Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga) by Yoshichi Shimada
Review yang membuatku memenangkan 4 buku dari Penerbit Redline, arigatou! :-* Miskin Ceria a la Nenek Osano Sederhana. Itulah kesan pertama yang saya tangkap ketika melihat cover buku ini. Saking sederhananya, buku ini beberapa kali gagal mencuri perhatian saya ketika dipajang di toko buku. Jika bukan karena testimoni positif orang-orang yang sudah membaca buku ini, saya tentu tidak akan memutuskan untuk membelinya dan larut dalam kesederhanaan sarat makna yang ditorehkan lewat memoar masa kecil Yoshichi Shimada (yang bernama asli Akihiro Tokunaga) ini.
Dari miskin jadi miskin. Itulah yang dialami Akihiro, anak lelaki kecil yang baru menginjak kelas dua SD. Saat masih sangat kecil, bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima membuatnya kehilangan ayah, dan ibunya yang terbebani dengan kewajiban membanting tulang bagi anak-anaknya mengirim Akihiro untuk tinggal bersama neneknya di sebuah kota kecil bernama Saga. Bukannya menjalani hidup yang lebih enak, justru keadaan neneknya di Saga lebih miskin daripada keadaan ketika tinggal di Hiroshima. Saat bertatap muka pertama kali dengan sang nenek, tanpa ba-bi-bu Akihiro pun langsung diajari cara menanak nasi. Ini karena sang nenek yang bekerja sebagai petugas pembersih di universitas Saga harus berangkat pagi-pagi sekali untuk menunaikan tanggung jawabnya, dan ia takkan sempat membuatkan sarapan untuk Akihiro. Akihiro harus mengurus dirinya sendiri. Biarpun sangat miskin, Nenek Osano hidup dengan optimis dan ceria. Adaaaaa saja akal Nenek Osano untuk menyiasati keadaannya yang serba terbatas. Misalnya, ia mengikat pinggangnya dengan seutas tali dan menyeret-
Biarpun sangat miskin, Nenek Osano hidup dengan optimis dan ceria. Adaaaaa saja akal Nenek Osano untuk menyiasati keadaannya yang serba terbatas. Misalnya, ia mengikat pinggangnya dengan seutas tali dan menyeretnyeret magnet kemanapun ia pergi. Klang klang klang klang bunyinya, dan si magnet pun menarik paku dan berbagai sampah logam lainnya yang nanti akan dijual nenek ke toko daur ulang. Dan miskin-miskin begitu, Nenek Osano punya “supermarket pribadi” lho! Yang dimaksud dengan supermarket pribadi adalah sungai di depan rumahnya, yang dipasangi sebatang galah. Berbagai macam benda yang hanyut di sungai tersangkut di galah itu dan Nenek Osano akan mengambilnya, misalnya ranting-ranting untuk dijadikan kayu bakar, sayursayuran cacat dari pasar yang dibuang ke sungai, bahkan benda-benda lain seperti geta (sandal kayu) yang bisa digunakan nenek atau Akihiro.
Dari hari ke hari, berbagai benda hanyut di sungai lalu tersangkut di galah Nenek. Itulah sebabnya Nenek menyebut sungai sebagai supermarket. Malah dengan pelayanan ekstra, katanya, “Belanjaan kita langsung diantar.” Terkadang bila tidak ada apa pun yang tersangkut di galah, Nenek akan berkata, “Hari ini supermarket libur.” Dengan ekspresi wajah menyenangkan.
Kita mungkin akan terbahak membaca penggalan di atas, namun akal sang nenek memang patut diacungi jempol! Miskin bukan berarti merendahkan diri dengan meminta-minta dan berharap belas kasihan orang lain. Begitu salah satu prinsip Nenek Osano, yang membuatnya mampu berbuat kebaikan kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Ketika seseorang berbuat baik dengan kelebihan yang ada padanya, itu hal yang biasa. Namun ketika seseorang berbuat baik meskipun ia sebenarnya kekurangan, itu baru namanya gabai (hebat)!
Kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.
Akihiro tinggal di Saga bersama Nenek Osano selama kurang lebih delapan tahun, dan selama itu pula prinsipprinsip sang nenek mengakar kuat dalam dirinya dan tak pudar bahkan sampai ia dewasa. “Ada dua jalan buat orang miskin, yaitu miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria,” kata Nenek Osano kepada Akihiro suatu waktu. Melalui memoar yang ditulis dengan sederhana, namun juga lucu dan mengharukan ini sang pengarang hendak mengajak setiap pembacanya untuk menciptakan “kehidupan yang baik”, yang rahasianya terdapat dalam dua kata ini: sukacita dan bersyukur.
Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.
### Yoshichi Shimada, penulis memoar ini, saat dewasa menekuni dunia entertainment di Jepang, meskipun pada masa remajanya ia amat menggemari baseball dan berniat menjadi pemain baseball profesional. Buku yang pertama kali terbit pada tahun 2001 ini semakin meledak di pasaran setelah dipromosikan dalam acara televisi “Tetsuko no Heya” (Kamar Tetsuko) yang dipandu Tetsuko Kuroyanagi, penulis buku bestseller Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Kisah Nenek Hebat dari Saga ini begitu beken di negeri asalnya dan telah diadaptasi menjadi film layar lebar, game dan manga. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang oleh Indah S. Pratidina di bawah supervisi Mikihiro Moriyama sebagai koordinator penerjemah. Dan kalau boleh berpendapat, menurut saya terjemahannya sangat renyah dan enak dibaca. Untuk penerbit Kansha Books, dan semua orang yang bertanggung jawab atas terbitnya terjemahan buku ini di Indonesia, saya hanya mau bilang, “Anda semua gabai!” \m/ @melmarian
@melmarian http://surgabukuku.wordpress.com [Kuis Resensi Buku Redline Juni 2011: https://www.facebook.com/notes/penerb...]|“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.” Demikianlah kira-kira inti dari buku ini. Buku kecil yang bersahaja ini merupakan kisah nyata dari penggalan kehidupan penulisnya, Akihiro Tokunaga atau kini dikenal dengan nama Yosichi Shimada (61 thn) selama ia tinggal bersama neneknya di kota kecil Saga setelah Hiroshima dijatuhi bom atom oleh sekutu. Paska pemboman Hiroshima dan Nagasaki perekonomian Jepang hancur , sehingga dampaknya secara langsung juga dirasakan oleh sebagian besar rakyatnya. Hal ini juga dirasakan oleh keluarga Tokunaga, apalagi tak lama setelah Tokunaga lahir ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga meninggal dunia akibat terpapar radiasi bom atom. Karena merasa tak sanggup untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya di Hiroshima maka oleh ibunya Tokunaga dititipkan pada neneknya di kota Saga. Berbeda dengan Hiroshima yang merupakan sebuah kota besar di Jepang, Saga adalah sebuah kota kecil yang jauh dari keramaian. Kehidupan Tokunaga di Hiroshima memang sulit, kepindahannya ke Saga tidak membuat hidupnya menjadi nyaman, bersama neneknya ia malah harus hidup lebih miskin lagi dibanding ketika ia bersama ibunya di Hiroshima. Secara materi memang Tokunaga menjadi semakin miskin namun sikap hidup, pandangan, dan perilaku neneknya yang bersahaja ternyata membuat hidupnya menjadi kaya akan berbagai pengalaman hidup yang kelak akan membuatnya kaya dan bahagia secara batiniah. Kehidupan Tokunaga bersama neneknya memang sangat-sangat sederhana bahkan bisa dikatakan sangat miskin. Neneknya hanyalah seorang petugas kebersihan di sebuah universitas di Saga. Jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya nenek Osana hanya mengandalkan gajinya yang kecil dan uang bulanan kiriman anaknya yang paspasan. Namun walau hidup miskin bukan berarti Nenek Osana menyerah pada keadaan dan menjadi nenek yang murung. Bersama Tokunaga ia menjalani hidupnya secara optimis, wajahnya selalu berseri karena bagi dia kebahagiaan bukan ditentukan oleh uang, melainkan dari hati. Nenek Osana menerima kenyataan hidup bahwa ia hidup dalam kemiskininan, tapi ia tak mau bersedih dengan keadaannya. Dalam sebuah kesempatan Nenek Osano mengatakan pada Tokunaga bahwa ada dua jenis orang miskin yaitu miskin muram dan miskin ceria. “Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun-temurun miskin.” Demikianlah kehidupan Nenek Osano, walau hidup miskin tapi dia tidak pernah membiarkan dirinya dikalahkan keadaan melainkan selalu tampak bahagia Untuk menyiasati hidupnya yang serba kekurangan Nenek Osano memanfaatkan semua yang ada di sekitarnya. Ketika berangkat kerja Nenek Osano tanpa malu sengaja mengikatkan sebuah tali di pinggangnya dimana di ujungnya terdapat sebuah magnet yang menyapu tiap jalan yang dilaluinya. Dengan cara itu ia mendapat paku atau sampah logam yang berserakan di jalan untuk dikumpulkan dan dijual kembali. Ketika Tokunaga menanyakan hal ini pada neneknya, Neneknya menjawab dengan lugas. “Sungguh sayang kalau kita sekedar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya, kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita siasiakan, bisa dapat tulah.” (hal 42) Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makanan tiap harinya nenek memanfaatkan sungai yang mengalir di depan rumahnya. Setiap hari ia mengumpulkan ranting2 yang terseret arus sungai, ranting-ranting itu kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Selain itu sungai itu pula selalu membawa sayur-sayuran dan buah-buahan
depan rumahnya. Setiap hari ia mengumpulkan ranting2 yang terseret arus sungai, ranting-ranting itu kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Selain itu sungai itu pula selalu membawa sayur-sayuran dan buah-buahan yang dibuang penjualnya karena tidak laku. Sayur-sayuran dan buah-buahan itu diambil oleh Nenek Osana, dicuci dan dimasak. Dengan begitu sebagaian besar makanan yang ada di rumah Nenek merupakan hasil perolehan dari sungai. Dengan bercanda Nenek Osana menyebut sungai tersebut sebagai supermarket dengan pelayanan ekstra karena langsung diantar ke rumahnya tanpa biaya. J Jenis sayur dan buah-buahan yg mengalir di sungai tak selalu sama, karenanya alih-alih melihat buku resep untuk mencari ide lauk santapan, Nenek akan menengok ke sungai dan berkata “Hari ini lauknya apa ya?”. Kemudian barulah ia menentukan menu. Namun demikian kadang sungai itu tak mengalirkan apapun selain ranting-ranting, jika demikian Nenek Osana tetap optimis dan mengatakan bahwa “Hari ini supermarket libur”. Bagi Nenek Osana kehidupan yang dialaminya adalah anugerah yang harus dijalaninya dan tanpa ragu ia berkata bahwa “Hidup itu selalu menarik. Daripada hanya pasrah, selalu coba cari jalan” Walau hidup miskin Nenek Osana juga selalu berusaha berbuat kebaikan tanpa harus digembar-gemborkan atau diketahui oleh si penerima kebaikan karena baginya “ Kebaikan sejati dan tulus adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan. Hal-hal seperti inilah yang dilihat dan dialami oleh Tokunaga selama ia tinggal bersama neneknya. Bagi Tokunaga ini adalah kesempatan berharga dimana dia bisa memiliki pengalaman yang luar biasa untuk menjalani hari-hari bersama neneknya yang sangat menyenangkan walau kemiskinan membelit hidup mereka. Pengalaman hidup Tokunaga bersama nenek Osana ini juga membuat dirinya tergerak untuk menuliskannya dalam sebuah buku agar semua orang tahu tentang cara hidup dan pangangan hidup neneknya. Dalam bukunya ini Tokunaga menulis kisah kehidupan yang dialaminya selama ia tinggal bersama neneknya semenjak SD hingga SMA. Ada 17 kisah menarik dan inspiratif dalam buku ini mulai dari kisah perjalanan pertamanya ke Saga hingga akhirnya ia lulus SMA dan harus memilih antara tinggal bersama neneknya di Saga atau mengejar mimpimimpinya di Hiroshima. Sebagai bonus di lembar-lembar terakhir, buku ini juga menyertakan kutipan-kutipan Nenek Osana yang berasal dari isi buku ini. Halaman ini oleh penerbit diberi judul "Tips Hidup yang Menyenangkan dari Nenek yang membesarkan Yosichi Shimada : Nenek Osano!" Sama seperti kesederhanaan nenek Osana , kesemua kisahnya ini ditulis dalam kalimat-kalimat yang sederhana dan mudah dipahami oleh siapa saja sehingga buku ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi sekaligus membuat kita tersenyum, terenyuh, dan yang pasti kisahnya yang inspiratif ini dapat memberi makna yang dalam bagi pembacanya dalam hal memaknai nilai-nilai kesederhanaan. Buku Saga no Gabai Bachan ini terbit untuk pertama kalinya di Jepang pada tahun 2001. Kemudian penulisnya juga mengadakan pertunjukkan drama dengan tema pandangan hidup Nenek Osana di seluruh Jepang. Dengan demikian buku ini menjadi semakin terkenal, apalagi dengan kemunculan penulisnya di Asahi TV dlm progam “Tetsuka no Heya” (Kamar Tetsuko) yg dipandu oleh Testuko Kuroyanagi (penulis Toto Chan: Gadis Cilik di Jendela) Setelah mengenalkan buku Saga no Gabai Bachan di acara Tetsuko no Heya pesanan buku ini di toko-toko buku langsung membludak sehingga kurang dari satu tahun buku ini telah terjual 100.000 eks di Jepang. Bahkan kini kisah Nenek Hebat dari Saga ini diadaptasi dalam bentuk film layar lebar, game, maupun manga. Di Indonesia sendiri buku ini yang diterjemahkan langsung dari Bahasa Jepang oleh Indah S. Pratidina dan dimentori oleh Prof. Mikihiro Moriyama terbit pada bulan april 2011 ini kabarnya mendapat respon yang positif dari pembacanya, hal ini terbukti dengan dilakukannya cetak ulang novel ini pada Mei 2011, tepat satu bulan setelah cetakan pertama buku ini terbit. Seistimewa apa sih buku ini? Silahkan dibaca sendiri saja dan semoga dengan membacanya kita akan mendapatkan seperti apa yang dikatakan motivator terkenal Arvan Pradiansyah dalam endosrmentnya di buku ini
Seistimewa apa sih buku ini? Silahkan dibaca sendiri saja dan semoga dengan membacanya kita akan mendapatkan seperti apa yang dikatakan motivator terkenal Arvan Pradiansyah dalam endosrmentnya di buku ini “Novel ini seru, kaya nuansa (bikin terenyuh. Lucu, mengharukan), mampu mengaduk-ngaduk emsoi pembaca dan yang pasti akan membangkitkan kebahagiaan” @htanzil|Apakah seorang harus menjadi kaya atau memiliki banyak keunggulan untuk bisa bahagia ? Jawabannya, TIDAK. Itulah yang dihidupi oleh Nenek Osano, Nenek Hebat dari Saga yang hidup di tengah kemiskinan milik, namun dengan kekayaan hati. Ia tak pernah malu dengan kemiskinannya, tak pernah menunjukkan kekhawatirannya akan hari esok, pada cucunya yang tinggal bersamanya karena keinginan putrinya memberi kehidupan yang lebih baik untuk putranya dengan menitipkannya pada sang nenek. Akihiro Tokunaga yang kemudian dalam perjalanan hidupnya lebih dikenal sebagai Yoshichi Shimada, seorang entertainer Jepang, mengalami masa kecil yang tak menyenangkan. Bom di Hiroshima yang bagi Indonesia membuka peluang untuk kemerdekaan, ternyata membawa bencana bagi tidak sedikit warga Jepang, bukan hanya yang tinggal di Hiroshima ataupun Nagasaki. Ironis, bencana bagi warga suatu negara bisa jadi merupakan peluang bagi warga negara lain. Masa kecil yang berat itu digambarkan dengan gamblang oleh Akihiro, namun anehnya aku tak merasakan kegetiran di sini. Tak lain itu semua berkat peran seorang nenek yang mampu memaknai setiap detik hidupnya dengan syukur. Walau hampir tak pernah menyentuh kata cukup, namun ia mencukupkan hidupnya dan cucunya, dengan berbagai prinsip hidup yang diutarakan dengan gaya jenaka oleh Akihiro. Tak jarang aku tergelitik, pun tersenyum salut pada sang nenek, yang selalu bisa memandang dengan positif meski di tengah ketidakpastian. Bagaimana jika kau menggantungkan apa yang akan menjadi lauk paukmu di suatu hari, dengan menantikan aliran sayuran yang lewat di ‘supermarket berjalan’ di depan rumahmu ? Kau tak akan bisa menentukan menu sebelum ‘berbelanja’, namun menyesuaikannya dengan apa yang ada di depan matamu. Bagaimana rasanya berjalan dengan magnet besar yang diikatkan pada tali yang terhubung ke pinggangmu, sehingga kau dapat membawa logam-logam yang ada di sepanjang jalan yang kau lalui, agar bisa dijual di kemudian hari ? Ya, kau memulung, namun dengan cara cerdas. Tak khusus memulung, namun melakukannya sembari jalan, kalau dapat maka kau kumpulkan, kalau tidak ya tak ada ruginya. Bagaimana rasanya memiliki crayon 24 warna dengan uang hasil penjualan barang yang tak kausangka, sementara teman-temanmu hanya memiliki crayon 12 warna, dan sehari-harinya kau terbiasa meminta goresan demi goresan crayon dari mereka ? Ohh, pastilah sangat mencerahkan hatimu.. Aku belum pernah merasakan ini, karena crayon yang kumiliki selalu 12 warna, dan aku begitu mendambakan rasa hati Akihiro saat itu. Bagaimana rasanya memiliki sepatu olahraga bermutu tinggi seharga 10.000 yen (sekitar 800.000 rupiah kini), padahal yang kau butuhkan untuk membelinya hanya kurang dari seperempatnya ? Bukan selisih nilai ini ternyata yang menjadi perhatian Akihiro, namun kebanggaannya memiliki sesuatu yang didambakan, yang ternyata sudah dirancangkan oleh sang nenek dengan menabung. Sang nenek memberikan yang terbaik yang bisa dia berikan untuk cucunya, meski itu mungkin menguras simpanannya. Bagaimana rasanya guru-gurumu memberimu makan siang dengan lauk istimewa dengan berdusta bahwa mereka sakit perut, hanya karena mereka ingin mentraktirmu usai festival lari yang kau juarai, tanpa membuatmu menjadi menyedihkan ? Nenek Osano mengatakan bahwa kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan. Sama dengan sebuah ajaran yang kukenal sejak kecil saat aku belum mampu memahaminya, hingga aku mulai bisa mengertinya suatu ketika. “Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu”. Bagaimana rasanya seorang nenek menerimamu apa adanya, walau kau tak pandai dalam ujian atau pelajaran yang lain, namun unggul ‘hanya’ dalam olahraga ? Tak ada yang memarahimu atau menuntutmu untuk mencapai ranking tertentu setiap penerimaan rapor, alih-alih ia berkata dengan bijak, “Hidup itu gabungan berbagai
yang lain, namun unggul ‘hanya’ dalam olahraga ? Tak ada yang memarahimu atau menuntutmu untuk mencapai ranking tertentu setiap penerimaan rapor, alih-alih ia berkata dengan bijak, “Hidup itu gabungan berbagai kekuatan.” Aku tak bisa melupakan bagian ini, bagian yang membuatku geli sekaligus terketuk: “Nenek, aku sama sekali tidak bisa bahasa inggris.” “Kalau begitu, kautulis saja ‘Saya orang Jepang’” “Aku juga tidak suka huruf Kanji …” “Tulis saja, ‘Aku hidup dengan Hiragana dan Katagana.” “Aku juga benci sejarah …” “Sejarah juga ? Tulis ‘Saya tidak menyukai masa lalu’!” Benar apa yang diungkapkan oleh Akihiro kemudian. Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita. Aku jadi teringat dengan obrolan bersama seseorang, ketika kutanya apa yang dia cari atau yang ingin dia capai dalam hidupnya. Dia bertanya retoris, “Bukankah semua orang ingin hidup bahagia ?” Kembali ku bertanya, “Kebahagiaan seperti apa yang kaucari ?” Dia menjawab dengan tersenyum. “Seperti sekarang ini juga bahagia, kan ?” Aku tersenyum pula, dan hatiku pun berkata, aku juga bahagia.. Lima bintang untuk memoar hidup yang diceritakan dengan kata-kata yang sederhana, namun mewakili kekayaan makna di baliknya. Lebih banyak bintang lagi untuk Nenek Osano.. Buku ini tipis, bahkan mampu dibaca hanya dengan 3 atau 4 jam, namun takarannya pas. Rasanya seperti minum secangkir kopi dengan krimmer yang pas, tak terlalu manis, tak terlalu pahit, tak terlalu eneg pula. Nikmat, dan membangkitkanmu lewat syaraf-syaraf dan detak jantung yang merasai efek kafeinnya. Atau, kalau kau tak suka kopi, bayangkan meminum secangkir teh hangat favoritmu dengan aroma yang menenangkan dan rasa yang membekas di lidahmu tiap kau mencecapnya, dan merasakan aliran teh yang kau kulum itu melewati kerongkonganmu, lalu menghangatkan lambungmu. Bukan hanya Akihiro yang beruntung memiliki seorang nenek yang begitu kaya hatinya, beruntung pula diriku yang membaca bagian dari kisah hidupnya. Aku tak menyesal membelinya, dan secara sukarela tanpa himbauan, aku pun merekomendasikannya pada teman-teman.
-nat31082011 |Banyak yang mungkin akan iri dengan Tokunaga. Ya, memang di masa kecilnya, dia hidup dalam kemiskinan. Tak mempunyai seorang Ayah dan harus tinggal berjauhan dengan Ibunya. Hei, tapi dia memiliki seseorang nenek. Bukan nenek sembarangan tapi seorang Nenek yang hebat, Osano namanya. Tokunaga hidup bersama Nenek Osano di sebuah desa kecil bernama Saga. Mereka hidup dengan miskin tapi miskin yang ceria, begitu kata Nenek Osano. Nenek Osano mengajari banyak orang untuk hidup dengan optimisme tinggi. Walau keadaan sulit tapi tak perlu menangisinya, melainkan menjalaninya dengan bahagia. Menurut Nenek Osano, "Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita." Nenek Osano juga mengajarkan kita untuk hidup kreatif. Berpikir dan bertindak "out of the box". Contohnya, dia selalu berjalan sambil menyeret sebuah magnet yang diikat di pinggang seperti digambarkan pada sampul depan buku ini. Akan banyak barang berbahan baku besi yang akan menempel pada magnet dan akhirnya bisa dijual sebagai tambahan penghasilan. Nenek Osano hidup secara sederhana dan hemat. Beliau hanya membeli barang-barang yang benar dibutuhkan.
Nenek Osano hidup secara sederhana dan hemat. Beliau hanya membeli barang-barang yang benar dibutuhkan. Namun, beliau tidak pelit. Nenek Osano tak ragu untuk memberikan bantuan materi kepada saudara yang membutuhkan. Nenek Osano juga sangat senang membantu orang lain. Begitulah Nenek Osano, menjadi teladan bagi banyak orang. Walau orang lain melihat dirinya miskin tapi tak pernah seorangpun melihatnya bersedih hati karenanya. Selalu semangat dan ceria menjalankan hidupnya. Nenek hebat dari Saga...|sebenarnya ini buku biasa saja. tentang kisah yang juga biasa-biasa saja. namun, jadi istimewa karena kita membandingkannya dengan jepang masa kini yang sudah maju dan berbeda dari yang ditampilkan dalam buku ini. ini sejenis romantisme nostalgik yang menghadirkan ulang masa lalu yang susah sebagai pengesahan kesuksesan masa kini. saya kira, settingnya adalah jepang tahun 50-60-an. di masa ketika jalanan di hiroshima juga kumuh karena dirampas oleh pedagang kaki lima, katimbang dinikmati pejalan kaki. ketika sungai di saga juga menjadi tempat pembuangan barang, buah dan sayur yang tidak laku di pasar. mirip situasi kita di indonesia kini. nenek osano menamai sungai ini "supermarket" karena mereka hidup dengan tergantung pada buah, sayur dan barang-barang yang dihanyutkan orang di sana. itukah yang membuat buku ini disukai juga di indonesia? karena adanya kemiripan situasi tapi sekaligus ada semacam harapan bahwa kita nanti akan bisa seperti mereka sekarang ini? mungkin demikian halnya, adanya kemiripan ini membuat kisah ini jadi "ada gunanya" buat kita: memberi harapan, memberi daya tahan, untuk tetap bahagia meski pun keadaan tidak kaya. "kita adalah orang miskin yang ceria" demikian nenek osano membesarkan hati cucunya. "kita adalah orang miskin turun-temurun. jadi, mengapa murung?" dari sisi itu, buku ini relevan dengan situasi ikita. kita butuhkan dan juga sekaligus mirip seperti nasihat para orang tua jawa agar kita sabar dan menerima pemberian dengan hati terbuka ["narima ing pandum]. nasihat yang terumuskan demikian, mungkin karena berabad-abad lamanya orang jawa tinggal dalam kemiskinan. tanpa bermaksud melanggengkan kemiskinan, buku ini mewartakan bahwa orang miskin bisa tetap bahagia, karena nilai orang diukur seberapa besar dia berusaha. pada hemat saya, buku ini bagus buat anak-anak. saya bayangkan, anak-anak saya sendiri mungkin suka. bisa jadi karena kemiripan situasinya. kemiripan cara menghadapi keadaan yang susah diubah. kelebihannya, buku ini dikisahkan dengan ringan. tidak bermaksud mengaduk-aduk emosi. datar saja caranya memilih kata dan menggambarkan emosi. namun, rasanya buku ini jujur dengan caranya itu. saya sempat kenal keluarga-keluarga jepang di negerinya sana. ya seperti itulah cara mereka bereaksi terhadap kesulitan, menghibur diri dan berprestasi. mungkin itu karena kisah sulit di masa kecil itu dikisahkan oleh pelaku yang sudah keluar dari situasi sulitnya. sehingga bisa lebih tenang. namun demikian, saya menghargai kejujurannya, keluguannya dalam bercerita. hanya perlu waktu semalam saya selesaikan baca edisi indonesianya!