Sekilas Tentang Jurnal Fitofarmaka Jurnal Fitofarmaka merupakan media untuk mempublikasikan tulisan asli yang berkaitan dengan ilmu farmasi khususnya bahan alam. Diterbitkan secara elektronik dan cetak dengan frekuensi dua kali dalam setahun yaitu Juni dan Desember. Juranl Fitofarmaka dapat mengakomodasi tulisan ilmiah yang dapat menjadi panduan dan literatur dalam bidang bahan alam.
Tulisan ilmiah dapat berupa hasil penelitian mutakhir (paling lama 5 tahun yang lalu), ulasan (review) singkat, laporan dari suatu penelitian pendahuluan, dan laporan kasus. Kategori penelitian meliputi: a. Analisis Farmasi b. Kimia Bahan Alam c. Farmakologi dan Toksikologi d. Etnofarmakologi e. Kimia Medisinal f. Biologi Molekuler dan Bioteknologi g. Farmakoterapi h. Farmasi Klinik i. Farmasetika dan Teknologi Farmasi j. Biologi Farmasi
Tulisan yang telah diterima akan di review oleh editor dan mitra bestari yang sesuai dengan bidangnya.
JURNAL FITOFARMAKA
Dewan Redaksi
Ketua Dewan Redaksi drh. Min Rahminiwati, M.S., PhD. (Pusat Studi Biofarmaka LPPM Institut Pertanian Bogor)
Anggota Dewan Redaksi Dr Tri Panji, M.S. (Puslit Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia) Dr. Eli Halimah, M.Si. Apt. (Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran) Dr. Ir. Akhmad Endang Zainal Hasan, M.Si. (Biokimia FMIPA Institut Pertanian Bogor) Dr. Ietje Wientarsih, M.Sc., Apt., (Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor) Dr. Sata Yoshita Srie Rahayu, M.Si. (Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Pakuan) Siti Sa’diah M.Si, Apt. (Fakultas Kedokteran Hewan / Pusat Studi Biofarmaka LPPM Institut Pertanian Bogor) Drs. Almasyhuri , M.Si. , Apt. (Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kemenkes) Bustanussalam, M.Si. (Puslit Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
JURNAL FITOFARMAKA ISSN:2087-9164, Vol.1,No.2, Desember 2011
DAFTAR ISI
AKTIVITAS EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PROLIFERASI DAN DIFERENSIASI SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS BERUMUR TIGA HARI SECARA IN VITRO Min Rahminiwati, Ita Juwita, Ani Murtisari, Latifah K Darusman UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL AKAR, KULIT BATANG DAN DAUN TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Ness.) DENGAN METODE LINOLEAT – TIOSIANAT Sri Wardatun TOKSISITAS BEBERAPA EKSTRAK RIMPANG CABANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA LARVA UDANG (Artemia salina Leach) Prasetyorini, Ike Yulia Wiendarlina, Anisa Bela Peron IDENTIFIKASI MUTASI PADA DAERAH DNA POLIMERASE DAN HBsAg VIRUS HEPATITIS B Cysilia K Hindarto, Tina Rostinawati, Debbie S Retnoningrum
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
AKTIVITAS EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PROLIFERASI DAN DIFERENSIASI SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS BERUMUR TIGA HARI SECARA IN VITRO Min Rahminiwati1,3, Ita Juwita2, Ani Murtisari2, Latifah K Darusman3 1) Bagian Farmakologi, Departemen AFF-FKH IPB 2) Bagian Anatomi, Departemen AFF-FKH IPB 3) Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB Email :
[email protected] ABSTRAK Kurkumin yang terdapat dalam rimpang temulawak, selain dapat menginduksi terjadinya proliferasi sel progenitor pada otak tikus dewasa juga dapat menghambat kerja enzim tirosinkinase yang berperan penting dalam mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Meskipun demikian respon sel saraf terhadap ekstrak temulawak pada masa pertumbuhan perlu kajian lebih lanjut. Efek ekstrak temulawak terhadap proliferasi dan diferensiasi sel otak besar atau serebrum pada masa pertumbuhan anak diteliti pada sel otak anak tikus Spague Dawley berumur tiga hari yang ditumbuhkan dalam media DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium). Perlakuan dikelompokkan dalam kelompok kontrol positif (mDMEM+30 µg/mL asiaticoside (AC), kontrol negatif (mDMEM), kelompok yang memperoleh ekstrak temulawak (CZ) 100 ppm (mDMEM+100 ppm CZ), CZ 200 ppm (mDMEM+200 ppm CZ), dan CZ 400 ppm (mDMEM+400 ppm CZ). Kultur diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5 % selama 6 hari. Parameter yang diamati adalah population doubling time, komposisi sel saraf dan sel glia, panjang akson dan dendrite yang diukur masing masing menggunakan hemositometer, pewarnaan Hematoxyilin Eosin (HE) dan mikrometer. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak temulawak pada konsentrasi 100 ppm memperlambat prolfperasi, pada konsentrasi 400 ppm meningkatkan diferensiasi sel yang ditunjukkan dengan meningkatnya ratio sel glia terhadap sel saraf dan mempengaruhi panjang akson dan dendrite. Kata kunci : Curcuma xanthorrhiza Roxb., neuron, sel glia, dendrite PENDAHULUAN Otak merupakan organ tubuh yang mempunyai peran sangat penting dalam mengatur dan mengontrol semua aktivitas tubuh termasuk perilaku, tumbuh kembang dan reproduksi. Sel-sel penyusun otak manusia sekitar 90 % terdiri dari sel-sel glial dan sisanya yaitu sekitar 10 % adalah sel saraf. Sebagai sel penyangga, sel glia berfungsi melindungi, merawat, dan menjadi sumber nutrisi sel saraf (Ramos & Shen, 2008) Sel yang termasuk sel glia adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia dan sel ependimal. Astrosit berperan dalam mempertahankan sirkulasi darah di otak, mengatur kadar ion dan nutrien,
memperbaiki dan mencegah jaringan saraf dari kerusakan. Oligodendrosit bekerja melapisi akson dengan menghasilkan myelin. Sel ependimal memproduksi cairan serebrospinal dan sel. Mikroglia melakukan fagositosis terhadap sel-sel otak yang mati dan bakteri (Junqueira & Carnerio, 2005). Kerusakan sel saraf akibat aging atau peradangan dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi sel saraf dan sel glia. Hal ini akan memicu terjadinya gangguan fungsi otak seperti yang terjadi pada penyakit alzheimer (Choi, 2011). Alzheimer adalah penyakit yang muncul karena adanya kerusakan sel saraf otak di hipokampus dan kortek serebrum. Kedua bagian otak ini berkaitan dengan 1
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
aktivitas memori sehingga timbulnya alzheimer seringkali ditandai dengan adanya dementia atau kepikunan dengan tingkat keparahan penyakit bervariasi tergantung pada derajat kerusakan otak. Selain terjadinya perubahan komposisi sel saraf dan sel glia, gangguan fungsi otak juga bisa terjadi karena adanya kelainan pada akson. Kerusakan akson menyebabkan penyampaian impuls saraf di otak mengalami hambatan (Braak et al., 2006). Beberapa tanaman diantaranya adalah pegagan dan temulawak dilaporkan mempunyai potensi sebagai pelindung sel saraf otak. Salah satu senyawa kimia dari pegagan yang berpotensi sebagai neuroprotektor adalah asiaticoside. Asiaticoside bekerja mempercepat regenerasi sel akson dan menghambat pembentukan beta amyloid yaitu suatu metabolit protein yang menyebabkan terjadinya kerusakan sel saraf (Soumyanath, 2005). Senyawa lainnya adalah kurkumin dan xanthorrhizole. Kedua senyawa ini merupakan komponen utama dalam temulawak. Kurkumin adalah antiinflamasi dan neuroprotektor yang potensial. Sebagai antiinflamasi, senyawa kurkumin bekerja menghambat kerusakan otak yang lebih parah akibat aktivitas mediator kimia yang dilepaskan oleh mikroglia pada waktu terjadinya proses fagositosis benda-benda asing di otak (Jayaprakasha, 2006). Potensi kurkumin dalam melindungi dan memperbaiki sel otak juga ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menginduksi peningkatan proliferasi sel progenitor otak tikus dewasa (Kim et al., 2008). Hazama (1994) telah berhasil mengidentifikasi keterlibatan enzim tirosin kinase dalam melakukan aktivitas proliferasi dan diferensiasi sel. Enzim ini mengatur proses proliferasi sel-sel kanker dan juga sel glia sehingga adanya hambatan terhadap aktivitas enzim tirosin kinase dapat menyebabkan terjadinya hambatan terhadap proliferasi sel seperti dilaporkan oleh Hong et al. (1999), Handayani (2008) dan Cheah et al. ( 2006). Hong dan Handayani melaporkan 2
bahwa efek antiproliferasi kurkumin dan xanthorrhizole terhadap sel kanker terkait dengan aktivitas inhibisinya terhadap enzim tirosin kinase. Adapun interferensi xanthorrhizole terhadap sel nomal dilaporkan oleh Cheah et al. (2006) yang melihat adanya gangguan proliferasi dan diferensiasi sel hati dan sel ginjal monyet normal pada paparan dengan xanthorrhizole. Aktivitas farmakologi ekstrak temulawak, berdasarkan uraian diatas, bersifat mendua. Selain bersifat sebagai neuroprotektor melalui daya induksinya terhadap proliferasi sel progenitor otak, ekstrak temulawak juga berpotensi sebagai inhibitor perkembangan sel yang terkait dengan aktivitasnya sebagai inhibitor enzim tirosin kinase. Meskipun demikian, pengaruh ekstrak temulawak, terhadap diferensiasi dan proliferasi sel otak pada masa pertumbuhan belum diketahui. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan untuk meneliti respons sel otak serebrum in vitro pada anak tikus yang berumur 3 hari terhadap ekstrak temulawak. Parameter yang diamati meliputi proliferasi dan diferensiasi sel otak serta pertumbuhan akson dan dendrite. Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang berperan dalam menginterpretasikan informasi sensoris, menginisiasi rangsangan pada otot rangka, mengintegrasikan aktivitas sel saraf yang berhubungan dengan komunikasi, ekspresi respon emosional, belajar, memori, daya ingat, dan kebiasaan lainnya yang dilakukan secara sadar (Colville & Bassert, 2002). METODE PENELITIAN Bahan Otak besar dari tikus putih (Rattus norvegicus) strain Sprague Dawley yang berumur tiga hari (newborn), gelatin 0,1%, larutan pencuci phosphate buffered saline (PBS) yang ditambahkan gentamisin 50 µg/mL dan newborn calf serum (NBCS) 0,1% (mPBS), medium kultur mDMEM yaitu DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) yang dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE) 10%, gentamisin 50 µg/mL, sodium
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
bikarbonat 3,7 µg/mL, dan newborn calf serum (NBCS) 10%; asiaticoside (AC) 30 µg/mL, ekstrak rimpang temulawak (CZ), dan pewarna Hematoksilin Eosin (HE). Alat
Cawan petri steril (Corning®), gelas beker, gelas ukur. Tabung konikal, tabung mikro, peralatan bedah steril, mikropipet, tip, biosafety cabinet, mikrofilter, disposible syringe 1 mL, sentrifuge, object glass, cover glass, hemositometer, inkubator, mikroskop, spatula, dan timbangan digital. Cara Kerja 1. Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak Ekstrak rimpang temulawak yang dipakai pada penelitian ini adalah ekstrak etanol 30% yang diperoleh dengan cara maserasi dingin. Ekstrak diperoleh dari Pusat Study Biofarmaka LPPM IPB. 2. Persiapan Kultur Sel Saraf Otak Besar Sebelum digunakan, cawan petri dilapisi dengan 1 mL gelatin 0,1% dan didiamkan pada suhu kamar selama 1 jam. Setelah satu jam, gelatin dibuang dan dicuci dengan PBS kemudian didiamkan selama 5 menit. Cawan petri diisi dengan mDMEM dan perlakuan (asiaticoside 30 µg/mL, ekstrak rimpang temulawak (CZ) konsentrasi 100, 200, dan 400 ppm sebanyak 2 mL kemudian diinkubasi selama minimal satu jam ke dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37°C. 3. Isolasi dan Kultur Sel Saraf Otak Besar Sel saraf otak besar tikus (Rattus norvegicus) umur 3 hari diisolasi, dan disuspensi di dalam larutan mPBS kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 210 g selama 10 menit. Proses pencucian dilakukan dengan mPBS sebanyak empat kali dan mDMEM sebanyak satu kali. Sel dengan konsentrasi 6,5x104 sel/mL kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi mDMEM dan perlakuan sebanyak 2 mL. Setiap kultur dilakukan duplo, terdiri
atas cawan yang dilapisi dan tidak dilapisi cover glass. Cawan yang dilapisi cover glass digunakan untuk pewarnaan HE. Kultur diinkubasi di dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37°C. Medium mDMEM dan perlakuan diganti setiap 2 hari sekali sebanyak 2 mL setiap penggantian. Kultur dilakukan sampai hari keenam. 4. Evaluasi Hasil Kultur Sel Saraf Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Tingkat proliferasi ditentukan dengan menghitung selisih jumlah sel saraf pada saat sebelum dikultur dan setelah kultur pada hari keenam. Untuk menghitung jumlah sel, medium sel dibuang kemudian sel dicuci dengan mPBS. Larutan tripsin 0,1% dalam mPBS sebanyak 1 mL dimasukan kedalam sel tersebut kemudian sel diinkubasi selama 5 menit sampai sel terlihat soliter. Sel yang telah terdisosiasi disentrifugasi di dalam mPBS, selanjutnya sel dihitung dibawah mikroskop menggunakan hemositometer Improved Neubauer dengan perhitungan : Total sel (sel/mL) = jumlah sel pada 5 kotak x faktor pengenceran x 104
Population Doubling Time (PDT) dihitung menggunakan rumus: ( ) ( ) 5. Diferensial Sel Untuk Menentukan Sel Saraf dan Sel Glia Jumlah sel dihitung dengan metode pewarnaan HE. Kultur sel yang ditumbuhkan di atas cover glass dicuci dengan PBS kemudian difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehid 4% selama 24 jam. Kultur yang telah difiksasi disimpan dalam alkohol 70% sampai dilakukan pewarnaan HE. Pewarnaan dimulai dengan merendam hasil kultur sel saraf ke dalam alkohol 50% selama 3 menit. Setelah itu sediaan direndam dalam aquadest selama 5 menit, dalam Hematoxylin 10 menit, dan dibilas dengan aquades selama 5 menit. Selanjutnya sediaan direndam dalam eosin selama 5 menit, dibilas dengan aquades selama 5 menit, dan 3
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
dilakukan dehidrasi bertingkat menggunakan alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, 100% (absolut) tiga kali, masing-masing selama 10 menit dan dilanjutkan dalam xylol dua kali ulangan masing-masing selama 10 menit, kemudian cover glass ditempelkan dengan object glass menggunakan entelan. Penghitungan jumlah sel-sel saraf dan sel-sel glia dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x10.
diberi perlakuan ekstrak rimpang temulawak dibandingkan dengan kontrol disampaikan pada Tabel 1.
6. Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit Pengamatan pertumbuhan panjang akson dan dendrit melalui pengamatan natif pada hari keenam. Kultur sel saraf difoto sebanyak 4 lapang pandang dengan pembesaran 10x10. Panjang akson dan dendrit diukur dengan menggunakan perangkat lunak image.
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). Kontrol positif (mDMEM+asiaticoside (AC) 30µg/mL); kontrol negatif (mDMEM); ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) (CZ) 100 ppm (mDMEM+CZ 100 ppm); CZ 200 ppm (mDMEM+CZ 200 ppm) dan CZ 400 ppm (mDMEM+CZ 400 ppm)
7. Rancangan Percobaan Penelitian dilakukan terhadap lima kelompok perlakuan yang terdiri dari kontrol positif (mDMEM+asiaticoside 30 µg/mL), kontrol negatif (mDMEM), CZ 100 ppm (mDMEM+CZ 100 ppm), CZ 200 ppm (mDMEM+CZ 200 ppm), CZ 400 ppm (mDMEM+CZ 400 ppm). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas satu cawan yang dilapisi cover glass untuk pewarnaan HE dan satu cawan tanpa cover glass untuk menghitung Population Doubling Time (PDT). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Parameter yang diamati yaitu PDT, jumlah sel saraf dan sel glia, serta panjang akson dan dendrit. Data PDT serta panjang akson dan dendrit dianalisis menggunakan uji statistik ANOVA dan Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya menjadi dua kali lipat dari jumlah semula. Proliferasi sel yang cepat ditunjukkan dengan PDT yang rendah. Hasil PDT kultur sel saraf yang 4
Tabel 1. Tingkat PDT sel saraf yang tumbuh pada masing-masing perlakuan Kontrol positif
Kontrol negatif
3,27 ± 0,26a
3,78 ± 0,51a
Konsentrasi CZ 100 200 400 ppm ppm ppm 4,39 ± 5,15 ± 6,62 ± 0,52b 0,99b 0,57c
Berbeda dengan nilai PDT sel otak pada medium yang mengandung ekstrak asiaticoside, nilai PDT sel otak pada medium yang mengandung ekstrak temulawak konsentrasi CZ 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm berturut-turut adalah 4,39 ± 0,52 hari, 5,15 ± 0,99 hari, dan 6,62 ± 0,57 hari. Nilai PDT kelompok ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif (P<0,05). Hal ini menunjukkan adanya hambatan terhadap proliperasi sel sel otak. Semakin tinggi konsentrasi temulawak yang ditambahkan, hambatan semakin besar dan proliperasi sel otakpun semakin lambat. 2. Komposisi Jumlah Sel Saraf dan Sel Glia Sel glia merupakan sel-sel yang berfungsi untuk menjaga, memelihara, mendukung dan sumber nutrisi sel saraf. Sel glia menyusun 40% volume otak dan medulla spinalis (Feriyawati, 2006). Sedangkan menurut Junqueira & Carneiro (2005) seluruh otak memiliki jumlah sel glia 10 kali lebih banyak dibandingkan sel saraf pada keadaan in vivo. Persentase jumlah sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
Diferensiasi sel ditunjukkan oleh perbandingan jumlah sel saraf dengan sel glia. Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara sel saraf dengan sel glia pada kontrol negatif adalah 47,20% dan 52,80%. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian Riyacumala (2010) yang memberikan nilai komposisi sel saraf dengan sel glia pada mDMEM adalah 48,50% dan 51,50%. Adapun kultur sel saraf yang mengandung asiaticoside (kontrol positif) menunjukkan persentase sel saraf lebih tingi dibandingkan sel glia yang berbeda secara signifikan dengan kontrol negatif. Diferensiasi sel otak pada medium yang mengandung temulawak lebih banyak mengarah pada pembentuk sel glia daripada sel saraf. Semakin tinggi konsentrasi temulawak yang ditambahkan, prosentase jumlah sel saraf yang terbentuk semakin sedikit dan sel glia sebaliknya jumlahnya semakin banyak. Perbedaan yang signifikan dengan kontrol positif dan negatif mulai terjadi pada konsentrasi 200 ppm dan
peningkatan prosentase sel glia tertinggi terjadi pada perlakuan CZ 400 ppm sebanyak 62,75%. Data ini mengindikasikan bahwa sel otak yang terpapar ekstrak temulawak cenderung berdiferensiasi membentuk sel glia dibandingkan dengan sel saraf. Sel glia yang terdapat di sistem saraf pusat adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal. Dari keempat macam sel glia tersebut, sel glia yang ditemukan pada kultur sel saraf hanyalah tiga yaitu astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia. Sel ependimal tidak ditemukan pada kultur ini karena sel melapisi dinding ventrikel otak. Astrosit memiliki inti yang paling besar dan bulat dengan badan sel astrosit berbentuk bintang. Oligodendrosit memiliki ukuran inti yang lebih kecil dibandingkan dengan inti astrosit dan memiliki penjuluran lebih sedikit dan kecil. Mikroglia memiliki inti sel kecil, bulat, dan dikelilingi dengan banyak penjuluran kecil (Junqueira & Carnerio, 2005). Morfologi ketiga sel glia tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2. Persentase sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan Jenis sel
Kontrol Kontrol Konsentrasi CZ positif negatif 100 ppm 200 ppm 400 ppm Sel saraf 69,03 ± 3,47c 47,20 ± 9,96b 45,11 ± 2,44ab 36,18 ± 0,20a 37,25 ± 4,43a Sel glia 30,97 ± 3,47a 52,80 ± 9,96b 54,88 ± 2,44bc 63,81 ± 0,20c 62,75 ± 4,43c Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05).
Salah satu sel glial yaitu astrosit mempunyai peran penting dalam mengatur neurogenesis. Sebagai progenitor otak (Goldman, 2003) astrosit memiliki kemampuan untuk mendukung partumbuhan dendrit (Le Roux & Reh, 1994). Neural Progenitor Cell (NPC) merupakan sumber perkembangan sel saraf dan sel glia yang membentuk semua bagian otak pada perkembangan embrio. NPC bersifat mampu membelah, migrasi, dan berdiferensiasi menjadi neuron (Kim et al., 2008). Menurut Kalverbour et al. (1999), progenitor sel saraf akan berkembang menjadi sel saraf dan penjulurannya akan membentuk akson dan dendrit. Ukuran
panjang akson dan dendrit pada medium dasar (mDMEM) berdasarkan penelitian Riyacumala (2010) adalah berkisar 167,7µm dan 102,5µm, sedangkan pada penelitian ini panjang akson dan dendrit hanya berkisar 20,90 µm dan 13,81 µm. Ukuran panjang akson dan dendrit yang lebih pendek disebabkan karena sel saraf yang tumbuh yaitu progenitor sel saraf. Progenitor sel saraf memiliki penjuluran yang pendek. Selain itu, pengukuran pada penelitian Riyacumala (2010) dilakukan pada hari kesebelas sedangkan pada penelitian ini pengukuran dilakukan pada hari keenam sehingga mempengaruhi panjang akson dan dendrit yang terbentuk.
5
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
3 2
3 2
1
A
3
B
4
5
3
C
D
Gambar 1. Morfologi sel glia dan sel saraf Keterangan: Sel glia (A, B, C). Astrosit (1), oligodendrosit (2), mikroglia (3). Sel saraf (D). Sel saraf bipolar (4), sel saraf multipolar (5), Pewarnaan HE. Bar: 5µm. 3. Pertumbuhan Panjang Akson Dan Dendrit Akson dan dendrit merupakan penjuluran sel saraf yang berfungsi untuk menghantarkan impuls (Kuntarti, 2007). Tabel 3.
Akson umumnya memiliki ukuran lebih panjang daripada dendrit. Pertumbuhan panjang akson dan dendrit pada masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Panjang akson dan dendrit pada masing-masing perlakuan (µm) Kontrol Positif
Kontrol negatif
Konsentrasi CZ
100 ppm 200 ppm 400 ppm Akson 19,78 ± 4,25ab 18,44 ± 2,99a 18,72 ± 1,50 a 17,78 ± 1,79 a 20,90 ± 0,01b Dendrit 10,07 ± 2,04 a 10,93 ± 1,04a 10,35 ± 2,25a 11,66 ± 4,07 b 13,81 ± 0,64b Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05)
Sel saraf pada medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm memiliki akson dan dendrit yang lebih panjang dibandingkan dengan kontrol baik kontrol negatif maupun kontrol positif. Data pada tabel 3 menunjukan sel saraf pada medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm memiliki nilai PDT 6
yang tinggi yaitu sebesar 6,62 ± 0,57 hari. Nilai PDT yang tinggi mengindikasikan perlambatan proliferasi sel saraf dan akibat dari lambatnya proliferasi sel adalah terjadinya peningkatan pertumbuhan akson dan dendrit karena semua energi menjadi lebih banyak terpusat pada pertumbuhan akson dan dendrit. Asiaticoside pada
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
konsentrasi 30 g/mL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proliferasi dan diferensiasi sel tetapi terhadap dua parameter lainnya efeknya tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol. Asiatiscoside dilaporkan dapat memperpanjang akson (Sushma et al., 2010), akan tetapi pada penelitian ini efek tersebut tidak terbukti. Pernyimpanan memori bergantung pada jumlah percabangan dendrit dan ukuran badan sel saraf (Putranto, 2009). Semakin banyak percabangan dendrit makin besar kemungkinan untuk melakukan sinaps dengan sel saraf lain. Sinaps merupakan titik temu antara sel saraf satu dengan sel saraf lainnya. Semakin banyak sinaps antar sel saraf maka kemampuan otak untuk menampung infromasi yang masuk menjadi lebih banyak pula (Affari, 2011). Pemberian ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm pada kultur sel otak besar memiliki dendrit yang panjang. Semakin panjang dendrit akan semakin luas jangkauannya sehingga semakin banyak sinaps antar sel saraf. Banyaknya sinaps antar sel mengakibatkan kemampuan otak untuk menampung informasi meningkat menjadi lebih besar. SIMPULAN Ekstrak rimpang temulawak menghambat prolliperasi sel-sel otak besar secara nyata pada konsentrasi 100 ppm, tetapi ekstrak rimpang temulawak mampu meningkatkan pertumbuhan panjang akson dan dendrit pada konsentrasi 400 ppm. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada MENRISTEK yang telah mendanai penelitian ini melalui Dana Insentif Terapan Ristek tahun 2010-2011. DAFTAR PUSTAKA Affari, L. 2011. Otak tambah pintar dengan bersepeda. http://b2windonesia.or.id/bacanote/otak_tamba h_pintar_dgn_bersepeda_tinjauan_sci enties [08 Oktober 2011]. Braak, H., Rub, U., Schultz, C. and Tredici, K. 2006. Vulnerability of cortical
neurons to Alzheimer’s and Parkinson’s diseases. J Alzheimers Dis 9: 35–44. Cheah, Y.H., Azimahtol, H.L.P., Abdullah, N.R. 2006. Xanthorrhizol exhibits antiproliferative activity on MCF-7 Breast cancer cell via apoptosis induction. Anticancer Research. 26: 4527-4534. Choi, D.K., Koppula, S. and Suk, K. 2011. Inhibitors of Microglial Neurotoxicity: Focus on Natural Products. Molecules. 16:1021-1043 Colville, T., Bassert, J.M. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technicians. United States of America: Mosby Inc. Feriyawati, L. 2006. Anatomi sistem saraf dan peranannya dalam regulasi kontraksi otot rangka. Tesis. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Freshney, R.I. 2005. Culture of Animal Cells, A Manual of Basic Technique. 5th edition. Hoboken N.J, John Wiley & Sons, Inc. Goldman, S. 2003. Glia as neural progenitor cells. Trends in Neurosciences. 26(11): 690-596. Handayani, T. 2008. Pengaruh xanthorrhizol terhadap sel hepatoma HepG2. Jurnal Kedokteran Maranatha. 8(1):29-35. Heleagrahara, N. and Ponnusamy, K. 2010. Neuroprotective effect of Centella assiatica extract (CAE) on experimentally induced parkinsonism in aged spraguedawley rats. Journal Toxicological Sciences. 35(1): 41-47. Hong, R., Spohn, W.H., Hung, M. 1999. Curcumin inhibit tyrosine kinase activity of P185neu and depletes P185neu. Clinical Cancer Research 5: 1884-1891. Jayaprakasha, G.K.L., Rao, J. and Sakariah, K. 2006.Antioxidant activities of curcumin, demethoxycurcumin and
7
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
bisdemethoxycurcumin, Food Chemistry 98: 720–724 Junqueira, L.C. and Carnerio, J. 2005. Basic Histology. 11th edition. USA: The McGraw-Hill Companies Inc. Kalverbour, A.F., Genta, M.L., Hopkins, J.B. 1999. Current Issues in Developmental Psychology. Neteherlands: Kluwer Academic Publisher. Kim, S.J. et al. 2008. Curcumin stimulates proliferation of embryonic neural progenitor cells and neurogenesis in the adult hippocampus. The Journal of Biological Chemistry 283(21): 14497-14505. Kuntarti. 2007. Anatomi sistem saraf. http:// staff.ui.ac.id/internal/ 1308050290/material/anatomisaraf.p df. [16 Maret 2011]. Le Roux, P.D. and Reh, T.A. 1994. Regional differences in glial-derived factors that promote dendritic outgrowth from mouse cortical neurons in vitro. The Journal of Neuroscience 14(8): 4639-4655. Paradis, E., Douillard, H.L., Koutroumanis, M., Goodyer, C. and LeBlanc. A.
8
1996. Amyloid b Peptide of Alzheimer’s Disease Downregulates Bcl-2 and Upregulates Bax Expression in Human Neurons. The Journal of Neuroscience. 16(23): 7533–7539. Putranto, P.L. 2009. Pengaruh senam otak terhadap fungsi memori jangka pendek anak dari keluarga status ekonomi rendah. Tesis. Semarang: Universitas Dipenogoro. Ramos, D.A.C. and Shen, K. 2008. Cellular Conductors: Glial Cells as Guideposts during Neural Circuit Development. PLoS Biol 6(4): 112. doi:10.1371/journal.pbio.0060112. Riyacumala, V. 2010. Kultur in vitro sel-sel otak besar (cerebrum) anak tikus. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Soumyanath, A., Zhong, Y.P., Gold, S.A., Yu, X., Koop, D.R., Bourdette, D., Gold, B.G. 2005 J Pharm Pharmacol 57(9):1221-9 (ISSN: 0022-3573). Sushma, T., Sangeeta, G., Gambhir, I.S. 2010. Centella asiatica: A concise drug review with probable clinical uses. Journal of Stress Physiology and Biochemistry. 7: 38-44.
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL AKAR, KULIT BATANG DAN DAUN TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Ness.) DENGAN METODE LINOLEAT – TIOSIANAT Sri Wardatun Program Studi Farmasi, FMIPA, Universitas Pakuan. Email :
[email protected] ABSTRAK Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh. Salah satu tumbuhan obat tradisional Indonesia yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan adalah sambiloto (Andrographis paniculata Ness.). Pengujian antioksidan dari ekstrak etanol akar, kulit batang dan daun sambiloto dilakukan mengunakan metode LinoleatTiosianat dengan vitamin E sebagai kontrol positif . Warna yang terbentuk diukur secara spektrofotometri pada 479 nm. Tiga ekstrak dengan daya antioksidan terbesar terdapat pada ekstrak akar dengan konsentrasi 0,25% sebesar 79,37%, ekstrak kulit batang dengan konsentrasi 0,5% memiliki daya antioksidan 75,93%, dan ekstrak daun memiliki daya antioksidan sebesar 76,63%, sedangkan vitamin E memiliki daya antioksidan 75,37%. Kata kunci : Sambiloto, antioksidan, metode linoleat-tiosianat PENDAHULUAN Obat tradisional digunakan oleh masyarakat secara luas sejak zaman dahulu dan saat ini pemakaiannya semakin digalakkan untuk tujuan pencegahan, pengobatan suatu penyakit dan meningkatkan daya tahan tubuh. Dalam penggunaannya sehari-hari kebanyakan masih berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh secara turuntemurun (secara empirik). Seiring dengan perkembangan zaman, pemakaian obat tradisional di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Saat ini, obat-obatan tradisional kembali dilirik masyarakat sebagai salah satu alternatif pengobatan, disamping obat-obat modern yang sudah beredar di pasaran. Alasannya, obat tradisional jauh lebih murah, selain itu lebih aman digunakan, dan khasiat beberapa jenis obat tradisional pun tidak kalah dibandingkan obat-obat modern (Prapanza & Marianto, 2003) Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat, salah satunya adalah sambiloto (Andrographis paniculata Ness.). Sambiloto adalah salah satu jenis tanaman
yang mengandung senyawa aktif dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat (Muliawati, 2002). Sambiloto memiliki khasiat antara lain untuk menyembuhkan gatal-gatal, keputihan, antipiretik, dan diuretik (Heyne, 1987) serta mengobati beberapa penyakit degeneratif seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan reumatik (Harti dkk, 1991). Di Indonesia, penyakit degeneratif cenderung meningkat disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat salah satunya adalah menyukai makanan yang berkadar lemak tinggi, hal tersebut dapat menimbulkan radikal bebas yang berdampak pada kerusakan sel, sehingga timbul penyakit tersebut (Limyati dan Essay, 2003). Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif karena kehilangan satu atau lebih elektron yang bermuatan listrik, dan untuk mengembalikan keseimbangannya maka radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak
9
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
berpasangan tersebut (Dalimartha & Moeryati, 1998). Di dalam tubuh sendiri terdapat mekanisme antioksidan atau antiradikal bebas (Dyatmiko dkk., 2000), yang berfungsi melindungi tubuh terhadap serangan radikal bebas, yang dibentuk oleh beberapa enzim antioksidan dalam tubuh seperti superoksida dismutase, katalase dan glutasion peroksidase. Radikal bebas ini bisa dipunahkan oleh enzim antioksidan tubuh tetapi memerlukan bantuan mineral Zn, Cu, dan Se. Antioksidan alami yang berasal dari tumbuhan adalah senyawa flavonoid, fenol, polifenol, kurkuminoid dan tanin (Leswara dan Katrin, 1998). Senyawa golongan polifenol dapat menghambat reaksi peroksidasi dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit kronis seperti diabetes, kanker dan gangguan hati serta dapat menghambat radikal bebas karena sifat antioksidannya. Senyawa antioksidan ini akan menyerahkan satu atau lebih elektronnya kepada radikal bebas sehingga dapat menghentikan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, sebagai penangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Dyatmiko dkk., 2000). Agar obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan secara medik maka perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat, keamanan, dan standar kualitasnya (Ma’at, 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian uji aktivitas antioksidan dalam ekstrak sambiloto. Metode penentuan yang digunakan adalah metode spektrofotometri. Hasil penentuan diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam penggunaan sambiloto sebagai antioksidan. METODE PENELITIAN Bahan Akar, kulit batang dan daun tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Ness.), amil alkohol, ammonium tiosianida 30%, asam linoleat, akuades, besi (III) klorida, dapar fosfat 0,05 M, etanol 75%, besi (II) sulfat 0,02 M dalam asam klorida 3,5%, 10
asam klorida pekat, asam klorida 1%, metanol, serbuk magnesium, vitamin E (αtokoferol). Alat Cawan porselin, gelas piala, pengayak mesh 40, botol gelap, pipet volumetri, desikator, grinder, kompor listrik, tabung reaksi, timbangan listrik (O-Haus), oven, spektrofotometer UV-Vis (Genesys). Cara Kerja Pembuatan Ekstrak Sambiloto Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan 500 g simplisia kering masing-masing akar, kulit batang dan daun yang telah diayak (dihitung terhadap % kadar air), dimaserasi dengan etanol dengan perbandingan 1:5, menggunakan bejana tertutup sambil diaduk secara manual selama tiga jam, kemudian diendapkan selama satu malam dan disaring dengan kertas saring kasar kemudian dikentalkan dengan rotavapor pada suhu 30ºC (sampai kental) kurang lebih selama delapan jam selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 40ºC sehingga diperoleh ekstrak kering. Pembuatan Kontrol Positif dan Kontrol Negatif Kontrol positif digunakan vitamin E (α-tokoferol) dengan konsentrasi 0,25%. Sebanyak 0,25 g Vitamin E ditimbang dan dilarutkan dalam labu ukur 100 mL dengan etanol 75%, kemudian dipipet sebanyak 4 mL dan dimasukkan ke dalam botol gelap dengan volume 25 mL. Setelah itu ditambahkan 4 mL asam linoleat dalam etanol 75%, 8 mL dapar fosfat 0,05 M dan 3,9 mL akuades. Botol gelap ditutup dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 40°C, dan didiamkan selama 24 jam. Kontrol negatif adalah 4 mL asam linoleat dalam etanol 75%, 8 mL dapar fosfat 0,05 M dan 3,9 mL air suling tanpa penambahan αtokoferol. Pengujian Antioksidan Ekstrak kering akar, kulit batang dan daun sambiloto yang telah diperoleh,
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
dilarutkan dengan etanol 75%. Larutan dibuat dalam tiga konsentrasi yaitu 0,1; 0,25 dan 0,5% (dihitung terhadap % kadar air ekstrak). Masing-masing larutan uji diambil sebanyak 4 mL, dimasukkan ke dalam botol gelap dan ditambahkan 4 mL asam linoleat dalam etanol (75%), 8 mL dapar fosfat 0,05 M dan 3,9 mL akuades. Botol gelap ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 40ºC lalu didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam larutan uji, kontrol positif dan kontrol negatif diambil sebanyak 0,1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya ditambahkan 9,7 mL etanol (75%), 0,1 mL ammonium tiosianat (30%), kemudian dikocok homogen dan didiamkan selama 3 menit. Selanjutnya ditambahkan 0,1 mL Fe(II) sulfat 0,02 M dalam HCl (3,5%) dan dikocok kembali sampai homogen. Warna merah yang terjadi diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 479 nm dengan dua kali ulangan. Pengukuran tersebut dilakukan setiap 24 jam selama 10 hari (Kikuzaki et al, 1999). Rancangan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol akar, kulit batang dan daun sebagai antioksidan alami terhadap radikal bebas yang dibentuk oleh asam linoleat serta menyimpulkan hasil percobaan, maka digunakan metode eksperimental rancangan acak lengkap (RAL), dengan 11 perlakuan dan dua ulangan. Pengujian data dilakukan berdasarkan analisis ragam untuk RAL. Apabila uji F menunjukkan adanya pengaruh (F.05 Fh F.01), uji lanjut Duncant dilakukan untuk melihat perbedaan antar perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak yang diperoleh baik daun, kulit batang dan akar berwarna hijau kehitamancoklat dengan aroma yang khas dan berasa pahit. Setelah dipekatkan dengan rotavapor ekstrak daun menjadi hijau kehitaman, kulit batang tetap berwarna hijau dan akar berwarna coklat
Dalam penelitian ini substrat yang digunakan adalah asam linoleat. Asam linoleat akan dioksidasi oleh oksigen yang terdapat dalam botol gelap tersebut. Proses oksidasi asam linoleat dikatalisis oleh cahaya, suhu, pH, oksigen, ion logam dan radikal lipid. Oleh karena itu, inkubasi asam linoleat dikondisikan pada suhu 40oC agar suhu tinggi dapat mengkatalisis oksidasi asam linoleat. Setelah diinkubasi selama 24 jam dilakukan pengukuran kompleks feritiosianat yang berwarna merah menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang maksimum yang dicari pada kisaran 450-550 nm. Panjang gelombang maksimum (maks) yang diperoleh sebesar 479 nm.Adapun reaksi yang terjadi adalah: 2Fe3+ + 6SCN- FeFe(SCN)6Kompleks merah
Pada uji potensi antioksidan, dibuat beberapa larutan antara lain kontrol negatif, kontrol positif dan larutan uji ekstrak akar, kulit batang dan daun pada konsentrasi 0,1; 0,25 dan 0,5%. Kontrol positif dan larutan uji dengan berbagai konsentrasi menghambat laju oksidasi (hidroperoksida), tetapi kontrol negatif sama sekali tidak dapat menghambat laju oksidasi, oloeh sebab itu absorbansi (A) pada kontrol negatif menentukan maksimal terbentuknya hidroperoksida. Daya antioksidan menggambarkan besarnya potensi masing-masing ekstrak untuk berperan sebagai antioksidan. Dapat dikatakan, semakin besar konsentrasi, semakin besar pula aktivitas antioksidannya terhadap proses oksidasi asam linoleat. Absorban kontrol positif dan larutan uji dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan daya antioksidan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa absorban kontrol positif dan larutan uji setelah diinkubasi selama 10 hari semakin menurun yang berbanding terbalik dengan daya antioksidan. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa daya antioksidan untuk kontrol positif adalah sebesar 75,37% hampir setara dengan
11
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
ekstrak daun 0,5%,
ekstrak kulit batang
0,5% dan ekstrak akar 0,25%
Tabel 1. Serapan larutan selama 10 hari Absorban
Kontrol +
Kontrol -
Hari ke
Daun (%)
Kulit Batang (%)
Akar (%)
0,10
0,25
0,50
0,10
0,25
0,50
0,10
0,25
0,50
1
0,145
0,516
0,458
0,298
0,141
0,255
0,255
0,372
0,134
0,129
0,118
2
0,188
0,673
0,591
0,321
0,179
0,321
0,319
0,428
0,169
0,137
0,144
3
0,185
0,67
0,589
0,305
0,178
0,321
0,319
0,425
0,169
0,143
0,143
4
0,179
0,619
0,549
0,299
0,156
0,287
0,293
0,388
0,155
0,124
0,129
5
0,161
0,587
0,515
0,281
0,137
0,271
0,281
0,367
0,149
0,122
0,127
6
0,135
0,505
0,44
0,251
0,128
0,248
0,245
0,315
0,141
0,121
0,115
7
0,125
0,47
0,414
0,231
0,123
0,225
0,225
0,285
0,123
0,119
0,114
8
0,125
0,48
0,417
0,231
0,115
0,225
0,235
0,275
0,122
0,101
0,112
9
0,126
0,495
0,425
0,237
0,113
0,231
0,235
0,284
0,121
0,105
0,107
10
0,117
0,475
0,405
0,221
0,111
0,213
0,223
0,27
0,116
0,098
0,103
Tabel 2. Daya antioksidan selama 10 hari Daya antioksidan
Kontrol +
Hari
(%)
0,10
0,25
0,50
0,10
0,25
0,50
0,10
0,25
0,50
1
71,90
11,24
42,25
72,67
50,58
50,58
38,71
74,03
75,00
77,13
2
72,07
12,18
52,30
73,40
52,30
52,60
57,24
74,89
79,64
78,60
3
72,39
12,09
54,48
73,43
52,09
52,39
57,65
74,78
78,66
78,66
4
71,08
11,31
51,70
74,80
53,63
52,67
59,54
74,96
79,97
79,16
5
72,57
12,27
52,13
76,66
53,83
52,13
59,95
74,62
79,22
78,36
6
73,27
12,87
50,30
74,65
50,89
51,49
60,32
72,08
76,04
77,23
7
73,40
11,91
50,85
73,83
52,13
52,13
64,91
73,83
74,68
75,74
8
73,96
13,13
51,88
76,04
53,13
51,04
74,55
74,58
78,96
76,67
9
74,55
14,14
52,12
77,17
53,33
52,53
74,30
75,56
78,79
78,38
10
75,37
14,74
53,47
76,63
55,16
53,05
75,93
75,59
79,37
78,32
Daun (%)
Kulit batang (%)
Akar (%)
% daya antioksidan dihitung berdasarkan rumus sbb:
Hasil analisis statistik dengan uji Duncan (=0,01) diperoleh bahwa potensi antioksidan dari ekstrak daun 0,5%, ekstrak kulit batang 0,5% dan akar pada konsentrasi (0,1; 0,25; dan 0,5%) tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Berdasarkan hasil tersebut ekstrak daun pada konsentrasi 0,5%, ekstrak kulit batang pada konsentrasi 0,5% 12
dan ekstrak akar pada konsentrasi 0,1; 0,25 dan 0,5% memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibanding vitamin E dan memiliki kemampuan sebagai antioksidasi yang lebih baik dibanding ekstrak daun dan kulit batang sambiloto pada konsentrasi yang lebih rendah
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN 1. Daya antioksidan ekstrak etanol daun pada konsentrasi 0,5%, memiliki daya antioksidan sebesar 76,63%, ekstrak kulit batang pada konsentrasi 0,5% memiliki daya antioksidan 75,93%, dan ekstrak akar pada konsentrasi 0,1; 0,25 dan 0,5% masing-masing memiliki daya antioksidan 75,59; 79,37; dan 78,32%. Sedangkan daya antioksidan vitamin E sebesar 75,37%. 2. Ekstrak etanol daun pada konsentrasi 0,5%, ekstrak kulit batang pada konsentrasi 0,5% serta ekstrak akar pada konsentrasi 0,1; 0,25 dan 0,5% memiliki aktivitas antioksidan lebih baik dibandingkan aktivitas antioksidan vitamin E. SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui senyawa bioaktif yang berperan sebagai antioksidan dan menentukan kadarnya. DAFTAR PUSTAKA Dalimartha, S. dan S.Moeryati. 1998. Awet Muda Dengan Tumbuhan Obat dan Diet Suplemen. Trubus Agrawidya. Jakarta.Hal: 120-125. Dyatmiko, W,. M.H Sentosa dan A.F. Hafid. 2000. Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Dalam Sistem Molekuler dan Seluler Sari Rimpang Tanaman Obat Zingiberaceae. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Pusat Penelitian Obat Tradisional Universitas Airlangga. Surabaya. Harti, S., S. Zuraina dan E.Sukarti, 1991. Survey Produsen Jamu Gendong di .
Surabaya. Pusat Penelitian Obat Tradisional Unika Widya Mandala. Surabaya. Heyne, K. 1987 Tumbuhan Berguna Indonesia.. Jilid 3. Yayasan Sarana Wana jaya. Jakarta. Limyati, A.D dan Y.S. Essay. 2003. Uji Antioksidan, Antiradikal Bebas Dan Penentuan EC 50 Ekstrak Diklorometana Serta Ekstrak Metanol Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Burn.F.Ness.). Jurnal Obat Bahan Alam.Vol.1. No.2. Surabaya. Leswara, D. dan N. Katrin. 1998. Perbandingan Daya Antioksidan Beberapa Jenis Benalu Menggunakan Metode Spektrofotometri. Warta Tumbuhan Obat. Jakarta. Vol 4. Hal 10-12. Kikuzaki, H., S.Hara., K.Yayoi. dan N. Nakatani. 1999. Antioxidative Phenylpropanoids From Berries Of Pimenta dioica. Journal Of Phytochemistry. 52 : 1307-1312. Maat. 2001 Manfaat Tanaman Obat Asli Indonesia Bagi Kesehatan. Lokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Biofarmaka. Jakarta Muliawati, E.S. 2002. Kajian Tingkat Serapan Hara, Pertumbuhan dan Produksi Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) pada Beberapa Komposisi Media Tanam dan Tingkat Penyiraman. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan aromatik APINMAP. Bogor. Hal 251252. Prapanza, I. dan L.A Marianto, S.P. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Penyakit. Agromedia
13
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
TOKSISITAS BEBERAPA EKSTRAK RIMPANG CABANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA LARVA UDANG (Artemia salina Leach) Prasetyorini1, Ike Yulia Wiendarlina2, Anisa Bela Peron2 1) Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Pakuan 2) Program Studi Farmasi, FMIPA, Universitas Pakuan Email :
[email protected] ABSTRAK Pengujian toksisitas beberapa ekstrak rimpang temulawak hasil ekstraksi dengan metode yang berbeda telah dilakukan terhadap larva udang Artemia salina dengan menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi, sokletasi dan refluks. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96%. Toksisitas diukur dengan menghitung jumlah larva udang yang mati, kemudian nilai LC50 untuk setiap ekstrak ditentukan dengan menggunakan Probit Analisis Method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC50 ekstrak yang diperoleh dengan metode maserasi, soxhlet dan refluks berturut-turut adalah 14.87 ppm, 19.13 ppm dan 35.92 ppm. Ekstrak rimpang temulawak dengan metode maserasi merupakan ekstrak teraktif. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa dalam ekstrak hasil maserasi tersebut dapat diidentifikasi adanya senyawa golongan alkaloid, flavonoid, steroid, kuinon dan triterpenoid. Kata kunci : Curcuma xanthorrhiza Roxb., toksisitas, Artemia salina Leach PENDAHULUAN Tumor adalah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostatis lainnya yang terjadi pada organisme multiseluler. Jenis tumor ada 2 macam, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak mempunyai sifat tidak banyak mengganggu organ yang terkena, dan pertumbuhannya sangat lambat atau bahkan tidak menyebar. Tumor ganas mempunyai sifat yang sangat berbeda, karena mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat yang menyebabkan gangguan pada fungsi organ yang terkena, selain itu sifat tumor ganas yang sangat ditakuti adalah daya sebarnya yang sangat cepat. Tumor ganas ini dikenal dengan sebutan kanker, dan penyebab kanker disebut karsinogen (Sidik et al., 1992). Tahap-tahap penting pembentukan sel kanker adalah inisiasi dengan terjadinya perubahan DNA, promosi yang meliputi perkembangbiakan sel dan perubahan menjadi premalignant, serta tahap progesi dan invasi (penyusupan ke jaringan sekitar) 14
dan metastesis yaitu penyebaran melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening (Schunack et al., 1990). Karena banyaknya faktor endogen dan eksogen yang berperan pada timbulnya tumor atau kanker, maka pencegahan ataupun pengobatannya menjadi sesuatu yang cukup kompleks. Beberapa obat yang dinyatakan sebagai antikanker sebenarnya merupakan analog sintetik dari obat-obat yang sudah dikenal efektif. Sebagian diantaranya merupakan bahan alam yang diisolasi dari mikroorganisme atau tumbuhan, serta sebagian lain mewakili upaya dalam rancangan obat yang rasional berdasarkan kemampuannya untuk menghambat kerja enzim atau komponen lain yang essensial untuk pertumbuhan sel tumor. Salah satu bahan alam yang pernah diteliti aktivitasnya untuk aktivitas antitumor adalah temulawak (WHO, 1999). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah salah satu tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional, tanaman ini termasuk ke dalam famili Zingiberacae.
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
Temulawak adalah tanaman monokotil yang tidak memiliki akar tunggang, akar yang dimiliki berupa rimpang yang terdiri dari rimpang utama (induk) dan rimpang samping (cabang). Rimpang induk atau rimpang utama berbentuk jorong atau gelendong, sedangkan rimpang samping atau rimpang cabang berupa akar yang menggembung pada ujungnya membentuk umbi. Rimpang samping atau cabang yang dihasilkan setiap kali pemanenan jumlahnya hampir sama dengan rimpang utama, tetapi rimpang cabang ini selalu dibuang karena dianggap tidak mempunyai khasiat obat, untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan zat berkhasiat dan potensi sebagai tanaman obat. Rimpang temulawak diketahui memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai antihepatitis, antihiperlipidemia, antiinflamasi, antitumor, antioksidan, antikarsinogenik, antimikroba, antivitral dan detoksifikasi (WHO, 1999) Penelitian terdahulu terhadap rimpang temulawank (Curcuma xanthorriza Roxb.), diketahui bahwa rimpang temulawak merupakan salah satu bagian tanaman yang dimanfaatkan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Rimpang temulawak mengandung dua komponen utama yaitu 1,6-2,2% kurkuminoid dan 1,481,63% minyak atsiri, selain itu rimpang temulawak segar juga mengandung selulosa, pati, protein, mineral (Depkes, 1979). Pemanfaatan bahan tanaman sebagai bahan obat sangat ditentukan oleh kandungan zat aktif yang dikandung dalam bahan tanaman tersebut. Mendapatkan bahan aktif dari dalam tanaman juga sangat ditentukan oleh bagaimana cara atau metode mengekstraksinya. Disamping metode ekstraksi bahan aktif tersebut juga ditentukan oleh pelarut yang digunakan. Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah metode menguji aktivitas suatu senyawa menggunakan hewan uji berupa larva udang Artemia salina Leach. Metode ini merupakan salah satu metode yang banyak digunakan dalam memandu pencarian senyawa anti kanker yang berasal dari tumbuhan. Metoda ini telah digunakan
sejak 1956 untuk berbagai pengamatan bioaktivitas antara lain untuk mengetahui residu pestisida, anestetik lokal, senyawa turunan morfin, mikotoksin, karsinogenesitas suatu senyawa (Meyer, 1982). Metode ini merupakan bioassay yang cepat, murah, dapat dipercaya dan hasil yang diperoleh sering dihubungkan dengan aktivitas sitotoksik yang merupakan syarat utama obat-obat antitumor. Sementara, hasil ekstraksi dengan metode yang berbeda juga akan menghasilkan ekstrak yang berbeda. Berdasarkan alasan yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh metode ekstraksi rimpang cabang temulawak terhadap toksisitas larva A. salina dengan uji BSLT. Penelitian ini juga untuk mengetahui apakah rimpang cabang temulawak mempunyai bioaktivitas seperti rimpang induk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh metode ektraksi rimpang cabang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) terhadap toksisitas larva udang (Artemia salina Leach.). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2006 sampai Februari 2007 di Laboratorium Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan dan Laboratorium Uji Biofarmaka, Bogor. Bahan Rimpang cabang temulawak yang didapat dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Industri di Sukamulya Sukabumi, telur Artemia salina Leach, etanol 96%, aquadest, air laut, Tween 80, pereaksi Dragendorf, Mayer, Wagner, NH3, CHCl3, H2SO4 2M, serbuk Mg, HCl pekat, amil alkohol, FeCl3 10%, dietil eter, H2SO4 pekat, CH3COOH anhidrat, metanol, NaOH 10%, toluen, etil Asetat, asam format. Alat Rotary kromatografi,
evaporator, bejana lempeng tetes, plat
15
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
kromatografi, silica gel GF254, penguap, neraca analitik, eksikator.
cawan
Cara Kerja Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah analisis pendahuluan yang meliputi pengujian kadar air, kadar abu, dan uji fitokimia terhadap serbuk simplisia kering rimpang cabang temulawak. Tahap kedua adalah ekstraksi, metode ekstraksi yang digunakan untuk pengambilan ekstrak adalah tiga metode yaitu maserasi, sokletasi dan refluks. Metode ekstraksi yang berbeda dilakukan untuk melihat pengaruh suhu pada keaktifan tiap ekstrak terhadap toksisitas larva udang A. salina dan perolehan rendemen. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi rimpang cabang temulawak adalah etanol 96%. Penggunaan etanol dimaksudkan agar semua senyawa kimia baik yang kurang polar, semi polar sampai polar dapat terekstraksi semaksimal mungkin. Umumnya etanol dapat mengekstraksi senyawa alkaloid, sterol, saponin, flavonoid, antrakuinon dan glikosida (Harborne, 1987).Selanjutnya menguji senyawa yang terekstrak terhadap larva udang A. salina yang telah berumur 48 jam. Ekstrak yang menunjukkan toksisitas paling tinggi kemudian dilakukan uji KLT dan fitokimia. Uji Fitokimia Uji fitokimia didasarkan pada identifikasi warna dan endapan yang terbentuk, meliputi alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid/steroid dan kuinon. Uji Alkaloid dilakukan dengan menimbang 1 gram sampel ditambahkan beberapa tetes NH3 lalu dihaluskan dan tambahkan 5 mL kloroform kemudian disaring, filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat 2M, lalu dikocok sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam dipisahkan, kemudian larutan dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer dan Wagner. Uji positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan warna merah jingga pada pereaksi Dragendorf, endapan putih pada pereaksi 16
Mayer dan endapan coklat pada pereaksi Wagner. Uji steroid-triterpenoid dilakuan dengan menimbang 1 gram sampel ditambah etanol panas sambil diaduk kemudian disaring, selanjutnya filtrat dipanaskan hingga kering, kemudian tambahkan 1 tetes H2SO4 pekat dan 1 tetes CH3COOH anhidrat. Bila dihasilkan warna hijau atau biru menandakan adanya steroid sedangkan warna merah atau ungu menandakan sampel positif mengandung triterpenoid. Uji flavonoid, saponin, sanin dilakukan dengan menimbang 5 gram serbuk simplisia masukkan dalam gelas piala tambahkan 100 mL aquadest dan didihkan selama 5 menit, kemudian disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Sebanyak 10 mL filtrat ditambahkan serbuk magnesium, 0,2 mL HCl pekat lalu ditambahkan amil alkohol. Campuran dikocok dan biarkan memisah. Senyawa flavonoid ditandai dengan terbentuk warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol. Uji saponin dilakukan dengan pengocokan 10 mL filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya busa yang stabil. Uji tanin dilakukan dengan menambahkan kedalam 10 mL filtrat beberapa tetes FeCl3 1%. Identifikasi tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru atau hijau kehitaman. Uji kuinon dilakukan dengan menimbang 1 gram sampel ditambahkan metanol kemudian dipanaskan dan disaring, selanjutnya filtrat diuji dengan menambahkan 3 tetes NaOH 10%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah dari filtrat. Ekstraksi Dan Persiapan Larutan Uji Sebanyak 25 g serbuk rimpang cabang temulawak diekstraksi dengan 250 ml etanol 96% dengan menggunakan peralatan soklet selama 8 jam, pelarut dihilangkan dengan rotary evaporator. Residu di timbang dan ditentukan % randemennya. Dengan cara yang sama dapat
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
dihitung rendemen ekstrak yang menggunakan metode ekstraksi maserasi dan refluk. Ekstrak yang diperoleh dengan metode sokletasi dibuat larutan induk dengan konsentrasi 2000 ppm dengan melarutkan 20 mg ekstrak kering dalam air laut sampai menjadi volume 10 ml. Selanjutnya dari larutan induk dibuat larutan uji dengan konsentrasi 100, 50, 25, 10 dan 5 ppm dalam 10 ml air laut. Ekstrak yang sukar atau tidak larut dibantu dengan penambahan 1 tetes tween-80 sebelum ekstrak diencerkan. Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang Telur Artemia salina L. ditetaskan dalam gelas piala ukuran 1 liter yang diisi dengan air laut yang telah disaring. Penetasan dibantu dengan pemberian aerasi dan cahaya lampu TL agar menetas sempurna, setelah satu hari telur udang akan menetas menjadi larva.Setelah 48 jam, sebanyak 10 ekor larva udang (1ml) dimasukkan ke dalam vial uji kemudian ditambahkan larutan ekstrak sehingga konsentrasi akhir dalam vial adalah 5,10, 25, 50 ppm. Setiap konsentrasi dilakukan 3x ulangan, kontrol dilakukan tanpa penambahan larutan ekstrak. Setelah 24 jam, larva udang yang mati di hitung. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Probit Analisis Method untuk menentukan Lc50 dengan selang kepercayaan 95%. Senyawa dengan nilai Lc50 < 1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktivitas. Kromatografi Lapis Tipis Pemilihan larutan pengembang untuk memperoleh pemisahan komponen yang baik dan mengetahui jumlah komponen pada ekstrak teraktif dilakukan dengan cara KLT. Sebanyak 5 l ekstrak etanol 96% menggunakan metode maserasi ditotolkan ditempat-tempat tertentu pada plat yang telah disediakan kemudian keringkan. Plat lalu dielusi dalam bejana yang berisi cairan pengelusi. Eluen yang digunakan adalah toluen : etil asetat (3:1) dan 3 tetes asam format. Setelah cairan pengelusi mencapai tinggi tertentu pada plat, plat diangkat
kemudian dikeringkan pada suhu ruangan. Hasil KLT diamati dengan menggunakan lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm kemudian dihitung Nilai Rf dari masing-masing noda. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Simplisia Sebelum proses ekstraksi, simplisia yang akan diekstrak terlebih dahulu dilakukan karakterisasi terlebih dahulu. Karakterisasi simplisia dilakukan dengan menetapkan kadar air dan kadar abu simplisia. Hasil karakterisasi simplisia rimpang cabang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil Penetapan Kadar Air dan Kadar Abu Serbuk Simplisia Rimpang Cabang Curcuma xanthorriza Roxb. Simplisia Rimpang cabang Curcuma xanthorriza Roxb
Kadar air (%) 7,44
Kadar abu (%) 8,82
Tabel 1 menunjukkan bahwa simplisia yang digunakan memenuhi kriteria persyaratan sebagai simplisia yang baik (Depkes RI, 1979) Hasil Penapisan Fitokimia Pemeriksaan senyawa metabolit sekunder pada serbuk rimpang cabang temulawak dilakukan dengan pengujian terhadap senyawa alkaloid, flavanoid, saponin, kuinon, tannin, dan steroid/triterpenoid. Hasil penapisan fitokimia rimpang cabang temulawak disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia Rimpang Cabang Temulawak Golongan senyawa
Standar
Hasil analisis
Endapan Endapan putih Warna Steroid Warna hijau hijau/biru Warna Triterpenoid Warna merah merah/ungu Alkaloid
Kesim pulan + + +++
17
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
Flavanoid
Merah kekuningan
Tanin
Biru kehitaman
Saponin
Busa stabil
Kuinon
kuning Tidak berubah warna Busa tidak stabil
Warna merah Warna merah
++ +++
Hasil Ekstrasi Hasil ekstraksi diketahui bahwa metode maserasi menghasilkan nilai rendemen yang paling rendah dibandingkan dengan metode refluks dan soxhlet yaitu 7,91% (Tabel 3). Hasil yang paling baik ditunjukan oleh nilai rendemen ekstrak dengan metode soxhletasi yaitu 11,52%. Besarnya rendemen yang dihasilkan oleh soxhletasi dibandingkan maserasi dan refluks antara lain disebabkan karena serbuk simplisia disari oleh cairan pelarut yang murni, sehingga dapat menyari zat aktif lebih banyak karena adanya daur ulang pelarut yang digunakan untuk mengekstrak sampel pada soxhletasi. Daur ulang pelarut dihasilkan melalui proses sirkulasi yang terjadi secara otomatis setiap jamnya. Proses sirkulasi pada waktu ekstraksi menyebabkan senyawa yang terdapat di dalam sampel dapat terekstrak kembali secara maksimum sebab kejenuhan pelarut dapat dicegah karena pelarut yang jenuh akan mengurangi kelarutan senyawa-senyawa ke dalam pelarut sehingga rendemen yang dihasilkan akan berkurang. Hal lain yang menyebabkan tingginya rendemen hasil soxhletasi dibandingkan maserasi dan refluks adalah cairan pelarut yang diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat. Keadaan tersebut berbeda dengan yang terjadi pada ekstrak hasil maserasi, yaitu karena tidak terjadi sirkulasi secara otomatis setiap jamnya sehingga tidak ada penggantian pelarut, hal ini menyebabkan pelarut lama-kelamaan akan jenuh sehingga kemampuan melarutkan senyawa dalam sampel akan berkurang akibatnya rendemen yang dihasilkan sedikit dibandingkan soxhlet dan refluks. Rendemen 18
ekstrak yang dihasilkan pada refluks tidak terlalu banyak seperti pada soxhlet hal ini karena metode ini tidak sesuai untuk senyawa yang termolabil seperti minyak atsiri, karena terjadinya pemanasan yang terus-menerus. Tabel 3. Rendemen Rimpang Cabang Temulawak Dengan Berbagai Metode Ekstraksi No 1 2 3
Metode Berat Berat Rendemen Ekstraksi sampel (g) residu (g) (%) Maserasi 25 1.98 7.91 Soxletasi 25 2.88 11.52 Refluks 25 2.40 9.60
Hasil Uji Toksisitas Dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Hasil ekstraksi berupa ekstrak kental dari tiap pelarut, selanjutnya diuji toksisitasnya terhadap larva udang dengan metode BSLT. Lethal Concentration 50% (LC50) diketahui dengan menghitung jumlah larva udang yang mati karena pengaruh ekstrak. Rekapitulasi nilai LC50 setiap fraksi dapat dilihat pada Tabel 6. Pada uji pendahuluan dibuat konsentrasi ekstrak 1000, 500, 100 dan 50 ppm. Setiap konsentrasi dilakukan 3 kali pengulangan, untuk kontrol dilakukan tanpa penambahan ekstrak tetapi dengan penambahan Tween 80 sebanyak 1 tetes. Setelah 24 jam, larva yang diberi ekstrak refluks masih terdapat larva yang hidup tetapi untuk larva yang diberi ekstrak maserasi dan soklet semua larva mati. Hasil pengamatan pengaruh ekstrak terhadap kematian larva disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata jumlah larva mati dalam BSLT Metode ekstraksi Maserasi Sokletasi Refluk
Konsentrasi ekstrak (ppm) Kontrol 50 100 500 1000 0 10 10 10 10 0 10 10 10 10 0 3 9 9 10
Kematian larva tersebut disebabkan konsentrasi ektrak yang terlalu tinggi sehingga konsentrasi ekstrak yang digunakan diturunkan menjadi 50, 25, 10, 5 ppm. Hasil pengamatan pengaruh ekstrak terhadap
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
kematian larva dalam air laut yang mengandung ekstrak etanol maserasi, sokletasi dan refluk masing-masing pada konsentrasi 50, 25, 10, dan 5 ppm disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata jumlah larva mati pada BSLT Metode Ekstraksi Maserasi Sokletasi Refluk
Konsentrasi ekstrak (ppm) Kontrol 5 10 25 0 0.33 3,2 8,3 0 1 3,5 6 0 0,33 2,1 4,3
50 10 10 7
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Probit Analisis Method untuk menentukan LC50 dengan selang kepercayaan 95%. Hasil analisis menggunakan Probit Analisis Method disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata LC50 (ppm) Ekstrak Etanol 96% Rimpang Cabang Temulawak No 1 2 3
Jenis metode ekstraksi Maserasi Soxlet Refluks
LC50 (ppm) 14.87 10.13 35.92
Meyer (1982) menyebutkan bahwa ekstrak dengan LC50 30 ppm tergolong kategori sangat toksik, sedangkan 31 ppm LC50 1000 ppm tergolong kategori toksik . Berdasarkan statmen Meyer, maka nilai LC50 14,87 ppm (Tabel 6) maka ekstrak etanol 96% rimpang cabang temulawak dengan menggunakan metode maserasi tergolong kedalam kategori sangat toksik. Sedangkan ekstrak etanol 96% rimpang cabang temulawak dengan metode refluks dengan nilai LC50 35,92 ppm tergolong ke dalam kategori toksik. Ekstrak etanol 96% rimpang cabang temulawak dengan menggunakan soxhlet dengan nilai LC50 19,13 ppm sama seperti ekstrak maserasi tergolong ke dalam kategori sangat toksik. Nilai LC50 terkecil dihasilkan oleh ekstrak etanol 96% maserasi sehingga ekstrak tersebut merupakan ekstrak teraktif yang akan digunakan untuk uji lebih lanjut. Ekstrak ini memiliki kandungan
senyawa metabolit sekunder yang lebih banyak dibandingkan ekstrak lainnya. Dibandingkan dengan ekstrak dengan metode maserasi dan soxhlet, ekstrak dengan metode refluks mempunyai nilai LC50 35,92 dan jika diuraikan berdasarkan LC50, maka diketahui ekstrak refluks rimpang cabang temulawak yang paling tidak aktif (toksisitas rendah) tetapi masih tergolong ke dalam kategori toksik, hal ini disebabkan oleh adanya pemanasan yang terus-menerus pada proses ekstraksi yang menyebabkan senyawa yang terkandung dalam ekstrak tidak semua terbawa karena mungkin ada senyawa yang tidak tahan pemanasan sehingga yang senyawa yang tinggal dalam ekstrak hanya senyawa yang tahan terhadap panas. Begitu pula pada ekstrak soklet, karena proses ekstraksi dengan cara panas sehingga senyawa yang termolabil tidak terbawa. Tetapi untuk ekstrak maserasi, karena metode ini merupakan ekstraksi dengan cara dingin maka hampir semua komponen bioaktif baik yang bersifat polar, semi polar dan non polar terbawa dalam ekstrak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pada proses ekstraksi dapat mempengaruhi keaktifan tiap ekstrak terhadap toksisitas larva udang Artemia salina. Hasil Fitokimia Ekstrak Teraktif Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa apa yang terkandung di dalam ekstrak teraktif, ekstrak teraktif adalah ekstrak etanol 96% dengan metode maserasi. Berdasarkan hasil penapisan fitokimia terhadap serbuk dan ekstrak maserasi menunjukkan bahwa ekstrak positif kuat mengandung senyawa kuinon, positif sedang mengandung senyawa triterpenoid, dan positif lemah mengandung steroid, alkaloid dan flavonoid, tetapi tidak ditemukan adanya saponin dan tannin. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% dengan metode maserasi merupakan ekstrak yang mempunyai toksisitas paling kuat 19
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
dbandingkan dengan ekstrasi dengan metode socklet dan refluk. Nilai LC50 untuk ekstrak etanol rimpang cabang temulawak dengan metode maserasi, soklet dan refluks berturutturut sebagai berikut: 14,87 ppm, 19,13 ppm dan 35,92 ppm. Hasil penapisan fitokimia dari ekstrak etanol 96% (maserasi) menunjukkan terdapatnya senyawa golongan alkaloid, flavonoid, steroid, kuinon dan triterpenoid pada ekstrak tersebut. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi dan mengidentifikasi komponen bioaktif yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% rimpang cabang temulawak dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif. 2. Masyarakat dapat memanfaatkan rimpang cabang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) sebagai obat tradisional seperti rimpang induk temulawak karena telah diketahui mempunyai aktivitas biologis. DAFTAR PUSTAKA Darwis, S.N., Haiyah, S., Madjo, A.B.D. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri. Bogor.
20
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. .1979. Materia Medika Indonesia. Jilid III Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara dan Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nicols, D.E. and McLaughlin, J.L. 1982. Brine Shrimp: A Covenent General Bioassay for active Plant constituent.Planta Medica. Schunack, W.K. Mayer dan M. Haake.1990. Senyawa Obat. Ed.ke-2. Terjemahan J.R. Wattimena dan S.Subito. gajah mada Universitas Press., Yogyakarta. Sidik, M. dan Ahmad, M. 1992. Temulawak. Yayasan Pengembangan Bahan Alami Phyto Medica. Jakarta. WHO. 1999. WHO Monograph on selected medicinal plants. Vol I. ISBN 92— 125178. Geneva: WHO.www.psa@ deptan.go.id
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
IDENTIFIKASI MUTASI PADA DAERAH DNA POLIMERASE DAN HBsAg VIRUS HEPATITIS B Cysilia K Hindarto1, Tina Rostinawati1, dan Debbie S Retnoningrum2 1) Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran 2) Sekolah Tinggi Farmasi Institut Teknologi Bandung Email :
[email protected] ABSTRAK Infeksi virus hepatitis B (HBV) menyebabkan hepatitis akut dan kronis, dengan angka kematian 1,2 juta per tahun di seluruh dunia. Antivirus analog nukleosida dan vaksin HBV dapat menekan perkembangan infeksi HBV namun penggunaan untuk terapi jangka panjang dilaporkan menginduksi terjadinya mutasi. Mutasi yang menyebabkan timbul mutan resistenantivirus dan mutan lolos-vaksin menjadi kendala utama dalam pengobatan dan pencegahan infeksi HBV. Telah dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi mutasi pada gen pengkode reverse transcriptase (RT) DNA polimerase dan HBsAg virus hepatitis B. Penelitian menggunakan 24 sampel cetakan HBV yang berasal dari penderita hepatitis B dari Medan (3), Jakarta (10), Bandung (9), Yogyakarta (1), dan Surabaya (1). Metode yang dilakukan adalah amplifikasi fragmen gen pengkode DNA polimerase dan HBsAg, konfirmasi produk PCR dengan elektroforesis gel agarosa, pemurnian produk PCR dengan GFX column kit, penentuan urutan nukleotida, dan analisis hasil penentuan urutan nukleotida. Hasil penelitian menunjukkan sampel 12273 dari Jakarta mengalami mutasi di daerah gen pengkode RT DNA polimerase. Mutasi tersebut menyebabkan substitusi asam amino M475L, V519L, L526M, dan M550V. Sampel 12273 juga mengalami mutasi pada gen pengkode HBsAg yang menyebabkan substitusi asam amino M120L, V164L, L171M, dan M195V. Mutasi tersebut terjadi di daerah yang tumpang tindih dengan gen pengkode DNA polimerase, dan di luar determinan a. Mutan diklasifikasikan sebagai mutan resisten-antivirus dengan substitusi asam amino ganda L526M dan M550V, dan tidak ditemukan mutasi pada daerah DNA pengkode determinan a. Kata kunci : HBV, RT DNA polimerase, HBsAg, Mutasi PENDAHULUAN Infeksi virus hepatitis B (HBV) merupakan masalah kesehatan utama dengan angka kematian 1,2 juta per tahun di seluruh dunia. Infeksi HBV dikarakterisasi dengan tingginya laju perkembangan infeksi kronis baik dengan titer viremia tinggi ataupun rendah. Infeksi HBV menyebabkan penyakit hati akut dan kronis, termasuk hepatitis kronis (tetap), sirosis, dan kanker hati (hepatocellular carcinoma) yang mengancam kehidupan (Ono-Nita et al., 1999; Seigneres et al., 2000). Berbagai usaha dilakukan untuk menekan perkembangan infeksi HBV, termasuk pengembangan obat antivirus dan vaksin HBV, namun belum ada pengobatan
antivirus yang efektif untuk pasien yang terinfeksi HBV secara kronis. Terapi dengan interferon cukup menguntungkan untuk sebagian pasien terinfeksi HBV kronis, namun rata-rata keseluruhan respon kurang dari 40% dan interferon memiliki dosis yang terbatas karena efek sampingnya. Replikasi DNA HBV yang berlangsung melalui transkripsi balik dari intermediet RNA pregenom menjadi dasar pengembangan analog nukleosida baru yang menginhibisi aktivitas reverse transcriptase HBV, seperti lamivudin, famsiklofir dan lainnya sebagai alternatif terapi interferon (Ono-nita et al., 1999; Seigneres et al., 2000). Lamivudin terbukti dapat menekan replikasi HBV dan memiliki sedikit efek 21
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
samping sehingga digunakan untuk mengobati infeksi HBV kronis. Lamivudin juga dapat mencegah re-infeksi setelah transplantasi hati. Penggunaan lamivudin untuk pengobatan jangka panjang dilaporkan menyebabkan terjadinya resistensi virus. Pada 14% pasien yang mendapat terapi lamivudin selama 1 tahun, terjadi substitusi asam amino pada motif tirosin-metioninaspartat-aspartat (YMDD) dalam domain C DNA polimerase HBV, dengan perubahan asam amino di kodon 552, metionin menjadi valin (M552V) atau metionin menjadi isoleusin (M552I). Substitusi asam amino lain pada domain B polimerase virus, yaitu substitusi leusin menjadi metionin pada kodon 528 (L528M), juga dilaporkan dapat muncul bersamaan dengan substitusi asam amino pada motif YMDD. Substitusi asam amino L528M sering terjadi pada pasien yang mendapat terapi famsiklofir (Ono-nita et al., 1999; Seigneres et al., 2000; Yuen et al., 2001). Selain mutasi pada daerah gen pengkode DNA polimerase yang mengakibatkan resistensi virus, HBV juga mengalami mutasi pada gen pengkode protein permukaan (HBsAg) yang menimbulkan fenomena mutan lolos-vaksin. Mutan lolos-vaksin merupakan mutan HBV yang tidak dapat dikenali oleh anti-HBsAg sehingga dapat menginfeksi individu yang sudah divaksinasi. Penelitian Aprilia pada tahun 2004 menunjukkan terdapat mutan lolos-vaksin dalam sampel isolat klinik dari empat kota di Pulau Jawa. Mutan lolosvaksin terdapat pada sampel yang berasal dari Yogyakarta (M133T) dan Jember (G145R), serta terjadi insersi pada sampel dari Jakarta (pada kodon 117 dan antara kodon 136 dan 137) (Aprilia, 2004). Informasi mengenai mutasi yang terjadi di daerah gen pengkode DNA polimerase dan HBsAg virus hepatitis B menjadi salah satu faktor penting dalam pengobatan dan pencegahan HBV. Keberadaan mutan HBV dapat ditentukan dengan melihat urutan nukleotida sampel HBV. Penentuan urutan nukleotida dilakukan menggunakan metode PCR (Polymerase 22
chain reaction), suatu teknik biologi molekular untuk mereplikasi DNA secara in vitro. PCR digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu dari untai DNA, dapat berupa gen tunggal, bagian dari gen, atau non-coding sequence. Umumnya PCR mengamplifikasi fragmen pendek (10 kbp) DNA (Sambrook & Russell, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya mutasi pada fragmen gen pengkode DNA polimerase dan HBsAg dari sejumlah isolat HBV yang berasal dari beberapa kota di Indonesia. METODE PENELITIAN Penelitian INI dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2007 di Laboratorium Mikrobiologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, dan Laboratorium Bioteknologi Farmasi, Sekolah Farmasi ITB. Bahan Sampel yang digunakan merupakan cetakan HBV yang diperoleh dari Laboratorium Klinik Utama Pramita cabang Jakarta dan Bandung, kalium klorida, magnesium klorida, gelatin, etidium bromida. Alat Cawan petri, pipet mikro, tabung eppendorf, gelas kimia, termometer, thermal cycler, mesin PCR. Cara Kerja Amplifikasi fragmen DNA a. Gen Pengkode HBsAg Primer yang digunakan ialah P1 5’ CAA GGT ATG TTG CCC GTT TG 3’ dan P2 5’ AAA GCC CTG CGA ACC ACT GA 3’ (Aprilia, 2004). Primer P1 akan menempel pada urutan nukleotida fragmen S HBsAg pada posisi 329-348 dan primer P2 akan menempel pada urutan nukleotida fragmen S HBsAg pada posisi 587-568. Pasangan primer ini dapat mengamplifikasi urutan fragmen genom HBV yang mengandung kodon 122 dan 160 pada gen S HBsAg, yang menentukan subtipe HBV (Aprilia, 2004). Sampel berupa isolat HBV sebanyak 5 μL dicampurkan dengan larutan dapar Taq
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
[Magnesium klorida 1,5 mM, Tris (pH 8,3) 10 mM, kalium klorida 50 mM dan gelatin 200 μg/mL], dengan dNTP 200 μM, Taq polimerase 5U; 1 μL primer forward 30 pmol; 1 μL primer reverse 30 pmol, dan magnesium klorida 25 mM, kemudian ditambah air suling ganda hingga 25 μL (Aprilia, 2004). b. Gen Pengkode DNA Polimerase Primer yang digunakan ialah PfwdHBVRT 5’ TGT GTC TGC GGC GTT TTA TC3’ dan PrevHBVRT 5’ GCA AAT(G) CCC AAA AGA CCC AC3’(Aprilia, 2004). Primer PfwdHBVRT akan menempel pada urutan nukleotida daerah reverse transkriptase (RT) DNA Polimerase pada posisi 1287-1306 dan primer PrevHBVRT akan menempel pada urutan nukleotida daerah reverse transkriptase (RT) DNA Polimerase pada posisi 1909-1928. Pasangan primer ini dapat mengamplifikasi urutan fragmen genom HBV yang mengandung gen pengkode motif YMDD (Aprilia, 2004). Sampel berupa isolat HBV sebanyak 5-7 μL dicampurkan dengan larutan dapar Taq [Magnesium klorida 1,5 mM, Tris (pH 8,3) 10 mM, kalium klorida 50 mM dan gelatin 200 μg/mL], dengan dNTP 200 μM, Taq polimerase 5U; 0,5 μL primer forward 30 pmol; 0,5 μL primer reverse 30 pmol, dan magnesium klorida 25 mM, kemudian ditambah air suling ganda hingga 25 μL (Aprilia, 2004). Kedua PCR mix masing-masing diamplifikasi pada alat thermal cycler 96 well, dengan kondisi PCR sebagai berikut : denaturasi awal, suhu 940C, selama 5 menit; siklus reaksi terdiri dari denaturasi pada suhu 940C selama 1 menit, penempelan pada suhu 470C selama 1 menit, dan pemanjangan pada suhu 720C selama 1 menit. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus; dan pemanjangan (pada siklus terakhir) pada suhu 720C selama 10 menit(Aprilia, 2004). Elektroforesis gel agarosa Konfirmasi produk PCR dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa 2% (b/v),
dengan cara membandingkan hasilnya dengan marka DNA yang sesuai serta kontrol negatif produk PCR tanpa cetakan DNA. Produk PCR ditambah dengan marka pUC19/HinfI dan loading buffer di atas kertas parafilm, dengan perbandingan 5:1, kemudian dimasukkan ke sumur agar yang telah disiapkan. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 80-90 volt selama 75 menit. Setelah itu gel agarosa direndam dalam larutan etidium bromida selama 30 detik dan dilihat di bawah lampu UV(Aprilia, 2004). Pemurnian produk PCR dengan GFX column kit Fragmen DNA dalam gel yang sudah ditetapkan beratnya ditambah dapar penjerat (capture buffer) sebanyak 1 kali volum gel (10 μL untuk 10 mg). Campuran ini diinkubasi pada suhu 600C sampai gel larut, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000-4000 rpm selama 30 detik(Aprilia, 2004). Sampel yang sudah larut dimasukkan ke dalam kolom GFX, diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruang, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. Filtrat yang ada di collect tube dibuang. Dapar pencuci (wash buffer) sebanyak 500 μL ditambahkan ke dalam kolom, diinkubasi, kemudian disentrifugasi kembali. Filtrat yang ada di collect tube kembali dibuang. Kolom GFX dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf steril, ditambahkan dapar pengelusi (elution buffer) sebanyak 50 μL, kemudian diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruang dan disentrifugasi. Filtrat yang tertampung adalah produk PCR yang murni. Hasil pemurnian dielektroforesis kembali untuk melihat kebenarannya (Aprilia, 2004). Penentuan urutan nukleotida (sekuensing) Penentuan urutan nukleotida dilakukan berdasarkan metode dideoksi Sangar. Primer sekuensing merupakan primer yang memiliki kemampuan menentukan urutan nukleotida sampel dari 5’ ke 3’. Primer sekuensing yang digunakan 5’ CAA GGT ATG TTG CCC GTT TG 3’ (untuk 23
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
HBsAg, sekuensing satu arah) dan pasangan primer PfwdHBVRT 5’ TGT GTC TGC GGC GTT TTA TC3’ dan PrevHBVRT 5’ GCA AAT(G) CCC AAA AGA CCC AC3’ (untuk DNA Polimerase, sekuensing dua arah). Campuran untuk sekuensing dibuat dengan mencampurkan produk PCR yang sudah dimurnikan dengan primer sekuensing, dapar Taq berkekuatan 10 kali, Taq polimerase, dNTP, ddNTP, dan stop solution (formamida 95%; 20 mM EDTA pH 8,0; 0,05% bromofenol biru, 0,05% xilen silanol FF). Sekuensing dilakukan menggunakan alat DNA sequencer automatic (Aprilia, 2004).
mengalami pemurnian dari larutan. Namun ternyata konsentrasi produk PCR tidak mencukupi sehingga tidak dapat ditentukan urutan nukleotidanya.
(a) Analisis hasil sekuensing Homologi hasil sekuensing dianalisidengan urutan nukleotida fragmen gen pengkode DNA Polimerase yang terdapat di GenBank. Homologi hasil sekuensing juga dianalisis homologi dengan urutan nukleotida fragmen gen pengkode HBsAg subtipe adw, adr, ayw, dan ayr yang terdapat di GenBank. Penentuan asam amino dengan metode deduksi secara manual dibandingkan dengan urutan parsial asam amino RT DNA polimerase dan protein S HbsAg. Genotipe isolat ditentukan dengan membandingkan hasil sekuensing dengan urutan nukleotida homolog yang didapat dari data GenBank, menggunakan program BLAST (Leon et al., 2005). Amplifikasi Fragmen DNA dan Elektroforesis Gel Agarosa A. Gen Pengkode HBsAg Sampel cetakan DNA HBV dengan nomor sampel 17-24 diamplifikasi dengan pasangan primer P1 dan P2. Hasil PCR kemudian dikonfirmasi dengan elektroforesis gel agarosa, untuk mengetahui kebenaran produk PCR. Dari delapan sampel, hanya satu sampel (sampel 19) yang memberikan pita DNA yang diinginkan (berukuran 289 pb). Sampel 19 juga memberikan pita DNA yang diinginkan (berukuran 622 pb) ketika diamplifikasi dengan pasangan primer PfwdHBVRT dan PrevHBVRT. Produk PCR sampel 19 kemudian ditentukan urutan nukleotidanya setelah sebelumnya 24
(b) Gambar 1.Hasil elektroforesis produk PCR sampel 10730 Keterangan : (a) dengan primer P1 dan P2 (b)dengan primer PfwdHBVRT dan PrevHBVRT
Sebanyak 16 sampel cetakan DNA HBV lainnya dengan nomor sampel 1-16 diamplifikasi dengan pasangan primer P1 dan P2, kemudian dikonfirmasi dengan elektroforesis gel agarosa. Dari 16 sampel, 13 sampel ( yaitu sampel 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, dan 16) memberikan pita DNA yang diinginkan. Produk PCR kemudian dipekatkan dengan metode freeze dry dan ditentukan urutan nukleotidanya setelah sebelumnya mengalami pemurnian dari larutan. Ternyata produk PCR tidak dapat ditentukan urutan nukleotidanya karena terdapat dua pita DNA dengan ukuran yang hampir sama dalam satu produk PCR. Hal ini dapat terjadi karena primer menempel pada dua tempat (akibat kondisi PCR yang kurang tepat sehingga primer tidak spesifik menempel pada satu tempat).
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
menghilangkan produk dimer. Hasil pemurnian ini dielektroforesis untuk melihat kebenaran pita DNA yang dimurnikan. Elektroforesis juga dilakukan untuk menentukan konsentrasi pita DNA yang telah dimurnikan karena terjadi kehilangan konsentrasi pita akibat pemurnian.
Gambar 2.Hasil Elektroforesis produk PCR fragmen gen HbsAg. Keterangan: (1) 12141 (11) 12273 (12) 10367 (14) 7331 (15) 10844 (16) 11414
(4) 4092 (5) 11312 (6) 9805 (7) 9730 (8) 2338 (9) 8961 (10) 7784
B. Gen Pengkode DNA Polimerase Sampel cetakan DNA HBV dengan nomor sampel 1-16 diamplifikasi dengan pasangan primer PfwdHBVRT dan PrevHBVRT, kemudian dikonfirmasi dengan elektroforesis gel agarosa untuk mengetahui kebenaran produk PCR. Dari 16 sampel, delapan sampel (sampel 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16) memberikan pita DNA yang diinginkan (berukuran 622 pb).
Gambar 3. Hasil Elektroforesis roduk PCR fragmen gen DNA polimerase Keterangan : (8) 2338 (13) 10111 (9) 8961 (14) 7331 (11) 12273 (15) 10844 (12) 10367 (16) 11414
Pemurnian Produk PCR dengan GFX column kit Produk PCR dimurnikan dari gel dengan GFX column kit untuk
Gambar 4. Hasil Elektroforesis produk pemurnian dengan GFX column kit Keterangan : (8) 2338 (13) 10111 (9) 8961 (14) 7331 (11) 12273 (15) 10844 (12) 10367 (16) 11414
Penentuan Urutan Nukleotida (sekuensing) Produk PCR yang telah dimurnikan (hasil GFX) kemudian dipekatkan dulu dengan metode freeze dry, agar konsentrasi produk PCR mencukupi untuk ditentukan urutan nukleotidanya. Delapan produk PCR masing-masing ditentukan urutan nukleotidanya dengan menggunakan sepasang primer PfwdHBVRT dan PrevHBVRT dari dua arah yang berlawanan. Primer PfwdHBVRT menentukan urutan nukleotida sampel dari 5’ ke 3’, sedangkan primer PrevHBVRT menentukan urutan nukleotida sampel dari 3’ ke 5’. Analisis Hasil Sekuensing Hasil sekuensing kemudian dianalisis homologi urutan nukleotidanya dengan database yang terdapat di GenBank untuk mengetahui identitas DNA sampel, dengan menggunakan program BLAST (Basic Local Alignment Searching Tools) dari situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov). Hasil BLAST menunjukkan 4 sampel merupakan gen HBV, sedangkan 4 sampel lainnya tidak menunjukkan homologi dengan gen HBV yang ada di GenBank. 25
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
AB219 430
(www.expasy.ch). Hasil translasi masingmasing sampel disejajarkan dengan hasil translasi gen pengkode DNA polimerase dari GenBank (AF533983, AB219430, dan DQ463793). Penjajaran dilakukan dengan program SIM (Alignment of Two Protein Sequences) dari situs ExPasy. Jika terjadi perubahan asam amino yang dihasilkan, maka sifat-sifat asam amino tersebut dilihat untuk memprediksi apakah mutasi tersebut berpengaruh pada sifat mutan HBV secara keseluruhan, termasuk resistensi terhadap antivirus maupun vaksin.
DQ463 793
Tabel 2. Perubahan Urutan Nukleotida dan Asam amino Sampel 12273
Tabel 1. Hasil BLAST Urutan Nukleotida Sampel terhadap GenBank No. Kode Hasil BLAST Homo Nomor Sampel Sampel (Identitas logi Akses Sampel) GenBank 8 2338 9 8961 11 12273 HBV 98% AF5339 genotipe C 83 12 10367 HBV 95% DQ463 genotipe B 793 13
10111
HBV subtipe adw
91%
14
7331
-
-
15
10844
94%
16
11414
HBV genotipe B -
-
Hasil sekuensing (urutan nukleotida) sampel 11, 12, 13, dan 15 disejajarkan (aligned) dengan gen pengkode DNA Polimerase dari database GenBankuntuk melihat ada tidaknya mutasi pada daerah gen pengkode reverse transcriptase (RT) DNA Polimerase HBV, terutama pada daerah yang mengkode motif YMDD di domain C. Penjajaran (alignment) juga dilakukan dengan menggunakan program BLAST dari situs NCBI. Hasil alignment tersebut menunjukkan bahwa satu sampel (sampel 12273) mengalami perubahan urutan nukleotida (mutasi) pada fragmen gen pengkode DNA polimerasenya. Sampel 12273 menunjukkan homologi 98% dengan gen pengkode DNA polimerase HBV (nomor akses AF533983), terdapat perubahan urutan nukleotida di empat titik pada daerah gen pengkode RT DNA polimerase, termasuk pada motif YMDD (lihat tabel 2). Sampel 12, 13, dan 15 tidak mengalami perubahan urutan nukleotida (mutasi) pada daerah gen pengkode RT DNA Polimerase. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan melihat apakah perubahan urutan nukleotida di atas berpengaruh pada asam amino yang dihasilkan. Urutan nukleotida keempat sampel ditranslasikan menjadi asam amino dengan menggunakan program DNA Translate Tools dari situs ExPasy 26
Kodon
475 519 526 550
Urutan Urutan Asam nukleotida nukleotida amino wildtype mutan wildtype ATG CTG M GTG CTG V CTG ATG L ATG GTG M
Asam amino mutan L L M V
Keempat perubahan urutan nukleotida sampel 12273 menyebabkan perubahan asam amino yang dihasilkan. Perubahan urutan nukleotida di kodon 475 menyebabkan perubahan metionin menjadi leusin. Metionin merupakan asam amino dengan rantai samping mengandung sulfur, sedangkan leusin merupakan asam amino dengan rantai samping alifatik. Kedua asam amino memiliki sifat yang mirip/hampir sama yaitu nonpolar, netral dan hidrofob. Kedua mutasi yang menyebabkan perubahan asam amino tersebut merupakan mutasi yang terjadi di luar daerah gen pengkode asam amino motif YMDD. Perubahan urutan nukleotida di kodon 519 menyebabkan perubahan valin menjadi leusin. Kedua asam amino ini termasuk ke dalam golongan yang sama, asam amino dengan gugus R alifatik. Perubahan urutan nukleotida di kodon 526 menyebabkan perubahan leusin menjadi metionin. Perubahan urutan nukleotida di kodon 550 menyebabkan perubahan metionin menjadi valin. Metionin merupakan asam amino dengan rantai samping mengandung sulfur, sedangkan valin merupakan asam amino dengan rantai samping alifatik. Kedua
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
asam amino tersebut memiliki sifat yang mirip/hampir sama yaitu nonpolar, netral dan hidrofob. Perubahan urutan nukleotida (mutasi) pada daerah gen pengkode RT DNA polimerase yang ingin dilihat terutama pada motif YMDD di domain C. Sampel 12273 menunjukkan mutasi M550V pada motif YMDD, menghasilkan mutan YVDD. Motif YMDD merupakan daerah yang sangat terlindungi (highly conserved domain) dalam DNA polimerase dan terlibat dalam pengikatan nukleotida ke sisi katalitik polimerase. Telah dilaporkan bahwa mutasi pada motif YMDD yang menghasilkan varian YIDD/YVDD mengubah sifat reverse transcriptase (RT), sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan mutan untuk bereplikasi dibandingkan dengan wild type. Urutan YM dari motif YMDD berinteraksi dengan kompleks template-primer. Metionin (M) memiliki interaksi kuat dengan gugus gula dari nukleotida terminal template dan juga potensial untuk mempengaruhi secara langsung ikatan dNTP. Substitusi M menyebabkan perubahan pada posisi kompleks template-primer dan kemampuan ikatan dNTP, yang kemudian dapat mengakibatkan ketidakmampuan replikasi (Ono-Nita et al., 1999). Selain mengakibatkan turunnya kemampuan replikasi, perubahan satu asam amino pada motif YMDD sudah cukup untuk menginduksi terjadinya resistensi terhadap lamivudin (antivirus). Substitusi asam amino M menjadi I atau V pada motif YMDD menyebabkan virus dapat membedakan lamivudin (analog dCTP) dari dCTP. Akibatnya virus menjadi resisten terhadap lamivudin (antivirus). Substitusi asam amino M552V (M550V untuk genotipe B) sering muncul bersamaan dengan substitusi leusin 528menjadi metionin. Kedua mutan ini, M552V dan L528M merupakan mutan yang paling sering diidentifikasi dalam berbagai penelitian mengenai mutan resistenlamivudin. Mutan resisten-lamivudin diklasifikasikan menjadi mutan dengan mutasi ganda, L528M dan M552V, serta
mutan dengan mutasi tunggal M552I (Seigneres et al., 2000; Yeh et al., 2000). Pada sampel 12273 juga terdapat substitusi asam amino L526M di mana leusin digantikan oleh metionin. Perubahan ini berada pada domain B RT DNA polimerase. Terjadinya perubahan urutan nukleotida pada gen pengkode DNA polimerase sampel 12273 telah menyebabkan substitusi asam amino L526M dan M550V yang identik dengan substitusi asam amino L528M dan M552V. Dengan demikian, sampel 12273 dapat diklasifikasikan sebagai mutan resisten-lamivudin (antivirus) dengan substitusi asam amino ganda. Secara klinis, strain dengan substitusi asam amino ganda L526M dan M550V/I merupakan mutan resisten-lamivudin yang paling sering muncul. Substitusi asam amino M550V dan L526M masing-masing menurunkan efisiensi replikasi sebanyak 100 dan enam kali. Adanya tambahan substitusi L526M terhadap M550V memiliki efek meningkatkan laju replikasi mutan M550V. Derajat resistensi virus terhadap lamivudin adalah sebagai berikut : L526M/M550V = M550V > L526M >wildtype (Lam et al., 2004). Gen pengkode HBsAg (protein S) HBV tumpang tindih (overlapping) dengan gen pengkode pengkode DNA Polimerase. Overlapping terjadi pada kodon 354-581 daerah RT DNA Polimerase, termasuk domain C (YMDD). Dengan demikian perubahan urutan nukleotida pada daerah gen pengkode HBsAg (protein S) juga dapat dilihat (Gambar 5).
Gambar 5.
Skema overlapping pengkode HBsAg dan polimerase HBV
gen DNA
27
Fitofarmaka,Vol.1,No.2, Desember 2011 ISSN:2087-9164
Sampel 12273 menunjukkan homologi 98% dengan gen pengkode HBsAg HBV (nomor akses AF533983), terdapat perubahan urutan nukleotida pada 4 titik di daerah gen pengkode HBsAg (tabel 3). Sampel 12, 13, dan 15 tidak mengalami perubahan urutan nukleotida (mutasi) di daerah gen pengkode HBsAg. Tabel 3. Perubahan Urutan Nukleotida dan Asam amino HBsAg Sampel 12273 Kodon
120 164 171 195
Urutan nukleotida wildtype ATG GTG CTG ATG
Urutan nukleotida mutan CTG CTG ATG GTG
Asam Asam amino amino wildtype mutan M L V L L M M V
Mutasi pada daerah gen pengkode DNA Polimerase dapat mempengaruhi ekspresi HBsAg, terutama jika substitusi asam amino terjadi pada protein S di mana terletak informasi penting yang dibutuhkan untuk memproduksi partikel HBsAg. HBsAg merupakan antigen viral yang pertama muncul yang dapat dideteksi selama infeksi HBV. HBsAg mengandung determinan a yang membentuk basis respon untuk antiHBs pada imunisasi HBsAg atau infeksi HBV wildtype. Mutasi pada determinan a mempengaruhi efek vaksin HBV dan menyebabkan timbulnya fenomena mutan lolos-vaksin (vaccine-escaped mutant). Determinan a mencakup kodon 122-147 yang terletak pada Major Hidrophylic Region (MHR). Dari keempat sampel, tidak ada yang menunjukkan perubahan nukleotida di daerah determinan a (kodon 122-147). SIMPULAN Hasil penentuan keberadaan mutan HBV menunjukkan bahwa terjadi mutasi pada gen pengkode reverse transcriptase (RT) DNA polimerase yang menyebabkan substitusi asam amino M475L, V519L, L526M, dan M550V pada sampel 12273 dari Jakarta (1 dari 24 sampel atau 0,04%). Mutan diklasifikasikan sebagai mutan
28
resisten-antivirus dengan substitusi asam amino ganda L528M dan M552V. DAFTAR PUSTAKA Aprilia, H. 2004. Mutan Lolos-Vaksin dan Subtipe Virus Hepatitis B dari Empat Kota di Pulau Jawa [Skripsi]. Bandung: Sekolah Farmasi ITB. Lam, W.; Y. Li; J.Y. Liou; G.E. Dutschman; and Y.C. Cheng. 2004. Reverse Transcriptase Activity of Hepatitis B Virus (HBV) DNA Polymerase within Core Capsid: Interaction with Deoxynucleoside Triphosphates and Anti-HBV L-Deoxynucleoside Analog Triphosphates. Mol Pharmacol 65:400-406. Leon, B.; L. Taylor; M. Vargas; R.B. Lutfig; F. Albertazzi; L. Herrero; and K. Visona. 2005. HBx M130K and V131I (T – A) mutations in HBV genotype F during follow-up study in chronic carriers. Virology Journal; 2:60 doi:10.1186/ 1743-422X-2-60. Available online at http://www.virologyj.com/content/2/1 /60 [diakses Desember 2006]. Ono-Nita, S.K.; N. Kato; Y. Shiratori; T. Masaki; K.H. Lan; F.J. Carrilho; and M. Omata. 1999. YMDD Motif in Hepatitis B Virus DNA Polymerase Influences on Replication and Lamivudine Resistance: A Study by In Vitro Full-Length Viral DNA Transfection. Hepatology; 29:939945. Sambrook, J. and D.W. Russell. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual; 3rd ed. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. p.5 Seigneres, B.; C. Pichoud; S.S. Ahmed; O. Hantz; C. Trepo; and F. Zoulim. 2000. Evolution of Hepatitis B Virus Polymerase Gene Sequence during Famciclovir Therapy for Chronic Hepatitis B. JID; 181:1221-1233. Yeh, C.T.; R.N. Chien; C.M. Chu; and Y.F. Liaw. 2000. Clearance of the Original Hepatitis B Virus YMDD-Motif Mutants With Emergence of Distinct Lamivudine-Resistant Mutants
Fitofarmaka, Vol. 1, No.2, Desember 2011 ISSN : 2087-9164
During Prolonged Lamivudine Therapy. Hepatology; 31:1318-1326. Yuen, M.F.; E. Sablon; C.K. Hui; H.J. Yuan; H. Decraemer; and C.L. Lai. 2001.
Factors Associated With Hepatitis B Virus DNA Breakthrough in Patients Receiving Prolonged Lamivudine Therapy. Hepatology; 34:785-791.
29
Fitofarmaka,Vol.5,No.1, Juni 2015 ISSN:2087-9164
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan redaksi Jurnal Fitofarmaka menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari:
Prof. Dr. Ibnu Gholib Gandjar, DEA, Apt. (Universitas Gadjah Mada) Prof. Dr. Anas Subarnas, MSc. (Universitas Padjadjaran) Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt. (Universitas Indonesia) Dr. Ajeng Diantini, M.S. Apt. (Universitas Padjadjaran)
Kami mengucapkan terima kasih atas kontribusi yang telah diberikan dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Fitofarmaka volume 1 nomor 2 Desember 2011.
Bogor, Desember 2011
Dewan Redaksi
PANDUAN PENULISAN JURNAL Jurnal Fitofarmaka menerima tulisan ilmiah berupa hasil penelitian, review jurnal, laporan penelitian dan laporan kasus yang berkaitan dengan bidang kefarmasian. Naskah diutamakan yang belum pernah diterbitkan di media lain, baik cetak maupun elektronik. Jika sudah pernah disampaikan dalam suatu pertemuan ilmiah hendaknya diberi keterangan yang jelas mengenai nama, tempat, dan tanggal berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah berupa ketikan asli ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan abstrak bahasi Inggris. Sistematika penulisan adalah sebagai berikut : Setting halaman adalah 1 kolom dengan 2 spasi, pada kertas HVS A4 dengan margin atas 4 cm, bawah 3 cm, kiri 4 cm, kanan 3 cm, maksimal 15 halaman sudah termasuk gambar/foto atau tabel. Panjang naskah maksimal 3000-5000 kata dengan huruf Times New Roman font 12.
1. Halaman Judul : berisi judul artikel dengan jumlah kata maksimal 14 kata, nama penulis (tanpa gelar), dan institusi/ alamat tempat bekerja dari masing-masing penulis, dengan alamat e-mail untuk korespondesi (corresponding author). 2. Abstrak : abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan jumlah kata maksimal 250 kata. Abstrak ditulis dengan ringkas dan jelas yang mencakup pendahuluan, metode, hasil, pembahasan dan simpulan dari penelitian dilengkapi dengan 2-5 kata kunci. 3. Pendahuluan: berisi tentang informasi mengenai latar belakang yang relevan dengan tujuan penelitian. 4. Metode Penelitian: menguraikan bahan, alat dan cara kerja yang digunakan. 5. Hasil dan Pembahasan: dipresentaskan dengan format yang mudah dimengerti dalam bentuk gambar 2D maupun tabel. Tabel harus utuh, jelas terbaca, dibuat dengan format tabel pada Microsoft Words diletakkan simetris di tengah area pengetikan, diberi nomor sesuai urutan penyajian (Tabel 1, dst.), tanpa garis batas kanan atau kiri. Gambar harus diberi nomor sesuai urutan penyajian (Gambar 1, dst.). Pembahasan pada artikel penelitian dilakukan terhadap hasil yang diperoleh dan dikorelasikan dengan studi lain yang relevan. Diskusi difokuskan pada hasil utama penelitian. Keterbatasan penelitian dan dampak hasil penelitian dijelaskan dengan rinci. Penulis harus menjelaskan mengenai keterbatasan dan rekomendasi penangannan yang mendukung referensi.
6. Simpulan: simpulan berhubungan dengan tujuan penelitian. Saran penelitian diberikan untuk merekomendasikan penanganan bila ada keterbatasan penelitaian. 7. Ucapan Terima Kasih: bila ada, tidak menggunakan singkatan. 8. Daftar Pustaka: pustaka ditulis sesuai sistem Harvard Referencing Standard. Sebanyak 80% pustaka yang digunakan merupakan pustaka primer dan terbitan 10 tahun terakhir. Contoh penulisan daftar pustaka rujukan sebagai berikut: a. Buku [1] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya (nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul buku dicetak miring. Edisi, Penerbit. Tempat Publikasi. Contoh: O’Brien, J.A. dan. J.M. Marakas. 2011. Management Information Systems. Edisi 10. McGraw-Hill. New York-USA. b. Artikel Jurnal [2] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya (nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama jurnal dicetak miring. Vol (Nomor): Rentang Halaman. Contoh: Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult learning. The Journal of Artistic and Creative Education. 6 (1): 94-111. c. Prosiding Seminar/Konferensi [3] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya (nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama konferensi. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara. Halaman. Contoh: Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture management. Proceeding on Tenth International Conference on WirtschaftsInformatik. 16-18. February 2011, Zurich, Swis. Hal. 776-786. d. Tesis atau Disertasi Computationally Intensive Approaches to Inference in NeoNormal Linear Models: Ph.D. thesis, CUT Western Australia [4] Penulis (nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul. Skripsi, Tesis, atau Disertasi. Universitas. Contoh: Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di Jawa Timur. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Joyonegoro, Surabaya.
e. Sumber Rujukan dari Website [5] Penulis. Tahun. Judul. Alamat Uniform Resources Locator (URL). Tanggal Diakses. Contoh: Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A brave new world?. http://www.federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf. Diakses tanggal 18 Juni 2011.
FORMULIR BERLANGANAN / PEMBELIAN JURNAL FITOFARMAKA Jl. Pakuan PO BOX 452, Telp/Fax. (0251)8375547
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: .................................................................................................................
Institusi
: .................................................................................................................
Alamat
: ................................................................................................................. .................................................................................................................
Telepon/Fax : ................................................................................................................. Ingin menjadi pelanggan/ pembeli Jurnal Fitofarmaka selama …….. tahun, dimulai dari Vol…… No......... tahun ……. sampai Vol......... No. …… tahun …….. Untuk administrasi berlangganan, dapat menghubungi email kami
[email protected].
………………., …………………………. Pelanggan,
………………………………………….... (Tanda tangan dan nama terang)
CATATAN: 1.
2.
Biaya berlanggan selama 1(satu) tahun (2 kali penerbitan), sebesar Rp. 150. 000,- ditambah ongkos kirim 20%. Mohon diisi dengan lengkap dan dikirim/ fax/ e-mail ke alamat tersebut di atas beserta bukti transfer.