1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar belakang masalah Berdasarkan UU nomor 44 tahun 2009 pelayanan kefarmasian di rumah
sakit harus dilakukan dengan sistem satu pintu. Permenkes nomor 58 tahun 2014 menyatakan semua sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang beredar di rumah sakit merupakan tanggung jawab instalasi farmasi rumah sakit, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi, bahan medis habis pakai di
rumah sakit yang dilaksanakan selain oleh instalasi farmasi rumah sakit. Dengan penerapan sistem ini rumah sakit akan mendapatkan manfaat antara lain peningkatan mutu pelayanan dan peningkatan pendapatan rumah sakit. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Menurut WHO, rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial
dan kesehatan dengan fungsi
menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventive) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik. Rumah sakit perlu mengetahui kualitas pelayanan yang telah diberikan, dan sampai sejauh mana mempengaruhi kepuasan konsumennya. Hal tersebut penting sebagai acuan dalam pembenahan kualitas pelayanan, sehingga pelayanan yang diberikan bisa memberikan kepuasan pada tingkat yang optimal. Berdasarkan Permenkes nomor 58 tahun 2014 pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi obat (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada
pasien
(patien
oriented)
dengan
filosofi
pelayanan
kefarmasian
(pharmaceutical care). Pelayanan farmasi rumah sakit masih bersifat drug oriented, bahkan dikebanyakan rumah sakit pemerintah saat ini masih
diperbolehkannya
2
beroperasi apotek dari lembaga atau perusahaan luar atau juga apotek koperasi milik rumah sakit tersebut yang pada umumnya apotek tersebut tidak dibawah kendali instalasi farmasi rumah sakit. Alasan yang dikemukakan untuk membenarkan kebijakan tersebut adalah bahwa rumah sakit pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk penyediaan obat, produk obat dan lain-lain. Akibat dari kebijakan tersebut antara lain tidak dikenalnya sistem formularium dan tidak digunakannya formularium rumah sakit, ketidaktepatan sistem distribusi rawat tinggal, serta panitia farmasi dan terapi (PFT) yang tidak berdaya melaksanakan fungsi dan tanggung jawab seharusnya (Siregar dan Amalia, 2003). Dengan masih beroperasinya apotek swasta di rumah sakit tentunya tidak menguntungkan karena rumah sakit tidak mempunyai kontrol terhadap semua obat dan harga yang beredar di rumah sakit serta kehilangan potensi pendapatan dari penjualan sediaan farmasi. Penelitian Erwinayanti, et al (2012) menggunakan metode balanced scorecard didapat indikator perspektif keuangan berupa gross profit margin (GPM) pada tahun 2011 sebesar 26,3% dan turun menjadi 24,8% pada tahun 2012. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala instalasi farmasi, GPM mengalami penurunan pada tahun 2012 karena banyak pasien membeli obat diluar instalasi farmasi. Penelitian Hermalia, et al (2014) di IFRJ RS Sekar Wangi, dari 456 lembar resep, yang masuk ke IFRS sebanyak 57%, yang keluar sebanyak 194 lembar resep (43%) dari total jumlah resep. Nilai keseluruhan dari jumlah resep yang diharapkan masuk adalah Rp 45,6 juta, tetapi nilai rupiah yang masuk hanya 52,0% yaitu sebesar Rp 23,8 juta dan yang keluar sebesar 48,0% atau senilai Rp21,8 juta. Adapun faktor-faktor penyebab resep keluar berdasarkan persepsi kedua kelompok responden yang paling bermakna adalah kurangnya promotion, price dan kemudian process. Berdasarkan penelitian Partini et al (2014) di RSUP Klaten yang terdapat 2 (dua) penyedia perbekalan farmasi yaitu instalasi farmasi dan apotek Kimia Farma, tingkat keterjaringan resep pasien rawat jalan di instalasi farmasi sebesar 21,1 % dan lost of profit instalasi farmasi RSUP Klaten sebesar rata-rata Rp 623,2
3
juta/bulan. Hasil survey kualitas pelayanan pasien rawat jalan terhadap pelayanan instalasi farmasi dan Apotek Kimia Farma dengan metode SERVQUAL menunjukan selisih (gap) negatif yang artinya pelayanan belum sesuai dengan harapan pasien. Hasil penelitian Partini et al (2014) di RSUP Klaten seperti pada tabel 1 dan tabel 2. Tabel 1. Hasil Penelitian Servqual di Rawat Jalan Instalasi Farmasi RSUP Klaten, diadaptasi dari Partini, et al (2014) Paramater 1 Responsiveness
Harapan 3,66
Kenyataan 3,27
Selisih -0,39
2 Tangible
3,52
3,08
-0,44
3 Reliability
3,50
3,08
-0,42
4 Assurance
3,58
3,23
-0,35
5 Empathy
3,51
3,20
-0,31
Tabel 2. Hasil Penelitian Servqual di Apotek Kimia Farma RSUP Klaten, diadaptasi dari Partini, et al (2014) Paramater 1 Responsiveness
Harapan 3,77
Kenyataan 3,30
Selisih -0,47
2 Tangible
3,69
3,20
-0,49
3 Reliability
3,42
3,08
-0,34
4 Assurance
3,74
3,29
-0,45
5 Empathy
3,65
3,23
-0,42
Dikutip dari penelitian Pratiwi et al (2013) di rumah sakit swasta di Jakarta (Tabel 3), tingkat kepuasan pasien di layanan farmasi rawat jalan di beberapa rumah sakit pada seluruh dimensi negatif yang artinya pelayanan farmasi rawat jalan belum dapat memenuhi harapan pasien.
4
Tabel 3. Kompilasi hasil Penelitian ketidak puasan pasien(%), di RS swasta di Jakarta & beberapa rumah sakit, diadaptasi dari Pratiwi, et al (2013) Dimensi
RS X
RSUD
RSUD
RSUD
RS Yakkum
Jakarta
dr.Soedarso
Yogyakarta
Sleman
Emanuel
(2013)
Pontianak
(Rolisa,
(Rolisa,
Purwareja
(Pratiwi,
2009)
2009)
Klampok
2009)
(Santoso, 2012)
Responsiveness
25
30
20
22
24
Emphaty
23
24
23
23
15
Reliability
20
19
20
20
17
Assurance
17
21
13
18
30
Tangible
15
6
24
17
14
Hasil penelitian Yousapronpaiboon dan Phondej (2014) di rumah sakit umum Thailand juga terdapat hasil selisih (Gap) negatif (Tabel 4) antara harapan dengan persepsi yang diterima pasien. Tabel 4. Hasil penelitian kualitas layanan farmasi rawat jalan rumah sakit umum di Thailand diadaptasi dari Yousapronpaiboon & Phondej (2014) Dimensi
Ekspektasi
Persepsi
Gap
Reliability
6.15
5.88
-0.26
Assurance
6.52
6.02
-0.50
Tangible
6.10
5.79
-0.31
Emphaty
5.93
5.58
-0.35
Responsiveness
6.12
5.68
-0.44
Overall service quality
6.16
5.79
-0.37
Kepuasan pelanggan memiliki keterkaitan yang erat dengan kualitas pelayanan. Apabila pelayanan dibawah standar, maka pelanggan akan kehilangan kepuasannya, sebaliknya kepuasan akan mencapai titik optimalnya, apabila yang didapatkan sebanding atau lebih besar dari harapannya (Kotler dan Keller, 2009). Persepsi konsumen terhadap pelayanan instalasi farmasi yang buruk akan merugikan instalasi farmasi dari aspek bisnis karena konsumen akan beralih ke tempat lain. Dampak yang timbul tidak saja kepada konsumen yang bersangkutan
5
tetapi keadaan buruk ini akan diceritakan kepada orang lain sehingga citra instalasi farmasi, terutama petugasnya, termasuk apoteker akan negatif/buruk (Inggerani, 2002) Sejak Januari tahun 2014 RSUD dr. Doris Sylvanus mulai memberlakukan sistem pelayanan farmasi terpadu satu pintu di ruang rawat inap VIP, dimana semua obat yang diresep untuk pasien ruang rawat inap VIP disiapkan langsung oleh instalasi farmasi dan keluarga pasien tidak perlu lagi membawa resep, mencari dan menebus obat di apotek. Kebijakan Sistem terpadu ini diharapkan dapat meningkatkan profitabiltas dan kualitas layanan (services quality) obat. Perubahan sistem pelayanan di VIP ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh penerapan pelayanan farmasi terpadu terhadap profitabiltas dan kualitas layanan (services quality) obat di RSUD dr. Doris Sylvanus. Pemilihan rawat inap VIP sebagai tempat penelitian karena sistem farmasi terpadu baru dijalankan di ruang VIP. Balanced scorecard melakukan pengukuran kinerja berdasarkan pada 4 (empat) perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran (Mulyadi, 2005). Untuk mengetahui kualitas pelayanan, metode SERVQUAL (Service Quality) banyak dijadikan acuan yang digunakan sebagai penentuan kualitas pelayanan, model ini dikembangkan
Parasuraman, Zeithaml, & Malhotra dengan lima
dimensi kualitas pelayanan bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (empathy).
B. Perumusan Masalah 1. Apakah terdapat peningkatan profitabilitas pelayanan obat setelah penerapan sistem pelayanan farmasi terpadu di RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya ? 2. Bagaimanakah
persepsi
pasien/keluarga
pasien
terhadap
kualitas
pelayanan obat setelah penerapan sistem pelayanan farmasi terpadu di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya ?
6
C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui dampak penerapan sistem pelayanan farmasi terpadu terhadap profitabilitas dan kualitas layanan obat di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka raya. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengukur profitabilitas (laba bersih, gross profit margin,net profit margin dan operating margin ratio) layanan obat sebelum dan setelah penerapan sistem pelayanan farmasi terpadu di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka raya. 2. Mengidentifikasi persepsi pasien/ keluarga pasien terhadap kualitas layanan obat berdasarkan dimensi bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (empathy)
D. Manfaat Penelitian Manfaat Bagi Rumah Sakit 1. Sebagai data awal untuk perencanaan dan pengembangan sistem farmasi terpadu secara menyeluruh di unit rawat inap dan rawat jalan RSUD dr. Doris Sylvanus. 2. Sebagai evidence based bagi rumah sakit lain yang belum atau telah menjalankan sistem farmasi terpadu di rumah sakit. Manfaat Bagi Ruang Lingkup Penelitian Sebagai referensi untuk mengevaluasi kinerja instalasi farmasi dilihat dari profitabilitas keuangan dan kualitas layanan obat di ruang rawat inap. Manfaat Bagi Peneliti 1.
Peneliti bertugas di bagian perencanaan RSUD dr. Doris Sylvanus. Penelitian ini bermanfaat sebagai data awal penyusunan program bagian farmasi dan RENSTRA RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
2.
Penelitian ini menambah pengalaman dan pemahaman kepustakaan tentang cara evaluasi sistem pelayanan farmasi terpadu di rumah sakit, mengetahui pengaruhnya terhadap profitabilitas, dan mengetahui persepsi pasien/keluarga
7
pasien terhadap kualitas layanan obat di RSUD dr. Doris Sylvanus setelah penerapan sistem farmasi terpadu berdasarkan dimensi bukti fisik (tangible), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (empathy).
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian dengan topik yang sejenis antara lain : 1. Ulfah hidayah, et al (2008) melakukan evaluasi sistem peresepan on line di bangsal rawat inap RS PKU Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian tersebut mengukur akurasi penulisan resep dokter, kesesuaian resep dengan formularium, dan kecepatan dispensing. 2. Partini, et al (2014) melakukan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem pelayanan farmasi satu pintu di RSUD dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Penelitian tersebut menggunakan sampel resep pasien rawat jalan dan membandingkan tingkat kepuasan pasien yang membeli obat di instalasi farmasi rumah sakit dengan apotek swasta.