Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah Oleh : Muhibbuddin
Abstrak Islam identik dengan kesejahteraan, karena tujuan utama Syariat Islam adalah membentuk manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam artian mencapai falah. Kesejahteraan menurut Islam tidak saja sebatas menyangkut kehidupan lahir, melainkan juga aspek batin. Karena itu, lingkup kesejahteraan dalam Islam lebih luas, yaitu lahir dan sekaligus batin. Juga tidak saja pada kesejahteraan di dunia, melainkan juga kesejahteraan di akherat. Dengan demikian, Islam sebenarnya, memiliki jangkauan yang lebih luas dan komprehensif. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa Islam adalah ajaran yang bersifat universal.
A. Pendahuluan Mencermati pengertian sejahtera sebagaimana dikemukakan dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya1, pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. alanbiyâ’ [21]: 107 :
K + L# K9M N FO K 0 KM> -
Terjemahnya : Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.2 Dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan. Hubungan dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allâh wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok 1 2
Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1284.
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 332.
110
Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah
(Rukun Islam), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan kesejahteraan. Kesejahteraan dalam Islam adalah pilar terpenting dalam keyakinan seorang muslim adalah kepercayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. Ia tidak tunduk kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. (Q.S. ArRa’du:36) dan (Q.S. Luqman: 32). Ini merupakan dasar bagi piagam kebebasan sosial Islam dari segala bentuk perbudakan. Menyangkut hal ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari misi kenabian Muhammad SAW. adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunnya (Q.S. Al-A’ra>f:157) Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu merupakan bagian dari kesejahteraan yang sangat tinggi. Menyangkut masalah kesejahteraan individu dalam kaitannya dengan masyarakat. Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan dasar sekaligus tujuan utama dari syariat Islam (mashlah}ah al iba>d), karenanya juga merupakan tujuan ekonomi Islam. Perlindungan terhadap mashlahah terdiri dari 5 (lima) hal, yaitu keimanan (ad-dien), ilmu (al-‘ilm), kehidupan (an-nafs), harta (al-ma>l) dan kelangsungan keturunan (an-nash) yang kelimanya merupakan sarana yang dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik dan mencapai tingkat kesejahteraan. Syariat Islam bertujuan memelihara kemaslahatan manusia sekaligus menghindari mafsadat dan mudharat dari berbagai aspek kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Ada 5 (Lima) Masahalah dasar sebagai bagian dari maqas{id al Syari>ah yang harus dipelihara yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Jika salah satu dari kebutuhan di atas tidak terpenuhi atau terpenuhi dengan tidak seimbang kebahagiaan hidup juga tidak tercapai dengan sempurna untuk menuju kesejahteraan yang hakiki.3 Dalam pemeliharaan agama dimaksudkan bukan hanya pada diri sendiri tetapi juga terhadap tegak dan lestarinya agama di dunia. Paling tidak setiap keluarga harus menjalankan agama dengan sempurna (islam kaffah) yang dimulai dengan terus meningkatkan pendalaman agama, mengusahakan timbulnya motivasi untuk berbuat positif terhadap agama dan juga menjadikan diri sebagai agen dalam penyeberan nilai-nilai agama pada orang lain. Menyangkut jiwa maka yang menjadi target utama adalah lahirnya jiwa-jiwa yang bersih dan tidak terjebak pada sifat-sifat yang terpuruk dan bisa mengantarkan diri kita mengalami jiwa yang tidak stabil.
3
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat Muhammad, t.th), Jilid 2, h. 374.
fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
111
Muhibbuddin
Akal yang positif dan selalu membawa pembaharuan demi terciptanya suasana keilmuan yang kondusif. Artinya potensi akal harus dimaksimalkan penggunaannya sehingga selalu melahirkan buah-buah pikiran yang cemerlang untuk pengembangan umat yang dimulai pada level terendah yaitu pada diri dan keluarga. Selanjutnya menyangkut keturunan atau generasi, hendaknya diformat untuk selalu berbenah menciptakan generasi yang tangguh baik secara akidah, moralitas dan financial. Harta yang menjadi ukuran dalam menilai prestasi keduniaan manusia, selayaknya dikontrol sehingga tidak terjebak kepada pemenuhan dan perolehan harta semata tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Pembagian maqasid al-syari’ah menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriat, hajiyat dan tahsiniyat. Pertama, dharuriyat. Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kedua, hajiyat. Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Ketiga, tahsiniyat. Tujuan maqashid ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia Korelasi antara dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat disimpulkan oleh alSyatibi yaitu maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat. Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat bersifat absolut.4 Maslahah dan maqashid al-Syari’ah5 dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal,mengandung makna bahwa akal dapat 4
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, h. 374
5
Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan alsyari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Lihat Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.
112
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah
mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut. Menurut Amir Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah: a. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalb almanafi’ (membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan ada yang dirasakan langsung oleh orang melakukan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, tetapi ada juga kebaikan dan kesenangan dirasakan setelah perbuatan itu dilakukan, atau dirasakan hari kemudian, atau bahkan hari akhirat. Segala perintah Allah swt berlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti itu. b. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u al-mafasid. Kerusakan dan keburukan pun ada yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan sesuatu kesenangan ketika melakukan perbuatan dilarang itu, tetapi setelah itu yang dirasakannya adalah kerusakan dan keburukan. Misalnya: berzina dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.6 Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Imam al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.7 Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan pokok hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah (kebutuhan tertier). Dharuriyat, kebutuhan tingkat ‘primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia, yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu disebut al-dharuriyat al-khamsah
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 208 7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 208 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
113
Muhibbuddin
(dharuriyat yang lima).8 Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah Swt. melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.9 Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf. Umer Chapra menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara Syariat Islam dengan kemaslahatan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.10 Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. 2. Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil dibidang ekonomi. 3. Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak mubazir. 4. Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. 8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 209 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 209. 10 Umer Chapra. Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 304. 9
114
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah
5. Menjamin kebebasan individu. 6. Kesamaan hak dan peluang. 7. Kerjasama dan keadilan. Chapra ingin menegaskan (dengan membuat pemaparan cukup komprehensif terutama atas dasar dan dengan landasan filosofis dan teoritis), bahwa umat Islam tidak usah berpaling ke Timur atau ke Barat dalam mewujudkan kesejahteraan, khususnya dalam bidang ekonomi tetapi memandang untuk pada ketentuan Islam. Dia mengamati bahwa banyak negara-negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam telah mengambil pendekatan pembangunan ekonomi dari Barat dan Timur, dengan menerapkan sistem kapitalis, sosialis atau Negara kesejahteraan. Chapra menekankan bahwa selama negara-negara Muslim terus menggunakan strategi kapitalis dan sosialis, mereka tidak akan mampu, berbuat melebihi negara-negara kapitalis dan sosialis, mencegah penggunaan sumber-sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dengan demikian akan ditekan secara otomatis, menjadikannya sulit untuk merealisasikan maqashid meskipun terjadi pertumbuhan kekayaan.11 Ada dua pengertian yang saling berkaitan antara tingkat kepuasan dan kesejahteraan. Jika tingkat kepuasan lebih kepada individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan lebih kepada keadaan komunitas atau masyarakat. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individuindividu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu. Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas12 Dari ragam definisi di atas, bagaimana Konsep Islam? Pada intinya, kesejahteraan menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kesejahteraan yang didambakan al-Quran13 tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya 11
Umer Chapra. Islam dan Tantangan Ekonomi,h.304. Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan: Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem Kemiskinan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), h. 45.. 13 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai Persoalan Umat. Edisi E-book, h. 126-127. 12
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
115
Muhibbuddin
diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayangbayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesejahteraan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam QS. Thâhâ/20:117-119 : N > F E o P QK R) # OS K - OT UK 5 V ) FT K D F W ! < @ E X Y Z[5 OK ) K B N F> O \ K B N ") ] 'SB o P^ K4B N ") $ _
Terjemahnya: Kemudian Kami berfirman, "Wahai Adam! Sungguh ini (Iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka. Sungguh, ada (jaminan) untukmu di sana, engkau tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang. Dan sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari." 14 Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan. Lebih lanjut dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial, kriteria masalah sosial yang perlu diatasi meliputi i) Kemiskinan ii) Ketelantaran; iii) Kecacatan; iv) Keterpencilan; v) Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; vi) Korban bencana; dan/atau vii) Korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Mesti diakui bahwa saat ini sangat sedikit tulisan yang mampu menyingkap tabir dari banyak realitas dan sejarah keilmuan yang selama ini banyak berakar dan terinspirasi dari dunia Islam. Bahkan dengan sengaja realitas itu dikubur dan dikaburkan oleh hingar bingar keilmuwan belahan dunia lain berbasis keserakahan. Kekuatan politik pangkal musababnya. Keduanya sungguh memiliki beda nyata. Perkembangan ilmu di dunia Islam jelas berangkat dari spritualitas paripurna yang kemudian merangsang tafakur,
14
116
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 321. Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah
tasyakur dan khidmat pemikiran bagi kemashlahatan ummat manusia, bukan keserakahan untuk menjinakkan dunia.15 Pada masa kejayaan Islam kedudukan agama memiliki kedudukan yang sangat fital. Pada saat itu agama bukan hanya sekedar dogma. Islam disebarkan dengan rasionalitas dan teladan. Para sejarahwan sepakat menyebut paling sedikit 700 tahun di masa lalu sebagi the golden age (abad keemasan Islam), di saat yang sama Eropa berkubang dalam kegelapan (the dark age). Kemajuan Islam tidak terlepas dari peran serta ilmuan Islam, termasuk para ekonom muslim. Peran para ilmuwan muslim tersebut terinspirasi oleh pesan wahyu Al Quran untuk pendayagunaan akal. Inilah mutiara yang hilang dewasa ini dan sebagai akibatnya Dunia Islam tertinggal dan kehilangan daya saing. Motivasi keilmuwan lebih banyak diisi oleh keinginan memiliki materi sebanyak mungkin (materialisme). Materialisme mengajarkan bahwa kesejahteraan diukur dari pemilikan barang-barang mewah. Semakin banyak barang mewah yang dimiliki maka tingkat kesejahteraannya semakin tinggi pula, begitu pun sebaliknya. Logika masyarakat sekarang tentang kesejahteraan terkontruksi dengan pemikiran materialisme. Dimana sangat tidak masuk akal dalam arti lain sangat susah untuk diterima oleh akal jika mengatakan bahwa orang yang tinggal di gubug sederhana jauh lebih sejahtera dibanding dengan orang yang tinggal di apartemen mewah, atau menganggap gila jika ada yang mengatakan bahwa orang yang hanya memiliki sepeda butut jauh lebih sejahtera dibanding dengan orang yang memiliki BMW limitted edition. Membincang ekonomi tidak akan pernah lepas dari konsep kesejahteraan (welfare). Bahkan menurut asumsi kaum developmentaris menganggap bahwa tujuan akhir dari pembangunan ekonomi adalah menciptakan kesejahteraan. Salah satu kelebihan dari konsep kesejahteraan adalah karena memiliki prinsip, serta mengalami evolusi konsep untuk terus memperbaiki pemahaman, karena pada hakikatnya akan selalu ada konsepkonsep yang lebih baik. Kualitas hidup (Quality of life) jika selama ini sangat kental nuansa ekonomi (economisentris), sekarang ini telah mengalami pergeseran dimana konsep kesejahteraan lebih komprehensif dengan memasukan konsep-konsep lain seperti pembangunan yang memperhatikan aspek sosial dan aspek pelestarian lingkungan. Apalah arti sejahtera dalam bidang ekonomi tapi memiliki interaksi sosial yang buruk, pun apalah arti pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika mesti merusak lingkungan. Olehnya itu konsep kesejahteraan yang dikembangkan 15
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Jakarta, Rafika Aditama, 2009), h. 4. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
117
Muhibbuddin
dewasa ini adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang terjamin secara financial, mapan secara sosial dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Ternyata Islam juga memiliki konsep kesejahteraan yang jauh lebih bagus dibanding konsep-konsep ekonomi barat. Konsepnya pun telah diterapkan dengan baik, mulai dari zaman Rasulullah Saw, sampai para Khalifah penggantinya. Kesejahteraan dalam pandangan Islam bukan hanya dinilai dengan ukuran material saja, tetapi juga dinilai dengan ukuran nonmaterial; seperti, terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis-normatif maupun rasional-filosofis yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia termasuk keluarga. Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan. Hubungan dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allâh wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun Islam), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya hanya akan berpegang pada pentunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak mungkin orang mau menciptakan ketenangan jika tidak ada komitmen iman dalam hatinya. Demikian pula ibadah shalat (khususnya yang dilakukan secara berjama’ah), juga mengandung maksud agar mau memperhatikan nasib orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir rangkain shalat berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa seseorang diharapkan dapat merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang lain yang berada dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak jelas unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah haji, yang mengajarkan seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia lainnya.16 Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan merupakan misi kekhalifahan yang dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, 16
Said Agil Husain Al Munawarah, Pengantar Pada Buku Membangun Ekonomi yang Berkeadilan (Yogyakarta : Magistra Insania Press, 2004), h. xxiv
118
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah
sebegaimana dikemukakan H.M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan AlQuran, menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesejahteraan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam Q.S. Thâhâ, 20: 117-119 yang menceritakan tentang perihal surga yang merupakan tempat kenikmatan tiada tara yang tidak akan pernah lagi merasakan kelaparan dan kehausan. Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan. Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang secara langsung berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti wakaf dan sebagainya. Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya mencari berbagai alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, suatu hal yang perlu dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh umat Islam dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta pengelolaannya yang baik. Untuk itulah, saat ini pemerintah melalui Departemen Agama membentuk semacam Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional. Berhasilkah konsep ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, amat bergantung pada partisipasi kita. Kelima, ajaran Islam mengenai perlunya mewujudkan kesejahteraan ini selain dengan cara memberikan motivasi sebagaimana tersebut di atas, juga disertai dengan petunjuk bagaimana mewujudkannya. Ajaran Islam menyatakan bahwa kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan untuk mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw. melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga yang seimbang seperti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain. 17 Selain itu, ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain atau membatasi kreativitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat 17
Zianudin Ahmad, Alquran, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan (Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), h. 2. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
119
Muhibbuddin
menolong dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran Islam tentang kesejahteraan ini termasuk di dalamnya ajaran yang mendorong orang untuk kreatif dan bersikap mandiri, tidak banyak bergantung pada orang lain. Adapun konsep Islam tentang kriteria Kesejahteraan:18 1. Mampu mengeluarkan Infak 2. Adanya lapangan kerja yang tetap 3. Punya istri yang sholeh 4. Memiliki rumah yang tetap 5. Memiliki transportasi Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria: Pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat; baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya. Kedua, terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia. Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya buah sistem ekonomi semata; melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Menurut Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah) Tujuan utama syariah Islam dalam kitabnya Al-Muwafaqaat adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia. Di dalam Alquran, sedikitnya ada 69 ayat yang secara khusus menyebut kemiskinan. Di samping itu, masih ada puluhan lagi ayat-ayat yang menyebut kata sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara, ba’s, saa’il, qani’, mu’tarr, dhaa’if, dan mustadh’afiin. Selain itu, sedikitnya ada 42 ayat tentang zakat yang korelasinya dengan kemiskinan juga amat erat. Jika dijumlah, kita akan menemukan lebih dari 150 ayat Alquran yang berkorelasi dengan kemiskinan. Ukuran tingkat kesejahteraan manusia selalu mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang disebut Human Development Index (HDI). Dengan 18
120
Zianudin Ahmad, Alquran, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, h. 3 Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Sejahtera Relevansinya dengan Maslahah Dalam Tinjuan Ekonomi Syariah
HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat. Layaknya dalam praktek keagamaan, yang dibutuhkan adalah bukan dalam pencapai kesalehan secara pribadi semata tetapi lebih kepada arah dan tujuan yang berdimensi keshalehan sosial. Indikator sejahtera menurut Islam merujuk kepada Al Qur’an surat Al Quraisy (106):3 – 4 : K > \< o b a K'= K -+ %"O- ]' K / K < @ *M /K K ) a T -+ %" ` Terjemahnya : Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka'bah) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.19
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa indikator kesejahteraan dalam Al qur’an ada tiga, yaitu :20 1. Menyembah Tuhan (Pemilik) Ka’bah Indikator sejahtera yang pertama dan paling utama di dalam AlQur’an adalah “menyembah tuhan (pemilik) rumah (Ka’bah)”, mengandung makna bahwa proses mensejahterakan masyarakat tersebut didahului dengan pembangunan Tauhid, sehingga sebelum masyarakat sejahtera secara fisik, maka terlebih dahulu dan yang paling utama adalah masyarakat benar-benar menjadikan Allah sebagai pelindung, pengayom dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada sang khalik. Semua aktivitas kehidupan masyarakat terbingkai dalam aktivitas ibadah. Ibadah yang dilakukan sebagai wujud pengabdian kepada Allah menjadi benteng segal-galanya kehidupan ini. Ketika bermaksud melakukan aktivitas keduniaan maka segera disandingkan dengan konteks ketuhanaan dalam artian harus dimulai dengan pondasi tauhid yang kuat. 2. Menghilangkan lapar Mengandung makna bahwa, QS Al-Quraisy (106):4, diawali dengan penegasan kembali tentang Tauhid bahwa yang memberi makan kepada orang yang lapar tersebut adalah Allah, jadi ditegaskan bahwa rizki berasal dari Allah bekerja merupakan sarana untuk mendapatkan rizki dari Allah. Kemudian diayat ini juga disebutkan bahwa rizki yang bersumber dari Allah tersebut untuk menghilangkan lapar. Perlu digaris bawahi bahwa rizki tersebut adalah untuk menghilangkan lapar. Mempunyai makna bahwa rizki 19
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 603. M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al Quran, Juz Amma, Vol. XV, (Jakarta: Lentera Hati , 2002), h. 540-541 20
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab
121
Muhibbuddin
yang diberikan Allah kepada setiap ummatnya bukan untuk ditumpuktumpuk, ditimbun, apalagi dikuasai oleh individu, kelompok atau orangorang tertentu saja. Ini juga bermakna secukupnya saja sesuai dengan kebutuhan menghilangkan lapar bukan kekenyangan, apalagi berlebihlebihan. 3. Menghilangkan rasa takut Membuat suasana menjadi aman, nyaman dan tentram bagian dari indikator sejahtera atau tidaknya suatu masyarakat. Suasana ini harus tercipta untuk selamnya dalam kehidupan dunia dan dimulai dari skala yang terkecil ayitu masing-masing keluarga. Jika perampokan, perkosaan, bunuh diri, dan kasus kriminalitas tinggi, maka mengindikasikan bahwa masyarakat tersebut belum sejahtera karena disinyalir masih ada pemenuhan hak yang terabaikan dan mementingkan kepentingan pribadi. Dengan demikian pembentukan pribadi-pribadi yang sholeh dan membuat sistim yang menjaga kesholehan setiap orang bisa terjaga merupakan bagian integral dari proses mensejahterakan masyarakat. Al-Qur’an mendefinisikan tentang kesejahteraan, dimulai dari kesejahteraan individu-individu yang mempunyai tauhid yang kuat, kemudian tercukupi kebutuhan dasarnya dan tidak berlebih-lebihan, sehingga suasana menjadi aman, nyaman dan tentram.
122
Jurnal Al-Buhuts, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014