memberitahu para pembacanya bahwa sampai akhir buku tidak akan ada kode etik baru yang ia ajukan. Pemahaman terhadap kondisi-kondisi morallah yang membuat pilihan moral itu menjadi lebih mudah.24 Demikian konsep etika postmodern yang diajukan oleh Bauman. Menurut perspektif etika postmodern, kita harus berupaya menjadi individu yang lebih aktif dalam praktik etika. Kita adalah agen moral kita sendiri bukan karena patokan kode-kode, perintah atau aturan tetapi karena berangkat dari tanggung jawab kita terhadap Liyan. Kita perlu belajar untuk hidup dalam kontradiksi, ambiguitas dan ambivalensi. Kita harus membuat pilihan dan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Dalam upaya mengambil 23
24
Keith Tester, The Social Thought of Zygmunt Bauman, New York, Palgrave Macmillan, 2004, hlm. 144-145. Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, op.cit., hlm. 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
pilihan tersebut, sebuah komitmen yang ditawarkan oleh Bauman adalah keberpihakannya pada pihak yang tertindas dan tak berdaya. Dan dalam rangka untuk memunculkan akan adanya berbagai kemungkinan pilihan yang bisa diambil dalam keputusan moral, Bauman pun melihat pendidikan sebagai aspek yang sangat penting. Bauman mengikuti ide Yunani kuno soal pendidikan yang dimaknai sebagai proses belajar sepanjang hayat (lifelong education). Pentingnya pendidikan sepanjang hayat ini diungkapkan oleh Bauman sebagai berikut:25 We need lifelong education to give us choice. But we need it even more to salvage the conditions that make choice available and within our power. Tujuan pendidikan bukanlah untuk menciptakan manusia-manusia dengan kualitas peluru kendali (ballistic missile) yang mempunyai kemampuan untuk membidik sasaran dengan tepat seperti yang digadanggadang oleh para pemikir pendidikan modern.26 Dalam persoalan etika, pendidikan kemudian tidak bisa berambisi untuk bisa menghasilkan manusiamanusia yang bisa mengambil keputusan moral dengan tepat sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh para legislator dan pemikir modern. Realitas dalam masyarakat kita itu partikular dan tidak bisa diprediksi. Kita berada dalam zaman di mana realitas masyarakat itu terus bergerak dan segala hubungan telah menjadi cair. Berhadapan dengan zaman yang serba cair maka yang dibutuhkan kemudian adalah manusia dengan kualitas peluru yang cerdas (smart missile) 25
26
Zygmunt Bauman, Does Ethics have A Chance in A World of Consumers?, London, Harvard University Press, 2008, hlm. 193. Ibid, hlm. 183.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
yang mampu belajar terus menerus (learn as they go). Untuk bisa menghasilkan smart missile tersebut maka pendidikan harus bisa membekali anak didiknya dengan kemampuan untuk belajar dan sekaligus kemampuan untuk belajar secara cepat ketika berhadapan dengan realitas yang terus bergerak.27 Satu catatan penting juga yang diberikan oleh Bauman yaitu bahwa pendidikan juga harus membekali anak didiknya untuk memiliki keterampilan-keterampilan
sosial
(social
skills)
dalam
rangka
memberdayakan masyarakat di tengah gempuran konsumerisme dan juga privatisasi.28
2. Pendidikan kepedulian (care education) menurut Nel Noddings Ide tentang pendidikan kepedulian muncul dan berkembang seiring muncul dan berkembangnya ide tentang etika kepedulian (ethics of care) yang terjadi dalam bidang psikologi dan filsafat. Dari bidang psikologi, perkembangan etika kepedulian dan pendidikan kepedulian tidak bisa dilepaskan dari Carol Giligan rekan Kohlberg yang mengkritik hasil penelitian rekannya tersebut. Giligan mengkritik kesimpulan penelitian Kohlberg bahwa etika keadilan menempati tahap keenam atau tahap tertinggi dalam perkembangan moral seseorang. Giligan menilai kesimpulan Kohlberg tersebut mempunyai bias gender. Etika keadilan memuat keutamaan rasio yang diidentikkan dengan maskulinitas. Sementara itu, etika kepedulian yang diidentikkan dengan feminitas dianggap sebagai tahap sementara yang masih 27 28
Ibid. Ibid, hlm. 189.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
harus dilengkapi dengan wawasan keadilan berdasarkan prinsip. Giligan menuntut supaya etika kepedulian dianggap sama kualitasnya dengan etika keadilan. Jadi, etika kepedulian dan pendidikan kepedulian juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran feminisme. Dari bidang filsafat, etika kepedulian juga menolak pendekatan etika berdasarkan prinsip menurut Kantian dan bentuk konsekuensi menurut Utilitarian. Para pengikut etika kepedulian dan pendidikan kepedulian setuju dengan Emmanuel Levinas bahwa kepedulian itu muncul ketika kita berhadapan dengan kebutuhan Liyan. Etika kepedulian ini sejalan dengan kritik Bauman yang sama-sama terinspirasi dari pandangan Levinas. Etika kepedulian dan etika postmodern sama-sama menekankan tanggung jawab kepada Liyan sebagai sumber dalam mengambil keputusan di tengah situasi kita yang partikular saat ini. Lalu bagaimana cara mengajarkan etika semacam itu kepada para murid menurut pendekatan pendidikan kepedulian? Untuk memperlihatkan adanya kenyataan dan situasi yang beragam, pendekatan pendidikan kepedulian kemudian lebih menekankan pada proses pembentukan relasi yang bisa menjadi tempat tumbuh kembangnya kepedulian dan tanggung jawab anak. Melalui pembentukan relasi, anak diharapkan dapat menjumpai orang atau kelompok yang memiliki pemikiran, kepercayaan, dan situasi yang berbedabeda. Ada empat komponen yang diajukan oleh Noddings untuk dapat membangun proses pembentukan relasi itu yaitu: modelling, dialogue,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
practice, dan confirmasi. Komponen yang pertama adalah modelling atau pemberian teladan. Hampir semua pendekatan dalam pendidikan moral mengakui akan pentingnya pemberian teladan bagi para murid. Jika kita ingin mengajarkan etika kepada para murid maka kita pun harus memberikan contoh tindakan yang bermoral itu seperti apa. Dari perspektif pendidikan kepedulian, guru harus menunjukkan pada para murid apa itu yang dimaksud dengan peduli.29 Melalui pemberian teladan, guru menunjukkan kepedulian mereka dengan mendengarkan murid-muridnya serta memberikan perhatian dan penghargaan terhadap berbagai ekspresi yang diberikan oleh murid-muridnya. Guru perlu mendalami lebih jauh tentang kebutuhan-kebutuhan para murid dan latar belakang dari munculnya kebutuhan itu.30 Hal ini bertujuan untuk menjauhkan guru memperlakukan murid-murid dari definisinya sendiri yang seakan-akan berpusat pada anak. Guru pun kemudian bisa mengambil respon sesuai dengan konteks yang terjadi. Demikian pula dalam pemberian teladan yang lain, guru mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa relasi itu benar-benar terjalin. Dengan demikian, harapannya anak pun bisa mendengarkan orang lain, menghargai dan memberikan respon sesuai dengan panggilan tanggung jawab mereka. Komponen yang kedua adalah dialog (dialogue). Dialog adalah komponen yang paling penting dalam pendidikan moral dari perspektif pendidikan kepedulian. Konsep dialog yang dipakai oleh Noddings mengikuti 29
30
Nel Noddings, “Caring and Moral Education” dalam Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (Ed.), Handbook of Moral and Character Education, New York, Routledge, 2008, hlm. 168. Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
konsep yang diajukan oleh Paulo Freire. Dialog tidak hanya sebatas percakapan, tetapi momen untuk saling bicara dan saling mendengarkan. Dialog di sini bukanlah debat yang bertujuan untuk memenangkan salah satu argumen. Dalam dialog menurut perspektif pendidikan kepedulian, selalu ada perhatian terhadap peserta yang lain tidak hanya pada topik yang sedang didiskusikan. Dialog menjadi wadah untuk kita untuk belajar akan keinginan dan kebutuhan orang lain sebagai mana yang diutarakan oleh Nel Noddings sebagai berikut:31 Dialogue is the means through which we learn what the other wants and needs, and it also the means by which we monitor the effects of our acts. We ask, “What are you going through?” before we act, as we act, and after we act. It is our way of being in relation. Komponen yang ketiga adalah praktik (practice). Kita membutuhkan adanya berbagai kesempatan di mana anak bisa mempraktikkan apa yang ia tangkap dari proses pemberian teladan dan dialog yang telah diberikan. Kesempatan itu perlu dihadirkan di hadapan anak-anak. Noddings memberi beberapa contoh yang bisa dipakai, misalnya saja melalui bekerja bersamasama untuk menolong satu sama lain. Cara seperti ini bisa meningkatkan kompetensi kepedulian anak-anak tetapi dengan menuntut tanggung jawab dari guru. Melakukan pelayanan komunitas (community service) pun bisa digunakan sebagai kesempatan anak-anak untuk melakukan praktik kepedulian. Namun, pelayanan komunitas ini juga perlu dipersiapkan dengan
31
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, op.cit., hlm. 19.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
matang dan serius. Nel Noddings juga menganjurkan agar para murid diminta untuk berpartisipasi dalam sebuah seminar rutin di mana mereka bisa mendialogkan seputar praktik yang telah mereka lakukan.32 Komponen yang terakhir adalah konfirmasi (confirmation). Dalam etika kepedulian, yang dimaksud dengan konfirmasi berbeda dengan bentuk yang bisa kita temukan dalam pendidikan agama yang lebih mengarah pada dakwaan, pengakuan, permohonan maaf dan penebusan dosa. Jika yang terjadi adalah konfirmasi dengan bentuk-bentuk seperti itu maka dialog tidak dapat berlangsung karena terdapat relasi antara yang berwenang dan yang subordinat.33 Konfirmasi yang dimaksud oleh etika kepedulian lebih mengarah kepada melihat secara lebih mendalam motif dan kondisi orang yang ingin kita pedulikan. Dengan adanya konfirmasi ini, kita kemudian tidak dengan mudah berhenti menilai tindakan orang lain dalam kacamata benar atau salah. Nel Noddings memberikan contoh tentang adanya murid-murid yang kadangkadang mencontek dengan tujuan untuk menolong teman-temannya atau membuat orang tuanya senang. Mereka kemudian mengatakan sesuatu yang buruk untuk menutupi ketakutan mereka. Guru yang tahu murid-muridnya dengan baik mendeteksi lebih baik motif-motif tindakan tersebut dan menunjukkan pengertian mereka dengan mendiskusikan hal tersebut bersama
32 33
Ibid. Ibid, hlm. 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
para muridnya. Tindakan konfirmasi ini bisa sangat berarti pada diri siswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Nel Nodding berikut ini:34 Acts of confirmation point students upward by recognizing a better self already partly formed and struggling to develop. Confirmation is perhaps the loveliest of moral act. Tindakan konfirmasi ini menuntut dua hal yang sangat penting menurut Noddings yaitu kepercayaan dan kesinambungan. Kesinambungan ini berkaitan dengan perlunya guru memiliki pengetahuan yang baik tentang murid-muridnya. Guru dan murid kemudian membutuhkan waktu bersama yang intens dan cukup lama bahkan dalam kurun waktu beberapa tahun. 35 Hal ini yang menjadi tantangan karena pada kenyataannya jumlah murid dalam satu kelas cukup banyak dan guru yang mengampu kelas pun sering bergantiganti.
G. Metodologi dan Metode Penelitian Metodologi yang saya pakai dalam penelitian ini adalah etnografi, lebih tepatnya etnografi kritis. Etnografi kritis disebut sebagai respon tehadap kondisi masyarakat sekarang, di mana sistem kekuasaan, prestise, privilese, dan otoritas digunakan untuk memarginalkan individu atau kelompok yang dianggap berbeda. Menurut John W. Creswell, komponen utama dari etnografi kritis adalah orientasi bermuatan nilai, memberdayakan masyarakat dengan memberi mereka otoritas,
34 35
Nel Noddings, “Caring and Moral Education”, op.cit, hlm. 172. Nel Noddings, Philosophy of Education, Colorado, Westview Press, 1998, hlm. 133.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
menentang status quo, serta mengemukakan persoalan tentang kekuasaan dan kontrol.36 Perkembangan metodologi etnografi kritis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan yang terjadi dalam penelitian kajian budaya. Istilah etnografi kritis pertama kali muncul ditujukan pada metodologi yang dipakai oleh para peneliti Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Birmingham, Inggris sekitar akhir tahun 1970an atau awal 1980an. Pada akhir tahun 1980an, teori-teori postmodern turut memberi banyak sumbangan dan pengaruh bagi perkembangan metodologi etnografi kritis.37 Etnografi kritis pun bukanlah metodologi yang baru dalam penelitianpenelitian seputar bidang pendidikan. Penelitian Paul Willis yang kemudian dibukukan dengan judul “Learning to labour” memberikan banyak inspirasi dalam melihat sekolah selain dengan perspektif sekolah sebagai sarana reproduksi sosial, politik maupun budaya. Willis meneliti tentang anak-anak kelas pekerja dengan perspektif resistensi. Metodologi yang dipakai oleh Wilis adalah etnografi dengan disertai oleh teori Marxis tentang tenaga kerja. Saat ini, penelitian-penelitian dalam bidang pendidikan yang menggunakan metodologi etnografi kritis sudah banyak dipengaruhi oleh teori-teori neo-Marxis dan Feminisme tentang pendidikan serta teori-teori pendidikan kritis lainnya.
36
37
John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan (terj.), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, hlm. 130. Phil Francis Carspecken, “Critical Ethnographies from Houston: Distinctive Features and Directions” dalam Critical Ethnography and Education, Oxford, Elsevier Science, 2001, hlm. 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Saya pun mengunakan metodologi etnografi atau lebih tepatnya metodologi imajinasi etnografis seperti yang diperkenalkan oleh Willis sebagai metodologi penelitian saya. Imajinasi etnografis saya pilih karena pendekatan ini memberikan cara bagi saya untuk aktif terlibat, mengamati dan mendeskripsikan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Dan selain memberikan panduan dalam melakukan penelitian melalui imajinasi etnografis ini, Willis pun memberikan cara bagaimana menyajikan data penelitian yang sudah diperoleh. Ada tiga tahapan dalam melakukan analisis data berdasar pendekatan imajinasi etnografis. Tahap pertama adalah melihat basis material dari kelompok sosial tertentu yang diteliti. Tahap kedua adalah melihat bagaimana seseorang memaknai dunianya (sensuous meaning). Tahap ketiga adalah melihat bagaimana lingkungan dan struktur sosial mempengaruhi identitas dan pembentukan budaya (lived penetration).38 Dengan demikian langkah pertama saya adalah melihat basis material dari orang-orang yang terlibat dalam dinamika SALAM baik pengurus, fasilitator, dan orangtua murid. Dalam langkah pertama ini saya akan melihat bagaimana posisi dan kapital yang mereka miliki di tengah pusaran pendidikan arus utama. Langkah kedua adalah melihat bagaimana SALAM memaknai pendidikan yang mereka selenggarakan dan langkah yang ketiga adalah melihat bagaimana pendidikan yang diajukan oleh SALAM berhadapan dengan realitas pendidikan arus utama yang mendorong kelahiran mereka. 38
Paul Willis, “Twenty-Five Years On: Old Books, New Times dalam Nadine Dolby. dkk. (Ed.). Learning to Labour in New Times. London dan New York, RoutledgeFalmer, 2004, hlm. 146150.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Dan seperti Willis yang menerapkan metodologi etnografi dengan disertai oleh konsep Marx tentang tenaga kerja, saya pun menggunakan konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings sebagai pisau bedah hasil penelitian saya. Pemilihan kedua teori tersebut bertujuan agar saya bisa mengkaji lebih jauh konsep dan praktik pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM. Adapun metode pengumpulan dan pengolahan data hasil penelitian saya adalah sebagai berikut: 1. Sumber data Penelitian ini menggunakan tiga sumber yaitu: 1. Hasil observasi kegiatan belajar-mengajar dan kegiatan-kegiatan lainnya di SALAM. 2. Hasil wawancara dengan para pengurus SALAM, para fasilitator, para murid dan orangtua. 3. Dokumen-dokumen yang mengulas tentang pendidikan SALAM. 2. Lokasi Penelitian Penelitian berlangsung di Sanggar Anak Alam, Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Observasi kegiatan belajar-mengajar di SALAM. Observasi menjadi metode pengumpulan data utama dalam penelitian ini karena berkaitan dengan pengamatan terhadap praktik-praktik pendidikan etika yang diselenggarakan oleh SALAM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
b) Wawancara kepada para pengurus SALAM, para fasilitator, para murid dan orangtua. c) Studi dokumen yang mencakup teks-teks tertulis tentang pendidikan SALAM yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam penulisan tesis ini. 4. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul diolah dan dipaparkan mengikuti tiga langkah analisis sebagaimana diperkenalkan oleh Paul Willis serta kemudian dianalisis lebih jauh menggunakan konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan kondep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Hasil analisa kemudian disimpulkan sebagai hasil penelitian.
H. Sistematika Penulisan Secara garis besar, penulisan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis dan metodologi serta metode penelitian.
Bab II
menyajikan uraian tentang pendidikan karakter sebagai konsep dan praktik pendidikan etika yang selama ini dijalankan dalam dunia pendidikan Indonesia. Bab II ini merupakan interpretasi saya akan kecenderungan wacana dan praktik pendidikan etika arus utama.
Bab III menyajikan uraian hasil penelitian tentang pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Bab IV Menyajikan analisis terhadap pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM dengan menggunakan konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Bab V Menyajikan kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II TREND PENDIDIKAN KARAKTER: MENYOAL KONSEP DAN PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ARUS UTAMA INDONESIA Care theorists and character educators agree that the way to a better world is more likely to depend on better people than on better principles, but a question arises as to how we might produce better people.1
A. Pengantar Saya pun menyetujui kutipan kalimat di atas, bahwa lebih tepat kita mempunyai orang-orang atau masyarakat yang baik yaitu yang mempunyai tanggung jawab dan kesadaran daripada segudang aturan entah sebagus apapun aturan itu. Namun berkaitan dengan menciptakan masyarakat yang baik ini memang banyak persoalan yang perlu untuk kita kaji lebih lanjut. Selain pertanyaan tentang bagaimana kita bisa menciptakan orang-orang atau masyarakat yang baik, definisi baik itu juga perlu kita pertanyakan. Definisi baik tersebut yang seperti apa dan siapa yang menentukan kriterianya. Persoalan etika dan bagaimana mengajarkannya sudah menjadi pergulatan dan perdebatan para filsuf sejak dahulu kala. Nama-nama seperti Aristoteles, Immanuel Kant dan John Dewey sering disebut dalam pembahasan seputar etika. Belum lagi sumbangan Zygmunt Bauman tentang etika postmodern dan etika kepedulian dari para kaum feminis semakin menunjukkan betapa luasnya dunia etika lengkap dengan segala perdebatannya. Saya tidak akan menguraikan secara komprehensif pemikiran mereka masing-masing, tetapi saya hanya akan 1
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, New York, Teachers College Press, 2002, hlm. 1
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
menyinggung pemikiran mereka sejauh jika ada pemikiran mereka yang berkaitan dengan materi yang ingin saya sampaikan pada bab dua ini. Pada bagian latar belakang, saya sudah menyajikan peta besar seputar persoalan pendidikan etika di jaman sekarang yaitu bahwa kita membutuhkan sebuah etika baru yang berdasar pada tanggung jawab kepada Liyan dan praktik pengajaran etika yang mampu memperkenalkan tanggung jawab itu kepada anakanak. Persoalan tersebut yang membawa saya sampai para instansi-instansi pendidikan yang mengusung bendera pendidikan alternatif. Oleh sebab itu pada bab II ini saya akan memulai terlebih dahulu dengan membahas pendidikan etika yang dijalankan oleh beberapa sekolah alternatif yang ternyata kurang lebih sama saja dengan pendidikan etika arus utama. Selanjutnya baru saya akan mengulas soal pendidikan etika arus utama itu sendiri. Menyoal dunia pendidikan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan situasi, ideologi dan suara pihak-pihak yang ingin kepentingannya didukung oleh pendidikan di sekolah. Pihak-pihak yang berkepentingan itu, bisa saja negara, pasar atau kelompok dominan lainnya. Selain itu, perkembangan teori-teori pendidikan dan penemuan-penemuan baru yang sedang naik daun di luar negeri turut menjadi kiblat perubahan pendidikan di Indonesia. Seperti yang juga sudah saya singgung, kebijakan pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Kemdiknas pada tahun 2010 kemarin tidak bisa dilepaskan dari munculnya kembali gerakan pendidikan karakter (character education movement) di Amerika Serikat (AS) sejak tahun 1990an. Jika di AS, munculnya kembali pendidikan karakter dikatakan sebagai sebuah gerakan, saya cenderung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
melihat pendidikan karakter di Indonesia hanyalah sebatas trend yang sedang naik daun. Trend pendidikan karakter di Indonesia juga tidak diimbangi dengan perdebatan hangat seperti di negara asalnya. Padahal kalau kita bandingkan pola kemunculan, konsep dan praktik pendidikan karakter di AS hampir sama dengan pola kemunculan, konsep dan praktik pendidikan karakter di Indonesia. Berangkat dari persoalan tersebut maka pada bab dua ini, saya akan membahas pendidikan karakter sebagai konsep dan praktik pendidikan etika arus utama di Indonesia saat ini. Jenjang pendidikan yang menjadi fokus saya adalah Sekolah Dasar (SD). Bab II ini akan memberikan konteks kemunculan SALAM sebagai alternatif bagi pendidikan etika arus utama.
B. Pendidikan Etika di Beberapa Sekolah Alternatif Bicara soal pendidikan alternatif yang muncul setelah masa Reformasi memang menjadi persoalan yang rumit. Ada banyak pendidikan alternatif yang muncul dengan berbagai kegelisahan, ideologi dan tawaran yang berbeda-beda. Di Yogyakarta pun sudah cukup banyak sekolah yang muncul dengan berbagai tawaran alternatif yang beragam. Sekolah yang mulai dikenal akhir-akhir ini dan dikenal sangat getol dengan usaha pembentukan pribadi-pribadi religius adalah sekolah Islam Terpadu (IT). Sekolah-sekolah IT berada di bawah naungan Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia. Karena berangkat dari tujuan ingin membentuk pribadi-pribadi yang religius dan berprestasi maka seluruh proses belajarmengajar dan ekstrakurikuler yang diberikan di sekolah mengarah pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
terwujudnya tujuan tersebut. Kurikulum yang dipakai dipakai di sekolah IT tetap mengacu pada kurikulum nasional dengan penekanan pada aspek pendidikan agama Islam. Sekolah semacam IT ini sebenarnya sama saja dengan sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan berbasis agama lainnya, seperti sekolahan milik yayasan Katolik atau sekolah pesantren yang sudah ada jauh sebelum kemunculan sekolah IT. Dalam sekolah yang berada dalam naungan yayasan berbasis agama, pendidikan etikanya tentu kemudian sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang bersangkutan beserta dengan kebijakan-kebijakan dari yayasan. Di Yogya juga ada sekolah yang mengusung alam sebagai tujuan pendidikannya yaitu Greenschool. Hal ini terlihat dari ketiga misi Greenschool Yogyakarta yaitu: 1. Mengenalkan dan menanamkan serta membentuk insan yang sadar akan pentingnya kembali ke alam, 2. Menyiapkan generasi yang cerdas dan unggul sebagai leader sekaligus pelaku aktifitas yang siap mengelola potensi alam dimanapun secara seimbang, 3. Tersebarnya kesadaran mengembalikan alam sebagaimana semestinya secara seimbang kepada publik.2 Dari penjabaran misi Greenschool tersebut, nampak bahwa penggunaan istilah alam pada konsep pendidikan Greenschool lebih mengarah pada isu gerakan hidup hijau yang juga sedang booming di masyarakat. Untuk pendidikan etika di Greenschool, cara yang dipakai pun hampir sama dengan di sekolah-sekolah lainnya karena Greenschool tetap mengacu pada kurikulum nasional. Cara-cara yang dipakai yaitu dengan
2
Diakses dari http://www.yogyagreenschool.com/bahasa/visi-misi/ pada hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
menggunakan pendidikan agama (religion programme) dan berbagai mata pelajaran serta kegiatan lainnya. Masih ada lagi sekolah yang menawarkan alternatif di Yogya, tetapi alternatif yang dimaksud di sini adalah alternatif bagi para para orang tua yang sibuk dan tidak terlalu banyak memiliki waktu luang untuk mengurus pendidikan anak-anaknya. Salah satu contoh sekolah dengan konsep demikian adalah Olifant School di Yogyakarta. Direktur Olifant menyatakan bahwa alasan Olifant didirikan di Yogyakarta adalah untuk memberi solusi bagi orangtua metropolitan yang cenderung sibuk dan membutuhkan lembaga pendidikan terpercaya bagi anaknya. Konsep ini dikatakan sebagai terobosan baru dalam dunia pendidikan dan gaya hidup di masyarakat Yogyakarta.3 Pendidikan etika di Olifant pun juga sama dengan sekolah lain yaitu dengan menggunakan pendidikan agama dan kegiatan yang mereka sebut dengan Pendalaman Iman Anak (PIA) serta ditambah dengan berbagai kegiatan lainnya. Ada berbagai club belajar yang disediakan oleh Olifant di luar jam sekolah yang bertujuan untuk membangun kedisiplinan, kerja kelompok, tanggung jawab dan pembangunan karakter lainnya. Pada setiap jenjang pendidikan di Olifant, dari kelas satu sampai kelas enam juga telah dirancang masing-masing kegiatan yang juga bertujuan untuk pembangunan karakter anak-anaknya. Misalnya pada kelas empat, masing-masing anak akan mendapatkan laptop. Pemberian laptop itu dikatakan bertujuan untuk mengajarkan tanggung jawab kepada anak-anaknya dalam penggunaan teknologi 3
Ino (Ed.), Olifant School Bidik Anak-Anak dari Keluarga yang Sibuk diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2011/01/12/olifant-school-bidik-anak-anak-dari-keluarga-yangsibuk, diakses pada hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
untuk mendukung proses belajar. Namun untuk mendapatkan laptop, ada syarat yang harus dipenuhi oleh anak-anak, yaitu mereka harus sudah memenuhi standar poin yang ditargetkan oleh sekolah. Standar poin itu berkaitan dengan penilaian terhadap kedisiplinan siswa. Ada pula Olifant Immersion Program untuk kelas lima yang dikatakan bertujuan agar siswa dapat mengembangkan karakter, pengetahuan, keterampilan serta kemampuan mengeksplor pengalaman baru di tempat-tempat yang baru pula. Olifant Immersion Program diwujudkan dalam berbagai kegiatan, yaitu study tour ke sekolah dasar di Singapura serta ikut terlibat dalam aktivitas belajar di sana serta mengunjungi berbagai situs pendidikan lainnya seperti museum, pusat sains dan sebagainya. Demikianlah sedikit gambaran mengenai beberapa sekolah alternatif di Yogya. Sekolah-sekolah tersebut masih sama saja memandang sekolah sebagai institusi yang berperan menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Mereka belum sampai memandang institusi pendidikan anak-anak sebagai institusi komunitas dari solidaritas sosial. Cara pandang seperti itu sama saja dengan cara pandang pendidikan arus utama. Inti konsep dan praktik pendidikan etika yang diajukan pun pada akhirnya kurang lebih sama dengan inti konsep dan praktik pendidikan etika di sekolah kebanyakan. Lebih jauh mengenai konsep dan praktik pendidikan etika di sekolah arus utama akan saya ulas pada sub bab berikutnya.
C. Sekilas Perjalanan Pendidikan Karakter di Indonesia Seperti yang sudah saya singgung di bagian pengantar, pendidikan etika arus utama kita saat ini diselenggarakan dengan berdasar pada kebijakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Kemdiknas
tahun
2010
soal
pendidikan
karakter.
Begitu
Kemdiknas
mengeluarkan kebijakan pendidikan karakter, langsung banyak seminar dan pelatihan diadakan dalam rangka menyambut kebijakan baru tersebut. Banyak buku dan artikel ditulis untuk kepentingan sosialisasi pendidikan karakter. Konsep pendidikan karakter dengan kantung nilainya memang merupakan konsep yang baru dalam pendidikan etika di Indonesia. Jauh sebelumnya memang sudah ada istilah pembangunan karakter tetapi tidak dalam pengertian seperti yang ditularkan oleh gerakan pendidikan karakter di AS. Dulu, Sukarno mencetuskan pembangunan karakter (character building) dalam rangka melawan segala bentuk kapitalisme dan imperialisme serta mendukung
keinginannya
membentuk
masyarakat
sosialis
Indonesia.
Pembangunan karakter juga didengungkan oleh pemerintahan Suharto, tetapi sudah dalam pengertian yang berbeda. Pembangunan karakter yang dimaksud oleh Suharto adalah pembangunan karakter yang mendukung kepentingan politiknya serta lebih menekankan pada penanaman karakter yang mendukung proses
pembangunan
ekonomi
industri
yang
sedang
digalakkan
oleh
pemerintahannya. Ide pembangunan karakter di Indonesia juga tidak lepas dari ideologi dan kepentingan pihak yang sedang berkuasa. Pembangunan karakter yang disuarakan oleh Sukarno maupun Suharto kemudian berusaha direalisasikan melalui bidang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
pendidikan. Dalam tesisnya yang berjudul “Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar di Indonesia pada Masa 1945-1965”, Wiwik Lestari menyimpulkan bahwa:4 Selama 20 tahun sejak Proklamasi kemerdekaan (1945-1965) kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan karakter positif bangsa pelaksanaannya dibebankan kepada mata pelajaran Budi Pekerti yang dimulai sejak tingkat Sekolah Rakyat/Sekolah Dasar berdasarkan Rencana Pelajaran 1947 dan Rencana Pelajaran Terurai 1952. Pada masa pemerintahan Suharto, pendidikan karakter dibebankan pada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Pancasila. Pada kurikulum SD tahun 1984, juga ada mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Pada masa Suharto lah, Pendidikan Agama menjadi pelajaran yang wajib diikuti oleh semua peserta didik seturut dengan agamanya masing-masing. Pendidikan Pancasila pun wajib diajarkan untuk semua jenjang pendidikan, yaitu mulai dari Taman Kanak-kanak sampai jenjang Universitas. Pendidikan yang disusupi dengan kepentingan ideologis, politik dan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto dikritik oleh Romo Mangunwijaya sebagaimana yang saya kutip berikut ini:5 Sudah selama 30 tahun lebih 30 juta anak-anak kita dianiaya setiap hari oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai anak sebagai anak. Mengapa? Bukankah sistem pengajaran dan pendidikan kita berPancasila? Begitulah resminya. Tetapi dalam pelaksanaan operasionalnya seluruh sistem Ordo Baru, politis, ekonomis, sosial, budaya, jadi dalam sekolah pun, berkarya filsafat, paradigma atau cara-pikir, citarasa, ciptakarsa dan rekayasa yang hakekatnya (sadar dan/ atau di bawah sadar) berjiwa militer. Yang kita bicarakan di sini bukan orang-orang atau pribadi-pribadi militer yang 4
5
Wiwik Lestari, Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar di Indonesia pada Masa 19451965, Medan, Universitas Negeri Medan, 2013, hlm. 134. Y. B. Mangunwijaya, “ SD Kanisisus Eksperimental Mangunan DIY 1994-1998” dalam A. Ferry Indratno, Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan, Yogyakarta, Dinamika Edukasi Dasar (DED) bekerja sama dengan Misereor, 2005, hlm. 49-50.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
sering baikbudi dan saleh juga, tetapi kelembagaannya, kolektivitasnya, sikap-sikap profesionalnya. Dunia militer adalah dunia pakaian sikap gerak seragam kaum berbaris, serba main komando dari atas, instruksi, birokrasi, taat bangkai mutlak pada perintah, gaya paksaan dan hukuman. Pokoknya jalan, jangan tanya korban, membunuh musuh dan menghancurkan pertahanan musuh seefektip mungkin. Jangan tanya baik atau buruk, bermoral atau tidak, taatilah saja perintah. Hantam dulu, urusan belakang. Jadi semuanya melawan segala prinsip pendidikan asli sejati: ajrih-asih, mendampingi, persuasi, sabar, ing ngarso sung tuladho, ing madyo mangun (menumbuhkan di dalam diri anak) karso, tut wuri (jadi bukan guru melainkan muridlah pelaku utama) handayani. Ordo militer tidak seperti itu hakekatnya. Maka Orba memang dari kodratnya bukan pendidik. Sebenarnya, berbahagialah anak-anak yang belum terperangkap olehnya. Romo
Mangun
menolak
sistem
pendidikan
Orde
Baru
yang
memperlakukan anak secara seragam. Menurutnya, cara seperti itu dapat mengakibatkan dehumanisasi pada diri anak. Oleh sebab itu, Romo Mangun kemudian bersama rekan-rekannya mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) sebagai wadah untuk mengolah dan menyiapkan pendidikan humanis ditengah dominasi kekuasaan negara serta SD Eksperimental Mangunan sebagai tempat untuk mengimplementasikannya. Soal pembangunan karakter, Romo Mangun menggunakan cara-cara yang berbeda dari ketentuan kurikulum pemerintah. Romo Mangun tidak menggunakan model Pendidikan Agama tetapi menggunakan model Komunikasi Iman. Dalam komunikasi Iman tersebut, baik guru dengan murid maupun murid dengan murid saling berbagi pengalaman, saling memberi gagasan dan dorongan untuk berbuat baik. Selain Komunikasi Iman, Romo Mangun juga mempunyai cara-cara lain misalnya melalui sastra maupun melalui kesenian. Ada pelajaran Musik Pendidikan yang bertujuan agar anak-anak dapat merasakan dan membedakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang palsu dan mana yang jujur sesuai dengan kebenaran.6 Gagasan dan upaya Romo Mangun mewujudkan sebuah pendidikan yang humanis merupakan wujud nyata adanya perlawanan terhadap dominasi pendidikan arus utama yang disetir pemerintahan Orde Baru pada waktu itu. Setelah ia tiada, DED dan SDE Mangunan pasti menghadapi pusaran arus gelombang yang lebih kuat namun gagasan dan aksi nyata Romo Mangun masih selalu diangkat dan memang masih relevan untuk dunia pendidikan kita saat ini. Setelah pemerintahan Suharto berakhir dan digantikan dengan masa Reformasi. Dunia pendidikan pun ikut merayakan euforia kebebasan untuk mencari bentuk-bentuk baru yang dirasa baik. Namun, euforia itu juga disertai dengan kebingungan karena kita tidak terbiasa mengolah kebutuhan pendidikan kita sendiri. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita tetap mengikuti arahan yang disuarakan oleh kepentingan pasar dan politik serta gerakan atau teori pendidikan yang sedang naik daun di luar negeri terutama negara AS. Kebijakan pemerintah soal pendidikan karakter merupakan kebijakan yang turut mengambil kiblat perkembangan pendidikan karakter yang sedang terjadi di AS. Sejak tahun 1990an, di AS sedang terjadi kebangkitan kembali gerakan pendidikan karakter. James S. Leming menyatakan bahwa munculnya kembali gerakan pendidikan karakter pada tahun 1990an merupakan gelombang ketiga dari pendidikan moral. Sebelumnya ada gelombang pertama yaitu gerakan pendidikan karakter yang muncul tahun 1920an dan 1930an dan gelombang kedua yaitu 6
A. Ferry Indratno, Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan, Yogyakarta, Dinamika Edukasi Dasar (DED) bekerja sama dengan Misereor, 2005, hlm. 88-90.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
gerakan klarifikasi nilai dan pertimbangan moral yang muncul tahun 1970an dan 1980an.7 Kebijakan pemerintah soal pendidikan karakter hadir seolah-olah sebagai pelita di tengah krisis moral yang sedang terjadi di masyarakat. Namun, sama halnya dengan pendidikan karakter pada masa Sukarno dan Suharto yang memuat kepentingan politik dan ideologis, pendidikan karakter yang dicetuskan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan yang masih berlangsung hingga saat ini pun memuat berbagai kepentingan di dalamnya. Pentingnya pendidikan karakter menjadi isu yang sering diangkat oleh SBY. Sama seperti para presiden AS yang mewacanakan soal perlunya pendidikan karakter di sekolah, SBY pun tidak ketinggalan dalam mengangkat isu pendidikan karakter dalam berbagai pidatonya. Pendidikan karakter menjadi isu politik
yang
diangkat
oleh
SBY
demi
kepentingan
pemerintahannya.
Pembangunan bangsa ditekankan pada tanggung jawab personal baik itu menyangkut aspek intelektual maupun moral, sementara soal keburukan sistem dan struktur yang sedang berlangsung sengaja tidak disentuh. Kebijakan pendidikan karakter dengan konsep seperti yang diperkenalkan oleh gerakan pendidikan karakter gelombang ketiga di AS selain menjadi isu yang dimanfaatkan oleh kepentingan politik juga tidak lepas dari kepentingan ekonomi pasar. Penentuan karakter yang perlu dikembangkan di sekolah lebih mengarah pada karakter dan kompetensi yang dibutuhkan oleh kepentingan pasar dan
7
James S. Leming, “Whither Goes Character Education? Objectives, Pedagogy, and Research in Education Programs” dalam The Journal of Education, Vol. 179, Tahun 1997, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42741720 pada hari Kamis, 25 Juni 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
industri. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, disiplin, dan jujur lebih diarahkan pada kepatuhan akan tuntutan hubungan kerja. Demikian sekilas perjalanan pendidikan karaker di Indonesia yang ternyata tetap tidak lepas dari berbagai kepentingan di dalamnya. Soal konsep dan praktik pendidikan karakter yang saat ini sedang dijalankan oleh sekolah arus utama akan saya bahas dalam sub bab berikutnya.
D. Pola, Konsep, dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia Pendidikan karakter diperkenalkan dan kemudian dipraktikkan pada sekolah-sekolah arus utama Indonesia sebagaimana dengan arahan yang diperkenalkan oleh para tokoh pencetus pendidikan karakter. Tulisan Lickona mengenai pendidikan karakter banyak dikutip termasuk dalam buku-buku yang membahas pendidikan karakter di Indonesia. Berikut ini saya akan mengulas tentang pola, konsep dan praktik pendidikan karakter di Indonesia yang mirip dengan di AS.
1. Krisis Moral sebagai Alarm Perlunya Penerapan Pendidikan Karakter Para pencetus dan pendukung pendekatan pendidikan karakter memiliki pola dan argumen yang sama dalam menunjukkan pentingnya pendidikan karakter di jaman sekarang. Mereka membuka ulasan soal perlunya penerapan pendidikan karakter dengan berangkat dari wacana krisis atau kemerosotan moral. Mereka memberi ulasan akan adanya krisis moral yang sedang terjadi di kalangan masyarakat dan generasi muda kita saat ini. Berbagai data hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
penelitian dari beberapa lembaga tentang sederet masalah sosial yang sedang terjadi di masyarakat ditampilkan untuk menunjukkan bahwa masyarakat sedang dalam situasi darurat moral. Dalam sebuah modul pelatihan pendidikan karakter dengan judul “Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk daya saing dan Karakter Bangsa” dijelaskan tentang latar belakang penguatan karakter yang dijalankan melalui pendidikan. Berbagai persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, perkelahian dan persoalan lainnya semakin menjadi sorotan dan perbincangan baik di media massa maupun dalam berbagai seminar di tingkat lokal, nasional dan internasional.8 Dalam buku-buku yang lebih mengarah pada sosialisasi pendidikan karakter juga disebutkan mengenai karakter bangsa Indonesia yang dianggap lemah. Retno Listyarti dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Karakter dalam
Metode
Aktif,
Inovatif,
dan
Kreatif”
mengutip
pendapat
Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis. Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis menyatakan bahwa karakter bangsa Indonesia adalah suka meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak disiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas, etos kerja buruk, suka feodalisme dan tak punya malu.9
8
9
Badan Penelitian dan Pengembangan, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010, hlm. 1. Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, Jakarta, Esensi, 2012, hlm. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Dalam catatan kaki buku Zubaedi yang berjudul “Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan”, ia mengutip data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010. Data BKKBN tersebut menyatakan bahwa 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah yang juga diartikan bahwa dari 100 remaja, 51 sudah tidak perawan. Tingginya seks pranikah juga dikatakan terjadi di wilayah-wilayah Indonesia yang lain. Zubaedi juga menggunakan tinjauan ESQ tentang tujuh krisis moral yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, antara lain: krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan dan krisis keadilan.10 Artikel lain dari Departemen Pendidikan juga menyinggung soal maraknya
tindakan-tindakan
“menyimpang”
yang
banyak
terjadi
di
masyarakat. Perilaku masyarakat dinilai belum sejalan dengan karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya keinginan pemerintah dan berbagai kalangan masyarakat untuk merevitalisasi peran Pancasila dalam membangun karakter bangsa.11 Situasi krisis moral tersebut kemudian digunakan untuk menilai bahwa keseluruhan pendidikan agama dan moral yang diberikan di sekolah ternyata tidak berdampak pada perubahan perilaku atau membentuk karakter manusia Indonesia sesuai yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan. Pendidikan moral dan budi pekerti dinilai sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk
10
11
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 1-2. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, “Pendidikan Karakter untuk Membangun Bangsa” dalam Policy Brief, Edisi 4 Tahun 2011, hlm. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
menyikapi realitas kehidupan di masyarakat. Evaluasi soal pendidikan etika juga dinilai tidak jelas, baik itu evaluasi terhadap kebijakan pemerintah yang dijadikan pedoman pelaksanaan pendidikan moral di sekolah maupun bentuk evalusi yang dipakai untuk mengukur moralitas seseorang dari proses pendidikan yang telah diselenggarakan. Penilaian tentang terjadinya krisis moral serta tidak efektifnya praktik pendidikan moral kemudian dinyatakan sebagai alasan untuk perlunya melakukan perubahan pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan pendidikan karakter.
2. Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia Dalam konsep pendidikan karakter, terdapat nilai-nilai yang digunakan sebagai standar dari karakter yang ingin diperkenalkan kepada para murid. Para pakar pendidikan karakter menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut ditentukan dari konsensus sekolah dan komunitas. Namun, beberapa orang atau lembaga yang menyuarakan tentang pendidikan karakter sudah mengajukan beberapa daftar nilai yang bisa dipakai. Nel Noddings telah merangkum daftar nilai dari beberapa pakar dan lembaga pendukung pendekatan pendidikan karakter di AS sebagai berikut:12 Thomas Lickona (1991) emphasizes respect and responsibility, but he aslo discusses honesty, compassion, fairness, courage, self-discipline, helpfulness, tolerance, cooperation, prudence, and democratic values. The program developed by the Heartwood Institute (n.d.) promotes seven vitues: respect, loyality, honesty, love, justice, courage, and hope. William Bennett (1993) list compassion, responsibility, honesty, friendship, work, courage, self-discipline, perseverance, loyality, and faith. The Character Education Partnership (CEP) lists eleven 12
Nel Noddings, op.cit., hlm. 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
principles, the first of which holds that “there are widely shared, privotally important core ethiacal values-such as caring, honesty, fairness, responsibility, and respect for self and other-that from the basis of good character”. Penjabaran pendidikan karakter di Indonesia pun mengikuti konsep pendidikan karakter di AS. Dalam mendefinisikan tujuan pendidikan karakter, Kemdiknas mengutip pendapat dari David Elkind & Freddy Sweet sebagai berikut:13 Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within. Pengertian dan tujuan pendidikan karakter seperti yang diuraikan oleh David Elkind & Freddy Sweet tersebut sama dengan uraian Lickona, yaitu bahwa tujuan pendidikan karakter adalah supaya anak-anak mampu untuk menentukan apa yang baik, mencintai apa itu yang baik dan melalukan apa yang mereka anggap baik itu. Dan dalam pengunaan nilai sebagai standar, pendidikan karakter kita pun memiliki 18 nilai yang ditetapkan sebagai standar. Penetapan nilai itu disebutkan bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan Pendidikan Nasional. Adapun 18 nilai yang telah ditetapkan sebagai standar dalam pendidikan karakter lengkap dengan penjabarannya adalah sebagai berikut:
13
David Elkind & Freddy Sweet, dalam Policy Brief, Edisi 4 Tahun 2011, hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Tabel 2.1: Nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa14 NO
14
NILAI
DESKRIPSI
1.
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5.
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.
6.
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9.
Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10.
Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Badan Penelitian dan Pengembangan, op.cit., hlm. 9-10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
11.
Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.
Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.
Bersahabat/ Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.
Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggungjawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dibawah deskripsi nilai tersebut ada catatan bahwa sekolah dan guru dapat menambah maupun mengurangi nilai-nilai tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani serta materi dari pelajaran yang hendak disampaikan. Namun, ada lima nilai minimal yang diharapkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
kementerian untuk dikembangkan di sekolah, yaitu; nyaman, jujur, peduli, cerdas dan tangguh/kerja keras.15 Untuk kepentingan penilaian dalam pendidikan karakter ini, Kemdiknas membuat dua indikator utama. Indikator pertama adalah indikator untuk sekolah dan kelas. Indikator ini berkaitan dengan tuntutan yang harus dipenuhi oleh kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah yang lain sebagai institusi pelaksana pendidikan karakter. Indikator kedua adalah indikator untuk mata pelajaran. Indikator ini berkaitan dengan perilaku afektif murid berkaitan dengan mata pelajaran tertentu.16
3. Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia Di Indonesia, pendidikan karakter dipraktikkan sebagaimana di AS. Seluruh pelajaran dan aktivitas di sekolah diarahkan untuk membentuk karakter anak dengan standar nilai-nilai yang sudah ditentukan. Ada banyak spanduk maupun berbagai gambar dan tulisan kata-kata motivasi yang dipajang di sekitar tempat belajar para murid. Contoh praktik pendidikan karakter bisa kita lihat di SD Negeri 04 Birugo, Bukit Tinggi, Sumatera Barat yang merupakan salah satu pilot projek pendidikan karakter. Pada penjabaran pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah tersebut, disebutkan tata tertib untuk kelas 1 dan 2 sebagai berikut:17
15 16 17
Ibid, hlm. 10. Ibid, hlm. 23-24 Badan Penelitian dan Pengembangan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm, 31.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Peraturan Siswa untuk kelas I s.d kelas II Semua warga kelas berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah Setiap anak harus dapat bersenang-senang. Setiap anak harus belajar. Setiap anak harus melakukan tugasnya. Setiap anak harus saling menghargai
keimanan dan
Dalam upaya pelaksanaan pendidikan karakter, SDN 04 Biruga menetapkan nilai-nilai karakter yang menjadi prioritas untuk dikembangkan pada tahun 2010 adalah nilai religius, jujur, disiplin, peduli lingkungan dan sopan santun.18 Nilai-nilai tersebut kemudian dimasukkan dalam visi, misi dan tujuan sekolah serta dalam silabus dan RPP mata pelajaran yang akan disampaikan oleh para guru. Proses pelaksanaan pendidikan karakternya diselenggarakan melalui mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Penjabaran mengenai praktik pendidikan katakter di sekolah tersebut selain melalui mata pelajaran adalah sebagai berikut:19 Pengembangan nilai-nilai pembentuk karakter melalui pengkondisian diperlukan sarana yang memadai. SDN 04 Birugo menambah 10 buah kran air untuk wudhu dalam rangka mengembangkan nilai religius. Siswa dibiasakan shalat dzuhur dan dhuha berjamah yang dilakukan di Mushalla atau di kelas. pembiasaan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran; membaca Al Qur’an/Juz Amma dan terjemahannya, dan Asmaul Husna pada pagi hari; kultum setiap Jum’at pagi yang diisi oleh peserta didik, guru ataupun dari pihak luar, membaca surat Yasin 1 x 2 minggu, pesantren kilat Ramadhan, pelaksanaan buka puasa bersama, pelaksanaan ‘Idul Qurban, merayakan hari-hari besar keagamaan; serta guru piket menyambut kedatangan siswa pagi hari di gerbang sekolah sambil bersalaman dan diiringi dengan musik dan lagu- lagu bernuansa islam dan Asmaul Husna serta lagu nasional. Setiap ruangan sekolah baik di dalam maupun di luar dihiasi dengan kata-kata mutiara, semboyan, ayat Alqur’an dan hadist Nabi.
18 19
Ibid, hlm. 33. Ibid, hlm. 34.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Di samping itu, dalam rangka mengembangkan nilai kejujuran, sekolah menyediakan fasilitas tempat temuan barang hilang, kotak saran dan pengaduan. Untuk kebersihan, sekolah menyediakan tempat sampah kering dan basah. Sedangkan untuk keindahan dan kenyaman, sekolah membuat kolam dan taman burung di halaman depan sekolah. Siswa dibiasakan membuang sampah pada tempatnya dan ada lomba memungut sampah daun di pagi hari. Peserta didik yang paling banyak mengumpulkan sampah daun mendapat penghargaan sebagai pahlawan kebersihan. Ada pula gambar-gambar tentang contoh media pendidikan karakter yang dicantumkan dalam berbagai dokumen panduan, misalnya saja pada gambar 2.1 berikut ini: Gambar 2. 1: Media pendidikan karakter di SDN 4 Birugo
Sumber: Dokumen Pelaksanan Pendidikan Karakter, hlm. 32
Berbagai kata mutiara bernada religius atau motivasi menempel di setiap sudut dinding kelas. Selain itu ada tempelan peringatan penggunaan berbagai sarana dan prasarana kelas seperti yang nampak dalam gambar tentang penggunaan lampu. Anjuran dalam bentuk peribahasa juga ikut ditempel di sana, misalnya pada gambar tersebut ada peribahasa “Rajin Pangkal Pandai”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Keberadaan pajangan-pajangan semacam ini memang termasuk dalam indikator sekolah dan kelas yang harus dipenuhi. Semenjak dimunculkannya pendidikan karakter, muncul juga sebutan warung kejujuran. Yang dimaksud dengan warung kejujuran adalah warung atau kantin sekolah yang sengaja tidak ada penjaganya. Hanya disediakan kotak untuk menaruh uang pembayaran dari para pembeli. Diharapkan melalui pengkodisian seperti itu, kesadaran dan kejujuran dari para pembeli semakin kuat. Kita bisa melihat penjabaran tujuan diadakannya warung kejujuran dari penjelasan dalam gambar 2.2 berikut ini: Gambar 2.2: Warung kejujuran sebagai salah satu media pendidikan karakter
Sumber: Dokumen bahan pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, hlm. 13.
Praktik pendidikan karakter seperti ini juga hampir serupa di kebanyakan sekolah. Hal ini bisa kita lihat dari hasil penelitian Sita Acetylena yang mengkaji mengenai praktik pendidikan karakter di SD Taman Siswa, Turen, Malang. Sita Acetylena mendeskripsikan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang dipilih oleh sekolah kemudian dimasukkan ke dalam visi-misi sekolah serta kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan lain yang berlangsung di sekolah .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Pengintegrasian nilai ke mata pelajaran dilakukan dengan mencantumkannya ke silabus dan RPP yang disusun oleh guru sebelum mengajar. Penerapan praktik melalui ekstrakurikuler dan pembiasaan seperti berdoa, baris-berbaris, menjaga kebersihan dan lain-lainnya pun sama dengan uraian pada praktik pendidikan karakter di SDN 4 Birugo.20
E. Menyoal Konsep dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia Konsep dan praktik pendekatan pendidikan karakter dalam mendidik moral para murid di sekolah pun perlu kita kaji lebih lanjut. Pada bagian awal, sudah dijelaskan mengenai adanya nilai-nilai yang digunakan sebagai standar dalam pendekatan pendidikan karakter. Para pakar pendidikan karakter menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut ditentukan dari konsensus sekolah dan komunitas. Namun pada realitanya, suara-suara pihak yang mempunyai kepentingan politik dan ideologi telah mempengaruhi pengambilan konsensus tersebut. Kita kemudian bisa mencurigai penetapan 18 nilai dan deskripsi nilai yang dikeluarkan oleh Kemdiknas. Tanggung jawab yang merupakan persoalan mendasar di tengah himpitan neoliberalisme dan militerisme justru diletakkan di bagian paling akhir. Deskripsi nilai tanggung jawab juga justru malah lebih mengarah pada sikap taat pada peraturan. Nilai tanggung jawab juga tidak
20
Sita Acetylena, “Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter di Perguruan Taman Siswa Kecamatan Turen Kabupaten Malang” dalam Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Vol. 1, Tahun 2013, diakses dari http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jmkpp/article/view/1509 pada hari Kamis, 25 juni 2015, hlm. 57-59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
termasuk dalam lima nilai minimal (nyaman, jujur, peduli, cerdas dan tangguh/kerja keras) yang diharapkan untuk dikembangkan di sekolah. Lima nilai minimal itu justru malah bisa dipertanyakan, nilai-nilai itu sebenarnya untuk melayani kepentingan siapa? Nilai-nilai tersebut justru terlihat mendukung kebutuhan pasar akan tenaga kerja yang handal dan setia. Dugaan saya ini semakin kuat karena dalam sebuah artikel di kompas.com, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Prof Dr Mukhlas Samani menyatakan bahwa:21 Di Indonesia, kata Mukhlas, ia pernah melakukan studi kecil tentang kompetensi yang dibutuhkan industri. Dia mengatakan, ternyata, yang diperlukan oleh industri adalah jujur, disiplin, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan pada bidangnya. Dari lima hal itu, kata Muhklas, empat di antaranya lebih dekat dengan karakter sebab hanya satu di antaranya yang fokus pada kemampuan bidang yang berada di luar pendidikan karakter. "Kondisi semacam itu yang membuat kita risau. Ke depan, perlu dipikirkan pengembangan pendidikan karakter," katanya.
Pernyataan Mukhlas Samani tersebut semakin memperkuat kecurigaan bahwa pendidikan karakter memang ada kaitannya dengan kepentingan pasar. Dengan demikian di balik munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia, memang banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya. Penentuan standar melalui nilai-nilai membuat pendidikan karakter disebut sebagai kantung nilai (bag of values). Selain itu, penentuan standar nilai juga membuat para guru lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai itu. Tianlong Yu menyatakan bahwa kebanyakan guru pendidikan karakter lebih berfokus pada 21
Latief (Ed.), “Lho, Industri Lebih Butuh Hasil Pendidikan Karakter”, dalam http://bola.kompas.com/read/2010/04/15/13093311/lho.industri.lebih.butuh.hasil.pendidikan.ka rakter, diakses pada hari Jumat, 20 Februari 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
penyampaian nilai-nilai universal yang telah dipilih dan cenderung menghindari isu-isu perubahan politik yang terjadi. Mereka mengabaikan isu-isu penting soal gender, ras, kelas sosial, agama dan budaya yang ada dalam kehidupan keseharian para murid dan masyarakatnya.22 Penentuan 18 nilai standar oleh Kemdiknas juga membuat kebingungan para guru yang melaksanakan kebijakan pendidikan karakter di lapangan. Walaupun ada kebebasan untuk memilih nilai mana saja yang mau dikembangkan, tetap saja hal tersebut dianggap membingungkan. Sehingga ketika berhadapan dengan pertanyaan, “karakter apa yang hendak dibangun?”, banyak sekolah yang kebingungan menjawabnya. Karena masih belum jelasnya mengenai konsep dan pelaksanaan pendidikan karakter, banyak guru dan sekolah merasa sudah melaksanakan pendidikan karakter dengan pengintegrasian nilai-nilai ke Silabus dan RPP berbasis karakter.23 Penerapan pendidikan karakter justru semakin menambah tugas admistrasi guru dan tidak efektif dalam membentuk etika para murid. Isu-isu yang sedang terjadi dalam masyarakat pun tetap tidak tersentuh. Contoh-contoh tata tertib yang diberikan kepada para murid justru menunjukkan kepada kita bahwa sedari kecil pembentukan etika anak-anak diperkenalkan lebih dalam bentuk perintah atau larangan. Kata “harus” menandakan bahwa tata tertib itu adalah sebuah kewajiban mutlak yang harus dijalankan. Selain itu dalam pikiran anak-anak kita, tata tertib itu memiliki 22
23
Tianlong Yu, In the Name of Morality: Character Education and Political Control, New York, Peter Lang, 2004, hlm. 2. Marfu Muhyiddin, “5 Kesalahan dalam Pendidikan Karakter” dalam http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/11/5-kesalahan-dalam-penerapan-pendidikan-karakter608557.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
konotasi negatif. Selain mengungkapkan dengan kata “harus”, anak-anak cenderung menggunakan “tidak boleh” untuk menggambarkan tata tertib yang mereka tahu. Metode penyampaian nilai-nilai dengan memakai berbagai tempelan atau pajangan kata-kata mutiara dan motivasi di dinding-dinding kelas juga bukanlah metode yang efektif untuk membangkitkan moralitas anak. Nel Noddings menilai penerapan metode-metode seperti itu tidak akan memberikan hasil seperti yang digadang-gadang dalam rumusan tujuan pendidikan karakter.24 Sedari dini, anakanak sudah disuguhi dengan banyaknya aturan simbolik. Hal ini justru malah bisa menyebabkan anak tidak punya lagi imajinasi akan dunia lain selain dunia simbolik yang sudah disuapkan ke mulutnya sejak kecil. Cara-cara tersebut juga justru tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk memperkenalkan adanya beragam relasi di sekitar anak-anak kita.
24
Nel Noddings, op.cit., hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III PENDIDIKAN ETIKA BERBASIS PENGALAMAN: PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) To produce good people we must provide a morally good education.1
A. Pengantar Pada bab II, saya telah menguraikan tentang trend pendidikan karakter yang menjadi konsep dan praktik pendidikan etika arus utama di Indonesia. Saya juga telah menguraikan kemiripan pola, konsep dan praktik pendidikan karakter di Indonesia dengan di AS beserta kecurigaan-kecurigaan saya akan adanya berbagai kepentingan di balik trend tersebut. Di tengah trend tersebut, kita tentu menjadi bertanya-tanya adakah pendekatan selain pendidikan karakter yang bisa dipakai dalam mengajarkan etika kepada anak-anak kita? Jika di AS ada pendidikan kepedulian yang diajukan sebagai alternatif bagi pendidikan karakter lalu bagaimana dengan di negara kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu terus kita munculkan dan kita geluti supaya kita tidak hanya cenderung hanyut mengikuti pesona trend pendidikan karakter yang seolah-olah menjadi pelita di tengah krisis moral. Berkaitan dengan hal itu, pada bab III ini saya akan menyajikan data penelitian saya mengenai praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM). Saya akan memperkenalkan SALAM yaitu sebuah sekolah yang tidak menggunakan pendekatan pendidikan karakter sebagai 1
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, New York, Teachers College Press, 2002, hlm. 154.
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
pendekatan dalam mengajarkan etika kepada para muridnya. SALAM mengajarkan etika kepada anak-anaknya dengan berbasis pengalaman akan realita yang dijumpai dan dihadirkan melalui keseluruhan dinamika yang berlangsung di SALAM. Pengelolaan semua kegiatan baik kegiatan belajar-mengajar maupun kegiatan-kegiatan lainnya berusaha disusun seirama dengan tujuan pendidikan SALAM yaitu menjadikan pendidikan sebagai proses humanisasi. Adapun penyajian data penelitian ini mengikuti metodologi etnografi imajinasi sebagaimana diperkenalkan oleh Paul Willis. Pertama-tama saya akan menyingkap basis material dari orang-orang yang terlibat dalam dinamika SALAM. Siapa sebenarnya mereka dan kapital apa saja yang mereka miliki sehingga mampu mengupayakan dan menghidupi proses yang berlangsung di SALAM. Langkah selanjutnya, saya akan mengungkapkan soal bagaimana orangorang yang terlibat di SALAM baik itu pengurus, fasilitator, murid, maupun orangtua memaknai dunia pendidikan yang dipilihnya. Langkah yang terakhir adalah melihat negosiasi dan evaluasi yang dilakukan oleh SALAM berhadapan dengan pendidikan arus utama yang ia lawan. Penyajian data penelitian ini juga dalam rangka menjawab tiga rumusan masalah yang sudah saya ajukan di bagian pendahuluan.
B. Berkenalan dengan Sanggar Anak Alam (SALAM) Pada bagian awal ini saya akan memperkenalkan Sanggar Anak Alam (SALAM) terlebih dahulu. Pertama-tama, saya akan memperkenalkan orangorang yang terlibat dalam dinamika pendidikan SALAM. Saya berangkat dari dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
sosok utama pendiri SALAM yaitu Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo serta kemudian diikuti oleh sosok-sosok lain yang juga sangat berperan dalam keberlangsungan pendidikan di SALAM. Selanjutnya, saya akan juga menyajikan pandangan SALAM terhadap apa itu yang dimaksud dengan pendidikan alternatif dan penjelasan mereka soal posisi yang mereka ambil di tengah pendidikan arus utama. Saya juga akan membahas pemikiran dan aksi nyata dari tokoh-tokoh pendidikan yang memberikan pengaruh serta menjadi inspirasi penyelanggaraan pendidikan di SALAM.
1. Sosok Dibalik Berdiri dan Berlangsungnya Proses Pendidikan di SALAM SALAM tidak bisa dipisahkan dari nama dua orang penggagas utamanya yaitu Sri Wahyaningsih atau yang lebih akrab disapa dengan Bu Wahya dan Toto Rahadjo atau yang lebih akrab disapa dengan Pak Toto. Mereka sama-sama aktif dalam berbagai kegiatan pendampingan masyarakat. Mereka juga dulu pernah bersama-sama dengan Romo Mangun dalam kegiatan pendampingan kepada warga Kali Code. Bu Wahya lahir di Klaten, 19 Desember 1961. Ia memang bergelut dalam dunia pendidikan namun ia justru tidak memiliki pengalaman kuliah di jurusan kependidikan. Ia adalah tamatan dari jurusan Keuangan dan Perbankan, STIE Yakub Yogyakarta. Selama kuliah di STIE, ia sering terlibat dalam kegiatan pendampingan di Kali Code. Melalui keikutsertaannya itu, Bu Wahya kemudian berkenalan dengan Romo Mangun beserta dengan gagasan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
gagasannya yang kemudian menginspirasi dan menggugah pemikiran Bu Wahya. Ketika Bu Wahya lulus kuliah, ia menjadi semakin aktif terjun di kegiatan pendampingan Kali Code. Bu Wahya bertugas sebagai tenaga lapangan merangkap bendahara. Selain menjadi lebih aktif terlibat dalam kegiatan dan kepengurusan di Kali Code, Bu Wahya juga semakin intens dalam menimba ilmu kepada gurunya yaitu Romo Mangun. Aktivitas Bu Wahya di Code berlangsung selama tiga tahun yaitu pada 1983-1986, namun interaksinya dengan Romo Mangun secara intens berlangsung kurang lebih lima tahun yaitu pada 1983-1988 yaitu sebelum akhirnya Bu Wahya pindah ke Lawen.2 Pak Toto juga merupakan sosok yang aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Ia aktif sebagai fasilitator pendidikan karakyatan (popular education) dan pengorganisasian rakyat terutama di Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Ia adalah seorang aktivis organisasi nonpemerintah di Yogyakarta. Selain banyak berkiprah di dunia pendidikan dan pengorganisasian rakyat, Pak Toto juga cukup aktif di dunia kesenian. Ia ikut mendirikan kelompok musik Kiaikanjeng. Selain itu, ia bersama dengan Indra Tranggono, Isti Nugroho, dan Joko Kamto mendirikan Dapoer Seni Djogja (DSD). Dan masih cukup banyak aktivitas yang dijalankan oleh Pak Toto.
2
Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja (Catatan Pengalaman Penyelenggaran Pendidikan Dasar di Sanggar Anak Alam (SALAM), Yogyakarta, Progress berkerja sama dengan SALAM dan Tanoto Foundation, 2014, hlm. 53.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Gambar 3.1 Sosok Bu Wahya, pendiri SALAM
Sumber: http://citralekha.com/salam2/
Gambar 3.2 Sosok Pak Toto, pendiri SALAM
Sumber:https://www.caknun.com/author/toto-rahardjo
SALAM yang saat ini dikenal berada di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari kisah perjuangan Bu Wahya di desa Lawen. Lawen yang terletak di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah merupakan kampung kelahiran Pak Toto. Setelah menikah dengan Pak Toto, Bu Wahya memutuskan untuk tinggal bersama mertuanya yang merupakan Kepala Desa Lawen. Pak Toto sendiri justru pergi ke NTT karena terlibat dalam sebuah program pengorganisasian masyarakat di sana. Di Lawen, Bu Wahya bertemu dengan kondisi masyarakat yang menurutnya ironis. Lawen merupakan desa terpencil dengan ketinggian 1000 mdpl.3 Lahan Lawen sangat subur tetapi masyarakatnya justru miskin. Sumber daya di Lawen melimpah ruah tetapi orang-orang justru lebih memilih menjadi pekerja kasar di kota. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana situasi dan kondisi masyarakat Lawen, Bu Wahya kemudian keliling kampung untuk melakukan riset kecil. Hasil dari riset menunjukkan bahwa ada tiga sekolah di desa tersebut dengan persoalan yang serupa. Jumlah anak di kelas satu cukup 3
Ibid, hlm. 55.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
banyak yaitu bisa mencapai 50 anak, namun begitu di kelas enam jumlahnya berkurang sangat banyak. Ada yang tinggal tujuh atau sembilan anak, paling banyak adalah 15 anak di kelas enam. Selain itu di Lawen banyak terjadi penikahan dini sehingga yang terjadi adalah anak mengasuh anak. Dari realita tersebut, Bu Wahya kemudian menggunakan rumahnya untuk mengumpulkan anak-anak desa Lawen. Bu Wahya melakukan pendampingan belajar baik bagi anak-anak yang masih sekolah ataupun anak yang putus sekolah. Kegiatan Bu Wahya ini ternyata menarik keinginan anakanak untuk datang dan akhirnya Bu Wahya sampai kewalahan untuk mengajar sendiri. Lalu ibu-ibu PKK pun kemudian memberikan bantuan dengan ikut memberikan bimbingan belajar kepada anak-anak desa Lawen. SALAM Lawen secara perlahan mulai berdiri hingga kemudian diresmikan pada tanggal 17 Oktober 1988. Nama Sanggar Anak Alam sendiri merupakan nama yang berasal dari usulan anak-anak. Pada awalnya, anak-anak mengusulkan nama Anak Alam untuk menyebut kelompok belajar mereka. Bu Wahya kemudian mengusulkan untuk menambahkan kata Sanggar di depannya. Usul Bu Wahya tersebut disetujui dan akhirnya Sanggar Anak Alam (SALAM) menjadi nama komunitas mereka. Aktivitas yang dilakukan oleh SALAM Lawen adalah penyelenggaraan pendidikan anak pra sekolah, bimbingan belajar, pertanian organik, peternakan, pertukangan dan seni budaya. Kegiatan SALAM Lawen berlangsung baik selama tujuh tahun hingga menjadi berhenti karena ditinggal oleh pendirinya, Bu Wahya yang memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta. Pekerjaan Pak Toto yang berpindah-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
pindah tempat tugas dan hanya bisa mengunjungi keluarganya sebulan atau dua bulan sekali membuat Bu Wahya dan Pak Toto akhirnya memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. SALAM Lawen kemudian bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. SALAM rupanya belum mengakar kuat di masyarakat Lawen dan masih bertopang pada kepemimpinan Bu Wahya sehingga ketika Bu Wahya pergi, SALAM Lawen pun menjadi mandeg. SALAM kembali berdiri di tempat Bu Wahya berada yaitu di kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul yang dikenal hingga saat ini. Dulu Bu Wahya sempat menjadi ketua RT di kampung Nitiprayan. Setiap rapat RT, Bu Wahya meminta kehadiran setiap perwakilan keluarga tidak hanya bapak-bapak saja tetapi juga ibu-ibu untuk menggali lebih jauh mengenai pergumulan yang ada di RT mereka. Permasalahan yang dijumpai waktu itu adalah soal banyaknya warga yang memperoleh modal usaha dengan meminjam uang dari renternir. Melalui rapat, warga kemudian sepakat untuk mendirikan koperasi bersama yang kemudian dinamakan koperasi Asti Nastiti dengan anggota awal sebanyak 150 orang. Seiring berhasilnya program koperasi dan adanya keanggotan yang rangkap maka jumlah keanggotan koperasi diperamping khusus untuk orangtua SALAM saja. Ide pendirian SALAM kembali tidak muncul secara tiba-tiba. Sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) mengadakan pelatihan kepada sekitar 100 ibu tentang bagaimana mengurus anak. Melalui pelatihan tersebut kemudian ada ide dan diskusi untuk membangun pendidikan anak untuk usia dini. Setelah melaui proses diskusi dan persiapan, lalu muncullah Kelompok Bermain (KB)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
SALAM pada tahun 2004 yang kegiatannya berlangsung di rumah Bu Wahya sendiri. Seiring berjalannya proses pendidikan di KB, orangtua ternyata menunjukkan ketertarikan mereka. Bu Wahya sering mengadakan pertemuan dengan para orangtua membahas tentang persoalan pendidikan. Para orangtua kemudian mengajukan ide untuk didirikannya jenjang pendidikan lanjutan yang mempunyai ide dasar seperti KB SALAM. Maka SALAM pun kemudian meresmikan Taman Anak (TA) pada tahun 2006. Dinamika SALAM pun terus berlanjut. Setelah KB dan TA didirikan, kemudian orangtua kembali berinisiatif untuk didirikannya jenjang lanjutan yaitu Sekolah Dasar (SD) SALAM. Para orangtua menyatakan keinginannya akan tempat belajar tingkat lanjut yang sejalan dengan misi SALAM yang sudah diperkenalkan kepada para anaknya selama di KB dan TA. Maka pada tahun 2008, SALAM membuka jenjang SD dengan murid pertamanya berasal dari TA SALAM dan ditambah beberapa anak dari luar SALAM. Dan pada tahun 2012, SALAM kembali membuka jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk angkatan pertama. Dengan demikian hingga saat ini SALAM memiliki jenjang pendidikan dari KB, TA, SD dan SMP. Bu Wahya dan Pak Toto merupakan dua sosok utama yang bagi keberadaan SALAM. Bu Wahya lebih berfokus pada soal operasional penyelenggaraan pendidikan SALAM, sementara Pak Toto lebih berfokus pada tataran konsep bagaimana penyelenggaraan pendidikan SALAM harus dijalankan. Tentu operasional penyelenggaraan pendidikan tidak bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
dijalankan oleh Bu Wahya sendiri. Ada pengurus SALAM yang lain, fasilitator dan forum orangtua yang ikut mendukung berlangsungnya dinamika di SALAM. Yudhistira Aridayan atau yang akrab disapa Mas Yudhis oleh anakanak SALAM adalah ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) SALAM. Anak-anak SALAM memang tidak harus memanggil para fasilitator dengan sebutan pak atau bu tetapi juga dengan mas atau mbak dan panggilan akrab lainnya. Mas Yudhis bergabung dengan SALAM sejak tahun 2008 yaitu sejak ia lulus dari kuliahnya di jurusan filsafat. Sejak dulu ia sudah aktif di kegiatan pemuda baik di kampungnya maupun di gereja. Keputusannya berada di dunia pendidikan merupakan sebuah pergulatan dan proses yang panjang bagi Mas Yudhis. Selain di SALAM, ia bekerja sama dengan temannya juga mempunyai tempat penitipan anak yang bernama Domba Ceria. Sebagai ketua PKBM, Mas Yudhislah yang mengawal berjalannya proses pendidikan di SALAM. Selain Mas Yudhis, SALAM juga mempunyai cukup banyak fasilitator. Ada fasilitator yang sudah cukup lama bergabung dengan SALAM dan ada pula yang hanya menjadi volunter di SALAM untuk waktu yang relatif singkat. Ada fasilitator yang mempunyai latar belakang kuliah dari jurusan kependidikan namun cukup banyak juga yang berasal dari jurusan lain, misalnya Bu Erwin dari jurusan pertanian, Mas Timo dari jurusan psikologi, Mbak Hepi dari jurusan sejarah, Mbak Nurul dari jurusan ahli gizi dan seterusnya. Beberapa orangtua murid juga menjadi fasilitator di SALAM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Jumlah fasilitator muda cukup banyak, baik yang baru lulus kuliah maupun yang ikut bergabung sembari mengerjakan penelitian tugas akhirnya. Selain menjadi fasilitator, banyak pula dari mereka yang kemudian ikut berperan menjadi pengurus keanggotaan SALAM. Susunan keanggotaan SALAM dapat kita lihat pada bagan 3.1 berikut ini: Bagan 3.1 Susunan keanggotaan SALAM
Sumber: Data dari pengurus SALAM
Untuk
mendukung
dinamika
pendidikannya,
SALAM
juga
membutuhkan dana baik untuk membiayai gaji fasilitator, kebutuhan sarana dan prasarana belajar serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bu Wahya menyatakan bahwa SALAM berupaya membiayai dirinya sendiri dan tidak meminta dana bantuan dari pemerintah. SALAM mempunyai usaha sendiri yaitu dengan menjual produk-produk berbahan alami seperti sabun herbal, minuman herbal, beras organik dan seterusnya. Selain itu, ada pula uang SPP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
yang harusnya dibayar setiap bulan oleh para orang tua murid. Jumlah nominalnya tidak sama, tergantung kesepakatan pada awal masuk di SALAM. Pada waktu saya masih menjadi relawan di sana, rata-rata uang SPP untuk SD sebesar 200 ribu rupiah. Uang SPP itu selain untuk membayar operasional proses belajar juga untuk biaya snack dan makan siang anak-anak. SALAM juga sangat terbuka bagi siapapun yang ingin ikut terlibat mendukung kegiatan di SALAM dalam sebuah wadah yang diberi nama Kerabat SALAM. Kerabat SALAM adalah sebuah wadah atau komunitas yang beranggotakan orang-orang yang dengan sukarela bersedia mendukung kegiatan SALAM.4 Dukungan yang diberikan selain dalam wujud ikut menjadi tenaga fasilitator juga bisa dengan sumbangan pemikiran untuk perkembangan SALAM dan sumbangan berbentuk dana, buku-buku atau alat penunjang proses belajar lainnya. Keanggotaan Kerabat SALAM bersifat sukarela, tidak mengikat dan tidak harus berdomisili di Yogyakarta.5 Selain dukungan dari Kerabat SALAM, orangtua pun ikut berpartisipasi dalam mendukung dinamika SALAM. Oleh sebab itu, kerjasama SALAM dengan
orangtua
murid
diwadahi
dalam
Forum
Orangtua
SALAM
(FORSALAM). Kerjasama antara SALAM dan orangtua sudah dirintis sejak tahun 2004 yaitu ketika SALAM mulai menyelenggarakan jenjang pendidikan KB. Adanya forum orangtua berangkat dari kesadaran bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak hanya tanggung jawab sekolah tempat putra-putrinya belajar
4 5
Ibid, hlm. 167. Ibid, hlm. 168.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
namun merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, orangtua, masyarakat dan juga negara. Forum Orangtua SALAM mendukung dinamika SALAM melalui ikut terlibat dalam membantu fasilitator dalam proses belajar dan juga melalui diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan empat bidang fokus perhatian SALAM (pangan, kesehatan, lingkungan dan sosial budaya). Forum Orangtua SALAM lah yang menyelenggarakan Pasar Sehat dan Kreatif bekerja sama dengan Kerabat SALAM. Pasar tersebut diadakan untuk menggalang dana sekaligus mengkampanyekan makanan sehat dari bahan lokal serta mewadahi hasil kreasi dari para Kerabat SALAM. Mayoritas anggota Forum Orangtua SALAM adalah para seniman atau anggota komunitas yang pikirannya terbuka soal dunia pendidikan dan memiliki kegelisahan yang serupa dengan SALAM. Perpindahan SALAM dari Lawen ke Nitiprayan membuat para pendiri SALAM melakukan desain ulang terhadap penyelenggaraan pendidikannya. Jika di Lawen, anggota komunitas SALAM adalah para petani maka di Nitiprayan, anggota komunitas SALAM mayoritas adalah para seniman. Predikat Nitiprayan sebagai kampung seniman dinyatakan membawa pengaruh bagi keberadaan SALAM. Demikianlah sosok orang-orang yang ikut terlibat dalam dinamika yang berlangsung di SALAM. Pemikiran Bu Wahya dan Pak Toto yang merupakan penggagas utama dari SALAM banyak berkembang dari proses yang mereka jalani lewat keaktifan mereka di berbagai kegiatan pendampingan masyarakat. Para anggota komunitas SALAM baik para fasilitator, kerabat SALAM dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Forum Orangtua merupakan orang-orang yang memiliki pemikiran terbuka terhadap persoalan pendidikan.
2. SALAM dan Predikat sebagai Sekolah Alternatif Soal SALAM yang mendapat predikat sekolah alternatif, para pengurus SALAM sendiri juga paham akan beratnya predikat tersebut. Dalam wawancara yang saya lakukan, Pak Toto menyatakan bahwa orang-oranglah yang memberikan predikat alternatif itu kepada SALAM. Ia sendiri tidak menyangka bahwa pendidikan yang ia kembangkan melalui SALAM akan dinilai sebagai pendidikan alternatif oleh orang lain. Pak Toto memaknai apa yang disebut sebagai pendidikan alternatif sebagai berikut:6 Alternatif itu kan muncul karena yang mainstream dianggap ngak menjawab, mestinya kan gitu. Tapi belum tentu karena yang alternatif itu bisa jadi tidak berbeda dengan yang mainstream. Maka ya harus dicek, dicek tujuannya, harus dicek cara penyelenggaraannya, harus dicek relasi antar orang yang terlibat. Kalau soal metode itu di setiap tempat bisa berbeda ya. Saya kira bukan itu. Memang agak berat untuk menjalankan yang alternatif itu. Intinya alternatif itu tidak hanya sekedar metode. Dilihat dari filosofinya, praktiknya seperti apa, penyelenggaraan serta tujuan yang ingin dicapai apa. Jadi harus alternatif semuanya. Menurut Pak Toto yang disebut sebagai pendidikan alternatif bukan sekedar metode penyelenggaraan pendidikannya saja yang berbeda, melainkan seharusnya hal yang paling mendasar adalah ideologi pendidikan yang berbeda dari ideologi pendidikan arus utama yang ada. Ideologi tersebut kemudian diwujudnyatakan dalam tujuan pendidikan, pilihan metode pembelajaran serta
6
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
bentuk relasi antara para penyelenggara pendidikan.7 Relasi yang dimaksud disini mencakup relasi semua orang yang terlibat dalam dinamika SALAM baik itu relasi sesama anak, anak-fasilitator, sesama fasilitator, fasilitatororangtua, sesama orangtua maupun relasi dengan masyarakat sekitar. Menurut Pak Toto, paling tidak ada empat karakter sekolah alternatif yang membedakannya dengan sekolah arus utama. Pertama, filosofi yang mendasari
praktik
pedagogisnya.
Pada
umumnya,
sekolah
alternatif
menjalankan proses pendidikan dari sudut pandang yang lebih humanistik. Hal ini merupakan perlawanan terhadap kecenderungan sekolah arus utama yang mengutamakan pencapaian akademik.8 Kedua, pendidikan alternatif berorientasi pada anak. Sekolah berusaha membangun proses pendidikan yang menghargai anak sebagai individu yang sedang tumbuh dalam lingkungan alaminya. Anak belajar mengandalkan diri sendiri dan pada saat yang sama, ia juga belajar bagaimana bekerja dengan orang lain untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi di alam terbuka.9 Ketiga, penerapan pendekatan holistik dalam proses pembelajaran. Materi pembelajaran diberikan secara holistik tidak terkotak-kotak dalam mata pelajaran. Pendekatan ini juga sering disebut dengan jaring laba-laba. Diharapkan dengan penerapan pendekatan tersebut, murid menjadi terlatih untuk mengaitkan semua topik yang sudah mereka pelajari dengan sesuatu yang bermakna dalam keseharian mereka.10
7 8 9 10
Ibid, hlm. 90. Ibid, hlm. 91-92. Ibid, hlm. 92-93. Ibid, hlm. 93-94.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Keempat, hubungan yang demokratis antara guru, murid dan orangtua. Guru tidak menjadi sang maha tahu yang menyalurkan isi kepalanya ke dalam wadah-wadah kosong para muridnya. Tugas guru adalah merawat hasrat ingin tahu para muridnya. Demikian pula peranan orangtua dalam mendukung proses pembelajaran para anaknya juga sangat penting. Semua anggota sekolah baik guru, murid dan orangtua mempunyai tanggungjawab menciptakan pendidikan yang baik sebagai satu komunitas yang demokratis.11 Keempat karakter sekolah alternatif yang dijelaskan oleh Pak Toto tersebut berusaha diterapkan di SALAM. Keempat karakter sekolah alternatif tersebut dijadikan ideologi pendidikan SALAM dan berusaha dijabarkan ke dalam tujuan pendidikan SALAM yang ingin mendidik anak-anaknya menuju kepada manusia yang humanis, pilihan metode belajar SALAM yang menggunakan daur belajar serta relasi yang cair antara semua pihak yang terlibat dalam dinamika pendidikan di SALAM. Soal kata “Alam” di nama SALAM pun juga sering mengundang kesalapahaman orang terlebih di jaman sekarang yang sedang booming sekolah alam. Pak Toto berusaha menjelaskan posisi SALAM sebagai berikut:12 Tekanan SALAM lebih pada ‘anak alam’, bukan sekolah alam itu sendiri. Artinya ‘anak alam’ itu dimaksudkan bahwa setiap anak itu adalah orisinal dan otentik dilahirkan oleh alam, sehingga sekolah tidak boleh merusak orisinalitas dan otentisitas setiap anak, bahkan sebaliknya, sekolah justru harus membantu setiap anak untuk menumbuhkembangkan orisinalitas dan otentisitas tersebut.
11 12
Ibid, hlm. 94. Ibid, hlm. 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Lebh lanjut Pak Toto menguraikan penggunaan alam sekitar dalam dinamika pembelajaran SALAM sebagai berikut:13 Bagi SALAM pilihan untuk menjadikan alam sekitar sebagai lingkungan pembelajaran bukanlah tempelan semata. Sekolah alam yang menangkap ini sebagai model semata, dengan bikin sungai atau sawah buatan dan berbagai rekayasa lainnya, sesungguhnya mengusung semangat yang berbeda. Proses pembelajaran “sekolah di tengah sawah” yang ditempuh SALAM dilandasi oleh kesadaran bahwa kita senyatanya memang hidup di negara agraris. Jadi bagaimanapun titik tolaknya seharusnya adalah di bidang pertanian. Menurut Pak Toto, saat ini banyak sekolah alam yang bermunculan tidak jarang yang hanya berorientasi pada metode belajar yang dilaksanakan di ruang terbuka. Mereka belum jauh berangkat dari kegelisahan terhadap ideologi pendidikan tetapi lebih karena alasan metode dan teknik belajar saja. Dan yang lebih menggelisahkan lagi, model sekolah alam justru ditangkap sebagai peluang pasar. Pak Toto mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut:14 Di sisi lain, banyak sekolah yang mengaku sebagai alternatif lebih menekankan pada aspek kebebasan berekspresi anak, asal anak senang. Yang penting anak menikmati masa kanak-kanaknya dengan ceria, urusan selesai. Ini lalu diterjemahkan dengan menghias ruang belajar sewarna-warni mungkin, mengajak anak berjalan-jalan ke banyak tempat, atau seribu satu metode lain agar anak tak cemberut. Akibatnya sekolah-sekolah semacam ini justru hanya menjadi alternatif bagi orangtua berdompet tebal. Berangkat dari realita akan semakin maraknya pendidikan alternatif yang lebih mengarah pada peluang pasar, Pak Toto juga menerangkan tentang alasan pembangunan gedung SALAM yang mayoritas terbuat dari bambu dan kayu. Pembangunan itu dilakukan dengan alasan supaya terasa lebih humanis dan 13 14
Ibid, hlm. 99. Ibid, hlm. 96.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
tidak terlalu tegas seperti bangunan-bangunan sekolah lain. Selain itu, bahan bambu dan kayu merupakan bahan dari alam yang langsung bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Gambar 3.3 adalah gambar bangunan yang dipakai sebagai tempat belajar anak-anak SALAM: Gambar 3.3 Bangunan sekolah SALAM
Sumber: Foto dirangkai dari berbagai sumber
3. Inspirasi Penyelenggaraan Pendidikan SALAM SALAM menyelenggarakan proses pendidikannya dengan mengambil beberapa pemikiran dan inspirasi dari para tokoh pendidikan. Para tokoh pendidikan yang sering disebut sebagai inspirator SALAM adalah mereka yang mengupayakan pendidikan alternatif di tengah pendidikan arus utama yang dinilai tidak mendukung kebutuhan anak maupun masyarakat. Para tokoh pendidikan itu ialah Romo Mangun, Paulo Freire, Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Pertama-tama yang perlu kita lihat dari sebuah institusi pendidikan adalah bagaimana mereka mendefinisikan istilah anak itu sendiri. Definisi ini sangat penting karena kemudian berkaitan dengan cara institusi tersebut memberlakukan anak-anak didiknya. Para pengurus SALAM mendefinisikan dan memberlakukan anak-anaknya mengikuti pandangan dari Romo Mangun. Semboyan Romo Mangun “anak adalah maha guru bagi dirinya” turut menjadi semboyan SALAM Pak Toto melihat anak sebagai makluk hidup yang secara kodrati akan tumbuh dan berkembang sehingga yang mereka butuhkan adalah lahan dan
perhatian
yang sungguh-sungguh. Pak Toto menyatakan
pandangannya soal bagaimana ia melihat sosok anak sebagai berikut:15 Pada dasarnya anak merupakan pribadi yang unik, juga secara alamiah sejak kodratnya, anak-anak merupakan siswa yang aktif, anak-anak dari naluri sesungguhnya selalu menuju pada proses perkembangan, ingin berjalan ke depan, ingin tahu dan selalu menuju arah untuk mencapai keberhasilan, maka biarlah anak-anak mekar dan berkembang dengan dirinya. Setelah kita melihat definisi anak dari sebuah institusi pendidikan, poin lain yang tidak kalah penting adalah melihat apa tujuan dari pendidikan yang mereka selenggarakan. Apa peran sekolah di mata para penyelenggaranya? Para pengurus SALAM memaknai peran dan tanggung jawab sekolah juga masih berangkat dari pandangan Romo Mangun. Pak Toto selalu mengingat ajaran Romo Mangun soal sekolah yang mempunyai tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya menuju kepada manusia yang seutuhnya. Berikut adalah uraian Pak Toto mengenai ajaran Rama Mangun tersebut:16
15 16
Ibid, hlm. 11 Ibid, hlm. 14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Saya ingat almarhum Romo Mangun Wijaya pada tahun 1987 sudah memperingatkan tentang bagaimana peran sekolah: “bahwa sekolah harus bersifat integral menuju ke manusia yang seutuhnya. Maka watak dan karakter, adalah menjadi hasil primer. Bukan terutama kepandaian atau keterampilan. Walaupun kepandaian, kecerdasan, keterampilan adalah dimensi yang penting. Namun dalam negeri yang berada dalam iklim “Panca Celaka”, korupsi, gontok-gontokan dan semua masih serba hukum rimba, pendidikan kita harus dinamakan gagal, apabila kita tidak mampu mendidik para peserta pendidikan kita menjadi manusia yang budiman. Pak Toto pun setuju pembentukan watak dan karakter menjadi aspek utama dalam pendidikan di sekolah. Dalam rangka pembentukan watak dan karakter tersebut, Pak Toto dan pengurus SALAM yang lain lalu bergulat dengan pertanyaan soal apa yang perlu dipelajari oleh anak-anak dan bagaimana mengajarkannya. SALAM tidak ingin mengikuti sekolah arus utama di mana kebanyakan anak disuguhi dengan materi-materi yang jauh dari kehidupannya, SALAM berkeinginan untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan di mana anak-anak harus belajar dimulai dari realitas dan pengalaman yang mereka jumpai sendiri. Dengan cara demikian anak-anak akan benar-benar memahami dan menguasai materi yang mereka pelajari serta tidak akan mengatakan hal-hal yang sebenarnya mereka tidak tahu. SALAM mengutip pendapat Confusius soal pentingnya arti belajar dari pengalaman dari kata-kata berikut:17 Saya Dengar, Saya Lupa Saya Lihat, Saya Ingat Saya Lakukan, Saya Paham Saya Temukan, Saya Kuasai
17
Ibid, hlm. 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Kata-kata Confusius tersebut yang digunakan sebagai semboyan SALAM dalam proses pembelajaran anak-anaknya. Pendapat Confusius soal pentingnya belajar dari pengalaman sendiri ini serupa dengan pemikiran Paulo Freire yang juga mempengaruhi konsep pendidikan SALAM. Didorong situasi masyarakat Brasil yang dibelenggu oleh kemiskinan, kekerasan, ketidakberdayaan dan ketidakadilan,
Paulo
Freire
mencetuskan
tentang
pendidikan
yang
membebaskan. Pendidikan harus mengantarkan orang kepada kenyataan yang sesungguhnya. Ia mencetuskan konsep conscientizacao (kesadaran), dimana kesadaran yang dicapai adalah untuk pembebasan dinamis atau yang disebut kemanusiaan yang lengkap menurut Freire. Freire mengkritisi pendidikan dengan sistem banking yang mengarah pada proses dominasi. Guru sebagai orang satu-satunya yang maha tahu meniadakan prinsip “kesadaran aktif” murid-muridnya. Pendidikan ini menjalankan praktik-praktik yang digunakan orang untuk “menjinakkan” kesadaran manusia, mentransformasikan ke dalam sebuah wadah kosong. 18 Pak Toto menyebut sekolah-sekolah yang menerapkan sistem banking tersebut sebagai “sekolah dengar”. Freire mempunyai prinsip bahwa pendidikan adalah sebuah proses pembebasan dan humanisasi yang memandang kesadaran sebagai hasrat terhadap dunia.19 Proses pencapaiannya yaitu melalui dialog bersama antara guru dan murid di mana guru dan murid duduk sebagai mitra yang sedang
18
19
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (terj.), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 191. Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
sama-sama belajar untuk melihat permasalahan yang sebenarnya. Dengan cara demikian, pendidikan baru mempunyai kekuatan untuk mengubah realita. Dialog menjadi jalan membawa anak didik menjadi subjek yang mememiliki kesadaran akan dunia yang sedang dihadapinya. Pak Toto pun memaknai konsep dialog Freire sebagai berikut:20 Ya kan saya kira kekuatannya Freire itu ada di dialogisnya itu yang mengingatkan bahwa jangan (apa namanya) mengobjekkan anak didik, kayak gitu. Saya kira di SALAM kan mencoba menyadari untuk melakukan itu. Untuk menghindari mengobjekkan tetapi semua orang jadi subjek dalam kehidupan. Bagi Pak Toto, konsep dialogis Freire memberi inspirasi soal penekanannya pada bagaimana pendidikan itu bisa menciptakan hubungan yang demokratis antara guru, murid, orangtua dan juga masyarakat. Pemikiran Freire soal pendidikan yang membebaskan dan konsep dialogisnya memang lebih banyak diterapkan bagi pendidikan orang dewasa tetapi Pak Toto ingin menerapkannya pada anak-anak SALAM, seperti yang diungkapkannya berikut ini:21 Freire kan selama ini diterapkan dalam orang dewasa. Saya pun selama ini menerapkan di orang dewasa. Nah, saya pengen kenapa tidak diterapkan di anak-anak gitu. Saya kira pendidikan orang dewasa itu bukan hanya pendidikan umurnya yang sudah dewasa tetapi bagaimana memperlakukan semua orang itu dewasa gitu lho, secara dewasa. Pemikiran Freire tentang pendidikan yang membebaskan sekaligus memberdayakan juga nampak turut mempengaruhi pandangan Pak Toto dalam mengaitkan penyelenggaraan pendidikan alternatif dan kebutuhan komunitas 20 21
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015 Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
serta masyarakat. Agar pendidikan itu mempunyai kekuatan memberdayakan komunitas dan masyarakatnya, maka proses pendidikan itu tidak hanya penting untuk sampai pada pemecahan masalah (problem solving) tetapi juga sampai pada memproblematisasikan masalah (problem posing). Pak Toto menguraikan pemaknaannya soal kaitan pendidikan dan transformasi masyarakat sebagai berikut:22 Pendidikan alternatif seharusnya bisa melakukan transformasi keadaan dengan mengutamakan pengorganisasian pikiran. Peserta didik harus paham akan masalah yang ada disekitarnya dan menyikapinya secara kritis. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, pendidikan alternatif sebaiknya didahului oleh semacam survei mendalam tentang kehidupan peserta didik. Materi ajar pun sebaiknya tak hanya mampu memecahkan masalah yang ada, tapi juga mencari tahu penyebab masalah sehingga masyarakat akan memiliki pemahaman yang menyeluruh. Masih ada juga beberapa tokoh lain yang dipakai sebagai inspirasi penyelenggaraan pendidikan SALAM diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara, Gurudev Rabindranath Tagore, dan Julius Nyerere. Tiga sosok pendidik tersebut dijadikan teladan dalam memaknai hubungan sekolah dan alam sekitar. Tagore mendirikan Ashram Santiniketan di kawasan Bengal Barat, India pada penghujung tahun 1901. Terilhami oleh Tagore dan konsep pendidikan Maria Montessori, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Penyelenggaraan pendidikan yang menggunakan alam sekitar sebagai sumber belajar juga ditemukan pada Julius Nyerere yang tak lain adalah presiden pertama Tanzania. Nyerere berpandangan bahwa semua rakyat Tanzania harus menjadikan kebun atau ladang garapan mereka sekaligus sebagai sekolah mereka.
22
Ibid, hlm. 102.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Oleh sebab itu, anak-anak Tanzania belajar sistem pertanian kolektif nasional melalui pengalaman nyata yang mereka jumpai di kebun atau ladang mereka.23 Ki Hajar Dewantara, Gurudev Rabindranath Tagore, dan Julius Nyerere sama-sama mendirikan tempat belajar dengan menjadikan masalah dan kebutuhan alam sekitar sebagai basis utama proses pembelajaran anak-anak muridnya. Pemikiran dan praktik pendidikan dari ketiga orang tersebut kemudian menginspirasi SALAM berkaitan dengan pemaknaan mereka tentang sekolah alam seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Toto. Sekolah alam bukan sekedar dimaknai sebagai sekolah yang berorientasi pada metode belajar di alam terbuka tetapi melangkah lebih jauh harus sampai pada mengetahui permasalahan dan kebutuhan alam sekitarnya.
C. Pendidikan Arus Utama di Mata Para Pendiri SALAM Pada bab II, saya sudah menguraikan soal pendidikan karakter sebagai konsep dan praktik pendidikan etika di sekolah arus utama. Maka dalam sub bab ini, saya akan menyajikan bagaimana para pengurus SALAM melihat realitas pendidikan kita saat ini dan keprihatinan apa yang mereka rasakan hingga mendorong lahirnya SALAM. SALAM bukan pertama-tama lahir karena kegelisahan seputar realitas pendidikan etika yang diterapkan pada sekolah kebanyakan semata. Ada banyak kegelisahan lain yang dirasakan dari pendidikan arus utama, diantaranya pemberlakuan standar yang sama oleh pemerintah untuk semua wilayah Indonesia, pengelolaan institusi sekolah yang lebih mengarah seperti pengelolaan perusahaan serta makin maraknya sekolah yang berlomba23
Toto Rahardjo, op.cit., hlm. 2-6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
lomba untuk menawarkan segudang prestasi sebagai jaminan kesuksesan anak di masa depan. Masih banyak kegelisahan lain seputar pendidikan arus utama yang dirasakan oleh para pengurus SALAM. Namun kegelisahan utama yang dirasakan adalah soal materi pembelajaran yang tidak berkaitan dengan realitas yang dijumpai anak di dunia sekelilingnya. Ada banyak kejanggalan yang ditemukan pada saat pendampingan belajar sore hari seperti yang diungkapkan oleh Bu Wahya sebagai berikut:24 Ada pertanyaan, ungkapkan kekagumanmu terhadap Candi Borobudur? Bagaimana mau mengungkapkan kekagumannya kalau dia belum pernah lihat. Nah, tapi itu kan harus tetap dijawab. Kalau tidak dijawab salah. Saya bilang aja konon kabarnya Borobudur itu seperti ini (tertawa) karena belum pernah tahu. Nah ini kan pembelajaran pembohongan-pembohongan dan tidak realitis kayak gitu. Dan anakanak harus belajar tentang (eee) kebijakan-kebijakan publik, otonomi daerah, prosedur pemilihan gubernur, pemilihan presiden. Untuk apa itu lho, anak-anak SD belajar seperti itu. Nah jadi, dan apa ya, banyak hal pertanyaan-pertanyaan yang janggal. Terus misalnya IPA gitu ya, terus itu (eee) cuma ada gambar gitu kalau ini bisa dicangkok, kalau dicangkok itu seberapa ininya. Tapi mereka ngak pernah praktik. Jadi saya merasa, wah kok ini ngak pas. Sementara alam semesta ini menyediakan laboratorium yang luar biasa. Kita bisa belajar apa saja dari situ. Menurut Bu Wahya, kejanggalan-kejanggalan itu menunjukkan bahwa materi-materi yang diajarkan di pendidikan dasar kita justru jauh dari keseharian yang ditemui oleh anak-anak. Hampir kebanyakan anak mempelajari bayangan, mempelajari fatamorgana yang sangat sulit dipahami apalagi dimiliki. Kecenderungan anak hanya mempelajari bayangan juga berlaku pada proses pembelajaran etika. Menurut Pak Toto, materi yang dipelajari kepada anak
24
Wawancara dengan Bu Wahya tanggal 7 Mei 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
seharusnya bukanlah “ajaran” (wejangan, nasihat, dsb) dari seseorang melainkan mempelajari keadaan nyata atau pengalaman seseorang/kelompok yang terlibat dalam keadaan nyata tersebut. Dengan cara demikian, tidak ada otoritas pengetahuan seseorang yang lebih tinggi dari yang lainnya. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam kenyataan tindakan atau pengalaman langsung, bukan pada retorika atau “kepintaran omongan”. Menurut Pak Toto, pengajaran etika melalui mata pelajaran justru lebih mengarah pada pemberian ajaran tersebut. Relasi tidak akan terbentuk melalui cara seperti itu. Berkaitan dengan pemberian pelajaran agama di sekolah, SALAM mempunyai pandangan tersendiri. Menurut para pengurus SALAM, pengajaran agama bukanlah tugas sekolah melainkan keluargalah yang mempunyai tanggung jawab pokok dalam membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut. Para pengurus SALAM berpendapat bahwa jika keyakinan beragama diberikan dalam bentuk pelajaran khusus dan hapalan justru akan melahirkan panganut-penganut yang fanatik. Indoktrinasi berlebihan tentang surga dan neraka kepada anak bisa memberikan dampak yang besar. Anak bisa saja justru tidak berani melakukan tindakan apapun karena sudah terlalu banyak larangan yang diperkenalkan kepadanya. Pemberian dogma kepada anak-anak serta menyuapi mereka dengan pengetahuan agama yang belum bisa mereka serap hanya akan membebani anakanak. Pengurus SALAM melihat bahwa di sekolah-sekolah kebanyakan pelajaran agama hanya menekankan pada dogma dan ritual agama serta tidak mengajak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
anak untuk berpikir kritis. Belum lagi kecenderungan guru agama yang mengarah indoktrinasi dalam menyampaikan ajaran agama kepada anak muridnya. Karena alasan-alasan tersebut, SALAM tidak memberlakukan pelajaran agama secara khusus. Namun hal ini tidak berarti SALAM adalah sekolah sekuler. Aspek religi diperkenalkan melalui dinamika yang anak-anak alami sehari-harinya. Pak Toto berpandangan bahwa etika itu merupakan hasil dari seluruh proses pergaulan dan proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Pendidikan etika melalui mata pelajaran termasuk pelajaran agama yang lebih mengarah pada ajaran, wejangan dan nasehat justru tidak efektif dalam menumbuhkan etika anak. Kecenderungan dinamika sekolah mainstream saat ini yang lebih menitikberatkan prestasi dan kompetisi juga akan berpengaruh penbentukan relasi baik anak dengan guru, teman, orangtua ataupun orang-orang yang lain. Cara berpikir dan bertindak para murid dipengaruhi oleh keseluruhan dinamika yang berlangsung di sekolah. Oleh sebab itu, jika ingin membangun sebuah pendidikan etika yang baik maka dasar filosofi, tujuan, dan metodenya harus seirama demi membangun manusia yang humanis.
D. Konsep Pendidikan Etika yang Diajukan oleh SALAM Berangkat dari pandangannya terhadap realitas pendidikan etika arus utama di atas, maka pengurus SALAM kemudian berkeinginan untuk mewujudkan sebuah pendidikan yang keseluruhan dinamikanya mulai dari kegiatan belajar-mengajar dan berbagai kegiatan lainnya berdiri atas tujuan dan metode yang seirama yaitu ingin mengantar anak-anaknya menjadi manusia yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
humanis. Pendidikan etika yang diterapkan di SALAM kemudian tidak memisahkan antara pengajaran akademik dengan moral dan juga tidak disampaikan melalui mata pelajaran seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan semacamnya. Di SALAM sendiri memang tidak menggunakan pembagian materi yang diajarkan dalam rupa berbagai mata pelajaran seperti di sekolah lain pada umumnya. Oleh sebab itu, SALAM juga tidak mempunyai jadwal pelajaran yang pasti untuk setiap harinya. Pendidikan etika di SALAM diberikan melalui keseluruhan dinamika yang berlangsung di sana. Baik sistem pengelolaan sekolah, proses belajar-mengajar dan adanya berbagai kegiatan lainnya sengaja disusun untuk saling mendukung pembentukan etika anak-anak. Hal ini berangkat dari pemaknaan Pak Toto bahwa pendidikan etika itu memang seharusnya diberikan melalui keseluruhan dinamika yang berlangsung di sekolah seperti yang diungkapkannya sebagai berikut: 25 Karakter itu kan mestinya akibat dari seluruh proses pergaulan atau proses belajar mengajar yang ada di SALAM. Dari A sampai Z, dari hari pertama sampai hari terakhir. Kalau tadi ngomong karakter itu lebih pada sikap. Saya kira ya tidak bisa kalau hanya dipelajari tetapi juga harus dilakukan juga di sini. Umpamanya (eee) kenapa anak disuruh bekerja bersama, kenapa di SALAM tidak ada sistem kompetisi. Nah itu kan bagian yang... yang... kalau umpamanya di SALAM ini yang dikedepankan adalah kompetisi, anak itu pasti karakternya akan terpengaruh oleh itu. Jadi karakter ini saya kira bukan mata pelajaran menurut saya. Ini sebetulnya satu pola kehidupan yang coba dibangun bersama di sini. Termasuk bagaimana hubungan orangtua dengan orangtua, orangtua dengan guru dan sebagainya. Saya kira itu akan membangun karakter itu sendiri terhadap semua orang. Sama seperti kenapa mereka belajar berhitung belajar membaca atau belajar apapun harus dari fakta ya dari realita. Supaya apa? supaya mereka kelak tidak akan bicara sesuatu yang tidak ia tahu. Sesuatu yang ngak ada. Harus ada faktanya, harus ada datanya. Saya kira itu, itu kan bagian..bagian dari membangun karakter. 25
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Sama juga kenapa anak harus.. selesai makan harus mencuci piringnya sendiri. Itu kan sumbangan aja sebetulnya. Atau kalau makan bareng itu, coba kalau dia ambil lauknya banyak, anak yang terakhir bisa ngak kebagian lauk kan. Dan jangan lupa bahwa kemiskinan itu terjadi juga karena ada yang serakah. Kita itu mau menyadarkan bahwa kamu itu jangan serakah. Jangan ngambil bagian temanmu. Nah, sekali lagi karakter itu sebetulnya akibat... akibat dari seluruh tidak hanya di pelajaran yang dipelajari aja tetapi dari seluruh proses. Serangkaian proses belajar dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di SALAM seperti Kesepakatan Kelas, Pasar Tradisional, Piket Harian, Bank Sampah dan Home Visit sengaja diadakan sebagai upaya menghadirkan realita di hadapan anak-anak didiknya dan sekaligus sebagai kesempatan bagi anak-anak didiknya untuk mempraktikkan serangkaian tanggung jawab yang diperkenalkan oleh SALAM. Cara tersebut diambil karena berangkat dari kegelisahan akan pendidikan etika yang lebih bersifat ajaran, wejangan dan nasehat-nasehat yang jauh dari bayangan anak-anak seperti yang diungkapkan oleh Pak Toto sebagai berikut:26 Saya kira itu bagian karena bahwa (eee) tadi upaya-upaya menghasilkan realita itu melalui apa ya Bank Sampah dan sebagainya. Itu kan susah ya, kalau selama ini kan kita sering menghadapi bahwa yang namanya pendidikan itu diterjemahkan sebagai nasihat. SALAM juga mempunyai motto “jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan” sebagai nilai-nilai dasar yang ingin ditanamkan pada anak-anaknya. Motto tersebut dibuat berangkat dari pemaknaan SALAM soal apa itu kebebasan. Kebebasan yang ingin diperkenalkan kepada anak bukanlah kebebasan di mana yang penting anak senang tetapi kebebebasan yang mengarah pada menanamkan tanggung jawab anak baik terhadap dirinya, orang lain maupun lingkungannya.
26
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Berkaitan dengan motto SALAM tersebut, Pak Toto memberikan uraian sebagai berikut:27 Kalimat itu sendiri kan kalimat anak-anak. Kalimat yang ngak terlalu susah. Artinya hanya sebagai toolnya guru, seorang dewasa ketika menghadapi anak-anak gitu lho. Juga itu hanya akan dibahas ketika ada peristiwa yang terjadi. Ketika tiba-tiba ada anak-anak yang berantem, naa tool itu baru digunakan. Tapi kalau ngak ada peristiwa ya ngak bisa dituntut untuk ayo anak-anak ingat ngak. Ya ngak seperti itu, itu akan selalu diingatkan ketika ada yang terjadi waktu itu. Atau tiba-tiba ada anak yang mau buang sampah sembarangan dan gurunya seorang dewasa memproses, maka toolnya akan berbunyi. Tapi kalau ngak ada peristiwa ya ngak. Artinya ini bukan hapalan. Ini hanya pola aja untuk menjadi alat saling mengingatkan dan anak-anak pun pasti akan melakukan itu. Ketika melihat orang dewasa yang sembarangan dia akan melakukan itu. Sebenarnya Pak Toto masih ingin mengembangkan alat-alat lain sebagai cara untuk menyampaikan materi belajar maupun pendidikan etika. Salah satu alat yang ingin dikembangkan oleh Pak Toto adalah kesenian. Namun karena masih adanya keterbatasan pengajar maka keinginan tersebut belum dapat terwujud secara maksimal. Selama ini, kesenian baru dimunculkan bersamaan dengan berlangsungnya Pasar Sehat dan Kreatif yang diselenggarakan oleh Forum Orangtua SALAM.
E. Praktik Pendidikan Etika yang Dijalankan oleh SALAM Kita telah melihat pemikiran Pak Toto tentang pendidikan etika yang ingin diterapkan melalui seluruh rangkaian dinamika yang berlangsung di SALAM. Pada sub bab ini saya akan memaparkan lebih jauh mengenai keseluruhan dinamika yang berlangsung di SALAM, mulai dari kegiatan belajar-mengajar dan
27
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
kegiatan-kegiatan lainnya yang sengaja diselenggarakan oleh SALAM sebagai bentuk praktik pendidikan etika bagi anak-anak didiknya.
1. Kegiatan Belajar-Mengajar di SALAM Kegiatan belajar-mengajar di SALAM berlangsung dari hari SeninJumat. Untuk hari Senin-Kamis, anak-anak belajar di kelas sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat oleh fasilitator berdasarkan Daur Belajar dan Garis Besar Proses Belajar Mengajar SALAM. Dan untuk hari Jumat, anak-anak melakukan olah tubuh yang biasanya berupa pencak silat, renang atau kegiatan lain sesuai dengan kesepakatan kelas. SALAM menentukan jam kegiatan belajar-mengajarnya dari pukul 08.00 sampai 13.00. Setiap pagi begitu sampai di sekolah, anak-anak dan fasilitator tidak langsung masuk ke kelas. Sembari menunggu teman lain yang belum datang, biasanya fasilitator mengajak anak-anak membersihkan lingkungan sekitar sekolah. Ada pula yang menyiram tanaman sekaligus mencari buah talok yang matang di halaman sekolah. Setelah selesai bersihbersih, anak-anak dan fasilitator berkumpul di halaman sekolah untuk berdoa bersama dan mendengarkan arahan atau pengumuman dari Mas Yudhis selaku ketua PKBM. Setelah itu, anak-anak baru masuk ke kelas masing-masing. Jadi memang proses belajar mengajar baru efektif dimulai sekitar pukul 08.30. Kemudian jam istirahat di SALAM adalah pukul 10.00 sampai 10.30. Setelah istirahat, proses belajar dilanjutkan kembali hingga pukul 12.00. Setelah itu, pukul 12.00 sampai 13.00 dipakai oleh anak-anak dan fasilitator
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
untuk makan siang bersama. Seusai makan siang, anak-anak diperbolehkan untuk pulang. Namun, biasanya masih ada kegiatan tambahan yang biasa disebut
dengan
Afterschool
atau
semacam
kegiatan
ekstrakurikuler.
Afterschool yang disediakan oleh SALAM adalah football, fotografi, menari, les bahasa Jepang dan les bahasa Jawa. Para fasilitator kegiatan Afterschool SALAM adalah para orangtua murid SALAM sendiri. Materi yang dipelajari di kelas selama kurang lebih 3 jam (8.30-10.00 dan 10.30-12.00) berkaitan dengan langkah-langkah belajar yang termuat dalam Daur Belajar serta indikator yang termuat dalam Garis Besar Proses Belajar Mengajar SALAM. Lebih jauh mengenai konsep Daur Belajar dan Garis Besar Proses Belajar Mengajar serta pelaksanaannya akan saya uraikan dalam sub bab berikut ini.
a. Daur belajar dan Garis Besar Proses Belajar Mengajar SALAM Sesuai dengan prinsip utama SALAM bahwa anak-anak harus belajar dari realita yang mereka lihat dan alami sendiri maka SALAM memulai kegiatan belajar anak-anaknya dengan mengajak mereka melakukan penelitian ke lapangan (riset). Data yang diperoleh dari proses riset tersebut kemudian diolah bersama dalam kegiatan belajar selanjutnya. SALAM mempunyai daur belajar yang digunakan sebagai pedoman untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi riset. Daur Belajar yang dipakai oleh SALAM dapat kita lihat pada gambar 3.4 di bawah ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Gambar 3.4 Daur Belajar SALAM
Sumber: Draf Garis Besar Proses Belajar Sekolah SALAM 2013
Sesuai dengan gambar di atas ada lima langkah dalam proses daur belajar SALAM. Langkah pertama adalah rencanakan, yaitu proses dimana fasilitator bersama dengan anak-anak merencanakan riset yang akan mereka lakukan. Anak-anak membuat daftar pertanyaan yang ingin mereka ajukan ketika melakukan riset ke lapangan. Selain itu dipersiapkan pula peralatan, pembagian kelompok dan kesepakatan-kesepakatan bersama berkaitan dengan pelaksanaan riset. Langkah kedua adalah lakukan, yaitu proses di mana anak-anak melakukan riset yang sudah mereka rencanakan. Inilah langkah di mana anak berjumpa dengan lingkungan riil yang mempunyai banyak hal untuk dipelajari. Pengalaman ini dianggap sebagai titik tolak proses selanjutnya. Langkah ketiga adalah ungkap data, yaitu proses di mana anak-anak mengungkapkan dengan cara menyatakan kembali apa yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
dialaminya. Anak-anak juga diminta memberikan tanggapan atau kesan mereka
atas
pengalaman
tersebut,
termasuk
pengalaman
secara
menyeluruh apa yang telah dilakukan/dialami anak-anak. Langkah keempat adalah menganalisis, yaitu proses di mana anakanak menganalisis hal-hal yang sudah mereka jumpai melalui riset yang telah mereka lakukan. Langkah ini menjadi tahap di mana anak-anak bisa diajak untuk mengkaji dan mengurai data yang sudah mereka peroleh bersama teman-teman dan fasilitator. Langkah kelima adalah simpulkan, yaitu proses di mana anak-anak belajar merumuskan makna dari realitas yang telah dijumpai sebagai suatu pemahaman atau pengertian baru yang utuh. Langkah terakhir ini bertujuan untuk mengantar anak pada langkah puncak yaitu anak bisa memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru berdasarkan hasil pemahaman dan pengertian dari langkah kelima tersebut. Diharapkan anak bisa membuat realitas-realitas baru dari hasil analisis dan refleksinya. Daur belajar dengan lima langkah tersebut dipilih karena urutan prosesnya memungkinkan bagi setiap anak untuk mencapai pemahaman dan kesadaran akan realitas yang ia pelajari. Daur belajar tersebut dinilai tepat dengan tujuan pendidikan SALAM yang ingin agar anak-anaknya belajar dari realitas yang ia temui dan alami sendiri. Dalam mengawal proses belajar mengajar, para fasilitator dipandu oleh acuan yang diberikan oleh SALAM. Acuan itu berupa Garis Besar Proses Belajar Mengajar yang pada tahap selanjutnya akan dijabarkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
fasilitator sebagai silabus. Pak Toto menyatakan bahwa Garis Besar Proses Belajar Mengajar dirumuskan oleh Komite Pendidikan SALAM yang terdiri dari semua pihak yang terkait dengan pendidikan SALAM seperti para pengurus, fasilitator dan wakil dari forum orangtua SALAM (FORSALAM).28 Garis Besar Proses Belajar Mengajar SALAM dapat dilihat pada gambar 3.5 di bawah ini: Gambar 3.5 Garis Besar Proses Belajar Mengajar di SALAM
Sumber: Draf Garis Besar Proses Belajar Sekolah SALAM 2013 Garis Besar Proses Belajar Mengajar tersebut dipakai untuk jenjang SD dan SMP SALAM, yang membedakan adalah indikator pada setiap jenjang. Fokus utama dari proses belajar di kelas satu sampai tiga SD SALAM adalah anak mampu menguasai angka dan huruf melalui peristiwa-peristiwa nyata. Belajar memahami angka dan huruf ini adalah langkah
supaya
siswa
bisa
belajar
membaca
yang
tersirat
di
lingkungannya. Oleh sebab itu, belajar membaca dan berhitung sedari awal pun sudah dimulai melalui pengalaman nyata. Untuk anak kelas empat ke
28
Ibid, hlm. 111.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
atas, anak diharapkan semakin mampu dalam penguasaan angka dan huruf untuk
memperluas
pengetahuan,
wawasan
dan
perspektif
serta
memperdalam sikap juga mengasah kemampuan dan keterampilan.29 Dari riset yang telah dilakukan, anak-anak kemudian mempelajari ilmu hayat, ilmu bumi, ilmu alam, ilmu sosial dan teknologi. Alasan penggunaan penggolongan ilmu yang telah diterapkan pada sekolah jaman dulu dan bukannya mata pelajaran seperti yang kita kenal saat ini yaitu karena penggolongan ilmu seperti itu dianggap sudah tepat oleh Pak Toto. Soal penggolongan ilmu-ilmu tersebut dijelaskan oleh Pak Toto sebagai berikut:30 Ilmu hayat menyangkut pengenalan mereka tentang kehidupan, apakah itu yang berlangsung pada diri manusia maupun pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ilmu bumi dan ilmu alam lebih dekat pada pengenalan mereka akan medan alam semesta tempat di mana manusia khususnya bertempat tinggal bersama makhlukmakhluk lainnya. Adapun ilmu sosial mereka hayati dan pelajari dengan mencermati dan merasakan hubungan-hubungan antar individu dan kelompok, baik di dalam lingkungan sekolah SALAM maupun di lingkungan sekitar SALAM.
b. Pelaksanaan Daur Belajar dan Garis Besar Proses Belajar Mengajar di SALAM Proses pembelajaran di SALAM memang berdasar dari riset yang sudah disepakati. Saya mengalami sendiri proses belajar-mengajar di SALAM sewaktu saya ikut menjadi fasilitator pada Semester Ganjil, TA 2014/2015. Pada waktu itu, saya menjadi fasilitator kelas lima bersama Heppy Hendaryani atau yang lebih akrab disapa Mbak Hepi. Mbak Hepi 29 30
Ibid, hlm. 113. Ibid, hlm. 115.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
sudah lebih lama bergabung dengan SALAM. Sebelum mengadakan riset, kami membuat perencanaan dengan berpatokan pada target dasar belajar kelas lima yang telah ditentukan pada awal semester sebagai berikut: Gambar 3.6 Target dasar belajar kelas lima semester 1 tahun ajaran 2014/201531
Sumber: Draf Garis Besar Proses Belajar Sekolah SALAM 2013
Saya sempat membandingkan indikator yang termuat dalam target belajar SALAM tersebut dengan indikator belajar untuk kelas lima di sekolah arus utama. Ternyata indikator SALAM yang termuat dalam target belajar hampir sama dengan indikator belajar di sekolah arus utama. Mas Yudhis menyatakan bahwa kesamaan indikator tersebut merupakan wujud negosiasi SALAM terhadap pendidikan arus utama. SALAM berupaya
31
Catatan untuk target dasar konteks sosial dan alam yang tertera pada gambar 3.6, saya tambahkan sendiri karena pada draf yang kami terima dulu ada kesalahan penulisan di mana konteks untuk kelas lima ternyata sama dengan konteks kelas 4. Konteks sosial dan alam yang saya tambahkan sesuai dengan draf perubahan yang diberikan oleh Pak Toto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
materi yang dipelajari anak-anaknya tidak ketinggalan dengan materi yang dipelajari oleh anak-anak di sekolah kebanyakan. Berdasarkan draf target dasar belajar yang kami terima tersebut, kami kemudian menyusun rencana riset yang akan dipergunakan untuk proses belajar satu semester. Riset sendiri tidak hanya dilakukan sekali tetapi bisa beberapa kali sesuai kebutuhan. Berdasarkan dokumentasi fasilitator kelas lima tahun lalu, kami mendapatkan gambaran riset yang telah dijalankan pada semester sebelumnya. Mereka dulu mengadakan riset tubuh sebagai pintu masuk untuk belajar soal proses produksi, distribusi, konsumsi, kesehatan tubuh dan hitung-hitungan. Untuk semester ini, kami memutuskan untuk berangkat dari konteks sosial terlebih dulu. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk mengajak anak-anak melakukan riset ke museum. Museum yang kami pilih adalah museum Sonobudoyo dengan alasan peninggalan di museum Sonobudoyo cukup lengkap dari peninggalan masa Pra Sejarah, Hindu-Budha, dan juga Islam. Di sana juga banyak koleksi hasil budaya dari berbagai daerah seperti wayang, topeng, dan senjata serta permainan tradisional. Sebelum melakukan kunjungan dan riset, anak-anak dan fasilitator mendiskusikan soal persiapan yang dibutukan untuk riset. Anak-anak mengajukan daftar pertanyaan yang ingin mereka ajukan atau ingin mereka ketahui ketika di museum. Riset ke museum Sonobudoyo kemudian kami laksanakan pada hari Selasa, 12 Agustus 2014. Pada saat riset di museum, anak-anak diminta memilih satu benda yang informasinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
ingin mereka ketahui lebih lanjut. Ada tujuh anak yang kemudian memilih benda berbeda, yaitu Ara memilih ceret perak, Abram memilih tudung saji perak, Oka memilih stempel emas, Rafa memilih prasasti batu, Bayu memilih kepala Dewi Tara, Mikael memilih timbangan emas dan Edward memilih pekinangan dari perak. Gambar 3.7 Riset ke museum Sonobudoyo oleh anak-anak kelas lima
Sumber: Dokumentasi pribadi
Data-data yang terkumpul dari riset kemudian digunakan sebagai bahan belajar di kelas. Anak-anak diminta untuk mengungkapkan dan menuliskan pengalaman serta data yang ia sudah beroleh untuk dibagikan kepada teman-temannya. Setelah itu mereka juga belajar untuk menganalisis benda-benda tersebut masih digunakan atau tidak di jaman sekarang. Misalnya saja, Abram mengungkapkan bahwa tudung saji saat ini masih digunakan, termasuk di rumahnya. Tetapi tudung saji yang dipakai sekarang tidak terbuat dari perak tetapi ada yang dari plastik atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
bambu. Yang memakai tudung saji juga bukan hanya raja tetapi orang banyak sekarang bisa memakainya. Namun, pembahasan tidak berhenti di situ saja. Berangkat dari target belajar yang telah diberikan oleh Pak Toto, data anak-anak tentang peninggalan sejarah itu kemudian ditarik ke pembahasan soal sejarah kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan Islam di Indonesia. Jadi anak-anak SALAM tetap belajar kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Demak dan lain-lain seperti halnya anak-anak di sekolah kebanyakan. Demikianlah contoh riset dan analisa yang diterapkan di SALAM.
c.
Evaluasi kegiatan belajar mengajar di SALAM Evaluasi kegiatan belajar-mengajar di SALAM pun tidak sama
dengan evaluasi di sekolah pada umumnya yang menggunakan sistem ujian semesteran. SALAM melakukan evaluasi kegiatan belajarnya dengan sistem workshop. Pada akhir semester, anak-anak mempresentasikan pemahaman mereka dari proses belajar yang sudah mereka lalui selama satu semester di depan para orangtua, fasilitator dan teman-temannya. Setelah presentasi, para orangtua, fasilitator dan teman-teman yang lain dipersilahkan untuk menanggapi, bertanya atau menambahkan informasi yang berkaitan dengan materi yang sudah dipresentasikan. Saya pernah mengikuti workshop evaluasi Semester Ganjil, TA 2014/2015 yang dilaksanakan pada hari Rabu, 3 Desember 2014. Pada workshop tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
orangtua bukan bermaksud untuk menguji anak, tetapi karena para orangtua tidak tahu dan ingin ikut belajar dengan anak-anaknya. Jadi evaluasi yang berlangsung lebih bersifat seperti diskusi terbuka. Setelah workshop selesai, para fasilitator kemudian menyusun Catatan Fasilitator yang nanti akan dimasukkan ke dalam Rapor. Catatan Fasilitator berisi tentang catatan proses belajar anak berdasarkan riset, catatan sikap siswa selama mengikuti proses belajar, dan catatan kemampuan olah tubuh siswa selama mengikuti proses belajar. Catatan proses belajar berisi data-data siswa terkait dengan ketertarikan, keaktifan, konsistensi, respon, kreativitas, inisiatif, ekspresi dan ketekunan selama mengikuti proses riset yang terbagi dalam empat tahapan riset yaitu tahap perencanaan, tahap proses pencarian data, tahap olah data, dan tahap workshop. Catatan sikap siswa berisi data-data siswa terkait dengan sikap anak selama mengikuti proses belajar. Aspek yang dicatat meliputi : performance, kerjasama, solidaritas, empati, dan tanggung jawab. Catatan kemampuan olah tubuh berisi data-data siswa terkait gerak motorik kasar dan gerak motorik halus. Catatan Fasilitator tersebut lebih bersifat uraian walaupun tetap ada penilaian terhadap aspek pembelajaran dalam skala terampil, mampu atau kurang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
2. Kegiatan-kegiatan Lain yang Digunakan sebagai Praktik Pendidikan Etika di SALAM a.
Kesepakatan kelas Kesepakatan merupakan kata yang penting dalam dinamika
pendidikan SALAM. Kesepakatan dipakai selama proses pembelajaran baik sejak perencanaan riset, pelaksanaan, maupun ketika pengolahan data hasil riset di kelas. Selain itu, kesepakatan dipakai sebagai jalan untuk membuat semacam aturan di kelas atau juga ketika menyelesaikan beberapa masalah yang terjadi di antara anak-anak. Kesepakatan dijadikan ajang dialog di antara anak-anak, anak dengan fasilitator, sesama fasilitator maupun fasilitator dengan orangtua. Pada hari pertama masuk sekolah, yaitu hari Senin, 7 Juli 2014 kami para fasilitator bersama dengan anak-anak membuat kesepakatan kelas berkaitan dengan pelaksanaan proses belajar dan aturan di kelas. Anakanak diminta menjabarkan semboyan SALAM “jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan” ke dalam beberapa tindakan nyata yang perlu mereka lakukan. Masing-masing anak kemudian menuliskan usul mereka di papan tulis. Beberapa contoh usul anak adalah sebagai berikut: Usul Bayu: tidak boleh mengganggu kelas sebelah (kelas 6) Usul Rafa: tidak boleh merusak kelas Usul Abram: tidak boleh mengganggu teman Usul Edward: tidak boleh berkata kasar Usul Oka: tidak boleh datang terlambat Melihat usul-usul tersebut, Mbak Hepi mengatakan kepada saya bahwa dalam pikiran anak-anak, aturan itu bernada negatif dan berupa batasan-batasan yang harus dipatuhi. Hal semacam inilah yang perlu di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
diskusikan kembali dengan anak-anak. Mbak Hepi lalu mengajak anakanak untuk menyusun kembali usulan-usulan anak-anak tersebut pada ungkapan yang lebih menggambarkan kesadaran dan tanggung jawab mereka. Lalu, kesepakatan yang berhasil dibuat adalah: Belajar dengan tenang ketika di kelas Bekerja sama dengan teman dan fasilitator Menjaga barang-barang yang ada di kelas Usil pada waktu dan tempatnya Sampai kelas paling lambat jam 8.30, kalau terlambat akan membuat karya untuk hiasan kelas Kesepakatan ini juga dipakai dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara anak-anak. Jika ada perselisihan atau pertengkaran yang terjadi,
fasilitator
dan
anak-anak
kemudian
berkumpul
untuk
mendiskusikan peristiwa yang terjadi di antara mereka. Peristiwa yang terjadi inilah yang dipakai untuk berdiskusi dengan anak-anak karena mereka yang mengalami peristiwa perselisihan itu sendiri. Sesuai dengan pernyataan Pak Toto bahwa peristiwa yang terjadi justru dipakai oleh fasilitator untuk mengingatkan soal tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh anak-anak. Kalau tidak ada peristiwa yang terjadi maka fasilitator tidak akan memberi wejangan atau nasihat karena soal tanggung jawab itu bukan soal hapalan. Pada saat proses belajar dan memperkenalkan pengetahuan kepada anak-anak, kata kesepakatan juga sering muncul. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan
pemahaman
kepada
anak-anak
bahwa
ilmu
pengetahuan yang sedang dipelajari bersama itu adalah hasil kesepakatan antara para penemunya dan masyarakat yang menyakininya. Jadi anak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
anak dimungkinkan akan adanya kenyataan atau kesepakatan lain yang bisa mereka temukan.
b. Pasar Tradisional SALAM SALAM menyelenggarakan Pasar Tradisional SALAM setiap 35 hari sekali, yaitu pada hari Senin Legi. Pasar Tradisional ini juga sering disebut dengan Pasar Legi. Pak Toto menjelaskan tujuan dari diselenggarakannya Pasar Legi di SALAM sebagai berikut:32 Pasar tersebut dimaksudkan sebagai sarana pembelajaran agar anak secara otentik memahami struktur pasar dan bagaimana relasi antar fungsi dalam salah satu kehidupan nyata ekonomidisamping sebagai media sekolah untuk melihat kecenderungan anak. Pasar Legi sengaja diadakan untuk memperkenalkan pasar tradisional kepada anak-anak beserta dinamika yang berlangsung di dalamnya. Tujuan SALAM ini berangkat dari kegelisahan akan realita bahwa saat ini kebanyakan anak-anak menjauhi pasar tradisional dan lebih senang berbelanja di supermarket atau mall. Selain bertujuan untuk memperkenalkan pasar tradisional, Pasar Legi digunakan sebagai media untuk melihat kecenderungan anak-anaknya misalnya soal kepekaan menghitung, kecenderungan menjadi penjual, pembeli, petugas keamanan dan kebersihan atau perantara dalam proses jual beli. Dari situ juga dapat dilihat kemampuan anak dalam
32
Ibid, hlm. 147.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
mengkomunikasikan barang yang dijual termasuk kecenderungan anak memproduksi barang yang dijualnya. SALAM berusaha menciptakan panggung melalui Pasar Legi ini. Anak-anak bebas memilih perannya, apakah mau menjadi penjual, pembeli, petugas keamanan, petugas kebersihan ataukah penjaga Bank SALAM. Namun ada juga anak-anak yang memilih menjadi pemintaminta di pasar. Bagi para petugas keamanan, kebersihan dan petugas Bank disediakan upah berupa gaji uang SALAM. Saya pernah mengikuti Pasar Legi sebanyak dua kali yaitu pada tanggal 25 Agustus 2014 dan 3 November 2014. Persiapan Pasar Legi dilakukan oleh anak-anak sendiri dengan dibantu oleh para fasilitator. Pertama-tama, anak-anak menyiapkan tempat dan bangku-bangku untuk menaruh barang jualan terlebih dahulu. Lalu, anak-anak yang ingin berjualan harus mendaftarkan dulu jenis, harga dan berapa jumlah barang dagangannya. Bagi anak yang memakai bungkus plastik akan mendapat denda sebesar 500. Anak yang tidak menaruh sampah pada tempat yang telah disediakan juga akan mendapat denda sebesar 500. Sebelum pasaran dimulai anak-anak dan fasilitator berkumpul bersama di lapangan untuk membuka Pasar Legi sekaligus mengingatkan kembali tentang tujuan diadakannya pasaran. Pasar kemudian secara resmi dibuka oleh Lurah Pasar, yaitu biasanya berasal dari fasilitator. Setelah itu, semua orang baik anak-anak, fasilitator maupun orangtua atau orang lain yang ingin berbelanja di Pasar Legi mengambil kartu antrian. Kartu antrian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
itu digunakan untuk mengambil uang SALAM di petugas Bank yang telah siap melayani mereka. Uang SALAM sengaja dibuat sendiri dan memang hanya berlaku di SALAM. Hal ini dimaksudkan supaya anak tahu tentang uang sebagai hasil kesepakatan bersama juga. Setiap orang yang baru pertama kali mengikuti Pasar Legi akan mendapatkan modal awal sebesar 5.000. Modal awal itu bisa digunakan untuk berbelanja apa saja dan apabila ada uang sisa nanti bisa ditabung kembali. Setelah semua anak mengambil uang mereka, maka mereka sudah boleh membeli barang dagangan yang dijual oleh teman-teman sendiri. Barang dagangan yang dijual biasanya berupa makanan yang terbuat dari bahan lokal dan barang-barang hasil prakarya anak-anak sendiri. Walaupun daftar harga sudah terpampang jelas di depan barang dagangan namun tawar menawar masih menjadi sumber keramaian Pasar Legi di SALAM. Soal barang dagangan Pasar Legi kadang juga disesuaikan dengan tema yang sedang ingin diangkat. Keramaian dan antusias anak-anak dalam Pasar Legi yang diadakan oleh SALAM dapat dilihat dari gambar 3.8 berikut ini: Gambar 3.8 Pasar Legi yang diselenggarakan oleh SALAM
Sumber: Dokumentasi pribadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Pasar Legi adalah panggung kecil yang sengaja di buat oleh SALAM. Panggung besarnya juga ada yaitu Pasar Sehat dan Kreatif yang diselenggarakan oleh Forum Orangtua dan Kerabat SALAM. Saya juga pernah mengikuti Pasar Sehat dan Kreatif ini sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 20 juni 2014, 18 Oktober 2014, dan 18 Maret 2015. Pada pasar ini, dijual barang dagangan dari para orangtua murid, teman-teman komunitas yang bisa berupa makanan sehat maupun barang-barang hasil kreasi sendiri. Di pasar tersebut juga ada pertunjukan-pertunjukan seni baik dari anak-anak SALAM sendiri, orangtua SALAM, anak-anak sekolah lain maupun rekan-rekan komunitas SALAM. Pasar Sehat dan kreatif juga sekaligus dijadikan sebagai praktik bagi anak-anak SALAM untuk mengenal dan menjalin relasi dengan teman-teman dari sekolah dan komunitas yang lain. Keramaian dan antusias keluarga besar SALAM dan rekan komunitas SALAM dalam menyelenggarakan Pasar Sehat dan Kreatif dapat dilihat dari gambar berikut ini: Gambar 3.9 Pasar Sehat dan Kreatif yang diselenggarakan oleh SALAM
Sumber: Dokumentasi pribadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
c.
Piket Harian Anak-anak SALAM juga mendapatkan tanggung jawab untuk
melaksanakan piket harian. Piket itu berupa membersihkan kelas, mengambil snack, jumbo air dan mengambil serta mengambil makan siang. Biasanya setiap anak memilih tugasnya secara bergantian setiap minggu. Pelaksanaan piket ini sebenarnya sama dengan tujuan piket di sekolah pada umumnya, yaitu untuk melatih tanggung jawab anak-anak. Piket yang paling berkesan bagi saya adalah saat piket mengambil snack dan makan siang. Snack diambil ke dapur menjelang waktu istirahat, setelah anak yang bertanggung jawab mengambil snack datang baru dilakukan doa untuk memakan snacknya dan setelah itu anak-anak baru boleh istirahat. Snack yang diberikan juga merupakan makanan yang terbuat dari bahan lokal dan bebas dari bahan pengawet. Menariknya, anak-anak di SALAM sadar bahwa masing-masing anak hanya mendapat jatah satu potong snack. Jika ia ingin makan lagi ia akan bertanya kepada fasilitator dan teman-temannya apakah ia boleh menambah lagi atau tidak. Pola seperti ini memang sengaja diciptakan agar anak bisa lebih bertangung jawab kepada temannya. Pak Toto mengatakan bahwa kemiskinan itu terjadi karena ada yang serakah. Oleh sebab itu, piket diadakan untuk melatih anak-anak bisa bertanggung jawab kepada temantemannya baik dari mulai mengambil makanan dari dapur, memastikan makanan sampai ke kelas dalam kondisi untuh maupun ketika proses pengambilan makanan sesuai dengan porsinya masing-masing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Piket makan siang dilaksanakan setelah waktu pelajaran selesai yaitu pada saat pukul 12.00. Ada anak yang bertanggung jawab mengambil nasi, sayur dan lauk. Baru setelah semua makanan diambil anak-anak kembali berdoa untuk makan siang. Pengambilan urutan makan dimulai dari si anak yang mengambil nasi, anak yang mengambil sayur, anak yang mengambil lauk baru disusul oleh teman-teman lainnya dan fasilitator. Pada saat pengambilan makanan, anak-anak berusaha menyesuaikan ukuran mereka apakah nanti makanannya cukup untuk teman yang lain. Pola seperti ini mungkin sebenarnya kurang lebih sama dengan sistem makan di asrama. Setelah makan siang, anak-anak mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan. Biasanya mereka sudah langsung mengantri di belakang temannya yang sedang menggunakan tempat cucian. Anakanak juga yang mengembalikan wadah sisa nasi, sayur, lauk dan snack pada hari itu. Fasilitator pun ikut mendapat tanggung jawab pada pelaksanaan piket harian tersebut. Gambar 3.10 Anak-anak SALAM mengantri untuk cuci tangan
Sumber: Dokumentasi pribadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
d.
Bank Sampah SALAM juga mengadakan Bank Sampah sebagai wahana praktik
anak-anak untuk terlibat menjaga lingkungan di sekitarnya. Setiap hari Rabu, anak-anak membawa barang-barang bekas seperti koran, kertas, dan botol-botol ke sekolah. Bank Sampah ini diurus oleh perwakilan dari Forum Orangtua bekerja sama dengan fasilitator. Untuk harga barang, SALAM mempunyai daftar harga yang disesuaikan dengan harga pasaran. Barang-barang bekas yang dibawa oleh anak-anak kemudian didata dan dihitung nominalnya. Namun, anak-anak tidak langsung mendapat uang pembayaran tunai tetapi dimasukkan ke dalam buku tabungan mereka yang nanti akan dibagikan pada saat akhir kelas 6, yaitu saat mereka lulus dari SALAM. Bank Sampah yang diadakan oleh SALAM ini memang tidak sampai pada pengolahan barang-barang bekas menjadi produk daur ulang yang bisa dijual kembali. Bank Sampah lebih digunakan untuk mengajak anakanak ikut ambil bagian dalam menjaga lingkungan yaitu dimulai dengan bertanggungjawab pada pengelolaan sampah mereka sendiri dan sampah yang ada di lingkungan rumah mereka.
e.
Home Visit Home visit atau kunjungan rumah menjadi momen bersama antara
anak-anak dan juga para orangtuanya. Biasanya home visit dilakukan sebulan sekali secara bergantian. Anak-anak bersama orangtuanya datang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
berkunjung ke rumah salah satu temannya. Kegiatan ini bertujuan untuk saling
mengenalkan
menunjukkan
realita
keluarga
masing-masing
keberagaman
keluarga
anak termasuk
juga
untuk
kehidupan
ekonominya. Biasanya fasilitator sudah menyiapkan materi apa yang ingin dipelajari di saat home visit atau juga kadang orangtua yang rumahnya dikunjungi yang menyiapkan materinya. Beberapa contoh kegiatan yang dilakukan oleh Mbak Hepi saat home visit adalah membuat wayang dari kertas bekas dan memungut sampah plastik yang ada di sekitar rumah salah satu anak. Saat anak-anak asyik membuat kegiatan tersebut, fasilitator mengajak anak-anak berdiskusi tentang apa yang mereka kerjakan. Misalnya saat kegiatan memungut sampah plastik di sekiar rumah Abram, Mbak Hepi menjelaskan soal sampah plastik yang tidak bisa membusuk bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Saat itu anakanak memberikan pendapatnya, termasuk Oka yang mengusulkan bagaimana kalau pabrik plastiknya ditutup saja. Home visit ini juga menjadi ajang di mana para orangtua dan fasilitator membicarakan soal dinamika belajar anak-anak mereka di SALAM. Kritik dan saran biasanya disampaikan dalam diskusi di home visit ini. Yang menampung kritik memang fasilitator, jadi yang bisa lebih direspon berkaitan dengan proses belajar. Soal kebijakan SALAM tentu harus lebih disampaikan kepada para pengurusnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
f. Kegiatan Lainnya SALAM masih memiliki cukup banyak kegiatan lain yang bersifat fleksibel. Misalnya, selain menggunakan riset sebagai sumber belajar, anak-anak
SALAM
juga
sering
mengusulkan
untuk
melakukan
petualangan. Petualangan ini memang dipakai sebagai cara agar anak bisa lebih mengenal aneka macam unsur dan bagian-bagian dari alam sekitarnya sekaligus menikmati proses petualangan itu sendiri. Ada pula kegiatan Morning Reading, yaitu anak-anak dan fasilitator membaca entah buku, majalah atau sumber lain kemudian mendiskusikannya bersama. Selain itu, di SALAM juga sering ada kunjungan dari komunitaskomunitas lain yang selain datang untuk melakukan studi banding juga berbagi pengalaman dan informasi kepada anak-anak SALAM. Dari perjumpangan dengan orang-orang dan komunitas lain itu, SALAM berharap anak-anak bisa belajar banyak, tidak hanya sekedar mendapatkan informasi tetapi juga belajar menjalin relasi dengan orang lain dari beragam komunitas.
F. Hasil dari Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh SALAM SALAM telah menyusun keseluruhan dinamika belajar dan menyediakan berbagai kegiatan dengan harapan bisa membentuk kepribadian anak yang humanis dan bertanggung jawab baik pada dirinya sendiri, teman, serta lingkungannya. Dengan demikian, ukuran keberhasilan SALAM dikembalikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
kepada tujuan tersebut. Inilah saatnya kita melihat hasil dari proses pendidikan yang sudah diupayakan oleh SALAM. Saya berkenalan pertama kali dengan anak-anak SALAM pada observasi pertama yang saya lakukan pada hari Senin, 24 maret 2014. Pada waktu itu saya masuk ke kelas empat yang kemudian pada tahun ajaran baru saya dampingi bersama Mbak Hepi. Anak-anak tersebut bersikap baik dan terbuka kepada saya dan seorang teman dari kampus lain yang juga ingin mengadakan penelitian di SALAM. Mereka mendengarkan perkenalan diri dari kami kemudian menanyakan soal jurusan apa yang kami ambil dan apa saja yang kami pelajari selama ini. Perkenalan dengan anak-anak SALAM semakin berlanjut ketika saya ikut menjadi fasilitator di SALAM dari bulan Juli sampai Desember 2014. Selama enam bulan di SALAM, saya banyak bersentuhan dengan anak-anak kelas lima dan kelas enam yang mayoritas sudah lama bersekolah di SALAM bahkan ada yang sudah sejak dari TA. Segala kebiasaan dan dinamika SALAM seharusnya sudah melekat pada diri anak-anak yang sudah lama bersekolah di SALAM tersebut. Anak-anak SALAM cukup kritis dalam menanggapi cerita-cerita dari fasilitator maupun cerita teman-temannya. Hal ini nampak misalnya saat Imung yang merupakan anak pindahan dari sekolah berbasis agama menceritakan pengalamannya tentang cara sekolahnya dulu mengajarkan kedisiplinan kepada para muridnya. Berikut adalah cerita Imung:33 Ya kalau sekolahku dulu itu berangkat jam 7.15 sudah harus sampai di sekolah. Kalau misalnya pas upacara telat, itu nanti buat barisan sendiri. 33
Wawancara dengan Imung tanggal 17 Februari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Terus nanti untuk kelas 1 ngumpulin sampah 10, sampai kelas enam itu 60. Itu tergantung kelasnya. Padahal itu sudah bersih ngak ada sampah, jadi susah kan nyarinya. Cerita Imung itu ditanggapi oleh teman-temannya dengan pertanyaanpertanyaan seperti kenapa disuruh ngumpulin sampah kalau sekolahannya sudah bersih dan kalau tujuannya untuk membersihkan lingkungan kenapa tidak semua anak disuruh dan seterusnya. Anak-anak SALAM memang banyak mengajukan pertanyaan dan tanggapan yang kadang tidak terpikirkan sebelumnya oleh para fasilitator. Berkaitan dengan pembentukan karakter melalui berbagai kegiatan yang sengaja diadakan oleh SALAM, Satiti anak kelas enam menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:34 Ya kan itu, misalnya suruh buang sampah itu, terus suruh ngantri. Terus misalnya ngak sopan sama orang aja kita dibilangin bukan malah mulutnya disamplak atau gimana. Anak kecil itu lebih seneng digituin daripada dihukum. Kalau dihukum dia malah tambah ngeyel. Pendapat Satiti tersebut kemudian ditambahi oleh Lange yang juga murid kelas enam sebagai berikut:35 Kita modelnya kesepakatan sama konsekuensi. Ini bukannya hukuman, tapi apa yang kita perbuat itu adalah tanggung jawab kita. Waktu saya menanyakan lebih lanjut apakah mereka juga mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan tersebut di rumah masing-masing, anak-anak tersebut mengatakan mereka juga melakukannya di rumah tetapi memang masih bolongbolong, belum konsisten. Keberadaan pembantu rumah tangga atau orangtua yang tidak mengingatkan mereka kadang membuat anak-anak tersebut tidak 34 35
Wawancara dengan Satiti tanggal 17 Februari 2015 Wawancara dengan Lange tanggal 17 Februari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
mempraktikkan
kebiasaan-kebiasaan
yang
tersebut
di
rumah.
Satiti
mengungkapkan pengalamannya sejak ibunya hamil dan ada pembantu rumah tangga di rumah sebagai berikut:36 Biasanya aku nyuci, beresin kasur tapi kemudian mikir ah Mbak Har masuk kok. Mikirnya jadi kayak gitu. Terus aku inget-inget lagi. Maksudnya oh iya dulu ngak ada mbak Har, aku ngak kayak gini, gitu. Jadi kadang ngak dilakukan tapi kalau pas ingat ya dilakukan. Cara mendidik orangtua dan kebiasaan di rumah memang turut berpengaruh besar bagi karakter anak-anak SALAM. Satiti memiliki pemikiran demikian karena hasil didikan ayahnya. Dalam wawancara yang saya lakukan dengannya, ia sering mengatakan “bapakku ngajarinnya kayak gitu”. Betapa besar pengaruh didikan orangtua ke anak juga pernah saya jumpai dari cerita salah satu teman fasilitator saya. Ketika saya sedang tidak masuk sekolah, ada mahasiswa dari sebuah universitas ingin mengadakan penelitian kepada anak-anak kelas enam SALAM. Anak-anak diberi kuesioner yang berisi ilusterasi peristiwa kemudian diminta memberi tanggapan atau sikap yang diambil ketika berhadapan dengan peristiwa tersebut. Ada satu pertanyaan soal bagaimana jika suatu ketika kamu naik bis dan ketika sedang duduk nyaman kemudian ada ibu hamil yang tidak mendapat tempat duduk? Apa yang akan kamu lakukan? Teman fasilitator saya mengatakan bahwa ada salah satu anak yang mengatakan bahwa ia akan cuek saja karena kedua orangtuanya mengajarkan bahwa urusan orang lain itu bukan urusan saya. Dari cerita teman saya itu saya melihat bahwa selain didikan orangtua itu juga memberikan pengaruh yang besar, ternyata privatisasi itu memang sangat nyata di sekitar kita. 36
Wawancara dengan Satiti tanggal 17 Februari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Berkaitan dengan kenyataan seperti itu, Pak Toto memang memberikan catatannya bahwa SALAM memang hanya mampu menyumbangkan berapa persen saja dalam upaya pembentukan karakter anak-anaknya. Karakter anak-anak SALAM itu tidak hanya ditentukan oleh proses yang berlangsung di SALAM saja. Lingkungan di luar SALAM pun turut berpengaruh terhadap karakter anakanaknya seperti yang diungkapkan oleh Pak Toto:37 Tapi jangan lupa bahwa karakter itu tidak hanya... emm mereka kan tidak hanya hidup di SALAM. Nah, makanya SALAM hanya menyumbangkan sekian persen terhadap pembentukan karakter. Kecuali kalau dia sudah 24 jam di sini, kan ngak ya. Dengan demikian memang masih ada cukup banyak tantangan yang perlu dihadapi oleh SALAM. Proses negosiasi dan evaluasi yang di SALAM terhadap segala aspek yang melingkupi keseluruhan dinamika pendidikannya akan saya uraikan dalam sub bab selanjutnya.
G. Negosiasi dan Evaluasi yang Dilakukan oleh SALAM Para pengurus SALAM sudah berupaya menyusun dan menyelenggarakan serangkaian kegiatan untuk menjadi ladang belajar anak-anak didiknya. Tetapi dalam upayanya itu, SALAM pun mengakui bahwa cukup banyak tantangan yang telah mereka jumpai. Menyelenggarakan pendidikan dengan konsep dan bentuk yang berbeda, tentu para pengurus SALAM tahu akan ada konsekuensikonsekuensi yang dihadapi. Ada orang yang menanggapi kemunculan SALAM dengan sangat positif termasuk orang-orang yang memasukkan anak-anaknya ke SALAM. Namun ada pula yang masih bingung dan meragukan penyelenggaraan 37
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
pendidikan yang diajukan oleh SALAM. Bahkan ada pula orang yang mencurigai SALAM termasuk sekolah yang menjual romantisme sekolah alam. Soal
hubungannya
dengan
pemerintah,
para
pengurus
SALAM
menyatakan bahwa ada usaha negosiasi yang coba dilakukan oleh SALAM. Dalam menyusun kurikulum, pengurus SALAM menyatakan tetap menjadikan silabus Diknas sebagai sumber rujukan. Mereka menyatakan bahwa kurikulum dipakai sekedar untuk mendapatkan gambaran tentang tema-tema standar kurikulum nasional. Kebutuhan anaklah yang dijadikan sebagai sumber utama pembelajaran. Namun dalam penerapannya, persoalan negosiasi dengan standar kurikulum pmerintah ini juga mempunyai dilema tersendiri. Dilema ini saya alami sendiri ketika saya ikut menjadi fasilitator di SALAM. Setelah saya menerima draf indikator materi belajar kelas lima dari Pak Toto, saya kemudian membandingkannya dengan indikator materi belajar di sekolah arus utama. Saya melihat bahwa sebenarnya indikator yang dipakai SALAM sama dengan indikator yang dipakai oleh sekolah arus utama. Persamaan indikator tersebut memang salah satu wujud negosiasi SALAM terhadap pendidikan arus utama. SALAM berusaha agar penguasaan materi anak didiknya juga tidak ketinggalan dengan penguasaan materi anak didik di sekolah arus utama. Namun sisi lain, penggunaan indikator dari pemerintah itu juga mengganjal dalam proses pelaksanaan belajarmengajar. Di satu sisi, SALAM ingin anak-anaknya belajar dari realita di sekelilingnya. Oleh sebab itu, anak-anak mengawali proses belajarnya dari riset. Tetapi kemudian pada akhirnya anak-anak juga tetap disuguhi materi-materi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
jauh dari bayangan mereka sesuai dengan indikator pencapaian yang mengikuti indikator pemerintah. Memang SALAM menyatakan bahwa penerapan kurikulum bersifat fleksibel, tetapi bagi para fasilitator ungkapan fleksibel tersebut memiliki kesulitan tersendiri dalam realisasinya. Belum lagi, anak-anak SALAM sendiri juga kesulitan dalam memenuhi indikator belajar baik dalam kemampuan menulis, berhitung maupun analisis konteks. Dalam workshop evaluasi para fasilitator, masalah indikator ini sering kali sekali diangkat. Soal legalitas SALAM juga ada cerita tersediri. Ada orangtua yang mempertanyakan jaminan anak-anaknya setelah lulus dari SALAM apakah bisa masuk ke sekolah pada umumnya. Namun ada pula orangtua yang justru khawatir jika SALAM melegalkan statusnya justru akan ada campur tangan dan beban administrasi yang menyibukkan para fasilitator sehingga tanggung jawab pedagogisnya menjadi terbengkalai. SALAM kemudian berupaya menjalin komunikasi dengan Diknas, selain melalui penjelasan langsung berkaitan dengan proses pendidikan yang diselenggarakan, SALAM juga menjalin komunikasi dengan mengundang Diknas dalam setiap kegiatan SALAM supaya dapat melihat lebih dekat proses pembelajaran yang berlangsung di SALAM. Sejauh ini, menurut SALAM Diknas bisa diajak bekerja sama dengan cukup baik. Angkatan pertama SD SALAM bisa mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) pada tahun 2014 kemarin. SALAM pun bisa mempersiapkan dokumendokumen yang diwajibkan oleh negara. Para pengurus SALAM menyatakan bahwa mereka juga berupaya untuk memenuhi administrasi sejauh yang memang diperlukan dan relevan dengan proses pembelajaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Soal syarat gelar kesarjanaan pendidikan sebagai prasyarat bagi para gurunya, para pengurus SALAM menyatakan bahwa SALAM berhasil meyakinkan Diknas Bantul untuk tidak harus memenuhi standar guru yang ditetapkan pemerintah. SALAM memang sangat terbuka apabila ada orang yang ingin menjadi relawan di SALAM. Tidak ada persyaratan administrasi apapun yang diajukan oleh SALAM. Syarat utama yang sering diungkapkan apabila ingin menjadi fasilitator di SALAM adalah mau mengembangkan diri. Soal mau mengembangkan diri yang harus dimiliki oleh para fasilitator merupakan kesulitan tersendiri. Kesulitan yang diungkapkan pak Toto dan Bu Wahya adalah para fasilitator dan orangtua yang merupakan produk dari pendidikan arus utama. hal tersebut diungkapkan oleh Pak Toto sebagai berikut:38 Saya sadari betul ya bahwa orang SALAM ini juga produk dari... produk dari pendidikan apa namanya.. produk dari pendidikan mainstream ya. Mungkin hanya saya sendirian yang menyadari bahwa itu harus di... kan banyak orang yang tidak menyadari itu. Jadi saya kira yang utama adalah bahwa saya menyadari bahwa yang terlibat ini adalah produk-produk dari mainstream. Dan ngak gampang untuk melepaskan apa namanya, untuk melepaskan dari produk mainstream itu kan ngak gampang. Jadi pasti ulang alik terus, itu nanti harus diingatkan lagi terus. Kebanyakan para fasilitator dan orangtua yang merupakan produk dari pendidikan arus utama menjadi salah satu tantangan bagi dinamika SALAM. Penerapan prinsip-prinsip SALAM pun dinilai masih abu-abu. Dari sisi para fasilitator terutama fasilitator yang baru bergabung dengan SALAM tentu masih belum terlalu jelas dengan maksud dan bentuk kegiatan belajar di SALAM. Dan dari sisi orangtua, masih banyak juga yang bingung dengan proses pendidikan di
38
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
SALAM. Salah satu orangtua murid yang saya wawancarai menyatakan bahwa ia setuju dengan proses pendidikan SALAM, tetapi pelaksanaannya memang tidaklah mudah seperti yang diungkapkan sebagai berikut:39 Sebenarnya... sebenarnya untuk pendidikannya, saya sangat sepakat. Cuma, memang lumayan berat Mbak pelaksanaannya. Dan kalau pelaksanaannya itu mlintar-mlintir, nganan-ngiri.. (eee) ya ngak akan menghasilkan apa-apa. Untuk mengatasi tantangan yang datang dari sisi para orangtua, SALAM mengundang para orangtua murid untuk ikut pertemuan dan diskusi di SALAM. Pada awal semester, SALAM juga mengumpulkan para orangtua murid beserta anak-anaknya selain untuk tujuan menjaga hubungan orangtua dan sekolah juga untuk mengingatkan kembali prinsip-prinsip belajar di SALAM. Namun, masih cukup banyak pula orangtua yang tidak bisa hadir dengan alasan mereka masingmasing. Pertemuan yang diadakan oleh SALAM juga tidak dilakukan secara rutin sehingga belum mampu memberikan kemajuan berarti dalam membuka kesadaran para orangtua yang mayoritas adalah produk pendidikan arus utama. Untuk mengatasi tantangan yang datang dari fasilitator, SALAM juga mengadakan workshop setiap awal semester selama tiga hari. Workshop tersebut diisi dengan pengenalan kembali dasar-dasar pendidikan di SALAM, evaluasi kegiatan satu semester yang telah dilalui dan terakhir adalah membuat rencana pembelajaran untuk semester berikutnya. Sejauh pengalaman saya mengikuti workshop di SALAM, waktu tiga sebenarnya tidaklah cukup untuk membahas semua hal tersebut sampai detail dan jelas. Sebenarnya setiap hari Jumat, ada juga
39
Wawancara dengan salah satu orangtua murid tanggal 26 Februari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
jadwal evaluasi bersama para fasilitator namun kadang tidak berlangsung atau fasilitator yang datang hanya sedikit. Demikian tarik ulur antara para pengurus SALAM dan para fasilitator. Di satu sisi para pengurus SALAM menyatakan bahwa kesulitan terbesar adalah karena para fasilitator dan orangtua yang merupakan produk dari pendidikan arus utama. Memang yang diungkapkan oleh para pengurus SALAM tersebut benar adanya, bahwa para fasilitator dan para orangtua merupakan produk pendidikan arus utama dan kemungkinan besar dari mereka juga belum membaca buku-buku Paulo Freire seperti Pak Toto. Namun di sisi lain, SALAM sendiri belum konsisten dalam usahanya membuka kesadaran para fasilitator dan terutama para orangtua. Para fasilitator SALAM sendiri pun merasakan bahwa memang ada banyak tantangan yang mereka jumpai dalam selama mereka mengikuti dinamika di SALAM. Bu Wiwin sebagai salah satu fasilitator SALAM sekaligus penanggung jawab SD menyatakan keinginannya untuk menemukan teman-teman fasilitator
yang
memiliki
kemauan
dan
semangat
yang
sama
seperti
diungkapkannya berikut ini:40 Kalau dari aku sebenarnya, (eee) untuk fasilitatornya mungkin akan (eee) yang jelas kita pengin sekali mendapatkan fasilitator yang benerbener dengan hati. Yang memang mencintai anak-anak, pada dasarnya itu kan. Mencintai anak-anak dan bener-bener dengan hati itu semuanya pasti akan tersampaikan. Punya niat baik, punya semangat dan bekerja di sini bukan hanya untuk misalnya menopang secara ekonomi. Jadi kalau pengennya aku mungkin itulah yang perlu. Lha itu adalah tantangan kita juga untuk mencari fasilitator yang seperti kita harapkan. Jadi apa ya, mungkin kadang ada yang ngak sejalur, ada ini itu pasti mengalami dinamika yang seperti itu. Nah, kalau kita sudah 40
Wawancara dengan Bu Wiwin tanggal 3 Februari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
mendapatkan pribadi-pribadi yang seperti itu aku yakin jalurnya akan jadi lebih enak dan esensinya bisa kita jalani bareng-bareng. Istilahnya itu tidak pincang lah yang satu tujuannya sudah berbeda yang lain semangatnya berbeda kan akan susah ya. Ya harapanku bisa banyak lah orang-orang yang bergabung di sini yang mempunyai semangat seperti itu dan kemauan yang sama. Mendapatkan para fasilitator yang tujuan utamanya bergabung di SALAM semata-mata karena ingin mengajar dengan hati serta untuk mengembangkan diri memang bukanlah perkara yang mudah. Persoalan ekonomi tidak bisa diabaikan begitu saja, terlebih para fasilitator kebanyakan berasal dari kalangan menengah bawah yang membutuhkan gaji untuk memenuhi keperluan mereka. SALAM memang memberi gaji kepada para pegawainya, namun soal gaji ini tentu rumit juga. Karena sejak awal SALAM mengatakan bahwa syarat menjadi fasilitator adalah hati dan kemauan untuk mengembangkan diri maka tidak ada jaminan gaji tinggi sedari awal. Gaji yang diberikan oleh SALAM masih berada jauh di bawah UMR kabupaten Bantul. Hal ini dikarenakan keuangan SALAM sendiri juga tidak stabil. Uang SPP yang dibayarkan oleh para orang tua dipergunakan untuk membayar operasional proses belajar juga untuk biaya snack dan makan siang anak-anak. Sumber pendapatan lain, seperti penjualan produkproduk herbal juga tidak bisa diandalkan. Kerumitan soal keuangan ini akhirnya berimbas pada kinerja fasilitator. Hampir semua fasilitator mempunyai pekerjaan lain untuk mendukung kebutuhan ekonominya. Dan hal ini tentu berimbas juga pada proses pembelajaran karena para fasilitator mempunyai hal lain yang mereka pikirkan dan mereka kerjakan di luar SALAM. Kerumitan semacam itu saya alami sendiri ketika saya menjadi fasilitator kelas lima bersama dengan Mbak Hepi yang mempunyai pekerjaan lain di sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
lembaga media. Baik saya maupun Mbak Hepi tidak bisa mengajar setiap hari di SALAM. Lalu ada pembagian jadwal mengajar di antara kami. Saya mengajar setiap hari Senin dan Rabu sedangkan Mbak Hepi mengajar setiap hari Selasa, Kamis, dan Jumat. Walaupun sedari awal kami sudah mendiskusikan rencana pembelajaran yang ingin dijalankan selama satu semester, namun pada prosesnya cukup banyak tantangan yang kami hadapi. Kami memang saling mengabari berita terbaru tentang apa yang terjadi pada hari kami mengajar baik itu lewat sms, telepon dan email, namun tetap saja masih banyak hal yang tercecer dan tidak terdokumentasikan dengan baik. Pengalaman lain yang pernah saya alami adalah dipindahtugaskan untuk membantu fasilitator kelas enam pada pertengahan semester. Penyesuaian terhadap perubahan ini tidak hanya dilakukan oleh saya tetapi juga teman fasilitator saya dan juga anak-anak kelas lima dan kelas enam. Permasalahan
gaji
ini
memang
membuat
SALAM
kemudian
mengandalkan tenaga fasilitator dari para relawan baik itu orangtua yang anaknya sekolah di SALAM, para mahasiswa yang ingin melakukan penelitian di SALAM dan para lulusan sarjana yang masih menunggu lowongan pekerjaan di tempat lain. Pergantian fasilitator bisa berlangsung dalam waktu relatif cepat dan pada akhirnya membuat SALAM tidak mempunyai dokumentasi perkembangan anakanak didiknya secara berkesinambungan. Padahal dokumentasi perkembangan anak yang berkesinambungan sangat dibutuhkan dalam mengenali karakter anak dan langkah selanjutnya yang perlu diambil oleh fasilitator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Pandangan yang lain soal dinamika SALAM disampaikan oleh Bu Erwin yang juga merupakan salah seorang fasilitator dan sudah cukup lama mengenal SALAM sebagai berikut:41 SALAM itu dinamikanya kan luar biasa ya mbak karena orangtua juga ikut proses ya. Dan untuk menjaga konsistensi itu sulit karena kita memang tidak ada tata tertib, tidak ada kewajiban. Yang ada kesepakatan jadi ya bukan paksaan gitu ya. Jadi ya untuk membangun itu kan perlu waktu juga. Persoalan konsistensi memang sering muncul ketika saya menanyakan tentang kritik tentang SALAM baik kepada para fasilitator, anak maupun para orangtua. Di satu sisi, SALAM tidak menggunakan tata tertib atau peraturan tegas dalam menjalankan berbagai dinamikanya. SALAM ingin memperkenalkan tanggung jawab kepada para anak didiknya dalam suasana cair. Namun di sisi lain, suasana cair itu sendiri mengandung potensi tetapi juga sekaligus resiko. Mengandung potensi dalam arti bahwa suasana cair dimaknai sebagai kebebasan yang mengarah pada tanggung jawab. Dan mengandung resiko dalam arti bahwa suasana cair itu bisa saja ditangkap dan diterjemahkan sebagai kebebasan yang mengarah pada sikap semaunya. Resiko inilah yang masih menggelayuti dinamika yang berlangsung di SALAM. Ada beberapa contoh soal konsistensi yang saya temui di SALAM. Misalnya ketika SALAM yang mempunyai semboyan jaga lingkungan meminta anak-anak mengurangi penggunaan bungkus plastik, SALAM sendiri justru menjual minuman rosela dengan wadah yang terbuat dari plastik. Anak-anak sendiri yang justru mempertanyakan tindakan SALAM tersebut. Contoh lain
41
Wawancara dengan Bu Erwin tanggal 26 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
misalnya soal kesepakatan masuk sekolah. Dikatakan bahwa jam masuk sekolah adalah jam 8 pagi, namun para fasilitator sendiri sering telat dan jam belajar kemudian baru dimulai jam 8.30. Contoh lain lagi misalnya saat workshop evaluasi akhir semester yang tidak dikomunikasikan dangan baik kepada para orang tua, sehingga yang datang hanya dua atau tiga orang saja. Persoalan konsistensi juga menjadi persoalan dalam hal teknis pembelajaran, administrasi dan hal-hal lainnya yang ingin dibuat untuk menjadi cair justru malah mempunyai kesan tidak jelas dan berpengaruh juga kepada kelangsungan dinamika di SALAM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV SANGGAR ANAK ALAM (SALAM): SEKOLAH BIASA SAJA DI TENGAH PUSARAN PENDIDIKAN ARUS UTAMA Preschools (or schools) could be inserted into wider Utopian thinking about alternative futures, exploring the connections between alternative futures for education and alternative futures for economy, environment, tecnology and so on.1
A. Pengantar Pada bab tiga saya telah menguraikan hasil penelitian saya tentang Sanggar Anak Alam (SALAM). Berangkat dari kegelisahan mereka akan realitas pendidikan etika arus utama yang jauh dari kehidupan anak-anak dan lebih bersifat ajaran, SALAM kemudian mengajukan pendidikan alternatif yang berbasis pengalaman. SALAM berusaha menyusun keseluruhan dinamika yang berlangsung di SALAM mulai dari kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan lainnya sebagai sarana mengajarkan etika sekaligus sebagai kesempatan bagi anak-anak didiknya untuk mempraktikkan serangkaian tanggung jawab yang diperkenalkan oleh SALAM. Pada proses pelaksanaannya, memang masih banyak tarik ulur yang terjadi dan berpengaruh pada belum tercapainya tujuan pendidikan seperti yang diinginkan oleh SALAM. Pada bab empat ini, saya akan mengkaji konsep dan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM tersebut dengan menggunakan dua pisau bedah seperti yang sudah saya utarakan pada bagian pendahuluan. Saya 1
Gunilla Dahlberg dan Peter Moss, Ethics and Politics in Early Childhood Education, New York, RoutledgeFalmer, 2005, hlm. 181.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
akan mengkaji pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM dengan menggunakan konsep etika postmodern Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Konsep etika postmodern Bauman saya pakai untuk lebih mengulas konsep dan praktik pendidikan etika alternatif yang ditawarkan oleh SALAM kaitannya dengan sejauh mana pendidikan alternatif tersebut mampu menyediakan ruang bagi perjumpaan dengan Liyan dan mampu menanamkan tanggung jawab terhadap Liyan kepada anak-anak didiknya. Dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings dengan keempat komponennya (modelling, dialogue, practice dan confirmasi) saya pakai untuk bisa mengkaji keseluruhan komponen pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Melalui kajian ini, saya akan melihat jawaban atas dua kemungkinan yang terkandung dalam judul penelitian saya. Apakah SALAM itu adalah “sekolah biasa saja” dalam arti bahwa SALAM adalah sekolah yang memang memberikan alternatif dari kecenderungan pendidikan arus utama ataukah SALAM pada kenyataannya adalah sekolah biasa saja sama seperti dengan sekolah lain termasuk pendidikan arus utama yang ia lawan.
B. Potensi Pendidikan Etika Perjumpaan dengan Liyan Melalui
ulasannya
Berbasis
tentang
etika
Pengalaman
postmodern,
sebagai
Bauman
Ruang
telah
memperlihatkan kepada kita bahwa saat ini kita membutuhkan sebuah etika baru yaitu etika yang berdasar pada tanggung jawab terhadap Liyan. Ulasan Bauman itu disertai juga dengan persoalan lebih lanjut yaitu tentang bagaimana kita bisa tahu tentang Liyan dan bagaimana kemudian kita bisa menghormati dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
bertanggungjawab kepadanya? Oleh sebab itu, Bauman juga sudah menyinggung tentang peranan pendidikan sepanjang hayat (lifelong education) sebagai jalan untuk memunculkan berbagai kemungkinan pilihan yang bisa diambil dalam keputusan moral yang lebih berpihak pada Liyan yang partikular. Berdasarkan uraian yang telah diberikan oleh Bauman tersebut, kini saatnya kita mengkaji lebih jauh pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM kaitannya dengan pembentukan relasi dan tanggung jawab kepada Liyan. Sejauh mana pendidikan etika berbasis pengalaman bisa menjadi jalan anak-anak SALAM tahu akan Liyan dan kemudian bertanggung jawab kepadanya. Adapun Liyan yang dimaksud dalam pembahasan ini, bisa dipahami dalam dua sosok. Sosok Liyan yang pertama adalah anak-anak SALAM sendiri dari sudut pandang fasilitator dan sosok Liyan yang kedua adalah orang-orang yang dijumpai oleh anak-anak SALAM di lingkungan sekitarnya. Saya memahami Liyan dalam rupa dua sosok tersebut sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena perlakuan SALAM kepada dua sosok Liyan baik itu anak-anak sendiri maupun orang lain di sekitarnya akan sama-sama mempengaruhi perkembangan pemaknaan si anak soal tanggung jawabnya kepada orang lain. Lebih jauh soal perlakuan SALAM kepada dua sosok Liyan melalui pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukannya akan saya uraikan pada dua sub bab berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
1. Anak-anak sebagai Liyan di Mata Fasilitator Ketika sosok Liyan yang dimaksud adalah anak-anak SALAM sendiri dari sudut pandang fasilitator, menurut saya pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM sebenarnya mempunyai potensi di mana suara anak-anak dan kebutuhan mereka masing-masing bisa lebih didengarkan dan ditangkap oleh fasilitator. Kesediaan para fasilitator untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan, ide dan pendapat dari anak-anak merupakan sebuah usaha mendengarkan dan menghargai suara Liyan. Dengan mendengarkan anak-anak, fasilitator telah bersikap terbuka dengan mereka dan mengenali mereka sebagai pribadi yang unik dan beragam. Usaha fasilitator untuk mendengarkan anak-anak dari posisi dan pengalaman mereka masingmasing menandakan kalau anak-anak (Liyan) itu tidak diperlakukan secara seragam. Perlakuan para fasilitator SALAM kepada anak-anaknya tersebut tidak dapat dipisahkan dari cara SALAM mendefinisikan siapa itu anak-anak (Liyan).
SALAM
yang
mengikuti
pendapat
Romo
Mangun
dalam
mendefinisikan anak sebagai mahaguru bagi dirinya mempunyai asumsi bahwa dalam diri anak sudah ada bibit-bibit keingintahuan yang akan membawanya pada proses belajar sepanjang hayat. Anak-anak akan melalui proses tumbuh dan berkembang secara alamiah. Jadi yang dibutuhkan adalah lahan yang baik untuk mendukung proses tersebut. Dari asumsi SALAM tersebut, kita bisa melihat bahwa SALAM memandang anak sebagai pribadi yang kaya akan rasa keingintahuan. Anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
dipandang sebagai pribadi yang aktif secara alamiah. Cara pandang seperti ini pun sebenarnya juga dikenal oleh pendidikan arus utama. Ada ungkapan pendidikan berpusat pada anak (child centred) yang juga melihat anak-anak sebagai pribadi aktif dan guru hanya berperan sebagai pembimbing belajar. Tetapi pemaknaan terhadap ungkapan pendidikan berpusat pada anak itu juga tidak bisa dilepaskan dari pengertian dan kualitas seragam (universalisme) yang diberikan oleh modernisme. Perwujudan pendidikan berpusat pada anak di sekolah arus utama pun menjadi abstrak dan problematis. Universalisme
memang
telah
menyeragamkan
kualitas
manusia,
termasuk dalam masalah moral. Dalam pandangan universalisme moral, semua orang di dunia belahan manapun berada memiliki hak dan kewajiban moral yang sama. Etika dalam hal ini kemudian merupakan wujud dari pertanyaan: “Dari perspektif universalisme moral, bagaimana seharusnya kita berpikir dan bertindak?”2 Kualitas etika dalam pandangan ini kemudian dimengerti sebagai kemampuan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau tidak dalam kerangka kode etik yang normatif. Dalam pendidikan etika yang berdasar pada pandangan universalisme moral, materi yang diajarkan kemudian berkaitan dengan kewajiban moral sebagai sesuatu yang mutlak. Semua anak di mana pun berada dipandang memiliki kemampuan dan kewajiban yang serupa untuk menaati kode etik yang telah ditentukan oleh modernisme. Oleh sebab itu, pendidikan etika kemudian
2
Ibid, hlm. 66.
menjadi
jauh
dari
bayangan
anak-anak
karena
tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
memperhitungkan beragam situasi nyata yang dihadapi oleh masing-masing anak. Tidak ada tempat bagi kompleksitas, subjektivitas dan keragaman perspektif karena yang diutamakan adalah rasionalitas dan objektivitas. Dengan demikian memang tepat kritik yang dilontarkan Bauman terhadap
universalisme.
Bauman
melihat
universalisme
justru
malah
menyamaratakan esensi manusia. Usaha modernisme untuk bisa mewujudkan etika yang universal justru melemahkan otoritas moral individu dengan memberikannya kepada negara maupun kekuatan lain yang berperan menentukan kode etik yang harus dipatuhi. Universalisme menawarkan kualitas dan kapasitas yang sama kepada setiap individu. Namun, kode-kode etik yang dipromosikan mengatasnamakan kebijaksanaan dari superioritas kelompok tertentu.3 Kebijakan pendidikan karakter merupakan contoh bagaimana pendidikan kita telah mengikuti pandangan universalisme moral. Negara telah menentukan 18 nilai yang perlu diperkenalkan kepada para murid lengkap dengan indikatorindikator penilaiannya. Semua anak di wilayah Indonesia dianggap memiliki kemampuan dan kewajiban yang sama untuk menjalankan kode etik yang termuat dalam pendidikan karakter. Di tengah realitas pendidikan etika arus utama kita yang lebih dipengaruhi oleh pandangan universalisme moral tersebut, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM mempunyai potensi dalam memberi ruang untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak. Berangkat dari
3
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, Oxford, Blackwell, 1993, hlm. 39-41.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
pengalamannya masing-masing, anak-anak diberi ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya. Hal ini menandakan adanya keterbukaan dan penghargaan fasilitator terhadap suara anak-anak. Ada komunikasi yang coba dibangun bersama dan hal ini juga menandakan bahwa fasilitator tidak memperlakukan anak-anak sebagai Liyan yang seragam termasuk serupa dengan diri sang fasilitator sendiri. Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan Daur Belajar dan penyusunan kesepakatan kelas bisa menjadi contoh bagaimana anak-anak diberi ruang untuk aktif menyampikan ide dan pendapatnya berangkat dari pengalaman yang sudah ia lalui. Dalam penyusunan kesepakatan kelas, masing-masing anak diberi ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya berkaitan dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk mendukung kelancaran proses belajar. Demikian pula dalam pelaksanaan Daur Belajar, anak-anak diberi ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya mulai dari persiapan riset, pelaksanaan riset sampai dengan olah data riset di kelas. Penyediaan ruang dan kesempatan bagi anak-anak untuk menyampaikan ide dan pendapatnya ini tidak hanya semata-mata berhenti pada melihat keaktifan dan antusias anak-anak ataupun dalam rangka membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan. Penyediaan ruang dan kesempatan tersebut merupakan upaya untuk mendengarkan suara anak-anak sekaligus sebagai upaya menangkap kebutuhan mereka masing-masing. Kebutuhan anakanak yang berhasil ditangkap melalui proses komunikasi tersebut kemudian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
berusaha diolah bersama dengan para fasilitator lain dalam kegiatan evaluasi setiap hari Jumat atau dengan orangtua murid pada kegiatan home visit. Dengan demikian, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM mempunyai potensi memberi ruang pada didengarkannya suara anak-anak (Liyan) seturut pengalaman dan posisi mereka masing-masing. Anak-anak tidak diperlakukan secara seragam tetapi diperlakukan sesuai dengan keragaman dan kebutuhan mereka masing-masing. Perlakuan semacam ini diharapkan bisa membangun kesadaran dan kesediaan anak-anak untuk juga mau mendengarkan orang-orang lain disekitarnya dan sekaligus bertanggung jawab kepada mereka.
2. Orang-orang Sekitar sebagai Liyan di Mata Anak-anak SALAM Selain sosok Liyan yang bisa dipahami sebagai anak-anak di mata fasilitator, Liyan juga bisa dipahami sebagai orang-orang yang berada di sekitar anak-anak SALAM. Dalam semboyan SALAM yang berupa “jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan” terkandung keinginan bahwa anak-anak SALAM selain bisa bertanggung jawab pada dirinya tetapi juga bisa bertanggung jawab pada Liyan baik itu lingkungannya, teman-temannya, para fasilitator, orangtua maupun orang lain disekitarnya. Ketika Liyan yang dimaksud adalah orang-orang sekitar yang dijumpai oleh anak-anak SALAM, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan SALAM sebenarnya juga mempunyai potensi sebagai ajang perjumpaan anakanak dengan Liyan. Dengan belajar dari berbagai realitas nyata di lapangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
anak-anak bisa berjumpa dengan Liyan yang kongkrit dan tidak seragam seperti yang dikonstruksi dalam pendidikan arus utama. Dari pengalaman akan perjumpaan dengan Liyan yang partikular, anak-anak bisa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri akan Liyan dan sekaligus anak-anak belajar untuk peduli kepada Liyan. Definisi SALAM soal keaktifan anak selangkah lebih jauh dibandingkan dengan definisi soal keaktifan anak pada pendidikan arus utama karena definisi SALAM sampai menghubungkan proses belajar dengan berbagai relasi yang ada di sekitarnya. SALAM tidak mendefinisikan belajar sebagai sebuah tindakan kognitif individual tetapi sebagai sebuah aktivitas kooperatif dan komunikatif di mana anak-anak mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri serta memaknai dunia bersama teman-teman dan orang dewasa baik itu fasilitator, orangtua maupun orang lain yang mereka jumpai dalam hidup mereka. Dengan demikian proses komunikasi dan belajar tidak hanya berjalan satu arah dari fasilitator kepada anak-anak. Persoalan proses komunikasi dan belajar secara bersama-sama ini menjadi penting karena pada pendidikan arus utama kita realita yang terjadi adalah monolog antara guru kepada murid. Dalam monolog tersebut, guru kemudian mengklaim bahwa ia serba tahu tentang Liyan dan kemudian ia juga seolah-olah menjadi juru bicara dari Liyan. Dengan demikian pengetahuan akan Liyan yang dihasilkan dari proses monolog adalah pengetahuan hasil konstruksi dan transfer dari guru. Kritik para pengurus SALAM tentang praktik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
pendidikan di sekolah arus utama yang lebih bersifat ajaran dan nasihat merupakan kritik terhadap proses monolog tersebut. Penggunaan Daur Belajar dan riset di SALAM mempunyai potensi dan kemungkinan untuk digunakan sebagai alternatif terhadap proses belajar monolog. Dengan belajar di luar sekolah seperti riset ke museum yang dilakukan oleh kelas lima, anak-anak bisa belajar banyak hal. Mereka tidak hanya belajar benda-benda yang ada di museum tetapi mereka juga belajar mendengarkan dan menjalin komunikasi dengan orang-orang yang mereka jumpai pada saat riset berlangsung baik itu orang-orang yang bekerja di museum maupun orang-orang yang berjualan di sekitar museum. Analisa hasil riset pun kemudian didiskusikan secara bersama-sama di dalam kelas. Melalui pelaksanaan Daur Belajar dan riset tersebut, nampak bahwa SALAM sedang berupaya untuk mengajak anak-anak membangun pengetahuan mereka akan Liyan di sekitarnya seturut pengalaman perjumpaan mereka masing-masing. Berbagai kegiatan lain yang diselenggarakan oleh SALAM seperti pasar tradisional, home visit serta kunjungan dari komunitas-komunitas lain memang bisa digunakan untuk memperkenalkan anak didiknya kepada berbagai relasi yang ada dalam masyarakat sekitarnya. Anak-anak tidak hanya mengenal relasi dengan para fasilitator atau para orangtua tetapi juga bisa lebih mengenal jauh berbagai relasi dengan beragam orang-orang di masyarakat. Melalui usahanya ini, SALAM telah menunjukkan bahwa SALAM memahami dirinya sebagai sebuah forum sosial di mana anak-anak dan orang dewasa bertemu dan bisa saling berpartisipasi dalam proyek-proyek budaya, sosial, ekonomi dan juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
politik. SALAM berusaha selain menjadi institusi pendidikan tetapi juga mencoba menjadi sebuah komunitas yang memiliki solidaritas sosial, budaya dan juga politis
C. Potensi yang tak Terolah Secara Optimal: Menyoal Komponen Pendidikan Etika Alternatif SALAM Saya sudah mengulas pendapat saya bahwa pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM sebenarnya mempunyai potensi atau kemungkinan memberi ruang bagi perjumpaan dengan Liyan seperti yang diharapkan oleh Bauman. SALAM juga telah memahami dirinya tidak hanya sebagai sebuah institusi pendidikan semata tetapi juga sebagai sebuah forum sosial. Namun, dalam uraian pada bab tiga kita juga telah melihat hasil pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM ternyata belum bisa seperti yang diinginkan oleh para pendiri dan pengurusnya. Relasi dan tanggung jawab dengan Liyan belum tertanam kuat dalam diri semua anak SALAM. Oleh sebab itu, saya melangkah lebih jauh lagi untuk melihat keseluruhan komponen pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM dengan memakai empat komponen (modelling, dialogue, practice, dan confirmation) pendidikan kepedulian yang diajukan oleh Nel Noddings. Dengan keempat komponen tersebut, saya berharap tidak hanya bisa mengulas soal keseluruhan komponen pengajaran tetapi juga problematika yang ada dalam praktik pendidikan etika yang diajukan oleh SALAM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
1. Pemberian teladan (Modeling) Pemberian teladan termasuk menjadi bagian penting dalam sebuah pendidikan etika. Dari perspektif Nel Noddings, guru harus bisa menunjukkan kepada para murid apa itu yang dimaksud dengan peduli. Dalam konteks pendidikan etika yang diajukan oleh SALAM, kita kemudian membicarakan tentang keteladanan para orang dewasa SALAM baik itu para fasilitator, para pengurus maupun orangtua dalam menunjukkan seperti apa yang dimaksud dengan bertanggung jawab dan peduli kepada orang lain. Keteladanan dari orang dewasa SALAM menjadi penting karena pola pikir dan tindakan mereka sangat berpengaruh dalam proses pembentukan pola pikir dan tindakan anakanak. Pertama, kita akan mengkaji terlebih dahulu soal keteladanan dari para fasilitator dan para pengurus SALAM. Dalam proses belajar-mengajar di kelas, anak-anak lah yang menjadi Liyan bagi fasilitatornya. Jika fasilitator ingin mengajarkan anak-anak untuk peduli dan bertanggung jawab dengan orang lain, maka fasilitator pun harus memberikan teladan dengan cara peduli dan bertanggung jawab pada anak-anak didiknya. Anak-anak bisa merasakan dan menilai apakah fasilitator mereka mengajar dengan kepedulian dan tanggung jawab atau tidak. Mbak Hepi, rekan fasilitator saya di kelas lima menunjukkan keteladanannya sebagai fasilitator yang tidak hanya mendampingi proses belajar anak-anak tetapi juga berusaha untuk memahami kebutuhan mereka. Ia mendengarkan semua ide, pendapat dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
oleh anak-anak. Baru setelah itu, ia merespon dengan memberikan tanggapan, pertanyaan maupun jawaban yang diakhiri dengan mengajak anak-anak untuk membuat pemaknaan dari komunikasi yang mereka lakukan. Contoh nyata dari tindakan Mbak Hepi ini bisa kita lihat dalam proses penyusunan kesepakatan kelas dan pelaksanaan riset ke Museum Sonobudoyo yang juga sudah saya uraikan pada bab tiga. Kesediaan Mbak Hepi untuk mendengarkan dan menghargai
anak-anak
merupakan
teladan
bagi
mereka
untuk
mau
mendengarkan, menghargai dan memberi respon pendapat orang lain secara bertanggung jawab. Mbak Hepi adalah salah satu contoh fasilitator yang mampu memberi teladan baik bagi anak-anaknya. Namun berdasarkan sharing Mbak Hepi kepada saya dan juga dari pengalaman saya sendiri, memberikan teladan untuk peduli dan bertanggung jawab kepada orang lain memang cukup sulit karena sebagai fasilitator kami harus memiliki pengetahuan mendalam tentang karakter dan latar belakang masing-masing anak. Sementara itu, seperti yang sudah saya ungkapkan dalam deskripsi hasil penelitian, dokumentasi SALAM tentang anak-anak sendiri tidak berjalan dengan terlalu baik karena adanya pergantian fasilitator dalam waktu yang relatif cepat. Dan masih ditambah lagi dengan persoalan SALAM yang ingin membangun relasi dalam suasana cair tetapi rentan dengan sikap tidak bertanggung jawab semakin membuat persoalan pemberian teladan ini menjadi lebih rumit. Kedua, kita akan mengkaji keteladanan orang dewasa lain yang tidak kalah penting yaitu dari sisi orangtua murid SALAM. Keteladanan orangtua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
murid ini juga sangat penting karena anak-anak justru lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dibanding di SALAM yang waktu efektif belajarnya hanya tiga jam sehari. Pengaruh orangtua juga sangat nampak sekali dalam menentukan pola pikir dan sikap anak-anak SALAM. Hal ini terlihat dari anak-anak yang saya wawancarai sering menyebutkan “kata orangtuaku”. Berdasarkan sharing para fasilitator dan juga tanggapan anak-anak, nampak bahwa tidak semua orangtua mendidik anak-anaknya sejalan dengan cita-cita SALAM. Seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya bahwa ada pula anak yang memberi respon akan bersikap cuek jika bertemu dengan perempuan hamil di bis yang tidak mendapat tempat duduk. Anak tersebut memberi respon demikian karena juga berangkat dari kata-kata orangtuanya. Privatisasi memang telah menyusup ke dalam relasi masyarakat kita dan orangtua SALAM pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari persoalan tersebut.
2. Dialog (Dialogue) SALAM pun mengikuti konsep dialog yang diajukan oleh Paulo Friere seperti yang dilakukan oleh Nel Noddings. Dialog tersebut berusaha direalisasikan tidak hanya dalam dinamika proses belajar mengajar maupun dalam kesepakatan kelas tetapi juga dalam komunikasi di antara para fasilitator, pengurus, dan orangtua SALAM. Dalam proses belajar yang cair, fasilitator di SALAM berupaya membangun dialog bersama anak-anak. Praktik mengajar kemudian sebisa mungkin tidak seperti memindahkan pengetahuan ke kepala anak-anak, tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
memancing mereka supaya mau saling bicara dan saling mendengarkan pendapat teman-temanya. Penekanan pada kesediaan anak-anak untuk saling bicara dan mendengarkan merupakan upaya agar anak-anak menangkap keinginan dan kebutuhan teman-temannya. Kita pun telah melihat bahwa tata tertib di SALAM dibuat berdasarkan kesepakatan kelas dan tidak disusun dalam rupa kalimat perintah ataupun larangan. Penyusunan tata tertib kelas dengan menggunakan kesepakatan ini bisa menunjukkan kepada anak-anak bahwa tata tertib itu bukan hukum yang turun dari langit tapi hasil dari kesepakatan beberapa orang yang bisa saja berubah sesuai kebutuhan. Masalah yang terjadi di antara anak-anak SALAM pun diselesaikan dengan menggunakan kesepakatan kelas. Dengan cara seperti itu, fasilitator atau sekolah kemudian tidak tampil sebagai otoritas penuh yang bisa menghukum anak-anak yang dianggap bersalah. Dengan anak-anak duduk bersama, saling membicarakan masalah yang terjadi dan mendengarkan berbagai argumentasi, anak-anak justru bisa menyelesaikan masalah tersebut. Penerapan dialog ini selain dirasakan lebih menyenangkan untuk anakanak dan fasilitator, ternyata juga bisa membuat relasi yang lebih cair baik antara anak-anak dan fasilitator maupun sesama anak-anak sendiri. Namun, dialog ini membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dari para fasilitator sebagai pembimbing jalannya dialog. Sehingga bagi para fasilitator yang baru bergabung di SALAM tentu butuh waktu dan penyesuaian dalam memahami dan menerapkan konsep dialog tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
3. Praktik (Practice) SALAM menyediakan banyak kesempatan untuk mempraktikkan ketiga bentuk tanggung jawab (jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan) yang ingin diperkenalkan kepada anak-anaknya. Saya sudah menguraikan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh SALAM mulai dari kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan lainnya yang diharapkan mampu menjadi lahan praktik tanggung jawab anak-anaknya. Apabila kegiatan-kegiatan tersebut direncanakan dengan serius dan sungguh-sungguh sebenarnya sangat berpotensi dalam membangkitkan komunikasi dan tanggung jawab anak baik kepada dirinya sendiri, lingkungan, teman maupun orang-orang lain di sekitarnya. Misalnya saja penggunaan Daur Belajar sebagai panduan proses belajar mengajar sebenarnya bisa mengantar anak-anak menjumpai berbagai realitas di lingkungan sekitarnya. Tetapi penerapan Daur Belajar tersebut memang membutuhkan banyak waktu dan tenaga dari fasilitator. Waktu perencanaan sangat dibutuhkan bagi fasilitator untuk menentukan tema, mengeksplorasi sumber-sumber serta mendiskusikan cara dan kebutuhan belajar siswa. Sementara itu juga seperti yang sudah saya ungkapkan bahwa masih banyak tarik ulur di SALAM yang membuat fasilitator belum bisa optimal dalam mempersiapkan dan menerapkan Daur Belajar tersebut. Belum lagi penggunaan indikator yang mengacu pada indikiator pemerintah juga memiliki tantangan tersendiri bagi para fasilitator maupun juga anak-anak. Hasil yang diperoleh kemudian belum sesuai dengan yang dicita-citakan oleh SALAM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
Sungguh disayangkan, berbagai kegiatan yang bisa menjadi kesempatan untuk praktik bagi anak-anak itu belum bisa digarap secara serius oleh SALAM. Walaupun memiliki konsep dan tujuan yang baik, tetapi karena tidak dipersiapkan dengan matang dan sungguh-sungguh maka banyak kegiatan yang berlangsung hanya menjadi kegiatan rutinitas biasa. Soal keseriusan ini memang yang digarisbawahi oleh Nel Noddings sebagai poin utama yang harus diperhatikan dalam memberikan kesempatan bagi para murid untuk mempraktikkan kepedulian terhadap orang lain. Dan SALAM belum bisa memenuhi poin utama tersebut.
4. Konfirmasi (Confirmation) SALAM yang menggunakan kesepakatan kelas untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di antara anak-anak berpotensi untuk menjauhkan konfirmasi dalam pengertian dakwaan, pengakuan, permohonan maaf dan penebusan dosa seperti dalam pengertian pendidikan agama yang dikritik oleh Nel Noddings. Jika ada masalah, fasilitator tidak langsung tampil sebagai pihak yang berwenang untuk menghakimi anak yang dianggap bersalah tetapi mengajak semua anak-anak untuk mendialogkan permasalahan tersebut. Melalui dialog yang berusaha diwujudkan melalui kesepakatan kelas SALAM, semua anak diminta merefleksikan kembali tindakannya sendiri dan sekaligus mendengarkan pendapat teman-temannya. Dengan demikian diharapkan anak-anak tidak langsung mudah berhenti pada menyalahkan diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
sendiri ataupun orang lain tetapi bisa belajar mempertanyakan kembali tindakan yang sudah ia lakukan atau temannya lakukan. Tetapi seperti yang sudah diingatkan pula oleh Nel Noddings bahwa tindakan konfirmasi ini membutuhkan pengenalan mendalam para fasiliatator akan karakteristik dan kebutuhan masing-masing anak. Dan pengenalan mendalam tersebut membutuhkan waktu kebersamaan antara fasilitator dan anak-anak yang intens dan berkesinambungan. Hal itu juga yang masih sulit dipenuhi oleh SALAM sehingga tindakan konfirmasi ini menjadi cukup sulit untuk dipraktikkan.
D. Menyoal Tarik Ulur yang dihadapi SALAM: Resiko yang Mengiringi Pilihan untuk Menyelenggarakan Pendidikan Alternatif Dalam
pembahasan
mengenai
praktik
pendidikan
etika
berbasis
pengalaman yang diajukan oleh SALAM berulang kali kita menemukan berbagai tantangan yang membuat tanggung jawab Liyan itu belum bisa tertanam kuat dalam diri semua anak SALAM. Menurut saya, berbagai tantangan tersebut kemudian perlu kita olah lebih lanjut lagi dengan tujuan supaya kita bisa menjadi lebih terang dalam melihat penyelenggaraan sebuah pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM memang bukanlah barang baru dalam dunia pendidikan kritis. Dan pengurus SALAM sendiri pun sudah mengatakan bahwa mereka memang mengikuti semangat, pemikiran dan aksi nyata dari beberapa tokoh pendidikan kritis. SALAM mengikuti strategi Romo Mangun dalam bernegosiasi dengan pendidikan arus utama. Mereka mengikuti strategi Romo Mangun untuk tetap mengikuti indikator pemerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
tetapi kemudian banyak bereksplorasi dalam metode pendidikannya. Tetapi strategi tersebut kemudian juga tidak serta merta berjalan mulus dalam praktiknya. Saya sudah mengulas bagaimana indikator pemerintah juga membawa tantangan tersendiri dalam eksplorasi pendidikan di SALAM. Belum lagi tarik ulur yang datang dari fasilitator, orangtua, dan para pengurus SALAM sendiri semakin menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh SALAM. Berbagai tantangan dan juga tarik ulur yang dialami oleh SALAM tersebut kemudian membenarkan pendapat Anita Lie sebagaimana yang sudah saya tuliskan dalam bagian kajian pustaka bahwa penyelenggaraan pendidikan alternatif tidak semudah yang dibayangkan. Secara konsep, SALAM mengikuti semangat dan pemikiran para tokoh pendidikan kritis. Dan pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM sebenarnya berpotensi memberi ruang untuk menjalin komunikasi, perjumpaan dan dialog dengan Liyan. Namun pada praktiknya, ruang tersebut belum digarap dengan optimal sehingga komunikasi, perjumpaan dan dialog dengan Liyan itu belum bisa tertanam kuat dalam diri semua anak SALAM. Dari uraian keempat komponen pendidikan kepedulian Nel Noddings kita juga sudah melihat bahwa masih ada banyak tantangan yang mengganjal proses dialog, praktik, konfirmasi, dan pemberian teladan dari para orang dewasa SALAM. Dengan demikian masih ada cukup banyak ketidaksinambungan antara konsep dengan praktik pendidikan etika alternatif yang dijalankan oleh SALAM. Dinamika SALAM menunjukkan bahwa memang ada banyak tantangan yang menghadang dalam upaya penyelenggaraan sebuah pendidikan alternatif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Tantangan-tantangan tersebut bisa dilihat sebagai resiko yang mengiringi pilihan untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan alternatif. Resiko ini yang belum banyak diulas dalam pendidikan kritis. Henry A. Giroux yang merupakan salah satu tokoh pemikir dan praktisi pendidikan kritis termuktahir di abad 21 ini baru menyinggung sedikit soal resiko dalam penyelenggaraan pendidikan kritis. Giroux baru menawarkan dua bahasa dalam pendidikan kritis, yaitu bahasa kritik (language of critic) dan bahasa kemungkinan (language of possibility). Giroux menekankan agar melalui pendidikan kritis, para peserta didik bisa lebih kritis dalam melihat struktur dominasi yang sedang berlangsung dalam masyarakat sekaligus berani mengambil resiko untuk berpartisipasi aktif mengubah struktur dominasi tersebut. Giroux baru menyinggung soal resiko sebagai sesuatu yang harus berani dihadapi oleh para pelaku pendidikan kritis. Padahal kita membutuhkan gambaran lebih lanjut soal bagaimana kita bisa menghadapi berbagai resiko yang muncul saat kita tengah mengupayakan sebuah pendidikan kritis. Kemampuan apa lagi yang perlu kita miliki untuk menghadapi semua resiko tersebut? Untuk melengkapi gambaran kita mengenai berbagai resiko yang mengiringi penyelenggaraan pendidikan alternatif, saya kembali menggunakan pemikiran Bauman. Bauman mengikuti gagasan Ulrich Beck tentang masyarakat beresiko (risk society) dalam melihat realitas masyarakat di jaman sekarang ini. Bagi Bauman, resiko memang menjadi aspek yang tidak dapat dipisahkan dari realitas di jaman yang serba cair. Masyarakat di jaman serba cair ini justru bergulat untuk menghindari atau mengatur resiko. Dan Bauman pun kemudian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
telah mengajukan pendidikan sepanjang hayat (lifelong education) dan kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) sebagai kemampuan yang harus dimiliki di tengah-tengah realitas jaman serba cair saat ini. Kita perlu belajar menjadi manusia-manusia dengan kualitas peluru yang cerdas (smart missile) yang tidak hanya memiliki kemampuan untuk belajar tetapi juga kemampuan untuk belajar secara cepat. Jika kita kembali mengkaitkan SALAM dengan pemikiran Bauman maka kesimpulannya adalah SALAM belum bisa menjadi smart missile dalam arti sebagai sebuah institusi pendidikan yang cerdas berhadapan dengan berbagai tantangan yang ia hadapi. SALAM sendiri belum memiliki kemampuan belajar terus-menerus (learn as they go) padahal berbagai tantangan itu tampak nyata di depan mereka. Karena SALAM sendiri belum mampu menjadi smart missile maka mereka pun belum berhasil mengupayakan pendidikan sepanjang hayat (lifelong education) bagi anak-anak didiknya. Namun kita pun juga harus mengakui bahwa belum berhasilnya SALAM menjadi smart missile dalam dunia pendidikan alternatif juga karena kebanyakan orang yang terlibat dalam dinamika SALAM baik itu fasilitator, orangtua murid, maupun kerabat SALAM yang lain merupakan ballistic missile, hasil dari pendidikan arus utama. Kuatnya pengaruh dari konsep dan wacana pendidikan arus utama di mana para fasilitator, para orangtua murid, dan kerabat SALAM yang menjadi bagian di dalamnya perlu terus dipikirkan dan diolah oleh para pengurus SALAM. Kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) kemudian menjadi kemampuan yang dibutuhkan oleh SALAM baik untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
menjaga komitmen pendidikannya maupun untuk mengembangkan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dunia pendidikan memanglah dunia yang menyajikan banyak hal untuk diteliti. Selain menarik, banyak hal itu juga memang perlu untuk dikaji karena berkaitan dengan bagaimana anak-anak generasi masa depan kita diperbincangkan dan dididik. Bab dua tesis ini sudah cukup banyak mengulas soal pendidikan etika arus utama yang menggunakan pendekatan pendidikan karakter beserta dengan berbagai persoalan yang melingkupinya. Tesis ini selain sudah menunjukkan adanya berbagai kepentingan di balik trend pendidikan karakter juga sudah mengkaji konsep dan praktik pendidikan karakter di kebanyakan sekolah kita yang ternyata belum bisa dijadikan sebagai jalan mengantar anak-anak untuk mengenal Liyan yang partikular. Di tengah realitas pendidikan arus utama tersebut, penelitian tesis ini mengajak kita untuk mengenal dan memahami lebih jauh pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM). Pada bab tiga, kita sudah berkenalan dengan SALAM, melihat pandangan mereka soal realitas pendidikan etika arus utama kemudian pendidikan etika alternatif berbasis pengalaman yang mereka ajukan dan terakhir adalah proses evaluasi serta negosiasi yang menyertai perjalanan dinamika pendidikan mereka. Berangkat dari pandangan mereka akan pengajaran etika di kebanyakan sekolah yang lebih mengarah pada ajaran, hapalan dan jauh dari bayangan anak-
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
anak, SALAM kemudian mengajukan pendidikan etika alternatif yang berbasis pada pengalaman anak-anak sendiri. Keseluruhan kegiatan yang berlangsung di SALAM mulai dari kegiatan belajar-mengajar dan berbagai kegiatan lain disatukan dalam tujuan untuk pembentukan karakter dan watak anak-anak didiknya. SALAM ingin anak-anaknya mampu bertanggung jawab tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga bertanggung jawab pada lingkungannya, temantemannya, para fasilitator, orangtua maupun orang lain disekitarnya. Dalam konteks perjumpaan dan tanggung jawab terhadap Liyan seperti yang diinginkan oleh Bauman, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM sebenarnya bisa dijadikan ajang untuk mendengarkan suara Liyan dan menjalin relasi dengan Liyan. Liyan yang dimaksud di sini bisa dipahami dalam dua sosok. Sosok yang pertama adalah anak-anak SALAM sendiri dari sudut pandang fasilitator dan sosok kedua adalah orang-orang yang dijumpai oleh anak-anak di lingkungan sekitarnya. Ketika Liyan yang dimaksud adalah anak-anak dari sudut pandang fasilitator, pendidikan etika berbasis pengalaman ini sebenarnya bisa digunakan untuk mendengarkan suara anak-anak dan mengenali kebutuhan mereka masingmasing. Lalu, ketika Liyan yang dimaksud adalah orang-orang yang dijumpai oleh anak-anak di lingkungan sekitarnya, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan SALAM sebenarnya bisa mempertemukan anak-anak dengan Liyan yang kongkrit dan tidak seragam seperti yang dikonstruksi dalam pendidikan arus utama. Dari pengalaman akan perjumpaan dengan Liyan yang partikular, anak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
anak bisa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri akan Liyan dan sekaligus mereka belajar untuk peduli serta bertanggung jawab kepada Liyan. Dari segi komponen pendidikannya, SALAM memiliki keempat komponen pendidikan kepedulian yang diajukan oleh Noddings. Pemberian teladan, dialog, praktik dan konfirmasi berusaha diterapkan dalam dinamika pendidikan di SALAM. Namun, dalam penerapan keempat komponen tersebut memang masih banyak tarik ulur yang terjadi. Beberapa hal yang ditekankan oleh Noddings seperti keseriusan sekolah dalam mempersiapkan berbagai praktik untuk anak-anaknya serta pengenalan yang mendalam akan karakteristik dan kebutuhan anak-anak belum mampu dipenuhi oleh SALAM. Tarik-ulur yang terjadi dalam dinamika pendidikan di SALAM membuat kesempatan dan potensi yang ditawarkan oleh pendidikan etika berbasis pengalaman belum bisa diolah secara optimal oleh SALAM. Negosiasi-negosiasi yang coba dilakukan oleh SALAM baik itu dengan pemerintah maupun anggota komunitasnya sendiri pun tidak serta merta berjalan mulus. Pemakaian indikator pemerintah membawa ganjalan tersendiri dalam proses eksplorasi pendidikan di SALAM. Dan masih ada pula permasalahan-permasalahan lain yang datang dari fasilitator, orangtua dan para pengurus SALAM sendiri. Penjabaran soal evaluasi dan
negosiasi
yang
dihadapi
SALAM
menunjukkan
bahwa
memang
penyelenggaraan sebuah pendidikan alternatif tidaklah mudah, ada banyak problem yang siap menghadang di depan mata. Dan tesis ini memang berada pada posisi untuk memproblematisasikan dinamika pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Posisi ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
sengaja dipilih agar kita tidak dengan mudah dan puas berhenti pada menghakimi secara satu arah pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM itu bagus atau tidak. Pertanyaan yang terkandung dalam judul penelitian saya apakah SALAM itu “sekolah biasa saja” dalam artian memberi alternatif atau sama saja dengan pendidikan arus utama yang ia lawan kemudian menjadi pertanyaan yang sulit saya jawab. Walaupun saya sudah menyatakan bahwa SALAM belum berhasil menjadi smart missile, tetapi saya tidak ingin berhenti pada penilaian tersebut. Anjuran Bauman untuk melihat segala sesuatu itu secara ambivalen dan kompleks telah mempengaruhi pengambilan posisi dan kesimpulan tesis ini. Dan akhirnya penelitian ini berhenti pada tesis bahwa pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM memuat tiga aspek penting sekaligus yaitu kritik, kemungkinan dan juga resiko. Kemunculan pendidikan etika alternatif SALAM memuat kritik terhadap pendidikan etika arus utama yang lebih bersifat ajaran dan jauh dari bayangan anak-anak. Lalu konsep dan praktik pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan SALAM memberikan kemungkinan bahwa kita masih bisa mengupayakan sebuah konsep dan praktik pendidikan etika lain yang lebih memberi ruang bagi terjalinnya komunikasi, perjumpaan dan dialog kepada
Liyan. Penyelenggaraan pendidikan oleh SALAM juga
menunjukkan kepada kita bahwa ada orang-orang yang mau bersama-sama mengupayakan sebuah pendidikan yang berbeda dengan pendidikan arus utama. Pemerintah pun sebenarnya juga memberi kemungkinan akan terselenggaranya hal itu. Tetapi kita juga harus menerima kenyataan bahwa pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM juga tidak lepas dari resiko karena harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
banyak berhadapan dengan berbagai tantangan dan tarik ulur dengan pendidikan arus utama. Kemampuan belajar terus-menerus (learn as they go) menjadi sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai resiko tersebut. Jika SALAM tidak mau membangun kemampuan tersebut maka masa depan SALAM bisa dipastikan memang hanya akan menjadi sekolah biasa-biasa saja dalam arti yang sebenarnya.
B. Refleksi Tesis Pada bagian refleksi tesis ini, saya ingin menuliskan beberapa catatan kecil yang saya peroleh baik selama saya menjalani proses penelitian maupun penyusunan tesis ini sendiri. 1. Terkait pemakaian teori Pemahaman akan teori dan juga pengaplikasiannya sebagai pisau bedah dalam tesis ini merupakan perkara yang tidak mudah bagi saya. Terlebih, dalam teori etika postmodern yang diajukan Bauman tidak ada kode etik dan ukuran yang jelas untuk diterapkan. Maka yang terjadi dalam proses penelitian dan juga penyusunan tesis ini adalah saya kemudian bergulat dengan berbagai kontradiksi dan ambivalensi yang saya jumpai di SALAM. Pemahaman akan kondisi SALAM lah yang akhirnya bisa mengantar saya pada posisi tesis untuk memproblematisasi dinamika pendidikan yang berlangsung di sana. 2. Terkait kondisi SALAM dan ambivalensi modernitas Tarik ulur yang saya jumpai di SALAM membawa saya pada kebenaran akan kalimat : “There is also a widespread ambivalence towards modernity – can’t live with it, can’t live without it!” yang
diungkapkan oleh Gunilla
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Dahlberg dkk.1 Dalam konteks pendidikan kritis, banyak kritik yang sudah dilontarkan terhadap realitas pendidikan arus utama yang cenderung mengikuti arahan modernitas dan ada upaya-upaya untuk membendung realitas tersebut dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Namun, ternyata dalam praktik selanjutnya pengaruh modernitas itu juga tidak bisa disisihkan begitu saja karena ada ambivalensi yang menyertainya. Hal itu bisa kita lihat dalam sistem pengelolaan SALAM. Para pengurus SALAM ingin mengelola SALAM secara cair karena berangkat dari kritik mereka akan sistem pengelolaan dan administrasi di kebanyakan sekolah yang dinilai kaku. Tetapi kemudian karena tidak ada kejelasan sistem pengelolaan dan administrasi, para fasilitator SALAM bisa keluar masuk dalam waktu yang relatif singkat. Dan hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pada proses dokumentasi perkembangan belajar anak-anak SALAM itu sendiri.
C. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan dan refleksi diatas, maka sebagai tindak lanjut dari penelitian tesis ini kiranya ada beberapa saran yang bisa saya ajukan, yaitu: 1. Untuk perkembangan praktik pendidikan etika di SALAM Tesis ini sudah berusaha mengungkap problematisasi seputar praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Problematisasi tersebut
mungkin
bisa
digunakan
sebagai
salah
satu
bahan
untuk
perkembangan praktik pendidikan etika di SALAM. Dan menurut saya, 1
Gunilla Dahlberg dan Peter Moss, Ethics and Politics in Early Childhood Education, New York, RoutledgeFalmer, 2005, hlm. 52-53.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
persoalan konsistensi dan kemampuan untuk belajar terus-menerus memang menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi SALAM. SALAM perlu lebih konsisten dalam usahanya membuka kesadaran orang-orang yang terlibat dalam dinamika pendidikannya, terutama para fasilitator dan para orangtua karena merekalah yang banyak terlibat dalam proses pengajaran anak-anak SALAM. Masalah pergantian fasilitator dalam waktu yang relatif cepat juga perlu lebih dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya oleh SALAM karena berkaitan dengan proses pendidikan yang berkesinambungan. SALAM juga perlu mempersiapkan kegiatan-kegiatannya secara lebih matang supaya tujuan yang diinginkan bisa tercapai. Dan persoalan lain yang tidak kalah penting adalah SALAM perlu menjalin jejaring yang lebih luas lagi dengan berbagai elemen masyarakat dan komunitas untuk bisa semakin memperkaya dinamika pendidikan yang diselenggarakannya. Kita tentu berharap potensi yang dimiliki oleh pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM bisa diolah secara optimal sehingga tanggung jawab kepada Liyan bisa tertanam kuat tidak hanya dalam diri semua anak SALAM tetapi juga dalam diri semua orang yang pernah terlibat dalam dinamika pendidikan SALAM. 2. Untuk perbaikan kebijakan umum Tesis ini sudah memberikan cukup banyak ulasan dan juga kritik tentang kebijakan pendidikan karakter yang masih berlangsung hingga tahun 2025. Indikator-indikator penilaian pada pendidikan karakter perlu ditinjau lebih lanjut terlebih indikator yang hanya bersifat formalitas semata. Dan berkaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
dari pendidikan berbasis pengalaman yang diajukan SALAM, maka menurut saya sekolah-sekolah arus utama kita perlu diberi ruang lebih luas untuk bisa bereksplorasi dan mengembangkan berbagai kegiatan yang bisa dipakai sebagai praktik pendidikan etika anak-anaknya. 3. Untuk Sekolah-sekolah lain yang juga mengusung bendera alternatif Melalui penelitian terhadap SALAM, tesis ini kiranya bisa memberi gambaran akan problematika maupun resiko yang mengiringi pilihan untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan alternatif. Petuah Bauman tentang perlunya kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) yang juga telah diangkat dalam tesis ini kiranya perlu menjadi perhatian khusus bagi sekolahsekolah selain SALAM yang juga mengusung bendera alternatif. 4. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan Karena tesis ini hanya berpaku pada persoalan pendidikan etika, tentu masih banyak persoalan lain yang bisa dikaji dari SALAM. Selain itu, akan menarik dan memang perlu juga untuk mengadakan penelitian terhadap konsep dan praktik pendidikan etika oleh sekolah-sekolah lain yang mengusung bendera pendidikan alternatif selain SALAM. Dengan semakin banyaknya penelitian seputar persoalan pendidikan etika diharapkan bisa semakin memperkaya perbincangan seputar pendidikan etika sekaligus sebagai bahan untuk mencari alternatif di tengah pusaran pendidikan etika arus utama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
DAFTAR PUSTAKA
Acetylena, Sita. (2013). “Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter di Perguruan Taman Siswa Kecamatan Turen Kabupaten Malang” dalam Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Vol 1, hlm. 56-61, diakses dari http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jmkpp/article/view/1509 pada hari Kamis, 25 juni 2015. Arthur, James. (2003). Education with Character: The Moral Economy of Schooling. London: RoutledgeFalmer. Badan Penelitian dan Pengembangan. (2010). Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Bauman, Zygmunt. (1987). Legislators and Interpreters: On Modernity, Postmodernity and Intellectuals. Cambridge: Polity Press. Bauman, Zygmunt. (1993). Postmodern Ethics. Oxford: Blackwell. Bauman, Zygmunt. (2000). Liquid Modernity. Cambridge: Polity Press. Bauman, Zygmunt. (2008). Does Ethics have A Chance in A World of Consumers?. London: Harvard University Press. Bauman, Zygmunt dan Donskis, Leonidas. (2013). Moral Blindness: The Loss of Sensitivity in Liquid Modernity. Cambride: Polity Press. Bauman, Zygmunt. ________. Alone Again: Ethics after Certainty. London: Demos. Carspecken, Phil Francis. (2001). “Critical Ethnographies from Houston: Distinctive Features and Directions” dalam Phil Francis Carspecken dan Geoffrey Walford (Ed.). Critical Ethnography and Education. Oxford: Elsevier Science. Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
Dahlberg, Gunilla dan Moss, Peter. (2005). Ethics and Politics in Early Childhood Education. New York: RoutledgeFalmer. Dahlberg, Gunilla. dkk. (2007). Beyond Quality in Early Childhood Education and Care: Languages of Evaluation. London dan New York: Routledge. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. (2011). Policy Brief. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Ghofur, Muhammad Ikhsan. (2014). “Pendidikan Agama Islam Berbasis Masyarakat di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam Nitriprayan Bantul”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Giroux, Henry A. (2004). “Introduction to “The Moral and Spiritual Crisis in Education” dalam Counterpoints, Vol. 262, hlm. 9-14, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42978521 pada hari Kamis, 25 Juni 2015. Giroux, Henry A. (2005). Border Crossings: Cultural Workers and The Politics of Education. New York: Routledge. Indratno, Ferry A. (2005). Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) bekerja sama dengan Misereor. Ino (Ed.). 2011. “Olifant School Bidik Anak-Anak dari Keluarga yang Sibuk”, diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2011/01/12/olifant-school-bidikanak-anak-dari-keluarga-yang-sibuk pada hari Jumat, 9 Oktober 2015. Jacobsen, Michael Hviid dan Poder, Paul. (2008). The Sociology of Zygmunt Bauman: Challenges and Critique. Hampshire dan Burlington: Ashgate. Laksana, Bagus A. (2013). Manusia Tanpa Sekat: Inspirasi Driyarkara dan Tantangan Pendidikan Universitas dalam Dunia Serba Cair. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Latief (Ed.). 2010. “Lho, Industri Lebih Butuh Hasil Pendidikan Karakter”, diakses dari http://bola.kompas.com/read/2010/04/15/13093311/lho.industri.lebih.butu h.hasil.pendidikan.karakter pada hari Jumat, 20 Februari 2015. Leming, James S. (1997). “Whither Goes Character Education? Objectives, Pedagogy, and Research in Education Programs” dalam The Journal of Education, Vol. 179, hlm. 11-34, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42741720 pada hari Kamis, 25 Juni 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Lestari, Wiwik. (2013). “Pendidikan Karakter Sekolah Dasar di Indonesia pada Masa 1945-1965”. Tesis. Magister Pendidikan. Universitas Negeri Medan. Lickona, Thomas. (2013). Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik (terj.). Bandung: Nusa Media. Lie, Anita. (2008). “Pendidikan Kritis dan Transformasi Masyarakat Kewargaan”, dalam I. Praptomo Baryadi. dkk. (Ed.). Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Listyarti, Retno. (2012). Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif. Jakarta: Esensi. Mangunwijaya, Y. B. (2005). “SD Kanisisus Eksperimental Mangunan DIY 1994-1998” dalam A. Ferry Indratno. Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) bekerja sama dengan Misereor. Marcus, George E. (1986). “Contemporary Problems of Ethnography in the Modern World System” dalam James Clifford dan George E. Marcus (Ed.). Writing Culture: The Politics and Poetics of Ethnography. Berkeley: University of California Press. Muhyiddin, Marfu. 2013. “5 Kesalahan dalam Pendidikan Karakter” diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/11/5-kesalahan-dalam-penerapanpendidikan-karakter-608557.html pada hari Jumat, 20 Februari 2015. Musfiroh, Ani. (2010). “Konsep dan Implementasi Sekolah Kehidupan di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan Kasihan Bantul Yogyakarta dalam Perspektif Islam”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Noddings, Nel. (1998). Philosophy of Education. Oxford: Westview Press. Noddings, Nel. (2002). Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education. New York: Teachers College Press. Noddings, Nel. (2008). “Caring and Moral Education” dalam Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (Ed.). Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge. Purpel, David E. (1999). “The Politics of Character Education” dalam Counterpoints, Vol. 102, hlm. 83-97, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42975410 pada hari Kamis, 25 Juni 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
Puspita, Mia Hera. (2011). “Studi Deskriptif: Tingkat Kepercayaan Diri Siswasiswi SD Sanggar Anak Alam Yogyakarta”. Skripsi. Jurusan Psikologi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Rahardjo, Toto. (2014). Sekolah Biasa Saja (Catatan Pengalaman Penyelenggaran Pendidikan Dasar di Sanggar Anak Alam (SALAM). Yogyakarta: Progress berkerja sama dengan SALAM dan Tanoto Foundation. Sandjaja, Soejanto S. (2014). “Pendidikan Karakter Berbasis Pembelajaran Eksperiensial” dalam Metamorfosis, Vol. 5, hlm. 21-27, diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=199799&val=6579&t itle=Pendidikan%20Karakter%20Berbasis%20Pembelajaran%20Eksperien sial pada hari Kamis, 25 juni 2015. Saukko, Paula. (2003). Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications. Suparno, Paul. (2000). “Apakah Pendidikan Menghasilkan Ketulusan?” dalam BASIS, Nomor 05-06, hlm. 58-63. Tester, Keith. (2004). The Social Thought of Zygmunt Bauman. New York: Palgrave Macmillan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Visi dan misi Greenschool Yogyakarta diakses dari http://www.yogyagreenschool.com/bahasa/visi-misi/ pada hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015. Willis, Paul. (1977). Learning to labour: Why working class kids get working class jobs. Farnborough: Saxon House. Willis, Paul. (2000). The Ethnographic Imagination. Oxford: Polity Press. Willis, Paul. (2004). “Twenty-Five Years On: Old Books, New Times dalam Nadine Dolby. dkk. (Ed.). Learning to Labour in New Times. London dan New York: RoutledgeFalmer. Yu, Tianlong. (2004). In the Name of Morality: Character Education and Political Control. New York: Peter Lang. Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.