SINONIM BAHASA INDONESIA DAN PEMBELAJARANNYA1 Sri Muryati2 Abstrak Dalam bahasa (Indonesia) ditemukan adanya hubungan kemaknaan antara satu kata dengan kata yang lain. Sinonim berkaitan dengan kesamaan, kemiripan, atau makna yang kurang lebih sama. Sinonim muncul akibat ketumpangtindihan makna kata untuk tujuan praktis demi mempercepat pemahaman kata. Pemahaman sinonim akan memudahkan pemahaan konsep tentang kata/istilah. Faktor-faktor yang mendorong munculnya sinonim adalah (1) proses serapan istilah, (2) tempat tinggal yang berbeda, dan (3) munculya makna emotif/evaluatif kata. Untuk kepentingan penggunaan bahasa ragam baku, kata yang bersinonim perlu diseleksi dengan azas yaitu istilah yang diutamakan, istiah yang diizinkan, dan istilah yang dijauhkan. Kata-kata kunci: sinonim, kesinoniman, dan kemunculan sinonim.
PENDAHULUAN Objek kajian semantik ialah makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dengan demikian terdapat makna kata, makna frasa, makna klausa, dan makna kalimat. Misalnya kata paham dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan (1) mengerti benar, (2) aliran, (3) pandai dan mengerti benar, (4) pengertian, (5) pendapat (Ali, 1994:714). Pemakai bahasa Indonesia harus memahami makna kata mengerti, pandai, pendapat, aliran untuk mengerti makna kata paham. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan makna sulit dan ruwet karena terkait dan terikat secara erat dengan segala segi kehidupan manusia yang sangat kompleks dan luas. Di samping itu, pemahaman makna juga berkaitan dengan pemahaman seseorang terhadap konsep lain yang dapat memperjelas makna satuan ujaran dimaksud. Lehrer (Djajasudarma, 1999:3) mengemukakan bahwa semantik meru-
pakan bidang yang sangat luas, karena ke dalamnya melibatkan unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat, antropologi, dan sosiologi. Antropologi berkepentingan di bidang semantik antara lain karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Filsafat berhubungan dengan semantik karena persoalan makna tertentu yang dapat dijelaskan secara filosofis (misalnya makna ungkapan dan peribahasa). Psikologi berhubungan dengan semantik karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal atau nonverbal. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu dapat menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. Semantik mencakupi segi struktur, fungsi bahasa, dan segi interdisipliner bidang ilmu. Makna sebagai objek seman-
1
Artikel non-pnelitian Dosen Progdi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, Email:
[email protected]
2
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
1
tik dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa fonologi, morfologi, dan sintaksis. Makna dapat pula diteliti melalui fungsi yaitu fungsi hubungan antarunsur. Dengan demikian, dikenal makna leksikal dan makna gramatikal. Semantik leksikal mempelajari leksikon dan semantik gramatikal mempelajari makna dalam morfologi dan sintaksis (kecuali fungsi sintaktis). Setiap leksem atau unsur leksikal memiliki makna atau arti tertentu. Bila makna tersebut diuraikan untuk setiap kata (dalam bahasa tertentu) hal itu merupakan tugas ahli leksikografi dan leksikologi. Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa. Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks. Kata-kata tersebut memiliki makna dan dapat dibaca pada kamus. Makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intrabahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sejalan dengan pemahaman makna (bahasa Inggris sense,makna) dibedakan dari arti (bahasa Inggris meaning, arti). Makna merupakan pertautan yang ada antara satuan bahasa, dapat dihubungkan dengan makna gramatikal, sedangkan arti ialah pengertian satuan kata sebagai unsur yang dihubungkan . Makna leksikal dapat berubah ke dalam makna gramatikal secara operasional. Sebagai contoh dapat dipahami makna leksikal kata belenggu ialah (1) alat pengikat kaki atau tangan, borgol, atau (2) sesuatu yang mengikat (sehingga tidak bebas lagi). Dalam kalimat Mereka terlepas dari “belenggu” penjajahan. Kata belenggu dalam kalimat tersebut bermakna gramatikal. Ferdinand de Saussure (Verhaar, 1982:127-128) menjelaskan tanda lingu-
istik (signe linguistics) yang terdiri atas dua unsur yaitu “yang diartikan” (signifie), dan “yang mengartikan” (signifian). Yang diartikan disebut makna, sedang yang mengartikan ialah deretan bunyi yang merupakan bentuk fonemis/fonetis kata yang bersangkutan. RELASI MAKNA DALAM BAHASA INDONESIA Dalam bahasa Indonesia dan juga bahasa lain ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa dan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kelainan makna (homonim), ketercakupan makna (hiponim), dan kegandaan makna (polisemi). Dalam tulisan ini lebih difokuskan pembahasannya pada aspek sinonim dengan menyinggung beberapa hal yang berkait erat tentang polisemi, dan hiponim karena keterbatasan kemampuan penulis. SINONIM BAHASA INDONESIA Istilah sinonimi atau kesinoniman berasal dari kata Yunani Kuno onoma, nama dan syn, dengan. Jadi arti harfiahnya nama lain untuk benda yang sama. Sinonim ialah ungkapan (berupa kata, frasa, atau kalimat) yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan yang lain (Verhaar, 1982:132). Menurut Edi Subroto (1993:1) sinonim atau kesinoniman ialah: (1) dua kata atau lebih yang mempunyai arti leksikal yang lebih kurang sama, atau (2) keadaan dengan dua kata atau lebih yang mempunyai arti yang sama. Misalnya kata baik bersinonim dengan bagus bersinonim dengan indah. Kata-kata yang bersinonim itu memperlihatkan valensi semantik, yaitu relasi semantik yang menunjukkan kesamaan arti (the same-
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
2
ness of meaning), sifat relasinya dua arah atau berbalikan. Sumber lain meyatakan bahwa sinonimi adalah suatu istilah tentang (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, atau (2) keadaan dengan terdapat dua kata atau lebih yang memiliki makna yang sama (Keraf, 2009:34). Hal yang dapat disimpulkan dari pengertian tersebut yaitu bahwa sinonim atau kesinoniman berkaitan dengan kesamaan atau kemiripan makna dua bentuk bahasa yang berbeda. Dalam definisi tersebut bahwa dua kata atau lebih yang bersinonim memiliki arti yang kurang lebih sama karena tidak ada dua kata yang sama persis maknanya. Misalnya kata mati bersinonim dengan kata meninggal, bersinonim dengan mampus. Kata mati untuk binatang dan tumbuhtumbuhan, kata meninggal untuk manusia dan bersifat netral, sedangkan kata mampus untuk penjahat. Kesamaan makna dapat ditentukan dengan tiga cara (Djajasudarma, 1999:36-37) yaitu: (1) substitusi (penyulihan). Penyulihan atau substitusi dilakukan jika kata dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang lain dan makna konteks tidak berubah. (2) pertentangan. Sebuah kata dapat dipertentangkan dengan sejumlah kata yang lain. Pertentangan itu dapat menghasilkan sinonim. Misalnya kata berat bertentangan dengan kata enteng, ringan. Maka kata ringan dan enteng bersinonim. (3) penentuan konotasi. Jika terdapat perangkat kata yang memiliki makna kognitif sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kata-kata itu tergolong sinonim. Misalnya kamar kecil, kakus, jamban mengacu ke acuan yang sama, tetapi konotasinya berbeda. Munculnya sinonimi merupakan akibat ketumpangtindihan makna antara kata yang satu dengtan kata yang lain. Di samping itu, sinonimi diterima pemakai
bahasa untuk tujuan praktis untuk mempercepat pemahaman makna sebuah kata baru dengan mengaitkannya dengan kata lama yang sudah dikenal. Dengan demikian, proses perluasan kosa kata seseorang akan berjalan lancar. Dari hal ini kemudian muncul kamus sinonim, thesaurus, definisi yang menggunakan sinonim. Pemahaman sinonim, dalam hal ini akan memudahkan seseorang dalam memahami konsep. Berdasarkan tingkat kesinoniman, yaitu adanya kata-kata yang benar-benar bersinonim dan ada yang tidak, kesinoniman kata dapat diukur dari dua criteria: (1) kedua kata itu dapat saling bertukar dalam semua konteks dan disebut sinonimi total; (2) kedua kata itu memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama yang disebut sinonim komplet (Keraf, 2009: 34-35). Dengan kedua kriteria itu dapat diperoleh empat macam sinonim yaitu (1) sinonim yang total dan komplet, yang dalam kenyataan jarang ada bahkan tidak ada, (2) sinonim yang tidak total tetapi komplet, (3) sinonim yang total tetapi tidak komplet, dan (4) sinonim yang tidak total dan tidak komplet. Pembedaan sinonimi yang lain adalah berdasarkan kolokasinya. Kata belia bersinonim dengan kata muda, taruna, remaja dan muda, tetapi kata yang boleh diikutinya dan didahluinya tidak sama. Kita dapat mengatakan: ia masih muda, ia masih muda belia, tetapi tidak dapat dikatakan ia masih remaja belia. Dilihat dari keanggotaan kategorial, sinonimi dapat terdiri atas berbagaibagai lingkup kelas kata: 1. Lingkup nomina: rumah, istana, wisma, gubug, tempat tinggal; lakilaki, jantan, pria; wanita, perempuan, betina
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
3
2. Lingkup verba: datang, tiba, hadir; berpakaian, berbusana; berhias, berdandan. 3. Lingkup adjektiva: kuat, kokoh, teguh, tegar; pandai, pintar, cerdas, cendekia. 4. Lingkup pronominal: kau, kamu, anda, saudara; aku, saya, hamba, beta, gue. 5. Lingkup numeralia: satu, eka, tunggal, esa; dua, dwi, bi; tiga, tri. 6. Lingkup adverbial: sekarang, kini; lekas, cepat, segera; nanti, kelak. 7. Lingkup konjungsi: jika, kalau, jikalau. manakala; mungkin, barangkali 8. Preposisi: di, pada, kepada, terhadap; tentang, mengenai, ihwal, perihal. Sinonim yang terdapat dalam suatu bahasa bermacam-macam atau bertipetipe yang disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda (Subroto, 1993:6-8). Faktor-faktor itu dipaparkan di bawah ini. Pertama, kata-kata yang bersinonim termasuk dialek yang berbeda-beda atau sinonim itu terdapat karena katakata yang berasal dari dialek yang berbeda, yang mengacu pada hal yang sama dan sama-sama dipakai dalam sebuah bahasa tertentu. Misalnya kata bodin (Wonosobo), bersinonim dengan kata pohung (Sala), juga bersinonim dengan kata sepe (Wonogiri) yang artinya ketela pohon dalam bahasa Jawa. Kedua, sinonim itu terjadi/terdapat karena adanya kata-kata serapan dari bahasa asing sebagai akibat adanya kontak bahasa. Misalnya dalam bahasa Indonesia sudah terdapat kata hasil tetapi masih diambil dari bahasa lain kata produksi, prestasi. Hal ini didorong oleh keinginan untuk membahasakan sesuatu secara cermat. Contoh yang lain, iklan, reklame, advertensi; risalah, karangan paper, makalah; buku, kitab, pustaka
Ketiga, kata bersinonimi yang perbedaan di antara anggota-anggotanya disebabkan oleh perbedaan gaya atau laras. Misalnya kata mati, meninggal, wafat, mampus, gugur. Keempat, kata-kata yang bersinonim yang perbedaan di antaranya ditentukan oleh terdapat kadar afektif (di samping arti konsepnya) pada salah satu dari kata-kata yang bersinonim. Misalnya kata sukar, pelik, rumit, sulit. Kata sukar bermakna netral, sedang kata pelik, rumit, sulit memiliki tautan makna tek tentu, ruwet. Kelima, kata-kata bersinonim yang dapat diperbedakan berdasarkan kolokasinya atau karena aspek semantik kata yang terdapat di sekitarnya. Misalnya kata tampan, gagah. Kata-kata itu pada dasarnya mengandung cirri semantik tampak baik/menyenangkan. Tampan untuk menyebut pria, pemuda. Gagah dapat bervalensi dengan kata-kata prajurit, pasukan, pemuda. Menurut Soejito (1989:7) kata-kata bersinonim dapat dilihat dari segi (1) nilai rasanya misalnya: memakamkan, jenazah, bersemayam yang bernilai rasa tinggi, sopan, halus, hormat, baik, sakral, dan bernilai rasa rendah, jelek, kasar, tidak sopan, tabu seperti mengubur, mayat, duduk; (2) makna dasar dan makna tambahannya misalnya membawa bermakna luas, umum, sedang menjinjing, memikul, menggotong memiliki makna khusus, (3) kolokasinya atau kelaziman pemakaiannya misalnya kata raya, besar, agung, akbar, raksasa masing-masing berbeda penggunaannya, (4) ragam bahasanya, kata yang bersinonim merupakan ragam baku dan tidak baku misalnya daripada dan ketimbang. (5) distribusinya berbeda, misalnya kata tidak dan kata bukan bersinonim tetapi berbeda distribusinya. Kemunculan sinonim dalam suatu bahasa disebabkan oleh adanya proses
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
4
serapan. Pengenalan terhadap bahasa lain membawa akibat penerimaan katakata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri. Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil kita masih menerima kata prestasi dan produksi; sudah ada kata jahat dan kotor masih diterima kata maksiat. Serapan ini tidak hanya menyangkut referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri, tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri. Dalam hal ini sinonim terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih dari sebuah bahasa donor, atau menerima beberapa bentuk dari beberapa bahasa donor. Penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia juga menjadi penyebab adanya sinonim. Tempat tinggal yang berlainan mempengaruhi pula perbedaan kosa kata yang digunakan walaupun referennya sama. Hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah sinonim yang terjadi karena pengambilan kata dari dialek yang berlainan. Faktor ketiga yang menyebabkan adanya sinonim adalah makna emotif (nilai rasa) dan evaluatif. Makna kognitif dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya yang berbeda. Misalnya kata dara, gadis, perawan memiliki makna yang sama yaitu perempuan yang belum menikah, tetapi memiliki nilai emotif yang berbeda lantaran kata dara biasa digunakan dalam bidang sastra dan percakapan yang puitis atau untuk keindahan. Kata gadis memiliki nilai emotif netral, sedangkan perawan memiliki makna konotasi yang belum menikah atau kawin. Dari sumber lain (Putrayasa, 2010: 121) dinyatakan bahwa terjadinya sinonim sebagai akibat adanya (1) perbedaan dialek sosial, misalnya kata istri dan bini;(2) perbedaan dialek regional, misalnya kata handuk dan tuala yang di-
gunakan di Indonesia timur; (3) perbedaan dialek temporal, misalnya kata hulubalang dan komandan; (4) perbedaan ragam bahasa sehubungan dengan bidang kegiatan kehidupan, misalnya menggubah (untuk lagu), dan menempa (membuat … dari logam); dan (5) pengaruh bahasa daerah atau bahasa asing, misalnya kata auditorium, bangsal, aula, pendopo. PEMILIHAN KATA DAN ISTILAH YANG BERSINONIM Sekiranya ada kesinoniman dalam pemakaian istilah, hendaklah diadakan seleksi atau pemilihan. Dalam hubungan dengan kesinoniman itu ada tiga golongan istilah (Badudu, 1985:45-46; Sugono, 2003:14-17), yaitu: (1) istilah yang diutamakan yaitu istilah yang paling sesuai dengan dasar-dasar pembentukan istilah dan yang pemakaiannya dianjurkan sebagai istilah baku. Misalnya: gulma lebih baik daripada tumbuhan pengganggu partikel lebih baik daripada zarah; (2) istilah yang diizinkan, yaitu istilah yang timbul karena adanya istilah asing yang diakui dan istilah Indonesia secara bersama. Kadangkadang istilah asing yang diutamakan dan istilah Indonesia yang diizinkan atau sebaliknya. Misalnya, garis tengah lebih baik daripada diameter percepatan lebih baik daripada akselerasi; (3) istilah yang dijauhkan, yaitu istilah yang sinonim sifatnya, tetapi menyalahi asas penamaan dan pengistilahan. Oleh karena itu, jenis istilah ini lebih baik ditinggalkan. Misalnya: zat lemas diganti nitrogen, Ilmu pasti diganti matematika Kalau ada kata-kata asing yang bersinonim dan benar-benar sama artinya, sebaiknya diterjemahkan dengan satu istilah Indonesia saja. Misalnya average, mean diterjemahkan rata-rata atau rerata. Sinonim yang hampir sama artinya sedapat mungkin diterjemahkan
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
5
dengan istilah yang berlainan. Misalnya rule sebaiknya diterjemahkan menjadi kaidah. Di dalam menerjemahkan istilah asing, istilah superordinat pada umumnya tidak disalin dengan salah satu hiponimnya, kecuali bila dalam bahasa Indonesia tidak terdapat istilah superordinatnya. Kata poultry misalnya, diterjemahkan dengan unggas dan bukan dengan itik atau ayam. Jika tidak terdapat pasangan istilah superordinat dalam bahasa Indonesia, konteks situasi atau ikatan kalimat atau superordinat asing akan menentukan hiponim Indonesia mana yang harus dipilih. Misalnya kata rice (bahasa Inggris) dapat diterjemahkan dengan padi, gabah, beras, atau nasi, mana yang dianggap sesuai berdasarkan konteksnya. Ada istilah yang memiliki makna yang berbeda-beda, tetapi satu dengan lainnya masih menunjukkan adanya hubungan arti. Gejala seperti ini disebut gejala kepolisemian. Keanekaan makna itu timbul karena pergeseran makna atau karena tafsiran yang berbeda. Misalnya kepala (jawatan), kepala (orang), kepala (rumah tangga). Menerjemahkan kata-kata asing yang sifatnya polisem haruslah disesuaikan dengan artinya dalam bahasa Indonesia. Karena medan makna yang berbeda, sepatah kata asing tidak selalu berpadanan dengan bahasa Indonesia yang sama. Misalnya: fuse, sumbu, to fuse, melebur, berpadu. Menurut Anton M. Moeliono (1985:120), pemungutan unsur asing dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1) prinsip kehematan, (2) kejarangan bentuk asli, (3) keperluan akan kata yang searti, (4) pembedaan arti di dalam bahasa sendiri yang kurang cermat, (5) gengsi bahasa asing, dan (6) kemampuan berbahasa yang rendah. Dari hal itu dapat dijelaskan bahwa memilih kata yang sudah
siap lebih ekonomis daripada memerikan konsep dalam bahasa sendiri. Misalnya, kata demokrasi lebih ekonomis daripada kekuasaan di tangan rakyat. Unsur leksikal asli yang jarang digunakan tidak termasuk kosa kata aktif penutur bahasa sehinnga mendorong penutur memungut kata asing. Misalnya, kata dursila yang berpadanan dengan immoral, kemudian muncul kata dengan analogi (yang sebetulnya salah) asusila. Kemudian, berdasarkan pertimbangan stilistik dipilihlah kata asimilasi daripada pembauran; spesial daripada khusus. Kebutuhan akan kata searti, sering menjadi pertimbangan pemakai bahasa memilih kata pungutan seperti norma dan normatif. Kemudian kefasihan berbahasa asing terutama yang ditautkan dengan peradaban tinggi membuat orang menggunakan kata evaluasi, bilateral, multiplikasi, dan kalibrasi walaupun ada kata penilaian, dwipihak, pelipatan, dan peneraan. Di samping pertimbangan-pertimbangan tersebut, dikuasainya kosa kata asing yang lebih luas cakupanya membuat pemakai bahasa Indonesia lebih memilih kosa kata asing daripada kosa kata Indonesia. Bahkan penguasaan kalimat bahasa Indonesia yang kurang bagi penutur bahasa kemudian menggunakan unsur pungutan di mana, dari mana, kepada siapa dalam kalimat yang diujarkannya. Pungutan kata dari bahasa asing ada yang dijadikan unsur kosa kata asing yang terdapat dalam kosa kata umum, misalnya pungutan dari bahasa Arab yang bertalian dengan akidah atau ibadat keagamaan. Ada juga pungutan kata asing yang mengalami perubahan (1) unsur pungutan yang mengalami penyesuaian bentuk fonologi atau ejaannya, (2) unsur pungutan yang mengalami proses penghibridan, (3) unsur pungutan yang merupakan hasil penerjemahan (Moeliono, 1985:119). Unsur pungutan
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
6
yang pertama, terdiri atas kosa kata umum dan istilah teknis, seperti kata stem, partisipasi. Kelompok kedua, meliputi pungutan yang sebagian merupakan unsur asing dan sebagiannya lagi unsur Indonesia. Misalnya, kata swalayan, praanggapan. Kelompok ketiga, merupakan hasil proses pemungutan kesemantikan dengan substitusi unsur bahasa pemungut, ialah unsur pungutan yang lazim disebut pungutan terjemahan. Misalnya, kata kerjasama/samenwerking; menggarisbawahi/onderstrepen; mengambil alih/ overnemen. PEMBELAJARAN SINONIM BAHASA INDONESIA Seperti telah dijelaskan di depan bahwa dalam sebuah bahasa, tidak ada kata yang benar-benar sama maknanya. Ini berarti bahwa kata yang mirip maknanya pasti memiliki perbedaan, mungkin dalam nilai rasanya, kolokasinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kata memiliki ketepatan penggunaan yang berbeda dengan kata lain yang bersinonim. Di samping itu proses pemungutan bahasa lain ke dalam unsur bahasa Indonesia perlu dilakukan dengan cermat agar hal itu dapat memperkaya khasanah kata. Pemahaman terhadap sinonim memberikan pengetahuan pada pemakai bahasa untuk membedakan konotasi-konotasi yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tampaknya memiliki arti yang sama. Dengan menguasai sinonim dalam suatu bahasa, pengguna dapat menghemat waktu dalam telaah kosa kata, artinya tidak perlu memerikan makna kata tersebut secara rinci untuk menjelaskan maknanya. Pada gilirannya pemakai bahasa akan mampu mengungkapkan gagasannya sesuai dengan maksud. Di samping itu, pengungkapan yang dilakukan dapat berbeda-beda yang disesuai-
kan dengan konteks, latar, suasana hati, dan nada pembicaraan. Pemilihan kata yang tepat dari kata-kata yang bersinonim dibutuhkan kecermatan untuk membedakannya. Hal ini dilakukan agar komunikasi dapat efektif dan tidak terjadi interpretasi yang berlainan. Pembelajaran sinonim bahasa Indonesia dapat dipadukan dengan pembelajaran membaca, menyimak, berbicara atau menulis seperti yang diamanatkan oleh kurikulum yang berlaku yaitu KTSP. Dalam pembelajaran empat keterampilan berbahasa, penguasaan sinonim merupakan hal yang mendasar untuk mengungkapkan gagasan sesuai konteks, keperluan, dan situasi. Hal ini menjadi dasar dalam pembelajaran bahasa berpendekatan komunikatif. Pembelajaran bahasa berpendekatan komunikatif seluruh perangkat pembelajaran diarahkan untuk ketercapaian kemampuan komunikatif oleh siswa. Utamanya, siswa dituntut untuk menguasai bagaimana menggunakan bahasa sasaran sebagai alat komnikasi. Secara umum, ciri-cirinya adalah: a. Menekankan fungsi komunikatif bahasa; b. Menempatkan minat dan kebutuhan berbahasa siswa sebagai pijakan penyusunan materi pelajaran; c. Menekankan materi pelajaran berbasis tugas; d. Mengembangkan keterampilan berbahasa terpadu; e. Memafaatkan materi yang bersifat otentik; dan f. Menekankan pada aspek kelancaran komunikasi (Grant dalam Farkhan, 2007:110). Mempertegas cirri-ciri tersebut, Halley (Farkhan, 2007: 111) merinci beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh buku teks bahasa komunikatif, yaitu:
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
7
a. kontekstualisasi aktivitas latihan berbahasa yang membiasakan siswa dengan budaya bhasa sasaran; b. pengembangan aktivitas belajar berbasis kerja kelompok dan interaksi komunikasi; c. penggunaan bahan-bahan yang otentik; d. perpaduan antara kemampuan fungsional dan gramatikal; e. penjelasan aspek gramatikal dalam konteks penggunaan bahasa; f. kesesuaian tema, bahan-bahan bacaan, dan aktivitas pelatihan berbahasa dengan kebutuhan dan minat siswa; dan g. integrasi aspek kultural ke dalam bahan-bahan pelajaran dan aktivitas pelatihan berbahasa. SIMPULAN Penguasan sinonim bahasa Indonesia berdasarkan konteksnya perlu disesuaikan dengan struktur kalimat dan konteks yang lebih luas dalam penggunaannya. Penguasaan sinonim berdasarkan nilai rasanya perlu disesuaikan dengan makna positif atau negatif. Dalam pengunaan bahasa ragam baku, perlu dicermati azas yang diterapkan yaitu berkaitan dengan istilah yang diutamakan, istilah yang diizinkan, dan istilah yang dijauhkan. Penguasaan sinonim perlu dipahami oleh setiap pemakai bahasa agar bahasa yang dihasilkan dapat dipahami secara efektif. Di samping itu, pemakai bahasa juga dapat memahami wacana dengan tepat.
Farkhan, Muhammad. 2007. ProposalPenelitian Bahasa dan Sastra. Jakrta: Celia. Keraf, Gorys. 2009. Disi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Penerbit Kanisius. Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Penerbit Jambatan. Putrayasa, Ida Bagus. 2010. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: Refika Aditama. Subroto, Edi. 1993. Semantik Leksikal. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Sugono, Dendy. 2003. Pedoman Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa. Soejito. 1989. Sinonim. Bandung: Sinar Baru. Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Kosa Kata. Bandung: Angkasa. Verhaar. 1982. Pengantar Lingguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
DAFTAR PUSTAKA Badudu, JS. 1980. Membina Bahasa Indonesia Baku. Bandung: Pustaka Prima. Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1. Bandung: PT Refika Aditama. __________.1999. Semantik 2. Badun: PT Refika Aditama.
KLITIKA Volume 6, Nomor 1 Juli 2013,ISSN 0852-2464
8
DAFTAR ISI Halaman Pengantar Redaksi Daftar isi
i ii
Sinonim Bahasa Indonesia dan Pembelajarannya Sri Muryati
1
Erotisme dalam Kumpulan Cerpen “Jangan Main- main dengan Kelaminmu” Karya Jenar Maesa Ayu Sebagai Protes Perempuan Terhadap Ideologi Laki-laki Mukti Widayati
9
Pembelajaran Sintaksis Kalimat Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Kontekstual untuk Mahasiswa PBSI Tutik Wahyuni
17
Pemanfaatan Media Mind Map dalam Meningkatkan Kemampuan Bercerita Siswa Kelas VII A di SMP Negeri 4 Wonogiri Utami Padriastuti
23
Apresiasi Karya Sastra : Suatu Kajian Seni Sastra Titik Sudiatmi
39
Bentuk Test Kompetensi Bersastra Berdasarkan Substansi Materi pada Ujian Nasional SMP / MTs Tahun 2013 Sriyono
49
Eksistensi Bahasa Jawa di Lingkungan Masyarakat Multikultural ( Studi Kasus di Kota Surakarta ) Bambang Triyanto
63
Upaya Peningkatan Motivasi Belajar dan Keterampilan Menulis Deskripsi Melalui Media Gambar Elektronik Berbasis Komputer Hery Rusmanto
79
KLITIKA/ Volume 6, Nomor 1 Bulan Juli 2013
1
KLITIKA/ Volume 6, Nomor 1 Bulan Juli 2013
1