Hampir jam delapan malam ketika aku memasuki halaman Hotel Tugu Sri Lestari di Blitar, kota yang pernah kutinggali di awal tahun 90-an. Sebenarnya aku sudah tiba di Blitar sejak jam 4 sore, tetapi karena tiba-tiba aku kepengin ke Tulung Agung, satu kabupaten di sebelah barat Blitar tempat tinggal eyang kakung dan eyang putriku dulu, jadi aku membelokkan mobil dulu menuju kota yang berjarak satu jam dari Blitar itu.
Kota Blitar masih sepi dan tenang seperti kuingat 25 tahun silam. Bahkan ketika lampu lalu lintas berubah hijau dan aku belum bersiap menekan pedal gas, tidak ada pengendara di belakang yang gelisah dan mengklakson seperti di kota besar. Tak heran kota ini berulang kali menerima penghargaan sebagai kota berlalu lintas terbaik se-Jawa Timur.
Aku melintasi Jalan Pahlawan hingga persimpangan jalan Dr. Wahidin, di mana di situ masih terdapat pohon beringin besar. Sejenak anganku melayang pada masa SMP dulu ketika bersepeda melintasi jalan itu setiap pulang sekolah. Aku juga melewati gedung SMP Negeri 1 tempatku menuntut ilmu dulu, tak berubah dengan lapangan basket dan volley di depannya, dan gedung zaman Belanda berpintu dan jendela yang tinggi-tinggi.
Terus mengikuti Jalan Ahmad Yani hingga Jalan Merdeka dan Alun-alun yang masih dipenuhi beringin hijau, aku tiba di Hotel Tugu Sri Lestari. Aku mengingat hotel ini dulu sebagai Hotel Sri Lestari saja, karena ayahku beberapa kali mengadakan acara di sini. Setelah memarkir mobil di belakang aku berjalan kaki ke tempat resepsionis di depan. Perombakan cukup besar terjadi dari sejak kuingat dulu.
Entrance Tugu Hotel Sri Lestari Blitar ini unik, karena berada di antara dua bangunan terbuka dengan lengkung-lengkung khas bangunan kolonial di masa lalu. Sulur-sulur beringin menjuntai di atas jalan masuk selebar tiga meter yang beralaskan batu andesit bujursangkar yang disusun rapi. Di malam hari, lilin-lilin menerangi sepanjang jalur di kira dan kanan. Romantis sekali.
Sisi sebelah kiri, resepsionis dan ruang pertemuan terbuka yang sering disewa oleh pejabat Kotamadya atau Kabupaten Blitar, sementara sebelah kirinya The Colony Restaurant yang menyajikan aneka masakan nusantara dengan cita rasa yang lezat. Berada di kedua ruangan ini seperti berada di masa lalu, dengan noni-noni dan sinyo-sinyo Belanda bercengkrama di sini sambil membicarakan rencana-rencana tetirah keliling Blitar. Kursi-kursi antik dari kayu jati yang menghitam menambah keelokan ruangan ini.
Segala yang berada di sini seperti bergerak dalam bingkai lambat. Blitar adalah kota yang santai, tidak terburu-buru untuk bergerak, dan begitu pula yang dicerminkan di sini. Sepasang orang tua makan di meja sebelahku dengan tenang sambil mengobrol. Mungkin mereka teringat masa muda dahulu. Sekelompok anak muda dari Eropa berkumpul di meja yang lain bercakap-cakap dengan nada rendah dan santai. Entah apa yang membuat Blitar menjadi menarik di mata mereka.
Sebelum ke bangunan utama, di sisi kiri terdapat satu ruangan berdinding lengkung tempat meletakkan gamelan yang dimainkan di sore hari dan sebelah kanannya bangunan kayu untuk coffee break di sore hari. Dinding lengkung ini bagian favoritku di sini karena benar-benar tempat berbelok sebelum memasuki area parkir. Lengkungnya begitu gemulai ditemani sulursulur beringin yang menggantung dipermainkan angin.
Bangunan utama, satu gedung bergaya kolonial yang dulu milik satu keluarga Belanda, diubah menjadi kamar-kamar hotel cantik yang dengan perabot yang tak kalah antik. Satu meja bundar besar di tengah-tengah menjadi focal point yang kuat. Lantainya teraso yang dipoles mengkilat dan dinding putih dengan pintu-pintu besar membuat ruangan ini terlihat begitu lapang. Ruangan utama adalah Tugu Hall yang bisa dipakai untuk pesta, ruang tengah yang luas dan lapang.
Yang mengejutkan adalah kamarnya, satu kamar ekslusif dengan tempat tidur yang benar-benar lapang, berukuran 2×2 meter dengan tiang-tiang dan tirai mengelilingi sekitar. Bahkan tempat tidur ini cukup tinggi sehingga perlu ambalan untuk naik ke atas tempat tidur. Ruangan yang membuatku merasa bagaikan puteri sehari itu, karena ditata dengan cantik dengan citarasa sederhana namun elegan. Tepat di samping tempat tidur terdapat dua meja rias untuk memacak diri, sementara di ujungnya ada sepasang kursi dan meja untuk sekadar minum teh di dalam kamar. Seperti di Tugu Malang, kamar mandinya juga tidak menggunakan bathub keramik melainkan tembaga kasar yang dikombinasikan dengan marmer.
Karena aku tiba malam hari, maka aku hanya berkesempatan ke kamar paling spesial di sini di malam hari, menjelang tengah malam pula. Kamar yang dinamakan Sang Fajar Room ini adalah kamar yang didedikasikan untuk Presiden pertama RI, Soekarno. Di sini terdapat banyak peninggalan Bung Karno, berupa pakaian, tongkat, topi, koleksi buku, dan lukisan-lukisan beliau. Sang Fajar adalah nama panggilan untuk Bung Karno si pencerah proklamator negara ini.
Dari beberapa rumor yang beredar, kamar ini membuat gentar karena seperti merasakan keberadaan Bung Karno di dalamnya. Tapi aku tidak takut ketika tengah malam masuk ke sini ditemani beberapa pegawai hotel. Rasanya setiap ucap, setiap ketuk sepatu terdengar dengan lantang karena sepinya.
Dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama berisi lemari, lukisan, ruang duduk, meja tulis, dan beberapa barang peninggalan Bung Karno, menjadi semi privat dari pengguna kamar ini. Dua daun pintu menghubungkan ke kamar tidur, dengan tempat tidur yang tidak setinggi di kamarku tadi. Garuda Pancasila dipasang di atas tempat tidur. Hm, jadi siapa yang biasa (dan berani) menginap di sini? Rupanya karena hotel ini yang terbaik di Blitar, maka yang menggunakan kamar Sang Fajar biasanya Presiden atau pejabat-pejabatnya.
Dengan sentuhan antik dan lawas, Tugu Hotel Blitar juga dilengkapi oleh Lali Djiwo Heritage Spa yang berada di bagian belakang bangunan utama. Terdapat dua ruang spa yang dilengkapi dengan bathub dan kamar bilas dengan ornamen-ornamen yang tak kalah cantik untuk memperkuat kesan tradisionalnya. Uniknya, satu pohon besar tetap dibiarkan tumbuh di dalam dan tidak ditebang, melainkan ditembuskan ke atap sehingga daunnya masih menaungi sayap-sayap bangunan. Mencoba fasilitas spa di sini benar-benar
memanjakan badan yang letih karena menyetir jauh sejak kemarin. Pasti fasilitas ini menjadi primadona karena benar-benar nyaman sampai aku jatuh tertidur.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan di Blitar dan bisa dikoordinasikan dengan hotel Tugu. Apabila ingin makan malam yang romantis, Hotel Tugu menawarkan beberapa paket seperti “the lost temple private dinner” di Candi Penataran, atau “full moon dinner on the hidden beach” yang romantis. Selain itu tamu bisa menyewa sepeda untuk berkeliling kota, mellihat-lihat sudut kota yang khas kota lama di pulau Jawa. Di Blitar juga kaya dengan berbagai obyek wisata sejarah, seperti makam Bung Karno dan Candi Penataran serta Candi Sawentar. Selain itu, bisa juga berwisata alam ke Gunung Kelud yang eksotis. Hutan-hutan dan sawah-sawah sekitar Blitar juga sayang untuk dilewatkan.
Tinggal semalam di Tugu Blitar seperti berada di rumah, dengan staf-stafnya yang sangat ramah dan baik, bisa mengobrol tentang kota Blitar di masa lalu sewaktu aku kecil dulu. Lokasinya yang berada di tengah kota memudahkanku untuk menyusuri jalan-jalan yang dulu sering aku lewati, deretan toko yang sama, jalur bersepeda, pepohonan, dan keramaian yang hampir tidak berubah. Blitar adalah tentang kenangan buatku. HOTEL TUGU BLITAR Location Blitar, EAST JAVA Street address Jalan Merdeka 173, Blitar, EAST JAVA – INDONESIA Telephone (62-342) 801766, 801687, 807753, 807754, 807756 Facsimile (62-342) 801763 E-mail
[email protected] Website http://www.tuguhotels.com Contact Person Suhartini-Manager of Operations