SEJARAH FILSAFAT KONTEMPORER DAN POSTMODEREN (abad 20-21)
1. Pengantar: dari Modernitas menuju Filsafat Kontemporer Filsafat adalah dialog.1 Setiap pembahasan tentang pemikiran filsuf-filsuf atau aliran filsafat tertentu di masa silam harus selalu memperhatikan relasinya dengan pemikiran filsuf lain sezaman atau zaman sebelumnya. Sebeb setiap filsuf membangun pemikiran filosifisnya dalam dialog dengan para pemikir lainnya. Itulah salah satu karakter dasar filsafat yang membedakannya dari disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Seorang ahli ilmu pengetahuan alam kontemporer misalnya tidak perlu mengetahui secara baik sejarah ilmu pengetahuan alam atau apa yang pernah dilakukan Isaac Newton, pendiri ilmu pengetahuan alam dari abad ke-18. Ketidaktahuan ini tidak mengurangi kompetensinya sebagai ahli ilmu alam. Dalam filsafat, seseorang tidak mungkin disebut filsuf jika tidak mengetahui dengan baik pemikiran para filsuf besar seperti Platon, Aristoteles, Kant, dan lain-lain. Karena itu sejarah filsafat merupakan sesuatu yang substansial dalam studi filsafat. Dalam studi sejarah filsafat biasanya dikenal empat tahapan periodisasi. 2 Pertama, filsafat Yunani dan Romawi Kuno bermula dari masa lahirnya filsafat pada abad ke6 SM hingga tahun 529 M. Pada tahun ini Kaiser Justianus dari Byzantium yang dekat dengan agama Kristen menutup semua sekolah filsafat kafir di Athena. Kedua, filsafat Abad Pertengahan yang meliputi pemikiran Boëthius (abad ke-6) sampai dengan Nicolaus Cusanus (abad ke-15), dengan puncaknya abad ke-13 dan permulaan abad ke-14. Ketiga, filsafat moderen yang diawali oleh pemikiran para filsuf Renaissance tetapi mekar secara meyakinkan dengan filsafat Renẻ Descartes (1596-1650) dan berakhir dengan pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900). Keempat, filsafat kontemporer yang berawal dari periode setelah abad ke-19 hingga sekarang. Filsafat abad ke-20 adalah puncak 2500 tahun sejarah filsafat, ditandai dengan diferensiasi disiplin ilmu dan pendidikan filsafat serta proses radikalisasi kritik
Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer. Jerman dan Inggris, Jilid I, Jakarta: Kompas Gramedia, 2014, p. 1 2 Bdk. Ibid., p. 2 1
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/1
rasionalitas pada segala bidang. Radikalisasi kritik akal budi bergerak dari persoalan ketaksadaran menuju eksistensi manusia dan bahasa hingga masyarakat dan ilmu pengetahuan. Proses radikalisasi didorong oleh sejumlam bencana kemanusiaan yang menimpa manusia awal abad kedua puluh: dua perang dunia, holocaust, Hirosima. Dalam konteks ini modernitas tidak hanya dibangun di atas singgasana prestasi inovatif teknologi, sosial dan ilmu pengetahuan, melainkan juga ditandai pelbagai fenomen destruktif. Jadi filsafat abad ke-20 dapat juga dibaca sebagai kritik radikal atas modernitas. Karena itu pembicaraan tentang filsafat abad ke-20 atau kontemporer mengandaikan pemahaman tentang modernitas.
1.1.
Pemikiran Moderen
Filsafat moderen dimulai dengan pemikiran para filsuf besar abad ke-17. Para pemikir ini memahami refleksi filosofisnya sebagai sebuah awal baru yang radikal. Tentu dengan pendasaran yang kokoh dan masuk akal. Namun tak dapat disangkal pula bahwa apa yang disebut “radikal baru” tersebut memiliki akar-akar yang tertancap jauh hingga ke abad pertengahan. Sejumlah faktor historis telah mendorong lahirnya pemikiran moderen. Pada bagian ini akan dikemukanan secara ringkas beberapa faktor penting yang melahirkan paradigma berpikir moderen yang sudah bertumbuh di Eropa sejak abad ke-14 hingga abad ke-17.3 Secara singkat pergeseran paradigma tersebut dapat dideskripsikan demikian. Tatanan atau orde realitas yang bersifat tradisional dan hirarkis sebagaimana dialami dan dimengerti pada abad pertengahan atau pramoderen perlahan-lahan runtuh dan di atas puing-puing reruntuhan itu muncul pandangan baru di mana segala sesuatu berdiri sejajar, setara satu di samping yang lain. Dalam ilmu pengetahuan perubahan paradigma ini melahirkan metode matematis kuantitatif yang menjadikan dunia sebagai objek penelitian dan rekayasa teknis untuk kepentingan manusia. Pada tataran nilai dan keyakinan perubahan ini berarti setiap individu dibiarkan sendiri mencari jawaban atas persoalan hidup dan mengambil keputusan. Penekanan pada individualitas dan kebebasan pribadi pun bertambah. Sejalan dengan ini muncul keharusan untuk menemukan metode yang membolehkan setiap orang memperoleh kepastian pribadi dan keputusan bertanggung jawab ketika berhadapan dengan pelbagai keraguan. 1.1.1. Runtuhnya Tatanan Tradisional 3
Bdk. Hans Blumenberg, Die Legitimität der Neuzeit, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1998
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/2
Eropa pada akhir abad pertengahan berhasil menciptakan sebuah tatanan sosial dan kultural yang terstruktur kendati harus melewati pelbagai kesulitan dan ketegangan.4 Tatanan tersebut berpijak pada Allah sebagai titik tumpuan terakhir. Namun sejalan dengan berakhirnya era abad pertengahan berakhir pula pandangan monolitis tersebut. Kesatuan kerajaan, gereja dan masyarakat feodal hirarkis pun tak dapat dipertahankan lagi. Gerakan reformasi mengguncang kesetuan Gereja Eropa secara radikal. Dengan demikian identitias kekristenan dengan satu Gereja yang bercorak sosial dalam ruang budaya Eropa pun berakhir. Kini terdapat beberapa Gereja atau konfensi. Setiap individu atau raja harus mengambil keputusan untuk memilih salah satunya. Sistem budaya Eropa tidak hanya mengalami guncangan secara internal, tapi juga mengalami transformasi dalam perjumpaan dengan budaya luar. Sebelumnya terutama selama abad pertengahan kebudayaan Kristen hanya berhubungan dengan Islam yang juga secara teologis menganut monoteisme dan juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Dalam era moderen Eropa dikonfrontasi dengan pelbagai budaya dan benua yang baru ditemukan dengan ideologi dan agamanya yang tak dikenal sebelumnya. Revolusi berpikir menerpa Eropa dengan berakhirnya sistem dunia geosentris. Dalam filsafat voluntarisme dan nominalisme dengan pencetusnya dari Mazhab Fransiskan yakni Duns Scotus (1266-1308) dan Wilhelm von Ockham (1285-1349) menggeser tatanan nilai dan tatanan eksistensi abad pertengahan yang jelas. Ajaran tentang prioritas kehendak dan prioritas cinta serta pemahaman yang ekstrim tentang kebebasan Allah dihubungkan dengan penyangkalan atas pengetahuan konseptual yang benar tentang esensi dari benda-benda (perdebatan seputar universalia). Dengan latar belakang intelektual seperti ini tatanan penciptaan tradisional tak mampu lagi memberikan pegangan dan kerangka berpikir yang pasti bagi manusia. Thomas Aquinas masih memahami “ada” atau “Sein” sebagai sebuah konsep analogis yang selalu berarti satu tingkatan kesempurnaan tertentu. Sebaliknya Duns Scotus mengajarkan konsep ada yang bersifat univok, para komentator Thomas bahkan mengartikannya sebagai eksistensi semata. Pemahaman ini akhirnya
Bdk. Emerich Coreth, Harald Schöndorf, Philosophie des 17. und 18. Jahrhunderts, Stuttgart: Kohlhammer, 2000, p. 13 4
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/3
mengarah kepada konsep “ada” dalam pemikiran moderen sebagai realitas empiris yang berada satu di samping yang lain. Juga pandangan tentang alam atau kodrat ikut bergeser. Nominalisme dan ilmu pengetahuan alam moderen menghancurkan gambaran tentang sebuah tatanan alam yang otonom dengan tujuan kodrati (telos) tertentu. Di sini kesulitan berhubungan dengan pemahaman teologis seputar relasi antara rahmat (gratia) dan kodrat (natura) ikut juga berperan. Sejumlah orang menemukan sebuah kontradiksi ketika rahmat Allah mengungkapkan kesempurnaan kodrat manusia satu-satunya dan yang sesungguhnya, sementara manusia tak punya hak atas rahmat tersebut. Akibat dari pandangan seperti ini, sejumlah orang berpendapat bahwa kodrat atau alam memiliki kesempurnaan otonom dan tidak membutuhkan rahmat lagi. Teolog lainnya berpandangan bahwa kodrat manusia sebelum jatuh ke dalam dosa memang sempurna sehingga tidak membutuhkan rahmat. Namun dosa asal telah menghancurkan kodrat manusia sehingga seluruh pengetahuan kodrati dan usaha manusia bersifat sia-sia dan diwarnai dosa. Hal ini telah membuka perdebatan dan pluralitas interpretasi atas konsep “kodrat”, hingga sampai pada tahap degradasi alam atau kodrat kepada sekedar instrumen untuk kepentingan-kepentingan manusia. 1.1.2. Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknik Moderen Astronom dan ahli fisika seperti Nikolaus Kopernikus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1642) membawa dan memaklumkan pengetahuan baru bahwa bumi seperti halnya planet-planet lainnya berputar mengitari mata hari. Kendati tidak semua aspek dapat dibuktikan secara empiris, pengetahuan ini memenangkan pertarungan diskursus ilmiah dalam bidang astronomi dan fisika. Runtuhnya gambaran tentang dunia yang lama tidak hanya mengguncangkan rasa percaya pada tradisi, tapi juga menggugat keyakinan dan pandangan manusia yang berpijak pada penginderaan.5 Fisika Aristoteles masih mengajarkan bahwa langit memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sekarang bukan saja manusia dan bumi digeser dari pusat kosmos. Tapi tak ada lagi yang dinamakan tempat-tempat, sfer, arah atau kiblat khusus. Fisika moderen seperti dirancang oleh Isaac Newton (1643-1727) memahami alam semesta sebagai ruang geometris homogen yang tak berhingga di mana berlaku hukumhukum matematis yang sama. Keanekaragaman kualitatif direduksi menjadi 5
Bdk. Ibid., p. 15
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/4
perbedaan kuantitatif sehingga dapat dihitung dan diukur secara eksak matematis. Hal ini menentukan perkembangan matematik pada awal abad moderen. Perkembangan ilmu pengetahuan ini berusaha untuk merekonstruksikan segalanya dari bagian-bagiannya yang terkecil. Jika Aristoteles berpandangan bahwa segala yang ada merupakan sintesis antara meteri dan forma, perkembangan ilmu pengetahuan moderen mengajarkan kalau segala sesuatu tersusun dari unsur-unsur kecil yang tak dapat dibagi-bagi lagi. Partikel terkecil itu dinamakan atom. Fisika atom ini sejalan dengan konstruksi matematika yang terbangun dari satuan angka yang terkecil. Pemahaman ini juga berpengaruh untuk bidang lain. Masyarakat dimengerti sebagai kesatuan dari invidu-individu yang terisolasi satu sama lain dan pengetahuan kita tentang masyarakat dianalisis hingga ke bagian-bagian detail tersebut (ide, kesan dan lani-lain). Penemuan mesin juga membawa perkembangan baru. Mesin tidak lagi digerakkan oleh manusia atau hewan, tapi menggunakan kekuatan mekanik atau tenaga uap. Mesin-mesin otomatik pun mulai diciptakan. Pengetahuan tentang tubuh dan peredaran darah manusia semakin berkembang. Dengan demikian hidup manusia dan makhluk-makhluk lainnya dapat diinterpretasi secara mekanis. Penemuan teropong membawa perkembangan pengetahuan baru dalam bidang astronomi. Tanpa teropong sulit untuk memberikan pembuktian empiris atas sistem yang telah dibangun oleh Nikolaus Kopernikus. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dibayangkan tanpa penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1397-1468) pada tahun 1450. Mesin cetak memungkinkan untuk mencetak atau memproduksi buku, kertas-kertas teori, plakat dan tulisan-tulisan lainnya dalam jumlah besar. Perkembangan industri percetakan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ilmiah dan penyebaran hasil-hasil penelitian. 1.1.3. Keyakinan akan Ideologi Kemajuan Pandangan bahwa selalu terdapat perkembangan kebudayaan dan peradaban tinggi manusia, sudah kita temukan pada zaman Yunani Kuno. Namun keyakinan akan ideologi kemajuan merupakan pandangan khas abad moderen. Di balik konsep tentang kemajuan terdapat harapan akhir zaman yang bernuansa religius seperti dikembangkan oleh Joachim von Fiore (1130-1202) pada abad pertengahan. Joachim von Fiore berbicara tentang tiga zaman yang sejalan dengan tiga pribadi Ilahi. Joachim von Fiore meninggalkan pandangan tradisional yang mengatakan bahwa Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/5
kelahiran Kristus merupakan puncak segala zaman dan setelah itu tak ada yang baru lagi. Perkembangan zaman menurut Fiore berakhir dengan pengadilan terakhir. Kedatangan Yesus menandakan zaman kedua, zaman pribadi Ilahi kedua. Zaman ini dikuti dengan waktu Roh Kudus sebagai pribadi Ilahi ketiga yang juga menandai lahirnya zaman ketiga. Zaman ketiga merupakan waktu bagi biara-biara yang ditandai dengan lahirnya masa profetis dan antiinstitusional.6 Jika konsep religius tentang harapan akhir zaman ini dihubungkan dengan tafsiran duniawi tentang 1000 tahun apokalypse, maka konsep akhir zaman terarah menuju masa yang lebih baik. Bersama dengan mesianisme, harapan akhir zaman ini menciptakan basis bagi terbentuknya ideologi-ideologi kemajuan zaman moderen hingga marxisme dan esoterik. Sepanjang akhir abad pertengahan konsep “kemajuan” dipahami sebagai kemajuan teknologi dan ekonomi. Pandangan ini semakin membentuk pengalaman manusia dan diolah secara filosofis. Perkembangan baru ini menumbuhkan kesadaran dalam diri manusia untuk menata sejarahnya sendiri dan mengarahkan tatapan ke masa depan yang lebih baik sejalan dengan harapan akan munculnya penemuan dan kreativitas baru dalam bidangn teknologi. Awalnya orang berbicara tentang kemajuan dalam pelbagai bidang, lalu dalam perkembangan selanjutnya terbangun sebuah konsep tunggal tentang kemajuan. Dalam perjalanan waktu, kesetiaan pada tradisi diganti dengan harapan akan masa depan yang lebih baik. Bahkan tak sedikit yang melihat penyempurnaan manusia sebagai kebahagiaan abadi dalam sebuah kemajuan dan perkembangan tanpa batas. Kemajuan dipandang sebagai instrumen yang menentukan bagi pembebasan manusia. Misi pembebasan merupakan motif utama Aufklärung atau pencerahan, yakni emansipasi manusia dari kungkungan tradisi, keterberian masa lalu, kekuasaan institusi dan alam. Emansipasi ini memungkinkan manusia bertindak otonom terhadap dirinya dan memiliki kebebasan. Emansipasi terungkap dalam dua arah. Pertama, sebagai pembebasan dari otoritas lewat pertumbuhan otonomi dan proses demokratisasi. Kedua, pembebasan dari determinasi alam lewat perkembangan ilmu pengetahuan alam. Proses emansipasi ini menciptakan ketegangan internal yang senantiasa mewarnai dan membentuk konsep diri manusia moderen hingga kini. Kerena manusia sebagai pribadi di satu sisi ingin dan dipikirkan sebebas mungkin, namun di sisi lain manusia adalah objek kajian ilmu pengetahuan alam yang
6
Bdk. Ibid., p. 17
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/6
memahami seluruh proses secara deterministis. Ketegangan antara kebebasan dan determinisme menjadi objek kajian filsafat yang intensif sejak Immanuel Kant. Ideologi kemajuan tidak saja mewarnai awal sejarah moderen. Ia menguasai perjalanan sejarah filsafat hingga pertengahan abad ke-19. Premis-premis ideologi kemajuan tidak saja menjadi rujukan bagi liberalisme, tapi juga berhasil meyakinkan para penganut idealisme Jerman. Suara kritis terhadap konsep kemajuan mulai muncul pada pertengahan abad ke-19 seiring dengan munculnya pengaruh pemikiran Schoppenhauer dalam sejarah filsafat. Akan tetapi, cukup banyak pemikiran post-idealis seperti teori tiga tahap August Comte, Marxisme dan teori evolusi Darwin berpijak pada ide kemajuan ini. Juga Charles Sanders Peirce (18361914) menjadikan ideologi kemajuan sebagai titik pijakan bagi pragmatisme. Perluasan konsep evolusi melampaui ilmu biologi hingga bidang-bidang sejarah dan kosmologi merupakan dampak dari penerapan ideologi kemajuan. Juga diskursus seputar perkembangan negara-negara dunia ketiga, proses kemajuan teknologi dan industrialisasi dipengaruhi oleh ideologi kemajuan. 1.1.4. Penekanan pada Individu: Individualitas, Kepastian dan Kebebasan Jika tatanan tradisional mulai goyah, maka setiap individu ditantang untuk menata keyakinan dan konsep hidup baiknya sendiri. Pada tataran agama, pendalaman dan pembaharuan spiritualitas hanya terjadi jika setiap orang mengusahakannya secara pribadi. Pelbagai usaha pembaharuan dalam gereja pada akhir abad pertengahan dan awal abad moderen berhubungan erat dengan internalisasi iman. Hal ini berhubungan dengan makin bertambahnya dan penekanan pengalaman religius pribadi yang mencapai puncaknya dalam pengalaman mistik. Penghargaan terhadap doa pribadi, meditasi dan kontemplasi semakin bertambah dan dipandang sebagai model doa tertinggi.7 Gerakan spiritual yang menyeruak pada abad 14 dan 15 yang dikenal dengan “devotio moderna” (devosi moderen) serta karya Thomas von Kempen berjudul “Imitatio Christi” membentuk model devosi atau kesalehan yang menekankan sikap batiniah dan bukan tindakan. Pada masa ini muncul petunjuk-petunjuk praktis untuk meditasi serta model kesalehan pribadi lannya. Apa yang dikenal sebagai karunia pribadi atau penampakan, bisa juga merupakan bentuk ajaran sesat atau kepercayaan sia-sia. Maka bukan kebetulan jika pada awal
7
Bdk. Ibid., p. 19
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/7
abad moderen di hampir semua konfesi banyak terdapat dukun santet atau kepercayaan sia sia. Di sini dibutuhkan kriteria-kritereia yang jelas untuk membedakan yang benar dari yang salah. Pengalaman religius di atas sering merupakan pengalaman pribadi atau individual, sehingga definisi objektif tentang substansi pengalaman menjadi sulit. Selain itu terdapat cukup banyak pokok pembahasan di mana terdapat perbedaan pandangan di kalangan teolog resmi dalam gereja. Karena itu pertanyaan tentang kepastian secara pribadi semakin penting. Pencarian akan kepastian ini nampak baik dalam ikhtiar Martin Luther (1483-1546) untuk merumuskan Allah Yang berbelaskasih, maupun dalam usaha Ignasius dari Loyola (1491-1556) lewat latihan-latihan rohaninya. Perubahan waktu dan pandangan-pandangan teologis yang berbeda mempersulit orang untuk merumuskan penilaian pasti atas pertanyaan-pertanyaan etis. Karena itu dikembangkan “sistem moral” yang harus menjelaskan tingkat kepastian atau kemungkinan sebuah pandangan agar layak dijadikan titik pijak sebuah keputusan yang bertanggung jawab. Dengan demikian muncul perkembangan baru dengan penekanan pada individu dan kebebasannya. Itulah inti dari renaissance di mana manusia berhadapan dengan alam dan secara bebas melakukan penelitian atas hukum-hukum alam guna menguasainya. Konsep voluntaristis tentang kebebasan ilahi berdampak pada pandangan tentang manusia. Dalam tradisi abad pertengahan kebebasan manusia bersama telos seluruh ciptaan terarah kepada Allah. Sementara itu pada zaman renaissance manusia bersifat otonom. Hal ini memungkinkannya untuk mengambil jarak dari yang lain. 1.2.
Menuju Filsafat Kontemporer
Seperti sudah dijelaskan, filsafat abad ke-20 diwarnai dengan proses radikalisasi kritik rasionalitas pada segala bidang. Radikalisasi kritik akal budi bergerak dari persoalan ketaksadaran menuju eksistensi manusia dan bahasa hingga masyarakat dan ilmu pengetahuan. Proses radikalisasi didorong oleh sejumlam bencana kemanusiaan yang menimpa manusia awal abad kedua puluh: dua perang dunia, holocaust, Hirosima. Dalam konteks ini modernitas tidak hanya dibangun di atas singgasana prestasi inovatif teknologi, sosial dan ilmu pengetahuan, melainkan juga ditandai pelbagai fenomen destruktif. Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/8
Uraian berikut akan dipandu oleh tesis sentral bahwa paradigma-paradigma refleksi kritis awal abad ke-20 yang sangat khusus dan sering bertentangan satu sama lain, dewasa ini dan di masa depan akan dipadukan secara produktif dan disempurnakan. Kita coba belajar dari semua paradigma filosofis tersebut secara konstruktif tanpa harus menjadikannya sebagai dogma yang harus ditaati. Dengan cara ini bentuk-bentuk baru kehidupan manusia dan praksis bersama dapat dipikirkan pada tataran inter- dan transkultural. Hal ini dapat membuka horison baru bagi kemampuan dan kemungkinan kita kendati keterbatasan dan kontingensi manusiawi yang harus tetap diterima.8 Berdasarkan penjelasan di atas, uraian ini bertolak dari asumsi dasar bahwa karyakarya filsafat paling penting abad ke-20 seperti kritik bahasa Wittgenstein, kritik ontologi Heidegger dan kritik alienasi serta proses pembendaan oleh Adorno memiliki kemiripan dalam struktur dasarnya. 1.3.
Pergantian Abad: Awal, Hubungan, Peralihan dan Mulai Baru
Untuk memahami awal dan perkembangan filsafat abad ke-20, sangat penting pertama-tama melihat paradigma dan karya penting nonakademis dan nonfilosofis abad ke-19 dan 20 yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat. Perubahanperubahan substansial dan proses radikalisasi menandai cara berpikir zaman ini. Hal ini dipicu oleh perubahan radikal pada bidang sosial, budaya, teknologi, ilmu pengetahuan dan gambaran diri manusia. Pemikir-pemikir berpengaruh pada zaman ini adalah Kierkegaard, Marx, Peirce, Nietzsche, Frege, Freud dan Einstein. Pada masa peralihah dari abad 19 ke abad 20 mereka memberikan pendasaran atas pergeseran paradigma dan memperjuangkan revolusi berpikir. Filsafat abad ke-20 tak mungkin dapat dipahami tanpa filsafat eksistensialisme, marxisme, analisis konsep logis dan bahasa pragmatis, tanpa kritik peradaban dan moral, psikoanalisa dan teori relativitas. Paradigma-paradigma ini berakar jauh di abad ke-19 dan menariknya kebanyakan bukan dikembangkan oleh ahli filsafat. Awalnya tak ada tempat dalam ilmu pengetahuan dan filsafat untuk model-model berpikir ini. Sören Kirkegaard (1813-1855) misalnya belajar filsafat, namun menulis karya-karya besar sastra dan filsafatnya seperti Entweder – Oder (1843), Furcht und Zittern (1843), Der Begriff Angst (1844) dan Krankheit zum Tode (1849) di luar karier universitas. Lewat analisis radikal atas eksistensi manusia dan kefanaannya dalam situasi Bdk. Thomas Rentsch, Philosophie des 20.Jahrhunderts. Von Husserl bis Derrida, München: Verlag C.H. Beck, 2014, p. 6 8
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/9
pengambilan keputusan sesaat (Der Augenblick, 1855), dalam rasa kagum dan takut dan di hadapan kemungkinan hidup estetis, etis dan religius Kierkegaard mendirikan filsafat eksistensialis (Jaspers), ontologi eksistensial (Heidegger) dan eksistensialisme (Sartre dan Camus) yang mewarnai abad ke-20. Juga Karl Marx (1818-1883) mengembangkan karya pentingnya Das Kapital (Jilid I 1867) dan kumpulan tulisan Zur Kritik der politischen Ökonomie (1857-59) di luar universitas. Pandangannya tentang materialisme historis dan dialektis berpengaruh terhadap perkembangan sosialisme dan komunisme global. Marxisme teoretis abad ke-20 ikut mempengaruhi perdebatan akademis di bidang filsafat. Untuk perkembangan filsafat pada paruh kedua abad ke-20, pengaruh pragmatisme Amerika memainkan peran penting. Di Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce (18391914), Wiliam James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952) mengembangkan epistemologi (teori pengetahuan) dan filsafat ilmu pengetahuan atas dasar prinsip teori tindakan yang bertolak dari fenomen empiris sehari-hari. Prinsip teori tindakan ini memasukkan proses-proses perkembangan jangka panjang ke dalam refleksi atas persoalan-persoalan moral dan memandang ideal demokrasi sebagai basis makna tuntutan-tuntutan kebenaran. Dengan demikian proses ini menunjukkan secara kasat mata implikasi praktis-normatif dari sistem ilmu pengetahuan deskriptif teoretis, seperti halnya syarat-syarat deskriptif teoretis dari etika, pedagogik dan sosiologi. Peirce belajar filsafat, namun menjadi insinyur teknik. Juga dampak internasional dari transformasi semiotik dari kritik pengetahuan baru mulai dirasakan pada paruhan kedua abad ke-20. Ia menghubungkan filsafat bahasa dengan pragmatik dan filsafat sosial dengan cara menjadikan penggunaan simbol atau tanda kemunukasi manusiawi sebagai pusat analisisnya. Teori ini menjadi cikal bakal lahirnya teori-teori sistematik abad ke-20 seperti pragmatik transendental dan universal dari Karl Otto Apel dan Jürgen Habermas. Friedrich Niatzsche (1844-1900) adalah seorang ahli filologi tua. Ia meninggalkan dunia universitas dan mengabdikan seluruh waktunya untuk penelitian dan menulis buku. Karya-karyanya berisikan kritik fundamental atas kebudayaan dan peradaban Eropa termasuk filsafat sejak zaman Yunani Kuno dan kekristenan. Menurut Nietzsche, hampir seluruh dari apa yang dihasilkan oleh kebudayaan dan peradaban manusia hingga kini tak lebih dari ideologi (kesadaran palsu). Ia mengumumkan “Umwertung aller Werte“ (penjungkirbalikan nilai-nilai) dan “den Tod Gottes“ (Kematian Allah). Setelah kematian Nietzsche karya-karyanya memicu perdebatan Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/10
filosofis yang besar dan berpengaruh terhadap pemikiran Heidegger dan konsep dekonstruksi di Prancis. Gottlob Frege (1848-1925) adalah seorang ahli logika dan matematik di Universitas Jena. Ia juga menekuni filsafat Kant. Ia mengembangkan analisis-analisis penting tentang bahasa, konsep, penilaian dan struktur logis kalimat-kalimat. Pemikirannya ini ditulisnya dalam karya-karyanya seputar teori makna. Ia menjalin relasi personal dengan filsuf-filsuf besar seperti Russel, Wittgenstein dan Rudolf Carnap. Berkat jasa filsuf-filsuf ini pemikiran Frege setelah ia meninggal dunia berpengaruh secara global terhadap filsafat bahasa dan filsafat analitis. Frege telah menyiapkan lahir dan berkembangnya salah satu aliran filsafat terpenting abad ke-20 yakni linguistic turn atau revolusi kritis filsafat bahasa. Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter ahli saraf. Di tempat praktik dokter ia sering dikonfrontasi dengan persoalan gangguan dan penyakit psikis. Persoalan ini mendorongnya untuk mengembangkan teori revolusi jiwa manusia dalam hubungan dengan ketubuhan dan dimensi perasaan manusia terutama naluri seksual. Ia mengajarkan struktur kesadaran manusia yang terdiri dari tiga bagian yakni Ich, Es dan Über-Ich. Teori psikoanalisa Freud membahas ranah pengalaman dan eksistensi manusia yang selalu ditekan, tabu untuk dibaicarakan atau mengalami proses ideologisasi, yakni pengalaman masa kanak-kanak tentang seksualitas, ketakutan, mimpi dan kegilaan. Pandangan Freud tentang ketaksadaran dan analisisnya tentang cinta badaniah serta mimpi waktu tidur setiap hari (Die Traumdeutung, 1900) telah melahirkan paradigma berpikir baru tentang masyarakat moderen klasik. Menurut Freud, dalam praksis hidup sehari-hari dimensi ketaksadaran memainkan peran jauh lebih penting ketimbang kesadaran. Albert Einstein (1879-1955) mengembangkan teori tentang relasi antara ruang dan waktu, cahaya dan masa (berat) yang kemudian dikenal dengan teori relativitas. Di satu sisi teori ini melahirkan sebuah pemahaman baru tentang pengaruh timbal-balik yang sangat erat antara keempat unsur di atas, di sisi lain memunculkan penilaian metodologis yang baru tentang ketergantungan teori-teori fisika dari hitunganhitungan geometris. Penemuan Einstein ini mendapat sambutan luar biasa dari publik waktu itu. Einstein telah membawa sebuah revolusi kopernikan dalam teori fisika. Ketujuh ilmuwan di atas telah ikut membentuk dan memberi arah bagi perkembangan filsafat abad ke-20. Perkembangan ilmu pengetahuan telah Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/11
meletakkan basis bagi munculnya eksistensialisme, marxisme, pragmatisme, kritik kebudayaan radikal, analisa bahasa logis, psikoanalisa dan diskursus yang intensif dengan teori-teori fisika serta ilmu alam kontemporer. Di samping perkembangan baru ini, filsafat akademis yang diajarkan di universitasuniversitas Eropa tetap diwarnai oleh pandangan moderen klasik seperti misalnya neokantianisme. Substansi teorinya dapat dirumuskan sebagai berikut: teori pengetahuan atau epistemologi memainkan peran sentral dalam filsafat. Tugas filsafat ialah menemukan dan merumuskan syarat-syarat (Kant: Bedingungen der Möglichkeit) semua pengetahuan ilmiah termasuk juga semua tuntutan validitas kultural (hukum, sosial, estetik, religius) yang terobjektivasi dalam institusi-institusi. Filsafat juga melancarkan kritik atas pemahaman pengetahuan manusia yang bersifat empiris (psikologis, faktis-deskriptif) semata. Lebih jauh ia mengembangkan refleksi atas persoalan validitas dan prinsip-prinsip bagi semua bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Salah seorang pemikir neokantian terpenting abad ke-20 adalah Ernst Cassirer (18741945). Ia mengembangkan konsep Kant tentang konstruksi pengetahuan lewat bentuk-bentuk transendental. Hal ini berlaku untuk semua jenis pengetahuan dan bukan hanya pengetahuan konseptual. Cassirer berbicara tentang apriori absolut di sampiang apriori relatif yang berlaku untuk konteks-konteks tertentu. Kritik rasionalitas Kant yang bersifat statis diperluas menjadi kritik kebudayaan dinamisprosedural. Dalam opus magnum-nya Philosphie der symbolischen Formen (tiga jilid 1923, 1925, 1929) Cassirer mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum. Manusia adalah makhluk yang menggunakan simbol dalam segala ranah kehidupan. Pemikiran dan rumusan konseptual hanyalah salah satu contoh khas dari representasi simbolis yang jauh lebih kemprehensif. Cassirer membedakan tiga jenis representasi simbolik. Pertama, fungsi ungkapan yang ditemukan dan bersifat konstitutif di bidang mitologi dan agama. Kedua, fungsi pandangan hidup atau ideologis, konstitutif untuk pengalaman sehari-hari. Ketiga, fungsi makna ditemukan dalam dunia ilmu pengetahuan konseptual. Lewat metode analisis simbol Cassirer mengembangkan prinsip-prinsip sebuah filsafat kebudayaan yang komprehensif. Pada 1919-1933 Cassirer bekerja sebagai profesor di Hamburg, tahun 1933 harus meninggalkan Jerman. Pertama menuju Inggris, lalu ke Swedia dan akhirnya menetap di USA di mana dia bekerja sebagai profesor di Yale dan New York. Karyanya tentang filsafat kebudayaan ditulis dalam buku An Essay on Man. An Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944). Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/12
Di samping neokantianisme, filsafat kehidupan (Lebensphilosophie) merupakan satu aliran filsafat penting pada abad ke-20. Di Prancis Henri Bergson (1859-1941) mengembangkan ajaran tentang ẻlan vital (sebuah daya dorong kehidupan). Karya utamanya tentang perkembangan yang kreatif (1907) mendapat hadiah Nobel bidang literatur pada tahun 1927. Bergson berpikir tentang potensi dasar hidup manusia melampaui darwinisme dan analisis ilmu pengetahuan alam. Potensi dasar kehidupan itu tampak dalam kesadaran akan “aliran murni hidup spiritual” yang selalu bekerja dalam waktu yang kreatif. Bergson ingin memahami hidup manusia secara autentik. Wilhelm Dilthey (1833-1911) ingin mengembangkan lebih jauh kritik akal budi Kant menjadi sebuah kritik akal budi historis. Ia belajar sejarah, filsafat dan teologi. Jika kita menerapkan kritik akal budi Dilthey dengan analisis batas-batas rasionalitas dan kefanaan ke dalam bidang sejarah, maka lahirlah pertanyaan dasariah tentang kemungkinan untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan yang asing. Pertanyaan ini menghantar Dilthey kepada hermeneutik sebagai teori pengetahuan khusus tentang
memahami.
Karena itu hermeneutik
Dilthey
disebut
hermeneutik
kehidupan. Ia menulis: “Pengetahuan tak dapat melampaui kehidupan.” Dilethey juga merancang teori kategori-kategori kehidupan yang pesimistis dengan berpijak pada faktisitas irasional. Dilthey menulis: “Analisis kontemporer tentang eksistensi manusia memenuhi hidup kita dengan perasaan kerapuhan, kekuasaan nafsu gelap, penderitaan lantaran kekelaman dan ilusi, terutama kefanaan hidup itu sendiri.” Konsep sentral Dilthey tentang kehidupan adalah kerapuhan dan kefanaan. Akarnya terletak pada historisitas kehidupan dan ini menghantar Dilthey menuju relativisme ideologi yang menguak prasyarat historis setiap ideologi atau pandangan hidup. Georg Simmel (1858-1918) merupakan salah seorang pendiri disiplin ilmu sosiologi yang menjadikan Lebensphilosophie (filsafat kehidupan) sebagai pusaran refleksi filosofisnya. Ia membangun dialog dengan pemikiran Kant, Darwin dan Nietzsche. Dari penelitian moderen manusia dan seluruh hidup sosialnya dimengerti sebagai hasil sebuah proses sejarah genus yang dapat dijelaskan secara biologis. Sementara itu di sisi lain filsafat terutama Kant selalu mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk bebas dan otonom. Itu berarti ia bebas dari ketergantungan pada alam dan atas dasar tanggungjawab mampu menciptakan “kerajaan keadilan“ (Reich der Gerechtigkeit). Penelitian-penelitian ilmiah tentang hidup manusia di atas merupakan serangan terhadap konsep moral dalam filsafat. Dari perspektif moral penelitianpenelitian
ilmu
alam
tak
menjanjikan
kebaikan
selain
hanya
menguak
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/13
ketergantungan. Paradigma ilmu alam Darwinian berpijak pada fungsionalisme yang sinis dan memandang rendah konsep martabat manusia. Di sisi lain terdapat tuntutan moral yang absolut yang didasarkan pada kejujuran dan tindakan bebas. Ketegangan ekstrim antara Kant dan Darwin menjadi pusat refleksi filsafat kehidupan. Georg Simmel melukiskan ketegangan secara simbolik dalam uraiannya tentang filsafat agama. Benar bahwa agama-agama lahir dari pergulatan manusia dengan penderitaan, rasa takut dan siksaan. Namun terlepas dari konteks kelahirannya agama-gama juga merupakan simbol martabat manusia dan kebenaran. Menurut Simmel, keindahan sekuntum bunga mawar tak berkurang sedikitpun karena pohon mawar bertumbuh di atas tumpukan sampah. Simmel membahas pesismisme tragis dari abad ke-19 (Schopenhauer) dan menemukan di dalamnya sebuah sensibilitas analitis untuk kerapuhan dan instabilitas model-model organisasi sosial. Dalam struktur tragis kehidupan yang diuraikan Simmel kita dapat menemukan jembatan menuju teori revolusi Marx. Demikianpun karyanya Philosophie des Geldes (1900) sebagai sebuah teori ralasi merupakan antitesis atas analisis kapital Marx. Sebagai substansi filsafat kebudayaan Simmel yang bersifat tragis dalam ambivalensi antara Darwin dan Nietzsche di satu sisi dan Kant di sisi lain ditunjukkannya dalam metafisika eksistensial. Hidup harus mampu melampaui dirinya sendiri atau mentransendensi dirinya agar dapat menemukan dirinya dan bertahan hidup. Hidup harus memberikan bentuk kepada dunia. Karena itu untuk memenuhi kebutuhan akan seksualitas dan cinta terbentuklah institusi keluarga moderen. Demikianpun dari hidup Yesus yang dramatis telah lahir institusi Gereja Kristen. Filsafat dialog merupakan salah satu mazhab filsafat penting pada abad ke-20. Aliran filsafat ini dikembangkan oleh Martin Buber (1878-1965) dan Franz Rosenzweig (1886-1929). Filsafat ini menjadikan komunikasi dan relasi dialogal sebagai pusat refleksi etika dan filsafat agama. Dalam Ich und Du (1923), Martin Buber mengulas relasi dialogal manusia sebagai basis seluruh tindakan atau praksis. Sesuai tradisi judeo-biblis relasi manusia dengan Allah juga dipahami sebagai sebuah dialog. Bersama Martin Buber, Rosenzweig menerjemahkan kitab suci Perjanjian Lama ke dalam bahasa Jerman dan dalam karyanya Der Stern der Erlösung ia mengembangkan dalam diskursus dengan Kekristenan sebuah teologi filsafat Yahudi yang bersifat dialogal. Ia coba menangkap pengalaman hidup yang nyata tentang makna dan komunikasi dalam momen kekinian. Dengan cara itu ia memikirkan relasi antara bahasa dan waktu. Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/14
Aliran neokantianisme, filsafat kehidupan dan filsafat dialog terpisah satu dari yang lain, namun memiliki relasi yang erat. Relasi tersebut terutama tampak jelas dalam pengaruhnya di kemudian hari yang diwarnai dengan perang dunia kedua. Putusnya relasi dengan tradisi pencerahan Yahudi lantaran ideologi dan politik rasisme Nazi memiliki dampak negatif bagi perkembangan filsafat di Jerman, sebab banyak filsuf besar berasal dari keturunan Yahudi. Perkembangan ilmu pengetahuan lainnya yang mewarnai sejarah filsafat abad ke-20 adalah proses pemisahan psikologi dan sosiologi dari disiplin ilmu filsafat. Sejak kelahiran filsafat dalam masyarakat Yunani kuno sejumlah disiplin ilmu pengetahuan seperti fisika, politik, ekonomi, zoologi lahir dari rahim ilmu filsafat dan kemudian mengembangkan dirinya sebagai disiplin ilmu yang otonom. Proses pemisahan terakhir terjadi pada abad ke-20 dalam disiplin ilmu sosiologi dan psikologi. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan radikal yang dialami masyarakat moderen. Di satu sisi manusia sendiri dengan segala kemungkinannya sebagai objek penelitian empiris semakin menjadi pusat pemikiran dan kajian ilmu pengetahuan. Di sisi lain manusia sendiri juga semakin sadar bahwa dalam perubahan radikal ini masyarakat dengan kota-kotanya yang makin besar, hubungan produksi dan kerja serta jaringan-jaringan global menjadi semakin kompleks dan berarti bagi prasyaratprasyarat hidup dan pemahaman manusia, sehingga masyarakat tersebut harus ditematisasi dalam disiplin ilmu pengetahuan yang khusus. Proses pemisahan diri sosiologi dari filsafat dapat juga dijelaskan sebagai berikut. Disiplin-disiplin filsafat tradisional yang sejak zaman Yunani Kuno mentematisasi persoalan masyarakat (etika, politik dan ekonomi) dirancang untuk menjelaskan persoalan sosial untuk ukuran polis atau negara kota. Perkembangan global masyarakat moderen membawa perubahan-perubahan ekstrim, masyarakat moderen dengan jutaan kotanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali baru. Seperti halnya Karl Marx di Jerman, Auguste Comte (1798-1857) dan Emile Durkheim (1858-1917) di Prancis sudah memperkenalkan teori-teori dan analisisanalisis khusus yang baru. Durkheim misalnya pada masanya sudah bicara secara khusus tentang pembagian kerja, bunuh diri dan sosiologi agama. Filsuf dan sosiolog Ferdinand Tönnis (1855-1936) membedakan sosiologi teoretis murni yang secara konstruktif membahas konsep-konsep, dari sebuah sosiologi historis terapan yang secara deduktif menjelaskan perkembangan masyarakat dari perspektif normatif, dan sosiologi empiris yang secara induktif menjalankan Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/15
penelitian-penelitian khusus. Dalam opus magnum Gemeinschaft und Gesellschaft (1887) secara filosofis Tönnis mendalami konsep-konsep dasar sosiologi murni. Max Weber (1867-1920) memberikan pendasaran atas sosiologi sebagai teori yang otonom yang ingin menjelaskan realitas sosial dengan bantuan “tipe-tipe ideal“ (Idealtyppen). Tipe-tipe ideal dalam bidang hukum, negara, ekonomi dan kekuasaan dapat digali lewat studi-studi lintas dan perbandingan budaya. Dalam karya utama Wirtschaft und Gesellschaft Weber menggambarkan proses rasionalisasi yang konstitutif bagi modernitas dan menjangkau seluruh ranah kehidupan lewat perkembangan masyarakat industrial. Ia menamakan proses tersebut sebagai Entzauberung der Welt (demitologisasi atau sekularisasi dunia). Pemisahan psikologi dan sosiologi telah melahirkan situasi baru bagi filsafat abad ke20. Jaringan relasi interdisipliner dan perkembangan yang kontradiktoris dari masing-masing bidang tetap bertahan dalam pelbagai bentuk. Di satu sisi, konsepkonsep dasar sosiologi dan psikologi (jiwa, roh, masyarakat dan komunitas) dan persoalan metodenya tetap sama dan menuntut refleksi kritis filosofis, di sisi lain, filsafat hanya menjadi relevan jika tetap harus mengikuti perkembangan aktual hasil penelitian-penelitian dalam bidang psikologi dan sosiologi.
Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/16