JURNAL ILMIAH MANUNTUNG Sains Farmasi Dan Kesehatan
DITERBITKAN OLEH : AKADEMI FARMASI SAMARINDA JURNAL ILMIAH MANUNTUNG
NO. 1
VOL. 1
HAL. 1-99
SAMARINDA MEI 2015
ISSN. 2443-115X
JURNAL ILMIAH MANUNTUNG PEMBINA: Supomo, S.Si., M.Si.,. Apt (Direktur Akademi Farmasi Samarinda) PENANGGUNG JAWAB: Hayatus Sa’adah, S.F., M.Sc., Apt KETUA EDITOR: Husnul Warnida, S.Si., M.Si., Apt EDITOR AHLI: Prof. Dr. Nurfina Aznam, SU., Apt (UNY) Prof. Agung Endro Nugroho, M.Si., PhD., Apt (UGM) Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App,Sc., Apt (USU) Prof. Enos Tangke Arung, PhD (UNMUL) Irawan Wijaya Kusuma, PhD (UNMUL) EDITOR PELAKSANA: Yullia Sukawaty, S.Far., M.Sc., Apt Eka Siswanto, S.Farm., M.Sc., Apt Henny Nurhasnawati, S.Si., M.Si. Yulistia Budianti S., M.Farm., Apt Anita Apriliana, S.Farm., M.Farm., Apt Risa Supriningrum, S.Si., MM. ADMINISTRASI: Fitri Handayani, S.Si., M.Si., Apt DISTRIBUTOR: Heri Wijaya, S.Farm., M.Si., Apt Sapri, S.Si Siti Jubaidah, S.Far., Apt
JURNAL ILMIAH MANUNTUNG Sains Farmasi Dan Kesehatan DAFTAR ISI
No
Judul
Halaman
1. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN KECOMBRANG (Etlingeraelatior (Jack) R.M.Sm) TERHADAP Salmonella typhi Eko Kusumawati, Risa Supriningrum , Reza Rozadi .............................................................. 2. STUDI FARMAKOVIGILANSPENGOBATAN ASMA PADA PASIEN RAWAT INAP DI SUATU RUMAH SAKIT DI BOJONEGORO Amelia Lorensia, Ratna Ayu Amalia ....................................................................................... 3. HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK DAN TINDAKAN PSN DENGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH BUFFER KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS II SAMARINDA Andi Anwar, Adi...................................................................................................................... 4. PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DAN BILANGAN PEROKSIDA PADA MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN PEDAGANG GORENGAN DI JL. A.W SJAHRANIE SAMARINDA Henny Nurhasnawati, Risa Supriningrum, Nana Caesariana................................................... 5. FORMULASI GELHAND SANITIZER DARI KITOSAN DENGAN BASIS NATRIUM KARBOKSIMETIL SELULOSA Supomo, Yullia Sukawaty, Fedri Baysar ................................................................................. 6. HUBUNGAN KERJASAMA DAN IMBALAN DENGAN KINERJA PEMEGANG PROGRAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DI KOTA BALIKPAPAN Ratno Adrianto......................................................................................................................... 7. EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) MENURUNKAN KADAR GULA DARAH MENCIT DIABETES Ambali Azwar Siregar , Urip Harahap , Mardianto ................................................................. 8. OPTIMASI FORMULA EKSTRAK JAHE MERAH (Zingiber officinale) DENGAN METODE KEMPA LANGSUNG MENGGUNAKAN ANALISIS SIMPLEX LATTICE DESIGN Hayatus Sa`adah....................................................................................................................... 9. ANALISA COST OF ILLNESS AKIBAT PENGGUNAAN NSAIDS DI SEBUAH APOTEK DI KOTA MEDAN, INDONESIA Hari RonaldoTanjung, Azmi Sarriff, Urip Harahap................................................................. 10. LAYANAN PESAN SINGKAT PENGINGAT MENINGKATKAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELITUS DI RSUD ULIN BANJARMASIN Riza Alfian ............................................................................................................................... 11. HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN HIPERTENSI LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI CUKA KABUPATEN TANAH LAUT Yugo Susanto ........................................................................................................................... 12. UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma heyneana VAL.) TERHADAP PERTUMBUHAN ESCHERICHIA COLI SECARA IN VITRO Aditya Maulana Perdana Putra, Rustifah, Muhammad Arsyad ............................................... 13. IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR RHODAMIN B PADA KUE BERWARNA MERAH DI PASAR ANTASARI KOTA BANJARMASIN Ratih Pratiwi Sari.....................................................................................................................
1-7
8 - 18
19 - 24
25 - 30
31 - 37
38 - 41
42 - 46
47 - 51
52 - 56
57 - 61
62 - 67
68 – 74
75 – 84
14. IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR RHODAMIN B DALAM KERUPUK BERWARNA MERAH YANG BEREDAR DI PASAR ANTASARI KOTA BANJARMASIN Eka Kumalasari........................................................................................................................ 15. KARAKTERISTIK EKSTRAK AIR DAUN PUGUNTANO (Curangafel-terrae (Lour.) Merr.) YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTELMINTIK Popi Patilaya, Dadang Irfan Husori ......................................................................................... 16. STABILITAS DAN AKTIVITAS GEL EKSTRAK BULBUS BAWANG TIWAI (Eleutherineamericana (Mill.) Urb.) SEBAGAI ANTI ACNE Husnul Warnida, Yullia Sukawaty, Mega................................................................................
85 - 89
90 - 93
94 - 99
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pada tahun 2015 ini Akademi Farmasi Samarinda telah memiliki Jurnal Ilmiah Manuntung yang merupakan edisi pertama dengan ISSN: 2443-115X Vol. 1 No. 1 sebagai wadah penghimpunan karya ilmiah untuk para peneliti Indonesia. Jurnal Ilmiah Manuntung menerima naskah ilmiah hasil penelitian dan review hasil-hasil penelitian dalam bidang ilmu terkait dengan Kesehatan yaitu, Ilmu Farmasi, Kedokteran, Ilmu Kimia (Kimia Organik Sintetis, Kimia Organik Bahan Alam, Biokimia, Kimia Analisis, Kimia Fisis), Ilmu Biologi (Mikrobiologi, Kultur Jaringan, Botani dan hewan yang terkait dengan produk farmasi), keperawatan, Kebidanan, Analis Kesehatan, Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Semoga Jurnal Ilmiah Manuntung menjadi wadah ilmiah kesehatan yang ke depannya menjadi media publikasi yang bertaraf nasional.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh Samarinda,
Mei 2015
Penanggung Jawab & Redaktur
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
Eko Kusumawati
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN KECOMBRANG Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm TERHADAP Salmonella typhi Submitted : 23 Maret 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Eko Kusumawati1, Risa Supriningrum2, & Reza Rozadi2 1
Program Studi Biologi FMIPA Universitas Mulawarman Samarinda 2 Akademi Farmasi Samarinda E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Research Test Antibacterial Activity of Ethanol Extracts of Leaves kecombrang against Salmonella typhi aims to determine the antibacterial activity of ethanol extract of leaves kecombrang against Salmonella typhi. The extract used is kecombrang leaf extract prepared by maceration using ethanol 95%, extracts obtained test chemical classes of compounds to determine the content of the active compound. Antibacterial activity test conducted at five concentrations of the extract is 20%, 40%, 60%, 80%, and 100%. Inhibition zone measurement results are then analyzed using One Way ANOVA with SPSS 20 to determine whether there is a difference at each concentration. The results showed kecombrang leaf ethanol extract 20%, 40%, 60%, 80%, and 100% produce inhibition zone diameter 3.9 mm; 6.5 mm; 6.75 mm; 7:45 mm; and 9:28 mm, 0 mm for the negative control and positive control 32.61 mm. The test results show the class of secondary metabolites kecombrang leaf ethanol extract contains tannin, saponin, and flavonoids. Of statistical tests concluded there were significant differences of treatment results in inhibition of the respective concentrations of ethanol extracts of leaves kecombrang K eywords : kecombrang (Etlingera elatior), identification secondary metabolites, antibacterial
PENDAHULUAN Kecombrang merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat-obatan berkaitan dengan khasiatnya, yaitu sebagai penghilang bau badan dan bau mulut1. Bagian yang biasa digunakan dari tanaman ini adalah bunga, daun dan batangnya. Beberapa penelitian menunjukkan bunga dan daun kecombrang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif2. Ningtyas3 melakukan penelitian tentang uji antioksidan dan antibakteri ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai pengawet alami terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Dari hasil penelitiannya ekstrak air daun kecombrang memiliki beberapa senyawa yang di asumsikan memiliki keterkaitan dengan kemampuan antibakteri dari ekstrak tersebut, yaitu golongan fenolik, golongan alkohol, golongan monoterpen dan aromatik. Konsentrasi yang digunakan yaitu, 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Setelah dilakukan penelitian, diketahui bahwa ekstrak air daun kecombrang dapat Akademi Farmasi Samarinda
menghambat bakteri E. coli pada konsentrasi 100% dan S. aureus pada konsentrasi 20%. Bahan antibakteri diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri, sehingga bahan tersebut dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh bakteri4. Menurut David Stout, berdasarkan cara kerjanya antibakteri dibedakan menjadi dua yaitu bakteriostatik dan bakteriosida. Antibakteri bakteriostatik bekerja menghambat perbanyakan populasi bakteri dan tidak mematikan, sedangkan bakteriosida bekerja membunuh bakteri. Bakteriostatik dapat bertindak sebagai bakteriosida dalam konsentrasi tinggi. Kadar minimal yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri atau membunuhnya, masingmasing dikenal sebagai Kadar Hambat Tumbuh Minimal (KHTM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Uji antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien dengan melibatkan hasil metabolism sekunder dari mikroorganisme. Dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah metode disc diffusion (tes 1
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
Kirby & Bauer). Metode ini digunakan untuk menentukan aktivitas agen mikroba. Piringan yang berisi agen anti mikroba diletakkan di media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar. Berdasarkan uraian di atas, dalam rangka pengembangan obat tradisional yang memiliki aktivitas antibakteri, maka peneliti tertarik
METODE PENELITIAN Objek Penelitian Objek penelitian adalah daun kecombrang yang akan dibuat dalam bentuk ekstrak dengan konsentrasi 20 %, 40 %, 60 %, 80 % dan 100% selanjutnya diujikan terhadap bakteri Salmonella typhi menggunakan media Mueller Hinton Agar (MHA). Sampel dan Teknik Sampling Daun kecombrang diperoleh dari daerah Samarinda Kelurahan Air Putih. Daun kecombrang dipanen langsung dari pohon, yang tumbuh di kelurahan Air Putih Samarinda. Panen dilakukan pada pagi hari. Daun yang digunakan adalah daun tua dan dipetik dari beberapa pohon. Prosedur Penelitian Pembuatan ekstrak etanol simplisia daun kecombrang Daun kecombrang dicuci bersih, ditiriskan, selanjutnya dikeringkan dengan cara di angin-anginkan selama 1 minggu. Setelah itu dirajang dan dibuat serbuk dengan cara diblender kemudian diayak dengan menggunakan ayakan mesh 40. Pembuatan ekstrak etanol serbuk simplisia daun kecombrang dilakukan secara remaserasi dengan cara menimbang simplisia serbukan daun kecombrang sebanyak 200 g. Selanjutnya dimasukkan sampel ke dalam toples kaca, ditambahkan 1 L etanol 95% kemudian diaduk selama 6 jam pertama lalu didiamkan selama 24 jam. Disaring ekstrak yang diperoleh menggunakan kertas saring. Ampas dimaserasi kembali dengan 1 L etanol 95%, kemudian diaduk selama 6 jam pertama, lalu didiamkan kembali selama 24 jam. Ekstrak yang diperoleh disaring dengan kertas saring. Kemudian ekstrak yang didapat dipekatkan dengan cara diuapkan. Ekstrak yang telah dikentalkan dimasukkan ke dalam wadah dan ditimbang. 2
Eko Kusumawati
melakukan penelitian tentang uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun kecombrang (Etlingera elation)dengan menggunakan bakteri uji Salmonella typhi dengan menggunakan etanol 95% sebagai larutan penyari. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, netral, absorbsinya baik, dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit5.
Uji golongan senyawa kimia Identifikasi golongan senyawa kimia dilakukan pada ekstrak dengan prosedur sebagai berikut: 1. Uji alkaloid 10 mg ekstrak daun kecombrang dimasukkan ke dalam tabung ditambahkan 1 ml HCl 2 N lalu ditambahkan air suling 9 ml. Dipanaskan selama 2 menit setelah dipanaskan kemudian disaring menggunakan kertas saring sehingga didapat ekstrak daun kecombrang. Diambil 3 tetes dari filtrate yang diperoleh lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer menghasilkan endapan putih/kuning. Selanjutnya, diambil 3 tetes filtrate yang diperoleh, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan coklathitam. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendrof menghasilkan endapan merah bata. Alkaloid dianggap positif jika terjadi endapan atau paling sedikit 2 atau 3 dari percobaan di atas6. 2. Uji tanin 10 mg ekstrak daun kecombrang dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 sampai 2 tetes larutan Fe(Cl)3 1%. Bila terbentuk warna biru tua dan hijau kehitaman, menunjukkan adanya tanin atau sepuluh tetes ekstrak daun kecombrang dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 sampai 2 tetes larutan gelatin. Bila timbul endapan menunjukkan adanya tanin. 3. Uji Flavonoid 10 mg ekstrak daun kecombrang dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 5 tetes HCl pekat, sedikit serbuk Mg dan 5 tetes amil alkohol kemudian dikocok. Bila terbentuk warna merah, jingga, atau kuning menunjukkan adanya flavonoid. Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
Eko Kusumawati
4. Uji Saponin 10 mg ekstrak daun kecombrang dimasukkan kedalam tabung ditambahkan 5 ml air panas dan dikocok selama 15 menit, lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes HCl 2 N. Jika terbentuk busa permanen menunjukkan adanya saponin6.
konsentrasi dibuat 3 kali pengulangan pada setiap cawan. Dilakukan hal yang sama pada perlakuan kontrol positif menggunakan larutan kloramfenikol 0,1% dan kontrol negatif menggunakan larutan DMSO 1%. Setelah itu diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Diamati dan diukur zona hambat yang terbentuk.
Uji aktivitas antibakteri Disiapkan 7 cawan petri yang sudah disterilkan, setelah itu dituang media MHA sebanyak 20 ml ke dalam cawan kemudian didiamkan hingga memadat. Lalu diusapkan suspensi Salmonella typhi menggunakan cotton swap kepermukaan media hingga merata. Setelah itu diambil kertas cakram menggunakan pinset steril, dimasukkan kedalam ekstrak etanol daun kecombrang kosentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% yang sebelumnya telah dilarutkan dengan larutan DMSO 1%, kemudian diletakkan dipermukaan media dan masing-masing
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Daun Kecombrang
Sebanyak 200 g serbuk simplisia disari menggunakan etanol 95%. Ekstraksi dilakukan dengan metode remaserasi, dengan tujuan untuk mendapatkan zat aktif yang lebih banyak dari proses ektraksi tersebut. Metode maserasi atau remaserasi dipilih, karena metode ini cara pengerjaannya sederhana dan mudah. Selain itu faktor kerusakan zat aktif lebih kecil karena pada metode ini tidak menggunakan panas yang mungkin dapat Tabel 1. Uji Alkaloid
Tanin Flavonoid
Saponin
Analisis Data Data hasil penelitian yang diperoleh dianalisis dengan uji Statistic menggunakan SPSS IBM 20. Apabila data yang diperoleh berdistribusi normal, maka digunakan One Way ANOVA dan apabila data tidak berdistribusi normal maka menggunakan Kruskal-Wallis signifikansi (α = 5%). Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif, yaitu data berupa zona hambat (mm) dan golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm).
merusak zat aktif yang ditarik. Etanol 95% dipilih karena tidak toksik dan senyawa flavonoid, saponin dan tanin dapat larut dalam pelarut yang polar sehingga senyawa aktif yang dapat memberikan aktivitas antibakteri dapt ditarik. Etanol tidak bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif dan mudah diperoleh7. Uji Golongan Senyawa Kimia
Berdasarkan uji golongan senyawa kimia, diperoleh hasil sebagai berikut:
Hasil Uji golongan senyawa kimia Pereaksi Hasil Meyer Bouchardat
tidak ada endapan Endapan coklat
Dragendorf FeCl3 1%
tidak ada endapan Hijau Kehitaman
HCl Pekat + Mg, + Amil Alkohol HCl 2N
Kuning
Berbuih
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa ekstrak etanol daun kecombrang yang diperoleh peneliti mengandung tanin, flavonoid dan saponin. Berdasarkan literature untuk uji alkaloid, alkaloida dianggap positif Akademi Farmasi Samarinda
Pustaka
Keterangan
Endapan Putih Endapan CoklatHitam Endapan Merah Bata Biru Tua atau Hijau Kehitaman Merah, Kuning, Jingga
_ +
Buih tidak hilang
+
_ + +
jika terjadi endapan atau paling sedikit 2 atau 3 dari percobaan diatas. Dalam pengujiannya yang lakukan, hanya 1 pereaksi saja yang positif, ini dapat dikatakan ekstrak daun kecombrang yang pratikkan miliki tidak 3
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
mengandung alkaloid. Pada Uji flavonoid, dalam literatur disebutkan bahwa flavonoid positif jika terjadi warna merah, kuning, dan jingga. Berdasarkan pengujian yang lakukan di dapatkan warna kuning jingga dan dapat disimpulkan bahwa ekstrak positif mengandung flavonoid. Untuk uji tanin yang lakukan didapatkan hasil yang positif atau mengandung tanin, ini ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman. Berdasarkan literatur, jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin. Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan. Tanin terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-pakuan dan gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebarannya terbatas kepada tumbuhan berkeping dua8. Jenis tanin yang terkandung di dalam ekstrak etanol daun kecombrang adalah taninterkondensasi, karena jenis tumbuhan yang digunakan yaitu tumbuhan kecombrang bersub-divisi angiospermae. Kandungan senyawa kimia saponin juga terdapat dalam ekstrak etanol daun kecombrang, ini ditandai dengan terbentuknya buih selama kurang dari 10 menit dan tidak hilang pada penambahan asam klorida 2N. Dalam literatur disebutkan bahwa apabila buih tidak hilang pada penambahan 1 tetes asam klorida 2N menunjukkan adanya saponin. Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun kecombrang terhadap Salmonella typhi dilakukan dengan metode disc diffusion menggunakan media MHA (Mueller Hinton Tabel 2.
Agar). Aktivitas antibakteri tampak dengan terbentuknya zona hambat di sekitar kertas cakram yang diukur menggunakan jangka sorong. Pada penelitian ini digunakan media Mueller Hinton Agar, karena media ini telah direkomendasikan oleh FDA dan WHO untuk tes antibakteri terutama bakteri aerob dan facultative anaerobic bacteria untuk makanan dan materi klinis. Media agar ini juga telah terbukti memberikan hasil yang baik dan reproduksibel. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode disc diffusion atau kertas cakram dikarenakan bakteri yang ditanam pada media dalam metode ini bersifat aerob yaitu tumbuhnya bakteri memerlukan oksigen sehingga bakteri tersebut tumbuh di permukaan media. Metode disc diffusion dilakukan dengan menggunakan piringan atau kertas cakram (Wathman nomor 4) yang berisi agen anti mikroba, diletakkan di media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar9. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloramfenikol. Kloramfenikol dipilih karena berspektrum luas yaitu efektif untuk bakteri gram positif dan gram negatif serta mikroorganisme lain10. Mekanismenya dengan menghambat sintesis protein, mencegah ujung aminoasil t-RNA bergabung dengan peptidil tranferase (enzim yang menghubungkan asam amino dengan rantai peptide selama proses sintesis protein)11. Pada pengujian antibakteri ini diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 2.
Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak etanol daun kecombrang terhadap Salmonella typhi.
Konsentrasi Kontrol Negatif 20% 40% 60% 80% 100% Kontrol Positif 4
Eko Kusumawati
I 0 5.65 7.1 8.2 8.85 12.15 32
Zona Hambat (mm) II 0 3.35 6.75 6.3 7.85 9 33,8
III 0 2.7 5.65 5.8 7.3 6.7 32,05
Rata-rata (mm) 0 3.90 6.50 6.76 7.45 9.28 32.61
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
a
Eko Kusumawati
b
d
c
e
f
g Gambar 1. Aktivitas antibakteri daun kecombrang terhadap bakteri Salmonella typhi Keterangan
:
a b c d e f g
= = = = = = =
kontrol negatif perlakuan dengan konsentrasi 20% perlakuan dengan konsentrasi 40% perlakuan dengan konsentrasi 60% perlakuan dengan konsentrasi 80% perlakuan dengan konsentrasi 100% kontrol positif = kloramfenikol
Berdasarkan dari data yang telah tersaji pada Tabel 2 dan Gambar 1 di atas untuk ratarata diameter zona hambat terbesar terletak pada konsentrasi 100%. Penentuan konsentrasi ekstrak etanol daun kecombrang Akademi Farmasi Samarinda
sangat berpengaruh terhadap terbentuknya zona hambat yang dihasilkan. Menurut Ningtyas3 bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin tinggi daya hambatnya, hal ini dikarenakan semakin 5
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
tinggi konsentrasi semakin banyak kandungan bahan aktif antibakterinya. Jenie dan Kuswanto12 menyatakan bahwa keefektifan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan tergantung pada sifat mikroba uji, konsentrasi dan lamanya waktu kontak, dan sifat biostatistik dapat meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan. Menurut tabel David Stout, daya hambat antibakteri ekstrak etanol daun kecombrang pada konsentrasi 100% menghasilkan zona hambat sebesar 9.28 mm yang masuk dalam kategori antibakteri kerja sedang. Daya antimikroba ekstrak daun kecombrang ini disebabkan oleh karena adanya bahan-bahanaktif yang terkandung di dalamnya yang berperan utama dalam menghambat pertumbuhan maupun membunuh bakteri Salmonella typhi. Bahan aktif tersebut diantaranya adalah saponin, flavonoid dan tanin. Saponin adalah senyawa penurun tegangan permukaan yang kuat yang menimbulkan busa bila dikocok dalam air. Sifat saponin menyerupai sabun (bahasa latin sapo berarti sabun).Saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis. Flavonoid berefek antimikroba melalui kemampuan untuk membentuk kompleks dengan protein
Eko Kusumawati
ekstraseluler dan protein yang dapat larut serta dengan dinding sel bakteri13. Senyawa tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang tergolong senyawa fenol terkondensasi dan banyak terdapat pada tumbuhan Angiospermae. Tanin dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan kuman maupun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat membunuh bakteri. Senyawa fenolik bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan potoplasma kuman sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein kuman dan pada saluran pencernaan, tanin diketahui mampu mengeliminasi toksin14. Data yang diperoleh dianalisis mengunakan SPSS IBM 20. Terlebih dahulu data dianalisis untuk mengetahui apakah berdistribusi normal. Pada uji One-Sampel Kolmogorov-Smirnov test menunjukan bahwa nilai D (Absolute) lebih besar dari 0,05 atau signifikansi lebih besar dari 0,05, ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh peneliti berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan analisis menggunakan uji One Way ANOVA. Berdasarkan Uji One Way ANOVA menunjukkan bahwa uji tersebut memiliki signifikansi kurang dari 0,05 dengan keputusan yang berarti terdapat perbedaan bermakna dari hasil perlakuan pada daya hambat masing-masing konsentrasi ekstrak etanol daun Kecombrang.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian mengenai aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun kecombrang terhadap bakteri Salmonella typhidiperoleh
kesimpulan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak etanol kecombrang, semakin besar pula zona hambat yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Hidayat dan Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. 2. Hudaya, Adeng. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Pangan Fungsional Terhadap Staphylococus aureus dan Eschericia coli. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 3. Ningtyas, Rina. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Daun Kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith). Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 4. Lathifah, Qurrotua’yunin. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak Kasar Senyawa Antibakteri Pada Buah Belimbing Wuluh (Averrhoabilimbi L.) Dengan Variasi Pelarut. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Malang. 5. Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 6. Departemen Kesehatan RI. 1987. Analisis Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 6
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015
Eko Kusumawati
7. 8. 9. 10. 11. 12.
Handoko, T. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi Empat. Jakarta: Gaya Baru. Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Pratiwi., S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Mycek, MJ. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi I.Jakarta.Widya Medika. Olson. J. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Cetakan 1. EGC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Jenie, B.S.L. dan Kuswanto. 1994. Aktivitas antimilcroba dari pigmen angkak yang diproduksi oleh Monasnrs purpuracs terhadap beberapa milcroba patogen dan perusak makanan.Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Permi. 13. Ardananurdin, Alhamfaib. 2004.Uji Efektivitas Dkok Bunga Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Sebagai Anttimikroba Terhadap Bakteri Salmonella Typhi Secara in vitro. Jurnal kedokteran. FK Unibraw. 14. Hapsari, Lukyta Setyo. 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Akar Rumput Belulang (Eluesine indicaGaerin). Samarinda.: Akademi Farmasi Samarinda.
Akademi Farmasi Samarinda
7
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
STUDI FARMAKOVIGILANSPENGOBATAN ASMA PADA PASIEN RAWAT INAP DI SUATU RUMAH SAKIT DI BOJONEGORO Submitted : 31 Maret 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Amelia Lorensia1, Ratna Ayu Amalia2 1
Pengajar Famasi Klinis, Fakultas Farmasi Universitas Surabaya (UBAYA), Surabaya Mahasiswa Program Studi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Surabaya (UBAYA), Surabaya E-mail :
[email protected]
2
ABSTRACT Background: Asthma is a respiratory disease with a large enough number of prevalence in the world. Asthma treatmentin hospital needs serious monitoring because of the risk to patient safety and increase the cost of treatment. One attempt to reduce the incidence of unwanted is the pharmacovigilance studies to improve patient safety. Purpose: to determine safety in terms of adverse drug reactions (ADR) and drug interactions of the treatment of inpatient asthmatic patients in a hospital. Methods: This is a non-experimental study with sampling using purposive sampling. Then the data were obtained from medical records were analyzed ADRs and drug interactions that occur using the library and shown descriptively. Results: The study sample as many as 43 people. The results showed there were 56 cases of ADRs on asthma medications, especially the use of nebulized salbutamol (57.14%). While the incidence of asthma therapy drug interactions there were 10 cases and the highest is aminophylline with salbutamol (14.29%). Conclusion: Treatment of asthma need to get to the ADR incidence and risk of drug interactions. Incidence of ADRs and drug interactions at most of the use of salbutamol which is relatively safe preference. This still needs to be done further research. K eywords:
asthma, adverse drug reactions, drug interaction, pharmacovigilance
PENDAHULUAN Asma adalah penyakit heterogen dengan inflamasi kronik pada saluran napasyang melibatkan sel inflamasi didalamnya, yang akan merespon suatu trigger secara berlebih sehingga menimbulkan gejalaepisodik seperti mengi, sesak napas, rasa tertekan didada, dan batuk (terutama pada pagi dan malam hari).1Perburukan episode asma yang dikenal dengan eksaserbasi asma,1merupakan penyebab terbesar pasien masuk ke UGD, dan kejadiannya di Amerika mencapai 67 dari 10,000 pada tahun 2002.2 Asma sebenarnya merupakan masalah kesehatan yang sangat umum diseluruh dunia.Studi dari Global Burden of Disease (GBD) 2010 merupakan usaha terbaru dan terbesar untuk menggambarkan distribusi global dan penyebab dari faktor risiko kesehatan yang tinggi, termasuk asma. Berdasarkan studi tersebut, mayoritas dari disability-adjusted life years (DALYs) akibat asma telah meningkat dari tahun sehat yang hilang akibat kecacatan (years lived with a disability 8
/YLD), dan asma menduduki peringkat ke-14 di dunia berdasarkan pengukuran YLD dan peringkat ke-28 di dunia ketika diukur dengan DALY.3 Kejadian asma di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia menderita asma.4 Beberapa cara perlu dilakukan dalam menangani asma. Gejala asma memerlukan pengobatan yang bertujuan untuk meminimalkan gejala kronis yang mengganggu aktifitas normal, mencegah eksaserbasi berulang, meminimalkan perujukan ke rumah sakit, dan untuk mempertahankan fungsi normal paru.5 Oleh karena itu dalam penanganan terapi harus memperhatikan keamanan pengobatan, potensi adverse drug reaction (ADR) dan biaya pengobatan untuk mencapai tujuan.1Kejadian atau kemungkinan kejadian adverse event yang melibatkan terapi baik bersifat aktual atau potensial dapat mengganggu hasil akhir suatu terapi, salah satunya adalah ADR atau reaksi obat Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
yang tidak diinginkan.6Salah satu usaha untuk mengurangi kejadian yang tidak diinginkan adalah dengan studi farmakovigilans, yang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah dicanangkan dalam peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011, untuk menerapkan farmakovigilans yang merupakan kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan ADR atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.7 Tujuan farmakovigilans adalah untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien terkait pengobatan yang didapatnya, dari kemungkinan kejadian ADR, yang bersifat individual.8 ADR adalah respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak sengaja dan yang terjadi pada dosis yang digunakan dalam manusia untuk profilaksis, diagnosis atau terapi, termasuk kegagalan terapetik. Kejadian ADR juga sangat berkaitan dengan kemungkinan adanya interaksi obat, karena penggunaan beberapa obat secara bersamaan sehingga satu obat dapat mempengaruhi kadar obat lain di dalam darah.8
BAHAN DAN METODE Penelitian yang dilakukan merupakan retrospektif (non-eksperimental). Penelitian ini menganalisis farmakovigilans yang meliputi ADR dan interaksi obat yang terjadi pada pasien asma usia dewasa rawat inap di suatu rumah sakit di Bojonegoro, Jawa Timur, selama periode Januari 2013 sampai dengan Januari 2014. Sebagai bahan penelitian adalah data rekam medik pasien asma yang menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut.Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas meliputi: jenis pengobatan yang didapat pasien selama menjalani rawat inap di rumah sakit. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kejadian ADR yang bersifat aktual dan potensial, dan interaksi obat. Populasi penelitian ini adalah semua pasien asma dewasa yang menjalani rawat inap di suatu rumah sakit dalam rentang waktu Januari 2013 sampai dengan Januari 2014. Sedangkan sampel penelitianbagian dari populasi yang memenuhi
Akademi Farmasi Samarinda
Amelia Lorensia
Masalah terkait obat pada pengobatan asma sudah pernah diteliti sebelumnya, seperti penggunaan teofilin yang merupakan obat dengan rentang terapi sempit sehingga berisiko menyebabkan ADR,9 penggunaan beta-2 agonis aksi panjang (long-acting beta-2 agonist) tunggal yang diduga memperparah eksaserbasi asma,10 serta ADR kortikosteroid inhalasi berupa candidiasis orofaringeal yang sering muncul karena penggunaan yang tidak tidak tepat atau dosis penggunaan yang tinggi dan dapat menyebabkan komplikasi asma,11 tetapi penelitian yang lebih luas pada masyarakat di Indonesia belum diteliti secara luas. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan ADR dan interaksi obat sehingga melalui penelitian ini dapat memberikan informasi mengenahi studi farmakovigilans (keamanan pengobatan) pasien asma. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa kejadian ADR kategori aktual atau potensial yang terjadi pada pengobatan asma dari pasien asma dewasa yang menjalani rawat inap di suatu rumah sakit di Bojonegoro, Jawa Timur.
kriteria eksklusi dan inklusi, dengan pengambilan sampel secara purposive sampling(non-random sampling).Kriteria inklusi yaitu pasien asma berusia dewasa (18 tahun),12 dan kriteria eksklusi terdiri dari: pasien dengan gangguan ginjal kronis dan pasien dengan gangguan hati, karena dapat mempengaruhi respon terapi. Besar sampel penelitian deskriptif yaitu: n (besar sampel)= N/(1+Ne2),13 dengan N=besar populasi, e=tingkat presisi (0,05), sehingga jumlah sampel minimum sampel penelitian adalah 39 orang. Metode pengambilan data dilakukan melalui analisa dari data rekam medis pasien. Setelah data dikumpulkan, selanjutnya data kejadian ADR dinilai berdasarkan pustaka dari british National Formulary (BNF) edisi 66 (BNF, 2014) dan Drug Information Handbook (DIH) 2014.14 Kemudian probabilitas kejadian ADR dinilai dengan naranjo scale(Tabel 1).15
9
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
Tabel 1. Naranjo Scale15 Kriteria Identifikasi
Ya
Tida k 0
N/ A 0
Apakah ada laporan efek samping obat yang serupa ? 1 Apakah efek samping obat terjadi setelah pemberian obat yang 2 -1 0 dicurigai ? Apakah efek samping obat membaik setelah obat dihentikan atau 1 0 0 obat antagonis khusus diberikan ? Apakah efek samping obat terjadi berulang setelah obat diberikan 1 0 0 kembali ? Apakah ada alternative penyebab yang dapat menjelaskan yang -1 2 0 kemungkinan terjadinya efek samping obat ? Apakah efek samping obat muncul kembali ketika plasebo -1 1 0 diberikan ? Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di dalam darah atau cairan 1 0 0 tubuh lainnya dengan konsentrasi yang toksik ? Apakah efek samping obat bertambah parah ketika dosis obat ditingkatkan atau bertambah ringan ketika obat diturunkan 2 -1 0 dosisnya? Apakah pasien pernah mengalami efek samping obat yang sama 1 0 0 atau dengan obat yang mirip sebelumnya? Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi dengan bukti yang 1 0 0 obyektif ? Keterangan: N/A : not available (tidak dapat diterapkan ada situasi tersebut/tidak diketahui). Penafsiran nilai total: >9 (pasti ADRs), 5–8 (kemungkinan besar ADRs), 1–4 (kemungkinan ADRs), 0 (bukan ADRs)
Sedangkan interaksi obat dinilai menggunakan pustaka Stocley’s Drug Interaction (2008)16 dan kemudian dinilai probabilitasnya
menggunakan drug interaction scale(DIPS)(Tabel 2) .17,18
DIPS Modifikasi 18 Kriteria Identifikasi Apakah telah ada laporan terpercaya dari interaksi tersebut sebelumnya pada manusia? Apakah interaksi diamati secara terus-menerus dengan sifat interaktif yang diketahui dari obat presipitan? Apakah interaksi diamati secara terus-menerus dengan sifat interaktif yang diketahui dari obat objek? Apakah kejadian tersebut terjadi secara konsisten dengan perjalanan waktu yang diketahui atau yang masuk akal dari interaksi ( onset dan / atau offset) ? Apakah interaksi terjadi pada dechallenge dari obat presipitan dengan tidak ada perubahan pada obat objek? (Jika tidak ada dechallenge, pilih N/A dan lanjutkan ke nomor 6) Apakah interaksi muncul kembali ketika obat presipitan diberikan kembali bersama dengan obat objek? Apakah ada penyebab alternatif lain dari kejadian tersebut? Apakah obat objek terdeteksi dalam darah atau cairan lain dalam konsentrasi yang konsisen dengan interaksi yang ditujukan? Apakah interaksi obat dikonfirmasi oleh bukti yang obyektif sesuai dengan efek pada obat (selain konsentrasi obat dari pertanyaan sebelumnya (nomor 8))? Apakah interaksi lebih besar ketika dosis obat presipitan ditingkatkan atau diturunkan ketika dosis obat presipitan diturunkan?
probability
Tabel 2.
10
Ya
Tidak N/A
1
0
0
1
-1
0
1
0
0
1
0
0
1
-2
0
2
1
0
-1
1
0
1
0
0
1
0
0
1
-1
0
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
Keterangan: N/A : not available (tidak dapat diterapkan ada situasi tersebut/tidak diketahui). Penafsiran nilai total: >8 (pastiinteraksi obat), 5–8 (kemungkinan besar interaksi obat), 2–4 (kemungkinan interaksi obat), <2 ( bukaninteraksi obat)
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah pasien asma yang ada di rumah sakit tersebut sebanyak 52 orang yang terdiri dari 9 orang pasien usia anak-anak dan 43 orang usia dewasa. Berdasarkan data rekam medik, pasien asma dewasa sebanyak 43 orang, semuanya
memenuhi dalam kriteria pengambilan sampel pada penelitian ini, sehingga besar sampel penelitian sebanyak 43 orang. Karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Penelitian Jumlah Klasifikasi Keterangan (n=43) 17 Laki-laki Jenis Kelamin 26 Perempuan 9 20-24 5 25-29 3 30-34 Usia (Tahun) 9 35-39 12 40-44 5 45-49 16 0 10 1 Jumlah Kejadian ADR yang dialami 13 2 Tiap Sampel Penelitian 1 3 3 4 33 0 Jumlah Kejadian Interaksi Obat yang dialami Tiap Sampel Penelitian 10 1
Persetase (%) 39,53 60,47 20,93 11,625 6,98 20,93 27,91 11,625 37,21 23,26 30,23 2,33 6,97 76,74 23,26
Penilaian analisa obat terhadap kejadian ADR dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Distribusi Frekuensi Per Masing-Masing Golongan dan Jenis Obat Asma yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Jumlah Sampel Penelitian Golongan Jenis Obat Terapi Yang Yang Tidak Total Obat Terapi Asma Mendapatkan Mendapatkan Asma Terapi Terapi Aminofilin oral 15 (34,88%) 28 (65,12%) 43 Metilsantin Aminofilin 36 (83,72%) 7 (16,28%) 43 intravena Salbutamol oral 26 (60,47%) 17 (39,53%) 43 Salbutamol 35 (81,40%) 8 (18,60%) 43 nebulasi Beta-2 agonis Terbutalin oral 1 (2,33%) 42 (97,67%) 43 Terbutalin 6 (13,95%) 37 (86,05%) 43 intravena Terbutalin nebulasi 6 (13,95%) 37 (86,05%) 43 Dexametason oral 23 (53,49%) 20 (46,51%) 43 Dexametason 36 (83,72%) 7 (16,28%) 43 intravena Kortikosteroid Metilprednisolon 2 (4,65%) 41 (95,35%) 43 oral Prednison oral 3 (6,98%) 40 (93,02%) 43
Akademi Farmasi Samarinda
11
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Aminofilin intravena merupakan salah satu obat terbanyak yang diterima oleh pasien, yaitu sebanyak 36 pasien (83,72%). Aminofilin menupakan turunan teofilin dengan penambahan ethylenediamine yang menjadi kompleks garam larut air. Teofilin/aminofilinmemiliki rentang terapeutik sempit dan variasi sempit pada metabolisme hepatik dan klirens sehingga berisiko menyebabkan terjadinya ADR.19 Golongan metilxantin biasanya hanya digunakan sebagai terapi tambahan dalam manajemen asma apabila efektivitas terapi belum optimal, serta perannya dalam menejemen eksaserbasi asma masih kontroversional.1Di Indonesia, aminofilin/teofilin merupakan salah satu obat asma yang sering digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma di rumah sakit. Bahkan aminofilintermasuk dalam daftar DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional)
Amelia Lorensia
2013 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar Obat Essensial 2013.20Teofilintelah diklasifikasikan sebagai bronkodilator, namun penggunaannya pada asma di luar negri telah berkurang karena tingginya frekuensi efek samping dan efektivitas relatif rendah serta lebih lambat.1,21Bukti mengenai kejadian ADR dari teofilin dan aminofilin telah banyak 22,23,24,25,26 diungkap, sehingga penggunaannya di luar negeri sudah ditinggalkan. Berbeda dengan kejadian ADR dari metilsantin pada sampel penelitian ini, yang relatif cukup sedikit, yaitu pada aminofilin oral menyebabkan sebanyak 1 kasus takikardi (6,67%), aminofilin intravena yang menyebabkan sebanyak 4 kasus takikardi dan 3 kasus sakit kepala (19,44%) (Tabel 5),
Tabel 5.
Distribusi Frekuensi Kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) dari Obat Asma yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Jumlah Sampel Penelitian yang Mendapatkan Terapi Golongan Jenis Obat Prediksi Obat Terapi Yang mengalami Yang tidak Tota Terapi Asma Kejadian ADR Asma ADR mengalami l ADR 1 (93,33% Aminofilin oral Takikardia 1 1 (6,67%) 15 4 ) Metilsantin Takikardia 4 Aminofilin 2 (80,56% 7 (19,44%) 36 intravena Sakit kepala 9 ) 3 Takikardia 3 Dada sakit 2 Hiper-/ 5 Salbutamol 1 1 (46,15% Hipotensi (53,85%) 26 oral 4 2 ) Sakit kepala 2 Hipokalemia 1 Hiperglikemi 1 Takikardia 4 Dada sakit 3 Beta-2 Hiper-/ agonis 6 Salbutamol 2 1 (42,86% Hipotensi (57,14%) 35 nebulasi 0 5 ) Sakit kepala 3 Hipokalemia 2 Hiperglikemi 2 Terbutalin oral 0 (0,00%) 1 (100%) 1 Takikardia 1 (66,67% Terbutalin 2 (33,33%) 4 6 ) intravena Hiperglikemia 1 Takikardia 1 (50,00% Terbutalin 3 (50,00%) 3 6 ) nebulasi Hiperglikemia 2 Dexametason 2 (91,30% Sakit kepala 2 2 (8,70%) 23 oral 1 ) Hipertensi 2 Kortikostero Sakit kepala 1 id Dexametason 3 (86,11% 5 (13,89%) 36 Peningkatan intravena 1 ) enzim 2 transaminase
12
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
Metilprednisol on oral
Hipokalemia
1
1 (5,00%)0
Prednison oral
Sakit kepala
1
1 (33,33%)
(50,00% ) (66,67% 2 ) 1
2 3
Keterangan: ADR = adverse drug reaction dengan nilai naranjo scale masing-masing adalah 3 (kemungkinan ADR) (Tabel 6). Tabel 6.
Distribusi Frekuensi Kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) dari Obat Asma yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Berdasarkan Naranjo Scale Jumlah Sampel Nilai Naranjo Scale Penelitian Golongan Prediksi Jenis Obat Obat Terapi Kejadian Yang mengalami Nila Keterangan Terapi Asma Asma ADR ADR i Nilai Naranjo total Scale Kemungkinan Aminofilin Takikardia 3 1 1 (6,67%) ADR oral Kemungkinan Takikardia 3 Metilsantin 4 ADR Aminofilin 7 (19,44%) intravena Sakit Kemungkinan 3 3 kepala ADR Kemungkinan Takikardia 3 3 ADR Kemungkinan Dada sakit 3 2 ADR Kemungkinan Hipertensi/ 4 besar adalah 5 Hipotensi ADR Salbutamol 14 (53,85%) oral Sakit Kemungkinan 3 2 kepala ADR Kemungkinan Hipokalemi 4 besar adalah 1 a ADR Hiperglike Kemungkinan 3 1 mi ADR Kemungkinan Takikardia 3 4 ADR Kemungkinan Beta-2 agonis Dada sakit 3 3 ADR Kemungkinan Hipertensi/ 4 besar adalah 6 Hipotensi ADR Salbutamol 20 (57,14%) nebulasi Sakit Kemungkinan 3 3 kepala ADR Kemungkinan Hipokalemi 4 besar adalah 2 a ADR Hiperglike Kemungkinan 3 2 mi ADR Terbutalin 0 (0,00%) oral Kemungkinan Takikardia 3 1 Terbutalin ADR 2 (33,33%) intravena Hiperglike 4 Kemungkinan 1
Akademi Farmasi Samarinda
13
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
mia
Terbutalin nebulasi
Dexametason oral
Kortikosteroi d
Dexametason intravena
Takikardia
4
1 3 (50,00%)
Hiperglike mia
2
Sakit kepala
2
Hipertensi
2
Sakit kepala Peningkata n enzim transaminas e
1
3 2 (8,70%)
3
4
5 (13,89%)
3
4
2
Metilpredniso lon oral
Hipokalemi a
1
1 (5,00%)0
4
Prednison oral
Sakit kepala
1
1 (33,33%)
3
besar adalah ADR Kemungkinan besar adalah ADR Kemungkinan ADR Kemungkinan besar adalah ADR Kemungkinan besar adalah ADR Kemungkinan ADR Kemungkinan besar adalah ADR Kemungkinan besar adalah ADR Kemungkinan ADR
Keterangan: ADR = adverse drug reaction Kortikosteroid dexametason juga merupakan obat dalam terapi asma yang paling banyak digunakan, yaitu sebanyak 36 pasien (83,72%) (Tabel 4). Kejadian ADR pada penggunaan dexametason relatif kecil, yaitu hanya sebesar 5 kasus (13,89%) dan 36 pasien yang menggunakannya (Tabel 5), terdiri dari 2 kasus hipertensi dengan nilai naranjo scale 4 (kemungkinan besar ADR), 1 kasus sakit kepala dengan nilai naranjo scale 3 (kemungkinan ADR), dan 2 kasus peningkatan enzim transaminase dengan nilai naranjo scale 4 (kemungkinan besar ADR) (Tabel 6). Salbutamol nebulasi adalah terapi yang banyak digunakan sampel penelitian yaitu sebanyak 35 orang (81,40%) (Tabel 4). Salbutamol merupakan bronkodilator yang termasuk golongan beta-2 agonis aksi cepat (short acting beta-2 agonist / SABA), yang merupakan pilihan wajib dalam menejemen eksaserbasi asma.1,27 Menurut penelitian di luar negri, penggunaan salbutamol untuk pengobatan asma tergolong aman dan kejadian ADR juga relatif ringan.1 Namun pada penelitian ini, menunjukkan hasil berbeda karena dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa presentase yang paling banyak mengalami ADR adalah pada penggunaan salbutamol nebulasi yaitu sebesar 57,14% (Tabel 5). Sebagian besar pasien yang menggunakan salbutamol nebulasi mengalami ADR sebanyak 20 14
kasus ADR (57,14%), yang terdiri dari 4 kasus takikardi, 3 kasus dada terasa sakit, 6 kasus hipertensi dan hipotensi, 3 kasus sakit kepala, 2 kasus hipokalemia, dan 2 kasus hiperglikemia (Tabel 5). Pada penggunaan salbutamol nebulasi, kejadian ADR termasuk dalam naranjo scale dalam nilai total 3 (kemungkinan ADR) dan nilai total 4 (kemungkiann besar ADR) (Tabel 6). Salbutamol oral juga relatif cukup banyak digunakan oleh sampel penelitian, yaitu sebanyak 26 pasien (Tabel 4). Pemberian nebuasi umumnya lebih disukai daripada oral (sistemik), karena lebih bersifat lokal yang membutuhkan dosis lebih kecil sehingga kejadian ADR juga relatif lebih kecil.1 Menurut Cochrane systematic review, tidak ada bukti yang mendukung penggunaan intravena beta-2 agonis, walaupun dalam kondisi tingkat keparahan asma akut parah.28 Penggunaan salbutamol oral mengalami ADR sebanyak 14 kasus ADR (53,85%), yang terdiri dari 4 kasus takikardi, 2 kasus dada terasa sakit, 5 kasus hipertensi dan hipotensi, 2 kasus sakit kepala, 1 kasus hipokalemia, dan 1 kasus hiperglikemia (Tabel 5). Pada penggunaan salbutamol oral, kejadian ADR termasuk dalam naranjo scale dalam nilai total 3 (kemungkinan ADR) dan nilai total 4 (kemungkinan besar ADR) (Tabel 6). Kejadian ADR pada hasil penelitian banyak menunjukkan perbedaan dengan hasil penelitian sebelum-sebelumnya. Hal ini dapat dikarenakan Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
efek suatu obat bersifat individual dan dipengaruhi faktor genetik yang menyebabkan respons yang berbeda terhadap terapi asma,29 diperkirakan genetik berkontribusi pada rentang antara 20-95% untuk obat yang berbeda.30 Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait farmakogenomik untuk mengetahui efek
Amelia Lorensia
suatu obat yang dipengaruhi oleh genetik, karena respons obat dapat ditentukan oleh hubungan antara genotip. Kombinasi terapi asma yang paling banyak digunakan adalah salbutamol dan dexamethasone, sebanyak 38 pasien (88,37%) (Tabel 7).
Tabel 7.
Distribusi Frekuensi Kombinasi Golongan dan Jenis Obat Asma yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Jumlah Sampel Penelitian Golongan Obat Jenis Obat Terapi Yang Yang Tidak Total Terapi Asma Asma Mendapatkan Mendapatkan Terapi Terapi Aminofilin + 35 (81,39%) 8 (18,60%) 43 Salbutamol Metilsantin : Beta-2 agonis Aminofilin + 10 (23,26%) 33 (76,74%) 43 Terbutalin Salbutamol + 3 (6,977%) 40 (93,02%) 43 Prednison Beta-2 Salbutamol + agonis + 2 (4,65%) 41 (95,35%) 43 Methylprednisolon Kortikosteroid Salbutamol + 38 (88,37%) 5 (11,63%) 43 Dexametason
Kombinasi ini biasanya digunakan untuk pengobatan asma tingkat ringan/ sedang yang belum memberikan respon optimal dengan pengobatan salbutamol tunggal, atau pada tingkat eksaserbasi asma yang parah.1 Namun pada
kombinasi ini, kejadian yang diprediksi merupakan interaksi obat hanya terjadi pada satu kasus saja yaitu berupa hipokalemia (2,63%) (Tabel 8),
Tabel 8.
Distribusi Frekuensi Kejadian Interaksi Obat dari Obat Asma yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Jumlah Sampel Penelitian yang Prediksi Mendapatkan Terapi Golongan Jenis Obat Kejadian Obat Terapi Yang Mengalami Yang tidak Tota Terapi Asma Interaksi Asma Interaksi Obat Mengalami l Obat Interaksi Obat Hipokalemi 1 Aminofilin + a 5 (14,29%) 30 (85,71%) 35 Metilsantin Salbutamol Takikardia 4 + Beta-2 Hiperglike 1 Aminofilin + agonis mia 3 (30,00%) 7 (70,00%) 10 Terbutalin Takikardia 2 Salbutamol + - 0 (0,00%) 3 (100%) 3 Prednison Beta-2 Salbutamol + Hipokalemi agonis + Methylprednis 1 1 (50,00%) 1 (50,00%) 2 a Kortikostero olon id Hipokalemi Salbutamol + 1 1 (2,63%) 37 (97,37%) 38 a Dexametason
dengan nilai DIPS adalah 4 yang berarti kemungkinan besar merupakan interaksi obat (Tabel 9). Akademi Farmasi Samarinda
15
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
Tabel 9.
Distribusi Frekuensi Kejadian Interaksi Obat Antar Obat Asma yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Berdasarkan DIPS Jumlah Sampel Nilai DIPS Prediksi Golongan Penelitian Jenis Obat Kejadian Obat Terapi Terapi Asma Interaksi Yang mengalami Nilai Keterangan Asma Obat Interaksi Obat total Nilai DIPS Kemungkinan Hipokalemi 4 besar interaksi 1 a (14,29% Aminofilin + obat 5 ) Salbutamol Kemungkinan Metilsantin Takikardia 3 4 interaksi obat + Beta-2 Kemungkinan Hiperglike agonis 4 besar interaksi 1 mia (30,00% Aminofilin + obat 3 ) Terbutalin Kemungkinan Takikardia 3 2 interaksi obat Salbutamol + 0 (0,00%) Prednison Kemungkinan Beta-2 Salbutamol + Hipokalemi (50,00% 4 besar interaksi agonis + Methylprednis 1 1 a ) obat Kortikostero olon id Kemungkinan Hipokalemi Salbutamol + 4 besar interaksi 1 1 (2,63%) a Dexametason obat
Kejadian interaksi obat paling banyak terjadi pada kombinasi aminofilin dan salbutamol, sebanyak 5 kasus (14,29%) dari 35 pasien yang menggunakannya (Tabel 8), berupa 1 kasus hipokalemia dengan nilai DIPS adalah 4 yang berarti kemungkinan besar merupakan interaksi obat (Tabel 9), dan 4 kasus takikardi dengan nilai DIPS adalah 3 yang berarti kemungkinan merupakan interaksi obat (Tabel 9). Ezeamuzie dan Shihab (2010)31meneliti interaksi in vitro antara teofilindan salbutamol pada produksi sitokin dari monosit manusia dan dibandingkan dengan interaksi yang serupa antara dexametason dan salbutamol. Salbutamol menghambat secara signifikan pelepasan dari TNF-α, tapi juga secara signifikan meningkatkan IL-6. Sedangkan teofilin dan dexamethason menghambat kuat produksi dari kedua sitokin, sehingga kombinasi antara aminofilin+salbutamol atau aminofilin+dexametason secara teori akan
memberikan efek yang berlawanan, dimana pada salbutamol meningkatkan dalam penghambatan pelepasan TNF-α, dan teofilin menghambat efek peningkatan IL-6 dari salbutamol. Keterbatasan penelitian ini adalah adanya keterbatasan data yang hanya didapatkan dari rekam medik, sehingga kejadian ADR berupa gejala klinis ada kemungkinan tidak terdokumenntasi secara lengkap. Selain itu tingkat keparahan dari kejadian ADR juga tidak terdokumentasi secara lengkap. Penelitian ini menggunakan desain retrospektif sehingga prediksi ADR juga ada kemungkinan dipengaruhi faktor lain seperti kebiasaan merokok, gaya hidup, kepatuhan, dll. Selain interaksi obat antar obat asma, ada satu kasus yang diduga terjadi secara akual pada penggunaan aminofilin dan furosemide (Tabel 10),
Tabel 10.
Distribusi Frekuensi Kejadian Interaksi Obat Antar Obat Asma dan Non-Asna yang Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Berdasarkan DIPS Jumlah Sampel Nilai DIPS Prediksi Golongan Penelitian Jenis Obat Kejadian Obat Terapi Terapi Asma Interaksi Yang mengalami Nilai Keterangan Asma Obat Interaksi Obat total Nilai DIPS Kemungkinan Hipokalemi Metilsantin Aminofilin + 4 besar interaksi 1 1 (2,33%) a + Diuretik Furosemide obat
16
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
yang keduanya sama-sama memiliki risiko ADR kejadian hipokalemia (Lexicomp, 2014),
sehingga meningkatkan (Baxter, 2008).
risiko
hipokalemia
SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan obat asma juga dapat menyebabkan kejadian ADR dan bahkan kombinasi obat asma juga berisiko menyebabkan interaksi obat. Pengobatan salbutamol yang menurut pustaka relatif aman ternyata justru menunjukkan kejadian ADR yang lebih besar dibandingkan aminofilin, dan interaksi obat yang diduga bersifat aktual terbanyak adalah
pada penggunaan kombinasi aminofilin dan salbutamol. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut, karena reaksi suatu obat bersifat individual, menggunakan desain studi penelitian yang berbeda dengan mengendalikan variabel-variabel penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA 1. Global Initiative for Asthma.Global Strategy for Asthma Management & Prevention (Update). 2014. Website: http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2014_Aug12.pdf. Diakses 30 Oktober 2014 2. Lugogo NL, MacIntyre NR. Life-Threatening Asthma: Pathophysiology and Management. Respiratory Care. 2008 June;53(6):726-739 3. Institute for Health Metrics and Evaluation. Global Burden of Disease, Visualizations, GBD Arrow Diagram. 2013. Website:http://www.healthmetricsandevaluation.org/gbd/visualizations/gbd-arrowdiagram.Diakses 30 Oktober 2014 4. Oemiati R, Sihombing M, Qomariah. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Asma di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 2010;20(1):41-49 5. National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. 2007. Website: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7232/pdf/TOC.pdf. Diakses 30 Oktober 2014 6. Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. PCNE Classification for Drug Related Problems. 2009. Website:http://www.pcne.org/upload/files/11_PCNE_classification_V6-2.pdf. Diakses 30 Oktober 2014 7. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 Tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi. 2011 8. Food and Drug Administration. Preventable Adverse Drug Reactions: A Focus on Drug Interactions. 2014. Website: http://www.fda.gov/drugs/developmentapprovalprocess/developmentresources/druginteractionslabeling/ ucm110632.htm. Diakses 30 Oktober 2014 9. Ray A, Gulati K, Tyagi N, Vishnoi G, Lal D, Vijyan VK. Pharmacovigilance in respiratory medicine: An experience with theophylline. Indian J Pharmacol. 2008; 40(2): S206-207 10. Nelson HS, Weiss ST, Bleecker ER, Yancey SW, Dorinsky PM. The Salmeterol Multicenter Asthma Research Trial: a comparison of usual pharmacotherapy for asthma or usual pharmacotherapy plus salmeterol. Chest. 2006;129(1):15-26 11. Kelly HW, Sorkness C. Asthma. In:DiPiro J, Talbert R, Yee G, Matzke G, Wells B, Posey M.Editors. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7thed. 2008.McGrawHill. New York.US 12. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion. 2011. Website: http://www.cdc.gov/chronicdisease/overview/. Diakses 30 Oktober 2014 13. Kasiulevicius V, Sapoka V, Filipaviciute R. Theory and Practice: Sample Size Calculation in Epidemiological Studies. Gerontologija. 2006; 7(4): 225–231 14. Joint Formulary Committee. British National Formulary 66. 2013 15. Badan POM RI. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) bagi Tenaga Kesehatan. 2012. Website: http://e-meso.pom.go.id/useruploads/files/reference/PEDOMAN%20MESO_NAKES.pdf. Diakses 30 Oktober 2014 16. Baxter K .ed. Stockley’s Drug Interactions. Pharmaceutical Press. 2008 Akademi Farmasi Samarinda
17
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 8-18, 2015
Amelia Lorensia
17. Horn J, Hansten PD. Drug Interation: Insights and Observations: DIPS: A Tool to Evaluate Causation in Potential Drug Interactions. Pharmacy Times. 2007 Oct;48 18. ECPM. drug interaction probability scale (DIPS). 2013. Website: http://www.ecpm.ch/pharmaceutical_dictionary/230.html. Diakses 30 Oktober 2014 19. Shargel L, Wu-Pong S, Andrew BC. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. 5th edition. 2004. McGraw-Hill, New York. US 20. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar Obat Essensial (DOEN). 2013 21. Xu YJ.Development of theophylline in treatment of Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Zhongguo Yi Xue Ke Xue Yuan Xue Bao. 2004 June;26(3):319-22 22. Hart SP. Should Aminophylline be Abandoned in the The Treatment of Acute Asthma in Adults?. Q J Med. 2000 Nov;93:761-765 23. Parameswaran K, Belda J, Rowe BH. Addition of intravenous aminophylline to beta2-agonists in adults with acute asthma.Cochrane Database Syst Rev. 2000;4:CD002742 24. Fotinos C, Dodson S. Is there a role for theophylline in treating patients with asthma?. Family Practice Inquiries Network. 2002 Sept;51(9) 25. Makino S, Adachi M, Ohta K, Kihara N, Nakajima S, Nishima S, et al. A prospective survey on safety of sustained-release theophylline in treatment of asthma and COPD. Allergol Int. 2006 Dec;55(4):395402 26. Tyagi N, Gulati K, Vijayan VK, Ray A. A Study to Monitor Adverse Drug Reactions in Patients of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Focus on Theophylline. The Indian Journal of Chest Diseases & Allied Sciences. 2008;50:199-202 27. National Asthma Council Australia.Asthma Management Handbook. 2006. Website: http://www.nationalasthma.org.au/uploads/handbook/370-amh2006_web_5.pdf. Diakses 30 Oktober 2014 28. Cairns CB. Acute Asthma Exacerbations: Phenotypes and Management. Clinical in Chest Medicine. 2006 Mar;27:99-108 29. Tse SM, Tantisira K, Weiss ST. The Pharmacogenetics and Pharmacogenomics of Asthma Therapy. Pharmacogenomics Journal. 2011 Dec;11(6):383-392 30. Fenech AG, Grech G. Pharmacogenetics: Where do we stand?. Journal of the Malta College of Pharmacy Practice.2011;11:25-33 31. Ezeamuzie CI, Shihab PK. Interactions between Theophylline and Salbutamol on Cytokine Release in Human Monocytes. The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics.2010 Apr;334(1):302309
18
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015
Andi Anwar
HubunganLingkungan Fisik dan Tindakan PSN dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda Submitted : 2 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Andi Anwar, Adi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a health problem in Indonesia, which can lead to the extraordinary events (plague).The development of science and technology affect the development of social and cultural, agricultural, industrial, mining and public mobility. The second-class Port Health Office Samarinda is included as endemic area; with the 33 total numbers of cases in 2013 and there were 20 cases started from January to August 2014. The purpose of this study was to find out the relationship between water shelter, humidity and eradication of mosquito breeding toward DHF in buffer area of the SecondClass Port Health Office Samarinda. This type of research is an analytical survey method with cross sectional approach. It is included as the research which learns the dynamics of the correlation between risk factors and effects, using observation or data collection approach at once. The sample of this study was 140 respondents with observation and measurement using Mann Whitney and Chi Square tests. Variables of this study consisted of dependent variable, which is DHF and independent variables are the water shelter, humidity and eradication of mosquito breeding. The findings showed there was relationship between water shelters (ρ value0,031), and humidity (ρ value0,046), and also eradication of mosquito breeding (ρ value0,000). Based on the results of this study, it is expected to the healthcare institutions to give frequent health education to the society about the dangers of DHF, control the breeding of mosquitoes, and prevent mosquitoes’ bites in order to prevent infected by this disease. K eywords : Water shelter, humaditity, eraclication of mosquito breeding, Dangue hemorrhagic faver (DHF)
PENDAHULUAN Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan utama karena dapat menyerang semua golongan umur dan menyebabkan kematian khususnya pada anak-anak. Penyakit DBD dapat menimbulkan kejadian luar biasa (wabah).Di Indonesia penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini pada mulanya ditemukan di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan kematian sebanyak 24 orang, selanjutnya menyebar ke beberapa Provinsi di Indonesia1. Adapun jumlah penderita demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia yaitu pada tahun 2011 terdapat 65,432 kasus dan tahun 2012 terdapat 90,245 kasus 2. Kejadian DBD di Provinsi Kalimantan Timur yaitu pada tahun 2010 terdapat 5.862 penderita, pada tahun 2011 terdapat 1.416 penderita3. Kejadian DBD di Kota
Akademi Farmasi Samarinda
Samarinda tahun 2011 sebanyak 244 kasus, tahun 2012 sebanyak 331 kasus 3. Kota Samarinda merupakan daerah endemis DBD. Penyakit DBD di Samarinda pertama kali dilaporkan pada tahun 1988 yang diduga terjadi pada anak kecil di Kecamatan Palaran. Hingga saat ini, kasus DBD sering terjadi di Samarinda setiap tahunnya, perkembangan pemukiman di kota Samarinda semakin meluas, padat dan heterogen. Berdasarkan penelitian Dhina Sari, dkk 4 dimana keberadaan tempat perindukan nyamuk dan ragamnya jenis tempat penampungan air sangat berperan dalam keberadaan vektor DBD.Sedangkan hasil penelitian5 di Semarang diketahui bahwa terdapat hubungan antara kelembaban dengan keberadaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue. Kelurahan Sendangguwo Kota Semarang menujukkan 19
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015
Andi Anwar
adanya hubungan yang signifikan antara tindakan PSN masyaraka dengan keberadaan jentik Aedes aegypti dengan hasil p value 0,025 0,05. Adapun data DBD di wilayah puskesmas Sambutan yang merupakan puskesmas yang dekat dengan wilayah Buffer kantor kesehatan pelabuhan Samarinda yaitu tahun 2012 sebanyak 20 kasus, tahun 2013 sebanyak 18 kasus 2. Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Samarinda merupakan daerah padat penduduk dan sebagian lokasi tempat tinggal merupakan daerah pegunungan, warga yang tinggal di daerah pegunungan akses untuk
mendapatkan air bersih sangat susah, dikarnakan volume air yang mengalir sangat kecil, sehingga warga tersebut banyak menampung air yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan jentik aedes aegypti, serta di dukung dengan perumahan yang padat, jarak antar rumah yang sangat dekat, pencahayaan yang kurang, akan mempengaruhi penularan vektor penyakit. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan Tempat Penampungan Air (TPA),Kelembaban dan PSN dengan Penyakit DBD di wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda.
METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Waktu penelitian dimulai sejak bulan Oktober hingga Nopember tahun 2014. Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Selili RT. 01, RT. 02 dan RT.03 wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda. Dalam penelitian ini besar sampel adalah 140 responden. Variabel terikat (dependen) dari penelitian ini
adalah penyakit DBD dan variabel bebas (independen) adalah Tempat penampungan air (PSN), kelembaban dan tindakan PSN. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi Square dan uji Mann Whitney untuk mengetahui nilai sig dan ρ value antara dua variabel. Bila nilai sig dan ρvalue< nilai α (0,05) maka ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan variabel terikat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Tempat Penampungan Air (TPA) Dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda
Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, hubungan tempat penampungan air (TPA) dengan penyakit DBD dapat dlihat pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1.
Hubungan antara tempat penampungan air dengan penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda Tahun 2014 Penyakit DBD Jumlah TPA ρ Tidak ada % Ada % N % Tidak Ada Jentik 62 57,4 5 9,6 67 67 0,031 Ada Jentik 58 62,6 15 10,4 73 73 Total
120
85,7
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai ρ value= 0,031karena nilai ρvalue lebih kecil dari nilai α (0,05) yang artinya ada hubungan antara tempat penampungan air dengan penyakit DBD di wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda Hal ini didukung oleh penelitian Sukamto6 yang menyatakan bahwa ada hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti pada tempat penampungan air terhadap kejadian DBD di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan (nilai p=0,001). Hasil penelitian pemeriksaan jentik Aedes aegypti pada tempat penampungan air diperoleh jenis penampungan air seperti di bak mandi, 20
20
14,3
70
100
drum, tempayan, ember dan lain-lain yang merupakan keperluan sehari-hari yaitu sebanyak 820 kontainer, dan ditemukan 152 kontainer yang positif jentik, dengan jenis penampungan yang banyak positf jentik yaitu drum sebesar 32,6%. Hal ini disebabkan karena kelurahan Selili merupakan daerah pemukiman yang pada penduduk dan sanitasi lingkungannya kurang bersih sehingga banyak tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti seperti bak mandi, drum dan tempayan yang jarang dibersihkan. Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Yudhastuti 5 yang menyatakan bahwa kota di Indonesia menunjukkan tempat perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan untuk Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015
Andi Anwar
keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak wc, ember dan sejenisnya. Dari seluruh jenis tempat penampungan air diatas dapat diambil simpulan bahwa drum mempunyai peluang yang paling banyak terdapat jentik 32,6% dibandingkan dengan tempat penampungan air (TPA) yang lain yaitu bak mandi, tempayan, ember dan lainya. Hal ini diperkirakan karena ketinggian lokas RT 02 dan 03 berada di kemiringan ±300 sehingga sulit untuk mendapatkan pasokan air bersih terutama yang berasal dari PDAM. Sehingga hampir sebagian besar responden menampung air di drum. Hasil observasi yang dilakukan terhadap tempat perindukan nyamuk jenis bak sebesar 19,6%, ini cenderung berada di dalam rumah, kondisi ini memudahkan untuk dilakukan pengurasan dan pembersihan. Begitu juga dengan air yang berada di dalam bak dipakai setiap hari sehingga secara tidak langsung ada pergantian air di dalam bak. Tempat penampungan air lainnya yang kebutuhan sehari-hari dengan peluang paling sedikit terdapat jentik didalamnya adalah tempayan (3,3%) dan ember (3,7). Hal ini diperkirakan sebagian besar tempayan dan ember itu diletakkan di dalam rumah dan dalam keadaan tertutup. Sehingga kecil kemungkinan ada nyamuk yang hinggap dan bertelur di dalamnya.
Selain itu volume tempayan lebih sedikit dibandingkan dengan TPA yang lainnya, sehingga memudahkan menguras ataupun membersihkan TPA tersebut. TPA yang bukan kebutuhan sehari-hari ditemukan sebanyak 6 kontainer yang berupa vas bunga dan tempat minum hewan piaraan, tidak satupun TPA yang ditemukan jentik. Ini dikarenakan jarang responden memilikinya dan kontainer jenis ini setiap hari selalu diganti air yang baru. Hasil penelitian di wilayah RT 1, RT 2 dan RT, 3 dimungkinkan bahwa belum secara maksimal memutus rantai perkembangbiakan nyamuk dengan masih banyaknya tempat penampungan air yang positif jentik, sehingga perlu dilakukan tindakan PSN dengan cara membasmi jentik-jentik nyamuk dengan melakukan 3M plus sehingga tidak sampai menjadi nyamuk dewasa. Kegiatan 3M plus harus sering dilakukan oleh masyarakat dilingkungan tempat tinggalnya masing-masing
Tabel 2.
Hubungan Kelembaban Dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, hubungan kondisi kelembaban dengan penyakit DBD dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:
Hubungan kelembaban dengan penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda. Penyakit DBD
Kelembaban
Jumlah
Tidak ada
%
Ada
%
N
%
Baik
78
73,3
8
12,3
86
86
Kurang Baik
42
46,3
12
,77
54
54
Total
120
120
20
20
140
140
Berdasarkan tabel 2 diatas, menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai P value= 0,046 karena nilai ρ value lebih kecil dari nilai α (0,05) yang artinya ada hubungan antara kelembaban terhadap penyakit DBD di wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Yudhastuti5 yang membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kondisi kelembaban yang berada di angka pengukuran 81,5% hingga 89,5% terhadap kejadian DBD di daerah endemis DBD Kota Surabaya dengan hasil ρvalue = 0,000. Dari 58 rumah responden diwilayah tersebut, 34 rumah memiliki kelembaban yang baik bagi Akademi Farmasi Samarinda
P 0,046
perkembangan vektor DBD yaitu antara 81,5% hingga 89,5%. Namun penelitian dengan hasil berbeda dikemukakan oleh Salawati4 yang menyatakan bahwa kondisi kelembaban tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Srondol dengan hasil perhitungan nilai ρvalue sebesar 0,483. Kelembaban udara tidak berpengaruh langsung pada angka insiden DBD, tetapi berpengaruh pada umur nyamuk. Pada kelembaban udara yang rendah yaitu di bawah 60% terjadi penguapan air dari tubuh nyamuk sehingga dapat memperpendek umur nyamuk. dan 21
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015
Andi Anwar
batas maksimum kelembaban yang baik untuk vektor DBD. Saat melakukan penelitian, kondisi yang di dapatkan di lapangan yaitu responden memiliki rumah yang sangat padat dan berdekatan dengan rumah di sebelahnya. Banyak rumah yang jarak antara satu rumah dengan rumah lain berdempetan sehingga tidak dapat sinar matahari yang cukup. Dan sangat optimal bagi perkembangan parasite penyakit terutama vektor DBD dan sangat
memudahkan bagi parasite menyebarkan penyakit dirumah tersebut. Hubungan Tindakan PSN Dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Pelabuhan Kelas II Samarinda Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, hubungan tindakan PSN dengan penyakit DBD dlihat pada tabel 3 berikut
Tabel 3.
Hubungan tindakan PSN dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Pelabuhan Samarinda Tahun 2014 Tindakan PSN Min Sig. Tindakan PSN n Mean Rank – Maks (2-tailed) Tindakan PSN
140
33 – 100
Berdasarkan tabel 3 diatas, menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji Mann Whitney diperoleh nilai sig= 0,000 karena nilai sig lebih kecil dari nilai α (0,05) maka artinya ada hubungan antara tindakan PSN dengan penyakit DBD di wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda. Hasil penelitian diketahui bahwa dari 140 rumah yang diperiksa terdapat 73 rumah terdapat jentik, berdasarkan hasil penilaian kuesioner, dapat diketahui apa saja yang kurang dipahami dan diketahui oleh responden. Kuesioner terdiri dari 6 pertanyaan yang terdiri dari kegiatan PSN diketahui responden tidak menguras dan menyikat TPA sebanyak 20% dan tidak mengubur barang bekas sebanyak 33,6%, menaburkan bubuk abate sebanyak 88,6%, tidak menggunakan obat nyamuk 78,6% dan tidak memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar 45,6%. Hasil penelitian responden yang tidak menguras dan menyikat tempat penampungan air dikarenakan dikarenakan susahnya untuk mendapatkan air bersih dengan tempat tinggal sebagian besar berada di dataran tinggi, diketahui Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurangkurangnyaseminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak di tempat itu. Hasil penelitian mengenai kejadian DBD dengan frekuensi pengurasan TPA menunjukkan bahwa frekuensi pengurasan mempunyai hubungan terhadap kejadian DBD. Hal ini bisa jadi disebabkan karena secara umum nyamuk meletakkan telurnya pada dinding tempat penampungan air, oleh karena itu pada waktu pengurasan atau pembersihan tempat penampungan air dianjurkan menggosok atau menyikat dinding-dindingnya 5. 22
75,79
0,000
Responden yang tidak menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air dikarenakan tidak tahan dengan aroma abate sehingga sebagian masyarakat enggan menaburkan abate pada tempat penampungan air. Responden yang tidak memberi abate pada tempat penampungan airnya dan tidak menderita demam berdarah dengue dikarenakan penampungan airnya tertutup rapat semua. Sesuai dengan teori dalam buku panduan pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia, bahwa cara lain yang digunakan selain cara fisik, juga bisa dilakukan dengan cara kimia yaitu menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air dengan tujuan membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti. Penaburan bubuk abate kedalam TPA dengan ukuran 1 gram abate untuk 10 liter air, dan memiliki efek residu selama 3 bulan Depkes RI2 Salah satu metode untuk mengendalikan nyamuk Ae. aegypti adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modofikasi tempat perkembang biakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Hasil observasi responden yang masih tidak menutup rapat-rapat tempat penampungan air sebanyak 42,1%, dengan keterbatasan tutup pada TPA menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD. Pentingnya menutup TPA sangat mutlak diperlukan untuk menekan jumlah nyamuk yang hinggap pada TPA, dimana TPA tersebut menjadi media berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Apabila semua masyarakat telah menyadari pentingnya penutup TPA, diharapkan keberadaan nyamuk dapat diberantas, namun kondisi ini tampaknya belum dilaksakanakan Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015
Andi Anwar
secara maksimal dikarenakan masih kurangnya kesadaran masyarakat setempat dalam mencegah penyakit DBD salah satunya pemberikan tutup pada tempat penampungan air. Hasil observasi diketahui masih banyak responden yang kebiasaan menggantung pakaian 61,4%, dimana diketahui faktor kebiasaan menggantung pakaian mempunyai hubungan terhadap kejadian DBD. Dari hasil tersebut berarti bahwa responden yang masih memiliki kebiasaan menggantung pakaian memiliki peluang untuk bisa terkena penyakit DBD dari pada responden yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian. Seharusnya pakaian-pakaian yang tergantung di balik lemari atau di balik pintu sebaiknya dilipat dan disimpan dalam almari, karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat gelap dan kain yang tergantung 1. Memasang kawat kasa pada ventilasi udara sebanyak 63,64%, memiliki ventilasi rumah tanpa kawat kasa dan sebesar 36,4% responden Pemakaian kawat kasa pada ventilasi rumah adalah salah satu upaya untuk mencegah penyakit DBD. Pemakaian kawat kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada di dalam rumah bertujuan agar nyamuk tidak masuk ke dalam rumah dan menggigit host (pejamu). Kegiatan lain yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit DBD adalah pemasangan kawat kasa. Pemasangan kawat kasa berukuran 18 masih dapat diletakkan pada jendela dan lubang-lubang ventilasi lainnya7. Penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah sebenarnya adalah salah satu pengendalian penyakit DBD secara mekanik. Rumah dengan kondisi ventilasi tidak terpasang kasa nyamuk,
akan memudahkan nyamuk untuk masuk ke dalam rumah untuk menggigit manusia dan untuk beristirahat. Dengan tidak adanya nyamuk masuk ke dalam rumah maka kemungkinan nyamuk untuk menggigit semakin kecil. Keadaan ventilasi rumah yang tidak ditutupi kawat kasa akan menyebabkan nyamuk masuk ke dalam rumah. Dengan tidak adanya kasa nyamuk pada ventilasi rumah, akan memudahkan nyamuk Aedes aegypti masuk ke dalam rumah pada pagi hingga sore hari. Hal ini tentunya akan memudahkan terjadinya kontak antara penghuni rumah dengan nyamuk penular DBD, sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya penularan DBD yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya terpasang kasa. Menurut Suyasa8 menyatakan bahwa bentuk perilaku seseorang ada 2 yaitu perilaku aktif dan perilaku pasif. Perilaku aktif seperti perilaku responden terhadap upaya pencegahan terjadinya DBD dapat berupa tindakan untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit, upaya membersihkan dalam rumah atau luar rumah, sementara perilaku pasif adalah perilaku responden yang cenderung jarang membersihkan rumah meskipun memiliki pengetahuan penyakit DBD. Perilaku masyarakat mempunyai pengaruh terhadap lingkungan karena lingkungan merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Bila masyarakat mau melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara rutin dan berkesinambungan maka dapat mencegah perkembangan jentik nyamuk Aedes Aegypti dan mencegah timbulnya penyakit DBD.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut ada hubungan Tempat Penampungan Air dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda (p
=0,031). Ada hubungan Kelembaban dengan dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda (p =0,046) dan adahubungan PSN dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda (p = 0,00)
SARAN Diharapkan bagi masyarakat agar bisa menerapkan program-program pemerintah seperti PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan membantu program yang sudah berjalan seperti 3M, penaburan bubuk abate. Bagi instansi agar dapat mempertahankan program yang telah berjalan dan lebih banyak membuat media promosi kesehatan tentang penyakit DBD. Untuk
penelitian selanjutnya diharapkan agar dapat menambah jumlah variabel dan jumlah sampel penelitian, sehingga diharapkan dapat memperkuat keputusan yang akan diambil dan penelitian-penelitian selanjutnya lebih bermanfaat lagi bagi masyarakat terutama di wilayah pelabuhan.
Akademi Farmasi Samarinda
23
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015
Andi Anwar
DAFTAR PUSTAKA 1. Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya). Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008. 2. Ridha, Rasyid, dkk. Hubungan Kondisi Lingkungan Dan Kontainer Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis DBD Kota Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang. Diakses di http://ejournal.litbang.depkes.go.id pada 16 Agustus 2014, 2013. 3.
Kementerian Kesehatan RI. Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Informasi Kesehatan Indonesia. Diakses di http://kemenkes.or.id pada 26 Februari 2014, 2010.
4.
Salawati, Trixie, Dkk. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan Dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Diakses di http://jurnal.unimus.ac.id pada 26 Februari 2014, 2010.
5.
Yudhastuti, Riri, dkk.Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis DBD Kota Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan.Diakses di http://journal.unair.ac.idpada 16 Agustus 2014, 2005. Sukamto.Studi Karakteristik Wilayah Dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Tesis Kesehatan Lingkungan. Diakses di http://ejournal-s2.undip.ac.id pada 15 Agustus 2014, 2007. Nadesul, Handrawan. 100 Pertanyaan + Jawaban Demam Berdarah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. Suyasa, Gede. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Jurusan Kesehatan Lingkungan. Diakses di http://litbang.poltekkesdenpasar.ac.idpada 09 Agustus 2014, 2008.
6.
7. 8.
24
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015
Henny Nurhasnawati
PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DAN BILANGAN PEROKSIDA PADA MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN PEDAGANG GORENGAN DI JL. A.W SJAHRANIE SAMARINDA Submitted : 2 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Henny Nurhasnawati, Risa Supriningrum, Nana Caesariana Akademi Farmasi Samarinda Email:
[email protected]
ABSTRACT Free fatty acids and peroxide are part of cooking oil quality parameters. This study aims to determine the levels of free fatty acids and peroxide value in cooking oil used by fried merchant in Jl. A.W. Sjahranie Samarinda. Sampling was done by total sampling which is cooking oil before frying and after frying a few times from four fried merchants. Determination of free fatty acid content using alkalimetry method and levels of peroxide using iodometric method. The test results of the free fatty acid content of samples A, B, C, D cooking oil before frying is equal to 0.16%; 0.27%; 0.33%; 0.32%, and free fatty acid levels after few times frying is 0.19%; 0.29%; 0.37%; 0.36%. The test results of the peroxide sample A, B, C, D cooking oil before frying in the amount of 18.95 meq O2/kg; 27.63 meqO2/kg; 24.67 meq O2/kg; 23.29 meq O2/kg. Peroxide levels after several times frying is 26.25 meqO2/kg; 35.72 meqO2/kg; 34.54 meqO2/kg; 33.16 meqO2/kg. Average levels of free fatty acids cooking oil before frying is 0.27% and after frying to 0.30%, or an increase of 12.04%. While the average level of peroxide cooking oil before frying of 23.64 meqO2/kg and after frying be 32.42 meqO2/kg or an increase of 37.16%. K eywords: free fatty acids, peroxide value, cooking oil.
PENDAHULUAN Makanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat karena terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasa yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat1.Data Survei Nasional Ekonomi Sosial (Susenas) modul konsumsi menyebutkan gorengan dipilih oleh hampir seluruh rumah tangga di Indonesia (49%). Jajanan lain yang disukai di Indonesia mie (bakso/rebus/goreng) (45%) serta makanan ringan (39%)2. Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan adalah menurunnya kualitas minyak setelah digunakan secara berulang pada suhu yang relatif tinggi (200-250oC). Penelitian Ayu dkk3, menunjukkan beberapa parameter kualitas yang tidak baik pada minyak goreng yang Akademi Farmasi Samarinda
digunakan oleh para pedagang jajanan di Tampan Kota Pekanbaru. Konsumsi minyak goreng di masyarakat cukup tinggi, makanan gorengan cenderung lebih disukai dibanding rebus, karena berasa lebih gurih dan renyah. Praktek penggorengan untuk menghasilkan mutu makanan yang baik dan aman masih perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada masyarakat menengah kebawah yang menggunakan minyak goreng curah. Hal tersebut akan mengakibatkan terakumulasinya komponenkomponen yang tidak menguntungkan bagi kesehatan4. Asam lemak bebas dan peroksida merupakan bagian dari parameter kualitas minyak goreng. Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisis. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi akan berpengaruh terhadap kualitas produk gorengan. Asam lemak dalam bahan pangan dengan kadar lebih dari 0,2 persen dari berat lemak akan mengakibatkan flavor yang tidak diinginkan dan kadang-kadang 25
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015
Henny Nurhasnawati
dapat meracuni tubuh. Demikian juga dengan peroksida dapat mempercepat bau tengik dan flavor yang tidak diinginkan, jika jumlah peroksida lebih besar dari 100 mek O2/kg akan bersifat sangat beracun4. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menetapkan
kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan di sekitar kampus Akademi Farmasi Samarinda khususnya Jalan A.W. Sjahranie Samarinda.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: etanol 96%, asam asetat glasial (C2H4O6), asam oksalat (H2C2O4) 0,1 N, asam sulfat (H2SO4), indikator amilum 1%, indikator fenolftalein (pp), kalium hidroksida (KOH) 0,1 N, kalium iodat (KIO3) 0,1 N, kalium iodida (KI) 6 M, kloroform (CHCl3), natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N dan sampel minyak goreng. Sedangkan alat yang digunakan yaitu: batang pengaduk, botol timbang, buret 10 ml, buret 50 ml, erlenmeyer 250 ml, gelas kimia 50 ml, gelas kimia 100 ml, kaca arloji, klem, labu ukur 50 ml, labu ukur 100 ml, neraca analitik, pipet tetes, dan statif.
Penetapan Kadar Bilangan Peroksida Sampel minyak goreng ditimbang sebanyak 5 g dalam kaca arloji, dimasukkan ke dalam erlenemeyer 250 ml. Ditambahkan 20 ml campuran 60% asam asetat glacial dan 40% kloroform. Setelah minyak larut ditambahkan 0,5 ml larutan KI 6 M sambil dikocok lalu didiamkan selama dua menit. Ditambahkan aquades 20 ml. Dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N hingga warna kuning hampir hilang. Ditambahkan 3 tetes indikator amilum hingga berubah menjadi biru. Dititrasi lagi hingga warna biru hilang. Proses titrasi diulang sebanyak 3 kali. Perhitungan bilangan peroksida dapat dilakukan dengan rumus6: Bilangan peroksida (meO2/kg) = x 1000
Metode Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas Sampel minyak goreng ditimbang sebanyak 28,2 g dalam erlenmeyer. Ditambahkan 50 ml alkohol netral panas dan 2 ml indikator phenolphthalein. Sampel dititrasi dengan larutan 0,1 N NaOH yang telah dibakukan sampai warna merah jambu tercapai dan tidak hilang selama 30 detik. Perhitungan kadar asam lemak bebas dihitung dengan rumus5: % FFA= x 100
Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diuji dengan analisis statistika inferensial/induktif. Statistika inferensial yang digunakan adalah One Sample TTest menggunakan SPSS for Window versi 20.0 dengan taraf signifikansi 0,05 (5%), digunakan One Sample T-Test karena analisis ini adalah suatu prosedur uji perbedaan nilai rata-rata sampel dengan nilai pembanding.
Kadar Asam Lemak Bebas (%)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Asam Lemak Bebas Dari penelitian yang dilakukan di Laboratorium Terpadu I Akademi Farmasi Samarinda maka didapatkan kadar asam lemak 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0.19 0.16
A
bebas minyak goreng sebelum dan setelah beberapa kali penggorengan dari masing-masing sampel sebagai berikut:
0.29 0.27
B
0.37 0.33
0.36 0.32
C
D
Sampel Minyak Goreng Pedagang
Hasil uji terhadap kadar asam lemak bebas sampel A, B, C, D minyak goreng sebelum 26
penggorengan yaitu sebesar 0,16% ; 0,27% ; 0,33% ; 0,32%. Hasil uji kadar asam lemak bebas Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015
Henny Nurhasnawati
sampel A, B, C, D minyak goreng setelah beberapa kali penggorengan yaitu 0,19% ; 0,29% ; 0,37% ; 0,36%. Hasil uji terhadap kadar asam lemak bebas menunjukkan kadar asam lemak bebas tertinggi pada minyak goreng sampel C yaitu dengan kadar sebelum penggorengan sebesar 0,33% dan setelah beberapa kali penggorengan sebesar 0,37%. Berdasarkan hasil kadar asam lemak bebas yang didapat menunjukkan dari empat sampel terdapat dua sampel mempunyai kadar asam lemak bebas lebih tinggi dari standar yang ditetapkan SNI 7709:201217 maksimal 0,3% yaitu sampel C dan D. Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam lemak bebas tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi hidrolisis minyak kelapa sawit adalah gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya faktor-faktor panas, air, keasaman dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar asam lemak bebas yang terbentuk7. Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki karena kenaikan asam lemak bebas tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak dapat menunjukkan kualitas minyak, dimana semakin tinggi nilai asam lemak bebas maka semakin turun kualitas 8. Hasil penetapan kadar memperlihatkan adanya peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng setelah penggorengan. Biasanya presentase kadar asam lemak bebas meningkat dengan waktu dan frekuensi penggorengan, hal ini digunakan sebagai indikator kualitas minyak9. Peningkatan persentase ini disebabkan adanya pertukaran komponen air pada bahan pangan yang digoreng dengan minyak yang dijadikan media penggorengan. Penelitian Abdullah10 menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas pada minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng tahu memiliki kenaikan kadar asam lemak bebas yang lebih tinggi dibanding asam lemak bebas pada minyak goreng untuk menggoreng tempe dan pisang. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar air dalam tahu. Hal ini sesuai dengan Ketaren4, bahwa kerusakan yang terjadi pada minyak goreng yang digunakan berulang kali dalam proses penggorengan disebabkan adanya reaksi yang kompleks yang terjadi pada saat bahan pangan digoreng. Rata-rata jenis bahan pangan yang digoreng oleh pedagang gorengan di Jl. A.W. Sjahranie Samarinda adalah tempe, singkong, tahu, pisang dan bakwan. Adanya
kandungan air dan udara pada bahan pangan semakin meningkatkan kerusakan yang terjadi pada minyak yang dapat dianalisa dengan menghitung kadar asam lemak bebas yang terbentuk. Kerusakan minyak dapat dipercepat dengan adanya air, protein, lemak, hidrokarbon, dan bahan-bahan lain yang ada dalam bahan pangan yang digoreng11. Hasil uji kadar asam lemak bebas menunjukkan bahwa kadar sampel A dan B sebelum penggorengan adalah sebesar 0,16% dan 0,27% dan tidak melebihi standar SNI 7709:2012, sedangkan sampel C dan D memiliki kadar asam lemak bebas sebesar 0,33% dan 0,32% yang melebihi standar SNI 7709:2012. Kadar asam lemak bebas pada minyak goreng yang digunakan pedagang sudah cenderung tinggi pada saat sebelum penggorengan, hal ini dikarenakan minyak yang dipakai oleh pedagang gorengan merupakan minyak goreng yang sudah digunakan berulang kali. Minyak tersebut sering disebut dalam masyarakat sebagai minyak jelantah. Pedagang gorengan biasanya hanya menambahkan beberapa liter saja minyak baru ke dalam minyak jelantah. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan juga menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang telah rusak akan mempunyai struktur dan penampakan yang kurang menarik serta citra rasa dan bau yang kurang enak. Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan, menghasilkan produk-produk dengan tekstur dan rasa yang bagus, serta menghasilkan produk keemasan pada produk12. Kecepatan hidrolisis dipengaruhi oleh kelembapan atau jumlah air yang terdapat dalam bahan pangan, suhu penggorengan, kecepatan perubahan lemak, dan akumulasi bahan yang terbakar/hangus3. Terjadinya kenaikan kadar asam lemak bebas juga disebabkan oleh lamanya penyimpanan. Selama penyimpanan, minyak dan lemak mengalami perubahan fisika-kimia yang dapat disebabkan oleh proses hidrolisis maupun oksidasi. Penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida pada minyak lalu membentuk gliserol dan asam lemak bebas13.
Akademi Farmasi Samarinda
27
Henny Nurhasnawati
Kadar Bilangan Peroksida Penetapan kadar bilangan peroksida pada minyak goreng sebelum dan setelah beberapa kali penggorengan dari masing-masing pedagang
gorengan di Jl. A.W. Sjahranie menggunakan metode iodometri yang tercantum pada tabel berikut:
Kadar Bilangan Peroksida (mek/O2)
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015
40 30 20 10 0
35.72 34.54 33.16 26.25 27.63 24.67 23.29 18.95
A
C
D
Sampel Minyak Goreng Pedagang
Syarat mutu bilangan peroksida pada minyak goreng menurut SNI 7709:2012 maksimal sebesar 10 mek O2/kg. Hasil uji terhadap bilangan peroksida sampel A, B, C, D minyak goreng sebelum penggorengan yaitu sebesar 18,95mek O2/kg ; 27,63 mek O2/kg ; 24,67 mek O2/kg ; 23,29 mek O2/kg. Hasil uji bilangan peroksida sampel A, B, C, D minyak goreng setelah beberapa kali penggorengan yaitu 26,25mek O2/kg ; 35,72 mek O2/kg ; 34,54 mek O2/kg ; 33,16 mek O2/kg. Seiring dengan frekuensi dan lamanya penggorengan, minyak akan teroksidasi membentuk senyawa peroksida, terlihat dengan meningkatnya bilangan peroksida setelah dilakukan penggorengan. Hasil uji terhadap bilangan peroksida menunjukkan bilangan peroksida tertinggi terdapat pada minyak goreng sampel B yaitu dengan kadar sebelum penggorengan sebesar 27,63mek O2/kg dan setelah beberapa kali penggorengan sebesar 35,72 mek O2/kg. Berdasarkan hasil bilangan peroksida yang didapat menunjukkan dari empat sampel sebelum penggorengan yang diteliti, semua sampel mempunyai bilangan peroksida lebih tinggi dari standar yang ditetapkan SNI 7709:2012. Hal ini menunjukkan bahwa minyak goreng yang digunakan mempunyai mutu yang jelek. Hal ini mungkin dikarenakan para pedagang penjual gorengan biasanya menggunakan minyak goreng berulang-ulang kali tanpa peduli apakah warnanya sudah berubah menjadi coklat tua sampai hitam atau belum. Hal tersebut dilakukan untuk menghemat biaya produksi. Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi14. Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses 28
B
oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan4. Minyak curah terdistribusi tanpa kemasan, paparan oksigen dan cahaya pada minyak goreng curah lebih besar daripada minyak kemasan. Paparan oksigen, cahaya dan suhu tinggi selama penggorengan memicu terjadinya oksidasi minyak. Menurut deMan15 setiap peningkatan suhu 10oC laju kecepatan oksidasi meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah4. Komposisi bahan pangan juga mempengaruhi kadar bilangan peroksida, penelitian Abdullah10 menunjukkan peningkatan kadar bilangan peroksida pada minyak goreng bekas menggoreng tahu lebih tinggi daripada kadar bilangan peroksida pada minyak goreng bekas menggoreng tempe dan pisang. Hal ini mungkin terjadi karena tingginya kadar air dalam tahu. Rata-rata jenis bahan pangan yang digoreng oleh pedagang gorengan di Jl. A.W. Sjahranie Samarinda adalah tempe, singkong, tahu, pisang dan bakwan. Kerusakan minyak dapat dipercepat dengan adanya air, protein, lemak, hidrokarbon, dan bahan-bahan lain yang ada dalam bahan pangan yang digoreng11. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Selain itu kenaikan bilangan peroksida disebabkan oleh suhu dan pengaruh cahaya. Untuk mengurangi kerusakan minyak agar dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama, dapat dilakukan dengan cara menyimpan lemak pada suhu yang lebih rendah. Faktor-faktor yang dapat mempercepat oksidasi pada minyak adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator proses oksidasi. Oleh karena itu minyak harus disimpan pada kondisi penyimpanan yang sesuai dan bebas dari pengaruh logam dan harus dilindungi dari kemungkinan serangan oksigen, cahaya serta temperatur tinggi. Keadaan lingkungan yang mempengaruhi penyimpanan Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015
Henny Nurhasnawati
minyak dan lemak, yaitu kelembapan udara ruangan penyimpanan, suhu (temperatur), ventilasi, tekanan dan masalah pengangkutan4. Perubahan-perubahan kimia lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu bahan makanan, baik menguntungkan ataupun tidak. Pada umumnya penguraian lemak dan minyak menghasilkan zat-zat yang tidak dapat dimakan. Kerusakan lemak dan minyak menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau lemak yang bersangkutan. Setiap jenis kerusakan lemak dan minyak pada pokoknya disebabkan oleh suatu perubahan kimia tertentu oleh faktor-faktor lain, seperti: suhu, kadar air, kotoran, dan waktu penyimpanan18. Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisa enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, asam lemak dengan kadar lebih besar dari berat lemak akan mengakibatkan rasa yang tidak diinginkan dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh. Timbulnya racun dalam minyak yang dipanaskan telah banyak dipelajari. Bila lemak tersebut diberikan pada ternak atau diinjeksikan ke dalam darah, akan timbul gejala diare, kelambatan pertumbuhan, pembesaran organ, kanker, kontrol tak sempurna pada pusat saraf dan mempersingkat umur16. Kerusakan minyak selama proses menggoreng akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak.
Kerusakan lemak atau minyak akibat pemanasan pada suhu tinggi (200-250℃) akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai penyakit misalnya diarrhea, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artherosclerosis), kanker dan menurunkan nilai cerna lemak. Bahan makanan yang mengandung lemak dengan bilangan peroksida tinggi akan mempercepat ketengikan, dan lemak dengan bilangan peroksida lebih besar dari 100 dapat meracuni tubuh Proses oksidasi pada minyak dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan menyebabkan bau tengik pada minyak dan lemak. Gejala timbulnya ketengikan oleh proses oksidasi lemak pada tahap permulaan ditandai dengan timbulnya flavor, flatness atau oiliness, yang disusul dengan perubahan rasa dan aroma yang terdapat secara alamiah. Selanjutnya minyak tersebut berubah menjadi bau yang tidak disukai dengan bau apek. Jika ketengikan lemak telah mencapai tahap terakhir, maka lemak biasanya berbau tengik dan terasa getir. Vitamin perangsang pertumbuhan dalam lemak mudah rusak akibat oksidasi oleh oksigen udara, sedangkan vitamin yang penting dalam proses pertumbuhan dan reproduksi akan rusak pada lemak-lemak yang telah menjadi tengik. Nilai gizi lemak yang teroksidasi, lebih rendah dibandingkan dengan lemak segar, sehingga dapat mengganggu kesehatan dan pencernaan atau gangguan-gangguan lainnya. Sebagai contoh ialah anjing yang diberi makanan mengandung lemak teroksidasi, akan mengidap penyakit yang disebut oxidized fat syndrome, yang akhirnya akan mengakibatkan kematian4.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian penetapan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan di Jl. A. W. Sjahranie Samarinda, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Rata-rata kadar asam lemak bebas minyak goreng sebelum penggorengan adalah 0,27 % dan setelah penggorengan menjadi 0,30 % atau terjadi peningkatan sebesar 12,04 %. Sedangkan rata-rata kadar bilangan peroksida minyak goreng sebelum penggorengan sebesar 23,64mek O2/kg dan setelah penggorengan menjadi 32,42 mek O2/kg atau terjadi peningkatan sebesar 37,16 %. Akademi Farmasi Samarinda
2. Rata-rata kadar asam lemak bebas minyak goreng sebelum dan setelah penggorengan tidak melebihi standar SNI 7709: 2012 yaitu maksimal 0,3%. Sedangkan rata-rata kadar bilangan peroksida minyak goreng sebelum dan setelah penggorengan melebihi standar SNI 7709: 2012 yaitu maksimal 10 mek O2/kg. Saran Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan pengujian kualitas minyak goreng yang digunakan pedagang gorengan dengan lokasi pengambilan sampel yang berbeda dan menggunakan parameter pengujian yang lain 29
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015
seperti kadar air, minyak pelikan dan cemaran
Henny Nurhasnawati
logam.
DAFTAR PUSTAKA 1. Cahanar, P dan Irwan Suhanda. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: PT. Kompas Media Utama 2. Suleeman, Evelyn dan Sulastri. 2006. Jajanan Favorit Separuh Rumah Tangga di Indonesia Mengandung Zat Berbahaya.Social Science Research & Consulting:Website:http://www.ihssrc.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=110 (diakses 10 Mei 2014) 3. Ayu, D.F. dan Farida, H. H. 2010. Evaluasi Sifat Fisiko –Kimia Minyak Goreng yang Digunakan oleh Pedagang Makanan Jajanan di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Sagu Vol. 9 (1): 4-14 4. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press 5. Sudarmadji, S., Haryono.B., dan Suhadi.1997. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.Edisi keempat.Yogyakarta : Penerbit Liberty 6. Sudarmadji, S., Haryono.B., dan Suhardi.2007 Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.Edisi kedua.Yogyakarta : Penerbit Liberty 7. Tim Penulis PS. 2001. Kelapa Sawit Usaha Budidaya. Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran. Cetakan Ketiga Belas. Jakarta: Penerbit Swadaya 8. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 9. Aminah, Siti dan Joko, T.I. 2010.Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak Goreng Sisa Pada Rumah Tangga di RT V RW III KedungmunduTembalang Semarang.Prosiding Seminar Nasional UNIMUS Semarang:261-266 10. Abdullah.2007. Pengaruh Gorengan dan Intensitas Penggorengan Terhadap Kualitas Minyak Goreng.Jurnal Pillar Sains Vol. 6 (2): 45-50 11. Selfiawati, Evi. Kajian Proses Degumming dan Netralisasi Pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas.Skripi. Bogor: Institut Pertanian Bogor 12. Trubusagrisarana. 2005. Mengolah Minyak Goreng Bekas. Surabaya: Perpustakaan Nasional RI 13. Sutiah, K., Sofjan, F & Budi, W.S. 2008.Studi Kualitas Minyak Goreng dengan Parameter Viskositas dan Indeks Bias.Berkala Fisika Vol 11. (2): 53-58 14. Raharjo, 2006.Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 15. Deman, John. M. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB 16. Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 17. Badan Standarisasi Nasional.SNI 7709:2012 (Standar Mutu Minyak Goreng Sawit). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional 18. Winarno, F. G. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat.Bogor : Institut Pertanian Bogor
30
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
Supomo
FORMULASI GELHAND SANITIZER DARI KITOSAN DENGAN BASIS NATRIUM KARBOKSIMETILSELULOSA Submitted : 8 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Supomo, Yullia Sukawaty , Fedri Baysar Akademi Farmasi Samarinda E-mail:
[email protected])
ABSTRACT Chitosan has been widely used in industrial, food, pharmaceuticals and agriculture. Chitosan is a natural biocompatible polymers means that as nature does not have the side effect, non-toxic, can not be easily digested and broken down by microbes (biodegradable). This study aims to determine whether the chitosan may be formulated into dosage gel hand sanitizer that meets the requirements of the physical stability of the gel.
Chitosan is formulated with 3 varying concentrations of Na CMC basis of 3%, 4.5% and 6%. Tests conducted gel formulation is the physical stability test which includes organoleptic test, homogeneity, pH test, test dispersive power, viscosity test and test consistency. Testing is done every week for 4 weeks of storage. Results of testing physical properties of chitosan gel hand sanitizer has the shape and color stable but the resulting aroma change during storage. pH gel meet the requirements, the consistency test of phase separation does not occur, the homogeneity test showed no homogeneous gel, gel dispersive power does not meet the requirements, the viscosity of the gel preparation third formula does not meet the requirements of viscosity gel.
K eywords: Citosan, Gel, Hand Sanitizer PENDAHULUAN Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, pangan, farmasi dan pertanian dalam berbagai bentuk dan tujuan.Kitosan dalam bidang farmasi dimanfaatkan sebagai obat luka, obat pelangsing tubuh, antibakteri, antitumor, antikolesterol, antioksidan, sebagai pengemulsi, dan dapat membentuk gel1. Pemanfaatan kitosan dalam bentuk gel hand sanitizer belum banyak dilakukan. Hand sanitizer
METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan adalah kitosan, asam asetat 4%, Natrium CMC, propilenglikol, metil paraben,essens lemondan air suling. Prosedur Pembuatan Gel Hand Sanitizer a. Na CMC dikembangkan dengan cara ditaburkan di atas air dalam mortir diamkan hingga mengembang selama 24 jam, lalu digerus. Akademi Farmasi Samarinda
atau hand antiseptik merupakan alternatif untuk mencuci tangan selain menggunakan air dan sabun.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan Na CMC terhadap sifat fisik gel hand sanitizer darikitosan terhadap persyaratan stabilitas fisik gel yang meliputi uji organoleptis, pemeriksaan homogenitas, pengukuran pH, pengukuran daya sebar, pengukuran viskositas danpengujian konsistensi.
b. Kitosan sebanyak 1 g dilarutkan dengan 20 ml asam asetat 4% dan digerus hingga homogen. c. Ditambahkan propilenglikol dan metil paraben yang telah dilarutkan dalam propilenglikol panas, gerus homogen hingga membentuk basisgel. d. Ditambahkan larutan kitosan sedikit demi sedikit kedalam basis gel. e. Ditambahkan air suling hingga gel mencapai 100 ml. f. Dan terakhir ditambahkan pengaroma. 31
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
Evaluasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Evaluasi sediaan gel yaitu mengamati organoleptis, pemeriksaan
Supomo
homogenitas, pengukuran pH, pengukuran daya sebar dan pengujian konsistensi.
Formulasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Tabel 1.
Formula Sediaan Gel Hand Sanitizer
Bahan Kitosan Na CMC Propilenglikol Metil paraben Essens Lemon Air Suling ad
Konsentrasi Bahan dalam Formula (%) b/v F1 1 3 2 0,02 3 gtt 100
HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Gel Hand Sanitizer Formula sediaan yang telah dibuat dapat dilihat pada tabel 1. Bahan aktif yang digunakan dalam sediaan gel ini adalah kitosan. Kitosan yang merupakan polimer kationik yang bersifat nontoksik, dapat mengalami biodegradasi dan bersifat biokompatibel. Kitosan merupakan senyawa polikationik alam yang unik memiliki aktivitas antibakteri2. Berdasarkan sifat antibakteri kitosan dan dari penelitian Sarjono dkk3, larutan kitosan 1% dalam menghambat pertumbuhan bakteri jika dibandingkan dengan antibiotik tetrasiklin 0,01% secara berturut-turut adalah Staphylococcus aureus, Bacillus substilis, Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia colimaka digunakan konsentrasi 1% pada setiap formula. Sediaan gel bila digunakan memiliki efek pendinginan pada kulit, penampilan sediaan yang jernih dan elegan, pada pemakaian di kulit setelah kering meninggalkan film tembus pandang, elastis, daya lekat tinggi yang tidak menyumbat pori sehingga pori tidak terganggu, mudah dicuci dengan air, pelepasan obat baik dan kemampuan penyebaran pada kulit baik. Sediaan gel pada umumnya memiliki komposisiterdiri dari komponen bahan yang dapat mengembang dengan adanya air, humektan dan pengawet, adakalanyadiperlukan pula bahan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan berkhasiat4. Bahan tambahan yang lain adalah Na CMC, propilenglikol, nipagin, essens lemon dan aquades. NaCMC merupakan gelling agent turunan selulosa yang digunakan dalam formulasi gel hand sanitizer dari kitosan. Gelling agent untuk kebutuhan farmasi dan sediaan kosmetik harus bersifat inert, aman dan tidak reaktif dengan 32
F2 1 4,5 2 0,02 3 gtt 100
F3 1 6 2 0,02 3 gtt 100
komponen lain. Bahan aktif yang digunakan dalam sediaan gel ini adalah kitosan yang terlarut dalam asam asetat 4% dengan pH 4 sehingga basis Na CMC dapat digunakan sebagai gelling agent dalam sediaan gel dengan bahan aktif kitosan karena Na CMC memiliki stabilitas yang baik pada suasana asam maupun basa dengan kisaran pH 2-10. Menurut Rowe, dkk.5 konsentrasi Na CMC sebagai gelling agent yaitu 3-6%.Dalam pembuatan gel menggunakan variasi konsentrasi Natrium CMC sebesar 3%, 4,5%, dan 6%. Pembentukan gel Na CMC terbentuk pada konsentrasi polimer yangrelatif rendah antara 26%.Pembentukan gel Na CMC umumnya diinduksioleh pembentukan heliks, kadang diikuti dengan agregasi dari heliks. Pembentukan heliks melibatkan transisi dari bentuk koil menjadi struktur heliks, selanjutnya menjadi heliks ganda (heliks agregat). Heliks yang terbentuk dari Na CMC dapat mencair kembali pada peningkatan suhu. Hal ini terjadi karena peningkatan entropi pada sistem dengan adanya peningkatan temperatur. Gel Na CMC bersifat temperaturereversible, seringkali terjadi bila gel yang mencair pada pemanasan dan pembentukan gel pada pendinginan. Bila terbentuk heliks ganda maka akanterbentuk struktur tiga dimensi yang menyerap air dalam jumlah besar sehingga kandungan air dalam medium menjadi semakin sedikit mengakibatkan terbentuknya massa yang semipadat (gel)4. Molekul NaCMC sebagian besar meluas atau memanjang padakonsentrasi rendah tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi molekulnya bertindih dan menggulung, pada konsentrasi yang lebih tinggi akan membentuk benang kusut menjadi gel yang termoreversibel. Meningkatnya Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
Supomo
kekuatan ionik dan menurunnya pH dapat menurunkan viskositas Na CMC akibat polimernya yang bergulung6. Medium pendispersi yang digunakan dalam sediaan ini adalah air suling. Kandungan air sulingyang cukup besar dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba maka diperlukan pengawet untuk menghambat pertumbuhan mikroba.Metil paraben dari golongan paraben mempunyaikemampuan sebagai antimikroba spektrum luas meskipun lebih efektifterhadap jamur dan kapang, aman digunakan (relatif tidak mengiritasi dan tidak beracun) dan stabil pada pH yang terdapat dalamkosmetik7. Metil paraben memiliki pH optimum pada 4-86. Sediaan gel yang dihasilkan memiliki pH 5yang mampu membuat metil paraben bekerja optimum sebagai pengawet. Bahan tambahan lain yaitu propilenglikol. Propilenglikol digunakan sebagai humektan yang akan mempertahankan kandungan air dalam sediaan sifat fisik dan stabilitas sediaan dalam penyimpanan dapat dipertahankan.Humektan adalah agen yang mengontrol perubahan kelembaban antara produk dengan udara pada kulit. Pelembab biasanya mengandung substansi dengan bobot molekul rendah dengan sifat penarik air yang disebut humektan. Substansisubstansi ini berpenetrasi pada kulit dan meningkatkan derajat hidrasi stratum corneum7.
Pemilihan propilenglikol sebagai humektan karena lebih baik dibandingkan dengan gliserin yang biasanya juga digunakan sebagai humektan. Propilenglikol mempunyai penetrasi yang lebih baik terhadap stratumkorneum. Hal tersebut mungkin karena propilenglikol lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan gliserin. Propilenglikol lebih murah dibandingkan gliserin dan lebih sedikit mengakibatkan iritasi7. Konsentrasi propilenglikol yang digunakan adalah sebesar 2% sebagai humektan. Loden8 menyatakan bahwa konsentrasi propilenglikol di atas 10% dapat menimbulkan reaksi iritasi kulit sedangkan di bawah 2% menimbulkan dermatitis. Propilenglikol memiliki stabilitas yang baik pada pH 3-6. . Propilenglikol dapat digunakan sebagai humektan dalam sediaan gel hand sanitizer dari kitosan. Evaluasi Sediaan Gel Evaluasi sediaan gel dilakukan untuk mengetahui gel yang dibuat stabil dan memenuhi persyaratan berdasarkan pustaka.Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 4 minggu penyimpanan. Pengamatan Organoleptis Pada pengamatan organoleptis sediaan gel diamati bentuk, warna dan aroma.
Tabel 2.
Hasil Pengamatan Organoleptis Hasil Pengamatan Formula Bentuk Warna F1 Semi solid agak kental Putih keruh F2 Semi solid kental Putih keruh F3 Semi solid sangat kental Putih keruh
Aroma Essens Lemon Essens Lemon Essens Lemon
Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6% Berdasarkan tabel 2, sediaan gel yang dihasilkan dengan variasi basis gel Na CMC cukup baik. Gel hand sanitizer yang dibuat tidakmenampakkan perubahan bentuk, warna dan aroma pada awal pembuatan. Setiap formula memiliki bentuk yang berbeda-beda, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan konsentrasi gelling agent yang digunakan. Semakin besar konsentrasi gelling agent yang digunakan maka semakin kental pula sediaan yang dihasilkan. Pada formula F1 memiliki bentuk semi solid agak kental, formula Akademi Farmasi Samarinda
F2 memiliki bentuk semi solid kental, dan formula F3 memiliki bentuk semi solid sangat kental. Hasil pengamatanwarna gel kitosan dari ketiga formula, mulai dari hari ke-0 menampakkan warna putih keruh dan aroma essens lemon yang bercampur dengan asam asetat. Warna putih keruh pada gel dikarenakan kitosan yang digunakan sebanyak 1%, semakin tinggi konsentrasi kitosan maka semakin keruh pula warna gel. Pada hari ke-3, aromakhas asam asetat dari ketiga formula mulai berkurang danaroma essens lemon mulai mendominasi. Hal ini dikarenakan asam asetat yang digunakan untuk 33
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
melarutkan penyimpanan.
kitosan
menguap
Supomo
selama
Pengamatan homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan gel pada sekeping kaca. Uji ini dilakukan untuk mengetahui homogenitas bahan aktif dan bahan tambahan lainnya dalam sediaan.
Pengamatan Homogenitas
Tabel 3. Hasil Pengamatan Homogenitas Formula Homogenitas F1 Tidak homogen, menunjukkan adanya gumpalan kecil F2 Tidak homogen, menunjukkan adanya gumpalan sedang F3 Tidak homogen, menunjukkan adanya gumpalan besar Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6% Dari pengamatan homogenitas yang dapat dilihat pada tabel 3, setiap formula tidak menunjukkan butiran kasar, namun terlihat gumpalan Na CMC yang didalamnya terdapat larutan kitosan berwarna putih keruh. Semakin tinggi konsentrasi Na CMC yang digunakan maka semakin besar pula gumpalan yang dihasilkan, hal ini dapat dilihat pada formula F1 yang memiliki gumpalan kecil, formula F2 yang memiliki gumpalan lebih besar dari F1 dan F3 yang memiliki gumpalan lebih besar dari formula F1 dan F2. Gel tidak homogen disebabkan karena konsentrasi Tabel 4.
kitosan yang digunakan sebanyak 1% meningkatkan viskositas sediaan gel dan membentuk gumpalan yang sulit untuk dihilangkan ketika dioleskan pada sekeping kaca. Gumpalan gel diakibatkan karena Na CMC dengan kitosan inkompatibilitas, Na CMC bersifat anionik6 sedangkan kitosan bersifat kationik9. Pengukuran pH Pengukuran pH sediaan gel kitosan menggunakan pH indikator universal. Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 4.
Hasil Pengukuran pH
Pengukuran pH
Formula
pH Gel Sebelum Penyimpanan
pH Gel Sesudah Penyimpanan
F1 F2 F3
5 5 5
5 5 5
Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6% Pengujian pH dilakukan untuk mengukur pH (derajat keasaman) sediaan dan untuk mengetahui apakah sediaan sudah memenuhi syarat pH yang sesuai dengan kondisi pH kulit yaitu 4-8 10. Pada pengamatan pH yang dilakukan setiap minggu selama 4 minggu menghasilkan gel yang memiliki pH 5 yang tidak mengalami perubahan selama penyimpanan dapat dilihat pada tabel 5. Sediaan yang dihasilkan bersifat asam, pH yang bersifat terlalu asam dapat menyebabkan iritasi sedangkan pH yang terlalu basa menyebabkan kulit bersisik. Pengujian dilakukan 34
dengan menggunakanindikator pH, dimanatingkat akurasi dan perubahan yang terjadi pada sediaan tidak dapat terlihat dengan baik. Pengukuran Daya Sebar Pengukuran daya sebar dilakukan untuk mengetahui penyebaran gel pada saat digunakan. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 5 dan gambar 10.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
Tabel 5.
Supomo
Hasil Pengukuran Daya Sebar Daya Sebar (cm) ± SD
Waktu Penyimpanan (Minggu)
F1
F2
F3
0 1 2 3 4 Rata-rata ± SD
3,77 ± 0,007 3,30 ± 0,20 3,02 ± 0,26 2,89 ± 0,22 2,68 ± 0,11 3,13 ± 0,42
3,21 ± 0,09 2,80 ± 0,19 2,40 ± 0,07 2,06 ± 0,06 2,52 ± 0,06 2,59 ± 0,43
2,52 ± 0,15 2,07 ± 0,02 2,02 ± 0,04 2,10 ± 0,04 1,86 ± 0,14 2,11 ± 0,24
Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Daya Sebar Gel (cm)
Parameter daya sebar gel yang baik yaitu 57 cm 11 sedangkan daya sebar gel pada ketiga formula berkisar antara 1,86-3,77 cm yang menunjukkan bahwa ketiga formula tidak memenuhi persyaratan.Lama penyimpanan mempengaruhi daya sebar gel, semakin lama penyimpanan maka daya sebar gel semakin kecil, daya sebar gel yang kecil dikarenakan kandungan air dalam sediaangel menguap sehingga sediaan menjadi semakin keras. Daya sebar gel yang kecil juga disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi gelling agent yaitu Na CMC pada formula F1, F2, dan F3. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya sebar gel adalah jumlah dan kekuatan matriks gel. Semakin banyak dan kuat matriks gel maka daya sebar gel akan berkurang. Dalam sistem gel yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya matriks gel adalah gelling agent. Dengan demikian konsentrasi gelling agentakan menambah dan memperkuat matriks gel12. Oleh karena itu faktor dominan yang menentukan respon daya sebar adalah Na CMC.
Daya sebar gel dari kitosan tidak memenuhi persyaratan disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti viskositas dan karakteristik basis gel yang digunakan.Sediaan yang memiliki viskositas rendah (lebih encer) menghasilkan diameter penyebaran yang lebih besar karena lebih mudah mengalir. Gel dari kitosan memiliki konsistensi yang kental sehingga lebih sulit mengalir. Pada dispersi polimer turunan selulosa, molekul polimer masuk ke dalam rongga (cavities) yang dibentuk oleh molekul air menyebabkan terjadinya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil (-OH) dari polimer dengan molekul air. Ikatan hidrogen ini yang berperan dalam hidrasi pada proses swelling dari suatu polimer. Struktur monomer Na CMC memiliki gugus hidroksil yang banyak sehingga memiliki ikatan hidrogen yang banyak pula dan menyebabkan gel Na CMC menjadi lebih kental. Na CMCmemiliki gaya kohesi yang besar karena interaksi antar molekul sejenis lebih besar. Gaya kohesi antar molekul basis gel yang besar menyebabkan sediaan cenderung mengumpul dan sulit menyebar13
Hasil Pengukuran Daya Sebar Gel
Waktu Penyimpanan (Minggu)
F1
F2
Gambar 1. Grafik Daya Sebar Gel Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Akademi Farmasi Samarinda
35
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
Supomo
Pengukuran Viskositas Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas maka makin besar tahanannya begitupun sebaliknya. Pengujian viskositas
bertujuan untuk menentukan nilai kekentalan suatu zat. Semakin tinggi nilai viskositasnya maka semakin tinggi tingkat kekentalan zat tersebut14. Hasil pengukuran viskositas dapat dilihat pada tabel 6 dan gambar 11.
Tabel 6.
Hasil Pengukuran Viskositas Viskositas (cP)
Waktu Penyimpanan (Minggu) 0 1 2 3 4 Rata-Rata
F1
F2
F3
25.033 27.599 40.633 33.566 39.216 33.209
47.516 57.483 93.216 117.616 96.166 82.399
-
Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6% sediaan gel yang baik yaitu 2.000-4.000 cP 11. Dari data yang diperoleh diatas bahwa viskositas sediaan gel tidak memenuhi persyaratan gel yang baik. Viskositas gel dipengaruhi oleh konsentrasi dari gelling agent. Peningkatan jumlah gelling agent dapat memperkuat matriks gel sehingga menyebabkan kenaikan viskositas12. Dalam formula F1, F2 dan F3 memiliki viskositas yang berbeda, semakin tinggi konsentrasi Na CMC yang digunakan maka semakin besar pula viskositas yang diperoleh. Dalam formula sediaan gel, Na CMC dominan dalam menentukan respon viskositas gel. Nilai pH juga mempengaruhi besarnya viskositas yang dihasilkan, viskositas maksimum Na CMC yaitu pada pH 7-9 5 pH sediaan yang dihasilkan 5 dan tidak berada pada rentang pH maksimum Na CMC.
Vikositas (cP)
Pengukuran viskositas sediaan gel yang telah diformulasi menggunakan Portable Rotary Viscometer Model : VP1020dengan spindel yang cocok yaitu spindel no. R7 dan kecepatan 20 rpm, dari hasil pengamatan dan pengukuran viskositas sebelum penyimpanan memiliki nilai yang berbeda-beda dapat dilihat pada tabel 6. Pada minggu ke-0 ketiga formula yaitu formula F1 memiliki viskositas 25.033 cP, formula F2 memiliki viskositas 47.516 cP dan formula F3 memiliki viskositas terlalu kental sehingga tidak terbaca pada spindel R7 yang memiliki range untuk membaca viskositas hingga 200.000cP.Setelah 4 minggu penyimpanan ratarata viskositas gel pada formula F1 adalah 33.209, formula F2 sebesar 82.399 cP sedangkan pada formula F3 selama 4 minggu penyimpanan masih tidak terbaca nilai viskositasnya.Nilai viskositas
Hasil Pengukuran Viskositas Gel
Waktu Penyimpanan (Minggu) F1
Gambar 2.
F2
Grafik Viskositas Gel
Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6% 36
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015
Supomo
Pengujian Konsistensi Pengujian gel dengan uji mekanik bertujuan untuk mengetahui kestabilan gel setelah pengocokan yang sangat kuat.
Tabel 7. Formula F1 F2 F3
Hasil Pengujian Konsistensi Konsistensi Tidak terjadi pemisahan fase Tidak terjadi pemisahan fase Tidak terjadi pemisahan fase
Keterangan : F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3% F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5% F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6% Pengujian konsistensi dilakukan menggunakan centrifugal test yaitu sampel gel disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam kemudian diamati perubahan fisiknya, hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 7. Sediaan
gel yang telah disentrifugasi setiap minggu selama 4 minggu penyimpanan tidak terjadi pemisahan fase sehingga sediaan gel yang dihasilkan tetap stabil dan tidak terpengaruh gaya gravitasi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Toharisman, A. 2007. Peluang Pemanfaatan Enzim Kitinase Di Industri Gula. Pusat Penelitian Perkebunan Gula. 2. Liu, N., Chen, X.G., Park, H.J., Liu, C.G., Liu, C.S., Meng, X.H., and Yu, L.J., 2006, Effect of MW and Concentration of Chitosan on Antibacterial Activity of Escherichia Coli, Carbohydr. Polym. 3. Sarjono, P.R., Mulyani, N.S., dan Wulandari, N. 2008. Uji Antibakteri Kitosan Dari Kulit Udang Windu (Panaeus monodon) Dengan Metode Difusi Cakram Kertas. Proceeding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia. UNS-UNDIP-UNNES. 4. Anwar,E.2012.Eksipien dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan Aplikasi. Jakarta: Dian Rakyat. 5. Rowe, R.C., Sheskey, P. J., Owen, S. C. 2006. Handbook of Pharmaceutical Exipiens 5th Edition. London: American Pharmaceutical Association. 6. Deviwings. 2008. CMC. http://www.deviwings.blogspot.com/2008 /03/cmc.html. Diakses pada 20 Mei 2014. 7. Fisher, A. And Joseph, F. 2008. Contact Dermatitis Sixth Edition. Ontario: BC Dekker. 8. Loden, M. 2009. Hydrating Substances. In Handbook of Cosmetics Science and Technology. 3rd Edition. New York : Informa Healtcare USA. 9. Rahayu L.H. dan Purnavita (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) Untuk adsorben ion logam merkuri. Reaktor, 11 (1), 45-49. 10. Aulton, M. 1988. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design. London: Curcill Livingstone, Edirberd. 11. Garg, A., D. Aggarwal, S. Garg, and A. K. Sigla. 2002. Spreading on Semisolid Formulation : An Update. Pharmaceutical Tecnology. 12. Zatz, J, L., and Kushla, G. P. 1996. Gels In H. A. Lieberman, M. M. Rieger & G.S. Banker (Ed.). Pharmaceutical dosage forms: Disperse system.(2nd ed.) Vol. 2. New York: Marcel Dekker. 13. Erawati, T., Rosita, N., Hendroprasetyo, W., Juwita, W. 2005.Pengaruh Jenis Basis Gel dan Penambahan NaCl (0.5% b/b) terhadap Intensitas Echo Gelombang Ultrasonik Sediaan Gel Untuk Pemeriksaan USG (AcousticCoupling Agent).Majalah Farmasi Airlangga 5 (2). 14. Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Edisi Ketiga. Penerjemah : Yoshita. Jakarta: UI-Press.
Akademi Farmasi Samarinda
37
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 38-41, 2015
Ratno Adrianto
HUBUNGAN KERJASAMA DAN IMBALAN DENGAN KINERJA PEMEGANG PROGRAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DI KOTA BALIKPAPAN Submitted : 8 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Ratno Adrianto Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Various activities have been implemented in the prevention and control of disease in the city of Balikpapan, but based on the Health Profile 2012 field program is known that the achievement of disease control and environmental sanitation is still not maximal. This corresponds to an increase in cases of environment-linked diseases such as DBD, tuberculosis, diarrhea, ISPA and pneumonia each year. The quality of program performance officer holder is a factor that affects the extent of success in achieving the health programs that have been established. The purpose of this study was to determine the relationship between co-operation, in return, infrastructure and support superior to the performance of holders of Disease Prevention program in the city of Balikpapan. This type of research is analytic survey with cross sectional approach. The population in this study were all employees of the holder of health programs in 27 health centers with a total sampling Balikpapan 54 people. The method used is the analysis of univariate and bivariate. The results showed no significant relationship between co-operation with the performance of the holder of the eradication program (ρ value 0.002), and between rewards to the performance of the holder of the eradication program (ρ value 0.027). Suggestions to increase cooperation and support employers through training soft skills and personality, as well as leadership training management organizations, as well as considering pemberiaan remuneration policy. Thus achieving the health program can be run according to plan. K eywords: Cooperation, Benefits, Performance
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mencapai visi Indonesia sehat 2015, dimana masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh republik Indonesia. Proporsi penemuan ISPA dan Pneumonia pun terus mengalami peningkatan jumlah penderita dan kasus, penderita ISPA tahun 2011 sebanyak 61.950 meningkat menjadi 82.148 tahun 2012, begitu pun penemuan kasus baru pneumonia pada balita tahun 2012 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 37,4% menjadi 50,17% dan masih dibawah target nasional yaitu (70%). Penemuan kasus atau Case Detection Rate (CDR) yang rendah 38
adalah masalah utama dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit Tuberculosis, Pneumonia, dan Diare1. Pencapaian penanggulangan penyakit kusta di kota Balikpapan mengalami flukuasi hal ini karena terjadi peningkatan jumlah penderita kusta selama tiga tahun terakhir yaitu sebanyak 23 dan 34 penderita pada tahun 2009 dan 2010 dan bertambah menjadi 38 penderita pada tahun 2012 dan dilihat dari tingkat Kelurahan ada 10 Kelurahan di Kota Balikpapan yang High Endemis (> 1/10.000 penduduk). Cakupan Imunisasi dasar kota Balikpapan semua antigan sudah mencapai target, Sedangkan drop out bayi masih dibawah target nasional yaitu < 5 %. Sementara untuk jumlah pengidap HIV/AIDS di kota Balikpapan dari tahun 2010 sebanyak 91 ODHA, tahun 2011 menurun menjadi 90 penderita, kemudian tahun 2012 kembali Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 38-41, 2015
Ratno Adrianto
mengalami kenaikan sebanyak 117 penderita dan terus terjadi peningkatan kasus hingga tahun 2013 mengalami kenaikan lebih dari 100 persen yaitu dari 117 menjadi lebih 300 penderita1. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai “hubungan kerjasama dan imbalan dengan kinerja pemegang program penanggulangan penyakit di kota Balikpapan” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kerja sama dan
imbalan terhadap kinerja pemegang program Penanggulangan Penyakit di Kota Balikpapan. Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai pemegang program kesehatan di 27 Puskesmas Kota Balikpapan dengan total sampling sebanyak 54 orang. Metode yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat.
METODE PENELITIAN Jenis atau metode penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan belah lintang (Cross Sectional) yaitu pengamatan variabel yang diukur (baik variabel bebas dan terikat) dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan satu kali pengamatan. Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Kerjasama dengan Kinerja Pemegang Program Penanggulangan Penyakit Tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan Hubungan kerjasama dengan kinerja pemegang program penanggulangan penyakit merupakan tingkat kerjasama yang dimiliki responden yang Tabel 1.
ini dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan mengenai bagaimana kinerja pemegang program penanggulangan penyakit dengan melihat keterkaitan atau hubungan antara variabel-variabel yang diteliti.
dapat mempengaruhi kinerja. Dalam hal ini untuk mengetahui gambaran hubungan antara kerjasama dengan kinerja pemegang program penanggulangan penyakit dengan uji korelasi Rank Spearman, maka diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:
Hubungan Kerjasama dengan Kinerja Correlations Kinerja
Spearman's rho Kinerja
Correlation Coefficient
1.000
.404**
.
.002
54
54
**
1.000
.002
.
54
54
Sig. (2-tailed) N Kerjasama Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Kerjasama
.404
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Hasil analisa dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman didapatkan nilai ρ value adalah 0,002 lebih kecil dari alfa (ρ < 0,05). Karena nilai tersebut lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka Ho ditolak. Artinya ada korelasi atau hubungan antara kerja sama dengan Kinerja Pemegang Program penanggulangan penyakit tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di 27 Puskesmas Kota Balikpapan diketahui bahwa tingkat kerja sama dari 54
Akademi Farmasi Samarinda
responden pemegang program sebanyak 30 orang (44,4%) memiliki Kerja sama yang baik dan 24 orang (55,6%) memiliki Kerja sama yang kurang baik. Sehingga dalam hal ini terdapat masalah terkait kerja sama yang kurang baik yang masih dimiliki 24 orang responden. Hal tersebut diatas tentunya secara tidak langsung dapat mempengaruhi efektivitas kinerja dalam keberhasilan pencapaian program penanggulangan penyakit dan penyehatan lingkungan karena masih terdapat pemegang
39
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 38-41, 2015
Ratno Adrianto
program yang memiliki kerja sama yang hanya kurang baik, sementara pentingnya kerja sama yang harus dimiliki oleh responden sebagai pemegang program kesehatan. Hal ini relevan dengan teori kerja sama 2 dorongan atau kemampuan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dalam melaksanakan suatu tugas, meliputi: Meminta ide dan pendapat dalam mengambil keputusan atau, merencanakan sesuatu, menjaga orang lain tetap memiliki informasi dan hal-hal baru tentang proses dalam kelompok, serta mendorong orang lain dan membuat mereka merasa penting. Dimana kerja sama harus didasarkan atas hak, kewajiban dan tanggungjawab masing-masing orang untuk mencapai tujuan3. Jika variabel independen dan variabel dependen dihubungkan, yaitu antara pertanyaan kerja sama dengan kinerja pemegang program Bidang Penanggulangan Penyakit, maka diketahui bahwa responden yang memiliki kerja sama baik dan memiliki kinerja yang baik yaitu sebanyak 21 orang (70%), dan yang memiliki kerja sama baik tetapi kinerja kurang baik yaitu 9 orang (30%) hal ini karena responden menilai kurang puas dan
kurang baik pada imbalan dan sarana prasarana. Sedangkan pada responden yang memiliki kerja sama kurang baik tetapi memiliki kinerja baik ada 9 orang (37,5%) ini karena responden menilai baik terhadap variabel dukungan atasan. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa tingkat kerja sama berpengaruh terhadap kinerja pemegang program Bidang Penanggulangan Penyakit. Sehingga dapat diketahui bahwa semakin baik kerja sama yang dimiliki oleh pemegang program maka akan semakin baik pula kinerja yang dimiliki begitupun sebaliknya. Hubungan Imbalan dengan Kinerja Pemegang Program penanggulangan penyakit Tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan Hubungan imbalan dengan kinerja pemegang program Bidang Penanggulangan Penyakit merupakan presepsi responden tentang imbalan yang dapat mempengaruhi kinerja. Dalam hal ini untuk mengetahui gambaran hubungan antara imbalan dengan kinerja pemegang program Bidang Penanggulangan Penyakit dengan uji korelasi Rank Spearman, maka diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.
Hubungan Imbalan dengan Kinerja Correlations Kinerja
Spearman's rho Kinerja
Correlation Coefficient
1.000
.301*
.
.027
54
54
*
1.000
.027
.
54
54
Sig. (2-tailed) N Imbalan
Correlation Coefficient
.301
Sig. (2-tailed) N
Imbalan
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Hasil analisa dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman didapatkan nilai ρ value adalah 0,027 lebih kecil dari alfa (ρ < 0,05). Karena nilai tersebut lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka Ho ditolak. Artinya ada korelasi atau hubungan antara imbalan dengan Kinerja Pemegang Program Bidang Penggulangan Penyakit tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan. Selain gaji pokok pemegang program Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tingkat Puskesmas kota Balikpapan juga mendapatkan imbalan berupa tunjangan, insentif, dan upah kerja lapangan atau transport. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa presepsi imbalan dari 40
54 responden pemegang program adalah 28 orang menjawab puas terhadap imbalan, dan sebanyak 26 orang (53,7%) memiliki jawaban kurang puas terhadap imbalan yang diperoleh. Sehingga dalam hal ini terdapat masalah terkait presepsi terhadap imbalan yang masih kurang memuaskan bagi 26 responden, dimana pegawai mengatakan bahwa tunjangan, insentif dan upah kerja lapangan yang diperoleh masih tidak sesuai dengan banyaknya tanggung jawab pekerjaan yang di emban, hal ini tentunya secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja responden dalam keberhasilan pencapaian program penanggulangan penyakit dan penyehatan lingkungan karena masih terdapat pemegang program yang merasa tidak Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 38-41, 2015
Ratno Adrianto
puas terhadap imbalan atau kompensasi yang mereka peroleh. Jika variabel independen dan variabel dependen dihubungkan, yaitu antara pertanyaan imbalan dengan kinerja pemegang program Bidang Penanggulangan Penyakit, maka diketahui bahwa responden yang memiliki presepsi imbalan kurang puas tetapi memiliki kinerja yang baik ada 10 orang (38,5%) ini karena responden memiliki penilaian baik pada variabel kerja sama dan sarana prasarana, sedangkan responden yang memiliki presepsi imbalan puas tetapi memiliki kinerja
kurang baik yaitu ada 8 orang (28,6%) ini karena responden menilai kurang baik pada variabel kerja sama dan dukungan atasan. Hal ini menunjukkan bahwa presepsi imbalan berpengaruh terhadap kinerja pemegang program Bidang Penanggulangan Penyakit. Sehingga dapat diketahui bahwa semakin puas presepsi pemegang program terhadap imbalan maka akan memiliki kinerja yang semakin baik pula, sedangkan yang kurang puas terhadap imbalan memiliki kinerja yang kurang baik bahkan tidak baik.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan: 1. Hasil uji dengan menggunakan Rank Spearman di peroleh nilai ρ value adalah 0,002 (ρ < 0,05) lebih kecil dari alfa (α = 0,05), maka Ho di tolak yang berarti ada hubungan antara kerja sama dengan kinerja Pemegang Program Bidang Penanggulangan Penyakit Tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan 2. Hasil uji dengan menggunakan Rank Spearman di peroleh nilai ρ value adalah 0,027 (ρ < 0,05) lebih kecil dari alfa (α = 0,05), maka Ho di tolak yang berarti ada hubungan antara imbalan dengan kinerja Pemegang Program Bidang Penanggulangan Penyakit Tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan. Saran Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut : 1. Perlunya meningkatkan kerja sama antar pemegang program kesehatan maupun dengan
atasan melalui kegiatan pelatihan personality soft skill, coffee morning serta family gathering yang lebih rutin dengan harapan dapat meningkatkan komunikasi yang lebih baik diantara para pemegang program kesehatan. 2. Perlunya mempertimbangkan kebijakan kenaikan pemberian imbalan atau kompensasi sebagai bentuk penghargaan kepada setiap pemegang program baik Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan maupun pemegang program kesehatan lainnya sesuai dengan kinerja, tupoksi maupun standar kerja yang telah diberikan dan menjadi tanggungjawab dalam pencapaian program kesehatan. 3. Perlunya meningkatkan dukungan atasan yang lebih baik dari setiap pimpinan di instansi Puskesmas dengan kegiatan pelatihan Manajemen Leadership Organisasi dan coffee morning yang lebih rutin untuk mengintensifkan komunikasi antara bawahan dan atasan guna meningkatkan efektivitas kinerja para pemegang program kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Dinas Kesehatan Kota Balikpapan. Profil Dinas Kesehatan Kota Balikpapan Tahun 2012. Balikpapan 2. Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja. Jakarta: Pustaka Pelajar 3. Mangkunegara, A.A Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT. Refika Aditam
Akademi Farmasi Samarinda
41
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 42-46, 2015
Ambali Azwar Siregar
EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) MENURUNKAN KADAR GULA DARAH MENCIT DIABETES Submitted : 8 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Ambali Azwar Siregar 1,2, Urip Harahap 2, Mardianto 3 1
Departemen Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indah, Medan 2 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan 3 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Diabetes mellitus is one of desease that have a large population and trend to increase. sulfonylurea and biguanide are almost used treatment but have unexpected side effects. The research still necessary to seek alternative medicine, such as Piper crocatum. This study aimed to determine the effect of ethanol extract of red betel leaves on blood sugar levels and body weight of mice (Mus musculus L.) diabetes. This riset was started to produce simplicia and drilled become powders, continued extract with 70% ethanol. The extract was evaporated with rotary evaporator until obtaine crude extract. And then screen it that determine phytochemical. To continued test on tolerance of level of glucose then mice diabetes induced aloxan. In summary, extract of red betle ethanolic has contained alkaloid, quercetin flavonoid, steroid and fenolic compounds and decreased level of glucose in blood mice diabetes. Besides, it can reduce lose of weight symptom. K eywords : Piper crocatum, mice diabetes, aloxan, lose of weight
PENDAHULUAN Diabetes melitus diperkirakan diderita hampir 150 juta di dunia pada tahun 2000 dan terus meningkat seiring dengan waktu dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah akibat kekurangan sekresi insulin baik absolut maupun relatif disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Keadaan tersebut lazim terjadi pada penderita diabetes sehingga bisa menyebabkan kerusakan serius pada sistem tubuh 1. Di Amerika Serikat terdapat 25,8 juta atau 8,3% dari populasi yang menderita baik anakanak maupun orang dewasa dengan 18,8 juta jiwa terdiagnosa dan 7,0 juta jiwa tidak terdiagnosa . Di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di Manado sekitar 6% dari jumlah penduduk sebanyak 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 12 juta jiwa 2. 42
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit diabetes sekitar 5,7% dan cenderung mengalami peningkatan seiring waktu (Depkes RI, 2008). Pada tahun 2030, Indonesia diperkirakan memiliki penderita DM sebanyak 21,3 juta jiwa dan menduduki peringkat keempat setelah Amerika Serikat, Cina dan India 3. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti dan tenaga kesehatan untuk menekan laju prevalensi penyakit diabetes tersebut. Pengobatan penyakit diabetes menggunakan obat per oral golongan sulfonilurea dan biguanida masih menjadi pilihan utama saat ini, namun memiliki efek samping yang tidak diharapkan. Dewasa ini sebagian masyarakat masih menggunakan obat tradisional, baik dalam bentuk sederhana yang diambil langsung dari alam maupun sediaan atau bungkusan yang sudah melewati proses produksi pada perusahaan atau industri jamu 4. Suatu tumbuhan obat memberikan manfaat secara ilmiah, terkait dengan penggunaan secara tradisional, maka peneliti merasa perlu untuk menyelidikinya secara eksperimental Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 42-46, 2015
sehingga diperoleh data yang meyakinkan secara ilmiah, sehingga penggunaan tanaman tersebut sebagai obat dapat dijamin kebenarannya. Mekanisme kerjanya yang tidak diketahui secara pasti dapat diteliti selanjutnya, namun dapat diperkirakan bahwa efeknya dalam menurunkan kadar gula darah sama seperti obat-obat hipoglikemia oral 5. Salah satu tanaman yang sering digunakan pasien DM sebagai obat yaitu sirih merah (Piper crocatum). Daun sirih merah digunakan secara tradisional bahkan keluarga kraton Jogjakarta
BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daun sirih merah yang diperoleh dari hasil kultivasi di daerah Medan Johor, Medan; Etanol 96%; Tablet metformin (PT Kimia Farma); CMCNa; Aquadest; Larutan fisiologis NaCl 0,9%; toluen; Aloksan monohidrat (Sigma); formalin 10%; Makanan; D-Glukosa; Fruktosa; dan bahan kimia lain yang dianggap perlu. Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit jantan (Mus muscullus L) yang diperoleh dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Uji antidiabetes dengan metode uji toleransi glukosa menggunakan mencit dengan berat badan 25-30 g dan umur 2 bulan. Hewan dikondisikan selama lebih kurang satu bulan di laboratorium dan diberi makanan pelet dan minuman air mineral yang sesuai. Penggunaan hewan coba mencit telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan No. 019/KEPH-FMIPA/2012. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (EEDSM) EEDSM dibuat di laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi USU. Serbuk kering dimaserasi dengan etanol 70% dalam wadah tertutup rapat dan dibiarkan pada suhu kamar selama 2 hari terlindung dari cahaya dan sering diaduk, kemudian dipisahkan, ampas dimaserasi kembali dengan pelarut etanol 70% baru dan dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas sampai diperoleh maserat yang jernih. Semua maserat digabung menjadi satu lalu diuapkan dengan bantuan alat rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak etanol kental, kemudian ekstrak dikeringkan di freeze dryer (-20oC) hingga diperoleh ekstrak kering daun sirih merah. Akademi Farmasi Samarinda
Ambali Azwar Siregar menggunakannya untuk mengobati DM, hipertensi, leukemia, keputihan, dan kanker payudara 6. Air rebusan daun sirih merah menunjukkan dosis 20 g/kg BB merupakan dosis yang aman untuk dikonsumsi 7. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk menguji lebih lanjut efek ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) sebagai penurun kadar gula darah dengan pembanding metformin serta gambaran histologi pankreas terhadap mencit percobaan.
Ekstrak sirih merah dibuat suspensi dengan menggunakan karboksil metil selulosa natrium (CMC-Na) konsentrasi 0,5% dengan variasi dosis 50, 100, dan 200 mg/kg BB serta metformin sebagai pembanding. Skrining Fitokimia dan Identifikasi komponen senyawa EEDSM dengan KLT Skrining fitokimia EEDSM meliputi senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, fenolik, tannin, triterpenoid dan steroid dengan mengikuti metode yang terdapat pada Harborne 8. Kemudian larutan ekstrak dielusi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan fase gerak etil asetat:nheksan (1:1). Hasilnya dilihat secara visual dan di bawah sinar UV (254 dan 366 nm) dengan atau tanpa pereaksi semprot 9. Senyawa pembanding yang digunakan adalah quersetin. Pengujian Antidiabetes Hewan yang diinduksi aloksan, terlebih dahulu digemukkan lalu diinjeksikan aloksan secara intra peritoneal (ip). Makanan setelah diinduksi tetap diberikan. Uji antidiabetes secara in vivo diacu berdasarkan metode yang dilakukan Tanquilut et al 10. Hewan coba dipuasakan (ad libitium) selama lebih kurang 18 jam. Kemudian berat badan ditimbang dan diukur kadar gula darah puasa dengan alat Accu trend GCT (Roche). Larutan aloksan 200 mg/kg BB diberikan secara intra peritoneal (i.p). Lalu diukur kadar gula darah mencit pada hari ke 3 dan ke 7. Pada hari ke 7, hewan yang memiliki kadar gula darah (KGD) lebih tinggi dari 200 mg/dl dipisahkan dan dijadikan sebagai hewan uji. Hewan yang memiliki KGD lebih rendah dari 200 mg/dl diinduksi kembali. Jika hewan uji pada hari ke-7 telah menunjukkan kadar gula darah lebih dari 200 mg/dl, maka hewan sudah dapat diberikan bahan uji. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 43
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 42-46, 2015
Ambali Azwar Siregar
1 tetes melalui ekor mencit. Mencit dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit kemudian diberi perlakuan secara peroral. Suspensi diberikan selama 11 hari berturutturut secara oral. Lalu diukur kadar gula darah mencit pada hari ke-3, 5, 7 dan 11 setelah pemberian bahan uji, selama percobaan diamati berat badan hewan.
Analisis Statistik Analisis data menggunakan analisis ragam (ANOVA) rancangan acak lengkap (RAL) pada tingkat kepercayaan 80%, α=0,2 dan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan. Semua data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 19.
HASIL DAN PEMBAHASAN Skrining Fitokimia dan Identifikasi komponen senyawa EEDSM dengan KLT Tabel 1. Hasil uji skrining golongan senyawa kimia EEDSM Pengujian Hasil Alkaloid + Flavonoid + Saponin Triterpenoid Steroid + Tanin/fenol + (+) = menunjukkan ada keberadaan senyawa yang diuji (-) = menunjukkan tidak terdeteksi senyawa uji Skrining fitokimia menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan silika gel GF254 sebagai fase diam dan fase gerak menggunakan etil asetat:n-heksan (1:1) dan dideteksi di bawah sinar UV 254 nm, menunjukkan adanya noda (spot) Rf yang sama dengan senyawa baku pembanding quersetin, yaitu sebesar 0,53. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak sirih merah mengandung quersetin. Aktivitas Hipoglikemi EEDSM Terhadap Mencit Diabetes yang diinduksi Aloksan Gambar 1 menunjukkan pemberian EEDSM dosis 100 dan 200 mg/kg BB ternyata mampu menurunkan KGD mendekati normal dengan nilai masing-masing 210,5 dan 175 mg/dl;
jika dibandingkan dengan metformin 10 mg/kg BB tidak berbeda signifikan (p>0,2). Sedangkan EEDSM dosis 50 mg/kg BB hanya mampu menurunkan KGD rerata sebesar 320 mg/dl, namun masih berbeda signifikan dengan kontrol negatif dengan nilai KGD rerata sebesar 541,7 mg/dl. Peningkatan dosis EEDSM sampai dosis 200 mg/kg BB menunjukkan peningkatan aktivitas hipoglikemik. Hal ini mengindikasikan komponen senyawa kimia aktif di dalam EEDSM memiliki efek sinergis. Velazquez, et al., 11 menyatakan bahwa obat-obatan alternatif komplementer yang berasal dari alam memiliki efek sinergisme dalam mengobati suatu penyakit.
700
Kadar Gula Darah (mg/dL)
600 500 400 300 200 100 0
0
2
base line EESM 50 mg/kg EESM 200 mg/kg
44
4
6
8
10
Kontrol Negatif: CMC 0,5% Waktu (hari) EESM 100 mg/kg
12
Metformin 10 mg/kg bb
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 42-46, 2015
Gambar 1.
Ambali Azwar Siregar
Profil KGD mencit diabetes yang diberi suspensi EEDSM
Flavonoid quersetin, merupakan agen antiradikal bebas, menurunkan jumlah lipid peroksidasi, produksi NO, dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan di pulau langerhans pankreas, menurunkan jumlah interleukin-1 β dan interferon-γ 12,13. Senyawa tanin atau fenol yang terdapat dalam EEDSM dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita DM, melalui jalur penangkapan radikal bebas dan antioksidan 14. Aktivitas EEDSM terhadap Penurunan Berat Badan Mencit Berdasarkan pengamatan selama 11 hari menunjukkan terdapat perubahan berat badan mencit DM (Gambar 4.6). Kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan suspensi CMC 0,5% tanpa EEDSM dan metformin, mengalami kehilangan bobot berat badan yang paling besar dengan bobot awal 34,7 g menurun menjadi 26,9 g atau -12,4% (p<0,2). Pemberian EEDSM dosis 50 mg/kg BB juga mengalami penurunan berat badan, namun masih lebih kecil dibanding kontrol negatif (p<0,2). EEDSM 100 mg/kg BB belum nampak meningkatkan berat badan mencit sampai pada hari ke-3, walaupun fluktuatif namun secara umum dapat memperbaiki kehilangan berat badan. EEDSM dosis 200 mg/kg BB nampak lebih baik dibanding dengan dosis 50 dan 100 mg/kg BB bahkan pada hari ke-11 (akhir
pengamatan) bobot badan mencit dapat ditingkatkan sebesar 7,5%. Pemberian EEDSM dosis 100 mg/kg BB yang diberikan satu minggu secara per oral sebelum diinduksi aloksan, sebagai upaya preventif menunjukkan peningkatan bobot badan sebesar 8,6% (Gambar 2). Hal ini bila dihubungkan dengan nilai KGD-nya, memiliki nilai rerata 183,3 mg/kg BB, mengindikasikan bahwa EEDSM memiliki potensi mencegah kerusakan pankreas. Salah satu simptom penederita DM adalah kehilangan berat badan secara drastis dan dalam waktu relatif singkat. Pada penelitian ini EEDSM memiliki potensi untuk mengatasi simptom kehilangan berat badan. Peningkatan berat badan pada mencit diabetes yang diberi EEDSM disebabkan nafsu makan meningkat berdasarkan pengamatan kualitatif peneliti. Nafsu makan yang meningkat tersebut dapat disebabkan adanya zat pahit (bitter taste) 15, di antaranya adalah alkaloid. Informasi yang sama seperti yang dilaporkan bahwa sediaan dekoks Piper crocatum dapat meningkatkan nafsu makan tikus yang diinduksi aloksan. Ini mempertegas bahwa di samping dapat memperbaiki kadar glukosa dari penderita diabetes, alkaloid juga dapat meningkatkan nafsu makan.
EESM 100 mg/kg bb, preventif metformin 10 mg/kg bb EESM 200 mg/kg bb EESM 100 mg/kg bb EESM 50 mg/kg bb kontrol negatif base line
-30
Gambar 2.
-20 -10 0 10 20 Persentase Perubahan Berat Badan (%)
30
Perubahan berat badan mencit yang diinduksi aloksan selama 11 hari
SIMPULAN EEDSM memiliki aktivitas menurunkan kadar gula darah mencit diabetes yang diinduksi aloksan dan memperbaiki symptom kehilangan
Akademi Farmasi Samarinda
berat badan serta berpotensi menjadi obat alternatif untuk penderita diabetes.
45
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 42-46, 2015
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibu Aswita Hafni Lubis dan staf Laboratorium Fitokimia membantu dalam memberikan fasilitas dan pembuatan ekstrak, Dan Ibu Marianne dan
Ambali Azwar Siregar staf Laboratorium Farmakologi Farmasi USU membantu dalam memberikan fasilitas pengerjaan hewan percobaan.
Speroff L, Fritz MA. Clinical gynaecologic endocrinology and infertility. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. Chapter 29, Endometriosis; P.1103-33.
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization (WHO). About Diabetes. 2012. Diambil dari http://www.who.int/diabetes/action_online/basics/en/index3.html 2. Depkes RI. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2005. P. 1, 7, 11-12, 25-27, 32. 3. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Nasional 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. 4. Agoes, HA, Jacob, T. Antropologi Kesehatan Indonesia Pengobatan Tradisional. Jilid I. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1992. P.13, 159. 5. Widowati L, Dzulkarnain B, Sa’roni. Tanaman Obat Untuk Diabetes Mellitus. Cermin Dunia Kedokteran. No. 116. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1997. p. 54. 6. Werdhany WI, Marton A, Setyorini W. Sirih Merah. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2008. 7. Salim A. Potensi Rebusan Daun Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Senyawa Antihiperglikemia Pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley. Skripsi. Bogor: IPB. 2006. 8. Harborne, JB. Metode Fitokimia. Edisi II. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. 1987. p. 152. 9. Jork H, Funk W, Fischer W, Wimmer H. Thin Layer Chromatography Reagent and Detection Metods, 1, New York: VCH. 1990; p. 9-38, 147,191,314. 10. Qadori. Histological Studies on Pancreatic Tissue in Diabetic Rats by Using Wild Cherry. The Iraqi Postgraduate Medical Journal. 2009. 10(3): 421-425 11. Velazquez ALL, Beltrán MM, Panduro A, Ruiz LH. Alternative Medicine and Molecular Mechanisms in Chronic Degenerative Diseases. Chinese Medicine. 2011. 2: 84-92 12. Coskun O, Kanter M, Korkmaz A, Oter S. Quercetin, a flavonoid antioxidant, prevents and protects streptozotocin-induced oxidative stress and beta-cell damage in rat pancreas. Pharmacol Res. 2005; 51(2): 117-23 13. Kim EK, Kwon KB, Song MY, Han MJ, Lee JH, Lee YR, et al. Flavonoids protect against cytokineinduced pancreatic beta-cell damage through suppression of nuclear factor kappa B activation. Pancreas. 2007. 35(4):1-9. 14. Kumari M. Jain S. Tannins: An Antinutrient with Positive Effect to Manage Diabetes. Res.J.Recent Sci. 2012. 1(12): 70-73, 15. Deshmukh D, Baghel VS, Shastri D, Nandini D, Chauhan NS. Plant as bitter, International Journal of Advances in Pharmaceutical Sciences, 2010; 1: 334-343
46
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 47-51, 2015
Hayatus Sa’adah
OPTIMASI FORMULA EKSTRAK JAHE MERAH (Zingiber officinale) DENGAN METODE KEMPA LANGSUNG MENGGUNAKAN ANALISIS SIMPLEX LATTICE DESIGN Submitted : 10 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 HayatusSa`adah Akademi Farmasi Samarinda E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Processing of medicinal plants into the appropriate dosage form can ensure security during use. It is a motivation in making acceptable dosage form which is easy and convenient to use, especially the manufacture of ethanol extract red ginger tablets using a combination of starch 1500 and amprotab. The study begins with the manufacture of dry extract of red ginger. Optimization of making tablets using a combination of starch 1500 and disintegrator with simplex lattice design using three formulas is done by direct compaction method. Further testing on the tablet hardness, friability and disintegration time. The results showed starch 1500 has a greater influence increase hardness and disintegration time of tablets, as well as lowering the fragility of the tablet. While the interaction of starch 1500 and disintegrator has no effect on the physical tablet. The optimum proportion of the combination of starch 1500 and disintegrator meet the physical requirements of tablets with a ratio of 4: 6 with 7.99 kg hardness, the friability of 0.32% and disintegration time of 2.42 minutes K eywords : extract red ginger, simplex lattice design, direct compaction method
PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obat modern menyentuh masyarakat. Pengetahuan tentang tanaman obat ini, merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini.Obat tradisional sebagai alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk di bidang kesehatan. Penggunaan produk-produk bahan alam terutama dari tumbuhan mengalami peningkatan hingga 380% antara tahun 1990 dan 1997 sehingga fokus-fokus penelitian mulai diarahkan pada keseragaman produk dan standarisasinya1. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai alternatif pengobatan di masyarakat semakin meningkat, namun penggunaan tersebut tetap harus memperhatikan indikasi, dosis dan efek samping.Penggunaan produk-produk bahan alam dari tumbuhan ini masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu diseduh, dihaluskan, diambil sarinya dan sebagainya yang semuanya itu sulit Akademi Farmasi Samarinda
untuk menentukan keseragaman dosis dari produk yang digunakan. Demikian juga bentuk sediaan obat tradisional yang beredar di masyarakat bermacam-macam, baik asal bahan mentah, proses pengolahan dan bentuk sediaannya, sehingga dapat dipastikan kemungkinan betapa besarnya ketidakseragaman komposisi senyawa yang terdapat pada produk jadinya. Hal tersebut mendorong adanya pengolahan tanaman obat menjadi bentuk sediaan yang mudah digunakan serta mempunyai dosis penggunaan yang tepat sehingga menjamin keamanan sediaan tersebut. Fenomena tersebut menjadi motivasi yang mendorong produsen obat tradisional untuk membuat suatu sediaan yang mudah dalam penggunaan salah satunya adalah pembuatan tablet ekstrak etanol jahe merah yang mempunyai aktivitas antara lain sebagai anti inflamasi dan antioksidan. Penelitian mengenai jahe merah sejauh ini lebih banyak pada analisis kandungan dan khasiatnya. Penelitian tersebut antara lain : Analisis minyak atsiri dari dua varietas rimpang jahe dari bahan segar dan kering. Pengaruh air perasan rimpang jahe terhadap toksisitas akut propanolol dan kinidin pada mencit. Pemanfaatan 47
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 47-51, 2015
oleoresin jahe (Zingiber officinale) untuk mengatasi kelainan antioksidan intrasel superoxide dismutase (SOD) hati tikus di bawah kondisi stress2. Dalam penelitian ini dibuat sediaan tablet yang didefinisikan sebagai sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi yang berdasarkan metode pembuatannya dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa3. Cara kempa langsung biasanya digunakan untuk obat-obat dengan potensi yang tinggi dimana kandungan zat aktifnya kurang dari 30 %
METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian menggunakan aplikasi Simplex Lattice Design (Design Expert ver 7.11) . Pembuatan serbuk kering ekstrak etanol jahe merah Rimpang jahe merah yang di rajang melintang dengan tebal ± 2 mm dikeringkan dengan cara di angin-anginkan dan di bawah sinar matahari tak langsung dengan ditutup kain hitam. Rimpang yang telah kering diblender halus. Kemudian sebanyak 250 gram serbuk jahe diekstrak empat kali dengan menggunakan 500 ml pelarut organic etanol.Ekstrak yang diperoleh disaring kemudian disuling dengan rotaryvacumevaporator. Ekstrak dikeringkan dengan menambahkan aerosil dan dikeringkan di almari pengering dengan suhu ± 400C selama 24 jam.
Hayatus Sa’adah
dari formulasi. Metode kempa langsung kempa langsung merupakan metode pilihan untuk pembuatan tablet dengan zat aktif yang bersifat termolabil dan sensitive terhadap kelembaban. (Jivrajet al, 2000) Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian pembuatan tablet ekstrak etanol jahe merah dengan melakukan formulasi pembuatan tablet ekstrak etanol jahe merah dengan metode kempa langsung. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai pembuatan tablet dengan bahan aktif berasal dari bahan alam.
Penentuan formula dengan model simplex lattice design dilakukan dengan menggunakan perbandingan Starch 1500 (komponen A) dan Amprotab (komponen B) dalam proporsi tertentu (() – 1) bagian. Dalam hal ini 1 bagian = 75 mg (maksimum) dan 0 bagian = 0 mg (minimum). Rancangan proporsi komponen untuk tiap-tiap formula tersaji dalam tabel 1. Serbuk kering ekstrak etanol jahe merah ditambah eksipien yang telah terpilih dicampur menggunakan mixer Erweka dengan kecepatan 145 rpm selama 10 menit. Campuran tersebut dicetak dengan mesin tablet setelah diuji sifat alir dan kompaktibilitasnya. Tablet dicetak dengan berat 500 mg dan dibuat dengan kedalaman punch atas 6,5 mm. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tablet kempa langsung ekstrak etanol jahe merah meliputi kekerasan tablet, kerapuhan, dan waktu hancur.
Optimasi formula serbuk kering ektrak etanol jahe merah Tabel 1.
Formula tablet kempa langsung ekstrak etanol jahe merah FORMULA BAHAN I II III Ekstrak Jahe (mg) 200 200 200 Avicel (mg) 225 225 225 Starch 1500 (mg) 75 37.5 0 Amprotab (mg) 0 37.5 75
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Data sifat fisik tablet ektrak etanol jahe merah Formula Sifat Fisik I II III Kekerasan (kg) 9,15 ± 0,10 8,2 ± 0,03 7,20 ± 0,05 Kerapuhan 0,279 ± 0,018 0,311 ± 0,011 0,382 ± 0,002 Waktu hancur (menit) 4,58 ± 0,08 2,83 ± 0,02 0,70 ± 0,01 48
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 47-51, 2015
Hayatus Sa’adah
Pembuatan tablet ekstrak etanol jahe merah dilakukan dengan metode kempa langsung untuk menghindari kerusakan akibat panas dan lembab. Setelah dilakukan pencampuran bahan-bahan yang akan di tablet, dilakukan uji sifat fisik terhadap tablet yang dihasilkan, meliputi : 1. Kekerasan Tablet (kg) Kekerasan tablet merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan tablet terhadap kekuatan mekanik seperti goncangan dan benturan selama pengemasan, penyimpanan serta pendistribusian ke tangan konsumen. Kekerasan tablet akan berpengaruh terhadap waktu hancur dan disolusi, pada umumnya tablet yang keras memiliki waktu hancur yang lebih lama dan disolusi lebih rendah. Hasil uji kekerasan tablet seperti tersaji pada tabel 2. Kekerasan tablet yang baik menurut Parrot5 adalah antara 4-8 kg. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa formula I tidak memenuhi persyaratan fisik tablet.
Design-Expert® Sof tware
Pendekatan simplex lattice design terhadap kekerasan tablet menghasilkan persamaan : Y = 9,15 (A) + 7,20 (B) + 0,10 (A)(B) (A) = fraksi komponen starch 1500 (B) = fraksi komponen amprotab Profil kekerasan tablet yang diperoleh dari penelitian menggunakan metode simplex lattice design digambarkan pada gambar 1. Pendekatan simplex lattice design menunjukkan bahwa kedua komponen berpengaruh menaikkan kekerasan namun yang paling berpengaruh meningkatkan kekerasan tablet adalah starch 1500 dimana nilai koefisien a lebih besar dari b. Hal ini disebabkan karena starch 1500 mempunyai kompaktibilitas yang lebih baik daripada amprotab. Interaksi starch 1500 dan amprotab hampir tidak berpengaruh terhadap kekerasan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien yang sangat kecil dan profil menunjukkan garis yang cenderung lurus.
Two Component Mix
Kekerasan DesignPoints X1 = A: Starch 1500 X2 = B: Amprotab
9.2
Kekerasan
8.7
8.2
7.7
7.2 Actual Starch 1500 0 Actual Amprotab 1
Gambar 1.
0.25 0.75
0.5 0.5
0.75 0.25
1 0
Profil kekerasan tablet berdasarkan pendekatan simplex lattice design
2. Kerapuhan Tablet (%) Hasil uji kerapuhan berkisar antara 0,25 – 1,08%. Menurut Banker & Anderson4 kerapuhan yang baik bila angka kerapuhan kurang dari 1%. Dari hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa semua formula memenuhi persyaratan fisik kerapuhan tablet.
Akademi Farmasi Samarinda
Pendekatan simplex lattice design terhadap kerapuhan tablet menghasilkan persamaan: Y = 0,279 (A) + 0,382 (B) - 0,078 (A)(B) (A) = fraksi komponen starch 1500 (B) = fraksi komponen amprotab Profil kerapuhan tablet yang diperoleh dari penelitian menggunakan metode simplex lattice design digambarkan pada gambar 2.
49
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 47-51, 2015 Design-Expert® Sof tware
Hayatus Sa’adah Two Component Mix
kerapuhan DesignPoints X1 = A: Starch 1500 X2 = B: Amprotab
0.39
kerapuhan
0.36
0.33
0.3
0.27 Actual Starch 1500
Gambar 2.
0
0.25
0.5
0.75
1
Actual Amprotab 1
0.75
0.5
0.25
0
Profil kerapuhan tablet berdasarkan pendekatansimplex lattice design
Pendekatan simplex lattice design menunjukkan bahwa kedua komponen berpengaruh menaikkan kerapuhan namun yang paling berpengaruh meningkatkan kerapuhan tablet adalah amprotab dimana nilai koefisien b lebih besar dari a. Hal ini berkaitan dengan kekerasan tablet dimana tablet dengan kekerasan yang tinggi maka akan mempunyai tingkat kerapuhan yang lebih rendah. Berkaitan dengan hal tersebut, diketahui bahwa amprotab mempunyai kompaktibilitas yang lebih rendah daripada starch 1500 sehingga cenderung lebih meningkatkan kerapuhan.Sedangkan interaksi starch 1500 dan amprotab berpengaruh menurunkan.
3. Waktu Hancur Tablet (menit) Waktu hancur menunjukkan bahwa semua formula hancur dalam waktu kurang dari 15 menit, Hal ini sesuai dengan persyaratan yaitu semua tablet harus hancur tidak lebih dari 15 menit. Pendekatan simplex lattice design terhadap waktu hancur tablet menghasilkan persamaan : Y = 4,58 (A) + 0,70 (B) + 0,76 (A)(B) (A) = fraksi komponen starch 1500 (B) = fraksi komponen amprotab Profil waktu hancur tablet yang diperoleh dari penelitian menggunakan metode simplex lattice design digambarkan pada gambar 3.
Design-Expert® Sof tware
Two Component Mix
Waktu hancur DesignPoints X1 = A: Starch 1500 X2 = B: Amprotab
4.6
Waktu hancur
3.6
2.6
1.6
0.6 Actual Starch 1500 Actual Amprotab
Gambar 3.
0.25 0.75
0.5 0.5
0.75 0.25
1 0
Profil waktu hancur tablet berdasarkan pendekatan simplex lattice design
Pendekatan simplex lattice design menunjukkan bahwa yang paling berpengaruh menaikkan menaikkan waktu hancur tablet adalah starch 1500 dimana nilai koefisien a lebih besar dari b. Starch 1500 mempunyai kompaktibilitas yang baik sehingga akan menghasilkan tablet dengan kekerasan yang lebih besar dan akibatnya tablet akan hancur dalam waktu yang lebih lama. Sedangkan 50
0 1
interaksi starch 1500 dan amprotab berpengaruh menaikkan waktu hancur walaupun pengaruhnya sangat kecil yang ditunjukkan oleh nilai koefisien interaksi yang sangat kecil. Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh persamaan matematis secara factorial design yaitu Y1 (persamaan untuk kekerasan), Y2 (persamaan untuk kerapuhan), Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 47-51, 2015
dan Y3 (persamaan untuk waktu hancur). Dari masing-masing persamaan akan didapat grafik super imposed yang diperoleh dengan menggabungkan grafik profil masing-masing sifat fisik tablet yang dioptimasi. Pada daerah optimum tersebut dipilih satu titik dengan proporsi starch 1500 dan amprotab yang memenuhi parameter yang diinginkan untuk pembuatan tablet ekstrak jahe merah secara cetak langsung. Masing-masing notasi dari tiap komponen ditransformasikan Tabel 3.
Hayatus Sa’adah
ke dalam mg sehingga diperoleh formula optimum starch 1500 dan amprotab yang akan digunakan untuk pembuatan tablet ekstrak etanol jahe merah dan diperoleh komposisi seperti pada tabel 3. Responteoritis dapat dilihat pada hasil prediksi dengan program optimasi dengan Design Expert atau dapat ditentukan sesuai dengan persamaan tiap-tiap parameter optimasi.
Formula Optimum starch 1500 dan amprotab Bahan Notasi Proporsi (mg) starch 1500 0.395 29.63 amprotab 0.605 45.38
SIMPULAN 1. Starch 1500 mempunyai pengaruh yang lebih besar memperbesar kekerasan dan waktu hancur tablet, serta menurunkan kerapuhan tablet. Sedangkan interaksi starch 1500 dan amprotab tidak mempunyai pengaruh yang terlalu besar terhadap sifat fisik tablet.
2. Proporsi optimum kombinasi starch 1500 dan amprotab yang memenuhi persyaratan fisik tablet ditetapkan dengan perbandingan 4 : 6 dengan respon kekerasan 7,99kg, kerapuhan 0,32 % dan waktu hancur 2,42 menit.
UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada Kopertis Wilayah XI atas bantuan dana penelitian berasal dari DIPA Kopertis Wilayah XI
DAFTAR PUSTAKA 1. Lucinda, G., Hume, A., Harris, I.M., Jackson, E.A., Kanmaz, T.J., Cauffield, J.S., Chin, T.W.F and Knell, M., 2000, White Paper on Herbal Product, Pharmacotherapy, vol 20, no 7, 877-891, 2000 Pharmacotherapy Publication Inc 2. Wresdiyati T, Astawan M, Adnyane I K M, Prasetyawati R C, 2005, Pemanfaatan Oleoresin Jahe (Zingiber officinale) untuk mengatasi Kelainan Antioksidan IntraselSuperixide Dismutase (SOD) Hati Tikus di Bawah Kondisi Stres, Biota Vol.X (2); 120-128, 3. Jivraj, M., Martini, L.G and Thomson, C.M., 2000, An overview of the Different Excipients Useful for the Direct Compression of Tablet, PSTT, Vol 3, No 2 Februari 2000, 58-62, Elsevier Science Ltd 4. Banker, S.G and Anderson, R.N., 1976, Tablet in The Theory and Practice of Industrial Pharmacy, Lachman and Lieberman (ed), 2nd Ed. Lea and Febiger, Philadelphia, 463-735 5. Parrot, E.L., 1971, Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceuties, 3rd, Burgess Publishing Co, Mineapolis, Iowa, 73-86
Akademi Farmasi Samarinda
51
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 52-56, 2015
Hari Ronaldo Tanjung
ANALISA COST OF ILLNESS AKIBAT PENGGUNAAN NSAIDS DI SEBUAH APOTEK DI KOTA MEDAN, INDONESIA Submitted : 13 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Hari RonaldoTanjung1., Azmi Sarriff2., Urip Harahap.1 1
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Indonesia School of Pharmacy, Universiti Sains Malaysia, Malaysia E-mail :
[email protected]
2
ABSTRACT Background: A drug therapy problem is any undesirable event experienced by a patient which involves, or is suspected to involve drug therapy and that interferes with achieving the desired goals of therapy. Drug Therapy Problems (DTPs) can lead to ineffective pharmacotherapy and may cause drug-related morbidity and mortality. Objective: The study aimed to estimates the direct medical cost of illness caused by the drug morbidity or mortality related to NSAID utilization in a community pharmacy setting at Medan, Indonesia. Method: Thisstudy used 7 (seven) categories probabilities and costs associated with the therapeutic outcomes to estimate the direct medical cost of illness resulting from morbidity related NSAIDs utilization. Direct non medical costs, indirect costs, and intangible costs related to drug-related-morbidity and mortality were not valued in this cost-of-illness analysis.The duration of the study was from July 2009 to October 2010. Result: The patient that experienced NSAIDs-related morbidity estimated to spend Rp.467.848,- each and Rp.11.696.200,- in total to managing the morbidity. Every Rp.1,- spent on NSAIDs therapy, an additional Rp.1,45,- was estimated to spent in managing morbidity related NSAIDs utilization. Conclusion: This result showed the cost of illnessrelated morbidity of NSAIDs utilization exceeds the cost of the medications themselves. K eywords : Cost of Illness, NSAIDs Utilization, Community Pharmacy
PENDAHULUAN Biaya terkait Masalah Terapi Obat (MTO) sudah melebihi biaya yang dikeluarkan untuk terapi obat itu sendiri.1Ernst dan Grizzle (2000)menunjukkan bahwa estimasi biaya untuk menangani kecideraan dan kematian terkait obat melebihi $177.4 Milyar.2 Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) adalah salah satu golongan obat yang paling sering digunakan, dengan 70 juta resep pertahun di U.S.3dan97 juta resep setiap tahun di Jerman.4Sebagai tambahan, 60 juta orang di dunia menggunakan AINS yang tergolong sebagai obat bebas. Sepertiga sampai separuh dari para pengguna AINS ini berumur diatas 60 tahun.5 Sebuah studi yang dilakukan oleh Howard et al. menyimpulkan obat yang paling sering menyebabkan kejadian masuk rumah sakit yang
52
sebenarnya dapat dicegah adalah Aspirin/AINS terkait efek induksi pendarahan gastrointestinal atau gagal ginjal.6 Biaya langsung untuk menangani komplikasi ulcer terkait AINS melebihi $4 Milyar pertahun di US.7Di Inggris, pendarahan gastrointestinal sebagai akibat terapi AINS bertanggungjawab terhadap 12.000 angka masuk ke rumah sakit pertahun, menghabiskan biaya 250 Milyar Pounds.8 Tingginya penggunaan AINS, terutama pada pasien usia lanjut (kelompok pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi, merupakan salah satu masalah dalam kesehatan masyarakat. Hingga saat ini, belum ada data mengenai implikasi biaya yang disebabkan oleh kecideraan atau kematian terkait penggunaan AINS di Indonesia.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 52-56, 2015
BAHAN DAN METODE Desain penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-prospektif yang dilakukan terhadap pasien yang datang ke sebuah apotek di kota Medan, Indonesia. Studi ini merupakan studi deskriptif dan eksploratif yang berfokus pada analisis biaya cost of illness pada penggunaan AINS pada pasien di sebuah apotek di kota Medan, Indonesia.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi 1. Usia pasien ≥ 18 tahun 2. Pasien dengan resep mengandung AINS. 3. Menyetujui protokol penelitian.
Hari Ronaldo Tanjung
Seluruh pasien yang datang ke apotek membawa resep yang mengandung AINS telah diundang untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini (Populasi). Pasien yang memenuhi kriteria (Tabel 1) dan setuju untuk mengikuti protokol penelitian (Gambar1) akan dipilih sebagai responden (sampel). Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2009 sampai Oktober 2010.
Tabel.1
Kriteria Eksklusi 1. Usia pasien < 18 tahun. 2. Tidak memiliki AINS dalam resep. 3. Menolak untuk mengikuti protokol penelitian.
Gambar 1. Protokol Penelitian Selama masa studi, 574 pasien telah diundang, 135 responden telah direkrut dan mengikuti penelitian. Seluruh data diperoleh peneliti menggunakan teknik interview, secara langsung (pada tahap awal) atau melalui telephone (tahap follow-up) dengan pasien.
Akademi Farmasi Samarinda
Biaya medis langsung akibat penggunaan AINS Perhitungan estimasi biaya penanganan kecideraan atau kematian terkait obat dilakukan dengan menggunakan pendekatan perspektif system kesehatan dengan menghitung seluruh biaya medis langsung. Biaya non medis langsung, biaya tidak langsung dan biaya intangible tidak 53
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 52-56, 2015
dihitung dalam analisis biaya cost-of-illness ini. Implikasi biaya terkait penggunaan AINS diestimasi pada dua tahap; (1) biaya pada awal rawatan dan (2) biaya yang timbul akibat MTO.
Biaya awal rawatan Biaya medis langsung awal rawatan diestimasi pada fase awal penelitian. Terdapat 2 (dua) jenis biaya: (1) biaya kunjungan dokter dan (2) Biaya resep. Biaya kunjungan dokter diperoleh melalui wawancara langsung dengan pasien dan biaya resep diperoleh dari apotek. Biaya awal rawatan dihitung dengan menjumlahkan biaya kunjungan dokter dengan biaya resep.
Hari Ronaldo Tanjung
Biaya akibat MTO terkait penggunaan AINS dihitung pada fase lanjutan. Peneliti menggunakan 7 (tujuh) kategori kemungkinan biaya terkait dengan hasil terapi untuk melakukan estimasi biaya medis langsung akibat MTO. Kategori tersebut pertama kali dikembangkan oleh Johnson dan Bootman9dan digunakan dalam penelitian ini dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan kondisi di Indonesia. Kategori yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Tidak perlu rawatan , 2) Kunjungan dokter, 3) Pengobatan resep, 4) Pengobatan dengan obat Over The Counter(OTC), 5) Kunjungan gawat darurat 6) Masuk rumah sakit (opname), dan 7) Kematian. Jalur lengkap penghitungan analisa biaya cost of illness dari MTO terkait terapi AINS dapat dilihat pada Tabel 2.
Biaya akibat MTO terkait penggunaan AINS Tabel 2. Kemungkinan biaya hasil terapi Biaya Awal R OTC KD
Hasil Terapi TPR
Biaya hasil terapi negatif KD R OTC KGD MRS
K
Positif Tidak ada perubahan Negatif Note: KD= Kunjungan Dokter; R=Resep; OTC= Over The Counter; TPR=Tidak Perlu Rawatan, ; KGD= Kunjungan Gawat Darurat; MRS= Masuk Rumah Sakit; K= Kematian
Setiap responden akan dipantau melalui telepon pada akhir durasi terapi untuk mengidentifikasi kemungkinan hasil terapi yang dialami pasien dan memperkirakan biaya medis langsung yang timbul akibat terjadinya MTO.
hasil terapi lainnya (Obat OTC, kunjungan gawat darurat, masuk rumah sakit) diperoleh berdasarkan keterangan pasien. Biaya medis langsung diestimasi dengan menjumlahkan seluruh kategori biaya sesuai dengan hasil terapi yang dialami oleh pasien.
Peneliti menggunakan nilai rata-rata biaya kunjungan dokter dan biaya resep yang diperoleh pada awal rawatan untuk mengestimasi biaya medis langsung akibat terjadinya MTO. Hal ini karena hingga saat penelitian dilakukan tidak terdapat data di Indonesia untuk nilai rata-rata biaya untuk setiap kemungkinan kategori hasil terapi. Nilai rata-rata untuk kategori kemungkinan
Pemantauan dan Evaluasi Jadwal pemantauan dan evaluasi hasil terapi pasien dilakukan pada akhir durasi terapi pasien sesuai dengan protokol penelitian (Gambar1). Peneliti akan menghubungi dokter jika terjadi reaksi merugikan yang berat selama masa penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Biaya medis langsung pada tahap awal terdiri atas biaya dokter dan biaya resep. Estimasi biaya
tahap awal diperoleh dari 135 responden. Biaya tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
54
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 52-56, 2015
Tabel 3.
Biaya medis langsung pada tahap awal
Biaya Biaya tahap awal: 1. Kunjungan dokter 2. Obat resep Total Biaya awal Biaya AINS Biaya medis langsung akibat kecideraan terkait penggunaan AINS dihitung pada tahap lanjutan dengan menggunakan kategori kemungkinan biaya hasil terapi negatif pada Tabel 2. Dari 135 responden, 25 responden mengalami Tabel 4. Hasil Terapi Tak berubah Negatif
Hari Ronaldo Tanjung
Total (Rp)
Mean (Rp)
11.474.900 32.786.400 44.261.300 8.050.700
84.999 242.862 327.861 59.635
hasil terapi negative atau tidak ada perubahan. Biaya yang timbul akibat terapi tersebut meliputi biaya obat resep, kunjungan dokter dan masuk rumah sakit. Biaya yang timbul dapat dilihat pada Tabel 4.
Biaya medis langsung terkait MTO pada penggunaan AINS frekuensi
Biaya R * (Rp) 2.185.800 3.885.700 6.071.500
Biaya KD** (Rp) 764.900 1.359.900 2.124.800
9 16 Total * = Biaya Resep, @ Rp 242.862,** = Biaya kunjungan dokter, @ Rp.84.999,*** = Biaya masuk rumah sakit, muncul pada satu orang pasien
Biaya MRS*** (Rp) 0 3.499.900 3.499.900
Total (Rp) 2.950.700 8.745.500 11.696.200
Secara keseluruhan, pasien yang mengalami kecideraan akibat penggunaan AINS diestimasi harus mengeluarkan biaya masing-masing sebesar Rp.467.848,- dan total biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat kecideraan adalah Rp.11.696.200. Lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa untuk setiap Rp.1,- yang dikeluarkan untuk terapi AINS, pasien diperkirakan harus mengeluarkan Rp.1,45,- untuk merawat akibat merugikan dari terapi AINS. Dapat disimpulkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat kecideraan akibat AINS melebihi biaya yang dikeluarkan untuk terapi AINS itu sendiri. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil studi oleh Bootman10yang menunjukkan bahwa kecideraan terkait obat pada fasilitas perawatan juga menunjukkan masalah ekonomi yang serius. Untuk setiap $1 yang dikeluarkan di fasilitas perawatan tersebut, $1.33 harus dikeluarkan untuk merawat kecideraan akibat terjadinya MTO. Selain itu, sebuah studi di Swedia memperkirakan bahwa 75% pasien yang mengalami kecideraan terkait obat membutuhkan biaya tambahan terkait kecideraan tersebut. Biaya yang dikeluarkan diperkirakan sebesar EUR 997 (2010 prices)
untuk setiap kunjungan pasien, dimana diperkirakan akan menghabiskan biaya sebesar EUR 6.6 Milyar pertahun pada sistem kesehatan Swedia.11 Beberapa kecideraan terkait obat memang tidak dapat dihindari, termasuk yang merupakan reaksi idiosinkrasi. Bagaimanapun, studi-studi literature menunjukkan bahwa 45% sampai 75% kejadian kecideraan terkait obat adalah dapat dicegah.11,12,13 Kejadian kecideraan terkait obat yang sebenarnya dapat dicegah merupakan suatu peluang besar dalam usaha meningkatkan kualitas sistem kesehatan mengingat jumlah kejadiannya dapat diturunkan. Secara keseluruhan, 18% pasien yang menggunakan AINS dengan resep mengalami hasil terapi negative atau tidak ada perubahan. Hasil terapi tersebut merupakan hasil dari terapi AINS yang tidak efektif dan reaksi merugikan baik secara potensial ataupun actual dari penggunaan AINS. Masalah terapi obat tersebut sebenarnya telah dapat di identifikasi dan diperkirakan pada tahap awal sehingga sebenarnya sejumlah besar MTO tersebut dapat dicegah.
KESIMPULAN Pasien yang mengalami kecideraan terkait penggunaan AINS diperkirakan harus
mengeluarkan biaya tambahan masing-masing sebesar Rp.467.848,- dan total biaya yang harus
Akademi Farmasi Samarinda
55
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 52-56, 2015
dikeluarkan untuk merawat kecideraan adalah Rp.11.696.200. Lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa untuk setiap Rp.1,- yang dikeluarkan untuk terapi AINS, pasien diperkirakan harus mengeluarkan Rp.1,45,- untuk merawat akibat merugikan dari terapi AINS. Sebagian besar MTO
Hari Ronaldo Tanjung
dapat dicegah dan farmasis dengan latar belakang praktek komunitas merupakan profesi yang tepat untuk mengidentifikasi dan mengatasi MTO tersebut. Farmasis memiliki peluang yang sangat besar untuk ikut memastikan terlaksananya proses farmakoterapi yang aman, efektif dan terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA 1. Manasse, HR. Jr. Medication use in an imperfect world: miss adventuring as an issue of public policy. American Journal of Hospital Pharmacy. 1989;46:1093-1097. 2. Ernst, F.R., & Grizzle A.J. Drug related morbidity and mortality: updating the Cost-of-Illness Model. Journal of American Pharmaceutical Association. 2001;41(2): 192-199. 3. Consumer Reports Health Best Buy Drugs™.. The Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs: Treating Osteoarthritis and Pain. 2011. retrieved December 10, 2012, from http://www. consumerreportshealth.org/bestbuydrugs. 4. Steinmeyer,J.Pharmacological basis for the therapy of pain and inflammationwith nonsteroidal antiinflammatory drugs. Arthritis Res. 2000;2:379–385 5. Kendall, B., & Peura, D. NSAID-associated gastrointestinal damaged and the elderly. Practical. 1993;17: 13-29. 6. Howard, R.L., Avery, A.J., Slavenburg, S., et al. Which drugs cause preventable admissions to hospital? A systematic review. British Journal of Clinical Pharmacology. 2007;63:136–47. 7. Bidaut-Russell, M. And Gabriel, S.E. Adverse gastrointestinal effects of NSAIDs: Consequences and costs. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2001;15:739–53. 8. Blower, A.L., Brooks, A., Fenn, G.C., Hill, A., Pearce, M.Y., Morant, S., & Bardhan, K.D. Emergency admissions for upper gastrointestinal disease and their relation to NSAIDs use. Aliment Pharmacology Ther. 1997;11(2): 283-291. 9. Johnson, J.A., & Bootman, J.L. Drug related morbidity and mortality: a Cost-of-Illness Model. Archive of Internal Medicine. 1995;155: 1949-56. 10. Bootman, J.L., Harrison, D.L., & Cox, E. The health care costs of drug related morbidity and mortality in nursing facilities. Archives of Internal Medicine. 1997;157(18). 11. Gyllensten, H., Hakkarainen, K.M., Jonsson, A.K., Sundell, K.A., Hagg, S., Rehnberg, C., & Carlsten, A. Drug-related morbidity: modeling the cost-of-illness in Sweden using Pharmacist’s opinion. Value in Health: The Journal of The International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research. 2011;14(7): A344. 12. Runciman, W.B., Roughead, E.E., Semple, S.J., & Adams, R.J. Adverse drug events and medication errors in Australia. International Journal for Quality in Health Care. 2003;15(1): i49-i59. 13. Winterstein, A.G., Sauer, B.C., Hepler, C.D., & Poole, C. Preventable drug-related hospital admission. Annals of Pharmacotherapy. 2002;36(7/8): 1238-1248.
56
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 57-61, 2015
Riza Alfian
LAYANAN PESAN SINGKAT PENGINGAT MENINGKATKAN KEPATUHAN MINUM OBATPASIEN DIABETES MELITUS DI RSUD ULIN BANJARMASIN Submitted : 15 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 RizaAlfian Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Diabetes melitus is one ofthe metabolic disorders with characteristic hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin resistance or both. The non adherence patients of taking antidiabetic drugs are the main factors that could cause high blood glucose levels, so it is necessary an intervention to achievedoutcome therapy desired. Giving of short message service reminder intervention in diabetes mellitus patients was expected to improved the medication adherence and achieved normal blood glucose levels.This study was conducted to determine the effect of a short message service reminder on medication adherence of ambulatory diabetes melitus patients in Ulin General Hospital Banjarmasin. This study was conducted with quasi-experimental design,the data were taken prospectively during May to June, 2014. The subjects were ambulatory diabetes melitus patients in Ulin General Hospital Banjarmasin who had received oral antidiabetic drugs. Subject who met the inclusion and exclusion criteria were 39 patients and had given an intervention for seven days. The data collected by interviews and pill counting on filling sheet. The blood glucose levels data was taken from their medical records. The result showed that giving of a short message service reminder intervention improve patient adherence (p<0,05). Fasting blood glucose level and blood glucose level two hours post prandial have decreased significantly (p<0,05). There were correlation between the patient adherence and the decreasing in fasting blood glucose levels (p=0,050; r=0,316) and blood glucose two hours post prandial levels (p=0,010; r=0,040).Based on these result, it can be concluded that the giving of short message service reminder in diabetes melitus patientshas been improved patient adherence. K eywords: Diabetes Mellitus, short message service reminder, adherence, blood glucose levels.
PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) merupakan kumpulan gejala metabolik yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat rusaknya sekresi insulin, resistensi terhadap insulin atau keduanya1. Menurut International Diabetes Federation, kasus diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh besar negara dengan penderita diabetes melitus terbanyak di dunia.Prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia tahun 2013 dengan prevalensi tertinggi pada daerah Yogyakarta (2,6%) dan paling rendah daerah Lampung (0,7%). Sementara Kalimantan Selatan (1,4%) menempati urutan tertinggi ke-13 di Indonesia2. Kepatuhan minum obat didasarkan atas pandangan mengenai penderita sebagai penerima Akademi Farmasi Samarinda
nasehat dokter yang pasif.Perilaku kepatuhan diartikan sebagai usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya3.Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya4. Kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan dinegara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah5. Ketidakpahaman pasien terhadap terapi yang sedang dijalaninya akanmeningkatkan ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya. Faktor tersebut akibat dari kurangnya 57
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 57-61, 2015
Riza Alfian
informasi dan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien6. Fenerty et al7 merekomendasikan penggunaan teknologi baru untuk membantu peningkatan kesehatan.Layanan pesan singkat atau biasa disebut dengan short Message Service (SMS) telah digunakan untuk transaksi bisnis, komunikasi pribadi, serta periklanan.Potensi penggunaan teknologi SMS yang dikembangkan pada mobile phone dapat digunakan untuk mempengaruhi kualitas kesehatan di negaranegara berkembang.SMS yang murah dalam komunikasi dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada pemilik mobile phone.Kelebihan SMS adalah biaya yang relatif ringan dan dapat mengirimkan pesan pada banyak pasien sekaligus walaupun tersebar di beberapa daerah yang berbeda. Selain itu, hampir setiap orang di Indonesia memiliki mobile phone yang di dalamnya terdapat layanan SMS, ditambah lagi beberapa operator yang menawarkan bonus SMS setelah mengirimkan SMS dalam jumlah tertentu. Pada kondisi sekarang ini, masih belum ada standar yang baku untuk menilai kepatuhan
dalam penggunaan obat anti diabetes melitus. Berbagai macam metode yang biasa digunakan dalam menilai kepatuhan dalam penggunaan obat diantaranya adalah metode penentuan kadar obat di dalam darah, dengan menggunakan kuesioner, dan menghitung kesesuaian jumlah obat yang digunakan dengan jumlah obat yang diresepkan (hitung pil). Semua metode untuk mengukur kepatuhan mempunyai kelebihan dan 8 kelemahan .Penilaian kepatuhan penggunaan obat dengan metode hitung pil adalah metode yang paling umum dan praktis untuk digunakan.Metode hitung pil juga paling efisien dalam hal efektifitas biaya9. Angka kunjungan pasien diabetes melitus rawat jalan di RSUD Ulin pada tahun 2013 mencapai 3837 kunjungan pasien. Penyakit diabetes melitus untuk pasien rawat jalan di RSUD Ulin menduduki peringkat ketiga dengan kunjungan terbanyak.Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian layanan pesan singkat pengingat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus rawat jalan di RSUD Ulin Banjarmasin.
METODE PENELITIAN Penelitian secara prosfektif untuk mengetahui pengaruh pemberian layanan pesan singkat pengingat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD Ulin Banjarmasin.Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling.Populasi terjangkau sebanyak 142 pasien diabetes melitus.Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah 39 sampel. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan usia 1865 tahun dengan diagnosa diabetes melitus yang berobat di poliklinik penyakit dalam RSUD Ulin Banjarmasin, minimal satu kali pernah mendapatkan terapi pengobatan diabetes melitus, memiliki hand phone, dan dalam kriteria tidak patuh pada pre study. Kriteria eksklusinya adalah pasien dengan kondisi tuli, hamil, dan buta huruf.
Perkembangan pasien diikuti dari pre study sampai post study selama lebih kurang 1 bulan. Layanan pesan singkat pengingat diberikan farmasis hanya selama 7 hari setelah pasien mengisi data pre study. Data post study diambil setelah lebih kurang satu bulan sejak pre study. Data penelitian dikumpulkan dari April sampai Mei 2014.Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dengan metode hitung pil. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.00. Analisis statistik yang digunakan untuk mengolah data pre dan post study adalah dengan uji wilcoxon dan uji paired T-test, sedangkan untuk menganalisis hubungan antara kepatuhan dengan kadar gula darah digunakan uji korelasi Spearman. Nilai P<0,05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan pengumpulan data klinik dan data sosiodemografi pasien.Karakteristik pasien dapat dilihat pada tabel 1. Penelitian ini menggunakan 39 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian terdiri dari 16 orang laki-laki dan 23 orang perempuan (58,9%). Dari segi usia, sampel dengan usia ≥ 55 tahun sejumlah 23 pasien (58,9%) dan usia < 55 tahun sejumlah 16 pasien 58
(41,1%). Sisi pendidikan didominasi oleh 25 pasien (64,1%) dengan pendidikan ≥ 10 tahun dan 14 pasien (35,9%) dengan pendidikan < 10 tahun. Pekerjaan didominasi oleh PNS dengan jumlah 16 pasien (41%). Dua puluh pasien (51,3%) pasien memiliki riwayat diabetes melitus, sedangkan 19 pasien (48,7%) tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 57-61, 2015
Tabel 1.
Riza Alfian
Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Diabetes Melitus di RSUD Ulin Banjarmasin
Jumlah (N=39) % Jenis Kelamin Perempuan 23 58,9 Laki-laki 16 41,1 Usia (tahun) <55 tahun 16 41,1 ≥55 tahun 23 58,9 Pendidikan 0-9 tahun 14 35,9 >9 tahun 25 64,1 Pekerjaan Ibu rumah tangga 15 38,5 Wiraswasta 2 5,1 Swasta 6 15,4 PNS 16 41 Riwayat DM Ada 20 51,3 Tidak ada 19 48,7 Metode hitung pil juga paling efisien dalam hal Penilaian kepatuhan minum obat pasien efektifitas biaya9. diabetes melitus dilakukan dengan cara Hasil penelitian yang terlihat pada tabel menghitung jumlah obat yang didapatkan pasien. 2 menunjukkan bahwa intervensi pemberian Pasien dikatakan patuh apabila obatnya digunakan layanan pesan singkat pengingat oleh farmasis sesuai dengan jumlah dan hari yang diresepkan, secara positif merubah perilaku tidak patuh pasien sedangkan pasien tidak patuh apabila obatnya menjadi perilaku yang patuh dalam menjalani diminum tidak sesuai dengan jumlah dan hari pengobatan.Hasil penelitian yang tersaji pada yang diresepkan.Penilaian kepatuhan penggunaan tabel 2 menunjukkan terjadi perubahan kepatuhan obat dengan metode hitung pil adalah metode pada 27 pasien yang awalnya tidak patuh menjadi yang paling umum dan praktis untuk digunakan. patuh dalam pengobatan. Karakteristik Pasien
Tabel 2.
Persentase kepatuhan pasiendiabetes melitus pre studydan post study Sampel
Nilai Kepatuhan Tidak Patuh Patuh ∑
Pre Post
39 12
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh intervensi yang diberikan kepada pasien.Hasil uji normalitas Kolmogrov-Smirnov menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi secara normal sehingga dilakukan uji non parametrik berupa uji Wilcoxon. Hasil test statistics diperoleh nilai p=0,00 (p<0,05), dengan demikian dapat Tabel 3.
% 100 30,76
∑
%
0 0 27 69,24 disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kepatuhan yang bermakna antara sebelum diberikan intervensi layanan pesan singkat pengingat dengan sesudah diberikan intervensi.Hasil uji pre studydan post studynilai kepatuhan tersaji pada tabel 3.
Uji pre study dan post study nilai kepatuhan (Mean±SD) Pre Post P Sampel 0,00±0,00 0,69±0,46 0,000
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa layanan pesan singkat pengingat yang diberikan farmasis memberikan dampak positif meningkatkan kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus. Hal ini sejalan dengan penelitian Huanget al.,10 bahwa intervensi layanan pesan singkat pengingat yang diberikan farmasis dapat Akademi Farmasi Samarinda
meningkatkan kepatuhan minum obat pasien secara signifikan. Kebiasaan pasien tidak patuh selama terapi yang dijalani disebabkan oleh ketidaksengajaan (contohnya kelalaian atau terlupa minum obat), sengaja (tidak minum obat saat merasa penyakitnya bertambah parah atau 59
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 57-61, 2015
membaik) dan kurangnya pengetahuan tentang diabetes melitus serta tujuan pengobatannya. Kepatuhan dalam pengobatan memegang peranan penting dalam mencapai target keberhasilan terapi, terutama untuk penyakit kronis seperti diabetes melitus. Rendahnya kepatuhan pasien terhadap pengobatan diabetes melitus merupakan salah satu penyebab rendahnya kontrol kadar gula darah11. Pengukuran kepatuhan pasien rawat jalan dalam pengobatan diabetes melitus penting untuk mengetahui efektivitas pengobatan sehingga target terapi diabetes melitus dapat tercapai dengan baik. Walaupun demikian, profesional kesehatan sering tidak menanyakan tentang kebiasaan pasien minum obat, hal ini mungkin dikarenakan mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk melalukannya. Salah satu cara untuk menilai kepatuhan pasien diabetes melitus dalam meminum obat adalah dengan melakukan perhitungan jumlah obat. Tabel 4.
Kadar gula darah pre study adalah kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial yangdidapat dari hasil laboratorium yang dibawa pasien pada saat berobat di poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin. Nilai kadar gula darah post study adalah nilai kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial yangdidapat dari hasil laboratorium yang dibawa pasien pada saat berobat di poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin setelah diberikan intervensi layanan pesan singkat pengingat selama tujuh hari dan diikuti selama lebih kurang tiga puluh hari oleh peneliti. Uji normalitas dan homogenitas untuk rerata kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandialmenunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal dan homogen sehingga dilakukan uji statistik parametrik dengan Paired Samples t-Test.
Uji pre study dan post study nilai kadar gula darah (Mean±SD) Gula darah GDP GDPP
Pre 171,95±74,95 240,15±100,28
Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata kadar gula darah puasa (GDP) pada prestudy adalah171,95±74,95mg/dL dan pada post study mengalami penurunan menjadi158,08±53,76mg/dL dengan nilai p<0,05; sedangkanrata-rata kadar gula darah 2 jam post prandial (GDPP) pada pre study240,15±100,28mg/dL dan pada post study mengalami penurunan menjadi201,33±64,14mg/dL dengan nilai p<0,05.Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaanbermakna antara data pre study dan post study kadar gula darah pasien diabetes melitus rawat jalan RSUD Ulin Banjarmasin. Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antidiabetes merupakan salah satu faktor utama untuk mengontrol kadar gula darah. Oleh karena itu salah satu sasaran terapi pada manajemen DM adalah peningkatan kepatuhan minum obat.Kepatuhan pasien dalam pengobatan berhubungan terhadap suatu hasil terapi. Hasil terapi dalam hal ini pengontrolan kadar gula darah tidak akan tercapai tanpa adanya kesadaran dari
60
Riza Alfian
Post 158,08±53,76 201,33±64,14
P 0,022 0,000
diri pasien itu sendiri terhadap kepatuhan dalam pengobatan diabetes melitus12. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat dengankadar gula darah pasien diabetes melitus. Hasil uji korelasi disajikan pada tabel 5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermaknaantara kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah puasa (GDP), tetapi terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan dengan kadar gula darah 2 jam post prandial (GDPP) pada pasien diabetes melitus rawat jalan di RSUD Ulin Banjarmasin. Hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran kadar gula darah puasa, glukosa yang diukur adalah glukosa hasil glikolisis di hepar, sedangkan untuk kadar gula darah 2 jam postprandial adalah kadar gula darah yang berasal dari makanan.Kekuatan korelasi antara kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah bersifat lemah dan arah korelasi menunjukkan korelasi positif dengan maknasemakin tinggi kepatuhan maka penurunan kadar gula darah pasien diabetes melitus semakin besar.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 57-61, 2015
Riza Alfian
Tabel 5. Uji korelasi antara kepatuhan dan kadar gula darah Kadar gula Kepatuhan Kesimpulan darah p 0,05 GDP r
0,316
p 0,01 GDPP r
0,410
Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara kepatuhan dengan penurunan kadar gula darah puasa.
Terdapat korelasi yang bermakna antara kepatuhan dengan penurunan kadar gula 2 jam post prandial darah. Hasil koefisien korelasi ke arah positif bersifat lemah.
Keterangan : r= koefisien korelasi, p= probabilitas
SIMPULAN Layanan pesan singkat pengingat yang diberikan farmasis efektif untuk merubah perilaku tidak patuh pasien menjadi perilaku yang patuh dalam menjalani terapi pengobatan. Seiring perubahan perilaku kepatuhan pasienkearah yang
positif, maka semakin besar juga penurunan kadar gula darah sehingga kepatuhan memiliki peranan besar dalam pengontrolan kadar gula darah pasien diabetes melitus.
DAFTAR PUSTAKA 1. Scarano, W.R., Messias, A.G., Oliva, S.U., Klinefelter, GR, & Kempinas, W.G. (2006). Sexual behaviour, sperm quantity and quality after short-therm streptozotocin-induced hyperglycaemia in rats. International Journal Andrology, 29, 482-488. 2. Kementerian Kesehatan, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta, Kementerian Kesehatan RI. 3. Safitri, I.N., 2013, Kepatuhan penderita diabetes melitus tipe II di tinjau dari locus of control, Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1,3 4. Basuki, Endang. 2009. Konseling Medik : Kunci Menuju Kepatuhan Pasien. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 59 Nomor 2 Februari 2009. 5. Asti, T. 2006. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan Terapi. Info POM, Vol. 7, No. 5, diakses Maret 2014 dari http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0506.pdf 6. Anonim, 2007, Pelayanan Konseling Akan Meningkatkan Kepatuhan Pasien Pada Terapi Obat, diakses Maret 2014 dari http://indonesiasehat. blogspot.com/2007/06/pelayanan-konselingakanmeningkatkan9866.html 7. Fenerty, S.D., West, C., Davis, S.A., Kaplan, S.G., Feldman, S.R., 2012, The effect of reminder systems on patients’adherence to treatment, Patient Preference and Adherence:6 127–135 8. Shelly, A.V., Maxwell, C.J., Hogan, D.B., Patten, S.B., Johnson, J.A., Slack, L.R., 2005, Assessing Medication Adherence Among Older Persons In Comunity Settings, Can J Clin Pharmacol Vol 12 (1): e152-e164 9. Hadi, N., Gooran, N.R., 2004, Determinant Factors of Medication Compliance In Hypertensive Patients of Shiraz Iran, Archives of Iranian Medicine, V 292 olume 7, Number 4 10. Huang, H.L., Li, Y.C.J., Chou, Y.C., Hsieh, Y.W., Huo, F., Tsai, W.C., Chai,S.D., 2013, Effects of and satisfaction with short message service reminders for patient medication adherence: a randomized controlled study, BMC Medical Informatics and Decision Making, 13:127 11. Aronson, J.K., 2007, Compliance, Concordance, Adherence, Br J Clin Pharmacol 63:4 383–384 12. Dulmen, S. V., Sluijs, E., Dijk, L. V., Ridder, D., Heerdink, R., & Bensing, J. (2007). Patient adherence to medical treatment BMC Health Services Research, 7, 55.
Akademi Farmasi Samarinda
61
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 62-67, 2015
Yugo Susanto
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN HIPERTENSI LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI CUKA KABUPATEN TANAH LAUT Submitted : 19 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Yugo Susanto Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin E-mail:
[email protected]
ABSTRACT One of communicable diseases become very serious health problem was hypertension. The purpose of hypertension therapy was to control blood pressure in range of normal blood pressure, it is needed the adherence for hypertension therapy. The family supportcould improved healthy status. Patient with family support feel that people care, so it could directed patient to improve their healthy lifestyle. The purpose of this study was to determine elderly family support, medication adherence in elderly hypertensive patients, and analyzedthe correlation between the family support with the adherence ension in elderly hypertension patients in Puskesmas Sungai Cuka Tanah Laut. This study was conducted with the cross sectional design in December 2014 until January 2015. Population was280the elderly patient in the region of primary public health Sungai Cuka and 164 of them were used for sample. Data was collected by completion questionnaires family support and Morisky Modification Adherence Scale (MMAS)questionnaires. Data analysis was performed by gamma test with 95% confidence level. Based on the results, that Elderly who have family support by category 23.8% lower category, middle category were 64%, high category were 11.6%, and 0.6% were very high category. The adherence degree of elderly hypertension patientwere 45,7% low adherence degree, moderate adherence degreewere 36%, and high adherence degree were 18.3%. There were a correlation between the family support andthe medication adherence in elderly hypertension patients at Puskesmas Sungai Cuka Tanah Laut. (γ =0.295). K eywords: Family Support, Adherence, Hypertension, Elderly.
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya, salah satu indikatornya adalah angka harapan hidup1. Salahsatu penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius saat ini yaitu Hipertensi. Hipertensiadalahkeadaanyangditandaidengan terjadinya peningkatan tekanan darah didalam arteri.Seseorang dikatakan memiliki hipertensi jika tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tekanan diastolik mencapai 90 mmHgataulebih, atau keduanya2. Hipertensi merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Sebanyak 1 62
milyar orang di dunia atau 1 dari 4 orang dewasa menderita penyakit ini. Bahkan, diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan meningkat menjadi 1,6 milyar menjelang tahun 20253. Dua per tiga penderita hipertensi berada di negara berkembang yang berpenghasilan rendah dan sedang. Indonesia berada dalam deretan 10 negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi di dunia, bersama Myanmar, India, Srilanka, Bhutan, Thailand, Nepal, Maldives. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 melaporkan bahwa hipertensi adalah suatu kondisi berisiko tinggi yang menyebabkan sekitar 51% dari kematian akibat stroke, dan 45% dari jantung koroner4. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2013 prevalensi hipertensi sebesar Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 62-67, 2015
Yugo Susanto
30,4%, ini berarti sekitar 1.145.536 orang mengalami hipertensi5. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut kasus baru pasien hipertensi tahun 2011 sebanyak 17.594 orang, tahun 2012 sebanyak 15.842 orang dan tahun 2013 sebanyak 15.181 orang. Menurut data di Puskesmas Sungai Cuka penyakit hipertensi merupakan 3 besar penyakit terbanyak pada tahun 2013 yang ada diwilayah Puskesmas Sungai Cuka yang berjumlah 850 orang yang terbagi sebanyak 257 orang laki- laki dan sebanyak 593 orang perempuan . Menurut Sarafino6 Individu membutuhkan orang lain untuk memberi dukungan guna memperoleh kenyamanannya. Individu dengan tingkat dukungan keluarga yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dihargai dan dicintai. Individu dengan dukungan keluarga yang tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada gaya hidup yang sehat dalam hal ini kepatuhan dalam mengikuti posyandu lansia. Keluarga merupakan support system (sistem pendukung) yang berarti, sehingga dapat memberi petunjuk tentang kesehatan mental klien, peristiwa dalam hidupnya dan sistem dukungan yang diterima. Sistem dukungan penting bagi kesehatan lanjut usia terutama fisik dan emosi. Lansia yang sering ditemani dan mendapatkan dukungan akan mempunyai kesehatan mental yang lebih baik. Di Indonesia Jumlah lansia meningkat menjadi 20.547.541 pada tahun 2009 jumlah ini termasuk terbesar keempat setelah China, India dan Jepang. Badan kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa penduduk lansia pada tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang7. Pada tahun 2012/2013 di Tanah Laut jumlah sasaran lansia pada program Seksi
Kesehatan Lansia sebanyak 34.638 orang. Cakupan pelayanan kesehatan lansia (>60 Th) sebesar 63,95% sedangkan pada tahun 2011 sebesar 87,56%. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Agustus 2014, diketahui bahwa jumlah lansia di wilayah kerja Puskesmas Sungai Cuka yang berusia 45-59 tahun berjumlah 1721 orang, 60-69 tahun berjumlah 468 orang, 60 tahun ke atas berjumlah 766 orang dan 70 tahun ke atas berjumlah 298 orang. Dari data Profil Dinas Kesehatan Kab. Tanah Laut Tahun 2013. Berdasarkan Laporan Tahunan Puskesmas Sungai Cuka jumlah lansia pada tahun 2013 sebanyak 1984 orang, jumlah pasien lansia yang menderita penyakit hipertensi pada tahun 2013 sebanyak 534 orang hal tersebut menunjukan bahwa masih sangat tingginya angka kejadian penyakit hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Cuka, dimana lansia yang dibina masih kurang dari target pencapaian. Diketahui bahwa cakupan pelayanan kesehatan lansia pada tahun 2012 pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yaitu sebesar 63,95 %, sedangkan di puskesmas sungai cuka diketahui lansia yang memanfaatkan fasilitas kesehatan tahun 2012 sebesar 26 % sehingga kurang dari pencapaian program yang ditetapkan. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan maupun kesejahteraan sosial dimasyarakat diharapkan terciptanya lansia mandiri dan terlibat secara aktif dalam peningkatan kesehatan masyarakat tetapi kenyataan yang ada di lapangan bahwa masih banyaknya penderita hipertensi pada lansia. Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita hipertensi pada pasien lansia di wilayah Kerja Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut Tahun 2014.
METODE PENELITIAN Penilitian ini menggunakan rancangan cross sectional yaitu dengan melakukan pengambilan data pada saat bersamaan/ satu waktu di wilayah kerja Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan usia 45-65 tahun dengan diagnosa hipertensi yang berobat di Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut, dapat berkomunikasi dengan baik (tidak tuna rungu dan tuna wicara), dan bersedia untuk berpartisipasi pada penelitian dengan mengisi informed consent. Kriteria eksklusinya adalah pasien yang sedang
sakit dan tidak bisa beraktifitas normal.Pengumpulan data dukungan keluarga dan tingkat kepatuhan minum obat dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data penelitian dikumpulkan dari Agustus 2014 sampai Februari 2015. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.00. Analisis statistik yang digunakan untuk mengolah data tingkat kepatuhan dan tingkat dukungan keluarga menggunakan uji distribusi frekuensi, sedangkan untuk menganalisis hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien digunakan
Akademi Farmasi Samarinda
63
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 62-67, 2015
metode
uji
analisis
bivariat.
Nilai
P<0,05
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan pengumpulan data klinik dan data sosiodemografi pasien. Karakteristik pasien dapat dilihat pada tabel 1. Penelitian ini menggunakan 164 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian terdiri dari 54 pasien (33%) laki-laki dan 110 pasien (67%) perempuan. Dari segi usia, sampel dengan usia 45-59 tahun sejumlah 126 pasien (76,8%) dan usia 60-74 tahun sejumlah 38 pasien (23,2%). Sisi pendidikan didominasi oleh 107pasien (65,3%) dengan pendidikan SD, 38 pasien (23,2%) dengan
Yugo Susanto
dianggap signifikan secara statistik.
pendidikan SLTP, 16 pasien (9,7%) dengan pendidikan SLTA, dan3 pasien (1,8%) dengan pendidikan perguruan tinggi. Pekerjaan didominasi oleh pasien yang tidak bekerja dengan jumlah 115 pasien (70,2%), Petani sejumlah 32 pasien (19,5%), Pedagang sejumlah 12 pasien (7,3%), dan PNS sejumlah 5 pasien (3%). Dukungan keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang lain sehingga memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada orang yang dihadapkan pada situasi stres8.
Tabel 1.
Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Hipertensi Lansia di Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut. Jumlah Karakteristik Pasien (N=164) % Jenis Kelamin Perempuan 110 67 Laki-laki 54 33 Usia (tahun) 45-59 tahun 126 76,8 60-74 tahun 38 23,2 Pendidikan SD 107 65,3 SLTP 38 23,2 SLTA 16 9,7 Perguruan Tinggi 3 1,8 Pekerjaan Tidak bekerja 115 70,2 Petani 32 19,5 Pedagang 12 7,3 PNS 5 3
Penilaian mengenai tingkat dukungan keluarga dilakukan dengan cara pengisian kuesioner oleh pasien. Hasil pengumpulan data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi lansia memiliki dukungan keluarga dengan kategori sedang yaitu berjumlah 105 orang (64%). Tabel 2.
Distribusi frekuensi dukungan keluarga pasien hipertensi lansia No. Dukungan Keluarga Frekuensi Persentase (%) 1 Sangat tinggi 1 0,6 2 Tinggi 19 11,6 3 Sedang 105 64 4 Rendah 39 23,8 5 Sangat rendah 0 0 164 100
Berdasarkan parameter dukungan keluarga menurut dimensi emosional yang mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan “keluarga memahami keinginan lansia untuk 64
Sebagian besar lansia memiliki dukungan keluarga dengan kategori rendah yaitu berjumlah 35 orang (89,8%). Ini menunjukkan bahwa kurangnya perhatian keluarga terhadap lansia khususnya berkaitan dengan minum obat. Dukungan keluarga dalam penelitian ini merupakan bentuk bantuan atau perhatian yang diterima lansia dari keluarga yang berkaitan.
sehat” (nomor 1), ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memahami keinginan lansia sedangkan yang mendapat skor terendah adalah pertanyaan “keluarga selalu menanyakan Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 62-67, 2015
kondisi kesehatan lansia” (nomor 3), ini menunjukkan bahwa keluarga kurang menanyakan keadaan kesehatan keluarga. Hal ini dikarenakan kebiasaan keluarga yang menanyakan keadaan kesehatan lansia apabila lansia terlihat sakit atau merasakan keluhan gangguan kesehatan. Berdasarkan parameter dukungan keluarga menurut dimensi penghargaan yang mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan “keluarga berusaha memberikan semangat untuk kesehatan lansia” (nomor 5), artinya keluarga memberikan semangat untuk kesehatan lansia hal ini disebabkan keluarga tentunya sudah mengetahui pentingnya kesehatan lansia sedangkan yang terendah adalah pertanyaan “Keluarga memberikan pujian terkait kepatuhan anda meminum obat” (nomor 4), ini menunjukkan bahwa keluarga jarang memberikan pujian kepada lansia. Hal ini dikarenakan keterbatasan lansia dalam beraktifitas fisik maupun melakukan hal lainnya sehingga pujian jarang diberikan oleh keluarga. Berdasarkan parameter dukungan keluarga menurut dimensi instrument yang mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan “keluarga membantu biaya untuk berobat” (nomor 7), ini berarti keluarga membantu biaya berobat sedangkan pertanyaan yang mendapatkan skor lebih rendah adalah pertanyaan “keluarga berusaha untuk membantu transportasi ke Puskesmas” (nomor 6), ini berarti keluarga kurang menyediakan transportasi jika lansia ingin berobat. Hal ini dikarenakan keluarga menganggap letak puskesmas yang tidak terlalu jauh dari rumah dengan jalan kaki pun dapat dijangkau. Berdasarkan parameter dukungan keluarga menurut dimensi informasi yang Tabel 3.
Yugo Susanto
mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan “keluarga membantu menjelaskan mengenai cara minum obat sesuai petunjuk petugas kesehatan” (nomor 9) yaitu keluarga menjelaskan mengenai cara minum obat sesuai petunjuk petugas kesehatan sedangkan skor terendah adalah pertanyaan “keluarga membantu mengingatkan waktu saat meminum obat” (nomor 10), artinya keluarga kurang membantu mengingatkan waktu saat meminum obat. Hal ini dikarenakan adanya kesibukan keluarga sehingga keluarga pun mudah lupa akan jadwal meminum obat. Keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting, sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga dengan tingkat sedang disebabkan karena kurangnya dukungan keluarga terhadap lansia sehingga lansia merasa kurang dihargai dan diperhatikan. Penilaian kepatuhan minum obat pasien lansia hipertensi dilakukan dengan menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) yang d2si oleh pasien. Kepatuhan dikategorikan menjadi tiga tingkatan. Kepatuhan tinggi apabila pasien mengisi kuesioner MMAS dengan skor delapan, kepatuhan sedang apabila pasien mengisi kuesioner MMAS dengan skor enam sampai kurang dari delapan, dan kepatuhan rendah apabila pasien mengisi kuesioner dengan skor kurang dari delapan. Penilaian kepatuhan penggunaan obat dengan metode kuesioner adalah metode yang paling umum dan praktis untuk digunakan. Metode penilaian kepatuhan dengan menggunakan kuesioner juga paling efisien dalam hal efektifitas biaya9. Hasil penilaian tingkat kepatuhan minum obat pasien lansia hipertensi di Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut dapat dilihat pada tabel 3.
Tingkat kepatuhan minum obat pasien lansia hipertensi di Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut No. Tingkat Kepatuhan Frekuensi Persentase (%) 1 Tinggi 30 18,3 2 Sedang 59 36 3 Rendah 75 45,7 Jumlah 164 100
Tabel III menunjukkan sebagian besar lansia memiliki kepatuhan rendah dalam meminum obat yaitu berjumlah 75 orang (45,7%). Kepatuhan yang rendah dalam menggunakan obat antihipertensi juga disebabkan karena kurangnya pemahaman pasien pada tujuan terapi hipertensi sendiri dan mengubah dosis atau jadwal minum obat. Hipertensi adalah penyakit kronis yang tidak Akademi Farmasi Samarinda
bisa langsung sembuh dalam sekali pengobatan10. Tujuan dari pengobatan hipertensi adalah untuk mengontrol tekanan darah agar selalu berada pada rentang tekanan darah normal sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit lain yang lebih berat seperti penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan stroke. Berbagai macam alasan yang menyebabkan pasien tidak bisa patuh dalam 65
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 62-67, 2015
menggunakan obat sebagaimana dinyatakan oleh Osterberg & Blaschke11, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi adalah kurangnya pemahaman pasien tentang hipertensi dan tujuan terapi hipertensi untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit lebih lanjut. Tabel 4.
Yugo Susanto
Dukungan keluarga memiliki peranan untuk menunjang keberhasilan terapi terutama untuk pasien lansia. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat dengan menggunakan uji statistik bivariat. Hasil uji statistik tersebut tersaji pada tabel 4.
Hasil uji bivariat antara dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat. Dukungan No. Keluarga 1. Sangat tinggi 2 Tinggi 3 Sedang 4 rendah 5 sangat rendah Total
Kepatuhan Minum Obat Sedang % n % 0 0 0 21 5 26.3 34.2 52 49.5 89.8 2 5.1 0 0 0 45.7 59 35.9 Uji statistik Gamma: γ = 0,295
Rendah n 0 4 36 35 0 75
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi hampir seluruhnya memiliki kepatuhan tinggi dalam meminum obat yaitu berjumlah 10 orang (52,6%) sedangkan responden yang memiliki dukungan keluarga yang rendah hampir seluruhnya memilikikepatuhan yang rendah dalam meminum obat yaitu berjumlah 35 orang (89,8%). Hasil analisis statistik uji Uji Gamma diperoleh nilai γ = 0,295 Gamma berkisar antara 1 (hubungan tidak searah sempurna) dan +1 (hubungan searah sempurna) dengan demikian secara statistik pada tingkat kepercayaan 95% hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita hipertensi pada lansiadi wilayah kerja Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut. Pasien lansia hipertensi yang memiliki dukungan keluarga yang tinggi hampir seluruhnya memiliki kepatuhan meminum obat yaitu berjumlah 10 orang (52,6%) sedangkan responden yang memiliki dukungan keluarga yang rendah hampir seluruhnya tidak patuh dalam meminum
SIMPULAN Pasien hipertensi lansia di Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut didominasi oleh pasien dengan tingkta dukungan keluarga sedang sebanyak 64%. Kepatuhan minum obat pasien didominasi oleh tingkat kepatuhan rendah
Tinggi n 1 10 15 2 0 30
% 100 52.6 14.2 5.1 0 18.2
Σ 1 19 105 39 0 164
% 100 100 100 100 100 100
obat yaitu berjumlah 35 orang (89,8%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita hipertensi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut. Dukungan keluarga yang tinggi akan memunculkan kepatuhan lansia yang tinggi pula dalam meminum obat. Dukungan keluarga disini sebagai motivasi yang mampu untuk menggerakkan diri pada lansia. Dukungan keluarga menjadi suatu aspek pemberdayaan lansia terhadap perkembangan aktifitas dan juga keinginan untuk mengetahui dan menggunakan sesuatu hal yang masih di anggap baru ataupun hal-hal yang jarang ia lakukan12. Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan lansia. Keluarga bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar lansia ke puskesmas dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia13.
sebanyak 45,7%. Dukungan keluarga memiliki hubungan yang erat dengan kepatuhan minum obat sehinggadukungan keluarga diharapkan dapat ditingkatkan untuk menunjang keberhasilan terapi hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. 2008. Pedoman Kerja Puskesmas. Jakarta: Depkes RI 2. Alhaiqa, F., Deane, K.H.O., Nawafleh, A.H., Clark, A., Gray, R., 2012, Adherence therapy for medication non compliant patients with hypertension: a randomised controlled trial, Journal of Human Hypertension 26, 117–126 66
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 62-67, 2015
Yugo Susanto
3. Herlambang. 2013, Menaklukkan Hipertensi dan Diabetes, Tugu Publisher, Yogyakarta 4. Suara Pembaruan. 2013, Hari Kesehatan Sedunia; Waspadai Ancaman The Silent Killer, diakses tanggal 20 September 2014, http://www.beritasatu.com 5. Kemenkes, 2013, Riset Kesehatan dasar 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta 6. Sarafino, E. P. 2006. Health Psycology Biopsyhosocial Interaction (terjemah). United States of America: John Wiley & Sons 7. Suardiman, Siti Partini. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: UGM 8. Taylor, S.E. 2006. Health Psycology. Singapore: Mc. Graw Hiil Book Company 9. Morisky, D.E., Ang, A., Krousel-Wood, M.A., Ward, H., 2008, Predictive Validity of A Medication Adherence Measure in an Outpatient Setting, J. Health-Syst. Pharm, 10: 348-54. 10. Bourgault, C., Senecal, M., Brisson, M., Marentette, M.A., Gregoire, G.P., 2005, Persistence and discontinuation patterns of antihypertensive therapy among newly treated patients: a population-based study, Journal of Human Hypertension 19, 607–613 11. Osterberg, L., Blaschke, T., 2005, Adherence to medication, N Eng, J, Med; 353: 487-97 12. Zumara. 2011. Dukungan Peran Keluarga (online), terdapat dalam (http://www.tempo.com, diakses tanggal 07 Agustus 2014) 13. Ismawati. (2010). Posyandu & Desa Siaga: Panduan untuk Bidan dan Kader. Yogyakarta: Nuha Medika
Akademi Farmasi Samarinda
67
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU GIRING (CURCUMA HEY NEANA VAL.) TERHADAP PERTUMBUHAN ESCHERICHIA COLI SECARA IN VITRO Submitted : 20 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Aditya Maulana Perdana Putra, Rustifah, Muhammad Arsyad Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin E-mail :
[email protected] ABSTRACT Infection is a major problem that the world's attention. Infectious diseases have caused the death of over 13 million people worldwide every year, particularly in the developing countries such as Indonesia. One of the species of bacteria that cause infections are Escherichia coli. Curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) is a plant that is often used as a traditional medicine to antibacterial. This study was intended to determine the antibacterial inhibition activity, and minimum inhibitory concentrations (MIC) from the usage of an ethanol extract in the curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) for the growth of an Escherchia coli by in vitro. Curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) was extracted using maseration method with solvent ethanol. Each extracts identified the active compounds group consisting of flavonoids, saponins, curcumin, volatile oil, and tannins. This study was an experimental laboratoric by using the diffusion method with discs blank with 10 treatment groups concentration which are 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,12%, 1,56%, 0,78%, positive control and negative control with three repetitions. The phytochemical screenings analysis showed curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) of ethanol extract containing flavonoids, saponins, curcumin, volatile oil, and tannins. Ethanol extract in the curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) had an effectiveness in inhibiting the growth of an Escherchia coli by in vitro. Minimum inhibitory concentrations (MIC) from the usage of an ethanol extract in the curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) for the growth of an Escherchia coli by in vitro is 12,5% with average inhibition zone 9,77 mm. The results showed that the ethanol extract curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) had an effectiveness in inhibiting the growth of an Escherchia coli, it showed inhibition zone diameter due to higher concentrations of the resistance is increasing. Analysis of the test data with Kruskal-Wallis (sig) = 0,001 which is smaller than α < 0,05. It means that there are significant differences in the average diameter of an each concentration of ethanol extract of curcuma heyneana rhizome in inhibiting (Curcuma heyneana Val.) the growth of Escherchia coli by in vitro. K eywords : Antibacterial, Curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.), Minimum inhibitory concentrations.
PENDAHULUAN Infeksi merupakan masalah besar yang menyedot perhatian dunia. Penyakit infeksi telah menyebabkan kematian sebesar 13 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, terutama di negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Salah satu dari spesies bakteri penyebab infeksi adalah Escherichiacoli.Escherichia coli merupakan bagian dari flora saluran cerna yang normal pada manusia, tetapi juga merupakan penyebab umum infeksi saluran kemih, diare, dan penyakit lainnya1. Sebuah penelitian di India mengemukakan bahwa sejumlah obat antibakteri
68
yang mulai resisten terhadap jenis bakteri ini. Menurut Okoli2 melakukan penelitian resistensi bakteri Escherichia coli pada beberapa antibakteri, dengan cara memberi antibakteri pada ayam yang diinfeksi oleh Escherichiacoli. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri ini sudah cukup resisten terhadap ampicillin, cotrimoxazole, dan nalidixic acid. Beda lagi menurut Olson dkk.3 yang meneliti resistensi antibakteri pada Escherichiacoli yang diisolasi dari urin. Mahasiswi dengan riwayat infeksi saluran kemih 11,8% resistensi terhadap ciprofloxacin dan sebanyak 1.8% yang resisten terhadap
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
ciprofloxacin tanpa riwayat infeksi saluran kemih. Temu giring (Curcuma heyneana Val.) banyak ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan kecil atau peladangan dekat rumah penduduk, terutama di kawasan Jawa Timur4. Rimpang temu giring (Curcuma heyneanaVal.) mengandung senyawa kurkumin yang dapat memberi warna kuning, minyak atsiri 0,8-3%, amilum, damar, lemak, tanin, saponin dan flavonoid5. Berdasarkan hasil penelitian Meilisa6 formulasi dalam sediaan kapsul dari ekstrak etanol rimpang temu lawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb.) yang memiliki suku yang sama dengan rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.) yaitu Zingiberaceae
BAHAN DAN METODE Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bejana untuk maserasi, Paper disc/ Cakram, inkubator, pipet volume, jarum ose, lampu bunsen, autoklaf, cawan petri, gelas ukur, timbangan analitik, pinset, pelekat label, pisau, tabung reaksi, mikro pipet, waterbath,hot plat, luminary air flow. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temu giring, aquades steril, media mueller hinton, eEtanol 96 %, biakan Esherichia coli, paper disk kosong, seftriakson, HCl pekat, serbuk Mg, FeCl3, H2SO4 pekat, asam borat, kalium bikromat. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2014.Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Biologi Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin, Laboratorium FKIP MIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia FMIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru dan Laboratorium Bakteriologi Balai Veteriner Banjarbaru. Metode Pengumpulan Sampel Temu giring (Curcuma heyneana Val.) yang diambil dari Desa Pengaron dideterminasi di Laboratorium Biologi FKIP MIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Ekstraksi Rimpang Temu Giring Temu giring yang sudah di ambil kemudian di keringkan. Temu giring yang sudah
Akademi Farmasi Samarinda
Aditya Maulana Perdana Putra
mengadung senyawa diantaranya kurkumin, saponin, flavonoid dan minyak atsiri yang berkhasiat menghambat pertumbuhan Escherichia coli.Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian uji daya hambat ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.) terhadap pertumbuhan Escherichia coli. Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu “Apakah ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.) memiliki aktivitas daya hambat terhadap pertumbuhan Escherichia coli?” dan “Berapa Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.) terhadap pertumbuhan Escherichia coli?”
kering tersebut kemudian diekstraksi dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%. Merendam serbuk simplisia rimpang temu giring selama 6 jam pertama sambil sekali-sekali diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam.Lakukan proses penyaringan menggunakan kertas saring untuk memisahkan maserat dengan ampas.Mengulangi proses penyarian sampai sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama hingga kandungan pada simplisia tertarik semua.Proses penyarian dikatakan selesai jika warna pelarut yang digunakan kembali seperti semula.Mengumpulkan semua maserat kemudian menguapkannya dengan menggunakan vacum rotary evaporator. Setelah maserat diuapkan dengan vacum rotary evaporator, diuapkan kembali dengan water bath untuk memperoleh ekstrak kental rimpang temu giring. Skrining Fitokimia Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, dilakukan skrining fitokimia. Skrining fitokimia yang dilakukan yaitu skrining flavonoid, saponin, tanin, kurkumin, dan minyak atsiri. Pembuatan Media Mueller Hinton Timbang Mueller Hinton Agar sebanyak 34 gram, kemudian campurkan dengan aquadest sampai 1000 ml dalam beker glass, aduk sampai larut. Larutan tersebut kemudian disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit7. Pembuatan ekstrak etanol Rimpang Temu iring Konsentrasi ekstrak etanol rimpang temu giring yang digunakan yaitu 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,12%, 1,56, dan 0,78%. Kontrol positifyaitu seftriakson dengan dosis 200 mg yang dilarutkan dalam 200 ml aquades steril. Kontrol negatif yaitu aquades steril.
69
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
Prosedur Uji Daya Hambat Masukkan 15 mL media ke dalam cawan petri bersama 1 mL suspensi E.coli. Homogenkan biakan bakteri dengan cara memutar ke kanan dan ke kiri lalu diamkan sampai padat. Kertas cakram di celupkan ke dalam berbagai ekstrak etanol rimpang temu giring, kontrol positif dan kontrol negatif. Letakkan cakram di atas media agar. Kemudia inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah 24 jam amati dan ukur diameter zona hambat. Lakukan replikasi 3 kali. Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah temu giring (Curcuma heyneana Val.). Bagian tanaman temu giring yang digunakan adalah bagian rimpangnya yang sudah tua atau berumur 8-10 bulan8, dimana proses metabolisme telah sempurna sehingga diharapkan kandungan zat aktifnya juga maksimal. Pembuatan ekstrak etanol rimpang temu giring dilakukan dengan metode maserasi. Pemilihan metode maserasi karena dapat menarik senyawasenyawa yang berkhasiat, baik yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Selain itu pengerjaan dan peralatan yang digunakan dalam metode maserasi sederhana dan Tabel 1. No. 1. 2.
3. 4. 5.
Data yang diperoleh diameter zona hambat yang didapat dari berbagai perlakuan dan di sajikan dalam bentuk tabel. Data tersebut diuji untuk melihat diameter data terdistribusi normal dan homogen dengan uji Normality dan Uji Homogeinity. Jika data yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen di uji dengan uji parametrik One Way Anova dilanjutkan dengan Post-Hoc Analysis. Jika data yang diperoleh salah satunya tidak terdistribusi normal dan homogen di uji dengan uji Non parametrik Kruskal Wallis dilanjutkan denganuji Mann Whitney.
mudah diusahakan.Hasil ekstraksi maserasi menunjukkan bahwa tanaman rimpang temu giring dengan berat simplisia 1000g menghasilkan ekstrak kental dengan rendemen sebesar 11,04%. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa rimpang temu giring menghasilkan ekstrak dengan rendemen lebih dari 8%9. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring Skrining fitokimia merupakan uji kualitatif untuk mengetahui adanya senyawa flavonoid, saponin, tanin, kurkumin dan minyak atsiri dalam ekstrak kental rimpang temu giring. Hasil skrining fitokimia untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 di bawah.
Hasil Skrining Fitokimia Pengujian
Flavonoid Sampel + HCl pekat + serbuk Mg Saponin Sampel + aquadest kocok selama 10 menit + HCl 2 N Tanin Sampel + FeCl3 0,5 M + H2SO4 pekat Kurkumin Sampel + asam borat Minyak Atsiri Sampel diuapkan sampai kering + etanol uapkan lagi sampai kering
Selain skrining fitokimia juga dilakukan identifikasi keberadaan etanol, karena dikhawatirkan ekstrak kental rimpang temu giring masih mengandung etanol yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri sehingga akan mempengaruhi hasil uji.Pada identifikasi keberadaan etanol dalam ekstrak, tidak tercium aroma etanol yang spesifik, hanya tercium bau rimpang temu giring. Penambahan kalium bikromat dan asam sulfat pekat akan memberikan
70
Aditya Maulana Perdana Putra
Hasil +
Keterangan Jingga dan Hijau10
+
Buih setinggi 3 cm + HCl 2 N, buih tidak hilang11
+ +
Biru kehitaman, + H2SO4 pekat endapan coklat12 Kompleks warna merah13
+
Berbau khas14
warna hijau menunjukkan hasil positif. Reaksi oksidasi alkohol dengan kalium bikromat dan asam sulfat pekat akan menghasilkan warna hijau dari ion Cr3+ 15. Ekstrak yang telah ditambahkan kalium bikromat dan asam sulfat pekat tidak memberikan warna hijau (ekstrak tetap berwarna kuning jingga), hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kental rimpang temu giring sudah tidak mengandung etanol.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
Uji Daya Hambat Antibakteri Pengujian daya hambat antibakteri pada Esherichia coli secara in vitro dilakukan dengan metode difusi cakram yaitu penentuan daya hambat antibakteri dilihat berdasarkan diameter zona hambat yang muncul disekitar cakram yang berisi zat antibakteri. Setelah diinkubasi, diameter zona hambat jernih yang mengelilingi cakramdiukur sebagai nilai kekuatan hambat obat terhadap bakteri uji. Artinya semakin luas zona hambat yang terbentuk menunjukkan semakin efektif zat tersebut sebagai antibakteri. Tabel 2.
Aditya Maulana Perdana Putra
Uji daya hambat ini dilakukan pada 10 kelompok uji yang terdiri dari ekstrak rimpang temu giring dengan berbagai konsentrasi (100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,12%, 1,56% dan 0,78%), kontrol positif (seftriakson 30µg) dan kontrol negatif (aquadest).Pada penelitian ini replikasi dilakukan sebanyak 3 kali, sehingga data yang diperoleh sebanyak 30 data diameter zona hambatan.Hasil uji daya hambatekstrak dengan variasi konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil Uji Daya Hambat Ekstrak Dengan Berbagai Konsentrasi
Konsentrasi Ekstrak %b/v 100% 50% 25% 12,5% 6,25% 3,12% 1,56% 0,78% Kontrol Positif (Seftriakson) Kontrol Negatif (Aquadest)
Disk 1 14,4 14,0 12,5 9,8 8 8 8 8 31,3 8
Hasil uji daya hambat antibakteri ekstrak rimpang temu giring terhadap Escherichia coli (Tabel 2) menunjukkan bahwa konsentrasi 100%, 50%, 25% dan 12,5% memberikan diameter zona hambat, sedangkan konsentrasi 6,25%, 3,12%, 1,56% dan 0,78% tidak memberikan zona hambat disekitar paper disk.. Tabel diatas memperlihatkan bahwa diameter zona hambat tertinggi diperoleh pada konsentrasi 100%. Kenaikan diameter zona hambat berbanding lurus dengan konsentrasi. Semakin besar konsentrasi maka diameter zona hambat yang dihasilkan juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena kuantitas komponen aktif yang bersifat sebagai antibakteri semakin banyak dengan semakin tingginya konsentrasi ekstrak, sehingga kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan Escherichia coli juga semakin besar. Menurut Kurniawan16 dalam Hidayati17 menyatakan bahwa bila kecepatan daya hambat antibakteri dari sampel ke dalam medium lebih rendah dari pada kecepatan pertumbuhan bakteri, maka peningkatan konsentrasi tidak akan Tabel 3.
Diameter Zona Hambat (mm) Disk 2 Disk 3 15,0 15,5 14,1 14,1 12,4 12,5 9,8 9,7 8 8 8 8 8 8 8 8 31,1 31,5 8 8
Rata-rata 14,97 14,07 12,47 9,77 8 8 8 8 31,3 8
meningkatkan penghambatan pada pertumbuhan. Saat tingkat konsentrasi ekstrak rimpang temu giring tinggi, ekstrak tersebut akan menjadi kental, membuat laju difusi senyawa aktif menjadi berkurang. Oleh karena itu pada konsentrasi 100% dan 50% diameter zona hambat rata-rata yang diperoleh memiliki perbedaan yang sangat sedikit dibandingkan dengan konsentrasi 50% dan 25%. Analisis Data Data diameter zona hambat yang diperoleh dari berbagai kelompok perlakuan dilakukan analisis normalitas dan homogenitas untuk menentukan uji yang digunakan apakah parametrik atau non parametrik.Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk karena uji Shapiro-Wilk digunakan untuk sampel yang jumlahnya sedikit (kurang atau sama dengan 50) (Dahlan, 2013). Pada uji Shapiro-Wilk didapatkan signifikansi < 0,05 maka diambil kesimpulan bahwa distribusi data tidak normal. Hasil uji normalitas bisa dilihat pada tabel 3 di bawah.
Uji Normalitas Konsentrasi
Diameter Zona Hambat
Akademi Farmasi Samarinda
100% 50% 25% 12,5% Kontrol Positif
Statistic 0,997 0,750 0,750 0,750 1,000
Shapiro-Wilk df 3 3 3 3 3
Sig. 0,900 0,000 0,000 0,000 1,000
71
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
Selanjutnya data diuji homogenitasnya dengan menggunakan Levene Test, diperoleh nilai signifikansi < 0,05 (0,005) yang menyatakan bahwa distribusi data tidak homogen.Menurut Dahlan (2013) syarat melakukan uji ANOVA untuk >2 kelompok tidak berpasangan adalah distribusi data harus normal dan varians data harus sama. Sedangkan data yang diperoleh tidak terdistribusi normal dan tidak homogen. Jika variabel hasil tidak terdistribusi normal atau varians tidak sama, maka alternatifnya dipilih Kruskal-Wallis. Tabel 4.
Data diuji dengan Kruskal-Wallis untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kelompok perlakuan. Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai < 0,05 (0,001) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima (Lampiran 15), yang berarti terdapat aktivitas daya hambat ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.)terhadap pertumbuhan Escherichia coli. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan diameter zona hambat diantara 10 kelompok perlakuan. Ringkasan hasil uji KruskalWallis dapat dilihat pada tabel 4.
Ringkasan Hasil Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat 28.875 Chi-Square 9 Df 0,001 Asymp.Sig.
Menurut Dahlan (2013) Mann-Whitney U Analysis digunakan untuk menentukan pada kelompok mana terdapat perbedaan yang
Kelompok Uji
Tabel 5.
Ringkasan Hasil Analisis Mann-Whitney U Nilai Signifikansi 100 %
50%
25%
12,5 %
6,25 %
3,12 %
1,56 %
0,78 %
Kontrol Positif
100%
-
0,046
0,046
0,046
0,037
0,037
0,037
0,037
0,050
Kontro l Negati f 0,037
50%
0,04 6 0,04 6 0,04 6 0,03 7 0,03 7 0,03 7 0,03 7 0,05 0
-
0,043
0,043
0,034
0,034
0,034
0,034
0,046
0,034
0,043
-
0,043
0,034
0,034
0,034
0,034
0,046
0,034
0,043
0,043
-
0,034
0,034
0,034
0,034
0,046
0,034
0,034
0,034
0,034
-
1,00
1,00
1,00
0,037
1,00
0,034
0,034
0,034
1,00
-
1,00
1,00
0,037
1,00
0,034
0,034
0,034
1,00
1,00
-
1,00
0,037
1,00
0,034
0,034
0,034
1,00
1,00
1,00
-
0,037
1,00
0,046
0,046
0,046
0,037
0,037
0,037
0,037
-
0,037
0,034
0,034
0,034
1,00
1,00
1,00
1,00
0,037
-
25% 12,5% 6,25% 3,12% 1,56% 0,78% Kontro l Positif Kontro l Negatif
0,03 7
Data diuji dengan Kruskal-Wallis untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara
72
bermakna antar kelompok perlakuan dari uji non parametrik. Berikut ringkasaan hasil MannWhitney U Analysis :
kelompok perlakuan. Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai < 0,05 (0,001) sehingga H0 ditolak
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
dan H1 diterima, yang berarti terdapat aktivitas daya hambat ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.)terhadap pertumbuhan Escherichia coli. Maka dapat diambil kesimpulan
Tabel 6.
bahwa terdapat perbedaan diameter zona hambat diantara 10 kelompok perlakuan. Ringkasan hasil uji Kruskal-Wallis dapat dilihat pada tabel 6.
Ringkasan Hasil Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat 28.875 Chi-Square 9 Df 0,001 Asymp.Sig.
Menurut Dahlan18 Mann-Whitney U Analysis digunakan untuk menentukan pada kelompok mana terdapat perbedaan yang bermakna antar
Kelompok Uji
Tabel 7.
kelompok perlakuan dari uji non parametrik. Berikut ringkasaan hasil Mann-Whitney U Analysis :
Ringkasan Hasil Analisis Mann-Whitney U Nilai Signifikansi 100 %
50%
25%
12,5 %
6,25 %
3,12 %
1,56 %
0,78 %
Kontrol Positif
100%
-
0,046
0,046
0,046
0,037
0,037
0,037
0,037
0,050
Kontro l Negati f 0,037
50%
0,0 46 0,0 46 0,0 46 0,0 37 0,0 37 0,0 37 0,0 37 0,0 50 0,0 37
-
0,043
0,043
0,034
0,034
0,034
0,034
0,046
0,034
0,043
-
0,043
0,034
0,034
0,034
0,034
0,046
0,034
0,043
0,043
-
0,034
0,034
0,034
0,034
0,046
0,034
0,034
0,034
0,034
-
1,00
1,00
1,00
0,037
1,00
0,034
0,034
0,034
1,00
-
1,00
1,00
0,037
1,00
0,034
0,034
0,034
1,00
1,00
-
1,00
0,037
1,00
0,034
0,034
0,034
1,00
1,00
1,00
-
0,037
1,00
0,046
0,046
0,046
0,037
0,037
0,037
0,037
-
0,037
0,034
0,034
0,034
1,00
1,00
1,00
1,00
0,037
-
25% 12,5% 6,25% 3,12% 1,56% 0,78% Kontrol Positif Kontrol Negatif
SIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.) mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan Escherichia coli pada konsentrasi 100%, 50%, 25% dan 12,5% dengan rata-rata diameter zona hambat 14,97 mm, 14,07 mm, 12,47 mm, dan 9,77 mm
Akademi Farmasi Samarinda
2. Konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.) terhadap pertumbuhan Escherichia coli yaitu 12,5% dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 9,77 mm.
73
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 68-74, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
DAFTAR PUSTAKA 1. Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., Morse, S.A., Mietzner, T.A., 2012, Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran Edisi 25, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Nugroho, A.W., dkk, EGC, Jakarta, Indonesia. 2. Okoli, C, 2005, ‘Anti Microbial Resistence Profile of E. coli Isolates from Tropical Free Range Chicken’,Online Journal of Health and Allied Sciences, 4 (3): 2, viewed 30 March 2014, Available from: http://www.ojhas.org/issue15/2005-3-3.htm 3. Olson, R.P., Harrel, L.J., Kaye, K.S., 2009, ‘Antibiotic Resistance in Urinary Isolates of Escherichia coli from College Women with Urinary Tract Infections’ American Society For Microbiology, 53 (3): 12851286, viewed 4 March 2014.Available from: http://aac.asm.org/content/53/3/1285.long 4. Muhlisah, F., 2000, Temu-temuan dan Empon-empon Budi Daya dan Manfaatnya, Kinisius, Yogyakarta, Indonesia. 5. Santoso, H.B. 2008, Ragam dan Khasiat Tanaman Obat, Agro Media, Yogyakarta, Indonesia. 6. Meilisa. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri dan Formulasi Dalam Sediaan Kapsul Dari Ekstra Etanol Rimpang Tumbuhan Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza, roxb) Terhadap Beberapa Bakteri. Medan. Universitas Sumatera Utara. 7. Rahmatillah, M., 2014, ‘Uji Daya Hambat Perasan Buah Jeruk Siam Banjar (Citrus Reticulata) Terhadap Pertumbuhan’ Karya Tulis Ilmiah, Akademi Farmasi Isfi Banjarmasin. 8. Herawati, D., Nraida,L., dan Sumarno, Cara Produksi Simplisia yang Baik, ITB dan Seafast Center, Indonesia. 9. Depkes RI, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 261/MENKES/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 10. Kristanti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M., Kurniadi, B., 2006, Buku Ajar Fitokimia, Airlangga University Press, Surabaya, Indonesia. 11. Depkes RI, 1977, Materia Medika Indonesia Jilid 1-4, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 12. Sulastri, T. 2009, Analisis Kadar Tanin Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol pada Biji Pinang Sirih (Areca cathecu L), Jurnal Chemica, 10: 59-63. 13. Sirait, M. 2007, Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, ITB, Bandung, Indonesia. 14. Indriyani, L., Soetjipto, H., Sihasale, L., 2006, ‘Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Pecut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L. vahl) Terhadap Larva Udang Artemia Salina leach’, Salatiga, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. 15. Sulistyawati, 2011, Pemanfaatan Limbah Bonggol Pisang sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol sebagai Alternatif Energi Terbaru, Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta. 16. Kurniawan, A., 2006, Pengujian Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan secara In Vitro pada Ekstrak Herba Pegagan (Centella asiatica) Segar, Ekstrak Bubuk Kering dan Effervescent Pegagan, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang cit. 17. Hidayati, N., 2009, ‘Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Teh (Camelia Sinesis L, v. assamica) Tua Hasil Ekstraksi Menggunakan Pelarut Akuadest dan Etanol’, Skripsi, Universitas Islam Negeri Malang, Malang. 18. Dahlan, M., S.,2013, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
74
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR RHODAMIN B PADA KUE BERWARNA MERAH DI PASAR ANTASARI KOTA BANJARMASIN Submitted : 20 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015
Ratih Pratiwi Sari Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin E-mail :
[email protected] ABSTRACT Rhodamine B is a synthetic dye used to dye the textile industry. Rhodamine B is presence in food can cause poisoning, skin irritation, lung irritation, eye irritation, throat irritation, nasal irritation, and cause liver damage if exposed to high concentrations. Samples taken from the red cake seller in the Antasari Banjarmasin market. This research is a descriptive study. The sampling technique used was accidental sampling. Rhodamine B on a method of identification of samples using Thin Layer Chromatography and Visible spectrophotometry. Samples were prepared using the absorption method wool. The resulting solution will be used as identification in Thin Layer Chromatography using silica gel GF 254 plates with a mobile phase of n-butanol : ethyl acetate : ammonia (10:4:5). Rhodamine B assay performed visible spectrophotometry at a wavelength of 544 nm. Results of identification were putri ayu cake, Apam cake, Kukus cake A, Bolu cake, Singkong cake, and Kukus cakes B, shows that 1 positive samples containing Rhodamine B is a Apam cake. After that, the assay of Rhodamine B was performed in the sample apam cake and obtained for 0,4229 ± 0,1157 mg of Rhodamine B in 1 piece of red cake. K eywords: Rhodamine B, red cake, Thin Layer Chromatography, Visible spectrophotometry
PENDAHULUAN Belakang Kue merupakan salah satu makanan ringan yang diminati oleh masyarakat, karena harga kue yang murah, mudah didapat, dan cita rasa yang cocok dengan selera masyarakat. Penampilan kue termasuk bentuk dan warnanya dapat menambah daya tarik masyarakat. Untuk itulah para produsen sering menambahkan bahan tambahan pangan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012, menyatakan bahwa Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan beragam, seperti pengawet, pemberi rasa dan pewarna.Masyarakat Indonesia biasa menggunakan bahan alami sebagai pewarna makanan, misalnya kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau, dan jambu untuk warna merah. Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan pewarna alami mulai tergantikan dengan pewarna makanan sintesis, contohnya karmosin dan pounceau 4R. Hal ini Akademi Farmasi Samarinda
dikarenakan pewarna alami memiliki warna yang mudah pudar, penggunaannya tidak praktis, dan tidak cocok digunakan dalam produksi pangan skala industri, sedangkan pewarna sintesis memiliki warnanya lebih menarik, harga yang relatif murah, penggunaannya praktis, dan tidak mudah pudar, namun ada beberapa produsen yang dengan sengaja menambahkan pewarna sintesis yang dilarang, contohnya seperti pewarna Rhodamin B. Ciri-ciri makanan yang mengandung Rhodamin B dapat dilihat dari warna pada makanan tersebut yang lebih terang, warna yang tidak homogen, warnanya lebih lengket dibanding dengan pewarna alami, dan adanya sedikit rasa pahit1. Rhodamin B adalah bahan kimia yang digunakan untuk pewarna pada industri tekstil plastik dan keberadaan Rhodamin B dalam makanan dengan dosis yang tinggi bisa menyebabkan kanker, keracunan, iritasi paruparu, iritasi mata, tenggorokan, hidung dan usus2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Paulina V.Y. Yamlean (2011) pada jajanan kue 75
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
yang berwarna merah muda yang beredar di Kota Manado menunjukkan bahwa 5 dari 16 sampel jajanan kue yang berwarna merah muda positif mengandung pewarna Rhodamin B. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, terdapat 6 penjual kue berwarna merah
BAHAN DAN METODE Alat Alat yang digunakan dalam penelitian senyawa Rhodamin Bdalam kue berwarna merah yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin adalah erlenmeyer, timbangan analitik, labu takar, gelas ukur, gelas beker, batang pengaduk, kompor listrik, pipet tetes, pipet volum, pipet ukur, mikro pipet (Dragon Lab), pipa kapiler, plat silika gel GF 254, lampu UV 254 nm dan 366 nm, spektrofotometri Visibel (Rayleigh), kertas saring, oven, chamber, dan benang wool. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian senyawa Rhodamin Bdalam kue berwarna merah muda yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin adalah kue putri ayu, kue apam, kue kukus, kue bolu, kue singkong, aquadest, etanol 70%, larutan baku Rhodamin B, larutan n-butanol, larutan etil asetat, larutan asam asetat 10%, larutan ammonia 2% dan larutan ammonia 10%. METODE Pengumpulan Sampel Pembelian sampel kue berwarna merah di pasar Antasari Kota Banjarmasin dan diberikan kode sampel. Preparasi Sampel Timbang sampel sebanyak 10 g, masukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian direndam dalam 20 mL larutan ammonia 2% (yang dilarutkan dalam etanol 70%), diamkan satu malam. Larutan disaring filtratnya dan dipanaskan di atas hot plate. Residu dari penguapan dilarutkan dalam 10 mL air yang mengandung asam. Ke dalam larutan asam, dimasukkan benang wol dan dididihkan selama 10 menit, kemudian benang diangkat. Benang wol dicuci dengan air. Kemudian benang wol dimasukkan ke dalam larutan ammonia 10%, dididihkan. Larutan basa yang diperoleh selanjutnya akan digunakan sebagai cuplikan sampel pada analisis kromatografi lapis tipis. HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Sampel Sampel yang diteliti adalah kue berwarna merah. Pengambilansampel kue berwarna merah 76
Aditya Maulana Perdana Putra
yang berada di pasar Antasari Banjarmasin, maka dilakukanlah penelitian untuk mengetahui keberadaan dan kadar pewarna Rhodamin B pada kue yang berwarna merah yang dijual di pasar Antasari Kota Banjarmasin.
Identifikasi Rhodamin B Menggunakan K LT Masukkan cairan fase gerak berupa nbutanol:etil asetat: ammonia (10:4:5) ke dalam chamber dan jenuhkan chamber. Kemudian, sampel ditotolkan pada plat KLT dengan jarak 1 cm dari bagian bawah plat, 0,5 cm dari bagian atas plat dan 1 cm antara totolan yang satu dengan totolan sampel yang lain. Biarkan hingga terelusi sempurna. Setelah itu, plat KLT diangkat dan dikeringkan. Diamati warna secara visual dan di bawah sinar UV. Sampel positif mengandung Rhodamin B apabila jika dilihat secara visual maka akan berwarna merah jambu sedangkan apabila dilihat di bawah sinar UV 254 nm akan berfluoresensi orange dan berfluoresensi merah muda di bawah sinar UV 366 nm. Pembuatan Larutan Baku dan Baku K erja Rhodamin B a. Larutan Baku Rhodamin B Rhodamin B pro analisis didapat dari Laboratorium FMIPA UNLAM Banjarbaru. Larutan baku Rhodamin B dibuat dengan konsentrasi 2000 ppm. b. Larutan Baku Kerja Rhodamin B Larutan baku kerja Rhodamin B dibuat dengan konsentrasi 10; 15; 20; 25; 30 dan 35 ppm. Penetapan K adar Rhodamin B menggunakan Spektrofotometri Visibel Penetapan kadar Rhodamin B dilakukan dengan Spektrofotometri visible pada panjang gelombang 400-800 nm, sehingga akan diperoleh panjang gelombang maksimal untuk Rhodamin B. Setelah itu, baca nilai serapan dari masing-masing larutan baku kerja. Setelah memperoleh nilai serapan dari masing-masing larutan baku kerja, kemudian hitung kadar Rhodamin B dalam sampel dengan menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan regresi y= bx ± a.
dilakukan di pasar Antasari Kota Banjarmasin, terdapat 6 orang penjual kue berwarna merah dan sampel yang diperoleh berjumlah 6 kue berwarna Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
merah yang tersebar pada masing-masing penjual kue tersebut, lalu kue berwarna merah yang akan diteliti dimasukkan ke dalam plastik klip dan diberi kode agar sampel tidak tertukar. Sampel dilakukan preparasi terlebih dahulu sebelum dilanjutkan ke tahap penotolan pada plat KLT. Sampel dipreparasi dengan metode serapan benang wol, prinsipnya adalah penarikan zat warna dari sampel ke dalam benang wol dalam suasana asam dengan pemanasan dilanjutkan dengan pelunturan warna oleh suatu basa. Benang wol tersusun atas ikatan peptida yang di dalamnya terdapat ikatan sistina, asam glutarnat, lisin, asam aspartik dan arginin. Rhodamin B dapat melewati lapisan kutikula melalui perombakan sestina menjadi sistein dengan suatu asam. Sistein
terbentuk melalui pecahnya ikatan S-S dari sistina karena adanya asam asetat. Setelah ikatan tersebut terbuka, maka Rhodamin B dapat masuk kedalam benang wol dan berikatan dengan COO¯ dari asam aspartik juga berikatan dengan +NH3 dari Arginin3. Preparasi sampel menggunakan metode serapan benang wol ini bertujuan untuk memisahkan zat-zat pengganggu yang ada pada Rhodamin B yang dapat mengganggu tahap identifikasi Rhodamin B dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan penetapan kadar menggunakan Spektrofotometri Visibel. Gambar mekanisme peningkatan Rhodamin B dalam benang wol dapat dilihat pada gambar 1.
+
Gambar 1. Mekanisme peningkatan Rhodamin B dalam benang wol (Soeprijino, dkk., 1974, cit: Utami dan Suhendi, 2009) Preparasi sampel dilakukan dengan menggerus halus sampel kue berwarna merah lalu ditimbang sebanyak 10 gram masukkan kedalam gelas erlenmeyer, kemudian direndam semalaman dengan larutan ammonia 2% yang dilarutkan dalam etanol 70%. Pelarut yang digunakan adalah pelarut dengan suasana basa, hal tersebut dikarenakan suatu basa dapat melunturkan atau melarutkan warna Rhodamin B yang terdapat pada kue berwarna merah. Larutan ammonia berfungsi untuk memisahkan Rhodamin B yang terdapat pada kue dengan bantuan pelarut alkohol. Walaupun Rhodamin B adalah suatu senyawa yang sukar larut (1:100-1.000) dalam alkali dan sangat larut dalam alkohol, namun kadar Rhodamin B yang terdapat dalam sampel hanya sedikit yaitu sebesar 0,423 mg dalam 1 kue, sehingga Rhodamin B dapat larut dalam ammonia yang dilarutkan dalam etanol dan memisah Akademi Farmasi Samarinda
dengan zat-zat lain yang terdapat pada kue berwarna merah. Sampel yang telah didiamkan satu malam disaring filtratnya dengan kertas saring, kemudian larutan dipanaskan diatas kompor listrik dengan suhu 80⁰ C sampai semua larutan ammonia 2% menguap, sehingga diperoleh filtrat dari sampel. Kemudian sampel ditambahkan larutan asam yang dibuat dengan mencampurkan 10 ml air dan 5 ml asam asetat 10%, lalu dimasukkan 15 cm benang wol dan didihkan selama 10 menit. Larutan asam asetat berfungsi untuk memecah ikatan sistina yang terdapat pada benang wol menjadi sistein dengan bantuan pemanasan maka akan mempercepat reaksi tersebut sehingga Rhodamin B dapat menyerap ke dalam benang wol. Benang wol yang telah dididihkan lalu dicuci, hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan larutan asam yang 77
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
berkemungkinan ikut tertarik ke dalam benang wol dan untuk menghindari kemungkinan terjadinya reaksi kimia yang akan timbul dengan pelarut selanjutnya. Setelah bersih benang wol dilarutkan dengan larutan ammonia 10% dalam etanol 70% kemudian didihkan selama lebih kurang 2 menit. Rhodamin B yang berada dalam benang wol akan luntur atau larut dalam suatu basa, dan larutan ini lah yang akan digunakan sebagai cuplikan untuk dilanjutkan ke tahap identifikasi menggunakan Kromatografi Lapis Tipis dan penetapan kadar dengan Spektrofotometri Visibel. Hasil Identifikasi Rhodamin B menggunakan Kromatografi Lapis Tipis Pengujian menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis dilakukan dengan menotolkan sampel pada plat, dalam 1 plat KLT terdapat 8 totolan yaitu 1 totol kontrol positif, 3 totol untuk sampel pertama, 3 totol untuk sampel ke dua dan 1 totol untuk kontrol negatif. Pengujian ini dilakukan 3 replikasi atau 3 pengulangan yang bertujuan untuk mempertegas atau memperjelas hasil dari pengujian sampel.
Aditya Maulana Perdana Putra
Jarak antar totol adalah 1 cm dan jarak garis bawah plat 1 cm, sedangkan garis atas 0,5 cm. Terdapat Sampel yang telah ditotolkan dibiarkan hingga mengering, lalu dielusi dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak berupa n-butanol : etil asetat : ammonia (10 : 4 : 5). Kemudian plat KLT yang telah terelusi sempurna diangkat dan dikeringkan, lalu diamati secara visual bercak akan berwarna merah muda dan di bawah sinar UV 254 nm berflurosensi orange dan di bawah sinar UV 366 nm berflurosensi merah muda. Hasil identifikasi Rhodamin B pada kue berwarna merah menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang diuji, terdapat 1 sampel yang positif mengandung Rhodamin B, yaitu sampel kue apam dengan kode B. Gambar plat KLT dengan sampel kue putri ayu dengan kode A dan sampel kue apam dengan kode B dapat dilihat pada gambar 4.2 secara visual, lampu UV 254 nm dan 366 nm, sedangkan untuk perhitungan nilai faktor retensi atau nilai Rfsampel kode B dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan nilai Rf untuk plat dengan sampel kode A dan B Kode sampel Deteksi Pertihungan nilai Rf 254 nm 366 nm Kontrol positif Orange muda Merah muda , = 0,692 (+) , 0 Sampel A1 0 Sampel A2 0 Sampel A3 Orange muda Merah muda Sampel B1 , = 0,653 , Sampel B2 Sampel B3 Kontrol negatif (-)
(I) 78
Orange muda Orange muda -
Merah muda Merah muda -
, , , ,
= 0,653 = 0,653 0
(II) Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
(III) Gambar 2. Plat Kromatografi Lapis Tipis pada sampel kode A dan B Keterangan gambar 2 : ( I ) Sampel A dan B setelah selesai dielusi ( II ) Sampel A dan B pada lampu UV 245 nm ( III ) Sampel A dan B pada lampu UV 366 nm
Berdasarkan gambar pada 2 dapat dilihat bahwa sampel dengan kode B memberikan bercak warna merah muda di plat KLT, bercak pada lampu UV 254 nm terlihat berflurosensi warna orange muda, untuk lampu UV 366 nm terlihat jelas berflurosensi warna merah muda. Terlihat pada gambar 2 timbul 2 bercak berwarna merah muda diatas lintasan sampel kode B replikasi ke3, karena bercak yang paling atas tidak sejajar dengan bercak kontrol positif maka diduga bercak tersebut adalah zat pengotor yang terdapat pada sampel. Hasil warna bercak secara visual, lampu UV 254 nm dan 366 nm sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Utami dan Andi Suhendi3. Perhitungan nilai faktor retensi atau nilai Rfdilakukan untuk memperkuat hasil identifikasi
sampel dengan nilai Rfkontrol positif Rhodamin B sebagai pembanding, dan dapat dilihat perhitungan nilai Rf pada tabel 1 yang menunjukkan bahwa selisih nilai Rfantara sampel kode B dan larutan Rhodamin B tidak terlalu jauh, yaitu diperoleh nilai Rfkontrol positif Rhodamin B sebesar 0,692 sedangkan untuk sampel kode B yang positif mengandung Rhodamin B memiliki nilai Rf yang sama untuk ketiga replikasi yaitu sebesar 0,653. Gambar hasil identifikasi sampel kue kukus dengan kode C dan sampel kue bolu dengan kode D dengan menggunakan plat KLT dilihat secara visual, lampu UV 254 nm dan 366 nm dapat dilihat pada gambar 3, sedangkan untuk perhitungan nilai Rfatau nilai faktor retensi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perhitungan nilai Rfuntuk plat dengan sampel kode C dan D Kode sampel Deteksi Pertihungan nilai Rf 254 nm 366 nm Kontrol positif Orange muda Merah muda , = 0,714 (+) , Sampel C1 Sampel C2 Sampel C3 Sampel D1 Sampel D2 Sampel D3 Kontrol negatif (-)
Akademi Farmasi Samarinda
-
-
0 0 0 0 0 0 0
79
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
(I)
Aditya Maulana Perdana Putra
(II)
(III) Gambar 3. Plat Kromatografi Lapis Tipis pada sampel kode C dan D Keterangan gambar 3 : ( I ) Sampel C dan D setelah selesai dielusi ( II ) Sampel C dan D pada lampu UV 245 nm ( III ) Sampel C dan D pada lampu UV 366 nm Berdasarkan hasil gambar pada 3 dapat dilihat bahwa sampel dengan kode C dan D tidak memberikan bercak warna merah muda di plat KLT, dan tidak terlihat flurosensi warna pada lampu UV 254 nm atau pada lampu UV 366 nm. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa sampel kode C dan D tidak mengandung Rhodamin B, dan perhitungan nilai Rflarutan Rhodamin B pada plat dengan kode sampel C dan D dapat dilihat pada tabel 2, karena kedua sampel pada plat ini tidak
ada yang mengandung Rhodamin B maka hanya nilai Rf larutan Rhodamin B yang dapat dihitung yaitu sebesar 0,714. Gambar hasil identifikasi sampel kue singkong dengan kode E dan sampel kue kukus dengan kode F dengan menggunakan plat KLT dilihat secara visual, lampu UV 254 nm dan 366 nm dapat dilihat pada gambar 4, sedangkan untuk perhitungan nilai Rfatau nilai faktor retensi dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Perhitungan nilai Rf untuk plat dengan sampel kode E dan F Kode sampel Deteksi Pertihungan nilai Rf 254 nm 366 nm Kontrol positif Orange muda Merah muda , = 0,685 (+) , 0 Sampel E1 0 Sampel E2 0 Sampel E3 0 Sampel F1 0 Sampel F2 0 Sampel F3 0 Kontrol negatif (-)
80
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
(I)
Aditya Maulana Perdana Putra
(II)
(III) Gambar 4. Plat Kromatografi Lapis Tipis pada sampel kode E dan F Keterangan gambar 4 : ( I ) Sampel E dan F setelah selesai dielusi ( II ) Sampel E dan F pada lampu UV 245 nm ( III ) Sampel E dan F pada lampu UV 366 nm
Hasil identifikasi pada gambar 4 dapat dilihat bahwa sampel dengan kode E dan F tidak memberikan bercak warna merah muda di plat KLT, dan tidak terlihat flurosensi warna pada lampu UV 254 nm atau pada lampu UV 366 nm, hanya kontrol positif yang memberikan bercak warna. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa sampel kode E dan F tidak mengandung Rhodamin B, dan perhitungan nilai Rflarutan Rhodamin B pada plat dengan kode sampel E dan
F dapat dilihat pada tabel 3 dan diperoleh nilai Rf larutanRhodamin B yaitu sebesar 0,685. Berdasarkan hasil pengujianidentifikasi Rhodamin B menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis yang dilakukan di Laboratorium Kimia Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin terhadap sampel kue berwarna merah yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin gambar 5.
Indentifikasi Rhodamin B pada kue berwarna merah menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis 16,67 %
83,34 %
Positif Negatif
Gambar 5. Diagram presentase hasil identifikasi Rhodamin B pada kue berwarna merah menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (n = 6)
Akademi Farmasi Samarinda
81
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
Hasil dari gambar 5 menyatakan bahwa dari 6 sampel yang diuji, diperoleh nilai sebanyak 16,67 % untuk sampel positif mengandung Rhodamin B dan sebanyak 83,34 % untuk sampel yang dinyatakan negatif mengandung Rhodamin B. Hal tersebut mungkin dikarenakan pedagang di pasar Antasari Kota Banjarmasin masih banyak yang menggunakan pewarna yang diperbolehkan seperti Karmoisin dan merah allura, atau menggunakan bahan pewarna alami seperti Karmin dan merah bit. 3. Hasil Penetapan Kadar Rhodamin B menggunakan Spektrofotometri Visibel a. Penentuan panjang gelombang maksimal Larutan baku Rhodamin B dibuat dalam berbagai seri konstentrasi pengukuran yaitu 10; 15; 20; 25; 30; dan 35 ppm, dilakukan dengan cara mengencerkan dari larutan Rhodamin B 2000 ppm menggunakan pipet mikro diambil sebanyak 125 µl; 188 µl; 250 µl; 313 µl; 375 µl; dan 438 µl lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml ditambahkan etanol 96 % hingga batas tanda,
Aditya Maulana Perdana Putra
maka akan diperoleh seri konstentrasi 10; 15; 20; 25; 30; dan 35 ppm. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan pada larutan Rhodamin 10 ppm dengan rentang panjang gelombang 400-800 nm. Hal ini dikarenakan larutan Rhodamin B merupakan larutan berwarna. Menurut Gandjar dan Rohman4, sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Larutan Rhodamin B 10 ppm yang telah selesai dibuat, ditunggu selama 19-21 menit terlebih dahulu, karena pada rentang waktu tersebut diperoleh pengukuran larutan Rhodamin B yang stabil, lalu dimasukkan ke dalam spektrofotometri visibel untuk diukur serapan panjang gelombang maksimum dengan menggunakan larutan blanko. Larutan blanko yang digunakan adalah pelarut dari Rhodamin B yaitu etanol 96 % dan fungsi adalah untuk menghilangkan serapan dari zat yang tidak diuji atau pelarut agar tidak mempengaruhi serapan dari Rhodamin B. Kurva panjang gelombang larutan Rhodamin B 10 ppm dapat dilihat pada gambar 1.6.
Gambar 6. Kurva panjang gelombang larutan Rhodamin B 10 ppm Panjang gelombang maksimum larutan Rhodamin B 10 ppm pada gambar 1.6, menunjukkan bahwa panjang gelombang maksimum larutan Rhodamin B 10 ppm terdapat pada panjang gelombang 544 nm. Hasil panjang gelombang maksimum tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Winda Kirana Ade Putri5.
82
b. Penentuan kurva baku Larutan Rhodamin B Pembuatan kurva baku menggunakan larutan Rhodamin B dengan berbagai konsentrasi pengukuran, yaitu 10; 15; 20; 25; 30; dan 35 ppm. Setiap konsentrasi diukur serapannya pada panjang gelombang 544 nm serta menggunakan larutan blanko. Gambar kurva baku larutan Rhodamin B pada panjang gelombang 544 nm dapat dilihat pada gambar 1.7.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
Aditya Maulana Perdana Putra
Gambar 7. Kurva baku larutan Rhodamin B pada panjang gelombang 544 nm Berdasarkan dari gambar 7 diperoleh persamaan regresi linear y = bx + a, yaitu y = 0.0232 x - 0.0352, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.998055. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif, yang artinya meningkat konsentrasi suatu senyawa maka absorbansi juga akan meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Winda Kirana Ade Putri5 menyatakan bahwa kurva baku larutan Rhodamin B pada panjang gelombang 544 nm juga menghasilkan korelasi yang positif. Berdasarkan hasil identifikasi Rhodamin B pada sampel menyatakan bahwa sampel dengan kode B yaitu sampel kue apam, positif Tabel 4.
mengandung Rhodamin B karena memiliki nilai Rf lebih kurang dari nila Rf kontrol positif. Sampel kode B dilanjutkan ke tahap penetapan kadar menggunakan spektrofotometri visibel pada panjang gelombang 544 nm, sebelum diuji sampel di tambahkan 5 ml larutan ammonia 20 % dalam etanol 70 %, lalu dipanaskan dengan menggunakan hotplate dengan suhu 80⁰ C dan setelah itu didiamkan selama 19-21 menit, sesuai waktu yang diperoleh dari penentuan OT. Hasil penetapan absorbansiRhodamin B pada sampel kode B dapat dilihat pada Tabel 4.
Nilai absorbansiRhodamin B pada sampel kode B No Replikasi Absorbansi (A) I 0,091 1 II 0,106 2 III 0,076 3
Konsentrasi untuk sampel B1 adalah 5,4397 ppm, konsentrasi sampel B2 adalah 6,0862 ppm, dan untuk konsentrasi sampel B3 adalah 4,8783 ppm dan diperoleh kadar Rhodamin B dalam ratarata 5 buah sampel kue apam diperoleh sebesar 0,4229 ± 0,1157 mg dalam satu buah kue atau
hanya berkisar 0,3072-0,5386 mg dalam satu buah kue berwarna merah, sehingga dapat dikatakan bahwa kue berwarna merah yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin masih ada yang mengandung pewarna yang dilarang yaitu Rhodamin B, data dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Kadar Rhodamin B pada sampel kode B Sampel kode Kadar Rhodamin B Standart Deviasi (mg/kue) (SD) 0,4229 ± 0,1157 0,0467 B
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu: a. Hasil identifikasi dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis yang dilakukan terhadap 6 sampel kue berwarna Akademi Farmasi Samarinda
merah yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin, diperoleh 1 sampel yang positif mengandung Rhodamin B, yaitu sampel dengan kode B (sampel kue apam).
83
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 75-84, 2015
b.
Hasil penetapan kadar Rhodamin B pada sampel dengan kode B (sampel kue apam) yang dilakukan menggunakan
Aditya Maulana Perdana Putra
spektrofotometri visibel pada panjang gelombang 544 nm adalah sebesar 0,4229 ± 0,1157 mg dalam satu kue berwarna merah.
DAFTAR PUSTAKA 1. Wijaya, H.C. dan Mulyono, N., 2009, Bahan Tambahan Pangan Pewarna, hal 86, IPB Press, Bogor, Indonesia. 2. Sari, R.W., 2008, Dangerous Junk Food, hal 22-23 dan 62-63, O2, Yogyakarta, Indonesia. 3. Utami, W., dan Suhendi, A., 2009, Analisis Rhodamin B dalam jajanan pasar dengan metode Kromatografi Lapis Tipis, Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol. 10 no. 2, hal 150-151. 4. Ghanjar, I.G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, hal 12, 222-223, 243, 252-256 dan 262, Pustaka Belajar, Yogyakarta, Indonesia. 5. Putri, W.K.A., 2009, ‘Pemeriksaan Penyalahgunaan Rhodamin B sebagai Pewarna pada Sediaan Lipstik yang beredar di Pusat Pasar Kota Medan’, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
84
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015
Eka Kumalasari
IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR RHODAMIN B DALAM KERUPUK BERWARNA MERAH YANG BEREDAR DI PASAR ANTASARI KOTA BANJARMASIN Submitted : 20 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Eka Kumalasari Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Crackers are made from tapioca flour batter mixed with flavorings and colorings, still many outstanding crackers that contain ingredients banned dye Rhodamine B. Rhodamine B is a chemical used for red dye in the textile industry and plastic. Rhodamine B can cause cancer, poisoning, lung irritation, sore eyes, and sore throat. This study aims to identify and determination the levels of Rhodamine B in circulating red crackers Antasari market Banjarmasin. The population is that sold in the red crackers that sold in Antasari market Banjarmasin.. The sampling is technique incidental sampling , that is based on chance, so any population by chance met with researchers can be used as a sample. Identification of Rhodamine B was done by Thin Layer Chromatography (TLC) by using the stationary phase silica GF 254 and mobile phase is elution solvent is nbutanol, ethyl acetate, ammonia (10:4:5). Then detected with a UV lamp 254 nm and 366 nm. While for the determination of levels using Vis spectrophotometry at a wavelength of 544 nm. The results showed that the samples of 6 found one sample containing Rhodamine B, namely samples 5 (cassava crackers matches) and obtained values of 7,25 ± 3,8640 levels mg / kg. Based on these results, Rhodamine B still found in crackers that sold in the market Antasari Banjarmasin. K eywords : crackers, Rhodamine B, Thin Layer Chromatography, and UV-Vis spectrophotometry
PENDAHULUAN Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa. Cara membuatnya sangat gampang, bahan bakunya pun melimpah ruah. Kerupuk sangat garing dan cocok dijadikan pelengkap sajian masakan indonesia, selain itu kerupuk juga dapat dinikmati sebagai cemilan ketika nonton televisi1. Salah satu pasar yang banyak menjual kerupuk berwarna merah adalah pasar Antasari Kota Banjarmasin. Kerupuk juga tidak lepas dari masalah keamanan makanan jajanan. Adanya produsen yang masih menggunakan Rhodamin B pada produknya disebabkan oleh pengetahuan yang tidak memadai mengenai bahaya penggunaan bahan kimia tersebut pada kesehatan dan juga karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah. Selain itu, Rhodamin B sering digunakan sebagai pewarna karena harganya relatif lebih murah, warna yang dihasilkan lebih menarik dan tingkat stabilitas warnanya lebih baik dari pada Akademi Farmasi Samarinda
pewarna alami dikarenakan produsen ingin mendapatkan untung yang lebih banyak. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 20122, menyatakan bahwa Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Banyak produsen kerupuk yang menambahkan bahan tambahan pangan yang aman, tidak jarang juga ada bahan tambahan yang dilarang misalnya zat pewarna Rhodamin B. Pemakaian zat pewarna berbahaya untuk bahan pangan telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 33 Tahun 20122 tentang bahan tambahan pangan, bahwa Rhodamin B merupakan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang penggunaannya dalam makanan. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik umum yang digunakan sebagai pewarna tekstil. Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam 85
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015
produk-produk pangan. Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker3. Menurut penelitian sebelumnya tentang identifikasi Zat Pewarna Rhodamin B dalam Jajanan Yang di Pasarkan di Pasar Traditional Kota Bandar Lampung4. Menyebutkan bahwa hasil identifikasinya bahwa Rhodamin B ditemukan pada jajanan sebanyak 50% atau 15 dari 30 sampel. Hal ini menunjukkan masih banyaknya penggunaan zat pewarna terlarang Rhodamin B di gunakan pada jajanan terutama jajanan yang berwarna merah. Jajanan yang mengandung Rhodamin B adalah kerupuk kelanting, agar-agar kembang gula/permen dan mutiara (sering jadi campuran es), jajanan
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu dengan melakukan observasi pada kerupuk yang dicurigai mengandung senyawa Rhodamin B dan menetapkan kadarnya. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 mei - 12 juni 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia AKADEMI FARMASI ISFI Banjarmasin. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kerupuk berwarna merah yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin. Dimana pasar Antasari ini merupakan pasar sektor 1 yaitu pasar yang banyak menjual kerupuk yang berwarna merah, di pasar ini terdapat 6 sampel kerupuk berwarna merah Identifikasi keberadaan Rhodamin B pada kerupuk yang berwarna merah yang dijual di
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian di awali dengan melakukan tahap pendahuluan yaitu pengumpulan sampel, pembuatan larutan baku Rhodamin B dengan kadar 0,5 mg dalam 100 ml air, pembuatan larutan Amonia 2%, pembuatan larutan etanol 70%, Pembuatan larutan amonia 10%, pembuatan larutan asam asetat 10% dan preparasi sampel. Preparasi sampel diawali dengan menimbang kerupuk sebanyak 10 g masukkan dalam erlenmeyer kemudian direndam dalam 20 ml larutan amonia 2% (yang dilarutkan dalam etanol 70%) selama 24 jam, saring larutan. Filtratnya dipindahkan kedalam gelas beker kemudian diuapkan diatas hot plate, Residu dari penguapan dilarutkan dalam 10 ml air yang mengandung asam (larutan asam dibuat dengan mencampurkan 10 ml air dan 5 ml asam asetat 10%, Benang wol dengan panjang 15 cm 86
Eka Kumalasari
berwarna merah muda sampai merah cerah dan jika diperhatikan terdapat pewarna yang menggumpal /tidak merata pada makanan tersebut. Penelitian ini menggunakan uji kromatografi kertas untuk menilai kandungan Rhodamin B dalam sampel, selanjutnya sampelsampel yang telah melalui tahap ekstraksi dengan prosedur standar di ukur dengan menggunakan Spektrofotometri Visible untuk menilai kandungan Rhodamin B dalam sampel. Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan pewarna Rhodamin B pada kerupuk yang berwarna merah yang dijual di pasar Antasari Kota Banjarmasin.
pasar Antasari Kota Banjarmasin dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis ( KLT). Silika GF 254 sebagai fase diam dan sebagai fase gerak atau larutan elusinya yaitu n- butanol, etil asetat, ammonia (10:4:5). Amati warna secara visual dan dibawah sinar UV. Jika secara visual noda berwarna merah jambu dan dibawah sinar UV 254nm warna kuning dan 366nm merah muda dan nilai Rf sampel sama dengan nilai Rf larutan baku Rhodamin B maka hal ini menunjukkan adanya Rhodamin B, sehingga penelitian dapat dilanjutkan ke tahap penetapan kadar Rhodamin B menggunakan spektrofotometri visible. Setiap sampel yang dianalisa dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.
dimasukkan kedalam larutan asam dan didihkan 10 menit, pewarna akan mewarnai benang wol, kemudian benang diangkat. Benang wol dicuci dengan air, Kemudian benang wol dimasukkan kedalam larutan basa yaitu 10 ml amonia 10% (yang dilarutkan dalam etanol 70%) dan didihkan. Benang wol akan melepaskan pewarna, pewarna akan masuk kedalam larutan basa. Larutan basa yang didapat selanjutnya akan digunakan sebagai cuplikan sampel pada analisis kromatografi lapis tipis ( KLT)5. Tahap identifikasi dengan kromatografi lapis tipis dimulai dengan sampel ditotolkan pada plat KLT dan totolkan larutan baku Rhodamin B. Plat KLT yang mengandung cuplikan dimasukkan kedalam chamber yang lebih dahulu telah dijenuhi fase gerak berupa n-butanol : etil asetat : amonia (10:4:5). Biarkan hingga lempeng terelusi Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015
sempurna kemudian plat KLT diangkat dan keringkan. Ketika pelarut naik akibat dari aksi kapiler pada adsorben, komponen sampel terbawa dengan kecepatan yang berbeda dan dapat dilihat sebagai deretan titik-titik setelah pelatnya dikeringkan dan diwarnai atau dilihat dibawah cahaya ultraviolet6. Amati warna secara visual dan dibawah sinar UV. Jika secara visual noda berwarna merah jambu dan dibawah sinar UV
Eka Kumalasari
254nm warna kuning dan 366nm merah muda hal ini menunjukkan adanya Rhodamin B7. Berdasarkan Tabel 1 dibawah ini dapat dilihat bahwa dari 6 sampel dengan replikasi 3 kali yang telah diuji terdapat satu sampel yang positif mengandung Rhodamin B karena nilai Rf sampel sama dengan Rf standar Rhodamin B.RF (faktor retensi) adalah jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal8.
Tabel 1.
Hasil pemeriksaan Identifikasi Rhodamin B pada sampel menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Deteksi Sampel Harga Rf Dilihat di sinar UV 254 nm Dilihat di sinar UV 366 3,5 Merah Muda Merah Orange Rhodamin B = = 0,77 4,5 0 A1 0 A2 0 A3 3,5 Merah Muda Merah Orange Rhodamin B = = 0,77 4,5 0 B1 0 B2 0 B3 3,9 Merah Muda Merah Orange Rhodamin B = = 0,79 4,9 0 C1 0 C2 0 C3 3,9 Merah Muda Merah Orange Rhodamin B = = 0,79 4,9 0 D1 0 D2 0 D3 3,3 Merah Muda Merah Orange Rhodamin B = = 0.66 5 3,3 Merah Muda Merah Orange E1 = = 0.66 5 3,3 Merah Muda Merah Orange E2 = = 0.66 5 3,3 Merah Muda Merah Orange E3 = = 0.66 5 3,3 Merah Muda Merah Orange Rhodamin B = = 0.66 5 0 F1 0 F2 0 F3 Keterangan :A = Sampel 1 = Replikasi 1 1 B = Sampel 2 2 = Replikasi 2 C = Sampel 3 3 = Replikasi 3 D = Sampel 4 + = Positif E= Sampel 5 - = Negatif F= Sampel 6
Akademi Farmasi Samarinda
87
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015
Sampel yang dinyatakan positif selanjutnya dilakukan penetapan kadar dengan metode spektrofometri UV-Vis karena hasilnya lebih akurat dan lebih cepat. Penetapan kadar Rhodamin B diawali dengan pembuatan Larutan Stok Rhodamin B 2000 ppm dengan pelarut etanol. Dari larutan ini ambil sebanyak 250 µmasukkan kedalam labu ukur 25 ml dilarutkan hingga batas dengan menggunakan etanol, didapat larutan Rhodamin B dengan konsentrasi 20 ppm. Larutan ini akan digunakan untuk penentuan OT (Operating Time) dan penentuan panjang gelombang maksimal. Kemudian untuk penentuan kurva baku maka dibuatlah larutan Rhodamin B sebanyak 6 konsentrasi yaitu 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, 30 ppm, 35 ppm. Selanjutnya dilakukan penetapan kadar pada sampel yang telah diidentifikasi positif mengandung Rhodamin B. Pada penentuan Operating Time baku Rhodamin B diperoleh waktu pengukuran yang stabil dimulai dari menit ke-19 sampai menit ke21. Penentuan operating time tujuannya ialah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil dan memiliki daya serap absorbansi yang maksimal. Operating time ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan9. Pada Penentuan panjang gelombang maksimum larutan Rhodamin B dilakukan pada Tabel 2. Nilai Absorbansi Sampel Kode Sampel Replikasi 1 2 Sampel 5 3
Eka Kumalasari
konsentrasi 10 ppm dengan rentang panjang gelombang 400-800 nm dan diperoleh λ maksimum 544 nm. Hal ini dilakukan karena larutan Rhodamin B merupakan larutan berwarna. Selanjutnya Pembuatan kurva baku larutan Rhodamin B dilakukan dengan membuat larutan dengan berbagai konsentrasi pengukuran yaitu: 10, 15, 20, 25, 30, dan 35 ppm, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 544 nm. Hasil perhitungan persamaan regresi kurva larutan baku diperoleh persamaan garis y= 0,0232x + (-0,0352) dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9981. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara kadar dan serapan. Artinya, dengan meningkatnya konsentrasi maka absorbansi juga akan meningkat. Hal ini berarti terdapat 99,18 % data yang memiliki hubungan linier. Penetapan kadar Rhodamin B dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Dari 6 sampel yang dianalisis ternyata terdapat satu sampel yang teridentifikasi adanya zat Rhodamin B yaitu sampel ke 5 dengan replikasi sebanyak 3 kali. Setelah dibaca dengan alat spektrofotometri UV-Vis didapat nilai absorbansinya sebesar 0.066, 0.030, dan 0.051 pada panjang gelombang 544 nm.
λ maks 544 544 544
Absorbansi 0,066 0,030 0,051
Tabel 3. Kadar Rhodamin B pada Sampel Sampel Sampel 5
Replikasi 1 2 3
Hasil penetapan kadar pada sampel yang positif mengandung Rhodamin B setelah dibaca pada alat spektrofotometri UV Vis dengan replikasi sebanyak 3 kali setiap sampelnya yaitu dengan jumlah sampel 10 gr yang akan dipreparasi kemudian didapat hasil kadar rata-rata sebanyak 7,25 ± 3,8640 mg/kg kerupuk mengandung Rhodamin B. Berdasarkan perhitungan replikasi sampel menurut Federer dari 6 sampel didapat sebanyak 3 replikasi.
88
Kadar (mg/kg) 8,72 mg/kg 5,62 mg/kg 7,42 mg/kg
Kadar rata-rata ± SD (mg/kg) 7,25 ± 3,8640 mg/kg
Rhodamin B yang secara sengaja ditambahkan pada kerupuk menambah kualitas pewarna agar lebih menarik sehingga konsumen lebih tertarik untuk membelinya, selain itu banyak penjual masih menggunakan Rhodamin B yang praktis digunakan dan harganya relatif murah serta tersedia dalam kemasan kecil di pasaran sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk membelinya. Jadi diharapkan bagi konsumen agar lebih hati-hati dalam mengkonsumsi kerupuk yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015
SIMPULAN Dari hasil identifikasi dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dari 6 sampel dengan 3 replikasi ditemukan 1 sampel positif mengandung Rhodamin B yaitu sampel ke 5. Dari hasil
Eka Kumalasari
penetapan kadar sampel ke 5 dengan menggunakan metode Spektrofotometri UV-Vis didapat kadar rata-rata Rhodamin B pada sampel (kerupuk korek api) sebesar 7,25 ± 3,8640 mg/kg kerupuk.
DAFTAR PUSTAKA 1. Team, JB. 2010, Bisnis Rumah Tangga Cemilan dan Minuman,hal. 113,Jogya Bangkit Publisher,Yogyakarta, Indonesia. 2. Kementrian Kesehatan, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan , Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 3. Utami, W., dan Suhendi, A ., 2009, Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan Metode Kromatografi Lapis Tapis, Penelitian Sains & Toksikologi, Jurnal.Vol. 10, No 2, hal. 148-155 Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah, Surakarta. 4. A, Permatasari, T. Susantiningsih, E. Kurniawati. 2013-2014, Identifikasi Zat Pewarna Rhodamin B dalam Jajanan yang Dipasarkan Di Pasar Traditional Kota Bandar Lampung, Jurnal. hal. 30. Medical Faculty of Lampung University 5. Djalil, A.D., Hartanti, D., Rahayu, W.S., Prihatin, R., Hidayah, N.,2005, Identifikasi Zat Warna Kuning Metanil (Metanil Yellow) dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada Berbagai Komposisi Larutan Pengembang, Jurnal Farmasi, Vol. 3, No.2, hal. 28-29, Fakultas Farmasi UMP,Purwokerto 6. Suwawinarta, N. 2002, Senarai Istilah Kedokteran Gigi,hal.38, EGC, Jakarta, Indonesia. 7. Putri, W.K. A., 2009, Pemeriksaan Penyalahgunaan Rhodamin B Sebagai Pewarna Pada Sediaan Lipstik yang Beredar di Pusat Pasar Kota Medan. Skripsi. Fakultas Farmsi Universitas Sumatera Utara, Medan. 8. Sastrohamidjojo, H. 2005, Kromatografi, hal. 34, Liberti, Yogyakarta, Indonesia. 9. Ghanjar, I.G. dan Rohman, A. 2007, Kimia Farmasi Analisis, hal. 1 dan hal. 252-256, Pustaka Belajar, Yogyakarta, Indonesia.
Akademi Farmasi Samarinda
89
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 90-93, 2015
Popi Patilaya
KARAKTERISTIKEKSTRAK AIR DAUN PUGUNTANO [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTELMINTIK Submitted : 20 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Popi Patilaya, Dadang Irfan Husori Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara E-mail:
[email protected]
ABSTRACT OBJECTIVE: This study aimed to determine the characteristics of the water extract of leaves puguntano (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Using spectroscopic methods and phytochemical screening. METHODOLOGY: phytochemical screening performed to analyze compounds alkaloids, flavonoids, glycosides, anthraquinone glycosides, saponins, tannins, cyanogenic glycosides, and triterpenoids / steroids. Analyses were performed using FTIR spectrophotometer (Shimadzu) with IR Solution software. The wavelength is set at 4000 - 400 cm-1 with a resolution of 4 cm-1 and 16 scanner. RESULTS: Puguntano leaf water extract contains flavonoids, glycosides, saponins, tannins, steroids, and terpenoids. Infrared spectrum of puguntano leaf aqueous extract showed a O - H fuctional group at 3313.71 cm-1, C - H at 2974.23 and 2881.65 cm-1, C = C at 1689.65 and 1597.06 cm-1, C - O at 1265.30 and 1076.28 cm-1 and group C - H aromatics at 813.96 cm-1 in the fingerprint region. K eywords: water extract,leaf, pugun tano,FTIR
PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati tanaman obat Indonesiamerupakan potensiyang dapat dikembangkan sebagai sumber antelmintikbaru1. Puguntano (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) merupakan tanaman dari famili Scrophulariaceaeyang tumbuh di wilayah Asia seperti Cina, India, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Myanmar. Di Indonesia, tanaman ini tersebar di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Tanaman ini berbatang basah, berbaring dan tumbuh merambat. Tangkai daunnya tumbuh berhadapan, permukaanya tidak berbulu, rata, tipis dan bergerigi. Bagian tandan bunga tanaman ini nampak berwarna merah2. Menurut Patilaya dan Husori3, ekstrak air daun puguntano memiliki aktivitas antelmintik,
BAHAN DAN METODE Bahan Daun puguntano [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] diperoleh dari Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis diperoleh dari Merck meliputi asam asetat anhidrida, asam klorida, asam nitrat, besi (III) klorida, asam sulfat, benzen, etanol 96%, eter, iodium, isopropanol, 90
namun komponen aktifnya belum diidentifikasi. Tanaman mengandung komponen fitokimia kompleks yang bertanggungajawab terhadap aktivitas farmakologi. Reprodusibilitas kandungan senyawa tersebut menjadi salah satu faktor penting untuk menghasilkan ekstrak terstandar4.Metabolomik merupakan studi komprehensif terhadap suatu sampel untuk mengidentifikasi metabolit yang berhubungan dengan fungsi biologis. Metode ini dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan karakteristik produk bahan alam seperti ekstrak5.Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik ekstrak air daun puguntano menggunakan metode penapisan fitokimia dan spektroskopik.
kalium bromida, kalium iodida, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium pikrat, nheksan, petroleum eter, raksa (II) klorida, serbuk seng (Zn), serbuk magnesium (Mg), timbal (II) asetat, dan α-naftol.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 90-93, 2015
Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi lemari pengering (Memmert), blender (Panasonic), penguap berputar (Eyela), spektrofotometri FTIR (Shimadzu), dan peralatan gelas lainnya. Penyiapan Ekstrak Bagian daun dari tanaman ini dicuci bersih, dikeringkan pada suhu 30-35oC, dan dihaluskan untuk memperoleh serbuk simplisia.Sebanyak 100 g serbuk simplisia daun puguntano (C. fel-terrae (Lour.) Merr.) diperkolasi dalam 1 liter etanol 96%. Perkolat kemudian dikeringkan dengan penguap berputar untuk memperoleh ekstrak kasarnya. Ekstrak kemudian dikemas dalam botol dan disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4oC.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak air daun puguntano mengandung senyawa golongan flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, dan terpenoid. Kandungan metabolit ekstrak etanol daun puguntano yang teridentifikasi dalam penelitian sama seperti yang dilaporkan oleh Harahap dkk (2013). Senyawa metabolit sekunder ekstrak daun puguntano juga dilaporkan oleh beberapa peneliti yaitu flavonoid9, glikosida10,11, saponin12, dan terpenoid13. Spektrum infra merah ekstrak air daun puguntano(Gambar 1) menunjukkanregangan gugus O – H pada 3313,71 cm-1yang merupakan
Akademi Farmasi Samarinda
Popi Patilaya
Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia dilakukan berdasarkan prosedur Depkes6 dan Farnsworth7 untuk menganalisis senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, glikosida antrakinon, saponin, tanin, glikosida sianogenik, dan triterpenoid/steroid. Analisis FTIR Instrumentasi Analisis dilakukan menggunakan spektrofotometer FTIR (Shimadzu) yang dilengkapi dengan perangkat lunak IR Solution. Panjang gelombang diatur pada 4000 – 400 cm-1 dengan resolusi 4 cm-1 dan jumlah pemindai 16. Pengukuran spektrum infra merah Sebanyak 10 mg ekstrak dan 50 mg kalium bromida (KBr) dicampur dan dihomogenkan hingga terbentuk pelet. Massa kemudian diletakkan ke sample hoder dan kemudian dianalisis.
karakteristik dari senyawa turunan alkohol atau fenol. Senyawa turunan alkana (gugus C – H) ditunjukkan oleh puncak pada 2974,23 dan 2881,65 cm-1. Puncak spektrum pada panjang gelombang 1689,65 dan 1597,06 cm1 menunjukkan gugus C = C dari senyawa aromatis. Senyawa turunan ester atau karboksilat (C – O) ditunjukkan pada 1265,30 cm-1. Pada daerah sidik jari (< 1200 cm-1) terdapat gugus C – O pada 1076,28 cm-1 dan puncak yang tajam pada 813,96cm-1yang mengindikasikan adanya gugus C – H aromatis14.
91
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 90-93, 2015
Popi Patilaya
Gambar 1. Spektrum infra merah ekstrak air daun puguntano
Meskipun teknik spekroskopi infra merah tidak memberikan informasi senyawa kimia spesifik, namun teknik ini merupakan strategi yang relevan dalam studi metabolomik ekstrak air daun puguntano15. Selain itu, spektroskopi infra merah merupakan teknik non-destruktif, sehingga dapat
SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Ekstrak air daun puguntano mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, dan terpenoid. b) Spektrum infra merah ekstrak air daun puguntanomenunjukkan adanya gugus O – H
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Sumatera Utara yang telah mendanai
92
digunakan untuk menganalisis karakteristik metabolit dan mutu produk bahan alam. Senyawasenyawa metabolit primer dan sekunder seperti protein, lipid, karbohidrat, turunan fenol, terpenoid, dan alkaloid juga secara spesifik dapat diidentifikasi dengan spektroskopi infra merah16.
pada 3313,71 cm-1, C – H) pada 2974,23 dan 2881,65 cm-1, C = C pada 1689,65 dan 1597,06 cm-1, C – O pada 1265,30 dan 1076,28 cm-1 serta gugus C – H aromatis pada 813,96 cm-1di daerah sidik jari.
penelitian ini melalui dana PNBP tahun 2014 pada skim penelitian dosen pemula.
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 90-93, 2015
Popi Patilaya
DAFTAR PUSTAKA 1. Herawati, M.H. dan Husin, N. Berbagai tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai obat kecacingan. Media Litbang Kesehatan. 2010. 10(1): 8-13. 2. van Valkenburg dan Bunyapraphatsara. Plant Resources of South-East Asia: Medicinal and Poisonous Plants 2,Leiden: Backhuys Publishers, Netherlands; 2001. 3. Patilaya P. dan Husori DI. Studi In vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Daun Puguntano [Curanga felterra (Lour.) Merr.]. Laporan Penelitian Program PNBP USU Tahun 2014. 2014. 4. Rajani M. dan Kanaki NS. Phytochemical standardization of herbal drugs and polyherbal formulations. In: KG. Ramawat dan JM.Merillon, (editors). Bioactive Molecules and Medicinal Plants. Berlin: Springer. 2008. p. 349-369. 5. Fiehn O. Combining genomic, metabolome analysis,and biochemical modelling to understand metabolic networks. Comparative and Functional Genomics. 2002. 2(3): 155-168. 6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI. 2012. Hal. 840. 7. Fransworth NR. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal ofPharmaceutical Sciences. 1966. 55(3): 225-276. 8. Harahap U, Patilaya P, Marianne, Yuliasmi S, Husori DI, Prasetyo BE, Laila L, Sumantri IB, dan Wahyuni HS. Profil fitokimia ekstrak etanol daun puguntano [Curanga fel-terrae (Merr.) Lour.)] yang berpotensi sebagai antiasma. Prosiding Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 2013. 422-426. 9. Huang Y, De Bruyne T, Apers S, Ma Y, Claeys M, Pieters L, dan Vlietinck A. Flavonoid Glucuronides from Picria fel-terrae. Phytochemistry. 1999. 62(8): 1701-1703. 10. Zhou JM, Wang LS, Niu XM, Sun HD, dan Guo YJ. Phenylethanoid Glycosidesfrom Picria felterrae Lour. Journal of Integrative Plant Biology. 2005. 47(5): 632-636. 11. Huang Y, De Bruyne T, Apers S, Ma Y, Claeys M, van den Berghe D, Pieters L, danVlietinck A. (1998). Complement-Inhibiting Cucurbitacin Glycosides from Picria felterrae.Journal of Natural Products. 1998. 61(6): 757-761. 12. Fang H, Ning DS, dan Liang XY. Studies on Technology Optimization for ExtractingTriterpenoid Saponins from Picria felterrae by Multi-Target Grading Method. Journal ofChinese Medicinal Material. 2009. 32(12): 1902-1905. 13. Wang LS, Li SH, Zou JM, Guo YJ, dan Sun HD. Two New Terpenoids fromPicria fel-terrae. Journal of Asian Natural Product Research. 2006. 8(6): 491-494. 14. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. Introduction to Spectroscopy A Guide For Student of Organic Chemistry. Third Edition, Orlando: Harcourt College Publisher. 2001. p. 13-101. 15. Dunn WB, dan Ellis DI. Metabolomics: current analytical platforms and methodologies. Trends in Analytical Chemistry.2005. 24(4): 285-294. 16. Schulz H. dan Baranska M. Identification and quantification of valuable plant substances by IR and Raman spectroscopy. Vibrational Spectroscopy. 2007. 43(1): 13-25.
Akademi Farmasi Samarinda
93
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015
Husnul Warnida
STABILITAS DAN AKTIVITAS GEL EKSTRAK BULBUS BAWANG TIWAI (Eleutherine americana (Mill.) Urb.) SEBAGAI ANTI ACNE Submitted : 20 April 2015 Edited : 10 Mei 2015 Accepted : 20 Mei 2015 Husnul Warnida, Yullia Sukawaty, Mega Akademi Farmasi Samarinda Email:
[email protected]
ABSTRACT Bawang Tiwai has an antibacterial activity toward some microorganisms e.g. Staphylococcus epidermidis dan Propionibacterium acne, two acne related bacteria. Bawang Tiwai extract 1% and 2% were formulated into gel (no oil content, because oil could make the acne worse) with carbomer 940 as gelling agent. Physical stability of bawang tiwai gel was evaluated included stability, organoleptic, pH, homogeneity, viscosity, consistency, spreading test, and activity toward Staphylococcus epidermidis. The result showed that all formulas are stable after 7 days. The test results of antibacterial activity gel are 17,24 mm dan gel 19,75 mm to gel 1% dan 2% respectively. K eywords : Anti acne, Bawang tiwai (Eleutherine americana), Carbomer 940, Staphylococcus epidermidis.
LATAR BELAKANG Jerawat (acne vulgaris) adalah salah satu penyakit kulit yang umum ditemukan. Jerawat mempengaruhi daerah kulit yang memiliki banyak folikel sebaceous (kelenjar minyak) seperti wajah, dada bagian atas dan punggung 1. Penyebab jerawat belum diketahui secara lengkap tetapi penyebab jerawat yang sudah pasti adalah multi faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain genetik, ras, haid, pil antihamil, endokrin, makanan, pengaruh kejiwaan (psikis), infeksi bakterial atau kosmetik. Jerawat terjadi karena penyumbatan pilosebaseus (kelenjer minyak) dan peradangan yang disebabkan oleh bakteri Propionibaterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus 2. Pengobatan jerawat biasanya menggunakan antibiotika seperti tetrasiklin, doksisiklin, dan klindamisin. Penggunaan antibiotika jangka panjang selain menimbulkan resistensi, juga dapat menimbulkan kerusakan organ. Bawang tiwai merupakan tanaman yang memiliki aktivitas antibakteri. Kandungan METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Otoklaf (Speedy Autoclave tipe Vertical model HL-340), blender (philips), Inkubator (Jouan tipe IG 150), magnetic stirer, pH meter, neraca analitik (Ohaus), rotary evaporator(), 94
senyawa yang terdapat pada bulbus bawang tiwai yang dapat memberikan aktivitas antibakteri di antaranya flavonoid, fenol, glikosida, triterpenoid, dan antrakuinon. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi bawang tiwai memberikan konsentrasi hambat minimum pada konsentrasi 10 mg/ml terhadap bakteri P. acne , S. epidermidis, dan S. aureus 3. Bentuk sediaan gel cocok untuk terapi topikal pada jerawat terutama penderita dengan tipe kulit berminyak, sehingga lebih cocok digunakan oleh masyarakat Indonesia yang beriklim tropis dan mayoritas memiliki kulit berminyak. Bahan dasar gel untuk terapi jerawat adalah bahan dasar yang larut dalam air dan bersifat memperlambat proses pengeringan sehingga mampu bertahan lama pada permukaan kulit. Penelitian ini bertujuan memformulasi ekstrak bulbus bawang tiwai dalam bentuk gel menggunakan gelling agent Carbomer 940. Selanjutnya dilakukan uji fisik gel dan aktivitas gel terhadap Staphylococcus epidermidis.
jangka sorong (Krisbow), Viskometer (Brookfield), Sentrifuge, alat-alat gelas (Pyrex). Bahan: air suling, bulbus bawang tiwai, etanol 70%, etanol 95%, propilenglikol (kualitas farmasetis), trietanolamin (kualitas farmasetis), Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015
carbomer 940 (kualitas farmasetis), ascorbic acid (kualitas farmasetis), media Mueller Hinton Agar (MHA), media Nutrient Agar (NA), dan clindamycin phosphate. Prosedur Kerja 1. Pengolahan Sampel Bulbus bawang tiwai dibersihkan, dirajang, dan dikeringkan selama 1 minggu. Selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk dan diayak dengan pengayak nomor 40. 2. Ekstraksi Sampel Sebanyak 200 gram serbuk kering bulbus bawang tiwai dimaserasi dengan pelarut etanol 80% sampai seluruh serbuk terendam, ditutup dan disimpan pada suhu kamar selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk. Simplisia disaring sehingga didapat
Husnul Warnida
maserat. Ampas dimaserasi kembali dengan etanol 80% menggunakan prosedur yang sama, maserasi dilakukan sebanyak 3 kali. Seluruh maserat digabung dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary evaporator pada temperatur tidak lebih dari 50ºC sampai diperoleh ekstrak kental yang diuapkan hingga kental. Selanjutnya disimpan dalam desikator. 3. Formulasi Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Fomula gel ekstrak bulbus bwang tiwai disajikan di tabel 1. Ekstrak didispersikan dalam propilenglikol. Carbomer 940 didispersikan dalam 20 ml air suling, didiamkan selama 15 menit kemudian diaduk hingga homogen. Ditambahkan trietanolamin hingga pH netral. Ditambahkan larutan asam askorbat, diaduk hingga homogen.
Tabel 1. Formula Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Formula (%) Nama Bahan Fungsi A B Ekstrak bulbus bawang tiwai bahan aktif 0 1 Carbomer 940 gelling agent 0,5 0,5 Trietanolamin alkalizing agent qs qs Propilenglikol humectant 2 2 Asam Askorbat anti oksidan 0,1 0,1 Air suling ad Pelarut 100 100 Evaluasi Stabilitas Gel 1. Uji Organoleptis Dilakukan pengamatan visual terhadap bau, warna, dan bentuk gel selama7 hari. Gel biasanya jernih dengan konsistensi setengah padat 4 2. Pemeriksaan homogenitas Pengujian homogenitas dilakukan dengan mengoleskan zat yang akan diuji pada sekeping kaca atau bahan lain yang cocok harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak menunjukkan butiran kasar 5 3. Pengukuran Daya Sebar Sampel seberat 0,5 g diletakkan di atas kaca dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter sebar sampel diukur. Selanjutnya ditambah 150 g beban dan didiamkan selama 1 menit lalu diukur diameter yang konstan. Daya sebar 5-7 cm menunjukkan konsistensi semisolid yang sangat nyaman dalam penggunaan 6. 4. Pengukuran pH Dilakukan pengukuran pH gel menggunakan indikator pH universal. pH sedian topikal berkisar 4-8 7. 5. Pengukuran Viskositas Akademi Farmasi Samarinda
C 2 0,5 qs 2 0,1 100
Sebanyak 100 ml gel dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml kemudian viskositasnya diukur dengan Viscometer Brookfield yang dilengkapi dengan spindle no. 64 dengan kecepatan 50 rpm (putaran per menit) kemudian data yang diperoleh dicatat dan dianalisis secara statistik 8. 6. Uji Stabilitas Dipercepat Pengujian konsistensi menggunakan pengujian centrifugal test di mana sampel gel disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam kemudian diamati perubahan fisiknya 8. Uji Aktivitas Antibakteri Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Alat dan bahan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Paper disc direndam ke dalam 6 cawan petri, cawan petri I diisi dengan gel FB, cawan II diisi dengan gel FC, cawan petri III, IV, V, dan VI diisi kontrol negatif FA dan gel klindamisin sebagai kontrol positif. Dituang ± 15 ml medium MHA ke dalam 6 cawan petri, dihomogenkan dan dibiarkan 95
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015
memadat. Dicelupkan lidi kapas steril ke dalam suspensi bakteri Staphylococcus epidermidis, Diusapkan pada permukaan medium MHA sampai seluruh permukaan tertutup rapat. Dibiarkan selama 5-15 menit supaya suspensi bakteri meresap ke dalam agar. Di tempelkan
Husnul Warnida
disk yang telah direndam Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Lalu cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Kemudian diukur diameter zona hambat (mm) dari masing-masing konsentrasi sampel dengan menggunakan jangka sorong.
Diameter Zona Hambat = (d1 + d2) – diameter kertas cakram 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Sifat Fisik Gel Pengamatan organoleptis Hasil pengamatan organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau adalah sebagai berikut: Tabel 2. Pengamatan Organoleptis Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Hari ke-1 Hari ke-7 Organoleptis FA FB FC FA FB FC Warna + + + + + Bau + + + + + Bentuk + + + + + Keterangan (+) : Tidak terjadi perubahan (-) : Terjadi perubahan Warna : A bening, B dan C merah kecoklatan Bau : A tidak berbau, B dan C khas bau bawang tiwai Bentuk : semisolid kental Hasil pengamatan organoleptis selama 7 hari menunjukkan perubahan bentuk, bau, dan warna dari ketiga formula. Pada hari ke-1 gel formula B dan C berwarna merah kecoklatan sedangkan formula C berwarna putih bening. Perbedaan warna pada formula B dan C disebabkan perbedaan konsentrasi ekstrak. Pada hari pertama ketiga formula gel bertekstur kental seperti gel. Semakin tinggi penambahan ekstrak pada formula maka semakin gelap warna yang dihasilkan. Bau gel pada formula A dan B adalah bau khas bawang tiwai sedangkan formula C adalah bau khas dari karbopol. Konsistensi dari
setiap formula A, B, dan C memiliki konsistensi yang sama yaitu semisolid kental. Pada pengamatan hari ke-7 formula A mengalami perubahan warna, bau, dan bentuk selama penyimpanan. Perubahan pada formula A diperkirakan terjadi karena proses oksidasi atau cemaran mikroba. Formula B dan C yang mengandung ekstrak bulbus bawang tiwai tidak mengalami perubahan warna, bau, dan bentuk. Bawang ttiwai mengandung senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan 9, bawang tiwai juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, P. aeruginosa, E.coli 3 yang mungkin mencemari sediaan gel.
1. Pengamatan Konsistensi Gel Tabel 3. Hasil Pengamatan Konsistensi Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Konsistensi Hari ke-1 Hari ke-7 Gel Formula A Fase Terpisah 2 tunggal fase Formula B Fase Tidak tunggal Terpisah Formula C Fase Tidak tunggal Terpisah Pengamatan konsistensi yang dilakukan adalah mengamati terjadi atau tidak pemisahan fase pada formula gel. Pemisahan fase terjadi ketika cairan gel keluar dan berkumpul di 96
permukaan sehingga pada pengamatan visual terbentuk lapisan cairan di permukaan gel, yang mengindikasikan tidak stabilnya sediaan gel akibat turunnya konsentrasi polimer. ` Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015
Pada saat pengujian sampel disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 1 jam karena kendala teknis, seharusnya selama 5
Husnul Warnida
jam. Sehingga hasil yang diperoleh belum menggambarkan sifat fisik yang sebenarnya.
2. Pengamatan Homogenitas Tabel 4. Hasil Pengamatan Homogenitas Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Gel Hari ke-1 Hari ke-7 Formula A Homogen, tidak ada Homogen, tidak ada butiran kasar butiran kasar Formula B Homogen, tidak ada Homogen, tidak ada butiran kasar butiran kasar Formula C Homogen, tidak ada Homogen, tidak ada butiran kasar butiran kasar Sediaan gel ekstrak bulbus bawang tiwai gel dimaksudkan agar bahan aktif dalam gel memenuhi persyaratan homogenitas gel yaitu terdistribusi merata. Selain itu agar gel tidak sediaan gel yang dihasilkan homogen dan tidak mengiritasi ketika dioleskan di kulit. terdapat butiran kasar. Persyaratan homogenitas
3. Pengukuran pH Tabel 5. Hasil Pengukuran pH Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Formula waktu pengukuran Gel Hari ke-1 Hari ke-7 Formula A 6 6 Formula B 6 6 Formula C 6 6 Pemeriksaan pH merupakan parameter sedangkan pH yang terlalu basa dapat fisikokimia yang harus dilakukan untuk sediaan menyebabkan kulit bersisik. Dari hasil topikal karena pH berkaitan dengan efektivitas pengukuran pH terlihat bahwa sediaan gel ekstrak zat aktif, stabilitas zat aktif dan sediaan, bulbus bawang tiwai memenuhi persyaratan pH serta kenyamanan di kulit sewaktu digunakan. untuk sediaan topikal yaitu antara 4-8 7. pH yang terlalu asam dapat mengakibatkan iritasi 4. Pengukuran daya sebar gel Tabel 6. Hasil Pengukuran Daya Sebar Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Diameter sebar (cm) dengan beban 150 g Pengamatan FA FB FC 5,422 5,315 5,655 Hari ke-1 Hari ke-7
8,147
Uji daya sebar sediaan gel dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan menyebar gel saat dioleskan pada kulit. Kemampuan menyebar adalah karakteristik penting dalam formulasi karena mempengaruhi transfer bahan aktif pada daerah target dalam dosis yang tepat, kemudahan
Akademi Farmasi Samarinda
5,907
6,177
penggunaan, tekanan yang diperlukan agar dapat keluar dari kemasan, dan penerimaan oleh konsumen 6. Dari hasil pengukuran diameter daya sebar, sediaan gel ekstrak bulbus bawang tiwai memenuhi persyaratan daya sebar yaitu 5 sampai 7 cm.
97
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015
Husnul Warnida
5. Pengukuran Viskositas Tabel 7. Hasil Pengukuran Viskositas Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai Viskositas Pengamatan Formula A Formula B Formula C Hari ke-1 32866 cP 18291 cP 16616 cP Hari ke-7 2165 cP 6185 cP 5799 cP Viskositas adalah suatu pernyataan bersifat asam menyebabkan putusnya rantai tekanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin polimer karbopol. Hal tersebut yang rendah viskositas maka makin tinggi tahanannya. menyebabkan penurunan nilai viskositas gel. Viskositas merupakan tolak ukur fisik yang biasanya diukur untuk menaksir pengaruh Uji Aktivitas Antibakteri Gel Ekstrak kondisi tekanan pada mikroemulsi. Nilai Bulbus Bawang Tiwai terhadap viskositas sediaan mengalami perubahan selama Staphylococcus Epidermidis masa penyimpanan. Perubahan yang diamati dari Tabel berikut adalah hasil pengukuran zona pengujian hari ke-1 dan hari ke-7 memiliki hambat (mm) gel ekstrak bulbus bawang tiwai perbedaan yang signifikan. Perubahan nilai terhadap pertumbuhan Staphylococcus viskositas pada formula A dan B diduga karena epidermidis. adanya pengaruh dari penambahan ekstrak yang Tabel 8. Hasil Pengukuran Zona Hambat terhadap Staphylococcus epidermidis Formula Daya Hambat (mm) rata-rata FA / K (-) FB FC K (+) Keterangan Formula A Formula B Formula C K(+)
0 15,76 18,15 20,95
0 16,76 19,53 22,75
0 19,21 21,58 19,15
0 17,24 19,75 20,95
: Gel dengan konsentrasi ekstrak umbi bawang tiwai 1% : Gel dengan konsentrasi ekstrak umbi bawang tiwai 2% : Kontrol negatif yang berisi basis gel : Gel klindamisin.
Berdasarkan data pada tabel 8, dapat dilihat bahwa gel dengan konsentrasi ekstrak bulbus bawang tiwai sebanyak 1% dan 2% mampu menghambat Staphylococcus epidermidis. Daya hambat menurut Davis dan Stout 10 dibagi atas : sangat kuat (zona jernih > 20 mm), kuat (zona jernih 10-20 mm), sedang (zona jernih 5-10 mm) dan lemah (zona jernih < 5 mm). Gel dengan konsentrasi ekstrak 1% menghasilkan zona hambat 17,24
mm dan gel dengan konsentrasi ekstrak 2% menghasilkan zona hambat sebesar 19,75 mm sehingga kemampuan menghambat yang dihasilkan oleh gel ekstrak umbi bawang tiwai terhadap Staphylococcus epidermidis dapat dikategorikan daya hambat kuat. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan LSD tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok gel yang memberikan hasil positif terhadap Staphylococcus epidermidis.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis uji stabilitas fisik gel dapat disimpulkan bahwa ketiga formula gel ekstrak bulbus bawang tiwai memenuhi persyaratan uji organoleptis, uji homogenitas, uji pH, uji daya sebar, uji viskositas, dan uji konsistensi gel. Dari hasil uji aktivitas antibakteri dapat disimpulkan bahwa Gel ekstrak umbi bawang tiwai 1% dan 2% menghambat bakteri
Staphylococcus epidermidis dengan nilai diameter zona hambat (mm) sebesar 17,24 mm dan 19,75 mm. Disarankan agar dilakukan pengujian aktivitas antibakteri gel ekstrak bulbus bawang tiwai terhadap bakteri penyebab jerawat yang lain yaitu Propionibacterium acne dan Staphylococcus aureus.
98
Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015
Husnul Warnida
DAFTAR PUSTAKA 1. Webster GF. Acne Vulgaris. Brit. Med. Journal. 2002; 325(7362): 575-479 2. Atlas RM. Principles of Microbiology. Edisi 2. Iowa: WNC Brown Balsam, 1997.
3.
Mierza V, Suryanto D, Nasution PM. Skrining fitokimia dan uji efek antibakteri ekstrak etanol umbi bawang sabrang (Eleutherine palmofolia Merr.). Prosiding Seminar Nasional. Universitas Sumatera Utara. Medan 2011
4. 5. 6.
Ansel HC. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press. 1989 Ditjen POM. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1979. Garg A, Aggarwal D, Garg S, and Sigla A. K. Spreading of Semisolid Formulation: An Update. Pharmaceutical Technology. September 2002: 84-102. Aulton M. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design. NewYork: Curchill Living Stone. 1988
7. 8. 9.
Djajadisastra, J. Cosmetics Stability. Makalah Seminar. Himpunan Ilmuwan Kosmetika Indonesia. Jakarta 2004 Kuntorini EM. Astuti M.D. 2010. Penentuan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Bulbus Bawang Dayak (Eleutherine americana Merr.) Jurnal Sains dan Terapan Kimia. Januari 2010,.4(1): 15 – 22
10. Davis WW. Stout TR. Disc Plate Method ofMicrobiological Antibiotic Assay. Appl. Microbiol J. 1971
Akademi Farmasi Samarinda
99