SAINTIS TIONGHOA INDONESIA MENEMBUS BADAI Al Muiz Liddinillah | 26 Agustus 2016 | Peristiwa | Tidak ada Komentar https://gubuktulis.com/2016/08/26/saintis-tionghoa-indonesia-menembus-badai/
Foto bersama Prof. Wu Da Ying, Ph.D Bertemu orang hebat yang berjalan kaki menembus badai ke belahan dunia menjadi keberuntungan bagi penulis. Seorang Tionghoa Indonesia yang kala itu selalu mendapat diskriminasi dan ancaman di negerinya sendiri. Akan tetapi, beliau menerjangnya dengan api kebangsaan yang luar biasa. Pertemuan kala itu (24/08) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memberikan kisah heroik tentang sains dan ke-Indonesiaan-nya Prof. Wu Da Ying, Ph.D. Beliau menceritakan dengan rinci perjalanan spiritual kebangsaannya melintasi rasisme kebangsaan dan sains, dari Ia kecil hingga kini saat bedah buku “Menembus Badai” yang diselenggarakan CEAS dan PKSP UMM serta didukung Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT), yang dibedah bersama Bapak Go Hwie King Gaudi selaku senior advisor US Asia Chamber of Commerce. Perjalanan menembus badainya mengarungi segala hal tentang kehidupan, hingga pertaruhan kebangsaan. Beliau adalah orang Indonesia kelahiran Lumajang Jawa Timur, dari lereng gunung semeru. Di lereng gunung yang dikelilingi dengan daratan hijau yang subur dan makmur, anak remaja ini tumbuh dan berkembang di era kolonialisme Jepang (1942- 1945). That Ngo nama akrabnya, adalah keturunan Tionghoa suku Hakka, sebuah etnis yang berasal dari daratan Tiongkok yang terkenal gigih dalam pengembaran dan perjuangan hidup, dimanapun berada.
1
Foto Prof Wu Da Ying membawa Buku Biokimia
Di tengah tahun 1960, Indonesia mengalami gesekan ekonomi, sosial dan politik yang luar biasa. That Ngo masih sangat hafal kisah kelabu di negeri saat itu. Keanehan saat adanya himbauan nasional mematikan radio ketika lagu genjer- genjer diputar, karena bagi siapapun yang mendengarkan lagu karya Muhammad Arif dari Banyuwangi Jawa Timur itu, dia diidentikkan dengan simpatisan PKI. Dipikir-pikir apa hubungannya lagu itu dengan tuduhan PKI, sungguhirrasional. Hingga pada akhirnya, ia banyak menuliskan kisah pasca kemerdekaan, tentang PKI dan nasib Tionghoa yang sangat malang. Krisis rasial Indonesia, khususnya diskriminasi terhadap Tionghoa kala itu sangat hebat. Membuat perjuangan That Ngo dalam memperjuangkan hidup dan cita- cita pendidikannya berliku. Sejak kecil beliau belajar di sekolah Tionghoa, dan remaja Ia meneruskan di SMA Swasta Tionghoa-Indonesia di Surabaya Jawa Timur. Prestasi akademiknya sangat memukau, khususnya matematika dan teknik, mata pelajaran yang sangat ditakuti teman sekelasnya. Seuasai SMA, Ia hijrah ke Jakarta, diterima kuliah di Universitas Res Publica (sekarang Trisakti) dan masuk di jurusan kimia. Semenjak Ia kuliah, tekanan dari teman mahasiswa, baik cibiran, hinaan hingga kekerasan fisik dialami. Hidup di Jakarta masih saja tidak sesuai dengan harapannya untuk hidup dan belajar dengan nyaman. Situasi politik yang mencekram membuat Jakarta ramai dengan demonstrasi- demonstrasi, sehingga membuatnya tidak nyaman. Ditambah lagi dengan diskriminasi terhadap etnis nya. “Saya pernah dihina Cino, sambil diludahi wajah saya, saya sangat gregetan dan semakin ingin segera pergi dari Indonesi”, ujar That Ngo saat menceritakan hidupnya di Jakarta. Akhirnya, tekad bulat ia ambil untuk segera meninggalkan Indonesia. Yang pada akhirnya masuk di Universitas Saskatchewan Saskatoon Kanada, di jurusan biokimia. Hijrahnya di Kanada memperoleh hasil nyata dengan diraihnya gelar B.Sc (kehormatan) pada tahun 2
1970 dan menyelesaikan Ph.D dibidang biokimia pada tahun 1973 (tanpa studi S2). Ia terpilih sebagai Fellow of The American Institut of Chemist (FAIC) tahun 1991; Fellow of The National Academy of Clinical Biochemistry (FACB) tahun 2005; dan Fellow of The Royal Australian Chemical Institute (FRACI)tahun 2006. Ia telah mempublikasikan 140 jurnal biokimia, 7 buku tentang biokimia dan 4 buku masak. Penghargaan yang Ia peroleh antara lain; University of Saskatchewan Graduate Scholarship (1970-1973), Society of Chemical Industry Merit Award (1970), Most Innovative Biothecnology Product by University of California, San Diego oleh CONNECT, tahun 1992, untuk temuannya Avid AL-Affinity Chromatographic Product. Selain itu Ia pernah menjabat sebagai editoral jurnal bioteknologi internasional dan masih banyak lagi. Banyak cerita prestasi saintific beliau, dalam perjuangan melintasi badai rasial di negeri sendiri, sehingga Ia terpaksa berhijrah dan melakukan pengembaraan intelektual. Pengembaraannya bukan hanya sebagai pemuas ego akademiknya, melainkan juga berahinya mencintai Indonesia yang tidak bisa Ia ekspresikan di negerinya.
buku menembus badai
Beliau ialah ilmuwan yang tak sombong dan melupakan negaranya. Dalam buku nya, “Menembus Badai- Pengembaraan Seorang Tionghoa Indonesia Melintasi Rasisme, Kebangsaan”, sebagai autobiografinya. Banyak dipaparkan kecintaannya kepada Indonesia dan kebenciannya terhadap tragedi pembunuhan massal (tragedi 65’).
3
Dalam pertemuan Kamis kala itu, beliau mengatakan bahwa, “Soekarno is My Hero”. Soekarno bagi That Ngo adalah pahlawan baginya. Tidak berlebih memang, bagi orang yang telah membaca “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Bung Karno. Menurutnya, ia sangat cocok dan suka dengan falsafah ke-Indonesia-an dan falsafah hidup Bung Karno (founding father). Selain itu That Ngo juga gemar membaca buku Pramodya Ananta Toer, yang banyak dikutip dalam bukunya. Ilmuwan biokimia ini juga gemar membaca buku sosial-politik lainnya, seperti buku karya John Roosa, Baskara T. Wardaya dan Ben Anderson. Banyak kisah sejarah 65’ yang dipelajari dan dikritisi. Bapak Go Hwie King Gaudi menyatakan bahwa karya Prof. Wu ini merupakan memoar perjuangannya menembus badai seorang Tionghoa Indonesia yang terdiskriminasi. Belajar dari memoar Prof. Wu, semoga generasi muda Indonesia benar-benar bisa mengimplementasikan ke-Indonesia-an dan ke-bhineka-an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sesungguhnya hakekat manusia yang diciptakan Tuhan berbeda-beda, agar kita (manusia) bisa saling mengenal. Banyak hal yang menarik dari buku autobiografinya. Pada halaman (218) beliau menuliskan sebuah penutupan terkait persoalan 65’, yaitu: Setelah aku pensiun, aku menulis puisi dalam bahasa Tionghoa, dan meski aku dilatih sebagai seorang biokimia dan bukan ahli etika, ilmu sosial ataupun politikus, kesadaranku mendesakku untuk menyatakan kebiadaban, kemuakan dan kemarahan atas pembunuhan yang menakutkan yang tak manusiawi terhadap banyak orang yang tak bersalah di Indonesia ketika aku tinggal disana. Sebagai manusia aku mencoba untuk mengingat dan mengekspresikan bela sungkawa yang terlambat ini kepada keluarga korban yang tak berdosa, yang belum pernah aku temui, dan mencari pemaafan yang berdiam diri begitu lama dan juga mencari kedamaian hati untuk diriku sendiri. Dunia telah memilih memalingkan muka, menyetujui tanpa bantahan dan tetap terdiam di wajah pembunuhan massal ini. Puisi berikut ini merefleksikan pemikiranku tentang peristiwa ini. Akhir Tragedi Kudeta 65’ Burung hantu tercekam menyaksikan jutaan kepala terpenggal Tiada mampu air mata Tuhan menyucikan noda darah kematian; Dalam kengerian, pohon kelapa menggigil, kepala-kepala membisu Dalam ketakutan dan simpati, daun pisang enggan menutupi
4
Tubuh-tubuh tragis. Burung-burung dikepulan hijau bernyanyi dan berkerumun, Berkicau lepas Wong cilik memohon untuk sekedar hidup dengan terkulai; Mengapakah kita harus sebangsa, kita anak Tuhan, Saling membinasakan dalam kegilaan; Wahai Tuhan Sang Pengasih, berilah kami kekuatan, Kebijaksanaan untuk memaafkan Dan membenahi kejahatan kemanusiaan
5