SEJARAH KEBIJAKAN BAHASA DI INDONESIA DARI PRA-KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG DAN NILAI-NILAI PEMBELAJARANNYA Yek Amin Azis (Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram dan Kandidat Doktor di Universitas Negeri Yogyakarta) Abstrak Sebagai alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi, bahasa memainkan peran signifikan dalam segala aspek sosial dan budaya. Bahasa dan budaya merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan karena bahasa merupakan cermin budaya dari penuturnya. Mengingat pentingnya pembahasan tentang bahasa, maka penulis mencoba memberikan ilustrasi dan gambaran mengenai perkembangan kebijakan bahasa di Indonesia dari pra-kemerdekaan sampai sekarang dan nilai-nilai pembelajarannya. Penjelasan-penjelasan mengenai sejarah bahasa di Indonesia, kebijakan bahasa di Indonesia dari zaman prakemerdekaan sampai zaman kemerdekan akan menjadi landasan untuk menganalisa nilai-nilai moral, karakter dan kearipan yang ada di dalamnya. Kata Kunci: Kebijakan Bahasa, Nilai-Nilai Pembelajaran
31
Pendahuluan
Bahasa mempunyai peran signifikan bagi kehidupan manusia. Selain sebagai alat untuk berkomunikasi, bahasa juga merupakan alat pemersatu bagi sebuah negara yang memiliki banyak bahasa seperti Indonesia. Pengertian bahasa menurut Kridalaksana (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010: 1) merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Oleh sebab itu, bahasa disebut juga sabagai cermin budaya dari penuturnya. ”Bahasa dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan ... Bahasa dan kebudayaan kita ... mencerminkan jati diri kita, dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi” (Task Force on Aboriginal Language and Cultures dalam Spolsky dan Hult, 2008: 298). Indonesia, jika ditinjau dari Geopolitik, dengan jumlah pulau yang terbentang dari timur hingga ke barat, akan menghantarkan ke banyak perbedaan, antara lain suku, adat istiadat, agama, ras, dan juga bahasa. Stewart, seperti yang dikutip oleh Anton Moeliono (1985:45) mengungkapkan bahwa, keanekabahasaan dapat berkontribusi pada kestabilan politik negara. Melalui politik dan kebijakan bahasa yang dikembangkan di Indonesia sejak prakemerdekaan, bahasa yang ada diberi kesempatan untuk dipakai secara berdampingan, sehingga akan bisa saling mengisi dalam perubahan bermacammacam fungsi tanpa persaingan. Menengok keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, merupakan sejarah yang panjang, mulai dari pengokohkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober 1928 hingga saat ini. Pada kenyataannya, perkembangan bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing yang kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia. Hal tersebut sudah berlangsung semenjak penjajahan Belanda. Dampak jangka panjang dari kolonialisasi juga memberikan kontribusi dalam perkembangan bahasa Indonesia. Kontribusi bahasa asing bagi bahasa Indonesia tidak semuanya berdampak positif karena tidak semua kosakata bahasa tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Untuk menghindari dampak buruk dari bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, sejak pra-kemerdekaan, para ahli telah membuat kebijakan bahasa dengan mengutamakan nilai-nilai pembelajarannya. Di sisi lain, untuk memperkaya perbendaharaan atau kosakata bahasa indonesia, para ahli bahasa saat itu menganjurkan menyerap dan mengambil bahasa daerah di Indonesia seperti dari bahasa Jawa, Sunda, Kalimantan, Sulawesi,Sumatera, dan bahasa-bahasa daerah lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas, di dalam tulisan ini, akan diuraikan nilai-nilai pembelajaran dari kebijakan bahasa di Indonesia sejak pra-
32
kemerdekaan sampai dengan sekarang. Nilai-nilai pembelajaran difokuskan pada aspek moral, karakter serta kearifan. Apakah didalamnya tertanam nilai-nilai moral, karakter dan kearifan?. Sejarah Bahasa Di Indonesia Menurut Kahin (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 230) Bahasa Indonesia berasal dari sebuah bahasa pidgin yang disebut Bazaar Malay atau Low Malay. Bahasa Melayu mulai digunakan di Indonesia sebagai lingua franca sejak abad ketujuh. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasati yang menggunakan bahasa Melayu. Pada zaman kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa baku agama Budha (I Tsing dalam Eka Winarti, www.academia.edu). Bahasa Melayu berkembang dengan pesat pada abad 16-17, yang dibuktikan dengan bentuk sastra; syair Hamzah Fansuri, hikayat raja-raja Pasai, dan sejarah Melayu. Pada abad ini, bahasa Melayu menjadi bahasa tulis resmi yang digunakan di kerajaan-kerajaan dan agama. Pada saat yang bersamaan, bahasa Melayu merupakan bahasa sehari-hari dan bahasa perdagangan, sehingga bahasa Melayu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari bahasa Eropa yang dibawa oleh pedagang asing (Collins dalam dalam Eka Winarti, www.academia.edu). Pada abad 13, bersamaan dengan kedatangan Islam, bahasa Melayu mengalami perubahan dalam penulisannya dengan huruf Arab yang berkembang menjadi Arab-Melayu (Wahyono, www.badiklat.kemhan.go.id). Di dalam perkembangannya, Chaer dan Agustina (2004: 233) menyatakan bahwa Ch. A. Van Ophuijsen menyusun ejaan resmi bahasa Melayu yang dimuat dalam Kitab Bahasa Melayu, yang saat itu disebut sebagai pembakuan bahasa Indonesia. Ejaan Van Ophuisjen berlaku sampai tahun 1947 dan diganti oleh ejaan Suwandi atau dikenal dengan sistim ejaan Republik Indonesia. Sistern ejaan ini berlaku selama 25 tahun sebelurn diganti oleh pernerintah Orde Baru dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disernpurnakan (EYD) pada bulan Agustus 1972 (Floriberta Aning S., 2005:234). Pada tahun 1908, pemerintah mendirikan badan penerbit buku bacaan yang bernama Commissie Voor De Volkslectuur yang kemudian diubah menjadi Balai Pustaka pada tahun 1917 (Eka Winarti, www.academia.edu). Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928 dalam ikrar Sumpah Pemuda. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatangani Undang-Undang Dasar 1945 yang salah satu pasalnya (pasal 36), menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara.
33
Kebijakan Bahasa (Language Policy) Menurut rumusan seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975, kebijakan bahasa adalah suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional (Chaer dan Agustina, 2004: 177; Aslinda dan Syafyahya, 2010: 113). Hal senada diungkapkan oleh Ferguson (2006: 12 ) bahwa kebijakan bahasa tidak hanya dirumuskan berdasarkan segi ekonomi, sosial, politik, dan ketahanan negara yang membentuk penggunaan bahasa, akan tetapi, kebijakan bahasa merupakan suatu cara yang efektif yang menunjang dinamika sosial. Berdasarkan uraian tersebut, kebijakan bahasa bertujuan untuk menjaga keberlangsungan komunikasi warga negara tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang mengganggu stabilitas negara. Selaras dengan pernyataan tersebut, Spolsky (2009:257) berpendapat bahwa, kebijakan bahasa mendukung pemerintahan nasional dan aktifitas kenegaraan, terutama hal-hal yang berkaitan dengan alat komunikasi yang mengancam ketahanan suatu negara dari segi keberagaman bahasa. Chaer dan Agustina (2004: 177) menambahkan, kebijakan bahasa merupakan suatu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan tentang cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh seluruh warga yang berbeda secara lingual, etnis, dan kultur. Kaplan dan Baldauf (1997:3) Menjelaskan perencanaan bahasa sebagai pangkal ide, serta regulasi (kebijakan bahasa/ language policy), pengubahan aturan, kepercayaan, dan praktik-praktik untuk memperoleh sebuah perubahan terkait rencana bahasa dalam satu atau beberapa komunitas. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perencanaan bahasa adalah membuat keputusan perencanaan dan perubahan yang mungkin demi keuntungan komunikasi masyarakat pengguna bahasa. Merencanakan atau memperbarui komunikasi yang efektif juga bisa membawa kepada perubahan sosial lainnya seperti perpindahan bahasa atau asimilasi, dan memberikan motivasi lain untuk merencanakan struktur, fungsi dan penyerapan bahasa tersebut. Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas dapat diinterpretasikan bahwa, kebijakan bahasa (Language Policy) dan perencanaan bahasa (Language Planning) dipandang sangat perlu untuk dikaji secara explisit dan dilakukan pengembangan-pengembangan dengan tujuan yang lebih tepat. Karena setiap kebijakan bahasa akan berdampak kepada perencanaan bahasa, selanjutnya, dari perencanaan tersebut akan diikuti oleh publik pengguna bahasa yang mengarah kepada perubahan sosial (Social Change). 34
Language Policy
Language Planning
Social Change
Kebijakan Bahasa Di Indonesia Prakemerdekaan 1) Zaman penjajahan Belanda. Salah satu Negara yang memiliki sejarah yang panjang dengan Indonesia adalah Belanda. Negara ini menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad. Orang-orang Belanda datang ke Nusantara kira-kira satu abad setelah bangsa Portugis, dengan tujuan untuk mendirikan monopoli rempah-rempah. Bisnis rempah-rempah di abad ke-16 dan 17 kira-kira seperti industri petroleum (minyak bumi) sekarang ini. Keuntungannya sangat besar. Pada 1602, Vereenigde Oostindische Compagnie yang lebih dikenal sebagai VOC didirikan di Belanda. VOC ini semacam joint-venture dari saudagar-saudagar besar Belanda yang ditujukan sebagai alat untuk mencari rempah-rempah. Dan, pada 1619 mereka mendirikan markas besar di Batavia, tepatnya di daerah yang sekarang dikenal sebagai Kebon Jeruk. Jakarta Barat.( http://m.kompasiana.com//Warisan Belanda dalam Bahasa Indonesia.htm). Akan tetapi, karena mismanajemen, besarnya korupsi, bubble harga rempah-rempah, serta besarnya pengeluaran militer yang digunakan untuk konflik dengan penduduk asli akhirnya kebangkrutan VOC tidak terelakkan. Pada tahun baru 1800, Raja Belanda Lodewijk I mendandatangani pembubaran VOC dan pengambilalihan seluruh teritori dan asetnya oleh Kerajaan Belanda. Penandatanganan perjanjian inilah yang menjadi awal kolonialisasi Belanda di Indonesia.( http://m.kompasiana.com//Warisan Belanda dalam Bahasa Indonesia.htm). Pada saat itu berbagai macam kebijakan dibuat oleh Belanda, dan salah satunya adalah Kebijakan Bahasa. Bahasa Belanda berfungsi bukan sebagai bahasa sehari-hari yang umum, melainkan sebagai penentu kelas social, sebagai bahasa administrasi dan sebagai bahasa pengantar dalam beberapa institusi pendidikan/sekolah-sekolah buatan Belanda. Pada masa itu, pemerintah Belanda hanya memberikan kesempatan bagi warga pribumi dengan strata sosial tinggi untuk mengenyam pendidikan/sekolah seperti keluarga bupati dan bangsawan lokal Jawa. Dari sekolah-sekolah Belanda inilah awal lahirnya para aktivis-aktisis pribumi yang berjasa menumpas penjajah Belanda seperti Soekarno, Soetomo, M.Hatta, Wahidi soedirohoesodo, dll. 35
Soetomo merupakan salah satu golongan terpelajar yang sangat berjasa bagi Indonesia, beliau lahir di Nganjuk Jawa Timur pada 1888 dengan nama asli Soebroto. Soetomo adalah orang pertama yang mengubah metode perlawanan Indonesia yang pada masa itu melalui medan perang menjadi gerakan lebih modern. Yaitu, melalui pembentukan organisasi Boedi Oetomo yang membangkitkan semangat rakyat untuk merdeka (Floriberta Aning S.,2005: 216). Peran Boedi Oetomo sangat besar untuk menumbuhkan organisasi-organisasi serupa yang semangatnya justru lebih progresif. Organisasi ini menjadi perkumpulan pertama yang disusun secara modern untuk menuju Indonesia merdeka. Setelah dinamika politik pergerakan pada dekade 1910-an dan 1920an, tercetuslah Sumpah Pemuda 1928...( Floriberta Aning S.2005: 217). 2) Zaman penjajahan Jepang (1942-1945) Jepang adalah salah satu negara yang pernah menjajah Negara Indonesia. Walaupun tergolong singkat (1942-1945) penjajah jepang memberikan dampak yang sangat besar bagi Negara Republik Indonesia, seperti bidang politik, ekonomi, budaya, militer, birokrasi, kebudayaan dan penggunaan bahasa. Masa pendudukan Jepang di Indonesia adalah masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan Indonesia. Umumnya beranggapan bahwa masa pendudukan Jepang adalah masa paling kelam dan penuh penderitaan. Akan tetapi tidak semuanya itu benar, ada beberapa kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang memberikan dampak positif, salah satunya adalah dalam bidang pendidikan dan penggunaan bahasa Indonesia (http://belajar.kemdiknas.go.id/index.php?display= Bahan%20Belajar/Modul Online/SMP/view&id=116&uniq= 1108. Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang dalam bidang pendidikan adalah menghilangkan diskriminasi/perbedaan siapa yang boleh mengenyam/merasakan pendidikan. Pada masa Belanda, yang dapat merasakan pendidikan formal untuk rakyat pribumi hanya kalangan menengah ke atas, sementara rakyat kecil (wong cilik) tidak memiliki kesempatan. Selanjutnya, aspek kebahasaan di Indonesia pada masa penjajahan Jepang, Wright (2004: 84-85) menjelaskan bahwa bahasa Jepang menggantikan bahasa Belanda sebagai media/komunikasi utama semenjak tahun 1942 sampai dengan 1945. Selaras dengan penjelasan Wright (2004: 84-85), Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (2008: 60) menyatakan bahwa Pemerintah penjajah jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dalam semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia, salah satunya adalah larangan dipakainya buku-buku atau referensi yang menggunakan bahasa Belanda. Jepang memasukkan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran. Agar rakyat indonesia dapat dengan cepat menguasai bahasa Jepang, diadakan lomba 36
penggunaan bahasa Jepang. Lomba penggunaan bahasa Jepang yaitu dengan lomba membuat karangan, becakap-cakap, membaca dan menyanyi dalam bahasa Jepang. Selain itu Jepang juga membentuk sekolah dan kursus kilat pelajaran bahasa Jepang yakni Nippongo Gakko atau dalam bahasa Indonesia diartiakan Sekolah Bahasa Nippon. Selain itu pihak swasta menyelenggarakan kursus bahasa Jepang dengan masa pendidikan selama empat bulan yang dikelola oleh Toa Bumka Kai yaitu Asosiasi Kebudayaan Asia Timur. Badan ini bekerja dalam bidang kebudayaan. http://budisma.web.id/materi/sma/sejarahkelas-xi/dampak-pendudukan-jepang-di-indonesia. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (2008: 49) menambahkan bahwa, usaha lain yang dilakukan Jepang dalam pendidikan di Indonesia adalah memperhatikan penyempurnakan bahasa Indonesia yang tidak berkembang pada masa pemerintahan Belanda. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian rakyat Indonesia. Untuk penyempurnaan bahasa Indonesia ini, Jepang membentuk Indonesia Goseibi Iinkai yaitu komisi untuk penyempurnakan bahasa Indonesia. Komisi ini bertempat di gedung perpustakaan Islam di Tanah Abang Bukut, Jakarta. Komisi ini memiliki pimpinan harian yaitu Ichiki, Mr Rd. Soewandi dan St. Takdir Alisyahbana. Dari saat itu, bahasa Indonesia mengalami perkembangan pesat dan berhasil mengkodifikasi 7.000 istilah bahasa Indonesia modern saat itu (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2008: 50) Kebijakan Bahasa Di Indonesia Pascakemerdekaan 1) Kongres Bahasa Indonesia Setelah Bahasa Indonesia resmi diakui sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928, pemerintah menggelar Kongres Bahasa Indonesia untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan yang berkaitan tentang perkembangan, kebijakan, penggunaan dan pengajaran bahasa di Indonesia dalam aspek social, ekonomi, politik budaya, agama, dll. “Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan lima tahun sekali ini adalah forum pertemuan pakar bahasa/sastra, budayawan, tokoh, pejabat negara, guru/dosen, mahasiswa, dan pencinta bahasa Indonesia. Walaupun sempat vacum pada masa transisi penjajahan Belanda ke Jepang, akhirnya kongres ini dilanjutkan kembali pada tahun 1954 (pasca-kemerdekaan) di kota Solo. Berikut merupakan merupakan putusan-putusan penting perihal Kebahasaan di Indonesia berdasarkan Kongres Bahasa Indonesia ( I-VIII): a) Kongres Bahasa Indonesia I (pra-kemerdekaan) Kongres Bahasa Indonesia I berlangsung di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 25-27 Juni 1938. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa:
37
Bahasa Indonesia menyerap bahasa asing dalam bidang ilmu pengetahuan. Bahasa Indonesia diperbaharui berdasarkan pada cara berpikir yang baru. Gramatika Bahasa Indonesia disusun kembali menurut gramatika yang baru menurut wujud Bahasa Indonesia. Ejaan baru Bahasa Indonesia tidak perlu diadakan. Bahasa Indonesia tetap menggunakan ejaan Van Ophuysen dengan alasan kehematan dan kesederhanaan. Penggunaan Bahasa Indonesia diperbaiki dalam segi persuratkabaran. Ejaan internasional diajarkan dalam pendidikan tingkat menengah. Pemerintah memberikan penghargaan dalam hal usaha menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sah dalam Undang-Undang. Perencanaan pendirian Institut Bahasa Indonesia. Pendirian Perguruan Tinggi Kesusastraan guna mendukung kemajuan masyarakat, penyelidikan bahasa dan kesusastraan, dan kemajuan budaya Indonesia. b) Kongres Bahasa Indonesia II Kongres Bahasa Indonesia II berlangsung di Medan, 28 Oktober─2 November 1954. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: Pembentukan badan yang kompeten untuk menyempurnakan Bahasa Indonesia dalam hal ejaan. Pemakaian istilah ilmiah internasional dan istilah dari bahasa daerah yang serumpun. Pembuatan film di Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia, termasuk dalam pers dan radio. c) Kongres Bahasa Indonesia III Kongres Bahasa Indonesia III berlangsung di Jakarta, 28 Oktober─3 November 1978. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: membina dan mengembangkan Bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan Kebijaksanaan, Kebudayaan, Keagamaan, Sosial, Politik, dan Ketahanan Nasional; bidang Pendidikan; Bidang Komunikasi; Bidang Kesenian; Bidang Linguistik; serta Bidang Ilmu dan Teknologi d) Kongres Bahasa Indonesia IV Kongres Bahasa Indonesia IV berlangsung di Jakarta, 21─26 November 1983. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: menyimpulkan
38
dan menindaklanjuti usulan yang berhubungan dengan masalah-masalah dalam bidang bahasa, pengajaran bahasa, dan pembinaan bahasa dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan nasional, yaitu: sarana komunikasi pemerintahan dan kemasyarakatan; sarana pengembangan kebudayaan; sarana pendidikan dan pengajaran, termasuk wajib belajar; serta sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. e) Kongres Bahasa Indonesia V Kongres Bahasa Indonesia V berlangsung di Jakarta, 28 Oktober─3 November 1988. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: penelitian bahasa Indonesia perlu digalakkan sehingga pengembangan bahasa nasional akan terus berlandaskan temuan penelitian yang terarah dan terpadu dalam segi bahasa, sastra, pengajaran bahasa, dan pengajaran sastra. f) Kongres Bahasa Indonesia VI Kongres Bahasa Indonesia VI berlangsung di Jakarta, 28 Oktober─2 November 1993. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: Pengaturan kebijaksanaan bahasa nasional yang mencakup batasan dan ketentuan, perencanaan, dan perumusan Bahasa Indonesia. Memantapkan Peran Bahasa dan Sastra dalamPembangunan Bangsa, Pengembangan Bahasa dan Sastra, Pembinaan bahasa dan sastra, Tujuan pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, dan Perkembangan Bahasa Indonesia di Luar Negeri. g) Kongres Bahasa Indonesia VII Kongres Bahasa Indonesia VII berlangsung di Jakarta, 26─30 Oktober 1998. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: Memperkukuh Kedudukan Bahasa dalam Era Globalisasi. Meningkatkan Mutu Bahasa sebagai Sarana Komunikasi. Meningkatkan Apresiasi dan Daya Cipta Sastra h) Kongres Bahasa Indonesia VIII Kongres Bahasa Indonesia VIII berlangsung di Jakarta, 14—17 Oktober 2003. Dalam kongres ini disimpulkan bahwa: Memantapkan peran Bahasa Indonesia pada era globlalisasi, dan memberikan tempat dan perhatian terhadap bahasa daerah. Meningkatkan pemanfaatan karya sastra dalam kualitas hidup. Melaksanakan dan menindaklanjuti putusan KBI VII tahun 2003.
39
2) Undang-Undar Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang merupakan landasan Negara Republik Indonesia mengatur tentang kebahasaan yakni tertera pada bab XV, Pasal 36 yang berbunyi “Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. 3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal. Peraturan yang membahas tentang bahasa Indonesia terdapat pada bab VII pasal 33 yang berisi sebagai berikut: (1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, (2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu, dan (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. 4) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 UU RI NO 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara , serta Lagu kebangsaan. Adapun pertimbangan filosofis lahirnya UU ini (UU RI NO 24 Tahun 2009-1) adalah: (a) Bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) bahwa pengaturan tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia belum diatur di dalam bentuk undangundang; dan (d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
40
Nilai-Nilai Pembelajaran Bahasa Di Indonesia Pembelajaran Bahasa di Indonesia memberikan peluang yang besar sebagai upaya penanaman nilai-nilai keluhuran bangsa Indonesia. Penanaman nilai-nilai keluhuran bangsa merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika (Darmiyati Zuchdi, 2011: xv). Berikut adalah paparan nilainilai yang terkandung dalam pembelajaran bahasa di Indonesia. Nilai Moral Pembelajaran Bahasa di Indonesia Moral bangsa Indonesia tergambar jelas dari segi budaya dan dinyatakan jelas dalam landasan bangsa. Nilai moral dalam Pembelajaran Bahasa di Indonesia menyangkut etika, akhlak, dan spiritual. Etika merupakan cabang filsafat tentang bagaimana seseorang bertindak dan membuat keputusan sebagai right or wrong (Noeng Muhadjir, 2011:52). Nilai Moral Pembelajaran Bahasa Daerah Ketika kita kehilangan sebuah bahasa, maka kita juga kehilangan kebudayaan, kekayaan intelektual dan kesenian (The Economist, dalam Spolsky dan Hult, 2008: 298). Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang luas serta keanekaragaman budaya dan bahasa. Oleh sebab itu, dalam setiap kebijakan bahasa pasca-kemerdekaan, bahasa daerah selalu diberikan peran untuk dikembangkan dan diperkenalkan kepada pihak asing. Karena perbedaan masyarakat Indonesia yang komplek merupakan kekayaan dan kebanggaan negara Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Bahasa daerah jarang sekali disinggung, dan kedua negara tersebut tidak melarang bahasa daerah digunakan dalam aspek komunikasi. Ini sangat menguntungkan negara Indonesia karena nilai-nilai moral yang merupakan refleksi dari setiap kearifan lokal selalu terjaga pada masa itu. 1) Nilai Moral Pembelajaran Bahasa Indonesia Dalam setiap putusan Kongres Bahasa Indonesia menjaga keabsahan Bahasa Indonesia dengan menyerap bahasa asing untuk memperkaya perbendaharaan kosakata bahasa tanpa mengklaim kata-kata tersebut berasal dari bahasa Indonesia. Dari segi keagamaan, yang membangun akhlak dan spiritual bangsa, Bahasa Indonesia memberikan kesempatan untuk memberikan istilah-istilah religi kedalam kosakata Bahasa Indonesia. Hal ini telah berjalan semenjak penjajahan Belanda dan Jepang, bahkan sebelum Bahasa Indonesia disahkan menjadi bahasa nasional. 41
2) Nilai Moral Pembelajaran Bahasa Asing Saat ini, bahasa Inggris menjadi bahasa komunikasi masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia meskipun bukan bahasa sehari-hari. Seluruh sekolah di Indonesia memberikan pembelajaran bahasa Inggris kepada setiap siswanya agar menjadi bekal dalam kehidupan mendatang. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi telah membentuk masyarakat Indonesia semakin cerdas. Dengan maraknya buku bahasa asing yang diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, sejak penjajahan Belanda dan Jepang telah menghasilkan para ahli-ahli yang berkompeten di bidangnya. Sedangkan, menyangkut pembelajaran moral, dengan mempelajari buku-buku tentang hukum, agama, politik, etika dll, telah membentuk masyarakat indonesia semakin kritis dan konstruktif dalam menanggapi setiap phenomena sosial. Nilai Karakter Pembelajaran Bahasa di Indonesia Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (Intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (Spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Karakter bangsa Indonesia yang tercermin dalam kearifan budaya lokal terwadahi oleh Bahasa Indonesia. Karakter suatu bangsa sangat penting untuk kelangsungan hidup dan kehidupan bangsa tersebut (Suyata, 2011: 12). Komunikasi yang santun di detiap forum mengisyaratkan kesantunan dan moralitas bangsa yang berkarakter. Sebelum maraknya pendidikan karakter di Indonesia, perjalanan pembangunan karakter bangsa telah berjalan dengan upaya pemantapan dan pengembangan sastra yang merupakan ide pada setiap Kongres Bahasa Indonesia. 1) Nilai Karakter Pembelajaran Bahasa Daerah Bahasa daerah sebagai salah satu wujud budaya dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian pendidikan karakter pada anak. Bahasa daerah pada masyarakat mengandung ajaran tentang prilaku luhur yang membangun karakter. Proses tersebut berlangsung bersamaan dengan komunikasi dalam masyarakat. Karakter yang terdapat dalam Bahasa daerah antara lain: bertanggung jawab, solidaritas, berani, sportif, mandiri, berdaya juang, kasih sayang, penghargaan terhadap alam semesta dan reiligius. Pada masa penjajahan jepang dan belanda, budaya daerah sama sekali tidak tersentuh dan ini merupakan sebuah keuntungan bagi Negara Indonesia. Sehingga, keaslian budaya masih terjaga. 42
Pasca-kemerdekaan, undang-undang menyangkut budaya dan bahasa daerah menjadi perhatian besar bagi pemangku kebijakan untuk menjaga eksistensi bahasa daerah yang merupakan sumber dari karakter bangsa. 2) Nilai Karakter Pembelajaran Bahasa Indonesia Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa persatuan, bahasa negara, dan bahasa ilmu, Bahasa Indonesia merupakan wahana yang tepat untuk pendidikan karakter. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia, dapat dikembangkan kompetensi berbahasa dan kebiasaan berpikir praktis, sabar, jujur, bertanggung jawab, mandiri, bekerja sama secara sinergis, dan saling menghormati (Darmiyati Zuchdi, 2011: 240). Pembangunan karakter bangsa Indonesia melalui Bahasa Indonesia yang menyangkut bahasa media telah ditetapkan sejak Kongres Bahasa Indonesia II. Hal tersebut berkontribusi membangun karakter masyarakat yang cerdas dan tetap berpegang pada etika ketimuran yang mengutamakan kesantunan. Di sisi lain, pada masa penjajahan Belanda berdirinya sebuah lembaga sastra yang diprakarsai oleh Sutan Takdir Alisyahbana memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pembentukan karakter bangsa. Begitu juga pada masa penjajahan Jepang, lembaga ini terus eksis tanpa halangan apapun. Setalah Indonesia merdeka, kajian satra dan pengembangan karya satra terus berkembang, lahirnya tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar dll, merupakan bukti sejarah yang sangat membanggakan. Pada saat ini, perkembangan sastra sungguh sangat fenomelal, hal tersebut dapat dilihat dalam pembelajaran sastra yang mulai diberikan pada pendidikan dasar. Walaupun karya sastra berpijak pada kearifan local, akan tetapi pengemasan ke dalam Bahasa Indonesia dapat menjaga kebhinekaan di Indonesia. 3) Nilai Karakter Pembelajaran Bahasa Asing Pada masa penjajahan Belanda, kita harus sadar bahwa hegemoni dan superioritasnya ditunjukan dengan penggunaan bahasa belanda. Banyaknya sumber Belanda yang mendampingi bahasa Indonesia saat itu lebih berperan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kekurangan sumber yang menggunakan bahasa Indonesia menjadi penyebab terombang-ambingnya karakter bangsa. Setelah Belanda hengkang dan digantikan oleh Jepang. Masyarakat Indonesia sempat kebingungan karena pemerintah jepang melalui kebijakannya melarang pengguanaan bahasa Belanda dalam semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, untuk menarik simpati warga Indonesia,pemerintah jepang melakukan usaha memperhatikan penyempurnakan bahasa Indonesia yang tidak berkembang pada masa pemerintahan Belanda, dan ini merupakan keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Sehingga pada masa itu, sumber-sumber asing banyak diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. 43
Pada masa prakemerdekaan, pemerintah menyaring dan hati-hati dalam mengadopsi atau mengadaptasi bahasa asing, akan tetapi bukan berarti pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada bahasa asing untuk di pelajari di Indonesia. Menyangkut hal karakter, karya-karya sastra asing diperbolehkan untuk dipelajari dengan syarat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa daerah. Adapun maksud dari penjelasan di atas adalah nilai-nilai karakter yang ada dalam karya sastra asing lebih gampang untuk dipelajari dan difahami oleh warga negara Indonesia sebagai kekayaan wawasan dan intelektul. Nilai Kearifan Pembelajaran Bahasa di Indonesia Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Pada tahun 60-an komite Amerika mengenai bahasa dan budaya mengungkapkan hubungan antara bahasa dan budaya. Hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Bahasa adalah bagian dari budaya, dan harus didekati dengan sikap yang sama membimbing pendekatan kita kepada budaya sebagai statu keseluruhan. 2) Bahasa adalah wahana budaya, maka oleh karenanya guru bahasa juga harus sekaligus guru budaya. 3) Bahasa itu sendiri merupakan subjek bagi sikap dan kepercayaan terkondisi secara kultural, yang tidak dapat diabaikan di dalam kelas bahasa (Bishop dalam Asep Muhyadin, 2012). 1) Nilai Kearifan Pembelajaran Bahasa Daerah Sapir dalam Wardhaugh (2000: 216) mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, melainkan juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, sehingga mempengaruhi tingkah lakunya. Dengan kata lain, suatu daerah yang berbeda bahasanya dari daerah lain akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia bersumber pada perbedaan bahasa. Nababan dalam Chaer dan Agustina (24: 164) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara dan dilestarikan. Dengan kata lain, kebudayaan adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, 44
termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan, dan tradisi yang biasa dilakukan, termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya. 2) Nilai Kearifan Pembelajaran Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia melakukan pemantapan dalam bidang sastra sebagi bagian dari peningkatan pendidikan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal tersebut selalu menjadi salah satu focus diskusi pada setiap Kongres Bahasa Indonesia. Bahkan pada masa penjajahan Belanda dan jepang telah berdiri dan berkembang beberapa angkatan kesusastraan yang menjiwai perkembangan Bahasa Indonesia. 3) Nilai Kearifan Pembelajaran Bahasa Asing Pembelajaran bahasa asing dipandang sangat menguntungkan bagi Indonesia dalam hal teknologi dan hubungan internasional. Selanjutnya, nilai positif yang lain dalam mempelajari bahasa asing adalah sebagai kekayaan intelektual masyarakat indonesia. Ketika mereka mempelajari bahasa asing (Belanda, Jepang, Inggris dll), mereka akan faham tentang perbedaan budaya antar bangsa. Kesimpulan Mengingat pentingnya keberadaan suatu bahasa di suatu negara, baik sebagai alat komunikasi maupun pemersatu, pemerintah wajib memikirkan kebijakan bahasa yang dapat memayungi seluruh perbedaan bahasa tanpa memberikan celah terjadinya konflik dalam masyarakat. Kebijakan Bahasa di Indonesia yang tersusun dalam UUD RI tahun 1945, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI NO 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara , serta Lagu kebangsaan dan hasil/putusan dari Kongres Bahasa Indonesia memberikan pengaruh positif yang besar dalam setiap aspek kebangsaan, yaitu sosial, budaya, ekonomi, ketahanan negara, politik, dan pendidikan. Menengok dari sejarah dan perkembangan, kebijakan bahasa di Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang di dalamnya seperti nilai moral, etika, akhlak, karakter, dan kearifan. Daftar Pustaka Anton Moeliono, 1985. Pengembangan dan pembinaan bahasa: Ancangan alternatif di dalam perencanaan bahasa.Jakarta: Djambatan Asep Muhyadin. 2012. Pemertahanan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Pemelajaran Sastra di Sekolah. Diunduh dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/306. Pada 3 Oktober 2013; 17.19. 45
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika Aditama. Chaer, A. dan Agustina, L.. 2004. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Darmiyati Zuchdi. 2011. Pendidikan Karakter: Dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press. Eka Winarti. 2012. Sejarah Bahasa Indonesia. Diunduh dari http://www.academia.edu/3810341/sejarah_BAHASA_INDONESIA. Pada Rabu, 2 oktober 2013:09.08 Ferguson, G, 2006. Language planning and education. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd 22 George Square. Floriberta Aning S.2005: 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20.Yogyakarta: Penerbit Narasi. Kaplan B., R, and Baldauf, J, 1997. Language Planning from Practice to Theory. Clevedon: Multilingual Matters ltd. Kongres Bahasa Indonesia. Di unduh dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/kongres_bahasa_in donesia. pada 1 oktober 2013, jam 23.55. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Noeng Muhadjir. 2011. Etika Ilmiah. Dalam Pendidikan Karakter: Dalam Perspektif Teori dan Praktik. Darmiyati Zuchdi (Eds). Yogyakarta: UNY Press. Spolsky, B. 2009. Language management: New York, Cambridges University Press Spolsky, B. 2004. Language policy: New York, Cambridges University Press Suyata. 2011. Pendidikan Karakter: Dimensi Filosofis. Dalam Pendidikan Karakter: Dalam Perspektif Teori dan Praktik. Darmiyati Zuchdi (Eds). Yogyakarta: UNY Press. Wahyono. 2012. Sejarah Singkat Ejaan Bahasa Indonesia. Diunduh dari http://www.badiklat.kemhan.go.id/index.php/berita-pusbahasa/590sejarah-singkat-ejaan-bahasa-indonesia. Pada Rabu, 2 oktober 2013:09.08 Wardhaugh, R. 2000. An Introduction to Sociolinguistics. Massachusetts: Blackwell Publishers. W. Tjiasmanto. 2013. Warisan Belanda dalam Bahasa Indonesia. Diunduh dari http://m.kompasiana.com//Warisan Belanda dalam Bahasa Indonesia.htm. pada rabu 2 oktober 2013:09.08.
46
http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-xi/dampak-pendudukanjepang-di-indonesia (di unduh tanggal 1desember 2013-jam 20.35) (http://belajar.kemdiknas.go.id/index.php?display=Bahan%20Belajar/ModulOnli ne/SMP/view&id=116&uniq= 1108.( Di unduh tanggal 29-november 2013 jam 2.50)
47