Pengantar Analisis Retorika Teks 1
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 2
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 3
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 4
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 5
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang Siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi ijin untuyk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 6
PENGANTAR ANALISIS RETORIKA TEKS
Oleh:
Safnil
Penerbit FKIP UNIB Press Jl. Raya Kandang Limun Kota Bengkulu 2010
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 7
Pengantar Analisis Retorika Teks Oleh: Safnil Sampul dan Perwajahan: Safnil Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit FKIP UNIB Press, Oktober 2006 Alamat Penerbit: FKIP UNIB Press Jalan Raya Kandang Limun Kota Bengkulu Telp./Faks.: (0736)-21186 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari penerbit Isi di luar tanggung jawab percetakan Cetakan Ketiga: 2010 Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Safnil Pengantar Analisis Retorika Teks/ oleh: Safnil Bengkulu: FKIP UNIB Press, 2010 155 + x; 20 cm Bibliografi halaman 138 ISBN 979-25-0775-2 1. Wacana 1. Judul 410.1
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 8
PRAKATA Buku
Pengantar Analisis Retorika Teks ini dimaksudkan untuk memperkenalkan kepada pembaca teori-teori yang berkaitan dengan metode analisis teks (written discourse) beserta contoh-contoh aplikasinya pada teks-teks berbahasa Indonesia dari berbagai jenis teks (genre). Kajian analisis teks ini merupakan salah satu cabang bidang ilmu linguistik. Analisis retorika teks ditujukan pada usaha menemukan ciri-ciri khas linguistik dan nonlinguistik dari sekelompok tulisan atau teks dengan konteks yang serupa atau mirip (genre). Ciri-ciri khas linguistik dan nonlinguitik ini sangat diperlukan untuk proses belajar-mengajar bahasa terutama bahasa kedua (second language) atau bahasa asing (foreign language) baik untuk proses pemahaman (comprehension) maupun untuk proses penulisan (production) bahasa tersebut. Buku kecil ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa jurusan bahasa dan seni dari program studi Pendidikan Bahasa Indonesia maupun Pendidikan Bahasa Inggris. Buku ini juga perlu dibaca oleh dosen dan guruguru bahasa Indonesdia dan Bahasa Inggris dan oleh semua yang tertarik pada kajian analisis wacana (discourse analysis) terutama yang tertarik pada bidang analysis wacana tulis atau teks (written discourse). Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya dan terima kasih banyak kepada semua pihak
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 9
yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca dan oleh sebab itu kepada pembaca diharapkan masukkan, saran, komentar dan kritikan demi kesempurnaan buku ini.
Bengkulu, Penulis,
April 2010
Prof. Safnil, MA., Ph.D.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 10
DAFTAR ISI Hal. BAB. 1
BAB. 2
BAB. 3
Safnil
PERKEMBANGAN ILMU LINGUISTIK TENTANG TEKS ATAU WACANA TULIS Sejarah Perkembangan Ilmu Linguistik Teks Pendekatan Baru Dalam Kajian Teks Teori Struktur Retorika (Rhetorical Structure Theory) Analisis Teks Berdasarkan Tujuan Komunikatif Teks Pola-pola Organisasi atau Retorika Teks Pola Teks Narasi Pola Umum-khusus Pola Masalah-solusi Alasan Penggunaan Berbagai Model Analisis Teks Penutup HUBUNGAN ANTARA TEKS DAN KONTEKS Hubungan Antara Teks dan Konteks Konteks Situasi dan Konteks Budaya Penutup PENGHUBUNG ANTAR KLAUSA SEBAGAI PENANDA WACANA DALAM TEKS Pembaca Khayalan (Imagined Readers) dan Pembaca yang Sebenarnya (Real Readers) Penanda Hubungan Antar Klausa
2 6 7 9 10 12 13 19 20 21
24 25 28
30
33
Pengantar Analisis Retorika Teks 11
BAB. 4
BAB. 5
Safnil
(Clause Relation Signal) Kategori Hubungan Antar Klausa Penggunaan Konjugasi (Conjunction) Sebagai Penghubung Antar Klausa Pemakaian Kata-kata Khusus (Specific Lexicon) Sebagai Penghubung Antar Klausa Pengulangan Kata (Repetition) Sebagai Penghubung Antar Klausa Penggunaan Parafrase (Paraphrase) Sebagai Penghubung Antar Klausa Penggunaan Kalimat Tanya (Interrogative Sentence) Sebagai Penghubung Antar Klausa Penetapan Batas Unit Analisis (Analysis Unit Boundary) Penutup KOHESI DALAM SEBUAH TEKS Contoh Analisis Kohesi Dari Sebuah Teks Yang Utuh Pengikat Kohesi Referen Substitusi Elip Pengikat Kohesi Leksika Sinonim Hiponimi Antonim dan Repetisi Kolokasi Penutup MODEL DAN CONTOH ANALISIS TEKS UNTUK BERBAGAI BENTUK ATAU TIPE WACANA
33 34 35
36 37 38
39 41 46 48 50 51 52 52 54 55 55 56
Pengantar Analisis Retorika Teks 12
Model Analisis Khotbah (Sermon) Gambaran Umum Tentang Khotbah Berjudul “Kedudukan Ilmu Dalam Islam” Pola Makro Retorika Khotbah “Kedudukan Ilmu Dalam Islam” Teks Khotbah Beserta Bagian dan Langkah-langkahnya Fungsi Retorika dan Penanda Leksikal Model Analisi Teks “Top-down” dan “Bottom up” Pada Contoh Karangan Argumentatif Model Analisis Makro Monolog dan Dialog Langkah-langkah Analisis Teks Proses Dialog (Top-down Analysis) Proses Monolog (Bottom-up Analysis) Model Analisis Teks Masalah Solusi (Problem-Solution): Contoh Teks Humor Tinjauan Teoritis Struktur Generik Teks Humor Analisis Struktur Generik Humor Contoh Humor Dengan Unsur Generik Lengkap Contoh Humor Dengan Unsur Generik Tidak Lengkap Pola Umum Retorika Teks Humor Penggunaan Teks Humor Untuk Pengajaran Bahasa Model Analisis Teks „Triad‟: Contoh Teks Editorial Surat Kabar Model Analisis Pola Wacana “Triad”
Safnil
62 62
63 67 74 79
85 86 87 91 98
99 101 113 106 107 107 109 110
Pengantar Analisis Retorika Teks 13
Aplikasi Model Analisis Pola Wacana „Triad‟ Dalam Teks Bahasa Indonesia Gambaran Umum (Overall View) Tentang Teks yang Dianalisis Pola Retorika Tajuk Rencana (TR): Aplikasi Model „Triad‟ Penutup BAB. 6 PENGAJARAN EKSPLISIT MENGENAI GENRE (TIPE TEKS) JURNAL PENELITIAN BAGI MAHASISWA DI INDONESIA Debat Mengenai Pengajaran Genre Secara Eksplisit Pendekatan Umum Terhadap Pengajaran Teks Spesifik Genre Penutup DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
Safnil
114
114 116 124
127 131 136 138 149
Pengantar Analisis Retorika Teks 14
BAB 1 PERKEMBANGAN ILMU LINGUISTIK TEKS
H
ampir semua cabang ilmu linguistik atau kebahasaan
merupakan studi deskriptif, tak terkecuali kajian linguistik
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 15
teks atau wacana tulis (Coulthard, 1994). Menurut Coulthard, tujuan utama dari analisis wacana tulis atau teks adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah teks itu (terutama teks yang sudah dipublikasikan). Pertanyaan ini dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan yang lebih sederhana, yaitu: 1) Apakah komponen-komponen yang membentuk sebuah teks dan 2) Bagaimanakah pola internal setiap komponen tersebut. Sementara itu, secara umum telah disepakati bahwa dengan menganalisis sebuah teks seseorang dapat melihat pilihan pola kalimat yang mungkin untuk tujuan komunikatif tertentu. Linguistik teks (text linguistic) merupakan suatu bidang ilmu yang relatif baru di kalangan para pakar bahasa (linguists) di tingkat internasional, lebih-lebih lagi di Indonesia. Beugrande dan Dressler (1981) mengatakan bahwa bidang ilmu linguistik teks dimulai semenjak awal tahun 1970-an. Teun van Dijk (1979), misalnya, menekankan bahwa kajian teks tidak bisa dikategorikan hanya ke dalam satu kategori saja; kajian teks merupakan seluruh kajian bahasa yang menggunakan teks sebagai objek kajian utama. Menurut Beugrande dan Dressler (1981), kajian teks paling awal dapat dijumpai dalam bentuk kajian retorika, yang telah dilakukan semenjak jaman Yunani dan Roma kuno hingga pada abad-abad pertengahan dan seterusnya hingga saat ini. Kajian retorika pada jaman dahulu sangat dipengaruhi oleh tugas utamanya yaitu untuk melatih para orator publik. Bidang kajian utama mereka adalah invention atau penemuan ide-ide baru, disposition atau penyusunan ide-ide tersebut, elocution atau penemuan ungkapan yang tepat untuk menyampaikan ide-ide, memorization atau usaha mengingat atau menghafal ide-ide tersebut sebelum penyampaian (delivery).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 16
1.1 Sejarah Perkembangan Ilmu Linguistik Teks Pada awal masa perkembangan ilmu linguistik moderen, analisis teks terbatas hanya pada pola kalimat sebagai unit terbesar, dengan cara melihat pola internal dari kalimatkalimat yang tercantum dalam sebuah teks atau wacana; padahal pola teks lebih luas dari kalimat yang diantaranya termasuk gaya tulisan (style) atau retorika (rhetoric) (deBeaugrande and Dressler 1981). Pandangan ini, menurut deBeaugrande dan Dressler, didasarkan pada suatu anggapan bahwa kalimat atau klausa merupakan bagian yang sangat mendasar dalam bahasa, dan menganalisis kalimat jauh lebih mudah dan sederhana bila dilakukan dengan cara menentukan elemen-elemen apa saja yang membentuk sebuah kalimat yang benar daripada dengan cara menentukan elemen-elemen apa yang membentuk sebuah satuan bahasa yang lebih luas dari kalimat, seperti paragraph, bagian teks atau teks atau wacana secara utuh. Berbeda dengan kalimat atau klausa, bahasa tulis atau lisan lebih luas daripada kalimat atau klausa dan mempunyai sifat-sifat yang lebih bebas, terutama dalam pemilihan pola atau strukturnya. Misalnya, menurut deBeaugrande dan Dressler, sebuah kalimat deklaratif dalam bahasa Inggris harus mempunyai sebuah frasa nomina (noun phrase) seperti dalam contoh berikut ini: The man hit the ball. Namun, bila kalimat di atas dimasukkan ke dalam sebuah teks yang lebih luas, beberapa kemungkinan pola teks dapat dipergunakan, seperti dalam contoh berikut ini:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 17
The man hit the ball and the crowd cheered him; The man hit the ball and he was cheered by the crowd; The man hit the ball and the crowd cheered the promising rookie; The man hit the ball and the promising rookie was cheered by the crowd; The crowd cheered the man after he hit the ball; He was cheered by the crowd after the man hit the ball; The crowd cheered the promising rookie after he hit the ball; dan seterusnya. Seperti terlihat dalam contoh-contoh di atas, bentuk kalimat mana yang akan dipilih oleh penulis untuk menggabungkan dua kalimat (the man hit the ball and the crowd cheered him) sangat tergantung pada pilihan penulis itu sendiri. Dengan kata lain, pilihan pola teks merupakan hak prerogratif penulis, karena semua bentuk yang tersedia merupakan pilihan yang benar secara tata-bahasa bahasa Inggris. Pilihan bentuk tersebut akan ditentukan oleh gaya bahasa atau gaya penulisan yang disukai oleh penulis tertentu. Tidak ada satu aturan pun yang mengharuskan kita memilih satu atau beberapa pilihan dari bentuk-bentuk tersebut. Disamping itu, teks telah lama menjadi objek studi dalam bidang sastera, walaupun fokusnya terbatas pada beberapa jenis dan bentuk teks. Para pakar telah lama menggeluti pekerjaan seperti:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 18
1) mendeskripsikan proses dan hasil penulisan sebuah teks dari seorang atau sekelompok penulis; 2) menemukan masalah yang terdapat pada teks dalam proses pemahaman; dan 3) menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam satu bentuk atau sekelompok teks tertentu. Usaha untuk membuat pekerjaan-pekerjaan tersebut di atas menjadi lebih sistematis dan obyektif telah mendorong adanya penggunaan metode-metode linguistik terhadap analisis teks. Lingkup kajian linguistik teks semacam ini akan memberikan hasil temuan yang lebih bermanfaat daripada temuan-temuan kajian tata bahasa yang dilakukan secara konvensional. Oleh karena itu, saat ini pakar ilmu bahasa berupaya menelaah bahasa dalam lingkup yang lebih luas dari kalimat untuk dapat menemukan jawaban bagaimana teks dapat disusun dan dipahami dengan baik. Teks juga telah menjadi fokus studi para pakar dalam bidang ilmu Antropologi dalam upaya mereka mencari nilai-nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Bronislaw Malinowski (1935) misalnya menyatakan bahwa arti penting dari pengkajian bahasa sebagai sebuah kegiatan manusia (human activity) adalah untuk mempelajari makna yang terkandung dalam bahasa tersebut. Juga dalam bidang Sosiologi, para pakar tertarik untuk menganalisis percakapan (oral language) sebagai model dari organisasi dan interaksi. Telah banyak dilakukan penelitian tentang bagaimana orang memperoleh kesempatan berbicara dalam sebuah percakapan informal (Sacks, Schegloff dan Jefferson 1974). Bidang kajian ini, yang sering dinamakan „ethnomethodology‟, menelaah hubungan antara pola berbicara seseorang atau sekelompok orang dengan status sosial mereka; serta mengkaji
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 19
bagaimana orang menyesuaikan cara berbicara atau cara berkomunikasi mereka dengan keadaan (speech event) yang berbeda, bagaimana aturan berbicara terbentuk atau berubah, bagaimana dominasi seseorang atau sekelompok orang dalam berbicara akan muncul, dan sebagainya. Dengan kata lain, kajian-kajian tentang percakapan berupaya menelaah bagaimana orang atau sekelompok orang tertentu menggunakan sebuah bahasa tertentu dalam suatu kegiatan berbahasa informal (informal speech event) tertentu. Penelitian skala besar mengenai organisasi teks yang pertama kali dipublikasikan adalah penelitian yang dilakukan oleh Roland Harweg (1968, dikutip dalam deBeaugrande dan Dressler 1981). Hipotesis Harweg adalah bahwa sebuah teks terikat oleh mekanisme substitusi seperti pronomina, proverbal, prokalimat atau bentukbentuk kata ganti lainnya. Namun akhirnya Harweg menyadari bahwa subtitusi tersebut sangatlah luas dan kompleks hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan pengulangan kata atau kalimat (recurrence), sinonim, klasifikasi atau contoh, sebab akibat, bagian dan keseluruhan, hiponim dan sebagainya. Oleh karena itu, sistem analisis yang diajukannya tidaklah mencukupi karena tidak dapat memberikan informasi dan deskripsi yang terperinci mengenai komponen-komponen dari sebuah teks. Beberapa penelitian lainnya menggunakan pendekatan deskriptif struktural yang kecenderungan utamanya adalah bahwa studi teks difokuskan pada bagian teks yang lebih luas dari kalimat atau klausa. Pada studistudi ini, teks didefinisikan sebagai sebuah unit bahasa yang lebih luas dari kalimat atau klausa. Kemudian penelitian teks berkembang sehingga menemukan pola atau
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 20
struktur teks sehingga teks dapat dimasukkan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan persamaan pola atau struktur tersebut. Pada beberapa contoh kajian teks, kerangka analisisnya diperluas dengan memasukkan urutan teks menurut bentuk atau urutan situasi kejadian dalam teks tersebut. Tapi secara umum, struktur atau pola teks dianggap sebagai sesuatu yang terbentuk secara tanpa sadar oleh penulis teks.
1.2 Pendekatan Baru Dalam Kajian Teks Dalam pendekatan baru kajian teks, teks tidak lagi dipandang sebagai suatu unit lebih luas dari kalimat atau klausa, melainkan sebagai suatu susunan kalimat. Teks dipandang sebagai suatu kalimat super panjang yang kebetulan dihubungkan dengan titik bukan dengan kata penghubung. Pandangan seperti ini didukung oleh prinsip gramatika standar, yaitu pendapat bahwa tidak ada batas untuk panjang kalimat yang dapat ditulis atau diucapkan oleh seseorang. Namun pandangan ini tidak mencerminkan penggunaan bahasa secara alamiah dimana penutur biasanya lebih suka memenggal bahasa menjadi kalimatkalimat pendek karena suatu tujuan dan ide tertentu yang dihubungkan dengan berbagai kata penghubung. Teun vanDijk (1972) menyarankan sebuah model analisis teks yang agak berbeda. Menurut vanDijk, pola atau gramatika teks tidaklah mencukupi bila akan digunakan sebagai tujuan analisis teks, karena banyak hal lain yang menarik dan penting diketahui berkenaan dengan teks seperti tujuan komunikatif dari bagian-bagian teks, alasan mengapa sebuah teks memiliki bentuk tertentu dan lain sebagainya. Oleh karena itu, vanDijk menyarankan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 21
adanya pemakaian suatu metode analisis teks secara makro menurut isi dari sebuah teks. Menurut vanDijk, penulisan sebuah teks harus dimulai dengan sebuah ide utama yang secara bertahap berkembang menjadi ide-ide atau informasi-informasi terperinci yang disajikan dalam bentuk kalimat. Pada saat sebuah teks disajikan, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat digunakan untuk menyederhanakan sebuah teks atau untuk menemukan ide-ide utamanya. Aspek ini tidak dapat dimasukkan ke dalam gramatika teks, karena struktur makro teks tersebut tidak disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat terpisah. Model ini akhirnya bermuara pada psikologi kognitif yang berorientasi pada proses penyusunan sebuah teks. VanDijk bersama Kintsch (1981) menelaah bagaimana orang membuat ringkasan dari sebuah teks dalam berbagai bidang seperti cerita atau novel, dan menemukan bahwa sebagian besar ringkasan tersebut dibuat berdasarkan struktur makro teks. Teori-teori tentang analisis teks masih terus berkembang, sementara model-model analisis teks baru, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, senantiasa diusulkan. Pendekatan yang berbeda disarankan oleh pakar dari bidang lain atau untuk tujuan analisis yang lain. Namun tidak diragukan lagi, pengetahuan tentang struktur teks sangat penting, yaitu untuk mengetahui bagaimana seseorang atau sekelompok orang dalam konteks dan tujuan tertentu menggunakan bahasa tertentu dan bagaimana kualitasnya.
1.3 Teori Struktur Retorika Teori struktur retorika (Rhetorical Structure Theory atau RST) merupakan suatu model analisis teks yang cukup
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 22
terkenal yang diciptakan oleh Mann dan Thomson (1992). Menurut Mann dan Thomson, RST menggambarkan teks secara terperinci namun terbatas sehingga dapat meramalkan sifat teks dan pengaruhnya. Melalui model RST, fungsi dan struktur yang membuat sebuah teks menjadi efektif sebagai alat komunikasi bagi manusia. Jelas, hubungan antara bagian-bagian teks tidak dilihat dari susunan kata yang membentuk teks tersebut. Susunan kata tersebut merupakan realisasi dari suatu hubungan abstrak dari makna (meaning) dan niat (intention) yang disajikan melalui susunan kata. Disini, analisis RST merupakan suatu pra-realisasi, karena hasil analisisnya akan menjelaskan bagaimana pola dan gabungan dari makna dan niat tersebut, namun bukan bagaimana keduanya direalisasikan. Tujuan analisis teks, menurut Mann dan Thomson (1992), adalah untuk menunjukkan bagaimana struktur teks atau wacana merefleksikan niat dan tujuan berkomunikasi dari pembicara atau penulis. Tidak ada struktur linguistik khusus yang secara unik menyamai tujuan atau orientasi ini. Memang memungkinkan untuk menguji teks guna melihat bentuk linguistik dan niat dari penulis melalui pemahaman beberapa aspek pada struktur teks. RST memandang pengertian teks sebagai suatu organisasi. Teori ini berupaya menguraikan bagian-bagian teks yang dimiliki sebuah teks serta prinsip-prinsip yang dipergunakan untuk menggabungkan bagian-bagian teks tersebut menjadi sebuah teks yang utuh. RST tentunya tidak akan menjelaskan semua struktur yang mungkin dimiliki teks; model analisis ini hanya terfokus pada tiga struktur teks utama:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 23
1) Struktur holistik; yaitu struktur teks yang dilihat dari bagian-bagian yang umumnya dipergunakan untuk membentuk jenis teks tertentu, misalnya surat; 2) Struktur relational; yaitu struktur teks yang menjelaskan organisasi dan kohesi teks yang umumnya dipergunakan untuk menganalisis bagian inti dari sebuah teks; dan 3) Struktur sintaksis dari teks. Jadi, RST merupakan suatu teori struktur relational yang menggabungkan antara struktur holistik dan struktur sintaksis, namun tidak dipergunakan untuk melihat ciri khas dari jenis atau gene teks tertentu.
1.4. Analisis Teks Berdasarkan Tujuan Komunikatif Salah satu model analisis teks yang paling populer dari sudut pandang pedagogi, terutama untuk tujuan pengajaran bahasa, adalah analisis teks yang didasarkan pada tujuan komunikatif dari setiap bagian teks mulai dari bagian yang terbesar sampai ke bagian yang terkecil. Model analisis ini sering disebut sebagai analisis tujuan komunikatif (communicative purpose analysis atau CPA) seperti yang disarankan oleh Swales (1990), Bathia (1993), dan John (1997). Menurut Swales, sebuah teks memiliki seperangkat tujuan komunikatif dan tujuan-tujuan komunikatif ini dipergunakan oleh penulis untuk mengorganisir teks tersebut. Dengan kata lain, struktur dari sebuah teks sangat ditentukan oleh tujuan komunikatif yang ingin disampaikan oleh penulis melalui teks tersebut. Jadi, sebelum menulis teks, penulis sebaiknya telah memiliki tujuan yang jelas untuk apa ia menulis teks tersebut dan bagaimana
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 24
merealisasikan tujuan tersebut dengan menggunakan katakata, frase atau kalimat. Juga, dalam mengevaluasi dan mengedit sebuah teks, penulis biasanya melihat pada tujuan-tujuan komunikatifnya; yaitu apakah tujuan komunikatif yang ingin dicapai telah terwujutkan melalui teks tersebut atau apakah tujuan komunikatif yang diinginkan telah tersampaikan dengan baik melalui penggunaan kata, frasa, kalimat atau paragraf dalam teks tersebut. Arti penting dari tujuan komunikatif dalam sebuah teks juga telah disampaikan oleh Callow dan Callow (1992). Menurut mereka, sebuah teks bukan hanya merupakan suatu gabungan kata yang terorganisir, namun lebih merupakan pola pikir yang direalisasikan melalui pengunaan bahasa. Jika kita memandang sebuah teks hanya sebagai bentuk realiasi aturan pola sintaksis dan leksikal, kita akan kehilangan hal-hal yang sangat penting dan utama. Walaupun bentuk verbal memang dapat merealisasikan sistem bahasa, tidak ada orang di luar kelas yang akan menggunakan bentuk verbal demi tujuan ini. Orang menggunakan bentuk-bentuk verbal untuk mengkomunikasikan suatu makna. Mengeksploitasi bentuk verbal dari suatu bahasa tidaklah ada gunanya. Teks utama digunakan untuk merealisasikan makna, dan teks ditulis untuk merealisasikan struktur bahasa. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk tidak melihat bentuk verbal teks secara terpisah; lebih baik bentuk verbal teks dilihat sebagai tanda-tanda dari makna yang ingin disampaikan oleh pembicara atau penulis.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 25
1.5 Pola-Pola Retorika Teks Terdapat beberapa model analisis teks lain yang sering dipergunakan, seperti analisis kohesif dan koherensi (Halliday dan Hasan 1976), analisis hubungan antar klausa (Hoey 1983), analisis ungkapan khusus (Moon 1994), analisis inferensi (Shiro 1994), analisis tiga tahap triad (Bolivar 1994), dan lain-lain. Disamping analisis teks pada tingkat makro, analisis teks pada tingkat mikro juga sering dilakukan, yaitu untuk menemukan ciri linguistik seperti kata, frasa maupun kalimat dari suatu jenis teks. Bathia (1993), misalnya, mengelompokkan analisis teks ke dalam tiga tingkat: 1) analisis lexico-grammatical, 2) analisis pola teks, dan 3) interpretasi teks secara struktural. Pada tingkat pertama, menurut Bathia (1993), analisis teks bertujuan untuk melihat ciri-ciri linguistik dari suatu jenis teks secara kuantitatif, seperti jenis dan frekuensi tense, frasa, klausa yang dominan ditemukan pada sekelompok teks sejenis, dan lain sebagainya. Pada analisis tingkat kedua, tujuan analisis difokuskan pada fungsi-fungsi bentuk linguistik yang dominan pada sekelompok teks sejenis, seperti fungsi penggunaan kalimat pasif, frasa nominal atau verbal, klausa nominal, verbal dan lain-lain sebagainya. Pada tingkat ketiga, fokus analisis terletak pada struktur makro dari teks, seperti analisis tujuan komunikatif teks, analisis perkembangan topik teks, analisis pola koherensi teks, dan lain sebagainya. Coulthard (1994:7) mengatakan, “Knowledge is not linear but text is. Thus, every writer is faced with the problem of how to organize and present his/her non-linear message in a comprehensible form”. Menurut Coultard, ilmu pengetahuan tidak bersifat linier namun tidak demikian halnya dengan teks atau wacana tulis. Oleh
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 26
karena itu, setiap penulis dihadapkan pada tugas untuk mengorganisir dan menyajikan pengetahuan yang tidak linier tersebut ke dalam teks yang linear. Dengan kata lain, menurut Coulthard setiap penulis atau pengarang berupaya untuk menyusun ide-ide atau pesan-pesan dalam karangan mereka sedemikian rupa hingga mudah untuk dipahami atau dibaca oleh pembaca (comprehensible). Upaya penyusunan ide inilah yang akhirnya mengantarkan semua penulis atau pengarang pada pilihan akan suatu model pola retorika tertentu sesuai dengan tujuan komunikatif dari tulisan mereka. Dengan kata lain, bentuk atau pola retorika dari sebuah karangan sangat ditentukan oleh hal-hal seperti tujuan komunikatif (communicative purpose) dari karangan tersebut, tingkat pengetahuan pembaca untuk siapa teks tersebut ditulis (potential readers‟ schemata), gaya menulis pengarang (writer‟s style), dan aturan-aturan yang berlaku umum pada media dimana karangan tersebut diterbitkan atau ditulis. Banyak model analisis teks yang telah disarankan atau dipergunakan oleh para pakar bahasa. Namun, menurut Coulthard dan Brasil (1979), setiap model analisis teks atau karangan harus mampu memberi dua bentuk informasi penting, yaitu: 1) apa posisi dan fungsi dari setiap unit analisis dari teks yang dianalisis, dan 2) apa bentuk struktur internal unit analisis tersebut dalam teks secara keseluruhan. Dengan kata lain, metode analisis teks harus mampu membagi sebuah teks ke dalam unit-unit analisis terkecil, menentukan posisi dan fungsi dari unit-unit tersebut dalam kerangka teks secara utuh, serta menjelaskan unsur-unsur yang membentuk setiap unit analisis tersebut. 1.6. Pola Teks Narasi
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 27
Struktur generik teks narasi, seperti yang dikembangkan oleh Labov (1972, dalam Trianto 2001), adalah dalam Bagan berikut:
Bagian-Bagian Abstrak
Kualitas/Nilai E v
Orientasi
a l
Kompleksitas Peristiwa Resolusi Kode
u a s i
Bagan 1: Struktur Generik Teks Narasi (Labov 1972 dalam Trianto, 2001) Trianto (2001) lebih lanjutkan mengatakan bahwa, abstrak, seperti terlihat dalam bagan di atas, adalah pernyataan singkat mengenai cerita, misalnya, Saya akan bercerita tentang suatu kejadian yang memalukan kemarin”. Orientasi adalah penetapan waktu, tempat, dan karakter cerita untuk diketahui pembaca atau pendengar, misalnya,
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 28
Kamu tahu guru baru di sekolah kita, dua hari yang lalu dia ... Kompleksitas peristiwa adalah peristiwa utama yang membuat peristiwa yang bersangkutan terjadi, misalnya, Komputer kita terbakar. Resolusi merupakan bagaimana peristiwa terselesaikan, misalnya, Dia mendapat kompensasi dua juta rupiah. Sedangkan kode adalah semacam jembatan antara dunia perceritaan dan momen perceritaan, misalnya … dan sejak itu, saya selalu muak bila melihat duren. Selanjutnya menurut Trainto, tidak semua cerita memiliki rumusan semacam ini. Umumnya, yang tidak ada adalah abstrak dan kode, sedangkan unsur lainnya haruslah ada agar cerita dapat dikatakan sebagai sebuah cerita yang terpahami. Selain kelima unsur di atas, ada juga unsur evaluasi, yaitu suatu unsur yang dimaksudkan agar cerita lebih menarik untuk dibaca atau didengar, misalnya ungkapan langsung seperti, Kamu pasti senang mendengar yang satu ini, Saya kaget sekali, Dia melompat bagai kilat ... wuzz!
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 29
Dll. 1.7 Pola Umum-Khusus Menurut Hoey (1983), terdapat dua bentuk hubungan antar kalimat yang termasuk dalam pola retorika umum-khusus: 1) generalisasi-contoh (generalization-example); dan 2) preview-rincian (preview-detail). Diantara kedua bentuk hubungan kalimat dalam pola retorika umum-khusus ini, bentuk hubungan antar kalimat generalisasi-contoh lebih umum dipergunakan daripada bentuk hubungan preview-rincian. Bentuk hubungan generalisasi-contoh dapat digambarkan seperti pada bagan di bawah ini. Seperti terlihat pada Bagan 2, sebuah generalisasi diikuti oleh satu atau lebih contoh untuk menjelaskan pernyataan dalam bagian generalisasi.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 30
Generalisasi Contoh 1
Contoh 2
Contoh 3
.......
Bagan 2: Pola hubungan generalisasi-contoh (Dari Hoey 1983, hal:136) Hoey (1983) memperlihatkan teks berbahasa Inggris berikut ini sebagai contoh teks yang berisikan kalimat-kalimat yang punya hubungan generalisasi-contoh (Terjemahan bebasnya diberikan dalam cetak tebal): (S1) Many simple observations in physics may be made by the naked eye, by touch or by ear. (S2) A blacksmith judges the temperature of hot iron by the color of glowing metal, knowing that there is a relation between brightness of glow and degree of hotness; (S3) a railway mechanic tests for flaws in the metal of carriage wheels by the sound of his hammer blows; (S4) the piano tuner can tell the pitch a musical note by ear; (S5) the photographer often judges lighting conditions by eye; and the
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 31
spinning wheel worker judges the thickness of threads with great skill by touch (Hal:124). Banyak observasi sederhana dalam bidang fisika dilakukan dengan mata telanjang, sentuhan atau pendengaran. Pandai besi mengukur panas besi dengan melihat warna besi yang dipanaskan, karena ada hubungan antara cerahnya warna besi apabila dipanaskan dengan derajat panas besi tersebut; seorang montir rel kereta api mengetahui kerusakan pada roda gerbong dengan cara memukulnya dengan palu; penyetel piano dapat mengetahui nada hanya dengan mendengarkannya dengan telinga; ahli foto sering menguji cahaya dengan mata telanjang; dan pemintal benang menguji ketebalan benang dengan sentuhan. Sebagaimana terlihat pada contoh teks di atas, kalimat pertama (S1) merupakan pernyataan generalisasi (generalisation) dari topik yang sedang dibicarakan (observation in physics), sedangkan kalimat-kalimat berikutnya (S2, S3, S4, dan S5) merupakan pernyataanpernyataan yang diklasifikasikan sebagai contoh-contoh (examples) atau ilustrasi (illustration) untuk mendukung pernyataan utama. Pola hubungan kalimat kedua dalam retorika umum-khusus, menurut Hoey (1983) adalah bentuk hubungan antar kalimat preview-rincian (preview-detail). Pola ini dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 32
Preview Rincian 1
Rincian 2
Rincian 3
........
Bagan 3: Pola hubungan kalimat preview-rincian (Dari Hoey, 1983 hal:143) Seperti terlihat pada Bagan di atas, sebuah preview diikuti oleh satu atau lebih rincian yang bertujuan untuk memperjelas pernyataan preview. Contoh teks yang memiliki hubungan kalimat preview-rincian diberikan oleh Hoey (1983:139) dalam bahasa Inggris sebagai berikut (terjemahan bebasnya diberikan dalam cetak tebal): (1) The physical reactions of gases and metals are much less apparent than the chemical reactions, but often are more important. (2) Gases work in metal in two ways - by adsorption and by absorption. (3) These terms are often confused because of their similarity in spelling and punctuation. (4) Therefore, clarification of their meaning is important if one is to fully comprehend how gases affect metals. Reaksi fisika dari gas dan logam jauh lebih tidak nyata dibandingkan dengan reaksi kimianya,
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 33
namun reaksi fisika tersebut seringkali lebih penting artinya. Gas beraksi dalam logam dengan dua cara: ‘adsorption’ dan ‘absorption’. Istilah ini sering membingungkan karena kemiripan ejaan dan tanda-bacanya. Oleh sebab itu penjelasan mengenai makna dari kedua istilah ini diperlukan untuk memahami bagaimana gas berpengaruh terhadap logam. (5) Adsorption occurs at the surface of the metal in contact with the gas, and may be looked upon as a physical condensation of the gas in a layer one or more molecules thick. (6) It can be readily seen that the amount of gas retained in such a manner is directly proportional to the total surface area of the metal exposed to the gas. (7) This quantity of gas is also a function of both pressure and temperature. (8) As the pressure is decreased, the amount of adsorbed gas correspondingly decreases, but as the temperature is raised, the amount of gas adsorbed by the metal surface increases. „Adsorption’ terjadi pada permukaan logam bila terjadi kontak dengan gas, dan tampak seperti kondensasi gas dalam bentuk lempengan setebal satu molekul atau lebih. Dapat juga tampak bahwa jumlah gas yang tersisa dalam proses reaksi tersebut adalah proposional dengan luas keseluruhan dari permukaan logam yang terkena gas. Kuantitas gas ini juga sebagai pengaruh dari tekanan dan temperatur. Bila tekanan dikurangi, maka jumlah gas yang tertinggal di permukaan logam akan berkurang, namun apabila
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 34
temperatur dinaikkan, jumlah gas yang tertinggal di permukaan logam akan meningkat. (9) Absorption is the term applied to the phenomenon by which gas is taken up by the inner structure of the Metal exposed to the atmosphere. (10) Apparently, molecules of the gas penetrate into the molecular lattice of the metal and are retained there by molecular forces. (11) The terms „occlusion‟ and „occluded gases‟ mean absorbed gases as differentiated from gases held on the surface by adsorption. (12) The amount of given gas retained by a given metal by absorption is function of the mass of the metal involved, rather than the surface area exposed. (13) Hence, solid metallic masses can absorb gas in large quantities, whereas finely divided metal powders, porous metals or metal shapes having a large ratio or surface area to mass will absorb a large amount of gas. (14) Absorption of gases also changes with temperature and pressure; higher temperature and lower pressure tend to reduce the amount of gas absorbed by a given mass of metal. „Absorption’ adalah istilah yang dipakai terhadap fenomena dimana gas yang diserap oleh bagian dalam logam terekspos terhadap atmosfir. Ternyata, molekul gas menembus kedalam kristal molekul logam dan tertinggal disana oleh kekuatan molekuler. Istilah ‘occlusion’ dan ‘occluded gases’ pada gas digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara gas yang terserap dengan gas yang tertinggal pada permukaan logam melalui proses ‘adsorption’. Banyaknya gas
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 35
yang tertinggal pada permukaan logam melalui proses ‘adsorption’ adalah fungsi masa dari logam tersebut, bukan permukaan yang terekspos. Jadi, masa logam padat dapat menyerap gas dalam jumlah besar, sedangkan serbuk logam, kawat atau lempengan logam yang punya rasio permukaan lebar terhadap masa akan menyerap gas dalam jumlah besar. ‘Absorption’ gas juga berubah mengikuti perubahan temperatur dan tekanan; temperatur yang lebih tinggi dengan tekanan yang lebih rendah cenderung mengurangi jumlah gas yang terserap oleh masa logam tertentu. Menurut Hoey, ada dua alasan kuat mengapa teks di atas diklasifikasikan sebagai memiliki hubungan kalimat preview-rincian. Pertama, seperti yang terlihat pada kalimat (S4), penulis mengisyaratkan bahwa dia akan menjelaskan maksud (definisi) dari dua istilah penting yang baru diperkenalkan pada kalimat (S2): adsorption dan absorption, yang diikuti oleh alasan terhadap penjelasan tersebut dalam kalimat (S3). Menurut Hoey, definisi istilah penting memang merupakan ciri khas pola teks yang punya hubungan kalimat preview-rincian ini. Kedua, walaupun kalimat keempat (S4) pada paragraf pertama tidak ada, teks di atas masih dapat diklasifikasikan kedalam bentuk pola preview-rincian. Teks di atas dapat diubah kedalam bentuk dialog antara pembaca khayalan (imagined readers) dan penulis (writer) dimana pembaca seakan-akan meminta uraian atau penjelasan mengenai pernyataan yang diajukan oleh penulis (“The physical reactions of gases and metals are much less apparent than the chemical reactions, but often are more important”). Hal inilah yang diuraikan oleh
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 36
penulis pada paragraf dua dan tiga. Dengan kata lain, pembaca akan dengan mudah memahami bahwa paragraf dua dan tiga tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan pernyataan yang disajikan penulis pada kalimat (S1) dalam paragraf pertama. Perbedaan utama antara kedua pola teks di atas (generalisasi-contoh dan preview-rincian), seperti terlihat pada kedua contoh teks di atas, terletak pada bentuk bagian pendukungnya, bukan pada pernyataan utama (generalisasi atau preview). Walaupun memiliki tujuan yang sama, yaitu menjelaskan maksud atau mendukung pernyataan utama (generalisasi atau preview), bagian pendukung pada kedua pola tersebut berbeda. Bagian pendukung pada pola generalisasi-contoh adalah contoh-contoh atau ilustrasi dari pernyataan generalisasi, sedangkan bagian pendukung pada pola preview-rincian berupa keterangan lebih lanjut yang dapat berupa definisi atau penjelasan dari istilah-istilah penting atau penjelasan lebih rinci dari pernyataan yang diajukan (preview).
1.8 Pola Masalah-Solusi Pola kedua yang sering dijumpai pada teks adalah pola masalah-solusi (problem-solution). Menurut Coulthard (1994), pola teks ini biasanya terdiri dari empat bagian: situasi, masalah, solusi, dan evaluasi. Coulthard memberi sebuah ilustrasi untuk pola ini, yang diambil dari Winter (1976) dalam teks berbahasa Inggris berikut ini (Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia diberikan dalam cetak tebal):
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 37
Bagian Teks
Fungsi
I was on a sentry duty. Saya sedang dalam tugas utama.
I saw an enemy approaching. Saya melihat musuh mendekat. I opened fire.
Sitiasi
Masalah
Solusi
Saya menembakkan senjata. The enemy retreated.
Evaluasi
Musuh tersebut mundur.
Bagan 4 : Ilustrasi Pola Masalah-Solusi (Dari Coulthard, 1994, Hal: 8) Seperti terlihat pada contoh di atas, pertama-tama penulis menggambarkan situasi (situation) dimana terdapat masalah (problem) yang akan disampaikan. Kemudian, penulis menjelaskan solusi (solution) yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut, yang kemudian diikuti oleh evaluasi terhadap keampuhan atau kefektifan solusi yang dipilih. Menurut Coulthard, pola retorika masalah-solusi seperti pada contoh di atas sering dipergunakan pada karya ilmiah, seperti artikel hasil penelitian. Bila salah satu bagian teks di atas tidak ada, pembaca akan bertanya-tanya
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 38
atau teks tersebut dianggap belum lengkap (Kenworthy, 1991). Menurut Kenworthy, bila bagian evaluasi (evaluation) tidak ada, pembaca akan bertanya apa hasil dari solusi yang dipilih untuk mengatasi masalah yang ada dan lain sebagainya.
1.9. Alasan Penggunaan Berbagai Model Analisis Teks Penggunaan berbagai model analisis teks, menurut Meyer (1992), antara lain disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ketertarikan terhadap analisis teks muncul dari berbagai bidang ilmu seperti retorika, linguistik, pendidikan, psikologi, dan kecerdasan artifisial. Bidang-bidang ilmu ini memiliki tujuan yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap teks, dan karenanya model atau metode analisis yang dipergunakanpun berbeda. Pakar ilmu linguistik, misalnya, tertarik pada ciri-ciri linguistik dari sebuah teks, sementara pakar retorika mungkin saja tertarik pada nilainilai atau pengaruh persuasif dari teks. Dengan kata lain, motivasi dan tujuan yang berbeda dalam analisis teks berakibat pada bervariasinya model analisis teks yang dipergunakan, yang sekaligus memperkaya pengetahuan tentang ciri-ciri atau pola dari jenis teks tertentu. Alasan ke dua dari bervariasinya model analisis teks adalah karena berbedanya tujuan analisis teks yang dilakukan. Jika tujuan dari analisis teks adalah untuk memahami dan mengingat ide-ide utama dari sebuah teks, maka model analisis akan berbeda dengan apabila tujuan dari analisis teks adalah untuk memahami inferensi atau makna-makna yang tersirat dalam sebuah teks. Alasan terakhir adalah karena tingkat kompleksitas bentuk dari sebuah teks, baik dari segi penulisan maupun dari segi
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 39
pemahamannya. Struktur teks akan tampak berbeda untuk orang-orang atau kelompok orang yang berbeda latar belakang pengetahuannya.
1.10. Ringkasan Dalam bab ini telah disajikan beberapa hal seperti sejarah perkembangan ilmu linguistik teks, pendekatan baru dalam analisis teks dan berbagai model analisis teks. Juga disajikan berbagai alasan dari bervariasinya model analisis teks yang pernah dipergunakan. Yang pasti adalah bahwa analisis teks, atau yang lazim disebut dengan linguistik teks (text linguistics), merupakan suatu bidang ilmu yang masih relatif baru, maka berbagai model baru sangat mungkin akan bermunculan. Hal ini juga disebabkan oleh sangat bervariasinya tujuan atau motivasi yang melatar-belakangi upaya analisis teks tersebut.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 40
BAB 2 HUBUNGAN ANTARA TEKS DAN KONTEKS
S
ebuah teks atau wacana tertulis (written discourse)
adalah susunan kata melalui mana penulis menyatakan pesan-pesan atau ide-idenya dan darimana pembaca memahami pesan-pesan atau ide-ide tersebut (Coulthard, 1994). Menurut Coulthard, masalah sering timbul dalam proses membaca atau memahami isi teks karena arti atau makna dari kata-kata dalam teks tersebut tidak selalu tetap, bahkan sering makna dari sebuah kata sebagian diambil dari konteks dimana kata tersebut dipergunakan. Ini merupakan ciri khas dari teks yang sangat menarik untuk diamati, dimana konteks dapat mengubah makna sebuah kata dari makna leksikal yang tercantum dalam kamus. Lebih lanjut, Coulthard menyatakan bahwa kata dapat mempunyai arti kontekstual yang mungkin tidak tercantum dalam kamus. Brown dan Yule (1983) mendefinisikan teks (written text) secara lebih sederhana. Menurut mereka, teks adalah catatan bahasa yang dipergunakan dalam tindakan komunikatif. Brown dan Yule lebih lanjut menjelaskan bahwa teks dapat disajikan melalui berbagai media, dalam berbagai bentuk tulisan atau cetakan, yang ditulis atau
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 41
dicetak pada berbagai ukuran kertas, untuk berbagai tujuan, dan dalam satu atau lebih kolom. Dengan kata lain, menurut Brown dan Yule, teks merupakan sepotong bahasa yang dipergunakan untuk suatu tujuan komunikatif dalam bentuk tertulis. Berbeda dengan definisi teks, definisi konteks cenderung bervariasi antara satu pakar bahasa dengan pakar bahasa lainnya. Kathpalia (1992) misalnya mendefinisikan konteks melalui teks yang muncul sebelum dan sesudah sepenggal teks tertentu, apa yang terjadi di luar teks, dan semua lingkungan dimana teks tersebut berada. Dengan kata lain, menurut Kathpalia, konteks merupakan bahan linguistik dan non-linguistik yang berhubungan dengan sebuah teks yang ikut mempengaruhi proses penulisan maupun pemahaman teks tersebut. Sebagian dari konteks mempengaruhi bentuk teks pada tingkat makro (misalnya organisasi teks) dan sebagian lainnya pada tingkat mikro (misalnya sifat leksikal dan pilihan kata). Definisi lain dari konteks dikemukakan oleh Meinholf dan Richardson (1994). Mereka menyatakan bahwa apabila dipandang dari sudut proses pemahamannya, bentuk teks sangat dipengaruhi oleh tempat dimana teks tersebut berada. Misalnya, satu kalimat yang dipergunakan dalam sebuah novel akan memiliki arti yang berbeda apabila kalimat tersebut dipergunakan dalam sebuah surat kabar. Bagi Meinhof dan Richardson, konteks dapat berupa apa saja, mulai dari struktur sosial secara global sampai pada situasi sosial yang langsung ikut mempengaruhi makna dari sebuah teks. Definisi konteks menurut proses penulisan dan proses pemahamannya dikemukakan oleh Johns (1997). Menurut Johns, konteks bukan hanya mengacu pada lingkungan linguistik dari sebuah teks seperti koran, novel,
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 42
makalah, laporan atau buku, melainkan juga mengacu pada lingkungan non-linguistik terkait yang mempengaruhi proses penulisan dan proses pemahaman dari sebuah teks seperti penulis, waktu, tempat, tujuan dan keadaan pembaca potensial. Johns memberi contoh sebuah teks lisan beserta konteksnya, apabila seseorang berbicara pada orang lain, maka ucapannya dan hal-hal yang terjadi pada saat itu dapat mempengaruhi proses berbicara dan proses pendengarannya, dan karenanya semua itu disebut dengan konteks. Namun sebagaimana yang dinyatakan oleh Johns, banyak hal yang mungkin terjadi dan dengan berbagai bentuk yang sebagian mungkin tidak berhubungan dengan teks yang bersangkutan sehingga tidak berpengaruh pada proses menulis dan proses membaca, dan karenanya hal-hal tersebut tidak termasuk konteks. Jadi, konteks dari sebuah teks bukan hanya teks itu sendiri atau unsur-unsur linguistik yang berada di sekitar teks tersebut, melainkan juga segala sesuatu yang berada di luar teks yang berbentuk non-linguistik dan diperlukan dalam proses pemahaman dan penciptaan sebuah teks tertentu. Celce-Murcia dan Olshtain (2000) membuat perbedaan antara contexts dan co-texts. Menurut mereka, konteks adalah semua faktor atau elemen non-linguistik atau non-tekstual yang mempengaruhi interaksi komunikatif, sedangkan ko-teks adalah semua aspek atau elemen kebahasaan yang mempengaruhi makna sebuah teks. Dengan kata lain, menurut Celce-Murcia dan Olshtain, setiap teks memiliki dua lingkungan yang berpengaruh terhadap makna teks (influencial environment), yaitu konteks dan ko-teks.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 43
2.1 Hubungan Antara Teks dan Konteks Hubungan antara teks dan konteks sangat menentukan proses penulisan dan pemahaman sebuah teks. Kress (1985) misalnya menjelaskan hubungan antara teks dan konteks dari sudut pandang semiotik. Dia mengatakan bahwa teks muncul dari suatu situasi sosial khusus dan dibentuk berdasarkan suatu tujuan komunikatif tertentu oleh seorang penutur atau beberapa penutur ataupun penulis. Makna sebuah teks terbentuk dari situasi di luar fisik teks tersebut, sedangkan makna awalnya berasal dari pembicara ataupun penulisnya. Situasi-situasi sosial ini ikut menentukan bentuk teks yang dipadukan dengan kesepakatankesepakatan tentang format teks yang sudah ada. Menurut Kress dan Hodge (1979), interaksi antara teks dan konteks sebaiknya dilihat sebagai hubungan antara bahasa dan masyarakat. Oleh sebab itu, suatu deskripsi linguistik untuk sebuah teks akan menjadi tak berarti kecuali bila deskripsi tersebut melibatkan konteks sosial yang lebih luas atau kejadian-kejadian sosial yang relevan dengan teks tersebut, baik untuk proses pembuatan maupun proses pemahamannya.
2.2 Konteks Situasi dan Konteks Budaya Dua bentuk konteks non-linguistik yang sering dipergunakan untuk menafsirkan atau memahami sebuah teks adalah konteks situasi (context of situation) dan konteks budaya (context of culture). Kedua isitilah ini dipakai oleh pakar bahasa fungsional (functional linguist) seperti Halliday, Malinowski, Hasan, Hymes, Firth dan lain-lain.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 44
Adalah seorang antropolog Bronislaw Malinowski (1949) yang pada awalnya memulai penggunaan konteks situasi dan konteks budaya dalam proses penafsiran dan pemahaman sebuah teks. Malinowski menceritakan sebuah kejadian yang dia alami sendiri ketika dia berusaha memahami dan menafsirkan bahasa (teks) yang dipergunakan oleh para nelayan di pulau-pulau Pasifik Selatan dan di Pulau Trobiand. Untuk mengumpulkan data, Malinowski mengikuti para nelayan tersebut ke tengah laut dan bukan hanya mencatat semua ujaran yang diucapkan oleh para nelayan tersebut selama perjalanan melaut namun juga mencatat apa saja yang dilakukan oleh para nelayan tersebut. Namun Malinowski mengalami kesulitan dalam memahami dan menafsirkan data yang telah diperolehnya dari para nelayan tersebut walaupun dia menguasai bahasa yang mereka pergunakan. Malinwoski menggambarkan kerumitan bahasa yang dipergunakan oleh para nelayan tersebut dengan mengatakan bahwa bahasa yang dipergunakan para nelayan tersebut penuh dengan istilahistilah teknis, yang mengacu pada keadaan lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan yang hanya dapat dipahami oleh kelompok tertentu saja. Dengan kata lain, teks yang direkam Malinowski hanyalah bagian dari keseluruhan aktivitas komunikasi nelayan di laut. Menurut Malinowski (1935), fungsi utama bahasa bagi masyarakat primitif, seperti para nelayan, bukanlah untuk mengekpresikan pikiran atau pendapat namun sebagai bagian pragmatis dari perilaku manusia dan sebagai pelengkap dari aktivitas fisik. Oleh karena itu, menurut Malinowski, untuk memahami sebuah teks seperti bahasa nelayan bukan hanya diperlukan adanya pemahaman terhadap bahasa yang diucapkan dan kejadian-kejadian yang mengikutinya (konteks situasi),
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 45
namun juga latar belakang budaya yang dianut oleh kelompok pengguna bahasa tersebut (konteks budaya). Firth (1957) mengembangkan teori konteks situasi Malinowski tersebut agar dapat digunakan untuk menganalisis sebuah teks secara sistematis dan sebagai bagian teori linguistik. Menurut Firth, 4 ciri penting dari konteks adalah: 1) peserta situasi, yaitu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan dimana teks dipergunakan; 2) rangkaian tindakan yang dilakukan dimana teks dipergunakan; 3) ciri-ciri terkait lainnya seperti obyek-obyek atau kejadian-kejadian yang ada di sekitar kejadian; dan 4) pengaruh yang diakibatkan teks terhadap perubahan yang terjadi pada peserta dan lingkungan. Kajian hubungan teks dan konteks semakin menarik perhatian banyak pakar terutama dari pakar bahasa fungsional (functional linguists), seperti Halliday dan Hasan dan Hymes. Hymes (1967:20-25) misalnya mengajukan lebih banyak aspek untuk dimasukkan dalam konteks situasi. Menurut Hymes konteks situasi meliputi:
Safnil
bentuk dan pesan teks latar teks peserta pengaruh komunikasi kunci alat-alat tipe teks, dan norma interaksi dan norma interpretasi.
Pengantar Analisis Retorika Teks 46
Menurut Halliday dan Hasan, konsep konteks situasi yang diajukan Hymes sama saja dengan yang dikembangkan Firth, karena keduanya dapat dipakai sebagai taxonomy dalam analisis teks. Halliday dan Hasan (1985) sendiri mengajukan tiga bentuk konteks situasi yang mereka sebut dengan field, tenor dan mode. Menurut mereka field adalah apa yang terjadi sewaktu sebuah teks dihasilkan; tenor mengacu pada siapa saja yang ambil bagian dalam aktivitas komunikatif tersebut; dan mode adalah bagian bahasa atau fungsi bahasa yang dipergunakan dalam aktivitas tersebut. Halliday dan Hasan mengilustrasikan bagaimana ketiga bentuk konteks situasi (field, tenor dan mode) dipergunakan dalam sebuah aktivitas komunikatif. Misalnya, ketika seseorang akan ikut ambil bagian dalam sebuah percakapan yang sedang berlangsung dia harus memperkirakan tentang field (apa yang sedang berlangsung), tenor (hubungan antara orangorang yang terlibat dalam percakapan tersebut) dan mode (apa tujuan atau target yang akan dicapai). Hal ini perlu dilakukan agar orang tersebut dapat mengikuti dengan baik percakapan yang sedang berlangsung. Namun, menurut Halliday dan Hasan, konteks situasi dari suatu jenis teks tertentu dapat berbeda dengan jenis teks lainnya. Bahasa berbeda karena fungsinya berbeda; bahasa berbeda antara satu situasi dengan situasi lainnya.
2.3 Ringkasan Dalam bab ini disajikan definisi teks sebagai wacana tulis (written discourse) dan definisi konteks (context) dari berbagai sumber, serta hubungan antara teks dan konteks.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 47
Juga disajikan berbagai bentuk konteks dan pengaruh konteks terhadap makna sebuah teks.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 48
BAB 3 PENGHUBUNG ANTAR KLAUSA SEBAGAI PENANDA WACANA
C
oulthard
(1994:7)
dengan
kata-katanya
sendiri
mengatakan, “Knowledge is not linear but text is” (Ilmu pengetahuan tidak bersifat linier namun tidak demikian halnya dengan teks). Menurut Coulthard, setiap penulis dihadapkan pada suatu masalah bagaimana mengorganisir dan menyajikan pesan-pesan atau ide-ide mereka yang tidak linier tersebut ke dalam suatu bentuk tulisan sehingga dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Untuk itu, diperlukan suatu pola pengorganisasian teks tertentu yang sesuai dengan tujuan komunikatif teks serta sesuai dengan kebiasaan berbahasa dari para pembaca potensial sehingga pembaca dapat menggunakan pengalaman atau pengetahuan mereka terdahulu (schemata) dalam membaca teks yang bersangkutan. Hal lain yang penting adalah bagaimana menjamin agar setiap bagian teks memiliki kaitan tertentu sehingga mudah dicerna oleh pembaca.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 49
3.1 Pembaca Khayalan dan Pembaca Ril Diskusi mengenai komunikasi tertulis (written communication) sering disajikan dalam bentuk komunikasi antara penulis dan pembaca (khayalan atau ril) melalui media teks atau wacana tertulis. Menurut model kajian ini, sebuah teks menyampaikan secara jelas pendapat atau pesan penulis. Setiap masalah yang dihadapi oleh pembaca dalam memahami isi teks dianggap sebagai kesalahan atau keterbatasan kemampuan atau pengetahuan dari pembaca. Masalah ini sering dialami oleh pembaca teks yang bukan penutur asli (native speaker) dari bahasa teks tersebut. Namun, amat sulit membayangkan siapa yang akan membaca tulisan yang sedang ditulis, karena umumnya kita belum tahu dimana tulisan tersebut akan dimuat atau diterbitkan. Oleh karena itu, penulis tidak dapat menulis sambil membayangkan orang atau sekelompok orang tertentu yang akan membaca tulisannya. Akibatnya, penulis tidak dapat menebak sejauh mana calon pembaca memahami topik bahasan yang ditulis dan apa saja yang belum diketahui. Satu-satunya strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan membayangkan seseorang atau sekelompok orang yang akan membaca (imagined readers) tulisan yang sedang ditulis dan menulisnya untuk pembaca khayalan tersebut. Hanya dengan cara beginilah seorang penulis dapat menentukan apa yang perlu ditulis atau disampaikan dan apa yang yang dapat diasumsikan mengenai pembaca. Misalnya, bagian mana dari tulisan yang perlu diuraikan secara rinci dan bagian mana yang tidak perlu; istilah mana yang perlu didefinisikan dan istilah mana yang tidak perlu, dan lain sebagainya. Contoh lain misalnya seseorang menulis
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 50
tentang pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa asing. Setelah tulisan selesai dan dibaca oleh para pembaca yang sebenarnya (real readers), sebagian pembaca mungkin sangat memahami topik yang ditulis (pendekatan komunikatif) sedangkan sebagian lainnya kurang memahami. Dengan kata lain, sebagian pembaca memiliki latar belakang pengetahuan yang sama dengan pembaca dalam pikiran penulis (imagined readers), sedangkan sebagian lainnya mempunyai latar belakang pengetahuan yang sangat berbeda. Jika pembaca ril tersebut mempunyai latar belakang pengetahuan yang sama dengan yang dimiliki oleh pembaca dalam pikiran penulis, dia tidak akan mengalami kesulitan dalam membaca tulisan tersebut; namun apabila dia mempunyai latar belakang pengetahuan yang berbeda, dia akan mengalami kesulitan dalam membaca tulisan tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembaca khayalanlah yang akan dapat membantu penulis untuk menentukan batasan tingkat kesulitan dari sebuah teks yang ditulis; tanpa ada gambaran yang jelas tentang siapa saja yang akan membaca sebuah tulisan atau teks, adalah mustahil untuk menulis sebuah teks yang persis sesuai dengan pengetahuan pembaca. Jika gambaran pembaca tersebut tidak dapat diciptakan atau diketahui, tak mustahil sebuah tulisan akan dinilai terlalu sulit atau terlalu mudah oleh pembaca. Oleh karena itu, seorang penulis mutlak harus mengetahui siapa calon pembaca tulisan yang akan ditulisnya, agar dia dapat menulis sebuah teks yang sesuai dengan atau komunikatif untuk satu atau sekelompok pembaca tertentu. Namun, seringkali kita saksikan atau alami sendiri saat dimana sebuah tulisan ditulis tanpa mengetahui gambaran pembaca potensial yang akan membaca tulisan tersebut.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 51
Semenjak teori cohesion (keterpautan) dianjurkan oleh Halliday dan Hasan (1976), penulis semakin memperhatikan berbagai cara yang dapat membuat sebuah teks menyatu, yaitu melalui model given dan new information (informasi lama dan baru). Namun, yang kurang disadari adalah bahwa setiap penulis dihadapkan pada dua masalah utama dalam membuat keputusan: 1) apa yang dapat diasumsikan mengenai pengetahuan pembaca; dan 2) apakah sesuatu yang telah dipahami tersebut masih relevan dengan tulisan yang sedang ditulis. Jadi, disini yang diperlukan bukanlah hanya informasi lama dan baru secara tekstual, melainkan juga informasi lama dan baru secara ide atau isi. Karena sebuah teks atau wacana tulis ditulis untuk pembaca khusus, maka segera setelah teks tersebut selesai ditulis atau dipublikasikan penulis akan menentukan siapa pembaca tersebut. Tak satupun penulis dapat menulis teks dengan baik tanpa memiliki pembaca khayalan dalam pikiran mereka. Hampir setiap kalimat yang ditulis memberi sinyal tentang siapa pembaca yang dimaksud dengan pembaca khayalan (imagined readers) terebut. Namun, sebagian teks dapat menimbulkan kebingungan pada pembaca karena penulisnya tidak mampu mempertahankan gambaran mengenai pembaca khayalan sewaktu menulis kalimat demi kalimat dalam tulisannya tersebut. Sebagai akibatnya, didalam teks tersebut terdapat kontroversi-kontroversi pernyataan yang akan membuat pembaca dari teks tersebut mengalami kesulitan dalam menangkap maksud utama dari tulisan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya tanda-tanda
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 52
wacana (discourse signals) dan pola retorika (discourse pattern) untuk menjaga agar setiap kalimat dalam sebuah tulisan saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan agar sebuah tulisan ditulis dengan mengikuti suatu pola yang utuh.
3.2. Penanda Hubungan Antar Klausa Menurut Winter (1971 dikutip dalam Hoey, 1983:18), hubungan antar klausa (clause relation) atau kalimat adalah, ... the cognitive process whereby we interpret the meaning of a sentence or group of senctences in the light of its adjoining sentence or group of sentences. Dengan kata lain, hubungan antar klausa adalah suatu proses pikiran dalam rangka pemahaman atau penanfsiran antar klausa atau sekelompok klausa atau kalimat yang saling berkaitan.
3.3 Kategori Hubungan Antar Klausa Hoey (1983) membagi bentuk hubungan antar klausa ke dalam dua bagian: 1) hubungan berdasarkan susunan yang logis (logical sequence relation); dan 2) hubungan berdasarkan kesesuaian (matching relation).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 53
Hubungan susunan yang logis adalah hubungan antara kejadian atau ide yang berurutan waktu (time sequence) apakah itu aktual atau potensial seperti urutan waktu kejadian dari suatu persitiwa, hubungan kondisikonsekuensi, hubungan instrumen-capaian, dan hubungan sebab-akibat. Perhatikan beberapa contoh berikut ini: Sesampainya di rumah pada malam itu, Pak Karto membuka pintu depan. Kemudian, dia menghidupkan lampu dan melepas jas hujan yang dipakainya. Setelah itu, dia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air minum. Setelah itu barulah dia masuk ke dalam kamar tidurnya dan menemukan istrinya sedang sakit keras. Kalau dalam beberapa hari ini tidak hujan (kondisi), maka niscaya tanaman padi rakyat akan puso (konsekuensi). Petani di desa mengolah tanah pertanian mereka (capaian) dengan menggunakan bantuan tenaga hewan ternak seperti kuda, kerbau atau sapi (alat). Setiap hari Sabtu, Ani datang pagi-pagi sekali ke sekolah (kondisi), karena dia bertugas membersihkan ruangan kelas pada hari itu (penyebab). Hubungan kesesuaian (matching relation), menurut Hoey (1983), merupakan susunan dari dua atau lebih klausa atau kalimat berdasarkan tingkat kemiripan atau keidentikannya, seperti hubungan pertentangan (contrast) dan hubungan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 54
persamaan atau kemiripan (compatibility). Perhatikan contoh berikut ini: Mahasiswa biasanya jarang ke perpustakaan di awalawal semester; tapi pada waktu-waktu ujian atau di akhir semester mahasiswa sering berduyun-duyun ke perpustakaan (contrast). Di desa para petani pergi pagi pulang petang, sibuk setiap hari bekerja di sawah atau di ladang. Sementara itu, di kota para buruh, pegawai negeri atau pedagang juga sibuk setiap hari dengan berbagai macam urusan mereka (compatibility). Dalam contoh di atas, kata tapi digunakan untuk menunjukkan bentuk hubungan pertentangan antara dua klausa dan kata hubung sementara itu dipakai untuk menunjukkan bentuk hubungan kemiripan diantara dua klausa.
3.4. Penggunaan Konjungsi Sebagai Penghubung Antar Klausa Alat penghubung antar klausa atau kalimat yang paling nyata adalah kata penghubung atau konjugasi (conjunction) dan subordinasi (subordination). Perhatikan contoh di bawah ini: Joni tidak ingin pulang ke kampung halamannya pada musim libur tahun ini karena dia ingin mencari pekerjaan agar dapat membayar uang kuliahnya untuk semester depan.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 55
Kata hubung (subordinasi) karena dalam contoh di atas menunjukkan bahwa kalimat di atas dapat dibagi ke dalam dua kalimat (klausa) yang dihubungkan dengan kata hubung karena.
3.5. Pemakaian Kata-kata Khusus Sebagai Penghubung Antar Klausa Hoey (1994) menyarankan penggunaan penanda leksikal (lexical signal) untuk menunjukkan hubungan antar klausa dalam sebuah teks. Hoey membagi penanda leksikal tersebut ke dalam tiga bentuk yaitu: a) kosa kata bentuk 1, yang terdiri dari kata hubung sub-ordinasi; b) kosa kata bentuk 2, yang terdiri dari kata penghubung kalimat (sentence connectors) seperti konjugasi; dan c) kosa kata bentuk 3, yang terdiri dari kosa kata tertentu (lexical items). Menurut Hoey lebih lanjut, ketiga bentuk penanda wacana (discourse signals) ini sering bertukar bentuk dalam sebuah teks untuk menandai hubungan logis dari sebuah klausa dengan klausa lainnya. Perhatikan contoh berikut dari Winter (1977): By appealing to scientists and technologists to support his party, Mr. Wilson won many middle class votes in the election.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 56
Mr. Wilson appealed to scientists and technologists to support his party. He thus won many middle-class votes in the election. Mr. Wilson‟s appeals to scientists and technologists to support his party were instrumental in winning many middle-class votes in the election. Dengan memohon dukungan dari para ilmuwan dan ahli teknologi untuk partainya, Tuan Wilson memenangkan dukungan dari banyak kaum menengah dalam pemilihan tersebut. Tuan Wilson memohon dukungan dari para ilmuwan dan ahli teknologi untuk partainya. Karenanya dia memenangkan dukungan dari banyak kaum menengah dalam pemilihan tersebut. Permohonan dukungan Tuan Wilson dari para ilmuwan dan ahli teknologi untuk partainya merupakan alat untuk memenangkan dukungan dari banyak kaum menengah dalam pemilihan tersebut. Seperti dalam contoh di atas, tiga kalimat majemuk yang berbeda digunakan untuk menyampaikan maksud yang sama.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 57
3.6. Pengulangan Kata Sebagai Penghubung Antar Klausa Bentuk lain dari penghubung antar klausa adalah pengulangan kata (repetition). Perhatikan contoh dari Hoey (1983:24) berikut ini: In spite of the hopes and promises of her new allies, Germany remains divided; in spite of strenuous efforts at international virtue, she feels herself morally reviled. Meskipun adanya janji dan harapan dari sekutusekutu baru-nya, Jerman tetap berbeda pendapat; meskipun telah dilakukannya upaya mati-matian di tingkat internasional, dia merasa diri-nya terhina secara moral. Pembaca akan mengalami kesulitan untuk mencari penanda hubungan antar klausa seperti kata hubung (konjugasi) atau pemakaian kata-kata tertentu dalam teks di atas. Satusatunya penanda yang ada hanyalah pengulangan kata (repetition) dimana penulis mengulangi kata Jerman beberapa kali dengan menggunakan pronomina (pronoun) nya. Dalam teks di atas, pengulangan juga terjadi pada penggunaan pola kalimat dimana pola “In spite of (x), Germany/she (y) digunakan dua kali.
3.7. Penggunaan Parafrase Sebagai Penghubung Antar Klausa
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 58
Terdapat tempat-tempat dimana penulis membuat penghubung yang jelas antar klausa atau kalimat terutama dalam tulisan, namun demikian juga terdapat contohcontoh dimana hubungan itu tidak menjadi nyata. Perhatikan contoh berikut dari Hoey (1983): Peter went red. He knew that he had been silly. Muka Peter memerah (karena malu). Dia menyadari bahwa dia telah melakukan suatu kebodohan. Menurut Hoey, pada contoh di atas tidak terdapat kata hubung yang menghubungkan antara kedua kalimat. Juga, tidak ada tanda leksikal atau pengulangan kata yang menghubungkan kedua kalimat tersebut. Walaupun ada pengulangan kata Peter menjadi he, pengulangan ini tidaklah bermakna. Namun demikian, pembaca memahami bahwa ada suatu bentuk hubungan tertentu antara kedua kalimat tersebut (hubungan sebab-akibat), dimana kalimat pertama sebagai akibat dan kalimat kedua sebagai penyebab. Menurut Hoey lebih lanjut, untuk melihat hubungan antara kedua kalimat dalam contoh di atas dapat dilakukan melalui perubahan kalimat tersebut menjadi sebuah parafrase: Peter went red because he knew that he had been silly, atau Peter knew that he had been silly; therefore he went red,
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 59
atau Because Peter knew he had been silly, he went red. Jadi, pembaca harus mencari hubungan antara kedua kalimat dalam contoh di atas, sehingga kedua kalimat tersebut menjadi satu kesatuan walaupun secara eksplisit tidak terdapat kata hubung.
3.8. Penggunaan Kalimat Tanya Sebagai Penghubung Antar Klausa Salah satu ciri penggunaan bahasa adalah bahwa bahasa lisan mendominasi bahasa tulisan. Dengan kata lain, dialog atau polilog jauh lebih unggul dibandingkan dengan monolog. Sehingga bentuk bahasa monologpun seperti dalam karya tulis seringkali dianggap sebagai bentuk dialog antara penulis dengan pembaca. Penulis perlu menghadirkan pembaca potensial (potensial readers) dihadapannya walaupun tidak secara nyata (imagined readers). Untuk menghemat tempat dan waktu, bentuk dialog biasanya tidak dipergunakan dalam karya tulis, terutama karya tulis ilmiah atau akademik. Salah satu akibatnya adalah berkurangnya penggunaan tanda-tanda penghubung antar kalimat atau klausa dalam karya tulis tersebut, sehingga hal ini dapat menyulitkan proses pemahaman dari pembaca. Agar dapat memahami teks secara utuh dan komprehensif, pembaca harus menentukan bentuk hubungan antar kalimat atau klausa dalam karya tulis yang bersangkutan. Apabila tanda hubung eksplisit seperti konjugasi, pengulangan, kata-kata khusus, dan lain-lain, tidak ada; pembaca dapat
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 60
menggunakan kalimat tanya yang relevan dengan teks yang bersangkutan. Dengan menambahkan kalimat-kalimat tanya pada teks yang tersebut, pembaca berupaya mengubah karya tulis tersebut dari bentuk monolog menjadi bentuk dialog. Keberhasilan pembaca mengubah karya tulis dari bentuk monolog menjadi bentuk dialog akan menentukan tingkat keberhasilan proses membaca yang dilakukan. Untuk lebih jelasnya marilah kita kembali contoh di atas (Peter went red. He knew he had been silly.). Dengan mengubah kalimat tersebut menjadi sebuah dialog, akan diperoleh: Tanya: Jawab: Tanya: Jawab:
What‟s wrong with Peter? Peter went red. Why? Because, he knew he had been silly
Dengan mengubah bentuk monolog menjadi bentuk dialog, hubungan antar klausa atau antara kalimat dalam bahasa tulis akan menjadi nyata, sehingga proses pemahaman atau penafsirannyapun akan menjadi mudah.
3.9. Penetapan Batas Unit Analisis Untuk mengetahui bentuk hubungan antar kalimat atau unit analisis terkecil dalam teks (discourse signals), menurut Hoey (1994), dapat digunakan sinyal-sinyal leksikal atau bentuk kata tertentu. Hoey membagi sinyal-sinyal leksikal tersebut ke dalam 3 bentuk yang disebut sebagai Vocabulary 1, Vocabulary 2 dan Vocabulary 3. Yang termasuk kedalam Vocabulary 1 adalah kata-kata atau frasa
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 61
yang menandai hubungan antara induk dan anak kalimat (subordination), seperti „relative pronouns‟. Yang termasuk ke dalam Vocabulary 2 adalah kata-kata penghubung antar kalimat (konjugasi); sementara yang dimaksud dengan Vocabulary 3 adalah kata-kata khusus (lexical items) yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara dua kalimat atau lebih. Hoey memberi contoh kata Vocabulary 3 dalam teks di bawah ini: I was on a centry duty. I saw the enemy approching. To prevent them from coming closer, I opened fire. This way I beat off the enemy attack Saya dalam tugas utama. Saya melihat musuh mendekat. Untuk mencegah mereka semakin mendekat, saya menembakkan senjata. Dengan begini, saya memukul musuh mundur. Pada contoh di atas, ada beberapa kata sinyal yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk melihat hubungan antara kalimat-kalimat yang berdekatan. Misalnya, frase “to prevent them from coming closer” menunjukkan hubungan antara dua kalimat yang berdekatan, yaitu kalimat sebelum (I saw the enemy approaching) dan sesudahnya (I opened fire). Contoh berikutnya adalah frasa “this way” yang juga memberi tanda hubungan antara kalimat-kalimat yang berdekatan, yaitu kalimat sebelumnya (I opened fire) dan kalimat sesudahnya (I beat off the enemy attack). Disamping menandai hubungan antar kalimat, tanda-tanda leksikal juga dapat digunakan untuk menentukan tujuan komunikatif (communicative purpose) dari sebuah kalimat atau klausa. Misalnya, frase to preven them from coming closer pada contoh di atas menunjukkan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 62
tujuan komunikatif dari kalimat atau klausa I opened fire, yaitu sebagai solusi terhadap masalah yang dikemukakan. Selanjutnya, frase this way menunjukkan tujuan komunikatif dari kalimat I beat off the enemy attack, yaitu sebagai evaluasi terhadap solusi yang dilakukan. Disamping ketiga jenis Vocabulary (1, 2, dan 3), seperti yang disarankan oleh Hoey dan proses dialog di atas, sinyal-sinyal wacana (discourse signals) atau tandatanda wacana (discourse devises) lain, seperti pronomina (pronouns), referensi kedepan dan kebelakang (cataphoric dan anaphoric references), hiponim dan lain-lain, juga sering dipergunakan. Sinyal lain adalah bentuk kalimat (mood), seperti kalimat pernyataan (declarative) dan kalimat menidakkan (negation), kalimat perintah (imperative) atau kalimat bertanya (interrogative).
3.10. Ringkasan Bab ini menyajikan berbagai bentuk penanda hubungan antar klausa (clause relation signals) yang mungkin dijumpai dalam sebuah teks (written discourse). Dari berbagai bentuk penanda hubungan tersebut, beberapa sering dipergunakan, sedangkan beberapa lainnya jarang. Juga terdapat penanda hubungan antar klausa dominan yang dipergunakan dalam jenis teks tertentu, sehingga penanda hubungan itu menjadi ciri khas retorika (rhetorical feature) dari teks tersebut.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 63
BAB 4 KOHESI DALAM SEBUAH TEKS
P
enggunaan berbagai kata, frasa atau kalimat dalam
sebuah teks dengan maksud untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya akan membuat sebuah teks kohesif (cohesive) atau akan membentuk sebuah kesatuan yang mengaitkan antara satu bagian teks dengan bagian lain (Celce-murcia dan Olshtain, 2000). Kondisi sebuah teks yang terkait antara satu bagian dengan bagian-bagian lainnya inilah yang disebut dengan kohesi (cohesion). Sebuah analogi dari kohesi dapat dikemukakan di sini bahwa ibarat sebuah kota di mana jalan-jalan di dalam kota tsersebut (baik jalan besar maupun jalan kecil, jalan panjang maupun jalan pendek) menghubungkan antara satu lokasi dengan lokasi-lokasi lainnya di dalam kota tersebut sehaingga kota tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila ada sebuah atau lebih lokasi di dalam kota tersebut yang terisolir atau tidak terhubung dengan lokasi-lokasi lain maka lokasi tersebut tidaklah dapat di katakan merupakan bagian dari kota tersebut atau kota tersebut tidak merupakan kota yang menyatu atau kohesif.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 64
Begitu juga halnya dengan sebuah teks; sebuah teks baru dapat dikatakan kohesif apabila setiap bagian dari teks (bagian kecil atau bagian besar, bagian pendek maupun bagian panjang) terkait antara satu dengan yang lainnya, kalau tidak maka teks tersebut tidaklah dapat dikatakan kohesif atau tidak mempunyai kohesi yang baik. Oleh sebab itu kualitas teks tersebut dari sudut pandang kualitas wacana (discourse quality) tidaklah baik dan sekaligus akan susah dipahami atau tidak komunikatif (communicative).
4.1. Jenis Pengikat Kohesi Menurut Celce-Murcia dan Olshtain (2000) ada dua jenis „pengikat‟ kohesi yang sering dipakai penulis, yaitu pengikat grammatikal (grammatical ties) dan pengikat leksikal (lexical ties). Pengikat gramatikal terdiri dari: referen (refference), elip (ellipses), kata ganti (substitution) dan konjugasi (conjunction) sementara pengikat leksikal terdiri dari: pengulangan (repetition), sinonim (synonym) antonim (antonym), dan hiponim (hyponym). Apabila dsisajikan dalam tabel maka jenis kata pengikat tersebut akan berbentuk sebagai berikut:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 65
Pengikat Kohesi
(Cohesive Ties) Gramatikal
Leksikal
• Referen • Substitusi • Konjugasi
• Repetisi • AntonimS • inonim • Hiponim • Perbandingan • Kolokasi
Bagan 3: Bentuk-bentuk Pengikat Kohesi (Celce-Murcia dan Olshtain, 2000) Brown dan Yule (1983) membagi pula pengikat kohesi (cohesive ties) ke dalam dua kelompok yaitu: 1) eksoforik (exophoric) apabila pengikat kohesi di dalam sebuah teks berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar teks, dan 2) endoforik (endophoric) apabila pengikat tersebut berhubungan dengan kata atau frasa yang ada di dalam teks. Brown dan Yule lebih lanjut membagi kata pengikat kohesi endoforik ke dalam dua kelompok yaitu: a) anaforiki (anaphoric) yaitu pengikat kohesi yang berhubungan dengan bagian teks sebelumnya, dan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 66
b) kataforik (cataphoric) apa bila pengikat kohesi tersebut berhubungan dengan bagian teks sesudahnya. Apabila disajikan dalam sebuah diagram maka jenis-jenis kata pengikat kohesi tersebut akan berbentuk sebagai berikut:
Pengikat Kohesi Eksoforik
Endoforik
Anaforik
Kataforik
Bagan4: Jenis Pengikat Kohesif (Brown dan Yule, 1983) Seperti terlihat dalam diagram di atas, pengikat kohesi dapat berhubungan dengan benda atau informasi yang berada di luar teks (mengacu kepada pengetahuan umum pembaca) atau yang disebut dengan eksoforik. Bentuk lainnya adalah endoforik yaitu sesuatu yang terdapat di dalam teks baik yang berhubungan dengan sesuatu sebelum (anaforik) atau sesudah (kataforik) pengikat kohesi tersebut. Tugas pembaca dalam hal ini adalah mencari hubungan antara pengikat kohesi yang terdapat di dalam
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 67
sebuah teks dengan informasi yang berhubungan dengannya agar dapat memahami sebuah teks secara komprehensif (comprehensive) dan apabila seorang pembaca gagal menemukan informasi dengan apa pengikat kohesi tersebut berhubungan (baik yang berada di dalam teks maupun yang berada di luar teks) maka si pembaca tersebut akan gagal memahami teks tersebut secara komprehensif. Celce-Murcia dan Olshtain (2000) memberikan contoh potongan teks berikut ini untuk memperlihatkan contoh-contoh pengikat kohesi yang berbentuk grammatikal sebagi berikut: I am a working mother with two pre-teens. After dropping them off at school, I have to get right to work. But my children are disorganized and always late. A few times, I have had to turn around and go back home because one or the other forgot something. (Hal: 7) Menurut Celce-Murcia dan Olshtain, kata pronomina them pada kalimat ke dua dalam teks di atas merupakan refren anaforik terhadap kata two pre-teens. Konjugasi but pada awal kalimat ke dua menghubungkan antara kalimat ke dua dan ke tiga yang menunjukkan harapan yang berlawanan. Frasa always late merupakan bentuk elip dari kalimat they are always late dan frasa one or the other adalah contoh elip dari frasa one child or the other child. Pengikat dalam leksikal juga dapat ditemukan dalam teks di atas yaitu pengulangan atau repetisi dari kata working dan work pada kailmat 1 dan 2, children dan pre-teens dan juga berhubungan dengan kata mother. Kata school dan home
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 68
juga mempunyai hubungan semantik sebagaimana juga kata disorganixed dan forgot something. Menurut CelceMurcia dan Olshtain lebih lanjut, kohesi dalam teks tersebut merupakan akibat dari pemakaian kata atau frasa ikatan kohesi yang membuat setiap bagian dari teks tersebut terkait atau berhubungan sehingga membentuk suatu kesatuan.
4.2. Contoh Analisis Kohesi Dari Sebuah Teks Contoh analisis kohesi sebuah teks berikut ini diambil dari Delleman (2005) yang mengambil sebuah teks dalam bahasa Inggris tentang laporan pertandingan sepakbola di Inggris yang diambil dari alamat website http://www.football365.com/Match_Stats/Match_Reports/s tory_70521.shtml. Teks yang dianalisis disajikan secara utuh berikut ini: Michael Owen celebrated his 50th international cap with two goals to take England a step closer to the Euro 2004 finals (1). The 23-year-old Liverpool striker now has 22 England goals after his double saved England's blushes when Slovakia were threatening an upset in Middlesbrough's Riverside Stadium (2). Vladimir Janocko's free-kick had given the visitors a halftime lead but a penalty and a header by Owen saw England do enough to keep above Turkey in the Group Seven table (3).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 69
Owen could easily have scored five on the night (4). It took just 49 seconds for his first chance when Paul Scholes slid a ball out to Steven Gerrard and his first-time pass found Owen sprinting between two defenders (5). The striker looked odds-on to score and tried to lift the ball over Miroslav Konig only for the Slovakian keeper to get the merest of touches to deflect it past the post (6). David James made a smart parry after Robert Vittek had left fly with an angled drive and Matthew Upson followed up with an important block to clear (7). Although Slovakia continued to look suspect defensively Rastilav Michalik almost headed Scholes' cross into his own net - the same could be said of England as Radoslav Zabavnik picked out Igor Demo's run with a beautiful lateral pass but he sliced into the crowd (8). The warning was not heeded and after 31 minutes Janocko swung over a free-kick from the left touchline, the ball curled over every player and bounced past the embarrassed James (9). It was almost 2-0 when Michal Hanek forced James to parry and then England and Slovakia traded miss for miss for the rest of the half (10). Catatan: angka dalam kurung menunjukkan nomor kalimat Teks yang dianalisis merupakan laporan pertandingan sepak bola antara Inggris dan Slowakia dalam
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 70
kejuaraan Eropa yang dimainkan pada tanggal 11 Juni tahun 2005. Hasil analisis kohesi yang dibuat Delleman (2005) terhadap teks di atas disajikan berikut ini.
4.3. Pengikat Kohesi Referen Contoh paling dominan dari pengikat kohesi referen dalam teks di atas adalah penggunaan beberapa kata atau frasa yang berbeda untuk mengacu pada satu orang Michael Owen. Kata atau frasa tersebut disajikan dalam Bagan berikut ini:
Bagan 5: Refren Terhadap „Michael Owen‟ Seperti terlihat dalam Bagan di atas ada enam referen (pengikat kohesi) yang digunakan untuk mengacu pada satu kata Michael Owen dalam kalimat yang berbeda (kalimat
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 71
1,2,3,4,5 dan 6). Dari keenam kata referen yang digunakan untuk mengacu pada Michael Owen terdapat tiga referen yang menggunakan nama ke dua saja dan ada pula dalam bentuk lain seperti pronomina (his) dan posisinya dalam tim sepakbola (the striker). Dalam kalimat (6), terdapat sebuah referen eksoforik yang penting bagi pemahaman teks tersebut karena dua pemain lain selain Owen yaitu: Paul Scholes dan Steven Gerrard, yang sama-sama berstatus pemain tengah (mid-fielders) juga disebut dalam kalimat sebelumnya. Jadi untuk memahami teks ini pembaca memerlukan pengetahuan tambahan yang derdapat di luar teks. Referen lain yang terdapat dalam teks adalah walaupun tidak begitu jelas „a ball‟ dan „the ball‟ dalam kalimat (5) dan (6). Pada satu sisi, pembaca dapat melihat referen demonstratif dalam kalimat (6) jelas mengacu pada bola di lapangan pada waktu pertandingan tersebut, dan secara tidak langsung berhubungan dengan „a ball‟ dalam kalimat (5). Namun dari pengetahuan eksoforik pembaca tahu bahwa dalam sebuah pertandingan sepak bola hanya satu bola yang dipakai untuk bermain sehingga referen kepada „a ball‟ mungkin terasa aneh kecuali dia menjadi sinonim dengan kata pass. Mungkin juga penggunaan kata „a ball‟ memberikan koherensi bahwa ke dua referen terhadap kata ball ini dihubungkan dengan pemahaman bahwa ke duanya berada dalam sebuah laporan pertandingan penyerangan yang melibatkan tiga pemain sepak bola Inggris. Sebuah contoh referen komparatif terdapat pada kalimat terakhir yang menjelaskan kesamaan antara ke dua tim yang bertanding (tim Inggris dan tim Slovakia) samasama gagal mencetak gol ketika penulis mengatakan „…and
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 72
then England and Slovakia traded miss for miss for the rest of the half.‟
4.3.1. Substitusi Satu contoh substitusi sebagai sebuah pengikat kohesi dapat ditemukan dalam kalimat (8). Halliday dan Hasan (1976) mengatakan bahwa kata „the same‟ digunakan untuk menunjukkan substitusi dalam kalimat „(I)n the environment where a „fact‟ is involved‟ (p:107). Dalam kalimat (8) dapat dijumlai penulis menggunakan pernyataan ini sebagai sebuah opini dalam kalimat berikut ini: „Although Slovakia continued to look suspect defensively…the same could be said of England…‟ Dalam contoh ini kata-kata „the same‟ menggantikan katakata „look suspect defensively‟.
4.3.2. Elipsis Sebagian besar bentuk pengikat kohesi elip dalam teks di atas merupakan penghilangan kata benda seperti ball dan goal (seperti dalam kalimat score a goal). Penggunaan elip seperti ini akan membuat teks semakin sulit dibaca tapi akan terasa semakin efisien. Karena kata sinonim untuk ball dan goal agak jarang maka penulis memutuskan untuk menghilangkannya sama sekali agar tidak terdapat pengulangan kata yang sama seperti dalam contoh berikut ini:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 73
a) „...have scored five [goals] on the night.‟ (4) b) „The striker looked odds-on to score [a goal]...‟ (5) c) „…to get the merest of touches [to the ball] to defect it...‟ (6) d) „…with an important block to clear [the ball].‟ (7) e) „…Vittek [a Slovak player] had let [the ball] fly with an angled drive...‟ (7) f) „… but he sliced [the ball] into the crowd.‟ (8) g) „… the ball curled over every player and [it] bounced past the …‟(9) h) „… forced James [the goalkeeper] to parry [the ball] and then England...‟ (10) Sebagian besar dari kasus-kasus ini adalah elip (penghilangan) kata benda dengan pola-pola yang sama. Namun, dalam contoh (g), sebuah pronomina dengan sebuah referen anaforik pada kata „the ball‟ sebelumnya dihilangkan (elip). Penghilangan ini dikarenakan penggunaan kata konjugasi „and‟ yang memungkinkan pemasangan dua kata keja tampa membutuhkan subjek untuk kata kerja ke duanya. Contoh lain elip pronomina terdapat dalam kalimat (6) dan (9) sebagai dampak pemakaian konjugasi „and‟ seperti dalam bagian teks berikut ini:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 74
„The striker looked odds-on to score and [he] tried to lift the ball over Miroslav Konig….‟ Ada juga contoh penghilangan atau elip sebuah kata kerja dalam kalimat (7) berikut ini: „David James made a smart parry after RobertVitteck had let fly with an angled drive and Matthew Upson followed up [the angled drive] with an important block‟
4.4. Pengikat Kohesi Leksikal 4.4.1. Sinonim Kohesi dengan menggunakan kata yang mirip atau hampir sama dapat dijumlai di beberapa bagian teks ini. Kalimat (1) dan (2), misalnya, menunjukkan sebuah bentuk sinonim penting dalam teks ini. Kata „two goals‟ dalam kalimat (1) ditulis kembali dalam kalimat (2) dengan menggunakan kata „double‟. Penting bagi pembaca untuk menghubungkan antara ke dua kata tersebut karena tanpa memahaminya pembaca akan mengalami salah paham atau salah interpretasi. Bentuk sinonim lainnya dalam teks tersebut disajikan di bawah ini: 1) kata „found‟ (5) mempunyai sinonim dengan kata „picked out‟ (8) 2) kata „slide a ball‟ (5) mempunyai sinonim dengan kata „pass‟ (5)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 75
3) kata „parry‟ (7) mempunyai sinonim dengan kata „block‟ (7) Menarik untuk diperhatikan bahwa di dalam contoh terakhir di mana si penulis menggunakan sinonim dari sebuah frasa yaitu: „a smart parry‟ dan „an important block‟. Hal ini sengaja dilakukan untuk memberikan dampak atau kesan simetris terhadap teks. Sebagaimana disinggung di atas bahwa pengetahuan eksoforik pembaca tentang sepak bola diperlukan untuk menemukan sinonim leksikal antara „Michael Owen‟ dalam kalimat (1) dan „(T)he striker‟ dalam kelimat (2). Contoh yang sama ditemukan antara „Slovakia‟ dalam kalimat (1) dan „the visitors‟ dalam kalimat (3). Dalam contoh ini, pengetahuan eksoforik pembaca tentang lokasi geografis Slovakia sebagai sebuah negara Eropah Edan Middlesbrough (2), tempat di mana pertandingan diadakan yang berada di Inggris, sehingga menunjukkan bahwa tim Inggris menjadi tim tuan rumah dan Slovakia sebagai tim tamu „the visitors‟. Bentuk hubungan kohesi lainnya dalam teks ini adalah antara dua kata „blushes‟ dalam kalimat (2) dan kata „embarrassed‟ dalam kalimat (9) namun sejauh mana pengaruh kohesifnya masih dapat diperdebatkan. Halliday dan Hasan (1976) mengatakan bahwa „relative proximity‟ atau jarak tekstual antara dua kata yang berhubungan berpengaruh terhadap kohesi teks. Karena jarak tempat kata „blushes‟ dan „embarrassed‟ sejauh tujuh kalimat, maka kita melihat pengaruh kohesifnya agak berkurang. Contoh serupa lainnya terjadi antara kata „threatening‟ dalam kalimat (2) dan kata „warning‟ dalam kalimat (9).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 76
4.4.2 Hiponim Dalam artikel seperti berita di koran atau majalah disamping menjaga koherensi teks penulis sering menangkap dan menjaga perhatian pembaca dengan menggunakan sinonim dan hiponim. Dalam teks ini juga demikian di mana penulis menggunakan berbagai kata sinonim dan hiponim misalnya dari kata „kick, „run‟ dan „save‟. Di bawah ini disajikan bentuk hiponim dari kata induk (superordinate) kick sebagai kata benda (noun) :
Bagan 6: Referen Terhadap Kata „Kick‟ Seperti terlihat dalam bagan di atas, hiponim untuk kata kick muncul dalam hampir semua kalimat dalam teks tersebut kecuali dalam tiga kalimat pertama dengan alternatif kata yang berbeda. Ini memperlihatkan dampak kohesif yang kuat karena ketepatan kata yang dipakai dengan kata induk „kick‟. Dampak kohesif kuat lainnya dapat terlihat dalam teks tersebut seperti dalam diagram di bawah ini dengan kata induk (superordinate) kick sebagai kata kerja (verb):
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 77
Bagan 7: Referen Terhadap Kata „Kick‟ Dapat juga ditemukan berbagai kata yang digunakan dalam teks tersebut yang berhubungan dengan kata „pass‟ seperti: „first-time pass‟ (5),„cross‟ (8) dan „lateral pass‟ (8). Juga, ada dua kata yang berhubungan dengan kata „save‟ yaitu: „block‟ (7) dan „parry‟ (7&10) dan ada tiga kata berhubungan dengan kata „players‟ seperti: „striker‟ (2&6), „defender‟ (5) dan „keeper‟.
4.4.3. Antonim dan Repetisi Satu pengikat kohesi antonim atau lawan kata yang menimbulkan dampak kohesi yang cukup kuat dapat dijumpai dalam penggunaan rangkaian kata-kata „…get the merest of touches…‟ dalam kalimat (6) and „… let fly…‟ dalam kalimat (7) karena kedua phrasa ini berlawanan secara semantik. Juga, ada sepasang contoh repetisi dalam teks tersebut dengan kata „goals‟ dalam kalimat (1) and (2) and repetisi kata „miss‟ dalam kalimat (10).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 78
4.4.4. Kolokasi Pembaca akan dapat menandai serangkaian kolokasi (pasangan kata yang selalu muncul bersama) yang muncul secara berulangkali dalam teks di atas. Kolokasi tersebut adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
„…his double saved England‟s blushes…‟ (2) „…Slovakia were threatening an upset…‟ „…get the merest of touches‟ (6) „The warning was not heeded…‟ (9) „…England and Slovakia traded miss for miss…‟ (10)
Banyak lagi pasangan kata atau kolokasi yang dapat ditemukan dalam teks di atas saeperti „look suspect defensively‟ dalam kalimat (8) yang sering dipakai dalam teks sejenis ini.
4.5. Ringkasan Analisis teks seperti yang telah dilakukan berdasarkan pengalaman akan sangat bermanfaat bagi pengajaran bahasa seperti pengajaran bahasa Inggris terhadap penutur bahasa selain bahasa Inggris (non-native speakers). Agar teks bacaan dalam bahasa Inggris menjadi kohesif dan koheren bagi siswa atau mahasiswa, maka guru bahasa Inggris harus mengajarkan semua pengetahuan eksoforik (seperti pengetahuan tentang geografis yang berhubungan dengan isi teks) agar siswa atau mahasiswa berhasil dalam
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 79
mengaitkan kata-kata dalam teks dengan referen eksoforiknya. Dapat disimpulkan di sini bahwa pembaca yang sukses adalah pembaca yang mampu dengan tepat mengaitkan setiap bagian dari teks dengan bagian lain di dalam teks tersebut (referen endoforik) atau dengan referen yang berada di luar teks (referen eksoforik). Juga, karena tulisan seperti ini sangat kaya dengan kata-kata, frasa atau kalimat yang berhubungan dengan sepak bola, membaca bacaan seperti ini akan memperkaya perbendaharaan kata siswa atau mahasiswa tentang olahraga terutama sepakbola sehingga akan membantu mereka dalam membaca teks lain yang berhubungan dengan sepakbola.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 80
BAB 5 MODEL DAN CONTOH ANALISIS TEKS UNTUK BERBAGAI BENTUK ATAU TIPE WACANA
S
wales (1981, 1984 dan 1990) mengajukan sebuah
model analisis „genre‟ (genre analysis) untuk menganalisis pola retorika dari wacana tulis atau teks untuk tujuan-tujuan edukatif. Model analisis „genre‟ yang diajukan Swales tidak hanya dari sudut pandang linguistik namun juga melibatkan aspek sosiokultural dan sosiolinguistik dari sudut pandang penulisan dan pemahaman wacana. Analisis „genre‟ seperti ini, menurut Cheong (1999), bertujuan untuk menjawab suatu pertanyaan inti, yaitu “mengapa suatu „genre‟ tertentu ditulis dan dipergunakan menurut cara atau pola tertentu oleh anggota komunitas wacana tersebut”. Dengan kata lain, tujuan analisis „genre‟ menurut model Swales, bertujuan untuk melihat pola wacana yang dominan dan alasan-alasan penulis atau anggota komunitas wacana tertentu dalam memilih pola atau ciri-ciri wacana tersebut.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 81
5.1. Model Analisis Khotbah1 Analisis pola retorika khotbah (sermon) yang disampaikan di gereja-gereja dalam bahasa Inggris sudah sering dilakukan. Moon (1985 dalam Cheong 1999) menganalisis pola retorika sermon dan menemukan tiga bagian (sections) yang terdapat pada teks tersebut: pendahuluan (introduction), batang tubuh (body), dan kesimpulan (conclusion). Menurut Moon, bagian pendahuluan dari sermon memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk memastikan atau memperoleh perhatian pendengar dan menyampaikan topik pembicaraan dalam sermon tersebut. Bagian batang tubuh merupakan bagian utama dari sermon dan digunakan untuk menyampaikan proposisi yang didukung oleh kutipan, keterangan tambahan, ilustrasi, contoh dan aplikasi. Bagian terakhir atau bagian kesimpulan memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk menyampaikan ringkasan sermon atau menekankan kembali pentingnya poin-poin yang telah disampaikan pada bagian batang tubuh dari sermon dan untuk mengajak atau memohon pendengar agar merespon atau merealisasikan secara individu semua poin yang telah disampaikan untuk mengabdi pada Tuhan. Kajian yang serupa pernah dilakukan oleh Braga (1981 dalam Cheong 1999). Braga menyatakan bahwa sermon memiliki lima bagian (sections) penting yaitu, keterangan (explanation), argumentasi (argumentation), kutipan (quotation), ilustrasi (illustration), dan aplikasi (application). Menurut Braga, pola retorika dari sermon yang disebut dengan proses retorika (rhetorical process) 1
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Jurnal „Linguistik Indonesia‟ tahun 20, No. 2 halaman: 197-216, Tahun 2002.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 82
atau elemen fungsional (functional elements) digunakan untuk menandai kerangka (outline) dari sermon. Penelitian lintas budaya tentang teks sermon dilakukan oleh Cheong (1999), ketika ia menganalisis 15 buah sermon (khotbah di gereja) dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh tiga pastor yang berasal dari tiga negara, yaitu Korea, Amerika dan Filipina. Cheung menyatakan bahwa taksonomi sermon terdiri dari tiga bagian (sections) yang setiap bagiannya terdiri dari 5 atau 6 langkah (moves). Pola retorika sermon menurut Cheung secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Cheong (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa bagian pengantar (introduction) berisi pernyataan atau ucapan dengan tujuan untuk memastikan perhatian pendengar. Bagian ini berisi langkah-langkah sebagai berikut: 1) ucapan pembuka (opening marker) yang biasanya berisi pembicaraan tentang cuaca atau tentang judul khotbah, 2) „gambit‟ yang bertujuan untuk menarik perhatian pendengar, 3) ucapan yang berhubungan dengan kitab suci dengan tujuan untuk menghubungkan topik khotbah dengan ayat-ayat dalam kitab suci, dan 4) proposisi dengan tujuan untuk menunjukkan pada pendengar bagaimana kutipan ayat dalam kitab suci yang telah disampaikan bermanfaat bagi pendengar, 5) transisi dengan tujuan untuk memperkenalkan bagian batang tubuh sermon pada pendengar, dan 6) doa dengan tujuan sebagai penutup bagian pendahuluan sermon. Diantara enam langkah yang tercakup dalam bagian pendahuluan, hanya satu langkah yang diwajibkan (compulsory), yaitu langkah ketiga (ucapan yang berhubungan dengan kitab suci)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 83
Pola Retorika Sermon (Rhetorical Patterns) Pengantar 1. Ucapan pembukaan 2. „Gambit‟ 3. Hubungan dengan
Batang Tubuh
Kesimpulan
kitab suci 4. Proposisi 5. Transisi 6. Doa 7. Keterangan 8. Argumentasi 9. Kutipan 10. Ilustrasi 11. Aplikasi 12. Kesimpulan 13. Permohonan 14. Undangan 15. Doa 16. Tanda penutup
Fungsi Retorika (Rhetorical Function) 1. Sebab-akibat 2. Perbandingan dan Pertentangan
3. Definisi 4. Deskripsi 5. Penomoran 6. Pemberian contoh 7. Sebab-akibat 8. Perbandingan-pertentangan 9. Definisi 10. Penomoran 11. Pemberian contoh 12. Sebab-akibat 13. Perbandingan dan pertentangan
14. Definisi 15. Deskripsi 16. Penomoran 17. Pemberian contoh
Tabel 2 : Pola Retorika Sermon (Dari Cheong 1999:50) Bagian inti dari sermon adalah batang tubuh (body). Menurut Cheong (1999), bagian batang tubuh ini merupakan bagian khas dari sermon, yang membuat sermon menjadi suatu „genre‟ khusus yang berbeda dengan „genre‟ yang lain, seperti kuliah (lecture), pidato (talk atau speech) atau pembicaraan khalayak umum (public speaking). Bagian ini berisi langkah-langkah: 1) keterangan, dengan tujuan untuk menjelaskan kutipan ayat dari kitab suci yang telah disampaikan pada bagian pendahuluan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, 2)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 84
argumentasi, yang bertujuan untuk membujuk, mengajak dan meyakinkan pendengar mengenai kebenaran „claim‟ atau pesan yang telah disampaikan oleh pastor pada bagian pendahuluan, 3) kutipan, yang biasa diambil dari ucapan orang-orang terkenal dengan tujuan untuk memberikan variasi atau bumbu untuk memberi kekuatan (force) pada pesan (claim) yang telah disampaikan, 4) ilustrasi, yang bertujuan untuk memberi contoh-contoh kongkrit atau khayalan yang menarik dan mudah dipahami serta relevan dengan topik khotbah yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman pesan khotbah yang telah disampaikan, dan 5) aplikasi, yang bertujuan untuk menjelaskan kepada setiap pendengar bagaimana aplikasi dari pesan (claim) yang telah disampaikan. Bagian terakhir dari sermon, menurut Cheong (1999), adalah bagian kesimpulan (conclusion) yang merupakan bagian puncak dari rangkaian kegiatan sermon. Pada bagian ini, pastor tidak lagi memperkenalkan informasi atau ide baru, namun hanya mengulang atau menekankan kembali (reaffirm) dengan ringkas pesanpesan yang telah disampaikan. Bagian ini terdiri dari beberapa langkah seperti: 1) ringkasan, yang bertujuan untuk mengulang pesan-pesan inti yang telah disampaikan dan menekankan kembali arti penting dari pesan-pesan tersebut, 2) permohonan, yang bertujuan untuk memohon kepada pendengar agar merespon atau merealisasikan pesan-pesan sermon yang telah disampaikan, 3) undangan, yang bertujuan untuk mengajak pendengar agar berjanji pada diri mereka sendiri untuk merealisasikan pesan atau nasehat dalam sermon, 4) doa, yang bertujuan untuk meyakinkan pendengar bahwa apa yang telah disampaikan dalam sermon adalah benar-benar bersumber dari kitab
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 85
suci, dan 5) tanda penutup, yang bertujuan untuk menandai akhir dari rangkaian kegiatan sermon. Cheong (1999) juga menjelaskan bahwa tidak semua sermon memiliki langkah-langkah yang lengkap seperti yang dipaparkan dalam taksonomi sermon di atas. Juga, sebagian langkah (move) merupakan langkah inti dan wajib (compulsory), sementara langkah-langkah yang lain merupakan langkah tambahan (peripheral). Selain membagi sermon kedalam beberapa langkah, Cheong juga mengemukakan beberapa penanda fungsi retorika (rhetorical function markers) yang lazim dipergunakan dalam sermon seperti, sebab-akibat (cause-effect), perbandingan dan pertentangan (comparison and contrast), definisi (definition), deskripsi (description), penomoran (enumeration), dan pencontohan (exemplification).
Model Analisis Khotbah (Sermon) Model analisis sermon seperti yang disarankan oleh Cheong (1999) dipergunakan untuk menganalisis pola retorika khotbah Jumat yang ditulis oleh Drs. Effendi Zarkasyi yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Khutbah Pilihan” dan diterbitkan oleh Penerbit CV Toha Putra Semarang pada tahun 1979. Dari 28 khotbah yang diterbitkan dalam buku tersebut, hanya satu khotbah berjudul „Ilmu Dalam Islam‟ yang diambil. Tidak ada alasan ilmiah tertentu yang mendasari pemilihan khotbah tersebut. Alasan pemilihan khotbah hanyalah merupakan pertimbangan bahwa penulis khotbah tersebut cukup terkenal dan berpengalaman, sehingga diperkirakan bahwa pola retorika khotbah yang ditulisnya lebih bersifat
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 86
standar daripada khotbah-khotbah yang ditulis oleh penulis lain yang kurang terkenal atau kurang berpengalaman. Gambaran Umum Tentang Khotbah Berjudul “Kedudukan Ilmu Dalam Islam” Dalam khotbah ini khatib menjelaskan arti penting dari ilmu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kedudukan ilmu malah lebih tinggi dari harta benda berbentuk apapun, karena harta benda bisa saja habis atau hancur pada suatu saat, sedangkan ilmu akan mampu bertahan lebih lama dalam diri seseorang. Begitu pula dengan fungsi ilmu dalam mencapai kesempurnaan ibadah; dimana ibadah seseorang yang berilmu akan lebih sempurna daripada ibadah orang yang tidak berilmu. Rosul Allah malah menggambarkan bahwa tiada kefakiran yang lebih hebat daripada kebodohan dan tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal. Akal jugalah yang membedakan antara manusia dan hewan. Untuk itu, sebuah keluarga muslim harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif dalam keluarganya agar upaya mereka untuk menuntut ilmu dapat berjalan dengan baik. Misalnya, orang tua harus menyiapkan bahan-bahan dan alat-alat belajar bagi anak-anaknya sebaik mungkin dan mendorong mereka untuk rajin menuntut ilmu. Penulis mengutip beberapa ayat Alquran dan beberapa Hadis untuk mendukung pernyataannya tentang arti penting dari fungsi ilmu bagi umat Islam baik untuk melaksanakan ibadah maupun untuk menjalani kehidupan keduniawian.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 87
Pola Makro Retorika Khotbah Dalam analisis ini, bagian awal khotbah yang disampaikan dalam bahasa Arab tidaklah dianalisis, karena bagian ini dianggap sebagai bagian yang lebih bersifat standar dan kurang dinamis. Teks khotbah yang berjudul „Ilmu Dalam Islam‟ secara garis besar atau makro (macro teks structure) dapat dibagi menjadi empat bagian (sections) yaitu: bagian pembukaan (opening marjer), pendahuluan (introduction), bagian batang tubuh atau inti khotbah (body), dan bagian penutup (closure). Setiap bagian ini memiliki isi dan tujuan komunikatif yang berbeda. Bagian pengantar berisi ucapan syukur pada Allah, penyampaian shalawat kepada Rosul Allah dan ajakan pada umat manusia agar bertakwa pada Allah SWT. Bagian ini memiliki ciri khas tertentu, yaitu secara keseluruhan disampaikan dalam bahasa Arab tanpa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Bagian ini juga merupakan syarat utama syah atau tidaknya suatu ritual khotbah. Dengan kata lain, tujuan komunikatif utama bagian ini adalah untuk memenuhi persyaratan sah atau tidaknya suatu khotbah. Bagian kedua (pendahuluan) berisi informasi yang dianggap perlu untuk menyiapkan pengetahuan pendengar untuk memahami topik khotbah yang akan disampaikan (Kedudukan Ilmu dalam Islam). Pada bagian ini, penulis mengarahkan perhatian pendengar terlebih dahulu pada peran besar dari Rosul Allah dan manfaat ajaran yang dibawanya, yaitu Islam. Diutusnya Rosul Allah dan diturunkannya ajaran agama yang dibawanya itu didasarkan pada kebutuhan manusia sebagai makhluk Allah. Pada akhir bagian pendahuluan penulis mengajukan pertanyaan, “Apakah syarat keberhasilan untuk misi hidup kita?” Pertanyaan ini digunakan sebagai alat transisi
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 88
sebelum diajukannya topik inti khotbah yaitu „Peran Ilmu dalam Islam‟. Dengan kata lain, penulis menggunakan pertanyaan tersebut sebagai sinyal transisi (transition signal) untuk memasuki bagian batang tubuh (body) dari khotbah. Sehingga bagian batang tubuh tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan yang diajukan sendiri oleh penulis. Pada bagian batang tubuh ini, penulis menjelaskan arti penting dari peran ilmu bagi umat islam untuk mencapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat. Khotib juga menjelaskan tentang kedudukan ilmu bagi manusia, yang lebih tinggi dari harta benda sekalipun, dan merupakan suatu hal yang hina bila orang yang tidak berilmu. Pada akhir dari bagian batang tubuh ini, penulis lebih banyak mengajak pendengar untuk melakukan tindakan baik secara fisik maupun secara mental untuk merealisasikan pesan khotbah yang baru disampaikan. Misalnya, penulis mengajak pendengar untuk menggunakan akal dan pikiran serta menuntut ilmu sebanyak-banyaknya melalui pengalakkan upaya pendidikan. Bagian terakhir dari teks khotbah adalah bagian penutup (closure). Tanda linguistik (linguistik signal) yang digunakan penulis adalah „Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa ...‟. Pada bagian penutup ini, penulis mengulangi pernyataannya tentang arti penting dari ilmu dalam Islam dan kemulian dari orang berilmu adalah di atas orang yang tidak berilmu. Apabila digambarkan secara diagramatik, teks khotbah ini dapat disajikan sebagai berikut: Bagian
Safnil
Langkah-langkah dan Tujuan Komunikatifnya
Fungsi Retorika
Pengantar Analisis Retorika Teks 89
A. Pembukaan
B. Pendahuluan
C. Batang Tubuh
Safnil
1. Proposisi (menyiapkan pengetahuan pendengar atau pembaca terhadap ajakan yang akan disampaikan) 2. Kutipan (memberikan referensi atau dukungan terhadap ajakan yang akan disampaikan) 3. Ajakan (mengajak pendengar atau pembaca untuk melakukan sesuatu) 4. Proposisi (menyiapkan pengetahuan pendengar tentang topik khotbah yang akan disampaikan) 5. Kutipan (memberikan referensi untuk mendukung proposisi yang telah diajukan) 6. Penjelasan (menjelaskan tafsiran atau makna kutipan yang diambil) 7. Kutipan (memberikan landasan atau referensi terhadap proposisi yang diajukan) 8. Penjelasan (menjelaskan makna atau tafsiran kutipan) 9. Transisi (memperkenalkan topik atau tema inti khotbah) 10. Kutipan (memberikan landasan atau referensi terhadap proposisi yang akan disampaikan) 11. Proposisi (menyampaikan topik khotbah sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan) 12. Argumentasi (memberi alasan logis atau persuasip terhadap pilihan topik khotbah) 13. Ilustrasi (memberikan contoh-
-definisi -sebabakibat
-deskripsi -interogatif -sebabakibat -argumentasi
- definisi perbanding -an-kontras -keterangan -contoh -argumentasi
Pengantar Analisis Retorika Teks 90
D. Penutup
Safnil
contoh untuk menjelaskan isi khotbah dengan cara yang lebih bervariasi agar lebih menarik dan lebih mudah dipahami) 14. Penegasan kembali topik khotbah 15. Kutipan (memberikan dukungan atau jastifikasi berupa referensi terhadap pentingnya topik khotbah). 16. penjelasan (menjelaskan tafsiran ayat atau hadis yang dikutip) 17. ilustrasi (memberikan contohcontoh untuk menjelaskan isi khotbah agar lebih menarik dan mudah dipahami) 18. Kutipan (memberikan referensi lebih lanjut untuk mendukung propisisi yang telah diajukan) 19. Penjelasan (menjelaskan makna atau tafsiran kutipan) 20. Ajakan (ajakan terhadap aplikasi pesan khotbah) 21. Kutipan (memberikan referensi pendukung terhadap ajakan yang telah disampaikan) 22. Ajakan (memberikan alternatif metode aplikasi pesan khotbah) 23. Kesimpulan (memberikan simpulan isi khotbah berupa hal-halpenting yang telah disampaikan) 24. Kutipan (memberikan referensi terhadap pentingnya topik khotbah yang telah disampaikan)
-keterangan
Pengantar Analisis Retorika Teks 91
Tabel 3 : Bagian-Bagian Khotbah Beserta Tujuan Komunikatifnya dan Fungsi Retorika Yang Digunakan Sebagaimana terlihat pada tabel di atas bahwa suatu khotbah terdiri dari sekurangnya empat bagian: pembukaan, pendahuluan, batang tubuh, dan penutup. Masing-masing bagian memiliki ciri khas tertentu, seperti tujuan komunikatif dan fungsi retorika yang dominan. Teks Khotbah Beserta Bagian dan Langkah-Langkahnya Teks khotbah yang dianalisis disajikan berikut ini bersama dengan bagian-bagian (sections) dan langkah-langkah (moves) nya: (Isi teks yang berupa kutipan ayat Al Quran atau Hadis Nabi tidak dituliskan). Bagian A. Pembukaan
Langkah 1. Proposisi
Teks Saudara-sudara kaum muslimin yang berbahagia. Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang ajaran dan syariatnya berlaku sampai akhir zaman. Kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup merupakan kenikmatan yang sangat besar bagi kita ummat manusia, sebab dengan mengikuti ajaran Islam itulah berarti kita berpegang pada jalan yang diridlai Allah.
2. Kutipan 3. Ajakan Dengan demikian sebagai hamba Allah yang telah memperoleh kenikmatan yang besar itu, yakni kenikmatan agama
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 92
B. Pendahuluan
4. Proposisi
kita hendaknya mensyukurinya. Sebagai bukti syukur, marilah kita senantiasa taqwa kepada Allah; taqwa dalam arti melaksanakan perintah-perintah Allah serta mencegah semua larangan-Nya. Juga taqwa yang dapat menumbuhkan kesadaran hati, bahwa hakikat hidup kita adalah sebagai pengemban amanat Allah dan khalifah-Nya. Khalifah Allah di atas bumi yang bertugas mengolah, mengatur alam seisinya serta menyelenggarakan suatu kehidupan damai, bahagia penuh kemaslahatan berdasarkan Hukum dan Ketentuan-ketentuan Allah yang terkandung dalam tuntunanNya yakni agama Islam. Tegasnya, tugas hidup kita adalah mengusahakan kebahagian hidup dunia dan mempersiapkan bekal untuk keselamatan hidup akhirat. Dua kepentingan hidup itulah yang melahirkan sabda Nabi saw., yang hingga saat ini diakui oleh siapapun bahwa tidak ada satu ajaran agamapun di dunia yang dapat menandingi nilai ajaran Islam tentang keseimbangan hidup duniawi dan akhrawi, sabda Nabi Muhammad SAW.
5. Kutipan 6. Penjelasan Jelaslah, hadis di atas merupakan bukti bahwa Islam
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 93
7. Kutipan
adalah agama dunia dan akhirat; bahkan Islam melarang ummatnya yang hanya menekuni satu antara dua kepentingan dan tugas hidupnya itu.
8. Penjelasan
-
9. Transisi
Ayat di atas menggambarkan betapa indahnya nilai dan ajaran Islam karena perhatiannya terhadap kebahagian lahir bathin, materil dan sprituil atas dasar kasih sayang dan hubungan baik sesama hamba Allah. Dalam ayat itu pula ditegaskan bahwa Islam tidak menghendaki kerusakan, baik lahirmaupun bathin yang ditimbulkan oleh perilaku manusia itu sendiri, karena yang demikian sangat dicela oleh Allah. Saudara-suadara kaum Muslimin yang berbahagia. Setelah melihat gambaran tigas hidup manusia sebagaimana uraian di atas, timbulah satu pertanyaan, “Apakah syarat untuk keberhasilan misi hidup kita ini?”
C. Batang Tubuh
Safnil
10. Kutipan
-
11. Proposisi
Ilmu merupakan syarat utama untuk mencapai keberhasilan tugas hidup kita, sekaligus bukti bahwa Ilmu adalah kekayaan dan harta yang paling besar.
12. Argumen
Pengertiannya ialah, meskipun hartakekayaan bertumpuk baik
Pengantar Analisis Retorika Teks 94
berujud uang, gedung-gedung bertingkat ataupun sawah ladang yang menghampar, namun tidak berilmu, maka harta dan kekayaannya itu akan sia-sia belaka, sebab bukan mustahil suatu saat semuanya itu akan habis tak menentu, entah dibodohi orang lain ayaupun penggunaanya yang kurang perhitungan lantaran bodohnya. Begitu pula dalam masalah ibadah, meskipun seseorang tajin dalam melakukannya sehingga dapat digambarkan bahwa seumur hidupnya semata-mata digunakannya untuk ibadah namun is tidak berilmu, maka ibadahnyapun kurang sempurna. 13. Ilustrasi Sebaliknya meskipun seorang hidup dalam kemiskinan, tidak berharta namun ia berilmu, maka hidupnyapun akan lebih tenang karena dengan ilmu itulah ia dapat mencari kebutuhan untuk mencukupi hidup sehari-hari. Tegasnya, seorang yang berilmu tidak akan mengalami jalan buntu dalam mengusahakan kebutuhan hidupnya. Juga dalam masalah ibadah; bagi orang-orang yang berilmu ibadahnya lebih sempurna dibanding orang-orang yang bodoh, lantaran orang yang berilmu lebih memahami dasar dan tujuan serta pengertian ibadah yang dilakukannya, sehingga kemantapan beribadahnya lebih
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 95
14. Penegasan kembali topik khotbah
15. Kutipan
sempurna dan tidak mudah begitu saja diombang-ambingkan oleh kewaswasan. Selanjutnya tentang ilmu pernah pada suatu saat sebelum Rosulullah saw. Wafat, beliau memberikan nasehat kepada para sahabatnya, antara lain terdapat sahabat Ali dan Abi Hurairah. Nasehat beliau waktu itu cukup banyak, yang tersimpul dalam delapan pokok, diantaranya ialah yang berhubungan dengan ilmu. Beliau bersabda kepada Sayyidina Ali dan sahabat-sahabat yang lain: “Ya, Ali, ketahuilah bahwa tidak ada kefakiran yang lebih hebat daripada kebodohan; tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal”. Berdasarkan riwayat tersebut nyatalah bahwa ilmu merupakan nikmat karunia Allah yang amat besar, sebab dengan ilmu itulah manusia dapat memperoleh kemuliaan martabat, kedudukan dan derajatnya.
16. Penjelasan -
17. Ilustrasi
Pengertian ayat di atas ialah bahasanya manusia adalah makhluk yang paling baik dan sempurna, jasmani dan rohani; hal itu karena adanya kelebihan yang diberikan kepada manusia dari makhluk lain yaitu akal. Akal merupakan batas pembeda
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 96
18. Kutipan 19. Penjelasan
antara manusia dengan makhluk lain, binatang misalnya. Dengan akal itu pula manusia dapat memilih jalan yang baik, membedakan kebenaran dan kebatilan, sehingga perjalanan hidupnya menurut kehendak hawa nafsunya belaka. Sebaliknya kehidupan binatang yang nyata-nyata tidak berakal dapat kita saksikan, betapa mereka tidak mempunya aturan hidup sehingga tidak pernah terdngar adanya kamus kesopanan dan etika bagi binatang. Oleh sebab itu, apa bila kita melihat ada diantara manusia yang laku perbuatan dan tingkah hidupnya hanya menurutkan hawa nafsunya saja, tidak mematuhi ketentuan dan tuntunan Allah, maka orang yang demikian derajatnya seperti binatang bahkan lebih rendah dari itu. -
20. Ajakan
Berdasarkan ayat di atas, maka nampaklah kepentingan dan kedudukan akal dalam kehidupan manusia sebagai Khalifah Allah agar amanat yang dipikulnya dapat dipenuhinya dengan sempurna dan memperoleh balasan dari Allah dengan kehidupan bahagia di akhirt. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini kami mengajak saudara-sudara untuk senantiasa
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 97
21. Kutipan 22. Ajakan
menggunakan akal dan pikiran serta berusaha mancari ilmu seluas-luasnya terutama ilmu-ilmu yang menyangkut hubungan kita dengan Al-Khaliq, dengan tidak melupakan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia. Marilah kita berusaha untuk tidak disamakan dengan binatang, sebab jelaslah perbedaan kita dengan bnatang, yakni dari hal akal. -
D. Penutup
23. Kesimpulan
24. Kutipan
Adalah tugas kita bersama untuk memenuhi hajat ilmu itu serta meningkatkan kemampuan akal, yakni dengan lebih banyak menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak kita. Kewajiban kitalah untuk menunjang usaha pembangunan sarana pendidikan, baik berupa sekolah-sekolah umum, madrasahmadrasah ataupun tempat-tempat pengajian agar terlaksana dengan lancar dan membuahkan hasil yang positif. Sebagai penutup dapatlah kita simpulkan bahwa kedudukan ilmu dan akal dalam Islam adalah sangat penting, yakni sebagai harta yang paling mahal dan berharga. -
Tabel 4: Bagian dan Langkah Teks Khotbah
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 98
Analisis pola retorika teks khotbah (Kedudukan Ilmu Dalam Islam), seperti yang disajikan di atas, menunjukkan bahwa suatu khotbah dapat berisi minimal empat bagian (sections): pembukaan, pendahuluan, batang tubuh, dan penutup, serta berbagai langkah atau Move, terutama pada bagian pendahuluan dan batang tubuh. Berbagai langkah atau Move yang digunakan memiliki tujuan komunikatif yang berbeda serta menggunakan fungsi retorika yang berbeda pula. Analisis teks khotbah ini juga menunjukkan bahwa terdapat suatu pengulangan dalam penggunaan pola langkah seperti pengulangan proposisi-kutipan, kutipanpenjelasan dan kutipan-ajakan. Ciri retorika lain dari teks khotbah adalah penggunaan kutipan dan penjelasan yang cukup sering; ini menunjukkan antara lain, bahwa penulis sangat mengandalkan kekuatan referensi atau kutipan hadis-hadis Nabi atau ayat Alquran sebagai pembenaran dari arti penting dari topik khotbah atau keabsahan ajakan yang diajukan.
Fungsi Retorika dan Penanda Leksikal Analisis teks khotbah berikutnya dilakukan untuk melihat fungsi retorika (rhetorical function), seperti yang disarankan oleh Bathia (1991), yang dipergunakan oleh penulis atau penyusun khotbah, dan untuk melihat kata-kata penanda yang dipergunakan untuk menyajikan tujuan retorika tersebut. Seperti juga dipaparkan pada Diagram 1, berikut ini adalah daftar fungsi retorika yang dipergunakan beserta contoh kata penandanya.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 99
1) Definisi: digunakan untuk mengklasifikasikan suatu obyek atau manusia untuk kepentingan pengetahuan pembaca. Lihat contoh berikut ini: Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang ajaran dan syariatnya berlaku sampai akhir zaman. Kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup merupakan kenikmatan yang sangat besar bagi kita ummat manusia, sebab dengan mengikuti ajaran Islam itulah berarti kita berpegang pada jalan yang diridlai Allah. Seperti terlihat dalam contoh di atas, salah satu ciri khas definisi adalah pemakaian kata adalah atau ialah atau merupakan.
2) Sebab-akibat: sebab mengacu pada situasi, kondisi atau kejadian yang menghasilkan suatu akibat, seperti dalam contoh berikut ini: Kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup merupakan kenikmatan yang sangat besar bagi kita ummat manusia, sebab dengan mengikuti ajaran Islam itulah berarti kita berpegang pada jalan yang diridlai Allah. Fungsi retorika sebab-akibat digunaan untuk memberikan alasan terdapat proposisi atau ajakan yang telah disampaikan baik secara logika maupun melalui kutipan.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 100
3) Deskripsi: berfungsi untuk menggambarkan keadaan fisik, fungsi maupun tujuan dari suatu kegiatan dan menjelaskan proses atau cara kerja atau prosedur. Perhatikan contoh di bawah ini: Khalifah Allah di atas bumi [manusia] bertugas mengolah, mengatur alam seisinya serta menyelenggarakan suatu kehidupan damai, bahagia penuh kemaslahatan berdasarkan Hukum dan Ketentuan-ketentuan Allah yang terkandung dalam tuntunan-Nya yakni agama Islam. 4)
Interogatif: berfungsi untuk transisi atau menandai perpindahan Move, seperti contoh berikut ini: Setelah melihat gambaran tugas hidup manusia sebagaimana uraian di atas, timbulah satu pertanyaan, “Apakah syarat untuk keberhasilan misi hidup kita ini?”
Kalimat tanya memang sering digunakan untuk menandai perubahan langkah (move) dalam teks sebagaimana halnya pertanyaan juga sering digunakan untuk mengajukan perubahan topik dalam percakapan atau untuk menandai perubahan „turn‟ (Bolivar, 1994). 5) Argumentasi: bertujuan untuk memberikan alasan atau pembenaran untuk proposisi atau ajakan yang diajukan, seperti dalam contoh berikut ini: Selanjutnya mengenai ilmu, pernah pada suatu saat sebelum Rosulullah saw wafat, beliau memberi nasehat kepada para sahabatnya, antara lain terdapat sahabat Ali dan Abi Hurairah.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 101
Nasehat beliau waktu itu cukup banyak, yang tersimpulkan dalam delapan pokok, diantaranya ialah yang berhubungan dengan ilmu. Beliau bersabda kepada Sayyidina Ali dan sahabatsahabat yang lain: “Ya, Ali, ketahuilah bahwa tidak ada kefakiran yang lebih hebat daripada kebodohan; tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal”. Seperti dalam contoh di atas, penulis memberi pembenaran untuk arti penting dari topik khotbah yang dipilih (Kedudukan Ilmu Dalam Islam) dengan memberi suatu ilustrasi mengenai kejadian pada masa Nabi saw. Sebagian besar fungsi argumentasi ini dilakukan oleh penulis dengan memberi kutipan Hadis atau Ayat dan menjelaskan makna atau tafsirannya. 6) Perbandingan-kontras: fungsi retorika ini bertujuan untuk membandingkan dua obyek atau keadaan dalam usaha penulis membenarkan proposisi yang disampaikan. Perbandingan mengacu pada persamaan dan kontras menerangkan perbedaan. Perhatikan contoh di bawah ini: ... meskipun harta kekayaan bertumpuk baik berujud uang, gedung-gedung bertingkat ataupun sawah ladang yang menghampar, namun tidak berilmu, maka harta dan kekayaannya itu akan sia-sia belaka, sebab bukan mustahil suatu saat semuanya itu akan habis tak menentu, entah dibodohi orang lain ataupun penggunaanya yang kurang perhitungan lantaran bodohnya.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 102
Begitu pula dalam masalah ibadah, meskipun seseorang rajin dalam melakukannya sehingga dapat digambarkan bahwa seumur hidupnya semata-mata digunakannya untuk ibadah namun ia tidak berilmu, maka ibadahnyapun kurang sempurna. Sebaliknya meskipun seorang hidup dalam kemiskinan, tidak berharta namun ia berilmu, maka hidupnyapun akan lebih tenang karena dengan ilmu itulah ia dapat mencari kebutuhan untuk mencukupi hidup sehari-hari. Tegasnya, seorang yang berilmu tidak akan mengalami jalan buntu dalam mengusahakan kebutuhan hidupnya. Juga dalam masalah ibadah; bagi orang-orang yang berilmu ibadahnya lebih sempurna dibanding orangorang yang bodoh, lantaran orang yang berilmu lebih memahami dasar dan tujuan serta pengertian ibadah yang dilakukannya, sehingga kemantapan beribadahnya lebih sempurna dan tidak mudah begitu saja diombang-ambingkan oleh kewaswasan. 7) Keterangan: fungsi retorika keterangan adalah untuk menjelaskan makna atau tafsiran mengenai kutipan yang diambil, seperti dalam contoh berikut ini: Ayat di atas menggambarkan betapa indahnya nilai dan ajaran Islam karena perhatiannya terhadap kebahagian lahir bathin, materiil dan sprituiil atas dasar kasih sayang dan hubungan baik sesama hamba Allah. Dalam ayat itu pula ditegaskan bahwa Islam tidak menghendaki kerusakan, baik lahir
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 103
maupun bathin yang ditimbulkan oleh perilaku manusia itu sendiri, karena yang demikian sangat dicela oleh Allah. Fungsi retorika (rhetorical function) dan kata atau frasa penanda (lexical signal) yang dapat dipergunsakan pada suatu teks khotbah bisa saja bervariasi sesuai dengan keinginan atau gaya (style) penulis, namun keefektifan fungsi retorika dan kata penanda akan ditentukan oleh pembaca. Hasil analisis teks khotbah dengan menggunakan model analisis berdasarkan tujuan komunikatif teks menunjukkan bahwa teks ini sekurangnya berisi empat bagian (sections), yaitu: pengantar (opening remark), pendahuluan (introduction), batang tubuh (body) dan penutup (closure). Setiap bagian juga dapat dibagi kedalam beberapa langkah (move) dan setiap langkah ditandai dengan penggunaan fungsi retorika tertentu dengan penggunaan kata-kata atau frasa tertentu pula. Terdapat pola pengulangan langkah (recursive moves) dalam teks khotbah yang juga bisa menjadi suatu ciri khas teks tersebut. Penggunaan kutipan yang cukup sering atau dominan dalam teks khotbah, terutama untuk membenarkan proposisi atau ajakan yang diajukan, menunjukkan bahwa kepercayaan penulis terhadap daya atau kekuatan argumentatif dan persuasive dari kutipan-kutipan tersebut terhadap pembaca atau pendengar. Namun, upaya analisis teks khotbah ini baru merupakan upaya awal yang bersifat eksploratif. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis lebih lanjut yang melibatkan lebih banyak teks dari penulis
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 104
atau penyusun khotbah yang beragam guna menguji keabsahan dari hasil analisis ini.
5.2. Model Analisis Teks ‘Top-down’ dan ‘Bottom-up’ 2 Pada Contoh Karangan Argumentatif Setiap metode analisis teks atau karangan harus mampu memberi dua informasi penting, yaitu apa posisi dan fungsi dari setiap unit analisis dan apa bentuk struktur internal dari unit analisis tersebut (Coulthard dan Brasil, 1979). Dengan kata lain, metode analisis teks atau karangan harus mampu membagi teks atau karangan kedalam unit-unit analisis dan menentukan posisi dan fungsi dari unit-unit tersebut dalam kerangka karangan secara utuh serta menjelaskan unsurunsur yang membentuk setiap unit analisis tersebut. Model Analisis Makro Monolog dan Dialog Salah satu metode analisis karangan argumentatif pada tingkat makro yang sering dipergunakan adalah teknik proses dialog dan monolog yang sering disebut dengan model „top-down‟ dan „bottom-up‟ seperti yang disarankan oleh Tirkkonen-Condit (1984). Tirkkonen-Condit mengatakan bahwa karangan argumentatif bisa dianggap sebagai suatu proses dialog antara penulis dan pembaca (top-down process) dan proses monolog (bottom-up process). Bila dipandang sebagai proses dialog, sebuah karangan argumentatif idealnya memiliki bagian situasi (situation), masalah (problem) dengan atau tanpa bantahan 2
Tulisan ini pernah diterbitkan pada jurnal Komposisi Vol.4 No.1 Tahun 2003.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 105
(refutation), solusi (solution), dan evaluasi (evaluation). Proses dialog tersebut dapat digambarkan seperti pada Bagan berikut ini.
Pengantar/Situasi Masalah (Bantahan) Solusi Evaluasi Bagan 8: Proses Dialog dalam Karangan Argumentatif Seperti terlihat pada bagan di atas, pembaca pertama disuguhi situasi dalam karangan melalui pengantar (introduction) atau pernyataan yang memperkenalkan pembaca pada masalah yang akan diajukan, yaitu fakta dan pendapat yang dimaksudkan untuk memberi gambaran pada pembaca mengenai latar belakang masalah. Kemudian, masalah (problem) atau pernyataan mengenai kondisi atau hal yang tidak diinginkan disajikan kepada pembaca. Karangan argumentatif dapat memiliki bagian yang disebut bantahan (refutation) atau pernyataan yang mengambarkan pendapat oposisi (opponent‟s views) mengenai isu yang dibahas. Penulis kemudian menyarankan sebuah solusi (solution) atau pernyataan mengenai kondisi ideal menurut pendapat penulis dan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 106
memberi evaluasi (evaluation) atau pernyataan untuk menguji hasil dari solusi yang diajukan. Menurut Tirkkonen-Condit (1984) dan Connor (1987 dan 1990), dalam sebuah karangan argumentatif, penulis beranggapan bahwa pembaca berada pada posisi yang berlawanan (contra) dengan posisi penulis sendiri mengenai sebuah isu yang kontroversial. Tujuan utama penulis adalah untuk mengubah posisi pembaca agar berada pada posisi yang sama (pro) dengan penulis. Tujuan penulis tersebut tidak dapat dicapai secara langsung, melainkan melalui beberapa langkah. Agar lebih meyakinkan, karangan tersebut harus memiliki bagian bantahan (refutation) atau pernyataan yang mengemukakan pendapat oposisi tentang isu kontroversial tersebut dan memberi sanggahan terhadap pendapat tersebut. Sanggahan tersebut berupa pembuktian secara logika bahwa pendapat oposisi tidak dapat diterima atau memiliki kelemahan sehingga dengan mudah dapat diabaikan (Levin, 1966; Chessel and Birnstihl, 1976 dan Wyrick, 1987). Bantahan atau sanggahan (refutation) merupakan bagian atau komponen penting dalam karangan argumentatif, terutama untuk membantu menanamkan kepercayaan pada pembaca terhadap pendapat penulis (Levin, 1966). Pendapat yang sama disampaikan oleh Franklin (1988), yang menyatakan bahwa pendapat oposisi mungkin memiliki kebenaran dalam taraf tertentu. Oleh karena itu, penulis harus mengemukakannya dengan jujur untuk memperlihatkan pada pembaca bahwa ia berpikir dan berpendapat secara jujur dan obyektif bukan secara emosional atau membabi-buta (Franklin yang dikutip dalam Rottenberg, 1988). Apabila dilihat sebagai proses monolog, fokus analisis akan berubah. Proses monolog melihat hubungan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 107
antara urutan tindak-tutur hanya dalam bagian masalah (problem) dalam karangan tersebut (Aston, 1977 yang dikutip dalam Connor, 1990). Menurut Aston, urutan T-unit pada bagian masalah ini memiliki tindak-tutur sebagai berikut 1) klaim (claim) yang bersifat evaluatif (evaluative), 2) pembenaran (justification) yang bersifat asertif (assertive), dan 3) induksi (induction) yang bersifat asertif (assertive). Urutan tindak-tutur pada bagian masalah ini dalam sebuah karangan argumentatif digambarkan pada Bagan 9.
Klaim (Claim)
Pembenaran (Justification)
Induksi (Induction)
Bagan 9: Proses Monolog Pada Bagian Masalah Dalam Karangan Argumentatif Seperti terlihat pada Bagan 9, penulis memulai bagian masalah (problem) dengan mengajukan suatu klaim (claim) atau pernyataan mengenai pendapat penulis untuk pembaca (Toulmin, dan kawan-kawan 1979:29) dan klaim ini didukung dengan suatu pembenaran (justification) yang
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 108
berbentuk pengalaman, fakta statistik atau kejadian otentik yang bertujuan untuk mendukung pendapat penulis (Connor dan Lauer, 1988:144). Yang terakhir, penulis mengemukakan suatu induksi (induction) atau kesimpulan logis yang diambil dari pembenaran (Toulmin dan kawankawan, 1984). Untuk menggambarkan berbagai tindaktutur pada bagian masalah dalam sebuah karangan argumentatif, Toulmin dan kawan-kawan (1979:45) memberi contoh sebagai berikut: A: There is a fire. Q: Why do you say that? A: The smoke, you can see it? Q: So? A: Wherever there is smoke, there is a fire. Klaim dalam contoh di atas adalah “There is a fire”; pembenaran untuk mendukung klaim adalah “The smoke”, sedangkan induksi adalah “Wherever there is smoke, there is a fire”. Pernyataan jenis lain yang biasa mengikuti pembenaran disebut „warrant‟ atau pernyataan yang menunjukkan adanya hubungan logis antara pembenaran dengan klaim. Secara rinci, Rottenberg (1988:11) mendefinisikan „warrant‟ sebagai berikut, “… an assumption, a belief or principle that is taken for granted…[it] is a guarantee of reliability [of an argument]; it guarantees the soundness of the relationship between the support and the claim. It allows the reader to make the connection between the support and the claim.”
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 109
Dengan kata lain, „warrant‟ adalah asumsi yang mendasari penilaian terhadap kualitas sebuah benda atau orang. Menurut Rottenberg, „warrant‟ penting dalam sebuah argumen, terutama dalam argumen yang mempunyai klaim tentang nilai dan kebijaksanaan. Berikut ini contoh „warrant‟ dari Rottenberg (1988:117). Claim : Larry is pretty dumb. Support : He cannot read above third-grade level. Warrant : Anybody who cannot read above thirdgrade level must be dumb. Dalam tulisan ini, kedua bentuk pernyataan yang mengikuti pembenaran (induksi dan „warrant‟) disebut induksi. Dalam sebuah karangan argumentatif, proses dialog dan monolog memiliki pola hubungan yang unik. Pola khas tersebut digambarkan pada Bagan 10. Bagian sebelah atas pada Bagan 3 merupakan proses monolog, sementara bagian di bawah merupakan proses dialog. Seperti terlihat pada Bagan 10, pertama-tama, penulis menggambarkan situasi sebagai latar belakang informasi dalam karangan tersebut. Kemudian, untuk menjawab kemungkinan pertanyaan I, II dan III dari pembaca, penulis mengajukan bagian masalah (problem) yang terdiri dari klaim utama dan sub-klaim, pembenaran, dan induksi. Kemudian penulis menjawab pertanyaan IV dengan mengajukan usulan solusi yang diikuti dengan memberi evaluasi terhadap solusi yang diajukan untuk menjawab pertanyaan V. (Pertanyaan pembaca) 1). What is the point of you telling me all this? 2). On what ground are you claiming this?
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 110
3). OK, I agree with you. How would you conclude the discussion so far? 4). What should be done about this problem? 5). Why should we do this? (Jawaban penulis) 1) main 2) and Justifica subt-ions claims Situation/ Introductio n
Problem
3) Induction or warrant 4) Solution
5) Evaluation
Bagan 10: Hubungan Antara Proses Dialog Dengan Monolog Dalam Sebuah Karangan Argumentatif (Diataptasi Dari: Tirkkonen-Condit, S., 1984:221-223) Seperti terlihat pada Bagan 10, bagian masalah dalam sebuah karangan argumentatif merupakan bagian terbesar dan paling penting dari karangan tersebut; bagian ini terdiri dari klaim, pembenaran, dan induksi, dan ini merupakan obyek analisis (proses monolog). TirkkonenCondit (1984) mengatakan bahwa bagian masalah (problem) merupakan struktur utama dalam sebuah karangan argumentatif. Dalam penelitian ini, proses pengidentifikasian bagian (pengantar, masalah, solusi, evaluasi, dan kesimpulan) disebut proses analisis „topdown‟, sementara proses pengidentifikasian tindak-tutur yang terdapat dalam bagian masalah (problem section) dari
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 111
karangan argumentatif tersebut disebut analisis „bottomup.‟
Langkah-langkah Analisis Teks Sebelum karangan dianalisis, sebuah karangan argumentatif dibaca secara hati-hati untuk memahami isi karangan tersebut, terutama mengenai ide-ide utamanya. Kemudian, karangan tersebut dibagi kedalam unit-unit gramatika (grammatical unit) yang disebut dengan T-unit. T-unit sama dengan klausa yang memiliki sekurangnya subyek dan predikat kalimat. Jadi, satu kalimat terdiri dari setidaknya satu T-unit. Satu T-unit bisa memiliki tindaktutur yang berbeda. Misalnya, dalam sebuah T-unit terdapat dua tindak-tutur yang berbeda: evaluatif (evaluative) dan pernyataan (assertive). Berdasarkan posisi dan fungsi dari setiap T-unit dalam karangan itulah setiap karangan dianalisis kembali untuk menentukan bagian-bagian (pengantar, problem dengan atau tanpa bantahan, solusi, evaluasi dan kesimpulan) yang terdapat dalam karangan yang bersangkutan. Setelah menandai bagian-bagian dari setiap karangan tersebut, bagian yang disebut bagian masalah dari karangan tersebut dianalisis untuk melihat tindak-tutur secara lebih rinci (klaim utama (evaluatif), sub-klaim (evaluatif atau asertif), pembenaran (asertif), dan induksi (asertif). Kemudian, frekuensi pemunculan tindak-tutur yang berbeda dikalkulasi sebelum diperbandingkan dan didiskusikan. Tak dapat disangkal bahwa dalam kajian analisis wacana atau teks hampir selalu melibatkan penilaian yang subyektif dan tak terkecuali dalam penelitian ini, seperti
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 112
dalam penetapan T-unit, penetapan bagian dan penentuan tindak-tutur yang membentuk suatu bagian, walaupun terdapat pedoman-pedoman seperti konjugasi (conjunction) dan tanda wacana (discourse device). Oleh karena itu, pengecekan terhadap sampel analisis data dilakukan oleh 2 orang penilai independen (1 penutur asli bahasa Inggris dan 1 penutur asli bahasa Indonesia), yang sudah dilatih terlebih dahulu dalam menggunakan metode penelitian yang dipilih (metode analisis top-down dan bottom-up) untuk menguji tingkat keterpercayaan hasil analisis data. Pengecekan dilakukan sampai hasil analisis antara penilai independen dan peneliti mencapai kecocokan atau sampai peneliti memiliki keyakinan terhadap keakuratan dari hasil analisis data. Proses Dialog (Top-down Analysis) Pola retorika yang umum dipergunakan untuk sub-bagian bantahan atau sanggahan dimulai dengan mengemukakan kemungkinan tanggapan atau pendapat oposisi (opponent) mengenai topik yang ditulis dan kemudian diikuti dengan pernyataan yang berlawanan dengan menggunakan konjugasi perlawanan seperti “but”, “however”, atau “yet”. Beberapa contoh bantahan (refutation) dari karangan argument dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh penutur bahasa Inggris (A.E.) diberikan di bawah ini (terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia diberikan dalam cetak tebal dan semua contoh-contoh ini diambil dari Safnil, 2003): “Some smokers may complain that they might be able to work as fast or as well as they normally can if they smoke, but…” (A.E.1)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 113
Sebagian perokok mungkin mengatakan bahwa mereka hanya 113ela bekerja dengan cepat dan baik kalau mereka merokok, tapi ... “A non-smoker would complain if I brought my car to the food hall and let the exhaust fumes cover his table and his food, but…” (A.E.7) Seseorang yang bukan perokok akan mengatakan bahwa bagaimana jika saya bawa mobil ke restoran dan membiarkan asap knalpotnya memenuhi ruangan restoran, tapi ... Karangan yang tidak memiliki sub-bagian bantahan (refutation) disebut argumen satu sisi („one sided argument‟) (Hatch, 1992:185). Menurut Hatch, karangan argumen tanpa bantahan terkesan lebih emosional dan kurang obyektif sehingga terasa kurang persuasif. Sebagian besar karangan argument dalam bahasa Indonesia tidak memiliki sub-bagian bantahan (Safnil, 2003). Hal ini mungkin dikarenakan hambatan budaya yang terdapat dalam budaya Indonesia. Keraf (1992) mengatakan bahwa penulis Indonesia jarang mau mempertimbangkan pendapat orang lain bila menulis dalam bahasa Indonesia. Menurut Keraf, hal ini dikarenakan mengkritik pendapat orang lain, terutama orang yang lebih tua atau berstatus soial lebih tinggi, dalam tulisan masih dianggap kurang sopan. Penyebab lain mungkin adalah karena mengkritik orang lain memiliki dampak sosial yang dapat menyebabkan rusaknya keharmonisan hubungan individu atau kelompok. Kasus yang sama dijumpai pada mahasiswa Jepang oleh Rubin dan kawan-kawan (1990). Rubin melihat bahwa mahasiwa Jepang dididik untuk menghindari pendapat
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 114
setuju (pro) atau berlawanan (contra) dengan orang lain. Menurut Rubin, hal ini penting artinya dalam budaya Jepang untuk menjaga keharmonisan kelompok dan menghindari konflik sosial. Aspek lain yang berbeda antara karangan argument dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah mengenai penggunaan bagian evaluasi (evaluation section). Bagian evaluasi lebih sering ditemui pada karangan Indonesia dari pada karangan A.E. Hal ini menunjukkan antara lain bahwa sebagian besar penulis karangan A.E. tidak membenarkan saran yang diajukan untuk mengatasi masalah yang dibahas. Dengan kata lain, penulis karangan A.E. (penutur bahasa Inggris) hanya mengajukan saran atau solusi terhadap masalah yang dibahas tanpa memberikan alasan mengapa saran tersebut yang diajukan atau apa kekuatan atau keampuhan dari saran yang diajukan tersebut. Contoh-contoh bagian evaluasi yang terdapat pada karangan argumentatif dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh penutur bahasa Indonesia (I.I.) diberikan di bawah ini (semua contoh-contoh ini diambil dari Safnil, 2003): Anda harus berhenti merokok di tempat umum kalau anda tidak mau dibenci orang lain (I.I.12) Perbuatan merokok di tempat umum dianggap sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan 114elation, oleh sebab itu orang seharusnya tidak merokok di sana. (I.I.5) Dengan melarang orang merokok di tempat umum, perokok telah berpartisipasi dalam program pembangunan negeri ini, yaitu dalam menciptakan bangsa yang sehat. (I.I.41)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 115
Bukti ini juga menunjukan bahwa penulis karangan I.I. (penutur bahasa Indonesia) menyadari nilai persuasif dari bagian evaluasi bagi karangan argumentatif mereka, yaitu untuk membujuk pembaca agar melakukan sesuatu atau mengubah pendapat mereka mengenai topik karangan yang sedang dibahas. Seperti yang dikatakan oleh Connor dan Lauer (1985), permohonan atau permintaan persuasif (persuasive appeal) merupakan satu unsure penting dalam sebuah karangan argumentatif yang baik. Lebih lanjut, menurut Connor dan Lauer, permintaan yang persuasif adalah permintaan kepada pembaca untuk mengubah posisi mereka dalam memandang topik yang kontroversial dengan mem-bangkitkan emosi mereka, seperti ketakutan (fear), kemarahan (anger), dan kesenangan (joy). Aspek yang sama diantara kedua kelompok karangan ini adalah mengenai penggunaan bagian masalah (problem) dan solusi (solution) yang konsisten. Hal ini menunjukkan antara lain bahwa sebagian besar subyek penelitian memandang karangan argumentatif sebagai suatu masalah yang harus dicari jalan keluar atau solusinya (problem-solving proses). Sebagaimana yang disarankan oleh Tirkkonen-Condit (1984) dan Connor (1987), didalam karangan argumentatif pembaca diasumsikan memiliki masalah dalam berpendapat mengenai isu atau topik karangan. Tugas penulis adalah memberi bantuan bagi pembaca tersebut agar mereka dapat mengatasi masalah tersebut atau agar pembaca memiliki pendapat yang sama dengan penulis. Proses Monolog
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 116
Aspek yang berbeda secara signifikan diantara kedua kelompok karangan (AE dan II) dari segi proses monolog adalah dalam hal penggunaan sub-klaim, dimana penulis karangan kelompok A.E. menggunakannya secara lebih konsisten daripada penulis karangan kelompok I.I. Hal ini menunjukan bahwa karangan kelompok A.E. lebih mengikuti pola retorika karangan argumentaif seperti yang disarankan oleh Tirkkonen-Condit (1984) bila dilihat dari pola internal bagian masalah (monologic process). Mereka menyarankan bahwa tujuan dalam karangan argumentatif tidak dapat dicapai sekali gus atau hanya melalui satau klaim tapi melalui beberapa argumen kecil (mini argument) atau sub-klaim yang masing-masing sub-klaim mempunyai didukung oleh jastifikasi dan induksi. Susunan tindak-tutur ini merupakan ciri khas bagian masalah (problem section) dari karangan argumentatif. Pembagian klaim utama menjadi beberapa sub-klaim dalam bagian masalah dilakukan untuk tujuan membagi masalah menjadi beberapa bagian yang terselesaikan (manegable). Suatu contoh pola umum sub-bagian masalah dalam karangan argumentatif kelompok A.E. diberikan di bawah ini (terjemahan bebas dari karangan tersebut ke dalam bahasa Indonesia diberikan pada bagian lampiran): Karangan A.E.2 Sections Functions [Dialogue] [Monologue] -Masalah
-Klaim utama (1) There are numerous reasons why smoking should be banned in public places due to the ill effects of passive smoking. -Pembenaran
Safnil
T-unit
(2)Whereas individuals have the choice as to whether they smoke or not (3)
Pengantar Analisis Retorika Teks 117
passive smokers have no choice. (4) They suffer the ill effects of smoking of whether they like it or not. (5)These passive smokers have no choice in the matter. (6) If somebody nearby is smoking, they are bound to inhaling the smoke as they must breathe. -Induksi
(7) I think it is extremely unfair for an innocent person to suffer bad health due to someone else‟s smoking.
-(Refutation) -Sub-klaim 1 (8) I have no argument against anybody ruining their own lungs by smoking cigarettes, (9) each individual has that choice, (10) but once somebody makes up their mind not to smoke, (11) clearly it is unfair to suffer smoking‟s ill effects. (12) Especially, when there is nothing they can do about it. -Pembenaran (13) There are no preventive measures. -(Bantahan)
Safnil
-Sub-klaim 2
(14) Some people might argue that the nonsmoker should leave or vacate the area.
Pengantar Analisis Retorika Teks 118
-Pembenaran
-Solusi
-Kesimpulan
(15) Again, this is unjust, why should a non-smoker be forced to leave a public place?
(16) It is reasonable for a smoker to enter a public area but not for that person to smoke there. (17) At home, in the car or in any other private place, the smoker is free to smoke. (18) For example, if you are travelling in a friend‟s car and she/he lights a cigarette, it is that person‟s privilege to smoke since it is his/her car. (19) He/she can do as he/she wishes. (20) In this case the smoker has the right. (21) But, in public, the smokers should not have the right since the act they are engaging in affects other people. (22) Therefore, many strong reasons exist supporting the argument that smoking should be banned in public places due to the ill effects of passive smoking. (23) It is simply unjust for the people to suffer smoking‟s undesirable effects when they do not wish to. (24) Smoking is a dangerous habit and a health hazard. (25) It surely must be limited to private places only.
Catatan: Nomor dalam karangan di atas mengacu pada nomor T-unit. Sebaliknya karangan kelompok I.I. cenderung hanya memiliki klaim tunggal yang diikuti oleh pembenaran dan induksi. Satu contoh pola umum bagian
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 119
masalah dari karangan kelompok I.I. diberikan di bawah ini: Bagian [Dialog]
Fungsi T-units [Monolog]
-Pengantar
(1) Di jaman moderen sekarang ini, kemajuan teknologi semangkin meningkat. (2) Berbagai mesin dan peralatan diciptakan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang. (3) Begitu juga dengan perusahaan rokok yang senantiasa berkembang. (4) Aneka macam rokok diciptakan dan mendapat perhatian khusus dari para pengusaha. (5) Harus kita akui bahwa merokok merupakan salah satu kebutuhan manusian yang tidak dapat ditinggalkan oleh kalangan masyarakat tertentu karena merokok dapat menenteramkan dan menyenangkan diri. (6) Inilah salah satu pendapat sebagian masyarakat yang sudah tergantung dengan rokok. (7) Jika kita analisis pendapat di atas maka hal tersebut justru bertolak belakang adanya karena rokok dapat menimbulkan bermacam penyakit, terutama penyakit dibagian dalam seperti paru-paru dan lain sebagainya. (8) Berbagai usaha dikerahkan untuk mendapatkan rokok; (9) bahkan ada yang sampai nekat mencuri karena mereka sudah begitu tergantung dengan rokok yang justru akan membahayakan diri mereka sendiri.
-Masalah -Klaim utama
(10) Rokok juga dapat membahayakan diri orang lain yang kebetulan menghisap asap rokok yang keluar dari mulut atau hidung
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 120
perokok atau yang dari rokok yang sedang terbakar. -Pembenaran
(11) Kalangan medis pernah melakukan penelitian mengenai bahaya merokok terutama di tempat-tempat umum. (12) Kadar nikotin yang ditimbulkan oleh si perokok lebih kecil terhisap oleh si perokok itu sendiri dibandingkan dengan yang terhisap oleh orang yang berada di dekat si perokok (perokok pasif). (13) Hal ini seing kita jumpaidi dalam taksi atau ruangan tertentu dimana orang banyak sering berada.
-Induksi
(14) Jadi harus kita sadari bahwa rokok sangat berbahaya bagi si perokok atau orang yang secara tidak langsung menghirup asap rokok tersebut.
-Solusi
(15) Maka untuk itu marilah kita mengubah perilaku kita yang terbiasa merokok di tempat-tempat umum.
Catatan: Nomor pada karangan di atas mengacu pada nomor T-unit. Contoh-contoh di atas menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pola retorika karangan argumentatif dalam bahasa Inggris (A.E.) dan karangan dalam bahasa Indonesia (I.I.) terutama dari sudut pandangan analisis dialog dan monolog. Dibandingkan penulis Indonesia, penulis bahasa Inggris menggunakan lebih banyak ide untuk mendukung posisi mereka dan melemahkan posisi oposisi mengenai isu atau topik yang kontroversial dalam karangan mereka dengan tujuan mempengaruhi dan membujuk pembaca. Secara logis, semakin banyak ide relevan yang digunakan untuk meyakinkan pembaca dalam karangan argumentatif
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 121
maka semakin persuasiflah karangan tersebut. Tapi kualitas ide-ide pendukung tersebut juga berpengaruh pada kemampuan persuasif dari sebuah karangan argumentatif. Kualitas karangan argumentatif ini bisa dilihat antara lain dari relevansi sub-klaim dengan klaim utama, keterpercayaan pembenaran yang diajukan, dan variasi teknik yang digunakan seperti penggunaan analogi, ilustrasi dan contoh-contoh nyata. Penggunaan sub-bagian induksi (induction) dalam kedua kelompok karangan ini juga berbeda dimana subbagian induksi lebih sering dijumpai dalam kelompok karangan AE. Beberapa contoh sub-bagian induksi dalam karangan kelompok A.E. diberikan di bawah ini (terjemahan bebasnya ke dalam bahasa Indonesia diberikan dalam cetak tebal): “I think it is extremely unfair for the innocent person to suffer bad health due to someone else‟s smoking.” (A.E.2) Saya kira sangat tidak adil bila orang yang tidak bersalah ikut menderita karena orang lain yang merokok. “So, when the non-smokers inhale the exhaled smoke, they run a bigger risk of getting lung cancer or other cigarette related diseases than the smokers themselves do.” (A.E.7) Jadi, bila orang yang tidak merokok menghirup asap rokok dari orang lain maka mereka akan beresiko lebih besar mengidap penyakit yang disebabkan oleh asap rokok tersebut dari pada si perokok itu sendiri.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 122
“Why should we put the life of non-smokers at risk for the sake of a bad habit of smokers?” (A.E.1) Kenapa kita harus membahakan kehidupan orang yang tidak merokok hanya demi kebiasaan perokok? Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa Australia (penulis karangan AE) menyadari arti penting dari induksi dalam sebuah karangan argumentatif sebagai bagian dari proses berargumen. Birk dan Birk (1967:316) menyarankan bahwa pembaca yang kritis akan mengajukan dua pertanyaan dalam membaca dan menilai kualitas sebuah karangan argumentatif: 1) “Is the evidence good?” (Apakah bukti yang diajukan bagus?) dan 2) “Is the reasoning sound?” (Apakah alasannya dapat diterima?). Menurut Birk dan Birk, pembaca akan menggunakan pengetahuan logika mereka terutama untuk menjawab pertanyaan kedua; yaitu untuk menilai apakah hubungan antara klaim dan pembenaran dan hubungan logis ini dinyatakan dalam sub-bagian induksi. Walaupun bersifat sementara (tentative), beberapa kesimpulan penting dapat diambil dari hasil penelitian ini. Pertama, dari sudut pandang pola teks secara makro atau analisis teks monologis, teks II (karangan berbahasa Indonesia yang ditulis oleh penutur bahasa Indonesia) berbeda dengan teks AE. (karangan berbahasa Inggris yang ditulis oleh penutur bahasa Inggris), terutama dari segi frekuensi penggunaan dan panjang bagian pengantar
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 123
(introduction) serta frekuensi penggunaan bagian bantahan. Kedua, dari segi pola teks secara mikro atau analisis teks dialogis, perbedaan yang berarti antara kedua kelompok karangan tersebut adalah pada frekuensi penggunaan subklaim. Frekuensi penggunaan kedua sub-bagian lain dari analisis monologis (penggunaan klaim dan pembenaran) relatif sama antara kedua kelompok karangan tersebut. Yang terakhir, pola retorika karangan argumentatif dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris berbeda karena perbedaan budaya dan aturan (konvensi) penulisan karangan akademik. Oleh karena itu, mahasiswa Indonesia yang belajar bahasa Inggris, terutama yang bertujuan akademik (English for Academic Purposes), perlu mempelajari pola retorika yang dapat diterima dan disukai dalam karangan argumentatif berbahasa Inggris agar karangan mereka dapat lebih dipahami oleh penutur bahasa Inggris (English Native Speakers). Begitu juga sebaliknya, penutur bahasa Inggris juga harus mempelajari pola retorika karangan argumentaif yang dapat diterima dalam karangan bahasa Indonesia apabila mereka menulis dalam bahasa Indonesia.
5.3.
Model Analisis Teks Masalah-Solusi: Contoh Teks Humor
Humor terdapat dalam semua kalangan masyarakat di dunia ini, karena humor juga mengungkapkan aspek-aspek sosiologis (Goldstein dan McGhee, 1972) yang terjadi dalam humor (joking). Humor juga berkaitan dengan psikologi karena humor tercipta akibat dari adanya semacam tekanan (depresi) dalam jiwa manusia. Rasa
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 124
jengkel, marah, sombong, terhina dapat bermuara pada humor (Yunus, dan kawan-kawan, 1997; Suhadi, 1989). Meski humor memiliki target pada kelucuan, kenyataannya tidak semua cerita lucu dapat dikisahkan dengan baik sehingga dapat menimbulkan tawa. Penceritaan yang tidak mengena tidak akan membuat orang tertawa, meski cerita tersebut merupakan cerita lucu. Jadi, sebagian besar kelucuan tidak ditimbulkan oleh topik/tema cerita dan isi cerita, melainkan pada gaya penceritaan (retorika). Retorika merupakan pengkajian pola/gaya penceritaan yang terkait secara budayawi. Belum pernah ada yang mengajarkan atau menuliskan bagaimana cara menceritakan humor, khususnya humor dalam wacana Indonesia. Orang cenderung berpendapat bahwa menceritakan humor merupakan bakat. Namun, sebagaimana halnya dengan keahlian berpidato yang semula dianggap bakat dan kemudian malah dapat dipelajari, demikian juga halnya dengan menceritakan humor. Menceritakan humor adalah bagian retorika yang dapat dipelajari. Untuk dapat dipelajari, humor perlu dideskripsikan. Deskripsi yang memadai bertolak dari wujud humor sebagai wacana.
Tinjauan Teoritis Struktur Generik Teks Humor Struktur generik teks narasi adalah orientasi, komplikasi, dan resolusi. Humor sebagai salah satu jenis karya bahasa narasi memiliki unsur generik yang sama. Struktur generik tersebut adalah model yang dikembangkan oleh Labov (1972):
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 125
Abstrak Orientasi Perumitan Peristiwa
Resolusi Kode Bagan 10: Pola Generik Teks Narasi Abstrak adalah pernyataan singkat mengenai cerita: (misalnya, Saya akan bercerita tentang kejadian memalukan Sabtu kemarin). Orientasi merupakan penetapan waktu, tempat, dan karakter cerita yang perlu diketahui oleh pembaca/pendengar (misalnya, Kamu tahu guru baru di sekolah kita, dua hari yang lalu dia ....). Perumitan peristiwa merupakan peristiwa utama yang membuat peristiwa tersebut terjadi (misalnya, Komputer kita terbakar) Resolusi adalah bagaimana suatu peristiwa terselesaikan (misalnya, dia mendapat kompensasi dua juta rupiah). Sedangkan kode adalah semacam jembatan antara dunia penceritaan dan mengenai momen penceritaan (misalnya, dan sejak itu, saya selalu muak jika melihat duren). Tidak semua cerita memiliki rumusan seperti di atas, biasanya yang tidak ada adalah abstrak dan kode, sedangkan unsur lainnya harus ada agar dapat dikatakan sebagai sebuah cerita yang dapat dipahami. Disamping kelima unsur di atas, ada pula istilah „evaluasi.‟ Evaluasi terkandung dalam setiap tahapan unsur naratif. Disini,
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 126
evaluasi dimaksudkan agar cerita menjadi lebih menarik untuk dibaca atau didengarkan, misalnya ungkapan langsung, “kamu pasti senang mendengar yang satu ini, „saya kaget sekali‟, „dia melompat bagai kilat ... wuzzz!‟ Penamaan unsur evaluasi mungkin belum begitu sesuai untuk menggambarkan hal tersebut. Swan (dalam McCarthy, 1996) mengusulkan untuk menggantinya dengan istilah „validasi‟ yang mungkin lebih baik dari istilah „evaluasi‟ (komunikasi personal). Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, bandingkanlah dengan struktur generik yang telah dibahas dalam Pengajaran Berbicara yaitu: Pendahuluan/Pengantar, Orientasi, Peristiwa, Komentar, dan Kesimpulan. Analisis Struktur Generik Humor Berikut ini adalah beberapa contoh teks (humor) beserta model analisis unsur generiknya. Contoh: 1 (K1) Dalam sebuah seminar dibicarakan mengenai asal usul manusia. (K2) Para peserta seminar terlihat dalam perdebatan yang seru, masing-masng berusaha mempertahankan pendapatnya. (K3) Kelompok I dengan dalil yang mendukung teori evolusi Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. (K4) Kelompok II mengatakan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna dan merupakan keturunan Adam dan Hawa. (K5) Karena perdebatan terus berlangsung seru tanpa ada kesimpulan yang pasti, maka sang moderator mengetukkan palunya untuk
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 127
menghentikan perdebatan itu seraya berkata. “Baiklah, Saudara-saudara, saya akan mencoba mengetengahi. (K6) Tapi sebelumnya, pertama-tama saya persilakan Anda yang merasa dirinya sebagai manusia asli duduk di sebelah kanan saya. (K7) Dan bagi mereka yang merasa dirinya keturunan kera, silakan mengisi kursi di sebelah kiri saya”. (K8) Maka suasana menjadi riuh sejenak karena para peserta langsung berpindah ke kanan semua dan kursi yang sebelah kiri kosong sama sekali. Kode K1 s/d 8 dalam teks di atas menunjukkan nomor dan jumlah kalimat dalam teks tersebut. Teks humor di atas tidak memiliki bagian abstraksi, tetapi langsung ke bagian orientasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, orientasi merupakan penetapan waktu, tempat dan karakter cerita yang perlu diketahui pembaca/pendengar. Dalam teks di atas, yang dianggap sebagai unsur generik dari orientasi adalah bagian teks:
(K1) Dalam sebuah seminar dibicarakan mengenai asal usul manusia.... Bagian teks di atas yang diklasifikasikan sebagai unsur generik Perumitan Peristiwa adalah: (K2) Para peserta seminar terlihat dalam perdebatan yang seru, masing-masng berusaha mempertahankan pendapatnya. (K3) Kelompok I dengan dalil yang mendukung teori evolusi Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. (K4) Kelompok
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 128
II mengatakan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna dan merupakan keturunan Adam dan Hawa. Sementara bagian teks selanjutnya (K5 s/d K 8) dapat diklasifikasi sebagai unsur generik Resolusi. Bagian teks tersebut disajikan kembali di bawah ini: (K5) Karena perdebatan terus berlangsung seru tanpa ada kesimpulan yang pasti, maka sang moderator mengetukkan palunya untuk menghentikan perdebatan itu seraya berkata. “Baiklah, Saudara-saudara, saya akan mencoba mengetengahi. (K6) Tapi sebelumnya, pertamatama saya persilakan Anda yang merasa dirinya sebagai manusia asli duduk di sebelah kanan saya. (K7) Dan bagi mereka yang merasa dirinya keturunan kera, silakan mengisi kursi di sebelah kiri saya”. (K8) Maka suasana menjadi riuh sejenak karena para peserta langsung berpindah ke kakan semua dan kursi yang sebelah kiri kosong sama sekali. Teks di atas juga tidak memiliki unsur generik Kode. Sebagaimana dijelaskan di atas, sebagian besar teks humor hanya memiliki unsur generik Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan Resolusi. Ketiga unsur ini merupakan unsur wajib (compulsory) dalam sebuah narasi termasuk humor, sedangkan unsur Abstraksi dan Kode hanya merupakan unsur tambahan (peripheral). Dengan kata lain, sebuah teks narasi seperti humor akan sulit dipahami atau dianggap belum selesai bila ketiga unsur wajib (Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan Resolusi) tersebut tidak dicakup dalam teks
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 129
narasi tersebut. Namun demikian, teks narasi terse-but akan terasa lebih lengkap apabila kedua unsur penunjang (peripheral), Abstrak dan Kode, juga ada. Unsur lain dalam sebuah teks narasi, seperti yang dijelaskan di atas, adalah Evaluasi. Tujuan pencakupan unsur tersebut adalah untuk membuat humor menjadi lebih menarik. Karena sifatnya sebagai pelengkap, maka unsur Evaluasi dapat muncul dalam setiap unsur lain dalam sebuah humor. Namun, dalam contoh teks di atas, unsur generik Evaluasi tidaklah ada. Contoh Humor Dengan Unsur Generik Lengkap Walaupun agak jarang, beberapa teks humor memiliki unsur generik teks lengkap (Abstrak, Orientasi, Perumitan Peristiwa, Resolusi, dan Kode). Di bawah ini adalah sebuah contoh teks humor dengan unsur generik yang lengkap: Contoh: 2 (K1) Walau sudah merasa bosan, petang itu untuk kesekian kalinya si Kliwon bertengkar dengan istrinya. (K2) Persoalannya waktu baru dari kantor dan mengganti baju kemeja, istrinya menemukan dua helai sobekan karcis bioskop. (K3) „Sialan, kau nonton dengan siapa?‟ tanya istrinya geram. (K4) „Nonton apa?„ Sengaja Kliwon balik bertanya. Lupa dengan karcis yang berada di dalam kantong baju.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 130
(K5) „Peduli nonton apa!‟ Kata istrinya, kian marah. „Nonton bola kek. Nonton lenong, kek ...!‟ tambahnya. (K6) „Aku tadi memang nonton bola bersama teman-teman, siaran televisi di kantor ...‟ si Kliwon berdusta. (K7) ‟Nonton televisi di kantor? Mengapa pakai karcis bioskop?‟ Kata istrinya, sementara dua jari tangannya menjepit sobekan karcis bekas dari kantong baju si Kliwon tadi. (8) ‟Oh, itu tadi bekas majikanku yang nonton bioskop ...‟ Masih si Kliwon berusaha membela diri. (K9) Tetapi ternyata sia-sia. (K10) Perang mulut terus terjadi. (K11) Tak berkesudahan walau sampai habis halaman sebuku humor ... Unsur generik Abstraksi dalam teks humor di atas adalah K1, sementara unsur Orientasinya adalah K 2 s/d K6. K7 dalam teks humor di atas diklasifikasikan sebagai unsur Perumitan Peristiwa, sedangkan K8 adalah unsur Resolusi. Unsur Kode dalam teks di atas adalah K9 s/d K11. Terdapatnya semua unsur generik dalam teks di atas menunjukkan bahwa teks humor di atas memiliki unsur teks yang lengkap. Unsur-unsur generik yang membentuk teks humor di atas dapat pula digambarkan melalui bagan berikut:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 131
Abstrak (K1) Orientasi (K2 s.d. K6) Perumitan Peristiwa (K7) Resolusi (K8) Kode K9 s.d. K11)
Bagan 11: Pola Teks Humor
Bila teks humor yang kurang lengkap (contoh: 1) dan yang tidak lengkap (contoh: 2) dibandingkan ternyata efek kelucuannya tidak jauh berbeda. Dengan kata lain, keberadaan unsur abtraksi dan kode tidak banyak berpengaruh terhadap efek kelucuan dari sebuah teks humor. Yang lebih berpengaruh adalah substansi atau isi dari humor tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Trianto (2000) menunjukkan bahwa dari 37 teks humor yang diteliti (lengkap dan tidak lengkap), teks humor yang lengkap (yang memiliki keseluruhan atau lima unsur generik) dianggap kurang lucu oleh responden penelitian, sementara teks humor yang kurang lengkap (yang hanya memiliki tiga unsur generik wajib) malah dianggap sangat dan cukup lucu. Trianto juga menemukan bahwa sebagain teks humor dalam data penelitiannya hanya memiliki tiga unsur generik wajib yaitu, Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan Resolusi.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 132
Contoh Humor Dengan Unsur Generik Tidak Lengkap Sebagaimana dijelaskan di atas, sebuah teks humor harus memiliki tiga unsur geneik penting yaitu: Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan Resolusi. Dengan kata lain, apabila sebuah teks humor tidak memiliki ketiga unsur generik tadi, maka efek kelucuan humor tersebut akan berkurang. Di bawah ini adalah sebuah contoh teks humor yang hanya memiliki dua unsur generik yaitu: Orientasi dan Resolusi Contoh 3: (K1) Seekor anjing putih bertanya kepada anjing hitam. Anjing putih: (K2) ‟Kenapa sih dua orang itu berkelahi?‟Anjing hitam: (K3 )‟Wah, soalnya sih sepele, ketika salah seorang mulai meneriakkan nama kita maka berkelahilah mereka.‟ Dalam contoh teks di atas, kalimat pertama (K1) merupakan unsur teks Orientasi, sedangkan kalimat kedua dan ketiga (K2 dan K3) merupakan unsur Resolusi. Dengan kata lain, teks humor di atas tidak memiliki unsur penting Perumitan Peristiwa. Namun, walau terasa tidak lengkap teks humor di atas masih memiliki efek kelucuan. Hal ini disebabkan pembaca mampu memahami unsur Perumitan Peristiwa yang tidak ada (ellips), karena dalam budaya atau kebiasaan di Indonesia apabila seseorang memanggil orang lain dengan kata „anjing‟ akan dianggap sebagai suatu penghinaan yang dapat menimbulkan kemarahan dan dapat memicu perkelahian. Apabila dalam suatu budaya, aspek tersebut tidak ada atau orang tidak biasa menghina orang lain dengan menggunakan kata „anjing‟ maka orang yang
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 133
dihina tersebut tentu tidak akan merasa tersinggung. Apabila seseorang membaca teks humor seperti pada contoh di atas, maka orang tersebut tentu tidak akan mengerti atau merasa bahwa teks humor tersebut sebagai sesuatu yang lucu. Karena teks humor sangat bergantung pada budaya dimana teks tersebut diciptakan dan digunakan, maka untuk memahami sebuah teks humor dalam suatu bahasa, seorang pembaca atau pendengar juga harus mengerti budaya yang hidup dalam bahasa tersebut. Apabila pembaca atau pendengar tersebut tidak memahami budaya yang melatarbelakangi sebuah teks humor, maka ia akan mengalami kegagalan dalam memahami efek kelucuan dari teks humor tersebut.
Pola Umum Retorika Teks Humor Seperti terlihat pada tiga contoh teks humor di atas, urutan unsur-unsur generik teks tersusun dengan rapi; artinya tidak terdapat pengulangan unsur atau suatu unsur generik yang muncul dua kali. Unsur-unsur generik teks humor pada contoh di atas selalu berurutan mulai dari Abstrak (kalau ada) lalu diikuti oleh Orientasi, Perumitan Peristiwa, Resolusi, dan kemudian oleh Kode (kalau ada). Tidak terdapat teks dengan urutan unsur-unsur generik yang berbeda, misalnya yang dimulai dengan Kode dan diakhiri dengan Abstrak (flash-back).
Penggunaan Teks Humor Untuk Pengajaran Bahasa
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 134
Sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, humor bersifat universal; artinya humor ada dalam setiap bahasa dan budaya, serta sesuatu yang dianggap lucu oleh sekelompok masyarakat (language community) tertentu juga dianggap lucu oleh kelompok masyarakat lain asalkan masyarakat tersebut memahami budaya yang melatarbelakangi teks humor tersebut. Dengan kata lain, apabila pembaca atau pendengar gagal memahami atau salah memahami unsur budaya yang melatarbelakangi sebuah humor, maka pembaca atau pendengar tersebut tidak akan memahami humor yang didengar atau dibacanya atau ia akan salah paham (misunderstand), sehingga menimbulkan efek lain seperti tersinggung atau marah. Penggunaan humor dalam pengajaran bahasa, terutama untuk mata pelajaran membaca (reading) dan mendengar (listening) sangatlah disarankan, karena teks humor merupakan suatu teks yang menarik untuk dibaca atau didengar. Karena memang menarik, membaca atau mendengarkan teks humor akan membangkitkan motivasi siswa dalam mempelajari suatu bahasa atau memiliki keterampilan menggunakan suatu bahasa. Namun, agar siswa memahami dan menangkap efek kelucuan dalam teks humor tersebut, mereka harus diberi penjelasan terlebih dulu mengenai aspek-aspek budaya (kebiasaan) yang melatarbelakangi teks humor tersebut. Hal lain yang perlu diajarkan pada siswa adalah pola retorika (rhetorical structure) dari sebuah humor atau unsur-unsur generik yang sering terdapat dalam sebuah humor beserta tujuan komunikatif unsur-unsur tersebut. Dengan adanya pengetahuan mengenai retorika humor dan latar belakang budaya humor, siswa akan sangat terbantu dalam memahami teks humor yang mereka baca atau dengar.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 135
Teks humor memiliki unsur-unsur generik yang sama dengan teks narasi yaitu: Abstrak, Orientasi, Perumitan Peristiwa, Resolusi, dan Kode. Tiga dari lima unsur generik tersebut (Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan Resolusi) merupakan unsur wajib (compulsory), sementara dua unsur lainnya (Abstrak dan Kode) merupakan unsur tambahan (peripheral). Tingkat kelucuan suatu teks tidak ditentukan oleh kelengkapan unsur generik teks humor, melainkan oleh kualitas isi (content) dari teks tersebut, yaitu nilai ketidakterdugaan peristiwa dan solusi yang digambarkan dalam teks humor tersebut. Namun, apabila sebuah teks humor tidak memiliki salah satu unsur generik wajib dan pembaca atau pendengar gagal menebak atau memahami unsur yang tidak ada tersebut, teks humor tersebut tidak akan terasa lucu atau sulit dipahami. Humor merupakan bahan pelajaran bahasa yang sangat menarik terutama untuk mata pelajaran membaca dan menyimak, sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar bahasa dari siswa. Namun agar siswa dapat menangkap efek kelucuan dalam sebuah teks humor, mereka harus memahami latar belakang budaya dimana teks humor tersebut ditulis dan dipergunakan.
5.4. Model Analisis Teks Triad: Contoh Teks Editorial Surat Kabar3 Salah satu jenis media tulis yang lazim dibaca oleh banyak orang setiap harinya adalah surat kabar atau Koran, karena 3
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Jurnal Linguistika Vol 8 No.15 Tahun 2001.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 136
koran menyajikan berita-berita terbaru yang menjadi perhatian dan kebutuhan banyak orang. Surat kabar biasanya menyajikan beberapa jenis tulisan yang berbeda, seperti berita (news), artikel (essay), pemberitahuan (announcement), iklan (advertisement), surat pembaca (letters from the readers), dan ulasan atau tajuk rencana (editorials). Dalam tulisan ini, yang akan dianalisis adalah pola retorika tajuk rencana. Tidak ada alasan ilmiah khusus yang mendasari pemilihan jenis tulisan ini sebagai obyek studi kecuali atas dasar pertimbangan ukuran panjang tulisan yang relatif singkat sehingga layak (managable) untuk dianalisis. Tujuan utama analisis teks (TR Kompas) ini adalah untuk mengetahui apakah model analisis pola retorika „triad, yang diusulkan oleh Bolivar (1994), untuk menganalisis „newspaper editorials‟ yang diterbitkan dalam koran berbahasa Inggris. Pertanyaan utama yang diajukan adalah, “Apakah pola triad ini dapat dipakai untuk menganalisis pola retorika tajuk rencana (editorials) pada surat kabar dalam bahasa Indonesia?”. Disamping itu, tulisan ini juga bermotivasi untuk membuktikan hipotesis bahwa tidak semua pola retorika yang terdapat dalam suatu jenis karangan dalam bahasa Inggris juga terdapat dalam karangan dengan jenis yang sama namun dalam bahasa lain, seperti yang ditemukan oleh Kaplan (1966), Ahmad (1997), Golebiowski (1997), Clyne (1983), dan Safnil (2000). Model Analisis Pola Wacana „Triad‟ Model analisis teks yang sering dipergunakan untuk menganalisis editorial surat kabar dalam bahasa Inggris
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 137
adalah model “triad” atau analisis tiga bagian (three parts analysis), seperti yang disarankan oleh Bolivar (1994). Menurut Bolivar, sebuah teks (tajuk rencana) yang dinamakan „artifact‟ terdiri dari beberapa bagian (movement) dan setiap bagian terdiri dari satu triad atau lebih, sedangkan setiap triad terbentuk dari segmensegmen berbeda yang lebih kecil yang dinamai turn (yaitu, Lead, Follow, dan Valuate). Setiap triad memiliki fungsi yang berbeda seperti Situasi (Situation), Pengembangan (Development), atau Rekomendasi (Recommendation). Bila digambarkan dalam bentuk bagan pola teks, menurut Bolivar, akan berbentuk seperti pada bagan di bawah ini.
Teks
Triad 1
Bagian 1
Bagian 2
Triad 2
Triad 3
Bagian 3
Bagan 12: Pola Retorika Triad (Dari Bolivar, 1994:280) Seperti terlihat pada bagan di atas, sebuah teks (artifact) memiliki satu bagian (movement) atau lebih. Sebuah bagian minimal terdiri dari satu triad, sedangkan satu triad terbentuk dari minimal tiga segmen yang disebut turn, dimana turn dibagi kedalam tiga jenis, yaitu Lead, Follow, dan Valuate. Namun, berbeda dengan triad yang memiliki fungsi-fungsi yang berbeda, Bolivar tidak menyarankan fungsi yang berbeda terhadap bagian (movement), kecuali
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 138
hanya pada urutan dari bagian-bagian tersebut (yaitu, bagian A, B, C, dst.) pada sebuah teks. Bolivar memberi contoh sebuah triad yang diambil dari bagian awal editorial surat kabar yang berjudul „Behind closed Irish doors‟, yang diambil dari koran The Gurdian, 3 Maret 1981 seperti terlihat berikut ini (Terjemahan bebasnya diberikan dalam cetak tebal). Turn Lead
Follow
Valuate
Kalimat (1) Britain and Ireland are now trying, at long last, to work a less artificial link between them than that which binds two foreign states. Negara Inggris dan Irlandia akhirnya mencoba memperbaiki hubungan mereka menjadi lebih realistis dari pada hanya hubungan dua negara asing yang berdekatan. (2) This is the most hopeful departure of the past decade because it opens for inspection what had lain concealed for half a century and goes to the root of the anguish in Northern Ireland. Ini usaha awal yang paling memberi harapan dalam satu dekade terakhir karena langkah ini terbuka untuk diperiksa apa yang selama setengah abad belakangan ini ditutup-tutupi dan menusuk masuk ke akar kemarahan rakyat di Irlandia Utara. (3) The two countries now recognize that though they are independent of one another they cannot be foreign. Kedua negara tersebut sekarang sama-sama menerima bahwa walaupun mereka tidak tergantung.
Bagan 13: Pola Internal Satu Triad Seperti pada contoh di atas, sebuah triad terdiri dari tiga turn yang berbeda, yaitu: Lead, Follow, dan Valuate dengan fungsi yang berbeda pula. Menurut Bolivar (1994), turn L (Lead) berfungsi untuk memperkenalkan topik (the
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 139
aboutness) dari triad tersebut yang biasanya menyajikan berita atau informasi baru, sedangkan turn F (Follow) berfungsi untuk merespon berita atau informasi yang diperkenalkan dalam turn L. Turn ketiga atau terakhir V (Valuate) berfungsi untuk mengevaluasi berita atau informasi baru yang disajikan pada turn L dan sekaligus mengakhiri topik (the aboutness) dari triad tersebut. Menurut Bolivar lagi, walaupun fungsi evaluasi sering dilakukan oleh turn V, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa fungsi ini juga terdapat pada turn F seperti pada contoh di atas. Dengan kata lain, turn F juga bisa berisi penilaian dari penulis terhadap pernyataan awal (initiation) yang disajikannya. Bolivar (1994) lebih lanjut menerangkan bahwa triad dalam contoh di atas dapat diklasifikasikan sebagai triad Situasi atau S (Situation) yang biasanya muncul pada awal dari suatu bagian (movement) dari sebuah teks (yaitu, editorial atau tajuk rencana) dan berfungsi untuk menerangkan suatu kejadian masa kini (current event) yang sedang dievaluasi atau dibahas. Jenis triad lainya adalah triad Pengembangan atau D (develop-ment) yang biasanya muncul di tengah-tengah dari sebuah bagian (movement) teks setelah triad S dan berfungsi untuk mengembangkan referensi atau memperkenalkan kejadian yang relevan dengan triad awal (S). Jenis triad terakhir adalah rekomendasi atau R (Re-commendation) yang biasanya menempati posisi terakhir dalam sebuah bagian (movement) teks setelah triad Situasi (S), Pengembangan (D), dan Rekomendasi (R). Triad R berfungsi untuk menutup referensi dan evaluasi yang diberikan terhadap suatu kejadian yang dibicarakan. Namun, menurut Bolivar (1994), satu bagian (movement) tidak mesti terdiri dari tiga triad dari jenis yang berbeda; satu bagian bisa saja hanya
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 140
terdiri dari dua jenis triad (S dan D) tanpa ada triad R (Recommendation), namun jarang sekali ditemukan satu bagian yang hanya terdiri dari satu triad saja (yaitu Situasi). Demikian juga halnya dengan pola internal sebuah triad; sebuah triad bisa terdiri lebih dari tiga turn yang berbeda (yaitu Lead, Follow, dan Valuate). Misalnya, sebuah triad memiliki pola L-F-L-f-V atau L-F-L-F-L-F-V bila penulisan turn V (Valuate) ditunda oleh penulis atau pengarang guna memberi dukungan atau pembenaran yang lebih lengkap atau meyakinkan terhadap turn L atau initiation yang sedang dibahas atau membuat pembaca menunggu pendapat penulis mengenai topik yang dibahas atau sebelum Evaluasi diberikan.
Aplikasi Model Analisis Pola Wacana Triad Dalam Teks Bahasa Indonesia Model analisis triad dipergunakan untuk mengetahui pola retorika teks pada bagian Tajuk Rencana (TR) dalam surat kabar Kompas. Untuk tujuan ujicoba ini, dipilih sebuah teks (TR) berjudul „Bagi Almarhum Jenderal Nasution Dalil Lord Acton Tidak Berlaku‟ (Kompas Sabtu, 9 September, 2000). Tidak ada alasan ilmiah khusus yang mendasari pemilihan koran Kompas sebagai sumber teks mewakili koran-koran lainnya yang terbit dalam bahasa Indonesia. Anggapan yang dipergunakan sebagai dasar pemilihan teks ini hanyalah bahwa Kompas sebagai salah satu koran tertua dan beroplah besar di Indonesia, sehingga tentunya Kompas memiliki pola retorika yang lebih standar dibandingkan dengan teks atau karangan dalam korankoran lain yang lebih muda usianya atau lebih kecil oplahnya. Sementara pemilihan karangan atau teks Tajuk
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 141
Rencana (TR) sebagai obyek analisis dimaksudkan untuk mengikuti analisis yang dilakukan oleh Bolivar terhadap bagian editorial koran „The Gurdian‟ seperti diuangkapkan di atas. Kutipan data seutuhnya diberikan pada bagian Lampiran. Disamping itu, dengan mengingat bahwa TR merupakan jenis tulisan yang penting dalam surat kabar, TR sering diulas oleh penyiar radio atau pembawa acara televisi.
Gambaran Umum Tentang Teks Yang Dianalisis Tajuk Rencana (TR) Kompas Sabtu 9 September 2000 membahas tentang peninggalan atau warisan dari Jenderal Besar A. H. Nasution yang tak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia. Pada bagian awal, penulis TR terlebih dulu mengungkapkan betapa besarnya nilai moral peninggalan atau warisan dari Jenderal Nasution bagi bangsa Indonesia. Di bagian tengah tulisan ini, penulis, melalui pola interaktif (pola tanya-jawab), menjelaskan bagaimana Jendral Nasution bisa bertahan pada sifat, sikap, dan pengabdiannya dalam berbagai kondisi pemerintahan yang berubah-rubah dan dalam keadaan yang terpinggirkan oleh kekuasaan. Sedangkan pada bagian akhir, penulis TR menutup tulisannya dengan mengemukakan secara jelas dan ringkas bentuk warisan yang ditinggalkan oleh Jenderal Nasution dan relevansinya terhadap pembanguan demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, seperti lazimnya tulisan berbahasa Indonesia (Wahab, 1992), penulis menunda perkenalan topik tulisan secara utuh sampai pada akhir karangan, dan memilih untuk memperkenalkan topik secara tidak langsung. Pembaca dibiarkan bertanya-tanya, misalnya apa bentuk warisan Jenderal Nasution yang
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 142
dianggap oleh penulis sangat berharga bagi bangsa Indonesia itu, sampai pada akhir karangan. Cara tidak langsung yang dipilih penulis, melalui pembatasan ruang lingkup topik dengan menjelaskan apa yang tidak termasuk dalam cakupan topik. Misalnya, pada paragraph 1 (P.1) kalimat 2 dan 3 (K.2 &3), penulis TR mengatakan, “Warisan itu bukan harta kekayaan. Warisan itu diantaranya justru karena dia tidak meninggalkan harta kekayaan bagi keluarganya”. Dengan kata lain, sebelum penulis menjelaskan apa warisan Jenderal Nasution itu, ia menjelaskan terlebih dulu apa yang tidak termasuk dalam warisan Jenderal Nasution. Ciri khas lainnya dari TR adalah bahwa penulis memilih memberikan penilaian (evaluation) terhadap topik tulisan (warisan Jenderal Besar A. H. Nasution) justru sebelum memperkenalkan topik tulisannya. Penilaian tersebut, dengan mengatakan bahwa warisan tersebut “sangat berharga dan relevan (dengan pembangunan demokrasi di Indonesia)” (P.2); “warisan emas kencana murni yang bersinar-sinar di langit Indonesia” (P.6); dan “memberikan bahan refleksi” (P.8).“
Pola Retorika Tajuk Rencana : Aplikasi Model Triad Di bawah ini adalah teks (Tajuk Rencana Kompas Sabtu, 9 September 2000) yang disajikan secara utuh dengan bagian-bagiannya (movement), triad beserta fungsi komunikatifnya (yaitu Situasi, Pengembangan, dan Rekomendasi), dan turn (yaitu Lead, Follow, dan Valuate) dari hasil analisis teks yang diajukan. Bg
Safnil
Tr
Tu
Kalimat atau Klausa
Pengantar Analisis Retorika Teks 143
I
S
L
(1) Jenderal Besar Abdul Haris Nasution yang meninggal pada hari Rabu yang lalu, meninggalkan warisan.
F
(2) Warisan itu bukan harta kekayaan (3) Warisan itu diantaranya justru karena ia tidak meninggalkan harta kekayaan bagi keluarganya. (4) Padahal ia pernah berkuasa bahkan amat berkuasa untuk bertahun-tahun lamanya.
V
D
Safnil
L
(5) Baginya tidak berlaku pernyataan Lord Acton, bahwa kekuasaan itu korup dan kekuasaan secara absolut korup secara absolut pula. (6) Untuk bangsa Indonesia, juga dewasa ini, warisan Pak Nas itu sangat berharga dan amat relevan. (7) Terus terang meskipun kita kini menempatkan kekuasaan pada sistem demokrasi yang transparan dan akuntabel, yang terbuka lagi bertanggung jawab, kita masih terus menerus cemas, dapatkah kita menegakkan dan menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih.
F
(8) Yakni, pemerintahan yang tidak berkorupsi, tidak berkolusi, tidak berkroni, baik kroni lingkungan dan kelompok maupun kroni keluarga.
L
(9) Mengapa kecemasan itu menghantui?
F
(10) Sebab, sekarang saja, ketika mantan Presiden Soeharto yang jatuh karena represi politik, represi ekonomi dan represi keadilan, harus dihadapkan ke pengadilan, kita belum melihat isyarat yang meyakinkan bahwa kebiasaan, budaya dan paham KKN akan kita tinggalkan dan terutama akan ditanggalkan oleh mereka yang punya kekuasaan.
Pengantar Analisis Retorika Teks 144
V
(11) Dalam kondisi itulah, warisan Jenderal Nasution yang sama sekali tidak menggunakan kesempatan kekuasaannya, apalagi menyalahgunakannya, menjadi warisan emas kencana murni yang bersinar-sinar di langit Indonesia. (12) Benar seperti yang dikatakan oleh semua komentar yang mengantarkan kepergiannya, yakni Jendral Nasution merupakan sosok teladan.
L
(13) Darimana almarhum menimba kekuatan dan motivasi untuk bertahan menegakkan sosok bersih itu?
F
(14) Dari visi interpretasi, dan penghayatan imannya. (15) Dari kesadaran dan pergulatannya sebagai prajurid pejuang Saptamarga. (16) Dari motivasinya sebagai patriot, cinta Tanah Air, cinta alam, dan penghuni Tanah Air.
L (17) Warisan dan pengalaman almarhum juga memberikan bahan refleksi. F (18) Diperlukan sosok pribadi yang bersih, jujur, dan tak terkorupsikan oleh kesempatan, wewenang, dan kekuasaan. V (19) Sosok seperti Pak Nas, apalagi dari angkatannya terhitung lebih banyak. R
Safnil
L
(20) Mengapa kehadiran dan teladan mereka tidak sedemikian besar pengaruhnya sehingga berhasil mencegah bersalahgunanya kekuasaan sampai mencapai tingkat dan ukuran yang menempatkan Indonesia pada urutan bawah dalam aib itu?
V
(21) Sosok pribadi amat sangat diperlukan dan
Pengantar Analisis Retorika Teks 145
II
S
L
F
III
Safnil
besar peranannya. (22) Tetapi jika akan efektif dan berskala luas, komitmen daan kebajikan sosok-sosok pribadi itu harus ditunjang dan ditempatkan dalam suatu sistem serta institusi dan perangkat-perangkatnya. (23) Gambaran dan cita-cita filsuf negarawan seperti Plato yang berbicara tentang peranan King-Philosopher, raja dan filsuf, raja dan negarawan, tidaklah memadai jika tidak ditempatkan pada sistem dan perangkat yang menempatkan kekuasaan pada posisi yang dikontrol, dikoreksi, terbuka serta dipertanggungjawabkan. (24) Sistem dan perangkat itu adalah sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial. (25) Sistem-sistem itu dikenal sebagai sistem diktator absolut, sistem otokrasi proletar (kerakyatan), sistem demokrasi liberal, sistem demokrasi sosial. 26) Jenderal Nasution seperti juga Jenderal TB. Simatupang, serta para pemikir militer lainnya, terlibat dalam pergulatan bahwa pergulatan perjuangan untuk menemukan sistem dan perangkat yang pas dan kena untuk kondisi nyata Indonesia, sekaligus komitmen cita-cita dan sejarah perjuangannya.
S
L
D
L
(27) Pada mulanya terutama oleh pemikir sipil, yang disebut dengan Jalan Indonesia itu lebih ditafsirkan bukan ini dan bukan itu, bukan demokrasi liberal dan bukan pula demokrasi proletar, bukan juga diktator atau otokrasi.
F
(28) Sesuai dengan pembawaan militer, jalan tengah yang dikatakan bukan ini bukan itu, berkat kontribusi pemikiran militer diformulasikan menjadi lebih konkret. (29) Mula-mula secara moderat terutama oleh Jenderal Nasution diformulasikan dengan
Pengantar Analisis Retorika Teks 146
dwifungsi. (30) Kemudian terutama oleh kalangan militer pragmatis Jenderal Soeharto dijabarkan dalam Dwifungsi plus kekuatan politik Golkar serta Birokrasi. L
(31) Bagaimana perkembangan dan hasilnya,
F
(32) kita menyaksikan, mengalami bahkan terlibat dalam pergulatannya.
F
(33) Proses dan hasilnya yang salah jadi membuahkan kontra produksi seperti yang kita alami kemudian.
V
(34) Akan tetapi dalam proses menuju salah jadi itu, Jendral Nasution tidak bertanggung jawab.
L (35) Ia disisihkan dan seperti halnya pada pemerintahan presiden Soekarno, Pak Nas menerima status dipinggirkan itu tanpa protes, tanpa upaya melawan. F
Safnil
L
(36) Apa yang melatarbelakangi sikap Pak Nas? (37) Pemahamannya sebagai sikap prajurid Saptamarga yang taat, loyal, dan menghormati pemerintahan yang sah? (38) Atau juga sosok pribadinya yang pernah dilukiskan seperti sikap mendua Pangeran Hamlet karya pujangga Inggris William Shakespeare?
L
(39) Pada hari-hari menjelang dan setelah terjadinya peristiwa G 30 S, tokoh dan yang tampil sebagai pahlawan adalah Jendral Abdul Haris Nasution.
F
(40) Yang ternyata memetik buahnya adalah Jenderal Soeharto.
Pengantar Analisis Retorika Teks 147
V
(41) Apapun sirkumstansi serta interpetaiinterpretasinya, menurut faktanya itulah yang terjadi. (42) Pak Harto tampil, Pak Nas surut.
L
(43) Bahkan sejarahpun berulang sekalipun konteksnya berbeda, yakni Pak Nas terpinggirkan dari panggung sentral politik.
F
IV
R
L
S
L
F
D
L
F
Safnil
(44) Ia tetap mengemban sosoknya yang jujur dan tanpa pamrih. (45) Ia tetap produktif berkarya lewat tulisan-tulisannya yang bermutu, seperti halnya karyanya tentang Perang Gerilya. (46) Akan tetapi sebagai tokoh politik militer dan pemikir politik, sebagai prajurid Saptamarga dan patriot, ia terpinggirkan. (47) Dari posisi dipinggiran itu, ia tidak mampu mencegah bersalahgunanya perkembangan dwifungsi dan jalan ke tiga. (48) Dari sisi itulah Pak Nas, seperti halnya sejumlah tokoh lainnya, sebutlah Ali Sadikin, disamping kebesarannya juga menyiratkan sisi tragis. (49) Perubahan besar terjadi lagi di Tanah Air (50) Bukan dari demokrasi parlementer ke jalan ketiga lewat demokrasi terpimpin, dwifungsi serta dekabel (runyamnya) demokrasi Pancasila (de facto otokrasi). (51) Perubahan yang masih sempat disaksikan oleh Pak Nas dari pinggir, justru perubahan dari otokrasi ke demokrasi. (52) Karena itu, dwifungsi dan peranan militer surut. (53) Teringatlah kita akan pidato Presiden Philipina Fidel Ramos di Universitas Nasional Australia di Canberra tahun 1998. (54) Katanya, tanggung jawab orang dibanyak negara di seantero dunia sekarang, bukan lagi
Pengantar Analisis Retorika Teks 148
R
mengganti otokrasi dengan demokrasi. (55) Tanggung jawab itu ialah membuat demokrasi bekerja, bekerja di kalangan rakyat. (56) Untuk itu, warisan Pak Nas tetap relevan, yakni warisannya sebagai sosok pemegang kekuasaan yang tidak korup, (57) warisannya sebagai pemimpin yang hidup sederhana, (58) warisannya sebagai prajurit Saptamarga yang loyal dan patriotik.
L
Bg = Bagian Tr = Triad
Tu = Turn
Bagan 14: Model Analisis Teks Tajuk Rencana Dengan Pola Analisis Triad Seperti terlihat pada analisis teks di atas, teks terdiri dari 4 bagian (yaitu I, II, III dan IV). Setiap bagian minimal memiliki satu triad (Situation). Setiap triad minimal memiliki satu turn (Lead); sementara pola triad sangat bervariasi dari satu triad ke triad yang lain. Ada triad yang hanya terdiri dari satu turn, namun ada juga triad yang terdiri dari beberapa turn seperti triad Pengembangan (Development) pada Bagian III. Triad ini terdiri dari 13 turn dengan pola L-F-L-F-V-F-L-F-L-F-V-L-F. Apabila hasil analisis teks di atas digambarkan pada sebuah bagan, maka akan terlihat seperti disajikan pada bagan berikut ini:
Teks (TR)
Bag. I
S
D
Safnil
Bag. II
R
S
Bag. III
S
D
Bag. IV
R
S
D
R
Pengantar Analisis Retorika Teks 149
(L) (L) (L) (F) (F) (V) (v) (L) (F) (V) (L) (F) (L) (F)
(L) (F)
(L) (F)
(L) (F) (L) (F) (V) (L) (F) (L) (F) (V) (L) (F) (V)
(L) (L)
(L) (F)
(L)
Bagan 15: Pola Teks (Tajuk Rencana Kompas) Seperti terlihat pada bagan di atas, pola teks (TR) sangat didominasi oleh Triad D (Development). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Triad D berfungsi untuk mengembangkan referensi atau memperkenalkan kejadian yang relevan dengan Triad awal (S). Dengan kata lain, teks TR didominasi oleh upaya penulis untuk menjelaskan atau mendukung pernyataan yang disajikan pada awal sebuah bagian teks. Selanjutnya, seperti juga terlihat pada Bagan 5, teks terdiri dari 4 bagian (I, II, III dan IV). Pola ini merefleksikan empat bagian teks yang umum dipergunakan, yang diawali oleh Pendahuluan, kemudian Isi dan Kesimpulan atau Penutup, dimana bagian isi (content) dipecah menjadi dua bagian untuk memudahkan pembaca memahami teks. Hal lain yang menarik diperhatikan adalah bahwa tidak semua triad memiliki turn V (Valuate); sebagian besar Triad hanya terbentuk dari Turn L dan F. Salah satu interpretasi dari fakta ini adalah bahwa penulis teks yang dianalisis (TR) menganggap Turn V kurang penting
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 150
dibandingkan dengan Turn lain (L dan F). Dengan kata lain, penulis TR kurang berkeinginan untuk memasukkan penilaiannya sendiri terhadap pernyataan atau kenyataan yang disajikan. Bila dibandingkan dengan pola teks (Editorials: “Behind The Closed Irish Door”) yang dianalisis oleh Bolivar (1994), terdapat perbedaan yang cukup berarti. Pada teks Bolivar, pola setiap Triad agak berimbang, dimana tidak ada Triad yang terlalu panjang atau yang terbentuk dari banyak Turn seperti dalam teks (TR). Pada teks Bolivar, setiap Triad (S, D atau R) terbentuk dari tiga Turn yang berbeda (L, F dan R), walaupun panjang atau jumlah kalimat pada setiap Turn tidaklah sama. Pebedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan persepsi penulis mengenai pengetahuan dan/atau kesukaan pembaca. Sebagaimana yang sering ditemui pada teks ilmiah, penulis Indonesia cenderung lebih memanjakan pembaca dengan berbagai cara, seperti dengan mengemukakan fakta sebanyak mungkin untuk mendukung pernyataan atau „thesis statement‟ yang sudah diajukan. Hasil analisis terhadap TR Kompas di atas menunjukkan bahwa model analisis Triad yang diajukan oleh Bolivar (1994) dapat dipergunakan untuk menganalisis pola retorika teks (Tajuk Rencana) pada surat kabar berbahasa Indonesia. Pola retorika teks (TR) berbahasa Indonesia berbeda dengan pola retorika Editorials berbahasa Inggris. Perbedaan yang sangat berarti terdapat pada bentuk Triad D (Development).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 151
5.5.
Ringkasan
Pada Bab 5 ini telah dibicarakan berbagai model analisis teks beserta contoh dari berbagai bentuk atau tipe wacana berdasarkan tujuan komunikatif teks tersebut. Namun model-model ini hanya merupakan salah satu bentuk atau model alternatif analisis teks yang mungkin dilakukan. Sangat mungkin terdapat model-model analisis teks lain yang bisa dilakukan berdasarkan tujuan analisis lain seperti berdasarkan ciri-ciri linguistik, ciri-ciri kohesi dan koherensi, pengembangan topik dan lain-lain.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 152
BAB 6 POLA RETORIKA BAGIAN PENDAHULUAN ARTIKEL JURNAL PENELITIAN4
B
arang kali, bagian artikel jurnal penelitian yang
paling banyak diteliti atau dianalisis adalah bagian pendahuluan untuk melihat persamaan dan/atau perbedaan pola retorika bagian tersebut dalam berbagai bidang ilmu yang berbeda atau dalam berbagai bahasa yang berbeda. Hal ini antara lain disebabkan karena bagian pendahuluan tersebut merupakan bagian yang paling awal dibaca oleh pembaca artikel jurnal dan juga karena bagian ini merupakan bagian artikel yang paling sulit ditulis. Pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian yang paling sring diujicobakan ketika para peneliti melihat atau menemukan pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian dalam suatu bidang ilmu dan dalam sebuah bahasa adalah pola yang ditemukan oleh Swales (1981, 1984, 1988, and 1990). Oleh Swales pola retorika ini diberi nama dengan CAR (creat a research space). Pola ini disamping mudah dipahami juga mudah 4
Tulisan ini dalam versi bahasa Inggris pernah diterbitkan dalam jurnal “The Asian-Pacific Education Researcher‟, Vol. 12, No. 1 Tahun 2003.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 153
digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan berbagai bahasa. (Ahmad 1997). Melalui pola retorika yang dia beri nama CARS, Swales (1990) memperkenalkan bahwa bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian mempunyai tiga subbagian (Move) seperti yang disajikan dalam Bagan di bawah ini.
Move 1 : Establishing a territory
•Step1: Claiming centrality • and/or •Step 2: Making a topic generalization • and/or •Step 3: Reviewing items of previous research effort
Move 2: Establihing a niche
•Step 1A: Counter claiming • or •Step 1B: Indicating a gap • or •Step 1C: : Question-raising •Srep 1D: Continouing tradition
Move 3: Occupying the niche
•Step 1A: Outlining purposes • or •Step 1B: Announcing present research •Step 2: Announcing principle findings •Step 3: Indicating RA structure
Bagan 16: Model „CARS‟ Dalam Bagian Pendahuluan Artikel Jurnal Penelitian (Dari Swales, 1990: 141) Menurut Swales, model CAR ini lebih mampu dalam menangkap berbagai tujuan komunkatif penting dalam bagian pendahuluan artikel tersebut. Tujuan komunikatif penting tersebut adalah:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 154
a) to establish the significance of the research, (untuk menyatakan bahwa penelitian yang telah dilakukan itu penting) b) to situate the research in terms of its significance, and (untuk menempatkan penelitian tersebut dalam konteks penting tersebut), dan c) to show how this niche will be occupied and defended in the wider ecosystem” (p: 140). (untuk menunjukkan bagaimana celah untuk penelitian yang tersedia dimanfaatkan dan dipertahankan oleh peneliti). Seperti terlihat dalam bagan di atas, setiap sub-bagian (Move) mempunyai sub-sub-bagian (Step) lagi. Sebagian sub-sub-bagian tersebut harus ada (compulsary) dan sebagian lagi boleh ada dan boleh juga tidak (optional).
6.1. Penjelasan Tentang Wilayah Penelitian (Move 1) Untuk menjelaskan wilayah penelitian dalam model CARS, peneliti harus menyampaikan tujuan-tujuan komunikatif berikut ini: pengakuan bahwa topik penelitian menjadi pusat perhatian para peneliti lain, pernyataan tentang perkembangan ilmu mutakhir tentang topik penelitian, dan mengulas temuan-temuan dalam penelitian terkait sebelumnya. Karena artikel jurnal penelitian merupakan suatu karya retorika persuasif yang pada umumnya dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu introduction, methods, results and discussion atau IMRD (Bazerman, 1984;
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 155
Berkenkotter and Huckin, 1995; Day, 1979; Swales, 1990; Brett, 1994; and Holmes, 1997). Kemudian dalam setiap bagian penulis juga berusaha melalukan retorika persuasif kepada pembaca untuk mencapai tujuan kolektif dari artikel jurnal penelitian tersebut (Hunston, 1994). Dalam bagian pendahuluan, menurut Hunston (1994), penulis berusaha meyakinkan pembaca dengan mengatakan bahwa penelitian yang telah dilakukan penting dan perlu karna ia mengisi kekosongan atau kekurangan pengetahuan yang ditinggalkan oleh peneliti terdahulu. Jadi, dalam setiap Move penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa penelitian yang telah dilakukan adalah penting dan berguna sehingga artikel tersebut perlu dibaca. Secara umum retorika persuasif dapat dibagi ke dalam tiga tipe: 1) persuasif secara rasional, 2) persuasif secara kredibilitas, dan 3) persuasif secara afektif (Connor and Lauer 1988). Menurut Connor and Lauer, persuasif rasional meliputi pengelompokkan dan pertentangan; persuasif kredibilitas mengacu kepada ketertarikan dan sudut pandang yang sama; dan persuasif afektif menggunakan emosi pembaca atau pendengar.
6.2. Penciptaan Celah untuk Penelitian (Move 2) Setelah menjelaskan wilayah penelitian, penulis perlu menunjukkan celah (gap) yang terdapat dalam penelitianpenelitian terkait terdahulu atau dalam pengetahuan terkini tentang sebuah topik dengan tujuan untuk menciptakan peluang atau alasan yang kuat kenapa penelitian ini penting dilakukan (Swales, 1990). Retorika ini biasanya dilakukan dengan melihat kelemahan, kesalahan atau keterbatasan peneltian-penelitian terkait terdahulu (Swales, 1984).
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 156
Ada empat cara yang dapat dipilih oleh penulis untuk mengeritik literatur yang ada: 1) menyatakan tidak sependapat dengan hasil penelitian atau pendapat penulis terdahulu; 2) menyatakan bahwa peelitian-penelitian terkait sebelumnya kurang atau valid dan reliabel; 3) ingin menjawab pertanyaan yang muncul dari hasil penelitian terdahulu; dan 4) ingin melihat perkembangan lebih jauh tentang suatu kasus. Ciri khusus Move 2 ini, menurut Swales (1984), adalah penggunaan kuantifier yang negatif atau semi negatif, katakata menidakkan, dan penggunaan tanda-tanda negatif dalam frasa verba.
6.3. Pemanfaatan Celah Penelitian (Move 3) Peran Move 3 dalam model CARS adalah untuk merobah peluang penelitian yang telah disampaikan pada Move 2 menjadi alasan yang menadasari kegiatan penelitian yang telah dilakukan (Swales, 1990: 159). Dalam Move 3 ini, peneliti memberikan solusi atau jawaban terhadap pertanyaan yang belum terjawab dalam penelitian terdahulu, atau memberikan perbaikan terhadap kegiatan penelitian terdahulu atau untuk menjawab pertanyaan khusus sebagaia kelanjutan dari kegiatan penelitian terdahulu; oleh sebab itu hubungan antara Move 2 dan Move 3 sangat erat. Swales menyarankan bahwa Step yang wajib dalam Move 3 adalah adalah Step 1 yang dapat berbentuk kalmat seperti dalam contoh di bawah ini:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 157
Step 1A: Penulis menyatakan tujuan khusunya dalam penelitian tersebut; dan Step 1B: Penulis menguraikan apa yang dia anggap menjadi ciri khas dari penelitiannya. Bila dibandingkan dengan Move 1, pola retorika dalam Move 3 lebih langsung dan sederhana secara sintaksis maupun seacara simpler syntactisemantik. Oleh sebab itu bagian ini sering lebih pendek diobandingkan dengan bagian-bagian lainnya (Ahmad, 1997). Tujuan komunikatif utama dari Move 3 ini adalah untuk mengumumkan tujuan penelitian, ciri-ciri khas penelitian, temuan-temuan penting, dan struktur artikel penelitian tersebut. Beda dengan Move 1 yang lebih argumentatif dan persuasif, Move 3 lebih lebih informatif; dan oleh sebab itu, satu ciri khas Move 3 ini menurut Swales (1990: 159) adalah tidak adanya kutikan atau referensi. Swales (1990) lebih lanjut menyarankan bahwa model CARS butuh validasi tidak hanya pada artikel penelitian dalam bahasa atau budaya selain Inggris tapi juga pada artikel penelitian dalam bidang ilmu yang berbeda dalam bahasa Inggris khususnya tentang kestandaran pola retorika tersebut. Swales juga telah membuat pernyataan dengan sangat yakin bahwa pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian dalam bidang ilmu alam (natural science) dan bidang ilmu sain murni lebih konvensional atau standar dari pada yang terdapat dalam bidang ilmu sosial. Ini terjadi antara lain karena, dalam bidang ilmu sain terdapat konsensus bahwa tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting sehingga struktur makro retorika ilmiah mereka lebih
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 158
beraturan dari pada yang terdapat dalam bidang ilmu sosial dan humaniora.
6.4. Move dan Step dalam Bagian Pendahuluan Artikel Jurnal Penelitian Berbahasa Indonesia 6.4.1. Move 1 (Penjelasan Tentang Wilayah Penelitian) Tidak seperti pola retorika artikel jurnal penelitian dalam bahasa Inggris, pola retorika bagian pendahuluan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi ke dalam dua pola, yaitu pola langsung dan pola tidak langsung. Pola langsung terjadi ketika penulis langsung memperkenalkan topik penelitian atau isu utama penelitian. Cara ini merupakan pola yang ideal dalam bahasa Indonesia sebagaimana dianjurkan oleh Rifai (1995) yang mengatakan bahwa penulis harus langsung memperkenalkan topik atau masalah penelitian mereka di awal bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian mereka tanpa membahas bahanbahan yang tidak terkait atau tidak perlu. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahab (1992), ketika dia mengatakaan bahwa pola pengantar langsung dalam artikel atau tulisan ilmiah sepertinya dipakai oleh penulis Indonesia dimana mereka harus menyampaikan topik atau masalah penelitian mereka sejak paragraf pertama. Dalam pola langsung ini terdapat dua bentuk retorika yang sering dipakai oleh penulis Indonesia, yaitu: 1) menyampaikan topik penelitian; atau 2) menyampaikan masalah penelitian.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 159
Masing-masing bentuk retorika ini akan dibahas dengan contoh di bawah ini. (Semua contoh yang disajikan diambil dari Safnil, 2001). Contoh 1: [Prg. 1] Lingkungan kerja memiliki potensi menyebabkan guru stres. Beberapa temuan penelitian menunjukkan bahwa guru mengalami stres yang bersumber dari lingkungan kerjanya (Bork dan Riding, 1993; Fontana dan Abouserie, 1993; Smith dan Bourge, 1992). Penelitian Smith dan Bourke, misalnya, menemukan bahwa 66 persen stres yang dialami guru sekolah perawat bersumber dari pekerjaannya. Temuan itu dapat dijelaskan berdasarkan ciri pekerjaan guru yang bersifat repetitif. Long dan Kahn (1992) mengemukakan, pekerja yang melakukan tugas yang bersifat rutin akan mengalami stres jangka panjang. Dalam contoh di atas, penuls menyampaikan topik penelitian pada kalimat pertama dalam paragraf pertama: lingkungan kerja guru yang dapat menyebabkan guru stres. Penulis mendukung pernyataan tersebut dengan mereviu hasil-hasil penelitian atau referensi terdahulu. Contoh 2: [Prg. 1] Agresifitas remaja akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang semakin meningkat, baik dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitasnya. Dulu perilaku agresif remaja yang ditunjukkan bersifat musiman. Hal ini biasanya berwujud perkelahian antar remaja yang dilakukan pada saatsaat tertentu, misalnya pada awal atau akhir semester.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 160
Sekarang ini perilaku agresif mereka seolah-olah tidak memandang waktu lagi. Ada masalah sedikit atau sepele saja, segera timbul perkelahian. [Prg. 2] Dari segi kwalitas, perkelahian remaja menunjukkan gejala yang semakin meningkat. Korban yang jatuh tidak sekadar mengalami luka, akan tetapi menelan korban jiwa. Keadaan semacam ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan semua pihak, baik keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Sebab tidak jarang fasilitas umum banyak yang rusak akibat perkelahian tersebut. Dalam contoh di atas, penulis menyampaikan masalah penelitiannya Peningkatan agresifitas remaja akhir-akhir dalam paragraf pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan penyebab msasalah tersebut. Hipotesis penulis adalah terdapat hubungan yang positif antara menonton filem atau acara televisi kekerasan dengan peningkatan keagresifan para remaja. Seperti terlihat dalam kedua contoh di atas, penulis tidak berusaha memberikan latar belakang informasi, seperti definisi dan elaborasi tentang istilah-istilah penting; mereka langsung saja memperkenalkan topik penelitian. Mungkin mereka berasumsi bahwa pembaca telah akrab dengan bidang penelitian tersebut. Ciri kas lainnya adalah bahwa beberapa penulis menggunakan referensi atau kutipan untuk mendukung pentingnya topik dan/atau masalah penelitian mereka. Pola retorika ke dua dari bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian berbahhasa Indonesia adalah pola tidak langsung; walaupun tidak konvensional (Rifai 1995 and
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 161
Djaali 1994) pola ini sering dipakai oleh penulis Indonesia. Pola retorikaa tidak langsung ini digunakan ketika penulis memberikan latar belakang informasi atau informasi yang diperlukan bagi pembaca agar dapat memahami topik penelitin yang akan diajukan. Salah satu tujuannya adalah untuk menyiapkan skemata atau latar belakang pengetaahuan pembaca agar dapat memahami topik penelitian dan sekaligus menghindari terjadinya kesalahpahaman dari pembaca terhadap topik atau masalah penelitian yang diajukan. Pola retorika serupa juga biasa ditemukan dalam bahasa Polandia (Duszak, 1994). Menurut Duszak, penulis akademik Polandia cendrung mendefinisikan dan mengelaborasi istilah-istilah penting dalam artikel penelitian mereka untuk mengantisipasi kesalahpahaman pembaca yang dapat menimbulkan kritikan. Dengan kata lain, disamping untuk menyiapkan skemata pembaca, latar belakang informasi juga digunakan sebagai strategi pertahanan bagi penulis dari pembaca terhadap serangan mereka karena kesalahpahaman. Dalam pola retorika tidak langsung, penulis Indonesia memperkenalkan topic dan/atau masalah penelitian belakangan; mereka menyajikan atau merujuk beberapa hal terlebih dahulu dibagian awal seperti: 1) kebijakan pemerentah yang terkait dengan topic penelitian mereka, 2) uraian tentang ciri-ciri khusus lokasi penelitian, 3) definisi istilah-istilah penting, 4) membuat klaim umum, dan/atau 5) menguraikan sejarah bidang ilmu yang diteliti. Dalam beberapa artikel lebih dari satu retorika atau gabungan dari beberapa retorika dapat kita temukan.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 162
Misalnya, artikel tersebut dimulai dengan klaim umum, kemudian diikuti oleh definisi istilah-istilah penting atau dimulai dengan definisi istilah penting dan diikuti oleh uraian sejarah bidang ilmu penelitian.
6.4.2. Riviu Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Sebagaimana dibahas sebelumnya, Swales (1990) mengklasifikasikan kutipan atau referensi menjadi empat tipe yang berbeda: Integral Reporting (IR), Nonintegral Reporting (NR), Integral Nonreporting (INR), dan Nonintegral Nonreporting (NINR). Dengan cara yang agak berbeda untuk mengetahui pengarang yang karyanya dikutip juga terjadi, meskipun dengan sangat jarang dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia. Inilah dimana kedua nama (nama pertama dan nama kedua) dari pengarang yang karanya dikutip muncul dalam teks tersebut. Hal ini diperlihatkan dalam contoh-contoh berikut ini: Contoh 3: 1) [Prg. 9] (S.6) Onong Uchana (1979: 42) membagi komunikasi menjadi tiga yaitu: (1) komunikasi vertikal, (2) komunikasi horizontal, dan (3) komunikasi eksternal. (ECO. 19) 2) [Prg. 14] (S.3) Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa soal-soal ujian masuk perguruan tinggi memiliki validitas prediktif (yang Djamaludin Ancok, 1988) (EDU. 1)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 163
Seperti yang terlihat dalam contoh-contoh di atas, baik nama pertama maupun nama kedua dari pengarang, Onong Ucha dan Djamaludin Ancok digunakan dalam referensi ini. Tehnik ini digunakan baik untuk integral citation (Contoh 3:1) dan non-integral citation (Contoh 3:2). Rifai (1995) menyatakan bahwa praktek ini adalah cukup umum dalam penulisan ilmiah bahasa Indonesia meskipun tidak standar. Hal itu digunakan karena dalam komunikasi setiap harinya, seseorang dipanggil hanya dengan nama pertamanya (tidak pernah dengan nama kedua atau nama kain), dan hanya bila mereka diacu hanya untuk nama kedua atau lainnya dalam RA, orang tidak akan mengetahuinya, dan karenanya, banyak penulis tidak nyaman untuk menggunakan tehnik pengetahuan tersebut bahkan dalam penulisan ilmiah. Suatu temuan yang menarik adalah dalam hal frekwensi tipe kutipan yang digunakan dalam data untuk studi ini adalah pada kenyataannya, frekwensi kutipan yang diklasifikasikan sebagai Non-reporting jauh lebih banyak dari pada kutipan yang diklasifikasikan sebagai Reporting. Temuan ini sejalan dengan temuan dari Bazerman (1984) ketika dia menemukan tendensi dari peralihan dari tipe kutipan reporting ke non-reporting dalam teks-teks Physical Review nya. Menurut Swales (1990), tidak seperti tipe kutipan Non-reporting, tipe Reporting dapat digunakan untuk menciptakan ruang untuk penelitian karena memungkinkan para penulis untuk menyediakan signal awal untuk para pembaca bahwa suatu klaim (yang penting) akan diacu untuk lagi kemudian dalam bagian pembahasan dari RA. Persentase kecil dari tipe kutipan reporting dalam bahasa Indonesia dapat memperlihatkan bahwa para penulis RA bahasa Indonesia menggunakan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 164
tehnik yang berbeda untuk menciptakan ruang untuk penelitian. Cara-cara dari para penulis RA bahasa Indonesia menciptakan ruang untuk penelitian akan dibahas secara terperinci kemudian dalam bab ini.
6.4.2. Move 2 (Penciptaan Celah untuk Penelitian) Move 2 terutama melibatkan penunjukkan pada kelemahan dari karya relevan yang sebelumnya, yang menyangkal klaim terdahulu yang dibuat oleh para penyelidik sebelumnya dan membuat klaim yang dapat membantah karya orang lain; hal ini cara yang umum dari para penulis RA bahasa Inggris mengembangkan suatu niche atau menciptakan ruang untuk penelitian (Swales, 1990). Dengan kata lain, para penulis RA bahasa Inggris menjustifikasi karya mereka saat ini dengan mengupas karya orang lain. Dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia hanya sedikit dari RA bahasa Indonesia memiliki segmen yang dapat diklasifikasi sebagai Move 2. Segmen pembuatan celah penelitian ini diekspresikan dengan menggunakan dua tipe karya retorik yang berbeda: 1) yang menyatakan bahwa penelitian mengenai bidang tertentu belum pernah dilaksanakan atau dilaporkan; dan 2) yang mengklaim bahwa hasil dari studi terdahulum adalah tidak konsisten. Dasar pemikiran untuk mengklasifikasi dua tipe karya retorik dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia ke dalam Move 2 dari model CARS adalah karena para pengarang mencoba untuk mengindikasikan jurang pengetahuan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 165
dalam topik penelitian dengan atau tanpa riviu item dari studi terdahulu. Jurang pengetahuan ini menjadi justifikasi logis untuk proyek penelitian yang dilaporkan dalam RA. Tipe Move 2 pertama adalah suatu klaim sederhana mengenai tidak adanya atau hanya sedikit bidang literatur yang tersedia pada topik tertentu sebagaimana teritori penelitian yang belum ditelaah yang disarankan oleh Swales (1990). Tipe dari Move 2 ini lebih dominan dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia.
Contoh 4: [Prg. 12] (S.4) Hasil-hasil penelitian yang menunjukkan kaitan langsung antara motif berprestasi dengan status anak dalam keluarga belum ditemukan. Temuan penelitian yang memperlihatkan hubungan langsung antara motivasi akan keberhasilan dan status anak dalam keluarha belum ditemukan. Contoh 5: [Prg. 5] (S.1) Sampai saat ini belum kami dapatkan penelitian mengenai sikap anak terhadap orang tua bila salah satu orang tuannya menderita skizofrenia kronik. Contoh 6: [Prg. 2] (S.3) Namun sejauh itu pula belum diketahui belum diketahui dampak ekonomi industri pengolahan kayu terhadap
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 166
pengembangan wilayah di kabupaten Batang Hari.
Tipe Move 2 diekspresikan melalui dua cara yang berbeda. Beberapa penulis secara eksplisit mengklaim bahwa studi mengenai topik tertentu belum pernah dilaksanakan atau dilaporkan sedangkan beberapa orang yang lain mengacu pada gaya implisit. Dibawa ini adalah contoh-contoh dari pernyataan eksplisit: Contoh 7: 1) Sebaliknya belum banyak penelitian yang diarahkan pada … 2) Sampai saat ini belum kami dapatkan penelitian mengenai … 3) Di Indonesian penelitian … belum dilakukan atau tidak dilaporkan 4) … belum pernah diterapkan dalam teks bahasa Indonesia. 5) Hasil-hasil penelitian tentang … belum ditemukan Selanjutnya diberikan contoh-contoh gaya implisit: Contoh 8: 1) … tampaknya telah luput dari perhatian para peneliti 2) … pendapat para ahli itu belum dibuktikan melalui penelitian 3) Dugaan-dugaan di atas masih perlu dibuktikan secara empiris 4) Oleh karena itu belum diketahui keadaan sesungguhnya di lapangan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 167
Dalam contoh-contoh di atas, para penulis RA bahasa Indonesia membahas suatu Move 2 dengan menyimpulkan bahwa penelitian mengenai topik tertentu dan dalam wilayah tertentu belum pernah dilaksanakan atau diabaikan oleh para peneliti yag lain. Karenanya, proyek penelitian mereka adalah sangat penting atau perlu. Kesimpulan atau tantangan mengenai ketidak-tersediaan atau ketidak-adaan studi mengenai topik tertentu tidak pernah didukung oleh referensi, seperti indeks dari karya ilmiah; karenanya, klaim atau kesimpulan ini akan terdengar tidak meyakinkan bagi beberapa pembaca. Bagaimanapun, hal ini adalah cara minor dimana para penulis RA bahasa Indonesia menjustifikasi penelitian mereka saat in; cara utama untuk menjustifikasi proyek penelitian saat ini yang digunakan oleh para penulis RA bahasa Indonesia adalah melalui identifikasi masalah penelitan dan ini akan dibahas dalam bab berikutnya. Contoh yang hampir sama dari Move 2 adalah juga ditemukan dalam pendahuluan RA bahasa Malaysia (Ahmad, 1997). Ahmad mengklaim bahwa para penulis RA bahasa Malaysia sangat bergantung pada klain dari ketidakadaan atau jumlah yang terbatas dari studi yang dilaksanakan di wilayah tertentu untuk menjustifikasi karya mereka saat ini. Menurut Ahmad, mereka menghindari dengan secara tegas mengindikasikan jurang penelitian spesifik dalam studi terdahulu untuk mengembangkan suatu niche. Ahmad beranggapan bahwa alasan untuk menggunakan gaya semacam itu oleh para penulis RA baasa Malaysia adalah bahwa mereka tidak menghadapi suatu ancaman atau tidak terlibat dalam kompetisi untuk ruang penelitian. Banyak bidang penelitian telah diperkenalkan dalam bahasa Malaysia dan tidak terlalu banyak orang bahkan yang menyadari bahwa wilayah
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 168
penelitian seperti itu ada. Ahmad mengklaim bahwa dengan secara eksplisit mengindikasikan ketidak-adaan atau jumlah yang terbatas dari studi dalam bidang tertentu, para peneliti Malaysia mengembangkan diri sebagai pelopor penelitian di bidang itu. Seperti di Malaysia, proyek penelitian di banyak disiplin di Indonesia adalah masih ada dalam tahap awal dari produksi bidang literatur. Alasan klasik untuk kurangnya produktivitas diantara para peneliti di Indonesia adalah fakta bahwa hanya sedikit insentif finansial yang disediakan oleh pemerintah; memiliki posisi dalam hirarki administrasi dan manajemen universitas dianggap lebih terhormat dan secara finansial lebih menguntungkan daripada posisi penelitian (PDK, 1994). Alasan laoin untuk kurangnya minat dalam melakukan penelitian diantara para akademisi Indonesia di masa lalu adalah terbatasnya pendahaan yang dialokasikan untuk penelitian oleh pemerintah. Hal ini membuat para peneliti bergantung pada pendanaan sendiri atau mencari dana dari lembaga swasta, yang sangat jarang tersedia atau sulit untuk diperoleh. Bagaimanapun pada sepuluh tahun yang lalu, jumlah proyek penelitian yang dilaksanakan oleh para dosen universitas telah meningkat dengan pesat mengikuti perhatian pemerintah mengenai masalah semacam itu dan mengalokaskan jumlah dana yang mencukupi, terutama untuk para dosen universitas (PDK, 1993) telah meningkat. Tidak seperti di negara sedang berkembang seperti Malaysia dan Indonesia, proyek penelitian di negera berkembang, seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia memiliki tradisi yang lama. Hasil dalam ketersediaan bidang literatur yang substantial terutama dalam bentuk laporan penelitian atau RA; hal ini menyediakan banyak materi untuk para peneliti Inggris
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 169
untuk meriviu dan menggunakan sebagai landasar untuk proyek penelitian masa depan. Disamping itu, bidang literatur yang lebih besar dan jumlah yang lebih banyak peneliti profesi di negara berkembang yang menghasilkan kompetisi sengit untuk niche ekologi dalam ekosistem penelitian yang padat, untuk meminjam istilah Swales, untuk memenangkan ruang untuk proyek penelitian atau untuk memenangkan dukungan dari pemirsa yang lebih luas (para pembaca jurnal penelitian) dalam penelitian tertentu adalah untuk mengembangkan kredibilitas sendiri. Ini adalah salah satu dari alasan mengapa tipe Move 2 (establishing a niche), seperti counter-claiming atau menunjuk pada kelemahan studi terdahulu, adalah jauh lebih umum dalam pendahuluan RA tertutama di Inggris daripada dalam pendahuluan RA di negara sedang berkembang seperti Malaysia dan Indonesia. Tipe kedua dari Move 2 dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia adalah ditemukan pada empat pendahuluan RA bahasa Indonesia. Dalam tipe karya retorik, para penulis Indonesia mengklaim bahwa studi sebelumnya memiliki temuan yang tidak konsisten. Maka, para penulis meriviu item dari penelitian sebelujmnya namun, tidak seperti para penulis Inggris, mereka secara negatif tidak mengevaluasinya; mereka hanya membandingkan temuan dari beberapa studi relevan dan membuat klaim atau kesimpulan mengenai ketidakkonsistenan dari temuan. Fragmen berikut mengilustrasikan tipe kedua dari Move 2 dalam pertanyaan (Penekanannya ditambah sebagaimana digaris-bawahi untuk memperlihatkan realisasi leksikal dari Move 2 dalam tipe ini): Contoh 9:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 170
[Prg. 4] (2) Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Barat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Ada yang menemukan bahwa memang terdapat saling hubungan antara kedua variable tersebut (Osarchuck & Tatz, 1973) namun ada pula yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan (Templer & Dadson, 1970). Contoh 10: [Prg. 7] Beberapa penelitian tersebut jelas menunjukkan bahwa hubungan antara filem kekerasan di televisi dengan perilaku agresif masih belum menunjukkan hasil yang konsisten. Contoh 11: [Prg. 3] (S2) Dari sejumlah penelitian itu tampak bahwa temuan mengenai sumber-sumber stres kerja guru tidak konsisten dari satu penelitian ke penelitian lainnya. Tidak seperti tipe pertama dari Move 2 yang seringkali datang setelah pernyataan dari masalah penelitian, tipe kedua dari Move 2 dapat datang sebelum atau seteah riviu studi terdahulu (Move 1-Step 3). Ketika hal tersebut datang sebelum Move 1-Step 3, hal tersebut menjadi klaim penulis yang didukung oleh riviu dari beberapa studi relevan; namun ketika hal tersebut datang setelah Move 1-Step 3, hal tersebut menjadi kesimpulan yang didasarkan pada hasil dari studi terdahulu yang diriviu. Tipe Move 2 dari karya retorik dalam pendahuluan RA bahasa Inggris tidak ditemukan dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia dalam data untuk studi ini. Alasan yang mungkin untuk ketidak-adaan dari model riil dari Move 2
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 171
dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia akan dibahas kemudian dalam bab ini. Disamping itu, ciri tipikal dari Move 2 dalam model CARS, seperti yang ditentukan oleh Swales (1990), adalah cyclicity dan hubungan dekatnya dengan Move 1-Step 3 (meriviu item dari studi terdahulu). Swales, ketika meriviu studi yang dilaksanakan oleh Crookes (1986), Hopkins dan Dudley-Evans (1988) mengklaim bahwa siklus Move 1-Step 3 dan Move 2 dapat berulang. Dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia, bukti yang sama juga ditemukan; dimana Move 1-Step 3 diikuti oleh Move 2 dan kemudian oleh Move 1-Step 3 yang lain yang lagi-lagi diikuti oleh Move 2 lain dan akhirnya diikuti noleh Move 1. Contoh-contoh berikut ini memperlihatkan siklus semacam itu: EDU. 12 Sumber-Sumber Stres Kerja Guru (The Source of Teachers’ Working Stress) Move 1-Step 3 [Prg. 3] (S.1) Dalam beberapa tahun terakhir ini sejumlah ahli telah melakukan penelitian mengenai sumber stres kerja guru, seperti Cayul (1992), Feitler and Tokar (1982), Litt dan Turk (1985), Smith and Burks (1985) serta Kreme-Haton dan Goldstein (1990). Move 2 [Prg. 3] (S2) Dari sejumlah penelitian itu tampak bahwa temuan mengenai sumbersumber stres kerja guru tidak konsisten dari satu penelitian ke penelitian lainnya.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 172
Move 1-Step 3 [Prg. 3] (S3) Sebagai contoh penelitian Feitler dan Tokar (1982) menemukan bahwa sumber-sumber stres dominan yang menduduki peringkat pertama adalah siswa yang berkelakukan buruk terus-menerus. (S4) Temuan itu berbeda dengan hasil penelitian Capel (1992) dan Hodge, Jupp, dan Taylor (1994). (S5) Penelitian Capel mengungkapkan bahwa terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan merupakan sumber stres yang utama guru. (S6) Sementara penelitian Hodge terhadap sampel guru seni musik dan guru matematika menemukan bahwa pekerjaan ekstra kurikuler merupakan sumber stres yang paling dominan pada kedua kelompok guru tersebut. Move 2 [Prg, 4] (1) Inkonsistensi temuan penelitian itu secara tersirat disebabkan oleh perbedaan penilaian individu terhadap situasi kerja yang dianggap sebagai sumber stres. Move 1-Step 3 [Prg. 4] (S.2) Untuk sebagian, perbedaan penilaian tersebut berkaitan dengan nilai sosial-budaya masyarakat yang melatarinya (Baron dan Greenberg, 1990). (S.3) Perbedaan itu juga menyangkut tatanan sosial-budaya sekolah sebagai subsistem masyarakat sekitarnya.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 173
Seperti yang terlihat dalam contoh di atas, siklus tersebut memulai dengan riviu yang singkat dari studi terdahulu (Move 1-Step 3) yang diikuti oleh kesimpulan atau evaluasi penulis yang ditaril dari riviu dari studi terdahulu (Move 2). Kesimpulan atau evaluasi penulis (Move 2) adalah didukung oleh bukti lanjutan dari beberapa studi lain (Move 1-Step 3); kemudian ini diikuti oleh penulis yang mengacu kembali ke kesimpulan atau evaluasi sebelumnya (klaim mengenai penyebab dari hasil studi sebelumnya yang tidak konsisten). Akhirnya, klaim ini didukug oleh riviu item yang lain dari studi sebelumnya (Move 1-Step 3). Maka, siklus Move 1-Step 3 dan Move 2 berulang setidaknya dua kali dalam pendahuluan RA tertentu. Meskipun cyclicity merupkan suatu ciri dari hubugan dekat antara Move 1-Step 3 dan Move 2 dari model CARS, para pengarang dapat memilih untuk membahas serangkaian riviu item dari studi terdahulu sebelum memberikan komentar, evaluasi atau kritik pada studi tersebut. Format ini juga ditemukan dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia, dimana para pengarang mengindikasi jurang pengetahuan dalam topik penelitian (Move 2) di akhir dari riviu literatur atau setelah membahas serangkaian riviu item dari studi terdahulu (Move 1-Step 3). Pertimbangkan contoh berikut ini: Contoh 12: Move 2 [Prg. 5] (S.1) Sampai saat ini belum kami dapatkan penelitian mengenai sikap anak terhadap orang tua bila salah satu orang tuanya menderita skizofrenia kronik.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 174
Pada awal paragraf 1 dari PSY. 3, pengarang mendefinisikan istilah schizophrenic, sedangkan dalam sebagian teks sampai akhir dari paragraf 4, para pengarang meriviu item dari studi relevan yang sebelumnya (Move 1Step 3). Dalam paragraf 5, sebagaimana dalam contoh di atas, para pengarang mengindikasi jurang dalam pengetahuan mengenai topik penelitian dengan menyatakan bahwa tidak ada studi mengenai topik tersebut sejauh perhatian pengarang. Pernyataan ini diklasifikasikan sebagai Move 2 dalam model CARS.
6.4.3. Pemamfaatan Celah Penelitian (Move 3) Dalam pendahuluan artikel penelitian Indonesia, Move 3 merupakan segmen umum dijumpai yang terdiri dari pernyataan langsung secara eksplisit dari tujuan penelitian atau pengumuman dari ciri spesifik dari penelitian. Disamping itu, tidak seperti Move 2 yang seringali dibahas dalam beberapa kalimat dalam suatu paragraf, Step 1A dari Move 3 (tujuan penguraian) dibahas dalam paragraf penuh; beberapa dari mereka bahkan memiliki sub-judul Tujuan Penelitian. Tipe umum dari Move 3 adalah Step 1A dand1B; sebenarnya, hampir semua penulis RA dalam data ini mengumumkan tujuan dari penelitian mereka baik melalui format Step 1A atau formart Research Question (RQ). Di bawah ini adalah contoh dari Move 3 Step 1A dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia; Contoh 13: Tujuan Penelitian
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 175
(Prg. 4] Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan yang ingin dicapai ialah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan prestasi praktik keguruan antara mahasiswa yang berasal dari sekolah keguruan dengan nonkeguruan pada program studi PMP FKIP Universitas Dwijendra Denpasar. Dalam contoh di atas, tujuan dari studi diekspresikan dalam kalimat lengkap. Kalimat pembukaan umum yang menandai Step 1A yang ditemukan dalam studi ini aadalah berikut ini: -
Tujuan penelitian ini adalah untuk (mengetahui) … Penelitian berikut bermaksud untuk mencari tahu (mengetahui) … Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan … Yang ingin diteliti apakah … Penelitian ini bermaksud membandingkan … dengan … Penelitian ini akan mencoba menganalisis … Penelitian tentang … bertujuan untuk … Maksud penelitian ini adalah untk … Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, ... Penelitian ini dirancang untuk menyelidiki …
Ciri umum lain dari Move 3 Step 1A adalah penggunaan angka numerik bukannya penggunaan konstruksi paragraf normal. Format ini jarang ditemukan dalam move atau step yang lain. Di bawah ini adalah Move 3 Step 1A dengan angka numerik:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 176
Contoh 14: Tujuan Penelitian [Pr.g. 7] Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi seberapa jauh misi Bank Perkreditan Rakyat itu telah tercapai. Evaluasinya akan mengacu pada beberapa indikator berikut ini: 1. Jumlah dana masyarakat desa yang dapat dihimpun dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. 2. Kemampuan BPR memberikan kredit. 3. Sektor-sektor usaha yang dibiayai dengan kredit itu. 4. Kemampuan bekerja sama dengan Bank Umum dalam penyaluran Kredit Usaha Kecil dan beberapa volume KUK yang telah disalurkan. Walaupun Step 1A memiliki format standar (pengumuman dari tujuan studi), hal tersebut memiliki berbagai realisasi leksikal, Step 1B menggambarkan beberapa ciri yang berbeda dari penelitian. Swales (1990) menyatakan bahwa Step 1B adalah deskrips dari ciri utama dari penelitian dari sudut pandang penulis. Disamping itu, hal tersebut bergantung pada para penulis RA untuk memutuskan apakah akan menjadi ciri utama dari penelitian; dan, karenanya hal tersebut dapat bervariasi dalam hal ini dari satu RA ke RA yang lain. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari Move 3-Step 1B dalam berbagai format yang ditemukan dalam data: Contoh 14:
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 177
[Prg. 7] (S.1) Dalam penelitian ini akan dibahas tentang sistem pengendalian manajemen, dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar struktur pengendalian manajemen yang merupakan prasarana dalam melaksanakan proses pengendalian manajemen merupakan dua hal yang saling berkait dan sulit dipisahkan.
Contoh 15: [Prg. 11] (S.2) … penelitian ini khusus membatasi pada variable harapan orang tua akan prestasi anak.
Contoh 16: [Prg. 8] Untuk mengatasi kepincangan ini, maka dalam penelitian ini, dikembangkan pendekatan yang disesuaikan dengan dikarakteristik siswa dan materi pengajaran menggambar. Metode pengajaran itu adalah metode mewujudkan dan mencetuskan. Dalam contoh di atas (ECO. 1), ciri penting dari penelitian adalah fokus penelitian: management control system, sedangkan contoh kedua (PSY. 26) ciri spesifik adalah lingkup studi: parents’ expectation of their children’s study results. Dalam contoh terakhir (EDU. 2) ciri penting dari penelitian, menurut penulisnya, adalah metode ajar spesifik yang digunakan dalam studi percobaan: the shaping and expressing method.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 178
Seperti cirinya, kalimat awalnya pada signal Move 3-Step 1B juga dapat bervariasi. Di bawah ini adalah realisasi klausa dari Step 1B yang umumnya ditemukan dalam studin ini: Step 1B (announcing present research) -
Penelitian ini difokuskan pada ... Dalam penelitian akan dibahas tentang … Subjek dalam penelitian ini adalah … Penelitian semacam ini menuntut digunakan pendekatan ... Dalam penelitian ini yang dititikberatkan adalah ... Dalam penelitian ini akan dicoba untuk … Ruang lingkup penelitian ini menitikberatkan pada... Penelitian ini melibatkan ... model.
Dalam contoh di atas, Step 1B membahas beberapa aspek dari penelitian yang dilaporkan, seperti fokus studi, subyek studi, alat yang dignakan, lingkup studi, atau beberapa unsur dari metodologi penelitian. Step 2 dari Move 3 (announcing the principle findings) adalah sangat tidak sering dalam pendahuluan RA Indonesia. Karya retorik ditemukan hanya dalam dua pendahuluan RA psikologi; tidak ada dalam pendahuluan RA pendidikan dan ekonomi yang memiliki pengumuman dari temuan prinsip studi. Di bawah ini adalah contoh dari Move 3-Step 2 dalam pendahuluan RA Indonesia: Contoh 16: [Prg. 9] (S.3) Kesimpulan dari penelitian yaitu meditasi dapat mengurangi ketegangan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 179
otot, membuat tubuh santai, menurunkan konsumsi oksigen, dan menurunkan kadar kolesterol. (S.4) Kondisi ini selanjutnya dapat mengurangi keluhan-keluhan fisik seseorang. Pada contoh di atas, pengumuman temuan penelitian adalah sangat singkat; sebenarnya, penulis hanya mengumumkan bagian dari kesimpulan. Juga, hal ini adalah satu-satunya bagian dari paragraf (kalimat 3 dan 4 dari paragraf 9), yang mengikuti pengumuman tujuan penelitian (Move 3-Step 1A). Dalam RA bahasa Inggris pengumuman temuan prinsip dalam bagian pendahuluan (Move 3-Step 2) adalah cukup umum karena ada yang perbedaan disipin yang cukup ditandai. Swales dan Najjar (1987), misalnya, menemukan bahwa 45% dari RA Educational Psychological memiliki pernyataan semacam itu namun hanya 7% dari RA Physic memiliki peryataan semacam itu. Hampir sama, Berkenkotter dan Huckin (1995) mengklaim bahwa mengumumkan temuan prinsip dalam bagian pendahuluan menjadi semakin populer dalam RA Inggris karena hal ini adalah strategi penulis untuk mempromosikan nilai berita dari RA. Dengan kata lain, dengan mengumumkan temuan prinsip dalam bagian pendahuluan, para pembaca mungkin tertarik untuk membaca seluruh artikel. Karena sejumlah kecil dari RA Indonesia memiliki Move 3-Step 2, kesimpulannya adalah RA Indonesia berbeda dari yang ada di Inggris dalam hal penampilan dari Move 3-Step 2. Juga, tidak ada bukti dari Move 3-Step 3 (indicating RA structure) dalam data dari studi ini.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 180
6.5. Pengaruh Budaya dalam Bagian Pendahuluan Artikel Jurnal Penelitian Sebagaimana dibahas sebelumnya, karya retorik tipikal untuk menciptakan ruang penelitian atau mengembangkan niche penelitian dalam pendahuluan RA Inggris adalah melalui mengevaluasi atau mengkritik secara negatif item dari studi terdahulu. Dengan melakukan hal tersebut, para penulis Inggris berharap bahwa para pembaca akan menemukan proyek penelitian yang dilaporkan dalam RA sebagai penting dan perlu. Bagaimanapun, karya retorik semacam itu tidak ditemukan dalam pendahuluan RA Indonesia dalam data untuk studi ini. Meskipun para penulis Indonesia meriviu item dari studi terdahulu, mereka tampak menghindari mengkritik atau secara negatif mengevaluasi temuan studi. Lihatlah pada contoh berikut ini dari PSY. 13: Contoh 17: Minat Terhadap Filem Kekerasan di Televisi Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja Move 2 [Prg. 5] (S.1) Beberapa penelitian telah dilakukan, namun hasilnya masih belum konsisten. Move 1 [Prg. 5) (S.2) Friedrich and Stein (dalam Worchel & Copper, 1983) mengadakan penelitian terhadap murid taman kanak-kanak laki-laki dan perempuan yang melihat tayangan film televisi yang bertemakan kekerasan, netral, dan prososial.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 181
(S.3) Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak yang menonton tayangan netral dan prososial dapat menurun agresifitasnya, sedang anak-anak yang menonton tayangan kekerasan meningkat. [Prg. 6] Parke dkk. (dalam Worchel & Cooper, 1983) mengadakan penelitian terhadap penghuni panti anak nakal di Amerika dan Belgia. Anakanak yang melihat tayangan film kekerasan menunjukkan perilaku yang lebih agresif dibanding dengan anak-anak yang melihat tayangan film netral. Penelitian Martani dan Adiyanti (1992) terhadap anak prasekolah dan Taman Kanak-kanak di Yogyakarta hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkah laku agresif antara anak-anak yang suka menonton film kekerasan dan tidak mengandung kekerasan di televisi. Penelitian Eron (1987) terhadap murid sekolah dasar menunjukkan bahwa semakin banyak adegan kekerasan di televisi yang ditonton maka anak semakin agresif. Selanjutnya dilaporkan walaupun koefisien korelasi tidak begitu tinggi, namun hasil yang sama diperoleh baik di Amerika, Eropah dan Australia. Dalam contoh di atas, dari 5 studi terdahulu yang diriviu, misalnya, hanya satu studi yang memperlihatkan temuan yang berbeda; studi ini dilaksanakan di Yogyakarta, Indonesia, oleh para peneliti Indonesia [(Martani dan Adiyanti, 1992)]. Empat studi yang lain yang dilaksankan d luar Indonesia (di Amerika Serikat, Australia dan Belgia), di sisi lain, memiliki temuan yang hampir sama. Jumlah
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 182
yang tidak sama dan tempat yang berbeda antara hasil studi sebelumnya yang konsisten dan tidak konsisten telah menciptakan keraguan akan para penulis RA. Misalnya, para penulis harus melihat dengan lebih dalam pada studi yang dilaksanakan di Indonesia oleh para peneliti Indonesia untuk menemukan mengapa hal tersebut telah menhasilkan kesimpulan yang berbeda dengan studi lain yang dilaksanakan di luar negeri. Satu alasan lain untuk penghindaran atau keengganan para penulis Indonesia untuk mengkritik karya orang lain terutama dalam penulisan akademik atau ilmiah adalah disarankan oleh Keraf (1992). Dia mengklaim bahwa ketika para penulis Indonesia menulis di Indonesia, mereka jarang ingin mengkritik pandangan orang lain karena mengkritik orang lain, terutama mereka yang lebih tua atau yang memiliki status sosial atau ekonomi yang lebih tinggi, dianggap secara budaya tidak sopan. Menurut Keraf, ini bukanlah sikap ideal untuk para ilmuwan karena tujuan utama dari karya ilmiaj adalah menemukan kebenaran. Klaim ini adalah sejalan dengan temuan dari ethnographers, seperti Saville-Troike (1982) dan Gudykunst dan Ting-Toomey (1988), yang mengklaim bahwa, tidak seperti budaya Western, orang Timur seperti orang Cina, Korea, dan Jepang mempertimbagkan harmoni kelompok dan nilai kolektif sangat penting; mereka bahwa memilih untuk tetap diam terhadap semua kritik dari orang lain. Para penulis akademik Indonesia tampaknya mengadopsi gaya yang sama ketika menulis artikel akademik; yaitu menghindari untuk mengkritik atau menunjuk pada kelemahan karya dari orang lain agar tidak muncul dengan face-threatening atau dianggap tidak sopan atau agar menjaga harmoni kelompok.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 183
Penjelasan yang mungkin lain untuk keenggan para penulis Indonesia untuk secara negatif mengevaluasi karya orang lain adalah karena mereka tidak melihat kebutuhan untuk melakukannya. Misalnya, mereka tidak harus bersaing untuk ruang penelitian atau bahkan memperoleh tempat dalam publikasi jurnal. Klaim bahwa penelitian mengenai topik tertentu tidak ada atau belum pernah dilaporkan dapat dianggap sebagai seruan yang meyakinkan dari penulis untuk pembaca agar menerima bahwa karya saat ini adalah perlu dan penting. Memang, adalah satu konvensi dalam penulisan RA di Indonesia bahwa faktu yang paling penting untuk para peneliti Indonesia adalah memperlihatkan dalam pendahuluan mereka bahwa masalah penelitian yang dipilih untuk penelitian mereka benar-benar ada (Rifai, 1995). Para peneliti Indonesia juga cenderung untuk berfokus pada konteks lokal tanpa mempertimbangkan efek holistik atau universal dari karya ilmiah mereka (Soeparno, dan kawan-kawan 1987). Bukti dalam studi ini memperlihatkan bahwa para penulis RA Indonesia tidak berusaha untuk menemukan apakah studinya relevan dengan atau hampir sama dengan karya ini dilaksanakan oleh para penulis lain di tempat lain di Indonesia. Bukan hanya para penulis telah melaporkan konsultasi indeks dari karya yang dilaksanakan atau artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia seperti Indeks Majalah Ilmiah Indonesia „Index of Indonesian Learned Periodicals‟, yang diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia „Center for Scientific Documentation and Information of Indonesian Institute of Sciences‟. Jarangnya kehadiran Move 2, yang umumnya ditemukan dalam RA Inggris, dalam pendahuluan RA
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 184
Indonesia tidak berarti bahwa RA Indonesia kurang justifikasi dalam arti penting atau kebutuhan dari penelitian saat ini; suatu tehnik yang berbeda telah diterapkan. Hampir semua RA membahas masalah penelitian dalam pendahulan dan ini digunakan untuk menjustifikasi penelitian saat ini dalam pendahulan RA Indonesia. Sebenarnya, mengidentifikasi dan menyatakan masalah penelitian adalah strategi universal dari menjustifikasi arti penting dari penelitian tertentu (Nachmias dan Nachmias, 1976). Menurut Nachmias dan Nachmias, masalahnya adalah “… stimulus intelektual meminta adanya respon dalam bentuk jawaban ilmiah (hal: 10)” dan karena para ilmuwan adalah problem solvers, maka, adalah masuk akal bula dalam penelitian mereka, para ilmuwan mengangkat masalah untuk mendasari penelitian mereka. Dalam konvensi RA Inggris, masalah penelitian juga merupakan isu kunci dalam penelitian sebagaimana dicatat oleh Day (1996: 30), yang menulis, “Any piece of research is built around a design, which begins with identifying a problem and then the issue that guides our understanding.” Day terus mengklaim bahwa penelitian didesain terutama untuk menemukan jawaban bagi pertanyaan problematik tertentu. Swales (1990:140) juga mengklaim bahwa masalah adalah pusat dari penelitian dalam berbagai disiplin, dengan mengatakan, “problems or research questions or unexplained phenomena are the life blood of many research undertakings.” Format dari pertanyaan penelitian daopat menjadai bentuk pertanyaan dalam format pernyataan hipotesis, seperti yang dicatat oleh Travers (1969). Travers menyarankan bahwa masalah penelitian dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan dimana penelitian yang dikemukakan didesain untuk
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 185
memperoleh jawaban dan kadang-kadang pertanyaan tersebut diacu sebagai hipotesis.
6.6. Pola Retorika Bagian Pendahuluan Artikel Jurnal Penelitian dalam Bahasa Indonesia Model CARS tidak menangkap tujuan komunikatif penting dan ciri retorik spesifik dari pendahuluan RA bahasa Indonesia untuk beberapa alasan. Pertama, mayoritas pendahuluan RA Indonesia telah diklasifikasikan dengan menggunakan gaya penulisan tidak langsung dengan berbagai tipe dari informasi latar belakang pada awal dari bagian pendahuluan. Ini secara normal ditujukan untuk menyiapkan dan menarik minat para pembaca untuk membaca seluruh RA. Model CARS, di sisi lain, didasarkan pada pendahuluan RA Inggris yang telah memiliki gaya penulisan langsung diman, dalam beberapa kalimat pertama dari paragraf pertama, para penulis sudah diperkirakan akan memperkenalkan topik penelitian dengan membuat klain sentralitas atau menggunakan tehnik yang hampir sama (Swales, 1981, 1984, 1987, dan 1990). Perbedaan stylistic antara pendahuluan RA Indonesia dan pendahuluan RA Inggris, sebagian merupakan hasil dari berbagai konvensi dari penulisan ilmiah atau akademik, dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta perbedaan dalam harapan dan sikap penulis terhadap para pembaca potensial. Kedua, tidak seperti penulis Inggris, para penulis RA Indonesia cenderung menjustifikasi proyek penelitian mereka dengan meyakinkan para pembaca bahwa masalah penelitian dalam topik tertentu atau pada bidang penelitian
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 186
tertentu benar-benar ada. Bukti dari data studi ini, seperti yang sudah dibahas dalam Bab 5, memperlihatkan beberapa pendahuluan dalam RA Indonesia memiliki pernyataan yang dapat diklastifikaskan sebagai Move 2 (establishing a niche) dari model CARS, suatu cara umum yang dimanfaatkan oleh para penulis RA Inggris untuk menjustifikasi proyek penelitian mereka. Juga, sejumlah kecil Move 2 yang ditemukan dalam pendahuluan RA Indonesia dibahas dengan berbagai tehnik yang ditemukan dalam pendahuluan RA Inggris. Para penulis RA Indonesia, misalnya, hanya mengklaim bahwa hasil dari studi relevan sebelumnya tidak konsisten atau bahwa topik tertentu belum pernah diselidiki atau dilaporkan untuk menciptakan ruang penelitian untuk proyek penelitian saat ini atau menjustifkasi proyek penelitian. Referensi atau kutipan dalam RA Indonesia adalah berserakan di seluruh bagian pendahuluan dengan berbagai tujuan komunikatif dan persuasif, untuk memvalidasi definisi dari istilah kunci, mendukung klaim umum atau spesifik, mendukung klain tentang masalah penelitian, memvalidasi pilihan metode atau pendekatan penelitian, dan meriviu pengetahuan dan praktek saat ini. Bagaimanapun, dalam pendahuluan RA Inggris, seperti yang disarankan oleh Swales (1990), refrensi atau kutipan dgunakan untuk mengembangkan teritori atau bidang penelitian (Move 1). Akhirnya, para penulis Indonesia cenderung untuk mengumumkan ciri-ciri dari proyek penelitan saat ini, seperti manfaat penelitian yang diharapkan, hipotesis penelitian, mengajukan solusi untuk masalah penelitian, dan lingkup penelitian dalam bagian terakhir dari pendahuluan RA. Ini dikerjakan sebagai bagian dari cara
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 187
persuasif untuk menarik minat pembaca untuk membaca seluruh RA. . Kebutuhan untuk model analisis spesifik untuk pendahuluan RA bahasa Indonesia adala juga dipicu dan diperkuat oleh fakta bahwa bagian pendahuluan dalam RA bahasa Indonesia memiliki tujuan komunikatif yang berbeda dengan bagian pendahuluan dalam RA bahasa Inggris dari sudut pandang preskriptif. Dalam RA bahasa Inggris, sebagaimana disarankan oleh Hunston (1994), bagian pendahuluan terutama bertujuan untuk meyakinkan para pembaca bahwa penelitian tersebut, yang hasilnya adalah untuk dilaporkan, adalah perlu dan penting karena ada jurang pengetahuan pada suatu topik penting. Dengan kata lain, dalam RA bahasa Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Djaali (1994) dan Rifai (1995), bagian pendahuluan bertujuan untuk membahas dasar pemikiran untuk proyek penelitian, untuk memandu para pembaca dalam membaca seluruh RA dan untuk mengumumnkan kontribusi dari hasil penelitian pada pengembangan pengetahuan dalam bidang disiplin tertentu dan/atau negara itu. Dengan kata lain, justifikasi untuk proyek penelitian dalam praktek ilmiah Indonesia ada tidak hanya karena topik penelitian adalah penting dan ada jurang pengetahuan yang dapat menyediakan kontribusi praktis substantif untuk pengembangan negara tersebut dalam bidang atau wilayah tertentu. Suatu model analisis retorika yang dapat menangkap tujuan komunikatif dan ciri retorik penting yang mengkarakterisasi pendahuluan RA bahasa Indonesia adalah perlu. Untuk tujuan ini, model analisis empat-move, yang diadaptasi dari model CARS dari Swales (1990) dan Project Justifying Model (PJM) dari Ahmad (1997) diajukan berikut ini. Model ini disebut model Masalah
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 188
Menjastifikasi Penelitian (MMP). Hampir sama dengan model CARS dan PJM, model MMP juga mengadopsi suatu pandangan yang didasarkan pada hubungan bentukfungsi; empat move komunikatif, misalnya, menggambarkan tujuan komunikatif dari pendahuluan RA bahasa Indonesia sedangkan sub-move, yang selanjutnya disebut step, dapat diacu sebagai bentuk tekstual atau retorikal.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 189
Move 1 : Menyamakan latar belakang pengetahuan Move 2: Menjelaskan bidang penelitian Move 3: Menjastifikasi kegiatan penelitian
Move 4: Mengumumkan kegiatan penelitian
•Step A: Mendefinisikan istilah penting •Step B: Mengacu kepada kebijakan pemerentah •Step C: Menjelaskan sejarah singkat bidang penelitian •Step D: Mendeskripsikan lokasi geografis penelitian •Step E: Membuat klaim umum
•Step A: Memperkenalkan topik penelitian •Step B: Mengidentifikasi masalah penelitian •Step C: Merefiu literatur terkait
•Step A: Menunjukkan ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu •Step B: Menyatakan bahwa masalah tersebut belum pernah diteliti •Step C: Menyatakan bahwa topik tersebut penting diteliti •Step D: Menyatakan tertarik meneliti masalah terebut
•Menjelaskan tujuan penelitian •Menyatakan pertanyaan penelitian •Mendeskripsikan ciri-ciri khusus penelitian •Menyatakan manfaat penelitian •Mengumumkan temuan penelitian •Menyatakan hipotesis penelitian
Bagan 17: Masalah Menjastifikasi Penelitian Model Masalah Menjastifikasi Penelitian (MMP), sebagaimana diperlihatkan pada Bagan 17, terdiri dari empat move komunikatif: 1) establishing shared schemata, 2) establishing the researach field or territory, 3) justifying
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 190
the present research project, dan 4) announcing the research specifications. Juga, dalam setiap movel ada beberapa Step (tahap) dimana penulis RA dapat menggunakannya untuk mencapai tujuan komunikatif utama dari Move itu. Penggunaan dari „dan/atau‟ di akhir semua tahap dalam model MMP memperlihatkan bahwa para penulis RA harus menggunakan setidaknya satu tahap dalam setiap Move untuk mengekspresikan tujuan komunikasi utama dari Move tersebut, namun tetap saja memiliki pilihan tentang tahap apa yang akan mereka gunakan.
6.7. Perbedaan Nilai Persuasif dalam RAI Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Bagian pendahuluan artikel (RAI) jurnal penelitian berisikan bagian dari usaha persuasif penulis untuk meyakinkan pembaca bahwa penelitian yang telah dia lakukan penting, menarik dan perlu sehingga artikel tersebut perlu dibaca (Hunston 1994). Menurut Hunston, agar dapat meyakinkan pembaca, penulis harus menyampaikan dua alasan yang sangat penting dalam melakukan penelitian: pertama, terdapat kesenjangan penetahuan yang ditinggalkan oleh peneliti terdahulu dalam bidang dan topik yang sama dan kedua, kesenjangan pengetahuan tersebut terdapat tentang topik yang penting dan perlu. Dua alasan penelitian ini sama pentingnya tapi dinyatakan dengaan retorika yang agak berbeda. Tapi, penulis dalam bahasa Indonesia berbeda dengan penulis dalam bahasa Inggris dalam menyampaikan retorika yang persuaif dan argumentatif ini. Pertama, dalam bahasa Inggris penulis menarik perhatian pembaca terhadap pentingnya topik penelitiannya
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 191
dengan menyatakan bahwa topik penelitian mereka penting, telah banyak diteliti, dan masih sering diperbincangkan para pakar lainnya (Swales 1990: 144). Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia pernyataan bahwa penelitian yang telah dilakukan itu penting dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan mengacu pada kebijakan pemerentah, dengan memberikan sejarah singkat tentang bidang yang diteliti, atau dengan membuat pernyataan umum dan mendukungnya dengan referensi. Dengan begitu, penulis Indonesia secara implisit menyatakan bahwa topik penelitian mereka penting dan perlu karena topik tersebut telah didiskusikan dan diteliti oleh penelit lain atau karena topik itu menjadi fokus program pemerentah sebagai penyandang dana sebagian besar kegiatan penelitian. Kedua, dalam artikel jurnal penelitian bahasa Inggris alasan penelitian disampaikan dengan menilai hasil penelitian terdahulu secara negatif; yaitu dengan menyatakan kelemahan, kekurangan, keterbatasan atau kesalahan yang terdapat dalam penelitian terkait sebelumnya dan menggunakan kelemahan ini sebagai alasan yang kuat untuk melakukan penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti dalam bahasa Inggris melakukan evaluasi kritis terhadap penelitian terdahulu untuk mendukung pentingnya penelitian yang telah dia lakukan. Sebaliknya peneliti Indonesia jarang melakukan evaluasi kritis terhadap hasil penelitian terdahulu untuk mendukung pentingnya penelitian yang telah dia lakukan, mereka memberi alasan penelitian dengan menyatakan bahwa terdapat masalah tentang suatu topik atau disuatu tempat atau suatu bidang ilmu sehingga perlu penelitian untuk mengatasi atau mengetahui penyebab-penyebab masalah tersebut. Dengan menyatakan masalah penelitian tersebut,
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 192
peneliti Indonesia merasa secara implisit menyatakan bahwa penelitian yang telah mereka lakukan penting. Hal ini mungkin dilakukan karena alasan-alasan praktis; kalau terdapat masalah tentang topik yang penting seperti pada program pembanguan pemerentah yang membutuhkan solusi atau bantaun ilmiah, lalu penelitian hatus dilakukan yaitu untuk mencari solusi terbaik atau penyebab yang sebenarnya dari masalah-masalah tersebut sehingga program pemerentah bisa berjalan dengan baik dan sukses untuk mendapatkan hasil yang diharapka. Ketiga, pola persuaif dalam bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian adalah promosi nilai berita (news value) artikel tersebut. Dalam bahasa Inggris, penulis mengumumkan hasil-hasil penting dari penelitian mereka untuk meyakinkan pembaca bahwa artikel mereka mempunyai nilai berita (Berkenkotter and Huckin 1995); sehingga pembaca akan tertarik membaca artikel tersebut secara keseluruhannya. Dalam artikel berbahasa Indonesia cara seperti ini jarang ditemkan; penulis Indonesia, sebaliknya pada bagian ini menyatakan kegunaan-kegunaan (significancies) dari hasil penelitian yaang telah dia lakukan seperti yang terdapat dalam laporan penelitian. Dengan kata lain, penulis Indonesia mempromosikan agar pembaca mau membaca artikelnya secara utuh dengan menyatakan signifikansi atau kegunaan hasil penelitian yang telah dia lakukan buak dengan cara menyampaikan temuan-temuan penting dari penelitinnya. Terakhir, penulis bahasa Inggris menggunakan rujukan pada referensi untuk memberikan alasan ilmiah yang kuat untuk penelitian mereka. Ini biasanya dilakukan dengan menilai secara negatif hasil-hasil penelitian terdahulu sementara meyakinkan pembaca bahwa penelitian yang telah mereka lakukan penting, menarik dan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 193
perlu. Penulis bahasa Indonesia sebaliknya menggunakan referenssi untuk paling kurang tiga tujuan, 1) untuk meyakinkan pembaca bahwa topik penelitian mereka juga menjadi topik penelitian peneliti lainnya, 2) referensi terutama pada kebijakan pemerentah digunakan untuk meyakinkan pembaca bahwa penelitian mereka bermanfaat yaitu untuk membantu pemerentah menyukseskan program-program pemerentah, dan 3) referensi digunakan untuk meyakinkan pembaca bahwa mereka mempunyai pengetahuan dan penglaman yang cukup dalam bidang ilmu tersebut sehingga mereka layak untuuk meneliti topik tersebut.
6.8. Ringkasan Dalam Bab 6 ini telah dibicarakan segala sesuatu tentang pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Terdapat banyak perbedaan antara pola retorika dalam dua bahasa tersebut kalau ditulis oleh penutur asli (native speakers) dari kedua bahasa tersebut. Dengan demikian, penulis Indonesia harus mempelajari bagaimana pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian dalam bahasa Inggris agar dapat menulis artikel tersebut dalam bahasa Inggris dan begitu juga sebaliknya. Begitu juga kalau siswa atau mahasiswa Indonesia akan membaca artikel jurnal penelitian dalam bahasa Inggris harus mempelajari pola retorika dan ciri-ciri linguistik yang umum terdapat dalam artikel tersebut dan sebaliknya.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 194
BAB 7 PENGAJARAN GENRE JURNAL PENELITIAN BAGI MAHASISWA DI INDONESIA5
M
ahasiswa Indonesia perlu membaca artikel-artikel
penelitian berbahasa Inggris (yang diacu sebagai Artikel Jurnal Penelitian), terutama yang berada dalam bidang disiplin mereka, sebagai bagian dari aktivitas belajar mandiri mereka dan untuk mempersiapkan studi atau tinjauan literatur untuk penulisan esai atau tesis mereka. Terdapat beberapa alasan mengapa Artikel Jurnal Penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris merupakan sumber penting bagi mahasiswa Indonesia. Pertama, artikel-artikel berbahasa Inggris yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah membahas perkembangan pengetahuan terkini dalam disiplin ilmu tertentu atau perkembangan praktek penelitian yang terbaru di bidang tersebut. Informasi ini akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa Indonesia dalam memilih topik untuk tesis atau esai mereka. 5
Tulisan ini dalam versi bahasa Inggris pernah diterbitkan dalam „Journal of English and Foreign Languages‟, N0. 32 Desember, 2003.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 195
Kedua, artikel-artikel jurnal penelitian yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris adalah bahan bacaan yang berharga dan penting bagi mahasiswa Indonesia. Artikelartikel tersebut tersedia dalam jumlah yang banyak di perpustakaan universitas mereka (sekurangnya di perpustakaan-perpustakaan universitas yang baik). Disamping itu, mahasiswa Indonesia, terutama mereka yang mengambil jurusan Bahasa Inggris, perlu membaca Artikel Jurnal Penelitian berbahasa Inggris sebagai salah satu bahan bacaan otentik. Ini karena, tidak seperti bacaanbacaan yang digunakan dalam buku teks bahasa Inggris yang seringkali dimodifikasi atau disederhanakan, Artikel Jurnal Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal penelitian adalah teks yang otentik atau realistis yang akan memberi tantangan realistis untuk dipahami kepada para mahasiswa. Akhirnya, Artikel Jurnal Penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris adalah penting bagi mahasiswa Indonesia karena dalam hal ukuran, artikel jurnal penelitian lebih mudah untuk dibaca. Bila dibandingkan dengan buku teks, Artikel Jurnal Penelitian jauh lebih pendek dalam hal halaman yang membahas kasus atau topik yang sangat spesifik. Untuk dapat membaca Artikel Jurnal Penelitian dengan baik, mahasiswa Indonesia perlu mengenal bukan hanya bidang disiplin yang bersangkutan namun juga struktur-struktur retorika dari teks-teks akademiknya, seperti unit-unit komunikatif umum dan persuasi-persuasi dalam teks dan sumber-sumber linguistik yang digunakan untuk memperlihatkannya. Dengan kata lain, dengan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan ciri-ciri retorika Artikel Jurnal Penelitian, mahasiswa diharapkan akan mampu memahami teks-teks yang bersangkutan dengan lebih baik. Ini dikarenakan pengetahuan (skema)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 196
mengenai struktur retorika menjadi salah satu skemata yang diperlukan untuk membaca teks tertentu (Johns, 1997). Pertanyaan utama yang dibahas dalam bab ini adalah bahwa “meskipun mahasiswa membutuhkan akses ke artikel-artikel jurnal penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan kemampuan untuk memahaminya, apakah mengajar genre di kelas memang diperlukan? Pertanyaan ini dapat diuraikan menjadi dua pertanyaan yang lebih praktis sebagaimana berikut ini: Apakah mengajar struktur retorika dari artikel jurnal penelitian bahasa Inggris kepada mahasiswa Indonesia memang diperlukan; dan Bagaimana mengajar struktur retorika Artikel Jurnal Penelitian bahasa Inggris dapat diimplementasikan secara efektif di kelas?
7.1. Debat mengenai Pengajaran Genre secara Eksplisit Para ahli teori genre terapan masih memperdebatkan apakah pengajaran genre spesifik secara eksplisit memang diperlukan atau bermanfaat. Freedman (1993) menyatakan bahwa pengajaran genre secara eksplisit tidaklah mungkin karena ciri-ciri genre adalah terlalu kompleks dan terlalu banyak untuk menyajikan cara sistematis kepada mahasiswa di kelas. Menurut Freedman, pengejaran genre secara eksplisit bahkan tidak perlu karena para mahasiswa dapat mengembangkan genre tertentu ketika mereka mengerjakan tugas, mendengarkan kuliah dan berpartisipasi dalam seminar, diskusi atau percakapan dengan rekan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 197
mahasiswa lain, dosen, dan tutor. Dari penelitiannya sendiri bersama dengan mahasiswa S1 jurusan hukum, Freedman menemukan bahwa para mahasiswa mengembangkan kesadaran pengetahuan genre mereka sendiri melalui keterlibatan mereka dalam aktivitas akademik dan sosial. Dengan kata-katanya sendiri, Freedman mengatakan, In the law study I was impressed by the richness and thickness of the texture of the context woven by the instructors and by the degree to which the writing elicited was a response to this context. This enabling context was established through the lectures, through the reading assigned, through the questions posed in the seminars to the students, and through the talk and social interaction in general in the lecture hall and seminar room. The assignment evolved naturally out of the disciplinary conversation, and in responding to it, the students were able to draw on the appropriate cues so that on the one hand they all produced the same distinctive academic sub-genre (writing for law) and on the other hand through this writing, they enacted they ways of thinking and the ways of identifying, delimiting, construing, and approaching phenomena characteristic of this discipline (hal:239). Begitu pula, Berkenkotter dan Huckin (1993) menyatakan bahwa pengetahuan genre dan penggunaannya dalam konteks sosial tidak diajarkan sebagaimana yang diperoleh melalui enkulturasi dalam komunitas wacana tertentu. Maka, menurut pandangan Freedman dan pandangan Berkenkotter dan Huckin, para mahasiswa dapat memperoleh genre baru secara efektif dan efisien hanya
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 198
melalui pengalaman; yaitu melalui proses learning-bydoing (belajar dengan melakukannya), seperti halnya dalam upaya untuk menyelesaikan masalah atau tugas yang disusun dengan cara tertentu dan upaya untuk memahami kuliah meskipun tidak ada ajaran eksplisit mengenai pengetahuan genre sebelumnya. Para ahli teori genre yang lain, seperti Williams dan Colomb (1993), Swales (1990) dan Johns (1997); bagaimanapun, menemukan bahwa ajaran eksplisit mengenai genre memang diperlukan. Williams dan Colomb, misalnya, menyatakan bahwa melalui pengalaman saja, para siswa, kecuali bila mereka memang sangat kompeten, akan gagal memperoleh ciri-ciri signifikan dari genre tertentu. Menurut Williams dan Colomb, ajaran eksplisit mengenai genre akan memberi peluang bagi siswa rata-rata untuk mengetahui dan menyadari akan ciri-ciri signifikan dari genre tertentu. Bagaimanapun, Williams dan Colomb juga mengakui manfaat-manfaat dari pengalaman dengan teks-teks spesifik-genre. Johns (1997) juga setuju dengan arti penting dari ajaran eksplisit mengenai genre untuk tujuan mengembangkan pengetahuan latar atau skemata dari siswa. Hal ini, menurut Johns, karena bila para pembaca dan penulis saling membagi skemata yang sama untuk ciri-ciri dari teks spesifik-genre, mereka akan mampu memproses dan menghasilkan teks-teks serupa secara efektif. Johns berkata, When student readers share some or all of this knowledge with the writer of an assigned texts, they comprehend, and we are happy with their text summaries. When writers share this knowledge, readers are often pleased with their ability to
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 199
produced what is considered appropriate written products. This sharing makes reading and writing much more efficient, and it contributes to mutual understanding among those involved. Without it, the lives of readers and writers would be much more difficult because they would have to make many more decisions before processing each text (hal:37). Lebih lanjut Johns menyatakan bahwa ketika memproses teks spesifik-genre, para pembaca menggunakan modelmodel mental yang didasarkan pada skemata mereka, yang kemudian direvisi ketika mereka membaca atau menulis untuk situasi tertentu. Maka, mengenal struktur retorika dari teks dapat membantu siswa untuk mengembangkan model-model mental dan menggunakannya ketika menghadapi teks-teks dari genre yang sama untuk pemahaman atau produksi teks yang efektif. Swales (1990) juga mendukung ide ajaran eksplisit mengenai genre, terutama bagi bukan pembicara asli dari suatu bahasa tertentu. Swales menyatakan bahwa mengajar dasar pemikiran dan aturan-aturan dari suatu tipe teks tertentu, seperti teks akademik, dapat membawa pada pembuatan teks-teks yang cukup sesuai dengan skemata formal si pembaca. Menurut Swales, pemahaman atas teks akademik akan bergantung pada “kemampuan pembaca untuk mengamati blok-blok notional yang tercakup dalam teks-teks yang bersangkutan dan hubungan hirarkis yang menyetarakannya secara konseptual” (hal:89). Oleh karenanya, sebagaimana dinyatakan oleh Swales lebih lanjut, ajaran eksplisit mengenai struktur retorika untuk teks-teks dari genre tertentu bersifat sentral di kelas-kelas membaca dan menulis akademik.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 200
Freedman (1994) baru-baru ini merevisi pendapatnya mengenai peran-peran potensial dari ajaran eksplisit dalam akuisisi genre dan menyatakan bahwa ajaran eksplisit mengenai genre memang perlu sejauh memenuhi kriteria tertentu. Pertama, para pelajar harus siap berkembang dan mereka harus dilibatkan dalam mengerjakan tugas-tugas otentik. Kedua, ajaran eksplisit harus mampu meningkatkan pengetahuan para pelajar mengenai ciri-ciri genre sehingga mereka kemudian akan memperhatikan dan karenanya memperoleh ciri-ciri dalam masukan berfokus pada arti. Bila ciri-ciri tertentu dari suatu genre ditunjuk secara eksplisit untuk beberapa pelajar sebelum mereka dilibatkan dalam membaca atau menulis contoh-contoh lain dari genre tersebut, mereka dapat memperhatikan dan memperoleh aturan yang mengatur ciri-ciri tersebut. Dengan kata lain, ajaran eksplisit mengenai ciri-ciri formal dari genre terbukti bermanfaat bagi siswa yang gaya belajarnya sesuai, namun hanya ketika ajaran tersebut disajikan saat siswa terlibat dalam tugas membaca dan menulis otentik dengan menggunakan genre yang ditargetkan. Singkatnya, ajaran eksplisit mengenai ciri-ciri spesifik-genre tampaknya diperlukan dan penting untuk membuat setidaknya beberapa siswa mengetahui ciri-ciri tersebut saat menangani teks-teks otentik. Pengetahuan siswa mengenai ciri-ciri retorika dan linguistik dari Artikel Jurnal Penelitian akan membantu mereka memahami teksteks atau menghasilkan teks-teks serupa secara efektif dan efisien. Ketika mereka secara aktif menggunakan pengetahuan generik dalam memahami dan/atau menghasilkan Artikel Jurnal Penelitian, sebagian dari pengetahuan sadar mereka dapat menjadi akuisisi dan siswa dapat mulai menggunakannya secara tanpa sadar.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 201
Disamping itu, ajaran eksplisit mengenai ciri-ciri retorika yang umumnya digunakan dalam Artikel Jurnal Penelitian dapat mempercepat proses belajar dan meningkatkan tingkat pencapaian mereka. Yang lebih penting lagi, ajaran eksplisit dapat membantu mengembangkan atau meningkatkan motivasi siswa untuk sering membaca Artikel Jurnal Penelitian. Karenanya, perlu untuk mengembangkan suatu pendekatan pada pengajaran ciriciri generik dari Artikel Jurnal Penelitian yang ditulis dalam Bahasa Inggris untuk mahasiswa Indonesia.
7.2. Pendekatan Umum terhadap Pengajaran Teks Genre Khusus Terdapat serangkaian pendekatan pada ajaran eksplisit mengenai genre dan pendekatan yang paling umum mungkin adalah untuk menyajikan pada siswa teks-teks model yang dapat dianalisis untuk sifat-sifat generik tertentu sebelum siswa diminta untuk membaca dan/atau menulis teks pilihan mereka sendiri (Charney dan Carlson 1995). Menurut Charney dan Carlson, ini adalah refleksi dari situasi dunia nyata; insinyur pemula seringkali sangat bergantung pada arsip-arsip laporan teknis saat menulis laporan mereka sendiri. Charney dan Carlson menemukan bahwa teks-teks yang ditulis oleh siswa yang diberi teks model untuk diperiksa dan diikuti memiliki nilai yang lebih tinggi pada parameter organisasi teks daripada teks-teks yang ditulis oleh siswa tanpa teks model. Menurut Charney dan Carlson, hal ini dikarenakan dengan mempelajari teks model, siswa dapat memahami pola-pola retorika dari teks-
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 202
teks spesifik-genre pada tingkat kalimat, tingkat paragraph, dan tingkat wacana lebih tinggi lagi. Dudley-Evans (1997) juga menyatakan bahwa penggunaan model teks dalam ajaran eksplisit mengenai ciri-ciri retorika teks spesifik-genre adalah untuk tujuan meningkatkan pengetahuan siswa mengenai ciri-ciri formal dari teks. Menurut Dudley-Evans, pendekatan ini memberi siswa kemampuan komunikatif untuk mengekspresikan ide-ide mereka dengan cara-cara yang diasumsikan oleh para anggota komunitas wacana mereka. Bagaimanapun, sebagaimana yang diingatkan oleh Dudley-Evans, bahaya dari pendekatan ini adalah bahwa guru dan siswa mungkin percaya bahwa model-model tersebut merupakan satusatunya cara dimana penulisan akademik dapat disajikan. Untuk alasan ini, Dudley-Evans menyatakan bahwa ajaran genre akademik juga harus mencakup ajaran mengenai strategi-strategi komunikatif, seperti penggunaan hedging dalam membuat klaim pengetahuan dan cara-cara mengevaluasi item-item dari studi-studi terdahulu. Pendekatan lain pada ajaran eksplisit mengenai genre akademik di tingkat perguruan tinggi adalah „pendekatan proses‟. Dalam pendekatan ini, siswa diminta untuk saling membagi sampel-sampel teks dari proyekproyek penulisan mereka sendiri dengan rekan atau anggota kelas mereka. Ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada siswa bahwa menulis adalah suatu proses sosial dimana negosiasi berulang antara penulis dan pembaca mengenai bentuk dan isi dari teks-teks mereka memang diperlukan untuk menghasilkan teks-teks yang sesuai dari sudut pandang kedua belah pihak (Ahmad 1997). Begitu pula, Swales (1990) menyatakan bahwa arti penting dari proses penulisan di kelas-kelas menulis kini sangat maju dan berfokus pada proses penulisan yang bermanfaat bukan
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 203
hanya untuk kelas Bahasa Kedua (L2) namun juga untuk kelas Bahasa Pertama (L1). Menurut Swales, manfaat nyatanya adalah bahwa respon (misalnya komentar, koreksi, pertanyaan atau kritik) dari para anggota kelas terhadap konsep dari siswa, yang berasal dari sudut pandang pembaca, berasal dari perspektif yang tidak dapat digunakan oleh penulis siswa sendiri. Ini karena para penulis, bahkan penulis yang berpengalaman, tidak dapat menjadi pembaca efektif dari teks-teks mereka sendiri. Disamping itu, membagi karya mereka dengan para rekan siswa juga akan membuat menulis menjadi lebih realistis dan alami karena pemirsa telah berubah dari menulis untuk instruktur menjadi menulis untuk rekan. Ini juga dapat membuat tujuan menulis menjadi lebih realistis atau otentik bagi penulis siswa. Pendekatan lain yang umumnya digunakan dalam ajaran spesifik-genre adalah „pendekatan studi kasus‟, terutama mengenai kisah dari penulis dan/atau pembaca berpengalaman atau profesional (Swales 1990:203). Swales menyatakan bahwa pendekatan studi kasus dalam membaca dan menulis akademik didasarkan pada pandangan bahwa para siswa memiliki gaya atau strategi belajar yang berbeda; satu strategi dapat bersifat efektif untuk kelompok siswa tertentu namun tidak demikian untuk kelompok yang lain. Menurut Swales, mengamati beberapa model bagaimana penulis dan/atau pembaca berpengalaman menangani teks-teks akademik dapat memberi pilihan bagi para siswa untuk diikuti. Maka, bila para siswa mengetahui gaya atau strategi belajar mereka sendiri, mereka dapat memilih salah satu model yang ada untuk diikuti atau menyesuaikan model yang bersangkutan dengan tugas membaca dan menulis mereka.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 204
Pendekatan yang lebih komprehensif terhadap mengajar dan mempelajari genre yang disebut „siswa sebagai peneliti‟ disarankan oleh Johns (1997). Johns menyatakan bahwa pendekatan yang bersangkutan dirancang secara spesifik „... untuk mendorong keingintahun siswa pada teks dan genre, kehidupan membaca mereka, dan praktek membaca dari orang lain, sehingga mereka dapat bersiap diri dengan lebih baik dalam memposisikan mereka dalam konteks akademik dan konteks sosial lain‟ (hal:92). Tujuan utama dari pendekatan ini, menurut Johns, adalah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1) Bagaimana siswa dapat menggunakan teks sebagai katalis untuk meneliti? Bagaimana mereka dapat belajar dari contoh-contoh genre mengenai sifat-sifat internal teks? 2) Apa ciri-ciri eksternal teks dari genre yang mungkin ditelaah siswa? 3) Bagaimana kita dapat mengembangkan penelitian siswa menjadi proses-proses dan strategi-strategi yang mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas membaca dan menulis? Bagaimana kita dapat mendoronga mereka untuk menggunakan penelitian mereka untuk mengembangkan rangkaian strategi mereka? dan 4) Proyek-proyek penelitian eksternal-kelas apa yang dapat dilakukan siswa? Bagaimana mereka dapat menggunakan wawancara dan observasi peserta dalam mencapai tujuan-tujuan mereka? (hal:93)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 205
Dalam pendekatan ini, para siswa diminta untuk menemukan ciri-ciri generik dari teks spesifik-genre tertentu, seperti Artikel Jurnal Penelitian dengan bantuan dari instruktur mereka. Ciri-ciri ini mencakup ciri retorika dan cirri linguistik dari teks yang bersangkutan, ciri-ciri eksternal dari teks (misalnya judul, penulis dan pembaca, tujuan komunikatif, dan konteks situasi), strategi-strategi pemrosesan untuk membaca dan menulis teks bagi siswa, dan penelitian diluar kelas (misalnya mewawncarai para ahli-lapang, menjadi peserta pbservasi dan menghadiri kuliah atau mengunjungi laboratorium). Maka, aktivitas kelas menurut pendekatan ini melibatkan empat tipe aktivitias, analisis teks, analisis proses membaca dan menulis, dan analisis konteks dan mewawancarai para anggota ahli dari genre tertentu. Tiga pendekatan di atas memiliki suatu persamaan; semuanya melibatkan sejenis analisis retorika dari teks pilihan untuk genre tertentu seperti Artikel Jurnal Penelitian oleh siswa. Ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan ciri-ciri linguistik retorika tipikal dan penting dari teks-teks yang bersangkutan dan membuat siswa mengetahui ciri-ciri tersebut sehingga mereka memiliki sejumlah harapan saat membaca dan/atau menulis teks serupa. Ini dikarenakan dengan harapan-harapan yang tepat terhadap ciri-ciri retorika dari teks dalam genre tertentu, siswa dapat membaca dan/atau menulis teks tertentu secara lebih efektif. Bagaimanapun, suatu pendekatan tertentu mungkin hanya akan sesuai untuk kelompok siswa tertentu dan bukan untuk kelompok yang lain, dan suatu pendekatan tertentu dapat digunakan untuk lingkungan ajar tertentu namun tidak dengan lingkungan ajar lainnya. Maka, keputusan mengenai pendekatan-pendekatan mana yang
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 206
akan digunakan di kelas tertentu untuk pengajaran genre akademik akan bergantung pada observasi dan persepsi guru terhadap gaya belajar siswa, atmosfir kelas, dan fasilitas dan/atau materi belajar dan/atau mengajar yang tersedia. Untuk mengajar genre Artikel Jurnal Penelitian Bahasa Inggris kepada mahasiswa Indonesia, guru harus mempertimbangkan fakta bahwa kelas-kelas bahasa biasanya relatif besar karena jumlah guru dan kelas yang terbatas dan jarangnya media ajar. Maka, pangajaran genre Artikel Jurnal Penelitian harus bertujuan untuk memperlihatkan kepada para mahasiswa struktur-struktur retorika umum dan bagaimana Artikel Jurnal Penelitian diatur mengikuti struktur-struktur tersebut. Bagi mahasiswa Indonesia, beberapa aktivitas mengajar di kelas dapat digunakan seperti, menganalisis sampel-sampel Artikel Jurnal Penelitian Bahasa Inggris yang baik dalam disiplin ilmu tertentu (yaitu, mengikuti jurusan siswa) pada struktur retorika makronya (misalnya menggunakan model CARS dari Swales untuk menganalisis bagian pendahuluan Artikel Jurnal Penelitian) dan fungsi retorikanya, membandingkan Artikel Jurnal Penelitian yang berhasil dengan yang tidak berhasil, mewawancarai para ahli di komunitas wacana tertentu mengenai bagaimana mereka membaca Artikel Jurnal Penelitian, dan sebagainya. 7.3. Ringkasan Mahasiswa Indonesia perlu membaca artikel-artikel jurnal penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris terutama artikel-artikel di bidang disiplin mereka karena beberapa alasan tertentu, seperti ketersediaan jurnal-jurnal penelitian di perpustakaan universitas, ukuran artikel yang mudah
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 207
untuk dibaca dan sifat otentik atau realistis dari sumber bacaan. Agar berhasil dalam membaca artikel, para mahasiswa perlu mengenal genre yang bersangkutan dari sudut pandang struktur dan ciri retorika mereka. Ini karena struktur dan ciri retorika teks merupakan bagian dari latar pengetahuan (skemata) yang diperlukan untuk prosesproses pemahaman yang berhasil. Untuk itu, pengajaran mengenai struktur dan ciri retorika dari Artikel Jurnal Penelitian memang diperlukan untuk membuat para mahasiswa menyadari struktur dan ciri dominan dari Artikel Jurnal Penelitian bahasa Inggris dan bagaimana struktur dan ciri tersebut dapat mempengaruhi kualitas dari artikel yang bersangkutan.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 208
Daftar Pustaka Ahmad, U. Khair (1997) Scientific Research Articles in Malay: A Situated Discourse Analysis, a Ph.D. Dissertation in the University of Michigan, Michigan: UMI Publication. Ballard, B. and J. Clanchy (1984) Study Abroad: A Manual for Asian Students, Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan: Malaysian Longman. Bathia, Vijay K. (1991) A Genre Based Approach to ESP Materials, World Englishes, Vol. 10, No. 2. Bazerman, Charles (1981) „What Written Knowledge Does: Three Examples of Academic Discourse‟, Dalam Philosophy of the Social Sciences, 11, pp:361-382. Berkenkotter, Carol and Thomas N. Huckin (1995) Genre Knowledge in Disciplinary Communication: Cognition/Culture/Power, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Birk, N. and G. Birk (1967) „Persuasion by Logical Argument‟ in Glorfeld, L.E., T.E. Kakones, and J.C. Wilcox (eds.). Language Rhetoric and Idea: A Unified Approach to Composition. Columbus, Ohio: C.E. Merrill Books. Boas, Franz (1974) Introduction to the Handbook of American Indian Language. Dalam Blount, Ben
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 209
G. Language Culture and Society: A Book of Reading, Cambridge: Winthrop Publishers, Inc. Bolivar, Adriana (1994) “The Structure of Newspaper Editorials”, dalam R. M. Coulthard (ed.) “Advances in Written Text Analysis”, London: Roudledge. Charney, Davida H and Richard A. Carlson (1995) „Learning to Write in a Genre: What Student Writers Take from Model Texts‟ in Reasearch in the Teaching of English, 29/1, pp:88-125. Cheong, Eun-Ye (1999) Analyss of Sermon Delivered By Korean, Pilipino and American Pastors: The View of Genre Analysis, Relc Journal, Vol. 30, No. 2, pp:44-60 Chessel, P. and H. Birnstihl (1978) Essay Writing: A guide (2nd ed.), Malvern, Victoria: Sorrett Publishing. Choi, Y. H. (1988) Text Structure of Korean Speakers‟ Argumentative Essays in English, Dalam World Englishes 7/2:129-142 Clyne, Michael (1987) „Cultural Differences in the Organization of Academic Texts: English and German‟ Dalam Journal of Pragmatics, 11, pp: 211-247. Connor, U. and J. Lauer. 1985. „Understanding Persuasion Essay Writing: Linguistic/Rhetorical Approach‟. Text 5/4:309-326.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 210
Connor, U. (1987) „Argumentative Patterns in Student Essays: Cross-cultural differences‟ in Connor, U. and R.B. Kaplan (eds.). Writing Across Languages: Analysis of L2 Text. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Company. _________ (1990) „Linguistics/Rhetorical Measures for International Persuasive Student Writing‟. Research in the Teaching of English 24/1:67-87. _________ 1996 Contrastive Rhetoric: Cross-cultural aspects of second-language writing, Cambridge: CUP. Corbett, Edward, P. J. (1990) Classical Rhetoric for Modern
Student
(3rd.ed),
Oxford:
Oxford
University Press. Coulthard, R. Malcolm (1994) “On Analysing and Evaluating Written Text”, dalam M. Coulthard (ed.) “Advances in Written Text Analysis”, London: Roudledge. Coulthard, R. Malcolm (1994) “On Analysing and Evaluating Written Text”, dalam M. Coulthard (ed.) “Advances in Written Text Analysis”, London: Roudledge. Crismore, Avon and William J. Vande Kopple (1997) „The Effects of Hedges and Gender on the Attitudes of readers in the United States Towards Material in
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 211
a Science Textbook‟ in Anna Duszak (ed.) pp: 223-247. Crookes, Graham (1986) „Towards a Validated Analysis of Scientific Text Structure‟, Dalam Applied Linguistics ,7/1, pp:57-70. Darian, Steven (1997) „The Language of Classifying in Introductory Science Texts‟, in Journal of Pragmatics, 27, pp: 815-839. Day, R. Abby (1996) How to Get Research Published in Journals, Hampshire: Gown Publishing Limited. Dudley-Evans, Tonny (1997) „Genre: How far can we, should we go?‟, in World Englishes, 16/3, pp: 351-358. Duszak, Anna (1997) (ed.) Culture and Styles of Academic Discourse, Berlin: Mouton de Gruyter. Egginton, W. G. (1987) Written Academic Discourse in Korean: Implication for Effective Communication‟ Dalam Connor, U. and R. B. Kaplan (eds) Writing Across Languages: Analysis of L2 Texts, Reading Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. Freedman, Aviva and Peter Medway (eds.) (1994) Genre and the New Rhetoric. London: Taylor and Francis.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 212
Golebiowski, Z and H. Borland (eds.) (1997) Academic Communication Across Discplines and Cultures, Selected Proceedings of the First National Conference on Tertiary Literacy: Research and Practice, Vol. 2, Melbourne: Victoria University of Technology. Hatch, E. and A. Lazaraton (1991) The Research Manual: Design and Statistics for Applied Linguistics, Boston: Heinle & Heinle Publishers. Hatch, E. (1992) Discourse and Language Education., Cambridge: Cambridge University Press. Hinds, J. (1983) „Contrastive Rhetoric: Japanese and English‟, Text 3/2:183-195. Hoey, Michael (1983) On The Surface of Discourse, London: George Allen and Unwin. Holmes, Janet (1982) „Expressing Doubt and Uncertainty in English‟, RELC Journal 13:9-28. Homes, Richard (1997) „Genre Analysis and the Social Sciences: An Investigation of the Structure of Research Article Discussion Sections in Three Disciplines‟, in English for Specific Purposes, 16/4, pp: 321-337. James, Allen (1983) „Compromises in English: A Cross Disciplinary Approach to Their Interpersonal Significance‟, Journal of Pragmatics 7:191-286.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 213
Johns, Ann M. (1997) Text, Role, and Context: Developing Academic Literature, Cambridge: Cambridge University Press. Kaplan, Robert B. (1966) „Cultural Thought Patterns in Inter-Cultural Education‟ in Language Learning, XVI, pp: 1-20. Kaplan,
R.B. (1972) The Anatomy of Rhetoric: Prolegomena to a Functional Theory of Rhetoric, Philadelphia. P.A.: Centre for Curriculum Development.
Kenworthy, Joanne (1991) Language in Action: An Introduction to Moder Linguistics, Longman Group UK Limited. Keraf, Gorys (1981) Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia, Jakarta: Grasindo. Keraf, G. (1992) Argumen dan Narasi, Jakarta: Gramedia. Kirkpatrick, A. (1994) Contrastive Rhetorics and the Teaching of Academic Discourse, (unpublished material): Paper presented at RELC Singapore Conference, April 18-20 1994. ____________ (1997) 'Writing Expository Essays in Chinese: Chinese or Western Influences? in Z. Golebiowski and H. Borlland (eds.)Academic Communication Across Disciplines and Cultures, Melbourne: Victoria University of Technology.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 214
Kreutz,
Heinz and Annette Harres (1997) „Some Observations on the Distribution and function of hedging in German and English Academic Writing‟ in Anna Duszak (ed.) pp: 181-201.
Landau, Sydney I. (1984) Dictionaries: the Art and Craft of Lexicography, New York: Scribner. Levin, G. (1966) A Brief Handbook of Rhetoric, New York: Harcourt, Brace and Word. Liddicoat, A. J. (1997) 'Communicating Within Cultures, Communicating Across Cultures, Communicating Between Cultures' in Golebiowski, Z. and H. Borlland (eds.) Academic Communication Across Disciplines and Cultures, Melbourne: Victoria University of Technology. Liddicoat, Anthony (1997b) „Communicating Within Cultures, Communicating Across Cultures, Communicating Between Cultures‟, Dalam Z. Golebiowski and H. Borland (eds.), pp: 12-23. Malinowski, Bronislaw (1949) „The Problem of Meaning in Primitive Language‟ Dalam C. K. Ogden and I. A. Richards (eds.) The Meaning of Meaning: The Study of the Influence of Language upon Thought and of the Science of Symbolism, London: Routledge and Kegan Paul. Meyer, Bonie J. F. (1992) An Analysis of a Plea for Money, dalam W. C. Mann dan S. A Thompson
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 215
(eds) Discourse Description: Diverse Linguistic analyses of a fund-raising texs, Philadelphia: John Benjamin Publishing Company Markkanen, Raija and Hartmut Schroder (1997) „Hedging: A Challenge for Pragmatics and Discourse Analysis‟ in Raija Markkanen and Hartmut Schroder (eds) pp: 3-18. Markkanen, Raija and Hartmut Schroder (eds) (1997) Hedging and Discourse, Berlin: Walter de Gruyter. Mohan, B. A. and W. A. Y. Lo (1985) „Academic Writing and Chinese Students‟ Transfer and Development Factors, TESOL Quarterly 19/3:515-534 Najjar, Hazem Y. (1989) Scientific Arabic: the Agricultural Research Article, an Unpublished Ph.D. Dissertation at The University of Michigan, Ann Arbor. Ngadiman, Austinus (1998) Javanese Cultural Thought Patterns as Manifested in Expository Discourse, Tesis Ph.D di IKIP Malang Jawa Timur. Nwogu, Kevin Ngozi (1997) „The Medical Research Paper: Structure and Functions‟, dalam English for Specific Purposes, 16/2, pp: 139-150.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 216
Posteguillo, Santiago (1999) „The Schematic Structure of Computer Science Research Articles‟ dalam English for Specific Purposes, 18/2, pp:139-160. Rifai, Mien A. (1995) Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rottenberg, A.T. (1988) Elements of Argument, New York: St. Martins Press. Rubin, D., R. Goodrum, and B. Hall, (1990) „Orality, Oralbased, and the Academic Writing of ESL Learners‟, Issues in Applied Linguistics 1:56-76. Safnil (2001) Rhetorical Structure Analysis of the Indonesian Research Articles, (an unpublished material) Ph. D. Thesis at the Department of Linguistics, The Faculty of Languages and Arts of the Australian National University, Canberra Australia. Sapir, Edward (1974) „The Unconscious Patterning of Behaviour in Society‟, dalam Blount, Ben G. Language Culture and Society: A Book of Reading, Cambridge: Winthrop Publishers, Inc. Swales, John M. (1981) Aspects of Articles Introduction, Birmingham, UK: The Language Studies Unit, University of Aston.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 217
_____________(1984) „Research into the Structure of Introductions to Journal Articles and its Application to the Teaching of Academic Writing‟ dalam R. Williams, J. Swales and J. Kirkman (eds.) Common Ground: Shared Interests in ESP and Communication Studies, Pergamon Press International, pp:77-86. _____________(1990) Genre Analysis: English in Academic and Research Settings, Cambridge: Cambridge University Press Tirkkonen-Condit, S. (1984) „Towards a Descriptive of Argumentative Text Structure‟ in Hikam, R. and M. Rissanen (eds.). Proceeding for the Second Nordic Conference for English Studies. Publications of the Research Institute of the Abo Akademi Foundation. Toulmin, S.E., R. Rieke, and A. Janik. (1979) An Introduction to Reasoning, New York: Macmillan. _________ (1984) An Introduction to Reasoning (2nd. ed.) , New York: Macmillan. Trianto, Agus (2000) Analisis Retorika Humor Mahasiswa, bahan tidak terbit. Widdowson, Henri G. (1979) Explorations in Applied Linguistics, Oxford: Oxford University Press.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 218
Williams, Joseph M. and Gregory G. Colomb (1993) „The Case for Explicit Teaching: Why What You Don‟t Know Won‟t Help You‟, in Research in the Teaching of English, 27/3, pp:252-264. Worf, Benjamin Lee (1974) „The Relation of Habital Thought and Behavior to Language‟, Dalam Blount, Ben G. Language Culture and Society: A Book of Reading, Cambridge: Winthrop Publishers, Inc. Wyrick, J. (1987) Steps to Writing Well, Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston. Yudojono, K.S. (1984) Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 219
Lampiran-Lampiran Lampiran 1: Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia karangan A E 2 (1) Terdapat beberapa alasan kenapa merokok seharusnya dilarang di tempat-tempat umum, terutama karena pengaruh buruk yang bisa ditimbulkan perokok pasif. (2) Sedangkan setiap individu mempunyai pilihan apakah dia akan merokok atau tidak (3) perokok pasif tidak punya pilihan. (4) Mereka suka atau tidak suka menderita pengaruh jelek dari orang lain yang merokok (5) Perokok pasif ini tidak punya pilihan dalam hal ini. (6) Jika orang lain di sekitarnya merokok, seseorang yang tidak merokok terpaksa menghirup asap rokok karena mereka harus bernapas. (7) Saya kira ini sangat tidak adil bagi seorang yang tidak bersalah untuk menderita pengaruh jelek dari orang lain yang merokok. (8) Saya tidak keberatan atas setiap orang yang ingin merusak paru-parunya sendiri dengan mengisap rokok; (9) setiap orang punya pilihan tersebut, (10) tapi sekali seseorang mengambil keputusan untuk tidak merokok, (11) jelas sangat tidak adil kalau dia menderita penyakit akibat merokok. (12) Khususnya, bila tak ada yang dapat mereka perbuat untuk menghindarinya. (13) Tidak ada cara preventif. (14) Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa orang yang tidak merokok harus meninggalkan tempat umum dimana ada orang merokok. (15) Sekali lagi, ini sangat tidak adil kenapa orang yang tak merokok harus dipaksa meninggalkan tempat-tempat umum. (16) Adalah beralasan bagi perokok untuk masuk ke tempat umum tapi
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 220
bukan untuk merokok di sana. (17) Di rumah, di dalam mobil, atau di tempat-tempat pribadi lainnya, perokok bebas merokok. (18) Misalnya, jika anda menompang mobil seorang teman dan dia menyalakan rokok, ini hak orang tersebut untuk merokok karena itu mobil dia. (19) Dia biasa melakukan apa saja yang dia sukai. (20) Dalam kasus ini si perokok punya hak untuk merokok. (21) Tapi, di tempat-tempat umum, si perokok seharusnya tidak punya hak untuk merokok karena apa yang mereka lakukan mempengaruhi orang lain. (22) Oleh karena itu, banyak alasan kuat untuk mendukung bahwa merokok harus dilarang di tempattempat umum yaitu karena pengaruh buruh yang diakibatkan oleh perokok pasif. (23) Adalah sangat tidak adil untuk seorang menderita penyakit akibat asap rokok sementara mereka tidak menginginkannya. (24) Merokok adalah kebiasaan yang berbahaya bagi kesehatan. (25) Merokok haruslah dibatasi pada tempat-tempat khusus atau pribadi saja.
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 221
Lampiran 2: Pengaruh Minat Terhadap Film Kekerasan Di Televisi Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja Fauzan Heru Santhoso Universitas Gajah Mada [Prg.1] Agresivitas remaja akhir-akhir ini menunjukan gejala yang semakin meningkat, baik dari segi kwantitas maupun kualitas. Dulu perilaku agresif remaja remaja yang ditunjukan bersifat musiman. Hal itu biasanya berwujud perkelahian antar remaja yang dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya pada awal atau akhir semester. Sekarang ini perilaku agresif mereka seolah-olah tidak memandang waktu lagi. Ada masalah sedikit atau sepele saja, segeral timbul perkelahian. [Prg.2] Dari segi kwalitas, perkelahian remaja menunjukan gejala semakin meningkat. Korban yang jatuh tidak sekedar mengalami luka, akan tetapi menelan korban jiwa. Keadaan semacam ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan semua pihak baik keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerentah. Sebab tidak jarang fasilitas umumbanyak yang rusak akibat perkelahian tersebut. [Prg.3] Melihat kondisi demikian ini, beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu berusaha menganalisis sebabsebab terjadinya perilaku agresif remaja. Sebagian mengatakan bahwa penyebab perilaku agresif remaja saat ini adalah karena pengaruh filem kekerasan di telivisi (Rakhmat, 1989; Jester dan Stein dalam Pikunas, 1976; Berkowits dalam Worchel & Cooper, 1984). Para ahli dalam kelompok ini sangat dipengaruhi teori belajar
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 222
Bandura. Sebagian yang lain menyatakan bahwa bukan tema-tema kekerasan di telivisi yang menyebabkan perilaku agresif remaja, tetapi ada faktor-faktor lain. Para ahli tersebut berpandangan bahwa justru dengan melihat tayangan kekerasan di film, perilaku agresif dapat ditekan. Pandangan ini mendasarkan diri pada teori frustasi agresi yang dikemukakan oleh Dollar, dan kawan-kawan (Baron & Byrn, 1984). [Prg.4] Dengan demikian tujuan dari penelitian ini, ialah untuk mengetahui hubungan antara minat terhadap film kekerasan di televisi dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. [Prg.5] Beberapa penelitian telah dilakukan, namun hasilnya masih belum konsisten. Fiedrich dan Stein (dalam Worchel & Copper, 1983) mengadakan penelitian terhadap murid taman kanak-kanak laki-laki dan perempuan yang melihat tayangan film televisi yang bertemakan kekerasan, netral, dan prososial. (S.3)Hasilnya menunjukan bahwa anak- anak yang menonton tayangan netral dan prososial dapat menurun agresifitasnya, sedang anak-anak yang menonton tayangan kekerasan meningkat. [Prg.6] Parke dkk. (dalam Worchel & Cooper, 1983) mengadakan penelitian terhadap penghuni panti anak nakal di Amerika dan Belgia. Anak-anak yang melihat tayangan film kekerasan menunjukan perilaku yang lebih agresif dibanding dengan anak-anak yang melihat tayangan film netral. Penelitian Martani dan Adiyanti (1992) terhadap anak prasekolah dan Taman Kanak-kanak di Yogyakarta hasilnya menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkah laku agresif antara anakanak yang suka menonton film kekerasan dan tidak mengandung kekerasan di televisi. Penelitian Eron (1987)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 223
terhadap murid sekolah dasar menunjukan bahwa semakin banyak adegan kekerasan di televisi yang ditonton maka anak semakin agresif. Selanjutnya dilaporkan walaupun koefisien korelasi tidak begitu tinggi, namun hasil yang sama diperoleh baik di Amerika, Eropah dan Australia. [Prg.7] Beberapa penelitian tersebut jelas menunjukan bahwa hubungan antara film kekerasan di televisi dengan perilaku agresif masih belum menunjukan hasil yang konsisten. Oleh sebab itu pula, maka beberapa waktu yang lalu di dalam masyarakat terjadi polemik yang cukup panjang tentang pengaruh film kekerasan di televisi terhadap perilaku agresif remaja. Apakah perilaku agresif remaja disebabkan oleh minat remaja terhadap tayangan film kekerasan di televisi atau ada faktor-faktor lain penyebab meningkatnya perilaku agresif remaja saat ini?
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 224
Prof. Safnil MA., Ph.D. lahir di Desa Koto Kecil Kecamatan Guguk Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 21 Januari 1961. Dia menyelesaikan Program Strata 1 (S.1) pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang pada tahun 1984. Kemudian dia melanjutkan studi pada Program Post Graduate Diploma (Diploma Pasca Sarjana) dalam bidang TESL (the Teaching of English as a Second Language) di English Language Institute (ELI), Victoria University di Wellington, Selandia Baru pada tahun 1990. Pada tahun 1992, dia kuliah di Jurusan TESOL (the Teaching of English to Speakers of Other Languages), the Faculty of Education of University of Canberra (UC) di Canberra, Australia dan tamat dengan gelar Master of Arts (MA) pada tahun 1994. Program S3 (Doktor) dalam bidang Linguistik diselesaikannya pada tahun 2001 pada the Linguistic Department of the Faculty of Arts of the Australian National University (ANU) of Canberra, Australia. Safnil juga pernah mengikuti program pelatihan non-gelar (non-degree training) dalam bidang English for Business and Technology (EBT) pada SEAMEO-RELC Singapore pada tahun 1995 dan program magang (internship) tentang Language Teaching Center Management di the Economic Institute (EI) di Boulder, Colorado, USA pada tahun 1997. Dia memperoleh gelar Guru Besar (Profesor) dalam bidang Pengajaran Bahasa Inggris sejak Juni 2007 pada program studi Pendidikan Bahasa Inggris Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 225
Bengkulu. Beberapa tulisannya pernah terbit di berbagai jurnal ilmiah baik di dalam negeri seperti, Jurnal Komposisi (UNP Padang), Linguistik Indonesia (Masyarakat Linguistik Indonesia), Linguistika (Universitas Udayana, Bali), Pelangi Pendidikan (BKS PTN Wilayah Barat), Vidya Karya (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin). TEFLIN Journal (Asosiasi Guru dan Dosen Bahasa Inggris se-Indonesia), Wacana (FKIPUniversitas Bengkulu), Forum Pendidikan (FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang) dan Jurnal Sastra Inggris (Universitas Kristen Maranatha, Bandung) maupun di luar negeri seperti: Guidelines (SEAMEO-RELC, Singapore), Australian Review of Applied Linguistics (ARAL, Australia), the Asian Pacific Researcher (Filipina) dan Journal of English as a Foreign Language (Hiderabat, India). Safnil juga pernah memperoleh hibah dana penelitian dari SEAMEO-RELC Singapore untuk meneliti kualitas guru Bahasa Inggris SMP di Bengkulu dalam menggunakan buku ajar pada tahun 2002.
Safnil