SEJARAH PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA oleh: Ikrar Agus Pepi A, SH.1 Abstract Sharia banking is anything that concerns about the Bank of Shari'ah and Unit Efforts Shari'ah, includes institutional, business activities as well as the manner and process of carrying out its business activities. Just as with conventional banks, Islamic banks also offer customers the bank is in the conventional banking products. Only difference with conventional bank is in terms of pricing, both the sale price and the purchase price. The products on offer is certainly doing your best to really Islami, including in providing services to its customers. If the specific risks that would be causing varying degrees of bank profits include liquidity risk, credit risk and interest rates, and risk capital. However, Islamic banks insyaa God trying not face the risk of interest, even though in an environment where the prevailing dual banking system increased the interest rate on conventional markets may have an impact on the increased risk of switching to conventional banks. Key words: History, Sharia Banking, Indonesia.
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan (liberalisasi sistem perbankan). Meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa usaha-usah perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan. Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait AtTamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang 1
Ikrar Agus Pepi A, adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta.
145
menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,- 2 Sejak langkah pertama pendiriannya, bank-bank syariah telah menunjukkan trend perkembangan yang positif sehingga dapat memainkan peranan pentingnya dalam memobilisasi, mengalokasi, dan memanfaatkan sumber daya dengan lebih baik. Penelitian tentang persepsi konsumen di Malaysia menemukan bahwa persepsi konsumen terhadap bank syariah terdiri dari beberapa dimensi; pemanfaatan fasilitas perbankan, pengetahuan terhadap perbankan Islam, peranan konsumen dalam memilih produk perbankan telah dilakukan3. Kaynak menemukan tiga atribut penting yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih bank; ketersediaan ATM, pelayanan yang cepat dan efisien, serta respon petugas yang cepat4. Dalam pandangan penulis inilah salah satu faktor penting untuk perbankan syariah. Salah satu faktor pendukung yang menunjang trend positif ini adalah pembagian hasil usaha dalam pembiayaan yang menggunakan konsep profit sharing dan revenue sharing dengan akad mudharabah, meski pada awalnya, konsep ini tidak begitu luas dimengerti oleh masyarkat5. Profit sharing dan revenue sharing merupakan pembagian hasil usaha dengan ketentuan nisbah pihak penyalur dana dan penerima dana usaha. Sehingga besarnya pembagian dipengaruhi oleh hasil usaha yang dijalani. Konsep profit sharing atau yang juga disebut dengan profit and loss sharing menawarkan pembagian hasil usaha dengan perhitungan pendapatan/keuntungan bersih (net profit), yaitu laba kotor dikurangi beban biaya yang dikeluarkan selama operasional usaha. Sedangkan konsep revenue sharing adalah konsep yang menawarkan pembagian hasil usaha berdasarkan perhitungan laba kotor (gross profit). Konsep inilah yang membedakannya dengan bank-bank konvensional yang menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi agar dapat menarik minat masyarakat menabungkan uangnya di bank. Besarnya bunga dalam pembagian hasil usaha ditetapkan pada awal 2
www.bi.go.id/...bi/...bi/bi/.../25d8c7b0fbbe4d27bf24497e5a0f3dfaSejarahPerbankan.. diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 19.50 WIB, Kota Depok, Jawa Barat. 3 Ahmad, Nurafifah, dan Haron, S. 2001, Perception of Malaysian Corporate Customers Toward Islamic Banking Products & Services, International Journal of Islamic Financial Service, Vol. 3 No. 4. 4 Kaynak, E. 2005, American consumers’ attitudes towards commercial banks, The International Journal of Bank Marketing, Vol. 23, No. 1, pp 73-89. 5 Nurkhafifah, Nofella. 2014, Perbankan Syariah, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hlm. 4.
146
perjanjian kerjasama dengan keuntungan yang pasti bagi investor. Bahkan meski kreditur mengalami kerugian dalam usahanya, investor tetap mendapatkan bunga yang disepakati sebelumnya. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat diketahui bahwa konsep bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah dan konvensional memiliki perbedaan dalam keuntungan yang diperoleh dalam pembiayaan/investasi usaha produktif yang dikembangkan kreditur. Profit sharing dan revenue sharing merupakan pengganti bunga dalam perbankan konvensional. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah masuknya perbankan Syariah di Indonesia? 2. Bagaimana penerapan sistem perbankan Syariah di Indonesia ? C. Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui sejarah masuknya perbankan Syariah di Indonesia. 2. Untuk mengetahui penerapan Sistem Perbankan Syariah di Indonesia. II. LANDASAN KONSEPSIONAL A. Praktek Perbankan di Zaman Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Sahabat Rodhiyallahu‘anhum. Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, kegiatan muamalah seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, yang dilakukan dengan akadakad yang sesuai syariah telah lazim dilakukan umat Islam sejak zaman Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam. Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam, yang dikenal dengan julukan Al-amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin abi Thalib Rodhiyallahu‘anhu untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Seorang sahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam, Zubair bin al-Awwam Rodhiyallahu‘anhu., memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni yang pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, Ia memiliki hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu Abbas Rodhiyallahu‘anhu juga pernah melakukan pengiriman barang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair Rodhiyallahu‘anhu melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair Rodhiyallahu‘anhu yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, dalam masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab Rodhiyallahu‘anhu menggunakan cek untuk membayar tunjangan
147
kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini, mereka mengambil gandum di Baitul mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Di samping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kamu Muhajirin dan kaum Anshar. Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah melakukan fungsi perbankan di zaman Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun individu tersebut tidak melakukan seluruh fungsi perbankan. Namun fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima simpanan uang (deposit), menyaluran dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam6. B. Praktik Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah Di zaman Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam. Fungsi-fungsi perbankan biasanya dilakukan oleh satu orang yang hanya melakukan satu fungsi. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu dalam sejarah islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini diperlukan karena setiap mata uang memiliki kandungan logam mulia yang berlainan sehingga memiliki nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan zihbiz. Aktivitas ekonomi ini merupakan cikal bakal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai penukaran uang (money changer). Istilah Jihbiz itu sendiri mulai dikenal sejak zaman Khalifah Muawiyah (661680) yang sebenarnnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintah Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Peranan Bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan khalifah Muqtadir (908-932 M). Pada saat itu hampir setiap wazir (menteri) mempunyai banker sendiri. Misalnya Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Joseph Ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus; dua orang beragama Yahudi dan satu orang Kristen. Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa memindahkan fisik uang 6
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-Perbankan-Syariah. aspx diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 20.00 WIB, Kota Depok, Jawa Barat.
148
tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah Perbankan Islam, adalah Syaf al Dawlah alHamdani yang tercatat sebagi orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Allepo (Spanyol). C. Praktik Perbankan di Eropa Dalam perkembangan berikutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan (jihbiz) kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal dengan Bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktik perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan mulai menggunakan instrument bunga yang dalam pandangan fiqih adalah riba, dan oleh karena itu hukumnya Haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545 membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Setelah wafat Raja Henry VIII digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Hal ini tidak berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali memperbolehkan praktik pembungaan uang. Ketika mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance, bangsa Eropa melakukan penjelajahan dan penjajahan ke seluruh penjuru dunia, sehingga aktivitas perekonomian dunia didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama, peradaban Muslim mengalami kemerosotan dan Negaranegara muslim satu-persatu jatuh ke dalam cengkraman penjajahan bangsa-bangsa eroopa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat Islam runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern ini. Oleh karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis bunga7. D. Perbankan Syariah Modern Dalam keuangan Islam, bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram. Di sejumlah Negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga Bank Alternatif non-ribawi. Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul karena anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya. Konsep 7
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-PerbankanSyariah.aspx diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 20.00 WIB, Kota Depok, Jawa Barat.
149
teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A'la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Usaha modern pertama untuk mendirikan Bank tanpa bunga dimulai di Pakistan yang mengelola dana haji pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses. Perkembangan berikutnya usaha pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini diterima dengan baik oleh kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Namun sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada tahun 1967. Pengambil alihan ini menyebabkan prinsip nirbunga pada Mit Ghamr mulai ditinggalkan, sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada 1971, akhirnya konsep nir-bunga kembali dibankitkan pada masa rezim Sadat melalui pendirian Naseer Social Bank. Tujuan Bank ini adalah untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang telah dipraktikan oleh Mit Ghamr. Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama' terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank. Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh AlSyirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga. Kesuksesan Mit Ghamr ini memberikan inspirasi bagi umat Muslim di seluruh penjuru dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Ketika OKI akhirnya
150
terbentuk, serangkaian konferensi Internasional mulai dilangsungkan, di mana salah satu agenda ekonominya adalah pendirian Bank Islam. Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House. Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negera Islam pendiri. Bank ini menyediakan bantuan financial untuk pembangunan Negara-negara anggotanya, membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam. Kini, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 56 negara anggota. Pada perkembangan selanjutnya di era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa Negara seperti di Pakistan, Iran dan Sudan bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di Negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga. Di Negara Islam lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional. Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan ke negara-negara Barat, seperti Denmark, Inggris, Australia yang berlomba-lomba menjadi Pusat keuangan Islam Dunia (Islamic Financial hub) untuk membuka bank Islam dan Islamic window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam8. E. Perbankan Syariah di Indonesia Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. 8
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-PerbankanSyariah.aspx diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 20.00 WIB, Kota Depok, Jawa Barat.
151
Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan (liberalisasi sistem perbankan). Meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa usaha-usah perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan. Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperolehperhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil"pada UU No. 7 Tahun 1992; tanpa rincianlandasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll. Pengesahan beberapa produk
152
perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010). Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara internasional. Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp. 85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun. Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. OJK selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan menjadi panduan arah pengembangan yang berisi insiatif-inisiatif strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan9. F. Pengertian Perbankan Syariah
9
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-Perbankan-Syariah. aspx diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 20.00 WIB, Kota Depok, Jawa Barat.
153
Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya10. Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya dengan bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu berusaha sebaik mungkin mendekati Islami, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jenis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut11: 1. Al-wadi’ah (Simpanan) 2. Pembiayaan Dengan Bagi Hasil 3. Bai’al Murabahah 4. Bai’as-Salam 5. Bai’al Istishna’ 6. Al-Ijarah (Leasing) 7. Al-Wakalah (Amanat) 8. Al-Kafalah (Garansi) 9. Al-Hawalah 10. Ar-Rahn Secara spesifik resiko-resiko yang akan menyebabkan bervariasinya tingkat keuntungan bank meliputi resiko likuiditas, resiko kredit dan tingkat bunga, dan resiko modal. Namun demikian, bank syariah tidak akan menghadapi resiko bunga, walapun di lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya risiko berpindah ke bank konvensional. G. Produk Perbankan Syariah Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jenis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut: 1. Al-wadi’ah (Simpanan)
10
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. http://zonaekis.com/makalah-perbankan-syariah-dan-produk-produknya/ diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 20.20 WIB, Kota Depok, Jawa Barat. 11
154
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendaki. Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan. Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adhdhamanah (tangan penanggung). Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadh’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi (bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank. Pemilik dana tidak mendapat imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan. Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito. 2. Pembiayaan Dengan Bagi Hasil a. Al-musyarakah (Partisipasi Modal) Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Al-musyarakah dalam praktek perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura. b. Al-mudharabah Pengertian Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah akad atau perjanjian diantara dua belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahib al-mal atau al-mal), memercayakan kepada pihak kedua atau pihak lain (pengusaha), untuk menjalankan suatu
155
aktivitas atau usaha. Apabila mengalami kerugian maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, maka sipengelolalah yang bertanggug jawab. Dan didalam prakteknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni: a) mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis. b) mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis. Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan. Dan keistmewaan dari sebuah mudharabah adalah pada peran ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib adalah wakil dari rabb al- mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika ada keuntungan. c. Al-muzara’ah Pengertian AI-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen. Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati. d. Al-musaqah Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. 3. Bai’al Murabahah Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini
156
penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya. Sebagai contoh harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan yang diharapkan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp 105.000,-. Kegiatan Bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepakatan dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan kegiatan Bai’alMurabahah pada pembiayaan produk barang-barang investasi baik dalam negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal dengan nama L/C. 4. Bai’as-Salam Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang. 5. Bai’al Istishna’ Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’assalam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat barang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang. 6. Al-Ijarah (Leasing) Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease. 7. Al-Wakalah (Amanat) Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat. 8. Al-Kafalah (Garansi) Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang. 9. Al-Hawalah
157
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring. 10. Ar-Rahn Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai. Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti: § Jasa penerbitan L/C § Jasa Transfer § Jasa Inkaso § Bank Garansi § Menerima Zakat, Infak, dan Sadaqoh (untuk disalurkan). H. Definisi Riba Riba menurut bahasa adalah tambahan. Adapun menurut syari’at maka tidak semua tambahan dalam jual beli atau transaksi dapat dihukumi riba. Makna riba menurut syari’at tergantung bentuk ribanya. Berikut ini adalah penjelasan ringkas tiga jenis riba12. Pertama: Riba Fadhl, yaitu tambahan dalam jual beli/pertukaran barang dengan barang yang semisal, yang termasuk dalam kategori barang-barang ribawi. Kedua: Riba Nasiah, yaitu penundaan salah satu barang dalam serah terima pertukaran/jual beli, padahal barang tersebut termasuk kategori barangbarang ribawi. Adapun yang dimaksud dengan barang-barang ribawi adalah yang Riba menurut bahasa adalah tambahan. Adapun menurut syari’at maka tidak semua tambahan dalam jual beli atau transaksi dapat dihukumi riba. Makna riba menurut syari’at tergantung bentuk ribanya. Berikut ini adalah penjelasan ringkas tiga jenis riba. Pertama: Riba Fadhl, yaitu tambahan dalam jual beli/pertukaran barang dengan barang yang semisal, yang termasuk dalam kategori barang-barang ribawi. Kedua: Riba Nasiah, yaitu penundaan salah satu barang dalam serah terima pertukaran/jual beli, padahal barang tersebut termasuk kategori barangbarang ribawi. Adapun yang dimaksud dengan barang-barang ribawi adalah yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum yang lebih rendah kualitasnya) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, pertukarannya harus semisal dan semisal, sama dan sama, tangan dan tangan.
12
http://sofyanruray.info/cara-mudah-memahami-permasalahan-riba/ diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 20.40 WIB, Kota Depok, Jawa Barat.
158
Maka jika terjadi perbedaan pada barang-barang ini lakukanlah jual beli semau kalian selama dilakukan antara tangan dan tangan.13 Penjelasan Hadits: Penjelasan Pertama: Barang-barang ribawi dalam hadits di atas ada enam jenis, akan tetapi Jumhur ulama berpendapat bahwa semua barang yang memiliki ‘illah (sebab) yang sama dengan keenam jenis barang di atas maka ia termasuk ke dalam barang-barang ribawi, dan ini adalah pendapat yang kuat sebab hukum selalu beredar bersama sebabnya. Adapun ‘illah pada emas dan perak adalah: Tsamaniyah (barang berharga yang digunakan untuk tukar menukar), maka mata uang di masa ini termasuk barang ribawi karena ia adalah barang yang memiliki sifat tsamaniyyah. Sedangkan gandum, sya’ir, kurma dan garam ‘illah-nya adalah: Makanan yang ditakar dan ditimbang, maka semua makanan yang dapat ditakar dan ditimbang termasuk dalam kategori barang ribawi, seperti beras, jagung, dan lain-lain.Penjelasan Kedua: Barang ribawi terbagi menjadi dua kelompok, tsamaniyyah dan makanan (yang bisa ditakar dan ditimbang). Pertukaran masing-masing barang memiliki rincian hukum sebagai berikut: 1) Jika terjadi pertukaran antara barang sejenis dalam kelompok yang sama maka dipersyaratkan dua syarat: Jumlah barang harus sama dan dilakukan dalam satu mejelis, tidak boleh berpisah sebelum transaksinya selesai. Contohnya: Jika terjadi pertukaran antara emas batangan dengan emas perhiasan, maka jika emas batangan 20 gram, emas perhiasan juga harus 20 gram, dan harus diserahterimakan pada saat itu juga, tidak boleh dikredit atau tertunda penyerahan salah satu barangnya. Jika misalkan emas batangan lebih banyak dari emas perhiasan maka itulah riba fadhl. Dan jika penyerahan salah satu barang tertunda maka itulah riba nasiah. 2) Jika terjadi pertukaran antara barang yang berbeda jenis namun masih dalam kelompok yang sama maka hilang satu syarat dan tersisa satu syarat: Hilang syarat jumlah harus sama, namun masih tersisa syarat wajib dilakukan serah terima barang pada saat itu juga, tidak boleh ada yang tertunda.Contohnya: Jika terjadi pertukaran antara emas dan perak, maka boleh jumlah perak lebih banyak dari emas, namun tetap harus diserahterimakan pada saat itu juga, jika salah satu barang tertunda penyerahannya maka itulah riba nasiah. 3) Jika terjadi pertukaran barang antara kelompok tsamaniyah dan makanan maka hilang dua syarat di atas, sehingga tidak lagi masuk dalam riba fadhl maupun nasiah, maka tidak ada masalah walaupun salah satu barang lebih dari yang lain dan tidak diserahterimakan secara langsung. 13
[HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dan lafaz ini milik Muslim].
159
Contohnya: Jika seseorang membeli kurma dengan emas, maka tidak masalah walaupun kurmanya lebih banyak dari emasnya, dan juga tidak masalah jika pembayaran dengan emasnya tertunda. 4) Jika terjadi pertukaran barang antara barang ribawi dengan selain barang ribawi maka tidak masalah jika terjadi perbedaan jumlah dan penundaan dalam pembayaran. Contohnya: Menukar emas dengan mobil. Boleh emas lebih banyak jumlahnya dan boleh dibayar secara bertahap atau tertunda (kredit). Jika terjadi pertukaran antara selain barang-barang ribawi maka tidak ada lagi ketentuan harus sama jumlahnya dan harus diserahterimakan pada saat itu juga. Contohnya: Menukar mobil dengan mobil, boleh berbeda kondisi mobilnya dan boleh tidak diserahterimakan pada saat itu juga. Ketiga: Riba qordh, yaitu mengambil manfaat dari piutang dan yang semisalnya. Ulama sepakat bahwa, “Setiap qordh yang terdapat manfaat padanya adalah riba.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 13/426] Bunga bank termasuk dalam riba ini. Misalkan pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah, dengan syarat si nasabah harus mengembalikannya lebih dari jumlah yang ia pinjam maka itulah riba qordh, walaupun dinamakan bunga atau biaya administrasi. Demikian sebaliknya, jika pihak nasabah menyimpan uang di bank, kemudian pihak bank memberikan bunga, maka itulah riba qordh, yang sering juga disebut sebagai riba Jahiliyah, karena itulah yang dilakukan orang-orang Jahiliyah dahulu. Bahkan sebagian pelaku riba Jahiliyah dahulu masih lebih baik dibanding pelaku riba di masa ini. Kalau dulu, mereka akan mengenakan riba jika pembayaran tertunda, tetapi sekarang, pembayaran tepat waktu maupun tertunda sama-sama dikenakan bunga maupun denda. Keduanya adalah riba. Allah ta’ala telah mengingatkan bahaya riba, Terjemahan: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah riba yang tersisa jika kalian benar-benar beriman. Jika kalian tidak melakukannya maka umumkanlah perang terhadap mereka dari Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian bertaubat maka bagi kalian pokok-pokok harta kalian. Kalian tidak menzalimi dan tidak pula terzalimi”.14 Sahabat yang Mulia Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma yang artinya: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan, penulisnya dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: Mereka sama.” 15 Semoga Allah ta’ala menjaga kita dari dosa riba dan semua perbuatan dosa. I. Sistem Perbankan Syariah 14
Kitab suci Al-Qur’an, Surah Al-Baqoroh: 278-279 Hadist Riwayat Muslim.
15
160
Berbicara sistem perbankan syariah tentulah para ahli yang lebih mengetahui, pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia16. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan. III. PENUTUP A. Kesimpulan Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, 16
http://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Contents/Default.aspx diakses pada tanggal 5 Agustus 2016 pada hari Jumat pukul 21.00 WIB, Kota Depok, Jawa Barat.
161
kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya dengan bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu berusaha sebaik mungkin agar benar-benar Islami, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Jika secara spesifik resiko-resiko yang akan menyebabakan bervariasinya tingkat keuntungan bank meliputi resiko likuiditas, resiko kredit dan tingkat bunga, dan resiko modal. Namun demikian, bank syariah insyaa Allah berusaha agar tidak akan menghadapi resiko bunga, walapun di lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya resiko berpindah ke bank konvensional. B. Saran Walaupun di Indonesia terdapat Bank Syariah namun dalam pandangan Penulis Bank Syariah yang ada saat ini hanya dapat dikatakan mendekati Syariah, belum benar-benar Syariah 100%. Karena masih ada beberapa kejanggalan yang Penulis pandang dalam prakteknya, namun insyaa Allah dapat jadi pertimbangan penulis nanti untuk dijadikan Tesis. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA A. Landasan Syariah Kitab Suci Al-Qur’an Al-Hadits Nabi Muhammad SAW. B. Buku Ahmad, Nurafifah, dan Haron, S. 2001, Perception of Malaysian Corporate Customers Toward Islamic Banking Products & Services, International Journal of Islamic Financial Service, Malaysia. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Jakarta : Tazkia Insitute. 1999. _____.Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani. 2000
162
Ardiwarman, A. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keungan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet 3.2006. Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alvabet. 2006. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 2002. ____,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi 2010, Jakarta : Rineka Cipta. 2010. Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada. 2007. Atmaja, Karnaen Perwata MPA. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Jogjakarta : Dana Bakti Wakaf. 1992. Danim, Sudarman. Menjadi Penelitian Kualitatif. Banhdung: CV. PUSTAKA SETIA. 2002. Djazuli, A, dkk. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2002. Firdaus NH, Muhammad, dkk. Konsep dan Implementasi Bank Syariah. Jakarta: Renaisan, Anggota IKAPI. Karim, Adimarwan. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : IIIT Indonesia, 2003. Kaynak, E. 2005, American consumers’ attitudes towards commercial banks, The International Journal of Bank Marketing, America. Kertajaya, Hermawan dan Muhammad Syakir Sula. Syariah Marketing. Bandung : Mizan. 2006. Lasmiatun. Perbankan Syariah. Semarang : LPSDM. RA Kartini. 2010. Mahmud, Amir. Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. 2010. Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMPP YKPN. 1987. ____.Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press. 2009.
163
Muttaqien, Dadan. Aspek Legal Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta : Safiria Insania Press. 2009. Mz, Labib, Etika Bisnis Dalam Islam. Surabaya : Bintang Usaha Jaya. 2006. Nuryadin, Hadin. BMT dan Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy. 2004 Nurkhafifah, Nofella. 2014, Perbankan Syariah, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Tentang Pedoman Jasa Keuangan Syariah Dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi. 2007. D. Website/Internet http://zonaekis.com/makalah-perbankan-syariah-dan-produk-produknya/ di akses pada tanggal 5 Agustus 2016. http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-PerbankanSyariah.aspx di akses pada tanggal 5 Agustus 2016. http://sofyanruray.info/cara-mudah-memahami-permasalahan-riba/ di akses pada tanggal 5 Agustus 2016 http://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Contents/Default.aspx di akses pada tanggal 5 Agustus 2016 www.bi.go.id/...bi/...bi/bi/.../25d8c7b0fbbe4d27bf24497e5a0f3dfaSejarahPerbank an.. diakses pada tanggal 5 Agustus 2016
164