JBSP JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA JILID 4, NOMOR 2, OKTOBER 2014, Hlm. 145-326
ISSN 2089-0117
Terbit dua kali setahun pada bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian atau hasil pemikiran di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. ISSN 2089-0117
Ketua Penyunting M. Rafiek Wakil Ketua Penyunting Zulkifli Penyunting Pelaksana Rusma Noortyani Noor Cahaya Dwi Wahyu Candra Dewi Pelaksana Tata Usaha Noor Fajriah Pembantu Pelaksana Tata Usaha Almaidah Rezeki Amelia Dana Aswadi Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Ruang bidang Akademik Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kode Pos 70123, Gedung Sekretariat Bersama Lt. II Jl. Brigjend. H. Hasan Basry Telepon/Fax. (0511) 3308295. Homepage: http://lmuefgp.unlam.ac.id, E-mail:
[email protected]. JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA diterbitkan sejak 1 April 2011 oleh Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) dengan Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) Cabang Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Daerah Banjarmasin. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media yang lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto dengan jarak 1 spasi sepanjang maksimum 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (Petunjuk bagi Calon Penulis JBSP). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya. Isi artikel ilmiah (tulisan) sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Dicetak oleh Penerbit CV. Aswaja Pressindo, Yogyakarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
i
JBSP JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA ISSN 2089-0117 JILID 4, NOMOR 2, OKTOBER 2014, Hlm. 145-326
DAFTAR ISI Kesantunan Linguistik Kalimat Imperatif oleh Guru dan Pengasuh kepada Anak Didik Di Taman Penitipan Anak (TPA) Sanggar Rubinha Samarinda Ali Kusno (Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur)
149-162
Pemerolehan Fonologi Anak di Tiga PAUD Kecamatan Banjarmasin Utara M. Rafiek dan Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat)
163-188
Kajian Bentuk, Makna, dan Fungsi Dindang Marfuah (SMAN 2 Kandangan)
289-202
Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng Lili Agustina dan Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat)
203-212
Nilai EQ dan Pendidikan Karakter dalam Novel 5 CM karya Donny Dhirgantoro Lita Luthfiyanti (Rumah Matahari Kabupaten Banjar)
213-232
Kesantunan Berbahasa dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura Marny Rustina (SMK Negeri 1 Martapura)
233-242
Tinjauan Intrinsik Drama Bila Malam Bertambah Malam dan Edan karya Putu Wijaya Dapy Fajar Raharjo (LPMP Kalimantan Tengah)
243-258
Implikatur yang Terungkap dalam Film Habibie dan Ainun Fithratun Nisa dan Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat)
259-268
Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga Masyarakat Dayak Ngaju, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kuala Kapuas Lastaria dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat)
269-284
Representasi Kekuasaan dalam Novel Ayat–Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy Hasbi Wayhie (MAN 2 Model Banjarmasin)
285-294
Kesantunan Direktif Bahasa Banjar dalam Interaksi antara Guru dan Murid di SD Negeri Handil Bakti Nazmawati (SD Negeri Handil Bakti)
295-300
ii
Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel “Layang-Layang Putus” karya Masharto Alfathi Mayang Muhairinnisa (Rektorat Universitas Lambung Mangkurat)
301-312
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Percakapan pada Pertunjukan Mamanda Noor Indah Wulandari dan Sarbaini (Universitas Lambung Mangkurat)
313-324
Indeks Pengarang JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) Jilid 4 (Tahun 2014)
324.1
Indeks Mitra Bebestari JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) Jilid 4 (Tahun 2014) 324.2
iii
iv
KESANTUNAN LINGUISTIK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DAN PENGASUH KEPADA ANAK DIDIK DI TAMAN PENITIPAN ANAK (TPA) SANGGAR RUBINHA SAMARINDA (LINGUISTIC POLITENESS OF IMPERATIVE SENTENCES BY TEACHERS AND CAREGIVERS TO LEARNERS AT TPA RUBINHA STUDIO SAMARINDA) Ali Kusno Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur Jalan Batu Cermin 25, Sempaja Utara, Samarinda e-mail
[email protected] Abstract Linguistic politeness of Imperative Sentences by Teachers and Caregivers to Learners At TPA (TPA) Rubinha Studio Samarinda. Politeness research examines the use of language in a particular language community. This study takes the descriptive qualitative research as its methodology. This study relates to the use of verbal language. The data is collected by participant observation technique while the data analysis technique is using an interactive model. Based on the research concluded that, first, teacher and mother of caregivers use a long speech. As long an utterances could be uttered then the more polite it be. Second, teachers and caregivers mother use a sequence of utterances. The use of verbal sequence determines the meaning of an utterance. Third, teacher and mother caregivers use intonation in speaking subtle language, while the kinesthetic cues that follow the speech is usually on the face expression of anger or annoyance. Fourth, teachers and caregivers mother use the expression form of the word politeness marker such as please, come on, try it, and it’s okay. Key words: politeness, linguistics, imperative sentences
Abstrak Kesantunan Linguistik Kalimat Imperatif oleh Guru dan Pengasuh kepada Anak Didik Di Taman Penitipan Anak (TPA) Sanggar Rubinha Samarinda. Penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini berhubungan dengan pemakaian bahasa tutur. Pengumpulan data dengan teknik pengamatan berperan serta, sedangkan teknik analisa data menggunakan model interaktif. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa, pertama, guru dan pengasuh menggunakan tuturan yang panjang. Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santun. Kedua, guru dan bunda pengasuh menggunakan urutan tuturan. Penggunaan urutan tutur menentukan makna sebuah tuturan. Ketiga, guru dan bunda pengasuh menggunakan intonasi dalam bertutur dengan bahasa yang halus, sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya pada eskpresi wajah yang menunjukkan marah atau jengkel. Keempat, guru dan pengasuh menggunakan ungkapan penanda kesantunan berupa kata tolong, ayo, coba, dan tidak apa-apa. Kata-kata kunci: kesantunan, linguistik, kalimat imperatif
PENDAHULUAN Anak-anak saat ini, tutur katanya cenderung mengabaikan nilai-nilai kesantunan. Kondisi tersebut mudah ditemukan di lingkungan rumah maupun sekolah. Terlebih lagi saat anak 149
berbicara dengan teman-teman sebaya cenderung mengabaikan kesantunan tuturan. Sering anak-anak mengobrol menggunakan kata-kata kasar, sedangkan orang tua yang harusnya memberikan contoh yang baik bagi anak, justru mempertontonkan tuturan yang tidak santun. Ada contoh nyata seperti tuturan Ibu pada anaknya, “Eh, bodoh betul. Sudah dibilangin berkalikali jangan mainan air”. Secara tidak sadar orang tua memberikan contoh tuturan yang tidak santun bagi anak. Seorang anak yang dapat bertutur santun akan lebih disukai teman-temannya. Dalam kehidupan sosial, orang akan lebih simpatik pada lawan tutur yang santun. Anak yang dibiasakan sejak dini bertutur santun akan lebih mudah bersosialisasi. Anak akan relatif mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selain itu, Anak akan lebih bisa supel dan menghargai orang lain. Yahya (2011: 1) mengungkapkan bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Keluarga merupakan tempat tumbuh kembangnya anak yang pertama. Keluarga tempat anak mendapatkan pengaruh pada masa yang sangat penting dan paling kritis. Kebiasaan yang dikembangkan dalam sebuah keluarga akan membentuk kepribadian seorang anak termasuk bahasa. Pergaulan dalam keluarga dengan penggunaan bahasa yang baik dan santun akan mendorong anak menggunakan bahasa yang santun pula. Sebaliknya, apabila orang tua memberikan contoh yang kurang baik dalam bertutur, anak pun akan menirukannya. Kesibukkan sebagian besar masyarakat perkotaan, seperti di Samarinda, membuat sebagian orang tua memasukkan anak ke taman penitipan anak (TPA). Orang tua dalam memilih taman penitipan anak harus memastikan bahwa anak mendapatkan pendidikan yang baik. Salah satu penitipan anak yang menekankan penanaman kebiasaan kesantunan berbahasa adalah TPA Sanggar Rubinha Samarinda. Khususnya dalam aktivitas bahasa tutur, di lingkungan TPA tersebut, melibatkan peserta tutur di antaranya, pengasuh, pengajar atau guru, anak-anak, dan orang tua. Usia anak di TPA tersebut bervariasi antara dua bulan sampai dengan tujuh tahun. Interaksi yang paling sering adalah antara pengasuh dan guru dengan anak. Peran pengasuh dan guru sebagai model dalam bertutur harus benar-benar memperhatikan kesantunan. Anak akan belajar bahasa dari yang diucapkan oleh guru dan pengasuh. Anak berada di TPA tersebut rentang waktu antara pukul 08.30-16.30 WITA. Hal itu memungkinkan terjadi interaksi yang intens. Peran peserta tutur khususnya guru dan pengasuh sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak-anak, termasuk pembiasaan kesantunan dalam bertutur. Selama ini TPA Sanggar Rubinha telah memberikan perhatian khusus terkait kesantunan berbahasa anak. Pihak lembaga menyadari bahwa masa anak-anak merupakan masa emas pembentukan perkembangan bahasa. Berbagai pengarahan dan pelatihan dilakukan terhadap guru dan pengasuh mengenai perilaku dan tuturan yang santun. Meskipun berstatus guru dan pengasuh, saat berinteraksi dengan anak harus memperhatikan kesantunan. Pembiasaan kesantunan tersebut dimulai dari tuturan guru dan pengasuh. Saat di lingkungan TPA, guru dan pengasuh banyak menggunakan kalimat perintah atau imperatif kepada anak-anak. Penggunaan kalimat imperatif meskipun ditujukan kepada anak-anak harus memperhatikan kesantunan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan mengulas tentang kekhasan penggunaan bahasa imperatif oleh guru dan pengasuh kepada anak-anak di TPA Sanggar Rubinha Samarinda. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi para orang tua agar dapat menerapkan pola asuh yang sama dengan yang dilaksanakan di TPA. Santun dalam KBBI (http://kbbi.web.id) dimaknai sebagai halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan, sedangkan bahasa sopan santun (http://kbbi.web.id) 150
dimaknai sebagai ragam bahasa yang dipakai dalam situasi sosial yang mewajibkan adanya norma sopan santun. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa kesantunan bahasa merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam situasi sosial yang mewajibkan adanya kehalusan budi bahasa dan mengedepankan kesantunan. Kesantunan dalam bertutur perlu dibiasakan sejak dini di lingkungan keluarga maupun pendidikan. TPA memegang peranan sebagai pendamping dalam menumbuhkan kesantunan anak dalam berbahasa. Menurut Rahardi (2009: 35), penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Wijana dan Rohmadi (2009: 51) mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Kesantunan khususnya dalam kalimat perintah atau permintaan memiliki dasar-dasar pertimbangan tersendiri. Keraf (Rahardi, 2005: 27) menjelaskan bahwa kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu, seperti yang diinginkan oleh orang yang memerintahkan. Seseorang yang menggunakan kalimat imperatif harus menggunakan kalimat yang jelas agar yang diinginkan dapat dipahami dan dilaksanakan oleh lawan tutur. Kalimat perintah, menurut Keraf (Rahardi, 2005: 27), dapat berkisar antara suruhan yang sangat kasar sampai dengan permintan yang sangat halus. Lebih lanjut, pakar ini menyatakan bahwa perintah mengandung ciri-ciri sebagai berikut: (1) menggunakan intonasi keras, terutama, perintah biasa dan larangan, (2) kata kerja keras, terutama, perintah biasa dan larangan, (2) kata kerja yang mendukung isi perintah itu, biasanya kata dasar, dan (3) menggunakan partikel pengeras-lah. Kalimat perintah dalam bahasa Indonesia memiliki bermacam-macam jenis. Keraf dalam Rahardi (2005: 27-28) mengungkapkan bahwa kalimat perintah dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yakni (1) perintah biasa, (2) permintaan, (3) perintah mengizinkan, (4) perintah ajakan, (5) perintah bersyarat, (6) perintah sindiran, (7) perintah larangan, (8) perintah harapan, dan (9) seru. Rahardi (1999: 23) menyimpulkan kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia mencakup hal-hal berikut: (1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinestetik, (4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan. Terdapat sedikitnya sepuluh macam ungkapan pemarkah yang dapat menentukan kesantunan lingustik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia. Pemarkah-pemarkah kesantunan linguistik tuturan imperatif tersebut adalah tolong, mohon, silakan, mari, biar, ayo, coba, harap, hendak (lah/nya), dan sudi kiranya, dan sudi kiranya/ sudilah kiranya/ sudi apalah kiranya. Penggunaan penanda-penanda tersebut dalam tuturan imperatif akan menciptakan kesantunan. Selain itu, menurut Chaer (dalam Masfufah, 2013: 103), ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam kesantunan bertutur, yaitu (1) identitas sosial budaya para partisan (penutur dan lawan tutur), (2) topik tuturan, (3) konteks waktu, situasi, dan tempat penuturan berlangsung. Selain itu, menurut Chaer (dalam Masfufah, 2013: 103) juga dipengaruhi oleh tujuan tuturan. Oleh karena itu, hal-hal pokok tersebut menjadi pertimbangan kesantunan dalam tuturan.
151
Orang-orang yang berjarak sosial tinggi lazimnya menggunakan tuturan-tuturan yang santun, sebaliknya pihak yang secara sosial dan kultural berada pada posisi lebih rendah akan menggunakan tuturan yang lebih santun lagi (Rahardi, 2009: 28). Khususnya interaksi yang terjadi di TPA Sanggar Rubinha Samarinda, apabila mengacu pada aturan kesantunan bertutur guru dan pengasuh secara etika tidak perlu bertutur terlalu santun kepada anak. Namun, tuturan imperatif yang disampaikan guru dan pengasuh kepada anak-anak memiliki kekhasan. Tuturan harus mempertimbangkan bahwa yang disampaikan hakikatnya bukan tuturan dari orang dewasa kepada anak-anak. Tuturan yang disampaikan tersebut merupakan ‘membahasakan anak-anak’. Guru dan pengasuh bertutur untuk mengajarkan anak-anak tuturan layaknya anak-anak kepada orang dewasa. Jadi tuturan yang disampaikan guru dan pengasuh merupakan prinsip kesantunan yang harus dijalankan anak-anak ketika bertutur dengan orang dewasa.
METODE Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan tentang sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleong, 1994: 6). Desain penelitian menggunakan desain penelitian studi kasus dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainya (Sukmadinata, 2008: 99). Penelitian ini memfokuskan fenomena penggunaan kesantunan bahasa guru dan pengasuh kepada anak didik di TPA Sanggar Rubinha Samarinda. Data dan Sumber Data Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa di lingkungan TPA Sanggar Rubinha. TPA Sanggar Rubinha terletak di Jalan Kulintang 34, Samarinda, Kalimantan Timur. Pemilihan TPA tersebut karena pertimbangan salah satu TPA favorit di Samarinda, jumah siswa 34 anak didik dengan variasi usia antara 3 bulan s.d. 7 tahun, dan memiliki program khusus terkait pengembangan dan pendampingan bahasa anak. Sumber data penelitian ini adalah penggunaan tuturan dikhususkan pada tuturan antara guru dan pengasuh kepada anak didik. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan teknik pengamatan berperan serta. Menurut Denzin (Mulyana, 2010: 163) pengamatan berperan serta adalah strategi lapangan dengan responden dan informan, partisipasi dan observasi langsung dan introspeksi. Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan belajar, bermain, dan aktivitas lain di TPA Sanggar Rubinha antara tanggal 20-25 Oktober 2014. Dasar yang dipakai dalam penentuan tuturan yang dijadikan data di antaranya variasi bahasa dan variasi penutur. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrument (paricipant-observer). Peneliti sebagai instrumen memiliki kelebihan dapat langsung melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi dalam interaksi guru dan pengasuh dengan anak didik.
152
Analisis Data Teknik analisa data menggunakan model interaktif, seperti yang dikemukakan Miles & Huberman (2007: 19-20), yang terdiri atas tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data.
HASIL Guru dan pengasuh TPA Sanggar Rubinha dalam berinteraksi dengan anak didik memperhatikan kesantunan linguistik dalam setiap tuturan imperatif. Berikut ini hasil penelitian penggunaan tuturan imperatif guru dan pengasuh terhadap anak didk yang dikelompokkan berdasarkan jenis perintah yang digunakan. 1. Penggunaan tuturan panjang Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya penggunaan tuturan panjang antara guru dan pengasuh TPA Sanggar Rubinha kepada anak didik. Berikut ini data hasil penelitian tuturan panjang sebagai penanda kesantunan dalam berbagai tuturan imperatif tersebut adalah sebagai berikut: a. Penggunaan tuturan panjang perintah biasa (1)“Ryu, kalau tapenya dipakai mainan, nanti rusak. Ryu nanti tidak bisa nonton lagu. Sudah, tidak boleh mainan!” Informasi tuturan: Dituturkan oleh salah seorang Bunda pengasuh saat melihat Ryu memain-mainkan VCD yang biasa dipakai untuk menyetel video lagu-lagu dan film. Pada tuturan (1) tersebut, pengasuh memberikan perintah kepada Ryu (2,6 tahun) agar tidak memain-mainkan pemutar VCD. Pengasuh menggunakan tuturan yang panjang dengan menyampaikan Ryu, kalau tapenya dipakai mainan, nanti rusak, Ryu nanti tidak bisa nonton lagu. b. Penggunaan tuturan panjang permintaan (2)“Anak-anak, kertasnya berserakan banyak gitu. Bunda minta tolong dirapikan ya kertaskertasnya.” Informasi tuturan: Dituturkan pengasuh kepada anak-anak pada sore hari setelah selesai bermain membuat topi dari koran. Sobekan-sobekan kertas berhamburan. Pada tuturan (2) tersebut, pengasuh meminta anak-anak membereskan kertas sisa mainan. Pengasuh menggunakan tuturan panjang permintaan dengan menyampaikan, Bunda minta tolong dirapikan ya kertas-kertasnya. c. Penggunaan tuturan panjang perintah mengizinkan (3)Anak: “Bunda, Naya boleh mainan krayon kah?” Bunda : “Boleh, tapi krayonnya tidak boleh tercecer ya. Nanti dimakan adik-adik yang kecil.” Informasi tuturan: Dituturkan oleh Naya, siswa yang berusia 7 tahun dan duduk di kelas 1 SD. Dia meminta izin kepada pengasuh untuk bermain krayon yang ada di kelas. Pada tuturan (3) tersebut, pengasuh mengizinkan Naya (7 tahun) yang meminta izin untuk bermain krayon. Pengasuh menggunakan tuturan panjang perintah mengizinkan, boleh, tapi krayonnya tidak boleh tercecer ya. Nanti dimakan adik-adik yang kecil.
153
d. Penggunaan tuturan panjang perintah ajakan (4)“Baim, Baim kan paling besar. Ayo ajarin Adik-adik merapikan mainannya.” Informasi tuturan: Disampaikan guru kepada Baim setelah bermain untuk merapikan mainan untuk memberi contoh adik-adik yang kecil. Pada tuturan (4) tersebut, guru memberikan perintah ajakan kepada Baim (5 tahun) untuk bisa memberi contoh adik-adik yang lain merapikan mainan. Tuturan tersebut merupakan ajakan merapikan mainan. e. Penggunaan tuturan panjang perintah bersyarat (5)“Dzakiyah, sudah lapar kan? Cepat ke dapur makan sama teman-teman. Kalau tidak makan nanti tidak dijemput Abi.” Informasi tuturan: Disampaikan pengasuh kepada Dzakiyah setelah bangun tidur siang. Dia terlihat duduk bengong. Bunda memerintahkan agar Dizakiyah segera makan dengan teman-teman lainnya. Kalau tidak mau makan tidak dijemput Abi (Ayah). Pada tuturan (5) tersebut, pengasuh menyampaikan tuturan panjang berisi perintah agar Dzakiyah (4 tahun) ke dapur untuk makan bersama teman-teman. Kenyataannya Dzakiyah susah makan. Oleh karena itu, pengasuh menuturkan syarat kalau ingin dijemput Abi harus makan terlebih dahulu. f. Penggunaan tuturan panjang perintah sindiran (6)“Hayo, Tania pintar ya. Susu adiknya dibuang-buang. Nanti Bunda bilangkan Mama, ya.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan pengasuh kepada Tania yang membuang-buang susu Adik Aisha. Pada tuturan (6) tersebut, pengasuh menyindir Tania (2,2 bulan) dengan mengatakan Tania pintar ya, yang sebenarnya sebaliknya. Tania telah membuang-buang susu Adik Aisha. Pengasuh menambahkan sindiran nanti Bunda bilangkan Mama ya. g. Penggunaan tuturan panjang perintah larangan (7)“Memei, Zea. tidak mainan pintu ya. Tangannya kejepit itu nanti. Kalau berdarah bunda biarin saja, ya?” Informasi tuturan: Disampaikan oleh Guru saat Memei dan Zea memain-mainkan pintu kamar. Pada tuturan (7) tersebut, guru memberikan larangan kepada Memei (2,5 tahun) dan Zea (1,6 tahun). Keduanya sedang asyik memain-mainkan pintu kamar. Sudah berkali-kali kejadian tangan anak terjepit pintu. Ketika melihat kedua anak itu bermain pintu, guru melarang dengan tuturan tidak mainan pintu, ya. Pemberian penjelasan tambahan tangannya kejepit itu nanti, kalau berdarah bunda biarin saja ya? h. Penggunaan tuturan panjang perintah harapan (8)“Ayo, kakak-kakak yang besar sholat dulu, biar jadi anak yang sholeh.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan guru untuk mengajak anak-anak yang besar untuk sholat. Pada tuturan (8) tersebut, guru menyampaikan perintah kepada anak didik untuk sholat dzuhur berjamaah. Pemberian perintah tersebut disertai dengan harapan biar jadi anak yang sholeh.
154
i. Penggunaan tuturan panjang seru (9)“Dahlan! Mukul-mukul lagi ya! Kan Bunda sudah bilang tidak pukul-pukul! Bunda tidak mau temenan kalau Dahlan pukul-pukul gitu!” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan guru kepada Dahlan yang baru saja memukul Yasmin. Pada tuturan (9) tersebut, guru memberikan tuturan panjang seru karena Dahlan (2,5 tahun) memukul Yasmin (4 tahun). Dahlan, sebagai anak yang baru masuk, memiliki kebiasaan memukul teman. Kejadian tersebut merupakan yang kesekian kalinya. Guru memberikan peringatan keras dengan sedikit membentak Dahlan! Mukul-mukul lagi ya! Kan Bunda sudah bilang tidak pukul-pukul! Selain itu, guru juga memberikan peringatan bunda tidak mau temenan kalau Dahlan pukul-pukul gitu! 2.
Penggunaan urutan tuturan Berikut ini penggunaan tuturan yang mengubah urutan tuturan sebagai penanda kesantunan dalam tuturan imperatif di TPA Sanggar Rubinha. a. Penggunaan urutan tuturan perintah biasa (10) “Hannil, bukunya bisa rusak kalau dibanting-banting gitu. Ayo dirapikan.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan pengasuh kepada Hannil yang membanting-banting buku bacaan. Pada tuturan (10) tersebut, pengasuh memberikan perintah kepada Hannil (6 tahun) untuk merapikan buku-buku yang berserakan di kelas. Sebelumnya Hannil membanting-banting buku. Hannil membuat buku berserakan. Pengasuh terlebih dahulu memberikan peringatan Hannil, bukunya bisa rusak kalau dibanting-banting gitu. b. Penggunaan urutan tuturan permintaan (11) “Zea, kenapa Ryu digigit? Coba bunda gigit tangannya (pura-pura menggigit). Sakit tidak? Sakitkan kalau digigit. Zea mau digigit? Ndak kan? Kalau gitu Zea tidak boleh gigit teman ya! Paham!” Informasi tuturan: Dituturkan guru yang sambil menahan emosi karena Zea menggigit temannya Ryu hingga menyisakan bekas gigitan di tangan. Pada tuturan (11) tersebut, guru meminta Zea (1,6 tahun) untuk tidak menggigit kalau gitu Zea ndak boleh gigit teman ya! Permintaan tersebut didahului tuturan Zea, kenapa Ryu digigit. Coba bunda gigit tangannya (pura-pura menggigit). Sakit tidak? Sakitkan kalau digigit. Zea mau digigit? Tidak kan? c. Penggunaan urutan tuturan perintah mengizinkan (12) “Fadlan, Fadlan sarapan dulu ya sebelum belajar.” Informasi tuturan: Dituturkan oleh guru pendamping saat Fadlan (3 tahun) baru datang. Sebelum ikut gabung belajar diminta sarapan dahulu. Pada tuturan (12) tersebut, guru pendamping memberikan izin kepada Fadlan (3,8 tahun) untuk belajar dengan catatan sarapan terlebih dahulu. Tuturan pemberian izin tersebut didahului pernyataan agar Fadlan sarapan terlebih dahulu.
155
d. Penggunaan urutan tuturan perintah ajakan (13) “Siapa yang pengen mendapat balon dan kue ulang tahun? Sini ayo kumpul.” Informasi tuturan: Dalam suasana acara ulang tahun salah satu anak di Taman Penitipan Anak Sanggar Rubinha. Pada tuturan (13) tersebut guru mengajak anak-anak untuk berkumpul. Ajakan tersebut didahului dengan tuturan siapa yang pengen mendapat balon dan kue ulang tahun? e. Penggunaan urutan tuturan perintah bersyarat (14) “Anak yang sholeh harus duduk. Ayo duduk.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan guru pada saat anak-anak belajar. Pada tuturan (14) tersebut, guru mengajak anak-anak untuk duduk. Ajakan tersebut didahului dengan tuturan bersyarat, anak yang sholeh harus duduk. Ayo duduk. f. Penggunaan urutan tuturan perintah sindiran (15) “Kotor ya kamarnya. Madhan mainin bedak ya. Bunda marah nanti. Informasi tuturan: Dituturkan saat pengasuh melihat Madhan yang menghamburkan bedak di kamar. Pada tuturan (15) tersebut, pengasuh menyindir Madhan (2,2 tahun) yang sedang asyik bermain bedak di kamar. Pengasuh menyindir dengan tuturan, kotor ya kamarnya. Madhan mainin bedak ya. g. Penggunaan urutan tuturan perintah larangan (16) “Ahmad kalau tidak mau terkunci, pas mau mandi bilang sama Bunda. Jangan mandi sendiri.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan kepada Ahmad setelah terkunci di kamar mandi. Pada tuturan (16) tersebut, berisi perintah larangan untuk Ahmad (4 tahun) jangan mandi sendiri. Tuturan larangan tersebut diawali dengan tuturan Ahmad kalau tidak mau terkunci, pas mau mandi bilang sama Bunda. h. Penggunaan urutan tuturan perintah harapan (17) “Kak Yasmin, nanti kalau sudah sampai rumah, bilang sama mama ya. Yasmin sudah gede Ma. Yasmin sudah ndak pakai pampers. Yasmin malu. Informasi tuturan: Tuturan disampaikan pada Yasmin yang mau pulang agar menyampaikan ke mama Yasmin kalau Yasmin tidak mau pakai pampers lagi. Pada tuturan (17) tersebut, berisi perintah harapan untuk Yasmin (4 tahun) agar menyampaikan ke Mama, kalau Yasmin sudah tidak pakai pampers lagi. Tuturan tersebut didahului dengan tuturan pengantar, Kak Yasmin, nanti kalau sudah sampai rumah, bilang sama mama ya, Yasmin sudah gede Ma. i. Penggunaan urutan tuturan panjang seru (18) “Tu kan puppup di celana. Jadi bau kan kamarnya. Kenapa Baim tidak bilang-bilang. Kalau mau pup bilang Bunda. Cepat ke kamar mandi, dibersihkan!” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan Bunda pengasuh kepada Baim yang buang air besar di celana. Pada tuturan (18) tersebut, berisi perintah seru kepada Baim karena buang air besar di celana. Perintah tersebut berupa, cepat ke kamar mandi dibersihkan! Tuturan tersebut didahului 156
dengan tuturan, tu kan pupup (buang air besar) di celana; Jadi bau kan kamarnya? Kenapa Baim tidak bilang-bilang? Kalau mau pup bilang Bunda. 3.
Intonasi dan isyarat-isyarat kinestetik Lawan tutur guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha Samarinda adalah anak-anak. Oleh karena itu, guru dan pengasuh dituntut untuk dapat bertutur dengan bahasa yang halus mempertimbangkan psikologis anak. Sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya sebatas pada eskpresi wajah. 4.
Penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan Berikut ini data tuturan yang menggunakan penanda kesantunan dalam tuturan imperatif di TPA Sanggar Rubinha. a. Ungkapan penanda kesantunan perintah biasa (18) “Kak Kalista, Bunda minta tolong ambilkan kaset CD di meja itu Sayang” Informasi tuturan: Dituturkan Guru yang meminta Kalista (2,7 tahun) untuk mengambilkan kaset di meja. b. Ungkapan penanda kesantunan permintaan (19) “Jihan, tolong ambilkan tisu ya!” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan bunda meminta tolong Jihan (2,2 tahun) mengambilkan tisu untuk mengelap ingus Adik Arnest (9 bulan). c. Ungkapan penanda kesantunan mengizinkan (20) “Fayadh mau kue? Sana ambil di meja dekat tv. Ambil saja tidak apa-apa.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan Bunda pengasuh kepada Fayadh (3,5 tahun) yang terlihat malu-malu ingin makan kue yang ada di meja. d. Ungkapan penanda kesantunan perintah ajakan (21) “Jihan, Ayo main sama teman-teman di bawah.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan guru kepada Jihan (2,2 tahun) diajak untuk ikut belajar dengan temanteman di ruang belajar di lantai 1. e. Ungkapan penanda kesantunan perintah bersyarat (22)”Tolong mainannya dirapikan dulu sebelum nonton bareng.” Informasi tuturan: Tuturan disampaikan bunda pengasuh agar anak-anak merapikan mainan sebelum menonton film sama-sama. f. Ungkapan penanda kesantunan perintah sindiran (23)”Ya Allah. Siapa yang tadi numpahin minum. Ayo dibersihkan dulu.” Informasi tuturan: Tuturan disampaian bunda pengasuh saat melihat lantai basah karena tumpahan minuman. g. Ungkapan penanda kesantunan perintah larangan (24)”Ayo dengarkan ya. Tidak boleh buka-buka lemari, ya.” Informasi tuturan: Larangan disampaikan guru kepada anak-anak untuk membuka lemari.
157
h. Ungkapan penanda kesantunan perintah harapan, (25)”Tolong yang habis mainan, jangan lupa dirapikan, ya.” Informasi tuturan: Harapan disampaikan guru kepada anak-anak agar merapikan mainan setelah selesai dipakai. i. Ungkapan penanda kesantunan panjang seru (26)”Coba yang mau kue angkat tangan!” Informasi tuturan: Seruan disampaikan guru saat akan membagikan kue.
PEMBAHASAN Guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha menggunakan kesantunan linguistik tuturan imperatif saat bertutur dengan anak-anak. Hal itu merupakan salah satu upaya menanamkan kesantunan bahasa bagi anak didik. Pembiasaan kesantunan bahasa kepada anak dengan memberikan teladan bahasa yang santun merupakan langkah yang tepat. Tuturan imperatif yang digunakan guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha memiliki kekhasan sebagai berikut. 1. Penggunaan tuturan panjang Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan cenderung semakin tidak santunlah tuturan itu. Panjang pendek tuturan berhubungan sangat erat dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan dalam bertutur (Rahardi, 2005: 119). Berikut ini tuturan panjang sebagai penanda kesantunan dalam tuturan imperatif oleh guru dan pengasuh kepada anak didik di TPA Sanggar Rubinha. Penggunaan tuturan panjang perintah biasa. Pemberian perintah biasa dengan disertai alasan akan membuat anak lebih mudah menerima. Selain itu, penggunaan tuturan panjang sebelum memberikan perintah sekaligus mengajarkan anak didik kesantunan dalam tutur. Bentuk tuturan seperti itu disampaikan pengasuh kepada Ryu dengan menyampaikan Ryu, kalau tapenya dipakai mainan, nanti rusak, Ryu nanti ndak bisa nonton lagu. Tuturan panjang, yang berisi akibat yang ditimbulkan, dapat dipahami anak. Setelah memahami tuturan tersebut, anak pun mau menerima perintah yang disampaikan. Penggunaan tuturan panjang permintaan. Penggunaan kalimat permintaan dengan tuturan panjang berisi alasan menunjukkan kesantunan dalam tutur. Bentuk tuturan seperti itu disampaikan pengasuh saat meminta anak-anak membereskan kertas sisa mainan. Sebelum menyampaikan permintaan, pengasuh menggunakan tuturan panjang, anak-anak, kertasnya berserakan banyak gitu. Penggunaan tuturan panjang perintah mengizinkan. Pemberian izin, disertai syarat yang harus dipenuhi, memberikan gambaran kesantunan tuturan. Pengasuh mengizinkan Naya yang meminta izin untuk bermain krayon. Pengasuh menggunakan tuturan panjang dengan menyampaikan bahwa boleh, tapi krayonnya ndak boleh tercecer ya, nanti dimakan adikadik yang kecil. Tuturan panjang pengasuh tersebut telah memenuhi unsur kesantunan. Penggunaan tuturan panjang perintah ajakan. Penggunaan tuturan panjang pada perintah ajakan memberikan kesan santun sehingga tuturan terasa bukan sebagai perintah. Contoh tuturan guru memberikan perintah ajakan kepada Baim untuk bisa mengajari adikadik yang lain merapikan mainan. Tuturan perintah ajakan dengan tuturan panjang ‘Baim, Baim kan paling besar’ telah menunjukkan kesantunan. Penggunaan tuturan panjang perintah bersyarat. Penggunaan tuturan panjang sekaligus berisi perintah bersyaratdapatmenimbulkan kesantunan tuturan. Tuturan perintah seperti itu 158
disampaikan pengasuh kepada Dzakiyah agar ke dapur makan dengan teman-teman. Pengasuh menuturkan syarat kalau ingin dijemput Abi harus makan terlebih dahulu. Perintah bersyarat dengan tuturan panjang tersebut membentuk kesantunan berbahasa. Penggunaan tuturan panjang perintah sindiran. Perintah sindiran, dengan tuturan panjang, menimbulkan kesantunan. Pengasuh menyindir Tania dengan mengatakan ‘Tania pintar ya dan nanti Bunda bilangkan Mama ya’ karena telah membuang-buang susu Adik Aisha. Penggunaan sindiran tersebut terbukti dapat dipahami dan menghentikan tingkah Tania. Penggunaan tuturan panjang perintah larangan. Penggunaan tuturan panjang pada perintah larangan menimbulkan kesan yang santun. Guru memberikan perintah larangan kepada Memei (2,5 tahun) dan Zea (1,6 tahun). Keduanya sedang asyik bermain pintu kamar. Guru melarang dengan tuturan ‘ndak mainan pintu ya dan tangannya kejepit itu nanti, kalau berdarah bunda biarin saja ya?’ Selain bertujuan menghentikan kedua anak memainkan pintu, juga memberikan gambaran akibat kalau tidak mematuhi larangan tersebut. Penggunaan tuturan panjang perintah harapan. Penggunaan tuturan panjang pada perintah harapan dapat menimbulkan kesan santun. Saat guru menyampaikan perintah kepada anak-anak untuk sholat dzuhur berjamaah. Pemberian perintah tersebut disertai dengan harapan. Selain bertujuan memberikan perintah juga memberikan harapan yang memotivasi anak-anak untuk mematuhi perintah tersebut. Penggunaan tuturan tersebut menjadikan tuturan menjadi santun. Penggunaan tuturan panjang seru. Pemberian seruan tersebut sebagai bentuk peringatan keras, namun tetap menggunakan tuturan panjang sebagai bagian kesantunan tutur. Penggunaan tuturan keras jarang digunakan guru dan pengasuh, kecuali sudah benar-benar keterlaluan. Guru TPA Sanggar Rubinha memberikan tuturan panjang seru kepada anak. Dahlan, sebagai anak baru masuk, memiliki kebiasaan memukul teman. Pengasuh memberikan peringatan keras dengan sedikit membentak dan memberikan peringatan. 2.
Penggunaan urutan tuturan Hymes (Rahardi (2005: 121) menyampaikan bahwa konsep mnomonik “SPEAKING”, dalam teori etnografi komunikasi, bahwa urutan tutur (acts sequence) menentukan makna sebuah tuturan. Sebuah tuturan yang sebelumnya kurang santun dapat menjadi santun ketika tuturan itu ditata kembali urutannya. Penataan ulang tuturan berpengaruh terhadap maksud yang ingin disampaikan. Dengan demikian, urutan sebuah tuturan ikut mempengaruhi kesantunan sebuah tuturan. Tuturan yang mengubah urutan tuturan sebagai penanda kesantunan dalam tuturan imperatif di TPA Sanggar Rubinha Samarinda adalah sebagai berikut. Penggunaan urutan tuturan perintah biasa. Penggunaan tuturan perintah biasa dengan mengubah susunan tuturan dapat menjadikan tuturan perintah terasa lebih santun. Pengasuh memberikan perintah kepada Hannil untuk merapikan buku-buku yang berserakan di kelas. Pengasuh merubah tuturan perintah dengan terlebih dahulu memberikan peringatan. Penggunaan urutan tuturan permintaan. Sebuah permintaan akan lebih santun apabila urutannya disesuaikan. Tuturan saat guru meminta Zea untuk tidak menggigit teman, didahului dengan uraian akibat menggigit. Tuturan itu dapat dipahami anak untuk tidak diulang lagi sekaligus menimbulkan kesantunan. Penggunaan urutan tuturan perintah mengizinkan. Tuturan perintah mengizinkan akan lebih santun apabila merubah urutan tuturan. Pola tersebut dipakai guru TPA Sanggar Rubinha. Seperti saat Fadlan menyampaikan keinginan untuk ikut belajar. Pemberian izin tersebut didahului pernyataan agar Fadlan sarapan terlebih dahulu. Tuturan tersebut menimbulkan kesan perintah mengizinkan menjadi lebih santun. 159
Penggunaan urutan tuturan perintah ajakan. Perintah ajakan akan lebih halus apabila urutan tuturannya diubah. Contoh tuturan guru mengajak anak-anak untuk berkumpul. Ajakan tersebut didahului dengan tuturan yang menarik untuk anak dengan menawarkan kue. Anak-anak suka rela berkumpul sesuai dengan perintah ajakan guru tersebut. Penggunaan urutan tuturan perintah bersyarat. Tuturan perintah dengan mendahulukan syarat memberikan kesan santun pada tuturan. Saat guru TPA Sanggar Rubinha mengajak anak-anak untuk duduk didahului dengan tuturan syarat agar disebut anak sholeh. Anakanak suka dipuji sebagai anak soleh. Anak-anak dengan senang hati melakukan perintah guru agar disebut anak sholeh. Penggunaan urutan tuturan perintah sindiran. Perintah sindiran akan menjadi santun dengan merubah urutan tuturan. Pengasuh menyindir Madhan yang sedang asyik bermain bedak di kamar. Pengasuh menyindir dengan tuturan kotor ya kamarnya. Madhan mainin bedak ya. Tuturan yang berisi sindiran tersebut efektif membuat Madhan berhenti bermain bedak sekaligus menjadikan tuturan yang santun. Penggunaan urutan tuturan perintah larangan. Pembalikan urutan tuturan perintah larangan dengan diawali tuturan lain membuat tuturan menjadi santun. Contoh tuturan berisi perintah larangan untuk Ahmad (4 tahun) agar tidak mandi sendiri. Tuturan larangan tersebut diawali dengan tuturan lain Ahmad kalau tidak mau terkunci, pas mau mandi bilang sama Bunda. Penggunaan urutan tuturan perintah harapan. Tuturan berisi perintah harapan disampaikan dengan pengubahan susunan akan menimbulkan kesantunan. Contoh tuturan berisi perintah harapan untuk Yasmin untuk menyampaikan ke orang tua kalau Yasmin sudah tidak pakai pampers lagi. Tuturan tersebut didahului dengan pengantar tuturan lain. Hal itu menjadikan tuturan santun dan memperhalus perintah harapan yang disampaikan. Penggunaan urutan tuturan seru. Tuturan seru sebenarnya cenderung kasar terlebih kepada anak-anak. Pengasuh mengurangi kesan tersebut dengan melakukan perubahan urutan tuturan. Contoh tuturan perintah seru pengasuh kepada Baim karena buang air besar di celana. Situasi tersebut memaksa pengasuh menggunakan perintah seru. Perintah tersebut berupa cepat ke kamar mandi, dibersihkan! Tuturan tersebut didahului dengan tuturan lain tu kan pupup (buang air besar) di celana; Jadi bau kan kamarnya? Kenapa Baim tidak bilang-bilang? Kalau mau pup bilang Bunda. Situasi tutur seperti itu memang memicu emosi dan memungkinkan pengasuh menggunakan perintah seru. Perubahan urutan tutur dapat memperhalus tuturan seru apalagi disampaikan kepada anak-anak. 3.
Intonasi dan isyarat-isyarat kinestetik Menurut Sunaryati (Rahardi, 2005: 123) intonasi adalah tinggi rendah suara, panjangpendek suara, keras-lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan. Penggunaan intonasi pada tuturan turut berperan dalam menciptakan kesantunan sebuah tuturan imperatif. Selain intonasi, kesantunan penggunaan tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinestetik yang dimunculkan melalui bagian tubuh penutur. Lawan tutur guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha adalah anak didik. Guru dan pengasuh untuk dapat bertutur dengan intonasi suara yang lemah mempertimbangkan psikologis anak, sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya sebatas pada eskpresi wajah dan gerakan tangan yang mengikuti tuturan. Apabila terdapat anak yang melakukan kesalahan atau tidak menurut, guru dan pengasuh menunjukkan ekspresi wajah marah atau jengkel. Anak-anak sudah dapat memahami dan menangkap pesan isyarat kinestetik yang disampaikan guru dan pengasuh. Lamanya interaksi yang terjalin membuat guru, pengasuh, dan anak saling memahami satu sama lain, termasuk isyarat kinestetik masing-masing. 160
4.
Penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Dari bermacam-macam penanda kesantunan itu dapat disebutkan beberapa sebagai berikut: tolong, mohon, silakan, mari, biar, ayo, coba, harap, hendak (lah/nya), dan sudi kiranya, dan sudi kiranya/ sudilah kiranya/ sudi apalah kiranya. Ungkapan penanda kesantunan contoh tuturan di lingkungan TPA Sanggar Rubinha digunakan sebagai penanda kesantunan perintah biasa, permintaan, mengizinkan, ajakan, bersyarat, sindiran, larangan, harapan, panjang seru. Berbagai penanda yang digunakan di antaranya tolong, ayo, coba, dan tidak apa-apa. Penggunaan penanda yang dominan adalah kata tolong. Anak-anak di TPA Sanggar Rubinha Samarinda dibiasakan dalam aktivitas yang melibatkan orang lain menggunakan kata tolong. Hal itu dimulai dari pemberian contoh tuturan-tuturan yang disampaikan oleh guru dan pengasuh.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan bahasa tutur khususnya kalimat imperatif guru dan pengasuh kepada anakanak di TPA Sanggar Rubinha memiliki kekhasan. Berdasarkan penelitian kekhasan tersebut adalah: pertama, guru dan pengasuh menggunakan tuturan yang panjang. Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Penggunaan tuturan yang panjang tersebut menggunakan berbagai variasi antara lain tuturan panjang perintah biasa, tuturan panjang permintaan,tuturan panjang perintah bersyarat, tuturan panjang perintah sindiran, tuturan panjang perintah larangan, tuturan panjang perintah harapan, dan tuturan yang panjang seru. Kedua, guru dan pengasuh menggunakan urutan tuturan. Penggunaan urutan tutur (acts sequence) menentukan makna sebuah tuturan. Variasi penggunaan urutan tuturan tersebut di antaranya urutan tuturan perintah biasa, urutan tuturan permintaan, urutan tuturan perintah mengizinkan, urutan tuturan perintah ajakan, urutan tuturan perintah bersyarat, urutan tuturan perintah sindiran, urutan tuturan perintah larangan, urutan tuturan perintah harapan, dan urutan tuturan panjang seru. Ketiga, guru dan pengasuh menggunakan intonasi dan isyarat-isyarat kinestetik. Lawan tutur dalam lingkup TPA Sanggar Rubinha adalah anak didik. Oleh karena itu, guru dan pengasuh dituntut untuk dapat bertutur dengan bahasa yang halus. Sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya pada eskpresi wajah. Apabila terdapat anak yang melakukan kesalahan atau tidak menurut guru dan pengasuh cukup menunjukkan ekspresi wajah marah atau jengkel, anak-anak sudah bisa memahami dan mengikutinya. Keempat, guru dan pengasuh menggunakan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Berbagai penanda yang digunakan di antaranya adalah tolong, ayo, coba, dan tidak apa-apa. Penggunaan penanda yang dominan adalah kata tolong. Anak-anak di TPA Sanggar Rubinha dibiasakan dalam aktivitas yang melibatkan orang lain menggunakan kata tolong. Hal itu dimulai dari pemberian contoh tuturan-tuturan yang disampaikan oleh guru dan pengasuh. Saran Anak pada usia pra-sekolah mengalami perkembangan bahasa yang luar biasa. Momentum tersebut harus dimanfaatkan dengan baik untuk menstimulasi bahasa anak termasuk 161
tuturan yang santun. Orang tua sebagai pihak paling bertangggung jawab harus memberikan perhatian dan waktu ekstra untuk menstimulasi bahasa anak. Orang tua, apabila pertimbangan kesimbukan, harus menyerahkan kepada pihak yang dirasa mampu seperti memasukkan ke Taman Penitipan Anak. Bahasa tutur, terutama tuturan imperatif orang tua, guru, maupun pengasuh meskipun disampaikan kepada anak, justru harus memperhatikan kesantunan. Tuturan yang disampaikan akan menjadi model bagi anak untuk menirukannya.
DAFTAR RUJUKAN http://kbbi.web.id. Santun. Diakses 28 Oktober 2014. ______________. Bahasa Sopan Santun. Diakses 28 Oktober 2014. Masfufah, Nurul. 2013. ‘Ketidaksantunan Berbahasa di SMA N 1 Surakarta: Sebuah Kajian Sosiopragmatik’. Dalam Yudianti Herawati (Ed). Benua Etam: Bunga Rampai Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan. 99-122. Yogyakarta: Azzagrafika. Miles, Matthew B. dan A. Micheal Huberman. 2007. Analisis Data Kualitataif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press. Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moleong, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rahardi, R. Kunjana.1999. Imperatif dalam bahasa Indonesia. Humaniora. Vol. 11. Nomor 2. Yogyakarta: FIB UGM. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Yogyakarta: Erlangga. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wijana, I Dewa Putu dan Mohammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Praqmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Yahya, Agus Shaleh. 2011. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Siswa Pekerja Genting terhadap Motivasi Belajar dan Moral Siswa di MTs Negeri Sukaraja Kabupaten Majalengka. Tesis. Cirebon: Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati.
162
PEMEROLEHAN FONOLOGI ANAK DI TIGA PAUD KECAMATAN BANJARMASIN UTARA (PHONOLOGY ACQUISITION OF CHILDRENS OF THREE PAUD IN NORTH BANJARMASIN SUBDISTRICT) M. Rafiek dan Rusma Noortyani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Phonology Acquisition of Childrens of Three PAUD in North Banjarmasin Subdistrict. This study aims to describe and explain the child’s acquisition of phonology in early childhood subdistrict of North Banjarmasin. This study uses Jakobson’s theory of universal structural theory. The method used in this study is a qualitative research method to approach language acquisition. This study used cross-sectional techniques. The results of this study are minimal pairs of consonants and vowels children in the district of North Banjarmasin. In addition, there are also children of early childhood language phoneme distribution in the district of North Banjarmasin, involving vowels, diphthongs, and consonants. Key words: phonology acquisition, minimal pairs, phoneme distribution
Abstrak Pemerolehan Fonologi Anak di Tiga PAUD Kecamatan Banjarmasin Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pemerolehan fonologi anak di PAUD kecamatan Banjarmasin Utara. Penelitian ini menggunakan teori Jakobson tentang teori struktural universal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan pemerolehan bahasa. Penelitian ini menggunakan teknik cross sectional. Hasil penelitian ini adalah pasangan minimal konsonan dan vokal anak PAUD di kecamatan Banjarmasin Utara. Selain itu, ditemukan pula distribusi fonem bahasa anak PAUD di kecamatan Banjarmasin Utara, yang menyangkut vokal, diftong, dan konsonan. Kata-kata kunci: pemerolehan fonologi, pasangan minimal, distribusi fonem
PENDAHULUAN Pemerolehan bahasa anak menurut Dharmawijono dan Suparwa (2009: 73-80) sekurangkurangnya ada empat, yaitu diferensiasi fonologi, diferensiasi morfologi, diferensiasi leksikal, dan diferensiasi semantik. Penelitian pemerolehan bahasa meliputi pemerolehan fonologi, pemerolehan morfologi, pemerolehan sintaksis, dan pemerolehan semantik. Pemerolehan fonologi berupa pemerolehan bunyi bahasa, baik menyangkut huruf vokal maupun konsonan. Pemerolehan fonologi ini dimulai sejak anak mulai bisa berbicara hingga anak bisa mengucapkan kosakata pertama. Clark dan Clark (1977: 375-376) menyebut pemerolehan fonologi ini dengan bunyi-bunyi pertama atau bunyi-bunyi ujaran. Namun Clark dan Clark (1977: 381) juga mengutip hasil penelitian Shvachkin pada tahun 1973 tentang pemerolehan fonologi anak Rusia. Jadi, Clark dan Clark juga mengakui adanya istilah pemerolehan fonologi. Steinberg, Nagata, dan Aline (2001: 5) menyebut pemerolehan fonologi sebagai urutan pemerolehan konsonan dan vokal. Jakobson (dalam Steinberg, Nagata, dan Aline, 2001: 5) menjelaskan tentang teori berdasarkan teori fitur distinktif tentang oposisi fonologis yang 163
berupaya untuk memprediksi urutan pemerolehan bunyi-bunyi ujaran. Clark dan Clark (1977: 380) mengatakan bahwa anak tidak hanya belajar untuk mempersepsi dan mengidentifikasi perbedaan segmen-segmen fonetik tetapi juga belajar kaidah-kaidah fonologis untuk mengkombinasikan segmen-segmen ke dalam urutan-urutan. Teori pemerolehan fonologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural universal dari Jakobson (1968). Teori struktural universal Jakobson ini mencoba menjelaskan tentang pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yaitu hukumhukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi (Chaer, 2009: 202). Menurut Jakobson (Chaer, 2009: 202), ada dua tahap dalam pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa dan (2) tahap pemerolehan bahasa murni. Jakobson (Chaer, 2009: 205) menyatakan bahwa yang menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa dunia. Menurut Chaer (2009: 204), jika suatu bahasa memiliki bunyi hambat velar seperti [g], bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t] dan bunyi hambat bilabial [b]. Chaer (2009: 204) menyatakan bahwa jika suatu bahasa memiliki bunyi hambat alveolar [t] dan [d], bahasa itu juga pasti mempunyai bunyi hambat bilabial [b] dan [p], tetapi belum tentu bahasa itu memiliki bunyi velar [g] dan [k]. Chaer (2009: 204) juga menyatakan bahwa jika suatu bahasa memiliki konsonan frikatif [v] dan [s], bahasa itu pasti mempunyai konsonan hambat seperti [t] dan [b]. Chaer (2009: 205) menyatakan bahwa: kontras vokal pertama yang diperoleh anak-anak adalah kontras vokal lebar [a] dengan vokal [i]. Lalu diikuti kontras vokal sempit depan [i] dengan vokal sempit belakang [u]. Sesudah itu baru antara vokal [e] dengan vokal [u] dan vokal [o] dengan vokal [e]. Jakobson dan Hall (dalam Chaer, 2009: 204) menyatakan bahwa pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai dengan satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Oleh karena itu, bunyi pertama yang diucapkan oleh seorang bayi adalah ma atau pa. Hal ini diperkuat oleh Dardjowidjojo (2003: 244) yang menyatakan bahwa konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal serta vokalnya adalah /a/. Menurut Dardjowidjojo (2003: 246), anak mula-mula menguasai bunyi konsonan bilabial dengan vokal /a/, kemudian alveolar dan velar. Dardjowidjojo (2003: 246) menyatakan bahwa yang universal itu adalah urutan pemunculan bunyi-bunyi bahasa itu. Bunyi /r/ muncul pada Echa saat dia berusia 4 tahun 9 bulan (Dardjowidjojo, 2003: 246). Akan tetapi adik Echa, Dira, telah dapat mengucapkan bunyi /r/ pada usia 3 tahun (Dardjowidjojo, 2003: 246). Dalam proses pemerolehan fonologis, produksi tuturan anak merupakan hasil aplikasi sistem fonologi nurani yang dimilikinya kepada representasi fonologi yang didapatinya setelah mendengar ucapan orang dewasa (Yulianto, 2004: 285). Lust (2006:176) menyatakan seperti di bawah ini tentang pemerolehan fonologi setelah usia 12 bulan (1 tahun). Consistent with Jakobson’s theory, acquisition of phonology after the first twelve months represents a linguistic, not merely a motoric, challenge for children. They gradually extend their phonetic repertoire; many of the fundamental phonetic dimensions Jakobson identified may guide the course of this language acquisition. …. Development over the first twelve months in acquisition of phonology does not simply reflect maturation, …. . (Konsisten dengan teori Jakobson, pemerolehan fonologi setelah 12 bulan pertama merepresentasikan linguistik, tidak hanya 164
motorik, tantangan untuk anak. Mereka secara setahap demi setahap memperpanjang repertoire fonetik; banyak dimensi fonetik fundamental Jakobson diidentifikasi akan memandu jalan pemerolehan bahasa ini. …. Perkembangan setelah 12 bulan pertama dalam pemerolehan fonoogi tidak mudah merefleksikan maturasi (kedewasaan), …. .
METODE Penelitian menggunakan pendekatan pemerolehan bahasa dan berjenis penelitian kualitatif. Pendekatan pemerolehan bahasa ini dipilih karena dinilai tepat untuk meneliti pemerolehan bahasa dengan aspek fonologi pada anak usia PAUD. Dalam pendekatan pemerolehan bahasa terdapat teknik cross sectional yang dapat digunakan untuk meneliti objek banyak. Hal ini sesuai dengan pandangan Larsen-Freeman dan Long (1991: 11) yang menyatakan bahwa pendekatan cross sectional meneliti subjek dengan jumlah yang lebih besar tentang performansi linguistiknya dan data performansinya harus dikumpulkan hanya pada satu sesi atau waktu tertentu. Sementara, Ellis (1995: 109) menyatakan bahwa studi cross sectional secara konsisten akurat ketika difokuskan atas makna komunikasi. Lokasi penelitian ini adalah PAUD di Kecamatan Banjarmasin Utara, yaitu PAUD Nur Amalia, PAUD Al Muhajirin dan PAUD Bachri Education. Teknik pengumpulan data berupa observasi dan perekaman serta pencatatan. Alat perekam yang digunakan ialah kamera digital bermerk Sony berwarna hitam dengan kapasitas 12,1 Mega Pixel. Rekaman berupa video yang didapat kemudian dipindah ke dalam notebook melalui Bluetooth dan kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan untuk dianalisis. Analisis data dilaksanakan dengan langkahlangkah sebagai berikut. 1) Mengumpulkan dan menginventarisasi bunyi-bunyi, baik dalam bahasa Banjar maupun bahasa Indonesia. 2) Mengelompokkan bunyi-bunyi tersebut menjadi kelompok fon dan kelompok fonem. 3) Menganalisis data berdasarkan hasil pengelompokkan data. 4) Menyimpulkan hasil analisis data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pasangan Minimal Pasangan minimal adalah dua ujaran yang salah satu unsurnya berbeda, dua unsur yang sama kecuali dalam hal satu bunyi saja (Kridalaksana, 2001: 156). Fonem-fonem itu ditetapkan berdasarkan kontras pasangan minimal sebagai berikut. Pasangan Minimal Konsonan Tabel 1. Pasangan Minimal Konsonan
165
Pasangan Minimal Vokal Untuk menetapkan vokal bahasa anak diperlukan pasangan minimal sebagai berikut. Tabel 2. Pasangan Minimal Vokal
166
Distribusi Fonem Distribusi Fonem Vokal Distribusi fonem vokal dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut. a. Distribusi vokal /i/ Distribusi vokal /i/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel-tabel berikut. Tabel 3. Distribusi Vokal /i/
167
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, vokal /i/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. b. Distribusi vokal /a/ Tabel 4. Distribusi Vokal /a/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, vokal /a/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. 168
c. Distribusi vokal /u/ Tabel 5. Distribusi Vokal /u/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, vokal /u/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. d. Distribusi vokal /e/ Tabel 6. Distribusi Vokal /e/
169
e. Distribusi vokal /o/ Tabel 7. Distribusi Vokal /o/
Secara keseluruhan, pemerian distribusi vokal seperti telah diuraikan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut. Tabel 8. Distribusi Vokal Bahasa Anak
Keterangan: V = dapat menempati posisi - = tidak dapat menempati posisi
170
Distribusi Diftong a. Distribusi diftong /ai/ Distribusi diftong /ai/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 9. Distribusi Diftong /ai/
Berdasarkan kenyataan seperti tertera pada tabel 4.9 di atas, diftong /ai/ menempati posisi awal dan akhir kata. b. Distribusi diftong /au/ Distribusi diftong /au/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10. Distribusi Diftong /au/
Berdasarkan kenyataan seperti tertera pada tabel 10 di atas, diftong /au/ hanya menempati posisi akhir kata. c. Distribusi diftong /oi/ Tabel 11. Distribusi Diftong /oi/
Berdasarkan kenyataan seperti tertera pada tabel 11 di atas, diftong /oi/ hanya menempati posisi akhir kata. Secara keseluruhan, pemerian distribusi diftong seperti telah diuraikan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut.
171
Tabel 12. Distribusi Diftong Bahasa Anak
Keterangan V = dapat menempati posisi - = tidak dapat menempati posisi Distribusi Fonem Konsonan Distribusi fonem konsonan dapat diuraikan pada tabel-tabel berikut. a. Distribusi konsonan /b/ Tabel 13. Distribusi Konsonan /b/
172
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /b/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. a. Distribusi konsonan /c/ Tabel 14. Distribusi Konsonan /c/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /c/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.
173
a. Distribusi konsonan /d/ Tabel 15. Distribusi Konsonan /d/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /d/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata. a. Distribusi konsonan /f/ Tabel 4.16 Distribusi Konsonan /f/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /f/ dapat menempati posisi awal dan akhir kata. b. Distribusi konsonan /g/ Tabel 17. Distribusi Konsonan /g/
174
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /g/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata. c. Distribusi konsonan /h/ Tabel 18. Distribusi Konsonan /h/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /b/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. 175
d. Distribusi konsonan /j/ Tabel 19. Distribusi Konsonan /j/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /j/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. e. Distribusi konsonan /k/ Tabel 20. Distribusi Konsonan /k/
176
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /k/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. f. Distribusi konsonan /l/ Tabel 21. Distribusi Konsonan /l/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /l/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. 177
g. Distribusi konsonan /m/ Tabel 22. Distribusi Konsonan /m/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /m/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.
178
h. Distribusi konsonan /n/ Tabel 23. Distribusi Konsonan /n/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /n/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. i. Distribusi konsonan /p/ Tabel 24. Distribusi Konsonan /p/
179
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /p/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. j. Distribusi konsonan /r/ Tabel 25. Distribusi Konsonan /r/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /r/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.
180
k. Distribusi konsonan /s/ Tabel 26. Distribusi Konsonan /s/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /s/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. l. Distribusi konsonan /t/ Tabel 27. Distribusi Konsonan /t/
181
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /t/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. m.Distribusi konsonan /w/ Tabel 28. Distribusi Konsonan /w/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /t/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.
182
n. Distribusi konsonan /y/ Tabel 29. Distribusi Konsonan /y/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /y/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata. o. Distribusi konsonan /ñ/ Tabel 30. Distribusi Konsonan /ñ/
183
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /ñ/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata. Distribusi konsonan /h/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 31. Distribusi Konsonan /K/
Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /K/ dapat menempati posisi awal, tengah dan akhir kata. Secara keseluruhan, pemerian distribusi konsonan seperti telah diuraikan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut. Tabel 32. Distribusi Konsonan Bahasa Anak
184
Keterangan: V = dapat menempati posisi - = tidak dapat menempati posisi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pemerian struktur bahasa anak yang ditinjau dari aspek-aspek yang berkaitan dengan fonologi sebagai berikut. 1. Dalam bahasa anak ditemukan pasangan minimal konsonan dan vokal a) Pasangan minimal konsonan Pasangan minimal konsonan terdiri atas 4 pasangan, yakni /r/ : /h/, /w/ : /y/, /b/:/t/, /m/:/ l/ b) Pasangan minimal vokal Pasangan minimal vokal terdiri atas 7 pasangan, yakni /a/ : /i/, /i/ : /u/, /a/ : /e/, /i/ : /o/, /a/ : /o/, /o/ : /u/, /a/ : /u/
185
2. Distribusi fonem bahasa anak a) Distribusi vokal bahasa anak yang meliputi /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ menempati semua posisi b) Distribusi diftong bahasa anak yang meliputi /ai/,/au/,dan/oi/. Diftong /ai/ menempati posisi awal dan akhir. Diftong /au/ dan /oi/ hanya menempati posisi akhir c) Distribusi konsonan meliputi /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /b/, /h/, /r/, /s/, /t/, /w/, /y/, /sy/, /K/ , /c/ , /d/, /g/, /j/, /ñ/ konsonan /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /b/, /h/, /r/, /s/, /t/, /w/, /y/, /K/, dan /sy/ menempati semua posisi. Konsonan /c/, /d/, /g/, /j/, dan /ñ/ menempati posisi awal dan tengah. Dalam pemerolehan fonologi anak di tiga PAUD di Kecamatan Banjarmasin Utara ditemukan bahwa anak belum bisa mengucapkan s secara fasih. Konsonan s diucapkan c seperti celasa (selasa), cudah (sudah), picang (pisang), dan becal (besar). Anak PAUD juga ada yang tidak bisa mengucapkan konsonan b di awal seperti isa (bisa), aca (baca), dan anyu (banyu=air), l di tengah seperti baon (balon), c di awal seperti ape (capek) dan antik (cantik), d di awal seperti uit (duit), j di awal seperti elek (jelek), angan (jangan), dan aket (jaket), t di awal seperti embakan (tembakan), c di awal dan l di tengah seperti okat (coklat), s di awal seperti endok (sendok), m di awal seperti otor (motor), ain (main), dan ata (mata), m di awal dan l di akhir yang berubah menjadi bunyi y seperti obiy (mobil), g di awal seperti ajah (gajah), k di awal seperti amis (kamis), n di awal seperti angis (nangis) dan anti (nanti), dan l di awal seperti awang (lawang=pintu). Anak PAUD yang diteliti ada yang tidak bisa mengucapkan konsonan r yang berubah menjadi konsonan l seperti lobot (robot), huluf (huruf), galing (garing=sakit), kelual (keluar), lapi (rapi), lambut (rambut), nomol (nomor), sayul (sayur), belat (berat), telul (telur), waina (warna), yumah (rumah), meyah (merah), dan teybang (terbang). Anak PAUD yang diteliti ada yang kurang fasih atau kurang lengkap mengucapkan nga (telinga), sigala (serigala), kual (keluar), anjak (handak=hendak, mau), hiumau (harimau), dan ngan (tangan). Anak PAUD yang diteliti ada yang mengucapkan vokal o menjadi u karena pengaruh bahasa Banjar seperti mubil (mobil). Ada yang mengucapkan vokal i menjadi e seperti tope (topi) karena pengaruh bahasa Banjar. Ada juga yang mengucapkan u menjadi o seperti anggor (anggur). Ada pula yang memang mengucapkan kata bahasa Banjar seperti kalo (kalau), bapoto (berfoto), japai (sentuh), abah (ayah), garing (sakit), jungkang (jungkal), tulak (berangkat), indah (tidak mau), pacul (copot atau lepas), tabakar (terbakar), bedungsur (bergelincir), menuruti (mengikuti, mencoba menyamai), dan lawasnya (lamanya). Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan kepada para guru yang mengajar di PAUD agar melatihkan atau mengajarkan pelafalan fonem yang benar dan fasih kepada para anak. Peneliti juga menyarankan kepada para peneliti berikutnya agar melakukan penelitian tentang pemerolehan fonologi anak pada PAUD yang lokasinya lebih besar misalnya sekota atau sekabupaten kalau perlu seprovinsi. Peneliti juga menyarankan kepada para peneliti berikutnya agar melakukan penelitian pemerolehan fonologi dengan menggunakan teori generatif struktural universal, teori proses fonologi alamiah, teori prosodi akustik, atau teori kontras dan proses.
186
DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Clark, Herbert H. dan Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language, An Introduction to Psycholinguistics. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor. Dharmowijono, Widjajanti W. dan Suparwa, I Nyoman. 2009. Psikolinguistik, Teori Kemampuan Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press. Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press. Jakobson, Roman. 1968. Child Language Aphasia and Phonological Universals. The Hague: Mouton Publishers. Larsen-Freeman, Diane dan Long, Michael H. 1991. An Introduction to Second Language Acquisition Research. London and New York: Longman. Lust, Barbara. 2006. Child Language, Acquisition and Growth. Cambridge: Cambridge University Press. Steinberg, Danny D.; Nagata, Hiroshi; dan Aline, David P. 2001. Psycholinguistics, Language, Mind, and World. England: Pearson Education Limited. Yulianto, Bambang. 2004. Keuniversalan Proses Fonologis dalam Tuturan Anak. Dalam Katharina Endriati Sukamto (Ed.).. Menabur Benih Menuai Kasih, Persembahan Karya Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono pada Ulang Tahunnya yang ke-75 (Hal. 285-305). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
187
188
KAJIAN BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI DINDANG (FORM, MEANING, AND FUNCTION ANALYSIS OF DINDANG) Marfuah SMA Negeri 2 Kandangan, Jalan Gambah, Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, e-mail
[email protected] Abstract Form, Meaning, and Function Analysis of Dindang. This research aims to describe in detail and study the text of Dindang Banjar Hulu then we can find out its form in Banjar Hulu society’s life, its meaning that is used by them and the function of Dindang Texts for Banjar Hulu Society. This research has some conclusions. First, the forms of dindang that have been inventoried in this research are two, those are dindangBanjar Hulu in pantun form (DBHBP) and dindang Banjar Hulu in free poetry form (DBHBPB). Dindang Banjar Hulu in pantun form (DBHBP) has two variations, those are dindang Banjar Hulu in fast poem form (8 dindang texts) and dindangBanjar Hulu in common poem form (18 dindang texts). There are 8 texts dindang Banjar Hulu in free poetry form (DBHBPB). Second, this research has inventoried 11 meanings of dindang Banjar Hulu, they are, M1 means hopes and prayers (4), M2 means praise to figure (5), M3 means euphemism (7), M4 means care to other person (2), M5 means respect the other person (2), M6 means teamwork (2), M7 means critical to the inappropriate attitude meaning (6), M8 means appreciate the other person’s achievement (3), M9 means sensitive/alert (3), M10 means responsibility (1), M11 means heart-feeling expression (2). Third, dindangBanjar Hulu has 5 functions, they are (a) recreative functions (34 dindang texts), (b) passionate functions (4 dindang texts), (c) value expression functions (17 dindang texts), (d) social critism functions (4 dindang texts), (e) social relationship functions (3 dindang texts). Several dindang Banjar Hulu have more than one function. Key words: dindang, form, meaning, function
Abstrak Kajian Bentuk, Makna, dan Fungsi Dindang. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci dan mempelajari teks Dindang Banjar Hulu maka kita dapat mengetahui bentuk dalam kehidupan Banjar Hulu masyarakat, artinya yang digunakan oleh mereka dan fungsi Dindang Teks untuk Banjar Hulu Society. Penelitian ini memiliki beberapa kesimpulan. Pertama, bentuk Dindang yang telah diinventarisasi dalam penelitian ini adalah dua, mereka yang Dindang Banjar Hulu dalam bentuk pantun (DBHBP) dan Dindang Banjar Hulu dalam bentuk puisi bebas (DBHBPB). Dindang Banjar Hulu dalam bentuk pantun (DBHBP) memiliki dua variasi, mereka yang Dindang Banjar Hulu dalam bentuk puisi cepat (8 teks Dindang) dan Dindang Banjar Hulu dalam bentuk puisi umum (18 teks Dindang). Ada 8 teks Dindang Banjar Hulu dalam bentuk puisi bebas (DBHBPB). Kedua, penelitian ini telah diinventarisasi 11 makna Dindang Banjar Hulu, mereka, M1 berarti harapan dan doa (4), M2 berarti pujian untuk gambar (5), M3 berarti eufemisme (7), M4 berarti hati untuk orang lain (2), M5 berarti menghormati orang lain (2), M6 berarti kerja sama tim (2), M7 berarti penting untuk sikap yang tepat berarti (6), M8 berarti menghargai prestasi orang lain(3), M9 berarti sensitif/alert (3), M10 berarti tanggung jawab(1), M11 berarti-perasaan hati ekspresi (2). Ketiga, Dindang Banjar Hulu memiliki 5 fungsi, yaitu (a) fungsi rekreatif (34 teks Dindang), (b) fungsi bergairah (4 teks Dindang), (c) fungsi ekspresi nilai (17 teks Dindang), (d) fungsi kritik sosial (4 teks Dindang), (e) fungsi hubungan sosial (3 teks Dindang). Beberapa Dindang Banjar Hulu memiliki lebih dari satu fungsi. Kata-kata kunci: dindang, bentuk, makna, fungsi 189
PENDAHULUAN Sastra lisan merupakan bagian kehidupan masyarakat tradisional yang mengandung nilainilai luhur. Oleh masyarakat tradisional, nilai-nilai luhur tersebut dipelihara dan dijunjung tinggi sebagai norma-norma dalam kehidupan. Sebagai norma dalam kehidupan, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sastra lisan menjadi pegangan hidup yang dipatuhi dan ditaati sebagai hukum tidak tertulis. Dengan tetap memelihara dan mematuhi nilai-nilai tersebut, kehidupan masyarakat akan tetap terjaga keharmonisannya, baik keharmonisan antaranggota masyarakat, maupun keharmonisan dengan alam sekitar sebagai lingkungan kehidupan mereka. Sastra lisan yang berbentuk dindang perkembangannya tidak sepesat sastra modern. Padahal dindang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Banjar, yaitu sebagai media penyampai nilai-nilai luhur kehidupan dan sebagai media komunikasi sosial untuk menyampaikan ajaran, nasihat, dan sebagai sarana perekat hubungan pertemanan. Penelitian mengenai sastra lisan dindang yang tergolong sebagai nyanyian rakyat masyarakat Banjar belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, untuk melengkapi penelitian tentang sastra lisan, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang teks dindang yang merupakan salah satu jenis sastra lisan yang dimiliki masyarakat Banjar Hulu.
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode hermeneutika Ricoeur. Cara kerja hermeneutika Ricoeur adalah mengadakan interpretasi terhadap teks sastra sebagai usaha untuk membongkar makna-makna yang tersembunyi di balik setiap kata dan larik yang ada dalam teks. Menurut Ricoeur dalam Endraswara (2011: 45), ada tiga langkah pemahaman yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam penelitian sastra secara hermeneutik. Pertama, berlangsung mulai penghayatan simbol-simbol tentang ‘berpikir dari’ simbol-simbol tersebut, artinya simbol tersebut melukiskan apa. Kedua, pemberian makna simbol dan pemberian makna simbol dari penggalian makna yang tepat. Ketiga, berpikir filosofis, yaitu menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
HASIL Bentuk teks dindang Banjar Hulu yang berhasil diinventarisasi dalam penelitian ini ada 2, yakni teks dindang Banjar Hulu Berbentuk pantun (DBHBP) dan teks dindang Banjar Hulu berbentuk puisi bebas (DBHBPB). Teks dindang Banjar Hulu Berbentuk pantun (DBHBP) memiliki dua variasi, yakni teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun kilat/ karmina (8 teks dindang) dan teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun biasa (18 teks dindang). Teks dindang Banjar Hulu berbentuk puisi bebas (DBHBPB) ada 8 teks dindang. Berdasarkan hasil interpretasi terhadap makna teks dindang Banjar Hulu, penelitian ini berhasil menginventarisasi 11 makna teks dindang Banjar Hulu, yakni M 1 bermakna harapan dan doa (4), M 2 bermakna pujian terhadap tokoh (5), M 3 bermakna mengolok-olok/ bercanda (7), M 4 bermakna peduli kepada orang lain (2), M 5 bermakna menghargai orang lain (2), M 6 bermakna bekerja sama (2), M 7 bermakna kritik terhadap sikap yang kurang tepat (6), M 8 bermakna menghargai prestasi orang lain (3), M 9 bermakna memiliki sikap peka/ waspada (3), M 10 bermakna bertanggung jawab (1), M 11 bermakna curahan hati (2). Teks dindang Banjar Hulu mempunyai 5 fungsi, yaitu: (a) fungsi rekreatif (34 teks dindang), (b) fungsi pembangkit semangat (4 teks dindang), (c) fungsi penyampai nilai (20) teks dindang), 190
(d) fungsi sebagai kritik sosial (4 teks dindang),dan (e) fungsi perekat hubungan sosial (3 teks dindang). Beberapa teks dindang Banjar Hulu ada yang memiliki lebih dari satu fungsi.
PEMBAHASAN Bentuk Teks Dindang Banjar Hulu Teks dindang Banjar Hulu memiliki dua bentuk, yakni teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun (DBHBP) dan teks dindang Banjar Hulu berbentuk puisi bebas (DBHBPB) Teks Dindang Banjar Hulu Berbentuk Pantun (DBHBP) Teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun terbagi dua, yaitu pantun kilat atau karmina dan pantun biasa. Dindang Banjar Hulu berbentuk pantun kilat/ karmina yang berhasil dikumpulkan ada 8 teks dindang. Berikut contoh teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun kilat/ karmina. Sapi dundang kuliling binting Rambut panjang kada bagunting Sapi dundang hadangan dama-dama Siapa bisa badindang dibarii susu mama Sapi dundang keliling benteng rambut panjang tidak digunting Sapi dundang kerbau dama-dama Siapa bisa berdindang diberi susu mama Teks dindang Banjar Hulu yang berbentuk pantun biasa yang berhasil dikumpulkan berjumlah 18 teks dindang. Berikut contoh teks dindang berbentuk pantun biasa. Yun yun nana Pucuk rabung di sana Injam payung ujar uma Mamayungi anak Cina Yun yun nana Pucuk rebung di sana Pinjam payung ujar mama Untuk memayungi anak Cina Teks Dindang Banjar Hulu Berbentuk Puisi Bebas (DBHBPB) Teks dindang Banjar Hulu berbentuk puisi bebas yang berhasil dikumpulkan ada 8 teks dindang. Berikut contoh teks dindang Banjar Hulu yang berbentuk puisi bebas. Laaa ilaahaillallah Muhammadur Rasulullah Anakku guring disuruh guring Matanya kalat bawa bapajam Anakku pintar parajakian Rajin baamal wan pambarian Anakku pintar urang baiman Matanya kalat disuruh guring 191
Guring-guring anakku guring Kuguringakan dalam ayunan Allah ya Allah malikul rahman Kurniakan ya Allah kuatakan iman Barakat syafaat rasul akhir zaman Tarangakan hati anakku mambaca Alquran Guring-guring anakku guring Kuguringakan dalam ayunan (Faridah) Laaa ilaahaillallah Muhammadur Rasulullah Anakku tidur disuruh tidur Matanya rasa (mulai) mengantuk dipejamkan Anakku pintarbanyak rejeki Rajin beramal dan dermawan Anakku pintar orang beriman Matanya rasa (mulai) mengantuk disuruh tidur Tidurtidur anakku tidur Kutidurkan dalam ayunan Allah ya Allah malikul rahman Kurniakan ya Allah kuatkan iman Berkat syafaat rasul akhir zaman Terangkan hati anakku membaca Alquran Tidur tidur anakku tidur Kutidurkan dalam ayunan Makna Teks Dindang Banjar Hulu (1)harapan dan doa (M 1) Unggat-unggat apung, apung sinali-nali. Anakku bauntung, mudahan naik haji. Unggat-unggat apung, apung sinali-nali. Anakku bauntung, mudahan tamat mangaji. Unggat-unggat apung, apung tali rapia. Anakku bauntung, sugihnya liwar biasa. Unggat-unggat apung, apung badapa-dapa. Anakku bauntung, bakti wan ibu bapa. Unggat-unggat apung, apung bagama-gama Anakku bauntung, manjadi pamuka agama. Unggat-unggat apung, apung puhun rumbia. Anakku bauntung, matinya masuk surga (Asmuni, 2012: 45)
192
Unggat-unggat apung, apung sinali-nali. Anakku beruntung, mudah-mudahan naik haji. Unggat-unggat apung, apung sinali-nali. Anakku beruntung, mudah-mudahan tamat mengaji. Unggat-unggat apung, apung tali rapia. Anakku beruntung, kaya luar biasa. Unggat-unggat apung, apung badap-dapa. Anakku beruntung, bakti dengan ibu bapak. Unggat-unggat apung, apung bagama-gama Anakku beruntung, menjadi pamuka agama. Unggat-unggat apung, apung pohon rumbia. Anakku beruntung, matinya masuk surga Isi teks dindang selalu diawali dengan kata anakku bauntung. Ungkapan itu merupakan harapan dan doa orang tua untuk anaknya. Beruntung menurut Syamsudin “ditafsirkan dengan beberapa keberhasilan atau pencapaian yang diharapkan dapat diperoleh anak”. Keberuntungan yang pertama yang tergambar pada bait pertama adalah naik haji. Naik haji bagi masyarakat Banjar merupakan tujuan hidup sebagai penyempurna keislaman seseorang. Keberuntungan yang kedua yang diharapkan orang tua adalah tamat mengaji. Tamat mengaji bagi orang Banjar menjadi ukuran keberhasilan orang tua dalam mendidik anak dalam hal keagamaan. Anak-anak Banjar sebelum memasuki usia remaja sudah menamatkan Al Quran. Hal itu menjadi budaya yang berkembang hingga saat ini. Kaya raya adalah harapan orang tua yang tergambar pada bait ketiga. Salah satu ukuran keberuntungan dalam hidup adalah adalah kaya. Orang yang kaya dianggap orang yang beruntung. Anak yang berbakti dengan orang tua adalah ciri anak yang cerdas spiritual. Hal itu tergambar pada bait keempat dindang Banjar Hulu (5). Memiliki anak cerdas spiritual merupakan keberuntungan bagi orang tua selain keberuntungan anak itu sendiri. Menjadi pemuka agama adalah harapan orang tua yang terungkap pada bait kelima. Pemuka agama sangat dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat. Memiliki anak yang menjadi pemuka agama merupakan suatu keberuntungan, karena masyarakat Banjar sangat menghormati dan memuliakan pemuka agama termasuk keluarganya. Teks dindang Banjar Hulu tersebut ditutup dengan bait keenam yang berisi harapan agar apabila anaknya meninggal akan masuk surga. Bagi orang kebanyakan masuk surga adalah tujuan dalam hidup. Memiliki anak yang beruntung di dunia dan beruntung di akhirat menjadi harapan setiap orang tua. (2)puji-pujian (M 2) Bismillah intan papuyu Jarinya lantik anak malayu Turun ka batang babaju biru Naik ka rumah mambawa buku Bismillah intan kamuning Jarinya lantik anak Pa Tuan Turun ka batang babaju kuning Naik ka rumah mambaca Quran (Mahasanah) 193
Bismillah intan papuyu Giginya lentik anak melayu Turun ke sungai berbaju biru Masuk ke rumah membawa buku Bismillah intan kemuning Jarinya lentik anak Pa Tuan Turun ke sungai berbaju kuning Naik ka rumah membaca Quran Teks dindang Banjar Hulu tersebut merupakan teks dindang yang dilantunkan para pemuda untuk menarik simpati gadis idamannya. Teks dindang ini berisi dua bait. Semuanya merupakan isi. Bait pertama diawali dengan kata bismillah. Bismillah merupakan kalimat pembuka yang diucapkan sebelum memulai pekerjaan. Pekerjaan yang diawali dengan kata bismillah menandakan niat yang baik, tulus dan suci, karena Allah. Penyebutan kata intan merupakan penghargaan dan penilaian tertinggi kepada seorang gadis. Intan simbol dari permata yang bernilai tinggi dan disukai oleh banyak orang. Kata papuyu digunakan hanya untuk mendapatkan keindahan bunyi dengan menempatkan rima yang sama. Sanjungan berikutnya menegaskan betapa cantik dan sempurnanya gadis pujaan hati. Hal itu dapat dilihat pada larik Jarinya lantik anak malayu. Anak Melayu menjelaskan asal-usul si gadis. Gadis Melayu terkenal cantik dan ayu. Larik ketiga dan keempat merupakan penjelasan perilaku si gadis. Hal itu tergambar pada larik Turun ka batang babaju biru. Naik ka rumah mambawa buku. Batang berarti sungai. Gadis yang turun ke sungai merupakan gambaran bahwa gadis tersebut jika berumah tangga akan menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang pandai mengurus rumah tangga. Ungkapan membawa buku menggambarkan gadis yang pintar dalam arti berpengetahuan luas. Gadis yang cantik, pandai mengurus rumah tangga dan pintar merupakan gadis idaman setiap laki-laki. Bait kedua juga diawali kata bismillah. Kata bismillah merupakan kalimat tayyibah atau kata-kata yang baik yang menggambarkan itikat yang baik, karena perbuatannya didasari dengan sumpah atas nama Allah. Intan kamuning ungkapan yang bernada sanjungan kepada si gadis. Ungkapan Intan kamuning menggambarkan kecantikan si gadis yang alami. Kemuning merupakan bunga yang biasanya tumbuh di tengah hutan dan memiliki bau yang harum. Jadi kemuning merupakan simbol kecantikan gadis yang alami. Larik kedua pada bait kedua menjelaskan bahwa gadis tersebut keturunan baik-baik. Pa Tuan bagi masyarakat Banjar merupakan orang yang memiliki kedudukan terhormat atau orang yang ditokohkan. Meskipun anak tokoh masyarakat, namun gadis tersebut memiliki sifat yang baik, yaitu mengerjakan pekerjaan di rumah. Turun ka batang biasanya bagi orang Banjar di pahuluan untuk mencuci pakaian atau untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang lain, seperti membersihkan ikan atau mencuci beras untuk memasak. Secara keseluruhan, gadis tersebut merupakan gambaran gadis yang sempurna. Apalagi ditambah dengan perilaku yang lain yang mencerminkan gadis yang religius. Hal itu terlihat pada ungkapan mambaca Quran. Jadi, teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna puji-pujian (M 2). (3) Mengolok-olok/ bercanda (M 3) Cuk cuk bimbi Bimbiku daun sarunai 194
Tacucuk takulibi Muha ikam kaya panai Sagincul liu-liu Sagincul liu-liu (Seman, 2010: 13) Cuk cuk bimbi Bimbiku daun sarunai Tertusuk mencibir Mukamu seperti cobek Sagincul liu-liu Sagincul liu-liu Teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna olok-olok. Namun, di balik kata-kata yang bernada mengolok-olok tersebut terkandung sindiran yang menggambarkan orang yang ‘bermuka masam’ akan terlihat jelek. Kecantikan atau kejelekan wajah seseorang tidak ditentukan oleh bentuk fisiknya, tetapi lebih kepada ekspresi yang digambarkan oleh wajahnya. Meskipun orangnya cantik tapi kalau roman mukanya tidak ramah seperti ekspresi mencibir tentu wajahnya akan menjadi tidak cantik. Hal itu digambarkan dengan ungkapan Tacucuk takulibi, Muha ikam kaya panai. Jadi, teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna makna olok-olok terhadap sesama teman (M 3). (4) peduli kepada orang lain (M 4) Yun yun nana Pucuk rabung di sana Injam payung ujar uma Mamayungi anak Cina (Norjanah) Yun yun nana Pucuk rebung di sana Pinjam payung ujar mama Untuk memayungi anak Cina Teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna kepedulian terhadap sesama meskipun berbeda agama, suku ataupun etnis dengan dirinya. Payung merupakan lambang perlindungan. Perlindungan tersebut diberikan tanpa melihat perbedaan. Pada masa lalu, etnis Cina dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Banjar. Namun, dalam teks dindang tersebut hal itu tidak terlihat. Yang tergambar justru indahnya kebersamaan dengan memberikan perlindungan kepada ‘anak Cina’. Teks dindang Banjar Hulu (4) mengandung makna peduli kepada orang lain (M 4). (5) menghargai orang lain (M 5) Cung parahu Siapa kana kada tahu Bapadah badahulu Jangan disalahakan aku (Samiah)
195
Cung perahu siapa kena tidak tahu Minta izin sebelumnya jangan disalahkan aku Teks dindang Banjar Hulu tersebut biasa dilantunkan anak-anak sambil bermain balasam. Permainan ini menggunakan alat permainan berupa pecahan piring/beling. Sebelum permainan dimulai yang kena giliran melempar undas untuk menentukan wilayah yang dikuasai. Sambil melempar undas di atas kepala anak tersebut melantunkan teks dindang. Kata cung menurut Samiah, informan dalam penelitin ini bermakna minta izin. Penggunaan kata-kata tersebut pada teks dindang menggambarkan kesantunan anak-anak Banjar Hulu. Sikap santun tidak hanya diperlihatkan anak-anak Banjar Hulu kepada orang tua, namun kepada teman-teman sepermainan pun sikap itu tetap dijunjung tinggi. Hal itu merupakan bentuk penghargaan kepada sesama. Permohonan izin sebelum melakukan kegiatan agar orang-orang yang di sekitarnya dapat waspada atau berhati-hati. Di samping itu, permohonan izin tersebut dimaksudkan agar apabila aktivitas yang dilakukan mengganggu atau menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain tidak akan menimbulkan konflik. Sikap itu merupakan sikap saling menghargai. Aktivitas yang dilakukan tidak menutup kemungkinan akan merugikan orang lain meskipun dilakukan tanpa sengaja. Sebagai orang yang beradab tentu keberadaan orang lain tidak pernah diabaikan. Teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna menghargai orang lain (M 5). (6) bekerja sama (M 6) Kaka kaka ranggamilang Banih kita dimakan burung Hulat bulu mahindiki Anak pipit maipii Kaka kaka ranggamilang Banih kita dimakan burung Anai-anai mahindiki Anak pipit maipii (H. Helmi) Kakak Kakak ranggamilang Padi kita dimakan burung Ulat bulu menginjak-injak Anak pipit memetiki Kakak kakak ranggamilang Padi kita dimakan burung Anai-anai menginjak-injak Anak pipit memetiki Teks dindang Banjar Hulu tersebut bermakna kerja sama dalam melakukan pekerjaan. Kerja sama yang saling menguntungkan menggambarkan bentuk persahabatan. Kerja sama antara hulat bulu dan burung pipit, kerja sama antara anai-anai dan anak pipit hanya sebuah simbol. Adapun yang ingin disampaikan adalah urgensi dari sebuah hubungan adalah kerja sama yang saling menguntungkan. Dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna bekerja sama (M 6). 196
(7) kritik sosial ( M 7) Kastila masak mangkal Dijajak linak-linak Urang tuha kada baakal Malawani kanak-kanak (Syamsudin) Pepaya masak mengkal Diinjak lembek-lembek Orang tua tidak berakal Malawan anak-anak Teks dindang Banjar Hulu tersebut terdiri dari satu bait. Larik ketiga dan keempat merupakan isi. Kekesalan terhadap perilaku orang tua disampaikan melalui ungkapan Urang tuha kada baakal. Kada baakal sebagai ungkapan keadaan yang berarti tidak mempunyai akal. Tidak mempunyai akal dalam hal ini bukan berarti gila, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dan bertindak sebagaimana mestinya. Kata kada baakal merupakan ungkapan kekesalan luar biasa. Yang menjadi dasar pernyataan pada larik ketiga terjawab pada larik keempat, yaitu malawani kanak-kanak. Malawani pada konteks itu bukan berarti melakukan perlawanan, namun bermakna mengganggu. Perilaku orang dewasa yang mengganggu keamanan dan kenyamanan anak-anak dianggap sebagai perilaku orang yang tidak mempunyai akal, dalam arti tidak mampu berpikir secara baik dan benar. (8)menghargai prestasi (M 8) Mang gulimang Hulu parang hulu badik Mun manang kutimang Mun kalah kupicik (Hartati) Mang gulimang Hulu parang hulu badik Kalau menang kutimang Kalau kalah kupencet Secara keseluruhan, makna teks dindang Banjar Hulu tersebut adalah motivasi untuk memacu anak agar berusaha memperoleh keberhasilan dengan memberikan penghargaan terhadap prestasi yang diperolehnya. (9) sikap peka/ waspada (M 9) Ampik-ampik hundang Hundangku tangkap lapas Di mana bunyi urang Bukah lakas-lakas (Khairunnisa)
197
Ampik-ampik undang undangku tangkap lepas Di mana bunyi orang Lari cepat-cepat Dindang ini juga berisi pesan agar tidak mudah percaya pada orang. Lari merupakan cara menghindar agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sikap curiga yang berlebihan memang tidak baik, namun memiliki waspada memang perlu. Teks dindang Banjar Hulu (2) mengandung makna sikap peka/ waspada (M 9). (10) tanggung jawab (M 10) Sang sang tut bakul rumbis Siapa bakantut buritnya bakudis Sang sang tut bigi tiwadak Siapa bakantut buritnya maladak Sang sang tut nyiur rabah Siapa bakantut dipukul abah (Norjanah) Sang sang tut bakul rusak Siapa berkentut pantatnya berkudis Sang sang tut biji cempedak Siapa berkentut pantanya meledak Sang sang tut kelapa tumbang Siapa berkentut dipukul ayah Teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna konsekuensi dari sebuah perbuatan. Kentut merupakan simbol dari perbuatan yang kurang baik. Perbuatan yang kurang baik apabila dilakukan akan berdampak yang kurang baik pula. Kudis merupakan penyakit kulit yang sangat menjijikkan. Berkentut dan penyakit kudis memang tidak ada hubungan dari segi medis. Tidak ada analisis yang didasarkan pada ilmu kesehatan yang dapat membuktikan hubungan keduanya. Namun, kentut dan kudis merupakan sebuah simbol dari perbuatan yang kurang baik. Perbuatan yang kurang baik apabila dilakukan akan menjadi penyebab penderitaan. Bait kedua juga mengandung makna hubungan kausal atau hubungan sebab akibat. Setiap perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan akibat dari perbuatan tersebut. Berkentut akan menyebabkan pantatnya meledak. Berkentut merupakan sebuah simbol dari sebuah perbuatan yang kurang baik. Perbuatan itu apabila dilakukan akan menyebabkan pantat meledak. Pantat meledak juga sebuah simbol dari penderitaan. Bait ketiga juga mengandung makna konsekuensi dari suatu perbuatan yang dilakukan. Perbuatan berkentut akan membuat kemarahan orang lain atau orang tua. Dipukul ayah merupakan akibat dari perbuatan anak kurang baik yang harus diterimanya Teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna tanggung jawab (M 10).
198
(11) curahan hati (M 11) Sungai Turak Sungai Turak sungai Kidaung Rumput tagah dikilan raja Mata lapas badan takurung Tunduk sapu si banyu mata Sungai Turak sungai Kidaung Rumput tagah di daun paring Mata lapas badan takurung Siang malam kada taguring (Asmuni, 2012: 41) Sungai Turak Sungai Turak sungai Kidaung Rumput keras diukur raja Mata lepas badan terkurung Tertunduk menyapu si air mata Sungai Turak sungai Kidaung Rumput keras di daun bambu Mata lepas badan terkurung Siang malam tidak bisa tidur Sungai Turak merupakan judul dindang Banjar Hulu yang bernotasi. Lagu Banjar tersebut digubah oleh H. Anang Ardiansyah yang diambilnya dari teks dindang yang berkembang pada masyarakat Banjar Hulu. Teks dindang Banjar Hulu tersebut terdiri dari dua bait. Bait pertama merupakan curahan hati dari orang yang tidak memiliki kebebasan. Si aku liris seperti burung dalamsangkar. Hal itu terungkap pada larik Mata lapas badan takurung. Keadaan itu membuat dia sangat menderita. Kesedihan dan kepedihan dialami karena tidak memiliki kebebasan, tidak memiliki kemerdekaan. Kesedihan yang dalam terungkap pada larik Tunduk sapu si banyu mata. Bait kedua juga berisi curahan hati tentang penderitaan yang dialami akibat tidak ada kemerdekaan dalam hidupnya. Keadaan itu membuat dia tidak dapat tidur. Seperti diungkapkan pada larik terakhir Siang malam kada taguring. Tidak bisa tidur disebabkan beban berat yang ditanggung. Beban berat tersebut disebabkan kemerdekaan yang dirampas dari kehidupan. Jadi, teks dindang Banjar Hulu tersebut mengandung makna curahan hati (M 11). Fungsi Dindang Banjar Hulu Fungsi Rekreatif Teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi rekreatif dapat dikenali dengan penggunaan kata-kata yang berisi olok-olok/candaan dan kata-kata yang menyiratkan ungkapan kasih sayang serta dilantunkan berulang-ulang. Selain itu, teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi rekreatif sering digunakan untuk mengiringi permainan anak-anak. Berikut contoh dindang Banjar Hulu yang mengandung fungsi rekreatif. Cuk cuk bimbi Bimbiku daun sarunai Tacucuk takulibi Muha ikam kaya panai 199
Sagincul liu-liu Sagincul liu-liu (Seman, 2010: 13) Fungsi Pembangkit Semangat Teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi sebagai pembangkit semangat dapat dilihat dari kata-kata yang digunakan dapat menumbuhkan motivasi dan menggugah semangat. Berikut contoh teks dindang berikut juga berfungsi rekreatif (FR). Mang gulimang Hulu parang hulu badik Mun manang kutimang Mun kalah kupicik Fungsi Penyampai Nilai Dalam kehidupan masyarakat tentu memiliki nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai norma yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Nilai-nilai luhur tersebut dipelihara dan dijunjung tinggi sebagai norma-norma dalam kehidupan. Melalui karya sastra, masyarakat menyampaikan, mewariskan dan mempertahankan nilai-nilai tersebut dengan tujuan agar kehidupan masyarakat akan tetap terjaga keharmonisannya. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai karakter bangsa. Teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi sebagai penyampai nilai karakter bangsa isinya mengandung nilai-nilai kehidupan dan memberi nasihat untuk berbuat baik. Berikut contoh teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi penyampai nilai keagamaan. Namun, selain berfungsi sebagai penyampai nilai (FPN), contoh dindang berikut juga berfungsi rekreatif (FR). Cung parahu Siapa kana kada tahu Bapadah badahulu Jangan disalahakan aku (Samiah) Fungsi Kritik Sosial Teks dindang Banjar Hulu yang berisi kritik, sindiran atau protes merupakan dindang yang berfungsi sebagai kritik sosial (FKS). Teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi sebagai kritik sosial yang berhasil dikumpulkan ada 4 teks dindang. Keempat teks dindang tersebut merupakan jenis dindang permainan anak-anak. Berikut contoh teks dindang Banjar Hulu yang berfungsi sebagai kritik sosial. Selain berfungsi sebagai kritik sosial (FKS), contoh teks dindang berikut juga berfungsi rekreatif (FR). Katela masak mangkal Dijajak linak-linak Urang tuha kada baakal Malawani kanak-kanak (Syamsudin)
200
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat Banjar mempunyai sastra lisan yang berbentuk dindang. Sastra lisan tersebut berbentuk pantun dan berbentuk puisi bebas. Adapun teks dindang Banjar Hulu tersebut bermakna harapan dandoa, pujian terhadap tokoh, mengolok-olok, peduli kepada orang lain, menghargai orang lain, bekerja sama, kritik terhadap sikap yang kurang tepat, menghargai prestasi orang lain, memiliki sikap peka/waspada, bertanggung jawab, dan curahan hati. Teks dindang Banjar Hulu mempunyai 5 fungsi, yaitu (a) fungsi rekreatif (34 teks dindang), (b) fungsi pembangkit semangat (4 teks dindang), (c) fungsi penyampai nilai (20 teks dindang), (d) fungsi sebagai kritik sosial (4 teks dindang), dan (e) fungsi perekat hubungan sosial (3 teks dindang). Beberapa teks dindang Banjar Hulu ada yang memiliki lebih dari satu fungsi. Saran Mengingat banyaknya dan beragamnya jenis sastra lisan yang dimiliki oleh masyarakat Banjar yang masih tersebar secara lisan di berbagai daerah di Kalimantan Selatan, perlu ada usaha untuk menggali dan mengumpulkan sastra lisan tersebut agar generasi mendatang mengetahui dan mengenal karya sastra yang menjadi kekayaan budaya daerahnya sehingga mereka memiliki kebanggaan.
DAFTAR RUJUKAN Asmuni, Fahrurraji. 2012. Mengenal Sastra Lisan Banjar Hulu.Kandangan: Sahabat. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:Caps. Seman, Syamsiar.2010. Permainan Tradisional Orang Banjar. Kalimantan Selatan: Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar.
201
202
SITUASI DIGLOSIA PADA PENUTUR BAHASA NGAJU DI KECAMATAN KATINGAN TENGAH KABUPATEN KATINGAN KALTENG (DIGLOSIA SITUATION ON THE NGAJU LANGUAGE SPEAKERS IN KATINGAN REGENCY CENTRAL KATINGAN SUBDISTRICT OF CENTRAL KALIMANTAN) Lili Agustina dan Zulkifli Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend H. Hasan Basry, Kampus Kayutangi, Banjarmasin, e-mail
[email protected] Abstract Diglosia Situation on the Ngaju language Speakers in Katingan Regency Central Katingan Sub-district of Central Kalimantan. This study aims to determine the language used and to know the diglossia situation on the ngaju language speakers in the Sub-district of Central Katingan of Central Kalimantan.The approach used in this study is descriptive qualitatif, using descriptive methods. Data collection techniques in this study is the observation, interviews, literature, engineering record/listen and record engineering. Data on diglossia views of the seven domains, namely the domain of family, the domain of the association, the domain of buying and selling, the religious domain, the domain of government, education domain, and the domain of the profession / occupation. Besides, the data was obtained by language selection, such as from editorials in newspaper, news programs, and folklore. Based on the findings of the research showed that the Ngaju language speakers are bilingual and multilingual. This can be seen with the various languages used and mastery of each Ngaju language speakers. The results of the research based on the domain and the domain of association with friends, showed that still uses the language speakers of its dominating Ngaju, in the domain of buying and selling, seen that the Banjar language more dominant. Functions of English as the language of buying and selling in Sub-district of Central Katingan, Katingan Regency. In the domain of religion, especially the worship in the Church formed the situation of triglosik (Ngaju language use and language Indonesia balanced), while preaching in the Mosque more dominant language as the language of Indonesia (T). The domain of government, education and profession domain domain of situations diglosia happened is more its dominating Indonesia language is using as the language of high range (T), although a less steady diglosia occurred in the domain of education, spoken the learner speakers of language mastery as a result of Indonesia Ngaju, still less steady. Language selections being used in newspaper editorials and newspaper editorials and news programs using high speech. In contrast, folklore dominantly uses language Ngaju even though there also folklores using language Indonesia. Keywords: diglosia, domain, ngaju language
Abstrak Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahasa yang digunakan dan untuk mengetahui situasi diglosia pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, dengan menggunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, kepustakaan, teknik rekam/simak dan teknik catat. Data tentang diglosia dilihat dari tujuh ranah, yakni ranah keluarga, ranah pergaulan, ranah transaksi jual beli, ranah agama, ranah pemerintahan, ranah pendidikan, dan ranah profesi/pekerjaan. Selain itu juga, data 203
diperoleh dari pemilihan bahasa, seperti di editorial surat kabar, siaran berita, dan sastra rakyat. Berdasarkan temuan penelitian menunjukan bahwa penutur bahasa Ngaju merupakan bilingual dan multilingual. Hal ini terlihat dengan beragamnya bahasa yang digunakan dan penguasaan dari masing-masing penutur bahasa Ngaju. Hasil penelitian berdasarkan ranah keluarga dan ranah pergaulan dengan teman sesuku, menunjukan bahwa masih dominannya penutur menggunakan bahasa Ngaju, dalam ranah transaksi jual beli, terlihat bahwa bahasa Banjar lebih dominan. Fungsi bahasa Banjar sebagai bahasa transaksi jual beli di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan. Dalam ranah agama, khususnya kebaktian di Gereja terbentuk situasi triglosik (penggunaan bahasa Ngaju dan bahasa Indonesia seimbang), sedangkan khotbah di Masjid lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa tinggi (T). Ranah pemerintahan, ranah pendidikan dan ranah profesi, situasi diglosia yang terjadi adalah lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), walaupun terjadi diglosia yang kurang mantap pada ranah pendidikan yang dituturkan pelajar penutur Ngaju akibat penguasaan bahasa Indonesia yang masih kurang mantap. Pemilihan bahasa yang digunakan dalam editorial surat kabar dan siaran berita menggunakan bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), sedangkan sastra rakyat lebih dominan menggunakan bahasa Ngaju (R) walaupun terdapat juga menggunakan bahasa Indonesia. Kata-kata kunci: diglosia, ranah, bahasa ngaju
PENDAHULUAN Berbagai suku yang terdapat di Kalimantan Tengah termasuk di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan membuat masyarakatnya mengenal ragam bahasa lebih dari satu. Hal ini dapat terlihat, para penutur di Kabupaten Katingan memiliki beragam suku bangsa, seperti suku Dayak, suku Banjar, suku Jawa, dan suku lainnya. Fenomena yang terjadi di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan adalah akibat masyarakat bahasa yang majemuk adalah bahasa pendatang (bahasa Banjar) yang memberikan pengaruh terhadap bahasa pribumi atau bahasa Ngaju/dialek Katingan itu sendiri. Dengan adanya variasi atau ragam bahasa yang diakibatkan keanekaragaman penutur Indonesia membuat penutur Indonesia harus bisa memilah atau memilih bahasa apa yang akan digunakan. Pemilihan bahasa yang dilakukan oleh penutur bahasa sehingga menyebabkan muncullah situasi berbahasa yang bersifat diglosik dengan memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam situasi yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa Ngaju dan mendeskripsikan situasi diglosia pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Di Indonesia kita mengenal adanya ragam bahasa bahasa baku meskipun ada satu ragam baku, tetapi juga ditemukan situasi dalam beberapa bahasa, yakni dalam sebuah bahasa ditemukan dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati hanya saja berbeda fungsi dan pemakaiannya saja, situasi ini dinamakan diglosia (Sumarsono dan Partana, 2002:36). Istilah diglosia ini pertama kali diperkenalkan oleh Ferguson untuk melukiskan situasi dan fenomena kebahasaan yang terjadi, yakni di negara-negara Swiss, Yunani, Arab dan Haiti. Istilah diglosia yang dikenalkan oleh Ferguson di atas membahas tentang ragam bahasa yang lebih tinggi atau H (High) dan ragam bahasa rendah L (Low), dengan memperhatikan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan kesusastraan, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi. Dari penjelasan Ferguson tadi, diglosia kemudian dikembangkan menjadi luas oleh Fishman (dalam Rokhman, 2013:21) yang mengartikan diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyarakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa”, dan tidak hanya terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat 204
juga dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apapun yang berbeda secara fungsional). Dari pernyataan yang dikemukakan oleh Fishman dapat diketahui bahwa definisi diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Bila mengutip dari pendapat Fishman ini, maka istilah diglosia di Kalimantan Tengah tidak hanya adanya beberapa dialek yang digunakan dalam situasi diglosik, tapi adanya bahasa Banjar yang masuk dan digunakan oleh penduduk setempat boleh jadi menggambarkan masyarakat diglosik, walaupun bahasa Banjar bukan satu rumpun bahasa dayak Kalimantan Tengah.
METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hal ini karena pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian tentang ucapan, tulisan, dan perilaku yang dapat diamati/dilihat dari suatu individu, kelompok, dan masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data sebagai berikut. a. Mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, rekaman dan dokumentasi, kemudian menganalisis keadaan bahasa masyarakat tutur di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah berdasarkan data yang telah dikumpulkan. b. Menganalisis situasi diglosia dalam ranah-ranah pembicaraan masyarakat tutur. Kemudian, data yang sudah dianalisis tersebut masing-masing diklasifikasikan berdasarkan tabel pengumpulan data. c. Setelah itu dapat ditarik kesimpulan dari data yang sudah dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ranah Keluarga Berdasarkan hasil wawancara terhadap penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng dapat dikategorikan bahasa daerah, yakni bahasa Ngaju dalam ranah keluarga ini lebih dominan walaupun juga terdapat pengunaan bahasa Banjar dan bahasa Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Ngaju dalam ranah keluarga tergolong bagus untuk pemertahanan bahasa Ngaju. Penutur bahasa Ngaju dapat memilah dan memilih bahasa yang digunakan dalam situasi dan kondisi tertentu sehingga timbullah situasi berbahasa yang bersifat diglosik. Situasi diglosia dapat dilihat pada tuturan di bawah ini. Tempat Bahasa Situasi Partisipan
: Di rumah : Ngaju dan Banjar : Informal : Ibu (42 tahun) dan anak (22 tahun)
Anak : Mai, kueh Sika nah? (Ma, di mana Sika?) Ibu : Tawa tah, aku bara ndau melai dapur ih. Buhen gau Sika nah? (tidak tahu, aku dari tadi di dapur. Mengapa mencari Sika?) Anak : Handak misek ih melai kueh Sika mina kunci motor. (mau bertanya di mana Sika menaruh kunci motor) Ibu : Dengangku kunci motor nah, aku handak hapan motor kau. (dengan aku kunci motor, aku mau pakai motor itu). Anak : Handak ka kueh pian nah? (Mau ke mana Mama?) 205
Ibu
: Aku handak ka pasar sanjulu, mili balut akan kuman. (Aku mau ke pasar sebentar, beli lauk buat makan). Anak : Balasut lagi andau nah Mai, coba pian mili melai warung indu Wiwin kanih ih, tukep. (harinya masih panas, Ma, coba beli di warung Ibu Wiwin sana saja, dekat). Pada peristiwa tutur tersebut yang dituturkan oleh anak dan ibunya. Tuturan tersebut terlihat menggunakan bahasa Ngaju dan juga terdapat kosakata bahasa Banjar. Hal ini dapat dilihat anak menggunakan kata ganti pian kepada ibunya. Kata ganti pian merupakan bahasa Banjar. Kata tersebut digunakan agar lebih santun dan lebih berprestise ketika berbicara kepada ibunya. Perlu diketahui bahwa anak dan ibu ini juga bisa berbahasa Banjar. Oleh sebab itulah, penutur bisa dikatakan bilingual. Pemilihan bahasa Banjar (pian) dalam tuturan tersebut adanya faktor sosial, untuk menghormati ibunya. Bahasa : Indonesia Situasi : Informal Partisipan : Ayah (43 tahun), ibu (40 tahun) dan dua anaknya masing-masing berumur 20 dan 18 tahun. Ibu Anak Ayah Anak
: Sudah semuanya dimasukan, tidak ada yang ketinggalan kan? : Sudah semua, Mah, tinggal menunggu Arman. : Jam berapa mau berangkat. : Sebentar lagi, Pah. Arman ke rumah dulu, baru kami berangkat sama-sama.
Dari data keluarga yang suami dan istrinya berprofesi sebagai pegawai negeri. Suami dan istri tersebut berasal dari etnis Ngaju Katingan. Pada hasil pengamatan yang diperoleh, dalam komunikasi sehari-hari keluarga ini menggunakan bahasa Indonesia. Kedua anaknya juga menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang tuannya dan temantemannya. Penggunaan bahasa Indonesia yang dikatakan sebagai ragam bahasa tinggi (T) dalam ranah keluarga yang dilakukan oleh keluarga yang berpendidikan tinggi, mereka lebih memilih bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari. Dari tuturan terlihat bahwa bahasa Indonesia masuk ke dalam ranah rendah, yakni keluarga. Adanya tumpang tindih dalam pemilihan bahasa mengakibatkan situasi diglosia yang kurang mantap pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Peristiwa bahasa inilah yang mengakibatkan kebocoran atau ketirisan diglosia. Variabel lain yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahasa yang digunakan penutur bahasa Ngaju pada ranah keluarga dalam penelitian ini adalah usia, pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan usia penutur bahasa Ngaju digolongkan generasi muda (pelajar) lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa campuran bahasa daerah dan bahasa Indonesia, sedangkan generasi tua lebih banyak menggunakan bahasa Ngaju dalam berkomunikasi di rumah. Berdasarkan pendidikan, penutur bahasa Ngaju yang berpendidikan tinggi (sarjana) lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia yang lebih berprestise ketika bertutur dengan ayah, ibu dan saudara di rumah. Ranah Pergaulan Bahasa yang digunakan bila berbicara dengan teman akrab yang sesuku, maka lebih dominan menggunakan bahasa Ngaju, bila berbicara dengan teman akrab yang tidak sesuku, penutur bahasa Ngaju memilih menggunakan bahasa Banjar dan juga bahasa Indonesia. 206
Tempat Bahasa Situasi A B A B A B A B A B A B
: Di warung : Banjar : Informal : Masih lah Mang Apin di PAM, lumayan sudah. (Paman Apin masih di PAM, lumayan sudah) : Masih di PAM. : Masih, tapi di Kasongan lah. : Kan cewenya ngetik (pacarnya mengetik) : Kan dulunya travel : Kada (tidak) : Ampih am kah? biasanya bininya yang selalu ikut. (berhenti ya? biasanya istrinya selalu ikut) : Kada, ada pangkalan minyak sehari dapat ja 500, antar. (tidak, ada pangkalan minyak, sehari dapat 500 mengantar) : Bini Mang Apin apa gawiannya. (Istri Paman Apin apa pekerjaannya) : Kadada (Tidak ada) : Adalah anak bini Mang Apin. (Istri Paman Apin ada punya anak) : Ada sudah satu tahunan umurnya, tempat Memey sana.
Peristiwa tutur tersebut dituturkan oleh si A etnis Ngaju Katingan dan si B etnis Banjar. Keduanya menggunakan bahasa daerah, yakni bahasa Banjar ketika berbincang-bincang di warung. Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam santai atau ragam kasual (ragam bahasa rendah). Dari tuturan juga terlihat kosakatanya banyak menggunakan unsur bahasa daerah, walaupun juga terdapat kata travel yang merupakan kosakata bahasa Inggris. Kediglosiaan dapat dilihat pada tuturan di bawah ini. Tempat : Di rumah Bahasa : Ngaju dan Banjar Situasi : Informal Partisipan : Gret (26 tahun) dan Tuti (45 tahun) Gret Tuti Gret Tuti
: Bara kueh pian na, Cil. (Dari mana, Bu ) : Dumah pasar ih mili manuk. (Datang dari pasar beli ayam) : Pire rega manuk jikau. (Berapa harga ayam itu) : Iæe kilo 35. (Satu kilo 35).
Berdasarkan hasil peristiwa tutur, yang dituturkan oleh Gret yang beretnis Ngaju Katingan dan Tuti yang beretnis Ngaju, terlihat bahwa Gret menggunakan kata acil untuk kata ganti Tuti. Dari tuturan juga terlihat Gret menggunakan kata ganti pian agar lebih sopan karena Tuti lebih tua daripada Gret. Agar percakapan tambah semakin akrab dan hangat, maka Gret menggunakan campuran bahasa Banjar untuk menghormati orang yang lebih tua dengan menyebut kata acil. Pada tuturan tersebut menunjukan bahwa Gret menguasai bahasa Ngaju dan juga bisa berbahasa Banjar atau bilingual. Kediglosiaan terlihat bahwa dalam ranah tetangga, penutur bahasa Ngaju menggunakan bahasa daerah atau ragam bahasa rendah (R) agar terjalin keakraban dan rasa kekeluargaan antara Gret dan Tuti ketika bertutur. Ranah Transaksi Jual Beli Berdasarkan hasil wawancara dengan penutur bahasa Ngaju dengan penjual dan pembeli maka terlihat pilihan bahasa penutur Ngaju dalam ranah transaksi bervariasi. Bila pedagang 207
orang yang tidak dikenal penutur bahasa Ngaju lebih banyak menggunakan bahasa Banjar. Bahasa Banjar dijadikan sebagai bahasa transaksi di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan. Tempat Bahasa Situasi
: Di tempat jualan ayam Pasar Banjar Tumbang Sama : Banjar : Informal
Pedagang Pembeli Pembeli Penjual
Pembeli Penjual Pembeli Penjual Pembeli Penjual
: Jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Ngaju : Jenis kelamin perempuan, umur 35 tahun, etnis Banjar : Gasan siapa bacincang ayam. (Buat siapa memotong ayam) : Gasan orang tadi. Ma Agus tukarakan nah ayam, sekilo haja Mama Agus ai, nyaman dicincang akan. (Buat orang tadi. Ma Agus beli nah ayam, sekilo saja mama Agus, supaya dipotong). : Berapa sakilo? (Berapa sekilo?) : Ayuja 35 mama Agus ai (Biar saja 35 mama Agus) : Berapa harga hati ayam (Berapa harga hati ayam) : 2 lima ribu mama Agus ai. (2 lima ribu mama Agus). : 2 hati lah. : (sambil membungkuskan hati ayam ke plastik). Jadi bilang orang mama Agus ai aku jual ayam ada BRnya. Uma ai jarku. Aku ni bersih kadeda BR lagi. (Kata orang aku jual ayam ada BRnya. Waduh kataku. Aku bersih tidak ada BR lagi).
Pada tuturan tersebut terlihat bahwa penjual menggunakan bahasa Banjar dan campuran bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dan Banjar sebagai strategi penjual untuk menarik minat pembeli. Dengan begitu, penjual dan pembeli memiliki kedekatan emosional. Penjual menyesuaikan bahasanya dengan pembeli yang beretnis Banjar. Ragam yang digunakan dalam transaksi jual beli ini adalah ragam usaha dan bisa dikatakan bersifat formal. Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka terjadi fenomena diglosia dengan adanya pebakuan bahasa dalam ranah ini. Bahasa Banjar menduduki fungsi sebagai bahasa transaksi jual beli di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Penutur bahasa Ngaju (penjual dan pembeli) dengan fasih menggunakan bahasa Banjar. Dapat dikatakan bahwa bahasa Banjar dijadikan sebagai bahasa transaksi di pasar sedangkan bahasa Ngaju hanya digunakan untuk berkomunikasi sesuku saja untuk membangun kekeluargaan dan keakraban (sesuku). Ranah Agama Acara kebaktian di Gereja di Kecamatan Katingan Tengah, yakni Tumbang Samba biasanya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Ngaju. Bahasa Ngaju dipakai setiap hari minggu tiap bulannya. Penggunaan bahasa Ngaju pada acara kebaktian biasanya sudah jadi peraturan di Gereja Kapakat Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan. Berdasarkan hasil wawancara bahasa Ngaju digunakan untuk melestarikan bahasa Ngaju itu sendiri dan untuk menyampaikan firman Tuhan, selain itu ada kidung pujian yang memang bahasanya menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Hal ini wajar saja karena bahasa Ngaju menjadi bahasa kitab suci, yakni kitab perjanjian lama dan perjanjian baru yang ditulis dalam bahasa Ngaju baku pada tahun 1858 (Lambut, 2008). Bahasa Ngaju bisa dikatakan bahasa tinggi dalam ranah keagamaan pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Tengah Kalteng. Jadi, dapat dikatakan bahasa Indonesia yang dikatakan ragam bahasa tinggi 208
(T) dan bahasa Ngaju memiliki peran yang sama dalam kebaktian di Gereja Kapakat. Bahasa Indonesia digunakan dalam acara kebaktian di Gereja, agar jemaat terutama generasi muda dapat memahaminya. Dalam hal ini, situasi diglosia pada penutur atau masyarakat Ngaju dalam ranah agama, khususnya kebaktian di Gereja dengan penggunaan dua bahasa secara seimbang, sehingga terbentuklah masyarakat yang triglosik. Berdasarkan wawancara dengan penutur bahasa Ngaju yang beragama Islam, pemilihan bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa Ngaju dalam khotbah di Masjid biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Digunakannya bahasa Indonesia yang merupakan ragam tinggi (T) memudahkan untuk dipahami oleh semua kalangan masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa situasi diglosia dalam ranah agama, yakni khotbah di Masjid lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai ranah formal dan membangun suasana resmi. Ranah Pemerintahan Tempat : Kantor Kecamatan Katingan Tengah Bahasa : Ngaju dan Indonesia Situasi : informal ke formal A B A A C
: Yogi tige Pak Camat? (Yogi ada Pak Camat?) : Palus ih, tige bapak di ruangan kanih. Buhen nah? (masuk saja, ada bapak di ruangannya sana. Mengapa?) : Laku tanda tangan akan masu polisi. (minta tanda tangan buat masuk polisi) Pak Camatnya keluar dari ruangannya dan menuju TU. : Pak, saya mau mengurus persyaratan masuk polisi, jadi minta pengesahan Bapak. : Oh, langsung ke ruangan saya saja.
Pada percakapan tersebut terlihat bahwa pada awalnya penutur A menggunakan bahasa Ngaju dengan penutur B. Penutur A dan B saling kenal atau bisa dikatakan teman (sesuku). Umur mereka tidak jauh berbeda. Oleh sebab itu, mereka menggunakan bahasa Ngaju akan percakapan lebih akrab dan santai. Lalu, penutur B menggunakan bahasa Indonesia ketika bertemu dengan camat seperti yang terlihat pada percakapan di atas. Terlihat bahwa penutur A melakukan alih kode karena adanya partisipan lain. Jadi, situasi diglosia juga ditentukan oleh lawan bicara (partisipan). Bahasa Indonesia dianggap lebih berprestise, hormat dan sopan bila digunakan untuk orang yang lebih tinggi jabatannya (status sosial) dan juga sangat bergantung pada tempat, yaitu di kantor camat (instansi pemerintahan). Pengkhususan bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa Ngaju ini sehingga terjadilah fenomena diglosia. Oleh sebab itu, dalam ranah pemerintahan bahasa Indonesia menduduki fungsi sebagai bahasa tinggi (T) yang membangun suasana formal dan kedinasan. Dalam hal ini, diglosia yang dikemukakan oleh Ferguson berjalan dengan baik. Pembagian fungsi antara ragam bahasa tinggi (T) seharusnya digunakan dalam ragam resmi atau formal, seperti bahasa yang digunakan dalam tempat instansi pemerintah, sedangkan ragam rendah (R) digunakan dalam ragam santai atau tidak formal. Ranah Pendidikan Tempat : Tempat ruang guru Bahasa : Indonesia ragam rendah
209
Situasi : Formal Partisipan : Guru (31 tahun) dan siswa (13 tahun) Siswa : Bu, saya gak tahu ada PR hari ini. Guru : Iya, kumpulkan sekarang PRnya di meja. Siswa : Gimana saya, Bu. Besok aja bu ya? Berdasarkan hasil tuturan antara guru dan siswa pada saat di dalam kelas, dituturkan oleh siswa etnis Ngaju dengan gurunya menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dalam pemakaian kata gak, gimana, aja yang dituturkan oleh siswa tersebut. Adanya interferensi yang dilakukan oleh siswa tersebut mengakibatkan terjadinya tumpang tindih diglosia di ranah pendidikan ini. Pengaruh bahasa luar, seperti bahasa Jakarta dan lainnya yang sering didengar oleh generasi muda sekarang mengakibatkan pelajar meniru bahasa tersebut. Penguasaan bahasa Indonesia yang belum benar mengakibatkan situasi diglosik masih belum mantap. Tempat Bahasa Situasi
: Di luar kelas : Indonesia dan daerah : Informal
Siswa A : Dengar-dengar Ka Beni umpat main bola kena. (Dengar- dengar Ka Beni ikut main bola nanti). Siswa B : Hah, iyakah, jar siapa? (Hah, yang benar, kata siapa?) Siswa A : Jar kawanan lain (kata teman yang lain) Siswa B : Kapan jar pertandingannya? (Kapan katanya pertandingannya) Siswa A : Senin, di Lapangan Satria Siswa B : Wis, pasti banyak orangnya kena, jam berapa? (wis, pasti banyak nanti orangnya, pukul berapa? Siswa A : 2, kam ni kadada liat papan pengumuman kah, di sana ada tulisannya. (Pukul 2, kamu tidak melihat papan pengumuman ya, di sana ada tulisannya) Siswa B : Koler, hehehe. Kawa diprediksi sudah, sekolah kita jua yang menang. (Malas, hehehe. Dapat diprediksi bahwa sekolah kita juga yang menang) Siswa A : Nyata ai. (Pasti itu) Berdasarkan tuturan tersebut terlihat ragam yang digunakan adalah ragam santai atau ragam kasual. Hal ini terlihat dengan pemakaian bahasa Banjar (R) yang berfungsi untuk membangun suasana keakraban dan kesantaian ketika berada di luar kelas. Jadi, situasi diglosia dalam tuturan siswa di kelas menggunakan ragam bahasa rendah (ragam santai), dalam situasi tidak resmi untuk berbincang dengan teman akrab. Terjadi pergeseran bahasa Ngaju yang juga merupakan ragam rendah (R) dalam ranah ini. Ranah Profesi/Pekerjaan Tempat : Kantor guru Bahasa : Indonesia Situasi : formal Partisipan : Guru SD (38 tahun) dan ibu (41 tahun) Ibu : Ibu Susi, Nia ni rencana mau minta izin ke Palangka. Guru : Berapa hari izinnya.
210
Ibu : Sekitar tiga hari. Guru : Oh, tenang aja, Nia ni siswa paling pintar di kelas. Peristiwa tutur tersebut terjadi ketika ibu (orang tua murid) yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga bertemu dengan guru SD, wali kelas anaknya di sekolah. Penggunaan kata Ibu Susi yang dituturkan oleh ibu rumah tangga agar lebih sopan dan menghormati Ibu Susi tadi yang berprofesi sebagai guru anaknnya itu. Ibu (yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga) menggunakan bahasa Indonesia dalam bertutur. Hal ini wajar saja, ibu tadi lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah karena dalam situasi formal, yakni di kantor guru. Jadi, dapat dikatakan situasi diglosia, selain ditentukan latar (waktu, tempat dan situasi) juga ditentukan oleh partisipan, yang mencakup pekerjaan (sebagai guru anaknya). Editorial Surat Kabar Dalam editorial surat kabar pemilihan bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan dikemukakan oleh Ferguson bahwa editorial surat kabar menggunakan ragam bahasa tinggi, yakni bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada surat kabar Tabengan, salah satunya adalah editorial edisi Rabu 30 Juni 2014 yang berjudul Pemerasan TKI di Terminal Khusus Soekarno-Hatta. Jadi, dapat dikatakan dalam surat kabar Tabengan memuat editorial dengan menggunakan bahasa Indonesia. Siaran Berita Pemilihan bahasa yang digunakan dalam siaran berita, yakni Katambung pada jam 5 sore dalam acara Tambun Bungai di TVRI Kalimantan Tengah adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipilih karena fungsi prestisenya. Siaran berita merupakan situasi resmi atau formal dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Ferguson, pemilihan bahasa dalam siaran berita menggunakan ragam bahasa tinggi (T), yakni bahasa Indonesia. Sastra Rakyat Sastra rakyat salah satunya adalah legenda. Bahasa yang digunakan dalam legenda adalah bahasa Indonesia seperti yang terdapat dalam buku-buku yang berisi legenda-legenda Kalimantan Tengah, yang berjudul Misteri Batu Tungadau dan Air Kehidupan yang disusun oleh MB Rahimsyah. Penggunaan bahasa Indonesia dalam buku ini memudahkan pembaca untuk membaca dan memahami cerita. Akan tetapi, hal ini juga merupakan ketirisin diglosia, seperti yang dikemukakan oleh Ferguson, bahwa sastra rakyat menggunakan ragam bahasa rendah atau bahasa daerah. Sastra rakyat yang lain adalah karungut. Karungut adalah sastra lisan yang terkenal di Kalimantan Tengah. Bahasa yang digunakan dalam karungut adalah bahasa Ngaju yang dianggap bahasa tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan dalan sastra rakyat Kalimantan Tengah adalah bahasa Ngaju. Diglosia dalam sastra rakyat sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ferguson.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Situasi diglosia pada ranah keluarga ini dipengaruhi olehprofesi penutur. Bahasa Ngaju digunakan ketika berbicara di rumah walaupun ada yang menggunakan bahasa Indonesia 211
2) 3)
4)
5)
6)
7)
dan bahasa Banjar untuk komunikasi di rumah sehari-hari, khususnya keluarga yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan pedagang. Situasi diglosia pada ranah pergaulan, pemilihan bahasa yang digunakan adalah bahasa Banjar. Bahasa Ngaju akan digunakan bila lawan tuturnya adalah teman sesuku. Pada situasi diglosia pada ranah transaksi jual beli lebih didominasi oleh bahasa Banjar. Bahasa Banjar dijadikan sebagai bahasa transaksi yang dipakai oleh penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Pada situasi diglosia pada ranah agama, khususnya kebaktian di Gereja bahasa Ngaju dan bahasa Indonesia mempunyai fungsi dan dan sama sebagai ragam bahasa tinggi (T)sehingga terbentuklah masyarakat yang triglosik. Dalam khotbah di Masjid lebih dominan digunakannya bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T). Pada ranah pemerintahan, pendidikan dan pekerjaan/profesi, situasi diglosia ini terlihat dengan pemilihan bahasa yang digunakan penutur bahasa Ngaju adalah bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T)walaupun terdapat diglosia yang kurang mantap dalam ranah pendidikan, yakni penguasaan pelajar yang kurang mantap dalam menggunakan bahasa Indonesia. Pemilihan bahasa yang digunakan dalam editorial surat kabar dan siaran berita di TVRI Kalimantan Tengah adalah bahasa Indonesia atau ragam bahasa tinggi (T). Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan resmi digunakan dalam situasi resmi atau formal. Bahasa yang digunakan dalam sastra rakyat lebih dominan menggunakan bahasa daerah atau ragam rendah (R) walaupun terdapat buku yang berisi legenda Kalimantan Tengah yang diterbitkan menggunakan bahasa Indonesia.
Saran 1. Dianjurkan bagi penutur bahasa Ngaju agar lebih intens dalam menggunakan bahasa Ngaju dalam lingkungan keluaga. Bahasa Ngaju sebagai bahasa daerah sudah sepantasnya dipakai sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai ragam santai dan kekeluargaan. Bahasa Indonesia juga selayaknya dipakai sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. 2. Kepada generasi muda (pelajar) diharapkan dapat bangga menggunakan bahasa Ngaju dan berusaha untuk mempertahankannya.
DAFTAR RUJUKAN Lambut, M.P 2008. Peta dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Dayak di Kalimantan Tengah dan BahasaBahasa Dayak di Seluruh Borneo-Kalimantan. Makalah yang disajikan dalam Semiloka Festival Adat Dayak Kalimantan. Palangka Raya. Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik, Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian).
212
NILAI EQ DAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO (EQ VALUES AND CHARACTER EDUCATION IN 5 CM NOVEL BY DONNY DIRGANTORO) Lita Luthfiyanti Rumah Matahari Jalan Martapura Lama RT 1 Km.14, Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected] Abstract EQ values and Character Education in 5 CM Novel by Donny Dhirgantoro. This research is aimed to know and describe EQ value and character education in 5 cm by Donny Dhirgantoro. The result of the research encompasses findings on five elements of EQ value in 5 cm by Donny Dhirgantoro, they are (1) self awareness, it involves (a) self to realize fault and has will to improve self, (b) to realize and know what we feel, (c) to realize the weakness and think it, (d) to realize the excess, (e) be confident, and (f) to realize the position of self in a situation to make decision; (2) self regulation, it involves (a) the ability of self control, (b) be reliable, (c) circumspection, (d) adaptability, (e) innovative; (3) motivation, it involves (a) the encouragement of achievement, (b) optimism; (4) empathy, it involves (a) ability to understand other, (b) to improve other, and (c) service orientation; (5) social skill, it involves (a) communication ability, (b) conflict management, (c) leadership, (d) build relationship, (e) collaboration and cooperation, and (f) team ability. There are 12 character education values in 5 cm, they are: (1) respect, it involves (a) respect to self showed by healthy lifestyle, (b) respect to others showed by being friendly and polite, (c) respect to environment showed by being hygient and protect the environment and (c) respect to country showed by being proud and love country; (2) responsibility to your self, (b) responsibility to others, (c) responsibility to family, (d) responsibility to Allah, and (e) responsibility to country; (3) honest; (4) fair; (5) tolerance; (6) wise; (7) self-discipline; (8) help each other; (9) care each other; (10) cooperation; (11) courageous, it involves physical courage that be courageous to work hard without feeling tired, and moral courageous that is (a) dare to admit mistakes, (b) dare to take criticism, and (12) democracy that is (a) able to express your own idea, but still respect to others, (b) being open and listening to others opinion. Key words: value, eq, character education
Abstrak Nilai EQ dan Pendidikan Karakter dalam Novel 5 CM karya Donny Dhirgantoro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan nilai EQ dan pendidikan karakter di 5 cm oleh Donny Dhirgantoro. Hasil penelitian meliputi temuan pada lima unsur nilai EQ di 5 cm oleh Donny Dhirgantoro, mereka (1) kesadaran diri, melibatkan (a) diri untuk mewujudkan kesalahan dan memiliki kemauan untuk meningkatkan diri, (b) untuk mewujudkan dan tahu apa yang kita rasakan, (c) untuk mewujudkan kelemahan dan berpikir itu, (d) untuk mewujudkan kelebihan,(e) percaya diri, dan (f) untuk mewujudkan posisi diri dalam situasi untuk membuat keputusan;(2) self regulation, melibatkan (a) kemampuan kontrol diri, (b) dapat diandalkan, (c) kehati-hatian, (d) kemampuan beradaptasi, (e) inovatif; (3) motivasi, melibatkan (a) dorongan berprestasi,(b) optimisme; (4) empati, melibatkan (a) kemampuan untuk memahami lain, (b) untuk meningkatkan lain, dan (c) orientasi pelayanan; (5) keterampilan sosial, melibatkan (a) kemampuan komunikasi, (b) pengelolaan konflik, (c) kepemimpinan,(d) membangun hubungan, (e) kolaborasi dan kerjasama, dan (f) kemampuan tim. Ada 12 nilai pendidikan karakter di 5 cm, yaitu: (1) menghormati, melibatkan 213
(a) terhadap diri ditunjukkan oleh gaya hidup sehat, (b) terhadap orang lain menunjukkan dengan menjadi ramah dan sopan, (c) terhadap lingkungan menunjukkan dengan menjadi hygient dan melindungi lingkungan dan (c) terhadap negara menunjukkan dengan menjadi bangga dan cinta negara; (2) tanggung jawab untuk diri Anda, (b) tanggung jawab kepada orang lain, (c) tanggung jawab kepada keluarga, (d) tanggung jawab kepada Allah, dan (e) tanggung jawab untuk negara; (3) jujur ; (4) yang adil;(5) toleransi; (6) bijaksana; (7) disiplin diri; (8) saling membantu; (9) peduli satu sama lain;(10) kerja sama;(11) berani, melibatkan keberanian fisik yang berani bekerja keras tanpa merasa lelah, dan berani moral yang (a) berani mengakui kesalahan, (b) berani mengambil kritik, dan (12) bahwa demokrasi (a) mampu mengekspresikan ide Anda sendiri, tapi masih menghormati kepada orang lain, (b) bersikap terbuka dan mendengarkan pendapat orang lain. Kata-kata kunci: nilai, eq, pendidikan karakter
PENDAHULUAN Sastra merupakan salah satu karya seni bermediakan bahasa. Selain mengandung keindahan, karya sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa karya sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Selain itu, karya sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Salah satu bentuk karya sastra yang banyak dinikmati adalah novel. Zulfahnur, Kurnia, dan Adji (1996: 67) menyatakan novel adalah karya sastra yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh cerita, dimana kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin yang mengubah perjalanan nasib tokohnya. Novel jugadiharapkan dapat memunculkan nilai-nilai positif bagi penikmatnya, sehingga mereka peka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan mendorong untuk berperilaku yang baik karena nilai merupakan sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro adalah sebuah novel yang terbit pada Mei 2005, dan hingga sekarang novel ini telah memasuki cetakan ke-29. Novel ini menceritakan perjuangan para tokoh dalam menjalani kehidupan dan petualangan mereka mendaki puncak Mahameru. Penelitian terhadap novel 5 cm karya Dhonny Dhirgantoro memfokuskan pada nilai EQ dan pendidikan karakter yang ada dalam novel 5 cm yang mampu menjadi motivasi untuk menggapai impian dalam kehidupan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana seharusnya membuat sebuah karya sastra yang berkualitas. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai EQ dan pendidikan karakter yang terdapat dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai EQ dan pendidikan karakter yang terdapat dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro.
METODE Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan nilai EQ dan pendidikan karakter dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen yang digunakan adalah Novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro cetakan ke-29 yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2013. Data dari penelitian ini adalah isi dari Novel 5 cm, baik berupa narasi ataupun tuturan tokoh dalam novel. Teknik pengumpulan data menggunakan dokumen dengan literatur sebagai dokumen dalam penelitian ini. Sejalan dengan pendapat Green (dalam Satori dan Komariah, 2010:152) karena memiliki kriteria yang relevan dalam fokus kajian, 214
yang dimaksud relevan adalah suatu sifat yang terdapat dalam dokumen yang dapat membantu pengarang dalam memecahkan kebutuhan akan informasi. Dokumen dinilai relevan bila dokumen tersebut mempunyai topik yang sama, atau berhubungan dengan subjek yang diteliti. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik menggunakan kartu data. Data yang telah didapat dikumpulkan dan dicatat dalam kartu data. Kartu Data I
Kartu Data II
215
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis mengalir. Miles dan Huberman (1992:16) menyatakan analisis mengalir memiliki tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan/ vertifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. a.
Nilai EQ dalam Novel 5 Cm Karya Donny Dhirgantoro Kesadaran Diri Goleman (2007:427) menyatakan kesadaran diri adalah mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. (1) Yuk!” tanpa berkata apa-apa lagi, Arial berdiri, matanya memincing melihat puncak Mahameru. “Ada orang yang mau nyerah… tapi gue bukan orang kayak gitu.” Arial meneruskan, “Lagian, kayaknya di sana lebih hangat deh. Kan lebih dekat ke matahari,” Arial tersenyum. (Halaman 332) Kutipan (1) menggambarkan Arial yang merasa sangat kedinginan dan tubuhnya menjadi lemas. Dia hampir tidak mau lagi melanjutkan pendakian. Tetapi, Arial tahu bahwa dia sangat ingin mencapai puncak, dan akhirnya ia meyakinkan dirinya bahwa dia mampu. Arial mengatakan,”Ada orang yang mau nyerah… tapi gue bukan orang kayak gitu.” Perkataan Arial tersebut mencerminkan bahwa dia mampu menyadari kekuatan diri. Arial sadar bahwa dia bukanlah orang yang mau menyerah. Dengan kepercayaan diri yang kuat, Arial memutuskan untuk tetap melanjutkan pendakian, hingga mencapai puncak tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Puncak Mahameru. b.
Pengaturan Diri Pengaturan diri adalah bagaimana seseorang mengelola emosi dalam dirinya. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras sehingga tercapai keseimbangan dalam diri (Goleman, 2007:8). 1) Pengendalian Diri Seseorang yang memiliki kecakapan pengendalian diri (Goleman, 2007:130-131) mampu mengelola dengan baik perasaan-perasaan implusif dan emosi-emosi yang menekan; tetap teguh, berpikir positif, dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang berat; dan berpikir dengan jernih seta tetap terfokus meskipun dalam tekanan. (2) “Oh, Pak Slamet. Sebentar, ya.” Resepsionis lalu memencet intercom. “Pak Slamet, ada yang cari. Mahasiswa mau mengambil kuisioner.” Suara tanpa wajah berteriak dari dalam, “Itu ada di bawah kamu, di lantai kolong meja, masa nggak ngeliat?” 216
Ian spontan ikutan melongok ke kolong meja dan menemukan dua ratus lembar tumpukan kuisionernya yang sudah rapi. “Oh, ini dia. Banyak banget, ya?” Mbak resepsionis mengambil setumpuk kuisioner Ian yang sudah dikemas rapi dalam plastik. Ian menerimanya dengan gembira. Tapi, tiba-tiba air muka Ian berubah pilu dan lemes. Ian memejamkan matanya sebentar, menunduk, mengempaskan nafas panjang sekali. Giginya bergemelutuk. Ian menggigit bibirnya sendiri. “Mbak, kok belum diisi semua?” “Wah, saya nggak tahu, ya. Saya juga baru sadar, ini bungkusan sudah ada di sini seminggu kok.” “Nggak pernah di bawa masuk?” “Pernah sekali sama Pak Nono, tapi baru lima menit langsung ditaruh di sini lagi,” jawab resepsionis agak gugup. “Pak Nono lagi keluar kota?” “…mmmm.” “Eh, Slamet, mahasiswa gendut yang tadi telepon nyariin gue udah dateng belum? Kasih aja kuisionernya langsung, males gue ngurusin begituan, nggak ada duitnya,” tiba-tiba terdengar suara dari dalam kantor. Ian menatap resepsionis sebentar, yang mendadak menunduk pura-pura sibuk. “Terima kasih, ya, Mbak.” (Halaman 128) Kutipan (2) menggambarkan Ian mampu mengelola emosinya dengan baik. Ian yang sedang mencari data untuk skripsinya mencoba meminta bantuan sebuah perusahaan untuk mengisi kuisioner yang telah disiapkan. Setelah melakukan kesepakatan, staf HRD perusahaan tersebut bersedia menerima kuisioner Ian. Tetapi, ketika Ian ingin mengambil kuisioner kembali, kuisioner tersebut belum diisi dan Ian mendengar perkataan kasar dari staf HRD yang tidak ingin membantunya karena tidak akan mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Menghadapi kejadian tersebut, Ian berusaha untuk tenang dan tidak mengeluh. Emosi yang Ian rasakan pada waktu itu tetap terkendali. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Ian dapat bersikap ramah kepada resepsionis dengan mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan perusahaan tersebut. 2) Dapat Dipercaya Goleman (2007:143-144) menyatakan seseorang yang memiliki kecakapan ini mampu bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan orang; membangun kepercayaan dengan keandalan diri dan otentisitas; mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan tidak etis orang lain; serta berpegang teguh pada prinsip. (3) Buk… buk… gruduk… Batu-batu itu lewat di depan mereka. Nafas mereka memburu satu-satu. Mereka hanya bisa saling bertatapan, membanyangkan kalau batu tadi menimpa mereka. Genta tercekat. Dia lupa bilang tentang hal itu. “Sorry, emang nantinya banyak batu yang jatuh dari atas selama pendakian. Hati-hati, ya.” “Nggak bilang lo!” Zafran terengah-engah.
217
“Sorry banget lupa…. Kalo denger kata batu atau rocks langsung aja nengok ke atas, liat batunya jatuh ke mana terus coba menghindar, tapi jangan panik. Begitu juga kalo kita yang bikin batu itu terlepas atau jatuh. Kita harus teriak supaya yang di bawah denger dan nggak kena batu, oke?” (Halaman 328) Peristiwa pada kutipan (3) terjadi ketika Genta dan sahabat-sahabatnya hampir mencapai puncak dengan mendaki di jalan yang berpasir dan penuh batu-batu besar. Tidak lama setelah mereka mulai mendaki, tiba-tiba batu berjatuhan dari atas. Genta lupa memberitahu sahabat-sahabatnya bahwa mungkin saja akan ada batu yang berjatuhan. Genta pun meminta maaf dan kemudian memberikan arahan kepada sahabat-sahabatnya agar terus waspada. Hal tersebut menunjukkan bahwa Genta memiliki kemampuan dapat dipercaya dengan mengakui kesalahannya dan dan segera meminta maaf. 3) Kehati-Hatian Goleman (2007:147) menyatakan seseorang yang dengan kecakapan ini memiliki ciri selalu memenuhi komitmen dan memenuhi janji; bertanggung jawab untuk memperjuangkan tujuan; dan terorganisasi dan cermat dalam bekerja. (4) “Aku naik malam ini, ya,” Deniek tersenyum. “Lo mau langsung?” Genta bertanya sambil melepaskan asap rokok dari mulutnya. “Iya.” Genta tiba-tiba menerima tatapan dari teman-temannya yang kurang lebih mau bilang, “Kita mau naik mala mini juga, Ta?” “Kalian mau naik malam ini? Kalau mau, kita bisa bareng,” Deniek mencoba membetulkan letak gantungan tasnya. Semuanya menatap Genta. Genta menggeleng. “Sepertinya nggak, Niek. Dari pertama memang rencananya besok pagi-pagi sekali kami baru berangkat. Deniek tersenyum, “Kalau aku jadi kalian, aku juga nggak akan jalan malam ini. Baru tadi sore kan kalian sampai Malang? Pasti capek.” “Iyalah istirahat dulu, kita ngecamp dulu di sini malam ini,” kata Genta yang tampak nikmat menyeruput habis teh manisnya. (Halaman 219-220) Genta dan sahabat-sahabatnya mempunyai teman baru dari Surabaya yang bernama Deniek. Mereka bertemu di dalam Jib saat menuju Ranu Pane. Deniek dan teman-temannya yang akan langsung mendaki pada malam itu mengajak Genta untuk naik bersama. Tetapi, Genta tidak mau langsung mendaki karena dia tahu teman-temannya masih sangat lelah setelah menempuh perjalanan Jakarta-Malang. Genta tidak mau mengambil resiko runtuk langsung mendaki pada malam itu, dan sebagai pemimpin rombongan, dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan sahabat-sahabatnya. Genta sudah mengatur dengan cermat perjalanannya. Dia merencanakan untuk berkemah dulu di Ranu Pane untuk beristirahat dan besok pagi baru mulai mendaki. Sikap Genta menunjukkan bahwa dia sangat berhati-hati dalam bertindak. Hal tersebut terlihat dari bagaimana Genta mampu mengatur perjalanannya dengan cermat demi keselamatan dia dan sahabat-sahabatnya.
218
4) Adaptabilitas Goleman (2007:151) menyatakan seseorang dengan kecakapan ini memiliki ciri terampil dalam menangani beragamnya kebutuhan; bergesernya prioritas; dan pesatnya perubahan; siap mengubah tanggapan dan taktik untuk menyesuaikan diri dengan keadaan; dan luwes dalam memandang situasi. (5) Kalau Riani ditanya paling enak nonton sama siapa? Pasti jawabannya sama Genta. Kalau Arial ditanya, siapa yang paling enak diajak lari dan main basket di Senayan? Pasti sama Genta, jawabnya. Kalau Zafran ditanya siapa yang paling enak diajak bikin puisi atau bikin lagu bareng? Pasti dibilang paling enak sama Genta. Kalau Ian ditanya siapa yang paling enak diajak ke Glodok bareng atau main bola di PS2? Sama saja, jawabannya pasti sama Genta. Kalau mau curhat? Keempat temannya setuju, paling enak curhat sama Genta. (Halaman 13-14) Kutipan (5) menggambarkan sosok Genta yang mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Hal tersebut terlihat dari pernyataan teman-temannya yang mengatakan bahwa Genta paling enak diajak dalam berbagai kegiatan, seperti menonton film bersama Riani, lari dan main basket dengan Arial, membuat puisi dan lagu bersama Zafran, dan pergi ke Glodok dengan Ian. Bahkan keempat sahabatnya sepakat bahwa jika curhat pun paling enak juga dengan Genta. 5) Inovatif Seseorang yang memiliki kecakapan ini memiliki ciri (Goleman, 2007:151), yaitu selalu mencari gagasan baru dari berbagai sumber; mendahulukan solusi-solusi yang orisinal dalam pemecahan masalah; menciptakan gagasan baru; dan berani mengubah wawasan dan mengambil resiko akibat pemikiran tersebut. (6) Firman salah satu dari empat pemilik EO itu duduk di depan panggung utama bareng Genta. “Semuanya puas, Man,” kata Genta seneng banget. “Yoi, nggak nyangka, ya, Ta. Padahal awalnya kita pesimis banget.” “Lo kali yang pesimis, gue nggak pernah.” “Yoi. Lo emang gila. Gue kira pertamanya nggak ada yang mau ikut pameran komputer pakai nuansa jungle adventure gini. Gimana sih, lo, bisa punya ide kayak gitu?” “Yah, ide sih datang aja kalo lo lagi bengong. Intinya kan sebenarnya kalo orang pakai komputer, dia tuh lagi berpetualang ke mana aja, entah lagi ke internet atau lagi ngerjain sesuatu. Dia tuh lagi bertualang, mencoba menciptakan sesuatu yang baru, yang lain sendiri.” (Halaman 137) Kutipan (6)menggambarkan Genta dan teman-temannya baru saja menyelesaikan sebuah pameran komputer yang menggunakan jasa EO yang mereka jalankan. Pameran yang bertema jungle adventure itu sukses besar. Genta mampu berpikir out of the box dengan menciptakan tema pameran lain dari biasanya. Dia menganggap seseorang yang menggunakan komputer sebenarnya sedang berpetualang, sehingga Genta terinspirasi untuk membuat sesuatu yang baru, yaitu pameran dengan nuansa petualangan di hutan. Hal ini menunjukkan bahwa Genta adalah seorang yang inovatif karena mampu menciptakan gagasan baru, dan berani mengambil resiko dari pemikiran tersebut.
219
c. Motivasi 1) Dorongan Prestasi Dorongan prestasi adalah dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan. (7) “Udah sebulan lebih lo ya di sini?” Tanya Citra. Riani mengangkat alisnya tanda mengiyakan. “Hebat lo. Baru magang tapi udah disuruh megang liputan. Gimana caranya?” “Apa yang lo mau, lo kejar aja, taruh di kepala lo terus, jangan sampai lepas,” Riani tersenyum, berkata pelan sambil membetulkan letak blazernya. “Oh….” Riani menonjok lembut bahu temannya. “Jalanin aja, kejar aja.” “Pasti nanti lo diterima, semuanya kagum sama lo.” “Mudah-mudahan,” kata Riani pelan sambil berjalan keluar dari lift yang sudah sampai di perkiran basement. (Halaman 83) Kutipan (7) menggambarkan kemampuan motivasi oleh seorang tokoh yang bernama Riani. Riani yang bercita-cita bekerja di stasiun TV akhirnya mulai magang di sebuah stasiun TV swasta. Dia berusaha keras agar dapat diterima di stasiun TV tersebut. Riani bekerja dengan semangat untuk mencapai cita-citanya, dan terus belajar agar dapat meningkatkan kinerjanya. Hal ini dapat dilihat dari ucapan Riani, yaitu “Apa yang lo mau, lo kejar aja, taruh di kepala lo terus, jangan sampai lepas.” Hal tersebut terbukti, setelah satu bulan magang, Riani diminta untuk memegang liputan. Bahkan temannya yang bernama Citra yakin kalau Riani akan diterima. 2) Optimisme Goleman (2007:123) menyatakan optimisme berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. (8) Hari-hari selanjutnya, Ian mengisi waktunya bersama sikompibaiksekalitemanIan dengan mengetik, membaca, bikin table, belajar statistic, belajar SPSS, bolak-balik ke kampus hingga mata jadi sayu kurang tidur. (Halaman 131) Kutipan (8) menggambarkan Ian yang begitu tekun untuk mengejar sasarannya, yaitu menyelesaikan skripsi. Sehingga waktu yang dimiliki Ian dihabiskannya untuk mengetik, membaca, membuat tabel, mempelajari statistik dan SPSS, serta Ian harus rela bolak-balik ke kampus yang membuat matanya terlihat sayu karena kurang tidur. d.
Empati Goleman (2007:428) menyatakan empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berpikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal. 1) Memahami Orang Lain Memahami orang lain adalah mengindera perasaan-perasaan orang lain, serta mewujudkan minat-minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka. 220
(9) Deniek seperti bergumam pelan, matanya menatap ke arah lain. “Waktu itu rombongannya, ya, kita ini, tambah dia satu….” “Kenapa?” Genta ingin tahu. Deniek menarik nafas lagi, menatap Genta. Mencoba mengumpulkan keberanian untuk bercerita. Wajahnya menyimpan kesedihan yang mendalam, membuat Genta menyesal telah bertanya. (Halaman 211) Kutipan (9) menggambarkan Genta yang memiliki kemampuan memahami orang lain. Hal tersebut Genta tunjukkan ketika Deniek bercerita bahwa salah satu teman kampusnya yang juga suka mendaki gunung meninggal dalam perjalanan menuju Puncak Mahameru. Genta yang penasaran bertanya kepada Deniek sebab kematian temannya. Raut wajah Deniek yang terlihat sangat sedih membuat Genta menyesal telah mempertanyakannya. Dia memahami perasaan Deniek yang sangat kehilangan temannya. Di sini terlihat Genta mampu mengindera perasaan orang lain, yaitu perasaan sedih Deniek, tanpa harus menunggu Deniek mengungkapkannya lewat kata-kata. 2) Mengembangkan Orang Lain Mengembangkan orang lain merupakan sikap mengindera kebutuhan orang lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. (10) “Cepat juga, ya kamu, bagus. Bab dua kamu selesai. Saya setuju sekarang.” Asik…. Hati Ian bersorak girang. Kata-kata dosen Ian tadi membuat Ian lupa pada kejadian mengerikan barusan. “Nggak ada revisi, Pak?” “Nggak ada revisi. Bagus sekali.” “Langsung bab tiga dong, Pak?” “Iya, langsung aja.” “Oke, Pak!” jawab Ian mantap. (Halaman 112) Kutipan (10) menggambarkan Bapak Sukonto Legowo yang mampu mengakui dan menghargai keberhasilan Ian dalam menyelesaikan bab dua skripsinya. Hal tersebut terlihat dari perkataan Bapak Sukonto Legowo, yaitu “Cepat juga, ya kamu, bagus.” Ian yang mencoba meyakinkan perkatan dosen pembimbingnya bertanya “Nggak ada revisi, Pak?” Dosen pembimbingnya kembali mengakui keberhasilan Ian dengan mengatakan “Nggak ada revisi. Bagus sekali.” 3) Orientasi Pelayanan Orientasi pelayanan adalah mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi kebutuhankebutuhan orang lain. (11) “Ini, Nak, enam nasinya.” mbok penjual nasi itu menyerahkan enam bungkus nasi yang diwadahi kantong plastik merah bekas seadanya. Dinda langsung jongkok di depan si mbok, lalu mengulurkan selembar lima puluh ribuan yang dilipat rapi. Dinda menggenggam tangan si mbok.
221
“Mbok, ini aku kasih lebih, ya, buat Mbok. Tapi besok pagi Mbok janji nggak usah ke pasar minta kardus. Mbok tidur aja di rumah. Janji, ya, Mbok!” kata Dinda pelan. Si mbok yang melihat uang lima puluh ribu di tangannya, matanya langsung membesar dan mendekatkan genggaman tangannya ke hidungnya. “Alhamdulillah Gusti Pangeran, Alhamdulillah.” (Halaman 176) Kutipan (11) menggambarkan Dinda yang membayar lebih uang untuk nasi pecel yang dibelinya dari seorang mbok di stasiun Lempuyangan. Hal itu dilakukannya karena Dinda merasa kasihan dengan mbok penjual nasi yang menceritakan bahwa suaminya sudah meninggal, sehingga dia yang harus membiayai kehidupannya sendiri dengan berjualan nasi pecel pada malam hari dan mencari kardus bekas di siang harinya. Dengan demikian, Dinda mempunyai kemampuan empati yang tercermin dalam orientasi pelayanannya terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya, yaitu dia selalu ingin membantu orang yang memerlukan bantuan dan hal tersebut dilakukannya dengan tulus dan ikhlas. e.
Keterampilan Sosial Keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. 1) Komunikatif Komunikatif merupakan sikap mendengarkan serta terbuka dan mengirimkan pesan serta meyakinkan. (12) Riani yang semenjak tadi mendengarkan, menoleh lembut ke Genta, matanya berkaca-kaca, tangan lembutnya memegang erat tangan Genta. “Terima kasih, Ta. Tapi… bukan kamu, Ta.” Genggaman tangan Riani semakin keras, membuat Genta tidak percaya pada apa yang dikatakan Riani. Dengan jujur, kata-kata kembali tumpah di bibir lembut Riani. Dengan sabar dia ceritakan semuanya malam itu ke Genta yang sudah Riani anggap lebih dari seorang sahabat. Seorang sahabat terbaik yang pasti sangat mengerti Riani. Riani terus bercerita penuh kelembutan, terus bercerita, dan nama seorang sahabat pun terucapkan di situ.”Dia… Zafran, Ta.” (Halaman 366) Kutipan (12) menggambarkan Genta yang sudah lama memendam perasaan cintanya kepada Riani ingin mengungkapkannya setelah mereka turun dari Puncak Mahameru. Ketika sahabat-sahabatnya yang lain sudah tidur di tenda, dan Genta hanya berdua saja dengan Riani di depan api unggun, Genta menyatakan perasaan cintanya kepada Riani. Riani mendengarkan perkataan Genta dengan seksama. Riani memahami perasaan Genta terhadapnya, namun Riani telah mencintai orang lain. Riani menghargai Genta dan dia mengucapkan terima kasih karena Genta telah mencintainya. Riani akhirnya mengatakan dengan jujur bahwa ada orang lain yang dia cintai, dan orang tersebut adalah Zafran, sahabat mereka. Dengan demikian, Riani dan Genta telah melakukan komunikasi secara terbuka. Mereka menjelaskan perasaan mereka masing-masing dan mereka saling memahami satu sama lain. Tidak ada perasaan sedih dan kecewa di hati Genta, walaupun Riani mencintai orang lain. Sebaliknya dia bahagia, karena perasaan kecewanya hilang ketika melihat Riani yang berbinar-binar menceritakan tentang perasaan cintanya untuk Zafran. 222
2) Manajemen Konflik Manajemen konflik adalah sikap merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan. (13) “Kan waktu itu kesimpulannya nggak ada yang lebih baik antara pria dan wanita. Dua-duanya emang diciptakan untuk saling melengkapi. Karena keduanya dikasih nikmat yang sama seperti lazimnya manusia, nikmat kekurangan dan kelebihan. Gue udah sering banget dengar kalimat sok tau dan sok filosofis itu,” Ian mengiyakan. “Ya udah, damai….” Semua cowok mengacungkan jari kelingkingnya ke Riani. Riani pun menyambutnya. “Kentring!!!” teriak mereka bareng. (Halaman 60) Kutipan (13) menggambarkan Genta, Riani, Zafran, Arial, dan Ian yang sedang berdebat siapa yang lebih baik antara pria dan wanita. Padahal mereka sudah pernah membahas hal tersebut. Akhirnya mereka sepakat untuk menyelesaikan perdebatan itu secara terbuka. Mereka menyimpulkan bahwa pria dan wanita tidak diciptakan untuk saling melengkapi, tidak ada yang legih buruk atau lebih baik, karena keduanya diberi kenikmatan kelebihan dan kekurangan. Sikap kelima sahabat tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan manajemen konflik yang baik. Hal itu tercermin dari sikap mereka yang mampu menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka, sehingga dapat menghindarkan dari konflik yang mungkin saja akan terjadi di antara mereka. 3) Kepemimpinan Goleman (2007:317) menyatakan seseorang dengan kecakapan dapat mengartikulasikan (kata-kata jelas) dan membangkitkan semangat untuk meraih visi serta misi bersama; melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan; memadu kinerja orang lain namun tetap memberikan tanggung jawab kepada mereka; dan menjadi teladan yang baik. (14) “Oke, time to work! Kita harus buat tenda. Kalo nggak, malam ini kita nggak tidur!” Genta tibatiba berbalik dan berjalan menuju ke tanah kecil datar yang ditunjuk oleh Deniek. (Halaman 222) Genta dan sahabat-sahabatnya baru saja sampai di Ranu Pane pada malam hari. Setelah makan malam di salah satu warung makan kecil di sana, Genta memberi aba-aba kepada sahabat-sahabatnya untuk membuat tenda. Genta langsung menuju sebuah tanah kecil datar yang ditunjuk oleh teman barunya yang bernama Deniek untuk mulai mendirikan tenda. Hal tersebut menunjukkan bahwa Genta memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Dia memandu apa saja yang harus dia dan sahabat-sahabatnya lakukan dalam masa pendakian. Tetapi, Genta tidak hanya sekedar memberi arahan, dia juga memberikan teladan, yaitu dengan memulai suatu pekerjaan, sehingga sahabat-sahabatnya mengikuti apa yang dia lakukan. 4) Membangun Hubungan Membangun hubungan merupakan sikap menumbuhkan hubungan yang bermanfaat. Goleman (2007:335) menyatakan seseorang dengan kecakapan ini mampu menumbuhkan dan memelihara jaringan tidak formal yang meluas; menjalin hubungan dengan orang lain dan memelihara persahabatan. 223
(15) “Jadi, lo semua maafin gue nih?” Ian berkata pelan. “Ya enggaklah, Yan…,” sambil semuanya memeluk Ian yang emang cukup besar buat dipeluk empat orang. Di remangnya sekolah, malam seakan tersenyum buat mereka. (Halaman 50) Kutipan (15) menggambarkan Ian yang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya dan dia meminta maaf kepada sahabat-sahabatnya. Genta, Arial, Zafran, dan Riani dengan tulus memaafkan Ian. Hal itu menunjukkan bahwa mereka membangun hubungan dengan memelihara persahabatan yang ada di antara mereka. 5) Kolaborasi dan kooperasi Kolaborasi dan kooperasi adalah sikap yang mampu bekerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama. (16) “Rambo, lo di depan, ya, kita tukeran. Lo ikuti tracknya aja, pokoknya jangan sampai masuk ke kedalaman hutan, kita sekarang ada di pinggir punggung gunung. Lihat aja arah matahari, jelas kok. Gue di paling belakang.” “Siiip.” Arial mengacungkan jempolnya. Sekarang ia memimpin rombongan itu. (Halaman 237) Genta, Arial, Zafran, Ian, Riani, dan Dinda yang beristirahat di sebuah akar pohon saat mendaki gunung sudah siap untuk melanjutkan pendakian kembali. Kutipan (16) menggambarkan Genta meminta Arial untuk menggantinya memimpin rombongan. Genta akan berada di barisan paling belakang, dan Arial memimpin di depan. Sikap Genta dan Arial tersebut menunjukkan bahwa mereka mampu berkolaborasi untuk saling membantu demi tujuan mereka bersama, yaitu menjaga keselamatan sahabat-sahabat mereka dalam pendakian di Mahameru. 6) Kemampuan Tim Kemampuan tim merupakan sikap yang mampu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama. (17) “Pakai jaket gue nih.” Ian membuka jaket luarnya dan memberikan ke Arial. “Lo gimana, Yan?” “Gue lapis lima.” “Pake Rambo…” “Inget, lo kedinginan, bukan kecapekan, ya. Lo pasti bisa ke puncak.” Arial memakai jaket Ian. “Tambah lagi nih,” Zafran melepas sweater rajutannya. “Jangan Ple, badan lo kan kurus… bisa cepet kedinginan.” “Masih ada enam lapis lagi.” Arial memakai sweaterZafran yang kekecilan, tapi bisa membuat badannya lebih hangat. “Fiuh, mendingan…” Arial memandangi teman-temannya. 224
“Gue turun aja, gue lemes banget, badan gue kayak ditusuk-tusuk.” “Nggak! Apa-apaan lo!” Genta menatap tajam mata Arial, tangannya mencengkram bahu Arial. “Eh, lihat gue. Elo kedinginan, bukan kecapekan.” “Ta, Gue nggak kuat, Ta….” Dada Arial tampak naik turun dengan irama yang tidak biasa. Semuanya bingung melihat sekeliling, cahaya terang subuh sudah hampir datang. Langit tampak sedikit membiru. “Udah subuh.”Zafran melihat Arial tajam. “Mas Ial, sebentar lagi juga ada matahari, pasti lebih hangat.” “Lo bilang lo udah taruh kita di puncak Mahameru disini,” kata Zafran sambil meletakkan telunjukknya di kening Arial. “Ayo, Rambo, jangan nyerah.” “Arial, please, jangan nyerah, please…” “Arial jangan nyerah.” … “Yuk…,” tanpa berkata apa-apa lagi, Arial berdiri, matanya memicing melihat Puncak Mahameru. “Ada orang yang mau nyerah, tapi gue bukan orang kayak gitu.” (Halaman 330-331) Kutipan (17) menggambarkan Genta, Zafran, Ian, Riani, dan Dinda yang memberikan perhatian mereka untuk Arial yang sangat kedinginan. Ian dan Zafran memberikan satu jaket yang mereka pakai untuk Arial dengan harapan dapat mengurangi dingin yang dirasakan Arial. Arial yang merasa badannya sangat lemas dan sakit memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian. Mereka semua memberi semangat dan mendorong Arial agar tetap melanjutkan pendakian. Mereka terus mengucapkan “Ayo, Rambo, jangan nyerah.”. Semangat Arial akhirnya muncul, dia tidak mau menyerah dan dia pasti dapat mencapi Puncak Mahameru. Sikap Genta, Zafran, Ian, Riani, dan Dinda yang memberikan perhatian dan bantuan untuk menolong Arial menunjukkan bahwa mereka memiliki kecakapan kemampuan tim yang bagus. Mereka mampu menciptakan sinergi kelompok demi memperjuangkan tujuan bersama, yaitu berdiri di Puncak Mahameru. 2.
Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel 5 Cm Karya Donny Dhirgantoro Pendidikan karakter adalah sebuah transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan seseorang. 1) Hormat Hormat menurut Lickona (2013:70) adalah sikap yang menunjukkan penghargaan terhadap diri sendiri dan harga diri orang lain. (18) “Ambil, yah, ini yupinya juga. Nanti buat iseng-iseng di bus, macet, lho. Hujan deras di Jakarta biasanya macet,” kata Riani. Mbak Jumi takluk lagi untuk kedua kalinya sama Riani, lagian dia juga seneng sama permen yupi. “Terima kasih, ya, Mbak Riani.” 225
“Iya, sama-sama. Terima kasih juga udah cuci gelas aku tiap hari,” Riani berkata lembut sambil memegang bahu Mbak Jumi yang kurus. (Halaman 82) Kutipan (18) menggambarkan Riani yang bersikap ramah kepada petugas pantry di kantornya. Riani memberinya permen, dan berterima kasih kepada petugas pantry tersebut karena telah mencuci gelasnya setiap hari. Sikap tersebut menunjukkan Riani memiliki rasa hormat kepada orang lain. Riani selalu bersikap ramah, sopan dan bersahabat kepada orang lain tanpa membedakan status orang tersebut. 2) Tanggung Jawab Mustari (2011:21) menyatakan tanggung jawab adalah sikap seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), negara, dan Tuhan. (19) “Eh, Juple, desainnya udah jadi belom? Gue bakar rumah lo kalo belum jadi.” “Tenang aja, Bos. Udah jadi delapan Styrofoam. Yang dua lagi dikerjain sama temen gue. Besok juga kelar, tinggal bayarannya doang. Nyuwuun…,” kata Zafran dengan wajah dupilu-piluin sambil melebarkan telapak tangannya menengadah minta duit. (Halaman 30) Kutipan (19) menggambarkan sikap tanggung jawab Zafran. Genta memesan desain kepada Zafran untuk acara yang diselenggarakannya. Dengan demikian, Zafran memiliki kewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Genta tersebut. Zafran pun bertanggung jawab atas pekerjaannya, desain yang harus selesai Minggu malam sudah jadi delapan styrofoam dan sisa dua styrofoam lagi akan jadi besok pada hari Minggu. 3) Jujur Mustari (2011:13) menyatakan jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri sebagai seorang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. (20) “Tapi, Yan, ada satu yang pasti,” Genta berbicara tegas. “Di tempat gue kerja sekarang kan isinya seumuran kita, angkatan eksponen reformasi dulu. Jadinya, kita janji untuk mencoba sama sekali nggak pernah dan nggak akan ngelakuin KKN. Mudah-mudahan yang kayak gitu bisa kita jaga entah sampai kapan.” (Halaman 189) Kutipan (20) menggambarkan Genta memberitahu sahabat-sahabatnya bahwa dalam bisnis EO yang dia jalankan bersama beberapa teman kampusnya, dia dan teman-temannya berjanji untuk tidak akan melakukan KKN. Hal itu menunjukkan bahwa Genta adalah seorang yang jujur, karena dia tidak mau melakukan sesuatu yang ada unsur KKN dalam pekerjaannya. 4) Adil Adil merupakan suatu sikap yang menghormati hak-hak semua orang dan memperlakukan orang lain sebagaimana dia ingin diperlakukan. 226
(21) “Oke, mulai bagi tugas. Gue sama Arial bikin tenda. Ian sama Juple coba cari sesuatu yang bisa dibakar, ranting-ranting kecil atau sampah kering. Riani sama Dinda masak air panas, bikin kopi sama teh. Setuju?” Genta menatap ke teman-temannya. “Oke, Bos!” (Halaman 223) Genta dan sahabat-sahabatnya tiba di Ranu Pane pada malam hari dan mereka akan berkemah di sana sebelum mulai mendaki. Genta sebagai pemimpin rombongan membagi tugas pada sahabat-sahabatnya. Dia dan Arial membuat tenda, Zafran dan Ian mencari kayu bakar untuk api unggun, Riani dan Dinda memasak air. Hal tersebut menunjukkan bahwa Genta memiliki sikap adil. Dia memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sahabatsahabatnya dan dia juga ikut serta dalam tugas tersebut. Dengan demikian, mereka semua tidak ada yang hanya berdiam diri, semuanya bekerja untuk mempersiapkan tempat untuk mereka istirahat di Ranu Pane. 5) Toleransi Toleransi menurut Mustari (2011:205) adalah sikap yang tidak memaksakan pemikiran, keyakinan, dan kebiasaannya sendiri pada orang lain; memahami dan menghargai keyakinan atau kebiasaan orang lain. Sikap toleransi dapat dilihat pada kutipan berikut ini. (22) Di antara modisnya, Zafran punya kelakuan yang berantakan, yang katanya “strandar seniman”. Selain nama-nama vokalis besar tadi, ternyata Zafran adalah pengagum setia Erie Susan, penyanyi dangdut yang tinggi semampai, tapi gengnya nggak pernah ngetawain dia terang-terangan, karena nggak enak, soalnya dia ngefans banget. (Halaman 11) Zafran merupakan seorang yang modis dan menyukai vokalis-vokalis band besar dunia, seperti Robert Smith, Jarvis Cocker, Billy Corgan, dan sebagainya. Dan selain nama-nama besar vokalis besar tersebut, Zafran juga pengagum salah satu penyanyi dangdut Indonesia yang bernama Erie Susan. Tetapi, Genta, Arial, Ian, dan Riani tidak pernah menertawakan ataupun mengejek Zafran tentang idola-idolanya. Mereka menghargai apa saja yang disukai oleh Zafran. Hal tersebut menunjukkan bahwa Genta, Arial, Ian, dan Riani menunjukkan sikap toleransi mereka terhadap Zafran. 6) Bijaksana Kebijaksanaan adalah sikap yang selalu memberikan penilaian yang baik. Hal ini memungkinkan seseorang untuk membuat keputusan yang beralasan, baik untuk dirinya maupun orang lain. (23) “Aku naik malam ini, ya,” Deniek tersenyum. “Lo mau langsung?” Genta bertanya sambil melepaskan asap rokok dari mulutnya. “Iya.” Genta tiba-tiba menerima tatapan dari teman-temannya yang kurang lebih mau bilang, “Kita mau naik malam ini juga, Ta?” “Kalian mau naik malam ini? Kalau mau, kita bisa bareng,” Deniek mencoba membetulkan letak gantungan tasnya. 227
Semuanya menatap Genta. Genta menggeleng. “Sepertinya nggak, Niek. Dari pertama memang rencananya besok pagi-pagi sekali kami baru berangkat. Deniek tersenyum, “Kalau aku jadi kalian, aku juga nggak akan jalan malam ini. Baru tadi sore kan kalian sampai Malang? Pasti capek.” “Iyalah istirahat dulu, kita ngecamp dulu di sini malam ini,” kata Genta yang tampak nikmat menyeruput habis teh manisnya. (Halaman 219-220) Kutipan (23) menggambarkan menggambarkan sikap Genta yang mampu memberikan penilaian yang baik dalam suatu peristiwa sehingga dia mampu membuat keputusan yang terbaik. Genta dan teman-temannya baru saja sampai ke Ranu Pane, desa terakhir yang mereka lewati sebelum melakukan pendakian ke Mahameru. Genta memahami sahabatsahabatnya masih lelah karena baru saja menempuh perjalanan jauh, Jakarta-Malang, sehingga Genta memutuskan untuk tidak langsung mendaki. Genta dan sahabat-sahabatnya akan berkemah di Ranu Pane, dan besok hari baru akan mulai mendaki. 7) Disiplin Diri Disiplin diri menurut Lickona (2013:75) membentuk diri untuk tidak mengikuti keinginan hati yang mengarah pada perendahan diri atau perusakan diri, tetapi untuk mengejar apa-apa yang baik untuk kehidupan, dan untuk mengejar keinginan sehat/positif dalam kadar yang sesuai. (24) “Pelan amat sih nyetirnya,” Indy yang udah selesai make up membuka pembicaraan. Soalnya ia melihat banyak mobil di sekitar mereka yang melaju kencang, bahkan ada yang menyusul dari bahu jalan. “Kalo di tol, minimum 40 km per jam, maksimal 80 km per jam. Tuh ada tulisannya,” kata Arial polos tanpa maksud bercanda. (Halaman 90) Kutipan (24) menggambarkan Arial yang selalu menaati peraturan lalu lintas. Arial sedang mengantar Indy ke rumah temannya yang berulang tahun di Bogor. Indy yang merasa Arial terlalu pelan menyetir mobilnya berkata “Pelan amat sih nyetirnya.” Arial pun menjelaskan jika melewati jalan tol kecepatan minimum 40 km per jam dan maksimal 80 km per jam. Oleh sebab itu, Arial tidak menyetir mobilnya lebih dari 80 km, karena jikalebih, berarti Arial melanggar peraturan lalu lintas. 8) Tolong-Menolong Lickona (2013:75) menyatakan tolong-menolong adalah memberikan bimbingan untuk berbuat kebaikan dengan hati.Dengan demikian, bantuan dapat diberikan dalam bentuk apa saja, sesuai keperluan orang yang akan ditolong, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ide, ataupun barang. (25) Dinda tiba-tiba berkat pelan, terputus-putus, “I… i… i… an… Ian a… da… ba…ba… tu yang ke… ke… na ke… ke… palanya….”
228
Dinda langsung berdiri dan mencari Ian. “Hiuuh…,” Arial dan Riani langsung bertatapan lega melihat Dinda bisa berdiri. Ketiganya langsung berlari ke tempat Ian tergeletak. Ian masih tergeletak tak sadarkan diri. Genta langsung mencuci luka di kening Ian, memberi betadine dan membungkusnya dengan perban. (Halaman 336) Kutipan (25) menggambarkan Genta dan sahabat-sahabatnya menolong Ian yang tertimpa batu saat mereka mendaki tanah yang berpasir dan penuh dengan batu gunung. Kening Ian yang berdarah langsung dicuci oleh Genta, diberi betadine dan diperban 9) Peduli Sesama Sikap peduli sesama menurut Lickona (2013:75) adalah membantu seseorang untuk tidak hanya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi juga merasakannya. (26) “Masih ada minum, Ple? Punya gue udah habis… gile haus banget.” “Ada nih dikit, ambil aja, Yan.” “Lo nggak mau?” “Gue baru minum… abisin aja.” “Yah, udah nggak ada air lagi lho.” “Emangnya semuanya abis?” Ian mengangguk. Zafran berhenti sebentar, wajahnya tampak panik, tenggorokan keringnya menelan ludah. “Gawat, nih, kita nggak ngitung persediaan air, masa baru sampai sini udah habis.” Zafran melihat botol air mineralnya yang seperempat penuh. “Minum aja sedikit, Yan. Sisain yang lain.” (Halaman 251) Kutipan (26) menggambarkan sikap peduli Zafran kepada sahabat-sahabatnya. Ian yang merasa kehausan dan air yang ada dibotolnya habis kemudian meminta air kepada Zafran. Zafran menyerahkan persediaan airnya yang juga tinggal sedikit. Tapi Ian tidak mau meminumnya karena jika Ian meminum air Zafran, persediaan air mereka akan benarbenar habis. Zafran tetap meminta Ian meminunya karena dia tahu Ian sangat kehausan. Dan dia juga meminta Ian untuk menyisakan air tersebut untuk sahabat-sahabat mereka yang lain. Sikap Zafran yang memberikan perhatian dan peduli terhadap sahabat-sahabatnya menunjukkan bahwa dia memiliki sikap peduli sesama. 10) Kerja Sama Lickona (2013:75) menyatakan bahwa manusia harus bekerja bersama-sama dalam meraih tujuan yang pada dasarnya sama dengan upaya pertahanan diri. (26) Pukul tiga kurang lima. “Beres-beres dan berangkat.” Zafran dan Genta melipat terpal. Arial dan Ian membereskan kompor paraffin. Riani dan Dinda tampak membereskan sisa-sisa makan siang. (Halaman 279)
229
Kutipan (26) menggambarkan Genta, Arial, Zafran, Ian, Riani, dan Dinda akan melanjutkan pendakian setelah mereka beistirahat dan makan siang di Ranu Kumbolo. Sebelum berangkat mereka berbagi tugas, Zafran dan Genta melipat terpal, Arial dan Ian membereskan kompor paraffin, sedangkan Riani dan Dinda membereskan sisa-sisa makan siang mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka mampu bekerja sama dengan baik. 11) Berani Stenson (dalam Lickona, 2012:17) menyatakan bahwa keberanian memungkinkan seseorang untuk mengatasi atau menahan kesulitan, kekalahan, ketidaknyamanan, dan rasa sakit. (27) “Berani keluar dari zona nyaman lo, hadapi semua yang ada di depan lo,” lanjut Genta. Firman diam lagi. Pikirannya kemana-mana, merenungkan kata-kata sahabatnya yang udah dia kenal semenjak kuliah, yang dia sendiri mengakui kalo Genta itu nggak pernah nyerah, berani mendobrak semuanya, berani dikritik, berani nggak mapan. (Halaman 140) Kutipan (27) menunjukkan bahwa Genta adalah seorang yang berani. Dia berani menghadapi segala hal yang ada di depannya untuk mencapai apa yang dia impikan. Genta memiliki dua komponen keberanian, yaitu keberanian fisik dan moral. Keberanian fisik yang ditunjukkan oleh Genta adalah dia selalu bekerja keras dan tidak takut dan goyah dengan lelah yang dirasakannya. Sedangkan keberanian moral yang dimiliki Genta adalah dia mampu bertindak secara benar walaupun banyak orang-orang yang tidak setuju dan mengkritik pekerjaannya. Genta yang sering mempunyai ide yang tidak biasa dalam menjalankan bisnis EOnya sering mendapat kritikan, namun dia tetap sabar dan semakin tekun bekerja serta dengan penuh percaya diri membuktikan kepada orang lain bahwa dia bisa. 12) Demokratis Demokratis adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. (28) “Tapi kita santai aja, sambil ngobrol kek biar nggak capek. Kalo ada yang capek, bilang ya. Jangan ada yang gengsi. Satu orang capek, semuanya berhenti. Kebanyakan orang gagal ke puncak karena kecapekan dan gengsi nggak mau bilang. Yang ada Cuma maksa sehingga akibatnya nggak bisa ngelanjutin.” Kata Genta ke teman-temannya. (Halaman 237) Kutipan (28) menggambarkan sikap demokratis Genta. Ketika Genta dan sahabatsahabatnya mendaki gunung, dia meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk berani mengatakan jika mereka merasa kelelahan dan ingin istirahat. Dengan demikian, Genta menunjukkan bahwa dia memberikan kesempatan kepada sahabat-sahabatnya untuk bersikap terbuka dan berani menyuarakan apa yang mereka inginkan dan rasakan.
230
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil identifikasi, nilai EQdan pendidikan karakter dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro dapat disimpulkan berikut ini. 1. Ada lima unsur nilai EQ yang terdapat dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro, yaitu(1) kesadaran diri yang meliputi (a) menyadari kesalahan dan mau mengembangkan diri, (b) menyadari dan mengetahui apa yang sedang dirasakan, (c) menyadari kelemahan diri dan menyempatkan diri untuk merenung, (d) menyadari kekuatan diri, (e) percaya diri, dan (f) menyadari posisi diri pada suatu saat untuk memandu pengambilan keputusan;(2) pengaturan diri berupa (a) kemampuan pengendalian diri, (b) dapat dipercaya, (c) kehati-hatian, (d) adaptabilitas, dan (e) inovatif;(3) motivasi berupa (a) dorongan prestasi dan (b) optimisme; (4) empati berupa (a) kemampuan memahami orang lain, (b) mengembangkan orang lain, dan (c) orientasi pelayanan; dan (5) keterampilan sosial berupa (a) kemampuan komunikasi, (b) manajemen konflik, (c) kepemimpinan, (d) membangun hubungan, (e) kolaborasi dan kooperasi, serta (f) kemampuan tim. 2. Nilai pendidikan karakter yang ada dalam novel 5 cm ada dua belas, yaitu (1) hormat, yang meliputi (a) sikap hormat kepada diri sendiri yang ditunjukkan dengan gaya hidup sehat, (b) sikap hormat kepada orang lain yang ditunjukkan dengan bersikap ramah, sopan, dan bersahabat, (c) sikap hormat kepada lingkungan yang ditunjukkan dengan menjaga kebersihan dan menjaga lingkungan, dan (d) sikap hormat kepada negara yang ditunjukkan dengan rasa bangga dan cinta terhadap tanah air; (2) tanggung jawab yang meliputi (a) tanggung jawab kepada diri sendiri, (b) tanggung jawab kepada orang lain, (c) tanggung jawab kepada keluarga,(d) tanggung jawab kepada Tuhan, dan (e) tanggung jawab kepada negara; (3) jujur; (4) adil; (5) toleransi; (6) bijaksana; (7) disiplin diri; (8) tolong-menolong; (9) peduli sesama; (10) kerja sama; (11) berani yang meliputi keberanian fisik, yaitu berani bekerja keras tanpa takut akan rasa lelah, dan keberanian moral yang terdapat pada aspek (a) berani mengakui kesalahan dan (b) berani menghadapi kritikan; dan (12) demokratis berupa (a) mampu mengungkapkan pendapat diri sendiri, namun tetap menghormati pendapat orang lain dan (b) bersikap terbuka dan mau mendengarkan pendapat orang lain. Saran Dari hasil penelitian nilai EQ dan pendidikan karakter dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro, ada beberapa hal yang disarankan, yaitu: 1. Bagi para penulis, diharapkan penelitian ini dapat menginspirasi mereka untuk menghasilkan karya-karya yang tidak hanya mampu menghibur, namun juga kaya akan nilainilai yang bermanfaat. 2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian karya sastra selanjutnya. 3. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan akan menambah referensi tentang nilai EQ dan pendidikan karakter yang mampu memperkaya pandangan atau wawasan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan peningkatan nilai kehidupan itu sendiri.
231
DAFTAR RUJUKAN Dhirgantoro, Donny. 2013. 5 cm (Edisi ke-29). Jakarta: PT Grasindo. Goleman, Daniel. 2007. Kecerdasan Emosional, Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Terjemahan oleh T. Hermaya.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lickona, Thomas. 2012. Character Matters (Persoalan Karakter): Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo dan Jean Antunes Rudolf Zien. Jakarta: Bumi Aksara. Lickona, Thomas. 2013. Mendidik untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Miles, Matthew B. dan Huberman,A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Mustari, Mohamad. 2011. Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Satori, Djaman dan Komariah,Aan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Zulfahnur, Kurnia, dan Adji Sayuti. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.
232
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KOMUNIKASIANTARGURUDI SMK NEGERI 1 MARTAPURA(LINGUISTIC POLITENESS IN TEACHERS COMMUNICATIONS IN SMK NEGERI 1 MARTAPURA) Marny Rustina SMK Negeri 1 Martapura e-mail
[email protected] Abstract Linguistic Politeness in Teachers Communications in SMK Negeri 1 Martapura. Linguistic politeness in a communication has some levels or degrees that from the lowest one to highest. A higher educated person and his social position has not a guarantee carrying the highest level of communication as well. For example, a communication among teachers, not all teachers are using language politeness. This study aimed to describe the form, meaning, and function of the use of linguistic politeness which used in teachers’ communication at SMK Negeri 1 Martapura according to Leech’s theory. Key words: linguistic politeness, teachers communications
Abstrak Kesantunan Berbahasa dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura. Dalam sebuah komunikasi kesantunan berbahasa memiliki tingkatan atau peringkat dari tingkat kesantunan paling rendah sampai tingkat kesantunan paling tinggi. Kedudukan sosial seseorang sebagai manusia berpendidikan tinggi belum tentu menjamin seseorang itu melaksanakan komunikasi dengan tingkat kesantunan yang tinggi pula. Misalnya, dalam komunikasi antarguru belum tentu semua guru menerapkan kesantunan dalam tuturannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud, makna, dan fungsi penggunaan kesantunan berbahasa yang digunakan dalam komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura menurut teori Leech. Kata-kata kunci: kesantunan berbahasa, komunikasi antarguru
PENDAHULUAN Sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi manusia di dalam masyarakat. Interaksi yang terjadi di sekolah merupakan salah satu contoh berfungsinya sistem bahasa agar kegiatan pembelajaran dan kegiatan lainnya yang mendukung program di sekolah dapat berlangsung. Interaksi yang terjadi di sekolah antara lain interaksi antara guru dengan guru lainnya, dalam hal ini termasuk kepala sekolah, antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa lainnya, antara guru dengan pegawai tata usaha, dan antara pegawai tata usaha dengan siswa.Tindakan bahasa harus sesuai dengan etika yang berlaku di dalam budaya itu. Tindakan bahasa di sekolah harus sesuai dengan etika yang berlaku di sekolah tersebut. Misalnya penggunaan ragam tertentu untuk partisipan sesuai dengan jabatannya. Guru menggunakan bahasa yang lebih santun kepada Kepala Sekolah dan guru senior. Dalam sebuah komunikasi, tuturan yang digunakan dapat berupa tuturan yang santun maupun tuturan yang tidak santun. Tergantung pada seberapa banyak tindakan yang membawa keuntungan dan kerugian yang diperoleh penutur dan partisipan. Penelitian tentang prinsip kesantunan di SMK Negeri 1 Martapura dititikberatkan untuk mendeskripsikan wujud, 233
makna, dan fungsi kesantunan dalam komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura. Penelitian ini dilaksanakan di luar kegiatan belajar-mengajar. Artinya kegiatan penelitian tidak dilaksanakan di kelas maupun di ruang belajar terbuka bersama siswa. Tetapi dilaksanakan pada saat terjadinya komunikasi antarguru saat rapat dinas, berdiskusi dalam kelompok kerja atau kepanitiaan, dan pada saat istirahat guru-guru di ruang guru. Penelitian ini dianggap penting untuk mengetahui apakah guru menerapkan kesantunan atau tidak dalam komunikasi, karena guru merupakan orang semestinya dapat dijadikan teladan, digugu, dan ditiru baik dari tingkah laku maupun tutur katanya. SMK Negeri 1 Martapura dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan sekolah kejuruan tertua di Kabupaten Banjar. Sekolah ini juga merupakan sekolah kejuruan dengan jumlah gurudan karyawan terbanyak se-Kabupaten Banjar. Keragaman usia, masa kerja, dan latar belakang pendidikan guru-gurunya membuat sekolah ini menarik untuk dijadikan tempat penelitian. Penelitian tentang kebahasaan belum pernah dilakukan di sekolah ini menimbulkan minat bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian kebahasaan di SMK Negeri 1 Martapura.Situasi dan kondisi sekolah yang demikian kompleks, dengan banyaknya jumlah guru, beragamnya usia, latar belakang pendidikan dan keahlian, masa kerja, serta penelitian-penelitian bidang nonkebahasaan yang pernahdilakukan di sekolah ini sehingga penelitian akan lebih menarik untuk dilakukan di SMK Negeri 1 Martapura. Sejalan dengan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan, tujuan penelitian yang akan dicapai adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang: 1) Wujud penggunaan prinsip kesantunan dalam komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura; 2) Makna kesantunan yang digunakan dalam komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura; dan 3) Fungsi kesantunan dalam komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura. Prinsip kesantunan merupakan salah satu prinsip dalam telaah retorik interpersonal. Prinsip kesantunan saling berkaitan dengan prinsip-prinsip lainnya. Misalnya, kaitan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tidak akan terjadi jika tidak ada kerja sama dalam komunikasi. Tetapi penerapan prinsip kerja sama belum tentu membuat prinsip kesantunan serta merta terlaksana. Penelitian ini menggunakan prinsip kesantunan Leech dalam menganalisis tuturan karena skala kesantunan pada prinsip kesantunan Leech lebih mudah kompleks dan diterapkan dalam analisis.Prinsip kesantunan yang dikembangkan Leech dijabarkan dalam beberapa aturan (maksim). Prinsip kesantunan disebut juga maksim prinsip sopan santun. Prinsip sopan santun terdiri dari maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Maksim kearifan menggariskan bahwa setiap peserta tutur harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Maksim kedermawanan menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim kesepakatan menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka, dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Di dalam model kesantunan Leech, setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech (Chaer, 2010: 66-69) selengkapnya adalah sebagai berikut: a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan 234
keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan; b) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur; c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan; d) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status social antar penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat social antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status social di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu; e) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan.Hal-hal penting tentang pelaksanaan kesantunan yang disampaikan Chaer tersebut merupakan penjabaran dari skala kesantunan yang sampaikan Leech. Fungsi kesantunan dapat dilihat dari pihak penutur dan pihak mitra tutur. Dari pihak penutur adalah fungsi menyatakan (deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi menyuruh (imperatif) termasuk fungsi melarang, meminta maaf, dan mengeritik. Dari pihak mitra tutur adalah fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi menyetujui termasuk fungsi menolak, fungsi menerima atau menolak maaf dan fungsi menerima atau menolak kritik (Chaer, 2010:79). Tugas adalah tanggung jawab yang diamanahkan kepada seseorang. Profesi guru seperti halnya profesi lainnya mempunyai tugas-tugas. Tugas pertama dan utama guru adalah membaca, mengenal, dan berkomunikasi(Aziz,2012:3-8). Membaca yang dimaksud adalah sebagai pendidik, guru tidak boleh merasa sudah selesai belajar (membaca) setelah dia menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi. Membacatidak selalu diartikan dengan memahami rangkaian kalimat. Tetapi melingkupi juga membaca menganalisis, mengevaluasi, dan bersikap kritis. Pada tugas mengenal guru yang mengenal lingkungan kerja dan siswanya menjadikan interaksinya tersebut sebagai hubungan batin. Hubungan batin tersebut berpotensi agar guru memahami tujuan hidup secara tepat dan benar.Berkomunikasi yang dimaksud adalah melakukan hubungan timbal balik yang mempunyai makna dan nilai. Komunikasi ini dilakukan antarsesama guru, antarguru dan siswa, antarguru dengan pegawai dan tenaga administrasi lainnya. Guru juga melakukan komunikasi dengan orang tua siswa tentang perkembangan dan ketertinggalan siswa. Tugas guru dalam hal berkomunikasi inilah yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan.
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Penelitian yang berjudul “Kesantunan dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura” mendeskripsikan tentang wujud, makna, dan fungsi kesantunan dalam komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian partisipatoris atau partisipasi observasi. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dokumen tertulis berupa hasil transkripsi dari tuturan hasil percakapan yang diperoleh dari sumber data. Tuturan yang digunakan berisi tentang berbagai hal mengenai kegiatan sekolah, baik dalam komunikasi formal maupun informal. Sumber data dalam penelitian ini adalah komunikasi antarguru di SMK Negeri 1 Martapura. Jumlah sumber data tidak menjadi patokan dalam penelitian. Pertimbangannya
235
didasarkan pada kecukupan data yang diperoleh. Jika data belum cukup maka akan diadakan penambahan sumber data, tapi jika data sudah dirasa cukup, maka sumber data juga cukup. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak dilakukan dengan teknik perekaman (teknik sadap) pada komunikasiantarguru di SMK Negeri 1 Martapura dan pencatatan terhadap semua hal yang berkaitan dengan komunikasi. Perekaman yang dilakukan berisi komunikasi tentang berbagai hal. Antara lain tentang siswa, fisik sekolah, kepegawaian, pengajaran, bahkan masalah pribadi. Metode cakap digunakan untuk memancing atau membangun komunikasi jika belum terjalin komunikasi antarguru pada saat peneliti akan melakukan perekaman. Proses pengumpulan data dilakukan sejak tanggal 19 Pebruari 2014 s.d. April 2014. Kriteria rekaman yang digunakan adalah berupa percakapan. Artinya penutur lebih dari satu. Memuat maksim kesantunan, dikelompokkan pada skala tidak santun, kurang santun, santun, dan sangat santun.
HASIL DAN PEMBAHASAN Wujud Kesantunan dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura Dari transkripsi rekaman percakapan yang telah dikumpulkan terdapat tuturan yang merupakan wujud kesantunan dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura. Maksim kearifan mengatur dua jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi direktif (tindakan oleh petutur) dan ilokusi komisif (tindakan oleh penutur). Dari situ dapat dilihat apakah tindakan tersebut merugikan atau menguntungkan lawan bicara. Semakin tuturan tersebut menguntungkan lawan bicara maka semakin santun tuturan tersebut. Tuturan yang masuk dalam maksim kearifan adalah yang bercetak tebal berikut ini. [01] Aslam Marny Aslam Marny
: (1) Minta surat gasan fashion show tu ke mana? Anu gasan kaya koran. : (2) Oh permohonan meliput. : (3) Heeh, eeh, permohonan meliput. : (4) He’eh, ke tata usaha aja wayah ini surat langsung nah.
(Aslam (Marny (Aslam (Marny
: (1) Minta surat untukfashoin showke mana? Untuk, misalnya Koran.) : (2) Oh, permohonan meliput?) : (3) Iya, permohonan meliput.) : (4) Oh, begitu. Ke Tata Usaha saja sekarang minta suratnya.)
Konteks
: Program Keahlian Busana Butik akan melakukan pagelaran busana. Aslamiah sebagai salah satu guru di program tersebut meminta pendapat Marnysebagai wakil kepala sekolah.
Kutipan (4)He’eh, ke tata usaha aja wayah ini surat langsung nah, menggunakan maksim kearifan karena Aslam mendapat keuntungan dari jawaban Marny yaitu memperoleh informasi yang benar tentang alur surat. Maksim kedermawanan menghendaki tuturan yang memaksimalkan kerugian diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Dalam hal ini, penutur berupaya untuk lebih banyak menggunakan tuturan pernyataan kesiapan membantu orang lain, bukan hanya kepada petutur, tetapi juga kepada pihak ketiga yang disinggung di dalam tuturan. [01] Aslam
236
: (12) Tapi jar anu, jar, kan Dwi lo, Dwi kita, kan banyak kenalan, anu Dwi Rosalinda banyak kenalan buhan wartawan. (13) Inya maanuakan peserta
Marny Aslam Marny (Aslam
(Marny (Aslam (Marny Konteks
didiknya tadi. (14) Inya gratis pang Bu ai. (15) Mungkin paling pian mambarii bubuhan wartawannya. : (16) Iya ai wartawannya kaina minta. : (17) Tapi kada banyak jua kalo lah. : (18) Ya bisa ai dudua ratusankam, disiapakan. : (12) Tapi kata anu, kata..., kan Dwi, Dwi kita kan banyak kenalan, anu Dwi Rosalinda banyak kenalan para wartawan. (13) Dia mendaftarkan peserta didiknya. (14) Itu gratis, Bu. (15) Mungkin kita hanya perlu memberi wartawannya.) : (16) Iya memang wartawannya.) : (17) Tapi tidak banyak juga kan.) : (18) Bisa saja sekitar dua ratusanribu rupiah, disiapkan.) : Aslam menyampaikan bahwa menurut Dwi Rosalinda—alumnus SMK Negeri 1 Martapura yang banyak memiliki kenalan wartawan—jika meminta liputan dari media Koran, tidak memerlukan biaya. Aslam berpendapat bahwa seandainya ada biaya pun hanya untuk wartawan yang meliput saja.
Kutipan (17) termasuk maksim kedermawanan, kutipan ini santun karena menyatakan kesanggupan Aslam melaksanakan tindakan yang disampaikan Marny, yaitu menyiapkan dana untuk membayar wartawan. Maksim pujian dilakukan dengan memuji orang lain sebanyak mungkin dan meminimalkan pujian pada diri sendiri. Maksim ini bisa juga berupa rayuan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa tuturan yang mengandung maksim pujian, yaitu, [02] Marny : (33) Kalo yang pas simpang bundarannya tu jar larang banar lah. Muhsinah : (34) Nyaman-nyaman kalo. (Marny : (33) Kalau yang tepat simpang bundaran itu kata orang mahal sekali.) (Muhsinah : (34) Enak-enak mungkin.) Konteks
: Marny dan Muhsinah ikut terlibat dalam percakapan Nina dan Maulid. Marny menceritakan tentang rumah makan yang baru dibuka. Posisi rumah makan tersebut di simpang bundaran Panglima Batur. Menurut cerita orang-orang harga makanan di rumah makan itu mahal.
Kutipan (34) termasuk maksim pujian. Kutipan ini cukup santun karena Muhsinah memprediksi bahwa makanan di sana mahal karena enak. Dalam hal ini, Muhsinah sudah memberikan pujian. Maksim kerendahhatian digunakan dengan cara mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Jika ada pujian untuk diri sendiri, maka sanggahan atas pujian tersebut juga termasuk kerendahhatian. [02] Maulid Nina
: (10)Bu Nina ni anu, makan di warung hari-hari. : (11)Kada, uma ai, kada. (12) Pas anu, dapat, laki ulun ini kan bila anu, dibawakannya. (13) Dapat, dapat, diunjukinya inya beacaraan tu naaa, dapat. (14) Dimana nih jar ulun.
237
(Maulid (Nina
: (10) Bu Nina ni anu, makan di warung hari-hari.) : (11) Tidak, waduh, tidak juga. (12) Begini lho, suami saya itu ketika ada acara dan makanan dibawa pulang. (13) Dia dapat, dia bawakan. (14) Jadi saya tanya dapat di mana.)
Konteks
: Nina, Maulid dan beberapa guru yang sedang istirahat di kantor mengisi waktu luang mereka dengan berkomunikasi tentang berbagai hal, salah satunya tentang masakan. Nina dikenal sebagai guru yang banyak tahu tentang masakan dan warung atau rumah makan yang masakannya enak.
Kutipan (11) termasuk maksim kerendahhatian. Kutipan ini santun, ketika Nina dianggap Maulid sering makan di warung, dia mengelak dengan menyampaikan alasan mengapa dia tahu banyak tentang warung dan rumah makan. Maksim kesepakatan dalam tuturan berupa kesetujuan di antara penutur dan petutur. Semakin maksimal kesetujuan di antara mereka maka semakin santun tuturan tersebut. Dalam komunikasi antar guru SMKN 1 Martapura, yang termasuk maksim kesepakatan adalah sebagai berikut. [01] Aslam Marny Aslam
: (1) Minta surat gasan fashion show tu ke mana? Anu gasan kaya koran. : (2) Oh permohonan meliput. : (3) Heeh, eeh, permohonan meliput.
(Aslam (Marny (Aslam
: (1) Minta surat untuk fashoin showke mana? Untuk, misalnya Koran.) : (2) Oh, permohonan meliput?) : (3) Iya, permohonan meliput.)
Konteks
: Aslam ingin meminta sejenis surat yang diaajukan kepada media koran untuk kegiatan fashion show, tetapi tidak mampu menyebutkan jenis surat tersebut. Marny menebak jenis surat yang dimaksud Aslam yaitu surat permohonan untuk minta diliput. Aslam menyetujui atau membenarkan pendapat Marny.
Kutipan (3) menerapkan maksim kesepakatan. Kutipan ini sangat santun karena ketika Marny menebak jenis surat yang dimaksud Aslam yaitu surat permohonan untuk minta diliput. Aslam menyetujui atau membenarkan pendapat Marny. Maksim simpati mengharuskan penutur memaksimalkan rasa simpati. Maksim simpati dapat berwujud ucapan selamat untuk keberuntungan atau kebahagiaan orang lain, bisa juga berupa ucapan rasa duka, keprihatinan untuk musibah yang dialami orang lain. Maksim simpati pada percakapan antarguru hanya terdapat pada percakapan [08], yaitu: Dwi Ayati : (1) Pada kesempatan ini karena ulun sangat prihatin dengan hasil try out baik try out provinsi maupun kabupaten. (2) Kalau tahun lalu oke kita propinsi memang agak kurang, tetapi kabupaten lumayan, kita 90% ya Pak Rahmad untuk tahun kemarin, untuk try out kabupaten? (...) Rahmad : (14) Farmasi Dwi Ayati : (15) dan Farmasi belum magang. (16) Jadi nanti akan ada perubahan itu Pak Zubaidi, kada seperti itu lagi.... Konteks : Pada rapat dinas dewan guru, Dwi Ayati selaku kepala sekolah mengungkapkan keprihatinannya terhadap nilai tryout siswa SMKN 1 Martapura yang menurun dibanding tahun sebelumnya. Dia menawarkan solusi untuk mengatasi agar hal serupa tidak terulang kembali pada tahun depan. 238
Kutipan (1) merupakan perwujudan maksim kesimpatian. Kutipan ini sangat santun karena Dwi Ayati mengungkapkan kekecewaannya dengan sikap prihatin atas perolehan nilai siswa saat uji coba UN. Dengan cara tersebut Dwi Ayati mengharapkan empati peserta tutur. Sehingga evaluasi dan solusi dia tawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut bisa dipertimbangkan, bahkan dilaksanakan mitra. Penerapan maksim kearifan pada percakapan [01] sebanyak lima kutipan. Pada percakapan [02] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [03] terdapat tiga kutipan. Pada percakapan [04] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [05] terdapat enam belas kutipan. Pada percakapan [06] terdapat satu kutipan. Pada percakapan [07] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [08] terdapat dua kutipan. Penerapan maksim kedermawanan pada percakapan [01] sebanyak satu kutipan. Pada percakapan [02], [03], [04], [05] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [06] terdapat satu kutipan. Pada percakapan [07] dan [08] tidak ditemukan kutipan. Penerapan maksim pujian pada percakapan [01] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [02] terdapat satu kutipan. Pada percakapan [03], [04], [05], [06] tidak terdapat kutipan. Pada percakapan [07] terdapat empat kutipan. Pada percakapan [08] tidak ditemukan kutipan. Penerapan maksim kerendahhatian pada percakapan [01] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [02] terdapat dua kutipan. Pada percakapan [03] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [04] terdapat dua kutipan. Pada percakapan [05] terdapat dua kutipan. Pada percakapan [06] tidak ditemukan kutipan. Pada percakapan [07] terdapat satu kutipan. Pada percakapan [08] tidak ditemukan kutipan. Penerapan maksim kesepakatan pada percakapan [01] sebanyak empat kutipan. Pada percakapan [02] sebanyaktiga kutipan. Pada percakapan [03] terdapat satu kutipan. Pada percakapan [04] terdapat enam kutipan. Pada percakapan [05] tidak terdapat kutipan. Pada percakapan [06] terdapat satu kutipan. Pada percakapan [07] terdapat lima belas kutipan. Pada percakapan [08] tidak ditemukan kutipan. Penerapan maksim simpati hanya terdapat pada percakapan [08] sebanyak satu kutipan. Makna Kesantunan dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura Makna kesantunan yang dilaksanakan melalui maksim-maksim tersebut selain memiliki makna secara eksplisit tetapi juga makna implisit. Sehingga tuturan-tuturan tersebut memiliki tujuan tertentu ketika dituturkan. Contoh: [01] Aslam Marny Aslam Marny (Aslam (Marny (Aslam (Marny Konteks
: (1) Minta surat gasan fashion show tu ke mana? Anu gasan kaya koran. : (2) Oh permohonan meliput. : (3) Heeh, eeh, permohonan meliput. : (4) He’eh, ke tata usaha aja wayah ini surat langsung nah. : (1) Minta surat untuk fashoin showke mana? Untuk, misalnya Koran.) : (2) Oh, permohonan meliput?) : (3) Iya, permohonan meliput.) : (4) Oh, begitu. Ke Tata Usaha saja sekarang minta suratnya.) : Program Keahlian Busana Butik akan melakukan pagelaran busana. Aslamiah sebagai salah satu guru di program tersebut meminta pendapat Marny. Aslamiah menganggap Marny lebih banyak tahu urusan sekolah karena sudah
239
bertugas di sekolah itu lebih lama dari Aslamiah dan kedudukan Marny sebagai wakil kepala sekolah. Kutipan (4) bermakna Marny memberikan informasi kepada Aslam perihal kepada siapa meminta surat permohonan peliputan. Tuturan tersebut menguntungkan Aslam karena Aslam akhirnya mengetahui kemana meminta surat yang ia butuhkan. [01] Aslam
Marny Aslam Marny (Aslam
(Marny (Aslam (Marny Konteks
: (12) Tapi jar anu, jar, kan Dwi lo, Dwi kita, kan banyak kenalan, anu Dwi Rosalinda banyak kenalan buhan wartawan. (13) Inya maanuakan peserta didiknya tadi. (14) Inya gratis pang Bu ai. (15) Mungkin paling pian mambarii bubuhan wartawannya. : (16) Iya ai wartawannya kaina minta. : (17) Tapi kada banyak jua kalo lah. : (18) Ya bisa ai dudua ratusankam, disiapakan. : (12) Tapi kata anu, kata..., kan Dwi, Dwi kita kan banyak kenalan, anu Dwi Rosalinda banyak kenalan para wartawan. (13) Dia mendaftarkan peserta didiknya. (14) Itu gratis, Bu. (15) Mungkin kita hanya perlu memberi wartawannya.) : (16) Iya memang wartawannya.) : (17) Tapi tidak banyak juga kan.) : (18) Bisa saja sekitar dua ratusanribu rupiah, disiapkan.) : Aslam menyampaikan bahwa menurut Dwi Rosalinda—alumnus SMK Negeri 1 Martapura yang banyak memiliki kenalan wartawan—jika meminta liputan dari media Koran, tidak memerlukan biaya. Aslam berpendapat bahwa seandainya ada biaya pun hanya untuk wartawan yang meliput saja.
Kutipan (17) bermakna bahwa Aslam menganggap dana yang diperlukan untuk kegiatan peliputan tidak banyak sehingga tidak akan memberatkan sekolah. Secara implisit, Aslam juga ingin menyampaikan bahwa biaya sekecil itu bisa ditanggulangi sekolah dan tidak akan menjadi alasan terkendalanya kegiatan tersebut. Fungsi Kesantunan dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura Pelaksanaan maksim kearifan yang berfungsi memerintah sebanyak tiga belas kutipan, berfungsi menyatakan sebanyak sembilan kutipan, berfungsi menanyakan satu kutipan, dan berfungsi menjawab sebanyak empat kutipan. Pelaksanaan maksim kedermawanan yang berfungsi menyatakan sebanyak dua kutipan.Pelaksanaan maksim pujian yang berfungsi menyatakan sebanyak empat kutipan, berfungsi komentar satu kutipan.Pelaksanaan maksim kerendahhatian yang berfungsi menyatakan sebanyak enam kutipan, berfungsi menolak satu kutipan.Pelaksanaan maksim kesepakatan yang berfungsi menyatakan sebanyak tiga kutipan dan menyetujui sebanyak dua puluh tujuh kutipan.Pelaksanaan maksim simpati yang berfungsi menyatakan satu kutipan. Contoh: [06] Marny : (11) Naah, ulun, ulun handak memindahkan kelas X TKJ karena mau direhab. Nursahadah : (12) Iya, boleh, boleh, boleh. Marny : (13) Oh, inggih. 240
Nursahadah Marny
: (14) Jadi, heeh. (15) Kursinya di luar ada Bu, belum ditata bener ai. : (16) Oh, iyakah.
(Marny
: (11) Naah, saya, saya mau memindahkan kelas X TKJ karena kelas mereka akan direhab.) (Nursahadah : (12) Iya, boleh, boleh, boleh.) (Marny : (13) Oh, iya.) (Nursahadah : (14) Jadi, heeh. (15) Kursinya di luar ada, Bu, masih belum ditata.) (Marny : (16) Oh, iya?) Konteks
: Kelas X TKJ sedang dalam pelaksanaan rehab sehingga siswanya tidak mendapat kelas untuk belajar. Pada saat itu siswa kelas XII Busana Butik sedang melaksanakan ujian praktik di ruang praktik. Marny selaku wakil kepasa sekolah urusan sarana prasarana melakukan negosiasi kepada ketua Program Keahlian Busana Butik agar dapat meminjam kelas XII Busana Butik. Negosiasi berhasil. Xilas XII Busana Butik boleh dipinjam sementara untuk kegiatan belajar siswa kelas X TKJ.
Kutipan (15) berfungsi menyatakan. Nursahadah bersedia meminjami ruang kelas. Nursahadah juga menyampaikan bahwa posisi kursi dan meja kayu masih berada di luar ruangan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa Kesantunan Berbahasa dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura telah diterapkan dengan baik. Saran Peneliti menyarankan kepada peneliti berikutnya agar meneliti kesantunan berbahasa dalam komunikasi antara guru dengan kepala sekolah di SMK.
DAFTAR RUJUKAN Aziz, Amka Abdul.2012. Guru Profesional Berkarakter. Klaten: Cempaka Putih. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
241
242
TINJAUAN INTRINSIK DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM DAN EDAN KARYA PUTU WIJAYA (INTRINSIC REVIEW OF BILA MALAM BERTAMBAH MALAM AND EDAN DRAMA BY PUTU WIJAYA) Dapy Fajar Raharjo Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjen, H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, email
[email protected] Abstract Intrinsic Reviewof Bila Malam Bertambah Malam andEdan Drama by PutuWijaya. This research is done to examine carefully the reformer of Putu Wijaya in writing the play drama. The goal of this research are 1) to identify instrinsic structure that create conventional play of Bila Malam Bertambah Malam from Putu Wijaya; 2) to identify intrinsic structure that create inconventional play of Edan from Putu Wijaya; 3) to description plot concept, dialog, and player of Bila Malam Bertambah Malam from Putu Wijaya; 4) to description plot concept, dialog, and player of Edan from Putu Wijaya; and 5) to explain the written change form of Putu Wijaya from conventional drama form become inconventional drama in most up to date Indonesian drama.The research used descriptive-kualitative plan and data is obtained and will be analyzed through structural analyze. In this research, researcher done as instrument at once collector and data processor. This research data is reformer done by Putu Wijaya in written drama through intertextual analyze of plot concept, dialog and player. Collecting data through book study, researcher used two play from Putu Wijaya Bila Malam Bertambah Malam and Edan as analysis data. In this research source data, data, theory and methodology is applied to check the validity.The result of research shows that Putu Wijaya has been done reformer in writing play drama, that is conventional form become inconventional form. The reformer that Putu Wijaya done in writing play drama can be identified 1) conventional plot commonly linear and intimate, while inconventional plot is random or loose; 2) conventional plot depend on the development of problem and conflict, while inconventional plot problem show and gone without solution; 3) conventional dialog drama is reformed from dialog to show individual character player become dialog that express group character; 4) conventional drama individu player express certain individu character, while inconventional drama player express certain group character; 5) conventional drama have explicit identity and show certain character, while inconventional player known as sociology and physiology identity; and 6) conventional player character so influence the beauty player structure, while inconventional player character the player can’t be growth following the plot. Key words: instrinsic observation, play drama, conventional, inconventional
Abstrak Tinjauan Intrinsik Drama Bila Malam Bertambah Malam dan Edan karya Putu Wijaya. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti pembaharuan yang dilakukan Putu Wijaya dalam menulis lakon drama. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi struktur intrinsik yang membangun lakon konvensional Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya; 2) mengidentifikasi sturktur intrinsik yang membangun lakon inkonvensional Edan karya Putu Wijaya; 3) mendeskripsikan konsep plot, dialog, dan tokoh pada lakon Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya; 4) mendeskripsikan konsep plot, dialog, dan tokoh pada lakon Edan karya Putu Wijaya; dan 5) menjelaskan bentuk perubahan penulisan lakon Putu Wijaya dari lakon yang berbentuk konvensional menjadi lakon yang berbentuk inkonvensional dalam drama mutakhir Indonesia. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif-kualitatif dan data yang diperoleh akan dianalisis melalui analisis 243
struktural. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul dan pengolah data secara penuh. Data penelitian ini adalah pembaharuan yang dilakukan Putu Wijaya dalam menulis lakon melalui analisis intertekstual terhadap konsep plot, dialog, dan penokohan. Dalam pengumpulan data melalui studi pustaka, peneliti menggunakan dua lakon Putu Wijaya, yaitu Bila Malam Bertambah Malam dan Edan sebagai bahan analisis. Dalam penelitian ini sumber data, data, teori dan metodologi diterapkan untuk mengecek keabsahan data.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putu Wijaya telah melakukan pembaharuan dalam menulis lakon drama, yaitu dari bentuk konvensional menuju bentuk inkonvensional. Pembaharuan yang dilakukan oleh Putu Wijaya dalam penulisan lakonnya dapat diidentifikasi yaitu 1) plot/alur lakon konvensional pada umumnya bersifat linier dan rapat, sedangkan plot/alur lakon inkonvensional beralur acak atau beralur longgar; 2) plot/alur lakon konvensional sangat tergantung pada perkembangan masalah dan konflik, sedangkan pada plot/alur lakon inkonvensional menjadikan masalah hanya muncul kemudian menghilang sehingga masalah tidak terselesaikan; 3) dialog lakon konvensional diperbaharui dari dialog sebagai sarana pengungkapan karakter tokoh yang bersifat individual menjadi dialog yang mengekspresikan karakter kelompok; 4) tokoh individu pada lakon konvensional mengekspresikan karakter individu tertentu, sedangkan pada lakon inkonvensional penokohan merupakan ekspresi kelompok tertentu; 5) tokoh lakon konvensional memiliki identitas yang jelas dan menunjukkan karakter tertentu, sedangkan pada lakon inkonvensional tokoh hanya diketahui identitas sosiologis dan psikologisnya; dan 6) karakter tokoh pada lakon konvensional sangat mempengaruhi keindahan struktur lakon, sedangkan pada lakon inkonvensional karakter tokoh tidak dapat berkembang mengikuti plot lakon. Kata-kata kunci: tinjauan intrinsik, lakon drama, konvensional, inkonvensional
PENDAHULUAN Semenjak seni drama bukan lagi pertunjukan lakon yang bersifat improvisasi, tetapi berupa naskah yang telah disiapkan lebih dahulu, seni drama mempunyai hubungan yang erat dengan seni sastra. Wellek dan Austin (dalam Hamidy, 1984: 9) mengelompokkan drama ke dalam karya sastra imajinatif. Drama dipandang sebagai suatu jenis karya sastra yang mengutamakan penyajian dialog. Naskah drama merupakan salah satu elemen dasar dalam drama modern selain adanya pemain, tempat, dan penonton. Atas dasar naskah ini pula segala bentuk ekspresi artistik di atas pentas diwujudkan dalam satu kesatuan pesan komunikasi secara utuh. Keseluruhan objek yang ada di atas panggung memiliki peran yang seimbang dan saling mendukung antara satu dengan yang lain sehingga komunikasi yang dihasilkan dari sebuah naskah lakon dapat ditangkap makna pesan lakon melalui pertunjukan. Lakon-lakon drama adalah karya sastra. Oleh sebab itu, apabila seseorang akan melakukan analisis terhadap lakon drama, usaha analisis tersebut harus dilandasi kesadaran bahwa sebuah karya drama memang ditulis untuk dipentaskan. Pengarang menulis drama itu dengan membayangkan action dan dialog para tokoh-tokohnya di atas panggung. Jadi, dialog dan action para tokoh cerita drama menjadi unsur yang sangat penting dalam membangun cerita dari awal hingga akhir. Keistimewaan drama sebagai genre sastra jika dibandingkan dengan genre sastra yang lain, seperti puisi dan prosa, memamg terletak pada tujuan pengarang yang tidak hanya ingin berhenti berkomunikasi dengan pembacanya, tetapi sekaligus ingin melanjutkan komunikasi dengan penonton dengan menghidupkan tokoh dan peristiwa tersebut di atas panggung. Karya sastra dikatakan berbentuk drama, menurut Atmazaki (1990: 31), memiliki ciri-ciri seperti berikut: (1) sebuah karya sastra disebut drama ditentukan oleh dialog; (2) drama diciptakan pertama-tama bukan untuk dinikmati melalui pembacaan melainkan untuk dipentaskan; (3) kalau karya sastra berbentuk prosa menceritakan tentang suatu kejadian, 244
drama adalah kejadian itu sendiri, yaitu kejadian di atas pentas. Drama merupakan kisah yang disampaikan melalui dialog antartokoh. Deretan peristiwa yang membentuk plot terjadi akibat dialog-dialog. Sebuah teks drama yang terdiri dari dialog seharusnya memenuhi syaratsyarat teatrikal. Namun sutradara diperbolehkan menginterpretasikan naskah sesuai dengan keinginan atau kebutuhan pentas tanpa menghilangkan kandungan isi drama tersebut. Interprestasi naslah drama sebagai pijakan sutradara untuk mewujudkan lakon menjadi pertunjukan drama disikapi dengan tidak mengubah struktur dramatik lakon drama. Menurut Dewojati (2010: 3), pada dasarnya sastra drama mempunyai makna penuh apabila naskah tersebut dipentaskan. Sebuah teks drama tidak hanya berupa konsep, simbul, atau dialog-dialog, tetapi teks drama dapat dilihat, didengar, dan dirasakan melalui peristiwaperistiwa yang dialami tokohnya. Memang naskah drama memiliki status sastrawi yang unik. Ia merupakan bagian integral dari pertunjukan drama sehingga naskah drama baru dapat dinikmati secara utuh dalam satu kesatuan dengan pertunjukan drama itu sendiri. Di dalam pertunjukan drama, muatan sastrawi naskah akan dihidupkan oleh penampilan para pemain melalui dialog, gerak, mimik, maupun unsur artistik panggung. Bagi seorang sastrawan, lakon atau naskah drama merupakan salah satu bentuk sastra di samping bentuk-bentuk lainnya seperti novel, roman, cerita pendek, puisi, dan lain sebagainya. Selain memiliki elemen-elemen yang sama dengan novel dan roman pada umumnya seperti tema, plot, watak, latar, lakon dibedakan dengan bentuk-bentuk lainnya, terutama dalam hal pemenuhan tuntutan kebutuhannya. Kalau roman dan novel adalah untuk dibaca, puisi untuk dideklamasikan, maka prinsip konstruksi lakon dan kaidah-kaidah teknik drama ditimbulkan dan dilandaskan pada kebutuhan penyajiannya kembali oleh pelaku yang memerankan tokohtokohnya dan mendukung cerita serta melaksanakan dialog-dialognya. Seorang penulis lakon dalam menyusun lakonnya harus senantiasa ingat pada kondisi-kondisi teatrikal. Lakon sebagai salah satu bentuk sastra, disoroti keseluruhannya sebagai suatu karya sastra dengan bentuknya yang khas, yaitu percakapan atau dialog (Oemarjati, 1971: 61). Seperti halnya puisi dan prosa, drama sebagai karya sastra perlu diapresiasikan lewat pembacaan terhadap naskahnya. Pengertian apresiasi dalam drama sama dengan apresiasi sastra lainnya, yaitu merupakan penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan atau analisis yang teliti dan kritis. Kalau demikian halnya, layaklah drama sebagai karya sastra merupakan hal yang utama untuk didekati, dipahami, ditelaah, dan diapresiasi. Dari pengapresiasian lakon drama akan diperoleh wawasan, pemahaman, penafsiran, dan pengalaman. Penafsiran dan pengalaman inilah yang akhirnya kita hubungkan dengan keadaan sebenarnya di luar drama atau realitas kehidupan. Akhirnya ditemukanlah suatu perubahan nilai-nilai dalam diri. Damono (1983:150) mengatakan. Kita bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama; ... Dan kita juga berhak berbicara tentang drama sebagai karya sastra. Itulah alasan mengapa drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama absurd, Francis Fergusson menulis “The Human Image in Dramatic Literature.” Helen Cardner membicarakan “Murder in the Cathederal.” T.S. Elliot dalam “The Art of T.S. Elliot,” dan seterusnya. Naskah lakon Bila Malam Bertambah Malam (konvensional) dan lakon Edan (inkonvensional) dipandang perlu untuk diteliti karena memiliki beberapa keunikan dari unsur-unsur yang ada di dalannya. Secara intrinsik keunikan unsur tersebut terdapat pada tema, plot, penokohan, latar, dialog, bentuk, gaya, maupun pesan yang ada di dalam naskah itu. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural melalui tinjauan intrinsik kedua lakon tersebut 245
guna mendapatkan informasi yang menyeluruh terhadap proses perkembangan penulisan lakon Putu Wijaya dari lakon konvensional menuju lakon inkonvensional. Melalui tinjauan unsur intrinsik dari dua naskah tersebut akan terlihat konsep penulisan lakon Putu wijaya. Berdasarkan pemikiran di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu 1) bagaimana struktur intrinsik yang membangun lakon konvensional Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya; 2) bagaimana sturktur intrinsik yang membangun lakon inkonvensional Edan karya Putu Wijaya; 3) bagaimana konsep plot, konsep dialog, dan konsep tokoh pada lakon Bila Malam Bertambah Malam; 4) bagaimana konsep plot, konsep dialog, dan konsep tokoh pada lakon Edan; dan 5) apa bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh Putu Wijaya sebagai penulis lakon drama mutakhir Indonesia. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) mengidentifikasi sturktur intrinsik yang membangun lakon konvensional Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya; 2) mengidentifikasi sturktur intrinsik yang membangun lakon inkonvensional Edan karya Putu Wijaya; 3) mendeskripsikan konsep plot, konsep dialog, dan konsep tokoh pada lakon Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya; 4) mendeskripsikan konsep plot, konsep dialog, dan konsep tokoh pada lakon Edan karya Putu Wijaya; dan 5) menjelaskan bentuk perubahan penulisan lakon Putu Wijaya dari lakon yang berbentuk konvensional menjadi lakon yang berbentuk inkonvensional dalam drama mutakhir Indonesia. Hasil penelitian tentang Pembaharuan Penulisan Lakon Putu Wijaya melalui tinjauan intrinsik atas dua lakon dramanya yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam dan Edan diharapkan dapat memperkaya dan menambah wawasan bagi pengembangan ilmu dalam bidang sastra terutama sastra lakon, baik bagi peneliti sendiri maupun bagi praktisi sastra lakon.
METODE Drama sebagai karya sastra patut untuk dipahami atau ditelaah atas unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam teks dialog para tokohnya. Unsur-unsur intrinsik tersebut membentuk sebuah struktur lakon drama. Tinjauan intrinsik atas dua lakon drama Putu Wijaya, yaitu lakon Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan dilakukan dengan cara pembedahan dan analisis naskah. Pembedahan dan analisis naskah secara utuh akan menghasilkan penelitian yang optimal. Oleh sebab itu, peneliti berupaya melakukan penelitian secara cermat, teliti, mendetail, dan mendalam agar mendapatkan data yang akurat dan lengkap. Mengingat data yang diperoleh seluruhnya berasal dari isi teks drama tertulis, maka pengumpulan data bersifat subyektif. Metode kualitatif berperan penting pada proses pengumpulan data sebelum diolah. Metode kualitatif digunakan sebagai cara untuk memahami dan menangkap makna drama sebagai karya sastra. Dalam menggunakan metode kualitatif ini diterapkan pendekatan struktural, yaitu pendekatan yang bersifat intertekstual atas unsur-unsur yang terkandung dalam struktur teks naskah drama tersebut. Pendekatan yang bersifat intertekstual ini pada akhirnya akan ditemukan pemikiran dan pandangan pengarang dalam mempergunakan bahasa sebagai alat menuangkan ide atau gagasannya. Penelitian mengambil objek, yaitu naskah drama Putu Wijaya yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam dan Edan. Kedua lakon drama tersebut diteliti menggunakan pendekatan struktural untuk mendapatkan data dari seluruh unsur-unsur struktur naskah tersebut. Dengan melakukan pendekatan struktural fungsi dan ciri karakteristik dari unsur tersebut dapat dibahas secara mendalam. Sumber data yang digunakan yaitu seluruh isi kandungan teks naskah drama Bila Malam bertambah Malam dan Edan karya Putu Wijaya, baik teks dialog antara tokoh-tokoh (hauptext) maupun teks
246
samping (nebentext).Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul dan pengolah data secara penuh. Guna memperoleh data dalam penelitian ini teknik yang digunakan berupa teknik studi pustaka atau metode dokumentasi. Pengumpulan data yang sistematis akan memudahkan peneliti untuk melakukan pengolahan data. Dalam melakukan studi pustaka peneliti mengamati dengan teliti dan cermat seluruh unsur intrinsik yang ada dalam kedua naskah Putu Wijaya tersebut di atas. Peneliti mengamati teks naskah drama secara berulang-ulang dan mencatat keterangan-keterangan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Teknik studi pustaka atau studi dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih difokuskan untuk menggali informasi yang berkaitan dengan struktur lakon drama Putu Wijaya, khususnya lakon Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan. Gambaran hasil penelitian secara deskriptif sangat dipengaruhi oleh kemampuan peneliti dalam menggunakan teknik ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada umumnya drama-drama Putu Wijaya menunjukkan kecenderungan berupa penggunaan gaya pengungkapan yang disebut dengan stream of consciousness. Menurut Abdullah, dkk. (1983: 16) dalam penelitiannya yang berjudul Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, istilah stream of consciousness mengandung pengertian teknik penulisan yang memperkenalkan kehidupan tokohnya secara langsung pada pembaca tanpa komentar dan penjelasan sedikit pun dari pengarangnya. Karya-karya lakon drama Putu Wijaya cenderung mengolah konflik batin para tokohnya dengan mengembangkannya sesuai objek yang dipermasalahkan. Akhirnya, peristiwa-peristiwa yang diungkapkan dalam lakon Putu Wijaya sering terasa meloncat-loncat tanpa ada kaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Putu Wijaya dalam menulis lakonnya tidak mengutamakan runtutan peristiwa, melainkan jalan pikiran atau renungan para tokohnya atas objek yang melibatkan dirinya. Sebagian besar lakon-lakon Putu Wijaya adalah inkonvensional atau absurd. Kekhasan Putu Wijaya ialah memilih anekdot-anekdot tantang hal-hal yang lucu, remeh, aneh, dan kadang-kadang tidak masuk akal atau di luar batas kemampuan manusia. Melalui lakonlakonnya Putu Wijaya ingin menghardik atau mencubit supaya pembaca atau penonton dramanya kaget dan terhenyak sesaat. Putu Wijaya ingin mengajak orang untuk meragukan segala sesuatu, menilainya kembali, dan mengambil sikap untuk melangkah. Seorang pengarang bagi Putu Wijaya harus mampu menembus waktu. Dibutuhkan proses pengendapan pengalaman, kemudian diambil benang merahnya, dan selanjutnya perlu adanya perenungan. Pengarang tidak sekedar melihat sesuatu sebagai sesuatu, tetapi melihat sesuatu di balik sesuatu itu. Pengarang tidak melaporkan apa yang ada tetapi berpikir tentang sesuatu yang tidak ditangkap oleh orang lain. Pengarang pada hakekatnya sharing pengalaman dengan yang lain, sehingga orang lain mendapatkan informasi baru yang khas dari pengarang itu (Wijaya, 1989: 52). Kecenderungan Putu Wijaya mengolah konflik membawa ia beranjak lebih jauh ke dalam pembongkaran aspek-aspek jiwa bawah sadar manusia. Mengolah konflik batin tokohtokohnya dan mengembangkanya sesuai alur cerita mengakibatkan peristiwa-peristiwa yang diungkap sering terasa meloncat-loncat tanpa sebab-akibat, secara lahiriah terlihat kacau. Tokoh-tokoh dibiarkan melihat sesuatu konflik sesuai dengan tujuan kelompok, bukan tujuan individu. Daya tarik yang belum diungkap secara mendalam dalam tinjauan lakon Edan sebelumnya adalah adanya tujuan yang hendak dicapai untuk mengatasi konflik, baik secara kelompok, maupun individu, tetapi masalah tidak pernah selesai.
247
Unsur-unsur penting yang diteliti berkaitan dengan struktur lakon Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan (unsur instrinsik) adalah tema, plot, penokohan, latar, dialog, bentuk, gaya, dan amanat. Dari kedelapan unsur yang membentuk struktur lakon tersebut, plot merupakan unsur utama yang dianggap paling lengkap menyatakan ide karakteristik yang melatarbelakangi suatu lakon. Selain mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik pada kedua lakon di atas, dijelaskan pula konsep plot, dialog, dan tokoh, sehingga melalui kedua naskah itu akan diketahui perbedaan atau pembaharuan yang dilakukan Putu Wijaya. Plot, dialog, dan tokoh pada masing-masing naskah memperlihatkan adanya perubahan mendasar pada konsep penulisan lakon Putu Wijaya. Identifikasi perubahan konsep penulisan lakon Putu Wijaya berpengaruh langsung terhadap gaya penulisan lakon Putu Wijaya sebagai gaya inkonvensional atau absurd. Drama absurd merupakan genre drama yang menampilkan kisah-kisah sisi gelap dunia. Bukan kesuraman tragis yang masih memiliki nilai pelajaran, melainkan dunia yang telah kehilangan makna. Drama absurd menampilkan lakon-lakon yang tidak jelas maknanya dan tidak ada yang dapat mengartikan maknanya. Menurut Zaidan, dkk (2007: 21), sifat absurd muncul dalam bentuk pengabaian terhadap konvensi pengaluran, penokohan, dialog dan penampilan tema. Sedangkan menurut Riantiarno (2011: 8), konvensi struktur alur, penokohan, urutan waktu atau tempat, serta tematik dalam drama absurd diabaikan atau dilanggar. Inkonvensional berarti tidak sesuai dengan kewajaran secara umum. Inkonvensional bersifat kebalikan dari konvensional. Penulisan naskah drama inkonvensional menyimpang dari kaidah-kaidah umum struktur lakon, baik dalam struktur tematik, struktur penokohan, maupun dalam hal struktur kebahasaan. Fakta-fakta struktur, terutama alur dan penokohan, disajikan secara inkonvensional (tidak berdasar pada kaidah-kaidah yang mapan). Drama inkonvensional mengabaikan konvensi pengaluran, penokohan, penampilan tema, dan tidak mengungkap realita dengan hukum sebab akibat yang jelas. Drama inkonvensional menampilkan manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya, merasa tidak berarti, terpencil, tersisihkan, dan menampilkan sisi gelap dunia yang kehilangan makna. Ciri-ciri drama inkonvensional antara lain 1) tokoh-tokoh tidak memiliki identitas yang jelas (tidak memiliki bentuk tiga dimensional). Tokoh hanya sebagai simbol dari sifat dan kedudukan seseorang yang muncul pada saat tertentu, seperti Penguntit, Kelompok Makan, Yang Kalap, Entah Siapa, Wakil, Yang Ngibul, Yang Jujur, dan Yang Lapar; 2) bentuk pengaluran sulit diketahui plot/alurnya. Plot/alur tidak menunjukkan jalinan peristiwa secara teratur. Peristiwa-peristiwa yang diungkap sering terasa meloncat-loncat tanpa sebab-akibat; 3) menggunakan pola pendekatan obyektif. Seperti dalam lakon Edan, Kelompok Makan merupakan kelompok obyek bagi Kelompok Entah Siapa dan Kelompok Penguntit. Kedua kelompok ini menanggapi atau mengomentari tingkah laku Kelompok Makan. Terlihatlah pola pengungkapan arus pikiran tokoh yang seakan – akan terucap secara spontan; 4) dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokoh bukanlah ekspresi dari watak tokoh, sebab dialog dapat diucapkan oleh siapa saja di dalam kelompok itu; dan 5) gaya humor yang ditunjang oleh gaya ironi, sarkasme, pengulangan, menjadi ciri drama inkonvensional Putu wijaya. Unsur-Unsur Intrinsik Lakon Drama Bila Malam Bertambah Malam dan Lakon Edan Berdasarkan hasil penelitian terhadap unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan dapat diidentifikasi seperti berikut: tema yang terdapat dalam lakon drama Bila Malam Bertambah Malam yaitu cinta kasih antara Gusti Biang dan Wayan, serta antara Ngurah dengan Nyoman yang tidak dapat dipisahkan oleh perbedaan kasta di antara keduanya. Tema yang diangkat Putu Wijaya dalam lakon drama Edan men248
ceritakan tentang kanibalisme. Manusia seolah-olah tidak memiliki kepercayaan terhadap perikemanusiaan dalam diri mereka. Plot pada lakon Bila Malam Bertambah Malam dimulai dari pemaparan cerita, rangsangan, perumitan, klimaks, penurunan laku, dan berakhir dengan penyelesaian. Plot pada lakon Edan dimulai dari pemaparan cerita, rangsangan, perumitan, klimak, penurunan laku. Plot tidak pernah mengalami penyelesaian. Akhir cerita diserahkan kepada pembaca atau penikmat lakon Edan. Tokoh dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam memiliki identitas tersendiri, baik ditinjau dari aspek fisiologis, sosiologis, maupun psikologis. Tokoh pada lakon Edan diidentifikasi sebagai tokoh kelompok yang dapat berkembang menjadi tokoh individu. Tokoh-tokoh pada lakon Edan tidak memiliki tiga aspek kemanusiaan, namun tokoh hanya memiliki satau atau dua aspek kemanusiaan. Latar Pada lakon Bila Malam Bertambah Malam lebih mudah teridentifikasi, baik latar tempat waktu, dan suasana. Pada babak pertama dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam ini tempat kejadian yaitu di tempat kediaman atau rumah Gusti Biang. Pada babak II tempat kejadian di halaman rumah Gusti Biang. Pada babak III tempat kejadian di tempat tidur Gusti Biang. Pada babak IV tempat kejadian di depan rumah Gusti Biang. Lakon Bila Malam Bertambah Malam terjadi pada waktu malam hari. Kejadian dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam terjadi di Tabanan Bali sekitar tahun 1960-an. Dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam suasana lakon terdiri dari suasana marah, sedih, takut, kesal, tegang dan romantik. Masing-masing suasana berkembang mengikuti alur peristiwa lakon. Keterangan tempat pada lakon Edan tidak menunjukkan tempat yang pasti. Dalam lakon Edan ini hanya disebutkan bahwa tempat terjadinya peristiwa yaitu di suatu ruangan tampak seperti restan pertempuran yang panjang dan kejam. Keterangan waktu pada lakon Edan tidak menunjukkan waktu yang pasti. Suasana utama dalam lakon Edan dilatarbelakangi oleh suasana pertempuran. Suasana lakon yang dapat diidentifikasi yaitu suasana tenang, gaduh, tegang, rebut, dan sunyi. Masing-masing suasana tampak pada peristiwa-peristiwa yang dibangun oleh tokoh berdasarkan perkembangan plot lakon. Dialog dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam sebagian mendapat warna dialek Bali. Hal ini menyebabkan latar belakang sosial-budaya tokoh-tokohnya semakin jelas. Masingmasing tokoh mengucapkan dialog secara proporsional sesuai dengan perannya tanpa dan tidak dapat diganti oleh peran lain. Kedudukan tokoh sangat menentukan bentuk dialog. Perkembangan dialog berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan karakter tokoh. Dialog dalam lakon Edan mewakili individu dan kelompok. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis tidak dikenal, pro dan kontra timbul secara spontan di dalam kelompok, dan terhapus secara mendadak karena munculnya masalah yang lain. Kecenderungan gaya dialog tidak mengekspresikan karakter tokoh secara individu-individu, tetapi merupakan ekspresi dari sikap dan kehendak kelompok. Konsep dialog menunjukkan kecenderungan dialog pada teks sebagai dasar atau pijakan untuk pengembangan ke dalam seni pertunjukan. Dalam sistem dialog semacam ini Putu Wijaya ingin memberi kesan bahwa pemain bebas berbicara apa saja asal sesuai dengan struktur teks lakon tersebut. Konflik-konflik yang dibangun antara Gusti Biang dengan Nyoman, Gusti Biang dengan Wayan, dan Gusti Biang dengan Ngurah menegaskan bahwa bentuk lakon ini adalah lakon tragedi. Bentuk drama pada lakon Edantentu saja lebih mengedepankan bentuk tragedinya jika dibandingkan dengan komedinya. Artinya lakon Edan ini tidak semata-mata menggambarkan tragedi, namun di dalamnya mencakup komedi dan melodrama. Percampuran bentuk gaya penulisan yang absurd tersebut sesuai dengan gaya ekspresionis, yaitu gaya yang memberikan kebebasan untuk berekspresi tanpa dibatasi oleh konvensi-konvensi yang berlaku. Lakon drama konvensional Bila Malam Bertambah Malam menunjukkan gaya realisme, yaitu 249
mengungkapkan suatu permasalahan kehidupan keluarga Gusti Biang dengan latar dan kondisi sosial-budaya masyarakat Bali. Dalam lakon Edan Putu Wijaya menunjukkan gaya absurd. Untuk mengungkapkan segala yang tak tampak itu Putu Wijaya menggunakan gaya bercerita yang istimewa. Gaya absurd tampak pada tingkah laku tokoh yang berlebih-lebihan untuk menyimbolkan keadaan pergolakan batin tokoh sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lakon tampak tidak masuk akal. Amanat yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya melalui lakonnya yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam yaitu masalah perbedaan kasta seharusnya tidak lagi menjadi persoalan dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali. Pandangan kaum feodal yang menganggap kaum bangsawan lebih tinggi derajatnya jika dibandingkan dengan kaum sudra sudah tidak sesuai lagi. Seseorang tidak dinilai dari derajat kebangsawanannya melainkan dari sikap dan keteladanannya. Amanat yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya melalui lakonnya yang berjudul Edan yaitu pada dasarnya manusia merupakan makhluk Tuhan yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Persoalan-persoalan dalam kehidupan yang semakin menghimpit dan menyesakkan jiwa manusia jangan sampai melupakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu kesadaran untuk memanusiakan manusia sangat penting. Etika, moral, budi pekerti, kasih sayang, atau ajaran-ajaran tentang kebenaran harus dijadikan tonggak dalam berbuat dan bertingkah laku. Konsep Plot, Dialog, dan Penokohan pada Lakon Bila Malam Bertambah Malam Dari analisis lakon Bila Malam Bertambah Malam terlihat bahwa sistem pengalurannya menunjukkan rangkaian hubungan kausalitas yang dijalin oleh masalah yang dihadapi Gusti Biang dan Wayan. Wayan sejak muda jatuh cinta dengan Gusti Biang, tetapi karena Gusti Biang memiliki gengsi yang tinggi maka cinta Wayan ditolak. Gusti Biang lebih memilih I Gusti Ngurah Ketut Mantri sebagai suaminya. Cinta Wayan yang tidak terwujud itu mendorong Wayan bekerja di tempat I Gusti Ngurah Ketut Mantri sebagai pembantu. Kemudian diketahui bahwa I Gusti Ngurah Ketut Mantri adalah seorang wandu. Wayanlah yang bertugas menggantikan I Gusti Ngurah Ketut Mantri untuk memenuhi kebutuhan batin Gusti Biang sampai Ngurah lahir. Gusti Biang mengingkari semua yang terjadi karena gengsi sebagai kaum bangsawan. Setelah dipaparkan semua peristiwa masa lampau di hadapan Ngurah, Gusti Biang pun tidak dapat memungkiri dan mengelak. Gusti Biang pun akhirnya menerima kehadiran Wayan, dan menyetujui perkawinan Ngurah dengan Nyoman. Dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam menunjukkan hubungan masalah yang diampu oleh rangkaian peristiwa sampai masalah tersebut selesai. Peristiwa-peristiwa dalam lakon mengacu pada masalah yang dibawa tokoh Gusti Biang sebagai tokoh bangsawan yang bersikap menutupi keburukan nilai kebangsawanan, seperti memitoskan suaminya yang impoten sebagai laki-laki perkasa, seorang bangsawan yang memihak Belanda sebagai pahlawan pembela tanah air. Penentang sikap Gusti Biang itu adalah Nyoman, Wayan, dan Ngurah. Ketiga tokoh ini mempunyai peran sebagai pemecah masalah. Jadi, pada umumnya lakon konvensional memiliki masalah yang dapat diselesaikan dan alur atau plot lakon tersebut bermula dari timbulnya masalah dan berakhir dengan penyelesaian masalah. Analisis struktur dialog pada lakon konvensional Bila Malam Bertambah Malam menunjukkan sistem dialog yang membangun logika dan informasi dialog Struktur dialog lakon Bila Malam Bertambah Malam menunjukkan bahwa dialog hanya milik tokoh tertentu dan tidak dapat dipertukarkan dengan dialog tokoh lain. Dialog berhubungan dengan plot/alur lakon sehingga bila tokoh protagonis mendapat perlawanan dari tokoh antagonis maka akan terjadi perubahan suasanan cerita. Pertentangan antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis 250
mengakibatkan irama cerita dan tempo permainan lebih berkembang dan dinamis. Dialog mengembangkan dan menginformasikan karakter tokoh sebagai individu, bukan mewakili karakter kelompok. Hal ini disebabkan masing-masing tokoh sudah memiliki dialog yang bersifat identifikasi peranan individu. Dialog merupakan ekspresi karakter tokoh tertentu sehingga bila dialog tokoh dipertukarkan akan mempengaruhi struktur dramatik dan jalan cerita. Hal ini disebabkan dialog memiliki fungsi menumbuhkan konflik, mengembangkan karakter, serta membangun suasana lakon. Biasanya dalam penokohan lakon konvensional, termasuk lakon Bila Malam Bertambah Malam, penokohannya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang pertama-tama menyampaikan ide prinsipil atau sebagai penggerak cerita. Lawan tokoh protagonis yaitu tokoh antagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang selalu menentang keinginan atau ide dari tokoh protagonis sehingga timbullah pertentangan keduanya. Dengan kata lain tokoh antagonis adalah tokoh yang berperan sebagai penghalang bagi keinginan tokoh protagonis. Pertentangan keduanya akan menimbulkan konflik dan konflik pada akhirnya mencapai puncak sehingga harus diupayakan penyelesaian masalah. Salah satu tugas untuk meredam atau bahkan menyelesaikan konflik antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis merupakan bagian dari tugas tokoh tritagonis. Tugas tokoh tritagonis adalah mendamaikan atau tokoh penengah dalam penyelesaian masalah sehingga masalah dapat diselesaikan. Lakon Bila Malam Bertambah Malam dianalisis penokohannya berdasarkan tiga dimensi kemanusiaan, meliputi dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Ketiga dimensi kemanusiaan tokoh tersebut merupakan dasar perkembangan karakter tokoh selanjutnya setelah menghadapi beberapa masalah yang ditimbulkan oleh tokoh lain. Berdasarkan dimensi kemanusiaannya masing-masing tokoh dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam memiliki karakter yang berbeda. Tokoh Gusti Biang hanya memiliki karakter Gusti Biang, tokoh Wayan hanya memiliki karakter Wayan, tokoh Nyoman hanya memiliki karakter Nyoman, dan tokoh Ngurah hanya memiliki karakter Ngurah. Jadi setiap tokoh memiliki karakter sendiri-sendiri yang sifatnya tidak dapat diubah-ubah. Perbedaan karakter keempat tokoh tersebut sangat penting untuk mengembangkan konflik sehingga konflik dapat mencapai klimaks dan berakhir dengan penyelesaian. Konsep Plot, Dialog, dan Penokohan pada Lakon Edan Plot/alur lakon Edan dibangun oleh setiap peristiwa yang masing-masing memiliki fokus persoalan sendiri. Berbagai macam persoalan dalam lakon Edan menyebabkan struktur plot berbeda dengan plot drama konvensional. Dapat ditunjukkan di sini sejak babak I ke babak II tidak menunjukkan hubungan kausalitas. Mulai peristiwa 1 sampai peristiwa 15 adalah satu bangunan struktur mandiri. Sejak tahap pemaparan telah diungkapkan bahwa ada Sekelompok Yang Makan, Sekelompok Penguntit dan Sekelompok Entah Siapa sebagai saksi dalam peristiwa tersebut. Peristiwa berlanjut pada tahap rangsangan yaitu ketika Kelompok Penguntit datang membawa barang bukti yang berisi tulang-tulang manusia dan dimakan oleh Kelompok Yang Makan. Pertentangan semakin memuncak sebab Kelompok Yang Makan diganyang oleh anggota Kelompok Penguntit. Tahap terakhir dari lakon Edan menunjukkan tahap konflik yang mereda sehingga plot lakon turun dari klimaks ke tahap leraian.
251
Bila plot/alur lakon Edan divisualisasikan maka struktur dramatik babak I dan babak II adalah sebagai berikut.
Struktur plot/alur di atas (gambar 4.2) mengindikasikan bahwa babak I permasalahan yang dipaparkan pada bagian awal tidak sampai tahap penyelesaian. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konvensi struktur plot/alur lakon konvensional. Ketidaklengkapan tahapan plot/alur pada lakon Edan disebut plot/alur tidak selesai. Plot lakon Edan dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah yang tidak selesai tersebut tetap menarik sebagai satu kesatuan struktur plot yang utuh. Plot lakon dikembangkan dengan jalan mengulur-ngulur masalah memakai teknik suspense atau menghadirkan ketegangan-ketegangan dan surprice atau memberi kejutankejutan. Suspense dan surpricepada lakon Edan berfungsi menjembatani impuls-impuls pada lakon sehingga rangkaian peristiwa tersebut senantiasa menarik untuk diikuti. Pada plot/alur lakon Edan menunjukkan struktur plot/alur yang dibangun oleh rangkaian peristiwa yang jalin-menjalin secara longgar sehingga plot ini disebut beralur longgar. Masalah yang diungkapkan pada bagian awal lakon (paparan) berkembang ke peristiwa lain. Pemecahan masalah pada lakon tersebut dicoba untuk dipecahkan tetapi masalah tersebut justru mengembangkan masalah awal. Plot lakon Edan seolah-olah memiliki tangga dramatik seperti pada lakon konvensional, tetapi dalam lakon ini tidak sepenuhnya dipakai. Pada plot Edan yang terjadi justru rangkaian peristiwa bergerak dari tahap sebelumnya kemudian menghilang dan muncul peristiwa lainnya. Hal ini dapat dilihat setelah leraian pada babai I tidak ada penyelesaian, akan tetapi muncul persoalan lain sebagai tahap paparan pada babak II hingga sampai pada tahap leraian selanjutnya. Struktur plot semacam ini mengarah pada model plot yang tidak berujung dan tidak berpangkal. Pada umumnya dialog dalam lakon Edan diucapkan oleh tokoh-tokoh yang memiliki karakter satu aspek saja dari dimensi manusia. Secara fisiologis watak tokoh tidak tampak, tetapi secara sosiologis dan psikologis watak tokoh tampak dengan jelas sebagaimana peran dan nama tokoh. Dialog dalam lakon Edan terlihat lebih bebas diucapkan oleh tokoh-tokoh manapun dalam kelompoknya yang bercirikan karakter kelompok maupun karakter individu. Masing-masing dialog, baik disampaikan oleh tokoh kelompok maupun tokoh individu, turut serta mempengaruhi keindahan struktur lakon. Hal ini dimungkinkan mengingat dialog tokoh disesuaikan dengan peranan atau suasana hati tokoh yang akan melakukan dialog. Misalnya tokoh Yang Kalap, tokoh ini dari Kelompok Penguntit yang kebetulan sedang kesal karena kehadiran mereka tidak dihiraukan oleh Kelompok Yang Makan. Guna menunjukkan bahwa dialog dalam lakon inkonvensional Edandapat dipertukarkan tokoh maupun posisi dialog dengan tidak mempengaruhi plot/alur lakon, maka dialog dapat ditelaah seperti contoh berikut.
252
007. Entah Siapa 008. Entah Siapa 009. Entah Siapa 010. Entah Siapa 011. Entah Siapa 012. Entah Siapa 013. Entah Siapa 014. Entah Siapa 015. Entah Siapa 016. Entah Siapa 017. Entah Siapa 018. Entah Siapa 019. Entah Siapa
: Menilik baunya, tak ayal lagi! : Itu, yang paling rakus itu, rakus sekali! : Lezat – lezat kelihatannya. : Lho, yang paling ujung sendiri seperti. : Bajingan – jadi! : Kok bisa tenang begitu rupa ya? : Caranya – caranya makan, ck-ck-ck, menantang sekali! : Habis sudah kepergok mau apa lagi kalau tidak nekat! : Bajingan maunya tadi baik-baik sekarang jadi meluap lagi. : Gawat! : Biar, kalau memang mau berkelahi, biar sekarang saja! : Ayo serbu, tunggu apa lagi, mereka di sana kita di sini, ayo! : Panggil dulu mereka yang ada di situ, cepat! (Babak I, halaman 2-3)
Dialog pada kutipan lakon Edan di atas menunjukkan bahwa dialog diucapkan oleh tokoh yang sama, yaitu tokoh Entah Siapa. Meskipun begitu antara tokoh Entah Siapa yang satu dengan tokoh Entah Siapa yang lain tetap terjadi jalinan dialog. Dialog antara tokoh Entah Siapa di atas meskipun dipertukarkan tidak akan mempengaruhi plot/alur lakon (struktur dramatik), karakter tokoh, dan jalinan cerita lakon Edan. Setelah dipertukarkan tokoh yang melakukan dialog akan tetap sama tidak berubah posisinya. Posisi dialog walaupun diubah tidak mempengaruhi fungsinya, yakni mengungkapkan alur, menumbuhkan karakter tokoh, dan mengembangkan jalan cerita. Dialog yang dilakukan oleh tokoh dengan sebutan yang sama meskipun tokoh yang melakukan dialog tersebut sudah dipertukarkan seolah-olah tidak ada perubahan dialog. Hal ini menunjukkan bahwa dialog dalam lakon Edan diucapkan oleh tokoh-tokoh yang dapat dipertukarkan atau didialogkan saling bergantian. Demikian juga bila dialog pada lakon Edan dihilangkan tokoh-tokohnya akan terlihat adanya kata-kata atau kalimat yang diucapkan oleh seorang tokoh atau monolog. Jadi, dialog pada lakon Edan sesungguhnya merupakan monolog yang diformulasikan menjadi bentuk cakapan yang dibagi menjadi beberapa dialog sehingga diperlukan tokoh yang mengucapkannya. Oleh sebab itu muncullah tokoh Entah Siapa satu, Entah Siapa dua, dan seterusnya. Selain menunjukkan dialog pada tokoh yang sama, dialog pada lakon Edan ini juga menunjukkan adanya dialog yang dimiliki oleh tokoh individu. Dialog pada tokoh individu ini pada awalnya juga terlibat dalam percakapan yang melibatkan kelompok. Dialog yang sifatnya individu ini tentunya tidak dapat dipertukarkan posisi dialognya sebagaimana yang ada pada tokoh kelompok. Masing-masing tokoh individu mempunyai peran atau tugas yang berbedabeda dalam membangun atau menyelesaikan cerita. Pemberian nama tokoh, seperti tokoh Yang Kalap, Yang Capek, Yang Gagu, Wakil, Pengintai, dan lainnya dipengaruhi oleh peran atau suasana hati masing-masing tokoh. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan dialog berikut. 043 Yang Kalap : Nah! (menghampiri Yang Makan) Setan, anjing, kerbau, celeng, coro, kecoak, tokek (meludah) binatang masih lebih beradab dari pada kamu. Kelakuan! 044 Penguntit : (Menghampiri) Sudahlah, jangan mendahului melakukan kekerasan. 045 Yang Kalap : Habis mangkel, kampungan!
253
046 Wakil
: (Sesudah keadaan agak reda) Maaf, jangan termakan kata-kata lepas rekan kami tadi, maklum dia baru datang dari pedalaman jiwa rimbanya masih kuat, sama sekali bukan maksudnya untuk mengatakan andaanda semua laknat, babi, tikus, ular, monyet, atau binatang-binatang terkutuk lainnya. Yang penting anda ketahui bahwa kami yang panik ini semuanya sudah keok karena naik pitam, habis dan merasa diri percuma karena kena kibul. Maaf, ini serius. Hee, coba sempurnakan dulu bukti ini sampai selesai. 047 Yang Kalap : Terlalu banyak bukti, kita bisa kehilangan emosi! 048 Wakil : Sssttt! (Babak I, halaman 7) Dari kutipan dialog di atas terlihat bahwa tokoh Yang Kalap maupun tokoh Wakil merupakan bagian dari tokoh Penguntit. Tokoh-tokoh itu muncul secara spontan karena salah satu tokoh Penguntit tersebut sedang kalap menghadapi tokoh Yang Makan dan tokoh lainnya bertindak mewakili rekan-rekannya untuk menyampaikan isi hati mereka menghadapi perlakuan acuh tokoh Yang makan. Peran kedua tokoh tersebut berbeda, yakni tokoh Yang Kalap muncul karena ia merasa jengkel kepada tokoh Yang Makan yang terus asyik makan tanpa menghiraukan kehadiran mereka, sedangkan tokoh Wakil memiliki peran mewakili rekan-rekannya untuk meredam suasana yang kurang baik. Dialog Yang Kalap sesuai dengan perasaan hatinya saat itu yang sedang kesal dan dialog Wakil mencerminkan ia sebagai tokoh yang mewakili rekan-rekannya Tokoh-tokoh pada lakon inkonvensional Edan dapat diidentifikasi sebagai tokoh-tokoh yang tidak memiliki nama secara jelas dan tetap. Tokoh pada lakon Edan menggunakan identitas kelompok dan identitas individu. Hal ini berbeda sekali dengan lakon konvensional Bila Malam Bertambah Malam dimana identitas tokoh-tokohnya sangan jelas, baik ditinjau dari segi fisiologis, sosiologis, maupun psikologis. Dalam lakon Edan Putu Wijaya menggunakan nama kelompok Entah Siapa, Penguntit, Kelompok Bersenjata, Yang Makan, dan Pengangkut. Tokoh kelompok ini secara nyata tidak menunjukkan bentuk karakter secara utuh. Selain itu, tokoh kelompok ini berkembang membentuk tokoh dengan karakter individu, seperti Yang Kalap, Pemberangus, Wakil, Yang Jujur, Yang Ngibul, Yang Tinggal, Yang Capek, Yang Teguh, Pengangkut, Pengintai, dan lain sebagainya. Karakter tokoh yang sifatnya kelompok sangat sulit diidentifikasi sesuai dengan kategori aspek-aspek yang terdapat pada lakon konvensional. Karakter anggota kelompok menunjukkan reaksi dan sikap kelompok terhadap kelompok lain yang tentu saja memiliki kepentingan berbeda dalam lakon. Oleh sebab itu, karakter tokoh dikatakan mengekspresikan watak kelompok bukan watak individu. Barangkali identifikasi tokoh individu lebih mudah jika dibandingkan dengan tokoh kelompok, sebab masing-masing tokoh individu sudah memiliki karakter yang membedakan dengan karakter tokoh lain. Tentu saja posisi tokoh individu ini tidak dapat dipertukarkan dengan posisi tokoh lain. Tokoh dalam lakon Edan pada dasarnya sulit didentifikasi peranannya sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, maupun tokoh tritagonis. Pada babak pertama yang memiliki ide atau gagasanl terjalinnya cerita adalah kelompok Yang Makan, sedangkan pada babak kedua penggerak cerita dikembangkan oleh Kelompok Bersenjata. Namun kedua kelompok di atas tidak dapat dikatakan sebagai tokoh protagonis. Demikian juga kelompok Penguntit pada babak pertama dan kelompok Pengangkut pada babak kedua tidak dapat dikatakan sebagai tokoh antagonis. Sementara itu keterlibatan tokoh Entah Siapa pada babak pertama 254
dan babak kedua juga tidak mewakili kedudukannya sebagai tokoh tritagonis. Tokoh dalam lakon Edan ini menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan tokoh individu merupakan bagian dari kehendak kelompok. Bentuk Pembaharuan yang Dilakukan oleh Putu Wijaya Sebagai Penulis Lakon Drama Mutakhir Indonesia Dilihat dari hasil analisis unsur intrinsik pada lakon Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan dapat disimpulkan bahwa Putu Wijaya telah melakukan pembaharuan dalam penulisan lakonnya. Pembaharuan yang dilakukan oleh Putu Wijaya bermula dari gaya penulisan yang realis (konvensional) menuju gaya absurd (inkonvensional). Bentuk pembaharuan ini ditulis Putu Wijaya semenjak mengikuti berbagai sayembara yang dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Jakarta sekitar tahun 1970-an. Bentuk penulisan lakon inkonvensional Putu Wijaya ditandai dengan beberapa ciri khusus, seperti 1) plot lakon inkonvensional bersifat longgar tanpa adanya penyelesaian; 2) dialog sebagai sarana pengungkapan karakter tokoh yang bersifat individual menjadi dialog yang mengekspresikan karakter tokoh kelompok dan tokoh individu; 3) dialog memberi peluang kepada pemain atau sutradara melakukan improvisasi dengan mengisi dialog tertentu sesuai dengan petunjuk lakon; 4) penokohan merupakan ekspresi kelompok dan ekspresi individu; 5) seorang tokoh selain berperan dalam kelompok ia juga memiliki peranan individu; dan 6) karakter tokoh tidak dapat berkembang mengikuti plot lakon.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil analisis atau tinjauan intrinsik terhadap lakon drama Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan dapat disimpulkan bahwa Putu Wijaya telah mengalami atau melakukan pembaharuan dalam penulisan lakon dramanya, yaitu bentuk drama konvensional menuju bentuk drama inkonvensional. Ciri-ciri pembaharuan yang dilakukan oleh Putu Wijaya dapat dilihat melalui hasil analisis unsur intrinsik yang terdapat dalam kedua lakon tersebut. Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan struktural, yaitu pendekatan yang bersifat intertekstual atas unsur-unsur yang terkandung dalam struktur teks naskah drama tersebut. Pendekatan yang bersifat intertekstual ini pada akhirnya menemukan pemikiran dan pandangan Putu Wijaya dalam mempergunakan bahasa sebagai alat menuangkan ide atau gagasannya. Untuk memperoleh data yang akurat atau sahih peneliti menggunakan teknik studi pustaka atau metode dokumentasi. Dalam melakukan studi pustaka peneliti mengamati dengan teliti dan cermat seluruh unsur intrinsik yang ada dalam kedua naskah Putu Wijaya tersebut di atas. Dari hasil analisis melalui studi pustaka peneliti menemukan dan menyajikan beberapa bentuk pembaharuan yang telah dilakukan Putu Wijaya sebagai penulis lakon drama yang produktif di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan oleh Putu Wijaya ini berlanjut hingga sekarang dan menjadi ciri khas atau gaya tersendiri. Gaya bercerita yang dipadukan adanya kejutan-kejutan dan ketegangan-ketegangan yang menyertai lakon, serta peristiwa-peristiwa yang disusun cenderung berlebihan, inilah yang disebut absurd. Perbaharuan lakon konvensional menjadi lakon inkonvensional/ absurd yang dilakukan oleh Putu Wijaya secara konsisten, produktif, dan karya yang dihasilkan berkualitas menempatkan posisi Putu Wijaya sebagai tokoh utama pembaharuan penulisan lakon mutakhir di Indonesia. Hal tersebut lebih lengkap dengan komitmen Putu Wijaya tidak hanya sebagai penulis lakon tetapi juga sebagai dramawan atau pekerja panggung. Pembaharuan yang dilakukan Putu Wijaya menunjukkan struktur lakon dan tuntutan pementasan atau tekstur 255
lakon yang sangat berbeda dengan lakon konvensional. Tekstur lakon konvensional untuk memenuhi wujud drama realis, sedangkan tekstur lakon inkonvensional tidak banyak menuntut berbagai sarana untuk mewujudkan pementasan lakon inkonvensional. Berikut disajikan data-data pembaharuan yang dilakukan oleh Putu Wijaya sebagai penulis lakon Indonesia, yaitu 1) plot lakon konvensional pada umumnya bersifat linier dan rapat, sedangkan plot lakon inkonvensional beralur longgar; 2) plot lakon konvensional sangat tergantung pada perkembangan masalah dan konflik, sedangkan pada plot lakon inkonvensional menjadikan masalah hanya muncul kemudian menghilang sehingga masalah tidak terselesaikan. Penyelesaian masalah diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau penikmat lakon itu; 3) dialog lakon konvensional diperbaharui dari dialog sebagai sarana pengungkapan karakter tokoh yang bersifat individual menjadi dialog yang mengekspresikan karakter kelompok dan karakter individu; 4) pada lakon konvensional tokoh individu mengekspresikan karakter individu tertentu, sedangkan pada lakon inkonvensional penokohan merupakan ekspresi kelompok dan ekspresi individu sesuai peranan masing-masing tokoh; 5) pada lakon konvensional tokoh memiliki identitas yang jelas dan menunjukkan karakter tertentu, sedangkan pada lakon inkonvensional tokoh kelompok maupun tokoh individu menunjukkan identitas dan karakter tertentu yang berbeda; 6) pada lakon konvensional setiap tokoh memiliki aspek dimensi kemanusiaan secara utuh, sedangkan pada lakon inkonvensional penokohan hanya dapat ditinjau dari segi sosiologis atau psikologisnya; 7) pada lakon konvensional karakter tokoh bersifat tetap atau tidak berubah sehingga tidak dapat dipertukarkan, sedangkan pada lakon inkonvensional tokoh kelompok dapat dipertukarkan, namun tokoh individu bersifat tetap dan tidak dapat dipertukarkan; 8) pada lakon konvensional karakter tokoh sangat mempengaruhi keindahan struktur lakon, sedangkan pada lakon inkonvensional karakter tokoh tidak dapat berkembang mengikuti plot lakon; dan 9) pada lakon konvensional tingkah laku tokoh merupakan gambaran sikap dan kehendak individu, sedangkan pada lakon inkonvensional tokoh-tokoh merupakan simbol-simbol dari pikiran dan perbuatan kelompok sehingga peranan individu merupakan bagian dari kehendak kelompok. Saran Beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan terkait dengan judul penelitian antara lain 1) penelitian ini dilakukan melalui pendekatan struktural dengan mengidentifikasi seluruh unsur instrinsik lakon Bila Malam Bertambah Malam dan lakon Edan secara intertekstual, namun bagi pihak lain yang ingin mengetahui pembaharuan atau perkembangan penulisan lakon Putu Wijaya dapat melalukan analisis terhadap lakon Putu Wijaya lainnya guna memperoleh data yang akurat; 2) penelitian ini memerlukan ketelitian dan kecermatan, namun peneliti menyadari pasti ada kekurangan-kekurangannya. Oleh sebab itu apabila ada saran/kritik yang bersifat perbaikan akan peneliti terima dengan senang hati; dan 3) penelitian ini akan memberikan masukan yang berguna bagi seseorang yang akan melakukan penelitian lakonlakon Putu Wijaya. Peneliti menghimbau apabila ada orang yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi, diharapkan untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada peneliti.
DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Imran T, dkk. 1983. Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 256
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia. Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama, Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Hamidy. 1984. Pengantar Kajian Drama. Pekanbaru: Bumi Pustaka. Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Riantiarno, N. 2011. Kitab Teater. Jakarta: Grasindo. Wijaya, Putu. 1989. Naskah Drama Indonesia Sulit Dimainkan. Yogyakarta: Citra. Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka
257
258
IMPLIKATUR YANG TERUNGKAP DALAM FILM HABIBIE DAN AINUN (IMPLICATURE THAT REVEALED IN THE MOVIE OF HABIBIE AND AINUN) Fithratun Nisa dan Jumadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjen. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Implicature that Revealed in the Movie of Habibie and Ainun. The purpose of this research is reveal to appearance of implicature in the movie of Habibie and Ainun and reveal the functions of implicature in the movie of Habibie and Ainun. This research uses qualitative approach by using a descriptive method. Data source in this research is Habibie and Ainun the movie, dialogue utterances in the movie, and written documents like dialogue utterances transcript in the movie of Habibie and Ainun. To collect the data uses attention method and follow up with continuation tekhnik: observation techniques and written technique. The result of this research found that. First, in the movie of Habibie and Ainun found conventional implicature, such as “Kamu bukan Superman” and conversational implicatures, such as Ainun: “Kamu baru datang?” Anis: “Iya, Aku baru datang. Nih mas Suwis kerja dulu nih!”. Appearance of conversational implicature in this research reveal from Grice breaking cooperative principal, according: (a) breaking maxims of quantity, (b) breaking maxims of quality, (c) breaking maxims of relation, and (d) breaking maxims of way. Second, the function of implicature in Habibie and Ainun movie, (a) function of implicature in act utterance directive include advice, command, to ask, and to forbid, (b) function of implicature in act expressive utterance includes ribbing, to praise, regret, sulk, worry, fear, and sad, and (c) function of implicature in act utterances asertive to give reason, tell, to report, to explain, to state, to convince, to story, insist, and to estimate. Keywords: implicature, functions of implicature
Abstrak Implikatur yang Terungkap dalam Film Habibie dan Ainun. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan wujud implikatur dalam film Habibie dan Ainun serta mengungkapkan fungsi implikatur dalam film Habibie dan Ainun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah film Habibie dan Ainun, tuturan antartokoh dalam film, dan dokumen tertulis berupa transkrip tuturan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun. Pengumpulan data tersebut diperoleh dengan menggunakan metode simak dan diikuti dengan teknik lanjutan: teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, dalam film Habibie dan Ainun ditemukan implikatur konvensional, seperti “Kamu bukan Superman!” dan implikatur percakapan, seperti Ainun: “Kamu baru datang?” Anis: “Iya. Aku baru datang. Nih mas Suwis kerja dulu nih!”. Wujud implikatur percakapan pada penelitian ini terungkap dari pelanggaran prinsip kerja sama Grice yang meliputi: (a) pelanggaran maksim kuantitas, (b) pelanggaran maksim kualitas, (c) pelanggaran maksim hubungan, dan (d) pelanggaran maksim cara. Kedua, fungsi implikatur pada film Habibie dan Ainun, yaitu (a) fungsi implikatur dalam tindak tutur direktif meliputi nasihat, perintah, permintaan, dan larangan, (b) fungsi implikatur dalam tindak tutur ekspresif meliputi mengejek, memuji, penyesalan, merajuk, khawatir, takut, dan sedih, dan (c) fungsi implikatur dalam tindak tutur asertif meliputi memberi alasan,
259
memberitahu, melaporkan, menegaskan, menyatakan, meyakinkan, menceritakan, bersikeras, dan memperkirakan. Kata-kata kunci: implikatur, fungsi implikatur
PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif dan memiliki peran penting bagi manusia. Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi antarsesama dalam masyarakat karena manusia hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat memahami maksud dan makna tuturan yang disampaikan oleh lawan tuturnya agar informasi yang diberikan dapat diterima dengan baik. Pengungkapan maksud dan tujuan dalam peristiwa berbahasa berbeda-beda. Ada yang diungkapkan dengan bahasa yang jelas sehingga pembaca atau pendengar langsung mengerti apa yang dimaksud. Namun, ada juga yang diungkapkan dengan bahasa untuk tujuan tertentu dengan makna yang tidak bisa langsung dimengerti (tersirat). Untuk memahami makna tersirat dalam suatu percakapan dibutuhkan pemahaman mengenai implikatur. Implikatur merupakan bagian penting dalam sebuah percakapan karena implikatur merupakan suatu konsep yang menerangkan bahwa apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan. Implikatur juga diartikan sebagai makna lain dibalik makna sebuah tuturan. Implikatur terbagi menjadi dua, yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Implikatur juga terdapat dalam sebuah media massa hiburan, khususnya film. Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas. Cerita yang ditayangkan melalui film dapat berbentuk fiksi atau non-fiksi. Informasi dapat dikomunikasikan dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini disukai orang banyak karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi. Dalam adegannya, pemeran film sering memunculkan percakapan-percakapan yang secara implisit atau tersirat yang disebut implikatur. Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian pada film Habibie dan Ainun hanya ditemukan pada penelitian komunikasi dan penyiaran serta pada penelitian ekonomi dan bisnis. Penelitian tersebut adalah Analisis Perbedaan Respon Sikap Audience atas Strategi Promosi Product Placement dalam Film Habibie dan Ainun oleh Dastiana (2013)danPotret Kesetiaan Tokoh Ainun dalam Film Habibie dan Ainun oleh Abdullah (2014). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji film ini dari segi kebahasaan terutama aspek pragmatik. Aspek pragmatik yang dikhususkan peneliti dalam penelitian ini adalah implikatur dari tuturan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun. Habibie dan Ainun adalah film drama Indonesia yang dirilis pada tanggal 20 Desember2012. Film Habibie dan Ainun dijadikan sebagai objek penelitian karena menurut peneliti film ini memiliki banyak kelebihan. Kelebihan pada film ini adalah menceritakan kisah nyata sosok seorang Bacharuddin Jusuf Habibie yang tidak lain adalah orang yang berperan besar dalam kemajuan bangsa Indonesia, tokoh teknologi Indonesia, beliau juga adalah mantan presiden RI yang ketiga. Selanjutnya, antusias yang sangat besar juga terlihat dari banyaknya penonton yang menonton film tersebut. Percakapan-percakapan dalam film tersebut juga banyak mengandung makna implisit atau tersirat. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan wujud dan fungsi implikatur dalam film Habibie dan Ainun.Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumbangan wawasan atau pengetahuan untuk pengembangan kajian pragmatik. Khususnya pada kajian yang berkaitan dengan implikatur. Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah sebagai salah satu bahan untuk mempelajari implikatur, mengajarkan implikatur serta untuk penyusunan buku teks 260
serta dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya, khususnya pada bidang kajian yang sejenis. Levinson (Lubis, 2011:73) mengungkapkan bahwa implikatur pada hakikatnya terdiri atas empat konsep, yaitu: (1) memberikan penjelasan fungsional yang bermakna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjelaskan oleh teori linguistik, (2) memberikan penjelasan tentang perbedaan lahiriah yang dimaksud pemakai bahasa, (3) menyederhanakan deskripsi semantik tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) dapat menjelaskan berbagai fenomena kebahasaan yang tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang nyata dan maksud yang jelas. Basuki (2005: 15) menyatakan bahwa implikatur merupakan fenomena bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pesan atau makna dalam komunikasi. Makna atau pesan tersebut disampaikan secara tidak langsung dan terselubung. Berdasarkan fungsinya, Brown dan Yule (Rani, 2004: 170) mengungkapkan bahwa istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang dimaksudkan oleh penutur berbeda dengan apa yang dinyatakan penutur secara harfiah. Contoh, pada tuturan Panas di sini bukan?. Tuturan tersebut mengandung implikatur dari penutur kepada petutur agar mesin pendingin dihidupkan atau jendela dibuka. Grice (Mustafa, 2010: 36) membagi implikatur menjadi dua jenis, yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Menurut Grice, implikatur percakapan muncul akibat pelanggaran salah satu dari empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan dan maksim cara. Sementara itu, pada implikatur konvensional Grice berpendapat bahwa implikatur konvensional muncul dari kata yang memiliki makna konvensional. Rumusan aturan-aturan atau maksim percakapan dalam prinsip kerja sama Grice dijelaskan Nababan (1987: 31) dalam rumusan sebagai berikut: a) Kuantitas(Quantity) terdiri atas dua aturan khusus, yaitu: 1) Buat sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan (untuk tujuan percakapan ini). 2) Jangan Anda buat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan. b) Kualitas (Quality) juga terdiri atas dua aturan khusus, yaitu: 1) Jangan katakan apa yang Anda anggap salah. 2) Jangan katakan sesuatu yang Anda tidak dapat dukung dengan bukti yang cukup kuat. c) Hubungan (Relevansi). Aturan ini terdiri atas satu aturan khusus saja, yaitu: “Perkataan Anda harus relevan”. d) Cara (Manner), yaitu bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana itu diungkapkan. Sebagai aturan utama (super maxim), Grice menyebutkan: “Anda harus jelas”. Aturan utama tersebut diuraikan lagi menjadi 4 aturan khusus: 1) Hindari ketidakjelasan/kekaburan ungkapan. 2) Hindari kedwimaknaan. 3) Anda harus berkata singkat (hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu). 4) Anda harus berbicara teratur. Hubungannya dengan fungsi implikatur, bagian berikut ini akan diuraikan tentang fungsi tindak tutur. Searle (Leech, 2011:164) membagi tindak tutur menjadi lima, yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, tindak tutur komisif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur ekspresif. Pada penelitian ini fungsi implikatur yang diambil dari teori Searle difokuskan pada tiga fungsi tuturan saja, yaitu fungsi tindak tutur direktif, fungsi tindak tutur ekspresif, dan fungsi tindak tutur asertif. Pertama, Leech (2011:164) mengungkapkan bahwa tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang bertujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan 261
yang dilakukan oleh petutur agar melakukan sesuatu. Tindak tutur jenis ini berupa memerintah, memesan, memohon, menuntut, dan memberi nasihat. Kedua, Tindak tutur ekspresif diartikan sebagai tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap seseorang terhadap keadaan atau sesuatu. Searle (Jumadi, 2010:66) menjelaskan bahwa fokus utama dalam tindak tutur jenis ini adalah untuk mengungkapkan keadaan psikologis seseorang yang ditetapkan oleh kondisi kejujuran tentang keadaan dalam isi proposisi. Tindak ekspresif ini mencakup tindakan mengucapkan rasa terimakasih, mengucapkan selamat, mengucapkan belasungkawa, menyesalkan, permintaan maaf, dan mengecam. Terakhir, tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk memberitahu orang-orang mengenai sesuatu (Searle dalam Jumadi, 2010:66). Kaitannya dengan fungsi bahasa, Halliday (Jumadi, 2010:67) mengemukakan bahwa tindak tutur asertif selaras dengan fungsi bahasa untuk informatif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan tindak tutur asertif ini para peserta tutur dalam sebuah percakapan dapat saling memberi akses informasi. Berkaitan dengan wacana, Halliday dan Hasan (Rani, 2004: 188) menyebutkan bahwa konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Menurut mereka, pengertian dalam hal menyertai teks itu tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi juga kejadian-kejadian nirkata (nonverbal) lainnya. Jadi, konteks adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang menyertai pembicaraan antara penutur dan petutur yang digunakan sebagai acuan untuk menafsirkan makna yang dimaksud penutur (pembicara). Habibie dan Ainun adalah film drama Indonesia yang dirilis pada tanggal 20 Desember 2012. Film ini dibintangi oleh Reza Rahardian, Bunga Citra Lestari, dan Tio Pakusadewo. Pada peluncuran perdananya, film ini disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6; Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan didampingi oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke-16; Ir. H. Joko Widodo beserta tokoh utama film ini sendiri, Presiden Republik Indonesia ke-3; Bacharuddin Jusuf Habibie. Film ini diangkat dari memoar yang ditulis Habibie mengenai mendiang istrinya, Hasri Ainun Habibie dalam buku Habibie dan Ainun. Film Habibie dan Ainun ini mengisahkan tentang cinta pertama dan cinta terakhir. Kisah tentang Presiden ketiga Indonesia dan ibu negara. Kisah tentang Habibie dan Ainun. Rudy Habibie adalah seorang jenius ahli pesawat terbang yang punya mimpi besar, yaitu berbakti kepada bangsa Indonesia dengan membuat truk terbang untuk menyatukan Indonesia. Sementara itu, Ainun adalah seorang dokter muda cerdas yang dengan jalur karir terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1962, dua kawan SMP ini bertemu lagi di Bandung. Habibie jatuh cinta seketika pada Ainun yang baginya semanis gula. Tidak lama kemudian, mereka menikah dan terbang ke Jerman. Punya mimpi tak akan pernah mudah. Habibie dan Ainun tahu itu. Cinta mereka terbangun dalam perjalanan mewujudkan mimpi. Dinginnya salju Jerman, pengorbanan, rasa sakit, kesendirian serta godaan harta dan kuasa saat mereka kembali ke Indonesia mengiringi perjalanan dua hidup menjadi satu. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya. Habibie adalah pengisi kasih dalam hidupnya (Sumber: Wikipedia).
METODE Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan pada penelitian ini karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tuturantuturan antartokoh yang mengandung implikatur, yaitu data yang berupa penggunaan implikatur dan fungsinya yang terdapat pada tuturan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun.Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pragmatik. Jenis penelitian pragmatik dipilih peneliti karena ini adalah penelitian yang termasuk dalam kajian studi pragmatik yang 262
bertujuan untuk mengkaji maksud dan fungsi tuturan yang mengandung implikatur. Jenis penelitian ini digunakan untuk mengkaji maksud dari tuturan-tuturan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun yang mengandung makna tersirat atau implikatur. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode simak. Mahsun (2007:92) menamakannya metode simak karena untuk memperoleh data dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Dalam praktik selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan teknik rekam. Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode simak dan diikuti dengan teknik lanjutan: teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat. a) Metode simak maksudnya si peneliti memperoleh tuturan-tuturan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun dengan cara menyimak percakapan yang disampaikan secara lisan dalam film tersebut. b) Simak bebas libat cakap maksudnya si peneliti hanya mengamati penggunaan bahasa pada tuturan-turan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun, tetapi tidakikut terlibat dalam peristiwa tuturan pada film tersebut. c) Teknik catat maksudnya si peneliti melakukan pencatatan tuturan-turan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun ketika menerapkan metode simak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Wujud Implikatur Konvensional dalam Film Habibie dan Ainun Gresner: “Anda yakin dengan orang Indonesia?” Implikatur konvensional pada kutipan wacana yang dituturkan oleh Gresner mengungkapkan makna lain yang secara umum sudah diketahui makna implikatur konvensionalnya. Tuturan “Anda yakin dengan orang Indonesia?” mengandung makna implikatur konvensional bahwa orang luar negeri, khususnya ras Eropa, mengenal bangsa Indonesia dengan ciri umum, yaitu jam karet, pemalas, konsumtif, bahkan tidak bisa menghasilkan sesuatu yang canggih berkaitan dengan teknologi, dan kecerdasan atau kejeniusan yang tertinggal jauh dengan negara mereka (Jerman). Wujud Implikatur Percakapan dalam Film Habibie dan Ainun Implikatur percakapan adalah istilah yang dipakai untuk makna yang harus diambil si pendengar dalam menginterpretasikan pembicaraan si pembicara. Jadi, implikatur percakapan dalam penelitian ini adalah mengungkap makna lain yang terdapat dalam tuturan antartokoh pada film Habibie dan Ainun berdasarkan pelanggaran prinsip kerja sama dan maksimmaksimnya. Prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing peserta tutur agar dapat menghasilkan sebuah percakapan yang kooperatif dan dapat menggunakan bahasa yang efektif dan efisien. Prinsip ini terbagi menjadi empat maksim, yaitu: (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner). Pelanggaran Maksim Kuantitas Konteks: Percakapan terjadi ketika Habibie baru masuk ke rumah Ainun. Ainun : “Gula pasir? Kamu sudah pulang dari Jerman?” (1) Habibie: “Ya, saya di Bandung istirahat.” (2) 263
Pelanggaran maksim kuantitas pada wacana [8] di atas terdapat pada kutipan (2) yang dituturkan oleh Habibie, yaitu ‘Ya, saya di Bandung istirahat”.Jawaban yang dituturkan oleh Habibie lebih panjang dari informasi yang dibutuhkan pada pertanyaan Ainun. Oleh karena itu, tuturan Habibie tersebut melanggar maksim kuantitas. Pelanggaran maksim kuantitas ini memunculkan adanya implikatur percakapan. Implikatur yang muncul akibat pelanggaran tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Habibie ingin memberitahu Ainun bahwa dia di Indonesia hanya sebentar saja dan akan kembali lagi ke Jerman setelah dia sembuh dari penyakitnya dan (2) Habibie ingin memberitahu kepada Ainun bahwa sekarang mereka tidak berjauhan dan dapat sering bertemu karena Habibie sedang di Indonesia. Pelanggaran Maksim Kualitas Konteks: Tuturan terjadi di sekolah antara Habibie dan teman sekolahnya. Teman 1 Habibie
: “Itu, orangnya di sana tuh! Berani nggak kamu merayu dia?” (1) : “Ah, jelek gitu!” (2)
Pelanggaran maksim kualitas pada wacana [30] di atas terdapat pada kutipan (2) yang dituturkan oleh Habibie.Dalam maksim kualitas, penutur diharapkan memberikan kontribusi percakapan yang dia yakini kebenarannya dan sesuai dengan fakta sebenarnya. Tuturan Habibie yang menyatakan Ainun jelek merupakan pelanggaran maksim kualitas karena apa yang dia katakan tidak memiliki nilai kebenaran atau dia berbohong. Jika Habibie mengakui kecantikan Ainun, tuturan Habibie tidak akan melanggar maksim kualitas. Namun, tuturan Habibie pada wacana tersebut melanggar maksim kualitas. Adanya pelanggaran maksim kualitas ini memunculkan adanya implikatur percakapan. Implikatur yang muncul akibat pelanggaran maksim tersebut adalah Habibie bersikeras kepada teman-temannya bahwa dia tidak tertarik dengan Ainun dan tidak mengakui kecantikan Ainun. Pelanggaran Maksim Hubungan Konteks: Pak guru masuk ke dalam kelas dan mencari siswi yang bernama Ainun. Guru Siswa 1
: “Mana Ainun?” (1) : “Ainun di mana?” (2)
Percakapan tersebut melibatkan guru dan siswa 1. Topik pembicaraannya adalah mencari siswi yang bernama Ainun. Situasi terjadi sesaat setelah pelajaran olahraga. Percakapan pada ujaran guru dan siswa 1 tidak gayut dan melanggar maksim relevansi atau hubungan. Akibat dari pelanggaran maksim hubungan inilah muncul makna implikatur. Pada percakapan tersebut jawaban siswa 1 melanggar maksim hubungan dari pertanyaan guru. Guru menanyakan keberadaan Ainun, tetapi siswa 1 tidak menjawab pertanyaan guru justru dia mengulang pertanyaan dari gurunya tersebut. Tuturan siswa 1 “Ainun di mana?” ini tidak hanya sekedar mengulang pertanyaan dari guru saja tetapi tuturan tersebut mengandung makna implikatur, yaitu: (1) Siswa 1 juga tidak mengetahui di mana Ainun berada, (2) Siswa 1 menduga salah satu teman sekelasnya ada yang mengetahui keberadaan Ainun, dan (3) siswa 1 memerintahkan temannya untuk mencari Ainun. Pelanggaran Maksim Cara Konteks : Percakapan terjadi antara Habibie dan Ainun di rumah sakit ketika Ainun ingin melaksanakan shalat.
264
Habibie: “Sambil duduk saja.” (1) Ainun: “Aku bisa.” (2) Tuturan pada wacana [48] memiliki kadar kejelasan yang rendah, apalagi jika tuturan tersebut tanpa konteksnya.Karena kadar kejelasan yang rendah, maka dengan sendirinya kadar keambiguan tuturan tersebut akan tinggi. Tuturan Habibie pada tuturan (1) yang berbunyi ‘Sambil duduk saja’ tidak memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh Habibie untuk dilakukan sambil duduk. Pelanggaran maksim cara ini memunculkan adanya implikatur percakapan. Implikatur yang muncul akibat pelanggaran maksim cara pada tuturan (1) tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Habibie melarang Ainun untuk shalat seperti biasanya karena dia sedang sakit, (2) Habibie memberitahu Ainun bahwa orang yang sakit diperbolehkan untuk shalat dalam posisi semampunya saja., dan (3) Habibie mengkhawatirkan Ainun. Sementara itu, tuturan Ainun pada tuturan (2) yang berbunyi ‘Aku bisa’ tersebut juga mengandung kadar kejelasan yang rendah. Tuturan yang tidak jelas tersebut merupakan pelanggaran prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan atau maksim cara. Adanya pelanggaran maksim cara ini memunculkan adanya implikatur percakapan. Implikatur yang muncul akibat pelanggaran maksim tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Ainun melarang Habibie bersikap berlebihan karena dirinya sedang sakit, (2) Ainun melarang Habibie membantunya duduk untuk melaksanakan shalat, dan (3) Ainun tidak mau merepotkan Habibie karena keadaannya sekarang. Fungsi Implikatur dalam Tindak Tutur Direktif Fungsi implikatur direktif dalam bentuk nasihat pada film Habibie dan Ainun terdapat pada kutipan wacana berikut. Ainun
: “Kamu bukan Superman!”
Fungsi implikatur konvensional pada kutipan tersebut termasuk dalam fungsi direktif. Fungsi direktif tuturan Ainun adalah nasihat dalam bentuk peringatan. Kalimat “Kamu bukan Superman!” yang dituturkan oleh Ainun bertujuan untuk mengingatkan Habibie untuk beristirahat dan memperhatikan kesehatan. Fungsi Implikatur dalam Tindak Tutur Ekspresif Fungsi implikatur ekspresif dalam bentuk mengejek pada film Habibie dan Ainun terdapat pada kutipan wacana berikut. Gresner
: “Anda yakin dengan orang Indonesia?”
Fungsi implikatur konvensional pada kutipan tersebut termasuk dalam fungsi ekspresif. Fungsi ekspresif tuturan Gresner adalah mengejek. Kalimat “Anda yakin dengan orang Indonesia?” yang dituturkan oleh Gresner bertujuan untuk mengejek atau meremehkan kemampuan yang dimiliki orang Indonesia. Fungsi Implikatur dalam Tindak Tutur Asertif Fungsi implikatur asertif dalam bentuk memberi alasan pada film Habibie dan Ainun terdapat pada kutipan wacana berikut. Konteks : Tuturan terjadi di meja makan sesudah berbuka puasa, percakapan antara Ibu Besari dan Habibie.
265
Ibu Besari: “Tapi katanya kamu sakit di sana, Rud?” (1) Habibie: “Ya. Saya kena TBC.” (2) Fungsi implikatur yang dituturkan oleh Habibie pada tuturan (2) termasuk dalam fungsi asertif. Fungsi asertif dalam tuturan Habibie tersebut adalah memberi alasan. Kalimat “Ya. Saya kena TBC.” yang diungkapkan Habibie memiliki fungsi untuk mengutarakan alasan Habibie pulang ke Indonesia, yaitu karena penyakit yang dideritanya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa implikatur dalam film Habibie dan Ainun terbagi menjadi dua jenis, yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Pada implikatur percakapan, tuturan antartokoh dalam film Habibie dan Ainun yang dianalisis adalah tuturan yang melanggar prinsip kerja sama, yaitu pelanggaran maksim kuantitas, pelanggaran maksim kualitas, pelanggaran maksim relevansi, dan pelanggaran maksim pelaksanaan atau cara. Fungsi implikatur yang terdapat dalam film tersebut, yaitu fungsi direktif, fungsi ekspresif, dan fungsi asertif.
SARAN Saran dari peneliti adalah agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi penelitian pragmatik, khususnya implikatur. Teori yang digunakan untuk mengungkap implikatur dalam penelitian ini adalah tuturan yang melanggar teori prinsip kerjasama dari Grice. Oleh karena itu, bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti implikatur diharapkan untuk mengembangkan penelitian dengan metode dan teori yang lainnya.Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya menggunakan objek penelitian yang berbeda agar dapat mengembangkan hasil penelitian kebahasaan. Film sebagai objek penelitian ini dapat dikembangkan dengan objek penelitian yang berbeda, seperti pada acara talkshow, pada percakapan sehari-hari, dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Rahmawati. 2014. Potret Kesetiaan Tokoh Ainun dalam Film Habibie & Ainun. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Basuki, Imam Agus. 2005. Linguistika: Teori dan Terapannya. Yogyakarta: CV. Grafika Indah. Dastiana, Cynthia. 2013. Analisis Perbedaan Respon Sikap Audience atas Strategi Promosi Product Placement dalam Film Habibie & Ainun. Semarang: Universitas Diponegoro. Jumadi. 2010. Wacana; Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma. Leech, Geoffrey. 2011. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh Oka, M.D.D. Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Press). Lubis, A. Hamid Hasan. 2011. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa. Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan strategi, metode, dan tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
266
Mustafa, Mustafa Shazali. 2010. The Interpretation of Implicature: A Comparative Study between Implicature in Linguistics and Journalism. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 1, pp. 35-43, (online),(http://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/ view/01013543, diakses 25 Juli 2013). Nababan, PWJ. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rani, Abdul. 2004. Analisis Wacana; Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishings. Wikipedia. 2013. Pengertian Film, (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Film, diakses 24 April 2013). Wikipedia. 2014. Film Habibie & Ainun, (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Habibie& Ainun, diakses 23 April 2014).
267
268
KESANTUNAN BERBAHASA DI LINGKUNGAN KELUARGA MASYARAKAT DAYAK NGAJU, KECAMATAN MANTANGAI, KABUPATEN KUALA KAPUAS (LANGUAGE POLITENESS IN THE FAMILIES OF DAYAK NGAJU COMMUNITY, MANTANGAI SUBDISTRICT, KUALA KAPUAS REGENCY) Lastaria dan Rustam Effendi Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Basry, Kampus Kayu Tangi Banjarmasin, Kode Pos 70123, email:
[email protected] Abstract Language Politeness in the Families of Dayak Ngaju Community, Mantangai Subdistrict, Kuala Kapuas Regency. This study aims of describe language politeness in the families of dayak ngaju community. The research result indicated that in LKDN had applied forms, strategies, and functions of politeness. The form of language politeness of DN were assessed from the implementation and violations of maxims KB, KD, PJ, KS1, PM, and KS2 by regarding profit and loss scale. Furthermore, the politeness was also marked in the use of imperative sentences by using the words ‘tau and palus’; declarative sentences using the word ‘hetoh’; expressive sentences using the words ‘mangat toto, wei, and matei aku’; and the speech act of appreciating using the words ‘bahalap’ (good), and‘matei aku’ (I’m dead). The language politeness strategy of DN, including a) negative politeness strategy, that are TTL, MP, and TYMBI; b) positive politeness strategy, that are MKKKLT, MBP, MPIK, MK, ML, and MT/J; and c) off-record strategy, that is avoiding main interference. Politeness function; a) declarative function, are MI, MP, and MJ; b) interrogative function, are MP1, MK, MP2, MI, and MP3; c) imperative function, that are Mn1, Ml, Mn2, and MP3; and) criticizing function, that are MK1, MK2, and MK3. Furthermore, there were also six functions from the speaking partner, including agreeing, responding, doing actions, informing, accepting and refusing. Based on DN culture, there are forms of politeness by using greetings like umai, bapa, tambi, bue, mina, mama, anak, andi, kaka, undue, sangger, and so on. Moreover, they were refined by avoiding abbreviation and interjection (ceh and beh) in communication. Key words: language politeness, dayak ngaju family
Abstrak Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga Masyarakat Dayak Ngaju, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kuala Kapuas. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesantunan berbahasa di lingkungan keluarga Dayak Ngaju. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di LKDN telah menerapkan wujud, strategi, dan fungsi kesantunan. Wujud kesantunan berbahasa DN dinilai dari pelaksanaan dan pelanggaran maksim KB, KD, PJ, KS1, PM, dan KS2 dengan memperhatikan skala untung rugi. Selain itu, kesantunan juga ditandai pada penggunaan kalimat imperatif dengan menggunakan kata ‘tau dan palus’; kalimat deklaratif menggunakan kata ‘hetoh’; kalimat ekspresif menggunakan kata ‘mangat toto, wei, dan matei aku’; dan tindak tutur memuji menggunakan kata ‘bahalap’ (bagus), dan ‘matei aku’ (mati aku). Strategi kesantunan berbahasa DN, yaitu a) strategi kesantunan negatif, yaitu TTL, MP, dan TYMBI; b) strategi kesantunan positif, yaitu MKKKLT, MBP, MPIK, MK, ML, dan MT/J; dan c) strategi off record, yaitu menghindari gangguan utama. Fungsi kesantunan; a) fungsi menyatakan, yaitu MI, MP, dan MJ; b) fungsi menanyakan, yaitu MP1, MK, MP2, MI, dan MP3; c) fungsi memerintah, yaitu Mn1, Ml, Mn2, dan MP3; dan d) fungsi mengkritik, yaitu MK1, MK2, dan MK3. Selain itu, juga 269
terdapat fungsi enam dari lawan tutur, yaitu menyetujui, menjawab, melakukan tindakan, menginformasikan, menerima, dan menolak. Berdasarkan budaya DN terdapat bentuk kesantunan menggunakan kata sapaan seperti umai, bapa, tambi, bue, mina, mama, anak, andi, kaka, undue, sangger, dan sebagainya. Selain itu, diperhalus dengan menghindari abbreviation (penyingkatan kata), dan interjeksi (ceh dan beh) dalam berkomunikasi. Kata-kata kunci: kesantunan berbahasa, keluarga dayak ngaju
PENDAHULUAN Nababan (1987: 3) mengungkapkan bahwa “pragmatik adalah aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks pemakaiannya”. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan pragmatik juga memiliki ruang kesantunan dalam berbahasa. Kondisi objektif kesantunan berbahasa di Indonesia dapat terjadi di lingkungan masyarakat di mana saja. Salah satu ruang untuk bersosialisasi, yaitu di lingkungan keluarga masyarakat Dayak Ngaju. Dalam hal berinteraksi, masyarakat Dayak Ngaju umumnya menggunakan bahasa Ngaju dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya. Bentuk kesantunan berbahasa masyarakat Dayak Ngaju terlihat pada penggunaan prinsip kesantunan yang di kemukakan oleh Leech, Brown dan Levinson, yaitu wujud kesantunan pelaksanaan maksim dan pelanggaran maksim; strategi kesantunan positif, kesantunan negatif dan kesantunan off-record; dan fungsi kesantunan bahasa Dayak Ngaju dalam lingkungan keluarga. Objek penelitian kesantunan berbahasa Dayak Ngaju ini dilakukan di lingkungan keluarga masyarakat Dayak Ngaju, yaitu di desa Mantangai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kuala Kapuas. Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena di dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.Leech (dalam Rahardi, 2005:59) “menjabarkan prinsip kesantunan menjadi enam maksim (ketentuan/ajaran), yaitu: 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) • meminimalkan kerugian orang lain • maksimalkan keuntungan bagi orang lain 2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) • meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri • memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri 3. Maksim Pujian (Approbation Maxim) • memaksimalkan pujian kepada orang lain • meminimalkan kecaman kepada orang lain 4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) • memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri • meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri 5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) • memaksimalkan kesetujuan di antara mereka • meminimalkan ketidak setujuan di antara mereka 6. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) • memaksimalkan rasa simpati pada lawan tutur • meminimalkan rasa antipati pada lawan tutur 270
Strategi kesantunan negatif menurut Brown dan Levinson (Chaer, 2010:52-53), yaitu 1) gunakan tuturan tidak langsung; 2) gunakan pagar (hedge); 3)tunjukan sikap pesimis; 4) minimalkan paksaan; 5) berikan penghormatan; 6) minta maaf; 7) pakailah bentuk impersonal, yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur; dan 8) ujarkan tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum. Brown dan Levinson (1987:101)membagi strategi kesantunan positif menjadi lima belas, yaitu 1) memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan lawan tutur; 2) memperbesarbesarkan perhatian, persetujuan, dan simpati pada lawan tutur; 3) mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta; 4) menggunakan penanda identitas kelompok seperti bentuk sapaan, dialek, jargon atau slank; 5) mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur); 6) menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan yang semo (psedo agreement), menipu untuk kebaikan (white lies) atau pemagaran opini (heding opinion); 7) menunjukan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan praangapan (presupposition); 8) menggunakan lelucon; 9) menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur; 10) memberi tawaran atau janji; 11) menunjukkan keoptimisan; 12) melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas; 13) memberikan pernyataan atau meminta alasan, 14) menyatakan hubungan secaratimbal balik (resiprokal); 15) memberi hadiah (barang, simpati, perhatian, kerja sama) kepada lawan tutur. Kesantunan off record adalah menghindari gangguan utama, misalnya mengisyaratkan perintah langsung. Meskipun Anda memutuskan untuk mengatakan sesuatu, sesungguhnya Anda tidak harus meminta sesuatu (Levinson, dalam Yule, 2006:52). Fungsi kesantunan berbahasa yang digunakan dalam penelitian ini dilihat dari fungsi tuturan utama menurut Chaer (2010:79) adalah “fungsi menyatakan (deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi menyuruh (imperative) termasuk fungsi melarang, fungsi meminta maaf, dan fungsi mengkritik”. Dilihat dari fungsi lawan tutur adalah fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi menyetujui termasuk fungsi menolak, fungsi menerima atau menolak maaf dan fungsi menerima atau menolak kritik. Dalam tuturan di lingkungan keluarga Dayak Ngaju antara ibu dan anak, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, kakek dan nenek, paman dan bibi, dan sebagainya. Banyak ditemukan bentuk kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. Berikut uraian dari fungsi kesantunan di atas sebagai berikut. Bahasa Dayak Ngaju adalah bahasa yang dipergunakan oleh beberapa sub suku di Kalimantan Tengah. Bahasa Ngaju sama sekali tidak mempunyai bentuk hormat atau tingkatan bahasa, misalnya pronomina dalam bahasa Ngaju, hanya ada “aku (aku), ikau (kamu), ie (ia/ dia), ikei (kami), itah (kita), keton (kalian)”. Jadi kata aku atau ikau adalah hal yang wajar, baik digunakan untuk menyapa lawan tutur yang lebih muda, sebaya, maupun orang yang lebih tua. Dalam berbahasa santun masyarakat Dayak Ngaju membagi kesantunan, yaitu 1) menggunakan kata sapaan di awal, ditengah,dan di akhir ujaran; 2) tidak menggunakan bentukabbreviationkecuali kata sapaan; dan 3) tidak menggunakan interjeksi “ceh” dan “bah atau beh” tetapi “cehah”.
METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Data-data hasil penelitian ini berbentuk penjelasan atau deskripsi data-data hasil penelitian secara aktual tanpa menggunakan teknik statistik atau angka-angka, selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif.
271
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian pragmatik. Pragmatik adalah suatu tindakan yang dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Penelitian pragmatik teori kesantunan berbahasa menurut Leech, Brown dan Levinson,yaitu penelitian yang mempelajari wujud, strategi, dan fungsi yang ditempuh penutur dalam mengkomunikasikan maksud pertuturannya. Adapun yang menjadi tempat penelitian ini dilakukan di desa Mantangai Hilir dan desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kuala Kapuas. Data dalam penelitian ini adalah rekaman percakapan atau tuturan masyarakat Dayak Ngaju dalam berinteraksi dengan keluarga sekitarnya. Selain itu, data catat lapangan diperoleh dari hasil simak catat yang dicacat dalam buku kecil ketika peneliti menemukan tuturan yang terkait dengan penelitian. Sumber data penelitian adalah masyarakat Dayak Ngaju, khususnya di desa Mantangai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kuala Kapuas dalam lingkup keluarga. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Kemudian, peneliti bertindak secara aktif dalam mendeskripsikan, menganalisis, dan menyimpulkan data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simak catat, dan rekaman. Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik analisis secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu”. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Leech, Brown dan Levinson. Pengecekan keabsahan data merupakan salah satu bagian yang penting, yaitu ketekunan pengamatan, triangulasi, dan pemeriksaan sejawat, yaitu mendeskripsikan proses dan hasil penelitian dengan pembimbing, teman sejawat, dan dosen yang memiliki pengetahuan mengenai judul peneliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN WUJUD PELAKSANAAN MAKSIM KESANTUNAN Wujud Pelaksanaan Maksim Kebijaksanaan dalam Tuturan di LKDN Inur : “Kareh aku magah ikau ka pasar, Mbi.” (Nanti aku antarkan kamu ke pasar, Nek) Tawiah : “Ela So, mampauyuh ikau ih. Mananjung ih aku tukep kea.” (Jangan Cu, mereputkan kamu saja. Jalan kaki saja aku dekat juga) Konteks : Tuturan ini dituturkan Inur (mahasiswi) kepada neneknya ketika ia melihat neneknya mau berangkat ke pasar. (TSC, Inur dan Tawiah, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat deklaratif yang dituturkan Inur kepada neneknya untuk menyatakan keinginan membantu neneknya. Dilihat dari tuturan Inur dianggap santun karena Inur memaksimalkan keuntungan bagi neneknya seperti yang terlihat dalam tuturan “Nanti aku antarkan kamu ke pasar, Nek”. Berdasarkan budaya Dayak Ngaju tuturan yang dituturkan Inur ketika berinteraksi dengan orang yang lebih tua, yaitu neneknya menjadi lebih santun karena tidak terdapat kata yang mengalami abbreviation dan interjeksi pada tuturannya. Wujud Pelaksanaan Maksim Kedermawanan dalam Tuturan di LKDN Indu Irma : “O, Ndu Tri tege ikau manampayah arut sayur jite enah?” (O, Bu Tri ada kamu melihat penjual sayur itu tadi?) Indu Tri : “Jadi tulak akan ngawa ie enah. Manggau narai ikau?” (Sudah berangkat ke hilir tadi. Mencari apa kamu?) Indu Irma : “Handak mamili sarai akan manampa kandas sarai.” (Mau membeli serai untuk membuat sambal serai) 272
Indu Tri Konteks
: “Are ayung nah Ndu Ir, entai helo aku buli manduan akam!” (Banyak punyaku Bu Ir, tunggu dulu aku pulang mengambilkan untukmu!) : Tuturan ini dituturkan Indu Irma (ibu rumah tangga) kepada sepupunya Indu Tri (ibu rumah tangga) ketika Indu Irma menanyakan penjual sayur dengan Indu Tri yang sedang duduk menunggu penjual sayur di depan rumah Indu Irma. (TSC, Indu Irma dan Indu Tri, di teras rumah, 2014)
Tuturan di atas merupakan wujud pelaksanaan maksim kedermawanan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti yang tampak pada tuturan Indu Tri “tunggu dulu aku pulang mengambilkan untukmu!” Dalam kalimat perintah ini dianggap santun karena memaksimalkan kerugian bagi dirinya sendiri. Kerungian Indu Tri tersebut terlihat pada kesediannya untuk menggambilkan serai pulang ke rumahnya padahal ia sendiri sedang menunggu penjual sayur. Wujud Pelaksanaan Maksim Pujian dalam Tuturan di LKDN Lela : “Mai, umpat oloh lomba malukis aku enah melai sakola, dinu juara due aku, toh lukisanku, Mai.” (Bu, ikut orang lomba melukis aku tadi di sekolah, dapat juara dua aku, ini lukisanku, Bu) Indu Ria : “Oh, yoh, bahalap toto lukisanm, Nak.” (Oh, ya, bagus sekali lukisanmu, Nak) Konteks : Tuturan ini dituturkan Lela (siswi) kepada Indu Ria (petani) ketika ia memberitahukan kepada ibunya bahwa ia menjadi juara dua melukis di sekolahnya. (TSC, Lela dan Indu Ria, di kios, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelaksanaan maksim pujian dengan menggunakan kalimat ekspresif seperti yang tampak pada tuturan Indu Ria “Oh, ya, bagus sekali lukisanmu, Nak”. Dalam tuturan ini tampak jelas bahwa Indu Ria memaksimalkan pujian kepada anaknya yang ditandai pada penggunaan kata ‘bahalap toto’ (bagus sekali). Wujud Pelaksanaan Maksim Kesederhanaan dalam Tuturan di LKDN Mita 1 : “Dia kea Ndue. Induku kea je manduite akan ikei.” (Tidak juga Ndu, ibuku juga yang membelinya untuk kami) Konteks : Tuturan ini dituturkan Mita (Ibu rumah tangga) ketika ia mampir ke rumah sepupunya dan kebetulan waktu itu ia menggunakan mobil. (TR, Mita 1, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelaksanaan maksim kesederhanaan dengan menggunakan kalimat kalimat deklaratif yang dianggap santun karena tuturan yang disampaikan Mita 1 meminimalkan pujian pada dirinya sendiri yang ditandai pada tuturan “Tidak juga Ndu…”. Tuturan ini dituturkan Sarmita untuk mengurangi rasa hormat atau pujian terhadap dirinya walaupun apa yang dituturkan Mita 1, tidak berdasarkan kenyataan yang ada. Dalam tuturannya, ia menyatakan bahwa mobil itu dibeli oleh orang tuanya walaupun pada kenyataannya ia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri. Namun, tuturan tetap dinilai santun karena ia berusaha merendahkan dirinya sendirinya.
273
Wujud Pelaksanaan Maksim Permufakatan dalam Tuturan di LKDN Ika : “Mama Wewet jite je puna jaton are pander oloe, kueh tau dengan anak akee.” (Paman Wewet itu memang tidak banyak bicara orangnya, selain itu juga baik dengan anak keponakannya) Susi : “Yoh, puna tau ie, ela je dengan anak akee dengan oloh kea tau ie.” (Ya, memang baik dia, jangankan dengan anak keponakannya dengan orang lain, dia juga baik). Konteks : Tuturan ini dituturkan Ika (karyawan) kepada Susi (petani) kakak Iparnya ketika Ika dan Susi melihat pamannya (Wewet) membantu tetangganya memperbaiki mesin kelotok. (TSC, Ika dan Susi, di jalan, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelaksanaan maksim pemufakatan/kecocokkan karena tuturan yang dituturkan Ika direspons Susi dengan memaksimalkan kesetujuan diantara mereka mengenai apa yang Ika katakan kepada Susi, seperti yang terlihat pada tuturan “Ya, memang baik dia, jangankan dengan anak keponakannya dengan orang lain, dia juga baik”. Maksim kecocokkan dalam tuturan ini ditandai dengan penggunaan kata ‘yoh’ (ya). Wujud Pelaksanaan Maksim Kesimpatian dalam Tuturan di LKDN Agan : “Nihau sawan Heri nah, Bah.” (Meninggal Istri Heri, Yah) Bapak Miko : “Heri eweh?” (Heri siapa?) Agan : “Heri anak ina Indu Heri hong hekau nah. Haru enah ie nihau pas ie manak tangkeng tambuni.” (Heri anak bibi Ibu Heri yang di situ. Baru tadi dia meninggal waktu ia melahirkan, tidak bisa keluar ari-ari) Bapak Miko : “Matei aku, ela-ela ih lah kapasin auhe” (Mati aku, ‘ela-ela’ [untuk menyatakan rasa sesal/ memperbesar-besarkan rasa sayang] kasiannya) Konteks : Tuturan ini di tuturan Bapak Miko (petani) dan Agan (petani) ketika ia menanyakan ada apa yang terjadi di hilir karena orang-orang kelihatan ramai di jalan. (TSC, Agan dan Bapak Miko, di jalan, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelaksanaan maksim kesimpatian yang menggunakan kalimat ekspresif rasa prihatin terhadap meninggalnya istri keponakannya, seperti tuturan “Mati aku, ‘ela-ela’ [untuk menyatakan rasa sesal/ memperbesar-besarkan rasa sayang] kasiannya.” Dalam tuturan ini tampak jelas bahwa tuturan yang dituturkan Bapak Miko memaksimalkan rasa simpati terhadap oaang yang meninggal. Rasa simpati Bapak Miko terlihat pada penggunaan kata “matei aku dan ela-ela” yang digunakan untuk memperbesar-besarkan rasa sedihnya.
WUJUD PELANGGARAN PRINSIP KESANTUNAN Wujud Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan dalam Tuturan di LKDN Indu Supri : “O, Indu Meti tulak akan pasarkah ikau?” (O, Ibu Meti berangkat ke pasarkah kamu?) Indu Meti : “Yoh, mbuhen Na?” (Ya, kenapa Bi?) 274
Indu Supri : “Entai aku helo, aku handak umpat ikau akan pasar.” (Tunggu aku sebentar, aku mau ikut kamu ke pasar) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Supri (petani) kepada Indu Meti ketika ia melihat Indu Meti mengeluarkan sepeda motornya hendak berangkat ke pasar, tibatiba saja ia berteriak dari rumahnya mau ikut ke pasar. (TSC, Indu Supri dan Indu Meti, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelanggaran maksim kebijaksaan yang menggunakan kalimat imperatif, seperti yang tampak pada tuturan Indu Supri “Tunggu aku sebentar, aku mau ikut kamu ke pasar”. Dalam tuturan Indu Supridianggap tidak santun karena Indu Supri lebih memaksimalkankerugian bagi Indu Meti. Padahal, pada waktu itu Indu Meti tergesa-gesa mau berangkat ke pasar karena takut anaknya menanggis kalau melihat ia berangkat tapi Indu Supri malah tidak memperduli hal tersebut. Wujud Pelanggaran Maksim Kedermawanan dalam Tuturan di LKDN Indu Ria : “O, Bapa Ria jual akan oloh helo aku handak batiroh helo jaton ati kea gawim ikau melai hekau!” (O, Bapak Ria jual untuk orang (pembeli) dulu, aku mau tidur tidak ada juga kerjaan kamu di situ!) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Ria (petani) dengan suara yang keras kepada suaminya ketika ada seseorang yang mau belanja di kiosnya dan pada waktu itu suaminya sedang melihat orang memperbaiki mesin kelotok. (TSC, Indu Ria, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas terlihat jelas bahwa tuturan yang dituturkan Indu Ria melanggar maksim kedermawanan yang menggunakan kalimat imperatif. Dalam kalimat imperatif ini tampak jelas bahwa Indu Ria memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri seperti yang terlihat pada tuturan “… aku mau tidur tidak ada juga kerjaan kamu di situ.” Selain itu, tuturan Indu Ria dianggap tidak santun karena sebagai seorang istri tidak sepantasnya ia berbicara kasar terhadap suaminya. Wujud Pelanggaran Maksim Pujian dalam Tuturan di LKDN Lina : “Kilen je rasa limau nampam nah Mai, je rasa kanas kuangku enah.” (Kenapa yang rasa jeruk dibuatmu Bu, yang rasa nanas kataku tadi) Konteks : Tuturan ini dituturkan Lina (Ibu rumah tangga) kepada ibunya ketika ia meminta ibunya membuatkan minuman untuk teman-temannya yang bertamu di rumahnya. Tapi rasa minuman yang dibuatkan ibunya salah. (TSC, Lina, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelanggaran maksim pujian yang dianggap tidak santun karena meminimalkan rasa hormat kepada ibunya, seperti yang tampak pada tuturan “Kenapa yang rasa jeruk dibuatmu Bu, yang rasa nanas kataku tadi”. Dalam tuturan ini tampak jelas bahwa Lina sama sekali tidak memaksimalkan rasa hormat kepada ibunya yang sudah susah payah membuatkan air minum untuk tamunya namun Lina malah marah dan berkata kasar kepada ibunya. Sebagai seorang anak tidak sepantasnya ia berkata kasar kepada ibunya dalam konteks apapun.
275
Wujud Pelanggaran Maksim Kesederhanaan dalam Tuturan di LKDN Inta : “Kahalap baju gaunm, Ndi.” (Cantiknya baju gaunmu, Dik) Totot : “Puna Ka tege rupa tege rega kea.” (Memang Kak ada rupa ada harga juga) Konteks : Tuturan ini dituturkan Totot (siswi) kepada Inta kakak sepupunya ketika Inta melihat adik sepupunya menggunakan baju yang bagus hendak ke pasar. (TSC, Inta dan Totot, di jalan, 2014) Tuturan di atas tampak bahwa tuturan yang dituturkan Inta telah mematuhi prinsip kesantunan karena penutur memaksimalkan pujian bagi Totot. Namun, tuturan yang dituturkan Totot melanggar maksim kesederhaan karena memaksimalkan rasa hormat/pujian kepada dirinya sendiri dengan mengunggulkan diri sendiri seperti yang terlihat pada tuturan “Memang Kak ada rupa ada harga juga”. Dalam tuturan Totot tampak jelas bahwa tuturan Totot merupakan tuturan yang tinggi hati dengan membenarkan bahwa baju yang ia pakai jelas bagus karena sesuai dengan harganya yang mahal. Wujud Pelanggaran Maksim Pemufakatan dalam Tuturan di LKDN Indu Uji : “Asi-asi Nani male kana upet lah, Ndu Enda.” (Kasian Nani kemaren kena pukul ya, Bu Enda) Indu Enda : “Ceh, masi te je dia aku, buah ih ie je kana upet mangat ie keme angat balasane awi rajin manduan banan oloh.” (Ceh, kasian saja tidak aku, pas saja ia kena pukul supaya ia merasakan balasannya karena suka merebut suami orang) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Uji (petani) kepada Indu Enda (ibu rumah tangga) ketika mereka mengobrol di teras rumah Indu Enda. (TSC, Indu Uji dan Indu Enda, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan wujud pelanggaran maksim pemufakatan/kecocokan yang menggunakan kalimat deklaratif yang ditutur Indu Uji, seperti tuturan “Kasian Nani kemaren kena pukul ya, Bu tiara.” Dalam tuturan Indu Uji mengharapkan kesetujuan dari respons Indu Enda. Namun, kalimat deklaratif ini direspons Indu Enda dengan menggunakan kalimat ekspresif yang memaksimalkan ketidaksetujuan terhadap pendapat Indu Uji, seperti tuturan “Ceh, kasian saja tidak aku pas saja ia yang kena pukul supaya ia merasakan balasannya karena suka merebut suami orang.” Tuturan Indu Enda, dirasa tidak santun kerena ia memaksimalkan ketidaksejuan antara mereka berdua. Berdasarkan budaya Dayak Ngaju tuturan Indu Enda dinilai tidak santu karena menggunakan kata interjeksi ‘Ceh’. Kata ‘Ceh’ terdengar kasar atau tidak santun karena bersifat meremehkan lawan tutur dan untuk memperbesar-besarkan ketidaksetujuan diantara mereka. Wujud Pelanggaran Maksim Kesimpatian dalam Tuturan di LKDN Usu : “Lepah nihau kunci-kunci masinku male andakku hong baun huma.” (Habis hilang kunci-kunci mesinku kemarin kuletakkan di depan rumah). Sonya : “Lalau nahapas ampim awi barangai lekam mandake.” (Lalau nahapas ampim (menyalahkan lawan tutur) karena sembarangan tempatmu meletakkannya). Konteks : Tuturan ini dituturkan Sonya (ibu rumah tangga) ketika suaminya menyatakan kalau ia baru saja kehilangan kunci-kunci mesinnya. (TSC, Usu dan Sonya, di teras rumah, 2014) 276
Tuturan di atas merupakan wujud pelanggaran maksim kesimpatian yang menggunakan kalimat ekspresif, seperti tuturan “Lalau nahapas ampim (menyalahkan lawan tutur) karena sembarangan tempatmu meletakkannya”. Dalam tuturan ini dianggap tidak santun karena tampak jelas bahwa Sonya memaksimalkan rasa antipati terhadap suaminya dengan menyalahkan suaminya karena menurutnya suaminya sembarangan meletakkan barangnya.
STRATEGI KESANTUNAN NEGATIF Strategi Kesantunan Negatif BDN dalam Tindak Tutur Tidak Langsung di LKDN Agan : “Handak ujan andau, Bah.” (Mau hujan harinya, Yah) Konteks : Tuturan ini dituturkan Agan (petani) kepada mertuanya ketika mereka sedang membersih rumput di kebun karet yang terletak di belakang rumah mereka. (TSC, Agan, di sawah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat deklaratif yang dituturkan Agan kepada mertuanya. Dalam tuturan Agan terlihat jelas bahwa tuturan tersebut mengandung makna agar mertuanya melakukan sesuatu seperti yang terlihat dalam tuturan “Mau hujan harinya, Yah”. Tuturan tersebut secara tidak langsung digunakan Agan untuk mengajak mertuanya pulang karena sebentar lagi hari mau hujan. Strategi ini digunakan untuk menjaga muka negatif lawan tuturnya. Semakin tidak langsung tuturan itu maka semakin besar keingin penutur untuk bersantun. Strategi Kesantunan Negatif BDN dalam Meminimalkan Paksaan di LKDN Meti : “Tau aku pinjam sepeda motorm sanjulu, Na?” (Bisakah aku pinjam sepeda motormu sebentar, Bi?) Konteks : Tuturan ini dituturkan Meti (siswa) kepada bibinya ketika ia mau meminjam sepeda motor dengan bibinya) (TR, Meti, di rumah, 2014). Tuturan yang dituturkan Meti di atas termasuk strategi kesantunan negatif yang meminimalkan paksaan kepada bibinya seperti tuturan “Bisa aku pinjam sepeda motormu sebentar, Bi?”. Dalam tuturan ini Meti meminta izin kepada bibinya untuk meminjam sepeda motor. Kesantunan yang menggunakan strategi negatif dalam tuturan ini ditandai pada penggunaan kata ‘tau’ (bisakah) dalam meminimalkan paksaan. Strategi Kesantunan Negatif BDN dalam Menggunakan Bentuk Impersonal di LKDN Indu Disa : “Je kueh?” (Yang mana?) Indu Irma : “Ye, jikau lekak hekau ih kareh ikei mandua.” (Ya, itu letakkan situ saja nanti kami mengambilnya) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Disa (petani) kepada Indu Irma sepupunya ketika Indu Disa menanyakan gelas yang mau ia pinjam dan kebentulan tangannya memegang gelas yang Indu Irma maksud. (TSC, Indu Disa dan Indu Irma, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat interogatif, seperti tuturan “Je kueh?” yang dituturkan Indu Disa.Pada tuturan ini direspons Indu Irma dengan mengiakan ketika Indu Disa sedang memegang gelas. Strategi yang digunakan dalam tuturan ini untuk menghindari kata ‘saya dan kamu’ dengan mengandalkan kata ganti ‘saya’ menjadi ‘ikei’ (kami). Kata ‘ikei’ (kami) ini 277
digunakan seolah-olah Indu Irma adalah orang lain atau tidak hanya dia sendiri melainkan banyak orang.
STRATEGI KESANTUNAN POSITIF Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Memperhatikan Kesukaan, Keinginan, dan Kebutuhan Lawan Tutur di LKDN Uyu : “Mamili masin motor hindai aku enah Ring, akan kalotokku awi je helon rusak tarus.” (Membeli mesin kelotok lagi aku tadi Ring, buat kelotokku karena yang dulu rusak terus) Hering : “Iye jikau lah?” (Yang itu ya?) Uyu : “Yoh.” (Ya) Hering : “Wei, rajae amon jikau dia alang-alang hindai, tau munda barang baratus-ratus ton.” (Wah, rajanya kalau itu tidak tanggung-tanggung lagi, biar mengangkut barang beratus-ratus ton) Konteks : Tuturan ini dituturkan Uyu (petani) kepada Hering kakak sepupunya ketika ia menunjukkan mesin barunya kepada Hering. (TSC, Hering dan Uyu, di tepian sungai, 2014) Tuturan di atas merupakan strategi kesantunan negatif yang memperhatikan keinginan lawan tuturnya seperti tuturan “Wah, rajanya kalau itu tidak tanggung-tanggung lagi, biar mengangkut barang beratus-ratus ton”. Dalam tuturan ini terlihat jelas bahwa Hering memahami keinginan lawan tuturnya (Uyu) yang berharap untuk dipuji. Strategi ini dianggap santun karena tuturan yang dituturkan Hering menyelamatkan muka positif dengan memberi puji kepada lawan tuturnya yang terlihat pada penggunaan kata ‘wei’ (wah). Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Memperbesar-besarkan Persetujuan di LKDN Yayu : “Ewen wangkau puna rajin je manahio oloh, amon aku akan narai kea je manahio oloh jaton ati untunge kea akan arep, manampa kalahi maka ie.” (Mereka itu memang suka membicarakan orang. Kalau aku untuk apa juga membicarakan orang tidak ada untungnya juga untuk kita, membuat ribut malah bisa) Ama : “Toto kuam akan narai kea lalau bagaduhan dengan oloh.” (Benar katamu untuk apa juga terlalu mengurus orang) Konteks : Tuturan ini dituturkan Yayu (ibu rumah tangga) kepada Ama (petani) adik iparnya ketika mereka mengobrol. (TR, Yayu dan Ama, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat deklaratif seperti tuturan “Mereka itu memang suka membicarakan orang. Kalau aku untuk apa juga membicarakan orang tidak ada untungnya juga untuk kita, membuat ribut malah bisa”. Kalimat deklaratif yang dituturkan Yayu direspons Ama dengan menyatakan kesetujuannya terhadap tuturan Yayu, seperti tuturan “Benar katamu untuk apa juga terlalu mengurus orang”. Dalam tuturan Ama tampak jelas bahwa Ama berkeinginan untuk menjaga muka positif lawan tutur dengan menyetujui perkataan Yayu.
278
Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Menggunakan Penanda Identitas Kelompok di LKDN Indu Anto : “Nambah jite isut, Nger.” (Tambah itu sedikit, Jeng) Indu Miko : “Je kueh Nger?” (Yang mana Jeng?) Indu Anto : “Ye, jikau Nger.” (Ya, itu Jeng) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Anto (petani) kepada besannya Indu Miko ketika Indu Anto meminta Indu Miko menambahkan rempah dalam sambal yang dibuatnya. (TR, Indu Anto dan Indu Miko, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kaimat imperatif yang bisa menjatuhkan muka Indu Miko seperti yang terlihat pada tuturan Indu Anto “Tambah itu sedikit, Jeng”. Namun, dilihat kerjasama mitra tutur dan dari tingkat pendidikan penutur, serta konteks yang terjadi saat itu bahwa mereka sedang bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaannya untuk acara selamatan cucunya nanti sore, sehingga tuturan ini tetap dinilai santun. Kata sapaan yang digunakan dalam strategi kesantunan positif sebagai penanda identitas kelompok. Strategi ini dianggap santun karena penutur menggunakan kata sapaan yang menandakan kedekatan atau keakraban antara penutur dan mitra tutur seperti ditandai pada kata sapaan ‘Nger’ (Jeng) kepada besannya. Kata sapaan ini digunakan untuk mejaga muka positif mitra tutur agar lawan tutur merasa mendapatkan derajat yang sama. Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Menghindari Ketidaksetujuan di LKDN Indu Irma : “Ndu Ria, handak ikau tampoyak? Kanyala tampoyak bakahing kameangku.” (Bu Ria, mau kamu tempuyak? Cuma tempuyaknya asin perasaanku) Indu Ria : “Barangai ih amon ikau manenga nah Ka, hetoh aku keme.” (Biar saja kalau kamu memberinya Ka, sini aku mencicipinya) Indu Irma : “Toh ie, duan ih akanm ije ples jikau amon ikau rajin.” (Ini, ambil saja untukmu satu toples itu kalau kamu suka) Indu Ria : “Dia kea lalau bakahing nah Ka, mangat ih kameangku akan campur nasi kea kumae.” (Tidak juga terlalu asin Ka, enak saja perasaanku untuk campur nasi juga memakannya) Konteks : Tuturan ini di tuturkan Indu Irma (ibu rumah tangga) kepada Indu Ria (petani) sepupunya ketika ia menawarkan tempuyak duren buat Indu Ria. (TSC, Indu Ria dan Indu Irma, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat deklaratif yang menggunakan strategi kesantunan positif untuk menghindari ketidaksetujuan antara penutur dan lawan tutur seperti yang terlihat pada tuturan Indu Ria, yaitu “Tidak juga terlalu asin Ka, enak saja perasaanku untuk campur nasi juga memakannya”. Dalam tuturan Indu Ria tampak jelas bahwa ia berpura-pura mengatakan tempuyaknya tidak terlalu asin, padahal apa yang ia katakan berbeda dengan kenyataannya. Namun, tuturan tersebut tetap dianggap santun karena hal itu ia lakukan untuk menyelamatkan muka positif Indu Irma walaupun Indu Ria tidak berkata yang sebenarnya.
279
Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Menggunakan Lelucon di LKDN Rinda : “Dia kahiningan suara TV, sama kare bakatak magas.” (Tidak kedengaran suara TV, sama seperti kodok berbunyi) Konteks : Tuturan ini dituturkan Rinda (petani) kepada keluarganya yang bertamu ke rumah mereka ketika ia asik menonton TV namun keluarganya malah asik menggobrol. (TSC, Rinda, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat deklaratif yang digunakan untuk menegur lawan tuturnya. Kalimat deklaratif di atas menggunakan strategi kesantunan positif untuk menjaga muka positif lawan tuturnya seperti yang terlihat pada tuturan “Tidak kedengaran suara TV, sama seperti kodok berbunyi”. Tuturan ini dengan menggunakan lelucon yang digunakan untuk menegur keluarganya (paman, bibi, dan orang tuanya) yang asik mengobrol. Kata yang menggunakan strategi lelucon dalam tuturan Rindah ditandai pada penggunaan kata ‘bakatak hagas’ (kodok berbunyi). Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Memberi Tawaran atau Janji di LKDN Indu Mita : “Minggu harian kareh ikei mules akan Mantangai. Mander akan ewen indum nyohu akan huma minggu kareh Ken lah.” (Minggu yang akan datang kami kembali ke Mantangai. Beritahu untuk ibumu datang ke rumah Ken ya) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Mita (ibu rumah tangga) kepada keponakannya yang sedang mampir di rumah bibinya. (TR, Indu Mita, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan tuturan direktif yang menunjukkan bahwa penutur melakukan perjanjian seperti yang terlihat pada tuturan “Minggu yang akan datang kami kembali ke Mantangai. Beritahu untuk ibumu datang ke rumah ken Ya”. Dalam tuturan ini Indu Mita memastikan kepada keponakannya bahwa ia menjanjikan pasti datang minggu depan sehingga ia meminta keponakannya untuk memberitahu kepada ibunya dan menyuruh mereka mampir ke rumahnya minggu depan. Dalam menawarkan sebuah janji tersebut, penutur melakukan strategi yang dapat memuaskan muka positif lawan tutur. Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Melibatkan Penutur dan Lawan Tutur dalam Aktivitas di LKDN Indu Miko : “Jadi ih helon Nger. Yu, itah kuman helon kareh hindai itah manyambung.” (Sudah saja dulu Jeng. Mari, kita makan dulu nanti lagi kita melanjutkannya) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Miko (petani) kepada besannya ketika mereka sedang sibuk memasak untuk acara selamatan. (TR, Indu Miko, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan strategi kesantunan positif yang menggunakan kalimat imperatif yang dituturkan Indu Miko kepada besannya seperti tuturan “Sudah saja dulu Jeng. Mari, kita makan dulu nanti lagi kita melanjutkannya”. Dalam tuturan ini melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu aktivitas, yaitu Indu Miko mengajak besannya untuk beristirahat makan dulu.Untuk meningkatkan intensitas Indu Miko terhadap tuturannya maka penutur menyisipkan ungkapan yang dapat menarik perhatian lawan tuturnya. Dalam tuturan ini penutur menggunakan kata ‘Yu’ (mari) dan ‘itah’ (kita). Strategi ini digunakan untuk menyelamatkan muka lawan tutur. 280
Strategi Kesantunan Positif BDN dalam Memberikan Pertanyaan atau Meminta Alasan di LKDN Nurul : “Buhen ikau dia muhon sakola, Wil?” (Kenapa kamu tidak turun sekolah, Wil?) Ciwil : “Pehe kanaikuh, Mai.” (Sakit perutku, Bu) Konteks : Tuturan ini dituturkan Nurul (petani) kepada anakya ketika ia melihat anaknya uring-uringan duduk di bangku. (TSC, Nurul dan Ciwil, 2014) Tuturan di atas merupakan strategi kesantunan positif yang menggunakan tuturan interogatif seperti yang dituturkan Nurul di atas. Dalam kalimat interogatif tersebut Nurul menggunakan kata tanya ‘buhen’ (kenapa) karena bersifat untuk menanyakan alasan sehingga lawan tutur tidak merasa ditekan atau tidak merasa dipaksa. Selain itu, tuturan Nurul dianggap santun karena ia tidak langsung marah dengan anaknya. Namun, memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menyatakan alasannya karena belum tentu Ciwil tidak masuk sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Strategi Kesantunan Off-Record BDN dalam Menghindari Gangguan Utama di LKDN Lela : “Mai, tegekah tisan undus batakar?” (Bu, adakah sisa minyak goreng yang litaran?) Indu Ria : (Menggelengkan kepala yang artinya tidak ada) Konteks : Tuturan ini dituturkan Lela (siswa) kepada ibunya (petani) ketika Lela menanyakan dari kios sambil menunjuk botol minyak dan ibunya sedang membungkus es di teras samping rumahnya. (TSC, Lela dan Indu Ria, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas seperti yang dituturkan Lela merupakan kalimat interogatif, sedangkan tuturan Indu Ria menggunakan strategi kesantunan off record, yaitu ketika Lela menanyakan kepada ibunya minyak goreng yang litaran masih ada atau tidak seperti yang terlihat pada tuturan “Bu, adakah sisa minyak goreng yang litaran?” Kalimat interogatif Lela direspons ibunya dengan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengisyaratkan bahwa minyak litarannya habis. Strategi off record ini digunakan untuk menghindar gangguan karena jarak antara anak dan ibu terlalu jauh. Fungsi Kesantunan BDN Fungsi Kesantunan BDN dalam Fungsi Menyatakan di LKDN Disa : “Tege oloh manggau ikau endau nah, Na. Halemei kareh kua ie akan huma hindai.” (Ada orang mencari kamu tadi, Bi. Sore nanti katanya dia mau ke rumah lagi) Konteks : Tuturan ini dituturkan Disa (ibu rumah tangga) kepada bibinya ketika ada tamu yang mencari bibinya. (TR, Disa, di kios, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi untuk menyampaikan informasi/pesan kepada bibinya bahwa baru saja ada yang datang mencarinya seperti tuturan “Ada orang mencari kamu tadi, Bi. Sore nanti katanya dia mau ke rumah lagi”. Dalam tuturan ini Disa menyampaikan pesan bahwa orang yang mencari bibinya akan datang lagi sore nanti.
281
Fungsi Kesantunan BDN dalam Fungsi Menanyakan di LKDN Uyu : “En toto tege je kana tekap pas oloh rajia melai ngaju dau te nah, Wal?” (Apa benar ada yang kena tangkap ketika orang rejia di hulu kemarin ya, Wal?) Hering : “Yoh, Wal. Tege batelo je kana tekap.” (Ya, Wal. Ada bertiga yang kena tangkap) Konteks : Tuturan ini dituturkan Uyu (petani) kepada kakak sepupunya ketika Uyu menanyakan keadaan kerjaan di hulu. (TSC, Uyu dan Hering, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat interogatif yang berfungsi untuk meminta pengakuan dari lawan tuturnya seperti tuturan “Apa benar ada yang kena tangkap ketika orang rajia di Hulu kemarin ya, Wal?” dalam tuturan ini tampak jelas bahwa Uyu meminta pengakuan kepada kakak sepupunya apakah benar ada yang kena tahan ketika rejia di pertambangan tempat mereka bekerja. Untuk meminta pengakuan dipertegas oleh kata ‘En toto’ (apakah benar). Dilihat dari tuturan Hering berfungsi untuk menjawab pertanyaan Uyu dengan menginformasikan bahwa ada tiga orang yang ditahan. Fungsi Kesantunan BDN dalam Fungsi Memerintah di LKDN Indu Tiara : “O, Nak. Mili angku minyak gas, Nak!” (O, Nak. Belikan untukku minyak tanah, Nak!) Tiara : “Kueh duite Mai?” (Mana uangnya Bu?) Indu Tiara : “Toh, mili due cuntang ih Nak.” (Ini, belikan dua litar saja Nak) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Tiara (petani) kepada anaknya ketika anaknya sedang menonton televisi. (TR, Indu Tiara dan Tiara, di rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan kalimat imperatif yang berfungsi untuk memerintah anaknya seperti yang tampak pada tuturan “O, Nak. Belikan untukku minyak tanah, Nak!”. Dalam tuturan ini tampak jelas bahwa Indu Tiara meminta anaknya untuk membelikan minyak tanah untuknya. Kalimat imperatif yang dituturkan Indu Tiara di atas tetap dinilai santun karena sebagai seorang ibu ia mempunyai wewenang untuk memerintah anaknya. Selain itu, dilihat dari tuturan Tiara berfungsi untuk menerima perintah ibunya, yang dianggap santun karena menerima perintah ibunya dengan segera tanpa melakukan penolakkan. Fungsi Kesantunan BDN dalam Fungsi Mengkritik di LKDN Indu Santi : “Kilau sala auhku dengam Ndue. Narai salawar je hapam nah puna barabitkah Ndue?” (Seperti salah kataku denganmu Ndue. Apa celana yang kamu pakai memang sobek ya Ndue?) Konteks : Tuturan ini dituturkan Indu Santi (petani) kepada sepupunya ketika mereka sedang mengobrol dan secara tidak sengaja ia melihat celana sepupunya sobek. (TSC, Indu Santi, di teras rumah, 2014) Tuturan di atas merupakan tuturan Interogatif yang berfungsi untuk mengkritik lawan tuturnya dengan menyebut kekurangan lawan tutur, seperti tuturan “Apa celana yang kamu pakai memang subek ya Ndue?”. Dalam tuturan ini Indu Santi menanyakan apakah lawan tuturnya memang mengetahui bahwa celananya sobek atau tidak. Selain itu, tuturan tersebut dianggap lebih santun karena Indu Santi menggunakan kalimat “Seperti salah kataku denganmu Ndue” 282
dalam tuturan ini Indu Santi seperti menyalahkan perkataanya karena menanyakan celana lawan tuturnya yang sobek.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di LKDN telah menerapkan wujud, strategi, dan fungsi kesantunan. Wujud kesantunan berbahasa DN dinilai dari pelaksanaan dan pelanggaran maksim KB, KD, PJ, KS1, PM, dan KS2 dengan memperhatikan skala untung rugi. Selain itu, kesantunan juga ditandai pada penggunaan kalimat imperatif dengan menggunakan kata ‘tau dan palus’; kalimat deklaratif menggunakan kata ‘hetoh’; kalimat ekspresif menggunakan kata ‘mangat toto, wei, dan matei aku’; dan tindak tutur memuji menggunakan kata ‘bahalap’ (bagus), dan ‘matei aku’ (mati aku). Strategi kesantunan berbahasa DN, yaitu a) strategi kesantunan negatif, yaitu TTL, MP, dan TYMBI; b) strategi kesantunan positif, yaitu MKKKLT, MBP, MPIK, MK, ML, dan MT/J; dan c) strategi off record, yaitu menghindari gangguan utama. Fungsi kesantunan; a) fungsi menyatakan b) fungsi menanyakan c) fungsi memerintah dan d) fungsi mengkritik. Selain itu, juga terdapat fungsi dari lawan tutur, yaitu menyetujui, menjawab, melakukan tindakan, menginformasikan, menerima, dan menolak. Bedasarkan budaya DN terdapat bentuk kesantunan menggunakan kata sapaan. Selain itu, diperhalus dengan menghindari abbreviation, dan interjeksi (ceh dan beh) dalam berkomunikasi. Saran Peneliti menyarankan agar melakukan penelitian tentang kesantunan berbahasa di lingkungan keluarga masyarakat dayak Ngaju di kecamatan lainnya di Kabupaten Kuala Kapuas.
DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Brown, Penelope, and Levinson,Stephen C.. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. Melbourne: Cambridge University Press. Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik, Teori dan Penerapannya. Malang: IKIP Malang. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Erlangga. Yule, George. 2006. Pragmatik. Terjemahan oleh Jumadi. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
283
284
REPRESENTASI KEKUASAAN DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (THE POWER OF REPRESENTATION IN NOVEL ENTITLED AYAT-AYAT CINTA BY HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY) Hasbi Wayhie MAN 2 Model Banjarmasin, Jl. Pramuka KM 6 RT 20 No 28, e-mail
[email protected] Abstract The Power of Representation in Novel entitled Ayat–Ayat Cinta by Habiburrahman El Shirazy. The formulation of this research problem is how the power representation in speech act and speech strategy in novel entitled Ayat–Ayat Cinta by Habiburrahman El Shirazy.This research uses the critical approach and a kind of qualitative research. Basically,it is descriptive research. The data analysis is words/sentence or paragraph in every speech while the source is novel entitled Ayat–Ayat Cinta by Habiburrahman El Shirazy. The data collecting technique is through documentation. Fourth, the research instrument is the researcher himself. The data analysis technique involves of four process; data collecting, data reducting, data displaying, and data verificating.The result of this research shows a lot of speech act and speech strategy that represent of power. The speech act includes (a) directive, (b) assertive, and (c) expressive act. While speech strategy involves (a) the controlling of topic such as introducing, developing and closing, (b) interruption and (c) overlapping. Each the speech act and speech strategy is grouped into five kinds of power such as reward power, coercive power, legitimate power, expert power and referent power. Key words: representation, power, speech act, speech strategy
Abstrak Representasi Kekuasaan dalam Novel Ayat–Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan representasi kekuasaan dalam tindak tutur dan strategi tutur pada novel Ayat–Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dan jenisnya adalah kualitatif. Pada dasarnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data diambil dari kata-kata/kalimat atau paragraf dalam setiap tuturan, sedangkan sumber data adalah novel Ayat–Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Teknik pengumpulan data melalui arsip kepustakaan. Instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Teknik analisis data mencakup empat tahap, yaitu pengumpulan data, reduksi data, tampilan data dan verifikasi data.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa banyak bentuk tindak tutur dan strategi tutur yang merepresentasikan kekuasaan di dalam novel ini. Tindak tutur tersebut meliputi tindak tutur direktif, asertif, dan ekspresif. Strategi tutur yang ditemukan mencakup pertama, pengendalian topik tuturan yang terdiri dari pengenalan topik, pengembangan topik dan penutupan topik, kedua, interupsi dan ketiga, tumpang tindih. Masing-masing tindak tutur dan strategi tutur tersebut dikelompokkan kedalam lima jenis kekuasaan, yaitu penghargaan, paksaan, pengabsahan, ahli dan acuan. Kata-kata kunci: representasi, kekuasaan, tindak tutur, strategi tutur
PENDAHULUAN Dalam khazanah sastra, praktik-praktik kekuasaan sering digunakan sebagai salah satu bahan dasar sastra, baik dalam bentuk genre prosa, puisi, maupun drama. Representasi 285
kekuasaan dalam karya sastra demikian dapat ditelusuri melalui telaah tindak tutur dan strategi tutur. Tindak tutur itu bisa berupa tindak tutur direktif, ekspresif, asertif, dan strategi tutur. Dengan membaca secara skimming, yakni membaca dengan cepat untuk mengetahui isi umum atau bagian suatu bacaan melalui proses membaca yang dilakukan secara melompatlompat dengan hanya berfokus pada pokok pikiran utama dalam bahan bacaan sambil memahami tema dasarnya. Terlihat bahwa novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terlihat dalam rentetan alur ceritanya dominan menggunakan praktik-praktik kekuasaan. Praktik-praktik kekuasaan yang dimaksud dapat ditelusuri melalui uraian narasinya maupun percakapan antartokoh di dalam karyanya. Hampir dalam setiap bab dari novel AyatAyat Cinta ini, terlihat dominasi-dominasi kekuasaan tokoh, baik dominasi kekuasaan berupa dominasi orang tua kepada anak, penegak hukum kepada terdakwa, orang yang dicintai terhadap orang yang mencintai maupun dominasi kekuasaan dari tokoh yang memiliki keahlian/ pintar terhadap orang biasa. Representasi-representasi kekuasaan yang terdapat dalam novel Ayat-Ayat Cinta tergambar lewat dialog antartokoh maupun narasi-narasi yang diuraikan pengarang melalui medium bahasa. Penggambaran representasi kekuasaan dalam sebuah novel menjadikan novel bukan saja sebagai sebuah karya sastra melainkan juga dapat menjadi kajian kebahasaan (Badara, 2012: 2). Dengan penelaahan lebih jauh, novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy merupakan karya yang sangat pantas dan perlu dianalisis menggunakan analisis wacana kritis melalui tindak tutur dan strategi tutur. Beberapa sebab yang perlu diketengahkan dalam pemilihan novel ini, yakni bahwa sejak pertama novel ini terbit telah meraih penghargaan Pena Award novel terpuji nasional 2005 dari Forum Lingkar Pena, peraih penghargaan The Most Favorite Book 2005 versi majalah Muslimah, IBF Award 2006, buku fiksi dewasa terbaik nasional 2006, Adab Award, dalam bidang novel Islami yang diberikan oleh Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, novel ini juga mendapatkan Undip Award 2008 sebagai Novelis No.1 Indonesia (http://seruling _senja.tripod.com/id 118.html). Selain itu, juga novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy adalah novel yang best seller sehingga sampai pada tahun 2008 telah mengalami sebanyak tiga puluh kali cetak ulang. Selama kurun waktu tiga tahun novel ini sudah menembus oplah sekitar 300 ribu eksemplar. Dari segi si pengarang, Habiburrahman El Shirazy telah dinobatkan sebagai novelis nomor satu Indonesia oleh Insani Undip Semarang pada tanggal 6 Januari 2008, ditasbihkan oleh harian Republika sebagai Tokoh Perubahan Indonesia 2007, dari Pusat bahasa dalam Sidang Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) mendapatkan penghargaan Sastra Nusantara 2008 sebagai sastrawan kreatif yang mampu menggerakkan masyarakat membaca. Pada tahun yang sama 2008, pengarang novel Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy, memperoleh penghargaan dari Menpora sebagai sastrawan yang berjasa mengembangkan sastra Indonesia bermutu sehingga memberikan inspirasi tumbuhnya film nasional yang bermartabat dan mendapatkan Paradigma Award 2009 For Outstanding Contribution to the advancement of Literature and Art in Indonesia. (http://Jantri-mukti.blogspot.com/2012/12). Meski terkesan subjektif, penelitian dengan judul Representasi Kekuasaan pada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy belum ada yang meneliti. Dalam penelitian ini, representasi kekuasaan dalam tindak tutur “Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy akan dilihat dari tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur direktif, asertif, dan ekspresif. Pemilihan ketiga jenis tindak tutur ini didasarkan pada karakteristik dan daya ilokusi dari ketiga tindak tutur itu. Karakteristik dan daya ilokusi ketiga jenis tindak tutur itu mengarah pada penggunaan kekuasaan. Tindak tutur direktif, dengan berbagai jenisnya, merupakan tindak tutur yang dirancang untuk mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Menurut Leech 286
(1993: 164) dalam Jumadi (2010: 11), tindak tutur ini sering dimasukkan dalam katagori kompetitif, yakni tujuan ilokusi bersaing dalam tujuan-tujuan sosial, misalnya memerintah, meminta, dan menuntut. Dengan demikian, penutur dapat memanfaatkan tindak tutur ini sebagai sarana memengaruhi, bahkan mendominasi pikiran, perasaan, atau perilaku lawan tutur. Semua proses ini merepresentasikan penggunaan kekuasaan. Adapun tindak tutur asertif merupakan salah satu jenis tindak tutur yang juga potensial merepresentasikan kekuasaan. Tindak tutur asertif berfungsi untuk menyatakan sesuatu. Searle (1976: 79) dalam Jumadi (2010: 12) menyatakan bahwa tindak tutur asertif berfungsi memberi tahu lawan tutur tentang sesuatu. Dalam konteks bersastra, dapat diumpamakan dengan penciptaan karakter tokoh yang hampir sempurna, cerdas, tampan, keturunan bangsawan, dalam konteks ini si tokoh dianggap memiliki nilai kepakaran tertentu dan mempunyai nilai kekuasaan lebih dibandingkan dengan tokoh yang lain. Dengan demikian, tindak tutur asertif juga berpotensi mempresentasikan kekuasaan dalam alur cerita yang dikarang. Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang menyatakan perasaan dan sikap penutur terhadap sesuatu atau keadaan. Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang menyatakan perasaan dan sikap penutur terhadap sesuatu atau keadaan. Melalui tindak tutur ini penutur dapat menilai, mengecam, memuji pikiran, perasaan atau prilaku lawan tutur. Realisasi seperti ini juga mempresentasikan penggunaan kekuasaan tertentu. Selain itu, untuk mengungkapkan representasi kekuasaan dalam novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy, penelitian ini juga menggunakan strategi tutur. Ditinjau dari perspektif wacana, setiap individu yang terlibat dalam percakapan akan ditempatkan pada posisi tertentu dengan peran-peran yang melekat pada posisi tersebut. Dalam konteks sastra, misalnya, melalui konflik-konflik yang dibangun oleh pengarang beserta watak masingmasing tokoh akan menempatkan dan memperlihatkan dominasi kekuasaan antartokoh. Dari peran-peran tokoh tersebut ada ekspektasi-ekspektasi tertentu tentang bagaimana bertindak dari apa yang dikatakan. Terkait pernyataan itu, di dalam karya sastra strategi tutur yang akan diungkap meliputi pengendalian topik tuturan, dan interupsi.
METODE Sesuai dengan tujuannya, yakni untuk mendeskripsikan representasi kekuasaan yang terdapat dalam novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy maka metode yang dipilih adalah metode kualitatif. Implikasi atas dipilihnya pendekatan kualitatif ini adalah peneliti harus mendeskripsikan bentuk representasi kekuasaan yang meliputi pola-pola bahasa yang menyuarakan ide-ide khusus tentang kekuasaan, penindasan, yang didasarkan pada ras, kelas sosial, gender, atau kombinasi ketiganya melalui pendekatan wacana kritis sesuai dengan data yang diperoleh dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Direktif Perintah Salah satu jenis direktif, yakni direktif perintah mempunyai karakteristik tertentu. Jenis ini berupa kalimat perintah. Kalimat perintah merupakan kalimat yang disampaikan untuk meminta lawan tutur melaksanakan apa yang diinginkan oleh penutur. Tuturan dalam kalimat perintah bermodus imperatif dan dapat pula dalam bentuk lain. Dalam menuturkan suatu tutran tertentu, P memerintah T untuk melakukan sesuatu jika P mengekspresikan: (a) keyakinan bahwa tuturannya, di dalam otoritasnya terhadap T, merupakan alasan yang cukup bagi T untuk melakukan sesuatu dan (b) maksud bahwa T melakukan sesuatu karena tuntutan 287
P (Jumadi, 2010: 84). Pada novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburahman El Syirazy direktif perintah dominan digunakan tokoh utama,Fahri, kepada tokoh bawahan. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”Saif, Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia lembur bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi. Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng. Hari ini dia yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi. Dia paling suka masak oseng-oseng wortel campur kofta. Kebetulan wortel dan koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.” Pada Konteks tuturan tersebut terlihat tindak tutur direktif perintah yang diucapkan tokoh Fahri kepada teman-temannya sesama penghuni flat. Sebagai orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih dalam bidang akademik, Fahri dianggap sebagai orang yang paling pantas mengatur kehidupan rumah tangga mereka. Kekuasan yang dimiliki Fahri tersebut disebut dengan kekuasaan abash atau kekuasaan legitimate power. Kekuasaan keabsahan adalah kekuasaan yang menyatakan bahwa orang tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang diminta mempunyai kewajiban untuk mematuhinya. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Direktif Permintaan Dibanding dengan tindak tutur perintah, kadar restriksi permintaan lebih heterogen. Heterogenitasnya terkait dengan sejumlah factor sebagaimana ditunjukkan dalam perintah, misalnya langsung tidaknya permintaan, jenis diathesis yang digunakan, modalitas yang dipilih, kata sapaan yang digunakan, dan panjang tuturan yang membangun permintaan (Jumadi, 2010:101). Dalam Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy setelah diadakan penelitian ditemukan tindak tutur direktif permintaan. Perhatikan kutipan di bawah ini! [50]”Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!”ucapku pada mereka sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan mengajak membaca shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh Mesir, jika ada orang bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya pertama-tama adalah dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah shalawat ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur. Konteks tuturan di atas diucapkan Fahri di atas metro pada saat terjadi perselisihan antara sebagian penumpang metro dengan Aisha. Perselisihan tersebut disebabkan sikap Aisha yang membela turis dari Amerika. Bagi sebagian penduduk Mesir mereka sangat membenci dengan orang Amerika. Mereka menganggap orang Amerika adalah orang kafir yang merusak negeri di Timur Tengah. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semena-mena pada umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa Shnouda, pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di bumi Kinanah. Ucapan “Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!” oleh Fahri merupakan tindak tutur direktif permintaan agar para penumpang di metro menghentikan caciannya kepada Aisha. Tindak tutur direktif permintaan bukan perintah diucapkan Fahri karena ia tidak mempunyai legitimasi power. Fahri hanyalah seorang mahasiswa pendatang di negeri Mesir ini. 288
Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Direktif Larangan Tindak tutur direktif larangan memiliki kadar restriksi yang lebih tinggi sehinga kekuasaannya cenderung dominatif. Perhatikan kutipan paragraf di bawah ini! …”Orang Indonesia kau tahu apa sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin sore. Juzz amma entah hapal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan campuri urusan kami! Konteks tuturan tersebut di atas jelas menunjukan dominasi kekuasaan yang sangat kuat penduduk pribumi (Mesir) terhadap lawan tuturnya (kebangsaan Indonesia). Lebih rinci tindak tutur direktif larangan tersebut berlatar belakang pada pembelaan Fahri terhadap warga Amerika. Penutur adalah orang Mesir asli yang merasa sangat mengerti dengan ajaran agama, sedangkan lawan tutur adalah mahasiswa yang ikut belajar di negeri mereka. Dalam situasi ini, wajar kalau tuan rumah merasa lebih memiliki kekuasaan kepakaran/expert power dibanding para pendatang. Jenis tindak tutur direktif larangan di atas jika digolongkan berdasarkan tindak tuturnya, maka tergolong pada tindak tutur kofliktif, yakni tindak tutur yang bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, mencerca, mengejek, membentak, menghardik, menantang, mengumpat, menghasut, mengutuk, menakuti, menjelekkan, memfitnah, menghina, memaki, meremehkan, mengusir, menuntut, mendesak, menginterogasi dan sebagainya (Baryadi, 2012:32). Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Direktif Persilaan Bach dan Harnish seperti yang dikutip Jumadi (2010:111) menyatakan karakteristik direktif persilaan. Ketika menuturkan tuturan tertentu, P mempersilakan melakukan sesuatu jika P mengekspresikan (a) keyakinan bahwa tuturannya, karena otoritasnya terhadap T, mebolehkan T untuk melakukan sesuatu, dan (b) maksud bahwa T yakin jika tuturan P membolehkannya untuk melakukan sesuatu. …”kebetulan saat ini saya sedang menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan. Pada konteks tuturan di atas terlihat tindak tutur direktif persilaan oleh Fahri kepada sebagian penumpang metro. Dilihat dari konteks tuturannya tindak tutur direktif persilaan memiliki kadar restriksi yang lebih rendah dibanding tindak tutur direktif pernitah dan larangan. Akan tetapi, dalam penggunaanya dalam berkomunikasi tindak tutur direktif persilaan lebih humanis. Tuturan di atasjika dilihat dari asal konteks tuturan menunjukkan kekuasaan legalitas power. Legalitas power yang dimiliki Fahri disebabkan Fahri adalah murid utama dari Syaikh Utsman ulama terkemuka dari Mesir, sebagai murid Syaikh Utsman wajar kalau Fahri mengajak orang-orang yang telah berdebat dengannya menemui gurunya, Syaikh Utsman, ulama terkemuka itu. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Direktif Saran Pada umumnya tindak tutur direktif saran yang ditemukan dalam novel ini adalah saat terjadi peristiwa tutur dengan orang yang memiliki legitimate power atau tokoh yang memiliki expert power. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku. 289
Pada konteks tuturan tersebut terlihat tindak tutur direktif saran dari Imam Masjid yang bernama Syaikh Ahmad. Dalam hal ini Syaikh Ahmad memiliki kekuasaan untuk menyarankan Fahri agar istirahat sebab cuacanya sangat panas. Syaikh Ahmad pada peristiwa tutur tersebut memiliki kekuasaan expert power,yakni kepakaran mengenai keadaan atau daerah Mesir. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Direktif Pertanyaan Tindak tutur direktif pertanyaan sangat jelas merepresentasikan kekuasaan. Setidaknya dari tindak tutur direktif pertanyaan ini menghendaki lawan tutur untuk menjawab pertanyaan. Kata tanya yang sering digunakan dalam direktif pertanyaan dalam novel ini adalah apa, dimana, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana. …”Hei, bagaimana kau mengatakan AL-Quran adalah kitab suci paling banyak dibaca umat manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?” selidikku penuh rasa kaget dan penasaran. Konteks tuturan direktif pertanyaan di atas diucapkan oleh Fahri kepada Maria. Ada dua modalitas yang digunakan dalam tuturan tersebut, yakni bagaimana dan dari mana. Pertanyaan bagaimana menghendaki lawan tutur menjawab pertanyaan dengan rinci, mengetengahkan alasan-alasan atau sebab-sebab bahkan kalau bisa jawaban harus disampaikan secara sistematis. Sementara pertanyaan dengan menggunakan modalitas dari mana menghendaki jawaban yang singkat dan pasti. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Asertif Menegaskan Salah satu fungsi asertif menegaskan adalah menghilangkan keragu-raguan, memberikan penekanan, dan mengklarifikasi atas segala sesuatu. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang. Sifat mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail Diftar, Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli yang berhati lembut, sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan manusia. Tapi apa yang baru saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak memanusiakan manusia dan tidak punya rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian. Orang bule yang sudah nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian malah melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang bercadar ini berlaku sebagai seorang muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir yang ramah, kenapa malah kalian cela habis-habisan!? Kalian bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar yang sangat menusuk perasaan dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang beriman! “ Konteks tuturan asertif penegasan di atas terjadi pada saat perdebatan Fahri dengan beberapa penumpang metro. Ada beberapa kalimat yang merupakan penegasan dari Fahri, yakni “Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang.” Dari tuturan yang diucapkan Fahri tersebut jelas menunjukkan bahwa Fahri memiliki kekuasaan expert power, yakni keluasan pengetahuannya tentang sejarah orang-orang ternama bangsa Mesir.
290
Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Asertif Menilai Terkait dengan tindak asertif menilai, ukuran itu mengarah kepada benar tidak benar, baik tidak baik, layak dan tidak layak, dan sejenisnya yang didasarkan kepada ukuran-ukuran dalam hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat setempat. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”Orang Indonesia kau tahu apa sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin sore. Juzz amma entah hapal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan campuri urusan kami! Konteks tuturan di atas dituturkan oleh orang Mesir yang menilai Fahri hanya sebagai orang yang cuma ikut numpang di negeri mereka. Oleh karena itu, mereka menilai Fahri hanya sebagai orang awam dalam ilmu agama dan mereka menganggap dirinya orang yang paling tahu tentang Islam. Dalam konteks tuturan ini terlihat dominasi kekuasaan expert power orang Mesir yang merasa sangat ahli dalam bidang agama Islam. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Asertif Menunjukkan Menurut Jumadi (2010:131) menyatakan daya ilokusi bentuk ini membuat T memahami atau mengetahui sesuatu sebagaimana ditunjukkan oleh tuturan P. oleh karena itu, jika tindak tutur menegaskan cenderung digunakan ketika terjadi kebimbangan karena adanya dua hal atau pendapat yang berkembang atau ada sesuatu yang meragukan, tindak menunjukkan justru digunakan untuk memberitahukan tentang sesuatu. Perhatikan kutipan di bawah ini! …Ini mumpung ada orang Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada mereka!” Pada konteks tuturan asertif menunjukkan di atas terlihat bagaimana orang Mesir menunjukkan tentang satu cara mengekspresikan ketidaksukaan mereka kepada orang Mesir. Tuturan menunjukkan di atas tidak dapat digolongkan kepada kekuasaan kepakaran tetapi lebih cenderung menunjukkan keuasaan keabsahan. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Asertif Mempertahankan Jumadi (2010:135) menyatakan bahwa sebagai salah satu tindak tutur asertif mempertahankan, tuturan ini berusah agar lawan bicaranya mau mempercayai apa yang dituturkan oleh si penutur. …”Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja pada orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha membenarkan tindakannya. Pada konteks tuturan tersebut menunjukkan asertif mempertahankan dari orang Mesir yang sedang berdebat dengan Fahri. Perdebatan ini terjadi setelah terjadi setelah mereka memiliki dua sudut pandang dalam terhadap keberadaan orang Amerika di Mesir. Pada pernyataan itu telah merepresentasikan kekuasaan legitimate power yang dimiliki oleh penduduk Mesir. Dalam hal ini, penduduk Mesir merasa bahwa sah-sah saja jika mereka melaknat orang Amerika dinegeri mereka sendiri.
291
Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Ekspresif Pernyataan Rasa Senang. Pernyataan rasa senang biasanya didapat setelah lawan tutur menurut apa yang dituturkan oleh si penutur. Perbuatan lawan tutur tersebut dapat pula dinilai melalui perbuatan atau ucapannya yang sesuai dengan kaidah atau ukuran kebenaran dalam masyarakat. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”Hmm..setelah lidahmu menyentuhnya dan mengaduk-aduknya, minuman ini jadi manis sekali. Belum pernah aku meminum minuman semanis ini. Memang benar sabda nabi jika seorang bidadari di surga meludah ke samudera maka airnya akan jadi tawar rasanya. Dan lidahmu mampu merubah susu yang asin ini jadi manis, Bidadariku.” Pada konteks tuturan di atas terdapat perasaan rasa senang Fahri atas minuman yang dibuatkan istrinya. Rasa senang itu diungkapkan dengan ucapan bahwa dia belum pernah meminum minuman semanis ini. Pernyataan rasa senang suami terhadap istri tentu akan membuat istri semakin sayang dan cinta hingga membuat istri menjadi istri yang penurut. Kekuasaan jenis ini tergolong kekuasaan reward power. Representasi Kekuasaan dalam Tindak Tutur Ekspresif Pernyataan Rasa Tidak Senang Dalam novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy ditemukan pula tindak tutur ekspresif rasa tidak senang. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih dari seorang syarmuthah!”umpat lelaki berpakaian abu-abu. Kata syarmuthah! Yang terlihat pada konteks tuturan tersebut. Menggambarkan rasa ketidaksenangan dan telah menggambarkan representasi kekuasaan keabsahan yang dimiliki penduduk Mesir. Representasi Kekuasaan dalam Strategi Tutur Pengenalan Topik Tuturan Dalam novel Ayat-Ayat Cinta ini terlihat penggunaan representasi kekuasaan melalui pengenalan topik yang dilakukan oleh para tokoh sentral. Perhatikan kutipan di bawah ini! …”AkhFahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis Mesir. “Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar. “Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku. “Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.” “Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.” “Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata. 292
“Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong Kong saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar yang hafal Al-Qur’an.” Pada konteks tuturan di atas terlihat bagaimana Syaikh Ahmad memperkenalkan topik tuturan terlebih dahulu kepada Fahri. Dalam konteks tuturan tersebut, beliau menyampaikan topik tuturan tentang cuaca yang kurang baik pada saat itu, tak lama kemudian Beliau mengubah topik tuturan lagi dengan memberikan komentar terhadap pakaian yang dipakai Fahri. Syaikh Ahmad dalam novel ini digambarkan sebagai ulama muda, Imam besar di sebuah masjid di mesir dan sedang menyelesaikan program doktoralnya. Dengan status yang melekat pada dirinya tersebut, wajar kalau Syaikh Ahmad mampu mengarahkan topik pembicaraan karena dalam hal ini Syaikh Ahmad memiliki expert power. Representasi Kekuasaan dalam Strategi Tutur Penutupan Topik Tuturan Jumadi (2010:172) menyatakan tindakan menutup topik tuturan juag menyatakan representasi kekuasaan. Tindakan menutup topik itu bisa terjadi ketika akan terjadinya pergantian topik atau mungkin pula menandai bahwa tuturan telah berakhir. Perhatikan kutipan di bawah ini! …Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah yaftah ‘alaik! Jazakallah khaira!”Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut. Setelah itu giliran Ashraf merangkulku. “Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya. Pada konteks tuturan di atas terlihat penduduk asli Mesir yang bertutur dengan pendatang mengambil inisiatif untuk mengakhiri topik tuturan. Penutupan topik tuturan oleh penduduk Mesir dengan memberikan doa kepada lawan tuturnya menunjukkan representasi kekuasaan yang humanis. Penutupan topik dengan doa oleh penduduk Mesir tergolong jenis kekuasaan reward power. Representasi Kekuasaan dalam Strategi Tutur Interupsi Interupsi merusak kesetaraan model percakapan karena penginterupsian menghalangi P dari penyelesaian tuturan mereka dan pada saat yang sama T memenangkan sebuah giliran untuk dirinya sendiri (Jumadi, 2010:189). Perhatikan kutipan di bawah ini! …Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya yang telah terlihat tandatanda nusyuz.” Alicia menyela, “Nusyuz itu apa?” “Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang isteri yang tidak bersahabat pada suaminya.” Pada konteks tuturan terlihat representasi kekuasaan legalitas yang dimiliki oleh Alicia. Peristiwa tutur tersebutdilakukan oleh Fahri dan Alicia, dalam novel Ayat-Ayat Cinta digambarkan bahwa Alicia adalah seorang reporter berkebangsaan Amerika. Pada saat bertemu Fahri, ia tertarik dengan agama Islam dan tertarik pula akan kedalaman pengetahuan Islam yang dimiliki Fahri sehingga jiwa reporternya meminta dengan Fahri untuk melakukan wawancara. Sebagai seorang reporter wajar jika setiap jawaban Fahri yang dirasakannya terlalu melebar langsung dilakukannya interupsi. Pernyataan Alicia “Nusyuz itu apa?” adalah bentuk interupsi yang mempresentasikan kekuasaan legalitas. 293
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, yaitu dominasi– dominasi kekuasaan yang tergambarkan lewat tindak tutur dan strategi tutur dominan digunakan oleh tokoh-tokoh utamaatau tokoh yang sentral yang menjalin cerita. Saran Terkait dengan hasil temuan penelitian ada pihak-pihak yang layak diberikan saran, terutama bagi individu yang memiliki kekuasaan dalam berkomunikasi, baik dalam komunikasi publik seperti pidato, ceramah, khotbah, berita, iklan, maupun komunikasi interpersonal seperti komunikasi suami-istri,orang tua terhadap anak, guru terhadap siswa, dosen terhadap mahasiswa, dokter-pasien, dan sebagainya agar menggunakan komunikasi yang lebih humanis.
DAFTAR RUJUKAN Badara, A. 2012. Analisis Wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kharisma Putra Utama. Baryadi, I. P. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. http://Jantri-mukti.blogspot.com/2012/12. http://seruling _senja.tripod.com/id 118.html. Jumadi. 2010. Wacana Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma.
294
KESANTUNAN DIREKTIF BAHASA BANJAR DALAM INTERAKSI ANTARA GURU DAN MURID DI SD NEGERIHANDIL BAKTI (DIRECTIVE POLITENESS OF BANJARESE LANGUAGE IN INTERACTION BETWEEN TEACHER AND STUDENTS AT HANDIL BAKTI STATE ELEMENTARY SCHOOL) Nazmawati SD Negeri Handil Bakti, Jl. Trans Kalimantan Km 2,5 Rt.08 No.12 Kabupaten Barito Kuala, e-mail nazmawati 123@ gmail.com Abstract Directive Politeness of Banjarese Language In Interaction Between Teacher and Students at Handil Bakti State Elementary School. The Politeness in communication is very important to keep the harmonious relationship and to avoid the conflict, even more in directive action of Banjarese language belongs to be social intercourse language especially in Banjarese society and as medium language in education institutions such as in elementary schools. This research aims to expose the form of directive talk action, the strategy and function of directive politeness of Banjarese language. This research used qualitative approch. The directive politeness talk data of the interaction between teacher and students collected by doing observation, recording field data, and interviewing. The data analysis is completed by doing three steps. They are (1) data reduction, (2) data presentation, (3) conclusion / verification. From these three steps can be found the last conclusion by applying triangulation and verification.Based on the result of this research, it is found that the form of Banjarese language politeness in interaction between teacher and students covering three politeness principles, they are formality, hesitancy, and equality or friendship. The principle of formality means to forbid of being persistent or arrogant. And the principle of hesitancy means the partner of speaking can choose, and the principle of equality means speaker and listener in the equal position. In Banjarese language, there are ten strategies of directive politeness action that used by native speaker, they are imperative politeness strategy, request expression, fenced request, imperative expression, willingness expression, suggestion expression, question expression, signal expression, allusive expression. The function of Directive Politeness of Banjarese language is talk action to keep the honor, avoid the conflict, reach the effectiveness, and talk action to give the respect.From this research, it is suggested in directive talk action, the speaker ought to be polite using the principles of politeness to avoid uncomfortable things with listener and others speakers. Key words: directive politeness, function
Abstrak Kesantunan Direktif Bahasa Banjar dalam Interaksi antara guru dan murid di SD Negeri Handil Bakti. Kesantunan dalam komunikasi sangat penting artinya guna menjaga keharmonisan dan menghindari terjadinya konflik, terlebih dalam tindak direktif bahasa Banjar yang merupakan bahasa pergaulan dalam masyarakat Banjar khususnya dan pengantar di lembaga pendidikan terutama di sekolah dasar. Penelitian ini memiliki tujuan mengungkapkan wujud tindak tutur direktif, strategi dan fungsi kesantunan direktif bahasa Banjar. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Data tuturan kesantunan direktif dalam interaksi antara guru dan murid diperoleh dari observasi, catatan lapangan perekaman dan wawancara. Pada analisis data dilakukan melalui tiga langkah. Ketiga langkah itu adalah (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan/verifikasi. Dari ketiga langkah itu diperoleh kesimpulan akhir dengan triangulasi dan pengecekan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan wujud kesantunan bahasa Banjar dalam 295
interaksi antara guru dan murid yang meliputi tiga kaidah kesantunan, yakni formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camarederie). Kaidah formalitas berarti jangan memaksa atau angkuh, kaidah ketidaktegasan berarti mitra tutur dapat menentukan pilihan dan kaidah persamaan berarti bertindak seolah-olah Anda dan lawan tutur menjadi sama. Dalam bahasa Banjar ada sepuluh strategi kesantunan tindak direktif yang digunakan oleh penutur yakni kesantunan strategi imperatif, pernyataan permintaan, permintaan berpagar, pernyataan keharusan, pernyataan keinginan, pernyataan saran, pernyataan pertanyaan, pernyataan isyarat, dan pernyataan sindiran. Adapun fungsi dari kesantunan direktif bahasa Banjar adalah tindak tutur untuk menyelamatkan muka, menghindari konflik, untuk mencapai efektivitas, dan tindak tutur untuk memberikan penghormatan.Dari hasil temuan penelitian ini disarankan dalam tindak tutur direktif hendaknya penutur melakukan dengan santun sejalan dengan kaidah kesantunan untuk menghindari ketidakharmonisan dengan mitra tutur. Kata-kata kunci: kesantunan direktif, fungsi
PENDAHULUAN Bahasa dipergunakan manusia dalam segala aktivitas kehidupan. Kondisi ini menjadikan bahasa sebagai hal yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Koen (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010: 2) menyatakan bahwa bahasa bersifat (a) mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d) sebagai alat komunikasi. Kalimat yang diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain bersifat individual. Kesediaan seseorang untuk melakukan pekerjaan itu karena adanya kerja sama antarindividu. Oleh karena itu, bahasa bersifat kooperatif. Sebagai alat komunikasi, bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 2010: 14). Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi juga melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Dalam berkomunikasi, peserta tutur diasumsikan bersikap kooperatif dalam pengertian bahwa seseorang tidak sedang menyesatkan orang lain, tetapi bertujuan untuk memberikan informasi sebanyak mungkin dengan sikap informatif mengacu pada transfer informasi yang efisien dan maksimal. Asumsi ini dikemukakan Grice, sebagai prinsip kerja sama atau dikenal dengan ‘Cooperative Principle’, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relasi, dan maksim cara (Yule, 2006: 49) Asumsi yang dikemukakan Grice tersebut, jika diikuti maka, komunikasi informatif maksimal dan jelas dapat tercapai. Akan tetapi, prinsip kooperatif ini ada kalanya tidak diikuti dengan alasan penghindaran konflik. Penghindaran konflik ini bisa dilakukan antara lain dengan, menggunakan kata ‘permohonan’ untuk menyatakan larangan sehingga mitra tutur tidak merasa tersinggung dan mungkin akan berakhir dengan konflik apabila dinyatakan dengan apa adanya. Oleh sebab itu, strategi kesantunan ini dipandang sebagai ‘penyimpangan rasional’ dari prinsip kooperatif. Prinsip kesantunan menurut Brown dan Levinson adalah alasan-alasan yang berprinsip bagi penyimpangan kooperatif ketika komunikasi hendak mengancam muka. Muka berarti citra diri seseorang secara publik. Istilah ini mengacu pada rasa emosional dan sosial tentang diri yang dimiliki oleh seseorang dan dia harapkan orang lain juga mengetahuinya (Yule, 2006: 82). Sejalan dengan pendapat Brown dan Levinson, Lakoff mendefinisikan kesantunan sebagai sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi dengan memperkecil potensi bagi terjadinya konflik dan konfrontasi yang selalu ada dalam semua 296
pergaulan manusia (Eelen, 2006: 2). Jadi, menurut Lakoff (Chaer, 2010: 46), sebuah tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan membuat mereka merasa tenang. Rahardi (2009: 121) mengatakan bahwa pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya, kesantunan merupakan perilaku yang disepakati bersama oleh masyarakat dan menjadi prasyarat diakuinya prilaku seseorang. Kesantunan juga merupakan aturan prilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh mitra tutur agar suasana berinteraksi menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Kesantunan direktif bahasa Banjar dapat dijumpai dalam bentuk [1]”Cuba pang tulungi inya! Hakunkah mangganii inya! “Coba bantu dia! Maukah membantunya! Contoh wacana di atas adalah sebuah kesantunan direktif. Tuturan tersebut berbentuk tuturan tidak langsung agar dapat menghasilkan tuturan yang santun. Meskipun, ada kecenderungan orang mulai meninggalkan tuturan semacam ini dan beralih pada tuturan langsung. Dengan demikian, penelitian yang berkenaan dengan tindak kesantunan bahasa Banjar ini sangat penting agar tetap terpelihara sebagai khazanah kearifan lokal. Dari fenomena tersebut, penulis beranggapan kesantunan sangat penting untuk diwujudkan dalam tindak tutur. Terlebih pada anak usia yang berada di sekolah dasar. Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek seperti fisik, sosioemosional, dan kognitif sedang mengalami masa perkembangan. Sejalan dengan pendapat di atas, Anak usia sekolah dasar berada pada masa-masa peka bagi tumbuh dan kembangnya berbagai keterampilan-keterampilan dasar sebagai manusia normal seperti berbicara, berpikir, bersosialisasi, bahkan keterampilan elementer yang sangat penting seperti melihat, mendengar dan merasa tidak akan berkembang maksimal, jika tidak diasah pada masa ini (Putra dan Ninin, 2012: 7). Menurut pengetahuan penulis, penelitian tentang wujud, strategi, dan fungsi kesantunan direktif bahasa Banjar pada anak usia sekolah dasar dalam interaksi murid dan guru belum dilakukan. Dengan demikian, secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk penelitian tindak tutur dan penelitian kesantunan. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai referensi dalam upaya menumbuhkan budaya santun di dalam masyarakat. Berdasarkan alasan itulah penelitian kesantunan direktif bahasa Banjar pada anak usia sekolah dasar dalam interaksi antara guru dan murid SD Handil Bakti kecamatan Alalak ini dilakukan.
METODE Dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif, Moleong (2013: 8-13) mengungkapkan bahwa “Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya”. Karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah latar alamiah pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Dengan karakteristik tersebut, penelitian kesantunan direktif bahasa Banjar dalam interaksi antara guru dan murid di SD Negeri Handil Bakti ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu suatu model penelitian yang berusaha untuk membuat gambaran secara cermat dan mendalam tentang penggunaan kesantunan direktif dalam interaksi antara guru dan murid SD Negeri Handil Bakti. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Peneliti mengadakan observasi lapangan dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian karena dalam kesantunan direktif bahasa Banjar terjadi percakapan antara guru dan murid dengan menggunakan bahasa Banjar. 297
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan wujud kesantunan dalam penelitian ini mengacu pada prinsip kesantunan Robin Lakoff. Menurut Lakoff (Chaer, 2010: 46), kalau tuturan kita ingin terdengar santun ditelinga pendengar dan lawan tutur kita, ada tiga kaidah yang harus dipenuhi. Ketiga kaidah kesantunan itu adalah formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Kaidah itu apabila dijabarkan, maka yang pertama formalitas ini berarti jangan memaksa atau angkuh (aloof); yang kedua, ketidaktegasan, yang berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan piliham (option), dan yang ketiga persamaan atau kesekawanan, ini berarti bertindak seolah-olah Anda dan lawan tutur Anda menjadi sama. Seperti contoh berikut. [2]Mun ikam ka muka, kumpulakan lah latihanku nih! Kalau kamu ke depan kelas, kumpulkan ya buku latihan saya! Konteks: percakapan seorang murid kepada temannya saat mengerjakan latihan pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Kaidah kesantunan dalam penggalan wacana di atas tampak pada kata’mun ikam‘. Artinya bahwa penutur menyampaikan maksud atau perintah kepada mitra tutur secara tidak langsung. Hal yang menjadikan tuturan menjadi santun, yakni ketikamemerintahkan temannya mengumpulkan latihan ke meja guru bersamaan jika mitra tutur itu akan mengumpulkan buku latihannya juga. Tuturan tersebut tidak memaksa tetapi kesannya memiliki kesamaan atau kesekawanan (equality or camarederie). Dengan demikian, tuturan tersebut memenuhi kaidah kesantunan sebagaimana kaidah yang dikemukakan oleh Lakoff. [3]Isuk sungsungi datang ka sakulahan! ‘Besok Pagi-pagi datang ke sekolah!’ Konteks: Tuturan yang disampaikan oleh guru kepada seorang murid yangdatang terlambat padahal sudah diberitahukan bahwa minggu ini adalah masa ulangan harian. Penggalan wacana di atas dituturkan oleh seorang guru kepada salah seorang murid yang datang terlambat saat pelajaran sudah dimulai. Kepada murid yang datang terlambat masuk kelas guru menyatakan agar besok bisa datang lebih pagi. Dilihat dari kaidah kesantunan guru memberikan pilihan kepada murid jika hari ini ia terlambat maka besok supaya tidak terlambat dan harus berangkat lebih pagi. Dengan demikian, tuturan di atas memenuhi kaidah kesantunan karena penutur memberikan pilihan(option) kepada mitra tutur. [4] Mun kada mangarti batakun lah jangan badiaman haja! ‘Kalau tidak mengerti bertanyalah, jangan diam saja’ (Konteks: tuturan guru kepada murid-murid di ruang kelas ketika belajar bahasa Indonesia menjelaskantentang parafrase puisi) Dalam penggalan wacana di atas tuturan disampaikan oleh guru kepada murid-murid di dalam kelas pada saat pelajaran bahasa Indonesia. Guru meminta murid-murid untuk bertanya jika ia tidak mengerti pelajaran parafrrase puisi yang dijelaskan. Guru mengharapkan agar murid berbicara untuk mengungkapkan rasa belum mengertinya pada hal yang dijelaskan oleh guru. Diam bisa berarti sudah mengerti atau mungkin juga belum mengerti tetapi malu bertanya dan takut jika ditertawakan oleh teman-teman. Tuturan itu sering disampaikan guru untuk memberikan semangat kepada murid-murid supaya mau bertanya jika mereka belum mengerti. Tuturan tersebut disampaikan dengan sopan yang ditandai dengan partikel ‘lah’ pada kata ‘batakunlah’, dan memenuhi kaidah kesantunan ketidakjelasan sehingga mitra
298
tutur dapat menentukan pilihannya. Dengan demikian, tuturan di atas termasuk tuturan yang santun. Strategi Kesantunan Direktif Modus Imperatif Strategi modus imperatif adalah strategi langsung yang digunakan dalam tindak direktif. Strategi tersebut menggunakan kalimat imperatif yang mengandung maksud memerintah atau menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan penutur secara langsung. [5]Sambatakan jawaban nomor satu! ‘Sebutkan jawaban nomor satu!’ (Konteks: tuturan seorang guru kepada muridnya ketika mengajarkan PKN) Seorang guru adalah orang yang mampu dan memiliki kekuasaan yang absah dan kekuasaan kepakaran untuk memberikan pengarahan atu instruksi. Kekuasaan itu melekat pada guru yang lebih luas daripada muridnya. Oleh sebab itu, guru memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah sewaktu mengajar kepada murid-muridnya. Isi tuturan perintah itu menyangkut usaha menyebutkan jawaban latihan yang diberikan. Dengan perintah langsung tujuan dari instruksi dapat tercapai. Guru beranggapan perintah menyebutkan jawaban akan lebih efektif dengan menggunakan perintah langsung. Strategi Pernyataan Keharusan Strategi pernyataan keharusan ialah tuturan yang menyatakan kewajiban dari pendengar untuk menyelesaikan tindakan. Untuk lebih jelas strategi pernyataan keharusan ini dapat dilihat pada contoh berikut. [6]Ikam ni kada kawa kada ka sakulahan isuk! ‘Kamu ini harus ke sekolah besok!’ (Konteks: tuturan guru kepada seorang murid yang akan bertugas sebagai pemimpin upacara) Tuturan pada penggalan wacana di atas disampaikan oleh guru kepada murid yang akan bertugas sebagai pemimpin upacara pada hari Senin depan. Murid ini sudah berlatih dan dianggap memiliki kemampuan sehingga ia harus hadir. Dalamtuturan itu digunakan strategi keharusan yang ditandai dengan penggunaan ungkapan ‘kada kawa kada’ yang artinya ‘harus’. Penggunaan strategi keharusan dipandang perlu agar daya ilokusi lebih efektif mengingat situasi yang mengharuskan tindakan mitra tutur. Fungsi Kesantunan Direktif Bahasa Banjar dalam Interaksi Kelas Berdasarkan hasil analisis data, kesantunan direktif bahasa Banjar memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut sesuai dengan maksud penutur dalam tindak direktif. Fungsi kesantunan direktif dalam interaksi kelas meliputi tindakan untuk menyelamatkan muka mitra tutur, menghindari konflik dengan mitra tutur, mencapai efektifitas maksud tuturan, dan menghormati mitra tutur.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari paparan hasil penelitian ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Wujud kesantunan tindak tutur direktif bahasa Banjar meliputi kalimat deklaratif dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif mengandung maksud memberitahukan sesuatu kepada 299
mitra tutur. Kalimat deklaratif dalam tindak tutur direktif bahasa Banjar dapat berupa tuturan langsung dan dapat pula merupakan tuturan tidak langsung. Bentuk tuturan tidak langsung dalam tindak direktif dianggap sebagai tuturan yang santun. Semakin tak langsung sebuah tuturan, semakin santunlah sebuah tuturan. Demikian juga sebaliknya, semakin langsung sebuah tuturan, semakin tak santun tuturan tersebut. Tuturan yang mengandung kalimat deklaratif berupa tuturan antara murid dan guru, guru dan murid, serta murid dan murid. Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung perintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan penutur. Tuturan yang berisi kalimat imperatif menggunakan bentuk tak langsung deklaratif yang bermakna (a) suruhan, (b) ajakan, (c) permohonan, (d) persilaan, dan (e) larangan. Di samping itu, penutur dapat pula menggunakan bentuk tuturan tak langsung dalam tindak direktif, yaitu interogatif seperti (a) suruhan, (b) ajakan, (c) permintaan, (d) persilaan, dan (e) larangan. 2. Dalam mewujudkan kesantunan direktif ada berbagai strategi yang digunakan penutur. Ada sepuluh strategi kesantunan direktif bahasa Banjar, yaitustrategi impertif, pernyataan, permintaan, permintaan berpagar, rumusan saran, rumusan pernyataan, strategi isyarat kuat, dan strategi sindiran. 3. Kesantunan direktif bahasa Banjar mempunyai sejumlah fungsi, yakni untuk menyelamatkan muka, tindakan untuk menghindari konflik, mencapai efektivitas, dan memberikan penghormatan. Kesantunan direktif tidak hanya ditemukan pada tuturan orang dewasa, tetapi juga ditemukan pada tuturan anak-anak yang pada intinya berfungsi sebagai tindakan untuk mencapai efektivitas tujuan. Strategi kesantunan direktif yang banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah strategi isyarat kuat, isyarat halus, dan sindiran. Saran Sejalan dengan hasil penelitian ini, saran-saran dapat penulis kemukakan adalah agar hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi peneliti kesantunan bahasa Banjar dengan metode dan teori lainnya. Disamping juga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan berbahasa Banjar secara santun dengan menggunakan prinsip dan strategi kesantunan yang sesuai dengan situasi tutur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penunjang pengembangan kesantunan berbahasa Banjar secara kontekstual dan pembinaan kesantunan berbahasa Banjar secara umum..
DAFTAR RUJUKAN Aslinda dan Syafyahya, Leni. 2010.Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Bandung: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik Jakarta: Rineka Cipta. Eelen, Gino.2006. Kritik Teori Kesantunan.Terjemahan oleh Jumadi dan Slamet Rianto. Surabaya: Airlangga University Press. Moleong, Lexy. J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Putra, Nusa dan Ninin. 2012. Penelitian Kualitatif PAUD. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rahardi, R. Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga. Yule, George. 2006. Pragmatik. Terjemahan oleh Jumadi. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. 300
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL LAYANG-LAYANG PUTUS KARYA MASHARTO ALFATHI (CHARACTER EDUCATION VALUE IN LAYANG-LAYANG PUTUS WRITTEN BY MASHARTHO ALFATHI) Mayang Muhairinnisa Rektorat Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Jl. Bridgen Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Character Education Value in “Layang-LayangPutus” novel written by Masharto Alfathi. This research is choosen by the researcher because novel is one of the media that the teacher can convey character education value through novel. The goal of this research is (1) to describe character education value that related with God, (2) to describe character education value that related with human himself and (3) to describe character education value that related with other person/community. The descriptive qualitative research is used in this research with sociology approach. The method is used to describe the content of the novel or the content of story in order to find character education value. The data is derived from “Layang-LayangPutus” Novel written by Masharto Alfathi, it is published by PT MizanBunayaKreativa, Bandung 2005 year in 287 pages. The research results are: 1) Character education value related with God: sincere, faith, and ihsan 2) Character education value that related with human himself: a. honesty, b. responsibility, c. healthy lifestyle, d. discipline, e. hard working, f. logical thinking, critic, creativity, and innovation, g. independence, i. desire to know and love science. 3) Character education value that related with other person/community: a. the concern with right and responsibility, b. obedience to the rule, c. appreciation to other persons’ achievement, d. politeness, e. democrat, f. friendliness and communicator, and g. social care. Key words: character education, novel
Abstrak Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel “Layang-Layang Putus” karya Masharto Alfathi. Nilai pendidikan karakter ini diteliti karena novel merupakan media yang dapat digunakan untuk mengajarkan nilai pendidikan karakter melalui sastra. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan ketuhanan, (2) untuk mendeskripsikan nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, dan (3) untuk mendeskripsikan nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan orang lain atau masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologis. Metode Penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu metode pendekatan untuk mendeskripsikan isi atau kandungan cerita yang memuat nilai pendidikan karakter. Data bersumber dari novel “LayangLayang Putus” karya Masharto Alfathi, diterbitkan oleh PT Mizan Bunaya Kreativa, Bandung tahun 2005 ketebalan buku sebanyak 287 halaman. Hasil penelitian dari data yang dianalisis sebagai berikut: 1) Nilai pendidikan karakter yang terkait dengan ketuhanan: a.ikhlas, b.iman dan c.ihsan, 2) Nilai pendidikan karakter yang terkait dengan diri sendiri: a. jujur, b. bertanggungjawab, c. bergaya hidup sehat, d. disiplin, e. kerja keras, f. percaya diri, g. berjiwa wirausaha, h. berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, i. mandiri, dan j. ingin tahu dan cinta ilmu 3) Nilai pendidikan karakter yang terkait dengan orang lain/ masyarakat: a. sadar akan hak dan kewajiban diri sendiri dan orang
301
lain, b. patuh pada aturan sosial, menghargai karya dan prestasi orang lain, c. santun, d. demokratis, e. bersahabat dan komunikatif dan peduli sosial. Kata-kata kunci: pendidikan karakter, novel
PENDAHULUAN Novel adalah bentuk prosa yang panjangnya lebih dari 200 halaman. Novel berbentuk cerita yang memiliki unsur-unsur, yaitu plot, tokoh cerita, tema, suasana, tempat (setting), sudut pandang (point of view),gaya (style) dan amanat. Pengarang memiliki peranan untuk memadukan hal tersebut menjadi satu cerita yang menarik sehingga fungsi dari karya sastra khususnya novel dapat terpenuhi. Salah satu fungsinya menurut Suhendar dan Supinah (1993: 17) “Karya sastra dapat memberikan pengetahuan yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan”. Dari fungsi tersebut di atas maka novel dapat digunakan sebagai salah satu media pengajaran sastra yang tidak hanya mengungkapkan unsur intrinsik dan ektrinsik, tetapi juga berusaha untuk menampilkan sesuatu yang menarik tidak hanya untuk dibaca tetapi juga bermakna dalam diri siswa, sehingga berdampak pada pengembangan karakter menjadi lebih baik. Tenaga pengajar dapat memilih novel yang akan dijadikan media pengajaran. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah novel yang dihadirkan, tidak hanya semata-mata digunakan sebagai salah satu bentuk karya sastra. Tetapi novel hendaknya menghadirkan sisi lain yang memberikan dampak positif dalam diri anak. Menurut Barreth (1993: 4-6) pada jurnal EL Education Leadership (Character Education), november dinyatakan bahwa pendidikan karakter diperlukan karena memiliki tiga alasan. Why Character Education Now? 1. The decline of the family. 2. Troubling trends in youth character. 3. A recovery of shared objectively important ethical values. Dari tiga alasan di atas dapat kita jabarkan: 1. Menurunnya peran keluarga, hal ini dapat kita lihat fakta sekarang bahwa banyak perceraian terjadi, sehingga hak asuh diambil peran oleh sang ayah atau ibu, anak merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya sehingga ia berusaha untuk melepaskan diri dari masalah dengan melakukan tindakan yang menyimpang. 2. Kecendrungan karakter remaja dalam melakukan tindakan yang menyimpang dan merusak diri, orang lain dan lingkungan. Beberapa contoh tindakan tersebut antara lain: melakukan tidak kekerasan, meningkatnya ketidak jujuran (berbohong, mencontek dan mencuri), tidak menghormati orang yang lebih tua, kenakalan remaja dan lain-lain. 3. Menurunnya moral dimasyarakat menuntut adanya rekonstruksi karakter, yaitu membangkitkan karakter bangsa dengan cara para orang tua mempromosikan/memperkenalkan moral tersebut dengan mengajarkannya kepada para remaja secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Lickona (2012: 20-29), ada 10 indikasi yang terjadi di kalangan pemuda, dan harus diperhatikan agar berubah menjadi lebih baik, sepuluh indikasi itu adalah: Kekerasan atau tindakan anarki, pencurian, tindakan curang, pengabaian terhadap aturan yang berlaku, tawuran antarsiswa, ketidaktoleranan, penggunaan bahasa yang tidak baik, kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, dan sikap perusakan diri. Lickona (2012: 31-35) berpendapat bahwa alasan mengapa sekolah memerlukan nilai pendidikan karakter. 302
1. Adanya kebutuhan yang begitu jelas dan mendesak. 2. Proses penghubungan nilai dan sosialisasi. 3. Peranan sekolah sebagai tempat pendidikan moral menjadi semakin penting ketika jutaan anak-anak hanya mendapatkan sedikit pendidikan moral dari orang tua mereka dan ketika makna nilai yang sangat berpengaruh yang didapatkan melalui tempat ibadah, perlahan tidak berarti dan menghilang dari kehidupan mereka. 4. Munculnya konflik di masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dasar menyangkut etika. 5. Demokrasi memiliki posisi khusus dalam pendidikan moral karena demokrasi tersebut bentuk dari pemerintahan dalam suatu masyarakat. 6. Tidak ada satu hal pun yang dapat dianggap sebagai pendidikan tanpa nilai. 7. Pertanyaan tentang moral berada dalam pertanyaan-pertanyaan utama yang dihadapi baik secara individu rasial. 8. Pendidikan nilai di sekolah kini memiliki sebuah pandangan dasar bermakna luas yang mendukung pendidikan. 9. Sebuah pernyataan gamblang tentang pendidikan moral juga menjadi sesuatu yang penting jika ditujukan untuk menarik perhatian dan membentuk perilaku yang dimulai dari guru. 10. Pendidikan nilai merupakan sebuah pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat di atas, perlu usaha dilakukan salah satunya menggunakan kurikulum yang materinya dikombinasikan dengan nilai pendidikan karakter. Walaupun sebenarnya nilai pendidikan karakter sudah muncul sejak dulu tetapi tidak secara tersirat tetapi tersurat, hanya diaplikasikan saja dan dicontohkan oleh guru secara langsung, materi yang membahas itu adalah mata pelajaran PMP. Sekarang nilai pendidikan karakter dicoba untuk dileburkan kedalam setiap mata pelajaran dengan porsi masing-masing, sebagai contoh soal-soal cerita yang bisa siswa ambil hikmah/inti sari untuk membangun/mengembangkan karakter. Ada beberapa strategi praktis yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan karakter. Menurut Lickona (2012: 151-174), strategi itu sebagai berikut: 1. Sebutkan kebajikan yang dibutuhkan untuk menjadi siswa yang baik. Sekolah hendaknya memberikan tantangan untuk siswanya agar siswanya dapat penerapkan perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-harinya seperti: bertanggung jawab dengan pekerjaan, memiliki ketelitian, melakukan tugas secara terorganisir dan rapi. Tepat waktu, bersikap jujur, melakukan kegiatan dengan tenang dan respek terhadap orang lain, memiliki pengaturan waktu, selalu menyiapkan diri, berusaha melakukan yang terbaik, konsentrasi, tekun, menerima kenyataan terhadap hal yang buruk, memiliki sifat sabat terhadap sesuatu yang tidak ingin dilakukan. 2. Ajarkan pentingnya tujuan. Tujuan sekolah tidak hanya dimengerti oleh guru tetapi juga oleh siswa sehingga dicapai bersama. 3. Ajarkan pentingnya keunggulan. Siswa perlu diajarkan sesuatu yang menantang sehingga mereka berlomba untuk mendidik menjadi pribadi yang unggul. 4. Ajarkan pentingnya integritas. Pengajar juga berusaha untuk mengajarkan pelajaran dan nilai pendidikan karakter di dalamnya. 303
5. Ajarkan seakan siswa bisa bertanggung jawab atas pembelajaran mereka. Dalam proses pengajaran siswa diharapkan dapat bertanggung jawab dengan tugas yang diberikan, dan menyadari bahwa pembelajaran yang dilakukan penting bagi mereka untuk mencapai tujuan. 6. Menggunakan proses pembelajaran yang menjadikan pengembangan karakter sebagai bagian dari setiap pembelajaran. Dalam setiap pembelajaran hendaknya dimuat pengembangan karakter siswa, hal ini dapat dilakukan dengan guru menggunakan pelajaran terstruktur dengan memberikan latihan beroganisasi sehingga mereka memperhatikan, menghargai, mendengarkan, saling bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. 7. Pengelolaan ruang kelas supaya karakter menjadi penting. Guru berperan sebagai orang yang bijak, yang bertugas untuk mengelola kelas sehingga siswa dapat bertanggung jawab baik intelektual maupun logika. 8. Ajarkan muatan kurikulum seperti persoalan karakter. Dalam hal ini mengajarkan karakter dan akademik dalam satu paket, sehingga dapat melihat kurikulum dari segi karakter. 9. Gunakan kurikulum sekolah yang luas untuk mengajar kebajikan moral dan intelektual. Untuk mengembangkan nilai pendidikan karakter diperlukan kurikulum sekolah yang mencakup area yang lebih dari memberikan materi/pelajaran tetapi mengajarkan kebajikan moral. 10. Menyusun diskusi seperti masalah karakter. Diskusi adalah kegiatan yang penting untuk membahas materi pelajaran dan masalah karakter yang menyertanya. 11.Mengajarkan persoalan kebenaran. Mengajarkan siswa untuk sadar bahwa kebajikan adalah hal yang essensial untuk mendukung kebajikan intelektual 12.Mengajarkan dengan keseimbangan komitmen. Mengajarkan siswa memiliki sikap yang tetap mengenai kebenaran sehingga setiap perilakunya hendaknya berdasarkan pada kebenaran. 13.Model keseimbangan dan keadilan dalam berurusan dengan isu-isu kontroversial. Mengajarkan siswa agar dengan komitmen yang dimiliki tentang kebenaran, mereka tidak mudah terpancing untuk melakukan tindakan yang tidak baik, dalam menghadapi isu-isu kontroversial. 14.Ajarkan persoalan keadilan. Keadilan adalah hal yang penting untuk diajarkan sehingga siswa dapat bersikap adil dan memperlakukan orang dengan layak. Nilai pendidikan karakter merupakan solusi yang tepat untuk dihadirkan dalam kurikulum dan menggunakan media novel sebagai media untuk menyampaikan nilai pendidikan karakter yang ingin dikembangkan dalam diri anak. Sesuai penelitian sejarah dari berbagai negara di dunia tujuan pendidikan adalah untuk membentuk generasi penerus yang cerdas (smart) dan memiliki perilaku yang baik (good). Novel yang akan ditelaah nilai pendidikan karakternya harus merupakan karya sastra bermutu, ciri-ciri dari karya sastra yang bermutu (Suhendar dan Supinah, 1993: 154) adalah: 1. Harus berupa rekaman isi jiwa pengarang. 2. Harus komunikatif 3. Harus berpola atau berbentuk teratur 4. Harus bisa menghibur 304
5. Seluruh unsur harus menyatu 6. Harus merupakan hasil penemuan 7. Harus merupakan ekspresi pengarangnya 8. Harus merupakan hasil karya yang pekat 9. Harus merupakan penafsiran kehidupan 10. Harus bisa memunculkan pembaharuan Novel Alfathi (2005) yang berjudul Layang-Layang Putus adalah salah satu novel yang dapat ditelaah secara mendalam dan memenuhi persyaratan diatas. Novel ini memuat cerita dan fakta tentang kehidupan dan fenomena yang terjadi. Salah satunya pemeran utama tinggal di desa, yang jauh dari kemewahan dan kemegahan, pendidikan pun dirasa langka, tetapi ia dapat membuktikan bahwa walaupun dari daerah terpencil, dan memiliki keterbatasan fisik atau disebut dengan istilah difabel. Ia mampu membuktikan diri bahwa ia bisa dan mampu menyelesaikan studinya dengan baik. Ini adalah salah satu bagian cerita yang ada dibuku tersebut. Dari penggalan cerita tersebut bisa dilihat beberapa nilai pendidikan karakter, yang terkandung didalamnya antara lain mandiri dan kerja keras. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya, dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Cerita pada novel Layang-Layang Putus, juga mengungkap sisi kehidupan nyata, yang berlatar desa, tetapi menggambarkan kehidupan nyata yang penuh problematika layaknya kehidupan yang dialami sekarang. Dengan keterbatasan tokoh utama dari segi penglihatan, dan ada tokoh-tokoh lain yang juga memiliki keterbatasan dari segi yang lain, tapi mereka mampu menunjukkan bahwa mereka bisa bekerja dan memiliki pendidikan yang layak. Mereka tidak takut dan mudah putus asa untuk memperjuangkan haknya untuk dihargai, dan diberlakukan layaknya orang normal. Berdasarkan alasan tersebut penelitian yang berjudul Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Layang-Layang Putus ini layak dilakukan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel tersebut sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Media ini dapat membantu orang lain untuk menghargai diri sendiri dan orang lain, atau menjadikannya sebagian bahan acuan dalam pengajaran sastra di sekolah.
METODE Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pendekatan ini peneliti mendeskripsikan nilai pendidikan karakter yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui tulisannya.Nilai pendidikan karakter yang dimaksud adalah Nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan ketuhanan, Nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, dan nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri/makhluk lain. Nilai tersebut dianalisis melalui pernyataan-pernyataan dan cerita penulis, melalui pernyataanpernyataan dan cerita penulis tersebut, peneliti mendeskripsikan nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Pendidikan Karakter yang Terkait dengan Ketuhanan. Representasi nilai pendidikan karakter ini dapat dilihat pada uraian berikut.
305
(1)”Bersabarlah, Pak. Namanya saja baru belajar. Lama-lama, untung juga kalau sudah mahir.” Bujuk istrinya menyemangati, dan kata-kata itulah yang memompa semangatnya dan menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya.” (PKT1 : 8) Pada kutipan (1) yang menyatakan nilai pendidikan karakter tentang keikhlasan adalah “Bersabarlah, Pak. Namanya saja baru belajar. Lama-lama, untung juga kalau sudah mahir.” Ini memperlihatkan ia tetap berusaha dan ikhlas dengan kegagalan-kegagalan yang pernah dialami ketika ia belajar untuk berjualan buah dan mengalami kerugian berkali-kali. Istrinya menasehati agar bersikap ikhlas dan tidak berhenti berusaha untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Ikhlas dapat ditunjukkan dengan sikap sabar terhadap cobaan yang datang dari Allah. Cobaan bukan merupakan musibah untuk manusia, tetapi dibalik semua itu ada hikmah yang ditujukan untuk kebaikan manusia. Sikap sabar merupakan bentuk sikap yang harus dimiliki semua muslim, karena Allah telah menentukan qada dan qadar setiap hambaNya. Sebagai hamba yang baik manusia hendaknya menerima keburukan yang terjadi dalam hidupnya, dan tetap melangkah untuk mencapai tujuan hidup dan keridhaan dari Allah. Allah menjanjikan kepada manusia, bahwa Beliau akan merubah nasib seseorang jika orang tersebut berusaha untuk merubah nasibnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami.” (QS Ath-Thur (52): 48). Pada ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran yang telah dilakukan akan diketahui oleh Allah, dan Beliau akan memberikan berkah atas kesabarannya tersebut. (9)”Akhirnya anak kita berhasil, Bu! Si Thole telah mendapatkan derajat yang tinggi. Dan itu berarti, mengangkat derajat si tukang buah ini,”kata Marto Klowor kepada istrinya.” “ Bersyukurlah kepada Tuhan, Pak”. Jawab istri seraya tersenyum. Masih bersimpuh di atas sajadah, dia berkomat kamit lagi, mengulang-ulang doa dan zikir seiring detak jantungnya” (PKT2: 5) Pada kutipan (9) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter keimanan adalah “Masih bersimpuh di atas sajadah, dia berkomat kamit lagi, mengulang-ulang doa dan zikir seiring detak jantungnya.” Pada penggalan kutipan ini menceritakan taatnya seorang istri kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya, yaitu shalat dan berzikir. Shalat yang ia lakukan dan doa yang ia panjatkan, untuk menunjukkan rasa syukur karena anaknya pada akhirnya dapat menyelesaikan kuliah. Nilai pendidikan karakter keimanan yang ia tunjukkan adalah kesuksesan anaknya dalam menyelesaikan kuliah tidak lepas dari campur tangan Tuhan, oleh karena itu, ia menunjukkan rasa terima kasih kepada Allah dengan mengucap syukur dan berzikir memuji Allah. Ketika manusia mengalami kesedihan dan kebahagian sepatutnya manusia mengingat Allah. Jika diberi kesedihan tidak bermuram durja dan tetap meminta kepada Allah untuk memberikan yang tebaik dengan melakukan shalat dan ibadah lainnya, pada saat diberi kebahagian tetap berterimakasih, dan mengucapkan syukur dan menambah kedekatan kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk bersujud kepada Allah sesuai firman-Nya “Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang melata dan sebagian besar daripada manusia.” (QS Al-Hajj (22): 18). Pada ayat ini seluruh makhluk dibumi termasuk manusia diserukan untuk bersujud kepada Allah. Manusia bersujud tidak hanya pada saat tertentu, tetapi pada saat yang sudah ditentukan dan bersifat teratur yang sehari lima waktu, dan ketika mendapatkan kebahagian maka melakukan sujud syukur.
306
Sujud yang dilakukan manusia memiliki fungsi: 1. Sujud dapat mendekatkan manusia dengan penciptanya, yaitu Allah. Sujud merupakan media yang dapat membuat manusia merasakan akan hadirnya Allah dalam kehidupan, sehingga menguatkan iman manusia untuk terus melakukan hubungan secara vertikal, yang tidak hanya membawa kebahagian di dunia tetapi juga diakhirat. 2. Sujud dapat membawa manusia masuk ke dalam surga bersama Rasullulah. Hal ini berkaitan dengan kepatuhan manusia untuk melaksanakan perintah Allah, yaitu bersujud, sehingga Allah memberi hadiah yang begitu indah yaitu surga. 3. Sujud dapat mengangkat derajat manusia. Sujud merupakan hal yang terbaik dilakukan ketika manusia merasa direndahkan orang lain, banyak melakukan kesalahan dan dosa. Maka cara yang tepat untuk membuat hati tenang, dan keinsyafan untuk kembali kejalan yang benar. (27) “…Meskipun saya bergaul dengan orang kecil, gembel kata Bapak, tapi saya tak akan terjerumus dalam pergaulan bebas. Saya pasti juga akan memilih teman bergaul yang baik, yang bermoral dan yang berakhlak. Saya bergaul dengan mereka, tak lain agar bisalebih bersyukur kepada Yang Maha Penyayang. Ternyata, kita ini makmur. Dibawah kita masih banyak yang kekurangan. Dan betapa baiknya kalau kita bisa mengulurkan, sedikit meringankan beban mereka”(PKT3: 116) Kutipan (27) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter ihsan adalah “…Meskipun saya bergaul dengan orang kecil, gembel kata Bapak, tapi saya tak akan terjerumus dalam pergaulan bebas. Saya pasti juga akan memilih teman bergaul yang baik, yang bermoral dan yang berakhlak”. Pada potongan kutipan ini diketahui bahwa Hesti tidak memilih-milih teman bergaul, ia merasa dengan bergaul dengan kalangan bawah, ia dapat lebih bersyukur kepada Allah atas nikmat dan rezeki yang ia dapatkan. Nilai pendidikan karakter adalah ikhsan. Pada pernyataan tersebut ditunjukkan sikap yang bijak sesuai dengan ajaran agama dan berusaha untuk menyadarkan ayahnya agar tidak jadi orang yang sombong. Islam selalu menyerukan untuk bersatu, tidak membeda-bedakan dan menganggap semua saudara yang harus didukung dan dihormati. Sikap sombong sangat tidak disukai Allah, karena hanya Allahlah yang menciptakan langit dan bumi dan seuruh makhluk di dalamnya. Allah merupakan penguasa di bumi yang selalu menyayangi hamba-Nya tanpa membedakan kaya atau miskin. Nilai pendidikan karakter yang terkait dengan diri sendiri menitikberatkan kepada pengembangan potensi positif dalam diri seseorang. Representasi nilai pendidikan karakter ini dapat dilihat pada uraian berikut. (29)”Aku menghela napas. “Sekarang suka”. Jawabku malu-malu. “Sesuai dengan nasihat simbok semasa hidupnya. Istri itu yang penting bukan cantiknya, tetapi yang lebih penting hatinya.” (PKD1: 68) Pada kutipan (29) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter jujur adalah “Sekarang suka”. Jawabku malu-malu”. Pada pernyataan ini mengungkapkan kejujuran Sarmin tentang perasaannya kepadaTukiyem. Sarmin juga menunjukkan kepatuhannya kepada pesan mendiang ibunya, bahwa jika ia memiliki istri, cantik bukan kriteria utama, yang paling penting untuk diperhatikan adalah kebaikan hati. Dari pernyataan tersebut nilai pendidikan karakter yang terdapat disana adalah kejujuran dan sikap patuh/taat terhadap orang tua. Sikap jujur dimasyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya dilakukan, karena ada hal-hal yang kadangkala sulit untuk dikatakan dan takutnya dapat melukai lawan bicara. Jujur memang dilakukan tapi dalam batasan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Ketika seseorang bersikap jujur 307
maka perasaannya akan menjadi lapang karena dapat jujur terhadap Allah, diri sendiri dan orang lain. Di keluarga hubungan ayah, ibu, anak sangat rekat. Khususnya ibu, beliau lebih memahami perasaan anaknya, karena waktu yang diluangkan bersama anak-anaknya lebih besar dibandingkan ayah. Kebersamaan dimasyarakat ditunjukkan dengan makan bersama keluar setiap pagi dan malam hari, di waktu inilah persoalan dapat didiskusikan dengan baik. Orang tua seharusnya bersikap bijaksana dengan tidak menghakimi kejujuran seorang anak, sehingga jalinan kekeluargaan semakin erat dan tidak ada perilaku anak yang menyimpang. (38)”Dan, Marto Klowor termasuk yang mengais rezeki di pinggir jalan itu. Bukannya tidak kebagian tempat di dalam, tetapi memang tak mampu membeli los satu meter pun. Dari tanah rantau, Dia nyaris tak membawa pulang apa-apa. Uang hasil kerjaannya dikirim ke Yogya setiap bulannya untuk biaya kuliah Yoyok”.(PKD2: 6) Pada kutipan (38) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter tanggung jawab adalah “…. Uang hasil kerjaannya dikirim ke Yogya setiap bulannya untuk biaya kuliah Yoyok”. Pada penggalan kutipan ini menceritakan bahwa pak Marto Klowor adalah pria yang bertanggung jawab terhadap keluarga khususnya anak-anaknya. Ia rela merantau untuk mendapat penghasilan yang lebih, agar dapat membiayai pendidikan anaknya yang sedang kuliah. Walaupun penghasilannya tidak seberapa ia berusaha keras untuk bertindak ekonomis sehingga ia bisa mengirimkan uang untuk anaknya Yoyok setiap bulannya. Pada zaman dahulu, prialah yang memiliki tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, karena kebutuhan hidup semakin bertambah dan sempitnya lapangan pekerjaan maka banyak wanita di Indonesia yang merangkap menjadi wanita karier dan ibu rumah tangga. Seorang istri dapat membantu keuangan suami jika mendapat izin dari suami, karena suami adalah pemegang keputusan dan sebagai kepala keluarga. Kebebasan yang diberikan diharapkan tidak melupakan tanggung jawab untuk menyayangi dan merawat anak-anaknya dengan baik, karena itulah fitrah seorang wanita. (55)”Ya, kupikir-pikir, aku menjadi budak sapi. Pagi-pagi setelah bangun tidur, harus segera menegeluarkannya dar kandang. Setelah itu ia harus dimandikan. Habis mandi lalu dijemur dan diberi makan. Aku lantas membersihkan kandang, membuang kotoran dan sisa-sisa makanannya. Setelah sapi dan kandangnya bersih, barulah aku sempat mandi dan sarapan. Biasanya, aku baru sempat sarapan setelah pukul delapan. Setelah istirahat sebentar, kemudian aku ke dapur untuk memasak. Aku memasak sendiri karena belum mempunyai istri. Di rumahku tak ada penghuni lain. Siang hari aku ke sawah mencari rumput. Pulang sudah sore, waktunya memasukkan sapi ke kandang. Begitulah kesibukannku, baik musim hujan dan musim kemarau.”(PKD5: 55) Pada kutipan (55) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter kerja keras adalah “…Setelah sapi dan kandangnya bersih, barulah aku sempat mandi dan sarapan. Biasanya, aku baru sempat sarapan setelah pukul delapan. Setelah istirahat sebentar, kemudian aku ke dapur untuk memasak. Aku memasak sendiri karena belum mempunyai istri. Di rumahku tak ada penghuni lain. Siang hari aku ke sawah mencari rumput. Pulang sudah sore, waktunya memasukkan sapi ke kandang. Begitulah kesibukanku, baik musim hujan dan musim kemarau.” Pada penggalan kutipan ini menceritakan tentang aktivitas Sarmin dan usahanya untuk dapat mencukupi kebutuhannya. Dia bekerja keras dari pagi sampai sore dengan menggembalakan sapi dan memberi makan pada musim hujan dan panas. Ini menunjukkan usaha seseorang untuk melakukan kegiatan yang dapat menghasilkan uang, dengan tidak malas dan selalu bekerja keras. Pekerjaan yang dilakukan harus didasari rasa ikhlas, karena semua takdir termasuk pekerjaan Allah yang menentukan. Manusia harus dapat mensyukuri dan bekerja keras agar usaha yang dilakukan tidak sia-sia. 308
Nilai pendidikan karakter ini berkaitan langsung dengan orang lain, yaitu bagaimana seseorang dapat menjalin hubungan yang baik dengan sesama.Representasi nilai pendidikan karakter ini dapat dilihat pada uraian berikut. (106)”Istrinya yang biasanya bekerja di rumah, tergerak untuk ikut mencari nafkah. Menjelang tidur, ia menyampaikan isi hatinya. “ Pak, aku mau ikut berjualan di pasar. Dulu, aku pernah ikut membantumu, sekarang aku mau berjualan sendiri di pasar kampung kita. Boleh, kan, Pak?.”(PKS1: 13) Pada kutipan (106) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter sadar akan hak dan kewajiban adalah “Istrinya yang biasanya bekerja di rumah, tergerak untuk ikut mencari nafkah”. Di penggalan kutipan dapat dilihat bahwa istrinya Marto Klowor memiliki rasa tanggung jawab untuk bekerja, menambah penghasilan keluarga, walaupun itu bukan kewajibannya, tapi ia sadar bahwa suaminya memerlukan bantuan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan berkewajiban untuik meringankan beban suaminya. Tanggung jawab untuk mencari nafkah tidak hanya tugas seorang ayah, ketika penghasilan suami tidak mencukupi maka istri dapat ikut serta membantu. Pekerjaan yang dilakukan hendaknya tidak meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang ibu, yang bertugas memperhatikan dan merawat anaknya dengan baik. Kesadaran dan tanggung jawab terhadap tugas masing-masing merupakan hal yang utama. (114)”Kupikir, ini jalan tengah seorang ibu yang bijaksana. Meskipun batinnya keberatan, dia tidak melarang, malah tetap memperhatikan kondisiku. Dan itu berarti segala resiko musti si tanggung sendiri. Demi menghormati anjuran orangtua, akupun makan. Dalam hati yang sedang bergemuruh, rasanya makan sedikit saja sudah terasa kenyang.” (PKS2:111) Pada kutipan (114) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter patuh pada aturan sosial adalah “Demi menghormati anjuran orangtua, akupun makan”. Di penggalan kutipan ini Yoyok menunjukkan sikap patuh terhadap aturan sosial untuk menghormati orang yang lebih tua, dan menjaga sikap. Norma dimasyarakat kita harus terus dijaga salah satunya adalah menghormati orang tua. Hormat terhadap orang tua sebaiknya diterapkan sejak kecil, sikap ini penting agar mereka dapat menerapkan hal tersebut ketika turun dimasyarakat, mereka bisa dengan mudah beradaptasi dan diterima orang dengan baik. (124) “Aku tergelitik untuk singgah di rumah itu. Dulu aku sering ke tempat ini, sampai para penghuninya mengatakan, “ Jangan sungkan-sungkan di sini, Mbak Hesti, anggaplah di rumah sendiri, meskipun rumah ini jelek sekali.” Harapan yang kusambut dengan senyum ketulusan. Menyenangkan dapat berakrab-akrab dengan orang kecil seperti mereka.” (PKS4:82) Pada kutipan (124) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter santun adalah “… Jangan sungkan-sungkan di sini, Mbak Hesti, anggaplah di rumah sendiri, meskipun rumah ini jelek sekali.” Pada pernyataan kutipan ini terlihat jelas bahwa keluarga Yoyok adalah keluarga yang ramah dan santun ketika menerima tamu di rumahnya. Di masyarakat Indonesia sangat memegang teguh kesantunan khususnya terhadap orang tua, kesantunan dalam berbahasa ditunjukkan dengan bahasa halus bagi pengguna yang tujuannya orang lebih tua atau kedudukan yang lebih tinggi, bahasa kasar/bahasa sehari-hari dipakai dengan sesama teman. Banyak kesantunan yang biasa dilakukan seperti saling menyapa jika bertemu, menanyakan kabar, mencium tangan bila bertemu guru atau orang yang dihormati, berbicara dengan menundukkan kepala untuk menunjukkan kerendahan hati, ketika bertamu mengetuk pintu dan mengucapkan salam, menyuguhkan sesuatu untuk tamu dan lain-lain. 309
(160) “Aku sependapat dengannya. Selama ini masalahnya terletak pada difabel dan masyarakat. Difabel kini sudah semakin maju. Malah ada yang jadi sarjana, master dan doktor. Akan tetapi, penilaian masyarakat belum berubah. Difabel masih dianggap tidak mampu mengerjakan apa-apa, baik untuk sendiri maupun orang lain. Mereka tidak percaya diri atau dibuat tidak percaya diri untuk mengamalkan kesarjanaannya. Tak ada tempat untuk memikirkan masyarakat, memikirkan dunia usaha, memikirkan negara. Padahal penyandang cacat juga mampu seandainya diberi kesempatan.” (PKS7: 172) Pada kutipan (160) yang menunjukkan nilai pendidikan karakter peduli sosial adalah “…Padahal penyandang cacat juga mampu seandainya diberi kesempatan.” Pada penggalan kutipan ini menyatakan bahwa Pak Mardi dan Yoyok peduli dengan orang-orang difabel, mereka berusaha untuk memperjuang nasib orang difabel agar dapat dihargai dan mendapatkan pekerjaan layaknya orang normal. Kepedulian sosial terhadap para difabel perlu diperjuangkan karena mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia antara lain untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan kesempatan kerja yang sama.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada Penelitian ini nilai pendidikan karakter pada novel Layang-Layang Putus yang diteliti, objek penelitiaan memfokuskan pada nilai pendidikan karakter yang terkait dengan ketuhanan, diri sendiri, orang lain/masyarakat.Secara sosiologis, nilai pendidikan karakter pada novel Layang-Layang Putus memuat tentang pandangan hidup manusia yang menitikberatkan pada persahabatan, saling peduli, saling menghargai dan mendukung satu dengan yang lain, cinta kasih terhadap keluarga dan orang lain, tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lain-lain yang melibatkan hubungan antarmanusia. Novel Layang-Layang Putus memuat nilai pendidikan karakter, yaitu: a) Nilai pendidikan karakter terkait ketuhanan adalah nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Nilai pendidikan karakternya antara lain: 1. Ikhlas 2. Ikhsan 3. Iman dan lain-lain. b) Nilai pendidikan karakter yang terkait dengan diri sendiri adalah nilai pendidikan karakter yang memiliki peran untuk dapat mengembangkan potensi diri dan penghargaan besar terhadap diri sendiri sehingga menjadi individu yang baik. Nilai pendidikan karakter yang ada hubungannya dengan nilai tersebut antara lain: 1. Jujur 1. Bertanggung jawab 2. Bergaya hidup sehat 3. Disiplin 4. Kerja keras 5. Percaya diri 6. Berjiwa wirausaha 7. Berpikir logis, kritis, kreatif dan innovatif. 8. Mandiri 9. Ingin tahu. 10. Cinta Ilmu
310
c). Nilai pendidikan karakter yang terkait dengan orang lain adalah dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain, sehingga dapat mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dan terjun di masyarakat. Nilai pendidikan karakter yang ada hubungannya dengan hal tersebut: 1. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain. 2. Patuh pada aturan-aturan sosial. 3. Menghargai karya dan prestasi orang lain 4. Santun 5. Demokratis Novel dapat didefinisikan sebagai sebuah karya sastra fiksi yang memuat unsur-unsur intrinsik (tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, amanat dan gaya bahasa) dan ektrinsik (latar belakang pengarang, kondisi sosial budaya, dan tempat atau kondisi alam). Dua unsur ini dipadukan pengarang sedemikian rupa sehingga menghasil karya yang dapat memuaskan pembacanya. Pada novel Layang-Layang Putus,nilai pendidikan karakter yang terkandung didalamnya memuat nilai yang berkaitan dengan ketuhanan, diri sendiri, dan orang lain. Nilai pendidikan karakter pada novel ini berkisar tentang kehidupan seorang difabel yang bernama Yoyok, yang memiliki teman-teman yang tidak hanya cacat secara fisik tetapi juga moral. Mereka tidak hanya menyerah begitu saja kepada nasib tetapi mereka berusaha untuk menjadi orang yang mandiri, bertanggung jawab, percaya dengan kemampuan diri dan ikhlas terhadap keadaan mereka. Adapun pemeran yang memiliki keterbatasan tetapi memiliki perilaku positif yang mengandung nilai pendidikan karakter a. Yoyok adalah orang yang memiliki kekurangan fisik berupa low vision, tetapi berusaha untuk belajar dengan rajin di sekolah umum hingga mencapai gelar Sarjana. b. Sarmin adalah seorang penggembala sapi yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan dirinya sendiri. Ia memiliki cacat fisik tidak dapat berjalan normal (pincang). Ia tidak mau menggantungkan diri dengan orang lain. Ia tetap tekun dan rajin dalam melalukan pekerjaannya, ia bangun pagi-pagi sekali dan pulang pada sore hari. c. Tukiyem adalah sosok seorang perempuan tegar, yang mengalami peristiwa buruk dalam dirinya karena diperkosa majikannya. Ia tidak cacat secara fisik tetapi moral. Ia dikucilkan dan direndahkan oleh masyarakat karena peristiwa itu. Dengan perlakukan itu ia tetap menerimanya dengan ikhlas dan terus melanjutkan hidup, ia bekerja sebagai buruh cuci. Ia tidak berhenti disana ia terus mencoba mencari pekerjaan yang layak, dan akhirnya ia menerima pekerjaan sebagai TKW, dan menikah dengan Sarmin. d. Budi adalah orang yang optimis, ia memiliki kekurangan tidak dapat melihat. Dengan keterbatasan itu tidak menghalangi dirinya untuk belajar lebih banyak, dan memiliki rasa ingin tahu besar. Ia belajar komputer dengan menggunakan sistem khusus bagi orang tunanetra. Ia termasuk orang yang memiliki sikap ikhlkas untuk menerima keadaaanya dan bekerja dengan upah yang minim. Tetapi karena ia memiliki tanggung jawab terhadap keluarga, ia berhenti bekerja di perusahaan, dan memilih jadi tukang pijat yang hasilnya lebih lumayan. e. Intan adalah seorang gadis yang pintar dan inovatif, ia seorang yang cacat fisik yaitu tidak dapat berjalan, kemana-mana ia memakai kursi roda. Dengan keterbatasan fisik yang ia miliki, ia tidak berdiam diri di rumah, tetapi ia orang yang bekerja di yayasan, ia memperjuangkan nasib para difabel untuk diperlakukan layaknya orang normal dalam hal kesempatan pekerjaan. 311
Dari beberapa pemeran pada novel diatas menunjukkan nilai pendidikan karakter yang patut ditiru oleh generasi muda sekarang ini. Dengan keterbatasan fisik, mereka bisa membuktikan diri menjadi seseorang yang berguna tidak hanya bagi dirinya tetapi juga orang lain. Ini dapat mendorong generasi muda untuk mengembangkan kemampuan diri dan melakukan hal yang positif yang berdampak langsung ke lingkungan di sekitarnya. Pada novel tersebut menceritakan Yoyok dan keluarganya yang saling bahu-membahu ketika mengalami kesulitan. Orang tua Yoyok adalah sosok orang tua yang bertanggung jawab, dan melakukan pekerjaaan apa saja untuk membiayai hidup dan pendidikan anaknya. Mereka dapat berhasil menyekolahkan Yoyok menjadi seorang sarjana dan semua saudara Yoyok memiliki pendidikan SMA. Dari cerita ini nilai pendidikan karakter yang ada diharapkan dapat membuat para remaja sadar betapa susah orang tua mereka bekerja untuk mencukupi semua kebutuhan, mereka akan lebih menghargai orang tua, dan tidak menyia-nyia waktu untuk hal yang tidak berguna, tetapi dapat melakukan aktivitas yang positif yang berguna untuk masa depan mereka. Saran a. Bagi para peneliti yang mengkaji tentang nilai pendidikan karakter dalam novel dapat menjadikan penelitian ini sebagai bahan acuan pendamping. b. Bagi para penulis novel hendaknya membuat karya sastra yang tidak hanya menitikberatkan pada sisi menghibur tetapi juga memperhatikan sisi lain yang dapat membangun karakter pembacanya menjadi lebih baik. c. Bagi para pengajar bidang studi bahasa Indonesia dapat menjadikan novel ini sebagai salah satu media pengajaran yang dapat menambah pengetahuan siswa tentang novel, kehidupan, dan nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya. d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pustaka bagi pihak yang memerlukannya, baik di lingkungan Perguruan Tinggi maupun di sekolah-sekolah. Dengan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang sastra dan nilai pendidikan karakter.
DAFTAR RUJUKAN Alfathi, Masharto. 2005. Layang-Layang Putus. Bandung: PT Mizan Bunaya Creativa. Barreth, Diane. 1993. The Return of Character Education.EL Educational Leadership. Volume 51, number 3. (Online). (www.ascd/org/publications/educationalleadership/nov3/vol51/ num03/The Return of Character Education.aspx. , diakses 27 Maret 2013). Lickona, Thomas. 2012. Character Matters (Persoalan Karakter): Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo dan Jean Antunes Rudolf Zien. Jakarta: Bumi Aksara. Suhendar, M.E. dan Supinah, Pien. 1993. Pendekatan Teori Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.
312
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERCAKAPAN PADA PERTUNJUKAN MAMANDA (CHARACTER EDUCATION VALUES IN CONVERSATION OF MAMANDA SHOW) Noor Indah Wulandari dan Sarbaini Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Basry, Kampus Kayu Tangi Banjarmasin, Kode Pos 70123 Abstract Character Education Values in Conversation of Mamanda Show. This research is related to character education values which existed in the conversation of Mamanda show. The objective of this research is to describe the existence of characters education values in conversation of Mamanda show. The research design used is qualitative research method. The approach used in this research is sociological literature. Whereas the data was obtained whereas the data obtained by having a handrecording while Mamanda show performed by National Evection Committee (KPU) Banjarbaru together with Art Council of Banjarbaru on Wednesday, April 2nd 2014 using data collection technique: (1) audio visual-recording, (2) shooting, (3) recording, (4) interviewing performers and directors of Mamanda, (5) reviewing literature and analyzing documentations. Data analysis technique used was content analysis. The result of this research can be concluded that there are thirteen values of the character education values which existed in Mamanda, they are: (1) religious , (2) fair, (3) discipline, (4) creative, (5) democracy, (6) curiosity, (7) spirit, (8) love of country, (9) the value of the achievements, (10) the value of friends/ communication, (11) environmental care, (12) social care, and (13) responsibility. The most dominant value is responsible that consist of eight quotes of all scene or part in Mamanda entitled Pemilihan Raya di Buana Persada Alam. Key words: values, character education, mamanda
Abstrak Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Percakapan pada Pertunjukan Mamanda. Penelitian ini berkenaan dengan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam percakapan pada pertunjukan mamanda.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud nilai pendidikan karakter dalam percakapan pada pertunjukan mamanda. Rancangan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah sosiologi sastra. Adapun data, diperoleh melalui rekaman menggunakan handycame pada saat pertunjukan mamanda oleh KPU kota Banjarbaru bekerja sama dengan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru pada Rabu, 2 April 2014. Teknik pengumpulan data: (1) teknik perekaman berupa audiovisual, (2) pemotretan, (3) pencatatan, (4) wawancara dengan pelakon mamanda dan sutradara mamanda, (5) studi kepustakaan dan analisis dokumentasi. Teknik Analisis data menggunakan metode content analysis. Temuan dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan karakter dalam mamanda terdapat 13 nilai pendidikan karakter, diantaranya adalah: (1) nilai religius, (2) nilai jujur, (3) nilai disiplin, (4) nilai kreatif, (5) nilai demokrasi, (6) nilai rasa ingin tahu, (7) nilai semangat, (8) nilai cinta tanah air, (9) nilai menghargai prestasi, (10) nilai bersahabat/komunikasi, (11) nilai peduli lingkungan, (12) nilai peduli sosial, dan (13) nilai tanggung jawab. Nilai karakter yang paling dominan adalah nilai tanggung jawab yang terdiri dari 8 kutipan pada seluruh adegan atau babak dalam mamanda yang berjudul Pemilihan Raya di Buana Persada Alam. Kata-kata kunci: nilai, pendidikan karakter, mamanda
313
PENDAHULUAN Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Sastra yang telah dilahirkan oleh para sastrawan diharapkan dapat dapat memberikan kepuasan intelek bagi khalayak pembaca. Akan tetapi, seringkali karya sastra itu tidak mampu dinikmati dan dipahami sepenuhnya oleh sebagian besar anggota masyarakat. Oleh sebab itu, perlu kiranya penelaahan dan penelitian sastra yang bersifat mendeskripsikan agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Setiap karya sastra tentunya memiliki nilai-nilai, entah nilai budaya, nilai humor, nilai moral, nilai sosial, nilai religius, nilai karakter, dan lain-lain.Nilai- nilai dalam karya sastra mampu memberikan kontribusi kebajikan hidup untuk menjadi lebih baik. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan Muslich (2013: 212) bahwasanya sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral. Nilai moral seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya sastra. Baik itu puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Adapun nilai yang akan diangkat sebagai penelitian dalam karya sastra ini, adalah nilai karakter yang terdapat dalam sebuah karya sastra mamanda, tentunya tergolong ke dalam drama dalam karya sastra. Salah satu karya sastra yang memiliki nilai-nilai atau norma kehidupan adalah mamanda, karena dalam pertunjukan mamanda sering diselipkan nasihat entah itu tentang ketimpangan yang terjadi di masyarakat pada saat itu, atau kritik sosial yang berkenaan dengan karakter bangsa saat ini. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Istilah mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan “pamanda” atau “mamanda” oleh sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata “mama” (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat, yaitu sapaan kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan. Pertunjukan mamanda memiliki nilai-nilai pendidikan karakter, di samping sebagai media hiburan, yakni mamanda juga berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat, karena teater rakyat ini mengusung masalah kehidupan yang dapat diambil hikmahnya seperti sejarah, adat istiadat, kritik atas ketimpangan dalam pemerintahan ataupun masyarakat dan terutama ialah keteladanan. Pada dasarnya, kisah-kisah dalam teater rakyat hampir selalu menghadirkan kebenaran dan contoh baik bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan melakukan deskripsi terhadap unsur dan aspek nilai pendidikan karakter dalam mamanda. Deskripsi dan penggalian data diperoleh dari hasil transkrip pertunjukan mamanda. Sehingga, penelitian ini untuk mendeskripsikan wujud nilai Pendidikan karakter dalam percakapan pertunjukan mamanda. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan kajian untuk menelaah lebih dalam lagi mengenai nilai karakter yang terdapat dalam mamanda. Hal ini juga diharapkan dapat mengatasi krisis akhlak dalam era globalisasi saat ini. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya: 1) Bagi peneliti, sebagai masukan berharga untuk mengetahui, menambah pengetahuan dan memahami nilai karakter, dalam percakapan yang terdapat pada mamanda. 2) Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan informasi mengenai kajian nilai karakter, dalam percakapan yang terdapat pada mamanda. 3) Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan untuk memperkenalkan kepada siswa tentang mamanda dan nilai pendidikan karakter yang terdapat didalamnya. 314
METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode observasi langsung, mengingat bahwa: 1) Penelitian ini menggunakan dokumentasi secara langsung dari pertunjukan mamanda, kemudian ditranskrip dalam bentuk teks sebagai sumber data. 2) Peneliti sebagai instrumen kunci yang sedapat mungkin dapat menafsirkan makna nilainilai pendidikan karakter dalam mamanda. 3) Pemaparan dan pembahasan bersifat deskriptif. 4) Lebih mengutamakan proses daripada hasil. 5) Makna menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Selain itu, Penelitian ini berbentuk kualitatif, karena data dalam penelitian ini berupa kutipan kata-kata, frasa, kalimat dan tidak mengutamakan pada angka-angka. Hal ini sesuai dengan pendapat Semi (2012: 30) “Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang deskriptif, artinya data terurai dalam bentuk kata-kata, atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angkaangka.”. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang mengkaji sastra berdasarkan keadaan masyarakat sastra yang mengutamakan penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang dikaitkan secara empiris. Dengan pendekatan sosiologi sastra, peneliti dapat menemukan pemaknaan dan pemberian interpretasi dan pemahaman terhadap nilai pendidikan karakter dalam mamanda. Penelitian ini, instrumen pemandu yang digunakan dalam melakukan pengkajian berupa pemberian kode pada tiap percakapan sebagai petunjuk untuk menjawab permasalahan. Adapun instrumen pemandu tersebut adalah:
Sebagai contoh dalam penggunaan kode, seperti pada kutipan: Sultan:”Permaisuriku nang tercinta, wayah ini jaman sudah barubah. Aku kada handak kaina seorang Sultan sakahandaknya. Oleh sebab itu, harus ada nang ma awasi jalannya pemerintahan”
315
Artinya: Sultan: “Permaisuriku yang tercinta, sekarang zaman sudah berubah. Aku tidak ingin nantinya seorang Sultan berbuat seenaknya sendiri. Oleh sebab itu, harus ada orang yang mengawasi jalannya pemerintahan” (PRBPA:nd) Data dan sumber data penelitian ini adalah sastra lisan mamanda, yang diperoleh dari tiga cara, yaitu: a) Melalui rekaman menggunakan handycame pada saat pertunjukan mamanda yang diselenggarakan oleh KPU kota Banjarbaru bekerjasama dengan Dewan Kesenian Banjarbaru dalam rangka sosialisasi Pemilihan Calon Legislatif 2014. b) Membuat transkrip dari hasil dokumentasi yang telah dilakukan, sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam mamanda. c) Kepustakaan, yaitu mengambil dari teks mamanda yang telah ditranskrip, dan menentukan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat didalamnya. Lokasi penelitian yang menjadi objek penelitian bertempat di Kota Banjarbaru, Jl. Mentaos, Komp. Vinus II. Pertunjukan mamanda dimulai pada pukul 20.00 WITA sampai dengan pukul 22.00 WITA. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan (1) teknik perekaman berupa audiovisual, (2) pemotretan, (3) pencatatan, (4) wawancara dengan pelakon mamanda dan sutradara mamanda, (5) studi kepustakaan dan analisis dokumentasi (Sudikan, 2001: 173). Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode analisis isi, atau content analysis. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data bertolak dari langkahlangkah yang dikemukakan Endraswara (2013: 30) seperti berikut: a) Memberi interpretasi, melalui menyimak dan membaca ciri-ciri yang berhubungan dengan pendidikan karakter. b) Melakukan analisis terhadap nilai-nilai pendidikan karakter dalam mamanda. c) Melakukan deskripsi bagian demi bagian yang ditetapkan dalam penelitian. d) Merumuskan simpulan umum tentang hasil penelitian secara tertulis yang lengkap.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Pendidikan Karakter dalam Mamanda Babak I Nilai Bersahabat/komunikasi Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia tidak bisa terlepas dari berinteraksi, berkomunikasi dan bersahabat. Dari komunikasi inilah didapatkan sebuah informasi yang dapat didiskusikan bersama hingga akhirnya terjalin sebuah persahabatan. Harapan I : “Apabila kita telah sampai pada pintu gerbang kerajaan, ada lebih baik kita memperkenalkan diri kalawan jabatan kita, bagaimana saudara?” Artinya: Harapan I : “Apabila kita telah sampai pada pintu gerbang kerajaan, lebih baik kita memperkenalkan diri dan jabatan kita, bagaimana saudara?” (PRBPA:nrit). Nilai Rasa Ingin Tahu Nilai rasa ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar (Zubaedi, 2012: 75). Rasa ingin tahu merupakan reaksi dasar manusia dalam hubungannya dengan keadaan di sekelilingnya. Wujud rasa ingin tahu ditandai dengan adanya pertanyaan-pertanyaan
316
atau bisa melalui membaca, baik dari buku maupun media sosial yang sudah menjamur saat ini. Harapan I : “Tapi kanapa hujung ngaran ikam itu Pitonop, nang kaya urang Rusia. Apa ada katurunan Rusia kah ikam?” Artinya: Harapan I : “Tapi kenapa ujung nama kamu itu Pitonop, seperti orang Rusia. Apa kamu ada keturunan Rusia?” (PRBPA:nrit.) Nilai Pendidikan Karakter dalam Mamanda Babak ke II Nilai Tanggung Jawab Lickona (2013: 72) mengatakan bahwa tanggung jawab secara literal berarti kemampuan untuk merespons atau menjawab, itu artinya tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian dan secara aktif memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab menekankan pada kewajiban positif untuk saling melindungi satu sama lain. Perdana Menteri : “…Aku hari ini diutus oleh paduka Sultan untuk memerikasa pekerjaan saudara Harapan I dan ke II juga.” Artinya: Perdana Menteri : “…Aku hari ini diutus oleh paduka Sultan untuk memerikasa pekerjaan saudara Harapan I dan ke II.” (PRBPA:ntj). Nilai Menghargai Prestasi Menghargai prestasi merupakan sikap atau perilaku mengharagai usaha orang lain dan menghindari sikap meremehkan prestasi dan menghormati hasil dan keberhasilan prestasi orang lain. Dalam mamanda, nilai menghargai prestasi terlihat dalam beberapa kutipan berikut: Menteri Artinya : Menteri
: “Sungguh bagus pekerjaan kalian berdua, tepat sekali kalian berdua diangkat sebagai punggawa kerajaan Buana Persada ini.” : “Sungguh bagus pekerjaan kalian berdua,tepat sekali kaliandiangkat sebagai punggawa kerajaan Buana Persada ini.” (PRBPA:nmp).
Nilai Rasa ingin Tahu Rasa ingin tahu merupakan reaksi dasar manusia dalam hubungannya dengan keadaan di sekelilingnya. Menteri Artinya: Menteri
: “Baik, aku ingin bertanya kepada saudara, apa artinya engkau hamparkan permadani hijau dari depan singgasana hingga ke halaman istana, coba engkau jawab” : “Baik, aku ingin bertanya kepada saudara, apa artinya engkau hamparkan permadani hijau dari depan singgasana hingga ke halaman istana, coba kamu jawab” (PRBPA:nrit).
Nilai Kreatif Sikap kreatif merupakan buah dari hasil pemikiran, mengkontruksikan fakta yang baru ditemukan.
317
Harapan II : “Hamba hamparkan permadani hijau dari depan singgasana hingga halaman, itu menandakan bahwa Negara kita adalah Negara yang aman, tenteram dan sejahtera.” Artinya: Harapan II : “Hamba hamparkan permadani hijau dari depan singgasana hingga halaman, itu menandakan bahwa Negara kita adalah Negara yang aman, tenteram dan sejahtera.” (PRBPA:nk). Nilai Cinta Tanah Air Deskripsi nilai cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan adanya kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Harapan I : “...Negara kita selalu siap dalam menghadapi serangan musuh, baik dari kanan, kiwa, muka, balakang. Sedangkan caramin basar adalah alat untuk mengintai musuh yang datang” Artinya: Harapan I : “...Negara kita selalu siap dalam menghadapi serangan musuh, baik dari kanan, kiri, depan, belakang. Sedangkan cermin besar adalah alat untuk mengintai musuh yang datang” (PRBPA:ncta). Nilai Peduli Sosial Nilai peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Harapan I : “…hanya permintaan kami masalah kesehatan kami perlu ditingkatkan, karena di kampung kami ini apabila musim hujan datang mulai jua bajangkit demam berdarah” Artinya: Harapan I : “…hanya permintaan kami masalah kesehatan kami perlu ditingkatkan, karena di desa kami apabila datang musim hujan, maka mulai berjangkit demam berdarah” (PRBPA:nps). Nilai Pendidikan Karakter dalam Mamanda Babak ke III Nilai Demokrasi Nilai demokrasi adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama, antara hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Berikut kutipan dalam mamanda yang menggambarkan adanya nilai demokrasi: Sultan
: “…bagaimana pemikiran seorang mamanda Wajir?”
Artinya : Sultan
: “…apa pemikiran seorang mamanda Wajir?” (PRBPA:nds).
Nilai Menghargai Prestasi Menghargai prestasi merupakan sikap atau perilaku menghargai usaha orang lain dan menghindari sikap meremehkan. Sultan
: ”Kuucapkan terimakasih kepada engkau berdua…”
Artinya: Sultan
: ”Kuucapkan terimakasih kepada kalian berdua…” (PRBPA:nmp).
318
Nilai Tanggung Jawab Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan alam sosial dan budaya, negara, serta Tuhan Yang Maha Esa. Pada kutipan berikut menunjukan adanya nilai tanggung jawab seorang Harapan II, Panglima Perang, Perdana Menteri dan Mangkubumi terhadap negaranya, dalam rangka pemilihan pengawas kerajaan di buana persada alam. Harapan II : “Segala titah paduka, akan hamba laksanakan sesuai dengan kemampuan hamba, permisi paduka” Artinya: Harapan II : “Segala titah paduka, akan saya laksanakan sesuai dengan kemampuan hamba, permisi paduka” (PRBPA:ntj). Nilai Jujur Majid dan Andayani (2012: 48) mengatakan bahwa jujur merupakan suatu kebiasaan berkata yang sebenarnya, apa yang dimiliki dan diinginkan, tidak berbohong, biasa mengakui kesalahan dan biasa mengakui kelebihan orang lain. Harapan II : “Ampun Panglima Perang, nang pertama karena paduka Sultan memerintahkan agar pian segera menghadap, kalu ulun tulak wadah pian di wadah latihan Mandau Telabang, lambat karena jauh, nang kadua, ongkos transportnya kada diunjuki beliau, kada ingat kalu sidin.” Artinya: Harapan II : ”Ampun Panglima Perang, yang pertama karena paduka Sultan memerintahkan agar Panglima Perang segera menghadap, apabila saya pergi ke tempat Panglima perang di tempat latihan Mandau Telabang, akan terlambat karena jauh, yang kedua, ongkos transportnya tidak diberi oleh Paduka Sultan, mungkin beliau lupa.” (PRBPA:nj). Nilai Pendidikan Karakter dalam Mamanda Babak ke IV Nilai Peduli Sosial Nilai peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Khadam
Artinya: Khadam
: “…Gawian ulun pasuruh di kerajaan ini merangkap sebagai ajudan raja. Kanapa sababnya karena ulun dianggap oleh paduka Sultan lebih banyak tahu tentang keadaan rakyat, karena ulun termasuk ular tanah. Sasarusup kamana-mana.Hari ini ulun handak mahadap lawan paduka balapor apa nang ulun lihat dan ulun dangar…” : “…Pekerjaan saya pesuruh di kerajaan ini, merangkap sebagai ajudan Raja. Apa sebabnya, karena saya dianggap oleh paduka Sultan lebih banyak tahu tentang keadaan rakyat, karena saya termasuk ular tanah. Menyusup kamana-mana.Hari ini saya hendak menghadap kepada paduka, melaporkan apa yang saya lihat dan saya dengar…”(PRBPA:nps).
Nilai Tanggung Jawab Nilai tanggung jawab yang terdapat dalam mamanda babak ke IV terlihat pada kutipan berikut. 319
Sultan
Artinya: Sultan
: “kalu kaya itu aku harus malihati bujur kada ujar Khadam itu, untuk itu seluruh staf kerajaan kita turun untuk memeriksa apa yang dikatakan oleh Khadam, bukan begitu mamanda Wajir?” : “kalau seperti itu aku harus melihat, benar atau tidak perkataan Khadam, untuk itu seluruh staf kerajaan kita turun untuk memeriksa apa yang dikatakan oleh Khadam, bukan begitu mamanda Wajir?” (PRBPA:ntj).
Nilai Peduli Lingkungan Di era masyarakat modern saat ini, nilai peduli lingkungan sedikit terkikis.Hal tersebut setidaknya dipengaruhi oleh meningkatnya gradasi dalam berbagai profesi. Inang
Artinya: Inang
: “Inggih paduka, maka ma andak bahanu pina miring ka tangah jalan, busiah rabah rahatan lalu apa bacilakaan. Lawan pulang ada nang maandak di puhun, bapaku pulang. Ini salah-salah puhunnya limbah tuntung pamilihan mati, maulah lingkungan jadi panas, ngalih kami banaung” : ”Iya Paduka, kadang meletakan agak miring ke tengah jalan, takutnya jatuh ketika sedang lewat, bisa luka-luka. Dan lagi, ada yang meletakan di pohon, dengan paku lagi. Ini salah-salah pohonnya setelah selesai pemilihan mati, membuat lingkungan jadi panas, susah untuk kami berteduh” (PRBPA:npl).
Nilai Pendidikan Karakter dalam Mamanda Babak ke V Nilai Rasa Ingin Tahu Nilai rasa ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar Zubaedi (2012: 75). Orang II
: “… tapi nang ikam maksud urang nang baik itu kaya apa?”
Artinya: Orang II
: “… tapi yang kamu maksud orang yang baik itu seperti apa?” (PRBPA:nrit).
Nilai Bersahabat/komunikasi Dalam kehidupan di masyarakat agar selalu terjalin persahabatan maka komunikasi perlu untuk selalu dijalin. Orang I : “Jadi ku padahakan inya baik, aku jangan bakaluarga, patuh haja gin kada, limbah batamu inya langsung mambari duit. Ujar ku gasan apa ini? Jar inya ayuha gasan kakawanan baroko jar” Orang III : “Itu ngarannya mani politik, itu kada bulih, mun katahuan urang apa ditangkap” Artinya: Orang I
: “Jadi ku katakan dia baik, aku tidak ada hubungan keluarga, kenal juga tidak, setelah bertemu dia langsung memberikan uang. Kata ku untuk apa ini? Katanya untuk kamu beli rokok” Orang III : “Itu namanya money politik, itu tidak boleh, apabila ketahuan orang bisa ditangkap” (PRBPA:nb).
320
Nilai Religius Suatu nilai dikatakan religius apabila pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan atau ajaran agama.Berikut kutipan dalam mamanda yang menggambarkan adanya nilai religius dalam perkataan dan saling mengingatkan. Orang III : “Itu ngarannya munapik, kada sesuai janji lawan perbuatan” Artinya: Orang III : “Itu namanya munafik, tidak sesuai janji dengan perbuatan” (PRBPA:nr). Nilai Semangat Kebangsaan Semangat kebangsaan merupakan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Orang II Artinya: Orang II
: “Jadi manusia itu jangan apatis, kita harus selalu optimis supaya apa nang kita citacitakan kawa tarcapai.” : “Jadi orang itu jangan apatis, kita harus selalu optimis agar apa yang kita cita-citakan bisa tercapai” (PRBPA:nsk).
Nilai Cinta Tanah Air Deskripsi nilai cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan adanya kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. Berikut kutipan yang menggambarkan adanya nilai cinta tanah air dalam mamanda: Khadam
Artinya: Khadam
: “...kita harus bujur-bujur manunjuk urang nang cagar duduk sabagai wakil kita. Jangan karena duit, atawa mandangar janji-janji haja. Lihati bujur-bujur apakah urang itu jujur atawa kaya apa inya dikampung” : ”...kita harus benar-benar manunjuk orang yang akan duduk sebagai wakil kita. Jangan karena uang, atau mendengar janji-janji saja. Lihat baik-baik apakah urang itu jujur atau seperti apa dia di kampung” (PRBPA:ncta).
Nilai Pendidikan Karakter dalam Mamanda Babak ke VI Nilai Demokrasi Nilai demokratis yang tergambar dalam mamanda adegan VI seperti terlihat pada kutipan berikut: Sultan
: “Pada hari ini sidang beta buka kembali, apa begitu mamanda Wajir?”
Artinya: Sultan
: ”Pada hari ini sidang Saya buka kembali, apa begitu mamanda Wajir?”
Nilai Tanggung Jawab Tanggung jawab berarti melaksanakan sebuah pekerjaan atau kewajiban dalam keluarga, di sekolah, maupun di tempat bekerja dengan sepenuh hati dan memberikan yang terbaik (Lickona, 2012: 73).
321
Sultan
Artinya: Sultan
: “Baik, setelah beta turun kelapangan, apa yang dikatakan oleh Khadam ternyata benar adanya. Oleh sebab itu, beta perintahkan kepada seorang Perdana Menteri untuk segera membersihkan segala yang bertentangan dengan peraturan yang ada...” : “Baik, setelah aku turun kelapangan, apa yang dikatakan oleh Khadam ternyata benar adanya. Oleh sebab itu, aku perintahkan kepada seorang Perdana Menteri untuk segera membersihkan segala yang bertentangan dengan peraturan yang ada...” (PRBPA:ntj).
Nilai Disiplin Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan. Ketaatan berarti kesediaan hati secara tulus untuk menepati setiap peraturan yang sudah dibuat dan disepakatibersama. Khadam
Artinya: Khadam
: “Ikam jangan kada mamilih, soalnya ini lima tahun sakali, limbah kam pilih kaina ikam awasi jua. Mun pina kada kakaruan sampaikan lawan mamanda Wajir sebagai sesepuh di karajaan ini…” : “Kamu tidak boleh tidak mamilih, karena ini lima tahun sekali, setelah kamu pilih nanti kamu awasi juga. Apabila terlihat tidak disiplin sampaikan dengan mamanda Wajir sebagai sesepuh di karajaan ini..” (PRBPA:nd).
Nilai Rasa Ingin Tahu Nilai rasa ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar Zubaedi (2012: 75). Sultan : “Kesepakatan apa, coba sampaikan kepada beta empunya diri” Artinya: Sultan
: “Kesepakatan apa, coba sampaikan kepada Ku” (PRBPA:nrit).
Nilai Menghargai Prestasi Sikap atau perilaku menghargai usaha orang lain dan menghindari sikap meremehkan prestasi, dan menghormati hasil, serta keberhasilan prestasi orang lain tergambar pada kutipan berikut: Sultan Artinya: Sultan
: “Bagus, artinya bubuhan ikam sudah mangatahui apa nang sudah ku sampaiakan…” : “Bagus, artinya kalian sudah mengetahui apa yang sudah ku sampaikan…”( PRBPA:nmp).
Nilai Semangat Kebangsaan Semangat kebangsaan merupakan cara berpikir, bersikap, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Seperti pada kutipan berikut. Orang I
322
: ”Limbah kami basasuluh, badadangar wan balilihat, limbah kami takunakan kaya sidin itu di kampung, jawabannya kada nyaman didangar. Urang kampungnya haja manyambat kada sampurna apalagi lawan kampung nang lain.
Artinya: Orang I
: ”Setelah kami meninjau keadaan orang yang hendak dipilih, mencari informasi dengan mendengar dan melihat, setelah kami tanyakan seperti apa beliau itu dikampung, jawabannya tidak mengenakan telinga. Orang satu kampungnya saja mengatakan tidak sempurna apalagi dengan kampung yang lain…” (PRBPA:nsk).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Temuan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan karakter dalam mamanda, terdapat 13 nilai pendidikan karakter, diantaranya adalah: (1) nilai religius, (2) nilai jujur, (3) nilai disiplin, (4) nilai kreatif, (5) nilai demokrasi, (6) nilai rasa ingin tahu, (7) nilai semangat, (8) nilai cinta tanah air, (9) nilai menghargai prestasi, (10) nilai bersahabat/ komunikasi, (11) nilai peduli lingkungan, (12) nilai peduli sosial, dan (13) nilai tanggung jawab. Untuk mempermudah dan memperjelas dalam analisis, deskripsi hasil penelitian dibagi dalam beberapa adegan atau babak. Nilai karakter yang paling dominan dari keseluruhan babak adalah nilai tanggung jawab yang terdiri dari 8 kutipan pada seluruh adegan atau babak dalam mamanda yang berjudul Pemilihan Raya di Buana Persada Alam. Penting untuk menanamkan nilai tanggung jawab pada setiap individu. Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama. Saran Dari hasil penelitian tentang nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam mamanda, ada beberapa saran yang ingin disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait sebagai berikut: 1) Masyarakat Kalimantan Selatan, terutama yang peduli terhadap kebudayaan khususnya teater tradisional mamanda, harus mempertahankan keberdayaan mamanda dengan membentuk komunitas mamanda secara strategis dan menggunakan media massa secara bijak. 2) Dinas kebudayaan dan pariwisata setempat memberikan dukungan sosial untuk tampilnya ekspresi warisan budaya tertentu seperti mamanda, dan memperkuat institusi adat yang dahulu menyangganya agar dapat menempatkan sastra genre lama bercorak khusus, yakni mamanda pada posisi yang berwibawa. 3) Pendidik diharapkan memperoleh manfaat apresiatif yang berguna untuk menumbuhkan pemahaman dan apresiasi anak didik terhadap mamanda, karena mamanda mengandung pesan-pesan moral dalam setiap pementasannya. 4) Bagi peneliti berikutnya akan menjadikan sebagai bahan perbandingan, baik dari sudut pandang yang berbeda. Dapat pula mempersempit cakupan penelitian sehingga lebih fokus dan mendalam.
DAFTAR RUJUKAN Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS. Lickona, Thomas. 2012. Character Matters Persoalan Karakter Bagaimana Membaantu Anak Mengembangkan Penialian yang Baik, Intergritas, dan Kebajikan Penting lainnya. Terjemahan Juma Abdu Wamaungo & Jean Antunes Rudolf Zien. Jakarta: Bumi Aksara. 323
Lickona, Thomas. 2013. Mendidik untuk Membentuk karakter. Terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Majid, Abdul dan Andayani, Dian. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muslich, Masnur. 2013. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.Jakarta: Bumi Aksara. Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra lisan. Surabaya: Citra Wacana. Zubaedi. 2012. Desain pendidikan Karakter konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.
324
Indeks Pengarang JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) Jilid 4 (Tahun 2014) Agustina, L., 203 Bahdiah, 57 Baihaki, A., 41 Darmadi, 67 Effendi, R., 269 Ghazali, A. S., 3 Jumadi, 259 Kusno, A., 149 Lastaria, 269 Luthfiyanti, L., 213 Marfuah, 189 Meidianty, W., 109 Muhairinnisa, M., 301 Nazmawati, 295 Nisa, F., 259 Noortyani, R., 163 Rafiek, M., 163 Raharjo, D. F., 243 Restapaty, R., 27 Rustina, M., 233 Saihu, M., 77 Samrah, 83 Sarbaini, 313 Suciati, N., 97 Sunarti, 137 Suwignyo, H., 15 Tampi, Y., 123 Wayhie, H., 285 Wulandari, N.I., 313 Yazidi, A., 89 Zulkifli, 203
325 324.1
Indeks Mitra Bebestari JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) Jilid 4 (Tahun 2014) Untuk penerbitan jilid 4 tahun 2014, semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya (JBSP) sudah ditelaah dan dinilai kelayakannya oleh mitra bebestari di bawah ini. 1. Imam Suyitno (Universitas Negeri Malang) 2. Heri Suwignyo (Universitas Negeri Malang) 3. Pujiharto (Universitas Gadjah Mada) 4. Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat) Penyunting Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya (JBSP) mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para mitra bebestari yang telah menelaah dan menilai kelayakan artikel ilmiah dalam jurnal ini.
326 324.2
Petunjuk bagi (Calon) Penulis Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya (JBSP)
1. Artikel yang ditulis untuk JBSP adalah hasil penelitian atau hasil pemikiran di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan jarak 1 spasi, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print out sebanyak 3 eksemplar beserta filenya ke sekretariat pengelola JBSP. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Artikel dalam bentuk file dapat juga dikirim langsung melalui e-mail ke
[email protected]. 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis perlu mencantumkan alamat e-mail dan/atau alamat korespondensi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertai judul pada masing-masing bagian artikel. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring). 4. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata), kata kunci, pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan, bahasan utama(dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian), penutup atau kesimpulan, daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 6. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia). Panjang masingmasing abstrak 75-100 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode, dan hasil penelitian. 7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 8. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contohnya: (Rafiek, 2011: 2). 9. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku: Rafiek, Muhammad. 2010. Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Buku kumpulan artikel: Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Buku terjemahan: Bucaille, Maurice. 1995. Firaun dalam Bibel dan Al-Quran: Menafsirkan Kisah Historis Firaun dalam Kitab Suci Berdasarkan Temuan Arkeologi. Terjemahan oleh Muslikh Madiyant. 2007. Bandung: Mizania. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Bottoms, J. C. 1965. Some Malay Historical Sources: A Bibliographical Note. Dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, & G. MCT. Kahin (Eds.), An Introduction to Indonesian Historiography (hlm. 156-193). New York: Cornell University Press.
327
Artikel dalam jurnal: Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket Pentingnya Sebuah Perbedaan. Basis, XXXVIII (7): 266-273. Artikel dalam Koran: Antemas, Anggraini. 6 Desember 2006. Adat Istiadat Perkawinan Urang Banjar (III), Bapingit-Badudus Sebelum Akad Nikah. Banjarmasin Post, tanpa halaman. Dokumen resmi berupa kamus atau pedoman atau undang-undang: Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Makalah seminar, lokakarya, penataran: Indriyanto. 2001. Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantangan Zaman. Makalah disajikan dalam Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah di Semarang, Fakultas Sastra UNDIP, Semarang, 30 Mei. Rujukan dari internet: Ahmad, Syarwan. 2009. Filologi Hikayat Prang Sabi (Online), (http://blog.harian-aceh.com/filologi-hikayat-prangsabi.jsp, diakses 18 Desember 2009). Manuaba, Putera. 2001. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (Online), (http://www.angelfire.com/journal/ fsulimelight/hermen.html, diakses 10 November 2009). 10. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah atau mencontoh langsung dari artikel yang sudah terbit dalam JBSP. 11. Semua naskah ditelaah oleh penelaah ahli yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk memperbaiki artikelnya atas saran perbaikan dari penelaah ahli. Kepastian pemuatan artikel ilmiah akan diberitahukan kepada penulis. 12. Segala sesuatu yang menyangkut izin pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah artikel atau hal ikhwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel termasuk konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut. 13. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 5 (lima) eksemplar.
328
FORMULIR BERLANGGANAN
Mohon dicatat sebagai pelanggan JBSP Nama : ……………………………………………………………………… Alamat
: ……………………………………………………………………… …………………………………….. (Kode Pos : …………………)
Harga langganan mulai 1 Oktober 2012 (2 nomor) Untuk satu tahun • Rp. 100.000,- untuk wilayah Kalimantan Selatan • Rp. 150.000,- untuk wilayah Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur • Rp. 200.000,- untuk wilayah luar Kalimantan
Formulir ini boleh diperbanyak
(…………………………)
------------------------------gunting di sini dan kirimkan ke alamat Jurnal BSP--------------------------
BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN
Dengan ini saya kirimkan uang sebesar: a. Rp. 100.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……... b. Rp. 150.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……... c. Rp. 200.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……... (Lingkari salah satu)
Uang tersebut telah saya kirim melalui: BNI Capem Universitas Lambung Mangkurat, rekening nomor 0103958218 a.n. Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
329
330