Sajak Rapuh
Aku cuma ingin berteman dengan pagi ini. Setelah ku menipu malam tadi. Rasanya masih ingat akan siang hari. Saat ku berlari mengejar mimpi. Sesaat sebelum tersesat, saat matahari mulai menghilang. Terlalu terang ku katakan petang. Terlalu pekat ku katakan siang. Saat senja datang. Saat ku berlari untuk terbang. Mencoba mengepakkan sayap melayang. Tak kunjung terbang. Terhalang lalu hilang. Saat mata-mata itu menjadi teduh. Bukan keruh seperti yang sedang ku seduh. Bukan juga keluh seperti kata peluh. Bisa saja nanti rapuh, Jika sajakmu tak ku temukan sampai sembuh.
Hari Minggu
Hari ini pagi menjemput dengan cerahnya. Sinar matahari menusuk menembus selasela kaca. Memberikan hangat walau masih saja dingin dominan utama. Santo sudah bangun sedari tadi, meski sepertinya dia belum beranjak juga dari tempat tidur. Selimut masih saja memelukmya erat seperti tau mau ditinggalkan. Dia hanya bermalas-malasan di ranjang menghadap laptop yang sedang mempertontonkan kemunafikan. Terlihat Santo ingin bangun, tapi kaki ini seolah terborgol keranjang. Berat sangat Amat berat hingga susah diangkat. Dia hanya bergulang-guling berharap bisa melemaskan kakinya. Terbius sudah. “Selamat pagi omong kosong.” Embun menyapa. Disambut tawa burung-burung, tak ketinggalan angin pun menertawakannya. Santo tak pernah berkata dia benci pagi, tapi pagi ini rasanya semua
sepakat mengolok-oloknya. Dia menenggak air, berharap itu melarutkan semua ejekan. Lalu dia simpan semua tawa, cerca yang hina itu kedalam botol. Berharap semuanya akan diam di dalam botol. Santo keluar kehalaman. Berlahan, mengendap-endap mencoba mengemis sedikit kehangatan. Dia meminta agar hangat sedikit mengendurkan urat-urat. Syukur-syukur membangunkan saraf-sarafnya yang lapuk. Dia mencoba jalan kecil-kecil di depan rumah. Menginjak embun di rerumputan yang tadi menertawakannya. Santo tersenyum jahat. Matahari semakin angkuh dilihat. Semakin menyilaukan saja. Agak lama Santo berdiri di halaman sambil memikirkan apa yang tadi subuh katakan. Pasti subuh kecewa dia hanya bisa segini. Jadi apa alasan kalau besok subuh bertanya lagi? Sudah dia coba kobarkan api dalam dada tapi masih saja dingin menguasi kaki. “Habis ngapain tadi?” Sapa kasur setibanya Santo di kamar. “Banyak, ada rumput, ada batu dan ada air beserta ikan-ikannya.” "Senang, dong?" "Yalah. Asyik!" Setelah istirahat, sarapan Santo kembali kelayar laptopnya. Dia putar list lagu-lagu sebagai penambah semangatnya. Lalu dia buka notepad. Dia coba tulis apa yang ingin dia ceritakan, tentang obrolannya dengan subuh, olok-olokan embun juga. Dia tambahi sedikit kisah lalu serta secerca harapan yang akan datang. “Ini caraku, jangan pikir ini tentang depresi / cuap-cuap okong kosong.” Santo tersenyum. Dia tau dia tak pesimis, masih optimis yang terus realitis. Itu yang penting. Kini dia coba berjalan-jalan di beranda. Nampak beberapa orang sibuk menjemur badannya di halaman rumah. Ada juga kambing-kambing yang sibuk mengumpat diri mereka sendiri "kalau berani sini jangan cuma di status." padahal dia sendiri menulisnya di status. Di belakangnya ada mahluk-mahluk manis yang mulai menunjukan kelemahan mereka. "aku kuat, biar hati ini menangis aku tak akan menangis. Tak akan aku tunjukan kesedihanku." terus tulisan barusan apa kalau bukan kau menunjukan sendiri?
Di bawahnya lagi kucing lembut yang sok macho "cowo ga tau kalau cewe nangis itu tandanya minta dipeluk." kok kucing itu tau? Dia kan cowo? Apa bukan? Nah..? Di bawahnya lagi ayam manis yang menuliskan fakta berdasarkan harapan dia. "Semarahmarahnya cowo pasti diem Kalau lihat cewe nangis." Padahal dia bukan cowo. “Ahhh omong kosong apa lagi yang akan lewat beranda ku?” Santo heran. Mencoba melihat lagi ke bawah, mungkin ada yang bagus, atau mungkin bisa jadi bahan sajak nanti. Yang ada sekumpulan babi yang mengorak-arik badannyanya, Lalu mereka berbangga dengan menunjukan foto dosa mereka. Lalu discreenshot page ‘KHK’. Setelah itu baru mereka ngomel-ngomel menuduh menyebarkan aib. Sedangkan waktu upload sendiri tak merasa. Sekarang berganti mereka yang berkeluh kesah dengan pagi. Ahhh mungkin seperti halnya Santo yang membenci pagi ini. Tapi setidaknya dia tak memaki pagi. “Kau sama saja. Ahhahaha” Bantal pun tertawa. “Aku? Dulu, mungkin. Tapi tidak juga” Jawab Santo. “Lalu sekarang apa yang kau cari? Kau terlihat tak suka tapi masih terus saja membacanya.” “Aku? Lucu saja liatnya.. Lagian di sini aku tak pernah merasa sendiri, bukan ku bersenang di atas mereka yang berkesah. Tapi setidaknya aku merasa lebih beruntung dari mereka. Setidak-tidaknya aku tak perlu mengeluh.” Santo tersenyum. Lalu itu semua diremas dan dimasukan ke dalam botol tadi. Santo membuka notepadnya lagi. Kali ini dia tampak bersemangat, sepertinya banyak ide yang telah dia hadirkan di kepalanya. Dia pun lanjut menulis. Tapi tak satu pun huruf ditulis. “Kau kenapa?” Saut boneka di sisi meja. Santo hanya diam. Dia terlihat memejamkan mata. Mungkin dia lelah butuh istirahat. Siang ini hari masih cerah, matahari bersinar gerah, langit biru dengan awan gumpal-gumpal putih. Semua tampak bahagia, rumput tertawa, dedaunan pun bersorak riang menyambut angin semilir. Santo duduk di halaman depan. Memandang langit, di tangannya ada secarik kertas dan sebuah bolpoint. Dia sedang mencari inspirasi untuk apa yang akan dia tulis.
“Dia tampak nyata, meski tidak ada. Tak terbatas namun membatasi. Seperti yang mereka sebut dengan kata langit. .....” Santo diam, tak satu huruf pun melanjutkannya lagi. Lalu dia sobek kemudian dia remas kertas itu. Lalu dia mengalihkan pandangan ke awan.
“Awan siang ini bertuliskan namamu. Awan siang ini memanggil-manggil ku. Disuguhkannya langit biru dengan awan bertuliskan nama mu. Aku diam, sedang angin berteriak ‘ciee’. Pada awan di langit biru ku titipkan salam rindu. Apa kau terima salam ku? Ah.. Jelas tidak.. Karna ku kirim salam dalam bungkam. Membatin. Angin berteriak ‘ciee’. ” Santo kembali tersenyum. Lalu dia robek dan remas lagi kertas itu. Dimasukannya lagi kedalam botol. Botol kaca bening itu mulai berwarna, ada warna merona fajar, biru caci maki pagi, dan warna – warna lain kali ini.” Tak terasa sore sudah tiba. Setelah ritual Santo memakai jersay nya, tak lupa dia tenteng kamera dikalungkannya. Sepertinya dia mau menipu diri nya sendiri seolah tak pernah terjadi apa-apa. Atau mungkin dia mau menunjukan ke luar kalau dia belum habis. Siapa yang tau. Sambil melata dia melompat kemotor dan langsung dia melaju lambat setelah memasang kamera. Dia berhenti di persimpangan jalan sebelum masuk kejalan raya.
Dia melihat mereka yang terbang di jalanan, hilir mudik menarik tarik. Santo tersenyum. Setelah senyap sepi dia menyebrang. Bergegas menghindari jikalau air bah datang. Tris bermain di jalan becek di sebelah rumahnya. Di mukanya terlihat ada senyum bahagia meski ada saja raut yang terus bertanya. Matahari mulai bersembunyi, pepohonan bersama angin nampak melambai mengucapkan salam perpisahan dengan matahari. Santo kembali ke rumah untuk berbersih yang menyiapkan ritualnya.
“Senja di tanah surga ini terasa memaki. Aku diam. Aku ingin menjawabnya tapi aku tak punya cerita. Aku diam lalu bungkam.
Biar saja senja memaki. Setidaknya aku bisa mehela nafas setelahnya. Sebelum besok pagi kembali mengejek. Sekarang kutipu saja malam biar nyenyak menemani.” Tris tersenyum puas. Kali ini tak lagi kertas diremas. Senja berganti malam. Tris masih memandang kertas itu bersamaan dengan botol kaca yang dia bawa. Larut dalam kenangan, lamunan. Bintang bercekikikan menertawakan, sedangkan bulan terlihat muram. Rupanya bulan kasian. Tris melihat heran. Dia terihat menahan tawa, Angin malam mulai menggoda, menggelitik membuka suara yang membungkam. “Ahahahahahahahaa” Tris tertawa lebar. Bintang dan bulan menatap heran. “Apa yang kau tertawakan?” Tanya angin malam.
“Kau tak sadar ? aku geli melihat kalian. Bulan, bintang dan angin saling berganti bertatapan. Mereka tak mengerti. Dibuka lah botol yang sedari tadi Santo bawa. Seketika itu puluhan (bahkan ratusan) warna muncrat bebarengan.
Bersambung . . . .