MWC NU Kecamatan Kabat, Banyuwangi – 2007
hal 1
SEJARAH NU Keterbelakangan,
baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya.
MWC NU Kecamatan Kabat, Banyuwangi – 2007
hal 2
Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan
kebebasan
bermadzhab
dan
berhasil
menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
TAUSHIYAH POLITIK NU Sembilan Pedoman Politik Warga NU Sembilan butir pedoman bagi warga NU yang menggunakan hak-hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggungjawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, serta membangun mekanisme musyawarah-mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama, sebagai berikut : 1.
Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
2.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita menjungjung bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3.
Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
MWC NU Kecamatan Kabat, Banyuwangi – 2007
hal 3
4.
Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-ketuhanan yang maha esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuuan indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
5.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran islam ahlussunnah wal jamaah.
7.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8.
Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik-warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balk dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi
kemasyarakatan
yang lebih mandiri
dan mampu
melaksanakan fungsinya seabagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Madzhab Ahlussunnah Waljama‟ah Ahlussunnah Waljama‟ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama‟ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda. Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi‟ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu‟tazilah, Asy‟ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi‟iyah, Hanafiyah dan
MWC NU Kecamatan Kabat, Banyuwangi – 2007
hal 4
Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi‟ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu‟ah al„Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97). Istilah Ahlussunah wal jama‟ah terdiri dari tiga kata, "ahlun", "as-sunah" dan "aljama’ah". Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah. a. Ahlun Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith. Adapun dalam Al-Qur‟an sendiri, sekurangnya ada tiga makna "ahl": pertama, "ahl" berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Hud ayat 45 :
45 :َزةِّ اِ َّن ا ْب ِىّ ِم ْه أَ ٌْ ِلّ (الٍُد “Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”. Juga dalam surat Thoha ayat 132:
َّ ك ِببل 132 :ًصلَُ ِة (ط َ َََ ْأ ُمسْ أَ ٌْل “Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat” Kedua, "ahl" berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-A‟rof ayat 96.
96:ت ِمهَ ال َّس َمب ِء ََ ْالآلَزْ ض (اآلعساف ٍ ََلَُْ اَ َّن أَ ٌْ َل ْالقُ َسِ َء ا َمىُُْ ا ََاتَّقَُْ ا لَفَتَحْ ىَب َعلَ ْي ٍِ ْم بَ َسك “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi.” Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur‟an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43.
43 :فَ ْسئَلُُْ اأَ ٌْ َل ال ِر ْك ِساِ ْن ُك ْىتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمُْ نَ (الىحل “Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. b. As-Sunnah Menurut Abul Baqa‟ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara‟, asSunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW.
MWC NU Kecamatan Kabat, Banyuwangi – 2007
hal 5
Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah alQauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, assunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah). c. Arti Kata Al-Jama’ah Menurut Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama‟ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama‟ah" secara syara‟ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama‟ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur‟an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama‟ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama‟ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Walashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah. Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut:
ْ َزأَ ْتُ ْم فَب ِء َذا ع َْه,ٍ َ اِ َّن اُ َّم ِتّ الَت َت ْت َم ِ ُ عَل َّ َ َ ل:ٍ َاا ِت َ فًفب فَ َعلَ ْي ُ ْم ِببل َّس َُا ِد ْا َ ْع َ ِم أَو “Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.”
ْ ِ َم ْه َ ِعشْ ِم ْى ُ ْم بَ ْع ِدِ فَ َسيَ َس, َتّ ََ ُ ىَّ ِ ْال ُللَفَب ِء ْال َم ٍْ ِدبِ ْيه ًَُّااتِ َ فًفب َكثِ ْيسًفا فَب ِءو ِ الس ِ ََّّاش ِد ْهَ تَ َم َّس ُ ُْ ابٍَِب فَ َعلَ ْي ُ ْم بِ ُسى اا ِر ِ َُ َّ ََ َع ُّض ُْ ا َعلَ ْيٍَب ِببلى. (زَاي ابُ داَد “Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham.”
MWC NU Kecamatan Kabat, Banyuwangi – 2007
hal 6
ْ َ ُكلُّضٍُ ْم بَىِّ اِ ْ َسااِ ْي َل تَفَ َّس,تّ َع َل َ َ ٍ ََ َ ْ ِع ْيهَ ِملَّ ًف ت ِ ْىىَي ِْه ََ َ ْ ِع ْيهَ ِملَّ ًف ََ اِ َّن ِ ََ بز اِ َّ ِملَّ ًف ِ اح َد تَ ْفت َِس ُ أُ َّم ِ َّفىِبلى ََ َم ْه ٌِ َّ َب: َبلُُْ ا, َمباَوَب َعلَ ْي ًِ ََأَصْ َحببِّ (زَاي التسمرِ ةًف: َ َب.ِ ُ ُُْ َز “Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.”
ُ ُُْ ف اب ِْه َمب ِل ٍك َز ِ ىباُ َع ْىًُ َب َ َب َ َز ٍ َُْ ََالَّ ِرِ وَ ْف ُ ُم َح َّم ٍد ِبيَ ِد ِي ع:صل َّّ ُ َعلَ ْي ًِ ََ َ لَّ َم َ لَتَ ْفت َِس َ َّه اح َد ٍة ِ ََ ِ ْي َل َب َز ُُْ َ اُ َّمتِّ َعلَّ َ َ ٍ ََ َ ْ ِع ْيهَ فِسْ َ ًف,بز ِ فِىبْل َتىّب ِة ََ ِ ْفت: َ َم ْه ٌُ ْم َب.ِ ِ ََّبن ََ َ ْعُُْ نَ فِىبلى ُ ال َت َمب َع.
ِ ع َْه
“Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditanganNya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat.”
ّ ََ ْال َب ُُْ نَ ٌ َْل َ ّ صلىباُ عليً َ لم َ تَ ْفت َِس ُ اُ َّمتِّ عَل َّ َ َ ٍ ََ َ ْ ِع ْيهَ أَ ْا َ َسالىَّ ِ ُّض,اح َدةٌة ِ ََ بايَ ُ ِم ْىٍَب ِ َّ الى,فِسْ َ ًف, ِ اَ ٌْ ُل ال ُّضسىَّ ِ ََ ْال َح َمب َع: َ با َ ُ َب ِ َّ ََ َم ِه الى: ِ ْي َل, َمب: َ ََ َم ْه أَ ٌْ ُل ال ُّضسىَّ ِ ََ ْال َت َمب َع ِ َب:اَوَب َعلَ ْي ًِ ََاَصْ َحب ِبّ ِ ْي َل َّ ال. ِ زَاي ابّ مبا ْال َت َمب َع ُ ْال ُم َُفِقُُْ نَ ِل َت َمب َع.ِ َص َحبب “Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”.