SEJARAH DAN PENGANTAR
‘ULUM AL- QUR’AN
Penulis Muhammad Alifuddin
KATALOG DALAM TERBITAN (KDT) SEJARAH DAN PENGANTAR ‘ULUMUL AL-QUR’AN Muhammad Alifuddin 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Layout/Desain Cover Muh. Oi Irpasah
Penerbit Yayasan Sipakarannu Nusantara ISBN 978-979-16-578-3-9 15x21cm, xiii-180 h
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji bagi Allah yang memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulisan buku/bahan ajar Sejarah dan Pengantar Ulumul Qur’an dapat diselesaikan. Penulisan buku ini, bertujuan untuk memenuhi bahan ajar dalam ruang lingkup mata kuliah Ulumul Qur’an, sekaligus diharapkan menjadi tambahan referensi bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan dan cakrawala dalam bidang kajian ilmu-ilmu Qur’an. Buku/bahan ajar ini diyakini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik para pembaca bagi penyempurnaan buku ini sangat dibutuhkan. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku/bahan ajar ini, kami mengucapkan terimakasih. Semoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan balasan atas segala bantuan tersebut. Amin!
Wassalam, Kendari, 7 Nov 2009 Penulis
Muhammad Alifuddin
PEDOMAN TRANSLITERASI a. Konsonan ا
= a
ز
=z
ق
=q
ب
= b
س
=s
ك
=k
ت
=t
ش
= sy
ل
=l
ث
= ts
ص
=s
م
=m
ج
=j
ض
=dh
ن
=n
=th
و
=w
ه
=h
ح
=h
ط
خ
= kh
ظ
د
=d
ع
=‘
ي
=y
ذ
=z
غ
= gh
ة
=a
ر
=r
ف
=f
...ة
= at
b. Vokal Pendek
=z
c. Vokal Panjang
َ◌-
=a
ﺎ
- ِ◌
=i
= ﻮuu
- ُ◌
=u
ﻲ،ي
آ d. diftong ﯿ
= aa
= ii
= aa
e. Pembauran kata sandang tertentuI = aw
……. اﻠ
= ay
...اﻟﺸ
= al = al-sy
... = واﻠwa al
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PEDOMAN TRANS LITERASI BAB I
: PENDAHULUAN
BAB II
: KONTEKS KESEJARAHAN QUR’AN A. Arab Pra Islam dan Sebelum Risalah B. Mekkah Sebuah Masyarakat Kabilah C. Kondisi Sosial dan Keagamaan di Jazirah Arabiyah D. Risalah Muhammad
BAB III
: ‘ULUM AL-QUR’AN MAKNA DAN PENGERTIAN A. Arti dan Pengertian ‘Ulum al-Qur’an serta Ruang Lingkup Pembahasannya B. Lahirnya Istilah ‘Ulum al-Qur’an C. Urgensi ‘Ulum al-Qur’an D. Sejarah dan Perkembangan ‘Ulum al-Qur’an E. Pengkodifikasian ‘Ulum al-Qur’an
BAB IV
: SEJARAH TURUNYA AL- QUR’AN A Sekilas tentang Makna, Pengertian dan Ragam Nama Qur’an B.Turunnya Qur’an: Cara dan Proses
BAB V
: SEAJARAH PENGUMPULAN QUR’AN A.Pengumpulan Qur’an Pada Masa Nabi SAW. 1. Pengumpulan dalam dada dengan Cara Menghafal dan Melahirkannya 2. Pengumpulan dalam Tulisan B. Pengumpulan Qur’an Pada Masa Abu Bakar C. Pengumpulan Qur’an Pada Masa Usman D. Mushaf Pasca Usman
BAB VI
: MUKJIZAT QUR’AN A. Ijaz Qur’an B. Qur’an; Mukjizat Terbesar Nabi Muhammad SAW C. Mengapa Mukjizat Nabi Muhammad SAW., Justru Qur’an? D. Macam-Macam Ijaz Qur’an
BAB VII
: BEBERAPA ASPEK KAJIAN ‘ULUM AL-QUR’AN A. Kronologi Qur’an
v
1. Ayat Pertama dan Terakhir 2. Makkiyah dan Madaniyah 3. Ciri-Ciri Makkiyah dan Madaniyah 4. Munasabah B. Asbabun Nuzul 1. Pengertian Asbabun Nuzul 2. Pentingnya Asbabun Nuzul 3. Pendekatan untuk Mengetahui Asbabun Nuzul C. Muhkam dan Mutasyabihat 1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat 2. Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat D. Qira-at 1. Pengertian Qira-at 2. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Qira-at DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
BAB I PENDAHULUAN Qur’an adalah kalam Allah diimani oleh umat Islam sebagai sumber utama aqidah/sistem keimanan dan keyakinan demikianpula dalam hal-hal
yang
berhubungan dengan hukum dan ibadah orang Islam. Bagi umat Islam Qur’an berisi aturan-aturan untuk semua subjek yang berhubungan dengan manusia, kebijakan, ajaran, ibadah, jual-beli, hukum, dan lain-lain. Akan tetapi yang Paling utama adalah hubungan antara Allah dan makhluk Nya. Pada saat yang sama, Qur’an juga memberikan tuntunan dan ajaran
tentang sistem sosial kemasyarakatan, tatacara
bergaul atau berperi laku dengan sesama manusia dan sistem ekonomi secara adil. Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dalam bahasa Arab. Sehingga banyak terjemahan Qur’an, baik yang diterjemahkan ke daiam bahasa Inggris atau bahasa lain. Tidak ada Qur’an lain atau versi lain Qur’an selain Qur’an itu sendiri. Qur’an tetap eksis hanya dalam bahasa Arab sejak diturunkan. Qur’an sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam adalah mukjizat abadi Nabi Besar Muhammad SAW. Adalah sangat istimewa, mukjizat abadi itu justru merupakan sebuah Kitab, dan dengannya Allah menutup kenabian. Tidaklah mengherankan apabila kemudian Qur’an menjadi Kitab yang paling banyak dibaca orang, dikaji, dan ditelaah. Dan sungguh suatu "mukjizat" bahwa kajian-kajian tersebut senantiasa menjadikan orang semakin kagum dan ingin mengkaji lebih dalam. Jargon "kembali kepada Qur’an" demikianpula jargon yang menyebutkan “Islam cocok untuk segala zaman dan tempat” sudah banyak didengungkan orang. Menurut Muhammad Husain Thaba’thaba’i, (tampaknya) terjadi semacam konvensi di dalam tubuh umat Islam, bahwa formula tersebut dapat mengangkat umat Islam dari keterpurukan dan ketertinggalannya, dan mengantarkan mereka kepada suatu kebangkitan kembali yang didambakan. Pertanyaan kemudian adalah, sudahkah umat Islam mengenal Kitab Suci ini? Atau, sudah benarkah pengenalannya selama ini?
Tanpa pengenalan yang benar, semboyan itu tak akan panya arti apa-apa dan tidak akan membawa dampak yang berarti. Oleh karena itu, Qur’an sebagai himpunan firman Allah dan garis besar terjemahan dari alam raya. Qur’an bukanlah sekedar doiamkumen historis atau pedoman hidup dan tuntunan spiritual bagi seluruh manusia, tetapi juga sebagai mitra dialog untuk menemukan solusi dari masalah kehidupan, sehingga karenanya wajib “diajak” untuk berdialog, dikaji, dinalar sekaligus diamalkan. 1 Dalam konteks tersebut, maka mengkaji dan memahami isi dan muatan Qur’an adalah salah satu tuntutan mendasar bagi umat
Islam. Mengkaji untuk
memahami nilai, ajaran, serta petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam Qur’an dalam tradisi ilmu-ilmu keagamaan disebut dengan tafsir. Tafsir sebagai suatu ilmu dimaksudkan sebagai satu perangkat dan pendekatan untuk memahami konsep dan ajaran Qur’an secara tepat. Untuk memahami Qur’n secara tepat, diperlukan sejumlah pengetahuan yang terkait dengan pembahasan tentang eksistensi Qur’an serta metode dan alat memahami dan menafsirkan Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, muhkam dan mutasyabih, qira-at dan sejumlah pengetahuan lainnya, yang disebut dengan Ulumul Qur’an. Ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu yang terkait dengan topik Qur’an memiliki obyek yang sangat luas. Namun demikian, isi buku hanya memuat beberapa di antaranya yang disesuaikan dengan tuntutan silabus Ulumul Qur’an. .
1
Muhammad Husain Thaba’thaba’i, Memahami Esensi Al-Qur’an........hlm. 1/ M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Qur’an, Hadis dan Ilmu, (Bandung: Al-Bayan, 1994), hlm. 1
BAB II KONTEKS KESEJARAHAN QUR’AN
A. Arab Pra Islam dan Sebelum Risalah
Secara geografis Arab terletak pada persimpangan tiga benua, hal ini menjadikan semenanjung Arab menjadi dunia yang paling mudah dikenal di alam ini. Dibatasi oleh Laut Merah pada bagian barat, Teluk Persia di sebelah Timur, Lautan India di sebelah selatan, Suriah dan Mesopotamia di utara, dahulu merupakan tanah yang gersang dari peppohonan dan tumbuh-tumbuhan khususnya di pegunungan Sarawat yang melintasi garis pantai sebelah barat. Meski tidak banyak perairan, beberapa sumbernya terdapat di bawah tanah yang membuat ketenangan dan sejak dulu berfungsi sebagai urat nadi permukiman
manusia
dan
kafilah-kafilah.
Dalam catatan sejarah ditemukan bukti yang kuat jika di wilayah ini telah dihuni oleh manusia sejak awl keberadaannya. Pada abad ke 3 SM, atau bahkan sebelum abad ke 3 SM., ditemukan fakta, bahwa masyarakat yang bermukim di Teluk Persia telah membangun negara perkotaan, city-state,.1 Kendatipun belum disepakati secara bulat, namun, sebagian besar sejarawan berpandangan bahwa wilayah tersebut sebagai tempat kelahiran suku bangsa Semit. Istilah Semit mencakup: Babilonia (pendapat Von Kremer, Guide, dan Hommel); semenanjung Arabia (Sprenger, Sayce, De Goeje, Brockelmann, dan lain-lain); Afrika (Noldeke dan lain-lain); Amuru (A.T. Clay); Armenia (John Peaters); bagian sebelah selatan semenanjung of Arabia (John Philby); dan Eropa (Ungnand).
Selain penduduk yang berasal dari orang Arab sendiri, juga terdapat peregerakan penduduk selain dari bangsa Arab sendiri. Perlu dicatat, di sana terdapat para pengungsi bangsa Yahudi, beberapa abad kemudian, memperkenalkan agamanya pada masa pengasingan orang-orang Babilonia. Mereka kemudian menetap di Yathrib (Madinah sekarang), Khaebar, Taima', dan Fadak pada tahun 587 sebelum masehi dan tahun 70 Masehi. Suku bangsa Nomad terus mengalami perubahan. Suku bangsa Tha 'liba dari keturunan Qahtan juga tinggal di Madinah. Di antara anak cucu keturunan mereka adalah
kabilah Aws dan Khazraj, yang kemudian ke duanya lebih dikenal sebagai kaum alAnsar' (pendukung utama Nabi Muhammad). banu Haritsah, yang kemudian dikenal sebagai banu Khuza'a, tinggal di Hejaz menggantikan penduduk sebelumnya, banu Jurhum, yang kemudian menjadi pemelihara Baitullah atau Ka'bah di Mekah. Merekalah yang harus memikul tanggung jawab karena melahirkan sistem keberhalaan. Bani Lakham, kabilah lain dari Qahtan, menetap di Hira (Kufa, sekarang Irak) di mana mereka mendirikan sebuah negara kecil sebagai penahan antara Jazirah Arabia dan Persia (200602 masehi). Bani Ghassan menetap di Suriah sebelah bawah dan mendirikan kerajaan Ghassan, sebuah negeri penahan antara Byzantin dan Arab, yang berakhir hingga tahun 614 masehi. Bani Tay menduduki daerah pegunungan Tayy sedang ban! Kinda menetap di pusat Arab. Gambaran secara umum dari semua kabilah tersebut merupakan jalur keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Isma'il.1
B. Mekah: Sebuah Masyarakat Kabilah
Meski disebut sebagai kota negara, city-state, Mekah tetap merupakan masyarakat kesukuan hingga akhir penaklukannya pada masa Nabi Muhammad. Sistem kependudukan masyarakat dibangun menurut kabilah dimana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Seorang Arab tidak akan dapat memahami pemikiran negara kebangsaan melainkan dalam konteks sistem kesukuan
"Adalah
(kabilah),
hubungan
negara
kebangsaan
yang
mengikat
keluarga
ke
dalam
kesukuan,sebuah negara yang didasarkan pada hubungan darah daging seperti halnya negara kebangsaan yang dibangun di atas garis keturunan. Adalah hubungan kekeluargaan yang mengikat semua individu ke dalam negara dan kesatuan. Hal ini dianggap sebagai agama kebangsaan dan hukum perundangan-undangan yang telah mereka
sepakati."
1
Disadur dan diringkas dari, Muhammad Mustafa Azami, The History of The Qur'anic Text , terj. Sohirin M. Solihin, dkk,Sejarah Teks Qur’an, (Kuala Lumpur, 2005), hlm. 15-16
Setiap anggota merupakan asset seluruh kabilah di mana munculnya seorang penyair kenamaan misalnya, ahli perang pemberani, orang terkenal dalam kebaikan dalam satu kabilah, akan membuat kehormatan dan nama baik seluruh garis keturunannya. Di antara tugas utama tiap pendukung kesukuan adalah mempertahankan bukan saja terhadap anggotanya melainkan setiap mereka yang secara sementara seperti tamu-tamu yang hadir di bawah bendera kabilah. Memberi proteksi pada mereka merupakan suatu kehormatan yang dicapai. Oleh karena itu, kota Mekah sebagai kota kenegaraan selalu siap menyambut setiap pendatang menghadiri perayaan, melakukan ibadah haji, atau pun sekadar lewat dengan rombongan ber-unta. Memberi pelayanan permintaan ini memerlukan keamanan dan fasilitas yang memadai, dan, oleh karena itu institusi kemudian dibangun di kota Mekah (di mana beberapa di antaranya oleh Qusayy sendiri): seperti Nadwa (lembaga perkotaan), Mashura (dewan nasihat), Qiyada (kepemimpinan), Sadana (adminstrasi kota suci), Hijaba (pemeliharaan Ka'bah), Siqaya (pengadaan air minum buat para jemaah haji), Imaratul-bait (pemeliharaan kesucian Ka'bah), Ifa`da (mereka yang berhak memberi izin pada orang pertama yang melangkah dalam acara perayaan), Ijaza, Nasi (institutsi penyesuaian kelender), Qubba (membuat tenda mengumpulkan sumbangan bagi mengatasi keadaan darurat, A'inna (pemegang kendali kuda), Rafada (pajak untuk membantu para jemaah haji yang miskin), Amwal muhajjara (sedekah untuk kesucian), Aysar, Ashna2
C. Kondisi
Sosial
dan
Keagamaan
di
Jazirah
Arabiyah
Dalam perspektif politik, daerah sebelah barat dan sebelah utara jazirah Arab, yaitu Mesir dan Syam (Syria) dikuasai oleh kerajaan Bizantium (Romawi, Rum), sedang daerah sebelah timur dan sebelah selatan, yaitu Irak dan Yaman dikuasai oleh kerajaan Persia. Kedua kerajaan itu sangat berambisi untuk menguasai jazirah Arab. Oleh karena itulah kedua kerajaan itu selalu bermusuhan dalam jangka waktu panjang. Bahkan setelah Islam memayungi jazirah tersebut, peperangan masih saja berlangsung, baru pada tahun 638 api peperangan dapat dipadamkan.
2
Ibid., hlm. 17
Ketika Rum gagal mengembangkan ekspansinya ke jazirah Arab dengan kekerasan ia mencoba menembusnya dengan jalan lain yaitu perdamaian. Mereka menawarkan bantuan kepada kerajaan Ghasasinah, yang terletak di sebelah utara jazirah Arab, dan menjadikannya sebagai alat untuk melancarkan serangan secara halus. Persia pun melakukan hal yang sama seperti Romawi. Mereka memberikan bantuan kepada kerajaan Manadzirah, yang dikuasai raja-raja Hirah di sebelah timur, dan mengangkat mereka sebagai tameng pembendung serangan Romawi. Bangsa Romawi adalah bangsa yang beragama Nasrani, dari itu tak heran kalau kemudian Ghasasinah yang merupakan daerah pengaruh Romawi juga menjadi pemeluk Nasrani. Begitu pulalah yang terjadi dengan daerah pengaruh Persia-Manadzirah-berubah menjadi pemeluk agama Majusi. Orang-orang Nasrani mencari jalan menuju ke jazirah Arab melalui Syam (Syiria), sedangkan orang-orang Majusi mencari jalan ke jazirah Arab melalui Hirah. Peperangan yang dahulu menggunakan pedang lawan pedang, berubah menjadi perang ideologi (ide lawan ide). Orang-orang Majusi membangun koalisi dengan orangorang Yahudi dan saling
mendukung serta bahu-membahu melawan orang-orang
Nasrani. Jazirah Arab menjadi saksi saling pertukaran ide tersebut. Mereka menyampaikan pendapatnya secara terpisah antara Majusi, Yahudi dan Nasrani. Keadaan seperti ini menambah perpecahan dalam lingkungan bangsa Arab, demikian pula dengan bangsa Yahudi yang terpecah menjadi beberapa kelompok yaitu; Rabbaniyyin, Qara’in dan Samiriyyin. Sedang Nasrani terpecah menjadi Ya’aqibah, Nasathirah dan Ariyusiyyin. Dalam perekembangan selanjutnya orang-orang Arab terbagi menjadi dua komunitas (terbelahnya jazirah Arab), yaitu penyembah binatang dan penyembah berhala. Dengan demikian, titik tolak pemikiran bangsa Arab yang telah terpaut pada dua arus budaya tersebut, kemudian berlanjut pada persepsi mereka masing-masing. Seperti apa yang benar dan apa yang baik. Tegasnya mereka telah menjauh dari syariat Ibrahim dan Isma’il yang diwariskan kepada mereka, mereka tidak lagi berpegang pada syariat tersebut, kecuali hanya pada sebagian kecil saja yaitu sikap mengagungkan Ka’bah dan haji ke Mekkah.
Selain dari itu mereka telah menjadi umat yang sesat, senang melakukan dosa besar, akal yang dipengaruhi oleh khurafat, tunduk kepada berhala, senang kepada tukang ramal, mengandalkan diri kepada anak panah, moralnya rentan dan runtuh pada judi dan minuman yang memabokkan. Keadilan hilang ditumpas oleh kezaliman orang-orang yang berkuasa, apalagi rasa aman dan sejahtera.3
D. Risalah Muhammad Menjelang masa kenabian Muhammad, Jazirah Arab tidak merasa akrab melihat semua bentuk reformasi keagamaan. Sejak berabad-abad masyarakat Arab menjadi masyarakat penyembah patung/ berhala, dan kondisi tersebut tetap berlangsung baik pada masa kehadiran permukiman kaum Yahudi maupun (setelah adanya) upaya-upaya Kristenisasi yang muncul dari Syria dan Mesir. William Muir, dalam bukunya, The Life of Mahomet, beralasan bahwa kehadiran kaum Yahudi atau keberadaan mereka membantu menetralisasi tersebarnya ajaran Injil melalui dua tahap. Pertama, dengan memperkuat diri sendiri di sebelah utara perbatasan Arab, dan untuk itu, mereka membuat penghalang, barrier, antara ekspansi Kristen ke utara dan penghuni kaum berhala di sebelah selatan. Kedua, para penyembah berhala bangsa Arab telah melakukan kompromi dengan agama Yahudi dalam memasukkan cerita legendaris guna menghabisi permintaan aneh-aneh agama Kristen. Azami menolak teoresasi Muir, lebih lanjut Azami menjelaskan, bahwa secara historis, bangsa Arab, sebenarnya, masih memiliki sisa-sisa keagamaan monoteistik Nabi Ibrahim dan Isma'il yang telah diubah oleh khurafat dan kebodohan.
Demikian pula dengan ajaran Kristen, pada abad ke-7 ajaran dan konsep Kristiani tenggelam dalam perubahan dan mitos palsu dan terperangkap dalam stagnasi secara total. Dulunya ditemukan adanya Bangsa Arab yang mengikuti agama Kristen, namun pilihan mereka terhadap Kristen bukan disebabkan oleh dakwah
persuasive kaum
Nasrani, melainkan akibat kekejaman kekuasaan politik. Tak ada kekuatan yang dapat melumpuhkan para penyembah berhala bangsa Arab dimana kemusyrikan mencengkeram 3
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an al-Karim, terj. Taufiqurrahman (Bandung: Pustaka Setia, 2003),hlm. 5-7
begitu kuatnya. Lima abad lamanya upaya Kristenisasi membuahkan hasil nihil. Perpindahan terhadap agama Kristen hanya terbatas pada Bani Harith dari Najran, Bani Hanifa dari Yamama, dan beberapa Bani Tayy di Tayma'. Dalam masa lima abad, sejarah tidak mencatat adanya satu insiden apa pun yang menyangkut sikap penyiksaan para misionaris Kristen. Oleh karena itu, jika kristenisasi mendapat sikap toleran, maka hal yang berbeda dirasakan dan dialami oleh pengikut Muhammad. Sejak awal mula Islam didakwakan kepada warga Makkah, Islam dianggap sebagai suatu yang membahayakan terhadap institusi keberhalaan bangsa Arab. 4 Penting untuk diketahui, bahwa ketika awal mula Muhammad menginjakkan ke dua kakinya di tanah Mekkah, bagian dari jazirah Arab telah menjadi pusat perhatian dunia,dan sebagai salah satu pusat kegiatan budaya di semenanjung Arabiyah. Kenyataan tersebut membentuk watak dan pola piker masyarakat Arab Makkah khususnya, sehingga menjadikan mereka sebagai komunitas yang sangat kuat memegang budaya dan tradisi nenek moyang mereka sebagai penyembah berhala. Namun, Allah telah menjaga dan memberikan kepada Muhammad berkat, berupa perlindungan atau semacam proteksi Allah kepada Muhammad agar terjauh dan terhindar dari pengaruh budaya dan tradisi jahiliyah. Dan menjaganya dari pekerjaan yang sia-sia sejak usia dini hingga masa penuh kematangan (dewasa), tujuannya agar Muhammad terhindar dari perbuatan jahat, sekaligus untuk menanamkan kejujuran pada perkataan dan segala tindak tanduknya, menaburkan benih amanat pada perbuatannya, memenuhi hatinya dengan sifat kasih sayang, dan menjadikan fikiran Beliau penuh hikmah, agar manusia memperoleh kembali sifat-sifat fitrah mereka yang telah hilang. Ketika Muhammad SAW., telah dewasa, dan segala sifat maupun sikap terpuji dan keteladanan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup kesehariannya, maka komunitas Arab pada waktu itu mulai sadar bahwa mereka berada di hadapan keajaiban yang sangat sulit diketahui orang awam, tetapi tidak sulit diketahui orang tertentu yang menguasai al Kitab, kemudian mereka mengetahui bahwa Muhammad adalah Nabi yang ditunggutunggu. Muhammad SAW., terus berjalan pada jalan yang telah ditetapkan, dan dipersiapkan Allah untuk menerima wahyu yang akan diturunkan Allah kepadanya. Maka pada hari4
Ibid
hari berikutnya Muhammad bermimpi dengan sangat terang, bagaikan terbitnya waktu subuh. Kemudian Beliau suka mengasingkan diri, menghabiskan bermalam-malam di Gua Hira’. Untuk beribadah, dan tidak pulang kepada keluarganya kecuali apabila ada keperluan mengambil bekal untuk kepentingan yang sama. Pada waktu Muhammad SAW mengasingkan diri di Gua Hira’ untuk beribadah, datanglah malaikat Jibril dengan menjelma sebagai manusia, membawa wahyu dari Tuhannya dan memberitahukan kepada Muhammad SAW., agar mengajak umat kepada Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan berhala-berhala. Permulaan wahyu itu turun pada bulan Ramadhan tanggal tujuh belas. Dalil yang menunjukkan kepada ketentuan yang pertama (bulan Ramadhan), ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah, ayat 185: (١٨٥)........ ُﺷﮭْﺮُ رَ َﻣﻀَﺎنَ اﻟﱠﺬِي أُﻧْﺰِ َل ﻓِﯿ ِﮫ ا ْﻟﻘُﺮْ آن َ “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an.” Adapun dalil yang menunjukkan kepada ketentuan yang kedua (tanggal tujuh belas), ialah surat Al -Anfal Ayat 41: (٤١)......... ِﻋ ْﺒ ِﺪﻧَﺎ ﯾَﻮْ َم ا ْﻟﻔُﺮْ ﻗَﺎنِ ﯾَﻮْ َم ا ْﻟﺘَﻘَﻰ ا ْﻟ َﺠ ْﻤﻌَﺎن َ ﻋﻠَﻰ َ إِنْ ُﻛ ْﻨﺘ ُ ْﻢ آ َﻣ ْﻨﺘ ُ ْﻢ ﺑِﺎ ﱠ ِ وَ ﻣَﺎ أَﻧْﺰَ ْﻟﻨَﺎ “Jika Kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan.” Pertemuan dua pasukan,-yaitu pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin dalam pertempuran Badar terjadi pada tanggal tujuh belas Ramadhan tahun dua Hijriyah. Dan wahyu yang pertama kali turun ialah: (١ ) ﻖ َ َاﻗْﺮَ أْ ﺑِﺎﺳْﻢِ رَ ﺑِّﻚَ اﻟﱠ ِﺬي َﺧﻠ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.:
Rasul telah menerima wahyu itu dengan susah payah dan pergi membawa wahyu itu dengan fikiran tak menentu. Setelah keluar dari Gua Hira berhentilah Beliau di suatu tempat, memandang ke ufuk langit, tidak maju dan tidak mundur hingga jiwa Beliau menjadi tenang, dan sampailah Beliau kepada Khadijah. Turunnya wahyu terhenti sementara, keadaan demikian mendorong Rasul senang beribadah. Ibadah itulah yang telah mempersiapkan jiwa Muhammad SAW., untuk menerima wahyu. Tetapi sekalipun telah ada persiapan dan pendekatan batin, jiwa Beliau tetap terguncang karena kebesaran apa yang dilihat dan didengar. Dengan demikian Beliau mampu menyelesaikan satu periode untuk kemudian siap pada periode berikutnya. Setiap periode memerlukan persiapan sebagaimana periode pertama. Persiapan yang baru ini merupakan selang waktu yang diperlukan Muhammad SAW., untuk menyendiri, agar jiwa Beliau tenang, sehingga Beliau dapat menerima wahyu dalam keadaan siap.
Selang waktu yang demikian merupakan khalwat yang
kedua sesudah khalwat yang pertama di Gua Hira. Khalwat yang pertama mempersiapkan jiwa Beliau untuk menerima wahyu, sedang khalwat yang kedua mempersiapkan jiwa Beliau agar mudah menerima wahyu. Adanya jedah waktu dari masa penerimaan wahyu pertama ke wahyu berikutnya mendorong penduduk Mekkah untuk melontarkan isu bahwa Tuhan telah meninggalkan dan membenci Muhammad SAW. Pernyataan yang sesat itu diulang-ulang sebagai ejekan, dan akal yang sesat itu berusaha memperdaya akal yang sehat agar berpaling dari da’wah yang dikumandangkan Muhammad. Ejekan bangsa Arab itu menyedihkan, tetapi yang paling menyedihkan Nabi SAW., ialah terputusnya wahyu, dan sebaliknya yang paling didambakan adalah hubungan Beliau dengan wahyu. Ketika Nabi telah siap baik lahir maupun batin, datanglah kembali wahyu itu dan turunlah kepada Muhammad SAW., firman Allah SWT: (٣) (ﻣَﺎ وَ دﱠﻋَﻚَ رَ ﺑﱡﻚَ وَ ﻣَﺎ ﻗَﻠَﻰ٢) ﺳﺠَﻰ َ (وَ اﻟﻠﱠ ْﯿ ِﻞ إِذَا١) ﻀﺤَﻰ وَ اﻟ ﱡ “Demi Dhuha dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan Kamu dan tidak benci kepadamu.” (Al-Dhuha: 1-3)
Wahyu itu membantah kaum yang mengada-adakan kedustaan. Kemudian turun firman Allah: (٢) ْ(ﻗُ ْﻢ ﻓَﺄ َ ْﻧﺬِر١) ُﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ ا ْﻟ ُﻤﺪﱠﺛِّﺮ “Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan.”
Wahyu ini memerintahkan agar Rasulullah menyampaikan secara terbuka ajaran serta wahyu yang ia terima kepada masyarakat umum, untuk selanjutnya selama masa kurang lebih 23 tahun Allah menurunkan wahyunya berupa ayat-ayat suci Qur’an sebagai suluh kehidupan dan petunjuk jalan yang lurus. Demikianlah wahyu diturunkan oleh Allah kepada Muhammad SAW., sebagai rangkaian dari proses sejarah Qur’an.
BAB III ‘ULUM Al- QUR’AN MAKNA DAN PENGERTIAN A.
Arti dan Pengertian ’Ulum al-Qur’an serta Ruang Lingkup
Pembahasannya ’Ulum al-qur’an bersumber dari bahasa arab, kata majemuk yang tersusun atau terdiri dari dua kata yaitu ”’ulum” dan ”al-qur’an”. ”’Ulum” adalah jamak darikata ”’ilm” yang bermakna alfahmu wa al idrak (faham dan menguasai atau ilmu), sedangkan al-qur’an ; adalah kitab suci umat Islam. Qur’an adalah kalam Allah (firman Allah) yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Muhammad SAW., dalam bahasa Arab melalui Jibril, yang disampaian kepada manusia dengan jalan mutawatir, termaktub dalam sebuah kompilasi/mushaf, yang secara berurut dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.
menunjuk pada
nama kitb suci yng diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril. Dari pengertin dasar tersebut, maka ulumul Qur’an dapat didefenisikan; sekolompok ilmu yang mengkaji dan membahas segala hal yang terkait dengan pengetahuan tentang Qur’an atau ilmu tentang seluk beluk Qur’an. Qur’an sebagai kitab suci, sejak awal turunnya yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW., telah banyak menarik perhatian berbagai kalangan pada masa itu. Khusus di dalam internal umat Islam Qur’an telah dikaji dengan seksama oleh para sahabat pada masa awal dibawa bimbingan langsung oleh Rasulullah, dan setelah Rasul wafat tradisi tersebut tetap berlanjut oleh para sahabat, kemudian para tabi’in, tabi’ tabi’in hingga masa-masa berikutnya. Antusiasme umat Islam mempelajarai dan mendalami Qur’an
kemudian
menimbulkan berbagai ragam macam ilmu yang dibangun sebagai sarana dan pendekatan untuk memahami makna Qur’an oleh umat Islam. Dalam persepektif historis, bangunan awal ilmu Qu’ran dimulai pada masa tabi’in-tabi’in. Pada masa pasca tabi’in-tabi’in dasar-dasar teori-teori tentang studi Qur’an semakin berkembang, yang kemudian
mengukuhkan ’ulum al-qur’an sebagai bagian dari ilmu keagamaan seperti fiqhi, kalam dan sabagainya. 1 Oleh karena itu Muhammad Ali Al-Shabuni menyebutkan bahwa;yang dimaksud dengan ’ulum al-qur’an adalah suatu pembahasan yang berkaitan dengan Qur’an almajid yang abadi dari segi caranya turun, pengumpulannya, urutan serta pembukuan. Mengetahui asbab al-nuzul, bentuk makkiyah dan madaniyya, mengetahui nasikh mansukh, ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, dan banyak pembahasan lagi yang berhubungan dengan Qur’an.2 Al-Zarqani dalam manahil al-irfan menyebutkan: ’lum alqur’an adalah ilmu yang membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan qur’an alkarim, yaitu dari aspek nuzulnya, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, penjelasan (tafsir),mukjizat, nasikh mansukh, serta sanggahan terhadap pendapat dan argumen yang menimbulkan keraguan tehadap Qur’an3 Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya ’ulum al-qur’an juga memiliki item-item pembahasan yang merupakan bagian-bagian penting yang mesti diketahui, Hasbi AsShiddiqi salah seorang ulama terkemuka tanah air (Indonesia) meletakkan 7 (tujuh) hal utama yang dibahas dalam ulum al-qur’an, dimana pendapat tersebut sejalan dengan pandangan al-Zarqani, ketujuh hal tersebut adalah: (1). Persoalan nuzul (turunnya ayat qur’an), (2). Persoalan sanad, (3). Qira-at (cara membaca Qur’an) (4). Pembahasan yang menyangkut lafal Qur’an, (5). Makna Qur’an yang terakait dengan masaah hukum, dan. (6), Persoalan yang terkait dengan makna Qur’an dalam hubungannya dengan lafal.
4
B. Lahirya Istilah ’Ulum al-Qur’an Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ’ulum al-qur’an telah menunjukkan kelahiran ilmu ini melalui proses yang cukup panjang. Tahap demi tahap ilmu-ilmu yang menjadi bagian Ulumul Qur’an tumbuh dan berkembang, seperti ilmu tafsir, ilmu rasm al-qur’an, ilmu Qiraat, ilmu gharib al-qur’an, dan seterusnya. Kemudian ilmu-ilmu ini membentuk kesatuan yang mempunyai hubungan dengan Qur’an, baik dari segi 1
Istilah ’ulum al-qur’an menurut beberapa sumber mulai digunakan pada abad ke VI Hijriyah, oleh Abu Farj Ibn al-Jawzi. Tentang hal ini merupakan hasil interpertasi dari ungkapan yang disampaikan oleh al-Sayuti dalam Muqaddimah al-Itqan 2 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi al-’Ulum al-Qur’an, hlm. 8 3 Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, I (Beirut: Dar al-Fikri), hlm. 79 4 Ibid., hlm. 24
keberadaan Qur’an maupun dari segi pemahamannya. Karena itu ilmu-ilmu ini disebut ilmu-ilmu Al-Qur’an yang dalam istilah bahasa Arabnya “Ulum al-qur’an”. Namun, kapankah istilah ini muncul dan siapakah orang yang pertama menggunakannya. Mengenai sejarah lahirnya istilah ini terdapat tiga pendapat di kalangan para penulis Ulumul Qur’an. 1. Mayoritas penulis sejarah ‘ulum al- qur’an mengatakan bahwa masa lahirnya istilah ‘ulum al- qur’an pertama kali pada abad ke 75 2. Muhammad ‘Abd al-Azim al-Zarqani dalam Manhil al-‘Irfan menyatakan bahwa istilah ‘ulum al-qur’an muncul pada awal abad V oleh Al-Hufi (w. 430 H) dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an.6 Mengomentari hal tersebut ; Muhmmad bin Muhammad Abu Syu’bah mengatakan; kitab (yang dimaksud oleh al-Zarqani sebagai alBurhan fi ‘Ulum al-Qur’an ) sesungguhnya adalah merupakan kitab tafsir yang mengemukakan tafsir, ahsab an-nuzul, qira-at, at-waqf (aturan bacaannya). Dengan demikian, buku yang dimaksud oleh al-Zarqani tidak ada bedanya dengan karya tafsir, alQurthubi dan al-Fakhru al-Razi. Kitab tersebut lebih menonjolkan bidang ketafsirannya daripada bidang ‘ulum al-qur’an, meskipun penamaannya lebih mengarah pada ‘ulum alqur’an. Lebih lanjut Syu’bah mengatakan bahwa; berdasarkan atas hasil telaah terhadap kitab yang disebut oleh al-Zarqani, ternyata nama kitab tersebut adalah al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an. Dengan demikian,….yang benar adalah kitab tersebut termasuk kitab tafsir, sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang yang telah menelusuri juz-juz yang ada dalam kitab tersebut.7 3. Pandangan lain diajukan oleh Shubhi Shalih; Ia tidak sependapat dengan kedua pandangan di atas. Shalih berpendapat bahwa orang yang pertama kali menggunakan istilah ’ulum al-qur’an adalah Ibn Al-Mirzaban (w. 309 H). pendapat ini didasarkan kepada hasil telaahnya kitab-kitab yang ada, Shalih menemukan istilah ini (’ulum alQur’an) pada mulanya di antaranya digunakan dalam kitab Ibn al-Mirzaban berjudul al-
5
Aal-Zarqani, , Manahil…..., hlm. 34
6
Al-Zarqani berpendapat bahwa istilah ini lahir dengan lahirnya kitab Al-Burhan fi ‘Ulum AlQur’an, karya Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id yang terkenal dengan sebutan Al-Hufi (w. 430 H). menurut AlZarqani, kitab ini terdiri dari 30 jilid. Lima belas jilid daripadanya sekarang disimpan di Balai Perpustakaan Kairo dengan tidak tersusun dan tidak berurutan. Berdasarkan ini, Al-Zarqani berpendapat bahwa lahirnya istilah Ulumul Qur’an pada permulaan abad ke-5, ibid 7 Abu Syuhbah, Kitab.......hlm. 62
Hawi fi ‘Ulum al Qur’an, pada abad ke-3 H.8 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga setuju dengan pendapat terakhir ini.9 Dari ketiga pendapat tersebut di atas, pendapat Shubhi Al-Shalih jelas lebih kuat. Sebab, berdasarkan sejarah pertumbuhan ilmu ini sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, Ibn al-Mirzaban-lah penulis yang paling pertama menggunakan istilah ’ulum al- qur’an. 10
Dalam perkembangannya Ilmu ini memiliki sejumlah cabang, menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tujuh belas ilmu-ilmu Al-Qur’an yang terpokok.11 1. Ilmu Mawathin al-Nuzul Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turun ayat, masanya, awalnya dan akhirnya. Di antara kitab yang membahas ilmu ini adalah Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an karya Al-Suyuthi 2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul Ilmu ini menjelaskan masa turun ayat dan urutan turunnya satu persatu, dari permulaan turunnya sampai akhirnya serta urutan turun surah dengan sempurna 3. Ilmu Asbab al-Nuzul Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab turun ayat. Di antara kitab yang penting dalam hal ini adalah kitab Lubab al-Nuqul karya al-Suyuthi. Namun, perlu diingat bahwa banyak riwayat dalam kitab ini yang tidak sahih 4. Ilmu Qira-at Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan Al-Qur’an yang telah diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh qiraat yang sah dan beberapa macam pula yang tidak sah. Tulisan al-Qur’an yang beredar di Indonesia adalah menurut qiraat Hafsh, salah satu qiraat yang tujuh. Kitab yang paling baik untuk mempelajari ilmu ini adalah al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr karangan Imam Ibn al-Jazari 5. Ilmu Tajwid
8 9
Shubhi Shalih, Mabahits fi ’Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-’Ilm al-Malayin, 1977) hlm. 124 , T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an , hlm. 16
10 11
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 20
, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakrta : Bulang Bintang 1987)., hlm. 105-108
Ilmu ini menerangkan cara membaca Qur’an dengan baik. Ilmu ini menerangkan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan yang panjang dan yang pendek, dan sebagainya 6. Ilmu Gharib al-Qur’an Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti menjelaskan makna kata-kata yang pelik dan tinggi. Di antara kitab penting dalam ilmu ini adalah al-Mufradat li Alfaz aAl-Qur’an alKarim karangan al-Raghib al-Ashfahani. Kitab ini sangat penting bagi seorang mufassir atau penerjemah al-Qur’an 7. Ilmu I’rab al-Qur’an Ilmu ini menerangkan baris kata-kata Qur’an yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu. Ilmu ini dapat dipelajari dalam kitab Mu’tarak al-Aqran karangan al-Suyuthi 8. Ilmu Wujud wa al-Nazair Ilmu ini menerangkan kata-kata Qur’an yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu. Ilmu ini dapat dipelajari dalam kitab Mu’tarak al-Aqram karangan al-Suyuthi 9. Ilmu Ma’rifah Al-Muhkam Wa Al-Mutasyahih Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang mutsyahbih (samar maknanya, perlu ditakwil). Salah satu kitab menyangkut ilmu ini ialah; al-Manzumah al-Sakhawiah karangan al-Sakhawi 10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian para mufassir. Di antara kita-kitab yang membahas hal ini ialah AlNasikh wa al-Mansukh karangan Abu Ja’far al-Nahhas, al-Itqan karangan alSuyuthi, Tarikh Tasyri’ dan Ushul al-Fiqh karangan al-Khudhari 11. Ilmu Badi’ al-Qur’an Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan Qur’an, dari sudut kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya. al-Suyuthi
mengungkapkan yang demikian dalam kitabnya al-Itqan dari halaman 83 s/d 96 dalam jilid II 12. Ilmu I’jaz al-Qur’an Ilmu ini menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat Qur’an sehingga dapat membungkemkan para sastrawan Arab. Di antara kitab yang membahas ilmu ini adalah I’jaz al-Qur’an karangan al-Baqillani 13. Ilmu Tanasub Ayat al-Qur’an Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang di depan dan yang dibelakangnya. Di antara kitab yang memaparkan ilmu ini ialah Nazm al-Durar karangan Ibrahim al-Biqa’i 14. Ilmu Aqsam al-Qur’an Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an. Ibn al-Qayyim telah membahasnya dalam kitabnya al-Tibyan 15. Ilmu Amtsal al-Qur’an Ilmu ini menerangkan maksud perumpamaan-perumpamaan yang dikemukakan Al-Qur’an. Al-Mawardi telah membahasnya dalam kitabnya berjudul Amtsal alQur’an 16. ilmu Jadal al-Qur’an ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan Qur’an yang dihadapkan kepada kaum Musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran dari Tuhan. Najmuddin telah mengumpulkan ayat-ayat yang menyangkut ilmu ini 17. Ilmu Adab Tilawah al-Qur’an ilmu ini memaparkan tata-cara dan kesopanan yang harus diikuti ketika membaca Qur’an. Imam al-Nawawi telah memaparkannya dalam kitabnya berjudul Kitab al-Tibyan.
Inilah tujuh belas macam ilmu Qur’an yang sangat ditekankan oleh AshShiddieqy untuk dimahirkan oleh setiap orang yang bermaksud menafsirkan atau menerjemahkan Qur’an. Sebelum itu, Ia juga harus menguasai ilmu balaghah, bahasa dan kaidah-kaidahnya, ilmu kalam dan ilmu ushul.
Shubhi Shalih memasukkan dalam kitabnya, Mahabits fi ‘Ulum al-Qur’an ilmu lain yang disebut ilmu Rasm al-qur’an yang dikenal dengan sebutan Rasm Usmani dan jauh sebelumnya al-Suyuthi memasukkan dalam kitabnya, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an ilmu yang disebut Munasabah al-qur’an. Selain itu, ilmu tafsir juga sekarang sudah berkembang dan perlu dikuasai oleh seorang mufassir. Ilmu rasm Usmani mengkaji tentang kaidah-kaidah penulisan huruf-huruf dan kata-kata Qur’an yang disetujui Khalifah Usman Ibn Affan dan dipedomani oleh tim penyalin Qur’an yang dibentuknya yang terdiri atas Zaid ibn Tsabit, ‘Abdullah Ibn alZubair, Sa’id Ibn al-Ash, dan ‘Abd al-Rahman Ibn al-Harits Ibn Hisyam. Ilmu munasabah al-Qur’an mengkaji tentang aspek keterkaitan antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat atau antara ayat dengan ayat dari sejumlah ayat atau antara ayat surat dengan surat. Ilmu tafsir merupakan bagian dari Ulumul Qur’an. Ilmu tafsir berfungsi sebagai alat untuk mengungkap isi dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Qur’an. Ulumul Qur’an lebih umum dari ilmu tafsir karena Ulumul Qur’an ialah segala lmu-ilmu yang mempunyai hubungan dengan Al-Qur’an. Ilmu tafsir tidak kurang penting dari ilmu-ilmu tersebut di atas, terutama setelah berkembangnya dengan menampilkan berbagai metodologi, corak, dan alirannya. C.Urgensi ’Ulum al- Qur’an Islam adalah jalan hidup atau pedoman hidup manusia yang sempurna, yang mengandung ajaran dan bimbingan bagi manusia menuju kebahagian dan kesejahteraan, yang dapat diketahui melalui petunjuk Qu’ran. Oleh karena itu, Qur’an bagi umat Islam adalah sumber utama dan merupakan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Tidak ada perselisihan di kalangan ulama baik yang terdahulu maupun yang datang kemudian atas kedudukan Qur’an, sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam ajaran Islam. Dengan demikian, Qur’an memiliki kedudukan yang sangat penting bagi umat Islam. Beranjak dari kedudukan Qur’an yang sedemikian penting, maka dengan sendirinya menjadikan segala upaya untuk menelaah dan mengkaji ajaran yang terkandung dalam Qur’an juga menjadi penting.
Dalam kenyataannya tidak semua orang dapat dengan mudah memahami makna dan cakupan ajaran Qur’an. Bahkan dapat dinyatakan, bahwa individu yang memiliki kompetensi untuk memahami aturan-atauran dan ajaran yang ternuat dalam Qur’an sangatlah terbatas. Hal ini disebabkan, karena
untuk menelaah dan mengeluarkan
hikmah yang termuat dalam Qur’an dibutuhkan seperangkat ilmu dan pengetahuan yang terkait dengan seluk beluk Qu’an atau biasa disebut dengan ’ulum al-qur’an. Dipersyarakannya seseorang untuk mengetahui
’ulum al-qur’an sebelum
menafsir berbagai ayat yang tercantum dalam kitab Allah, mengingat banyaknya hal yang terkait dengan latar sejarah yang mengitari pewahyuan Qur’an. Sebagai contoh; Qur’an sebagaimana yang dilihat dalam bentuk mushaf sekarang ini berupa sekumpulan kata yang tersusun menjadi kalimat, terdiri dari ayat-ayat pendek maupun panjang yang tercantum dalam berbagai surat yang berjumlah 114 surat, merupakan perkembangan terkini dari sejarah Qur’an. Pada awalnya atau pada masa Nabi, Qur’an umumnya masih tesimpan dalam hafalan. Sedangkan Qur’an dalam bentuk tulisan pada waktu itu hanya tersimpan pada kulit, tulang, maupun pelepah kurmah. Lagipula Qur’an dalam bentuk tulisan pada masa Nabi masih dalam bentuk yang sangat sederhana, atau penampakannya tidak seperti yang kita lihat dan baca sekarang, dimana huruf-huruf yang terangkai belum mempunyai titik diakkritis apalagi harkat. Oleh karena itu, ’ulum al-qur’an khususnya bagi mereka yang ingin memahami dan menyelami makna yang terkandung dalam ayat-ayat Qur’an menjadi sangat penting untuk diketahui. Dengan memahami ’ulum al-qur’an dapat mempermudah pengkaji Qur’an untuk memahami relung-relung makna Qur’an secara tepat dan benar. Sebab seseorang yang mengkaji Qur’an tidakakan mengetahui makna secara konprehensif jika ia tidak memahami bagaimana Qur’an diturunkan, kapan diturunkan, urutan surat dan ayat-ayatnya,kemukjizatannya, ketetapan nasikh mansukhnya, sehingga bagi seorang mufassir ’ulum al-qur’an menjadi kata kunci untuk dapat menafsirkan isi dan kandungan makna serta mengeluarkan hikmah yang terkandung dalam Qur’an.
D. Sejarah dan Perkembangan ’Ulum al-Qur’an Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Qur’an bagi umat Islam adalah merupakan kitab suci dan mukjizat yang kekal kebenarannya, diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW., dalam bahasa setempat (bahasa Arab) untuk diwartakan kepada manusia sebagai jalan dan petunjuk hidup (hudan) yang lurus untuk menyelamatkan umat manusia dari jalan kesesatan. Dalam konteks sejarah awal pewahyuan Qur’an, maka para sahabat
Nabi
adalah kelompok umat/generasi pertama dan paling awal menerima pelajaran Qur’an dari Rasulullah SAW. Sebagai al-sabiqun al-awwalun, dapat dipastikan bahwa semangat dan atusiasme para sahabat mempelajari Qur’an sangatlah tinggi. Rasulullah menyampaikan wahyu kepada para sahabatnya yang sebagian besar untuk tidak menyatakan seluruhnya adalah berasal dari lingkungan dan kultur Arab asli, sehingga hampir tidak ada kendala yang berarti bagi para sahabat dalam mentransfer wahyu Qur’an yang diwahyukan kepada mereka. Para sahabat yang memiliki naluri dengan latar belakang kultur Arab dapat dengan mudah memahami pesan-pesan Qur’an. Apabila pada suatu kondisi tertentu mereka mengalami kendala dalam memahami makna ayat-ayat qur’an, maka dengan sangat mudah mereka dapat menkonsultasikannya langsung kepada Nabi, sehingga meraka dapat terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam menginterpretasi makna dari pesan ayat-ayat yang terdapat dalam Qur’an. Ibunu Mas’ud meriwayatkan bahwa; ketika ayat 82 surat al-An’am
.......Orang-orang yang beriman tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan orang-orang itulah yang mendapat petunjuk..... Atas turunnya ayat ini banyak di kalangan sahabat yang berada dalam kondisi resah atas potensi dan kualitas imaniah yang mereka miliki, sehingga di antara para sahabat ada yang bertanya kepada Nabi, siapakah gerangan di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim ? Pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat sebagaimana yang termaktub substansinya adalah mempertanyakan kepada Nabi SAW., tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata zalim pada teks ayat di atas. Atas pertanyaan para sahabat tadi, Nabi menjelaskan tafsir ayat tersebut dengan
menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan kata zalim dalam ayat tersebut adalah syirik. Lebih lanjut Nabi melengkapi penjelasannya dengan bersandar pada ayat Qur’an yang lain, sebagaimana yang terdapat dalam surat Luqman ayat; 13.
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, wahai anakku janganlah engkau
mempesekutukan
Allah
(la
tusyrik
bi
Allah),karena
sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah bentuk kezaliman yang sangat besar (inna syirka la zulmun azim)
Posisi Rasulullah sebagai utusan Allah, dengan sendirinya menjadikan beliau sebagai person atau individu yang paling mengetahui tentang cakupan makna ayat-ayat Qur’an. Hal tersebut sekaligus menjadikan Nabi penafsir yang paling utama dari ayatayat Qur’an. Oleh karena itu, ketika masa awal dimana Nabi SAW., masih hidup, maka hampir tidak ada problem krusial tentang pemaknaan atau penafsiran suatu ayat, karena setiapkali ada kendala dalam memahami makna teks sebuah atau beberapa ayat para sahabat dengan mudah berkonsultasi langsung kepada Nabi SAW., guna mendapatkan penjelasan yang valid. Kondisi tersebut juga masih berlangsung pada paruh pertama ketika Rasulullah meninggal, dimana masih banyak sahabat besar yang hidup dan pernah bersama Nabi. Selain itu kondisi sosial budaya yang berkembang pada saat itu belum banyak berubah, sehingga kebutuhan akan ilmu-limu yang terkait dengan seluk beluk pemahaman Qur’an belum terlalu dibutuhkan. Menurut Quraish Shihab.dkk., setidaknya ada 4 (empat) alasan utama, yang menyebabkan sehingga pada masa sahabat sebagai generasi awal tidak menulis ’ulum al-qur’an sepeninggal Rasul, yaitu: 1).Para sahabat sebagaimana umumnya komunitas Arab pada masa itu, memiliki kemampuan menghafal yang sangat luar biasa terhadap teks-teks penting. Sehingga apa yang mereka terima dan dengar dari nabi mereka simpan dalam ingatan
melalui
hafalan
mereka,
dan
pada
saat
yang
sama
mereka
juga
mampu
mengungkapkannya kembali seketika hafalan tersebut dibutuhkan. 2). Pada umumnya sahabat tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis aksara 3). Terbatasnya alat tulis menulis pada waktu itu 4). Yang lebih penting lagi, adanya beberapa teks hadis yang tampak secara eksplisit melarang para sahabat untuk menuliskan sesuatu selain menulis Qur’an. Dalam hal ini Nabi SAW., bersabda: Janganlah kalian menulis sesuatu tentang diriku.Dan barangsiapa yang telah menulis sesuatu tentang diriku selain Qur’an maka hendaklah mereka menghapusnya (HR. Muslim). Larangan ini timbul dengan sebab adanya kekhawatiran Rasulullah terjadinya percampuran antara teks hadis dengan teks Qur’an. 12 Atas dasar alasan tersebut di atas, maka pada masa Rasulullah hingga masa sahabat besar, ulum al-qur’an belum terlembaga secara resmi dan sistematis. Sehingga segala hal yang terkait dengan penjelasan, tafsir Qur’an oleh sahabat disimpang dalam hafalan para sahabat. Oleh karena itu, transfer of knowledge pada masa sahabat mengenai hal yang terkait dengan ilmu-ilmu keagamaan, adalah melalui lisan dan sahabat lainnya serta tabi’in menyimpannya dalam media hafalan/ingatan yang mereka miliki. Tesis yang menyebutkan bahwa pada umumnya sahabat (umat Islam) masa awal tidak memiliki kemampuan baca tulis Qur’an, tidak sepenuhnya disepakati ulama. Tawfik Adnan Amal, menyebutkan; dari bukti-bukti sejarah masa awal dan didukung oleh bukti-bukti arkeologis, secara tegas menunjukkan bahwa komunitas Arab bukanlah merupakan komunitas yang buta aksara. Bukti- bukti yang ada menunjukkan, bahwa jauh sebelum Islam datang mereka sudah memiliki kemampuan baca dan tulis aksara, sehingga tidak beralasan untuk menyatakan, bahwa komunitas sahabat umumnya tidak memiliki kemampuan baca. Lebih lanjut Amal menyebutkan, bahwa adanya kebiasaan dan kemampuan ”luar biasa” bangsa Arab menyimpan/memelihara hafalan mereka, bukanlah bukti untuk menyatakan bahwa, mereka (bangsa Arab) tidak memiliki kemampuan baca dan tulis. 13
12 13
128
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 43 Tawfik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: FKbA, 2001), hlm.125-
Setelah pasca masa kenabian tepatnya dimulai pada masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, seluruh naskah Qur’an yang ditulis oleh para katib Nabi SAW disatukan dan disimpan dengan tujuan pengamanan. Kebijakan penulisan ulang naskah Qur’an baru dimulai pada masa khalifah ke III, yaitu Usman bin Affan. Pada masa Usman naskah-naskah yang telah dikumpul pada zaman Abu Bakar dikeluarkan untuk selanjutnya ditulis kembali, disatukan untuk dijadikan naskah standar (induk). Naskah yang ditulis ulang oleh sahabat di masa Usman kemudian oleh umat Islam dikenal dengan istilah mushaf Usmani. penulisan mushaf Usmani ditulis dengan menggunakan rasm Usmani,atau bentuk dan corak tulisan yang disetujui oleh Usman. 14 Berawal dari sini kemudian lahirlah satu ilmu dalam ’ulum al-qur’an yang disebut dengan ’ilm rasm al-qur’an; yaitu satu cabang ilmu yang menelaah dan mengkaji bentuk dan jenis tulisan yang digunakan dalam menulis atau menyalin Qur’an. Setelah Qur’an selesai disalin dan dilakukan standarisasi penulisan dan tata letak surat dalam Qur’an oleh Khalifah Usman, atas usul dan saran Huzaifah bin Yaman maka sejumlah naskah standar dikirim kebeberapa wilayah.hal ini terjadi sebagai implikasi dari adanya perselisihan paham di antara umat Islam mengenai cara membaca beberapa ayat Qur’an. Akibat dari terjadinya perselisihan dalam membaca ayat-ayat Qur’an yang terjadi dalam internal umat Islam, menjadi cikal bakalbagi lahirnya ilm qira’at al-qur’an; suatu kajian yang menelaah cara dan metode melafazkan al-qur’an beserta berbagai pendekatan yang dianut oleh umat Islamdalam melafazkan Qur’an. Pada masa Khalifah Ali, R.A.,juga terjadi perkembangan baru dalam tradisi ’ulum qur’an. Menurut beberapa sumber yang biasa dikutip oleh para penulis sejarah menyebutkan; bahwa atas perintah Ali R.A., Abu al-Aswad Al-Du’ali berhasil meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku serta memberikan,membubuhkan ketentuan harakat pada Qur’an. Dalam perkembangan lebih lanjut, dasar-dasar tersebut kemudian menjadi awal bagi lahirnya ’ilm I’rab. Pada masa selanjutnya, semangat dan antusiasme umat Islam dari generasi sahabat dan dilajutkan oleh tabi’in, dan tabi’-tabi’in. Mereka meneruskan
berbagai
usaha yang terkait dengan upaya memahami makna-makna yang terkandung dalam Qur’an. Oleh karena itu, para pelanjut generasi sahabat melanjutkan usaha-usaha 14
Subhi Shalih, Membahas Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1995), hlm. 143
pendahulu mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda yang terjadi dikalangan para sahabat terdahulu. Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam penafsiran terhadap teks ayat suci Qur’an di kalangan para sahabat pasca meninggalnya Rasul, adalah hal yang normal dan lumrah. Kondisi tersebut dipicu oleh antara lain, adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Nabi SAW. Sejumlah sahabat yang dikenal sebagai mufassir yang mashur adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab,Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud,Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. 15 Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari mereka, khususnya Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Ubai bin Ka’ab. Meski demikian apa yang dinukil dari mereka tidaklah dapat dimaknai sebagai tafsir yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan yang masih global. Bila sebelumnya atau pada masa awal dengan dimotori oleh para sahabat dan tabi’in, umumnya ’ulum al-qur’an masih disimpan dalam hafalan dan ingatan para ulama (sahabat dan tabi’in), maka memasuki awal abad ke II hijriyah terjadi perkembangan baru, yaitu upaya pembukuan terhadap pengetahuan yang mereka miliki. Pembukuan berbagai tafsir atas ayat-ayat Qur’an terkait langsung dengan upaya pembukuan hadis, di kalangan Sunni hal ini secara resmi untuk pertama kali dicanangkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101H).16 Menurut Rasul Ja’farian, salah satu perbedaan penting yang terjadi dalam tradisi Sunni dan Syiah mengenai penulisan hadis, adalah bahwa penulisan hadis di kalangan Syia’ah sudah terjadi pada masa-masa awal. Sedangkan pada golongan Sunni, dari data sejarah yang ada menunjukkan bahwa, hadis ternyata tidak tetulis selama masa tertentu. Bahkan bukan cuma ini saja, untuk beberapa masa tertentu hadis dilarang untuk ditulis. Selama masa paling kurang satu abad, hadis-hadis disampaikan lewat tradisi lisan . Meskipun sebagian hadis ditulis selama abad 2 H., namun, bagian terbesarnya baru ditulis setelah masa yang cukup lama. 17 Dengan adanya perintah membukukan hadis Nabi, maka sebagian ulama sekaligus membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW., Diantara 15
Shalih, Membahas,…hlm. 145 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989) 17 Rasul Ja’farain, Tadwin al-hadith, dalam, Al-Hikmah, No1,Maret-Juni 1990, hlm. 15 16
mereka yang terkenal adalah; Yazid bin Harun al-Sullami (w. 117 H),Syu’ba bin alHajjaj (w. 160 H), Waqi’bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w.198 H), dan Abdurrazak bin al-Hammam (w. 112 H). Meraka seluruhnya adalah para ahli hadis,dimana tafsir terhadap Qur’an merupakan salah satu bagian yang dimasukkan ketika mereka menulis hadis-hadis Nabi. Namun sangat disayangkan, karya tulis mereka umumnya sudah tidak dapat ditemukan. Langkah yang telah dibangun oleh para ulama yang telah disebutkan sebelumnya, kemudian dilanjutkan oleh para ulama berikutnya. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat, dan termashur diantara merekaadalah Ibnu Jarir al-Tabari (w.310 H). Dengan demikian pada awalnya, berbagai tafsir dan ilmu yang terkait didalamnya secara umum ditransfer melalui tradisi oral (tradisi lisan) dalam bentuk riwayat, dan dalam perkembangan selanjutnya kemudian apa yang sebelumnya dipindahkan dari lisan ke lisan tersebut oleh para ulama disalin atau ditulis secara bebas da mandiri. Penulisan hadis-hadis yang terkait dengan suatu penafsiran terhadap ayat-ayat Qur’an kemudian melahirkan satu pendekatan dalam ilmu tafsir yang disebut dengan tafsir bi al-matsur (tafsir bi al-riwayah). Yaitu suatu metode tafsir; yang dalam pengoperasiannya bertumpu pada riwayat-riwayat hadis dan pendapat para sahabat serta tabi’in. Berbeda dengan tafsir yang mendasarkan telaahnya atas ayat Qur’an-dengan Qur’an dan hadis, maka pada masa berikutnya lahir pula satu pendekatan tafsir, yang mengedepankan aspek logika keilmuan, yang dikenal dengan istilah tafsir bi al-ra’yi. Disamping pembahasan yang terkait dengan penafsiran suatu ayat, para ulama juga kemudian melahirkan pokok-pokok pembahasan tertentu yang terkait dengan Qur’an. Misalnya, Ali bin al-Madini (w.234) menyusun kitab asbab al-nuzul, kitab ini sangat penting mengingat untuk menafsirkan suatu ayat, dalam rangka menghasilkan tafsir yang konprehensip maka seorang menafsir tidak bisa mengabaikan sebab-sebab diwahyukannya suatu ayat Qur’an. Pada masa masa berikutnya terjadilah perkembangan yang sangat berarti bagi ’ulum al-qur’an, yang kemudian memicu lahirnya berbagai ilmu yang berhubungan dengan Qur’an di antaranya, Nasikh Mansukh, Qira-at dan sebagainya. Tampaknya tangan dan jari-jari para ulama tidak pernah berhenti untuk menulis tentang berbagai hal
menyangkut Qur’an, hasilnya mereka berhasil menulis ratusan bahkan ribuan karya yang sebagian besar masih dapat ditemukan hingga kini. E. Pengkodifikasian ’Ulum al-Qur’an Sungguh merupakan suatu kelayakan bahwa cabang ’ulum al-Qur’an yang pertama kali dikodifikasikan adalah ilmu tafsir. Sebab, Ilmu tafsir merupakan dasar memahami Al-Qur’an dan merenungkannya. Ilmu tafsir inilah yang menjadi dasar pengambilan keputusan hukum dan mengetahui hal-hal yang dihalalkan dari hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, Sufyan al-Tsauri (wafat pada tahun 161 H), Sufyan Bin Uyainah (wafat pada tahun 198 H), Waki’ Bin Jarrah (wafat pada tahun 197 H), Syu’bah bin Huhaj (wafat padat tahun 160 H) dan Muwatil Bin Sulaiman (wafat pada tahun 150 H) mengarang buku tafsir Qur’an yang mencakup pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in. Kemudian, Muhammad Bin Jarir al-Thabari (wafat pada tahun 310) menulis kitab tafsir yang terkenal dan merupakan karya terbesar dengan judul Min Ajili al-Tafsir. Dikatakan demikian, sebab dialah orang yang pertama kali mengemukakan berbagai pendapat dan menyeleksi satu sama lain sehingga ia menguatkan sebagian pendapat dari sebagian lainnya. Oleh karena itu, ia dianggap orang yang pertama kali yang berusaha untuk menggabungkan At-Tafsir bi al-Ma’tsur dengan Tafsir bi al-Ra’yi, dan ijtihad. Tafsir Ibnu Jarir dianggap sebagai setetes embun yang menyebabkan timbulnya embun-embun lain yang banyak. Maka dikaranglah buku-buku tafsir, baik yang bersifat bi al-ma’tsur maupun yang bersifat ghair al ma’tsur oleh sejumlah ulama yang ternama. Di antara buku-buku tafsir tersebut, ada yang luas, pertengahan, dan ada pula yang ringkas serta ada yang menafsirkan secara keseluruhan dan ada pula yang menafsirkan sebagiannya. Kegiatan penerbitan ini diperkirakan telah mencakup berbagai macam ‘ulum alqur’an, seperti: 1. Ilmu Asbab al-Nuzul yang dikarang oleh Ali bin Al-Madini, guru Imam AlBukhari yang wafat pada tahun 234 H
2. Ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh yang dikarang oleh Abu Ubaid, Al-Qasim bin Salam yang wafat dunia pada tahun 224 H, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad alNuhas yang wafat pada tahun 338 H, dan Ibnu Hazm yang wafat pada tahun 456 H 3. Ilmu Musykil dan Gharib al-Qur’an yang dikarang oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah yang wafat pada tahun 276 H 4. Gharib, al-Qur’an wa Mufradatihi yang dikarang oleh Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna yang wafat pada tahun 209 H, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan Abu Bakar As-Sijistani yang wafat pada tahun 230 H, Al-Raghib al-Asfahani yang wafat pada tahun 502 H, dan lain-lain 5. I’Jaz al-Qur’an yang dikarang oleh al-Rummani yang wafat pada tahun 384 H, al-Kathabi yang wafat pada tahun 388 H, Abu Bakar al-Baqilani yang wafat pada tahun 403 H, dan lain-lain 6. Majas al-Qur’an yang dikarang oleh Ibnu Qutaibah yang wafat pada tahun 276 H, al-Syarif Ar-Ridha yang wafat pada tahun 406 H, dan al-Izz bin Abd al-Salam yang wafat pada tahun 660 H 7. Qira-at al-Qur’an yang dikarang oleh Abu Bakar Ahmad bin Mujahid yang wafat pada tahun 324 H, Alam al-Din al-Sakhawi yang wafat pada tahun 643 H dan Ibnu Jaziriy yang wafat pada tahun 833 H 8. Aqsam al-Qur’an yang dikarang oleh Ibnu Qayim yang wafat pada tahun 751 H 9. Amtsal yang dikarang oleh Abu al-Hasan alMawardi yang wafat pada tahun 450 H 10. Jadal al-Qur’an yang dikarang oleh Najm al-Thufi, yang wafat pada tahun 716 H.18
18
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li al-Dirasat al-Qur’an al-Karim, terj. Maman Abd. Jalil (Bandung: Pustaka Setia, 1992), 58-59
BAB IV SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN A. Sekilas tentang Makna, Pengertian dan Ragam Nama Qur’an Qur’an adalah salah satu nama yang paling popular dari kitab suci umat Islam. Kata Qur’an adalah merupakan bentuk participle (fi’il madhi) dari kata qara’a; dalam tinjauan makna bahasa mengandung arti sesuatu yang dibaca. Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan isim maf’ul,yaitu maqru yang berarti sesuatu yang dibaca . dalam. Qur’an itu sendiri akar kata “qa-ra’” memiliki pengertian lebih dari sekedar membaca, karena kata tersebut tidak mensyaratkan adanya sesuatu teks dalam bentuk tertulis, hal ini ditunjukkan oleh kondisi objektif Nabi ketika awal mula menerima wahyu 1
Lebih lanjut
dalam pendapat ahli ushul disebutkan bahwa Qur’an adalah merupakan nama bagi keseluruhan (kitab qur’an) dan menjadi nama bagi ayat-ayatnya. Sedangkan kelompok ahli teologi (mutakallimin); memberi nama qur’an kepada kalimat-kalimat yang gaib yang azali, sejak dari awal al-Fatihah sampai akhir suarat al-Nas, yaitu: kumpulan lafaz yang terlepas dari sifat kebendaan, baik secara dirasai dikhayali,ataupun yang lain yang tersusun dari sifat-siaf Allah yang qadim.2 Dalam perspektif kalam, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hakikat Qur’an. Jumhur ulama yang berasal dari kelompok sunni termasuk di dalamnya empat Imam Mazhab sepaham untuk mengatakan bahwa Qur’an adalah kalam Allah yang Azali,bukan makhluk dan dengan sendirinya bersifat qadim.Jumhur berpendapat bahwa Qur’an adalah kalam Allah yang eksis bersama zatnya,berada diluar alam nyata,bukan makhluk dan tidak memerlukan tempat. Hakikat yang demikianlah yang qadim. Bentuk lafaz dalam mushaf adalah simbol akan keberadaan sifat kalam Allah,dan sifat kalam itu adalah qadim sebagaimana qadimnya Allah. Oleh karena
itu, jika
dikatakan Qur’an adalah baru, maka yang dimaksud adalah lafaz-lafaz yang dicetak dalam mushaf, yang diucapkan yang didengar.yang demikian itu tidak qadim.
1
Arkoun menyebutkan ;filologis-filologis Barat/orientalis mengusulkan bahwa kata qur’an memiliki asal-usul Syiria atau Hebrew,tetapi pengamatan ini tidak memodifikasi pengertian yang dituntut oleh kontekqur’anik itu sendiri.Ide dasarnya adalah bacaan yang sesuai dengan sesuatu wacana yang didengar bukan yang dibaca. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, hlm. 45 2 Pendapat ini umumnya dipegang oleh golongan sunni dan empat Imam Mazhab; Abu Hanifa,Malik, Syafei dan Ahmad bin Hambal.
Pendapat yang berbeda datang dari kelompok/golongan Muktazilah yang menyebutkan: bahwa hakikat Qur’an adalah makhluk. Alasannya kalau kalam itu qadim, maka logikanya ada sesuatu yang qadim selain Allah (ta’addad al-qudama). Bagi Muktazilah yang dipandang sebagai sifat-sifat Tuhan yang qadim oleh ulama sunni; seperti al-qalam, al-bashar, al-sama’,dan lain sebagainya tidak lain adalah nama-nama Tuhan. Al-Asy’ari menolak pandangan Muktizalah sebagaimana yang dijelaskan di atas dengan mengajukan argumen bahwa, jika Qur’an adalah makhluk (diciptakan), maka ini memiliki tidak kesesuaian dengan informasi Qur’an surat al-Nahl/ 16: 40
Sesungguhnya
perkataan
Kami
terhadap
sesuatu
apabila
kami
menghendakinya,maka kami hanya mengatakan; kun (jadilah) maka jadilah ia. Berangkat dari dalil tersebut al-Asy’ari mengatakan bahwa jika sebuah penciptaan membutuhkan kun,dan untuk terciptanya kun perlu kata kun yang lain, dan seterusnya. Atas dasar itu maka Qur’an tidak bisa dikatakan sebagai makhluk. 3 Selain kata atau penamaan kitab suci umat Islam dengan Qur’an, maka masih terdapat sejumlah nama yang biasa disandarkan untuk menyebut nama dari kitab suci ini. Di antaranya Qur’an dinamakan dengan al-Kitab; al-Furqan, al-Zikir, al-Tanzil 1). Al-Kitab berarti ”buku” atau ”tulisan”. Penamaan Qur’an dengan kitab, menurut Amal merupakan salah satu argumen yang mendasar bahwa Qur’an memang sejak masa awal keberadaannya telah ditulis. Sekaligus sebagai argumen yang menolak adanya gagasan yang menyebutkan bahwa, bangsa Arab atau umat Islam masa awal adalah komunitas buta aksara dan tulis. 4 Tentang penyebutan Qur’an dengan kitab dapat ditemukan dalam banyak ayat Qur’an, misalnya: dalam surat al-Anbiya/ 21: 10:
3 4
Mquraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur,an, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2001), Tawfik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an
Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemulian bagi kamu. Maka apakah kamu tidak memahaminya. Juga di dalam Qur’an surat al-Baqarah/2: 2:
Yang demikian itu adalah kitab (yang diturunkan oleh Allah) yang tidak terdapat keraguan sedikitpun di dalamnya. 2). Selain menamakan dirinya dengan kitab, Qur’an juga menyebut istilah lain yang juga merupakan nama dari Qur’an,yaitu al-Furqan. Hal ini misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat Qur’an, di antaranya pada surat al-Furqan/25: 1.
Maha suci Allah yeng telah menurunkan al-Furqan kepada hambaNya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh Alam. Nama al-Furqan dijadikan sebagai salah satu nama Qur’an, yang menunjukkan pada suatu makna bahwa Qur’an merupakan kitab suci yang dengannya manusia dapat memilah dan membedakan sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk. 3).Al-Zikr, berarti ”pengingat” atau pemberi peringatan, nama ini dilansir dalam Qur’an surat al-Hijir/15: 9,Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Zikr (Qur’an), dan sesungguhnya Kami (pula) yang memeliharanya 4). Al-Tanzil bermakna ”yang diturunkankan”, seperti yang terdapat dalam Qur’an surat al-Syu’ara/26: 192
Dan sesungguhnya tanzil (Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam
Sebagai kitab Allah, tentu saja Qur’an tidak dapat disamakan dengan kitab-kitab lainnya, khususnya kitab-kitab buatan atau karangan manusia. Jika kitab-kitab yang dibuat atau dikarang oleh manusia berpotensi untuk melahirkan teori atau pandagan yang keliru, maka hal yang sebaliknya pada Qur’an. Bagi umat Islam Qur’an adalah kalam Allah; artinya lafaz dan kalimat Allah, oleh karenanya ia (Qur’an) diyakini oleh umat Islam terbebas dari kemungkinan kekeliruan atau kesalahan, baik dalam redaksi, makna maupun ajaran-ajaran atau konsep yang terdapat di dalamnya. Kalupun tampak adanya pertentangan antara realitas temuan ilmiah dengan apa yang terdapat di dalam Qur’an, maka itu tidak berarti adanya kesalahan konseptual dari sebuah gagasan yang terdapat di dalam Qur’an. Tetapi hal itu terjadi dalam beberapa kemungkinan, pertama, pemahaman terhadap ayat tersebut tidak atau belum tepat sehingga terkesan adanya pertentangan antara teori-teori ilmu pengetahuan dengan zahir atau makna lahir ayat. Kedua,adanya kemungkinan belum terjankaunya pengetahuan manusai tentang suatu masalah yang dinyatakan oleh Qur’an, sehingga terkesan terjadi pertentangan. B.Turunnya Qur’an Karim: Cara dan Proses Seluruh umat Islam menyepakati bahwa, Qur’an adalah kitab suci,
diyakini
sebagai wahyu dari Allah.. Proses diturunkannya Qur’an disebut “inzal”, yaitu: sebuah proses pewujudan Qur’an dengan jalan Allah mengajarkan Qur’an kepada Jibril, dan selanjutnya Jibril menyampaikan dan mengajarkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Perbedaan kemudian terjadi dikalangang umat Islam dalam hal bagaimana cara dan proses Qur’an diturunkan. Paling tidak, ada tiga pendapat yang terkait dengan pembicaraan tentag proses turunnya Qur’an, yaitu: 1). Qur’an diturunkan oleh Allah
ke dunia pada malam lailat al-qadar
sekaligus, yakni Qur’an mula turunnya telah lengkap (berisi 30 juz dan 114 surat). Kemudian diturunkan beransur-ansur dalam tempo 20 atau 23 tahun atau 25 tahun. 2). Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam dua puluh kali lailat al-qadar, dalam 20 tahun atau 23 lailat al-qadar atau 23 tahun, 25 lailat al-qadar dalam 25 tahun. Pada
tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Nabi Muhammad secara beransur-ansur. 3). Pada awalnya Qur’an diturunkan pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan secara beransur-ansur. 5 Pendapat ketiga atau yang disebut terakhir adalah pendapat yang umum dirujuk oleh bayntak ulama para Ulama. Sementara itu al-Zarqani menyebutkan bahwa, Qur’an turun melalui tiga tahap; pertama; turunnya Qur’an dari al-lawh al-mahfudz, kedua; selanjutnya dari al-lawh al-mahfudz ke bait al-izzah, dan ketiga dari bait al-izzah kepada Nabi Muhammad SAW.
6
Atas pendapat ini, Subhi Shalih menyebutkan bahwa
kendatipun sanad hadis/riwayat shahih, namun demikian riwayat tersebut tidak dapat dijadikan acuan, sebab masalah turunnya wahyu merupakan masalah i’tiqadiyah,yang dasar bertolaknya harus bersumber dari riwayat mutawatir . Sebagaimana diketahui bahwa Qur’an sampai kepada Nabi dengan perantaraan amin al-wahy (Jibril). Jibril dalam kaitan ini merupakan perantara yang menyampaikan wahyu Tuhan kepada Nabi, kemudian Jibril mengajarkannya kepada Nabi, untuk selanjutnya Nabi menyebarkan/mewartakan wahyu tersebut kepada umat manusia/ kepada para sahabatnya. Dalam hal ini Qur’an menyebutkan sbb:
Artinya:Sesungguhnya Qur’an adalah perkataan pesuruh yang mulia (Jibril) yang mempunya kekuatan disisi Tuhan, yang mempunyai arasy lagi mempunyai derajad. Jadi ikutan
(Qur’an) diturunkan oleh ruhul amin. Ke dalam hati kamu (ya
Muhammad) supaya kamu mendapat memberi peringatan. (al-Syuara: 192-194)
5
TM.Hasbie As-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Sejarah/ Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang,1987),hlm. 42 6 Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, I, ....hlm.14
Sedangkan turunnya wahyu 7melalui beberap proses, antara lain berupa ilham atau inspirasi dalam bentuk mimpi, seperti kisah Nabi Ibrahim AS., menerima perintah melalui mimpi untuk menyembelih putranya (QS. 37: 102). Kadangkalan juga melalui suara tanpa melihat wujud pembicara, seperti ketika Allah berbicara kepada Musa AS., (QS. 27: 8),dan biasanya lewat kata-kata yang disampaikan lewat utusan khusus Tuhan seperti Tuhan mengutus Jibril untuk menyampaikan wahyu Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Raghib al-Asfani menyebutkan bahwa asal makna dari kata wahyu adalah sesuatu yang diisyaratkan dengan cepat (amr wahy) sesuatu yang cepat. Dalam ungkapannya wahyu dapat berupa rumus dan pernyataan yang maksudnya tersembunyi atau tidak terang. Kadang-kadang berupa suara yang tidak tersusun dan kadang-kadang berupa isyarat melalui sebagian anggota badan dan tulisan sebagaimana yang diisyaratkan dalam Qur’an yang mengisahkan Nabi Zakariah;
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya,lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih kepada di waktu pagi dan petang (QS. Maryam: 11) Wahyu dapat juga berupa al-ilham al-gharizy (ilham instingtif) seperti wahyu yang diberikan kepada lebah sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl: 68. selain itu juga al-ilham al-khawatir yang dihujamkan ke dalam hati dan pikiran seseorang yang mempunyai fitrah yang bersih dan jiwa yang suci, seperti yang diberikan kepada Ibu Musa AS., serta wahyu berupa bisikan was-was dari setan sebagaimana yang terdapat dalam ayat 121 dan 112 surat al-An’am;
7
Cara dan proses turunnya wahtu seperti yang disebutkan di atas, mengacu pada pemaknaan kata wahyu itu sendiri. Makna dasar kata tersebut sebagaimana yang digunakan dalamQur’an adalah; penyampaian suatu gagasan dengan isyarat atau petunjuk secara cepat. Istilah ini sering digunakan sehubungan dengan ilham kepada Nabi,dapat dijelaskan bahwa mungkin ada sesuatu yang pendek dan mendadak mengenaiilham itu. Kalau Nabi adalah sesorang yang jiwanya selalu merenung dan, setelah waku panjang atau pendek menyerapmasalah dengan mendalam lalu penyelesaiannya muncul seperti kilat, seolah-olah diisyaratkan dari luar,maka penggunaan kata itu (wahyu) seperti dalam Qur’an dapat dimengerti…..(Bell 19)
Artinya; Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.
Artinya: Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh,yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan dari jenis Jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara etimologis wahyu dapat dimaknai sebagai pemberitahuan yang tersembunyi. Pengertian ini lebih umum dari pada pengertiannya sebagai isyarat, tulisan, surat, ilham instinktif atau yang bukan instinktif. Berdasarkan pengertian ini, maka pengertian wahyu tidak terbatas pada Nabi dan tidak pula terbatas pada sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sedangkan secara terminologis; pertama wahyu dapat didefinisikan sebagai; pemberitahuan Allah kepada para nabi yang berupa syari’at atau kitab. Pengertian wahyu seperti ini lebih spesifik dari pada pengertian secara literal. Kedua, wahyu dapat juga didefinisikan sebagai irfan (pengetahuan) yang diperoleh seseorang dalam dirinya dengan keyakinan bahwa pengetahuan tersebut datang dari Allah, baik melalui perantara ataupun tidak. Ketiga, wahyu juga dapat didefinisikan sebagai suatu yang diturunkan oleh Allah SWT., kepada para utusannya dengan jalan membimbing dan mengajarkan kepada mereka berbagai informasi gaib, syari’at dan hikmah-hikmah, di antara Nabi tersebut ada yang diberi kitab dan ada pula yang tidak. 8
8
Muhammad bin Muhammad Abu Syu’bah, Al-kitab al-Madkhal Li Dirasat al-Qur’an (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1412 H)/ lihat juga, TM. Hasbi As-Shiddiqie, Sejarah dan pengantar ilmu AlQur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 10-17
Jumhur ulama berpendapat bahwa, Qur’an bukan perkataan Nabi atau Jibril. Beberapa ayat yang mendukung pernyataan ini antara lain QS. Al-Naml/27: 6.QS.Yunus/10: 15; QS.al-Haqqah/69: 44-47. Selain itu, para ulama dengan tegas menyatkan bahwa Bahasa Arab yang digunakan dalam Qur’an bukanlah redaksi yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW., atau Jibril. Dalam konteks penurunan Qur’an,maka kedudukan Jibril hanyalah merupakan perantara dalam menyampaikan wahyu Tuhan, dengan demikian bahasa Qur’an adalah bahasa Tuhan dalam bentuk makna dan lafal bahasa Arab. Hal ini dinyatakan dalam Qur’an. Imam al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan menyebutkan: Sungguh ada sebagian orang berpendapat bahwa Jibril datang kepada Muhammad membawa makna Qura’n, kemudian Rasul sendiri yang menyusun redaksinya dengan bahasa Arab. Adapula yang berpendapat bahwa lafaz itu dari Jibril, sedangkan Jibril menerima dari Allah dalam bentuk makna saja. Al-Zarqani, kemudian menegaskan, bahwa dua pendapat itu keliru dan tidak berdasar, karena bertentangan dengan hadis dan ijma’......bagaimana mungkin Qur’an bisa jadi mukjizat jika lafaznya hanya dari Muhammad atau Jibril? Kemudian bagaimana pula ia bisa dinyatakan sebagai kitab Allah, jika lafaznya tidak dari Allah? Padahal jelas Allah telah menjelaskan secara terperinci tentang masalah tersebut. Diantaranya dalam surat al-Tawbah ayat 6. Yang artinya;.....sehingga ia mendengar perkataan Allah. Pada ayat yang lain Alah berfirman :
Artinya:Demikian kami wahyukan kepadamu Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringtan kepada ummul Qura’ (penduduk Makkah) dan penduduk negeri-negeri sekelilingnya ( QS. Al-Syura/42: 7) Dalam ayat yang lain disebutkan;
Artinya: Sesungguhnya kami menurunkan Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. ( QS. Al-Zukhruf/43: 3)
Artinya: Sesunggunya kami menurunkannya berupa Qur’an dalam bahasa dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf/12: 2) Jumhur ulama berpendapat bahwa pertama kali Qur’an turun pada tanggal 17 Ramadhan tahun 41/ 16 Agustus 610 M, bertepatan dengan usia Nabi yang ke-40. Awal waktu Qur’an diturunkan ketika Nabi SAW., sedang beribadah di Gua Hira, pada saat itulah Jibril datang dengan membawa wahyu. Dalam sejumlah riwayat dijelaskan bahwa, Jibril memeluk erat Nabi kemudian melepaskannya, keadaan tersebut terulang hingga 3 (tiga) kali. Setiap kali Jibril memerintahkan Nabi untuk membaca (bacalah/iqra’) dan setipakali pula Nabi menjawab aku tidak bisa membaca. Pada kali yang ketiga, Jibril berkata kepada Nabi ;
Artinya: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari alaq. Bacalah dan Tuhanmu sangat pemurah. Yang mengajarkan menulis dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui. (QS. Al-Alaq: 1-5) Demikian wahyu pertama diturunkan di Makkah, dan selanjutnya selama masa 12 tahun 5 bulan 13 hari sejumlah ayat turun di Makkah (seblum hijrah). Ayat-ayat yang turun pada periode Makkah (periode petama) dikenal atau disebut dengan ayat-ayat Makkiyah. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, maka sejumlah ayat juga turun disini,dan ayat-ayat yang turun pasca hijrahnya Nabi; disebut dengan ayat-ayat Madaniyah. Proses turunnya ayat (wahyu) di Madinah menurut catatan sejarah berlangsung selama 9 tahun, sembilan bulan, 9 hari, tepatnya dimulai pada permulaan Rabi’ul Awwal tahun 54 dari kelahiran Nabi sampai 9 Zulhijjah tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijrah.
Dengan demikian secara keseluruhan ayat-ayat Qur’an diturunkan selama masa kurang lebih 23 tahun. Poses penurunan Qur’an secara beransur-ansur menunjukkan bahwa, adanya hubungan dealektis antara Qur’an dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat dimana pada awalnya Qur’an mula diturunkan. Turunya Qur’an secara beransur-ansur memiliki hikmah, di antaranya: 1). Mengukuhkan hati Nabi SAW., dalam menghdapi ulah orang-orang musyrik yang menyakitkan hati 2). Sebagai kasih sayang kepada Nabi SAW., ketika turunnya wahyu 3). Sebagai tahapan dalam mensyari’atkan hukum-hukum samawiyah 4). Memudahkan untuk menghafal dan memahami Qur’an bagi kaum muslimin 5). Sebagai petunjuk kepada zat yang mengeluarkan Qur’an 6).Sebagai argumentasi berbagai peristiwa dan kejadian serta sebagai peringatan ketika itu.9 Menurut Shihab, sosialisasi dan penjabaran ayat-ayat Qur’an kepada manusia didasarkan atas beberapa prinsip yaitu; penerapan hukum secara bertahap (al-tadrij fi altasyri’); menyederhanakan beban (al-taqlil al-taqlif), menghilangkan atau mengurangi sesuatu yang memberatkan (adam al-haraj). Contoh kasus yang dapat dikemukakan misalnya, tentang tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab yang gemar meminum khamar. Dalam konteks sosial dan budaya yang demikian, maka Qur’an dalam upayanya mencegah manusia dari kebiasaan yang sudah mentradisi, tidak secara langsung melarang penggunaan khamar sebagai minuman, tetapi melalui suatu tahapan/beberapa tahap. Pertama, Allah menurunkan surat al-Nahl/16: 67
Artinya: Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. 9
As-Shabuni, Ikhtisar……hlm. 50
Ayat ini pertama kali ditujukan dalam konteks masyarakat yang sering menggunakan logika atau akal pikiran dalam merespon dan menilai sesuatu. Korma dan anggur bisa menghasilkan dua jenis produk, barang memabukkan atau rezeki yang baik. Kedua, setelah ayat di atas turun maka muncullah reaksi masyarakat setempat yang mempertanyakan masalah terkait
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (al-Baqarah/2: 219) Ayat di atas secara eksplisit belum menunjukkan adanya larangan untuk meminum khamar, pada tahapan kedua ini Allah melalui ayatnya memberi pertimbangan mengenai hakikat yang terdapat dalam minuman keras (khamar) Ketiga, pada tahapan ini sudah ditonjolkan adanya pencegahan, berupa pembatasan larangan pada saat- saat khusus atau tertentu.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (QS. AlNisa/4: 43)
Keempat, pada tahap ini atau tahap terakhir, Allah mengeluarkan larangan secara total terhadap berbagai jenis minuman keras/khamar. Hal ini ditandai dengan turunnya ayat 90 surat al-Maidah.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Demikian pula dengan penghapusan riba yang melibatkan tiga kelompok ayatayat yang turun secara beransur, yaitu QS. Al-Rum/30:39; QS.al-Nisa/4: 160-161; dan Qur’an surat Ali Imran/3: 130.10
10
Shihab, dkk., Sejarah…..hlm. 21-22
BAB V SEJARAH PENGUMPULAN QUR’AN A. Pengumpulan Qur’an Pada Masa Nabi Qur’an sebagaimana yang diketahui pada awalnya diwahyukan kepada Muhammad SAW,melalui perantaraan Jibril. Oleh Nabi Muhammad SAW., kemudian memerintahkan beberapa sahabatnya
yang pandai menulis,untuk
menyalinnya (Qur’an) atau mengabadikan dalam media yang pada waktu itu masih menggunakan bahan-bahan ”seadanya” seperti kulit hewan, tulang, dan pelepah kurmah.
Selain memerintahkan katibnya untuk menyalin Qur’an,
Nabi SAW.,
setiapkali menerima wahyu/ ada ayat turun, maka beliau langsung mengajarkan kepada para sahabat, dan oleh sahabat ayat-ayat yang diajarkan kemudian dihafal dan disimpan dalam ingatan. Dalam beberapa hadis diperoleh penjelasan yang sangat eksplisit, jika Nabi SAW., mendorong dan memberikan motivasi kepada para sahabatnya untuk mempelajari Qur’an. Misalnya hadis yang menyebutkan bahwa, ...yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Qur’an. Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam sejumlah teks, al-Shabuni menyimpulkan pengumpulan ayat-ayat Qur’an pada zaman atau masa Nabi SAW., dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:1). Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal dan melahirkannya, dan., 2). Pengumpulan dalam tulisan, dengan cara mengukir dan menulisnya.1 Oleh karena itu, istilah jam’u Qur’an, (pengumpulan ayat-ayat Qur’an) secara prinsip merujuk pada dua kegiatan di atas 1). Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal dan melahirkannya Selain mengabadikan Qur’an dengan cara menulisnya, maka Nabi dan para sahabatnya memelihara Qur’an dengan jalan menghafal dalam ingatan mereka. Dalam perspektif historis bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang memiliki
1
Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, hlm. 69
kemampuan menghafal sekaligus kemampuan untuk mendemonstrasikan hafalan mereka kapan dan dimana saja dibutuhkan. Umumnya para ulama berpendapat bahwa, adanya kegiatan menghafal yang dilakukan oleh Rasul dan para sahabatnya,didasrkan atas suatu fakta bahwa nabi secara pribadi dalam Qur’an disebut Ummiy ;yaitu suatu kondisi atau posisi seseorang yang belum memiliki keterampilan membaca sekaligus menulis aksara. Pendapat tersebut merupakan hasil dari interpretasi dari sebuah ayat yang terdapat dalam Qur’an sebagai berikut.
Artinya :”Dialah (Allah) yang mengutus kepada umat yang ummiy (Arab)seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya (Qur’an) dan membersihkan mereka dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik dan mengajarkan kitab dan khikmah kepada mereka. (Al-Jumu’ah/62: 2) Sementara itu, sebagian ulama meski dalam jumlah yang terbatas menolak pandangan tersebut. Menurut sebagian Ulama kata ”ummiy” yang terdapat dalam ayat 2 surat al-Jumu’ah, tidak tepat untuk diartikan dengan makna buta aksara. Ada juga di antara para Ulama yang menyebutkan bahwa Nabi SAW., telah belajar baca dan tulis menulis. Imam al-Lusi menjelaskan hal ini secara panjang lebar, setelah menafsirkan ayat di atas, Ia berkomentar: para Ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan Nabi SAW., setelah masa kenabian, apakah beliau dapat belajar membaca dan menulis atau tidak. Menurut pendapat yang dipilih oleh al-Baghawi, Ia mengatakan bahwa Nabi tidak dapat membaca dan menulis dengan baik, pendapat inilah yang paling benar menurutnya. Sebagian Ulama berpendapat bahwa setelah masa
kenabian, beliau dapat membaca dan menulis,padahal sebelumnya tidak demikian. Ketidaktahuan beliau baca tulis dikarenakan kemukjizatan ayat di atas. Ketika Qur’an turun, dan Islam dikenal umat, keraguanpun telah sirna.2 Ketika Qur’an Al-Karim turun kepada Nabi SAW., Beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan agar mereka menghafal lafazhnya dan mampu memahami maknanya. Nabi Muhammad SAW., sangat perhatian dalam menghafal (memelihara) Qur’an dan dalam memperolehnya. Begitu besar perhatian dan kemauannya untuk menghafal dan memelihara Qur’an, Beliau senantiasa menggerakkan lidahnya untuk mengucapkan dan melatihnya hingga di luar batas kebiasaan, yakni dengan menyegerakan penghafalannya karena khawatir ada yang luput walau satu kalimat atau menghilangkan satu huruf saja dari Qur’an. Hal ini senantiasa Nabi SAW. Lakukan sehingga Allah SWT. Menegur Beliau dan menjanjikannya untuk menghafalkannya di dalam dadanya, membacakan lafazh, dan memberikan pemahaman maknanya kepada Beliau sesuai dengan firman Allah SWT.: ُﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ ﺑَﯿَﺎﻧَﮫ َ (ﺛ ُ ﱠﻢ إِنﱠ١٨) ُ(ﻓَ ِﺈذَا ﻗَﺮَ أْﻧَﺎهُ ﻓَﺎﺗﱠﺒِﻊْ ﻗُﺮْ آﻧَﮫ١٧) ُﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ َﺟ ْﻤﻌَﮫُ وَ ﻗُﺮْ آﻧَﮫ َ (إِنﱠ١٦) ﻻ ﺗُﺤ ِ َّﺮكْ ﺑِ ِﮫ ِﻟﺴَﺎﻧَﻚَ ِﻟﺘَ ْﻌ َﺠ َﻞ ﺑِ ِﮫ (١٩)
Artinya: “janganlah Kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Qur’an karena hendak cepatcepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Q.S. Al-Qiyamah:16-19)
Salah satu faktor kuat yang menyebabkan keterjagaan hafalan Nabi SAW. Dan tetapnya dalam hati Nabi yang mulia adalah penyampaian Qur’an yang
2
Muhammad bin Muhammad Abu Syu’bah,Studi Ulumul Qur’an: telaah Mushaf Usmani, terj. Taufiqur Rahman, (Jakarta: Pustaka Setia, 2003),hlm. 77
dilakukan oleh Jibril kepada Nabi SAW. Pada bulan Ramadhan di setiap tahun. Bahkan, pada tahun kewafatan Nabi SAW., Jibril menyampaikan bacaan Qur’an dua kali, sehingga Beliau dapat memahaminya pada waktu menjelang akhir kehidupannya. Perhatian terhadap Qur’an senantiasa menjadi kesibukan Nabi SAW. Dalam kerahasiaan dan keterbukaannya, dalam keberadaannya di rumah atau dalam perjalanannya di luar rumah, dalam kesendirian dan kebersamaannya dengan para sahabat, dalam kesusahan dan kemudahannya, dan dalam kegembiraan dan kesedihannya. Qur’an tidak pernah hilang dari hatinya, dan tidak pernah surut semangatnya untuk menghafal dan mengulang-ulangnya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangannya; mengambil pelajaran dari nasihat dan kisah yang terdapat padanya, berperilaku dengan tata krama dan akhlak Qur’an; serta menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Nabi SAW. merupakan tempat rujukan kaum Muslimin dalam menghafalkan, memahami, dan mengetahui rahasiarahasia dan tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh Qur’an. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa penjagaan atas kesucian dan keterpeliharaan teks-teks Qur’an sangatlah istimewa karena tertata secara sistematis dan metodis.3 Dalam memelihara ingatan Nabi Muhammad secara konstan, Malaikat Jibril berkunjung kepadanya setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dalam hadis-hadis berikut:
Fatima berkata, "Rasulullah SAW., (Nabi Muhammad) memberitahukan kepadaku secara rahasia, Malaikat Jibril hadir membacakan Qur'an padaku dan saya membacakannya sekali setahun. Hanya tahun ini Ia membacakan seluruh isi kandungan Qur'an selama dua kali. Saya tidak berpikir lain kecuali, rasanya, masa kematian sudah semakin dekat."4
3
Muhammad bin Muhammad Abu syahbah, Kitab al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an al-Karim, terj. Taufik Rahman, (Bandung: Pustaka Stia, 2002), hlm. 10-11 4
Al-Bukhari, Sahih, Fada'il Al-Qur'an, : 7.
Ibn ‘Abbas melaporkan bahwa Nabi Muhammad berjumpa dengan Malaikat Jibril setiap malam selama bulan Ramadan hingga akhir bulan, masing-masing membaca Qur'an silih berganti.5 Abu Huraira berkata bahwa Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril membaca Al-Qur'an bergantian tiap tahun, hanya pada tahun kematiannya mereka membaca bergantian dua kali.6 Ibn Mas'ud melaporkan serupa dengan di atas, dengan tambahan, "Manakala Nabi Muhammad dan Malikat Jibril selesai membacanya, lalu memberi giliran saya membaca untuk Nabi Muhammad dan beliau memberi penghargaan akan keindahan bacaan saya."7 Tugas Nabi Muhammad terhadap wahyu teramat padat: beliau tidak saja
menerima wahyu, tetapi juga sebagai pengawas ketepatan kompilasi, memberi keterangan yang diperlukan, pemacu masyarakat luas dalam pengenalan dan penyebarluasan,
dan
sebagai
mahaguru
para
sahabat.8
2). Pengumpulan dalam tulisan, dengan cara mengukir dan menulisnya. Salah satu keistimewaan Qur’an yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab sebelumnya adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa, kitab ini sejak mula diwahyukan telah diabadikan melalui tulisan meskipun pada waktu itu masih menggunakan bahan yang seadanya sesuai dengan kondisi zaman pada waktu itu. Hal mana tercantum dalam sejarah,bahwa setiapkali ayat-ayat Qur’an diturunkan,maka segera setelah itu, beliau memerintahkan untuk menuliskan ayat tersebut. Tentu saja ini dilakukan sebagai salah satu wujud kehati-hatiaan dalam menjaga otentisitas dan validitas ayat-ayat Qur’an. Dengan adanya tulisan atas ayat-ayat Qur’an sebagaimana yang disebutkan sekaligus sebagai alat pengaman dan pembanding yang kuat terhadap ayat-ayat serupa yang dihafal oleh para sahabat. Laporan paling awal yang menunjukkan tentang tertulisnya ayat-ayat Qur’an, adalah sebagaimana yang terekam dalam sejarah/peristiwa yang terjadi antara Umar 5
Al-Bukhari, Sahih, Saum: 7. Al-Bukhart , Sahih, Fada'il Al-Qur'an : 7. 7 At-Tabari, at-Tafsir, i: 28. Sanadnya dianggap lemah. 8 Azami, Sejarah......hlm. 58 6
bin al-Khattab saat-saat awal menjelang beliau masuk Islam. Dalam beberapa riwayat yang mashur disebutkan bahwa, ketika Nabi berada di tempat kediaman Arqam bin al-Arqam untuk melakukan aktivitas dakwah kepada beberapaorang yang telah menyatakan diri memeluk Islam, Umar berencana untuk membunuh Nabi SAW. Namun, rencana tersebut gagal, karena dalam perjalanan ke rumah Arqam, ia (Umar) mendengar bila adik perempuannya, ipar serta keponakannya telah bergabung dengan Rasululla SAW. Seketika niatnya diarahkan ke rumah adik perempuannya,dan di tempat tersebut ia menemukan adiknya bersama beberapa orang muslim lainnya sedang membaca surat 20 dari sebuah lembaran (shahifah). Melihat realitas yang terjadi pada adiknya, maka Umar yang telah dibakar api amarah kemudian menyerang adiknya hingga terluka setelah sebelumnya terjadi pertengkaran antara keduanya. Tetapi tindakan kasar Umar,tidak meluluhkan hati saudaranya yang tetap konsisten memegang keyakinan yang ia anut. Melihat kondisi adiknya yang terluka dan mengeluarkan darah dari wajahnya,hati Umar kemudian tersentuh dan bersamaan dengan itu,ia memintah lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat Qur’an serya mengamatidan membacanya. Setelah Umar selesai membaca lembaran bertuliskan ayat Qur’an, hatinya tersentuh dan menyatakan keyakinannya terhadap Islam. Kisah tersebut merupakan indikator yang jelas untuk menyatakan bahwa,sejak awal pewahyuaannya oleh umat Islam pada waktu itu tampak keseriusan untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat Qur’an dengan jalan menulisnya. Kecuali fakta historis yang menerangkan beberapa peristiwa tentang penulisan Qur’an, maka indikasi kuat kearah perintah penulisan Qur’an dapat disimak dari penamaan Qur’an itu sendiri. Misalnya, Qur’an dinamakan dengan kitab yang menunjukpada suatu makna adanya redaksi yang tertulis,demikian pula dengan kata Qur’an yang menindikasikan suatu gambaran latar belakang tertulis. Para penulis Qur’an yang dimandat oleh Nabi, adalah kumpulan orang-orang pilihan yang pada zamannya terkenal pandai dan cerdas menuangkan tulisan di atas media,baik itu berupa kulit, tulang, maupun pelepah kurma. Selain mereka memiliki kemampuan/kapasitas intelektual yang dapat diandalkan, mereka para penulis Qur’an
juga memiliki integritas pribadi yang jujur dan amanah, sehingga mustahil bagi mereka untuk melakukan rekayasa dan pemutarbalikan fakta atau bukti-bukti otentik. Diantara mereka adalah; Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab,Mu’az bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan serta Khalifah yang empat (Abu Bakar,Umar, Usman dan Ali). Selain mushaf resmi yang ditulis atas perintah Nabi, maka di antara para sahabat ada juga yang memiliki koleksi khusus/pribadi yang berisikan apa yang mereka hafal dan dengar dari Rasul, seperti Mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf ’Aisyah dan lain sebagainya.
9
Tulisan-tulisan atas ayat Qur’an sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, dilakukan dibawah kontrol langsung dari Nabi, sehingga tata-tata letak dan uruturutan ayat tidak ditulis atas pertimbangan sahabat yang mencatat ayat-ayat tersebut tetapi berdasarkan atas tata letak yang digariskan oleh Nabi. Dalam istilah ’ulum Qur’an, tata urut ayat dalam mushaf Qur’an yang dilakukan oleh sahabat bersifat tawqifi, atau urut-urutan ayat yang didesain berdasarkan petunjuk wahyu yang diterimaoleh Nabi SAW., dalam beberpa riwayat dijelaskan bahwa Jibril acapkali turun dan mengajarkan/membimbing Muhammad berdasarkan petunjuk Allah untuk meletakkan/ memposisikan ayat Qur’an. Demikian pula Nabi mengajarkan kepada para sahabatnya sesuai yang beliau dapat dan terima dari Jibril. Dalam satu hadis yang diriwayat oleh Ibnu Abbas, bersumber dari Usman disebutkan bahwa, Apabila diturunkan kepada Nabi sebuah wahyu, Rasulullah memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian ia bersabda, ”Letakkanlah ayat ini dalam bagian surat yang menyebutkan begini dan begitu. Demikian pula hadis yang brsumber dari Zaid bin Tsabit yang menyebutkan bahwa; kami di sisi Rasulullah SAW., mengumpulkan Qur’an dari kulit. Sejumlah hadis yang semakna dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang mashur. Informasi tersebut merupakan landasan argumen yang kuat untuk menyatakan bahwa penyusunan ayat-ayat di dalam satu surat berikut tata letaknya didasarkan atas peunjuk Nabi SAW. (tawqifi)
9
Ibid.
B. Pengumpulan Ayat Qur’an pada Masa Abu Bakar Setelah Rasulullah SAW., meninggal, maka oleh sebagian besar umat Islam pada waktu itu menunjuk Abu Bakar sebagai Khalifah yang menggantikan posisi Rasul untuk memimpin umat. Masa awal kepemimpinan Abu Bakar beliau diperhadapkan dengan sejumlah tantangan yang tidak saja datang ari luar tetapi juga dari internal umat Islam. Di antaranya menumpas pemberontakan yang di pimpin oleh Musaillamah al-Kazzab yang mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Sebagian ulama menyebutkan bahwa peperangan Yamamah adalah peperangan yang sangat dahsyat karena pada waktu itu tidak kurang dari 70 orang penghafal Qur’an mati syahid. Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam terpukul secara psikologis. Atas kejadian tersebut Umar kemudian berinisiatif untuk menemui Abu Bakar untuk menyikapi situsi pasca berpulangnya para sahabat yang disebut-disenut sebagian besar adalah para huffaz. Umar mengusulkan untuk mengumpulkan para Qurra karena
ada
kekhawatiran
bila
keadaan
tersebut
akan
berpengaruh
bagi
kesinambungan pemeliharaan Qur’an. Pada mulanya, usulan Umar tersebut tidak direspon secara positif,10 tetapi kemudian Abu Bakar menyimpulkan untuk mengambil saran Umar dengan pertimbangan kemaslahatan. Sebagai tindak lanjut dari usulan Umar, maka khalifah mengutus seseorang untuk menemui Zaid bin Tsabit sekaligus memintanya untuk mengumpul sahifahsahifah yang ada menjadi satu mushaf. Sebagaimana Abu Bakar, pada awalnya zaiid 10
Menurut al-Shabuni,keraguan Abu Bakar menerima saran Umar lebih didasari atas suatu kekhawiran didalam benaknya, jika pada waktunya Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf, akan menjadikan semangat umat Islam melemah, atau motivasi mereka semakin luntur dalammenghafal dan belajar Qur’an. Dan mungkin juga beliau khawatir akan terjadinya perpecahan dan bid’ah. Namun, setelah memikirkan bahwa usaha tersebut amat penting dan mendesak serta relevan dengan upaya pelestarian dan pemeliharaan kesucian Qur’an, sekaligus menghindarkan Qur’an dari kemungkinan terjadinya kehilangan dan perubahan, maka dengan penuh kesadaran dan keyakinan beliau kemudian mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pengumpulan terhadap sahifaa-sahifah yang ada menjadi satu kitab,dengan menunjuk Zaid bin Tsabit. Dipilihnya Zaid bin Tsabit, lantaran sosok Zaid yang memiliki keistimewaan yang membuatnya ahli dalam mengumpulkan Qur’an yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya. Zaid termasuk penghafal sekaligus penulis wahyu,dia menyaksikan sisi akhir kehidupan Rasulullah, bahkan dia terkenalsangat wara’ jujur, sempurna budi pekertinya, lurus agamanya, di samping itu Zaid juga terkenal sebagai individu yang memiliki kemampuan intelektua yang tinggi. Al-Shabuni, Al-Tibyan…..78
agak ragu untuk menindak lanjuti perintah Abu Bakar, namun, atas petunjuk Allah Zaid kemudian melakukan dan mulai bekerja sesuai perintah khalifah.
umat Islam
sangat terpukul. Abu Bakar nampak sedih dan merasa khawatir. Rangkaian kisah ini dapat ditelaah didalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bersumber dari Zaid, sebagai beikut.
Abu Bakar memanggil saya setelah terjadi peristiwa pertempuran alYamama yang menelan korban para sahabat sebagai syuhada. Kami melihat saat ‘Umar ibnul Khattab bersamanya. Abu Bakar mulai berkata," ‘Umar baru saja tiba menyampaikan pendapat ini, ‘Dalam pertempuran al-Yamama telah menelan korban begitu besar dari para penghafal AlQur'an (qurra'), dan kami khawatir hal yang serupa akan terjadi dalam peperangan lain. Sebagai akibat, kemungkinan sebagian Qur’an akan musnah. Oleh karena itu, kami berpendapat agar dikeluarkan perintah pengumpulan semua Qur’an." Abu Bakar menambahkan, "Saya katakan pada 'Umar, 'bagaimana mungkin kami melakukan satu tindakan yang Nabi Muhammad tidak pernah melakukan?' 'Umar menjawab, ‘Ini merupakan upaya terpuji terlepas dari segalanya dan ia tidak berhenti menjawab sikap keberatan kami sehingga Allah memberi kedamaian untuk melaksanakan dan pada akhirnya kami memiliki pendapat serupa. Zaid! Anda seorang pemuda cerdik pandai, dan anda sudah terbiasa menulis wahyu pada Nabi Muhammad, dan kami tidak melihat satu kelemahan pada diri anda. 11Carilah semua Qur’an agar dapat dirangkum seluruhnya." Demi Allah, Jika sekiranya mereka minta kami memindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih ringan dari 11
Sejak usianya di awal dua puluh-tahunan, di masa itu, Zaid diberi keistimewaan tinggal berjiran dengan Nabi Muhammad dan bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat cemerlang. Dia salah satu di antara para huffaz clan karena kehebatan jati diri itulah yang mengantarnya sebagai pilihan mumtaz untuk melakukan tugas tersebut. Abu Bakar al-Siddiq mencatat kualifikasi dirinya sebagai berikut: 1. Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya. 2. Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, ‘Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda.' 3. Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran. 4. Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu. 5. Satu catatan tambahan dari saya (pengarang) tentang kredibilitasnya, Zaid salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabat yang sempat mendengar bacaan Al-Qur'an Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadan. (Azami, Sejarah…..hlm. 86)
apa yang mereka perintahkan pada saya sekarang. Kami bertanya pada mereka, ‘Kenapa kalian berpendapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?' Abu Bakar dan ‘Umar bersikeras mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja dan malah akan membawa kebaikan. Mereka tak henti-henti menenangkan rasa keberatan yang ada hingga akhirnya Allah menenangkan kami melakukan tugas itu, seperti Allah menenangkan hati Abu Bakr dan ‘Umar.12 Para penulis Barat tentang Qur’an ada yang meragukan data di atas, Fredrich Schwally, sebagaimana yang dikutip oleh Bell menyatakan bahwa; data-data yang menyebutkan sejumlah besar sahabat penghafal Qur’an gugur dalam peperangan Yamamah tidaklah akurat. Lebih lanjut Schwally, menyebutkan; dalam daftar mereka yang gugur pada pertempuran itu sedikit sekali mereka yang disebutkan memiliki Qur’an dalam hatinya (penghafal). Mseka yang terbunuh sebagian
besar adalah
orang-orang yang baru beralih iman. Lebih lanjut Schwally, menyebutkan dari daftar orang-orang yang syahid pada peperangan Yamamah hanya 2 (dua) orang yang diketahui sebagai penghafal Qur’an .13 Setelah tugas terselesaikan, kompilasi Qur’an disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah pengawasan Abu Bakr. Kontribusinya seperti yang kita dapat simpulkan adalah penyatuan fragmentasi Qur’an dari sumber pertama, kemudian ia menjelajah ke seluruh kota Madinah dan menyusunnya untuk transkripsi penulisan ke dalam satu jilid besar (master volume). Kompilasi ini disebut dengan istilah suhuf. la merupakan kata jamak suhuf : secara literal artinya, keping atau kertas dan saya percaya ini mempunyai arti yang berbeda dengan kata tunggal Mushaf yang sekarang menunjukkan sebuah naskah tulisan Qur’an. Sebagai kesimpulan, segala upaya Zaid adalah penyusunan semua surah dan ayat secara tepat, dan kemungkinan besar sebagai seorang putra Madinah dia menggunakan script dan ejaan Madinah yang umum atau konvensional (Tetapi 12
Al-Bukhari, sahih, Jam'i Al-Qur'an, hadith, no. 4986 W. Montngomery Watt, Ricard Bell: Pengantar Al-Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998) 13
tampaknya ukuran kepingan-kepingan kertas yang digunakan untuk menulis Qur’an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu tidak tersusun rapi. Oleh karena itu, dinamakan Suhuf Hanya lima belas tahun kemudian, saat Kalifah ‘Uthman berupaya mengirim naskahnaskah Qur’an ke pelbagai wilayah kekuasaan umat Islam dari hasil kemenangan militer telah memperkuat tersedianya kertas kulit bermutu tinggi dan ia mampu memproduksi kitab Qur’an dalam ukuran kertas yang sama yang kemudian lebih dikenal sebagai Mushaf.14
C. Pengumpulan Qur’an Pada Masa Usman Pada masa Usman berkuasa, wilayah atau daerah persebaran umat Islam semakin luas dan kaum muslimin semakin terpencar, dimana setiap wilayah dan kampung memiliki guru yang mengajarkan agama kepada komuitas muslim. Kondisi tersebut memiliki konsekuensi dan implikasi tersendiri, salah satunya adalah terjadinya varian atau jenis pendekatan dalam membaca qur’an yang terkadang antara satu wilayah dengan wilayah lainnya salain berbeda. Penduduk Syam misalnya menggunakan qira’ah Ubai bin Ka’ab. Sedangkan kaum muslim yang berdiam di Kufah menggunakan qira’ah Abdullah bin Mas’ud, dan dibeberapa tempat yang lain memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ari. Akibat yang muncul adalah terjadinya kontroversi mengenai qira-ah di lingkungan kaum muslimin pada waktu itu, yang pada saat-saat tertentu kontroversi tersebut dapat memicu pertentangan bahkan perpecahan, yang disebabkan karena masing-masing pengikut sahabat bersikukuh untuk menyatakan versi bacaannyalah yang paling benar, sehingga ada di antara mereka yang saling mengkafirkan antara satu dan yang lainnya. Dalam satu riwayat yang bersumber dari Abi Qatadah disebutkan bahwa,suatu masa pada masa Usman,ada seorang guru yang mengajarkan Qur’an dengan versi qira’atnya,dan guru yang lain mengajarkan dengan qira’at yang pegang dan yakini, sehingga para murid mereka yang bertemu saling menklaim sebagai qira’ah yang
14
Muhammad Mustafa Azami, Sejarah……hlm.
paling valid, akibatnya terjadilah pertengkaran antara murid tersebut. Tidak berhenti ditingkat murid, bahkan guru mereka masing-masing akhirnya bertengkar juga,hingga satu dan yang lainnya saling mengkafirkan. Kabar pertengkaran tersebut kemudian sampai kepada Usman yang menjadi khalifah pada waktu itu. Usman memberikan respon atas kejadian tersebut dengan berpidato di depan kaum muslim, ia mengatakan: kalian yang berada dekat denganku sudah berpecah, maka bagaimana dengan saudara-saudara kalian yang berada jauh dariku, tentu mereka bertengkar lebih keras lagi. Pertengkaran kaum muslimin yang diakibatkan oleh problem qira’ah tersebut, kemudian menjadi bahan pikiran Usman, yang kemudian mendorong atau memotivasi khalifah untuk memcahkan masalah yang ”rawan” tersebut. Sebagai tindak lanjut dan solusi atas keadaan yang dapat memicu konflik di internal kaum muslim pada waktu itu; Usman kemudian mengundang para sahabat yang dikenal cakap dan memiliki integritas pribadi yang jujur, guna mencari jalan terbaik untuk keluar dari ancaman konflik yang membahayakan umat Islam.15 Para sahabat yang
15
Adanya perbedaan dalam bacaan Al-Qur'an sebenarnya bukan barang baru sebab 'umar sudah mengantisipasi bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibn Mas'ud ke Irak, setelah 'umar diberitahukan bahwa dia mengajarkan AI-Qur'an dalam dialek Hudhail2 (sebagaimana Ibn Mas'ud mempelajarinya), dan 'umar tampak naik pitam: Qur'an telah diturunkan dalam dialek Quraish, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraish, bukan menggunakan dialek Hudhail. Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, ix: 9, Kutipan Abu Dawud Dalam masalah ini komentar Ibn Hajar dirasa sangat penting. "Bagi kalangan umat Islam bukan Arab yang ingin membaca Al-Qur'an," katanya. "pilihan bacaan yang paling tepat adalah berdasarkan dialek Quraisyi ( ). Sesungguhnya dialek Quraisy merupakan pilihan terbaik bagi kalangan Muslim bukan Arab (sebagaimana semua dialek Arab sama susahnya bagi Mereka). lbid, ix: 27 Hudhaifa bin al-Yaman mengingatkan khalifah pada tahun 25 H dan pada tahun itu juga Usman menyelesaikan masalah perbedaan yang ada sampai tuntas. Beliau mengumpulkan umat Islam dan menerangkan masalah perbedaan dalam bacaan AI-Qur'an sekaligus meminta pendapat mereka tentang bacaan dalam beberapa dialek, walaupun beliau sadar bahwa beberapa orang akan menganggap bahwa dialek tertentu lebih unggul sesuai dengan afliasi kesukuan.. Lihat Abi Dawud, al -Masahif, hlm. 22. Dalam kejadian ini banyak perbedaan pendapar telah diberikan dalam menentukan tahun yang sebenar dari tahun 25-30 Hijrah. Saya mengadopsi pendirian Ibn Hajar. Lihat as Suyuti, al-Itqan, I : 170). Ketika ditanya pendapatnya sendiri beliau menjawab (sebagaimana diceritakan oleh 'Ali bin AbiTalib), "Saya tahu bahwa kita ingin menyatukan manusia (umat Islam) pada satu Mushaf (dengan satu dialek) oleh sebab itu tidak akan ada perbedaan dan perselisihan" dan kami menyatakan "sebagai usulan yang sangat baik)."( Ibn Hajar, Farhul Bari, x: 402).
diundang kemudian merespon secara positif kebijakan yang ditempuh Usman, untuk menggandakan mushaf yang ada lalu membagi-bagikannya kestiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan kaum muslim untuk membakar mushaf selain yang ditulis oleh ”negara”. Diharapkan dengan cara tersebut, benih-benih dan peluang konflik yang mungkin dapat terjadi lantaran problem perbedaan qir’ah dapat teratasi. 16 Untuk merealisasikan kebijakan tersebut,Usman menetapkan empat tokoh penting untuk menulis dan menggadakan Qur’an mereka, adalah; Zaid bin Tsabit, yang merupakan sahabat Nabi yang sejak awal merupakan katib Rasul dalam penulisan wahyu, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdur Rahman bin Hisyam. Tiga tokoh yang disebut terakhir adalah kaum Muhajirin dan semuanya berasaldari etnik Quraisy, sedangkan Zaid adalah kelompok atau golongan Ansor. Usaha ini terjadi pada tahun 24 H., Usman kemudian menitip pesan kepada mereka, jika kalian berbeda pendapat dalam maslah qira’ah maka hendaklah kalian menuliskannya dalam dialeg Quraiys, karena sesungguhnya Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Untuk memperlancar upaya tersebut Usman kemudian meminta mushaf yang disimpan oleh Hafsah untuk diserahkan kepada negara. Beliau hendak membuat beberapa salinan dari mushaf yang telah dikumpulkan oleh pendahulunya dalam hal
Terdapat dua riwayat tentang bagaimana Usman melakukan tugas ini. Sam di antaranya (yang lebih masyhur) beliau membuat naskah mushaf semata-mata berdasarkan kepada Suhuf yang disimpan di bawah penjagaan Hafsa, bekas istri Nabi Muhammad saw. riwayat kedua yang tidak begitu terkenal menyatakan, Usman terlebih dahulu memberi wewenang pengumpulan Mushaf dengan menggunakan sumber mana, sebelum membandingkannya dengan Suhuf yang sudah ada. Kedua-dua versi riwayat sepaham bahwa Suhuf yang ada pada Hafsa memainkan peranan penting dalam pembuatan Mushaf 'Usmani. (Muhammad Mustafa Azami, Sejarah...., hlm. 98) 16 Arkoun menyebutkan,bahwa menurut tradisi Muslim, pengumpulan Qur’an mulai saat Nabi meninggal pada tahun 632,tetapi bahkan ketika beliau hidup tampaknya ayat-ayat tertentu sudah ditulis.Kumpulan-kumpulan parsial dibuat dengan bahan yang agak tidak memuaskan, ini terjadi lantaran kertas belum dikenal di kalangan orang Arab,dan tersedia bagi mereka baru diakhir abad ke-8. Meninggalnya para sahabat Nabi,yaitu mereka yang ikut berhijrah bersama Nabi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622,dan perdebatan tajam dikalangan umat Islam mendorong khalifah ke-3, Usman, untuk mengumpulkan totalitas wahyu ke dalam satu kompilasi yang disebut mushaf.Kumpulan ini dinyatakan sempurna,selesai dan tertutup;teks ini dibangun nevarietur ; dan kompilasi-kompilasi parsialpun dimusnahkan untuk menghindari perbedaan yang akan timbul tentang keotentikan wahyuwahyu yang dipilih. Proses pemilihan dan pemusnahan mengharuskan kita bertumpu pada gagasan Corpus Resmi yang tertutup. Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hlm. 55-56
ini Abu Bakar untuk disalin ulang dan digandakan, segera setelah naskan tersebut disalin, maka naskah asli yang dipegang oleh Hafsah akan diserahkan kembali. 17 Berdasarkan pada riwayat Usman memutuskan berupaya dengan sungguhsungguh untuk melacak Suhuf dari Hafsa, mempercepat menyusun penulisan, dan memperbanyak
naskah.
Al-Bara'
meriwayatkan,
Kemudian 'Usman mengirim surat kepada Hafsa yang menyatakan. "Kirimkanlah Suhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna dan kemudian Suhuf akan kami kembalikan kepada anda." Hafsa lalu mengirimkannya kepada 'Usman, yang memerintahkan Zaid bin Thabit, `Abdullah bin az-Zubair, Sa'id bin al-'As, dan 'AbdurRahman bin al-Harith bin Hisham agar memperbanyak salinan (duplicate) naskah. Beliau memberitahukan kepada tiga orang Quraishi, "Kalau kalian tidak setuju dengan Zaid bin Thabit perihal apa saja mengenai Qur’an, tulislah dalam dialek Quraisy sebagaimana Qur'an telah diturunkan dalam logat mereka." Kemudian mereka berbuat demikian, dan ketika mereka selesai membuat beberapa salinan naskah Usman mengembalikan Suhuf itu kepada Hafsah18 Menurut TM.Hasbiy Asshiddiqie, badan yang dibentukoleh Usman tetap berpegang erat kepada penyusunan mushaf yang telah sempurnah dilakukan oleh Abu Bakar. Setelah persesuaian atara masing-masing ayat dan tempatnya dalam surat, maka Usman memerintahkan menyaling ulang empat naskah mushaf dari naskah pertama yang kemudian dinamai mushaf al-Imam. Sebuah dari naskah tersebut dikirim ke Mekkah, sebuah ke Kuffah,sebuah ke Basrah, dan sebuah lagi dikirim ke Syam. Asal salinan yang ditulis oleh badan lajnah ditinggal di tangan Usman. 19 17
Rangkaian kronogis sebagaimana yang ditulis di atas bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas yang menceritakan bahwa Khuzafah Ibnu al-Yamam datang pasca penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Kkepada Usman menyampaikan prihal pertentangan yang terjadi dikalangan kaum muslim sekitar masalah qira’at . Lebih lanjut lihat Jami’ Shahih al-Bukhari, kitab bada’a al-wahy 18 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al- Bari, ix: ii, hadith no. 4987 19 Berapakah banyak Naskah yang telah dibagi-bagikan oleh Usman? Menurut beberapa laporan, ada empat: Kufah, Basra, dan Suriah, yang satu lagi disimpan di Madinah; Riwayat lain menambahkan Mekah, Yaman dan Bahrain. Al-Dani lebih cenderung menerima laporan (riwayat) pertama. Profesor Shauqi Daif percaya bahwa delapan naskah telah dibuat, karena Usman mengambil satu untuk din sendiri. Untuk menguatkan pendapat ini, kita tahu bahwa Khalid bin Ilyas telah membuat perbandingan antara Mushaf yang disimpan Usman dan yang disediakan untuk Madinah,
Kemudian setelah itu, Usman mengeluarkan kebijakan supaya segala shuhuf yang terdapat dan masih tertinggal dalam masyarakat dimusnahkan.20 Selanjutnya kepada kaum muslimin diperintahkan untuk membaca Qur’an sesuai dengan qira’at yang tercantum dalam mushaf al-Imam.21
D. Mushaf Pasca Usman Meskipun telah terjadi univikasi penulisan terhadap Qur’an pada zaman Usman, namun yang perlu dicatat adalah penulisan Qur’an pada waktu itu masih sangat sederana atau tidak seperti yang tampak seperti sekarang, dimana huruf yang terangkai belum memiliki tanda dan titik diakritis yang dapat membedakan antara satu huruf dengan huruf yang lainnya. Oleh karena itu, kemungkinan bagi terjadinya kesalahan membaca khususnya bagi mereka yang tidak menghafal dapat saja terjadi. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, suatu ketika Abu al-aswad al-Du’ali (w. 69 H./ 688 M.). mendengar bacaan seseorang seorang qari membaca Qur’an surat 9/al-Tawbah; 3, yang kemudian membuat ia terkejut dan kaget mendengar bacaan tersebut. Atas kejadian tersebut al-Du’ali kemudian datang menemui Gubernur Basrah,dan menyampaikan niatnya untuk memberi tanda-tanda baca atas Qur’an. Segera setelah itu, ia kemudian dengan tekum mendesain tanda-tanda baca ke
oleh karena itu, delapan tempat untuk naskah mushaf kelihatannya lebih masuk akal. AIYa'qubi, seorang sejarawan Syi'ah, berkata bahwa Usman mengirim Mushaf ke Kufah, Basra, Madinah, Mekah, Mesir, Suriah, Bahrain, Yaman, dan alJazirah, kesemuanya itu adalah sembilan. Ini sebagai bukti bahwa selama proses penyiapan naskah Mushaf ini, beberapa orang menulis beberapa naskah lagi untuk kegunaan mereka masing-masing. Azami,Sejarah 20 Pemusnahan atau pembakaran mushaf-mushaf yang dimiliki secara pribadi,dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pertikaian dikalangan umat,karena masing-masing mushaf yang dibakar itu mempunyai kekhususan. Hal ini juga dikarenakan karena para sahabat penulis wahyu pada zaman Nabi tidak diikat oleh satu ketentuan penulisan yang seragam, sehingga terjadi perbedaan antara satu koleksi dengan koleksi lainnya. Dalam beberapa koleksi tampaknya ada yang mencampurkan antara penjelasan Nabi dan sahabat senior dengan wahyu,walaupun sesungguhnya sahabat yang bersangkutan mengetahui dan dapat mengenali mana dari teks tertulis tersebut yang merupakan wahyu dan mana yang merupakan penjelasan atas wahyu,misalnya dengan membubuhi kode-kode tertentu yang mungkin hanya diketahui oleh yang bersangkutan. M.Quraish Shihab,dkk, Sejarah dan ‘Ulum alQur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 88 21 TM.Hasbi as-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 88-89.
dalam Qur’an. Fathah diberi tanda satu titik di atas huruf (-------), kasrah diberi tanda dua titik di bawah huruf, dammah diberi tanda titik disela-sela huruf (-- .---) dan tanda sukun berupa tanda dua titik.22 Setelah Abu al-Aswad al-Du’ali, melakukan upaya pemberian tanda baca terhadap tulisan Qur’an,23 maka usaha ke arah penyempurnaan rasm Qur’an terus berlangsung dan berjalan secara bertahap. Bila sebelumnya tanda fathah disimbolkan dengan satu tanda titik,maka pada perkembangan berikutnya tanda satu titik yang didesain oleh al-Du’ali kemudian disempurnakan menjadi tanda sempang di atas huruf. Dan tanda kasrah yang sebelumnya disimbolkan dengan satu titik di atas, diubah menjadi tanda sempang yang diletakkan di bawah huruf. Demikian pula simbol dammah diganti dengan menggunakan huruf ”waw” kecil di atas huruf. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpahuruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah.Sedangkan huruf nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halq) diberi tanda sukun dengan warnah merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda ketika idhgam dan ikhfa. Setiap huruf yang
22
Pada zaman Nabi dan abad pertama serta kedua Hijrah, AlQuran ditulis dengan kh a th (tulisan) ku f i. Karena ada kesalahan pada kebanyakan kata kh a th ini, maka para sahabat dan yang lain berpedoman kepada hapalan, periwayatan dan para q u r ra ’ , sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, tetap ada sedikit kesalahan pada orang-orang awam, dan hanya para penghapal Al-Quran dan perawi saja yang mengetahui bacaan Qur’an yang benar. Oleh karena itu, bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk membuka dan membaca mus-haf dengan benar. Oleh karena itu, Abul Aswad al-Duali membuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab dengan petunjuk dari Ali bin Abi Thalib. Begitu pula, dalam masa sesudah itu ia membuat titik-titik huruf-huruf Arab dengan perintah seorang Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Dengan demikian kekeliruan berkurang, tetapi belum semuanya bisa dihilangkan sampai ketika Khalil bin Ahmad al-Farahidi penemu ilmul 'a ru d h , membuat bentuk-bentuk bagi cara pengucapan huruf-huruf Arab. Yakni ma d , ta s yd id , fa th a h , ka s ra h , d h a mma h , su ku n , ta n w in bersama-sama tiga h a ra k a t sebelumnya, a r- ra u m dan a l- i sy ma m . Dengan ini maka hilanglah seluruh kekeliruan itu. Sebelum al-Farahidi membuat tanda-tanda itu, dipasanglah titik-titik untuk menunjuk h a ra k a t- h a ra ka t. Sebagai ganti dari fa th a h , dipasang titik di awal huruf. Sebagai ganti dari kasrah, dipasang titik di bawah huruf, Dan sebagai ganti d h a m ma h , dipasang titik di atas huruf pada bagian akhirnya. Tetapi kadangkadang cara ini malah menambah kebingungan (kekeliruan). Muhammad Husain alThaba’thabai, Memahami......167 23
Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan I......hlm. 171
harus dibaca sukun diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali ta sebelum tha, maka sukun tetap ditulis, misalnya24 Pada awalnya para ulama tidak mengizinkan atau membenarkan usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya di antara ualama ada yang membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembutan perpuluhan, perlima-an (al-khamasy) Sedangkan pemberian titik dibolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara Qur’an dengan sesuatu yang bukan Qur’an. Fungsi titik sesunggunya bukan penambahan Qur’an, tetapi hanya sebagai tanda petunjuk untuk memudahkan pembacaan Qur’an. Dalam perkembangan berikutnya tidak ditemukan lagi larangan tegas dari berbagai pihak tentang pemberian tanda-tanda baca Qur’an, karena terbukti mempunyai banyak manfaat dalam penyeragaman bacaan Qur’an. Manuskrip manuskrip kuno tanpa tanda baca sudah sulit ditemukan sekarang. Sebagian besar manuskrip pada zaman sahabat telah hancur karena kurannya perawatan. Hal tersebut juga terjadi karena bahan-bahan yang digunakan untuk penulisan manuskrip dimaksud terbuat dari bahan yang tidak tahan lama. Manuskrip tertua yang masih dapat ditemukan, yaitu manuskrip pada Abad ke II Hijrah, manuskrip ini pernah dipamerkan di Inggris, London dalam Wordl of Islam Festival tahun 1976. Manuskrip tersebut ditulis di atas kertas papirus. Sebuah salinan yang diukir diatas kulit rusa betina kini tersimpan diperpustakaan Nasional Mesir. Manuskrip ini diperkirakan ditulis pada tahun68 H/699 M.,atau tahun 58 setelah Rasulullah SAW., wafat. 25 Sejak mesin cetak ditemukan abad 16 di Eropa, naskah Qura’n sudah semakin muda ditemukan. Qur’an pertama kali dicetak dengan khat Arab di atas percetakan yang berpindah-pindah pada tahun 1694 di Hanburg. Naskah sepenuhnya dilengkapi 24
Baca antara lain,Manna al-Qattan; Shihab,dkk., Sejarah......hlm. 34 Ahmad von Donver, Ulum Qur’an: An Introduction to the Scienses of the Quran, terj. Ahamad Nasir Budiman (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hlm. 62/ Shihab, Sejarah,…..hlm. 35 25
dengan tanda baca . Setelah mesin cetak tersebar luas, mushaf Qur’an kemudian dicetak dalam jumlah besar. Percetakan Qur’an atas prakarsa orang Islam dilakukan pada tahun 1787 di St. Petersburg, Rusia, lalu di Kazan th 1828, Persia 1833, dan Istanbul 1877. Edisi cetakan paling standar dan yang dinilai ter lengkap adalah edisi Mesir, yang dicetak pada tahun 1344/1925.26
26
TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 95/ Shihab, ibid. / Ibrahim al-Ibyary, Pengenalan Sejarah Qur’an, terj. Saad Abdul Wahid, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 124
BAB VI MUKJIZAT QUR’AN
A. Ijaz Qur’an Menurut bahasa kata "mu’jizah" berasal dari kata "'ajz" (lemah),. Kata mukjizat kini telah menjadi bagian dari kosa kata bahas Indonesia, dari sudut pandang kebahasaan merupakan turunan dari kata ijaz yang bermakna melemahkan. Ijaz dalam bahas Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain yang merupakan kebalikan dari kata "qudrah" (kuasa). Pada dasarnya mu’jiz itu adalah Allah SWT., yang menyebabkan selainNya lemah. Pemberi kekuasaan kepada selain-Nya juga adalah Zat Allah SWT., karena Ia sebagai Penguasa mereka. Sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita, mengenai betapa lemahnya orang-orang yang didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut, maka huruf "ta" marbuthah ditambahkan kepada kata "mu’'jiz" sehingga menjadi "mu’jizah ". Bentuk mubalaghah ini juga terjadi, misalnya pada kata, "'allamah", "nassabah", dan "rawiyah".1
Penggunaan kata ijaz/mu’jizat dalam Qur’an misalnya dapat dilihat pada surat al-Maidah ayat 31
Artinya: 1
Abu Zahra al-Najdi, Min al-I'jaz al-Balaghiy WA al-'Adadiy li al-Qur’an alKarim,terj. Agus Efendi (Bandung: Pustaka Hidayah,1990),hlm. 1
”.....lemahkah aku memperbuat seumpama perbuatan gagak ini untuk mengubrkan mayat saudaraku.......”
Menurut al-Shabuni, istilah mukjizat lebih banyak dimaksudkan sebagai suatu keistimewaan luar biasa yang dimiliki oleh seorang pesuruh Tuhan atau Nabi dan Rasul, yang dengan keistimewaan tersebut
orang lain menjadi lemah karenanya.
Dengan demikian substansi dari makna kemukjizatan Qur’an menurut al-Shabuni adalah: bahwa dengan kedatangan atau diwahyukannya Qur’an kepada Muhammad, menjadikan manusia lemah baik secara individu maupun kelompok untuk mendatangkan satu kitab seperti Qur’an.
Oleh karena itu, ijaz Qur’an adalah
mengokohkan Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Dalam kaitannya dengan ke-Rasulan Muhammad, maka kemukjizatan Qur’an bermakna sebagai pesan Tuhan kepada manusia yang memperlihatkan kebenaran fungsi ke-Nabian serta wahyu yang dibawanya. Lebih dalam lagi, kemukjizatan Qur’an yang diberikan kepada Muhammad juga bermakna untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan bangsa Arab yang terkenal memiliki kemampuan bersastera, dan karena tantangan-tantangan yang datang dari Allah melalui Qur’an tidak dapat mereka tandingi. 2 Sejalan dengan pandangan di atas, al-Najdi menyebutkan Qu’ran adalah mukjizat yang abadi bagi Nabi Muhammad saw., yang dengannya bangsa Jin dan manusia ditantang untuk membuat kitab yang serupa dengan Qur’an tersebut, 2
Qur’an adalah mukjuzat Nabi Muhammad SAW., yang terbesar,adalah merupakan tantangan Allah kepada kepadaorang-orang Arab khususnya dan kepada seluruh manusia pada umumnya. Muhammad bukanlah seorang yang pernah menimba ilmu kepada seorang ilmuan atau ulama besar dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan…….Dengan kitab suci tersebut Muhammad datang kepada sebuah komunitas yang secara cultural dikenal memiliki kemampuan sastera yang sangat tinggi dan dikenal memiliki banyak pujangga. Dan dengan kitab suci tersebut Muhammad menantang mereka untuk membuat suatu karya yang mampu menandingi Qur’an dengan ibarat yang kuat, bahasa yang memikat, dan memiliki cita-cita yang tinggi. Misalnya mereka diminta untuk mendatangkan satu surat bahkan satu ayat yang memiliki kedalaman makna dan keindahan bahasa seperti Qur’an. Namun, mereka tetap tidak mampu melakukannya, bahkan diantara mereka ada secara terang-terangan mengakui kelemahan dan ketakberdayaan mereka menandingi Qur’an. Hal ini menjadi salah satu bukti yang memperkuat kemukjizatan Qur’an. Muhammad Ali al-Shabuni, AlTibyan fi al-‘Ulum al-Qur’an, terj. Muhammad Qadirun Nur, (Jakarta:Pustaka Amani, 1988),hlm. 120
sebuah atau sepuluh surat yang sama dengan surat yang ada di dalamnya. Tantangan Qur’an kepada komunitas Arab pada waktu itu yang terdiri para ahli balaghah dan para ahli bahasa Arab di antara mereka dalam kenyataannya tidak sanggup membuat sebuah surat pun yang serupa dengan surat yang ada di dalam Qur’an sehingga akhirnya mereka menggunakan kekuatan dengan berupaya memerangi Rasulullah, menawarkan jabatan dan harta kepada beliau, bukan membuat sebuah surat yang serupa dengan Qur’an. Allah SWT.3 di dalam KitabNya menjelaskan bahwa Qur’an merupakan mukjizat: Terminologi mukjizat adalah istilah yang hanya dirujuk untuk menyebutkan keistimewaan yang diberi oleh Sang Maha Pencipta kepada para Nabi. Keistimewaan khusus tersebut dianugrahkan kepada mereka dalam menghadapi para penentang ajaran kebenaran, sekaligus untuk menunjukkan bukti tentang kebenaran visi misi yang dibawa oleh para Nabi, sehingga ajaran dan norma-norma hidup yang diajarkan dapat dengan mudah meyakinkan dan diterima oleh manusia, baik pada masa Nabi maupun setelahnya.
Oleh karena itu, Qur’an menantang agar didatangkan perkataan yang menyamainya. Dengan tantangannya itu, Qur’an sebagaimana yang ditujukka oleh perjalanan sejarahnya telah mengalahkan pernyataan manusia, dan menempatkan dirinya sebagai cahaya dan sinar serta memperjelas segala sesuatu, sehingga kitab ini tidak perlu dijelaskan dengan yang lain. Untuk membuktikan bahwa ia bukan perkataan manusia, Qur’an menyatakan;
3
Menurut para mutakallimln (teolog), mukjizat ialah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan adat kebiasaan yang terjadi di dunia (dar al-taklif) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para Nabi. Al-Thusi mendefinisikan mukjizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi, atau terjadinya sesuatu yang menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kehiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan, ibid
Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)
B. Qur’an Mukjizat Terbesar Nabi Muhammad SAW. Jumhur kaum Muslimin berpendapat bahwa Qur’an: merupakan mukjizat (mu ’jiz bi dzatih). Maksudnya, bahwa Qur’an dengan seluruh yang ada di dalamnya, termasuk struktur kalimat; balaghah, bayan (penjelasan), perundang-undangan (tasyri'), berita-berita gaib dan seluruh persoalan yang dikandungnya merupakan mukjizat, dan telah menyebabkan seluruh manusia tidak mampu membuat yang serupa dengannya. Secara faktual Qur’an4 adalah mukjizat Nabi yang dibaca oleh umat Islam pada masa hidupnya dan yang akan selalu dibaca setelah kepergiannya oleh beriburibu mu’alaf yang tidak terhitung jumlahnya sampai hari kiamat. Namun demikian, Qur’an bukanlah merupakan mukjizat fisik yang bersifat empiris seperti halnya mukjizat-mukjizat Nabi-nabi terdahulu, meskipun beliau pernah didesak oleh kaumnya untuk mendatangkan mukjizat yang bersifat empiris sehingga mereka mau mengimani Risalahnya. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Qur’an kepada manusia di dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Isra’ ayat 90-92:
4
Kata Qur’an berasal dari kata Qora’a (membaca). Dan kata ini adalah sebagai kata pertama yang dipergunakan untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi di Gua Hiro’ sebagai isyarat akan pentingnya kedudukan membaca yang berfungsi sebagai sarana ilmu dan rahasia kemajuan serta peningkatan dalam kehidupan
“Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga Kamu memancarkan mata air dari Bumi untuk Kami, atau Kamu mempunyai sebuah kebun korma atau anggur, lalu Kamu alirkan sungai-sungai di celah-celah kebun yang deras alirannya,
atau
kamu
jatuhkan
langit
berkeping-keping
atas
Kami,
sebagaimana Kamu katakan atau Kamu datangkan Allah dan Malaikatmalaikat berhadapan muka dengan Kami. Atau Kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau Kamu naik ke langit. Dan Kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga Kamu turunkan atas Kami sebuah kitab yang Kami baca” Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?”
Sebagai jawaban terhadap tantangan ini Rasul mengatakan perintah Allah “Mahasuci Tuhanku! Bukankah Aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul” dan ini merupakan jawaban yang tidak mampu dijawab secara benar dan jujur di hadapan kekeras-kepalaan orang-orang yang menuntut bukti-bukti fisik.5
5
Muhammad Ismail Ibrahim, Al-Qur’an wa al-Ijazuhu al-‘Ilm, terj. Ali Abu Bakar, Sisi Mulia al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pres, 1998). Hlm. 16-17
C. Mengapa Mukjizat Nabi Muhammad SAW., Justru Qur’an? Menurut Muhammad Ismail Ibrahim, rahasia yang dikandung di dalam eksistensi Qur’an sebagai mukjizat Nabi yang terbesar adalah jelas karena Ia mengandung mukjizat maknawi bersifat sakral yang memiliki rahasia-rahasia spiritual yang berhubungan dengan alam atas; karena Ia mengandung suatu ilmu pengetahuan dan pancaran-pancaran Ilahiah yang kekal sepanjang zaman; juga karena ia memiliki eksternalitas dan dinamika maknawi dan ruhani selama lisan-lisan manusia masih membaca ayat-ayatnya dan kalbu-kalbu masih khusyu’ ketika mendengarnya serta kulit-kulit dan anggota-anggota badan melembut ketika merasakannya. Kehendak (irodah) Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui tidak berkenan untuk menjadikan Qur’an (mukjizat Nabi) sebagai material-inderawi seperti halnya mukjizat-mukjizat nabi-nabi sebelumnya, yang nampak mencolok pada masanya kemudian menghilang dikarenakan mukjizat-mukjizat itu hidup dalam ingatan manusia hanya bersamaan dengan waktu hidupnya Nabi-nabi yang membawanya saja. Oleh karena itu, Allah menjadikan Qur’an sebagai mukjizat nabi Muhammad, yang pengaruh dan dampak positifnya dirasakan sepanjang zaman, yang tetap “abadi” (hidup) kendatipun beliau telah wafat. Hal ini dikarenakan ia adalah Risalah pamungkas yang diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia dan setelahnya tidak ada Risalah-risalah dan mukjizat-mukjizat lain. Cukuplah sebagai bukti yang menunjukkan superioritasnya ialah sesungguhnya Ia menghimpun dan memuat, segala akidah-akidah yang hak yang paling benar, prinsip-prinsip yang lurus yang paling luhur, metode-metode yang paling super demi kebaikan dan perbaikan serta kemenangan, serta ibadah-ibadah yang paling murni yang secara teoritis dan praktis menghantarkan kepada keridhaan Allah SWT dan kebahagiaan dunia-akhirat yang dibutuhkan oleh kemanusiaan. Semua orang yang diberi petunjuk dan taufik oleh Allah untuk membaca ayatayatnya sejak hari Ia diturunkan kepada Nabi SAW. Sampai apa yang dikehendaki
oleh Allah mereka mengimani kesuciannya, mengakui keindahan bayaniah (retorika)nya, merasakan sentuhan spiritualnya dan mereka menyenangi tiupan-tiupan samawinya. Semua itu kembali kepada realitas-esensial (hakikat-dzatiah) yang dikandung oleh Qur’an yang tergambar di dalam eksistensinya yang berlandaskan pada kebenaran, yang tergambar di dalam rahasia-rahasianya yang tinggi yang tersimpan di balik kata-kata serta pengertian-pengertiannya dan yang nampak di dalam daya tarik Ilahiah-nya yang memikat hati pembaca-pembaca dan pendengarpendengarnya. Dan tiada yang lebih bisa menunjukkan kepada hal tersebut kecuali para pamungkas dari pujangga dan sastrawan Arab dari pihak Quraisy ketika mereka mendengarkan ayat-ayat Allah yang sedang dibacakan kepada mereka, maka perasaan-perasaan mereka dikuasai oleh daya pesona sastranya (Qur’an). Bahkan ketertarikan sebagian sastrawan terhadap ayat-ayat itu menyebabkan mereka mengendap-endap di kegelapan malam mendekat rumah Nabi untuk mendengarkan bacaan Qur’an sehingga mereka oleh bacaan itu dipenuhi rasa kagum, kemampuan dan memanfaatkan kemanisan dan keindahan serta keagungan spiritual yang menarik hati mereka. Di antara keanehan persoalan orang-orang Arab yang mengingkari Qur’an dan kemukjizatannya dalam pelaksanaan dan penjelasannya ialah mereka itu bangsa yang memiliki kecintaan yang menggebu-gebu terhadap balaghoh dan fashohah, sehingga mereka mengadakan pasar-pasar sastra setiap tahun yang dipergunakan untuk mementaskan para sastrawan serta penyair dan mereka mengundang pada juri untuk menilai di antara para penyair dan para sastrawan guna memuliakan mereka dan mengenang penyair-penyair ulung di antara mereka.6
D. Macam-Macam Ijaz Qur’an I’jaz atau kemukjizatan Qur’an dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, sesuai dengan perspktif para pengkaji Qur’an. Oleh karena itu semakin banyak orang yang mempelajari Qur’an, maka semakin banyak kemungkinan
6
Ibid., hlm. 19-20
terungkapnya kemukjizatan-kemukjizatan Qur’an, karena keajaiban-keajaiban Qur’an itu tidak akan pernah habis. Di antara ragam kemukjizatan Qur’an yang telah diungkap oleh ulama dan cendekiawan Muslim adalah; i’jaz balaghi, i’jaz mengenai berita gaib, i’jaz tasyri'i (perundang-undangan) dan i’jaz 'ilmi. I’jaz dengan berbagai macamnya, seperti i’jaz al-thibbi (kedokteran), i’jaz al-falaki (astronomi), i’jaz al-jughrafi (geografi), i’jaz al-thabi'i (fisika), i’jaz adadi (jumlah), i’jaz i'lami (informasi), dan i'jaz-i’jaz lainnya. Salah satu i’jaz Qur’an adalah perhatiannya yang besar terhadap setiap hubungan yang terjadi di dalamnya. Al-Allamah Thaba’thabai menyebutkan; Dalam Qur’an tidak ada satu pertentangan pun. Andaikata secara selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan sirna dengan merenungkan Qur’an itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan maksudmaksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai hujah tidak akan sempurna. Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu pertentangan dalam Qur’an yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain Qur’an itu sendiri, maka ia tidak akan dapat menerima dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan lain, dengan menggunakan hadis, umpamanya. Hal itu dikarenakan orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan tidak mempercayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan menolak pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila Nabi menjelaskan untuk
menghilangkan
pertentangan-pertentangan
dalam
Qur’an
tanpa
menggunakan bukti verbal dari Qur’an itu sendiri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian dan kesuciannya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak mau menerima sabda-sabda beliau jika tidak ada bukti kuat dari Qur’an sendiri. Kita pun mengetahui bahwa Qur’an sendiri mengabsahkan
sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula, Nabi mengabsahkan sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya.7 Oleh karena itu, tidak ada satu Kitab Sammawi pun, apatah lagi kitab-kitab yang didisain oleh manusia yang memberikan perhatian begitu rupa seperti yang dilakukan oleh Quran. Sejak masa mula Qur’an diwahyukan, ayat-ayat dan surat-suratnya sudah dihafalkan oleh banyak kaum Muslimin. Begitu penjelasan tentang makna dan kandungannya (tafsir-tafsirnya), interpretasi Rasul tentang Qur’an, dan komentar serta pendapat para ulama tafsir sehingga dengan berlalunya waktu telah lahir thabaqat al-mufassirin (tingkatantingkatan para mufassir), dan pada setiap tingkatan tersebut telah banyak buku tafsir yang ditulis. Banyaknya para mufassir dan besarnya perhatian mereka tidak lain adalah karena besarnya peran Qur’an. Qur’an tidak hanya mereka tafsirkan, akan tetapi juga dari Qur’an telah muncul berbagai ilmu yang mereka tulis. Di antaranya studi tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, asbab alnuzul, pembagian ayat kepada makiyah dan madaniyah, ilmu tajwid, ilmu qiraat, i’jaz Qur’an, i'rab Qur’an, ilmu rasm Qur’an dan buku-buku yang ditulis mengenai penghitungan ayat-ayat Qur’an, pembagiannya kepada juz, hizb, anshaf al-ahzab dan rub' di samping karya-karya mengenai nasikhmansukh, linguistik Qur’an, balaghah, nudzhum (struktur bahasa Qur’an), bayan (kejelasan) dan ma'ani (makna-makna) kata dan kosa katanya, bahasa kabilah, keutamaan surat-suratnya, pahala membaca Qur’an, etika tilawah, sampai-sampai perhatian terhadap Qur’an pun telah mendorong perhatian terhadap penghitungan jumlah kata-kata, lafaz-lafaz, huruf-huruf dan hubungannya antara kata, huruf, ayat dan surat di dalamnya. 8
7
Thaba’thabai, Memahami Esensi Al-Qur’an, (Bandung: Lentera, 2000),hlm.73 Abu Zahra al-Najdi, Min al-I'jaz al-Balaghiy WA al-'Adadiy li al-Qur’an al-Karim, terj. Agus Efendi, (Bandung: Pustaka Hidayah,1990), hlm. 2 8
Pertama, Allah SWT berjanji dan menjamin akan menjaganya. (٩) َإِﻧﱠﺎ ﻧَﺤْ ﻦُ ﻧَﺰﱠ ْﻟﻨَﺎ اﻟ ِﺬّﻛْﺮَ وَ إِﻧﱠﺎ ﻟَﮫُ ﻟَﺤَﺎﻓِﻈُﻮن Sesungguhnya telah Kami turunkan peringatan (Qur’an) dan sesungguhnya Kami (pula) yang memeliharanya (QS. Al-Hijr: 9) Kedua, karena risalah Islam merupakan risalah terakhir sehingga perundang-undangannya harus abaditidak boleh diubah, terdistorsi dan diganti. Karena sekiranya pengubahan, pendistorsian dan penggantian itu boleh dilakukan, maka manusia memerlukan sebuah kitab dan seorang rasul yang baru, padahal AI-Quran akan tetap sampai hari kiamat dan Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul. (٤٠)…… َﻣَﺎ ﻛَﺎنَ ُﻣ َﺤ ﱠﻤﺪٌ أَﺑَﺎ أَ َﺣ ٍﺪ ﻣِ ﻦْ رِ ﺟَﺎ ِﻟ ُﻜ ْﻢ وَ ﻟَﻜِﻦْ رَ ﺳُﻮ َل ا ﱠ ِ وَ ﺧَﺎﺗَ َﻢ اﻟ ﱠﻨﺒِﯿِّﯿﻦ
Bukanlah Muhammad itu ayah seseorang di antara lelaki kalian, melainkan ia rasulullah dan penutup para nabi. (Al-Ahzab: 40)
Dengan demikian, maka Qur’an wajib terjaga dari tahrif. Sekiranya kita asumsikan bahwa ayat yang menjanjikan akan menjaga Qur’an, yaitu: "Sesungguhnya telah Kami turunkan AI-Quran dan sesungguhnya Kami akan menjaganya", tidak ada, maka akal sendiri akan menghukumi tentang wajibnya keterjagaan Qur’an dari tahrif dan tabdil.
Ketiga, karena Qur’an merupakan penutup kitab samawi, dan bahwa mukjizat para nabi terdahulu pun tetap dinukil, maka hal itu mengharuskan adanya mukjizat abadi yang membenarkan pengakuan penutup para nabi dan kebenaran para nabi dan risalah-risalah samawi sebelumnya. Allah berfirman:
(٣١) ٌﺼ ِﺪّﻗًﺎ ِﻟﻤَﺎ ﺑَﯿْﻦَ ﯾَﺪَ ْﯾ ِﮫ إِنﱠ ا ﱠ َ ﺑِ ِﻌﺒَﺎ ِد ِه ﻟَ َﺨﺒِﯿﺮٌ ﺑ َِﺼﯿﺮ َ ﻖ ُﻣ ب ھُﻮَ ا ْﻟ َﺤ ﱡ ِ وَ اﻟﱠﺬِي أَوْ َﺣ ْﯿﻨَﺎ إِﻟَﯿْﻚَ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ
Dan kitab yang Kami wahyukan kepadamu ialah kitab yang benar, yang membenarkan apa yang (disebutkan di dalam kitab-kitab) sebelumnya; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Melihat hamba-hamba-Nya. (QS. AlFathir: 31)
Keempat, Allah SWT berjanji bahwa ayat-ayat-Nya tidak akan terputus, melainkan akan berlanjut. Allah berfirman:
Akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Kami di sekitar jagat raya dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
Ayat di atas, pada prinsipnya
merupakan mukjizat. Ayat tersebut
menegaskan tentang keberlanjutan munculnya ayat-ayat bagi manusia dan ayat-
ayat yang muncul di jagat raya (afaq), pada diri kita, dan pada tujuan masingmasing. Ini semua merupakan dalil yang kuat atas kebenaran risalah Islam dan Qu’ran sebagai kebenaran yang datangnya dari Yang Maha Agung. Dengan demikian, sekalipun pada masa awal ditemukan realitas bahwa umat Islam mengalami keterpecahan yang terbagi ke dalam berbagai firqah (golongan), dan dihadapkannya kepada tipu daya musuh serta dengan tidak adanya alat-alat cetak dan perekam yang canggih sebagaimana yang bisa disaksikan pada saat ini, Qur’an tetap terjaga dari tahrif dan tabdil. Adalah merupakan kehendak Allah bahwa seluruh kebatilan yang akan merusak Qur’an harus musnah. Qur’an adalah Kitab yang tidak akan dikenai kebatilan baik dari Qu’ran itu sendiri maupun dari luar Qur’an. Atas dasar itu semua, Qur’an adalah sebuah Kitab yang tidak pemah mengalami tahrif dan kehilangan, sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab samawi yang lain. Allah berfirman:
Bahkan ia merupakan ayat-ayat yang nyata di dalam dada orangorang yang diberi ilmu ..... (AI-Ankabut: 49)
Oleh karena itu pula maka Allah SWT telah menjaga Qur’an, di samping juga telah menjaga pendahulu-pendahulunya. Sehingga Ia menjaga Bahasa Arab dari kepunahan yang merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang tidak mengalami
perubahan,
pergantian,
kepunahan
dan
keterbelakangan
sebagaimana yang dialami oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Dengan asumsi bahwa bahasa adalah seperti wujud yang hidup dan berkembang secara bertahap dan berjalan seperti berkembangnya manusia, dimulai masa kanak-
kanak, berkembang sampai masa remaja dan masa tua untuk selanjutnya lanjut usia dan mati. Berdasarkan teori ini, maka perjalanan akhir setiap bahasa di dunia adalah kematian. Ini merupakan persoalan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau kita membaca sejarah bahasa di dunia, kita tidak akan mendapatkan satu bahasa klasik pun pemah digunakan oleh manusia yang masih hidup sebagaimana asalnya. Namun demikian teori ini tidak berlaku bagi bahasa Arab. Apa rahasianya? Bukankah bahasa Arab sama seperti bahasa yang lain? Pada dasarnya memang bahasa Arab tidak berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia, hanya saja rahasia ketidakrelevanan teori diatasterhadap bahasa Arab adalah bukan terletak pada bahasa itu send'tri, melainkan pada mukjizat besar, yaitu; Qur’an Karim yang diturunkan dengan bahasa tersebut, sehingga bahasa tersebut harus terjaga demi keteqagaan Qur’an; karena Qur’an menggunakan "bahasa Arab yang terang" (Al-Syu'ara: 195).9
9
Ibid.,….hlm.3-4
BAB VII BEBERAPA ASPEK KAJIAN ’ULUM AL-QUR’AN A. Kronologi Qur’an 1. Ayat Pertama dan Terakhir Dalam perspektif sejarah, awal mula Qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan. Proses turunnya Qur’an sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah secara beransur-ansur, yaitu pertamakali turun beberapa ayat awal dari surat al-Alaq ayat- 1-5. Surat ini disepakati turun di Makkah sebelum Nabi hijrah, hampir semua ulama sepakat menyatakan bahwa surat al-Alaq ayat 1-5 adalah wahyu yang pertama diterima oleh Nabi SAW., Thaba’thabai, menyebutkan bahwa ditinjau dari konteks uraiannya (ayat-ayat) tidak mustahil bahwa keselurahan ayat dalam surat ini turun sekaligus. Dari penjelasan para ulama diketahui bahwa lima ayat petama dari surat ini diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan.1 Penjelasan ini dapat ditemui dalam sejumlah hadis Nabi dan diketahui secara mutawatir.2 Memang ada pandangan yang menyebutkan bahwa surat yang pertama turunadalah surat al-Mudatsir, bahkan ada yang menyebut surat al-Fatihah. Tentang hal ini, para ulama menjawab bahwa surat al-Mudatsir, adalah surat yang pertama turun setelah masa keterputusan wahyu (fatrah al-wahy) sedangkan ayat 1-5 surat alAlaq ada ayat yang pertama turun secara mutlak. Demikian pula dengan surat alFatihah, Imam Muhammad Abduh menyebutkan bahwa surat ini adalah yang pertama turun. Namun, kesluruhan pendapat yang menyebutkan surat lain selain al-Alaq yang turun pertama kali, tidak valid.3 Jika dalam penetapan ayat yang pertama, mayoritas Ulama meyakini surat alAlaq ayat1-5, sebagai surat yang pertama diturunkan, maka tidak demikian halnya 1
Muhammad Qurish Shihab, Tafsir al-Misbah , (Jakarta; Lentara Hati, 2006), hlm.392 Riwayat tentang keberadaan surat al-Alaq ayat 1-5 sebagai ayat yang pertama turun antara lain dapat dilihat dalam koleksi hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam bab, kaifa kana bada’a al-wahy 3 Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an al-Karim, terj. Taufiqurrahman (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 215-218 2
dengan ayat yang terakhir turun. Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat 3 surat al-Maidah, (٣)............ ﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ﻧِ ْﻌ َﻤﺘِﻲ وَ رَ ِﺿﯿﺖُ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻹﺳْﻼ َم دِﯾﻨًﺎ َ ُا ْﻟﯿَﻮْ َم أَ ْﻛ َﻤﻠْﺖُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ دِﯾﻨَ ُﻜ ْﻢ وَ أَﺗْ َﻤ ْﻤﺖ Pada hari ini (’Arafah) Ak u sempurnakan Agamamu dan Aku cukupkan nikmatKu padamu dan Aku ridhai Islam sebagai Agamamu
Dan sebagian lainnya menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat 281 surat al-Baqarah/2. (٢٨١) َﺴﺒَﺖْ وَ ُھ ْﻢ ﻻ ﯾُ ْﻈﻠَﻤُﻮن َ ْﺲ ﻣَﺎ َﻛ ٍ وَ اﺗﱠﻘُﻮا ﯾَﻮْ ﻣًﺎ ﺗ ُﺮْ َﺟﻌُﻮنَ ﻓِﯿ ِﮫ إِﻟَﻰ ا ﱠ ِ ﺛ ُ ﱠﻢ ﺗ ُﻮَ ﻓﱠﻰ ُﻛ ﱡﻞ ﻧَﻔ Takutlah kamu pada hari yang akan dikembalikan kamu pada hari itu kepada Allah,kemudian disempurnakan (balasan) tiap-tiap orang dari usahanya, sedang mereka tiada teraniyaya (dirugikan).
Jalaluddin al-Sayuti, lebih cenderung menyebutkan bahwa ayat terakhir dari Qur’an adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 281. Hal ini dirujuk atau dinukilkan dari Abdullah bin Abbas. Bahkan menurut al-Zaqani, Imam Nasa’i juga meriwayatkan hadis dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,Ia berkata: ayat Qur’an yang terakhir diturunkan adalah (yang artinya): Takutlah kamu pada hari yang akan dikembalikan kamu pada hari itu kepada Allah, ......(QS.2: 281) lebih lanjut dijelaskan bahwa hanya 9 (sembilan) malam saja setelah ayat ini diturunkan kemudian Rasulullah SAW., meninggal dunia.4 Sejumlah pandangan yang menolak penisbahan ayat 281 surat al-Baqarah sebagai ayat terakhir, beralasan bahwa; ayat 3 surat al-Maidah (Pada hari ini (’Arafah) Aku sempurnakan Agamamu dan Aku cukupkan nikmatKu padamu dan Aku ridhai Islam sebagai Agamamu), secara eksplisit maknanya menunjukkan bahwa
4
Jalaluddin al-Sayuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998),hlm. 27
ayat inilah yang merupakan ayat terakhir dari Qur’an. Atas pandangan ini, al-Sayuti memberikan klarifikasi; memang betul Allah telah menyempurnakan Agama. Dimana hal-halyang berkaitan dengan kefarduan dan beberapa hukum serta keterangan tentang halal dan haram, telah diterangkan yang keseluruhannya telah jelas bagi umat. Namun, hal ini tidak berarti menafikan sebagian ayat-ayat yang berisikan peringatan akan siksa Allah SWT., bahwa mereka kelak niscaya bertemu dengan Sang Maha Pengadil.Dimana pada hari tersebut, segala harta, anak turuna tidak lagi berguna, kecuali bagi mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang suci.Demikian juga yang diterangkan oleh sekelompok Ulama. Al-Suddi menjelaskan; bahwa setelah surat al-Ma’idah ayat 3, maka tidak ada lagi turun ayat yang menerangkan halal dan haram.
5
Sedangkan pandangan umum yang menyebutkan ayat 3 dari surat al-Maidah sebagai ayat terakhir disanggah oleh al-Shabuni. Ia menyebutkan; bahwa pandagan tersebut tidak tepat sebab ayat ini (al-Maidah: 3) turun sewaktu Rasul menjalankan haji wada’, ketika itu Ia sedang wukuf di Arafah
dan masih 81 hari sebelum
meninggal. Padahal diketahui dalam sejarah bahwa 9 (sembilan) hari sebelum beliau meninggal masih datang wahyu Qur’an surat al-Baqarah: 281, dan itulah menurut alShabuni yang merupakan ayat terakhir turun. Pendapat ini, yang dipegang oleh Shabuni dan menyatakannya sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dengan turunnya ayat 281 al-Baqarah, maka terhentilah wahyu sekaligus terputuslah hubungan langit dan bumi, Rasul pindah ke rafiq al-a’la, setelah turun ayat yang terakhir tersebut.6
2. Makkiyah dan Madaniyah Secara kronologis ayat-ayat Qur’an dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ayat ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat Makkiyah adalah kumpulan atau sejumlah ayat yang diturunkan di Makkah atau sebelum Nabi hijrah 5
Al-Sayuti, Al-Itqan.....hlm.27 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Muhammad Qadirun Nur, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998),hlm.22 6
ke Madinah,sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah kupulan ayat-ayat Qur’an yang turun atau diturunkan di Madinah atau pasca hijrahnya Rasul. Ayat-ayat Makkiyah turun selama 12 tahun 5 bulan dan 13 hari. Tepatnya mulai 17 Ramdhan tahun 41 hingga awal tahun 54 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah diwahyukan selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Yaitu dari permulaan Rabiul Awwal tahun 54 dari kelahiran Nabi hingga 9 Zulhijjah tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijrah. Perbandingan ayat yang turun di Makkah berkisar 19/30 sedangkan ayat yang turun di Madinah berkisar 11/30. Meskipun diketahui secara jelas bahwa Qur’an diturunkan secara beransuransur,dan diturunkan dalam dua tempat yaitu di Makkah dan Madinah, namun tidak mudah untuk mengidentifikasi mana di antara ayat yang turunnya di Makkah maupun yang diturunkan di Madinah. Hal ini lebih disebabkan karena ayat-ayat Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf, tertib penyusunannya tidaklah mengikuti kronologis turunnya. Penyusunan tertib urutan ayat yang terdapat dalam satu surah didasarkan atas petunjuk Nabi (tawqifi). Sebenarnya terdapat koleksi ayat Qur’an yang disusun oleh para sahabat secara pribadi yang mengikuti tartib atau disusun berdasarkan kronolois turunnya ayat, namun pada masa Khlaifah Usman atas dasar pertimbangan penyeragaman mushaf berdasarkan petunjuk Nabi, maka seluruh koleksi-koleksi pribadi sahabat Nabi dimusnahkan atau dibakar. Upaya penyeragaman yang dilakukan oleh Usman memiliki nilai positif, tetapi juga berdampak negative. Dari sisi positif pada masa itu terjadi penyeragaman dan menghindari pertentangan yang mungkin terjadi di kalangan awam. Tetapi pada sisi lain tindakan penyeragaman dengan jalan membakar atau memusnahkan koleksi mushaf yang dimiliki secara pribadi oleh sahabat,berarti menghilangkan alat pembanding, sekaligus merupakan kerugian intelektual. Surat-surat Makkiyah berdasarkan kronologi turunnya adalah sebagai berikut: No urut 1 2
Nomor surat 96 68
Nama surat Al-Alaq Al-Qalam
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
73 74 1 111 81 87 92 89 93 94 103 100 108 102 107 109 105 113 114
Al-Muzammil Al-Mudatsir Al-Fatihah Al-Masad/ al-Lahab Al-Takwir Al-A’la Al-Layl Al-Fajr Al-Dhuha Al-Syarah/al-Insyirah Al-‘Ashr Al-‘Adiyat Al-Kawtsar Al-Takatsur Al-Ma’un Al-Kafirun Al-Fil Al-Falaq Al-Nas
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
112 53 80 97 91 85 95 106 101 75 104 77 50 90 86 54 38 7 72 36 25
Al-Ikhlash Al-Najm ‘Abasa Al-Qadar Al-Syams Al-Buruj Al-Tin Al-Quraisy Al-Qori’ah Al-Qiyamah Al-Humazah Al-Mursalat Qaf Al-Balad Al-Thariq Al-Qamar Shad Al-A’raf Al-Jin Yasin Al-Furqan
43 44 45 46 47 48 49 50
35 19 20 56 26 27 28 17
Fathir Maryam Thaha Al-Waqi’ah Al-Syu’ara Al-Naml Al-Qashash Al-Isra’
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
10 11 12 15 6 37 31 34 39 40 41 42 43 44 45 46 51 88 18 16 71 14 21 23 32 52 67 69 70 78 79 82 84
Yunus Hud Yusuf Al-Hijr Al-An’am Al-Shaffat Luqman Saba’ Al-Zumar Ghafir Fushsilat Al-Syura Al-Zukhruf Al-Dukhan Al-Jatsiyah Al-Ahqaf Al-Dzariyat Al-Ghasyiyah Al-Kahfi Al-Nahl Nuh Ibrahim Al-Anbiya’ Al-Mu’minun Al-Sajadah Al-Thur Al-Mulk Al-Haqqah Al-Ma’arij Al-Naba’ Al-Nazi’at Al-Infithar Al-Insyiqaq
84 85 86
30 29 83
Al-Rum Al-Ankabut Al-Mutaffifin
Kalangan ulama tafsir ada yang berpendapat bahwa; surat al-Mutaffifin adalah surat terakhir yang turun di Makkah. Selain surat-surat yang disebutkan di atas, maka sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa surat berikut kedalam kelompok Makkiyah No urut 87 88 89 90 91
No surat 99 13 55 76 98
Nama surat Al-Zalzalah Al-Rad Al-Rahman Al-Insan Al-Bayyinah
Adapun surat-surat Madaniyah berdasarkan tertib turunnya ialah sebagai berikut No urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
No surat 2 8 73 33 60 4 57 47 65 59 24 22 63 58 49 66 64
Nama surat Al-Baqarah Al-Anfal Ali Imran Al-Ahzab Al-Mumtahanah Al-Nisa’ Al-Hadid Al-Qithal (Muhammad) Al-Thalaq Al-Hasyr Al-Nur Al-Haj Al-Munafiqun Al-Mujadilah Al-Hujurat Al-Tahrim Al-Thaghabun
18 19 20 21 22 23
61 62 48 5 9 110
Al-Shaf Al-Jumu’ah Al-Fath Al-Ma’idah Al-Tawbah Al-Nashr
Ke-23 kelompok ayat yang disebutkan di atas, tidak desepakati oleh sebagian ulama. Kelompok yang tidak sepakat dengan pandangan di atas, menyebutkan bahwa surah-surah Madaniyah berjumlah 28, yaitu dengan menambah surat 99, 13, 55, 76 dan 98. Perbandingan antara tertib surah berdasarkan kronologi turunnya dan tertib Mushaf Usmani adalah sebagai berikut: No urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama-nama surat Menurut tertib Turunnya Ayat Al-Alaq Al-Qalam Al-Muzammil Al-Mudatsir Al-Fatihah Al-Masad (Al-Lahab) Al-Takwir Al-A’la Al-Layl
Nama-nama surat Menurut tertib Mushaf Usmani Al-Fatihah Al-Baqarah Ali Imran Al-Nisa’ Al-Maidah Al-An’an Al-A’raf Al-Anfal Al-Tawbah
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Al-Fajr Al-Dhuha Al-Syarah (Al-Insyirah) Al-‘Ashr Al-‘Adiyat Al-Kawtsar Al-Takasur Al-Ma’un Al-Kafirun Al-Fil Al-Falaq Al-Nas
Yunus Hud Yusuf Al-Ra’d Ibrahim Al-Hijr Al-Nahl Al-Isra’ Al-Kahfi Al-Maryam Thaha Al-Anbiya’
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Al-Ikhlash Al-Najm Abasa Al-Qadar Al-Syams Al-Buruj Al-Tin Al-Quraisy Al-Qari’ah Al-Qiyamah Al-Humazah Al-Mursalat Qaf Al-Balad Al-Thariq Al-Qamar Shad Al-A’raf Al-Jin Yasin Al-Furqan Fathir Maryam Thaha Al-Waqi’ah Al-Syu’ara Al-Naml Al-Qashashas Al-Isra’ Yunus Hud Yusuf Al-Hijr Al-An’am Al-Shaffat Luqman Saba’ Al-Zumar Ghafir Fushshilat Al-Syura
Al-Haj Al-Mu’minun Al-Nur Al-Furqan Al-Syu’ara Al-Naml Al-Qashash Al-Ankabut Al-Rum Luqman Al-Sajadah Al-Ahzab Saba’ Fathir Yasin Al-Shaffat Shad Al-Zumar Al-Mu’min Fushshilat Al-Syura Al-Zukhruf Al-Dukhan Al-Jatsiyah Al-Ahqaf Muhammad Al-Fath Al-Hujurat Qaf Al-Dzariyat Al-Thur Al-Najm Al-Qamar Al-Rahmah Al-Waqi’ah Al-Hadid Al-Mujadilah Al-Hasyr Al-Mumtahanah Al-Shaf Al-Jumu’ah
63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103
Al-Zukhruf Al-Dukhan Al-Jatsiyah Al-Ahqaf Al-Dzariyat Al-Ghasyiah Al-Kahfi Al-Nahl Nuh Ibrahim Al-Anbiya’ Al-Mu’minun Al-Sajadah Al-Thur Al-Mulk Al-Haqqah Al-Ma’arij Al-Naba’ Al-Nazi’at Al-Infithar Al-Insyiqaq Al-Rum Al-Ankabut Al-Muthaffifin Al-Zalzialah Al-Ra’d Al-Rahman Al-Insan Al-Bayyinah Al-Baqarah Al-Anfal Ali Imran Al-Ahzab Al-Mumtahanah Al-Nisa’ Al-Hadid Al-Qital (Muhammad) Al-Thalaq Al-Hasyr Al-Nur Al-Hajj
Al-Munafiqun Al-Taghabun Al-Thalaq Al-Tahrim Al-Mulk Al-Qalam Al-Haqah Al-Ma’arij Nuh Al-Jin Al-Muzammil Al-Mudatsir Al-Qiyamah Al-Insan Al-Mursalat Al-Naba’ Al-Nazi’at Abasa Al-Takwir Al-Infithar Al-Mutaffifin Al-Insyiqaq Al-Buruj Al-Thariq Al-A’la Al-Ghasyiyah Al-Fajr Al-Balad Al-Syams Al-Layl Al-Dhuha Al-Insyirah Al-Thin Al-‘Alaq Al-Qadr Al-Bayyinah Al-Zalzalah Al-‘Adiyat Al-Qari’ah Al-Takatsur Al-‘Ashr
104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114
Al-Munafiqun Al-Mujadilah Al-Hujurat Al-Tahrim Al-Thaghabun Al-Shaf Al-Jumu’ah Al-Fath Al-Ma’idah Al-Tawbah Al-Nashr
Al-Humazah Al-Fil Al-Quraisy Al-Ma’un Al-Kawtsar Al-Kafirun Al-Nasr Al-Ahzab Al-Ikhlash Al-Falaq Al-Nas
Perlu dicatat bahwa meskipun disebut sebagai surat Makkiyah, namun tidak berarti seluruh ayat yang ada pada surat tersebut diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Demikian pula sebaliknya, tidak semua ayat-ayat yang terdapat atau dinamakan surat Madaniyah, turunnya di Madinah. Penamaan tersebut hanya karena ayat-ayat yang terdapat dalam surat tersebut umumnya atau sebagian besar turun di Makkah atau Madinah. Sebagai salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah surat al-Anfal ayat
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. .
Ayat di atas adalah salah satu contoh ayat ayat Makkiyah dalam surat Madaniyah. Sedangkan ayat Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah antara lain dalam surat al-An’am/6: 151-153. Adalagi jenis lain, yaitu ayatnya diturunkan di Makkah tetapi tetap dikategorikan sebagai ayat Madaniyah. Hal tersebut lantaran ayat terkait turun setelah Nabi hijrah, misalnya surat al-Hujurat ayat 13
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Memahami ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah sangat penting, yaitu untuk mengetahui mana ayat-ayat yang turun lebih awal dan turun kemudian. Dengan mengetahui perbedaan ayat-ayat tersebut, maka dengan mudah dapat diketahui mana ayat-ayat yang dihapus hukumnya (mansukh) dan mana ayat-ayat yang menghapus (nasikh), atau ayat ayat yang dikhususkan (makhsush) dan mana ayat-ayat yang mengkhususkan (mukhashshish) 7
3.
Ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyah
Dari berbagai informasi sejarah yang ditulis oleh para ahli dapat dinyatakan bahwa periode Makkah adalah periode awal dari perjuangan Rasul, atau periode penanaman keyakinan kepada umat manusia, khususnya bagi kaum musyrik Makkah /Quraiys dan yang berada di sekelilingnya. Sebagai periode awal, dalam rangka memperkenalkan ajaran-ajaran Tawhid yang menjadi salah satu misi dari risalah kenabian, maka secara umum ayat-ayat Makkiyah berlatar seruan tentang keimanan atau aqidah, oleh karena itu salah satu ciri umum dari ayat-ayat Makkiyah biasanya dimulai dengan : Ya ayyuhan nas; Sedangkan ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan Ya ayyuhallazina amanu, dimana aspek hukum mendapat penekanan pada periode ini,meski demikian ada juga di antara ayat-ayat Madaniyah yang dimulai dengan kalimat Ya ayyuhan nas; namun, jumlahnya terbatas, Misalnya; Ya ayyuhannas 7
Shihab, Sejarah…..hlm. 65-73
u’budu Rabbakum ( QS; 2: 21), (QS.2 : 167),(QS. 4:1),(QS.4: 132) (QS. 4:169), (QS.4:134),(QS. 49: 3). Selain ciri-ciri yang disebut di atas, maka cirri lain yang membedakan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah; pada umumnya ayat-ayat Makkiyah, lebih pedek (Qhishar) bila dibanding dengan ayat-ayat yang diurunkan di Madinah (Thiwal).
4. Munasabah Pada pembahasan sebelumnya telah diurai tentang naskah Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam kodifikasi Usman, yaitu susunan ayat-ayat Qur’an yang terdapat di dalamnya diyakini bersifat tawqifi, tata urut surat dan ayat ayat yang terdapat di dalamnya tidak disusun berdasarkan kronologi turunnya sebuah ayat. Munasabah berdasarkan makna bahasa adalah keserupaan dan muqarabah (kedekatan). Sedangkan dalam istilah ’ulum al-qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam Qur’an. Hubungan tersebut meliputi a). Hubungan satu surah dengan surah sebelumnya. Dalam konteks tersebut munasabah bertujuan untuk menemukan penjelasan atas surah sebelumnya, misalnya surat al-Fatiha ayat 6 (٦) ﺴﺘَﻘِﯿ َﻢ ْ اﻟﺼّﺮَ ا َط ا ْﻟ ُﻤ ِ ا ْھ ِﺪﻧَﺎ Artinya: Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus Ayat tersebut di atas kemudian dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 2 (٢) َذَﻟِﻚَ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبُ ﻻ رَ ﯾْﺐَ ﻓِﯿ ِﮫ ُھﺪًى ِﻟ ْﻠ ُﻤﺘﱠﻘِﯿﻦ Artinya: Kitab Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
b). Hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat. Nama-nama surat kadangkala diadopsi dari dari suatu masalah pokok yang terdapat dalam surat
tersebut. Misalnya surat al-Nisa, surat ini dinamakan demikian karena konten atau isinya banyak memjelaskan tentang persoalan perempuan.
c).Hubungan antara fawatir al-suwar (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf) dengan isi surat. Hubungan fawatir al-suwar dengan isi suratnya bisa dilacak dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan fawatir al-suwar. Misalnya jumlah huruf Alif, lam dan mim pada surat-surat yang dimulai dengan alif, lam, dan mim, semuanya dapat dibagi 19.
d). Hubungan antara ayat pertama dengan terakhir dalam satu surat. Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan: (١) َﻗَ ْﺪ أَ ْﻓﻠَ َﺢ ا ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ﻨُﻮن Kemudian dibagian akhir surat ditemukan kalimat
e).Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat. Misalnya kata muttaqin di dalam surat al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang bertakwa.
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
f). Hubungan antar kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surat al-Fatihah ayat 2; “Segala puji bagi Allah”, lalu sifat Allah dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
g).Hubungan antara fashihah dengan isi ayat. Misalnya di dalam surat alAhzab/33 ayat 25 disebutkan:
Artinya: “….dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan Lalu ditutup dengan:
Artinya: “…. Dan Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa h). Hubungan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya. Misalnya akhir surat al-Waqi’ah/56
Dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar (surat al-Waqi’ah/56: 98) Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid/57 ayat 1
Artinya: Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah maha kuasa atas segala sesuatu.
Munasabah Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tawqifi). Oleh karena itu, setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal di dalam kitab. B. Asbabun Nuzul 1.Pengertian Asbabun Nuzul Qur’an sebagai kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam, pada awalnya turun di Makkah yaitu pada tanggal 17 Ramadhan. Qur’an di antaranya berisi ajaran-ajaran keimanan, tuntunan hukum dan moral bagi segenap manusia. Kitab suci Qur’an diwahyukan sebagai petunjuk dan jalan hidup bagi manusia, maka isi Qur’an sebagaiannya merupakan respon bagi kondisi sosial dan budaya yang melingkupi masyarakat ketika Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, para ahli menyebutkan bahwa Qur’an tidaklah diturunkan dalam ruang hampa budaya, dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa setiap kali ayat-ayat Qur’an diturunkan tentu saja memiliki alasan dan latar belakang sejarah. Kebanyakan surat dan ayat Al-Quran berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa dakwah Nabi, seperti surat al-Baqarah, al-Hasyr dan al'Adiyat. Atau diturunkan karena adanya kebutuhan mendesak akan hukum-hukum Islam, seperti al-Nisa', al-Anfal, at-Thalak dan lain-lain. Mengetahui asbabu alnuzul ini sangat membantu untuk mengetahui ayat Al-Quran dan untuk mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang dikandungnya. Oleh karena itu, sekelompok ulama hadis dari kalangan sahabat dan tabi'in menaruh perhatian terhadap hadis-hadis asbab al-nuzul.
8
Sebab dan latar belakang sejarah turunnya Qur’an dalam tradisi ilmu Qur’an disebut dengan istilah asbab al- nuzul ; kata ”asbab” berasal dari kata ”sabab” yang bermakna sebab atau alasan, sedangkan kata ”nuzul” secara literal dimaknai sebagai
8
hlm. 134
Muhamma Husain Thaba’thaba’i, Memahami Esensi Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera, 2000),
peristiwa turunnya ayat-ayat Qur’an. Dengan demikian, asbab al nuzul berarti pengetahuan atau ilmu yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya suatu ayat. Subhi Shlaih menyebutkan bahwa asbab nuzul adalah sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.9 Al-Zarqani menyebutkan; Asbab al-nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi yang dengan peristiwa atau kejadian tersebut menyebabkan turunnya ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dajadikan dalil atau petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.10 Sedangkan Al-Sabuni mengatakan; asbab nuzul adalah suatu peristiwa atau kejadian tertentu yang dalam pada itu turun satu atau beberapa ayat Qur’an atau suatu pertanyaan yang diajukan oleh sahabat kepada Nabi untuk mengetahui hukum syara’, atau untuk menafsirkan sesuatu yang berkaitan dengan agama, kemudian turun satu atau beberapa ayat untuk memberikan penjelasan terhadap masalah terkait. Meskipun demikian tidak semua latar historis dari turunnya ayat-ayat Qur’an dapat diketahui melalui riwayat yang tertulis dalam sebuah hadis atau atsar. Dalam kaitan tersebut, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa secara garis besar latar sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: latar historis yang bersifat makro; yaitu seluruh kondisi sosial dan budaya yang melingkupi historistas bangsa dan Jazirah Arabiyah pada waktu itu adalah merupakan latar historis yang bersifat makro. Sedangkan latar sejarah yang bersifat mikro; yaitu konsep lisan/dan tertulis yang diperoleh oleh sahabat dari Nabi.
2. Pentingnya Asbabun Nuzul Seperti yang dikemukan sebelumya asbab al-nuzul, adalah suatu peristiwa yang menjelaskan latar belakang sejarah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat 9
Subhi Shalih, Mabahits fi al-‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977), hlm.
132 10
Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al- Irfan, fi ’Ulum al- Qur’an (Beirut: Dar alFikri, 1988)
Qur’an. Dengan mengetahui latar peristiwa dari diturunkannya Qur’an, para penafsir sangat terbantu dalam memberikan interpretasi terhadap suatu ayat dalam kaitannya dengan suatu masalah atau problem yang ingin dipecahkan. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa untuk mengetahui tafsir sebuah ayat secara baik,maka niscaya untuk mengetahui terlebih dahulu kisah dan latar belakang diturunkan ayat tersebut. Keniscayaan untuk mengetahui asbab al-nuzul suatu ayat sebelum menafsirkan dan menyimpulkan maknanya
adalah hal yang sangat urgen agar
penafsir tidak salah mengambil kesimpulan dari suatu informasi ajaran Qur’an. Oleh karena itu, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat, mengantar seseorang dapat memahami hikmah disyariatkannya suatu hukum. Dengan mengetahui asbab al-nuzul seorang penafsir akan mampu memetakan kekhususan suatu perkara, yang disebabkan oleh suatu sebab tertentu. Pengetahuan terhadap sebab turunnya suatu ayat juga akan memberikan horizon dan wawasan yang lebih konprehensip terhadap makna dari suatu ayat, atau dengan kata lain, asumsi atau kesan yang seolah-olah rigid atau sempit dari informasi suatu ayat dapat dihilangkan atau diminimalisasi. Sebagai
suatu
contoh
tentang
rentannya
penafsiran
yang
tidak
memperhatika asbab nuzul, ialah penafsiran Usman bin Maz’un dan Amr bin Ma’addi terhadap ayat 93 surat al-Ma’idah (5); َ◌ِﺼﺎ ِﻟﺤَﺎت ح ﻓِﯿﻤَﺎ َط ِﻌﻤُﻮا إِذَا ﻣَﺎ اﺗﱠﻘَﻮْ ا وَ آ َﻣﻨُﻮا وَ ﻋَﻤِ ﻠُﻮا اﻟ ﱠ ٌ ت ُﺟﻨَﺎ ِ ﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮا وَ ﻋَﻤِ ﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎ ِﻟﺤَﺎ َ َﻟَﯿْﺲ Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman dan beramal saleh....(QS. Al-Maidah/5: 93) Zahir ayat, kesannya membolehkan mereka menkonsumsi minuman khamar. Atas dasar penafsiran yang melenceng terhadap makna ayat tersebut, alSayuti kemudian berkomentar: seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat ini, tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab Ahmad al-Nasai dan lainnya meriwayatkan bahwa; sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika
khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum Muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya meminum khamar.11 Kekeliruan yang sama juga terjadi pada Marwan bin al-Hakam dalam memahami ayat tanpa mengetahui latar belakang pewahyuan ayat tersebut. Marwan memahami ayat
188 surat Ali Imran
ب ِ ﺴﺒَﻨﱠ ُﮭ ْﻢ ﺑِ َﻤﻔَﺎزَ ٍة ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻌَﺬَا َ ْﺴﺒَﻦﱠ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﻔْﺮَ ﺣُﻮنَ ﺑِﻤَﺎ أَﺗَﻮْ ا وَ ﯾُﺤِ ﺒﱡﻮنَ أَنْ ﯾُﺤْ َﻤﺪُوا ﺑِﻤَﺎ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﻔﻌَﻠُﻮا ﻓَﻼ ﺗَﺤ َ ْﻻ ﺗَﺤ (١٨٨) ﻋﺬَابٌ أَﻟِﯿ ٌﻢ َ وَ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kalian menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih (QS.3/ : 188)
Atas informasi ayat tersebut, ia menyuruh penjaganya untuk menanyakan hal tersebut kepada Ibnu Abbas. Sekiranya setiap orang yang bergembira dengan apa yang diberikan kepadanya dan senang dipuji dengan apa yang tidak dilakukannya disiksa, maka kita semua akan disiksa? Ibnu Abbas menjawab apa hubungan kamu dengan ayat tersebut? Hanya saja Nabi memanggil orang-orang Yahudi dan menanyakan kepada mereka tentang sesuatu. Orang-orang Yahudi tersebut menyembunyikan informasi tersebut kepada Nabi, sebaliknya memberikan informasi lain kepada Nabi. Dengan informasi tersebut mereka memperlihatkan kepada Nabi, bahwa mereka berhak akan pujian atas informasi yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan informasi dusta yang mereka berikan kepada Nabi dan kemampuan mereka menyembunyikan sesuatu yang benar, selanjutnya Ibnu Abbas membacakan satu ayat: 187-188 surat Ali Imran.
11
Jalaluddin al-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth), hlm. 29
ﺷﺘَﺮَ وْ ا ِﺑ ِﮫ ْ ظﮭُﻮرِ ِھ ْﻢ وَ ا ُ ﱠﺎس وَ ﻻ ﺗَ ْﻜﺘُﻤُﻮﻧَﮫُ ﻓَﻨَﺒَﺬُو ُه وَ رَ ا َء ِ وَ إِ ْذ أَ َﺧﺬَ ا ﱠ ُ ﻣِ ﯿﺜَﺎقَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ أ ُوﺗ ُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ َﻟﺘُﺒَﯿِّﻨُﻨﱠﮫُ ﻟِﻠﻨ ﺴﺒَﻦﱠ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﻔْﺮَ ﺣُﻮنَ ِﺑﻤَﺎ أَﺗَﻮْ ا وَ ﯾُﺤِ ﺒﱡﻮنَ أَنْ ﯾُﺤْ َﻤﺪُوا ﺑِﻤَﺎ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ﻓَﻼ َ ْ( ﻻ ﺗَﺤ١٨٧) َﺸﺘَﺮُ ون ْ َﺛَ َﻤﻨًﺎ ﻗَﻠِﯿﻼ ﻓَﺒِﺌْﺲَ ﻣَﺎ ﯾ (١٨٨) ﻋﺬَابٌ أَﻟِﯿ ٌﻢ َ ب وَ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ِ ﺴﺒَﻨﱠ ُﮭ ْﻢ ﺑِ َﻤﻔَﺎزَ ٍة ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻌَﺬَا َ ْﺗَﺤ Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ”Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada mereka”,sampai kepada...mereka gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. (QS.3: 187-188) 12 Contoh lain yang juga dapat dikemukan tentang bahaya menafsirkan Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya, dapat dilihat pada pemahaman sebagian ulama tentang posisi perempuan yang telah putus haid apakah masih memiliki iddah atau tidak, ketika memahami ayat 4 surat al-Thalaq; (٤) ...... ٍﺷﮭُﺮ ْ َﯿﺾ ﻣِ ﻦْ ﻧِﺴَﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِنِ ارْ ﺗَ ْﺒﺘ ُ ْﻢ ﻓَ ِﻌﺪﱠﺗُﮭُﻦﱠ ﺛَﻼﺛَﺔُ أ ِ ِوَ اﻟﻼﺋِﻲ ﯾَﺌِﺴْﻦَ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻤَﺤ Artinya: Perempuan-permpuan yang telah putus dari haid,jika kamu ragu-ragu (tentang iddahnya), maka iddahnya tiga bulan...... Sebagian Ulama memahami ayat tersebut dengan menyatakan ; perempuan yang telah putus haid tidak mempunyai masa iddah, Namun bila ayat ini dirujuk pada asbab nuzul-nya, maka dapat ditarik pemaknaan yang menunjukkan hal sebaliknya, yaitu: perempuan yang telah putus masa haidnya tidak menyebabkan masa iddahnya hilang. Menurut al-Sabuni, ayat tersebut sebenarnya turun sebagai respon kepada orang yang tidak mengerti atau memahami hukum yang berkaitan dengan iddah seorang wanita, serta berada dalam keraguan apakah mereka itu punya iddah atau tidak. Hal ini dapat dilihat pada makna teks ayat tersebut; ” inirtab tum”, jika kamu kesulitan menghukum mereka dan tidak mengerti pula bagaimana iddah mereka, dimana ayat ini turun setelah ada sebagian sahabat mengatakan bahwa, iddah sebagian wanita yang berhenti masa haidnya karena telah lanjut usia. Berkenaan
12
Shalih, hlm. 130-131
dengan peristiwa tersebut maka turunlah ayat tersebut untuk menerangkan hukum iddah masing-masing perempuan tersebut.
3.Pendekatan untuk Mengetahui Asbab Nuzul Asbab al-nuzul dalam arti sebab-sebab khusus yang mengiringi turunnya suatu ayat bukanlah merupakan pendapat perseorangan atau individu, tetapi merupakan peristiwa sejarah yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh parawi (pewarta) hadis melalui suatu seleksi yang ketat dengan syarat-syarat ilmiah yang dikenal dalam ilmu sejarah dan hadis. Oleh karena itu, jalan untuk mengetahui sebab nuzul satu ayat tidak dapat dilepaskan dari pendekatan ilmu hadis, yaitu melalui sumber riwayat yang sahih yang diriwayatkan secara berantai, mulai dari sahabat, tabi’in,tabi’ tabi’in hingga kepada periwayat hadis yang menulisnya dalam suatu kitab atau buku hadis. Yang mensyaratkan adanya ketersambungan sanad, pewarta yang adil dan dhabith, tidak terdapat dzas (atau kerancuan) serta tidak mengandung ’illat ( cacat). Dalam kenyataannya tidak semua ayat yang turun memiliki sebab-sebab khusus yang melalui riwayat yang dinukilkan secara berantai dari Nabi hingga rawi yang menuliskannya dalam suatu koleksi hadis, sehingga Ibnu Sirin menyatakan; Aku bertanya kepada Abidah tentang suatu ayat, kemudian ia berkata bertaqwalah kalian kepada Allah dan berkatalah dengan benar. Ketahuilah bahwa orang yang mengetahui sebab-sebab diturunkannya suatu ayat sangat langka. Pernyataan Ibnu Sirin seperti yang dikutip menunjukkan pada terbatasnya riwayat-riwayat tertulis tentang sebab turunnya suatu ayat, sehingga meniscayakan kehati-hatian dalam menukil asbab nuzul suatu ayat. Terbatasnya riwayat tertulis tentang asbab nuzul ayat Qur’an, menjadikan para ulama memberlakukan syarat yang ketat dalam menerima riwayat terkait nuzul dari suatu ayat. Sebagaimana syarat yang berlaku dalam menerima hadis,maka demikian juga syarat yang diberlakukan tehadap riwayat yang berkait dengan asbab nuzul.
Menurut Muhammad Husain Thaba’thaba’i: Banyak sekali hadis asbab alnuzul yang diriwayatkan oleh para ulama Ahlus Sunnah, dan barangkali mencapai beberapa ribu hadis. Adapun yang diriwayatkan oleh ulama Syi'ah, jumlahnya sedikit, dan barangkali berjumlah hanya beberapa ratus saja. Perlu diketahui bahwa tidak semua hadis ini sanad-nya bersambung sampai kepada Nabi SAW., dan sahih, melainkan ada juga yang mursal (dalam sanad-nya nama sahabat yang meriwayatkan langsung dari Nabi dibuang) dan dha'if. Penyelidikan terhadap hadishadis ini membuat orang meragukannya karena beberapa alasan: Pertama, gaya kebanyakan hadis ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan asbab al- nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan ayat-ayat -Quran dengan kisah itu. Pada hakikatnya, asbab al- nuzul yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan. Bukti pernyataan ini adalah banyaknya pertentangan di dalam hadis-hadis ini. Yakni, satu ayat diberi beberapa keterangan yang saling bertentangan tentang sebab turunnya, dan sama sekali tidak bisa dipertemukan, sampai-sampai mengenai satu ayat diriwayatkan beberapa sebab turunnya dari Ibnu Abbas dan orang-orang sepertinya, umpamanya, yang tidak bisa dipertemukan. Ada dua kemungkinan berkenaan dengan hadis-hadis yang saling bertentangan ini: Pertama, asbab al- nuzul didasarkan pada ijtihad atau penalaran, bukan periwayatan. Dan setiap perawi berusaha menghubungkan suatu ceritera, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, dengan suatu ayat. Kedua, semua hadis ini, atau sebagian besarnya, adalah rekaan belaka. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, maka hadis-hadis tentang asbab al- nuzul tidak bisa dipertanggung- jawabkan. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak bisa diterima, meskipun ber- sanad sahih, karena kesahihan sanad menghilangkan hanya kemungkinan dusta dari tokoh-tokoh dalam sanad itu, tetapi kemungkinan perekaan dan penggunaan nalar tertentu tetap ada.
Kedua, pada masa awal Islam, khalifah melarang penulisan hadis. Semua kertas dan papan yang didapati memuat tulisan hadis dibakar. Larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama Hijrah, atau selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Larangan ini membuat para perawi meriwayatkan hadis menurut maknanya saja, sehingga hadis mengalami perubahan-perubahan setiap kali seorang perawi meriwayatkannya kepada perawi yang lain. Akibatnya, hadis diriwayatkan tidak menurut aslinya. Hal ini akan sangat jelas bila kita telaah suatu kisah yang disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, karena boleh jadi terdapat dua hadis saling bertentangan tentang satu kisah. Kebiasaan meriwayatkan hadis menurut maknanya dengan cara yang meragukan ini merupakan salah satu penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis-hadis tentang asbab al-nuzul. Banyaknya rekaan dalam suatu hadis membuat kedustaan atas nama Rasulullah, membuat dimasukkannya cerita-cerita Israiliat dalam periwayatan, perbuatan orang-orang munafik serta orangorang yang mempunyai maksud tertentu, di samping cara periwayatan hadis menurut maknanya, dan apa yang baru saja kami sebutkan di atas, semua ini mengurangi nilai hadis-hadis asbab al- nuzul, dan menyebabkannya tidak dapat dijadikan pegangan.13
Selain melalui riwayat yang tertulis secara khusus mengenai suatu sebab turunnya ayat, maka asbab nuzul juga dapat ditelaah melalui konteks suasana sosiohistoris dan kultural yang terjadi di Jazirah Arabiyah pada waktu/ketika ayat Qur’an diturunkan. Untuk meengetahui hal ini maka dibutuhkan kajian sejarah yang mendalam dan teliti terkait dangan tradisi dan budaya yang sedang berkembang pada tempat dimana Qur’an diturunkan. Dengan mengetahui sejarah, budaya dan tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Arab pada masanya akan membantu para penafsir untuk ”menebak” sekaligus mengetahui muatan koteks suatu ayat. Secara teoretis pengetahuan tentang
13
Thaba’thaba’i, Memahami………hlm. 135-137
muatan konteks suatu ayat, menghindarkan para penafsir dari pengerdilan makna ayat Qur’an. Sehingga pemaknaan suatu ayat menjadi lebih luas alias tidak rigid dan kaku. Pemaknaan ayat Qur’an denga bersandar pada makna konteksnya, menjadikan ayatayat Qur’an ”salihun likulli zaman wa makan” (tetap aktual atau memiliki kesesuain dengan logika zaman yang terus berkembang).
C. Muhkam dan Mutasyabihah 1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat Kata “muhkam” berasal dari kata “ihkam” yang secara literal berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Meski demikian cakupan makna dari kata tersebut kembali pada substansi pencegahan. ”Ahkam al-amar” berarti menyempurnakan sesuatu hal dan mencegahnya dari kerusakan. Sedangkan kata ”mutasyabihat” bermuara pada kata ”tasyabuh” yang pengertian literletnya berarti penyerupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabahah dan isytabaha, berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.14 Dasar pembagian muhkam dan mutasyabihat,antara lain dapat diperhatikan pada firman Allah dalam Surat Hud /11ayat 1, dan Surat al-Zumar/39: 23
Sebuah Qur’an yang disempurnakan dijelaskan (uhkimat) ayat-ayatnya
14
Muhammad ’Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ’Ulum al-Qur’an II, hlm. 270
Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutasyabihat/ mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.
Konsep atau pandangan tentang muhkam dan mutasyabihah dalam al-Qur’an, juga merujuk pada informasi ayat Quran surat Ali Imran : 7, Allah berfirman;
Dialah yang menurunkan al-kitab (al-qur’an) kepadamu. Di antara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pkokisi ayat Qur’an, dan yang lainnya adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan,maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutsyabiahat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-mencari takwilnya.Padahaltidkada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,kami beriman kepada ayatayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami. (Ali Imran: 7). Bila memperhatikan ketiga ayat-ayat di atas, kesan sepintas antara satu ayat dengan ayat lainnya memiliki perbedaan informasi. Menyikapi ketiga ayat di atas, Ibn Habib al-Naisaburi menjelaskan bahwa; terkait dengan masalah tersebut maka ada tiga pandangan yang lahir. Pertama, pandangan yang menyebutkan bahwa dengan merujuk pada ayat 11 surat Hud, maka seluruh ayat di dalam Qur’an sifatnya
muhkam. Maksudnya adalah, ayat-ayat Qur’an itu kukuh dan tidak dimasuki oleh kekurangan dan kebatilan.15 Kedua, pandangan yang merujuk pada surat al-Zumar; 23, menyebutkan bahwa seluruh ayat yang terdapat dalam kitabullah seluruhnya bersifat mutasyabihat. Menurut al-Taba’i maksud ayat dia atas adalah; bahwa seluruh ayat Qur’an berada dalam satu ragam keindahan, gaya, kemanisan bahasa, dan daya ungkap yang luar biasa. 16 Pandangan yang ketiga,menyebutkan bahwa sebagian ayat yang terdapat dalam Qur’an adalah bersifat muhkam sedangkan sebagian lainnya bersifat mutasyabihat. Pendapat ketiga inilah yang banyak atau umumnya dipegang oleh para ulama dan dipandang sebagai yang paling rajih. Ayat 11 surat Hud tidak dapat dimaknai bahwa seluruh ayat Qur’an muhkam, tetapi kata muhkam pada ayat tersebut menunjukkan pada makna kesempurnaan Qur’an yang di dalamnya tidak ada pertentangan antar ayat. Demikianpula yang dimaksud dengan kata mutasyabihat pada teks ayat 23 surat al-Zumar, menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Qur’an serta kebenaran dan kebaikan, dan kemukjizatannya. 17 Ayat 7 surat Ali Imran membagi Qur’an menjadi dua bagian, yaitu muhkam dan mutasyabihat. Muhammad Husain at-Taba’ Taba’i, menyebutkan bahwa yang dimaksud muhkam pada ayat 7 surat Ali Imran sebagaimana yang dikutip di atas adalah: ayatayat yang maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman, sedangkan mutasyabihah adalah sebaliknya. Oleh Karena itu, setiap orang beriman yang kukuh imannya wajib beriman kepada ayat-ayat yang muhkam dan sekaligus mengamalkannya. Ia juga wajib beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, tetapi tidak untuk mengamalkannya. Orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mengamalkan apa-apa yang diinspirasikan oleh
15
Al-Taba’taba’i, Memahami......hlm. 42 ibid 17 Al-Zarqani, Manahil...., hlm. 271/ lihat juga Subhi Shalih, hlm 281 16
penakwilan mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan menyesatkan orang lain.18
Mengenai pemaknaan dan defenisi atas istilah muhkam dan mutsyabihat di kalangan ulama tidak terdapat kesepakatan. Jalaluddin al-Syayuti misalnya mengemukan 18 pandangan ulama tentang pengertian muhkam. Sedangkan alZarqani mengemukan 11 ta’rif ulama tentang muhkam. Meski demikian al-Zarqani lebih lanjut menyatakan bahwa jika ditelaah secara mendalam maka antar pendapat yang satu dengan yang lainnya tentang pengertian muhkam tidaklah terdapat pertentangan bahkan di antaranya terdapat kedekatan makna dan persamaan. Dalam kaitannya dengan pendefenisian kata muhkam, al-Zarqani lebih dekat kepada pandangan al-Razi, yang menyebutkan muhkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat (rajihah), yaitu lafal nash dan lafal zahirnya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat (ghair rajihah), yaitu lafal mujmal,muawwal dan musykil19 Al-Taba’i Taba’i menyebutkan bahwa: ayat-ayat muhkam adalah kumpulan ayat-ayat yang arti dan maksudnya jelas, tidak rancu. Maka ayat-ayat seperti itu wajib diimani. Sedangkan ayat-ayat musytabihat ialah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya, sedangkan makna hakikinya yang coba dijelaskan dengan penakwilan, tidak ada yang mengetahui maknanya secara tegas kecuali Allah. Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib diamalkan. Menurutnya inilah pendapat yang terkenal di kalangan ahlu al-sunnah maupun di kalangan Syi’ah. Hanya saja
para ulama yang berasal
dari golongan Syi’ah
mempunyai keyakinan bahwa; Nabi dan para Imam ahl al-bayt mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat tersebut, sedangkan kalangan awam kaum mukmin karena
18
Muhammad Husain At-Taba’ Taba’i, Memahami Esensi al-Qur’an, (Jakarta :Lentera,2000), h.42 19 Al-Zarqani, Manahil....II, hlm.272-3
tidak memiliki jalan untuk mengetahuiya, mereka lalu merujuk kepada Allah, Rasul dan para Imam. 20 Ayat-ayat mutasyabihat secara umum
dapat dibagi menjadi tiga
macam,yaitu; 1). Ayat-ayat yang secara eksplisit oleh seluruh manusia sulit untuk memahami makna dan maksudnya; misalnya tentang zat Allah serta pengetahuan mengenai sifat yang dimiliki Allah, demikianpula tetang tentang kapan datang atau tibanya hari kiamat, serta hal-hal gaib lainnya. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam Qur’an:
Dan disisi Allah kunci-kunci segala yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri…” (QS.Al-An’am/6: 59) Dalam ayat lain juga disebutkan;
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisinya jualah ilmu/pengetahuan tentang hari kiamat; dan dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorangpun yang dengan pasti dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya hari esok. Dan tidak seorangpun yang mampu mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS.Luqman/31: 34). 20
At- Taba’i, Memahami ....hlm. 42
2). Jenis kedua dari ayat-ayat mutasyabihat adalah, kumpulan ayat yang hanya dapat diketahui melalui riset dan pengkajian yang mendalam. Ayat jenis ini seperti ayat yang kesamarannya disebabkan karena informasi yang disampaikan amat ringkas. Misalnya;
Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka nikahilah olehmu wanita-wanita selain mereka.......(QS. AlNisa’ ayat 3) Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi: Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim yang sekiranya engkau kawini mereka, maka nikahilah olehmu wanita-wanita selain mereka....... 3). Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya hanya dapat dipahami dan diketahui oleh ulama-ulama tertentu dan tidak oleh semua ulama. Maksudnya adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujathid. 21
2. Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat Subhi Shalih membedakan pandangan ulama tentang ayat-ayat mutasyabihat menjadi dua kategori, yaitu pandangan Ulama Salaf dan pandangan Ulama Khalaf. Umumnya Ulama Salaf meyakini dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat dan menyerahkan hakikanya kepada Allah SWT. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan meyakininya sebagaimana yang dinayatakan adalam Qur’an serta menyerahkan urusan megetahui hakikatnya
21
Al-Zarqani, Manahil…..hlm. 281-282
kepada Allah sendiri.22 Misalnya ketika Imam Malik RA., ditanya oleh seseorang tentang pengertian istawa, beliau menjawab. Istawa itu maklum, bagaimana caranya tidak diketahui, oleh karenanya mempertanyakan hal tersebut adalah bid’ah, saya duga engkau ini orang jahat, keluar kamu dari majelis ini.23 Maksud dari pernyataan di atas adalah, bahwa makna lahir atau makna literal dari kata istawa diketahui secara umum. Akan tetapi, pengertian yang demikian (maksud kata tersebut) secara persis atau pasti bukanlah sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat tersebut. Sebab pengertian yang demikian membawa kepada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. Karena itu bagaimana cara istawa disisi Allah tidak diketahui. Penafsiran yang demikian adalah merupakan pendekatan atau metode yang digunakan oleh gologan salaf al-shalin terhadap ayat-ayat yang mutsyabihat. Dalam menjalankan pendekatan tersebut mereka mengajukan dua dalil, yaitu alasan atau argumen-argumen aqliyah dan argumen naqliyah. Dalil aqli digunakan untuk menentukan arti ayat-ayat mutasyabihat hanya berdasarkan aturan-aturan kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab. Pendekatan semacam ini hanya menghasilkan ketentuan yang bersifat dugaan atau asumsi (zhanni) yang sifatnya tidak pasti. Padahal sifat-sifat Allah sebagaimana yang diyakini oleh kaum muslimin dasarnya tidak dapat disandarkan pada hal-hal yang bersifat zhanni. Sebab itu dalam masalah akidah/keimanan bila tidak ditemukan argumen yang pasti/qath’i, maka sikap yang ditempuh adalah tawaqquf / tidak mengambil keputusan dan menyerahkan keputusannya/ atau ketentuan maknanya kepada Yang maha mengetahui. Adapun argumen naqli yang mereka gunakan sebagai sandaran pembenaran dari pendekatan yang mereka gunakan adalah bersumber dari hadis. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW., membaca ayat:” Ialah yang menurunkan kitab (Qur’an) kepadamu”- sampai kepada orang yang berakal”: berkata ia : Rasulullah SAW., bersabda : Jika engkau melihat orang-orang 22 23
Subhi Shalih, hlm. 284 Ibid., hlm. 284
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan Allah: maka hati-hatilah terhadap mereka (HR. Bukhari- Muslim ) Masih terdapat sejumlah hadis dan atsar yang dijadikan sandaran argumen untuk berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat yang dipegang oleh para salaf al-shalihin. Menurut al-Sayuti, pendapat sebagaimana yang dibentangkan di atas adalah merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, tabi’tabi’in dan orang orang sesudah mereka khususnya dari kalangan ahlu al-sunnah. 24 Selain mazhab Salaf, dalam mainstrem sejarah umat Islam juga dikenal istilah ulama Khalaf. Jika ulama Salaf sangat berhati-hati bahkan tidak menafsirkan ayatayat yang termasuk dalam kategori mutasyabihat, maka tidak demikian halnya dengan ulama Khalaf.
Menyikapi ada kenyataan ayat-ayat mutasyabihat yang
terdapat di dalam Qur’an, maka ulama Khalaf menempuh jalan takwil atau menakwilakan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang sesuai dengan zat Allah.
Karena itu mereka disebut dengan muawwilah atau mazhab takwil.Kata
istawa misalnya yang oleh ulama Salaf tidak ditafsirkan, oleh ulama Khalaf kata tersebut diberi makna dengan ketinggian yang abstrak, yaitu pengendalian Allah terhadap Alam ini tanpa merasa kelelahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hambanya dimaknai Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, sisi Allah dimaknai dengan hak Allah, wajah dengan zat mata dimaknai dengan pengawasan, tangan diinterpretasi dengan arti kekuasaan.
Demikian
para
Ulama
Khalaf
menempuh
pendekatan
dalam
menginterpretasi suatu makna yang terdapat dalam teks ayat-ayat mutasyabihat.25 Jika ulama Salaf menggunakan argumen aqli dan naqli untuk meligitimasi pendekatan yang mereka gunakan, maka hal yang sama juga digunakan oleh ulama Khalaf. Mereka menyebutkan suatu hal yang mesti dilakukan adalah upaya memalingkan lafal/teks yang berada dalam kehampaan yang dapat membuat bingun 24
Al-Sayuti, Al-Itqan II, …..hlm.3-4
25
Shalih, hlm. 284-285
manusia dalam memahami suatu makna teks yang terdapat dalam ayat Qur’an. Oleh karena itu, sepanjang memungkinkan melakukan penakwilan terhadap suatu ayat dengan makna yang benar, maka logika dan rasio yang benar meniscayakan hal tersebut.26 Lebih lanjut Mazhab ini mempertanyakan, apakah mungkin terdapat ayat dalam Qur’an yang tidak diketahui maknanya. Pandangan ulama Khalaf sebagaimana yang dibentangkan di atas, sejalan dengan pandangan ulama Syi’ah. Kalangan Ulama Syi’ah berpendapat bahwa tidak ada ayat-ayat mutasyabihat yang tidak mungkin diketahui maknanya yang hakiki. Bahkan ayat-ayat yang tidak mandiri makna-makna hakikinya dapat diketahui dengan perantara ayat-ayat yang lain. Inilah yang dimaksud dengan mengembalikan ayat-ayat muhkam kepada ayat-ayat mutasyabihat.27
D.
Qira-at 1. Pengertian Qira-at Qira-at adalah bentuk plural dari kata qira-at yang secara literal bermakna
bacaan. Kata tersebut merupakan bentuk masdar atau verbal noun dari kata qara-a. Al-Zarqani mengemukaan pengertian qira-at sebagai berikut: Satu mazhab/pendekatan yang digunakan atau dianut oleh seorang Imam qiraat yang berbeda dengan yang lainnya dalam melafalkan Qur’an serta sepakat riwayatriwayat dan jalur-jalur dari padanya, baik perbedaan tersebut menyangkut pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya.28 Abdul Hadi al-Fadhaili, dalam al-Qira-at wa al-Qur’aniyah, memberikan definisi sebagai berikut:Ilmu yang mengetahui metode pengucapan lafal Qur’an , baik yang disepakati ataupun yang tidak disepakati oleh para ahli qira-at, seperti 26
Al-Sayuti, Al-Itqan II, …..hlm. 8 Al-Tab’I, Memahami……hlm. 45 28 Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘ulum al-Qur’an, I, hlm. 412 27
pengguguran huruf (hadzf) penetapan huruf (itsbat), pemberian harakat (tahrik), pemberian tanda sukun (taskin), pemisahan huruf (fashl), penyambungan huruf (wasl), penggantian lafal-lafal yang tertentu (ibdal) dan lain sebagainya yang didapatkan dari indera pendengaran.
29
2. Sebab Terjadinya Perbedaan Qira-at Dalam perpektif sejarah, menurut Muhammad Mustafa Azami, Ilmu qira'at yang benar (ilmu seni baca AI-Qur'an secara tepat) awalnya diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW., sendiri, sehingga merupakan suatu praktik (sunnah) yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan Qur'an: Teks Qur'an diturunkan (diwahyukan) dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula berarti Nabi Muhammad SAW., secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya. Keduaduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (haram untuk bercerai).30
29
Abdul Hadi al-Fadhaili, Al-Qira-at wa al-Qur’aniyah,(Beirut: Dar al-Majma al-’Ilm, 1979), hlm. 63 / Perlu ditegaskan bahwa tidak semua sahabat Nabi mengetahui semua cara baca Qur’an. Sebagian mengambil cara bacannya dari Rasul dengan dua cara, sebagian lagi mengambil lebih, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Pada masa Islam telah tersebar dihampir seluruh Jazirah Arab,maka para sahabatpun berpencar untuk mengajarkan Islam keberbagai kota yang dikuasai Islam dimana pada saat yang sama mereka mengajarkan cara baca Qur’an sesuai dengan apa yang mereka dengar dan ketahui dari Nabi SAW., sehingga cara baca yang mereka terima dan kemudian diajarkan kepada jamaah mereka menjadi populer atau terkena di daerah tersebut. Konsekuensinya terjadilah keragaman cara baca Qur’an antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kemudian tabi’in menerima atau belajar cara baca tertentu dari seorang sahabat, dan selanjutnya tabi’in menurunkan apa yang mereka telah peroleh dari satu sahabat kepada tabi’ tabi’in dan selanjutnya meneruskan kepada generasi berikutnya. Dengan demikianlah tumbuhlah beragam qira-at yang kesemuanya berdasarkan riwayat. Namun, dalam perkembangannya berbagai qira-at yang sahih tersebut ada yang populer dan ada yang tidak. Riwayatnya juga sebagian mutawatir tetapi ada juga yang hanya sampai tingkatan ahad. 30 Kita juga menemukan seorang ahli tata bahasa yang menyatakan bahwa bacaan kata-kata tertentu, menurutnya, lebih disukai jika mengikuti tata cara aturan bahasa karena perubahan dalam tanda diakritikal tidak membawa makna yang berarti. Walau demikian, ilmuwan-ilmuwan tetap memegang teguh sistem bacaan yang diperkenalkan melalui saluran atau sumber yang sah guna menolak usaha mengada-ada serta tetap mempertahankan pandangan bahwa qira'at hukumnya sunnah yang tidak ada seorang pun memiliki wewenang untuk mengubah seenaknya. Muhammad Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, terj.
Lalu mengapa terjadi perbedaan qira-at? Azami mengungkap hal ini sebagai berikut; sebalum Islam berkembang luas, maka dialek Quraisy adalah satu-satunya dialek yang biasa digunakan oleh Nabi khuusnya ketika beliau masih bermukim di Makkah. Namun, ketika beliau berada di Madinah, terlebih lagi ketika ekspansi Islam semakin meluas, dan melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku bangsa dan dialek baru, kondisi tersebut menjadikan dialek kaum Quraish sulit untuk dipertahankan sebagai satu-satunya dialek yang berlaku. Dalam kitab sahihnya, Muslim mengutip hadis berikut ini: Ubayy bin Ka'b melaporkan bahwa ketika Nabi berada dekat lokasi banu Ghifar Malaikat Jibril datang dan berkata, "Allah telah menyuruh kamu untuk membaca Qur'an kepada kaummu dalam satu dialek," lalu Nabi bersabda, "Saya mohon Ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu" lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, "Allah telah menyuruhmu agar membacakan Qur'an pada kaummu dalam dua dialek," Nabi Muhammad lalu menjawab, "Saya mohon ampunan Allah. Kaumku tidak akan mampu melakukannya," Jibril datang ketiga kalinya dan berkata, "Allah telah menyuruhmu untuk membacakan Qur'an pada kaummu dalam tiga dialek," dan lagi-lagi Nabi Muhammad berkata, "Saya mohon ampunan Allah, Kaumku tidak akan mampu melakukannya," Lalu Jibril datang kepadanya keempat kalinya dan menyatakan, "Allah telah mengizinkanmu membacakan Qui an kepada kaummu dalam tujuh dialek (sab’ah ahruf), dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, dipandang tetap sah " 31 Oleh karena itu, adanya perbedaan/banyak32 qira-at terhadap Qur’an tidak lepas dari petunjuk dan penjelasan Nabi, sebagaimana sabdanya di atas. Al-Shabuni
31
Satu catatan penting yang perlu mendapat perhatian, bahwa Qur’an yang tercetak sebagaimana yang tampak sekarang adalah perkembangan terkini dari sejarah panjang perkembangan mushaf Qur’an. Demikian pula, bahwa mushaf Qur’an yang dimiliki oleh masing-masing umat Muslim belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah qira-at, oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa banyak Qur’an yang dicetak disatu belahan dunia berbeda dengan belahan dunia lainnya. Hal ini juga sebagaimana sabda Rasulullah SAW 32 Variasi adalah suatu istilah yang saya (Azami) sebenarnya kurang begitu sreg memakainya. Dalam masalah tertentu, istilah itu secara definitif dapat memberi nuansa akan ketidakpastian. Jika pengarang ash menulis satu kalimat dengan caranya sendiri, kemudian rusak akibat kesalahan dalam menulis lalu kita perkenalkan prinsip ketidakpastian; akhirnya penyunting yang tak dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah, akan meletakkan apa yang ia sangka sesuka hatinya ke dalam teks, sedangkan lainnya dimasukkan ke dalam catatan pinggir. Demikian halnya dengan masalah variasi (ragam bacaan). Akan tetapi masalah Qur'an jelas berlainan karena Nabi Muhammad , satusatunya khalifah Allah sebagai penerima wahyu dan transmisinya, secara pribadi mengajarkan ayat-
menyebutkan bahwa, kata ”ahruf” adalah bentuk plural dari ”harfun”, yang dalam beberapa kamus diartikan sebagai ujung atau pinggir dari sesuatu atau puncak gunung. Adapun yang dimaksud dengan kata ” ahruf” atau Qur’an diturunkan dalam ”tujuh huruf” sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi SAW., yaitu tujuh bahasa dari bahasa-bahasa bangsa Arab atau tujuh bahasa yang berbeda-beda dalam Qur’an. Oleh karena itu, dalam konteks pemaknaan kata tujuh huruf sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi artinya ” Qur’an itu diturunkan dengan luas di dalamnya dimana pembaca dapat membacanya dengan tujuh jenis bacaan” Sumber qira-at
33
deperoleh dari Nabi secara langsung melalui indera
pendengaran tatkala Nabi mengucapkan/membaca kitab Allah, lalu qira-at tersebut dipopulerkan oleh sahabat Nabi dan seterusnya diturunkan kepada para tabi’ tabi’in hingga generasi berikutnya. Selain itu terdapat juga cara lain untuk mengetahui bentuk suatu qira-at yaitu; melalui riwayat-riwayat hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW. Adanya perbedaan qira-at disebabkan oleh beberapa faktor: 1). Perbedaan syakl, harakah, atau huruf. Hal ini disebabkan karena mushafmushaf masa awal tidak/belum memiliki atau menggunakan
syakl dan harakah,
maka Imam-Imam qira-at membantu memberikan bentuk-bentuk qira-at. Misalnya dalam Qur’an Surat al-Baqarah/2 : 222
ayat dalam banyak cara. Di sini tak ada dasar keraguraguan, tak terdapat istilah kabut hitam maupun kebimbangan, penggunaan kata `varian' tampak gagal dalam memberi arti yang masuk akal. Kata multiple jauh dapat memberi penjelasan akurat, oleh karena itu, di sini saya hendak menggiring mereka pada pemakaian "multiple reading' (banyak bacaan). Salah satu alasan yang melatarbelakangi fenomena ini adalah adanya perbedaan dialek dalam bahasa Arab yang perlu diberi tempat selekas mungkin, seperti telah kita bicarakan di atas. Alasan kedua dapat jadi merupakan sebuah upaya memperjelas masalah dengan cara yang lebih baik, beberapa makna yang tersirat dalam ayat tertentu dengan menggunakan dua kata, yang semuanya muncul resmi dari perintah Allah Contoh yang sangat jelas dalam hal ini adalah Surah al-Fatihah, di mana ayat ke empat dibaca malik (Pemilik) atau malik (Raja) di hari pembalasan. Kedua-dua kata tadi diajarkan oleh Nabi Muhammad , dan oleh karena itu menjadikannya bacaan yang banyak (multiple), bukan beragam (variant). Azami, Sejarah....hlm. 33 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi al-‘Ulum al-Qur’an, terj. Muh. Qadirun Nur (Jakarta :Pustaka Amani, 1988), hlm. 295
َﯿﺾ وَ ﻻ ﺗَﻘْﺮَ ﺑُﻮھُﻦﱠ َﺣﺘﱠﻰ ﯾَ ْﻄﮭُﺮْ نَ ﻓَ ِﺈذَا ﺗَ َﻄﮭﱠﺮْ ن ِ ِﯿﺾ ﻗُ ْﻞ ھُﻮَ أَذًى ﻓَﺎ ْﻋﺘ َِﺰﻟُﻮا اﻟﻨِّﺴَﺎ َء ﻓِﻲ ا ْﻟﻤَﺤ ِ ِﺴﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻋَﻦِ ا ْﻟﻤَﺤ ْ َوَ ﯾ (٢٢٢) َﻓَﺄْﺗ ُﻮھُﻦﱠ ﻣِ ﻦْ َﺣﯿْﺚُ أَﻣَﺮَ ُﻛ ُﻢ ا ﱠ ُ إِنﱠ ا ﱠ َ ﯾُﺤِ ﺐﱡ اﻟﺘﱠﻮﱠ اﺑِﯿﻦَ وَ ﯾُﺤِ ﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤﺘَ َﻄ ِﮭ ِّﺮﯾﻦ Kata ( َ ) ﯾَ ْﻄﮭُﺮْ نbisa dibaca ” yathhurna ” dan bisa pula dibaca ”yaththahurna” Jika dibaca dengan menggunakan qira-at pertama, maka berarti,”dan janganlah kamu mendekati mereka (isteri-isterimu) sampai mereka suci (berhenti dari haid tanpa mandi terlebih dahulu). Sedangkan bila dibaca dengan cara yang kedua maka ayat tersebut bermakna, ” dan janganlah kamu mendekati mereka (isteri-isterimu) sampai mereka suci (berhenti dari haid dan telah mandi wajib terlebih dahulu). 2). Nabi sendiri melantunkan berbagai versi qira’at didepan para sahabatsahabatnya. Misalnya Nabi pernah membaca QS. Al-Rahman/55: 76 (٧٦) ٍﻋ ْﺒﻘ َِﺮيّ ٍ ﺣِ ﺴَﺎن َ َﻋﻠَﻰ رَ ﻓْﺮَ فٍ ُﺧﻀْﺮٍ و َ َُﻣﺘﱠ ِﻜﺌِﯿﻦ
Lafal
ٍرَ ﻓْﺮَ ف
dan
ٍ ّﻋ ْﺒﻘَﺮِ ي َ َو
pernah dibaca oleh Nabi dengan
”rafaa rafin” dan ”’abaqiriy” 3).Adanya pengakuan dari Nabi (taqrir) terhadap berbagai versi qira-at yang dilantunkan oleh para sahabat. Misalnya kata ”hiinin”
dalam QS. Yusuf/
12:35 ada di antara sahabat yang membacanya ”’iinin”
4). Adanya kenyataan perbedaan riwayat dari sahabat Nabi tentang qira-at menyangkut ayat-ayat tertentu 5).Karena adanya perbedaan lahjah (dialek) dari berbagai unsur etnik yang hidup di masa Nabi.34 Dalam kaitannya dengan adanya ragam qira-at yang dikenal dalam membaca Qur’an, maka dikenallah istilah qira-at sab’ah (qira-at tujuh). Maksudnya ada tujuh
34
100
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),hlm.
macam qira-at yang mashur dan diakui. Pada perkembangan selanjutnya, maka dikenallah beberapa nama yang merupakan Imam qira-at tujuh; 1). Ibnu Amir, atau Abdullah al-Yuhsini bernama kuniyah Abu Imran. Abu Imran mentransfer qira-at dari Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi, dari Usman dari Rasulullah SAW. Beliau meninggal di Damsyik pada tahun 112 H. Ada dua orang yang terkenal merawikan qira-at darinya,yaitu; Hisyam dan Ibnu Dzakwan. 3). Ibnu Katsir atau Abu Muhammad Ibnu Katsir al-Dari al-Makky. Ibnu Katsir adalah Imam qira-at di Makkah, beliau adalah seorang tabi’in dan pernah berjumpa dengan golongan sahabat, yaitu Abdullah bin Zubair,
Abu Ayub al-
Anshari dan Anas bin Malik. Wafat di Makkah,th.120 H.,dan ada dua orang yang pernah meriwayatkan qira-at darinya, yaitu; Al-Bazzi (w. 250 H) dan Qanabil ( w. 291 H ). 3). ’Ashim al-Kufiy, beliau adalah ’Ashim bin Abi Najwad al-Asadi, beliaujuga mashur dengan nama Ibnu Bahdila,nama kuniyah-nya adalah Abu Bakar, beliau adalah seorang tab’in. Meninggal di Kuffah 127 H, dan yang meriwayatkan qira-at darinya adalah; Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H). 4). Abu Amr Zayyan bin al-A’la bin Ummar al-Bashri, beliau disebut juga bernama Yahya. Meninggal di Kuffah th. 154 H. Adapun yang meriwayatkan qira-at darinya adalah al-Duri (w. 246 H) dan al-Susi (w. 261 H) 5). Hamzah al-Kufi, atau Hamzah bin Habib bin Ummarah al-Ziati al-Fardli al-Taimi mawla ’Ikrimah bin Rabi’ al-Taimi, kuniyah-nya adalah Abu Ummarah. Meninggal di Halwan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Mansur tahun 156 H. Adapun yang meriwayatkan qira-at darinya adalah; Khalaf (w. 229 H) 6). Nafi’, nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abd Rahman bin Abi Na’im al-Laits, beliau terkenal sebagai Qurra di Madinah al-Munawarah. Beliau wafat di Madinah th. 169 H. Dan yang meriwayatkan qira-at darinya adalah Qalun (w. 220 H) dan Warasy (w. 197 H). 7). Al-Kisa’i, nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah, beliau adalah Imam Nahwu penduduk Kufah. Beliau dinamakan al-Kisa’i, karena ketika ihram dia
memakai pakaian kebesaran. Beliau meninggal di Barnaibuwah, sebuah kampung di desa al-Rai ketika hendak menuju Khurasan bersama al-Rasyid th. 189 H. Dan yang meriwayatkan qira-at darinya adalah Abu al-Harits (w. 242 H) dan al-Dawry (w. 246 H).35 Selain dari tujuh qira-at yang telah disebutkan sebelumnya, maka terdapat sejumlah qira’at lain yang tidak mashur, misalnya qira-at yang disebutkan sebagai berasal dari sebagian sahabat, qira-at syadz (tidak populer) yang tidak boleh diamalkan, serta qira-at - qira-at
yang terpencar-pencar yang dijumpai dalam
beberapa hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahlul Bait. Menurut Thaba’thaba’i para Imam Ahl al-bayt memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya untuk tidak mengikuti qira-at yang tidak populer, sebaliknya mengikuti qira-at yang terkenal sebagaimana yang telah disebutkan. Dengan mengutip berbagai sumber, Thaba’thabai
36
menyebutkan; pada
umumnya kalangan ulama Ahl al- Sunnah percaya bahwa tujuh qira-at di atas diriwayatkan secara mutawatir, sehingga sabda pada Nabi, "Al-Quran diturunkan dengan memakai tujuh huruf,
37
ditafsirkan oleh sebagian mereka sebagai
diturunkan dengan memakai tujuh qira-at itu. Sebagian ulama Syi'ah juga condong kepada pendapat ini. Akan tetapi sebagian ulama menegaskan bahwa qira-at- qira-at yang terkenal itu tidak diriwayatkan secara mutawatir, Al-Zarkasyi dalam alBurhan, menegaskan bahwa, menurut penyelidikan ilmiah, qira-at- qira-at tersebut diriwayatkan secara mutawatir dari tujuh imam itu. Akan tetapi diragukan, apakah ia diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad SAW., sanad tujuh qira-at itu memang terdapat dalam buku-buku qira-at dan merupakan periwayatan seorang perawi dari seorang perawi yang lain.38
35
Al-Shabuni, Al-Tibyan……hlm. 311 Baca Thaba’Thabai, Memahami…….hlm. 161-163 37 Hadis ini diriwayatkan melalui dua puluh satu orang sahabat. Oleh karena itu sebagian diantara ulama ada yang mentebutkan hadis ini bersatatus mutawatir.Jalaluddin al-Sayuti, Al-Itqan I, hlm. 47 38 Ibid., hlm. 82 36
Makki menyatakan, "adalah hal yang keliru
bila ada anggapan yang
menganggap bahwa qira-at para qura , seperti Nafi' dan 'Ashim, itu adalah tujuh huruf yang disebutkan dalam hadis Nabi (di atas)." Lebih lanjut ia menyatakan, "pandangan
ini membawa konsekuensi bahwa qira-at di luar
qira-at tujuh Imam itu, yang telah pasti diriwayatkan dari Imam-Imam selain mereka dan sesuai dengan tulisan mushaf, bukan merupakan Qur’an. Ini adalah hal dapat dikategorikan sebagai kesalahan, sebab ahli-ahli qira-at terdahulu yang menyusun buku-buku tentang qira-at qira-at Qur’an, seperti Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salam, Abu Hatim as-Sijistani, Abu Ja'far ath-Thabari dan Ismail alQadhi menyebutkan qira-at- qira-at yang jumlahnya beberapa lipat dari jumlah tujuh qira-at itu. Orang ramai pada awal tahun dua ratusan Hijrah di Basrah tertarik kepada qira-at Abu Amr dan Ya'kub, di Kufah kepada Hamzah dan 'Ashim, di Suriah kepada Ibnu 'Amir, di Makkah kepada Ibnu Katsir, dan di Madinah kepada qiraat Nafi'. Hal ini berlanjut terus. Kemudian di awal tahun tiga ratusan Hijrah, Ibnu Mujahid menetapkan nama Kisa'i dan membuang nama Ya'kub. Makki menyatakan bahwa sebab diadakannya pembatasan pada tujuh qira-at imam itu - padahal jumlah para Imam qira-at yang lebih berbobot, atau sama bobotnya dengan mereka, lebih banyak - adalah karena para perawi dari imam-imam itu banyak sekali. Maka setelah minat orang mulai berkurang, para perawi membatasi diri hanya pada qira-at yang sesuai dengan mus-haf yang mudah dihapal dan benar untuk membaca Al-Quran. Mereka meneliti orang yang dikenal dapat dipercaya, jujur, lama menekuni qira-at dan disepakati untuk dijadikan rujukan dalam qira-at. Kemudian mereka memilih satu orang imam dari tiap-tiap daerah. Di samping itu mereka tidak meninggalkan periwayatan qira-at yang diajarkan oleh selain tujuh imam qira-at tersebut di atas, dan tidak meninggalkan pembacaan Al-Qur’an dengan qira-at mereka itu, seperti qira-at Ya'kub, Abu Ja'far, Syaibah dan lain-lain.
Selanjutnya Makki mengatakan bahwa seperti Ibnu Mujahid, Ibnu Jubair al-Makki juga menyusun satu buku tentang qira-at- qira-at Al-Qur’an. Dia membatasi lima buah qira-at dengan memilih satu orang Imam dari tiap-tiap daerah. Dia membatasi pada jumlah itu karena mus-haf-mus-haf yang dikirimkan Usman ke daerah-daerah berjumlah lima buah. Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mus-haf : lima mus-haf untuk daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, dan dua mus-haf untuk Yaman dan Bahrain, tetapi Ibnu Jubair tidak mendengar berita tentang dua mus-haf itu. Sedang Ibnu Mujahid dan lainnya bermaksud memelihara jumlah mus-haf itu. Maka dia memilih dua orang imam ahli qira-at untuk menggantikan posisi dua mus-haf itu, dengan tujuan melengkapi jumlah mus-haf yang ada. Dan secara kebetulan jumlah itu sesuai dengan jumlah (huruf) yang disebutkan dalam hadis di atas. Kemudian orang yang tidak mengetahui latar belakang masalahnya dan menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan tujuh huruf itu adalah tujuh qiraat di atas. Padahal sandaran tujuh qira-at ini adalah kesahihan sanad dalam menerima qira-at, kesesuaiannya dengan bahasa Arab dan rasm Usmani (tulisan Mus-haf Imam). 39 Dalam al-Syafi, al-Qurab menyatakan bahwa berpegang teguh pada tujuh qira-at itu, bukan yang lain, tidak ada dasarnya dalam atsar maupun sunnah. Tujuh qira-at itu hanya merupakan pengumpulan ulama muta-akhir yang kemudian terkenal dan menimbulkan kesan tidak boleh diadakan penambahan terhadap jumlah itu. Hal ini tidak dikatakan oleh seorang ulama pun, demikian seperti yang dikutip dari berbagai sumber oleh al-Allama Thaba’thaba’i40. 41
39 40
Ibid., hlm. 82-83 Thaba’thabai, Memahami…….hlm. 161-163
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, Al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an alKarim, terj. Taufiqurrahman, Bandung: Pustaka Setia, 2003 Amal, Tawfik Adnan , Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001 Arkoun, Muhammad, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Asfahani, al-Raghib Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut; tth Azami, Muhammad Mustafa, Sejarah Teks Qur’an, terj. Sohirin M., dkk, Kuala Lumpur, 2005
Baqi, Muhammad Fu’ad Abd . Al-Mu’jam al-Mufahras li Afaz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1987 Donver, Ahmad von Ulum Qur’an: An Introduction to the Scienses of the Quran, terj. Ahamad Nasir Budiman, Jakarta: Rajawali Press, 1998
al-Ibyariy, Ibrahim, Tarikh al-Qur’an, ter. Sa’ad Abdul Wahid, Jakarta: Rajawali Press, 1995 al-Shabuni, Muhammad Ali , Al-Tibyan fi ’Ulum al-Qur’an, terj.Muhammad Qadirun Nur, Jakarta :Pustaka Amani, 1988
Shalih,Subhi, Mabahits fi al-‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977, TM. Hasbie Ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1987 _________, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1967 Shihab, Muhammad Quraih dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, th. 2001 _________Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1989
BIODATA PENULIS Nama Tempat / Tgl. Lahir Pekerjaan NIP NIDN Jabatan Alamat
: : : : : : :
No KTP E-mail Pendidikan
: : -
Muhammad Alifuddin Ujungpandang, 7 Juli 1968 Dosen STAIN Kendari 196807072000031002 2007076802 Lektor Kepala/V/a BTN Teporombua Baruga No. 33 Kendari Telp. (0401) 3190697/HP.O81341842799/081341984075 7471030707680004
[email protected] Sekolah Dasar Negeri Komplek Tanggul Patompo Ujungpandang, th. 1975-1981 Madrasah Tsanawiyah Negeri, Ujungpandang, 1981-1984 SMA Muhammadiyah IV Ujungpandang, 1984-1987 IAIN Alauddin Ujungpandang, Tafsir Hadis-1995 (S1) Ma’had al-Lugah al-Arabiyah “al-Bir” 1998 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999 (S2) Sandwich Scholarship Program, Internasional Islamic University, Malaysia, 2002 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Islamic Studies 2007 (S3) Short Course, Uni Melb Australia, 2009 Short Course Ethnography, Diktis Kemenag RI, 2012
Penelitian - Urgensi Ilmu Kritik Hadis dalam Menetapkan Hadis sebagai Dasar Berhujjah (1998) - Kritik Matan Hadis (Studi terhadap Pemikiran Hadis Muhammad al-Ghazali) (1999) - Analisis atas Metode Pemahaman Hadis Muhammad Yususf al-Qardhawi (2000) - Studi terhadap Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh (P3M STAIN Kendari 2001) - Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman (P3M STAIN Kendari, 2002) -
Karakteristik dan Tipologi Islam Buton; Pendekatan Historis dan Antropologis (kompetitif nasional, 2003) Mutabah Tujuh Kesultanan Buton (nominator kompetitif nasional, 2004) Upacara Siklus Posuo dalam Masyarakat Buton (P3M STAIN Kendari 2005) Konsep Syuhada dalam Quran ( P3M STAIN Kendari 2006/ anggota tim) Islam dan Pluralisme (Studi terhadap Pandangan Tokoh Agama Kota Kendari ( kompetitif nasional, 2006) Religiositas Lokal dalam Muhammadiyah (Respon Komunitas Muhammadiyah Buton terhadap Tradisi Lokal) Kompettif Diktis, 2008
-
-
-
-
-
-
Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Upacara Siklus Heddasena pada Masayarakat Buton (P3M STAIN Kendari, 2009) Penguatan Kemandirian Santri Anak Jalanan Melalui Usaha Pembuatan Sapu Ijuk Berbasis Enterpreneurship di Pesantren Darul Mukhlisin Kendari (PAR Diktis 2010) Tradisi Lisan Keagamaan Masyarakat Buton, Balitbang Makassar, 2011 Paralelisme Keimanan: Relasi Kesepahaman antar Iman pada Masyarakat Tolaki Lambuya (Kompetitif Diktis; 2011) Pemberdayaan Perempuan Perempuan Berbasis Enterpreneurship Pada Masyarakat Nelayan Liya Kepuluan Wakatobi (Pengabdian berbasis Riset, Diktis, 2011) PemberdayaanPerempuanMiskinPerkotaanMelalui Program KecakapanHidupMasyarakatAllo Jaya Kendari(Nomintaor PAR Diktis 2012) Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Aktiv Konstruktivis pada MAS Tampara,(PAR Diktis, 2012) Islam dan Pluralisme: Respon Masyarakat Tolaki Lambuya dan Wolasi tentang Paradigma Keragaman ( Kompetitif Nasional Puslitbang Kemenag, 2013) Data Base dan Analisis Pemetaan Kemiskinan dan Pengangguran Kabupaten Konawe (2013) Fiqhi Keraton:Diskursus Hukum Islam dalam Bingkai Tradsi Lokal Masyarakat Buton (Presenter pada Annual International Conferense of Islamic Studies, Lombok, 2013) . Fiqhi Kangkilo: An Ethnographic Study on the Tradition of Bersuci Among Butonese (Nominator Research Kolaboratif Internasional, th.20013) Potret Islam dalam Budaya Rupa (Studi Makna Arsitektur Rumah Buton) (P3M, STAIN Kendari, 2014) Determinisme Budaya Lokal dalam Tafsir Teks Keagamaan Pada Masyarakat Buton (Kompetitif Diktis 2015) Pemberdayaan Perempuan Pesisir Desa Liya Bahari Kab. Wakatobi MelaluiProgram Life Skill berbasis Wirausaha (Nominator PAR Diktis 2014) Penguatan Model Pembelajaran Baca Tulis Quran Pada Masyarakat Nelayan One Melangka Wangi-Wangi (Nominator PAR Diktis 2014) RevitalisasiKalosarasebagai Model ResolusiKonflikBarbasisKearifanLokalpadaMasyarakat Beda Agama di WolasiKabutenKonawe Selatan. (DiktisKemenag 2015) PeningkatanMutu Madrasah Aliyah Bahrul Mubaraq Toronipa Kabupaten Konawe Melalui Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme. (DiktisKemenag 2015) Pemberdayaan Remaja Tuna Karya Permukiman Teporombua Melalui Pendidikan Life Skill Berbasis Kewirausahan (DiktisKemenag 2015)
-
-
-
-
-
Dakwah Terumbu Karang(Membumikan Karakter Ekologis Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan pada Masyarakat Pesisir Kepulauan Tukang Besi) (DiktisKemenag 2015) TheologhiKalo Sara: The Relation of Understanding among Faiths Based on Local tradition In TolakiPuriala Southeast of Sulawesi (Presentasi Hasil Penelitian dalam AICIS, 2015 Manado) Deradikalisasi Dakwah (Pengutan Kapsitas Kelembagaan dan Optimalisasi Peran Dai dalam membangun Karakter Multikultur di Kendari) (Kompetitif Diktis Kemenag, 20016) Konseling Karir (Pemberdayaan Buruh Tani Wanita Melalui Pengutan Keterampilan Berbasis Kewirausahaan Pada Masyarakat Kuta Bangun Kabupaten Konawe Selatan) (Kompetitif Diktis Kemenag, 20016) Pengembangan Model Pembelajaran Aktif Berbasis Konstruktivisme Pada Guru Sebagai Strategi Peningkatan Mutu Madrasah Tsanawiyah Swasta Desa Liya Bahari Kabupaten Wakatobi) (Kompetitif Diktis Kemenag, 20016)
Buku 1. Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), Jakarta :Balitbang Depag RI, 2007 2. Sejarah dan Pengantar Ulumul Quran, Makassar: Bumi Bulat Bundar, 2008 3. Sketsa Pemikiran Hadis, Makassar: Bumi Bulat Bundar, 2009 4. Tradisi Lisan Keagamaan Masyarakat Buton, Kendari: LPSK Quantum, 2012 5. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali tentang Kritik Matan Hadis, Kendari: LPSK Quantum, 2012 6. PesonaBudayaSundaEthnographiKampung N aga, Yogyakarta: Depublish, 2015 Presentasi Seminar a.l.: Seminar MembendungRadikalismemelaluipenguatanBuadayaLokal, Ataya, 2015 Seminar Konsep Negara dalam Islam, FKPT sultra, Zahrah 2014 Seminar KhilafahantaraFaktadanKhayal, UHO, 2014 Seminar DakwahMultikultur, Yogyakara, 2014 Seminar FiqhiKeraton, AICIS, 2013 Mataram Seminar TheologhiKalo Sara, AICIS, Manado, 2015
Kendari, Muhammad Alifuddin